Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai)

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai) Posted on January 5, 2025January 5, 2025by `Ada beberapa versi redaksi doa setelah berwudhu yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas versi pertama. Berikut versi lainnya: “سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ” “Subhânakallôhumma wa bihamdika, asyhadu allâ ilâha illâ Anta, astaghfiruka wa atûbu ilaik”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “مَنْ تَوَضَّأَ فَقَالَ: “سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ”؛‌ ‌كُتِبَ ‌فِي ‌رَقٍّ ثُمَّ طُبِعَ بِطَابَعٍ فَلَمْ يُكْسَرْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ” “Barang siapa yang berwudhu, lalu membaca “Subhânakallôhumma wa bihamdika, asyhadu allâ ilâha illâ Anta, astaghfiruka wa atûbu ilaik (Maha suci Engkau ya Allah dan segala puji hanya untuk-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Engkau. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu)”; niscaya itu akan ditulis di selembar kertas lalu distempel, dan tidak akan dihapus hingga hari kiamat”. HR. Nasa’iy dalam as-Sunan al-Kubrâ dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu, dan dinilai sahih oleh al-Hakim serta al-Albaniy. Isnad hadits ini juga dinilai sahih oleh Ibn al-Mulaqqin. Renungan Kandungan Doa ini diawali dengan penggabungan antara dua dzikir istimewa. Yaitu tasbih dan tahmid. Sebagaimana yang telah kita pelajari pada Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 45, bahwa kalimat tasbih bermakna: menjauhkan kekurangan-kekurangan dari dzat Allah, serta mensucikan-Nya dari sifat-sifat buruk dan yang tidak layak. Adapun tahmid, sudah dibahas pula di Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 58. Maknanya adalah: memuji Allah ta’ala dengan menyebutkan sifat-sifat-Nya yang agung dan mengingat nikmat-nikmat-Nya yang tak terhingga. Bertasbih adalah upaya membersihkan pikiran kita dari prasangka buruk terhadap Allah, baik tentang syariat yang diturunkan-Nya, maupun tentang takdir yang ditetapkan-Nya. Jika terlintas di benak kita kritikan terhadap syariat Allah, maka bertasbihlah. Sebab syariat Allah itu maha sempurna dan maha bijaksana. Tidak ada dan tidak akan mungkin syariat-Nya bertujuan sekedar untuk menyusahkan manusia. Justru syariat itu diturunkan guna mendatangkan kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup mereka. Shalat fardhu yang dikerjakan lima kali dalam sehari, zakat yang wajib ditunaikan oleh orang kaya dan puasa Ramadhan yang harus dijalankan selama sebulan penuh. Semuanya disyariatkan Allah untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Ini pembahasan mengenai syariat-Nya. Begitu pula terkait takdir Allah. Barangkali ada di antara kita yang menghadapi kesulitan ekonomi, ujian kesehatan, prahara rumah tangga dan yang semisal. Seberat dan sesulit apapun takdir yang ditetapkan-Nya, jangan sampai terlintas di benak kita prasangka buruk kepada Allah. Manakala itu muncul, bertasbihlah! Yakinilah bahwa Allah Maha Suci dari hal-hal buruk yang kita prasangkakan tentang-Nya. Justru ujian hidup itu berfungsi untuk membersihkan dosa, mengangkat derajat, serta membuat kita semakin tangguh. Jika kita sukses menepis semua asumsi buruk tentang Allah, maka bersyukurlah dan bertahmidlah. Sebab kemampuan dan keberhasilan itu semata-mata berkat taufiq dan bantuan dari-Nya. Inilah salah satu rahasia mengapa tasbih digandengkan dengan tahmid. Wallahu a’lam bish shawab. Setelah itu, kita mengucapkan syahadat; sebagai bentuk pembaharuan ikrar kita bahwa satu-satunya yang berhak disembah hanyalah Allah. Sehingga ibadah yang kita kerjakan pun harus semuanya ditujukan dan diikhlaskan untuk Allah saja. Lalu doa ini ditutup dengan istighfar; permohonan ampun kepada Allah dan pernyataan taubat kepada-Nya. Sebab dosa-dosa kita amatlah banyak. Pahala doa di atas akan ditulis dalam kitab catatan amalan kita, dan tidak akan dihapus hingga kiamat.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 28 Ramadhan 1445 / 8 April 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 215 – Doa Pergi Ke Masjid SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai)

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai) Posted on January 5, 2025January 5, 2025by `Ada beberapa versi redaksi doa setelah berwudhu yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas versi pertama. Berikut versi lainnya: “سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ” “Subhânakallôhumma wa bihamdika, asyhadu allâ ilâha illâ Anta, astaghfiruka wa atûbu ilaik”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “مَنْ تَوَضَّأَ فَقَالَ: “سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ”؛‌ ‌كُتِبَ ‌فِي ‌رَقٍّ ثُمَّ طُبِعَ بِطَابَعٍ فَلَمْ يُكْسَرْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ” “Barang siapa yang berwudhu, lalu membaca “Subhânakallôhumma wa bihamdika, asyhadu allâ ilâha illâ Anta, astaghfiruka wa atûbu ilaik (Maha suci Engkau ya Allah dan segala puji hanya untuk-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Engkau. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu)”; niscaya itu akan ditulis di selembar kertas lalu distempel, dan tidak akan dihapus hingga hari kiamat”. HR. Nasa’iy dalam as-Sunan al-Kubrâ dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu, dan dinilai sahih oleh al-Hakim serta al-Albaniy. Isnad hadits ini juga dinilai sahih oleh Ibn al-Mulaqqin. Renungan Kandungan Doa ini diawali dengan penggabungan antara dua dzikir istimewa. Yaitu tasbih dan tahmid. Sebagaimana yang telah kita pelajari pada Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 45, bahwa kalimat tasbih bermakna: menjauhkan kekurangan-kekurangan dari dzat Allah, serta mensucikan-Nya dari sifat-sifat buruk dan yang tidak layak. Adapun tahmid, sudah dibahas pula di Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 58. Maknanya adalah: memuji Allah ta’ala dengan menyebutkan sifat-sifat-Nya yang agung dan mengingat nikmat-nikmat-Nya yang tak terhingga. Bertasbih adalah upaya membersihkan pikiran kita dari prasangka buruk terhadap Allah, baik tentang syariat yang diturunkan-Nya, maupun tentang takdir yang ditetapkan-Nya. Jika terlintas di benak kita kritikan terhadap syariat Allah, maka bertasbihlah. Sebab syariat Allah itu maha sempurna dan maha bijaksana. Tidak ada dan tidak akan mungkin syariat-Nya bertujuan sekedar untuk menyusahkan manusia. Justru syariat itu diturunkan guna mendatangkan kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup mereka. Shalat fardhu yang dikerjakan lima kali dalam sehari, zakat yang wajib ditunaikan oleh orang kaya dan puasa Ramadhan yang harus dijalankan selama sebulan penuh. Semuanya disyariatkan Allah untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Ini pembahasan mengenai syariat-Nya. Begitu pula terkait takdir Allah. Barangkali ada di antara kita yang menghadapi kesulitan ekonomi, ujian kesehatan, prahara rumah tangga dan yang semisal. Seberat dan sesulit apapun takdir yang ditetapkan-Nya, jangan sampai terlintas di benak kita prasangka buruk kepada Allah. Manakala itu muncul, bertasbihlah! Yakinilah bahwa Allah Maha Suci dari hal-hal buruk yang kita prasangkakan tentang-Nya. Justru ujian hidup itu berfungsi untuk membersihkan dosa, mengangkat derajat, serta membuat kita semakin tangguh. Jika kita sukses menepis semua asumsi buruk tentang Allah, maka bersyukurlah dan bertahmidlah. Sebab kemampuan dan keberhasilan itu semata-mata berkat taufiq dan bantuan dari-Nya. Inilah salah satu rahasia mengapa tasbih digandengkan dengan tahmid. Wallahu a’lam bish shawab. Setelah itu, kita mengucapkan syahadat; sebagai bentuk pembaharuan ikrar kita bahwa satu-satunya yang berhak disembah hanyalah Allah. Sehingga ibadah yang kita kerjakan pun harus semuanya ditujukan dan diikhlaskan untuk Allah saja. Lalu doa ini ditutup dengan istighfar; permohonan ampun kepada Allah dan pernyataan taubat kepada-Nya. Sebab dosa-dosa kita amatlah banyak. Pahala doa di atas akan ditulis dalam kitab catatan amalan kita, dan tidak akan dihapus hingga kiamat.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 28 Ramadhan 1445 / 8 April 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 215 – Doa Pergi Ke Masjid SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai) Posted on January 5, 2025January 5, 2025by `Ada beberapa versi redaksi doa setelah berwudhu yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas versi pertama. Berikut versi lainnya: “سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ” “Subhânakallôhumma wa bihamdika, asyhadu allâ ilâha illâ Anta, astaghfiruka wa atûbu ilaik”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “مَنْ تَوَضَّأَ فَقَالَ: “سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ”؛‌ ‌كُتِبَ ‌فِي ‌رَقٍّ ثُمَّ طُبِعَ بِطَابَعٍ فَلَمْ يُكْسَرْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ” “Barang siapa yang berwudhu, lalu membaca “Subhânakallôhumma wa bihamdika, asyhadu allâ ilâha illâ Anta, astaghfiruka wa atûbu ilaik (Maha suci Engkau ya Allah dan segala puji hanya untuk-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Engkau. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu)”; niscaya itu akan ditulis di selembar kertas lalu distempel, dan tidak akan dihapus hingga hari kiamat”. HR. Nasa’iy dalam as-Sunan al-Kubrâ dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu, dan dinilai sahih oleh al-Hakim serta al-Albaniy. Isnad hadits ini juga dinilai sahih oleh Ibn al-Mulaqqin. Renungan Kandungan Doa ini diawali dengan penggabungan antara dua dzikir istimewa. Yaitu tasbih dan tahmid. Sebagaimana yang telah kita pelajari pada Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 45, bahwa kalimat tasbih bermakna: menjauhkan kekurangan-kekurangan dari dzat Allah, serta mensucikan-Nya dari sifat-sifat buruk dan yang tidak layak. Adapun tahmid, sudah dibahas pula di Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 58. Maknanya adalah: memuji Allah ta’ala dengan menyebutkan sifat-sifat-Nya yang agung dan mengingat nikmat-nikmat-Nya yang tak terhingga. Bertasbih adalah upaya membersihkan pikiran kita dari prasangka buruk terhadap Allah, baik tentang syariat yang diturunkan-Nya, maupun tentang takdir yang ditetapkan-Nya. Jika terlintas di benak kita kritikan terhadap syariat Allah, maka bertasbihlah. Sebab syariat Allah itu maha sempurna dan maha bijaksana. Tidak ada dan tidak akan mungkin syariat-Nya bertujuan sekedar untuk menyusahkan manusia. Justru syariat itu diturunkan guna mendatangkan kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup mereka. Shalat fardhu yang dikerjakan lima kali dalam sehari, zakat yang wajib ditunaikan oleh orang kaya dan puasa Ramadhan yang harus dijalankan selama sebulan penuh. Semuanya disyariatkan Allah untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Ini pembahasan mengenai syariat-Nya. Begitu pula terkait takdir Allah. Barangkali ada di antara kita yang menghadapi kesulitan ekonomi, ujian kesehatan, prahara rumah tangga dan yang semisal. Seberat dan sesulit apapun takdir yang ditetapkan-Nya, jangan sampai terlintas di benak kita prasangka buruk kepada Allah. Manakala itu muncul, bertasbihlah! Yakinilah bahwa Allah Maha Suci dari hal-hal buruk yang kita prasangkakan tentang-Nya. Justru ujian hidup itu berfungsi untuk membersihkan dosa, mengangkat derajat, serta membuat kita semakin tangguh. Jika kita sukses menepis semua asumsi buruk tentang Allah, maka bersyukurlah dan bertahmidlah. Sebab kemampuan dan keberhasilan itu semata-mata berkat taufiq dan bantuan dari-Nya. Inilah salah satu rahasia mengapa tasbih digandengkan dengan tahmid. Wallahu a’lam bish shawab. Setelah itu, kita mengucapkan syahadat; sebagai bentuk pembaharuan ikrar kita bahwa satu-satunya yang berhak disembah hanyalah Allah. Sehingga ibadah yang kita kerjakan pun harus semuanya ditujukan dan diikhlaskan untuk Allah saja. Lalu doa ini ditutup dengan istighfar; permohonan ampun kepada Allah dan pernyataan taubat kepada-Nya. Sebab dosa-dosa kita amatlah banyak. Pahala doa di atas akan ditulis dalam kitab catatan amalan kita, dan tidak akan dihapus hingga kiamat.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 28 Ramadhan 1445 / 8 April 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 215 – Doa Pergi Ke Masjid SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai) Posted on January 5, 2025January 5, 2025by `Ada beberapa versi redaksi doa setelah berwudhu yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas versi pertama. Berikut versi lainnya: “سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ” “Subhânakallôhumma wa bihamdika, asyhadu allâ ilâha illâ Anta, astaghfiruka wa atûbu ilaik”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “مَنْ تَوَضَّأَ فَقَالَ: “سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ”؛‌ ‌كُتِبَ ‌فِي ‌رَقٍّ ثُمَّ طُبِعَ بِطَابَعٍ فَلَمْ يُكْسَرْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ” “Barang siapa yang berwudhu, lalu membaca “Subhânakallôhumma wa bihamdika, asyhadu allâ ilâha illâ Anta, astaghfiruka wa atûbu ilaik (Maha suci Engkau ya Allah dan segala puji hanya untuk-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Engkau. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu)”; niscaya itu akan ditulis di selembar kertas lalu distempel, dan tidak akan dihapus hingga hari kiamat”. HR. Nasa’iy dalam as-Sunan al-Kubrâ dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu, dan dinilai sahih oleh al-Hakim serta al-Albaniy. Isnad hadits ini juga dinilai sahih oleh Ibn al-Mulaqqin. Renungan Kandungan Doa ini diawali dengan penggabungan antara dua dzikir istimewa. Yaitu tasbih dan tahmid. Sebagaimana yang telah kita pelajari pada Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 45, bahwa kalimat tasbih bermakna: menjauhkan kekurangan-kekurangan dari dzat Allah, serta mensucikan-Nya dari sifat-sifat buruk dan yang tidak layak. Adapun tahmid, sudah dibahas pula di Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 58. Maknanya adalah: memuji Allah ta’ala dengan menyebutkan sifat-sifat-Nya yang agung dan mengingat nikmat-nikmat-Nya yang tak terhingga. Bertasbih adalah upaya membersihkan pikiran kita dari prasangka buruk terhadap Allah, baik tentang syariat yang diturunkan-Nya, maupun tentang takdir yang ditetapkan-Nya. Jika terlintas di benak kita kritikan terhadap syariat Allah, maka bertasbihlah. Sebab syariat Allah itu maha sempurna dan maha bijaksana. Tidak ada dan tidak akan mungkin syariat-Nya bertujuan sekedar untuk menyusahkan manusia. Justru syariat itu diturunkan guna mendatangkan kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup mereka. Shalat fardhu yang dikerjakan lima kali dalam sehari, zakat yang wajib ditunaikan oleh orang kaya dan puasa Ramadhan yang harus dijalankan selama sebulan penuh. Semuanya disyariatkan Allah untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Ini pembahasan mengenai syariat-Nya. Begitu pula terkait takdir Allah. Barangkali ada di antara kita yang menghadapi kesulitan ekonomi, ujian kesehatan, prahara rumah tangga dan yang semisal. Seberat dan sesulit apapun takdir yang ditetapkan-Nya, jangan sampai terlintas di benak kita prasangka buruk kepada Allah. Manakala itu muncul, bertasbihlah! Yakinilah bahwa Allah Maha Suci dari hal-hal buruk yang kita prasangkakan tentang-Nya. Justru ujian hidup itu berfungsi untuk membersihkan dosa, mengangkat derajat, serta membuat kita semakin tangguh. Jika kita sukses menepis semua asumsi buruk tentang Allah, maka bersyukurlah dan bertahmidlah. Sebab kemampuan dan keberhasilan itu semata-mata berkat taufiq dan bantuan dari-Nya. Inilah salah satu rahasia mengapa tasbih digandengkan dengan tahmid. Wallahu a’lam bish shawab. Setelah itu, kita mengucapkan syahadat; sebagai bentuk pembaharuan ikrar kita bahwa satu-satunya yang berhak disembah hanyalah Allah. Sehingga ibadah yang kita kerjakan pun harus semuanya ditujukan dan diikhlaskan untuk Allah saja. Lalu doa ini ditutup dengan istighfar; permohonan ampun kepada Allah dan pernyataan taubat kepada-Nya. Sebab dosa-dosa kita amatlah banyak. Pahala doa di atas akan ditulis dalam kitab catatan amalan kita, dan tidak akan dihapus hingga kiamat.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 28 Ramadhan 1445 / 8 April 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 215 – Doa Pergi Ke Masjid SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Biografi Syu’aib Al-Arnauth

Daftar Isi Toggle Nama dan nasabnyaBapaknya dan hijrahnya ke SyamKelahirannya dan pertumbuhannyaMenuntut ilmu dan guru-gurunyaKesibukan dalam menelitiMurid-muridnyaKaryanya dalam penelitianWafatnyaHubungannya dengan Syekh Abdul Qodir Al-ArnauthHubungannya dengan Syekh Al-Albani Mempelajari biografi para ulama merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada ilmu dan para pemiliknya. Melalui perjalanan hidup mereka, kita dapat meneladani keteguhan, keikhlasan, dan kesungguhan dalam menuntut ilmu serta menyebarkannya. Salah satu tokoh besar yang memiliki kontribusi luar biasa dalam dunia ilmu adalah Syu’aib Al-Arnauth, seorang ulama yang dikenal luas atas dedikasinya dalam bidang penelitian dan penerbitan karya-karya klasik. Dalam artikel ini, kita akan menelusuri kehidupan Syu’aib Al-Arnauth, mulai dari nama dan nasabnya hingga kontribusi dan warisannya bagi generasi setelahnya. Semoga tulisan ini menjadi inspirasi dan motivasi bagi kita untuk mencintai ilmu dan terus berusaha mempelajarinya. Nama dan nasabnya Beliau adalah Syu’aib bin Muharram Al-Arnauth, yang berasal dari keluarga berdarah Albania. Orang Turki memberikan gelar “Al-Arnauth” (الأرنؤوط) kepada setiap pendatang dari wilayah Balkan (Yugoslavia dan Albania) ke Turki. Banyak dari mereka, setelah tiba di Turki atau sekadar singgah, melanjutkan perjalanan ke negeri Syam.  [1] Bapaknya dan hijrahnya ke Syam Muharram, ayah dari Syekh Syu’aib Al-Arnauth, adalah seseorang yang mencintai para ulama dan sangat bersemangat untuk bergaul dengan mereka. Ia berhijrah dari Albania ke Damaskus pada sekitar usia 57 tahun (pada tahun 1926 M), demi menjaga agamanya, kemudian menetap di sana. Syekh Ibrahim Az-Zaybaq berkata, “Termasuk yang disebutkan kepada beliau (Muharram) adalah bahwa seorang muslim, jika khawatir agamanya akan terfitnah di tanah kelahirannya, maka ia wajib berhijrah darinya. Jika tidak berhijrah, ia berada di bawah ancaman Allah Ta’ala dengan firman-Nya, إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَبِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا ‘Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan menzalimi diri sendiri, para malaikat berkata, ‘Dalam keadaan apa kalian ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami adalah orang-orang yang tertindas di bumi.’ Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kalian dapat berhijrah di dalamnya?’ Maka, orang-orang itu tempatnya di neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.’ (QS. An-Nisa: 97) Mereka juga menyebutkan kepada beliau tentang negeri Syam, bahwa itu adalah tanah terbaik untuk berhijrah, sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis Nabi yang menjelaskan keutamaan negeri tersebut dan keutamaan penduduknya.” [2] Kelahirannya dan pertumbuhannya Syekh Ibrahim Az-Zaybaq melanjutkan, رُزق محرم بعد سنتين من هجرته، وذلك سنة 1928م بأول مولود له ذكر ، وقد جاءه على كبر، فسماه شعيباً، تيمناً باسم ذلك النبي الكريم. “Dua tahun setelah hijrahnya, yaitu pada tahun 1928 M, Muharram dikaruniai anak pertama laki-laki. Anak tersebut lahir di usianya yang sudah tua, dan ia menamainya Syu’aib, sebagai bentuk optimis dengan nama Nabi Syu’aib ‘alaihis salam.” [3] Syekh Syu’aib dibesarkan di bawah asuhan kedua orang tuanya dalam lingkungan yang religius. Dalam masa itu, ia mempelajari dasar-dasar Islam dan menghafal banyak bagian dari Al-Qur’an. Keinginan yang tulus untuk memahami makna Al-Qur’an dengan mendalam serta menyelami rahasia-rahasianya mungkin menjadi salah satu alasan terkuat yang mendorongnya untuk mempelajari bahasa Arab sejak usia dini. Ia menghabiskan lebih dari sepuluh tahun menghadiri masjid-masjid dan sekolah-sekolah kuno di Damaskus, dengan tujuan menghadiri halaqah-halaqah ilmu bahasa Arab dalam berbagai cabangnya, seperti nahwu, sharf, sastra, balagah, dan sebagainya. [4] Menuntut ilmu dan guru-gurunya Syekh Syu’aib mulai menuntut ilmu sejak usia kecil. Pada tahun 1933 M/1352 H, saat usianya mencapai lima tahun, ayahnya segera membawanya ke Sekolah Swasta (Madrasah ‘Ilmiyah Tijariyah) yang terletak di Gang Ar-Razi dekat Bimaristan An-Nuri di kawasan Al-Hariqah. Di sana, ia mempelajari ilmu syariat dan bahasa Arab. Ayahnya memilihkan sekolah khusus ini untuknya, menjauhkannya dari sekolah-sekolah pemerintah yang diyakini dapat merusak para siswa dan menjauhkan mereka dari agama mereka. [5] Syekh Syu’aib berguru dalam ilmu bahasa Arab kepada para guru dan ulama terkemuka di Damaskus pada masa itu. Di antara mereka adalah Syekh Shalih Al-Farfour dan Syekh ‘Arif Ad-Duwaji, yang keduanya merupakan murid dari ulama besar Syam pada zamannya, yaitu Syekh Badruddin Al-Hasani. Ia mempelajari karya-karya terkenal dalam bahasa dan balagah Arab, seperti Syarh Ibnu ‘Aqil, Kafiyah karya Ibnu Al-Hajib, Al-Mufashshal karya Az-Zamakhsyari, Syudzur Adz-Dzahab karya Ibnu Hisyam, serta Asrar Al-Balaghah dan Dala’il Al-I’jaz karya Al-Jurjani. Ia juga belajar kepada Syekh Sulaiman Al-Ghawji Al-Albani, yang mengajarkan kitab Al-‘Awamil karya Al-Barkawi, Al-Idzhar karya Al-Athahli, dan kitab-kitab lainnya. Setelah perjalanan panjang dan penuh usaha dalam mempelajari bahasa Arab, Syekh Syu’aib kemudian beralih mendalami ilmu fikih Islam. Ia berguru kepada banyak ulama, khususnya dalam bidang fikih Hanafi, dengan mempelajari kitab-kitab seperti Maraqi Al-Falah karya Al-Shurunbulali, Al-Ikhtiyar karya Al-Mawshili, Al-Kitab karya Al-Quduri, serta Hasyiyah Ibnu ‘Abidin. Studi fikihnya berlangsung selama tujuh tahun, yang juga diselingi dengan mempelajari ushul fikih, tafsir Al-Qur’an, musthalah hadits, dan kitab-kitab akhlak. Pada tahap ini, usianya telah melampaui tiga puluh tahun. [6] Kesibukan dalam meneliti Syekh Syu’aib menyadari pentingnya spesialisasi dalam ilmu sunah setelah melihat kekurangan para ulama sezamannya dalam membedakan hadis sahih dan daif. Dengan tekad kuat, ia meninggalkan profesi mengajar bahasa Arab sejak tahun 1955 M untuk fokus pada tahqiq turats Islam. Ia memulai tahqiq di Al-Maktab Al-Islami, Damaskus, pada tahun 1958 M, memimpin bagian tahqiq selama dua dekade dan menyelesaikan lebih dari tujuh puluh kitab. Pada tahun 1982 M, ia bergabung dengan Mu’assasah Ar-Risalah di Amman, di mana kontribusinya semakin matang dan signifikan, menjadikan lembaga tersebut pelopor kebangkitan turats Islam. [7] Baca juga: Biografi Imam Ibnu Majah Murid-muridnya Sejumlah murid telah dididik oleh Syekh Syu’aib Al-Arna’uth dalam bidang tahqiq. Di antaranya adalah Muhammad Na’im Al-Arqasusi, Ibrahim Az-Zaybaq, ‘Adil Mursyid, dan ‘Umar Hasan Al-Qayyam. Syekh merasa gembira melihat setiap dari mereka mampu menjalankan tanggung jawab dengan benar terhadap ilmu sunah dan mandiri dalam pekerjaannya. Pengaruh Syekh Al-Arna’uth tampak jelas pada kitab-kitab yang mereka tahqiq, sementara mereka tetap menjaga rasa hormat atas jasa dan perhatian Syekh kepada mereka. Hubungan Syekh dengan para muridnya ibarat hubungan seorang sahabat dengan teman-temannya, yaitu: dekat, penuh perhatian, dan berusaha memberi manfaat serta bimbingan. [8] Karyanya dalam penelitian Syekh Syu’aib termasuk di antara para muhaqqiq dengan hasil karya yang sangat produktif. Kitab-kitab yang telah beliau tahqiq atau beliau awasi tahqiq-nya mencapai lebih dari 240 jilid, mencakup berbagai bidang seperti kitab-kitab sunnah nabawiyah, fikih, tafsir Al-Qur’an, biografi, akidah, ilmu musthalah hadits, sastra, dan lainnya. Beberapa karyanya yang paling menonjol adalah: Pertama: Syarh As-Sunnah karya Al-Baghawi, sebanyak 16 jilid, cetakan al-Maktab Al-Islami. Kedua: Siyar A’lam An-Nubala’ karya Adz-Dzahabi, dalam 23 jilid. Ketiga: Musnad Imam Ahmad, diterbitkan dalam 50 jilid, sebagai bagian dari Al-Mausu’ah Al-Haditsiyyah Al-Kubra yang direncanakan untuk diterbitkan oleh Mu’assasah Ar-Risalah di bawah supervisi Syekh. Keempat: Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah karya Ibnu Abi Al-‘Izz, tahqiq bersama Dr. Abdullah At-Turki, dalam 2 jilid; ketiga buku di atas merupakan cetakan Mu’assasah Ar-Risalah. Kelima: At-Ta’liq Al-Mumajjad Syarh Muwaththa’ Muhammad, karya Imam Abu Al-Hasanat Muhammad Abdul Hayy Al-Laknawi Al-Hindi, dalam 4 jilid. Dalam proyek ini, beliau bekerja sama dengan Syekh Muhammad Na’im Al-Arqasusy. [9] Wafatnya Setelah mengabdikan hidupnya dalam penelitian dan ilmu, Syu’aib Al-Arnauth menghabiskan masa tuanya di Amman, Yordania, hingga akhir hayatnya. Beliau wafat pada hari Kamis, 26 Muharram 1438 H (27 Oktober 2016 M). Ia meninggalkan warisan keilmuan yang luar biasa dan menjadi inspirasi bagi generasi peneliti setelahnya. Semoga Allah merahmati beliau. [10] Hubungannya dengan Syekh Abdul Qodir Al-Arnauth Syekh Syu’aib dan Abdul Qodir Al-Arnauth berasal dari latar belakang yang sama, yakni migran dari wilayah Balkan (Yugoslavia dan Albania) yang pindah ke Turki. Keduanya memiliki hubungan yang erat dalam bidang keilmuan, termasuk bekerja sama dalam beberapa proyek penelitian. Keduanya adalah saudara seiman (bukan saudara kandung, sebagaimana banyak yang menyangka demikian), teman seperjuangan dalam menuntut ilmu, rekan kerja, dan mitra dakwah. Syekh Syu’aib terbiasa menuliskan nama keluarganya sebagai Al-Arna’ut (الأرنؤوط) tanpa huruf alif, sedangkan Syekh Abdul Qadir menuliskannya (الأرناؤوط) dengan huruf alif. [11] Hubungannya dengan Syekh Al-Albani Di antara tokoh terkenal dari kalangan Al-Arna’uth dalam ilmu hadis di Syam adalah Asy-Syekh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin bin Nuh Najati Al-Arnauthi. Ayah Syekh Nashiruddin (Nuh Najati Adam Al-Albani) dan ayah Syekh Syu’aib (Muharram Al-Albani Al-Arnauthi) adalah dua sahabat karib. Keduanya berhijrah bersama demi menjaga agama mereka dan melindungi keluarga mereka. [12] Syekh Syu’aib juga memiliki hubungan baik dengan Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Keduanya menekuni ilmu hadis. Meskipun, terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa hal, hubungan mereka tetap dihiasi rasa saling menghormati. Syekh Syu’aib mengatakan, والفن الذي تميز به الشيخ ناصر هو علم الحديث النبوي الشريف، فقد انكب على دراسته سنين طويلة، قاربت الستين عاماً من عمره، بيد أن شأنه فيه شأن غيره من المحدثين قبله، يصيب فيه ويخطئ. “Bidang ilmu yang menjadi keahlian Syekh Nashir (yaitu, Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani) adalah ilmu hadis Nabi yang mulia. Ia telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajarinya, hampir enam puluh tahun dari hidupnya. Namun, seperti para ahli hadis lainnya sebelum beliau, terkadang beliau benar dan terkadang juga salah dalam hal tersebut.” [13] Semoga Allah Ta’ala merahmati Syekh Syu’aib Al-Arnauth dan para ulama lainnya yang telah mengabdikan hidup mereka untuk menjaga dan menyebarkan ilmu agama. Semoga amal kebaikan mereka diterima di sisi-Nya, dosa-dosa mereka diampuni, dan ilmu yang telah mereka wariskan menjadi cahaya bagi umat Islam di seluruh dunia. Kami memohon kepada Allah agar memberikan kepada kita taufik untuk mengikuti jejak mereka dalam keikhlasan dan pengabdian terhadap ilmu. Baca juga: Biografi Ibnu Rajab Al-Hambali *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumadilawal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Zaybaq, Ibrahim. Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth: Siratuhu fi Thalab Al-‘Ilm wa Juhuduhu fi Tahqiq At-Turats. Cetakan Pertama. Beirut: Dar Al-Basya’ir Al-Islamiyyah, 1433 H/2012 M; halaman 22, catatan kaki pertama.   Catatan kaki: [1] https://www.alukah.net/culture/0/158968/ [2] Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 19. [3] ibid. hal. 23. [4] Lihat https://www.alukah.net/culture/0/893/ [5] Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 24. [6] https://www.alukah.net/culture/0/893/ [7] Diringkas dari https://www.alukah.net/culture/0/893/ [8] ibid. [9] Lihat Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 217-228. [10] https://www.alukah.net/culture/0/158968/ [11] ibid. [12] Lihat Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 17. [13] ibid. hal. 119.

Biografi Syu’aib Al-Arnauth

Daftar Isi Toggle Nama dan nasabnyaBapaknya dan hijrahnya ke SyamKelahirannya dan pertumbuhannyaMenuntut ilmu dan guru-gurunyaKesibukan dalam menelitiMurid-muridnyaKaryanya dalam penelitianWafatnyaHubungannya dengan Syekh Abdul Qodir Al-ArnauthHubungannya dengan Syekh Al-Albani Mempelajari biografi para ulama merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada ilmu dan para pemiliknya. Melalui perjalanan hidup mereka, kita dapat meneladani keteguhan, keikhlasan, dan kesungguhan dalam menuntut ilmu serta menyebarkannya. Salah satu tokoh besar yang memiliki kontribusi luar biasa dalam dunia ilmu adalah Syu’aib Al-Arnauth, seorang ulama yang dikenal luas atas dedikasinya dalam bidang penelitian dan penerbitan karya-karya klasik. Dalam artikel ini, kita akan menelusuri kehidupan Syu’aib Al-Arnauth, mulai dari nama dan nasabnya hingga kontribusi dan warisannya bagi generasi setelahnya. Semoga tulisan ini menjadi inspirasi dan motivasi bagi kita untuk mencintai ilmu dan terus berusaha mempelajarinya. Nama dan nasabnya Beliau adalah Syu’aib bin Muharram Al-Arnauth, yang berasal dari keluarga berdarah Albania. Orang Turki memberikan gelar “Al-Arnauth” (الأرنؤوط) kepada setiap pendatang dari wilayah Balkan (Yugoslavia dan Albania) ke Turki. Banyak dari mereka, setelah tiba di Turki atau sekadar singgah, melanjutkan perjalanan ke negeri Syam.  [1] Bapaknya dan hijrahnya ke Syam Muharram, ayah dari Syekh Syu’aib Al-Arnauth, adalah seseorang yang mencintai para ulama dan sangat bersemangat untuk bergaul dengan mereka. Ia berhijrah dari Albania ke Damaskus pada sekitar usia 57 tahun (pada tahun 1926 M), demi menjaga agamanya, kemudian menetap di sana. Syekh Ibrahim Az-Zaybaq berkata, “Termasuk yang disebutkan kepada beliau (Muharram) adalah bahwa seorang muslim, jika khawatir agamanya akan terfitnah di tanah kelahirannya, maka ia wajib berhijrah darinya. Jika tidak berhijrah, ia berada di bawah ancaman Allah Ta’ala dengan firman-Nya, إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَبِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا ‘Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan menzalimi diri sendiri, para malaikat berkata, ‘Dalam keadaan apa kalian ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami adalah orang-orang yang tertindas di bumi.’ Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kalian dapat berhijrah di dalamnya?’ Maka, orang-orang itu tempatnya di neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.’ (QS. An-Nisa: 97) Mereka juga menyebutkan kepada beliau tentang negeri Syam, bahwa itu adalah tanah terbaik untuk berhijrah, sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis Nabi yang menjelaskan keutamaan negeri tersebut dan keutamaan penduduknya.” [2] Kelahirannya dan pertumbuhannya Syekh Ibrahim Az-Zaybaq melanjutkan, رُزق محرم بعد سنتين من هجرته، وذلك سنة 1928م بأول مولود له ذكر ، وقد جاءه على كبر، فسماه شعيباً، تيمناً باسم ذلك النبي الكريم. “Dua tahun setelah hijrahnya, yaitu pada tahun 1928 M, Muharram dikaruniai anak pertama laki-laki. Anak tersebut lahir di usianya yang sudah tua, dan ia menamainya Syu’aib, sebagai bentuk optimis dengan nama Nabi Syu’aib ‘alaihis salam.” [3] Syekh Syu’aib dibesarkan di bawah asuhan kedua orang tuanya dalam lingkungan yang religius. Dalam masa itu, ia mempelajari dasar-dasar Islam dan menghafal banyak bagian dari Al-Qur’an. Keinginan yang tulus untuk memahami makna Al-Qur’an dengan mendalam serta menyelami rahasia-rahasianya mungkin menjadi salah satu alasan terkuat yang mendorongnya untuk mempelajari bahasa Arab sejak usia dini. Ia menghabiskan lebih dari sepuluh tahun menghadiri masjid-masjid dan sekolah-sekolah kuno di Damaskus, dengan tujuan menghadiri halaqah-halaqah ilmu bahasa Arab dalam berbagai cabangnya, seperti nahwu, sharf, sastra, balagah, dan sebagainya. [4] Menuntut ilmu dan guru-gurunya Syekh Syu’aib mulai menuntut ilmu sejak usia kecil. Pada tahun 1933 M/1352 H, saat usianya mencapai lima tahun, ayahnya segera membawanya ke Sekolah Swasta (Madrasah ‘Ilmiyah Tijariyah) yang terletak di Gang Ar-Razi dekat Bimaristan An-Nuri di kawasan Al-Hariqah. Di sana, ia mempelajari ilmu syariat dan bahasa Arab. Ayahnya memilihkan sekolah khusus ini untuknya, menjauhkannya dari sekolah-sekolah pemerintah yang diyakini dapat merusak para siswa dan menjauhkan mereka dari agama mereka. [5] Syekh Syu’aib berguru dalam ilmu bahasa Arab kepada para guru dan ulama terkemuka di Damaskus pada masa itu. Di antara mereka adalah Syekh Shalih Al-Farfour dan Syekh ‘Arif Ad-Duwaji, yang keduanya merupakan murid dari ulama besar Syam pada zamannya, yaitu Syekh Badruddin Al-Hasani. Ia mempelajari karya-karya terkenal dalam bahasa dan balagah Arab, seperti Syarh Ibnu ‘Aqil, Kafiyah karya Ibnu Al-Hajib, Al-Mufashshal karya Az-Zamakhsyari, Syudzur Adz-Dzahab karya Ibnu Hisyam, serta Asrar Al-Balaghah dan Dala’il Al-I’jaz karya Al-Jurjani. Ia juga belajar kepada Syekh Sulaiman Al-Ghawji Al-Albani, yang mengajarkan kitab Al-‘Awamil karya Al-Barkawi, Al-Idzhar karya Al-Athahli, dan kitab-kitab lainnya. Setelah perjalanan panjang dan penuh usaha dalam mempelajari bahasa Arab, Syekh Syu’aib kemudian beralih mendalami ilmu fikih Islam. Ia berguru kepada banyak ulama, khususnya dalam bidang fikih Hanafi, dengan mempelajari kitab-kitab seperti Maraqi Al-Falah karya Al-Shurunbulali, Al-Ikhtiyar karya Al-Mawshili, Al-Kitab karya Al-Quduri, serta Hasyiyah Ibnu ‘Abidin. Studi fikihnya berlangsung selama tujuh tahun, yang juga diselingi dengan mempelajari ushul fikih, tafsir Al-Qur’an, musthalah hadits, dan kitab-kitab akhlak. Pada tahap ini, usianya telah melampaui tiga puluh tahun. [6] Kesibukan dalam meneliti Syekh Syu’aib menyadari pentingnya spesialisasi dalam ilmu sunah setelah melihat kekurangan para ulama sezamannya dalam membedakan hadis sahih dan daif. Dengan tekad kuat, ia meninggalkan profesi mengajar bahasa Arab sejak tahun 1955 M untuk fokus pada tahqiq turats Islam. Ia memulai tahqiq di Al-Maktab Al-Islami, Damaskus, pada tahun 1958 M, memimpin bagian tahqiq selama dua dekade dan menyelesaikan lebih dari tujuh puluh kitab. Pada tahun 1982 M, ia bergabung dengan Mu’assasah Ar-Risalah di Amman, di mana kontribusinya semakin matang dan signifikan, menjadikan lembaga tersebut pelopor kebangkitan turats Islam. [7] Baca juga: Biografi Imam Ibnu Majah Murid-muridnya Sejumlah murid telah dididik oleh Syekh Syu’aib Al-Arna’uth dalam bidang tahqiq. Di antaranya adalah Muhammad Na’im Al-Arqasusi, Ibrahim Az-Zaybaq, ‘Adil Mursyid, dan ‘Umar Hasan Al-Qayyam. Syekh merasa gembira melihat setiap dari mereka mampu menjalankan tanggung jawab dengan benar terhadap ilmu sunah dan mandiri dalam pekerjaannya. Pengaruh Syekh Al-Arna’uth tampak jelas pada kitab-kitab yang mereka tahqiq, sementara mereka tetap menjaga rasa hormat atas jasa dan perhatian Syekh kepada mereka. Hubungan Syekh dengan para muridnya ibarat hubungan seorang sahabat dengan teman-temannya, yaitu: dekat, penuh perhatian, dan berusaha memberi manfaat serta bimbingan. [8] Karyanya dalam penelitian Syekh Syu’aib termasuk di antara para muhaqqiq dengan hasil karya yang sangat produktif. Kitab-kitab yang telah beliau tahqiq atau beliau awasi tahqiq-nya mencapai lebih dari 240 jilid, mencakup berbagai bidang seperti kitab-kitab sunnah nabawiyah, fikih, tafsir Al-Qur’an, biografi, akidah, ilmu musthalah hadits, sastra, dan lainnya. Beberapa karyanya yang paling menonjol adalah: Pertama: Syarh As-Sunnah karya Al-Baghawi, sebanyak 16 jilid, cetakan al-Maktab Al-Islami. Kedua: Siyar A’lam An-Nubala’ karya Adz-Dzahabi, dalam 23 jilid. Ketiga: Musnad Imam Ahmad, diterbitkan dalam 50 jilid, sebagai bagian dari Al-Mausu’ah Al-Haditsiyyah Al-Kubra yang direncanakan untuk diterbitkan oleh Mu’assasah Ar-Risalah di bawah supervisi Syekh. Keempat: Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah karya Ibnu Abi Al-‘Izz, tahqiq bersama Dr. Abdullah At-Turki, dalam 2 jilid; ketiga buku di atas merupakan cetakan Mu’assasah Ar-Risalah. Kelima: At-Ta’liq Al-Mumajjad Syarh Muwaththa’ Muhammad, karya Imam Abu Al-Hasanat Muhammad Abdul Hayy Al-Laknawi Al-Hindi, dalam 4 jilid. Dalam proyek ini, beliau bekerja sama dengan Syekh Muhammad Na’im Al-Arqasusy. [9] Wafatnya Setelah mengabdikan hidupnya dalam penelitian dan ilmu, Syu’aib Al-Arnauth menghabiskan masa tuanya di Amman, Yordania, hingga akhir hayatnya. Beliau wafat pada hari Kamis, 26 Muharram 1438 H (27 Oktober 2016 M). Ia meninggalkan warisan keilmuan yang luar biasa dan menjadi inspirasi bagi generasi peneliti setelahnya. Semoga Allah merahmati beliau. [10] Hubungannya dengan Syekh Abdul Qodir Al-Arnauth Syekh Syu’aib dan Abdul Qodir Al-Arnauth berasal dari latar belakang yang sama, yakni migran dari wilayah Balkan (Yugoslavia dan Albania) yang pindah ke Turki. Keduanya memiliki hubungan yang erat dalam bidang keilmuan, termasuk bekerja sama dalam beberapa proyek penelitian. Keduanya adalah saudara seiman (bukan saudara kandung, sebagaimana banyak yang menyangka demikian), teman seperjuangan dalam menuntut ilmu, rekan kerja, dan mitra dakwah. Syekh Syu’aib terbiasa menuliskan nama keluarganya sebagai Al-Arna’ut (الأرنؤوط) tanpa huruf alif, sedangkan Syekh Abdul Qadir menuliskannya (الأرناؤوط) dengan huruf alif. [11] Hubungannya dengan Syekh Al-Albani Di antara tokoh terkenal dari kalangan Al-Arna’uth dalam ilmu hadis di Syam adalah Asy-Syekh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin bin Nuh Najati Al-Arnauthi. Ayah Syekh Nashiruddin (Nuh Najati Adam Al-Albani) dan ayah Syekh Syu’aib (Muharram Al-Albani Al-Arnauthi) adalah dua sahabat karib. Keduanya berhijrah bersama demi menjaga agama mereka dan melindungi keluarga mereka. [12] Syekh Syu’aib juga memiliki hubungan baik dengan Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Keduanya menekuni ilmu hadis. Meskipun, terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa hal, hubungan mereka tetap dihiasi rasa saling menghormati. Syekh Syu’aib mengatakan, والفن الذي تميز به الشيخ ناصر هو علم الحديث النبوي الشريف، فقد انكب على دراسته سنين طويلة، قاربت الستين عاماً من عمره، بيد أن شأنه فيه شأن غيره من المحدثين قبله، يصيب فيه ويخطئ. “Bidang ilmu yang menjadi keahlian Syekh Nashir (yaitu, Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani) adalah ilmu hadis Nabi yang mulia. Ia telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajarinya, hampir enam puluh tahun dari hidupnya. Namun, seperti para ahli hadis lainnya sebelum beliau, terkadang beliau benar dan terkadang juga salah dalam hal tersebut.” [13] Semoga Allah Ta’ala merahmati Syekh Syu’aib Al-Arnauth dan para ulama lainnya yang telah mengabdikan hidup mereka untuk menjaga dan menyebarkan ilmu agama. Semoga amal kebaikan mereka diterima di sisi-Nya, dosa-dosa mereka diampuni, dan ilmu yang telah mereka wariskan menjadi cahaya bagi umat Islam di seluruh dunia. Kami memohon kepada Allah agar memberikan kepada kita taufik untuk mengikuti jejak mereka dalam keikhlasan dan pengabdian terhadap ilmu. Baca juga: Biografi Ibnu Rajab Al-Hambali *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumadilawal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Zaybaq, Ibrahim. Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth: Siratuhu fi Thalab Al-‘Ilm wa Juhuduhu fi Tahqiq At-Turats. Cetakan Pertama. Beirut: Dar Al-Basya’ir Al-Islamiyyah, 1433 H/2012 M; halaman 22, catatan kaki pertama.   Catatan kaki: [1] https://www.alukah.net/culture/0/158968/ [2] Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 19. [3] ibid. hal. 23. [4] Lihat https://www.alukah.net/culture/0/893/ [5] Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 24. [6] https://www.alukah.net/culture/0/893/ [7] Diringkas dari https://www.alukah.net/culture/0/893/ [8] ibid. [9] Lihat Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 217-228. [10] https://www.alukah.net/culture/0/158968/ [11] ibid. [12] Lihat Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 17. [13] ibid. hal. 119.
Daftar Isi Toggle Nama dan nasabnyaBapaknya dan hijrahnya ke SyamKelahirannya dan pertumbuhannyaMenuntut ilmu dan guru-gurunyaKesibukan dalam menelitiMurid-muridnyaKaryanya dalam penelitianWafatnyaHubungannya dengan Syekh Abdul Qodir Al-ArnauthHubungannya dengan Syekh Al-Albani Mempelajari biografi para ulama merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada ilmu dan para pemiliknya. Melalui perjalanan hidup mereka, kita dapat meneladani keteguhan, keikhlasan, dan kesungguhan dalam menuntut ilmu serta menyebarkannya. Salah satu tokoh besar yang memiliki kontribusi luar biasa dalam dunia ilmu adalah Syu’aib Al-Arnauth, seorang ulama yang dikenal luas atas dedikasinya dalam bidang penelitian dan penerbitan karya-karya klasik. Dalam artikel ini, kita akan menelusuri kehidupan Syu’aib Al-Arnauth, mulai dari nama dan nasabnya hingga kontribusi dan warisannya bagi generasi setelahnya. Semoga tulisan ini menjadi inspirasi dan motivasi bagi kita untuk mencintai ilmu dan terus berusaha mempelajarinya. Nama dan nasabnya Beliau adalah Syu’aib bin Muharram Al-Arnauth, yang berasal dari keluarga berdarah Albania. Orang Turki memberikan gelar “Al-Arnauth” (الأرنؤوط) kepada setiap pendatang dari wilayah Balkan (Yugoslavia dan Albania) ke Turki. Banyak dari mereka, setelah tiba di Turki atau sekadar singgah, melanjutkan perjalanan ke negeri Syam.  [1] Bapaknya dan hijrahnya ke Syam Muharram, ayah dari Syekh Syu’aib Al-Arnauth, adalah seseorang yang mencintai para ulama dan sangat bersemangat untuk bergaul dengan mereka. Ia berhijrah dari Albania ke Damaskus pada sekitar usia 57 tahun (pada tahun 1926 M), demi menjaga agamanya, kemudian menetap di sana. Syekh Ibrahim Az-Zaybaq berkata, “Termasuk yang disebutkan kepada beliau (Muharram) adalah bahwa seorang muslim, jika khawatir agamanya akan terfitnah di tanah kelahirannya, maka ia wajib berhijrah darinya. Jika tidak berhijrah, ia berada di bawah ancaman Allah Ta’ala dengan firman-Nya, إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَبِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا ‘Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan menzalimi diri sendiri, para malaikat berkata, ‘Dalam keadaan apa kalian ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami adalah orang-orang yang tertindas di bumi.’ Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kalian dapat berhijrah di dalamnya?’ Maka, orang-orang itu tempatnya di neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.’ (QS. An-Nisa: 97) Mereka juga menyebutkan kepada beliau tentang negeri Syam, bahwa itu adalah tanah terbaik untuk berhijrah, sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis Nabi yang menjelaskan keutamaan negeri tersebut dan keutamaan penduduknya.” [2] Kelahirannya dan pertumbuhannya Syekh Ibrahim Az-Zaybaq melanjutkan, رُزق محرم بعد سنتين من هجرته، وذلك سنة 1928م بأول مولود له ذكر ، وقد جاءه على كبر، فسماه شعيباً، تيمناً باسم ذلك النبي الكريم. “Dua tahun setelah hijrahnya, yaitu pada tahun 1928 M, Muharram dikaruniai anak pertama laki-laki. Anak tersebut lahir di usianya yang sudah tua, dan ia menamainya Syu’aib, sebagai bentuk optimis dengan nama Nabi Syu’aib ‘alaihis salam.” [3] Syekh Syu’aib dibesarkan di bawah asuhan kedua orang tuanya dalam lingkungan yang religius. Dalam masa itu, ia mempelajari dasar-dasar Islam dan menghafal banyak bagian dari Al-Qur’an. Keinginan yang tulus untuk memahami makna Al-Qur’an dengan mendalam serta menyelami rahasia-rahasianya mungkin menjadi salah satu alasan terkuat yang mendorongnya untuk mempelajari bahasa Arab sejak usia dini. Ia menghabiskan lebih dari sepuluh tahun menghadiri masjid-masjid dan sekolah-sekolah kuno di Damaskus, dengan tujuan menghadiri halaqah-halaqah ilmu bahasa Arab dalam berbagai cabangnya, seperti nahwu, sharf, sastra, balagah, dan sebagainya. [4] Menuntut ilmu dan guru-gurunya Syekh Syu’aib mulai menuntut ilmu sejak usia kecil. Pada tahun 1933 M/1352 H, saat usianya mencapai lima tahun, ayahnya segera membawanya ke Sekolah Swasta (Madrasah ‘Ilmiyah Tijariyah) yang terletak di Gang Ar-Razi dekat Bimaristan An-Nuri di kawasan Al-Hariqah. Di sana, ia mempelajari ilmu syariat dan bahasa Arab. Ayahnya memilihkan sekolah khusus ini untuknya, menjauhkannya dari sekolah-sekolah pemerintah yang diyakini dapat merusak para siswa dan menjauhkan mereka dari agama mereka. [5] Syekh Syu’aib berguru dalam ilmu bahasa Arab kepada para guru dan ulama terkemuka di Damaskus pada masa itu. Di antara mereka adalah Syekh Shalih Al-Farfour dan Syekh ‘Arif Ad-Duwaji, yang keduanya merupakan murid dari ulama besar Syam pada zamannya, yaitu Syekh Badruddin Al-Hasani. Ia mempelajari karya-karya terkenal dalam bahasa dan balagah Arab, seperti Syarh Ibnu ‘Aqil, Kafiyah karya Ibnu Al-Hajib, Al-Mufashshal karya Az-Zamakhsyari, Syudzur Adz-Dzahab karya Ibnu Hisyam, serta Asrar Al-Balaghah dan Dala’il Al-I’jaz karya Al-Jurjani. Ia juga belajar kepada Syekh Sulaiman Al-Ghawji Al-Albani, yang mengajarkan kitab Al-‘Awamil karya Al-Barkawi, Al-Idzhar karya Al-Athahli, dan kitab-kitab lainnya. Setelah perjalanan panjang dan penuh usaha dalam mempelajari bahasa Arab, Syekh Syu’aib kemudian beralih mendalami ilmu fikih Islam. Ia berguru kepada banyak ulama, khususnya dalam bidang fikih Hanafi, dengan mempelajari kitab-kitab seperti Maraqi Al-Falah karya Al-Shurunbulali, Al-Ikhtiyar karya Al-Mawshili, Al-Kitab karya Al-Quduri, serta Hasyiyah Ibnu ‘Abidin. Studi fikihnya berlangsung selama tujuh tahun, yang juga diselingi dengan mempelajari ushul fikih, tafsir Al-Qur’an, musthalah hadits, dan kitab-kitab akhlak. Pada tahap ini, usianya telah melampaui tiga puluh tahun. [6] Kesibukan dalam meneliti Syekh Syu’aib menyadari pentingnya spesialisasi dalam ilmu sunah setelah melihat kekurangan para ulama sezamannya dalam membedakan hadis sahih dan daif. Dengan tekad kuat, ia meninggalkan profesi mengajar bahasa Arab sejak tahun 1955 M untuk fokus pada tahqiq turats Islam. Ia memulai tahqiq di Al-Maktab Al-Islami, Damaskus, pada tahun 1958 M, memimpin bagian tahqiq selama dua dekade dan menyelesaikan lebih dari tujuh puluh kitab. Pada tahun 1982 M, ia bergabung dengan Mu’assasah Ar-Risalah di Amman, di mana kontribusinya semakin matang dan signifikan, menjadikan lembaga tersebut pelopor kebangkitan turats Islam. [7] Baca juga: Biografi Imam Ibnu Majah Murid-muridnya Sejumlah murid telah dididik oleh Syekh Syu’aib Al-Arna’uth dalam bidang tahqiq. Di antaranya adalah Muhammad Na’im Al-Arqasusi, Ibrahim Az-Zaybaq, ‘Adil Mursyid, dan ‘Umar Hasan Al-Qayyam. Syekh merasa gembira melihat setiap dari mereka mampu menjalankan tanggung jawab dengan benar terhadap ilmu sunah dan mandiri dalam pekerjaannya. Pengaruh Syekh Al-Arna’uth tampak jelas pada kitab-kitab yang mereka tahqiq, sementara mereka tetap menjaga rasa hormat atas jasa dan perhatian Syekh kepada mereka. Hubungan Syekh dengan para muridnya ibarat hubungan seorang sahabat dengan teman-temannya, yaitu: dekat, penuh perhatian, dan berusaha memberi manfaat serta bimbingan. [8] Karyanya dalam penelitian Syekh Syu’aib termasuk di antara para muhaqqiq dengan hasil karya yang sangat produktif. Kitab-kitab yang telah beliau tahqiq atau beliau awasi tahqiq-nya mencapai lebih dari 240 jilid, mencakup berbagai bidang seperti kitab-kitab sunnah nabawiyah, fikih, tafsir Al-Qur’an, biografi, akidah, ilmu musthalah hadits, sastra, dan lainnya. Beberapa karyanya yang paling menonjol adalah: Pertama: Syarh As-Sunnah karya Al-Baghawi, sebanyak 16 jilid, cetakan al-Maktab Al-Islami. Kedua: Siyar A’lam An-Nubala’ karya Adz-Dzahabi, dalam 23 jilid. Ketiga: Musnad Imam Ahmad, diterbitkan dalam 50 jilid, sebagai bagian dari Al-Mausu’ah Al-Haditsiyyah Al-Kubra yang direncanakan untuk diterbitkan oleh Mu’assasah Ar-Risalah di bawah supervisi Syekh. Keempat: Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah karya Ibnu Abi Al-‘Izz, tahqiq bersama Dr. Abdullah At-Turki, dalam 2 jilid; ketiga buku di atas merupakan cetakan Mu’assasah Ar-Risalah. Kelima: At-Ta’liq Al-Mumajjad Syarh Muwaththa’ Muhammad, karya Imam Abu Al-Hasanat Muhammad Abdul Hayy Al-Laknawi Al-Hindi, dalam 4 jilid. Dalam proyek ini, beliau bekerja sama dengan Syekh Muhammad Na’im Al-Arqasusy. [9] Wafatnya Setelah mengabdikan hidupnya dalam penelitian dan ilmu, Syu’aib Al-Arnauth menghabiskan masa tuanya di Amman, Yordania, hingga akhir hayatnya. Beliau wafat pada hari Kamis, 26 Muharram 1438 H (27 Oktober 2016 M). Ia meninggalkan warisan keilmuan yang luar biasa dan menjadi inspirasi bagi generasi peneliti setelahnya. Semoga Allah merahmati beliau. [10] Hubungannya dengan Syekh Abdul Qodir Al-Arnauth Syekh Syu’aib dan Abdul Qodir Al-Arnauth berasal dari latar belakang yang sama, yakni migran dari wilayah Balkan (Yugoslavia dan Albania) yang pindah ke Turki. Keduanya memiliki hubungan yang erat dalam bidang keilmuan, termasuk bekerja sama dalam beberapa proyek penelitian. Keduanya adalah saudara seiman (bukan saudara kandung, sebagaimana banyak yang menyangka demikian), teman seperjuangan dalam menuntut ilmu, rekan kerja, dan mitra dakwah. Syekh Syu’aib terbiasa menuliskan nama keluarganya sebagai Al-Arna’ut (الأرنؤوط) tanpa huruf alif, sedangkan Syekh Abdul Qadir menuliskannya (الأرناؤوط) dengan huruf alif. [11] Hubungannya dengan Syekh Al-Albani Di antara tokoh terkenal dari kalangan Al-Arna’uth dalam ilmu hadis di Syam adalah Asy-Syekh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin bin Nuh Najati Al-Arnauthi. Ayah Syekh Nashiruddin (Nuh Najati Adam Al-Albani) dan ayah Syekh Syu’aib (Muharram Al-Albani Al-Arnauthi) adalah dua sahabat karib. Keduanya berhijrah bersama demi menjaga agama mereka dan melindungi keluarga mereka. [12] Syekh Syu’aib juga memiliki hubungan baik dengan Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Keduanya menekuni ilmu hadis. Meskipun, terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa hal, hubungan mereka tetap dihiasi rasa saling menghormati. Syekh Syu’aib mengatakan, والفن الذي تميز به الشيخ ناصر هو علم الحديث النبوي الشريف، فقد انكب على دراسته سنين طويلة، قاربت الستين عاماً من عمره، بيد أن شأنه فيه شأن غيره من المحدثين قبله، يصيب فيه ويخطئ. “Bidang ilmu yang menjadi keahlian Syekh Nashir (yaitu, Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani) adalah ilmu hadis Nabi yang mulia. Ia telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajarinya, hampir enam puluh tahun dari hidupnya. Namun, seperti para ahli hadis lainnya sebelum beliau, terkadang beliau benar dan terkadang juga salah dalam hal tersebut.” [13] Semoga Allah Ta’ala merahmati Syekh Syu’aib Al-Arnauth dan para ulama lainnya yang telah mengabdikan hidup mereka untuk menjaga dan menyebarkan ilmu agama. Semoga amal kebaikan mereka diterima di sisi-Nya, dosa-dosa mereka diampuni, dan ilmu yang telah mereka wariskan menjadi cahaya bagi umat Islam di seluruh dunia. Kami memohon kepada Allah agar memberikan kepada kita taufik untuk mengikuti jejak mereka dalam keikhlasan dan pengabdian terhadap ilmu. Baca juga: Biografi Ibnu Rajab Al-Hambali *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumadilawal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Zaybaq, Ibrahim. Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth: Siratuhu fi Thalab Al-‘Ilm wa Juhuduhu fi Tahqiq At-Turats. Cetakan Pertama. Beirut: Dar Al-Basya’ir Al-Islamiyyah, 1433 H/2012 M; halaman 22, catatan kaki pertama.   Catatan kaki: [1] https://www.alukah.net/culture/0/158968/ [2] Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 19. [3] ibid. hal. 23. [4] Lihat https://www.alukah.net/culture/0/893/ [5] Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 24. [6] https://www.alukah.net/culture/0/893/ [7] Diringkas dari https://www.alukah.net/culture/0/893/ [8] ibid. [9] Lihat Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 217-228. [10] https://www.alukah.net/culture/0/158968/ [11] ibid. [12] Lihat Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 17. [13] ibid. hal. 119.


