Dalil Jumlah Rakaat Shalat-Shalat Fardhu

Pertanyaan: Ustadz, ada yang bertanya kepada saya, apa dalilnya shalat subuh 2 rakaat, shalat zuhur 4 rakaat, shalat ashar 4 rakaat, shalat maghrib 3 rakaat dan shalat isya 4 rakaat? Karena katanya di dalam Al-Qur’an tidak ada seperti itu? Mohon pencerahannya. Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Dalil-dalil jumlah rakaat masing-masing shalat fardhu ada dalam hadis dan juga ijma’ ulama. Ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para Sahabat masih di Makkah sebelum hijrah, shalat 5 waktu hanya diwajibkan dua rakaat saja untuk semua shalat. Dalam hadis dari Aisyah radhiyallahu’anha, ia berkata: فُرِضَتِ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ في الحَضَرِ وَالسَّفَرِ، فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ، وَزِيدَ في صَلَاةِ الحَضَرِ “Dahulu shalat (lima waktu) diwajibkan dua rakaat – dua rakaat, baik ketika tidak safar maupun ketika safar. Setelah itu, shalat dua rakaat tetap ada untuk kondisi safar. Dan shalat dalam kondisi tidak safar ditambahkan (menjadi empat rakaat)” (HR. Al-Bukhari no. 685). Dalam riwayat lain, Aisyah radhiyallahu’anha berkata: فُرِضَتِ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ هَاجَرَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فَفُرِضَتْ أرْبَعًا، وتُرِكَتْ صَلَاةُ السَّفَرِ علَى الأُولَى “Dahulu shalat (lima waktu) dua rakaat – dua rakaat. Kemudian ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, barulah diwajibkan shalat 4 rakaat. Namun shalat 4 rakaat ditinggalkan ketika safar seperti dahulu.” (HR. Al-Bukhari no. 3935). Dalam riwayat Ahmad, Aisyah radhiyallahu’anha berkata: قد فُرِضَتِ الصلاةُ رَكعَتَينِ رَكعَتَينِ بمكَّةَ، فلمَّا قدِمَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ المَدينةَ زادَ مع كلِّ رَكعَتَينِ رَكعَتَينِ إلَّا المَغرِبَ؛ فإنَّها وَتْرُ النَّهارِ، وصَلاةُ الفَجرِ لطولِ قِراءَتِها “Dahulu ketika di Makkah, (shalat lima waktu) diwajibkan dua rakaat – dua rakaat. Kemudian ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, setiap shalat ditambahkan dua rakaat, kecuali shalat Maghrib. Karena ia adalah shalat ganjil untuk siang. Dan kecuali shalat subuh, karena panjangnya bacaannya.” (HR. Ahmad no. 26042, sanadnya dhaif namun maknanya benar). Sehingga, jumlah raka’at shalat ketika di Makkah : Subuh 2 rakaat Zuhur 2 rakaat Ashar 2 rakaat Maghrib 2 rakaat Isya 2 rakaat  Setelah hijrah ke Madinah, semua ditambah dua kecuali Maghrib (hanya ditambah 1) dan subuh:  Subuh 2 rakaat Zuhur 2+2 = 4 rakaat Ashar 2+2 = 4 rakaat Maghrib 2+1 = 3 rakaat Isya 2+2 = 4 rakaat  Total ada 17 rakaat sebagaimana kita ketahui. Ini berlaku dalam kondisi muqim (tidak safar) dan tidak ada kondisi khauf (seperti perang). Di sebagian riwayat disebutkan bahwa shalat Maghrib sejak di Makkah sudah 3 rakaat. Terdapat lafaz: إلا المغرب؛ فإنها كانت ثلاثًا “… kecuali Maghrib, sejak dahulu tiga raka’at”. Demikian juga, terdapat hadis-hadis yang menjelaskan jumlah rakaat masing-masing shalat secara khusus. Sebagaimana hadis dari Qays bin ‘Amr Al Anshari radhiyallahu’anhu, ia berkata: رأى النَّبيُّ صلَّى الله عليْهِ وسلَّمَ رجلاً يصلِّي بعدَ صلاةِ الصُّبحِ رَكعتينِ فقالَ النَّبيُّ صلَّى الله عليْهِ وسلَّمَ أصلاةَ الصُّبحِ مرَّتينِ “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pernah melihat orang yang shalat dua rakaat setelah shalat subuh. Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bertanya: Apakah engkau shalat subuh dua kali?” (HR. Ibnu Majah no.954, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah). Hadis ini menunjukkan bahwa shalat subuh dua rakaat. Kemudian hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: لا توتِروا بثلاثٍ أوتِروا بخمسٍ أو بسبعٍ ولا تشبَّهوا بصلاةِ المغربِ “Jangan kerjakan shalat witir tiga rakaat. Namun kerjakanlah 5 rakaat atau 7 rakaat. Jangan serupakan shalat witir dengan shalat maghrib.” (HR. Ibnu Hibban no.2429, Ad-Daruquthni no.1650, dishahihkan oleh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Shahih Ibnu Hibban). Hadis ini menunjukkan bahwa shalat Maghrib itu tiga rakaat. Dan ulama telah ijma‘ (sepakat) tidak ada khilafiyah di antara mereka tentang jumlah rakaat shalat wajib. Ibnul Mundzir rahimahullah mengatakan: أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ صَلَاةَ الظُّهْرِ أَرْبَعُ رَكَعَاتٍ يُخَافَتُ فِيهَا بِالْقِرَاءَةِ … أَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ أَرْبَعًا كَصَلَاةِ الظُّهْرِ لَا يُجْهَرُ فِيهَا بِالْقِرَاءَةِ … وَأَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ ثَلَاثًا يُجْهَرُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الْأُولَتَيْنِ مِنْهَا بِالْقِرَاءَةِ وَيُخَافَتُ فِي الثَّالِثَةِ … وَأَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ أَرْبَعًا، يُجْهَرُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الْأُولَتَيْنِ مِنْهَا بِالْقِرَاءَةِ، وَيُخَافَتُ فِي الْأُخْرَيَيْنِ  … وَأَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ يُجْهَرُ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ  “Para ulama ijma bahwa shalat zuhur itu 4 rakaat dengan bacaan yang lirih … dan shalat ashar itu 4 rakaat seperti shalat zuhur, tidak dikeraskan bacaannya … dan shalat maghrib itu 3 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan pada dua rakaat awal dan bacaan yang lirih pada rakaat ketiga … dan shalat isya itu 4 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan pada dua rakaat awal dan bacaan yang lirih pada dua rakaat terakhir … dan shalat subuh itu 2 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan.” (Al-Awsath fis Sunan wal Ijma’ wal Ikhtilaf, 2/318). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Doa Supaya Masalah Cepat Selesai, Hari Baik Untuk Menikah, Ilmu Malaikat Maut, Perbedaan Sunni Dan Syiah, Manfaat Minum Sperma Suami Visited 1,609 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,055 QRIS donasi Yufid

Dalil Jumlah Rakaat Shalat-Shalat Fardhu

Pertanyaan: Ustadz, ada yang bertanya kepada saya, apa dalilnya shalat subuh 2 rakaat, shalat zuhur 4 rakaat, shalat ashar 4 rakaat, shalat maghrib 3 rakaat dan shalat isya 4 rakaat? Karena katanya di dalam Al-Qur’an tidak ada seperti itu? Mohon pencerahannya. Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Dalil-dalil jumlah rakaat masing-masing shalat fardhu ada dalam hadis dan juga ijma’ ulama. Ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para Sahabat masih di Makkah sebelum hijrah, shalat 5 waktu hanya diwajibkan dua rakaat saja untuk semua shalat. Dalam hadis dari Aisyah radhiyallahu’anha, ia berkata: فُرِضَتِ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ في الحَضَرِ وَالسَّفَرِ، فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ، وَزِيدَ في صَلَاةِ الحَضَرِ “Dahulu shalat (lima waktu) diwajibkan dua rakaat – dua rakaat, baik ketika tidak safar maupun ketika safar. Setelah itu, shalat dua rakaat tetap ada untuk kondisi safar. Dan shalat dalam kondisi tidak safar ditambahkan (menjadi empat rakaat)” (HR. Al-Bukhari no. 685). Dalam riwayat lain, Aisyah radhiyallahu’anha berkata: فُرِضَتِ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ هَاجَرَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فَفُرِضَتْ أرْبَعًا، وتُرِكَتْ صَلَاةُ السَّفَرِ علَى الأُولَى “Dahulu shalat (lima waktu) dua rakaat – dua rakaat. Kemudian ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, barulah diwajibkan shalat 4 rakaat. Namun shalat 4 rakaat ditinggalkan ketika safar seperti dahulu.” (HR. Al-Bukhari no. 3935). Dalam riwayat Ahmad, Aisyah radhiyallahu’anha berkata: قد فُرِضَتِ الصلاةُ رَكعَتَينِ رَكعَتَينِ بمكَّةَ، فلمَّا قدِمَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ المَدينةَ زادَ مع كلِّ رَكعَتَينِ رَكعَتَينِ إلَّا المَغرِبَ؛ فإنَّها وَتْرُ النَّهارِ، وصَلاةُ الفَجرِ لطولِ قِراءَتِها “Dahulu ketika di Makkah, (shalat lima waktu) diwajibkan dua rakaat – dua rakaat. Kemudian ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, setiap shalat ditambahkan dua rakaat, kecuali shalat Maghrib. Karena ia adalah shalat ganjil untuk siang. Dan kecuali shalat subuh, karena panjangnya bacaannya.” (HR. Ahmad no. 26042, sanadnya dhaif namun maknanya benar). Sehingga, jumlah raka’at shalat ketika di Makkah : Subuh 2 rakaat Zuhur 2 rakaat Ashar 2 rakaat Maghrib 2 rakaat Isya 2 rakaat  Setelah hijrah ke Madinah, semua ditambah dua kecuali Maghrib (hanya ditambah 1) dan subuh:  Subuh 2 rakaat Zuhur 2+2 = 4 rakaat Ashar 2+2 = 4 rakaat Maghrib 2+1 = 3 rakaat Isya 2+2 = 4 rakaat  Total ada 17 rakaat sebagaimana kita ketahui. Ini berlaku dalam kondisi muqim (tidak safar) dan tidak ada kondisi khauf (seperti perang). Di sebagian riwayat disebutkan bahwa shalat Maghrib sejak di Makkah sudah 3 rakaat. Terdapat lafaz: إلا المغرب؛ فإنها كانت ثلاثًا “… kecuali Maghrib, sejak dahulu tiga raka’at”. Demikian juga, terdapat hadis-hadis yang menjelaskan jumlah rakaat masing-masing shalat secara khusus. Sebagaimana hadis dari Qays bin ‘Amr Al Anshari radhiyallahu’anhu, ia berkata: رأى النَّبيُّ صلَّى الله عليْهِ وسلَّمَ رجلاً يصلِّي بعدَ صلاةِ الصُّبحِ رَكعتينِ فقالَ النَّبيُّ صلَّى الله عليْهِ وسلَّمَ أصلاةَ الصُّبحِ مرَّتينِ “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pernah melihat orang yang shalat dua rakaat setelah shalat subuh. Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bertanya: Apakah engkau shalat subuh dua kali?” (HR. Ibnu Majah no.954, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah). Hadis ini menunjukkan bahwa shalat subuh dua rakaat. Kemudian hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: لا توتِروا بثلاثٍ أوتِروا بخمسٍ أو بسبعٍ ولا تشبَّهوا بصلاةِ المغربِ “Jangan kerjakan shalat witir tiga rakaat. Namun kerjakanlah 5 rakaat atau 7 rakaat. Jangan serupakan shalat witir dengan shalat maghrib.” (HR. Ibnu Hibban no.2429, Ad-Daruquthni no.1650, dishahihkan oleh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Shahih Ibnu Hibban). Hadis ini menunjukkan bahwa shalat Maghrib itu tiga rakaat. Dan ulama telah ijma‘ (sepakat) tidak ada khilafiyah di antara mereka tentang jumlah rakaat shalat wajib. Ibnul Mundzir rahimahullah mengatakan: أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ صَلَاةَ الظُّهْرِ أَرْبَعُ رَكَعَاتٍ يُخَافَتُ فِيهَا بِالْقِرَاءَةِ … أَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ أَرْبَعًا كَصَلَاةِ الظُّهْرِ لَا يُجْهَرُ فِيهَا بِالْقِرَاءَةِ … وَأَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ ثَلَاثًا يُجْهَرُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الْأُولَتَيْنِ مِنْهَا بِالْقِرَاءَةِ وَيُخَافَتُ فِي الثَّالِثَةِ … وَأَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ أَرْبَعًا، يُجْهَرُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الْأُولَتَيْنِ مِنْهَا بِالْقِرَاءَةِ، وَيُخَافَتُ فِي الْأُخْرَيَيْنِ  … وَأَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ يُجْهَرُ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ  “Para ulama ijma bahwa shalat zuhur itu 4 rakaat dengan bacaan yang lirih … dan shalat ashar itu 4 rakaat seperti shalat zuhur, tidak dikeraskan bacaannya … dan shalat maghrib itu 3 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan pada dua rakaat awal dan bacaan yang lirih pada rakaat ketiga … dan shalat isya itu 4 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan pada dua rakaat awal dan bacaan yang lirih pada dua rakaat terakhir … dan shalat subuh itu 2 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan.” (Al-Awsath fis Sunan wal Ijma’ wal Ikhtilaf, 2/318). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Doa Supaya Masalah Cepat Selesai, Hari Baik Untuk Menikah, Ilmu Malaikat Maut, Perbedaan Sunni Dan Syiah, Manfaat Minum Sperma Suami Visited 1,609 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,055 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Ustadz, ada yang bertanya kepada saya, apa dalilnya shalat subuh 2 rakaat, shalat zuhur 4 rakaat, shalat ashar 4 rakaat, shalat maghrib 3 rakaat dan shalat isya 4 rakaat? Karena katanya di dalam Al-Qur’an tidak ada seperti itu? Mohon pencerahannya. Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Dalil-dalil jumlah rakaat masing-masing shalat fardhu ada dalam hadis dan juga ijma’ ulama. Ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para Sahabat masih di Makkah sebelum hijrah, shalat 5 waktu hanya diwajibkan dua rakaat saja untuk semua shalat. Dalam hadis dari Aisyah radhiyallahu’anha, ia berkata: فُرِضَتِ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ في الحَضَرِ وَالسَّفَرِ، فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ، وَزِيدَ في صَلَاةِ الحَضَرِ “Dahulu shalat (lima waktu) diwajibkan dua rakaat – dua rakaat, baik ketika tidak safar maupun ketika safar. Setelah itu, shalat dua rakaat tetap ada untuk kondisi safar. Dan shalat dalam kondisi tidak safar ditambahkan (menjadi empat rakaat)” (HR. Al-Bukhari no. 685). Dalam riwayat lain, Aisyah radhiyallahu’anha berkata: فُرِضَتِ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ هَاجَرَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فَفُرِضَتْ أرْبَعًا، وتُرِكَتْ صَلَاةُ السَّفَرِ علَى الأُولَى “Dahulu shalat (lima waktu) dua rakaat – dua rakaat. Kemudian ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, barulah diwajibkan shalat 4 rakaat. Namun shalat 4 rakaat ditinggalkan ketika safar seperti dahulu.” (HR. Al-Bukhari no. 3935). Dalam riwayat Ahmad, Aisyah radhiyallahu’anha berkata: قد فُرِضَتِ الصلاةُ رَكعَتَينِ رَكعَتَينِ بمكَّةَ، فلمَّا قدِمَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ المَدينةَ زادَ مع كلِّ رَكعَتَينِ رَكعَتَينِ إلَّا المَغرِبَ؛ فإنَّها وَتْرُ النَّهارِ، وصَلاةُ الفَجرِ لطولِ قِراءَتِها “Dahulu ketika di Makkah, (shalat lima waktu) diwajibkan dua rakaat – dua rakaat. Kemudian ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, setiap shalat ditambahkan dua rakaat, kecuali shalat Maghrib. Karena ia adalah shalat ganjil untuk siang. Dan kecuali shalat subuh, karena panjangnya bacaannya.” (HR. Ahmad no. 26042, sanadnya dhaif namun maknanya benar). Sehingga, jumlah raka’at shalat ketika di Makkah : Subuh 2 rakaat Zuhur 2 rakaat Ashar 2 rakaat Maghrib 2 rakaat Isya 2 rakaat  Setelah hijrah ke Madinah, semua ditambah dua kecuali Maghrib (hanya ditambah 1) dan subuh:  Subuh 2 rakaat Zuhur 2+2 = 4 rakaat Ashar 2+2 = 4 rakaat Maghrib 2+1 = 3 rakaat Isya 2+2 = 4 rakaat  Total ada 17 rakaat sebagaimana kita ketahui. Ini berlaku dalam kondisi muqim (tidak safar) dan tidak ada kondisi khauf (seperti perang). Di sebagian riwayat disebutkan bahwa shalat Maghrib sejak di Makkah sudah 3 rakaat. Terdapat lafaz: إلا المغرب؛ فإنها كانت ثلاثًا “… kecuali Maghrib, sejak dahulu tiga raka’at”. Demikian juga, terdapat hadis-hadis yang menjelaskan jumlah rakaat masing-masing shalat secara khusus. Sebagaimana hadis dari Qays bin ‘Amr Al Anshari radhiyallahu’anhu, ia berkata: رأى النَّبيُّ صلَّى الله عليْهِ وسلَّمَ رجلاً يصلِّي بعدَ صلاةِ الصُّبحِ رَكعتينِ فقالَ النَّبيُّ صلَّى الله عليْهِ وسلَّمَ أصلاةَ الصُّبحِ مرَّتينِ “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pernah melihat orang yang shalat dua rakaat setelah shalat subuh. Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bertanya: Apakah engkau shalat subuh dua kali?” (HR. Ibnu Majah no.954, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah). Hadis ini menunjukkan bahwa shalat subuh dua rakaat. Kemudian hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: لا توتِروا بثلاثٍ أوتِروا بخمسٍ أو بسبعٍ ولا تشبَّهوا بصلاةِ المغربِ “Jangan kerjakan shalat witir tiga rakaat. Namun kerjakanlah 5 rakaat atau 7 rakaat. Jangan serupakan shalat witir dengan shalat maghrib.” (HR. Ibnu Hibban no.2429, Ad-Daruquthni no.1650, dishahihkan oleh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Shahih Ibnu Hibban). Hadis ini menunjukkan bahwa shalat Maghrib itu tiga rakaat. Dan ulama telah ijma‘ (sepakat) tidak ada khilafiyah di antara mereka tentang jumlah rakaat shalat wajib. Ibnul Mundzir rahimahullah mengatakan: أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ صَلَاةَ الظُّهْرِ أَرْبَعُ رَكَعَاتٍ يُخَافَتُ فِيهَا بِالْقِرَاءَةِ … أَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ أَرْبَعًا كَصَلَاةِ الظُّهْرِ لَا يُجْهَرُ فِيهَا بِالْقِرَاءَةِ … وَأَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ ثَلَاثًا يُجْهَرُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الْأُولَتَيْنِ مِنْهَا بِالْقِرَاءَةِ وَيُخَافَتُ فِي الثَّالِثَةِ … وَأَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ أَرْبَعًا، يُجْهَرُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الْأُولَتَيْنِ مِنْهَا بِالْقِرَاءَةِ، وَيُخَافَتُ فِي الْأُخْرَيَيْنِ  … وَأَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ يُجْهَرُ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ  “Para ulama ijma bahwa shalat zuhur itu 4 rakaat dengan bacaan yang lirih … dan shalat ashar itu 4 rakaat seperti shalat zuhur, tidak dikeraskan bacaannya … dan shalat maghrib itu 3 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan pada dua rakaat awal dan bacaan yang lirih pada rakaat ketiga … dan shalat isya itu 4 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan pada dua rakaat awal dan bacaan yang lirih pada dua rakaat terakhir … dan shalat subuh itu 2 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan.” (Al-Awsath fis Sunan wal Ijma’ wal Ikhtilaf, 2/318). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Doa Supaya Masalah Cepat Selesai, Hari Baik Untuk Menikah, Ilmu Malaikat Maut, Perbedaan Sunni Dan Syiah, Manfaat Minum Sperma Suami Visited 1,609 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,055 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Ustadz, ada yang bertanya kepada saya, apa dalilnya shalat subuh 2 rakaat, shalat zuhur 4 rakaat, shalat ashar 4 rakaat, shalat maghrib 3 rakaat dan shalat isya 4 rakaat? Karena katanya di dalam Al-Qur’an tidak ada seperti itu? Mohon pencerahannya. Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Dalil-dalil jumlah rakaat masing-masing shalat fardhu ada dalam hadis dan juga ijma’ ulama. Ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para Sahabat masih di Makkah sebelum hijrah, shalat 5 waktu hanya diwajibkan dua rakaat saja untuk semua shalat. Dalam hadis dari Aisyah radhiyallahu’anha, ia berkata: فُرِضَتِ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ في الحَضَرِ وَالسَّفَرِ، فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ، وَزِيدَ في صَلَاةِ الحَضَرِ “Dahulu shalat (lima waktu) diwajibkan dua rakaat – dua rakaat, baik ketika tidak safar maupun ketika safar. Setelah itu, shalat dua rakaat tetap ada untuk kondisi safar. Dan shalat dalam kondisi tidak safar ditambahkan (menjadi empat rakaat)” (HR. Al-Bukhari no. 685). Dalam riwayat lain, Aisyah radhiyallahu’anha berkata: فُرِضَتِ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ هَاجَرَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فَفُرِضَتْ أرْبَعًا، وتُرِكَتْ صَلَاةُ السَّفَرِ علَى الأُولَى “Dahulu shalat (lima waktu) dua rakaat – dua rakaat. Kemudian ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, barulah diwajibkan shalat 4 rakaat. Namun shalat 4 rakaat ditinggalkan ketika safar seperti dahulu.” (HR. Al-Bukhari no. 3935). Dalam riwayat Ahmad, Aisyah radhiyallahu’anha berkata: قد فُرِضَتِ الصلاةُ رَكعَتَينِ رَكعَتَينِ بمكَّةَ، فلمَّا قدِمَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ المَدينةَ زادَ مع كلِّ رَكعَتَينِ رَكعَتَينِ إلَّا المَغرِبَ؛ فإنَّها وَتْرُ النَّهارِ، وصَلاةُ الفَجرِ لطولِ قِراءَتِها “Dahulu ketika di Makkah, (shalat lima waktu) diwajibkan dua rakaat – dua rakaat. Kemudian ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, setiap shalat ditambahkan dua rakaat, kecuali shalat Maghrib. Karena ia adalah shalat ganjil untuk siang. Dan kecuali shalat subuh, karena panjangnya bacaannya.” (HR. Ahmad no. 26042, sanadnya dhaif namun maknanya benar). Sehingga, jumlah raka’at shalat ketika di Makkah : Subuh 2 rakaat Zuhur 2 rakaat Ashar 2 rakaat Maghrib 2 rakaat Isya 2 rakaat  Setelah hijrah ke Madinah, semua ditambah dua kecuali Maghrib (hanya ditambah 1) dan subuh:  Subuh 2 rakaat Zuhur 2+2 = 4 rakaat Ashar 2+2 = 4 rakaat Maghrib 2+1 = 3 rakaat Isya 2+2 = 4 rakaat  Total ada 17 rakaat sebagaimana kita ketahui. Ini berlaku dalam kondisi muqim (tidak safar) dan tidak ada kondisi khauf (seperti perang). Di sebagian riwayat disebutkan bahwa shalat Maghrib sejak di Makkah sudah 3 rakaat. Terdapat lafaz: إلا المغرب؛ فإنها كانت ثلاثًا “… kecuali Maghrib, sejak dahulu tiga raka’at”. Demikian juga, terdapat hadis-hadis yang menjelaskan jumlah rakaat masing-masing shalat secara khusus. Sebagaimana hadis dari Qays bin ‘Amr Al Anshari radhiyallahu’anhu, ia berkata: رأى النَّبيُّ صلَّى الله عليْهِ وسلَّمَ رجلاً يصلِّي بعدَ صلاةِ الصُّبحِ رَكعتينِ فقالَ النَّبيُّ صلَّى الله عليْهِ وسلَّمَ أصلاةَ الصُّبحِ مرَّتينِ “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pernah melihat orang yang shalat dua rakaat setelah shalat subuh. Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bertanya: Apakah engkau shalat subuh dua kali?” (HR. Ibnu Majah no.954, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah). Hadis ini menunjukkan bahwa shalat subuh dua rakaat. Kemudian hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: لا توتِروا بثلاثٍ أوتِروا بخمسٍ أو بسبعٍ ولا تشبَّهوا بصلاةِ المغربِ “Jangan kerjakan shalat witir tiga rakaat. Namun kerjakanlah 5 rakaat atau 7 rakaat. Jangan serupakan shalat witir dengan shalat maghrib.” (HR. Ibnu Hibban no.2429, Ad-Daruquthni no.1650, dishahihkan oleh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Shahih Ibnu Hibban). Hadis ini menunjukkan bahwa shalat Maghrib itu tiga rakaat. Dan ulama telah ijma‘ (sepakat) tidak ada khilafiyah di antara mereka tentang jumlah rakaat shalat wajib. Ibnul Mundzir rahimahullah mengatakan: أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ صَلَاةَ الظُّهْرِ أَرْبَعُ رَكَعَاتٍ يُخَافَتُ فِيهَا بِالْقِرَاءَةِ … أَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ أَرْبَعًا كَصَلَاةِ الظُّهْرِ لَا يُجْهَرُ فِيهَا بِالْقِرَاءَةِ … وَأَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ ثَلَاثًا يُجْهَرُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الْأُولَتَيْنِ مِنْهَا بِالْقِرَاءَةِ وَيُخَافَتُ فِي الثَّالِثَةِ … وَأَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ أَرْبَعًا، يُجْهَرُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الْأُولَتَيْنِ مِنْهَا بِالْقِرَاءَةِ، وَيُخَافَتُ فِي الْأُخْرَيَيْنِ  … وَأَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ يُجْهَرُ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ  “Para ulama ijma bahwa shalat zuhur itu 4 rakaat dengan bacaan yang lirih … dan shalat ashar itu 4 rakaat seperti shalat zuhur, tidak dikeraskan bacaannya … dan shalat maghrib itu 3 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan pada dua rakaat awal dan bacaan yang lirih pada rakaat ketiga … dan shalat isya itu 4 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan pada dua rakaat awal dan bacaan yang lirih pada dua rakaat terakhir … dan shalat subuh itu 2 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan.” (Al-Awsath fis Sunan wal Ijma’ wal Ikhtilaf, 2/318). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Doa Supaya Masalah Cepat Selesai, Hari Baik Untuk Menikah, Ilmu Malaikat Maut, Perbedaan Sunni Dan Syiah, Manfaat Minum Sperma Suami Visited 1,609 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,055 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Cara Rukuk dan Sujud dalam Salat Sambil Duduk atau Berbaring

Daftar Isi Toggle Diperbolehkannya salat sunah sambil dudukCara rukuk dan sujud dalam salat sambil dudukSalat sunah sambil berbaring dan cara rukuk dan sujud di dalamnyaSalat wajib tidak boleh dilakukan sambil duduk atau berbaring, kecuali ada uzurDalam salat wajib, rukuk dan sujud tidak gugur karena tidak bisa berdiriRingkasan dari penjelasan di atasCatatan tentang salat sunah sambil berbaring Salat sunah merupakan amalan yang sangat penting, yang perlu dikerjakan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, diperbolehkan melakukan salat sunah sambil duduk, meskipun mampu berdiri. Karena jika diwajibkan untuk berdiri, maka akan sulit untuk membiasakan kebaikan ini. Selain itu, banyak orang merasa kesulitan untuk berdiri lama. Jika berdiri diwajibkan (dalam salat sunah), maka kebanyakan salat sunah akan ditinggalkan. Oleh karena itu, pembuat syariat memberi keringanan untuk tidak berdiri di dalamnya sebagai dorongan untuk memperbanyak salat sunah, sebagaimana keringanan untuk melakukannya di atas kendaraan saat bepergian. [1] Diperbolehkannya salat sunah sambil duduk Baik karena ada uzur atau tidak ada uzur, diperbolehkannya salat sunah sambil duduk. Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat seseorang sambil duduk. Beliau bersabda, مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَل وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ “Barangsiapa salat sambil berdiri, maka itu lebih utama. Dan barangsiapa salat sambil duduk, maka baginya setengah pahala orang yang berdiri. Dan barangsiapa salat sambil tidur, maka baginya setengah pahala orang yang duduk.” [2] Para ulama sepakat tentang diperbolehkannya salat sunah sambil duduk baik karena ada uzur atau tidak ada uzur. [3] Cara rukuk dan sujud dalam salat sambil duduk Orang yang salat dengan duduk, boleh baginya memilih antara berdiri atau duduk saat rukuk dan sujud. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan keduanya. Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan, أَنَّ رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي جَالِسًا، فَيَقْرَأُ وَهُوَ جَالِسٌ، فَإِذَا بَقِيَ مِنْ قِرَاءَتِهِ قَدْرُ مَا يَكُونُ ثَلَاثِينَ أَوْ أَرْبَعِينَ آيَةً، قَامَ فَقَرَأَ وَهُوَ قَائِمٌ، ثُمَّ رَكَعَ، ثُمَّ سَجَدَ، ثُمَّ يَفْعَل فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْل ذَلِكَ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salat sambil duduk, beliau membaca (Al-Qur’an) sambil duduk. Ketika bacaannya tersisa sekitar tiga puluh atau empat puluh ayat, beliau berdiri, lalu membaca sambil berdiri. Kemudian rukuk, lalu sujud, kemudian melakukan hal yang sama pada rakaat kedua.” [4] Dan dalam hadis yang lain, masih dari Aisyah radhiyallahu ‘anha [5], beliau menceritakan, أَنَّ رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي لَيْلاً طَوِيلاً قَائِمًا، وَلَيْلاً طَوِيلاً قَاعِدًا، وَكَانَ إِذَا قَرَأَ وَهُوَ قَائِمٌ رَكَعَ وَسَجَدَ وَهُوَ قَائِمٌ، وَإِذَا قَرَأَ وَهُوَ قَاعِدٌ رَكَعَ وَسَجَدَ وَهُوَ قَاعِدٌ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa salat malam dalam waktu lama sambil berdiri, dan dalam waktu lama sambil duduk. Ketika beliau membaca sambil berdiri, beliau rukuk dan sujud sambil berdiri. Dan ketika beliau membaca sambil duduk, beliau rukuk dan sujud sambil duduk.” [6] Salat sunah sambil berbaring dan cara rukuk dan sujud di dalamnya Sebagian ulama berpendapat bolehnya seseorang salat sunah sambil berbaring, walaupun dia bisa berdiri atau duduk. Dalil dari hal tersebut adalah hadis dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, yang ketika itu mengalami sakit bisul, ia berkata, “Saya bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat seseorang sambil duduk, maka beliau bersabda, مَن صَلَّى قَائِمًا فَهو أفْضَلُ، ومَن صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أجْرِ القَائِمِ، ومَن صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أجْرِ القَاعِدِ ‘Barangsiapa salat sambil berdiri, maka itu lebih utama. Dan barangsiapa salat sambil duduk, maka baginya setengah pahala orang yang berdiri. Dan barangsiapa salat sambil tidur, maka baginya setengah pahala orang yang duduk.’” [7] Setelah membawakan hadis di atas, Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, والمراد بالنائم المضطجع. ولو تنفل مضطجعا بالإيماء بالرأس مع قدرته على القيام والقعود فوجهان (أحدهما) لا تصح صلاته لأنه يذهب صورتها بغير عذر وهذا أرجحهما عند إمام الحرمين والثاني وهو الصحيح صحتها لحديث عمران. “Yang dimaksud dengan tidur (dalam hadis di atas) adalah berbaring (miring). Jika seseorang salat sunah sambil berbaring dengan memberi isyarat kepala (ketika rukuk dan sujud), padahal mampu berdiri dan duduk, maka ada dua pendapat: (Pertama) Salatnya tidak sah karena menghilangkan bentuk salat tanpa uzur, dan ini yang lebih kuat menurut Imam al-Haramain. (Kedua) Dan ini yang benar, salatnya sah berdasarkan hadis Imran (di atas).” [8] Baca juga: Tatacara Bersuci untuk Salat Ketika di Pesawat Salat wajib tidak boleh dilakukan sambil duduk atau berbaring, kecuali ada uzur Semua yang disebutkan di atas adalah untuk salat sunah. Adapun salat wajib, para ulama sepakat bahwa berdiri adalah rukun di dalam salat bagi yang mampu. Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku menderita wasir, maka aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat, maka beliau bersabda, صَل قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ “Salatlah sambil berdiri! Jika tidak mampu, maka sambil duduk. Jika tidak mampu, maka sambil berbaring miring.” [9] Para ulama sepakat bahwa berdiri adalah rukun dalam salat wajib bagi yang mampu melakukannya. [10] Dalam salat wajib, rukuk dan sujud tidak gugur karena tidak bisa berdiri Barangsiapa yang tidak mampu berdiri dalam salat wajib, maka dia boleh salat sambil duduk, tetapi rukuk dan sujud tidak gugur darinya jika dia mampu melakukannya. Demikian juga, barangsiapa yang mampu berdiri tetapi tidak mampu rukuk atau sujud, maka berdiri tidak gugur darinya. Maka, yang mudah tidak gugur karena yang sulit, sebagaimana kaedah, الميسور لا يسقط بالمعسور “Sesuatu yang mudah tidak gugur karena sesuatu yang sulit.” Imam Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, [ومن قَدَرَ على القِيَامِ، وعَجَزَ عن الرُّكُوعِ أو السُّجُودِ، ‌لم ‌يَسْقُطْ ‌عنه ‌القِيَامُ]، ويُصَلِّى قائِمًا، فَيُومِئُ بالرُّكُوعِ، ثم يَجْلِسُ فَيُومِئُ بالسُّجُودِ “Barangsiapa yang mampu berdiri, tetapi tidak mampu rukuk atau sujud, maka berdiri tidak gugur darinya. Dia salat sambil berdiri, lalu memberi isyarat dengan rukuk, kemudian duduk, lalu memberi isyarat dengan sujud.” [11] Penjelasan rinci tentang bab ini telah disebutkan oleh para ulama dalam hukum salat orang yang memiliki uzur. Ringkasan dari penjelasan di atas Pertama: Dalam salat wajib, tidak boleh berpindah dari satu posisi ke posisi yang lebih rendah, kecuali ada uzur. Sedangkan dalam salat sunah, boleh (walaupun tanpa uzur) berpindah ke posisi salat sambil duduk dan berbaring dengan syarat tidak berbaring telentang. Kedua: Rukuk dan sujud tidak terkait dengan berdiri dalam salat wajib. Sehingga jika mampu melakukan rukuk dan sujud, keduanya tidak gugur, meskipun tidak bisa berdiri. Adapun dalam salat sunah, keduanya mengikuti posisi berdiri. Jika berdiri ditinggalkan, maka boleh meninggalkan rukuk dan sujud sambil berdiri (meskipun mampu). [12] Catatan tentang salat sunah sambil berbaring Pertama: Jumhur ulama berpendapat bahwa salat sunah sambil berbaring tidak diperbolehkan. Ibnu Taimiyah berkata, “Salat sunnah sambil berbaring tanpa uzur tidak diperbolehkan, kecuali oleh sekelompok kecil dari pengikut Syafi’i dan Ahmad. Dan kami tidak mendapatkan riwayat dari salah satu dari mereka bahwa mereka salat sambil berbaring tanpa uzur. Dan jika ini diperbolehkan, tentu mereka akan melakukannya.” [13] Oleh karena itu, hendaknya hal ini tidak sering dipraktikkan, apalagi dijadikan sebagai kebiasaan. Wallahu a’lam. Kedua: Yang dimaksud dengan berbaring adalah berbaring miring. Jika seseorang berbaring telentang, padahal mampu berbaring miring, maka salatnya tidak sah. [14] Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang cara rukuk dan sujud dalam salat sambil duduk atau berbaring. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Hukum Bertayamum untuk Salat ketika Safar *** 14 Zulkaidah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shofwah – Mesir, cet. ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah) Al-Mughni, Abdullah bin Ahmad Ibnu Qudamah, Dar Alamil Kutub – Saudi, cet. ke-3, 1417 (Maktabah Syamilah)   Catatan kaki: [1] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 161. [2] HR. Bukhari (Fath Al-Bari, 2: 586.) [3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 109. [4] HR. Muslim (1: 505 – cetakan Halabi) [5] HR. Muslim (1: 504 – cetakan Halabi) [6] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 161-162. [7] HR. Bukhari no. 1116. [8] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 3: 275. [9] HR. Bukhari (Fath Al-Bari, 2: 587, cetakan Salafiyah) [10] Al-Mughni, 1: 463, Lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 106. [11] Al-Mughni, 2: 572. [12] https://nahrjari.com.sa/ar/node/610 [13] Al-Nukat wa Al-Fawaid Al-Sunniyah, 1: 87 dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, 27: 163. Lihat juga https://dorar.net/feqhia/1283 [14] Syarh Al-Nawawi ‘ala Muslim, 6: 15. Tags: rukuksujud

Cara Rukuk dan Sujud dalam Salat Sambil Duduk atau Berbaring

Daftar Isi Toggle Diperbolehkannya salat sunah sambil dudukCara rukuk dan sujud dalam salat sambil dudukSalat sunah sambil berbaring dan cara rukuk dan sujud di dalamnyaSalat wajib tidak boleh dilakukan sambil duduk atau berbaring, kecuali ada uzurDalam salat wajib, rukuk dan sujud tidak gugur karena tidak bisa berdiriRingkasan dari penjelasan di atasCatatan tentang salat sunah sambil berbaring Salat sunah merupakan amalan yang sangat penting, yang perlu dikerjakan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, diperbolehkan melakukan salat sunah sambil duduk, meskipun mampu berdiri. Karena jika diwajibkan untuk berdiri, maka akan sulit untuk membiasakan kebaikan ini. Selain itu, banyak orang merasa kesulitan untuk berdiri lama. Jika berdiri diwajibkan (dalam salat sunah), maka kebanyakan salat sunah akan ditinggalkan. Oleh karena itu, pembuat syariat memberi keringanan untuk tidak berdiri di dalamnya sebagai dorongan untuk memperbanyak salat sunah, sebagaimana keringanan untuk melakukannya di atas kendaraan saat bepergian. [1] Diperbolehkannya salat sunah sambil duduk Baik karena ada uzur atau tidak ada uzur, diperbolehkannya salat sunah sambil duduk. Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat seseorang sambil duduk. Beliau bersabda, مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَل وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ “Barangsiapa salat sambil berdiri, maka itu lebih utama. Dan barangsiapa salat sambil duduk, maka baginya setengah pahala orang yang berdiri. Dan barangsiapa salat sambil tidur, maka baginya setengah pahala orang yang duduk.” [2] Para ulama sepakat tentang diperbolehkannya salat sunah sambil duduk baik karena ada uzur atau tidak ada uzur. [3] Cara rukuk dan sujud dalam salat sambil duduk Orang yang salat dengan duduk, boleh baginya memilih antara berdiri atau duduk saat rukuk dan sujud. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan keduanya. Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan, أَنَّ رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي جَالِسًا، فَيَقْرَأُ وَهُوَ جَالِسٌ، فَإِذَا بَقِيَ مِنْ قِرَاءَتِهِ قَدْرُ مَا يَكُونُ ثَلَاثِينَ أَوْ أَرْبَعِينَ آيَةً، قَامَ فَقَرَأَ وَهُوَ قَائِمٌ، ثُمَّ رَكَعَ، ثُمَّ سَجَدَ، ثُمَّ يَفْعَل فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْل ذَلِكَ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salat sambil duduk, beliau membaca (Al-Qur’an) sambil duduk. Ketika bacaannya tersisa sekitar tiga puluh atau empat puluh ayat, beliau berdiri, lalu membaca sambil berdiri. Kemudian rukuk, lalu sujud, kemudian melakukan hal yang sama pada rakaat kedua.” [4] Dan dalam hadis yang lain, masih dari Aisyah radhiyallahu ‘anha [5], beliau menceritakan, أَنَّ رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي لَيْلاً طَوِيلاً قَائِمًا، وَلَيْلاً طَوِيلاً قَاعِدًا، وَكَانَ إِذَا قَرَأَ وَهُوَ قَائِمٌ رَكَعَ وَسَجَدَ وَهُوَ قَائِمٌ، وَإِذَا قَرَأَ وَهُوَ قَاعِدٌ رَكَعَ وَسَجَدَ وَهُوَ قَاعِدٌ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa salat malam dalam waktu lama sambil berdiri, dan dalam waktu lama sambil duduk. Ketika beliau membaca sambil berdiri, beliau rukuk dan sujud sambil berdiri. Dan ketika beliau membaca sambil duduk, beliau rukuk dan sujud sambil duduk.” [6] Salat sunah sambil berbaring dan cara rukuk dan sujud di dalamnya Sebagian ulama berpendapat bolehnya seseorang salat sunah sambil berbaring, walaupun dia bisa berdiri atau duduk. Dalil dari hal tersebut adalah hadis dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, yang ketika itu mengalami sakit bisul, ia berkata, “Saya bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat seseorang sambil duduk, maka beliau bersabda, مَن صَلَّى قَائِمًا فَهو أفْضَلُ، ومَن صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أجْرِ القَائِمِ، ومَن صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أجْرِ القَاعِدِ ‘Barangsiapa salat sambil berdiri, maka itu lebih utama. Dan barangsiapa salat sambil duduk, maka baginya setengah pahala orang yang berdiri. Dan barangsiapa salat sambil tidur, maka baginya setengah pahala orang yang duduk.’” [7] Setelah membawakan hadis di atas, Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, والمراد بالنائم المضطجع. ولو تنفل مضطجعا بالإيماء بالرأس مع قدرته على القيام والقعود فوجهان (أحدهما) لا تصح صلاته لأنه يذهب صورتها بغير عذر وهذا أرجحهما عند إمام الحرمين والثاني وهو الصحيح صحتها لحديث عمران. “Yang dimaksud dengan tidur (dalam hadis di atas) adalah berbaring (miring). Jika seseorang salat sunah sambil berbaring dengan memberi isyarat kepala (ketika rukuk dan sujud), padahal mampu berdiri dan duduk, maka ada dua pendapat: (Pertama) Salatnya tidak sah karena menghilangkan bentuk salat tanpa uzur, dan ini yang lebih kuat menurut Imam al-Haramain. (Kedua) Dan ini yang benar, salatnya sah berdasarkan hadis Imran (di atas).” [8] Baca juga: Tatacara Bersuci untuk Salat Ketika di Pesawat Salat wajib tidak boleh dilakukan sambil duduk atau berbaring, kecuali ada uzur Semua yang disebutkan di atas adalah untuk salat sunah. Adapun salat wajib, para ulama sepakat bahwa berdiri adalah rukun di dalam salat bagi yang mampu. Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku menderita wasir, maka aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat, maka beliau bersabda, صَل قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ “Salatlah sambil berdiri! Jika tidak mampu, maka sambil duduk. Jika tidak mampu, maka sambil berbaring miring.” [9] Para ulama sepakat bahwa berdiri adalah rukun dalam salat wajib bagi yang mampu melakukannya. [10] Dalam salat wajib, rukuk dan sujud tidak gugur karena tidak bisa berdiri Barangsiapa yang tidak mampu berdiri dalam salat wajib, maka dia boleh salat sambil duduk, tetapi rukuk dan sujud tidak gugur darinya jika dia mampu melakukannya. Demikian juga, barangsiapa yang mampu berdiri tetapi tidak mampu rukuk atau sujud, maka berdiri tidak gugur darinya. Maka, yang mudah tidak gugur karena yang sulit, sebagaimana kaedah, الميسور لا يسقط بالمعسور “Sesuatu yang mudah tidak gugur karena sesuatu yang sulit.” Imam Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, [ومن قَدَرَ على القِيَامِ، وعَجَزَ عن الرُّكُوعِ أو السُّجُودِ، ‌لم ‌يَسْقُطْ ‌عنه ‌القِيَامُ]، ويُصَلِّى قائِمًا، فَيُومِئُ بالرُّكُوعِ، ثم يَجْلِسُ فَيُومِئُ بالسُّجُودِ “Barangsiapa yang mampu berdiri, tetapi tidak mampu rukuk atau sujud, maka berdiri tidak gugur darinya. Dia salat sambil berdiri, lalu memberi isyarat dengan rukuk, kemudian duduk, lalu memberi isyarat dengan sujud.” [11] Penjelasan rinci tentang bab ini telah disebutkan oleh para ulama dalam hukum salat orang yang memiliki uzur. Ringkasan dari penjelasan di atas Pertama: Dalam salat wajib, tidak boleh berpindah dari satu posisi ke posisi yang lebih rendah, kecuali ada uzur. Sedangkan dalam salat sunah, boleh (walaupun tanpa uzur) berpindah ke posisi salat sambil duduk dan berbaring dengan syarat tidak berbaring telentang. Kedua: Rukuk dan sujud tidak terkait dengan berdiri dalam salat wajib. Sehingga jika mampu melakukan rukuk dan sujud, keduanya tidak gugur, meskipun tidak bisa berdiri. Adapun dalam salat sunah, keduanya mengikuti posisi berdiri. Jika berdiri ditinggalkan, maka boleh meninggalkan rukuk dan sujud sambil berdiri (meskipun mampu). [12] Catatan tentang salat sunah sambil berbaring Pertama: Jumhur ulama berpendapat bahwa salat sunah sambil berbaring tidak diperbolehkan. Ibnu Taimiyah berkata, “Salat sunnah sambil berbaring tanpa uzur tidak diperbolehkan, kecuali oleh sekelompok kecil dari pengikut Syafi’i dan Ahmad. Dan kami tidak mendapatkan riwayat dari salah satu dari mereka bahwa mereka salat sambil berbaring tanpa uzur. Dan jika ini diperbolehkan, tentu mereka akan melakukannya.” [13] Oleh karena itu, hendaknya hal ini tidak sering dipraktikkan, apalagi dijadikan sebagai kebiasaan. Wallahu a’lam. Kedua: Yang dimaksud dengan berbaring adalah berbaring miring. Jika seseorang berbaring telentang, padahal mampu berbaring miring, maka salatnya tidak sah. [14] Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang cara rukuk dan sujud dalam salat sambil duduk atau berbaring. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Hukum Bertayamum untuk Salat ketika Safar *** 14 Zulkaidah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shofwah – Mesir, cet. ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah) Al-Mughni, Abdullah bin Ahmad Ibnu Qudamah, Dar Alamil Kutub – Saudi, cet. ke-3, 1417 (Maktabah Syamilah)   Catatan kaki: [1] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 161. [2] HR. Bukhari (Fath Al-Bari, 2: 586.) [3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 109. [4] HR. Muslim (1: 505 – cetakan Halabi) [5] HR. Muslim (1: 504 – cetakan Halabi) [6] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 161-162. [7] HR. Bukhari no. 1116. [8] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 3: 275. [9] HR. Bukhari (Fath Al-Bari, 2: 587, cetakan Salafiyah) [10] Al-Mughni, 1: 463, Lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 106. [11] Al-Mughni, 2: 572. [12] https://nahrjari.com.sa/ar/node/610 [13] Al-Nukat wa Al-Fawaid Al-Sunniyah, 1: 87 dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, 27: 163. Lihat juga https://dorar.net/feqhia/1283 [14] Syarh Al-Nawawi ‘ala Muslim, 6: 15. Tags: rukuksujud
Daftar Isi Toggle Diperbolehkannya salat sunah sambil dudukCara rukuk dan sujud dalam salat sambil dudukSalat sunah sambil berbaring dan cara rukuk dan sujud di dalamnyaSalat wajib tidak boleh dilakukan sambil duduk atau berbaring, kecuali ada uzurDalam salat wajib, rukuk dan sujud tidak gugur karena tidak bisa berdiriRingkasan dari penjelasan di atasCatatan tentang salat sunah sambil berbaring Salat sunah merupakan amalan yang sangat penting, yang perlu dikerjakan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, diperbolehkan melakukan salat sunah sambil duduk, meskipun mampu berdiri. Karena jika diwajibkan untuk berdiri, maka akan sulit untuk membiasakan kebaikan ini. Selain itu, banyak orang merasa kesulitan untuk berdiri lama. Jika berdiri diwajibkan (dalam salat sunah), maka kebanyakan salat sunah akan ditinggalkan. Oleh karena itu, pembuat syariat memberi keringanan untuk tidak berdiri di dalamnya sebagai dorongan untuk memperbanyak salat sunah, sebagaimana keringanan untuk melakukannya di atas kendaraan saat bepergian. [1] Diperbolehkannya salat sunah sambil duduk Baik karena ada uzur atau tidak ada uzur, diperbolehkannya salat sunah sambil duduk. Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat seseorang sambil duduk. Beliau bersabda, مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَل وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ “Barangsiapa salat sambil berdiri, maka itu lebih utama. Dan barangsiapa salat sambil duduk, maka baginya setengah pahala orang yang berdiri. Dan barangsiapa salat sambil tidur, maka baginya setengah pahala orang yang duduk.” [2] Para ulama sepakat tentang diperbolehkannya salat sunah sambil duduk baik karena ada uzur atau tidak ada uzur. [3] Cara rukuk dan sujud dalam salat sambil duduk Orang yang salat dengan duduk, boleh baginya memilih antara berdiri atau duduk saat rukuk dan sujud. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan keduanya. Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan, أَنَّ رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي جَالِسًا، فَيَقْرَأُ وَهُوَ جَالِسٌ، فَإِذَا بَقِيَ مِنْ قِرَاءَتِهِ قَدْرُ مَا يَكُونُ ثَلَاثِينَ أَوْ أَرْبَعِينَ آيَةً، قَامَ فَقَرَأَ وَهُوَ قَائِمٌ، ثُمَّ رَكَعَ، ثُمَّ سَجَدَ، ثُمَّ يَفْعَل فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْل ذَلِكَ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salat sambil duduk, beliau membaca (Al-Qur’an) sambil duduk. Ketika bacaannya tersisa sekitar tiga puluh atau empat puluh ayat, beliau berdiri, lalu membaca sambil berdiri. Kemudian rukuk, lalu sujud, kemudian melakukan hal yang sama pada rakaat kedua.” [4] Dan dalam hadis yang lain, masih dari Aisyah radhiyallahu ‘anha [5], beliau menceritakan, أَنَّ رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي لَيْلاً طَوِيلاً قَائِمًا، وَلَيْلاً طَوِيلاً قَاعِدًا، وَكَانَ إِذَا قَرَأَ وَهُوَ قَائِمٌ رَكَعَ وَسَجَدَ وَهُوَ قَائِمٌ، وَإِذَا قَرَأَ وَهُوَ قَاعِدٌ رَكَعَ وَسَجَدَ وَهُوَ قَاعِدٌ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa salat malam dalam waktu lama sambil berdiri, dan dalam waktu lama sambil duduk. Ketika beliau membaca sambil berdiri, beliau rukuk dan sujud sambil berdiri. Dan ketika beliau membaca sambil duduk, beliau rukuk dan sujud sambil duduk.” [6] Salat sunah sambil berbaring dan cara rukuk dan sujud di dalamnya Sebagian ulama berpendapat bolehnya seseorang salat sunah sambil berbaring, walaupun dia bisa berdiri atau duduk. Dalil dari hal tersebut adalah hadis dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, yang ketika itu mengalami sakit bisul, ia berkata, “Saya bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat seseorang sambil duduk, maka beliau bersabda, مَن صَلَّى قَائِمًا فَهو أفْضَلُ، ومَن صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أجْرِ القَائِمِ، ومَن صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أجْرِ القَاعِدِ ‘Barangsiapa salat sambil berdiri, maka itu lebih utama. Dan barangsiapa salat sambil duduk, maka baginya setengah pahala orang yang berdiri. Dan barangsiapa salat sambil tidur, maka baginya setengah pahala orang yang duduk.’” [7] Setelah membawakan hadis di atas, Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, والمراد بالنائم المضطجع. ولو تنفل مضطجعا بالإيماء بالرأس مع قدرته على القيام والقعود فوجهان (أحدهما) لا تصح صلاته لأنه يذهب صورتها بغير عذر وهذا أرجحهما عند إمام الحرمين والثاني وهو الصحيح صحتها لحديث عمران. “Yang dimaksud dengan tidur (dalam hadis di atas) adalah berbaring (miring). Jika seseorang salat sunah sambil berbaring dengan memberi isyarat kepala (ketika rukuk dan sujud), padahal mampu berdiri dan duduk, maka ada dua pendapat: (Pertama) Salatnya tidak sah karena menghilangkan bentuk salat tanpa uzur, dan ini yang lebih kuat menurut Imam al-Haramain. (Kedua) Dan ini yang benar, salatnya sah berdasarkan hadis Imran (di atas).” [8] Baca juga: Tatacara Bersuci untuk Salat Ketika di Pesawat Salat wajib tidak boleh dilakukan sambil duduk atau berbaring, kecuali ada uzur Semua yang disebutkan di atas adalah untuk salat sunah. Adapun salat wajib, para ulama sepakat bahwa berdiri adalah rukun di dalam salat bagi yang mampu. Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku menderita wasir, maka aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat, maka beliau bersabda, صَل قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ “Salatlah sambil berdiri! Jika tidak mampu, maka sambil duduk. Jika tidak mampu, maka sambil berbaring miring.” [9] Para ulama sepakat bahwa berdiri adalah rukun dalam salat wajib bagi yang mampu melakukannya. [10] Dalam salat wajib, rukuk dan sujud tidak gugur karena tidak bisa berdiri Barangsiapa yang tidak mampu berdiri dalam salat wajib, maka dia boleh salat sambil duduk, tetapi rukuk dan sujud tidak gugur darinya jika dia mampu melakukannya. Demikian juga, barangsiapa yang mampu berdiri tetapi tidak mampu rukuk atau sujud, maka berdiri tidak gugur darinya. Maka, yang mudah tidak gugur karena yang sulit, sebagaimana kaedah, الميسور لا يسقط بالمعسور “Sesuatu yang mudah tidak gugur karena sesuatu yang sulit.” Imam Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, [ومن قَدَرَ على القِيَامِ، وعَجَزَ عن الرُّكُوعِ أو السُّجُودِ، ‌لم ‌يَسْقُطْ ‌عنه ‌القِيَامُ]، ويُصَلِّى قائِمًا، فَيُومِئُ بالرُّكُوعِ، ثم يَجْلِسُ فَيُومِئُ بالسُّجُودِ “Barangsiapa yang mampu berdiri, tetapi tidak mampu rukuk atau sujud, maka berdiri tidak gugur darinya. Dia salat sambil berdiri, lalu memberi isyarat dengan rukuk, kemudian duduk, lalu memberi isyarat dengan sujud.” [11] Penjelasan rinci tentang bab ini telah disebutkan oleh para ulama dalam hukum salat orang yang memiliki uzur. Ringkasan dari penjelasan di atas Pertama: Dalam salat wajib, tidak boleh berpindah dari satu posisi ke posisi yang lebih rendah, kecuali ada uzur. Sedangkan dalam salat sunah, boleh (walaupun tanpa uzur) berpindah ke posisi salat sambil duduk dan berbaring dengan syarat tidak berbaring telentang. Kedua: Rukuk dan sujud tidak terkait dengan berdiri dalam salat wajib. Sehingga jika mampu melakukan rukuk dan sujud, keduanya tidak gugur, meskipun tidak bisa berdiri. Adapun dalam salat sunah, keduanya mengikuti posisi berdiri. Jika berdiri ditinggalkan, maka boleh meninggalkan rukuk dan sujud sambil berdiri (meskipun mampu). [12] Catatan tentang salat sunah sambil berbaring Pertama: Jumhur ulama berpendapat bahwa salat sunah sambil berbaring tidak diperbolehkan. Ibnu Taimiyah berkata, “Salat sunnah sambil berbaring tanpa uzur tidak diperbolehkan, kecuali oleh sekelompok kecil dari pengikut Syafi’i dan Ahmad. Dan kami tidak mendapatkan riwayat dari salah satu dari mereka bahwa mereka salat sambil berbaring tanpa uzur. Dan jika ini diperbolehkan, tentu mereka akan melakukannya.” [13] Oleh karena itu, hendaknya hal ini tidak sering dipraktikkan, apalagi dijadikan sebagai kebiasaan. Wallahu a’lam. Kedua: Yang dimaksud dengan berbaring adalah berbaring miring. Jika seseorang berbaring telentang, padahal mampu berbaring miring, maka salatnya tidak sah. [14] Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang cara rukuk dan sujud dalam salat sambil duduk atau berbaring. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Hukum Bertayamum untuk Salat ketika Safar *** 14 Zulkaidah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shofwah – Mesir, cet. ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah) Al-Mughni, Abdullah bin Ahmad Ibnu Qudamah, Dar Alamil Kutub – Saudi, cet. ke-3, 1417 (Maktabah Syamilah)   Catatan kaki: [1] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 161. [2] HR. Bukhari (Fath Al-Bari, 2: 586.) [3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 109. [4] HR. Muslim (1: 505 – cetakan Halabi) [5] HR. Muslim (1: 504 – cetakan Halabi) [6] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 161-162. [7] HR. Bukhari no. 1116. [8] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 3: 275. [9] HR. Bukhari (Fath Al-Bari, 2: 587, cetakan Salafiyah) [10] Al-Mughni, 1: 463, Lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 106. [11] Al-Mughni, 2: 572. [12] https://nahrjari.com.sa/ar/node/610 [13] Al-Nukat wa Al-Fawaid Al-Sunniyah, 1: 87 dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, 27: 163. Lihat juga https://dorar.net/feqhia/1283 [14] Syarh Al-Nawawi ‘ala Muslim, 6: 15. Tags: rukuksujud


Daftar Isi Toggle Diperbolehkannya salat sunah sambil dudukCara rukuk dan sujud dalam salat sambil dudukSalat sunah sambil berbaring dan cara rukuk dan sujud di dalamnyaSalat wajib tidak boleh dilakukan sambil duduk atau berbaring, kecuali ada uzurDalam salat wajib, rukuk dan sujud tidak gugur karena tidak bisa berdiriRingkasan dari penjelasan di atasCatatan tentang salat sunah sambil berbaring Salat sunah merupakan amalan yang sangat penting, yang perlu dikerjakan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, diperbolehkan melakukan salat sunah sambil duduk, meskipun mampu berdiri. Karena jika diwajibkan untuk berdiri, maka akan sulit untuk membiasakan kebaikan ini. Selain itu, banyak orang merasa kesulitan untuk berdiri lama. Jika berdiri diwajibkan (dalam salat sunah), maka kebanyakan salat sunah akan ditinggalkan. Oleh karena itu, pembuat syariat memberi keringanan untuk tidak berdiri di dalamnya sebagai dorongan untuk memperbanyak salat sunah, sebagaimana keringanan untuk melakukannya di atas kendaraan saat bepergian. [1] Diperbolehkannya salat sunah sambil duduk Baik karena ada uzur atau tidak ada uzur, diperbolehkannya salat sunah sambil duduk. Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat seseorang sambil duduk. Beliau bersabda, مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَل وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ “Barangsiapa salat sambil berdiri, maka itu lebih utama. Dan barangsiapa salat sambil duduk, maka baginya setengah pahala orang yang berdiri. Dan barangsiapa salat sambil tidur, maka baginya setengah pahala orang yang duduk.” [2] Para ulama sepakat tentang diperbolehkannya salat sunah sambil duduk baik karena ada uzur atau tidak ada uzur. [3] Cara rukuk dan sujud dalam salat sambil duduk Orang yang salat dengan duduk, boleh baginya memilih antara berdiri atau duduk saat rukuk dan sujud. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan keduanya. Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan, أَنَّ رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي جَالِسًا، فَيَقْرَأُ وَهُوَ جَالِسٌ، فَإِذَا بَقِيَ مِنْ قِرَاءَتِهِ قَدْرُ مَا يَكُونُ ثَلَاثِينَ أَوْ أَرْبَعِينَ آيَةً، قَامَ فَقَرَأَ وَهُوَ قَائِمٌ، ثُمَّ رَكَعَ، ثُمَّ سَجَدَ، ثُمَّ يَفْعَل فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْل ذَلِكَ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salat sambil duduk, beliau membaca (Al-Qur’an) sambil duduk. Ketika bacaannya tersisa sekitar tiga puluh atau empat puluh ayat, beliau berdiri, lalu membaca sambil berdiri. Kemudian rukuk, lalu sujud, kemudian melakukan hal yang sama pada rakaat kedua.” [4] Dan dalam hadis yang lain, masih dari Aisyah radhiyallahu ‘anha [5], beliau menceritakan, أَنَّ رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي لَيْلاً طَوِيلاً قَائِمًا، وَلَيْلاً طَوِيلاً قَاعِدًا، وَكَانَ إِذَا قَرَأَ وَهُوَ قَائِمٌ رَكَعَ وَسَجَدَ وَهُوَ قَائِمٌ، وَإِذَا قَرَأَ وَهُوَ قَاعِدٌ رَكَعَ وَسَجَدَ وَهُوَ قَاعِدٌ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa salat malam dalam waktu lama sambil berdiri, dan dalam waktu lama sambil duduk. Ketika beliau membaca sambil berdiri, beliau rukuk dan sujud sambil berdiri. Dan ketika beliau membaca sambil duduk, beliau rukuk dan sujud sambil duduk.” [6] Salat sunah sambil berbaring dan cara rukuk dan sujud di dalamnya Sebagian ulama berpendapat bolehnya seseorang salat sunah sambil berbaring, walaupun dia bisa berdiri atau duduk. Dalil dari hal tersebut adalah hadis dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, yang ketika itu mengalami sakit bisul, ia berkata, “Saya bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat seseorang sambil duduk, maka beliau bersabda, مَن صَلَّى قَائِمًا فَهو أفْضَلُ، ومَن صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أجْرِ القَائِمِ، ومَن صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أجْرِ القَاعِدِ ‘Barangsiapa salat sambil berdiri, maka itu lebih utama. Dan barangsiapa salat sambil duduk, maka baginya setengah pahala orang yang berdiri. Dan barangsiapa salat sambil tidur, maka baginya setengah pahala orang yang duduk.’” [7] Setelah membawakan hadis di atas, Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, والمراد بالنائم المضطجع. ولو تنفل مضطجعا بالإيماء بالرأس مع قدرته على القيام والقعود فوجهان (أحدهما) لا تصح صلاته لأنه يذهب صورتها بغير عذر وهذا أرجحهما عند إمام الحرمين والثاني وهو الصحيح صحتها لحديث عمران. “Yang dimaksud dengan tidur (dalam hadis di atas) adalah berbaring (miring). Jika seseorang salat sunah sambil berbaring dengan memberi isyarat kepala (ketika rukuk dan sujud), padahal mampu berdiri dan duduk, maka ada dua pendapat: (Pertama) Salatnya tidak sah karena menghilangkan bentuk salat tanpa uzur, dan ini yang lebih kuat menurut Imam al-Haramain. (Kedua) Dan ini yang benar, salatnya sah berdasarkan hadis Imran (di atas).” [8] Baca juga: Tatacara Bersuci untuk Salat Ketika di Pesawat Salat wajib tidak boleh dilakukan sambil duduk atau berbaring, kecuali ada uzur Semua yang disebutkan di atas adalah untuk salat sunah. Adapun salat wajib, para ulama sepakat bahwa berdiri adalah rukun di dalam salat bagi yang mampu. Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku menderita wasir, maka aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat, maka beliau bersabda, صَل قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ “Salatlah sambil berdiri! Jika tidak mampu, maka sambil duduk. Jika tidak mampu, maka sambil berbaring miring.” [9] Para ulama sepakat bahwa berdiri adalah rukun dalam salat wajib bagi yang mampu melakukannya. [10] Dalam salat wajib, rukuk dan sujud tidak gugur karena tidak bisa berdiri Barangsiapa yang tidak mampu berdiri dalam salat wajib, maka dia boleh salat sambil duduk, tetapi rukuk dan sujud tidak gugur darinya jika dia mampu melakukannya. Demikian juga, barangsiapa yang mampu berdiri tetapi tidak mampu rukuk atau sujud, maka berdiri tidak gugur darinya. Maka, yang mudah tidak gugur karena yang sulit, sebagaimana kaedah, الميسور لا يسقط بالمعسور “Sesuatu yang mudah tidak gugur karena sesuatu yang sulit.” Imam Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, [ومن قَدَرَ على القِيَامِ، وعَجَزَ عن الرُّكُوعِ أو السُّجُودِ، ‌لم ‌يَسْقُطْ ‌عنه ‌القِيَامُ]، ويُصَلِّى قائِمًا، فَيُومِئُ بالرُّكُوعِ، ثم يَجْلِسُ فَيُومِئُ بالسُّجُودِ “Barangsiapa yang mampu berdiri, tetapi tidak mampu rukuk atau sujud, maka berdiri tidak gugur darinya. Dia salat sambil berdiri, lalu memberi isyarat dengan rukuk, kemudian duduk, lalu memberi isyarat dengan sujud.” [11] Penjelasan rinci tentang bab ini telah disebutkan oleh para ulama dalam hukum salat orang yang memiliki uzur. Ringkasan dari penjelasan di atas Pertama: Dalam salat wajib, tidak boleh berpindah dari satu posisi ke posisi yang lebih rendah, kecuali ada uzur. Sedangkan dalam salat sunah, boleh (walaupun tanpa uzur) berpindah ke posisi salat sambil duduk dan berbaring dengan syarat tidak berbaring telentang. Kedua: Rukuk dan sujud tidak terkait dengan berdiri dalam salat wajib. Sehingga jika mampu melakukan rukuk dan sujud, keduanya tidak gugur, meskipun tidak bisa berdiri. Adapun dalam salat sunah, keduanya mengikuti posisi berdiri. Jika berdiri ditinggalkan, maka boleh meninggalkan rukuk dan sujud sambil berdiri (meskipun mampu). [12] Catatan tentang salat sunah sambil berbaring Pertama: Jumhur ulama berpendapat bahwa salat sunah sambil berbaring tidak diperbolehkan. Ibnu Taimiyah berkata, “Salat sunnah sambil berbaring tanpa uzur tidak diperbolehkan, kecuali oleh sekelompok kecil dari pengikut Syafi’i dan Ahmad. Dan kami tidak mendapatkan riwayat dari salah satu dari mereka bahwa mereka salat sambil berbaring tanpa uzur. Dan jika ini diperbolehkan, tentu mereka akan melakukannya.” [13] Oleh karena itu, hendaknya hal ini tidak sering dipraktikkan, apalagi dijadikan sebagai kebiasaan. Wallahu a’lam. Kedua: Yang dimaksud dengan berbaring adalah berbaring miring. Jika seseorang berbaring telentang, padahal mampu berbaring miring, maka salatnya tidak sah. [14] Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang cara rukuk dan sujud dalam salat sambil duduk atau berbaring. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Hukum Bertayamum untuk Salat ketika Safar *** 14 Zulkaidah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shofwah – Mesir, cet. ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah) Al-Mughni, Abdullah bin Ahmad Ibnu Qudamah, Dar Alamil Kutub – Saudi, cet. ke-3, 1417 (Maktabah Syamilah)   Catatan kaki: [1] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 161. [2] HR. Bukhari (Fath Al-Bari, 2: 586.) [3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 109. [4] HR. Muslim (1: 505 – cetakan Halabi) [5] HR. Muslim (1: 504 – cetakan Halabi) [6] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 161-162. [7] HR. Bukhari no. 1116. [8] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 3: 275. [9] HR. Bukhari (Fath Al-Bari, 2: 587, cetakan Salafiyah) [10] Al-Mughni, 1: 463, Lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 106. [11] Al-Mughni, 2: 572. [12] https://nahrjari.com.sa/ar/node/610 [13] Al-Nukat wa Al-Fawaid Al-Sunniyah, 1: 87 dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, 27: 163. Lihat juga https://dorar.net/feqhia/1283 [14] Syarh Al-Nawawi ‘ala Muslim, 6: 15. Tags: rukuksujud

