Fikih Akad Musaqah: Definisi, Hukum, dan Hikmahnya

Daftar Isi Toggle Definisi musaqahHukum musaqahDalil musaqahHikmah pensyariatan musaqahKemaslahatan dalam pengelolaan sumber dayaMeningkatkan kerja sama dan saling membantuMemberikan lapangan pekerjaan untuk kaum musliminMeningkatkan produktivitas dan ekonomiPada musaqah, terdapat prinsip keadilan Islam Musaqah mungkin terdengar sedikit asing tentang namanya. Hampir jarang sekali terdengar tentang musaqah ini. Namun, musaqah mendapatkan perhatian dari para ulama sehingga mereka memasukkannya pada pembahasan masalah muamalah. Hampir di seluruh kitab-kitab fikih ditemukan pembahasan tentang musaqah ini. Di antaranya: kitab Al-Umm karya Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, Al-Mughni karya Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, dan kitab-kitab yang lainnya. Definisi musaqah Secara bahasa, musaqah diambil dari kata السَقْيُ yang berarti “mengairi”. Dinamakan demikian, karena dahulu pohon-pohon penduduk Hijaz sangat butuh air karena negeri Hijaz adalah negeri yang tandus. Sehingga pohon-pohon yang ada butuh untuk diberi air dari sumur-sumur yang ada. Secara istilah, musaqah adalah memberikan kebun atau pohon kepada pengelola untuk disirami dan dirawat. Setelah matang buahnya, maka dibagi sesuai dengan kesepakatan antara pemilik kebun dan pengelola. [1] Singkatnya, bisa diartikan musaqah adalah kerjasama dalam penanaman dan mengelola pohon (kebun) antara pemilik pohon dengan pengelolanya. Ketika berbuah, maka hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan. Apakah dibagi dua, sepertiga atau yang lainnya. Pohon yang dimaksud di sini, bisa pohon yang berbuah atau yang tidak berbuah. [2] Karena terkadang ada pohon yang hanya dimanfaatkan batangnya saja, akarnya saja, getahnya saja, dan lain sebagainya. Sehingga, bisa disepakati antara kedua belah pihak jumlah yang dibagikan dari hasil pohon tersebut. Hukum musaqah Hukum musaqah adalah jaizah atau mubah. Yakni, diperbolehkan dalam Islam, dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Berbeda halnya dengan pendapat Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah yang lebih condong tidak memperbolehkannya. Pendapat beliau ini, diselisihi oleh kedua murid beliau, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani rahimahumallah. Oleh karena itu, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang membolehkan akad musaqah ini sebagaimana pendapat jumhur dan qiyas terhadap mudharabah. Sebagaimana mudharabah diperbolehkan, maka musaqah pun juga diperbolehkan. Terkait dengan perbedaannya, InsyaAllah akan datang di tulisan selanjutnya. Musaqah diperbolehkan juga karena ada dalil kuat yang membolehkannya. [3] Dalil musaqah Di antara dalilnya adalah yang datang dari hadis Ibnu ‘Umar radiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, عَامَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mempekerjakan orang untuk memanfaatkan tanah Khaibar dengan ketentuan separuh dari hasilnya berupa kurma atau sayuran untuk pekerja.” (HR. Bukhari) Dalam konteks yang lain, Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَى خَيْبَرَ الْيَهُودَ عَلَى أَنْ يَعْمَلُوهَا وَيَزْرَعُوهَا وَلَهُمْ شَطْرُ مَا خَرَجَ مِنْهَا “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan tanah Khaibar kepada orang Yahudi untuk dimanfaatkan dan ditanami tumbuhan dan mereka mendapat separuh dari hasilnya.” (HR. Bukhari) Baca juga: Pendapat Syadz di Dalam Fikih Hikmah pensyariatan musaqah Kemaslahatan dalam pengelolaan sumber daya Disyariatkannya musaqah untuk merealisasikan kemaslahatan bersama. Karena ada di antara kalangan manusia memiliki lahan, kebun dan pohon, namun ia tidak mampu untuk mengelolanya. Adapula di antara kalangan manusia yang memiliki kemampuan untuk menyirami, menyuburkan, dan merawat pohon-pohon hingga berbuah, namun ia tidak memiliki sedikit pun dari lahan, kebun, dan pohon. Meningkatkan kerja sama dan saling membantu Dengan diperbolehkannya musaqah, maka kaum muslimin bisa saling membantu dengan muslim yang lainnya. Dan membuat hubungan sosial dan muamalah antara kaum muslimin semakin menguat, terkhusus antara pemilik tanah dan pengelolanya. Sehingga, pemilik kebun dapat diringankan bebannya dan pengelola mendapatkan pekerjaan dan keuntungan dari pengelolaannya terhadap kebun atau pohon tersebut. Memberikan lapangan pekerjaan untuk kaum muslimin Pada akad musaqah ini, mempermudah kaum muslimin untuk mendapatkan pekerjaan yang halal. Tentunya, hal ini jika diniatkan oleh pemilik lahan untuk membantu kaum muslimin karena Allah, maka pemilik lahan akan mendapatkan pahala tentunya. Bahkan, Allah akan senantiasa menolongnya selama ia menolong hamba-hamba Allah yang lain. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ “Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim) Meningkatkan produktivitas dan ekonomi Dengan adanya akad musaqah ini, dapat mengoptimalkan hasil dari lahan atau kebun yang tidak terawat, sehingga menghasilkan keuntungan ekonomi bagi semua pihak. Istilahnya, “Daripada tidak terawat, lebih baik dikelola oleh orang yang mampu untuk mengelolanya.” Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam fatwanya mengatakan, “Musaqah bertujuan untuk menjaga manfaat kebun dan pohon yang berpotensi terbengkalai, sekaligus memberikan hak yang adil bagi kedua belah pihak.” Sehingga, dari sinilah ekonomi pun akan tumbuh di antara kaum muslimin dan ketersediaan pangan pun akan terus ada di antara masyarakat. Pada musaqah, terdapat prinsip keadilan Islam Pada akad ini, secara tidak langsung, syariat Islam mengajarkan tentang praktik keadilan. Dengan adanya pembagian antara kedua belah pihak. Tidak serta merta keuntungan dinikmati oleh pemilik lahan, atau tidak juga oleh pengelola lahan tersebut. Namun, Islam mengajarkan agar keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan dan keadilan bersama. Tentunya, kerja sama seperti ini mengikis tindak kezaliman antara kedua belah pihak. Seperti memanfaatkan tenaga tanpa bayaran yang seharusnya, atau keuntungan besar yang hanya diperoleh sepihak. Demikianlah, di antara hikmah-hikmah yang didapatkan pada akad musaqah ini. Islam sangat indah menerapkan ajaran-ajarannya. Hal ini tentunya selain menjadi ilmu dan pembelajaran, juga menjadi penambah keimanan dan keyakinan, bahwasanya Islam bukanlah datang dari manusia ataupun makhluk. Namun, datang dari Rabb Yang Maha Esa, yaitu Allah ‘Azza Wajalla. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Fikih Akad Ju’alah (Sayembara) *** Depok, 20 Jumadilawal 1446 H / 22 November 2024 M Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih. Al-Mughni, karya Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah. Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqih Sunnah, karya Sayyid Sabiq rahimahullah. Dan beberapa referensi lainnya   Catatan kaki: [1] Fiqih Sunnah, 3: 204 dan Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 175. [2] Fiqih Sunnah, 3: 204. [3] Shahih Fiqih Sunnah, 5: 423.

Fikih Akad Musaqah: Definisi, Hukum, dan Hikmahnya

Daftar Isi Toggle Definisi musaqahHukum musaqahDalil musaqahHikmah pensyariatan musaqahKemaslahatan dalam pengelolaan sumber dayaMeningkatkan kerja sama dan saling membantuMemberikan lapangan pekerjaan untuk kaum musliminMeningkatkan produktivitas dan ekonomiPada musaqah, terdapat prinsip keadilan Islam Musaqah mungkin terdengar sedikit asing tentang namanya. Hampir jarang sekali terdengar tentang musaqah ini. Namun, musaqah mendapatkan perhatian dari para ulama sehingga mereka memasukkannya pada pembahasan masalah muamalah. Hampir di seluruh kitab-kitab fikih ditemukan pembahasan tentang musaqah ini. Di antaranya: kitab Al-Umm karya Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, Al-Mughni karya Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, dan kitab-kitab yang lainnya. Definisi musaqah Secara bahasa, musaqah diambil dari kata السَقْيُ yang berarti “mengairi”. Dinamakan demikian, karena dahulu pohon-pohon penduduk Hijaz sangat butuh air karena negeri Hijaz adalah negeri yang tandus. Sehingga pohon-pohon yang ada butuh untuk diberi air dari sumur-sumur yang ada. Secara istilah, musaqah adalah memberikan kebun atau pohon kepada pengelola untuk disirami dan dirawat. Setelah matang buahnya, maka dibagi sesuai dengan kesepakatan antara pemilik kebun dan pengelola. [1] Singkatnya, bisa diartikan musaqah adalah kerjasama dalam penanaman dan mengelola pohon (kebun) antara pemilik pohon dengan pengelolanya. Ketika berbuah, maka hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan. Apakah dibagi dua, sepertiga atau yang lainnya. Pohon yang dimaksud di sini, bisa pohon yang berbuah atau yang tidak berbuah. [2] Karena terkadang ada pohon yang hanya dimanfaatkan batangnya saja, akarnya saja, getahnya saja, dan lain sebagainya. Sehingga, bisa disepakati antara kedua belah pihak jumlah yang dibagikan dari hasil pohon tersebut. Hukum musaqah Hukum musaqah adalah jaizah atau mubah. Yakni, diperbolehkan dalam Islam, dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Berbeda halnya dengan pendapat Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah yang lebih condong tidak memperbolehkannya. Pendapat beliau ini, diselisihi oleh kedua murid beliau, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani rahimahumallah. Oleh karena itu, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang membolehkan akad musaqah ini sebagaimana pendapat jumhur dan qiyas terhadap mudharabah. Sebagaimana mudharabah diperbolehkan, maka musaqah pun juga diperbolehkan. Terkait dengan perbedaannya, InsyaAllah akan datang di tulisan selanjutnya. Musaqah diperbolehkan juga karena ada dalil kuat yang membolehkannya. [3] Dalil musaqah Di antara dalilnya adalah yang datang dari hadis Ibnu ‘Umar radiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, عَامَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mempekerjakan orang untuk memanfaatkan tanah Khaibar dengan ketentuan separuh dari hasilnya berupa kurma atau sayuran untuk pekerja.” (HR. Bukhari) Dalam konteks yang lain, Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَى خَيْبَرَ الْيَهُودَ عَلَى أَنْ يَعْمَلُوهَا وَيَزْرَعُوهَا وَلَهُمْ شَطْرُ مَا خَرَجَ مِنْهَا “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan tanah Khaibar kepada orang Yahudi untuk dimanfaatkan dan ditanami tumbuhan dan mereka mendapat separuh dari hasilnya.” (HR. Bukhari) Baca juga: Pendapat Syadz di Dalam Fikih Hikmah pensyariatan musaqah Kemaslahatan dalam pengelolaan sumber daya Disyariatkannya musaqah untuk merealisasikan kemaslahatan bersama. Karena ada di antara kalangan manusia memiliki lahan, kebun dan pohon, namun ia tidak mampu untuk mengelolanya. Adapula di antara kalangan manusia yang memiliki kemampuan untuk menyirami, menyuburkan, dan merawat pohon-pohon hingga berbuah, namun ia tidak memiliki sedikit pun dari lahan, kebun, dan pohon. Meningkatkan kerja sama dan saling membantu Dengan diperbolehkannya musaqah, maka kaum muslimin bisa saling membantu dengan muslim yang lainnya. Dan membuat hubungan sosial dan muamalah antara kaum muslimin semakin menguat, terkhusus antara pemilik tanah dan pengelolanya. Sehingga, pemilik kebun dapat diringankan bebannya dan pengelola mendapatkan pekerjaan dan keuntungan dari pengelolaannya terhadap kebun atau pohon tersebut. Memberikan lapangan pekerjaan untuk kaum muslimin Pada akad musaqah ini, mempermudah kaum muslimin untuk mendapatkan pekerjaan yang halal. Tentunya, hal ini jika diniatkan oleh pemilik lahan untuk membantu kaum muslimin karena Allah, maka pemilik lahan akan mendapatkan pahala tentunya. Bahkan, Allah akan senantiasa menolongnya selama ia menolong hamba-hamba Allah yang lain. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ “Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim) Meningkatkan produktivitas dan ekonomi Dengan adanya akad musaqah ini, dapat mengoptimalkan hasil dari lahan atau kebun yang tidak terawat, sehingga menghasilkan keuntungan ekonomi bagi semua pihak. Istilahnya, “Daripada tidak terawat, lebih baik dikelola oleh orang yang mampu untuk mengelolanya.” Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam fatwanya mengatakan, “Musaqah bertujuan untuk menjaga manfaat kebun dan pohon yang berpotensi terbengkalai, sekaligus memberikan hak yang adil bagi kedua belah pihak.” Sehingga, dari sinilah ekonomi pun akan tumbuh di antara kaum muslimin dan ketersediaan pangan pun akan terus ada di antara masyarakat. Pada musaqah, terdapat prinsip keadilan Islam Pada akad ini, secara tidak langsung, syariat Islam mengajarkan tentang praktik keadilan. Dengan adanya pembagian antara kedua belah pihak. Tidak serta merta keuntungan dinikmati oleh pemilik lahan, atau tidak juga oleh pengelola lahan tersebut. Namun, Islam mengajarkan agar keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan dan keadilan bersama. Tentunya, kerja sama seperti ini mengikis tindak kezaliman antara kedua belah pihak. Seperti memanfaatkan tenaga tanpa bayaran yang seharusnya, atau keuntungan besar yang hanya diperoleh sepihak. Demikianlah, di antara hikmah-hikmah yang didapatkan pada akad musaqah ini. Islam sangat indah menerapkan ajaran-ajarannya. Hal ini tentunya selain menjadi ilmu dan pembelajaran, juga menjadi penambah keimanan dan keyakinan, bahwasanya Islam bukanlah datang dari manusia ataupun makhluk. Namun, datang dari Rabb Yang Maha Esa, yaitu Allah ‘Azza Wajalla. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Fikih Akad Ju’alah (Sayembara) *** Depok, 20 Jumadilawal 1446 H / 22 November 2024 M Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih. Al-Mughni, karya Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah. Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqih Sunnah, karya Sayyid Sabiq rahimahullah. Dan beberapa referensi lainnya   Catatan kaki: [1] Fiqih Sunnah, 3: 204 dan Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 175. [2] Fiqih Sunnah, 3: 204. [3] Shahih Fiqih Sunnah, 5: 423.
Daftar Isi Toggle Definisi musaqahHukum musaqahDalil musaqahHikmah pensyariatan musaqahKemaslahatan dalam pengelolaan sumber dayaMeningkatkan kerja sama dan saling membantuMemberikan lapangan pekerjaan untuk kaum musliminMeningkatkan produktivitas dan ekonomiPada musaqah, terdapat prinsip keadilan Islam Musaqah mungkin terdengar sedikit asing tentang namanya. Hampir jarang sekali terdengar tentang musaqah ini. Namun, musaqah mendapatkan perhatian dari para ulama sehingga mereka memasukkannya pada pembahasan masalah muamalah. Hampir di seluruh kitab-kitab fikih ditemukan pembahasan tentang musaqah ini. Di antaranya: kitab Al-Umm karya Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, Al-Mughni karya Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, dan kitab-kitab yang lainnya. Definisi musaqah Secara bahasa, musaqah diambil dari kata السَقْيُ yang berarti “mengairi”. Dinamakan demikian, karena dahulu pohon-pohon penduduk Hijaz sangat butuh air karena negeri Hijaz adalah negeri yang tandus. Sehingga pohon-pohon yang ada butuh untuk diberi air dari sumur-sumur yang ada. Secara istilah, musaqah adalah memberikan kebun atau pohon kepada pengelola untuk disirami dan dirawat. Setelah matang buahnya, maka dibagi sesuai dengan kesepakatan antara pemilik kebun dan pengelola. [1] Singkatnya, bisa diartikan musaqah adalah kerjasama dalam penanaman dan mengelola pohon (kebun) antara pemilik pohon dengan pengelolanya. Ketika berbuah, maka hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan. Apakah dibagi dua, sepertiga atau yang lainnya. Pohon yang dimaksud di sini, bisa pohon yang berbuah atau yang tidak berbuah. [2] Karena terkadang ada pohon yang hanya dimanfaatkan batangnya saja, akarnya saja, getahnya saja, dan lain sebagainya. Sehingga, bisa disepakati antara kedua belah pihak jumlah yang dibagikan dari hasil pohon tersebut. Hukum musaqah Hukum musaqah adalah jaizah atau mubah. Yakni, diperbolehkan dalam Islam, dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Berbeda halnya dengan pendapat Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah yang lebih condong tidak memperbolehkannya. Pendapat beliau ini, diselisihi oleh kedua murid beliau, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani rahimahumallah. Oleh karena itu, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang membolehkan akad musaqah ini sebagaimana pendapat jumhur dan qiyas terhadap mudharabah. Sebagaimana mudharabah diperbolehkan, maka musaqah pun juga diperbolehkan. Terkait dengan perbedaannya, InsyaAllah akan datang di tulisan selanjutnya. Musaqah diperbolehkan juga karena ada dalil kuat yang membolehkannya. [3] Dalil musaqah Di antara dalilnya adalah yang datang dari hadis Ibnu ‘Umar radiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, عَامَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mempekerjakan orang untuk memanfaatkan tanah Khaibar dengan ketentuan separuh dari hasilnya berupa kurma atau sayuran untuk pekerja.” (HR. Bukhari) Dalam konteks yang lain, Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَى خَيْبَرَ الْيَهُودَ عَلَى أَنْ يَعْمَلُوهَا وَيَزْرَعُوهَا وَلَهُمْ شَطْرُ مَا خَرَجَ مِنْهَا “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan tanah Khaibar kepada orang Yahudi untuk dimanfaatkan dan ditanami tumbuhan dan mereka mendapat separuh dari hasilnya.” (HR. Bukhari) Baca juga: Pendapat Syadz di Dalam Fikih Hikmah pensyariatan musaqah Kemaslahatan dalam pengelolaan sumber daya Disyariatkannya musaqah untuk merealisasikan kemaslahatan bersama. Karena ada di antara kalangan manusia memiliki lahan, kebun dan pohon, namun ia tidak mampu untuk mengelolanya. Adapula di antara kalangan manusia yang memiliki kemampuan untuk menyirami, menyuburkan, dan merawat pohon-pohon hingga berbuah, namun ia tidak memiliki sedikit pun dari lahan, kebun, dan pohon. Meningkatkan kerja sama dan saling membantu Dengan diperbolehkannya musaqah, maka kaum muslimin bisa saling membantu dengan muslim yang lainnya. Dan membuat hubungan sosial dan muamalah antara kaum muslimin semakin menguat, terkhusus antara pemilik tanah dan pengelolanya. Sehingga, pemilik kebun dapat diringankan bebannya dan pengelola mendapatkan pekerjaan dan keuntungan dari pengelolaannya terhadap kebun atau pohon tersebut. Memberikan lapangan pekerjaan untuk kaum muslimin Pada akad musaqah ini, mempermudah kaum muslimin untuk mendapatkan pekerjaan yang halal. Tentunya, hal ini jika diniatkan oleh pemilik lahan untuk membantu kaum muslimin karena Allah, maka pemilik lahan akan mendapatkan pahala tentunya. Bahkan, Allah akan senantiasa menolongnya selama ia menolong hamba-hamba Allah yang lain. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ “Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim) Meningkatkan produktivitas dan ekonomi Dengan adanya akad musaqah ini, dapat mengoptimalkan hasil dari lahan atau kebun yang tidak terawat, sehingga menghasilkan keuntungan ekonomi bagi semua pihak. Istilahnya, “Daripada tidak terawat, lebih baik dikelola oleh orang yang mampu untuk mengelolanya.” Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam fatwanya mengatakan, “Musaqah bertujuan untuk menjaga manfaat kebun dan pohon yang berpotensi terbengkalai, sekaligus memberikan hak yang adil bagi kedua belah pihak.” Sehingga, dari sinilah ekonomi pun akan tumbuh di antara kaum muslimin dan ketersediaan pangan pun akan terus ada di antara masyarakat. Pada musaqah, terdapat prinsip keadilan Islam Pada akad ini, secara tidak langsung, syariat Islam mengajarkan tentang praktik keadilan. Dengan adanya pembagian antara kedua belah pihak. Tidak serta merta keuntungan dinikmati oleh pemilik lahan, atau tidak juga oleh pengelola lahan tersebut. Namun, Islam mengajarkan agar keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan dan keadilan bersama. Tentunya, kerja sama seperti ini mengikis tindak kezaliman antara kedua belah pihak. Seperti memanfaatkan tenaga tanpa bayaran yang seharusnya, atau keuntungan besar yang hanya diperoleh sepihak. Demikianlah, di antara hikmah-hikmah yang didapatkan pada akad musaqah ini. Islam sangat indah menerapkan ajaran-ajarannya. Hal ini tentunya selain menjadi ilmu dan pembelajaran, juga menjadi penambah keimanan dan keyakinan, bahwasanya Islam bukanlah datang dari manusia ataupun makhluk. Namun, datang dari Rabb Yang Maha Esa, yaitu Allah ‘Azza Wajalla. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Fikih Akad Ju’alah (Sayembara) *** Depok, 20 Jumadilawal 1446 H / 22 November 2024 M Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih. Al-Mughni, karya Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah. Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqih Sunnah, karya Sayyid Sabiq rahimahullah. Dan beberapa referensi lainnya   Catatan kaki: [1] Fiqih Sunnah, 3: 204 dan Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 175. [2] Fiqih Sunnah, 3: 204. [3] Shahih Fiqih Sunnah, 5: 423.


Daftar Isi Toggle Definisi musaqahHukum musaqahDalil musaqahHikmah pensyariatan musaqahKemaslahatan dalam pengelolaan sumber dayaMeningkatkan kerja sama dan saling membantuMemberikan lapangan pekerjaan untuk kaum musliminMeningkatkan produktivitas dan ekonomiPada musaqah, terdapat prinsip keadilan Islam Musaqah mungkin terdengar sedikit asing tentang namanya. Hampir jarang sekali terdengar tentang musaqah ini. Namun, musaqah mendapatkan perhatian dari para ulama sehingga mereka memasukkannya pada pembahasan masalah muamalah. Hampir di seluruh kitab-kitab fikih ditemukan pembahasan tentang musaqah ini. Di antaranya: kitab Al-Umm karya Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, Al-Mughni karya Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, dan kitab-kitab yang lainnya. Definisi musaqah Secara bahasa, musaqah diambil dari kata السَقْيُ yang berarti “mengairi”. Dinamakan demikian, karena dahulu pohon-pohon penduduk Hijaz sangat butuh air karena negeri Hijaz adalah negeri yang tandus. Sehingga pohon-pohon yang ada butuh untuk diberi air dari sumur-sumur yang ada. Secara istilah, musaqah adalah memberikan kebun atau pohon kepada pengelola untuk disirami dan dirawat. Setelah matang buahnya, maka dibagi sesuai dengan kesepakatan antara pemilik kebun dan pengelola. [1] Singkatnya, bisa diartikan musaqah adalah kerjasama dalam penanaman dan mengelola pohon (kebun) antara pemilik pohon dengan pengelolanya. Ketika berbuah, maka hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan. Apakah dibagi dua, sepertiga atau yang lainnya. Pohon yang dimaksud di sini, bisa pohon yang berbuah atau yang tidak berbuah. [2] Karena terkadang ada pohon yang hanya dimanfaatkan batangnya saja, akarnya saja, getahnya saja, dan lain sebagainya. Sehingga, bisa disepakati antara kedua belah pihak jumlah yang dibagikan dari hasil pohon tersebut. Hukum musaqah Hukum musaqah adalah jaizah atau mubah. Yakni, diperbolehkan dalam Islam, dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Berbeda halnya dengan pendapat Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah yang lebih condong tidak memperbolehkannya. Pendapat beliau ini, diselisihi oleh kedua murid beliau, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani rahimahumallah. Oleh karena itu, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang membolehkan akad musaqah ini sebagaimana pendapat jumhur dan qiyas terhadap mudharabah. Sebagaimana mudharabah diperbolehkan, maka musaqah pun juga diperbolehkan. Terkait dengan perbedaannya, InsyaAllah akan datang di tulisan selanjutnya. Musaqah diperbolehkan juga karena ada dalil kuat yang membolehkannya. [3] Dalil musaqah Di antara dalilnya adalah yang datang dari hadis Ibnu ‘Umar radiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, عَامَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mempekerjakan orang untuk memanfaatkan tanah Khaibar dengan ketentuan separuh dari hasilnya berupa kurma atau sayuran untuk pekerja.” (HR. Bukhari) Dalam konteks yang lain, Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَى خَيْبَرَ الْيَهُودَ عَلَى أَنْ يَعْمَلُوهَا وَيَزْرَعُوهَا وَلَهُمْ شَطْرُ مَا خَرَجَ مِنْهَا “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan tanah Khaibar kepada orang Yahudi untuk dimanfaatkan dan ditanami tumbuhan dan mereka mendapat separuh dari hasilnya.” (HR. Bukhari) Baca juga: Pendapat Syadz di Dalam Fikih Hikmah pensyariatan musaqah Kemaslahatan dalam pengelolaan sumber daya Disyariatkannya musaqah untuk merealisasikan kemaslahatan bersama. Karena ada di antara kalangan manusia memiliki lahan, kebun dan pohon, namun ia tidak mampu untuk mengelolanya. Adapula di antara kalangan manusia yang memiliki kemampuan untuk menyirami, menyuburkan, dan merawat pohon-pohon hingga berbuah, namun ia tidak memiliki sedikit pun dari lahan, kebun, dan pohon. Meningkatkan kerja sama dan saling membantu Dengan diperbolehkannya musaqah, maka kaum muslimin bisa saling membantu dengan muslim yang lainnya. Dan membuat hubungan sosial dan muamalah antara kaum muslimin semakin menguat, terkhusus antara pemilik tanah dan pengelolanya. Sehingga, pemilik kebun dapat diringankan bebannya dan pengelola mendapatkan pekerjaan dan keuntungan dari pengelolaannya terhadap kebun atau pohon tersebut. Memberikan lapangan pekerjaan untuk kaum muslimin Pada akad musaqah ini, mempermudah kaum muslimin untuk mendapatkan pekerjaan yang halal. Tentunya, hal ini jika diniatkan oleh pemilik lahan untuk membantu kaum muslimin karena Allah, maka pemilik lahan akan mendapatkan pahala tentunya. Bahkan, Allah akan senantiasa menolongnya selama ia menolong hamba-hamba Allah yang lain. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ “Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim) Meningkatkan produktivitas dan ekonomi Dengan adanya akad musaqah ini, dapat mengoptimalkan hasil dari lahan atau kebun yang tidak terawat, sehingga menghasilkan keuntungan ekonomi bagi semua pihak. Istilahnya, “Daripada tidak terawat, lebih baik dikelola oleh orang yang mampu untuk mengelolanya.” Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam fatwanya mengatakan, “Musaqah bertujuan untuk menjaga manfaat kebun dan pohon yang berpotensi terbengkalai, sekaligus memberikan hak yang adil bagi kedua belah pihak.” Sehingga, dari sinilah ekonomi pun akan tumbuh di antara kaum muslimin dan ketersediaan pangan pun akan terus ada di antara masyarakat. Pada musaqah, terdapat prinsip keadilan Islam Pada akad ini, secara tidak langsung, syariat Islam mengajarkan tentang praktik keadilan. Dengan adanya pembagian antara kedua belah pihak. Tidak serta merta keuntungan dinikmati oleh pemilik lahan, atau tidak juga oleh pengelola lahan tersebut. Namun, Islam mengajarkan agar keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan dan keadilan bersama. Tentunya, kerja sama seperti ini mengikis tindak kezaliman antara kedua belah pihak. Seperti memanfaatkan tenaga tanpa bayaran yang seharusnya, atau keuntungan besar yang hanya diperoleh sepihak. Demikianlah, di antara hikmah-hikmah yang didapatkan pada akad musaqah ini. Islam sangat indah menerapkan ajaran-ajarannya. Hal ini tentunya selain menjadi ilmu dan pembelajaran, juga menjadi penambah keimanan dan keyakinan, bahwasanya Islam bukanlah datang dari manusia ataupun makhluk. Namun, datang dari Rabb Yang Maha Esa, yaitu Allah ‘Azza Wajalla. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Fikih Akad Ju’alah (Sayembara) *** Depok, 20 Jumadilawal 1446 H / 22 November 2024 M Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih. Al-Mughni, karya Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah. Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqih Sunnah, karya Sayyid Sabiq rahimahullah. Dan beberapa referensi lainnya   Catatan kaki: [1] Fiqih Sunnah, 3: 204 dan Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 175. [2] Fiqih Sunnah, 3: 204. [3] Shahih Fiqih Sunnah, 5: 423.

Kecemburuan Allah Terhadap Hati Seorang Mukmin yang Terpaut dengan Selain-Nya

غيرة الله على قلب المؤمن أن يتعلق بغيره هل يجوز هذا القول: يقول الإمام الشافعي -رحمه الله-: كلما تعلقت بشخص تعلقاً؛ أذاقكْ الله مرّ التعلق؛ لتعلم أن الله يغار على قلب تعلق بغيره، فيصدٌك عن ذاك ليرٌدك إليه. وما حكم قول إن الله تعالى أخذ يوسف -عليه السلام- من أبيه -عليه السلام-؛ لأن يعقوب -عليه السلام- كان متعلقا بيوسف -عليه السلام- وهناك من رد وقال: هل يعقل أن الله تعالى يكسر قلوب عباده على أحبتهم، لمجرد التعلق حاشاه. ما قولكم في هذا الكلام؟ Pertanyaan: Apakah boleh mengucapkan seperti yang diucapkan Imam asy-Syafi’i rahimahullah, “Semakin kamu terpaut dengan seseorang, maka Allah akan memberimu kepahitan dari keterpautan itu, agar kamu mengerti bahwa Allah cemburu terhadap hati yang terpaut dengan selain-Nya, sehingga Dia menghalangimu dari hal itu, agar mengembalikanmu kepada-Nya.” Juga apa hukum ucapan bahwa Allah Ta’ala mengambil Nabi Yusuf ‘alaihissalam dari ayahnya, Ya’qub ‘alaihissalam, karena dulu Ya’qub ‘alaihissalam sangat cinta kepada Yusuf ‘alaihissalam? Ada juga orang yang mengingkari ucapan seperti itu dengan berkata, “Apakah masuk akal jika Allah Ta’ala menghancurkan hati para hamba-Nya yang mencintai para kekasih mereka hanya karena keterpautan itu?! Sungguh tidak mungkin!” Bagaimana pendapat Anda mengenai ucapan ini? الإجابــة الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعد: فلم نقف على هذا الكلام للإمام الشافعي .لكن ذكر نحوه بعض العلماء. قال ابن الجوزي: رأيت نفسي تأنس بخلطاء نسميهم أصدقاء، فبحثت بالتجارب عنهم؛ فإذا أكثرهم حساد على النعم، وأعداء، لا يسترون زلة، ولا يعرفون لجليس حقا، ولا يواسون من مالهم صديقا. فتأملت الأمر؛ فإذا الحق سبحانه يغار على قلب المؤمن أن يجعل له شيئا يأنس به، فهو يكدر عليه الدنيا وأهلها، ليكون أنسه به. اهـ. من صيد الخاطر. Jawaban: Segala puji hanya bagi Allah. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah, dan kepada keluarga dan para sahabat beliau. Amma ba’du: Kami belum menemukan bahwa ucapan itu berasal dari Imam asy-Syafi’i. Namun, ada beberapa ulama yang menyebutkan ucapan yang mirip dengannya. Ibnu al-Jauzi berkata: “Aku mendapati diriku merasa nyaman berinteraksi dengan para rekan yang kita sebut dengan sahabat. Aku pun melakukan pencermatan terhadap mereka; ternyata mayoritas mereka adalah para pendengki atas kenikmatan orang lain, musuh, tidak menutupi aib, tidak menunaikan hak teman, dan enggan menghibur teman dengan harta mereka. Aku pun mencermati fenomena ini, dan ternyata itu karena Allah cemburu terhadap hati seorang Mukmin jika Dia menjadikan sesuatu yang bisa membuatnya merasa nyaman. Oleh sebab itu, Allah membuat dunia dan para penghuninya tidak baik bagi seorang Mukmin, agar ia hanya merasa nyaman dengan-Nya.” (Kitab Shaid al-Khathir). وقال ابن القيم: والله سبحانه وتعالى يغار على قلب عبده أن يكون معطلا من حبه وخوفه ورجائه، وأن يكون فيه غيره فالله سبحانه وتعالى خلقه لنفسه، واختاره من بين خلقه؛ كما في الأثر الإلهي: ابن آدم خلقتك لنفسي، وخلقت كل شيء لك، فبحقي عليك لا تشتغل بما خلقته لك، عما خلقتك له. وفي أثر آخر: خلقتك لنفسي، فلا تلعب، وتكفلت لك برزقك فلا تتعب. يا ابن آدم اطلبني تجدني؛ فإن وجدتني وجدت كل شيء، وإن فتك فاتك كل شيء، وأنا خير لك من كل شيء. ويغار على لسانه أن يتعطل من ذكره ويشتغل بذكر غيره، ويغار على جوارحه أن تتعطل من طاعته وتشتغل بمعصيته. فيقبح بالعبد أن يغار مولاه الحق على قلبه ولسانه وجوارحه وهو لا يغار عليها. وإذا أراد الله بعبده خيرا سلط على قلبه إذا أعرض عنه واشتغل بحب غيره، أنواع العذاب حتى يرجع قلبه إليه. وإذا اشتغلت جوارحه بغير طاعته، ابتلاها بأنواع البلاء، وهذا من غيرته سبحانه وتعالى على عبده .اهـ. روضة المحبين. Ibnu al-Qayyim berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala cemburu jika hati hamba-Nya kosong dari kecintaan, rasa takut, dan harapan kepada-Nya, atau jika hati itu dipenuhi oleh selain-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan hamba-Nya untuk-Nya dan memilihnya di antara makhluk-Nya, sebagaimana dalam hadis qudsi disebutkan: ‘Wahai manusia! Aku menciptakanmu untuk diri-Ku dan Aku menciptakan segalanya untukmu! Maka sudah menjadi hak-Ku yang harus kamu tunaikan untuk tidak sibuk dengan apa yang telah Aku ciptakan untukmu dari tujuan Aku menciptakanmu.’  Dalam riwayat lain disebutkan: ‘Aku menciptakanmu untuk diri-Ku, maka janganlah kamu bermain-main! Aku telah menjamin rezekimu, maka janganlah kamu berlelah-lelah! Wahai manusia! Carilah Aku niscaya kamu akan mendapatkan-Ku! Jika kamu telah mendapatkan-Ku maka kamu akan mendapatkan segalanya. Namun, jika aku melewatkanmu, maka terlewat juga segalanya darimu. Aku lebih baik bagimu daripada segalanya.’ Allah juga cemburu terhadap lisan hamba-Nya apabila berhenti dari menyebut-Nya dan sibuk menyebut selain-Nya. Dia cemburu terhadap anggota badan hamba-Nya jika berhenti dari menaati-Nya dan sibuk dengan kemaksiatan terhadap-Nya. Maka sungguh buruk sekali bagi seorang hamba jika Tuhannya Yang Maha Benar cemburu terhadap hati, lisan, dan anggota badannya; sedangkan ia sendiri tidak cemburu terhadap hal-hal itu. Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Dia akan menimpakan berbagai bentuk siksaan jika ia berpaling dari-Nya dan sibuk dengan kecintaan kepada selain-Nya, agar hatinya kembali kepada-Nya. Apabila anggota badannya sibuk dengan perkara selain ketaatan kepada-Nya, maka Allah akan menimpakan berbagai bentuk cobaan padanya. Ini merupakan bentuk kecemburuan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-Nya.” (Kitab Raudhah al-Muhibbin). وفي مدارج السالكين: وقال بعضهم: احذره، فإنه غيور، لا يحب أن يرى في قلب عبده سواه. ومن غيرته: أن صفيه آدم لما ساكن بقلبه الجنة، وحرص على الخلود فيها أخرجه منها، ومن غيرته سبحانه: أن إبراهيم خليله لما أخذ إسماعيل شعبة من قلبه أمره بذبحه، حتى يخرج من قلبه ذلك المزاحم. اهـ. Adapun dalam kitab Madarij as-Salikin disebutkan, “Seorang ulama berkata, ‘Berhati-hatilah kepada Allah, karena Dia pencemburu; tidak suka melihat selain-Nya dalam hati hamba-Nya. Di antara bentuk kecemburuan-Nya; ketika dalam hati manusia pilihan-Nya, Adam terdapat kecintaan terhadap surga dan menginginkan kekekalan di dalamnya, Allah mengeluarkannya dari surga. Di antara kecemburuan-Nya juga, bahwa kekasih-Nya, Ibrahim, ketika sebagian hatinya terpaut dengan Ismail; Allah memerintahkannya untuk menyembelih Ismail, agar pendua itu dapat keluar dari hatinya.’” وأما قولك: (وما حكم قول إن الله تعالى أخذ يوسف -عليه السلام- من أبيه -عليه السلام-؛ لأن يعقوب -عليه السلام- كان متعلقا بيوسف -عليه السلام-). فلم نقف على ذكر مثل هذا عند أحد من العلماء، وينبغي الإمساك عنه؛ لما فيه من نوع رجم بالغيب، وخوض فيه دون بينة، ولما فيه من الجرأة على مقام الأنبياء. وقد جاء في تفسير الألوسي: وقد قضى الله تعالى على يعقوب ويوسف أن يوصل إليهما تلك الغموم الشديدة، والهموم العظيمة ليصبرا على مرارتها ويكثر رجوعهما إلى الله تعالى، وينقطع تعلق فكرهما عما سوى الله تعالى؛ فيصلا الى درجة عالية لا يمكن الوصول إليها الا بتحمل المحن العظيمة. اهـ. Adapun pertanyaan Anda: Juga apa hukum ucapan bahwa Allah Ta’ala mengambil Nabi Yusuf ‘alaihissalam dari ayahnya, Ya’qub ‘alaihissalam, karena dulu Ya’qub ‘alaihissalam sangat cinta kepada Yusuf ‘alaihissalam? Kami belum menemukan satu pun ulama yang mengucapkan ucapan seperti ini, sehingga sebaiknya dihindari; sebab di dalamnya terdapat suatu bentuk menebak-nebak hal gaib dan membicarakan hal gaib tanpa bukti. Di dalamnya juga terdapat suatu bentuk kelancangan terhadap kedudukan para Nabi.  Dalam tafsir al-Alusi disebutkan, “Allah Ta’ala telah menetapkan bagi Ya’qub and Yusuf untuk memberikan mereka berdua ujian-ujian berat dan cobaan-cobaan besar agar mereka bersabar atas kepahitannya, semakin tekun berserah diri kepada Allah Ta’ala, dan pikiran mereka terputus dari keterpautan dengan selain Allah Ta’ala; sehingga mereka dapat mencapai derajat tinggi yang tidak dapat dicapai kecuali oleh orang yang menanggung ujian-ujian besar.” وأما قولك:( وهناك من رد وقال: هل يعقل أن الله تعالى يكسر قلوب عباده على أحبتهم، لمجرد التعلق حاشاه.) فهذا اعتراض لا معنى له، فإن الله يبتلي عباده بما يشاء. لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ {الأنبياء:23}. وتعلق القلب بغير الله قد يبلغ أن يكون معصية قلبية تستوجب العقوبة، وهذه العقوبة قد تكون خيرا للعبد من وجه آخر، فتُكفَّر بها من سيئاته، وقد تكون سببا في رجوع قلبه إلى الله. كما تقدم قول ابن القيم: وإذا أراد الله بعبده خيرا سلط على قلبه إذا أعرض عنه واشتغل بحب غيره أنواع العذاب حتى يرجع قلبه إليه .اهـ. Sedangkan pertanyaan Anda: Ada juga orang yang mengingkari ucapan seperti itu dengan berkata, “Apakah masuk akal jika Allah Ta’ala menghancurkan hati para hamba-Nya yang mencintai para kekasih mereka hanya karena keterpautan itu?! Sungguh tidak mungkin!” Ini merupakan bantahan yang tidak ada gunanya, karena Allah akan menguji para hamba-Nya dengan apa yang Dia kehendaki. “Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan, tetapi merekalah yang akan ditanya.” (QS. Al-Anbiya: 23). Keterpautan hati dengan selain Allah terkadang sampai menjadi kemaksiatan hati yang membuatnya harus mendapat balasan; dan balasan ini bisa jadi merupakan hal yang baik bagi seorang hamba jika dilihat dari sudut pandang yang lain, sehingga dengan balasan itu, dosa-dosanya dihapuskan. Dan terkadang juga menjadi sebab hatinya kembali kepada Allah. Sebagaimana yang telah disebutkan dari ucapan Ibnu al-Qayyim, “Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Dia akan menimpakan berbagai bentuk siksaan jika ia berpaling dari-Nya dan sibuk dengan kecintaan kepada selain-Nya, agar hatinya kembali kepada-Nya.” وقد يكون الابتلاء زيادة في ثوابه ورفعة لدرجاته. قال ابن تيمية: ونظير ذلك المصائب المقدرة في النفس والأهل والمال؛ فإنها تارة تكون كفارة وطهورا، وتارة تكون زيادة في الثواب وعلوا في الدرجات، وتارة تكون عقابا وانتقاما. اهـ. من الصارم المسلول. والله أعلم. Terkadang ujian itu juga menjadi penambah pahalanya dan peningkat derajatnya. Ibnu Taimiyah berkata, “Yang serupa dengan hal itu, musibah-musibah yang ditakdirkan menimpa jiwa, keluarga, dan harta; itu semua terkadang menjadi penghapus dosa dan penyuci jiwa, terkadang menjadi penambah pahala dan peningkat derajat, dan terkadang pula menjadi siksaan dan balasan baginya.” Wallahu a’lam. Sumber: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/422686/غيرة-الله-على-قلب-المؤمن-أن-يتعلق-بغيرهPDF Sumber Artikel. 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 1,149 times, 1 visit(s) today Post Views: 814 QRIS donasi Yufid