Daftar Isi Toggle Nama dan nasabnyaBapaknya dan hijrahnya ke SyamKelahirannya dan pertumbuhannyaMenuntut ilmu dan guru-gurunyaKesibukan dalam menelitiMurid-muridnyaKaryanya dalam penelitianWafatnyaHubungannya dengan Syekh Abdul Qodir Al-ArnauthHubungannya dengan Syekh Al-Albani Mempelajari biografi para ulama merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada ilmu dan para pemiliknya. Melalui perjalanan hidup mereka, kita dapat meneladani keteguhan, keikhlasan, dan kesungguhan dalam menuntut ilmu serta menyebarkannya. Salah satu tokoh besar yang memiliki kontribusi luar biasa dalam dunia ilmu adalah Syu’aib Al-Arnauth, seorang ulama yang dikenal luas atas dedikasinya dalam bidang penelitian dan penerbitan karya-karya klasik. Dalam artikel ini, kita akan menelusuri kehidupan Syu’aib Al-Arnauth, mulai dari nama dan nasabnya hingga kontribusi dan warisannya bagi generasi setelahnya. Semoga tulisan ini menjadi inspirasi dan motivasi bagi kita untuk mencintai ilmu dan terus berusaha mempelajarinya. Nama dan nasabnya Beliau adalah Syu’aib bin Muharram Al-Arnauth, yang berasal dari keluarga berdarah Albania. Orang Turki memberikan gelar “Al-Arnauth” (الأرنؤوط) kepada setiap pendatang dari wilayah Balkan (Yugoslavia dan Albania) ke Turki. Banyak dari mereka, setelah tiba di Turki atau sekadar singgah, melanjutkan perjalanan ke negeri Syam.  [1] Bapaknya dan hijrahnya ke Syam Muharram, ayah dari Syekh Syu’aib Al-Arnauth, adalah seseorang yang mencintai para ulama dan sangat bersemangat untuk bergaul dengan mereka. Ia berhijrah dari Albania ke Damaskus pada sekitar usia 57 tahun (pada tahun 1926 M), demi menjaga agamanya, kemudian menetap di sana. Syekh Ibrahim Az-Zaybaq berkata, “Termasuk yang disebutkan kepada beliau (Muharram) adalah bahwa seorang muslim, jika khawatir agamanya akan terfitnah di tanah kelahirannya, maka ia wajib berhijrah darinya. Jika tidak berhijrah, ia berada di bawah ancaman Allah Ta’ala dengan firman-Nya, إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَبِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا ‘Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan menzalimi diri sendiri, para malaikat berkata, ‘Dalam keadaan apa kalian ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami adalah orang-orang yang tertindas di bumi.’ Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kalian dapat berhijrah di dalamnya?’ Maka, orang-orang itu tempatnya di neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.’ (QS. An-Nisa: 97) Mereka juga menyebutkan kepada beliau tentang negeri Syam, bahwa itu adalah tanah terbaik untuk berhijrah, sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis Nabi yang menjelaskan keutamaan negeri tersebut dan keutamaan penduduknya.” [2] Kelahirannya dan pertumbuhannya Syekh Ibrahim Az-Zaybaq melanjutkan, رُزق محرم بعد سنتين من هجرته، وذلك سنة 1928م بأول مولود له ذكر ، وقد جاءه على كبر، فسماه شعيباً، تيمناً باسم ذلك النبي الكريم. “Dua tahun setelah hijrahnya, yaitu pada tahun 1928 M, Muharram dikaruniai anak pertama laki-laki. Anak tersebut lahir di usianya yang sudah tua, dan ia menamainya Syu’aib, sebagai bentuk optimis dengan nama Nabi Syu’aib ‘alaihis salam.” [3] Syekh Syu’aib dibesarkan di bawah asuhan kedua orang tuanya dalam lingkungan yang religius. Dalam masa itu, ia mempelajari dasar-dasar Islam dan menghafal banyak bagian dari Al-Qur’an. Keinginan yang tulus untuk memahami makna Al-Qur’an dengan mendalam serta menyelami rahasia-rahasianya mungkin menjadi salah satu alasan terkuat yang mendorongnya untuk mempelajari bahasa Arab sejak usia dini. Ia menghabiskan lebih dari sepuluh tahun menghadiri masjid-masjid dan sekolah-sekolah kuno di Damaskus, dengan tujuan menghadiri halaqah-halaqah ilmu bahasa Arab dalam berbagai cabangnya, seperti nahwu, sharf, sastra, balagah, dan sebagainya. [4] Menuntut ilmu dan guru-gurunya Syekh Syu’aib mulai menuntut ilmu sejak usia kecil. Pada tahun 1933 M/1352 H, saat usianya mencapai lima tahun, ayahnya segera membawanya ke Sekolah Swasta (Madrasah ‘Ilmiyah Tijariyah) yang terletak di Gang Ar-Razi dekat Bimaristan An-Nuri di kawasan Al-Hariqah. Di sana, ia mempelajari ilmu syariat dan bahasa Arab. Ayahnya memilihkan sekolah khusus ini untuknya, menjauhkannya dari sekolah-sekolah pemerintah yang diyakini dapat merusak para siswa dan menjauhkan mereka dari agama mereka. [5] Syekh Syu’aib berguru dalam ilmu bahasa Arab kepada para guru dan ulama terkemuka di Damaskus pada masa itu. Di antara mereka adalah Syekh Shalih Al-Farfour dan Syekh ‘Arif Ad-Duwaji, yang keduanya merupakan murid dari ulama besar Syam pada zamannya, yaitu Syekh Badruddin Al-Hasani. Ia mempelajari karya-karya terkenal dalam bahasa dan balagah Arab, seperti Syarh Ibnu ‘Aqil, Kafiyah karya Ibnu Al-Hajib, Al-Mufashshal karya Az-Zamakhsyari, Syudzur Adz-Dzahab karya Ibnu Hisyam, serta Asrar Al-Balaghah dan Dala’il Al-I’jaz karya Al-Jurjani. Ia juga belajar kepada Syekh Sulaiman Al-Ghawji Al-Albani, yang mengajarkan kitab Al-‘Awamil karya Al-Barkawi, Al-Idzhar karya Al-Athahli, dan kitab-kitab lainnya. Setelah perjalanan panjang dan penuh usaha dalam mempelajari bahasa Arab, Syekh Syu’aib kemudian beralih mendalami ilmu fikih Islam. Ia berguru kepada banyak ulama, khususnya dalam bidang fikih Hanafi, dengan mempelajari kitab-kitab seperti Maraqi Al-Falah karya Al-Shurunbulali, Al-Ikhtiyar karya Al-Mawshili, Al-Kitab karya Al-Quduri, serta Hasyiyah Ibnu ‘Abidin. Studi fikihnya berlangsung selama tujuh tahun, yang juga diselingi dengan mempelajari ushul fikih, tafsir Al-Qur’an, musthalah hadits, dan kitab-kitab akhlak. Pada tahap ini, usianya telah melampaui tiga puluh tahun. [6] Kesibukan dalam meneliti Syekh Syu’aib menyadari pentingnya spesialisasi dalam ilmu sunah setelah melihat kekurangan para ulama sezamannya dalam membedakan hadis sahih dan daif. Dengan tekad kuat, ia meninggalkan profesi mengajar bahasa Arab sejak tahun 1955 M untuk fokus pada tahqiq turats Islam. Ia memulai tahqiq di Al-Maktab Al-Islami, Damaskus, pada tahun 1958 M, memimpin bagian tahqiq selama dua dekade dan menyelesaikan lebih dari tujuh puluh kitab. Pada tahun 1982 M, ia bergabung dengan Mu’assasah Ar-Risalah di Amman, di mana kontribusinya semakin matang dan signifikan, menjadikan lembaga tersebut pelopor kebangkitan turats Islam. [7] Baca juga: Biografi Imam Ibnu Majah Murid-muridnya Sejumlah murid telah dididik oleh Syekh Syu’aib Al-Arna’uth dalam bidang tahqiq. Di antaranya adalah Muhammad Na’im Al-Arqasusi, Ibrahim Az-Zaybaq, ‘Adil Mursyid, dan ‘Umar Hasan Al-Qayyam. Syekh merasa gembira melihat setiap dari mereka mampu menjalankan tanggung jawab dengan benar terhadap ilmu sunah dan mandiri dalam pekerjaannya. Pengaruh Syekh Al-Arna’uth tampak jelas pada kitab-kitab yang mereka tahqiq, sementara mereka tetap menjaga rasa hormat atas jasa dan perhatian Syekh kepada mereka. Hubungan Syekh dengan para muridnya ibarat hubungan seorang sahabat dengan teman-temannya, yaitu: dekat, penuh perhatian, dan berusaha memberi manfaat serta bimbingan. [8] Karyanya dalam penelitian Syekh Syu’aib termasuk di antara para muhaqqiq dengan hasil karya yang sangat produktif. Kitab-kitab yang telah beliau tahqiq atau beliau awasi tahqiq-nya mencapai lebih dari 240 jilid, mencakup berbagai bidang seperti kitab-kitab sunnah nabawiyah, fikih, tafsir Al-Qur’an, biografi, akidah, ilmu musthalah hadits, sastra, dan lainnya. Beberapa karyanya yang paling menonjol adalah: Pertama: Syarh As-Sunnah karya Al-Baghawi, sebanyak 16 jilid, cetakan al-Maktab Al-Islami. Kedua: Siyar A’lam An-Nubala’ karya Adz-Dzahabi, dalam 23 jilid. Ketiga: Musnad Imam Ahmad, diterbitkan dalam 50 jilid, sebagai bagian dari Al-Mausu’ah Al-Haditsiyyah Al-Kubra yang direncanakan untuk diterbitkan oleh Mu’assasah Ar-Risalah di bawah supervisi Syekh. Keempat: Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah karya Ibnu Abi Al-‘Izz, tahqiq bersama Dr. Abdullah At-Turki, dalam 2 jilid; ketiga buku di atas merupakan cetakan Mu’assasah Ar-Risalah. Kelima: At-Ta’liq Al-Mumajjad Syarh Muwaththa’ Muhammad, karya Imam Abu Al-Hasanat Muhammad Abdul Hayy Al-Laknawi Al-Hindi, dalam 4 jilid. Dalam proyek ini, beliau bekerja sama dengan Syekh Muhammad Na’im Al-Arqasusy. [9] Wafatnya Setelah mengabdikan hidupnya dalam penelitian dan ilmu, Syu’aib Al-Arnauth menghabiskan masa tuanya di Amman, Yordania, hingga akhir hayatnya. Beliau wafat pada hari Kamis, 26 Muharram 1438 H (27 Oktober 2016 M). Ia meninggalkan warisan keilmuan yang luar biasa dan menjadi inspirasi bagi generasi peneliti setelahnya. Semoga Allah merahmati beliau. [10] Hubungannya dengan Syekh Abdul Qodir Al-Arnauth Syekh Syu’aib dan Abdul Qodir Al-Arnauth berasal dari latar belakang yang sama, yakni migran dari wilayah Balkan (Yugoslavia dan Albania) yang pindah ke Turki. Keduanya memiliki hubungan yang erat dalam bidang keilmuan, termasuk bekerja sama dalam beberapa proyek penelitian. Keduanya adalah saudara seiman (bukan saudara kandung, sebagaimana banyak yang menyangka demikian), teman seperjuangan dalam menuntut ilmu, rekan kerja, dan mitra dakwah. Syekh Syu’aib terbiasa menuliskan nama keluarganya sebagai Al-Arna’ut (الأرنؤوط) tanpa huruf alif, sedangkan Syekh Abdul Qadir menuliskannya (الأرناؤوط) dengan huruf alif. [11] Hubungannya dengan Syekh Al-Albani Di antara tokoh terkenal dari kalangan Al-Arna’uth dalam ilmu hadis di Syam adalah Asy-Syekh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin bin Nuh Najati Al-Arnauthi. Ayah Syekh Nashiruddin (Nuh Najati Adam Al-Albani) dan ayah Syekh Syu’aib (Muharram Al-Albani Al-Arnauthi) adalah dua sahabat karib. Keduanya berhijrah bersama demi menjaga agama mereka dan melindungi keluarga mereka. [12] Syekh Syu’aib juga memiliki hubungan baik dengan Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Keduanya menekuni ilmu hadis. Meskipun, terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa hal, hubungan mereka tetap dihiasi rasa saling menghormati. Syekh Syu’aib mengatakan, والفن الذي تميز به الشيخ ناصر هو علم الحديث النبوي الشريف، فقد انكب على دراسته سنين طويلة، قاربت الستين عاماً من عمره، بيد أن شأنه فيه شأن غيره من المحدثين قبله، يصيب فيه ويخطئ. “Bidang ilmu yang menjadi keahlian Syekh Nashir (yaitu, Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani) adalah ilmu hadis Nabi yang mulia. Ia telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajarinya, hampir enam puluh tahun dari hidupnya. Namun, seperti para ahli hadis lainnya sebelum beliau, terkadang beliau benar dan terkadang juga salah dalam hal tersebut.” [13] Semoga Allah Ta’ala merahmati Syekh Syu’aib Al-Arnauth dan para ulama lainnya yang telah mengabdikan hidup mereka untuk menjaga dan menyebarkan ilmu agama. Semoga amal kebaikan mereka diterima di sisi-Nya, dosa-dosa mereka diampuni, dan ilmu yang telah mereka wariskan menjadi cahaya bagi umat Islam di seluruh dunia. Kami memohon kepada Allah agar memberikan kepada kita taufik untuk mengikuti jejak mereka dalam keikhlasan dan pengabdian terhadap ilmu. Baca juga: Biografi Ibnu Rajab Al-Hambali *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumadilawal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Zaybaq, Ibrahim. Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth: Siratuhu fi Thalab Al-‘Ilm wa Juhuduhu fi Tahqiq At-Turats. Cetakan Pertama. Beirut: Dar Al-Basya’ir Al-Islamiyyah, 1433 H/2012 M; halaman 22, catatan kaki pertama.   Catatan kaki: [1] https://www.alukah.net/culture/0/158968/ [2] Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 19. [3] ibid. hal. 23. [4] Lihat https://www.alukah.net/culture/0/893/ [5] Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 24. [6] https://www.alukah.net/culture/0/893/ [7] Diringkas dari https://www.alukah.net/culture/0/893/ [8] ibid. [9] Lihat Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 217-228. [10] https://www.alukah.net/culture/0/158968/ [11] ibid. [12] Lihat Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 17. [13] ibid. hal. 119.

Antara Tawa dan Tangis (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Tawa tak selalu bahagia, tangis tak selalu sengsaraJangan bergantung pada diri sendiri Tawa tak selalu bahagia, tangis tak selalu sengsara Asalnya, tawa kerap kali dikaitkan dengan kebahagian, sedangkan tangis dikaitkan dengan kemalangan. Atha’ bin Abi Muslim menafsirkan surah An-Najm ayat 43 dengan mengatakan, أفرح و أحزن؛ لأن الفرح يجلب الضحك والحزن يجلب البكاء “Allah membuat gembira dan membuat sedih, karena kebahagiaan bisa membuat tawa dan kesedihan bisa membuat tangis.” [1] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, عُرِضَتْ عَلَيَّ الجَنَّةُ وَالنَّارُ فَلَمْ أَرَ كَاليَوْمِ فِيْ الخَيرِ وَالشَّرِّ وَلَوْ تَعْلَمُوْنَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً وَلبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا “Surga dan neraka ditampakkan kepadaku, maka aku tidak melihat tentang kebaikan dan keburukan seperti hari ini. Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, kamu benar-benar akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” [2] Hanya saja, tangis tidak harus selalu dipandang negatif, dan tawa tak bisa selalu dipandang positif. Tangis hanya salah satu tanda bersedih, dan tawa hanyalah salah satu alamat bahagia. Ketika dikatakan bahwa demam merupakan salah satu gejala COVID-19 misalnya, bukan berarti setiap orang yang mengalami demam pasti terpapar COVID-19. Demikian pula, tawa dan tangis. Orang yang banyak tawanya ternyata tak selalu berbahagia. Sebagai contoh, ada kawan kita yang kesehariannya penuh canda tawa, bahkan mungkin pekerjaannya adalah membuat orang-orang tertawa. Setelah diskusi mendalam, ternyata mereka sendiri yang mengaku bahwa hidupnya tidak sebahagia yang terlihat. Bahkan, mereka mengaku merasa sedih karena orang-orang selalu menuntut mereka untuk terlihat menyenangkan, seakan mereka tidak punya masalah dan tidak layak untuk bersedih. Contoh lain, ada saudara kita yang sedang berjuang melawan depresi. Berdasarkan literatur psikologi klinis, orang yang mengalami depresi pun boleh jadi dapat menunjukkan tawa, terlihat baik-baik saja, atau bahkan tidak menyadari bahwa mereka mengalami depresi. Hal ini diistilahkan dengan smiling depression dan masked depression. Dari sedikit contoh di atas, dapat kita pahami bahwa hari-hari yang dipenuhi gelak tawa belum tentu dapat membawa kebahagiaan, dan dia yang sering tertawa belum tentu baik-baik saja. Begitu juga sebaliknya, tangis juga tak selalu beriring dengan kemalangan. Ada juga saudara kita yang hidupnya diwarnai banyak tangisan. Ia menangis mencurahkan beban dan keluh kesahnya kepada Allah Ta’ala, menangisi dosa-dosanya, menangisi ketaatan yang tak kunjung bertambah. Setelahnya, ia merasa lega karena mendapati bahwa ternyata hatinya masih hidup. Lantas, ia pun bersyukur karena masih mampu untuk bermawas diri dan berempati. Inilah tangisan yang akan membuahkan kebahagiaan. Lagipula, Allah Ta’ala tidak pernah menetapkan hidup tanpa tangisan dan kesedihan sebagai syarat untuk bisa hidup berbahagia, melainkan bahagia itu bisa didapat tergantung dari cara kita dalam menyikapi setiap suka dan duka yang datang menghampiri. Ikrimah rahimahullah berkata, ليس أحد إلا وهو يفرح ويحزن، ولكن اجعلوا الفرح شكراً والحزن صبرا “Setiap orang pasti pernah merasakan suka dan duka. Oleh karena itu, buatlah sukamu menjadi syukur dan dukamu menjadi sabar.” [3] Perkataan beliau sejalan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له “Benar-benar mengagumkan keadaan seorang mukmin. Sungguh seluruh urusannya itu baik, dan hal itu tidaklah didapat, kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, ia bersyukur. Maka, yang demikian itu baik baginya. Dan jika mendapatkan kesusahan, ia bersabar. Yang demikian itu pun juga baik baginya.” [4] Jangan bergantung pada diri sendiri Karena tawa dan tangis adalah ketetapan dari Allah, maka jangan terlalu bergantung pada diri sendiri dalam mencari tawa dan kesenangan, maupun dalam menghindari tangis dan kesedihan. Boleh saja kita pergi liburan atau menekuni hobi untuk bersenang-senang atau beristirahat sejenak dari peliknya ujian kehidupan. Namun, layaknya orang sakit yang pergi berobat, bukanlah sang dokter atau obatnya yang memberi kesembuhan. Berobat hanyalah sebab dan hanya Allah Ta’ala Yang Maha Menyembuhkan. Demikian pula, usaha-usaha di atas hanyalah sebab, dan Allah yang mengaruniakan kebahagiaan maupun mengusir kesedihan dari siapa yang Ia kehendaki. Lebih penting lagi, jangan pernah berfikir bahwa maksiat adalah sebab bahagia maupun sebab menjauhnya kesedihan. Jangan jadikan maksiat sebagai jalan pelarian dari berbagai masalah hidup. Sebagian orang bergelut berbagai kemaksiatan dengan dalih untuk mencari kesenangan dan menghilangkan kesedihan. Tatkala dinasihati semata karena mengharapkan kebaikan untuknya, ia kurang lebih menjawab, “Kamu tidak tau apa-apa tentangku. Kamu tidak tau masalah hidupku. Aku yang paling tau tentang diriku. Aku yang paling paham apa saja yang bisa membuatku bahagia dan bisa meredakan kesedihanku.” Padahal, sudah terlalu banyak kita saksikan pecandu maksiat yang hidupnya tak juga kunjung bahagia hingga akhir hayat. Padahal, bahagia yang hakiki itu datangnya dari Allah, sehingga tidak mungkin didapat dengan cara dan hal yang Allah larang. Kalau pun mereka mengaku merasa senang, bisa jadi itulah istidraj sebagaimana firman-Nya, فَلَمَّا نَسُوا۟ مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوٓا۟ أَخَذْنَٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ “Maka, tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga, apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong. Maka, ketika itu, mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44) Mungkin, kita lebih tau dari orang lain perihal apa saja yang bisa membuat kita senang dan dapat meredakan kesedihan kita. Tetapi, kita ini hanyalah yang lebih tahu, bukan yang paling tahu, bahkan tentang diri kita sendiri. Allahlah yang Maha Mengetahui diri kita luar dan dalam sebagaimana firman-Nya, اِنِّىۡٓ اَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُوۡنَ “… Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30) يَعْلَمُ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُسِرُّوْنَ وَمَا تُعْلِنُوْنَۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ ۢبِذَاتِ الصُّدُوْرِ “Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. At-Tagabun: 4) Maka, jangan bergantung pada diri sendiri. Perbanyak doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut, يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ “Wahai Rabb Yang Mahahidup, wahai Rabb Yang Maha Berdiri Sendiri, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan serahkan kepadaku sekali pun sekejap mata.” [5] Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kita kebahagiaan yang hakiki, menguatkan kita dalam menghadapi berbagai masalah dan kesedihan, serta mengaruniakan tangisan ketakwaan yang dapat membawa kita menuju kebahagiaan di negeri keabadian. [Selesai] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Tafsir Al-Baghawi, 4: 255. [2] HR. Muslim no. 2359. [3] Umdatut Tafsir, 3: 460. [4] HR. Muslim no. 2999. [5] HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak ‘ala As-Shahihain no. 2026. Imam Al-Hakim menilainya sahih berdasarkan persyaratan Imam Bukhari dan Muslim.

Antara Tawa dan Tangis (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Tawa tak selalu bahagia, tangis tak selalu sengsaraJangan bergantung pada diri sendiri Tawa tak selalu bahagia, tangis tak selalu sengsara Asalnya, tawa kerap kali dikaitkan dengan kebahagian, sedangkan tangis dikaitkan dengan kemalangan. Atha’ bin Abi Muslim menafsirkan surah An-Najm ayat 43 dengan mengatakan, أفرح و أحزن؛ لأن الفرح يجلب الضحك والحزن يجلب البكاء “Allah membuat gembira dan membuat sedih, karena kebahagiaan bisa membuat tawa dan kesedihan bisa membuat tangis.” [1] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, عُرِضَتْ عَلَيَّ الجَنَّةُ وَالنَّارُ فَلَمْ أَرَ كَاليَوْمِ فِيْ الخَيرِ وَالشَّرِّ وَلَوْ تَعْلَمُوْنَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً وَلبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا “Surga dan neraka ditampakkan kepadaku, maka aku tidak melihat tentang kebaikan dan keburukan seperti hari ini. Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, kamu benar-benar akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” [2] Hanya saja, tangis tidak harus selalu dipandang negatif, dan tawa tak bisa selalu dipandang positif. Tangis hanya salah satu tanda bersedih, dan tawa hanyalah salah satu alamat bahagia. Ketika dikatakan bahwa demam merupakan salah satu gejala COVID-19 misalnya, bukan berarti setiap orang yang mengalami demam pasti terpapar COVID-19. Demikian pula, tawa dan tangis. Orang yang banyak tawanya ternyata tak selalu berbahagia. Sebagai contoh, ada kawan kita yang kesehariannya penuh canda tawa, bahkan mungkin pekerjaannya adalah membuat orang-orang tertawa. Setelah diskusi mendalam, ternyata mereka sendiri yang mengaku bahwa hidupnya tidak sebahagia yang terlihat. Bahkan, mereka mengaku merasa sedih karena orang-orang selalu menuntut mereka untuk terlihat menyenangkan, seakan mereka tidak punya masalah dan tidak layak untuk bersedih. Contoh lain, ada saudara kita yang sedang berjuang melawan depresi. Berdasarkan literatur psikologi klinis, orang yang mengalami depresi pun boleh jadi dapat menunjukkan tawa, terlihat baik-baik saja, atau bahkan tidak menyadari bahwa mereka mengalami depresi. Hal ini diistilahkan dengan smiling depression dan masked depression. Dari sedikit contoh di atas, dapat kita pahami bahwa hari-hari yang dipenuhi gelak tawa belum tentu dapat membawa kebahagiaan, dan dia yang sering tertawa belum tentu baik-baik saja. Begitu juga sebaliknya, tangis juga tak selalu beriring dengan kemalangan. Ada juga saudara kita yang hidupnya diwarnai banyak tangisan. Ia menangis mencurahkan beban dan keluh kesahnya kepada Allah Ta’ala, menangisi dosa-dosanya, menangisi ketaatan yang tak kunjung bertambah. Setelahnya, ia merasa lega karena mendapati bahwa ternyata hatinya masih hidup. Lantas, ia pun bersyukur karena masih mampu untuk bermawas diri dan berempati. Inilah tangisan yang akan membuahkan kebahagiaan. Lagipula, Allah Ta’ala tidak pernah menetapkan hidup tanpa tangisan dan kesedihan sebagai syarat untuk bisa hidup berbahagia, melainkan bahagia itu bisa didapat tergantung dari cara kita dalam menyikapi setiap suka dan duka yang datang menghampiri. Ikrimah rahimahullah berkata, ليس أحد إلا وهو يفرح ويحزن، ولكن اجعلوا الفرح شكراً والحزن صبرا “Setiap orang pasti pernah merasakan suka dan duka. Oleh karena itu, buatlah sukamu menjadi syukur dan dukamu menjadi sabar.” [3] Perkataan beliau sejalan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له “Benar-benar mengagumkan keadaan seorang mukmin. Sungguh seluruh urusannya itu baik, dan hal itu tidaklah didapat, kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, ia bersyukur. Maka, yang demikian itu baik baginya. Dan jika mendapatkan kesusahan, ia bersabar. Yang demikian itu pun juga baik baginya.” [4] Jangan bergantung pada diri sendiri Karena tawa dan tangis adalah ketetapan dari Allah, maka jangan terlalu bergantung pada diri sendiri dalam mencari tawa dan kesenangan, maupun dalam menghindari tangis dan kesedihan. Boleh saja kita pergi liburan atau menekuni hobi untuk bersenang-senang atau beristirahat sejenak dari peliknya ujian kehidupan. Namun, layaknya orang sakit yang pergi berobat, bukanlah sang dokter atau obatnya yang memberi kesembuhan. Berobat hanyalah sebab dan hanya Allah Ta’ala Yang Maha Menyembuhkan. Demikian pula, usaha-usaha di atas hanyalah sebab, dan Allah yang mengaruniakan kebahagiaan maupun mengusir kesedihan dari siapa yang Ia kehendaki. Lebih penting lagi, jangan pernah berfikir bahwa maksiat adalah sebab bahagia maupun sebab menjauhnya kesedihan. Jangan jadikan maksiat sebagai jalan pelarian dari berbagai masalah hidup. Sebagian orang bergelut berbagai kemaksiatan dengan dalih untuk mencari kesenangan dan menghilangkan kesedihan. Tatkala dinasihati semata karena mengharapkan kebaikan untuknya, ia kurang lebih menjawab, “Kamu tidak tau apa-apa tentangku. Kamu tidak tau masalah hidupku. Aku yang paling tau tentang diriku. Aku yang paling paham apa saja yang bisa membuatku bahagia dan bisa meredakan kesedihanku.” Padahal, sudah terlalu banyak kita saksikan pecandu maksiat yang hidupnya tak juga kunjung bahagia hingga akhir hayat. Padahal, bahagia yang hakiki itu datangnya dari Allah, sehingga tidak mungkin didapat dengan cara dan hal yang Allah larang. Kalau pun mereka mengaku merasa senang, bisa jadi itulah istidraj sebagaimana firman-Nya, فَلَمَّا نَسُوا۟ مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوٓا۟ أَخَذْنَٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ “Maka, tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga, apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong. Maka, ketika itu, mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44) Mungkin, kita lebih tau dari orang lain perihal apa saja yang bisa membuat kita senang dan dapat meredakan kesedihan kita. Tetapi, kita ini hanyalah yang lebih tahu, bukan yang paling tahu, bahkan tentang diri kita sendiri. Allahlah yang Maha Mengetahui diri kita luar dan dalam sebagaimana firman-Nya, اِنِّىۡٓ اَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُوۡنَ “… Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30) يَعْلَمُ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُسِرُّوْنَ وَمَا تُعْلِنُوْنَۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ ۢبِذَاتِ الصُّدُوْرِ “Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. At-Tagabun: 4) Maka, jangan bergantung pada diri sendiri. Perbanyak doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut, يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ “Wahai Rabb Yang Mahahidup, wahai Rabb Yang Maha Berdiri Sendiri, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan serahkan kepadaku sekali pun sekejap mata.” [5] Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kita kebahagiaan yang hakiki, menguatkan kita dalam menghadapi berbagai masalah dan kesedihan, serta mengaruniakan tangisan ketakwaan yang dapat membawa kita menuju kebahagiaan di negeri keabadian. [Selesai] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Tafsir Al-Baghawi, 4: 255. [2] HR. Muslim no. 2359. [3] Umdatut Tafsir, 3: 460. [4] HR. Muslim no. 2999. [5] HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak ‘ala As-Shahihain no. 2026. Imam Al-Hakim menilainya sahih berdasarkan persyaratan Imam Bukhari dan Muslim.
Daftar Isi Toggle Tawa tak selalu bahagia, tangis tak selalu sengsaraJangan bergantung pada diri sendiri Tawa tak selalu bahagia, tangis tak selalu sengsara Asalnya, tawa kerap kali dikaitkan dengan kebahagian, sedangkan tangis dikaitkan dengan kemalangan. Atha’ bin Abi Muslim menafsirkan surah An-Najm ayat 43 dengan mengatakan, أفرح و أحزن؛ لأن الفرح يجلب الضحك والحزن يجلب البكاء “Allah membuat gembira dan membuat sedih, karena kebahagiaan bisa membuat tawa dan kesedihan bisa membuat tangis.” [1] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, عُرِضَتْ عَلَيَّ الجَنَّةُ وَالنَّارُ فَلَمْ أَرَ كَاليَوْمِ فِيْ الخَيرِ وَالشَّرِّ وَلَوْ تَعْلَمُوْنَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً وَلبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا “Surga dan neraka ditampakkan kepadaku, maka aku tidak melihat tentang kebaikan dan keburukan seperti hari ini. Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, kamu benar-benar akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” [2] Hanya saja, tangis tidak harus selalu dipandang negatif, dan tawa tak bisa selalu dipandang positif. Tangis hanya salah satu tanda bersedih, dan tawa hanyalah salah satu alamat bahagia. Ketika dikatakan bahwa demam merupakan salah satu gejala COVID-19 misalnya, bukan berarti setiap orang yang mengalami demam pasti terpapar COVID-19. Demikian pula, tawa dan tangis. Orang yang banyak tawanya ternyata tak selalu berbahagia. Sebagai contoh, ada kawan kita yang kesehariannya penuh canda tawa, bahkan mungkin pekerjaannya adalah membuat orang-orang tertawa. Setelah diskusi mendalam, ternyata mereka sendiri yang mengaku bahwa hidupnya tidak sebahagia yang terlihat. Bahkan, mereka mengaku merasa sedih karena orang-orang selalu menuntut mereka untuk terlihat menyenangkan, seakan mereka tidak punya masalah dan tidak layak untuk bersedih. Contoh lain, ada saudara kita yang sedang berjuang melawan depresi. Berdasarkan literatur psikologi klinis, orang yang mengalami depresi pun boleh jadi dapat menunjukkan tawa, terlihat baik-baik saja, atau bahkan tidak menyadari bahwa mereka mengalami depresi. Hal ini diistilahkan dengan smiling depression dan masked depression. Dari sedikit contoh di atas, dapat kita pahami bahwa hari-hari yang dipenuhi gelak tawa belum tentu dapat membawa kebahagiaan, dan dia yang sering tertawa belum tentu baik-baik saja. Begitu juga sebaliknya, tangis juga tak selalu beriring dengan kemalangan. Ada juga saudara kita yang hidupnya diwarnai banyak tangisan. Ia menangis mencurahkan beban dan keluh kesahnya kepada Allah Ta’ala, menangisi dosa-dosanya, menangisi ketaatan yang tak kunjung bertambah. Setelahnya, ia merasa lega karena mendapati bahwa ternyata hatinya masih hidup. Lantas, ia pun bersyukur karena masih mampu untuk bermawas diri dan berempati. Inilah tangisan yang akan membuahkan kebahagiaan. Lagipula, Allah Ta’ala tidak pernah menetapkan hidup tanpa tangisan dan kesedihan sebagai syarat untuk bisa hidup berbahagia, melainkan bahagia itu bisa didapat tergantung dari cara kita dalam menyikapi setiap suka dan duka yang datang menghampiri. Ikrimah rahimahullah berkata, ليس أحد إلا وهو يفرح ويحزن، ولكن اجعلوا الفرح شكراً والحزن صبرا “Setiap orang pasti pernah merasakan suka dan duka. Oleh karena itu, buatlah sukamu menjadi syukur dan dukamu menjadi sabar.” [3] Perkataan beliau sejalan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له “Benar-benar mengagumkan keadaan seorang mukmin. Sungguh seluruh urusannya itu baik, dan hal itu tidaklah didapat, kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, ia bersyukur. Maka, yang demikian itu baik baginya. Dan jika mendapatkan kesusahan, ia bersabar. Yang demikian itu pun juga baik baginya.” [4] Jangan bergantung pada diri sendiri Karena tawa dan tangis adalah ketetapan dari Allah, maka jangan terlalu bergantung pada diri sendiri dalam mencari tawa dan kesenangan, maupun dalam menghindari tangis dan kesedihan. Boleh saja kita pergi liburan atau menekuni hobi untuk bersenang-senang atau beristirahat sejenak dari peliknya ujian kehidupan. Namun, layaknya orang sakit yang pergi berobat, bukanlah sang dokter atau obatnya yang memberi kesembuhan. Berobat hanyalah sebab dan hanya Allah Ta’ala Yang Maha Menyembuhkan. Demikian pula, usaha-usaha di atas hanyalah sebab, dan Allah yang mengaruniakan kebahagiaan maupun mengusir kesedihan dari siapa yang Ia kehendaki. Lebih penting lagi, jangan pernah berfikir bahwa maksiat adalah sebab bahagia maupun sebab menjauhnya kesedihan. Jangan jadikan maksiat sebagai jalan pelarian dari berbagai masalah hidup. Sebagian orang bergelut berbagai kemaksiatan dengan dalih untuk mencari kesenangan dan menghilangkan kesedihan. Tatkala dinasihati semata karena mengharapkan kebaikan untuknya, ia kurang lebih menjawab, “Kamu tidak tau apa-apa tentangku. Kamu tidak tau masalah hidupku. Aku yang paling tau tentang diriku. Aku yang paling paham apa saja yang bisa membuatku bahagia dan bisa meredakan kesedihanku.” Padahal, sudah terlalu banyak kita saksikan pecandu maksiat yang hidupnya tak juga kunjung bahagia hingga akhir hayat. Padahal, bahagia yang hakiki itu datangnya dari Allah, sehingga tidak mungkin didapat dengan cara dan hal yang Allah larang. Kalau pun mereka mengaku merasa senang, bisa jadi itulah istidraj sebagaimana firman-Nya, فَلَمَّا نَسُوا۟ مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوٓا۟ أَخَذْنَٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ “Maka, tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga, apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong. Maka, ketika itu, mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44) Mungkin, kita lebih tau dari orang lain perihal apa saja yang bisa membuat kita senang dan dapat meredakan kesedihan kita. Tetapi, kita ini hanyalah yang lebih tahu, bukan yang paling tahu, bahkan tentang diri kita sendiri. Allahlah yang Maha Mengetahui diri kita luar dan dalam sebagaimana firman-Nya, اِنِّىۡٓ اَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُوۡنَ “… Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30) يَعْلَمُ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُسِرُّوْنَ وَمَا تُعْلِنُوْنَۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ ۢبِذَاتِ الصُّدُوْرِ “Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. At-Tagabun: 4) Maka, jangan bergantung pada diri sendiri. Perbanyak doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut, يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ “Wahai Rabb Yang Mahahidup, wahai Rabb Yang Maha Berdiri Sendiri, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan serahkan kepadaku sekali pun sekejap mata.” [5] Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kita kebahagiaan yang hakiki, menguatkan kita dalam menghadapi berbagai masalah dan kesedihan, serta mengaruniakan tangisan ketakwaan yang dapat membawa kita menuju kebahagiaan di negeri keabadian. [Selesai] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Tafsir Al-Baghawi, 4: 255. [2] HR. Muslim no. 2359. [3] Umdatut Tafsir, 3: 460. [4] HR. Muslim no. 2999. [5] HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak ‘ala As-Shahihain no. 2026. Imam Al-Hakim menilainya sahih berdasarkan persyaratan Imam Bukhari dan Muslim.