10 Pelajaran di Balik Ibadah Haji

Apa saja pelajaran-pelajaran penting di balik ibadah haji? Daftar Isi tutup 1. 1- Belajar untuk ikhlas 2. 2- Belajar untuk mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam 2.1. 3- Belajar untuk sedekah harta, berderma, dan mengorbankan harta 3. 4- Dalam haji saat ihram, belajar untuk meninggalkan larangan walau sementara waktu 4. 5- Belajar untuk rajin berdzikir 5. 6- Capek dalam ibadah pasti berpahala 6. 7- Semangat meraih surga 6.1. Haji mabrur berarti memiliki lima sifat atau tanda: 7. 8- Ibadah melihat dari kemampuan 8. 9- Amalan ada yang bisa dibadalkan 9. 10- Belajar dari ucapan talbiyah 1- Belajar untuk ikhlas Dalam penyembelihan hadyuu dan qurban, Allah Ta’ala berfirman, لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37) Untuk ibadah haji demikian, kita diperintahkan untuk ikhlas, bukan cari gelar dan cari sanjungan. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ “Siapa yang berhaji karena Allah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari, no. 1521). 2- Belajar untuk mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Dalam ibadah haji, hadyuu disembelih sebagaimana aturan qurban untuk waktunya, yaitu mulai dari Iduladha. Al Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah kepada para sahabat pada hari Iduladha setelah mengerjakan shalat Iduladha. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا وَنَسَكَ نُسُكَنَا فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ ، وَمَنْ نَسَكَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّهُ قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَلاَ نُسُكَ لَهُ “Siapa yang shalat seperti shalat kami dan menyembelih kurban seperti kurban kami, maka ia telah mendapatkan pahala kurban. Barangsiapa yang berkurban sebelum shalat Idul Adha, maka itu hanyalah sembelihan yang ada sebelum shalat dan tidak teranggap sebagai kurban.” Abu Burdah yang merupakan paman dari Al Bara’ bin ‘Azib dari jalur ibunya berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ ، فَإِنِّى نَسَكْتُ شَاتِى قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَعَرَفْتُ أَنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ ، وَأَحْبَبْتُ أَنْ تَكُونَ شَاتِى أَوَّلَ مَا يُذْبَحُ فِى بَيْتِى ، فَذَبَحْتُ شَاتِى وَتَغَدَّيْتُ قَبْلَ أَنْ آتِىَ الصَّلاَةَ “Wahai Rasulullah, aku telah menyembelih kambingku sebelum shalat Idul Adha. Aku tahu bahwa hari itu adalah hari untuk makan dan minum. Aku senang jika kambingku adalah binatang yang pertama kali disembelih di rumahku. Oleh karena itu, aku menyembelihnya dan aku sarapan dengannya sebelum aku shalat Idul Adha.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, شَاتُكَ شَاةُ لَحْمٍ “Kambingmu hanyalah kambing biasa (yang dimakan dagingnya, bukan kambing kurban).” (HR. Bukhari no. 955) Begitu pula dalam ibadah haji hendaklah sesuai tuntunan, tidak bisa kita beribadah asal-asalan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ أَدْرِى لَعَلِّى لاَ أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِى هَذِهِ “Ambillah dariku manasik-manasik kalian, karena sesungguhnya aku tidak mengetahui, mungkin saja aku tidak berhaji setelah hajiku ini.” (HR. Muslim no. 1297, dari Jabir).   3- Belajar untuk sedekah harta, berderma, dan mengorbankan harta Ingat Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula, مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ “Sedekah tidaklah mengurangi harta.” (HR. Muslim, no. 2588; dari Abu Hurairah) Imam Nawawi berkata, “Kekurangan harta bisa ditutup dengan keberkahannya atau ditutup dengan pahala di sisi Allah.” (Syarh Shahih Muslim, 16: 128).   4- Dalam haji saat ihram, belajar untuk meninggalkan larangan walau sementara waktu Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang pakaian yang dipakai oleh orang yang berihram. Beliau bersabda, أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ ( سُئِلَ: مَا يَلْبَسُ اَلْمُحْرِمُ مِنْ اَلثِّيَابِ? فَقَالَ: ” لَا تَلْبَسُوا الْقُمُصَ, وَلَا اَلْعَمَائِمَ, وَلَا السَّرَاوِيلَاتِ, وَلَا اَلْبَرَانِسَ, وَلَا اَلْخِفَافَ, إِلَّا أَحَدٌ لَا يَجِدُ اَلنَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ اَلْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ اَلْكَعْبَيْنِ, وَلَا تَلْبَسُوا شَيْئًا مِنْ اَلثِّيَابِ مَسَّهُ اَلزَّعْفَرَانُ وَلَا اَلْوَرْسُ” “Tidak boleh memakai gamis (baju), surban, celana, penutup kepala, dan sepatu kecuali seseorang yang tidak memakai sandal, ia boleh mengenakan sepatu. Namun, hendaklah ia memotong bagian yang lebih bawah dari mata kaki. Jangan memakai pakaian yang terkena za’faran dan wars.” (Muttafaqun ‘alaih dan lafaznya dari Imam Muslim). [HR. Bukhari, no. 1542 dan Muslim, no. 1177] Pakaian yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dikenakan adalah: (1) qamis, yaitu pakaian yang memiliki lengan, yang dilarang pula kaos, jubah, dan kemeja, (2) imamah, yaitu penutup kepala, yang dilarang pula kopiah, (3) sarowil, yaitu pakaian bawah seperti celana, yang dilarang pula celana pendek dan celana dalam, (4) burnus, yaitu pakaian yang menutupi kepala dan badan, yang dilarang pula abaya (mantel), (5) khuf, yaitu yang menutupi kaki terbuat dari kulit, yang dilarang pula sepatu dan kaos kaki. Lima hal di atas dilarang bertujuan: (1) agar menjauhkan dari hidup mewah, lebih dari hal yang biasa dikenakan, (2) orang yang berihram tampak seperti orang yang tunduk dan zuhud, (3) orang-orang yang berihram semuanya berpakaian sama, tak tampak saling berbangga diri, (4) ibadah yang dilakukan sejatinya lebih besar dibandingkan dengan pakaian yang dikenakan, (5) lebih fokus untuk memperbanyak dzikir dan makin dekat kepada Allah, serta berusaha menjauhi maksiat, (6) lebih banyak mengingat mati karena pakaian ihram mengingatkan pada kain kafan yang dikenakan saat meninggal dunia, (7) mengingatkan pada hari berbangkit kelak. Inilah beberapa rahasia di balik larangan ihram. Kaidah larangan ihram: SEGALA YANG MENYELIMUTI BADAN ATAU BAGIAN DARINYA ATAU SEBAGIAN ANGGOTANYA, MAKA ORANG YANG BERIHRAM (MUHRIM) TERLARANG MELAKUKANNYA. Baca juga: Inilah pakaian yang dilarang bagi laki-laki saat ihram dan hikmah di balik itu   5- Belajar untuk rajin berdzikir Sejak sepuluh hari pertama Dzulhijjah, kita sudah diperintahkan untuk banyak bertakbir. Allah Ta’ala berfirman, وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ “Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (QS. Al Hajj: 28). ‘Ayyam ma’lumaat’ menurut salah satu penafsiran adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Dalam ayat lain disebutkan, وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ “Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang terbilang.” (QS. Al Baqarah: 203). Ibnu ‘Umar dan ulama lainnya mengatakan bahwa ayyamul ma’dudat adalah tiga hari tasyriq. Ini menunjukkan adanya perintah berdzikir di hari-hari tasyriq. Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan, Ibnu ‘Abbas berkata, “Berdzikirlah kalian pada Allah di hari-hari yang ditentukan yaitu 10 hari pertama Dzulhijah dan juga pada hari-hari tasyriq.” Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah pernah keluar ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijah, lalu mereka bertakbir, lantas manusia pun ikut bertakbir. Muhammad bin ‘Ali pun bertakbir setelah shalat sunnah. (Dikeluarkan oleh Bukhari tanpa sanad (mu’allaq), pada Bab “Keutamaan beramal di hari tasyriq”) Ibadah thawaf, sa’i dan melempar jumrah pun dilakukan dalam rangka berdzikir pada Allah. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْىُ الْجِمَارِ لإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّهِ “Sesungguhnya thawaf di Ka’bah, melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah dan melempar jumrah adalah bagian dari dzikrullah (dzikir pada Allah).” (HR. Abu Daud, no. 1888; Tirmidzi, no. 902; Ahmad, 6: 46. Imam Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih. Syaikh Al-Albani dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini dha’if) Di hari-hari tasyriq, kita pun diperintahkan untuk membaca doa sapu jagad. Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ, وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Robbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina ‘adzaban naar” [Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka].” (QS. Al Baqarah: 200-201) Dari ayat ini kebanyakan ulama salaf menganjurkan membaca do’a “Robbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina ‘adzaban naar” di hari-hari tasyriq. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh ‘Ikrimah dan ‘Atha’. (Lihat Latha-if Al-Ma’arif, hlm. 505-506). Ini semua mengajarkan pada kita untuk rajin berdzikir. عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ رضى الله عنه أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَىَّ فَأَخْبِرْنِى بِشَىْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ. قَالَ « لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ » Dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ada seseorang yang berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, syariat Islam sungguh banyak dan membebani kami. Beritahukanlah padaku suatu amalan yang aku bisa konsisten dengannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Hendaklah lisanmu tidak berhenti dari berdzikir pada Allah.” (HR. Tirmidzi, no. 3375; Ibnu Majah, no. 3793; Ahmad, 4: 188. Hadits ini shahih menurut Syaikh Al Albani). Baca juga: Khutbah Idul Adha, Pelajaran di Balik Ibadah Qurban dan Haji   6- Capek dalam ibadah pasti berpahala Ibadah haji pasti akan mendapatkan rasa capek, letih, kepayahan luar biasa. Ini namanya capek dalam ibadah. Capek dalam ibadah pasti berpahala. Imam Az-Zarkasi berkata dalam Al-Mantsur, العَمَلُ كُلَّمَا كَثُرَ وَشَقَّ كَانَ أَفْضَلُ مِمَّا لَيْسَ كَذَلِكَ “Amalan yang semakin banyak dan sulit, lebih afdhal daripada amalan yang tidak seperti itu.” Dasar kaidah di atas disimpulkan dari hadits ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, وَلَكِنَّهَا عَلَى قَدْرِ نَصَبِكِ “Akan tetapi, pahalanya tergantung pada usaha yang dikorbankan.” (HR. Muslim, no. 1211). Demikian dikatakan oleh As-Suyuthi ketika menyebutkan kaidah di atas dalam Al-Asybah wa An-Nazhair (hlm. 320). Syaikh ‘Ali Ath-Thanthawi berkata: Aku telah membaca lebih dari tujuh puluh tahun, perkataan penuh hikmah yang paling berkesan adalah: ” أن مشقة الطاعة تذهب ويبقى ثوابها وأن لذة المعاصي تذهب ويبقى عقابها “ – kesulitan dalam ketaatan akan sirna, pahalanya akan tetap ada kelak. – kenikmatan saat bermaksiat akan hilang, tentu hukumannya akan tetap ada.   7- Semangat meraih surga عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: { اَلْعُمْرَةُ إِلَى اَلْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا, وَالْحَجُّ اَلْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا اَلْجَنَّةَ } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Umrah ke umrah menghapus dosa antara keduanya. Pahala bagi haji mabrur tentu saja adalah surga.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 1773 dan Muslim, no. 1349) Haji mabrur berarti memiliki lima sifat atau tanda: haji yang ikhlas karena Allah, tidak ada riya’, tidak ada sum’ah, haji dengan menggunakan harta halal, haji yang jauh dari maksiat, dosa, bid’ah, dan penyimpangan agama, berakhlak yang baik, melakukan syiar Allah dengan penuh pengagungan dan ketundukan kepada Allah, di mana ditandai dengan ketenangan dan tidak tergesa-gesa saat berucap dan berbuat, serta melakukan haji dengan memperbanyak dzikir, takbir, tasbih, tahmid, dan istighfar. Baca juga: 5 Tanda Haji Mabrur   8- Ibadah melihat dari kemampuan Allah Ta’ala berfirman, وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan mampu melakukan perjalanan adalah: (1) sehat badan, (2) bekal uang yang cukup, (3) ada kendaraan tanpa ada bahaya. (Tafsir Ibnu Jarir, 7:38; As-Sunan Al-Kabiir oleh Imam Al-Baihaqi, 4:331. Sanad hadits ini sahih. Lihat Minhah Al-‘Allam, 5:167) Baca juga: Syarat Mampu dalam Berhaji     9- Amalan ada yang bisa dibadalkan Amalan itu ada yang bisa dibadalkan, digantikan oleh orang lain seperti amalan haji. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, أَمَرَتِ امْرَأَةُ سِنَانَ بْنِ سَلَمَةَ الْجُهَنِىِّ أَنْ يَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ أُمَّهَا مَاتَتْ وَلَمْ تَحُجَّ أَفَيُجْزِئُ عَنْ أُمِّهَا أَنْ تَحُجَّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّهَا دَيْنٌ فَقَضَتْهُ عَنْهَا أَلَمْ يَكُنْ يُجْزِئُ عَنْهَا فَلْتَحُجَّ عَنْ أُمِّهَا Istri Sinan bin Salamah Al-Juhaniy meminta bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ibunya yang meninggal dunia dan belum sempat menunaikan haji. Ia tanyakan apakah boleh ia menghajikan ibunya. “Iya, boleh. Seandainya ibunya punya utang, lalu ia lunasi utang tersebut, bukankah itu bermanfaat bagi ibunya? Maka silakan ia hajikan ibunya”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. An-Nasai, no. 2634; Ahmad 1: 217 dari hadits Abu At Tiyah, Ibnu Khuzaimah 3034, Sunan An-Nasai Al-Kubra 3613. Sanad hadits ini sahih kata Al-Hafizh Abu Thahir). Dalam riwayat lain, عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَبِيهَا مَاتَ وَلَمْ يَحُجَّ قَالَ حُجِّى عَنْ أَبِيكِ Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya seorang wanita pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai ayahnya yang meninggal dunia dan belum berhaji, maka beliau bersabda, “Hajikanlah ayahmu.” (HR. Bukhari, no. 1513; Muslim, no. 1334, lafazhnya adalah dari An-Nasai dalam sunannya, no. 2635). Begitu pula boleh menghajikan dan mengumrahkan orang yang tidak mampu itu manfaat sebagaimana hadits berikut. عَنْ أَبِى رَزِينٍ الْعُقَيْلِىِّ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِى شَيْخٌ كَبِيرٌ لاَ يَسْتَطِيعُ الْحَجَّ وَلاَ الْعُمْرَةَ وَالظَّعْنَ. قَالَ حُجَّ عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِرْ Dari Abu Razin Al-‘Uqaili, ia berkata, “Wahai Rasulullah, ayahku sudah tua renta dan tidak mampu berhaji dan berumrah, serta tidak mampu melakukan perjalanan jauh.” Beliau bersabda, “Hajikan ayahmu dan berumrahlah untuknya pula.” (HR. An-Nasai, no. 2638, sanadnya sahih kata Al Hafizh Abu Thahir). Yang membadalkan haji atau umrah diharuskan telah melakukan ibadah tersebut terlebih dahulu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ابْدَأْ بِنَفْسِكَ “Mulailah dari dirimu sendiri.” (HR. Muslim, no. 997). Juga didukung oleh hadits, عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ.فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ شُبْرُمَةُ ». قَالَ قَرِيبٌ لِى. قَالَ « هَلْ حَجَجْتَ قَطُّ ». قَالَ لاَ. قَالَ « فَاجْعَلْ هَذِهِ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ احْجُجْ عَنْ شُبْرُمَةَ ». Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang yang berucap ‘labbaik ‘an Syubrumah’ (aku memenuhi panggilan-Mu -Ya Allah- atas nama Syubrumah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, “Siapa Syubrumah?” “Ia adalah kerabat dekatku”, jawab orang tersebut. “Apakah engkau sudah pernah berhaji sekali sebelumnya?”, tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia jawab, “Belum.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatinya, “Jadikan hajimu ini untuk dirimu, nanti engkau berhaji lagi untuk Syubrumah.” (HR. Ibnu Majah, no. 2903; Abu Daud, no. 1811, Ibnu Khuzaimah 3039, Ibnu Hibban 962. Sanad hadits ini dha’if, Ibnu Abi ‘Urubah adalah perowi ‘an-‘anah. Sedangkan Syaikh Al-Albani mensahihkan hadits ini). Membadalkan haji untuk mayat ada tiga keadaan: Ia sudah wajib berhaji di masa hidupnya, ia wajib dihajikan dari harta peninggalannya. Jika ia tidak memiliki harta peninggalan, ahli waris disunnahkan menghajikannya. Dalam hal ini, yang bukan mahram (ajnabi) boleh menghajikan walau tanpa izin. Ia tidak terkena wajib haji pada masa hidupnya, maka kerabat atau yang bukan mahram (ajnabi) disunnahkan menghajikannya, baik ada wasiat ataukah tidak. Ia sudah pernah berhaji untuk dirinya, apakah ia perlu dihajikan lagi dengan status sunnah? Menurut pendapat al-mu’tamad: Ia dihajikan jika memang ada wasiat. Jika tidak ada wasiat, maka tidak perlu menghajikan. Lihat Tahqiq Ar-Raghbaat bi At-Taqsiimaat wa At-Tasyjiiroot li Tholabah Al-Fiqh Asy-Syafii, hlm. 216. Baca juga: 10 Ketentuan Badal Haji   10- Belajar dari ucapan talbiyah Dari Khallad bin As-Saa-ib, dari ayahnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَتَانِي جِبْرِيلُ, فَأَمَرَنِي أَنْ آمُرَأَصْحَابِي أَنْ يَرْفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالْإِهْلَالِ “Jibril datang kepadaku, lalu memerintahkanku agar aku menyuruh sahabat-sahabatku mengeraskan suara mereka dengan bacaan talbiyah.” (Diriwayatkan oleh Imam yang lima. Hadits ini sahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Hibban). [HR. Abu Daud, no. 1814; Tirmidzi, no. 829; An-Nasai, 5:162; Ibnu Majah, no. 2922; Ahmad, 27:89-90; Ibnu Hibban, no. 3791]. Kalimat “LABBAIK ALLAHUMMA LABBAIK” di atas maksudnya adalah aku penuhi panggilan-Mu, wahai Rabbku, sekali lalu sekali. Kalimat “LAA SYARIKA LAK”, maksudnya adalah aku penuhi panggilan-Mu semata, tidak ada sekutu bagi-Mu. Artinya, kalimat ini berisi pengakuan untuk tidak berbuat syirik. Ini menunjukkan ibadah haji dan ibadah lainnya mesti dilakukan dengan ikhlas untuk mengharap ridha Allah Ta’ala. Lafazh talbiyah diucapkan dengan pengulangan dengan mengharap bahwa pengabulannya itu berulang kali. Lafazh talbiyah yang baik adalah yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi dalam tidak mengapa ditambah atau dikurangi. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar para sahabat menambah atau mengurangi, tetapi beliau tidak mengingkari mereka. Baca juga: Ucapan Talbiyah, Maksud dan Aturan Pengucapannya untuk Jamaah Haji dan Umrah Semoga Allah mudahkan untuk berhaji. Bagi yang sudah berhaji, semoga menjadi haji mabrur. – Perjalanan Panggang – Bandara YIA Kulonprogo, 21 Dzulhijjah 1445 H, 30 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsajakan berhaji amalan haji berhaji fikih haji

10 Pelajaran di Balik Ibadah Haji

Apa saja pelajaran-pelajaran penting di balik ibadah haji? Daftar Isi tutup 1. 1- Belajar untuk ikhlas 2. 2- Belajar untuk mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam 2.1. 3- Belajar untuk sedekah harta, berderma, dan mengorbankan harta 3. 4- Dalam haji saat ihram, belajar untuk meninggalkan larangan walau sementara waktu 4. 5- Belajar untuk rajin berdzikir 5. 6- Capek dalam ibadah pasti berpahala 6. 7- Semangat meraih surga 6.1. Haji mabrur berarti memiliki lima sifat atau tanda: 7. 8- Ibadah melihat dari kemampuan 8. 9- Amalan ada yang bisa dibadalkan 9. 10- Belajar dari ucapan talbiyah 1- Belajar untuk ikhlas Dalam penyembelihan hadyuu dan qurban, Allah Ta’ala berfirman, لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37) Untuk ibadah haji demikian, kita diperintahkan untuk ikhlas, bukan cari gelar dan cari sanjungan. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ “Siapa yang berhaji karena Allah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari, no. 1521). 2- Belajar untuk mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Dalam ibadah haji, hadyuu disembelih sebagaimana aturan qurban untuk waktunya, yaitu mulai dari Iduladha. Al Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah kepada para sahabat pada hari Iduladha setelah mengerjakan shalat Iduladha. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا وَنَسَكَ نُسُكَنَا فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ ، وَمَنْ نَسَكَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّهُ قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَلاَ نُسُكَ لَهُ “Siapa yang shalat seperti shalat kami dan menyembelih kurban seperti kurban kami, maka ia telah mendapatkan pahala kurban. Barangsiapa yang berkurban sebelum shalat Idul Adha, maka itu hanyalah sembelihan yang ada sebelum shalat dan tidak teranggap sebagai kurban.” Abu Burdah yang merupakan paman dari Al Bara’ bin ‘Azib dari jalur ibunya berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ ، فَإِنِّى نَسَكْتُ شَاتِى قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَعَرَفْتُ أَنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ ، وَأَحْبَبْتُ أَنْ تَكُونَ شَاتِى أَوَّلَ مَا يُذْبَحُ فِى بَيْتِى ، فَذَبَحْتُ شَاتِى وَتَغَدَّيْتُ قَبْلَ أَنْ آتِىَ الصَّلاَةَ “Wahai Rasulullah, aku telah menyembelih kambingku sebelum shalat Idul Adha. Aku tahu bahwa hari itu adalah hari untuk makan dan minum. Aku senang jika kambingku adalah binatang yang pertama kali disembelih di rumahku. Oleh karena itu, aku menyembelihnya dan aku sarapan dengannya sebelum aku shalat Idul Adha.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, شَاتُكَ شَاةُ لَحْمٍ “Kambingmu hanyalah kambing biasa (yang dimakan dagingnya, bukan kambing kurban).” (HR. Bukhari no. 955) Begitu pula dalam ibadah haji hendaklah sesuai tuntunan, tidak bisa kita beribadah asal-asalan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ أَدْرِى لَعَلِّى لاَ أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِى هَذِهِ “Ambillah dariku manasik-manasik kalian, karena sesungguhnya aku tidak mengetahui, mungkin saja aku tidak berhaji setelah hajiku ini.” (HR. Muslim no. 1297, dari Jabir).   3- Belajar untuk sedekah harta, berderma, dan mengorbankan harta Ingat Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula, مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ “Sedekah tidaklah mengurangi harta.” (HR. Muslim, no. 2588; dari Abu Hurairah) Imam Nawawi berkata, “Kekurangan harta bisa ditutup dengan keberkahannya atau ditutup dengan pahala di sisi Allah.” (Syarh Shahih Muslim, 16: 128).   4- Dalam haji saat ihram, belajar untuk meninggalkan larangan walau sementara waktu Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang pakaian yang dipakai oleh orang yang berihram. Beliau bersabda, أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ ( سُئِلَ: مَا يَلْبَسُ اَلْمُحْرِمُ مِنْ اَلثِّيَابِ? فَقَالَ: ” لَا تَلْبَسُوا الْقُمُصَ, وَلَا اَلْعَمَائِمَ, وَلَا السَّرَاوِيلَاتِ, وَلَا اَلْبَرَانِسَ, وَلَا اَلْخِفَافَ, إِلَّا أَحَدٌ لَا يَجِدُ اَلنَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ اَلْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ اَلْكَعْبَيْنِ, وَلَا تَلْبَسُوا شَيْئًا مِنْ اَلثِّيَابِ مَسَّهُ اَلزَّعْفَرَانُ وَلَا اَلْوَرْسُ” “Tidak boleh memakai gamis (baju), surban, celana, penutup kepala, dan sepatu kecuali seseorang yang tidak memakai sandal, ia boleh mengenakan sepatu. Namun, hendaklah ia memotong bagian yang lebih bawah dari mata kaki. Jangan memakai pakaian yang terkena za’faran dan wars.” (Muttafaqun ‘alaih dan lafaznya dari Imam Muslim). [HR. Bukhari, no. 1542 dan Muslim, no. 1177] Pakaian yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dikenakan adalah: (1) qamis, yaitu pakaian yang memiliki lengan, yang dilarang pula kaos, jubah, dan kemeja, (2) imamah, yaitu penutup kepala, yang dilarang pula kopiah, (3) sarowil, yaitu pakaian bawah seperti celana, yang dilarang pula celana pendek dan celana dalam, (4) burnus, yaitu pakaian yang menutupi kepala dan badan, yang dilarang pula abaya (mantel), (5) khuf, yaitu yang menutupi kaki terbuat dari kulit, yang dilarang pula sepatu dan kaos kaki. Lima hal di atas dilarang bertujuan: (1) agar menjauhkan dari hidup mewah, lebih dari hal yang biasa dikenakan, (2) orang yang berihram tampak seperti orang yang tunduk dan zuhud, (3) orang-orang yang berihram semuanya berpakaian sama, tak tampak saling berbangga diri, (4) ibadah yang dilakukan sejatinya lebih besar dibandingkan dengan pakaian yang dikenakan, (5) lebih fokus untuk memperbanyak dzikir dan makin dekat kepada Allah, serta berusaha menjauhi maksiat, (6) lebih banyak mengingat mati karena pakaian ihram mengingatkan pada kain kafan yang dikenakan saat meninggal dunia, (7) mengingatkan pada hari berbangkit kelak. Inilah beberapa rahasia di balik larangan ihram. Kaidah larangan ihram: SEGALA YANG MENYELIMUTI BADAN ATAU BAGIAN DARINYA ATAU SEBAGIAN ANGGOTANYA, MAKA ORANG YANG BERIHRAM (MUHRIM) TERLARANG MELAKUKANNYA. Baca juga: Inilah pakaian yang dilarang bagi laki-laki saat ihram dan hikmah di balik itu   5- Belajar untuk rajin berdzikir Sejak sepuluh hari pertama Dzulhijjah, kita sudah diperintahkan untuk banyak bertakbir. Allah Ta’ala berfirman, وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ “Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (QS. Al Hajj: 28). ‘Ayyam ma’lumaat’ menurut salah satu penafsiran adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Dalam ayat lain disebutkan, وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ “Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang terbilang.” (QS. Al Baqarah: 203). Ibnu ‘Umar dan ulama lainnya mengatakan bahwa ayyamul ma’dudat adalah tiga hari tasyriq. Ini menunjukkan adanya perintah berdzikir di hari-hari tasyriq. Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan, Ibnu ‘Abbas berkata, “Berdzikirlah kalian pada Allah di hari-hari yang ditentukan yaitu 10 hari pertama Dzulhijah dan juga pada hari-hari tasyriq.” Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah pernah keluar ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijah, lalu mereka bertakbir, lantas manusia pun ikut bertakbir. Muhammad bin ‘Ali pun bertakbir setelah shalat sunnah. (Dikeluarkan oleh Bukhari tanpa sanad (mu’allaq), pada Bab “Keutamaan beramal di hari tasyriq”) Ibadah thawaf, sa’i dan melempar jumrah pun dilakukan dalam rangka berdzikir pada Allah. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْىُ الْجِمَارِ لإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّهِ “Sesungguhnya thawaf di Ka’bah, melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah dan melempar jumrah adalah bagian dari dzikrullah (dzikir pada Allah).” (HR. Abu Daud, no. 1888; Tirmidzi, no. 902; Ahmad, 6: 46. Imam Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih. Syaikh Al-Albani dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini dha’if) Di hari-hari tasyriq, kita pun diperintahkan untuk membaca doa sapu jagad. Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ, وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Robbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina ‘adzaban naar” [Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka].” (QS. Al Baqarah: 200-201) Dari ayat ini kebanyakan ulama salaf menganjurkan membaca do’a “Robbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina ‘adzaban naar” di hari-hari tasyriq. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh ‘Ikrimah dan ‘Atha’. (Lihat Latha-if Al-Ma’arif, hlm. 505-506). Ini semua mengajarkan pada kita untuk rajin berdzikir. عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ رضى الله عنه أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَىَّ فَأَخْبِرْنِى بِشَىْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ. قَالَ « لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ » Dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ada seseorang yang berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, syariat Islam sungguh banyak dan membebani kami. Beritahukanlah padaku suatu amalan yang aku bisa konsisten dengannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Hendaklah lisanmu tidak berhenti dari berdzikir pada Allah.” (HR. Tirmidzi, no. 3375; Ibnu Majah, no. 3793; Ahmad, 4: 188. Hadits ini shahih menurut Syaikh Al Albani). Baca juga: Khutbah Idul Adha, Pelajaran di Balik Ibadah Qurban dan Haji   6- Capek dalam ibadah pasti berpahala Ibadah haji pasti akan mendapatkan rasa capek, letih, kepayahan luar biasa. Ini namanya capek dalam ibadah. Capek dalam ibadah pasti berpahala. Imam Az-Zarkasi berkata dalam Al-Mantsur, العَمَلُ كُلَّمَا كَثُرَ وَشَقَّ كَانَ أَفْضَلُ مِمَّا لَيْسَ كَذَلِكَ “Amalan yang semakin banyak dan sulit, lebih afdhal daripada amalan yang tidak seperti itu.” Dasar kaidah di atas disimpulkan dari hadits ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, وَلَكِنَّهَا عَلَى قَدْرِ نَصَبِكِ “Akan tetapi, pahalanya tergantung pada usaha yang dikorbankan.” (HR. Muslim, no. 1211). Demikian dikatakan oleh As-Suyuthi ketika menyebutkan kaidah di atas dalam Al-Asybah wa An-Nazhair (hlm. 320). Syaikh ‘Ali Ath-Thanthawi berkata: Aku telah membaca lebih dari tujuh puluh tahun, perkataan penuh hikmah yang paling berkesan adalah: ” أن مشقة الطاعة تذهب ويبقى ثوابها وأن لذة المعاصي تذهب ويبقى عقابها “ – kesulitan dalam ketaatan akan sirna, pahalanya akan tetap ada kelak. – kenikmatan saat bermaksiat akan hilang, tentu hukumannya akan tetap ada.   7- Semangat meraih surga عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: { اَلْعُمْرَةُ إِلَى اَلْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا, وَالْحَجُّ اَلْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا اَلْجَنَّةَ } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Umrah ke umrah menghapus dosa antara keduanya. Pahala bagi haji mabrur tentu saja adalah surga.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 1773 dan Muslim, no. 1349) Haji mabrur berarti memiliki lima sifat atau tanda: haji yang ikhlas karena Allah, tidak ada riya’, tidak ada sum’ah, haji dengan menggunakan harta halal, haji yang jauh dari maksiat, dosa, bid’ah, dan penyimpangan agama, berakhlak yang baik, melakukan syiar Allah dengan penuh pengagungan dan ketundukan kepada Allah, di mana ditandai dengan ketenangan dan tidak tergesa-gesa saat berucap dan berbuat, serta melakukan haji dengan memperbanyak dzikir, takbir, tasbih, tahmid, dan istighfar. Baca juga: 5 Tanda Haji Mabrur   8- Ibadah melihat dari kemampuan Allah Ta’ala berfirman, وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan mampu melakukan perjalanan adalah: (1) sehat badan, (2) bekal uang yang cukup, (3) ada kendaraan tanpa ada bahaya. (Tafsir Ibnu Jarir, 7:38; As-Sunan Al-Kabiir oleh Imam Al-Baihaqi, 4:331. Sanad hadits ini sahih. Lihat Minhah Al-‘Allam, 5:167) Baca juga: Syarat Mampu dalam Berhaji     9- Amalan ada yang bisa dibadalkan Amalan itu ada yang bisa dibadalkan, digantikan oleh orang lain seperti amalan haji. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, أَمَرَتِ امْرَأَةُ سِنَانَ بْنِ سَلَمَةَ الْجُهَنِىِّ أَنْ يَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ أُمَّهَا مَاتَتْ وَلَمْ تَحُجَّ أَفَيُجْزِئُ عَنْ أُمِّهَا أَنْ تَحُجَّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّهَا دَيْنٌ فَقَضَتْهُ عَنْهَا أَلَمْ يَكُنْ يُجْزِئُ عَنْهَا فَلْتَحُجَّ عَنْ أُمِّهَا Istri Sinan bin Salamah Al-Juhaniy meminta bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ibunya yang meninggal dunia dan belum sempat menunaikan haji. Ia tanyakan apakah boleh ia menghajikan ibunya. “Iya, boleh. Seandainya ibunya punya utang, lalu ia lunasi utang tersebut, bukankah itu bermanfaat bagi ibunya? Maka silakan ia hajikan ibunya”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. An-Nasai, no. 2634; Ahmad 1: 217 dari hadits Abu At Tiyah, Ibnu Khuzaimah 3034, Sunan An-Nasai Al-Kubra 3613. Sanad hadits ini sahih kata Al-Hafizh Abu Thahir). Dalam riwayat lain, عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَبِيهَا مَاتَ وَلَمْ يَحُجَّ قَالَ حُجِّى عَنْ أَبِيكِ Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya seorang wanita pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai ayahnya yang meninggal dunia dan belum berhaji, maka beliau bersabda, “Hajikanlah ayahmu.” (HR. Bukhari, no. 1513; Muslim, no. 1334, lafazhnya adalah dari An-Nasai dalam sunannya, no. 2635). Begitu pula boleh menghajikan dan mengumrahkan orang yang tidak mampu itu manfaat sebagaimana hadits berikut. عَنْ أَبِى رَزِينٍ الْعُقَيْلِىِّ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِى شَيْخٌ كَبِيرٌ لاَ يَسْتَطِيعُ الْحَجَّ وَلاَ الْعُمْرَةَ وَالظَّعْنَ. قَالَ حُجَّ عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِرْ Dari Abu Razin Al-‘Uqaili, ia berkata, “Wahai Rasulullah, ayahku sudah tua renta dan tidak mampu berhaji dan berumrah, serta tidak mampu melakukan perjalanan jauh.” Beliau bersabda, “Hajikan ayahmu dan berumrahlah untuknya pula.” (HR. An-Nasai, no. 2638, sanadnya sahih kata Al Hafizh Abu Thahir). Yang membadalkan haji atau umrah diharuskan telah melakukan ibadah tersebut terlebih dahulu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ابْدَأْ بِنَفْسِكَ “Mulailah dari dirimu sendiri.” (HR. Muslim, no. 997). Juga didukung oleh hadits, عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ.فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ شُبْرُمَةُ ». قَالَ قَرِيبٌ لِى. قَالَ « هَلْ حَجَجْتَ قَطُّ ». قَالَ لاَ. قَالَ « فَاجْعَلْ هَذِهِ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ احْجُجْ عَنْ شُبْرُمَةَ ». Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang yang berucap ‘labbaik ‘an Syubrumah’ (aku memenuhi panggilan-Mu -Ya Allah- atas nama Syubrumah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, “Siapa Syubrumah?” “Ia adalah kerabat dekatku”, jawab orang tersebut. “Apakah engkau sudah pernah berhaji sekali sebelumnya?”, tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia jawab, “Belum.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatinya, “Jadikan hajimu ini untuk dirimu, nanti engkau berhaji lagi untuk Syubrumah.” (HR. Ibnu Majah, no. 2903; Abu Daud, no. 1811, Ibnu Khuzaimah 3039, Ibnu Hibban 962. Sanad hadits ini dha’if, Ibnu Abi ‘Urubah adalah perowi ‘an-‘anah. Sedangkan Syaikh Al-Albani mensahihkan hadits ini). Membadalkan haji untuk mayat ada tiga keadaan: Ia sudah wajib berhaji di masa hidupnya, ia wajib dihajikan dari harta peninggalannya. Jika ia tidak memiliki harta peninggalan, ahli waris disunnahkan menghajikannya. Dalam hal ini, yang bukan mahram (ajnabi) boleh menghajikan walau tanpa izin. Ia tidak terkena wajib haji pada masa hidupnya, maka kerabat atau yang bukan mahram (ajnabi) disunnahkan menghajikannya, baik ada wasiat ataukah tidak. Ia sudah pernah berhaji untuk dirinya, apakah ia perlu dihajikan lagi dengan status sunnah? Menurut pendapat al-mu’tamad: Ia dihajikan jika memang ada wasiat. Jika tidak ada wasiat, maka tidak perlu menghajikan. Lihat Tahqiq Ar-Raghbaat bi At-Taqsiimaat wa At-Tasyjiiroot li Tholabah Al-Fiqh Asy-Syafii, hlm. 216. Baca juga: 10 Ketentuan Badal Haji   10- Belajar dari ucapan talbiyah Dari Khallad bin As-Saa-ib, dari ayahnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَتَانِي جِبْرِيلُ, فَأَمَرَنِي أَنْ آمُرَأَصْحَابِي أَنْ يَرْفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالْإِهْلَالِ “Jibril datang kepadaku, lalu memerintahkanku agar aku menyuruh sahabat-sahabatku mengeraskan suara mereka dengan bacaan talbiyah.” (Diriwayatkan oleh Imam yang lima. Hadits ini sahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Hibban). [HR. Abu Daud, no. 1814; Tirmidzi, no. 829; An-Nasai, 5:162; Ibnu Majah, no. 2922; Ahmad, 27:89-90; Ibnu Hibban, no. 3791]. Kalimat “LABBAIK ALLAHUMMA LABBAIK” di atas maksudnya adalah aku penuhi panggilan-Mu, wahai Rabbku, sekali lalu sekali. Kalimat “LAA SYARIKA LAK”, maksudnya adalah aku penuhi panggilan-Mu semata, tidak ada sekutu bagi-Mu. Artinya, kalimat ini berisi pengakuan untuk tidak berbuat syirik. Ini menunjukkan ibadah haji dan ibadah lainnya mesti dilakukan dengan ikhlas untuk mengharap ridha Allah Ta’ala. Lafazh talbiyah diucapkan dengan pengulangan dengan mengharap bahwa pengabulannya itu berulang kali. Lafazh talbiyah yang baik adalah yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi dalam tidak mengapa ditambah atau dikurangi. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar para sahabat menambah atau mengurangi, tetapi beliau tidak mengingkari mereka. Baca juga: Ucapan Talbiyah, Maksud dan Aturan Pengucapannya untuk Jamaah Haji dan Umrah Semoga Allah mudahkan untuk berhaji. Bagi yang sudah berhaji, semoga menjadi haji mabrur. – Perjalanan Panggang – Bandara YIA Kulonprogo, 21 Dzulhijjah 1445 H, 30 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsajakan berhaji amalan haji berhaji fikih haji
Apa saja pelajaran-pelajaran penting di balik ibadah haji? Daftar Isi tutup 1. 1- Belajar untuk ikhlas 2. 2- Belajar untuk mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam 2.1. 3- Belajar untuk sedekah harta, berderma, dan mengorbankan harta 3. 4- Dalam haji saat ihram, belajar untuk meninggalkan larangan walau sementara waktu 4. 5- Belajar untuk rajin berdzikir 5. 6- Capek dalam ibadah pasti berpahala 6. 7- Semangat meraih surga 6.1. Haji mabrur berarti memiliki lima sifat atau tanda: 7. 8- Ibadah melihat dari kemampuan 8. 9- Amalan ada yang bisa dibadalkan 9. 10- Belajar dari ucapan talbiyah 1- Belajar untuk ikhlas Dalam penyembelihan hadyuu dan qurban, Allah Ta’ala berfirman, لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37) Untuk ibadah haji demikian, kita diperintahkan untuk ikhlas, bukan cari gelar dan cari sanjungan. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ “Siapa yang berhaji karena Allah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari, no. 1521). 2- Belajar untuk mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Dalam ibadah haji, hadyuu disembelih sebagaimana aturan qurban untuk waktunya, yaitu mulai dari Iduladha. Al Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah kepada para sahabat pada hari Iduladha setelah mengerjakan shalat Iduladha. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا وَنَسَكَ نُسُكَنَا فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ ، وَمَنْ نَسَكَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّهُ قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَلاَ نُسُكَ لَهُ “Siapa yang shalat seperti shalat kami dan menyembelih kurban seperti kurban kami, maka ia telah mendapatkan pahala kurban. Barangsiapa yang berkurban sebelum shalat Idul Adha, maka itu hanyalah sembelihan yang ada sebelum shalat dan tidak teranggap sebagai kurban.” Abu Burdah yang merupakan paman dari Al Bara’ bin ‘Azib dari jalur ibunya berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ ، فَإِنِّى نَسَكْتُ شَاتِى قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَعَرَفْتُ أَنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ ، وَأَحْبَبْتُ أَنْ تَكُونَ شَاتِى أَوَّلَ مَا يُذْبَحُ فِى بَيْتِى ، فَذَبَحْتُ شَاتِى وَتَغَدَّيْتُ قَبْلَ أَنْ آتِىَ الصَّلاَةَ “Wahai Rasulullah, aku telah menyembelih kambingku sebelum shalat Idul Adha. Aku tahu bahwa hari itu adalah hari untuk makan dan minum. Aku senang jika kambingku adalah binatang yang pertama kali disembelih di rumahku. Oleh karena itu, aku menyembelihnya dan aku sarapan dengannya sebelum aku shalat Idul Adha.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, شَاتُكَ شَاةُ لَحْمٍ “Kambingmu hanyalah kambing biasa (yang dimakan dagingnya, bukan kambing kurban).” (HR. Bukhari no. 955) Begitu pula dalam ibadah haji hendaklah sesuai tuntunan, tidak bisa kita beribadah asal-asalan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ أَدْرِى لَعَلِّى لاَ أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِى هَذِهِ “Ambillah dariku manasik-manasik kalian, karena sesungguhnya aku tidak mengetahui, mungkin saja aku tidak berhaji setelah hajiku ini.” (HR. Muslim no. 1297, dari Jabir).   3- Belajar untuk sedekah harta, berderma, dan mengorbankan harta Ingat Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula, مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ “Sedekah tidaklah mengurangi harta.” (HR. Muslim, no. 2588; dari Abu Hurairah) Imam Nawawi berkata, “Kekurangan harta bisa ditutup dengan keberkahannya atau ditutup dengan pahala di sisi Allah.” (Syarh Shahih Muslim, 16: 128).   4- Dalam haji saat ihram, belajar untuk meninggalkan larangan walau sementara waktu Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang pakaian yang dipakai oleh orang yang berihram. Beliau bersabda, أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ ( سُئِلَ: مَا يَلْبَسُ اَلْمُحْرِمُ مِنْ اَلثِّيَابِ? فَقَالَ: ” لَا تَلْبَسُوا الْقُمُصَ, وَلَا اَلْعَمَائِمَ, وَلَا السَّرَاوِيلَاتِ, وَلَا اَلْبَرَانِسَ, وَلَا اَلْخِفَافَ, إِلَّا أَحَدٌ لَا يَجِدُ اَلنَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ اَلْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ اَلْكَعْبَيْنِ, وَلَا تَلْبَسُوا شَيْئًا مِنْ اَلثِّيَابِ مَسَّهُ اَلزَّعْفَرَانُ وَلَا اَلْوَرْسُ” “Tidak boleh memakai gamis (baju), surban, celana, penutup kepala, dan sepatu kecuali seseorang yang tidak memakai sandal, ia boleh mengenakan sepatu. Namun, hendaklah ia memotong bagian yang lebih bawah dari mata kaki. Jangan memakai pakaian yang terkena za’faran dan wars.” (Muttafaqun ‘alaih dan lafaznya dari Imam Muslim). [HR. Bukhari, no. 1542 dan Muslim, no. 1177] Pakaian yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dikenakan adalah: (1) qamis, yaitu pakaian yang memiliki lengan, yang dilarang pula kaos, jubah, dan kemeja, (2) imamah, yaitu penutup kepala, yang dilarang pula kopiah, (3) sarowil, yaitu pakaian bawah seperti celana, yang dilarang pula celana pendek dan celana dalam, (4) burnus, yaitu pakaian yang menutupi kepala dan badan, yang dilarang pula abaya (mantel), (5) khuf, yaitu yang menutupi kaki terbuat dari kulit, yang dilarang pula sepatu dan kaos kaki. Lima hal di atas dilarang bertujuan: (1) agar menjauhkan dari hidup mewah, lebih dari hal yang biasa dikenakan, (2) orang yang berihram tampak seperti orang yang tunduk dan zuhud, (3) orang-orang yang berihram semuanya berpakaian sama, tak tampak saling berbangga diri, (4) ibadah yang dilakukan sejatinya lebih besar dibandingkan dengan pakaian yang dikenakan, (5) lebih fokus untuk memperbanyak dzikir dan makin dekat kepada Allah, serta berusaha menjauhi maksiat, (6) lebih banyak mengingat mati karena pakaian ihram mengingatkan pada kain kafan yang dikenakan saat meninggal dunia, (7) mengingatkan pada hari berbangkit kelak. Inilah beberapa rahasia di balik larangan ihram. Kaidah larangan ihram: SEGALA YANG MENYELIMUTI BADAN ATAU BAGIAN DARINYA ATAU SEBAGIAN ANGGOTANYA, MAKA ORANG YANG BERIHRAM (MUHRIM) TERLARANG MELAKUKANNYA. Baca juga: Inilah pakaian yang dilarang bagi laki-laki saat ihram dan hikmah di balik itu   5- Belajar untuk rajin berdzikir Sejak sepuluh hari pertama Dzulhijjah, kita sudah diperintahkan untuk banyak bertakbir. Allah Ta’ala berfirman, وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ “Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (QS. Al Hajj: 28). ‘Ayyam ma’lumaat’ menurut salah satu penafsiran adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Dalam ayat lain disebutkan, وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ “Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang terbilang.” (QS. Al Baqarah: 203). Ibnu ‘Umar dan ulama lainnya mengatakan bahwa ayyamul ma’dudat adalah tiga hari tasyriq. Ini menunjukkan adanya perintah berdzikir di hari-hari tasyriq. Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan, Ibnu ‘Abbas berkata, “Berdzikirlah kalian pada Allah di hari-hari yang ditentukan yaitu 10 hari pertama Dzulhijah dan juga pada hari-hari tasyriq.” Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah pernah keluar ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijah, lalu mereka bertakbir, lantas manusia pun ikut bertakbir. Muhammad bin ‘Ali pun bertakbir setelah shalat sunnah. (Dikeluarkan oleh Bukhari tanpa sanad (mu’allaq), pada Bab “Keutamaan beramal di hari tasyriq”) Ibadah thawaf, sa’i dan melempar jumrah pun dilakukan dalam rangka berdzikir pada Allah. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْىُ الْجِمَارِ لإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّهِ “Sesungguhnya thawaf di Ka’bah, melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah dan melempar jumrah adalah bagian dari dzikrullah (dzikir pada Allah).” (HR. Abu Daud, no. 1888; Tirmidzi, no. 902; Ahmad, 6: 46. Imam Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih. Syaikh Al-Albani dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini dha’if) Di hari-hari tasyriq, kita pun diperintahkan untuk membaca doa sapu jagad. Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ, وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Robbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina ‘adzaban naar” [Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka].” (QS. Al Baqarah: 200-201) Dari ayat ini kebanyakan ulama salaf menganjurkan membaca do’a “Robbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina ‘adzaban naar” di hari-hari tasyriq. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh ‘Ikrimah dan ‘Atha’. (Lihat Latha-if Al-Ma’arif, hlm. 505-506). Ini semua mengajarkan pada kita untuk rajin berdzikir. عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ رضى الله عنه أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَىَّ فَأَخْبِرْنِى بِشَىْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ. قَالَ « لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ » Dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ada seseorang yang berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, syariat Islam sungguh banyak dan membebani kami. Beritahukanlah padaku suatu amalan yang aku bisa konsisten dengannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Hendaklah lisanmu tidak berhenti dari berdzikir pada Allah.” (HR. Tirmidzi, no. 3375; Ibnu Majah, no. 3793; Ahmad, 4: 188. Hadits ini shahih menurut Syaikh Al Albani). Baca juga: Khutbah Idul Adha, Pelajaran di Balik Ibadah Qurban dan Haji   6- Capek dalam ibadah pasti berpahala Ibadah haji pasti akan mendapatkan rasa capek, letih, kepayahan luar biasa. Ini namanya capek dalam ibadah. Capek dalam ibadah pasti berpahala. Imam Az-Zarkasi berkata dalam Al-Mantsur, العَمَلُ كُلَّمَا كَثُرَ وَشَقَّ كَانَ أَفْضَلُ مِمَّا لَيْسَ كَذَلِكَ “Amalan yang semakin banyak dan sulit, lebih afdhal daripada amalan yang tidak seperti itu.” Dasar kaidah di atas disimpulkan dari hadits ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, وَلَكِنَّهَا عَلَى قَدْرِ نَصَبِكِ “Akan tetapi, pahalanya tergantung pada usaha yang dikorbankan.” (HR. Muslim, no. 1211). Demikian dikatakan oleh As-Suyuthi ketika menyebutkan kaidah di atas dalam Al-Asybah wa An-Nazhair (hlm. 320). Syaikh ‘Ali Ath-Thanthawi berkata: Aku telah membaca lebih dari tujuh puluh tahun, perkataan penuh hikmah yang paling berkesan adalah: ” أن مشقة الطاعة تذهب ويبقى ثوابها وأن لذة المعاصي تذهب ويبقى عقابها “ – kesulitan dalam ketaatan akan sirna, pahalanya akan tetap ada kelak. – kenikmatan saat bermaksiat akan hilang, tentu hukumannya akan tetap ada.   7- Semangat meraih surga عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: { اَلْعُمْرَةُ إِلَى اَلْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا, وَالْحَجُّ اَلْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا اَلْجَنَّةَ } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Umrah ke umrah menghapus dosa antara keduanya. Pahala bagi haji mabrur tentu saja adalah surga.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 1773 dan Muslim, no. 1349) Haji mabrur berarti memiliki lima sifat atau tanda: haji yang ikhlas karena Allah, tidak ada riya’, tidak ada sum’ah, haji dengan menggunakan harta halal, haji yang jauh dari maksiat, dosa, bid’ah, dan penyimpangan agama, berakhlak yang baik, melakukan syiar Allah dengan penuh pengagungan dan ketundukan kepada Allah, di mana ditandai dengan ketenangan dan tidak tergesa-gesa saat berucap dan berbuat, serta melakukan haji dengan memperbanyak dzikir, takbir, tasbih, tahmid, dan istighfar. Baca juga: 5 Tanda Haji Mabrur   8- Ibadah melihat dari kemampuan Allah Ta’ala berfirman, وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan mampu melakukan perjalanan adalah: (1) sehat badan, (2) bekal uang yang cukup, (3) ada kendaraan tanpa ada bahaya. (Tafsir Ibnu Jarir, 7:38; As-Sunan Al-Kabiir oleh Imam Al-Baihaqi, 4:331. Sanad hadits ini sahih. Lihat Minhah Al-‘Allam, 5:167) Baca juga: Syarat Mampu dalam Berhaji     9- Amalan ada yang bisa dibadalkan Amalan itu ada yang bisa dibadalkan, digantikan oleh orang lain seperti amalan haji. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, أَمَرَتِ امْرَأَةُ سِنَانَ بْنِ سَلَمَةَ الْجُهَنِىِّ أَنْ يَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ أُمَّهَا مَاتَتْ وَلَمْ تَحُجَّ أَفَيُجْزِئُ عَنْ أُمِّهَا أَنْ تَحُجَّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّهَا دَيْنٌ فَقَضَتْهُ عَنْهَا أَلَمْ يَكُنْ يُجْزِئُ عَنْهَا فَلْتَحُجَّ عَنْ أُمِّهَا Istri Sinan bin Salamah Al-Juhaniy meminta bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ibunya yang meninggal dunia dan belum sempat menunaikan haji. Ia tanyakan apakah boleh ia menghajikan ibunya. “Iya, boleh. Seandainya ibunya punya utang, lalu ia lunasi utang tersebut, bukankah itu bermanfaat bagi ibunya? Maka silakan ia hajikan ibunya”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. An-Nasai, no. 2634; Ahmad 1: 217 dari hadits Abu At Tiyah, Ibnu Khuzaimah 3034, Sunan An-Nasai Al-Kubra 3613. Sanad hadits ini sahih kata Al-Hafizh Abu Thahir). Dalam riwayat lain, عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَبِيهَا مَاتَ وَلَمْ يَحُجَّ قَالَ حُجِّى عَنْ أَبِيكِ Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya seorang wanita pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai ayahnya yang meninggal dunia dan belum berhaji, maka beliau bersabda, “Hajikanlah ayahmu.” (HR. Bukhari, no. 1513; Muslim, no. 1334, lafazhnya adalah dari An-Nasai dalam sunannya, no. 2635). Begitu pula boleh menghajikan dan mengumrahkan orang yang tidak mampu itu manfaat sebagaimana hadits berikut. عَنْ أَبِى رَزِينٍ الْعُقَيْلِىِّ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِى شَيْخٌ كَبِيرٌ لاَ يَسْتَطِيعُ الْحَجَّ وَلاَ الْعُمْرَةَ وَالظَّعْنَ. قَالَ حُجَّ عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِرْ Dari Abu Razin Al-‘Uqaili, ia berkata, “Wahai Rasulullah, ayahku sudah tua renta dan tidak mampu berhaji dan berumrah, serta tidak mampu melakukan perjalanan jauh.” Beliau bersabda, “Hajikan ayahmu dan berumrahlah untuknya pula.” (HR. An-Nasai, no. 2638, sanadnya sahih kata Al Hafizh Abu Thahir). Yang membadalkan haji atau umrah diharuskan telah melakukan ibadah tersebut terlebih dahulu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ابْدَأْ بِنَفْسِكَ “Mulailah dari dirimu sendiri.” (HR. Muslim, no. 997). Juga didukung oleh hadits, عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ.فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ شُبْرُمَةُ ». قَالَ قَرِيبٌ لِى. قَالَ « هَلْ حَجَجْتَ قَطُّ ». قَالَ لاَ. قَالَ « فَاجْعَلْ هَذِهِ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ احْجُجْ عَنْ شُبْرُمَةَ ». Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang yang berucap ‘labbaik ‘an Syubrumah’ (aku memenuhi panggilan-Mu -Ya Allah- atas nama Syubrumah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, “Siapa Syubrumah?” “Ia adalah kerabat dekatku”, jawab orang tersebut. “Apakah engkau sudah pernah berhaji sekali sebelumnya?”, tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia jawab, “Belum.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatinya, “Jadikan hajimu ini untuk dirimu, nanti engkau berhaji lagi untuk Syubrumah.” (HR. Ibnu Majah, no. 2903; Abu Daud, no. 1811, Ibnu Khuzaimah 3039, Ibnu Hibban 962. Sanad hadits ini dha’if, Ibnu Abi ‘Urubah adalah perowi ‘an-‘anah. Sedangkan Syaikh Al-Albani mensahihkan hadits ini). Membadalkan haji untuk mayat ada tiga keadaan: Ia sudah wajib berhaji di masa hidupnya, ia wajib dihajikan dari harta peninggalannya. Jika ia tidak memiliki harta peninggalan, ahli waris disunnahkan menghajikannya. Dalam hal ini, yang bukan mahram (ajnabi) boleh menghajikan walau tanpa izin. Ia tidak terkena wajib haji pada masa hidupnya, maka kerabat atau yang bukan mahram (ajnabi) disunnahkan menghajikannya, baik ada wasiat ataukah tidak. Ia sudah pernah berhaji untuk dirinya, apakah ia perlu dihajikan lagi dengan status sunnah? Menurut pendapat al-mu’tamad: Ia dihajikan jika memang ada wasiat. Jika tidak ada wasiat, maka tidak perlu menghajikan. Lihat Tahqiq Ar-Raghbaat bi At-Taqsiimaat wa At-Tasyjiiroot li Tholabah Al-Fiqh Asy-Syafii, hlm. 216. Baca juga: 10 Ketentuan Badal Haji   10- Belajar dari ucapan talbiyah Dari Khallad bin As-Saa-ib, dari ayahnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَتَانِي جِبْرِيلُ, فَأَمَرَنِي أَنْ آمُرَأَصْحَابِي أَنْ يَرْفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالْإِهْلَالِ “Jibril datang kepadaku, lalu memerintahkanku agar aku menyuruh sahabat-sahabatku mengeraskan suara mereka dengan bacaan talbiyah.” (Diriwayatkan oleh Imam yang lima. Hadits ini sahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Hibban). [HR. Abu Daud, no. 1814; Tirmidzi, no. 829; An-Nasai, 5:162; Ibnu Majah, no. 2922; Ahmad, 27:89-90; Ibnu Hibban, no. 3791]. Kalimat “LABBAIK ALLAHUMMA LABBAIK” di atas maksudnya adalah aku penuhi panggilan-Mu, wahai Rabbku, sekali lalu sekali. Kalimat “LAA SYARIKA LAK”, maksudnya adalah aku penuhi panggilan-Mu semata, tidak ada sekutu bagi-Mu. Artinya, kalimat ini berisi pengakuan untuk tidak berbuat syirik. Ini menunjukkan ibadah haji dan ibadah lainnya mesti dilakukan dengan ikhlas untuk mengharap ridha Allah Ta’ala. Lafazh talbiyah diucapkan dengan pengulangan dengan mengharap bahwa pengabulannya itu berulang kali. Lafazh talbiyah yang baik adalah yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi dalam tidak mengapa ditambah atau dikurangi. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar para sahabat menambah atau mengurangi, tetapi beliau tidak mengingkari mereka. Baca juga: Ucapan Talbiyah, Maksud dan Aturan Pengucapannya untuk Jamaah Haji dan Umrah Semoga Allah mudahkan untuk berhaji. Bagi yang sudah berhaji, semoga menjadi haji mabrur. – Perjalanan Panggang – Bandara YIA Kulonprogo, 21 Dzulhijjah 1445 H, 30 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsajakan berhaji amalan haji berhaji fikih haji


Apa saja pelajaran-pelajaran penting di balik ibadah haji? Daftar Isi tutup 1. 1- Belajar untuk ikhlas 2. 2- Belajar untuk mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam 2.1. 3- Belajar untuk sedekah harta, berderma, dan mengorbankan harta 3. 4- Dalam haji saat ihram, belajar untuk meninggalkan larangan walau sementara waktu 4. 5- Belajar untuk rajin berdzikir 5. 6- Capek dalam ibadah pasti berpahala 6. 7- Semangat meraih surga 6.1. Haji mabrur berarti memiliki lima sifat atau tanda: 7. 8- Ibadah melihat dari kemampuan 8. 9- Amalan ada yang bisa dibadalkan 9. 10- Belajar dari ucapan talbiyah 1- Belajar untuk ikhlas Dalam penyembelihan hadyuu dan qurban, Allah Ta’ala berfirman, لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37) Untuk ibadah haji demikian, kita diperintahkan untuk ikhlas, bukan cari gelar dan cari sanjungan. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ “Siapa yang berhaji karena Allah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari, no. 1521). 2- Belajar untuk mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Dalam ibadah haji, hadyuu disembelih sebagaimana aturan qurban untuk waktunya, yaitu mulai dari Iduladha. Al Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah kepada para sahabat pada hari Iduladha setelah mengerjakan shalat Iduladha. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا وَنَسَكَ نُسُكَنَا فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ ، وَمَنْ نَسَكَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّهُ قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَلاَ نُسُكَ لَهُ “Siapa yang shalat seperti shalat kami dan menyembelih kurban seperti kurban kami, maka ia telah mendapatkan pahala kurban. Barangsiapa yang berkurban sebelum shalat Idul Adha, maka itu hanyalah sembelihan yang ada sebelum shalat dan tidak teranggap sebagai kurban.” Abu Burdah yang merupakan paman dari Al Bara’ bin ‘Azib dari jalur ibunya berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ ، فَإِنِّى نَسَكْتُ شَاتِى قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَعَرَفْتُ أَنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ ، وَأَحْبَبْتُ أَنْ تَكُونَ شَاتِى أَوَّلَ مَا يُذْبَحُ فِى بَيْتِى ، فَذَبَحْتُ شَاتِى وَتَغَدَّيْتُ قَبْلَ أَنْ آتِىَ الصَّلاَةَ “Wahai Rasulullah, aku telah menyembelih kambingku sebelum shalat Idul Adha. Aku tahu bahwa hari itu adalah hari untuk makan dan minum. Aku senang jika kambingku adalah binatang yang pertama kali disembelih di rumahku. Oleh karena itu, aku menyembelihnya dan aku sarapan dengannya sebelum aku shalat Idul Adha.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, شَاتُكَ شَاةُ لَحْمٍ “Kambingmu hanyalah kambing biasa (yang dimakan dagingnya, bukan kambing kurban).” (HR. Bukhari no. 955) Begitu pula dalam ibadah haji hendaklah sesuai tuntunan, tidak bisa kita beribadah asal-asalan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ أَدْرِى لَعَلِّى لاَ أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِى هَذِهِ “Ambillah dariku manasik-manasik kalian, karena sesungguhnya aku tidak mengetahui, mungkin saja aku tidak berhaji setelah hajiku ini.” (HR. Muslim no. 1297, dari Jabir).   3- Belajar untuk sedekah harta, berderma, dan mengorbankan harta Ingat Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula, مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ “Sedekah tidaklah mengurangi harta.” (HR. Muslim, no. 2588; dari Abu Hurairah) Imam Nawawi berkata, “Kekurangan harta bisa ditutup dengan keberkahannya atau ditutup dengan pahala di sisi Allah.” (Syarh Shahih Muslim, 16: 128).   4- Dalam haji saat ihram, belajar untuk meninggalkan larangan walau sementara waktu Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang pakaian yang dipakai oleh orang yang berihram. Beliau bersabda, أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ ( سُئِلَ: مَا يَلْبَسُ اَلْمُحْرِمُ مِنْ اَلثِّيَابِ? فَقَالَ: ” لَا تَلْبَسُوا الْقُمُصَ, وَلَا اَلْعَمَائِمَ, وَلَا السَّرَاوِيلَاتِ, وَلَا اَلْبَرَانِسَ, وَلَا اَلْخِفَافَ, إِلَّا أَحَدٌ لَا يَجِدُ اَلنَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ اَلْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ اَلْكَعْبَيْنِ, وَلَا تَلْبَسُوا شَيْئًا مِنْ اَلثِّيَابِ مَسَّهُ اَلزَّعْفَرَانُ وَلَا اَلْوَرْسُ” “Tidak boleh memakai gamis (baju), surban, celana, penutup kepala, dan sepatu kecuali seseorang yang tidak memakai sandal, ia boleh mengenakan sepatu. Namun, hendaklah ia memotong bagian yang lebih bawah dari mata kaki. Jangan memakai pakaian yang terkena za’faran dan wars.” (Muttafaqun ‘alaih dan lafaznya dari Imam Muslim). [HR. Bukhari, no. 1542 dan Muslim, no. 1177] Pakaian yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dikenakan adalah: (1) qamis, yaitu pakaian yang memiliki lengan, yang dilarang pula kaos, jubah, dan kemeja, (2) imamah, yaitu penutup kepala, yang dilarang pula kopiah, (3) sarowil, yaitu pakaian bawah seperti celana, yang dilarang pula celana pendek dan celana dalam, (4) burnus, yaitu pakaian yang menutupi kepala dan badan, yang dilarang pula abaya (mantel), (5) khuf, yaitu yang menutupi kaki terbuat dari kulit, yang dilarang pula sepatu dan kaos kaki. Lima hal di atas dilarang bertujuan: (1) agar menjauhkan dari hidup mewah, lebih dari hal yang biasa dikenakan, (2) orang yang berihram tampak seperti orang yang tunduk dan zuhud, (3) orang-orang yang berihram semuanya berpakaian sama, tak tampak saling berbangga diri, (4) ibadah yang dilakukan sejatinya lebih besar dibandingkan dengan pakaian yang dikenakan, (5) lebih fokus untuk memperbanyak dzikir dan makin dekat kepada Allah, serta berusaha menjauhi maksiat, (6) lebih banyak mengingat mati karena pakaian ihram mengingatkan pada kain kafan yang dikenakan saat meninggal dunia, (7) mengingatkan pada hari berbangkit kelak. Inilah beberapa rahasia di balik larangan ihram. Kaidah larangan ihram: SEGALA YANG MENYELIMUTI BADAN ATAU BAGIAN DARINYA ATAU SEBAGIAN ANGGOTANYA, MAKA ORANG YANG BERIHRAM (MUHRIM) TERLARANG MELAKUKANNYA. Baca juga: Inilah pakaian yang dilarang bagi laki-laki saat ihram dan hikmah di balik itu   5- Belajar untuk rajin berdzikir Sejak sepuluh hari pertama Dzulhijjah, kita sudah diperintahkan untuk banyak bertakbir. Allah Ta’ala berfirman, وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ “Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (QS. Al Hajj: 28). ‘Ayyam ma’lumaat’ menurut salah satu penafsiran adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Dalam ayat lain disebutkan, وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ “Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang terbilang.” (QS. Al Baqarah: 203). Ibnu ‘Umar dan ulama lainnya mengatakan bahwa ayyamul ma’dudat adalah tiga hari tasyriq. Ini menunjukkan adanya perintah berdzikir di hari-hari tasyriq. Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan, Ibnu ‘Abbas berkata, “Berdzikirlah kalian pada Allah di hari-hari yang ditentukan yaitu 10 hari pertama Dzulhijah dan juga pada hari-hari tasyriq.” Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah pernah keluar ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijah, lalu mereka bertakbir, lantas manusia pun ikut bertakbir. Muhammad bin ‘Ali pun bertakbir setelah shalat sunnah. (Dikeluarkan oleh Bukhari tanpa sanad (mu’allaq), pada Bab “Keutamaan beramal di hari tasyriq”) Ibadah thawaf, sa’i dan melempar jumrah pun dilakukan dalam rangka berdzikir pada Allah. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْىُ الْجِمَارِ لإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّهِ “Sesungguhnya thawaf di Ka’bah, melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah dan melempar jumrah adalah bagian dari dzikrullah (dzikir pada Allah).” (HR. Abu Daud, no. 1888; Tirmidzi, no. 902; Ahmad, 6: 46. Imam Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih. Syaikh Al-Albani dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini dha’if) Di hari-hari tasyriq, kita pun diperintahkan untuk membaca doa sapu jagad. Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ, وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Robbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina ‘adzaban naar” [Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka].” (QS. Al Baqarah: 200-201) Dari ayat ini kebanyakan ulama salaf menganjurkan membaca do’a “Robbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina ‘adzaban naar” di hari-hari tasyriq. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh ‘Ikrimah dan ‘Atha’. (Lihat Latha-if Al-Ma’arif, hlm. 505-506). Ini semua mengajarkan pada kita untuk rajin berdzikir. عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ رضى الله عنه أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَىَّ فَأَخْبِرْنِى بِشَىْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ. قَالَ « لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ » Dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ada seseorang yang berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, syariat Islam sungguh banyak dan membebani kami. Beritahukanlah padaku suatu amalan yang aku bisa konsisten dengannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Hendaklah lisanmu tidak berhenti dari berdzikir pada Allah.” (HR. Tirmidzi, no. 3375; Ibnu Majah, no. 3793; Ahmad, 4: 188. Hadits ini shahih menurut Syaikh Al Albani). Baca juga: Khutbah Idul Adha, Pelajaran di Balik Ibadah Qurban dan Haji   6- Capek dalam ibadah pasti berpahala Ibadah haji pasti akan mendapatkan rasa capek, letih, kepayahan luar biasa. Ini namanya capek dalam ibadah. Capek dalam ibadah pasti berpahala. Imam Az-Zarkasi berkata dalam Al-Mantsur, العَمَلُ كُلَّمَا كَثُرَ وَشَقَّ كَانَ أَفْضَلُ مِمَّا لَيْسَ كَذَلِكَ “Amalan yang semakin banyak dan sulit, lebih afdhal daripada amalan yang tidak seperti itu.” Dasar kaidah di atas disimpulkan dari hadits ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, وَلَكِنَّهَا عَلَى قَدْرِ نَصَبِكِ “Akan tetapi, pahalanya tergantung pada usaha yang dikorbankan.” (HR. Muslim, no. 1211). Demikian dikatakan oleh As-Suyuthi ketika menyebutkan kaidah di atas dalam Al-Asybah wa An-Nazhair (hlm. 320). Syaikh ‘Ali Ath-Thanthawi berkata: Aku telah membaca lebih dari tujuh puluh tahun, perkataan penuh hikmah yang paling berkesan adalah: ” أن مشقة الطاعة تذهب ويبقى ثوابها وأن لذة المعاصي تذهب ويبقى عقابها “ – kesulitan dalam ketaatan akan sirna, pahalanya akan tetap ada kelak. – kenikmatan saat bermaksiat akan hilang, tentu hukumannya akan tetap ada.   7- Semangat meraih surga عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: { اَلْعُمْرَةُ إِلَى اَلْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا, وَالْحَجُّ اَلْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا اَلْجَنَّةَ } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Umrah ke umrah menghapus dosa antara keduanya. Pahala bagi haji mabrur tentu saja adalah surga.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 1773 dan Muslim, no. 1349) Haji mabrur berarti memiliki lima sifat atau tanda: haji yang ikhlas karena Allah, tidak ada riya’, tidak ada sum’ah, haji dengan menggunakan harta halal, haji yang jauh dari maksiat, dosa, bid’ah, dan penyimpangan agama, berakhlak yang baik, melakukan syiar Allah dengan penuh pengagungan dan ketundukan kepada Allah, di mana ditandai dengan ketenangan dan tidak tergesa-gesa saat berucap dan berbuat, serta melakukan haji dengan memperbanyak dzikir, takbir, tasbih, tahmid, dan istighfar. Baca juga: 5 Tanda Haji Mabrur   8- Ibadah melihat dari kemampuan Allah Ta’ala berfirman, وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan mampu melakukan perjalanan adalah: (1) sehat badan, (2) bekal uang yang cukup, (3) ada kendaraan tanpa ada bahaya. (Tafsir Ibnu Jarir, 7:38; As-Sunan Al-Kabiir oleh Imam Al-Baihaqi, 4:331. Sanad hadits ini sahih. Lihat Minhah Al-‘Allam, 5:167) Baca juga: Syarat Mampu dalam Berhaji     9- Amalan ada yang bisa dibadalkan Amalan itu ada yang bisa dibadalkan, digantikan oleh orang lain seperti amalan haji. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, أَمَرَتِ امْرَأَةُ سِنَانَ بْنِ سَلَمَةَ الْجُهَنِىِّ أَنْ يَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ أُمَّهَا مَاتَتْ وَلَمْ تَحُجَّ أَفَيُجْزِئُ عَنْ أُمِّهَا أَنْ تَحُجَّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّهَا دَيْنٌ فَقَضَتْهُ عَنْهَا أَلَمْ يَكُنْ يُجْزِئُ عَنْهَا فَلْتَحُجَّ عَنْ أُمِّهَا Istri Sinan bin Salamah Al-Juhaniy meminta bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ibunya yang meninggal dunia dan belum sempat menunaikan haji. Ia tanyakan apakah boleh ia menghajikan ibunya. “Iya, boleh. Seandainya ibunya punya utang, lalu ia lunasi utang tersebut, bukankah itu bermanfaat bagi ibunya? Maka silakan ia hajikan ibunya”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. An-Nasai, no. 2634; Ahmad 1: 217 dari hadits Abu At Tiyah, Ibnu Khuzaimah 3034, Sunan An-Nasai Al-Kubra 3613. Sanad hadits ini sahih kata Al-Hafizh Abu Thahir). Dalam riwayat lain, عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَبِيهَا مَاتَ وَلَمْ يَحُجَّ قَالَ حُجِّى عَنْ أَبِيكِ Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya seorang wanita pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai ayahnya yang meninggal dunia dan belum berhaji, maka beliau bersabda, “Hajikanlah ayahmu.” (HR. Bukhari, no. 1513; Muslim, no. 1334, lafazhnya adalah dari An-Nasai dalam sunannya, no. 2635). Begitu pula boleh menghajikan dan mengumrahkan orang yang tidak mampu itu manfaat sebagaimana hadits berikut. عَنْ أَبِى رَزِينٍ الْعُقَيْلِىِّ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِى شَيْخٌ كَبِيرٌ لاَ يَسْتَطِيعُ الْحَجَّ وَلاَ الْعُمْرَةَ وَالظَّعْنَ. قَالَ حُجَّ عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِرْ Dari Abu Razin Al-‘Uqaili, ia berkata, “Wahai Rasulullah, ayahku sudah tua renta dan tidak mampu berhaji dan berumrah, serta tidak mampu melakukan perjalanan jauh.” Beliau bersabda, “Hajikan ayahmu dan berumrahlah untuknya pula.” (HR. An-Nasai, no. 2638, sanadnya sahih kata Al Hafizh Abu Thahir). Yang membadalkan haji atau umrah diharuskan telah melakukan ibadah tersebut terlebih dahulu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ابْدَأْ بِنَفْسِكَ “Mulailah dari dirimu sendiri.” (HR. Muslim, no. 997). Juga didukung oleh hadits, عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ.فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ شُبْرُمَةُ ». قَالَ قَرِيبٌ لِى. قَالَ « هَلْ حَجَجْتَ قَطُّ ». قَالَ لاَ. قَالَ « فَاجْعَلْ هَذِهِ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ احْجُجْ عَنْ شُبْرُمَةَ ». Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang yang berucap ‘labbaik ‘an Syubrumah’ (aku memenuhi panggilan-Mu -Ya Allah- atas nama Syubrumah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, “Siapa Syubrumah?” “Ia adalah kerabat dekatku”, jawab orang tersebut. “Apakah engkau sudah pernah berhaji sekali sebelumnya?”, tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia jawab, “Belum.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatinya, “Jadikan hajimu ini untuk dirimu, nanti engkau berhaji lagi untuk Syubrumah.” (HR. Ibnu Majah, no. 2903; Abu Daud, no. 1811, Ibnu Khuzaimah 3039, Ibnu Hibban 962. Sanad hadits ini dha’if, Ibnu Abi ‘Urubah adalah perowi ‘an-‘anah. Sedangkan Syaikh Al-Albani mensahihkan hadits ini). Membadalkan haji untuk mayat ada tiga keadaan: Ia sudah wajib berhaji di masa hidupnya, ia wajib dihajikan dari harta peninggalannya. Jika ia tidak memiliki harta peninggalan, ahli waris disunnahkan menghajikannya. Dalam hal ini, yang bukan mahram (ajnabi) boleh menghajikan walau tanpa izin. Ia tidak terkena wajib haji pada masa hidupnya, maka kerabat atau yang bukan mahram (ajnabi) disunnahkan menghajikannya, baik ada wasiat ataukah tidak. Ia sudah pernah berhaji untuk dirinya, apakah ia perlu dihajikan lagi dengan status sunnah? Menurut pendapat al-mu’tamad: Ia dihajikan jika memang ada wasiat. Jika tidak ada wasiat, maka tidak perlu menghajikan. Lihat Tahqiq Ar-Raghbaat bi At-Taqsiimaat wa At-Tasyjiiroot li Tholabah Al-Fiqh Asy-Syafii, hlm. 216. Baca juga: 10 Ketentuan Badal Haji   10- Belajar dari ucapan talbiyah Dari Khallad bin As-Saa-ib, dari ayahnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَتَانِي جِبْرِيلُ, فَأَمَرَنِي أَنْ آمُرَأَصْحَابِي أَنْ يَرْفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالْإِهْلَالِ “Jibril datang kepadaku, lalu memerintahkanku agar aku menyuruh sahabat-sahabatku mengeraskan suara mereka dengan bacaan talbiyah.” (Diriwayatkan oleh Imam yang lima. Hadits ini sahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Hibban). [HR. Abu Daud, no. 1814; Tirmidzi, no. 829; An-Nasai, 5:162; Ibnu Majah, no. 2922; Ahmad, 27:89-90; Ibnu Hibban, no. 3791]. Kalimat “LABBAIK ALLAHUMMA LABBAIK” di atas maksudnya adalah aku penuhi panggilan-Mu, wahai Rabbku, sekali lalu sekali. Kalimat “LAA SYARIKA LAK”, maksudnya adalah aku penuhi panggilan-Mu semata, tidak ada sekutu bagi-Mu. Artinya, kalimat ini berisi pengakuan untuk tidak berbuat syirik. Ini menunjukkan ibadah haji dan ibadah lainnya mesti dilakukan dengan ikhlas untuk mengharap ridha Allah Ta’ala. Lafazh talbiyah diucapkan dengan pengulangan dengan mengharap bahwa pengabulannya itu berulang kali. Lafazh talbiyah yang baik adalah yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi dalam tidak mengapa ditambah atau dikurangi. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar para sahabat menambah atau mengurangi, tetapi beliau tidak mengingkari mereka. Baca juga: Ucapan Talbiyah, Maksud dan Aturan Pengucapannya untuk Jamaah Haji dan Umrah Semoga Allah mudahkan untuk berhaji. Bagi yang sudah berhaji, semoga menjadi haji mabrur. – Perjalanan Panggang – Bandara YIA Kulonprogo, 21 Dzulhijjah 1445 H, 30 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsajakan berhaji amalan haji berhaji fikih haji

Menjadi Imam Salat di Perusahaan, Dapat Gaji dan Hadiah dari Karyawan, Bagaimana Hukumnya?

