Petunjuk Nabi dalam Menyikapi Orang yang Berbuat Dosa

Daftar Isi Toggle Tidak berlebihan dalam merespons dosaMemberi solusi pada pelaku dosaMemberikan solusi sesuai kemampuan orangMemberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariatMemberikan solusi dengan aksiMudah memberi uzurMudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan imanKemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Dalam kehidupan seorang hamba, berdosa adalah hal yang pasti dilakukan. Hampir tidak mungkin dalam satu hari yang berlalu, seseorang tidak melakukan dosa, baik disengaja maupun tidak. Nabi ﷺ bersabda, كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ “Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, sahih.) Tidak terlepas hal itu pada diri kita sendiri, atau orang di sekitar kita, juga mungkin sesama teman pengajian. Maka, dituntut bagi kita untuk mengetahui bagaimana sikap yang tepat menghadapi orang yang melakukan dosa tersebut. Perlu kita ketahui bahwa orang yang berdosa itu beragam bentuk dan kondisinya. Ada yang memang benar-benar pendosa karena menentang agama. Ada yang karena ketidaktahuannya. Ada pula yang karena tak mampu melawan hawa nafsunya. Semua kondisi ini memiliki penyikapan tersendiri. Salah satu metode Nabi ﷺ dalam menyikapi seseorang yang melakukan dosa adalah memberikan solusi kepada pelakunya. Dalam salah satu hadis dari sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, “Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah ﷺ, tiba-tiba datanglah seseorang sambil berkata, ‘Wahai, Rasulullah, celaka!’ Beliau menjawab, ‘Ada apa denganmu?’ Dia berkata, ‘Aku berhubungan dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.’ Maka, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Apakah kamu mempunyai budak untuk dimerdekakan?’ Dia menjawab, ‘Tidak!’ Lalu, beliau ﷺ bersabda lagi, ‘Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, beliau ﷺ bertanya lagi, ‘Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, Rasulullah diam sebentar. Dalam keadaan seperti ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diberi satu ‘irq berisi kurma (al-‘irq adalah alat takaran), lalu beliau bersabda, ‘Mana orang yang bertanya tadi?’ Dia menjawab, ‘Saya orangnya.’ Beliau bersabda lagi, ‘Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!’ Kemudian orang tersebut berkata, ‘Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku.’ Maka, Rasulullah ﷺ tertawa sampai tampak gigi taringnya, kemudian beliau ﷺ bersabda, ‘Berilah makan keluargamu!’ “ (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111) Dari hadis tersebut, kita bisa mengambil faedah cara menyikapi orang yang melakukan dosa dari Nabi ﷺ. Tidak berlebihan dalam merespons dosa Pertama, perlu diketahui bahwa dosa yang dilakukan oleh orang tersebut bukanlah dosa yang ringan. Menyetubuhi istri ketika berpuasa di bulan Ramadan adalah dosa besar. Hal ini ditunjukkan atas kafarat yang diwajibkan dari dosa tersebut. Karena berpuasa di bulan Ramadan adalah kewajiban kaum muslimin, sehingga membatalkannya secara sengaja dengan jima’ adalah dosa besar yang keluar dari ketaatan. Kedua, meski dosa tersebut begitu fatal, tetapi ketika Nabi ﷺ mendengar pengakuan tersebut, beliau tetap tenang dan tidak menghukumi pelakunya sebagai pendosa yang tak pantas mendapatkan ampunan atau komentar-komentar yang tak layak. Hal ini yang juga terjadi tatkala sahabat Maiz radhiyallahu ‘anhu melaporkan bahwa dirinya berzina. Nabi ﷺ tidak menghukuminya dengan perkataan yang mencela, justru beliau memalingkan dirinya dan seakan tidak mau mendengarkan pengakuan tersebut. Faedah akhlak lainnya dari hadis Nabi ﷺ tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memiliki kecerdasan emosional yang luar biasa. Beliau tidak marah dan berusaha memahami kondisi orang yang melakukan dosa tersebut. Dalam kasus Maiz misalnya, beliau terlebih dahulu memvalidasi apakah Maiz benar-benar berzina atau tidak. Sedangkan pada kisah sahabat yang jima’ di bulan Ramadan, beliau menanyakan terlebih dahulu apa yang terjadi pada sahabat tersebut yang tiba-tiba datang mengucapkan celaka atas dirinya. Jika beliau ﷺ merespons para sahabat dengan respons panik atau emosi, pasti akan berdampak pada psikologis sahabat yang mungkin lebih tertutup atau kehilangan kepercayaan pada sosok Nabi ﷺ. Memberi solusi pada pelaku dosa Ketiga, Nabi ﷺ memberikan solusi atas apa yang telah terjadi. Dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas, setelah mendapatkan informasi tersebut, beliau ﷺ memberikan solusi secara tidak langsung berupa langkah-langkah menunaikan kafarat. Pada pertanyaan pertama beliau menanyakan dari segi kepemilikan harta, yakni apakah orang tersebut memiliki budak. Hal ini menunjukkan urutan dari salah satu jenis harta terbesar, yakni budak. Lalu, jika tidak ada, maka ditanyakan kemampuan pribadi dalam melakukan puasa. Kemudian jika masih tidak mampu, ditawarkan untuk memberikan sebagian harta kepada orang fakir miskin untuk memenuhi makan mereka. Para ulama berselisih, apakah pilihannya harus urut ataukah tidak? Maksudnya, pilihan pertama yaitu membebaskan budak. Bila tidak mampu, maka pilihan kedua, puasa dua bulan berturut-turut. Dan kalau tidak mampu juga, kemudian pilihan ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin, atau bebas memilih satu di antara tiga itu. Pendapat Ibnu Al-Mulaqqin bahwa dalam hadis ini terdapat kewajiban membebaskan budak, kemudian berpuasa, kemudian memberi makan, secara tartib (berurutan), tidak diberi hak memilih salah satunya. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, yang juga didukung oleh Ibn Daqiqil ‘Ied dan Ibnu Hajar dalam rangka kehati-hatian. Memberikan solusi sesuai kemampuan orang Keempat, solusi yang diberikan Nabi ﷺ juga bertingkat sesuai kemampuan orangnya. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ memperhatikan kemampuan dan kadar seseorang dalam memberikan hukuman sebagai jalan keluar dari dosa tersebut. Tindakan ini merupakan cerminan dari kebijaksanaan Nabi ﷺ yang tertuntun oleh wahyu Allah ﷻ. Memberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariat Kelima, Nabi ﷺ berusaha memberikan jalan keluar tanpa menggampangkan atau menyepelekan syariat Islam. Oleh karena itu, Nabi ﷺ menanyakan kemampuan sahabat tersebut dari hal yang paling berat terlebih dahulu, yakni memerdekakan budak, lalu berpuasa, kemudian memberi makan fakir miskin. Dari tawaran kafarat tersebut, dimaklumi bahwasanya pilihan tersebut berurutan dari yang paling berat hingga kepada kafarat yang lebih ringan. Sehingga, tatkala menyikapi seorang pendosa, hendaknya kita memberikan solusi yang terbaik sesuai panduan syariat. Kita juga perlu bijak menyikapi kadar diri sendiri dan jujur mengenai kemampuan kita. Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? Memberikan solusi dengan aksi Keenam, Nabi ﷺ mengusahakan solusi atas seseorang tidak hanya berupa kata-kata, melainkan juga berupa harta. Ketika Nabi ﷺ mendapatkan kurma, beliau memberikannya kepada orang tersebut agar ia dapat menunaikan kafaratnya. Padahal, tidak ada tuntutan bagi Nabi ﷺ sebetulnya untuk mencukupkan harta sahabat tersebut. Namun, dengan sifat rahmat dan bijaksananya Nabi ﷺ, beliau memberikan kurma itu sebagai bentuk kecukupan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Jadi, beliau tidak hanya sekadar berpangku tangan jika tidak mampu menjalankan syariat menunaikan kafarat. Namun, beliau berusaha semaksimal mungkin agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Inilah akhlak Islam, yakni bersemangat untuk memberikan kebaikan kepada orang lain. Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ, فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ “Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim) Abul Khaira rahimahullah berkata, فقلب مملوء إيمانا، فعلامته الشفقة على جميع المسلمين، والاهتمام بما يهمهم، ومعاونتهم على أن يعود صلاحه إليهم “Hati yang dipenuhi iman tandanya adalah sayang terhadap kaum muslimin, perhatian terhadap apa yang menjadi kepentingan mereka, dan membantu mereka agar kebaikannya kembali kepada mereka.” (Tarikh Dimasyqi, 66: 161) Kutipan dari Abul Khaira ini tercermin secara sempurna dari sikap Nabi ﷺ pada sahabat yang melakukan dosa tersebut. Beliau menyikapi sahabat tersebut dengan kasih sayang, serta perhatian atas kepentingan mereka. Sehingga beliau memikirkan dan ikut mengusahakan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Beliau bersemangat dalam membantu agar kebaikan kembali kepada sahabat tersebut, yakni kafarat atas dosanya dapat terpenuhi. Mudah memberi uzur Ketujuh, ketika semua langkah penunaian kafarat itu tidak mampu dilakukan oleh sahabat tersebut, Nabi ﷺ tetap tidak marah. Malah ketika sahabat tersebut menginginkan kurma yang seharusnya diberikan kepada orang fakir miskin, Nabi ﷺ tertawa mendengarkan itu dan membiarkan sahabat tersebut membawanya. Mudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan iman Kedelapan, saat sahabat tersebut bersumpah atas nama Allah ﷻ bahwa diri dan keluarganya yang termiskin di Madinah, Nabi ﷺ langsung mempercayainya. Sehingga Nabi ﷺ tidak pusing-pusing memvalidasi pernyataan tersebut. Dan meskipun sahabat tersebut melakukan dosa yang besar, Nabi ﷺ tidak kehilangan kepercayaan sepenuhnya kepada orang tersebut. Sehingga sumpahnya yang membawa nama yang paling agung langsung dipercayai. Kemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Begitulah keindahan akhlak Nabi ﷺ dalam menyikapi pelaku dosa besar. Ini adalah keteladanan yang wajib kita tempuh dalam kehidupan. Kasih sayang Nabi ﷺ kepada umatnya melahirkan sikap kebijaksanaan dalam menyikapi keadaan tidak ideal. Sungguh para pelaku dosa telah berada dalam keterpurukan, maka janganlah menambah kegelapan dalam jurang kehidupan mereka. Tidak jarang kita temukan teman yang diharapkan dapat memberikan nasihat dan solusi atas perbuatan dosa si pelaku, justru kian menenggelamkan mereka dengan celaan. Sehingga pelaku dosa tersebut itu putus asa dari rahmat Allah ﷻ dan akhirnya terus berenang dalam kubangan dosa karena merasa terlanjur hitam dan tidak dapat diterima lagi tobatnya. Oleh karena itu, benarlah nasihat Syekh Ali bin Bakr As-Saqqaf, الداعية عليه أن يرفق في دعوته، فيشفق على الناس ولا يشق عليهم، ولا ينفرهم من الدين بأسلوبه الغليظ والعنيف “Seorang dai harus bersikap lemah lembut dalam dakwahnya, memiliki rasa kasih sayang kepada manusia, tidak memberatkan mereka, dan tidak menjauhkan mereka dari agama dengan gaya yang kasar dan keras.” فيدعو بالحكمة والموعظة الحسنة، ويتلطف مع العاصي بكلام ليِّن وبرفق ولا يعين الشيطان عليه “Maka, (seorang dai) hendaknya berdakwah dengan hikmah dan pelajaran yang baik, bersikap lembut kepada pelaku maksiat dengan perkataan yang halus dan penuh kelembutan, serta tidak membantu setan dalam menyesatkannya.” (Majmu’ Al-Akhlaq Al-Islamiyah, 1: 258) Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, إذا رأيتم أخاكم قارف ذنباً فلا تكونوا أعواناً للشيطان عليه، تقولوا: اللهم أخزه، اللهم العنه، “Jika kalian melihat saudara kalian melakukan dosa, maka janganlah kalian menjadi pembantu setan untuk melawannya dengan mengatakan, ‘Ya Allah, hinakan dia! Ya Allah, laknatilah dia!‘” ولكن سلوا الله العافية، فإنا أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم كنا نقول في أحد شيئاً حتى نعلم علام يموت؟ فإن ختم له بخير علمنا أن قد أصاب خيراً، وإن ختم بشر خفنا عليه “Akan tetapi, mintalah kepada Allah, keselamatan baginya. Sesungguhnya kami, para sahabat Muhammad ﷺ, tidak pernah berkata apa pun tentang seseorang hingga kami mengetahui bagaimana akhir hidupnya. Jika ia meninggal dengan akhir yang baik, maka kami tahu bahwa ia telah mendapatkan kebaikan. Namun, jika ia meninggal dengan akhir yang buruk, maka kami takut ia berada dalam keburukan.” (Riwayat Thabrani dalam Al-Mujam Al-Kabir no. 8574 dan Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd, 1: 313) Semoga kita tidak tergolong hamba yang menjadi pembantu setan. Semoga Allah ﷻ menjadikan kita hamba yang senantiasa semangat dalam meneladani Nabi ﷺ. Baca juga: Doa untuk Menjaga Tubuh, Pendengaran, dan Penglihatan dari Perbuatan Dosa *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Nabi Sang Penyayang, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, terj. Mohd. Suri Sudahri, S.Pd.I. dan Rony Nugroho, Pustaka Al-Kautsar. Kafarat Orang yang Berhubungan Suami Istri di Siang Ramadhan, Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. https://shamela.ws/book/38218/259

Petunjuk Nabi dalam Menyikapi Orang yang Berbuat Dosa