Daftar Isi Toggle Tawa tak selalu bahagia, tangis tak selalu sengsaraJangan bergantung pada diri sendiri Tawa tak selalu bahagia, tangis tak selalu sengsara Asalnya, tawa kerap kali dikaitkan dengan kebahagian, sedangkan tangis dikaitkan dengan kemalangan. Atha’ bin Abi Muslim menafsirkan surah An-Najm ayat 43 dengan mengatakan, أفرح و أحزن؛ لأن الفرح يجلب الضحك والحزن يجلب البكاء “Allah membuat gembira dan membuat sedih, karena kebahagiaan bisa membuat tawa dan kesedihan bisa membuat tangis.” [1] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, عُرِضَتْ عَلَيَّ الجَنَّةُ وَالنَّارُ فَلَمْ أَرَ كَاليَوْمِ فِيْ الخَيرِ وَالشَّرِّ وَلَوْ تَعْلَمُوْنَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً وَلبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا “Surga dan neraka ditampakkan kepadaku, maka aku tidak melihat tentang kebaikan dan keburukan seperti hari ini. Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, kamu benar-benar akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” [2] Hanya saja, tangis tidak harus selalu dipandang negatif, dan tawa tak bisa selalu dipandang positif. Tangis hanya salah satu tanda bersedih, dan tawa hanyalah salah satu alamat bahagia. Ketika dikatakan bahwa demam merupakan salah satu gejala COVID-19 misalnya, bukan berarti setiap orang yang mengalami demam pasti terpapar COVID-19. Demikian pula, tawa dan tangis. Orang yang banyak tawanya ternyata tak selalu berbahagia. Sebagai contoh, ada kawan kita yang kesehariannya penuh canda tawa, bahkan mungkin pekerjaannya adalah membuat orang-orang tertawa. Setelah diskusi mendalam, ternyata mereka sendiri yang mengaku bahwa hidupnya tidak sebahagia yang terlihat. Bahkan, mereka mengaku merasa sedih karena orang-orang selalu menuntut mereka untuk terlihat menyenangkan, seakan mereka tidak punya masalah dan tidak layak untuk bersedih. Contoh lain, ada saudara kita yang sedang berjuang melawan depresi. Berdasarkan literatur psikologi klinis, orang yang mengalami depresi pun boleh jadi dapat menunjukkan tawa, terlihat baik-baik saja, atau bahkan tidak menyadari bahwa mereka mengalami depresi. Hal ini diistilahkan dengan smiling depression dan masked depression. Dari sedikit contoh di atas, dapat kita pahami bahwa hari-hari yang dipenuhi gelak tawa belum tentu dapat membawa kebahagiaan, dan dia yang sering tertawa belum tentu baik-baik saja. Begitu juga sebaliknya, tangis juga tak selalu beriring dengan kemalangan. Ada juga saudara kita yang hidupnya diwarnai banyak tangisan. Ia menangis mencurahkan beban dan keluh kesahnya kepada Allah Ta’ala, menangisi dosa-dosanya, menangisi ketaatan yang tak kunjung bertambah. Setelahnya, ia merasa lega karena mendapati bahwa ternyata hatinya masih hidup. Lantas, ia pun bersyukur karena masih mampu untuk bermawas diri dan berempati. Inilah tangisan yang akan membuahkan kebahagiaan. Lagipula, Allah Ta’ala tidak pernah menetapkan hidup tanpa tangisan dan kesedihan sebagai syarat untuk bisa hidup berbahagia, melainkan bahagia itu bisa didapat tergantung dari cara kita dalam menyikapi setiap suka dan duka yang datang menghampiri. Ikrimah rahimahullah berkata, ليس أحد إلا وهو يفرح ويحزن، ولكن اجعلوا الفرح شكراً والحزن صبرا “Setiap orang pasti pernah merasakan suka dan duka. Oleh karena itu, buatlah sukamu menjadi syukur dan dukamu menjadi sabar.” [3] Perkataan beliau sejalan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له “Benar-benar mengagumkan keadaan seorang mukmin. Sungguh seluruh urusannya itu baik, dan hal itu tidaklah didapat, kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, ia bersyukur. Maka, yang demikian itu baik baginya. Dan jika mendapatkan kesusahan, ia bersabar. Yang demikian itu pun juga baik baginya.” [4] Jangan bergantung pada diri sendiri Karena tawa dan tangis adalah ketetapan dari Allah, maka jangan terlalu bergantung pada diri sendiri dalam mencari tawa dan kesenangan, maupun dalam menghindari tangis dan kesedihan. Boleh saja kita pergi liburan atau menekuni hobi untuk bersenang-senang atau beristirahat sejenak dari peliknya ujian kehidupan. Namun, layaknya orang sakit yang pergi berobat, bukanlah sang dokter atau obatnya yang memberi kesembuhan. Berobat hanyalah sebab dan hanya Allah Ta’ala Yang Maha Menyembuhkan. Demikian pula, usaha-usaha di atas hanyalah sebab, dan Allah yang mengaruniakan kebahagiaan maupun mengusir kesedihan dari siapa yang Ia kehendaki. Lebih penting lagi, jangan pernah berfikir bahwa maksiat adalah sebab bahagia maupun sebab menjauhnya kesedihan. Jangan jadikan maksiat sebagai jalan pelarian dari berbagai masalah hidup. Sebagian orang bergelut berbagai kemaksiatan dengan dalih untuk mencari kesenangan dan menghilangkan kesedihan. Tatkala dinasihati semata karena mengharapkan kebaikan untuknya, ia kurang lebih menjawab, “Kamu tidak tau apa-apa tentangku. Kamu tidak tau masalah hidupku. Aku yang paling tau tentang diriku. Aku yang paling paham apa saja yang bisa membuatku bahagia dan bisa meredakan kesedihanku.” Padahal, sudah terlalu banyak kita saksikan pecandu maksiat yang hidupnya tak juga kunjung bahagia hingga akhir hayat. Padahal, bahagia yang hakiki itu datangnya dari Allah, sehingga tidak mungkin didapat dengan cara dan hal yang Allah larang. Kalau pun mereka mengaku merasa senang, bisa jadi itulah istidraj sebagaimana firman-Nya, فَلَمَّا نَسُوا۟ مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوٓا۟ أَخَذْنَٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ “Maka, tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga, apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong. Maka, ketika itu, mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44) Mungkin, kita lebih tau dari orang lain perihal apa saja yang bisa membuat kita senang dan dapat meredakan kesedihan kita. Tetapi, kita ini hanyalah yang lebih tahu, bukan yang paling tahu, bahkan tentang diri kita sendiri. Allahlah yang Maha Mengetahui diri kita luar dan dalam sebagaimana firman-Nya, اِنِّىۡٓ اَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُوۡنَ “… Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30) يَعْلَمُ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُسِرُّوْنَ وَمَا تُعْلِنُوْنَۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ ۢبِذَاتِ الصُّدُوْرِ “Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. At-Tagabun: 4) Maka, jangan bergantung pada diri sendiri. Perbanyak doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut, يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ “Wahai Rabb Yang Mahahidup, wahai Rabb Yang Maha Berdiri Sendiri, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan serahkan kepadaku sekali pun sekejap mata.” [5] Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kita kebahagiaan yang hakiki, menguatkan kita dalam menghadapi berbagai masalah dan kesedihan, serta mengaruniakan tangisan ketakwaan yang dapat membawa kita menuju kebahagiaan di negeri keabadian. [Selesai] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Tafsir Al-Baghawi, 4: 255. [2] HR. Muslim no. 2359. [3] Umdatut Tafsir, 3: 460. [4] HR. Muslim no. 2999. [5] HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak ‘ala As-Shahihain no. 2026. Imam Al-Hakim menilainya sahih berdasarkan persyaratan Imam Bukhari dan Muslim.

Sedikit Adab lebih Baik Dibanding Banyak Ilmu Tanpa Adab – Syaikh Hasan bin Abdul Hamid Bukhari #NasehatUlama

Diriwayatkan dari Hajjaj bin Arthah, dia berkata, “Sesungguhnya setiap kalian lebih membutuhkan adab yang baik daripada mempelajari lima puluh hadis.” Inilah yang harus diperhatikan, bahwa sebelum menuntut ilmu, sebaiknya seseorang terlebih dahulu menghiasi dirinya dengan adab yang baik. Al-Khathīb juga meriwayatkan dari al-Laits bin Saad, ketika dia sedang mengajarkan hadis kepada murid-muridnya, lalu dia melihat sesuatu yang kurang berkenan pada mereka, lalu berkata, “Apa-apaan ini? Kalian lebih membutuhkan sedikit adab daripada banyak ilmu.” === عَنْ حَجَّاجِ بْنِ أَرْطَاةَ قَالَ إِنَّ أَحَدَكُمْ إِلَى أَدَبٍ حَسَنٍ أَحْوَجُ مِنْهُ إِلَى خَمْسِينَ حَدِيثًا وَهَذَا أَلَّفْتُ لِلنَّظَرِ أَنَّهُ قَبْلَ طَلَبِ الْعِلْمِ يَنْبَغِي الْعِنَايَةُ بِالتَّحَلِّي بِهَذَا الْأَدَبِ وَأَخْرَجَ الْخَطِيبُ أَيْضًا عَنِ اللَّيْثِ ابْنِ سَعْدٍ وَقَدْ أَشْرَفَ عَلَى أَصْحَابِهِ الْحَدِيثَ فَرَأَى مِنْهُمْ شَيْئًا فَقَالَ: مَا هَذَا؟ أَنْتُمْ إِلَى يَسِيرٍ مِنَ الْأَدَبِ أَحْوَجُ مِنْكُمْ إِلَى كَثِيرٍ مِنَ الْعِلْمِ

Sedikit Adab lebih Baik Dibanding Banyak Ilmu Tanpa Adab – Syaikh Hasan bin Abdul Hamid Bukhari #NasehatUlama

Diriwayatkan dari Hajjaj bin Arthah, dia berkata, “Sesungguhnya setiap kalian lebih membutuhkan adab yang baik daripada mempelajari lima puluh hadis.” Inilah yang harus diperhatikan, bahwa sebelum menuntut ilmu, sebaiknya seseorang terlebih dahulu menghiasi dirinya dengan adab yang baik. Al-Khathīb juga meriwayatkan dari al-Laits bin Saad, ketika dia sedang mengajarkan hadis kepada murid-muridnya, lalu dia melihat sesuatu yang kurang berkenan pada mereka, lalu berkata, “Apa-apaan ini? Kalian lebih membutuhkan sedikit adab daripada banyak ilmu.” === عَنْ حَجَّاجِ بْنِ أَرْطَاةَ قَالَ إِنَّ أَحَدَكُمْ إِلَى أَدَبٍ حَسَنٍ أَحْوَجُ مِنْهُ إِلَى خَمْسِينَ حَدِيثًا وَهَذَا أَلَّفْتُ لِلنَّظَرِ أَنَّهُ قَبْلَ طَلَبِ الْعِلْمِ يَنْبَغِي الْعِنَايَةُ بِالتَّحَلِّي بِهَذَا الْأَدَبِ وَأَخْرَجَ الْخَطِيبُ أَيْضًا عَنِ اللَّيْثِ ابْنِ سَعْدٍ وَقَدْ أَشْرَفَ عَلَى أَصْحَابِهِ الْحَدِيثَ فَرَأَى مِنْهُمْ شَيْئًا فَقَالَ: مَا هَذَا؟ أَنْتُمْ إِلَى يَسِيرٍ مِنَ الْأَدَبِ أَحْوَجُ مِنْكُمْ إِلَى كَثِيرٍ مِنَ الْعِلْمِ
Diriwayatkan dari Hajjaj bin Arthah, dia berkata, “Sesungguhnya setiap kalian lebih membutuhkan adab yang baik daripada mempelajari lima puluh hadis.” Inilah yang harus diperhatikan, bahwa sebelum menuntut ilmu, sebaiknya seseorang terlebih dahulu menghiasi dirinya dengan adab yang baik. Al-Khathīb juga meriwayatkan dari al-Laits bin Saad, ketika dia sedang mengajarkan hadis kepada murid-muridnya, lalu dia melihat sesuatu yang kurang berkenan pada mereka, lalu berkata, “Apa-apaan ini? Kalian lebih membutuhkan sedikit adab daripada banyak ilmu.” === عَنْ حَجَّاجِ بْنِ أَرْطَاةَ قَالَ إِنَّ أَحَدَكُمْ إِلَى أَدَبٍ حَسَنٍ أَحْوَجُ مِنْهُ إِلَى خَمْسِينَ حَدِيثًا وَهَذَا أَلَّفْتُ لِلنَّظَرِ أَنَّهُ قَبْلَ طَلَبِ الْعِلْمِ يَنْبَغِي الْعِنَايَةُ بِالتَّحَلِّي بِهَذَا الْأَدَبِ وَأَخْرَجَ الْخَطِيبُ أَيْضًا عَنِ اللَّيْثِ ابْنِ سَعْدٍ وَقَدْ أَشْرَفَ عَلَى أَصْحَابِهِ الْحَدِيثَ فَرَأَى مِنْهُمْ شَيْئًا فَقَالَ: مَا هَذَا؟ أَنْتُمْ إِلَى يَسِيرٍ مِنَ الْأَدَبِ أَحْوَجُ مِنْكُمْ إِلَى كَثِيرٍ مِنَ الْعِلْمِ


Diriwayatkan dari Hajjaj bin Arthah, dia berkata, “Sesungguhnya setiap kalian lebih membutuhkan adab yang baik daripada mempelajari lima puluh hadis.” Inilah yang harus diperhatikan, bahwa sebelum menuntut ilmu, sebaiknya seseorang terlebih dahulu menghiasi dirinya dengan adab yang baik. Al-Khathīb juga meriwayatkan dari al-Laits bin Saad, ketika dia sedang mengajarkan hadis kepada murid-muridnya, lalu dia melihat sesuatu yang kurang berkenan pada mereka, lalu berkata, “Apa-apaan ini? Kalian lebih membutuhkan sedikit adab daripada banyak ilmu.” === عَنْ حَجَّاجِ بْنِ أَرْطَاةَ قَالَ إِنَّ أَحَدَكُمْ إِلَى أَدَبٍ حَسَنٍ أَحْوَجُ مِنْهُ إِلَى خَمْسِينَ حَدِيثًا وَهَذَا أَلَّفْتُ لِلنَّظَرِ أَنَّهُ قَبْلَ طَلَبِ الْعِلْمِ يَنْبَغِي الْعِنَايَةُ بِالتَّحَلِّي بِهَذَا الْأَدَبِ وَأَخْرَجَ الْخَطِيبُ أَيْضًا عَنِ اللَّيْثِ ابْنِ سَعْدٍ وَقَدْ أَشْرَفَ عَلَى أَصْحَابِهِ الْحَدِيثَ فَرَأَى مِنْهُمْ شَيْئًا فَقَالَ: مَا هَذَا؟ أَنْتُمْ إِلَى يَسِيرٍ مِنَ الْأَدَبِ أَحْوَجُ مِنْكُمْ إِلَى كَثِيرٍ مِنَ الْعِلْمِ

Hadis: Hukum ‘Azl (Coitus Interruptus)

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertama: Hukum ‘azlKandungan kedua: ‘Azl diperbolehkan ketika terdapat maslahat Teks Hadis Dari Judzamah binti Wahb radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan, حَضَرْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِي أُنَاسٍ وَهُوَ يَقُولُ: لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ الْغِيلَةِ، فَنَظَرْتُ فِي الرُّومِ وَفَارِسَ، فَإِذَا هُمْ يُغِيلُونَ أَوْلَادَهُمْ، فَلَا يَضُرُّ أَوْلَادَهُمْ ذَلِكَ شَيْئًا ، ثُمَّ سَأَلُوهُ عَنِ الْعَزْلِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ذَلِكَ الْوَأْدُ الْخَفِيُّ “Aku pernah menghadiri majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama beberapa orang (sahabat), dan beliau bersabda, “Sungguh, aku hampir melarang praktik ghilah (suami yang tetap menyetubuhi istri saat sang istri berada dalam periode menyusui anaknya, pent.), tetapi aku memperhatikan bangsa Romawi dan Persia. Ternyata mereka tetap melakukan ghilah terhadap anak-anak mereka, dan hal itu sama sekali tidak membahayakan anak-anak mereka.” Kemudian mereka bertanya kepada beliau tentang ‘azl (coitus interruptus). Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Itu adalah bentuk pembunuhan (anak) secara terselubung (tersembunyi).” (HR. Muslim no. 1442) Dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, أَنَّ رَجُلًا، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي جَارِيَةً وَأَنَا أَعْزِلُ عَنْهَا وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ تَحْمِلَ، وَأَنَا أُرِيدُ مَا يُرِيدُ الرِّجَالُ، وَإِنَّ الْيَهُودَ تُحَدِّثُ أَنَّ الْعَزْلَ مَوْءُودَةُ الصُّغْرَى قَالَ: كَذَبَتْ يَهُودُ لَوْ أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَخْلُقَهُ مَا اسْتَطَعْتَ أَنْ تَصْرِفَهُ “Seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, aku memiliki seorang budak perempuan, dan aku melakukan ‘azl darinya karena aku tidak ingin dia hamil. Namun, aku tetap menginginkan apa yang diinginkan oleh laki-laki pada umumnya. Kaum Yahudi berkata bahwa ‘azl adalah bentuk pembunuhan (anak) secara terselubung (tersembunyi).” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kaum Yahudi telah berdusta. Jika Allah menghendaki untuk menciptakan (anak), engkau tidak akan mampu mencegahnya.” (HR. Ahmad 17: 389; Abu Dawud no. 2171; An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra 8: 222; At-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar 3: 31 dan Syarh Musykil Al-Atsar 5: 170. Lafaz hadis ini milik Abu Dawud, dan dinilai sahih oleh Al-Albani) [1] Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, كُنَّا نَعْزِلُ، وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ “Kami dahulu melakukan ‘azl sementara Al-Qur’an sedang diturunkan.” (HR. Bukhari no. 5207 dan Muslim no. 1440) Dalam riwayat Muslim, terdapat tambahan, زَادَ إِسْحَاقُ، قَالَ سُفْيَانُ: لَوْ كَانَ شَيْئًا يُنْهَى عَنْهُ لَنَهَانَا عَنْهُ الْقُرْآنُ “Isḥaq menambahkan, Sufyan berkata, “Jika itu adalah sesuatu yang dilarang, tentu Al-Qur’an akan melarangnya kepada kami.” Dalam riwayat Muslim yang lain juga disebutkan, كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَبَلَغَ ذَلِكَ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمْ يَنْهَنَا “Kami dahulu melakukan ‘azl pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika hal itu sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau tidak melarang kami.” Kandungan Hadis Kandungan pertama: Hukum ‘azl Jumhur (mayoritas) ulama, di antaranya adalah imam mazhab yang empat, berdalil dengan hadis Abu Sa’id Al-Khudhri dan hadis Jabir radhiyallahu ‘anhuma ini untuk mengatakan bolehnya ‘azl. Sisi pendalilannya adalah perkataan Jabi bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ “Sedangkan Al-Quran masih turun.” Perkataan beliau ini menunjukkan bolehnya ‘azl. Seandainya ‘azl itu haram dan seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengetahui bahwa para sahabat melakukan ‘azl, maka Al-Quran akan turun untuk mengharamkannya. Inilah di antara faedah perkataan sahabat radhiyallahu ‘anhu, وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ “Sedangkan Al-Quran masih turun.” Oleh karena itu, Sufyan Ats-Tsaury rahimahullah berkata, لَوْ كَانَ شَيْئًا يُنْهَى عَنْهُ لَنَهَانَا عَنْهُ الْقُرْآنُ “Seandainya ada sesuatu yang dilarang oleh syariat, maka Al-Quran akan mengharamkannya.” Para ulama ushul fikih berkata, إن ما وقع في زمن النبي – صلى الله عليه وسلم – ولم يعلم به فإنه لا ينسب إلى سنته، لكنه حجة لإقرار الله تعالى له “Sesungguhnya apa pun yang terjadi pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak diketahui oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, maka hal itu tidak dinisbatkan sebagai sunahnya. Akan tetapi, hal itu merupakan hujah (dalil) bahwa Allah Ta’ala menyetujui (membolehkan) perbuatan tersebut.” Bahkan dalam riwayat Muslim di atas, disebutkan bahwa ‘azl telah diketahui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau mengetahui bahwa para sahabat melakukan ‘azl, namun beliau tidak melarangnya. Maka persetujuan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mungkin mendiamkan atau menyetujui kebatilan. Diriwayatkan dari sepuluh sahabat radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka membolehkan ‘azl, di antaranya adalah Sa’ad bin Abi Waqash, Abu Ayyub, Zaid bin Tsabit, Ibnu ‘Abbas, dan selainnya. [2] Mayoritas ulama menyebutkan syarat bahwa ‘azl harus dilakukan dengan seizin istri. Mereka berlandaskan pada hadis Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melakukan ‘azl terhadap istri, kecuali dengan izinnya. [3] Hal ini karena istri memiliki hak atas anak, dan juga karena jimak (hubungan intim) adalah haknya. Jimak dengan cara ‘azl dapat mengurangi kepuasan istri serta menghalanginya untuk sepenuhnya menikmati dan berbagi kesenangan dengan suaminya saat berhubungan intim. Mereka menjawab hadis Judzamah radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan larangan ‘azl dengan menyatakan bahwa hadis-hadis yang menunjukkan bolehnya ‘azl itu bertentangan dengannya, dan hadis-hadis tersebut adalah hadis yang sahih dan jelas menunjukkan bolehnya ‘azl., di antaranya adalah hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu dengan berbagai riwayatnya. Selain itu, sejumlah sahabat radhiyallahu ‘anhum memberikan keringanan terkait hal ini, dan mereka lebih memahami teks-teks serta tujuan-tujuan syariat (maqashid syari’at) dibandingkan kita. Hadis Judzamah radhiyallahu ‘anhu juga tidak secara eksplisit menunjukkan larangan ‘azl, seperti yang nanti akan dijelaskan. Ibnu Hazm rahimahullah dan sekelompok ulama lainnya berpendapat bahwa ‘azl itu haram dilakukan, berdasarkan hadis Judzamah radhiyallahu ‘anhu yang telah disebutkan. Beliau menjawab hadis-hadis yang menunjukkan bolehnya ‘azl dengan mengatakan bahwa hadis-hadis tersebut merujuk pada hukum asal, yaitu boleh (mubah). Sedangkan hadis Judzamah menjadi dalil yang memindahkan hukum asal tersebut (menjadi haram). Sehingga siapapun yang mengklaim bahwa ‘azl diperbolehkan setelah sebelumnya dilarang, harus mendatangkan dalil. Dari sini, menjadi jelas bahwa penyebab perbedaan pendapat tentang hukum azl adalah adanya hadis-hadis yang menunjukkan kebolehan dan hadis-hadis yang dzahir-nya menunjukkan larangan. Yang tampak -wallahu a’lam- adalah bahwa lebih utama berpegang pada hadis-hadis yang menunjukkan bolehnya ‘azl. Hal ini karena hadis Judzamah tidak secara eksplisit menunjukkan larangan, sebab ‘azl bukanlah pembunuhan bayi (wa’d) secara hakiki. ‘Azl hanya disebut sebagai wa’d karena melihat maksud dan niat dari orang yang melakukan ‘azl. Hal ini berbeda dengan wa’d yang sebenarnya, di mana niat dan tindakan langsung untuk membunuh anak benar-benar terjadi. Jika ‘azl benar-benar dianggap sebagai pembunuhan, maka ‘azl termasuk dosa besar. Oleh karena itu, yang lebih kuat adalah bahwa istilah “wa’d (pembunuhan) tersembunyi” digunakan hanya untuk memberikan peringatan keras, bukan untuk menunjukkan keharamannya. Atau mungkin, hal ini berlaku pada masa awal Islam, kemudian dihapus (di-nasakh) dengan hadis-hadis yang menunjukkan kebolehannya, seperti dalam hadis Abu Sa’id dan Jabir radhiyallahu ‘anhuma. Baca juga: Hukum Menyetubuhi Istri Melalui Dubur Kandungan kedua: ‘Azl diperbolehkan ketika terdapat maslahat Atas dasar ini, maka diperbolehkan melakukan ‘azl atau menggunakan metode tertentu untuk mengatur kehamilan, seperti pil KB dan lainnya, jika terdapat maslahat yang menuntutnya. Misalnya, jika istri sedang sakit tertentu (dan tidak memungkinkan baginya hamil); atau jika kehamilan yang berulang dapat membahayakan istri; atau jika istri sedang menyusui bayinya dan dikhawatirkan akan membahayakan bayi tersebut dalam proses menyusui dan juga tumbuh kembangnya (meskipun perempuan yang menyusui biasanya tidak mudah hamil). Demikian pula alasan-alasan lain yang bersifat kasuistik atas setiap orang. Karena alasan-alasan ini bersifat sementara, maka kebolehannya hanya berlaku selama alasan tersebut ada, dengan syarat: tidak menimbulkan mudarat, metode yang digunakan harus sesuai syariat, dan tidak ada tindakan yang membahayakan janin yang sudah ada. Adapun jika ‘azl atau penggunaan alat (metode) untuk mencegah kehamilan dilakukan karena takut jatuh miskin; khawatir terhadap bertambahnya jumlah penduduk; karena menolak terhadap tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan anak; atau alasan-alasan yang lemah lainnya, maka hal ini tidak diperbolehkan secara syariat. Hal tersebut merupakan bagian dari tipu daya musuh-musuh Islam terhadap umat Islam, dengan tujuan untuk mengurangi jumlah kaum muslimin dan melemahkan mereka, sehingga musuh-musuh Islam memiliki kemampuan untuk menjajah (menguasai) negeri-negeri muslim, memperbudak penduduknya, dan merampas kekayaannya. Padahal, pada saat ini umat sangat membutuhkan pertambahan jumlah kaum muslimin agar mampu berjuang demi menyebarkan agamanya, mendukung akidahnya, dan melawan musuh-musuhnya. Selain itu, tindakan seperti ini juga termasuk perbuatan jahiliyah dan menunjukkan buruknya prasangka (suuzan) kepada Allah Ta’ala. Wal’iyadhu billah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk memiliki anak dan memperbanyak keturunan. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ، إِنِّي مُكَاثِرٌ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Menikahlah dengan wanita yang al-wadud (penyayang) dan al-walud (subur atau banyak anak). Karena sesungguhnya aku akan membanggakan diri dengan sebab (banyaknya jumlah) kalian di depan para Nabi pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, dinilai sahih oleh Ibnu Hibban.) Telah kita ketahui bahwa menjaga keturunan (hifzhu an-nasl) adalah salah satu dari lima tujuan pokok yang dijaga oleh syariat. Memperbanyak keturunan merupakan nikmat besar dari Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya. Hal ini juga memperkuat umat Islam secara sosial, ekonomi, dan militer, serta menambah kekuatan dan pertahanan mereka. Menjawab seruan musuh yang bertujuan mengurangi jumlah umat Islam berarti menghancurkan potensi kekuatan dan ketahanan mereka. Semoga Allah memberi taufik kepada umat Islam menuju kekuatan dan kemuliaan mereka, serta memenangkan mereka atas musuh-musuh mereka. Wallahu Ta’ala a’lam. Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. [4] Baca juga: Motivasi untuk Bermuamalah yang Baik dengan Istri *** @Fall, 27 Jumadil awal 1446/ 29 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, “Yahudi telah berdusta” (ketika disampaikan kepada beliau bahwa kaum Yahudi berkata bahwa ‘azl adalah bentuk pembunuhan secara terselubung); dzahir-nya tampak bertentangan dengan apa yang disebutkan sebelumnya dalam hadis Judzamah, ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang ‘azl, lalu bersabda, “Itu adalah pembunuhan tersembunyi.” Kompromi antara kedua pernyataan ini telah dijelaskan dengan beberapa penjelasan ulama. Salah satu kompromi yang terbaik adalah keterangan yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi mengira bahwa ‘azl sepenuhnya menghilangkan kemungkinan hamil, sehingga mereka menyamakannya dengan memutus keturunan dengan mengubur anak hidup-hidup. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membantah mereka dan menjelaskan bahwa ‘azl tidak sepenuhnya mencegah kehamilan jika Allah menghendaki penciptaan kehidupan. Dan jika Allah tidak menghendakinya, maka itu tidak dianggap sebagai pembunuhan secara hakiki. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya menyebutnya sebagai “pembunuhan terselubung (tersembunyi)” berdasarkan niat dan tujuan dari orang yang melakukan ‘azl. (Lihat Tahdzib Mukhtashar As-Sinin, 3: 85) Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan, “Kompromi ini adalah penjelasan yang kuat (bagus).” (Nailul Authar, 6: 223) [2] As-Sunan Al-Kubra, 7: 230-231, karya Al-Baihaqi; Tahdzib Mukhtashar As-Sunan, 3: 85; Zaadul Ma’aad, 5: 142. [3] HR. Ibnu Majah no. 1928; Ahmad, 1: 339; dari jalur Abdullah bin Lahi’ah. Sanadnya lemah (dha’if) karena kelemahan Abdullah bin Lahi’ah. [4] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 362-366). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Hadis: Hukum ‘Azl (Coitus Interruptus)

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertama: Hukum ‘azlKandungan kedua: ‘Azl diperbolehkan ketika terdapat maslahat Teks Hadis Dari Judzamah binti Wahb radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan, حَضَرْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِي أُنَاسٍ وَهُوَ يَقُولُ: لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ الْغِيلَةِ، فَنَظَرْتُ فِي الرُّومِ وَفَارِسَ، فَإِذَا هُمْ يُغِيلُونَ أَوْلَادَهُمْ، فَلَا يَضُرُّ أَوْلَادَهُمْ ذَلِكَ شَيْئًا ، ثُمَّ سَأَلُوهُ عَنِ الْعَزْلِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ذَلِكَ الْوَأْدُ الْخَفِيُّ “Aku pernah menghadiri majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama beberapa orang (sahabat), dan beliau bersabda, “Sungguh, aku hampir melarang praktik ghilah (suami yang tetap menyetubuhi istri saat sang istri berada dalam periode menyusui anaknya, pent.), tetapi aku memperhatikan bangsa Romawi dan Persia. Ternyata mereka tetap melakukan ghilah terhadap anak-anak mereka, dan hal itu sama sekali tidak membahayakan anak-anak mereka.” Kemudian mereka bertanya kepada beliau tentang ‘azl (coitus interruptus). Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Itu adalah bentuk pembunuhan (anak) secara terselubung (tersembunyi).” (HR. Muslim no. 1442) Dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, أَنَّ رَجُلًا، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي جَارِيَةً وَأَنَا أَعْزِلُ عَنْهَا وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ تَحْمِلَ، وَأَنَا أُرِيدُ مَا يُرِيدُ الرِّجَالُ، وَإِنَّ الْيَهُودَ تُحَدِّثُ أَنَّ الْعَزْلَ مَوْءُودَةُ الصُّغْرَى قَالَ: كَذَبَتْ يَهُودُ لَوْ أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَخْلُقَهُ مَا اسْتَطَعْتَ أَنْ تَصْرِفَهُ “Seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, aku memiliki seorang budak perempuan, dan aku melakukan ‘azl darinya karena aku tidak ingin dia hamil. Namun, aku tetap menginginkan apa yang diinginkan oleh laki-laki pada umumnya. Kaum Yahudi berkata bahwa ‘azl adalah bentuk pembunuhan (anak) secara terselubung (tersembunyi).” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kaum Yahudi telah berdusta. Jika Allah menghendaki untuk menciptakan (anak), engkau tidak akan mampu mencegahnya.” (HR. Ahmad 17: 389; Abu Dawud no. 2171; An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra 8: 222; At-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar 3: 31 dan Syarh Musykil Al-Atsar 5: 170. Lafaz hadis ini milik Abu Dawud, dan dinilai sahih oleh Al-Albani) [1] Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, كُنَّا نَعْزِلُ، وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ “Kami dahulu melakukan ‘azl sementara Al-Qur’an sedang diturunkan.” (HR. Bukhari no. 5207 dan Muslim no. 1440) Dalam riwayat Muslim, terdapat tambahan, زَادَ إِسْحَاقُ، قَالَ سُفْيَانُ: لَوْ كَانَ شَيْئًا يُنْهَى عَنْهُ لَنَهَانَا عَنْهُ الْقُرْآنُ “Isḥaq menambahkan, Sufyan berkata, “Jika itu adalah sesuatu yang dilarang, tentu Al-Qur’an akan melarangnya kepada kami.” Dalam riwayat Muslim yang lain juga disebutkan, كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَبَلَغَ ذَلِكَ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمْ يَنْهَنَا “Kami dahulu melakukan ‘azl pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika hal itu sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau tidak melarang kami.” Kandungan Hadis Kandungan pertama: Hukum ‘azl Jumhur (mayoritas) ulama, di antaranya adalah imam mazhab yang empat, berdalil dengan hadis Abu Sa’id Al-Khudhri dan hadis Jabir radhiyallahu ‘anhuma ini untuk mengatakan bolehnya ‘azl. Sisi pendalilannya adalah perkataan Jabi bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ “Sedangkan Al-Quran masih turun.” Perkataan beliau ini menunjukkan bolehnya ‘azl. Seandainya ‘azl itu haram dan seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengetahui bahwa para sahabat melakukan ‘azl, maka Al-Quran akan turun untuk mengharamkannya. Inilah di antara faedah perkataan sahabat radhiyallahu ‘anhu, وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ “Sedangkan Al-Quran masih turun.” Oleh karena itu, Sufyan Ats-Tsaury rahimahullah berkata, لَوْ كَانَ شَيْئًا يُنْهَى عَنْهُ لَنَهَانَا عَنْهُ الْقُرْآنُ “Seandainya ada sesuatu yang dilarang oleh syariat, maka Al-Quran akan mengharamkannya.” Para ulama ushul fikih berkata, إن ما وقع في زمن النبي – صلى الله عليه وسلم – ولم يعلم به فإنه لا ينسب إلى سنته، لكنه حجة لإقرار الله تعالى له “Sesungguhnya apa pun yang terjadi pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak diketahui oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, maka hal itu tidak dinisbatkan sebagai sunahnya. Akan tetapi, hal itu merupakan hujah (dalil) bahwa Allah Ta’ala menyetujui (membolehkan) perbuatan tersebut.” Bahkan dalam riwayat Muslim di atas, disebutkan bahwa ‘azl telah diketahui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau mengetahui bahwa para sahabat melakukan ‘azl, namun beliau tidak melarangnya. Maka persetujuan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mungkin mendiamkan atau menyetujui kebatilan. Diriwayatkan dari sepuluh sahabat radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka membolehkan ‘azl, di antaranya adalah Sa’ad bin Abi Waqash, Abu Ayyub, Zaid bin Tsabit, Ibnu ‘Abbas, dan selainnya. [2] Mayoritas ulama menyebutkan syarat bahwa ‘azl harus dilakukan dengan seizin istri. Mereka berlandaskan pada hadis Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melakukan ‘azl terhadap istri, kecuali dengan izinnya. [3] Hal ini karena istri memiliki hak atas anak, dan juga karena jimak (hubungan intim) adalah haknya. Jimak dengan cara ‘azl dapat mengurangi kepuasan istri serta menghalanginya untuk sepenuhnya menikmati dan berbagi kesenangan dengan suaminya saat berhubungan intim. Mereka menjawab hadis Judzamah radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan larangan ‘azl dengan menyatakan bahwa hadis-hadis yang menunjukkan bolehnya ‘azl itu bertentangan dengannya, dan hadis-hadis tersebut adalah hadis yang sahih dan jelas menunjukkan bolehnya ‘azl., di antaranya adalah hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu dengan berbagai riwayatnya. Selain itu, sejumlah sahabat radhiyallahu ‘anhum memberikan keringanan terkait hal ini, dan mereka lebih memahami teks-teks serta tujuan-tujuan syariat (maqashid syari’at) dibandingkan kita. Hadis Judzamah radhiyallahu ‘anhu juga tidak secara eksplisit menunjukkan larangan ‘azl, seperti yang nanti akan dijelaskan. Ibnu Hazm rahimahullah dan sekelompok ulama lainnya berpendapat bahwa ‘azl itu haram dilakukan, berdasarkan hadis Judzamah radhiyallahu ‘anhu yang telah disebutkan. Beliau menjawab hadis-hadis yang menunjukkan bolehnya ‘azl dengan mengatakan bahwa hadis-hadis tersebut merujuk pada hukum asal, yaitu boleh (mubah). Sedangkan hadis Judzamah menjadi dalil yang memindahkan hukum asal tersebut (menjadi haram). Sehingga siapapun yang mengklaim bahwa ‘azl diperbolehkan setelah sebelumnya dilarang, harus mendatangkan dalil. Dari sini, menjadi jelas bahwa penyebab perbedaan pendapat tentang hukum azl adalah adanya hadis-hadis yang menunjukkan kebolehan dan hadis-hadis yang dzahir-nya menunjukkan larangan. Yang tampak -wallahu a’lam- adalah bahwa lebih utama berpegang pada hadis-hadis yang menunjukkan bolehnya ‘azl. Hal ini karena hadis Judzamah tidak secara eksplisit menunjukkan larangan, sebab ‘azl bukanlah pembunuhan bayi (wa’d) secara hakiki. ‘Azl hanya disebut sebagai wa’d karena melihat maksud dan niat dari orang yang melakukan ‘azl. Hal ini berbeda dengan wa’d yang sebenarnya, di mana niat dan tindakan langsung untuk membunuh anak benar-benar terjadi. Jika ‘azl benar-benar dianggap sebagai pembunuhan, maka ‘azl termasuk dosa besar. Oleh karena itu, yang lebih kuat adalah bahwa istilah “wa’d (pembunuhan) tersembunyi” digunakan hanya untuk memberikan peringatan keras, bukan untuk menunjukkan keharamannya. Atau mungkin, hal ini berlaku pada masa awal Islam, kemudian dihapus (di-nasakh) dengan hadis-hadis yang menunjukkan kebolehannya, seperti dalam hadis Abu Sa’id dan Jabir radhiyallahu ‘anhuma. Baca juga: Hukum Menyetubuhi Istri Melalui Dubur Kandungan kedua: ‘Azl diperbolehkan ketika terdapat maslahat Atas dasar ini, maka diperbolehkan melakukan ‘azl atau menggunakan metode tertentu untuk mengatur kehamilan, seperti pil KB dan lainnya, jika terdapat maslahat yang menuntutnya. Misalnya, jika istri sedang sakit tertentu (dan tidak memungkinkan baginya hamil); atau jika kehamilan yang berulang dapat membahayakan istri; atau jika istri sedang menyusui bayinya dan dikhawatirkan akan membahayakan bayi tersebut dalam proses menyusui dan juga tumbuh kembangnya (meskipun perempuan yang menyusui biasanya tidak mudah hamil). Demikian pula alasan-alasan lain yang bersifat kasuistik atas setiap orang. Karena alasan-alasan ini bersifat sementara, maka kebolehannya hanya berlaku selama alasan tersebut ada, dengan syarat: tidak menimbulkan mudarat, metode yang digunakan harus sesuai syariat, dan tidak ada tindakan yang membahayakan janin yang sudah ada. Adapun jika ‘azl atau penggunaan alat (metode) untuk mencegah kehamilan dilakukan karena takut jatuh miskin; khawatir terhadap bertambahnya jumlah penduduk; karena menolak terhadap tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan anak; atau alasan-alasan yang lemah lainnya, maka hal ini tidak diperbolehkan secara syariat. Hal tersebut merupakan bagian dari tipu daya musuh-musuh Islam terhadap umat Islam, dengan tujuan untuk mengurangi jumlah kaum muslimin dan melemahkan mereka, sehingga musuh-musuh Islam memiliki kemampuan untuk menjajah (menguasai) negeri-negeri muslim, memperbudak penduduknya, dan merampas kekayaannya. Padahal, pada saat ini umat sangat membutuhkan pertambahan jumlah kaum muslimin agar mampu berjuang demi menyebarkan agamanya, mendukung akidahnya, dan melawan musuh-musuhnya. Selain itu, tindakan seperti ini juga termasuk perbuatan jahiliyah dan menunjukkan buruknya prasangka (suuzan) kepada Allah Ta’ala. Wal’iyadhu billah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk memiliki anak dan memperbanyak keturunan. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ، إِنِّي مُكَاثِرٌ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Menikahlah dengan wanita yang al-wadud (penyayang) dan al-walud (subur atau banyak anak). Karena sesungguhnya aku akan membanggakan diri dengan sebab (banyaknya jumlah) kalian di depan para Nabi pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, dinilai sahih oleh Ibnu Hibban.) Telah kita ketahui bahwa menjaga keturunan (hifzhu an-nasl) adalah salah satu dari lima tujuan pokok yang dijaga oleh syariat. Memperbanyak keturunan merupakan nikmat besar dari Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya. Hal ini juga memperkuat umat Islam secara sosial, ekonomi, dan militer, serta menambah kekuatan dan pertahanan mereka. Menjawab seruan musuh yang bertujuan mengurangi jumlah umat Islam berarti menghancurkan potensi kekuatan dan ketahanan mereka. Semoga Allah memberi taufik kepada umat Islam menuju kekuatan dan kemuliaan mereka, serta memenangkan mereka atas musuh-musuh mereka. Wallahu Ta’ala a’lam. Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. [4] Baca juga: Motivasi untuk Bermuamalah yang Baik dengan Istri *** @Fall, 27 Jumadil awal 1446/ 29 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, “Yahudi telah berdusta” (ketika disampaikan kepada beliau bahwa kaum Yahudi berkata bahwa ‘azl adalah bentuk pembunuhan secara terselubung); dzahir-nya tampak bertentangan dengan apa yang disebutkan sebelumnya dalam hadis Judzamah, ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang ‘azl, lalu bersabda, “Itu adalah pembunuhan tersembunyi.” Kompromi antara kedua pernyataan ini telah dijelaskan dengan beberapa penjelasan ulama. Salah satu kompromi yang terbaik adalah keterangan yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi mengira bahwa ‘azl sepenuhnya menghilangkan kemungkinan hamil, sehingga mereka menyamakannya dengan memutus keturunan dengan mengubur anak hidup-hidup. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membantah mereka dan menjelaskan bahwa ‘azl tidak sepenuhnya mencegah kehamilan jika Allah menghendaki penciptaan kehidupan. Dan jika Allah tidak menghendakinya, maka itu tidak dianggap sebagai pembunuhan secara hakiki. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya menyebutnya sebagai “pembunuhan terselubung (tersembunyi)” berdasarkan niat dan tujuan dari orang yang melakukan ‘azl. (Lihat Tahdzib Mukhtashar As-Sinin, 3: 85) Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan, “Kompromi ini adalah penjelasan yang kuat (bagus).” (Nailul Authar, 6: 223) [2] As-Sunan Al-Kubra, 7: 230-231, karya Al-Baihaqi; Tahdzib Mukhtashar As-Sunan, 3: 85; Zaadul Ma’aad, 5: 142. [3] HR. Ibnu Majah no. 1928; Ahmad, 1: 339; dari jalur Abdullah bin Lahi’ah. Sanadnya lemah (dha’if) karena kelemahan Abdullah bin Lahi’ah. [4] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 362-366). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertama: Hukum ‘azlKandungan kedua: ‘Azl diperbolehkan ketika terdapat maslahat Teks Hadis Dari Judzamah binti Wahb radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan, حَضَرْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِي أُنَاسٍ وَهُوَ يَقُولُ: لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ الْغِيلَةِ، فَنَظَرْتُ فِي الرُّومِ وَفَارِسَ، فَإِذَا هُمْ يُغِيلُونَ أَوْلَادَهُمْ، فَلَا يَضُرُّ أَوْلَادَهُمْ ذَلِكَ شَيْئًا ، ثُمَّ سَأَلُوهُ عَنِ الْعَزْلِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ذَلِكَ الْوَأْدُ الْخَفِيُّ “Aku pernah menghadiri majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama beberapa orang (sahabat), dan beliau bersabda, “Sungguh, aku hampir melarang praktik ghilah (suami yang tetap menyetubuhi istri saat sang istri berada dalam periode menyusui anaknya, pent.), tetapi aku memperhatikan bangsa Romawi dan Persia. Ternyata mereka tetap melakukan ghilah terhadap anak-anak mereka, dan hal itu sama sekali tidak membahayakan anak-anak mereka.” Kemudian mereka bertanya kepada beliau tentang ‘azl (coitus interruptus). Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Itu adalah bentuk pembunuhan (anak) secara terselubung (tersembunyi).” (HR. Muslim no. 1442) Dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, أَنَّ رَجُلًا، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي جَارِيَةً وَأَنَا أَعْزِلُ عَنْهَا وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ تَحْمِلَ، وَأَنَا أُرِيدُ مَا يُرِيدُ الرِّجَالُ، وَإِنَّ الْيَهُودَ تُحَدِّثُ أَنَّ الْعَزْلَ مَوْءُودَةُ الصُّغْرَى قَالَ: كَذَبَتْ يَهُودُ لَوْ أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَخْلُقَهُ مَا اسْتَطَعْتَ أَنْ تَصْرِفَهُ “Seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, aku memiliki seorang budak perempuan, dan aku melakukan ‘azl darinya karena aku tidak ingin dia hamil. Namun, aku tetap menginginkan apa yang diinginkan oleh laki-laki pada umumnya. Kaum Yahudi berkata bahwa ‘azl adalah bentuk pembunuhan (anak) secara terselubung (tersembunyi).” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kaum Yahudi telah berdusta. Jika Allah menghendaki untuk menciptakan (anak), engkau tidak akan mampu mencegahnya.” (HR. Ahmad 17: 389; Abu Dawud no. 2171; An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra 8: 222; At-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar 3: 31 dan Syarh Musykil Al-Atsar 5: 170. Lafaz hadis ini milik Abu Dawud, dan dinilai sahih oleh Al-Albani) [1] Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, كُنَّا نَعْزِلُ، وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ “Kami dahulu melakukan ‘azl sementara Al-Qur’an sedang diturunkan.” (HR. Bukhari no. 5207 dan Muslim no. 1440) Dalam riwayat Muslim, terdapat tambahan, زَادَ إِسْحَاقُ، قَالَ سُفْيَانُ: لَوْ كَانَ شَيْئًا يُنْهَى عَنْهُ لَنَهَانَا عَنْهُ الْقُرْآنُ “Isḥaq menambahkan, Sufyan berkata, “Jika itu adalah sesuatu yang dilarang, tentu Al-Qur’an akan melarangnya kepada kami.” Dalam riwayat Muslim yang lain juga disebutkan, كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَبَلَغَ ذَلِكَ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمْ يَنْهَنَا “Kami dahulu melakukan ‘azl pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika hal itu sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau tidak melarang kami.” Kandungan Hadis Kandungan pertama: Hukum ‘azl Jumhur (mayoritas) ulama, di antaranya adalah imam mazhab yang empat, berdalil dengan hadis Abu Sa’id Al-Khudhri dan hadis Jabir radhiyallahu ‘anhuma ini untuk mengatakan bolehnya ‘azl. Sisi pendalilannya adalah perkataan Jabi bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ “Sedangkan Al-Quran masih turun.” Perkataan beliau ini menunjukkan bolehnya ‘azl. Seandainya ‘azl itu haram dan seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengetahui bahwa para sahabat melakukan ‘azl, maka Al-Quran akan turun untuk mengharamkannya. Inilah di antara faedah perkataan sahabat radhiyallahu ‘anhu, وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ “Sedangkan Al-Quran masih turun.” Oleh karena itu, Sufyan Ats-Tsaury rahimahullah berkata, لَوْ كَانَ شَيْئًا يُنْهَى عَنْهُ لَنَهَانَا عَنْهُ الْقُرْآنُ “Seandainya ada sesuatu yang dilarang oleh syariat, maka Al-Quran akan mengharamkannya.” Para ulama ushul fikih berkata, إن ما وقع في زمن النبي – صلى الله عليه وسلم – ولم يعلم به فإنه لا ينسب إلى سنته، لكنه حجة لإقرار الله تعالى له “Sesungguhnya apa pun yang terjadi pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak diketahui oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, maka hal itu tidak dinisbatkan sebagai sunahnya. Akan tetapi, hal itu merupakan hujah (dalil) bahwa Allah Ta’ala menyetujui (membolehkan) perbuatan tersebut.” Bahkan dalam riwayat Muslim di atas, disebutkan bahwa ‘azl telah diketahui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau mengetahui bahwa para sahabat melakukan ‘azl, namun beliau tidak melarangnya. Maka persetujuan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mungkin mendiamkan atau menyetujui kebatilan. Diriwayatkan dari sepuluh sahabat radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka membolehkan ‘azl, di antaranya adalah Sa’ad bin Abi Waqash, Abu Ayyub, Zaid bin Tsabit, Ibnu ‘Abbas, dan selainnya. [2] Mayoritas ulama menyebutkan syarat bahwa ‘azl harus dilakukan dengan seizin istri. Mereka berlandaskan pada hadis Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melakukan ‘azl terhadap istri, kecuali dengan izinnya. [3] Hal ini karena istri memiliki hak atas anak, dan juga karena jimak (hubungan intim) adalah haknya. Jimak dengan cara ‘azl dapat mengurangi kepuasan istri serta menghalanginya untuk sepenuhnya menikmati dan berbagi kesenangan dengan suaminya saat berhubungan intim. Mereka menjawab hadis Judzamah radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan larangan ‘azl dengan menyatakan bahwa hadis-hadis yang menunjukkan bolehnya ‘azl itu bertentangan dengannya, dan hadis-hadis tersebut adalah hadis yang sahih dan jelas menunjukkan bolehnya ‘azl., di antaranya adalah hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu dengan berbagai riwayatnya. Selain itu, sejumlah sahabat radhiyallahu ‘anhum memberikan keringanan terkait hal ini, dan mereka lebih memahami teks-teks serta tujuan-tujuan syariat (maqashid syari’at) dibandingkan kita. Hadis Judzamah radhiyallahu ‘anhu juga tidak secara eksplisit menunjukkan larangan ‘azl, seperti yang nanti akan dijelaskan. Ibnu Hazm rahimahullah dan sekelompok ulama lainnya berpendapat bahwa ‘azl itu haram dilakukan, berdasarkan hadis Judzamah radhiyallahu ‘anhu yang telah disebutkan. Beliau menjawab hadis-hadis yang menunjukkan bolehnya ‘azl dengan mengatakan bahwa hadis-hadis tersebut merujuk pada hukum asal, yaitu boleh (mubah). Sedangkan hadis Judzamah menjadi dalil yang memindahkan hukum asal tersebut (menjadi haram). Sehingga siapapun yang mengklaim bahwa ‘azl diperbolehkan setelah sebelumnya dilarang, harus mendatangkan dalil. Dari sini, menjadi jelas bahwa penyebab perbedaan pendapat tentang hukum azl adalah adanya hadis-hadis yang menunjukkan kebolehan dan hadis-hadis yang dzahir-nya menunjukkan larangan. Yang tampak -wallahu a’lam- adalah bahwa lebih utama berpegang pada hadis-hadis yang menunjukkan bolehnya ‘azl. Hal ini karena hadis Judzamah tidak secara eksplisit menunjukkan larangan, sebab ‘azl bukanlah pembunuhan bayi (wa’d) secara hakiki. ‘Azl hanya disebut sebagai wa’d karena melihat maksud dan niat dari orang yang melakukan ‘azl. Hal ini berbeda dengan wa’d yang sebenarnya, di mana niat dan tindakan langsung untuk membunuh anak benar-benar terjadi. Jika ‘azl benar-benar dianggap sebagai pembunuhan, maka ‘azl termasuk dosa besar. Oleh karena itu, yang lebih kuat adalah bahwa istilah “wa’d (pembunuhan) tersembunyi” digunakan hanya untuk memberikan peringatan keras, bukan untuk menunjukkan keharamannya. Atau mungkin, hal ini berlaku pada masa awal Islam, kemudian dihapus (di-nasakh) dengan hadis-hadis yang menunjukkan kebolehannya, seperti dalam hadis Abu Sa’id dan Jabir radhiyallahu ‘anhuma. Baca juga: Hukum Menyetubuhi Istri Melalui Dubur Kandungan kedua: ‘Azl diperbolehkan ketika terdapat maslahat Atas dasar ini, maka diperbolehkan melakukan ‘azl atau menggunakan metode tertentu untuk mengatur kehamilan, seperti pil KB dan lainnya, jika terdapat maslahat yang menuntutnya. Misalnya, jika istri sedang sakit tertentu (dan tidak memungkinkan baginya hamil); atau jika kehamilan yang berulang dapat membahayakan istri; atau jika istri sedang menyusui bayinya dan dikhawatirkan akan membahayakan bayi tersebut dalam proses menyusui dan juga tumbuh kembangnya (meskipun perempuan yang menyusui biasanya tidak mudah hamil). Demikian pula alasan-alasan lain yang bersifat kasuistik atas setiap orang. Karena alasan-alasan ini bersifat sementara, maka kebolehannya hanya berlaku selama alasan tersebut ada, dengan syarat: tidak menimbulkan mudarat, metode yang digunakan harus sesuai syariat, dan tidak ada tindakan yang membahayakan janin yang sudah ada. Adapun jika ‘azl atau penggunaan alat (metode) untuk mencegah kehamilan dilakukan karena takut jatuh miskin; khawatir terhadap bertambahnya jumlah penduduk; karena menolak terhadap tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan anak; atau alasan-alasan yang lemah lainnya, maka hal ini tidak diperbolehkan secara syariat. Hal tersebut merupakan bagian dari tipu daya musuh-musuh Islam terhadap umat Islam, dengan tujuan untuk mengurangi jumlah kaum muslimin dan melemahkan mereka, sehingga musuh-musuh Islam memiliki kemampuan untuk menjajah (menguasai) negeri-negeri muslim, memperbudak penduduknya, dan merampas kekayaannya. Padahal, pada saat ini umat sangat membutuhkan pertambahan jumlah kaum muslimin agar mampu berjuang demi menyebarkan agamanya, mendukung akidahnya, dan melawan musuh-musuhnya. Selain itu, tindakan seperti ini juga termasuk perbuatan jahiliyah dan menunjukkan buruknya prasangka (suuzan) kepada Allah Ta’ala. Wal’iyadhu billah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk memiliki anak dan memperbanyak keturunan. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ، إِنِّي مُكَاثِرٌ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Menikahlah dengan wanita yang al-wadud (penyayang) dan al-walud (subur atau banyak anak). Karena sesungguhnya aku akan membanggakan diri dengan sebab (banyaknya jumlah) kalian di depan para Nabi pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, dinilai sahih oleh Ibnu Hibban.) Telah kita ketahui bahwa menjaga keturunan (hifzhu an-nasl) adalah salah satu dari lima tujuan pokok yang dijaga oleh syariat. Memperbanyak keturunan merupakan nikmat besar dari Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya. Hal ini juga memperkuat umat Islam secara sosial, ekonomi, dan militer, serta menambah kekuatan dan pertahanan mereka. Menjawab seruan musuh yang bertujuan mengurangi jumlah umat Islam berarti menghancurkan potensi kekuatan dan ketahanan mereka. Semoga Allah memberi taufik kepada umat Islam menuju kekuatan dan kemuliaan mereka, serta memenangkan mereka atas musuh-musuh mereka. Wallahu Ta’ala a’lam. Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. [4] Baca juga: Motivasi untuk Bermuamalah yang Baik dengan Istri *** @Fall, 27 Jumadil awal 1446/ 29 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, “Yahudi telah berdusta” (ketika disampaikan kepada beliau bahwa kaum Yahudi berkata bahwa ‘azl adalah bentuk pembunuhan secara terselubung); dzahir-nya tampak bertentangan dengan apa yang disebutkan sebelumnya dalam hadis Judzamah, ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang ‘azl, lalu bersabda, “Itu adalah pembunuhan tersembunyi.” Kompromi antara kedua pernyataan ini telah dijelaskan dengan beberapa penjelasan ulama. Salah satu kompromi yang terbaik adalah keterangan yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi mengira bahwa ‘azl sepenuhnya menghilangkan kemungkinan hamil, sehingga mereka menyamakannya dengan memutus keturunan dengan mengubur anak hidup-hidup. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membantah mereka dan menjelaskan bahwa ‘azl tidak sepenuhnya mencegah kehamilan jika Allah menghendaki penciptaan kehidupan. Dan jika Allah tidak menghendakinya, maka itu tidak dianggap sebagai pembunuhan secara hakiki. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya menyebutnya sebagai “pembunuhan terselubung (tersembunyi)” berdasarkan niat dan tujuan dari orang yang melakukan ‘azl. (Lihat Tahdzib Mukhtashar As-Sinin, 3: 85) Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan, “Kompromi ini adalah penjelasan yang kuat (bagus).” (Nailul Authar, 6: 223) [2] As-Sunan Al-Kubra, 7: 230-231, karya Al-Baihaqi; Tahdzib Mukhtashar As-Sunan, 3: 85; Zaadul Ma’aad, 5: 142. [3] HR. Ibnu Majah no. 1928; Ahmad, 1: 339; dari jalur Abdullah bin Lahi’ah. Sanadnya lemah (dha’if) karena kelemahan Abdullah bin Lahi’ah. [4] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 362-366). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.


Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertama: Hukum ‘azlKandungan kedua: ‘Azl diperbolehkan ketika terdapat maslahat Teks Hadis Dari Judzamah binti Wahb radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan, حَضَرْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِي أُنَاسٍ وَهُوَ يَقُولُ: لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ الْغِيلَةِ، فَنَظَرْتُ فِي الرُّومِ وَفَارِسَ، فَإِذَا هُمْ يُغِيلُونَ أَوْلَادَهُمْ، فَلَا يَضُرُّ أَوْلَادَهُمْ ذَلِكَ شَيْئًا ، ثُمَّ سَأَلُوهُ عَنِ الْعَزْلِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ذَلِكَ الْوَأْدُ الْخَفِيُّ “Aku pernah menghadiri majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama beberapa orang (sahabat), dan beliau bersabda, “Sungguh, aku hampir melarang praktik ghilah (suami yang tetap menyetubuhi istri saat sang istri berada dalam periode menyusui anaknya, pent.), tetapi aku memperhatikan bangsa Romawi dan Persia. Ternyata mereka tetap melakukan ghilah terhadap anak-anak mereka, dan hal itu sama sekali tidak membahayakan anak-anak mereka.” Kemudian mereka bertanya kepada beliau tentang ‘azl (coitus interruptus). Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Itu adalah bentuk pembunuhan (anak) secara terselubung (tersembunyi).” (HR. Muslim no. 1442) Dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, أَنَّ رَجُلًا، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي جَارِيَةً وَأَنَا أَعْزِلُ عَنْهَا وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ تَحْمِلَ، وَأَنَا أُرِيدُ مَا يُرِيدُ الرِّجَالُ، وَإِنَّ الْيَهُودَ تُحَدِّثُ أَنَّ الْعَزْلَ مَوْءُودَةُ الصُّغْرَى قَالَ: كَذَبَتْ يَهُودُ لَوْ أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَخْلُقَهُ مَا اسْتَطَعْتَ أَنْ تَصْرِفَهُ “Seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, aku memiliki seorang budak perempuan, dan aku melakukan ‘azl darinya karena aku tidak ingin dia hamil. Namun, aku tetap menginginkan apa yang diinginkan oleh laki-laki pada umumnya. Kaum Yahudi berkata bahwa ‘azl adalah bentuk pembunuhan (anak) secara terselubung (tersembunyi).” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kaum Yahudi telah berdusta. Jika Allah menghendaki untuk menciptakan (anak), engkau tidak akan mampu mencegahnya.” (HR. Ahmad 17: 389; Abu Dawud no. 2171; An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra 8: 222; At-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar 3: 31 dan Syarh Musykil Al-Atsar 5: 170. Lafaz hadis ini milik Abu Dawud, dan dinilai sahih oleh Al-Albani) [1] Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, كُنَّا نَعْزِلُ، وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ “Kami dahulu melakukan ‘azl sementara Al-Qur’an sedang diturunkan.” (HR. Bukhari no. 5207 dan Muslim no. 1440) Dalam riwayat Muslim, terdapat tambahan, زَادَ إِسْحَاقُ، قَالَ سُفْيَانُ: لَوْ كَانَ شَيْئًا يُنْهَى عَنْهُ لَنَهَانَا عَنْهُ الْقُرْآنُ “Isḥaq menambahkan, Sufyan berkata, “Jika itu adalah sesuatu yang dilarang, tentu Al-Qur’an akan melarangnya kepada kami.” Dalam riwayat Muslim yang lain juga disebutkan, كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَبَلَغَ ذَلِكَ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمْ يَنْهَنَا “Kami dahulu melakukan ‘azl pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika hal itu sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau tidak melarang kami.” Kandungan Hadis Kandungan pertama: Hukum ‘azl Jumhur (mayoritas) ulama, di antaranya adalah imam mazhab yang empat, berdalil dengan hadis Abu Sa’id Al-Khudhri dan hadis Jabir radhiyallahu ‘anhuma ini untuk mengatakan bolehnya ‘azl. Sisi pendalilannya adalah perkataan Jabi bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ “Sedangkan Al-Quran masih turun.” Perkataan beliau ini menunjukkan bolehnya ‘azl. Seandainya ‘azl itu haram dan seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengetahui bahwa para sahabat melakukan ‘azl, maka Al-Quran akan turun untuk mengharamkannya. Inilah di antara faedah perkataan sahabat radhiyallahu ‘anhu, وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ “Sedangkan Al-Quran masih turun.” Oleh karena itu, Sufyan Ats-Tsaury rahimahullah berkata, لَوْ كَانَ شَيْئًا يُنْهَى عَنْهُ لَنَهَانَا عَنْهُ الْقُرْآنُ “Seandainya ada sesuatu yang dilarang oleh syariat, maka Al-Quran akan mengharamkannya.” Para ulama ushul fikih berkata, إن ما وقع في زمن النبي – صلى الله عليه وسلم – ولم يعلم به فإنه لا ينسب إلى سنته، لكنه حجة لإقرار الله تعالى له “Sesungguhnya apa pun yang terjadi pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak diketahui oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, maka hal itu tidak dinisbatkan sebagai sunahnya. Akan tetapi, hal itu merupakan hujah (dalil) bahwa Allah Ta’ala menyetujui (membolehkan) perbuatan tersebut.” Bahkan dalam riwayat Muslim di atas, disebutkan bahwa ‘azl telah diketahui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau mengetahui bahwa para sahabat melakukan ‘azl, namun beliau tidak melarangnya. Maka persetujuan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mungkin mendiamkan atau menyetujui kebatilan. Diriwayatkan dari sepuluh sahabat radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka membolehkan ‘azl, di antaranya adalah Sa’ad bin Abi Waqash, Abu Ayyub, Zaid bin Tsabit, Ibnu ‘Abbas, dan selainnya. [2] Mayoritas ulama menyebutkan syarat bahwa ‘azl harus dilakukan dengan seizin istri. Mereka berlandaskan pada hadis Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melakukan ‘azl terhadap istri, kecuali dengan izinnya. [3] Hal ini karena istri memiliki hak atas anak, dan juga karena jimak (hubungan intim) adalah haknya. Jimak dengan cara ‘azl dapat mengurangi kepuasan istri serta menghalanginya untuk sepenuhnya menikmati dan berbagi kesenangan dengan suaminya saat berhubungan intim. Mereka menjawab hadis Judzamah radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan larangan ‘azl dengan menyatakan bahwa hadis-hadis yang menunjukkan bolehnya ‘azl itu bertentangan dengannya, dan hadis-hadis tersebut adalah hadis yang sahih dan jelas menunjukkan bolehnya ‘azl., di antaranya adalah hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu dengan berbagai riwayatnya. Selain itu, sejumlah sahabat radhiyallahu ‘anhum memberikan keringanan terkait hal ini, dan mereka lebih memahami teks-teks serta tujuan-tujuan syariat (maqashid syari’at) dibandingkan kita. Hadis Judzamah radhiyallahu ‘anhu juga tidak secara eksplisit menunjukkan larangan ‘azl, seperti yang nanti akan dijelaskan. Ibnu Hazm rahimahullah dan sekelompok ulama lainnya berpendapat bahwa ‘azl itu haram dilakukan, berdasarkan hadis Judzamah radhiyallahu ‘anhu yang telah disebutkan. Beliau menjawab hadis-hadis yang menunjukkan bolehnya ‘azl dengan mengatakan bahwa hadis-hadis tersebut merujuk pada hukum asal, yaitu boleh (mubah). Sedangkan hadis Judzamah menjadi dalil yang memindahkan hukum asal tersebut (menjadi haram). Sehingga siapapun yang mengklaim bahwa ‘azl diperbolehkan setelah sebelumnya dilarang, harus mendatangkan dalil. Dari sini, menjadi jelas bahwa penyebab perbedaan pendapat tentang hukum azl adalah adanya hadis-hadis yang menunjukkan kebolehan dan hadis-hadis yang dzahir-nya menunjukkan larangan. Yang tampak -wallahu a’lam- adalah bahwa lebih utama berpegang pada hadis-hadis yang menunjukkan bolehnya ‘azl. Hal ini karena hadis Judzamah tidak secara eksplisit menunjukkan larangan, sebab ‘azl bukanlah pembunuhan bayi (wa’d) secara hakiki. ‘Azl hanya disebut sebagai wa’d karena melihat maksud dan niat dari orang yang melakukan ‘azl. Hal ini berbeda dengan wa’d yang sebenarnya, di mana niat dan tindakan langsung untuk membunuh anak benar-benar terjadi. Jika ‘azl benar-benar dianggap sebagai pembunuhan, maka ‘azl termasuk dosa besar. Oleh karena itu, yang lebih kuat adalah bahwa istilah “wa’d (pembunuhan) tersembunyi” digunakan hanya untuk memberikan peringatan keras, bukan untuk menunjukkan keharamannya. Atau mungkin, hal ini berlaku pada masa awal Islam, kemudian dihapus (di-nasakh) dengan hadis-hadis yang menunjukkan kebolehannya, seperti dalam hadis Abu Sa’id dan Jabir radhiyallahu ‘anhuma. Baca juga: Hukum Menyetubuhi Istri Melalui Dubur Kandungan kedua: ‘Azl diperbolehkan ketika terdapat maslahat Atas dasar ini, maka diperbolehkan melakukan ‘azl atau menggunakan metode tertentu untuk mengatur kehamilan, seperti pil KB dan lainnya, jika terdapat maslahat yang menuntutnya. Misalnya, jika istri sedang sakit tertentu (dan tidak memungkinkan baginya hamil); atau jika kehamilan yang berulang dapat membahayakan istri; atau jika istri sedang menyusui bayinya dan dikhawatirkan akan membahayakan bayi tersebut dalam proses menyusui dan juga tumbuh kembangnya (meskipun perempuan yang menyusui biasanya tidak mudah hamil). Demikian pula alasan-alasan lain yang bersifat kasuistik atas setiap orang. Karena alasan-alasan ini bersifat sementara, maka kebolehannya hanya berlaku selama alasan tersebut ada, dengan syarat: tidak menimbulkan mudarat, metode yang digunakan harus sesuai syariat, dan tidak ada tindakan yang membahayakan janin yang sudah ada. Adapun jika ‘azl atau penggunaan alat (metode) untuk mencegah kehamilan dilakukan karena takut jatuh miskin; khawatir terhadap bertambahnya jumlah penduduk; karena menolak terhadap tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan anak; atau alasan-alasan yang lemah lainnya, maka hal ini tidak diperbolehkan secara syariat. Hal tersebut merupakan bagian dari tipu daya musuh-musuh Islam terhadap umat Islam, dengan tujuan untuk mengurangi jumlah kaum muslimin dan melemahkan mereka, sehingga musuh-musuh Islam memiliki kemampuan untuk menjajah (menguasai) negeri-negeri muslim, memperbudak penduduknya, dan merampas kekayaannya. Padahal, pada saat ini umat sangat membutuhkan pertambahan jumlah kaum muslimin agar mampu berjuang demi menyebarkan agamanya, mendukung akidahnya, dan melawan musuh-musuhnya. Selain itu, tindakan seperti ini juga termasuk perbuatan jahiliyah dan menunjukkan buruknya prasangka (suuzan) kepada Allah Ta’ala. Wal’iyadhu billah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk memiliki anak dan memperbanyak keturunan. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ، إِنِّي مُكَاثِرٌ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Menikahlah dengan wanita yang al-wadud (penyayang) dan al-walud (subur atau banyak anak). Karena sesungguhnya aku akan membanggakan diri dengan sebab (banyaknya jumlah) kalian di depan para Nabi pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, dinilai sahih oleh Ibnu Hibban.) Telah kita ketahui bahwa menjaga keturunan (hifzhu an-nasl) adalah salah satu dari lima tujuan pokok yang dijaga oleh syariat. Memperbanyak keturunan merupakan nikmat besar dari Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya. Hal ini juga memperkuat umat Islam secara sosial, ekonomi, dan militer, serta menambah kekuatan dan pertahanan mereka. Menjawab seruan musuh yang bertujuan mengurangi jumlah umat Islam berarti menghancurkan potensi kekuatan dan ketahanan mereka. Semoga Allah memberi taufik kepada umat Islam menuju kekuatan dan kemuliaan mereka, serta memenangkan mereka atas musuh-musuh mereka. Wallahu Ta’ala a’lam. Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. [4] Baca juga: Motivasi untuk Bermuamalah yang Baik dengan Istri *** @Fall, 27 Jumadil awal 1446/ 29 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, “Yahudi telah berdusta” (ketika disampaikan kepada beliau bahwa kaum Yahudi berkata bahwa ‘azl adalah bentuk pembunuhan secara terselubung); dzahir-nya tampak bertentangan dengan apa yang disebutkan sebelumnya dalam hadis Judzamah, ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang ‘azl, lalu bersabda, “Itu adalah pembunuhan tersembunyi.” Kompromi antara kedua pernyataan ini telah dijelaskan dengan beberapa penjelasan ulama. Salah satu kompromi yang terbaik adalah keterangan yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi mengira bahwa ‘azl sepenuhnya menghilangkan kemungkinan hamil, sehingga mereka menyamakannya dengan memutus keturunan dengan mengubur anak hidup-hidup. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membantah mereka dan menjelaskan bahwa ‘azl tidak sepenuhnya mencegah kehamilan jika Allah menghendaki penciptaan kehidupan. Dan jika Allah tidak menghendakinya, maka itu tidak dianggap sebagai pembunuhan secara hakiki. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya menyebutnya sebagai “pembunuhan terselubung (tersembunyi)” berdasarkan niat dan tujuan dari orang yang melakukan ‘azl. (Lihat Tahdzib Mukhtashar As-Sinin, 3: 85) Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan, “Kompromi ini adalah penjelasan yang kuat (bagus).” (Nailul Authar, 6: 223) [2] As-Sunan Al-Kubra, 7: 230-231, karya Al-Baihaqi; Tahdzib Mukhtashar As-Sunan, 3: 85; Zaadul Ma’aad, 5: 142. [3] HR. Ibnu Majah no. 1928; Ahmad, 1: 339; dari jalur Abdullah bin Lahi’ah. Sanadnya lemah (dha’if) karena kelemahan Abdullah bin Lahi’ah. [4] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 362-366). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Nasihat Indah untukmu yang Masih Merayakan Tahun Baru

Daftar Isi Toggle Mengingat kembali prinsip seorang muslimMengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaatMenghindari tasyabbuh terhadap orang-orang kafirMenjauhi maksiat dan kemungkaranSenantiasa berdoa dan berserah diri kepada Allah Bagi seorang muslim, waktu adalah sesuatu yang sangat berharga. Waktu demi waktu, hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun adalah sesuatu yang selayaknya menjadi pelajaran berharga oleh setiap orang yang beriman. Waktu yang terus bergulir seharusnya menjadi renungan untuk senantiasa memperbaiki diri agar menjadi pribadi yang lebih baik. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, يُقَلِّبُ ٱللَّهُ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَعِبْرَةً لِّأُو۟لِى ٱلْأَبْصَٰرِ “Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.” (QS. An-Nur : 44) Hanya orang-orang yang Allah ‘Azza Wajalla beri taufik dan akal sehat akan senantiasa merenung dan memperbaiki diri. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ “Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadan berbaring serta memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Wahai Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami terhadap siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 190-191) Dikutip dari Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah dalam kitab Al-Jawabul Kafi, disebutkan bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, الوقت كالسيف فإن قطعته وإلا قطعك، ونفسك إن لم تشغلها بالحق وإلا شغلتك بالباطل “Waktu itu laksana pedang. Jika engkau tidak menggunakannya (dengan baik), maka ia yang malah akan menebasmu. Dan dirimu jika tidak tersibukkan dalam kebaikan, pasti akan tersibukkan dalam hal yang sia-sia.” Dan fenomena yang terjadi pada zaman ini adalah banyak kaum muslimin tersibukkan dengan hal yang sia-sia pada setiap penghujung tahun. Mereka latah ikut-ikutan orang-orang kafir merayakan tahun baru masehi dengan berhura-hura, berfoya-foya, bahkan bermaksiat secara terang-terangan pun mereka lakukan. Perlu diingat, peringatan tahun baru, jangankan tahun baru masehi, tahun baru hijriah pun tidak ada dalam agama Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat pun tidak pernah merayakan akhir tahun dengan amalan-amalan tertentu, lebih-lebih dengan hal-hal yang sia-sia. Justru, setiap penghujung akhir tahun banyak sekali kemungkaran yang terjadi, kemaksiatan merajalela, banyak sekali muda-mudi yang jatuh dalam perzinaan, dan semisalnya, wal’iyadzu  billah. Tulisan ini dibuat sebagai nasihat untukku dan untukmu agar tidak terombang-ambing dengan gemerlapnya perayaan akhir tahun dan lebih memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang jauh lebih bermanfaat. Mengingat kembali prinsip seorang muslim Sebagai seorang muslim, tujuan hidupnya di dunia adalah beribadah hanya kepada Allah ‘Azza Wajalla. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Merayakan tahun baru seringkali membuat kita lalai dari beribadah kepada-Nya dan justru mendekatkan kepada kemungkaran dan perbuatan sia-sia. Oleh karena itu, fokuslah pada hal-hal yang mendatangkan rida Allah. Mengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaat Senantiasa mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat, meningkatkan dan menguatkan akidah dengan kembali mengkaji tauhid, membaca dan mentadaburi Al-Qur’an, dan menyibukkan diri dengan bermajelis ilmu, serta menjauhkan diri dari pemikiran-pemikiran menyimpang yang bisa merusak keyakinan. Allah ‘Azza Wajalla memperingatkan kita akan pentingnya waktu dalam firman-Nya, وَٱلْعَصْرِ إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَفِى خُسْرٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, saling menasihati supaya menaati kebenaran, dan menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3) Merayakan malam tahun baru dengan hal-hal yang tidak bermanfaat adalah di antara bentuk menyia-nyiakan waktu, yang seharusnya dapat diisi dengan ibadah, introspeksi, ataupun kegiatan yang produktif lainnya. Baca juga: Ucapan Selamat Tahun Baru Hijriyah, Bolehkah? Menghindari tasyabbuh terhadap orang-orang kafir Islam sangat melarang tasyabbuh, yaitu menyerupai tradisi atau kebiasaan yang berasal dari agama atau budaya orang-orang kafir. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, Kitab Al-Libas, no. 3512. Syekh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Shahih Abu Dawud menyatakan bahwa hadis ini hasan shahih no. 3401.) Al-Munawi dan Al-Alqami rahimahullah berkata, “Yaitu, orang yang menyerupai mereka dalam hal penampilan, perilaku, cara berpakaian, dan sebagian perbuatan mereka.” Allah ‘Azza Wajalla mengingatkan, وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa terhadap Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19) Condong kepada orang-orang kafir termasuk hal yang berbahaya bagi akidah seorang muslim. Hal ini sebagaimana firman-Nya, وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang zalim yang mengakibatkan kalian disentuh oleh api neraka.” (QS. Hud: 113) Perayaan tahun baru masehi adalah tradisi yang tidak dikenal dalam Islam dan ini berasal dari budaya orang-orang kafir sehingga merayakannya dapat melemahkan akidah seorang muslim dan ditakutkan termasuk ke dalam golongan mereka (orang-orang kafir) sebagaimana yang disebutkan pada dalil di atas. Menjauhi maksiat dan kemungkaran Perayaan tahun baru dalam praktiknya seringkali melibatkan aktivitas yang dilarang dalam Islam, seperti pesta minuman keras, pergaulan bebas, musik dan hiburan yang melalaikan, pemborosan, dan segala kemungkaran berkumpul di dalamnya. Allah Ta’ala peringatkan hamba-Nya agar menjauhi maksiat dan dosa. Ia berfirman, وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلْفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ ۖ “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi.” (QS. Al-An’am: 151) Kemaksiatan akan mendatangkan kemurkaan Allah terhadap mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيْهِمْ بِالْمَعَاصِيْ ثُمَّ يَقْدِرُوْنَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا ثُمَّ لاَ يُغَيِّرُوا إِلاَّ يُوْشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ “Tidaklah suatu kaum, yang diperbuat kemaksiatan-kemaksiatan di antara mereka, kemudian mereka sanggup mengubah hal itu, lantas mereka tidak mengubah hal tersebut, kecuali dikhawatirkan bahwa Allah akan menimpakan siksaan terhadap mereka semua secara umum.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan selainnya. Syekh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Ash-Shahih menyatakan bahwa hadis ini sahih no. 1574.) Senantiasa berdoa dan berserah diri kepada Allah Selalu berdoa dan berserah diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar tetap diteguhkan keimanannya. Misalnya, dengan doa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan, يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ “YA MUQALLIBAL QULUB TSABBIT QALBI ‘ALA DINIK.” (Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu) (HR. Tirmidzi dan Ahmad) Semoga nasihat ini bisa menjadi nasihat yang bermanfaat bagi seorang muslim agar menjauhkan diri dari hal yang sia-sia, seperti ikut serta dalam memeriahkan perayaan tahun baru dan segala kemungkaran yang ada di dalamnya. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala jauhkan kita dari hal-hal yang mendatangkan kemurkaan-Nya. Baca juga: Ucapan Selamat Tahun Baru Imlek Tidak Terkait Akidah, Bolehkah? *** Penulis: Chrisna Tri Hartadi, A.Md. Artikel: Muslim.or.id

Nasihat Indah untukmu yang Masih Merayakan Tahun Baru

Daftar Isi Toggle Mengingat kembali prinsip seorang muslimMengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaatMenghindari tasyabbuh terhadap orang-orang kafirMenjauhi maksiat dan kemungkaranSenantiasa berdoa dan berserah diri kepada Allah Bagi seorang muslim, waktu adalah sesuatu yang sangat berharga. Waktu demi waktu, hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun adalah sesuatu yang selayaknya menjadi pelajaran berharga oleh setiap orang yang beriman. Waktu yang terus bergulir seharusnya menjadi renungan untuk senantiasa memperbaiki diri agar menjadi pribadi yang lebih baik. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, يُقَلِّبُ ٱللَّهُ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَعِبْرَةً لِّأُو۟لِى ٱلْأَبْصَٰرِ “Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.” (QS. An-Nur : 44) Hanya orang-orang yang Allah ‘Azza Wajalla beri taufik dan akal sehat akan senantiasa merenung dan memperbaiki diri. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ “Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadan berbaring serta memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Wahai Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami terhadap siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 190-191) Dikutip dari Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah dalam kitab Al-Jawabul Kafi, disebutkan bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, الوقت كالسيف فإن قطعته وإلا قطعك، ونفسك إن لم تشغلها بالحق وإلا شغلتك بالباطل “Waktu itu laksana pedang. Jika engkau tidak menggunakannya (dengan baik), maka ia yang malah akan menebasmu. Dan dirimu jika tidak tersibukkan dalam kebaikan, pasti akan tersibukkan dalam hal yang sia-sia.” Dan fenomena yang terjadi pada zaman ini adalah banyak kaum muslimin tersibukkan dengan hal yang sia-sia pada setiap penghujung tahun. Mereka latah ikut-ikutan orang-orang kafir merayakan tahun baru masehi dengan berhura-hura, berfoya-foya, bahkan bermaksiat secara terang-terangan pun mereka lakukan. Perlu diingat, peringatan tahun baru, jangankan tahun baru masehi, tahun baru hijriah pun tidak ada dalam agama Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat pun tidak pernah merayakan akhir tahun dengan amalan-amalan tertentu, lebih-lebih dengan hal-hal yang sia-sia. Justru, setiap penghujung akhir tahun banyak sekali kemungkaran yang terjadi, kemaksiatan merajalela, banyak sekali muda-mudi yang jatuh dalam perzinaan, dan semisalnya, wal’iyadzu  billah. Tulisan ini dibuat sebagai nasihat untukku dan untukmu agar tidak terombang-ambing dengan gemerlapnya perayaan akhir tahun dan lebih memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang jauh lebih bermanfaat. Mengingat kembali prinsip seorang muslim Sebagai seorang muslim, tujuan hidupnya di dunia adalah beribadah hanya kepada Allah ‘Azza Wajalla. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Merayakan tahun baru seringkali membuat kita lalai dari beribadah kepada-Nya dan justru mendekatkan kepada kemungkaran dan perbuatan sia-sia. Oleh karena itu, fokuslah pada hal-hal yang mendatangkan rida Allah. Mengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaat Senantiasa mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat, meningkatkan dan menguatkan akidah dengan kembali mengkaji tauhid, membaca dan mentadaburi Al-Qur’an, dan menyibukkan diri dengan bermajelis ilmu, serta menjauhkan diri dari pemikiran-pemikiran menyimpang yang bisa merusak keyakinan. Allah ‘Azza Wajalla memperingatkan kita akan pentingnya waktu dalam firman-Nya, وَٱلْعَصْرِ إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَفِى خُسْرٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, saling menasihati supaya menaati kebenaran, dan menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3) Merayakan malam tahun baru dengan hal-hal yang tidak bermanfaat adalah di antara bentuk menyia-nyiakan waktu, yang seharusnya dapat diisi dengan ibadah, introspeksi, ataupun kegiatan yang produktif lainnya. Baca juga: Ucapan Selamat Tahun Baru Hijriyah, Bolehkah? Menghindari tasyabbuh terhadap orang-orang kafir Islam sangat melarang tasyabbuh, yaitu menyerupai tradisi atau kebiasaan yang berasal dari agama atau budaya orang-orang kafir. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, Kitab Al-Libas, no. 3512. Syekh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Shahih Abu Dawud menyatakan bahwa hadis ini hasan shahih no. 3401.) Al-Munawi dan Al-Alqami rahimahullah berkata, “Yaitu, orang yang menyerupai mereka dalam hal penampilan, perilaku, cara berpakaian, dan sebagian perbuatan mereka.” Allah ‘Azza Wajalla mengingatkan, وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa terhadap Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19) Condong kepada orang-orang kafir termasuk hal yang berbahaya bagi akidah seorang muslim. Hal ini sebagaimana firman-Nya, وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang zalim yang mengakibatkan kalian disentuh oleh api neraka.” (QS. Hud: 113) Perayaan tahun baru masehi adalah tradisi yang tidak dikenal dalam Islam dan ini berasal dari budaya orang-orang kafir sehingga merayakannya dapat melemahkan akidah seorang muslim dan ditakutkan termasuk ke dalam golongan mereka (orang-orang kafir) sebagaimana yang disebutkan pada dalil di atas. Menjauhi maksiat dan kemungkaran Perayaan tahun baru dalam praktiknya seringkali melibatkan aktivitas yang dilarang dalam Islam, seperti pesta minuman keras, pergaulan bebas, musik dan hiburan yang melalaikan, pemborosan, dan segala kemungkaran berkumpul di dalamnya. Allah Ta’ala peringatkan hamba-Nya agar menjauhi maksiat dan dosa. Ia berfirman, وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلْفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ ۖ “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi.” (QS. Al-An’am: 151) Kemaksiatan akan mendatangkan kemurkaan Allah terhadap mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيْهِمْ بِالْمَعَاصِيْ ثُمَّ يَقْدِرُوْنَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا ثُمَّ لاَ يُغَيِّرُوا إِلاَّ يُوْشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ “Tidaklah suatu kaum, yang diperbuat kemaksiatan-kemaksiatan di antara mereka, kemudian mereka sanggup mengubah hal itu, lantas mereka tidak mengubah hal tersebut, kecuali dikhawatirkan bahwa Allah akan menimpakan siksaan terhadap mereka semua secara umum.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan selainnya. Syekh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Ash-Shahih menyatakan bahwa hadis ini sahih no. 1574.) Senantiasa berdoa dan berserah diri kepada Allah Selalu berdoa dan berserah diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar tetap diteguhkan keimanannya. Misalnya, dengan doa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan, يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ “YA MUQALLIBAL QULUB TSABBIT QALBI ‘ALA DINIK.” (Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu) (HR. Tirmidzi dan Ahmad) Semoga nasihat ini bisa menjadi nasihat yang bermanfaat bagi seorang muslim agar menjauhkan diri dari hal yang sia-sia, seperti ikut serta dalam memeriahkan perayaan tahun baru dan segala kemungkaran yang ada di dalamnya. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala jauhkan kita dari hal-hal yang mendatangkan kemurkaan-Nya. Baca juga: Ucapan Selamat Tahun Baru Imlek Tidak Terkait Akidah, Bolehkah? *** Penulis: Chrisna Tri Hartadi, A.Md. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Mengingat kembali prinsip seorang muslimMengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaatMenghindari tasyabbuh terhadap orang-orang kafirMenjauhi maksiat dan kemungkaranSenantiasa berdoa dan berserah diri kepada Allah Bagi seorang muslim, waktu adalah sesuatu yang sangat berharga. Waktu demi waktu, hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun adalah sesuatu yang selayaknya menjadi pelajaran berharga oleh setiap orang yang beriman. Waktu yang terus bergulir seharusnya menjadi renungan untuk senantiasa memperbaiki diri agar menjadi pribadi yang lebih baik. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, يُقَلِّبُ ٱللَّهُ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَعِبْرَةً لِّأُو۟لِى ٱلْأَبْصَٰرِ “Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.” (QS. An-Nur : 44) Hanya orang-orang yang Allah ‘Azza Wajalla beri taufik dan akal sehat akan senantiasa merenung dan memperbaiki diri. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ “Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadan berbaring serta memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Wahai Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami terhadap siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 190-191) Dikutip dari Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah dalam kitab Al-Jawabul Kafi, disebutkan bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, الوقت كالسيف فإن قطعته وإلا قطعك، ونفسك إن لم تشغلها بالحق وإلا شغلتك بالباطل “Waktu itu laksana pedang. Jika engkau tidak menggunakannya (dengan baik), maka ia yang malah akan menebasmu. Dan dirimu jika tidak tersibukkan dalam kebaikan, pasti akan tersibukkan dalam hal yang sia-sia.” Dan fenomena yang terjadi pada zaman ini adalah banyak kaum muslimin tersibukkan dengan hal yang sia-sia pada setiap penghujung tahun. Mereka latah ikut-ikutan orang-orang kafir merayakan tahun baru masehi dengan berhura-hura, berfoya-foya, bahkan bermaksiat secara terang-terangan pun mereka lakukan. Perlu diingat, peringatan tahun baru, jangankan tahun baru masehi, tahun baru hijriah pun tidak ada dalam agama Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat pun tidak pernah merayakan akhir tahun dengan amalan-amalan tertentu, lebih-lebih dengan hal-hal yang sia-sia. Justru, setiap penghujung akhir tahun banyak sekali kemungkaran yang terjadi, kemaksiatan merajalela, banyak sekali muda-mudi yang jatuh dalam perzinaan, dan semisalnya, wal’iyadzu  billah. Tulisan ini dibuat sebagai nasihat untukku dan untukmu agar tidak terombang-ambing dengan gemerlapnya perayaan akhir tahun dan lebih memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang jauh lebih bermanfaat. Mengingat kembali prinsip seorang muslim Sebagai seorang muslim, tujuan hidupnya di dunia adalah beribadah hanya kepada Allah ‘Azza Wajalla. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Merayakan tahun baru seringkali membuat kita lalai dari beribadah kepada-Nya dan justru mendekatkan kepada kemungkaran dan perbuatan sia-sia. Oleh karena itu, fokuslah pada hal-hal yang mendatangkan rida Allah. Mengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaat Senantiasa mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat, meningkatkan dan menguatkan akidah dengan kembali mengkaji tauhid, membaca dan mentadaburi Al-Qur’an, dan menyibukkan diri dengan bermajelis ilmu, serta menjauhkan diri dari pemikiran-pemikiran menyimpang yang bisa merusak keyakinan. Allah ‘Azza Wajalla memperingatkan kita akan pentingnya waktu dalam firman-Nya, وَٱلْعَصْرِ إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَفِى خُسْرٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, saling menasihati supaya menaati kebenaran, dan menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3) Merayakan malam tahun baru dengan hal-hal yang tidak bermanfaat adalah di antara bentuk menyia-nyiakan waktu, yang seharusnya dapat diisi dengan ibadah, introspeksi, ataupun kegiatan yang produktif lainnya. Baca juga: Ucapan Selamat Tahun Baru Hijriyah, Bolehkah? Menghindari tasyabbuh terhadap orang-orang kafir Islam sangat melarang tasyabbuh, yaitu menyerupai tradisi atau kebiasaan yang berasal dari agama atau budaya orang-orang kafir. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, Kitab Al-Libas, no. 3512. Syekh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Shahih Abu Dawud menyatakan bahwa hadis ini hasan shahih no. 3401.) Al-Munawi dan Al-Alqami rahimahullah berkata, “Yaitu, orang yang menyerupai mereka dalam hal penampilan, perilaku, cara berpakaian, dan sebagian perbuatan mereka.” Allah ‘Azza Wajalla mengingatkan, وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa terhadap Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19) Condong kepada orang-orang kafir termasuk hal yang berbahaya bagi akidah seorang muslim. Hal ini sebagaimana firman-Nya, وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang zalim yang mengakibatkan kalian disentuh oleh api neraka.” (QS. Hud: 113) Perayaan tahun baru masehi adalah tradisi yang tidak dikenal dalam Islam dan ini berasal dari budaya orang-orang kafir sehingga merayakannya dapat melemahkan akidah seorang muslim dan ditakutkan termasuk ke dalam golongan mereka (orang-orang kafir) sebagaimana yang disebutkan pada dalil di atas. Menjauhi maksiat dan kemungkaran Perayaan tahun baru dalam praktiknya seringkali melibatkan aktivitas yang dilarang dalam Islam, seperti pesta minuman keras, pergaulan bebas, musik dan hiburan yang melalaikan, pemborosan, dan segala kemungkaran berkumpul di dalamnya. Allah Ta’ala peringatkan hamba-Nya agar menjauhi maksiat dan dosa. Ia berfirman, وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلْفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ ۖ “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi.” (QS. Al-An’am: 151) Kemaksiatan akan mendatangkan kemurkaan Allah terhadap mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيْهِمْ بِالْمَعَاصِيْ ثُمَّ يَقْدِرُوْنَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا ثُمَّ لاَ يُغَيِّرُوا إِلاَّ يُوْشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ “Tidaklah suatu kaum, yang diperbuat kemaksiatan-kemaksiatan di antara mereka, kemudian mereka sanggup mengubah hal itu, lantas mereka tidak mengubah hal tersebut, kecuali dikhawatirkan bahwa Allah akan menimpakan siksaan terhadap mereka semua secara umum.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan selainnya. Syekh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Ash-Shahih menyatakan bahwa hadis ini sahih no. 1574.) Senantiasa berdoa dan berserah diri kepada Allah Selalu berdoa dan berserah diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar tetap diteguhkan keimanannya. Misalnya, dengan doa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan, يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ “YA MUQALLIBAL QULUB TSABBIT QALBI ‘ALA DINIK.” (Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu) (HR. Tirmidzi dan Ahmad) Semoga nasihat ini bisa menjadi nasihat yang bermanfaat bagi seorang muslim agar menjauhkan diri dari hal yang sia-sia, seperti ikut serta dalam memeriahkan perayaan tahun baru dan segala kemungkaran yang ada di dalamnya. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala jauhkan kita dari hal-hal yang mendatangkan kemurkaan-Nya. Baca juga: Ucapan Selamat Tahun Baru Imlek Tidak Terkait Akidah, Bolehkah? *** Penulis: Chrisna Tri Hartadi, A.Md. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Mengingat kembali prinsip seorang muslimMengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaatMenghindari tasyabbuh terhadap orang-orang kafirMenjauhi maksiat dan kemungkaranSenantiasa berdoa dan berserah diri kepada Allah Bagi seorang muslim, waktu adalah sesuatu yang sangat berharga. Waktu demi waktu, hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun adalah sesuatu yang selayaknya menjadi pelajaran berharga oleh setiap orang yang beriman. Waktu yang terus bergulir seharusnya menjadi renungan untuk senantiasa memperbaiki diri agar menjadi pribadi yang lebih baik. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, يُقَلِّبُ ٱللَّهُ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَعِبْرَةً لِّأُو۟لِى ٱلْأَبْصَٰرِ “Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.” (QS. An-Nur : 44) Hanya orang-orang yang Allah ‘Azza Wajalla beri taufik dan akal sehat akan senantiasa merenung dan memperbaiki diri. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ “Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadan berbaring serta memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Wahai Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami terhadap siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 190-191) Dikutip dari Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah dalam kitab Al-Jawabul Kafi, disebutkan bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, الوقت كالسيف فإن قطعته وإلا قطعك، ونفسك إن لم تشغلها بالحق وإلا شغلتك بالباطل “Waktu itu laksana pedang. Jika engkau tidak menggunakannya (dengan baik), maka ia yang malah akan menebasmu. Dan dirimu jika tidak tersibukkan dalam kebaikan, pasti akan tersibukkan dalam hal yang sia-sia.” Dan fenomena yang terjadi pada zaman ini adalah banyak kaum muslimin tersibukkan dengan hal yang sia-sia pada setiap penghujung tahun. Mereka latah ikut-ikutan orang-orang kafir merayakan tahun baru masehi dengan berhura-hura, berfoya-foya, bahkan bermaksiat secara terang-terangan pun mereka lakukan. Perlu diingat, peringatan tahun baru, jangankan tahun baru masehi, tahun baru hijriah pun tidak ada dalam agama Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat pun tidak pernah merayakan akhir tahun dengan amalan-amalan tertentu, lebih-lebih dengan hal-hal yang sia-sia. Justru, setiap penghujung akhir tahun banyak sekali kemungkaran yang terjadi, kemaksiatan merajalela, banyak sekali muda-mudi yang jatuh dalam perzinaan, dan semisalnya, wal’iyadzu  billah. Tulisan ini dibuat sebagai nasihat untukku dan untukmu agar tidak terombang-ambing dengan gemerlapnya perayaan akhir tahun dan lebih memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang jauh lebih bermanfaat. Mengingat kembali prinsip seorang muslim Sebagai seorang muslim, tujuan hidupnya di dunia adalah beribadah hanya kepada Allah ‘Azza Wajalla. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Merayakan tahun baru seringkali membuat kita lalai dari beribadah kepada-Nya dan justru mendekatkan kepada kemungkaran dan perbuatan sia-sia. Oleh karena itu, fokuslah pada hal-hal yang mendatangkan rida Allah. Mengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaat Senantiasa mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat, meningkatkan dan menguatkan akidah dengan kembali mengkaji tauhid, membaca dan mentadaburi Al-Qur’an, dan menyibukkan diri dengan bermajelis ilmu, serta menjauhkan diri dari pemikiran-pemikiran menyimpang yang bisa merusak keyakinan. Allah ‘Azza Wajalla memperingatkan kita akan pentingnya waktu dalam firman-Nya, وَٱلْعَصْرِ إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَفِى خُسْرٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, saling menasihati supaya menaati kebenaran, dan menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3) Merayakan malam tahun baru dengan hal-hal yang tidak bermanfaat adalah di antara bentuk menyia-nyiakan waktu, yang seharusnya dapat diisi dengan ibadah, introspeksi, ataupun kegiatan yang produktif lainnya. Baca juga: Ucapan Selamat Tahun Baru Hijriyah, Bolehkah? Menghindari tasyabbuh terhadap orang-orang kafir Islam sangat melarang tasyabbuh, yaitu menyerupai tradisi atau kebiasaan yang berasal dari agama atau budaya orang-orang kafir. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, Kitab Al-Libas, no. 3512. Syekh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Shahih Abu Dawud menyatakan bahwa hadis ini hasan shahih no. 3401.) Al-Munawi dan Al-Alqami rahimahullah berkata, “Yaitu, orang yang menyerupai mereka dalam hal penampilan, perilaku, cara berpakaian, dan sebagian perbuatan mereka.” Allah ‘Azza Wajalla mengingatkan, وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa terhadap Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19) Condong kepada orang-orang kafir termasuk hal yang berbahaya bagi akidah seorang muslim. Hal ini sebagaimana firman-Nya, وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang zalim yang mengakibatkan kalian disentuh oleh api neraka.” (QS. Hud: 113) Perayaan tahun baru masehi adalah tradisi yang tidak dikenal dalam Islam dan ini berasal dari budaya orang-orang kafir sehingga merayakannya dapat melemahkan akidah seorang muslim dan ditakutkan termasuk ke dalam golongan mereka (orang-orang kafir) sebagaimana yang disebutkan pada dalil di atas. Menjauhi maksiat dan kemungkaran Perayaan tahun baru dalam praktiknya seringkali melibatkan aktivitas yang dilarang dalam Islam, seperti pesta minuman keras, pergaulan bebas, musik dan hiburan yang melalaikan, pemborosan, dan segala kemungkaran berkumpul di dalamnya. Allah Ta’ala peringatkan hamba-Nya agar menjauhi maksiat dan dosa. Ia berfirman, وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلْفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ ۖ “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi.” (QS. Al-An’am: 151) Kemaksiatan akan mendatangkan kemurkaan Allah terhadap mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيْهِمْ بِالْمَعَاصِيْ ثُمَّ يَقْدِرُوْنَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا ثُمَّ لاَ يُغَيِّرُوا إِلاَّ يُوْشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ “Tidaklah suatu kaum, yang diperbuat kemaksiatan-kemaksiatan di antara mereka, kemudian mereka sanggup mengubah hal itu, lantas mereka tidak mengubah hal tersebut, kecuali dikhawatirkan bahwa Allah akan menimpakan siksaan terhadap mereka semua secara umum.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan selainnya. Syekh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Ash-Shahih menyatakan bahwa hadis ini sahih no. 1574.) Senantiasa berdoa dan berserah diri kepada Allah Selalu berdoa dan berserah diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar tetap diteguhkan keimanannya. Misalnya, dengan doa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan, يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ “YA MUQALLIBAL QULUB TSABBIT QALBI ‘ALA DINIK.” (Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu) (HR. Tirmidzi dan Ahmad) Semoga nasihat ini bisa menjadi nasihat yang bermanfaat bagi seorang muslim agar menjauhkan diri dari hal yang sia-sia, seperti ikut serta dalam memeriahkan perayaan tahun baru dan segala kemungkaran yang ada di dalamnya. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala jauhkan kita dari hal-hal yang mendatangkan kemurkaan-Nya. Baca juga: Ucapan Selamat Tahun Baru Imlek Tidak Terkait Akidah, Bolehkah? *** Penulis: Chrisna Tri Hartadi, A.Md. Artikel: Muslim.or.id