السؤال جزاكم الله خيرا على ما تقومون به من هذه الخدمة التي ينتفع بها المسلمون إن شاء الله تعالى. سؤالي هو أن رجلا يتقدم بترخيص من مديرية الأوقاف لأداء صلاة التراويح في شركة كبيرة ذات نظام داخلي في رمضان، بعد طلب الشركة من الأوقاف بترشيح إمام لذلك، فتقوم الشركة بأداء راتب للإمام وفق عقد تستحدثه الشركة نفسها مع هذا الإمام، مع العلم أنه لا يتقاضى من مديرية الأوقاف شيئا، وفي نهاية رمضان يقوم العمال في الشركة من تلقاء أنفسهم بجمع مبلغ آخر للإمام ويعطونه إياه، مع العلم أن هذا الجمع بعلم من الشركة وبصورة علنية فيها. فهل هذا الفعل الذي يفعله هذا الرجل صحيح؟ وما حكم أجره من الشركة؟ وما حكم المال الذي يجمعه العمال له في نهاية رمضان؟ Pertanyaan: Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan atas dedikasi Anda dalam khidmah yang insya Allah bermanfaat bagi umat Islam.  Pertanyaan saya, ada seorang laki-laki yang mengajukan izin kepada Direktorat Wakaf untuk melaksanakan Salat Tarawih pada bulan Ramadan di sebuah perusahaan besar, yang memiliki aturan internal sendiri.  Setelah perusahaan tersebut meminta kepada Direktorat Wakaf untuk menunjuk seorang imam untuk pelaksanaan itu, lalu perusahaan tersebut akan membayar gaji kepada imam tersebut sesuai dengan kontrak yang dibuat oleh perusahaan itu sendiri dengan imam tersebut.  Perlu diketahui bahwa dia tidak menerima gaji dari Direktorat Wakaf sedikit pun. Di akhir Ramadan, dengan inisiatif para karyawan sendiri yang bekerja di perusahaan tersebut, mereka mengumpulkan sejumlah uang untuk imam tersebut dan memberikannya kepadanya. Perlu diketahui bahwa pengumpulan uang ini adalah dengan sepengetahuan perusahaan dan dilakukan secara terang-terangan di tengah perusahaan.  Apakah perbuatan yang dilakukan orang ini benar? Apa hukum gaji yang ia terima dari perusahaan? Bagaimana juga hukumnya uang yang dikumpulkan oleh para karyawan untuknya di akhir Ramadan tersebut? الجواب الحمد لله. أولا : اختلف العلماء في جواز أخذ الأجرة على العبادات، ومنها: الإمامة. فذهب بعضهم إلى تحريم ذلك. قال ابن قدامة رحمه الله في “المغني” (2/9): “وَرُوِيَ عَنْهُ [أي عن الإمام أحمد] أَنَّهُ قَالَ : “لَا تُصَلِّ خَلْفَ مَنْ يُشَارِطُ، وَلَا بَأْسَ أَنْ يَدْفَعُوا إلَيْهِ مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ ” انتهى. والقول بأنه لا يصح الاستئجار على الإمامة، ولو في نافلة كالتراويح: هو مذهب الشافعية. وعللوه بأن الإمام يصلي لنفسه، ومنفعة عمله المستأجر عليه، إنما تعود إليه، لا إلى المستأجِر. Jawaban: Alhamdulillah.  Pertama, bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan mengambil upah dari ibadah, termasuk menjadi imam.  Sebagian dari mereka berpandangan bahwa hukumnya haram.  Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata dalam al-Mughni (2/9) bahwa ada riwayat dari beliau (maksudnya Imam Ahmad) bahwa beliau berkata, “Janganlah kalian salat di belakang orang yang mensyaratkan (bayaran, pent.), tapi tidak mengapa jika orang-orang membayarnya tanpa ada syarat.” Selesai kutipan.  Pendapat yang menyatakan bahwa akad menyewa seseorang menjadi imam tidaklah sah, meskipun hanya untuk salat sunah, seperti Salat Tarawih adalah pendapat dalam mazhab Syafii. Mereka beralasan bahwa hakikatnya imam itu salat untuk dirinya sendiri, sehingga manfaat sewa yang untuk tujuan itu dia disewa sebenarnya kembali kepada dirinya sendiri, bukan kepada orang yang menyewa jasanya. قال الشيخ زكريا الأنصاري، رحمه الله في “أسنى المطالب” (2/ 410): «(ولو استأجر) شخص آخر (للإمامة ولو لنافلة كالتراويح لم يصح) لأن فائدتها من تحصيل فضيلة الجماعة لا تحصل للمستأجر بل للأجير”. وينظر أيضا: “تحفة المحتاج” لابن حجر الهيتمي (6/155).  Syekh Zakaria al-Anshari —Semoga Allah Merahmatinya— berkata dalam Asnā Maṯālib (2/410): “(Jika dia menyewa) orang lain (untuk menjadi imam salat, walaupun hanya untuk salat sunah, semisal Salat Tarawih, maka tidaklah sah) karena manfaat berupa mendapatkan fadilah memimpin jamaah tidak didapatkan oleh orang yang menyewanya, melainkan oleh orang yang disewa jasanya.” Lihat juga Tuẖfatu al-Muẖtāj karya Ibnu Hajar al-Haitami (6/155).  وذهب جماعة من العلماء إلى جواز أخذ الأجرة على الإمامة، لمن كان محتاجا، أما الغني فلا يجوز له ذلك. وهو مذهب المتأخرين من الحنفية، وبعض الحنابلة، وهو المعمول به عند المالكية. واختار هذا القول شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله . Sebagian ulama berpandangan bolehnya mengambil upah sebagai imam salat jika dia dalam keadaan membutuhkan. Adapun bagi yang kaya, maka tidak boleh. Demikianlah dalam mazhab Hanafi kontemporer, sebagian ulama Hanbali, dan itu juga yang diamalkan dalam mazhab Maliki. Ini juga pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah —Semoga Allah Merahmatinya. قال ابنُ عَابدين الحنفي رحمه الله : “على أنَّ المُفتَى به : مذهب المتأخِّرين، من جواز الاستئجار على تعليم القرآن، والإمامة، والأذان؛ للضرورة” انتهى من “حاشية ابن عابدين” (1/562). وقال ابن نجيم الحنفي رحمه الله: “على المختار للفتوى في زماننا: فيجوز أخذ الأجر للإمام والمؤذن والمعلم والمفتي، كما صرحوا به في كتاب الإجارات” انتهى من “البحر الرائق” (1/268). Ibnu Abidin al-Hanafi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa pendapat yang difatwakan para ulama kontemporer adalah diperbolehkannya pekerjaan mengajarkan al-Quran, mengimami salat, dan azan, karena alasan darurat. Selesai kutipan dari H̱āsyiyah Ibni ʿĀbidīn (1/562).  Ibnu Najim al-Hanafi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Berdasarkan fatwa terpilih di zaman kami, boleh hukumnya mengambil upah menjadi imam, muazin, guru, dan mufti, sebagaimana mereka menyatakannya dalam kitab al-Ijārāt.” Selesai kutipan dari al-Baẖr ar-Rāʾiq (1/268). وقال الملا علي القاري، رحمه الله – عند قول صاحب “النُّقاية”: ” ولا تَصِحُّ للعِبَادَاتِ: كالأَذَانِ والإِمَامَةِ وتَعْلِيم القُرْآنِ) -: ” (ويُفْتَى اليَّوْمَ بِصِحَّتِهَا): أَي الإِجارة على الأَذَان والإِمامة وتعليم القرآن، لأن المتقدِّمِينَ إِنَّما مَنَعُوا منها لرغبة الناس في زمانهم في فِعْلها احتساباً، وفي مجازاة فاعلها بالإِحْسان بلا شَرْط. وفي هذا الزمان: قد زال المعنيان، ففي عدم صحة الإِجارة عليها تَضْيِيعُهَا، ولا يَبْعُد أَنْ يختلف الحكم باختلاف الأَزْمِنة، أَلا ترى أَنَّ النِّسَاءُ كُنَّ يَخْرجن إِلى الجماعات في زمنه عليه الصلاة والسلام وأَبي بكر حتى مَنَعَهن عُمَرُ عن ذلك. Mullā Ali al-Qārī —Semoga Allah Merahmatinya— ketika mengomentari perkataan pengarang kitab an-Nuqāyah mengatakan, “(Tidak sah jika untuk ibadah, seperti azan, mengimami salat, dan mengajarkan al-Quran.)” – “(Sekarang difatwakan bahwa itu benar, …)” yakni menyewa jasa untuk azan, mengimami salat, dan mengajarkan al-Quran, karena ulama klasik melarang hal itu di zaman mereka untuk memotivasi orang agar melakukannya hanya karena mengharap pahala dari Allah dan agar orang yang melakukannya dibalas dengan kebaikan tanpa ada syarat di awal.  Adapun di zaman ini, dua hal itu sudah tidak ada, sehingga jika pekerjaan tersebut dinilai tidak sah, maka justru mempersempit ibadah-ibadah itu. Selain itu, tidak menutup kemungkinan bahwa hukum bisa berbeda-beda seiring dengan perubahan zaman. Tidakkah Anda perhatikan bagaimana para wanita dahulu keluar salat berjamaah di zaman Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan Abu Bakar sampai Umar melarang mereka melakukannya? وفي: «الهداية»: وبعض مشايخنا استحسنوا الاستئجار على تعليم القرآن اليوم، وعليه الفتوى. وفي «النهاية»: يُفْتى بجواز الاستئجار على تعليم الفقه أَيضاً في زماننا. وفي «المجمع»: وقيل: يُفْتَى بجوازِهِ، أَي الاستئجار على التعليم والإِمامة والفقه. وفي «الذخيرة» و«الروضة»: عن بعض أَصحابنا: يجوز في زماننا للإِمام، والمؤذن، والمعلم أَخْذُ الأُجرة”. انتهى، من “فتح باب العناية بشرح النقاية” (2/ 436). وقال ابن عبد البر المالكي رحمه الله في “الكافي” (2/155): “واختلف في جواز إجارة الإمام ليؤم الناس في الفريضة والنافلة فكرهه مالك … وأجازه بعض أصحابه وطائفة من أهل المدينة، وهو المعمول به” انتهى. Dalam kitab al-Hidāyah disebutkan, “Sebagian syekh kami memandang baiknya menyewa seseorang untuk mengajar al-Quran di zaman ini. Inilah yang difatwakan.”  Dalam kitab an-Nihāyah juga difatwakan bolehnya mempekerjakan seseorang untuk mengajar fikih di zaman sekarang. Dalam kitab al-Majmaʿ dikatakan bahwa ada  yang mengatakan bahwa ada fatwa yang menyatakan kebolehannya, yakni mempekerjakan orang untuk mengajar, menjadi imam, dan mengajari fikih. Dalam kitab adz-Dzakhīrah dan ar-Rauḏah diriwayatkan dari sebagian sahabat kami, “Di ​​zaman kita ini diperbolehkan mengambil upah jika untuk mengimami salat, muazin, dan guru.” Selesai kutipan dari Fatẖu Bābi al-ʿInāyah fi Syarẖi an-Nuqāyah (2/436).  Ibnu Abdul Barr al-Maliki —Semoga Allah Merahmatinya— dalam al-Kāfī (2/155) menyatakan adanya perbedaan pendapat mengenai bolehnya mempekerjakan seorang imam untuk mengimami orang-orang dalam salat wajib dan sunah. Malik menilainya makruh. Sebagian sahabat beliau dan sebagian penduduk Madinah membolehkannya, dan inilah yang diamalkan. Selesai kutipan. بل نُقل عن الإمام أحمد رحمه الله رواية: أخرى أنه يجوز أخذ الأجرة للفقير والغني. قال المرداوي الحنبلي رحمه الله: “ونص الإمام أحمد على أنه يصح [يعني : أخذ الأجرة على العبادات، ومنها الإمامة]، كأخذه بلا شرط … وقيل : يصح للحاجة ، ذكره الشيخ تقي الدين ابن تيمية واختاره” انتهى من “الإنصاف” (14/378). وما أشار إليه المرداوي، من اختيار شيخ الإسلام، نصه – كما في “مجموع الفتاوى” (30/207) -: “ومَن فرَّق بين المحتاج وغيره- وهو أقربُ-   Namun, ada riwayat lain yang diriwayatkan dari Imam Ahmad —Semoga Allah Merahmatinya— tentang bolehnya mengambil upah, baik bagi orang miskin atau kaya. Al-Mardawi al-Hanbali —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa Imam Ahmad menyatakan bahwa itu sah (yakni mengambil upah atas ibadah, termasuk menjadi imam) sebagaimana menerima upah tanpa disyaratkan. … Ada yang mengatakan sah jika memang dia membutuhkan. Syekh Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah memilih pendapat ini. Selesai kutipan dari al-Inṣhāf (14/378).  Apa yang disinggung oleh al-Mardawi tentang pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam, beliau berkata —sebagaimana tersebut dalam Majmūʿ al-Fatāwā (30/207)— bahwa ulama yang membedakan antara orang yang fakir dan tidak adalah pendapat yang lebih dekat dengan kebenaran. قال: المحتاجُ إذا اكتسَب بها، أمكنه أن ينويَ عملها لله، ويأخذ الأجرة؛ ليستعينَ بها على العبادة; فإنَّ الكسب على العيال واجبٌ أيضًا، فيؤدِّي الواجبات بهذا، بخلاف الغنيِّ؛ لأنَّه لا يحتاج إلى الكسب، فلا حاجةَ تدعوه أن يعملَها لغير الله؛ بل إذا كان الله قد أغناه، وهذا فرضٌ على الكفايةِ: كان هو مخاطبًا به، وإذا لم يَقُمْ [أي: الفرضُ] إلَّا به [أي: بهذا الغني]، كان ذلك واجبًا عليه عينًا، والله أعلم” انتهى من “مجموع الفتاوى” (30/207). Mereka berkata bahwa orang yang membutuhkan jika menjadikannya sebagai pendapatan, maka masih mungkin dia meniatkan amalannya karena Allah, dan mengambil upahnya, sehingga itu bisa membantunya dalam menegakkan ibadah. Selain itu, mencari nafkah untuk keluarganya juga wajib baginya, sehingga dengan itu dia juga sedang menunaikan kewajiban tersebut.  Keadaan ini tentu berbeda dengan orang kaya, yang tidak memerlukan pendapatan. Dia (orang fakir) tidak punya hajat yang mendorongnya untuk melakukannya karena selain Allah, bahkan seandainya Allah telah Memberinya kekayaan, sementara ini adalah fardu kifayah, yang mana perintah ini juga ditujukan kepadanya, maka jika dia tidak bisa melakukannya (yakni amalan fardu kifayah tersebut) kecuali dengannya (yakni kekayaan tersebut), maka itu menjadi Fardu ʿAin (kewajiban personal) baginya. Selesai kutipan dari Majmūʿ al-Fatāwā (30/207). وسئل الشيخ عبد العزيز بن باز، رحمه الله: ” ما حكم تحديد الإمام أجرة لصلاته بالناس، خصوصًا إذا كان يذهب لمناطق بعيدة ليُصلي بهم التراويح؟ فأجاب: ” التحديد ما ينبغي، وقد كرهه جمعٌ من السلف، فإذا ساعدوه بشيءٍ غير محدد فلا حرج في ذلك. أما الصلاة فصحيحة لا بأس بها -إن شاء الله- ، ولو حدَّدوا له مساعدةً؛ لأن الحاجة قد تدعو إلى ذلك. لكن ينبغي ألا يفعل ذلك، وأن تكون المساعدة بدون مشارطة، هذا هو الأفضل والأحوط كما قاله جمعٌ من السلف رحمة الله عليهم.” انتهى.  Syekh Abdul Aziz bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya, “Apa hukum menetapkan upah bagi imam untuk mengimami salat orang-orang, apalagi jika ia harus pergi ke tempat yang jauh untuk mengimami mereka salat Tarawih?”  Beliau menjawab bahwa penetapan upah itu tidaklah patut dilakukan. Sebagian Salaf membencinya. Jika orang-orang membantunya tanpa ditetapkan sebelumnya, maka tidak masalah. Adapun salatnya tersebut, sah dan tidak mengapa, Insya Allah. Jika mereka menetapkannya sebagai bentuk bantuan untuknya, karena mungkin ada tuntutan kebutuhan, hanya saja, seyogianya dia tidak melakukannya. Bantuan itu hendaknya tanpa disyaratkan sebelumnya. Inilah yang afdal dan lebih selamat, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian Salaf —Semoga Allah Merahmatinya. Selesai kutipan. وعلى هذا ؛ فلا حرج على هذا الإمام أن يأخذ أجرًا من الشركة على إمامته في صلاة التراويح ، إذا كان محتاجا لذلك . وما رجحه شيخ الإسلام من الترخيص فيها للمحتاج: ظاهر، وبهذا تقوم مصلحة الإمامة، وإلا، تكافها الناس، ولم ينضبط أمر المساجد، وعليه عمل الناس أيضا. وقد خرج بعض فقهاء الشافعية جواز ما جرت به العادة من إعطاء الأئمة أرزاقا لأجل إمامتهم؛ خرجوها على أنها من باب “الجعالة”، وهي أوسع من “الإجارة”؛ وفي هذا خروج من إشكال أن نفع الإجارة لا يعود إلى المستأجِر؛ فلا تصح الإجارة عليها. بل نقل عن الغزالي التصريح بجواز الإجارة على الإمامة. Dengan demikian, tidak mengapa imam ini mengambil upah dari perusahaan tersebut atas pekerjaannya memimpin Salat Tarawih, jika memang dia membutuhkan. Pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam yang membolehkan hal itu bagi orang yang membutuhkan sangat kuat, yang dengan demikian maslahat mengimami salat dapat terwujud, yang apabila tidak terwujud, maka akan menghambat masyarakat dan urusan masjid menjadi terbengkalai. Ini juga yang sudah menjadi praktik umum masyarakat.  Sebagian ulama mazhab Syafii juga membolehkan adat kebiasaan masyarakat yang biasa memberikan sesuatu kepada imam karena telah mengimami salat. Mereka menganggapnya sebagai akad Juʿālah (memberi upah), yang lebih luas cakupannya daripada akad Ijārah (sewa-menyewa). Ini menjadi solusi atas masalah bahwa manfaat pekerjaannya (jasanya yang disewa) tidak kembali kepada orang yang mempekerjakannya (yang menyewa jasanya), yang membuatnya menjadi akad yang tidak sah, bahkan ada kutipan pernyataan al-Ghazali yang menyatakan bolehnya  menyewa jasa mengimami salat. قال الشيخ عبد الرحمن الشربيني، رحمه الله، في حاشيته على الغرر البهية في شرح البهجة الوردية: (3/ 320): «(قوله: والإمامة) قال م ر في شرح المنهاج: وما جرت به العادة من جعل جامِكِيّة على ذلك: فليس من باب الإجارة، وإنما هو من باب الإرزاق، والإحسان، والمسامحة، بخلاف الإجارة، فإنها من باب المعاوضة. اهـ. وقال ح ل: إن ذلك جعالة لا إجارة. اهـ. ولعل الفرق: أن الإجارة تُملك بها المنفعة، فيلزم أن تقع للمستأجِر، بخلاف الجعالة. فتأمل هذا. ونقل الشيخ عميرة على المحلي، عن الغزالي: أنه يصح ‌الاستئجار على ‌الإمامة، وله الأجرة في مقابلة إتعاب نفسه بالحضور إلى موضع معين، والقيام بها في وقت معين”. انتهى. و(الجامكية): هي الراتب الذي يتقاضاه الموظف. انظر: “معجم تيمور الكبير” (3/47)، وأيضا: ” معجم المصطلحات المالية والاقتصادية في لغة الفقهاء”، د. نزيه حماد (161-162). وما قاله الغزالي: ظاهر، متجه. Syekh Abdurrahman asy-Syirbini —Semoga Allah Merahmatinya— dalam H̱āsyiyah-nya terhadap al-Ghurar al-Bahiyyah fī Syarẖi al-Bahjati al-Wardiyyah (3/320) menyatakan bahwa “Perkataannya: adapun masalah menjadi imam salat, maka M.R. berkata dalam Syarẖ al-Minhāj: dikatakan bahwa kebiasaan yang ada di masyarakat yang mana mereka memberi Jāmikiyyah atas hal itu (mengimami salat), bukan termasuk akad Ijārah, melainkan pemberian, kedermawanan, dan kasih sayang, yang berbeda dengan akad Ijārah yang merupakan akad timbal balik. Selesai kutipan. H.L. berkata bahwa itu adalah akad Juʿālah (memberi upah), bukan Ijārah (sewa-menyewa). Mungkin bedanya adalah bahwa dalam akad Ijārah manfaatnya harus dimiliki dan didapat oleh penyewa, berbeda dengan Juʿālah. Coba perhatikan hal ini! Syekh ʿAmīrah Ali al-Maẖalli mengutip dari al-Ghazali bahwa menyewa jasa imam salat boleh, dia mendapat upah atas timbal balik atas usahanya datang ke suatu tempat tertentu dan mengerjakannya pada waktu tertentu. Selesai kutipan. Jāmikiyyah adalah gaji yang diterima oleh seorang karyawan. Lihat: Muʿjam Taimur al-Kabīr (3/47) dan juga Muʿjam Muṣṯalaẖā al-Māliyyah wal Iqtiṣādiyyah fī Lughati al-Fuqahāʾ karya Dr. Nazih Hammad (161-162). Apa yang dikatakan oleh al-Ghazali sangat jelas dan gamblang. وقد سئل شيخ الإسلام ابن تيمية، رحمه الله، عن رجل أوقف وقفا على مدرسة وشرط فيها أن ريع الوقف للعمارة؛ والثلثين يكون للفقهاء؛ وللمدرسة؛ وأرباب الوظائف. وشرط أن الناظر يرى بالمصلحة؛ والحال جاريا كذلك مدة ثلاثين سنة؛ وإن حصر المدرسة وملء الصهريج يكون من ‌جامكية الفقهاء؛ لأن لهم غيبة؛ وأماكن غيرها؛ وأن معلوم الإمام في كل شهر من الدراهم عشرون درهما؛ وكذلك المؤذن؛ فطلب الفقهاء بعد هذه المسألة أرباب الوظائف أن يشاركوهم فيما يؤخذ من جوامكهم؛ لأجل الحصر؛ وملء الصهريج؛ وأن أرباب الوظائف قائمون بهذه الوظيفة، ولو لم يكن لهم غيرها: هل يجب للناظر موافقة الفقهاء على ما طلبوه، ونقص هؤلاء المساكين عن معلومهم اليسير؟ أم لا؟  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya tentang seseorang yang memberikan wakaf untuk sebuah sekolah dan mensyaratkan bahwa hasil wakaf itu dialokasikan untuk pembangunan, sementara dua pertiganya untuk para guru fikih, sekolah, dan para pegawai sekolah, dengan ketentuan bahwa pengawas wakaf tetap memperhatikan maslahat.  Keadaan seperti ini berjalan selama tiga puluh tahun. Adapun operasional sekolah dan pengisian tangki diambil dari gaji para guru fikih, karena mereka yang biasanya tidak berada di tempat dan punya tanggung jawab di tempat-tempat lain. Sudah maklum bahwa imam setiap bulan mendapat dua puluh dirham, begitu pula muazinnya. Setelah masalah ini, para guru fikih meminta agar para pegawai sekolah yang lain ikut serta bersama mereka di mana gaji pegawai yang lain juga dikurangi untuk operasional dan pengisian tangki, dan agar para pegawai tersebut juga ikut menanggung beban biaya sekolah ini, meskipun mereka tidak memiliki pemasukan yang lain.  Apakah pengawas wakaf harus menyetujui permintaan para guru fikih ini dan memotong pendapatan mereka yang miskin yang sudah diketahui bahwa nominalnya hanya sedikit, atau tidak? فأجاب: ، إذا رأى الناظر تقديم أرباب الوظائف الذين يأخذون على عمل معلوم – كالإمام؛ والمؤذن – فقد أصاب في ذلك؛ إذا كان الذي يأخذونه لا يزيد على جعل مثلهم في العادة؛ كما أنه يجب أن يقدم الجابي والحامل والصانع والبناء، ونحوهم ممن يأخذ على عمل يعمله في تحصيل المال؛ أو عمارة المكان؛ يقدمون بأخذ الأجرة. والإمامة والأذان شعائر لا يمكن إبطالها؛ ولا تنقيصها بحال؛ فالجاعل جعل مثل ذلك لأصحابها، يقدم على ما يأخذه الفقهاء؛ وهذا بخلاف المدرس والمفيد والفقهاء؛ فإنهم من جنس واحد …” انتهى، من “مجموع الفتاوى” (31/22). Beliau menjawab bahwa jika pengawas wakaf memandang bahwa para pegawai sekolah yang mengambil pekerjaan yang sudah diketahui —seperti imam dan muazin— haruslah diprioritaskan, maka dia sudah benar, asalkan nominal yang mereka terima tidaklah melebihi apa yang biasanya diterima oleh pegawai yang seperti mereka. Sementara dia juga harus memprioritaskan para tukang pungut, pengangkut, pegawai produksi, dan kuli bangunan, dan pihak-pihak lain yang melakukan pekerjaan mengumpulkan dana atau pembangunan, maka hendaknya mereka diprioritaskan untuk pengalokasian upah.  Adapun menjadi imam dan mengumandangkan azan, ini merupakan syiar yang tidak bisa dihentikan, maka jangan dikurangi karena alasan itu. Pihak pemberi upah hendaknya memberikan yang serupa bagi yang lain, dengan memprioritaskan mereka daripada apa yang diterima para guru fikih. Hal ini berbeda dengan para guru, ustaz, dan guru fikih, mereka semua sama. Selesai kutipan dari Majmūʿ al-Fatāwā (31/22). ثانيا : أما ما يجمعه العمال له في نهاية رمضان ، فهذا لا إشكال في جوازه ، لأنه أخذه من غير مشارطة ، بل هو تبرع منهم للإمام . وقد تقدم قول الإمام أحمد رحمه الله : “لا بأس أن يدفعوا إليه من غير شرط” . وقال ابن نجيم الحنفي رحمه الله : ” قالوا : فإن لم يشارطهم على شيء ، لكن عرفوا حاجته فجمعوا له في كل وقت شيئا : كان حسنا ، ويطيب له ” انتهى من  “البحر الرائق” (1/268) . وينظر جواب السؤال (294681 ) والله أعلم .         Kedua, adapun apa yang dikumpulkan oleh para karyawan untuknya di akhir bulan Ramadan, maka ini boleh tanpa ada permasalahan, karena ia menerimanya tanpa disyaratkan, melainkan atas dasar kesukarelaan dari mereka untuk si imam.  Tadi telah disampaikan perkataan Imam Ahmad —Semoga Allah Merahmatinya— sebelumnya, “Tidak mengapa jika orang-orang membayarnya tanpa disyaratkan.”  Ibnu Najim al-Hanafi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Mereka berkata bahwa jika dia tidak mempersyaratkan apa pun, sementara mereka mengetahui bahwa dia membutuhkan lalu mereka mengumpulkan sesuatu untuknya setiap saat, maka itu baik dan baik baginya.” Selesai kutipan dari al-Baẖr ar-Rāʾiq (1/268). Lihat juga jawaban atas pertanyaan no. 294681. Allah Yang lebih Mengetahui. Sumber: www.islamqa.info/ar/answers/497513/ما-حكم-اخذ-الاجرة-على-الامامة-في-الصلاة PDF sumber artikel. 🔍 Doa Supaya Masalah Cepat Selesai, Hari Baik Untuk Menikah, Ilmu Malaikat Maut, Perbedaan Sunni Dan Syiah, Manfaat Minum Sperma Suami Visited 656 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,221 QRIS donasi Yufid

Menjadi Imam Salat di Perusahaan, Dapat Gaji dan Hadiah dari Karyawan, Bagaimana Hukumnya?

السؤال جزاكم الله خيرا على ما تقومون به من هذه الخدمة التي ينتفع بها المسلمون إن شاء الله تعالى. سؤالي هو أن رجلا يتقدم بترخيص من مديرية الأوقاف لأداء صلاة التراويح في شركة كبيرة ذات نظام داخلي في رمضان، بعد طلب الشركة من الأوقاف بترشيح إمام لذلك، فتقوم الشركة بأداء راتب للإمام وفق عقد تستحدثه الشركة نفسها مع هذا الإمام، مع العلم أنه لا يتقاضى من مديرية الأوقاف شيئا، وفي نهاية رمضان يقوم العمال في الشركة من تلقاء أنفسهم بجمع مبلغ آخر للإمام ويعطونه إياه، مع العلم أن هذا الجمع بعلم من الشركة وبصورة علنية فيها. فهل هذا الفعل الذي يفعله هذا الرجل صحيح؟ وما حكم أجره من الشركة؟ وما حكم المال الذي يجمعه العمال له في نهاية رمضان؟ Pertanyaan: Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan atas dedikasi Anda dalam khidmah yang insya Allah bermanfaat bagi umat Islam.  Pertanyaan saya, ada seorang laki-laki yang mengajukan izin kepada Direktorat Wakaf untuk melaksanakan Salat Tarawih pada bulan Ramadan di sebuah perusahaan besar, yang memiliki aturan internal sendiri.  Setelah perusahaan tersebut meminta kepada Direktorat Wakaf untuk menunjuk seorang imam untuk pelaksanaan itu, lalu perusahaan tersebut akan membayar gaji kepada imam tersebut sesuai dengan kontrak yang dibuat oleh perusahaan itu sendiri dengan imam tersebut.  Perlu diketahui bahwa dia tidak menerima gaji dari Direktorat Wakaf sedikit pun. Di akhir Ramadan, dengan inisiatif para karyawan sendiri yang bekerja di perusahaan tersebut, mereka mengumpulkan sejumlah uang untuk imam tersebut dan memberikannya kepadanya. Perlu diketahui bahwa pengumpulan uang ini adalah dengan sepengetahuan perusahaan dan dilakukan secara terang-terangan di tengah perusahaan.  Apakah perbuatan yang dilakukan orang ini benar? Apa hukum gaji yang ia terima dari perusahaan? Bagaimana juga hukumnya uang yang dikumpulkan oleh para karyawan untuknya di akhir Ramadan tersebut? الجواب الحمد لله. أولا : اختلف العلماء في جواز أخذ الأجرة على العبادات، ومنها: الإمامة. فذهب بعضهم إلى تحريم ذلك. قال ابن قدامة رحمه الله في “المغني” (2/9): “وَرُوِيَ عَنْهُ [أي عن الإمام أحمد] أَنَّهُ قَالَ : “لَا تُصَلِّ خَلْفَ مَنْ يُشَارِطُ، وَلَا بَأْسَ أَنْ يَدْفَعُوا إلَيْهِ مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ ” انتهى. والقول بأنه لا يصح الاستئجار على الإمامة، ولو في نافلة كالتراويح: هو مذهب الشافعية. وعللوه بأن الإمام يصلي لنفسه، ومنفعة عمله المستأجر عليه، إنما تعود إليه، لا إلى المستأجِر. Jawaban: Alhamdulillah.  Pertama, bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan mengambil upah dari ibadah, termasuk menjadi imam.  Sebagian dari mereka berpandangan bahwa hukumnya haram.  Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata dalam al-Mughni (2/9) bahwa ada riwayat dari beliau (maksudnya Imam Ahmad) bahwa beliau berkata, “Janganlah kalian salat di belakang orang yang mensyaratkan (bayaran, pent.), tapi tidak mengapa jika orang-orang membayarnya tanpa ada syarat.” Selesai kutipan.  Pendapat yang menyatakan bahwa akad menyewa seseorang menjadi imam tidaklah sah, meskipun hanya untuk salat sunah, seperti Salat Tarawih adalah pendapat dalam mazhab Syafii. Mereka beralasan bahwa hakikatnya imam itu salat untuk dirinya sendiri, sehingga manfaat sewa yang untuk tujuan itu dia disewa sebenarnya kembali kepada dirinya sendiri, bukan kepada orang yang menyewa jasanya. قال الشيخ زكريا الأنصاري، رحمه الله في “أسنى المطالب” (2/ 410): «(ولو استأجر) شخص آخر (للإمامة ولو لنافلة كالتراويح لم يصح) لأن فائدتها من تحصيل فضيلة الجماعة لا تحصل للمستأجر بل للأجير”. وينظر أيضا: “تحفة المحتاج” لابن حجر الهيتمي (6/155).  Syekh Zakaria al-Anshari —Semoga Allah Merahmatinya— berkata dalam Asnā Maṯālib (2/410): “(Jika dia menyewa) orang lain (untuk menjadi imam salat, walaupun hanya untuk salat sunah, semisal Salat Tarawih, maka tidaklah sah) karena manfaat berupa mendapatkan fadilah memimpin jamaah tidak didapatkan oleh orang yang menyewanya, melainkan oleh orang yang disewa jasanya.” Lihat juga Tuẖfatu al-Muẖtāj karya Ibnu Hajar al-Haitami (6/155).  وذهب جماعة من العلماء إلى جواز أخذ الأجرة على الإمامة، لمن كان محتاجا، أما الغني فلا يجوز له ذلك. وهو مذهب المتأخرين من الحنفية، وبعض الحنابلة، وهو المعمول به عند المالكية. واختار هذا القول شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله . Sebagian ulama berpandangan bolehnya mengambil upah sebagai imam salat jika dia dalam keadaan membutuhkan. Adapun bagi yang kaya, maka tidak boleh. Demikianlah dalam mazhab Hanafi kontemporer, sebagian ulama Hanbali, dan itu juga yang diamalkan dalam mazhab Maliki. Ini juga pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah —Semoga Allah Merahmatinya. قال ابنُ عَابدين الحنفي رحمه الله : “على أنَّ المُفتَى به : مذهب المتأخِّرين، من جواز الاستئجار على تعليم القرآن، والإمامة، والأذان؛ للضرورة” انتهى من “حاشية ابن عابدين” (1/562). وقال ابن نجيم الحنفي رحمه الله: “على المختار للفتوى في زماننا: فيجوز أخذ الأجر للإمام والمؤذن والمعلم والمفتي، كما صرحوا به في كتاب الإجارات” انتهى من “البحر الرائق” (1/268). Ibnu Abidin al-Hanafi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa pendapat yang difatwakan para ulama kontemporer adalah diperbolehkannya pekerjaan mengajarkan al-Quran, mengimami salat, dan azan, karena alasan darurat. Selesai kutipan dari H̱āsyiyah Ibni ʿĀbidīn (1/562).  Ibnu Najim al-Hanafi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Berdasarkan fatwa terpilih di zaman kami, boleh hukumnya mengambil upah menjadi imam, muazin, guru, dan mufti, sebagaimana mereka menyatakannya dalam kitab al-Ijārāt.” Selesai kutipan dari al-Baẖr ar-Rāʾiq (1/268). وقال الملا علي القاري، رحمه الله – عند قول صاحب “النُّقاية”: ” ولا تَصِحُّ للعِبَادَاتِ: كالأَذَانِ والإِمَامَةِ وتَعْلِيم القُرْآنِ) -: ” (ويُفْتَى اليَّوْمَ بِصِحَّتِهَا): أَي الإِجارة على الأَذَان والإِمامة وتعليم القرآن، لأن المتقدِّمِينَ إِنَّما مَنَعُوا منها لرغبة الناس في زمانهم في فِعْلها احتساباً، وفي مجازاة فاعلها بالإِحْسان بلا شَرْط. وفي هذا الزمان: قد زال المعنيان، ففي عدم صحة الإِجارة عليها تَضْيِيعُهَا، ولا يَبْعُد أَنْ يختلف الحكم باختلاف الأَزْمِنة، أَلا ترى أَنَّ النِّسَاءُ كُنَّ يَخْرجن إِلى الجماعات في زمنه عليه الصلاة والسلام وأَبي بكر حتى مَنَعَهن عُمَرُ عن ذلك. Mullā Ali al-Qārī —Semoga Allah Merahmatinya— ketika mengomentari perkataan pengarang kitab an-Nuqāyah mengatakan, “(Tidak sah jika untuk ibadah, seperti azan, mengimami salat, dan mengajarkan al-Quran.)” – “(Sekarang difatwakan bahwa itu benar, …)” yakni menyewa jasa untuk azan, mengimami salat, dan mengajarkan al-Quran, karena ulama klasik melarang hal itu di zaman mereka untuk memotivasi orang agar melakukannya hanya karena mengharap pahala dari Allah dan agar orang yang melakukannya dibalas dengan kebaikan tanpa ada syarat di awal.  Adapun di zaman ini, dua hal itu sudah tidak ada, sehingga jika pekerjaan tersebut dinilai tidak sah, maka justru mempersempit ibadah-ibadah itu. Selain itu, tidak menutup kemungkinan bahwa hukum bisa berbeda-beda seiring dengan perubahan zaman. Tidakkah Anda perhatikan bagaimana para wanita dahulu keluar salat berjamaah di zaman Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan Abu Bakar sampai Umar melarang mereka melakukannya? وفي: «الهداية»: وبعض مشايخنا استحسنوا الاستئجار على تعليم القرآن اليوم، وعليه الفتوى. وفي «النهاية»: يُفْتى بجواز الاستئجار على تعليم الفقه أَيضاً في زماننا. وفي «المجمع»: وقيل: يُفْتَى بجوازِهِ، أَي الاستئجار على التعليم والإِمامة والفقه. وفي «الذخيرة» و«الروضة»: عن بعض أَصحابنا: يجوز في زماننا للإِمام، والمؤذن، والمعلم أَخْذُ الأُجرة”. انتهى، من “فتح باب العناية بشرح النقاية” (2/ 436). وقال ابن عبد البر المالكي رحمه الله في “الكافي” (2/155): “واختلف في جواز إجارة الإمام ليؤم الناس في الفريضة والنافلة فكرهه مالك … وأجازه بعض أصحابه وطائفة من أهل المدينة، وهو المعمول به” انتهى. Dalam kitab al-Hidāyah disebutkan, “Sebagian syekh kami memandang baiknya menyewa seseorang untuk mengajar al-Quran di zaman ini. Inilah yang difatwakan.”  Dalam kitab an-Nihāyah juga difatwakan bolehnya mempekerjakan seseorang untuk mengajar fikih di zaman sekarang. Dalam kitab al-Majmaʿ dikatakan bahwa ada  yang mengatakan bahwa ada fatwa yang menyatakan kebolehannya, yakni mempekerjakan orang untuk mengajar, menjadi imam, dan mengajari fikih. Dalam kitab adz-Dzakhīrah dan ar-Rauḏah diriwayatkan dari sebagian sahabat kami, “Di ​​zaman kita ini diperbolehkan mengambil upah jika untuk mengimami salat, muazin, dan guru.” Selesai kutipan dari Fatẖu Bābi al-ʿInāyah fi Syarẖi an-Nuqāyah (2/436).  Ibnu Abdul Barr al-Maliki —Semoga Allah Merahmatinya— dalam al-Kāfī (2/155) menyatakan adanya perbedaan pendapat mengenai bolehnya mempekerjakan seorang imam untuk mengimami orang-orang dalam salat wajib dan sunah. Malik menilainya makruh. Sebagian sahabat beliau dan sebagian penduduk Madinah membolehkannya, dan inilah yang diamalkan. Selesai kutipan. بل نُقل عن الإمام أحمد رحمه الله رواية: أخرى أنه يجوز أخذ الأجرة للفقير والغني. قال المرداوي الحنبلي رحمه الله: “ونص الإمام أحمد على أنه يصح [يعني : أخذ الأجرة على العبادات، ومنها الإمامة]، كأخذه بلا شرط … وقيل : يصح للحاجة ، ذكره الشيخ تقي الدين ابن تيمية واختاره” انتهى من “الإنصاف” (14/378). وما أشار إليه المرداوي، من اختيار شيخ الإسلام، نصه – كما في “مجموع الفتاوى” (30/207) -: “ومَن فرَّق بين المحتاج وغيره- وهو أقربُ-   Namun, ada riwayat lain yang diriwayatkan dari Imam Ahmad —Semoga Allah Merahmatinya— tentang bolehnya mengambil upah, baik bagi orang miskin atau kaya. Al-Mardawi al-Hanbali —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa Imam Ahmad menyatakan bahwa itu sah (yakni mengambil upah atas ibadah, termasuk menjadi imam) sebagaimana menerima upah tanpa disyaratkan. … Ada yang mengatakan sah jika memang dia membutuhkan. Syekh Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah memilih pendapat ini. Selesai kutipan dari al-Inṣhāf (14/378).  Apa yang disinggung oleh al-Mardawi tentang pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam, beliau berkata —sebagaimana tersebut dalam Majmūʿ al-Fatāwā (30/207)— bahwa ulama yang membedakan antara orang yang fakir dan tidak adalah pendapat yang lebih dekat dengan kebenaran. قال: المحتاجُ إذا اكتسَب بها، أمكنه أن ينويَ عملها لله، ويأخذ الأجرة؛ ليستعينَ بها على العبادة; فإنَّ الكسب على العيال واجبٌ أيضًا، فيؤدِّي الواجبات بهذا، بخلاف الغنيِّ؛ لأنَّه لا يحتاج إلى الكسب، فلا حاجةَ تدعوه أن يعملَها لغير الله؛ بل إذا كان الله قد أغناه، وهذا فرضٌ على الكفايةِ: كان هو مخاطبًا به، وإذا لم يَقُمْ [أي: الفرضُ] إلَّا به [أي: بهذا الغني]، كان ذلك واجبًا عليه عينًا، والله أعلم” انتهى من “مجموع الفتاوى” (30/207). Mereka berkata bahwa orang yang membutuhkan jika menjadikannya sebagai pendapatan, maka masih mungkin dia meniatkan amalannya karena Allah, dan mengambil upahnya, sehingga itu bisa membantunya dalam menegakkan ibadah. Selain itu, mencari nafkah untuk keluarganya juga wajib baginya, sehingga dengan itu dia juga sedang menunaikan kewajiban tersebut.  Keadaan ini tentu berbeda dengan orang kaya, yang tidak memerlukan pendapatan. Dia (orang fakir) tidak punya hajat yang mendorongnya untuk melakukannya karena selain Allah, bahkan seandainya Allah telah Memberinya kekayaan, sementara ini adalah fardu kifayah, yang mana perintah ini juga ditujukan kepadanya, maka jika dia tidak bisa melakukannya (yakni amalan fardu kifayah tersebut) kecuali dengannya (yakni kekayaan tersebut), maka itu menjadi Fardu ʿAin (kewajiban personal) baginya. Selesai kutipan dari Majmūʿ al-Fatāwā (30/207). وسئل الشيخ عبد العزيز بن باز، رحمه الله: ” ما حكم تحديد الإمام أجرة لصلاته بالناس، خصوصًا إذا كان يذهب لمناطق بعيدة ليُصلي بهم التراويح؟ فأجاب: ” التحديد ما ينبغي، وقد كرهه جمعٌ من السلف، فإذا ساعدوه بشيءٍ غير محدد فلا حرج في ذلك. أما الصلاة فصحيحة لا بأس بها -إن شاء الله- ، ولو حدَّدوا له مساعدةً؛ لأن الحاجة قد تدعو إلى ذلك. لكن ينبغي ألا يفعل ذلك، وأن تكون المساعدة بدون مشارطة، هذا هو الأفضل والأحوط كما قاله جمعٌ من السلف رحمة الله عليهم.” انتهى.  Syekh Abdul Aziz bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya, “Apa hukum menetapkan upah bagi imam untuk mengimami salat orang-orang, apalagi jika ia harus pergi ke tempat yang jauh untuk mengimami mereka salat Tarawih?”  Beliau menjawab bahwa penetapan upah itu tidaklah patut dilakukan. Sebagian Salaf membencinya. Jika orang-orang membantunya tanpa ditetapkan sebelumnya, maka tidak masalah. Adapun salatnya tersebut, sah dan tidak mengapa, Insya Allah. Jika mereka menetapkannya sebagai bentuk bantuan untuknya, karena mungkin ada tuntutan kebutuhan, hanya saja, seyogianya dia tidak melakukannya. Bantuan itu hendaknya tanpa disyaratkan sebelumnya. Inilah yang afdal dan lebih selamat, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian Salaf —Semoga Allah Merahmatinya. Selesai kutipan. وعلى هذا ؛ فلا حرج على هذا الإمام أن يأخذ أجرًا من الشركة على إمامته في صلاة التراويح ، إذا كان محتاجا لذلك . وما رجحه شيخ الإسلام من الترخيص فيها للمحتاج: ظاهر، وبهذا تقوم مصلحة الإمامة، وإلا، تكافها الناس، ولم ينضبط أمر المساجد، وعليه عمل الناس أيضا. وقد خرج بعض فقهاء الشافعية جواز ما جرت به العادة من إعطاء الأئمة أرزاقا لأجل إمامتهم؛ خرجوها على أنها من باب “الجعالة”، وهي أوسع من “الإجارة”؛ وفي هذا خروج من إشكال أن نفع الإجارة لا يعود إلى المستأجِر؛ فلا تصح الإجارة عليها. بل نقل عن الغزالي التصريح بجواز الإجارة على الإمامة. Dengan demikian, tidak mengapa imam ini mengambil upah dari perusahaan tersebut atas pekerjaannya memimpin Salat Tarawih, jika memang dia membutuhkan. Pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam yang membolehkan hal itu bagi orang yang membutuhkan sangat kuat, yang dengan demikian maslahat mengimami salat dapat terwujud, yang apabila tidak terwujud, maka akan menghambat masyarakat dan urusan masjid menjadi terbengkalai. Ini juga yang sudah menjadi praktik umum masyarakat.  Sebagian ulama mazhab Syafii juga membolehkan adat kebiasaan masyarakat yang biasa memberikan sesuatu kepada imam karena telah mengimami salat. Mereka menganggapnya sebagai akad Juʿālah (memberi upah), yang lebih luas cakupannya daripada akad Ijārah (sewa-menyewa). Ini menjadi solusi atas masalah bahwa manfaat pekerjaannya (jasanya yang disewa) tidak kembali kepada orang yang mempekerjakannya (yang menyewa jasanya), yang membuatnya menjadi akad yang tidak sah, bahkan ada kutipan pernyataan al-Ghazali yang menyatakan bolehnya  menyewa jasa mengimami salat. قال الشيخ عبد الرحمن الشربيني، رحمه الله، في حاشيته على الغرر البهية في شرح البهجة الوردية: (3/ 320): «(قوله: والإمامة) قال م ر في شرح المنهاج: وما جرت به العادة من جعل جامِكِيّة على ذلك: فليس من باب الإجارة، وإنما هو من باب الإرزاق، والإحسان، والمسامحة، بخلاف الإجارة، فإنها من باب المعاوضة. اهـ. وقال ح ل: إن ذلك جعالة لا إجارة. اهـ. ولعل الفرق: أن الإجارة تُملك بها المنفعة، فيلزم أن تقع للمستأجِر، بخلاف الجعالة. فتأمل هذا. ونقل الشيخ عميرة على المحلي، عن الغزالي: أنه يصح ‌الاستئجار على ‌الإمامة، وله الأجرة في مقابلة إتعاب نفسه بالحضور إلى موضع معين، والقيام بها في وقت معين”. انتهى. و(الجامكية): هي الراتب الذي يتقاضاه الموظف. انظر: “معجم تيمور الكبير” (3/47)، وأيضا: ” معجم المصطلحات المالية والاقتصادية في لغة الفقهاء”، د. نزيه حماد (161-162). وما قاله الغزالي: ظاهر، متجه. Syekh Abdurrahman asy-Syirbini —Semoga Allah Merahmatinya— dalam H̱āsyiyah-nya terhadap al-Ghurar al-Bahiyyah fī Syarẖi al-Bahjati al-Wardiyyah (3/320) menyatakan bahwa “Perkataannya: adapun masalah menjadi imam salat, maka M.R. berkata dalam Syarẖ al-Minhāj: dikatakan bahwa kebiasaan yang ada di masyarakat yang mana mereka memberi Jāmikiyyah atas hal itu (mengimami salat), bukan termasuk akad Ijārah, melainkan pemberian, kedermawanan, dan kasih sayang, yang berbeda dengan akad Ijārah yang merupakan akad timbal balik. Selesai kutipan. H.L. berkata bahwa itu adalah akad Juʿālah (memberi upah), bukan Ijārah (sewa-menyewa). Mungkin bedanya adalah bahwa dalam akad Ijārah manfaatnya harus dimiliki dan didapat oleh penyewa, berbeda dengan Juʿālah. Coba perhatikan hal ini! Syekh ʿAmīrah Ali al-Maẖalli mengutip dari al-Ghazali bahwa menyewa jasa imam salat boleh, dia mendapat upah atas timbal balik atas usahanya datang ke suatu tempat tertentu dan mengerjakannya pada waktu tertentu. Selesai kutipan. Jāmikiyyah adalah gaji yang diterima oleh seorang karyawan. Lihat: Muʿjam Taimur al-Kabīr (3/47) dan juga Muʿjam Muṣṯalaẖā al-Māliyyah wal Iqtiṣādiyyah fī Lughati al-Fuqahāʾ karya Dr. Nazih Hammad (161-162). Apa yang dikatakan oleh al-Ghazali sangat jelas dan gamblang. وقد سئل شيخ الإسلام ابن تيمية، رحمه الله، عن رجل أوقف وقفا على مدرسة وشرط فيها أن ريع الوقف للعمارة؛ والثلثين يكون للفقهاء؛ وللمدرسة؛ وأرباب الوظائف. وشرط أن الناظر يرى بالمصلحة؛ والحال جاريا كذلك مدة ثلاثين سنة؛ وإن حصر المدرسة وملء الصهريج يكون من ‌جامكية الفقهاء؛ لأن لهم غيبة؛ وأماكن غيرها؛ وأن معلوم الإمام في كل شهر من الدراهم عشرون درهما؛ وكذلك المؤذن؛ فطلب الفقهاء بعد هذه المسألة أرباب الوظائف أن يشاركوهم فيما يؤخذ من جوامكهم؛ لأجل الحصر؛ وملء الصهريج؛ وأن أرباب الوظائف قائمون بهذه الوظيفة، ولو لم يكن لهم غيرها: هل يجب للناظر موافقة الفقهاء على ما طلبوه، ونقص هؤلاء المساكين عن معلومهم اليسير؟ أم لا؟  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya tentang seseorang yang memberikan wakaf untuk sebuah sekolah dan mensyaratkan bahwa hasil wakaf itu dialokasikan untuk pembangunan, sementara dua pertiganya untuk para guru fikih, sekolah, dan para pegawai sekolah, dengan ketentuan bahwa pengawas wakaf tetap memperhatikan maslahat.  Keadaan seperti ini berjalan selama tiga puluh tahun. Adapun operasional sekolah dan pengisian tangki diambil dari gaji para guru fikih, karena mereka yang biasanya tidak berada di tempat dan punya tanggung jawab di tempat-tempat lain. Sudah maklum bahwa imam setiap bulan mendapat dua puluh dirham, begitu pula muazinnya. Setelah masalah ini, para guru fikih meminta agar para pegawai sekolah yang lain ikut serta bersama mereka di mana gaji pegawai yang lain juga dikurangi untuk operasional dan pengisian tangki, dan agar para pegawai tersebut juga ikut menanggung beban biaya sekolah ini, meskipun mereka tidak memiliki pemasukan yang lain.  Apakah pengawas wakaf harus menyetujui permintaan para guru fikih ini dan memotong pendapatan mereka yang miskin yang sudah diketahui bahwa nominalnya hanya sedikit, atau tidak? فأجاب: ، إذا رأى الناظر تقديم أرباب الوظائف الذين يأخذون على عمل معلوم – كالإمام؛ والمؤذن – فقد أصاب في ذلك؛ إذا كان الذي يأخذونه لا يزيد على جعل مثلهم في العادة؛ كما أنه يجب أن يقدم الجابي والحامل والصانع والبناء، ونحوهم ممن يأخذ على عمل يعمله في تحصيل المال؛ أو عمارة المكان؛ يقدمون بأخذ الأجرة. والإمامة والأذان شعائر لا يمكن إبطالها؛ ولا تنقيصها بحال؛ فالجاعل جعل مثل ذلك لأصحابها، يقدم على ما يأخذه الفقهاء؛ وهذا بخلاف المدرس والمفيد والفقهاء؛ فإنهم من جنس واحد …” انتهى، من “مجموع الفتاوى” (31/22). Beliau menjawab bahwa jika pengawas wakaf memandang bahwa para pegawai sekolah yang mengambil pekerjaan yang sudah diketahui —seperti imam dan muazin— haruslah diprioritaskan, maka dia sudah benar, asalkan nominal yang mereka terima tidaklah melebihi apa yang biasanya diterima oleh pegawai yang seperti mereka. Sementara dia juga harus memprioritaskan para tukang pungut, pengangkut, pegawai produksi, dan kuli bangunan, dan pihak-pihak lain yang melakukan pekerjaan mengumpulkan dana atau pembangunan, maka hendaknya mereka diprioritaskan untuk pengalokasian upah.  Adapun menjadi imam dan mengumandangkan azan, ini merupakan syiar yang tidak bisa dihentikan, maka jangan dikurangi karena alasan itu. Pihak pemberi upah hendaknya memberikan yang serupa bagi yang lain, dengan memprioritaskan mereka daripada apa yang diterima para guru fikih. Hal ini berbeda dengan para guru, ustaz, dan guru fikih, mereka semua sama. Selesai kutipan dari Majmūʿ al-Fatāwā (31/22). ثانيا : أما ما يجمعه العمال له في نهاية رمضان ، فهذا لا إشكال في جوازه ، لأنه أخذه من غير مشارطة ، بل هو تبرع منهم للإمام . وقد تقدم قول الإمام أحمد رحمه الله : “لا بأس أن يدفعوا إليه من غير شرط” . وقال ابن نجيم الحنفي رحمه الله : ” قالوا : فإن لم يشارطهم على شيء ، لكن عرفوا حاجته فجمعوا له في كل وقت شيئا : كان حسنا ، ويطيب له ” انتهى من  “البحر الرائق” (1/268) . وينظر جواب السؤال (294681 ) والله أعلم .         Kedua, adapun apa yang dikumpulkan oleh para karyawan untuknya di akhir bulan Ramadan, maka ini boleh tanpa ada permasalahan, karena ia menerimanya tanpa disyaratkan, melainkan atas dasar kesukarelaan dari mereka untuk si imam.  Tadi telah disampaikan perkataan Imam Ahmad —Semoga Allah Merahmatinya— sebelumnya, “Tidak mengapa jika orang-orang membayarnya tanpa disyaratkan.”  Ibnu Najim al-Hanafi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Mereka berkata bahwa jika dia tidak mempersyaratkan apa pun, sementara mereka mengetahui bahwa dia membutuhkan lalu mereka mengumpulkan sesuatu untuknya setiap saat, maka itu baik dan baik baginya.” Selesai kutipan dari al-Baẖr ar-Rāʾiq (1/268). Lihat juga jawaban atas pertanyaan no. 294681. Allah Yang lebih Mengetahui. Sumber: www.islamqa.info/ar/answers/497513/ما-حكم-اخذ-الاجرة-على-الامامة-في-الصلاة PDF sumber artikel. 🔍 Doa Supaya Masalah Cepat Selesai, Hari Baik Untuk Menikah, Ilmu Malaikat Maut, Perbedaan Sunni Dan Syiah, Manfaat Minum Sperma Suami Visited 656 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,221 QRIS donasi Yufid
السؤال جزاكم الله خيرا على ما تقومون به من هذه الخدمة التي ينتفع بها المسلمون إن شاء الله تعالى. سؤالي هو أن رجلا يتقدم بترخيص من مديرية الأوقاف لأداء صلاة التراويح في شركة كبيرة ذات نظام داخلي في رمضان، بعد طلب الشركة من الأوقاف بترشيح إمام لذلك، فتقوم الشركة بأداء راتب للإمام وفق عقد تستحدثه الشركة نفسها مع هذا الإمام، مع العلم أنه لا يتقاضى من مديرية الأوقاف شيئا، وفي نهاية رمضان يقوم العمال في الشركة من تلقاء أنفسهم بجمع مبلغ آخر للإمام ويعطونه إياه، مع العلم أن هذا الجمع بعلم من الشركة وبصورة علنية فيها. فهل هذا الفعل الذي يفعله هذا الرجل صحيح؟ وما حكم أجره من الشركة؟ وما حكم المال الذي يجمعه العمال له في نهاية رمضان؟ Pertanyaan: Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan atas dedikasi Anda dalam khidmah yang insya Allah bermanfaat bagi umat Islam.  Pertanyaan saya, ada seorang laki-laki yang mengajukan izin kepada Direktorat Wakaf untuk melaksanakan Salat Tarawih pada bulan Ramadan di sebuah perusahaan besar, yang memiliki aturan internal sendiri.  Setelah perusahaan tersebut meminta kepada Direktorat Wakaf untuk menunjuk seorang imam untuk pelaksanaan itu, lalu perusahaan tersebut akan membayar gaji kepada imam tersebut sesuai dengan kontrak yang dibuat oleh perusahaan itu sendiri dengan imam tersebut.  Perlu diketahui bahwa dia tidak menerima gaji dari Direktorat Wakaf sedikit pun. Di akhir Ramadan, dengan inisiatif para karyawan sendiri yang bekerja di perusahaan tersebut, mereka mengumpulkan sejumlah uang untuk imam tersebut dan memberikannya kepadanya. Perlu diketahui bahwa pengumpulan uang ini adalah dengan sepengetahuan perusahaan dan dilakukan secara terang-terangan di tengah perusahaan.  Apakah perbuatan yang dilakukan orang ini benar? Apa hukum gaji yang ia terima dari perusahaan? Bagaimana juga hukumnya uang yang dikumpulkan oleh para karyawan untuknya di akhir Ramadan tersebut? الجواب الحمد لله. أولا : اختلف العلماء في جواز أخذ الأجرة على العبادات، ومنها: الإمامة. فذهب بعضهم إلى تحريم ذلك. قال ابن قدامة رحمه الله في “المغني” (2/9): “وَرُوِيَ عَنْهُ [أي عن الإمام أحمد] أَنَّهُ قَالَ : “لَا تُصَلِّ خَلْفَ مَنْ يُشَارِطُ، وَلَا بَأْسَ أَنْ يَدْفَعُوا إلَيْهِ مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ ” انتهى. والقول بأنه لا يصح الاستئجار على الإمامة، ولو في نافلة كالتراويح: هو مذهب الشافعية. وعللوه بأن الإمام يصلي لنفسه، ومنفعة عمله المستأجر عليه، إنما تعود إليه، لا إلى المستأجِر. Jawaban: Alhamdulillah.  Pertama, bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan mengambil upah dari ibadah, termasuk menjadi imam.  Sebagian dari mereka berpandangan bahwa hukumnya haram.  Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata dalam al-Mughni (2/9) bahwa ada riwayat dari beliau (maksudnya Imam Ahmad) bahwa beliau berkata, “Janganlah kalian salat di belakang orang yang mensyaratkan (bayaran, pent.), tapi tidak mengapa jika orang-orang membayarnya tanpa ada syarat.” Selesai kutipan.  Pendapat yang menyatakan bahwa akad menyewa seseorang menjadi imam tidaklah sah, meskipun hanya untuk salat sunah, seperti Salat Tarawih adalah pendapat dalam mazhab Syafii. Mereka beralasan bahwa hakikatnya imam itu salat untuk dirinya sendiri, sehingga manfaat sewa yang untuk tujuan itu dia disewa sebenarnya kembali kepada dirinya sendiri, bukan kepada orang yang menyewa jasanya. قال الشيخ زكريا الأنصاري، رحمه الله في “أسنى المطالب” (2/ 410): «(ولو استأجر) شخص آخر (للإمامة ولو لنافلة كالتراويح لم يصح) لأن فائدتها من تحصيل فضيلة الجماعة لا تحصل للمستأجر بل للأجير”. وينظر أيضا: “تحفة المحتاج” لابن حجر الهيتمي (6/155).  Syekh Zakaria al-Anshari —Semoga Allah Merahmatinya— berkata dalam Asnā Maṯālib (2/410): “(Jika dia menyewa) orang lain (untuk menjadi imam salat, walaupun hanya untuk salat sunah, semisal Salat Tarawih, maka tidaklah sah) karena manfaat berupa mendapatkan fadilah memimpin jamaah tidak didapatkan oleh orang yang menyewanya, melainkan oleh orang yang disewa jasanya.” Lihat juga Tuẖfatu al-Muẖtāj karya Ibnu Hajar al-Haitami (6/155).  وذهب جماعة من العلماء إلى جواز أخذ الأجرة على الإمامة، لمن كان محتاجا، أما الغني فلا يجوز له ذلك. وهو مذهب المتأخرين من الحنفية، وبعض الحنابلة، وهو المعمول به عند المالكية. واختار هذا القول شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله . Sebagian ulama berpandangan bolehnya mengambil upah sebagai imam salat jika dia dalam keadaan membutuhkan. Adapun bagi yang kaya, maka tidak boleh. Demikianlah dalam mazhab Hanafi kontemporer, sebagian ulama Hanbali, dan itu juga yang diamalkan dalam mazhab Maliki. Ini juga pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah —Semoga Allah Merahmatinya. قال ابنُ عَابدين الحنفي رحمه الله : “على أنَّ المُفتَى به : مذهب المتأخِّرين، من جواز الاستئجار على تعليم القرآن، والإمامة، والأذان؛ للضرورة” انتهى من “حاشية ابن عابدين” (1/562). وقال ابن نجيم الحنفي رحمه الله: “على المختار للفتوى في زماننا: فيجوز أخذ الأجر للإمام والمؤذن والمعلم والمفتي، كما صرحوا به في كتاب الإجارات” انتهى من “البحر الرائق” (1/268). Ibnu Abidin al-Hanafi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa pendapat yang difatwakan para ulama kontemporer adalah diperbolehkannya pekerjaan mengajarkan al-Quran, mengimami salat, dan azan, karena alasan darurat. Selesai kutipan dari H̱āsyiyah Ibni ʿĀbidīn (1/562).  Ibnu Najim al-Hanafi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Berdasarkan fatwa terpilih di zaman kami, boleh hukumnya mengambil upah menjadi imam, muazin, guru, dan mufti, sebagaimana mereka menyatakannya dalam kitab al-Ijārāt.” Selesai kutipan dari al-Baẖr ar-Rāʾiq (1/268). وقال الملا علي القاري، رحمه الله – عند قول صاحب “النُّقاية”: ” ولا تَصِحُّ للعِبَادَاتِ: كالأَذَانِ والإِمَامَةِ وتَعْلِيم القُرْآنِ) -: ” (ويُفْتَى اليَّوْمَ بِصِحَّتِهَا): أَي الإِجارة على الأَذَان والإِمامة وتعليم القرآن، لأن المتقدِّمِينَ إِنَّما مَنَعُوا منها لرغبة الناس في زمانهم في فِعْلها احتساباً، وفي مجازاة فاعلها بالإِحْسان بلا شَرْط. وفي هذا الزمان: قد زال المعنيان، ففي عدم صحة الإِجارة عليها تَضْيِيعُهَا، ولا يَبْعُد أَنْ يختلف الحكم باختلاف الأَزْمِنة، أَلا ترى أَنَّ النِّسَاءُ كُنَّ يَخْرجن إِلى الجماعات في زمنه عليه الصلاة والسلام وأَبي بكر حتى مَنَعَهن عُمَرُ عن ذلك. Mullā Ali al-Qārī —Semoga Allah Merahmatinya— ketika mengomentari perkataan pengarang kitab an-Nuqāyah mengatakan, “(Tidak sah jika untuk ibadah, seperti azan, mengimami salat, dan mengajarkan al-Quran.)” – “(Sekarang difatwakan bahwa itu benar, …)” yakni menyewa jasa untuk azan, mengimami salat, dan mengajarkan al-Quran, karena ulama klasik melarang hal itu di zaman mereka untuk memotivasi orang agar melakukannya hanya karena mengharap pahala dari Allah dan agar orang yang melakukannya dibalas dengan kebaikan tanpa ada syarat di awal.  Adapun di zaman ini, dua hal itu sudah tidak ada, sehingga jika pekerjaan tersebut dinilai tidak sah, maka justru mempersempit ibadah-ibadah itu. Selain itu, tidak menutup kemungkinan bahwa hukum bisa berbeda-beda seiring dengan perubahan zaman. Tidakkah Anda perhatikan bagaimana para wanita dahulu keluar salat berjamaah di zaman Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan Abu Bakar sampai Umar melarang mereka melakukannya? وفي: «الهداية»: وبعض مشايخنا استحسنوا الاستئجار على تعليم القرآن اليوم، وعليه الفتوى. وفي «النهاية»: يُفْتى بجواز الاستئجار على تعليم الفقه أَيضاً في زماننا. وفي «المجمع»: وقيل: يُفْتَى بجوازِهِ، أَي الاستئجار على التعليم والإِمامة والفقه. وفي «الذخيرة» و«الروضة»: عن بعض أَصحابنا: يجوز في زماننا للإِمام، والمؤذن، والمعلم أَخْذُ الأُجرة”. انتهى، من “فتح باب العناية بشرح النقاية” (2/ 436). وقال ابن عبد البر المالكي رحمه الله في “الكافي” (2/155): “واختلف في جواز إجارة الإمام ليؤم الناس في الفريضة والنافلة فكرهه مالك … وأجازه بعض أصحابه وطائفة من أهل المدينة، وهو المعمول به” انتهى. Dalam kitab al-Hidāyah disebutkan, “Sebagian syekh kami memandang baiknya menyewa seseorang untuk mengajar al-Quran di zaman ini. Inilah yang difatwakan.”  Dalam kitab an-Nihāyah juga difatwakan bolehnya mempekerjakan seseorang untuk mengajar fikih di zaman sekarang. Dalam kitab al-Majmaʿ dikatakan bahwa ada  yang mengatakan bahwa ada fatwa yang menyatakan kebolehannya, yakni mempekerjakan orang untuk mengajar, menjadi imam, dan mengajari fikih. Dalam kitab adz-Dzakhīrah dan ar-Rauḏah diriwayatkan dari sebagian sahabat kami, “Di ​​zaman kita ini diperbolehkan mengambil upah jika untuk mengimami salat, muazin, dan guru.” Selesai kutipan dari Fatẖu Bābi al-ʿInāyah fi Syarẖi an-Nuqāyah (2/436).  Ibnu Abdul Barr al-Maliki —Semoga Allah Merahmatinya— dalam al-Kāfī (2/155) menyatakan adanya perbedaan pendapat mengenai bolehnya mempekerjakan seorang imam untuk mengimami orang-orang dalam salat wajib dan sunah. Malik menilainya makruh. Sebagian sahabat beliau dan sebagian penduduk Madinah membolehkannya, dan inilah yang diamalkan. Selesai kutipan. بل نُقل عن الإمام أحمد رحمه الله رواية: أخرى أنه يجوز أخذ الأجرة للفقير والغني. قال المرداوي الحنبلي رحمه الله: “ونص الإمام أحمد على أنه يصح [يعني : أخذ الأجرة على العبادات، ومنها الإمامة]، كأخذه بلا شرط … وقيل : يصح للحاجة ، ذكره الشيخ تقي الدين ابن تيمية واختاره” انتهى من “الإنصاف” (14/378). وما أشار إليه المرداوي، من اختيار شيخ الإسلام، نصه – كما في “مجموع الفتاوى” (30/207) -: “ومَن فرَّق بين المحتاج وغيره- وهو أقربُ-   Namun, ada riwayat lain yang diriwayatkan dari Imam Ahmad —Semoga Allah Merahmatinya— tentang bolehnya mengambil upah, baik bagi orang miskin atau kaya. Al-Mardawi al-Hanbali —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa Imam Ahmad menyatakan bahwa itu sah (yakni mengambil upah atas ibadah, termasuk menjadi imam) sebagaimana menerima upah tanpa disyaratkan. … Ada yang mengatakan sah jika memang dia membutuhkan. Syekh Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah memilih pendapat ini. Selesai kutipan dari al-Inṣhāf (14/378).  Apa yang disinggung oleh al-Mardawi tentang pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam, beliau berkata —sebagaimana tersebut dalam Majmūʿ al-Fatāwā (30/207)— bahwa ulama yang membedakan antara orang yang fakir dan tidak adalah pendapat yang lebih dekat dengan kebenaran. قال: المحتاجُ إذا اكتسَب بها، أمكنه أن ينويَ عملها لله، ويأخذ الأجرة؛ ليستعينَ بها على العبادة; فإنَّ الكسب على العيال واجبٌ أيضًا، فيؤدِّي الواجبات بهذا، بخلاف الغنيِّ؛ لأنَّه لا يحتاج إلى الكسب، فلا حاجةَ تدعوه أن يعملَها لغير الله؛ بل إذا كان الله قد أغناه، وهذا فرضٌ على الكفايةِ: كان هو مخاطبًا به، وإذا لم يَقُمْ [أي: الفرضُ] إلَّا به [أي: بهذا الغني]، كان ذلك واجبًا عليه عينًا، والله أعلم” انتهى من “مجموع الفتاوى” (30/207). Mereka berkata bahwa orang yang membutuhkan jika menjadikannya sebagai pendapatan, maka masih mungkin dia meniatkan amalannya karena Allah, dan mengambil upahnya, sehingga itu bisa membantunya dalam menegakkan ibadah. Selain itu, mencari nafkah untuk keluarganya juga wajib baginya, sehingga dengan itu dia juga sedang menunaikan kewajiban tersebut.  Keadaan ini tentu berbeda dengan orang kaya, yang tidak memerlukan pendapatan. Dia (orang fakir) tidak punya hajat yang mendorongnya untuk melakukannya karena selain Allah, bahkan seandainya Allah telah Memberinya kekayaan, sementara ini adalah fardu kifayah, yang mana perintah ini juga ditujukan kepadanya, maka jika dia tidak bisa melakukannya (yakni amalan fardu kifayah tersebut) kecuali dengannya (yakni kekayaan tersebut), maka itu menjadi Fardu ʿAin (kewajiban personal) baginya. Selesai kutipan dari Majmūʿ al-Fatāwā (30/207). وسئل الشيخ عبد العزيز بن باز، رحمه الله: ” ما حكم تحديد الإمام أجرة لصلاته بالناس، خصوصًا إذا كان يذهب لمناطق بعيدة ليُصلي بهم التراويح؟ فأجاب: ” التحديد ما ينبغي، وقد كرهه جمعٌ من السلف، فإذا ساعدوه بشيءٍ غير محدد فلا حرج في ذلك. أما الصلاة فصحيحة لا بأس بها -إن شاء الله- ، ولو حدَّدوا له مساعدةً؛ لأن الحاجة قد تدعو إلى ذلك. لكن ينبغي ألا يفعل ذلك، وأن تكون المساعدة بدون مشارطة، هذا هو الأفضل والأحوط كما قاله جمعٌ من السلف رحمة الله عليهم.” انتهى.  Syekh Abdul Aziz bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya, “Apa hukum menetapkan upah bagi imam untuk mengimami salat orang-orang, apalagi jika ia harus pergi ke tempat yang jauh untuk mengimami mereka salat Tarawih?”  Beliau menjawab bahwa penetapan upah itu tidaklah patut dilakukan. Sebagian Salaf membencinya. Jika orang-orang membantunya tanpa ditetapkan sebelumnya, maka tidak masalah. Adapun salatnya tersebut, sah dan tidak mengapa, Insya Allah. Jika mereka menetapkannya sebagai bentuk bantuan untuknya, karena mungkin ada tuntutan kebutuhan, hanya saja, seyogianya dia tidak melakukannya. Bantuan itu hendaknya tanpa disyaratkan sebelumnya. Inilah yang afdal dan lebih selamat, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian Salaf —Semoga Allah Merahmatinya. Selesai kutipan. وعلى هذا ؛ فلا حرج على هذا الإمام أن يأخذ أجرًا من الشركة على إمامته في صلاة التراويح ، إذا كان محتاجا لذلك . وما رجحه شيخ الإسلام من الترخيص فيها للمحتاج: ظاهر، وبهذا تقوم مصلحة الإمامة، وإلا، تكافها الناس، ولم ينضبط أمر المساجد، وعليه عمل الناس أيضا. وقد خرج بعض فقهاء الشافعية جواز ما جرت به العادة من إعطاء الأئمة أرزاقا لأجل إمامتهم؛ خرجوها على أنها من باب “الجعالة”، وهي أوسع من “الإجارة”؛ وفي هذا خروج من إشكال أن نفع الإجارة لا يعود إلى المستأجِر؛ فلا تصح الإجارة عليها. بل نقل عن الغزالي التصريح بجواز الإجارة على الإمامة. Dengan demikian, tidak mengapa imam ini mengambil upah dari perusahaan tersebut atas pekerjaannya memimpin Salat Tarawih, jika memang dia membutuhkan. Pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam yang membolehkan hal itu bagi orang yang membutuhkan sangat kuat, yang dengan demikian maslahat mengimami salat dapat terwujud, yang apabila tidak terwujud, maka akan menghambat masyarakat dan urusan masjid menjadi terbengkalai. Ini juga yang sudah menjadi praktik umum masyarakat.  Sebagian ulama mazhab Syafii juga membolehkan adat kebiasaan masyarakat yang biasa memberikan sesuatu kepada imam karena telah mengimami salat. Mereka menganggapnya sebagai akad Juʿālah (memberi upah), yang lebih luas cakupannya daripada akad Ijārah (sewa-menyewa). Ini menjadi solusi atas masalah bahwa manfaat pekerjaannya (jasanya yang disewa) tidak kembali kepada orang yang mempekerjakannya (yang menyewa jasanya), yang membuatnya menjadi akad yang tidak sah, bahkan ada kutipan pernyataan al-Ghazali yang menyatakan bolehnya  menyewa jasa mengimami salat. قال الشيخ عبد الرحمن الشربيني، رحمه الله، في حاشيته على الغرر البهية في شرح البهجة الوردية: (3/ 320): «(قوله: والإمامة) قال م ر في شرح المنهاج: وما جرت به العادة من جعل جامِكِيّة على ذلك: فليس من باب الإجارة، وإنما هو من باب الإرزاق، والإحسان، والمسامحة، بخلاف الإجارة، فإنها من باب المعاوضة. اهـ. وقال ح ل: إن ذلك جعالة لا إجارة. اهـ. ولعل الفرق: أن الإجارة تُملك بها المنفعة، فيلزم أن تقع للمستأجِر، بخلاف الجعالة. فتأمل هذا. ونقل الشيخ عميرة على المحلي، عن الغزالي: أنه يصح ‌الاستئجار على ‌الإمامة، وله الأجرة في مقابلة إتعاب نفسه بالحضور إلى موضع معين، والقيام بها في وقت معين”. انتهى. و(الجامكية): هي الراتب الذي يتقاضاه الموظف. انظر: “معجم تيمور الكبير” (3/47)، وأيضا: ” معجم المصطلحات المالية والاقتصادية في لغة الفقهاء”، د. نزيه حماد (161-162). وما قاله الغزالي: ظاهر، متجه. Syekh Abdurrahman asy-Syirbini —Semoga Allah Merahmatinya— dalam H̱āsyiyah-nya terhadap al-Ghurar al-Bahiyyah fī Syarẖi al-Bahjati al-Wardiyyah (3/320) menyatakan bahwa “Perkataannya: adapun masalah menjadi imam salat, maka M.R. berkata dalam Syarẖ al-Minhāj: dikatakan bahwa kebiasaan yang ada di masyarakat yang mana mereka memberi Jāmikiyyah atas hal itu (mengimami salat), bukan termasuk akad Ijārah, melainkan pemberian, kedermawanan, dan kasih sayang, yang berbeda dengan akad Ijārah yang merupakan akad timbal balik. Selesai kutipan. H.L. berkata bahwa itu adalah akad Juʿālah (memberi upah), bukan Ijārah (sewa-menyewa). Mungkin bedanya adalah bahwa dalam akad Ijārah manfaatnya harus dimiliki dan didapat oleh penyewa, berbeda dengan Juʿālah. Coba perhatikan hal ini! Syekh ʿAmīrah Ali al-Maẖalli mengutip dari al-Ghazali bahwa menyewa jasa imam salat boleh, dia mendapat upah atas timbal balik atas usahanya datang ke suatu tempat tertentu dan mengerjakannya pada waktu tertentu. Selesai kutipan. Jāmikiyyah adalah gaji yang diterima oleh seorang karyawan. Lihat: Muʿjam Taimur al-Kabīr (3/47) dan juga Muʿjam Muṣṯalaẖā al-Māliyyah wal Iqtiṣādiyyah fī Lughati al-Fuqahāʾ karya Dr. Nazih Hammad (161-162). Apa yang dikatakan oleh al-Ghazali sangat jelas dan gamblang. وقد سئل شيخ الإسلام ابن تيمية، رحمه الله، عن رجل أوقف وقفا على مدرسة وشرط فيها أن ريع الوقف للعمارة؛ والثلثين يكون للفقهاء؛ وللمدرسة؛ وأرباب الوظائف. وشرط أن الناظر يرى بالمصلحة؛ والحال جاريا كذلك مدة ثلاثين سنة؛ وإن حصر المدرسة وملء الصهريج يكون من ‌جامكية الفقهاء؛ لأن لهم غيبة؛ وأماكن غيرها؛ وأن معلوم الإمام في كل شهر من الدراهم عشرون درهما؛ وكذلك المؤذن؛ فطلب الفقهاء بعد هذه المسألة أرباب الوظائف أن يشاركوهم فيما يؤخذ من جوامكهم؛ لأجل الحصر؛ وملء الصهريج؛ وأن أرباب الوظائف قائمون بهذه الوظيفة، ولو لم يكن لهم غيرها: هل يجب للناظر موافقة الفقهاء على ما طلبوه، ونقص هؤلاء المساكين عن معلومهم اليسير؟ أم لا؟  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya tentang seseorang yang memberikan wakaf untuk sebuah sekolah dan mensyaratkan bahwa hasil wakaf itu dialokasikan untuk pembangunan, sementara dua pertiganya untuk para guru fikih, sekolah, dan para pegawai sekolah, dengan ketentuan bahwa pengawas wakaf tetap memperhatikan maslahat.  Keadaan seperti ini berjalan selama tiga puluh tahun. Adapun operasional sekolah dan pengisian tangki diambil dari gaji para guru fikih, karena mereka yang biasanya tidak berada di tempat dan punya tanggung jawab di tempat-tempat lain. Sudah maklum bahwa imam setiap bulan mendapat dua puluh dirham, begitu pula muazinnya. Setelah masalah ini, para guru fikih meminta agar para pegawai sekolah yang lain ikut serta bersama mereka di mana gaji pegawai yang lain juga dikurangi untuk operasional dan pengisian tangki, dan agar para pegawai tersebut juga ikut menanggung beban biaya sekolah ini, meskipun mereka tidak memiliki pemasukan yang lain.  Apakah pengawas wakaf harus menyetujui permintaan para guru fikih ini dan memotong pendapatan mereka yang miskin yang sudah diketahui bahwa nominalnya hanya sedikit, atau tidak? فأجاب: ، إذا رأى الناظر تقديم أرباب الوظائف الذين يأخذون على عمل معلوم – كالإمام؛ والمؤذن – فقد أصاب في ذلك؛ إذا كان الذي يأخذونه لا يزيد على جعل مثلهم في العادة؛ كما أنه يجب أن يقدم الجابي والحامل والصانع والبناء، ونحوهم ممن يأخذ على عمل يعمله في تحصيل المال؛ أو عمارة المكان؛ يقدمون بأخذ الأجرة. والإمامة والأذان شعائر لا يمكن إبطالها؛ ولا تنقيصها بحال؛ فالجاعل جعل مثل ذلك لأصحابها، يقدم على ما يأخذه الفقهاء؛ وهذا بخلاف المدرس والمفيد والفقهاء؛ فإنهم من جنس واحد …” انتهى، من “مجموع الفتاوى” (31/22). Beliau menjawab bahwa jika pengawas wakaf memandang bahwa para pegawai sekolah yang mengambil pekerjaan yang sudah diketahui —seperti imam dan muazin— haruslah diprioritaskan, maka dia sudah benar, asalkan nominal yang mereka terima tidaklah melebihi apa yang biasanya diterima oleh pegawai yang seperti mereka. Sementara dia juga harus memprioritaskan para tukang pungut, pengangkut, pegawai produksi, dan kuli bangunan, dan pihak-pihak lain yang melakukan pekerjaan mengumpulkan dana atau pembangunan, maka hendaknya mereka diprioritaskan untuk pengalokasian upah.  Adapun menjadi imam dan mengumandangkan azan, ini merupakan syiar yang tidak bisa dihentikan, maka jangan dikurangi karena alasan itu. Pihak pemberi upah hendaknya memberikan yang serupa bagi yang lain, dengan memprioritaskan mereka daripada apa yang diterima para guru fikih. Hal ini berbeda dengan para guru, ustaz, dan guru fikih, mereka semua sama. Selesai kutipan dari Majmūʿ al-Fatāwā (31/22). ثانيا : أما ما يجمعه العمال له في نهاية رمضان ، فهذا لا إشكال في جوازه ، لأنه أخذه من غير مشارطة ، بل هو تبرع منهم للإمام . وقد تقدم قول الإمام أحمد رحمه الله : “لا بأس أن يدفعوا إليه من غير شرط” . وقال ابن نجيم الحنفي رحمه الله : ” قالوا : فإن لم يشارطهم على شيء ، لكن عرفوا حاجته فجمعوا له في كل وقت شيئا : كان حسنا ، ويطيب له ” انتهى من  “البحر الرائق” (1/268) . وينظر جواب السؤال (294681 ) والله أعلم .         Kedua, adapun apa yang dikumpulkan oleh para karyawan untuknya di akhir bulan Ramadan, maka ini boleh tanpa ada permasalahan, karena ia menerimanya tanpa disyaratkan, melainkan atas dasar kesukarelaan dari mereka untuk si imam.  Tadi telah disampaikan perkataan Imam Ahmad —Semoga Allah Merahmatinya— sebelumnya, “Tidak mengapa jika orang-orang membayarnya tanpa disyaratkan.”  Ibnu Najim al-Hanafi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Mereka berkata bahwa jika dia tidak mempersyaratkan apa pun, sementara mereka mengetahui bahwa dia membutuhkan lalu mereka mengumpulkan sesuatu untuknya setiap saat, maka itu baik dan baik baginya.” Selesai kutipan dari al-Baẖr ar-Rāʾiq (1/268). Lihat juga jawaban atas pertanyaan no. 294681. Allah Yang lebih Mengetahui. Sumber: www.islamqa.info/ar/answers/497513/ما-حكم-اخذ-الاجرة-على-الامامة-في-الصلاة PDF sumber artikel. 🔍 Doa Supaya Masalah Cepat Selesai, Hari Baik Untuk Menikah, Ilmu Malaikat Maut, Perbedaan Sunni Dan Syiah, Manfaat Minum Sperma Suami Visited 656 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,221 QRIS donasi Yufid