Daftar Isi Toggle Tidak berlebihan dalam merespons dosaMemberi solusi pada pelaku dosaMemberikan solusi sesuai kemampuan orangMemberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariatMemberikan solusi dengan aksiMudah memberi uzurMudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan imanKemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Dalam kehidupan seorang hamba, berdosa adalah hal yang pasti dilakukan. Hampir tidak mungkin dalam satu hari yang berlalu, seseorang tidak melakukan dosa, baik disengaja maupun tidak. Nabi ﷺ bersabda, كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ “Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, sahih.) Tidak terlepas hal itu pada diri kita sendiri, atau orang di sekitar kita, juga mungkin sesama teman pengajian. Maka, dituntut bagi kita untuk mengetahui bagaimana sikap yang tepat menghadapi orang yang melakukan dosa tersebut. Perlu kita ketahui bahwa orang yang berdosa itu beragam bentuk dan kondisinya. Ada yang memang benar-benar pendosa karena menentang agama. Ada yang karena ketidaktahuannya. Ada pula yang karena tak mampu melawan hawa nafsunya. Semua kondisi ini memiliki penyikapan tersendiri. Salah satu metode Nabi ﷺ dalam menyikapi seseorang yang melakukan dosa adalah memberikan solusi kepada pelakunya. Dalam salah satu hadis dari sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, “Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah ﷺ, tiba-tiba datanglah seseorang sambil berkata, ‘Wahai, Rasulullah, celaka!’ Beliau menjawab, ‘Ada apa denganmu?’ Dia berkata, ‘Aku berhubungan dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.’ Maka, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Apakah kamu mempunyai budak untuk dimerdekakan?’ Dia menjawab, ‘Tidak!’ Lalu, beliau ﷺ bersabda lagi, ‘Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, beliau ﷺ bertanya lagi, ‘Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, Rasulullah diam sebentar. Dalam keadaan seperti ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diberi satu ‘irq berisi kurma (al-‘irq adalah alat takaran), lalu beliau bersabda, ‘Mana orang yang bertanya tadi?’ Dia menjawab, ‘Saya orangnya.’ Beliau bersabda lagi, ‘Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!’ Kemudian orang tersebut berkata, ‘Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku.’ Maka, Rasulullah ﷺ tertawa sampai tampak gigi taringnya, kemudian beliau ﷺ bersabda, ‘Berilah makan keluargamu!’ “ (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111) Dari hadis tersebut, kita bisa mengambil faedah cara menyikapi orang yang melakukan dosa dari Nabi ﷺ. Tidak berlebihan dalam merespons dosa Pertama, perlu diketahui bahwa dosa yang dilakukan oleh orang tersebut bukanlah dosa yang ringan. Menyetubuhi istri ketika berpuasa di bulan Ramadan adalah dosa besar. Hal ini ditunjukkan atas kafarat yang diwajibkan dari dosa tersebut. Karena berpuasa di bulan Ramadan adalah kewajiban kaum muslimin, sehingga membatalkannya secara sengaja dengan jima’ adalah dosa besar yang keluar dari ketaatan. Kedua, meski dosa tersebut begitu fatal, tetapi ketika Nabi ﷺ mendengar pengakuan tersebut, beliau tetap tenang dan tidak menghukumi pelakunya sebagai pendosa yang tak pantas mendapatkan ampunan atau komentar-komentar yang tak layak. Hal ini yang juga terjadi tatkala sahabat Maiz radhiyallahu ‘anhu melaporkan bahwa dirinya berzina. Nabi ﷺ tidak menghukuminya dengan perkataan yang mencela, justru beliau memalingkan dirinya dan seakan tidak mau mendengarkan pengakuan tersebut. Faedah akhlak lainnya dari hadis Nabi ﷺ tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memiliki kecerdasan emosional yang luar biasa. Beliau tidak marah dan berusaha memahami kondisi orang yang melakukan dosa tersebut. Dalam kasus Maiz misalnya, beliau terlebih dahulu memvalidasi apakah Maiz benar-benar berzina atau tidak. Sedangkan pada kisah sahabat yang jima’ di bulan Ramadan, beliau menanyakan terlebih dahulu apa yang terjadi pada sahabat tersebut yang tiba-tiba datang mengucapkan celaka atas dirinya. Jika beliau ﷺ merespons para sahabat dengan respons panik atau emosi, pasti akan berdampak pada psikologis sahabat yang mungkin lebih tertutup atau kehilangan kepercayaan pada sosok Nabi ﷺ. Memberi solusi pada pelaku dosa Ketiga, Nabi ﷺ memberikan solusi atas apa yang telah terjadi. Dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas, setelah mendapatkan informasi tersebut, beliau ﷺ memberikan solusi secara tidak langsung berupa langkah-langkah menunaikan kafarat. Pada pertanyaan pertama beliau menanyakan dari segi kepemilikan harta, yakni apakah orang tersebut memiliki budak. Hal ini menunjukkan urutan dari salah satu jenis harta terbesar, yakni budak. Lalu, jika tidak ada, maka ditanyakan kemampuan pribadi dalam melakukan puasa. Kemudian jika masih tidak mampu, ditawarkan untuk memberikan sebagian harta kepada orang fakir miskin untuk memenuhi makan mereka. Para ulama berselisih, apakah pilihannya harus urut ataukah tidak? Maksudnya, pilihan pertama yaitu membebaskan budak. Bila tidak mampu, maka pilihan kedua, puasa dua bulan berturut-turut. Dan kalau tidak mampu juga, kemudian pilihan ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin, atau bebas memilih satu di antara tiga itu. Pendapat Ibnu Al-Mulaqqin bahwa dalam hadis ini terdapat kewajiban membebaskan budak, kemudian berpuasa, kemudian memberi makan, secara tartib (berurutan), tidak diberi hak memilih salah satunya. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, yang juga didukung oleh Ibn Daqiqil ‘Ied dan Ibnu Hajar dalam rangka kehati-hatian. Memberikan solusi sesuai kemampuan orang Keempat, solusi yang diberikan Nabi ﷺ juga bertingkat sesuai kemampuan orangnya. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ memperhatikan kemampuan dan kadar seseorang dalam memberikan hukuman sebagai jalan keluar dari dosa tersebut. Tindakan ini merupakan cerminan dari kebijaksanaan Nabi ﷺ yang tertuntun oleh wahyu Allah ﷻ. Memberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariat Kelima, Nabi ﷺ berusaha memberikan jalan keluar tanpa menggampangkan atau menyepelekan syariat Islam. Oleh karena itu, Nabi ﷺ menanyakan kemampuan sahabat tersebut dari hal yang paling berat terlebih dahulu, yakni memerdekakan budak, lalu berpuasa, kemudian memberi makan fakir miskin. Dari tawaran kafarat tersebut, dimaklumi bahwasanya pilihan tersebut berurutan dari yang paling berat hingga kepada kafarat yang lebih ringan. Sehingga, tatkala menyikapi seorang pendosa, hendaknya kita memberikan solusi yang terbaik sesuai panduan syariat. Kita juga perlu bijak menyikapi kadar diri sendiri dan jujur mengenai kemampuan kita. Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? Memberikan solusi dengan aksi Keenam, Nabi ﷺ mengusahakan solusi atas seseorang tidak hanya berupa kata-kata, melainkan juga berupa harta. Ketika Nabi ﷺ mendapatkan kurma, beliau memberikannya kepada orang tersebut agar ia dapat menunaikan kafaratnya. Padahal, tidak ada tuntutan bagi Nabi ﷺ sebetulnya untuk mencukupkan harta sahabat tersebut. Namun, dengan sifat rahmat dan bijaksananya Nabi ﷺ, beliau memberikan kurma itu sebagai bentuk kecukupan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Jadi, beliau tidak hanya sekadar berpangku tangan jika tidak mampu menjalankan syariat menunaikan kafarat. Namun, beliau berusaha semaksimal mungkin agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Inilah akhlak Islam, yakni bersemangat untuk memberikan kebaikan kepada orang lain. Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ, فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ “Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim) Abul Khaira rahimahullah berkata, فقلب مملوء إيمانا، فعلامته الشفقة على جميع المسلمين، والاهتمام بما يهمهم، ومعاونتهم على أن يعود صلاحه إليهم “Hati yang dipenuhi iman tandanya adalah sayang terhadap kaum muslimin, perhatian terhadap apa yang menjadi kepentingan mereka, dan membantu mereka agar kebaikannya kembali kepada mereka.” (Tarikh Dimasyqi, 66: 161) Kutipan dari Abul Khaira ini tercermin secara sempurna dari sikap Nabi ﷺ pada sahabat yang melakukan dosa tersebut. Beliau menyikapi sahabat tersebut dengan kasih sayang, serta perhatian atas kepentingan mereka. Sehingga beliau memikirkan dan ikut mengusahakan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Beliau bersemangat dalam membantu agar kebaikan kembali kepada sahabat tersebut, yakni kafarat atas dosanya dapat terpenuhi. Mudah memberi uzur Ketujuh, ketika semua langkah penunaian kafarat itu tidak mampu dilakukan oleh sahabat tersebut, Nabi ﷺ tetap tidak marah. Malah ketika sahabat tersebut menginginkan kurma yang seharusnya diberikan kepada orang fakir miskin, Nabi ﷺ tertawa mendengarkan itu dan membiarkan sahabat tersebut membawanya. Mudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan iman Kedelapan, saat sahabat tersebut bersumpah atas nama Allah ﷻ bahwa diri dan keluarganya yang termiskin di Madinah, Nabi ﷺ langsung mempercayainya. Sehingga Nabi ﷺ tidak pusing-pusing memvalidasi pernyataan tersebut. Dan meskipun sahabat tersebut melakukan dosa yang besar, Nabi ﷺ tidak kehilangan kepercayaan sepenuhnya kepada orang tersebut. Sehingga sumpahnya yang membawa nama yang paling agung langsung dipercayai. Kemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Begitulah keindahan akhlak Nabi ﷺ dalam menyikapi pelaku dosa besar. Ini adalah keteladanan yang wajib kita tempuh dalam kehidupan. Kasih sayang Nabi ﷺ kepada umatnya melahirkan sikap kebijaksanaan dalam menyikapi keadaan tidak ideal. Sungguh para pelaku dosa telah berada dalam keterpurukan, maka janganlah menambah kegelapan dalam jurang kehidupan mereka. Tidak jarang kita temukan teman yang diharapkan dapat memberikan nasihat dan solusi atas perbuatan dosa si pelaku, justru kian menenggelamkan mereka dengan celaan. Sehingga pelaku dosa tersebut itu putus asa dari rahmat Allah ﷻ dan akhirnya terus berenang dalam kubangan dosa karena merasa terlanjur hitam dan tidak dapat diterima lagi tobatnya. Oleh karena itu, benarlah nasihat Syekh Ali bin Bakr As-Saqqaf, الداعية عليه أن يرفق في دعوته، فيشفق على الناس ولا يشق عليهم، ولا ينفرهم من الدين بأسلوبه الغليظ والعنيف “Seorang dai harus bersikap lemah lembut dalam dakwahnya, memiliki rasa kasih sayang kepada manusia, tidak memberatkan mereka, dan tidak menjauhkan mereka dari agama dengan gaya yang kasar dan keras.” فيدعو بالحكمة والموعظة الحسنة، ويتلطف مع العاصي بكلام ليِّن وبرفق ولا يعين الشيطان عليه “Maka, (seorang dai) hendaknya berdakwah dengan hikmah dan pelajaran yang baik, bersikap lembut kepada pelaku maksiat dengan perkataan yang halus dan penuh kelembutan, serta tidak membantu setan dalam menyesatkannya.” (Majmu’ Al-Akhlaq Al-Islamiyah, 1: 258) Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, إذا رأيتم أخاكم قارف ذنباً فلا تكونوا أعواناً للشيطان عليه، تقولوا: اللهم أخزه، اللهم العنه، “Jika kalian melihat saudara kalian melakukan dosa, maka janganlah kalian menjadi pembantu setan untuk melawannya dengan mengatakan, ‘Ya Allah, hinakan dia! Ya Allah, laknatilah dia!‘” ولكن سلوا الله العافية، فإنا أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم كنا نقول في أحد شيئاً حتى نعلم علام يموت؟ فإن ختم له بخير علمنا أن قد أصاب خيراً، وإن ختم بشر خفنا عليه “Akan tetapi, mintalah kepada Allah, keselamatan baginya. Sesungguhnya kami, para sahabat Muhammad ﷺ, tidak pernah berkata apa pun tentang seseorang hingga kami mengetahui bagaimana akhir hidupnya. Jika ia meninggal dengan akhir yang baik, maka kami tahu bahwa ia telah mendapatkan kebaikan. Namun, jika ia meninggal dengan akhir yang buruk, maka kami takut ia berada dalam keburukan.” (Riwayat Thabrani dalam Al-Mujam Al-Kabir no. 8574 dan Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd, 1: 313) Semoga kita tidak tergolong hamba yang menjadi pembantu setan. Semoga Allah ﷻ menjadikan kita hamba yang senantiasa semangat dalam meneladani Nabi ﷺ. Baca juga: Doa untuk Menjaga Tubuh, Pendengaran, dan Penglihatan dari Perbuatan Dosa *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Nabi Sang Penyayang, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, terj. Mohd. Suri Sudahri, S.Pd.I. dan Rony Nugroho, Pustaka Al-Kautsar. Kafarat Orang yang Berhubungan Suami Istri di Siang Ramadhan, Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. https://shamela.ws/book/38218/259
Daftar Isi Toggle Tidak berlebihan dalam merespons dosaMemberi solusi pada pelaku dosaMemberikan solusi sesuai kemampuan orangMemberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariatMemberikan solusi dengan aksiMudah memberi uzurMudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan imanKemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Dalam kehidupan seorang hamba, berdosa adalah hal yang pasti dilakukan. Hampir tidak mungkin dalam satu hari yang berlalu, seseorang tidak melakukan dosa, baik disengaja maupun tidak. Nabi ﷺ bersabda, كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ “Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, sahih.) Tidak terlepas hal itu pada diri kita sendiri, atau orang di sekitar kita, juga mungkin sesama teman pengajian. Maka, dituntut bagi kita untuk mengetahui bagaimana sikap yang tepat menghadapi orang yang melakukan dosa tersebut. Perlu kita ketahui bahwa orang yang berdosa itu beragam bentuk dan kondisinya. Ada yang memang benar-benar pendosa karena menentang agama. Ada yang karena ketidaktahuannya. Ada pula yang karena tak mampu melawan hawa nafsunya. Semua kondisi ini memiliki penyikapan tersendiri. Salah satu metode Nabi ﷺ dalam menyikapi seseorang yang melakukan dosa adalah memberikan solusi kepada pelakunya. Dalam salah satu hadis dari sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, “Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah ﷺ, tiba-tiba datanglah seseorang sambil berkata, ‘Wahai, Rasulullah, celaka!’ Beliau menjawab, ‘Ada apa denganmu?’ Dia berkata, ‘Aku berhubungan dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.’ Maka, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Apakah kamu mempunyai budak untuk dimerdekakan?’ Dia menjawab, ‘Tidak!’ Lalu, beliau ﷺ bersabda lagi, ‘Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, beliau ﷺ bertanya lagi, ‘Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, Rasulullah diam sebentar. Dalam keadaan seperti ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diberi satu ‘irq berisi kurma (al-‘irq adalah alat takaran), lalu beliau bersabda, ‘Mana orang yang bertanya tadi?’ Dia menjawab, ‘Saya orangnya.’ Beliau bersabda lagi, ‘Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!’ Kemudian orang tersebut berkata, ‘Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku.’ Maka, Rasulullah ﷺ tertawa sampai tampak gigi taringnya, kemudian beliau ﷺ bersabda, ‘Berilah makan keluargamu!’ “ (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111) Dari hadis tersebut, kita bisa mengambil faedah cara menyikapi orang yang melakukan dosa dari Nabi ﷺ. Tidak berlebihan dalam merespons dosa Pertama, perlu diketahui bahwa dosa yang dilakukan oleh orang tersebut bukanlah dosa yang ringan. Menyetubuhi istri ketika berpuasa di bulan Ramadan adalah dosa besar. Hal ini ditunjukkan atas kafarat yang diwajibkan dari dosa tersebut. Karena berpuasa di bulan Ramadan adalah kewajiban kaum muslimin, sehingga membatalkannya secara sengaja dengan jima’ adalah dosa besar yang keluar dari ketaatan. Kedua, meski dosa tersebut begitu fatal, tetapi ketika Nabi ﷺ mendengar pengakuan tersebut, beliau tetap tenang dan tidak menghukumi pelakunya sebagai pendosa yang tak pantas mendapatkan ampunan atau komentar-komentar yang tak layak. Hal ini yang juga terjadi tatkala sahabat Maiz radhiyallahu ‘anhu melaporkan bahwa dirinya berzina. Nabi ﷺ tidak menghukuminya dengan perkataan yang mencela, justru beliau memalingkan dirinya dan seakan tidak mau mendengarkan pengakuan tersebut. Faedah akhlak lainnya dari hadis Nabi ﷺ tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memiliki kecerdasan emosional yang luar biasa. Beliau tidak marah dan berusaha memahami kondisi orang yang melakukan dosa tersebut. Dalam kasus Maiz misalnya, beliau terlebih dahulu memvalidasi apakah Maiz benar-benar berzina atau tidak. Sedangkan pada kisah sahabat yang jima’ di bulan Ramadan, beliau menanyakan terlebih dahulu apa yang terjadi pada sahabat tersebut yang tiba-tiba datang mengucapkan celaka atas dirinya. Jika beliau ﷺ merespons para sahabat dengan respons panik atau emosi, pasti akan berdampak pada psikologis sahabat yang mungkin lebih tertutup atau kehilangan kepercayaan pada sosok Nabi ﷺ. Memberi solusi pada pelaku dosa Ketiga, Nabi ﷺ memberikan solusi atas apa yang telah terjadi. Dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas, setelah mendapatkan informasi tersebut, beliau ﷺ memberikan solusi secara tidak langsung berupa langkah-langkah menunaikan kafarat. Pada pertanyaan pertama beliau menanyakan dari segi kepemilikan harta, yakni apakah orang tersebut memiliki budak. Hal ini menunjukkan urutan dari salah satu jenis harta terbesar, yakni budak. Lalu, jika tidak ada, maka ditanyakan kemampuan pribadi dalam melakukan puasa. Kemudian jika masih tidak mampu, ditawarkan untuk memberikan sebagian harta kepada orang fakir miskin untuk memenuhi makan mereka. Para ulama berselisih, apakah pilihannya harus urut ataukah tidak? Maksudnya, pilihan pertama yaitu membebaskan budak. Bila tidak mampu, maka pilihan kedua, puasa dua bulan berturut-turut. Dan kalau tidak mampu juga, kemudian pilihan ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin, atau bebas memilih satu di antara tiga itu. Pendapat Ibnu Al-Mulaqqin bahwa dalam hadis ini terdapat kewajiban membebaskan budak, kemudian berpuasa, kemudian memberi makan, secara tartib (berurutan), tidak diberi hak memilih salah satunya. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, yang juga didukung oleh Ibn Daqiqil ‘Ied dan Ibnu Hajar dalam rangka kehati-hatian. Memberikan solusi sesuai kemampuan orang Keempat, solusi yang diberikan Nabi ﷺ juga bertingkat sesuai kemampuan orangnya. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ memperhatikan kemampuan dan kadar seseorang dalam memberikan hukuman sebagai jalan keluar dari dosa tersebut. Tindakan ini merupakan cerminan dari kebijaksanaan Nabi ﷺ yang tertuntun oleh wahyu Allah ﷻ. Memberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariat Kelima, Nabi ﷺ berusaha memberikan jalan keluar tanpa menggampangkan atau menyepelekan syariat Islam. Oleh karena itu, Nabi ﷺ menanyakan kemampuan sahabat tersebut dari hal yang paling berat terlebih dahulu, yakni memerdekakan budak, lalu berpuasa, kemudian memberi makan fakir miskin. Dari tawaran kafarat tersebut, dimaklumi bahwasanya pilihan tersebut berurutan dari yang paling berat hingga kepada kafarat yang lebih ringan. Sehingga, tatkala menyikapi seorang pendosa, hendaknya kita memberikan solusi yang terbaik sesuai panduan syariat. Kita juga perlu bijak menyikapi kadar diri sendiri dan jujur mengenai kemampuan kita. Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? Memberikan solusi dengan aksi Keenam, Nabi ﷺ mengusahakan solusi atas seseorang tidak hanya berupa kata-kata, melainkan juga berupa harta. Ketika Nabi ﷺ mendapatkan kurma, beliau memberikannya kepada orang tersebut agar ia dapat menunaikan kafaratnya. Padahal, tidak ada tuntutan bagi Nabi ﷺ sebetulnya untuk mencukupkan harta sahabat tersebut. Namun, dengan sifat rahmat dan bijaksananya Nabi ﷺ, beliau memberikan kurma itu sebagai bentuk kecukupan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Jadi, beliau tidak hanya sekadar berpangku tangan jika tidak mampu menjalankan syariat menunaikan kafarat. Namun, beliau berusaha semaksimal mungkin agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Inilah akhlak Islam, yakni bersemangat untuk memberikan kebaikan kepada orang lain. Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ, فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ “Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim) Abul Khaira rahimahullah berkata, فقلب مملوء إيمانا، فعلامته الشفقة على جميع المسلمين، والاهتمام بما يهمهم، ومعاونتهم على أن يعود صلاحه إليهم “Hati yang dipenuhi iman tandanya adalah sayang terhadap kaum muslimin, perhatian terhadap apa yang menjadi kepentingan mereka, dan membantu mereka agar kebaikannya kembali kepada mereka.” (Tarikh Dimasyqi, 66: 161) Kutipan dari Abul Khaira ini tercermin secara sempurna dari sikap Nabi ﷺ pada sahabat yang melakukan dosa tersebut. Beliau menyikapi sahabat tersebut dengan kasih sayang, serta perhatian atas kepentingan mereka. Sehingga beliau memikirkan dan ikut mengusahakan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Beliau bersemangat dalam membantu agar kebaikan kembali kepada sahabat tersebut, yakni kafarat atas dosanya dapat terpenuhi. Mudah memberi uzur Ketujuh, ketika semua langkah penunaian kafarat itu tidak mampu dilakukan oleh sahabat tersebut, Nabi ﷺ tetap tidak marah. Malah ketika sahabat tersebut menginginkan kurma yang seharusnya diberikan kepada orang fakir miskin, Nabi ﷺ tertawa mendengarkan itu dan membiarkan sahabat tersebut membawanya. Mudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan iman Kedelapan, saat sahabat tersebut bersumpah atas nama Allah ﷻ bahwa diri dan keluarganya yang termiskin di Madinah, Nabi ﷺ langsung mempercayainya. Sehingga Nabi ﷺ tidak pusing-pusing memvalidasi pernyataan tersebut. Dan meskipun sahabat tersebut melakukan dosa yang besar, Nabi ﷺ tidak kehilangan kepercayaan sepenuhnya kepada orang tersebut. Sehingga sumpahnya yang membawa nama yang paling agung langsung dipercayai. Kemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Begitulah keindahan akhlak Nabi ﷺ dalam menyikapi pelaku dosa besar. Ini adalah keteladanan yang wajib kita tempuh dalam kehidupan. Kasih sayang Nabi ﷺ kepada umatnya melahirkan sikap kebijaksanaan dalam menyikapi keadaan tidak ideal. Sungguh para pelaku dosa telah berada dalam keterpurukan, maka janganlah menambah kegelapan dalam jurang kehidupan mereka. Tidak jarang kita temukan teman yang diharapkan dapat memberikan nasihat dan solusi atas perbuatan dosa si pelaku, justru kian menenggelamkan mereka dengan celaan. Sehingga pelaku dosa tersebut itu putus asa dari rahmat Allah ﷻ dan akhirnya terus berenang dalam kubangan dosa karena merasa terlanjur hitam dan tidak dapat diterima lagi tobatnya. Oleh karena itu, benarlah nasihat Syekh Ali bin Bakr As-Saqqaf, الداعية عليه أن يرفق في دعوته، فيشفق على الناس ولا يشق عليهم، ولا ينفرهم من الدين بأسلوبه الغليظ والعنيف “Seorang dai harus bersikap lemah lembut dalam dakwahnya, memiliki rasa kasih sayang kepada manusia, tidak memberatkan mereka, dan tidak menjauhkan mereka dari agama dengan gaya yang kasar dan keras.” فيدعو بالحكمة والموعظة الحسنة، ويتلطف مع العاصي بكلام ليِّن وبرفق ولا يعين الشيطان عليه “Maka, (seorang dai) hendaknya berdakwah dengan hikmah dan pelajaran yang baik, bersikap lembut kepada pelaku maksiat dengan perkataan yang halus dan penuh kelembutan, serta tidak membantu setan dalam menyesatkannya.” (Majmu’ Al-Akhlaq Al-Islamiyah, 1: 258) Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, إذا رأيتم أخاكم قارف ذنباً فلا تكونوا أعواناً للشيطان عليه، تقولوا: اللهم أخزه، اللهم العنه، “Jika kalian melihat saudara kalian melakukan dosa, maka janganlah kalian menjadi pembantu setan untuk melawannya dengan mengatakan, ‘Ya Allah, hinakan dia! Ya Allah, laknatilah dia!‘” ولكن سلوا الله العافية، فإنا أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم كنا نقول في أحد شيئاً حتى نعلم علام يموت؟ فإن ختم له بخير علمنا أن قد أصاب خيراً، وإن ختم بشر خفنا عليه “Akan tetapi, mintalah kepada Allah, keselamatan baginya. Sesungguhnya kami, para sahabat Muhammad ﷺ, tidak pernah berkata apa pun tentang seseorang hingga kami mengetahui bagaimana akhir hidupnya. Jika ia meninggal dengan akhir yang baik, maka kami tahu bahwa ia telah mendapatkan kebaikan. Namun, jika ia meninggal dengan akhir yang buruk, maka kami takut ia berada dalam keburukan.” (Riwayat Thabrani dalam Al-Mujam Al-Kabir no. 8574 dan Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd, 1: 313) Semoga kita tidak tergolong hamba yang menjadi pembantu setan. Semoga Allah ﷻ menjadikan kita hamba yang senantiasa semangat dalam meneladani Nabi ﷺ. Baca juga: Doa untuk Menjaga Tubuh, Pendengaran, dan Penglihatan dari Perbuatan Dosa *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Nabi Sang Penyayang, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, terj. Mohd. Suri Sudahri, S.Pd.I. dan Rony Nugroho, Pustaka Al-Kautsar. Kafarat Orang yang Berhubungan Suami Istri di Siang Ramadhan, Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. https://shamela.ws/book/38218/259


Daftar Isi Toggle Tidak berlebihan dalam merespons dosaMemberi solusi pada pelaku dosaMemberikan solusi sesuai kemampuan orangMemberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariatMemberikan solusi dengan aksiMudah memberi uzurMudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan imanKemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Dalam kehidupan seorang hamba, berdosa adalah hal yang pasti dilakukan. Hampir tidak mungkin dalam satu hari yang berlalu, seseorang tidak melakukan dosa, baik disengaja maupun tidak. Nabi ﷺ bersabda, كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ “Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, sahih.) Tidak terlepas hal itu pada diri kita sendiri, atau orang di sekitar kita, juga mungkin sesama teman pengajian. Maka, dituntut bagi kita untuk mengetahui bagaimana sikap yang tepat menghadapi orang yang melakukan dosa tersebut. Perlu kita ketahui bahwa orang yang berdosa itu beragam bentuk dan kondisinya. Ada yang memang benar-benar pendosa karena menentang agama. Ada yang karena ketidaktahuannya. Ada pula yang karena tak mampu melawan hawa nafsunya. Semua kondisi ini memiliki penyikapan tersendiri. Salah satu metode Nabi ﷺ dalam menyikapi seseorang yang melakukan dosa adalah memberikan solusi kepada pelakunya. Dalam salah satu hadis dari sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, “Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah ﷺ, tiba-tiba datanglah seseorang sambil berkata, ‘Wahai, Rasulullah, celaka!’ Beliau menjawab, ‘Ada apa denganmu?’ Dia berkata, ‘Aku berhubungan dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.’ Maka, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Apakah kamu mempunyai budak untuk dimerdekakan?’ Dia menjawab, ‘Tidak!’ Lalu, beliau ﷺ bersabda lagi, ‘Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, beliau ﷺ bertanya lagi, ‘Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, Rasulullah diam sebentar. Dalam keadaan seperti ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diberi satu ‘irq berisi kurma (al-‘irq adalah alat takaran), lalu beliau bersabda, ‘Mana orang yang bertanya tadi?’ Dia menjawab, ‘Saya orangnya.’ Beliau bersabda lagi, ‘Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!’ Kemudian orang tersebut berkata, ‘Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku.’ Maka, Rasulullah ﷺ tertawa sampai tampak gigi taringnya, kemudian beliau ﷺ bersabda, ‘Berilah makan keluargamu!’ “ (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111) Dari hadis tersebut, kita bisa mengambil faedah cara menyikapi orang yang melakukan dosa dari Nabi ﷺ. Tidak berlebihan dalam merespons dosa Pertama, perlu diketahui bahwa dosa yang dilakukan oleh orang tersebut bukanlah dosa yang ringan. Menyetubuhi istri ketika berpuasa di bulan Ramadan adalah dosa besar. Hal ini ditunjukkan atas kafarat yang diwajibkan dari dosa tersebut. Karena berpuasa di bulan Ramadan adalah kewajiban kaum muslimin, sehingga membatalkannya secara sengaja dengan jima’ adalah dosa besar yang keluar dari ketaatan. Kedua, meski dosa tersebut begitu fatal, tetapi ketika Nabi ﷺ mendengar pengakuan tersebut, beliau tetap tenang dan tidak menghukumi pelakunya sebagai pendosa yang tak pantas mendapatkan ampunan atau komentar-komentar yang tak layak. Hal ini yang juga terjadi tatkala sahabat Maiz radhiyallahu ‘anhu melaporkan bahwa dirinya berzina. Nabi ﷺ tidak menghukuminya dengan perkataan yang mencela, justru beliau memalingkan dirinya dan seakan tidak mau mendengarkan pengakuan tersebut. Faedah akhlak lainnya dari hadis Nabi ﷺ tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memiliki kecerdasan emosional yang luar biasa. Beliau tidak marah dan berusaha memahami kondisi orang yang melakukan dosa tersebut. Dalam kasus Maiz misalnya, beliau terlebih dahulu memvalidasi apakah Maiz benar-benar berzina atau tidak. Sedangkan pada kisah sahabat yang jima’ di bulan Ramadan, beliau menanyakan terlebih dahulu apa yang terjadi pada sahabat tersebut yang tiba-tiba datang mengucapkan celaka atas dirinya. Jika beliau ﷺ merespons para sahabat dengan respons panik atau emosi, pasti akan berdampak pada psikologis sahabat yang mungkin lebih tertutup atau kehilangan kepercayaan pada sosok Nabi ﷺ. Memberi solusi pada pelaku dosa Ketiga, Nabi ﷺ memberikan solusi atas apa yang telah terjadi. Dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas, setelah mendapatkan informasi tersebut, beliau ﷺ memberikan solusi secara tidak langsung berupa langkah-langkah menunaikan kafarat. Pada pertanyaan pertama beliau menanyakan dari segi kepemilikan harta, yakni apakah orang tersebut memiliki budak. Hal ini menunjukkan urutan dari salah satu jenis harta terbesar, yakni budak. Lalu, jika tidak ada, maka ditanyakan kemampuan pribadi dalam melakukan puasa. Kemudian jika masih tidak mampu, ditawarkan untuk memberikan sebagian harta kepada orang fakir miskin untuk memenuhi makan mereka. Para ulama berselisih, apakah pilihannya harus urut ataukah tidak? Maksudnya, pilihan pertama yaitu membebaskan budak. Bila tidak mampu, maka pilihan kedua, puasa dua bulan berturut-turut. Dan kalau tidak mampu juga, kemudian pilihan ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin, atau bebas memilih satu di antara tiga itu. Pendapat Ibnu Al-Mulaqqin bahwa dalam hadis ini terdapat kewajiban membebaskan budak, kemudian berpuasa, kemudian memberi makan, secara tartib (berurutan), tidak diberi hak memilih salah satunya. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, yang juga didukung oleh Ibn Daqiqil ‘Ied dan Ibnu Hajar dalam rangka kehati-hatian. Memberikan solusi sesuai kemampuan orang Keempat, solusi yang diberikan Nabi ﷺ juga bertingkat sesuai kemampuan orangnya. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ memperhatikan kemampuan dan kadar seseorang dalam memberikan hukuman sebagai jalan keluar dari dosa tersebut. Tindakan ini merupakan cerminan dari kebijaksanaan Nabi ﷺ yang tertuntun oleh wahyu Allah ﷻ. Memberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariat Kelima, Nabi ﷺ berusaha memberikan jalan keluar tanpa menggampangkan atau menyepelekan syariat Islam. Oleh karena itu, Nabi ﷺ menanyakan kemampuan sahabat tersebut dari hal yang paling berat terlebih dahulu, yakni memerdekakan budak, lalu berpuasa, kemudian memberi makan fakir miskin. Dari tawaran kafarat tersebut, dimaklumi bahwasanya pilihan tersebut berurutan dari yang paling berat hingga kepada kafarat yang lebih ringan. Sehingga, tatkala menyikapi seorang pendosa, hendaknya kita memberikan solusi yang terbaik sesuai panduan syariat. Kita juga perlu bijak menyikapi kadar diri sendiri dan jujur mengenai kemampuan kita. Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? Memberikan solusi dengan aksi Keenam, Nabi ﷺ mengusahakan solusi atas seseorang tidak hanya berupa kata-kata, melainkan juga berupa harta. Ketika Nabi ﷺ mendapatkan kurma, beliau memberikannya kepada orang tersebut agar ia dapat menunaikan kafaratnya. Padahal, tidak ada tuntutan bagi Nabi ﷺ sebetulnya untuk mencukupkan harta sahabat tersebut. Namun, dengan sifat rahmat dan bijaksananya Nabi ﷺ, beliau memberikan kurma itu sebagai bentuk kecukupan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Jadi, beliau tidak hanya sekadar berpangku tangan jika tidak mampu menjalankan syariat menunaikan kafarat. Namun, beliau berusaha semaksimal mungkin agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Inilah akhlak Islam, yakni bersemangat untuk memberikan kebaikan kepada orang lain. Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ, فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ “Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim) Abul Khaira rahimahullah berkata, فقلب مملوء إيمانا، فعلامته الشفقة على جميع المسلمين، والاهتمام بما يهمهم، ومعاونتهم على أن يعود صلاحه إليهم “Hati yang dipenuhi iman tandanya adalah sayang terhadap kaum muslimin, perhatian terhadap apa yang menjadi kepentingan mereka, dan membantu mereka agar kebaikannya kembali kepada mereka.” (Tarikh Dimasyqi, 66: 161) Kutipan dari Abul Khaira ini tercermin secara sempurna dari sikap Nabi ﷺ pada sahabat yang melakukan dosa tersebut. Beliau menyikapi sahabat tersebut dengan kasih sayang, serta perhatian atas kepentingan mereka. Sehingga beliau memikirkan dan ikut mengusahakan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Beliau bersemangat dalam membantu agar kebaikan kembali kepada sahabat tersebut, yakni kafarat atas dosanya dapat terpenuhi. Mudah memberi uzur Ketujuh, ketika semua langkah penunaian kafarat itu tidak mampu dilakukan oleh sahabat tersebut, Nabi ﷺ tetap tidak marah. Malah ketika sahabat tersebut menginginkan kurma yang seharusnya diberikan kepada orang fakir miskin, Nabi ﷺ tertawa mendengarkan itu dan membiarkan sahabat tersebut membawanya. Mudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan iman Kedelapan, saat sahabat tersebut bersumpah atas nama Allah ﷻ bahwa diri dan keluarganya yang termiskin di Madinah, Nabi ﷺ langsung mempercayainya. Sehingga Nabi ﷺ tidak pusing-pusing memvalidasi pernyataan tersebut. Dan meskipun sahabat tersebut melakukan dosa yang besar, Nabi ﷺ tidak kehilangan kepercayaan sepenuhnya kepada orang tersebut. Sehingga sumpahnya yang membawa nama yang paling agung langsung dipercayai. Kemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Begitulah keindahan akhlak Nabi ﷺ dalam menyikapi pelaku dosa besar. Ini adalah keteladanan yang wajib kita tempuh dalam kehidupan. Kasih sayang Nabi ﷺ kepada umatnya melahirkan sikap kebijaksanaan dalam menyikapi keadaan tidak ideal. Sungguh para pelaku dosa telah berada dalam keterpurukan, maka janganlah menambah kegelapan dalam jurang kehidupan mereka. Tidak jarang kita temukan teman yang diharapkan dapat memberikan nasihat dan solusi atas perbuatan dosa si pelaku, justru kian menenggelamkan mereka dengan celaan. Sehingga pelaku dosa tersebut itu putus asa dari rahmat Allah ﷻ dan akhirnya terus berenang dalam kubangan dosa karena merasa terlanjur hitam dan tidak dapat diterima lagi tobatnya. Oleh karena itu, benarlah nasihat Syekh Ali bin Bakr As-Saqqaf, الداعية عليه أن يرفق في دعوته، فيشفق على الناس ولا يشق عليهم، ولا ينفرهم من الدين بأسلوبه الغليظ والعنيف “Seorang dai harus bersikap lemah lembut dalam dakwahnya, memiliki rasa kasih sayang kepada manusia, tidak memberatkan mereka, dan tidak menjauhkan mereka dari agama dengan gaya yang kasar dan keras.” فيدعو بالحكمة والموعظة الحسنة، ويتلطف مع العاصي بكلام ليِّن وبرفق ولا يعين الشيطان عليه “Maka, (seorang dai) hendaknya berdakwah dengan hikmah dan pelajaran yang baik, bersikap lembut kepada pelaku maksiat dengan perkataan yang halus dan penuh kelembutan, serta tidak membantu setan dalam menyesatkannya.” (Majmu’ Al-Akhlaq Al-Islamiyah, 1: 258) Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, إذا رأيتم أخاكم قارف ذنباً فلا تكونوا أعواناً للشيطان عليه، تقولوا: اللهم أخزه، اللهم العنه، “Jika kalian melihat saudara kalian melakukan dosa, maka janganlah kalian menjadi pembantu setan untuk melawannya dengan mengatakan, ‘Ya Allah, hinakan dia! Ya Allah, laknatilah dia!‘” ولكن سلوا الله العافية، فإنا أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم كنا نقول في أحد شيئاً حتى نعلم علام يموت؟ فإن ختم له بخير علمنا أن قد أصاب خيراً، وإن ختم بشر خفنا عليه “Akan tetapi, mintalah kepada Allah, keselamatan baginya. Sesungguhnya kami, para sahabat Muhammad ﷺ, tidak pernah berkata apa pun tentang seseorang hingga kami mengetahui bagaimana akhir hidupnya. Jika ia meninggal dengan akhir yang baik, maka kami tahu bahwa ia telah mendapatkan kebaikan. Namun, jika ia meninggal dengan akhir yang buruk, maka kami takut ia berada dalam keburukan.” (Riwayat Thabrani dalam Al-Mujam Al-Kabir no. 8574 dan Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd, 1: 313) Semoga kita tidak tergolong hamba yang menjadi pembantu setan. Semoga Allah ﷻ menjadikan kita hamba yang senantiasa semangat dalam meneladani Nabi ﷺ. Baca juga: Doa untuk Menjaga Tubuh, Pendengaran, dan Penglihatan dari Perbuatan Dosa *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Nabi Sang Penyayang, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, terj. Mohd. Suri Sudahri, S.Pd.I. dan Rony Nugroho, Pustaka Al-Kautsar. Kafarat Orang yang Berhubungan Suami Istri di Siang Ramadhan, Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. https://shamela.ws/book/38218/259

Akhlak Munafik yang Marak di Era Media Sosial – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Di antara penyakit jiwa adalah suka mencari-cari aib kaum Muslimin. Sebagian orang mengidap penyakit ini. Mengidap penyakit suka mencari-cari aib dan mengorek-ngorek kesalahan. Kesibukan terbesarnya adalah mencari-cari aib saudara Muslimnya. Lalu apabila ia menemukannya, ia merasa telah mencapai keberhasilan. Kemudian ia akan berusaha membesar-besarkan aib itu dan menyebarkan keburukan saudara Muslimnya tersebut. Ini bukanlah akhlak orang-orang beriman. Namun justru ini adalah akhlak orang-orang munafik. Karena hanya orang-orang munafiklah yang suka mencari-cari aib orang-orang beriman, menyebarkannya, dan menyakiti mereka dengan mengorek-ngorek aib tersebut. Oleh sebab itu, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda, “Wahai orang yang beriman dengan lisannya dan belum beriman dengan hatinya. Janganlah kalian menggunjing kaum Muslimin dan jangan pula mencari-cari aib mereka. Karena barang siapa yang mencari-cari aib saudaranya, maka Allah akan mencari-cari aibnya. Dan barang siapa yang aibnya dicari-cari oleh Allah, niscaya Allah akan mengungkapkan aibnya meskipun ia di dalam rumahnya.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan sanad yang shahih. Mencari-cari aib kaum Muslimin sangatlah marak di zaman yang kita hidupi sekarang ini. Terlebih-lebih lagi dengan adanya media-media sosial. Kamu dapat temui sebagian orang mengidap penyakit ini. Ia mencari-cari kesalahan saudaranya, meski itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Lalu ia mulai menyebarkan kesalahan itu dan ia berusaha merendahkan saudaranya dengan kesalahan itu. Ini tentu tidak boleh. Ini bukanlah akhlak orang-orang beriman. Justru ketika kamu menemukan kesalahan pada saudara Muslimmu, dan kamu merasa ia perlu dinasihati, maka hendaklah kamu mendatanginya secara pribadi, atau menghubunginya secara pribadi, lalu memberinya nasihat. Adapun orang yang mencari-cari aib saudara-saudara Muslimnya, lalu jika ia menemukan aib atau kesalahan, ia sangat senang dan segera menyebarkannya, maka ini bukanlah akhlak orang-orang beriman, tapi ini termasuk akhlak orang-orang munafik. Oleh sebab itu, balasan akan diberikan sesuai dengan perbuatan. Barang siapa melakukan perbuatan itu, maka Allah akan menghadirkan orang yang mencari-cari aibnya, lalu memperlakukannya seperti ia memperlakukan saudara-saudara Muslimnya. ==== مِنْ أَمْرَاضِ النُّفُوسِ تَتَبُّعُ عَوْرَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ بَعْضُ النَّاسِ مُبْتَلًى بِهَذَا الْمَرَضِ مُبْتَلًى بِتَتَبُّعِ الْعَوْرَاتِ وَالْبَحْثِ عَنِ الزَّلَّاتِ فَشُغْلُهُ الشَّاغِلُ أَنْ يَبْحَثَ عَنْ عَوْرَةٍ لِأَخِيهِ الْمُسْلِمِ فَإِذَا وَجَدَهَا يَرَى أَنَّهُ قَدْ ظَفِرَ بِهَا ثُمَّ يَبْدَأُ فِي النَّفْخِ فِيهَا وَفِي التَّشْهِيْرِ بِأَخِيْهِ الْمُسْلِمِ وَهَذِهِ لَيْسَتْ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِيْنَ بَلْ هَذِهِ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُنَافِقِيْنَ فَإِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ هُمُ الَّذِيْنَ يَتَتَبَّعُونَ عَوْرَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَيُشِيْعُونَهَا وَيُؤْذُونَهُمْ بِتَتَبُّعِ الْعَوْرَاتِ وَلِهَذَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِقَلْبِهِ لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِيْنَ وَلَا تَتَتَبَّعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّ مَنْ يَتَتَبَّعُ عَوْرَةَ أَخِيهِ يَتَتَبَّعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَتَبَّعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي بَيْتِهِ أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ وَتَتَبُّعُ عَوْرَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ شَائِعٌ فِي هَذَا الْعَصْرِ الَّذِي نَعِيشُ فِيهِ خَاصَّةً مَعَ وُجُودِ وَسَائِلِ التَّوَاصُلِ الِاجْتِمَاعِيِّ فَتَجِدُ أَنَّ بَعْضَ النَّاسِ مُبْتَلًى بِهَذَا الْمَرَضِ يَبْحَثُ عَنْ زَلَّةٍ لِأَخِيهِ وَلَوْ مِنْ سِنِيْنَ ثُمَّ يَبْدَأُ وَيُشِيْعُ تِلْكَ الزَّلَّةَ وَيُحَاوِلُ انْتِقَاصَ أَخِيِهِ بِتِلْكَ الزَّلَّةِ وَهَذَا لَا يَجُوزُ هَذَا لَيْسَ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَإِنَّمَا إِذَا وَجَدْتَ زَلَّةً عَلَى أَخِيْكَ الْمُسْلِمِ وَرَأَيْتَ أَنَّهُ مُحْتَاجٌ لِلنُّصْحِ فَيَنْبَغِي أَنْ تَذْهَبَ إِلَيْهِ سِرًّا أَوْ تَتَوَاصَلَ مَعَهُ سِرًّا وَأَنْ تَبْذُلَ لَهُ النُّصْحَ أَمَّا مَنْ يَتَتَبَّعُ عَوْرَاتِ إِخْوَانِهِ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِذَا وَجَدَ عَوْرَةً أَوْ زَلَّةً فَرِحَ بِهَا وَطَارَ بِهَا وَصَارَ يُشِيْعُهَا فَهَذِهِ لَيْسَتْ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِينَ وَإِنَّمَا هَذِهِ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُنَافِقِيْنَ وَلِهَذَا فَإِنَّ الْجَزَاءَ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِك يُسَلِّطُ اللَّهُ عَلَيْهِ مَنْ يَتَتَبَّعُ عَوْرَتَهُ وَيَفْعَلُ بِهِ كَمَا فَعَلَ بِإِخْوَانِهِ الْمُسْلِمِيْنَ