Jangan Abaikan Tahap Ini! Nasib Kekal Anda Ditentukan di Sini – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim dari Abu Said radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kematian akan dihadirkan pada hari kiamat, seakan-akan ia adalah domba hitam bercorak putih. Lalu diseru, ‘Hai para penghuni surga!’ Mereka lalu mendongakkan kepala dan melihat. Lantas mereka menjawab, ‘Ya.’ Lalu dikatakan kepada mereka, ‘Ini adalah kematian. Apakah kalian mengetahuinya?’ Mereka menjawab, ‘Ya’. Kemudian dikatakan juga, ‘Hai para penghuni neraka!’ Mereka pun mendongakkan kepala dan melihat. Lalu dikatakan kepada mereka, ‘Kalian mengetahui ini? Ini adalah kematian.’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Kemudian kematian itu disembelih di tempat antara surga dan neraka. Lalu dikatakan, ‘Hai para penghuni surga! Kehidupan kekal tanpa ada kematian lagi!’ ‘Hai para penghuni neraka! Kehidupan kekal tanpa ada kematian lagi!’” Inilah akhir perjalanan manusia. Saudara-saudara! Kita sekarang berada di tahap perjalanan hidup manusia yang paling penting. yaitu tahap untuk beramal. Barang siapa yang baik dalam menjalani tahap ini dan beramal saleh serta menyiapkan bekal ketakwaan, maka di kehidupan yang abadi, ia akan merasakan kebahagiaan yang abadi. Namun barang siapa yang umurnya lenyap dalam senda gurau dan kelalaian serta tidak menyiapkan bekal ketakwaan, maka ia akan kembali ke akhirat dengan kerugian dan penyesalan. Kita sekarang berada di tahap beramal. Setelahnya akan ada tahap pembalasan dan perhitungan. Lalu pada akhir perjalanan manusia, ada golongan yang di surga, ada pula yang di neraka. Kemudian Allah ‘Azza wa Jalla dengan rahmat-Nya, akan mengeluarkan penghuni neraka yang meninggal dunia di atas tauhid, juga para pelaku dosa besar. Mereka dikeluarkan dari neraka dengan rahmat Allah ‘Azza wa Jalla setelah pembersihan dan penyucian diri mereka di neraka. Lalu mereka masuk surga dengan rahmat Allah Yang Maha Pengasih. Hingga ketika mereka semua telah keluar dari neraka, dan tidak tersisa seorang pun. Kematian akan didatangkan dalam bentuk domba hitam bercorak putih. Lalu disembelih di tempat antara surga dan neraka. Dikatakanlah, “Hai para penghuni surga! Kehidupan kekal tanpa ada kematian, dan hai para penghuni neraka! Kehidupan kekal tanpa ada kematian!” Inilah akhir perjalanan manusia. Satu golongan di surga, dan satu golongan lain di neraka, dalam kehidupan yang abadi. Satu golongan di surga menikmati berbagai kenikmatan besar di dalamnya. Di dalamnya ada nikmat yang tidak pernah dilihat mata, didengar telinga, dan tidak pula terlintas dalam pikiran manusia. Di dalamnya tidak ada kegalauan, keletihan, kelelahan, kesedihan, rasa sakit, penuaan, dan tidak pula kematian. Hanya ada kenikmatan abadi. “…di dalam surga itu terdapat apa yang diingini oleh hati dan segala yang sedap (dipandang) mata. Dan kalian kekal di dalamnya.” (QS. az-Zukhruf: 71). Dan satu golongan lain di neraka, yakni para penghuni neraka Yang disiksa dengan azab yang pedih di dalamnya yang disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Api kalian yang kalian nyalakan di dunia ini hanyalah satu bagian dari 70 bagian dari panasnya neraka Jahanam.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah! Satu bagian saja sudah panas!” Lalu beliau bersabda, “Sungguh api neraka lebih panas dari api dunia 69 kali lipat.” Maka dari itu, wahai saudara-saudara! Hendaklah kita memanfaatkan sisa umur kita untuk menyiapkan diri dengan bekal ketakwaan, dan untuk beramal saleh, serta menyiapkan diri untuk kehidupan yang abadi. ==== جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُجَاءُ بِالْمَوْتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُ كَبْشٌ أَمْلَحُ ثُمَّ يُقَالُ يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ فَيَشْرَئِبُّونَ وَيَنْظُرُوْنَ فَيَقُولُوْنَ نَعَمْ فَيُقَالُ هَذَا الْمَوْتُ أَتَعْرِفُونَهُ؟ فَيَقُولُوْنَ نَعَمْ ثُمَّ يُقَالُ يَا أَهْلَ النَّارِ فَيَشْرَئِبُّونَ وَيَنْظُرُوْنَ وَيُقَالُ لَهُمْ أَتَعْرِفُونَ هَذَا؟ هَذَا الْمَوْتُ فَيَقُولُونَ نَعَمْ ثُمَّ يُذْبَحُ فِي مَكَانٍ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ ثُمَّ يُقَالُ يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ خُلُودٌ فَلاَ مَوْتَ وَيَا أَهْلَ النَّارِ خُلُودٌ فَلاَ مَوْتَ وَهَذِهِ هِيَ نِهَايَةُ الرِّحْلَةِ الْبَشَرِيَّةِ نَحْنُ الْآنَ أَيُّهَا الإِخْوَةُ فِي أَخْطَرِ مَرَاحِلِ الرِّحْلَةِ الْبَشَرِيَّةِ فِي مَرْحَلَةِ الْعَمَلِ فَمَنْ أَحْسَنَ فِي هَذِهِ المَرْحَلَةِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَتَزَوَّدَ بِزَادِ التَّقْوَى فَإِنَّهُ فِي حَيَاةِ الْخُلُودِ يَسْعَدُ السَّعَادَةَ الْأَبَدِيَّةَ وَمَنْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمْرُهُ فِي لَهْوٍ وَفِي غَفْلَةٍ وَلَمْ يَتَزَوَّدْ بِزَادِ التَّقْوَى فَإِنَّهُ يَبُوءُ بِالْحَسْرَةِ وَالنَّدَامَةِ فَنَحْنُ الْآنَ فِي مَرْحَلَةِ الْعَمَلِ وَيَعْقِبُهَا مَرْحَلَةُ الْجَزَاءِ وَالْحِسَابِ ثُمَّ تَكُونُ نِهَايَةُ الرِّحْلَةِ الْبَشَرِيَّةِ فَرِيقٌ فِي الْجَنَّةِ وَفَرِيقٌ فِي السَّعِيرِ ثُمَّ إِنَّ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُخْرِجُ بِرَحْمَتِهِ مَنْ كَانَ فِي النَّارِ مِمَّنْ مَاتَ عَلَى التَّوْحِيدِ وَمِنْ أَهْلِ الْكَبَائِرِ فَيُخْرَجُون بِرَحْمَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بَعْدَ تَهْذِيبِهِمْ وَتَنْقِيَتِهِمْ وَيَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِرَحْمَةِ أَرْحَمِ الرَّاحِمِيْنَ حَتَّى إِذَا خَرَجُوا وَلَمْ يَتَبَقَّ مِنْهُمْ أَحَدٌ جَاءُ بِالْمَوْتِ عَلَى صُورَةِ كَبْشٍ أَمْلَحَ ثُمَّ يُذْبَحُ فِي مَكَانٍ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَيُقَالُ يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ خُلُودٌ فَلاَ مَوتَ وَيَا أَهْلَ النَّارِ خُلُودٌ فَلاَ مَوتَ وَهَذِهِ هِيَ نِهَايَةُ الرِّحْلَةِ الْبَشَرِيَّةِ فَرِيقٌ فِي الْجَنَّةِ وَفَرِيقٌ فِي السَّعِيرِ فِي حَيَاةِ الْخُلُودِ فَرِيقٌ فِي الْجَنَّةِ يَتَنَعَّمُونَ فِيهَا النَّعِيْمَ الْعَظِيْمَ فِيهَا مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ لَا هَمَّ فِيهَا وَلَا نَصَبَ وَلَا تَعَبَ وَلَا غَمَّ وَلَا مَرَضَ وَلَا هَرَمَ وَلَا مَوْتَ نَعِيْمٌ دَائِمٌ فِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْيُنُ وَأَنْتُمْ فِيهَا خَالِدُوْنَ وَفَرِيقٌ فِي السَّعِيْرِ وَهُمْ أَهْلُ النَّارِ الَّذِيْنَ يُعَذَّبُوْنَ فِيهَا الْعَذَابَ الْعَظِيمَ الَّذِي يَصِفُهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَوْلِهِ نَارُكُمْ هَذِهِ الَّتِي تُوقِدُوْنَ أَيْ فِي الدُّنْيَا جُزْءٌ مِنْ سَبْعِيْنَ جُزْءًا مِنْ نَارِ جَهَنَّمَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهَا وَاحِدَةٌ لَكَافِيَةٌ قَالَ إِنَّهَا فُضِّلَتْ عَلَيْهَا تِسْعًا وَسِتِّيْنَ مَرَّةً فَيَنْبَغِي أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَنْ نَغْتَنِمَ مَا تَبَقَّى فِي أَعْمَارِنَا فِي التَّزَوُّدِ بِزَادِ التَّقْوَى وَفِي الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَفِي الِاسْتِعْدَادِ لِحَيَاةِ الْخُلُودِ

Jangan Abaikan Tahap Ini! Nasib Kekal Anda Ditentukan di Sini – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim dari Abu Said radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kematian akan dihadirkan pada hari kiamat, seakan-akan ia adalah domba hitam bercorak putih. Lalu diseru, ‘Hai para penghuni surga!’ Mereka lalu mendongakkan kepala dan melihat. Lantas mereka menjawab, ‘Ya.’ Lalu dikatakan kepada mereka, ‘Ini adalah kematian. Apakah kalian mengetahuinya?’ Mereka menjawab, ‘Ya’. Kemudian dikatakan juga, ‘Hai para penghuni neraka!’ Mereka pun mendongakkan kepala dan melihat. Lalu dikatakan kepada mereka, ‘Kalian mengetahui ini? Ini adalah kematian.’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Kemudian kematian itu disembelih di tempat antara surga dan neraka. Lalu dikatakan, ‘Hai para penghuni surga! Kehidupan kekal tanpa ada kematian lagi!’ ‘Hai para penghuni neraka! Kehidupan kekal tanpa ada kematian lagi!’” Inilah akhir perjalanan manusia. Saudara-saudara! Kita sekarang berada di tahap perjalanan hidup manusia yang paling penting. yaitu tahap untuk beramal. Barang siapa yang baik dalam menjalani tahap ini dan beramal saleh serta menyiapkan bekal ketakwaan, maka di kehidupan yang abadi, ia akan merasakan kebahagiaan yang abadi. Namun barang siapa yang umurnya lenyap dalam senda gurau dan kelalaian serta tidak menyiapkan bekal ketakwaan, maka ia akan kembali ke akhirat dengan kerugian dan penyesalan. Kita sekarang berada di tahap beramal. Setelahnya akan ada tahap pembalasan dan perhitungan. Lalu pada akhir perjalanan manusia, ada golongan yang di surga, ada pula yang di neraka. Kemudian Allah ‘Azza wa Jalla dengan rahmat-Nya, akan mengeluarkan penghuni neraka yang meninggal dunia di atas tauhid, juga para pelaku dosa besar. Mereka dikeluarkan dari neraka dengan rahmat Allah ‘Azza wa Jalla setelah pembersihan dan penyucian diri mereka di neraka. Lalu mereka masuk surga dengan rahmat Allah Yang Maha Pengasih. Hingga ketika mereka semua telah keluar dari neraka, dan tidak tersisa seorang pun. Kematian akan didatangkan dalam bentuk domba hitam bercorak putih. Lalu disembelih di tempat antara surga dan neraka. Dikatakanlah, “Hai para penghuni surga! Kehidupan kekal tanpa ada kematian, dan hai para penghuni neraka! Kehidupan kekal tanpa ada kematian!” Inilah akhir perjalanan manusia. Satu golongan di surga, dan satu golongan lain di neraka, dalam kehidupan yang abadi. Satu golongan di surga menikmati berbagai kenikmatan besar di dalamnya. Di dalamnya ada nikmat yang tidak pernah dilihat mata, didengar telinga, dan tidak pula terlintas dalam pikiran manusia. Di dalamnya tidak ada kegalauan, keletihan, kelelahan, kesedihan, rasa sakit, penuaan, dan tidak pula kematian. Hanya ada kenikmatan abadi. “…di dalam surga itu terdapat apa yang diingini oleh hati dan segala yang sedap (dipandang) mata. Dan kalian kekal di dalamnya.” (QS. az-Zukhruf: 71). Dan satu golongan lain di neraka, yakni para penghuni neraka Yang disiksa dengan azab yang pedih di dalamnya yang disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Api kalian yang kalian nyalakan di dunia ini hanyalah satu bagian dari 70 bagian dari panasnya neraka Jahanam.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah! Satu bagian saja sudah panas!” Lalu beliau bersabda, “Sungguh api neraka lebih panas dari api dunia 69 kali lipat.” Maka dari itu, wahai saudara-saudara! Hendaklah kita memanfaatkan sisa umur kita untuk menyiapkan diri dengan bekal ketakwaan, dan untuk beramal saleh, serta menyiapkan diri untuk kehidupan yang abadi. ==== جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُجَاءُ بِالْمَوْتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُ كَبْشٌ أَمْلَحُ ثُمَّ يُقَالُ يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ فَيَشْرَئِبُّونَ وَيَنْظُرُوْنَ فَيَقُولُوْنَ نَعَمْ فَيُقَالُ هَذَا الْمَوْتُ أَتَعْرِفُونَهُ؟ فَيَقُولُوْنَ نَعَمْ ثُمَّ يُقَالُ يَا أَهْلَ النَّارِ فَيَشْرَئِبُّونَ وَيَنْظُرُوْنَ وَيُقَالُ لَهُمْ أَتَعْرِفُونَ هَذَا؟ هَذَا الْمَوْتُ فَيَقُولُونَ نَعَمْ ثُمَّ يُذْبَحُ فِي مَكَانٍ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ ثُمَّ يُقَالُ يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ خُلُودٌ فَلاَ مَوْتَ وَيَا أَهْلَ النَّارِ خُلُودٌ فَلاَ مَوْتَ وَهَذِهِ هِيَ نِهَايَةُ الرِّحْلَةِ الْبَشَرِيَّةِ نَحْنُ الْآنَ أَيُّهَا الإِخْوَةُ فِي أَخْطَرِ مَرَاحِلِ الرِّحْلَةِ الْبَشَرِيَّةِ فِي مَرْحَلَةِ الْعَمَلِ فَمَنْ أَحْسَنَ فِي هَذِهِ المَرْحَلَةِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَتَزَوَّدَ بِزَادِ التَّقْوَى فَإِنَّهُ فِي حَيَاةِ الْخُلُودِ يَسْعَدُ السَّعَادَةَ الْأَبَدِيَّةَ وَمَنْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمْرُهُ فِي لَهْوٍ وَفِي غَفْلَةٍ وَلَمْ يَتَزَوَّدْ بِزَادِ التَّقْوَى فَإِنَّهُ يَبُوءُ بِالْحَسْرَةِ وَالنَّدَامَةِ فَنَحْنُ الْآنَ فِي مَرْحَلَةِ الْعَمَلِ وَيَعْقِبُهَا مَرْحَلَةُ الْجَزَاءِ وَالْحِسَابِ ثُمَّ تَكُونُ نِهَايَةُ الرِّحْلَةِ الْبَشَرِيَّةِ فَرِيقٌ فِي الْجَنَّةِ وَفَرِيقٌ فِي السَّعِيرِ ثُمَّ إِنَّ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُخْرِجُ بِرَحْمَتِهِ مَنْ كَانَ فِي النَّارِ مِمَّنْ مَاتَ عَلَى التَّوْحِيدِ وَمِنْ أَهْلِ الْكَبَائِرِ فَيُخْرَجُون بِرَحْمَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بَعْدَ تَهْذِيبِهِمْ وَتَنْقِيَتِهِمْ وَيَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِرَحْمَةِ أَرْحَمِ الرَّاحِمِيْنَ حَتَّى إِذَا خَرَجُوا وَلَمْ يَتَبَقَّ مِنْهُمْ أَحَدٌ جَاءُ بِالْمَوْتِ عَلَى صُورَةِ كَبْشٍ أَمْلَحَ ثُمَّ يُذْبَحُ فِي مَكَانٍ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَيُقَالُ يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ خُلُودٌ فَلاَ مَوتَ وَيَا أَهْلَ النَّارِ خُلُودٌ فَلاَ مَوتَ وَهَذِهِ هِيَ نِهَايَةُ الرِّحْلَةِ الْبَشَرِيَّةِ فَرِيقٌ فِي الْجَنَّةِ وَفَرِيقٌ فِي السَّعِيرِ فِي حَيَاةِ الْخُلُودِ فَرِيقٌ فِي الْجَنَّةِ يَتَنَعَّمُونَ فِيهَا النَّعِيْمَ الْعَظِيْمَ فِيهَا مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ لَا هَمَّ فِيهَا وَلَا نَصَبَ وَلَا تَعَبَ وَلَا غَمَّ وَلَا مَرَضَ وَلَا هَرَمَ وَلَا مَوْتَ نَعِيْمٌ دَائِمٌ فِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْيُنُ وَأَنْتُمْ فِيهَا خَالِدُوْنَ وَفَرِيقٌ فِي السَّعِيْرِ وَهُمْ أَهْلُ النَّارِ الَّذِيْنَ يُعَذَّبُوْنَ فِيهَا الْعَذَابَ الْعَظِيمَ الَّذِي يَصِفُهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَوْلِهِ نَارُكُمْ هَذِهِ الَّتِي تُوقِدُوْنَ أَيْ فِي الدُّنْيَا جُزْءٌ مِنْ سَبْعِيْنَ جُزْءًا مِنْ نَارِ جَهَنَّمَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهَا وَاحِدَةٌ لَكَافِيَةٌ قَالَ إِنَّهَا فُضِّلَتْ عَلَيْهَا تِسْعًا وَسِتِّيْنَ مَرَّةً فَيَنْبَغِي أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَنْ نَغْتَنِمَ مَا تَبَقَّى فِي أَعْمَارِنَا فِي التَّزَوُّدِ بِزَادِ التَّقْوَى وَفِي الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَفِي الِاسْتِعْدَادِ لِحَيَاةِ الْخُلُودِ
Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim dari Abu Said radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kematian akan dihadirkan pada hari kiamat, seakan-akan ia adalah domba hitam bercorak putih. Lalu diseru, ‘Hai para penghuni surga!’ Mereka lalu mendongakkan kepala dan melihat. Lantas mereka menjawab, ‘Ya.’ Lalu dikatakan kepada mereka, ‘Ini adalah kematian. Apakah kalian mengetahuinya?’ Mereka menjawab, ‘Ya’. Kemudian dikatakan juga, ‘Hai para penghuni neraka!’ Mereka pun mendongakkan kepala dan melihat. Lalu dikatakan kepada mereka, ‘Kalian mengetahui ini? Ini adalah kematian.’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Kemudian kematian itu disembelih di tempat antara surga dan neraka. Lalu dikatakan, ‘Hai para penghuni surga! Kehidupan kekal tanpa ada kematian lagi!’ ‘Hai para penghuni neraka! Kehidupan kekal tanpa ada kematian lagi!’” Inilah akhir perjalanan manusia. Saudara-saudara! Kita sekarang berada di tahap perjalanan hidup manusia yang paling penting. yaitu tahap untuk beramal. Barang siapa yang baik dalam menjalani tahap ini dan beramal saleh serta menyiapkan bekal ketakwaan, maka di kehidupan yang abadi, ia akan merasakan kebahagiaan yang abadi. Namun barang siapa yang umurnya lenyap dalam senda gurau dan kelalaian serta tidak menyiapkan bekal ketakwaan, maka ia akan kembali ke akhirat dengan kerugian dan penyesalan. Kita sekarang berada di tahap beramal. Setelahnya akan ada tahap pembalasan dan perhitungan. Lalu pada akhir perjalanan manusia, ada golongan yang di surga, ada pula yang di neraka. Kemudian Allah ‘Azza wa Jalla dengan rahmat-Nya, akan mengeluarkan penghuni neraka yang meninggal dunia di atas tauhid, juga para pelaku dosa besar. Mereka dikeluarkan dari neraka dengan rahmat Allah ‘Azza wa Jalla setelah pembersihan dan penyucian diri mereka di neraka. Lalu mereka masuk surga dengan rahmat Allah Yang Maha Pengasih. Hingga ketika mereka semua telah keluar dari neraka, dan tidak tersisa seorang pun. Kematian akan didatangkan dalam bentuk domba hitam bercorak putih. Lalu disembelih di tempat antara surga dan neraka. Dikatakanlah, “Hai para penghuni surga! Kehidupan kekal tanpa ada kematian, dan hai para penghuni neraka! Kehidupan kekal tanpa ada kematian!” Inilah akhir perjalanan manusia. Satu golongan di surga, dan satu golongan lain di neraka, dalam kehidupan yang abadi. Satu golongan di surga menikmati berbagai kenikmatan besar di dalamnya. Di dalamnya ada nikmat yang tidak pernah dilihat mata, didengar telinga, dan tidak pula terlintas dalam pikiran manusia. Di dalamnya tidak ada kegalauan, keletihan, kelelahan, kesedihan, rasa sakit, penuaan, dan tidak pula kematian. Hanya ada kenikmatan abadi. “…di dalam surga itu terdapat apa yang diingini oleh hati dan segala yang sedap (dipandang) mata. Dan kalian kekal di dalamnya.” (QS. az-Zukhruf: 71). Dan satu golongan lain di neraka, yakni para penghuni neraka Yang disiksa dengan azab yang pedih di dalamnya yang disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Api kalian yang kalian nyalakan di dunia ini hanyalah satu bagian dari 70 bagian dari panasnya neraka Jahanam.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah! Satu bagian saja sudah panas!” Lalu beliau bersabda, “Sungguh api neraka lebih panas dari api dunia 69 kali lipat.” Maka dari itu, wahai saudara-saudara! Hendaklah kita memanfaatkan sisa umur kita untuk menyiapkan diri dengan bekal ketakwaan, dan untuk beramal saleh, serta menyiapkan diri untuk kehidupan yang abadi. ==== جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُجَاءُ بِالْمَوْتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُ كَبْشٌ أَمْلَحُ ثُمَّ يُقَالُ يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ فَيَشْرَئِبُّونَ وَيَنْظُرُوْنَ فَيَقُولُوْنَ نَعَمْ فَيُقَالُ هَذَا الْمَوْتُ أَتَعْرِفُونَهُ؟ فَيَقُولُوْنَ نَعَمْ ثُمَّ يُقَالُ يَا أَهْلَ النَّارِ فَيَشْرَئِبُّونَ وَيَنْظُرُوْنَ وَيُقَالُ لَهُمْ أَتَعْرِفُونَ هَذَا؟ هَذَا الْمَوْتُ فَيَقُولُونَ نَعَمْ ثُمَّ يُذْبَحُ فِي مَكَانٍ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ ثُمَّ يُقَالُ يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ خُلُودٌ فَلاَ مَوْتَ وَيَا أَهْلَ النَّارِ خُلُودٌ فَلاَ مَوْتَ وَهَذِهِ هِيَ نِهَايَةُ الرِّحْلَةِ الْبَشَرِيَّةِ نَحْنُ الْآنَ أَيُّهَا الإِخْوَةُ فِي أَخْطَرِ مَرَاحِلِ الرِّحْلَةِ الْبَشَرِيَّةِ فِي مَرْحَلَةِ الْعَمَلِ فَمَنْ أَحْسَنَ فِي هَذِهِ المَرْحَلَةِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَتَزَوَّدَ بِزَادِ التَّقْوَى فَإِنَّهُ فِي حَيَاةِ الْخُلُودِ يَسْعَدُ السَّعَادَةَ الْأَبَدِيَّةَ وَمَنْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمْرُهُ فِي لَهْوٍ وَفِي غَفْلَةٍ وَلَمْ يَتَزَوَّدْ بِزَادِ التَّقْوَى فَإِنَّهُ يَبُوءُ بِالْحَسْرَةِ وَالنَّدَامَةِ فَنَحْنُ الْآنَ فِي مَرْحَلَةِ الْعَمَلِ وَيَعْقِبُهَا مَرْحَلَةُ الْجَزَاءِ وَالْحِسَابِ ثُمَّ تَكُونُ نِهَايَةُ الرِّحْلَةِ الْبَشَرِيَّةِ فَرِيقٌ فِي الْجَنَّةِ وَفَرِيقٌ فِي السَّعِيرِ ثُمَّ إِنَّ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُخْرِجُ بِرَحْمَتِهِ مَنْ كَانَ فِي النَّارِ مِمَّنْ مَاتَ عَلَى التَّوْحِيدِ وَمِنْ أَهْلِ الْكَبَائِرِ فَيُخْرَجُون بِرَحْمَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بَعْدَ تَهْذِيبِهِمْ وَتَنْقِيَتِهِمْ وَيَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِرَحْمَةِ أَرْحَمِ الرَّاحِمِيْنَ حَتَّى إِذَا خَرَجُوا وَلَمْ يَتَبَقَّ مِنْهُمْ أَحَدٌ جَاءُ بِالْمَوْتِ عَلَى صُورَةِ كَبْشٍ أَمْلَحَ ثُمَّ يُذْبَحُ فِي مَكَانٍ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَيُقَالُ يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ خُلُودٌ فَلاَ مَوتَ وَيَا أَهْلَ النَّارِ خُلُودٌ فَلاَ مَوتَ وَهَذِهِ هِيَ نِهَايَةُ الرِّحْلَةِ الْبَشَرِيَّةِ فَرِيقٌ فِي الْجَنَّةِ وَفَرِيقٌ فِي السَّعِيرِ فِي حَيَاةِ الْخُلُودِ فَرِيقٌ فِي الْجَنَّةِ يَتَنَعَّمُونَ فِيهَا النَّعِيْمَ الْعَظِيْمَ فِيهَا مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ لَا هَمَّ فِيهَا وَلَا نَصَبَ وَلَا تَعَبَ وَلَا غَمَّ وَلَا مَرَضَ وَلَا هَرَمَ وَلَا مَوْتَ نَعِيْمٌ دَائِمٌ فِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْيُنُ وَأَنْتُمْ فِيهَا خَالِدُوْنَ وَفَرِيقٌ فِي السَّعِيْرِ وَهُمْ أَهْلُ النَّارِ الَّذِيْنَ يُعَذَّبُوْنَ فِيهَا الْعَذَابَ الْعَظِيمَ الَّذِي يَصِفُهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَوْلِهِ نَارُكُمْ هَذِهِ الَّتِي تُوقِدُوْنَ أَيْ فِي الدُّنْيَا جُزْءٌ مِنْ سَبْعِيْنَ جُزْءًا مِنْ نَارِ جَهَنَّمَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهَا وَاحِدَةٌ لَكَافِيَةٌ قَالَ إِنَّهَا فُضِّلَتْ عَلَيْهَا تِسْعًا وَسِتِّيْنَ مَرَّةً فَيَنْبَغِي أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَنْ نَغْتَنِمَ مَا تَبَقَّى فِي أَعْمَارِنَا فِي التَّزَوُّدِ بِزَادِ التَّقْوَى وَفِي الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَفِي الِاسْتِعْدَادِ لِحَيَاةِ الْخُلُودِ


Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim dari Abu Said radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kematian akan dihadirkan pada hari kiamat, seakan-akan ia adalah domba hitam bercorak putih. Lalu diseru, ‘Hai para penghuni surga!’ Mereka lalu mendongakkan kepala dan melihat. Lantas mereka menjawab, ‘Ya.’ Lalu dikatakan kepada mereka, ‘Ini adalah kematian. Apakah kalian mengetahuinya?’ Mereka menjawab, ‘Ya’. Kemudian dikatakan juga, ‘Hai para penghuni neraka!’ Mereka pun mendongakkan kepala dan melihat. Lalu dikatakan kepada mereka, ‘Kalian mengetahui ini? Ini adalah kematian.’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Kemudian kematian itu disembelih di tempat antara surga dan neraka. Lalu dikatakan, ‘Hai para penghuni surga! Kehidupan kekal tanpa ada kematian lagi!’ ‘Hai para penghuni neraka! Kehidupan kekal tanpa ada kematian lagi!’” Inilah akhir perjalanan manusia. Saudara-saudara! Kita sekarang berada di tahap perjalanan hidup manusia yang paling penting. yaitu tahap untuk beramal. Barang siapa yang baik dalam menjalani tahap ini dan beramal saleh serta menyiapkan bekal ketakwaan, maka di kehidupan yang abadi, ia akan merasakan kebahagiaan yang abadi. Namun barang siapa yang umurnya lenyap dalam senda gurau dan kelalaian serta tidak menyiapkan bekal ketakwaan, maka ia akan kembali ke akhirat dengan kerugian dan penyesalan. Kita sekarang berada di tahap beramal. Setelahnya akan ada tahap pembalasan dan perhitungan. Lalu pada akhir perjalanan manusia, ada golongan yang di surga, ada pula yang di neraka. Kemudian Allah ‘Azza wa Jalla dengan rahmat-Nya, akan mengeluarkan penghuni neraka yang meninggal dunia di atas tauhid, juga para pelaku dosa besar. Mereka dikeluarkan dari neraka dengan rahmat Allah ‘Azza wa Jalla setelah pembersihan dan penyucian diri mereka di neraka. Lalu mereka masuk surga dengan rahmat Allah Yang Maha Pengasih. Hingga ketika mereka semua telah keluar dari neraka, dan tidak tersisa seorang pun. Kematian akan didatangkan dalam bentuk domba hitam bercorak putih. Lalu disembelih di tempat antara surga dan neraka. Dikatakanlah, “Hai para penghuni surga! Kehidupan kekal tanpa ada kematian, dan hai para penghuni neraka! Kehidupan kekal tanpa ada kematian!” Inilah akhir perjalanan manusia. Satu golongan di surga, dan satu golongan lain di neraka, dalam kehidupan yang abadi. Satu golongan di surga menikmati berbagai kenikmatan besar di dalamnya. Di dalamnya ada nikmat yang tidak pernah dilihat mata, didengar telinga, dan tidak pula terlintas dalam pikiran manusia. Di dalamnya tidak ada kegalauan, keletihan, kelelahan, kesedihan, rasa sakit, penuaan, dan tidak pula kematian. Hanya ada kenikmatan abadi. “…di dalam surga itu terdapat apa yang diingini oleh hati dan segala yang sedap (dipandang) mata. Dan kalian kekal di dalamnya.” (QS. az-Zukhruf: 71). Dan satu golongan lain di neraka, yakni para penghuni neraka Yang disiksa dengan azab yang pedih di dalamnya yang disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Api kalian yang kalian nyalakan di dunia ini hanyalah satu bagian dari 70 bagian dari panasnya neraka Jahanam.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah! Satu bagian saja sudah panas!” Lalu beliau bersabda, “Sungguh api neraka lebih panas dari api dunia 69 kali lipat.” Maka dari itu, wahai saudara-saudara! Hendaklah kita memanfaatkan sisa umur kita untuk menyiapkan diri dengan bekal ketakwaan, dan untuk beramal saleh, serta menyiapkan diri untuk kehidupan yang abadi. ==== جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُجَاءُ بِالْمَوْتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُ كَبْشٌ أَمْلَحُ ثُمَّ يُقَالُ يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ فَيَشْرَئِبُّونَ وَيَنْظُرُوْنَ فَيَقُولُوْنَ نَعَمْ فَيُقَالُ هَذَا الْمَوْتُ أَتَعْرِفُونَهُ؟ فَيَقُولُوْنَ نَعَمْ ثُمَّ يُقَالُ يَا أَهْلَ النَّارِ فَيَشْرَئِبُّونَ وَيَنْظُرُوْنَ وَيُقَالُ لَهُمْ أَتَعْرِفُونَ هَذَا؟ هَذَا الْمَوْتُ فَيَقُولُونَ نَعَمْ ثُمَّ يُذْبَحُ فِي مَكَانٍ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ ثُمَّ يُقَالُ يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ خُلُودٌ فَلاَ مَوْتَ وَيَا أَهْلَ النَّارِ خُلُودٌ فَلاَ مَوْتَ وَهَذِهِ هِيَ نِهَايَةُ الرِّحْلَةِ الْبَشَرِيَّةِ نَحْنُ الْآنَ أَيُّهَا الإِخْوَةُ فِي أَخْطَرِ مَرَاحِلِ الرِّحْلَةِ الْبَشَرِيَّةِ فِي مَرْحَلَةِ الْعَمَلِ فَمَنْ أَحْسَنَ فِي هَذِهِ المَرْحَلَةِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَتَزَوَّدَ بِزَادِ التَّقْوَى فَإِنَّهُ فِي حَيَاةِ الْخُلُودِ يَسْعَدُ السَّعَادَةَ الْأَبَدِيَّةَ وَمَنْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمْرُهُ فِي لَهْوٍ وَفِي غَفْلَةٍ وَلَمْ يَتَزَوَّدْ بِزَادِ التَّقْوَى فَإِنَّهُ يَبُوءُ بِالْحَسْرَةِ وَالنَّدَامَةِ فَنَحْنُ الْآنَ فِي مَرْحَلَةِ الْعَمَلِ وَيَعْقِبُهَا مَرْحَلَةُ الْجَزَاءِ وَالْحِسَابِ ثُمَّ تَكُونُ نِهَايَةُ الرِّحْلَةِ الْبَشَرِيَّةِ فَرِيقٌ فِي الْجَنَّةِ وَفَرِيقٌ فِي السَّعِيرِ ثُمَّ إِنَّ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُخْرِجُ بِرَحْمَتِهِ مَنْ كَانَ فِي النَّارِ مِمَّنْ مَاتَ عَلَى التَّوْحِيدِ وَمِنْ أَهْلِ الْكَبَائِرِ فَيُخْرَجُون بِرَحْمَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بَعْدَ تَهْذِيبِهِمْ وَتَنْقِيَتِهِمْ وَيَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِرَحْمَةِ أَرْحَمِ الرَّاحِمِيْنَ حَتَّى إِذَا خَرَجُوا وَلَمْ يَتَبَقَّ مِنْهُمْ أَحَدٌ جَاءُ بِالْمَوْتِ عَلَى صُورَةِ كَبْشٍ أَمْلَحَ ثُمَّ يُذْبَحُ فِي مَكَانٍ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَيُقَالُ يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ خُلُودٌ فَلاَ مَوتَ وَيَا أَهْلَ النَّارِ خُلُودٌ فَلاَ مَوتَ وَهَذِهِ هِيَ نِهَايَةُ الرِّحْلَةِ الْبَشَرِيَّةِ فَرِيقٌ فِي الْجَنَّةِ وَفَرِيقٌ فِي السَّعِيرِ فِي حَيَاةِ الْخُلُودِ فَرِيقٌ فِي الْجَنَّةِ يَتَنَعَّمُونَ فِيهَا النَّعِيْمَ الْعَظِيْمَ فِيهَا مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ لَا هَمَّ فِيهَا وَلَا نَصَبَ وَلَا تَعَبَ وَلَا غَمَّ وَلَا مَرَضَ وَلَا هَرَمَ وَلَا مَوْتَ نَعِيْمٌ دَائِمٌ فِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْيُنُ وَأَنْتُمْ فِيهَا خَالِدُوْنَ وَفَرِيقٌ فِي السَّعِيْرِ وَهُمْ أَهْلُ النَّارِ الَّذِيْنَ يُعَذَّبُوْنَ فِيهَا الْعَذَابَ الْعَظِيمَ الَّذِي يَصِفُهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَوْلِهِ نَارُكُمْ هَذِهِ الَّتِي تُوقِدُوْنَ أَيْ فِي الدُّنْيَا جُزْءٌ مِنْ سَبْعِيْنَ جُزْءًا مِنْ نَارِ جَهَنَّمَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهَا وَاحِدَةٌ لَكَافِيَةٌ قَالَ إِنَّهَا فُضِّلَتْ عَلَيْهَا تِسْعًا وَسِتِّيْنَ مَرَّةً فَيَنْبَغِي أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَنْ نَغْتَنِمَ مَا تَبَقَّى فِي أَعْمَارِنَا فِي التَّزَوُّدِ بِزَادِ التَّقْوَى وَفِي الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَفِي الِاسْتِعْدَادِ لِحَيَاةِ الْخُلُودِ

Solusi untuk Orang yang Shalatnya Masih Bolong-bolong – Syaikh Sa’ad asy-Syatstri #NasehatUlama

Syaikh kami, Saudari Maisun dari Sudan mengatakan, “Aku punya masalah dalam konsistensi dengan shalat. Sekali waktu aku mengerjakan shalat dan konsisten sebentar, tapi setelah itu aku kembali meninggalkan shalat, lalu kembali shalat lagi.” Ia ingin suatu penyemangat, nasihat, dan arahan dalam masalah ini. Ada empat hal yang kami sarankan untuknya agar ia konsisten melaksanakan shalat. [PERTAMA]Perbanyaklah berdoa kepada Allah Jalla wa ‘Ala agar memberinya pertolongan dalam menjalankan shalat tepat pada waktunya, karena Allah Tuhan seluruh hamba adalah Zat yang mengatur mereka. Dengan demikian, seorang insan hendaknya meminta kepada Tuhannya agar konsisten dalam menjalankan shalat. [KEDUA]Memilih teman yang baik, yang dapat membantunya dalam menjalankan shalat, baik ketika di rumah atau dalam perjalanan menuju suatu tempat, termasuk berbagai urusan lainnya. [KETIGA]Menggunakan alat-alat yang dapat mengingatkan waktu shalat. Seperti jam weker dan perangkat lainnya. [KEEMPAT]Di antara cara lainnya adalah memastikan dirinya berada di tempat yang dekat dengan suara panggilan azan. Jika seseorang tinggal di dekat masjid, ini akan membantunya dalam melaksanakan shalat, baik bagi laki-laki yang dapat pergi ke masjid untuk shalat berjamaah, atau bagi perempuan, karena jika mereka mendengar azan yang dapat mengusir setan, maka ini menjadi sebab bagi mereka untuk segera mengerjakan shalat. ==== الْأُخْتُ مَيْسُونُ مِنَ السُّودَانِ شَيْخَنَا تَقُولُ لَدَيَّ مُشْكِلَةٌ فِي الِالْتِزَامِ بِالصَّلَاةِ تَقُولُ أُصَلِّي فَتْرَةً وَأَلْتَزِمُ فَتْرَةً ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ أَتْرُكُ الصَّلَاةَ ثُمَّ أَعُودُ إِلَيْهَا تُرِيْدُ شَيْئًا يُحَفِّزُهَا وَنَصِيحَةً وَتَوْجِيْهًا فِي هَذَا الْمَقَامِ الَّذِي نُوصِيْهَا بِهِ أَرْبَعَةَ أُمُورٍ مِنْ أَجْلِ أَنْ تُحَافِظَ عَلَى الصَّلَاةِ فَأَوَّلُ ذَلِكَ أَنْ تُكْثِرَ مِنْ دُعَاءِ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا أَنْ يُعِيْنَهَا عَلَى أَدَاءِ الصَّلَوَاتِ فِي أَوْقَاتِهَا فَإِنَّ رَبَّ الْعِبَادِ هُوَ الْمُتَصَرِّفُ فِيهِمْ وَمِنْ ثَمَّ يَسْأَلُ الْإِنْسَانُ رَبَّهُ أَنْ يَكُونَ مُلَازِمًا لِلصَّلَوَاتِ وَالْأَمْرُ الثَّانِي اخْتِيَارُ الرُّفْقَةِ الصَّالِحَةِ الَّتِي تُعِينُ الْإِنْسَانَ عَلَى أَدَاءِ صَلَاتِهِ سَوَاءً فِي الْبَيْتِ أَوْ سَوَاءً فِي مَا يَذْهَبُ إِلَيْهِ الْإِنْسَانُ مِنْ مَشَاوِيْرَ وَنَحْوِهَا الْأَمْرُ الثَّالِثُ اتِّخَاذُ الْوَسَائِلِ الَّتِي تُنَبِّهُ الْإِنْسَانَ عَلَى وَقْتِ الصَّلَاةِ مِثْلُ السَّاعَاتِ المُنَبِّهَةِ وَنَحْوِهَا وَكَذَلِكَ مِنَ الْأَسْبَابِ قُرْبُ الْإِنْسَانِ مِنْ مَوَاطِنِ النِّدَاءِ لِلصَّلَاةِ فَكَوْنُهُ يَقْرُبُ مِنَ الْمَسْجِدِ هَذَا يُعِيْنُ الْإِنْسَانَ عَلَى أَدَاءِ الصَّلَوَاتِ سَوَاءً بِالرِّجَالِ فَيَذْهَبُونَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَيُصَلُّونَ أَوِ النِّسَاءِ فَإِنَّهُنَّ إِذَا سَمِعْنَ النِّدَاءَ وَالْأَذَانَ الَّذِي يَطْرُدُ الشَّيَاطِيْنَ كَانَ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ إِقْدَامِهِنَّ عَلَى الصَّلَاةِ

Solusi untuk Orang yang Shalatnya Masih Bolong-bolong – Syaikh Sa’ad asy-Syatstri #NasehatUlama

Syaikh kami, Saudari Maisun dari Sudan mengatakan, “Aku punya masalah dalam konsistensi dengan shalat. Sekali waktu aku mengerjakan shalat dan konsisten sebentar, tapi setelah itu aku kembali meninggalkan shalat, lalu kembali shalat lagi.” Ia ingin suatu penyemangat, nasihat, dan arahan dalam masalah ini. Ada empat hal yang kami sarankan untuknya agar ia konsisten melaksanakan shalat. [PERTAMA]Perbanyaklah berdoa kepada Allah Jalla wa ‘Ala agar memberinya pertolongan dalam menjalankan shalat tepat pada waktunya, karena Allah Tuhan seluruh hamba adalah Zat yang mengatur mereka. Dengan demikian, seorang insan hendaknya meminta kepada Tuhannya agar konsisten dalam menjalankan shalat. [KEDUA]Memilih teman yang baik, yang dapat membantunya dalam menjalankan shalat, baik ketika di rumah atau dalam perjalanan menuju suatu tempat, termasuk berbagai urusan lainnya. [KETIGA]Menggunakan alat-alat yang dapat mengingatkan waktu shalat. Seperti jam weker dan perangkat lainnya. [KEEMPAT]Di antara cara lainnya adalah memastikan dirinya berada di tempat yang dekat dengan suara panggilan azan. Jika seseorang tinggal di dekat masjid, ini akan membantunya dalam melaksanakan shalat, baik bagi laki-laki yang dapat pergi ke masjid untuk shalat berjamaah, atau bagi perempuan, karena jika mereka mendengar azan yang dapat mengusir setan, maka ini menjadi sebab bagi mereka untuk segera mengerjakan shalat. ==== الْأُخْتُ مَيْسُونُ مِنَ السُّودَانِ شَيْخَنَا تَقُولُ لَدَيَّ مُشْكِلَةٌ فِي الِالْتِزَامِ بِالصَّلَاةِ تَقُولُ أُصَلِّي فَتْرَةً وَأَلْتَزِمُ فَتْرَةً ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ أَتْرُكُ الصَّلَاةَ ثُمَّ أَعُودُ إِلَيْهَا تُرِيْدُ شَيْئًا يُحَفِّزُهَا وَنَصِيحَةً وَتَوْجِيْهًا فِي هَذَا الْمَقَامِ الَّذِي نُوصِيْهَا بِهِ أَرْبَعَةَ أُمُورٍ مِنْ أَجْلِ أَنْ تُحَافِظَ عَلَى الصَّلَاةِ فَأَوَّلُ ذَلِكَ أَنْ تُكْثِرَ مِنْ دُعَاءِ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا أَنْ يُعِيْنَهَا عَلَى أَدَاءِ الصَّلَوَاتِ فِي أَوْقَاتِهَا فَإِنَّ رَبَّ الْعِبَادِ هُوَ الْمُتَصَرِّفُ فِيهِمْ وَمِنْ ثَمَّ يَسْأَلُ الْإِنْسَانُ رَبَّهُ أَنْ يَكُونَ مُلَازِمًا لِلصَّلَوَاتِ وَالْأَمْرُ الثَّانِي اخْتِيَارُ الرُّفْقَةِ الصَّالِحَةِ الَّتِي تُعِينُ الْإِنْسَانَ عَلَى أَدَاءِ صَلَاتِهِ سَوَاءً فِي الْبَيْتِ أَوْ سَوَاءً فِي مَا يَذْهَبُ إِلَيْهِ الْإِنْسَانُ مِنْ مَشَاوِيْرَ وَنَحْوِهَا الْأَمْرُ الثَّالِثُ اتِّخَاذُ الْوَسَائِلِ الَّتِي تُنَبِّهُ الْإِنْسَانَ عَلَى وَقْتِ الصَّلَاةِ مِثْلُ السَّاعَاتِ المُنَبِّهَةِ وَنَحْوِهَا وَكَذَلِكَ مِنَ الْأَسْبَابِ قُرْبُ الْإِنْسَانِ مِنْ مَوَاطِنِ النِّدَاءِ لِلصَّلَاةِ فَكَوْنُهُ يَقْرُبُ مِنَ الْمَسْجِدِ هَذَا يُعِيْنُ الْإِنْسَانَ عَلَى أَدَاءِ الصَّلَوَاتِ سَوَاءً بِالرِّجَالِ فَيَذْهَبُونَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَيُصَلُّونَ أَوِ النِّسَاءِ فَإِنَّهُنَّ إِذَا سَمِعْنَ النِّدَاءَ وَالْأَذَانَ الَّذِي يَطْرُدُ الشَّيَاطِيْنَ كَانَ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ إِقْدَامِهِنَّ عَلَى الصَّلَاةِ
Syaikh kami, Saudari Maisun dari Sudan mengatakan, “Aku punya masalah dalam konsistensi dengan shalat. Sekali waktu aku mengerjakan shalat dan konsisten sebentar, tapi setelah itu aku kembali meninggalkan shalat, lalu kembali shalat lagi.” Ia ingin suatu penyemangat, nasihat, dan arahan dalam masalah ini. Ada empat hal yang kami sarankan untuknya agar ia konsisten melaksanakan shalat. [PERTAMA]Perbanyaklah berdoa kepada Allah Jalla wa ‘Ala agar memberinya pertolongan dalam menjalankan shalat tepat pada waktunya, karena Allah Tuhan seluruh hamba adalah Zat yang mengatur mereka. Dengan demikian, seorang insan hendaknya meminta kepada Tuhannya agar konsisten dalam menjalankan shalat. [KEDUA]Memilih teman yang baik, yang dapat membantunya dalam menjalankan shalat, baik ketika di rumah atau dalam perjalanan menuju suatu tempat, termasuk berbagai urusan lainnya. [KETIGA]Menggunakan alat-alat yang dapat mengingatkan waktu shalat. Seperti jam weker dan perangkat lainnya. [KEEMPAT]Di antara cara lainnya adalah memastikan dirinya berada di tempat yang dekat dengan suara panggilan azan. Jika seseorang tinggal di dekat masjid, ini akan membantunya dalam melaksanakan shalat, baik bagi laki-laki yang dapat pergi ke masjid untuk shalat berjamaah, atau bagi perempuan, karena jika mereka mendengar azan yang dapat mengusir setan, maka ini menjadi sebab bagi mereka untuk segera mengerjakan shalat. ==== الْأُخْتُ مَيْسُونُ مِنَ السُّودَانِ شَيْخَنَا تَقُولُ لَدَيَّ مُشْكِلَةٌ فِي الِالْتِزَامِ بِالصَّلَاةِ تَقُولُ أُصَلِّي فَتْرَةً وَأَلْتَزِمُ فَتْرَةً ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ أَتْرُكُ الصَّلَاةَ ثُمَّ أَعُودُ إِلَيْهَا تُرِيْدُ شَيْئًا يُحَفِّزُهَا وَنَصِيحَةً وَتَوْجِيْهًا فِي هَذَا الْمَقَامِ الَّذِي نُوصِيْهَا بِهِ أَرْبَعَةَ أُمُورٍ مِنْ أَجْلِ أَنْ تُحَافِظَ عَلَى الصَّلَاةِ فَأَوَّلُ ذَلِكَ أَنْ تُكْثِرَ مِنْ دُعَاءِ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا أَنْ يُعِيْنَهَا عَلَى أَدَاءِ الصَّلَوَاتِ فِي أَوْقَاتِهَا فَإِنَّ رَبَّ الْعِبَادِ هُوَ الْمُتَصَرِّفُ فِيهِمْ وَمِنْ ثَمَّ يَسْأَلُ الْإِنْسَانُ رَبَّهُ أَنْ يَكُونَ مُلَازِمًا لِلصَّلَوَاتِ وَالْأَمْرُ الثَّانِي اخْتِيَارُ الرُّفْقَةِ الصَّالِحَةِ الَّتِي تُعِينُ الْإِنْسَانَ عَلَى أَدَاءِ صَلَاتِهِ سَوَاءً فِي الْبَيْتِ أَوْ سَوَاءً فِي مَا يَذْهَبُ إِلَيْهِ الْإِنْسَانُ مِنْ مَشَاوِيْرَ وَنَحْوِهَا الْأَمْرُ الثَّالِثُ اتِّخَاذُ الْوَسَائِلِ الَّتِي تُنَبِّهُ الْإِنْسَانَ عَلَى وَقْتِ الصَّلَاةِ مِثْلُ السَّاعَاتِ المُنَبِّهَةِ وَنَحْوِهَا وَكَذَلِكَ مِنَ الْأَسْبَابِ قُرْبُ الْإِنْسَانِ مِنْ مَوَاطِنِ النِّدَاءِ لِلصَّلَاةِ فَكَوْنُهُ يَقْرُبُ مِنَ الْمَسْجِدِ هَذَا يُعِيْنُ الْإِنْسَانَ عَلَى أَدَاءِ الصَّلَوَاتِ سَوَاءً بِالرِّجَالِ فَيَذْهَبُونَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَيُصَلُّونَ أَوِ النِّسَاءِ فَإِنَّهُنَّ إِذَا سَمِعْنَ النِّدَاءَ وَالْأَذَانَ الَّذِي يَطْرُدُ الشَّيَاطِيْنَ كَانَ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ إِقْدَامِهِنَّ عَلَى الصَّلَاةِ