السؤال جزاكم الله خيرا على ما تقومون به من هذه الخدمة التي ينتفع بها المسلمون إن شاء الله تعالى. سؤالي هو أن رجلا يتقدم بترخيص من مديرية الأوقاف لأداء صلاة التراويح في شركة كبيرة ذات نظام داخلي في رمضان، بعد طلب الشركة من الأوقاف بترشيح إمام لذلك، فتقوم الشركة بأداء راتب للإمام وفق عقد تستحدثه الشركة نفسها مع هذا الإمام، مع العلم أنه لا يتقاضى من مديرية الأوقاف شيئا، وفي نهاية رمضان يقوم العمال في الشركة من تلقاء أنفسهم بجمع مبلغ آخر للإمام ويعطونه إياه، مع العلم أن هذا الجمع بعلم من الشركة وبصورة علنية فيها. فهل هذا الفعل الذي يفعله هذا الرجل صحيح؟ وما حكم أجره من الشركة؟ وما حكم المال الذي يجمعه العمال له في نهاية رمضان؟ Pertanyaan: Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan atas dedikasi Anda dalam khidmah yang insya Allah bermanfaat bagi umat Islam.  Pertanyaan saya, ada seorang laki-laki yang mengajukan izin kepada Direktorat Wakaf untuk melaksanakan Salat Tarawih pada bulan Ramadan di sebuah perusahaan besar, yang memiliki aturan internal sendiri.  Setelah perusahaan tersebut meminta kepada Direktorat Wakaf untuk menunjuk seorang imam untuk pelaksanaan itu, lalu perusahaan tersebut akan membayar gaji kepada imam tersebut sesuai dengan kontrak yang dibuat oleh perusahaan itu sendiri dengan imam tersebut.  Perlu diketahui bahwa dia tidak menerima gaji dari Direktorat Wakaf sedikit pun. Di akhir Ramadan, dengan inisiatif para karyawan sendiri yang bekerja di perusahaan tersebut, mereka mengumpulkan sejumlah uang untuk imam tersebut dan memberikannya kepadanya. Perlu diketahui bahwa pengumpulan uang ini adalah dengan sepengetahuan perusahaan dan dilakukan secara terang-terangan di tengah perusahaan.  Apakah perbuatan yang dilakukan orang ini benar? Apa hukum gaji yang ia terima dari perusahaan? Bagaimana juga hukumnya uang yang dikumpulkan oleh para karyawan untuknya di akhir Ramadan tersebut? الجواب الحمد لله. أولا : اختلف العلماء في جواز أخذ الأجرة على العبادات، ومنها: الإمامة. فذهب بعضهم إلى تحريم ذلك. قال ابن قدامة رحمه الله في “المغني” (2/9): “وَرُوِيَ عَنْهُ [أي عن الإمام أحمد] أَنَّهُ قَالَ : “لَا تُصَلِّ خَلْفَ مَنْ يُشَارِطُ، وَلَا بَأْسَ أَنْ يَدْفَعُوا إلَيْهِ مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ ” انتهى. والقول بأنه لا يصح الاستئجار على الإمامة، ولو في نافلة كالتراويح: هو مذهب الشافعية. وعللوه بأن الإمام يصلي لنفسه، ومنفعة عمله المستأجر عليه، إنما تعود إليه، لا إلى المستأجِر. Jawaban: Alhamdulillah.  Pertama, bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan mengambil upah dari ibadah, termasuk menjadi imam.  Sebagian dari mereka berpandangan bahwa hukumnya haram.  Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata dalam al-Mughni (2/9) bahwa ada riwayat dari beliau (maksudnya Imam Ahmad) bahwa beliau berkata, “Janganlah kalian salat di belakang orang yang mensyaratkan (bayaran, pent.), tapi tidak mengapa jika orang-orang membayarnya tanpa ada syarat.” Selesai kutipan.  Pendapat yang menyatakan bahwa akad menyewa seseorang menjadi imam tidaklah sah, meskipun hanya untuk salat sunah, seperti Salat Tarawih adalah pendapat dalam mazhab Syafii. Mereka beralasan bahwa hakikatnya imam itu salat untuk dirinya sendiri, sehingga manfaat sewa yang untuk tujuan itu dia disewa sebenarnya kembali kepada dirinya sendiri, bukan kepada orang yang menyewa jasanya. قال الشيخ زكريا الأنصاري، رحمه الله في “أسنى المطالب” (2/ 410): «(ولو استأجر) شخص آخر (للإمامة ولو لنافلة كالتراويح لم يصح) لأن فائدتها من تحصيل فضيلة الجماعة لا تحصل للمستأجر بل للأجير”. وينظر أيضا: “تحفة المحتاج” لابن حجر الهيتمي (6/155).  Syekh Zakaria al-Anshari —Semoga Allah Merahmatinya— berkata dalam Asnā Maṯālib (2/410): “(Jika dia menyewa) orang lain (untuk menjadi imam salat, walaupun hanya untuk salat sunah, semisal Salat Tarawih, maka tidaklah sah) karena manfaat berupa mendapatkan fadilah memimpin jamaah tidak didapatkan oleh orang yang menyewanya, melainkan oleh orang yang disewa jasanya.” Lihat juga Tuẖfatu al-Muẖtāj karya Ibnu Hajar al-Haitami (6/155).  وذهب جماعة من العلماء إلى جواز أخذ الأجرة على الإمامة، لمن كان محتاجا، أما الغني فلا يجوز له ذلك. وهو مذهب المتأخرين من الحنفية، وبعض الحنابلة، وهو المعمول به عند المالكية. واختار هذا القول شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله . Sebagian ulama berpandangan bolehnya mengambil upah sebagai imam salat jika dia dalam keadaan membutuhkan. Adapun bagi yang kaya, maka tidak boleh. Demikianlah dalam mazhab Hanafi kontemporer, sebagian ulama Hanbali, dan itu juga yang diamalkan dalam mazhab Maliki. Ini juga pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah —Semoga Allah Merahmatinya. قال ابنُ عَابدين الحنفي رحمه الله : “على أنَّ المُفتَى به : مذهب المتأخِّرين، من جواز الاستئجار على تعليم القرآن، والإمامة، والأذان؛ للضرورة” انتهى من “حاشية ابن عابدين” (1/562). وقال ابن نجيم الحنفي رحمه الله: “على المختار للفتوى في زماننا: فيجوز أخذ الأجر للإمام والمؤذن والمعلم والمفتي، كما صرحوا به في كتاب الإجارات” انتهى من “البحر الرائق” (1/268). Ibnu Abidin al-Hanafi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa pendapat yang difatwakan para ulama kontemporer adalah diperbolehkannya pekerjaan mengajarkan al-Quran, mengimami salat, dan azan, karena alasan darurat. Selesai kutipan dari H̱āsyiyah Ibni ʿĀbidīn (1/562).  Ibnu Najim al-Hanafi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Berdasarkan fatwa terpilih di zaman kami, boleh hukumnya mengambil upah menjadi imam, muazin, guru, dan mufti, sebagaimana mereka menyatakannya dalam kitab al-Ijārāt.” Selesai kutipan dari al-Baẖr ar-Rāʾiq (1/268). وقال الملا علي القاري، رحمه الله – عند قول صاحب “النُّقاية”: ” ولا تَصِحُّ للعِبَادَاتِ: كالأَذَانِ والإِمَامَةِ وتَعْلِيم القُرْآنِ) -: ” (ويُفْتَى اليَّوْمَ بِصِحَّتِهَا): أَي الإِجارة على الأَذَان والإِمامة وتعليم القرآن، لأن المتقدِّمِينَ إِنَّما مَنَعُوا منها لرغبة الناس في زمانهم في فِعْلها احتساباً، وفي مجازاة فاعلها بالإِحْسان بلا شَرْط. وفي هذا الزمان: قد زال المعنيان، ففي عدم صحة الإِجارة عليها تَضْيِيعُهَا، ولا يَبْعُد أَنْ يختلف الحكم باختلاف الأَزْمِنة، أَلا ترى أَنَّ النِّسَاءُ كُنَّ يَخْرجن إِلى الجماعات في زمنه عليه الصلاة والسلام وأَبي بكر حتى مَنَعَهن عُمَرُ عن ذلك. Mullā Ali al-Qārī —Semoga Allah Merahmatinya— ketika mengomentari perkataan pengarang kitab an-Nuqāyah mengatakan, “(Tidak sah jika untuk ibadah, seperti azan, mengimami salat, dan mengajarkan al-Quran.)” – “(Sekarang difatwakan bahwa itu benar, …)” yakni menyewa jasa untuk azan, mengimami salat, dan mengajarkan al-Quran, karena ulama klasik melarang hal itu di zaman mereka untuk memotivasi orang agar melakukannya hanya karena mengharap pahala dari Allah dan agar orang yang melakukannya dibalas dengan kebaikan tanpa ada syarat di awal.  Adapun di zaman ini, dua hal itu sudah tidak ada, sehingga jika pekerjaan tersebut dinilai tidak sah, maka justru mempersempit ibadah-ibadah itu. Selain itu, tidak menutup kemungkinan bahwa hukum bisa berbeda-beda seiring dengan perubahan zaman. Tidakkah Anda perhatikan bagaimana para wanita dahulu keluar salat berjamaah di zaman Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan Abu Bakar sampai Umar melarang mereka melakukannya? وفي: «الهداية»: وبعض مشايخنا استحسنوا الاستئجار على تعليم القرآن اليوم، وعليه الفتوى. وفي «النهاية»: يُفْتى بجواز الاستئجار على تعليم الفقه أَيضاً في زماننا. وفي «المجمع»: وقيل: يُفْتَى بجوازِهِ، أَي الاستئجار على التعليم والإِمامة والفقه. وفي «الذخيرة» و«الروضة»: عن بعض أَصحابنا: يجوز في زماننا للإِمام، والمؤذن، والمعلم أَخْذُ الأُجرة”. انتهى، من “فتح باب العناية بشرح النقاية” (2/ 436). وقال ابن عبد البر المالكي رحمه الله في “الكافي” (2/155): “واختلف في جواز إجارة الإمام ليؤم الناس في الفريضة والنافلة فكرهه مالك … وأجازه بعض أصحابه وطائفة من أهل المدينة، وهو المعمول به” انتهى. Dalam kitab al-Hidāyah disebutkan, “Sebagian syekh kami memandang baiknya menyewa seseorang untuk mengajar al-Quran di zaman ini. Inilah yang difatwakan.”  Dalam kitab an-Nihāyah juga difatwakan bolehnya mempekerjakan seseorang untuk mengajar fikih di zaman sekarang. Dalam kitab al-Majmaʿ dikatakan bahwa ada  yang mengatakan bahwa ada fatwa yang menyatakan kebolehannya, yakni mempekerjakan orang untuk mengajar, menjadi imam, dan mengajari fikih. Dalam kitab adz-Dzakhīrah dan ar-Rauḏah diriwayatkan dari sebagian sahabat kami, “Di ​​zaman kita ini diperbolehkan mengambil upah jika untuk mengimami salat, muazin, dan guru.” Selesai kutipan dari Fatẖu Bābi al-ʿInāyah fi Syarẖi an-Nuqāyah (2/436).  Ibnu Abdul Barr al-Maliki —Semoga Allah Merahmatinya— dalam al-Kāfī (2/155) menyatakan adanya perbedaan pendapat mengenai bolehnya mempekerjakan seorang imam untuk mengimami orang-orang dalam salat wajib dan sunah. Malik menilainya makruh. Sebagian sahabat beliau dan sebagian penduduk Madinah membolehkannya, dan inilah yang diamalkan. Selesai kutipan. بل نُقل عن الإمام أحمد رحمه الله رواية: أخرى أنه يجوز أخذ الأجرة للفقير والغني. قال المرداوي الحنبلي رحمه الله: “ونص الإمام أحمد على أنه يصح [يعني : أخذ الأجرة على العبادات، ومنها الإمامة]، كأخذه بلا شرط … وقيل : يصح للحاجة ، ذكره الشيخ تقي الدين ابن تيمية واختاره” انتهى من “الإنصاف” (14/378). وما أشار إليه المرداوي، من اختيار شيخ الإسلام، نصه – كما في “مجموع الفتاوى” (30/207) -: “ومَن فرَّق بين المحتاج وغيره- وهو أقربُ-   Namun, ada riwayat lain yang diriwayatkan dari Imam Ahmad —Semoga Allah Merahmatinya— tentang bolehnya mengambil upah, baik bagi orang miskin atau kaya. Al-Mardawi al-Hanbali —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa Imam Ahmad menyatakan bahwa itu sah (yakni mengambil upah atas ibadah, termasuk menjadi imam) sebagaimana menerima upah tanpa disyaratkan. … Ada yang mengatakan sah jika memang dia membutuhkan. Syekh Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah memilih pendapat ini. Selesai kutipan dari al-Inṣhāf (14/378).  Apa yang disinggung oleh al-Mardawi tentang pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam, beliau berkata —sebagaimana tersebut dalam Majmūʿ al-Fatāwā (30/207)— bahwa ulama yang membedakan antara orang yang fakir dan tidak adalah pendapat yang lebih dekat dengan kebenaran. قال: المحتاجُ إذا اكتسَب بها، أمكنه أن ينويَ عملها لله، ويأخذ الأجرة؛ ليستعينَ بها على العبادة; فإنَّ الكسب على العيال واجبٌ أيضًا، فيؤدِّي الواجبات بهذا، بخلاف الغنيِّ؛ لأنَّه لا يحتاج إلى الكسب، فلا حاجةَ تدعوه أن يعملَها لغير الله؛ بل إذا كان الله قد أغناه، وهذا فرضٌ على الكفايةِ: كان هو مخاطبًا به، وإذا لم يَقُمْ [أي: الفرضُ] إلَّا به [أي: بهذا الغني]، كان ذلك واجبًا عليه عينًا، والله أعلم” انتهى من “مجموع الفتاوى” (30/207). Mereka berkata bahwa orang yang membutuhkan jika menjadikannya sebagai pendapatan, maka masih mungkin dia meniatkan amalannya karena Allah, dan mengambil upahnya, sehingga itu bisa membantunya dalam menegakkan ibadah. Selain itu, mencari nafkah untuk keluarganya juga wajib baginya, sehingga dengan itu dia juga sedang menunaikan kewajiban tersebut.  Keadaan ini tentu berbeda dengan orang kaya, yang tidak memerlukan pendapatan. Dia (orang fakir) tidak punya hajat yang mendorongnya untuk melakukannya karena selain Allah, bahkan seandainya Allah telah Memberinya kekayaan, sementara ini adalah fardu kifayah, yang mana perintah ini juga ditujukan kepadanya, maka jika dia tidak bisa melakukannya (yakni amalan fardu kifayah tersebut) kecuali dengannya (yakni kekayaan tersebut), maka itu menjadi Fardu ʿAin (kewajiban personal) baginya. Selesai kutipan dari Majmūʿ al-Fatāwā (30/207). وسئل الشيخ عبد العزيز بن باز، رحمه الله: ” ما حكم تحديد الإمام أجرة لصلاته بالناس، خصوصًا إذا كان يذهب لمناطق بعيدة ليُصلي بهم التراويح؟ فأجاب: ” التحديد ما ينبغي، وقد كرهه جمعٌ من السلف، فإذا ساعدوه بشيءٍ غير محدد فلا حرج في ذلك. أما الصلاة فصحيحة لا بأس بها -إن شاء الله- ، ولو حدَّدوا له مساعدةً؛ لأن الحاجة قد تدعو إلى ذلك. لكن ينبغي ألا يفعل ذلك، وأن تكون المساعدة بدون مشارطة، هذا هو الأفضل والأحوط كما قاله جمعٌ من السلف رحمة الله عليهم.” انتهى.  Syekh Abdul Aziz bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya, “Apa hukum menetapkan upah bagi imam untuk mengimami salat orang-orang, apalagi jika ia harus pergi ke tempat yang jauh untuk mengimami mereka salat Tarawih?”  Beliau menjawab bahwa penetapan upah itu tidaklah patut dilakukan. Sebagian Salaf membencinya. Jika orang-orang membantunya tanpa ditetapkan sebelumnya, maka tidak masalah. Adapun salatnya tersebut, sah dan tidak mengapa, Insya Allah. Jika mereka menetapkannya sebagai bentuk bantuan untuknya, karena mungkin ada tuntutan kebutuhan, hanya saja, seyogianya dia tidak melakukannya. Bantuan itu hendaknya tanpa disyaratkan sebelumnya. Inilah yang afdal dan lebih selamat, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian Salaf —Semoga Allah Merahmatinya. Selesai kutipan. وعلى هذا ؛ فلا حرج على هذا الإمام أن يأخذ أجرًا من الشركة على إمامته في صلاة التراويح ، إذا كان محتاجا لذلك . وما رجحه شيخ الإسلام من الترخيص فيها للمحتاج: ظاهر، وبهذا تقوم مصلحة الإمامة، وإلا، تكافها الناس، ولم ينضبط أمر المساجد، وعليه عمل الناس أيضا. وقد خرج بعض فقهاء الشافعية جواز ما جرت به العادة من إعطاء الأئمة أرزاقا لأجل إمامتهم؛ خرجوها على أنها من باب “الجعالة”، وهي أوسع من “الإجارة”؛ وفي هذا خروج من إشكال أن نفع الإجارة لا يعود إلى المستأجِر؛ فلا تصح الإجارة عليها. بل نقل عن الغزالي التصريح بجواز الإجارة على الإمامة. Dengan demikian, tidak mengapa imam ini mengambil upah dari perusahaan tersebut atas pekerjaannya memimpin Salat Tarawih, jika memang dia membutuhkan. Pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam yang membolehkan hal itu bagi orang yang membutuhkan sangat kuat, yang dengan demikian maslahat mengimami salat dapat terwujud, yang apabila tidak terwujud, maka akan menghambat masyarakat dan urusan masjid menjadi terbengkalai. Ini juga yang sudah menjadi praktik umum masyarakat.  Sebagian ulama mazhab Syafii juga membolehkan adat kebiasaan masyarakat yang biasa memberikan sesuatu kepada imam karena telah mengimami salat. Mereka menganggapnya sebagai akad Juʿālah (memberi upah), yang lebih luas cakupannya daripada akad Ijārah (sewa-menyewa). Ini menjadi solusi atas masalah bahwa manfaat pekerjaannya (jasanya yang disewa) tidak kembali kepada orang yang mempekerjakannya (yang menyewa jasanya), yang membuatnya menjadi akad yang tidak sah, bahkan ada kutipan pernyataan al-Ghazali yang menyatakan bolehnya  menyewa jasa mengimami salat. قال الشيخ عبد الرحمن الشربيني، رحمه الله، في حاشيته على الغرر البهية في شرح البهجة الوردية: (3/ 320): «(قوله: والإمامة) قال م ر في شرح المنهاج: وما جرت به العادة من جعل جامِكِيّة على ذلك: فليس من باب الإجارة، وإنما هو من باب الإرزاق، والإحسان، والمسامحة، بخلاف الإجارة، فإنها من باب المعاوضة. اهـ. وقال ح ل: إن ذلك جعالة لا إجارة. اهـ. ولعل الفرق: أن الإجارة تُملك بها المنفعة، فيلزم أن تقع للمستأجِر، بخلاف الجعالة. فتأمل هذا. ونقل الشيخ عميرة على المحلي، عن الغزالي: أنه يصح ‌الاستئجار على ‌الإمامة، وله الأجرة في مقابلة إتعاب نفسه بالحضور إلى موضع معين، والقيام بها في وقت معين”. انتهى. و(الجامكية): هي الراتب الذي يتقاضاه الموظف. انظر: “معجم تيمور الكبير” (3/47)، وأيضا: ” معجم المصطلحات المالية والاقتصادية في لغة الفقهاء”، د. نزيه حماد (161-162). وما قاله الغزالي: ظاهر، متجه. Syekh Abdurrahman asy-Syirbini —Semoga Allah Merahmatinya— dalam H̱āsyiyah-nya terhadap al-Ghurar al-Bahiyyah fī Syarẖi al-Bahjati al-Wardiyyah (3/320) menyatakan bahwa “Perkataannya: adapun masalah menjadi imam salat, maka M.R. berkata dalam Syarẖ al-Minhāj: dikatakan bahwa kebiasaan yang ada di masyarakat yang mana mereka memberi Jāmikiyyah atas hal itu (mengimami salat), bukan termasuk akad Ijārah, melainkan pemberian, kedermawanan, dan kasih sayang, yang berbeda dengan akad Ijārah yang merupakan akad timbal balik. Selesai kutipan. H.L. berkata bahwa itu adalah akad Juʿālah (memberi upah), bukan Ijārah (sewa-menyewa). Mungkin bedanya adalah bahwa dalam akad Ijārah manfaatnya harus dimiliki dan didapat oleh penyewa, berbeda dengan Juʿālah. Coba perhatikan hal ini! Syekh ʿAmīrah Ali al-Maẖalli mengutip dari al-Ghazali bahwa menyewa jasa imam salat boleh, dia mendapat upah atas timbal balik atas usahanya datang ke suatu tempat tertentu dan mengerjakannya pada waktu tertentu. Selesai kutipan. Jāmikiyyah adalah gaji yang diterima oleh seorang karyawan. Lihat: Muʿjam Taimur al-Kabīr (3/47) dan juga Muʿjam Muṣṯalaẖā al-Māliyyah wal Iqtiṣādiyyah fī Lughati al-Fuqahāʾ karya Dr. Nazih Hammad (161-162). Apa yang dikatakan oleh al-Ghazali sangat jelas dan gamblang. وقد سئل شيخ الإسلام ابن تيمية، رحمه الله، عن رجل أوقف وقفا على مدرسة وشرط فيها أن ريع الوقف للعمارة؛ والثلثين يكون للفقهاء؛ وللمدرسة؛ وأرباب الوظائف. وشرط أن الناظر يرى بالمصلحة؛ والحال جاريا كذلك مدة ثلاثين سنة؛ وإن حصر المدرسة وملء الصهريج يكون من ‌جامكية الفقهاء؛ لأن لهم غيبة؛ وأماكن غيرها؛ وأن معلوم الإمام في كل شهر من الدراهم عشرون درهما؛ وكذلك المؤذن؛ فطلب الفقهاء بعد هذه المسألة أرباب الوظائف أن يشاركوهم فيما يؤخذ من جوامكهم؛ لأجل الحصر؛ وملء الصهريج؛ وأن أرباب الوظائف قائمون بهذه الوظيفة، ولو لم يكن لهم غيرها: هل يجب للناظر موافقة الفقهاء على ما طلبوه، ونقص هؤلاء المساكين عن معلومهم اليسير؟ أم لا؟  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya tentang seseorang yang memberikan wakaf untuk sebuah sekolah dan mensyaratkan bahwa hasil wakaf itu dialokasikan untuk pembangunan, sementara dua pertiganya untuk para guru fikih, sekolah, dan para pegawai sekolah, dengan ketentuan bahwa pengawas wakaf tetap memperhatikan maslahat.  Keadaan seperti ini berjalan selama tiga puluh tahun. Adapun operasional sekolah dan pengisian tangki diambil dari gaji para guru fikih, karena mereka yang biasanya tidak berada di tempat dan punya tanggung jawab di tempat-tempat lain. Sudah maklum bahwa imam setiap bulan mendapat dua puluh dirham, begitu pula muazinnya. Setelah masalah ini, para guru fikih meminta agar para pegawai sekolah yang lain ikut serta bersama mereka di mana gaji pegawai yang lain juga dikurangi untuk operasional dan pengisian tangki, dan agar para pegawai tersebut juga ikut menanggung beban biaya sekolah ini, meskipun mereka tidak memiliki pemasukan yang lain.  Apakah pengawas wakaf harus menyetujui permintaan para guru fikih ini dan memotong pendapatan mereka yang miskin yang sudah diketahui bahwa nominalnya hanya sedikit, atau tidak? فأجاب: ، إذا رأى الناظر تقديم أرباب الوظائف الذين يأخذون على عمل معلوم – كالإمام؛ والمؤذن – فقد أصاب في ذلك؛ إذا كان الذي يأخذونه لا يزيد على جعل مثلهم في العادة؛ كما أنه يجب أن يقدم الجابي والحامل والصانع والبناء، ونحوهم ممن يأخذ على عمل يعمله في تحصيل المال؛ أو عمارة المكان؛ يقدمون بأخذ الأجرة. والإمامة والأذان شعائر لا يمكن إبطالها؛ ولا تنقيصها بحال؛ فالجاعل جعل مثل ذلك لأصحابها، يقدم على ما يأخذه الفقهاء؛ وهذا بخلاف المدرس والمفيد والفقهاء؛ فإنهم من جنس واحد …” انتهى، من “مجموع الفتاوى” (31/22). Beliau menjawab bahwa jika pengawas wakaf memandang bahwa para pegawai sekolah yang mengambil pekerjaan yang sudah diketahui —seperti imam dan muazin— haruslah diprioritaskan, maka dia sudah benar, asalkan nominal yang mereka terima tidaklah melebihi apa yang biasanya diterima oleh pegawai yang seperti mereka. Sementara dia juga harus memprioritaskan para tukang pungut, pengangkut, pegawai produksi, dan kuli bangunan, dan pihak-pihak lain yang melakukan pekerjaan mengumpulkan dana atau pembangunan, maka hendaknya mereka diprioritaskan untuk pengalokasian upah.  Adapun menjadi imam dan mengumandangkan azan, ini merupakan syiar yang tidak bisa dihentikan, maka jangan dikurangi karena alasan itu. Pihak pemberi upah hendaknya memberikan yang serupa bagi yang lain, dengan memprioritaskan mereka daripada apa yang diterima para guru fikih. Hal ini berbeda dengan para guru, ustaz, dan guru fikih, mereka semua sama. Selesai kutipan dari Majmūʿ al-Fatāwā (31/22). ثانيا : أما ما يجمعه العمال له في نهاية رمضان ، فهذا لا إشكال في جوازه ، لأنه أخذه من غير مشارطة ، بل هو تبرع منهم للإمام . وقد تقدم قول الإمام أحمد رحمه الله : “لا بأس أن يدفعوا إليه من غير شرط” . وقال ابن نجيم الحنفي رحمه الله : ” قالوا : فإن لم يشارطهم على شيء ، لكن عرفوا حاجته فجمعوا له في كل وقت شيئا : كان حسنا ، ويطيب له ” انتهى من  “البحر الرائق” (1/268) . وينظر جواب السؤال (294681 ) والله أعلم .         Kedua, adapun apa yang dikumpulkan oleh para karyawan untuknya di akhir bulan Ramadan, maka ini boleh tanpa ada permasalahan, karena ia menerimanya tanpa disyaratkan, melainkan atas dasar kesukarelaan dari mereka untuk si imam.  Tadi telah disampaikan perkataan Imam Ahmad —Semoga Allah Merahmatinya— sebelumnya, “Tidak mengapa jika orang-orang membayarnya tanpa disyaratkan.”  Ibnu Najim al-Hanafi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Mereka berkata bahwa jika dia tidak mempersyaratkan apa pun, sementara mereka mengetahui bahwa dia membutuhkan lalu mereka mengumpulkan sesuatu untuknya setiap saat, maka itu baik dan baik baginya.” Selesai kutipan dari al-Baẖr ar-Rāʾiq (1/268). Lihat juga jawaban atas pertanyaan no. 294681. Allah Yang lebih Mengetahui. Sumber: www.islamqa.info/ar/answers/497513/ما-حكم-اخذ-الاجرة-على-الامامة-في-الصلاة PDF sumber artikel. 🔍 Doa Supaya Masalah Cepat Selesai, Hari Baik Untuk Menikah, Ilmu Malaikat Maut, Perbedaan Sunni Dan Syiah, Manfaat Minum Sperma Suami Visited 656 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,221 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Hadis: Perintah kepada Para Pemuda untuk Menikah (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Kandungan hadis (lanjutan)Kandungan keempatKandungan kelimaKandungan keenam Kandungan hadis (lanjutan) Kandungan keempat Hadis ini juga menunjukkan bahwa hendaknya seseorang tidak menyusahkan diri atau memaksakan diri untuk menikah ketika hal itu belum memungkinkan baginya, misalnya dengan berhutang. Hal ini karena di dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan petunjuk untuk berpuasa jika belum mampu menikah. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa dalam masalah ini, terdapat perselisihan pendapat antara Imam Ahmad dan selainnya. Allah Ta’ala berfirman, وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحاً حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur: 33) Zahir ayat tersebut menunjukkan bahwa hendaknya orang miskin itu tidak sampai berhutang untuk menikah. Akan tetapi, hendaknya dia berusaha bertakwa dengan menjaga kesucian dirinya (dari perbuatan zina) sampai Allah membuatnya mampu dengan karunia dari-Nya. Berusaha menjaga kesucian diri ini terdapat dalam firman Allah Ta’ala, قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandanganya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30) Allah Ta’ala berfirman, وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32) (Lihat Al-Fatawa, 32: 6; Adhwa’ul Bayan, 6: 219) Kandungan kelima Al-Khattabi rahimahullah menyebutkan bahwa di dalam hadis ini terdapat dalil bolehnya berobat untuk meredakan syahwat untuk berjimak, dengan obat-obatan tertentu atau semisalnya. (Lihat Ma’alim As-Sunan, 3: 3) Akan tetapi, hendaknya obat-obatan ini hanya untuk meredakan atau meringankan syahwatnya, tidak sampai menghilangkannya sama sekali, karena dianalogikan dengan puasa. Jika sampai menghilangkan syahwat secara total, maka terlarang menurut syariat dengan dua alasan berikut ini: Pertama, bisa jadi Allah Ta’ala memberikan kemampuan untuknya sehingga memiliki biaya untuk menikah dan juga memudahkan sebab-sebab untuk menikah. Allah Ta’ala telah berjanji kepada orang-orang yang menjaga kesucian dirinya bahwa Dia akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Kedua, para ulama telah sepakat (ijmak) terlarangnya al-jabb dan al-khishaa’, yaitu kebiri. Sehingga diqiyaskan dengannya perbuatan lain yang bisa menghilangkan syahwat sama sekali, termasuk dengan obat-obatan. Baca juga: Anggapan Sial Menikah di Bulan Muharam Kandungan keenam Sebagian ulama Malikiyah berdalil dengan hadis ini untuk mengatakan haramnya istimna’ (onani). Sisi pendalilannya adalah, jika onani itu diperbolehkan (mubah), maka tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan menyebutkannya sebagai solusi, karena onani tentu lebih mudah dan lebih ringan (daripada puasa), dan juga mengandung unsur kenikmatan. Hukum onani adalah haram menurut mayoritas (jumhur) ulama. Ini adalah pendapat yang lebih kuat dalam mazhab Imam Ahmad. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Pendapat ulama yang mengatakan bolehnya istimna’ untuk meredakan syahwat itu tidak perlu dianggap. Hal ini karena mudarat perbuatan istimna’ itu besar. Maka pendapat yang benar adalah haram, tidak boleh dilakukan, baik dengan tujuan untuk meredakan syahwat atau tujuan-tujuan lainnya. Wallahu a’lam.” (Al-Fatawa, 10: 573-575) Ulama yang berpendapat haramnya istimna’ juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Mu’minun: 5-7) Maksud “orang-orang yang melampaui batas” dalam ayat di atas adalah mereka yang melewati batasan yang telah Allah tetapkan. Hal ini menunjukkan haramnya perbuatan tersebut. Para ulama tersebut juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحاً حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur: 33) Yang dimaksud dengan isti’faf adalah menjaga kesucian diri dengan menjaga kemaluan dari semua bentuk penyaluran syahwat yang haram. Perintah ini menunjukkan hukum wajib. (Lihat Al-Umm karya Asy-Syafi’i, 5: 101-102, 156) Ketika membahas hukum istimna’, sejumlah ulama menyebutkan bahwa istimna’ memiliki mudarat yang besar, di antaranya dapat melemahkan badan atau dapat mempengaruhi kualitas hubungan suami-istri (ketika sudah menikah). Ini adalah alasan lain diharamkannya istimna’. Pendapat kedua menyatakan bahwa hukum onani adalah makruh, tidak berdosa, dan pelakunya tidak berhak mendapatkan hukuman. Ini adalah pendapat ulama Zahiriyah, juga diriwayatkan dari sejumlah ulama salaf bahwa mereka membolehkannya. (Lihat Al-Mushannaf karya Abdur Razaq, 7: 390-392; Al-Muhalla, 11: 392) Alasannya, karena tidak ada dalil tegas yang menunjukkan haramnya. Ibnu Hazm rahimahullah menyebutkan sisi makruhnya onani, yaitu bahwa perbuatan tersebut tidak termasuk dalam akhlak yang mulia dan utama. Ulama yang berpendapat boleh, mereka tidak melihat bahwa dalil-dalil yang dibawakan oleh ulama yang mengharamkan itu cukup kuat untuk menyimpulkan hukum haram, karena sisi pendalilannya yang tidak tegas untuk menunjukkan hukum haram. Demikian pula, mudarat-mudarat yang mereka sebutkan dari perbuatan istimna’ juga tidak cukup menunjukkan hukum haramnya. Pendapat kedua ini dipilih oleh Asy-Syaukani rahimahullah dan beliau memiliki kitab khusus dalam masalah ini. Para ulama fikih mengecualikan bagi orang yang takut terjerumus ke dalam zina atau terjerumus dalam perbuatan homoseksual. Mereka mengatakan bahwa istimna’ itu diperbolehkan untuk mereka, karena mereka berada dalam kondisi terdesak, dengan syarat bahwa mereka memang tidak mampu menikah, meskipun hanya dengan menikahi budak wanita. (Lihat Syarh Al-Muntaha lil Buhuti, 6: 229) Ibnu Rajab rahimahullah mengutip pendapat Ibnu ‘Aqil Al-Hambali bahwa beliau mengharamkan istimna’, apapun kondisinya, dan beliau juga menyebutkan sejumlah riwayat lainnya. (Lihat Adz-Dzail ‘ala Thabaqat Al-Hanabilah, 1: 159) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Istimna’ dengan menggunakan tangan itu hukumnya haram menurut jumhur ulama. Ini adalah pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat dalam mazhab Imam Ahmad. Demikian pula, pelakunya berhak mendapatkan hukuman ta’zir (hukuman yang bentuk dan kadarnya ditentukan oleh ijtihad penguasa). Pendapat lain mengatakan bahwa hukumnya makruh, tidak sampai haram. Mayoritas (jumhur) ulama tidak memperbolehkannya meskipun khawatir terhadap zina atau kekhawatiran lainnya. Dikutip dari sejumlah sahabat dan tabi’in bahwa mereka memberikan keringanan (memperbolehkan) istimna’ dalam situasi terdesak (darurat). Misalnya, dia sangat khawatir terjerumus zina dan dia tidak bisa menghindar darinya kecuali dengan melakukan istimna’. Atau, jika dia tidak melakukannya, dia bisa jatuh sakit. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan ulama yang lainnya. Adapun jika tidak dalam kondisi darurat, maka aku tidak mengetahui ada ulama yang memberikan keringanan. Wallahu a’lam.” (Al-Fatawa, 10: 573-575; 34: 229. Lihat pula Badai’ Al-Fawaid, 4: 1471) [Selesai] Kembali ke bagian 1: Perintah kepada Para Pemuda untuk Menikah (Bag. 1) *** “Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri.” @BA, 28 Syawal 1445/ 7 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 170-177). Tags: menikahpemuda

Hadis: Perintah kepada Para Pemuda untuk Menikah (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Kandungan hadis (lanjutan)Kandungan keempatKandungan kelimaKandungan keenam Kandungan hadis (lanjutan) Kandungan keempat Hadis ini juga menunjukkan bahwa hendaknya seseorang tidak menyusahkan diri atau memaksakan diri untuk menikah ketika hal itu belum memungkinkan baginya, misalnya dengan berhutang. Hal ini karena di dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan petunjuk untuk berpuasa jika belum mampu menikah. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa dalam masalah ini, terdapat perselisihan pendapat antara Imam Ahmad dan selainnya. Allah Ta’ala berfirman, وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحاً حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur: 33) Zahir ayat tersebut menunjukkan bahwa hendaknya orang miskin itu tidak sampai berhutang untuk menikah. Akan tetapi, hendaknya dia berusaha bertakwa dengan menjaga kesucian dirinya (dari perbuatan zina) sampai Allah membuatnya mampu dengan karunia dari-Nya. Berusaha menjaga kesucian diri ini terdapat dalam firman Allah Ta’ala, قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandanganya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30) Allah Ta’ala berfirman, وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32) (Lihat Al-Fatawa, 32: 6; Adhwa’ul Bayan, 6: 219) Kandungan kelima Al-Khattabi rahimahullah menyebutkan bahwa di dalam hadis ini terdapat dalil bolehnya berobat untuk meredakan syahwat untuk berjimak, dengan obat-obatan tertentu atau semisalnya. (Lihat Ma’alim As-Sunan, 3: 3) Akan tetapi, hendaknya obat-obatan ini hanya untuk meredakan atau meringankan syahwatnya, tidak sampai menghilangkannya sama sekali, karena dianalogikan dengan puasa. Jika sampai menghilangkan syahwat secara total, maka terlarang menurut syariat dengan dua alasan berikut ini: Pertama, bisa jadi Allah Ta’ala memberikan kemampuan untuknya sehingga memiliki biaya untuk menikah dan juga memudahkan sebab-sebab untuk menikah. Allah Ta’ala telah berjanji kepada orang-orang yang menjaga kesucian dirinya bahwa Dia akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Kedua, para ulama telah sepakat (ijmak) terlarangnya al-jabb dan al-khishaa’, yaitu kebiri. Sehingga diqiyaskan dengannya perbuatan lain yang bisa menghilangkan syahwat sama sekali, termasuk dengan obat-obatan. Baca juga: Anggapan Sial Menikah di Bulan Muharam Kandungan keenam Sebagian ulama Malikiyah berdalil dengan hadis ini untuk mengatakan haramnya istimna’ (onani). Sisi pendalilannya adalah, jika onani itu diperbolehkan (mubah), maka tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan menyebutkannya sebagai solusi, karena onani tentu lebih mudah dan lebih ringan (daripada puasa), dan juga mengandung unsur kenikmatan. Hukum onani adalah haram menurut mayoritas (jumhur) ulama. Ini adalah pendapat yang lebih kuat dalam mazhab Imam Ahmad. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Pendapat ulama yang mengatakan bolehnya istimna’ untuk meredakan syahwat itu tidak perlu dianggap. Hal ini karena mudarat perbuatan istimna’ itu besar. Maka pendapat yang benar adalah haram, tidak boleh dilakukan, baik dengan tujuan untuk meredakan syahwat atau tujuan-tujuan lainnya. Wallahu a’lam.” (Al-Fatawa, 10: 573-575) Ulama yang berpendapat haramnya istimna’ juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Mu’minun: 5-7) Maksud “orang-orang yang melampaui batas” dalam ayat di atas adalah mereka yang melewati batasan yang telah Allah tetapkan. Hal ini menunjukkan haramnya perbuatan tersebut. Para ulama tersebut juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحاً حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur: 33) Yang dimaksud dengan isti’faf adalah menjaga kesucian diri dengan menjaga kemaluan dari semua bentuk penyaluran syahwat yang haram. Perintah ini menunjukkan hukum wajib. (Lihat Al-Umm karya Asy-Syafi’i, 5: 101-102, 156) Ketika membahas hukum istimna’, sejumlah ulama menyebutkan bahwa istimna’ memiliki mudarat yang besar, di antaranya dapat melemahkan badan atau dapat mempengaruhi kualitas hubungan suami-istri (ketika sudah menikah). Ini adalah alasan lain diharamkannya istimna’. Pendapat kedua menyatakan bahwa hukum onani adalah makruh, tidak berdosa, dan pelakunya tidak berhak mendapatkan hukuman. Ini adalah pendapat ulama Zahiriyah, juga diriwayatkan dari sejumlah ulama salaf bahwa mereka membolehkannya. (Lihat Al-Mushannaf karya Abdur Razaq, 7: 390-392; Al-Muhalla, 11: 392) Alasannya, karena tidak ada dalil tegas yang menunjukkan haramnya. Ibnu Hazm rahimahullah menyebutkan sisi makruhnya onani, yaitu bahwa perbuatan tersebut tidak termasuk dalam akhlak yang mulia dan utama. Ulama yang berpendapat boleh, mereka tidak melihat bahwa dalil-dalil yang dibawakan oleh ulama yang mengharamkan itu cukup kuat untuk menyimpulkan hukum haram, karena sisi pendalilannya yang tidak tegas untuk menunjukkan hukum haram. Demikian pula, mudarat-mudarat yang mereka sebutkan dari perbuatan istimna’ juga tidak cukup menunjukkan hukum haramnya. Pendapat kedua ini dipilih oleh Asy-Syaukani rahimahullah dan beliau memiliki kitab khusus dalam masalah ini. Para ulama fikih mengecualikan bagi orang yang takut terjerumus ke dalam zina atau terjerumus dalam perbuatan homoseksual. Mereka mengatakan bahwa istimna’ itu diperbolehkan untuk mereka, karena mereka berada dalam kondisi terdesak, dengan syarat bahwa mereka memang tidak mampu menikah, meskipun hanya dengan menikahi budak wanita. (Lihat Syarh Al-Muntaha lil Buhuti, 6: 229) Ibnu Rajab rahimahullah mengutip pendapat Ibnu ‘Aqil Al-Hambali bahwa beliau mengharamkan istimna’, apapun kondisinya, dan beliau juga menyebutkan sejumlah riwayat lainnya. (Lihat Adz-Dzail ‘ala Thabaqat Al-Hanabilah, 1: 159) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Istimna’ dengan menggunakan tangan itu hukumnya haram menurut jumhur ulama. Ini adalah pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat dalam mazhab Imam Ahmad. Demikian pula, pelakunya berhak mendapatkan hukuman ta’zir (hukuman yang bentuk dan kadarnya ditentukan oleh ijtihad penguasa). Pendapat lain mengatakan bahwa hukumnya makruh, tidak sampai haram. Mayoritas (jumhur) ulama tidak memperbolehkannya meskipun khawatir terhadap zina atau kekhawatiran lainnya. Dikutip dari sejumlah sahabat dan tabi’in bahwa mereka memberikan keringanan (memperbolehkan) istimna’ dalam situasi terdesak (darurat). Misalnya, dia sangat khawatir terjerumus zina dan dia tidak bisa menghindar darinya kecuali dengan melakukan istimna’. Atau, jika dia tidak melakukannya, dia bisa jatuh sakit. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan ulama yang lainnya. Adapun jika tidak dalam kondisi darurat, maka aku tidak mengetahui ada ulama yang memberikan keringanan. Wallahu a’lam.” (Al-Fatawa, 10: 573-575; 34: 229. Lihat pula Badai’ Al-Fawaid, 4: 1471) [Selesai] Kembali ke bagian 1: Perintah kepada Para Pemuda untuk Menikah (Bag. 1) *** “Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri.” @BA, 28 Syawal 1445/ 7 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 170-177). Tags: menikahpemuda
Daftar Isi Toggle Kandungan hadis (lanjutan)Kandungan keempatKandungan kelimaKandungan keenam Kandungan hadis (lanjutan) Kandungan keempat Hadis ini juga menunjukkan bahwa hendaknya seseorang tidak menyusahkan diri atau memaksakan diri untuk menikah ketika hal itu belum memungkinkan baginya, misalnya dengan berhutang. Hal ini karena di dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan petunjuk untuk berpuasa jika belum mampu menikah. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa dalam masalah ini, terdapat perselisihan pendapat antara Imam Ahmad dan selainnya. Allah Ta’ala berfirman, وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحاً حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur: 33) Zahir ayat tersebut menunjukkan bahwa hendaknya orang miskin itu tidak sampai berhutang untuk menikah. Akan tetapi, hendaknya dia berusaha bertakwa dengan menjaga kesucian dirinya (dari perbuatan zina) sampai Allah membuatnya mampu dengan karunia dari-Nya. Berusaha menjaga kesucian diri ini terdapat dalam firman Allah Ta’ala, قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandanganya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30) Allah Ta’ala berfirman, وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32) (Lihat Al-Fatawa, 32: 6; Adhwa’ul Bayan, 6: 219) Kandungan kelima Al-Khattabi rahimahullah menyebutkan bahwa di dalam hadis ini terdapat dalil bolehnya berobat untuk meredakan syahwat untuk berjimak, dengan obat-obatan tertentu atau semisalnya. (Lihat Ma’alim As-Sunan, 3: 3) Akan tetapi, hendaknya obat-obatan ini hanya untuk meredakan atau meringankan syahwatnya, tidak sampai menghilangkannya sama sekali, karena dianalogikan dengan puasa. Jika sampai menghilangkan syahwat secara total, maka terlarang menurut syariat dengan dua alasan berikut ini: Pertama, bisa jadi Allah Ta’ala memberikan kemampuan untuknya sehingga memiliki biaya untuk menikah dan juga memudahkan sebab-sebab untuk menikah. Allah Ta’ala telah berjanji kepada orang-orang yang menjaga kesucian dirinya bahwa Dia akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Kedua, para ulama telah sepakat (ijmak) terlarangnya al-jabb dan al-khishaa’, yaitu kebiri. Sehingga diqiyaskan dengannya perbuatan lain yang bisa menghilangkan syahwat sama sekali, termasuk dengan obat-obatan. Baca juga: Anggapan Sial Menikah di Bulan Muharam Kandungan keenam Sebagian ulama Malikiyah berdalil dengan hadis ini untuk mengatakan haramnya istimna’ (onani). Sisi pendalilannya adalah, jika onani itu diperbolehkan (mubah), maka tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan menyebutkannya sebagai solusi, karena onani tentu lebih mudah dan lebih ringan (daripada puasa), dan juga mengandung unsur kenikmatan. Hukum onani adalah haram menurut mayoritas (jumhur) ulama. Ini adalah pendapat yang lebih kuat dalam mazhab Imam Ahmad. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Pendapat ulama yang mengatakan bolehnya istimna’ untuk meredakan syahwat itu tidak perlu dianggap. Hal ini karena mudarat perbuatan istimna’ itu besar. Maka pendapat yang benar adalah haram, tidak boleh dilakukan, baik dengan tujuan untuk meredakan syahwat atau tujuan-tujuan lainnya. Wallahu a’lam.” (Al-Fatawa, 10: 573-575) Ulama yang berpendapat haramnya istimna’ juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Mu’minun: 5-7) Maksud “orang-orang yang melampaui batas” dalam ayat di atas adalah mereka yang melewati batasan yang telah Allah tetapkan. Hal ini menunjukkan haramnya perbuatan tersebut. Para ulama tersebut juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحاً حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur: 33) Yang dimaksud dengan isti’faf adalah menjaga kesucian diri dengan menjaga kemaluan dari semua bentuk penyaluran syahwat yang haram. Perintah ini menunjukkan hukum wajib. (Lihat Al-Umm karya Asy-Syafi’i, 5: 101-102, 156) Ketika membahas hukum istimna’, sejumlah ulama menyebutkan bahwa istimna’ memiliki mudarat yang besar, di antaranya dapat melemahkan badan atau dapat mempengaruhi kualitas hubungan suami-istri (ketika sudah menikah). Ini adalah alasan lain diharamkannya istimna’. Pendapat kedua menyatakan bahwa hukum onani adalah makruh, tidak berdosa, dan pelakunya tidak berhak mendapatkan hukuman. Ini adalah pendapat ulama Zahiriyah, juga diriwayatkan dari sejumlah ulama salaf bahwa mereka membolehkannya. (Lihat Al-Mushannaf karya Abdur Razaq, 7: 390-392; Al-Muhalla, 11: 392) Alasannya, karena tidak ada dalil tegas yang menunjukkan haramnya. Ibnu Hazm rahimahullah menyebutkan sisi makruhnya onani, yaitu bahwa perbuatan tersebut tidak termasuk dalam akhlak yang mulia dan utama. Ulama yang berpendapat boleh, mereka tidak melihat bahwa dalil-dalil yang dibawakan oleh ulama yang mengharamkan itu cukup kuat untuk menyimpulkan hukum haram, karena sisi pendalilannya yang tidak tegas untuk menunjukkan hukum haram. Demikian pula, mudarat-mudarat yang mereka sebutkan dari perbuatan istimna’ juga tidak cukup menunjukkan hukum haramnya. Pendapat kedua ini dipilih oleh Asy-Syaukani rahimahullah dan beliau memiliki kitab khusus dalam masalah ini. Para ulama fikih mengecualikan bagi orang yang takut terjerumus ke dalam zina atau terjerumus dalam perbuatan homoseksual. Mereka mengatakan bahwa istimna’ itu diperbolehkan untuk mereka, karena mereka berada dalam kondisi terdesak, dengan syarat bahwa mereka memang tidak mampu menikah, meskipun hanya dengan menikahi budak wanita. (Lihat Syarh Al-Muntaha lil Buhuti, 6: 229) Ibnu Rajab rahimahullah mengutip pendapat Ibnu ‘Aqil Al-Hambali bahwa beliau mengharamkan istimna’, apapun kondisinya, dan beliau juga menyebutkan sejumlah riwayat lainnya. (Lihat Adz-Dzail ‘ala Thabaqat Al-Hanabilah, 1: 159) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Istimna’ dengan menggunakan tangan itu hukumnya haram menurut jumhur ulama. Ini adalah pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat dalam mazhab Imam Ahmad. Demikian pula, pelakunya berhak mendapatkan hukuman ta’zir (hukuman yang bentuk dan kadarnya ditentukan oleh ijtihad penguasa). Pendapat lain mengatakan bahwa hukumnya makruh, tidak sampai haram. Mayoritas (jumhur) ulama tidak memperbolehkannya meskipun khawatir terhadap zina atau kekhawatiran lainnya. Dikutip dari sejumlah sahabat dan tabi’in bahwa mereka memberikan keringanan (memperbolehkan) istimna’ dalam situasi terdesak (darurat). Misalnya, dia sangat khawatir terjerumus zina dan dia tidak bisa menghindar darinya kecuali dengan melakukan istimna’. Atau, jika dia tidak melakukannya, dia bisa jatuh sakit. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan ulama yang lainnya. Adapun jika tidak dalam kondisi darurat, maka aku tidak mengetahui ada ulama yang memberikan keringanan. Wallahu a’lam.” (Al-Fatawa, 10: 573-575; 34: 229. Lihat pula Badai’ Al-Fawaid, 4: 1471) [Selesai] Kembali ke bagian 1: Perintah kepada Para Pemuda untuk Menikah (Bag. 1) *** “Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri.” @BA, 28 Syawal 1445/ 7 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 170-177). Tags: menikahpemuda