Akhlak Munafik yang Marak di Era Media Sosial – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Di antara penyakit jiwa adalah suka mencari-cari aib kaum Muslimin. Sebagian orang mengidap penyakit ini. Mengidap penyakit suka mencari-cari aib dan mengorek-ngorek kesalahan. Kesibukan terbesarnya adalah mencari-cari aib saudara Muslimnya. Lalu apabila ia menemukannya, ia merasa telah mencapai keberhasilan. Kemudian ia akan berusaha membesar-besarkan aib itu dan menyebarkan keburukan saudara Muslimnya tersebut. Ini bukanlah akhlak orang-orang beriman. Namun justru ini adalah akhlak orang-orang munafik. Karena hanya orang-orang munafiklah yang suka mencari-cari aib orang-orang beriman, menyebarkannya, dan menyakiti mereka dengan mengorek-ngorek aib tersebut. Oleh sebab itu, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda, “Wahai orang yang beriman dengan lisannya dan belum beriman dengan hatinya. Janganlah kalian menggunjing kaum Muslimin dan jangan pula mencari-cari aib mereka. Karena barang siapa yang mencari-cari aib saudaranya, maka Allah akan mencari-cari aibnya. Dan barang siapa yang aibnya dicari-cari oleh Allah, niscaya Allah akan mengungkapkan aibnya meskipun ia di dalam rumahnya.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan sanad yang shahih. Mencari-cari aib kaum Muslimin sangatlah marak di zaman yang kita hidupi sekarang ini. Terlebih-lebih lagi dengan adanya media-media sosial. Kamu dapat temui sebagian orang mengidap penyakit ini. Ia mencari-cari kesalahan saudaranya, meski itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Lalu ia mulai menyebarkan kesalahan itu dan ia berusaha merendahkan saudaranya dengan kesalahan itu. Ini tentu tidak boleh. Ini bukanlah akhlak orang-orang beriman. Justru ketika kamu menemukan kesalahan pada saudara Muslimmu, dan kamu merasa ia perlu dinasihati, maka hendaklah kamu mendatanginya secara pribadi, atau menghubunginya secara pribadi, lalu memberinya nasihat. Adapun orang yang mencari-cari aib saudara-saudara Muslimnya, lalu jika ia menemukan aib atau kesalahan, ia sangat senang dan segera menyebarkannya, maka ini bukanlah akhlak orang-orang beriman, tapi ini termasuk akhlak orang-orang munafik. Oleh sebab itu, balasan akan diberikan sesuai dengan perbuatan. Barang siapa melakukan perbuatan itu, maka Allah akan menghadirkan orang yang mencari-cari aibnya, lalu memperlakukannya seperti ia memperlakukan saudara-saudara Muslimnya. ==== مِنْ أَمْرَاضِ النُّفُوسِ تَتَبُّعُ عَوْرَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ بَعْضُ النَّاسِ مُبْتَلًى بِهَذَا الْمَرَضِ مُبْتَلًى بِتَتَبُّعِ الْعَوْرَاتِ وَالْبَحْثِ عَنِ الزَّلَّاتِ فَشُغْلُهُ الشَّاغِلُ أَنْ يَبْحَثَ عَنْ عَوْرَةٍ لِأَخِيهِ الْمُسْلِمِ فَإِذَا وَجَدَهَا يَرَى أَنَّهُ قَدْ ظَفِرَ بِهَا ثُمَّ يَبْدَأُ فِي النَّفْخِ فِيهَا وَفِي التَّشْهِيْرِ بِأَخِيْهِ الْمُسْلِمِ وَهَذِهِ لَيْسَتْ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِيْنَ بَلْ هَذِهِ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُنَافِقِيْنَ فَإِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ هُمُ الَّذِيْنَ يَتَتَبَّعُونَ عَوْرَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَيُشِيْعُونَهَا وَيُؤْذُونَهُمْ بِتَتَبُّعِ الْعَوْرَاتِ وَلِهَذَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِقَلْبِهِ لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِيْنَ وَلَا تَتَتَبَّعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّ مَنْ يَتَتَبَّعُ عَوْرَةَ أَخِيهِ يَتَتَبَّعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَتَبَّعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي بَيْتِهِ أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ وَتَتَبُّعُ عَوْرَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ شَائِعٌ فِي هَذَا الْعَصْرِ الَّذِي نَعِيشُ فِيهِ خَاصَّةً مَعَ وُجُودِ وَسَائِلِ التَّوَاصُلِ الِاجْتِمَاعِيِّ فَتَجِدُ أَنَّ بَعْضَ النَّاسِ مُبْتَلًى بِهَذَا الْمَرَضِ يَبْحَثُ عَنْ زَلَّةٍ لِأَخِيهِ وَلَوْ مِنْ سِنِيْنَ ثُمَّ يَبْدَأُ وَيُشِيْعُ تِلْكَ الزَّلَّةَ وَيُحَاوِلُ انْتِقَاصَ أَخِيِهِ بِتِلْكَ الزَّلَّةِ وَهَذَا لَا يَجُوزُ هَذَا لَيْسَ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَإِنَّمَا إِذَا وَجَدْتَ زَلَّةً عَلَى أَخِيْكَ الْمُسْلِمِ وَرَأَيْتَ أَنَّهُ مُحْتَاجٌ لِلنُّصْحِ فَيَنْبَغِي أَنْ تَذْهَبَ إِلَيْهِ سِرًّا أَوْ تَتَوَاصَلَ مَعَهُ سِرًّا وَأَنْ تَبْذُلَ لَهُ النُّصْحَ أَمَّا مَنْ يَتَتَبَّعُ عَوْرَاتِ إِخْوَانِهِ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِذَا وَجَدَ عَوْرَةً أَوْ زَلَّةً فَرِحَ بِهَا وَطَارَ بِهَا وَصَارَ يُشِيْعُهَا فَهَذِهِ لَيْسَتْ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِينَ وَإِنَّمَا هَذِهِ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُنَافِقِيْنَ وَلِهَذَا فَإِنَّ الْجَزَاءَ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِك يُسَلِّطُ اللَّهُ عَلَيْهِ مَنْ يَتَتَبَّعُ عَوْرَتَهُ وَيَفْعَلُ بِهِ كَمَا فَعَلَ بِإِخْوَانِهِ الْمُسْلِمِيْنَ
Di antara penyakit jiwa adalah suka mencari-cari aib kaum Muslimin. Sebagian orang mengidap penyakit ini. Mengidap penyakit suka mencari-cari aib dan mengorek-ngorek kesalahan. Kesibukan terbesarnya adalah mencari-cari aib saudara Muslimnya. Lalu apabila ia menemukannya, ia merasa telah mencapai keberhasilan. Kemudian ia akan berusaha membesar-besarkan aib itu dan menyebarkan keburukan saudara Muslimnya tersebut. Ini bukanlah akhlak orang-orang beriman. Namun justru ini adalah akhlak orang-orang munafik. Karena hanya orang-orang munafiklah yang suka mencari-cari aib orang-orang beriman, menyebarkannya, dan menyakiti mereka dengan mengorek-ngorek aib tersebut. Oleh sebab itu, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda, “Wahai orang yang beriman dengan lisannya dan belum beriman dengan hatinya. Janganlah kalian menggunjing kaum Muslimin dan jangan pula mencari-cari aib mereka. Karena barang siapa yang mencari-cari aib saudaranya, maka Allah akan mencari-cari aibnya. Dan barang siapa yang aibnya dicari-cari oleh Allah, niscaya Allah akan mengungkapkan aibnya meskipun ia di dalam rumahnya.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan sanad yang shahih. Mencari-cari aib kaum Muslimin sangatlah marak di zaman yang kita hidupi sekarang ini. Terlebih-lebih lagi dengan adanya media-media sosial. Kamu dapat temui sebagian orang mengidap penyakit ini. Ia mencari-cari kesalahan saudaranya, meski itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Lalu ia mulai menyebarkan kesalahan itu dan ia berusaha merendahkan saudaranya dengan kesalahan itu. Ini tentu tidak boleh. Ini bukanlah akhlak orang-orang beriman. Justru ketika kamu menemukan kesalahan pada saudara Muslimmu, dan kamu merasa ia perlu dinasihati, maka hendaklah kamu mendatanginya secara pribadi, atau menghubunginya secara pribadi, lalu memberinya nasihat. Adapun orang yang mencari-cari aib saudara-saudara Muslimnya, lalu jika ia menemukan aib atau kesalahan, ia sangat senang dan segera menyebarkannya, maka ini bukanlah akhlak orang-orang beriman, tapi ini termasuk akhlak orang-orang munafik. Oleh sebab itu, balasan akan diberikan sesuai dengan perbuatan. Barang siapa melakukan perbuatan itu, maka Allah akan menghadirkan orang yang mencari-cari aibnya, lalu memperlakukannya seperti ia memperlakukan saudara-saudara Muslimnya. ==== مِنْ أَمْرَاضِ النُّفُوسِ تَتَبُّعُ عَوْرَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ بَعْضُ النَّاسِ مُبْتَلًى بِهَذَا الْمَرَضِ مُبْتَلًى بِتَتَبُّعِ الْعَوْرَاتِ وَالْبَحْثِ عَنِ الزَّلَّاتِ فَشُغْلُهُ الشَّاغِلُ أَنْ يَبْحَثَ عَنْ عَوْرَةٍ لِأَخِيهِ الْمُسْلِمِ فَإِذَا وَجَدَهَا يَرَى أَنَّهُ قَدْ ظَفِرَ بِهَا ثُمَّ يَبْدَأُ فِي النَّفْخِ فِيهَا وَفِي التَّشْهِيْرِ بِأَخِيْهِ الْمُسْلِمِ وَهَذِهِ لَيْسَتْ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِيْنَ بَلْ هَذِهِ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُنَافِقِيْنَ فَإِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ هُمُ الَّذِيْنَ يَتَتَبَّعُونَ عَوْرَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَيُشِيْعُونَهَا وَيُؤْذُونَهُمْ بِتَتَبُّعِ الْعَوْرَاتِ وَلِهَذَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِقَلْبِهِ لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِيْنَ وَلَا تَتَتَبَّعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّ مَنْ يَتَتَبَّعُ عَوْرَةَ أَخِيهِ يَتَتَبَّعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَتَبَّعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي بَيْتِهِ أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ وَتَتَبُّعُ عَوْرَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ شَائِعٌ فِي هَذَا الْعَصْرِ الَّذِي نَعِيشُ فِيهِ خَاصَّةً مَعَ وُجُودِ وَسَائِلِ التَّوَاصُلِ الِاجْتِمَاعِيِّ فَتَجِدُ أَنَّ بَعْضَ النَّاسِ مُبْتَلًى بِهَذَا الْمَرَضِ يَبْحَثُ عَنْ زَلَّةٍ لِأَخِيهِ وَلَوْ مِنْ سِنِيْنَ ثُمَّ يَبْدَأُ وَيُشِيْعُ تِلْكَ الزَّلَّةَ وَيُحَاوِلُ انْتِقَاصَ أَخِيِهِ بِتِلْكَ الزَّلَّةِ وَهَذَا لَا يَجُوزُ هَذَا لَيْسَ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَإِنَّمَا إِذَا وَجَدْتَ زَلَّةً عَلَى أَخِيْكَ الْمُسْلِمِ وَرَأَيْتَ أَنَّهُ مُحْتَاجٌ لِلنُّصْحِ فَيَنْبَغِي أَنْ تَذْهَبَ إِلَيْهِ سِرًّا أَوْ تَتَوَاصَلَ مَعَهُ سِرًّا وَأَنْ تَبْذُلَ لَهُ النُّصْحَ أَمَّا مَنْ يَتَتَبَّعُ عَوْرَاتِ إِخْوَانِهِ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِذَا وَجَدَ عَوْرَةً أَوْ زَلَّةً فَرِحَ بِهَا وَطَارَ بِهَا وَصَارَ يُشِيْعُهَا فَهَذِهِ لَيْسَتْ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِينَ وَإِنَّمَا هَذِهِ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُنَافِقِيْنَ وَلِهَذَا فَإِنَّ الْجَزَاءَ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِك يُسَلِّطُ اللَّهُ عَلَيْهِ مَنْ يَتَتَبَّعُ عَوْرَتَهُ وَيَفْعَلُ بِهِ كَمَا فَعَلَ بِإِخْوَانِهِ الْمُسْلِمِيْنَ


Di antara penyakit jiwa adalah suka mencari-cari aib kaum Muslimin. Sebagian orang mengidap penyakit ini. Mengidap penyakit suka mencari-cari aib dan mengorek-ngorek kesalahan. Kesibukan terbesarnya adalah mencari-cari aib saudara Muslimnya. Lalu apabila ia menemukannya, ia merasa telah mencapai keberhasilan. Kemudian ia akan berusaha membesar-besarkan aib itu dan menyebarkan keburukan saudara Muslimnya tersebut. Ini bukanlah akhlak orang-orang beriman. Namun justru ini adalah akhlak orang-orang munafik. Karena hanya orang-orang munafiklah yang suka mencari-cari aib orang-orang beriman, menyebarkannya, dan menyakiti mereka dengan mengorek-ngorek aib tersebut. Oleh sebab itu, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda, “Wahai orang yang beriman dengan lisannya dan belum beriman dengan hatinya. Janganlah kalian menggunjing kaum Muslimin dan jangan pula mencari-cari aib mereka. Karena barang siapa yang mencari-cari aib saudaranya, maka Allah akan mencari-cari aibnya. Dan barang siapa yang aibnya dicari-cari oleh Allah, niscaya Allah akan mengungkapkan aibnya meskipun ia di dalam rumahnya.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan sanad yang shahih. Mencari-cari aib kaum Muslimin sangatlah marak di zaman yang kita hidupi sekarang ini. Terlebih-lebih lagi dengan adanya media-media sosial. Kamu dapat temui sebagian orang mengidap penyakit ini. Ia mencari-cari kesalahan saudaranya, meski itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Lalu ia mulai menyebarkan kesalahan itu dan ia berusaha merendahkan saudaranya dengan kesalahan itu. Ini tentu tidak boleh. Ini bukanlah akhlak orang-orang beriman. Justru ketika kamu menemukan kesalahan pada saudara Muslimmu, dan kamu merasa ia perlu dinasihati, maka hendaklah kamu mendatanginya secara pribadi, atau menghubunginya secara pribadi, lalu memberinya nasihat. Adapun orang yang mencari-cari aib saudara-saudara Muslimnya, lalu jika ia menemukan aib atau kesalahan, ia sangat senang dan segera menyebarkannya, maka ini bukanlah akhlak orang-orang beriman, tapi ini termasuk akhlak orang-orang munafik. Oleh sebab itu, balasan akan diberikan sesuai dengan perbuatan. Barang siapa melakukan perbuatan itu, maka Allah akan menghadirkan orang yang mencari-cari aibnya, lalu memperlakukannya seperti ia memperlakukan saudara-saudara Muslimnya. ==== مِنْ أَمْرَاضِ النُّفُوسِ تَتَبُّعُ عَوْرَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ بَعْضُ النَّاسِ مُبْتَلًى بِهَذَا الْمَرَضِ مُبْتَلًى بِتَتَبُّعِ الْعَوْرَاتِ وَالْبَحْثِ عَنِ الزَّلَّاتِ فَشُغْلُهُ الشَّاغِلُ أَنْ يَبْحَثَ عَنْ عَوْرَةٍ لِأَخِيهِ الْمُسْلِمِ فَإِذَا وَجَدَهَا يَرَى أَنَّهُ قَدْ ظَفِرَ بِهَا ثُمَّ يَبْدَأُ فِي النَّفْخِ فِيهَا وَفِي التَّشْهِيْرِ بِأَخِيْهِ الْمُسْلِمِ وَهَذِهِ لَيْسَتْ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِيْنَ بَلْ هَذِهِ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُنَافِقِيْنَ فَإِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ هُمُ الَّذِيْنَ يَتَتَبَّعُونَ عَوْرَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَيُشِيْعُونَهَا وَيُؤْذُونَهُمْ بِتَتَبُّعِ الْعَوْرَاتِ وَلِهَذَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِقَلْبِهِ لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِيْنَ وَلَا تَتَتَبَّعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّ مَنْ يَتَتَبَّعُ عَوْرَةَ أَخِيهِ يَتَتَبَّعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَتَبَّعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي بَيْتِهِ أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ وَتَتَبُّعُ عَوْرَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ شَائِعٌ فِي هَذَا الْعَصْرِ الَّذِي نَعِيشُ فِيهِ خَاصَّةً مَعَ وُجُودِ وَسَائِلِ التَّوَاصُلِ الِاجْتِمَاعِيِّ فَتَجِدُ أَنَّ بَعْضَ النَّاسِ مُبْتَلًى بِهَذَا الْمَرَضِ يَبْحَثُ عَنْ زَلَّةٍ لِأَخِيهِ وَلَوْ مِنْ سِنِيْنَ ثُمَّ يَبْدَأُ وَيُشِيْعُ تِلْكَ الزَّلَّةَ وَيُحَاوِلُ انْتِقَاصَ أَخِيِهِ بِتِلْكَ الزَّلَّةِ وَهَذَا لَا يَجُوزُ هَذَا لَيْسَ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَإِنَّمَا إِذَا وَجَدْتَ زَلَّةً عَلَى أَخِيْكَ الْمُسْلِمِ وَرَأَيْتَ أَنَّهُ مُحْتَاجٌ لِلنُّصْحِ فَيَنْبَغِي أَنْ تَذْهَبَ إِلَيْهِ سِرًّا أَوْ تَتَوَاصَلَ مَعَهُ سِرًّا وَأَنْ تَبْذُلَ لَهُ النُّصْحَ أَمَّا مَنْ يَتَتَبَّعُ عَوْرَاتِ إِخْوَانِهِ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِذَا وَجَدَ عَوْرَةً أَوْ زَلَّةً فَرِحَ بِهَا وَطَارَ بِهَا وَصَارَ يُشِيْعُهَا فَهَذِهِ لَيْسَتْ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِينَ وَإِنَّمَا هَذِهِ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُنَافِقِيْنَ وَلِهَذَا فَإِنَّ الْجَزَاءَ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِك يُسَلِّطُ اللَّهُ عَلَيْهِ مَنْ يَتَتَبَّعُ عَوْرَتَهُ وَيَفْعَلُ بِهِ كَمَا فَعَلَ بِإِخْوَانِهِ الْمُسْلِمِيْنَ