Kecemburuan Allah Terhadap Hati Seorang Mukmin yang Terpaut dengan Selain-Nya

غيرة الله على قلب المؤمن أن يتعلق بغيره هل يجوز هذا القول: يقول الإمام الشافعي -رحمه الله-: كلما تعلقت بشخص تعلقاً؛ أذاقكْ الله مرّ التعلق؛ لتعلم أن الله يغار على قلب تعلق بغيره، فيصدٌك عن ذاك ليرٌدك إليه. وما حكم قول إن الله تعالى أخذ يوسف -عليه السلام- من أبيه -عليه السلام-؛ لأن يعقوب -عليه السلام- كان متعلقا بيوسف -عليه السلام- وهناك من رد وقال: هل يعقل أن الله تعالى يكسر قلوب عباده على أحبتهم، لمجرد التعلق حاشاه. ما قولكم في هذا الكلام؟ Pertanyaan: Apakah boleh mengucapkan seperti yang diucapkan Imam asy-Syafi’i rahimahullah, “Semakin kamu terpaut dengan seseorang, maka Allah akan memberimu kepahitan dari keterpautan itu, agar kamu mengerti bahwa Allah cemburu terhadap hati yang terpaut dengan selain-Nya, sehingga Dia menghalangimu dari hal itu, agar mengembalikanmu kepada-Nya.” Juga apa hukum ucapan bahwa Allah Ta’ala mengambil Nabi Yusuf ‘alaihissalam dari ayahnya, Ya’qub ‘alaihissalam, karena dulu Ya’qub ‘alaihissalam sangat cinta kepada Yusuf ‘alaihissalam? Ada juga orang yang mengingkari ucapan seperti itu dengan berkata, “Apakah masuk akal jika Allah Ta’ala menghancurkan hati para hamba-Nya yang mencintai para kekasih mereka hanya karena keterpautan itu?! Sungguh tidak mungkin!” Bagaimana pendapat Anda mengenai ucapan ini? الإجابــة الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعد: فلم نقف على هذا الكلام للإمام الشافعي .لكن ذكر نحوه بعض العلماء. قال ابن الجوزي: رأيت نفسي تأنس بخلطاء نسميهم أصدقاء، فبحثت بالتجارب عنهم؛ فإذا أكثرهم حساد على النعم، وأعداء، لا يسترون زلة، ولا يعرفون لجليس حقا، ولا يواسون من مالهم صديقا. فتأملت الأمر؛ فإذا الحق سبحانه يغار على قلب المؤمن أن يجعل له شيئا يأنس به، فهو يكدر عليه الدنيا وأهلها، ليكون أنسه به. اهـ. من صيد الخاطر. Jawaban: Segala puji hanya bagi Allah. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah, dan kepada keluarga dan para sahabat beliau. Amma ba’du: Kami belum menemukan bahwa ucapan itu berasal dari Imam asy-Syafi’i. Namun, ada beberapa ulama yang menyebutkan ucapan yang mirip dengannya. Ibnu al-Jauzi berkata: “Aku mendapati diriku merasa nyaman berinteraksi dengan para rekan yang kita sebut dengan sahabat. Aku pun melakukan pencermatan terhadap mereka; ternyata mayoritas mereka adalah para pendengki atas kenikmatan orang lain, musuh, tidak menutupi aib, tidak menunaikan hak teman, dan enggan menghibur teman dengan harta mereka. Aku pun mencermati fenomena ini, dan ternyata itu karena Allah cemburu terhadap hati seorang Mukmin jika Dia menjadikan sesuatu yang bisa membuatnya merasa nyaman. Oleh sebab itu, Allah membuat dunia dan para penghuninya tidak baik bagi seorang Mukmin, agar ia hanya merasa nyaman dengan-Nya.” (Kitab Shaid al-Khathir). وقال ابن القيم: والله سبحانه وتعالى يغار على قلب عبده أن يكون معطلا من حبه وخوفه ورجائه، وأن يكون فيه غيره فالله سبحانه وتعالى خلقه لنفسه، واختاره من بين خلقه؛ كما في الأثر الإلهي: ابن آدم خلقتك لنفسي، وخلقت كل شيء لك، فبحقي عليك لا تشتغل بما خلقته لك، عما خلقتك له. وفي أثر آخر: خلقتك لنفسي، فلا تلعب، وتكفلت لك برزقك فلا تتعب. يا ابن آدم اطلبني تجدني؛ فإن وجدتني وجدت كل شيء، وإن فتك فاتك كل شيء، وأنا خير لك من كل شيء. ويغار على لسانه أن يتعطل من ذكره ويشتغل بذكر غيره، ويغار على جوارحه أن تتعطل من طاعته وتشتغل بمعصيته. فيقبح بالعبد أن يغار مولاه الحق على قلبه ولسانه وجوارحه وهو لا يغار عليها. وإذا أراد الله بعبده خيرا سلط على قلبه إذا أعرض عنه واشتغل بحب غيره، أنواع العذاب حتى يرجع قلبه إليه. وإذا اشتغلت جوارحه بغير طاعته، ابتلاها بأنواع البلاء، وهذا من غيرته سبحانه وتعالى على عبده .اهـ. روضة المحبين. Ibnu al-Qayyim berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala cemburu jika hati hamba-Nya kosong dari kecintaan, rasa takut, dan harapan kepada-Nya, atau jika hati itu dipenuhi oleh selain-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan hamba-Nya untuk-Nya dan memilihnya di antara makhluk-Nya, sebagaimana dalam hadis qudsi disebutkan: ‘Wahai manusia! Aku menciptakanmu untuk diri-Ku dan Aku menciptakan segalanya untukmu! Maka sudah menjadi hak-Ku yang harus kamu tunaikan untuk tidak sibuk dengan apa yang telah Aku ciptakan untukmu dari tujuan Aku menciptakanmu.’  Dalam riwayat lain disebutkan: ‘Aku menciptakanmu untuk diri-Ku, maka janganlah kamu bermain-main! Aku telah menjamin rezekimu, maka janganlah kamu berlelah-lelah! Wahai manusia! Carilah Aku niscaya kamu akan mendapatkan-Ku! Jika kamu telah mendapatkan-Ku maka kamu akan mendapatkan segalanya. Namun, jika aku melewatkanmu, maka terlewat juga segalanya darimu. Aku lebih baik bagimu daripada segalanya.’ Allah juga cemburu terhadap lisan hamba-Nya apabila berhenti dari menyebut-Nya dan sibuk menyebut selain-Nya. Dia cemburu terhadap anggota badan hamba-Nya jika berhenti dari menaati-Nya dan sibuk dengan kemaksiatan terhadap-Nya. Maka sungguh buruk sekali bagi seorang hamba jika Tuhannya Yang Maha Benar cemburu terhadap hati, lisan, dan anggota badannya; sedangkan ia sendiri tidak cemburu terhadap hal-hal itu. Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Dia akan menimpakan berbagai bentuk siksaan jika ia berpaling dari-Nya dan sibuk dengan kecintaan kepada selain-Nya, agar hatinya kembali kepada-Nya. Apabila anggota badannya sibuk dengan perkara selain ketaatan kepada-Nya, maka Allah akan menimpakan berbagai bentuk cobaan padanya. Ini merupakan bentuk kecemburuan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-Nya.” (Kitab Raudhah al-Muhibbin). وفي مدارج السالكين: وقال بعضهم: احذره، فإنه غيور، لا يحب أن يرى في قلب عبده سواه. ومن غيرته: أن صفيه آدم لما ساكن بقلبه الجنة، وحرص على الخلود فيها أخرجه منها، ومن غيرته سبحانه: أن إبراهيم خليله لما أخذ إسماعيل شعبة من قلبه أمره بذبحه، حتى يخرج من قلبه ذلك المزاحم. اهـ. Adapun dalam kitab Madarij as-Salikin disebutkan, “Seorang ulama berkata, ‘Berhati-hatilah kepada Allah, karena Dia pencemburu; tidak suka melihat selain-Nya dalam hati hamba-Nya. Di antara bentuk kecemburuan-Nya; ketika dalam hati manusia pilihan-Nya, Adam terdapat kecintaan terhadap surga dan menginginkan kekekalan di dalamnya, Allah mengeluarkannya dari surga. Di antara kecemburuan-Nya juga, bahwa kekasih-Nya, Ibrahim, ketika sebagian hatinya terpaut dengan Ismail; Allah memerintahkannya untuk menyembelih Ismail, agar pendua itu dapat keluar dari hatinya.’” وأما قولك: (وما حكم قول إن الله تعالى أخذ يوسف -عليه السلام- من أبيه -عليه السلام-؛ لأن يعقوب -عليه السلام- كان متعلقا بيوسف -عليه السلام-). فلم نقف على ذكر مثل هذا عند أحد من العلماء، وينبغي الإمساك عنه؛ لما فيه من نوع رجم بالغيب، وخوض فيه دون بينة، ولما فيه من الجرأة على مقام الأنبياء. وقد جاء في تفسير الألوسي: وقد قضى الله تعالى على يعقوب ويوسف أن يوصل إليهما تلك الغموم الشديدة، والهموم العظيمة ليصبرا على مرارتها ويكثر رجوعهما إلى الله تعالى، وينقطع تعلق فكرهما عما سوى الله تعالى؛ فيصلا الى درجة عالية لا يمكن الوصول إليها الا بتحمل المحن العظيمة. اهـ. Adapun pertanyaan Anda: Juga apa hukum ucapan bahwa Allah Ta’ala mengambil Nabi Yusuf ‘alaihissalam dari ayahnya, Ya’qub ‘alaihissalam, karena dulu Ya’qub ‘alaihissalam sangat cinta kepada Yusuf ‘alaihissalam? Kami belum menemukan satu pun ulama yang mengucapkan ucapan seperti ini, sehingga sebaiknya dihindari; sebab di dalamnya terdapat suatu bentuk menebak-nebak hal gaib dan membicarakan hal gaib tanpa bukti. Di dalamnya juga terdapat suatu bentuk kelancangan terhadap kedudukan para Nabi.  Dalam tafsir al-Alusi disebutkan, “Allah Ta’ala telah menetapkan bagi Ya’qub and Yusuf untuk memberikan mereka berdua ujian-ujian berat dan cobaan-cobaan besar agar mereka bersabar atas kepahitannya, semakin tekun berserah diri kepada Allah Ta’ala, dan pikiran mereka terputus dari keterpautan dengan selain Allah Ta’ala; sehingga mereka dapat mencapai derajat tinggi yang tidak dapat dicapai kecuali oleh orang yang menanggung ujian-ujian besar.” وأما قولك:( وهناك من رد وقال: هل يعقل أن الله تعالى يكسر قلوب عباده على أحبتهم، لمجرد التعلق حاشاه.) فهذا اعتراض لا معنى له، فإن الله يبتلي عباده بما يشاء. لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ {الأنبياء:23}. وتعلق القلب بغير الله قد يبلغ أن يكون معصية قلبية تستوجب العقوبة، وهذه العقوبة قد تكون خيرا للعبد من وجه آخر، فتُكفَّر بها من سيئاته، وقد تكون سببا في رجوع قلبه إلى الله. كما تقدم قول ابن القيم: وإذا أراد الله بعبده خيرا سلط على قلبه إذا أعرض عنه واشتغل بحب غيره أنواع العذاب حتى يرجع قلبه إليه .اهـ. Sedangkan pertanyaan Anda: Ada juga orang yang mengingkari ucapan seperti itu dengan berkata, “Apakah masuk akal jika Allah Ta’ala menghancurkan hati para hamba-Nya yang mencintai para kekasih mereka hanya karena keterpautan itu?! Sungguh tidak mungkin!” Ini merupakan bantahan yang tidak ada gunanya, karena Allah akan menguji para hamba-Nya dengan apa yang Dia kehendaki. “Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan, tetapi merekalah yang akan ditanya.” (QS. Al-Anbiya: 23). Keterpautan hati dengan selain Allah terkadang sampai menjadi kemaksiatan hati yang membuatnya harus mendapat balasan; dan balasan ini bisa jadi merupakan hal yang baik bagi seorang hamba jika dilihat dari sudut pandang yang lain, sehingga dengan balasan itu, dosa-dosanya dihapuskan. Dan terkadang juga menjadi sebab hatinya kembali kepada Allah. Sebagaimana yang telah disebutkan dari ucapan Ibnu al-Qayyim, “Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Dia akan menimpakan berbagai bentuk siksaan jika ia berpaling dari-Nya dan sibuk dengan kecintaan kepada selain-Nya, agar hatinya kembali kepada-Nya.” وقد يكون الابتلاء زيادة في ثوابه ورفعة لدرجاته. قال ابن تيمية: ونظير ذلك المصائب المقدرة في النفس والأهل والمال؛ فإنها تارة تكون كفارة وطهورا، وتارة تكون زيادة في الثواب وعلوا في الدرجات، وتارة تكون عقابا وانتقاما. اهـ. من الصارم المسلول. والله أعلم. Terkadang ujian itu juga menjadi penambah pahalanya dan peningkat derajatnya. Ibnu Taimiyah berkata, “Yang serupa dengan hal itu, musibah-musibah yang ditakdirkan menimpa jiwa, keluarga, dan harta; itu semua terkadang menjadi penghapus dosa dan penyuci jiwa, terkadang menjadi penambah pahala dan peningkat derajat, dan terkadang pula menjadi siksaan dan balasan baginya.” Wallahu a’lam. Sumber: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/422686/غيرة-الله-على-قلب-المؤمن-أن-يتعلق-بغيرهPDF Sumber Artikel. 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 1,149 times, 1 visit(s) today Post Views: 814 QRIS donasi Yufid
غيرة الله على قلب المؤمن أن يتعلق بغيره هل يجوز هذا القول: يقول الإمام الشافعي -رحمه الله-: كلما تعلقت بشخص تعلقاً؛ أذاقكْ الله مرّ التعلق؛ لتعلم أن الله يغار على قلب تعلق بغيره، فيصدٌك عن ذاك ليرٌدك إليه. وما حكم قول إن الله تعالى أخذ يوسف -عليه السلام- من أبيه -عليه السلام-؛ لأن يعقوب -عليه السلام- كان متعلقا بيوسف -عليه السلام- وهناك من رد وقال: هل يعقل أن الله تعالى يكسر قلوب عباده على أحبتهم، لمجرد التعلق حاشاه. ما قولكم في هذا الكلام؟ Pertanyaan: Apakah boleh mengucapkan seperti yang diucapkan Imam asy-Syafi’i rahimahullah, “Semakin kamu terpaut dengan seseorang, maka Allah akan memberimu kepahitan dari keterpautan itu, agar kamu mengerti bahwa Allah cemburu terhadap hati yang terpaut dengan selain-Nya, sehingga Dia menghalangimu dari hal itu, agar mengembalikanmu kepada-Nya.” Juga apa hukum ucapan bahwa Allah Ta’ala mengambil Nabi Yusuf ‘alaihissalam dari ayahnya, Ya’qub ‘alaihissalam, karena dulu Ya’qub ‘alaihissalam sangat cinta kepada Yusuf ‘alaihissalam? Ada juga orang yang mengingkari ucapan seperti itu dengan berkata, “Apakah masuk akal jika Allah Ta’ala menghancurkan hati para hamba-Nya yang mencintai para kekasih mereka hanya karena keterpautan itu?! Sungguh tidak mungkin!” Bagaimana pendapat Anda mengenai ucapan ini? الإجابــة الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعد: فلم نقف على هذا الكلام للإمام الشافعي .لكن ذكر نحوه بعض العلماء. قال ابن الجوزي: رأيت نفسي تأنس بخلطاء نسميهم أصدقاء، فبحثت بالتجارب عنهم؛ فإذا أكثرهم حساد على النعم، وأعداء، لا يسترون زلة، ولا يعرفون لجليس حقا، ولا يواسون من مالهم صديقا. فتأملت الأمر؛ فإذا الحق سبحانه يغار على قلب المؤمن أن يجعل له شيئا يأنس به، فهو يكدر عليه الدنيا وأهلها، ليكون أنسه به. اهـ. من صيد الخاطر. Jawaban: Segala puji hanya bagi Allah. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah, dan kepada keluarga dan para sahabat beliau. Amma ba’du: Kami belum menemukan bahwa ucapan itu berasal dari Imam asy-Syafi’i. Namun, ada beberapa ulama yang menyebutkan ucapan yang mirip dengannya. Ibnu al-Jauzi berkata: “Aku mendapati diriku merasa nyaman berinteraksi dengan para rekan yang kita sebut dengan sahabat. Aku pun melakukan pencermatan terhadap mereka; ternyata mayoritas mereka adalah para pendengki atas kenikmatan orang lain, musuh, tidak menutupi aib, tidak menunaikan hak teman, dan enggan menghibur teman dengan harta mereka. Aku pun mencermati fenomena ini, dan ternyata itu karena Allah cemburu terhadap hati seorang Mukmin jika Dia menjadikan sesuatu yang bisa membuatnya merasa nyaman. Oleh sebab itu, Allah membuat dunia dan para penghuninya tidak baik bagi seorang Mukmin, agar ia hanya merasa nyaman dengan-Nya.” (Kitab Shaid al-Khathir). وقال ابن القيم: والله سبحانه وتعالى يغار على قلب عبده أن يكون معطلا من حبه وخوفه ورجائه، وأن يكون فيه غيره فالله سبحانه وتعالى خلقه لنفسه، واختاره من بين خلقه؛ كما في الأثر الإلهي: ابن آدم خلقتك لنفسي، وخلقت كل شيء لك، فبحقي عليك لا تشتغل بما خلقته لك، عما خلقتك له. وفي أثر آخر: خلقتك لنفسي، فلا تلعب، وتكفلت لك برزقك فلا تتعب. يا ابن آدم اطلبني تجدني؛ فإن وجدتني وجدت كل شيء، وإن فتك فاتك كل شيء، وأنا خير لك من كل شيء. ويغار على لسانه أن يتعطل من ذكره ويشتغل بذكر غيره، ويغار على جوارحه أن تتعطل من طاعته وتشتغل بمعصيته. فيقبح بالعبد أن يغار مولاه الحق على قلبه ولسانه وجوارحه وهو لا يغار عليها. وإذا أراد الله بعبده خيرا سلط على قلبه إذا أعرض عنه واشتغل بحب غيره، أنواع العذاب حتى يرجع قلبه إليه. وإذا اشتغلت جوارحه بغير طاعته، ابتلاها بأنواع البلاء، وهذا من غيرته سبحانه وتعالى على عبده .اهـ. روضة المحبين. Ibnu al-Qayyim berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala cemburu jika hati hamba-Nya kosong dari kecintaan, rasa takut, dan harapan kepada-Nya, atau jika hati itu dipenuhi oleh selain-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan hamba-Nya untuk-Nya dan memilihnya di antara makhluk-Nya, sebagaimana dalam hadis qudsi disebutkan: ‘Wahai manusia! Aku menciptakanmu untuk diri-Ku dan Aku menciptakan segalanya untukmu! Maka sudah menjadi hak-Ku yang harus kamu tunaikan untuk tidak sibuk dengan apa yang telah Aku ciptakan untukmu dari tujuan Aku menciptakanmu.’  Dalam riwayat lain disebutkan: ‘Aku menciptakanmu untuk diri-Ku, maka janganlah kamu bermain-main! Aku telah menjamin rezekimu, maka janganlah kamu berlelah-lelah! Wahai manusia! Carilah Aku niscaya kamu akan mendapatkan-Ku! Jika kamu telah mendapatkan-Ku maka kamu akan mendapatkan segalanya. Namun, jika aku melewatkanmu, maka terlewat juga segalanya darimu. Aku lebih baik bagimu daripada segalanya.’ Allah juga cemburu terhadap lisan hamba-Nya apabila berhenti dari menyebut-Nya dan sibuk menyebut selain-Nya. Dia cemburu terhadap anggota badan hamba-Nya jika berhenti dari menaati-Nya dan sibuk dengan kemaksiatan terhadap-Nya. Maka sungguh buruk sekali bagi seorang hamba jika Tuhannya Yang Maha Benar cemburu terhadap hati, lisan, dan anggota badannya; sedangkan ia sendiri tidak cemburu terhadap hal-hal itu. Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Dia akan menimpakan berbagai bentuk siksaan jika ia berpaling dari-Nya dan sibuk dengan kecintaan kepada selain-Nya, agar hatinya kembali kepada-Nya. Apabila anggota badannya sibuk dengan perkara selain ketaatan kepada-Nya, maka Allah akan menimpakan berbagai bentuk cobaan padanya. Ini merupakan bentuk kecemburuan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-Nya.” (Kitab Raudhah al-Muhibbin). وفي مدارج السالكين: وقال بعضهم: احذره، فإنه غيور، لا يحب أن يرى في قلب عبده سواه. ومن غيرته: أن صفيه آدم لما ساكن بقلبه الجنة، وحرص على الخلود فيها أخرجه منها، ومن غيرته سبحانه: أن إبراهيم خليله لما أخذ إسماعيل شعبة من قلبه أمره بذبحه، حتى يخرج من قلبه ذلك المزاحم. اهـ. Adapun dalam kitab Madarij as-Salikin disebutkan, “Seorang ulama berkata, ‘Berhati-hatilah kepada Allah, karena Dia pencemburu; tidak suka melihat selain-Nya dalam hati hamba-Nya. Di antara bentuk kecemburuan-Nya; ketika dalam hati manusia pilihan-Nya, Adam terdapat kecintaan terhadap surga dan menginginkan kekekalan di dalamnya, Allah mengeluarkannya dari surga. Di antara kecemburuan-Nya juga, bahwa kekasih-Nya, Ibrahim, ketika sebagian hatinya terpaut dengan Ismail; Allah memerintahkannya untuk menyembelih Ismail, agar pendua itu dapat keluar dari hatinya.’” وأما قولك: (وما حكم قول إن الله تعالى أخذ يوسف -عليه السلام- من أبيه -عليه السلام-؛ لأن يعقوب -عليه السلام- كان متعلقا بيوسف -عليه السلام-). فلم نقف على ذكر مثل هذا عند أحد من العلماء، وينبغي الإمساك عنه؛ لما فيه من نوع رجم بالغيب، وخوض فيه دون بينة، ولما فيه من الجرأة على مقام الأنبياء. وقد جاء في تفسير الألوسي: وقد قضى الله تعالى على يعقوب ويوسف أن يوصل إليهما تلك الغموم الشديدة، والهموم العظيمة ليصبرا على مرارتها ويكثر رجوعهما إلى الله تعالى، وينقطع تعلق فكرهما عما سوى الله تعالى؛ فيصلا الى درجة عالية لا يمكن الوصول إليها الا بتحمل المحن العظيمة. اهـ. Adapun pertanyaan Anda: Juga apa hukum ucapan bahwa Allah Ta’ala mengambil Nabi Yusuf ‘alaihissalam dari ayahnya, Ya’qub ‘alaihissalam, karena dulu Ya’qub ‘alaihissalam sangat cinta kepada Yusuf ‘alaihissalam? Kami belum menemukan satu pun ulama yang mengucapkan ucapan seperti ini, sehingga sebaiknya dihindari; sebab di dalamnya terdapat suatu bentuk menebak-nebak hal gaib dan membicarakan hal gaib tanpa bukti. Di dalamnya juga terdapat suatu bentuk kelancangan terhadap kedudukan para Nabi.  Dalam tafsir al-Alusi disebutkan, “Allah Ta’ala telah menetapkan bagi Ya’qub and Yusuf untuk memberikan mereka berdua ujian-ujian berat dan cobaan-cobaan besar agar mereka bersabar atas kepahitannya, semakin tekun berserah diri kepada Allah Ta’ala, dan pikiran mereka terputus dari keterpautan dengan selain Allah Ta’ala; sehingga mereka dapat mencapai derajat tinggi yang tidak dapat dicapai kecuali oleh orang yang menanggung ujian-ujian besar.” وأما قولك:( وهناك من رد وقال: هل يعقل أن الله تعالى يكسر قلوب عباده على أحبتهم، لمجرد التعلق حاشاه.) فهذا اعتراض لا معنى له، فإن الله يبتلي عباده بما يشاء. لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ {الأنبياء:23}. وتعلق القلب بغير الله قد يبلغ أن يكون معصية قلبية تستوجب العقوبة، وهذه العقوبة قد تكون خيرا للعبد من وجه آخر، فتُكفَّر بها من سيئاته، وقد تكون سببا في رجوع قلبه إلى الله. كما تقدم قول ابن القيم: وإذا أراد الله بعبده خيرا سلط على قلبه إذا أعرض عنه واشتغل بحب غيره أنواع العذاب حتى يرجع قلبه إليه .اهـ. Sedangkan pertanyaan Anda: Ada juga orang yang mengingkari ucapan seperti itu dengan berkata, “Apakah masuk akal jika Allah Ta’ala menghancurkan hati para hamba-Nya yang mencintai para kekasih mereka hanya karena keterpautan itu?! Sungguh tidak mungkin!” Ini merupakan bantahan yang tidak ada gunanya, karena Allah akan menguji para hamba-Nya dengan apa yang Dia kehendaki. “Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan, tetapi merekalah yang akan ditanya.” (QS. Al-Anbiya: 23). Keterpautan hati dengan selain Allah terkadang sampai menjadi kemaksiatan hati yang membuatnya harus mendapat balasan; dan balasan ini bisa jadi merupakan hal yang baik bagi seorang hamba jika dilihat dari sudut pandang yang lain, sehingga dengan balasan itu, dosa-dosanya dihapuskan. Dan terkadang juga menjadi sebab hatinya kembali kepada Allah. Sebagaimana yang telah disebutkan dari ucapan Ibnu al-Qayyim, “Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Dia akan menimpakan berbagai bentuk siksaan jika ia berpaling dari-Nya dan sibuk dengan kecintaan kepada selain-Nya, agar hatinya kembali kepada-Nya.” وقد يكون الابتلاء زيادة في ثوابه ورفعة لدرجاته. قال ابن تيمية: ونظير ذلك المصائب المقدرة في النفس والأهل والمال؛ فإنها تارة تكون كفارة وطهورا، وتارة تكون زيادة في الثواب وعلوا في الدرجات، وتارة تكون عقابا وانتقاما. اهـ. من الصارم المسلول. والله أعلم. Terkadang ujian itu juga menjadi penambah pahalanya dan peningkat derajatnya. Ibnu Taimiyah berkata, “Yang serupa dengan hal itu, musibah-musibah yang ditakdirkan menimpa jiwa, keluarga, dan harta; itu semua terkadang menjadi penghapus dosa dan penyuci jiwa, terkadang menjadi penambah pahala dan peningkat derajat, dan terkadang pula menjadi siksaan dan balasan baginya.” Wallahu a’lam. Sumber: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/422686/غيرة-الله-على-قلب-المؤمن-أن-يتعلق-بغيرهPDF Sumber Artikel. 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 1,149 times, 1 visit(s) today Post Views: 814 QRIS donasi Yufid


غيرة الله على قلب المؤمن أن يتعلق بغيره هل يجوز هذا القول: يقول الإمام الشافعي -رحمه الله-: كلما تعلقت بشخص تعلقاً؛ أذاقكْ الله مرّ التعلق؛ لتعلم أن الله يغار على قلب تعلق بغيره، فيصدٌك عن ذاك ليرٌدك إليه. وما حكم قول إن الله تعالى أخذ يوسف -عليه السلام- من أبيه -عليه السلام-؛ لأن يعقوب -عليه السلام- كان متعلقا بيوسف -عليه السلام- وهناك من رد وقال: هل يعقل أن الله تعالى يكسر قلوب عباده على أحبتهم، لمجرد التعلق حاشاه. ما قولكم في هذا الكلام؟ Pertanyaan: Apakah boleh mengucapkan seperti yang diucapkan Imam asy-Syafi’i rahimahullah, “Semakin kamu terpaut dengan seseorang, maka Allah akan memberimu kepahitan dari keterpautan itu, agar kamu mengerti bahwa Allah cemburu terhadap hati yang terpaut dengan selain-Nya, sehingga Dia menghalangimu dari hal itu, agar mengembalikanmu kepada-Nya.” Juga apa hukum ucapan bahwa Allah Ta’ala mengambil Nabi Yusuf ‘alaihissalam dari ayahnya, Ya’qub ‘alaihissalam, karena dulu Ya’qub ‘alaihissalam sangat cinta kepada Yusuf ‘alaihissalam? Ada juga orang yang mengingkari ucapan seperti itu dengan berkata, “Apakah masuk akal jika Allah Ta’ala menghancurkan hati para hamba-Nya yang mencintai para kekasih mereka hanya karena keterpautan itu?! Sungguh tidak mungkin!” Bagaimana pendapat Anda mengenai ucapan ini? الإجابــة الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعد: فلم نقف على هذا الكلام للإمام الشافعي .لكن ذكر نحوه بعض العلماء. قال ابن الجوزي: رأيت نفسي تأنس بخلطاء نسميهم أصدقاء، فبحثت بالتجارب عنهم؛ فإذا أكثرهم حساد على النعم، وأعداء، لا يسترون زلة، ولا يعرفون لجليس حقا، ولا يواسون من مالهم صديقا. فتأملت الأمر؛ فإذا الحق سبحانه يغار على قلب المؤمن أن يجعل له شيئا يأنس به، فهو يكدر عليه الدنيا وأهلها، ليكون أنسه به. اهـ. من صيد الخاطر. Jawaban: Segala puji hanya bagi Allah. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah, dan kepada keluarga dan para sahabat beliau. Amma ba’du: Kami belum menemukan bahwa ucapan itu berasal dari Imam asy-Syafi’i. Namun, ada beberapa ulama yang menyebutkan ucapan yang mirip dengannya. Ibnu al-Jauzi berkata: “Aku mendapati diriku merasa nyaman berinteraksi dengan para rekan yang kita sebut dengan sahabat. Aku pun melakukan pencermatan terhadap mereka; ternyata mayoritas mereka adalah para pendengki atas kenikmatan orang lain, musuh, tidak menutupi aib, tidak menunaikan hak teman, dan enggan menghibur teman dengan harta mereka. Aku pun mencermati fenomena ini, dan ternyata itu karena Allah cemburu terhadap hati seorang Mukmin jika Dia menjadikan sesuatu yang bisa membuatnya merasa nyaman. Oleh sebab itu, Allah membuat dunia dan para penghuninya tidak baik bagi seorang Mukmin, agar ia hanya merasa nyaman dengan-Nya.” (Kitab Shaid al-Khathir). وقال ابن القيم: والله سبحانه وتعالى يغار على قلب عبده أن يكون معطلا من حبه وخوفه ورجائه، وأن يكون فيه غيره فالله سبحانه وتعالى خلقه لنفسه، واختاره من بين خلقه؛ كما في الأثر الإلهي: ابن آدم خلقتك لنفسي، وخلقت كل شيء لك، فبحقي عليك لا تشتغل بما خلقته لك، عما خلقتك له. وفي أثر آخر: خلقتك لنفسي، فلا تلعب، وتكفلت لك برزقك فلا تتعب. يا ابن آدم اطلبني تجدني؛ فإن وجدتني وجدت كل شيء، وإن فتك فاتك كل شيء، وأنا خير لك من كل شيء. ويغار على لسانه أن يتعطل من ذكره ويشتغل بذكر غيره، ويغار على جوارحه أن تتعطل من طاعته وتشتغل بمعصيته. فيقبح بالعبد أن يغار مولاه الحق على قلبه ولسانه وجوارحه وهو لا يغار عليها. وإذا أراد الله بعبده خيرا سلط على قلبه إذا أعرض عنه واشتغل بحب غيره، أنواع العذاب حتى يرجع قلبه إليه. وإذا اشتغلت جوارحه بغير طاعته، ابتلاها بأنواع البلاء، وهذا من غيرته سبحانه وتعالى على عبده .اهـ. روضة المحبين. Ibnu al-Qayyim berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala cemburu jika hati hamba-Nya kosong dari kecintaan, rasa takut, dan harapan kepada-Nya, atau jika hati itu dipenuhi oleh selain-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan hamba-Nya untuk-Nya dan memilihnya di antara makhluk-Nya, sebagaimana dalam hadis qudsi disebutkan: ‘Wahai manusia! Aku menciptakanmu untuk diri-Ku dan Aku menciptakan segalanya untukmu! Maka sudah menjadi hak-Ku yang harus kamu tunaikan untuk tidak sibuk dengan apa yang telah Aku ciptakan untukmu dari tujuan Aku menciptakanmu.’  Dalam riwayat lain disebutkan: ‘Aku menciptakanmu untuk diri-Ku, maka janganlah kamu bermain-main! Aku telah menjamin rezekimu, maka janganlah kamu berlelah-lelah! Wahai manusia! Carilah Aku niscaya kamu akan mendapatkan-Ku! Jika kamu telah mendapatkan-Ku maka kamu akan mendapatkan segalanya. Namun, jika aku melewatkanmu, maka terlewat juga segalanya darimu. Aku lebih baik bagimu daripada segalanya.’ Allah juga cemburu terhadap lisan hamba-Nya apabila berhenti dari menyebut-Nya dan sibuk menyebut selain-Nya. Dia cemburu terhadap anggota badan hamba-Nya jika berhenti dari menaati-Nya dan sibuk dengan kemaksiatan terhadap-Nya. Maka sungguh buruk sekali bagi seorang hamba jika Tuhannya Yang Maha Benar cemburu terhadap hati, lisan, dan anggota badannya; sedangkan ia sendiri tidak cemburu terhadap hal-hal itu. Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Dia akan menimpakan berbagai bentuk siksaan jika ia berpaling dari-Nya dan sibuk dengan kecintaan kepada selain-Nya, agar hatinya kembali kepada-Nya. Apabila anggota badannya sibuk dengan perkara selain ketaatan kepada-Nya, maka Allah akan menimpakan berbagai bentuk cobaan padanya. Ini merupakan bentuk kecemburuan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-Nya.” (Kitab Raudhah al-Muhibbin). وفي مدارج السالكين: وقال بعضهم: احذره، فإنه غيور، لا يحب أن يرى في قلب عبده سواه. ومن غيرته: أن صفيه آدم لما ساكن بقلبه الجنة، وحرص على الخلود فيها أخرجه منها، ومن غيرته سبحانه: أن إبراهيم خليله لما أخذ إسماعيل شعبة من قلبه أمره بذبحه، حتى يخرج من قلبه ذلك المزاحم. اهـ. Adapun dalam kitab Madarij as-Salikin disebutkan, “Seorang ulama berkata, ‘Berhati-hatilah kepada Allah, karena Dia pencemburu; tidak suka melihat selain-Nya dalam hati hamba-Nya. Di antara bentuk kecemburuan-Nya; ketika dalam hati manusia pilihan-Nya, Adam terdapat kecintaan terhadap surga dan menginginkan kekekalan di dalamnya, Allah mengeluarkannya dari surga. Di antara kecemburuan-Nya juga, bahwa kekasih-Nya, Ibrahim, ketika sebagian hatinya terpaut dengan Ismail; Allah memerintahkannya untuk menyembelih Ismail, agar pendua itu dapat keluar dari hatinya.’” وأما قولك: (وما حكم قول إن الله تعالى أخذ يوسف -عليه السلام- من أبيه -عليه السلام-؛ لأن يعقوب -عليه السلام- كان متعلقا بيوسف -عليه السلام-). فلم نقف على ذكر مثل هذا عند أحد من العلماء، وينبغي الإمساك عنه؛ لما فيه من نوع رجم بالغيب، وخوض فيه دون بينة، ولما فيه من الجرأة على مقام الأنبياء. وقد جاء في تفسير الألوسي: وقد قضى الله تعالى على يعقوب ويوسف أن يوصل إليهما تلك الغموم الشديدة، والهموم العظيمة ليصبرا على مرارتها ويكثر رجوعهما إلى الله تعالى، وينقطع تعلق فكرهما عما سوى الله تعالى؛ فيصلا الى درجة عالية لا يمكن الوصول إليها الا بتحمل المحن العظيمة. اهـ. Adapun pertanyaan Anda: Juga apa hukum ucapan bahwa Allah Ta’ala mengambil Nabi Yusuf ‘alaihissalam dari ayahnya, Ya’qub ‘alaihissalam, karena dulu Ya’qub ‘alaihissalam sangat cinta kepada Yusuf ‘alaihissalam? Kami belum menemukan satu pun ulama yang mengucapkan ucapan seperti ini, sehingga sebaiknya dihindari; sebab di dalamnya terdapat suatu bentuk menebak-nebak hal gaib dan membicarakan hal gaib tanpa bukti. Di dalamnya juga terdapat suatu bentuk kelancangan terhadap kedudukan para Nabi.  Dalam tafsir al-Alusi disebutkan, “Allah Ta’ala telah menetapkan bagi Ya’qub and Yusuf untuk memberikan mereka berdua ujian-ujian berat dan cobaan-cobaan besar agar mereka bersabar atas kepahitannya, semakin tekun berserah diri kepada Allah Ta’ala, dan pikiran mereka terputus dari keterpautan dengan selain Allah Ta’ala; sehingga mereka dapat mencapai derajat tinggi yang tidak dapat dicapai kecuali oleh orang yang menanggung ujian-ujian besar.” وأما قولك:( وهناك من رد وقال: هل يعقل أن الله تعالى يكسر قلوب عباده على أحبتهم، لمجرد التعلق حاشاه.) فهذا اعتراض لا معنى له، فإن الله يبتلي عباده بما يشاء. لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ {الأنبياء:23}. وتعلق القلب بغير الله قد يبلغ أن يكون معصية قلبية تستوجب العقوبة، وهذه العقوبة قد تكون خيرا للعبد من وجه آخر، فتُكفَّر بها من سيئاته، وقد تكون سببا في رجوع قلبه إلى الله. كما تقدم قول ابن القيم: وإذا أراد الله بعبده خيرا سلط على قلبه إذا أعرض عنه واشتغل بحب غيره أنواع العذاب حتى يرجع قلبه إليه .اهـ. Sedangkan pertanyaan Anda: Ada juga orang yang mengingkari ucapan seperti itu dengan berkata, “Apakah masuk akal jika Allah Ta’ala menghancurkan hati para hamba-Nya yang mencintai para kekasih mereka hanya karena keterpautan itu?! Sungguh tidak mungkin!” Ini merupakan bantahan yang tidak ada gunanya, karena Allah akan menguji para hamba-Nya dengan apa yang Dia kehendaki. “Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan, tetapi merekalah yang akan ditanya.” (QS. Al-Anbiya: 23). Keterpautan hati dengan selain Allah terkadang sampai menjadi kemaksiatan hati yang membuatnya harus mendapat balasan; dan balasan ini bisa jadi merupakan hal yang baik bagi seorang hamba jika dilihat dari sudut pandang yang lain, sehingga dengan balasan itu, dosa-dosanya dihapuskan. Dan terkadang juga menjadi sebab hatinya kembali kepada Allah. Sebagaimana yang telah disebutkan dari ucapan Ibnu al-Qayyim, “Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Dia akan menimpakan berbagai bentuk siksaan jika ia berpaling dari-Nya dan sibuk dengan kecintaan kepada selain-Nya, agar hatinya kembali kepada-Nya.” وقد يكون الابتلاء زيادة في ثوابه ورفعة لدرجاته. قال ابن تيمية: ونظير ذلك المصائب المقدرة في النفس والأهل والمال؛ فإنها تارة تكون كفارة وطهورا، وتارة تكون زيادة في الثواب وعلوا في الدرجات، وتارة تكون عقابا وانتقاما. اهـ. من الصارم المسلول. والله أعلم. Terkadang ujian itu juga menjadi penambah pahalanya dan peningkat derajatnya. Ibnu Taimiyah berkata, “Yang serupa dengan hal itu, musibah-musibah yang ditakdirkan menimpa jiwa, keluarga, dan harta; itu semua terkadang menjadi penghapus dosa dan penyuci jiwa, terkadang menjadi penambah pahala dan peningkat derajat, dan terkadang pula menjadi siksaan dan balasan baginya.” Wallahu a’lam. Sumber: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/422686/غيرة-الله-على-قلب-المؤمن-أن-يتعلق-بغيرهPDF Sumber Artikel. 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 1,149 times, 1 visit(s) today Post Views: 814 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Besarnya Kasih Sayang Allah (Bag. 2): Nikmat Allah Tidak Bisa Terhitung

Nikmat yang Allah berikan kepada manusia sangatlah banyak dan tidak terhingga. Betapa banyak yang telah manusia terima, seperti: badan yang sehat, tempat tinggal yang nyaman, pakaian yang menutupi tubuh, makan dan minum yang senantiasa ada, dan ladang yang bisa dimanfaatkan. Itu semua nikmat yang nampak dan masih banyak nikmat yang lainnya. Nikmat yang tidak nampak juga banyak. Seperti: organ-organ tubuh yang masih berfungsi dengan baik dan normal, kesehatan badan, ketenangan hati, dan masih banyak yang lainnya. Nikmat Allah ‘Azza Wajalla sudah terlampau banyak dan sampai-sampai tidak bisa terhitung jumlahnya. Namun, dengan begitu banyaknya nikmat yang telah manusia terima, justru tidak menyadari akan besarnya nikmat yang Allah berikan. Manusia lalai dan tidak menyadari bahwa itu semua adalah salah satu bukti kasih sayang Allah ‘Azza Wajalla kepada manusia. Allah berfirman, وَمَا بِكُم مِّن نّـِعمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ​ ثُمَّ اِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَاِلَيهِ تَجْئَرُونَ​ۚ‏ “Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.” [1] Syekh As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat ini di kitabnya, “Dan apa saja nikmat yang ada padamu (nikmat lahiriah ataupun batiniah), maka dari Allahlah (datangnya), tiada seorang pun yang menyertai Allah di dalamnya.” [2] Semua nikmat yang manusia dapatkan, semuanya berasal dari Allah ‘Azza Wajalla. Sungguh, apabila manusia diminta untuk menghitung nikmat Allah ‘Azza Wajalla, niscaya tidak akan pernah bisa menghitungnya. Allah menyampaikan di awal-awal surah An-Nahl tentang nikmat, di antaranya: hewan ternak, turunnya air hujan, tumbuhnya tanam-tanaman, bagaimana siang dan malam berganti, adanya laut yang di dalamnya terdapat banyak karunia Allah, adanya gunung-gunung yang Allah jadikan pasak agar bumi tidak bergoncang, dan adanya bintang yang Allah jadikan sebagai penunjuk arah ketika di malam hari. Setelah Allah menyebutkan nikmat-nikmat tersebut, Allah berfirman, وَاِن تَعُدُّوا نِعمَةَ اللّٰهِ لَا تُحصُوهَاؕ اِنَّ اللّٰهَ لَـغَفُورٌ رَّحِيمٌ‏ “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [3] Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam kitab tafsirnya, “Allah benar-benar memaafkan kalian. Jika kalian dituntut untuk mensyukuri semua nikmat yang Allah beri, tentu kalian tidak mampu mensyukurinya. Jika kalian diperintahkan untuk mensyukuri seluruh nikmat tersebut, tentu kalian tidak mampu bahkan enggan untuk bersyukur. Jika Allah mau menyiksa, tentu saja bisa dan itu bukan tanda Allah itu berbuat zalim. Akan tetapi, Allah masih mengampuni dan mengasihi kalian. Allah mengampuni kesalahan yang banyak lagi memaafkan bentuk syukur kalian yang sedikit.” [4] Syekh As-Sa’di rahimahullah juga menjelaskan ayat ini di kitab tafsirnya, “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah” menghitung jumlahnya tanpa disertai rasa syukur, “niscaya kamu akan tidak dapat menentukan jumlahnya” apalagi bila (tergerak) untuk mensyukurinya. Sungguh, nikmat-nikmat-Nya yang lahiriah dan batiniah bagi hamba-hamba-Nya adalah sebanyak jumlah tarikan nafas dan detik-detik waktu dari segala macam kenikmatan, yang diketahui oleh mereka dan yang tidak mereka ketahui. Dan keburukan-keburukan yang telah Allah singkirkan dari mereka, maka terlalu banyak bila akan diperhitungkan. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Dia rida dengan rasa syukur kalian yang sedikit, meskipun curahan nikmat-Nya sangat banyak.” [5] Banyak di antara manusia yang ada di muka bumi ini lalai akan nikmat yang Allah berikan. Banyak yang tidak mensyukuri nikmat Allah ‘Azza Wajalla. Kalaupun manusia bersyukur, niscaya rasa syukurnya pun kurang dan tidak akan sebanding dengan nikmat yang telah Allah berikan. Bahkan, ada di antara manusia yang menggunakan nikmat-nikmat tersebut di atas kemaksiatan yang mereka lakukan. Allah menjelaskan tentang tabiat manusia di dalam Al Qur’an dan berfirman, وَاِذَاۤ اَنعَمنَا عَلَى الاِنسَانِ اَعرَضَ وَنَاٰ بِجَانِبِه​ وَاِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ كَانَ يَــُوسًا‏ “Dan apabila Kami berikan kesenangan pada manusia, niscaya dia berpaling dan menjauhkan diri dengan sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan, niscaya dia berputus asa.” [6] Allah ‘Azza Wajalla juga berfirman, وَاِذَاۤ اَنعَمنَا عَلَى الاِنسَانِ اَعرَضَ وَنَاٰ بِجَانِبِه​ وَاِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ فَذُو دُعَاءٍ عَرِيضٍ‏ “Dan apabila Kami berikan nikmat kepada manusia, dia berpaling dan menjauhkan diri (dengan sombong) tetapi apabila ditimpa malapetaka, maka dia banyak berdoa.” [7] Dua ayat ini menggambarkan dua sikap manusia ketika mendapatkan nikmat Allah ‘Azza Wajalla. Ketika mendapatkan nikmat, manusia lupa dan lalai seakan-akan seperti ‘kacang lupa kulitnya’. Mereka bersenang-senang dan berhura-hura dengan nikmat tersebut. Manusia lupa kepada yang memberi nikmat, yaitu Allah ‘Azza Wajalla. Namun, ketika Allah cabut nikmat tersebut, kemudian manusia ditimpa musibah, ditimpa kesulitan, ditimpa kekurangan, mereka mengeluh, mereka berputus asa, dan kemudian baru mendekatkan diri kepada Allah, memperbanyak doa dan meminta agar nikmat itu datang kembali. Inilah tabiat manusia yang sebenarnya. Ketika mendapatkan kesulitan dia berdoa dan meminta kepada Allah, namun ketika dikabulkan oleh Allah, mereka melupakan Allah. Bahkan, ada segolongan manusia yang ketika mendapatkan nikmat, mereka menisbatkan nikmat itu kepada selain Allah atau menganggap nikmat tersebut didapat karena kepintaran atau usaha mereka sendiri. Allah berfirman tentang hal ini, فَإِذَا مَسَّ ٱلإِنسَٰنَ ضُرّ دَعَانَا ثُمَّ إِذَا خَوَّلنَٰهُ نِعمَة مِّنَّا قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلمِ بَل هِيَ فِتنَة وَلَٰكِنَّ أَكثَرَهُم لَا يَعلَمُونَ “Maka, apabila manusia ditimpa bahaya, ia menyeru Kami. Kemudian, apabila Kami berikan nikmat dari Kami kepadanya, ia berkata, ‘Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku.’ Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.” [8] Semoga kita semua terhindar dari sikap sombong sebagaimana yang digambarkan pada ayat terakhir di atas. Sesungguhnya semua nikmat yang selama ini kita peroleh datangnya hanya dari Allah ‘Azza Wajalla. Sikap yang paling utama dan seharusnya dilakukan oleh seorang hamba adalah memperbanyak rasa syukur kepada Allah dan menggunakan semua nikmat tersebut di atas kebaikan dan amal saleh. Semoga Allah menjadikan kita semua menjadi hamba yang pandai mensyukuri nikmat-Nya. Kembali ke bagian 1 *** Diselesaikan di Jember, 17 Jumadilakhir 1446 H Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] QS. An-Nahl: 53. [2] Taisiru Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsiri Kalami Al-Mannan, hal. 507 dengan diringkas. [3] QS. An-Nahl: 18. [4] Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, hal. 484. [5] Op.cit, hal. 500. [6] QS. Al-Isra: 83. [7] QS. Fussilat: 51. [8] QS. Az Zumar: 49.

Besarnya Kasih Sayang Allah (Bag. 2): Nikmat Allah Tidak Bisa Terhitung

Nikmat yang Allah berikan kepada manusia sangatlah banyak dan tidak terhingga. Betapa banyak yang telah manusia terima, seperti: badan yang sehat, tempat tinggal yang nyaman, pakaian yang menutupi tubuh, makan dan minum yang senantiasa ada, dan ladang yang bisa dimanfaatkan. Itu semua nikmat yang nampak dan masih banyak nikmat yang lainnya. Nikmat yang tidak nampak juga banyak. Seperti: organ-organ tubuh yang masih berfungsi dengan baik dan normal, kesehatan badan, ketenangan hati, dan masih banyak yang lainnya. Nikmat Allah ‘Azza Wajalla sudah terlampau banyak dan sampai-sampai tidak bisa terhitung jumlahnya. Namun, dengan begitu banyaknya nikmat yang telah manusia terima, justru tidak menyadari akan besarnya nikmat yang Allah berikan. Manusia lalai dan tidak menyadari bahwa itu semua adalah salah satu bukti kasih sayang Allah ‘Azza Wajalla kepada manusia. Allah berfirman, وَمَا بِكُم مِّن نّـِعمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ​ ثُمَّ اِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَاِلَيهِ تَجْئَرُونَ​ۚ‏ “Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.” [1] Syekh As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat ini di kitabnya, “Dan apa saja nikmat yang ada padamu (nikmat lahiriah ataupun batiniah), maka dari Allahlah (datangnya), tiada seorang pun yang menyertai Allah di dalamnya.” [2] Semua nikmat yang manusia dapatkan, semuanya berasal dari Allah ‘Azza Wajalla. Sungguh, apabila manusia diminta untuk menghitung nikmat Allah ‘Azza Wajalla, niscaya tidak akan pernah bisa menghitungnya. Allah menyampaikan di awal-awal surah An-Nahl tentang nikmat, di antaranya: hewan ternak, turunnya air hujan, tumbuhnya tanam-tanaman, bagaimana siang dan malam berganti, adanya laut yang di dalamnya terdapat banyak karunia Allah, adanya gunung-gunung yang Allah jadikan pasak agar bumi tidak bergoncang, dan adanya bintang yang Allah jadikan sebagai penunjuk arah ketika di malam hari. Setelah Allah menyebutkan nikmat-nikmat tersebut, Allah berfirman, وَاِن تَعُدُّوا نِعمَةَ اللّٰهِ لَا تُحصُوهَاؕ اِنَّ اللّٰهَ لَـغَفُورٌ رَّحِيمٌ‏ “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [3] Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam kitab tafsirnya, “Allah benar-benar memaafkan kalian. Jika kalian dituntut untuk mensyukuri semua nikmat yang Allah beri, tentu kalian tidak mampu mensyukurinya. Jika kalian diperintahkan untuk mensyukuri seluruh nikmat tersebut, tentu kalian tidak mampu bahkan enggan untuk bersyukur. Jika Allah mau menyiksa, tentu saja bisa dan itu bukan tanda Allah itu berbuat zalim. Akan tetapi, Allah masih mengampuni dan mengasihi kalian. Allah mengampuni kesalahan yang banyak lagi memaafkan bentuk syukur kalian yang sedikit.” [4] Syekh As-Sa’di rahimahullah juga menjelaskan ayat ini di kitab tafsirnya, “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah” menghitung jumlahnya tanpa disertai rasa syukur, “niscaya kamu akan tidak dapat menentukan jumlahnya” apalagi bila (tergerak) untuk mensyukurinya. Sungguh, nikmat-nikmat-Nya yang lahiriah dan batiniah bagi hamba-hamba-Nya adalah sebanyak jumlah tarikan nafas dan detik-detik waktu dari segala macam kenikmatan, yang diketahui oleh mereka dan yang tidak mereka ketahui. Dan keburukan-keburukan yang telah Allah singkirkan dari mereka, maka terlalu banyak bila akan diperhitungkan. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Dia rida dengan rasa syukur kalian yang sedikit, meskipun curahan nikmat-Nya sangat banyak.” [5] Banyak di antara manusia yang ada di muka bumi ini lalai akan nikmat yang Allah berikan. Banyak yang tidak mensyukuri nikmat Allah ‘Azza Wajalla. Kalaupun manusia bersyukur, niscaya rasa syukurnya pun kurang dan tidak akan sebanding dengan nikmat yang telah Allah berikan. Bahkan, ada di antara manusia yang menggunakan nikmat-nikmat tersebut di atas kemaksiatan yang mereka lakukan. Allah menjelaskan tentang tabiat manusia di dalam Al Qur’an dan berfirman, وَاِذَاۤ اَنعَمنَا عَلَى الاِنسَانِ اَعرَضَ وَنَاٰ بِجَانِبِه​ وَاِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ كَانَ يَــُوسًا‏ “Dan apabila Kami berikan kesenangan pada manusia, niscaya dia berpaling dan menjauhkan diri dengan sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan, niscaya dia berputus asa.” [6] Allah ‘Azza Wajalla juga berfirman, وَاِذَاۤ اَنعَمنَا عَلَى الاِنسَانِ اَعرَضَ وَنَاٰ بِجَانِبِه​ وَاِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ فَذُو دُعَاءٍ عَرِيضٍ‏ “Dan apabila Kami berikan nikmat kepada manusia, dia berpaling dan menjauhkan diri (dengan sombong) tetapi apabila ditimpa malapetaka, maka dia banyak berdoa.” [7] Dua ayat ini menggambarkan dua sikap manusia ketika mendapatkan nikmat Allah ‘Azza Wajalla. Ketika mendapatkan nikmat, manusia lupa dan lalai seakan-akan seperti ‘kacang lupa kulitnya’. Mereka bersenang-senang dan berhura-hura dengan nikmat tersebut. Manusia lupa kepada yang memberi nikmat, yaitu Allah ‘Azza Wajalla. Namun, ketika Allah cabut nikmat tersebut, kemudian manusia ditimpa musibah, ditimpa kesulitan, ditimpa kekurangan, mereka mengeluh, mereka berputus asa, dan kemudian baru mendekatkan diri kepada Allah, memperbanyak doa dan meminta agar nikmat itu datang kembali. Inilah tabiat manusia yang sebenarnya. Ketika mendapatkan kesulitan dia berdoa dan meminta kepada Allah, namun ketika dikabulkan oleh Allah, mereka melupakan Allah. Bahkan, ada segolongan manusia yang ketika mendapatkan nikmat, mereka menisbatkan nikmat itu kepada selain Allah atau menganggap nikmat tersebut didapat karena kepintaran atau usaha mereka sendiri. Allah berfirman tentang hal ini, فَإِذَا مَسَّ ٱلإِنسَٰنَ ضُرّ دَعَانَا ثُمَّ إِذَا خَوَّلنَٰهُ نِعمَة مِّنَّا قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلمِ بَل هِيَ فِتنَة وَلَٰكِنَّ أَكثَرَهُم لَا يَعلَمُونَ “Maka, apabila manusia ditimpa bahaya, ia menyeru Kami. Kemudian, apabila Kami berikan nikmat dari Kami kepadanya, ia berkata, ‘Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku.’ Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.” [8] Semoga kita semua terhindar dari sikap sombong sebagaimana yang digambarkan pada ayat terakhir di atas. Sesungguhnya semua nikmat yang selama ini kita peroleh datangnya hanya dari Allah ‘Azza Wajalla. Sikap yang paling utama dan seharusnya dilakukan oleh seorang hamba adalah memperbanyak rasa syukur kepada Allah dan menggunakan semua nikmat tersebut di atas kebaikan dan amal saleh. Semoga Allah menjadikan kita semua menjadi hamba yang pandai mensyukuri nikmat-Nya. Kembali ke bagian 1 *** Diselesaikan di Jember, 17 Jumadilakhir 1446 H Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] QS. An-Nahl: 53. [2] Taisiru Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsiri Kalami Al-Mannan, hal. 507 dengan diringkas. [3] QS. An-Nahl: 18. [4] Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, hal. 484. [5] Op.cit, hal. 500. [6] QS. Al-Isra: 83. [7] QS. Fussilat: 51. [8] QS. Az Zumar: 49.
Nikmat yang Allah berikan kepada manusia sangatlah banyak dan tidak terhingga. Betapa banyak yang telah manusia terima, seperti: badan yang sehat, tempat tinggal yang nyaman, pakaian yang menutupi tubuh, makan dan minum yang senantiasa ada, dan ladang yang bisa dimanfaatkan. Itu semua nikmat yang nampak dan masih banyak nikmat yang lainnya. Nikmat yang tidak nampak juga banyak. Seperti: organ-organ tubuh yang masih berfungsi dengan baik dan normal, kesehatan badan, ketenangan hati, dan masih banyak yang lainnya. Nikmat Allah ‘Azza Wajalla sudah terlampau banyak dan sampai-sampai tidak bisa terhitung jumlahnya. Namun, dengan begitu banyaknya nikmat yang telah manusia terima, justru tidak menyadari akan besarnya nikmat yang Allah berikan. Manusia lalai dan tidak menyadari bahwa itu semua adalah salah satu bukti kasih sayang Allah ‘Azza Wajalla kepada manusia. Allah berfirman, وَمَا بِكُم مِّن نّـِعمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ​ ثُمَّ اِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَاِلَيهِ تَجْئَرُونَ​ۚ‏ “Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.” [1] Syekh As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat ini di kitabnya, “Dan apa saja nikmat yang ada padamu (nikmat lahiriah ataupun batiniah), maka dari Allahlah (datangnya), tiada seorang pun yang menyertai Allah di dalamnya.” [2] Semua nikmat yang manusia dapatkan, semuanya berasal dari Allah ‘Azza Wajalla. Sungguh, apabila manusia diminta untuk menghitung nikmat Allah ‘Azza Wajalla, niscaya tidak akan pernah bisa menghitungnya. Allah menyampaikan di awal-awal surah An-Nahl tentang nikmat, di antaranya: hewan ternak, turunnya air hujan, tumbuhnya tanam-tanaman, bagaimana siang dan malam berganti, adanya laut yang di dalamnya terdapat banyak karunia Allah, adanya gunung-gunung yang Allah jadikan pasak agar bumi tidak bergoncang, dan adanya bintang yang Allah jadikan sebagai penunjuk arah ketika di malam hari. Setelah Allah menyebutkan nikmat-nikmat tersebut, Allah berfirman, وَاِن تَعُدُّوا نِعمَةَ اللّٰهِ لَا تُحصُوهَاؕ اِنَّ اللّٰهَ لَـغَفُورٌ رَّحِيمٌ‏ “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [3] Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam kitab tafsirnya, “Allah benar-benar memaafkan kalian. Jika kalian dituntut untuk mensyukuri semua nikmat yang Allah beri, tentu kalian tidak mampu mensyukurinya. Jika kalian diperintahkan untuk mensyukuri seluruh nikmat tersebut, tentu kalian tidak mampu bahkan enggan untuk bersyukur. Jika Allah mau menyiksa, tentu saja bisa dan itu bukan tanda Allah itu berbuat zalim. Akan tetapi, Allah masih mengampuni dan mengasihi kalian. Allah mengampuni kesalahan yang banyak lagi memaafkan bentuk syukur kalian yang sedikit.” [4] Syekh As-Sa’di rahimahullah juga menjelaskan ayat ini di kitab tafsirnya, “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah” menghitung jumlahnya tanpa disertai rasa syukur, “niscaya kamu akan tidak dapat menentukan jumlahnya” apalagi bila (tergerak) untuk mensyukurinya. Sungguh, nikmat-nikmat-Nya yang lahiriah dan batiniah bagi hamba-hamba-Nya adalah sebanyak jumlah tarikan nafas dan detik-detik waktu dari segala macam kenikmatan, yang diketahui oleh mereka dan yang tidak mereka ketahui. Dan keburukan-keburukan yang telah Allah singkirkan dari mereka, maka terlalu banyak bila akan diperhitungkan. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Dia rida dengan rasa syukur kalian yang sedikit, meskipun curahan nikmat-Nya sangat banyak.” [5] Banyak di antara manusia yang ada di muka bumi ini lalai akan nikmat yang Allah berikan. Banyak yang tidak mensyukuri nikmat Allah ‘Azza Wajalla. Kalaupun manusia bersyukur, niscaya rasa syukurnya pun kurang dan tidak akan sebanding dengan nikmat yang telah Allah berikan. Bahkan, ada di antara manusia yang menggunakan nikmat-nikmat tersebut di atas kemaksiatan yang mereka lakukan. Allah menjelaskan tentang tabiat manusia di dalam Al Qur’an dan berfirman, وَاِذَاۤ اَنعَمنَا عَلَى الاِنسَانِ اَعرَضَ وَنَاٰ بِجَانِبِه​ وَاِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ كَانَ يَــُوسًا‏ “Dan apabila Kami berikan kesenangan pada manusia, niscaya dia berpaling dan menjauhkan diri dengan sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan, niscaya dia berputus asa.” [6] Allah ‘Azza Wajalla juga berfirman, وَاِذَاۤ اَنعَمنَا عَلَى الاِنسَانِ اَعرَضَ وَنَاٰ بِجَانِبِه​ وَاِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ فَذُو دُعَاءٍ عَرِيضٍ‏ “Dan apabila Kami berikan nikmat kepada manusia, dia berpaling dan menjauhkan diri (dengan sombong) tetapi apabila ditimpa malapetaka, maka dia banyak berdoa.” [7] Dua ayat ini menggambarkan dua sikap manusia ketika mendapatkan nikmat Allah ‘Azza Wajalla. Ketika mendapatkan nikmat, manusia lupa dan lalai seakan-akan seperti ‘kacang lupa kulitnya’. Mereka bersenang-senang dan berhura-hura dengan nikmat tersebut. Manusia lupa kepada yang memberi nikmat, yaitu Allah ‘Azza Wajalla. Namun, ketika Allah cabut nikmat tersebut, kemudian manusia ditimpa musibah, ditimpa kesulitan, ditimpa kekurangan, mereka mengeluh, mereka berputus asa, dan kemudian baru mendekatkan diri kepada Allah, memperbanyak doa dan meminta agar nikmat itu datang kembali. Inilah tabiat manusia yang sebenarnya. Ketika mendapatkan kesulitan dia berdoa dan meminta kepada Allah, namun ketika dikabulkan oleh Allah, mereka melupakan Allah. Bahkan, ada segolongan manusia yang ketika mendapatkan nikmat, mereka menisbatkan nikmat itu kepada selain Allah atau menganggap nikmat tersebut didapat karena kepintaran atau usaha mereka sendiri. Allah berfirman tentang hal ini, فَإِذَا مَسَّ ٱلإِنسَٰنَ ضُرّ دَعَانَا ثُمَّ إِذَا خَوَّلنَٰهُ نِعمَة مِّنَّا قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلمِ بَل هِيَ فِتنَة وَلَٰكِنَّ أَكثَرَهُم لَا يَعلَمُونَ “Maka, apabila manusia ditimpa bahaya, ia menyeru Kami. Kemudian, apabila Kami berikan nikmat dari Kami kepadanya, ia berkata, ‘Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku.’ Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.” [8] Semoga kita semua terhindar dari sikap sombong sebagaimana yang digambarkan pada ayat terakhir di atas. Sesungguhnya semua nikmat yang selama ini kita peroleh datangnya hanya dari Allah ‘Azza Wajalla. Sikap yang paling utama dan seharusnya dilakukan oleh seorang hamba adalah memperbanyak rasa syukur kepada Allah dan menggunakan semua nikmat tersebut di atas kebaikan dan amal saleh. Semoga Allah menjadikan kita semua menjadi hamba yang pandai mensyukuri nikmat-Nya. Kembali ke bagian 1 *** Diselesaikan di Jember, 17 Jumadilakhir 1446 H Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] QS. An-Nahl: 53. [2] Taisiru Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsiri Kalami Al-Mannan, hal. 507 dengan diringkas. [3] QS. An-Nahl: 18. [4] Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, hal. 484. [5] Op.cit, hal. 500. [6] QS. Al-Isra: 83. [7] QS. Fussilat: 51. [8] QS. Az Zumar: 49.