Daftar Isi Toggle Kandungan hadis (lanjutan)Kandungan keempatKandungan kelimaKandungan keenam Kandungan hadis (lanjutan) Kandungan keempat Hadis ini juga menunjukkan bahwa hendaknya seseorang tidak menyusahkan diri atau memaksakan diri untuk menikah ketika hal itu belum memungkinkan baginya, misalnya dengan berhutang. Hal ini karena di dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan petunjuk untuk berpuasa jika belum mampu menikah. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa dalam masalah ini, terdapat perselisihan pendapat antara Imam Ahmad dan selainnya. Allah Ta’ala berfirman, وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحاً حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur: 33) Zahir ayat tersebut menunjukkan bahwa hendaknya orang miskin itu tidak sampai berhutang untuk menikah. Akan tetapi, hendaknya dia berusaha bertakwa dengan menjaga kesucian dirinya (dari perbuatan zina) sampai Allah membuatnya mampu dengan karunia dari-Nya. Berusaha menjaga kesucian diri ini terdapat dalam firman Allah Ta’ala, قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandanganya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30) Allah Ta’ala berfirman, وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32) (Lihat Al-Fatawa, 32: 6; Adhwa’ul Bayan, 6: 219) Kandungan kelima Al-Khattabi rahimahullah menyebutkan bahwa di dalam hadis ini terdapat dalil bolehnya berobat untuk meredakan syahwat untuk berjimak, dengan obat-obatan tertentu atau semisalnya. (Lihat Ma’alim As-Sunan, 3: 3) Akan tetapi, hendaknya obat-obatan ini hanya untuk meredakan atau meringankan syahwatnya, tidak sampai menghilangkannya sama sekali, karena dianalogikan dengan puasa. Jika sampai menghilangkan syahwat secara total, maka terlarang menurut syariat dengan dua alasan berikut ini: Pertama, bisa jadi Allah Ta’ala memberikan kemampuan untuknya sehingga memiliki biaya untuk menikah dan juga memudahkan sebab-sebab untuk menikah. Allah Ta’ala telah berjanji kepada orang-orang yang menjaga kesucian dirinya bahwa Dia akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Kedua, para ulama telah sepakat (ijmak) terlarangnya al-jabb dan al-khishaa’, yaitu kebiri. Sehingga diqiyaskan dengannya perbuatan lain yang bisa menghilangkan syahwat sama sekali, termasuk dengan obat-obatan. Baca juga: Anggapan Sial Menikah di Bulan Muharam Kandungan keenam Sebagian ulama Malikiyah berdalil dengan hadis ini untuk mengatakan haramnya istimna’ (onani). Sisi pendalilannya adalah, jika onani itu diperbolehkan (mubah), maka tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan menyebutkannya sebagai solusi, karena onani tentu lebih mudah dan lebih ringan (daripada puasa), dan juga mengandung unsur kenikmatan. Hukum onani adalah haram menurut mayoritas (jumhur) ulama. Ini adalah pendapat yang lebih kuat dalam mazhab Imam Ahmad. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Pendapat ulama yang mengatakan bolehnya istimna’ untuk meredakan syahwat itu tidak perlu dianggap. Hal ini karena mudarat perbuatan istimna’ itu besar. Maka pendapat yang benar adalah haram, tidak boleh dilakukan, baik dengan tujuan untuk meredakan syahwat atau tujuan-tujuan lainnya. Wallahu a’lam.” (Al-Fatawa, 10: 573-575) Ulama yang berpendapat haramnya istimna’ juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Mu’minun: 5-7) Maksud “orang-orang yang melampaui batas” dalam ayat di atas adalah mereka yang melewati batasan yang telah Allah tetapkan. Hal ini menunjukkan haramnya perbuatan tersebut. Para ulama tersebut juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحاً حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur: 33) Yang dimaksud dengan isti’faf adalah menjaga kesucian diri dengan menjaga kemaluan dari semua bentuk penyaluran syahwat yang haram. Perintah ini menunjukkan hukum wajib. (Lihat Al-Umm karya Asy-Syafi’i, 5: 101-102, 156) Ketika membahas hukum istimna’, sejumlah ulama menyebutkan bahwa istimna’ memiliki mudarat yang besar, di antaranya dapat melemahkan badan atau dapat mempengaruhi kualitas hubungan suami-istri (ketika sudah menikah). Ini adalah alasan lain diharamkannya istimna’. Pendapat kedua menyatakan bahwa hukum onani adalah makruh, tidak berdosa, dan pelakunya tidak berhak mendapatkan hukuman. Ini adalah pendapat ulama Zahiriyah, juga diriwayatkan dari sejumlah ulama salaf bahwa mereka membolehkannya. (Lihat Al-Mushannaf karya Abdur Razaq, 7: 390-392; Al-Muhalla, 11: 392) Alasannya, karena tidak ada dalil tegas yang menunjukkan haramnya. Ibnu Hazm rahimahullah menyebutkan sisi makruhnya onani, yaitu bahwa perbuatan tersebut tidak termasuk dalam akhlak yang mulia dan utama. Ulama yang berpendapat boleh, mereka tidak melihat bahwa dalil-dalil yang dibawakan oleh ulama yang mengharamkan itu cukup kuat untuk menyimpulkan hukum haram, karena sisi pendalilannya yang tidak tegas untuk menunjukkan hukum haram. Demikian pula, mudarat-mudarat yang mereka sebutkan dari perbuatan istimna’ juga tidak cukup menunjukkan hukum haramnya. Pendapat kedua ini dipilih oleh Asy-Syaukani rahimahullah dan beliau memiliki kitab khusus dalam masalah ini. Para ulama fikih mengecualikan bagi orang yang takut terjerumus ke dalam zina atau terjerumus dalam perbuatan homoseksual. Mereka mengatakan bahwa istimna’ itu diperbolehkan untuk mereka, karena mereka berada dalam kondisi terdesak, dengan syarat bahwa mereka memang tidak mampu menikah, meskipun hanya dengan menikahi budak wanita. (Lihat Syarh Al-Muntaha lil Buhuti, 6: 229) Ibnu Rajab rahimahullah mengutip pendapat Ibnu ‘Aqil Al-Hambali bahwa beliau mengharamkan istimna’, apapun kondisinya, dan beliau juga menyebutkan sejumlah riwayat lainnya. (Lihat Adz-Dzail ‘ala Thabaqat Al-Hanabilah, 1: 159) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Istimna’ dengan menggunakan tangan itu hukumnya haram menurut jumhur ulama. Ini adalah pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat dalam mazhab Imam Ahmad. Demikian pula, pelakunya berhak mendapatkan hukuman ta’zir (hukuman yang bentuk dan kadarnya ditentukan oleh ijtihad penguasa). Pendapat lain mengatakan bahwa hukumnya makruh, tidak sampai haram. Mayoritas (jumhur) ulama tidak memperbolehkannya meskipun khawatir terhadap zina atau kekhawatiran lainnya. Dikutip dari sejumlah sahabat dan tabi’in bahwa mereka memberikan keringanan (memperbolehkan) istimna’ dalam situasi terdesak (darurat). Misalnya, dia sangat khawatir terjerumus zina dan dia tidak bisa menghindar darinya kecuali dengan melakukan istimna’. Atau, jika dia tidak melakukannya, dia bisa jatuh sakit. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan ulama yang lainnya. Adapun jika tidak dalam kondisi darurat, maka aku tidak mengetahui ada ulama yang memberikan keringanan. Wallahu a’lam.” (Al-Fatawa, 10: 573-575; 34: 229. Lihat pula Badai’ Al-Fawaid, 4: 1471) [Selesai] Kembali ke bagian 1: Perintah kepada Para Pemuda untuk Menikah (Bag. 1) *** “Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri.” @BA, 28 Syawal 1445/ 7 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 170-177). Tags: menikahpemuda

Cara Agar Doa Cepat Dikabulkan: Memanfaatkan Waktu, Khusyuk, dan Penuhi Adab

Bagaimana cara agar doa kita cepat dikabulkan? Kiatnya adalah memanfaatkan waktu, khusyuk, dan penuhi adab dalam berdoa. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ sebagai berikut. وَإِذَا جَمَعَ مَعَ الدُّعَاءِ حُضُورَ الْقَلْبِ وَجَمْعِيَّتَهُ بِكُلِّيَّتِهِ عَلَى الْمَطْلُوبِ، وَصَادَفَ وَقْتًا مِنْ أَوْقَاتِ الْإِجَابَةِ السِّتَّةِ، وَهِيَ: Doa akan dikabulkan jika seseorang menggabungkan: (1) hadirnya hati, konsentrasi secara penuh terhadap apa yang diminta, (2) bertepatan dengan salah satu waktu terkabulnya doa yang enam berikut: الثُّلُثُ الْأَخِيرُ مِنَ اللَّيْلِ، وَعِنْدَ الْأَذَانِ، وَبَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ، وَأَدْبَارُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ، وَعِنْدَ صُعُودِ الْإِمَامِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ حَتَّى تُقْضَى الصَّلَاةُ مِنْ ذَلِكَ الْيَوْمِ، وَآخِرُ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ. (a) sepertiga malam terakhir, (b) saat azan, (c) antara azan dan iqamah, (d) setiap akhir shalat lima waktu, (e) ketika imam naik mimbar pada hari Jumat sampai shalat Jumat selesai dilaksanakan pada hari tersebut, (f) akhir waktu pada hari Jumat setelah Ashar. وَصَادَفَ خُشُوعًا فِي الْقَلْبِ، وَانْكِسَارًا بَيْنَ يَدَيِ الرَّبِّ، وَذُلًّا لَهُ، وَتَضَرُّعًا، وَرِقَّةً. وَاسْتَقْبَلَ الدَّاعِي الْقِبْلَةَ. وَكَانَ عَلَى طَهَارَةٍ. وَرَفَعَ يَدَيْهِ إِلَى اللَّهِ. وَبَدَأَ بِحَمْدِ اللَّهِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ. ثُمَّ ثَنَّى بِالصَّلَاةِ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِهِ وَرَسُولِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. ثُمَّ قَدَّمَ بَيْنَ يَدَيْ حَاجَتِهِ التَّوْبَةَ وَالِاسْتِغْفَارَ. ثُمَّ دَخَلَ عَلَى اللَّهِ، وَأَلَحَّ عَلَيْهِ فِي الْمَسْأَلَةِ، وَتَمَلَّقَهُ وَدَعَاهُ رَغْبَةً وَرَهْبَةً. وَتَوَسَّلَ إِلَيْهِ بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَتَوْحِيدِهِ. وَقَدَّمَ بَيْنَ يَدَيْ دُعَائِهِ صَدَقَةً، فَإِنَّ هَذَا الدُّعَاءَ لَا يَكَادُ يُرَدُّ أَبَدًا، Hal di atas ditambahkan dengan: (3) hati yang khusyuk saat berdoa, (4) merendahkan diri di hadapan Allah yang diiringi dengan ketundukan dan kelembutan, lalu (5) yang berdoa memenuhi adab berdoa: (a) menghadap kiblat, (b) dalam keadaan suci, (c) mengangkat tangan di hadapan Allah, (d) memulai dengan memuji dan menyanjung Allah (ucapan Alhamdulillah), (e) memuji Nabi dengan bershalawat kepada Muhammad sebagai hamba dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, (f) bertaubat dan beristighfar sebelum menyampaikan hajat, (g) menghadirkan diri di hadapan Allah, (h) bertawassul dengan nama, sifat, dan keesaan Allah, (i) melakukan sedekah sebelum memanjatkan doa. Doa semacam ini hampir tidak akan pernah tertolak. وَلَا سِيَّمَا إِنْ صَادَفَ الْأَدْعِيَةَ الَّتِي أَخْبَرَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهَا مَظَنَّةُ الْإِجَابَةِ، أَوْ أَنَّهَا مُتَضَمِّنَةٌ لِلِاسْمِ الْأَعْظَمِ. (j) Hal ini lebih-lebih lagi dengan memanjatkan doa yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang beliau sendiri mengabarkan bahwa doa ini akan terkabulkan atau mengandung ISMULLAH AL-A’ZHOM (nama Allah yang mulia). Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 17-18. Maka dari itu, janganlah kita meremehkan kekuatan doa. Ketahuilah bahwa dengan menghadirkan hati yang khusyuk, merendahkan diri di hadapan Allah, serta memenuhi segala adab dalam berdoa, kita telah menempuh jalan yang benar agar doa cepat dikabulkan. Jangan pernah berhenti berdoa dan berusaha, karena sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui segala hajat hamba-Nya. Semoga kita semua senantiasa diberikan kemudahan dan kelapangan dalam setiap doa yang kita panjatkan.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Baca Juga: Doa untuk Meminta Rezeki, Selamat dari Penyakit, Kebaikan Dunia Akhirat – Rabu pagi, 20 Dzulqa’dah 1445 H, 29 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa al jawabul kaafi cara ruqyah faedah dari Ibnul Qayyim hati bersih khusyuk manajemen hati masalah hidup masalah rumah tangga obat hati penyakit ruqyah solusi masalah hidup

Cara Agar Doa Cepat Dikabulkan: Memanfaatkan Waktu, Khusyuk, dan Penuhi Adab

Bagaimana cara agar doa kita cepat dikabulkan? Kiatnya adalah memanfaatkan waktu, khusyuk, dan penuhi adab dalam berdoa. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ sebagai berikut. وَإِذَا جَمَعَ مَعَ الدُّعَاءِ حُضُورَ الْقَلْبِ وَجَمْعِيَّتَهُ بِكُلِّيَّتِهِ عَلَى الْمَطْلُوبِ، وَصَادَفَ وَقْتًا مِنْ أَوْقَاتِ الْإِجَابَةِ السِّتَّةِ، وَهِيَ: Doa akan dikabulkan jika seseorang menggabungkan: (1) hadirnya hati, konsentrasi secara penuh terhadap apa yang diminta, (2) bertepatan dengan salah satu waktu terkabulnya doa yang enam berikut: الثُّلُثُ الْأَخِيرُ مِنَ اللَّيْلِ، وَعِنْدَ الْأَذَانِ، وَبَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ، وَأَدْبَارُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ، وَعِنْدَ صُعُودِ الْإِمَامِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ حَتَّى تُقْضَى الصَّلَاةُ مِنْ ذَلِكَ الْيَوْمِ، وَآخِرُ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ. (a) sepertiga malam terakhir, (b) saat azan, (c) antara azan dan iqamah, (d) setiap akhir shalat lima waktu, (e) ketika imam naik mimbar pada hari Jumat sampai shalat Jumat selesai dilaksanakan pada hari tersebut, (f) akhir waktu pada hari Jumat setelah Ashar. وَصَادَفَ خُشُوعًا فِي الْقَلْبِ، وَانْكِسَارًا بَيْنَ يَدَيِ الرَّبِّ، وَذُلًّا لَهُ، وَتَضَرُّعًا، وَرِقَّةً. وَاسْتَقْبَلَ الدَّاعِي الْقِبْلَةَ. وَكَانَ عَلَى طَهَارَةٍ. وَرَفَعَ يَدَيْهِ إِلَى اللَّهِ. وَبَدَأَ بِحَمْدِ اللَّهِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ. ثُمَّ ثَنَّى بِالصَّلَاةِ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِهِ وَرَسُولِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. ثُمَّ قَدَّمَ بَيْنَ يَدَيْ حَاجَتِهِ التَّوْبَةَ وَالِاسْتِغْفَارَ. ثُمَّ دَخَلَ عَلَى اللَّهِ، وَأَلَحَّ عَلَيْهِ فِي الْمَسْأَلَةِ، وَتَمَلَّقَهُ وَدَعَاهُ رَغْبَةً وَرَهْبَةً. وَتَوَسَّلَ إِلَيْهِ بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَتَوْحِيدِهِ. وَقَدَّمَ بَيْنَ يَدَيْ دُعَائِهِ صَدَقَةً، فَإِنَّ هَذَا الدُّعَاءَ لَا يَكَادُ يُرَدُّ أَبَدًا، Hal di atas ditambahkan dengan: (3) hati yang khusyuk saat berdoa, (4) merendahkan diri di hadapan Allah yang diiringi dengan ketundukan dan kelembutan, lalu (5) yang berdoa memenuhi adab berdoa: (a) menghadap kiblat, (b) dalam keadaan suci, (c) mengangkat tangan di hadapan Allah, (d) memulai dengan memuji dan menyanjung Allah (ucapan Alhamdulillah), (e) memuji Nabi dengan bershalawat kepada Muhammad sebagai hamba dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, (f) bertaubat dan beristighfar sebelum menyampaikan hajat, (g) menghadirkan diri di hadapan Allah, (h) bertawassul dengan nama, sifat, dan keesaan Allah, (i) melakukan sedekah sebelum memanjatkan doa. Doa semacam ini hampir tidak akan pernah tertolak. وَلَا سِيَّمَا إِنْ صَادَفَ الْأَدْعِيَةَ الَّتِي أَخْبَرَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهَا مَظَنَّةُ الْإِجَابَةِ، أَوْ أَنَّهَا مُتَضَمِّنَةٌ لِلِاسْمِ الْأَعْظَمِ. (j) Hal ini lebih-lebih lagi dengan memanjatkan doa yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang beliau sendiri mengabarkan bahwa doa ini akan terkabulkan atau mengandung ISMULLAH AL-A’ZHOM (nama Allah yang mulia). Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 17-18. Maka dari itu, janganlah kita meremehkan kekuatan doa. Ketahuilah bahwa dengan menghadirkan hati yang khusyuk, merendahkan diri di hadapan Allah, serta memenuhi segala adab dalam berdoa, kita telah menempuh jalan yang benar agar doa cepat dikabulkan. Jangan pernah berhenti berdoa dan berusaha, karena sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui segala hajat hamba-Nya. Semoga kita semua senantiasa diberikan kemudahan dan kelapangan dalam setiap doa yang kita panjatkan.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Baca Juga: Doa untuk Meminta Rezeki, Selamat dari Penyakit, Kebaikan Dunia Akhirat – Rabu pagi, 20 Dzulqa’dah 1445 H, 29 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa al jawabul kaafi cara ruqyah faedah dari Ibnul Qayyim hati bersih khusyuk manajemen hati masalah hidup masalah rumah tangga obat hati penyakit ruqyah solusi masalah hidup
Bagaimana cara agar doa kita cepat dikabulkan? Kiatnya adalah memanfaatkan waktu, khusyuk, dan penuhi adab dalam berdoa. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ sebagai berikut. وَإِذَا جَمَعَ مَعَ الدُّعَاءِ حُضُورَ الْقَلْبِ وَجَمْعِيَّتَهُ بِكُلِّيَّتِهِ عَلَى الْمَطْلُوبِ، وَصَادَفَ وَقْتًا مِنْ أَوْقَاتِ الْإِجَابَةِ السِّتَّةِ، وَهِيَ: Doa akan dikabulkan jika seseorang menggabungkan: (1) hadirnya hati, konsentrasi secara penuh terhadap apa yang diminta, (2) bertepatan dengan salah satu waktu terkabulnya doa yang enam berikut: الثُّلُثُ الْأَخِيرُ مِنَ اللَّيْلِ، وَعِنْدَ الْأَذَانِ، وَبَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ، وَأَدْبَارُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ، وَعِنْدَ صُعُودِ الْإِمَامِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ حَتَّى تُقْضَى الصَّلَاةُ مِنْ ذَلِكَ الْيَوْمِ، وَآخِرُ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ. (a) sepertiga malam terakhir, (b) saat azan, (c) antara azan dan iqamah, (d) setiap akhir shalat lima waktu, (e) ketika imam naik mimbar pada hari Jumat sampai shalat Jumat selesai dilaksanakan pada hari tersebut, (f) akhir waktu pada hari Jumat setelah Ashar. وَصَادَفَ خُشُوعًا فِي الْقَلْبِ، وَانْكِسَارًا بَيْنَ يَدَيِ الرَّبِّ، وَذُلًّا لَهُ، وَتَضَرُّعًا، وَرِقَّةً. وَاسْتَقْبَلَ الدَّاعِي الْقِبْلَةَ. وَكَانَ عَلَى طَهَارَةٍ. وَرَفَعَ يَدَيْهِ إِلَى اللَّهِ. وَبَدَأَ بِحَمْدِ اللَّهِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ. ثُمَّ ثَنَّى بِالصَّلَاةِ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِهِ وَرَسُولِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. ثُمَّ قَدَّمَ بَيْنَ يَدَيْ حَاجَتِهِ التَّوْبَةَ وَالِاسْتِغْفَارَ. ثُمَّ دَخَلَ عَلَى اللَّهِ، وَأَلَحَّ عَلَيْهِ فِي الْمَسْأَلَةِ، وَتَمَلَّقَهُ وَدَعَاهُ رَغْبَةً وَرَهْبَةً. وَتَوَسَّلَ إِلَيْهِ بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَتَوْحِيدِهِ. وَقَدَّمَ بَيْنَ يَدَيْ دُعَائِهِ صَدَقَةً، فَإِنَّ هَذَا الدُّعَاءَ لَا يَكَادُ يُرَدُّ أَبَدًا، Hal di atas ditambahkan dengan: (3) hati yang khusyuk saat berdoa, (4) merendahkan diri di hadapan Allah yang diiringi dengan ketundukan dan kelembutan, lalu (5) yang berdoa memenuhi adab berdoa: (a) menghadap kiblat, (b) dalam keadaan suci, (c) mengangkat tangan di hadapan Allah, (d) memulai dengan memuji dan menyanjung Allah (ucapan Alhamdulillah), (e) memuji Nabi dengan bershalawat kepada Muhammad sebagai hamba dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, (f) bertaubat dan beristighfar sebelum menyampaikan hajat, (g) menghadirkan diri di hadapan Allah, (h) bertawassul dengan nama, sifat, dan keesaan Allah, (i) melakukan sedekah sebelum memanjatkan doa. Doa semacam ini hampir tidak akan pernah tertolak. وَلَا سِيَّمَا إِنْ صَادَفَ الْأَدْعِيَةَ الَّتِي أَخْبَرَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهَا مَظَنَّةُ الْإِجَابَةِ، أَوْ أَنَّهَا مُتَضَمِّنَةٌ لِلِاسْمِ الْأَعْظَمِ. (j) Hal ini lebih-lebih lagi dengan memanjatkan doa yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang beliau sendiri mengabarkan bahwa doa ini akan terkabulkan atau mengandung ISMULLAH AL-A’ZHOM (nama Allah yang mulia). Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 17-18. Maka dari itu, janganlah kita meremehkan kekuatan doa. Ketahuilah bahwa dengan menghadirkan hati yang khusyuk, merendahkan diri di hadapan Allah, serta memenuhi segala adab dalam berdoa, kita telah menempuh jalan yang benar agar doa cepat dikabulkan. Jangan pernah berhenti berdoa dan berusaha, karena sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui segala hajat hamba-Nya. Semoga kita semua senantiasa diberikan kemudahan dan kelapangan dalam setiap doa yang kita panjatkan.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Baca Juga: Doa untuk Meminta Rezeki, Selamat dari Penyakit, Kebaikan Dunia Akhirat – Rabu pagi, 20 Dzulqa’dah 1445 H, 29 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa al jawabul kaafi cara ruqyah faedah dari Ibnul Qayyim hati bersih khusyuk manajemen hati masalah hidup masalah rumah tangga obat hati penyakit ruqyah solusi masalah hidup


Bagaimana cara agar doa kita cepat dikabulkan? Kiatnya adalah memanfaatkan waktu, khusyuk, dan penuhi adab dalam berdoa. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ sebagai berikut. وَإِذَا جَمَعَ مَعَ الدُّعَاءِ حُضُورَ الْقَلْبِ وَجَمْعِيَّتَهُ بِكُلِّيَّتِهِ عَلَى الْمَطْلُوبِ، وَصَادَفَ وَقْتًا مِنْ أَوْقَاتِ الْإِجَابَةِ السِّتَّةِ، وَهِيَ: Doa akan dikabulkan jika seseorang menggabungkan: (1) hadirnya hati, konsentrasi secara penuh terhadap apa yang diminta, (2) bertepatan dengan salah satu waktu terkabulnya doa yang enam berikut: الثُّلُثُ الْأَخِيرُ مِنَ اللَّيْلِ، وَعِنْدَ الْأَذَانِ، وَبَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ، وَأَدْبَارُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ، وَعِنْدَ صُعُودِ الْإِمَامِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ حَتَّى تُقْضَى الصَّلَاةُ مِنْ ذَلِكَ الْيَوْمِ، وَآخِرُ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ. (a) sepertiga malam terakhir, (b) saat azan, (c) antara azan dan iqamah, (d) setiap akhir shalat lima waktu, (e) ketika imam naik mimbar pada hari Jumat sampai shalat Jumat selesai dilaksanakan pada hari tersebut, (f) akhir waktu pada hari Jumat setelah Ashar. وَصَادَفَ خُشُوعًا فِي الْقَلْبِ، وَانْكِسَارًا بَيْنَ يَدَيِ الرَّبِّ، وَذُلًّا لَهُ، وَتَضَرُّعًا، وَرِقَّةً. وَاسْتَقْبَلَ الدَّاعِي الْقِبْلَةَ. وَكَانَ عَلَى طَهَارَةٍ. وَرَفَعَ يَدَيْهِ إِلَى اللَّهِ. وَبَدَأَ بِحَمْدِ اللَّهِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ. ثُمَّ ثَنَّى بِالصَّلَاةِ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِهِ وَرَسُولِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. ثُمَّ قَدَّمَ بَيْنَ يَدَيْ حَاجَتِهِ التَّوْبَةَ وَالِاسْتِغْفَارَ. ثُمَّ دَخَلَ عَلَى اللَّهِ، وَأَلَحَّ عَلَيْهِ فِي الْمَسْأَلَةِ، وَتَمَلَّقَهُ وَدَعَاهُ رَغْبَةً وَرَهْبَةً. وَتَوَسَّلَ إِلَيْهِ بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَتَوْحِيدِهِ. وَقَدَّمَ بَيْنَ يَدَيْ دُعَائِهِ صَدَقَةً، فَإِنَّ هَذَا الدُّعَاءَ لَا يَكَادُ يُرَدُّ أَبَدًا، Hal di atas ditambahkan dengan: (3) hati yang khusyuk saat berdoa, (4) merendahkan diri di hadapan Allah yang diiringi dengan ketundukan dan kelembutan, lalu (5) yang berdoa memenuhi adab berdoa: (a) menghadap kiblat, (b) dalam keadaan suci, (c) mengangkat tangan di hadapan Allah, (d) memulai dengan memuji dan menyanjung Allah (ucapan Alhamdulillah), (e) memuji Nabi dengan bershalawat kepada Muhammad sebagai hamba dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, (f) bertaubat dan beristighfar sebelum menyampaikan hajat, (g) menghadirkan diri di hadapan Allah, (h) bertawassul dengan nama, sifat, dan keesaan Allah, (i) melakukan sedekah sebelum memanjatkan doa. Doa semacam ini hampir tidak akan pernah tertolak. وَلَا سِيَّمَا إِنْ صَادَفَ الْأَدْعِيَةَ الَّتِي أَخْبَرَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهَا مَظَنَّةُ الْإِجَابَةِ، أَوْ أَنَّهَا مُتَضَمِّنَةٌ لِلِاسْمِ الْأَعْظَمِ. (j) Hal ini lebih-lebih lagi dengan memanjatkan doa yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang beliau sendiri mengabarkan bahwa doa ini akan terkabulkan atau mengandung ISMULLAH AL-A’ZHOM (nama Allah yang mulia). Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 17-18. Maka dari itu, janganlah kita meremehkan kekuatan doa. Ketahuilah bahwa dengan menghadirkan hati yang khusyuk, merendahkan diri di hadapan Allah, serta memenuhi segala adab dalam berdoa, kita telah menempuh jalan yang benar agar doa cepat dikabulkan. Jangan pernah berhenti berdoa dan berusaha, karena sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui segala hajat hamba-Nya. Semoga kita semua senantiasa diberikan kemudahan dan kelapangan dalam setiap doa yang kita panjatkan.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Baca Juga: Doa untuk Meminta Rezeki, Selamat dari Penyakit, Kebaikan Dunia Akhirat – Rabu pagi, 20 Dzulqa’dah 1445 H, 29 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa al jawabul kaafi cara ruqyah faedah dari Ibnul Qayyim hati bersih khusyuk manajemen hati masalah hidup masalah rumah tangga obat hati penyakit ruqyah solusi masalah hidup

Hadis: Perintah kepada Para Pemuda untuk Menikah (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Teks hadis Kandungan hadis Kandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “Wahai sekalian pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah memiliki kemampuan, maka hendaklah dia menikah, karena menikah itu dapat menundukkan pandangan, dan juga lebih bisa menjaga kemaluan. Namun, siapa saja yang belum mampu, hendaklah dia berpuasa, sebab hal itu dapat meredakan nafsunya.” (HR. Bukhari no. 1905, 5065, 5066, dan Muslim no. 1905) Kandungan hadis Kandungan pertama Hadis di atas ditujukan kepada para pemuda. Siapakah yang disebut dengan “pemuda” (asy-syabab) itu? Asy-syabab memiliki makna asal: aktivitas dan semangat. Hal ini karena pada masa itu, seseorang memiliki lebih banyak aktivitas dan semangat dibandingkan periode kehidupan yang lainnya. Kata asy-syabab dimaksudkan untuk orang yang telah baligh hingga mencapai usia tiga puluh tahun. Ada pula yang menyebutkan hingga usia tiga puluh dua atau tiga puluh tiga tahun. Namun, ada pula yang menyebutkan hingga usia empat puluh tahun. (Lihat Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 9: 182; Al-I’lam li Ibnil Mulaqqin, 8: 109; Al-Mu’jam Al-Wajiz, hal. 333) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhususkan menyebutkan para pemuda dalam hadis ini karena masa muda adalah masa bergejolak dan meletupnya syahwat yang mendorong untuk jimak (hubungan badan). Berbeda halnya dengan orang-orang yang sudah setengah baya atau tua renta. Akan tetapi, jika kondisi yang sama juga didapatkan pada orang setengah baya atau tua renta, maka mereka pun tercakup dalam seruan hadis ini, karena memiliki alasan (sebab) yang sama. Kandungan kedua Apakah yang dimaksud dengan “mampu” (al-ba’ah) dalam hadis ini? Para ulama berbeda pendapat tentang makna al-ba’ah, ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah kemampuan untuk berjimak. Sehingga makna hadis tersebut menjadi, “Siapa saja di antara kalian yang mampu berjimak karena sudah memiliki biaya untuk menikah, baik mahar, nafkah, atau tempat tinggal, maka hendaklah dia menikah.” Pendapat kedua mengatakan bahwa maknanya adalah memiliki biaya untuk menikah, baik mahar atau nafkah. (Lihat Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 9: 183; Fathul Bari, 9: 108) Pendapat kedua inilah yang lebih tepat, dengan beberapa alasan berikut ini: Pertama, seruan tersebut ditujukan kepada para pemuda yang memang sudah mampu untuk berjimak. Sehingga kurang sesuai apabila dimaknai bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Siapa saja di antara kalian yang mampu untuk berjimak.” Hal ini karena memang masa muda itu adalah masa di mana seseorang secara umum sudah mampu untuk berjimak. Kedua, di ahir hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Siapa saja yang belum mampu, hendaklah dia berpuasa.” Jika “mampu” tersebut dimaknai dengan mampu berjimak, maka kalimat tersebut menjadi aneh. Karena orang yang belum mampu berjimak (atau belum ada gejolak syahwat untuk berjimak), tidak perlu berpuasa untuk bisa menahan syahwatnya. Ketiga, hadis tersebut juga terdapat dalam Sunan An-Nasa’i dengan lafal, مَنْ كَانَ مِنْكُمْ ذَا طَوْلٍ فَلْيَتَزَوَّجْ “Siapa saja di antara kalian yang memiliki kemampuan, maka hendaknya dia menikah .. “ (HR. An-Nasa’i no. 3206) Oleh karena itu, hadis ini merupakan dorongan dan motivasi kepada para pemuda yang memiliki biaya untuk menikah. Karena menikah itu memiliki maslahat yang besar. Menikah memiliki hikmah yang agung, yaitu bisa menjaganya dari terjerumus ke dalam perkara yang diharamkan. Meskipun demikian, tidak masalah jika “mampu” tersebut dimaknai lebih umum, yaitu mencakup kedua makna tersebut sekaligus: mampu untuk berjimak dan mampu menanggung biaya menikah. (Lihat Al-I’lam, 8: 110) Baca juga: Menikah adalah Sunah Nabi Kandungan ketiga Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menikah ketika faktor pendorongnya terpenuhi dan tidak ada faktor penghalang, menjadi dua pendapat: Pendapat pertama, hukum menikah adalah wajib. Ini adalah pendapat Dawud bin ‘Ali, Ibnu Hazm, Abu ‘Awanah (salah satu ulama Syafi’iyyah), dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. (Lihat Musnad Abu ‘Awanah, 3: 5; Al-Mughni, 9: 340; Al-Muhalla, 9: 440) Mereka berdalil dengan perintah untuk menikah, seperti firman Allah Ta’ala, فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء “Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi … “ (QS. An-Nisa’: 3) Allah Ta’ala berfirman, وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian .. “ (QS. An-Nuur: 32) Mereka juga berdalil dengan hadis yang sedang kita bahas saat ini. Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah berkata, “Diksi kata perintah itu zahirnya menunjukkan hukum wajib.” Pendapat kedua, menikah itu sunah. Ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya imam mazhab yang tiga (Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Malik), serta pendapat kedua dari Imam Ahmad. (Lihat Bidayatul Mujtahid, 3: 7; Syarh Fathul Qadir, 3: 187; Al-Mughni, 9: 340; Mughni Al-Muhtaj, 3: 127) Akan tetapi, mereka mengatakan bahwa apabila keinginan (kebutuhan) terhadap menikah itu sangat mendesak, dari sisi dia takut bahwa dirinya akan terjerumus ke dalam zina, maka wajib baginya menikah apabila memiliki kemampuan menanggung biaya nikah. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (QS. Al-Mu’minun: 5-6) Sisi pendalilan dari ayat tersebut adalah bahwa ayat tersebut jelas menunjukkan pujian kepada orang-orang yang menjaga kemaluannya dari perbuatan zina dengan (menyetubuhi) budak-budak yang mereka miliki, sehingga tidak perlu menikah. Seandainya hukum menikah itu wajib, maka orang yang tidak menikah itu tidak akan mendapatkan pujian. Karena orang yang meninggalkan kewajiban itu tidak dipuji, tetapi dicela. Mereka juga berdalil dengan hadis yang sedang kita bahas saat ini. Sisi pendalilannya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan puasa sebagai pengganti menikah, sedangkan puasa dalam kondisi ini tidaklah sampai derajat wajib. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa menikah itu tidak wajib. Amal yang tidak wajib (yaitu puasa) tidak bisa menggantikan amal yang wajib (yaitu menikah). (Lihat Al-Mu’lim, 2: 85; karya Al-Maziri) Syekh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Yang tampak bagiku, wallahu Ta’ala a’lam, adalah wajibnya menikah secara mutlak dengan dua syarat: (1) jika dia memiliki syahwat; dan (2) memiliki kemampuan menanggung biaya nikah, berdasarkan atas hadis ini. Juga karena mencegah perkara haram itu wajib, sedangkan perkara yang menjadi sarana mengerjakan perkara wajib itu juga hukumnya wajib. Betapa bagusnya perkataan Al-Qurthubi, ‘Orang yang mampu (menikah) yang dikhawatirkan terdapat marabahaya (mudarat) pada diri dan agamanya jika tidak menikah, dan marabahaya tersebut tidak akan hilang kecuali dengan menikah, maka tidak ada perbedaan pendapat tentang wajibnya menikah atas dirinya.’ (Al-Mufhim, 4: 82)” (Dikutip dari Minhatul ‘Allam, 7: 174) Lanjut ke bagian 2: Perintah kepada Para Pemuda untuk Menikah (Bag. 2) *** @BA, 28 Syawal 1445/ 7 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 170-177). Tags: menikahpemuda

Hadis: Perintah kepada Para Pemuda untuk Menikah (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Teks hadis Kandungan hadis Kandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “Wahai sekalian pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah memiliki kemampuan, maka hendaklah dia menikah, karena menikah itu dapat menundukkan pandangan, dan juga lebih bisa menjaga kemaluan. Namun, siapa saja yang belum mampu, hendaklah dia berpuasa, sebab hal itu dapat meredakan nafsunya.” (HR. Bukhari no. 1905, 5065, 5066, dan Muslim no. 1905) Kandungan hadis Kandungan pertama Hadis di atas ditujukan kepada para pemuda. Siapakah yang disebut dengan “pemuda” (asy-syabab) itu? Asy-syabab memiliki makna asal: aktivitas dan semangat. Hal ini karena pada masa itu, seseorang memiliki lebih banyak aktivitas dan semangat dibandingkan periode kehidupan yang lainnya. Kata asy-syabab dimaksudkan untuk orang yang telah baligh hingga mencapai usia tiga puluh tahun. Ada pula yang menyebutkan hingga usia tiga puluh dua atau tiga puluh tiga tahun. Namun, ada pula yang menyebutkan hingga usia empat puluh tahun. (Lihat Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 9: 182; Al-I’lam li Ibnil Mulaqqin, 8: 109; Al-Mu’jam Al-Wajiz, hal. 333) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhususkan menyebutkan para pemuda dalam hadis ini karena masa muda adalah masa bergejolak dan meletupnya syahwat yang mendorong untuk jimak (hubungan badan). Berbeda halnya dengan orang-orang yang sudah setengah baya atau tua renta. Akan tetapi, jika kondisi yang sama juga didapatkan pada orang setengah baya atau tua renta, maka mereka pun tercakup dalam seruan hadis ini, karena memiliki alasan (sebab) yang sama. Kandungan kedua Apakah yang dimaksud dengan “mampu” (al-ba’ah) dalam hadis ini? Para ulama berbeda pendapat tentang makna al-ba’ah, ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah kemampuan untuk berjimak. Sehingga makna hadis tersebut menjadi, “Siapa saja di antara kalian yang mampu berjimak karena sudah memiliki biaya untuk menikah, baik mahar, nafkah, atau tempat tinggal, maka hendaklah dia menikah.” Pendapat kedua mengatakan bahwa maknanya adalah memiliki biaya untuk menikah, baik mahar atau nafkah. (Lihat Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 9: 183; Fathul Bari, 9: 108) Pendapat kedua inilah yang lebih tepat, dengan beberapa alasan berikut ini: Pertama, seruan tersebut ditujukan kepada para pemuda yang memang sudah mampu untuk berjimak. Sehingga kurang sesuai apabila dimaknai bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Siapa saja di antara kalian yang mampu untuk berjimak.” Hal ini karena memang masa muda itu adalah masa di mana seseorang secara umum sudah mampu untuk berjimak. Kedua, di ahir hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Siapa saja yang belum mampu, hendaklah dia berpuasa.” Jika “mampu” tersebut dimaknai dengan mampu berjimak, maka kalimat tersebut menjadi aneh. Karena orang yang belum mampu berjimak (atau belum ada gejolak syahwat untuk berjimak), tidak perlu berpuasa untuk bisa menahan syahwatnya. Ketiga, hadis tersebut juga terdapat dalam Sunan An-Nasa’i dengan lafal, مَنْ كَانَ مِنْكُمْ ذَا طَوْلٍ فَلْيَتَزَوَّجْ “Siapa saja di antara kalian yang memiliki kemampuan, maka hendaknya dia menikah .. “ (HR. An-Nasa’i no. 3206) Oleh karena itu, hadis ini merupakan dorongan dan motivasi kepada para pemuda yang memiliki biaya untuk menikah. Karena menikah itu memiliki maslahat yang besar. Menikah memiliki hikmah yang agung, yaitu bisa menjaganya dari terjerumus ke dalam perkara yang diharamkan. Meskipun demikian, tidak masalah jika “mampu” tersebut dimaknai lebih umum, yaitu mencakup kedua makna tersebut sekaligus: mampu untuk berjimak dan mampu menanggung biaya menikah. (Lihat Al-I’lam, 8: 110) Baca juga: Menikah adalah Sunah Nabi Kandungan ketiga Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menikah ketika faktor pendorongnya terpenuhi dan tidak ada faktor penghalang, menjadi dua pendapat: Pendapat pertama, hukum menikah adalah wajib. Ini adalah pendapat Dawud bin ‘Ali, Ibnu Hazm, Abu ‘Awanah (salah satu ulama Syafi’iyyah), dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. (Lihat Musnad Abu ‘Awanah, 3: 5; Al-Mughni, 9: 340; Al-Muhalla, 9: 440) Mereka berdalil dengan perintah untuk menikah, seperti firman Allah Ta’ala, فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء “Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi … “ (QS. An-Nisa’: 3) Allah Ta’ala berfirman, وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian .. “ (QS. An-Nuur: 32) Mereka juga berdalil dengan hadis yang sedang kita bahas saat ini. Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah berkata, “Diksi kata perintah itu zahirnya menunjukkan hukum wajib.” Pendapat kedua, menikah itu sunah. Ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya imam mazhab yang tiga (Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Malik), serta pendapat kedua dari Imam Ahmad. (Lihat Bidayatul Mujtahid, 3: 7; Syarh Fathul Qadir, 3: 187; Al-Mughni, 9: 340; Mughni Al-Muhtaj, 3: 127) Akan tetapi, mereka mengatakan bahwa apabila keinginan (kebutuhan) terhadap menikah itu sangat mendesak, dari sisi dia takut bahwa dirinya akan terjerumus ke dalam zina, maka wajib baginya menikah apabila memiliki kemampuan menanggung biaya nikah. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (QS. Al-Mu’minun: 5-6) Sisi pendalilan dari ayat tersebut adalah bahwa ayat tersebut jelas menunjukkan pujian kepada orang-orang yang menjaga kemaluannya dari perbuatan zina dengan (menyetubuhi) budak-budak yang mereka miliki, sehingga tidak perlu menikah. Seandainya hukum menikah itu wajib, maka orang yang tidak menikah itu tidak akan mendapatkan pujian. Karena orang yang meninggalkan kewajiban itu tidak dipuji, tetapi dicela. Mereka juga berdalil dengan hadis yang sedang kita bahas saat ini. Sisi pendalilannya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan puasa sebagai pengganti menikah, sedangkan puasa dalam kondisi ini tidaklah sampai derajat wajib. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa menikah itu tidak wajib. Amal yang tidak wajib (yaitu puasa) tidak bisa menggantikan amal yang wajib (yaitu menikah). (Lihat Al-Mu’lim, 2: 85; karya Al-Maziri) Syekh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Yang tampak bagiku, wallahu Ta’ala a’lam, adalah wajibnya menikah secara mutlak dengan dua syarat: (1) jika dia memiliki syahwat; dan (2) memiliki kemampuan menanggung biaya nikah, berdasarkan atas hadis ini. Juga karena mencegah perkara haram itu wajib, sedangkan perkara yang menjadi sarana mengerjakan perkara wajib itu juga hukumnya wajib. Betapa bagusnya perkataan Al-Qurthubi, ‘Orang yang mampu (menikah) yang dikhawatirkan terdapat marabahaya (mudarat) pada diri dan agamanya jika tidak menikah, dan marabahaya tersebut tidak akan hilang kecuali dengan menikah, maka tidak ada perbedaan pendapat tentang wajibnya menikah atas dirinya.’ (Al-Mufhim, 4: 82)” (Dikutip dari Minhatul ‘Allam, 7: 174) Lanjut ke bagian 2: Perintah kepada Para Pemuda untuk Menikah (Bag. 2) *** @BA, 28 Syawal 1445/ 7 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 170-177). Tags: menikahpemuda
Daftar Isi Toggle Teks hadis Kandungan hadis Kandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “Wahai sekalian pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah memiliki kemampuan, maka hendaklah dia menikah, karena menikah itu dapat menundukkan pandangan, dan juga lebih bisa menjaga kemaluan. Namun, siapa saja yang belum mampu, hendaklah dia berpuasa, sebab hal itu dapat meredakan nafsunya.” (HR. Bukhari no. 1905, 5065, 5066, dan Muslim no. 1905) Kandungan hadis Kandungan pertama Hadis di atas ditujukan kepada para pemuda. Siapakah yang disebut dengan “pemuda” (asy-syabab) itu? Asy-syabab memiliki makna asal: aktivitas dan semangat. Hal ini karena pada masa itu, seseorang memiliki lebih banyak aktivitas dan semangat dibandingkan periode kehidupan yang lainnya. Kata asy-syabab dimaksudkan untuk orang yang telah baligh hingga mencapai usia tiga puluh tahun. Ada pula yang menyebutkan hingga usia tiga puluh dua atau tiga puluh tiga tahun. Namun, ada pula yang menyebutkan hingga usia empat puluh tahun. (Lihat Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 9: 182; Al-I’lam li Ibnil Mulaqqin, 8: 109; Al-Mu’jam Al-Wajiz, hal. 333) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhususkan menyebutkan para pemuda dalam hadis ini karena masa muda adalah masa bergejolak dan meletupnya syahwat yang mendorong untuk jimak (hubungan badan). Berbeda halnya dengan orang-orang yang sudah setengah baya atau tua renta. Akan tetapi, jika kondisi yang sama juga didapatkan pada orang setengah baya atau tua renta, maka mereka pun tercakup dalam seruan hadis ini, karena memiliki alasan (sebab) yang sama. Kandungan kedua Apakah yang dimaksud dengan “mampu” (al-ba’ah) dalam hadis ini? Para ulama berbeda pendapat tentang makna al-ba’ah, ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah kemampuan untuk berjimak. Sehingga makna hadis tersebut menjadi, “Siapa saja di antara kalian yang mampu berjimak karena sudah memiliki biaya untuk menikah, baik mahar, nafkah, atau tempat tinggal, maka hendaklah dia menikah.” Pendapat kedua mengatakan bahwa maknanya adalah memiliki biaya untuk menikah, baik mahar atau nafkah. (Lihat Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 9: 183; Fathul Bari, 9: 108) Pendapat kedua inilah yang lebih tepat, dengan beberapa alasan berikut ini: Pertama, seruan tersebut ditujukan kepada para pemuda yang memang sudah mampu untuk berjimak. Sehingga kurang sesuai apabila dimaknai bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Siapa saja di antara kalian yang mampu untuk berjimak.” Hal ini karena memang masa muda itu adalah masa di mana seseorang secara umum sudah mampu untuk berjimak. Kedua, di ahir hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Siapa saja yang belum mampu, hendaklah dia berpuasa.” Jika “mampu” tersebut dimaknai dengan mampu berjimak, maka kalimat tersebut menjadi aneh. Karena orang yang belum mampu berjimak (atau belum ada gejolak syahwat untuk berjimak), tidak perlu berpuasa untuk bisa menahan syahwatnya. Ketiga, hadis tersebut juga terdapat dalam Sunan An-Nasa’i dengan lafal, مَنْ كَانَ مِنْكُمْ ذَا طَوْلٍ فَلْيَتَزَوَّجْ “Siapa saja di antara kalian yang memiliki kemampuan, maka hendaknya dia menikah .. “ (HR. An-Nasa’i no. 3206) Oleh karena itu, hadis ini merupakan dorongan dan motivasi kepada para pemuda yang memiliki biaya untuk menikah. Karena menikah itu memiliki maslahat yang besar. Menikah memiliki hikmah yang agung, yaitu bisa menjaganya dari terjerumus ke dalam perkara yang diharamkan. Meskipun demikian, tidak masalah jika “mampu” tersebut dimaknai lebih umum, yaitu mencakup kedua makna tersebut sekaligus: mampu untuk berjimak dan mampu menanggung biaya menikah. (Lihat Al-I’lam, 8: 110) Baca juga: Menikah adalah Sunah Nabi Kandungan ketiga Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menikah ketika faktor pendorongnya terpenuhi dan tidak ada faktor penghalang, menjadi dua pendapat: Pendapat pertama, hukum menikah adalah wajib. Ini adalah pendapat Dawud bin ‘Ali, Ibnu Hazm, Abu ‘Awanah (salah satu ulama Syafi’iyyah), dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. (Lihat Musnad Abu ‘Awanah, 3: 5; Al-Mughni, 9: 340; Al-Muhalla, 9: 440) Mereka berdalil dengan perintah untuk menikah, seperti firman Allah Ta’ala, فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء “Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi … “ (QS. An-Nisa’: 3) Allah Ta’ala berfirman, وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian .. “ (QS. An-Nuur: 32) Mereka juga berdalil dengan hadis yang sedang kita bahas saat ini. Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah berkata, “Diksi kata perintah itu zahirnya menunjukkan hukum wajib.” Pendapat kedua, menikah itu sunah. Ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya imam mazhab yang tiga (Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Malik), serta pendapat kedua dari Imam Ahmad. (Lihat Bidayatul Mujtahid, 3: 7; Syarh Fathul Qadir, 3: 187; Al-Mughni, 9: 340; Mughni Al-Muhtaj, 3: 127) Akan tetapi, mereka mengatakan bahwa apabila keinginan (kebutuhan) terhadap menikah itu sangat mendesak, dari sisi dia takut bahwa dirinya akan terjerumus ke dalam zina, maka wajib baginya menikah apabila memiliki kemampuan menanggung biaya nikah. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (QS. Al-Mu’minun: 5-6) Sisi pendalilan dari ayat tersebut adalah bahwa ayat tersebut jelas menunjukkan pujian kepada orang-orang yang menjaga kemaluannya dari perbuatan zina dengan (menyetubuhi) budak-budak yang mereka miliki, sehingga tidak perlu menikah. Seandainya hukum menikah itu wajib, maka orang yang tidak menikah itu tidak akan mendapatkan pujian. Karena orang yang meninggalkan kewajiban itu tidak dipuji, tetapi dicela. Mereka juga berdalil dengan hadis yang sedang kita bahas saat ini. Sisi pendalilannya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan puasa sebagai pengganti menikah, sedangkan puasa dalam kondisi ini tidaklah sampai derajat wajib. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa menikah itu tidak wajib. Amal yang tidak wajib (yaitu puasa) tidak bisa menggantikan amal yang wajib (yaitu menikah). (Lihat Al-Mu’lim, 2: 85; karya Al-Maziri) Syekh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Yang tampak bagiku, wallahu Ta’ala a’lam, adalah wajibnya menikah secara mutlak dengan dua syarat: (1) jika dia memiliki syahwat; dan (2) memiliki kemampuan menanggung biaya nikah, berdasarkan atas hadis ini. Juga karena mencegah perkara haram itu wajib, sedangkan perkara yang menjadi sarana mengerjakan perkara wajib itu juga hukumnya wajib. Betapa bagusnya perkataan Al-Qurthubi, ‘Orang yang mampu (menikah) yang dikhawatirkan terdapat marabahaya (mudarat) pada diri dan agamanya jika tidak menikah, dan marabahaya tersebut tidak akan hilang kecuali dengan menikah, maka tidak ada perbedaan pendapat tentang wajibnya menikah atas dirinya.’ (Al-Mufhim, 4: 82)” (Dikutip dari Minhatul ‘Allam, 7: 174) Lanjut ke bagian 2: Perintah kepada Para Pemuda untuk Menikah (Bag. 2) *** @BA, 28 Syawal 1445/ 7 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 170-177). Tags: menikahpemuda


Daftar Isi Toggle Teks hadis Kandungan hadis Kandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “Wahai sekalian pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah memiliki kemampuan, maka hendaklah dia menikah, karena menikah itu dapat menundukkan pandangan, dan juga lebih bisa menjaga kemaluan. Namun, siapa saja yang belum mampu, hendaklah dia berpuasa, sebab hal itu dapat meredakan nafsunya.” (HR. Bukhari no. 1905, 5065, 5066, dan Muslim no. 1905) Kandungan hadis Kandungan pertama Hadis di atas ditujukan kepada para pemuda. Siapakah yang disebut dengan “pemuda” (asy-syabab) itu? Asy-syabab memiliki makna asal: aktivitas dan semangat. Hal ini karena pada masa itu, seseorang memiliki lebih banyak aktivitas dan semangat dibandingkan periode kehidupan yang lainnya. Kata asy-syabab dimaksudkan untuk orang yang telah baligh hingga mencapai usia tiga puluh tahun. Ada pula yang menyebutkan hingga usia tiga puluh dua atau tiga puluh tiga tahun. Namun, ada pula yang menyebutkan hingga usia empat puluh tahun. (Lihat Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 9: 182; Al-I’lam li Ibnil Mulaqqin, 8: 109; Al-Mu’jam Al-Wajiz, hal. 333) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhususkan menyebutkan para pemuda dalam hadis ini karena masa muda adalah masa bergejolak dan meletupnya syahwat yang mendorong untuk jimak (hubungan badan). Berbeda halnya dengan orang-orang yang sudah setengah baya atau tua renta. Akan tetapi, jika kondisi yang sama juga didapatkan pada orang setengah baya atau tua renta, maka mereka pun tercakup dalam seruan hadis ini, karena memiliki alasan (sebab) yang sama. Kandungan kedua Apakah yang dimaksud dengan “mampu” (al-ba’ah) dalam hadis ini? Para ulama berbeda pendapat tentang makna al-ba’ah, ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah kemampuan untuk berjimak. Sehingga makna hadis tersebut menjadi, “Siapa saja di antara kalian yang mampu berjimak karena sudah memiliki biaya untuk menikah, baik mahar, nafkah, atau tempat tinggal, maka hendaklah dia menikah.” Pendapat kedua mengatakan bahwa maknanya adalah memiliki biaya untuk menikah, baik mahar atau nafkah. (Lihat Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 9: 183; Fathul Bari, 9: 108) Pendapat kedua inilah yang lebih tepat, dengan beberapa alasan berikut ini: Pertama, seruan tersebut ditujukan kepada para pemuda yang memang sudah mampu untuk berjimak. Sehingga kurang sesuai apabila dimaknai bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Siapa saja di antara kalian yang mampu untuk berjimak.” Hal ini karena memang masa muda itu adalah masa di mana seseorang secara umum sudah mampu untuk berjimak. Kedua, di ahir hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Siapa saja yang belum mampu, hendaklah dia berpuasa.” Jika “mampu” tersebut dimaknai dengan mampu berjimak, maka kalimat tersebut menjadi aneh. Karena orang yang belum mampu berjimak (atau belum ada gejolak syahwat untuk berjimak), tidak perlu berpuasa untuk bisa menahan syahwatnya. Ketiga, hadis tersebut juga terdapat dalam Sunan An-Nasa’i dengan lafal, مَنْ كَانَ مِنْكُمْ ذَا طَوْلٍ فَلْيَتَزَوَّجْ “Siapa saja di antara kalian yang memiliki kemampuan, maka hendaknya dia menikah .. “ (HR. An-Nasa’i no. 3206) Oleh karena itu, hadis ini merupakan dorongan dan motivasi kepada para pemuda yang memiliki biaya untuk menikah. Karena menikah itu memiliki maslahat yang besar. Menikah memiliki hikmah yang agung, yaitu bisa menjaganya dari terjerumus ke dalam perkara yang diharamkan. Meskipun demikian, tidak masalah jika “mampu” tersebut dimaknai lebih umum, yaitu mencakup kedua makna tersebut sekaligus: mampu untuk berjimak dan mampu menanggung biaya menikah. (Lihat Al-I’lam, 8: 110) Baca juga: Menikah adalah Sunah Nabi Kandungan ketiga Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menikah ketika faktor pendorongnya terpenuhi dan tidak ada faktor penghalang, menjadi dua pendapat: Pendapat pertama, hukum menikah adalah wajib. Ini adalah pendapat Dawud bin ‘Ali, Ibnu Hazm, Abu ‘Awanah (salah satu ulama Syafi’iyyah), dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. (Lihat Musnad Abu ‘Awanah, 3: 5; Al-Mughni, 9: 340; Al-Muhalla, 9: 440) Mereka berdalil dengan perintah untuk menikah, seperti firman Allah Ta’ala, فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء “Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi … “ (QS. An-Nisa’: 3) Allah Ta’ala berfirman, وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian .. “ (QS. An-Nuur: 32) Mereka juga berdalil dengan hadis yang sedang kita bahas saat ini. Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah berkata, “Diksi kata perintah itu zahirnya menunjukkan hukum wajib.” Pendapat kedua, menikah itu sunah. Ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya imam mazhab yang tiga (Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Malik), serta pendapat kedua dari Imam Ahmad. (Lihat Bidayatul Mujtahid, 3: 7; Syarh Fathul Qadir, 3: 187; Al-Mughni, 9: 340; Mughni Al-Muhtaj, 3: 127) Akan tetapi, mereka mengatakan bahwa apabila keinginan (kebutuhan) terhadap menikah itu sangat mendesak, dari sisi dia takut bahwa dirinya akan terjerumus ke dalam zina, maka wajib baginya menikah apabila memiliki kemampuan menanggung biaya nikah. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (QS. Al-Mu’minun: 5-6) Sisi pendalilan dari ayat tersebut adalah bahwa ayat tersebut jelas menunjukkan pujian kepada orang-orang yang menjaga kemaluannya dari perbuatan zina dengan (menyetubuhi) budak-budak yang mereka miliki, sehingga tidak perlu menikah. Seandainya hukum menikah itu wajib, maka orang yang tidak menikah itu tidak akan mendapatkan pujian. Karena orang yang meninggalkan kewajiban itu tidak dipuji, tetapi dicela. Mereka juga berdalil dengan hadis yang sedang kita bahas saat ini. Sisi pendalilannya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan puasa sebagai pengganti menikah, sedangkan puasa dalam kondisi ini tidaklah sampai derajat wajib. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa menikah itu tidak wajib. Amal yang tidak wajib (yaitu puasa) tidak bisa menggantikan amal yang wajib (yaitu menikah). (Lihat Al-Mu’lim, 2: 85; karya Al-Maziri) Syekh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Yang tampak bagiku, wallahu Ta’ala a’lam, adalah wajibnya menikah secara mutlak dengan dua syarat: (1) jika dia memiliki syahwat; dan (2) memiliki kemampuan menanggung biaya nikah, berdasarkan atas hadis ini. Juga karena mencegah perkara haram itu wajib, sedangkan perkara yang menjadi sarana mengerjakan perkara wajib itu juga hukumnya wajib. Betapa bagusnya perkataan Al-Qurthubi, ‘Orang yang mampu (menikah) yang dikhawatirkan terdapat marabahaya (mudarat) pada diri dan agamanya jika tidak menikah, dan marabahaya tersebut tidak akan hilang kecuali dengan menikah, maka tidak ada perbedaan pendapat tentang wajibnya menikah atas dirinya.’ (Al-Mufhim, 4: 82)” (Dikutip dari Minhatul ‘Allam, 7: 174) Lanjut ke bagian 2: Perintah kepada Para Pemuda untuk Menikah (Bag. 2) *** @BA, 28 Syawal 1445/ 7 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 170-177). Tags: menikahpemuda

Ketika Cinta Ternodai

Daftar Isi Toggle Apa itu cinta?Cinta yang bersifat ibadahCinta yang bersifat tabiatNoda-noda cintaSyirik cintaZina cintaCinta tidak karena AllahMenomorduakan cinta kepada Allah Berbicara tentang cinta, maka cinta itu adalah suatu anugerah dari Allah Ta’ala. Cinta asalnya adalah suci dan merupakan ibadah yang sangat mulia. Cinta dalam Islam menjadi pondasi dan roh dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Jika seseorang belum mencintai Allah, maka ibadahnya hambar, bak jasad yang tak bernyawa dan menjadi bangkai hidup. Dengan adanya cinta, beratnya seorang ibu mengandung, melahirkan, dan merawat seorang anak, tergantikan dengan rasa bahagia. Cintanya kepada seorang anak juga mengalahkan lelahnya seorang Ayah membanting tulang siang dan malam untuk mencari nafkah. Bahkan, seringkali seorang pemuda rela menempuh segala cara tatkala jatuh hati pada wanita yang ia idamkan. Cinta seperti cahaya. Orang yang tidak mempunyai cinta, hidupnya akan terasa gelap. Cinta merupakan obat. Tanpa cinta, ia akan mudah rapuh dan sakit. Sehingga, orang yang tidak mempunyai rasa cinta, ia tidak akan menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Apa itu cinta? Cinta, sebuah perasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, namun kita semua pernah merasakannya. Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas. Mendefinisikan cinta hanya akan membuatnya kabur dan samar. Oleh karena itu, definisi cinta adalah adanya cinta itu sendiri. (Lihat Madarijus Salikin, 3: 10) Meskipun sulit didefinisikan, cinta menjadi alasan seseorang melakukan hal-hal besar dalam hidupnya. Bahkan, rela berjuang dan berkorban dengan alasan cinta. Ada sebuah ungkapan, من أحب أكثر من ذكره “Barangsiapa yang mencintai, pasti akan banyak menyebut-nyebutnya/mengingatnya.” Cinta yang bersifat ibadah Cinta yang bersifat ibadah adalah cinta yang diiringi pengagungan, penghambaan, perendahan diri, dan ketaatan yang mutlak kepada Allah. Cinta kepada Allah adalah puncak tertinggi dari segala cinta. Sebagian ulama menjelaskan bahwa ibadah itu harus dilandasi oleh tiga hal, yaitu: cinta (hubb), takut (khauf), dan harap (raja’). Hal ini laksana seekor burung, di mana rasa takut dan harap adalah kedua sayapnya, dan rasa cinta adalah kepalanya. Jadi, tidak mungkin seekor burung dapat hidup apalagi terbang tanpa adanya kepala. Oleh karena itu, kita harus senantiasa menghadirkan rasa cinta kepada Allah dalam beribadah, agar ibadah yang kita lakukan benar-benar hidup dan khusyuk kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ ۗ “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al Baqarah: 165) Begitu pula, kecintaan kepada Rasul shalallahu ‘alaihi wassalam yang merupakan ibadah dan kewajiban bagi setiap insan yang beriman. Seseorang belum bisa dikatakan beriman hingga ia mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya terhadap siapa pun, termasuk diri sendiri dan keluarganya. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ “Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga menjadikan aku lebih ia cintai dari orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.“ (HR. Bukhari) Cinta yang bersifat tabiat Cinta yang bersifat tabiat ini merupakan cinta bawaan dari lahir dan sifatnya manusiawi. Setiap manusia yang normal pasti memiliki jenis cinta ini, karena memang Allah menciptakan manusia dengan kecenderungan cinta kepada hal-hal duniawi. Allah Ta’ala berfirman, زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلْبَنِينَ وَٱلْقَنَٰطِيرِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلْخَيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلْأَنْعَٰمِ وَٱلْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan (kendaraan), binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Al Imran: 14) Cinta tabiat ini mencakup juga cinta terhadap lawan jenis, cinta karena penghormatan (anak hormat kepada orang tua dan guru), cinta karena belas kasihan dan rasa sayang sebagaimana cinta ibu kepada anaknya, cinta karena pertemanan, karena satu suku, dan yang lainnya. Maka, tidak mengapa mencintai perkara-perkara duniawi, asalkan tidak berlebihan, tidak melalaikan kewajiban agama atau bertentangan dengan syariat Islam, tidak membawa kepada kemaksiatan, dan tidak mengalahkan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Cinta yang sifatnya tabiat (duniawi) juga dapat menjadikan salah satu sarana untuk memperoleh cinta dari Allah. Semisal anak yang mencintai orang tuanya dengan cara berbakti; laki-laki yang mencintai seorang wanita dan menjalankan syariat Islam dengan menikahinya. Oleh karena itu, cinta yang berlebihan kepada dunia merupakan sumber dari segala keburukan, sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ “Cinta dunia adalah biang semua kesalahan.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman.) Baca juga: Tidak Mengenal Allah, Bagaimana Bisa Mencintai-Nya? Noda-noda cinta Cinta yang merupakan karunia dari Allah tersebut sayangnya sering dizalimi oleh banyak pihak. Hal ini karena tidak sedikit kita jumpai bahwa tatkala seseorang mendengar kata cinta, maka yang muncul di benaknya adalah cinta kepada lawan jenis (syahwat). Sehingga, banyak orang terjerumus kepada zina dengan berbagai ragam, model, dan rupanya. Selain itu, kesucian cinta juga ternodai oleh noda-noda yang disematkan para manusia. Ada beberapa faktor yang dapat menodai cinta kita kepada Allah, yang membuat hati kita tidak bisa menyelam ke dalam Samudra Cinta Ilahi, antara lain: Syirik cinta Syirik cinta adalah tatkala seseorang mencintai selain Allah dengan cinta yang bersifat ibadah (pengagungan, penghambaan, perendahan diri, dan ketaatan yang mutlak). Ia mencintai seseorang atau diri sendiri melebihi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, ada yang sampai beranggapan bahwa ada selain dari Allah yang dapat mendatangkan rezeki, manfaat, atau kebaikan. Contoh lain adalah perkataan berlebihan yang sering diucapkan oleh orang yang sedang jatuh hati, seperti “Tidak ada yang lebih aku cintai selain dirimu.” atau “Tidak ada yang bisa melebihi kecintaanku kepadamu.” atau “Hatiku telah dipenuhi oleh rasa cinta kepadamu, sehingga tiada tempat lagi bagi hati ini untuk mencintai selain dirimu.” Allah Ta’ala berfirman, وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ ۗ “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai  tandingan-tandingan. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al Baqarah: 165) Zina cinta Orang yang terlanjur cinta dan dimabuk asmara seringkali menyebabkan dirinya melakukan perbuatan dosa dan maksiat. Awalnya ia melakukan maksiat dari khalwat (berduaan di tempat sepi), kemudian saling menatap dengan syahwat, saling menyentuh, hingga akhirnya berujung kepada perbuatan zina. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا “Dan janganlah kamu mendekati zina! Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isra’: 32) Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, إن اللهَ كتب على ابنِ آدمَ حظَّه من الزنا ، أدرك ذلك لا محالةَ ، فزنا العينِ النظرُ ، وزنا اللسانِ المنطقُ ، والنفسُ تتمنى وتشتهي ، والفرجُ يصدقُ ذلك كلَّه أو يكذبُه “Sesungguhnya Allah telah menakdirkan bahwa pada setiap anak Adam memiliki bagian dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari. Zinanya mata adalah penglihatan, zinanya lisan adalah ucapan, sedangkan nafsu (zina hati) adalah berkeinginan dan berangan-angan, dan kemaluanlah yang membenarkan atau mengingkarinya.” (HR. Bukhari) Ketika mecintai seseorang, jangan sampai cinta yang suci tersebut menjadi nisbi. Jangan sampai kecintaan tersebut melanggar batasan-batasan syariat yang Allah tetapkan. Jangan sampai anugerah cinta menjadi murka. Cinta tidak karena Allah Di antara bentuk bukti cinta seorang hamba karena Allah adalah mencintai manakala kita mencintai apa yang dicintai oleh Allah (segala macam ibadah seperti salat, zikir, zakat, dan sebagainya) dan menyayangi siapa yang disayangi oleh Allah (kaum mukminin, orang saleh, dan semisalnya). Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ اْلإِيْمَانَ. “Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena Allah, maka sungguh telah sempurna imannya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Ia mengatakan, “Hadis hasan.”) Dalam riwayat lain, أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ الْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ “Tali iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Tirmidzi) Menomorduakan cinta kepada Allah Seseorang boleh mencintai selain Allah, tetapi tidak boleh sampai mengalahkan kecintaannya kepada Allah. Cinta kepada Allah harus di atas segala cinta. Setelah itu, adalah cinta kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَٰنُكُمْ وَأَزْوَٰجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَٰلٌ ٱقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍ فِى سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُوا۟ حَتَّىٰ يَأْتِىَ ٱللَّهُ بِأَمْرِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْفَٰسِقِينَ “Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya (azab).’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24) Baca juga: Makna Allah Mencintai Keindahan *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari rekaman kajian Islam ilmiah dengan judul “Noda-Noda Cinta” oleh Ustaz Abdullah Zaen, Lc. M.A. dengan berbagai tambahan faedah. Tags: cinta