Petunjuk Nabi dalam Menyikapi Orang yang Berbuat Dosa (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Tidak berlebihan dalam merespons dosaMemberi solusi pada pelaku dosaMemberikan solusi sesuai kemampuan orangMemberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariatMemberikan solusi dengan aksiMudah memberi uzurMudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan imanKemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Dalam kehidupan seorang hamba, berdosa adalah hal yang pasti dilakukan. Hampir tidak mungkin dalam satu hari yang berlalu, seseorang tidak melakukan dosa, baik disengaja maupun tidak. Nabi ﷺ bersabda, كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ “Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, sahih.) Tidak terlepas hal itu pada diri kita sendiri, atau orang di sekitar kita, juga mungkin sesama teman pengajian. Maka, dituntut bagi kita untuk mengetahui bagaimana sikap yang tepat menghadapi orang yang melakukan dosa tersebut. Perlu kita ketahui bahwa orang yang berdosa itu beragam bentuk dan kondisinya. Ada yang memang benar-benar pendosa karena menentang agama. Ada yang karena ketidaktahuannya. Ada pula yang karena tak mampu melawan hawa nafsunya. Semua kondisi ini memiliki penyikapan tersendiri. Salah satu metode Nabi ﷺ dalam menyikapi seseorang yang melakukan dosa adalah memberikan solusi kepada pelakunya. Dalam salah satu hadis dari sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, “Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah ﷺ, tiba-tiba datanglah seseorang sambil berkata, ‘Wahai, Rasulullah, celaka!’ Beliau menjawab, ‘Ada apa denganmu?’ Dia berkata, ‘Aku berhubungan dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.’ Maka, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Apakah kamu mempunyai budak untuk dimerdekakan?’ Dia menjawab, ‘Tidak!’ Lalu, beliau ﷺ bersabda lagi, ‘Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, beliau ﷺ bertanya lagi, ‘Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, Rasulullah diam sebentar. Dalam keadaan seperti ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diberi satu ‘irq berisi kurma (al-‘irq adalah alat takaran), lalu beliau bersabda, ‘Mana orang yang bertanya tadi?’ Dia menjawab, ‘Saya orangnya.’ Beliau bersabda lagi, ‘Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!’ Kemudian orang tersebut berkata, ‘Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku.’ Maka, Rasulullah ﷺ tertawa sampai tampak gigi taringnya, kemudian beliau ﷺ bersabda, ‘Berilah makan keluargamu!’ “ (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111) Dari hadis tersebut, kita bisa mengambil faedah cara menyikapi orang yang melakukan dosa dari Nabi ﷺ. Tidak berlebihan dalam merespons dosa Pertama, perlu diketahui bahwa dosa yang dilakukan oleh orang tersebut bukanlah dosa yang ringan. Menyetubuhi istri ketika berpuasa di bulan Ramadan adalah dosa besar. Hal ini ditunjukkan atas kafarat yang diwajibkan dari dosa tersebut. Karena berpuasa di bulan Ramadan adalah kewajiban kaum muslimin, sehingga membatalkannya secara sengaja dengan jima’ adalah dosa besar yang keluar dari ketaatan. Kedua, meski dosa tersebut begitu fatal, tetapi ketika Nabi ﷺ mendengar pengakuan tersebut, beliau tetap tenang dan tidak menghukumi pelakunya sebagai pendosa yang tak pantas mendapatkan ampunan atau komentar-komentar yang tak layak. Hal ini yang juga terjadi tatkala sahabat Maiz radhiyallahu ‘anhu melaporkan bahwa dirinya berzina. Nabi ﷺ tidak menghukuminya dengan perkataan yang mencela, justru beliau memalingkan dirinya dan seakan tidak mau mendengarkan pengakuan tersebut. Faedah akhlak lainnya dari hadis Nabi ﷺ tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memiliki kecerdasan emosional yang luar biasa. Beliau tidak marah dan berusaha memahami kondisi orang yang melakukan dosa tersebut. Dalam kasus Maiz misalnya, beliau terlebih dahulu memvalidasi apakah Maiz benar-benar berzina atau tidak. Sedangkan pada kisah sahabat yang jima’ di bulan Ramadan, beliau menanyakan terlebih dahulu apa yang terjadi pada sahabat tersebut yang tiba-tiba datang mengucapkan celaka atas dirinya. Jika beliau ﷺ merespons para sahabat dengan respons panik atau emosi, pasti akan berdampak pada psikologis sahabat yang mungkin lebih tertutup atau kehilangan kepercayaan pada sosok Nabi ﷺ. Memberi solusi pada pelaku dosa Ketiga, Nabi ﷺ memberikan solusi atas apa yang telah terjadi. Dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas, setelah mendapatkan informasi tersebut, beliau ﷺ memberikan solusi secara tidak langsung berupa langkah-langkah menunaikan kafarat. Pada pertanyaan pertama beliau menanyakan dari segi kepemilikan harta, yakni apakah orang tersebut memiliki budak. Hal ini menunjukkan urutan dari salah satu jenis harta terbesar, yakni budak. Lalu, jika tidak ada, maka ditanyakan kemampuan pribadi dalam melakukan puasa. Kemudian jika masih tidak mampu, ditawarkan untuk memberikan sebagian harta kepada orang fakir miskin untuk memenuhi makan mereka. Para ulama berselisih, apakah pilihannya harus urut ataukah tidak? Maksudnya, pilihan pertama yaitu membebaskan budak. Bila tidak mampu, maka pilihan kedua, puasa dua bulan berturut-turut. Dan kalau tidak mampu juga, kemudian pilihan ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin, atau bebas memilih satu di antara tiga itu. Pendapat Ibnu Al-Mulaqqin bahwa dalam hadis ini terdapat kewajiban membebaskan budak, kemudian berpuasa, kemudian memberi makan, secara tartib (berurutan), tidak diberi hak memilih salah satunya. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, yang juga didukung oleh Ibn Daqiqil ‘Ied dan Ibnu Hajar dalam rangka kehati-hatian. Memberikan solusi sesuai kemampuan orang Keempat, solusi yang diberikan Nabi ﷺ juga bertingkat sesuai kemampuan orangnya. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ memperhatikan kemampuan dan kadar seseorang dalam memberikan hukuman sebagai jalan keluar dari dosa tersebut. Tindakan ini merupakan cerminan dari kebijaksanaan Nabi ﷺ yang tertuntun oleh wahyu Allah ﷻ. Memberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariat Kelima, Nabi ﷺ berusaha memberikan jalan keluar tanpa menggampangkan atau menyepelekan syariat Islam. Oleh karena itu, Nabi ﷺ menanyakan kemampuan sahabat tersebut dari hal yang paling berat terlebih dahulu, yakni memerdekakan budak, lalu berpuasa, kemudian memberi makan fakir miskin. Dari tawaran kafarat tersebut, dimaklumi bahwasanya pilihan tersebut berurutan dari yang paling berat hingga kepada kafarat yang lebih ringan. Sehingga, tatkala menyikapi seorang pendosa, hendaknya kita memberikan solusi yang terbaik sesuai panduan syariat. Kita juga perlu bijak menyikapi kadar diri sendiri dan jujur mengenai kemampuan kita. Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? Memberikan solusi dengan aksi Keenam, Nabi ﷺ mengusahakan solusi atas seseorang tidak hanya berupa kata-kata, melainkan juga berupa harta. Ketika Nabi ﷺ mendapatkan kurma, beliau memberikannya kepada orang tersebut agar ia dapat menunaikan kafaratnya. Padahal, tidak ada tuntutan bagi Nabi ﷺ sebetulnya untuk mencukupkan harta sahabat tersebut. Namun, dengan sifat rahmat dan bijaksananya Nabi ﷺ, beliau memberikan kurma itu sebagai bentuk kecukupan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Jadi, beliau tidak hanya sekadar berpangku tangan jika tidak mampu menjalankan syariat menunaikan kafarat. Namun, beliau berusaha semaksimal mungkin agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Inilah akhlak Islam, yakni bersemangat untuk memberikan kebaikan kepada orang lain. Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ, فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ “Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim) Abul Khaira rahimahullah berkata, فقلب مملوء إيمانا، فعلامته الشفقة على جميع المسلمين، والاهتمام بما يهمهم، ومعاونتهم على أن يعود صلاحه إليهم “Hati yang dipenuhi iman tandanya adalah sayang terhadap kaum muslimin, perhatian terhadap apa yang menjadi kepentingan mereka, dan membantu mereka agar kebaikannya kembali kepada mereka.” (Tarikh Dimasyqi, 66: 161) Kutipan dari Abul Khaira ini tercermin secara sempurna dari sikap Nabi ﷺ pada sahabat yang melakukan dosa tersebut. Beliau menyikapi sahabat tersebut dengan kasih sayang, serta perhatian atas kepentingan mereka. Sehingga beliau memikirkan dan ikut mengusahakan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Beliau bersemangat dalam membantu agar kebaikan kembali kepada sahabat tersebut, yakni kafarat atas dosanya dapat terpenuhi. Mudah memberi uzur Ketujuh, ketika semua langkah penunaian kafarat itu tidak mampu dilakukan oleh sahabat tersebut, Nabi ﷺ tetap tidak marah. Malah ketika sahabat tersebut menginginkan kurma yang seharusnya diberikan kepada orang fakir miskin, Nabi ﷺ tertawa mendengarkan itu dan membiarkan sahabat tersebut membawanya. Mudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan iman Kedelapan, saat sahabat tersebut bersumpah atas nama Allah ﷻ bahwa diri dan keluarganya yang termiskin di Madinah, Nabi ﷺ langsung mempercayainya. Sehingga Nabi ﷺ tidak pusing-pusing memvalidasi pernyataan tersebut. Dan meskipun sahabat tersebut melakukan dosa yang besar, Nabi ﷺ tidak kehilangan kepercayaan sepenuhnya kepada orang tersebut. Sehingga sumpahnya yang membawa nama yang paling agung langsung dipercayai. Kemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Begitulah keindahan akhlak Nabi ﷺ dalam menyikapi pelaku dosa besar. Ini adalah keteladanan yang wajib kita tempuh dalam kehidupan. Kasih sayang Nabi ﷺ kepada umatnya melahirkan sikap kebijaksanaan dalam menyikapi keadaan tidak ideal. Sungguh para pelaku dosa telah berada dalam keterpurukan, maka janganlah menambah kegelapan dalam jurang kehidupan mereka. Tidak jarang kita temukan teman yang diharapkan dapat memberikan nasihat dan solusi atas perbuatan dosa si pelaku, justru kian menenggelamkan mereka dengan celaan. Sehingga pelaku dosa tersebut itu putus asa dari rahmat Allah ﷻ dan akhirnya terus berenang dalam kubangan dosa karena merasa terlanjur hitam dan tidak dapat diterima lagi tobatnya. Oleh karena itu, benarlah nasihat Syekh Ali bin Bakr As-Saqqaf, الداعية عليه أن يرفق في دعوته، فيشفق على الناس ولا يشق عليهم، ولا ينفرهم من الدين بأسلوبه الغليظ والعنيف “Seorang dai harus bersikap lemah lembut dalam dakwahnya, memiliki rasa kasih sayang kepada manusia, tidak memberatkan mereka, dan tidak menjauhkan mereka dari agama dengan gaya yang kasar dan keras.” فيدعو بالحكمة والموعظة الحسنة، ويتلطف مع العاصي بكلام ليِّن وبرفق ولا يعين الشيطان عليه “Maka, (seorang dai) hendaknya berdakwah dengan hikmah dan pelajaran yang baik, bersikap lembut kepada pelaku maksiat dengan perkataan yang halus dan penuh kelembutan, serta tidak membantu setan dalam menyesatkannya.” (Majmu’ Al-Akhlaq Al-Islamiyah, 1: 258) Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, إذا رأيتم أخاكم قارف ذنباً فلا تكونوا أعواناً للشيطان عليه، تقولوا: اللهم أخزه، اللهم العنه، “Jika kalian melihat saudara kalian melakukan dosa, maka janganlah kalian menjadi pembantu setan untuk melawannya dengan mengatakan, ‘Ya Allah, hinakan dia! Ya Allah, laknatilah dia!‘” ولكن سلوا الله العافية، فإنا أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم كنا نقول في أحد شيئاً حتى نعلم علام يموت؟ فإن ختم له بخير علمنا أن قد أصاب خيراً، وإن ختم بشر خفنا عليه “Akan tetapi, mintalah kepada Allah, keselamatan baginya. Sesungguhnya kami, para sahabat Muhammad ﷺ, tidak pernah berkata apa pun tentang seseorang hingga kami mengetahui bagaimana akhir hidupnya. Jika ia meninggal dengan akhir yang baik, maka kami tahu bahwa ia telah mendapatkan kebaikan. Namun, jika ia meninggal dengan akhir yang buruk, maka kami takut ia berada dalam keburukan.” (Riwayat Thabrani dalam Al-Mujam Al-Kabir no. 8574 dan Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd, 1: 313) Semoga kita tidak tergolong hamba yang menjadi pembantu setan. Semoga Allah ﷻ menjadikan kita hamba yang senantiasa semangat dalam meneladani Nabi ﷺ. [Bersambung] Baca juga: Doa untuk Menjaga Tubuh, Pendengaran, dan Penglihatan dari Perbuatan Dosa *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Nabi Sang Penyayang, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, terj. Mohd. Suri Sudahri, S.Pd.I. dan Rony Nugroho, Pustaka Al-Kautsar. Kafarat Orang yang Berhubungan Suami Istri di Siang Ramadhan, Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. https://shamela.ws/book/38218/259