Nikmat yang Allah berikan kepada manusia sangatlah banyak dan tidak terhingga. Betapa banyak yang telah manusia terima, seperti: badan yang sehat, tempat tinggal yang nyaman, pakaian yang menutupi tubuh, makan dan minum yang senantiasa ada, dan ladang yang bisa dimanfaatkan. Itu semua nikmat yang nampak dan masih banyak nikmat yang lainnya. Nikmat yang tidak nampak juga banyak. Seperti: organ-organ tubuh yang masih berfungsi dengan baik dan normal, kesehatan badan, ketenangan hati, dan masih banyak yang lainnya. Nikmat Allah ‘Azza Wajalla sudah terlampau banyak dan sampai-sampai tidak bisa terhitung jumlahnya. Namun, dengan begitu banyaknya nikmat yang telah manusia terima, justru tidak menyadari akan besarnya nikmat yang Allah berikan. Manusia lalai dan tidak menyadari bahwa itu semua adalah salah satu bukti kasih sayang Allah ‘Azza Wajalla kepada manusia. Allah berfirman, وَمَا بِكُم مِّن نّـِعمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ​ ثُمَّ اِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَاِلَيهِ تَجْئَرُونَ​ۚ‏ “Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.” [1] Syekh As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat ini di kitabnya, “Dan apa saja nikmat yang ada padamu (nikmat lahiriah ataupun batiniah), maka dari Allahlah (datangnya), tiada seorang pun yang menyertai Allah di dalamnya.” [2] Semua nikmat yang manusia dapatkan, semuanya berasal dari Allah ‘Azza Wajalla. Sungguh, apabila manusia diminta untuk menghitung nikmat Allah ‘Azza Wajalla, niscaya tidak akan pernah bisa menghitungnya. Allah menyampaikan di awal-awal surah An-Nahl tentang nikmat, di antaranya: hewan ternak, turunnya air hujan, tumbuhnya tanam-tanaman, bagaimana siang dan malam berganti, adanya laut yang di dalamnya terdapat banyak karunia Allah, adanya gunung-gunung yang Allah jadikan pasak agar bumi tidak bergoncang, dan adanya bintang yang Allah jadikan sebagai penunjuk arah ketika di malam hari. Setelah Allah menyebutkan nikmat-nikmat tersebut, Allah berfirman, وَاِن تَعُدُّوا نِعمَةَ اللّٰهِ لَا تُحصُوهَاؕ اِنَّ اللّٰهَ لَـغَفُورٌ رَّحِيمٌ‏ “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [3] Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam kitab tafsirnya, “Allah benar-benar memaafkan kalian. Jika kalian dituntut untuk mensyukuri semua nikmat yang Allah beri, tentu kalian tidak mampu mensyukurinya. Jika kalian diperintahkan untuk mensyukuri seluruh nikmat tersebut, tentu kalian tidak mampu bahkan enggan untuk bersyukur. Jika Allah mau menyiksa, tentu saja bisa dan itu bukan tanda Allah itu berbuat zalim. Akan tetapi, Allah masih mengampuni dan mengasihi kalian. Allah mengampuni kesalahan yang banyak lagi memaafkan bentuk syukur kalian yang sedikit.” [4] Syekh As-Sa’di rahimahullah juga menjelaskan ayat ini di kitab tafsirnya, “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah” menghitung jumlahnya tanpa disertai rasa syukur, “niscaya kamu akan tidak dapat menentukan jumlahnya” apalagi bila (tergerak) untuk mensyukurinya. Sungguh, nikmat-nikmat-Nya yang lahiriah dan batiniah bagi hamba-hamba-Nya adalah sebanyak jumlah tarikan nafas dan detik-detik waktu dari segala macam kenikmatan, yang diketahui oleh mereka dan yang tidak mereka ketahui. Dan keburukan-keburukan yang telah Allah singkirkan dari mereka, maka terlalu banyak bila akan diperhitungkan. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Dia rida dengan rasa syukur kalian yang sedikit, meskipun curahan nikmat-Nya sangat banyak.” [5] Banyak di antara manusia yang ada di muka bumi ini lalai akan nikmat yang Allah berikan. Banyak yang tidak mensyukuri nikmat Allah ‘Azza Wajalla. Kalaupun manusia bersyukur, niscaya rasa syukurnya pun kurang dan tidak akan sebanding dengan nikmat yang telah Allah berikan. Bahkan, ada di antara manusia yang menggunakan nikmat-nikmat tersebut di atas kemaksiatan yang mereka lakukan. Allah menjelaskan tentang tabiat manusia di dalam Al Qur’an dan berfirman, وَاِذَاۤ اَنعَمنَا عَلَى الاِنسَانِ اَعرَضَ وَنَاٰ بِجَانِبِه​ وَاِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ كَانَ يَــُوسًا‏ “Dan apabila Kami berikan kesenangan pada manusia, niscaya dia berpaling dan menjauhkan diri dengan sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan, niscaya dia berputus asa.” [6] Allah ‘Azza Wajalla juga berfirman, وَاِذَاۤ اَنعَمنَا عَلَى الاِنسَانِ اَعرَضَ وَنَاٰ بِجَانِبِه​ وَاِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ فَذُو دُعَاءٍ عَرِيضٍ‏ “Dan apabila Kami berikan nikmat kepada manusia, dia berpaling dan menjauhkan diri (dengan sombong) tetapi apabila ditimpa malapetaka, maka dia banyak berdoa.” [7] Dua ayat ini menggambarkan dua sikap manusia ketika mendapatkan nikmat Allah ‘Azza Wajalla. Ketika mendapatkan nikmat, manusia lupa dan lalai seakan-akan seperti ‘kacang lupa kulitnya’. Mereka bersenang-senang dan berhura-hura dengan nikmat tersebut. Manusia lupa kepada yang memberi nikmat, yaitu Allah ‘Azza Wajalla. Namun, ketika Allah cabut nikmat tersebut, kemudian manusia ditimpa musibah, ditimpa kesulitan, ditimpa kekurangan, mereka mengeluh, mereka berputus asa, dan kemudian baru mendekatkan diri kepada Allah, memperbanyak doa dan meminta agar nikmat itu datang kembali. Inilah tabiat manusia yang sebenarnya. Ketika mendapatkan kesulitan dia berdoa dan meminta kepada Allah, namun ketika dikabulkan oleh Allah, mereka melupakan Allah. Bahkan, ada segolongan manusia yang ketika mendapatkan nikmat, mereka menisbatkan nikmat itu kepada selain Allah atau menganggap nikmat tersebut didapat karena kepintaran atau usaha mereka sendiri. Allah berfirman tentang hal ini, فَإِذَا مَسَّ ٱلإِنسَٰنَ ضُرّ دَعَانَا ثُمَّ إِذَا خَوَّلنَٰهُ نِعمَة مِّنَّا قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلمِ بَل هِيَ فِتنَة وَلَٰكِنَّ أَكثَرَهُم لَا يَعلَمُونَ “Maka, apabila manusia ditimpa bahaya, ia menyeru Kami. Kemudian, apabila Kami berikan nikmat dari Kami kepadanya, ia berkata, ‘Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku.’ Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.” [8] Semoga kita semua terhindar dari sikap sombong sebagaimana yang digambarkan pada ayat terakhir di atas. Sesungguhnya semua nikmat yang selama ini kita peroleh datangnya hanya dari Allah ‘Azza Wajalla. Sikap yang paling utama dan seharusnya dilakukan oleh seorang hamba adalah memperbanyak rasa syukur kepada Allah dan menggunakan semua nikmat tersebut di atas kebaikan dan amal saleh. Semoga Allah menjadikan kita semua menjadi hamba yang pandai mensyukuri nikmat-Nya. Kembali ke bagian 1 *** Diselesaikan di Jember, 17 Jumadilakhir 1446 H Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] QS. An-Nahl: 53. [2] Taisiru Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsiri Kalami Al-Mannan, hal. 507 dengan diringkas. [3] QS. An-Nahl: 18. [4] Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, hal. 484. [5] Op.cit, hal. 500. [6] QS. Al-Isra: 83. [7] QS. Fussilat: 51. [8] QS. Az Zumar: 49.

Hukum Poligami: Ketentuan Menikah dengan Empat Istri dalam Islam

Poligami dan hukum menikahi budak wanita muslimah adalah bagian dari syariat Islam yang memiliki aturan jelas berdasarkan Al-Quran dan hadits. Islam menetapkan batasan dan syarat yang harus dipenuhi, termasuk keadilan dalam poligami serta kondisi tertentu untuk menikahi budak wanita. Artikel ini membahas secara ringkas dalil dan penjelasan terkait kedua topik tersebut untuk memberikan pemahaman yang mendalam sesuai ajaran Islam.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 2. Tujuan Menikah 3. Dalil Syariat Poligami 4. Disunnahkan Satu Istri Saja 5. Poligami Tetapi Tidak Berlaku Adil 6. Yang Hendak Berpoligami, Hendaklah Memiliki 3 Modal: Kemampuan Fisik, Finansial, dan Kepercayaan Diri untuk Berbuat Adil 7. Catatan dalam Pembagian Malam 8. Menikahi Budak Wanita 8.1. Referensi: 8.2. Referensi web: Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata: النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ. Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.   Penjelasan: Tujuan Menikah Disebutkan dalam kitab ulama Syafiiyah, قال الأطباء ومقاصد النكاح ثلاثة: حفظ النسل وإخراج الماء الذي يضر احتباسه بالبدن ونيل اللذة، وهذه الثالثة هي التي في الجنة إذ لا تناسل هناك ولا احتباس. Para dokter berkata bahwa tujuan utama pernikahan ada tiga: 1. Melestarikan keturunan, 2. Mengeluarkan air (mani) yang dapat membahayakan tubuh jika ditahan terlalu lama, 3. Memperoleh kenikmatan (dengan berjimak). Tujuan yang ketiga di atas adalah kenikmatan yang didapati lagi di surga, karena di sana tidak ada reproduksi dan penumpukan air mani. (Asna al-Mathalib Syarh Raudh ath-Thalib li Zakariyya al-Anshariy, 3:98)   Dalil Syariat Poligami Allah Ta’ala berfirman, فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.” (QS. An Nisa’: 3) Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Baajuri rahimahullah berkata, “Nikahilah dua, tiga, atau empat dari wanita yang kau sukai, tidak boleh lebih dari empat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada Ghilan di mana ketika masuk Islam, ia memiliki sepuluh istri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan, َّأَمسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُن “Tahan empat, ceraikan sisanya.” (HR. Al-Hakim, 2:192; Ibnu Hibban, 4157 dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma). Jika Ghilan diperintahkan mempertahankan empat, maka yang menikahi empat wanita sedari awal tentu dibolehkan. (Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 3:319) Al-Harits bin Qais berkata, “Aku berislam dan saat itu aku memiliki delapan istri, maka aku menyebutkan hal itu pada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, kemudian beliau bersabda, اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا “Pilihlah empat di antara mereka.” (HR. Abu Daud no. 2241 dan Ibnu Majah no. 1953, shahih) Baca juga:  Poligami, Wahyu Ilahi yang Ditolak Poligami Tanpa Diketahui Istri Pertama 10 Alasan Istri Tidak Mau Dipoligami Anjuran Para Ulama, Cukup Satu Istri Saja Setelah Khadijah Meninggal Dunia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai Berpoligami   Disunnahkan Satu Istri Saja Madzhab kebanyakan ulama adalah disunnahkan cukup satu istri saja. Abul Husain Al-‘Imrani mengatakan bahwa Imam Syafii rahimahullah berkata, “Aku suka pada laki-laki yang mencukupkan pada satu istri saja, walaupun memiliki istri lebih dari satu diperbolehkan karena Allah Ta’ala berfirman, فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa: 3).” Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata bahwa tidak tepat berdalil dengan ayat berikut untuk menyatakan sunnahnya poligami, وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa: 3) Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata: Karena ayat di atas menunjukkan makna DIBOLEHKAN, bukan anjuran harus berpoligami. Sebab turunnya ayat di atas juga menunjukkan bahwa poligami itu mubah bagi yang menginginkannya, bukan menunjukkan hukum asal menikah adalah harus berpoligami. Sebab turunnya ayat ini adalah: Mereka ingin menikahi wanita yatim tetapi meremehkan hak wanita tersebut atas mahar yang layak. Maka Allah Ta’ala memerintahkan mereka untuk memberikan mahar kepada wanita yatim sebagaimana yang diberikan kepada wanita lain. Jika tidak mampu berlaku adil, mereka diperintahkan untuk menikahi wanita lain yang masih banyak tersedia. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Al-Mumti’ (12:12) menjelaskan, “Membatasi diri pada satu istri lebih aman. Namun, jika seseorang merasa bahwa satu istri tidak mencukupinya dan ia khawatir terjerumus ke dalam zina, maka kami anjurkan untuk menikahi istri kedua, ketiga, hingga keempat. Dengan demikian, ia dapat mencapai ketenangan jiwa, menjaga pandangan, dan menenangkan hatinya.” Baca juga: Anjuran Para Ulama Cukup Satu Istri Saja   Poligami Tetapi Tidak Berlaku Adil Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ “Siapa yang memiliki dua orang istri lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu Daud no. 2133, Ibnu Majah no. 1969, An Nasai no. 3394. Syaikh Al-Albani menyatakan hadits tersebut shahih sebagaimana dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 1949). Hadits ini memberikan peringatan tegas kepada suami yang tidak berlaku adil kepada istri-istrinya. Ketidakadilan ini digambarkan dengan kondisi fisik yang miring pada hari kiamat, sebagai hukuman atas sikap condongnya kepada salah satu istri. Al-‘Azhim Abadi menjelaskan bahwa makna hadits ini merujuk pada ketidakadilan seorang suami terhadap istri-istrinya, baik dalam pembagian malam maupun nafkah. Jika seorang suami hanya memperhatikan satu istri sementara mengabaikan yang lain, maka kelak di akhirat, salah satu sisi tubuhnya akan mengalami kelumpuhan. Ini adalah simbol dari ketimpangan yang dilakukannya selama di dunia (‘Aunul Ma’bud, 6:124). Beliau juga menegaskan bahwa keadilan dalam poligami wajib dilakukan dalam aspek-aspek yang mampu diusahakan oleh suami, seperti pembagian waktu malam dan nafkah. Namun, keadilan dalam hal perasaan, seperti cinta dan kecenderungan hati, tidak menjadi tuntutan karena manusia tidak dapat mengendalikan sepenuhnya hal tersebut. Dalam kitab tafsirnya, Syaikh As-Sa’di menjelaskan makna ayat yang terkait dengan keadilan dalam poligami. Allah memaklumi bahwa suami tidak mampu berlaku adil secara sempurna, terutama dalam hal cinta dan perasaan. Namun, dalam aspek yang dapat diusahakan seperti nafkah, pakaian, dan pembagian malam, Allah menuntut suami untuk berbuat adil. Syaikh As-Sa’di menambahkan, “Adil dalam masalah nafkah, pakaian, pembagian malam, dan hal-hal serupa wajib dilakukan. Namun, kecintaan hati dan kenikmatan hubungan intim tidak termasuk dalam kewajiban untuk disamakan, karena hal ini di luar kendali manusia.” Hadits dan penjelasan ulama di atas memberikan panduan bagi suami yang menjalani poligami. Keadilan dalam aspek-aspek yang dapat diusahakan, seperti nafkah dan pembagian waktu, adalah kewajiban syari yang harus dijalankan. Namun, Allah memberikan keringanan dalam hal yang di luar kendali manusia, seperti perasaan cinta. Ketidakadilan yang disengaja akan membawa konsekuensi berat di akhirat. Poligami dalam Islam bukanlah tentang mengejar keinginan semata, tetapi memikul tanggung jawab besar untuk berbuat adil sesuai tuntunan syariat. Suami yang berlaku adil tidak hanya menjalankan kewajiban duniawi, tetapi juga meraih rida Allah di akhirat. Baca juga: Poligami, Bisakah Adil?   Yang Hendak Berpoligami, Hendaklah Memiliki 3 Modal: Kemampuan Fisik, Finansial, dan Kepercayaan Diri untuk Berbuat Adil Islam memperbolehkan seorang laki-laki untuk menikahi lebih dari satu istri, hingga maksimal empat istri, dengan syarat ia memiliki kemampuan finansial dan fisik yang memadai. Selain itu, syarat lain yang harus dipenuhi adalah tidak adanya kekhawatiran bahwa ia akan berlaku tidak adil jika menikahi lebih dari satu istri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.” (QS. An-Nisa: 3). Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan: “Barang siapa khawatir tidak dapat berlaku adil, maka cukuplah baginya menikahi satu istri.” Sementara itu, Ibnu Al-Arabi Al-Maliki dalam kitab Ahkamul Qur’an menyatakan, “Jika seorang laki-laki memiliki kemampuan finansial dan fisik untuk menikahi empat istri, maka silakan ia melakukannya. Namun, jika ia tidak mampu secara finansial maupun fisik, maka cukuplah baginya satu istri.” Berdasarkan penjelasan ini, setiap laki-laki yang merasa memiliki kemampuan finansial, fisik, serta kepercayaan diri untuk berlaku adil, tidak ada larangan baginya untuk menikahi lebih dari satu istri. Bahkan, hal tersebut bisa menjadi kebaikan baginya.   Catatan dalam Pembagian Malam Para ulama fikih telah menetapkan bahwa dasar pembagian giliran antara istri adalah malam hari, sedangkan siang hari mengikuti malam hari dalam hal ini. Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni ketika menjelaskan pernyataan Al-Khiraqi “dan dasar pembagian giliran adalah malam hari” mengatakan: “Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini, karena malam hari adalah waktu untuk beristirahat dan tempat tinggal. Pada malam hari, seseorang kembali ke rumahnya, merasa tenang bersama keluarganya, dan tidur di ranjang bersama istrinya sebagaimana kebiasaan. Adapun siang hari adalah waktu untuk bekerja, keluar rumah, mencari penghasilan, dan melakukan aktivitas lainnya. Siang hari masuk dalam pembagian giliran mengikuti malam hari.” Para ulama juga menyebutkan bahwa seorang suami diperbolehkan masuk ke rumah istri yang bukan gilirannya pada siang hari jika ada kebutuhan tertentu, tetapi tidak diperbolehkan berhubungan badan dengannya. Ibnu Qudamah juga mengatakan: “Adapun masuk ke rumah istri di hari yang bukan gilirannya, hal itu diperbolehkan jika ada kebutuhan, seperti memberikan nafkah, menjenguknya, menanyakan sesuatu yang penting untuk diketahui, atau mengunjunginya karena sudah lama tidak bertemu, dan hal serupa. Namun, jika ia masuk, ia tidak boleh berhubungan badan dengannya dan tidak boleh berlama-lama di sana, karena hal itu memberikan rasa ketenangan, sementara ia tidak berhak mendapatkannya.” Kami tidak menemukan pendapat dari seorang pun ulama yang membolehkan seorang suami berhubungan badan dengan istri lain di siang hari hanya karena istri yang mendapat giliran sedang bekerja. Maka, hukum asalnya tetap, yaitu larangan.   Menikahi Budak Wanita Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata, “Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.” Ada dua syarat lagi yang tidak disebutkan oleh Abu Syuja’ lalu dijelaskan di Fath Al-Qarib: (3) tidak ada lagi wanita muslimah atau wanita ahli kitab yang merdeka yang nantinya digauli dan (4) budak wanita tadi beragama Islam karena seorang pria muslim tidak boleh menikahi wanita budah yang ahli kitab. Jika seorang pria merdeka telah menikahi seorang budak lantas ia mendapatkan kemudahan menikahi wanita merdeka, maka pernikahan dengan budak tadi tidaklah batal. Dalil boleh menikahi budak muslimah adalah, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 25) Baca juga: Hukum Menikah Catatan: Budak di masa silam adalah individu yang tidak memiliki kebebasan pribadi karena menjadi milik orang lain. Mereka didapatkan melalui perang, pembelian, atau warisan, sesuai dengan aturan yang berlaku pada masa itu. Sedangkan pembantu pada zaman ini adalah pekerja yang bekerja secara sukarela berdasarkan kontrak atau kesepakatan, memiliki hak penuh atas kebebasannya, dan tidak dimiliki oleh majikan. Islam mengatur perbudakan dengan sangat manusiawi di zamannya, bahkan mendorong pembebasan budak sebagai amalan mulia. Baca juga: Berbagai Pembahasan Poligami di Rumaysho.Com   Referensi: Al-Ashfahaniy, A. b. A. H. (1428 H). Mukhtashor Abi Syuja’ (Matan Al Ghoyah wat Taqrib atau Ghoyah Al Ikhtishor)(Cetakan pertama). Darul Minhaj. Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (1441 H). Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’(Cetakan kedua). Dar Al-Minhaj. Al-Bugho, M. (1428 H). At Tadzhib fii Adillati Matn Al Ghoyah wat Taqrib (Cetakan kesebelas). Darul Musthofa. Al-Ghozzi, M. b. Q. b. M. (1425 H). Fathul Qorib Al Mujiib fii Syarh Alfazhit Taqriib (Al Qoul Al Mukhtaar fii Syarh Ghoyatil Ikhtishor) (Cetakan pertama). Dar Ibnu Hazm. Al-Hushoini, T. A. B. b. M. (n.d.). Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor. Al-Kaamil Haamid, H. (1432 H). Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii (Cetakan pertama). Dar Al-Manar.   Referensi web: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/484900/حكم-وطء-الزوجة-نهارا-في-بيتها-في-دور-ضرتها-التي-في-العمل https://www.islamweb.net/amp/ar/fatwa/7844/   –   Ditulis pada 7 Rajab 1446 H, 7 Januari 2025 di Darush Sholihin Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsbatasan poligami dalil Al-Quran tentang poligami dalil poligami etika poligami hukum menikahi budak wanita hukum pernikahan dalam Islam Hukum poligami dalam Islam keadilan dalam poligami matan taqrib matan taqrib kitab nikah menikah dengan empat istri panduan nikah Islami panduan syariat menikah pernikahan dengan budak muslimah poligami poligami sesuai syariat syarat menikahi budak syarat poligami

Hukum Poligami: Ketentuan Menikah dengan Empat Istri dalam Islam

Poligami dan hukum menikahi budak wanita muslimah adalah bagian dari syariat Islam yang memiliki aturan jelas berdasarkan Al-Quran dan hadits. Islam menetapkan batasan dan syarat yang harus dipenuhi, termasuk keadilan dalam poligami serta kondisi tertentu untuk menikahi budak wanita. Artikel ini membahas secara ringkas dalil dan penjelasan terkait kedua topik tersebut untuk memberikan pemahaman yang mendalam sesuai ajaran Islam.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 2. Tujuan Menikah 3. Dalil Syariat Poligami 4. Disunnahkan Satu Istri Saja 5. Poligami Tetapi Tidak Berlaku Adil 6. Yang Hendak Berpoligami, Hendaklah Memiliki 3 Modal: Kemampuan Fisik, Finansial, dan Kepercayaan Diri untuk Berbuat Adil 7. Catatan dalam Pembagian Malam 8. Menikahi Budak Wanita 8.1. Referensi: 8.2. Referensi web: Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata: النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ. Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.   Penjelasan: Tujuan Menikah Disebutkan dalam kitab ulama Syafiiyah, قال الأطباء ومقاصد النكاح ثلاثة: حفظ النسل وإخراج الماء الذي يضر احتباسه بالبدن ونيل اللذة، وهذه الثالثة هي التي في الجنة إذ لا تناسل هناك ولا احتباس. Para dokter berkata bahwa tujuan utama pernikahan ada tiga: 1. Melestarikan keturunan, 2. Mengeluarkan air (mani) yang dapat membahayakan tubuh jika ditahan terlalu lama, 3. Memperoleh kenikmatan (dengan berjimak). Tujuan yang ketiga di atas adalah kenikmatan yang didapati lagi di surga, karena di sana tidak ada reproduksi dan penumpukan air mani. (Asna al-Mathalib Syarh Raudh ath-Thalib li Zakariyya al-Anshariy, 3:98)   Dalil Syariat Poligami Allah Ta’ala berfirman, فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.” (QS. An Nisa’: 3) Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Baajuri rahimahullah berkata, “Nikahilah dua, tiga, atau empat dari wanita yang kau sukai, tidak boleh lebih dari empat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada Ghilan di mana ketika masuk Islam, ia memiliki sepuluh istri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan, َّأَمسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُن “Tahan empat, ceraikan sisanya.” (HR. Al-Hakim, 2:192; Ibnu Hibban, 4157 dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma). Jika Ghilan diperintahkan mempertahankan empat, maka yang menikahi empat wanita sedari awal tentu dibolehkan. (Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 3:319) Al-Harits bin Qais berkata, “Aku berislam dan saat itu aku memiliki delapan istri, maka aku menyebutkan hal itu pada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, kemudian beliau bersabda, اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا “Pilihlah empat di antara mereka.” (HR. Abu Daud no. 2241 dan Ibnu Majah no. 1953, shahih) Baca juga:  Poligami, Wahyu Ilahi yang Ditolak Poligami Tanpa Diketahui Istri Pertama 10 Alasan Istri Tidak Mau Dipoligami Anjuran Para Ulama, Cukup Satu Istri Saja Setelah Khadijah Meninggal Dunia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai Berpoligami   Disunnahkan Satu Istri Saja Madzhab kebanyakan ulama adalah disunnahkan cukup satu istri saja. Abul Husain Al-‘Imrani mengatakan bahwa Imam Syafii rahimahullah berkata, “Aku suka pada laki-laki yang mencukupkan pada satu istri saja, walaupun memiliki istri lebih dari satu diperbolehkan karena Allah Ta’ala berfirman, فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa: 3).” Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata bahwa tidak tepat berdalil dengan ayat berikut untuk menyatakan sunnahnya poligami, وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa: 3) Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata: Karena ayat di atas menunjukkan makna DIBOLEHKAN, bukan anjuran harus berpoligami. Sebab turunnya ayat di atas juga menunjukkan bahwa poligami itu mubah bagi yang menginginkannya, bukan menunjukkan hukum asal menikah adalah harus berpoligami. Sebab turunnya ayat ini adalah: Mereka ingin menikahi wanita yatim tetapi meremehkan hak wanita tersebut atas mahar yang layak. Maka Allah Ta’ala memerintahkan mereka untuk memberikan mahar kepada wanita yatim sebagaimana yang diberikan kepada wanita lain. Jika tidak mampu berlaku adil, mereka diperintahkan untuk menikahi wanita lain yang masih banyak tersedia. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Al-Mumti’ (12:12) menjelaskan, “Membatasi diri pada satu istri lebih aman. Namun, jika seseorang merasa bahwa satu istri tidak mencukupinya dan ia khawatir terjerumus ke dalam zina, maka kami anjurkan untuk menikahi istri kedua, ketiga, hingga keempat. Dengan demikian, ia dapat mencapai ketenangan jiwa, menjaga pandangan, dan menenangkan hatinya.” Baca juga: Anjuran Para Ulama Cukup Satu Istri Saja   Poligami Tetapi Tidak Berlaku Adil Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ “Siapa yang memiliki dua orang istri lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu Daud no. 2133, Ibnu Majah no. 1969, An Nasai no. 3394. Syaikh Al-Albani menyatakan hadits tersebut shahih sebagaimana dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 1949). Hadits ini memberikan peringatan tegas kepada suami yang tidak berlaku adil kepada istri-istrinya. Ketidakadilan ini digambarkan dengan kondisi fisik yang miring pada hari kiamat, sebagai hukuman atas sikap condongnya kepada salah satu istri. Al-‘Azhim Abadi menjelaskan bahwa makna hadits ini merujuk pada ketidakadilan seorang suami terhadap istri-istrinya, baik dalam pembagian malam maupun nafkah. Jika seorang suami hanya memperhatikan satu istri sementara mengabaikan yang lain, maka kelak di akhirat, salah satu sisi tubuhnya akan mengalami kelumpuhan. Ini adalah simbol dari ketimpangan yang dilakukannya selama di dunia (‘Aunul Ma’bud, 6:124). Beliau juga menegaskan bahwa keadilan dalam poligami wajib dilakukan dalam aspek-aspek yang mampu diusahakan oleh suami, seperti pembagian waktu malam dan nafkah. Namun, keadilan dalam hal perasaan, seperti cinta dan kecenderungan hati, tidak menjadi tuntutan karena manusia tidak dapat mengendalikan sepenuhnya hal tersebut. Dalam kitab tafsirnya, Syaikh As-Sa’di menjelaskan makna ayat yang terkait dengan keadilan dalam poligami. Allah memaklumi bahwa suami tidak mampu berlaku adil secara sempurna, terutama dalam hal cinta dan perasaan. Namun, dalam aspek yang dapat diusahakan seperti nafkah, pakaian, dan pembagian malam, Allah menuntut suami untuk berbuat adil. Syaikh As-Sa’di menambahkan, “Adil dalam masalah nafkah, pakaian, pembagian malam, dan hal-hal serupa wajib dilakukan. Namun, kecintaan hati dan kenikmatan hubungan intim tidak termasuk dalam kewajiban untuk disamakan, karena hal ini di luar kendali manusia.” Hadits dan penjelasan ulama di atas memberikan panduan bagi suami yang menjalani poligami. Keadilan dalam aspek-aspek yang dapat diusahakan, seperti nafkah dan pembagian waktu, adalah kewajiban syari yang harus dijalankan. Namun, Allah memberikan keringanan dalam hal yang di luar kendali manusia, seperti perasaan cinta. Ketidakadilan yang disengaja akan membawa konsekuensi berat di akhirat. Poligami dalam Islam bukanlah tentang mengejar keinginan semata, tetapi memikul tanggung jawab besar untuk berbuat adil sesuai tuntunan syariat. Suami yang berlaku adil tidak hanya menjalankan kewajiban duniawi, tetapi juga meraih rida Allah di akhirat. Baca juga: Poligami, Bisakah Adil?   Yang Hendak Berpoligami, Hendaklah Memiliki 3 Modal: Kemampuan Fisik, Finansial, dan Kepercayaan Diri untuk Berbuat Adil Islam memperbolehkan seorang laki-laki untuk menikahi lebih dari satu istri, hingga maksimal empat istri, dengan syarat ia memiliki kemampuan finansial dan fisik yang memadai. Selain itu, syarat lain yang harus dipenuhi adalah tidak adanya kekhawatiran bahwa ia akan berlaku tidak adil jika menikahi lebih dari satu istri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.” (QS. An-Nisa: 3). Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan: “Barang siapa khawatir tidak dapat berlaku adil, maka cukuplah baginya menikahi satu istri.” Sementara itu, Ibnu Al-Arabi Al-Maliki dalam kitab Ahkamul Qur’an menyatakan, “Jika seorang laki-laki memiliki kemampuan finansial dan fisik untuk menikahi empat istri, maka silakan ia melakukannya. Namun, jika ia tidak mampu secara finansial maupun fisik, maka cukuplah baginya satu istri.” Berdasarkan penjelasan ini, setiap laki-laki yang merasa memiliki kemampuan finansial, fisik, serta kepercayaan diri untuk berlaku adil, tidak ada larangan baginya untuk menikahi lebih dari satu istri. Bahkan, hal tersebut bisa menjadi kebaikan baginya.   Catatan dalam Pembagian Malam Para ulama fikih telah menetapkan bahwa dasar pembagian giliran antara istri adalah malam hari, sedangkan siang hari mengikuti malam hari dalam hal ini. Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni ketika menjelaskan pernyataan Al-Khiraqi “dan dasar pembagian giliran adalah malam hari” mengatakan: “Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini, karena malam hari adalah waktu untuk beristirahat dan tempat tinggal. Pada malam hari, seseorang kembali ke rumahnya, merasa tenang bersama keluarganya, dan tidur di ranjang bersama istrinya sebagaimana kebiasaan. Adapun siang hari adalah waktu untuk bekerja, keluar rumah, mencari penghasilan, dan melakukan aktivitas lainnya. Siang hari masuk dalam pembagian giliran mengikuti malam hari.” Para ulama juga menyebutkan bahwa seorang suami diperbolehkan masuk ke rumah istri yang bukan gilirannya pada siang hari jika ada kebutuhan tertentu, tetapi tidak diperbolehkan berhubungan badan dengannya. Ibnu Qudamah juga mengatakan: “Adapun masuk ke rumah istri di hari yang bukan gilirannya, hal itu diperbolehkan jika ada kebutuhan, seperti memberikan nafkah, menjenguknya, menanyakan sesuatu yang penting untuk diketahui, atau mengunjunginya karena sudah lama tidak bertemu, dan hal serupa. Namun, jika ia masuk, ia tidak boleh berhubungan badan dengannya dan tidak boleh berlama-lama di sana, karena hal itu memberikan rasa ketenangan, sementara ia tidak berhak mendapatkannya.” Kami tidak menemukan pendapat dari seorang pun ulama yang membolehkan seorang suami berhubungan badan dengan istri lain di siang hari hanya karena istri yang mendapat giliran sedang bekerja. Maka, hukum asalnya tetap, yaitu larangan.   Menikahi Budak Wanita Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata, “Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.” Ada dua syarat lagi yang tidak disebutkan oleh Abu Syuja’ lalu dijelaskan di Fath Al-Qarib: (3) tidak ada lagi wanita muslimah atau wanita ahli kitab yang merdeka yang nantinya digauli dan (4) budak wanita tadi beragama Islam karena seorang pria muslim tidak boleh menikahi wanita budah yang ahli kitab. Jika seorang pria merdeka telah menikahi seorang budak lantas ia mendapatkan kemudahan menikahi wanita merdeka, maka pernikahan dengan budak tadi tidaklah batal. Dalil boleh menikahi budak muslimah adalah, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 25) Baca juga: Hukum Menikah Catatan: Budak di masa silam adalah individu yang tidak memiliki kebebasan pribadi karena menjadi milik orang lain. Mereka didapatkan melalui perang, pembelian, atau warisan, sesuai dengan aturan yang berlaku pada masa itu. Sedangkan pembantu pada zaman ini adalah pekerja yang bekerja secara sukarela berdasarkan kontrak atau kesepakatan, memiliki hak penuh atas kebebasannya, dan tidak dimiliki oleh majikan. Islam mengatur perbudakan dengan sangat manusiawi di zamannya, bahkan mendorong pembebasan budak sebagai amalan mulia. Baca juga: Berbagai Pembahasan Poligami di Rumaysho.Com   Referensi: Al-Ashfahaniy, A. b. A. H. (1428 H). Mukhtashor Abi Syuja’ (Matan Al Ghoyah wat Taqrib atau Ghoyah Al Ikhtishor)(Cetakan pertama). Darul Minhaj. Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (1441 H). Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’(Cetakan kedua). Dar Al-Minhaj. Al-Bugho, M. (1428 H). At Tadzhib fii Adillati Matn Al Ghoyah wat Taqrib (Cetakan kesebelas). Darul Musthofa. Al-Ghozzi, M. b. Q. b. M. (1425 H). Fathul Qorib Al Mujiib fii Syarh Alfazhit Taqriib (Al Qoul Al Mukhtaar fii Syarh Ghoyatil Ikhtishor) (Cetakan pertama). Dar Ibnu Hazm. Al-Hushoini, T. A. B. b. M. (n.d.). Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor. Al-Kaamil Haamid, H. (1432 H). Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii (Cetakan pertama). Dar Al-Manar.   Referensi web: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/484900/حكم-وطء-الزوجة-نهارا-في-بيتها-في-دور-ضرتها-التي-في-العمل https://www.islamweb.net/amp/ar/fatwa/7844/   –   Ditulis pada 7 Rajab 1446 H, 7 Januari 2025 di Darush Sholihin Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsbatasan poligami dalil Al-Quran tentang poligami dalil poligami etika poligami hukum menikahi budak wanita hukum pernikahan dalam Islam Hukum poligami dalam Islam keadilan dalam poligami matan taqrib matan taqrib kitab nikah menikah dengan empat istri panduan nikah Islami panduan syariat menikah pernikahan dengan budak muslimah poligami poligami sesuai syariat syarat menikahi budak syarat poligami
Poligami dan hukum menikahi budak wanita muslimah adalah bagian dari syariat Islam yang memiliki aturan jelas berdasarkan Al-Quran dan hadits. Islam menetapkan batasan dan syarat yang harus dipenuhi, termasuk keadilan dalam poligami serta kondisi tertentu untuk menikahi budak wanita. Artikel ini membahas secara ringkas dalil dan penjelasan terkait kedua topik tersebut untuk memberikan pemahaman yang mendalam sesuai ajaran Islam.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 2. Tujuan Menikah 3. Dalil Syariat Poligami 4. Disunnahkan Satu Istri Saja 5. Poligami Tetapi Tidak Berlaku Adil 6. Yang Hendak Berpoligami, Hendaklah Memiliki 3 Modal: Kemampuan Fisik, Finansial, dan Kepercayaan Diri untuk Berbuat Adil 7. Catatan dalam Pembagian Malam 8. Menikahi Budak Wanita 8.1. Referensi: 8.2. Referensi web: Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata: النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ. Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.   Penjelasan: Tujuan Menikah Disebutkan dalam kitab ulama Syafiiyah, قال الأطباء ومقاصد النكاح ثلاثة: حفظ النسل وإخراج الماء الذي يضر احتباسه بالبدن ونيل اللذة، وهذه الثالثة هي التي في الجنة إذ لا تناسل هناك ولا احتباس. Para dokter berkata bahwa tujuan utama pernikahan ada tiga: 1. Melestarikan keturunan, 2. Mengeluarkan air (mani) yang dapat membahayakan tubuh jika ditahan terlalu lama, 3. Memperoleh kenikmatan (dengan berjimak). Tujuan yang ketiga di atas adalah kenikmatan yang didapati lagi di surga, karena di sana tidak ada reproduksi dan penumpukan air mani. (Asna al-Mathalib Syarh Raudh ath-Thalib li Zakariyya al-Anshariy, 3:98)   Dalil Syariat Poligami Allah Ta’ala berfirman, فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.” (QS. An Nisa’: 3) Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Baajuri rahimahullah berkata, “Nikahilah dua, tiga, atau empat dari wanita yang kau sukai, tidak boleh lebih dari empat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada Ghilan di mana ketika masuk Islam, ia memiliki sepuluh istri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan, َّأَمسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُن “Tahan empat, ceraikan sisanya.” (HR. Al-Hakim, 2:192; Ibnu Hibban, 4157 dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma). Jika Ghilan diperintahkan mempertahankan empat, maka yang menikahi empat wanita sedari awal tentu dibolehkan. (Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 3:319) Al-Harits bin Qais berkata, “Aku berislam dan saat itu aku memiliki delapan istri, maka aku menyebutkan hal itu pada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, kemudian beliau bersabda, اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا “Pilihlah empat di antara mereka.” (HR. Abu Daud no. 2241 dan Ibnu Majah no. 1953, shahih) Baca juga:  Poligami, Wahyu Ilahi yang Ditolak Poligami Tanpa Diketahui Istri Pertama 10 Alasan Istri Tidak Mau Dipoligami Anjuran Para Ulama, Cukup Satu Istri Saja Setelah Khadijah Meninggal Dunia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai Berpoligami   Disunnahkan Satu Istri Saja Madzhab kebanyakan ulama adalah disunnahkan cukup satu istri saja. Abul Husain Al-‘Imrani mengatakan bahwa Imam Syafii rahimahullah berkata, “Aku suka pada laki-laki yang mencukupkan pada satu istri saja, walaupun memiliki istri lebih dari satu diperbolehkan karena Allah Ta’ala berfirman, فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa: 3).” Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata bahwa tidak tepat berdalil dengan ayat berikut untuk menyatakan sunnahnya poligami, وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa: 3) Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata: Karena ayat di atas menunjukkan makna DIBOLEHKAN, bukan anjuran harus berpoligami. Sebab turunnya ayat di atas juga menunjukkan bahwa poligami itu mubah bagi yang menginginkannya, bukan menunjukkan hukum asal menikah adalah harus berpoligami. Sebab turunnya ayat ini adalah: Mereka ingin menikahi wanita yatim tetapi meremehkan hak wanita tersebut atas mahar yang layak. Maka Allah Ta’ala memerintahkan mereka untuk memberikan mahar kepada wanita yatim sebagaimana yang diberikan kepada wanita lain. Jika tidak mampu berlaku adil, mereka diperintahkan untuk menikahi wanita lain yang masih banyak tersedia. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Al-Mumti’ (12:12) menjelaskan, “Membatasi diri pada satu istri lebih aman. Namun, jika seseorang merasa bahwa satu istri tidak mencukupinya dan ia khawatir terjerumus ke dalam zina, maka kami anjurkan untuk menikahi istri kedua, ketiga, hingga keempat. Dengan demikian, ia dapat mencapai ketenangan jiwa, menjaga pandangan, dan menenangkan hatinya.” Baca juga: Anjuran Para Ulama Cukup Satu Istri Saja   Poligami Tetapi Tidak Berlaku Adil Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ “Siapa yang memiliki dua orang istri lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu Daud no. 2133, Ibnu Majah no. 1969, An Nasai no. 3394. Syaikh Al-Albani menyatakan hadits tersebut shahih sebagaimana dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 1949). Hadits ini memberikan peringatan tegas kepada suami yang tidak berlaku adil kepada istri-istrinya. Ketidakadilan ini digambarkan dengan kondisi fisik yang miring pada hari kiamat, sebagai hukuman atas sikap condongnya kepada salah satu istri. Al-‘Azhim Abadi menjelaskan bahwa makna hadits ini merujuk pada ketidakadilan seorang suami terhadap istri-istrinya, baik dalam pembagian malam maupun nafkah. Jika seorang suami hanya memperhatikan satu istri sementara mengabaikan yang lain, maka kelak di akhirat, salah satu sisi tubuhnya akan mengalami kelumpuhan. Ini adalah simbol dari ketimpangan yang dilakukannya selama di dunia (‘Aunul Ma’bud, 6:124). Beliau juga menegaskan bahwa keadilan dalam poligami wajib dilakukan dalam aspek-aspek yang mampu diusahakan oleh suami, seperti pembagian waktu malam dan nafkah. Namun, keadilan dalam hal perasaan, seperti cinta dan kecenderungan hati, tidak menjadi tuntutan karena manusia tidak dapat mengendalikan sepenuhnya hal tersebut. Dalam kitab tafsirnya, Syaikh As-Sa’di menjelaskan makna ayat yang terkait dengan keadilan dalam poligami. Allah memaklumi bahwa suami tidak mampu berlaku adil secara sempurna, terutama dalam hal cinta dan perasaan. Namun, dalam aspek yang dapat diusahakan seperti nafkah, pakaian, dan pembagian malam, Allah menuntut suami untuk berbuat adil. Syaikh As-Sa’di menambahkan, “Adil dalam masalah nafkah, pakaian, pembagian malam, dan hal-hal serupa wajib dilakukan. Namun, kecintaan hati dan kenikmatan hubungan intim tidak termasuk dalam kewajiban untuk disamakan, karena hal ini di luar kendali manusia.” Hadits dan penjelasan ulama di atas memberikan panduan bagi suami yang menjalani poligami. Keadilan dalam aspek-aspek yang dapat diusahakan, seperti nafkah dan pembagian waktu, adalah kewajiban syari yang harus dijalankan. Namun, Allah memberikan keringanan dalam hal yang di luar kendali manusia, seperti perasaan cinta. Ketidakadilan yang disengaja akan membawa konsekuensi berat di akhirat. Poligami dalam Islam bukanlah tentang mengejar keinginan semata, tetapi memikul tanggung jawab besar untuk berbuat adil sesuai tuntunan syariat. Suami yang berlaku adil tidak hanya menjalankan kewajiban duniawi, tetapi juga meraih rida Allah di akhirat. Baca juga: Poligami, Bisakah Adil?   Yang Hendak Berpoligami, Hendaklah Memiliki 3 Modal: Kemampuan Fisik, Finansial, dan Kepercayaan Diri untuk Berbuat Adil Islam memperbolehkan seorang laki-laki untuk menikahi lebih dari satu istri, hingga maksimal empat istri, dengan syarat ia memiliki kemampuan finansial dan fisik yang memadai. Selain itu, syarat lain yang harus dipenuhi adalah tidak adanya kekhawatiran bahwa ia akan berlaku tidak adil jika menikahi lebih dari satu istri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.” (QS. An-Nisa: 3). Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan: “Barang siapa khawatir tidak dapat berlaku adil, maka cukuplah baginya menikahi satu istri.” Sementara itu, Ibnu Al-Arabi Al-Maliki dalam kitab Ahkamul Qur’an menyatakan, “Jika seorang laki-laki memiliki kemampuan finansial dan fisik untuk menikahi empat istri, maka silakan ia melakukannya. Namun, jika ia tidak mampu secara finansial maupun fisik, maka cukuplah baginya satu istri.” Berdasarkan penjelasan ini, setiap laki-laki yang merasa memiliki kemampuan finansial, fisik, serta kepercayaan diri untuk berlaku adil, tidak ada larangan baginya untuk menikahi lebih dari satu istri. Bahkan, hal tersebut bisa menjadi kebaikan baginya.   Catatan dalam Pembagian Malam Para ulama fikih telah menetapkan bahwa dasar pembagian giliran antara istri adalah malam hari, sedangkan siang hari mengikuti malam hari dalam hal ini. Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni ketika menjelaskan pernyataan Al-Khiraqi “dan dasar pembagian giliran adalah malam hari” mengatakan: “Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini, karena malam hari adalah waktu untuk beristirahat dan tempat tinggal. Pada malam hari, seseorang kembali ke rumahnya, merasa tenang bersama keluarganya, dan tidur di ranjang bersama istrinya sebagaimana kebiasaan. Adapun siang hari adalah waktu untuk bekerja, keluar rumah, mencari penghasilan, dan melakukan aktivitas lainnya. Siang hari masuk dalam pembagian giliran mengikuti malam hari.” Para ulama juga menyebutkan bahwa seorang suami diperbolehkan masuk ke rumah istri yang bukan gilirannya pada siang hari jika ada kebutuhan tertentu, tetapi tidak diperbolehkan berhubungan badan dengannya. Ibnu Qudamah juga mengatakan: “Adapun masuk ke rumah istri di hari yang bukan gilirannya, hal itu diperbolehkan jika ada kebutuhan, seperti memberikan nafkah, menjenguknya, menanyakan sesuatu yang penting untuk diketahui, atau mengunjunginya karena sudah lama tidak bertemu, dan hal serupa. Namun, jika ia masuk, ia tidak boleh berhubungan badan dengannya dan tidak boleh berlama-lama di sana, karena hal itu memberikan rasa ketenangan, sementara ia tidak berhak mendapatkannya.” Kami tidak menemukan pendapat dari seorang pun ulama yang membolehkan seorang suami berhubungan badan dengan istri lain di siang hari hanya karena istri yang mendapat giliran sedang bekerja. Maka, hukum asalnya tetap, yaitu larangan.   Menikahi Budak Wanita Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata, “Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.” Ada dua syarat lagi yang tidak disebutkan oleh Abu Syuja’ lalu dijelaskan di Fath Al-Qarib: (3) tidak ada lagi wanita muslimah atau wanita ahli kitab yang merdeka yang nantinya digauli dan (4) budak wanita tadi beragama Islam karena seorang pria muslim tidak boleh menikahi wanita budah yang ahli kitab. Jika seorang pria merdeka telah menikahi seorang budak lantas ia mendapatkan kemudahan menikahi wanita merdeka, maka pernikahan dengan budak tadi tidaklah batal. Dalil boleh menikahi budak muslimah adalah, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 25) Baca juga: Hukum Menikah Catatan: Budak di masa silam adalah individu yang tidak memiliki kebebasan pribadi karena menjadi milik orang lain. Mereka didapatkan melalui perang, pembelian, atau warisan, sesuai dengan aturan yang berlaku pada masa itu. Sedangkan pembantu pada zaman ini adalah pekerja yang bekerja secara sukarela berdasarkan kontrak atau kesepakatan, memiliki hak penuh atas kebebasannya, dan tidak dimiliki oleh majikan. Islam mengatur perbudakan dengan sangat manusiawi di zamannya, bahkan mendorong pembebasan budak sebagai amalan mulia. Baca juga: Berbagai Pembahasan Poligami di Rumaysho.Com   Referensi: Al-Ashfahaniy, A. b. A. H. (1428 H). Mukhtashor Abi Syuja’ (Matan Al Ghoyah wat Taqrib atau Ghoyah Al Ikhtishor)(Cetakan pertama). Darul Minhaj. Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (1441 H). Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’(Cetakan kedua). Dar Al-Minhaj. Al-Bugho, M. (1428 H). At Tadzhib fii Adillati Matn Al Ghoyah wat Taqrib (Cetakan kesebelas). Darul Musthofa. Al-Ghozzi, M. b. Q. b. M. (1425 H). Fathul Qorib Al Mujiib fii Syarh Alfazhit Taqriib (Al Qoul Al Mukhtaar fii Syarh Ghoyatil Ikhtishor) (Cetakan pertama). Dar Ibnu Hazm. Al-Hushoini, T. A. B. b. M. (n.d.). Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor. Al-Kaamil Haamid, H. (1432 H). Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii (Cetakan pertama). Dar Al-Manar.   Referensi web: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/484900/حكم-وطء-الزوجة-نهارا-في-بيتها-في-دور-ضرتها-التي-في-العمل https://www.islamweb.net/amp/ar/fatwa/7844/   –   Ditulis pada 7 Rajab 1446 H, 7 Januari 2025 di Darush Sholihin Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsbatasan poligami dalil Al-Quran tentang poligami dalil poligami etika poligami hukum menikahi budak wanita hukum pernikahan dalam Islam Hukum poligami dalam Islam keadilan dalam poligami matan taqrib matan taqrib kitab nikah menikah dengan empat istri panduan nikah Islami panduan syariat menikah pernikahan dengan budak muslimah poligami poligami sesuai syariat syarat menikahi budak syarat poligami


Poligami dan hukum menikahi budak wanita muslimah adalah bagian dari syariat Islam yang memiliki aturan jelas berdasarkan Al-Quran dan hadits. Islam menetapkan batasan dan syarat yang harus dipenuhi, termasuk keadilan dalam poligami serta kondisi tertentu untuk menikahi budak wanita. Artikel ini membahas secara ringkas dalil dan penjelasan terkait kedua topik tersebut untuk memberikan pemahaman yang mendalam sesuai ajaran Islam.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 2. Tujuan Menikah 3. Dalil Syariat Poligami 4. Disunnahkan Satu Istri Saja 5. Poligami Tetapi Tidak Berlaku Adil 6. Yang Hendak Berpoligami, Hendaklah Memiliki 3 Modal: Kemampuan Fisik, Finansial, dan Kepercayaan Diri untuk Berbuat Adil 7. Catatan dalam Pembagian Malam 8. Menikahi Budak Wanita 8.1. Referensi: 8.2. Referensi web: Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata: النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ. Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.   Penjelasan: Tujuan Menikah Disebutkan dalam kitab ulama Syafiiyah, قال الأطباء ومقاصد النكاح ثلاثة: حفظ النسل وإخراج الماء الذي يضر احتباسه بالبدن ونيل اللذة، وهذه الثالثة هي التي في الجنة إذ لا تناسل هناك ولا احتباس. Para dokter berkata bahwa tujuan utama pernikahan ada tiga: 1. Melestarikan keturunan, 2. Mengeluarkan air (mani) yang dapat membahayakan tubuh jika ditahan terlalu lama, 3. Memperoleh kenikmatan (dengan berjimak). Tujuan yang ketiga di atas adalah kenikmatan yang didapati lagi di surga, karena di sana tidak ada reproduksi dan penumpukan air mani. (Asna al-Mathalib Syarh Raudh ath-Thalib li Zakariyya al-Anshariy, 3:98)   Dalil Syariat Poligami Allah Ta’ala berfirman, فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.” (QS. An Nisa’: 3) Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Baajuri rahimahullah berkata, “Nikahilah dua, tiga, atau empat dari wanita yang kau sukai, tidak boleh lebih dari empat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada Ghilan di mana ketika masuk Islam, ia memiliki sepuluh istri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan, َّأَمسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُن “Tahan empat, ceraikan sisanya.” (HR. Al-Hakim, 2:192; Ibnu Hibban, 4157 dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma). Jika Ghilan diperintahkan mempertahankan empat, maka yang menikahi empat wanita sedari awal tentu dibolehkan. (Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 3:319) Al-Harits bin Qais berkata, “Aku berislam dan saat itu aku memiliki delapan istri, maka aku menyebutkan hal itu pada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, kemudian beliau bersabda, اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا “Pilihlah empat di antara mereka.” (HR. Abu Daud no. 2241 dan Ibnu Majah no. 1953, shahih) Baca juga:  Poligami, Wahyu Ilahi yang Ditolak Poligami Tanpa Diketahui Istri Pertama 10 Alasan Istri Tidak Mau Dipoligami Anjuran Para Ulama, Cukup Satu Istri Saja Setelah Khadijah Meninggal Dunia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai Berpoligami   Disunnahkan Satu Istri Saja Madzhab kebanyakan ulama adalah disunnahkan cukup satu istri saja. Abul Husain Al-‘Imrani mengatakan bahwa Imam Syafii rahimahullah berkata, “Aku suka pada laki-laki yang mencukupkan pada satu istri saja, walaupun memiliki istri lebih dari satu diperbolehkan karena Allah Ta’ala berfirman, فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa: 3).” Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata bahwa tidak tepat berdalil dengan ayat berikut untuk menyatakan sunnahnya poligami, وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa: 3) Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata: Karena ayat di atas menunjukkan makna DIBOLEHKAN, bukan anjuran harus berpoligami. Sebab turunnya ayat di atas juga menunjukkan bahwa poligami itu mubah bagi yang menginginkannya, bukan menunjukkan hukum asal menikah adalah harus berpoligami. Sebab turunnya ayat ini adalah: Mereka ingin menikahi wanita yatim tetapi meremehkan hak wanita tersebut atas mahar yang layak. Maka Allah Ta’ala memerintahkan mereka untuk memberikan mahar kepada wanita yatim sebagaimana yang diberikan kepada wanita lain. Jika tidak mampu berlaku adil, mereka diperintahkan untuk menikahi wanita lain yang masih banyak tersedia. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Al-Mumti’ (12:12) menjelaskan, “Membatasi diri pada satu istri lebih aman. Namun, jika seseorang merasa bahwa satu istri tidak mencukupinya dan ia khawatir terjerumus ke dalam zina, maka kami anjurkan untuk menikahi istri kedua, ketiga, hingga keempat. Dengan demikian, ia dapat mencapai ketenangan jiwa, menjaga pandangan, dan menenangkan hatinya.” Baca juga: Anjuran Para Ulama Cukup Satu Istri Saja   Poligami Tetapi Tidak Berlaku Adil Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ “Siapa yang memiliki dua orang istri lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu Daud no. 2133, Ibnu Majah no. 1969, An Nasai no. 3394. Syaikh Al-Albani menyatakan hadits tersebut shahih sebagaimana dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 1949). Hadits ini memberikan peringatan tegas kepada suami yang tidak berlaku adil kepada istri-istrinya. Ketidakadilan ini digambarkan dengan kondisi fisik yang miring pada hari kiamat, sebagai hukuman atas sikap condongnya kepada salah satu istri. Al-‘Azhim Abadi menjelaskan bahwa makna hadits ini merujuk pada ketidakadilan seorang suami terhadap istri-istrinya, baik dalam pembagian malam maupun nafkah. Jika seorang suami hanya memperhatikan satu istri sementara mengabaikan yang lain, maka kelak di akhirat, salah satu sisi tubuhnya akan mengalami kelumpuhan. Ini adalah simbol dari ketimpangan yang dilakukannya selama di dunia (‘Aunul Ma’bud, 6:124). Beliau juga menegaskan bahwa keadilan dalam poligami wajib dilakukan dalam aspek-aspek yang mampu diusahakan oleh suami, seperti pembagian waktu malam dan nafkah. Namun, keadilan dalam hal perasaan, seperti cinta dan kecenderungan hati, tidak menjadi tuntutan karena manusia tidak dapat mengendalikan sepenuhnya hal tersebut. Dalam kitab tafsirnya, Syaikh As-Sa’di menjelaskan makna ayat yang terkait dengan keadilan dalam poligami. Allah memaklumi bahwa suami tidak mampu berlaku adil secara sempurna, terutama dalam hal cinta dan perasaan. Namun, dalam aspek yang dapat diusahakan seperti nafkah, pakaian, dan pembagian malam, Allah menuntut suami untuk berbuat adil. Syaikh As-Sa’di menambahkan, “Adil dalam masalah nafkah, pakaian, pembagian malam, dan hal-hal serupa wajib dilakukan. Namun, kecintaan hati dan kenikmatan hubungan intim tidak termasuk dalam kewajiban untuk disamakan, karena hal ini di luar kendali manusia.” Hadits dan penjelasan ulama di atas memberikan panduan bagi suami yang menjalani poligami. Keadilan dalam aspek-aspek yang dapat diusahakan, seperti nafkah dan pembagian waktu, adalah kewajiban syari yang harus dijalankan. Namun, Allah memberikan keringanan dalam hal yang di luar kendali manusia, seperti perasaan cinta. Ketidakadilan yang disengaja akan membawa konsekuensi berat di akhirat. Poligami dalam Islam bukanlah tentang mengejar keinginan semata, tetapi memikul tanggung jawab besar untuk berbuat adil sesuai tuntunan syariat. Suami yang berlaku adil tidak hanya menjalankan kewajiban duniawi, tetapi juga meraih rida Allah di akhirat. Baca juga: Poligami, Bisakah Adil?   Yang Hendak Berpoligami, Hendaklah Memiliki 3 Modal: Kemampuan Fisik, Finansial, dan Kepercayaan Diri untuk Berbuat Adil Islam memperbolehkan seorang laki-laki untuk menikahi lebih dari satu istri, hingga maksimal empat istri, dengan syarat ia memiliki kemampuan finansial dan fisik yang memadai. Selain itu, syarat lain yang harus dipenuhi adalah tidak adanya kekhawatiran bahwa ia akan berlaku tidak adil jika menikahi lebih dari satu istri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.” (QS. An-Nisa: 3). Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan: “Barang siapa khawatir tidak dapat berlaku adil, maka cukuplah baginya menikahi satu istri.” Sementara itu, Ibnu Al-Arabi Al-Maliki dalam kitab Ahkamul Qur’an menyatakan, “Jika seorang laki-laki memiliki kemampuan finansial dan fisik untuk menikahi empat istri, maka silakan ia melakukannya. Namun, jika ia tidak mampu secara finansial maupun fisik, maka cukuplah baginya satu istri.” Berdasarkan penjelasan ini, setiap laki-laki yang merasa memiliki kemampuan finansial, fisik, serta kepercayaan diri untuk berlaku adil, tidak ada larangan baginya untuk menikahi lebih dari satu istri. Bahkan, hal tersebut bisa menjadi kebaikan baginya.   Catatan dalam Pembagian Malam Para ulama fikih telah menetapkan bahwa dasar pembagian giliran antara istri adalah malam hari, sedangkan siang hari mengikuti malam hari dalam hal ini. Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni ketika menjelaskan pernyataan Al-Khiraqi “dan dasar pembagian giliran adalah malam hari” mengatakan: “Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini, karena malam hari adalah waktu untuk beristirahat dan tempat tinggal. Pada malam hari, seseorang kembali ke rumahnya, merasa tenang bersama keluarganya, dan tidur di ranjang bersama istrinya sebagaimana kebiasaan. Adapun siang hari adalah waktu untuk bekerja, keluar rumah, mencari penghasilan, dan melakukan aktivitas lainnya. Siang hari masuk dalam pembagian giliran mengikuti malam hari.” Para ulama juga menyebutkan bahwa seorang suami diperbolehkan masuk ke rumah istri yang bukan gilirannya pada siang hari jika ada kebutuhan tertentu, tetapi tidak diperbolehkan berhubungan badan dengannya. Ibnu Qudamah juga mengatakan: “Adapun masuk ke rumah istri di hari yang bukan gilirannya, hal itu diperbolehkan jika ada kebutuhan, seperti memberikan nafkah, menjenguknya, menanyakan sesuatu yang penting untuk diketahui, atau mengunjunginya karena sudah lama tidak bertemu, dan hal serupa. Namun, jika ia masuk, ia tidak boleh berhubungan badan dengannya dan tidak boleh berlama-lama di sana, karena hal itu memberikan rasa ketenangan, sementara ia tidak berhak mendapatkannya.” Kami tidak menemukan pendapat dari seorang pun ulama yang membolehkan seorang suami berhubungan badan dengan istri lain di siang hari hanya karena istri yang mendapat giliran sedang bekerja. Maka, hukum asalnya tetap, yaitu larangan.   Menikahi Budak Wanita Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata, “Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.” Ada dua syarat lagi yang tidak disebutkan oleh Abu Syuja’ lalu dijelaskan di Fath Al-Qarib: (3) tidak ada lagi wanita muslimah atau wanita ahli kitab yang merdeka yang nantinya digauli dan (4) budak wanita tadi beragama Islam karena seorang pria muslim tidak boleh menikahi wanita budah yang ahli kitab. Jika seorang pria merdeka telah menikahi seorang budak lantas ia mendapatkan kemudahan menikahi wanita merdeka, maka pernikahan dengan budak tadi tidaklah batal. Dalil boleh menikahi budak muslimah adalah, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 25) Baca juga: Hukum Menikah Catatan: Budak di masa silam adalah individu yang tidak memiliki kebebasan pribadi karena menjadi milik orang lain. Mereka didapatkan melalui perang, pembelian, atau warisan, sesuai dengan aturan yang berlaku pada masa itu. Sedangkan pembantu pada zaman ini adalah pekerja yang bekerja secara sukarela berdasarkan kontrak atau kesepakatan, memiliki hak penuh atas kebebasannya, dan tidak dimiliki oleh majikan. Islam mengatur perbudakan dengan sangat manusiawi di zamannya, bahkan mendorong pembebasan budak sebagai amalan mulia. Baca juga: Berbagai Pembahasan Poligami di Rumaysho.Com   Referensi: Al-Ashfahaniy, A. b. A. H. (1428 H). Mukhtashor Abi Syuja’ (Matan Al Ghoyah wat Taqrib atau Ghoyah Al Ikhtishor)(Cetakan pertama). Darul Minhaj. Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (1441 H). Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’(Cetakan kedua). Dar Al-Minhaj. Al-Bugho, M. (1428 H). At Tadzhib fii Adillati Matn Al Ghoyah wat Taqrib (Cetakan kesebelas). Darul Musthofa. Al-Ghozzi, M. b. Q. b. M. (1425 H). Fathul Qorib Al Mujiib fii Syarh Alfazhit Taqriib (Al Qoul Al Mukhtaar fii Syarh Ghoyatil Ikhtishor) (Cetakan pertama). Dar Ibnu Hazm. Al-Hushoini, T. A. B. b. M. (n.d.). Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor. Al-Kaamil Haamid, H. (1432 H). Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii (Cetakan pertama). Dar Al-Manar.   Referensi web: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/484900/حكم-وطء-الزوجة-نهارا-في-بيتها-في-دور-ضرتها-التي-في-العمل https://www.islamweb.net/amp/ar/fatwa/7844/   –   Ditulis pada 7 Rajab 1446 H, 7 Januari 2025 di Darush Sholihin Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsbatasan poligami dalil Al-Quran tentang poligami dalil poligami etika poligami hukum menikahi budak wanita hukum pernikahan dalam Islam Hukum poligami dalam Islam keadilan dalam poligami matan taqrib matan taqrib kitab nikah menikah dengan empat istri panduan nikah Islami panduan syariat menikah pernikahan dengan budak muslimah poligami poligami sesuai syariat syarat menikahi budak syarat poligami