Syaikh kami, Saudari Maisun dari Sudan mengatakan, “Aku punya masalah dalam konsistensi dengan shalat. Sekali waktu aku mengerjakan shalat dan konsisten sebentar, tapi setelah itu aku kembali meninggalkan shalat, lalu kembali shalat lagi.” Ia ingin suatu penyemangat, nasihat, dan arahan dalam masalah ini. Ada empat hal yang kami sarankan untuknya agar ia konsisten melaksanakan shalat. [PERTAMA]Perbanyaklah berdoa kepada Allah Jalla wa ‘Ala agar memberinya pertolongan dalam menjalankan shalat tepat pada waktunya, karena Allah Tuhan seluruh hamba adalah Zat yang mengatur mereka. Dengan demikian, seorang insan hendaknya meminta kepada Tuhannya agar konsisten dalam menjalankan shalat. [KEDUA]Memilih teman yang baik, yang dapat membantunya dalam menjalankan shalat, baik ketika di rumah atau dalam perjalanan menuju suatu tempat, termasuk berbagai urusan lainnya. [KETIGA]Menggunakan alat-alat yang dapat mengingatkan waktu shalat. Seperti jam weker dan perangkat lainnya. [KEEMPAT]Di antara cara lainnya adalah memastikan dirinya berada di tempat yang dekat dengan suara panggilan azan. Jika seseorang tinggal di dekat masjid, ini akan membantunya dalam melaksanakan shalat, baik bagi laki-laki yang dapat pergi ke masjid untuk shalat berjamaah, atau bagi perempuan, karena jika mereka mendengar azan yang dapat mengusir setan, maka ini menjadi sebab bagi mereka untuk segera mengerjakan shalat. ==== الْأُخْتُ مَيْسُونُ مِنَ السُّودَانِ شَيْخَنَا تَقُولُ لَدَيَّ مُشْكِلَةٌ فِي الِالْتِزَامِ بِالصَّلَاةِ تَقُولُ أُصَلِّي فَتْرَةً وَأَلْتَزِمُ فَتْرَةً ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ أَتْرُكُ الصَّلَاةَ ثُمَّ أَعُودُ إِلَيْهَا تُرِيْدُ شَيْئًا يُحَفِّزُهَا وَنَصِيحَةً وَتَوْجِيْهًا فِي هَذَا الْمَقَامِ الَّذِي نُوصِيْهَا بِهِ أَرْبَعَةَ أُمُورٍ مِنْ أَجْلِ أَنْ تُحَافِظَ عَلَى الصَّلَاةِ فَأَوَّلُ ذَلِكَ أَنْ تُكْثِرَ مِنْ دُعَاءِ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا أَنْ يُعِيْنَهَا عَلَى أَدَاءِ الصَّلَوَاتِ فِي أَوْقَاتِهَا فَإِنَّ رَبَّ الْعِبَادِ هُوَ الْمُتَصَرِّفُ فِيهِمْ وَمِنْ ثَمَّ يَسْأَلُ الْإِنْسَانُ رَبَّهُ أَنْ يَكُونَ مُلَازِمًا لِلصَّلَوَاتِ وَالْأَمْرُ الثَّانِي اخْتِيَارُ الرُّفْقَةِ الصَّالِحَةِ الَّتِي تُعِينُ الْإِنْسَانَ عَلَى أَدَاءِ صَلَاتِهِ سَوَاءً فِي الْبَيْتِ أَوْ سَوَاءً فِي مَا يَذْهَبُ إِلَيْهِ الْإِنْسَانُ مِنْ مَشَاوِيْرَ وَنَحْوِهَا الْأَمْرُ الثَّالِثُ اتِّخَاذُ الْوَسَائِلِ الَّتِي تُنَبِّهُ الْإِنْسَانَ عَلَى وَقْتِ الصَّلَاةِ مِثْلُ السَّاعَاتِ المُنَبِّهَةِ وَنَحْوِهَا وَكَذَلِكَ مِنَ الْأَسْبَابِ قُرْبُ الْإِنْسَانِ مِنْ مَوَاطِنِ النِّدَاءِ لِلصَّلَاةِ فَكَوْنُهُ يَقْرُبُ مِنَ الْمَسْجِدِ هَذَا يُعِيْنُ الْإِنْسَانَ عَلَى أَدَاءِ الصَّلَوَاتِ سَوَاءً بِالرِّجَالِ فَيَذْهَبُونَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَيُصَلُّونَ أَوِ النِّسَاءِ فَإِنَّهُنَّ إِذَا سَمِعْنَ النِّدَاءَ وَالْأَذَانَ الَّذِي يَطْرُدُ الشَّيَاطِيْنَ كَانَ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ إِقْدَامِهِنَّ عَلَى الصَّلَاةِ

Apa Boleh Menjamak Shalat di Hari Pernikahan? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Apakah seorang wanita boleh menjamak shalat pada hari pernikahannya? Hendaklah wanita muslimah menjadikan shalat sebagai prioritas utamanya. Jangan menjadikan shalat sebagai perkara yang terpinggirkan. Jangan pula menjadikan riasan (makeup) di hari pernikahannya lebih penting daripada shalat. Tindakan ini mengesankan rendahnya perhatian terhadap ibadah shalat. Padahal shalat merupakan rukun Islam yang paling penting setelah dua kalimat syahadat dan merupakan tiang agama Islam. Oleh sebab itu, seorang wanita harus memberi perhatian besar pada shalat. Selain itu, jika ia punya perhatian besar pada shalat, melaksanakannya dan memohon taufik kepada Allah Ta’ala, maka diharapkan itu menjadi sebab taufik baginya dalam pernikahannya. Janganlah ia memulai kehidupan rumah tangganya dengan kemaksiatan. Masuknya waktu shalat adalah syarat yang paling ditekankan dalam ibadah shalat. Terkadang syarat-syarat, rukun-rukun, dan wajib-wajib shalat dapat gugur demi memenuhi syarat masuknya waktu shalat. Tidak boleh menjamak shalat tanpa uzur syar’i. Sekadar karena riasan pengantin wanita pada hari pernikahannya tidak dianggap sebagai uzur syar’i. Pada hari pernikahannya, sebelum dirias, ia bisa berwudhu dulu, lalu menjaga wudhunya agar tidak batal. Lalu setelah matahari tenggelam, ia dapat langsung melaksanakan Shalat Maghrib. Adapun Shalat Isya waktunya panjang. Waktu daruratnya berlangsung hingga sesaat sebelum terbitnya fajar, dan dia dapat melaksanakan Shalat Isya kapan pun di sepanjang waktu itu. Dengan kata lain, ia dapat melaksanakan Shalat Isya meskipun pada waktu daruratnya, Jika itu diperlukan pada keadaan tersebut. Namun, jika ia hendak menjamak shalat, maka itu tidak dianggap sebagai alasan yang membolehkannya menjamak. Riasan (makeup) pada hari pernikahan bukan pembenaran untuk menjamak shalat. ==== هَلْ يَجُوزُ لِلْمَرْأَةِ الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا؟ يَنْبَغِي لِلْمَرْأَةِ الْمُسْلِمَةِ أَنْ تَجْعَلَ الصَّلَاةَ أَوَّلَ اهْتِمَامَاتِهَا لَا تَجْعَلُ الصَّلَاةَ عَلَى الْهَامِشِ وَتَجْعَلُ زِينَتَهَا فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا مُقَدَّمَةً عَلَى الصَّلَاةِ هَذَا يُشْعِرُ بِقِلَّةِ الِاهْتِمَامِ بِهَذِهِ الْعِبَادَةِ الَّتِي هِيَ آكَدُ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ بَعْدَ الشَّهَادَتَيْنِ وَالَّتِي هِيَ عَمُودُ دِينِ الْإِسْلَامِ فَعَلَى الْمَرْأَةِ أَنْ تَهْتَمَّ بِهَذِهِ الْعِبَادَةِ وَأَيْضًا إِذَا اهْتَمَّتْ بِهَذِهِ الْعِبَادَةِ وَأَدَّتِ الصَّلَاةَ وَسَأَلَتِ اللَّهَ تَعَالَى التَّوْفِيقَ فَيُرْجَى أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ سَبَبًا لِتَوْفِيقِهَا فِي زَوَاجِهَا لَا تَبْتَدِئُ حَيَاتَهَا الزَّوْجِيَّةَ بِمَعْصِيَةٍ وَشَرْطُ الْوَقْتِ هُوَ آكَدُ شُرُوطِ الصَّلَاةِ وَقَدْ تَسْقُطُ كَثِيرٌ مِنَ الشُّرُوطِ وَالْأَرْكَانِ وَالْوَاجِبَاتِ مُرَاعَاةً لِشَرْطِ الْوَقْتِ وَلَا يَجُوزُ الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَمُجَرَّدُ زِينَةِ المَرْأَةِ فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا لَا يُعْتَبَرُ عُذْرًا عَلَى أَنَّهُ يُمْكِنُ فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا قَبْلَ وَضْعِ الزِّينَةِ أَنْ تَتَوَضَّأَ وَتَحْتَفِظَ بِطَهَارَتِهَا وَبَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ مُبَاشَرَةً تُصَلِّي صَلَاةَ الْمَغْرِبِ وَأَمَّا صَلَاةُ الْعِشَاءِ فَوَقْتُهَا وَاسِعٌ وَوَقْتُهَا الضَّرُورِيُّ يَمْتَدُّ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ وَيُمْكِنُ أَنْ تُصَلِّيَ فِي أَيِّ وَقْتٍ يَعْنِي يُمْكِنُ أَنَّنَا نَقُولُ إِنَّ الْآنَ تُصَلِّي حَتَّى فِي الْوَقْتِ الضَّرُورِيِّ إِذَا احْتَاجَتْ لِذَلِكَ فِي هَذِهِ الْحَالِ لَكِنْ أَنَّهَا تَجْمَعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فَهَذَا لَا يُعْتَبَرُ مُسَوِّغًا لَهَا لَيْسَ هَذَا بِمُسَوِّغٍ لِلْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ

Apa Boleh Menjamak Shalat di Hari Pernikahan? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Apakah seorang wanita boleh menjamak shalat pada hari pernikahannya? Hendaklah wanita muslimah menjadikan shalat sebagai prioritas utamanya. Jangan menjadikan shalat sebagai perkara yang terpinggirkan. Jangan pula menjadikan riasan (makeup) di hari pernikahannya lebih penting daripada shalat. Tindakan ini mengesankan rendahnya perhatian terhadap ibadah shalat. Padahal shalat merupakan rukun Islam yang paling penting setelah dua kalimat syahadat dan merupakan tiang agama Islam. Oleh sebab itu, seorang wanita harus memberi perhatian besar pada shalat. Selain itu, jika ia punya perhatian besar pada shalat, melaksanakannya dan memohon taufik kepada Allah Ta’ala, maka diharapkan itu menjadi sebab taufik baginya dalam pernikahannya. Janganlah ia memulai kehidupan rumah tangganya dengan kemaksiatan. Masuknya waktu shalat adalah syarat yang paling ditekankan dalam ibadah shalat. Terkadang syarat-syarat, rukun-rukun, dan wajib-wajib shalat dapat gugur demi memenuhi syarat masuknya waktu shalat. Tidak boleh menjamak shalat tanpa uzur syar’i. Sekadar karena riasan pengantin wanita pada hari pernikahannya tidak dianggap sebagai uzur syar’i. Pada hari pernikahannya, sebelum dirias, ia bisa berwudhu dulu, lalu menjaga wudhunya agar tidak batal. Lalu setelah matahari tenggelam, ia dapat langsung melaksanakan Shalat Maghrib. Adapun Shalat Isya waktunya panjang. Waktu daruratnya berlangsung hingga sesaat sebelum terbitnya fajar, dan dia dapat melaksanakan Shalat Isya kapan pun di sepanjang waktu itu. Dengan kata lain, ia dapat melaksanakan Shalat Isya meskipun pada waktu daruratnya, Jika itu diperlukan pada keadaan tersebut. Namun, jika ia hendak menjamak shalat, maka itu tidak dianggap sebagai alasan yang membolehkannya menjamak. Riasan (makeup) pada hari pernikahan bukan pembenaran untuk menjamak shalat. ==== هَلْ يَجُوزُ لِلْمَرْأَةِ الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا؟ يَنْبَغِي لِلْمَرْأَةِ الْمُسْلِمَةِ أَنْ تَجْعَلَ الصَّلَاةَ أَوَّلَ اهْتِمَامَاتِهَا لَا تَجْعَلُ الصَّلَاةَ عَلَى الْهَامِشِ وَتَجْعَلُ زِينَتَهَا فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا مُقَدَّمَةً عَلَى الصَّلَاةِ هَذَا يُشْعِرُ بِقِلَّةِ الِاهْتِمَامِ بِهَذِهِ الْعِبَادَةِ الَّتِي هِيَ آكَدُ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ بَعْدَ الشَّهَادَتَيْنِ وَالَّتِي هِيَ عَمُودُ دِينِ الْإِسْلَامِ فَعَلَى الْمَرْأَةِ أَنْ تَهْتَمَّ بِهَذِهِ الْعِبَادَةِ وَأَيْضًا إِذَا اهْتَمَّتْ بِهَذِهِ الْعِبَادَةِ وَأَدَّتِ الصَّلَاةَ وَسَأَلَتِ اللَّهَ تَعَالَى التَّوْفِيقَ فَيُرْجَى أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ سَبَبًا لِتَوْفِيقِهَا فِي زَوَاجِهَا لَا تَبْتَدِئُ حَيَاتَهَا الزَّوْجِيَّةَ بِمَعْصِيَةٍ وَشَرْطُ الْوَقْتِ هُوَ آكَدُ شُرُوطِ الصَّلَاةِ وَقَدْ تَسْقُطُ كَثِيرٌ مِنَ الشُّرُوطِ وَالْأَرْكَانِ وَالْوَاجِبَاتِ مُرَاعَاةً لِشَرْطِ الْوَقْتِ وَلَا يَجُوزُ الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَمُجَرَّدُ زِينَةِ المَرْأَةِ فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا لَا يُعْتَبَرُ عُذْرًا عَلَى أَنَّهُ يُمْكِنُ فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا قَبْلَ وَضْعِ الزِّينَةِ أَنْ تَتَوَضَّأَ وَتَحْتَفِظَ بِطَهَارَتِهَا وَبَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ مُبَاشَرَةً تُصَلِّي صَلَاةَ الْمَغْرِبِ وَأَمَّا صَلَاةُ الْعِشَاءِ فَوَقْتُهَا وَاسِعٌ وَوَقْتُهَا الضَّرُورِيُّ يَمْتَدُّ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ وَيُمْكِنُ أَنْ تُصَلِّيَ فِي أَيِّ وَقْتٍ يَعْنِي يُمْكِنُ أَنَّنَا نَقُولُ إِنَّ الْآنَ تُصَلِّي حَتَّى فِي الْوَقْتِ الضَّرُورِيِّ إِذَا احْتَاجَتْ لِذَلِكَ فِي هَذِهِ الْحَالِ لَكِنْ أَنَّهَا تَجْمَعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فَهَذَا لَا يُعْتَبَرُ مُسَوِّغًا لَهَا لَيْسَ هَذَا بِمُسَوِّغٍ لِلْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ
Apakah seorang wanita boleh menjamak shalat pada hari pernikahannya? Hendaklah wanita muslimah menjadikan shalat sebagai prioritas utamanya. Jangan menjadikan shalat sebagai perkara yang terpinggirkan. Jangan pula menjadikan riasan (makeup) di hari pernikahannya lebih penting daripada shalat. Tindakan ini mengesankan rendahnya perhatian terhadap ibadah shalat. Padahal shalat merupakan rukun Islam yang paling penting setelah dua kalimat syahadat dan merupakan tiang agama Islam. Oleh sebab itu, seorang wanita harus memberi perhatian besar pada shalat. Selain itu, jika ia punya perhatian besar pada shalat, melaksanakannya dan memohon taufik kepada Allah Ta’ala, maka diharapkan itu menjadi sebab taufik baginya dalam pernikahannya. Janganlah ia memulai kehidupan rumah tangganya dengan kemaksiatan. Masuknya waktu shalat adalah syarat yang paling ditekankan dalam ibadah shalat. Terkadang syarat-syarat, rukun-rukun, dan wajib-wajib shalat dapat gugur demi memenuhi syarat masuknya waktu shalat. Tidak boleh menjamak shalat tanpa uzur syar’i. Sekadar karena riasan pengantin wanita pada hari pernikahannya tidak dianggap sebagai uzur syar’i. Pada hari pernikahannya, sebelum dirias, ia bisa berwudhu dulu, lalu menjaga wudhunya agar tidak batal. Lalu setelah matahari tenggelam, ia dapat langsung melaksanakan Shalat Maghrib. Adapun Shalat Isya waktunya panjang. Waktu daruratnya berlangsung hingga sesaat sebelum terbitnya fajar, dan dia dapat melaksanakan Shalat Isya kapan pun di sepanjang waktu itu. Dengan kata lain, ia dapat melaksanakan Shalat Isya meskipun pada waktu daruratnya, Jika itu diperlukan pada keadaan tersebut. Namun, jika ia hendak menjamak shalat, maka itu tidak dianggap sebagai alasan yang membolehkannya menjamak. Riasan (makeup) pada hari pernikahan bukan pembenaran untuk menjamak shalat. ==== هَلْ يَجُوزُ لِلْمَرْأَةِ الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا؟ يَنْبَغِي لِلْمَرْأَةِ الْمُسْلِمَةِ أَنْ تَجْعَلَ الصَّلَاةَ أَوَّلَ اهْتِمَامَاتِهَا لَا تَجْعَلُ الصَّلَاةَ عَلَى الْهَامِشِ وَتَجْعَلُ زِينَتَهَا فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا مُقَدَّمَةً عَلَى الصَّلَاةِ هَذَا يُشْعِرُ بِقِلَّةِ الِاهْتِمَامِ بِهَذِهِ الْعِبَادَةِ الَّتِي هِيَ آكَدُ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ بَعْدَ الشَّهَادَتَيْنِ وَالَّتِي هِيَ عَمُودُ دِينِ الْإِسْلَامِ فَعَلَى الْمَرْأَةِ أَنْ تَهْتَمَّ بِهَذِهِ الْعِبَادَةِ وَأَيْضًا إِذَا اهْتَمَّتْ بِهَذِهِ الْعِبَادَةِ وَأَدَّتِ الصَّلَاةَ وَسَأَلَتِ اللَّهَ تَعَالَى التَّوْفِيقَ فَيُرْجَى أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ سَبَبًا لِتَوْفِيقِهَا فِي زَوَاجِهَا لَا تَبْتَدِئُ حَيَاتَهَا الزَّوْجِيَّةَ بِمَعْصِيَةٍ وَشَرْطُ الْوَقْتِ هُوَ آكَدُ شُرُوطِ الصَّلَاةِ وَقَدْ تَسْقُطُ كَثِيرٌ مِنَ الشُّرُوطِ وَالْأَرْكَانِ وَالْوَاجِبَاتِ مُرَاعَاةً لِشَرْطِ الْوَقْتِ وَلَا يَجُوزُ الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَمُجَرَّدُ زِينَةِ المَرْأَةِ فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا لَا يُعْتَبَرُ عُذْرًا عَلَى أَنَّهُ يُمْكِنُ فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا قَبْلَ وَضْعِ الزِّينَةِ أَنْ تَتَوَضَّأَ وَتَحْتَفِظَ بِطَهَارَتِهَا وَبَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ مُبَاشَرَةً تُصَلِّي صَلَاةَ الْمَغْرِبِ وَأَمَّا صَلَاةُ الْعِشَاءِ فَوَقْتُهَا وَاسِعٌ وَوَقْتُهَا الضَّرُورِيُّ يَمْتَدُّ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ وَيُمْكِنُ أَنْ تُصَلِّيَ فِي أَيِّ وَقْتٍ يَعْنِي يُمْكِنُ أَنَّنَا نَقُولُ إِنَّ الْآنَ تُصَلِّي حَتَّى فِي الْوَقْتِ الضَّرُورِيِّ إِذَا احْتَاجَتْ لِذَلِكَ فِي هَذِهِ الْحَالِ لَكِنْ أَنَّهَا تَجْمَعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فَهَذَا لَا يُعْتَبَرُ مُسَوِّغًا لَهَا لَيْسَ هَذَا بِمُسَوِّغٍ لِلْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ


Apakah seorang wanita boleh menjamak shalat pada hari pernikahannya? Hendaklah wanita muslimah menjadikan shalat sebagai prioritas utamanya. Jangan menjadikan shalat sebagai perkara yang terpinggirkan. Jangan pula menjadikan riasan (makeup) di hari pernikahannya lebih penting daripada shalat. Tindakan ini mengesankan rendahnya perhatian terhadap ibadah shalat. Padahal shalat merupakan rukun Islam yang paling penting setelah dua kalimat syahadat dan merupakan tiang agama Islam. Oleh sebab itu, seorang wanita harus memberi perhatian besar pada shalat. Selain itu, jika ia punya perhatian besar pada shalat, melaksanakannya dan memohon taufik kepada Allah Ta’ala, maka diharapkan itu menjadi sebab taufik baginya dalam pernikahannya. Janganlah ia memulai kehidupan rumah tangganya dengan kemaksiatan. Masuknya waktu shalat adalah syarat yang paling ditekankan dalam ibadah shalat. Terkadang syarat-syarat, rukun-rukun, dan wajib-wajib shalat dapat gugur demi memenuhi syarat masuknya waktu shalat. Tidak boleh menjamak shalat tanpa uzur syar’i. Sekadar karena riasan pengantin wanita pada hari pernikahannya tidak dianggap sebagai uzur syar’i. Pada hari pernikahannya, sebelum dirias, ia bisa berwudhu dulu, lalu menjaga wudhunya agar tidak batal. Lalu setelah matahari tenggelam, ia dapat langsung melaksanakan Shalat Maghrib. Adapun Shalat Isya waktunya panjang. Waktu daruratnya berlangsung hingga sesaat sebelum terbitnya fajar, dan dia dapat melaksanakan Shalat Isya kapan pun di sepanjang waktu itu. Dengan kata lain, ia dapat melaksanakan Shalat Isya meskipun pada waktu daruratnya, Jika itu diperlukan pada keadaan tersebut. Namun, jika ia hendak menjamak shalat, maka itu tidak dianggap sebagai alasan yang membolehkannya menjamak. Riasan (makeup) pada hari pernikahan bukan pembenaran untuk menjamak shalat. ==== هَلْ يَجُوزُ لِلْمَرْأَةِ الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا؟ يَنْبَغِي لِلْمَرْأَةِ الْمُسْلِمَةِ أَنْ تَجْعَلَ الصَّلَاةَ أَوَّلَ اهْتِمَامَاتِهَا لَا تَجْعَلُ الصَّلَاةَ عَلَى الْهَامِشِ وَتَجْعَلُ زِينَتَهَا فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا مُقَدَّمَةً عَلَى الصَّلَاةِ هَذَا يُشْعِرُ بِقِلَّةِ الِاهْتِمَامِ بِهَذِهِ الْعِبَادَةِ الَّتِي هِيَ آكَدُ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ بَعْدَ الشَّهَادَتَيْنِ وَالَّتِي هِيَ عَمُودُ دِينِ الْإِسْلَامِ فَعَلَى الْمَرْأَةِ أَنْ تَهْتَمَّ بِهَذِهِ الْعِبَادَةِ وَأَيْضًا إِذَا اهْتَمَّتْ بِهَذِهِ الْعِبَادَةِ وَأَدَّتِ الصَّلَاةَ وَسَأَلَتِ اللَّهَ تَعَالَى التَّوْفِيقَ فَيُرْجَى أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ سَبَبًا لِتَوْفِيقِهَا فِي زَوَاجِهَا لَا تَبْتَدِئُ حَيَاتَهَا الزَّوْجِيَّةَ بِمَعْصِيَةٍ وَشَرْطُ الْوَقْتِ هُوَ آكَدُ شُرُوطِ الصَّلَاةِ وَقَدْ تَسْقُطُ كَثِيرٌ مِنَ الشُّرُوطِ وَالْأَرْكَانِ وَالْوَاجِبَاتِ مُرَاعَاةً لِشَرْطِ الْوَقْتِ وَلَا يَجُوزُ الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَمُجَرَّدُ زِينَةِ المَرْأَةِ فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا لَا يُعْتَبَرُ عُذْرًا عَلَى أَنَّهُ يُمْكِنُ فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا قَبْلَ وَضْعِ الزِّينَةِ أَنْ تَتَوَضَّأَ وَتَحْتَفِظَ بِطَهَارَتِهَا وَبَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ مُبَاشَرَةً تُصَلِّي صَلَاةَ الْمَغْرِبِ وَأَمَّا صَلَاةُ الْعِشَاءِ فَوَقْتُهَا وَاسِعٌ وَوَقْتُهَا الضَّرُورِيُّ يَمْتَدُّ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ وَيُمْكِنُ أَنْ تُصَلِّيَ فِي أَيِّ وَقْتٍ يَعْنِي يُمْكِنُ أَنَّنَا نَقُولُ إِنَّ الْآنَ تُصَلِّي حَتَّى فِي الْوَقْتِ الضَّرُورِيِّ إِذَا احْتَاجَتْ لِذَلِكَ فِي هَذِهِ الْحَالِ لَكِنْ أَنَّهَا تَجْمَعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فَهَذَا لَا يُعْتَبَرُ مُسَوِّغًا لَهَا لَيْسَ هَذَا بِمُسَوِّغٍ لِلْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ

Hukum Jual Beli Organ Tubuh Manusia

Daftar Isi Toggle Bagian tubuh yang diambil dari manusia hidup adalah bangkaiStatus kenajisan bagian tubuh manusiaKaidah fikih dan pembatasannyaHukum jual beli organ tubuh manusiaHukum donor organ tubuh manusiaKesimpulan Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam, yang telah mengatur segala urusan makhluk-Nya dengan hikmah dan keadilan. Selawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan para sahabatnya yang mulia. Persoalan hukum jual beli organ tubuh manusia telah menjadi pembahasan yang penting di tengah perkembangan medis modern. Artikel ini akan membahas permasalahan ini dari sudut pandang syariat Islam dengan berlandaskan dalil-dalil yang kokoh, insyaAllah. Beberapa hal yang akan dibahas meliputi apakah bagian tubuh yang diambil dari manusia hidup dianggap bangkai, hukum jual beli organ tubuh manusia, dan hukum mendonorkan organ secara sukarela. Semoga pembahasan ini dapat memberikan pemahaman yang mendalam serta menjadi pedoman dalam menjawab persoalan ini sesuai dengan prinsip syariat. Bagian tubuh yang diambil dari manusia hidup adalah bangkai Dalam kaidah fikih disebutkan, ما أبين من حي فهو كميتته “Apa yang terpisah dari makhluk hidup dihukumi seperti bangkainya.” Kaidah ini menunjukkan bahwa bagian tubuh yang terpisah dari makhluk hidup dihukumi sebagaimana bangkai, baik dari segi kesucian maupun kenajisannya. Karena bangkai manusia dianggap najis, maka bagian tubuh yang terpisah dari manusia yang masih hidup juga dianggap najis. [1] Sebagai konsekuensinya, pemberian sesuatu yang najis tidak diperbolehkan dalam syariat, dan penggunaannya pun dilarang jika menyebabkan pelanggaran terhadap kewajiban syar’i, seperti sahnya salat. Oleh sebab itu, menurut pendapat ini, mendonorkan organ tubuh manusia hidup tidak diperbolehkan karena dianggap termasuk dalam memberikan barang najis. Namun, pendapat tersebut telah dibantah oleh ulama yang lainnya. Di antara bantahannya adalah: Status kenajisan bagian tubuh manusia Pendapat bahwa bagian tubuh manusia yang terpisah adalah najis tidak disepakati oleh para ulama. Sebagian ulama menyatakan bahwa manusia, baik dalam keadaan hidup maupun mati, adalah suci, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, المؤمنُ لا يَنجسُ “Seorang mukmin itu tidak najis.” (HR. Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371) Maka, bagian tubuh manusia yang terpisah pun dianggap suci seperti keseluruhan tubuhnya. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah, ketika menjelaskan kaidah tersebut, beliau mengatakan, وقوله: «كميتته»، يعني: طهارة، ونجاسة، حِلًّا، وحُرمة، فما أُبينَ من الآدمي فهو طاهر، حرام لحرمته لا لنجاسته “Maksud ucapan ‘seperti bangkainya’ yakni dalam hal kesucian, kenajisan, kebolehan, dan keharaman. Maka, apa yang terpisah dari tubuh manusia adalah suci, tetapi haram karena kehormatan manusia, bukan karena najisnya.” [2] Kaidah fikih dan pembatasannya Kaidah fikih “ما أبين من حي فهو كميتته“ berasal dari hadis yang berkaitan dengan hewan. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadis, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, sementara mereka memotong punuk unta dan memotong ekor-ekor domba. Maka, beliau bersabda, ما قُطِعَ منَ البَهيمةِ وَهيَ حيَّةٌ فَهوَ ميتَةٌ “Apa yang dipotong dari hewan dalam keadaan hidup, maka ia adalah bangkai.” (HR. Tirmidzi, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Tirmidzi no. 1480) Hadis ini berkaitan dengan hewan dan tidak mencakup manusia. Oleh karena itu, menerapkan kaidah ini pada manusia adalah bentuk perluasan yang tidak tepat. [3] Baca juga: Jual Beli Dengan Sistem Dropship Hukum jual beli organ tubuh manusia Hukum jual beli organ tubuh manusia adalah haram. Di antara dalil dari hukum tersebut adalah Dalil pertama: Firman Allah Ta’ala, وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam.” (QS. Al-Isra: 70) Syariat telah menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala dan diberi keistimewaan atas banyak makhluk lainnya. Oleh karena itu, manusia adalah makhluk yang dimuliakan, bukan untuk direndahkan. Jual beli bagian tubuhnya mengandung unsur penghinaan dan pelecehan. Ibnu Abidin rahimahullah berkata, وَالْآدَمِيُّ مُكَرَّمٌ شَرْعًا وَإِنْ كَانَ كَافِرًا ‌فَإِيرَادُ ‌الْعَقْدِ عَلَيْهِ وَابْتِذَالُهُ بِهِ وَإِلْحَاقُهُ بِالْجَمَادَاتِ إذْلَالٌ لَهُ “Manusia secara syar’i dimuliakan, meskipun ia kafir. Maka, mengadakan akad jual beli terhadap dirinya, menjadikannya seperti benda mati adalah penghinaan baginya.” [4] Dalil kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, قالَ اللَّهُ: ثَلاثَةٌ أنا خَصْمُهُمْ يَومَ القِيامَةِ: رَجُلٌ أعْطَى بي ثُمَّ غَدَرَ، ورَجُلٌ باعَ حُرًّا فأكَلَ ثَمَنَهُ، ورَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أجِيرًا فاسْتَوْفَى منه ولم يُعطِه أجرَه. “Allah berfirman, ‘Ada tiga orang yang menjadi musuh-Ku pada hari kiamat: (1) seseorang yang berjanji atas nama-Ku, lalu ia mengingkarinya; (2) seseorang yang menjual orang merdeka dan memakan harganya; (3) serta seseorang yang menyewa pekerja, lalu ia memanfaatkan tenaganya tetapi tidak membayarnya.” (HR. Bukhari no. 2227) Jika diketahui bahwa syariat mengharamkan penjualan manusia merdeka secara keseluruhan, maka dengan sendirinya penjualan bagian tubuhnya juga haram. Selanjutnya, jika menjual tubuh orang lain, baik seluruhnya maupun sebagian, diharamkan, maka menjual bagian tubuh diri sendiri juga diharamkan. Tidak ada ulama yang berpendapat berbeda dalam hal ini. Dalil ketiga: Suatu benda tidak dianggap sebagai barang bernilai menurut adat atau syariat, kecuali jika ia memiliki nilai di pasar. Hal ini tidak berlaku untuk tubuh manusia. Menganggap tubuh manusia sebagai harta bertentangan dengan akal sehat, karena hal itu mengharuskan tubuh dianggap sebagai sesuatu yang terpisah dari diri manusia. Padahal, tubuh manusia adalah bagian dari dirinya. Selama tubuh manusia tidak dianggap sebagai harta, maka tidak boleh diperjualbelikan. Dalil keempat: Para ulama berkata, “Tubuh manusia bukanlah miliknya, sehingga ia tidak boleh menjualnya. Sebab, seseorang tidak boleh menjual sesuatu yang bukan miliknya.” [5] Hukum donor organ tubuh manusia Diperbolehkan donor (suka rela) organ tubuh untuk tujuan pengobatan melalui transplantasi. Mayoritas peneliti mendukung pendapat ini, dan pandangan ini juga diadopsi oleh banyak lembaga dan forum fikih. Di antara dalil atas pendapat ini adalah: Dalil pertama: Mereka berpendapat bahwa mengorbankan sebagian hak demi menyelamatkan orang yang berada dalam keadaan darurat adalah tindakan yang dianjurkan secara syariat, selama berada dalam batas-batas yang diizinkan oleh syariat. Tindakan ini termasuk dalam bentuk kebajikan sebagaimana disebutkan Allah Ta’ala, وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 2) Hal ini juga termasuk bentuk itsar (mengutamakan orang lain) yang dipuji Allah dalam firman-Nya, وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ “Dan mereka mengutamakan (orang lain) atas dirinya sendiri, sekalipun mereka juga memerlukan.” (QS. Al-Hasyr: 9) Jika donor organ manusia dapat menyelamatkan orang dari kematian atau bahaya besar, maka tindakan tersebut masuk dalam kategori ta’awun ‘ala al-birr (tolong-menolong dalam kebajikan) dan itsar yang berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri untuk kepentingan orang lain. Dalil kedua: Donor organ dianalogikan dengan jihad fii sabilillah dengan jiwa dan upaya penyelamatan korban tenggelam, kebakaran, atau runtuhan, meskipun tindakan tersebut dapat menyebabkan bahaya bagi pelaku penyelamatan. Hal ini termasuk dalam kategori menyelamatkan jiwa, sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا “Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia.” (QS. Al-Ma’idah: 32). Dalil ketiga: Dalam syariat, kerugian ringan dapat ditoleransi untuk mencegah kerugian yang lebih besar. Oleh karena itu, donor organ yang membawa risiko kecil bagi pendonor dapat dibenarkan demi menyelamatkan orang lain dari risiko besar, asalkan sesuai dengan batasan syariat. [6] Kesimpulan Islam memuliakan tubuh manusia sehingga jual beli organ tubuh dilarang karena bertentangan dengan kehormatan tersebut. Namun, donor organ tubuh diperbolehkan selama bertujuan menyelamatkan jiwa, tidak membahayakan pendonor, dan sesuai batasan syariat. Hal ini mencerminkan nilai kemanusiaan, kerja sama dalam kebaikan, dan semangat pengorbanan yang dianjurkan dalam Islam. Wallahu A’lam. Baca juga: Hukum Jual Beli Emas Secara Online *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumadilawal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Qorrah Daghi, Aref Ali Aref. Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya (Jurisprudential Issues Pertaining to Organ Transplant). Cetakan Pertama. Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah dan IIUM Press, 2012.   Catatan kaki: [1] Lihat Al-Mausu‘ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 39: 421-422. [2] Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, 1: 97. [3] Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya, hal. 17-19. [4] Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘ala Ad-Durr Al-Mukhtar, 5: 58. [5] Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya, hal. 57-59. Catatan tambahan: Dibolehkan bagi orang yang sangat terpaksa untuk membayar harga (yaitu membeli) organ, namun hukum asal jual belinya tetap haram. [6] Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya, hal. 20-23.

Hukum Jual Beli Organ Tubuh Manusia

Daftar Isi Toggle Bagian tubuh yang diambil dari manusia hidup adalah bangkaiStatus kenajisan bagian tubuh manusiaKaidah fikih dan pembatasannyaHukum jual beli organ tubuh manusiaHukum donor organ tubuh manusiaKesimpulan Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam, yang telah mengatur segala urusan makhluk-Nya dengan hikmah dan keadilan. Selawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan para sahabatnya yang mulia. Persoalan hukum jual beli organ tubuh manusia telah menjadi pembahasan yang penting di tengah perkembangan medis modern. Artikel ini akan membahas permasalahan ini dari sudut pandang syariat Islam dengan berlandaskan dalil-dalil yang kokoh, insyaAllah. Beberapa hal yang akan dibahas meliputi apakah bagian tubuh yang diambil dari manusia hidup dianggap bangkai, hukum jual beli organ tubuh manusia, dan hukum mendonorkan organ secara sukarela. Semoga pembahasan ini dapat memberikan pemahaman yang mendalam serta menjadi pedoman dalam menjawab persoalan ini sesuai dengan prinsip syariat. Bagian tubuh yang diambil dari manusia hidup adalah bangkai Dalam kaidah fikih disebutkan, ما أبين من حي فهو كميتته “Apa yang terpisah dari makhluk hidup dihukumi seperti bangkainya.” Kaidah ini menunjukkan bahwa bagian tubuh yang terpisah dari makhluk hidup dihukumi sebagaimana bangkai, baik dari segi kesucian maupun kenajisannya. Karena bangkai manusia dianggap najis, maka bagian tubuh yang terpisah dari manusia yang masih hidup juga dianggap najis. [1] Sebagai konsekuensinya, pemberian sesuatu yang najis tidak diperbolehkan dalam syariat, dan penggunaannya pun dilarang jika menyebabkan pelanggaran terhadap kewajiban syar’i, seperti sahnya salat. Oleh sebab itu, menurut pendapat ini, mendonorkan organ tubuh manusia hidup tidak diperbolehkan karena dianggap termasuk dalam memberikan barang najis. Namun, pendapat tersebut telah dibantah oleh ulama yang lainnya. Di antara bantahannya adalah: Status kenajisan bagian tubuh manusia Pendapat bahwa bagian tubuh manusia yang terpisah adalah najis tidak disepakati oleh para ulama. Sebagian ulama menyatakan bahwa manusia, baik dalam keadaan hidup maupun mati, adalah suci, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, المؤمنُ لا يَنجسُ “Seorang mukmin itu tidak najis.” (HR. Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371) Maka, bagian tubuh manusia yang terpisah pun dianggap suci seperti keseluruhan tubuhnya. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah, ketika menjelaskan kaidah tersebut, beliau mengatakan, وقوله: «كميتته»، يعني: طهارة، ونجاسة، حِلًّا، وحُرمة، فما أُبينَ من الآدمي فهو طاهر، حرام لحرمته لا لنجاسته “Maksud ucapan ‘seperti bangkainya’ yakni dalam hal kesucian, kenajisan, kebolehan, dan keharaman. Maka, apa yang terpisah dari tubuh manusia adalah suci, tetapi haram karena kehormatan manusia, bukan karena najisnya.” [2] Kaidah fikih dan pembatasannya Kaidah fikih “ما أبين من حي فهو كميتته“ berasal dari hadis yang berkaitan dengan hewan. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadis, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, sementara mereka memotong punuk unta dan memotong ekor-ekor domba. Maka, beliau bersabda, ما قُطِعَ منَ البَهيمةِ وَهيَ حيَّةٌ فَهوَ ميتَةٌ “Apa yang dipotong dari hewan dalam keadaan hidup, maka ia adalah bangkai.” (HR. Tirmidzi, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Tirmidzi no. 1480) Hadis ini berkaitan dengan hewan dan tidak mencakup manusia. Oleh karena itu, menerapkan kaidah ini pada manusia adalah bentuk perluasan yang tidak tepat. [3] Baca juga: Jual Beli Dengan Sistem Dropship Hukum jual beli organ tubuh manusia Hukum jual beli organ tubuh manusia adalah haram. Di antara dalil dari hukum tersebut adalah Dalil pertama: Firman Allah Ta’ala, وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam.” (QS. Al-Isra: 70) Syariat telah menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala dan diberi keistimewaan atas banyak makhluk lainnya. Oleh karena itu, manusia adalah makhluk yang dimuliakan, bukan untuk direndahkan. Jual beli bagian tubuhnya mengandung unsur penghinaan dan pelecehan. Ibnu Abidin rahimahullah berkata, وَالْآدَمِيُّ مُكَرَّمٌ شَرْعًا وَإِنْ كَانَ كَافِرًا ‌فَإِيرَادُ ‌الْعَقْدِ عَلَيْهِ وَابْتِذَالُهُ بِهِ وَإِلْحَاقُهُ بِالْجَمَادَاتِ إذْلَالٌ لَهُ “Manusia secara syar’i dimuliakan, meskipun ia kafir. Maka, mengadakan akad jual beli terhadap dirinya, menjadikannya seperti benda mati adalah penghinaan baginya.” [4] Dalil kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, قالَ اللَّهُ: ثَلاثَةٌ أنا خَصْمُهُمْ يَومَ القِيامَةِ: رَجُلٌ أعْطَى بي ثُمَّ غَدَرَ، ورَجُلٌ باعَ حُرًّا فأكَلَ ثَمَنَهُ، ورَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أجِيرًا فاسْتَوْفَى منه ولم يُعطِه أجرَه. “Allah berfirman, ‘Ada tiga orang yang menjadi musuh-Ku pada hari kiamat: (1) seseorang yang berjanji atas nama-Ku, lalu ia mengingkarinya; (2) seseorang yang menjual orang merdeka dan memakan harganya; (3) serta seseorang yang menyewa pekerja, lalu ia memanfaatkan tenaganya tetapi tidak membayarnya.” (HR. Bukhari no. 2227) Jika diketahui bahwa syariat mengharamkan penjualan manusia merdeka secara keseluruhan, maka dengan sendirinya penjualan bagian tubuhnya juga haram. Selanjutnya, jika menjual tubuh orang lain, baik seluruhnya maupun sebagian, diharamkan, maka menjual bagian tubuh diri sendiri juga diharamkan. Tidak ada ulama yang berpendapat berbeda dalam hal ini. Dalil ketiga: Suatu benda tidak dianggap sebagai barang bernilai menurut adat atau syariat, kecuali jika ia memiliki nilai di pasar. Hal ini tidak berlaku untuk tubuh manusia. Menganggap tubuh manusia sebagai harta bertentangan dengan akal sehat, karena hal itu mengharuskan tubuh dianggap sebagai sesuatu yang terpisah dari diri manusia. Padahal, tubuh manusia adalah bagian dari dirinya. Selama tubuh manusia tidak dianggap sebagai harta, maka tidak boleh diperjualbelikan. Dalil keempat: Para ulama berkata, “Tubuh manusia bukanlah miliknya, sehingga ia tidak boleh menjualnya. Sebab, seseorang tidak boleh menjual sesuatu yang bukan miliknya.” [5] Hukum donor organ tubuh manusia Diperbolehkan donor (suka rela) organ tubuh untuk tujuan pengobatan melalui transplantasi. Mayoritas peneliti mendukung pendapat ini, dan pandangan ini juga diadopsi oleh banyak lembaga dan forum fikih. Di antara dalil atas pendapat ini adalah: Dalil pertama: Mereka berpendapat bahwa mengorbankan sebagian hak demi menyelamatkan orang yang berada dalam keadaan darurat adalah tindakan yang dianjurkan secara syariat, selama berada dalam batas-batas yang diizinkan oleh syariat. Tindakan ini termasuk dalam bentuk kebajikan sebagaimana disebutkan Allah Ta’ala, وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 2) Hal ini juga termasuk bentuk itsar (mengutamakan orang lain) yang dipuji Allah dalam firman-Nya, وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ “Dan mereka mengutamakan (orang lain) atas dirinya sendiri, sekalipun mereka juga memerlukan.” (QS. Al-Hasyr: 9) Jika donor organ manusia dapat menyelamatkan orang dari kematian atau bahaya besar, maka tindakan tersebut masuk dalam kategori ta’awun ‘ala al-birr (tolong-menolong dalam kebajikan) dan itsar yang berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri untuk kepentingan orang lain. Dalil kedua: Donor organ dianalogikan dengan jihad fii sabilillah dengan jiwa dan upaya penyelamatan korban tenggelam, kebakaran, atau runtuhan, meskipun tindakan tersebut dapat menyebabkan bahaya bagi pelaku penyelamatan. Hal ini termasuk dalam kategori menyelamatkan jiwa, sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا “Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia.” (QS. Al-Ma’idah: 32). Dalil ketiga: Dalam syariat, kerugian ringan dapat ditoleransi untuk mencegah kerugian yang lebih besar. Oleh karena itu, donor organ yang membawa risiko kecil bagi pendonor dapat dibenarkan demi menyelamatkan orang lain dari risiko besar, asalkan sesuai dengan batasan syariat. [6] Kesimpulan Islam memuliakan tubuh manusia sehingga jual beli organ tubuh dilarang karena bertentangan dengan kehormatan tersebut. Namun, donor organ tubuh diperbolehkan selama bertujuan menyelamatkan jiwa, tidak membahayakan pendonor, dan sesuai batasan syariat. Hal ini mencerminkan nilai kemanusiaan, kerja sama dalam kebaikan, dan semangat pengorbanan yang dianjurkan dalam Islam. Wallahu A’lam. Baca juga: Hukum Jual Beli Emas Secara Online *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumadilawal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Qorrah Daghi, Aref Ali Aref. Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya (Jurisprudential Issues Pertaining to Organ Transplant). Cetakan Pertama. Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah dan IIUM Press, 2012.   Catatan kaki: [1] Lihat Al-Mausu‘ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 39: 421-422. [2] Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, 1: 97. [3] Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya, hal. 17-19. [4] Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘ala Ad-Durr Al-Mukhtar, 5: 58. [5] Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya, hal. 57-59. Catatan tambahan: Dibolehkan bagi orang yang sangat terpaksa untuk membayar harga (yaitu membeli) organ, namun hukum asal jual belinya tetap haram. [6] Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya, hal. 20-23.
Daftar Isi Toggle Bagian tubuh yang diambil dari manusia hidup adalah bangkaiStatus kenajisan bagian tubuh manusiaKaidah fikih dan pembatasannyaHukum jual beli organ tubuh manusiaHukum donor organ tubuh manusiaKesimpulan Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam, yang telah mengatur segala urusan makhluk-Nya dengan hikmah dan keadilan. Selawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan para sahabatnya yang mulia. Persoalan hukum jual beli organ tubuh manusia telah menjadi pembahasan yang penting di tengah perkembangan medis modern. Artikel ini akan membahas permasalahan ini dari sudut pandang syariat Islam dengan berlandaskan dalil-dalil yang kokoh, insyaAllah. Beberapa hal yang akan dibahas meliputi apakah bagian tubuh yang diambil dari manusia hidup dianggap bangkai, hukum jual beli organ tubuh manusia, dan hukum mendonorkan organ secara sukarela. Semoga pembahasan ini dapat memberikan pemahaman yang mendalam serta menjadi pedoman dalam menjawab persoalan ini sesuai dengan prinsip syariat. Bagian tubuh yang diambil dari manusia hidup adalah bangkai Dalam kaidah fikih disebutkan, ما أبين من حي فهو كميتته “Apa yang terpisah dari makhluk hidup dihukumi seperti bangkainya.” Kaidah ini menunjukkan bahwa bagian tubuh yang terpisah dari makhluk hidup dihukumi sebagaimana bangkai, baik dari segi kesucian maupun kenajisannya. Karena bangkai manusia dianggap najis, maka bagian tubuh yang terpisah dari manusia yang masih hidup juga dianggap najis. [1] Sebagai konsekuensinya, pemberian sesuatu yang najis tidak diperbolehkan dalam syariat, dan penggunaannya pun dilarang jika menyebabkan pelanggaran terhadap kewajiban syar’i, seperti sahnya salat. Oleh sebab itu, menurut pendapat ini, mendonorkan organ tubuh manusia hidup tidak diperbolehkan karena dianggap termasuk dalam memberikan barang najis. Namun, pendapat tersebut telah dibantah oleh ulama yang lainnya. Di antara bantahannya adalah: Status kenajisan bagian tubuh manusia Pendapat bahwa bagian tubuh manusia yang terpisah adalah najis tidak disepakati oleh para ulama. Sebagian ulama menyatakan bahwa manusia, baik dalam keadaan hidup maupun mati, adalah suci, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, المؤمنُ لا يَنجسُ “Seorang mukmin itu tidak najis.” (HR. Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371) Maka, bagian tubuh manusia yang terpisah pun dianggap suci seperti keseluruhan tubuhnya. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah, ketika menjelaskan kaidah tersebut, beliau mengatakan, وقوله: «كميتته»، يعني: طهارة، ونجاسة، حِلًّا، وحُرمة، فما أُبينَ من الآدمي فهو طاهر، حرام لحرمته لا لنجاسته “Maksud ucapan ‘seperti bangkainya’ yakni dalam hal kesucian, kenajisan, kebolehan, dan keharaman. Maka, apa yang terpisah dari tubuh manusia adalah suci, tetapi haram karena kehormatan manusia, bukan karena najisnya.” [2] Kaidah fikih dan pembatasannya Kaidah fikih “ما أبين من حي فهو كميتته“ berasal dari hadis yang berkaitan dengan hewan. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadis, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, sementara mereka memotong punuk unta dan memotong ekor-ekor domba. Maka, beliau bersabda, ما قُطِعَ منَ البَهيمةِ وَهيَ حيَّةٌ فَهوَ ميتَةٌ “Apa yang dipotong dari hewan dalam keadaan hidup, maka ia adalah bangkai.” (HR. Tirmidzi, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Tirmidzi no. 1480) Hadis ini berkaitan dengan hewan dan tidak mencakup manusia. Oleh karena itu, menerapkan kaidah ini pada manusia adalah bentuk perluasan yang tidak tepat. [3] Baca juga: Jual Beli Dengan Sistem Dropship Hukum jual beli organ tubuh manusia Hukum jual beli organ tubuh manusia adalah haram. Di antara dalil dari hukum tersebut adalah Dalil pertama: Firman Allah Ta’ala, وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam.” (QS. Al-Isra: 70) Syariat telah menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala dan diberi keistimewaan atas banyak makhluk lainnya. Oleh karena itu, manusia adalah makhluk yang dimuliakan, bukan untuk direndahkan. Jual beli bagian tubuhnya mengandung unsur penghinaan dan pelecehan. Ibnu Abidin rahimahullah berkata, وَالْآدَمِيُّ مُكَرَّمٌ شَرْعًا وَإِنْ كَانَ كَافِرًا ‌فَإِيرَادُ ‌الْعَقْدِ عَلَيْهِ وَابْتِذَالُهُ بِهِ وَإِلْحَاقُهُ بِالْجَمَادَاتِ إذْلَالٌ لَهُ “Manusia secara syar’i dimuliakan, meskipun ia kafir. Maka, mengadakan akad jual beli terhadap dirinya, menjadikannya seperti benda mati adalah penghinaan baginya.” [4] Dalil kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, قالَ اللَّهُ: ثَلاثَةٌ أنا خَصْمُهُمْ يَومَ القِيامَةِ: رَجُلٌ أعْطَى بي ثُمَّ غَدَرَ، ورَجُلٌ باعَ حُرًّا فأكَلَ ثَمَنَهُ، ورَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أجِيرًا فاسْتَوْفَى منه ولم يُعطِه أجرَه. “Allah berfirman, ‘Ada tiga orang yang menjadi musuh-Ku pada hari kiamat: (1) seseorang yang berjanji atas nama-Ku, lalu ia mengingkarinya; (2) seseorang yang menjual orang merdeka dan memakan harganya; (3) serta seseorang yang menyewa pekerja, lalu ia memanfaatkan tenaganya tetapi tidak membayarnya.” (HR. Bukhari no. 2227) Jika diketahui bahwa syariat mengharamkan penjualan manusia merdeka secara keseluruhan, maka dengan sendirinya penjualan bagian tubuhnya juga haram. Selanjutnya, jika menjual tubuh orang lain, baik seluruhnya maupun sebagian, diharamkan, maka menjual bagian tubuh diri sendiri juga diharamkan. Tidak ada ulama yang berpendapat berbeda dalam hal ini. Dalil ketiga: Suatu benda tidak dianggap sebagai barang bernilai menurut adat atau syariat, kecuali jika ia memiliki nilai di pasar. Hal ini tidak berlaku untuk tubuh manusia. Menganggap tubuh manusia sebagai harta bertentangan dengan akal sehat, karena hal itu mengharuskan tubuh dianggap sebagai sesuatu yang terpisah dari diri manusia. Padahal, tubuh manusia adalah bagian dari dirinya. Selama tubuh manusia tidak dianggap sebagai harta, maka tidak boleh diperjualbelikan. Dalil keempat: Para ulama berkata, “Tubuh manusia bukanlah miliknya, sehingga ia tidak boleh menjualnya. Sebab, seseorang tidak boleh menjual sesuatu yang bukan miliknya.” [5] Hukum donor organ tubuh manusia Diperbolehkan donor (suka rela) organ tubuh untuk tujuan pengobatan melalui transplantasi. Mayoritas peneliti mendukung pendapat ini, dan pandangan ini juga diadopsi oleh banyak lembaga dan forum fikih. Di antara dalil atas pendapat ini adalah: Dalil pertama: Mereka berpendapat bahwa mengorbankan sebagian hak demi menyelamatkan orang yang berada dalam keadaan darurat adalah tindakan yang dianjurkan secara syariat, selama berada dalam batas-batas yang diizinkan oleh syariat. Tindakan ini termasuk dalam bentuk kebajikan sebagaimana disebutkan Allah Ta’ala, وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 2) Hal ini juga termasuk bentuk itsar (mengutamakan orang lain) yang dipuji Allah dalam firman-Nya, وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ “Dan mereka mengutamakan (orang lain) atas dirinya sendiri, sekalipun mereka juga memerlukan.” (QS. Al-Hasyr: 9) Jika donor organ manusia dapat menyelamatkan orang dari kematian atau bahaya besar, maka tindakan tersebut masuk dalam kategori ta’awun ‘ala al-birr (tolong-menolong dalam kebajikan) dan itsar yang berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri untuk kepentingan orang lain. Dalil kedua: Donor organ dianalogikan dengan jihad fii sabilillah dengan jiwa dan upaya penyelamatan korban tenggelam, kebakaran, atau runtuhan, meskipun tindakan tersebut dapat menyebabkan bahaya bagi pelaku penyelamatan. Hal ini termasuk dalam kategori menyelamatkan jiwa, sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا “Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia.” (QS. Al-Ma’idah: 32). Dalil ketiga: Dalam syariat, kerugian ringan dapat ditoleransi untuk mencegah kerugian yang lebih besar. Oleh karena itu, donor organ yang membawa risiko kecil bagi pendonor dapat dibenarkan demi menyelamatkan orang lain dari risiko besar, asalkan sesuai dengan batasan syariat. [6] Kesimpulan Islam memuliakan tubuh manusia sehingga jual beli organ tubuh dilarang karena bertentangan dengan kehormatan tersebut. Namun, donor organ tubuh diperbolehkan selama bertujuan menyelamatkan jiwa, tidak membahayakan pendonor, dan sesuai batasan syariat. Hal ini mencerminkan nilai kemanusiaan, kerja sama dalam kebaikan, dan semangat pengorbanan yang dianjurkan dalam Islam. Wallahu A’lam. Baca juga: Hukum Jual Beli Emas Secara Online *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumadilawal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Qorrah Daghi, Aref Ali Aref. Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya (Jurisprudential Issues Pertaining to Organ Transplant). Cetakan Pertama. Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah dan IIUM Press, 2012.   Catatan kaki: [1] Lihat Al-Mausu‘ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 39: 421-422. [2] Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, 1: 97. [3] Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya, hal. 17-19. [4] Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘ala Ad-Durr Al-Mukhtar, 5: 58. [5] Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya, hal. 57-59. Catatan tambahan: Dibolehkan bagi orang yang sangat terpaksa untuk membayar harga (yaitu membeli) organ, namun hukum asal jual belinya tetap haram. [6] Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya, hal. 20-23.