Petunjuk Nabi dalam Menyikapi Orang yang Berbuat Dosa (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Tidak berlebihan dalam merespons dosaMemberi solusi pada pelaku dosaMemberikan solusi sesuai kemampuan orangMemberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariatMemberikan solusi dengan aksiMudah memberi uzurMudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan imanKemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Dalam kehidupan seorang hamba, berdosa adalah hal yang pasti dilakukan. Hampir tidak mungkin dalam satu hari yang berlalu, seseorang tidak melakukan dosa, baik disengaja maupun tidak. Nabi ﷺ bersabda, كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ “Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, sahih.) Tidak terlepas hal itu pada diri kita sendiri, atau orang di sekitar kita, juga mungkin sesama teman pengajian. Maka, dituntut bagi kita untuk mengetahui bagaimana sikap yang tepat menghadapi orang yang melakukan dosa tersebut. Perlu kita ketahui bahwa orang yang berdosa itu beragam bentuk dan kondisinya. Ada yang memang benar-benar pendosa karena menentang agama. Ada yang karena ketidaktahuannya. Ada pula yang karena tak mampu melawan hawa nafsunya. Semua kondisi ini memiliki penyikapan tersendiri. Salah satu metode Nabi ﷺ dalam menyikapi seseorang yang melakukan dosa adalah memberikan solusi kepada pelakunya. Dalam salah satu hadis dari sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, “Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah ﷺ, tiba-tiba datanglah seseorang sambil berkata, ‘Wahai, Rasulullah, celaka!’ Beliau menjawab, ‘Ada apa denganmu?’ Dia berkata, ‘Aku berhubungan dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.’ Maka, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Apakah kamu mempunyai budak untuk dimerdekakan?’ Dia menjawab, ‘Tidak!’ Lalu, beliau ﷺ bersabda lagi, ‘Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, beliau ﷺ bertanya lagi, ‘Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, Rasulullah diam sebentar. Dalam keadaan seperti ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diberi satu ‘irq berisi kurma (al-‘irq adalah alat takaran), lalu beliau bersabda, ‘Mana orang yang bertanya tadi?’ Dia menjawab, ‘Saya orangnya.’ Beliau bersabda lagi, ‘Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!’ Kemudian orang tersebut berkata, ‘Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku.’ Maka, Rasulullah ﷺ tertawa sampai tampak gigi taringnya, kemudian beliau ﷺ bersabda, ‘Berilah makan keluargamu!’ “ (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111) Dari hadis tersebut, kita bisa mengambil faedah cara menyikapi orang yang melakukan dosa dari Nabi ﷺ. Tidak berlebihan dalam merespons dosa Pertama, perlu diketahui bahwa dosa yang dilakukan oleh orang tersebut bukanlah dosa yang ringan. Menyetubuhi istri ketika berpuasa di bulan Ramadan adalah dosa besar. Hal ini ditunjukkan atas kafarat yang diwajibkan dari dosa tersebut. Karena berpuasa di bulan Ramadan adalah kewajiban kaum muslimin, sehingga membatalkannya secara sengaja dengan jima’ adalah dosa besar yang keluar dari ketaatan. Kedua, meski dosa tersebut begitu fatal, tetapi ketika Nabi ﷺ mendengar pengakuan tersebut, beliau tetap tenang dan tidak menghukumi pelakunya sebagai pendosa yang tak pantas mendapatkan ampunan atau komentar-komentar yang tak layak. Hal ini yang juga terjadi tatkala sahabat Maiz radhiyallahu ‘anhu melaporkan bahwa dirinya berzina. Nabi ﷺ tidak menghukuminya dengan perkataan yang mencela, justru beliau memalingkan dirinya dan seakan tidak mau mendengarkan pengakuan tersebut. Faedah akhlak lainnya dari hadis Nabi ﷺ tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memiliki kecerdasan emosional yang luar biasa. Beliau tidak marah dan berusaha memahami kondisi orang yang melakukan dosa tersebut. Dalam kasus Maiz misalnya, beliau terlebih dahulu memvalidasi apakah Maiz benar-benar berzina atau tidak. Sedangkan pada kisah sahabat yang jima’ di bulan Ramadan, beliau menanyakan terlebih dahulu apa yang terjadi pada sahabat tersebut yang tiba-tiba datang mengucapkan celaka atas dirinya. Jika beliau ﷺ merespons para sahabat dengan respons panik atau emosi, pasti akan berdampak pada psikologis sahabat yang mungkin lebih tertutup atau kehilangan kepercayaan pada sosok Nabi ﷺ. Memberi solusi pada pelaku dosa Ketiga, Nabi ﷺ memberikan solusi atas apa yang telah terjadi. Dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas, setelah mendapatkan informasi tersebut, beliau ﷺ memberikan solusi secara tidak langsung berupa langkah-langkah menunaikan kafarat. Pada pertanyaan pertama beliau menanyakan dari segi kepemilikan harta, yakni apakah orang tersebut memiliki budak. Hal ini menunjukkan urutan dari salah satu jenis harta terbesar, yakni budak. Lalu, jika tidak ada, maka ditanyakan kemampuan pribadi dalam melakukan puasa. Kemudian jika masih tidak mampu, ditawarkan untuk memberikan sebagian harta kepada orang fakir miskin untuk memenuhi makan mereka. Para ulama berselisih, apakah pilihannya harus urut ataukah tidak? Maksudnya, pilihan pertama yaitu membebaskan budak. Bila tidak mampu, maka pilihan kedua, puasa dua bulan berturut-turut. Dan kalau tidak mampu juga, kemudian pilihan ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin, atau bebas memilih satu di antara tiga itu. Pendapat Ibnu Al-Mulaqqin bahwa dalam hadis ini terdapat kewajiban membebaskan budak, kemudian berpuasa, kemudian memberi makan, secara tartib (berurutan), tidak diberi hak memilih salah satunya. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, yang juga didukung oleh Ibn Daqiqil ‘Ied dan Ibnu Hajar dalam rangka kehati-hatian. Memberikan solusi sesuai kemampuan orang Keempat, solusi yang diberikan Nabi ﷺ juga bertingkat sesuai kemampuan orangnya. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ memperhatikan kemampuan dan kadar seseorang dalam memberikan hukuman sebagai jalan keluar dari dosa tersebut. Tindakan ini merupakan cerminan dari kebijaksanaan Nabi ﷺ yang tertuntun oleh wahyu Allah ﷻ. Memberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariat Kelima, Nabi ﷺ berusaha memberikan jalan keluar tanpa menggampangkan atau menyepelekan syariat Islam. Oleh karena itu, Nabi ﷺ menanyakan kemampuan sahabat tersebut dari hal yang paling berat terlebih dahulu, yakni memerdekakan budak, lalu berpuasa, kemudian memberi makan fakir miskin. Dari tawaran kafarat tersebut, dimaklumi bahwasanya pilihan tersebut berurutan dari yang paling berat hingga kepada kafarat yang lebih ringan. Sehingga, tatkala menyikapi seorang pendosa, hendaknya kita memberikan solusi yang terbaik sesuai panduan syariat. Kita juga perlu bijak menyikapi kadar diri sendiri dan jujur mengenai kemampuan kita. Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? Memberikan solusi dengan aksi Keenam, Nabi ﷺ mengusahakan solusi atas seseorang tidak hanya berupa kata-kata, melainkan juga berupa harta. Ketika Nabi ﷺ mendapatkan kurma, beliau memberikannya kepada orang tersebut agar ia dapat menunaikan kafaratnya. Padahal, tidak ada tuntutan bagi Nabi ﷺ sebetulnya untuk mencukupkan harta sahabat tersebut. Namun, dengan sifat rahmat dan bijaksananya Nabi ﷺ, beliau memberikan kurma itu sebagai bentuk kecukupan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Jadi, beliau tidak hanya sekadar berpangku tangan jika tidak mampu menjalankan syariat menunaikan kafarat. Namun, beliau berusaha semaksimal mungkin agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Inilah akhlak Islam, yakni bersemangat untuk memberikan kebaikan kepada orang lain. Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ, فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ “Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim) Abul Khaira rahimahullah berkata, فقلب مملوء إيمانا، فعلامته الشفقة على جميع المسلمين، والاهتمام بما يهمهم، ومعاونتهم على أن يعود صلاحه إليهم “Hati yang dipenuhi iman tandanya adalah sayang terhadap kaum muslimin, perhatian terhadap apa yang menjadi kepentingan mereka, dan membantu mereka agar kebaikannya kembali kepada mereka.” (Tarikh Dimasyqi, 66: 161) Kutipan dari Abul Khaira ini tercermin secara sempurna dari sikap Nabi ﷺ pada sahabat yang melakukan dosa tersebut. Beliau menyikapi sahabat tersebut dengan kasih sayang, serta perhatian atas kepentingan mereka. Sehingga beliau memikirkan dan ikut mengusahakan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Beliau bersemangat dalam membantu agar kebaikan kembali kepada sahabat tersebut, yakni kafarat atas dosanya dapat terpenuhi. Mudah memberi uzur Ketujuh, ketika semua langkah penunaian kafarat itu tidak mampu dilakukan oleh sahabat tersebut, Nabi ﷺ tetap tidak marah. Malah ketika sahabat tersebut menginginkan kurma yang seharusnya diberikan kepada orang fakir miskin, Nabi ﷺ tertawa mendengarkan itu dan membiarkan sahabat tersebut membawanya. Mudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan iman Kedelapan, saat sahabat tersebut bersumpah atas nama Allah ﷻ bahwa diri dan keluarganya yang termiskin di Madinah, Nabi ﷺ langsung mempercayainya. Sehingga Nabi ﷺ tidak pusing-pusing memvalidasi pernyataan tersebut. Dan meskipun sahabat tersebut melakukan dosa yang besar, Nabi ﷺ tidak kehilangan kepercayaan sepenuhnya kepada orang tersebut. Sehingga sumpahnya yang membawa nama yang paling agung langsung dipercayai. Kemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Begitulah keindahan akhlak Nabi ﷺ dalam menyikapi pelaku dosa besar. Ini adalah keteladanan yang wajib kita tempuh dalam kehidupan. Kasih sayang Nabi ﷺ kepada umatnya melahirkan sikap kebijaksanaan dalam menyikapi keadaan tidak ideal. Sungguh para pelaku dosa telah berada dalam keterpurukan, maka janganlah menambah kegelapan dalam jurang kehidupan mereka. Tidak jarang kita temukan teman yang diharapkan dapat memberikan nasihat dan solusi atas perbuatan dosa si pelaku, justru kian menenggelamkan mereka dengan celaan. Sehingga pelaku dosa tersebut itu putus asa dari rahmat Allah ﷻ dan akhirnya terus berenang dalam kubangan dosa karena merasa terlanjur hitam dan tidak dapat diterima lagi tobatnya. Oleh karena itu, benarlah nasihat Syekh Ali bin Bakr As-Saqqaf, الداعية عليه أن يرفق في دعوته، فيشفق على الناس ولا يشق عليهم، ولا ينفرهم من الدين بأسلوبه الغليظ والعنيف “Seorang dai harus bersikap lemah lembut dalam dakwahnya, memiliki rasa kasih sayang kepada manusia, tidak memberatkan mereka, dan tidak menjauhkan mereka dari agama dengan gaya yang kasar dan keras.” فيدعو بالحكمة والموعظة الحسنة، ويتلطف مع العاصي بكلام ليِّن وبرفق ولا يعين الشيطان عليه “Maka, (seorang dai) hendaknya berdakwah dengan hikmah dan pelajaran yang baik, bersikap lembut kepada pelaku maksiat dengan perkataan yang halus dan penuh kelembutan, serta tidak membantu setan dalam menyesatkannya.” (Majmu’ Al-Akhlaq Al-Islamiyah, 1: 258) Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, إذا رأيتم أخاكم قارف ذنباً فلا تكونوا أعواناً للشيطان عليه، تقولوا: اللهم أخزه، اللهم العنه، “Jika kalian melihat saudara kalian melakukan dosa, maka janganlah kalian menjadi pembantu setan untuk melawannya dengan mengatakan, ‘Ya Allah, hinakan dia! Ya Allah, laknatilah dia!‘” ولكن سلوا الله العافية، فإنا أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم كنا نقول في أحد شيئاً حتى نعلم علام يموت؟ فإن ختم له بخير علمنا أن قد أصاب خيراً، وإن ختم بشر خفنا عليه “Akan tetapi, mintalah kepada Allah, keselamatan baginya. Sesungguhnya kami, para sahabat Muhammad ﷺ, tidak pernah berkata apa pun tentang seseorang hingga kami mengetahui bagaimana akhir hidupnya. Jika ia meninggal dengan akhir yang baik, maka kami tahu bahwa ia telah mendapatkan kebaikan. Namun, jika ia meninggal dengan akhir yang buruk, maka kami takut ia berada dalam keburukan.” (Riwayat Thabrani dalam Al-Mujam Al-Kabir no. 8574 dan Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd, 1: 313) Semoga kita tidak tergolong hamba yang menjadi pembantu setan. Semoga Allah ﷻ menjadikan kita hamba yang senantiasa semangat dalam meneladani Nabi ﷺ. [Bersambung] Baca juga: Doa untuk Menjaga Tubuh, Pendengaran, dan Penglihatan dari Perbuatan Dosa *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Nabi Sang Penyayang, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, terj. Mohd. Suri Sudahri, S.Pd.I. dan Rony Nugroho, Pustaka Al-Kautsar. Kafarat Orang yang Berhubungan Suami Istri di Siang Ramadhan, Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. https://shamela.ws/book/38218/259