Prinsip-Prinsip Memahami Halal Haram dalam Transaksi Muamalah (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Prinsip pertama: Mencegah dan melarang kezalimanPengertian zalimKezaliman dalam muamalahDalil Al-Qur’anDalil As-SunahDalil ijmakContoh penerapan dalam transaksi muamalah Prinsip pertama: Mencegah dan melarang kezaliman Pengertian zalim Zalim secara bahasa adalah meletakkan sesuatu tidak sesuai dengan tempatnya secara melampaui batas. [1] Di dalam kitab ‘Umdatul Khuffadz (3: 13) disebutkan, “(Zalim adalah) meletakkan sesuatu tidak sesuai dengan tempat yang khusus baginya, baik dengan mengurangi atau menambah, baik dengan melampaui waktu atau tempatnya.” Adapun definisi zalim menurut syariat adalah melakukan perkara yang dilarang atau meninggalkan kewajiban. Semua yang melampaui batasan syariat adalah kezaliman yang terlarang, baik dengan menambah ataupun mengurangi. [2] Kezaliman dalam muamalah Syariat ilahiyah sepakat tentang wajibnya adil dalam segala sesuatu dan atas semua orang; dan haramnya kezaliman dalam segala sesuatu dan atas semua orang. Oleh karena itu, Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan bersama mereka Al-Kitab dan al-mizan (neraca keadilan) untuk menegakkan keadilan dalam memenuhi hak-hak-Nya dan juga hak-hak hamba-Nya. [3] Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25) Untuk menguatkan wajibnya berbuat adil dan haramnya perbuatan zalim, Allah Ta’ala mengharamkan kezaliman untuk Diri-Nya terlebih dulu, kemudian menjadikannya haram di antara manusia. Allah Ta’ala berfirman dalam hadis qudsi, يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فَلَا تَظَالَمُوا “Waha hamba-Ku, sesungguhnya aku telah mengharamkan kezaliman atas Diri-Ku, dan Aku menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim no. 2577) Maka kezaliman itu diharamkan atas semua perkara, sebagaimana keadilan itu diwajibkan atas semua perkara. [4] Tidak halal atas seorang pun untuk menzalimi orang lain, baik muslim ataupun kafir. [5] Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Maidah: 8) Hal ini karena kezaliman adalah asas semua kerusakan, sedangkan keadilan adalah asas semua kebaikan dan keberuntungan. Dengan keadilan, terwujudlah maslahat bagi hamba, baik di kehidupan dunia maupun akhirat, sehingga manusia tidak mungkin bisa lepas keadilan. [6] Selain itu, keadilan adalah kewajiban dan ketaatan yang paling wajib dan paling ditekankan. [7] Karena transaksi muamalah dan jual beli merupakan celah terjadinya kezaliman di antara manusia dan memakan harta orang lain dengan batil, maka mencegah dan mengharamkan kezaliman merupakan salah satu tujuan syariat yang paling penting dalam bab muamalah. Dan sebaliknya, mewujudkan keadilan merupakan salah satu kaidah syariat yang paling dan paling penting agung dalam bab muamalah. [8] Dalil Al-Qur’an Terdapat banyak dalil dari syariat yang memerintahkan berbuat adil, melarang berbuat zalim, dan melarang memakan harta orang lain secara batil. Allah Ta’ala berfirman, وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka (saling rida) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 29) قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَى نِعَاجِهِ وَإِنَّ كَثِيراً مِّنْ الْخُلَطَاء لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ “Daud berkata, “Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24) Ayat-ayat yang semakna dengan ini sangatlah banyak, karena semua yang Allah larang itu kembali pada kezaliman. [9] Dalil As-Sunah Adapun dalil dari As-Sunah, dalil-dalil yang menunjukkan haramnya kezaliman dalam muamalah juga sangat banyak. Di antaranya, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ، وَأَمْوَالَكُمْ، وَأَعْرَاضَكُمْ، بَيْنَكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram (tidak boleh dilanggar) di antara kalian, seperti haramnya hari ini, di bulan ini, dan di negeri ini.” (HR. Bukhari no. 67 dan Muslim no. 1679) Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لَوْ بِعْتَ مِنْ أَخِيكَ ثَمَرًا، فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ، فَلَا يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا، بِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيكَ بِغَيْرِ حَقٍّ؟ “Jika engkau menjual buah kepada saudaramu, lalu buah itu terkena musibah (kerusakan), maka tidak halal bagimu mengambil darinya sesuatu. Dengan alasan apa engkau mengambil harta saudaramu tanpa hak?” (HR. Muslim no. 1554) Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ، دَمُهُ، وَمَالُهُ، وَعِرْضُهُ “Setiap muslim itu haram atas muslim lainnya: darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim no. 2564) Dalil ijmak Di antara dalil wajibnya mencegah kezaliman dan wajibnya mewujudkan (menegakkan) keadilan adalah ijmak ulama tentang haramnya mengambil harta orang lain atas dasar kezaliman dan permusuhan. [10] Berdasarkan dalil-dalil tersebut, semua bentuk yang dilarang dalam transaksi muamalah, baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunah, pada hakikatnya adalah untuk menegakkan keadilan dan mencegah kezaliman. [11] Contohnya, syariat mengharamkan riba dan maisir (perjudian), karena mengandung kezaliman dan memakan harta orang lain secara batil. Demikian pula, syariat banyak melarang bentuk jual beli tertentu, karena mengandung kezaliman, contohnya: menjual di atas jualan saudaranya, ghabn (manipulasi harga, baik terlalu tinggi atau terlalu rendah menurut standar harga pasar), ghisy (penipuan), dan bentuk jual beli lainnya. [12] Contoh penerapan dalam transaksi muamalah Untuk lebih memahami prinsip ini, berikut kami sebutkan beberapa contoh akad muamalah yang haram karena mengandung unsur kezaliman, baik zalim terhadap individu tertentu atau masyarakat secara umum. [13] Contoh pertama, jual beli barang yang diharamkan oleh syariat. Misalnya, jual beli khamr, babi atau yang mengandung babi, jual beli narkoba, dan jual beli rokok. Contoh kedua, jual beli barang secara terpaksa. Karena di antara syarat sah jual beli adalah kedua belah pihak yang melakukan transaksi, yaitu penjual dan pembeli, harus saling rida ketika melakukan akad, tidak boleh ada unsur keterpaksaan. Hal ini berdasarkan surah An-Nisa’ ayat 29 yang telah kami sebutkan di atas. Meskipun demikian, terdapat beberapa bentuk jual beli terpaksa yang diperbolehkan. Misalnya, seorang hakim (qadhi) yang memerintahkan orang yang jatuh pailit untuk menjual asetnya dalam rangka melunasi utang-utangnya. Atau pemerintah boleh memaksa pemilik tanah untuk menjual tanahnya yang akan digunakan untuk proyek fasilitas umum, seperti jalan raya, rumah sakit, atau yang lainnya. Contoh ketiga, jual beli yang mengandung unsur kecurangan (ghisy). Misalnya, dengan mengurangi timbangan atau takaran; penjual menyembunyikan cacat (aib) barang yang dijual; dan penjual memalsukan merk produk (menjual barang tiruan atau melanggar hak cipta). Contoh keempat, ihtikar (menimbun barang). Bentuknya, seseorang membeli bahan-bahan pokok dari distributor (pemasok), kemudian ditimbun sampai barang tersebut menjadi langka pasaran. Ketika barang menjadi langka, tentu harga barang tersebut akan naik sangat tinggi, dan ketika itulah mereka menjualnya. Dengan demikian, mereka memperoleh keuntungan yang sangat besar. Jelaslah perbuatan ini menzalimi masyarakat banyak karena menyebabkan harga-harga bahan pokok melambung tinggi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئٌ “Ihtikar tidaklah dilakukan kecuali seorang pendosa.” (HR. Muslim no. 1605) Contoh kelima, praktek korupsi. Korupsi akan menzalimi orang banyak. Misalnya, korupsi pada objek-objek vital seperti jalan dan jembatan, sehingga kualitas pekerjaan tidak baik dan tidak memenuhi standar karena anggaran yang dikorupsi. [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** @16 Jumadil akhir 1446/ 18 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Mu’jam Al-Maqayis fil Lughah, hal. 641; Lisanul ‘Arab, 12: 373. [2] Lihat Mufradat Alfaz Al-Qur’an, hal. 537; Adz-Dzari’ah ila Makaarim Asy-Syari’ah, hal. 357; Tahdzib Al-Asma’ Al-Lughat, 3: 8; Majmu’ Al-Fatawa, 18: 157; Thariq Al-Hijratain, hal. 333. [3] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 263. [4] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 30: 237-240. [5] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 18: 166; Jami’ul Ulum wal Hikam, 2: 36. [6] Lihat Ad-Daa’ wad Dawaa’, hal. 255; Al-Fawaid, hal. 253; Al-Majmu’ah Al-Kamilah li Muallafati As-Sa’di, 5: 293. [7] Lihat Bada’i At-Tafsir Al-Jami’ li Tafsir Ibnil Qayyim, 4: 391. Dikutip dari Al-Jawaab Al-Kahfi, hal. 190. [8] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 469; Ahkamul Qur’an li Ibnil ‘Arabi, 1: 97; Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 3: 48. [9] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 18: 157. [10] Lihat Maraatib Al-Ijma’, hal. 67. [11] Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 126-127, 165; Majmu’ Al-Fatawa, 29: 283, 28: 385, 18: 157. [12] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 283; Tafsir Al-Manar, 2: 196. [13] Lihat Harta Haram Muamalat Kontemporer, Bab II (Harta Haram Hasil Kezaliman); karya Dr. Erwandi Tarmizi, MA.

Prinsip-Prinsip Memahami Halal Haram dalam Transaksi Muamalah (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Prinsip pertama: Mencegah dan melarang kezalimanPengertian zalimKezaliman dalam muamalahDalil Al-Qur’anDalil As-SunahDalil ijmakContoh penerapan dalam transaksi muamalah Prinsip pertama: Mencegah dan melarang kezaliman Pengertian zalim Zalim secara bahasa adalah meletakkan sesuatu tidak sesuai dengan tempatnya secara melampaui batas. [1] Di dalam kitab ‘Umdatul Khuffadz (3: 13) disebutkan, “(Zalim adalah) meletakkan sesuatu tidak sesuai dengan tempat yang khusus baginya, baik dengan mengurangi atau menambah, baik dengan melampaui waktu atau tempatnya.” Adapun definisi zalim menurut syariat adalah melakukan perkara yang dilarang atau meninggalkan kewajiban. Semua yang melampaui batasan syariat adalah kezaliman yang terlarang, baik dengan menambah ataupun mengurangi. [2] Kezaliman dalam muamalah Syariat ilahiyah sepakat tentang wajibnya adil dalam segala sesuatu dan atas semua orang; dan haramnya kezaliman dalam segala sesuatu dan atas semua orang. Oleh karena itu, Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan bersama mereka Al-Kitab dan al-mizan (neraca keadilan) untuk menegakkan keadilan dalam memenuhi hak-hak-Nya dan juga hak-hak hamba-Nya. [3] Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25) Untuk menguatkan wajibnya berbuat adil dan haramnya perbuatan zalim, Allah Ta’ala mengharamkan kezaliman untuk Diri-Nya terlebih dulu, kemudian menjadikannya haram di antara manusia. Allah Ta’ala berfirman dalam hadis qudsi, يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فَلَا تَظَالَمُوا “Waha hamba-Ku, sesungguhnya aku telah mengharamkan kezaliman atas Diri-Ku, dan Aku menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim no. 2577) Maka kezaliman itu diharamkan atas semua perkara, sebagaimana keadilan itu diwajibkan atas semua perkara. [4] Tidak halal atas seorang pun untuk menzalimi orang lain, baik muslim ataupun kafir. [5] Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Maidah: 8) Hal ini karena kezaliman adalah asas semua kerusakan, sedangkan keadilan adalah asas semua kebaikan dan keberuntungan. Dengan keadilan, terwujudlah maslahat bagi hamba, baik di kehidupan dunia maupun akhirat, sehingga manusia tidak mungkin bisa lepas keadilan. [6] Selain itu, keadilan adalah kewajiban dan ketaatan yang paling wajib dan paling ditekankan. [7] Karena transaksi muamalah dan jual beli merupakan celah terjadinya kezaliman di antara manusia dan memakan harta orang lain dengan batil, maka mencegah dan mengharamkan kezaliman merupakan salah satu tujuan syariat yang paling penting dalam bab muamalah. Dan sebaliknya, mewujudkan keadilan merupakan salah satu kaidah syariat yang paling dan paling penting agung dalam bab muamalah. [8] Dalil Al-Qur’an Terdapat banyak dalil dari syariat yang memerintahkan berbuat adil, melarang berbuat zalim, dan melarang memakan harta orang lain secara batil. Allah Ta’ala berfirman, وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka (saling rida) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 29) قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَى نِعَاجِهِ وَإِنَّ كَثِيراً مِّنْ الْخُلَطَاء لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ “Daud berkata, “Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24) Ayat-ayat yang semakna dengan ini sangatlah banyak, karena semua yang Allah larang itu kembali pada kezaliman. [9] Dalil As-Sunah Adapun dalil dari As-Sunah, dalil-dalil yang menunjukkan haramnya kezaliman dalam muamalah juga sangat banyak. Di antaranya, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ، وَأَمْوَالَكُمْ، وَأَعْرَاضَكُمْ، بَيْنَكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram (tidak boleh dilanggar) di antara kalian, seperti haramnya hari ini, di bulan ini, dan di negeri ini.” (HR. Bukhari no. 67 dan Muslim no. 1679) Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لَوْ بِعْتَ مِنْ أَخِيكَ ثَمَرًا، فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ، فَلَا يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا، بِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيكَ بِغَيْرِ حَقٍّ؟ “Jika engkau menjual buah kepada saudaramu, lalu buah itu terkena musibah (kerusakan), maka tidak halal bagimu mengambil darinya sesuatu. Dengan alasan apa engkau mengambil harta saudaramu tanpa hak?” (HR. Muslim no. 1554) Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ، دَمُهُ، وَمَالُهُ، وَعِرْضُهُ “Setiap muslim itu haram atas muslim lainnya: darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim no. 2564) Dalil ijmak Di antara dalil wajibnya mencegah kezaliman dan wajibnya mewujudkan (menegakkan) keadilan adalah ijmak ulama tentang haramnya mengambil harta orang lain atas dasar kezaliman dan permusuhan. [10] Berdasarkan dalil-dalil tersebut, semua bentuk yang dilarang dalam transaksi muamalah, baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunah, pada hakikatnya adalah untuk menegakkan keadilan dan mencegah kezaliman. [11] Contohnya, syariat mengharamkan riba dan maisir (perjudian), karena mengandung kezaliman dan memakan harta orang lain secara batil. Demikian pula, syariat banyak melarang bentuk jual beli tertentu, karena mengandung kezaliman, contohnya: menjual di atas jualan saudaranya, ghabn (manipulasi harga, baik terlalu tinggi atau terlalu rendah menurut standar harga pasar), ghisy (penipuan), dan bentuk jual beli lainnya. [12] Contoh penerapan dalam transaksi muamalah Untuk lebih memahami prinsip ini, berikut kami sebutkan beberapa contoh akad muamalah yang haram karena mengandung unsur kezaliman, baik zalim terhadap individu tertentu atau masyarakat secara umum. [13] Contoh pertama, jual beli barang yang diharamkan oleh syariat. Misalnya, jual beli khamr, babi atau yang mengandung babi, jual beli narkoba, dan jual beli rokok. Contoh kedua, jual beli barang secara terpaksa. Karena di antara syarat sah jual beli adalah kedua belah pihak yang melakukan transaksi, yaitu penjual dan pembeli, harus saling rida ketika melakukan akad, tidak boleh ada unsur keterpaksaan. Hal ini berdasarkan surah An-Nisa’ ayat 29 yang telah kami sebutkan di atas. Meskipun demikian, terdapat beberapa bentuk jual beli terpaksa yang diperbolehkan. Misalnya, seorang hakim (qadhi) yang memerintahkan orang yang jatuh pailit untuk menjual asetnya dalam rangka melunasi utang-utangnya. Atau pemerintah boleh memaksa pemilik tanah untuk menjual tanahnya yang akan digunakan untuk proyek fasilitas umum, seperti jalan raya, rumah sakit, atau yang lainnya. Contoh ketiga, jual beli yang mengandung unsur kecurangan (ghisy). Misalnya, dengan mengurangi timbangan atau takaran; penjual menyembunyikan cacat (aib) barang yang dijual; dan penjual memalsukan merk produk (menjual barang tiruan atau melanggar hak cipta). Contoh keempat, ihtikar (menimbun barang). Bentuknya, seseorang membeli bahan-bahan pokok dari distributor (pemasok), kemudian ditimbun sampai barang tersebut menjadi langka pasaran. Ketika barang menjadi langka, tentu harga barang tersebut akan naik sangat tinggi, dan ketika itulah mereka menjualnya. Dengan demikian, mereka memperoleh keuntungan yang sangat besar. Jelaslah perbuatan ini menzalimi masyarakat banyak karena menyebabkan harga-harga bahan pokok melambung tinggi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئٌ “Ihtikar tidaklah dilakukan kecuali seorang pendosa.” (HR. Muslim no. 1605) Contoh kelima, praktek korupsi. Korupsi akan menzalimi orang banyak. Misalnya, korupsi pada objek-objek vital seperti jalan dan jembatan, sehingga kualitas pekerjaan tidak baik dan tidak memenuhi standar karena anggaran yang dikorupsi. [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** @16 Jumadil akhir 1446/ 18 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Mu’jam Al-Maqayis fil Lughah, hal. 641; Lisanul ‘Arab, 12: 373. [2] Lihat Mufradat Alfaz Al-Qur’an, hal. 537; Adz-Dzari’ah ila Makaarim Asy-Syari’ah, hal. 357; Tahdzib Al-Asma’ Al-Lughat, 3: 8; Majmu’ Al-Fatawa, 18: 157; Thariq Al-Hijratain, hal. 333. [3] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 263. [4] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 30: 237-240. [5] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 18: 166; Jami’ul Ulum wal Hikam, 2: 36. [6] Lihat Ad-Daa’ wad Dawaa’, hal. 255; Al-Fawaid, hal. 253; Al-Majmu’ah Al-Kamilah li Muallafati As-Sa’di, 5: 293. [7] Lihat Bada’i At-Tafsir Al-Jami’ li Tafsir Ibnil Qayyim, 4: 391. Dikutip dari Al-Jawaab Al-Kahfi, hal. 190. [8] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 469; Ahkamul Qur’an li Ibnil ‘Arabi, 1: 97; Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 3: 48. [9] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 18: 157. [10] Lihat Maraatib Al-Ijma’, hal. 67. [11] Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 126-127, 165; Majmu’ Al-Fatawa, 29: 283, 28: 385, 18: 157. [12] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 283; Tafsir Al-Manar, 2: 196. [13] Lihat Harta Haram Muamalat Kontemporer, Bab II (Harta Haram Hasil Kezaliman); karya Dr. Erwandi Tarmizi, MA.
Daftar Isi Toggle Prinsip pertama: Mencegah dan melarang kezalimanPengertian zalimKezaliman dalam muamalahDalil Al-Qur’anDalil As-SunahDalil ijmakContoh penerapan dalam transaksi muamalah Prinsip pertama: Mencegah dan melarang kezaliman Pengertian zalim Zalim secara bahasa adalah meletakkan sesuatu tidak sesuai dengan tempatnya secara melampaui batas. [1] Di dalam kitab ‘Umdatul Khuffadz (3: 13) disebutkan, “(Zalim adalah) meletakkan sesuatu tidak sesuai dengan tempat yang khusus baginya, baik dengan mengurangi atau menambah, baik dengan melampaui waktu atau tempatnya.” Adapun definisi zalim menurut syariat adalah melakukan perkara yang dilarang atau meninggalkan kewajiban. Semua yang melampaui batasan syariat adalah kezaliman yang terlarang, baik dengan menambah ataupun mengurangi. [2] Kezaliman dalam muamalah Syariat ilahiyah sepakat tentang wajibnya adil dalam segala sesuatu dan atas semua orang; dan haramnya kezaliman dalam segala sesuatu dan atas semua orang. Oleh karena itu, Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan bersama mereka Al-Kitab dan al-mizan (neraca keadilan) untuk menegakkan keadilan dalam memenuhi hak-hak-Nya dan juga hak-hak hamba-Nya. [3] Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25) Untuk menguatkan wajibnya berbuat adil dan haramnya perbuatan zalim, Allah Ta’ala mengharamkan kezaliman untuk Diri-Nya terlebih dulu, kemudian menjadikannya haram di antara manusia. Allah Ta’ala berfirman dalam hadis qudsi, يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فَلَا تَظَالَمُوا “Waha hamba-Ku, sesungguhnya aku telah mengharamkan kezaliman atas Diri-Ku, dan Aku menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim no. 2577) Maka kezaliman itu diharamkan atas semua perkara, sebagaimana keadilan itu diwajibkan atas semua perkara. [4] Tidak halal atas seorang pun untuk menzalimi orang lain, baik muslim ataupun kafir. [5] Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Maidah: 8) Hal ini karena kezaliman adalah asas semua kerusakan, sedangkan keadilan adalah asas semua kebaikan dan keberuntungan. Dengan keadilan, terwujudlah maslahat bagi hamba, baik di kehidupan dunia maupun akhirat, sehingga manusia tidak mungkin bisa lepas keadilan. [6] Selain itu, keadilan adalah kewajiban dan ketaatan yang paling wajib dan paling ditekankan. [7] Karena transaksi muamalah dan jual beli merupakan celah terjadinya kezaliman di antara manusia dan memakan harta orang lain dengan batil, maka mencegah dan mengharamkan kezaliman merupakan salah satu tujuan syariat yang paling penting dalam bab muamalah. Dan sebaliknya, mewujudkan keadilan merupakan salah satu kaidah syariat yang paling dan paling penting agung dalam bab muamalah. [8] Dalil Al-Qur’an Terdapat banyak dalil dari syariat yang memerintahkan berbuat adil, melarang berbuat zalim, dan melarang memakan harta orang lain secara batil. Allah Ta’ala berfirman, وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka (saling rida) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 29) قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَى نِعَاجِهِ وَإِنَّ كَثِيراً مِّنْ الْخُلَطَاء لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ “Daud berkata, “Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24) Ayat-ayat yang semakna dengan ini sangatlah banyak, karena semua yang Allah larang itu kembali pada kezaliman. [9] Dalil As-Sunah Adapun dalil dari As-Sunah, dalil-dalil yang menunjukkan haramnya kezaliman dalam muamalah juga sangat banyak. Di antaranya, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ، وَأَمْوَالَكُمْ، وَأَعْرَاضَكُمْ، بَيْنَكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram (tidak boleh dilanggar) di antara kalian, seperti haramnya hari ini, di bulan ini, dan di negeri ini.” (HR. Bukhari no. 67 dan Muslim no. 1679) Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لَوْ بِعْتَ مِنْ أَخِيكَ ثَمَرًا، فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ، فَلَا يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا، بِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيكَ بِغَيْرِ حَقٍّ؟ “Jika engkau menjual buah kepada saudaramu, lalu buah itu terkena musibah (kerusakan), maka tidak halal bagimu mengambil darinya sesuatu. Dengan alasan apa engkau mengambil harta saudaramu tanpa hak?” (HR. Muslim no. 1554) Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ، دَمُهُ، وَمَالُهُ، وَعِرْضُهُ “Setiap muslim itu haram atas muslim lainnya: darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim no. 2564) Dalil ijmak Di antara dalil wajibnya mencegah kezaliman dan wajibnya mewujudkan (menegakkan) keadilan adalah ijmak ulama tentang haramnya mengambil harta orang lain atas dasar kezaliman dan permusuhan. [10] Berdasarkan dalil-dalil tersebut, semua bentuk yang dilarang dalam transaksi muamalah, baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunah, pada hakikatnya adalah untuk menegakkan keadilan dan mencegah kezaliman. [11] Contohnya, syariat mengharamkan riba dan maisir (perjudian), karena mengandung kezaliman dan memakan harta orang lain secara batil. Demikian pula, syariat banyak melarang bentuk jual beli tertentu, karena mengandung kezaliman, contohnya: menjual di atas jualan saudaranya, ghabn (manipulasi harga, baik terlalu tinggi atau terlalu rendah menurut standar harga pasar), ghisy (penipuan), dan bentuk jual beli lainnya. [12] Contoh penerapan dalam transaksi muamalah Untuk lebih memahami prinsip ini, berikut kami sebutkan beberapa contoh akad muamalah yang haram karena mengandung unsur kezaliman, baik zalim terhadap individu tertentu atau masyarakat secara umum. [13] Contoh pertama, jual beli barang yang diharamkan oleh syariat. Misalnya, jual beli khamr, babi atau yang mengandung babi, jual beli narkoba, dan jual beli rokok. Contoh kedua, jual beli barang secara terpaksa. Karena di antara syarat sah jual beli adalah kedua belah pihak yang melakukan transaksi, yaitu penjual dan pembeli, harus saling rida ketika melakukan akad, tidak boleh ada unsur keterpaksaan. Hal ini berdasarkan surah An-Nisa’ ayat 29 yang telah kami sebutkan di atas. Meskipun demikian, terdapat beberapa bentuk jual beli terpaksa yang diperbolehkan. Misalnya, seorang hakim (qadhi) yang memerintahkan orang yang jatuh pailit untuk menjual asetnya dalam rangka melunasi utang-utangnya. Atau pemerintah boleh memaksa pemilik tanah untuk menjual tanahnya yang akan digunakan untuk proyek fasilitas umum, seperti jalan raya, rumah sakit, atau yang lainnya. Contoh ketiga, jual beli yang mengandung unsur kecurangan (ghisy). Misalnya, dengan mengurangi timbangan atau takaran; penjual menyembunyikan cacat (aib) barang yang dijual; dan penjual memalsukan merk produk (menjual barang tiruan atau melanggar hak cipta). Contoh keempat, ihtikar (menimbun barang). Bentuknya, seseorang membeli bahan-bahan pokok dari distributor (pemasok), kemudian ditimbun sampai barang tersebut menjadi langka pasaran. Ketika barang menjadi langka, tentu harga barang tersebut akan naik sangat tinggi, dan ketika itulah mereka menjualnya. Dengan demikian, mereka memperoleh keuntungan yang sangat besar. Jelaslah perbuatan ini menzalimi masyarakat banyak karena menyebabkan harga-harga bahan pokok melambung tinggi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئٌ “Ihtikar tidaklah dilakukan kecuali seorang pendosa.” (HR. Muslim no. 1605) Contoh kelima, praktek korupsi. Korupsi akan menzalimi orang banyak. Misalnya, korupsi pada objek-objek vital seperti jalan dan jembatan, sehingga kualitas pekerjaan tidak baik dan tidak memenuhi standar karena anggaran yang dikorupsi. [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** @16 Jumadil akhir 1446/ 18 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Mu’jam Al-Maqayis fil Lughah, hal. 641; Lisanul ‘Arab, 12: 373. [2] Lihat Mufradat Alfaz Al-Qur’an, hal. 537; Adz-Dzari’ah ila Makaarim Asy-Syari’ah, hal. 357; Tahdzib Al-Asma’ Al-Lughat, 3: 8; Majmu’ Al-Fatawa, 18: 157; Thariq Al-Hijratain, hal. 333. [3] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 263. [4] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 30: 237-240. [5] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 18: 166; Jami’ul Ulum wal Hikam, 2: 36. [6] Lihat Ad-Daa’ wad Dawaa’, hal. 255; Al-Fawaid, hal. 253; Al-Majmu’ah Al-Kamilah li Muallafati As-Sa’di, 5: 293. [7] Lihat Bada’i At-Tafsir Al-Jami’ li Tafsir Ibnil Qayyim, 4: 391. Dikutip dari Al-Jawaab Al-Kahfi, hal. 190. [8] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 469; Ahkamul Qur’an li Ibnil ‘Arabi, 1: 97; Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 3: 48. [9] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 18: 157. [10] Lihat Maraatib Al-Ijma’, hal. 67. [11] Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 126-127, 165; Majmu’ Al-Fatawa, 29: 283, 28: 385, 18: 157. [12] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 283; Tafsir Al-Manar, 2: 196. [13] Lihat Harta Haram Muamalat Kontemporer, Bab II (Harta Haram Hasil Kezaliman); karya Dr. Erwandi Tarmizi, MA.


Daftar Isi Toggle Prinsip pertama: Mencegah dan melarang kezalimanPengertian zalimKezaliman dalam muamalahDalil Al-Qur’anDalil As-SunahDalil ijmakContoh penerapan dalam transaksi muamalah Prinsip pertama: Mencegah dan melarang kezaliman Pengertian zalim Zalim secara bahasa adalah meletakkan sesuatu tidak sesuai dengan tempatnya secara melampaui batas. [1] Di dalam kitab ‘Umdatul Khuffadz (3: 13) disebutkan, “(Zalim adalah) meletakkan sesuatu tidak sesuai dengan tempat yang khusus baginya, baik dengan mengurangi atau menambah, baik dengan melampaui waktu atau tempatnya.” Adapun definisi zalim menurut syariat adalah melakukan perkara yang dilarang atau meninggalkan kewajiban. Semua yang melampaui batasan syariat adalah kezaliman yang terlarang, baik dengan menambah ataupun mengurangi. [2] Kezaliman dalam muamalah Syariat ilahiyah sepakat tentang wajibnya adil dalam segala sesuatu dan atas semua orang; dan haramnya kezaliman dalam segala sesuatu dan atas semua orang. Oleh karena itu, Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan bersama mereka Al-Kitab dan al-mizan (neraca keadilan) untuk menegakkan keadilan dalam memenuhi hak-hak-Nya dan juga hak-hak hamba-Nya. [3] Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25) Untuk menguatkan wajibnya berbuat adil dan haramnya perbuatan zalim, Allah Ta’ala mengharamkan kezaliman untuk Diri-Nya terlebih dulu, kemudian menjadikannya haram di antara manusia. Allah Ta’ala berfirman dalam hadis qudsi, يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فَلَا تَظَالَمُوا “Waha hamba-Ku, sesungguhnya aku telah mengharamkan kezaliman atas Diri-Ku, dan Aku menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim no. 2577) Maka kezaliman itu diharamkan atas semua perkara, sebagaimana keadilan itu diwajibkan atas semua perkara. [4] Tidak halal atas seorang pun untuk menzalimi orang lain, baik muslim ataupun kafir. [5] Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Maidah: 8) Hal ini karena kezaliman adalah asas semua kerusakan, sedangkan keadilan adalah asas semua kebaikan dan keberuntungan. Dengan keadilan, terwujudlah maslahat bagi hamba, baik di kehidupan dunia maupun akhirat, sehingga manusia tidak mungkin bisa lepas keadilan. [6] Selain itu, keadilan adalah kewajiban dan ketaatan yang paling wajib dan paling ditekankan. [7] Karena transaksi muamalah dan jual beli merupakan celah terjadinya kezaliman di antara manusia dan memakan harta orang lain dengan batil, maka mencegah dan mengharamkan kezaliman merupakan salah satu tujuan syariat yang paling penting dalam bab muamalah. Dan sebaliknya, mewujudkan keadilan merupakan salah satu kaidah syariat yang paling dan paling penting agung dalam bab muamalah. [8] Dalil Al-Qur’an Terdapat banyak dalil dari syariat yang memerintahkan berbuat adil, melarang berbuat zalim, dan melarang memakan harta orang lain secara batil. Allah Ta’ala berfirman, وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka (saling rida) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 29) قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَى نِعَاجِهِ وَإِنَّ كَثِيراً مِّنْ الْخُلَطَاء لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ “Daud berkata, “Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24) Ayat-ayat yang semakna dengan ini sangatlah banyak, karena semua yang Allah larang itu kembali pada kezaliman. [9] Dalil As-Sunah Adapun dalil dari As-Sunah, dalil-dalil yang menunjukkan haramnya kezaliman dalam muamalah juga sangat banyak. Di antaranya, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ، وَأَمْوَالَكُمْ، وَأَعْرَاضَكُمْ، بَيْنَكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram (tidak boleh dilanggar) di antara kalian, seperti haramnya hari ini, di bulan ini, dan di negeri ini.” (HR. Bukhari no. 67 dan Muslim no. 1679) Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لَوْ بِعْتَ مِنْ أَخِيكَ ثَمَرًا، فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ، فَلَا يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا، بِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيكَ بِغَيْرِ حَقٍّ؟ “Jika engkau menjual buah kepada saudaramu, lalu buah itu terkena musibah (kerusakan), maka tidak halal bagimu mengambil darinya sesuatu. Dengan alasan apa engkau mengambil harta saudaramu tanpa hak?” (HR. Muslim no. 1554) Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ، دَمُهُ، وَمَالُهُ، وَعِرْضُهُ “Setiap muslim itu haram atas muslim lainnya: darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim no. 2564) Dalil ijmak Di antara dalil wajibnya mencegah kezaliman dan wajibnya mewujudkan (menegakkan) keadilan adalah ijmak ulama tentang haramnya mengambil harta orang lain atas dasar kezaliman dan permusuhan. [10] Berdasarkan dalil-dalil tersebut, semua bentuk yang dilarang dalam transaksi muamalah, baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunah, pada hakikatnya adalah untuk menegakkan keadilan dan mencegah kezaliman. [11] Contohnya, syariat mengharamkan riba dan maisir (perjudian), karena mengandung kezaliman dan memakan harta orang lain secara batil. Demikian pula, syariat banyak melarang bentuk jual beli tertentu, karena mengandung kezaliman, contohnya: menjual di atas jualan saudaranya, ghabn (manipulasi harga, baik terlalu tinggi atau terlalu rendah menurut standar harga pasar), ghisy (penipuan), dan bentuk jual beli lainnya. [12] Contoh penerapan dalam transaksi muamalah Untuk lebih memahami prinsip ini, berikut kami sebutkan beberapa contoh akad muamalah yang haram karena mengandung unsur kezaliman, baik zalim terhadap individu tertentu atau masyarakat secara umum. [13] Contoh pertama, jual beli barang yang diharamkan oleh syariat. Misalnya, jual beli khamr, babi atau yang mengandung babi, jual beli narkoba, dan jual beli rokok. Contoh kedua, jual beli barang secara terpaksa. Karena di antara syarat sah jual beli adalah kedua belah pihak yang melakukan transaksi, yaitu penjual dan pembeli, harus saling rida ketika melakukan akad, tidak boleh ada unsur keterpaksaan. Hal ini berdasarkan surah An-Nisa’ ayat 29 yang telah kami sebutkan di atas. Meskipun demikian, terdapat beberapa bentuk jual beli terpaksa yang diperbolehkan. Misalnya, seorang hakim (qadhi) yang memerintahkan orang yang jatuh pailit untuk menjual asetnya dalam rangka melunasi utang-utangnya. Atau pemerintah boleh memaksa pemilik tanah untuk menjual tanahnya yang akan digunakan untuk proyek fasilitas umum, seperti jalan raya, rumah sakit, atau yang lainnya. Contoh ketiga, jual beli yang mengandung unsur kecurangan (ghisy). Misalnya, dengan mengurangi timbangan atau takaran; penjual menyembunyikan cacat (aib) barang yang dijual; dan penjual memalsukan merk produk (menjual barang tiruan atau melanggar hak cipta). Contoh keempat, ihtikar (menimbun barang). Bentuknya, seseorang membeli bahan-bahan pokok dari distributor (pemasok), kemudian ditimbun sampai barang tersebut menjadi langka pasaran. Ketika barang menjadi langka, tentu harga barang tersebut akan naik sangat tinggi, dan ketika itulah mereka menjualnya. Dengan demikian, mereka memperoleh keuntungan yang sangat besar. Jelaslah perbuatan ini menzalimi masyarakat banyak karena menyebabkan harga-harga bahan pokok melambung tinggi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئٌ “Ihtikar tidaklah dilakukan kecuali seorang pendosa.” (HR. Muslim no. 1605) Contoh kelima, praktek korupsi. Korupsi akan menzalimi orang banyak. Misalnya, korupsi pada objek-objek vital seperti jalan dan jembatan, sehingga kualitas pekerjaan tidak baik dan tidak memenuhi standar karena anggaran yang dikorupsi. [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** @16 Jumadil akhir 1446/ 18 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Mu’jam Al-Maqayis fil Lughah, hal. 641; Lisanul ‘Arab, 12: 373. [2] Lihat Mufradat Alfaz Al-Qur’an, hal. 537; Adz-Dzari’ah ila Makaarim Asy-Syari’ah, hal. 357; Tahdzib Al-Asma’ Al-Lughat, 3: 8; Majmu’ Al-Fatawa, 18: 157; Thariq Al-Hijratain, hal. 333. [3] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 263. [4] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 30: 237-240. [5] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 18: 166; Jami’ul Ulum wal Hikam, 2: 36. [6] Lihat Ad-Daa’ wad Dawaa’, hal. 255; Al-Fawaid, hal. 253; Al-Majmu’ah Al-Kamilah li Muallafati As-Sa’di, 5: 293. [7] Lihat Bada’i At-Tafsir Al-Jami’ li Tafsir Ibnil Qayyim, 4: 391. Dikutip dari Al-Jawaab Al-Kahfi, hal. 190. [8] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 469; Ahkamul Qur’an li Ibnil ‘Arabi, 1: 97; Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 3: 48. [9] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 18: 157. [10] Lihat Maraatib Al-Ijma’, hal. 67. [11] Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 126-127, 165; Majmu’ Al-Fatawa, 29: 283, 28: 385, 18: 157. [12] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 283; Tafsir Al-Manar, 2: 196. [13] Lihat Harta Haram Muamalat Kontemporer, Bab II (Harta Haram Hasil Kezaliman); karya Dr. Erwandi Tarmizi, MA.

Perhatian Terhadap Ilmu Syar’i Merupakan Salah Satu Ciri Dakwah Ahli Sunah

Daftar Isi Toggle Perhatian terhadap ilmu syar’iIlmu apa yang perlu diperhatikan agar kita pelajari? Perhatian terhadap ilmu syar’i Sekarang ini perhatian orang-orang terhadap ilmu syar’i mulai menurun. Bahkan, sebagian dari kelompok Islam tidaklah mengisi kegiatan mereka dengan menuntut ilmu syar’i. Parahnya sebagian dari mereka dalam kegiatan pengajiannya dan semisalnya hanya berisi hiburan dan komedi semata. Hal tersebut berbeda jauh dengan ciri ahli sunah. Dakwah ahli sunah yang sejati senantiasa menjaga agar tetap terjaganya ilmu syar’i, perhatian terhadap ilmu syar’i dengan perhatian yang besar. Karena ilmu syar’i merupakan pondasi dan asas yang kokoh bagi kaum muslimin. Tidak mungkin bisa seorang muslim bisa baik keadaanya tanpa mengetahui ilmu syar’i. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memerintahkan Rasul-Nya untuk berilmu sebelum beramal, sebagaimana dalam firman Allah, فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ “Ketahuilah (Nabi Muhammad) bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah, serta mohonlah ampunan atas dosamu dan (dosa) orang-orang mukmin, baik laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19) Memahami ilmu syar’i juga merupakan hal yang penting dan merupakan pondasi kita untuk bisa berjalan di atas jalan yang benar. Karena banyaknya jalan yang simpang siur di dunia ini yang bisa menjerumuskan seorang muslim ke dalam kesesatan, sebagaimana firman Allah, وَاَنَّ هٰذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُۚ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهٖۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ “Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) sehingga mencerai-beraikanmu dari jalan-Nya. Demikian itu, Dia perintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153) Juga berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِفْتَرَقَ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Kaum Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan.” (HR. Abu Dawud) Dari dalil di atas, bisa kita ketahui bahwa jalan-jalan yang ada di dunia ini banyak sekali. Akan tetapi, tidak ada jalan yang benar, kecuali jalan di atas sunah. Hal tersebut tentu tidak bisa kita ketahui, kecuali dengan berilmu. Ilmu yang benar bisa membantu kita untuk mengungkap hakikat jalan-jalan yang ada dan membimbing kita menuju jalan yang benar. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, قُلْ هٰذِهٖ سَبِيْلِيْٓ اَدْعُوْٓا اِلَى اللّٰهِۗ عَلٰى بَصِيْرَةٍ اَنَا۠ وَمَنِ اتَّبَعَنِيْۗ وَسُبْحٰنَ اللّٰهِ وَمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan bukti yang nyata. Mahasuci Allah dan aku tidak termasuk golongan orang-orang musyrik.’ ” (QS. Yusuf: 108) Maksud dari  (عَلٰى بَصِيْرَةٍ) pada ayat di atas adalah di atas petunjuk dan dalil yang keduanya merupakan ilmu syar’i. Memahami ilmu syar’i merupakan wasilah (sarana) agar kita bisa berjalan di atas jalan yang benar. Tidak mungkin tidak seseorang bisa mengetahui kebenaran tanpa adanya ilmu. Maka dari itu, menuntut ilmu merupakan perkara yang wajib yang harus diberikan perhatian yang besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik,  طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيرِ الْجَوْهَرَ وَاللُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Dan orang yang meletakkan ilmu bukan pada pada ahlinya, seperti seorang yang mengalungkan mutiara, intan, dan emas ke leher babi.” (HR. Ibnu Majah) Selain itu, paham ilmu syar’i merupakan salah satu tanda bahwa kita merupakan orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ “Barangsiapa yang Allah kehendaki menjadi baik, maka Allah akan pahamkan agama kepadanya.” (HR. Bukhari) Saking pentingnya ilmu syar’i, Imam Ahmad rahimahullah menyatakan bahwa ilmu lebih penting dari makan dan minum. Beliau rahimahullahu berkata, الناس إلى تعلم العلم أحوج منهم إلى الطعام والشراب؛ لأن الرجل يحتاج إلى الطعام والشراب في اليوم مرة أو مرتين وحاجته إلى العلم بعدد أنفاسه “Manusia lebih butuh terhadap mempelajari ilmu daripada makan dan minum. Dikarenakan seseorang butuh pada makan dan minum dalam satu hari hanya sekali atau dua kali saja. (Sedangkan) kebutuhan seseorang terhadap ilmu itu pada setiap hembusan nafasnya.” Bahkan, Imam Ahmad rahimahullahu menyatakan menuntut ilmu dan mengajarkan ilmu syar’i lebih dicintai dari ibadah sunah lainnya. Beliau rahimahullahu berkata, تَعَلُّم العلم وتعليمه أفضل من الجهاد وغيره مما يتطوع به “Belajar dan mengajarkan ilmu lebih utama dibandingkan jihad dan ibadah sunah lainnya.” Mengapa ilmu syar’i lebih penting dibandingkan dengan amalan sunah? Tentu karena hanya dengan ilmulah, kita bisa beramal dengan amalan yang benar di atas jalan yang benar. Selain itu, thalabul ilmi juga merupakan perkara yang wajib bagi seorang muslim sebagaimana hadis yang telah disebutkan. Maka dari itu, belajar dan mengajarkan ilmu syar’i lebih utama dibandingkan melakukan amalan yang sunah. Baca juga: Kelezatan Ilmu Syar’i (Ilmu Agama) Vs. Konser Musik Ilmu apa yang perlu diperhatikan agar kita pelajari? Setelah mengetahui pentingnya ilmu dan keutamaan menuntut ilmu, selanjutnya kita harus tahu ilmu apa yang seharusnya perlu menjadi perhatian kita agar dipelajari. Syekh Muhammad bin Abdul Wahab mengatakan dalam matan Ushul Tsalasah, اعْلمْ رَحِمَكَ اللهُ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَيْنَا تَعَلُّمُ أَرْبَع مَسَائِلَ :المسألة الأُولَى: الْعِلْمُ: وَهُوَ مَعْرِفَةُ اللهِ، وَمَعْرِفَةُ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَمَعْرِفَةُ دِينِ الإِسْلامِ بالأَدِلَّةِ “Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu-, bahwasanya wajib bagi kita untuk mengetahui empat perkara. Perkara yang pertama: Berilmu, yaitu mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengenal agama Islam dengan dalil-dalilnya….” Maka, ilmu yang paling awal harus kita pelajari tentu ilmu tentang mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya, dan mengenal agama Islam. Bisa dikatakan juga ilmu yang membuat seseorang bisa berdiri di atas Islam. Ilmu yang paling utama agar seseorang bisa berdiri di atas agama Islam adalah tauhid sebagaimana perintah Allah ‘Azza Wajalla. Ia berfirman, فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ “Ketahuilah (Nabi Muhammad), bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah serta mohonlah ampunan atas dosamu dan (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19) Setelah mempelajari tauhid dan dasar-dasar iman, ilmu apalagi yang penting jadi perhatian? Imam Ahmad rahimahullah berkata, يجب أن يطلب من العلم ما يقوم به دينه؛ قيل له مثل أي شيء؟ قال الذي لا يَسَعُه جهله؛ صلاته، وصيامه ونحو ذلك “Wajib untuk menuntut ilmu yang bisa menegakkan agamanya.” Ditanyakan padanya, “Semisal apa saja?” Ia menjawab, “Ilmu yang ketidaktahuannya tidak bisa membantunya, seperti salatnya, puasanya, dan semisalnya.” Maka, yang wajib menjadi perhatian bagi seorang muslim adalah ilmu yang membuatnya bisa menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim dan juga yang menjaganya agar bisa menjauhi hal-hal yang diharamkan. Sehingga, keadaan setiap orang berbeda-beda, seorang pedagang wajib mempelajari fikih jual beli, seorang petani dan peternak harus tahu seputar hukum zakat pertanian dan peternakan, dan semisalnya. Lalu bagaimanakah cara menuntut ilmu yang baik? Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Naml: 43) Maka, menuntut ilmu yang baik adalah bertanya kepada seorang ulama atau guru. Merupakan hal yang kurang baik ketika seseorang menuntut ilmu hanya mengandalkan buku semata tanpa guru yang membimbing. Pentingnya ilmu syar’i ini menyebabkan perlunya kita untuk perhatian terhadap ilmu. Jangan sampai kita terlena dengan dunia dan meninggalkan ilmu syar’i. Karena dengan ilmu, kita bisa berjalan di atas jalan yang benar, bukan di atas jalan-jalan orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat. Setelah kita mempelajari ilmu, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan tentunya adalah mengamalkannya. Jangan sampai kita menjadi orang yang dimurkai Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana dalam firman-Nya, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Sangat besarlah kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaf: 2-3) Baca juga: Tuntutlah Ilmu Syar’i Secara Ta’shili *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Kitab Ushulud Dakwatis Salafiyah, karya Syekh Abdullah bin Barjas.