Ketika Cinta Ternodai

Daftar Isi Toggle Apa itu cinta?Cinta yang bersifat ibadahCinta yang bersifat tabiatNoda-noda cintaSyirik cintaZina cintaCinta tidak karena AllahMenomorduakan cinta kepada Allah Berbicara tentang cinta, maka cinta itu adalah suatu anugerah dari Allah Ta’ala. Cinta asalnya adalah suci dan merupakan ibadah yang sangat mulia. Cinta dalam Islam menjadi pondasi dan roh dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Jika seseorang belum mencintai Allah, maka ibadahnya hambar, bak jasad yang tak bernyawa dan menjadi bangkai hidup. Dengan adanya cinta, beratnya seorang ibu mengandung, melahirkan, dan merawat seorang anak, tergantikan dengan rasa bahagia. Cintanya kepada seorang anak juga mengalahkan lelahnya seorang Ayah membanting tulang siang dan malam untuk mencari nafkah. Bahkan, seringkali seorang pemuda rela menempuh segala cara tatkala jatuh hati pada wanita yang ia idamkan. Cinta seperti cahaya. Orang yang tidak mempunyai cinta, hidupnya akan terasa gelap. Cinta merupakan obat. Tanpa cinta, ia akan mudah rapuh dan sakit. Sehingga, orang yang tidak mempunyai rasa cinta, ia tidak akan menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Apa itu cinta? Cinta, sebuah perasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, namun kita semua pernah merasakannya. Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas. Mendefinisikan cinta hanya akan membuatnya kabur dan samar. Oleh karena itu, definisi cinta adalah adanya cinta itu sendiri. (Lihat Madarijus Salikin, 3: 10) Meskipun sulit didefinisikan, cinta menjadi alasan seseorang melakukan hal-hal besar dalam hidupnya. Bahkan, rela berjuang dan berkorban dengan alasan cinta. Ada sebuah ungkapan, من أحب أكثر من ذكره “Barangsiapa yang mencintai, pasti akan banyak menyebut-nyebutnya/mengingatnya.” Cinta yang bersifat ibadah Cinta yang bersifat ibadah adalah cinta yang diiringi pengagungan, penghambaan, perendahan diri, dan ketaatan yang mutlak kepada Allah. Cinta kepada Allah adalah puncak tertinggi dari segala cinta. Sebagian ulama menjelaskan bahwa ibadah itu harus dilandasi oleh tiga hal, yaitu: cinta (hubb), takut (khauf), dan harap (raja’). Hal ini laksana seekor burung, di mana rasa takut dan harap adalah kedua sayapnya, dan rasa cinta adalah kepalanya. Jadi, tidak mungkin seekor burung dapat hidup apalagi terbang tanpa adanya kepala. Oleh karena itu, kita harus senantiasa menghadirkan rasa cinta kepada Allah dalam beribadah, agar ibadah yang kita lakukan benar-benar hidup dan khusyuk kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ ۗ “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al Baqarah: 165) Begitu pula, kecintaan kepada Rasul shalallahu ‘alaihi wassalam yang merupakan ibadah dan kewajiban bagi setiap insan yang beriman. Seseorang belum bisa dikatakan beriman hingga ia mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya terhadap siapa pun, termasuk diri sendiri dan keluarganya. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ “Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga menjadikan aku lebih ia cintai dari orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.“ (HR. Bukhari) Cinta yang bersifat tabiat Cinta yang bersifat tabiat ini merupakan cinta bawaan dari lahir dan sifatnya manusiawi. Setiap manusia yang normal pasti memiliki jenis cinta ini, karena memang Allah menciptakan manusia dengan kecenderungan cinta kepada hal-hal duniawi. Allah Ta’ala berfirman, زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلْبَنِينَ وَٱلْقَنَٰطِيرِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلْخَيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلْأَنْعَٰمِ وَٱلْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan (kendaraan), binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Al Imran: 14) Cinta tabiat ini mencakup juga cinta terhadap lawan jenis, cinta karena penghormatan (anak hormat kepada orang tua dan guru), cinta karena belas kasihan dan rasa sayang sebagaimana cinta ibu kepada anaknya, cinta karena pertemanan, karena satu suku, dan yang lainnya. Maka, tidak mengapa mencintai perkara-perkara duniawi, asalkan tidak berlebihan, tidak melalaikan kewajiban agama atau bertentangan dengan syariat Islam, tidak membawa kepada kemaksiatan, dan tidak mengalahkan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Cinta yang sifatnya tabiat (duniawi) juga dapat menjadikan salah satu sarana untuk memperoleh cinta dari Allah. Semisal anak yang mencintai orang tuanya dengan cara berbakti; laki-laki yang mencintai seorang wanita dan menjalankan syariat Islam dengan menikahinya. Oleh karena itu, cinta yang berlebihan kepada dunia merupakan sumber dari segala keburukan, sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ “Cinta dunia adalah biang semua kesalahan.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman.) Baca juga: Tidak Mengenal Allah, Bagaimana Bisa Mencintai-Nya? Noda-noda cinta Cinta yang merupakan karunia dari Allah tersebut sayangnya sering dizalimi oleh banyak pihak. Hal ini karena tidak sedikit kita jumpai bahwa tatkala seseorang mendengar kata cinta, maka yang muncul di benaknya adalah cinta kepada lawan jenis (syahwat). Sehingga, banyak orang terjerumus kepada zina dengan berbagai ragam, model, dan rupanya. Selain itu, kesucian cinta juga ternodai oleh noda-noda yang disematkan para manusia. Ada beberapa faktor yang dapat menodai cinta kita kepada Allah, yang membuat hati kita tidak bisa menyelam ke dalam Samudra Cinta Ilahi, antara lain: Syirik cinta Syirik cinta adalah tatkala seseorang mencintai selain Allah dengan cinta yang bersifat ibadah (pengagungan, penghambaan, perendahan diri, dan ketaatan yang mutlak). Ia mencintai seseorang atau diri sendiri melebihi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, ada yang sampai beranggapan bahwa ada selain dari Allah yang dapat mendatangkan rezeki, manfaat, atau kebaikan. Contoh lain adalah perkataan berlebihan yang sering diucapkan oleh orang yang sedang jatuh hati, seperti “Tidak ada yang lebih aku cintai selain dirimu.” atau “Tidak ada yang bisa melebihi kecintaanku kepadamu.” atau “Hatiku telah dipenuhi oleh rasa cinta kepadamu, sehingga tiada tempat lagi bagi hati ini untuk mencintai selain dirimu.” Allah Ta’ala berfirman, وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ ۗ “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai  tandingan-tandingan. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al Baqarah: 165) Zina cinta Orang yang terlanjur cinta dan dimabuk asmara seringkali menyebabkan dirinya melakukan perbuatan dosa dan maksiat. Awalnya ia melakukan maksiat dari khalwat (berduaan di tempat sepi), kemudian saling menatap dengan syahwat, saling menyentuh, hingga akhirnya berujung kepada perbuatan zina. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا “Dan janganlah kamu mendekati zina! Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isra’: 32) Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, إن اللهَ كتب على ابنِ آدمَ حظَّه من الزنا ، أدرك ذلك لا محالةَ ، فزنا العينِ النظرُ ، وزنا اللسانِ المنطقُ ، والنفسُ تتمنى وتشتهي ، والفرجُ يصدقُ ذلك كلَّه أو يكذبُه “Sesungguhnya Allah telah menakdirkan bahwa pada setiap anak Adam memiliki bagian dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari. Zinanya mata adalah penglihatan, zinanya lisan adalah ucapan, sedangkan nafsu (zina hati) adalah berkeinginan dan berangan-angan, dan kemaluanlah yang membenarkan atau mengingkarinya.” (HR. Bukhari) Ketika mecintai seseorang, jangan sampai cinta yang suci tersebut menjadi nisbi. Jangan sampai kecintaan tersebut melanggar batasan-batasan syariat yang Allah tetapkan. Jangan sampai anugerah cinta menjadi murka. Cinta tidak karena Allah Di antara bentuk bukti cinta seorang hamba karena Allah adalah mencintai manakala kita mencintai apa yang dicintai oleh Allah (segala macam ibadah seperti salat, zikir, zakat, dan sebagainya) dan menyayangi siapa yang disayangi oleh Allah (kaum mukminin, orang saleh, dan semisalnya). Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ اْلإِيْمَانَ. “Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena Allah, maka sungguh telah sempurna imannya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Ia mengatakan, “Hadis hasan.”) Dalam riwayat lain, أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ الْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ “Tali iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Tirmidzi) Menomorduakan cinta kepada Allah Seseorang boleh mencintai selain Allah, tetapi tidak boleh sampai mengalahkan kecintaannya kepada Allah. Cinta kepada Allah harus di atas segala cinta. Setelah itu, adalah cinta kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَٰنُكُمْ وَأَزْوَٰجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَٰلٌ ٱقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍ فِى سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُوا۟ حَتَّىٰ يَأْتِىَ ٱللَّهُ بِأَمْرِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْفَٰسِقِينَ “Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya (azab).’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24) Baca juga: Makna Allah Mencintai Keindahan *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari rekaman kajian Islam ilmiah dengan judul “Noda-Noda Cinta” oleh Ustaz Abdullah Zaen, Lc. M.A. dengan berbagai tambahan faedah. Tags: cinta
Daftar Isi Toggle Apa itu cinta?Cinta yang bersifat ibadahCinta yang bersifat tabiatNoda-noda cintaSyirik cintaZina cintaCinta tidak karena AllahMenomorduakan cinta kepada Allah Berbicara tentang cinta, maka cinta itu adalah suatu anugerah dari Allah Ta’ala. Cinta asalnya adalah suci dan merupakan ibadah yang sangat mulia. Cinta dalam Islam menjadi pondasi dan roh dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Jika seseorang belum mencintai Allah, maka ibadahnya hambar, bak jasad yang tak bernyawa dan menjadi bangkai hidup. Dengan adanya cinta, beratnya seorang ibu mengandung, melahirkan, dan merawat seorang anak, tergantikan dengan rasa bahagia. Cintanya kepada seorang anak juga mengalahkan lelahnya seorang Ayah membanting tulang siang dan malam untuk mencari nafkah. Bahkan, seringkali seorang pemuda rela menempuh segala cara tatkala jatuh hati pada wanita yang ia idamkan. Cinta seperti cahaya. Orang yang tidak mempunyai cinta, hidupnya akan terasa gelap. Cinta merupakan obat. Tanpa cinta, ia akan mudah rapuh dan sakit. Sehingga, orang yang tidak mempunyai rasa cinta, ia tidak akan menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Apa itu cinta? Cinta, sebuah perasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, namun kita semua pernah merasakannya. Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas. Mendefinisikan cinta hanya akan membuatnya kabur dan samar. Oleh karena itu, definisi cinta adalah adanya cinta itu sendiri. (Lihat Madarijus Salikin, 3: 10) Meskipun sulit didefinisikan, cinta menjadi alasan seseorang melakukan hal-hal besar dalam hidupnya. Bahkan, rela berjuang dan berkorban dengan alasan cinta. Ada sebuah ungkapan, من أحب أكثر من ذكره “Barangsiapa yang mencintai, pasti akan banyak menyebut-nyebutnya/mengingatnya.” Cinta yang bersifat ibadah Cinta yang bersifat ibadah adalah cinta yang diiringi pengagungan, penghambaan, perendahan diri, dan ketaatan yang mutlak kepada Allah. Cinta kepada Allah adalah puncak tertinggi dari segala cinta. Sebagian ulama menjelaskan bahwa ibadah itu harus dilandasi oleh tiga hal, yaitu: cinta (hubb), takut (khauf), dan harap (raja’). Hal ini laksana seekor burung, di mana rasa takut dan harap adalah kedua sayapnya, dan rasa cinta adalah kepalanya. Jadi, tidak mungkin seekor burung dapat hidup apalagi terbang tanpa adanya kepala. Oleh karena itu, kita harus senantiasa menghadirkan rasa cinta kepada Allah dalam beribadah, agar ibadah yang kita lakukan benar-benar hidup dan khusyuk kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ ۗ “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al Baqarah: 165) Begitu pula, kecintaan kepada Rasul shalallahu ‘alaihi wassalam yang merupakan ibadah dan kewajiban bagi setiap insan yang beriman. Seseorang belum bisa dikatakan beriman hingga ia mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya terhadap siapa pun, termasuk diri sendiri dan keluarganya. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ “Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga menjadikan aku lebih ia cintai dari orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.“ (HR. Bukhari) Cinta yang bersifat tabiat Cinta yang bersifat tabiat ini merupakan cinta bawaan dari lahir dan sifatnya manusiawi. Setiap manusia yang normal pasti memiliki jenis cinta ini, karena memang Allah menciptakan manusia dengan kecenderungan cinta kepada hal-hal duniawi. Allah Ta’ala berfirman, زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلْبَنِينَ وَٱلْقَنَٰطِيرِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلْخَيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلْأَنْعَٰمِ وَٱلْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan (kendaraan), binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Al Imran: 14) Cinta tabiat ini mencakup juga cinta terhadap lawan jenis, cinta karena penghormatan (anak hormat kepada orang tua dan guru), cinta karena belas kasihan dan rasa sayang sebagaimana cinta ibu kepada anaknya, cinta karena pertemanan, karena satu suku, dan yang lainnya. Maka, tidak mengapa mencintai perkara-perkara duniawi, asalkan tidak berlebihan, tidak melalaikan kewajiban agama atau bertentangan dengan syariat Islam, tidak membawa kepada kemaksiatan, dan tidak mengalahkan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Cinta yang sifatnya tabiat (duniawi) juga dapat menjadikan salah satu sarana untuk memperoleh cinta dari Allah. Semisal anak yang mencintai orang tuanya dengan cara berbakti; laki-laki yang mencintai seorang wanita dan menjalankan syariat Islam dengan menikahinya. Oleh karena itu, cinta yang berlebihan kepada dunia merupakan sumber dari segala keburukan, sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ “Cinta dunia adalah biang semua kesalahan.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman.) Baca juga: Tidak Mengenal Allah, Bagaimana Bisa Mencintai-Nya? Noda-noda cinta Cinta yang merupakan karunia dari Allah tersebut sayangnya sering dizalimi oleh banyak pihak. Hal ini karena tidak sedikit kita jumpai bahwa tatkala seseorang mendengar kata cinta, maka yang muncul di benaknya adalah cinta kepada lawan jenis (syahwat). Sehingga, banyak orang terjerumus kepada zina dengan berbagai ragam, model, dan rupanya. Selain itu, kesucian cinta juga ternodai oleh noda-noda yang disematkan para manusia. Ada beberapa faktor yang dapat menodai cinta kita kepada Allah, yang membuat hati kita tidak bisa menyelam ke dalam Samudra Cinta Ilahi, antara lain: Syirik cinta Syirik cinta adalah tatkala seseorang mencintai selain Allah dengan cinta yang bersifat ibadah (pengagungan, penghambaan, perendahan diri, dan ketaatan yang mutlak). Ia mencintai seseorang atau diri sendiri melebihi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, ada yang sampai beranggapan bahwa ada selain dari Allah yang dapat mendatangkan rezeki, manfaat, atau kebaikan. Contoh lain adalah perkataan berlebihan yang sering diucapkan oleh orang yang sedang jatuh hati, seperti “Tidak ada yang lebih aku cintai selain dirimu.” atau “Tidak ada yang bisa melebihi kecintaanku kepadamu.” atau “Hatiku telah dipenuhi oleh rasa cinta kepadamu, sehingga tiada tempat lagi bagi hati ini untuk mencintai selain dirimu.” Allah Ta’ala berfirman, وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ ۗ “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai  tandingan-tandingan. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al Baqarah: 165) Zina cinta Orang yang terlanjur cinta dan dimabuk asmara seringkali menyebabkan dirinya melakukan perbuatan dosa dan maksiat. Awalnya ia melakukan maksiat dari khalwat (berduaan di tempat sepi), kemudian saling menatap dengan syahwat, saling menyentuh, hingga akhirnya berujung kepada perbuatan zina. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا “Dan janganlah kamu mendekati zina! Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isra’: 32) Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, إن اللهَ كتب على ابنِ آدمَ حظَّه من الزنا ، أدرك ذلك لا محالةَ ، فزنا العينِ النظرُ ، وزنا اللسانِ المنطقُ ، والنفسُ تتمنى وتشتهي ، والفرجُ يصدقُ ذلك كلَّه أو يكذبُه “Sesungguhnya Allah telah menakdirkan bahwa pada setiap anak Adam memiliki bagian dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari. Zinanya mata adalah penglihatan, zinanya lisan adalah ucapan, sedangkan nafsu (zina hati) adalah berkeinginan dan berangan-angan, dan kemaluanlah yang membenarkan atau mengingkarinya.” (HR. Bukhari) Ketika mecintai seseorang, jangan sampai cinta yang suci tersebut menjadi nisbi. Jangan sampai kecintaan tersebut melanggar batasan-batasan syariat yang Allah tetapkan. Jangan sampai anugerah cinta menjadi murka. Cinta tidak karena Allah Di antara bentuk bukti cinta seorang hamba karena Allah adalah mencintai manakala kita mencintai apa yang dicintai oleh Allah (segala macam ibadah seperti salat, zikir, zakat, dan sebagainya) dan menyayangi siapa yang disayangi oleh Allah (kaum mukminin, orang saleh, dan semisalnya). Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ اْلإِيْمَانَ. “Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena Allah, maka sungguh telah sempurna imannya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Ia mengatakan, “Hadis hasan.”) Dalam riwayat lain, أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ الْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ “Tali iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Tirmidzi) Menomorduakan cinta kepada Allah Seseorang boleh mencintai selain Allah, tetapi tidak boleh sampai mengalahkan kecintaannya kepada Allah. Cinta kepada Allah harus di atas segala cinta. Setelah itu, adalah cinta kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَٰنُكُمْ وَأَزْوَٰجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَٰلٌ ٱقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍ فِى سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُوا۟ حَتَّىٰ يَأْتِىَ ٱللَّهُ بِأَمْرِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْفَٰسِقِينَ “Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya (azab).’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24) Baca juga: Makna Allah Mencintai Keindahan *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari rekaman kajian Islam ilmiah dengan judul “Noda-Noda Cinta” oleh Ustaz Abdullah Zaen, Lc. M.A. dengan berbagai tambahan faedah. Tags: cinta


Daftar Isi Toggle Apa itu cinta?Cinta yang bersifat ibadahCinta yang bersifat tabiatNoda-noda cintaSyirik cintaZina cintaCinta tidak karena AllahMenomorduakan cinta kepada Allah Berbicara tentang cinta, maka cinta itu adalah suatu anugerah dari Allah Ta’ala. Cinta asalnya adalah suci dan merupakan ibadah yang sangat mulia. Cinta dalam Islam menjadi pondasi dan roh dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Jika seseorang belum mencintai Allah, maka ibadahnya hambar, bak jasad yang tak bernyawa dan menjadi bangkai hidup. Dengan adanya cinta, beratnya seorang ibu mengandung, melahirkan, dan merawat seorang anak, tergantikan dengan rasa bahagia. Cintanya kepada seorang anak juga mengalahkan lelahnya seorang Ayah membanting tulang siang dan malam untuk mencari nafkah. Bahkan, seringkali seorang pemuda rela menempuh segala cara tatkala jatuh hati pada wanita yang ia idamkan. Cinta seperti cahaya. Orang yang tidak mempunyai cinta, hidupnya akan terasa gelap. Cinta merupakan obat. Tanpa cinta, ia akan mudah rapuh dan sakit. Sehingga, orang yang tidak mempunyai rasa cinta, ia tidak akan menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Apa itu cinta? Cinta, sebuah perasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, namun kita semua pernah merasakannya. Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas. Mendefinisikan cinta hanya akan membuatnya kabur dan samar. Oleh karena itu, definisi cinta adalah adanya cinta itu sendiri. (Lihat Madarijus Salikin, 3: 10) Meskipun sulit didefinisikan, cinta menjadi alasan seseorang melakukan hal-hal besar dalam hidupnya. Bahkan, rela berjuang dan berkorban dengan alasan cinta. Ada sebuah ungkapan, من أحب أكثر من ذكره “Barangsiapa yang mencintai, pasti akan banyak menyebut-nyebutnya/mengingatnya.” Cinta yang bersifat ibadah Cinta yang bersifat ibadah adalah cinta yang diiringi pengagungan, penghambaan, perendahan diri, dan ketaatan yang mutlak kepada Allah. Cinta kepada Allah adalah puncak tertinggi dari segala cinta. Sebagian ulama menjelaskan bahwa ibadah itu harus dilandasi oleh tiga hal, yaitu: cinta (hubb), takut (khauf), dan harap (raja’). Hal ini laksana seekor burung, di mana rasa takut dan harap adalah kedua sayapnya, dan rasa cinta adalah kepalanya. Jadi, tidak mungkin seekor burung dapat hidup apalagi terbang tanpa adanya kepala. Oleh karena itu, kita harus senantiasa menghadirkan rasa cinta kepada Allah dalam beribadah, agar ibadah yang kita lakukan benar-benar hidup dan khusyuk kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ ۗ “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al Baqarah: 165) Begitu pula, kecintaan kepada Rasul shalallahu ‘alaihi wassalam yang merupakan ibadah dan kewajiban bagi setiap insan yang beriman. Seseorang belum bisa dikatakan beriman hingga ia mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya terhadap siapa pun, termasuk diri sendiri dan keluarganya. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ “Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga menjadikan aku lebih ia cintai dari orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.“ (HR. Bukhari) Cinta yang bersifat tabiat Cinta yang bersifat tabiat ini merupakan cinta bawaan dari lahir dan sifatnya manusiawi. Setiap manusia yang normal pasti memiliki jenis cinta ini, karena memang Allah menciptakan manusia dengan kecenderungan cinta kepada hal-hal duniawi. Allah Ta’ala berfirman, زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلْبَنِينَ وَٱلْقَنَٰطِيرِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلْخَيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلْأَنْعَٰمِ وَٱلْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan (kendaraan), binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Al Imran: 14) Cinta tabiat ini mencakup juga cinta terhadap lawan jenis, cinta karena penghormatan (anak hormat kepada orang tua dan guru), cinta karena belas kasihan dan rasa sayang sebagaimana cinta ibu kepada anaknya, cinta karena pertemanan, karena satu suku, dan yang lainnya. Maka, tidak mengapa mencintai perkara-perkara duniawi, asalkan tidak berlebihan, tidak melalaikan kewajiban agama atau bertentangan dengan syariat Islam, tidak membawa kepada kemaksiatan, dan tidak mengalahkan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Cinta yang sifatnya tabiat (duniawi) juga dapat menjadikan salah satu sarana untuk memperoleh cinta dari Allah. Semisal anak yang mencintai orang tuanya dengan cara berbakti; laki-laki yang mencintai seorang wanita dan menjalankan syariat Islam dengan menikahinya. Oleh karena itu, cinta yang berlebihan kepada dunia merupakan sumber dari segala keburukan, sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ “Cinta dunia adalah biang semua kesalahan.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman.) Baca juga: Tidak Mengenal Allah, Bagaimana Bisa Mencintai-Nya? Noda-noda cinta Cinta yang merupakan karunia dari Allah tersebut sayangnya sering dizalimi oleh banyak pihak. Hal ini karena tidak sedikit kita jumpai bahwa tatkala seseorang mendengar kata cinta, maka yang muncul di benaknya adalah cinta kepada lawan jenis (syahwat). Sehingga, banyak orang terjerumus kepada zina dengan berbagai ragam, model, dan rupanya. Selain itu, kesucian cinta juga ternodai oleh noda-noda yang disematkan para manusia. Ada beberapa faktor yang dapat menodai cinta kita kepada Allah, yang membuat hati kita tidak bisa menyelam ke dalam Samudra Cinta Ilahi, antara lain: Syirik cinta Syirik cinta adalah tatkala seseorang mencintai selain Allah dengan cinta yang bersifat ibadah (pengagungan, penghambaan, perendahan diri, dan ketaatan yang mutlak). Ia mencintai seseorang atau diri sendiri melebihi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, ada yang sampai beranggapan bahwa ada selain dari Allah yang dapat mendatangkan rezeki, manfaat, atau kebaikan. Contoh lain adalah perkataan berlebihan yang sering diucapkan oleh orang yang sedang jatuh hati, seperti “Tidak ada yang lebih aku cintai selain dirimu.” atau “Tidak ada yang bisa melebihi kecintaanku kepadamu.” atau “Hatiku telah dipenuhi oleh rasa cinta kepadamu, sehingga tiada tempat lagi bagi hati ini untuk mencintai selain dirimu.” Allah Ta’ala berfirman, وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ ۗ “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai  tandingan-tandingan. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al Baqarah: 165) Zina cinta Orang yang terlanjur cinta dan dimabuk asmara seringkali menyebabkan dirinya melakukan perbuatan dosa dan maksiat. Awalnya ia melakukan maksiat dari khalwat (berduaan di tempat sepi), kemudian saling menatap dengan syahwat, saling menyentuh, hingga akhirnya berujung kepada perbuatan zina. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا “Dan janganlah kamu mendekati zina! Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isra’: 32) Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, إن اللهَ كتب على ابنِ آدمَ حظَّه من الزنا ، أدرك ذلك لا محالةَ ، فزنا العينِ النظرُ ، وزنا اللسانِ المنطقُ ، والنفسُ تتمنى وتشتهي ، والفرجُ يصدقُ ذلك كلَّه أو يكذبُه “Sesungguhnya Allah telah menakdirkan bahwa pada setiap anak Adam memiliki bagian dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari. Zinanya mata adalah penglihatan, zinanya lisan adalah ucapan, sedangkan nafsu (zina hati) adalah berkeinginan dan berangan-angan, dan kemaluanlah yang membenarkan atau mengingkarinya.” (HR. Bukhari) Ketika mecintai seseorang, jangan sampai cinta yang suci tersebut menjadi nisbi. Jangan sampai kecintaan tersebut melanggar batasan-batasan syariat yang Allah tetapkan. Jangan sampai anugerah cinta menjadi murka. Cinta tidak karena Allah Di antara bentuk bukti cinta seorang hamba karena Allah adalah mencintai manakala kita mencintai apa yang dicintai oleh Allah (segala macam ibadah seperti salat, zikir, zakat, dan sebagainya) dan menyayangi siapa yang disayangi oleh Allah (kaum mukminin, orang saleh, dan semisalnya). Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ اْلإِيْمَانَ. “Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena Allah, maka sungguh telah sempurna imannya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Ia mengatakan, “Hadis hasan.”) Dalam riwayat lain, أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ الْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ “Tali iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Tirmidzi) Menomorduakan cinta kepada Allah Seseorang boleh mencintai selain Allah, tetapi tidak boleh sampai mengalahkan kecintaannya kepada Allah. Cinta kepada Allah harus di atas segala cinta. Setelah itu, adalah cinta kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَٰنُكُمْ وَأَزْوَٰجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَٰلٌ ٱقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍ فِى سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُوا۟ حَتَّىٰ يَأْتِىَ ٱللَّهُ بِأَمْرِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْفَٰسِقِينَ “Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya (azab).’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24) Baca juga: Makna Allah Mencintai Keindahan *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari rekaman kajian Islam ilmiah dengan judul “Noda-Noda Cinta” oleh Ustaz Abdullah Zaen, Lc. M.A. dengan berbagai tambahan faedah. Tags: cinta

Hukum Membaca Basmalah sebelum Wudhu di Toilet – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

PERTANYAAN: Apa hukum membaca basmalah (bismillah) saat akan berwudhu? Apakah disyariatkan membaca basmalah juga saat (berwudhu) di dalam toilet? JAWABAN: Membaca basmalah saat akan berwudhu hukumnya sunah. Ada juga sebagian ulama fikih yang berpendapat itu wajib beserta zikirnya. Inilah pendapat yang masyhur di mazhab Hambali. Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat mayoritas ulama, bahwa hukumnya adalah sunah muakkadah. Disunahkan bagi orang yang hendak berwudhu untuk mengucapkan “Bismillah” sebelum wudhunya. Kami katakan hukumnya sunah, bukan wajib, karena para perawi tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan dan tidak meriwayatkan bahwa Nabi membaca basmalah sebelum wudhu. Adapun hadis, “Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah sebelumnya” adalah hadis lemah. Diriwayatkan Imam Ahmad, tapi hadis lemah. Imam Ahmad sendiri berkata, “Tidak ada hadis yang sahih dalam hal ini.” Andai hadis itu sahih, maka dipahami bahwa maksudnya adalah “Tidak ada wudhu yang sempurna” untuk menyelaraskan antara hadis ini dan hadis-hadis yang menyebutkan tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang di dalamnya tidak disebutkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan basmalah pada permulaan wudhu. Dengan demikian, kami simpulkan bahwa membaca basmalah pada permulaan wudhu hukumnya sunah, bukan wajib. Adapun orang yang berwudhu di dalam toilet maka bisa membaca basmalah sebelum masuk toilet atau membaca basmalah dalam hati, tapi tanpa mengeraskan suara saat membacanya di dalam toilet sebagai bentuk pengagungan terhadap nama Allah ‘Azza wa Jalla. ==== مَا حُكْمُ التَّسْمِيَةِ عِنْدَ الْوُضُوءِ؟ وَهَلْ تُشْرَعُ التَّسْمِيَةُ دَاخِلَ دَوْرَاتِ الْمِيَاهِ؟ التَّسْمِيَةُ عِنْدَ الْوُضُوءِ سُنَّةٌ وَقَالَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ بِأَنَّهَا وَاجِبَةٌ مَعَ الذِّكْرِ هَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ بِمَذْهَبِ الْحَنَابِلَةِ وَلَكِنَّ الْقَوْلَ الرَّاجِحَ هُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ وَهُوَ أَنَّهَا سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ يُسْتَحَبُّ لِمَنْ يَتَوَضَّأُ أَنْ يَقُولَ قَبْلَ وُضُوئِهِ بِسْمِ اللهِ وَإِنَّمَا قُلْنَا سُنَّةٌ وَلَيْسَتْ وَاجِبَةً لِأَنَّ الْوَاصِفِيْنَ لِوُضُوءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَذْكُرُوا وَلَمْ يَنْقُلُوا أَنَّهُ كَانَ يُسَمِّي فِي أَوَّلِ وُضُوئِهِ وَالْحَدِيثُ لَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ حَدِيثٌ ضَعِيْفٌ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ لَكِنَّهُ ضَعِيفٌ وَالْإِمَامُ أَحْمَدُ نَفْسُهُ يَقُولُ لَا يَثْبُتُ فِي هَذَا الْبَابِ شَيْءٌ وَلَوْ ثَبَتَ هَذَا الْحَدِيثُ فَيُحْمَلُ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ لَا وُضُوءَ كَامِلًا جَمْعًا بَيْنَ هَذَا الْحَدِيثِ وَبَيْنَ الْأَحَادِيثِ الَّتِي فِيهَا صِفَةُ وُضُوءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّتِي لَمْ يُذْكَرْ فِيهَا أَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ سَمَّى فِي أَوَّلِ الْوُضُوءِ وَعَلَى ذَلِكَ نَقُولُ إِنَّ التَّسْمِيَةَ فِي أَوَّلِ الْوُضُوءِ مُسْتَحَبَّةٌ وَلَيْسَتْ وَاجِبَةً وَمَنْ كَانَ يَتَوَضَّأُ دَاخِلَ دَوْرَةِ الْمِيَاهِ يُسَمِّي قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ دَوْرَةَ الْمِيَاهِ أَوْ أَنَّهُ يُسَمِّي فِي نَفْسِهِ لَكِنْ لَا يَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالتَّسْمِيَةِ دَاخِلَ دَوْرَةِ الْمِيَاهِ تَعْظِيمًا بِاسْمِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

Hukum Membaca Basmalah sebelum Wudhu di Toilet – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

PERTANYAAN: Apa hukum membaca basmalah (bismillah) saat akan berwudhu? Apakah disyariatkan membaca basmalah juga saat (berwudhu) di dalam toilet? JAWABAN: Membaca basmalah saat akan berwudhu hukumnya sunah. Ada juga sebagian ulama fikih yang berpendapat itu wajib beserta zikirnya. Inilah pendapat yang masyhur di mazhab Hambali. Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat mayoritas ulama, bahwa hukumnya adalah sunah muakkadah. Disunahkan bagi orang yang hendak berwudhu untuk mengucapkan “Bismillah” sebelum wudhunya. Kami katakan hukumnya sunah, bukan wajib, karena para perawi tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan dan tidak meriwayatkan bahwa Nabi membaca basmalah sebelum wudhu. Adapun hadis, “Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah sebelumnya” adalah hadis lemah. Diriwayatkan Imam Ahmad, tapi hadis lemah. Imam Ahmad sendiri berkata, “Tidak ada hadis yang sahih dalam hal ini.” Andai hadis itu sahih, maka dipahami bahwa maksudnya adalah “Tidak ada wudhu yang sempurna” untuk menyelaraskan antara hadis ini dan hadis-hadis yang menyebutkan tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang di dalamnya tidak disebutkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan basmalah pada permulaan wudhu. Dengan demikian, kami simpulkan bahwa membaca basmalah pada permulaan wudhu hukumnya sunah, bukan wajib. Adapun orang yang berwudhu di dalam toilet maka bisa membaca basmalah sebelum masuk toilet atau membaca basmalah dalam hati, tapi tanpa mengeraskan suara saat membacanya di dalam toilet sebagai bentuk pengagungan terhadap nama Allah ‘Azza wa Jalla. ==== مَا حُكْمُ التَّسْمِيَةِ عِنْدَ الْوُضُوءِ؟ وَهَلْ تُشْرَعُ التَّسْمِيَةُ دَاخِلَ دَوْرَاتِ الْمِيَاهِ؟ التَّسْمِيَةُ عِنْدَ الْوُضُوءِ سُنَّةٌ وَقَالَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ بِأَنَّهَا وَاجِبَةٌ مَعَ الذِّكْرِ هَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ بِمَذْهَبِ الْحَنَابِلَةِ وَلَكِنَّ الْقَوْلَ الرَّاجِحَ هُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ وَهُوَ أَنَّهَا سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ يُسْتَحَبُّ لِمَنْ يَتَوَضَّأُ أَنْ يَقُولَ قَبْلَ وُضُوئِهِ بِسْمِ اللهِ وَإِنَّمَا قُلْنَا سُنَّةٌ وَلَيْسَتْ وَاجِبَةً لِأَنَّ الْوَاصِفِيْنَ لِوُضُوءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَذْكُرُوا وَلَمْ يَنْقُلُوا أَنَّهُ كَانَ يُسَمِّي فِي أَوَّلِ وُضُوئِهِ وَالْحَدِيثُ لَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ حَدِيثٌ ضَعِيْفٌ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ لَكِنَّهُ ضَعِيفٌ وَالْإِمَامُ أَحْمَدُ نَفْسُهُ يَقُولُ لَا يَثْبُتُ فِي هَذَا الْبَابِ شَيْءٌ وَلَوْ ثَبَتَ هَذَا الْحَدِيثُ فَيُحْمَلُ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ لَا وُضُوءَ كَامِلًا جَمْعًا بَيْنَ هَذَا الْحَدِيثِ وَبَيْنَ الْأَحَادِيثِ الَّتِي فِيهَا صِفَةُ وُضُوءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّتِي لَمْ يُذْكَرْ فِيهَا أَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ سَمَّى فِي أَوَّلِ الْوُضُوءِ وَعَلَى ذَلِكَ نَقُولُ إِنَّ التَّسْمِيَةَ فِي أَوَّلِ الْوُضُوءِ مُسْتَحَبَّةٌ وَلَيْسَتْ وَاجِبَةً وَمَنْ كَانَ يَتَوَضَّأُ دَاخِلَ دَوْرَةِ الْمِيَاهِ يُسَمِّي قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ دَوْرَةَ الْمِيَاهِ أَوْ أَنَّهُ يُسَمِّي فِي نَفْسِهِ لَكِنْ لَا يَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالتَّسْمِيَةِ دَاخِلَ دَوْرَةِ الْمِيَاهِ تَعْظِيمًا بِاسْمِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
PERTANYAAN: Apa hukum membaca basmalah (bismillah) saat akan berwudhu? Apakah disyariatkan membaca basmalah juga saat (berwudhu) di dalam toilet? JAWABAN: Membaca basmalah saat akan berwudhu hukumnya sunah. Ada juga sebagian ulama fikih yang berpendapat itu wajib beserta zikirnya. Inilah pendapat yang masyhur di mazhab Hambali. Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat mayoritas ulama, bahwa hukumnya adalah sunah muakkadah. Disunahkan bagi orang yang hendak berwudhu untuk mengucapkan “Bismillah” sebelum wudhunya. Kami katakan hukumnya sunah, bukan wajib, karena para perawi tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan dan tidak meriwayatkan bahwa Nabi membaca basmalah sebelum wudhu. Adapun hadis, “Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah sebelumnya” adalah hadis lemah. Diriwayatkan Imam Ahmad, tapi hadis lemah. Imam Ahmad sendiri berkata, “Tidak ada hadis yang sahih dalam hal ini.” Andai hadis itu sahih, maka dipahami bahwa maksudnya adalah “Tidak ada wudhu yang sempurna” untuk menyelaraskan antara hadis ini dan hadis-hadis yang menyebutkan tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang di dalamnya tidak disebutkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan basmalah pada permulaan wudhu. Dengan demikian, kami simpulkan bahwa membaca basmalah pada permulaan wudhu hukumnya sunah, bukan wajib. Adapun orang yang berwudhu di dalam toilet maka bisa membaca basmalah sebelum masuk toilet atau membaca basmalah dalam hati, tapi tanpa mengeraskan suara saat membacanya di dalam toilet sebagai bentuk pengagungan terhadap nama Allah ‘Azza wa Jalla. ==== مَا حُكْمُ التَّسْمِيَةِ عِنْدَ الْوُضُوءِ؟ وَهَلْ تُشْرَعُ التَّسْمِيَةُ دَاخِلَ دَوْرَاتِ الْمِيَاهِ؟ التَّسْمِيَةُ عِنْدَ الْوُضُوءِ سُنَّةٌ وَقَالَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ بِأَنَّهَا وَاجِبَةٌ مَعَ الذِّكْرِ هَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ بِمَذْهَبِ الْحَنَابِلَةِ وَلَكِنَّ الْقَوْلَ الرَّاجِحَ هُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ وَهُوَ أَنَّهَا سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ يُسْتَحَبُّ لِمَنْ يَتَوَضَّأُ أَنْ يَقُولَ قَبْلَ وُضُوئِهِ بِسْمِ اللهِ وَإِنَّمَا قُلْنَا سُنَّةٌ وَلَيْسَتْ وَاجِبَةً لِأَنَّ الْوَاصِفِيْنَ لِوُضُوءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَذْكُرُوا وَلَمْ يَنْقُلُوا أَنَّهُ كَانَ يُسَمِّي فِي أَوَّلِ وُضُوئِهِ وَالْحَدِيثُ لَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ حَدِيثٌ ضَعِيْفٌ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ لَكِنَّهُ ضَعِيفٌ وَالْإِمَامُ أَحْمَدُ نَفْسُهُ يَقُولُ لَا يَثْبُتُ فِي هَذَا الْبَابِ شَيْءٌ وَلَوْ ثَبَتَ هَذَا الْحَدِيثُ فَيُحْمَلُ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ لَا وُضُوءَ كَامِلًا جَمْعًا بَيْنَ هَذَا الْحَدِيثِ وَبَيْنَ الْأَحَادِيثِ الَّتِي فِيهَا صِفَةُ وُضُوءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّتِي لَمْ يُذْكَرْ فِيهَا أَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ سَمَّى فِي أَوَّلِ الْوُضُوءِ وَعَلَى ذَلِكَ نَقُولُ إِنَّ التَّسْمِيَةَ فِي أَوَّلِ الْوُضُوءِ مُسْتَحَبَّةٌ وَلَيْسَتْ وَاجِبَةً وَمَنْ كَانَ يَتَوَضَّأُ دَاخِلَ دَوْرَةِ الْمِيَاهِ يُسَمِّي قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ دَوْرَةَ الْمِيَاهِ أَوْ أَنَّهُ يُسَمِّي فِي نَفْسِهِ لَكِنْ لَا يَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالتَّسْمِيَةِ دَاخِلَ دَوْرَةِ الْمِيَاهِ تَعْظِيمًا بِاسْمِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ


PERTANYAAN: Apa hukum membaca basmalah (bismillah) saat akan berwudhu? Apakah disyariatkan membaca basmalah juga saat (berwudhu) di dalam toilet? JAWABAN: Membaca basmalah saat akan berwudhu hukumnya sunah. Ada juga sebagian ulama fikih yang berpendapat itu wajib beserta zikirnya. Inilah pendapat yang masyhur di mazhab Hambali. Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat mayoritas ulama, bahwa hukumnya adalah sunah muakkadah. Disunahkan bagi orang yang hendak berwudhu untuk mengucapkan “Bismillah” sebelum wudhunya. Kami katakan hukumnya sunah, bukan wajib, karena para perawi tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan dan tidak meriwayatkan bahwa Nabi membaca basmalah sebelum wudhu. Adapun hadis, “Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah sebelumnya” adalah hadis lemah. Diriwayatkan Imam Ahmad, tapi hadis lemah. Imam Ahmad sendiri berkata, “Tidak ada hadis yang sahih dalam hal ini.” Andai hadis itu sahih, maka dipahami bahwa maksudnya adalah “Tidak ada wudhu yang sempurna” untuk menyelaraskan antara hadis ini dan hadis-hadis yang menyebutkan tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang di dalamnya tidak disebutkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan basmalah pada permulaan wudhu. Dengan demikian, kami simpulkan bahwa membaca basmalah pada permulaan wudhu hukumnya sunah, bukan wajib. Adapun orang yang berwudhu di dalam toilet maka bisa membaca basmalah sebelum masuk toilet atau membaca basmalah dalam hati, tapi tanpa mengeraskan suara saat membacanya di dalam toilet sebagai bentuk pengagungan terhadap nama Allah ‘Azza wa Jalla. ==== مَا حُكْمُ التَّسْمِيَةِ عِنْدَ الْوُضُوءِ؟ وَهَلْ تُشْرَعُ التَّسْمِيَةُ دَاخِلَ دَوْرَاتِ الْمِيَاهِ؟ التَّسْمِيَةُ عِنْدَ الْوُضُوءِ سُنَّةٌ وَقَالَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ بِأَنَّهَا وَاجِبَةٌ مَعَ الذِّكْرِ هَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ بِمَذْهَبِ الْحَنَابِلَةِ وَلَكِنَّ الْقَوْلَ الرَّاجِحَ هُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ وَهُوَ أَنَّهَا سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ يُسْتَحَبُّ لِمَنْ يَتَوَضَّأُ أَنْ يَقُولَ قَبْلَ وُضُوئِهِ بِسْمِ اللهِ وَإِنَّمَا قُلْنَا سُنَّةٌ وَلَيْسَتْ وَاجِبَةً لِأَنَّ الْوَاصِفِيْنَ لِوُضُوءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَذْكُرُوا وَلَمْ يَنْقُلُوا أَنَّهُ كَانَ يُسَمِّي فِي أَوَّلِ وُضُوئِهِ وَالْحَدِيثُ لَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ حَدِيثٌ ضَعِيْفٌ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ لَكِنَّهُ ضَعِيفٌ وَالْإِمَامُ أَحْمَدُ نَفْسُهُ يَقُولُ لَا يَثْبُتُ فِي هَذَا الْبَابِ شَيْءٌ وَلَوْ ثَبَتَ هَذَا الْحَدِيثُ فَيُحْمَلُ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ لَا وُضُوءَ كَامِلًا جَمْعًا بَيْنَ هَذَا الْحَدِيثِ وَبَيْنَ الْأَحَادِيثِ الَّتِي فِيهَا صِفَةُ وُضُوءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّتِي لَمْ يُذْكَرْ فِيهَا أَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ سَمَّى فِي أَوَّلِ الْوُضُوءِ وَعَلَى ذَلِكَ نَقُولُ إِنَّ التَّسْمِيَةَ فِي أَوَّلِ الْوُضُوءِ مُسْتَحَبَّةٌ وَلَيْسَتْ وَاجِبَةً وَمَنْ كَانَ يَتَوَضَّأُ دَاخِلَ دَوْرَةِ الْمِيَاهِ يُسَمِّي قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ دَوْرَةَ الْمِيَاهِ أَوْ أَنَّهُ يُسَمِّي فِي نَفْسِهِ لَكِنْ لَا يَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالتَّسْمِيَةِ دَاخِلَ دَوْرَةِ الْمِيَاهِ تَعْظِيمًا بِاسْمِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

Akibat Bertikai di Dunia dan Akhirat

Daftar Isi Toggle Akibat buruk di duniaAkibat buruk di akhiratTulus meminta maaf dan saling memberi maaf Manusia adalah makhluk sosial, di mana ia tidak bisa hidup sendiri dan butuh untuk bermasyarakat. Ia perlu bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder dalam hidupnya. Namun, terkadang yang menjadi persoalan antar sesama adalah bahwasanya manusia itu diciptakan dengan bermacam-macam karakter. Ada yang tutur katanya sopan dan lembut. Ada yang bicaranya kasar. Ada tipe orang yang penyabar. Ada yang pemarah. Sehingga, dengan banyaknya ragam tipe karakter manusia tersebut (yang mana memang tiada manusia yang sempurna), maka seringkali terjadi pertengkaran dan pertikaian. Potensi pertikaian ini justru paling besar muncul antara orang-orang terdekat dan di sekitarnya. Akhirnya, ketika masalahnya tidak kunjung reda atau usai, maka mereka biasanya akan saling mendiamkan dan tidak menyapa satu sama lain dalam kurun waktu yang lama. Padahal, dalam syariat Islam, seseorang hanya boleh mendiamkan saudaranya maksimal hanya sampai tiga hari saja. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أنْ يَهْجُرَ أخاهُ فَوْقَ ثَلاثِ لَيالٍ، يَلْتَقِيانِ فَيُعْرِضُ هَذا ويُعْرِضُ هَذا، وخَيْرُهُما الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلامِ “Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari. Mereka berdua bertemu, tetapi saling memalingkan wajah. Dan yang terbaik dari keduanya adalah yang lebih dahulu memulai salam.” (HR. Muslim no. 2560.) Dari hadis di atas, maka dapat kita ketahui bahwa masih diperbolehkan mendiamkan saudara sesama muslim kurang dari tiga hari. Hal ini karena untuk menghilangkan perasaan jengkel, dendam, dan emosi itu butuh waktu dan proses. Oleh karena itu, syariat memberikan toleransi sampai tiga hari untuk meredakannya. Lalu, bagaimana jika pertikaian tidak kunjung usai hingga lebih dari tiga hari? Maka, akan ada akibat buruk yang didapatkan, baik di dunia maupun di akhirat. Akibat buruk di dunia Selama seseorang masih dalam pertikaian dan pertengkaran, maka ketika hidup di dunia, ia akan dijauhkan dari kebenaran. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, فإنَّهما ناكبانِ عن الحقِّ ما داما على صِرامِهما “Maka, keduanya akan dijauhkan dari kebenaran selama keduanya dalam pertikaian tersebut.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad. Lihat Al-Irwa’, 7: 95 dan Ash-Shahihah, no. 1246.) Dalam kehidupan ini, kita senantiasa dihadapkan ke dalam dua pilihan. Orang yang senantiasa bertikai dan masih terlibat dalam permusuhan, maka ia akan dijauhkan dari petunjuk dan kebenaran. Misalnya, ia sering salah dalam memilih prioritas, bisnis, jodoh, ataupun barang. Bahkan, dalam masalah akhirat pun, ia kerapkali salah dalam memilih amalan dan pemahaman. Dalam hadis yang lain, diriwayatkan dari Abu Khirasyu As-Sulami, bahwasanya dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من هجر أخاه سنة فهو بسفك دمه “Barangsiapa mendiamkan saudaranya selama setahun, maka dia seperti menumpahkan darahnya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 166. Lihat Ash-Shahihah, no. 928.) Baca juga: Petaka di Balik Amarah Akibat buruk di akhirat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, وإن ماتا على صرامهما لم يدخلا الجنة جميعا ابدا “Jika kedua (orang yang bertikai) tersebut meninggal dalam keadaan memutuskan hubungan mereka berdua (belum saling meminta maaf), maka keduanya tidak akan masuk surga selamanya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad. Lihat Al-Irwa’, 7: 95, dan Ash-Shahihah, no. 1246.) Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, تفتح أبواب الجنة يوم الاثنين ويوم الخميس فيغفر لكل عبد لا يشرك بالله شيئا إلا رجلا كانت بينه وبين أخيه شحناء فيقال: أنظروا هذين حتى يصطلحا، أنظروا هذين حتى يصطلحا، أنظروا هذين حتى يصطلحا “Pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis. Maka, akan diampuni semua hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, kecuali dua orang laki-laki yang terdapat permusuhan antara dia dengan saudaranya. Maka, dikatakan, ‘Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai.’” (HR. Muslim) Tulus meminta maaf dan saling memberi maaf Allah Ta’ala berfirman, وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى “Dan jika kamu memaafkan, itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al Baqarah: 237) Dalam firman-Nya yang lain, إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Oleh karena itu, damaikanlah antara kedua saudara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 10) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا “Tidaklah seorang hamba memberikan maaf (terhadap kesalahan orang lain), melainkan Allah pasti akan menambahkan kemuliaan pada dirinya.” (HR. Muslim) Dalam sabda yang lain, ألا أخبرُكُم بأفضلَ من دَرجةِ الصِّيامِ والصَّلاةِ والصَّدَقةِ قالوا بلَى قال صلاحُ ذاتِ البينِ فإنَّ فسادَ ذاتِ البينِ هيَ الحالِقةُ “Maukah aku mengabarkan kalian amal yang lebih utama dari salat, puasa, dan sedekah?” Mereka berkata, “Mau.” Beliau bersabda, “Yaitu, memperbaiki hubungan (sesama muslim). Karena rusaknya hubungan (sesama muslim) adalah pencukur (agama).” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi) Ketika kita dizalimi atau diperlakukan buruk oleh seseorang dan orang tersebut dikenal saleh dan baik agamanya, maka sangat dianjurkan anda memaafkannya. Karena Allah Ta’ala telah memuji orang-orang yang suka memaafkan dan ada potensi perbaikan di sana, sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Balaslah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik. Maka, tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushilat: 34) (Lihat Makarimul Akhlak, hal. 25.) Hal ini berbeda kondisi jika orang tersebut dikenal jahat dan bejat. Maka, bisa jadi kita menjatuhkan hukuman (bisa dengan menjauhi, melaporkan kepada pihak berwajib) kepadanya agar tidak timbul kerusakan baru terhadap diri kita maupun orang lain. Syaikhul Islam mengatakan bahwa ishlah (perbaikan) itu wajib, sedangkan memaafkan itu sunah. Jika dengan memaafkan malah membuat tidak terjadi perbaikan, maka ini berarti kita mendahulukan yang sunah daripada yang wajib. Yang seperti ini tidak ada dalam syariat.” (Lihat Makarimul Akhlak, hal. 27.) Baca juga: Marah yang Dianjurkan *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id Tags: bertikai

Akibat Bertikai di Dunia dan Akhirat

Daftar Isi Toggle Akibat buruk di duniaAkibat buruk di akhiratTulus meminta maaf dan saling memberi maaf Manusia adalah makhluk sosial, di mana ia tidak bisa hidup sendiri dan butuh untuk bermasyarakat. Ia perlu bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder dalam hidupnya. Namun, terkadang yang menjadi persoalan antar sesama adalah bahwasanya manusia itu diciptakan dengan bermacam-macam karakter. Ada yang tutur katanya sopan dan lembut. Ada yang bicaranya kasar. Ada tipe orang yang penyabar. Ada yang pemarah. Sehingga, dengan banyaknya ragam tipe karakter manusia tersebut (yang mana memang tiada manusia yang sempurna), maka seringkali terjadi pertengkaran dan pertikaian. Potensi pertikaian ini justru paling besar muncul antara orang-orang terdekat dan di sekitarnya. Akhirnya, ketika masalahnya tidak kunjung reda atau usai, maka mereka biasanya akan saling mendiamkan dan tidak menyapa satu sama lain dalam kurun waktu yang lama. Padahal, dalam syariat Islam, seseorang hanya boleh mendiamkan saudaranya maksimal hanya sampai tiga hari saja. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أنْ يَهْجُرَ أخاهُ فَوْقَ ثَلاثِ لَيالٍ، يَلْتَقِيانِ فَيُعْرِضُ هَذا ويُعْرِضُ هَذا، وخَيْرُهُما الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلامِ “Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari. Mereka berdua bertemu, tetapi saling memalingkan wajah. Dan yang terbaik dari keduanya adalah yang lebih dahulu memulai salam.” (HR. Muslim no. 2560.) Dari hadis di atas, maka dapat kita ketahui bahwa masih diperbolehkan mendiamkan saudara sesama muslim kurang dari tiga hari. Hal ini karena untuk menghilangkan perasaan jengkel, dendam, dan emosi itu butuh waktu dan proses. Oleh karena itu, syariat memberikan toleransi sampai tiga hari untuk meredakannya. Lalu, bagaimana jika pertikaian tidak kunjung usai hingga lebih dari tiga hari? Maka, akan ada akibat buruk yang didapatkan, baik di dunia maupun di akhirat. Akibat buruk di dunia Selama seseorang masih dalam pertikaian dan pertengkaran, maka ketika hidup di dunia, ia akan dijauhkan dari kebenaran. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, فإنَّهما ناكبانِ عن الحقِّ ما داما على صِرامِهما “Maka, keduanya akan dijauhkan dari kebenaran selama keduanya dalam pertikaian tersebut.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad. Lihat Al-Irwa’, 7: 95 dan Ash-Shahihah, no. 1246.) Dalam kehidupan ini, kita senantiasa dihadapkan ke dalam dua pilihan. Orang yang senantiasa bertikai dan masih terlibat dalam permusuhan, maka ia akan dijauhkan dari petunjuk dan kebenaran. Misalnya, ia sering salah dalam memilih prioritas, bisnis, jodoh, ataupun barang. Bahkan, dalam masalah akhirat pun, ia kerapkali salah dalam memilih amalan dan pemahaman. Dalam hadis yang lain, diriwayatkan dari Abu Khirasyu As-Sulami, bahwasanya dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من هجر أخاه سنة فهو بسفك دمه “Barangsiapa mendiamkan saudaranya selama setahun, maka dia seperti menumpahkan darahnya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 166. Lihat Ash-Shahihah, no. 928.) Baca juga: Petaka di Balik Amarah Akibat buruk di akhirat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, وإن ماتا على صرامهما لم يدخلا الجنة جميعا ابدا “Jika kedua (orang yang bertikai) tersebut meninggal dalam keadaan memutuskan hubungan mereka berdua (belum saling meminta maaf), maka keduanya tidak akan masuk surga selamanya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad. Lihat Al-Irwa’, 7: 95, dan Ash-Shahihah, no. 1246.) Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, تفتح أبواب الجنة يوم الاثنين ويوم الخميس فيغفر لكل عبد لا يشرك بالله شيئا إلا رجلا كانت بينه وبين أخيه شحناء فيقال: أنظروا هذين حتى يصطلحا، أنظروا هذين حتى يصطلحا، أنظروا هذين حتى يصطلحا “Pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis. Maka, akan diampuni semua hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, kecuali dua orang laki-laki yang terdapat permusuhan antara dia dengan saudaranya. Maka, dikatakan, ‘Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai.’” (HR. Muslim) Tulus meminta maaf dan saling memberi maaf Allah Ta’ala berfirman, وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى “Dan jika kamu memaafkan, itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al Baqarah: 237) Dalam firman-Nya yang lain, إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Oleh karena itu, damaikanlah antara kedua saudara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 10) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا “Tidaklah seorang hamba memberikan maaf (terhadap kesalahan orang lain), melainkan Allah pasti akan menambahkan kemuliaan pada dirinya.” (HR. Muslim) Dalam sabda yang lain, ألا أخبرُكُم بأفضلَ من دَرجةِ الصِّيامِ والصَّلاةِ والصَّدَقةِ قالوا بلَى قال صلاحُ ذاتِ البينِ فإنَّ فسادَ ذاتِ البينِ هيَ الحالِقةُ “Maukah aku mengabarkan kalian amal yang lebih utama dari salat, puasa, dan sedekah?” Mereka berkata, “Mau.” Beliau bersabda, “Yaitu, memperbaiki hubungan (sesama muslim). Karena rusaknya hubungan (sesama muslim) adalah pencukur (agama).” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi) Ketika kita dizalimi atau diperlakukan buruk oleh seseorang dan orang tersebut dikenal saleh dan baik agamanya, maka sangat dianjurkan anda memaafkannya. Karena Allah Ta’ala telah memuji orang-orang yang suka memaafkan dan ada potensi perbaikan di sana, sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Balaslah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik. Maka, tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushilat: 34) (Lihat Makarimul Akhlak, hal. 25.) Hal ini berbeda kondisi jika orang tersebut dikenal jahat dan bejat. Maka, bisa jadi kita menjatuhkan hukuman (bisa dengan menjauhi, melaporkan kepada pihak berwajib) kepadanya agar tidak timbul kerusakan baru terhadap diri kita maupun orang lain. Syaikhul Islam mengatakan bahwa ishlah (perbaikan) itu wajib, sedangkan memaafkan itu sunah. Jika dengan memaafkan malah membuat tidak terjadi perbaikan, maka ini berarti kita mendahulukan yang sunah daripada yang wajib. Yang seperti ini tidak ada dalam syariat.” (Lihat Makarimul Akhlak, hal. 27.) Baca juga: Marah yang Dianjurkan *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id Tags: bertikai
Daftar Isi Toggle Akibat buruk di duniaAkibat buruk di akhiratTulus meminta maaf dan saling memberi maaf Manusia adalah makhluk sosial, di mana ia tidak bisa hidup sendiri dan butuh untuk bermasyarakat. Ia perlu bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder dalam hidupnya. Namun, terkadang yang menjadi persoalan antar sesama adalah bahwasanya manusia itu diciptakan dengan bermacam-macam karakter. Ada yang tutur katanya sopan dan lembut. Ada yang bicaranya kasar. Ada tipe orang yang penyabar. Ada yang pemarah. Sehingga, dengan banyaknya ragam tipe karakter manusia tersebut (yang mana memang tiada manusia yang sempurna), maka seringkali terjadi pertengkaran dan pertikaian. Potensi pertikaian ini justru paling besar muncul antara orang-orang terdekat dan di sekitarnya. Akhirnya, ketika masalahnya tidak kunjung reda atau usai, maka mereka biasanya akan saling mendiamkan dan tidak menyapa satu sama lain dalam kurun waktu yang lama. Padahal, dalam syariat Islam, seseorang hanya boleh mendiamkan saudaranya maksimal hanya sampai tiga hari saja. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أنْ يَهْجُرَ أخاهُ فَوْقَ ثَلاثِ لَيالٍ، يَلْتَقِيانِ فَيُعْرِضُ هَذا ويُعْرِضُ هَذا، وخَيْرُهُما الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلامِ “Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari. Mereka berdua bertemu, tetapi saling memalingkan wajah. Dan yang terbaik dari keduanya adalah yang lebih dahulu memulai salam.” (HR. Muslim no. 2560.) Dari hadis di atas, maka dapat kita ketahui bahwa masih diperbolehkan mendiamkan saudara sesama muslim kurang dari tiga hari. Hal ini karena untuk menghilangkan perasaan jengkel, dendam, dan emosi itu butuh waktu dan proses. Oleh karena itu, syariat memberikan toleransi sampai tiga hari untuk meredakannya. Lalu, bagaimana jika pertikaian tidak kunjung usai hingga lebih dari tiga hari? Maka, akan ada akibat buruk yang didapatkan, baik di dunia maupun di akhirat. Akibat buruk di dunia Selama seseorang masih dalam pertikaian dan pertengkaran, maka ketika hidup di dunia, ia akan dijauhkan dari kebenaran. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, فإنَّهما ناكبانِ عن الحقِّ ما داما على صِرامِهما “Maka, keduanya akan dijauhkan dari kebenaran selama keduanya dalam pertikaian tersebut.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad. Lihat Al-Irwa’, 7: 95 dan Ash-Shahihah, no. 1246.) Dalam kehidupan ini, kita senantiasa dihadapkan ke dalam dua pilihan. Orang yang senantiasa bertikai dan masih terlibat dalam permusuhan, maka ia akan dijauhkan dari petunjuk dan kebenaran. Misalnya, ia sering salah dalam memilih prioritas, bisnis, jodoh, ataupun barang. Bahkan, dalam masalah akhirat pun, ia kerapkali salah dalam memilih amalan dan pemahaman. Dalam hadis yang lain, diriwayatkan dari Abu Khirasyu As-Sulami, bahwasanya dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من هجر أخاه سنة فهو بسفك دمه “Barangsiapa mendiamkan saudaranya selama setahun, maka dia seperti menumpahkan darahnya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 166. Lihat Ash-Shahihah, no. 928.) Baca juga: Petaka di Balik Amarah Akibat buruk di akhirat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, وإن ماتا على صرامهما لم يدخلا الجنة جميعا ابدا “Jika kedua (orang yang bertikai) tersebut meninggal dalam keadaan memutuskan hubungan mereka berdua (belum saling meminta maaf), maka keduanya tidak akan masuk surga selamanya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad. Lihat Al-Irwa’, 7: 95, dan Ash-Shahihah, no. 1246.) Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, تفتح أبواب الجنة يوم الاثنين ويوم الخميس فيغفر لكل عبد لا يشرك بالله شيئا إلا رجلا كانت بينه وبين أخيه شحناء فيقال: أنظروا هذين حتى يصطلحا، أنظروا هذين حتى يصطلحا، أنظروا هذين حتى يصطلحا “Pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis. Maka, akan diampuni semua hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, kecuali dua orang laki-laki yang terdapat permusuhan antara dia dengan saudaranya. Maka, dikatakan, ‘Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai.’” (HR. Muslim) Tulus meminta maaf dan saling memberi maaf Allah Ta’ala berfirman, وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى “Dan jika kamu memaafkan, itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al Baqarah: 237) Dalam firman-Nya yang lain, إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Oleh karena itu, damaikanlah antara kedua saudara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 10) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا “Tidaklah seorang hamba memberikan maaf (terhadap kesalahan orang lain), melainkan Allah pasti akan menambahkan kemuliaan pada dirinya.” (HR. Muslim) Dalam sabda yang lain, ألا أخبرُكُم بأفضلَ من دَرجةِ الصِّيامِ والصَّلاةِ والصَّدَقةِ قالوا بلَى قال صلاحُ ذاتِ البينِ فإنَّ فسادَ ذاتِ البينِ هيَ الحالِقةُ “Maukah aku mengabarkan kalian amal yang lebih utama dari salat, puasa, dan sedekah?” Mereka berkata, “Mau.” Beliau bersabda, “Yaitu, memperbaiki hubungan (sesama muslim). Karena rusaknya hubungan (sesama muslim) adalah pencukur (agama).” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi) Ketika kita dizalimi atau diperlakukan buruk oleh seseorang dan orang tersebut dikenal saleh dan baik agamanya, maka sangat dianjurkan anda memaafkannya. Karena Allah Ta’ala telah memuji orang-orang yang suka memaafkan dan ada potensi perbaikan di sana, sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Balaslah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik. Maka, tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushilat: 34) (Lihat Makarimul Akhlak, hal. 25.) Hal ini berbeda kondisi jika orang tersebut dikenal jahat dan bejat. Maka, bisa jadi kita menjatuhkan hukuman (bisa dengan menjauhi, melaporkan kepada pihak berwajib) kepadanya agar tidak timbul kerusakan baru terhadap diri kita maupun orang lain. Syaikhul Islam mengatakan bahwa ishlah (perbaikan) itu wajib, sedangkan memaafkan itu sunah. Jika dengan memaafkan malah membuat tidak terjadi perbaikan, maka ini berarti kita mendahulukan yang sunah daripada yang wajib. Yang seperti ini tidak ada dalam syariat.” (Lihat Makarimul Akhlak, hal. 27.) Baca juga: Marah yang Dianjurkan *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id Tags: bertikai


Daftar Isi Toggle Akibat buruk di duniaAkibat buruk di akhiratTulus meminta maaf dan saling memberi maaf Manusia adalah makhluk sosial, di mana ia tidak bisa hidup sendiri dan butuh untuk bermasyarakat. Ia perlu bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder dalam hidupnya. Namun, terkadang yang menjadi persoalan antar sesama adalah bahwasanya manusia itu diciptakan dengan bermacam-macam karakter. Ada yang tutur katanya sopan dan lembut. Ada yang bicaranya kasar. Ada tipe orang yang penyabar. Ada yang pemarah. Sehingga, dengan banyaknya ragam tipe karakter manusia tersebut (yang mana memang tiada manusia yang sempurna), maka seringkali terjadi pertengkaran dan pertikaian. Potensi pertikaian ini justru paling besar muncul antara orang-orang terdekat dan di sekitarnya. Akhirnya, ketika masalahnya tidak kunjung reda atau usai, maka mereka biasanya akan saling mendiamkan dan tidak menyapa satu sama lain dalam kurun waktu yang lama. Padahal, dalam syariat Islam, seseorang hanya boleh mendiamkan saudaranya maksimal hanya sampai tiga hari saja. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أنْ يَهْجُرَ أخاهُ فَوْقَ ثَلاثِ لَيالٍ، يَلْتَقِيانِ فَيُعْرِضُ هَذا ويُعْرِضُ هَذا، وخَيْرُهُما الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلامِ “Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari. Mereka berdua bertemu, tetapi saling memalingkan wajah. Dan yang terbaik dari keduanya adalah yang lebih dahulu memulai salam.” (HR. Muslim no. 2560.) Dari hadis di atas, maka dapat kita ketahui bahwa masih diperbolehkan mendiamkan saudara sesama muslim kurang dari tiga hari. Hal ini karena untuk menghilangkan perasaan jengkel, dendam, dan emosi itu butuh waktu dan proses. Oleh karena itu, syariat memberikan toleransi sampai tiga hari untuk meredakannya. Lalu, bagaimana jika pertikaian tidak kunjung usai hingga lebih dari tiga hari? Maka, akan ada akibat buruk yang didapatkan, baik di dunia maupun di akhirat. Akibat buruk di dunia Selama seseorang masih dalam pertikaian dan pertengkaran, maka ketika hidup di dunia, ia akan dijauhkan dari kebenaran. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, فإنَّهما ناكبانِ عن الحقِّ ما داما على صِرامِهما “Maka, keduanya akan dijauhkan dari kebenaran selama keduanya dalam pertikaian tersebut.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad. Lihat Al-Irwa’, 7: 95 dan Ash-Shahihah, no. 1246.) Dalam kehidupan ini, kita senantiasa dihadapkan ke dalam dua pilihan. Orang yang senantiasa bertikai dan masih terlibat dalam permusuhan, maka ia akan dijauhkan dari petunjuk dan kebenaran. Misalnya, ia sering salah dalam memilih prioritas, bisnis, jodoh, ataupun barang. Bahkan, dalam masalah akhirat pun, ia kerapkali salah dalam memilih amalan dan pemahaman. Dalam hadis yang lain, diriwayatkan dari Abu Khirasyu As-Sulami, bahwasanya dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من هجر أخاه سنة فهو بسفك دمه “Barangsiapa mendiamkan saudaranya selama setahun, maka dia seperti menumpahkan darahnya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 166. Lihat Ash-Shahihah, no. 928.) Baca juga: Petaka di Balik Amarah Akibat buruk di akhirat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, وإن ماتا على صرامهما لم يدخلا الجنة جميعا ابدا “Jika kedua (orang yang bertikai) tersebut meninggal dalam keadaan memutuskan hubungan mereka berdua (belum saling meminta maaf), maka keduanya tidak akan masuk surga selamanya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad. Lihat Al-Irwa’, 7: 95, dan Ash-Shahihah, no. 1246.) Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, تفتح أبواب الجنة يوم الاثنين ويوم الخميس فيغفر لكل عبد لا يشرك بالله شيئا إلا رجلا كانت بينه وبين أخيه شحناء فيقال: أنظروا هذين حتى يصطلحا، أنظروا هذين حتى يصطلحا، أنظروا هذين حتى يصطلحا “Pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis. Maka, akan diampuni semua hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, kecuali dua orang laki-laki yang terdapat permusuhan antara dia dengan saudaranya. Maka, dikatakan, ‘Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai.’” (HR. Muslim) Tulus meminta maaf dan saling memberi maaf Allah Ta’ala berfirman, وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى “Dan jika kamu memaafkan, itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al Baqarah: 237) Dalam firman-Nya yang lain, إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Oleh karena itu, damaikanlah antara kedua saudara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 10) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا “Tidaklah seorang hamba memberikan maaf (terhadap kesalahan orang lain), melainkan Allah pasti akan menambahkan kemuliaan pada dirinya.” (HR. Muslim) Dalam sabda yang lain, ألا أخبرُكُم بأفضلَ من دَرجةِ الصِّيامِ والصَّلاةِ والصَّدَقةِ قالوا بلَى قال صلاحُ ذاتِ البينِ فإنَّ فسادَ ذاتِ البينِ هيَ الحالِقةُ “Maukah aku mengabarkan kalian amal yang lebih utama dari salat, puasa, dan sedekah?” Mereka berkata, “Mau.” Beliau bersabda, “Yaitu, memperbaiki hubungan (sesama muslim). Karena rusaknya hubungan (sesama muslim) adalah pencukur (agama).” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi) Ketika kita dizalimi atau diperlakukan buruk oleh seseorang dan orang tersebut dikenal saleh dan baik agamanya, maka sangat dianjurkan anda memaafkannya. Karena Allah Ta’ala telah memuji orang-orang yang suka memaafkan dan ada potensi perbaikan di sana, sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Balaslah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik. Maka, tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushilat: 34) (Lihat Makarimul Akhlak, hal. 25.) Hal ini berbeda kondisi jika orang tersebut dikenal jahat dan bejat. Maka, bisa jadi kita menjatuhkan hukuman (bisa dengan menjauhi, melaporkan kepada pihak berwajib) kepadanya agar tidak timbul kerusakan baru terhadap diri kita maupun orang lain. Syaikhul Islam mengatakan bahwa ishlah (perbaikan) itu wajib, sedangkan memaafkan itu sunah. Jika dengan memaafkan malah membuat tidak terjadi perbaikan, maka ini berarti kita mendahulukan yang sunah daripada yang wajib. Yang seperti ini tidak ada dalam syariat.” (Lihat Makarimul Akhlak, hal. 27.) Baca juga: Marah yang Dianjurkan *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id Tags: bertikai