Daftar Isi Toggle Bagian tubuh yang diambil dari manusia hidup adalah bangkaiStatus kenajisan bagian tubuh manusiaKaidah fikih dan pembatasannyaHukum jual beli organ tubuh manusiaHukum donor organ tubuh manusiaKesimpulan Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam, yang telah mengatur segala urusan makhluk-Nya dengan hikmah dan keadilan. Selawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan para sahabatnya yang mulia. Persoalan hukum jual beli organ tubuh manusia telah menjadi pembahasan yang penting di tengah perkembangan medis modern. Artikel ini akan membahas permasalahan ini dari sudut pandang syariat Islam dengan berlandaskan dalil-dalil yang kokoh, insyaAllah. Beberapa hal yang akan dibahas meliputi apakah bagian tubuh yang diambil dari manusia hidup dianggap bangkai, hukum jual beli organ tubuh manusia, dan hukum mendonorkan organ secara sukarela. Semoga pembahasan ini dapat memberikan pemahaman yang mendalam serta menjadi pedoman dalam menjawab persoalan ini sesuai dengan prinsip syariat. Bagian tubuh yang diambil dari manusia hidup adalah bangkai Dalam kaidah fikih disebutkan, ما أبين من حي فهو كميتته “Apa yang terpisah dari makhluk hidup dihukumi seperti bangkainya.” Kaidah ini menunjukkan bahwa bagian tubuh yang terpisah dari makhluk hidup dihukumi sebagaimana bangkai, baik dari segi kesucian maupun kenajisannya. Karena bangkai manusia dianggap najis, maka bagian tubuh yang terpisah dari manusia yang masih hidup juga dianggap najis. [1] Sebagai konsekuensinya, pemberian sesuatu yang najis tidak diperbolehkan dalam syariat, dan penggunaannya pun dilarang jika menyebabkan pelanggaran terhadap kewajiban syar’i, seperti sahnya salat. Oleh sebab itu, menurut pendapat ini, mendonorkan organ tubuh manusia hidup tidak diperbolehkan karena dianggap termasuk dalam memberikan barang najis. Namun, pendapat tersebut telah dibantah oleh ulama yang lainnya. Di antara bantahannya adalah: Status kenajisan bagian tubuh manusia Pendapat bahwa bagian tubuh manusia yang terpisah adalah najis tidak disepakati oleh para ulama. Sebagian ulama menyatakan bahwa manusia, baik dalam keadaan hidup maupun mati, adalah suci, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, المؤمنُ لا يَنجسُ “Seorang mukmin itu tidak najis.” (HR. Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371) Maka, bagian tubuh manusia yang terpisah pun dianggap suci seperti keseluruhan tubuhnya. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah, ketika menjelaskan kaidah tersebut, beliau mengatakan, وقوله: «كميتته»، يعني: طهارة، ونجاسة، حِلًّا، وحُرمة، فما أُبينَ من الآدمي فهو طاهر، حرام لحرمته لا لنجاسته “Maksud ucapan ‘seperti bangkainya’ yakni dalam hal kesucian, kenajisan, kebolehan, dan keharaman. Maka, apa yang terpisah dari tubuh manusia adalah suci, tetapi haram karena kehormatan manusia, bukan karena najisnya.” [2] Kaidah fikih dan pembatasannya Kaidah fikih “ما أبين من حي فهو كميتته“ berasal dari hadis yang berkaitan dengan hewan. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadis, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, sementara mereka memotong punuk unta dan memotong ekor-ekor domba. Maka, beliau bersabda, ما قُطِعَ منَ البَهيمةِ وَهيَ حيَّةٌ فَهوَ ميتَةٌ “Apa yang dipotong dari hewan dalam keadaan hidup, maka ia adalah bangkai.” (HR. Tirmidzi, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Tirmidzi no. 1480) Hadis ini berkaitan dengan hewan dan tidak mencakup manusia. Oleh karena itu, menerapkan kaidah ini pada manusia adalah bentuk perluasan yang tidak tepat. [3] Baca juga: Jual Beli Dengan Sistem Dropship Hukum jual beli organ tubuh manusia Hukum jual beli organ tubuh manusia adalah haram. Di antara dalil dari hukum tersebut adalah Dalil pertama: Firman Allah Ta’ala, وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam.” (QS. Al-Isra: 70) Syariat telah menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala dan diberi keistimewaan atas banyak makhluk lainnya. Oleh karena itu, manusia adalah makhluk yang dimuliakan, bukan untuk direndahkan. Jual beli bagian tubuhnya mengandung unsur penghinaan dan pelecehan. Ibnu Abidin rahimahullah berkata, وَالْآدَمِيُّ مُكَرَّمٌ شَرْعًا وَإِنْ كَانَ كَافِرًا ‌فَإِيرَادُ ‌الْعَقْدِ عَلَيْهِ وَابْتِذَالُهُ بِهِ وَإِلْحَاقُهُ بِالْجَمَادَاتِ إذْلَالٌ لَهُ “Manusia secara syar’i dimuliakan, meskipun ia kafir. Maka, mengadakan akad jual beli terhadap dirinya, menjadikannya seperti benda mati adalah penghinaan baginya.” [4] Dalil kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, قالَ اللَّهُ: ثَلاثَةٌ أنا خَصْمُهُمْ يَومَ القِيامَةِ: رَجُلٌ أعْطَى بي ثُمَّ غَدَرَ، ورَجُلٌ باعَ حُرًّا فأكَلَ ثَمَنَهُ، ورَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أجِيرًا فاسْتَوْفَى منه ولم يُعطِه أجرَه. “Allah berfirman, ‘Ada tiga orang yang menjadi musuh-Ku pada hari kiamat: (1) seseorang yang berjanji atas nama-Ku, lalu ia mengingkarinya; (2) seseorang yang menjual orang merdeka dan memakan harganya; (3) serta seseorang yang menyewa pekerja, lalu ia memanfaatkan tenaganya tetapi tidak membayarnya.” (HR. Bukhari no. 2227) Jika diketahui bahwa syariat mengharamkan penjualan manusia merdeka secara keseluruhan, maka dengan sendirinya penjualan bagian tubuhnya juga haram. Selanjutnya, jika menjual tubuh orang lain, baik seluruhnya maupun sebagian, diharamkan, maka menjual bagian tubuh diri sendiri juga diharamkan. Tidak ada ulama yang berpendapat berbeda dalam hal ini. Dalil ketiga: Suatu benda tidak dianggap sebagai barang bernilai menurut adat atau syariat, kecuali jika ia memiliki nilai di pasar. Hal ini tidak berlaku untuk tubuh manusia. Menganggap tubuh manusia sebagai harta bertentangan dengan akal sehat, karena hal itu mengharuskan tubuh dianggap sebagai sesuatu yang terpisah dari diri manusia. Padahal, tubuh manusia adalah bagian dari dirinya. Selama tubuh manusia tidak dianggap sebagai harta, maka tidak boleh diperjualbelikan. Dalil keempat: Para ulama berkata, “Tubuh manusia bukanlah miliknya, sehingga ia tidak boleh menjualnya. Sebab, seseorang tidak boleh menjual sesuatu yang bukan miliknya.” [5] Hukum donor organ tubuh manusia Diperbolehkan donor (suka rela) organ tubuh untuk tujuan pengobatan melalui transplantasi. Mayoritas peneliti mendukung pendapat ini, dan pandangan ini juga diadopsi oleh banyak lembaga dan forum fikih. Di antara dalil atas pendapat ini adalah: Dalil pertama: Mereka berpendapat bahwa mengorbankan sebagian hak demi menyelamatkan orang yang berada dalam keadaan darurat adalah tindakan yang dianjurkan secara syariat, selama berada dalam batas-batas yang diizinkan oleh syariat. Tindakan ini termasuk dalam bentuk kebajikan sebagaimana disebutkan Allah Ta’ala, وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 2) Hal ini juga termasuk bentuk itsar (mengutamakan orang lain) yang dipuji Allah dalam firman-Nya, وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ “Dan mereka mengutamakan (orang lain) atas dirinya sendiri, sekalipun mereka juga memerlukan.” (QS. Al-Hasyr: 9) Jika donor organ manusia dapat menyelamatkan orang dari kematian atau bahaya besar, maka tindakan tersebut masuk dalam kategori ta’awun ‘ala al-birr (tolong-menolong dalam kebajikan) dan itsar yang berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri untuk kepentingan orang lain. Dalil kedua: Donor organ dianalogikan dengan jihad fii sabilillah dengan jiwa dan upaya penyelamatan korban tenggelam, kebakaran, atau runtuhan, meskipun tindakan tersebut dapat menyebabkan bahaya bagi pelaku penyelamatan. Hal ini termasuk dalam kategori menyelamatkan jiwa, sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا “Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia.” (QS. Al-Ma’idah: 32). Dalil ketiga: Dalam syariat, kerugian ringan dapat ditoleransi untuk mencegah kerugian yang lebih besar. Oleh karena itu, donor organ yang membawa risiko kecil bagi pendonor dapat dibenarkan demi menyelamatkan orang lain dari risiko besar, asalkan sesuai dengan batasan syariat. [6] Kesimpulan Islam memuliakan tubuh manusia sehingga jual beli organ tubuh dilarang karena bertentangan dengan kehormatan tersebut. Namun, donor organ tubuh diperbolehkan selama bertujuan menyelamatkan jiwa, tidak membahayakan pendonor, dan sesuai batasan syariat. Hal ini mencerminkan nilai kemanusiaan, kerja sama dalam kebaikan, dan semangat pengorbanan yang dianjurkan dalam Islam. Wallahu A’lam. Baca juga: Hukum Jual Beli Emas Secara Online *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumadilawal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Qorrah Daghi, Aref Ali Aref. Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya (Jurisprudential Issues Pertaining to Organ Transplant). Cetakan Pertama. Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah dan IIUM Press, 2012.   Catatan kaki: [1] Lihat Al-Mausu‘ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 39: 421-422. [2] Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, 1: 97. [3] Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya, hal. 17-19. [4] Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘ala Ad-Durr Al-Mukhtar, 5: 58. [5] Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya, hal. 57-59. Catatan tambahan: Dibolehkan bagi orang yang sangat terpaksa untuk membayar harga (yaitu membeli) organ, namun hukum asal jual belinya tetap haram. [6] Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya, hal. 20-23.

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 211 – Doa Sebelum Berwudhu

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 211 – Doa Sebelum Berwudhu Posted on December 31, 2024December 31, 2024by Salah satu ibadah mulia yang rutin dilakukan setiap muslim adalah berwudhu. Yakni saat akan menunaikan shalat, thawaf, membaca al-Qur’an, sebelum tidur, dan lain-lain. Sebagaimana ibadah lainnya, wudhu pun telah diatur tata caranya dalam al-Qur’an dan Hadits. Di antara aturan tersebut adalah: membaca doa sebelum berwudhu. Redaksi doanya seperti berikut ini: ‌”بِسْمِ اللهِ” “Bismillah”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَا وُضُوءَ لَهُ، وَلَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ” “Tidak sah shalat orang yang tidak berwudhu. Dan tidak sempurna wudhu orang yang tidak membaca basmalah”. HR. Abu Dawud (no. 101) dari Abu Hurairah dan dinilai hasan oleh Ibn Katsir1. Renungan Kandungan Sebelum berwudhu kita dianjurkan untuk membaca basmalah. Kalimat “bismillah” biasa diterjemahkan: “dengan menyebut nama Allah”. Maksudnya kita memohon pertolongan kepada Allah agar dimudahkan dalam berwudhu. Sehingga pelaksanaannya sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan Hadits, serta diterima oleh Allah ta’ala. Imam ath-Thabariy rahimahullah menjelaskan bahwa Allah ‘azza wa jalla mengajarkan pada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam agar mengawali setiap perbuatan dan kepentingannya dengan menyebut nama-Nya. Allah menjadikan aturan ini berlaku bagi para hamba-Nya di awal setiap urusan mereka2. Agar tiap muslim selalu mengingat Allah dalam semua aktivitasnya. Dengan tujuan supaya memperoleh curahan berkah dari Allah, mendapatkan pertolongan untuk menyelesaikan segala urusan, dan agar amalannya diterima oleh-Nya3. Hukum membaca basmalah sebelum berwudhu Berdasarkan dzahir hadits di atas, sebagian ulama menyatakan bahwa hukum membaca basmalah sebelum berwudhu adalah wajib. Yakni bagi orang yang telah mengetahui hukumnya dan mengingatnya. Namun bila ada yang berwudhu tanpa membaca basmalah—lantaran ketidaktahuannya atau karena lupa—maka wudhunya tetap sah. Sebab ia berhak mendapat dispensasi; atas ketidaktahuannya atau kelupaannya. Tapi mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum membaca basmalah sebelum berwudhu adalah sunnah. Di antara argumen mereka: hadits yang memuat teguran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap seorang sahabat yang shalatnya tidak benar. Di akhir hadits tersebut beliau menjelaskan tata cara shalat yang benar. Beliau mengawali penjelasannya dengan bersabda, “‌إِذَا ‌قُمْتَ ‌إِلَى ‌الصَّلَاةِ فَتَوَضَّأْ كَمَا أَمَرَكَ اللَّهُ” “Jika engkau akan shalat, berwudhulah sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadamu”. HR. Tirmidziy (no. 302) dan beliau menyatakan hadits ini hasan. Hadits ini memerintahkan untuk berwudhu seperti yang diajarkan Allah di dalam al-Qur’an. Sebagaimana telah maklum, bahwa ayat wudhu di dalam al-Qur’an tidak menyebutkan perintah untuk membaca basmalah. Maka membaca basmalah sebelum wudhu hukumnya tidak wajib. Terlepas mana pendapat yang lebih kuat, tidak sepantasnya seorang muslim meninggalkan basmalah sebelum berwudhu. Sebab hal itu disyariatkan dalam agama kita.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 24 Rajab 1445 / 5 Februari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 210 – Adab Buang Hajat Bag-2Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 212 – Adakah Doa Saat Berwudhu? SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 211 – Doa Sebelum Berwudhu

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 211 – Doa Sebelum Berwudhu Posted on December 31, 2024December 31, 2024by Salah satu ibadah mulia yang rutin dilakukan setiap muslim adalah berwudhu. Yakni saat akan menunaikan shalat, thawaf, membaca al-Qur’an, sebelum tidur, dan lain-lain. Sebagaimana ibadah lainnya, wudhu pun telah diatur tata caranya dalam al-Qur’an dan Hadits. Di antara aturan tersebut adalah: membaca doa sebelum berwudhu. Redaksi doanya seperti berikut ini: ‌”بِسْمِ اللهِ” “Bismillah”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَا وُضُوءَ لَهُ، وَلَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ” “Tidak sah shalat orang yang tidak berwudhu. Dan tidak sempurna wudhu orang yang tidak membaca basmalah”. HR. Abu Dawud (no. 101) dari Abu Hurairah dan dinilai hasan oleh Ibn Katsir1. Renungan Kandungan Sebelum berwudhu kita dianjurkan untuk membaca basmalah. Kalimat “bismillah” biasa diterjemahkan: “dengan menyebut nama Allah”. Maksudnya kita memohon pertolongan kepada Allah agar dimudahkan dalam berwudhu. Sehingga pelaksanaannya sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan Hadits, serta diterima oleh Allah ta’ala. Imam ath-Thabariy rahimahullah menjelaskan bahwa Allah ‘azza wa jalla mengajarkan pada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam agar mengawali setiap perbuatan dan kepentingannya dengan menyebut nama-Nya. Allah menjadikan aturan ini berlaku bagi para hamba-Nya di awal setiap urusan mereka2. Agar tiap muslim selalu mengingat Allah dalam semua aktivitasnya. Dengan tujuan supaya memperoleh curahan berkah dari Allah, mendapatkan pertolongan untuk menyelesaikan segala urusan, dan agar amalannya diterima oleh-Nya3. Hukum membaca basmalah sebelum berwudhu Berdasarkan dzahir hadits di atas, sebagian ulama menyatakan bahwa hukum membaca basmalah sebelum berwudhu adalah wajib. Yakni bagi orang yang telah mengetahui hukumnya dan mengingatnya. Namun bila ada yang berwudhu tanpa membaca basmalah—lantaran ketidaktahuannya atau karena lupa—maka wudhunya tetap sah. Sebab ia berhak mendapat dispensasi; atas ketidaktahuannya atau kelupaannya. Tapi mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum membaca basmalah sebelum berwudhu adalah sunnah. Di antara argumen mereka: hadits yang memuat teguran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap seorang sahabat yang shalatnya tidak benar. Di akhir hadits tersebut beliau menjelaskan tata cara shalat yang benar. Beliau mengawali penjelasannya dengan bersabda, “‌إِذَا ‌قُمْتَ ‌إِلَى ‌الصَّلَاةِ فَتَوَضَّأْ كَمَا أَمَرَكَ اللَّهُ” “Jika engkau akan shalat, berwudhulah sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadamu”. HR. Tirmidziy (no. 302) dan beliau menyatakan hadits ini hasan. Hadits ini memerintahkan untuk berwudhu seperti yang diajarkan Allah di dalam al-Qur’an. Sebagaimana telah maklum, bahwa ayat wudhu di dalam al-Qur’an tidak menyebutkan perintah untuk membaca basmalah. Maka membaca basmalah sebelum wudhu hukumnya tidak wajib. Terlepas mana pendapat yang lebih kuat, tidak sepantasnya seorang muslim meninggalkan basmalah sebelum berwudhu. Sebab hal itu disyariatkan dalam agama kita.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 24 Rajab 1445 / 5 Februari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 210 – Adab Buang Hajat Bag-2Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 212 – Adakah Doa Saat Berwudhu? SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 211 – Doa Sebelum Berwudhu Posted on December 31, 2024December 31, 2024by Salah satu ibadah mulia yang rutin dilakukan setiap muslim adalah berwudhu. Yakni saat akan menunaikan shalat, thawaf, membaca al-Qur’an, sebelum tidur, dan lain-lain. Sebagaimana ibadah lainnya, wudhu pun telah diatur tata caranya dalam al-Qur’an dan Hadits. Di antara aturan tersebut adalah: membaca doa sebelum berwudhu. Redaksi doanya seperti berikut ini: ‌”بِسْمِ اللهِ” “Bismillah”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَا وُضُوءَ لَهُ، وَلَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ” “Tidak sah shalat orang yang tidak berwudhu. Dan tidak sempurna wudhu orang yang tidak membaca basmalah”. HR. Abu Dawud (no. 101) dari Abu Hurairah dan dinilai hasan oleh Ibn Katsir1. Renungan Kandungan Sebelum berwudhu kita dianjurkan untuk membaca basmalah. Kalimat “bismillah” biasa diterjemahkan: “dengan menyebut nama Allah”. Maksudnya kita memohon pertolongan kepada Allah agar dimudahkan dalam berwudhu. Sehingga pelaksanaannya sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan Hadits, serta diterima oleh Allah ta’ala. Imam ath-Thabariy rahimahullah menjelaskan bahwa Allah ‘azza wa jalla mengajarkan pada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam agar mengawali setiap perbuatan dan kepentingannya dengan menyebut nama-Nya. Allah menjadikan aturan ini berlaku bagi para hamba-Nya di awal setiap urusan mereka2. Agar tiap muslim selalu mengingat Allah dalam semua aktivitasnya. Dengan tujuan supaya memperoleh curahan berkah dari Allah, mendapatkan pertolongan untuk menyelesaikan segala urusan, dan agar amalannya diterima oleh-Nya3. Hukum membaca basmalah sebelum berwudhu Berdasarkan dzahir hadits di atas, sebagian ulama menyatakan bahwa hukum membaca basmalah sebelum berwudhu adalah wajib. Yakni bagi orang yang telah mengetahui hukumnya dan mengingatnya. Namun bila ada yang berwudhu tanpa membaca basmalah—lantaran ketidaktahuannya atau karena lupa—maka wudhunya tetap sah. Sebab ia berhak mendapat dispensasi; atas ketidaktahuannya atau kelupaannya. Tapi mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum membaca basmalah sebelum berwudhu adalah sunnah. Di antara argumen mereka: hadits yang memuat teguran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap seorang sahabat yang shalatnya tidak benar. Di akhir hadits tersebut beliau menjelaskan tata cara shalat yang benar. Beliau mengawali penjelasannya dengan bersabda, “‌إِذَا ‌قُمْتَ ‌إِلَى ‌الصَّلَاةِ فَتَوَضَّأْ كَمَا أَمَرَكَ اللَّهُ” “Jika engkau akan shalat, berwudhulah sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadamu”. HR. Tirmidziy (no. 302) dan beliau menyatakan hadits ini hasan. Hadits ini memerintahkan untuk berwudhu seperti yang diajarkan Allah di dalam al-Qur’an. Sebagaimana telah maklum, bahwa ayat wudhu di dalam al-Qur’an tidak menyebutkan perintah untuk membaca basmalah. Maka membaca basmalah sebelum wudhu hukumnya tidak wajib. Terlepas mana pendapat yang lebih kuat, tidak sepantasnya seorang muslim meninggalkan basmalah sebelum berwudhu. Sebab hal itu disyariatkan dalam agama kita.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 24 Rajab 1445 / 5 Februari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 210 – Adab Buang Hajat Bag-2Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 212 – Adakah Doa Saat Berwudhu? SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 211 – Doa Sebelum Berwudhu Posted on December 31, 2024December 31, 2024by Salah satu ibadah mulia yang rutin dilakukan setiap muslim adalah berwudhu. Yakni saat akan menunaikan shalat, thawaf, membaca al-Qur’an, sebelum tidur, dan lain-lain. Sebagaimana ibadah lainnya, wudhu pun telah diatur tata caranya dalam al-Qur’an dan Hadits. Di antara aturan tersebut adalah: membaca doa sebelum berwudhu. Redaksi doanya seperti berikut ini: ‌”بِسْمِ اللهِ” “Bismillah”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَا وُضُوءَ لَهُ، وَلَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ” “Tidak sah shalat orang yang tidak berwudhu. Dan tidak sempurna wudhu orang yang tidak membaca basmalah”. HR. Abu Dawud (no. 101) dari Abu Hurairah dan dinilai hasan oleh Ibn Katsir1. Renungan Kandungan Sebelum berwudhu kita dianjurkan untuk membaca basmalah. Kalimat “bismillah” biasa diterjemahkan: “dengan menyebut nama Allah”. Maksudnya kita memohon pertolongan kepada Allah agar dimudahkan dalam berwudhu. Sehingga pelaksanaannya sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan Hadits, serta diterima oleh Allah ta’ala. Imam ath-Thabariy rahimahullah menjelaskan bahwa Allah ‘azza wa jalla mengajarkan pada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam agar mengawali setiap perbuatan dan kepentingannya dengan menyebut nama-Nya. Allah menjadikan aturan ini berlaku bagi para hamba-Nya di awal setiap urusan mereka2. Agar tiap muslim selalu mengingat Allah dalam semua aktivitasnya. Dengan tujuan supaya memperoleh curahan berkah dari Allah, mendapatkan pertolongan untuk menyelesaikan segala urusan, dan agar amalannya diterima oleh-Nya3. Hukum membaca basmalah sebelum berwudhu Berdasarkan dzahir hadits di atas, sebagian ulama menyatakan bahwa hukum membaca basmalah sebelum berwudhu adalah wajib. Yakni bagi orang yang telah mengetahui hukumnya dan mengingatnya. Namun bila ada yang berwudhu tanpa membaca basmalah—lantaran ketidaktahuannya atau karena lupa—maka wudhunya tetap sah. Sebab ia berhak mendapat dispensasi; atas ketidaktahuannya atau kelupaannya. Tapi mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum membaca basmalah sebelum berwudhu adalah sunnah. Di antara argumen mereka: hadits yang memuat teguran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap seorang sahabat yang shalatnya tidak benar. Di akhir hadits tersebut beliau menjelaskan tata cara shalat yang benar. Beliau mengawali penjelasannya dengan bersabda, “‌إِذَا ‌قُمْتَ ‌إِلَى ‌الصَّلَاةِ فَتَوَضَّأْ كَمَا أَمَرَكَ اللَّهُ” “Jika engkau akan shalat, berwudhulah sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadamu”. HR. Tirmidziy (no. 302) dan beliau menyatakan hadits ini hasan. Hadits ini memerintahkan untuk berwudhu seperti yang diajarkan Allah di dalam al-Qur’an. Sebagaimana telah maklum, bahwa ayat wudhu di dalam al-Qur’an tidak menyebutkan perintah untuk membaca basmalah. Maka membaca basmalah sebelum wudhu hukumnya tidak wajib. Terlepas mana pendapat yang lebih kuat, tidak sepantasnya seorang muslim meninggalkan basmalah sebelum berwudhu. Sebab hal itu disyariatkan dalam agama kita.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 24 Rajab 1445 / 5 Februari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 210 – Adab Buang Hajat Bag-2Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 212 – Adakah Doa Saat Berwudhu? SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Hadis: Nikmat Keamanan, Kesehatan, dan Makanan yang Cukup

Daftar Isi Toggle Teks HadisPenjelasan KalimatKandungan HadisKeamanan sebagai nikmatJanji Allah kepada orang berimanMakna “معافى في بدنه”Doa meminta kesehatan yang diajarkan NabiNikmat makanan Teks Hadis Imam Tirmidzi meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Ubaidullah bin Mihshan al-Khatmi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا “Barangsiapa di antara kalian yang pada pagi harinya merasa aman di tempat tinggalnya, sehat tubuhnya, dan memiliki makanan yang cukup untuk hari itu, maka seolah-olah dunia dan segala isinya telah diberikan kepadanya.” (HR. Tirmizi) Penjelasan Kalimat “أصبح”: Maksudnya adalah “pada pagi hari itu,” mengisyaratkan bahwa seorang mukmin tidak perlu risau atau cemas memikirkan masa depan. Hal ini karena segala urusan ada di tangan Allah, yang mengatur segalanya, dan seorang mukmin harus berbaik sangka (husnuzan) kepada Rabb-nya, serta optimis terhadap kebaikan. “آمنًا في سربه”: Ada yang menafsirkan sebagai, “aman bersama keluarga dan anak-anaknya.” Ada pula yang menafsirkannya sebagai, “aman di tempat tinggal dan jalan yang dilaluinya.” Atau juga, “aman di rumahnya”; tanpa ada ancaman pembunuhan, pencurian, atau pelanggaran kehormatan. Kandungan Hadis Keamanan sebagai nikmat Keamanan adalah salah satu nikmat terbesar dari Allah kepada hamba-hamba-Nya setelah nikmat iman dan Islam. Nikmat ini tidak dirasakan kecuali oleh orang-orang yang merasa tidak aman, seperti mereka yang hidup di negeri-negeri yang sistem dan keamanannya terganggu, atau mereka yang mengalami perang dahsyat yang menghancurkan tanaman dan keturunan. Mereka tidur dengan suara pesawat tempur dan dentuman meriam, serta hidup dengan tangan mereka di dada, menunggu kematian setiap saat. Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَلَمْ يَلْبِسُوٓا۟ إِيمَـٰنَهُم بِظُلْمٍ أُو۟لَـٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82) Janji Allah kepada orang beriman Allah telah menjanjikan kepada orang-orang beriman keamanan jika mereka merealisasikan tauhid, mengikhlaskan iman, dan beramal saleh. Allah Ta’ala berfirman, وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ ٱلَّذِى ٱرْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا يُشْرِكُونَ بِى شَيْـًٔا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَـٰسِقُونَ “Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan menggantikan keadaan mereka, setelah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku tanpa mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Tetapi barang siapa tetap kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 55) Allah Ta’ala juga berfirman, أَلَآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ * ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَكَانُوا۟ يَتَّقُونَ * لَهُمُ ٱلْبُشْرَىٰ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَفِى ٱلْـَٔاخِرَةِ ۚ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَـٰتِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ “Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati, (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus: 62–64) Makna “معافى في بدنه” Yaitu sehat dan bebas dari penyakit serta gangguan tubuh. Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ وَالْجُنُونِ وَالْجُذَامِ، وَمِنْ سَيِّئِ الْأَسْقَامِ “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari penyakit kusta, gila, lepra, dan penyakit-penyakit yang buruk.” (HR. Abu Dawud) Baca juga: Mensyukuri Nikmat Keamanan Bangsa Doa meminta kesehatan yang diajarkan Nabi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memohon kepada Rabb-nya setiap pagi dan petang agar diberikan kesehatan (al-‘afiyah) dalam urusan agama, dunia, jiwa, keluarga, dan harta. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي… “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu maaf (ampunan) dan kesehatan dalam urusan agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku.” (HR. Abu Dawud) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memohon kepada Rabb-nya setiap pagi dan petang agar diberikan kesehatan (al-‘afiyah) dalam urusan agama, dunia, jiwa, keluarga, dan harta. Beliau juga memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan hal yang sama. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan doa-doa berikut ini ketika memasuki waktu pagi dan petang, ‘Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kesehatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu maaf (ampunan) dan kesehatan dalam urusan agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku.’” (HR. Abu Dawud) Imam Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Mu’adz bin Rifa’ah, dari ayahnya, ia berkata, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berdiri di atas mimbar, lalu menangis, kemudian berkata, قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْأَوَّلِ عَلَى الْمِنْبَرِ، ثُمَّ بَكَى، وَقَالَ: سَلُوا اللَّهَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ، فَإِنَّهُ لَمْ يُعْطَ أَحَدٌ بَعْدَ الْيَقِينِ شَيْئًا خَيْرًا مِنَ الْعَافِيَةِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di atas mimbar tahun lalu, lalu beliau menangis dan bersabda, ‘Mohonlah kepada Allah ampunan dan kesehatan, karena tidak ada seorang pun yang diberi sesuatu setelah keyakinan (iman) yang lebih baik dari kesehatan.’” (HR. Tirmidzi) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengabarkan bahwa banyak manusia yang lalai dan rugi terhadap nikmat ini. Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ “Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing umatnya untuk memanfaatkan kesehatan sebelum datangnya penyakit. Imam Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Al-Mustadrak dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ… وَذَكَرَ مِنْهَا: صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ “Manfaatkan lima perkara sebelum datang lima perkara… di antaranya: kesehatanmu sebelum sakitmu.” (HR. Hakim) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana tercatat dalam Shahih Bukhari, berkata, إِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَإِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ “Jika engkau berada di pagi hari, jangan menunggu sore hari. Jika engkau berada di sore hari, jangan menunggu pagi hari. Manfaatkanlah kesehatanmu sebelum sakitmu, dan hidupmu sebelum matimu.” (HR. Bukhari) Siapa saja yang mengunjungi rumah sakit kaum muslimin dan melihat apa yang menimpa saudara-saudaranya berupa penyakit-penyakit berbahaya yang sebagian di antaranya tidak mampu diobati oleh ilmu kedokteran modern, hendaknya ia memuji Allah Ta’ala pagi dan petang atas nikmat kesehatan. Allah Ta’ala berfirman, وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِن تَعُدُّوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ ٱلْإِنسَـٰنَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ “Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34) Nikmat makanan Kata-kata “عنده قوت يومه” berarti “ia memiliki makanan yang cukup untuk pagi dan sore harinya.” Makanan adalah salah satu nikmat besar dari Allah. Allah Ta’ala berfirman, فَلْيَعْبُدُوا۟ رَبَّ هَـٰذَا ٱلْبَيْتِ * ٱلَّذِىٓ أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍۢ وَءَامَنَهُم مِّنْ خَوْفٍۢ “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (Pemilik) rumah ini (Kakbah), yang telah memberi mereka makan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut.” (QS. Quraisy: 3-4) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlindung kepada Allah dari kelaparan. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُوعِ، فَإِنَّهُ بِئْسَ الضَّجِيعُ “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelaparan, karena kelaparan adalah seburuk-buruk pendamping.” (HR. Abu Dawud) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga meminta kepada Allah kecukupan, yaitu rezeki yang cukup baginya. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اللَّهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آلِ مُحَمَّدٍ قُوتًا “Ya Allah, jadikanlah rezeki keluarga Muhammad sekadar yang mencukupi.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dari semua ini, jelaslah bahwa siapa pun yang memiliki tiga hal ini pada harinya (keamanan, kesehatan, dan makanan yang cukup), maka seolah-olah ia telah memiliki seluruh dunia. Namun, banyak manusia yang memiliki jauh lebih banyak dari apa yang disebutkan dalam hadis ini, tetapi mereka mengingkarinya dan meremehkan nikmat yang mereka miliki. Mereka seperti yang Allah Ta’ala firmankan, يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا وَأَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ “Mereka mengetahui nikmat Allah, tetapi mereka mengingkarinya, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (QS. An-Nahl: 83) Allah Ta’ala juga berfirman, أَفَبِنِعْمَتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ “Apakah mereka mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl: 71) Obat dari penyakit ini adalah seseorang melihat kepada mereka yang tidak memiliki nikmat ini atau kehilangan sebagian darinya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ “Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian, dan jangan melihat kepada orang yang berada di atas kalian. Hal itu lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ibnu Jarir dan ulama lainnya berkata bahwa hadis ini mencakup berbagai kebaikan. Ketika seseorang melihat kepada orang yang lebih darinya dalam urusan dunia, ia akan merasa tidak puas dengan nikmat Allah yang ia miliki dan berusaha mendapat lebih banyak. Namun, jika ia melihat kepada mereka yang lebih rendah darinya dalam urusan dunia, ia akan menyadari nikmat Allah kepadanya, bersyukur, rendah hati, dan melakukan kebaikan. Baca juga: Larangan untuk Mencela Makanan *** Penulis: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Website alukah.net.