Perhatian Terhadap Ilmu Syar’i Merupakan Salah Satu Ciri Dakwah Ahli Sunah

Daftar Isi Toggle Perhatian terhadap ilmu syar’iIlmu apa yang perlu diperhatikan agar kita pelajari? Perhatian terhadap ilmu syar’i Sekarang ini perhatian orang-orang terhadap ilmu syar’i mulai menurun. Bahkan, sebagian dari kelompok Islam tidaklah mengisi kegiatan mereka dengan menuntut ilmu syar’i. Parahnya sebagian dari mereka dalam kegiatan pengajiannya dan semisalnya hanya berisi hiburan dan komedi semata. Hal tersebut berbeda jauh dengan ciri ahli sunah. Dakwah ahli sunah yang sejati senantiasa menjaga agar tetap terjaganya ilmu syar’i, perhatian terhadap ilmu syar’i dengan perhatian yang besar. Karena ilmu syar’i merupakan pondasi dan asas yang kokoh bagi kaum muslimin. Tidak mungkin bisa seorang muslim bisa baik keadaanya tanpa mengetahui ilmu syar’i. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memerintahkan Rasul-Nya untuk berilmu sebelum beramal, sebagaimana dalam firman Allah, فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ “Ketahuilah (Nabi Muhammad) bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah, serta mohonlah ampunan atas dosamu dan (dosa) orang-orang mukmin, baik laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19) Memahami ilmu syar’i juga merupakan hal yang penting dan merupakan pondasi kita untuk bisa berjalan di atas jalan yang benar. Karena banyaknya jalan yang simpang siur di dunia ini yang bisa menjerumuskan seorang muslim ke dalam kesesatan, sebagaimana firman Allah, وَاَنَّ هٰذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُۚ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهٖۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ “Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) sehingga mencerai-beraikanmu dari jalan-Nya. Demikian itu, Dia perintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153) Juga berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِفْتَرَقَ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Kaum Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan.” (HR. Abu Dawud) Dari dalil di atas, bisa kita ketahui bahwa jalan-jalan yang ada di dunia ini banyak sekali. Akan tetapi, tidak ada jalan yang benar, kecuali jalan di atas sunah. Hal tersebut tentu tidak bisa kita ketahui, kecuali dengan berilmu. Ilmu yang benar bisa membantu kita untuk mengungkap hakikat jalan-jalan yang ada dan membimbing kita menuju jalan yang benar. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, قُلْ هٰذِهٖ سَبِيْلِيْٓ اَدْعُوْٓا اِلَى اللّٰهِۗ عَلٰى بَصِيْرَةٍ اَنَا۠ وَمَنِ اتَّبَعَنِيْۗ وَسُبْحٰنَ اللّٰهِ وَمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan bukti yang nyata. Mahasuci Allah dan aku tidak termasuk golongan orang-orang musyrik.’ ” (QS. Yusuf: 108) Maksud dari  (عَلٰى بَصِيْرَةٍ) pada ayat di atas adalah di atas petunjuk dan dalil yang keduanya merupakan ilmu syar’i. Memahami ilmu syar’i merupakan wasilah (sarana) agar kita bisa berjalan di atas jalan yang benar. Tidak mungkin tidak seseorang bisa mengetahui kebenaran tanpa adanya ilmu. Maka dari itu, menuntut ilmu merupakan perkara yang wajib yang harus diberikan perhatian yang besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik,  طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيرِ الْجَوْهَرَ وَاللُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Dan orang yang meletakkan ilmu bukan pada pada ahlinya, seperti seorang yang mengalungkan mutiara, intan, dan emas ke leher babi.” (HR. Ibnu Majah) Selain itu, paham ilmu syar’i merupakan salah satu tanda bahwa kita merupakan orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ “Barangsiapa yang Allah kehendaki menjadi baik, maka Allah akan pahamkan agama kepadanya.” (HR. Bukhari) Saking pentingnya ilmu syar’i, Imam Ahmad rahimahullah menyatakan bahwa ilmu lebih penting dari makan dan minum. Beliau rahimahullahu berkata, الناس إلى تعلم العلم أحوج منهم إلى الطعام والشراب؛ لأن الرجل يحتاج إلى الطعام والشراب في اليوم مرة أو مرتين وحاجته إلى العلم بعدد أنفاسه “Manusia lebih butuh terhadap mempelajari ilmu daripada makan dan minum. Dikarenakan seseorang butuh pada makan dan minum dalam satu hari hanya sekali atau dua kali saja. (Sedangkan) kebutuhan seseorang terhadap ilmu itu pada setiap hembusan nafasnya.” Bahkan, Imam Ahmad rahimahullahu menyatakan menuntut ilmu dan mengajarkan ilmu syar’i lebih dicintai dari ibadah sunah lainnya. Beliau rahimahullahu berkata, تَعَلُّم العلم وتعليمه أفضل من الجهاد وغيره مما يتطوع به “Belajar dan mengajarkan ilmu lebih utama dibandingkan jihad dan ibadah sunah lainnya.” Mengapa ilmu syar’i lebih penting dibandingkan dengan amalan sunah? Tentu karena hanya dengan ilmulah, kita bisa beramal dengan amalan yang benar di atas jalan yang benar. Selain itu, thalabul ilmi juga merupakan perkara yang wajib bagi seorang muslim sebagaimana hadis yang telah disebutkan. Maka dari itu, belajar dan mengajarkan ilmu syar’i lebih utama dibandingkan melakukan amalan yang sunah. Baca juga: Kelezatan Ilmu Syar’i (Ilmu Agama) Vs. Konser Musik Ilmu apa yang perlu diperhatikan agar kita pelajari? Setelah mengetahui pentingnya ilmu dan keutamaan menuntut ilmu, selanjutnya kita harus tahu ilmu apa yang seharusnya perlu menjadi perhatian kita agar dipelajari. Syekh Muhammad bin Abdul Wahab mengatakan dalam matan Ushul Tsalasah, اعْلمْ رَحِمَكَ اللهُ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَيْنَا تَعَلُّمُ أَرْبَع مَسَائِلَ :المسألة الأُولَى: الْعِلْمُ: وَهُوَ مَعْرِفَةُ اللهِ، وَمَعْرِفَةُ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَمَعْرِفَةُ دِينِ الإِسْلامِ بالأَدِلَّةِ “Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu-, bahwasanya wajib bagi kita untuk mengetahui empat perkara. Perkara yang pertama: Berilmu, yaitu mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengenal agama Islam dengan dalil-dalilnya….” Maka, ilmu yang paling awal harus kita pelajari tentu ilmu tentang mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya, dan mengenal agama Islam. Bisa dikatakan juga ilmu yang membuat seseorang bisa berdiri di atas Islam. Ilmu yang paling utama agar seseorang bisa berdiri di atas agama Islam adalah tauhid sebagaimana perintah Allah ‘Azza Wajalla. Ia berfirman, فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ “Ketahuilah (Nabi Muhammad), bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah serta mohonlah ampunan atas dosamu dan (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19) Setelah mempelajari tauhid dan dasar-dasar iman, ilmu apalagi yang penting jadi perhatian? Imam Ahmad rahimahullah berkata, يجب أن يطلب من العلم ما يقوم به دينه؛ قيل له مثل أي شيء؟ قال الذي لا يَسَعُه جهله؛ صلاته، وصيامه ونحو ذلك “Wajib untuk menuntut ilmu yang bisa menegakkan agamanya.” Ditanyakan padanya, “Semisal apa saja?” Ia menjawab, “Ilmu yang ketidaktahuannya tidak bisa membantunya, seperti salatnya, puasanya, dan semisalnya.” Maka, yang wajib menjadi perhatian bagi seorang muslim adalah ilmu yang membuatnya bisa menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim dan juga yang menjaganya agar bisa menjauhi hal-hal yang diharamkan. Sehingga, keadaan setiap orang berbeda-beda, seorang pedagang wajib mempelajari fikih jual beli, seorang petani dan peternak harus tahu seputar hukum zakat pertanian dan peternakan, dan semisalnya. Lalu bagaimanakah cara menuntut ilmu yang baik? Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Naml: 43) Maka, menuntut ilmu yang baik adalah bertanya kepada seorang ulama atau guru. Merupakan hal yang kurang baik ketika seseorang menuntut ilmu hanya mengandalkan buku semata tanpa guru yang membimbing. Pentingnya ilmu syar’i ini menyebabkan perlunya kita untuk perhatian terhadap ilmu. Jangan sampai kita terlena dengan dunia dan meninggalkan ilmu syar’i. Karena dengan ilmu, kita bisa berjalan di atas jalan yang benar, bukan di atas jalan-jalan orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat. Setelah kita mempelajari ilmu, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan tentunya adalah mengamalkannya. Jangan sampai kita menjadi orang yang dimurkai Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana dalam firman-Nya, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Sangat besarlah kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaf: 2-3) Baca juga: Tuntutlah Ilmu Syar’i Secara Ta’shili *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Kitab Ushulud Dakwatis Salafiyah, karya Syekh Abdullah bin Barjas.
Daftar Isi Toggle Perhatian terhadap ilmu syar’iIlmu apa yang perlu diperhatikan agar kita pelajari? Perhatian terhadap ilmu syar’i Sekarang ini perhatian orang-orang terhadap ilmu syar’i mulai menurun. Bahkan, sebagian dari kelompok Islam tidaklah mengisi kegiatan mereka dengan menuntut ilmu syar’i. Parahnya sebagian dari mereka dalam kegiatan pengajiannya dan semisalnya hanya berisi hiburan dan komedi semata. Hal tersebut berbeda jauh dengan ciri ahli sunah. Dakwah ahli sunah yang sejati senantiasa menjaga agar tetap terjaganya ilmu syar’i, perhatian terhadap ilmu syar’i dengan perhatian yang besar. Karena ilmu syar’i merupakan pondasi dan asas yang kokoh bagi kaum muslimin. Tidak mungkin bisa seorang muslim bisa baik keadaanya tanpa mengetahui ilmu syar’i. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memerintahkan Rasul-Nya untuk berilmu sebelum beramal, sebagaimana dalam firman Allah, فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ “Ketahuilah (Nabi Muhammad) bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah, serta mohonlah ampunan atas dosamu dan (dosa) orang-orang mukmin, baik laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19) Memahami ilmu syar’i juga merupakan hal yang penting dan merupakan pondasi kita untuk bisa berjalan di atas jalan yang benar. Karena banyaknya jalan yang simpang siur di dunia ini yang bisa menjerumuskan seorang muslim ke dalam kesesatan, sebagaimana firman Allah, وَاَنَّ هٰذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُۚ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهٖۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ “Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) sehingga mencerai-beraikanmu dari jalan-Nya. Demikian itu, Dia perintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153) Juga berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِفْتَرَقَ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Kaum Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan.” (HR. Abu Dawud) Dari dalil di atas, bisa kita ketahui bahwa jalan-jalan yang ada di dunia ini banyak sekali. Akan tetapi, tidak ada jalan yang benar, kecuali jalan di atas sunah. Hal tersebut tentu tidak bisa kita ketahui, kecuali dengan berilmu. Ilmu yang benar bisa membantu kita untuk mengungkap hakikat jalan-jalan yang ada dan membimbing kita menuju jalan yang benar. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, قُلْ هٰذِهٖ سَبِيْلِيْٓ اَدْعُوْٓا اِلَى اللّٰهِۗ عَلٰى بَصِيْرَةٍ اَنَا۠ وَمَنِ اتَّبَعَنِيْۗ وَسُبْحٰنَ اللّٰهِ وَمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan bukti yang nyata. Mahasuci Allah dan aku tidak termasuk golongan orang-orang musyrik.’ ” (QS. Yusuf: 108) Maksud dari  (عَلٰى بَصِيْرَةٍ) pada ayat di atas adalah di atas petunjuk dan dalil yang keduanya merupakan ilmu syar’i. Memahami ilmu syar’i merupakan wasilah (sarana) agar kita bisa berjalan di atas jalan yang benar. Tidak mungkin tidak seseorang bisa mengetahui kebenaran tanpa adanya ilmu. Maka dari itu, menuntut ilmu merupakan perkara yang wajib yang harus diberikan perhatian yang besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik,  طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيرِ الْجَوْهَرَ وَاللُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Dan orang yang meletakkan ilmu bukan pada pada ahlinya, seperti seorang yang mengalungkan mutiara, intan, dan emas ke leher babi.” (HR. Ibnu Majah) Selain itu, paham ilmu syar’i merupakan salah satu tanda bahwa kita merupakan orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ “Barangsiapa yang Allah kehendaki menjadi baik, maka Allah akan pahamkan agama kepadanya.” (HR. Bukhari) Saking pentingnya ilmu syar’i, Imam Ahmad rahimahullah menyatakan bahwa ilmu lebih penting dari makan dan minum. Beliau rahimahullahu berkata, الناس إلى تعلم العلم أحوج منهم إلى الطعام والشراب؛ لأن الرجل يحتاج إلى الطعام والشراب في اليوم مرة أو مرتين وحاجته إلى العلم بعدد أنفاسه “Manusia lebih butuh terhadap mempelajari ilmu daripada makan dan minum. Dikarenakan seseorang butuh pada makan dan minum dalam satu hari hanya sekali atau dua kali saja. (Sedangkan) kebutuhan seseorang terhadap ilmu itu pada setiap hembusan nafasnya.” Bahkan, Imam Ahmad rahimahullahu menyatakan menuntut ilmu dan mengajarkan ilmu syar’i lebih dicintai dari ibadah sunah lainnya. Beliau rahimahullahu berkata, تَعَلُّم العلم وتعليمه أفضل من الجهاد وغيره مما يتطوع به “Belajar dan mengajarkan ilmu lebih utama dibandingkan jihad dan ibadah sunah lainnya.” Mengapa ilmu syar’i lebih penting dibandingkan dengan amalan sunah? Tentu karena hanya dengan ilmulah, kita bisa beramal dengan amalan yang benar di atas jalan yang benar. Selain itu, thalabul ilmi juga merupakan perkara yang wajib bagi seorang muslim sebagaimana hadis yang telah disebutkan. Maka dari itu, belajar dan mengajarkan ilmu syar’i lebih utama dibandingkan melakukan amalan yang sunah. Baca juga: Kelezatan Ilmu Syar’i (Ilmu Agama) Vs. Konser Musik Ilmu apa yang perlu diperhatikan agar kita pelajari? Setelah mengetahui pentingnya ilmu dan keutamaan menuntut ilmu, selanjutnya kita harus tahu ilmu apa yang seharusnya perlu menjadi perhatian kita agar dipelajari. Syekh Muhammad bin Abdul Wahab mengatakan dalam matan Ushul Tsalasah, اعْلمْ رَحِمَكَ اللهُ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَيْنَا تَعَلُّمُ أَرْبَع مَسَائِلَ :المسألة الأُولَى: الْعِلْمُ: وَهُوَ مَعْرِفَةُ اللهِ، وَمَعْرِفَةُ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَمَعْرِفَةُ دِينِ الإِسْلامِ بالأَدِلَّةِ “Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu-, bahwasanya wajib bagi kita untuk mengetahui empat perkara. Perkara yang pertama: Berilmu, yaitu mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengenal agama Islam dengan dalil-dalilnya….” Maka, ilmu yang paling awal harus kita pelajari tentu ilmu tentang mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya, dan mengenal agama Islam. Bisa dikatakan juga ilmu yang membuat seseorang bisa berdiri di atas Islam. Ilmu yang paling utama agar seseorang bisa berdiri di atas agama Islam adalah tauhid sebagaimana perintah Allah ‘Azza Wajalla. Ia berfirman, فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ “Ketahuilah (Nabi Muhammad), bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah serta mohonlah ampunan atas dosamu dan (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19) Setelah mempelajari tauhid dan dasar-dasar iman, ilmu apalagi yang penting jadi perhatian? Imam Ahmad rahimahullah berkata, يجب أن يطلب من العلم ما يقوم به دينه؛ قيل له مثل أي شيء؟ قال الذي لا يَسَعُه جهله؛ صلاته، وصيامه ونحو ذلك “Wajib untuk menuntut ilmu yang bisa menegakkan agamanya.” Ditanyakan padanya, “Semisal apa saja?” Ia menjawab, “Ilmu yang ketidaktahuannya tidak bisa membantunya, seperti salatnya, puasanya, dan semisalnya.” Maka, yang wajib menjadi perhatian bagi seorang muslim adalah ilmu yang membuatnya bisa menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim dan juga yang menjaganya agar bisa menjauhi hal-hal yang diharamkan. Sehingga, keadaan setiap orang berbeda-beda, seorang pedagang wajib mempelajari fikih jual beli, seorang petani dan peternak harus tahu seputar hukum zakat pertanian dan peternakan, dan semisalnya. Lalu bagaimanakah cara menuntut ilmu yang baik? Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Naml: 43) Maka, menuntut ilmu yang baik adalah bertanya kepada seorang ulama atau guru. Merupakan hal yang kurang baik ketika seseorang menuntut ilmu hanya mengandalkan buku semata tanpa guru yang membimbing. Pentingnya ilmu syar’i ini menyebabkan perlunya kita untuk perhatian terhadap ilmu. Jangan sampai kita terlena dengan dunia dan meninggalkan ilmu syar’i. Karena dengan ilmu, kita bisa berjalan di atas jalan yang benar, bukan di atas jalan-jalan orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat. Setelah kita mempelajari ilmu, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan tentunya adalah mengamalkannya. Jangan sampai kita menjadi orang yang dimurkai Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana dalam firman-Nya, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Sangat besarlah kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaf: 2-3) Baca juga: Tuntutlah Ilmu Syar’i Secara Ta’shili *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Kitab Ushulud Dakwatis Salafiyah, karya Syekh Abdullah bin Barjas.


Daftar Isi Toggle Perhatian terhadap ilmu syar’iIlmu apa yang perlu diperhatikan agar kita pelajari? Perhatian terhadap ilmu syar’i Sekarang ini perhatian orang-orang terhadap ilmu syar’i mulai menurun. Bahkan, sebagian dari kelompok Islam tidaklah mengisi kegiatan mereka dengan menuntut ilmu syar’i. Parahnya sebagian dari mereka dalam kegiatan pengajiannya dan semisalnya hanya berisi hiburan dan komedi semata. Hal tersebut berbeda jauh dengan ciri ahli sunah. Dakwah ahli sunah yang sejati senantiasa menjaga agar tetap terjaganya ilmu syar’i, perhatian terhadap ilmu syar’i dengan perhatian yang besar. Karena ilmu syar’i merupakan pondasi dan asas yang kokoh bagi kaum muslimin. Tidak mungkin bisa seorang muslim bisa baik keadaanya tanpa mengetahui ilmu syar’i. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memerintahkan Rasul-Nya untuk berilmu sebelum beramal, sebagaimana dalam firman Allah, فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ “Ketahuilah (Nabi Muhammad) bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah, serta mohonlah ampunan atas dosamu dan (dosa) orang-orang mukmin, baik laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19) Memahami ilmu syar’i juga merupakan hal yang penting dan merupakan pondasi kita untuk bisa berjalan di atas jalan yang benar. Karena banyaknya jalan yang simpang siur di dunia ini yang bisa menjerumuskan seorang muslim ke dalam kesesatan, sebagaimana firman Allah, وَاَنَّ هٰذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُۚ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهٖۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ “Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) sehingga mencerai-beraikanmu dari jalan-Nya. Demikian itu, Dia perintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153) Juga berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِفْتَرَقَ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Kaum Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan.” (HR. Abu Dawud) Dari dalil di atas, bisa kita ketahui bahwa jalan-jalan yang ada di dunia ini banyak sekali. Akan tetapi, tidak ada jalan yang benar, kecuali jalan di atas sunah. Hal tersebut tentu tidak bisa kita ketahui, kecuali dengan berilmu. Ilmu yang benar bisa membantu kita untuk mengungkap hakikat jalan-jalan yang ada dan membimbing kita menuju jalan yang benar. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, قُلْ هٰذِهٖ سَبِيْلِيْٓ اَدْعُوْٓا اِلَى اللّٰهِۗ عَلٰى بَصِيْرَةٍ اَنَا۠ وَمَنِ اتَّبَعَنِيْۗ وَسُبْحٰنَ اللّٰهِ وَمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan bukti yang nyata. Mahasuci Allah dan aku tidak termasuk golongan orang-orang musyrik.’ ” (QS. Yusuf: 108) Maksud dari  (عَلٰى بَصِيْرَةٍ) pada ayat di atas adalah di atas petunjuk dan dalil yang keduanya merupakan ilmu syar’i. Memahami ilmu syar’i merupakan wasilah (sarana) agar kita bisa berjalan di atas jalan yang benar. Tidak mungkin tidak seseorang bisa mengetahui kebenaran tanpa adanya ilmu. Maka dari itu, menuntut ilmu merupakan perkara yang wajib yang harus diberikan perhatian yang besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik,  طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيرِ الْجَوْهَرَ وَاللُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Dan orang yang meletakkan ilmu bukan pada pada ahlinya, seperti seorang yang mengalungkan mutiara, intan, dan emas ke leher babi.” (HR. Ibnu Majah) Selain itu, paham ilmu syar’i merupakan salah satu tanda bahwa kita merupakan orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ “Barangsiapa yang Allah kehendaki menjadi baik, maka Allah akan pahamkan agama kepadanya.” (HR. Bukhari) Saking pentingnya ilmu syar’i, Imam Ahmad rahimahullah menyatakan bahwa ilmu lebih penting dari makan dan minum. Beliau rahimahullahu berkata, الناس إلى تعلم العلم أحوج منهم إلى الطعام والشراب؛ لأن الرجل يحتاج إلى الطعام والشراب في اليوم مرة أو مرتين وحاجته إلى العلم بعدد أنفاسه “Manusia lebih butuh terhadap mempelajari ilmu daripada makan dan minum. Dikarenakan seseorang butuh pada makan dan minum dalam satu hari hanya sekali atau dua kali saja. (Sedangkan) kebutuhan seseorang terhadap ilmu itu pada setiap hembusan nafasnya.” Bahkan, Imam Ahmad rahimahullahu menyatakan menuntut ilmu dan mengajarkan ilmu syar’i lebih dicintai dari ibadah sunah lainnya. Beliau rahimahullahu berkata, تَعَلُّم العلم وتعليمه أفضل من الجهاد وغيره مما يتطوع به “Belajar dan mengajarkan ilmu lebih utama dibandingkan jihad dan ibadah sunah lainnya.” Mengapa ilmu syar’i lebih penting dibandingkan dengan amalan sunah? Tentu karena hanya dengan ilmulah, kita bisa beramal dengan amalan yang benar di atas jalan yang benar. Selain itu, thalabul ilmi juga merupakan perkara yang wajib bagi seorang muslim sebagaimana hadis yang telah disebutkan. Maka dari itu, belajar dan mengajarkan ilmu syar’i lebih utama dibandingkan melakukan amalan yang sunah. Baca juga: Kelezatan Ilmu Syar’i (Ilmu Agama) Vs. Konser Musik Ilmu apa yang perlu diperhatikan agar kita pelajari? Setelah mengetahui pentingnya ilmu dan keutamaan menuntut ilmu, selanjutnya kita harus tahu ilmu apa yang seharusnya perlu menjadi perhatian kita agar dipelajari. Syekh Muhammad bin Abdul Wahab mengatakan dalam matan Ushul Tsalasah, اعْلمْ رَحِمَكَ اللهُ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَيْنَا تَعَلُّمُ أَرْبَع مَسَائِلَ :المسألة الأُولَى: الْعِلْمُ: وَهُوَ مَعْرِفَةُ اللهِ، وَمَعْرِفَةُ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَمَعْرِفَةُ دِينِ الإِسْلامِ بالأَدِلَّةِ “Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu-, bahwasanya wajib bagi kita untuk mengetahui empat perkara. Perkara yang pertama: Berilmu, yaitu mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengenal agama Islam dengan dalil-dalilnya….” Maka, ilmu yang paling awal harus kita pelajari tentu ilmu tentang mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya, dan mengenal agama Islam. Bisa dikatakan juga ilmu yang membuat seseorang bisa berdiri di atas Islam. Ilmu yang paling utama agar seseorang bisa berdiri di atas agama Islam adalah tauhid sebagaimana perintah Allah ‘Azza Wajalla. Ia berfirman, فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ “Ketahuilah (Nabi Muhammad), bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah serta mohonlah ampunan atas dosamu dan (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19) Setelah mempelajari tauhid dan dasar-dasar iman, ilmu apalagi yang penting jadi perhatian? Imam Ahmad rahimahullah berkata, يجب أن يطلب من العلم ما يقوم به دينه؛ قيل له مثل أي شيء؟ قال الذي لا يَسَعُه جهله؛ صلاته، وصيامه ونحو ذلك “Wajib untuk menuntut ilmu yang bisa menegakkan agamanya.” Ditanyakan padanya, “Semisal apa saja?” Ia menjawab, “Ilmu yang ketidaktahuannya tidak bisa membantunya, seperti salatnya, puasanya, dan semisalnya.” Maka, yang wajib menjadi perhatian bagi seorang muslim adalah ilmu yang membuatnya bisa menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim dan juga yang menjaganya agar bisa menjauhi hal-hal yang diharamkan. Sehingga, keadaan setiap orang berbeda-beda, seorang pedagang wajib mempelajari fikih jual beli, seorang petani dan peternak harus tahu seputar hukum zakat pertanian dan peternakan, dan semisalnya. Lalu bagaimanakah cara menuntut ilmu yang baik? Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Naml: 43) Maka, menuntut ilmu yang baik adalah bertanya kepada seorang ulama atau guru. Merupakan hal yang kurang baik ketika seseorang menuntut ilmu hanya mengandalkan buku semata tanpa guru yang membimbing. Pentingnya ilmu syar’i ini menyebabkan perlunya kita untuk perhatian terhadap ilmu. Jangan sampai kita terlena dengan dunia dan meninggalkan ilmu syar’i. Karena dengan ilmu, kita bisa berjalan di atas jalan yang benar, bukan di atas jalan-jalan orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat. Setelah kita mempelajari ilmu, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan tentunya adalah mengamalkannya. Jangan sampai kita menjadi orang yang dimurkai Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana dalam firman-Nya, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Sangat besarlah kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaf: 2-3) Baca juga: Tuntutlah Ilmu Syar’i Secara Ta’shili *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Kitab Ushulud Dakwatis Salafiyah, karya Syekh Abdullah bin Barjas.

Hukum Poligami: Ketentuan Menikah dengan Empat Istri dalam Islam

Poligami dan hukum menikahi budak wanita muslimah adalah bagian dari syariat Islam yang memiliki aturan jelas berdasarkan Al-Quran dan hadits. Islam menetapkan batasan dan syarat yang harus dipenuhi, termasuk keadilan dalam poligami serta kondisi tertentu untuk menikahi budak wanita. Artikel ini membahas secara ringkas dalil dan penjelasan terkait kedua topik tersebut untuk memberikan pemahaman yang mendalam sesuai ajaran Islam.  Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 2. Tujuan Menikah 3. Dalil Syariat Poligami 4. Disunnahkan Satu Istri Saja 5. Poligami Tetapi Tidak Berlaku Adil 6. Yang Hendak Berpoligami, Hendaklah Memiliki 3 Modal: Kemampuan Fisik, Finansial, dan Kepercayaan Diri untuk Berbuat Adil 7. Catatan dalam Pembagian Malam 8. Menikahi Budak Wanita 8.1. Referensi: 8.2. Referensi web: Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata:النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ.Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah. Penjelasan:Tujuan MenikahDisebutkan dalam kitab ulama Syafiiyah,قال الأطباء ومقاصد النكاح ثلاثة: حفظ النسل وإخراج الماء الذي يضر احتباسه بالبدن ونيل اللذة، وهذه الثالثة هي التي في الجنة إذ لا تناسل هناك ولا احتباس.Para dokter berkata bahwa tujuan utama pernikahan ada tiga:1. Melestarikan keturunan,2. Mengeluarkan air (mani) yang dapat membahayakan tubuh jika ditahan terlalu lama,3. Memperoleh kenikmatan (dengan berjimak).Tujuan yang ketiga di atas adalah kenikmatan yang didapati lagi di surga, karena di sana tidak ada reproduksi dan penumpukan air mani. (Asna al-Mathalib Syarh Raudh ath-Thalib li Zakariyya al-Anshariy, 3:98) Dalil Syariat PoligamiAllah Ta’ala berfirman,فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.” (QS. An Nisa’: 3)Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Baajuri rahimahullah berkata, “Nikahilah dua, tiga, atau empat dari wanita yang kau sukai, tidak boleh lebih dari empat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada Ghilan di mana ketika masuk Islam, ia memiliki sepuluh istri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan,َّأَمسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُن“Tahan empat, ceraikan sisanya.” (HR. Al-Hakim, 2:192; Ibnu Hibban, 4157 dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma). Jika Ghilan diperintahkan mempertahankan empat, maka yang menikahi empat wanita sedari awal tentu dibolehkan. (Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 3:319)Al-Harits bin Qais berkata, “Aku berislam dan saat itu aku memiliki delapan istri, maka aku menyebutkan hal itu pada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, kemudian beliau bersabda,اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا“Pilihlah empat di antara mereka.” (HR. Abu Daud no. 2241 dan Ibnu Majah no. 1953, shahih)Baca juga: Poligami, Wahyu Ilahi yang DitolakPoligami Tanpa Diketahui Istri Pertama10 Alasan Istri Tidak Mau DipoligamiAnjuran Para Ulama, Cukup Satu Istri SajaSetelah Khadijah Meninggal Dunia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai Berpoligami Disunnahkan Satu Istri SajaMadzhab kebanyakan ulama adalah disunnahkan cukup satu istri saja.Abul Husain Al-‘Imrani mengatakan bahwa Imam Syafii rahimahullah berkata, “Aku suka pada laki-laki yang mencukupkan pada satu istri saja, walaupun memiliki istri lebih dari satu diperbolehkan karena Allah Ta’ala berfirman,فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa: 3).”Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata bahwa tidak tepat berdalil dengan ayat berikut untuk menyatakan sunnahnya poligami,وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa: 3)Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata: Karena ayat di atas menunjukkan makna DIBOLEHKAN, bukan anjuran harus berpoligami.Sebab turunnya ayat di atas juga menunjukkan bahwa poligami itu mubah bagi yang menginginkannya, bukan menunjukkan hukum asal menikah adalah harus berpoligami.Sebab turunnya ayat ini adalah: Mereka ingin menikahi wanita yatim tetapi meremehkan hak wanita tersebut atas mahar yang layak. Maka Allah Ta’ala memerintahkan mereka untuk memberikan mahar kepada wanita yatim sebagaimana yang diberikan kepada wanita lain. Jika tidak mampu berlaku adil, mereka diperintahkan untuk menikahi wanita lain yang masih banyak tersedia.Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Al-Mumti’ (12:12) menjelaskan, “Membatasi diri pada satu istri lebih aman. Namun, jika seseorang merasa bahwa satu istri tidak mencukupinya dan ia khawatir terjerumus ke dalam zina, maka kami anjurkan untuk menikahi istri kedua, ketiga, hingga keempat. Dengan demikian, ia dapat mencapai ketenangan jiwa, menjaga pandangan, dan menenangkan hatinya.”Baca juga: Anjuran Para Ulama Cukup Satu Istri Saja Poligami Tetapi Tidak Berlaku AdilDari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ“Siapa yang memiliki dua orang istri lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu Daud no. 2133, Ibnu Majah no. 1969, An Nasai no. 3394. Syaikh Al-Albani menyatakan hadits tersebut shahih sebagaimana dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 1949).Hadits ini memberikan peringatan tegas kepada suami yang tidak berlaku adil kepada istri-istrinya. Ketidakadilan ini digambarkan dengan kondisi fisik yang miring pada hari kiamat, sebagai hukuman atas sikap condongnya kepada salah satu istri.Al-‘Azhim Abadi menjelaskan bahwa makna hadits ini merujuk pada ketidakadilan seorang suami terhadap istri-istrinya, baik dalam pembagian malam maupun nafkah. Jika seorang suami hanya memperhatikan satu istri sementara mengabaikan yang lain, maka kelak di akhirat, salah satu sisi tubuhnya akan mengalami kelumpuhan. Ini adalah simbol dari ketimpangan yang dilakukannya selama di dunia (‘Aunul Ma’bud, 6:124).Beliau juga menegaskan bahwa keadilan dalam poligami wajib dilakukan dalam aspek-aspek yang mampu diusahakan oleh suami, seperti pembagian waktu malam dan nafkah. Namun, keadilan dalam hal perasaan, seperti cinta dan kecenderungan hati, tidak menjadi tuntutan karena manusia tidak dapat mengendalikan sepenuhnya hal tersebut.Dalam kitab tafsirnya, Syaikh As-Sa’di menjelaskan makna ayat yang terkait dengan keadilan dalam poligami. Allah memaklumi bahwa suami tidak mampu berlaku adil secara sempurna, terutama dalam hal cinta dan perasaan. Namun, dalam aspek yang dapat diusahakan seperti nafkah, pakaian, dan pembagian malam, Allah menuntut suami untuk berbuat adil.Syaikh As-Sa’di menambahkan, “Adil dalam masalah nafkah, pakaian, pembagian malam, dan hal-hal serupa wajib dilakukan. Namun, kecintaan hati dan kenikmatan hubungan intim tidak termasuk dalam kewajiban untuk disamakan, karena hal ini di luar kendali manusia.”Hadits dan penjelasan ulama di atas memberikan panduan bagi suami yang menjalani poligami. Keadilan dalam aspek-aspek yang dapat diusahakan, seperti nafkah dan pembagian waktu, adalah kewajiban syari yang harus dijalankan. Namun, Allah memberikan keringanan dalam hal yang di luar kendali manusia, seperti perasaan cinta. Ketidakadilan yang disengaja akan membawa konsekuensi berat di akhirat.Poligami dalam Islam bukanlah tentang mengejar keinginan semata, tetapi memikul tanggung jawab besar untuk berbuat adil sesuai tuntunan syariat. Suami yang berlaku adil tidak hanya menjalankan kewajiban duniawi, tetapi juga meraih rida Allah di akhirat.Baca juga: Poligami, Bisakah Adil? Yang Hendak Berpoligami, Hendaklah Memiliki 3 Modal: Kemampuan Fisik, Finansial, dan Kepercayaan Diri untuk Berbuat AdilIslam memperbolehkan seorang laki-laki untuk menikahi lebih dari satu istri, hingga maksimal empat istri, dengan syarat ia memiliki kemampuan finansial dan fisik yang memadai. Selain itu, syarat lain yang harus dipenuhi adalah tidak adanya kekhawatiran bahwa ia akan berlaku tidak adil jika menikahi lebih dari satu istri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.” (QS. An-Nisa: 3).Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan: “Barang siapa khawatir tidak dapat berlaku adil, maka cukuplah baginya menikahi satu istri.”Sementara itu, Ibnu Al-Arabi Al-Maliki dalam kitab Ahkamul Qur’an menyatakan, “Jika seorang laki-laki memiliki kemampuan finansial dan fisik untuk menikahi empat istri, maka silakan ia melakukannya. Namun, jika ia tidak mampu secara finansial maupun fisik, maka cukuplah baginya satu istri.”Berdasarkan penjelasan ini, setiap laki-laki yang merasa memiliki kemampuan finansial, fisik, serta kepercayaan diri untuk berlaku adil, tidak ada larangan baginya untuk menikahi lebih dari satu istri. Bahkan, hal tersebut bisa menjadi kebaikan baginya. Catatan dalam Pembagian MalamPara ulama fikih telah menetapkan bahwa dasar pembagian giliran antara istri adalah malam hari, sedangkan siang hari mengikuti malam hari dalam hal ini.Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni ketika menjelaskan pernyataan Al-Khiraqi “dan dasar pembagian giliran adalah malam hari” mengatakan: “Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini, karena malam hari adalah waktu untuk beristirahat dan tempat tinggal. Pada malam hari, seseorang kembali ke rumahnya, merasa tenang bersama keluarganya, dan tidur di ranjang bersama istrinya sebagaimana kebiasaan. Adapun siang hari adalah waktu untuk bekerja, keluar rumah, mencari penghasilan, dan melakukan aktivitas lainnya. Siang hari masuk dalam pembagian giliran mengikuti malam hari.”Para ulama juga menyebutkan bahwa seorang suami diperbolehkan masuk ke rumah istri yang bukan gilirannya pada siang hari jika ada kebutuhan tertentu, tetapi tidak diperbolehkan berhubungan badan dengannya.Ibnu Qudamah juga mengatakan: “Adapun masuk ke rumah istri di hari yang bukan gilirannya, hal itu diperbolehkan jika ada kebutuhan, seperti memberikan nafkah, menjenguknya, menanyakan sesuatu yang penting untuk diketahui, atau mengunjunginya karena sudah lama tidak bertemu, dan hal serupa. Namun, jika ia masuk, ia tidak boleh berhubungan badan dengannya dan tidak boleh berlama-lama di sana, karena hal itu memberikan rasa ketenangan, sementara ia tidak berhak mendapatkannya.”Kami tidak menemukan pendapat dari seorang pun ulama yang membolehkan seorang suami berhubungan badan dengan istri lain di siang hari hanya karena istri yang mendapat giliran sedang bekerja. Maka, hukum asalnya tetap, yaitu larangan. Menikahi Budak WanitaAl-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata, “Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.”Ada dua syarat lagi yang tidak disebutkan oleh Abu Syuja’ lalu dijelaskan di Fath Al-Qarib: (3) tidak ada lagi wanita muslimah atau wanita ahli kitab yang merdeka yang nantinya digauli dan (4) budak wanita tadi beragama Islam karena seorang pria muslim tidak boleh menikahi wanita budah yang ahli kitab. Jika seorang pria merdeka telah menikahi seorang budak lantas ia mendapatkan kemudahan menikahi wanita merdeka, maka pernikahan dengan budak tadi tidaklah batal.Dalil boleh menikahi budak muslimah adalah,وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ“Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 25)Baca juga: Hukum MenikahCatatan: Budak di masa silam adalah individu yang tidak memiliki kebebasan pribadi karena menjadi milik orang lain. Mereka didapatkan melalui perang, pembelian, atau warisan, sesuai dengan aturan yang berlaku pada masa itu. Sedangkan pembantu pada zaman ini adalah pekerja yang bekerja secara sukarela berdasarkan kontrak atau kesepakatan, memiliki hak penuh atas kebebasannya, dan tidak dimiliki oleh majikan. Islam mengatur perbudakan dengan sangat manusiawi di zamannya, bahkan mendorong pembebasan budak sebagai amalan mulia.Baca juga: Berbagai Pembahasan Poligami di Rumaysho.Com Referensi:Al-Ashfahaniy, A. b. A. H. (1428 H). Mukhtashor Abi Syuja’ (Matan Al Ghoyah wat Taqrib atau Ghoyah Al Ikhtishor)(Cetakan pertama). Darul Minhaj.Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (1441 H). Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’(Cetakan kedua). Dar Al-Minhaj.Al-Bugho, M. (1428 H). At Tadzhib fii Adillati Matn Al Ghoyah wat Taqrib (Cetakan kesebelas). Darul Musthofa.Al-Ghozzi, M. b. Q. b. M. (1425 H). Fathul Qorib Al Mujiib fii Syarh Alfazhit Taqriib (Al Qoul Al Mukhtaar fii Syarh Ghoyatil Ikhtishor) (Cetakan pertama). Dar Ibnu Hazm.Al-Hushoini, T. A. B. b. M. (n.d.). Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor.Al-Kaamil Haamid, H. (1432 H). Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii (Cetakan pertama). Dar Al-Manar. Referensi web:https://www.islamweb.net/ar/fatwa/484900/حكم-وطء-الزوجة-نهارا-في-بيتها-في-دور-ضرتها-التي-في-العملhttps://www.islamweb.net/amp/ar/fatwa/7844/ – Ditulis pada 7 Rajab 1446 H, 7 Januari 2025 di Darush Sholihin GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbatasan poligami dalil Al-Quran tentang poligami dalil poligami etika poligami hukum menikahi budak wanita hukum pernikahan dalam Islam Hukum poligami dalam Islam keadilan dalam poligami matan taqrib matan taqrib kitab nikah menikah dengan empat istri panduan nikah Islami panduan syariat menikah pernikahan dengan budak muslimah poligami poligami sesuai syariat syarat menikahi budak syarat poligami

Hukum Poligami: Ketentuan Menikah dengan Empat Istri dalam Islam

Poligami dan hukum menikahi budak wanita muslimah adalah bagian dari syariat Islam yang memiliki aturan jelas berdasarkan Al-Quran dan hadits. Islam menetapkan batasan dan syarat yang harus dipenuhi, termasuk keadilan dalam poligami serta kondisi tertentu untuk menikahi budak wanita. Artikel ini membahas secara ringkas dalil dan penjelasan terkait kedua topik tersebut untuk memberikan pemahaman yang mendalam sesuai ajaran Islam.  Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 2. Tujuan Menikah 3. Dalil Syariat Poligami 4. Disunnahkan Satu Istri Saja 5. Poligami Tetapi Tidak Berlaku Adil 6. Yang Hendak Berpoligami, Hendaklah Memiliki 3 Modal: Kemampuan Fisik, Finansial, dan Kepercayaan Diri untuk Berbuat Adil 7. Catatan dalam Pembagian Malam 8. Menikahi Budak Wanita 8.1. Referensi: 8.2. Referensi web: Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata:النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ.Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah. Penjelasan:Tujuan MenikahDisebutkan dalam kitab ulama Syafiiyah,قال الأطباء ومقاصد النكاح ثلاثة: حفظ النسل وإخراج الماء الذي يضر احتباسه بالبدن ونيل اللذة، وهذه الثالثة هي التي في الجنة إذ لا تناسل هناك ولا احتباس.Para dokter berkata bahwa tujuan utama pernikahan ada tiga:1. Melestarikan keturunan,2. Mengeluarkan air (mani) yang dapat membahayakan tubuh jika ditahan terlalu lama,3. Memperoleh kenikmatan (dengan berjimak).Tujuan yang ketiga di atas adalah kenikmatan yang didapati lagi di surga, karena di sana tidak ada reproduksi dan penumpukan air mani. (Asna al-Mathalib Syarh Raudh ath-Thalib li Zakariyya al-Anshariy, 3:98) Dalil Syariat PoligamiAllah Ta’ala berfirman,فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.” (QS. An Nisa’: 3)Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Baajuri rahimahullah berkata, “Nikahilah dua, tiga, atau empat dari wanita yang kau sukai, tidak boleh lebih dari empat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada Ghilan di mana ketika masuk Islam, ia memiliki sepuluh istri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan,َّأَمسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُن“Tahan empat, ceraikan sisanya.” (HR. Al-Hakim, 2:192; Ibnu Hibban, 4157 dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma). Jika Ghilan diperintahkan mempertahankan empat, maka yang menikahi empat wanita sedari awal tentu dibolehkan. (Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 3:319)Al-Harits bin Qais berkata, “Aku berislam dan saat itu aku memiliki delapan istri, maka aku menyebutkan hal itu pada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, kemudian beliau bersabda,اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا“Pilihlah empat di antara mereka.” (HR. Abu Daud no. 2241 dan Ibnu Majah no. 1953, shahih)Baca juga: Poligami, Wahyu Ilahi yang DitolakPoligami Tanpa Diketahui Istri Pertama10 Alasan Istri Tidak Mau DipoligamiAnjuran Para Ulama, Cukup Satu Istri SajaSetelah Khadijah Meninggal Dunia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai Berpoligami Disunnahkan Satu Istri SajaMadzhab kebanyakan ulama adalah disunnahkan cukup satu istri saja.Abul Husain Al-‘Imrani mengatakan bahwa Imam Syafii rahimahullah berkata, “Aku suka pada laki-laki yang mencukupkan pada satu istri saja, walaupun memiliki istri lebih dari satu diperbolehkan karena Allah Ta’ala berfirman,فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa: 3).”Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata bahwa tidak tepat berdalil dengan ayat berikut untuk menyatakan sunnahnya poligami,وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa: 3)Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata: Karena ayat di atas menunjukkan makna DIBOLEHKAN, bukan anjuran harus berpoligami.Sebab turunnya ayat di atas juga menunjukkan bahwa poligami itu mubah bagi yang menginginkannya, bukan menunjukkan hukum asal menikah adalah harus berpoligami.Sebab turunnya ayat ini adalah: Mereka ingin menikahi wanita yatim tetapi meremehkan hak wanita tersebut atas mahar yang layak. Maka Allah Ta’ala memerintahkan mereka untuk memberikan mahar kepada wanita yatim sebagaimana yang diberikan kepada wanita lain. Jika tidak mampu berlaku adil, mereka diperintahkan untuk menikahi wanita lain yang masih banyak tersedia.Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Al-Mumti’ (12:12) menjelaskan, “Membatasi diri pada satu istri lebih aman. Namun, jika seseorang merasa bahwa satu istri tidak mencukupinya dan ia khawatir terjerumus ke dalam zina, maka kami anjurkan untuk menikahi istri kedua, ketiga, hingga keempat. Dengan demikian, ia dapat mencapai ketenangan jiwa, menjaga pandangan, dan menenangkan hatinya.”Baca juga: Anjuran Para Ulama Cukup Satu Istri Saja Poligami Tetapi Tidak Berlaku AdilDari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ“Siapa yang memiliki dua orang istri lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu Daud no. 2133, Ibnu Majah no. 1969, An Nasai no. 3394. Syaikh Al-Albani menyatakan hadits tersebut shahih sebagaimana dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 1949).Hadits ini memberikan peringatan tegas kepada suami yang tidak berlaku adil kepada istri-istrinya. Ketidakadilan ini digambarkan dengan kondisi fisik yang miring pada hari kiamat, sebagai hukuman atas sikap condongnya kepada salah satu istri.Al-‘Azhim Abadi menjelaskan bahwa makna hadits ini merujuk pada ketidakadilan seorang suami terhadap istri-istrinya, baik dalam pembagian malam maupun nafkah. Jika seorang suami hanya memperhatikan satu istri sementara mengabaikan yang lain, maka kelak di akhirat, salah satu sisi tubuhnya akan mengalami kelumpuhan. Ini adalah simbol dari ketimpangan yang dilakukannya selama di dunia (‘Aunul Ma’bud, 6:124).Beliau juga menegaskan bahwa keadilan dalam poligami wajib dilakukan dalam aspek-aspek yang mampu diusahakan oleh suami, seperti pembagian waktu malam dan nafkah. Namun, keadilan dalam hal perasaan, seperti cinta dan kecenderungan hati, tidak menjadi tuntutan karena manusia tidak dapat mengendalikan sepenuhnya hal tersebut.Dalam kitab tafsirnya, Syaikh As-Sa’di menjelaskan makna ayat yang terkait dengan keadilan dalam poligami. Allah memaklumi bahwa suami tidak mampu berlaku adil secara sempurna, terutama dalam hal cinta dan perasaan. Namun, dalam aspek yang dapat diusahakan seperti nafkah, pakaian, dan pembagian malam, Allah menuntut suami untuk berbuat adil.Syaikh As-Sa’di menambahkan, “Adil dalam masalah nafkah, pakaian, pembagian malam, dan hal-hal serupa wajib dilakukan. Namun, kecintaan hati dan kenikmatan hubungan intim tidak termasuk dalam kewajiban untuk disamakan, karena hal ini di luar kendali manusia.”Hadits dan penjelasan ulama di atas memberikan panduan bagi suami yang menjalani poligami. Keadilan dalam aspek-aspek yang dapat diusahakan, seperti nafkah dan pembagian waktu, adalah kewajiban syari yang harus dijalankan. Namun, Allah memberikan keringanan dalam hal yang di luar kendali manusia, seperti perasaan cinta. Ketidakadilan yang disengaja akan membawa konsekuensi berat di akhirat.Poligami dalam Islam bukanlah tentang mengejar keinginan semata, tetapi memikul tanggung jawab besar untuk berbuat adil sesuai tuntunan syariat. Suami yang berlaku adil tidak hanya menjalankan kewajiban duniawi, tetapi juga meraih rida Allah di akhirat.Baca juga: Poligami, Bisakah Adil? Yang Hendak Berpoligami, Hendaklah Memiliki 3 Modal: Kemampuan Fisik, Finansial, dan Kepercayaan Diri untuk Berbuat AdilIslam memperbolehkan seorang laki-laki untuk menikahi lebih dari satu istri, hingga maksimal empat istri, dengan syarat ia memiliki kemampuan finansial dan fisik yang memadai. Selain itu, syarat lain yang harus dipenuhi adalah tidak adanya kekhawatiran bahwa ia akan berlaku tidak adil jika menikahi lebih dari satu istri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.” (QS. An-Nisa: 3).Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan: “Barang siapa khawatir tidak dapat berlaku adil, maka cukuplah baginya menikahi satu istri.”Sementara itu, Ibnu Al-Arabi Al-Maliki dalam kitab Ahkamul Qur’an menyatakan, “Jika seorang laki-laki memiliki kemampuan finansial dan fisik untuk menikahi empat istri, maka silakan ia melakukannya. Namun, jika ia tidak mampu secara finansial maupun fisik, maka cukuplah baginya satu istri.”Berdasarkan penjelasan ini, setiap laki-laki yang merasa memiliki kemampuan finansial, fisik, serta kepercayaan diri untuk berlaku adil, tidak ada larangan baginya untuk menikahi lebih dari satu istri. Bahkan, hal tersebut bisa menjadi kebaikan baginya. Catatan dalam Pembagian MalamPara ulama fikih telah menetapkan bahwa dasar pembagian giliran antara istri adalah malam hari, sedangkan siang hari mengikuti malam hari dalam hal ini.Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni ketika menjelaskan pernyataan Al-Khiraqi “dan dasar pembagian giliran adalah malam hari” mengatakan: “Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini, karena malam hari adalah waktu untuk beristirahat dan tempat tinggal. Pada malam hari, seseorang kembali ke rumahnya, merasa tenang bersama keluarganya, dan tidur di ranjang bersama istrinya sebagaimana kebiasaan. Adapun siang hari adalah waktu untuk bekerja, keluar rumah, mencari penghasilan, dan melakukan aktivitas lainnya. Siang hari masuk dalam pembagian giliran mengikuti malam hari.”Para ulama juga menyebutkan bahwa seorang suami diperbolehkan masuk ke rumah istri yang bukan gilirannya pada siang hari jika ada kebutuhan tertentu, tetapi tidak diperbolehkan berhubungan badan dengannya.Ibnu Qudamah juga mengatakan: “Adapun masuk ke rumah istri di hari yang bukan gilirannya, hal itu diperbolehkan jika ada kebutuhan, seperti memberikan nafkah, menjenguknya, menanyakan sesuatu yang penting untuk diketahui, atau mengunjunginya karena sudah lama tidak bertemu, dan hal serupa. Namun, jika ia masuk, ia tidak boleh berhubungan badan dengannya dan tidak boleh berlama-lama di sana, karena hal itu memberikan rasa ketenangan, sementara ia tidak berhak mendapatkannya.”Kami tidak menemukan pendapat dari seorang pun ulama yang membolehkan seorang suami berhubungan badan dengan istri lain di siang hari hanya karena istri yang mendapat giliran sedang bekerja. Maka, hukum asalnya tetap, yaitu larangan. Menikahi Budak WanitaAl-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata, “Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.”Ada dua syarat lagi yang tidak disebutkan oleh Abu Syuja’ lalu dijelaskan di Fath Al-Qarib: (3) tidak ada lagi wanita muslimah atau wanita ahli kitab yang merdeka yang nantinya digauli dan (4) budak wanita tadi beragama Islam karena seorang pria muslim tidak boleh menikahi wanita budah yang ahli kitab. Jika seorang pria merdeka telah menikahi seorang budak lantas ia mendapatkan kemudahan menikahi wanita merdeka, maka pernikahan dengan budak tadi tidaklah batal.Dalil boleh menikahi budak muslimah adalah,وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ“Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 25)Baca juga: Hukum MenikahCatatan: Budak di masa silam adalah individu yang tidak memiliki kebebasan pribadi karena menjadi milik orang lain. Mereka didapatkan melalui perang, pembelian, atau warisan, sesuai dengan aturan yang berlaku pada masa itu. Sedangkan pembantu pada zaman ini adalah pekerja yang bekerja secara sukarela berdasarkan kontrak atau kesepakatan, memiliki hak penuh atas kebebasannya, dan tidak dimiliki oleh majikan. Islam mengatur perbudakan dengan sangat manusiawi di zamannya, bahkan mendorong pembebasan budak sebagai amalan mulia.Baca juga: Berbagai Pembahasan Poligami di Rumaysho.Com Referensi:Al-Ashfahaniy, A. b. A. H. (1428 H). Mukhtashor Abi Syuja’ (Matan Al Ghoyah wat Taqrib atau Ghoyah Al Ikhtishor)(Cetakan pertama). Darul Minhaj.Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (1441 H). Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’(Cetakan kedua). Dar Al-Minhaj.Al-Bugho, M. (1428 H). At Tadzhib fii Adillati Matn Al Ghoyah wat Taqrib (Cetakan kesebelas). Darul Musthofa.Al-Ghozzi, M. b. Q. b. M. (1425 H). Fathul Qorib Al Mujiib fii Syarh Alfazhit Taqriib (Al Qoul Al Mukhtaar fii Syarh Ghoyatil Ikhtishor) (Cetakan pertama). Dar Ibnu Hazm.Al-Hushoini, T. A. B. b. M. (n.d.). Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor.Al-Kaamil Haamid, H. (1432 H). Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii (Cetakan pertama). Dar Al-Manar. Referensi web:https://www.islamweb.net/ar/fatwa/484900/حكم-وطء-الزوجة-نهارا-في-بيتها-في-دور-ضرتها-التي-في-العملhttps://www.islamweb.net/amp/ar/fatwa/7844/ – Ditulis pada 7 Rajab 1446 H, 7 Januari 2025 di Darush Sholihin GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbatasan poligami dalil Al-Quran tentang poligami dalil poligami etika poligami hukum menikahi budak wanita hukum pernikahan dalam Islam Hukum poligami dalam Islam keadilan dalam poligami matan taqrib matan taqrib kitab nikah menikah dengan empat istri panduan nikah Islami panduan syariat menikah pernikahan dengan budak muslimah poligami poligami sesuai syariat syarat menikahi budak syarat poligami
Poligami dan hukum menikahi budak wanita muslimah adalah bagian dari syariat Islam yang memiliki aturan jelas berdasarkan Al-Quran dan hadits. Islam menetapkan batasan dan syarat yang harus dipenuhi, termasuk keadilan dalam poligami serta kondisi tertentu untuk menikahi budak wanita. Artikel ini membahas secara ringkas dalil dan penjelasan terkait kedua topik tersebut untuk memberikan pemahaman yang mendalam sesuai ajaran Islam.  Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 2. Tujuan Menikah 3. Dalil Syariat Poligami 4. Disunnahkan Satu Istri Saja 5. Poligami Tetapi Tidak Berlaku Adil 6. Yang Hendak Berpoligami, Hendaklah Memiliki 3 Modal: Kemampuan Fisik, Finansial, dan Kepercayaan Diri untuk Berbuat Adil 7. Catatan dalam Pembagian Malam 8. Menikahi Budak Wanita 8.1. Referensi: 8.2. Referensi web: Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata:النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ.Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah. Penjelasan:Tujuan MenikahDisebutkan dalam kitab ulama Syafiiyah,قال الأطباء ومقاصد النكاح ثلاثة: حفظ النسل وإخراج الماء الذي يضر احتباسه بالبدن ونيل اللذة، وهذه الثالثة هي التي في الجنة إذ لا تناسل هناك ولا احتباس.Para dokter berkata bahwa tujuan utama pernikahan ada tiga:1. Melestarikan keturunan,2. Mengeluarkan air (mani) yang dapat membahayakan tubuh jika ditahan terlalu lama,3. Memperoleh kenikmatan (dengan berjimak).Tujuan yang ketiga di atas adalah kenikmatan yang didapati lagi di surga, karena di sana tidak ada reproduksi dan penumpukan air mani. (Asna al-Mathalib Syarh Raudh ath-Thalib li Zakariyya al-Anshariy, 3:98) Dalil Syariat PoligamiAllah Ta’ala berfirman,فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.” (QS. An Nisa’: 3)Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Baajuri rahimahullah berkata, “Nikahilah dua, tiga, atau empat dari wanita yang kau sukai, tidak boleh lebih dari empat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada Ghilan di mana ketika masuk Islam, ia memiliki sepuluh istri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan,َّأَمسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُن“Tahan empat, ceraikan sisanya.” (HR. Al-Hakim, 2:192; Ibnu Hibban, 4157 dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma). Jika Ghilan diperintahkan mempertahankan empat, maka yang menikahi empat wanita sedari awal tentu dibolehkan. (Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 3:319)Al-Harits bin Qais berkata, “Aku berislam dan saat itu aku memiliki delapan istri, maka aku menyebutkan hal itu pada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, kemudian beliau bersabda,اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا“Pilihlah empat di antara mereka.” (HR. Abu Daud no. 2241 dan Ibnu Majah no. 1953, shahih)Baca juga: Poligami, Wahyu Ilahi yang DitolakPoligami Tanpa Diketahui Istri Pertama10 Alasan Istri Tidak Mau DipoligamiAnjuran Para Ulama, Cukup Satu Istri SajaSetelah Khadijah Meninggal Dunia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai Berpoligami Disunnahkan Satu Istri SajaMadzhab kebanyakan ulama adalah disunnahkan cukup satu istri saja.Abul Husain Al-‘Imrani mengatakan bahwa Imam Syafii rahimahullah berkata, “Aku suka pada laki-laki yang mencukupkan pada satu istri saja, walaupun memiliki istri lebih dari satu diperbolehkan karena Allah Ta’ala berfirman,فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa: 3).”Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata bahwa tidak tepat berdalil dengan ayat berikut untuk menyatakan sunnahnya poligami,وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa: 3)Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata: Karena ayat di atas menunjukkan makna DIBOLEHKAN, bukan anjuran harus berpoligami.Sebab turunnya ayat di atas juga menunjukkan bahwa poligami itu mubah bagi yang menginginkannya, bukan menunjukkan hukum asal menikah adalah harus berpoligami.Sebab turunnya ayat ini adalah: Mereka ingin menikahi wanita yatim tetapi meremehkan hak wanita tersebut atas mahar yang layak. Maka Allah Ta’ala memerintahkan mereka untuk memberikan mahar kepada wanita yatim sebagaimana yang diberikan kepada wanita lain. Jika tidak mampu berlaku adil, mereka diperintahkan untuk menikahi wanita lain yang masih banyak tersedia.Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Al-Mumti’ (12:12) menjelaskan, “Membatasi diri pada satu istri lebih aman. Namun, jika seseorang merasa bahwa satu istri tidak mencukupinya dan ia khawatir terjerumus ke dalam zina, maka kami anjurkan untuk menikahi istri kedua, ketiga, hingga keempat. Dengan demikian, ia dapat mencapai ketenangan jiwa, menjaga pandangan, dan menenangkan hatinya.”Baca juga: Anjuran Para Ulama Cukup Satu Istri Saja Poligami Tetapi Tidak Berlaku AdilDari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ“Siapa yang memiliki dua orang istri lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu Daud no. 2133, Ibnu Majah no. 1969, An Nasai no. 3394. Syaikh Al-Albani menyatakan hadits tersebut shahih sebagaimana dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 1949).Hadits ini memberikan peringatan tegas kepada suami yang tidak berlaku adil kepada istri-istrinya. Ketidakadilan ini digambarkan dengan kondisi fisik yang miring pada hari kiamat, sebagai hukuman atas sikap condongnya kepada salah satu istri.Al-‘Azhim Abadi menjelaskan bahwa makna hadits ini merujuk pada ketidakadilan seorang suami terhadap istri-istrinya, baik dalam pembagian malam maupun nafkah. Jika seorang suami hanya memperhatikan satu istri sementara mengabaikan yang lain, maka kelak di akhirat, salah satu sisi tubuhnya akan mengalami kelumpuhan. Ini adalah simbol dari ketimpangan yang dilakukannya selama di dunia (‘Aunul Ma’bud, 6:124).Beliau juga menegaskan bahwa keadilan dalam poligami wajib dilakukan dalam aspek-aspek yang mampu diusahakan oleh suami, seperti pembagian waktu malam dan nafkah. Namun, keadilan dalam hal perasaan, seperti cinta dan kecenderungan hati, tidak menjadi tuntutan karena manusia tidak dapat mengendalikan sepenuhnya hal tersebut.Dalam kitab tafsirnya, Syaikh As-Sa’di menjelaskan makna ayat yang terkait dengan keadilan dalam poligami. Allah memaklumi bahwa suami tidak mampu berlaku adil secara sempurna, terutama dalam hal cinta dan perasaan. Namun, dalam aspek yang dapat diusahakan seperti nafkah, pakaian, dan pembagian malam, Allah menuntut suami untuk berbuat adil.Syaikh As-Sa’di menambahkan, “Adil dalam masalah nafkah, pakaian, pembagian malam, dan hal-hal serupa wajib dilakukan. Namun, kecintaan hati dan kenikmatan hubungan intim tidak termasuk dalam kewajiban untuk disamakan, karena hal ini di luar kendali manusia.”Hadits dan penjelasan ulama di atas memberikan panduan bagi suami yang menjalani poligami. Keadilan dalam aspek-aspek yang dapat diusahakan, seperti nafkah dan pembagian waktu, adalah kewajiban syari yang harus dijalankan. Namun, Allah memberikan keringanan dalam hal yang di luar kendali manusia, seperti perasaan cinta. Ketidakadilan yang disengaja akan membawa konsekuensi berat di akhirat.Poligami dalam Islam bukanlah tentang mengejar keinginan semata, tetapi memikul tanggung jawab besar untuk berbuat adil sesuai tuntunan syariat. Suami yang berlaku adil tidak hanya menjalankan kewajiban duniawi, tetapi juga meraih rida Allah di akhirat.Baca juga: Poligami, Bisakah Adil? Yang Hendak Berpoligami, Hendaklah Memiliki 3 Modal: Kemampuan Fisik, Finansial, dan Kepercayaan Diri untuk Berbuat AdilIslam memperbolehkan seorang laki-laki untuk menikahi lebih dari satu istri, hingga maksimal empat istri, dengan syarat ia memiliki kemampuan finansial dan fisik yang memadai. Selain itu, syarat lain yang harus dipenuhi adalah tidak adanya kekhawatiran bahwa ia akan berlaku tidak adil jika menikahi lebih dari satu istri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.” (QS. An-Nisa: 3).Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan: “Barang siapa khawatir tidak dapat berlaku adil, maka cukuplah baginya menikahi satu istri.”Sementara itu, Ibnu Al-Arabi Al-Maliki dalam kitab Ahkamul Qur’an menyatakan, “Jika seorang laki-laki memiliki kemampuan finansial dan fisik untuk menikahi empat istri, maka silakan ia melakukannya. Namun, jika ia tidak mampu secara finansial maupun fisik, maka cukuplah baginya satu istri.”Berdasarkan penjelasan ini, setiap laki-laki yang merasa memiliki kemampuan finansial, fisik, serta kepercayaan diri untuk berlaku adil, tidak ada larangan baginya untuk menikahi lebih dari satu istri. Bahkan, hal tersebut bisa menjadi kebaikan baginya. Catatan dalam Pembagian MalamPara ulama fikih telah menetapkan bahwa dasar pembagian giliran antara istri adalah malam hari, sedangkan siang hari mengikuti malam hari dalam hal ini.Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni ketika menjelaskan pernyataan Al-Khiraqi “dan dasar pembagian giliran adalah malam hari” mengatakan: “Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini, karena malam hari adalah waktu untuk beristirahat dan tempat tinggal. Pada malam hari, seseorang kembali ke rumahnya, merasa tenang bersama keluarganya, dan tidur di ranjang bersama istrinya sebagaimana kebiasaan. Adapun siang hari adalah waktu untuk bekerja, keluar rumah, mencari penghasilan, dan melakukan aktivitas lainnya. Siang hari masuk dalam pembagian giliran mengikuti malam hari.”Para ulama juga menyebutkan bahwa seorang suami diperbolehkan masuk ke rumah istri yang bukan gilirannya pada siang hari jika ada kebutuhan tertentu, tetapi tidak diperbolehkan berhubungan badan dengannya.Ibnu Qudamah juga mengatakan: “Adapun masuk ke rumah istri di hari yang bukan gilirannya, hal itu diperbolehkan jika ada kebutuhan, seperti memberikan nafkah, menjenguknya, menanyakan sesuatu yang penting untuk diketahui, atau mengunjunginya karena sudah lama tidak bertemu, dan hal serupa. Namun, jika ia masuk, ia tidak boleh berhubungan badan dengannya dan tidak boleh berlama-lama di sana, karena hal itu memberikan rasa ketenangan, sementara ia tidak berhak mendapatkannya.”Kami tidak menemukan pendapat dari seorang pun ulama yang membolehkan seorang suami berhubungan badan dengan istri lain di siang hari hanya karena istri yang mendapat giliran sedang bekerja. Maka, hukum asalnya tetap, yaitu larangan. Menikahi Budak WanitaAl-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata, “Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.”Ada dua syarat lagi yang tidak disebutkan oleh Abu Syuja’ lalu dijelaskan di Fath Al-Qarib: (3) tidak ada lagi wanita muslimah atau wanita ahli kitab yang merdeka yang nantinya digauli dan (4) budak wanita tadi beragama Islam karena seorang pria muslim tidak boleh menikahi wanita budah yang ahli kitab. Jika seorang pria merdeka telah menikahi seorang budak lantas ia mendapatkan kemudahan menikahi wanita merdeka, maka pernikahan dengan budak tadi tidaklah batal.Dalil boleh menikahi budak muslimah adalah,وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ“Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 25)Baca juga: Hukum MenikahCatatan: Budak di masa silam adalah individu yang tidak memiliki kebebasan pribadi karena menjadi milik orang lain. Mereka didapatkan melalui perang, pembelian, atau warisan, sesuai dengan aturan yang berlaku pada masa itu. Sedangkan pembantu pada zaman ini adalah pekerja yang bekerja secara sukarela berdasarkan kontrak atau kesepakatan, memiliki hak penuh atas kebebasannya, dan tidak dimiliki oleh majikan. Islam mengatur perbudakan dengan sangat manusiawi di zamannya, bahkan mendorong pembebasan budak sebagai amalan mulia.Baca juga: Berbagai Pembahasan Poligami di Rumaysho.Com Referensi:Al-Ashfahaniy, A. b. A. H. (1428 H). Mukhtashor Abi Syuja’ (Matan Al Ghoyah wat Taqrib atau Ghoyah Al Ikhtishor)(Cetakan pertama). Darul Minhaj.Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (1441 H). Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’(Cetakan kedua). Dar Al-Minhaj.Al-Bugho, M. (1428 H). At Tadzhib fii Adillati Matn Al Ghoyah wat Taqrib (Cetakan kesebelas). Darul Musthofa.Al-Ghozzi, M. b. Q. b. M. (1425 H). Fathul Qorib Al Mujiib fii Syarh Alfazhit Taqriib (Al Qoul Al Mukhtaar fii Syarh Ghoyatil Ikhtishor) (Cetakan pertama). Dar Ibnu Hazm.Al-Hushoini, T. A. B. b. M. (n.d.). Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor.Al-Kaamil Haamid, H. (1432 H). Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii (Cetakan pertama). Dar Al-Manar. Referensi web:https://www.islamweb.net/ar/fatwa/484900/حكم-وطء-الزوجة-نهارا-في-بيتها-في-دور-ضرتها-التي-في-العملhttps://www.islamweb.net/amp/ar/fatwa/7844/ – Ditulis pada 7 Rajab 1446 H, 7 Januari 2025 di Darush Sholihin GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbatasan poligami dalil Al-Quran tentang poligami dalil poligami etika poligami hukum menikahi budak wanita hukum pernikahan dalam Islam Hukum poligami dalam Islam keadilan dalam poligami matan taqrib matan taqrib kitab nikah menikah dengan empat istri panduan nikah Islami panduan syariat menikah pernikahan dengan budak muslimah poligami poligami sesuai syariat syarat menikahi budak syarat poligami