Sujudnya Malaikat dan Iblis kepada Nabi Adam

Pertanyaan: Mengapa Allah ta’ala memerintahkan Malaikat dan iblis untuk sujud kepada Nabi Adam ‘alaihissalam? Bukankah tidak boleh sujud kepada selain Allah? Mohon penjelasannya. Jawaban:  Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Pertama, sujud ada dua macam. Sujud ibadah dan sujud penghormatan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: السُّجُودُ عَلَى ضَرْبَيْنِ : سُجُودُ عِبَادَةٍ مَحْضَةٍ ، وَسُجُودُ تَشْرِيفٍ ، فَأَمَّا الْأَوَّلُ فَلَا يَكُونُ إلَّا لِلَّهِ “Sujud ada dua macam: sujud yang murni ibadah dan sujud penghormatan. Adapun yang pertama (sujud ibadah) hanya boleh ditujukan kepada Allah semata.” (Majmu’ Al-Fatawa, 4/361). Yang merupakan kesyirikan akbar adalah jika sujud kepada selain Allah dalam rangka beribadah kepadanya. Allah ta’ala berfirman: فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا “Dan sujudlah kepada Allah semata dan beribadahlah hanya kepada-Nya” (QS. An-Najm: 62). Allah ta’ala berfirman: وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ “Sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah bersujud pada matahari dan jangan (pula) pada bulan. Bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.” (QS. Fushilat: 37).  Kedua, adapun sujud penghormatan kepada selain Allah, hukumnya haram di syariat kita namun dibolehkan di syariat-syariat terdahulu. Dan inilah sujud yang diperintahkan oleh Allah kepada Malaikat dan iblis terhadap Nabi Adam ‘alaihissalam. Itu adalah sujud penghormatan, bukan sujud ibadah.  Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan: ( فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ) : سُجُودُ تَحِيَّةٍ وَتَكْرِمَةٍ ، لَا سُجُودَ عِبَادَةٍ “[Mereka para Malaikat pun tunduk untuk bersujud kepada Adam], maksudnya sujud penghormatan dan pemuliaan, bukan sujud ibadah” (Tafsir Ath-Thabari, 14/65). Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan: وَلَا خلاف بَين أحد من أهل الْإِسْلَام فِي أَن سجودهم لله تَعَالَى سُجُود عبَادَة ، ولآدم سُجُود تَحِيَّة وإكرام “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama Islam bahwa sujudnya makhluk kepada Allah adalah sujud ibadah, sedangkan sujudnya Malaikat kepada Adam adalah sujud penghormatan” (Al-Fishal fil Milal, 2/129). Sujud penghormatan kepada selain Allah dibolehkan dalam syariat yang berlaku di masa Nabi ‘Adam ‘alaihissalam dan juga syariat para Nabi terdahulu. Allah ta’ala berfirman: لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَاجًا “Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan syariat dan jalan yang terang” (QS. Al-Maidah: 48). Dalam kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam disebutkan: وَرَفَعَ اَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوْا لَهٗ سُجَّدًاۚ “Dia (Yusuf) menaikkan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana. Mereka tunduk bersujud kepadanya (Yusuf).” (QS. Yusuf: 100). Ath-Thabari menjelaskan ayat ini : ذَلِكَ السُّجُودُ تَشْرِفَة ، كَمَا سَجَدَتِ الْمَلَائِكَةُ لِآدَمَ تَشْرِفَةً ، لَيْسَ بِسُجُودِ عِبَادَةٍ “Maksudnya sujud penghormatan, sebagaimana sujudnya Malaikat kepada Nabi Adam untuk memuliakan beliau. Bukan sujud ibadah.” (Tafsir Ath-Thabari, 13/356). Ini menunjukkan bahwa sujud penghormatan kepada selain Allah dibolehkan dalam syariat-syariat terdahulu. Ketiga, adapun dalam syariat yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, tidak lagi diperbolehkan sujud penghormatan kepada selain Allah, terlebih lagi sujud ibadah. Dalam hadis dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata: لَمَّا قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّامِ سَجَدَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: ( مَا هَذَا يَا مُعَاذُ؟ ) ، قَالَ : أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَافَقْتُهُمْ يَسْجُدُونَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ ، فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ نَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( فَلَا تَفْعَلُوا، فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا “Ketika Mu’adz baru pulang dari negeri Syam, dia bersujud kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Nabi bersabda: “Apa ini wahai Mu’adz?!”. Mu’adz menjawab: “Aku datang ke kota Syam, dan aku mendapati mereka bersujud kepada uskup-uskup mereka dan panglima-panglima perang mereka. Maka aku ingin untuk melakukannya terhadap engkau wahai Rasulullah”. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu lakukan demikian! Sesungguhnya andaikan aku memerintahkan seseorang sujud kepada selain Allah, maka aku akan perintahkan para istri agar sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang istri menunaikan hak Rabb-nya, sampai ia menunaikan hak suaminya” (HR. Ibnu Majah no.1515, Al-Albani mengatakan: “hasan shahih” dalam Shahih Ibnu Majah). Dalam hadis ini Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang Mu’adz sujud kepada beliau walaupun dalam rangka menghormati. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: فإن نصوص السنة ، وإجماع الأمة : تُحرِّم السجودَ لغير الله في شريعتنا ، تحيةً أو عبادةً ، كنهيه لمعاذ بن جبل أن يسجد لما قدمَ من الشام وسجدَ له سجود تحية “Berdasarkan nash-nash As-Sunnah dan juga ijma ulama, bahwa sujud kepada selain Allah itu hukumnya haram di dalam syariat kita. Baik sujud penghormatan ataupun sujud ibadah. Sebagaimana larangan Nabi terhadap Muadz bin Jabal yang bersujud kepada beliau ketika pulang dari Syam, dalam rangka sujud penghormatan” (Jami’ul Masail, 1/25). Ar-Ruhaibani rahimahullah menjelaskan: السُّجُودُ لِلْحُكَّامِ وَالْمَوْتَى بِقَصْدِ الْعِبَادَةِ : كَفْرٌ ، قَوْلًا وَاحِدًا ، بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ . وَالتَّحِيَّةُ لِمَخْلُوقٍ بِالسُّجُودِ لَهُ : كَبِيرَةٌ مِنْ الْكَبَائِرِ الْعِظَامِ “Sujud kepada penguasa dan kepada orang mati dengan niat ibadah adalah kekufuran. Hanya ada satu pendapat dalam masalah ini, ulama telah sepakat. Adapun sujud penghormatan kepada makhluk ini adalah dosa yang besar” (Mathalib Ulin Nuha, 6/278). Sujud kepada selain Allah dengan niat untuk menghormati dan memuliakan, hukumnya haram, termasuk dosa besar dan juga termasuk syirik asghar karena akan menjadi sarana untuk melakukan syirik akbar. Sehingga tetap tidak diperbolehkan walaupun niatnya hanya untuk menghormati atau memuliakan. Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Doa Supaya Masalah Cepat Selesai, Hari Baik Untuk Menikah, Ilmu Malaikat Maut, Perbedaan Sunni Dan Syiah, Manfaat Minum Sperma Suami Visited 537 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,098 QRIS donasi Yufid

Sujudnya Malaikat dan Iblis kepada Nabi Adam

Pertanyaan: Mengapa Allah ta’ala memerintahkan Malaikat dan iblis untuk sujud kepada Nabi Adam ‘alaihissalam? Bukankah tidak boleh sujud kepada selain Allah? Mohon penjelasannya. Jawaban:  Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Pertama, sujud ada dua macam. Sujud ibadah dan sujud penghormatan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: السُّجُودُ عَلَى ضَرْبَيْنِ : سُجُودُ عِبَادَةٍ مَحْضَةٍ ، وَسُجُودُ تَشْرِيفٍ ، فَأَمَّا الْأَوَّلُ فَلَا يَكُونُ إلَّا لِلَّهِ “Sujud ada dua macam: sujud yang murni ibadah dan sujud penghormatan. Adapun yang pertama (sujud ibadah) hanya boleh ditujukan kepada Allah semata.” (Majmu’ Al-Fatawa, 4/361). Yang merupakan kesyirikan akbar adalah jika sujud kepada selain Allah dalam rangka beribadah kepadanya. Allah ta’ala berfirman: فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا “Dan sujudlah kepada Allah semata dan beribadahlah hanya kepada-Nya” (QS. An-Najm: 62). Allah ta’ala berfirman: وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ “Sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah bersujud pada matahari dan jangan (pula) pada bulan. Bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.” (QS. Fushilat: 37).  Kedua, adapun sujud penghormatan kepada selain Allah, hukumnya haram di syariat kita namun dibolehkan di syariat-syariat terdahulu. Dan inilah sujud yang diperintahkan oleh Allah kepada Malaikat dan iblis terhadap Nabi Adam ‘alaihissalam. Itu adalah sujud penghormatan, bukan sujud ibadah.  Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan: ( فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ) : سُجُودُ تَحِيَّةٍ وَتَكْرِمَةٍ ، لَا سُجُودَ عِبَادَةٍ “[Mereka para Malaikat pun tunduk untuk bersujud kepada Adam], maksudnya sujud penghormatan dan pemuliaan, bukan sujud ibadah” (Tafsir Ath-Thabari, 14/65). Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan: وَلَا خلاف بَين أحد من أهل الْإِسْلَام فِي أَن سجودهم لله تَعَالَى سُجُود عبَادَة ، ولآدم سُجُود تَحِيَّة وإكرام “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama Islam bahwa sujudnya makhluk kepada Allah adalah sujud ibadah, sedangkan sujudnya Malaikat kepada Adam adalah sujud penghormatan” (Al-Fishal fil Milal, 2/129). Sujud penghormatan kepada selain Allah dibolehkan dalam syariat yang berlaku di masa Nabi ‘Adam ‘alaihissalam dan juga syariat para Nabi terdahulu. Allah ta’ala berfirman: لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَاجًا “Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan syariat dan jalan yang terang” (QS. Al-Maidah: 48). Dalam kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam disebutkan: وَرَفَعَ اَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوْا لَهٗ سُجَّدًاۚ “Dia (Yusuf) menaikkan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana. Mereka tunduk bersujud kepadanya (Yusuf).” (QS. Yusuf: 100). Ath-Thabari menjelaskan ayat ini : ذَلِكَ السُّجُودُ تَشْرِفَة ، كَمَا سَجَدَتِ الْمَلَائِكَةُ لِآدَمَ تَشْرِفَةً ، لَيْسَ بِسُجُودِ عِبَادَةٍ “Maksudnya sujud penghormatan, sebagaimana sujudnya Malaikat kepada Nabi Adam untuk memuliakan beliau. Bukan sujud ibadah.” (Tafsir Ath-Thabari, 13/356). Ini menunjukkan bahwa sujud penghormatan kepada selain Allah dibolehkan dalam syariat-syariat terdahulu. Ketiga, adapun dalam syariat yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, tidak lagi diperbolehkan sujud penghormatan kepada selain Allah, terlebih lagi sujud ibadah. Dalam hadis dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata: لَمَّا قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّامِ سَجَدَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: ( مَا هَذَا يَا مُعَاذُ؟ ) ، قَالَ : أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَافَقْتُهُمْ يَسْجُدُونَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ ، فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ نَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( فَلَا تَفْعَلُوا، فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا “Ketika Mu’adz baru pulang dari negeri Syam, dia bersujud kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Nabi bersabda: “Apa ini wahai Mu’adz?!”. Mu’adz menjawab: “Aku datang ke kota Syam, dan aku mendapati mereka bersujud kepada uskup-uskup mereka dan panglima-panglima perang mereka. Maka aku ingin untuk melakukannya terhadap engkau wahai Rasulullah”. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu lakukan demikian! Sesungguhnya andaikan aku memerintahkan seseorang sujud kepada selain Allah, maka aku akan perintahkan para istri agar sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang istri menunaikan hak Rabb-nya, sampai ia menunaikan hak suaminya” (HR. Ibnu Majah no.1515, Al-Albani mengatakan: “hasan shahih” dalam Shahih Ibnu Majah). Dalam hadis ini Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang Mu’adz sujud kepada beliau walaupun dalam rangka menghormati. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: فإن نصوص السنة ، وإجماع الأمة : تُحرِّم السجودَ لغير الله في شريعتنا ، تحيةً أو عبادةً ، كنهيه لمعاذ بن جبل أن يسجد لما قدمَ من الشام وسجدَ له سجود تحية “Berdasarkan nash-nash As-Sunnah dan juga ijma ulama, bahwa sujud kepada selain Allah itu hukumnya haram di dalam syariat kita. Baik sujud penghormatan ataupun sujud ibadah. Sebagaimana larangan Nabi terhadap Muadz bin Jabal yang bersujud kepada beliau ketika pulang dari Syam, dalam rangka sujud penghormatan” (Jami’ul Masail, 1/25). Ar-Ruhaibani rahimahullah menjelaskan: السُّجُودُ لِلْحُكَّامِ وَالْمَوْتَى بِقَصْدِ الْعِبَادَةِ : كَفْرٌ ، قَوْلًا وَاحِدًا ، بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ . وَالتَّحِيَّةُ لِمَخْلُوقٍ بِالسُّجُودِ لَهُ : كَبِيرَةٌ مِنْ الْكَبَائِرِ الْعِظَامِ “Sujud kepada penguasa dan kepada orang mati dengan niat ibadah adalah kekufuran. Hanya ada satu pendapat dalam masalah ini, ulama telah sepakat. Adapun sujud penghormatan kepada makhluk ini adalah dosa yang besar” (Mathalib Ulin Nuha, 6/278). Sujud kepada selain Allah dengan niat untuk menghormati dan memuliakan, hukumnya haram, termasuk dosa besar dan juga termasuk syirik asghar karena akan menjadi sarana untuk melakukan syirik akbar. Sehingga tetap tidak diperbolehkan walaupun niatnya hanya untuk menghormati atau memuliakan. Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Doa Supaya Masalah Cepat Selesai, Hari Baik Untuk Menikah, Ilmu Malaikat Maut, Perbedaan Sunni Dan Syiah, Manfaat Minum Sperma Suami Visited 537 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,098 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Mengapa Allah ta’ala memerintahkan Malaikat dan iblis untuk sujud kepada Nabi Adam ‘alaihissalam? Bukankah tidak boleh sujud kepada selain Allah? Mohon penjelasannya. Jawaban:  Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Pertama, sujud ada dua macam. Sujud ibadah dan sujud penghormatan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: السُّجُودُ عَلَى ضَرْبَيْنِ : سُجُودُ عِبَادَةٍ مَحْضَةٍ ، وَسُجُودُ تَشْرِيفٍ ، فَأَمَّا الْأَوَّلُ فَلَا يَكُونُ إلَّا لِلَّهِ “Sujud ada dua macam: sujud yang murni ibadah dan sujud penghormatan. Adapun yang pertama (sujud ibadah) hanya boleh ditujukan kepada Allah semata.” (Majmu’ Al-Fatawa, 4/361). Yang merupakan kesyirikan akbar adalah jika sujud kepada selain Allah dalam rangka beribadah kepadanya. Allah ta’ala berfirman: فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا “Dan sujudlah kepada Allah semata dan beribadahlah hanya kepada-Nya” (QS. An-Najm: 62). Allah ta’ala berfirman: وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ “Sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah bersujud pada matahari dan jangan (pula) pada bulan. Bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.” (QS. Fushilat: 37).  Kedua, adapun sujud penghormatan kepada selain Allah, hukumnya haram di syariat kita namun dibolehkan di syariat-syariat terdahulu. Dan inilah sujud yang diperintahkan oleh Allah kepada Malaikat dan iblis terhadap Nabi Adam ‘alaihissalam. Itu adalah sujud penghormatan, bukan sujud ibadah.  Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan: ( فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ) : سُجُودُ تَحِيَّةٍ وَتَكْرِمَةٍ ، لَا سُجُودَ عِبَادَةٍ “[Mereka para Malaikat pun tunduk untuk bersujud kepada Adam], maksudnya sujud penghormatan dan pemuliaan, bukan sujud ibadah” (Tafsir Ath-Thabari, 14/65). Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan: وَلَا خلاف بَين أحد من أهل الْإِسْلَام فِي أَن سجودهم لله تَعَالَى سُجُود عبَادَة ، ولآدم سُجُود تَحِيَّة وإكرام “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama Islam bahwa sujudnya makhluk kepada Allah adalah sujud ibadah, sedangkan sujudnya Malaikat kepada Adam adalah sujud penghormatan” (Al-Fishal fil Milal, 2/129). Sujud penghormatan kepada selain Allah dibolehkan dalam syariat yang berlaku di masa Nabi ‘Adam ‘alaihissalam dan juga syariat para Nabi terdahulu. Allah ta’ala berfirman: لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَاجًا “Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan syariat dan jalan yang terang” (QS. Al-Maidah: 48). Dalam kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam disebutkan: وَرَفَعَ اَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوْا لَهٗ سُجَّدًاۚ “Dia (Yusuf) menaikkan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana. Mereka tunduk bersujud kepadanya (Yusuf).” (QS. Yusuf: 100). Ath-Thabari menjelaskan ayat ini : ذَلِكَ السُّجُودُ تَشْرِفَة ، كَمَا سَجَدَتِ الْمَلَائِكَةُ لِآدَمَ تَشْرِفَةً ، لَيْسَ بِسُجُودِ عِبَادَةٍ “Maksudnya sujud penghormatan, sebagaimana sujudnya Malaikat kepada Nabi Adam untuk memuliakan beliau. Bukan sujud ibadah.” (Tafsir Ath-Thabari, 13/356). Ini menunjukkan bahwa sujud penghormatan kepada selain Allah dibolehkan dalam syariat-syariat terdahulu. Ketiga, adapun dalam syariat yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, tidak lagi diperbolehkan sujud penghormatan kepada selain Allah, terlebih lagi sujud ibadah. Dalam hadis dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata: لَمَّا قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّامِ سَجَدَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: ( مَا هَذَا يَا مُعَاذُ؟ ) ، قَالَ : أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَافَقْتُهُمْ يَسْجُدُونَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ ، فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ نَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( فَلَا تَفْعَلُوا، فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا “Ketika Mu’adz baru pulang dari negeri Syam, dia bersujud kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Nabi bersabda: “Apa ini wahai Mu’adz?!”. Mu’adz menjawab: “Aku datang ke kota Syam, dan aku mendapati mereka bersujud kepada uskup-uskup mereka dan panglima-panglima perang mereka. Maka aku ingin untuk melakukannya terhadap engkau wahai Rasulullah”. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu lakukan demikian! Sesungguhnya andaikan aku memerintahkan seseorang sujud kepada selain Allah, maka aku akan perintahkan para istri agar sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang istri menunaikan hak Rabb-nya, sampai ia menunaikan hak suaminya” (HR. Ibnu Majah no.1515, Al-Albani mengatakan: “hasan shahih” dalam Shahih Ibnu Majah). Dalam hadis ini Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang Mu’adz sujud kepada beliau walaupun dalam rangka menghormati. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: فإن نصوص السنة ، وإجماع الأمة : تُحرِّم السجودَ لغير الله في شريعتنا ، تحيةً أو عبادةً ، كنهيه لمعاذ بن جبل أن يسجد لما قدمَ من الشام وسجدَ له سجود تحية “Berdasarkan nash-nash As-Sunnah dan juga ijma ulama, bahwa sujud kepada selain Allah itu hukumnya haram di dalam syariat kita. Baik sujud penghormatan ataupun sujud ibadah. Sebagaimana larangan Nabi terhadap Muadz bin Jabal yang bersujud kepada beliau ketika pulang dari Syam, dalam rangka sujud penghormatan” (Jami’ul Masail, 1/25). Ar-Ruhaibani rahimahullah menjelaskan: السُّجُودُ لِلْحُكَّامِ وَالْمَوْتَى بِقَصْدِ الْعِبَادَةِ : كَفْرٌ ، قَوْلًا وَاحِدًا ، بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ . وَالتَّحِيَّةُ لِمَخْلُوقٍ بِالسُّجُودِ لَهُ : كَبِيرَةٌ مِنْ الْكَبَائِرِ الْعِظَامِ “Sujud kepada penguasa dan kepada orang mati dengan niat ibadah adalah kekufuran. Hanya ada satu pendapat dalam masalah ini, ulama telah sepakat. Adapun sujud penghormatan kepada makhluk ini adalah dosa yang besar” (Mathalib Ulin Nuha, 6/278). Sujud kepada selain Allah dengan niat untuk menghormati dan memuliakan, hukumnya haram, termasuk dosa besar dan juga termasuk syirik asghar karena akan menjadi sarana untuk melakukan syirik akbar. Sehingga tetap tidak diperbolehkan walaupun niatnya hanya untuk menghormati atau memuliakan. Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Doa Supaya Masalah Cepat Selesai, Hari Baik Untuk Menikah, Ilmu Malaikat Maut, Perbedaan Sunni Dan Syiah, Manfaat Minum Sperma Suami Visited 537 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,098 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Mengapa Allah ta’ala memerintahkan Malaikat dan iblis untuk sujud kepada Nabi Adam ‘alaihissalam? Bukankah tidak boleh sujud kepada selain Allah? Mohon penjelasannya. Jawaban:  Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Pertama, sujud ada dua macam. Sujud ibadah dan sujud penghormatan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: السُّجُودُ عَلَى ضَرْبَيْنِ : سُجُودُ عِبَادَةٍ مَحْضَةٍ ، وَسُجُودُ تَشْرِيفٍ ، فَأَمَّا الْأَوَّلُ فَلَا يَكُونُ إلَّا لِلَّهِ “Sujud ada dua macam: sujud yang murni ibadah dan sujud penghormatan. Adapun yang pertama (sujud ibadah) hanya boleh ditujukan kepada Allah semata.” (Majmu’ Al-Fatawa, 4/361). Yang merupakan kesyirikan akbar adalah jika sujud kepada selain Allah dalam rangka beribadah kepadanya. Allah ta’ala berfirman: فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا “Dan sujudlah kepada Allah semata dan beribadahlah hanya kepada-Nya” (QS. An-Najm: 62). Allah ta’ala berfirman: وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ “Sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah bersujud pada matahari dan jangan (pula) pada bulan. Bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.” (QS. Fushilat: 37).  Kedua, adapun sujud penghormatan kepada selain Allah, hukumnya haram di syariat kita namun dibolehkan di syariat-syariat terdahulu. Dan inilah sujud yang diperintahkan oleh Allah kepada Malaikat dan iblis terhadap Nabi Adam ‘alaihissalam. Itu adalah sujud penghormatan, bukan sujud ibadah.  Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan: ( فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ) : سُجُودُ تَحِيَّةٍ وَتَكْرِمَةٍ ، لَا سُجُودَ عِبَادَةٍ “[Mereka para Malaikat pun tunduk untuk bersujud kepada Adam], maksudnya sujud penghormatan dan pemuliaan, bukan sujud ibadah” (Tafsir Ath-Thabari, 14/65). Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan: وَلَا خلاف بَين أحد من أهل الْإِسْلَام فِي أَن سجودهم لله تَعَالَى سُجُود عبَادَة ، ولآدم سُجُود تَحِيَّة وإكرام “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama Islam bahwa sujudnya makhluk kepada Allah adalah sujud ibadah, sedangkan sujudnya Malaikat kepada Adam adalah sujud penghormatan” (Al-Fishal fil Milal, 2/129). Sujud penghormatan kepada selain Allah dibolehkan dalam syariat yang berlaku di masa Nabi ‘Adam ‘alaihissalam dan juga syariat para Nabi terdahulu. Allah ta’ala berfirman: لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَاجًا “Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan syariat dan jalan yang terang” (QS. Al-Maidah: 48). Dalam kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam disebutkan: وَرَفَعَ اَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوْا لَهٗ سُجَّدًاۚ “Dia (Yusuf) menaikkan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana. Mereka tunduk bersujud kepadanya (Yusuf).” (QS. Yusuf: 100). Ath-Thabari menjelaskan ayat ini : ذَلِكَ السُّجُودُ تَشْرِفَة ، كَمَا سَجَدَتِ الْمَلَائِكَةُ لِآدَمَ تَشْرِفَةً ، لَيْسَ بِسُجُودِ عِبَادَةٍ “Maksudnya sujud penghormatan, sebagaimana sujudnya Malaikat kepada Nabi Adam untuk memuliakan beliau. Bukan sujud ibadah.” (Tafsir Ath-Thabari, 13/356). Ini menunjukkan bahwa sujud penghormatan kepada selain Allah dibolehkan dalam syariat-syariat terdahulu. Ketiga, adapun dalam syariat yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, tidak lagi diperbolehkan sujud penghormatan kepada selain Allah, terlebih lagi sujud ibadah. Dalam hadis dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata: لَمَّا قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّامِ سَجَدَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: ( مَا هَذَا يَا مُعَاذُ؟ ) ، قَالَ : أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَافَقْتُهُمْ يَسْجُدُونَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ ، فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ نَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( فَلَا تَفْعَلُوا، فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا “Ketika Mu’adz baru pulang dari negeri Syam, dia bersujud kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Nabi bersabda: “Apa ini wahai Mu’adz?!”. Mu’adz menjawab: “Aku datang ke kota Syam, dan aku mendapati mereka bersujud kepada uskup-uskup mereka dan panglima-panglima perang mereka. Maka aku ingin untuk melakukannya terhadap engkau wahai Rasulullah”. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu lakukan demikian! Sesungguhnya andaikan aku memerintahkan seseorang sujud kepada selain Allah, maka aku akan perintahkan para istri agar sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang istri menunaikan hak Rabb-nya, sampai ia menunaikan hak suaminya” (HR. Ibnu Majah no.1515, Al-Albani mengatakan: “hasan shahih” dalam Shahih Ibnu Majah). Dalam hadis ini Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang Mu’adz sujud kepada beliau walaupun dalam rangka menghormati. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: فإن نصوص السنة ، وإجماع الأمة : تُحرِّم السجودَ لغير الله في شريعتنا ، تحيةً أو عبادةً ، كنهيه لمعاذ بن جبل أن يسجد لما قدمَ من الشام وسجدَ له سجود تحية “Berdasarkan nash-nash As-Sunnah dan juga ijma ulama, bahwa sujud kepada selain Allah itu hukumnya haram di dalam syariat kita. Baik sujud penghormatan ataupun sujud ibadah. Sebagaimana larangan Nabi terhadap Muadz bin Jabal yang bersujud kepada beliau ketika pulang dari Syam, dalam rangka sujud penghormatan” (Jami’ul Masail, 1/25). Ar-Ruhaibani rahimahullah menjelaskan: السُّجُودُ لِلْحُكَّامِ وَالْمَوْتَى بِقَصْدِ الْعِبَادَةِ : كَفْرٌ ، قَوْلًا وَاحِدًا ، بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ . وَالتَّحِيَّةُ لِمَخْلُوقٍ بِالسُّجُودِ لَهُ : كَبِيرَةٌ مِنْ الْكَبَائِرِ الْعِظَامِ “Sujud kepada penguasa dan kepada orang mati dengan niat ibadah adalah kekufuran. Hanya ada satu pendapat dalam masalah ini, ulama telah sepakat. Adapun sujud penghormatan kepada makhluk ini adalah dosa yang besar” (Mathalib Ulin Nuha, 6/278). Sujud kepada selain Allah dengan niat untuk menghormati dan memuliakan, hukumnya haram, termasuk dosa besar dan juga termasuk syirik asghar karena akan menjadi sarana untuk melakukan syirik akbar. Sehingga tetap tidak diperbolehkan walaupun niatnya hanya untuk menghormati atau memuliakan. Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Doa Supaya Masalah Cepat Selesai, Hari Baik Untuk Menikah, Ilmu Malaikat Maut, Perbedaan Sunni Dan Syiah, Manfaat Minum Sperma Suami Visited 537 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,098 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Memperbaiki Hati dan Mengokohkan Iman dengan Al-Quran

Di antara cara dan metode untuk memperbaiki kondisi hati kita, juga untuk menambah, mempertebal, dan mengokohkan iman adalah dengan membaca Al-Quran dan merenungi makna ayat-ayatnya. Karena Al-Quran diturunkan oleh Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya sebagai rahmat, petunjuk, kabar gembira, serta pengingat bagi orang-orang yang mau mengingat Allah. Allah Ta’ala juga berfirman, وَهَٰذَا كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ مُبَارَك فَٱتَّبِعُوهُ وَٱتَّقُواْ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ “Dan Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (QS. Al-An’am: 155) Al-Quran diturunkan sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala juga berfirman, وَلَقَدۡ جِئۡنَٰهُم بِكِتَٰب فَصَّلۡنَٰهُ عَلَىٰ عِلۡمٍ هُدى وَرَحۡمَة لِّقَوۡم يُؤۡمِنُونَ “Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al-Quran) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A’raf: 52) Allah Ta’ala juga berfirman, وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنا لِّكُلِّ شَيۡء وَهُدى وَرَحۡمَة وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِينَ “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang mau berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89) Allah Ta’ala pun berfirman, إِنَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ يَهۡدِي لِلَّتِي هِيَ أَقۡوَمُ وَيُبَشِّرُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمۡ أَجۡرا كَبِيرا “Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Al-Isra’: 9) Al-Quran diturunkan dengan penuh keberkahan. Allah Ta’ala juga berfirman, كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَك لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai fikiran bisa mendapatkan pelajaran.” (QS. Sad: 29) Al-Quran diturunkan sebagai obat (penawar), baik untuk penyakit badan dan juga penyakit hati. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَآء وَرَحۡمَة لِّلۡمُؤۡمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارا “Dan Kami turunkan dari Al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Isra’: 82) Demikian pula, Al-Quran diturunkan sebagai peringatan bagi orang-orang yang mau merenunginya. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكۡرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُۥ قَلۡبٌ أَوۡ أَلۡقَى ٱلسَّمۡعَ وَهُوَ شَهِيد “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaf: 37) Pada ayat-ayat Al-Quran tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan keutamaan yang dimiliki oleh Al-Quranul Karim. Allah Ta’ala telah menjadikan Al-Quran penuh berkah dan petunjuk bagi semesta alam. Allah Ta’ala menjadikan di dalam Al-Quran penyembuh atas berbagai penyakit, lebih-lebih penyakit syubhat dan syahwat yang terdapat di dalam hati. Allah Ta’ala pun menjadikan Al-Quran sebagai kabar gembira dan kasih sayang bagi semesta alam, juga menjadi pengingat bagi orang-orang yang mau ingat dan menjadikan di dalamnya terdapat ayat-ayat peringatan. Semua itu agar manusia mau bertakwa dan bisa menjadi pengingat bagi mereka. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila orang yang menekuni Al-Quran adalah di antara wali (kekasih) Allah. Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنْ النَّاسِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ هُمْ أَهْلُ الْقُرْآنِ أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ “Sesungguhnya Allah mempunyai banyak ahli (wali) dari kalangan manusia.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah mereka itu?” Beliau menjawab, “Mereka adalah ahlul Quran, mereka adalah para ahli dan orang khusus Allah.” (HR. Ahmad no. 12293, An-Nasa’i dalam Al-Kabir no. 7977, dan Ibnu Majah no. 215, dinilai sahih oleh Al-Albani) Baca juga: Kebahagiaan di Balik Ahli Quran Demikian pula, hamba Allah yang terbaik adalah mereka yang senantiasa tekun belajar Al-Quran dan kemudian mengajarkan Al-Quran. Dari sahabat Utsman radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ “Orang yang paling baik di antara kalian adalah seorang yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari no. 5027) Sampai-sampai, kita boleh hasad kepada orang yang telah diberi nikmat berupa ilmu tentang Al-Quran. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ فَقَالَ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يُهْلِكُهُ فِي الْحَقِّ فَقَالَ رَجُلٌ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ “Tidak diperbolehkan hasad kecuali pada dua perkara, yaitu kepada seseorang yang telah diajari Al-Quran oleh Allah, sehingga ia membacanya di pertengahan malam dan siang. Sampai tetangga yang mendengarnya berkata, ‘Duh.., sekiranya aku diberikan sebagaimana apa yang diberikan kepada si Fulan, niscaya aku akan melakukan apa yang dia lakukan.’ Kemudian seseorang diberi karunia harta oleh Allah, sehingga ia dapat membelanjakannya pada kebenaran. Lalu orang pun berkata, ‘Seandainya aku diberi karunia sebagaimana si Fulan, niscaya aku akan melakukan sebagaimana yang dilakukannya.’” (HR. Bukhari no. 5026) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah membuat perumpamaan bagi seorang mukmin yang gemar membaca Al-Quran. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam umpamakan seperti buah utrujah (semacam buah apel), buah yang baunya harum dan ketika dimakan, rasanya pun enak. Dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْأُتْرُجَّةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ لَا رِيحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ لَيْسَ لَهَا رِيحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ “Perumpamaan seorang mukmin yang suka membaca Al-Quran seperti buah utrujah, baunya harum dan rasanya enak. Perumpamaan seorang mukmin yang tidak suka membaca Al-Quran seperti buah kurma, tidak berbau harum, namun rasanya manis. Perumpamaan seorang munafik yang suka membaca Al-Quran seperti buah raihanah, baunya harum tapi rasanya pahit. Dan perumpamaan seorang munafik yang tidak suka membaca Al-Quran seperti buah hanzhalah, baunya tidak enak dan rasanya pahit.” (HR. Bukhari no. 5427 dan Muslim no. 797) Ketika kita membaca Al-Quran, kita akan dapati bahwa di dalamnya terdapat berbagai ilmu dan pengetahuan yang bisa memperbaiki dan mengobati hatinya; serta bisa menguatkan serta mengokohkan imannya. Seseorang akan mengetahui bahwa isinya adalah tentang Allah Ta’ala, kesempurnaan nama dan sifat Allah Ta’ala. Dengan membaca Al-Quran dan merenungi maknanya, seseorang akan semakin mengenal Allah Ta’ala. Seseorang mengenal Allah sebagai pemilik langit dan bumi, yang memberikan rizki untuk hamba-hamba-Nya, dan yang mengatur semua urusan di alam semesta. Allah pun mengingatkan hamba-hamba-Nya atas kebutuhan mereka terhadap-Nya, dan besarnya hajat mereka kepada-Nya dari segala sisi. Di dalam Al-Quran, Allah menyebutkan hal-hal yang bisa membahagiakan mereka dan mengantarkan mereka kepada keberuntungan, berupa ibadah, ketaatan, dan amal saleh. Allah memotivasi mereka atas hal tersebut. Sebaliknya, Allah Ta’ala pun peringatkan mereka atas apa yang bisa mencelakakan mereka, berupa perbuatan dosa, maksiat, dan keburukan. Allah peringatkan mereka dari kemurkaan-Nya. Allah ingatkan mereka tentang apa yang telah disiapkannya berupa kemuliaan bagi mereka jika menaati-Nya, apa yang telah disiapkannya berupa hukuman bagi mereka jika mereka tidak menaati dan mendurhakai-Nya. Allah Ta’ala memuji para kekasih-Nya dengan sebab amal saleh dan sifat mereka yang mulia, lalu mencela musuh-musuh-Nya dengan sebab keburukan amal dan jeleknya sifat-sifat mereka. Allah Ta’ala juga mengabarkan bagaimana Allah telah membalas para kekasih-Nya berupa kebaikan dan pahala; dan apa yang telah Allah Ta’ala balas kepada musuh-musuh-Nya berupa azab dan hukuman. Allah Ta’ala pun kabarkan tentang kesudahan kedua kelompok tersebut. Allah mengajak kepada negeri keselamatan (surga), menyebutkan sifat-sifat, keindahan, serta kenikmatannya. Juga memberi peringatan tentang negeri kebinasaan (neraka), mengingatkan adzab serta kepedihan di dalamnya. Allah telah mengabarkan bahwa Al-Quran bisa menambahkan keimanan bagi orang-orang yang beriman jika mereka membaca dan mentadaburi ayat-ayatnya. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُهُمۡ وَإِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنا وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka. Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya). Dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal.” (QS. Al-Anfal: 2) Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk ke dalam golongan ahlul Qur’an. Baca juga: Karakteristik Fundamental Al-Quran *** “Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri.” @BA, 11 Dzulqa’dah 1445/ 20 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 13; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: Al-Quran

Memperbaiki Hati dan Mengokohkan Iman dengan Al-Quran

Di antara cara dan metode untuk memperbaiki kondisi hati kita, juga untuk menambah, mempertebal, dan mengokohkan iman adalah dengan membaca Al-Quran dan merenungi makna ayat-ayatnya. Karena Al-Quran diturunkan oleh Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya sebagai rahmat, petunjuk, kabar gembira, serta pengingat bagi orang-orang yang mau mengingat Allah. Allah Ta’ala juga berfirman, وَهَٰذَا كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ مُبَارَك فَٱتَّبِعُوهُ وَٱتَّقُواْ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ “Dan Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (QS. Al-An’am: 155) Al-Quran diturunkan sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala juga berfirman, وَلَقَدۡ جِئۡنَٰهُم بِكِتَٰب فَصَّلۡنَٰهُ عَلَىٰ عِلۡمٍ هُدى وَرَحۡمَة لِّقَوۡم يُؤۡمِنُونَ “Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al-Quran) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A’raf: 52) Allah Ta’ala juga berfirman, وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنا لِّكُلِّ شَيۡء وَهُدى وَرَحۡمَة وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِينَ “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang mau berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89) Allah Ta’ala pun berfirman, إِنَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ يَهۡدِي لِلَّتِي هِيَ أَقۡوَمُ وَيُبَشِّرُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمۡ أَجۡرا كَبِيرا “Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Al-Isra’: 9) Al-Quran diturunkan dengan penuh keberkahan. Allah Ta’ala juga berfirman, كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَك لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai fikiran bisa mendapatkan pelajaran.” (QS. Sad: 29) Al-Quran diturunkan sebagai obat (penawar), baik untuk penyakit badan dan juga penyakit hati. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَآء وَرَحۡمَة لِّلۡمُؤۡمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارا “Dan Kami turunkan dari Al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Isra’: 82) Demikian pula, Al-Quran diturunkan sebagai peringatan bagi orang-orang yang mau merenunginya. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكۡرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُۥ قَلۡبٌ أَوۡ أَلۡقَى ٱلسَّمۡعَ وَهُوَ شَهِيد “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaf: 37) Pada ayat-ayat Al-Quran tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan keutamaan yang dimiliki oleh Al-Quranul Karim. Allah Ta’ala telah menjadikan Al-Quran penuh berkah dan petunjuk bagi semesta alam. Allah Ta’ala menjadikan di dalam Al-Quran penyembuh atas berbagai penyakit, lebih-lebih penyakit syubhat dan syahwat yang terdapat di dalam hati. Allah Ta’ala pun menjadikan Al-Quran sebagai kabar gembira dan kasih sayang bagi semesta alam, juga menjadi pengingat bagi orang-orang yang mau ingat dan menjadikan di dalamnya terdapat ayat-ayat peringatan. Semua itu agar manusia mau bertakwa dan bisa menjadi pengingat bagi mereka. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila orang yang menekuni Al-Quran adalah di antara wali (kekasih) Allah. Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنْ النَّاسِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ هُمْ أَهْلُ الْقُرْآنِ أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ “Sesungguhnya Allah mempunyai banyak ahli (wali) dari kalangan manusia.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah mereka itu?” Beliau menjawab, “Mereka adalah ahlul Quran, mereka adalah para ahli dan orang khusus Allah.” (HR. Ahmad no. 12293, An-Nasa’i dalam Al-Kabir no. 7977, dan Ibnu Majah no. 215, dinilai sahih oleh Al-Albani) Baca juga: Kebahagiaan di Balik Ahli Quran Demikian pula, hamba Allah yang terbaik adalah mereka yang senantiasa tekun belajar Al-Quran dan kemudian mengajarkan Al-Quran. Dari sahabat Utsman radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ “Orang yang paling baik di antara kalian adalah seorang yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari no. 5027) Sampai-sampai, kita boleh hasad kepada orang yang telah diberi nikmat berupa ilmu tentang Al-Quran. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ فَقَالَ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يُهْلِكُهُ فِي الْحَقِّ فَقَالَ رَجُلٌ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ “Tidak diperbolehkan hasad kecuali pada dua perkara, yaitu kepada seseorang yang telah diajari Al-Quran oleh Allah, sehingga ia membacanya di pertengahan malam dan siang. Sampai tetangga yang mendengarnya berkata, ‘Duh.., sekiranya aku diberikan sebagaimana apa yang diberikan kepada si Fulan, niscaya aku akan melakukan apa yang dia lakukan.’ Kemudian seseorang diberi karunia harta oleh Allah, sehingga ia dapat membelanjakannya pada kebenaran. Lalu orang pun berkata, ‘Seandainya aku diberi karunia sebagaimana si Fulan, niscaya aku akan melakukan sebagaimana yang dilakukannya.’” (HR. Bukhari no. 5026) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah membuat perumpamaan bagi seorang mukmin yang gemar membaca Al-Quran. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam umpamakan seperti buah utrujah (semacam buah apel), buah yang baunya harum dan ketika dimakan, rasanya pun enak. Dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْأُتْرُجَّةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ لَا رِيحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ لَيْسَ لَهَا رِيحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ “Perumpamaan seorang mukmin yang suka membaca Al-Quran seperti buah utrujah, baunya harum dan rasanya enak. Perumpamaan seorang mukmin yang tidak suka membaca Al-Quran seperti buah kurma, tidak berbau harum, namun rasanya manis. Perumpamaan seorang munafik yang suka membaca Al-Quran seperti buah raihanah, baunya harum tapi rasanya pahit. Dan perumpamaan seorang munafik yang tidak suka membaca Al-Quran seperti buah hanzhalah, baunya tidak enak dan rasanya pahit.” (HR. Bukhari no. 5427 dan Muslim no. 797) Ketika kita membaca Al-Quran, kita akan dapati bahwa di dalamnya terdapat berbagai ilmu dan pengetahuan yang bisa memperbaiki dan mengobati hatinya; serta bisa menguatkan serta mengokohkan imannya. Seseorang akan mengetahui bahwa isinya adalah tentang Allah Ta’ala, kesempurnaan nama dan sifat Allah Ta’ala. Dengan membaca Al-Quran dan merenungi maknanya, seseorang akan semakin mengenal Allah Ta’ala. Seseorang mengenal Allah sebagai pemilik langit dan bumi, yang memberikan rizki untuk hamba-hamba-Nya, dan yang mengatur semua urusan di alam semesta. Allah pun mengingatkan hamba-hamba-Nya atas kebutuhan mereka terhadap-Nya, dan besarnya hajat mereka kepada-Nya dari segala sisi. Di dalam Al-Quran, Allah menyebutkan hal-hal yang bisa membahagiakan mereka dan mengantarkan mereka kepada keberuntungan, berupa ibadah, ketaatan, dan amal saleh. Allah memotivasi mereka atas hal tersebut. Sebaliknya, Allah Ta’ala pun peringatkan mereka atas apa yang bisa mencelakakan mereka, berupa perbuatan dosa, maksiat, dan keburukan. Allah peringatkan mereka dari kemurkaan-Nya. Allah ingatkan mereka tentang apa yang telah disiapkannya berupa kemuliaan bagi mereka jika menaati-Nya, apa yang telah disiapkannya berupa hukuman bagi mereka jika mereka tidak menaati dan mendurhakai-Nya. Allah Ta’ala memuji para kekasih-Nya dengan sebab amal saleh dan sifat mereka yang mulia, lalu mencela musuh-musuh-Nya dengan sebab keburukan amal dan jeleknya sifat-sifat mereka. Allah Ta’ala juga mengabarkan bagaimana Allah telah membalas para kekasih-Nya berupa kebaikan dan pahala; dan apa yang telah Allah Ta’ala balas kepada musuh-musuh-Nya berupa azab dan hukuman. Allah Ta’ala pun kabarkan tentang kesudahan kedua kelompok tersebut. Allah mengajak kepada negeri keselamatan (surga), menyebutkan sifat-sifat, keindahan, serta kenikmatannya. Juga memberi peringatan tentang negeri kebinasaan (neraka), mengingatkan adzab serta kepedihan di dalamnya. Allah telah mengabarkan bahwa Al-Quran bisa menambahkan keimanan bagi orang-orang yang beriman jika mereka membaca dan mentadaburi ayat-ayatnya. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُهُمۡ وَإِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنا وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka. Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya). Dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal.” (QS. Al-Anfal: 2) Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk ke dalam golongan ahlul Qur’an. Baca juga: Karakteristik Fundamental Al-Quran *** “Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri.” @BA, 11 Dzulqa’dah 1445/ 20 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 13; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: Al-Quran
Di antara cara dan metode untuk memperbaiki kondisi hati kita, juga untuk menambah, mempertebal, dan mengokohkan iman adalah dengan membaca Al-Quran dan merenungi makna ayat-ayatnya. Karena Al-Quran diturunkan oleh Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya sebagai rahmat, petunjuk, kabar gembira, serta pengingat bagi orang-orang yang mau mengingat Allah. Allah Ta’ala juga berfirman, وَهَٰذَا كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ مُبَارَك فَٱتَّبِعُوهُ وَٱتَّقُواْ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ “Dan Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (QS. Al-An’am: 155) Al-Quran diturunkan sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala juga berfirman, وَلَقَدۡ جِئۡنَٰهُم بِكِتَٰب فَصَّلۡنَٰهُ عَلَىٰ عِلۡمٍ هُدى وَرَحۡمَة لِّقَوۡم يُؤۡمِنُونَ “Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al-Quran) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A’raf: 52) Allah Ta’ala juga berfirman, وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنا لِّكُلِّ شَيۡء وَهُدى وَرَحۡمَة وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِينَ “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang mau berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89) Allah Ta’ala pun berfirman, إِنَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ يَهۡدِي لِلَّتِي هِيَ أَقۡوَمُ وَيُبَشِّرُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمۡ أَجۡرا كَبِيرا “Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Al-Isra’: 9) Al-Quran diturunkan dengan penuh keberkahan. Allah Ta’ala juga berfirman, كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَك لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai fikiran bisa mendapatkan pelajaran.” (QS. Sad: 29) Al-Quran diturunkan sebagai obat (penawar), baik untuk penyakit badan dan juga penyakit hati. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَآء وَرَحۡمَة لِّلۡمُؤۡمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارا “Dan Kami turunkan dari Al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Isra’: 82) Demikian pula, Al-Quran diturunkan sebagai peringatan bagi orang-orang yang mau merenunginya. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكۡرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُۥ قَلۡبٌ أَوۡ أَلۡقَى ٱلسَّمۡعَ وَهُوَ شَهِيد “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaf: 37) Pada ayat-ayat Al-Quran tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan keutamaan yang dimiliki oleh Al-Quranul Karim. Allah Ta’ala telah menjadikan Al-Quran penuh berkah dan petunjuk bagi semesta alam. Allah Ta’ala menjadikan di dalam Al-Quran penyembuh atas berbagai penyakit, lebih-lebih penyakit syubhat dan syahwat yang terdapat di dalam hati. Allah Ta’ala pun menjadikan Al-Quran sebagai kabar gembira dan kasih sayang bagi semesta alam, juga menjadi pengingat bagi orang-orang yang mau ingat dan menjadikan di dalamnya terdapat ayat-ayat peringatan. Semua itu agar manusia mau bertakwa dan bisa menjadi pengingat bagi mereka. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila orang yang menekuni Al-Quran adalah di antara wali (kekasih) Allah. Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنْ النَّاسِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ هُمْ أَهْلُ الْقُرْآنِ أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ “Sesungguhnya Allah mempunyai banyak ahli (wali) dari kalangan manusia.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah mereka itu?” Beliau menjawab, “Mereka adalah ahlul Quran, mereka adalah para ahli dan orang khusus Allah.” (HR. Ahmad no. 12293, An-Nasa’i dalam Al-Kabir no. 7977, dan Ibnu Majah no. 215, dinilai sahih oleh Al-Albani) Baca juga: Kebahagiaan di Balik Ahli Quran Demikian pula, hamba Allah yang terbaik adalah mereka yang senantiasa tekun belajar Al-Quran dan kemudian mengajarkan Al-Quran. Dari sahabat Utsman radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ “Orang yang paling baik di antara kalian adalah seorang yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari no. 5027) Sampai-sampai, kita boleh hasad kepada orang yang telah diberi nikmat berupa ilmu tentang Al-Quran. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ فَقَالَ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يُهْلِكُهُ فِي الْحَقِّ فَقَالَ رَجُلٌ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ “Tidak diperbolehkan hasad kecuali pada dua perkara, yaitu kepada seseorang yang telah diajari Al-Quran oleh Allah, sehingga ia membacanya di pertengahan malam dan siang. Sampai tetangga yang mendengarnya berkata, ‘Duh.., sekiranya aku diberikan sebagaimana apa yang diberikan kepada si Fulan, niscaya aku akan melakukan apa yang dia lakukan.’ Kemudian seseorang diberi karunia harta oleh Allah, sehingga ia dapat membelanjakannya pada kebenaran. Lalu orang pun berkata, ‘Seandainya aku diberi karunia sebagaimana si Fulan, niscaya aku akan melakukan sebagaimana yang dilakukannya.’” (HR. Bukhari no. 5026) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah membuat perumpamaan bagi seorang mukmin yang gemar membaca Al-Quran. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam umpamakan seperti buah utrujah (semacam buah apel), buah yang baunya harum dan ketika dimakan, rasanya pun enak. Dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْأُتْرُجَّةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ لَا رِيحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ لَيْسَ لَهَا رِيحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ “Perumpamaan seorang mukmin yang suka membaca Al-Quran seperti buah utrujah, baunya harum dan rasanya enak. Perumpamaan seorang mukmin yang tidak suka membaca Al-Quran seperti buah kurma, tidak berbau harum, namun rasanya manis. Perumpamaan seorang munafik yang suka membaca Al-Quran seperti buah raihanah, baunya harum tapi rasanya pahit. Dan perumpamaan seorang munafik yang tidak suka membaca Al-Quran seperti buah hanzhalah, baunya tidak enak dan rasanya pahit.” (HR. Bukhari no. 5427 dan Muslim no. 797) Ketika kita membaca Al-Quran, kita akan dapati bahwa di dalamnya terdapat berbagai ilmu dan pengetahuan yang bisa memperbaiki dan mengobati hatinya; serta bisa menguatkan serta mengokohkan imannya. Seseorang akan mengetahui bahwa isinya adalah tentang Allah Ta’ala, kesempurnaan nama dan sifat Allah Ta’ala. Dengan membaca Al-Quran dan merenungi maknanya, seseorang akan semakin mengenal Allah Ta’ala. Seseorang mengenal Allah sebagai pemilik langit dan bumi, yang memberikan rizki untuk hamba-hamba-Nya, dan yang mengatur semua urusan di alam semesta. Allah pun mengingatkan hamba-hamba-Nya atas kebutuhan mereka terhadap-Nya, dan besarnya hajat mereka kepada-Nya dari segala sisi. Di dalam Al-Quran, Allah menyebutkan hal-hal yang bisa membahagiakan mereka dan mengantarkan mereka kepada keberuntungan, berupa ibadah, ketaatan, dan amal saleh. Allah memotivasi mereka atas hal tersebut. Sebaliknya, Allah Ta’ala pun peringatkan mereka atas apa yang bisa mencelakakan mereka, berupa perbuatan dosa, maksiat, dan keburukan. Allah peringatkan mereka dari kemurkaan-Nya. Allah ingatkan mereka tentang apa yang telah disiapkannya berupa kemuliaan bagi mereka jika menaati-Nya, apa yang telah disiapkannya berupa hukuman bagi mereka jika mereka tidak menaati dan mendurhakai-Nya. Allah Ta’ala memuji para kekasih-Nya dengan sebab amal saleh dan sifat mereka yang mulia, lalu mencela musuh-musuh-Nya dengan sebab keburukan amal dan jeleknya sifat-sifat mereka. Allah Ta’ala juga mengabarkan bagaimana Allah telah membalas para kekasih-Nya berupa kebaikan dan pahala; dan apa yang telah Allah Ta’ala balas kepada musuh-musuh-Nya berupa azab dan hukuman. Allah Ta’ala pun kabarkan tentang kesudahan kedua kelompok tersebut. Allah mengajak kepada negeri keselamatan (surga), menyebutkan sifat-sifat, keindahan, serta kenikmatannya. Juga memberi peringatan tentang negeri kebinasaan (neraka), mengingatkan adzab serta kepedihan di dalamnya. Allah telah mengabarkan bahwa Al-Quran bisa menambahkan keimanan bagi orang-orang yang beriman jika mereka membaca dan mentadaburi ayat-ayatnya. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُهُمۡ وَإِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنا وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka. Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya). Dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal.” (QS. Al-Anfal: 2) Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk ke dalam golongan ahlul Qur’an. Baca juga: Karakteristik Fundamental Al-Quran *** “Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri.” @BA, 11 Dzulqa’dah 1445/ 20 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 13; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: Al-Quran


Di antara cara dan metode untuk memperbaiki kondisi hati kita, juga untuk menambah, mempertebal, dan mengokohkan iman adalah dengan membaca Al-Quran dan merenungi makna ayat-ayatnya. Karena Al-Quran diturunkan oleh Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya sebagai rahmat, petunjuk, kabar gembira, serta pengingat bagi orang-orang yang mau mengingat Allah. Allah Ta’ala juga berfirman, وَهَٰذَا كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ مُبَارَك فَٱتَّبِعُوهُ وَٱتَّقُواْ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ “Dan Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (QS. Al-An’am: 155) Al-Quran diturunkan sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala juga berfirman, وَلَقَدۡ جِئۡنَٰهُم بِكِتَٰب فَصَّلۡنَٰهُ عَلَىٰ عِلۡمٍ هُدى وَرَحۡمَة لِّقَوۡم يُؤۡمِنُونَ “Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al-Quran) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A’raf: 52) Allah Ta’ala juga berfirman, وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنا لِّكُلِّ شَيۡء وَهُدى وَرَحۡمَة وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِينَ “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang mau berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89) Allah Ta’ala pun berfirman, إِنَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ يَهۡدِي لِلَّتِي هِيَ أَقۡوَمُ وَيُبَشِّرُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمۡ أَجۡرا كَبِيرا “Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Al-Isra’: 9) Al-Quran diturunkan dengan penuh keberkahan. Allah Ta’ala juga berfirman, كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَك لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai fikiran bisa mendapatkan pelajaran.” (QS. Sad: 29) Al-Quran diturunkan sebagai obat (penawar), baik untuk penyakit badan dan juga penyakit hati. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَآء وَرَحۡمَة لِّلۡمُؤۡمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارا “Dan Kami turunkan dari Al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Isra’: 82) Demikian pula, Al-Quran diturunkan sebagai peringatan bagi orang-orang yang mau merenunginya. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكۡرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُۥ قَلۡبٌ أَوۡ أَلۡقَى ٱلسَّمۡعَ وَهُوَ شَهِيد “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaf: 37) Pada ayat-ayat Al-Quran tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan keutamaan yang dimiliki oleh Al-Quranul Karim. Allah Ta’ala telah menjadikan Al-Quran penuh berkah dan petunjuk bagi semesta alam. Allah Ta’ala menjadikan di dalam Al-Quran penyembuh atas berbagai penyakit, lebih-lebih penyakit syubhat dan syahwat yang terdapat di dalam hati. Allah Ta’ala pun menjadikan Al-Quran sebagai kabar gembira dan kasih sayang bagi semesta alam, juga menjadi pengingat bagi orang-orang yang mau ingat dan menjadikan di dalamnya terdapat ayat-ayat peringatan. Semua itu agar manusia mau bertakwa dan bisa menjadi pengingat bagi mereka. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila orang yang menekuni Al-Quran adalah di antara wali (kekasih) Allah. Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنْ النَّاسِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ هُمْ أَهْلُ الْقُرْآنِ أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ “Sesungguhnya Allah mempunyai banyak ahli (wali) dari kalangan manusia.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah mereka itu?” Beliau menjawab, “Mereka adalah ahlul Quran, mereka adalah para ahli dan orang khusus Allah.” (HR. Ahmad no. 12293, An-Nasa’i dalam Al-Kabir no. 7977, dan Ibnu Majah no. 215, dinilai sahih oleh Al-Albani) Baca juga: Kebahagiaan di Balik Ahli Quran Demikian pula, hamba Allah yang terbaik adalah mereka yang senantiasa tekun belajar Al-Quran dan kemudian mengajarkan Al-Quran. Dari sahabat Utsman radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ “Orang yang paling baik di antara kalian adalah seorang yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari no. 5027) Sampai-sampai, kita boleh hasad kepada orang yang telah diberi nikmat berupa ilmu tentang Al-Quran. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ فَقَالَ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يُهْلِكُهُ فِي الْحَقِّ فَقَالَ رَجُلٌ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ “Tidak diperbolehkan hasad kecuali pada dua perkara, yaitu kepada seseorang yang telah diajari Al-Quran oleh Allah, sehingga ia membacanya di pertengahan malam dan siang. Sampai tetangga yang mendengarnya berkata, ‘Duh.., sekiranya aku diberikan sebagaimana apa yang diberikan kepada si Fulan, niscaya aku akan melakukan apa yang dia lakukan.’ Kemudian seseorang diberi karunia harta oleh Allah, sehingga ia dapat membelanjakannya pada kebenaran. Lalu orang pun berkata, ‘Seandainya aku diberi karunia sebagaimana si Fulan, niscaya aku akan melakukan sebagaimana yang dilakukannya.’” (HR. Bukhari no. 5026) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah membuat perumpamaan bagi seorang mukmin yang gemar membaca Al-Quran. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam umpamakan seperti buah utrujah (semacam buah apel), buah yang baunya harum dan ketika dimakan, rasanya pun enak. Dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْأُتْرُجَّةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ لَا رِيحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ لَيْسَ لَهَا رِيحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ “Perumpamaan seorang mukmin yang suka membaca Al-Quran seperti buah utrujah, baunya harum dan rasanya enak. Perumpamaan seorang mukmin yang tidak suka membaca Al-Quran seperti buah kurma, tidak berbau harum, namun rasanya manis. Perumpamaan seorang munafik yang suka membaca Al-Quran seperti buah raihanah, baunya harum tapi rasanya pahit. Dan perumpamaan seorang munafik yang tidak suka membaca Al-Quran seperti buah hanzhalah, baunya tidak enak dan rasanya pahit.” (HR. Bukhari no. 5427 dan Muslim no. 797) Ketika kita membaca Al-Quran, kita akan dapati bahwa di dalamnya terdapat berbagai ilmu dan pengetahuan yang bisa memperbaiki dan mengobati hatinya; serta bisa menguatkan serta mengokohkan imannya. Seseorang akan mengetahui bahwa isinya adalah tentang Allah Ta’ala, kesempurnaan nama dan sifat Allah Ta’ala. Dengan membaca Al-Quran dan merenungi maknanya, seseorang akan semakin mengenal Allah Ta’ala. Seseorang mengenal Allah sebagai pemilik langit dan bumi, yang memberikan rizki untuk hamba-hamba-Nya, dan yang mengatur semua urusan di alam semesta. Allah pun mengingatkan hamba-hamba-Nya atas kebutuhan mereka terhadap-Nya, dan besarnya hajat mereka kepada-Nya dari segala sisi. Di dalam Al-Quran, Allah menyebutkan hal-hal yang bisa membahagiakan mereka dan mengantarkan mereka kepada keberuntungan, berupa ibadah, ketaatan, dan amal saleh. Allah memotivasi mereka atas hal tersebut. Sebaliknya, Allah Ta’ala pun peringatkan mereka atas apa yang bisa mencelakakan mereka, berupa perbuatan dosa, maksiat, dan keburukan. Allah peringatkan mereka dari kemurkaan-Nya. Allah ingatkan mereka tentang apa yang telah disiapkannya berupa kemuliaan bagi mereka jika menaati-Nya, apa yang telah disiapkannya berupa hukuman bagi mereka jika mereka tidak menaati dan mendurhakai-Nya. Allah Ta’ala memuji para kekasih-Nya dengan sebab amal saleh dan sifat mereka yang mulia, lalu mencela musuh-musuh-Nya dengan sebab keburukan amal dan jeleknya sifat-sifat mereka. Allah Ta’ala juga mengabarkan bagaimana Allah telah membalas para kekasih-Nya berupa kebaikan dan pahala; dan apa yang telah Allah Ta’ala balas kepada musuh-musuh-Nya berupa azab dan hukuman. Allah Ta’ala pun kabarkan tentang kesudahan kedua kelompok tersebut. Allah mengajak kepada negeri keselamatan (surga), menyebutkan sifat-sifat, keindahan, serta kenikmatannya. Juga memberi peringatan tentang negeri kebinasaan (neraka), mengingatkan adzab serta kepedihan di dalamnya. Allah telah mengabarkan bahwa Al-Quran bisa menambahkan keimanan bagi orang-orang yang beriman jika mereka membaca dan mentadaburi ayat-ayatnya. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُهُمۡ وَإِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنا وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka. Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya). Dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal.” (QS. Al-Anfal: 2) Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk ke dalam golongan ahlul Qur’an. Baca juga: Karakteristik Fundamental Al-Quran *** “Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri.” @BA, 11 Dzulqa’dah 1445/ 20 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 13; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: Al-Quran

Kaidah Fikih: Hukum Wasilah (Sarana) Tergantung pada Tujuan-Tujuannya

Daftar Isi Toggle Bait syair untuk kaidah iniKaidah-kaidah yang terlahir dari kaidah iniPertama: Perantara untuk amalan wajibBerjalan untuk melaksanakan salat wajibMenghadiri majelis ilmu dan mempelajari ilmu agamaBerjihad di jalan AllahKedua: Perantara untuk amalan sunahKetiga: Perantara untuk hal yang mubahKeempat: Perantara untuk hal makruhKelima: Perantara untuk hal haram Kaidah kali ini akan menjelaskan bahwa wasilah atau perantara di dalam syariat Islam terkena hukum yang lima. Baik wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Sehingga, wasilah terkena hukum yang lima tersebut sesuai dengan tujuannya. Jika tujuannya adalah hal yang wajib, maka wasilah pun menjadi hal yang wajib, dan begitu seterusnya. Bait syair untuk kaidah ini Untuk lebih jelas, simaklah bait syair dari kaidah berikut, وَسَائِلُ الْأُمُوْرِ كَالْمَقَاصِدِ وَاحْكُمْ بِهَذَا الحُكْمِ لِلزَّوَائِدِ “Wasilah suatu perkara sama hukumnya seperti tujuannya. Maka, berhukumlah dengan hukum ini sebagai penyempurna.”[1] Maksudnya, wasilah atau sarana sama seperti tujuannya. Kaidah-kaidah yang terlahir dari kaidah ini Pertama: Perantara untuk amalan wajib Sehingga, dari sini terlahir beberapa kaidah yang lain. Di antaranya, مَا لَا يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ “Perkara wajib yang tidak dapat sempurna kecuali dengannya (suatu perkara), maka suatu perkara itu menjadi wajib.” Maka, perantara untuk amalan yang wajib, perantara tersebut dihukumi menjadi hal yang wajib. Beberapa contohnya, Berjalan untuk melaksanakan salat wajib Dalam hal ini, terdapat keutamaan tersendiri bagi orang-orang yang berjalan ke masjid untuk melaksanakan salat wajib. Akan diangkat derajatnya, dihapuskan dosa-dosanya, dan akan didoakan oleh malaikat selama ia menunggu waktu salat.[2] Begitu pun dengan syarat-syarat yang lainnya. Bersuci, menutup aurat, menghadap kiblat, dan lain-lain. Ini semua hal yang wajib sebagai perantara untuk sempurnanya amalan wajib, yaitu salat. Menghadiri majelis ilmu dan mempelajari ilmu agama Menuntut ilmu hukumnya wajib. Sehingga, segala sarana untuk mempelajari ilmu hukumnya wajib. Terlebih ilmu tersebut berkaitan dengan fardhu ‘ain. Karena hal ini, Nabi yang mulia shallallahu ‘alihi wasallam bersabda, وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ “Barangsiapa yang berjalan menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mempermudah untuknya jalan menuju surga.”[3] Dalam mempelajari ilmu agama terdapat dua hal. Ada yang bersifat tujuan, yaitu ilmu Al-Qur’an dan Sunnah. Dan ada yang sifatnya sarana yang mengantarkan untuk memahami kedua ilmu tersebut, seperti halnya ilmu bahasa Arab. Maka bagi orang-orang yang ingin memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, wajib baginya untuk mempelajari ilmu bahasa Arab terlebih dahulu. Karena itu sebagai pengantar kepada hal yang wajib. Berjihad di jalan Allah Berjihad di jalan Allah pun hukumnya wajib. Tentunya setelah terpenuhi segala syarat. Dan di antara syarat jihad adalah bersama Ulil Amri. Untuk berjihad di jalan Allah tentunya harus ada persiapan dan sarana-sarana yang dipersiapkan. Maka, segala hal tersebut dihukumi wajib pula. Simaklah firman Allah Ta’ala, ذَٲلِكَ بِأَنَّهُمۡ لَا يُصِيبُهُمۡ ظَمَأٌ۬ وَلَا نَصَبٌ۬ وَلَا مَخۡمَصَةٌ۬ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَطَـُٔونَ مَوۡطِئً۬ا يَغِيظُ ٱلۡڪُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنۡ عَدُوٍّ۬ نَّيۡلاً إِلَّا كُتِبَ لَهُم بِهِۦ عَمَلٌ۬ صَـٰلِحٌ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ  وَلَا يُنفِقُونَ نَفَقَةً۬ صَغِيرَةً۬ وَلَا ڪَبِيرَةً۬ وَلَا يَقۡطَعُونَ وَادِيًا إِلَّا ڪُتِبَ لَهُمۡ لِيَجۡزِيَهُمُ ٱللَّهُ أَحۡسَنَ مَا ڪَانُواْ يَعۡمَلُونَ  “Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan, dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula). Karena Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. At-Taubah: 120-121) Dari ayat di atas, dapat diketahui bahwa segala sarana diberikan balasan oleh Allah Ta’ala. Sebagai ganjaran atas usaha untuk melakukan kewajiban dari ibadah tersebut. Masih banyak lagi sarana-sarana kepada amalan yang wajib. Seperti wajibnya mencari air untuk melaksanakan salat, mempelajari tentang petunjuk waktu salat atau kiblat, usaha untuk mencari nafkah yang halal, dan lain sebagainya. Baca juga: Syariat Hadir untuk Kemaslahatan Kedua: Perantara untuk amalan sunah مَا لَا يَتِمُّ المَسْنُوْنُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ مَسْنُوْنٌ “Perkara sunah yang tidak dapat sempurna kecuali dengannya (suatu perkara), maka suatu perkara itu adalah sunah.” Segala perantara untuk amalan sunah, maka hukumnya pun sunah. Seperti salat sunah, sedekah, puasa sunah, sunah-sunah yang berkaitan dengan haji dan umrah. Sarana untuk mengantarkan kepada amalan ini, maka hukumnya pun sunah. Ketiga: Perantara untuk hal yang mubah Sama halnya dengan hukum-hukum yang telah disebutkan di atas. Sarana dihukumi mubah ketika suatu perbuatan dihukumi mubah. Sedangkan perkara yang dihukumi mubah dalam syariat adalah segala hal yang berkaitan dengan muamalah atau perkara duniawi, selama tidak ada dalil yang melarangnya. Karenanya para ulama membuat kaidah, الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإبَاحَةُ “Hukum asal segala sesuatu adalah mubah.”[4] Namun, dalam perkara mubah ini ada hal yang harus diketahui. Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, أَنَّ كُلَّ مُبَاحٍ تَوَسَّلَ بِهِ إِلَى تَرْكِ وَاجِبٍ أَوْ فِعْلِ مُحَرَّمٍ فَهُوَ مُحَرَّمٌ “Setiap hal mubah yang mengantarkan seseorang untuk meninggalkan yang wajib dan mengerjakan yang haram, maka hukumnya haram.”[5] Contohnya adalah jual beli setelah dikumandangkan azan untuk salat Jumat. Jual beli hukum asalnya mubah, namun ketika dilakukan setelah dikumandangkannya azan untuk salat Jumat, maka jual beli di waktu tersebut hukumnya menjadi haram. Hal ini karena terdapat larangan dari Allah Ta’ala, يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوۡمِ ٱلۡجُمُعَةِ فَٱسۡعَوۡاْ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَذَرُواْ ٱلۡبَيۡعَ‌ۚ “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli.” (QS. Al-Jumu’ah: 9) Sehingga, jual beli menjadi haram hukumnya setelah dikumandangkannya azan Jumat. Berdasarkan perintah untuk meninggalkan hal tersebut yang ada pada ayat di atas.“ Termasuk perkara mubah yang dapat mengantarkan kepada meninggalkan yang wajib atau melakukan yang haram adalah bermain atau menonton bola saat azan sudah dikumandangkan. Terlebih-lebih sampai tidak mengerjakan salat. Maka, hal ini tentunya menjadi haram hukumnya. Masih banyak lagi contoh dari perkara mubah menjadi haram dikarenakan menjadi sarana untuk meninggalkan perkara wajib ataupun melakukan yang haram. Keempat: Perantara untuk hal makruh Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, الوَسِيْلَةُ إِلَى المَكْرُوْهِ مَكْرُوْهٌ “Perantara kepada hal yang makruh, maka hukumnya makruh.”[6] Contoh perkara yang makruh adalah tidur sebelum Isya dan mengobrol setelah waktu salat Isya. Dari Abu Barzah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyukai tidur sebelum Isya dan mengobrol setelah Isya.”[7] Dalam hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلَاثًا قِيلَ وَقَالَ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ “Sesungguhnya Allah membenci untuk kalian tiga hal: orang yang menyampaikan setiap hal yang didengarnya, menyia-nyiakan harta, dan banyak bertanya.”[8] Maka, segala perantara yang bertujuan untuk melakukan hal makruh tersebut, dihukumi makruh. Termasuk dalam hal ini juga, perbuatan dosa dan maksiat. Segala perantara yang mengantarkan seseorang untuk melakukan dosa dan maksiat, maka harus dihindari. Seperti zina, segala perantara yang mengantarkan kepada zina, tidak boleh dilakukan. Seperti pacaran, berbicara tanpa hajat dengan lawan jenis, dan lain sebagainya. Maka, sudah semestinya hal tersebut ditinggalkan. Kelima: Perantara untuk hal haram Seperti halnya syirik besar. Telah diketahui bersama bahwa orang yang mati dalam keadaan berbuat syirik besar, Allah tidak akan mengampuninya dan pelakunya kekal di dalam neraka. Karena itu, segala perbuatan yang mengantarkan kepada syirik besar dilarang dalam syariat Islam. Dalam hal ini adalah segala bentuk syirik kecil. Karena syirik kecil dapat mengantarkan seseorang kepada syirik besar. Seperti contohnya, bersumpah dengan selain nama Allah, riya‘, sum’ah, memakai gelang atau benda-benda lainnya sebagai penangkal dari marabahaya, dan lain sebagainya. Ini semua diharamkan dalam syariat karena dapat mengantarkan kepada syirik besar. Demikianlah kaidah di antara kaidah-kaidah fikih yang sangat jelas. Sungguh kaidah ini sangat bermanfaat bagi kaum muslimin, sebagai penimbang suatu perkara maupun amalan-amalan. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Baca juga: 10 Kaidah Pemurnian Tauhid *** Depok, 10 Zulkaidah 1445 H / 17 Mei 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id.   Referensi: Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. (Jilid 7) Al-Qawâ’id wal-Ushûl Al-Jami’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm Al-Badî’ah An-Nâfi’ah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah.   Catatan kaki: [1] Lihat kitab Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah, hal. 29. [2] Hadis diriwayatkan oleh Bukhari no. 1967 dan Muslim no. 1059. [3] Hadis diriwayatkan oleh Muslim no. 4867. [4] Kaidah ini disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa-nya, 29: 16. [5] Lihat kitab  Al-Qawâ’id wal-Ushûl Al-Jami’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm Al-Badî’ah An-Nâfi’ah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah. [6] Lihat Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 30, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah. [7] Hadis diriwayatkan oleh Bukhari no. 568. [8] Hadis diriwayatkan oleh Bukhari no. 1477. Tags: kaidah fikih