Hadis: Nikmat Keamanan, Kesehatan, dan Makanan yang Cukup

Daftar Isi Toggle Teks HadisPenjelasan KalimatKandungan HadisKeamanan sebagai nikmatJanji Allah kepada orang berimanMakna “معافى في بدنه”Doa meminta kesehatan yang diajarkan NabiNikmat makanan Teks Hadis Imam Tirmidzi meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Ubaidullah bin Mihshan al-Khatmi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا “Barangsiapa di antara kalian yang pada pagi harinya merasa aman di tempat tinggalnya, sehat tubuhnya, dan memiliki makanan yang cukup untuk hari itu, maka seolah-olah dunia dan segala isinya telah diberikan kepadanya.” (HR. Tirmizi) Penjelasan Kalimat “أصبح”: Maksudnya adalah “pada pagi hari itu,” mengisyaratkan bahwa seorang mukmin tidak perlu risau atau cemas memikirkan masa depan. Hal ini karena segala urusan ada di tangan Allah, yang mengatur segalanya, dan seorang mukmin harus berbaik sangka (husnuzan) kepada Rabb-nya, serta optimis terhadap kebaikan. “آمنًا في سربه”: Ada yang menafsirkan sebagai, “aman bersama keluarga dan anak-anaknya.” Ada pula yang menafsirkannya sebagai, “aman di tempat tinggal dan jalan yang dilaluinya.” Atau juga, “aman di rumahnya”; tanpa ada ancaman pembunuhan, pencurian, atau pelanggaran kehormatan. Kandungan Hadis Keamanan sebagai nikmat Keamanan adalah salah satu nikmat terbesar dari Allah kepada hamba-hamba-Nya setelah nikmat iman dan Islam. Nikmat ini tidak dirasakan kecuali oleh orang-orang yang merasa tidak aman, seperti mereka yang hidup di negeri-negeri yang sistem dan keamanannya terganggu, atau mereka yang mengalami perang dahsyat yang menghancurkan tanaman dan keturunan. Mereka tidur dengan suara pesawat tempur dan dentuman meriam, serta hidup dengan tangan mereka di dada, menunggu kematian setiap saat. Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَلَمْ يَلْبِسُوٓا۟ إِيمَـٰنَهُم بِظُلْمٍ أُو۟لَـٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82) Janji Allah kepada orang beriman Allah telah menjanjikan kepada orang-orang beriman keamanan jika mereka merealisasikan tauhid, mengikhlaskan iman, dan beramal saleh. Allah Ta’ala berfirman, وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ ٱلَّذِى ٱرْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا يُشْرِكُونَ بِى شَيْـًٔا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَـٰسِقُونَ “Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan menggantikan keadaan mereka, setelah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku tanpa mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Tetapi barang siapa tetap kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 55) Allah Ta’ala juga berfirman, أَلَآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ * ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَكَانُوا۟ يَتَّقُونَ * لَهُمُ ٱلْبُشْرَىٰ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَفِى ٱلْـَٔاخِرَةِ ۚ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَـٰتِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ “Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati, (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus: 62–64) Makna “معافى في بدنه” Yaitu sehat dan bebas dari penyakit serta gangguan tubuh. Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ وَالْجُنُونِ وَالْجُذَامِ، وَمِنْ سَيِّئِ الْأَسْقَامِ “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari penyakit kusta, gila, lepra, dan penyakit-penyakit yang buruk.” (HR. Abu Dawud) Baca juga: Mensyukuri Nikmat Keamanan Bangsa Doa meminta kesehatan yang diajarkan Nabi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memohon kepada Rabb-nya setiap pagi dan petang agar diberikan kesehatan (al-‘afiyah) dalam urusan agama, dunia, jiwa, keluarga, dan harta. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي… “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu maaf (ampunan) dan kesehatan dalam urusan agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku.” (HR. Abu Dawud) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memohon kepada Rabb-nya setiap pagi dan petang agar diberikan kesehatan (al-‘afiyah) dalam urusan agama, dunia, jiwa, keluarga, dan harta. Beliau juga memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan hal yang sama. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan doa-doa berikut ini ketika memasuki waktu pagi dan petang, ‘Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kesehatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu maaf (ampunan) dan kesehatan dalam urusan agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku.’” (HR. Abu Dawud) Imam Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Mu’adz bin Rifa’ah, dari ayahnya, ia berkata, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berdiri di atas mimbar, lalu menangis, kemudian berkata, قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْأَوَّلِ عَلَى الْمِنْبَرِ، ثُمَّ بَكَى، وَقَالَ: سَلُوا اللَّهَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ، فَإِنَّهُ لَمْ يُعْطَ أَحَدٌ بَعْدَ الْيَقِينِ شَيْئًا خَيْرًا مِنَ الْعَافِيَةِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di atas mimbar tahun lalu, lalu beliau menangis dan bersabda, ‘Mohonlah kepada Allah ampunan dan kesehatan, karena tidak ada seorang pun yang diberi sesuatu setelah keyakinan (iman) yang lebih baik dari kesehatan.’” (HR. Tirmidzi) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengabarkan bahwa banyak manusia yang lalai dan rugi terhadap nikmat ini. Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ “Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing umatnya untuk memanfaatkan kesehatan sebelum datangnya penyakit. Imam Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Al-Mustadrak dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ… وَذَكَرَ مِنْهَا: صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ “Manfaatkan lima perkara sebelum datang lima perkara… di antaranya: kesehatanmu sebelum sakitmu.” (HR. Hakim) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana tercatat dalam Shahih Bukhari, berkata, إِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَإِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ “Jika engkau berada di pagi hari, jangan menunggu sore hari. Jika engkau berada di sore hari, jangan menunggu pagi hari. Manfaatkanlah kesehatanmu sebelum sakitmu, dan hidupmu sebelum matimu.” (HR. Bukhari) Siapa saja yang mengunjungi rumah sakit kaum muslimin dan melihat apa yang menimpa saudara-saudaranya berupa penyakit-penyakit berbahaya yang sebagian di antaranya tidak mampu diobati oleh ilmu kedokteran modern, hendaknya ia memuji Allah Ta’ala pagi dan petang atas nikmat kesehatan. Allah Ta’ala berfirman, وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِن تَعُدُّوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ ٱلْإِنسَـٰنَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ “Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34) Nikmat makanan Kata-kata “عنده قوت يومه” berarti “ia memiliki makanan yang cukup untuk pagi dan sore harinya.” Makanan adalah salah satu nikmat besar dari Allah. Allah Ta’ala berfirman, فَلْيَعْبُدُوا۟ رَبَّ هَـٰذَا ٱلْبَيْتِ * ٱلَّذِىٓ أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍۢ وَءَامَنَهُم مِّنْ خَوْفٍۢ “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (Pemilik) rumah ini (Kakbah), yang telah memberi mereka makan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut.” (QS. Quraisy: 3-4) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlindung kepada Allah dari kelaparan. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُوعِ، فَإِنَّهُ بِئْسَ الضَّجِيعُ “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelaparan, karena kelaparan adalah seburuk-buruk pendamping.” (HR. Abu Dawud) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga meminta kepada Allah kecukupan, yaitu rezeki yang cukup baginya. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اللَّهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آلِ مُحَمَّدٍ قُوتًا “Ya Allah, jadikanlah rezeki keluarga Muhammad sekadar yang mencukupi.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dari semua ini, jelaslah bahwa siapa pun yang memiliki tiga hal ini pada harinya (keamanan, kesehatan, dan makanan yang cukup), maka seolah-olah ia telah memiliki seluruh dunia. Namun, banyak manusia yang memiliki jauh lebih banyak dari apa yang disebutkan dalam hadis ini, tetapi mereka mengingkarinya dan meremehkan nikmat yang mereka miliki. Mereka seperti yang Allah Ta’ala firmankan, يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا وَأَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ “Mereka mengetahui nikmat Allah, tetapi mereka mengingkarinya, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (QS. An-Nahl: 83) Allah Ta’ala juga berfirman, أَفَبِنِعْمَتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ “Apakah mereka mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl: 71) Obat dari penyakit ini adalah seseorang melihat kepada mereka yang tidak memiliki nikmat ini atau kehilangan sebagian darinya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ “Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian, dan jangan melihat kepada orang yang berada di atas kalian. Hal itu lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ibnu Jarir dan ulama lainnya berkata bahwa hadis ini mencakup berbagai kebaikan. Ketika seseorang melihat kepada orang yang lebih darinya dalam urusan dunia, ia akan merasa tidak puas dengan nikmat Allah yang ia miliki dan berusaha mendapat lebih banyak. Namun, jika ia melihat kepada mereka yang lebih rendah darinya dalam urusan dunia, ia akan menyadari nikmat Allah kepadanya, bersyukur, rendah hati, dan melakukan kebaikan. Baca juga: Larangan untuk Mencela Makanan *** Penulis: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Website alukah.net.
Daftar Isi Toggle Teks HadisPenjelasan KalimatKandungan HadisKeamanan sebagai nikmatJanji Allah kepada orang berimanMakna “معافى في بدنه”Doa meminta kesehatan yang diajarkan NabiNikmat makanan Teks Hadis Imam Tirmidzi meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Ubaidullah bin Mihshan al-Khatmi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا “Barangsiapa di antara kalian yang pada pagi harinya merasa aman di tempat tinggalnya, sehat tubuhnya, dan memiliki makanan yang cukup untuk hari itu, maka seolah-olah dunia dan segala isinya telah diberikan kepadanya.” (HR. Tirmizi) Penjelasan Kalimat “أصبح”: Maksudnya adalah “pada pagi hari itu,” mengisyaratkan bahwa seorang mukmin tidak perlu risau atau cemas memikirkan masa depan. Hal ini karena segala urusan ada di tangan Allah, yang mengatur segalanya, dan seorang mukmin harus berbaik sangka (husnuzan) kepada Rabb-nya, serta optimis terhadap kebaikan. “آمنًا في سربه”: Ada yang menafsirkan sebagai, “aman bersama keluarga dan anak-anaknya.” Ada pula yang menafsirkannya sebagai, “aman di tempat tinggal dan jalan yang dilaluinya.” Atau juga, “aman di rumahnya”; tanpa ada ancaman pembunuhan, pencurian, atau pelanggaran kehormatan. Kandungan Hadis Keamanan sebagai nikmat Keamanan adalah salah satu nikmat terbesar dari Allah kepada hamba-hamba-Nya setelah nikmat iman dan Islam. Nikmat ini tidak dirasakan kecuali oleh orang-orang yang merasa tidak aman, seperti mereka yang hidup di negeri-negeri yang sistem dan keamanannya terganggu, atau mereka yang mengalami perang dahsyat yang menghancurkan tanaman dan keturunan. Mereka tidur dengan suara pesawat tempur dan dentuman meriam, serta hidup dengan tangan mereka di dada, menunggu kematian setiap saat. Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَلَمْ يَلْبِسُوٓا۟ إِيمَـٰنَهُم بِظُلْمٍ أُو۟لَـٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82) Janji Allah kepada orang beriman Allah telah menjanjikan kepada orang-orang beriman keamanan jika mereka merealisasikan tauhid, mengikhlaskan iman, dan beramal saleh. Allah Ta’ala berfirman, وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ ٱلَّذِى ٱرْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا يُشْرِكُونَ بِى شَيْـًٔا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَـٰسِقُونَ “Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan menggantikan keadaan mereka, setelah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku tanpa mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Tetapi barang siapa tetap kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 55) Allah Ta’ala juga berfirman, أَلَآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ * ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَكَانُوا۟ يَتَّقُونَ * لَهُمُ ٱلْبُشْرَىٰ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَفِى ٱلْـَٔاخِرَةِ ۚ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَـٰتِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ “Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati, (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus: 62–64) Makna “معافى في بدنه” Yaitu sehat dan bebas dari penyakit serta gangguan tubuh. Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ وَالْجُنُونِ وَالْجُذَامِ، وَمِنْ سَيِّئِ الْأَسْقَامِ “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari penyakit kusta, gila, lepra, dan penyakit-penyakit yang buruk.” (HR. Abu Dawud) Baca juga: Mensyukuri Nikmat Keamanan Bangsa Doa meminta kesehatan yang diajarkan Nabi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memohon kepada Rabb-nya setiap pagi dan petang agar diberikan kesehatan (al-‘afiyah) dalam urusan agama, dunia, jiwa, keluarga, dan harta. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي… “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu maaf (ampunan) dan kesehatan dalam urusan agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku.” (HR. Abu Dawud) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memohon kepada Rabb-nya setiap pagi dan petang agar diberikan kesehatan (al-‘afiyah) dalam urusan agama, dunia, jiwa, keluarga, dan harta. Beliau juga memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan hal yang sama. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan doa-doa berikut ini ketika memasuki waktu pagi dan petang, ‘Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kesehatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu maaf (ampunan) dan kesehatan dalam urusan agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku.’” (HR. Abu Dawud) Imam Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Mu’adz bin Rifa’ah, dari ayahnya, ia berkata, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berdiri di atas mimbar, lalu menangis, kemudian berkata, قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْأَوَّلِ عَلَى الْمِنْبَرِ، ثُمَّ بَكَى، وَقَالَ: سَلُوا اللَّهَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ، فَإِنَّهُ لَمْ يُعْطَ أَحَدٌ بَعْدَ الْيَقِينِ شَيْئًا خَيْرًا مِنَ الْعَافِيَةِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di atas mimbar tahun lalu, lalu beliau menangis dan bersabda, ‘Mohonlah kepada Allah ampunan dan kesehatan, karena tidak ada seorang pun yang diberi sesuatu setelah keyakinan (iman) yang lebih baik dari kesehatan.’” (HR. Tirmidzi) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengabarkan bahwa banyak manusia yang lalai dan rugi terhadap nikmat ini. Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ “Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing umatnya untuk memanfaatkan kesehatan sebelum datangnya penyakit. Imam Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Al-Mustadrak dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ… وَذَكَرَ مِنْهَا: صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ “Manfaatkan lima perkara sebelum datang lima perkara… di antaranya: kesehatanmu sebelum sakitmu.” (HR. Hakim) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana tercatat dalam Shahih Bukhari, berkata, إِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَإِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ “Jika engkau berada di pagi hari, jangan menunggu sore hari. Jika engkau berada di sore hari, jangan menunggu pagi hari. Manfaatkanlah kesehatanmu sebelum sakitmu, dan hidupmu sebelum matimu.” (HR. Bukhari) Siapa saja yang mengunjungi rumah sakit kaum muslimin dan melihat apa yang menimpa saudara-saudaranya berupa penyakit-penyakit berbahaya yang sebagian di antaranya tidak mampu diobati oleh ilmu kedokteran modern, hendaknya ia memuji Allah Ta’ala pagi dan petang atas nikmat kesehatan. Allah Ta’ala berfirman, وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِن تَعُدُّوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ ٱلْإِنسَـٰنَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ “Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34) Nikmat makanan Kata-kata “عنده قوت يومه” berarti “ia memiliki makanan yang cukup untuk pagi dan sore harinya.” Makanan adalah salah satu nikmat besar dari Allah. Allah Ta’ala berfirman, فَلْيَعْبُدُوا۟ رَبَّ هَـٰذَا ٱلْبَيْتِ * ٱلَّذِىٓ أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍۢ وَءَامَنَهُم مِّنْ خَوْفٍۢ “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (Pemilik) rumah ini (Kakbah), yang telah memberi mereka makan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut.” (QS. Quraisy: 3-4) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlindung kepada Allah dari kelaparan. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُوعِ، فَإِنَّهُ بِئْسَ الضَّجِيعُ “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelaparan, karena kelaparan adalah seburuk-buruk pendamping.” (HR. Abu Dawud) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga meminta kepada Allah kecukupan, yaitu rezeki yang cukup baginya. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اللَّهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آلِ مُحَمَّدٍ قُوتًا “Ya Allah, jadikanlah rezeki keluarga Muhammad sekadar yang mencukupi.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dari semua ini, jelaslah bahwa siapa pun yang memiliki tiga hal ini pada harinya (keamanan, kesehatan, dan makanan yang cukup), maka seolah-olah ia telah memiliki seluruh dunia. Namun, banyak manusia yang memiliki jauh lebih banyak dari apa yang disebutkan dalam hadis ini, tetapi mereka mengingkarinya dan meremehkan nikmat yang mereka miliki. Mereka seperti yang Allah Ta’ala firmankan, يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا وَأَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ “Mereka mengetahui nikmat Allah, tetapi mereka mengingkarinya, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (QS. An-Nahl: 83) Allah Ta’ala juga berfirman, أَفَبِنِعْمَتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ “Apakah mereka mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl: 71) Obat dari penyakit ini adalah seseorang melihat kepada mereka yang tidak memiliki nikmat ini atau kehilangan sebagian darinya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ “Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian, dan jangan melihat kepada orang yang berada di atas kalian. Hal itu lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ibnu Jarir dan ulama lainnya berkata bahwa hadis ini mencakup berbagai kebaikan. Ketika seseorang melihat kepada orang yang lebih darinya dalam urusan dunia, ia akan merasa tidak puas dengan nikmat Allah yang ia miliki dan berusaha mendapat lebih banyak. Namun, jika ia melihat kepada mereka yang lebih rendah darinya dalam urusan dunia, ia akan menyadari nikmat Allah kepadanya, bersyukur, rendah hati, dan melakukan kebaikan. Baca juga: Larangan untuk Mencela Makanan *** Penulis: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Website alukah.net.


Daftar Isi Toggle Teks HadisPenjelasan KalimatKandungan HadisKeamanan sebagai nikmatJanji Allah kepada orang berimanMakna “معافى في بدنه”Doa meminta kesehatan yang diajarkan NabiNikmat makanan Teks Hadis Imam Tirmidzi meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Ubaidullah bin Mihshan al-Khatmi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا “Barangsiapa di antara kalian yang pada pagi harinya merasa aman di tempat tinggalnya, sehat tubuhnya, dan memiliki makanan yang cukup untuk hari itu, maka seolah-olah dunia dan segala isinya telah diberikan kepadanya.” (HR. Tirmizi) Penjelasan Kalimat “أصبح”: Maksudnya adalah “pada pagi hari itu,” mengisyaratkan bahwa seorang mukmin tidak perlu risau atau cemas memikirkan masa depan. Hal ini karena segala urusan ada di tangan Allah, yang mengatur segalanya, dan seorang mukmin harus berbaik sangka (husnuzan) kepada Rabb-nya, serta optimis terhadap kebaikan. “آمنًا في سربه”: Ada yang menafsirkan sebagai, “aman bersama keluarga dan anak-anaknya.” Ada pula yang menafsirkannya sebagai, “aman di tempat tinggal dan jalan yang dilaluinya.” Atau juga, “aman di rumahnya”; tanpa ada ancaman pembunuhan, pencurian, atau pelanggaran kehormatan. Kandungan Hadis Keamanan sebagai nikmat Keamanan adalah salah satu nikmat terbesar dari Allah kepada hamba-hamba-Nya setelah nikmat iman dan Islam. Nikmat ini tidak dirasakan kecuali oleh orang-orang yang merasa tidak aman, seperti mereka yang hidup di negeri-negeri yang sistem dan keamanannya terganggu, atau mereka yang mengalami perang dahsyat yang menghancurkan tanaman dan keturunan. Mereka tidur dengan suara pesawat tempur dan dentuman meriam, serta hidup dengan tangan mereka di dada, menunggu kematian setiap saat. Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَلَمْ يَلْبِسُوٓا۟ إِيمَـٰنَهُم بِظُلْمٍ أُو۟لَـٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82) Janji Allah kepada orang beriman Allah telah menjanjikan kepada orang-orang beriman keamanan jika mereka merealisasikan tauhid, mengikhlaskan iman, dan beramal saleh. Allah Ta’ala berfirman, وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ ٱلَّذِى ٱرْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا يُشْرِكُونَ بِى شَيْـًٔا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَـٰسِقُونَ “Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan menggantikan keadaan mereka, setelah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku tanpa mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Tetapi barang siapa tetap kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 55) Allah Ta’ala juga berfirman, أَلَآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ * ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَكَانُوا۟ يَتَّقُونَ * لَهُمُ ٱلْبُشْرَىٰ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَفِى ٱلْـَٔاخِرَةِ ۚ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَـٰتِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ “Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati, (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus: 62–64) Makna “معافى في بدنه” Yaitu sehat dan bebas dari penyakit serta gangguan tubuh. Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ وَالْجُنُونِ وَالْجُذَامِ، وَمِنْ سَيِّئِ الْأَسْقَامِ “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari penyakit kusta, gila, lepra, dan penyakit-penyakit yang buruk.” (HR. Abu Dawud) Baca juga: Mensyukuri Nikmat Keamanan Bangsa Doa meminta kesehatan yang diajarkan Nabi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memohon kepada Rabb-nya setiap pagi dan petang agar diberikan kesehatan (al-‘afiyah) dalam urusan agama, dunia, jiwa, keluarga, dan harta. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي… “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu maaf (ampunan) dan kesehatan dalam urusan agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku.” (HR. Abu Dawud) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memohon kepada Rabb-nya setiap pagi dan petang agar diberikan kesehatan (al-‘afiyah) dalam urusan agama, dunia, jiwa, keluarga, dan harta. Beliau juga memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan hal yang sama. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan doa-doa berikut ini ketika memasuki waktu pagi dan petang, ‘Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kesehatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu maaf (ampunan) dan kesehatan dalam urusan agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku.’” (HR. Abu Dawud) Imam Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Mu’adz bin Rifa’ah, dari ayahnya, ia berkata, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berdiri di atas mimbar, lalu menangis, kemudian berkata, قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْأَوَّلِ عَلَى الْمِنْبَرِ، ثُمَّ بَكَى، وَقَالَ: سَلُوا اللَّهَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ، فَإِنَّهُ لَمْ يُعْطَ أَحَدٌ بَعْدَ الْيَقِينِ شَيْئًا خَيْرًا مِنَ الْعَافِيَةِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di atas mimbar tahun lalu, lalu beliau menangis dan bersabda, ‘Mohonlah kepada Allah ampunan dan kesehatan, karena tidak ada seorang pun yang diberi sesuatu setelah keyakinan (iman) yang lebih baik dari kesehatan.’” (HR. Tirmidzi) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengabarkan bahwa banyak manusia yang lalai dan rugi terhadap nikmat ini. Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ “Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing umatnya untuk memanfaatkan kesehatan sebelum datangnya penyakit. Imam Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Al-Mustadrak dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ… وَذَكَرَ مِنْهَا: صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ “Manfaatkan lima perkara sebelum datang lima perkara… di antaranya: kesehatanmu sebelum sakitmu.” (HR. Hakim) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana tercatat dalam Shahih Bukhari, berkata, إِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَإِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ “Jika engkau berada di pagi hari, jangan menunggu sore hari. Jika engkau berada di sore hari, jangan menunggu pagi hari. Manfaatkanlah kesehatanmu sebelum sakitmu, dan hidupmu sebelum matimu.” (HR. Bukhari) Siapa saja yang mengunjungi rumah sakit kaum muslimin dan melihat apa yang menimpa saudara-saudaranya berupa penyakit-penyakit berbahaya yang sebagian di antaranya tidak mampu diobati oleh ilmu kedokteran modern, hendaknya ia memuji Allah Ta’ala pagi dan petang atas nikmat kesehatan. Allah Ta’ala berfirman, وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِن تَعُدُّوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ ٱلْإِنسَـٰنَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ “Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34) Nikmat makanan Kata-kata “عنده قوت يومه” berarti “ia memiliki makanan yang cukup untuk pagi dan sore harinya.” Makanan adalah salah satu nikmat besar dari Allah. Allah Ta’ala berfirman, فَلْيَعْبُدُوا۟ رَبَّ هَـٰذَا ٱلْبَيْتِ * ٱلَّذِىٓ أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍۢ وَءَامَنَهُم مِّنْ خَوْفٍۢ “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (Pemilik) rumah ini (Kakbah), yang telah memberi mereka makan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut.” (QS. Quraisy: 3-4) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlindung kepada Allah dari kelaparan. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُوعِ، فَإِنَّهُ بِئْسَ الضَّجِيعُ “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelaparan, karena kelaparan adalah seburuk-buruk pendamping.” (HR. Abu Dawud) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga meminta kepada Allah kecukupan, yaitu rezeki yang cukup baginya. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اللَّهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آلِ مُحَمَّدٍ قُوتًا “Ya Allah, jadikanlah rezeki keluarga Muhammad sekadar yang mencukupi.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dari semua ini, jelaslah bahwa siapa pun yang memiliki tiga hal ini pada harinya (keamanan, kesehatan, dan makanan yang cukup), maka seolah-olah ia telah memiliki seluruh dunia. Namun, banyak manusia yang memiliki jauh lebih banyak dari apa yang disebutkan dalam hadis ini, tetapi mereka mengingkarinya dan meremehkan nikmat yang mereka miliki. Mereka seperti yang Allah Ta’ala firmankan, يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا وَأَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ “Mereka mengetahui nikmat Allah, tetapi mereka mengingkarinya, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (QS. An-Nahl: 83) Allah Ta’ala juga berfirman, أَفَبِنِعْمَتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ “Apakah mereka mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl: 71) Obat dari penyakit ini adalah seseorang melihat kepada mereka yang tidak memiliki nikmat ini atau kehilangan sebagian darinya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ “Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian, dan jangan melihat kepada orang yang berada di atas kalian. Hal itu lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ibnu Jarir dan ulama lainnya berkata bahwa hadis ini mencakup berbagai kebaikan. Ketika seseorang melihat kepada orang yang lebih darinya dalam urusan dunia, ia akan merasa tidak puas dengan nikmat Allah yang ia miliki dan berusaha mendapat lebih banyak. Namun, jika ia melihat kepada mereka yang lebih rendah darinya dalam urusan dunia, ia akan menyadari nikmat Allah kepadanya, bersyukur, rendah hati, dan melakukan kebaikan. Baca juga: Larangan untuk Mencela Makanan *** Penulis: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Website alukah.net.

Sungguh Beruntung Jika Anda Duduk Bersamanya – Syaikh Abdurrazzaq Al Badr #NasehatUlama

Beliau —Semoga Allah Menjaganya— mengatakan, juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallāhu ʿanhu, bahwa Rasulullah ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah memiliki malaikat-malaikat yang berkeliling di jalan-jalan mencari orang-orang yang berzikir kepada Allah. Ketika mereka menemukan suatu kaum yang berzikir, mereka saling memanggil: “Kemarilah, di sini ada yang kalian cari.” Lalu para malaikat menaungi mereka dengan sayap-sayap mereka sampai ke langit dunia. Kemudian, Allah bertanya kepada malaikat-malaikat itu —padahal Allah lebih Mengetahui daripada mereka— “Apa yang dikatakan hamba-Ku?” Para malaikat menjawab, “Mereka bertasbih, bertakbir, dan bertahmid kepada-Mu serta mengagungkan-Mu.” Allah Bertanya lagi, “Apakah mereka sudah melihat-Ku?” Para malaikat menjawab, “Tidak, demi Allah! Mereka belum melihat-Mu.” Allah Bertanya, “Bagaimana sekiranya jika mereka melihat-Ku?” Para malaikat menjawab, “Sekiranya mereka melihat-Mu, tentu mereka akan lebih giat beribadah kepada-Mu dan lebih bersungguh-sungguh dalam mengagungkan-Mu dan lebih banyak bertasbih kepada-Mu.” Allah Bertanya, “Apa yang mereka minta dari-Ku?” Para malaikat menjawab, “Mereka meminta surga.” Allah Bertanya, “Apakah mereka pernah melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tidak, demi Allah, mereka belum pernah melihatnya.” Allah Bertanya, “Bagaimana sekiranya jika mereka melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tentu mereka akan semakin bersemangat menginginkannya, semakin bersungguh-sungguh memintanya, dan semakin besar mengharapkannya.” Allah Bertanya, “Lalu, mereka meminta perlindungan dari apa?” Para malaikat menjawab, “Dari api neraka.” Allah Bertanya, “Apakah mereka sudah pernah melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tidak, demi Allah, mereka belum pernah melihatnya.” Allah Bertanya, “Bagaimana sekiranya jika mereka melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tentu mereka akan semakin berusaha menghindarinya dan tambah takut terhadapnya.” Lalu Allah Berfirman: “Aku bersaksi kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka.” Lalu ada salah satu malaikat berkata: “Di antara mereka ada seseorang yang bukan bagian dari mereka, dia hanya datang karena suatu keperluan.” Allah Taʿālā Berfirman: “Mereka adalah kaum yang tidak akan celaka orang yang duduk bersama mereka.” Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya dan Membuatnya rida. Sebuah hadis yang sangat agung tentang keutamaan zikir, agungnya kedudukannya, dan besarnya pahala orang yang berzikir di sisi Allah ʿAzza wa Jalla. ==== قَالَ حَفِظَهُ الله وَعَنْهُ رَضَيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ قَالَ: فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالَ: فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ مَا يَقُولُ عِبَادِي قَالَ: يَقُولُونَ يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيُمَجِّدُونَكَ قَالَ فَيَقُولُ عَزَّ وَجَلَّ هَلْ رَأَوْنِي قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ مَا رَأَوْكَ قَالَ فَيَقُولُ وَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْكَ كَانُوا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً وَأَشَدَّ لَكَ تَمْجِيدًا وَأَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيحًا قَالَ يَقُولُ فَمَا يَسْأَلُونِي قَالَ يَسْأَلُونَكَ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا؟ قَالَ يَقُولُونَ: كَانُوا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَأَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَأَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً قَالَ فَمِمَّ يَتَعَوَّذُونَ قَالَ يَقُولُونَ مِنَ النَّارِ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا؟ قَالَ يَقُولُونَ كَانُوا أَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا وَأَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً قَالَ فَيَقُولُ فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ قَالَ يَقُولُ مَلَكٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ فِيهِمْ فُلَانٌ لَيْسَ مِنْهُمْ إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ قَالَ يَقُولُ الله تَعَالَى هُمْ الْجُلَسَاءُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ هَذَا الْحَدِيثُ حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَأَرْضَاهُ حَدِيثٌ عَظِيمٌ جِدًّا فِي فَضْلِ الذِّكْرِ وَعَظِيمِ شَأْنِهِ وَعَظِيمِ ثَوَابِ أَهْلِهِ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

Sungguh Beruntung Jika Anda Duduk Bersamanya – Syaikh Abdurrazzaq Al Badr #NasehatUlama

Beliau —Semoga Allah Menjaganya— mengatakan, juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallāhu ʿanhu, bahwa Rasulullah ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah memiliki malaikat-malaikat yang berkeliling di jalan-jalan mencari orang-orang yang berzikir kepada Allah. Ketika mereka menemukan suatu kaum yang berzikir, mereka saling memanggil: “Kemarilah, di sini ada yang kalian cari.” Lalu para malaikat menaungi mereka dengan sayap-sayap mereka sampai ke langit dunia. Kemudian, Allah bertanya kepada malaikat-malaikat itu —padahal Allah lebih Mengetahui daripada mereka— “Apa yang dikatakan hamba-Ku?” Para malaikat menjawab, “Mereka bertasbih, bertakbir, dan bertahmid kepada-Mu serta mengagungkan-Mu.” Allah Bertanya lagi, “Apakah mereka sudah melihat-Ku?” Para malaikat menjawab, “Tidak, demi Allah! Mereka belum melihat-Mu.” Allah Bertanya, “Bagaimana sekiranya jika mereka melihat-Ku?” Para malaikat menjawab, “Sekiranya mereka melihat-Mu, tentu mereka akan lebih giat beribadah kepada-Mu dan lebih bersungguh-sungguh dalam mengagungkan-Mu dan lebih banyak bertasbih kepada-Mu.” Allah Bertanya, “Apa yang mereka minta dari-Ku?” Para malaikat menjawab, “Mereka meminta surga.” Allah Bertanya, “Apakah mereka pernah melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tidak, demi Allah, mereka belum pernah melihatnya.” Allah Bertanya, “Bagaimana sekiranya jika mereka melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tentu mereka akan semakin bersemangat menginginkannya, semakin bersungguh-sungguh memintanya, dan semakin besar mengharapkannya.” Allah Bertanya, “Lalu, mereka meminta perlindungan dari apa?” Para malaikat menjawab, “Dari api neraka.” Allah Bertanya, “Apakah mereka sudah pernah melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tidak, demi Allah, mereka belum pernah melihatnya.” Allah Bertanya, “Bagaimana sekiranya jika mereka melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tentu mereka akan semakin berusaha menghindarinya dan tambah takut terhadapnya.” Lalu Allah Berfirman: “Aku bersaksi kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka.” Lalu ada salah satu malaikat berkata: “Di antara mereka ada seseorang yang bukan bagian dari mereka, dia hanya datang karena suatu keperluan.” Allah Taʿālā Berfirman: “Mereka adalah kaum yang tidak akan celaka orang yang duduk bersama mereka.” Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya dan Membuatnya rida. Sebuah hadis yang sangat agung tentang keutamaan zikir, agungnya kedudukannya, dan besarnya pahala orang yang berzikir di sisi Allah ʿAzza wa Jalla. ==== قَالَ حَفِظَهُ الله وَعَنْهُ رَضَيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ قَالَ: فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالَ: فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ مَا يَقُولُ عِبَادِي قَالَ: يَقُولُونَ يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيُمَجِّدُونَكَ قَالَ فَيَقُولُ عَزَّ وَجَلَّ هَلْ رَأَوْنِي قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ مَا رَأَوْكَ قَالَ فَيَقُولُ وَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْكَ كَانُوا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً وَأَشَدَّ لَكَ تَمْجِيدًا وَأَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيحًا قَالَ يَقُولُ فَمَا يَسْأَلُونِي قَالَ يَسْأَلُونَكَ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا؟ قَالَ يَقُولُونَ: كَانُوا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَأَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَأَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً قَالَ فَمِمَّ يَتَعَوَّذُونَ قَالَ يَقُولُونَ مِنَ النَّارِ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا؟ قَالَ يَقُولُونَ كَانُوا أَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا وَأَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً قَالَ فَيَقُولُ فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ قَالَ يَقُولُ مَلَكٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ فِيهِمْ فُلَانٌ لَيْسَ مِنْهُمْ إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ قَالَ يَقُولُ الله تَعَالَى هُمْ الْجُلَسَاءُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ هَذَا الْحَدِيثُ حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَأَرْضَاهُ حَدِيثٌ عَظِيمٌ جِدًّا فِي فَضْلِ الذِّكْرِ وَعَظِيمِ شَأْنِهِ وَعَظِيمِ ثَوَابِ أَهْلِهِ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Beliau —Semoga Allah Menjaganya— mengatakan, juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallāhu ʿanhu, bahwa Rasulullah ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah memiliki malaikat-malaikat yang berkeliling di jalan-jalan mencari orang-orang yang berzikir kepada Allah. Ketika mereka menemukan suatu kaum yang berzikir, mereka saling memanggil: “Kemarilah, di sini ada yang kalian cari.” Lalu para malaikat menaungi mereka dengan sayap-sayap mereka sampai ke langit dunia. Kemudian, Allah bertanya kepada malaikat-malaikat itu —padahal Allah lebih Mengetahui daripada mereka— “Apa yang dikatakan hamba-Ku?” Para malaikat menjawab, “Mereka bertasbih, bertakbir, dan bertahmid kepada-Mu serta mengagungkan-Mu.” Allah Bertanya lagi, “Apakah mereka sudah melihat-Ku?” Para malaikat menjawab, “Tidak, demi Allah! Mereka belum melihat-Mu.” Allah Bertanya, “Bagaimana sekiranya jika mereka melihat-Ku?” Para malaikat menjawab, “Sekiranya mereka melihat-Mu, tentu mereka akan lebih giat beribadah kepada-Mu dan lebih bersungguh-sungguh dalam mengagungkan-Mu dan lebih banyak bertasbih kepada-Mu.” Allah Bertanya, “Apa yang mereka minta dari-Ku?” Para malaikat menjawab, “Mereka meminta surga.” Allah Bertanya, “Apakah mereka pernah melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tidak, demi Allah, mereka belum pernah melihatnya.” Allah Bertanya, “Bagaimana sekiranya jika mereka melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tentu mereka akan semakin bersemangat menginginkannya, semakin bersungguh-sungguh memintanya, dan semakin besar mengharapkannya.” Allah Bertanya, “Lalu, mereka meminta perlindungan dari apa?” Para malaikat menjawab, “Dari api neraka.” Allah Bertanya, “Apakah mereka sudah pernah melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tidak, demi Allah, mereka belum pernah melihatnya.” Allah Bertanya, “Bagaimana sekiranya jika mereka melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tentu mereka akan semakin berusaha menghindarinya dan tambah takut terhadapnya.” Lalu Allah Berfirman: “Aku bersaksi kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka.” Lalu ada salah satu malaikat berkata: “Di antara mereka ada seseorang yang bukan bagian dari mereka, dia hanya datang karena suatu keperluan.” Allah Taʿālā Berfirman: “Mereka adalah kaum yang tidak akan celaka orang yang duduk bersama mereka.” Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya dan Membuatnya rida. Sebuah hadis yang sangat agung tentang keutamaan zikir, agungnya kedudukannya, dan besarnya pahala orang yang berzikir di sisi Allah ʿAzza wa Jalla. ==== قَالَ حَفِظَهُ الله وَعَنْهُ رَضَيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ قَالَ: فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالَ: فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ مَا يَقُولُ عِبَادِي قَالَ: يَقُولُونَ يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيُمَجِّدُونَكَ قَالَ فَيَقُولُ عَزَّ وَجَلَّ هَلْ رَأَوْنِي قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ مَا رَأَوْكَ قَالَ فَيَقُولُ وَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْكَ كَانُوا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً وَأَشَدَّ لَكَ تَمْجِيدًا وَأَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيحًا قَالَ يَقُولُ فَمَا يَسْأَلُونِي قَالَ يَسْأَلُونَكَ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا؟ قَالَ يَقُولُونَ: كَانُوا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَأَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَأَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً قَالَ فَمِمَّ يَتَعَوَّذُونَ قَالَ يَقُولُونَ مِنَ النَّارِ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا؟ قَالَ يَقُولُونَ كَانُوا أَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا وَأَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً قَالَ فَيَقُولُ فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ قَالَ يَقُولُ مَلَكٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ فِيهِمْ فُلَانٌ لَيْسَ مِنْهُمْ إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ قَالَ يَقُولُ الله تَعَالَى هُمْ الْجُلَسَاءُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ هَذَا الْحَدِيثُ حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَأَرْضَاهُ حَدِيثٌ عَظِيمٌ جِدًّا فِي فَضْلِ الذِّكْرِ وَعَظِيمِ شَأْنِهِ وَعَظِيمِ ثَوَابِ أَهْلِهِ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ


Beliau —Semoga Allah Menjaganya— mengatakan, juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallāhu ʿanhu, bahwa Rasulullah ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah memiliki malaikat-malaikat yang berkeliling di jalan-jalan mencari orang-orang yang berzikir kepada Allah. Ketika mereka menemukan suatu kaum yang berzikir, mereka saling memanggil: “Kemarilah, di sini ada yang kalian cari.” Lalu para malaikat menaungi mereka dengan sayap-sayap mereka sampai ke langit dunia. Kemudian, Allah bertanya kepada malaikat-malaikat itu —padahal Allah lebih Mengetahui daripada mereka— “Apa yang dikatakan hamba-Ku?” Para malaikat menjawab, “Mereka bertasbih, bertakbir, dan bertahmid kepada-Mu serta mengagungkan-Mu.” Allah Bertanya lagi, “Apakah mereka sudah melihat-Ku?” Para malaikat menjawab, “Tidak, demi Allah! Mereka belum melihat-Mu.” Allah Bertanya, “Bagaimana sekiranya jika mereka melihat-Ku?” Para malaikat menjawab, “Sekiranya mereka melihat-Mu, tentu mereka akan lebih giat beribadah kepada-Mu dan lebih bersungguh-sungguh dalam mengagungkan-Mu dan lebih banyak bertasbih kepada-Mu.” Allah Bertanya, “Apa yang mereka minta dari-Ku?” Para malaikat menjawab, “Mereka meminta surga.” Allah Bertanya, “Apakah mereka pernah melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tidak, demi Allah, mereka belum pernah melihatnya.” Allah Bertanya, “Bagaimana sekiranya jika mereka melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tentu mereka akan semakin bersemangat menginginkannya, semakin bersungguh-sungguh memintanya, dan semakin besar mengharapkannya.” Allah Bertanya, “Lalu, mereka meminta perlindungan dari apa?” Para malaikat menjawab, “Dari api neraka.” Allah Bertanya, “Apakah mereka sudah pernah melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tidak, demi Allah, mereka belum pernah melihatnya.” Allah Bertanya, “Bagaimana sekiranya jika mereka melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tentu mereka akan semakin berusaha menghindarinya dan tambah takut terhadapnya.” Lalu Allah Berfirman: “Aku bersaksi kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka.” Lalu ada salah satu malaikat berkata: “Di antara mereka ada seseorang yang bukan bagian dari mereka, dia hanya datang karena suatu keperluan.” Allah Taʿālā Berfirman: “Mereka adalah kaum yang tidak akan celaka orang yang duduk bersama mereka.” Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya dan Membuatnya rida. Sebuah hadis yang sangat agung tentang keutamaan zikir, agungnya kedudukannya, dan besarnya pahala orang yang berzikir di sisi Allah ʿAzza wa Jalla. ==== قَالَ حَفِظَهُ الله وَعَنْهُ رَضَيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ قَالَ: فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالَ: فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ مَا يَقُولُ عِبَادِي قَالَ: يَقُولُونَ يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيُمَجِّدُونَكَ قَالَ فَيَقُولُ عَزَّ وَجَلَّ هَلْ رَأَوْنِي قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ مَا رَأَوْكَ قَالَ فَيَقُولُ وَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْكَ كَانُوا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً وَأَشَدَّ لَكَ تَمْجِيدًا وَأَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيحًا قَالَ يَقُولُ فَمَا يَسْأَلُونِي قَالَ يَسْأَلُونَكَ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا؟ قَالَ يَقُولُونَ: كَانُوا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَأَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَأَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً قَالَ فَمِمَّ يَتَعَوَّذُونَ قَالَ يَقُولُونَ مِنَ النَّارِ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا؟ قَالَ يَقُولُونَ كَانُوا أَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا وَأَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً قَالَ فَيَقُولُ فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ قَالَ يَقُولُ مَلَكٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ فِيهِمْ فُلَانٌ لَيْسَ مِنْهُمْ إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ قَالَ يَقُولُ الله تَعَالَى هُمْ الْجُلَسَاءُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ هَذَا الْحَدِيثُ حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَأَرْضَاهُ حَدِيثٌ عَظِيمٌ جِدًّا فِي فَضْلِ الذِّكْرِ وَعَظِيمِ شَأْنِهِ وَعَظِيمِ ثَوَابِ أَهْلِهِ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 210 – Adab Buang Hajat Bag-2

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 210 – Adab Buang Hajat Bag-2 Posted on December 31, 2024December 31, 2024by Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas beberapa adab buang hajat dalam pandangan Islam. Berikut kelanjutannya: Keempat: Membersihkan kemaluan Setelah buang air besar ataupun kecil, kemaluan dan dubur harus dibersihkan. Yang paling afdhal adalah membasuhnya dengan air hingga bersih. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, «كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ ‌لِحَاجَتِهِ، ‌أَجِيءُ أَنَا وَغُلَامٌ مَعَنَا إِدَاوَة مِنْ مَاءٍ، يَعْنِي يَسْتَنْجِي بِهِ» “Bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam buang hajat, aku dan pembantu lainnya membawakan wadah berisikan air, untuk digunakan beliau membersihkan kemaluannya”. HR. Bukhari (no. 150). Bila air tidak tersedia, maka diperbolehkan untuk membersihkan kemaluan dengan benda padat bersih yang menyerap air, seperti batu, kayu, tisu dan yang serupa. Salman al-Farisiy radhiyallahu ‘anhu menyampaikan, »لَقَدْ نَهَانَا … أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ« ‌‌“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang kami … untuk membersihkan kemaluan dengan batu kurang dari tiga butir, atau membersihkannya dengan kotoran atau tulang”. HR. Muslim (no. 262). Kelima: Berhati-hati dari cipratan air kencing Sebab hal yang kerap dianggap remeh ini, bisa mengakibatkan seseorang diazab di kuburan. Gara-gara najis air seni itu mengotori tubuh atau pakaiannya. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bercerita, مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ، فَقَالَ: «إِنَّهُمَا ‌لَيُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ، أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنَ البَوْلِ، وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ« “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah lewat di samping dua kuburan. Beliau bersabda, “Dua orang ini sedang diazab, gara-gara hal yang dianggap remeh. Orang pertama tidak berhati-hati dari air kencing. Orang kedua sering mengadu domba”. HR. Bukhari (no. 218) dan Muslim (no. 292). Keenam: Tidak berbicara di kamar mandi Tidak boleh berbicara di toilet, apalagi berdzikir atau berdoa. Sebab toilet bukanlah tempat untuk hal tersebut. Kecuali bila dalam kondisi darurat. Misalnya orang yang di toilet membutuhkan bantuan mendesak dari orang lain. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan, «أَنَّ ‌رَجُلًا ‌مَرَّ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبُولُ، فَسَلَّمَ، فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ» “Ada seseorang lewat di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat beliau sedang buang air kecil. Orang itu mengucapkan salam, namun beliau tidak menjawabnya”. HR. Muslim (no. 370). Ketujuh: Tidak buang hajat di jalan atau tempat bernaung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan, «اتَّقُوا ‌اللَّعَّانَيْنِ» قَالُوا: وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ، أَوْ فِي ظِلِّهِمْ» “Hindarilah dua jenis manusia yang dilaknat orang banyak”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah dua manusia tersebut?”. Beliau menjawab, “Manusia yang buang hajat di jalan yang banyak dilewati orang dan di tempat mereka bernaung”. HR. Muslim (no. 269).  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 10 Rajab 1445 / 22 Januari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 209 Adab Buang Hajat Bag-1Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 211 – Doa Sebelum Berwudhu SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 210 – Adab Buang Hajat Bag-2

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 210 – Adab Buang Hajat Bag-2 Posted on December 31, 2024December 31, 2024by Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas beberapa adab buang hajat dalam pandangan Islam. Berikut kelanjutannya: Keempat: Membersihkan kemaluan Setelah buang air besar ataupun kecil, kemaluan dan dubur harus dibersihkan. Yang paling afdhal adalah membasuhnya dengan air hingga bersih. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, «كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ ‌لِحَاجَتِهِ، ‌أَجِيءُ أَنَا وَغُلَامٌ مَعَنَا إِدَاوَة مِنْ مَاءٍ، يَعْنِي يَسْتَنْجِي بِهِ» “Bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam buang hajat, aku dan pembantu lainnya membawakan wadah berisikan air, untuk digunakan beliau membersihkan kemaluannya”. HR. Bukhari (no. 150). Bila air tidak tersedia, maka diperbolehkan untuk membersihkan kemaluan dengan benda padat bersih yang menyerap air, seperti batu, kayu, tisu dan yang serupa. Salman al-Farisiy radhiyallahu ‘anhu menyampaikan, »لَقَدْ نَهَانَا … أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ« ‌‌“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang kami … untuk membersihkan kemaluan dengan batu kurang dari tiga butir, atau membersihkannya dengan kotoran atau tulang”. HR. Muslim (no. 262). Kelima: Berhati-hati dari cipratan air kencing Sebab hal yang kerap dianggap remeh ini, bisa mengakibatkan seseorang diazab di kuburan. Gara-gara najis air seni itu mengotori tubuh atau pakaiannya. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bercerita, مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ، فَقَالَ: «إِنَّهُمَا ‌لَيُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ، أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنَ البَوْلِ، وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ« “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah lewat di samping dua kuburan. Beliau bersabda, “Dua orang ini sedang diazab, gara-gara hal yang dianggap remeh. Orang pertama tidak berhati-hati dari air kencing. Orang kedua sering mengadu domba”. HR. Bukhari (no. 218) dan Muslim (no. 292). Keenam: Tidak berbicara di kamar mandi Tidak boleh berbicara di toilet, apalagi berdzikir atau berdoa. Sebab toilet bukanlah tempat untuk hal tersebut. Kecuali bila dalam kondisi darurat. Misalnya orang yang di toilet membutuhkan bantuan mendesak dari orang lain. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan, «أَنَّ ‌رَجُلًا ‌مَرَّ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبُولُ، فَسَلَّمَ، فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ» “Ada seseorang lewat di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat beliau sedang buang air kecil. Orang itu mengucapkan salam, namun beliau tidak menjawabnya”. HR. Muslim (no. 370). Ketujuh: Tidak buang hajat di jalan atau tempat bernaung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan, «اتَّقُوا ‌اللَّعَّانَيْنِ» قَالُوا: وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ، أَوْ فِي ظِلِّهِمْ» “Hindarilah dua jenis manusia yang dilaknat orang banyak”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah dua manusia tersebut?”. Beliau menjawab, “Manusia yang buang hajat di jalan yang banyak dilewati orang dan di tempat mereka bernaung”. HR. Muslim (no. 269).  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 10 Rajab 1445 / 22 Januari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 209 Adab Buang Hajat Bag-1Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 211 – Doa Sebelum Berwudhu SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 210 – Adab Buang Hajat Bag-2 Posted on December 31, 2024December 31, 2024by Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas beberapa adab buang hajat dalam pandangan Islam. Berikut kelanjutannya: Keempat: Membersihkan kemaluan Setelah buang air besar ataupun kecil, kemaluan dan dubur harus dibersihkan. Yang paling afdhal adalah membasuhnya dengan air hingga bersih. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, «كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ ‌لِحَاجَتِهِ، ‌أَجِيءُ أَنَا وَغُلَامٌ مَعَنَا إِدَاوَة مِنْ مَاءٍ، يَعْنِي يَسْتَنْجِي بِهِ» “Bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam buang hajat, aku dan pembantu lainnya membawakan wadah berisikan air, untuk digunakan beliau membersihkan kemaluannya”. HR. Bukhari (no. 150). Bila air tidak tersedia, maka diperbolehkan untuk membersihkan kemaluan dengan benda padat bersih yang menyerap air, seperti batu, kayu, tisu dan yang serupa. Salman al-Farisiy radhiyallahu ‘anhu menyampaikan, »لَقَدْ نَهَانَا … أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ« ‌‌“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang kami … untuk membersihkan kemaluan dengan batu kurang dari tiga butir, atau membersihkannya dengan kotoran atau tulang”. HR. Muslim (no. 262). Kelima: Berhati-hati dari cipratan air kencing Sebab hal yang kerap dianggap remeh ini, bisa mengakibatkan seseorang diazab di kuburan. Gara-gara najis air seni itu mengotori tubuh atau pakaiannya. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bercerita, مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ، فَقَالَ: «إِنَّهُمَا ‌لَيُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ، أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنَ البَوْلِ، وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ« “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah lewat di samping dua kuburan. Beliau bersabda, “Dua orang ini sedang diazab, gara-gara hal yang dianggap remeh. Orang pertama tidak berhati-hati dari air kencing. Orang kedua sering mengadu domba”. HR. Bukhari (no. 218) dan Muslim (no. 292). Keenam: Tidak berbicara di kamar mandi Tidak boleh berbicara di toilet, apalagi berdzikir atau berdoa. Sebab toilet bukanlah tempat untuk hal tersebut. Kecuali bila dalam kondisi darurat. Misalnya orang yang di toilet membutuhkan bantuan mendesak dari orang lain. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan, «أَنَّ ‌رَجُلًا ‌مَرَّ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبُولُ، فَسَلَّمَ، فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ» “Ada seseorang lewat di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat beliau sedang buang air kecil. Orang itu mengucapkan salam, namun beliau tidak menjawabnya”. HR. Muslim (no. 370). Ketujuh: Tidak buang hajat di jalan atau tempat bernaung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan, «اتَّقُوا ‌اللَّعَّانَيْنِ» قَالُوا: وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ، أَوْ فِي ظِلِّهِمْ» “Hindarilah dua jenis manusia yang dilaknat orang banyak”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah dua manusia tersebut?”. Beliau menjawab, “Manusia yang buang hajat di jalan yang banyak dilewati orang dan di tempat mereka bernaung”. HR. Muslim (no. 269).  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 10 Rajab 1445 / 22 Januari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 209 Adab Buang Hajat Bag-1Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 211 – Doa Sebelum Berwudhu SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 210 – Adab Buang Hajat Bag-2 Posted on December 31, 2024December 31, 2024by Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas beberapa adab buang hajat dalam pandangan Islam. Berikut kelanjutannya: Keempat: Membersihkan kemaluan Setelah buang air besar ataupun kecil, kemaluan dan dubur harus dibersihkan. Yang paling afdhal adalah membasuhnya dengan air hingga bersih. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, «كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ ‌لِحَاجَتِهِ، ‌أَجِيءُ أَنَا وَغُلَامٌ مَعَنَا إِدَاوَة مِنْ مَاءٍ، يَعْنِي يَسْتَنْجِي بِهِ» “Bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam buang hajat, aku dan pembantu lainnya membawakan wadah berisikan air, untuk digunakan beliau membersihkan kemaluannya”. HR. Bukhari (no. 150). Bila air tidak tersedia, maka diperbolehkan untuk membersihkan kemaluan dengan benda padat bersih yang menyerap air, seperti batu, kayu, tisu dan yang serupa. Salman al-Farisiy radhiyallahu ‘anhu menyampaikan, »لَقَدْ نَهَانَا … أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ« ‌‌“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang kami … untuk membersihkan kemaluan dengan batu kurang dari tiga butir, atau membersihkannya dengan kotoran atau tulang”. HR. Muslim (no. 262). Kelima: Berhati-hati dari cipratan air kencing Sebab hal yang kerap dianggap remeh ini, bisa mengakibatkan seseorang diazab di kuburan. Gara-gara najis air seni itu mengotori tubuh atau pakaiannya. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bercerita, مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ، فَقَالَ: «إِنَّهُمَا ‌لَيُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ، أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنَ البَوْلِ، وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ« “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah lewat di samping dua kuburan. Beliau bersabda, “Dua orang ini sedang diazab, gara-gara hal yang dianggap remeh. Orang pertama tidak berhati-hati dari air kencing. Orang kedua sering mengadu domba”. HR. Bukhari (no. 218) dan Muslim (no. 292). Keenam: Tidak berbicara di kamar mandi Tidak boleh berbicara di toilet, apalagi berdzikir atau berdoa. Sebab toilet bukanlah tempat untuk hal tersebut. Kecuali bila dalam kondisi darurat. Misalnya orang yang di toilet membutuhkan bantuan mendesak dari orang lain. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan, «أَنَّ ‌رَجُلًا ‌مَرَّ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبُولُ، فَسَلَّمَ، فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ» “Ada seseorang lewat di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat beliau sedang buang air kecil. Orang itu mengucapkan salam, namun beliau tidak menjawabnya”. HR. Muslim (no. 370). Ketujuh: Tidak buang hajat di jalan atau tempat bernaung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan, «اتَّقُوا ‌اللَّعَّانَيْنِ» قَالُوا: وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ، أَوْ فِي ظِلِّهِمْ» “Hindarilah dua jenis manusia yang dilaknat orang banyak”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah dua manusia tersebut?”. Beliau menjawab, “Manusia yang buang hajat di jalan yang banyak dilewati orang dan di tempat mereka bernaung”. HR. Muslim (no. 269).  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 10 Rajab 1445 / 22 Januari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 209 Adab Buang Hajat Bag-1Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 211 – Doa Sebelum Berwudhu SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Prev     Next