Poligami dan hukum menikahi budak wanita muslimah adalah bagian dari syariat Islam yang memiliki aturan jelas berdasarkan Al-Quran dan hadits. Islam menetapkan batasan dan syarat yang harus dipenuhi, termasuk keadilan dalam poligami serta kondisi tertentu untuk menikahi budak wanita. Artikel ini membahas secara ringkas dalil dan penjelasan terkait kedua topik tersebut untuk memberikan pemahaman yang mendalam sesuai ajaran Islam.  Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 2. Tujuan Menikah 3. Dalil Syariat Poligami 4. Disunnahkan Satu Istri Saja 5. Poligami Tetapi Tidak Berlaku Adil 6. Yang Hendak Berpoligami, Hendaklah Memiliki 3 Modal: Kemampuan Fisik, Finansial, dan Kepercayaan Diri untuk Berbuat Adil 7. Catatan dalam Pembagian Malam 8. Menikahi Budak Wanita 8.1. Referensi: 8.2. Referensi web: Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata:النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ.Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah. Penjelasan:Tujuan MenikahDisebutkan dalam kitab ulama Syafiiyah,قال الأطباء ومقاصد النكاح ثلاثة: حفظ النسل وإخراج الماء الذي يضر احتباسه بالبدن ونيل اللذة، وهذه الثالثة هي التي في الجنة إذ لا تناسل هناك ولا احتباس.Para dokter berkata bahwa tujuan utama pernikahan ada tiga:1. Melestarikan keturunan,2. Mengeluarkan air (mani) yang dapat membahayakan tubuh jika ditahan terlalu lama,3. Memperoleh kenikmatan (dengan berjimak).Tujuan yang ketiga di atas adalah kenikmatan yang didapati lagi di surga, karena di sana tidak ada reproduksi dan penumpukan air mani. (Asna al-Mathalib Syarh Raudh ath-Thalib li Zakariyya al-Anshariy, 3:98) Dalil Syariat PoligamiAllah Ta’ala berfirman,فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.” (QS. An Nisa’: 3)Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Baajuri rahimahullah berkata, “Nikahilah dua, tiga, atau empat dari wanita yang kau sukai, tidak boleh lebih dari empat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada Ghilan di mana ketika masuk Islam, ia memiliki sepuluh istri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan,َّأَمسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُن“Tahan empat, ceraikan sisanya.” (HR. Al-Hakim, 2:192; Ibnu Hibban, 4157 dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma). Jika Ghilan diperintahkan mempertahankan empat, maka yang menikahi empat wanita sedari awal tentu dibolehkan. (Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 3:319)Al-Harits bin Qais berkata, “Aku berislam dan saat itu aku memiliki delapan istri, maka aku menyebutkan hal itu pada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, kemudian beliau bersabda,اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا“Pilihlah empat di antara mereka.” (HR. Abu Daud no. 2241 dan Ibnu Majah no. 1953, shahih)Baca juga: Poligami, Wahyu Ilahi yang DitolakPoligami Tanpa Diketahui Istri Pertama10 Alasan Istri Tidak Mau DipoligamiAnjuran Para Ulama, Cukup Satu Istri SajaSetelah Khadijah Meninggal Dunia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai Berpoligami Disunnahkan Satu Istri SajaMadzhab kebanyakan ulama adalah disunnahkan cukup satu istri saja.Abul Husain Al-‘Imrani mengatakan bahwa Imam Syafii rahimahullah berkata, “Aku suka pada laki-laki yang mencukupkan pada satu istri saja, walaupun memiliki istri lebih dari satu diperbolehkan karena Allah Ta’ala berfirman,فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa: 3).”Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata bahwa tidak tepat berdalil dengan ayat berikut untuk menyatakan sunnahnya poligami,وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa: 3)Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata: Karena ayat di atas menunjukkan makna DIBOLEHKAN, bukan anjuran harus berpoligami.Sebab turunnya ayat di atas juga menunjukkan bahwa poligami itu mubah bagi yang menginginkannya, bukan menunjukkan hukum asal menikah adalah harus berpoligami.Sebab turunnya ayat ini adalah: Mereka ingin menikahi wanita yatim tetapi meremehkan hak wanita tersebut atas mahar yang layak. Maka Allah Ta’ala memerintahkan mereka untuk memberikan mahar kepada wanita yatim sebagaimana yang diberikan kepada wanita lain. Jika tidak mampu berlaku adil, mereka diperintahkan untuk menikahi wanita lain yang masih banyak tersedia.Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Al-Mumti’ (12:12) menjelaskan, “Membatasi diri pada satu istri lebih aman. Namun, jika seseorang merasa bahwa satu istri tidak mencukupinya dan ia khawatir terjerumus ke dalam zina, maka kami anjurkan untuk menikahi istri kedua, ketiga, hingga keempat. Dengan demikian, ia dapat mencapai ketenangan jiwa, menjaga pandangan, dan menenangkan hatinya.”Baca juga: Anjuran Para Ulama Cukup Satu Istri Saja Poligami Tetapi Tidak Berlaku AdilDari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ“Siapa yang memiliki dua orang istri lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu Daud no. 2133, Ibnu Majah no. 1969, An Nasai no. 3394. Syaikh Al-Albani menyatakan hadits tersebut shahih sebagaimana dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 1949).Hadits ini memberikan peringatan tegas kepada suami yang tidak berlaku adil kepada istri-istrinya. Ketidakadilan ini digambarkan dengan kondisi fisik yang miring pada hari kiamat, sebagai hukuman atas sikap condongnya kepada salah satu istri.Al-‘Azhim Abadi menjelaskan bahwa makna hadits ini merujuk pada ketidakadilan seorang suami terhadap istri-istrinya, baik dalam pembagian malam maupun nafkah. Jika seorang suami hanya memperhatikan satu istri sementara mengabaikan yang lain, maka kelak di akhirat, salah satu sisi tubuhnya akan mengalami kelumpuhan. Ini adalah simbol dari ketimpangan yang dilakukannya selama di dunia (‘Aunul Ma’bud, 6:124).Beliau juga menegaskan bahwa keadilan dalam poligami wajib dilakukan dalam aspek-aspek yang mampu diusahakan oleh suami, seperti pembagian waktu malam dan nafkah. Namun, keadilan dalam hal perasaan, seperti cinta dan kecenderungan hati, tidak menjadi tuntutan karena manusia tidak dapat mengendalikan sepenuhnya hal tersebut.Dalam kitab tafsirnya, Syaikh As-Sa’di menjelaskan makna ayat yang terkait dengan keadilan dalam poligami. Allah memaklumi bahwa suami tidak mampu berlaku adil secara sempurna, terutama dalam hal cinta dan perasaan. Namun, dalam aspek yang dapat diusahakan seperti nafkah, pakaian, dan pembagian malam, Allah menuntut suami untuk berbuat adil.Syaikh As-Sa’di menambahkan, “Adil dalam masalah nafkah, pakaian, pembagian malam, dan hal-hal serupa wajib dilakukan. Namun, kecintaan hati dan kenikmatan hubungan intim tidak termasuk dalam kewajiban untuk disamakan, karena hal ini di luar kendali manusia.”Hadits dan penjelasan ulama di atas memberikan panduan bagi suami yang menjalani poligami. Keadilan dalam aspek-aspek yang dapat diusahakan, seperti nafkah dan pembagian waktu, adalah kewajiban syari yang harus dijalankan. Namun, Allah memberikan keringanan dalam hal yang di luar kendali manusia, seperti perasaan cinta. Ketidakadilan yang disengaja akan membawa konsekuensi berat di akhirat.Poligami dalam Islam bukanlah tentang mengejar keinginan semata, tetapi memikul tanggung jawab besar untuk berbuat adil sesuai tuntunan syariat. Suami yang berlaku adil tidak hanya menjalankan kewajiban duniawi, tetapi juga meraih rida Allah di akhirat.Baca juga: Poligami, Bisakah Adil? Yang Hendak Berpoligami, Hendaklah Memiliki 3 Modal: Kemampuan Fisik, Finansial, dan Kepercayaan Diri untuk Berbuat AdilIslam memperbolehkan seorang laki-laki untuk menikahi lebih dari satu istri, hingga maksimal empat istri, dengan syarat ia memiliki kemampuan finansial dan fisik yang memadai. Selain itu, syarat lain yang harus dipenuhi adalah tidak adanya kekhawatiran bahwa ia akan berlaku tidak adil jika menikahi lebih dari satu istri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.” (QS. An-Nisa: 3).Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan: “Barang siapa khawatir tidak dapat berlaku adil, maka cukuplah baginya menikahi satu istri.”Sementara itu, Ibnu Al-Arabi Al-Maliki dalam kitab Ahkamul Qur’an menyatakan, “Jika seorang laki-laki memiliki kemampuan finansial dan fisik untuk menikahi empat istri, maka silakan ia melakukannya. Namun, jika ia tidak mampu secara finansial maupun fisik, maka cukuplah baginya satu istri.”Berdasarkan penjelasan ini, setiap laki-laki yang merasa memiliki kemampuan finansial, fisik, serta kepercayaan diri untuk berlaku adil, tidak ada larangan baginya untuk menikahi lebih dari satu istri. Bahkan, hal tersebut bisa menjadi kebaikan baginya. Catatan dalam Pembagian MalamPara ulama fikih telah menetapkan bahwa dasar pembagian giliran antara istri adalah malam hari, sedangkan siang hari mengikuti malam hari dalam hal ini.Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni ketika menjelaskan pernyataan Al-Khiraqi “dan dasar pembagian giliran adalah malam hari” mengatakan: “Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini, karena malam hari adalah waktu untuk beristirahat dan tempat tinggal. Pada malam hari, seseorang kembali ke rumahnya, merasa tenang bersama keluarganya, dan tidur di ranjang bersama istrinya sebagaimana kebiasaan. Adapun siang hari adalah waktu untuk bekerja, keluar rumah, mencari penghasilan, dan melakukan aktivitas lainnya. Siang hari masuk dalam pembagian giliran mengikuti malam hari.”Para ulama juga menyebutkan bahwa seorang suami diperbolehkan masuk ke rumah istri yang bukan gilirannya pada siang hari jika ada kebutuhan tertentu, tetapi tidak diperbolehkan berhubungan badan dengannya.Ibnu Qudamah juga mengatakan: “Adapun masuk ke rumah istri di hari yang bukan gilirannya, hal itu diperbolehkan jika ada kebutuhan, seperti memberikan nafkah, menjenguknya, menanyakan sesuatu yang penting untuk diketahui, atau mengunjunginya karena sudah lama tidak bertemu, dan hal serupa. Namun, jika ia masuk, ia tidak boleh berhubungan badan dengannya dan tidak boleh berlama-lama di sana, karena hal itu memberikan rasa ketenangan, sementara ia tidak berhak mendapatkannya.”Kami tidak menemukan pendapat dari seorang pun ulama yang membolehkan seorang suami berhubungan badan dengan istri lain di siang hari hanya karena istri yang mendapat giliran sedang bekerja. Maka, hukum asalnya tetap, yaitu larangan. Menikahi Budak WanitaAl-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata, “Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.”Ada dua syarat lagi yang tidak disebutkan oleh Abu Syuja’ lalu dijelaskan di Fath Al-Qarib: (3) tidak ada lagi wanita muslimah atau wanita ahli kitab yang merdeka yang nantinya digauli dan (4) budak wanita tadi beragama Islam karena seorang pria muslim tidak boleh menikahi wanita budah yang ahli kitab. Jika seorang pria merdeka telah menikahi seorang budak lantas ia mendapatkan kemudahan menikahi wanita merdeka, maka pernikahan dengan budak tadi tidaklah batal.Dalil boleh menikahi budak muslimah adalah,وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ“Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 25)Baca juga: Hukum MenikahCatatan: Budak di masa silam adalah individu yang tidak memiliki kebebasan pribadi karena menjadi milik orang lain. Mereka didapatkan melalui perang, pembelian, atau warisan, sesuai dengan aturan yang berlaku pada masa itu. Sedangkan pembantu pada zaman ini adalah pekerja yang bekerja secara sukarela berdasarkan kontrak atau kesepakatan, memiliki hak penuh atas kebebasannya, dan tidak dimiliki oleh majikan. Islam mengatur perbudakan dengan sangat manusiawi di zamannya, bahkan mendorong pembebasan budak sebagai amalan mulia.Baca juga: Berbagai Pembahasan Poligami di Rumaysho.Com Referensi:Al-Ashfahaniy, A. b. A. H. (1428 H). Mukhtashor Abi Syuja’ (Matan Al Ghoyah wat Taqrib atau Ghoyah Al Ikhtishor)(Cetakan pertama). Darul Minhaj.Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (1441 H). Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’(Cetakan kedua). Dar Al-Minhaj.Al-Bugho, M. (1428 H). At Tadzhib fii Adillati Matn Al Ghoyah wat Taqrib (Cetakan kesebelas). Darul Musthofa.Al-Ghozzi, M. b. Q. b. M. (1425 H). Fathul Qorib Al Mujiib fii Syarh Alfazhit Taqriib (Al Qoul Al Mukhtaar fii Syarh Ghoyatil Ikhtishor) (Cetakan pertama). Dar Ibnu Hazm.Al-Hushoini, T. A. B. b. M. (n.d.). Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor.Al-Kaamil Haamid, H. (1432 H). Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii (Cetakan pertama). Dar Al-Manar. Referensi web:https://www.islamweb.net/ar/fatwa/484900/حكم-وطء-الزوجة-نهارا-في-بيتها-في-دور-ضرتها-التي-في-العملhttps://www.islamweb.net/amp/ar/fatwa/7844/ – Ditulis pada 7 Rajab 1446 H, 7 Januari 2025 di Darush Sholihin GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbatasan poligami dalil Al-Quran tentang poligami dalil poligami etika poligami hukum menikahi budak wanita hukum pernikahan dalam Islam Hukum poligami dalam Islam keadilan dalam poligami matan taqrib matan taqrib kitab nikah menikah dengan empat istri panduan nikah Islami panduan syariat menikah pernikahan dengan budak muslimah poligami poligami sesuai syariat syarat menikahi budak syarat poligami

Kenapa Orang Besar Bisa Tersesat? Ini Jawaban dari Alqur’an dan Hadis – Syaikh Sa’ad asy-Syatstri NasehatUlama

Di antara perkara yang sangat ditekankan dalam hal ini, hendaknya seorang insan membentengi dirinya dengan berlindung kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Barang siapa yang berpegang teguh dengan agama Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang benar.” (QS. Ali Imran: 101). Perbanyaklah doa kepada Allah! Perbanyaklah munajat di hadapan-Nya! Supaya ada hubungan antara dirimu dan Tuhanmu Jalla wa ‘Ala. Jangan sampai kamu mengatakan: “Aku sudah berada di atas jalan ketaatan!” Karena kamu tidak aman dari datangnya musuhmu, yaitu setan, lalu menyesatkanmu. Allah Jalla wa ‘Ala telah menjadikan dunia ini sebagai tempat ujian dan cobaan. Maka janganlah kamu terlalu percaya diri! Namun justru hendaklah kepercayaanmu kepada Tuhanmu, dengan memohon perlindungan kepada-Nya. Karena manusia tidak berada dalam keamanan. Betapa banyak orang besar, dan betapa banyak orang yang telah mencapai tingkatan yang tinggi dalam keilmuan dan dalam ibadah, lalu dia didatangi berbagai sebab yang membuatnya tersesat dari jalan yang lurus. Ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sungguh ada hamba yang beramal dengan amalan penghuni surga hingga jarak antara dirinya dan surga hanya satu hasta.Namun tulisan takdir telah mendahuluinya, sehingga dia menjadi penghuni neraka.” Oleh sebab itu, hendaklah kita berpegang teguh kepada Allah dan berlindung kepada-Nya agar Allah melindungi kita. Apabila seorang insan mencermati doa yang dari Nabi yang banyak dibaca oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Zat Yang Maha Membolak-balikkan hati! Teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu,” maka doa ini akan menjadikan seorang hamba merasa khawatir jika keadaannya dibalikkan. Cermatilah juga doa orang-orang yang kokoh keilmuannya, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: ‘Kami beriman kepada ayat-ayat itu semuanya itu dari sisi Tuhan kami.’ Dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal. (Mereka lalu berdoa): ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imran: 7-8). Oleh sebab itu, janganlah kamu merasa aman dari menjadi golongan orang-orang yang sesat dan menjauh dari kebenaran. ==== وَمِنَ الْأُمُورِ الَّتِي يُؤَكَّدُ عَلَيْهَا فِي هَذَا الْبَابِ أَنْ يُحَصِّنَ الْإِنْسَانُ نَفْسَهُ بِالِاعْتِصَامِ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا كَمَا قَالَ تَعَالَى وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ أَكْثِرْ مِنْ دُعَاءِ اللَّهِ أَكْثِرْ مِنَ الْمُنَاجَاةِ بَيْنَ يَدَيْهِ لِيَكُنْ بَيْنَكَ وَبَيْنَ رَبِّكَ جَلَّ وَعَلَا تَوَاصُلٌ لَا تَقُولَنَّ أَنَا عَلَى طَرِيقِ طَاعَةٍ فَإِنَّكَ لَا تَأْمَنُ مِنْ أَنْ يَأْتِيَكَ عَدُوُّكَ الشَّيْطَانُ وَيَغْوِيْكَ وَاللَّهُ جَلَّ وَعَلَا قَدْ جَعَلَ هَذِهِ حَيَاةَ الدُّنْيَا مَحَلَّ فِتْنَةٍ وَابْتِلَاءٍ فَلَا تَكُنْ وَاثِقًا فِي نَفْسِكَ وَإِنَّمَا لِتَكُنْ ثِقَتُكَ فِي رَبِّكَ بِاعْتِصَامِكَ بِهِ فَالْإِنْسَانُ لَا يَأْمَنُ كَمْ مِنْ فَاضِلٍ كَمْ مِنْ شَخْصٍ بَلَغَ دَرَجَاتٍ عَالِيَةٍ فِي الْعِلْمِ وَفِي الْعِبَادَةِ ثُمَّ جَاءَتْهُ أَسْبَابٌ جَعَلَتْهُ يَضِلُّ الطَّرِيقَ وَاذْكُرْ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى لَا يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَكُونُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَلِذَلِكَ عَلَيْنَا أَنْ نَعْتَصِمَ بِاللَّهِ وَأَنْ نَلْتَجِئَ إِلَيْهِ أَنْ يَحْمِيَنَا وَإِذَا نَظَرَ الْإِنْسَانُ إِلَى الدُّعَاءِ الْمَأْثُورِ الَّذِي كَانَ يُكْثِرُ مِنْهُ نَبِيُّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ يَجْعَلُ هَذَا الدُّعَاءُ الْعَبْدَ يَخَافُ أَنْ يُقَلَّبَ فِي حَالِهِ وَانْظُرْ إِلَى دُعَاءِ الرَّاسِخِينَ فِي الْعِلْمِ كَمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَى وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ وَلِذَلِكَ لَا تَأْمَنْ عَلَى نَفْسِكَ أَنْ تَكُونَ مِنْ أَهْلِ الزَّيْغِ وَأَنْ تَبْتَعِدَ عَنِ الْحَقِّ

Kenapa Orang Besar Bisa Tersesat? Ini Jawaban dari Alqur’an dan Hadis – Syaikh Sa’ad asy-Syatstri NasehatUlama

Di antara perkara yang sangat ditekankan dalam hal ini, hendaknya seorang insan membentengi dirinya dengan berlindung kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Barang siapa yang berpegang teguh dengan agama Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang benar.” (QS. Ali Imran: 101). Perbanyaklah doa kepada Allah! Perbanyaklah munajat di hadapan-Nya! Supaya ada hubungan antara dirimu dan Tuhanmu Jalla wa ‘Ala. Jangan sampai kamu mengatakan: “Aku sudah berada di atas jalan ketaatan!” Karena kamu tidak aman dari datangnya musuhmu, yaitu setan, lalu menyesatkanmu. Allah Jalla wa ‘Ala telah menjadikan dunia ini sebagai tempat ujian dan cobaan. Maka janganlah kamu terlalu percaya diri! Namun justru hendaklah kepercayaanmu kepada Tuhanmu, dengan memohon perlindungan kepada-Nya. Karena manusia tidak berada dalam keamanan. Betapa banyak orang besar, dan betapa banyak orang yang telah mencapai tingkatan yang tinggi dalam keilmuan dan dalam ibadah, lalu dia didatangi berbagai sebab yang membuatnya tersesat dari jalan yang lurus. Ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sungguh ada hamba yang beramal dengan amalan penghuni surga hingga jarak antara dirinya dan surga hanya satu hasta.Namun tulisan takdir telah mendahuluinya, sehingga dia menjadi penghuni neraka.” Oleh sebab itu, hendaklah kita berpegang teguh kepada Allah dan berlindung kepada-Nya agar Allah melindungi kita. Apabila seorang insan mencermati doa yang dari Nabi yang banyak dibaca oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Zat Yang Maha Membolak-balikkan hati! Teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu,” maka doa ini akan menjadikan seorang hamba merasa khawatir jika keadaannya dibalikkan. Cermatilah juga doa orang-orang yang kokoh keilmuannya, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: ‘Kami beriman kepada ayat-ayat itu semuanya itu dari sisi Tuhan kami.’ Dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal. (Mereka lalu berdoa): ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imran: 7-8). Oleh sebab itu, janganlah kamu merasa aman dari menjadi golongan orang-orang yang sesat dan menjauh dari kebenaran. ==== وَمِنَ الْأُمُورِ الَّتِي يُؤَكَّدُ عَلَيْهَا فِي هَذَا الْبَابِ أَنْ يُحَصِّنَ الْإِنْسَانُ نَفْسَهُ بِالِاعْتِصَامِ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا كَمَا قَالَ تَعَالَى وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ أَكْثِرْ مِنْ دُعَاءِ اللَّهِ أَكْثِرْ مِنَ الْمُنَاجَاةِ بَيْنَ يَدَيْهِ لِيَكُنْ بَيْنَكَ وَبَيْنَ رَبِّكَ جَلَّ وَعَلَا تَوَاصُلٌ لَا تَقُولَنَّ أَنَا عَلَى طَرِيقِ طَاعَةٍ فَإِنَّكَ لَا تَأْمَنُ مِنْ أَنْ يَأْتِيَكَ عَدُوُّكَ الشَّيْطَانُ وَيَغْوِيْكَ وَاللَّهُ جَلَّ وَعَلَا قَدْ جَعَلَ هَذِهِ حَيَاةَ الدُّنْيَا مَحَلَّ فِتْنَةٍ وَابْتِلَاءٍ فَلَا تَكُنْ وَاثِقًا فِي نَفْسِكَ وَإِنَّمَا لِتَكُنْ ثِقَتُكَ فِي رَبِّكَ بِاعْتِصَامِكَ بِهِ فَالْإِنْسَانُ لَا يَأْمَنُ كَمْ مِنْ فَاضِلٍ كَمْ مِنْ شَخْصٍ بَلَغَ دَرَجَاتٍ عَالِيَةٍ فِي الْعِلْمِ وَفِي الْعِبَادَةِ ثُمَّ جَاءَتْهُ أَسْبَابٌ جَعَلَتْهُ يَضِلُّ الطَّرِيقَ وَاذْكُرْ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى لَا يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَكُونُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَلِذَلِكَ عَلَيْنَا أَنْ نَعْتَصِمَ بِاللَّهِ وَأَنْ نَلْتَجِئَ إِلَيْهِ أَنْ يَحْمِيَنَا وَإِذَا نَظَرَ الْإِنْسَانُ إِلَى الدُّعَاءِ الْمَأْثُورِ الَّذِي كَانَ يُكْثِرُ مِنْهُ نَبِيُّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ يَجْعَلُ هَذَا الدُّعَاءُ الْعَبْدَ يَخَافُ أَنْ يُقَلَّبَ فِي حَالِهِ وَانْظُرْ إِلَى دُعَاءِ الرَّاسِخِينَ فِي الْعِلْمِ كَمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَى وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ وَلِذَلِكَ لَا تَأْمَنْ عَلَى نَفْسِكَ أَنْ تَكُونَ مِنْ أَهْلِ الزَّيْغِ وَأَنْ تَبْتَعِدَ عَنِ الْحَقِّ
Di antara perkara yang sangat ditekankan dalam hal ini, hendaknya seorang insan membentengi dirinya dengan berlindung kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Barang siapa yang berpegang teguh dengan agama Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang benar.” (QS. Ali Imran: 101). Perbanyaklah doa kepada Allah! Perbanyaklah munajat di hadapan-Nya! Supaya ada hubungan antara dirimu dan Tuhanmu Jalla wa ‘Ala. Jangan sampai kamu mengatakan: “Aku sudah berada di atas jalan ketaatan!” Karena kamu tidak aman dari datangnya musuhmu, yaitu setan, lalu menyesatkanmu. Allah Jalla wa ‘Ala telah menjadikan dunia ini sebagai tempat ujian dan cobaan. Maka janganlah kamu terlalu percaya diri! Namun justru hendaklah kepercayaanmu kepada Tuhanmu, dengan memohon perlindungan kepada-Nya. Karena manusia tidak berada dalam keamanan. Betapa banyak orang besar, dan betapa banyak orang yang telah mencapai tingkatan yang tinggi dalam keilmuan dan dalam ibadah, lalu dia didatangi berbagai sebab yang membuatnya tersesat dari jalan yang lurus. Ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sungguh ada hamba yang beramal dengan amalan penghuni surga hingga jarak antara dirinya dan surga hanya satu hasta.Namun tulisan takdir telah mendahuluinya, sehingga dia menjadi penghuni neraka.” Oleh sebab itu, hendaklah kita berpegang teguh kepada Allah dan berlindung kepada-Nya agar Allah melindungi kita. Apabila seorang insan mencermati doa yang dari Nabi yang banyak dibaca oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Zat Yang Maha Membolak-balikkan hati! Teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu,” maka doa ini akan menjadikan seorang hamba merasa khawatir jika keadaannya dibalikkan. Cermatilah juga doa orang-orang yang kokoh keilmuannya, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: ‘Kami beriman kepada ayat-ayat itu semuanya itu dari sisi Tuhan kami.’ Dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal. (Mereka lalu berdoa): ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imran: 7-8). Oleh sebab itu, janganlah kamu merasa aman dari menjadi golongan orang-orang yang sesat dan menjauh dari kebenaran. ==== وَمِنَ الْأُمُورِ الَّتِي يُؤَكَّدُ عَلَيْهَا فِي هَذَا الْبَابِ أَنْ يُحَصِّنَ الْإِنْسَانُ نَفْسَهُ بِالِاعْتِصَامِ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا كَمَا قَالَ تَعَالَى وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ أَكْثِرْ مِنْ دُعَاءِ اللَّهِ أَكْثِرْ مِنَ الْمُنَاجَاةِ بَيْنَ يَدَيْهِ لِيَكُنْ بَيْنَكَ وَبَيْنَ رَبِّكَ جَلَّ وَعَلَا تَوَاصُلٌ لَا تَقُولَنَّ أَنَا عَلَى طَرِيقِ طَاعَةٍ فَإِنَّكَ لَا تَأْمَنُ مِنْ أَنْ يَأْتِيَكَ عَدُوُّكَ الشَّيْطَانُ وَيَغْوِيْكَ وَاللَّهُ جَلَّ وَعَلَا قَدْ جَعَلَ هَذِهِ حَيَاةَ الدُّنْيَا مَحَلَّ فِتْنَةٍ وَابْتِلَاءٍ فَلَا تَكُنْ وَاثِقًا فِي نَفْسِكَ وَإِنَّمَا لِتَكُنْ ثِقَتُكَ فِي رَبِّكَ بِاعْتِصَامِكَ بِهِ فَالْإِنْسَانُ لَا يَأْمَنُ كَمْ مِنْ فَاضِلٍ كَمْ مِنْ شَخْصٍ بَلَغَ دَرَجَاتٍ عَالِيَةٍ فِي الْعِلْمِ وَفِي الْعِبَادَةِ ثُمَّ جَاءَتْهُ أَسْبَابٌ جَعَلَتْهُ يَضِلُّ الطَّرِيقَ وَاذْكُرْ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى لَا يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَكُونُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَلِذَلِكَ عَلَيْنَا أَنْ نَعْتَصِمَ بِاللَّهِ وَأَنْ نَلْتَجِئَ إِلَيْهِ أَنْ يَحْمِيَنَا وَإِذَا نَظَرَ الْإِنْسَانُ إِلَى الدُّعَاءِ الْمَأْثُورِ الَّذِي كَانَ يُكْثِرُ مِنْهُ نَبِيُّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ يَجْعَلُ هَذَا الدُّعَاءُ الْعَبْدَ يَخَافُ أَنْ يُقَلَّبَ فِي حَالِهِ وَانْظُرْ إِلَى دُعَاءِ الرَّاسِخِينَ فِي الْعِلْمِ كَمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَى وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ وَلِذَلِكَ لَا تَأْمَنْ عَلَى نَفْسِكَ أَنْ تَكُونَ مِنْ أَهْلِ الزَّيْغِ وَأَنْ تَبْتَعِدَ عَنِ الْحَقِّ


Di antara perkara yang sangat ditekankan dalam hal ini, hendaknya seorang insan membentengi dirinya dengan berlindung kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Barang siapa yang berpegang teguh dengan agama Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang benar.” (QS. Ali Imran: 101). Perbanyaklah doa kepada Allah! Perbanyaklah munajat di hadapan-Nya! Supaya ada hubungan antara dirimu dan Tuhanmu Jalla wa ‘Ala. Jangan sampai kamu mengatakan: “Aku sudah berada di atas jalan ketaatan!” Karena kamu tidak aman dari datangnya musuhmu, yaitu setan, lalu menyesatkanmu. Allah Jalla wa ‘Ala telah menjadikan dunia ini sebagai tempat ujian dan cobaan. Maka janganlah kamu terlalu percaya diri! Namun justru hendaklah kepercayaanmu kepada Tuhanmu, dengan memohon perlindungan kepada-Nya. Karena manusia tidak berada dalam keamanan. Betapa banyak orang besar, dan betapa banyak orang yang telah mencapai tingkatan yang tinggi dalam keilmuan dan dalam ibadah, lalu dia didatangi berbagai sebab yang membuatnya tersesat dari jalan yang lurus. Ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sungguh ada hamba yang beramal dengan amalan penghuni surga hingga jarak antara dirinya dan surga hanya satu hasta.Namun tulisan takdir telah mendahuluinya, sehingga dia menjadi penghuni neraka.” Oleh sebab itu, hendaklah kita berpegang teguh kepada Allah dan berlindung kepada-Nya agar Allah melindungi kita. Apabila seorang insan mencermati doa yang dari Nabi yang banyak dibaca oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Zat Yang Maha Membolak-balikkan hati! Teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu,” maka doa ini akan menjadikan seorang hamba merasa khawatir jika keadaannya dibalikkan. Cermatilah juga doa orang-orang yang kokoh keilmuannya, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: ‘Kami beriman kepada ayat-ayat itu semuanya itu dari sisi Tuhan kami.’ Dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal. (Mereka lalu berdoa): ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imran: 7-8). Oleh sebab itu, janganlah kamu merasa aman dari menjadi golongan orang-orang yang sesat dan menjauh dari kebenaran. ==== وَمِنَ الْأُمُورِ الَّتِي يُؤَكَّدُ عَلَيْهَا فِي هَذَا الْبَابِ أَنْ يُحَصِّنَ الْإِنْسَانُ نَفْسَهُ بِالِاعْتِصَامِ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا كَمَا قَالَ تَعَالَى وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ أَكْثِرْ مِنْ دُعَاءِ اللَّهِ أَكْثِرْ مِنَ الْمُنَاجَاةِ بَيْنَ يَدَيْهِ لِيَكُنْ بَيْنَكَ وَبَيْنَ رَبِّكَ جَلَّ وَعَلَا تَوَاصُلٌ لَا تَقُولَنَّ أَنَا عَلَى طَرِيقِ طَاعَةٍ فَإِنَّكَ لَا تَأْمَنُ مِنْ أَنْ يَأْتِيَكَ عَدُوُّكَ الشَّيْطَانُ وَيَغْوِيْكَ وَاللَّهُ جَلَّ وَعَلَا قَدْ جَعَلَ هَذِهِ حَيَاةَ الدُّنْيَا مَحَلَّ فِتْنَةٍ وَابْتِلَاءٍ فَلَا تَكُنْ وَاثِقًا فِي نَفْسِكَ وَإِنَّمَا لِتَكُنْ ثِقَتُكَ فِي رَبِّكَ بِاعْتِصَامِكَ بِهِ فَالْإِنْسَانُ لَا يَأْمَنُ كَمْ مِنْ فَاضِلٍ كَمْ مِنْ شَخْصٍ بَلَغَ دَرَجَاتٍ عَالِيَةٍ فِي الْعِلْمِ وَفِي الْعِبَادَةِ ثُمَّ جَاءَتْهُ أَسْبَابٌ جَعَلَتْهُ يَضِلُّ الطَّرِيقَ وَاذْكُرْ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى لَا يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَكُونُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَلِذَلِكَ عَلَيْنَا أَنْ نَعْتَصِمَ بِاللَّهِ وَأَنْ نَلْتَجِئَ إِلَيْهِ أَنْ يَحْمِيَنَا وَإِذَا نَظَرَ الْإِنْسَانُ إِلَى الدُّعَاءِ الْمَأْثُورِ الَّذِي كَانَ يُكْثِرُ مِنْهُ نَبِيُّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ يَجْعَلُ هَذَا الدُّعَاءُ الْعَبْدَ يَخَافُ أَنْ يُقَلَّبَ فِي حَالِهِ وَانْظُرْ إِلَى دُعَاءِ الرَّاسِخِينَ فِي الْعِلْمِ كَمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَى وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ وَلِذَلِكَ لَا تَأْمَنْ عَلَى نَفْسِكَ أَنْ تَكُونَ مِنْ أَهْلِ الزَّيْغِ وَأَنْ تَبْتَعِدَ عَنِ الْحَقِّ

Nabi Selalu Berlindung dari 8 Bahaya Ini – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Ada delapan perkara, yang Nabi kita ʿalaihish shalātu was salām banyak memohon perlindungan kepada Allah Subḥānahu wa Taʿālā darinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari: resah, sedih, lemah, malas, bakhil, pengecut, lilitan utang, dan kezaliman.” (HR. Bukhari) ==== ثَمَانِيَةُ أُمُورٍ كَانَ يُكْثِرُ نَبِيُّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مِنَ التَّعَوُّذِ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنْهَا اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ – رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ

Nabi Selalu Berlindung dari 8 Bahaya Ini – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Ada delapan perkara, yang Nabi kita ʿalaihish shalātu was salām banyak memohon perlindungan kepada Allah Subḥānahu wa Taʿālā darinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari: resah, sedih, lemah, malas, bakhil, pengecut, lilitan utang, dan kezaliman.” (HR. Bukhari) ==== ثَمَانِيَةُ أُمُورٍ كَانَ يُكْثِرُ نَبِيُّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مِنَ التَّعَوُّذِ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنْهَا اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ – رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
Ada delapan perkara, yang Nabi kita ʿalaihish shalātu was salām banyak memohon perlindungan kepada Allah Subḥānahu wa Taʿālā darinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari: resah, sedih, lemah, malas, bakhil, pengecut, lilitan utang, dan kezaliman.” (HR. Bukhari) ==== ثَمَانِيَةُ أُمُورٍ كَانَ يُكْثِرُ نَبِيُّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مِنَ التَّعَوُّذِ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنْهَا اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ – رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ


Ada delapan perkara, yang Nabi kita ʿalaihish shalātu was salām banyak memohon perlindungan kepada Allah Subḥānahu wa Taʿālā darinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari: resah, sedih, lemah, malas, bakhil, pengecut, lilitan utang, dan kezaliman.” (HR. Bukhari) ==== ثَمَانِيَةُ أُمُورٍ كَانَ يُكْثِرُ نَبِيُّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مِنَ التَّعَوُّذِ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنْهَا اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ – رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ

Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 6)

Daftar Isi Toggle Sewa menyewa jasa yang bersifat khususJenis pertama: khusus untuk bekerja selama masa kontrak kerja yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa)Jenis kedua: khusus untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa) Melanjutkan pembahasan sebelumnya, yakni berkaitan dengan sewa menyewa jasa atau pekerjaan dilihat dari tujuan penggunaan jasa. Lebih mudahnya, pembahasan ini bisa menggunakan kata tanya, “Untuk siapakah jasa ini diperuntukkan? Apakah bisa untuk semua orang? Atau diperuntukkan jasanya hanya secara khusus saja?” Dari poin dan pertanyaan ini ada beberapa ahkam dan masa’il yang dibahas oleh para ulama. Jika dilihat dari tujuan penggunaan jasa, sewa menyewa terbagi menjadi dua [1]: Pertama: Sewa menyewa jasa yang bersifat khusus, (الأجير الخاص) Kedua: Sewa menyewa jasa yang bersifat umum atau publik, (الأجير المشترك) Dan tulisan kali ini akan lebih mengerucut kepada pembahasan di poin pertama. Sewa menyewa jasa yang bersifat khusus Maksudnya adalah pekerja yang waktu dan tenaganya hanya dikhususkan untuk satu orang atau satu pihak tertentu selama masa kontrak kerja. Dinamakan khusus, karena ia hanya memberikan pekerjaannya kepada penyewanya saja pada waktu tersebut. [2] Dan bentuk pekerja yang seperti ini ada dua jenis, Jenis pertama: khusus untuk bekerja selama masa kontrak kerja yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa) Artinya, pekerja atau penyedia jasa bekerja sesuai dengan waktu yang disepakati di awal akad. Seperti pembantu rumah yang bekerja untuk majikannya selama satu tahun lamanya, atau karyawan pada sebuah perusahaan dan lainnya. Terkait dengan jenis pertama ini terdapat beberapa ketentuan, di antaranya: Pertama: Jika pekerja atau penyedia jasa bekerja berdasarkan kesepakatan waktu, maka kesepakatan waktu dan kontrak kerja harus jelas di awal akad. Mudahnya, seseorang menyewa pekerja dengan menentukan target selesainya perbaikan rumah sekitar satu bulan lamanya. Karena, manfaat yang didapatkan oleh pihak penyewa tidak akan diperoleh kecuali dengan menentukan waktu tersebut. Kemudian dalam menentukan waktu, harus disesuaikan dengan kemampuan pekerja, tidak serta merta ditentukan oleh satu pihak saja, harus dilihat dari jumlah pekerja, material yang digunakan, dan cuaca pada waktu itu. Hal ini tentunya hanya dapat dikira-kira sesuai dengan dugaan kuat, sampai berapa lama pekerja bisa menyelesaikan suatu pekerjaan tersebut. Kedua: Pekerja berhak untuk memperoleh upahnya hanya dengan menyerahkan dirinya saja. Hal ini jika akad berdasarkan waktu atau kontrak kerja, karena pekerja khusus tersebut “menjual” waktunya, bukan hasil kerjanya (pada akad jenis ini). Artinya, jika pekerja khusus tidak dipekerjakan, ia tetap berhak untuk mendapatkan upah. Seperti pembantu rumah tangga yang bekerja pada seorang majikan, kemudian tidak ada pekerjaan yang diperintahkan oleh majikannya atau tidak ada kerjaan yang dikerjakannya (karena pekerjaan pada hari itu sudah selesai semua). Dalam kasus ini, ia tetap berhak untuk mendapatkan upah sesuai dengan kesepakatan. Ketiga: Pekerja sangat berhak untuk mendapatkan upahnya pada waktu yang disepakati selesai. Karena manfaat yang diberikan telah diperoleh oleh pihak penyewa jasanya. Sehingga, tidak boleh bagi penyewa jasa mengulur-ngulur waktu bahkan melewati batas kesepakatan akad awal. Karena hal ini merupakan sebuah tindakan kezaliman. Ingatlah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,  أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah no. 2424. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah) Dan ingatlah! Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Jenis kedua: khusus untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa) Artinya, pekerja atau penyedia jasa hanya bekerja sesuai dengan pekerjaan yang diinginkan oleh penyewa jasa. Seperti memperbaiki listrik, saluran air, rumah, dan lainnya. Di antara ketentuan pada jenis kedua sebagai berikut, Jika akad yang disepakati berdasarkan pekerjaannya, maka pekerja berhak untuk mendapatkan upahnya secara utuh ketika ia sudah selesai menyelesaikan pekerjaan yang telah disepakati bersama di awal akad. Yang jadi patokan di jenis kedua ini adalah pekerjaannya, bukan waktunya. Sehingga selama pekerjaannya belum selesai, maka ia tidak bisa mendapatkan upahnya secara utuh. Terjadi perselisihan di kalangan para ulama, jika pekerja hanya mengerjakan sebagian pekerjaannya saja kemudian berhenti. Yang lebih rajih, ia hanya berhak menerima sesuai dengan akhir pekerjaannya. Jika baru setengah yang dikerjakan, maka upahnya hanya diberikan setengah. Demikian pendapat jumhur dan yang dipilih oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. [3]. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرً۬ا يَرَهُ “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Al-Zalzalah: 7) Dikarenakan setiap bagian pekerjaannya, ia berhak untuk mendapatkan upah sesuai dengan bagian pekerjaannya saja. Jika lebih, maka pekerja telah mengambil hak yang bukan miliknya. Ringkasnya, dari ketentuan-ketentuan di atas, dapat diketahui bahwasanya akad pada sewa menyewa jasa yang bersifat khusus, ada dua jenis yang harus diperhatikan dalam akadnya. Yaitu, terkait dengan waktu dan pekerjaan. Silakan untuk kedua belah pihak menyepakati dan memberikan target pekerjaan yang harus diselesaikan, dan sampai mana pekerjaan itu harus selesai. Ketentuan akad seperti ini sangatlah penting, agar tidak terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak di tengah-tengah akad sewa menyewa. Karenanya terdapat sebuah perkataan yang bagus, dinisbatkan kepada Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, مَقَاطِعُ الْحُقُوقِ عِنْدَ شُرُوْطِهَا “Pemenuhan hak ditentukan oleh syarat-syarat yang disepakati.” Artinya, dalam masalah muamalah sangat erat kaitannya dengan syarat di awal akad. Agar tidak ada yang dizalimi dan merasa dizalimi. Seringkali kedua hal itu terjadi karena akadnya yang tidak jelas, abstrak, dan masih ngambang. Sehingga seluruh pihak menuntut haknya yang belum tentu itu adalah sebuah kebenaran. Maka, ingatlah baik-baik kaidah yang diberikan oleh Umar radhiyallahu ‘anhu. [Bersambung] KEMBALI KE BAGIAN 5 *** Depok, 20 Jumadil Akhir 1446/ 22 Desember 2024 Penulis: Muhammad Zia Abdurrofi Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu pada pembahasan Ahkaamul Ijaarah ‘alal ‘Amaal dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 289. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, hal. 358. [3] Majmu’ Fatawa, 30: 183; lihat Shahih Fiqh Sunnah, 5: 290.   Referensi: Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili. Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Dan beberapa referensi lainnya

Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 6)