Kaidah Fikih: Hukum Wasilah (Sarana) Tergantung pada Tujuan-Tujuannya

Daftar Isi Toggle Bait syair untuk kaidah iniKaidah-kaidah yang terlahir dari kaidah iniPertama: Perantara untuk amalan wajibBerjalan untuk melaksanakan salat wajibMenghadiri majelis ilmu dan mempelajari ilmu agamaBerjihad di jalan AllahKedua: Perantara untuk amalan sunahKetiga: Perantara untuk hal yang mubahKeempat: Perantara untuk hal makruhKelima: Perantara untuk hal haram Kaidah kali ini akan menjelaskan bahwa wasilah atau perantara di dalam syariat Islam terkena hukum yang lima. Baik wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Sehingga, wasilah terkena hukum yang lima tersebut sesuai dengan tujuannya. Jika tujuannya adalah hal yang wajib, maka wasilah pun menjadi hal yang wajib, dan begitu seterusnya. Bait syair untuk kaidah ini Untuk lebih jelas, simaklah bait syair dari kaidah berikut, وَسَائِلُ الْأُمُوْرِ كَالْمَقَاصِدِ وَاحْكُمْ بِهَذَا الحُكْمِ لِلزَّوَائِدِ “Wasilah suatu perkara sama hukumnya seperti tujuannya. Maka, berhukumlah dengan hukum ini sebagai penyempurna.”[1] Maksudnya, wasilah atau sarana sama seperti tujuannya. Kaidah-kaidah yang terlahir dari kaidah ini Pertama: Perantara untuk amalan wajib Sehingga, dari sini terlahir beberapa kaidah yang lain. Di antaranya, مَا لَا يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ “Perkara wajib yang tidak dapat sempurna kecuali dengannya (suatu perkara), maka suatu perkara itu menjadi wajib.” Maka, perantara untuk amalan yang wajib, perantara tersebut dihukumi menjadi hal yang wajib. Beberapa contohnya, Berjalan untuk melaksanakan salat wajib Dalam hal ini, terdapat keutamaan tersendiri bagi orang-orang yang berjalan ke masjid untuk melaksanakan salat wajib. Akan diangkat derajatnya, dihapuskan dosa-dosanya, dan akan didoakan oleh malaikat selama ia menunggu waktu salat.[2] Begitu pun dengan syarat-syarat yang lainnya. Bersuci, menutup aurat, menghadap kiblat, dan lain-lain. Ini semua hal yang wajib sebagai perantara untuk sempurnanya amalan wajib, yaitu salat. Menghadiri majelis ilmu dan mempelajari ilmu agama Menuntut ilmu hukumnya wajib. Sehingga, segala sarana untuk mempelajari ilmu hukumnya wajib. Terlebih ilmu tersebut berkaitan dengan fardhu ‘ain. Karena hal ini, Nabi yang mulia shallallahu ‘alihi wasallam bersabda, وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ “Barangsiapa yang berjalan menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mempermudah untuknya jalan menuju surga.”[3] Dalam mempelajari ilmu agama terdapat dua hal. Ada yang bersifat tujuan, yaitu ilmu Al-Qur’an dan Sunnah. Dan ada yang sifatnya sarana yang mengantarkan untuk memahami kedua ilmu tersebut, seperti halnya ilmu bahasa Arab. Maka bagi orang-orang yang ingin memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, wajib baginya untuk mempelajari ilmu bahasa Arab terlebih dahulu. Karena itu sebagai pengantar kepada hal yang wajib. Berjihad di jalan Allah Berjihad di jalan Allah pun hukumnya wajib. Tentunya setelah terpenuhi segala syarat. Dan di antara syarat jihad adalah bersama Ulil Amri. Untuk berjihad di jalan Allah tentunya harus ada persiapan dan sarana-sarana yang dipersiapkan. Maka, segala hal tersebut dihukumi wajib pula. Simaklah firman Allah Ta’ala, ذَٲلِكَ بِأَنَّهُمۡ لَا يُصِيبُهُمۡ ظَمَأٌ۬ وَلَا نَصَبٌ۬ وَلَا مَخۡمَصَةٌ۬ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَطَـُٔونَ مَوۡطِئً۬ا يَغِيظُ ٱلۡڪُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنۡ عَدُوٍّ۬ نَّيۡلاً إِلَّا كُتِبَ لَهُم بِهِۦ عَمَلٌ۬ صَـٰلِحٌ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ  وَلَا يُنفِقُونَ نَفَقَةً۬ صَغِيرَةً۬ وَلَا ڪَبِيرَةً۬ وَلَا يَقۡطَعُونَ وَادِيًا إِلَّا ڪُتِبَ لَهُمۡ لِيَجۡزِيَهُمُ ٱللَّهُ أَحۡسَنَ مَا ڪَانُواْ يَعۡمَلُونَ  “Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan, dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula). Karena Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. At-Taubah: 120-121) Dari ayat di atas, dapat diketahui bahwa segala sarana diberikan balasan oleh Allah Ta’ala. Sebagai ganjaran atas usaha untuk melakukan kewajiban dari ibadah tersebut. Masih banyak lagi sarana-sarana kepada amalan yang wajib. Seperti wajibnya mencari air untuk melaksanakan salat, mempelajari tentang petunjuk waktu salat atau kiblat, usaha untuk mencari nafkah yang halal, dan lain sebagainya. Baca juga: Syariat Hadir untuk Kemaslahatan Kedua: Perantara untuk amalan sunah مَا لَا يَتِمُّ المَسْنُوْنُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ مَسْنُوْنٌ “Perkara sunah yang tidak dapat sempurna kecuali dengannya (suatu perkara), maka suatu perkara itu adalah sunah.” Segala perantara untuk amalan sunah, maka hukumnya pun sunah. Seperti salat sunah, sedekah, puasa sunah, sunah-sunah yang berkaitan dengan haji dan umrah. Sarana untuk mengantarkan kepada amalan ini, maka hukumnya pun sunah. Ketiga: Perantara untuk hal yang mubah Sama halnya dengan hukum-hukum yang telah disebutkan di atas. Sarana dihukumi mubah ketika suatu perbuatan dihukumi mubah. Sedangkan perkara yang dihukumi mubah dalam syariat adalah segala hal yang berkaitan dengan muamalah atau perkara duniawi, selama tidak ada dalil yang melarangnya. Karenanya para ulama membuat kaidah, الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإبَاحَةُ “Hukum asal segala sesuatu adalah mubah.”[4] Namun, dalam perkara mubah ini ada hal yang harus diketahui. Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, أَنَّ كُلَّ مُبَاحٍ تَوَسَّلَ بِهِ إِلَى تَرْكِ وَاجِبٍ أَوْ فِعْلِ مُحَرَّمٍ فَهُوَ مُحَرَّمٌ “Setiap hal mubah yang mengantarkan seseorang untuk meninggalkan yang wajib dan mengerjakan yang haram, maka hukumnya haram.”[5] Contohnya adalah jual beli setelah dikumandangkan azan untuk salat Jumat. Jual beli hukum asalnya mubah, namun ketika dilakukan setelah dikumandangkannya azan untuk salat Jumat, maka jual beli di waktu tersebut hukumnya menjadi haram. Hal ini karena terdapat larangan dari Allah Ta’ala, يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوۡمِ ٱلۡجُمُعَةِ فَٱسۡعَوۡاْ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَذَرُواْ ٱلۡبَيۡعَ‌ۚ “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli.” (QS. Al-Jumu’ah: 9) Sehingga, jual beli menjadi haram hukumnya setelah dikumandangkannya azan Jumat. Berdasarkan perintah untuk meninggalkan hal tersebut yang ada pada ayat di atas.“ Termasuk perkara mubah yang dapat mengantarkan kepada meninggalkan yang wajib atau melakukan yang haram adalah bermain atau menonton bola saat azan sudah dikumandangkan. Terlebih-lebih sampai tidak mengerjakan salat. Maka, hal ini tentunya menjadi haram hukumnya. Masih banyak lagi contoh dari perkara mubah menjadi haram dikarenakan menjadi sarana untuk meninggalkan perkara wajib ataupun melakukan yang haram. Keempat: Perantara untuk hal makruh Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, الوَسِيْلَةُ إِلَى المَكْرُوْهِ مَكْرُوْهٌ “Perantara kepada hal yang makruh, maka hukumnya makruh.”[6] Contoh perkara yang makruh adalah tidur sebelum Isya dan mengobrol setelah waktu salat Isya. Dari Abu Barzah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyukai tidur sebelum Isya dan mengobrol setelah Isya.”[7] Dalam hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلَاثًا قِيلَ وَقَالَ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ “Sesungguhnya Allah membenci untuk kalian tiga hal: orang yang menyampaikan setiap hal yang didengarnya, menyia-nyiakan harta, dan banyak bertanya.”[8] Maka, segala perantara yang bertujuan untuk melakukan hal makruh tersebut, dihukumi makruh. Termasuk dalam hal ini juga, perbuatan dosa dan maksiat. Segala perantara yang mengantarkan seseorang untuk melakukan dosa dan maksiat, maka harus dihindari. Seperti zina, segala perantara yang mengantarkan kepada zina, tidak boleh dilakukan. Seperti pacaran, berbicara tanpa hajat dengan lawan jenis, dan lain sebagainya. Maka, sudah semestinya hal tersebut ditinggalkan. Kelima: Perantara untuk hal haram Seperti halnya syirik besar. Telah diketahui bersama bahwa orang yang mati dalam keadaan berbuat syirik besar, Allah tidak akan mengampuninya dan pelakunya kekal di dalam neraka. Karena itu, segala perbuatan yang mengantarkan kepada syirik besar dilarang dalam syariat Islam. Dalam hal ini adalah segala bentuk syirik kecil. Karena syirik kecil dapat mengantarkan seseorang kepada syirik besar. Seperti contohnya, bersumpah dengan selain nama Allah, riya‘, sum’ah, memakai gelang atau benda-benda lainnya sebagai penangkal dari marabahaya, dan lain sebagainya. Ini semua diharamkan dalam syariat karena dapat mengantarkan kepada syirik besar. Demikianlah kaidah di antara kaidah-kaidah fikih yang sangat jelas. Sungguh kaidah ini sangat bermanfaat bagi kaum muslimin, sebagai penimbang suatu perkara maupun amalan-amalan. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Baca juga: 10 Kaidah Pemurnian Tauhid *** Depok, 10 Zulkaidah 1445 H / 17 Mei 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id.   Referensi: Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. (Jilid 7) Al-Qawâ’id wal-Ushûl Al-Jami’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm Al-Badî’ah An-Nâfi’ah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah.   Catatan kaki: [1] Lihat kitab Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah, hal. 29. [2] Hadis diriwayatkan oleh Bukhari no. 1967 dan Muslim no. 1059. [3] Hadis diriwayatkan oleh Muslim no. 4867. [4] Kaidah ini disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa-nya, 29: 16. [5] Lihat kitab  Al-Qawâ’id wal-Ushûl Al-Jami’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm Al-Badî’ah An-Nâfi’ah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah. [6] Lihat Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 30, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah. [7] Hadis diriwayatkan oleh Bukhari no. 568. [8] Hadis diriwayatkan oleh Bukhari no. 1477. Tags: kaidah fikih
Daftar Isi Toggle Bait syair untuk kaidah iniKaidah-kaidah yang terlahir dari kaidah iniPertama: Perantara untuk amalan wajibBerjalan untuk melaksanakan salat wajibMenghadiri majelis ilmu dan mempelajari ilmu agamaBerjihad di jalan AllahKedua: Perantara untuk amalan sunahKetiga: Perantara untuk hal yang mubahKeempat: Perantara untuk hal makruhKelima: Perantara untuk hal haram Kaidah kali ini akan menjelaskan bahwa wasilah atau perantara di dalam syariat Islam terkena hukum yang lima. Baik wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Sehingga, wasilah terkena hukum yang lima tersebut sesuai dengan tujuannya. Jika tujuannya adalah hal yang wajib, maka wasilah pun menjadi hal yang wajib, dan begitu seterusnya. Bait syair untuk kaidah ini Untuk lebih jelas, simaklah bait syair dari kaidah berikut, وَسَائِلُ الْأُمُوْرِ كَالْمَقَاصِدِ وَاحْكُمْ بِهَذَا الحُكْمِ لِلزَّوَائِدِ “Wasilah suatu perkara sama hukumnya seperti tujuannya. Maka, berhukumlah dengan hukum ini sebagai penyempurna.”[1] Maksudnya, wasilah atau sarana sama seperti tujuannya. Kaidah-kaidah yang terlahir dari kaidah ini Pertama: Perantara untuk amalan wajib Sehingga, dari sini terlahir beberapa kaidah yang lain. Di antaranya, مَا لَا يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ “Perkara wajib yang tidak dapat sempurna kecuali dengannya (suatu perkara), maka suatu perkara itu menjadi wajib.” Maka, perantara untuk amalan yang wajib, perantara tersebut dihukumi menjadi hal yang wajib. Beberapa contohnya, Berjalan untuk melaksanakan salat wajib Dalam hal ini, terdapat keutamaan tersendiri bagi orang-orang yang berjalan ke masjid untuk melaksanakan salat wajib. Akan diangkat derajatnya, dihapuskan dosa-dosanya, dan akan didoakan oleh malaikat selama ia menunggu waktu salat.[2] Begitu pun dengan syarat-syarat yang lainnya. Bersuci, menutup aurat, menghadap kiblat, dan lain-lain. Ini semua hal yang wajib sebagai perantara untuk sempurnanya amalan wajib, yaitu salat. Menghadiri majelis ilmu dan mempelajari ilmu agama Menuntut ilmu hukumnya wajib. Sehingga, segala sarana untuk mempelajari ilmu hukumnya wajib. Terlebih ilmu tersebut berkaitan dengan fardhu ‘ain. Karena hal ini, Nabi yang mulia shallallahu ‘alihi wasallam bersabda, وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ “Barangsiapa yang berjalan menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mempermudah untuknya jalan menuju surga.”[3] Dalam mempelajari ilmu agama terdapat dua hal. Ada yang bersifat tujuan, yaitu ilmu Al-Qur’an dan Sunnah. Dan ada yang sifatnya sarana yang mengantarkan untuk memahami kedua ilmu tersebut, seperti halnya ilmu bahasa Arab. Maka bagi orang-orang yang ingin memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, wajib baginya untuk mempelajari ilmu bahasa Arab terlebih dahulu. Karena itu sebagai pengantar kepada hal yang wajib. Berjihad di jalan Allah Berjihad di jalan Allah pun hukumnya wajib. Tentunya setelah terpenuhi segala syarat. Dan di antara syarat jihad adalah bersama Ulil Amri. Untuk berjihad di jalan Allah tentunya harus ada persiapan dan sarana-sarana yang dipersiapkan. Maka, segala hal tersebut dihukumi wajib pula. Simaklah firman Allah Ta’ala, ذَٲلِكَ بِأَنَّهُمۡ لَا يُصِيبُهُمۡ ظَمَأٌ۬ وَلَا نَصَبٌ۬ وَلَا مَخۡمَصَةٌ۬ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَطَـُٔونَ مَوۡطِئً۬ا يَغِيظُ ٱلۡڪُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنۡ عَدُوٍّ۬ نَّيۡلاً إِلَّا كُتِبَ لَهُم بِهِۦ عَمَلٌ۬ صَـٰلِحٌ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ  وَلَا يُنفِقُونَ نَفَقَةً۬ صَغِيرَةً۬ وَلَا ڪَبِيرَةً۬ وَلَا يَقۡطَعُونَ وَادِيًا إِلَّا ڪُتِبَ لَهُمۡ لِيَجۡزِيَهُمُ ٱللَّهُ أَحۡسَنَ مَا ڪَانُواْ يَعۡمَلُونَ  “Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan, dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula). Karena Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. At-Taubah: 120-121) Dari ayat di atas, dapat diketahui bahwa segala sarana diberikan balasan oleh Allah Ta’ala. Sebagai ganjaran atas usaha untuk melakukan kewajiban dari ibadah tersebut. Masih banyak lagi sarana-sarana kepada amalan yang wajib. Seperti wajibnya mencari air untuk melaksanakan salat, mempelajari tentang petunjuk waktu salat atau kiblat, usaha untuk mencari nafkah yang halal, dan lain sebagainya. Baca juga: Syariat Hadir untuk Kemaslahatan Kedua: Perantara untuk amalan sunah مَا لَا يَتِمُّ المَسْنُوْنُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ مَسْنُوْنٌ “Perkara sunah yang tidak dapat sempurna kecuali dengannya (suatu perkara), maka suatu perkara itu adalah sunah.” Segala perantara untuk amalan sunah, maka hukumnya pun sunah. Seperti salat sunah, sedekah, puasa sunah, sunah-sunah yang berkaitan dengan haji dan umrah. Sarana untuk mengantarkan kepada amalan ini, maka hukumnya pun sunah. Ketiga: Perantara untuk hal yang mubah Sama halnya dengan hukum-hukum yang telah disebutkan di atas. Sarana dihukumi mubah ketika suatu perbuatan dihukumi mubah. Sedangkan perkara yang dihukumi mubah dalam syariat adalah segala hal yang berkaitan dengan muamalah atau perkara duniawi, selama tidak ada dalil yang melarangnya. Karenanya para ulama membuat kaidah, الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإبَاحَةُ “Hukum asal segala sesuatu adalah mubah.”[4] Namun, dalam perkara mubah ini ada hal yang harus diketahui. Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, أَنَّ كُلَّ مُبَاحٍ تَوَسَّلَ بِهِ إِلَى تَرْكِ وَاجِبٍ أَوْ فِعْلِ مُحَرَّمٍ فَهُوَ مُحَرَّمٌ “Setiap hal mubah yang mengantarkan seseorang untuk meninggalkan yang wajib dan mengerjakan yang haram, maka hukumnya haram.”[5] Contohnya adalah jual beli setelah dikumandangkan azan untuk salat Jumat. Jual beli hukum asalnya mubah, namun ketika dilakukan setelah dikumandangkannya azan untuk salat Jumat, maka jual beli di waktu tersebut hukumnya menjadi haram. Hal ini karena terdapat larangan dari Allah Ta’ala, يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوۡمِ ٱلۡجُمُعَةِ فَٱسۡعَوۡاْ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَذَرُواْ ٱلۡبَيۡعَ‌ۚ “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli.” (QS. Al-Jumu’ah: 9) Sehingga, jual beli menjadi haram hukumnya setelah dikumandangkannya azan Jumat. Berdasarkan perintah untuk meninggalkan hal tersebut yang ada pada ayat di atas.“ Termasuk perkara mubah yang dapat mengantarkan kepada meninggalkan yang wajib atau melakukan yang haram adalah bermain atau menonton bola saat azan sudah dikumandangkan. Terlebih-lebih sampai tidak mengerjakan salat. Maka, hal ini tentunya menjadi haram hukumnya. Masih banyak lagi contoh dari perkara mubah menjadi haram dikarenakan menjadi sarana untuk meninggalkan perkara wajib ataupun melakukan yang haram. Keempat: Perantara untuk hal makruh Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, الوَسِيْلَةُ إِلَى المَكْرُوْهِ مَكْرُوْهٌ “Perantara kepada hal yang makruh, maka hukumnya makruh.”[6] Contoh perkara yang makruh adalah tidur sebelum Isya dan mengobrol setelah waktu salat Isya. Dari Abu Barzah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyukai tidur sebelum Isya dan mengobrol setelah Isya.”[7] Dalam hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلَاثًا قِيلَ وَقَالَ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ “Sesungguhnya Allah membenci untuk kalian tiga hal: orang yang menyampaikan setiap hal yang didengarnya, menyia-nyiakan harta, dan banyak bertanya.”[8] Maka, segala perantara yang bertujuan untuk melakukan hal makruh tersebut, dihukumi makruh. Termasuk dalam hal ini juga, perbuatan dosa dan maksiat. Segala perantara yang mengantarkan seseorang untuk melakukan dosa dan maksiat, maka harus dihindari. Seperti zina, segala perantara yang mengantarkan kepada zina, tidak boleh dilakukan. Seperti pacaran, berbicara tanpa hajat dengan lawan jenis, dan lain sebagainya. Maka, sudah semestinya hal tersebut ditinggalkan. Kelima: Perantara untuk hal haram Seperti halnya syirik besar. Telah diketahui bersama bahwa orang yang mati dalam keadaan berbuat syirik besar, Allah tidak akan mengampuninya dan pelakunya kekal di dalam neraka. Karena itu, segala perbuatan yang mengantarkan kepada syirik besar dilarang dalam syariat Islam. Dalam hal ini adalah segala bentuk syirik kecil. Karena syirik kecil dapat mengantarkan seseorang kepada syirik besar. Seperti contohnya, bersumpah dengan selain nama Allah, riya‘, sum’ah, memakai gelang atau benda-benda lainnya sebagai penangkal dari marabahaya, dan lain sebagainya. Ini semua diharamkan dalam syariat karena dapat mengantarkan kepada syirik besar. Demikianlah kaidah di antara kaidah-kaidah fikih yang sangat jelas. Sungguh kaidah ini sangat bermanfaat bagi kaum muslimin, sebagai penimbang suatu perkara maupun amalan-amalan. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Baca juga: 10 Kaidah Pemurnian Tauhid *** Depok, 10 Zulkaidah 1445 H / 17 Mei 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id.   Referensi: Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. (Jilid 7) Al-Qawâ’id wal-Ushûl Al-Jami’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm Al-Badî’ah An-Nâfi’ah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah.   Catatan kaki: [1] Lihat kitab Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah, hal. 29. [2] Hadis diriwayatkan oleh Bukhari no. 1967 dan Muslim no. 1059. [3] Hadis diriwayatkan oleh Muslim no. 4867. [4] Kaidah ini disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa-nya, 29: 16. [5] Lihat kitab  Al-Qawâ’id wal-Ushûl Al-Jami’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm Al-Badî’ah An-Nâfi’ah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah. [6] Lihat Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 30, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah. [7] Hadis diriwayatkan oleh Bukhari no. 568. [8] Hadis diriwayatkan oleh Bukhari no. 1477. Tags: kaidah fikih


Daftar Isi Toggle Bait syair untuk kaidah iniKaidah-kaidah yang terlahir dari kaidah iniPertama: Perantara untuk amalan wajibBerjalan untuk melaksanakan salat wajibMenghadiri majelis ilmu dan mempelajari ilmu agamaBerjihad di jalan AllahKedua: Perantara untuk amalan sunahKetiga: Perantara untuk hal yang mubahKeempat: Perantara untuk hal makruhKelima: Perantara untuk hal haram Kaidah kali ini akan menjelaskan bahwa wasilah atau perantara di dalam syariat Islam terkena hukum yang lima. Baik wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Sehingga, wasilah terkena hukum yang lima tersebut sesuai dengan tujuannya. Jika tujuannya adalah hal yang wajib, maka wasilah pun menjadi hal yang wajib, dan begitu seterusnya. Bait syair untuk kaidah ini Untuk lebih jelas, simaklah bait syair dari kaidah berikut, وَسَائِلُ الْأُمُوْرِ كَالْمَقَاصِدِ وَاحْكُمْ بِهَذَا الحُكْمِ لِلزَّوَائِدِ “Wasilah suatu perkara sama hukumnya seperti tujuannya. Maka, berhukumlah dengan hukum ini sebagai penyempurna.”[1] Maksudnya, wasilah atau sarana sama seperti tujuannya. Kaidah-kaidah yang terlahir dari kaidah ini Pertama: Perantara untuk amalan wajib Sehingga, dari sini terlahir beberapa kaidah yang lain. Di antaranya, مَا لَا يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ “Perkara wajib yang tidak dapat sempurna kecuali dengannya (suatu perkara), maka suatu perkara itu menjadi wajib.” Maka, perantara untuk amalan yang wajib, perantara tersebut dihukumi menjadi hal yang wajib. Beberapa contohnya, Berjalan untuk melaksanakan salat wajib Dalam hal ini, terdapat keutamaan tersendiri bagi orang-orang yang berjalan ke masjid untuk melaksanakan salat wajib. Akan diangkat derajatnya, dihapuskan dosa-dosanya, dan akan didoakan oleh malaikat selama ia menunggu waktu salat.[2] Begitu pun dengan syarat-syarat yang lainnya. Bersuci, menutup aurat, menghadap kiblat, dan lain-lain. Ini semua hal yang wajib sebagai perantara untuk sempurnanya amalan wajib, yaitu salat. Menghadiri majelis ilmu dan mempelajari ilmu agama Menuntut ilmu hukumnya wajib. Sehingga, segala sarana untuk mempelajari ilmu hukumnya wajib. Terlebih ilmu tersebut berkaitan dengan fardhu ‘ain. Karena hal ini, Nabi yang mulia shallallahu ‘alihi wasallam bersabda, وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ “Barangsiapa yang berjalan menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mempermudah untuknya jalan menuju surga.”[3] Dalam mempelajari ilmu agama terdapat dua hal. Ada yang bersifat tujuan, yaitu ilmu Al-Qur’an dan Sunnah. Dan ada yang sifatnya sarana yang mengantarkan untuk memahami kedua ilmu tersebut, seperti halnya ilmu bahasa Arab. Maka bagi orang-orang yang ingin memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, wajib baginya untuk mempelajari ilmu bahasa Arab terlebih dahulu. Karena itu sebagai pengantar kepada hal yang wajib. Berjihad di jalan Allah Berjihad di jalan Allah pun hukumnya wajib. Tentunya setelah terpenuhi segala syarat. Dan di antara syarat jihad adalah bersama Ulil Amri. Untuk berjihad di jalan Allah tentunya harus ada persiapan dan sarana-sarana yang dipersiapkan. Maka, segala hal tersebut dihukumi wajib pula. Simaklah firman Allah Ta’ala, ذَٲلِكَ بِأَنَّهُمۡ لَا يُصِيبُهُمۡ ظَمَأٌ۬ وَلَا نَصَبٌ۬ وَلَا مَخۡمَصَةٌ۬ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَطَـُٔونَ مَوۡطِئً۬ا يَغِيظُ ٱلۡڪُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنۡ عَدُوٍّ۬ نَّيۡلاً إِلَّا كُتِبَ لَهُم بِهِۦ عَمَلٌ۬ صَـٰلِحٌ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ  وَلَا يُنفِقُونَ نَفَقَةً۬ صَغِيرَةً۬ وَلَا ڪَبِيرَةً۬ وَلَا يَقۡطَعُونَ وَادِيًا إِلَّا ڪُتِبَ لَهُمۡ لِيَجۡزِيَهُمُ ٱللَّهُ أَحۡسَنَ مَا ڪَانُواْ يَعۡمَلُونَ  “Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan, dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula). Karena Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. At-Taubah: 120-121) Dari ayat di atas, dapat diketahui bahwa segala sarana diberikan balasan oleh Allah Ta’ala. Sebagai ganjaran atas usaha untuk melakukan kewajiban dari ibadah tersebut. Masih banyak lagi sarana-sarana kepada amalan yang wajib. Seperti wajibnya mencari air untuk melaksanakan salat, mempelajari tentang petunjuk waktu salat atau kiblat, usaha untuk mencari nafkah yang halal, dan lain sebagainya. Baca juga: Syariat Hadir untuk Kemaslahatan Kedua: Perantara untuk amalan sunah مَا لَا يَتِمُّ المَسْنُوْنُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ مَسْنُوْنٌ “Perkara sunah yang tidak dapat sempurna kecuali dengannya (suatu perkara), maka suatu perkara itu adalah sunah.” Segala perantara untuk amalan sunah, maka hukumnya pun sunah. Seperti salat sunah, sedekah, puasa sunah, sunah-sunah yang berkaitan dengan haji dan umrah. Sarana untuk mengantarkan kepada amalan ini, maka hukumnya pun sunah. Ketiga: Perantara untuk hal yang mubah Sama halnya dengan hukum-hukum yang telah disebutkan di atas. Sarana dihukumi mubah ketika suatu perbuatan dihukumi mubah. Sedangkan perkara yang dihukumi mubah dalam syariat adalah segala hal yang berkaitan dengan muamalah atau perkara duniawi, selama tidak ada dalil yang melarangnya. Karenanya para ulama membuat kaidah, الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإبَاحَةُ “Hukum asal segala sesuatu adalah mubah.”[4] Namun, dalam perkara mubah ini ada hal yang harus diketahui. Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, أَنَّ كُلَّ مُبَاحٍ تَوَسَّلَ بِهِ إِلَى تَرْكِ وَاجِبٍ أَوْ فِعْلِ مُحَرَّمٍ فَهُوَ مُحَرَّمٌ “Setiap hal mubah yang mengantarkan seseorang untuk meninggalkan yang wajib dan mengerjakan yang haram, maka hukumnya haram.”[5] Contohnya adalah jual beli setelah dikumandangkan azan untuk salat Jumat. Jual beli hukum asalnya mubah, namun ketika dilakukan setelah dikumandangkannya azan untuk salat Jumat, maka jual beli di waktu tersebut hukumnya menjadi haram. Hal ini karena terdapat larangan dari Allah Ta’ala, يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوۡمِ ٱلۡجُمُعَةِ فَٱسۡعَوۡاْ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَذَرُواْ ٱلۡبَيۡعَ‌ۚ “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli.” (QS. Al-Jumu’ah: 9) Sehingga, jual beli menjadi haram hukumnya setelah dikumandangkannya azan Jumat. Berdasarkan perintah untuk meninggalkan hal tersebut yang ada pada ayat di atas.“ Termasuk perkara mubah yang dapat mengantarkan kepada meninggalkan yang wajib atau melakukan yang haram adalah bermain atau menonton bola saat azan sudah dikumandangkan. Terlebih-lebih sampai tidak mengerjakan salat. Maka, hal ini tentunya menjadi haram hukumnya. Masih banyak lagi contoh dari perkara mubah menjadi haram dikarenakan menjadi sarana untuk meninggalkan perkara wajib ataupun melakukan yang haram. Keempat: Perantara untuk hal makruh Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, الوَسِيْلَةُ إِلَى المَكْرُوْهِ مَكْرُوْهٌ “Perantara kepada hal yang makruh, maka hukumnya makruh.”[6] Contoh perkara yang makruh adalah tidur sebelum Isya dan mengobrol setelah waktu salat Isya. Dari Abu Barzah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyukai tidur sebelum Isya dan mengobrol setelah Isya.”[7] Dalam hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلَاثًا قِيلَ وَقَالَ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ “Sesungguhnya Allah membenci untuk kalian tiga hal: orang yang menyampaikan setiap hal yang didengarnya, menyia-nyiakan harta, dan banyak bertanya.”[8] Maka, segala perantara yang bertujuan untuk melakukan hal makruh tersebut, dihukumi makruh. Termasuk dalam hal ini juga, perbuatan dosa dan maksiat. Segala perantara yang mengantarkan seseorang untuk melakukan dosa dan maksiat, maka harus dihindari. Seperti zina, segala perantara yang mengantarkan kepada zina, tidak boleh dilakukan. Seperti pacaran, berbicara tanpa hajat dengan lawan jenis, dan lain sebagainya. Maka, sudah semestinya hal tersebut ditinggalkan. Kelima: Perantara untuk hal haram Seperti halnya syirik besar. Telah diketahui bersama bahwa orang yang mati dalam keadaan berbuat syirik besar, Allah tidak akan mengampuninya dan pelakunya kekal di dalam neraka. Karena itu, segala perbuatan yang mengantarkan kepada syirik besar dilarang dalam syariat Islam. Dalam hal ini adalah segala bentuk syirik kecil. Karena syirik kecil dapat mengantarkan seseorang kepada syirik besar. Seperti contohnya, bersumpah dengan selain nama Allah, riya‘, sum’ah, memakai gelang atau benda-benda lainnya sebagai penangkal dari marabahaya, dan lain sebagainya. Ini semua diharamkan dalam syariat karena dapat mengantarkan kepada syirik besar. Demikianlah kaidah di antara kaidah-kaidah fikih yang sangat jelas. Sungguh kaidah ini sangat bermanfaat bagi kaum muslimin, sebagai penimbang suatu perkara maupun amalan-amalan. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Baca juga: 10 Kaidah Pemurnian Tauhid *** Depok, 10 Zulkaidah 1445 H / 17 Mei 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id.   Referensi: Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. (Jilid 7) Al-Qawâ’id wal-Ushûl Al-Jami’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm Al-Badî’ah An-Nâfi’ah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah.   Catatan kaki: [1] Lihat kitab Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah, hal. 29. [2] Hadis diriwayatkan oleh Bukhari no. 1967 dan Muslim no. 1059. [3] Hadis diriwayatkan oleh Muslim no. 4867. [4] Kaidah ini disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa-nya, 29: 16. [5] Lihat kitab  Al-Qawâ’id wal-Ushûl Al-Jami’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm Al-Badî’ah An-Nâfi’ah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah. [6] Lihat Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 30, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah. [7] Hadis diriwayatkan oleh Bukhari no. 568. [8] Hadis diriwayatkan oleh Bukhari no. 1477. Tags: kaidah fikih

Makna Kemerdekaan bagi Seorang Muslim

Daftar Isi Toggle Kemerdekaan terbesar adalah berlepas diri dari kesyirikanMerdeka dari hawa nafsuMerdeka dari fitnah duniaKesimpulan Tanggal 17 Agustus adalah hari kemerdekaan Negara Indonesia, negara kita. Hari bersejarah yang selalu dikenang dan diingat oleh rakyat Indonesia. Dengan merdekanya Indonesia dari tangan penjajah, maka kita menjadi rakyat independen yang dapat bergerak bebas dan tidak terikat secara pemerintahan dengan negara lainnya. Dalam Islam, makna kemerdekaan lebih jauh dari sekedar kemerdekaan sebuah negara dan bangsa. Dalam Islam, kemerdekaan adalah tatkala seorang hamba bebas melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala tanpa adanya suatu penghalang apa pun. Dalam Islam, kemerdekaan adalah tatkala seorang muslim tidak memiliki penghalang antara dirinya dan surga Allah Ta’ala. Kemerdekaan terbesar adalah berlepas diri dari kesyirikan Dalam beribadah dan melakukan ketaatan kepada Allah, seseorang muslim tidak akan dikatakan merdeka, kecuali apabila hanya beribadah kepada Allah Ta’ala dan menjauhkan diri dari kesyirikan kepada-Nya. Karena di dalam penyelewengan dan pemberian ibadah kepada selain Allah Ta’ala, sejatinya merupakan bentuk perbudakan kepada makhluk selain Allah Ta’ala. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan mengenai hal ini. Beliau rahimahullah berkata, العبودية لله هي حقيقة الحرية، فمن لم يتعبد له، كان عابدا لغيره “Menjadi hamba Allah adalah kemerdekaan yang hakiki. Barangsiapa yang tidak menghamba kepada Allah, dia akan menjadi hamba kepada selain-Nya.” (Al-Majmu’ Al-Fatawa, 8: 306) Saat seseorang berbuat kesyirikan, maka sejatinya ia bergantung dan merasa butuh kepada selain Allah Ta’ala. Ketika akan melakukan sesuatu, seringkali ia akan meminta persetujuan terlebih dahulu dari objek atau mahkluk yang ia sembah tersebut. Tidaklah ia memulai sebuah kegiatan, kecuali terlebih dahulu memberikan persembahan kepada sesembahannya tersebut. Bahkan, tidak jarang kita temukan, sebagian dari mereka yang mengaku muslim dan beriman kepada Allah Ta’ala, justru datang dan meminta kesembuhan, kesuksesan, dan kekayaan kepada makhluk-makhluk selain Allah, yang lemah lagi tak memiliki kuasa. Sungguh, ini menunjukkan betapa kebebasan dan kemerdekaan diri orang tersebut tersandera oleh kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Jiwanya tidak bebas dalam beribadah dan bermunajat kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan ketidakmampuan makhluk-makhluk tersebut di dalam mengabulkan doa dan keinginan para penyembah dan pemujanya, وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ* وَإِذَا حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاءً وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ كَافِرِينَ “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sesembahan-sesembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat), niscaya sesembahan-sesembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.” (QS. Al-Ahqaf 5-6) Ketahuilah wahai saudaraku, jiwa yang merdeka adalah jiwa yang bertauhid dan tunduk hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bebas dari kesyirikan dan peribadatan kepada selain Allah. Merdeka dari hawa nafsu Di antara bentuk kemerdekaan yang dituntut dan diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kemerdekaan dari belenggu hawa nafsu. Karena muaranya hawa nafsu akan menjerumuskan seseorang kepada kesesatan dan kebatilan. Lihatlah bagaimana Allah Ta’ala berbicara dan mewanti-wanti Nabi Daud ‘alaihis salam yang notabene-nya adalah seorang penguasa, seorang penguasa yang merdeka, dan tentu saja jauh dari ketundukan dan kehinaan. Allah peringatkan beliau agar jangan sampai dirinya tunduk dan menjadi sandera atas hawa nafsunya sendiri. Allah Ta’ala berfirman, يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ  “Wahai Daud! Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allâh.” (QS. Shad: 26) Di antara cara yang paling ampuh untuk menundukkan hawa nafsu dan menang darinya adalah dengan merasa takut kepada Allah Ta’ala, merasa takut juga akan azab-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ * فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at: 40-41) Mereka yang takut akan kebesaran Allah Ta’ala dan hukuman-Nya, maka akan mudah di dalam menundukkan hawa nafsunya. Sebaliknya, mereka yang tidak takut kepada Allah Ta’ala, merasa aman tatkala bermaksiat dan melakukan perbuatan dosa, maka bisa dipastikan ia akan kalah dan tunduk kepada hawa nafsunya. Baca juga: Kemerdekaan yang Hakiki Menjadi Hamba Allah Merdeka dari fitnah dunia Di antara ujian yang Allah berikan kepada kita adalah fitnah kehidupan dunia. Setiap dari kita pastilah diuji dengannya, entah itu berupa kekayaan harta yang melimpah ataupun ketidakcukupan dalam memenuhi kebutuhan. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan kepada kita hakikat kehidupan dunia ini, اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan, suatu yang melalaikan, perhiasan, bermegah-megahan di antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak. Seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering, dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadîd: 20) Seorang muslim yang merdeka adalah mereka yang terbebas dari fitnah dan ujian tersebut. Ia bersabar tatkala diuji dengan kesempitan dan bersyukur tatkala diuji dengan kelapangan. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang sahih, عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له. “Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin. Jika dia mendapatkan kesenangan, dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya. Dan jika dia ditimpa kesusahan, dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” (HR. Muslim no. 2999) Jiwanya bebas dan merdeka, tidak mengutuk Allah dan menyalahkan keadaan tatkala sedang dalam keadaan sempit serta terbebas dan tidak diperbudak oleh hartanya tatkala Allah berikan kelapangan. Kesimpulan Momentum hari kemerdekaan Indonesia, selain tentunya mengajak kita untuk kembali bersyukur kepada Allah Ta’ala atas limpahan nikmat rasa aman dan kebebasan, hendaknya juga kita manfaatkan untuk memaknai kembali kemerdekaan diri kita sendiri. Di mana di dalam ajaran Islam, tidaklah seseorang dikatakan merdeka dan bebas, kecuali setidaknya terbebas dari tiga hal berikut: Pertama: Terbebas dari kesyirikan dan hal-hal yang mengantarkan kepadanya. Sehingga jiwanya bebas di dalam beribadah kepada Allah dan tidak menjadi sandera sesembahan-sesembahan selain-Nya. Kedua: Terbebas dari belenggu hawa nafsu. Dalam kesehariannya, perbuatan yang dilakukannya jauh dari ketundukan kepada hawa nafsu, aktifitas kesehariannya jauh dari berbagai macam bentuk godaan nafsu syahwat dan nafsu syubhat. Karena rasa takutnya yang besar kepada Allah Ta’ala. Ketiga: Bebas dari jerat-jerat fitnah dunia. Tidaklah dirinya diuji dengan rasa susah, kecuali ia bersabar, dan tidaklah ia diuji dengan rasa lapang, kecuali ia bersyukur kepada Allah Ta’ala. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga keamanan dan kedamaian di negeri kita, memberikan hidayah kepada para pemimpin kita, dan senantiasa memberikan kemerdekaan dan kebebasan kepada diri kita untuk beribadah kepada-Nya, اللَّهُمَّ إنِّي أسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي ، اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِي وَآمِنْ رَوْعَاتِي ، اللَّهُمَّ احْفَظْنِي مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ وَمِنْ خَلْفِي ، وَعَن يَمِينِي وَعَن شِمَالِي وَمِنْ فَوْقِي ، وَأَعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِي “Ya Allâh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allâh, sungguh aku mohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan untuk agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku. Ya Allâh, tutuplah auratku (aib celaku), berilah keamanan dari rasa takutku. Ya Allâh, perliharalah aku dari arah depan, belakang, kanan, kiri, dan dari arah atasku. Aku berlindung dengan keagungan-Mu, agar aku terhindar kebinasaan dari bawahku (dibenamkan ke dalam bumi).” Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Menjadi Muslim Produktif di Era Disruptif *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: kemerdekaan

Makna Kemerdekaan bagi Seorang Muslim

Daftar Isi Toggle Kemerdekaan terbesar adalah berlepas diri dari kesyirikanMerdeka dari hawa nafsuMerdeka dari fitnah duniaKesimpulan Tanggal 17 Agustus adalah hari kemerdekaan Negara Indonesia, negara kita. Hari bersejarah yang selalu dikenang dan diingat oleh rakyat Indonesia. Dengan merdekanya Indonesia dari tangan penjajah, maka kita menjadi rakyat independen yang dapat bergerak bebas dan tidak terikat secara pemerintahan dengan negara lainnya. Dalam Islam, makna kemerdekaan lebih jauh dari sekedar kemerdekaan sebuah negara dan bangsa. Dalam Islam, kemerdekaan adalah tatkala seorang hamba bebas melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala tanpa adanya suatu penghalang apa pun. Dalam Islam, kemerdekaan adalah tatkala seorang muslim tidak memiliki penghalang antara dirinya dan surga Allah Ta’ala. Kemerdekaan terbesar adalah berlepas diri dari kesyirikan Dalam beribadah dan melakukan ketaatan kepada Allah, seseorang muslim tidak akan dikatakan merdeka, kecuali apabila hanya beribadah kepada Allah Ta’ala dan menjauhkan diri dari kesyirikan kepada-Nya. Karena di dalam penyelewengan dan pemberian ibadah kepada selain Allah Ta’ala, sejatinya merupakan bentuk perbudakan kepada makhluk selain Allah Ta’ala. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan mengenai hal ini. Beliau rahimahullah berkata, العبودية لله هي حقيقة الحرية، فمن لم يتعبد له، كان عابدا لغيره “Menjadi hamba Allah adalah kemerdekaan yang hakiki. Barangsiapa yang tidak menghamba kepada Allah, dia akan menjadi hamba kepada selain-Nya.” (Al-Majmu’ Al-Fatawa, 8: 306) Saat seseorang berbuat kesyirikan, maka sejatinya ia bergantung dan merasa butuh kepada selain Allah Ta’ala. Ketika akan melakukan sesuatu, seringkali ia akan meminta persetujuan terlebih dahulu dari objek atau mahkluk yang ia sembah tersebut. Tidaklah ia memulai sebuah kegiatan, kecuali terlebih dahulu memberikan persembahan kepada sesembahannya tersebut. Bahkan, tidak jarang kita temukan, sebagian dari mereka yang mengaku muslim dan beriman kepada Allah Ta’ala, justru datang dan meminta kesembuhan, kesuksesan, dan kekayaan kepada makhluk-makhluk selain Allah, yang lemah lagi tak memiliki kuasa. Sungguh, ini menunjukkan betapa kebebasan dan kemerdekaan diri orang tersebut tersandera oleh kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Jiwanya tidak bebas dalam beribadah dan bermunajat kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan ketidakmampuan makhluk-makhluk tersebut di dalam mengabulkan doa dan keinginan para penyembah dan pemujanya, وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ* وَإِذَا حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاءً وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ كَافِرِينَ “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sesembahan-sesembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat), niscaya sesembahan-sesembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.” (QS. Al-Ahqaf 5-6) Ketahuilah wahai saudaraku, jiwa yang merdeka adalah jiwa yang bertauhid dan tunduk hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bebas dari kesyirikan dan peribadatan kepada selain Allah. Merdeka dari hawa nafsu Di antara bentuk kemerdekaan yang dituntut dan diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kemerdekaan dari belenggu hawa nafsu. Karena muaranya hawa nafsu akan menjerumuskan seseorang kepada kesesatan dan kebatilan. Lihatlah bagaimana Allah Ta’ala berbicara dan mewanti-wanti Nabi Daud ‘alaihis salam yang notabene-nya adalah seorang penguasa, seorang penguasa yang merdeka, dan tentu saja jauh dari ketundukan dan kehinaan. Allah peringatkan beliau agar jangan sampai dirinya tunduk dan menjadi sandera atas hawa nafsunya sendiri. Allah Ta’ala berfirman, يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ  “Wahai Daud! Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allâh.” (QS. Shad: 26) Di antara cara yang paling ampuh untuk menundukkan hawa nafsu dan menang darinya adalah dengan merasa takut kepada Allah Ta’ala, merasa takut juga akan azab-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ * فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at: 40-41) Mereka yang takut akan kebesaran Allah Ta’ala dan hukuman-Nya, maka akan mudah di dalam menundukkan hawa nafsunya. Sebaliknya, mereka yang tidak takut kepada Allah Ta’ala, merasa aman tatkala bermaksiat dan melakukan perbuatan dosa, maka bisa dipastikan ia akan kalah dan tunduk kepada hawa nafsunya. Baca juga: Kemerdekaan yang Hakiki Menjadi Hamba Allah Merdeka dari fitnah dunia Di antara ujian yang Allah berikan kepada kita adalah fitnah kehidupan dunia. Setiap dari kita pastilah diuji dengannya, entah itu berupa kekayaan harta yang melimpah ataupun ketidakcukupan dalam memenuhi kebutuhan. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan kepada kita hakikat kehidupan dunia ini, اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan, suatu yang melalaikan, perhiasan, bermegah-megahan di antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak. Seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering, dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadîd: 20) Seorang muslim yang merdeka adalah mereka yang terbebas dari fitnah dan ujian tersebut. Ia bersabar tatkala diuji dengan kesempitan dan bersyukur tatkala diuji dengan kelapangan. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang sahih, عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له. “Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin. Jika dia mendapatkan kesenangan, dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya. Dan jika dia ditimpa kesusahan, dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” (HR. Muslim no. 2999) Jiwanya bebas dan merdeka, tidak mengutuk Allah dan menyalahkan keadaan tatkala sedang dalam keadaan sempit serta terbebas dan tidak diperbudak oleh hartanya tatkala Allah berikan kelapangan. Kesimpulan Momentum hari kemerdekaan Indonesia, selain tentunya mengajak kita untuk kembali bersyukur kepada Allah Ta’ala atas limpahan nikmat rasa aman dan kebebasan, hendaknya juga kita manfaatkan untuk memaknai kembali kemerdekaan diri kita sendiri. Di mana di dalam ajaran Islam, tidaklah seseorang dikatakan merdeka dan bebas, kecuali setidaknya terbebas dari tiga hal berikut: Pertama: Terbebas dari kesyirikan dan hal-hal yang mengantarkan kepadanya. Sehingga jiwanya bebas di dalam beribadah kepada Allah dan tidak menjadi sandera sesembahan-sesembahan selain-Nya. Kedua: Terbebas dari belenggu hawa nafsu. Dalam kesehariannya, perbuatan yang dilakukannya jauh dari ketundukan kepada hawa nafsu, aktifitas kesehariannya jauh dari berbagai macam bentuk godaan nafsu syahwat dan nafsu syubhat. Karena rasa takutnya yang besar kepada Allah Ta’ala. Ketiga: Bebas dari jerat-jerat fitnah dunia. Tidaklah dirinya diuji dengan rasa susah, kecuali ia bersabar, dan tidaklah ia diuji dengan rasa lapang, kecuali ia bersyukur kepada Allah Ta’ala. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga keamanan dan kedamaian di negeri kita, memberikan hidayah kepada para pemimpin kita, dan senantiasa memberikan kemerdekaan dan kebebasan kepada diri kita untuk beribadah kepada-Nya, اللَّهُمَّ إنِّي أسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي ، اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِي وَآمِنْ رَوْعَاتِي ، اللَّهُمَّ احْفَظْنِي مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ وَمِنْ خَلْفِي ، وَعَن يَمِينِي وَعَن شِمَالِي وَمِنْ فَوْقِي ، وَأَعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِي “Ya Allâh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allâh, sungguh aku mohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan untuk agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku. Ya Allâh, tutuplah auratku (aib celaku), berilah keamanan dari rasa takutku. Ya Allâh, perliharalah aku dari arah depan, belakang, kanan, kiri, dan dari arah atasku. Aku berlindung dengan keagungan-Mu, agar aku terhindar kebinasaan dari bawahku (dibenamkan ke dalam bumi).” Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Menjadi Muslim Produktif di Era Disruptif *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: kemerdekaan
Daftar Isi Toggle Kemerdekaan terbesar adalah berlepas diri dari kesyirikanMerdeka dari hawa nafsuMerdeka dari fitnah duniaKesimpulan Tanggal 17 Agustus adalah hari kemerdekaan Negara Indonesia, negara kita. Hari bersejarah yang selalu dikenang dan diingat oleh rakyat Indonesia. Dengan merdekanya Indonesia dari tangan penjajah, maka kita menjadi rakyat independen yang dapat bergerak bebas dan tidak terikat secara pemerintahan dengan negara lainnya. Dalam Islam, makna kemerdekaan lebih jauh dari sekedar kemerdekaan sebuah negara dan bangsa. Dalam Islam, kemerdekaan adalah tatkala seorang hamba bebas melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala tanpa adanya suatu penghalang apa pun. Dalam Islam, kemerdekaan adalah tatkala seorang muslim tidak memiliki penghalang antara dirinya dan surga Allah Ta’ala. Kemerdekaan terbesar adalah berlepas diri dari kesyirikan Dalam beribadah dan melakukan ketaatan kepada Allah, seseorang muslim tidak akan dikatakan merdeka, kecuali apabila hanya beribadah kepada Allah Ta’ala dan menjauhkan diri dari kesyirikan kepada-Nya. Karena di dalam penyelewengan dan pemberian ibadah kepada selain Allah Ta’ala, sejatinya merupakan bentuk perbudakan kepada makhluk selain Allah Ta’ala. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan mengenai hal ini. Beliau rahimahullah berkata, العبودية لله هي حقيقة الحرية، فمن لم يتعبد له، كان عابدا لغيره “Menjadi hamba Allah adalah kemerdekaan yang hakiki. Barangsiapa yang tidak menghamba kepada Allah, dia akan menjadi hamba kepada selain-Nya.” (Al-Majmu’ Al-Fatawa, 8: 306) Saat seseorang berbuat kesyirikan, maka sejatinya ia bergantung dan merasa butuh kepada selain Allah Ta’ala. Ketika akan melakukan sesuatu, seringkali ia akan meminta persetujuan terlebih dahulu dari objek atau mahkluk yang ia sembah tersebut. Tidaklah ia memulai sebuah kegiatan, kecuali terlebih dahulu memberikan persembahan kepada sesembahannya tersebut. Bahkan, tidak jarang kita temukan, sebagian dari mereka yang mengaku muslim dan beriman kepada Allah Ta’ala, justru datang dan meminta kesembuhan, kesuksesan, dan kekayaan kepada makhluk-makhluk selain Allah, yang lemah lagi tak memiliki kuasa. Sungguh, ini menunjukkan betapa kebebasan dan kemerdekaan diri orang tersebut tersandera oleh kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Jiwanya tidak bebas dalam beribadah dan bermunajat kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan ketidakmampuan makhluk-makhluk tersebut di dalam mengabulkan doa dan keinginan para penyembah dan pemujanya, وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ* وَإِذَا حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاءً وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ كَافِرِينَ “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sesembahan-sesembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat), niscaya sesembahan-sesembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.” (QS. Al-Ahqaf 5-6) Ketahuilah wahai saudaraku, jiwa yang merdeka adalah jiwa yang bertauhid dan tunduk hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bebas dari kesyirikan dan peribadatan kepada selain Allah. Merdeka dari hawa nafsu Di antara bentuk kemerdekaan yang dituntut dan diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kemerdekaan dari belenggu hawa nafsu. Karena muaranya hawa nafsu akan menjerumuskan seseorang kepada kesesatan dan kebatilan. Lihatlah bagaimana Allah Ta’ala berbicara dan mewanti-wanti Nabi Daud ‘alaihis salam yang notabene-nya adalah seorang penguasa, seorang penguasa yang merdeka, dan tentu saja jauh dari ketundukan dan kehinaan. Allah peringatkan beliau agar jangan sampai dirinya tunduk dan menjadi sandera atas hawa nafsunya sendiri. Allah Ta’ala berfirman, يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ  “Wahai Daud! Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allâh.” (QS. Shad: 26) Di antara cara yang paling ampuh untuk menundukkan hawa nafsu dan menang darinya adalah dengan merasa takut kepada Allah Ta’ala, merasa takut juga akan azab-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ * فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at: 40-41) Mereka yang takut akan kebesaran Allah Ta’ala dan hukuman-Nya, maka akan mudah di dalam menundukkan hawa nafsunya. Sebaliknya, mereka yang tidak takut kepada Allah Ta’ala, merasa aman tatkala bermaksiat dan melakukan perbuatan dosa, maka bisa dipastikan ia akan kalah dan tunduk kepada hawa nafsunya. Baca juga: Kemerdekaan yang Hakiki Menjadi Hamba Allah Merdeka dari fitnah dunia Di antara ujian yang Allah berikan kepada kita adalah fitnah kehidupan dunia. Setiap dari kita pastilah diuji dengannya, entah itu berupa kekayaan harta yang melimpah ataupun ketidakcukupan dalam memenuhi kebutuhan. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan kepada kita hakikat kehidupan dunia ini, اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan, suatu yang melalaikan, perhiasan, bermegah-megahan di antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak. Seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering, dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadîd: 20) Seorang muslim yang merdeka adalah mereka yang terbebas dari fitnah dan ujian tersebut. Ia bersabar tatkala diuji dengan kesempitan dan bersyukur tatkala diuji dengan kelapangan. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang sahih, عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له. “Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin. Jika dia mendapatkan kesenangan, dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya. Dan jika dia ditimpa kesusahan, dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” (HR. Muslim no. 2999) Jiwanya bebas dan merdeka, tidak mengutuk Allah dan menyalahkan keadaan tatkala sedang dalam keadaan sempit serta terbebas dan tidak diperbudak oleh hartanya tatkala Allah berikan kelapangan. Kesimpulan Momentum hari kemerdekaan Indonesia, selain tentunya mengajak kita untuk kembali bersyukur kepada Allah Ta’ala atas limpahan nikmat rasa aman dan kebebasan, hendaknya juga kita manfaatkan untuk memaknai kembali kemerdekaan diri kita sendiri. Di mana di dalam ajaran Islam, tidaklah seseorang dikatakan merdeka dan bebas, kecuali setidaknya terbebas dari tiga hal berikut: Pertama: Terbebas dari kesyirikan dan hal-hal yang mengantarkan kepadanya. Sehingga jiwanya bebas di dalam beribadah kepada Allah dan tidak menjadi sandera sesembahan-sesembahan selain-Nya. Kedua: Terbebas dari belenggu hawa nafsu. Dalam kesehariannya, perbuatan yang dilakukannya jauh dari ketundukan kepada hawa nafsu, aktifitas kesehariannya jauh dari berbagai macam bentuk godaan nafsu syahwat dan nafsu syubhat. Karena rasa takutnya yang besar kepada Allah Ta’ala. Ketiga: Bebas dari jerat-jerat fitnah dunia. Tidaklah dirinya diuji dengan rasa susah, kecuali ia bersabar, dan tidaklah ia diuji dengan rasa lapang, kecuali ia bersyukur kepada Allah Ta’ala. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga keamanan dan kedamaian di negeri kita, memberikan hidayah kepada para pemimpin kita, dan senantiasa memberikan kemerdekaan dan kebebasan kepada diri kita untuk beribadah kepada-Nya, اللَّهُمَّ إنِّي أسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي ، اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِي وَآمِنْ رَوْعَاتِي ، اللَّهُمَّ احْفَظْنِي مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ وَمِنْ خَلْفِي ، وَعَن يَمِينِي وَعَن شِمَالِي وَمِنْ فَوْقِي ، وَأَعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِي “Ya Allâh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allâh, sungguh aku mohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan untuk agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku. Ya Allâh, tutuplah auratku (aib celaku), berilah keamanan dari rasa takutku. Ya Allâh, perliharalah aku dari arah depan, belakang, kanan, kiri, dan dari arah atasku. Aku berlindung dengan keagungan-Mu, agar aku terhindar kebinasaan dari bawahku (dibenamkan ke dalam bumi).” Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Menjadi Muslim Produktif di Era Disruptif *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: kemerdekaan


Daftar Isi Toggle Kemerdekaan terbesar adalah berlepas diri dari kesyirikanMerdeka dari hawa nafsuMerdeka dari fitnah duniaKesimpulan Tanggal 17 Agustus adalah hari kemerdekaan Negara Indonesia, negara kita. Hari bersejarah yang selalu dikenang dan diingat oleh rakyat Indonesia. Dengan merdekanya Indonesia dari tangan penjajah, maka kita menjadi rakyat independen yang dapat bergerak bebas dan tidak terikat secara pemerintahan dengan negara lainnya. Dalam Islam, makna kemerdekaan lebih jauh dari sekedar kemerdekaan sebuah negara dan bangsa. Dalam Islam, kemerdekaan adalah tatkala seorang hamba bebas melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala tanpa adanya suatu penghalang apa pun. Dalam Islam, kemerdekaan adalah tatkala seorang muslim tidak memiliki penghalang antara dirinya dan surga Allah Ta’ala. Kemerdekaan terbesar adalah berlepas diri dari kesyirikan Dalam beribadah dan melakukan ketaatan kepada Allah, seseorang muslim tidak akan dikatakan merdeka, kecuali apabila hanya beribadah kepada Allah Ta’ala dan menjauhkan diri dari kesyirikan kepada-Nya. Karena di dalam penyelewengan dan pemberian ibadah kepada selain Allah Ta’ala, sejatinya merupakan bentuk perbudakan kepada makhluk selain Allah Ta’ala. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan mengenai hal ini. Beliau rahimahullah berkata, العبودية لله هي حقيقة الحرية، فمن لم يتعبد له، كان عابدا لغيره “Menjadi hamba Allah adalah kemerdekaan yang hakiki. Barangsiapa yang tidak menghamba kepada Allah, dia akan menjadi hamba kepada selain-Nya.” (Al-Majmu’ Al-Fatawa, 8: 306) Saat seseorang berbuat kesyirikan, maka sejatinya ia bergantung dan merasa butuh kepada selain Allah Ta’ala. Ketika akan melakukan sesuatu, seringkali ia akan meminta persetujuan terlebih dahulu dari objek atau mahkluk yang ia sembah tersebut. Tidaklah ia memulai sebuah kegiatan, kecuali terlebih dahulu memberikan persembahan kepada sesembahannya tersebut. Bahkan, tidak jarang kita temukan, sebagian dari mereka yang mengaku muslim dan beriman kepada Allah Ta’ala, justru datang dan meminta kesembuhan, kesuksesan, dan kekayaan kepada makhluk-makhluk selain Allah, yang lemah lagi tak memiliki kuasa. Sungguh, ini menunjukkan betapa kebebasan dan kemerdekaan diri orang tersebut tersandera oleh kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Jiwanya tidak bebas dalam beribadah dan bermunajat kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan ketidakmampuan makhluk-makhluk tersebut di dalam mengabulkan doa dan keinginan para penyembah dan pemujanya, وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ* وَإِذَا حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاءً وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ كَافِرِينَ “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sesembahan-sesembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat), niscaya sesembahan-sesembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.” (QS. Al-Ahqaf 5-6) Ketahuilah wahai saudaraku, jiwa yang merdeka adalah jiwa yang bertauhid dan tunduk hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bebas dari kesyirikan dan peribadatan kepada selain Allah. Merdeka dari hawa nafsu Di antara bentuk kemerdekaan yang dituntut dan diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kemerdekaan dari belenggu hawa nafsu. Karena muaranya hawa nafsu akan menjerumuskan seseorang kepada kesesatan dan kebatilan. Lihatlah bagaimana Allah Ta’ala berbicara dan mewanti-wanti Nabi Daud ‘alaihis salam yang notabene-nya adalah seorang penguasa, seorang penguasa yang merdeka, dan tentu saja jauh dari ketundukan dan kehinaan. Allah peringatkan beliau agar jangan sampai dirinya tunduk dan menjadi sandera atas hawa nafsunya sendiri. Allah Ta’ala berfirman, يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ  “Wahai Daud! Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allâh.” (QS. Shad: 26) Di antara cara yang paling ampuh untuk menundukkan hawa nafsu dan menang darinya adalah dengan merasa takut kepada Allah Ta’ala, merasa takut juga akan azab-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ * فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at: 40-41) Mereka yang takut akan kebesaran Allah Ta’ala dan hukuman-Nya, maka akan mudah di dalam menundukkan hawa nafsunya. Sebaliknya, mereka yang tidak takut kepada Allah Ta’ala, merasa aman tatkala bermaksiat dan melakukan perbuatan dosa, maka bisa dipastikan ia akan kalah dan tunduk kepada hawa nafsunya. Baca juga: Kemerdekaan yang Hakiki Menjadi Hamba Allah Merdeka dari fitnah dunia Di antara ujian yang Allah berikan kepada kita adalah fitnah kehidupan dunia. Setiap dari kita pastilah diuji dengannya, entah itu berupa kekayaan harta yang melimpah ataupun ketidakcukupan dalam memenuhi kebutuhan. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan kepada kita hakikat kehidupan dunia ini, اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan, suatu yang melalaikan, perhiasan, bermegah-megahan di antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak. Seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering, dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadîd: 20) Seorang muslim yang merdeka adalah mereka yang terbebas dari fitnah dan ujian tersebut. Ia bersabar tatkala diuji dengan kesempitan dan bersyukur tatkala diuji dengan kelapangan. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang sahih, عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له. “Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin. Jika dia mendapatkan kesenangan, dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya. Dan jika dia ditimpa kesusahan, dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” (HR. Muslim no. 2999) Jiwanya bebas dan merdeka, tidak mengutuk Allah dan menyalahkan keadaan tatkala sedang dalam keadaan sempit serta terbebas dan tidak diperbudak oleh hartanya tatkala Allah berikan kelapangan. Kesimpulan Momentum hari kemerdekaan Indonesia, selain tentunya mengajak kita untuk kembali bersyukur kepada Allah Ta’ala atas limpahan nikmat rasa aman dan kebebasan, hendaknya juga kita manfaatkan untuk memaknai kembali kemerdekaan diri kita sendiri. Di mana di dalam ajaran Islam, tidaklah seseorang dikatakan merdeka dan bebas, kecuali setidaknya terbebas dari tiga hal berikut: Pertama: Terbebas dari kesyirikan dan hal-hal yang mengantarkan kepadanya. Sehingga jiwanya bebas di dalam beribadah kepada Allah dan tidak menjadi sandera sesembahan-sesembahan selain-Nya. Kedua: Terbebas dari belenggu hawa nafsu. Dalam kesehariannya, perbuatan yang dilakukannya jauh dari ketundukan kepada hawa nafsu, aktifitas kesehariannya jauh dari berbagai macam bentuk godaan nafsu syahwat dan nafsu syubhat. Karena rasa takutnya yang besar kepada Allah Ta’ala. Ketiga: Bebas dari jerat-jerat fitnah dunia. Tidaklah dirinya diuji dengan rasa susah, kecuali ia bersabar, dan tidaklah ia diuji dengan rasa lapang, kecuali ia bersyukur kepada Allah Ta’ala. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga keamanan dan kedamaian di negeri kita, memberikan hidayah kepada para pemimpin kita, dan senantiasa memberikan kemerdekaan dan kebebasan kepada diri kita untuk beribadah kepada-Nya, اللَّهُمَّ إنِّي أسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي ، اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِي وَآمِنْ رَوْعَاتِي ، اللَّهُمَّ احْفَظْنِي مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ وَمِنْ خَلْفِي ، وَعَن يَمِينِي وَعَن شِمَالِي وَمِنْ فَوْقِي ، وَأَعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِي “Ya Allâh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allâh, sungguh aku mohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan untuk agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku. Ya Allâh, tutuplah auratku (aib celaku), berilah keamanan dari rasa takutku. Ya Allâh, perliharalah aku dari arah depan, belakang, kanan, kiri, dan dari arah atasku. Aku berlindung dengan keagungan-Mu, agar aku terhindar kebinasaan dari bawahku (dibenamkan ke dalam bumi).” Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Menjadi Muslim Produktif di Era Disruptif *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: kemerdekaan
Prev     Next