Daftar Isi Toggle Sewa menyewa jasa yang bersifat khususJenis pertama: khusus untuk bekerja selama masa kontrak kerja yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa)Jenis kedua: khusus untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa) Melanjutkan pembahasan sebelumnya, yakni berkaitan dengan sewa menyewa jasa atau pekerjaan dilihat dari tujuan penggunaan jasa. Lebih mudahnya, pembahasan ini bisa menggunakan kata tanya, “Untuk siapakah jasa ini diperuntukkan? Apakah bisa untuk semua orang? Atau diperuntukkan jasanya hanya secara khusus saja?” Dari poin dan pertanyaan ini ada beberapa ahkam dan masa’il yang dibahas oleh para ulama. Jika dilihat dari tujuan penggunaan jasa, sewa menyewa terbagi menjadi dua [1]: Pertama: Sewa menyewa jasa yang bersifat khusus, (الأجير الخاص) Kedua: Sewa menyewa jasa yang bersifat umum atau publik, (الأجير المشترك) Dan tulisan kali ini akan lebih mengerucut kepada pembahasan di poin pertama. Sewa menyewa jasa yang bersifat khusus Maksudnya adalah pekerja yang waktu dan tenaganya hanya dikhususkan untuk satu orang atau satu pihak tertentu selama masa kontrak kerja. Dinamakan khusus, karena ia hanya memberikan pekerjaannya kepada penyewanya saja pada waktu tersebut. [2] Dan bentuk pekerja yang seperti ini ada dua jenis, Jenis pertama: khusus untuk bekerja selama masa kontrak kerja yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa) Artinya, pekerja atau penyedia jasa bekerja sesuai dengan waktu yang disepakati di awal akad. Seperti pembantu rumah yang bekerja untuk majikannya selama satu tahun lamanya, atau karyawan pada sebuah perusahaan dan lainnya. Terkait dengan jenis pertama ini terdapat beberapa ketentuan, di antaranya: Pertama: Jika pekerja atau penyedia jasa bekerja berdasarkan kesepakatan waktu, maka kesepakatan waktu dan kontrak kerja harus jelas di awal akad. Mudahnya, seseorang menyewa pekerja dengan menentukan target selesainya perbaikan rumah sekitar satu bulan lamanya. Karena, manfaat yang didapatkan oleh pihak penyewa tidak akan diperoleh kecuali dengan menentukan waktu tersebut. Kemudian dalam menentukan waktu, harus disesuaikan dengan kemampuan pekerja, tidak serta merta ditentukan oleh satu pihak saja, harus dilihat dari jumlah pekerja, material yang digunakan, dan cuaca pada waktu itu. Hal ini tentunya hanya dapat dikira-kira sesuai dengan dugaan kuat, sampai berapa lama pekerja bisa menyelesaikan suatu pekerjaan tersebut. Kedua: Pekerja berhak untuk memperoleh upahnya hanya dengan menyerahkan dirinya saja. Hal ini jika akad berdasarkan waktu atau kontrak kerja, karena pekerja khusus tersebut “menjual” waktunya, bukan hasil kerjanya (pada akad jenis ini). Artinya, jika pekerja khusus tidak dipekerjakan, ia tetap berhak untuk mendapatkan upah. Seperti pembantu rumah tangga yang bekerja pada seorang majikan, kemudian tidak ada pekerjaan yang diperintahkan oleh majikannya atau tidak ada kerjaan yang dikerjakannya (karena pekerjaan pada hari itu sudah selesai semua). Dalam kasus ini, ia tetap berhak untuk mendapatkan upah sesuai dengan kesepakatan. Ketiga: Pekerja sangat berhak untuk mendapatkan upahnya pada waktu yang disepakati selesai. Karena manfaat yang diberikan telah diperoleh oleh pihak penyewa jasanya. Sehingga, tidak boleh bagi penyewa jasa mengulur-ngulur waktu bahkan melewati batas kesepakatan akad awal. Karena hal ini merupakan sebuah tindakan kezaliman. Ingatlah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,  أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah no. 2424. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah) Dan ingatlah! Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Jenis kedua: khusus untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa) Artinya, pekerja atau penyedia jasa hanya bekerja sesuai dengan pekerjaan yang diinginkan oleh penyewa jasa. Seperti memperbaiki listrik, saluran air, rumah, dan lainnya. Di antara ketentuan pada jenis kedua sebagai berikut, Jika akad yang disepakati berdasarkan pekerjaannya, maka pekerja berhak untuk mendapatkan upahnya secara utuh ketika ia sudah selesai menyelesaikan pekerjaan yang telah disepakati bersama di awal akad. Yang jadi patokan di jenis kedua ini adalah pekerjaannya, bukan waktunya. Sehingga selama pekerjaannya belum selesai, maka ia tidak bisa mendapatkan upahnya secara utuh. Terjadi perselisihan di kalangan para ulama, jika pekerja hanya mengerjakan sebagian pekerjaannya saja kemudian berhenti. Yang lebih rajih, ia hanya berhak menerima sesuai dengan akhir pekerjaannya. Jika baru setengah yang dikerjakan, maka upahnya hanya diberikan setengah. Demikian pendapat jumhur dan yang dipilih oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. [3]. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرً۬ا يَرَهُ “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Al-Zalzalah: 7) Dikarenakan setiap bagian pekerjaannya, ia berhak untuk mendapatkan upah sesuai dengan bagian pekerjaannya saja. Jika lebih, maka pekerja telah mengambil hak yang bukan miliknya. Ringkasnya, dari ketentuan-ketentuan di atas, dapat diketahui bahwasanya akad pada sewa menyewa jasa yang bersifat khusus, ada dua jenis yang harus diperhatikan dalam akadnya. Yaitu, terkait dengan waktu dan pekerjaan. Silakan untuk kedua belah pihak menyepakati dan memberikan target pekerjaan yang harus diselesaikan, dan sampai mana pekerjaan itu harus selesai. Ketentuan akad seperti ini sangatlah penting, agar tidak terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak di tengah-tengah akad sewa menyewa. Karenanya terdapat sebuah perkataan yang bagus, dinisbatkan kepada Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, مَقَاطِعُ الْحُقُوقِ عِنْدَ شُرُوْطِهَا “Pemenuhan hak ditentukan oleh syarat-syarat yang disepakati.” Artinya, dalam masalah muamalah sangat erat kaitannya dengan syarat di awal akad. Agar tidak ada yang dizalimi dan merasa dizalimi. Seringkali kedua hal itu terjadi karena akadnya yang tidak jelas, abstrak, dan masih ngambang. Sehingga seluruh pihak menuntut haknya yang belum tentu itu adalah sebuah kebenaran. Maka, ingatlah baik-baik kaidah yang diberikan oleh Umar radhiyallahu ‘anhu. [Bersambung] KEMBALI KE BAGIAN 5 *** Depok, 20 Jumadil Akhir 1446/ 22 Desember 2024 Penulis: Muhammad Zia Abdurrofi Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu pada pembahasan Ahkaamul Ijaarah ‘alal ‘Amaal dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 289. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, hal. 358. [3] Majmu’ Fatawa, 30: 183; lihat Shahih Fiqh Sunnah, 5: 290.   Referensi: Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili. Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Dan beberapa referensi lainnya
Daftar Isi Toggle Sewa menyewa jasa yang bersifat khususJenis pertama: khusus untuk bekerja selama masa kontrak kerja yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa)Jenis kedua: khusus untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa) Melanjutkan pembahasan sebelumnya, yakni berkaitan dengan sewa menyewa jasa atau pekerjaan dilihat dari tujuan penggunaan jasa. Lebih mudahnya, pembahasan ini bisa menggunakan kata tanya, “Untuk siapakah jasa ini diperuntukkan? Apakah bisa untuk semua orang? Atau diperuntukkan jasanya hanya secara khusus saja?” Dari poin dan pertanyaan ini ada beberapa ahkam dan masa’il yang dibahas oleh para ulama. Jika dilihat dari tujuan penggunaan jasa, sewa menyewa terbagi menjadi dua [1]: Pertama: Sewa menyewa jasa yang bersifat khusus, (الأجير الخاص) Kedua: Sewa menyewa jasa yang bersifat umum atau publik, (الأجير المشترك) Dan tulisan kali ini akan lebih mengerucut kepada pembahasan di poin pertama. Sewa menyewa jasa yang bersifat khusus Maksudnya adalah pekerja yang waktu dan tenaganya hanya dikhususkan untuk satu orang atau satu pihak tertentu selama masa kontrak kerja. Dinamakan khusus, karena ia hanya memberikan pekerjaannya kepada penyewanya saja pada waktu tersebut. [2] Dan bentuk pekerja yang seperti ini ada dua jenis, Jenis pertama: khusus untuk bekerja selama masa kontrak kerja yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa) Artinya, pekerja atau penyedia jasa bekerja sesuai dengan waktu yang disepakati di awal akad. Seperti pembantu rumah yang bekerja untuk majikannya selama satu tahun lamanya, atau karyawan pada sebuah perusahaan dan lainnya. Terkait dengan jenis pertama ini terdapat beberapa ketentuan, di antaranya: Pertama: Jika pekerja atau penyedia jasa bekerja berdasarkan kesepakatan waktu, maka kesepakatan waktu dan kontrak kerja harus jelas di awal akad. Mudahnya, seseorang menyewa pekerja dengan menentukan target selesainya perbaikan rumah sekitar satu bulan lamanya. Karena, manfaat yang didapatkan oleh pihak penyewa tidak akan diperoleh kecuali dengan menentukan waktu tersebut. Kemudian dalam menentukan waktu, harus disesuaikan dengan kemampuan pekerja, tidak serta merta ditentukan oleh satu pihak saja, harus dilihat dari jumlah pekerja, material yang digunakan, dan cuaca pada waktu itu. Hal ini tentunya hanya dapat dikira-kira sesuai dengan dugaan kuat, sampai berapa lama pekerja bisa menyelesaikan suatu pekerjaan tersebut. Kedua: Pekerja berhak untuk memperoleh upahnya hanya dengan menyerahkan dirinya saja. Hal ini jika akad berdasarkan waktu atau kontrak kerja, karena pekerja khusus tersebut “menjual” waktunya, bukan hasil kerjanya (pada akad jenis ini). Artinya, jika pekerja khusus tidak dipekerjakan, ia tetap berhak untuk mendapatkan upah. Seperti pembantu rumah tangga yang bekerja pada seorang majikan, kemudian tidak ada pekerjaan yang diperintahkan oleh majikannya atau tidak ada kerjaan yang dikerjakannya (karena pekerjaan pada hari itu sudah selesai semua). Dalam kasus ini, ia tetap berhak untuk mendapatkan upah sesuai dengan kesepakatan. Ketiga: Pekerja sangat berhak untuk mendapatkan upahnya pada waktu yang disepakati selesai. Karena manfaat yang diberikan telah diperoleh oleh pihak penyewa jasanya. Sehingga, tidak boleh bagi penyewa jasa mengulur-ngulur waktu bahkan melewati batas kesepakatan akad awal. Karena hal ini merupakan sebuah tindakan kezaliman. Ingatlah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,  أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah no. 2424. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah) Dan ingatlah! Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Jenis kedua: khusus untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa) Artinya, pekerja atau penyedia jasa hanya bekerja sesuai dengan pekerjaan yang diinginkan oleh penyewa jasa. Seperti memperbaiki listrik, saluran air, rumah, dan lainnya. Di antara ketentuan pada jenis kedua sebagai berikut, Jika akad yang disepakati berdasarkan pekerjaannya, maka pekerja berhak untuk mendapatkan upahnya secara utuh ketika ia sudah selesai menyelesaikan pekerjaan yang telah disepakati bersama di awal akad. Yang jadi patokan di jenis kedua ini adalah pekerjaannya, bukan waktunya. Sehingga selama pekerjaannya belum selesai, maka ia tidak bisa mendapatkan upahnya secara utuh. Terjadi perselisihan di kalangan para ulama, jika pekerja hanya mengerjakan sebagian pekerjaannya saja kemudian berhenti. Yang lebih rajih, ia hanya berhak menerima sesuai dengan akhir pekerjaannya. Jika baru setengah yang dikerjakan, maka upahnya hanya diberikan setengah. Demikian pendapat jumhur dan yang dipilih oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. [3]. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرً۬ا يَرَهُ “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Al-Zalzalah: 7) Dikarenakan setiap bagian pekerjaannya, ia berhak untuk mendapatkan upah sesuai dengan bagian pekerjaannya saja. Jika lebih, maka pekerja telah mengambil hak yang bukan miliknya. Ringkasnya, dari ketentuan-ketentuan di atas, dapat diketahui bahwasanya akad pada sewa menyewa jasa yang bersifat khusus, ada dua jenis yang harus diperhatikan dalam akadnya. Yaitu, terkait dengan waktu dan pekerjaan. Silakan untuk kedua belah pihak menyepakati dan memberikan target pekerjaan yang harus diselesaikan, dan sampai mana pekerjaan itu harus selesai. Ketentuan akad seperti ini sangatlah penting, agar tidak terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak di tengah-tengah akad sewa menyewa. Karenanya terdapat sebuah perkataan yang bagus, dinisbatkan kepada Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, مَقَاطِعُ الْحُقُوقِ عِنْدَ شُرُوْطِهَا “Pemenuhan hak ditentukan oleh syarat-syarat yang disepakati.” Artinya, dalam masalah muamalah sangat erat kaitannya dengan syarat di awal akad. Agar tidak ada yang dizalimi dan merasa dizalimi. Seringkali kedua hal itu terjadi karena akadnya yang tidak jelas, abstrak, dan masih ngambang. Sehingga seluruh pihak menuntut haknya yang belum tentu itu adalah sebuah kebenaran. Maka, ingatlah baik-baik kaidah yang diberikan oleh Umar radhiyallahu ‘anhu. [Bersambung] KEMBALI KE BAGIAN 5 *** Depok, 20 Jumadil Akhir 1446/ 22 Desember 2024 Penulis: Muhammad Zia Abdurrofi Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu pada pembahasan Ahkaamul Ijaarah ‘alal ‘Amaal dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 289. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, hal. 358. [3] Majmu’ Fatawa, 30: 183; lihat Shahih Fiqh Sunnah, 5: 290.   Referensi: Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili. Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Dan beberapa referensi lainnya


Daftar Isi Toggle Sewa menyewa jasa yang bersifat khususJenis pertama: khusus untuk bekerja selama masa kontrak kerja yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa)Jenis kedua: khusus untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa) Melanjutkan pembahasan sebelumnya, yakni berkaitan dengan sewa menyewa jasa atau pekerjaan dilihat dari tujuan penggunaan jasa. Lebih mudahnya, pembahasan ini bisa menggunakan kata tanya, “Untuk siapakah jasa ini diperuntukkan? Apakah bisa untuk semua orang? Atau diperuntukkan jasanya hanya secara khusus saja?” Dari poin dan pertanyaan ini ada beberapa ahkam dan masa’il yang dibahas oleh para ulama. Jika dilihat dari tujuan penggunaan jasa, sewa menyewa terbagi menjadi dua [1]: Pertama: Sewa menyewa jasa yang bersifat khusus, (الأجير الخاص) Kedua: Sewa menyewa jasa yang bersifat umum atau publik, (الأجير المشترك) Dan tulisan kali ini akan lebih mengerucut kepada pembahasan di poin pertama. Sewa menyewa jasa yang bersifat khusus Maksudnya adalah pekerja yang waktu dan tenaganya hanya dikhususkan untuk satu orang atau satu pihak tertentu selama masa kontrak kerja. Dinamakan khusus, karena ia hanya memberikan pekerjaannya kepada penyewanya saja pada waktu tersebut. [2] Dan bentuk pekerja yang seperti ini ada dua jenis, Jenis pertama: khusus untuk bekerja selama masa kontrak kerja yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa) Artinya, pekerja atau penyedia jasa bekerja sesuai dengan waktu yang disepakati di awal akad. Seperti pembantu rumah yang bekerja untuk majikannya selama satu tahun lamanya, atau karyawan pada sebuah perusahaan dan lainnya. Terkait dengan jenis pertama ini terdapat beberapa ketentuan, di antaranya: Pertama: Jika pekerja atau penyedia jasa bekerja berdasarkan kesepakatan waktu, maka kesepakatan waktu dan kontrak kerja harus jelas di awal akad. Mudahnya, seseorang menyewa pekerja dengan menentukan target selesainya perbaikan rumah sekitar satu bulan lamanya. Karena, manfaat yang didapatkan oleh pihak penyewa tidak akan diperoleh kecuali dengan menentukan waktu tersebut. Kemudian dalam menentukan waktu, harus disesuaikan dengan kemampuan pekerja, tidak serta merta ditentukan oleh satu pihak saja, harus dilihat dari jumlah pekerja, material yang digunakan, dan cuaca pada waktu itu. Hal ini tentunya hanya dapat dikira-kira sesuai dengan dugaan kuat, sampai berapa lama pekerja bisa menyelesaikan suatu pekerjaan tersebut. Kedua: Pekerja berhak untuk memperoleh upahnya hanya dengan menyerahkan dirinya saja. Hal ini jika akad berdasarkan waktu atau kontrak kerja, karena pekerja khusus tersebut “menjual” waktunya, bukan hasil kerjanya (pada akad jenis ini). Artinya, jika pekerja khusus tidak dipekerjakan, ia tetap berhak untuk mendapatkan upah. Seperti pembantu rumah tangga yang bekerja pada seorang majikan, kemudian tidak ada pekerjaan yang diperintahkan oleh majikannya atau tidak ada kerjaan yang dikerjakannya (karena pekerjaan pada hari itu sudah selesai semua). Dalam kasus ini, ia tetap berhak untuk mendapatkan upah sesuai dengan kesepakatan. Ketiga: Pekerja sangat berhak untuk mendapatkan upahnya pada waktu yang disepakati selesai. Karena manfaat yang diberikan telah diperoleh oleh pihak penyewa jasanya. Sehingga, tidak boleh bagi penyewa jasa mengulur-ngulur waktu bahkan melewati batas kesepakatan akad awal. Karena hal ini merupakan sebuah tindakan kezaliman. Ingatlah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,  أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah no. 2424. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah) Dan ingatlah! Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Jenis kedua: khusus untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa) Artinya, pekerja atau penyedia jasa hanya bekerja sesuai dengan pekerjaan yang diinginkan oleh penyewa jasa. Seperti memperbaiki listrik, saluran air, rumah, dan lainnya. Di antara ketentuan pada jenis kedua sebagai berikut, Jika akad yang disepakati berdasarkan pekerjaannya, maka pekerja berhak untuk mendapatkan upahnya secara utuh ketika ia sudah selesai menyelesaikan pekerjaan yang telah disepakati bersama di awal akad. Yang jadi patokan di jenis kedua ini adalah pekerjaannya, bukan waktunya. Sehingga selama pekerjaannya belum selesai, maka ia tidak bisa mendapatkan upahnya secara utuh. Terjadi perselisihan di kalangan para ulama, jika pekerja hanya mengerjakan sebagian pekerjaannya saja kemudian berhenti. Yang lebih rajih, ia hanya berhak menerima sesuai dengan akhir pekerjaannya. Jika baru setengah yang dikerjakan, maka upahnya hanya diberikan setengah. Demikian pendapat jumhur dan yang dipilih oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. [3]. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرً۬ا يَرَهُ “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Al-Zalzalah: 7) Dikarenakan setiap bagian pekerjaannya, ia berhak untuk mendapatkan upah sesuai dengan bagian pekerjaannya saja. Jika lebih, maka pekerja telah mengambil hak yang bukan miliknya. Ringkasnya, dari ketentuan-ketentuan di atas, dapat diketahui bahwasanya akad pada sewa menyewa jasa yang bersifat khusus, ada dua jenis yang harus diperhatikan dalam akadnya. Yaitu, terkait dengan waktu dan pekerjaan. Silakan untuk kedua belah pihak menyepakati dan memberikan target pekerjaan yang harus diselesaikan, dan sampai mana pekerjaan itu harus selesai. Ketentuan akad seperti ini sangatlah penting, agar tidak terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak di tengah-tengah akad sewa menyewa. Karenanya terdapat sebuah perkataan yang bagus, dinisbatkan kepada Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, مَقَاطِعُ الْحُقُوقِ عِنْدَ شُرُوْطِهَا “Pemenuhan hak ditentukan oleh syarat-syarat yang disepakati.” Artinya, dalam masalah muamalah sangat erat kaitannya dengan syarat di awal akad. Agar tidak ada yang dizalimi dan merasa dizalimi. Seringkali kedua hal itu terjadi karena akadnya yang tidak jelas, abstrak, dan masih ngambang. Sehingga seluruh pihak menuntut haknya yang belum tentu itu adalah sebuah kebenaran. Maka, ingatlah baik-baik kaidah yang diberikan oleh Umar radhiyallahu ‘anhu. [Bersambung] KEMBALI KE BAGIAN 5 *** Depok, 20 Jumadil Akhir 1446/ 22 Desember 2024 Penulis: Muhammad Zia Abdurrofi Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu pada pembahasan Ahkaamul Ijaarah ‘alal ‘Amaal dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 289. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, hal. 358. [3] Majmu’ Fatawa, 30: 183; lihat Shahih Fiqh Sunnah, 5: 290.   Referensi: Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili. Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Dan beberapa referensi lainnya

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1 Posted on January 5, 2025January 5, 2025by Setelah membahas doa sebelum berwudhu dan ketika berwudhu, kali ini kita akan mengkaji doa setelah berwudhu. Redaksi doanya antara lain: “‌أَشْهَدُ ‌أَنْ ‌لَا ‌إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ. اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي ‌مِنَ ‌التَّوَّابِينَ، وَاجْعَلْنِي مِنَ المُتَطَهِّرِينَ”“Asyhadu allâ ilâha illallâh, wa anna muhammadan ‘abdullahi wa rasûluh. Allohummaj’alnî minat tawwâbîna, waj’alnî minal mutathohhirîn”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ ‌يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ -أَوْ فَيُسْبِغُ- الْوَضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ: “‌أَشْهَدُ ‌أَنْ ‌لَا ‌إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ”؛ إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ”.“Siapapun di antara kalian yang berwudhu dengan sempurna, lalu membaca doa: “Asyhadu allâ ilâha illallâh, wa anna muhammadan ‘abdullahi wa rasûluh (Aku bersaksi bahwasanya tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah. Dan bahwasanya Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya)”; niscaya akan dibukakan untuknya delapan pintu surga, dan dia boleh masuk melalui pintu manapun yang diinginkannya”. HR. Muslim (no. 234). Di dalam riwayat lain ditambahkan:“اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي ‌مِنَ ‌التَّوَّابِينَ، وَاجْعَلْنِي مِنَ المُتَطَهِّرِينَ” “Allohummaj’alnî minat tawwâbîna, waj’alnî minal mutathohhirîn (Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat. Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang senantiasa bersuci)”. HR. Tirmidziy (no. 55). Riwayat ini dinilai dha’if oleh Ibn Hajar. Namun al-Albaniy menilainya sahih. Renungan Kandungan Hadits di atas memotivasi kita untuk berwudhu secara sempurna. Maksudnya anggota tubuh yang disyariatkan untuk terkena air wudhu, harus basah dengan baik. Tidak boleh ada yang terlewat. Semua itu dilaksanakan tanpa berlebihan dalam menggunakan air.Adapun doa sesudah wudhu, maka diawali dengan membaca dua kalimat syahadat. Di dalam dua kalimat mulia ini terkandung prinsip keyakinan kita tentang Allah dan tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang berhak untuk disembah dan diibadahi. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka harus kita yakini bahwa beliau adalah hamba Allah, sekaligus Rasul yang diutus oleh-Nya untuk ummat manusia. Konsekuensi dari mengucapkan dua kalimat ini adalah: kita wajib mengikhlaskan seluruh ibadah hanya untuk Allah saja. Serta ibadah tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang diajarkan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah membaca dua kalimat syahadat, kita memohon kepada Allah agar dijadikan termasuk golongan yang senantiasa bertaubat dan selalu bersuci. Di sini kita diajari untuk rutin membersihkan kotoran lahir dan batin. Kotoran lahir adalah hal-hal najis, seperti air kencing, kotoran manusia, dan semisalnya. Sedangkan kotoran batin adalah dosa dan maksiat. Banyak orang hanya memperhatikan kebersihan lahiriahnya saja. Namun sayang ia kurang memperhatikan kebersihan batiniahnya. Siapapun yang menjalankan amalan di atas, dia akan dibebaskan untuk masuk ke surga melalui pintu manapun. Delapan pintu surga terbuka untuknya. MasyaAllah! Padahal amalan ini tidak berat. ‘Sekedar’ berwudhu dengan sempurna lalu membaca doa di atas. Begitulah maha luasnya rahmat Allah. Maka jangan sampai kita menyia-nyiakan karunia tersebut.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 7 Ramadhan 1445 / 18 Maret 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 212 – Adakah Doa Saat Berwudhu?Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai) SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1 Posted on January 5, 2025January 5, 2025by Setelah membahas doa sebelum berwudhu dan ketika berwudhu, kali ini kita akan mengkaji doa setelah berwudhu. Redaksi doanya antara lain: “‌أَشْهَدُ ‌أَنْ ‌لَا ‌إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ. اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي ‌مِنَ ‌التَّوَّابِينَ، وَاجْعَلْنِي مِنَ المُتَطَهِّرِينَ”“Asyhadu allâ ilâha illallâh, wa anna muhammadan ‘abdullahi wa rasûluh. Allohummaj’alnî minat tawwâbîna, waj’alnî minal mutathohhirîn”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ ‌يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ -أَوْ فَيُسْبِغُ- الْوَضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ: “‌أَشْهَدُ ‌أَنْ ‌لَا ‌إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ”؛ إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ”.“Siapapun di antara kalian yang berwudhu dengan sempurna, lalu membaca doa: “Asyhadu allâ ilâha illallâh, wa anna muhammadan ‘abdullahi wa rasûluh (Aku bersaksi bahwasanya tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah. Dan bahwasanya Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya)”; niscaya akan dibukakan untuknya delapan pintu surga, dan dia boleh masuk melalui pintu manapun yang diinginkannya”. HR. Muslim (no. 234). Di dalam riwayat lain ditambahkan:“اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي ‌مِنَ ‌التَّوَّابِينَ، وَاجْعَلْنِي مِنَ المُتَطَهِّرِينَ” “Allohummaj’alnî minat tawwâbîna, waj’alnî minal mutathohhirîn (Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat. Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang senantiasa bersuci)”. HR. Tirmidziy (no. 55). Riwayat ini dinilai dha’if oleh Ibn Hajar. Namun al-Albaniy menilainya sahih. Renungan Kandungan Hadits di atas memotivasi kita untuk berwudhu secara sempurna. Maksudnya anggota tubuh yang disyariatkan untuk terkena air wudhu, harus basah dengan baik. Tidak boleh ada yang terlewat. Semua itu dilaksanakan tanpa berlebihan dalam menggunakan air.Adapun doa sesudah wudhu, maka diawali dengan membaca dua kalimat syahadat. Di dalam dua kalimat mulia ini terkandung prinsip keyakinan kita tentang Allah dan tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang berhak untuk disembah dan diibadahi. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka harus kita yakini bahwa beliau adalah hamba Allah, sekaligus Rasul yang diutus oleh-Nya untuk ummat manusia. Konsekuensi dari mengucapkan dua kalimat ini adalah: kita wajib mengikhlaskan seluruh ibadah hanya untuk Allah saja. Serta ibadah tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang diajarkan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah membaca dua kalimat syahadat, kita memohon kepada Allah agar dijadikan termasuk golongan yang senantiasa bertaubat dan selalu bersuci. Di sini kita diajari untuk rutin membersihkan kotoran lahir dan batin. Kotoran lahir adalah hal-hal najis, seperti air kencing, kotoran manusia, dan semisalnya. Sedangkan kotoran batin adalah dosa dan maksiat. Banyak orang hanya memperhatikan kebersihan lahiriahnya saja. Namun sayang ia kurang memperhatikan kebersihan batiniahnya. Siapapun yang menjalankan amalan di atas, dia akan dibebaskan untuk masuk ke surga melalui pintu manapun. Delapan pintu surga terbuka untuknya. MasyaAllah! Padahal amalan ini tidak berat. ‘Sekedar’ berwudhu dengan sempurna lalu membaca doa di atas. Begitulah maha luasnya rahmat Allah. Maka jangan sampai kita menyia-nyiakan karunia tersebut.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 7 Ramadhan 1445 / 18 Maret 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 212 – Adakah Doa Saat Berwudhu?Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai) SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1 Posted on January 5, 2025January 5, 2025by Setelah membahas doa sebelum berwudhu dan ketika berwudhu, kali ini kita akan mengkaji doa setelah berwudhu. Redaksi doanya antara lain: “‌أَشْهَدُ ‌أَنْ ‌لَا ‌إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ. اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي ‌مِنَ ‌التَّوَّابِينَ، وَاجْعَلْنِي مِنَ المُتَطَهِّرِينَ”“Asyhadu allâ ilâha illallâh, wa anna muhammadan ‘abdullahi wa rasûluh. Allohummaj’alnî minat tawwâbîna, waj’alnî minal mutathohhirîn”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ ‌يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ -أَوْ فَيُسْبِغُ- الْوَضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ: “‌أَشْهَدُ ‌أَنْ ‌لَا ‌إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ”؛ إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ”.“Siapapun di antara kalian yang berwudhu dengan sempurna, lalu membaca doa: “Asyhadu allâ ilâha illallâh, wa anna muhammadan ‘abdullahi wa rasûluh (Aku bersaksi bahwasanya tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah. Dan bahwasanya Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya)”; niscaya akan dibukakan untuknya delapan pintu surga, dan dia boleh masuk melalui pintu manapun yang diinginkannya”. HR. Muslim (no. 234). Di dalam riwayat lain ditambahkan:“اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي ‌مِنَ ‌التَّوَّابِينَ، وَاجْعَلْنِي مِنَ المُتَطَهِّرِينَ” “Allohummaj’alnî minat tawwâbîna, waj’alnî minal mutathohhirîn (Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat. Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang senantiasa bersuci)”. HR. Tirmidziy (no. 55). Riwayat ini dinilai dha’if oleh Ibn Hajar. Namun al-Albaniy menilainya sahih. Renungan Kandungan Hadits di atas memotivasi kita untuk berwudhu secara sempurna. Maksudnya anggota tubuh yang disyariatkan untuk terkena air wudhu, harus basah dengan baik. Tidak boleh ada yang terlewat. Semua itu dilaksanakan tanpa berlebihan dalam menggunakan air.Adapun doa sesudah wudhu, maka diawali dengan membaca dua kalimat syahadat. Di dalam dua kalimat mulia ini terkandung prinsip keyakinan kita tentang Allah dan tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang berhak untuk disembah dan diibadahi. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka harus kita yakini bahwa beliau adalah hamba Allah, sekaligus Rasul yang diutus oleh-Nya untuk ummat manusia. Konsekuensi dari mengucapkan dua kalimat ini adalah: kita wajib mengikhlaskan seluruh ibadah hanya untuk Allah saja. Serta ibadah tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang diajarkan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah membaca dua kalimat syahadat, kita memohon kepada Allah agar dijadikan termasuk golongan yang senantiasa bertaubat dan selalu bersuci. Di sini kita diajari untuk rutin membersihkan kotoran lahir dan batin. Kotoran lahir adalah hal-hal najis, seperti air kencing, kotoran manusia, dan semisalnya. Sedangkan kotoran batin adalah dosa dan maksiat. Banyak orang hanya memperhatikan kebersihan lahiriahnya saja. Namun sayang ia kurang memperhatikan kebersihan batiniahnya. Siapapun yang menjalankan amalan di atas, dia akan dibebaskan untuk masuk ke surga melalui pintu manapun. Delapan pintu surga terbuka untuknya. MasyaAllah! Padahal amalan ini tidak berat. ‘Sekedar’ berwudhu dengan sempurna lalu membaca doa di atas. Begitulah maha luasnya rahmat Allah. Maka jangan sampai kita menyia-nyiakan karunia tersebut.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 7 Ramadhan 1445 / 18 Maret 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 212 – Adakah Doa Saat Berwudhu?Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai) SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1 Posted on January 5, 2025January 5, 2025by Setelah membahas doa sebelum berwudhu dan ketika berwudhu, kali ini kita akan mengkaji doa setelah berwudhu. Redaksi doanya antara lain: “‌أَشْهَدُ ‌أَنْ ‌لَا ‌إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ. اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي ‌مِنَ ‌التَّوَّابِينَ، وَاجْعَلْنِي مِنَ المُتَطَهِّرِينَ”“Asyhadu allâ ilâha illallâh, wa anna muhammadan ‘abdullahi wa rasûluh. Allohummaj’alnî minat tawwâbîna, waj’alnî minal mutathohhirîn”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ ‌يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ -أَوْ فَيُسْبِغُ- الْوَضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ: “‌أَشْهَدُ ‌أَنْ ‌لَا ‌إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ”؛ إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ”.“Siapapun di antara kalian yang berwudhu dengan sempurna, lalu membaca doa: “Asyhadu allâ ilâha illallâh, wa anna muhammadan ‘abdullahi wa rasûluh (Aku bersaksi bahwasanya tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah. Dan bahwasanya Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya)”; niscaya akan dibukakan untuknya delapan pintu surga, dan dia boleh masuk melalui pintu manapun yang diinginkannya”. HR. Muslim (no. 234). Di dalam riwayat lain ditambahkan:“اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي ‌مِنَ ‌التَّوَّابِينَ، وَاجْعَلْنِي مِنَ المُتَطَهِّرِينَ” “Allohummaj’alnî minat tawwâbîna, waj’alnî minal mutathohhirîn (Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat. Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang senantiasa bersuci)”. HR. Tirmidziy (no. 55). Riwayat ini dinilai dha’if oleh Ibn Hajar. Namun al-Albaniy menilainya sahih. Renungan Kandungan Hadits di atas memotivasi kita untuk berwudhu secara sempurna. Maksudnya anggota tubuh yang disyariatkan untuk terkena air wudhu, harus basah dengan baik. Tidak boleh ada yang terlewat. Semua itu dilaksanakan tanpa berlebihan dalam menggunakan air.Adapun doa sesudah wudhu, maka diawali dengan membaca dua kalimat syahadat. Di dalam dua kalimat mulia ini terkandung prinsip keyakinan kita tentang Allah dan tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang berhak untuk disembah dan diibadahi. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka harus kita yakini bahwa beliau adalah hamba Allah, sekaligus Rasul yang diutus oleh-Nya untuk ummat manusia. Konsekuensi dari mengucapkan dua kalimat ini adalah: kita wajib mengikhlaskan seluruh ibadah hanya untuk Allah saja. Serta ibadah tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang diajarkan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah membaca dua kalimat syahadat, kita memohon kepada Allah agar dijadikan termasuk golongan yang senantiasa bertaubat dan selalu bersuci. Di sini kita diajari untuk rutin membersihkan kotoran lahir dan batin. Kotoran lahir adalah hal-hal najis, seperti air kencing, kotoran manusia, dan semisalnya. Sedangkan kotoran batin adalah dosa dan maksiat. Banyak orang hanya memperhatikan kebersihan lahiriahnya saja. Namun sayang ia kurang memperhatikan kebersihan batiniahnya. Siapapun yang menjalankan amalan di atas, dia akan dibebaskan untuk masuk ke surga melalui pintu manapun. Delapan pintu surga terbuka untuknya. MasyaAllah! Padahal amalan ini tidak berat. ‘Sekedar’ berwudhu dengan sempurna lalu membaca doa di atas. Begitulah maha luasnya rahmat Allah. Maka jangan sampai kita menyia-nyiakan karunia tersebut.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 7 Ramadhan 1445 / 18 Maret 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 212 – Adakah Doa Saat Berwudhu?Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai) SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Disiplin, Mulai dari Ibadah Salat

Daftar Isi Toggle BerdoaNiatIkhtiarTambah ilmu Tidak ada yang memungkiri bahwa kunci dari kesuksesan adalah disiplin. Lebih populer orang-orang menyebut self-diciplined. Disiplin adalah upaya bagaimana mengatur diri melakukan suatu pola-pola kecil, pelan tapi pasti untuk memperoleh suatu tujuan atau cita-cita besar. Namun, ada hal yang kadangkala luput dari proses disiplin itu sendiri, yaitu: menikmati prosesnya. Disiplin itu berat. Konsisten itu butuh tenaga. Tetapi, jika kita mampu melakukannya, maka kita akan memperoleh nikmat yang luar biasa sebagai buah dari kedisiplinan itu. Allah Ta’ala telah menegaskan pentingnya kesabaran, konsistensi, dan kedisiplinan dalam menjalankan ibadah serta amal kebaikan dalam firman-Nya, لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلْكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۦنَ وَءَاتَى ٱلْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَٰهَدُوا۟ ۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلْبَأْسِ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya). Dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177) Katakanlah, kita ingin sukses dari sisi duniawi, seperti bebas secara finansial, mendapatkan pekerjaan yang layak, memperoleh pasangan yang saleh/salehah, anak-anak yang taat, patuh, dan berprestasi, serta berbagai perbendaharaan duniawi lainnya. Begitu pula, dari sisi ukhrawi, yang tentunya kita sama-sama sepakat, tujuannya adalah satu, yaitu surga. Kesuksesan untuk mendapatkan kesempatan melihat wajah Allah Ta’ala di surga, serta kesuksesan untuk terhindar dari siksa api neraka. Maka, untuk memperoleh kesuksesan duniawi dan ukhrawi itu, kita butuh usaha. Telah paripurna contoh dan pedoman yang Rasulullah ajarkan kepada kita. لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 20) Kita hanya cukup mengikuti dengan konsisten. Dimulai dari belajar dengan benar, dari sumber yang benar, dan dari guru yang benar pula, tentang bagaimana prinsip-prinsip Islam untuk meraih kesuksesan pada dua perkara tersebut. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ “Siapa saja yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 2699) Apabila kita memperhatikan sejarah dalam sirah-sirah sahabat, kita akan mendapati bahwa mulai dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali, dan para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum, mayoritasnya adalah sosok yang telah meraih kesuksesan duniawi dan ukhrawi. Mereka adalah orang-orang yang bertakwa, faqih terhadap agamanya, lembut terhadap keluarganya, pemimpin yang adil terhadap rakyatnya, banyak pula hartanya. Hampir semua indikator idealnya seorang manusia, mereka punya. Siapalagi teladan terbaik dalam kehidupan ini selain mereka? Maka, saudaraku, mari kita menyelami prinsip dasar dan sangat fundamental dari manusia-manusia pilihan Allah tersebut guna mengikuti jejak mereka untuk mencapai kesuksesan duniawi dan ukhrawi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ “Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” (HR. Bukhari no. 3651 dan Muslim no. 2533) Satu kata yang sudah pasti dari hikmah yang dapat diambil dari mereka, yaitu disiplin. Disiplin dalam segala hal. Dan yang paling pokok pada disiplin ini adalah disiplin dalam menunaikan ibadah salat. Salat adalah rukun Islam kedua setelah syahadat. Menunjukkan betapa pokok dan pentingnya ibadah ini untuk kita tunaikan dengan serius dan tepat waktu. Kunci ibadah ada dua, yaitu ikhlas dan ittiba’. Maka, untuk memulainya, dalam konteks ittiba’, setelah mengilmui bagaimana tata cara salat yang benar sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita pun harus komitmen untuk senantiasa melaksanakan ibadah salat secara tepat waktu. Bagaimana pun kondisinya! Maka, tidak heran dan sangat masuk logika, sebuah ungkapan, “Jika salatmu berantakan, maka berantakan pulalah hidupmu.” Oleh karenanya, dengan memohon pertolongan Allah Ta’ala, mari kita berikhtiar untuk menjadi hamba-hamba Allah yang mampu mendisiplinkan diri melaksanakan ibadah salat dengan ikhtiar-ikhtiar berikut ini: Berdoa أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ  . قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لاَ ، وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِى اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ Sesungguhnya Abu Hurairah berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga.’ Para sahabat bertanya, ‘Engkau juga tidak, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah.’ ” (HR. Bukhari no. 5673 dan Muslim no. 2816) Ingat, bahwa kita akan diberi ganjaran oleh Allah bukan karena amal kita. Tetapi, karena rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala. Maka dari itu, gapailah rahmat itu dengan doa. Memohon kepada Allah agar diberikan kekuatan hati dan fisik untuk melaksanakan ibadah mulia ini. Renungkanlah bahwa setiap kalimat azan, kita dianjurkan untuk menjawabnya dengan kalimat yang sama, kecuali pada kalimat “Hayya ‘alal falah” dan “Hayya ‘ala as-shalah”. Ketahuilah, bahwa alasan kenapa kita dianjurkan ketika mendengar kalimat ajakan untuk salat menjawab dengan kalimat, “La haula wa la quwwata illa billah” berarti bahwa jika tidak karena Allah yang memberi daya dan kekuatan, kita tidak akan mampu melaksanakan ibadah yang agung ini. Hal ini dapat kita buktikan dengan melihat orang-orang yang terkenal kuat, fisiknya yang prima, akalnya yang sehat, dan cerdas pula. Tetapi, tidak sanggup melaksanakan salat 5 waktu secara konsisten berjemaah di masjid, meskipun kediamannya berdekatan dengan masjid. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Jawabannya adalah bisa jadi karena Allah belum memberikan rahmat-Nya berupa hidayah, daya, dan kekuatan untuk melangkahkan kaki ke rumah Allah. Oleh karenanya, perbanyaklah doa kepada Allah agar diberi kemudahan dan keistikamahan melaksanakan ibadah ini secara tepat waktu. Baca juga: Doa Istiftah dalam Salat Malam Niat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu) Tentu, kita akan diberi ganjaran oleh Allah sesuai dengan apa yang kita niatkan di dalam hati kita. Godaan untuk mencari ketenaran dari ibadah memang cukup besar. Di tengah-tengah maraknya manusia yang narsis dengan ibadahnya, kita dituntut untuk mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah. Menjauhlah dari potensi-potensi sum’ah dan riya’ -yang merupakan bagian dari syirik kecil- yang dapat menjerumuskan kita pada kemurkaan Allah. Ingatlah prinsip agar diterimanya ibadah, yaitu ikhlas dan ittiba’. Ikhlas dimulai dari niat yang tulus dan murni bahwa tujuan dari ibadah yang kita lakukan adalah semata-mata untuk mendapatkan rida Allah Ta’ala, mendapatkan pahala yang banyak sehingga dapat menjadi timbangan amal kita di akhirat kelak. Berusahalah untuk menghindari hal-hal yang dapat merusak niat kita. Ingat konsekuensi dari ibadah yang tidak diperuntukkan hanya kepada Allah. Jika ada ibadah yang ternyata diniatkan bukan hanya untuk Allah, bukankah itu sama saja dengan mempersekutukan Allah dalam ibadah? Wal ‘iyadzu billah. Ikhtiar إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا “Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 102) Banyak ikhtiar yang bisa kita lakukan dalam upaya mendisiplinkan diri untuk salat tepat waktu. Di antaranya adalah memperbanyak perbendaharan ilmu tentang salat. Bagaimana praktik salat yang benar sesuai sunah Nabi, bacaan-bacaannya, motivasi diri untuk menambah hafalan, dan bagaimana untuk memaksa diri tidak terlambat (masbuk) saat pelaksanaan salat. Kita bisa membuat pengingat (alarm) 10 menit sebelum azan. Menandakan bahwa saatnya segera mengambil wudu, memastikan pakaian bebas najis, menggunakan siwak, dan bahkan menyiapkan surah-surah yang akan dilantunkan saat salat. Bangunlah setiap hari dengan jadwal salat 5 waktu dalam genggamanmu. Bayangkanlah bahwa engkau bertemu dengan Rabbmu 5 kali dalam sehari. Setiap kalinya, persiapkan diri dengan semaksimal yang engkau bisa. Ingat pula, bahwa dalam salat ada doa meminta hidayah jalan yang lurus, memohon pertolongan Allah, meminta rezeki, dan pastinya kesuksesan dunia dan akhirat. Maka, jadikanlah momen ibadah salat ini sebagai waktu yang paling dinanti-nantikan. Tambah ilmu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي “Salatlah kalian (dengan cara) sebagaimana kalian melihatku salat.” (HR. Bukhari no. 628 dan Ahmad, 34: 157-158) Pastinya, akan menjadi berbeda, ketika kita mengetahui variasi doa istiftah lebih dari 1 versi sesuai dengan sunah Nabi. Begitu pun dalam bacaan rukuk, i’tidal, sujud, dan tasyahud. Menghafalnya, mengetahui maknanya, dan mempraktikkannya dalam salat menjadi hal yang menarik untuk diamalkan. Hal ini pun akan menjadikan ritual ibadah salat kita tidak monoton dengan hafalan yang tak kunjung bertambah sejak di bangku SD. Lihatlah diri kita, dengan umur saat ini, sudah berapa hafalan Al-Quran yang kita punya. Dan bagaimana pengetahuan kita tentang salat dari mulai takbir hingga salam. Adakah yang bertambah? Pun, kita perlu mempelajari sirah Nabi bagaimana Rasulullah mendapatkan perintah salat dalam peristiwa isra’ miraj, sehingga kita pun dapat memahami betapa pentingnya ibadah ini dalam Islam dan kita pun menyadari konsekuensi besar bagi siapa saja yang meninggalkan salat. Kita juga perlu memperlajari fikih tentang salat. Seperti apa ganjaran besar orang yang melaksanakan salat. Apa hukum bagi orang yang meninggalkan salat dengan sengaja, tetapi dengan keyakinan salat tidak wajib? Bagaimana pula hukum bagi orang yang meyakini bahwa salat itu wajib, tetapi ia malas menunaikan kewajiban yang mulia itu? Semua itu tidak akan kita ketahui, kecuali dengan menuntut ilmu. Menghadiri majelis ilmu, membaca referensi-referensi sahih, dan bertanya kepada guru (ustaz) yang kompeten di bidangnya. Lakukan secara konsisten. Sempurnakan dengan pergaulan bersama orang-orang saleh. Semoga, dengan disiplin melaksanakan salat secara tepat waktu, menjadikan salat kita lebih teratur dan berdampak pula pada kehidupan kita. Salat yang menjadi hal yang fundamental, apabila kita fokus memberikan perhatian besar kita pada ibadah ini, insyaAllah akan berpengaruh bagaimana kita memprioritaskan kehidupan kita dan menyadari tujuan hidup di dunia ini, yaitu menyembah hanya kepada Allah. Wallahu a’lam. Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id

Disiplin, Mulai dari Ibadah Salat

Daftar Isi Toggle BerdoaNiatIkhtiarTambah ilmu Tidak ada yang memungkiri bahwa kunci dari kesuksesan adalah disiplin. Lebih populer orang-orang menyebut self-diciplined. Disiplin adalah upaya bagaimana mengatur diri melakukan suatu pola-pola kecil, pelan tapi pasti untuk memperoleh suatu tujuan atau cita-cita besar. Namun, ada hal yang kadangkala luput dari proses disiplin itu sendiri, yaitu: menikmati prosesnya. Disiplin itu berat. Konsisten itu butuh tenaga. Tetapi, jika kita mampu melakukannya, maka kita akan memperoleh nikmat yang luar biasa sebagai buah dari kedisiplinan itu. Allah Ta’ala telah menegaskan pentingnya kesabaran, konsistensi, dan kedisiplinan dalam menjalankan ibadah serta amal kebaikan dalam firman-Nya, لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلْكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۦنَ وَءَاتَى ٱلْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَٰهَدُوا۟ ۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلْبَأْسِ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya). Dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177) Katakanlah, kita ingin sukses dari sisi duniawi, seperti bebas secara finansial, mendapatkan pekerjaan yang layak, memperoleh pasangan yang saleh/salehah, anak-anak yang taat, patuh, dan berprestasi, serta berbagai perbendaharaan duniawi lainnya. Begitu pula, dari sisi ukhrawi, yang tentunya kita sama-sama sepakat, tujuannya adalah satu, yaitu surga. Kesuksesan untuk mendapatkan kesempatan melihat wajah Allah Ta’ala di surga, serta kesuksesan untuk terhindar dari siksa api neraka. Maka, untuk memperoleh kesuksesan duniawi dan ukhrawi itu, kita butuh usaha. Telah paripurna contoh dan pedoman yang Rasulullah ajarkan kepada kita. لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 20) Kita hanya cukup mengikuti dengan konsisten. Dimulai dari belajar dengan benar, dari sumber yang benar, dan dari guru yang benar pula, tentang bagaimana prinsip-prinsip Islam untuk meraih kesuksesan pada dua perkara tersebut. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ “Siapa saja yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 2699) Apabila kita memperhatikan sejarah dalam sirah-sirah sahabat, kita akan mendapati bahwa mulai dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali, dan para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum, mayoritasnya adalah sosok yang telah meraih kesuksesan duniawi dan ukhrawi. Mereka adalah orang-orang yang bertakwa, faqih terhadap agamanya, lembut terhadap keluarganya, pemimpin yang adil terhadap rakyatnya, banyak pula hartanya. Hampir semua indikator idealnya seorang manusia, mereka punya. Siapalagi teladan terbaik dalam kehidupan ini selain mereka? Maka, saudaraku, mari kita menyelami prinsip dasar dan sangat fundamental dari manusia-manusia pilihan Allah tersebut guna mengikuti jejak mereka untuk mencapai kesuksesan duniawi dan ukhrawi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ “Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” (HR. Bukhari no. 3651 dan Muslim no. 2533) Satu kata yang sudah pasti dari hikmah yang dapat diambil dari mereka, yaitu disiplin. Disiplin dalam segala hal. Dan yang paling pokok pada disiplin ini adalah disiplin dalam menunaikan ibadah salat. Salat adalah rukun Islam kedua setelah syahadat. Menunjukkan betapa pokok dan pentingnya ibadah ini untuk kita tunaikan dengan serius dan tepat waktu. Kunci ibadah ada dua, yaitu ikhlas dan ittiba’. Maka, untuk memulainya, dalam konteks ittiba’, setelah mengilmui bagaimana tata cara salat yang benar sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita pun harus komitmen untuk senantiasa melaksanakan ibadah salat secara tepat waktu. Bagaimana pun kondisinya! Maka, tidak heran dan sangat masuk logika, sebuah ungkapan, “Jika salatmu berantakan, maka berantakan pulalah hidupmu.” Oleh karenanya, dengan memohon pertolongan Allah Ta’ala, mari kita berikhtiar untuk menjadi hamba-hamba Allah yang mampu mendisiplinkan diri melaksanakan ibadah salat dengan ikhtiar-ikhtiar berikut ini: Berdoa أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ  . قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لاَ ، وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِى اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ Sesungguhnya Abu Hurairah berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga.’ Para sahabat bertanya, ‘Engkau juga tidak, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah.’ ” (HR. Bukhari no. 5673 dan Muslim no. 2816) Ingat, bahwa kita akan diberi ganjaran oleh Allah bukan karena amal kita. Tetapi, karena rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala. Maka dari itu, gapailah rahmat itu dengan doa. Memohon kepada Allah agar diberikan kekuatan hati dan fisik untuk melaksanakan ibadah mulia ini. Renungkanlah bahwa setiap kalimat azan, kita dianjurkan untuk menjawabnya dengan kalimat yang sama, kecuali pada kalimat “Hayya ‘alal falah” dan “Hayya ‘ala as-shalah”. Ketahuilah, bahwa alasan kenapa kita dianjurkan ketika mendengar kalimat ajakan untuk salat menjawab dengan kalimat, “La haula wa la quwwata illa billah” berarti bahwa jika tidak karena Allah yang memberi daya dan kekuatan, kita tidak akan mampu melaksanakan ibadah yang agung ini. Hal ini dapat kita buktikan dengan melihat orang-orang yang terkenal kuat, fisiknya yang prima, akalnya yang sehat, dan cerdas pula. Tetapi, tidak sanggup melaksanakan salat 5 waktu secara konsisten berjemaah di masjid, meskipun kediamannya berdekatan dengan masjid. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Jawabannya adalah bisa jadi karena Allah belum memberikan rahmat-Nya berupa hidayah, daya, dan kekuatan untuk melangkahkan kaki ke rumah Allah. Oleh karenanya, perbanyaklah doa kepada Allah agar diberi kemudahan dan keistikamahan melaksanakan ibadah ini secara tepat waktu. Baca juga: Doa Istiftah dalam Salat Malam Niat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu) Tentu, kita akan diberi ganjaran oleh Allah sesuai dengan apa yang kita niatkan di dalam hati kita. Godaan untuk mencari ketenaran dari ibadah memang cukup besar. Di tengah-tengah maraknya manusia yang narsis dengan ibadahnya, kita dituntut untuk mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah. Menjauhlah dari potensi-potensi sum’ah dan riya’ -yang merupakan bagian dari syirik kecil- yang dapat menjerumuskan kita pada kemurkaan Allah. Ingatlah prinsip agar diterimanya ibadah, yaitu ikhlas dan ittiba’. Ikhlas dimulai dari niat yang tulus dan murni bahwa tujuan dari ibadah yang kita lakukan adalah semata-mata untuk mendapatkan rida Allah Ta’ala, mendapatkan pahala yang banyak sehingga dapat menjadi timbangan amal kita di akhirat kelak. Berusahalah untuk menghindari hal-hal yang dapat merusak niat kita. Ingat konsekuensi dari ibadah yang tidak diperuntukkan hanya kepada Allah. Jika ada ibadah yang ternyata diniatkan bukan hanya untuk Allah, bukankah itu sama saja dengan mempersekutukan Allah dalam ibadah? Wal ‘iyadzu billah. Ikhtiar إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا “Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 102) Banyak ikhtiar yang bisa kita lakukan dalam upaya mendisiplinkan diri untuk salat tepat waktu. Di antaranya adalah memperbanyak perbendaharan ilmu tentang salat. Bagaimana praktik salat yang benar sesuai sunah Nabi, bacaan-bacaannya, motivasi diri untuk menambah hafalan, dan bagaimana untuk memaksa diri tidak terlambat (masbuk) saat pelaksanaan salat. Kita bisa membuat pengingat (alarm) 10 menit sebelum azan. Menandakan bahwa saatnya segera mengambil wudu, memastikan pakaian bebas najis, menggunakan siwak, dan bahkan menyiapkan surah-surah yang akan dilantunkan saat salat. Bangunlah setiap hari dengan jadwal salat 5 waktu dalam genggamanmu. Bayangkanlah bahwa engkau bertemu dengan Rabbmu 5 kali dalam sehari. Setiap kalinya, persiapkan diri dengan semaksimal yang engkau bisa. Ingat pula, bahwa dalam salat ada doa meminta hidayah jalan yang lurus, memohon pertolongan Allah, meminta rezeki, dan pastinya kesuksesan dunia dan akhirat. Maka, jadikanlah momen ibadah salat ini sebagai waktu yang paling dinanti-nantikan. Tambah ilmu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي “Salatlah kalian (dengan cara) sebagaimana kalian melihatku salat.” (HR. Bukhari no. 628 dan Ahmad, 34: 157-158) Pastinya, akan menjadi berbeda, ketika kita mengetahui variasi doa istiftah lebih dari 1 versi sesuai dengan sunah Nabi. Begitu pun dalam bacaan rukuk, i’tidal, sujud, dan tasyahud. Menghafalnya, mengetahui maknanya, dan mempraktikkannya dalam salat menjadi hal yang menarik untuk diamalkan. Hal ini pun akan menjadikan ritual ibadah salat kita tidak monoton dengan hafalan yang tak kunjung bertambah sejak di bangku SD. Lihatlah diri kita, dengan umur saat ini, sudah berapa hafalan Al-Quran yang kita punya. Dan bagaimana pengetahuan kita tentang salat dari mulai takbir hingga salam. Adakah yang bertambah? Pun, kita perlu mempelajari sirah Nabi bagaimana Rasulullah mendapatkan perintah salat dalam peristiwa isra’ miraj, sehingga kita pun dapat memahami betapa pentingnya ibadah ini dalam Islam dan kita pun menyadari konsekuensi besar bagi siapa saja yang meninggalkan salat. Kita juga perlu memperlajari fikih tentang salat. Seperti apa ganjaran besar orang yang melaksanakan salat. Apa hukum bagi orang yang meninggalkan salat dengan sengaja, tetapi dengan keyakinan salat tidak wajib? Bagaimana pula hukum bagi orang yang meyakini bahwa salat itu wajib, tetapi ia malas menunaikan kewajiban yang mulia itu? Semua itu tidak akan kita ketahui, kecuali dengan menuntut ilmu. Menghadiri majelis ilmu, membaca referensi-referensi sahih, dan bertanya kepada guru (ustaz) yang kompeten di bidangnya. Lakukan secara konsisten. Sempurnakan dengan pergaulan bersama orang-orang saleh. Semoga, dengan disiplin melaksanakan salat secara tepat waktu, menjadikan salat kita lebih teratur dan berdampak pula pada kehidupan kita. Salat yang menjadi hal yang fundamental, apabila kita fokus memberikan perhatian besar kita pada ibadah ini, insyaAllah akan berpengaruh bagaimana kita memprioritaskan kehidupan kita dan menyadari tujuan hidup di dunia ini, yaitu menyembah hanya kepada Allah. Wallahu a’lam. Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle BerdoaNiatIkhtiarTambah ilmu Tidak ada yang memungkiri bahwa kunci dari kesuksesan adalah disiplin. Lebih populer orang-orang menyebut self-diciplined. Disiplin adalah upaya bagaimana mengatur diri melakukan suatu pola-pola kecil, pelan tapi pasti untuk memperoleh suatu tujuan atau cita-cita besar. Namun, ada hal yang kadangkala luput dari proses disiplin itu sendiri, yaitu: menikmati prosesnya. Disiplin itu berat. Konsisten itu butuh tenaga. Tetapi, jika kita mampu melakukannya, maka kita akan memperoleh nikmat yang luar biasa sebagai buah dari kedisiplinan itu. Allah Ta’ala telah menegaskan pentingnya kesabaran, konsistensi, dan kedisiplinan dalam menjalankan ibadah serta amal kebaikan dalam firman-Nya, لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلْكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۦنَ وَءَاتَى ٱلْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَٰهَدُوا۟ ۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلْبَأْسِ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya). Dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177) Katakanlah, kita ingin sukses dari sisi duniawi, seperti bebas secara finansial, mendapatkan pekerjaan yang layak, memperoleh pasangan yang saleh/salehah, anak-anak yang taat, patuh, dan berprestasi, serta berbagai perbendaharaan duniawi lainnya. Begitu pula, dari sisi ukhrawi, yang tentunya kita sama-sama sepakat, tujuannya adalah satu, yaitu surga. Kesuksesan untuk mendapatkan kesempatan melihat wajah Allah Ta’ala di surga, serta kesuksesan untuk terhindar dari siksa api neraka. Maka, untuk memperoleh kesuksesan duniawi dan ukhrawi itu, kita butuh usaha. Telah paripurna contoh dan pedoman yang Rasulullah ajarkan kepada kita. لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 20) Kita hanya cukup mengikuti dengan konsisten. Dimulai dari belajar dengan benar, dari sumber yang benar, dan dari guru yang benar pula, tentang bagaimana prinsip-prinsip Islam untuk meraih kesuksesan pada dua perkara tersebut. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ “Siapa saja yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 2699) Apabila kita memperhatikan sejarah dalam sirah-sirah sahabat, kita akan mendapati bahwa mulai dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali, dan para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum, mayoritasnya adalah sosok yang telah meraih kesuksesan duniawi dan ukhrawi. Mereka adalah orang-orang yang bertakwa, faqih terhadap agamanya, lembut terhadap keluarganya, pemimpin yang adil terhadap rakyatnya, banyak pula hartanya. Hampir semua indikator idealnya seorang manusia, mereka punya. Siapalagi teladan terbaik dalam kehidupan ini selain mereka? Maka, saudaraku, mari kita menyelami prinsip dasar dan sangat fundamental dari manusia-manusia pilihan Allah tersebut guna mengikuti jejak mereka untuk mencapai kesuksesan duniawi dan ukhrawi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ “Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” (HR. Bukhari no. 3651 dan Muslim no. 2533) Satu kata yang sudah pasti dari hikmah yang dapat diambil dari mereka, yaitu disiplin. Disiplin dalam segala hal. Dan yang paling pokok pada disiplin ini adalah disiplin dalam menunaikan ibadah salat. Salat adalah rukun Islam kedua setelah syahadat. Menunjukkan betapa pokok dan pentingnya ibadah ini untuk kita tunaikan dengan serius dan tepat waktu. Kunci ibadah ada dua, yaitu ikhlas dan ittiba’. Maka, untuk memulainya, dalam konteks ittiba’, setelah mengilmui bagaimana tata cara salat yang benar sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita pun harus komitmen untuk senantiasa melaksanakan ibadah salat secara tepat waktu. Bagaimana pun kondisinya! Maka, tidak heran dan sangat masuk logika, sebuah ungkapan, “Jika salatmu berantakan, maka berantakan pulalah hidupmu.” Oleh karenanya, dengan memohon pertolongan Allah Ta’ala, mari kita berikhtiar untuk menjadi hamba-hamba Allah yang mampu mendisiplinkan diri melaksanakan ibadah salat dengan ikhtiar-ikhtiar berikut ini: Berdoa أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ  . قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لاَ ، وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِى اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ Sesungguhnya Abu Hurairah berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga.’ Para sahabat bertanya, ‘Engkau juga tidak, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah.’ ” (HR. Bukhari no. 5673 dan Muslim no. 2816) Ingat, bahwa kita akan diberi ganjaran oleh Allah bukan karena amal kita. Tetapi, karena rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala. Maka dari itu, gapailah rahmat itu dengan doa. Memohon kepada Allah agar diberikan kekuatan hati dan fisik untuk melaksanakan ibadah mulia ini. Renungkanlah bahwa setiap kalimat azan, kita dianjurkan untuk menjawabnya dengan kalimat yang sama, kecuali pada kalimat “Hayya ‘alal falah” dan “Hayya ‘ala as-shalah”. Ketahuilah, bahwa alasan kenapa kita dianjurkan ketika mendengar kalimat ajakan untuk salat menjawab dengan kalimat, “La haula wa la quwwata illa billah” berarti bahwa jika tidak karena Allah yang memberi daya dan kekuatan, kita tidak akan mampu melaksanakan ibadah yang agung ini. Hal ini dapat kita buktikan dengan melihat orang-orang yang terkenal kuat, fisiknya yang prima, akalnya yang sehat, dan cerdas pula. Tetapi, tidak sanggup melaksanakan salat 5 waktu secara konsisten berjemaah di masjid, meskipun kediamannya berdekatan dengan masjid. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Jawabannya adalah bisa jadi karena Allah belum memberikan rahmat-Nya berupa hidayah, daya, dan kekuatan untuk melangkahkan kaki ke rumah Allah. Oleh karenanya, perbanyaklah doa kepada Allah agar diberi kemudahan dan keistikamahan melaksanakan ibadah ini secara tepat waktu. Baca juga: Doa Istiftah dalam Salat Malam Niat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu) Tentu, kita akan diberi ganjaran oleh Allah sesuai dengan apa yang kita niatkan di dalam hati kita. Godaan untuk mencari ketenaran dari ibadah memang cukup besar. Di tengah-tengah maraknya manusia yang narsis dengan ibadahnya, kita dituntut untuk mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah. Menjauhlah dari potensi-potensi sum’ah dan riya’ -yang merupakan bagian dari syirik kecil- yang dapat menjerumuskan kita pada kemurkaan Allah. Ingatlah prinsip agar diterimanya ibadah, yaitu ikhlas dan ittiba’. Ikhlas dimulai dari niat yang tulus dan murni bahwa tujuan dari ibadah yang kita lakukan adalah semata-mata untuk mendapatkan rida Allah Ta’ala, mendapatkan pahala yang banyak sehingga dapat menjadi timbangan amal kita di akhirat kelak. Berusahalah untuk menghindari hal-hal yang dapat merusak niat kita. Ingat konsekuensi dari ibadah yang tidak diperuntukkan hanya kepada Allah. Jika ada ibadah yang ternyata diniatkan bukan hanya untuk Allah, bukankah itu sama saja dengan mempersekutukan Allah dalam ibadah? Wal ‘iyadzu billah. Ikhtiar إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا “Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 102) Banyak ikhtiar yang bisa kita lakukan dalam upaya mendisiplinkan diri untuk salat tepat waktu. Di antaranya adalah memperbanyak perbendaharan ilmu tentang salat. Bagaimana praktik salat yang benar sesuai sunah Nabi, bacaan-bacaannya, motivasi diri untuk menambah hafalan, dan bagaimana untuk memaksa diri tidak terlambat (masbuk) saat pelaksanaan salat. Kita bisa membuat pengingat (alarm) 10 menit sebelum azan. Menandakan bahwa saatnya segera mengambil wudu, memastikan pakaian bebas najis, menggunakan siwak, dan bahkan menyiapkan surah-surah yang akan dilantunkan saat salat. Bangunlah setiap hari dengan jadwal salat 5 waktu dalam genggamanmu. Bayangkanlah bahwa engkau bertemu dengan Rabbmu 5 kali dalam sehari. Setiap kalinya, persiapkan diri dengan semaksimal yang engkau bisa. Ingat pula, bahwa dalam salat ada doa meminta hidayah jalan yang lurus, memohon pertolongan Allah, meminta rezeki, dan pastinya kesuksesan dunia dan akhirat. Maka, jadikanlah momen ibadah salat ini sebagai waktu yang paling dinanti-nantikan. Tambah ilmu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي “Salatlah kalian (dengan cara) sebagaimana kalian melihatku salat.” (HR. Bukhari no. 628 dan Ahmad, 34: 157-158) Pastinya, akan menjadi berbeda, ketika kita mengetahui variasi doa istiftah lebih dari 1 versi sesuai dengan sunah Nabi. Begitu pun dalam bacaan rukuk, i’tidal, sujud, dan tasyahud. Menghafalnya, mengetahui maknanya, dan mempraktikkannya dalam salat menjadi hal yang menarik untuk diamalkan. Hal ini pun akan menjadikan ritual ibadah salat kita tidak monoton dengan hafalan yang tak kunjung bertambah sejak di bangku SD. Lihatlah diri kita, dengan umur saat ini, sudah berapa hafalan Al-Quran yang kita punya. Dan bagaimana pengetahuan kita tentang salat dari mulai takbir hingga salam. Adakah yang bertambah? Pun, kita perlu mempelajari sirah Nabi bagaimana Rasulullah mendapatkan perintah salat dalam peristiwa isra’ miraj, sehingga kita pun dapat memahami betapa pentingnya ibadah ini dalam Islam dan kita pun menyadari konsekuensi besar bagi siapa saja yang meninggalkan salat. Kita juga perlu memperlajari fikih tentang salat. Seperti apa ganjaran besar orang yang melaksanakan salat. Apa hukum bagi orang yang meninggalkan salat dengan sengaja, tetapi dengan keyakinan salat tidak wajib? Bagaimana pula hukum bagi orang yang meyakini bahwa salat itu wajib, tetapi ia malas menunaikan kewajiban yang mulia itu? Semua itu tidak akan kita ketahui, kecuali dengan menuntut ilmu. Menghadiri majelis ilmu, membaca referensi-referensi sahih, dan bertanya kepada guru (ustaz) yang kompeten di bidangnya. Lakukan secara konsisten. Sempurnakan dengan pergaulan bersama orang-orang saleh. Semoga, dengan disiplin melaksanakan salat secara tepat waktu, menjadikan salat kita lebih teratur dan berdampak pula pada kehidupan kita. Salat yang menjadi hal yang fundamental, apabila kita fokus memberikan perhatian besar kita pada ibadah ini, insyaAllah akan berpengaruh bagaimana kita memprioritaskan kehidupan kita dan menyadari tujuan hidup di dunia ini, yaitu menyembah hanya kepada Allah. Wallahu a’lam. Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle BerdoaNiatIkhtiarTambah ilmu Tidak ada yang memungkiri bahwa kunci dari kesuksesan adalah disiplin. Lebih populer orang-orang menyebut self-diciplined. Disiplin adalah upaya bagaimana mengatur diri melakukan suatu pola-pola kecil, pelan tapi pasti untuk memperoleh suatu tujuan atau cita-cita besar. Namun, ada hal yang kadangkala luput dari proses disiplin itu sendiri, yaitu: menikmati prosesnya. Disiplin itu berat. Konsisten itu butuh tenaga. Tetapi, jika kita mampu melakukannya, maka kita akan memperoleh nikmat yang luar biasa sebagai buah dari kedisiplinan itu. Allah Ta’ala telah menegaskan pentingnya kesabaran, konsistensi, dan kedisiplinan dalam menjalankan ibadah serta amal kebaikan dalam firman-Nya, لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلْكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۦنَ وَءَاتَى ٱلْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَٰهَدُوا۟ ۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلْبَأْسِ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya). Dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177) Katakanlah, kita ingin sukses dari sisi duniawi, seperti bebas secara finansial, mendapatkan pekerjaan yang layak, memperoleh pasangan yang saleh/salehah, anak-anak yang taat, patuh, dan berprestasi, serta berbagai perbendaharaan duniawi lainnya. Begitu pula, dari sisi ukhrawi, yang tentunya kita sama-sama sepakat, tujuannya adalah satu, yaitu surga. Kesuksesan untuk mendapatkan kesempatan melihat wajah Allah Ta’ala di surga, serta kesuksesan untuk terhindar dari siksa api neraka. Maka, untuk memperoleh kesuksesan duniawi dan ukhrawi itu, kita butuh usaha. Telah paripurna contoh dan pedoman yang Rasulullah ajarkan kepada kita. لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 20) Kita hanya cukup mengikuti dengan konsisten. Dimulai dari belajar dengan benar, dari sumber yang benar, dan dari guru yang benar pula, tentang bagaimana prinsip-prinsip Islam untuk meraih kesuksesan pada dua perkara tersebut. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ “Siapa saja yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 2699) Apabila kita memperhatikan sejarah dalam sirah-sirah sahabat, kita akan mendapati bahwa mulai dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali, dan para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum, mayoritasnya adalah sosok yang telah meraih kesuksesan duniawi dan ukhrawi. Mereka adalah orang-orang yang bertakwa, faqih terhadap agamanya, lembut terhadap keluarganya, pemimpin yang adil terhadap rakyatnya, banyak pula hartanya. Hampir semua indikator idealnya seorang manusia, mereka punya. Siapalagi teladan terbaik dalam kehidupan ini selain mereka? Maka, saudaraku, mari kita menyelami prinsip dasar dan sangat fundamental dari manusia-manusia pilihan Allah tersebut guna mengikuti jejak mereka untuk mencapai kesuksesan duniawi dan ukhrawi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ “Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” (HR. Bukhari no. 3651 dan Muslim no. 2533) Satu kata yang sudah pasti dari hikmah yang dapat diambil dari mereka, yaitu disiplin. Disiplin dalam segala hal. Dan yang paling pokok pada disiplin ini adalah disiplin dalam menunaikan ibadah salat. Salat adalah rukun Islam kedua setelah syahadat. Menunjukkan betapa pokok dan pentingnya ibadah ini untuk kita tunaikan dengan serius dan tepat waktu. Kunci ibadah ada dua, yaitu ikhlas dan ittiba’. Maka, untuk memulainya, dalam konteks ittiba’, setelah mengilmui bagaimana tata cara salat yang benar sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita pun harus komitmen untuk senantiasa melaksanakan ibadah salat secara tepat waktu. Bagaimana pun kondisinya! Maka, tidak heran dan sangat masuk logika, sebuah ungkapan, “Jika salatmu berantakan, maka berantakan pulalah hidupmu.” Oleh karenanya, dengan memohon pertolongan Allah Ta’ala, mari kita berikhtiar untuk menjadi hamba-hamba Allah yang mampu mendisiplinkan diri melaksanakan ibadah salat dengan ikhtiar-ikhtiar berikut ini: Berdoa أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ  . قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لاَ ، وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِى اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ Sesungguhnya Abu Hurairah berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga.’ Para sahabat bertanya, ‘Engkau juga tidak, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah.’ ” (HR. Bukhari no. 5673 dan Muslim no. 2816) Ingat, bahwa kita akan diberi ganjaran oleh Allah bukan karena amal kita. Tetapi, karena rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala. Maka dari itu, gapailah rahmat itu dengan doa. Memohon kepada Allah agar diberikan kekuatan hati dan fisik untuk melaksanakan ibadah mulia ini. Renungkanlah bahwa setiap kalimat azan, kita dianjurkan untuk menjawabnya dengan kalimat yang sama, kecuali pada kalimat “Hayya ‘alal falah” dan “Hayya ‘ala as-shalah”. Ketahuilah, bahwa alasan kenapa kita dianjurkan ketika mendengar kalimat ajakan untuk salat menjawab dengan kalimat, “La haula wa la quwwata illa billah” berarti bahwa jika tidak karena Allah yang memberi daya dan kekuatan, kita tidak akan mampu melaksanakan ibadah yang agung ini. Hal ini dapat kita buktikan dengan melihat orang-orang yang terkenal kuat, fisiknya yang prima, akalnya yang sehat, dan cerdas pula. Tetapi, tidak sanggup melaksanakan salat 5 waktu secara konsisten berjemaah di masjid, meskipun kediamannya berdekatan dengan masjid. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Jawabannya adalah bisa jadi karena Allah belum memberikan rahmat-Nya berupa hidayah, daya, dan kekuatan untuk melangkahkan kaki ke rumah Allah. Oleh karenanya, perbanyaklah doa kepada Allah agar diberi kemudahan dan keistikamahan melaksanakan ibadah ini secara tepat waktu. Baca juga: Doa Istiftah dalam Salat Malam Niat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu) Tentu, kita akan diberi ganjaran oleh Allah sesuai dengan apa yang kita niatkan di dalam hati kita. Godaan untuk mencari ketenaran dari ibadah memang cukup besar. Di tengah-tengah maraknya manusia yang narsis dengan ibadahnya, kita dituntut untuk mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah. Menjauhlah dari potensi-potensi sum’ah dan riya’ -yang merupakan bagian dari syirik kecil- yang dapat menjerumuskan kita pada kemurkaan Allah. Ingatlah prinsip agar diterimanya ibadah, yaitu ikhlas dan ittiba’. Ikhlas dimulai dari niat yang tulus dan murni bahwa tujuan dari ibadah yang kita lakukan adalah semata-mata untuk mendapatkan rida Allah Ta’ala, mendapatkan pahala yang banyak sehingga dapat menjadi timbangan amal kita di akhirat kelak. Berusahalah untuk menghindari hal-hal yang dapat merusak niat kita. Ingat konsekuensi dari ibadah yang tidak diperuntukkan hanya kepada Allah. Jika ada ibadah yang ternyata diniatkan bukan hanya untuk Allah, bukankah itu sama saja dengan mempersekutukan Allah dalam ibadah? Wal ‘iyadzu billah. Ikhtiar إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا “Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 102) Banyak ikhtiar yang bisa kita lakukan dalam upaya mendisiplinkan diri untuk salat tepat waktu. Di antaranya adalah memperbanyak perbendaharan ilmu tentang salat. Bagaimana praktik salat yang benar sesuai sunah Nabi, bacaan-bacaannya, motivasi diri untuk menambah hafalan, dan bagaimana untuk memaksa diri tidak terlambat (masbuk) saat pelaksanaan salat. Kita bisa membuat pengingat (alarm) 10 menit sebelum azan. Menandakan bahwa saatnya segera mengambil wudu, memastikan pakaian bebas najis, menggunakan siwak, dan bahkan menyiapkan surah-surah yang akan dilantunkan saat salat. Bangunlah setiap hari dengan jadwal salat 5 waktu dalam genggamanmu. Bayangkanlah bahwa engkau bertemu dengan Rabbmu 5 kali dalam sehari. Setiap kalinya, persiapkan diri dengan semaksimal yang engkau bisa. Ingat pula, bahwa dalam salat ada doa meminta hidayah jalan yang lurus, memohon pertolongan Allah, meminta rezeki, dan pastinya kesuksesan dunia dan akhirat. Maka, jadikanlah momen ibadah salat ini sebagai waktu yang paling dinanti-nantikan. Tambah ilmu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي “Salatlah kalian (dengan cara) sebagaimana kalian melihatku salat.” (HR. Bukhari no. 628 dan Ahmad, 34: 157-158) Pastinya, akan menjadi berbeda, ketika kita mengetahui variasi doa istiftah lebih dari 1 versi sesuai dengan sunah Nabi. Begitu pun dalam bacaan rukuk, i’tidal, sujud, dan tasyahud. Menghafalnya, mengetahui maknanya, dan mempraktikkannya dalam salat menjadi hal yang menarik untuk diamalkan. Hal ini pun akan menjadikan ritual ibadah salat kita tidak monoton dengan hafalan yang tak kunjung bertambah sejak di bangku SD. Lihatlah diri kita, dengan umur saat ini, sudah berapa hafalan Al-Quran yang kita punya. Dan bagaimana pengetahuan kita tentang salat dari mulai takbir hingga salam. Adakah yang bertambah? Pun, kita perlu mempelajari sirah Nabi bagaimana Rasulullah mendapatkan perintah salat dalam peristiwa isra’ miraj, sehingga kita pun dapat memahami betapa pentingnya ibadah ini dalam Islam dan kita pun menyadari konsekuensi besar bagi siapa saja yang meninggalkan salat. Kita juga perlu memperlajari fikih tentang salat. Seperti apa ganjaran besar orang yang melaksanakan salat. Apa hukum bagi orang yang meninggalkan salat dengan sengaja, tetapi dengan keyakinan salat tidak wajib? Bagaimana pula hukum bagi orang yang meyakini bahwa salat itu wajib, tetapi ia malas menunaikan kewajiban yang mulia itu? Semua itu tidak akan kita ketahui, kecuali dengan menuntut ilmu. Menghadiri majelis ilmu, membaca referensi-referensi sahih, dan bertanya kepada guru (ustaz) yang kompeten di bidangnya. Lakukan secara konsisten. Sempurnakan dengan pergaulan bersama orang-orang saleh. Semoga, dengan disiplin melaksanakan salat secara tepat waktu, menjadikan salat kita lebih teratur dan berdampak pula pada kehidupan kita. Salat yang menjadi hal yang fundamental, apabila kita fokus memberikan perhatian besar kita pada ibadah ini, insyaAllah akan berpengaruh bagaimana kita memprioritaskan kehidupan kita dan menyadari tujuan hidup di dunia ini, yaitu menyembah hanya kepada Allah. Wallahu a’lam. Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 215 – Doa Pergi Ke Masjid

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 215 – Doa Pergi Ke Masjid Posted on January 5, 2025January 5, 2025by Banyak orang mengeluhkan sulitnya khusyu’ dalam shalat. Padahal jika tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dipraktekkan dengan baik, insyaAllah khusyu’ tersebut akan diraih. Tuntunan itu mencakup hal-hal yang harus dikerjakan sebelum shalat, saat melaksanakannya, maupun sesudahnya. Salah satu amalan yang perlu dikerjakan sebelum shalat adalah: membaca doa ketika berjalan menuju ke masjid. Di antara redaksi doa tersebut adalah: «‌اللهُمَّ ‌اجْعَلْ ‌فِي ‌قَلْبِي ‌نُورًا، وَفِي لِسَانِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي سَمْعِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي بَصَرِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِي نُورًا، وَمِنْ أَمَامِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُورًا، وَمِنْ تَحْتِي نُورًا، اللهُمَّ أَعْطِنِي نُورًا» “Allôhummaj’al fî qolbî nûrô, wa fî lisânî nûrô, waj’al fî sam’î nûrô, waj’al fî bashorî nûrô, waj’al min kholfî nûrô, wa min amâmî nûrô, waj’al min fauqî nûrô, wa min tahtî nûrô. Allôhumma a’thinî nûrô”. Dalil Landasan Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma menuturkan, أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَهُوَ يَقُولُ: «‌اللهُمَّ ‌اجْعَلْ ‌فِي ‌قَلْبِي ‌نُورًا، وَفِي لِسَانِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي سَمْعِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي بَصَرِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِي نُورًا، وَمِنْ أَمَامِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُورًا، وَمِنْ تَحْتِي نُورًا، اللهُمَّ أَعْطِنِي نُورًا» “Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat shalat sambil membaca, “Ya Allah jadikanlah di hatiku cahaya dan di lisanku cahaya. Jadikanlah di pendengaranku cahaya. Jadikanlah di penglihatanku cahaya. Jadikanlah di belakangku cahaya dan di depanku cahaya. Jadikanlah di atasku cahaya dan di bawahku cahaya. Ya Allah karuniakanlah padaku cahaya”. HR. Muslim (no. 763). Renungan Kandungan Hadits di atas mengajarkan kita untuk meminta kepada Allah cahaya buat seluruh anggota tubuh kita dan sekeliling kita. Sebab kita membutuhkan cahaya di dunia, di alam barzakh, maupun di akhirat. Baik cahaya yang sifatnya maknawi, maupun yang nyata. Di dunia kita memerlukan cahaya maknawi. Yakni bimbingan dari Allah berupa petunjuk guna mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Agar kita selalu tertuntun untuk mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Lisan, pendengaran dan penglihatan kita terbimbing untuk digunakan hanya buat kebaikan dan terhindarkan dari segala bentuk keburukan. Lalu cahaya di hati berupa kelapangan dan ketentraman, sehingga hidup terasa nyaman dan bahagia. Selain itu kita juga membutuhkan cahaya nyata, agar bisa melihat sekeliling kita dengan baik. Sehingga tidak kebingungan untuk melangkahkan kaki. Di alam barzakh, kitapun memerlukan cahaya. Supaya kuburan terasa terang dan tidak gelap gulita, terasa lapang dan tidak sempit, serta terasa nyaman dan tidak sumpek. Begitupula kita memohon kepada Allah agar di akhirat kelak kita dikaruniai cahaya. Sehingga anggota tubuh kita bersinar, sebagai efek dari basuhan air wudhu saat di dunia. Sebagaimana disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sungguh ummatku akan dipanggil di hari kiamat dalam keadaan anggota tubuhnya putih bersinar; sebagai efek dari wudhu yang dikerjakannya dahulu”. HR. Bukhari (no. 136) dan Muslim (no. 246) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Kita juga sangat membutuhkan cahaya untuk menerangi jalan di akhirat. Sehingga mengantarkan kita menuju surga Allah, di tengah kegelapan hari kiamat kelak. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari engkau akan melihat kaum mukminin laki-laki dan perempuan, betapa cahaya bersinar di depan dan di samping kanan mereka. (Dikatakan kepada mereka), “Pada hari ini ada berita gembira untuk kalian. (Yaitu) surga-surga…”. QS. Al-Hadid (57): 12. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 18 Dzulqa’dah 1445 / 27 Mei 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai)Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 215 – Doa Pergi Ke Masjid

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 215 – Doa Pergi Ke Masjid Posted on January 5, 2025January 5, 2025by Banyak orang mengeluhkan sulitnya khusyu’ dalam shalat. Padahal jika tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dipraktekkan dengan baik, insyaAllah khusyu’ tersebut akan diraih. Tuntunan itu mencakup hal-hal yang harus dikerjakan sebelum shalat, saat melaksanakannya, maupun sesudahnya. Salah satu amalan yang perlu dikerjakan sebelum shalat adalah: membaca doa ketika berjalan menuju ke masjid. Di antara redaksi doa tersebut adalah: «‌اللهُمَّ ‌اجْعَلْ ‌فِي ‌قَلْبِي ‌نُورًا، وَفِي لِسَانِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي سَمْعِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي بَصَرِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِي نُورًا، وَمِنْ أَمَامِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُورًا، وَمِنْ تَحْتِي نُورًا، اللهُمَّ أَعْطِنِي نُورًا» “Allôhummaj’al fî qolbî nûrô, wa fî lisânî nûrô, waj’al fî sam’î nûrô, waj’al fî bashorî nûrô, waj’al min kholfî nûrô, wa min amâmî nûrô, waj’al min fauqî nûrô, wa min tahtî nûrô. Allôhumma a’thinî nûrô”. Dalil Landasan Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma menuturkan, أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَهُوَ يَقُولُ: «‌اللهُمَّ ‌اجْعَلْ ‌فِي ‌قَلْبِي ‌نُورًا، وَفِي لِسَانِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي سَمْعِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي بَصَرِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِي نُورًا، وَمِنْ أَمَامِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُورًا، وَمِنْ تَحْتِي نُورًا، اللهُمَّ أَعْطِنِي نُورًا» “Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat shalat sambil membaca, “Ya Allah jadikanlah di hatiku cahaya dan di lisanku cahaya. Jadikanlah di pendengaranku cahaya. Jadikanlah di penglihatanku cahaya. Jadikanlah di belakangku cahaya dan di depanku cahaya. Jadikanlah di atasku cahaya dan di bawahku cahaya. Ya Allah karuniakanlah padaku cahaya”. HR. Muslim (no. 763). Renungan Kandungan Hadits di atas mengajarkan kita untuk meminta kepada Allah cahaya buat seluruh anggota tubuh kita dan sekeliling kita. Sebab kita membutuhkan cahaya di dunia, di alam barzakh, maupun di akhirat. Baik cahaya yang sifatnya maknawi, maupun yang nyata. Di dunia kita memerlukan cahaya maknawi. Yakni bimbingan dari Allah berupa petunjuk guna mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Agar kita selalu tertuntun untuk mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Lisan, pendengaran dan penglihatan kita terbimbing untuk digunakan hanya buat kebaikan dan terhindarkan dari segala bentuk keburukan. Lalu cahaya di hati berupa kelapangan dan ketentraman, sehingga hidup terasa nyaman dan bahagia. Selain itu kita juga membutuhkan cahaya nyata, agar bisa melihat sekeliling kita dengan baik. Sehingga tidak kebingungan untuk melangkahkan kaki. Di alam barzakh, kitapun memerlukan cahaya. Supaya kuburan terasa terang dan tidak gelap gulita, terasa lapang dan tidak sempit, serta terasa nyaman dan tidak sumpek. Begitupula kita memohon kepada Allah agar di akhirat kelak kita dikaruniai cahaya. Sehingga anggota tubuh kita bersinar, sebagai efek dari basuhan air wudhu saat di dunia. Sebagaimana disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sungguh ummatku akan dipanggil di hari kiamat dalam keadaan anggota tubuhnya putih bersinar; sebagai efek dari wudhu yang dikerjakannya dahulu”. HR. Bukhari (no. 136) dan Muslim (no. 246) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Kita juga sangat membutuhkan cahaya untuk menerangi jalan di akhirat. Sehingga mengantarkan kita menuju surga Allah, di tengah kegelapan hari kiamat kelak. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari engkau akan melihat kaum mukminin laki-laki dan perempuan, betapa cahaya bersinar di depan dan di samping kanan mereka. (Dikatakan kepada mereka), “Pada hari ini ada berita gembira untuk kalian. (Yaitu) surga-surga…”. QS. Al-Hadid (57): 12. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 18 Dzulqa’dah 1445 / 27 Mei 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai)Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 215 – Doa Pergi Ke Masjid Posted on January 5, 2025January 5, 2025by Banyak orang mengeluhkan sulitnya khusyu’ dalam shalat. Padahal jika tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dipraktekkan dengan baik, insyaAllah khusyu’ tersebut akan diraih. Tuntunan itu mencakup hal-hal yang harus dikerjakan sebelum shalat, saat melaksanakannya, maupun sesudahnya. Salah satu amalan yang perlu dikerjakan sebelum shalat adalah: membaca doa ketika berjalan menuju ke masjid. Di antara redaksi doa tersebut adalah: «‌اللهُمَّ ‌اجْعَلْ ‌فِي ‌قَلْبِي ‌نُورًا، وَفِي لِسَانِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي سَمْعِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي بَصَرِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِي نُورًا، وَمِنْ أَمَامِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُورًا، وَمِنْ تَحْتِي نُورًا، اللهُمَّ أَعْطِنِي نُورًا» “Allôhummaj’al fî qolbî nûrô, wa fî lisânî nûrô, waj’al fî sam’î nûrô, waj’al fî bashorî nûrô, waj’al min kholfî nûrô, wa min amâmî nûrô, waj’al min fauqî nûrô, wa min tahtî nûrô. Allôhumma a’thinî nûrô”. Dalil Landasan Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma menuturkan, أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَهُوَ يَقُولُ: «‌اللهُمَّ ‌اجْعَلْ ‌فِي ‌قَلْبِي ‌نُورًا، وَفِي لِسَانِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي سَمْعِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي بَصَرِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِي نُورًا، وَمِنْ أَمَامِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُورًا، وَمِنْ تَحْتِي نُورًا، اللهُمَّ أَعْطِنِي نُورًا» “Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat shalat sambil membaca, “Ya Allah jadikanlah di hatiku cahaya dan di lisanku cahaya. Jadikanlah di pendengaranku cahaya. Jadikanlah di penglihatanku cahaya. Jadikanlah di belakangku cahaya dan di depanku cahaya. Jadikanlah di atasku cahaya dan di bawahku cahaya. Ya Allah karuniakanlah padaku cahaya”. HR. Muslim (no. 763). Renungan Kandungan Hadits di atas mengajarkan kita untuk meminta kepada Allah cahaya buat seluruh anggota tubuh kita dan sekeliling kita. Sebab kita membutuhkan cahaya di dunia, di alam barzakh, maupun di akhirat. Baik cahaya yang sifatnya maknawi, maupun yang nyata. Di dunia kita memerlukan cahaya maknawi. Yakni bimbingan dari Allah berupa petunjuk guna mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Agar kita selalu tertuntun untuk mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Lisan, pendengaran dan penglihatan kita terbimbing untuk digunakan hanya buat kebaikan dan terhindarkan dari segala bentuk keburukan. Lalu cahaya di hati berupa kelapangan dan ketentraman, sehingga hidup terasa nyaman dan bahagia. Selain itu kita juga membutuhkan cahaya nyata, agar bisa melihat sekeliling kita dengan baik. Sehingga tidak kebingungan untuk melangkahkan kaki. Di alam barzakh, kitapun memerlukan cahaya. Supaya kuburan terasa terang dan tidak gelap gulita, terasa lapang dan tidak sempit, serta terasa nyaman dan tidak sumpek. Begitupula kita memohon kepada Allah agar di akhirat kelak kita dikaruniai cahaya. Sehingga anggota tubuh kita bersinar, sebagai efek dari basuhan air wudhu saat di dunia. Sebagaimana disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sungguh ummatku akan dipanggil di hari kiamat dalam keadaan anggota tubuhnya putih bersinar; sebagai efek dari wudhu yang dikerjakannya dahulu”. HR. Bukhari (no. 136) dan Muslim (no. 246) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Kita juga sangat membutuhkan cahaya untuk menerangi jalan di akhirat. Sehingga mengantarkan kita menuju surga Allah, di tengah kegelapan hari kiamat kelak. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari engkau akan melihat kaum mukminin laki-laki dan perempuan, betapa cahaya bersinar di depan dan di samping kanan mereka. (Dikatakan kepada mereka), “Pada hari ini ada berita gembira untuk kalian. (Yaitu) surga-surga…”. QS. Al-Hadid (57): 12. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 18 Dzulqa’dah 1445 / 27 Mei 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai)Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 215 – Doa Pergi Ke Masjid Posted on January 5, 2025January 5, 2025by Banyak orang mengeluhkan sulitnya khusyu’ dalam shalat. Padahal jika tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dipraktekkan dengan baik, insyaAllah khusyu’ tersebut akan diraih. Tuntunan itu mencakup hal-hal yang harus dikerjakan sebelum shalat, saat melaksanakannya, maupun sesudahnya. Salah satu amalan yang perlu dikerjakan sebelum shalat adalah: membaca doa ketika berjalan menuju ke masjid. Di antara redaksi doa tersebut adalah: «‌اللهُمَّ ‌اجْعَلْ ‌فِي ‌قَلْبِي ‌نُورًا، وَفِي لِسَانِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي سَمْعِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي بَصَرِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِي نُورًا، وَمِنْ أَمَامِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُورًا، وَمِنْ تَحْتِي نُورًا، اللهُمَّ أَعْطِنِي نُورًا» “Allôhummaj’al fî qolbî nûrô, wa fî lisânî nûrô, waj’al fî sam’î nûrô, waj’al fî bashorî nûrô, waj’al min kholfî nûrô, wa min amâmî nûrô, waj’al min fauqî nûrô, wa min tahtî nûrô. Allôhumma a’thinî nûrô”. Dalil Landasan Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma menuturkan, أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَهُوَ يَقُولُ: «‌اللهُمَّ ‌اجْعَلْ ‌فِي ‌قَلْبِي ‌نُورًا، وَفِي لِسَانِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي سَمْعِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي بَصَرِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِي نُورًا، وَمِنْ أَمَامِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُورًا، وَمِنْ تَحْتِي نُورًا، اللهُمَّ أَعْطِنِي نُورًا» “Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat shalat sambil membaca, “Ya Allah jadikanlah di hatiku cahaya dan di lisanku cahaya. Jadikanlah di pendengaranku cahaya. Jadikanlah di penglihatanku cahaya. Jadikanlah di belakangku cahaya dan di depanku cahaya. Jadikanlah di atasku cahaya dan di bawahku cahaya. Ya Allah karuniakanlah padaku cahaya”. HR. Muslim (no. 763). Renungan Kandungan Hadits di atas mengajarkan kita untuk meminta kepada Allah cahaya buat seluruh anggota tubuh kita dan sekeliling kita. Sebab kita membutuhkan cahaya di dunia, di alam barzakh, maupun di akhirat. Baik cahaya yang sifatnya maknawi, maupun yang nyata. Di dunia kita memerlukan cahaya maknawi. Yakni bimbingan dari Allah berupa petunjuk guna mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Agar kita selalu tertuntun untuk mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Lisan, pendengaran dan penglihatan kita terbimbing untuk digunakan hanya buat kebaikan dan terhindarkan dari segala bentuk keburukan. Lalu cahaya di hati berupa kelapangan dan ketentraman, sehingga hidup terasa nyaman dan bahagia. Selain itu kita juga membutuhkan cahaya nyata, agar bisa melihat sekeliling kita dengan baik. Sehingga tidak kebingungan untuk melangkahkan kaki. Di alam barzakh, kitapun memerlukan cahaya. Supaya kuburan terasa terang dan tidak gelap gulita, terasa lapang dan tidak sempit, serta terasa nyaman dan tidak sumpek. Begitupula kita memohon kepada Allah agar di akhirat kelak kita dikaruniai cahaya. Sehingga anggota tubuh kita bersinar, sebagai efek dari basuhan air wudhu saat di dunia. Sebagaimana disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sungguh ummatku akan dipanggil di hari kiamat dalam keadaan anggota tubuhnya putih bersinar; sebagai efek dari wudhu yang dikerjakannya dahulu”. HR. Bukhari (no. 136) dan Muslim (no. 246) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Kita juga sangat membutuhkan cahaya untuk menerangi jalan di akhirat. Sehingga mengantarkan kita menuju surga Allah, di tengah kegelapan hari kiamat kelak. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari engkau akan melihat kaum mukminin laki-laki dan perempuan, betapa cahaya bersinar di depan dan di samping kanan mereka. (Dikatakan kepada mereka), “Pada hari ini ada berita gembira untuk kalian. (Yaitu) surga-surga…”. QS. Al-Hadid (57): 12. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 18 Dzulqa’dah 1445 / 27 Mei 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai)Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai)

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai) Posted on January 5, 2025January 5, 2025by `Ada beberapa versi redaksi doa setelah berwudhu yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas versi pertama. Berikut versi lainnya: “سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ” “Subhânakallôhumma wa bihamdika, asyhadu allâ ilâha illâ Anta, astaghfiruka wa atûbu ilaik”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “مَنْ تَوَضَّأَ فَقَالَ: “سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ”؛‌ ‌كُتِبَ ‌فِي ‌رَقٍّ ثُمَّ طُبِعَ بِطَابَعٍ فَلَمْ يُكْسَرْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ” “Barang siapa yang berwudhu, lalu membaca “Subhânakallôhumma wa bihamdika, asyhadu allâ ilâha illâ Anta, astaghfiruka wa atûbu ilaik (Maha suci Engkau ya Allah dan segala puji hanya untuk-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Engkau. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu)”; niscaya itu akan ditulis di selembar kertas lalu distempel, dan tidak akan dihapus hingga hari kiamat”. HR. Nasa’iy dalam as-Sunan al-Kubrâ dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu, dan dinilai sahih oleh al-Hakim serta al-Albaniy. Isnad hadits ini juga dinilai sahih oleh Ibn al-Mulaqqin. Renungan Kandungan Doa ini diawali dengan penggabungan antara dua dzikir istimewa. Yaitu tasbih dan tahmid. Sebagaimana yang telah kita pelajari pada Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 45, bahwa kalimat tasbih bermakna: menjauhkan kekurangan-kekurangan dari dzat Allah, serta mensucikan-Nya dari sifat-sifat buruk dan yang tidak layak. Adapun tahmid, sudah dibahas pula di Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 58. Maknanya adalah: memuji Allah ta’ala dengan menyebutkan sifat-sifat-Nya yang agung dan mengingat nikmat-nikmat-Nya yang tak terhingga. Bertasbih adalah upaya membersihkan pikiran kita dari prasangka buruk terhadap Allah, baik tentang syariat yang diturunkan-Nya, maupun tentang takdir yang ditetapkan-Nya. Jika terlintas di benak kita kritikan terhadap syariat Allah, maka bertasbihlah. Sebab syariat Allah itu maha sempurna dan maha bijaksana. Tidak ada dan tidak akan mungkin syariat-Nya bertujuan sekedar untuk menyusahkan manusia. Justru syariat itu diturunkan guna mendatangkan kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup mereka. Shalat fardhu yang dikerjakan lima kali dalam sehari, zakat yang wajib ditunaikan oleh orang kaya dan puasa Ramadhan yang harus dijalankan selama sebulan penuh. Semuanya disyariatkan Allah untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Ini pembahasan mengenai syariat-Nya. Begitu pula terkait takdir Allah. Barangkali ada di antara kita yang menghadapi kesulitan ekonomi, ujian kesehatan, prahara rumah tangga dan yang semisal. Seberat dan sesulit apapun takdir yang ditetapkan-Nya, jangan sampai terlintas di benak kita prasangka buruk kepada Allah. Manakala itu muncul, bertasbihlah! Yakinilah bahwa Allah Maha Suci dari hal-hal buruk yang kita prasangkakan tentang-Nya. Justru ujian hidup itu berfungsi untuk membersihkan dosa, mengangkat derajat, serta membuat kita semakin tangguh. Jika kita sukses menepis semua asumsi buruk tentang Allah, maka bersyukurlah dan bertahmidlah. Sebab kemampuan dan keberhasilan itu semata-mata berkat taufiq dan bantuan dari-Nya. Inilah salah satu rahasia mengapa tasbih digandengkan dengan tahmid. Wallahu a’lam bish shawab. Setelah itu, kita mengucapkan syahadat; sebagai bentuk pembaharuan ikrar kita bahwa satu-satunya yang berhak disembah hanyalah Allah. Sehingga ibadah yang kita kerjakan pun harus semuanya ditujukan dan diikhlaskan untuk Allah saja. Lalu doa ini ditutup dengan istighfar; permohonan ampun kepada Allah dan pernyataan taubat kepada-Nya. Sebab dosa-dosa kita amatlah banyak. Pahala doa di atas akan ditulis dalam kitab catatan amalan kita, dan tidak akan dihapus hingga kiamat.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 28 Ramadhan 1445 / 8 April 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 215 – Doa Pergi Ke Masjid SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai)

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai) Posted on January 5, 2025January 5, 2025by `Ada beberapa versi redaksi doa setelah berwudhu yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas versi pertama. Berikut versi lainnya: “سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ” “Subhânakallôhumma wa bihamdika, asyhadu allâ ilâha illâ Anta, astaghfiruka wa atûbu ilaik”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “مَنْ تَوَضَّأَ فَقَالَ: “سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ”؛‌ ‌كُتِبَ ‌فِي ‌رَقٍّ ثُمَّ طُبِعَ بِطَابَعٍ فَلَمْ يُكْسَرْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ” “Barang siapa yang berwudhu, lalu membaca “Subhânakallôhumma wa bihamdika, asyhadu allâ ilâha illâ Anta, astaghfiruka wa atûbu ilaik (Maha suci Engkau ya Allah dan segala puji hanya untuk-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Engkau. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu)”; niscaya itu akan ditulis di selembar kertas lalu distempel, dan tidak akan dihapus hingga hari kiamat”. HR. Nasa’iy dalam as-Sunan al-Kubrâ dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu, dan dinilai sahih oleh al-Hakim serta al-Albaniy. Isnad hadits ini juga dinilai sahih oleh Ibn al-Mulaqqin. Renungan Kandungan Doa ini diawali dengan penggabungan antara dua dzikir istimewa. Yaitu tasbih dan tahmid. Sebagaimana yang telah kita pelajari pada Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 45, bahwa kalimat tasbih bermakna: menjauhkan kekurangan-kekurangan dari dzat Allah, serta mensucikan-Nya dari sifat-sifat buruk dan yang tidak layak. Adapun tahmid, sudah dibahas pula di Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 58. Maknanya adalah: memuji Allah ta’ala dengan menyebutkan sifat-sifat-Nya yang agung dan mengingat nikmat-nikmat-Nya yang tak terhingga. Bertasbih adalah upaya membersihkan pikiran kita dari prasangka buruk terhadap Allah, baik tentang syariat yang diturunkan-Nya, maupun tentang takdir yang ditetapkan-Nya. Jika terlintas di benak kita kritikan terhadap syariat Allah, maka bertasbihlah. Sebab syariat Allah itu maha sempurna dan maha bijaksana. Tidak ada dan tidak akan mungkin syariat-Nya bertujuan sekedar untuk menyusahkan manusia. Justru syariat itu diturunkan guna mendatangkan kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup mereka. Shalat fardhu yang dikerjakan lima kali dalam sehari, zakat yang wajib ditunaikan oleh orang kaya dan puasa Ramadhan yang harus dijalankan selama sebulan penuh. Semuanya disyariatkan Allah untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Ini pembahasan mengenai syariat-Nya. Begitu pula terkait takdir Allah. Barangkali ada di antara kita yang menghadapi kesulitan ekonomi, ujian kesehatan, prahara rumah tangga dan yang semisal. Seberat dan sesulit apapun takdir yang ditetapkan-Nya, jangan sampai terlintas di benak kita prasangka buruk kepada Allah. Manakala itu muncul, bertasbihlah! Yakinilah bahwa Allah Maha Suci dari hal-hal buruk yang kita prasangkakan tentang-Nya. Justru ujian hidup itu berfungsi untuk membersihkan dosa, mengangkat derajat, serta membuat kita semakin tangguh. Jika kita sukses menepis semua asumsi buruk tentang Allah, maka bersyukurlah dan bertahmidlah. Sebab kemampuan dan keberhasilan itu semata-mata berkat taufiq dan bantuan dari-Nya. Inilah salah satu rahasia mengapa tasbih digandengkan dengan tahmid. Wallahu a’lam bish shawab. Setelah itu, kita mengucapkan syahadat; sebagai bentuk pembaharuan ikrar kita bahwa satu-satunya yang berhak disembah hanyalah Allah. Sehingga ibadah yang kita kerjakan pun harus semuanya ditujukan dan diikhlaskan untuk Allah saja. Lalu doa ini ditutup dengan istighfar; permohonan ampun kepada Allah dan pernyataan taubat kepada-Nya. Sebab dosa-dosa kita amatlah banyak. Pahala doa di atas akan ditulis dalam kitab catatan amalan kita, dan tidak akan dihapus hingga kiamat.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 28 Ramadhan 1445 / 8 April 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 215 – Doa Pergi Ke Masjid SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai) Posted on January 5, 2025January 5, 2025by `Ada beberapa versi redaksi doa setelah berwudhu yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas versi pertama. Berikut versi lainnya: “سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ” “Subhânakallôhumma wa bihamdika, asyhadu allâ ilâha illâ Anta, astaghfiruka wa atûbu ilaik”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “مَنْ تَوَضَّأَ فَقَالَ: “سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ”؛‌ ‌كُتِبَ ‌فِي ‌رَقٍّ ثُمَّ طُبِعَ بِطَابَعٍ فَلَمْ يُكْسَرْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ” “Barang siapa yang berwudhu, lalu membaca “Subhânakallôhumma wa bihamdika, asyhadu allâ ilâha illâ Anta, astaghfiruka wa atûbu ilaik (Maha suci Engkau ya Allah dan segala puji hanya untuk-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Engkau. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu)”; niscaya itu akan ditulis di selembar kertas lalu distempel, dan tidak akan dihapus hingga hari kiamat”. HR. Nasa’iy dalam as-Sunan al-Kubrâ dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu, dan dinilai sahih oleh al-Hakim serta al-Albaniy. Isnad hadits ini juga dinilai sahih oleh Ibn al-Mulaqqin. Renungan Kandungan Doa ini diawali dengan penggabungan antara dua dzikir istimewa. Yaitu tasbih dan tahmid. Sebagaimana yang telah kita pelajari pada Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 45, bahwa kalimat tasbih bermakna: menjauhkan kekurangan-kekurangan dari dzat Allah, serta mensucikan-Nya dari sifat-sifat buruk dan yang tidak layak. Adapun tahmid, sudah dibahas pula di Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 58. Maknanya adalah: memuji Allah ta’ala dengan menyebutkan sifat-sifat-Nya yang agung dan mengingat nikmat-nikmat-Nya yang tak terhingga. Bertasbih adalah upaya membersihkan pikiran kita dari prasangka buruk terhadap Allah, baik tentang syariat yang diturunkan-Nya, maupun tentang takdir yang ditetapkan-Nya. Jika terlintas di benak kita kritikan terhadap syariat Allah, maka bertasbihlah. Sebab syariat Allah itu maha sempurna dan maha bijaksana. Tidak ada dan tidak akan mungkin syariat-Nya bertujuan sekedar untuk menyusahkan manusia. Justru syariat itu diturunkan guna mendatangkan kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup mereka. Shalat fardhu yang dikerjakan lima kali dalam sehari, zakat yang wajib ditunaikan oleh orang kaya dan puasa Ramadhan yang harus dijalankan selama sebulan penuh. Semuanya disyariatkan Allah untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Ini pembahasan mengenai syariat-Nya. Begitu pula terkait takdir Allah. Barangkali ada di antara kita yang menghadapi kesulitan ekonomi, ujian kesehatan, prahara rumah tangga dan yang semisal. Seberat dan sesulit apapun takdir yang ditetapkan-Nya, jangan sampai terlintas di benak kita prasangka buruk kepada Allah. Manakala itu muncul, bertasbihlah! Yakinilah bahwa Allah Maha Suci dari hal-hal buruk yang kita prasangkakan tentang-Nya. Justru ujian hidup itu berfungsi untuk membersihkan dosa, mengangkat derajat, serta membuat kita semakin tangguh. Jika kita sukses menepis semua asumsi buruk tentang Allah, maka bersyukurlah dan bertahmidlah. Sebab kemampuan dan keberhasilan itu semata-mata berkat taufiq dan bantuan dari-Nya. Inilah salah satu rahasia mengapa tasbih digandengkan dengan tahmid. Wallahu a’lam bish shawab. Setelah itu, kita mengucapkan syahadat; sebagai bentuk pembaharuan ikrar kita bahwa satu-satunya yang berhak disembah hanyalah Allah. Sehingga ibadah yang kita kerjakan pun harus semuanya ditujukan dan diikhlaskan untuk Allah saja. Lalu doa ini ditutup dengan istighfar; permohonan ampun kepada Allah dan pernyataan taubat kepada-Nya. Sebab dosa-dosa kita amatlah banyak. Pahala doa di atas akan ditulis dalam kitab catatan amalan kita, dan tidak akan dihapus hingga kiamat.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 28 Ramadhan 1445 / 8 April 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 215 – Doa Pergi Ke Masjid SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai) Posted on January 5, 2025January 5, 2025by `Ada beberapa versi redaksi doa setelah berwudhu yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas versi pertama. Berikut versi lainnya: “سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ” “Subhânakallôhumma wa bihamdika, asyhadu allâ ilâha illâ Anta, astaghfiruka wa atûbu ilaik”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “مَنْ تَوَضَّأَ فَقَالَ: “سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ”؛‌ ‌كُتِبَ ‌فِي ‌رَقٍّ ثُمَّ طُبِعَ بِطَابَعٍ فَلَمْ يُكْسَرْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ” “Barang siapa yang berwudhu, lalu membaca “Subhânakallôhumma wa bihamdika, asyhadu allâ ilâha illâ Anta, astaghfiruka wa atûbu ilaik (Maha suci Engkau ya Allah dan segala puji hanya untuk-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Engkau. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu)”; niscaya itu akan ditulis di selembar kertas lalu distempel, dan tidak akan dihapus hingga hari kiamat”. HR. Nasa’iy dalam as-Sunan al-Kubrâ dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu, dan dinilai sahih oleh al-Hakim serta al-Albaniy. Isnad hadits ini juga dinilai sahih oleh Ibn al-Mulaqqin. Renungan Kandungan Doa ini diawali dengan penggabungan antara dua dzikir istimewa. Yaitu tasbih dan tahmid. Sebagaimana yang telah kita pelajari pada Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 45, bahwa kalimat tasbih bermakna: menjauhkan kekurangan-kekurangan dari dzat Allah, serta mensucikan-Nya dari sifat-sifat buruk dan yang tidak layak. Adapun tahmid, sudah dibahas pula di Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 58. Maknanya adalah: memuji Allah ta’ala dengan menyebutkan sifat-sifat-Nya yang agung dan mengingat nikmat-nikmat-Nya yang tak terhingga. Bertasbih adalah upaya membersihkan pikiran kita dari prasangka buruk terhadap Allah, baik tentang syariat yang diturunkan-Nya, maupun tentang takdir yang ditetapkan-Nya. Jika terlintas di benak kita kritikan terhadap syariat Allah, maka bertasbihlah. Sebab syariat Allah itu maha sempurna dan maha bijaksana. Tidak ada dan tidak akan mungkin syariat-Nya bertujuan sekedar untuk menyusahkan manusia. Justru syariat itu diturunkan guna mendatangkan kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup mereka. Shalat fardhu yang dikerjakan lima kali dalam sehari, zakat yang wajib ditunaikan oleh orang kaya dan puasa Ramadhan yang harus dijalankan selama sebulan penuh. Semuanya disyariatkan Allah untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Ini pembahasan mengenai syariat-Nya. Begitu pula terkait takdir Allah. Barangkali ada di antara kita yang menghadapi kesulitan ekonomi, ujian kesehatan, prahara rumah tangga dan yang semisal. Seberat dan sesulit apapun takdir yang ditetapkan-Nya, jangan sampai terlintas di benak kita prasangka buruk kepada Allah. Manakala itu muncul, bertasbihlah! Yakinilah bahwa Allah Maha Suci dari hal-hal buruk yang kita prasangkakan tentang-Nya. Justru ujian hidup itu berfungsi untuk membersihkan dosa, mengangkat derajat, serta membuat kita semakin tangguh. Jika kita sukses menepis semua asumsi buruk tentang Allah, maka bersyukurlah dan bertahmidlah. Sebab kemampuan dan keberhasilan itu semata-mata berkat taufiq dan bantuan dari-Nya. Inilah salah satu rahasia mengapa tasbih digandengkan dengan tahmid. Wallahu a’lam bish shawab. Setelah itu, kita mengucapkan syahadat; sebagai bentuk pembaharuan ikrar kita bahwa satu-satunya yang berhak disembah hanyalah Allah. Sehingga ibadah yang kita kerjakan pun harus semuanya ditujukan dan diikhlaskan untuk Allah saja. Lalu doa ini ditutup dengan istighfar; permohonan ampun kepada Allah dan pernyataan taubat kepada-Nya. Sebab dosa-dosa kita amatlah banyak. Pahala doa di atas akan ditulis dalam kitab catatan amalan kita, dan tidak akan dihapus hingga kiamat.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 28 Ramadhan 1445 / 8 April 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 215 – Doa Pergi Ke Masjid SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Prev     Next