Daftar Isi Toggle Tidak berlebihan dalam merespons dosaMemberi solusi pada pelaku dosaMemberikan solusi sesuai kemampuan orangMemberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariatMemberikan solusi dengan aksiMudah memberi uzurMudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan imanKemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Dalam kehidupan seorang hamba, berdosa adalah hal yang pasti dilakukan. Hampir tidak mungkin dalam satu hari yang berlalu, seseorang tidak melakukan dosa, baik disengaja maupun tidak. Nabi ﷺ bersabda, كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ “Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, sahih.) Tidak terlepas hal itu pada diri kita sendiri, atau orang di sekitar kita, juga mungkin sesama teman pengajian. Maka, dituntut bagi kita untuk mengetahui bagaimana sikap yang tepat menghadapi orang yang melakukan dosa tersebut. Perlu kita ketahui bahwa orang yang berdosa itu beragam bentuk dan kondisinya. Ada yang memang benar-benar pendosa karena menentang agama. Ada yang karena ketidaktahuannya. Ada pula yang karena tak mampu melawan hawa nafsunya. Semua kondisi ini memiliki penyikapan tersendiri. Salah satu metode Nabi ﷺ dalam menyikapi seseorang yang melakukan dosa adalah memberikan solusi kepada pelakunya. Dalam salah satu hadis dari sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, “Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah ﷺ, tiba-tiba datanglah seseorang sambil berkata, ‘Wahai, Rasulullah, celaka!’ Beliau menjawab, ‘Ada apa denganmu?’ Dia berkata, ‘Aku berhubungan dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.’ Maka, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Apakah kamu mempunyai budak untuk dimerdekakan?’ Dia menjawab, ‘Tidak!’ Lalu, beliau ﷺ bersabda lagi, ‘Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, beliau ﷺ bertanya lagi, ‘Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, Rasulullah diam sebentar. Dalam keadaan seperti ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diberi satu ‘irq berisi kurma (al-‘irq adalah alat takaran), lalu beliau bersabda, ‘Mana orang yang bertanya tadi?’ Dia menjawab, ‘Saya orangnya.’ Beliau bersabda lagi, ‘Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!’ Kemudian orang tersebut berkata, ‘Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku.’ Maka, Rasulullah ﷺ tertawa sampai tampak gigi taringnya, kemudian beliau ﷺ bersabda, ‘Berilah makan keluargamu!’ “ (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111) Dari hadis tersebut, kita bisa mengambil faedah cara menyikapi orang yang melakukan dosa dari Nabi ﷺ. Tidak berlebihan dalam merespons dosa Pertama, perlu diketahui bahwa dosa yang dilakukan oleh orang tersebut bukanlah dosa yang ringan. Menyetubuhi istri ketika berpuasa di bulan Ramadan adalah dosa besar. Hal ini ditunjukkan atas kafarat yang diwajibkan dari dosa tersebut. Karena berpuasa di bulan Ramadan adalah kewajiban kaum muslimin, sehingga membatalkannya secara sengaja dengan jima’ adalah dosa besar yang keluar dari ketaatan. Kedua, meski dosa tersebut begitu fatal, tetapi ketika Nabi ﷺ mendengar pengakuan tersebut, beliau tetap tenang dan tidak menghukumi pelakunya sebagai pendosa yang tak pantas mendapatkan ampunan atau komentar-komentar yang tak layak. Hal ini yang juga terjadi tatkala sahabat Maiz radhiyallahu ‘anhu melaporkan bahwa dirinya berzina. Nabi ﷺ tidak menghukuminya dengan perkataan yang mencela, justru beliau memalingkan dirinya dan seakan tidak mau mendengarkan pengakuan tersebut. Faedah akhlak lainnya dari hadis Nabi ﷺ tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memiliki kecerdasan emosional yang luar biasa. Beliau tidak marah dan berusaha memahami kondisi orang yang melakukan dosa tersebut. Dalam kasus Maiz misalnya, beliau terlebih dahulu memvalidasi apakah Maiz benar-benar berzina atau tidak. Sedangkan pada kisah sahabat yang jima’ di bulan Ramadan, beliau menanyakan terlebih dahulu apa yang terjadi pada sahabat tersebut yang tiba-tiba datang mengucapkan celaka atas dirinya. Jika beliau ﷺ merespons para sahabat dengan respons panik atau emosi, pasti akan berdampak pada psikologis sahabat yang mungkin lebih tertutup atau kehilangan kepercayaan pada sosok Nabi ﷺ. Memberi solusi pada pelaku dosa Ketiga, Nabi ﷺ memberikan solusi atas apa yang telah terjadi. Dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas, setelah mendapatkan informasi tersebut, beliau ﷺ memberikan solusi secara tidak langsung berupa langkah-langkah menunaikan kafarat. Pada pertanyaan pertama beliau menanyakan dari segi kepemilikan harta, yakni apakah orang tersebut memiliki budak. Hal ini menunjukkan urutan dari salah satu jenis harta terbesar, yakni budak. Lalu, jika tidak ada, maka ditanyakan kemampuan pribadi dalam melakukan puasa. Kemudian jika masih tidak mampu, ditawarkan untuk memberikan sebagian harta kepada orang fakir miskin untuk memenuhi makan mereka. Para ulama berselisih, apakah pilihannya harus urut ataukah tidak? Maksudnya, pilihan pertama yaitu membebaskan budak. Bila tidak mampu, maka pilihan kedua, puasa dua bulan berturut-turut. Dan kalau tidak mampu juga, kemudian pilihan ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin, atau bebas memilih satu di antara tiga itu. Pendapat Ibnu Al-Mulaqqin bahwa dalam hadis ini terdapat kewajiban membebaskan budak, kemudian berpuasa, kemudian memberi makan, secara tartib (berurutan), tidak diberi hak memilih salah satunya. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, yang juga didukung oleh Ibn Daqiqil ‘Ied dan Ibnu Hajar dalam rangka kehati-hatian. Memberikan solusi sesuai kemampuan orang Keempat, solusi yang diberikan Nabi ﷺ juga bertingkat sesuai kemampuan orangnya. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ memperhatikan kemampuan dan kadar seseorang dalam memberikan hukuman sebagai jalan keluar dari dosa tersebut. Tindakan ini merupakan cerminan dari kebijaksanaan Nabi ﷺ yang tertuntun oleh wahyu Allah ﷻ. Memberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariat Kelima, Nabi ﷺ berusaha memberikan jalan keluar tanpa menggampangkan atau menyepelekan syariat Islam. Oleh karena itu, Nabi ﷺ menanyakan kemampuan sahabat tersebut dari hal yang paling berat terlebih dahulu, yakni memerdekakan budak, lalu berpuasa, kemudian memberi makan fakir miskin. Dari tawaran kafarat tersebut, dimaklumi bahwasanya pilihan tersebut berurutan dari yang paling berat hingga kepada kafarat yang lebih ringan. Sehingga, tatkala menyikapi seorang pendosa, hendaknya kita memberikan solusi yang terbaik sesuai panduan syariat. Kita juga perlu bijak menyikapi kadar diri sendiri dan jujur mengenai kemampuan kita. Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? Memberikan solusi dengan aksi Keenam, Nabi ﷺ mengusahakan solusi atas seseorang tidak hanya berupa kata-kata, melainkan juga berupa harta. Ketika Nabi ﷺ mendapatkan kurma, beliau memberikannya kepada orang tersebut agar ia dapat menunaikan kafaratnya. Padahal, tidak ada tuntutan bagi Nabi ﷺ sebetulnya untuk mencukupkan harta sahabat tersebut. Namun, dengan sifat rahmat dan bijaksananya Nabi ﷺ, beliau memberikan kurma itu sebagai bentuk kecukupan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Jadi, beliau tidak hanya sekadar berpangku tangan jika tidak mampu menjalankan syariat menunaikan kafarat. Namun, beliau berusaha semaksimal mungkin agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Inilah akhlak Islam, yakni bersemangat untuk memberikan kebaikan kepada orang lain. Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ, فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ “Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim) Abul Khaira rahimahullah berkata, فقلب مملوء إيمانا، فعلامته الشفقة على جميع المسلمين، والاهتمام بما يهمهم، ومعاونتهم على أن يعود صلاحه إليهم “Hati yang dipenuhi iman tandanya adalah sayang terhadap kaum muslimin, perhatian terhadap apa yang menjadi kepentingan mereka, dan membantu mereka agar kebaikannya kembali kepada mereka.” (Tarikh Dimasyqi, 66: 161) Kutipan dari Abul Khaira ini tercermin secara sempurna dari sikap Nabi ﷺ pada sahabat yang melakukan dosa tersebut. Beliau menyikapi sahabat tersebut dengan kasih sayang, serta perhatian atas kepentingan mereka. Sehingga beliau memikirkan dan ikut mengusahakan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Beliau bersemangat dalam membantu agar kebaikan kembali kepada sahabat tersebut, yakni kafarat atas dosanya dapat terpenuhi. Mudah memberi uzur Ketujuh, ketika semua langkah penunaian kafarat itu tidak mampu dilakukan oleh sahabat tersebut, Nabi ﷺ tetap tidak marah. Malah ketika sahabat tersebut menginginkan kurma yang seharusnya diberikan kepada orang fakir miskin, Nabi ﷺ tertawa mendengarkan itu dan membiarkan sahabat tersebut membawanya. Mudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan iman Kedelapan, saat sahabat tersebut bersumpah atas nama Allah ﷻ bahwa diri dan keluarganya yang termiskin di Madinah, Nabi ﷺ langsung mempercayainya. Sehingga Nabi ﷺ tidak pusing-pusing memvalidasi pernyataan tersebut. Dan meskipun sahabat tersebut melakukan dosa yang besar, Nabi ﷺ tidak kehilangan kepercayaan sepenuhnya kepada orang tersebut. Sehingga sumpahnya yang membawa nama yang paling agung langsung dipercayai. Kemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Begitulah keindahan akhlak Nabi ﷺ dalam menyikapi pelaku dosa besar. Ini adalah keteladanan yang wajib kita tempuh dalam kehidupan. Kasih sayang Nabi ﷺ kepada umatnya melahirkan sikap kebijaksanaan dalam menyikapi keadaan tidak ideal. Sungguh para pelaku dosa telah berada dalam keterpurukan, maka janganlah menambah kegelapan dalam jurang kehidupan mereka. Tidak jarang kita temukan teman yang diharapkan dapat memberikan nasihat dan solusi atas perbuatan dosa si pelaku, justru kian menenggelamkan mereka dengan celaan. Sehingga pelaku dosa tersebut itu putus asa dari rahmat Allah ﷻ dan akhirnya terus berenang dalam kubangan dosa karena merasa terlanjur hitam dan tidak dapat diterima lagi tobatnya. Oleh karena itu, benarlah nasihat Syekh Ali bin Bakr As-Saqqaf, الداعية عليه أن يرفق في دعوته، فيشفق على الناس ولا يشق عليهم، ولا ينفرهم من الدين بأسلوبه الغليظ والعنيف “Seorang dai harus bersikap lemah lembut dalam dakwahnya, memiliki rasa kasih sayang kepada manusia, tidak memberatkan mereka, dan tidak menjauhkan mereka dari agama dengan gaya yang kasar dan keras.” فيدعو بالحكمة والموعظة الحسنة، ويتلطف مع العاصي بكلام ليِّن وبرفق ولا يعين الشيطان عليه “Maka, (seorang dai) hendaknya berdakwah dengan hikmah dan pelajaran yang baik, bersikap lembut kepada pelaku maksiat dengan perkataan yang halus dan penuh kelembutan, serta tidak membantu setan dalam menyesatkannya.” (Majmu’ Al-Akhlaq Al-Islamiyah, 1: 258) Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, إذا رأيتم أخاكم قارف ذنباً فلا تكونوا أعواناً للشيطان عليه، تقولوا: اللهم أخزه، اللهم العنه، “Jika kalian melihat saudara kalian melakukan dosa, maka janganlah kalian menjadi pembantu setan untuk melawannya dengan mengatakan, ‘Ya Allah, hinakan dia! Ya Allah, laknatilah dia!‘” ولكن سلوا الله العافية، فإنا أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم كنا نقول في أحد شيئاً حتى نعلم علام يموت؟ فإن ختم له بخير علمنا أن قد أصاب خيراً، وإن ختم بشر خفنا عليه “Akan tetapi, mintalah kepada Allah, keselamatan baginya. Sesungguhnya kami, para sahabat Muhammad ﷺ, tidak pernah berkata apa pun tentang seseorang hingga kami mengetahui bagaimana akhir hidupnya. Jika ia meninggal dengan akhir yang baik, maka kami tahu bahwa ia telah mendapatkan kebaikan. Namun, jika ia meninggal dengan akhir yang buruk, maka kami takut ia berada dalam keburukan.” (Riwayat Thabrani dalam Al-Mujam Al-Kabir no. 8574 dan Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd, 1: 313) Semoga kita tidak tergolong hamba yang menjadi pembantu setan. Semoga Allah ﷻ menjadikan kita hamba yang senantiasa semangat dalam meneladani Nabi ﷺ. [Bersambung] Baca juga: Doa untuk Menjaga Tubuh, Pendengaran, dan Penglihatan dari Perbuatan Dosa *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Nabi Sang Penyayang, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, terj. Mohd. Suri Sudahri, S.Pd.I. dan Rony Nugroho, Pustaka Al-Kautsar. Kafarat Orang yang Berhubungan Suami Istri di Siang Ramadhan, Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. https://shamela.ws/book/38218/259


Daftar Isi Toggle Tidak berlebihan dalam merespons dosaMemberi solusi pada pelaku dosaMemberikan solusi sesuai kemampuan orangMemberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariatMemberikan solusi dengan aksiMudah memberi uzurMudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan imanKemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Dalam kehidupan seorang hamba, berdosa adalah hal yang pasti dilakukan. Hampir tidak mungkin dalam satu hari yang berlalu, seseorang tidak melakukan dosa, baik disengaja maupun tidak. Nabi ﷺ bersabda, كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ “Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, sahih.) Tidak terlepas hal itu pada diri kita sendiri, atau orang di sekitar kita, juga mungkin sesama teman pengajian. Maka, dituntut bagi kita untuk mengetahui bagaimana sikap yang tepat menghadapi orang yang melakukan dosa tersebut. Perlu kita ketahui bahwa orang yang berdosa itu beragam bentuk dan kondisinya. Ada yang memang benar-benar pendosa karena menentang agama. Ada yang karena ketidaktahuannya. Ada pula yang karena tak mampu melawan hawa nafsunya. Semua kondisi ini memiliki penyikapan tersendiri. Salah satu metode Nabi ﷺ dalam menyikapi seseorang yang melakukan dosa adalah memberikan solusi kepada pelakunya. Dalam salah satu hadis dari sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, “Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah ﷺ, tiba-tiba datanglah seseorang sambil berkata, ‘Wahai, Rasulullah, celaka!’ Beliau menjawab, ‘Ada apa denganmu?’ Dia berkata, ‘Aku berhubungan dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.’ Maka, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Apakah kamu mempunyai budak untuk dimerdekakan?’ Dia menjawab, ‘Tidak!’ Lalu, beliau ﷺ bersabda lagi, ‘Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, beliau ﷺ bertanya lagi, ‘Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, Rasulullah diam sebentar. Dalam keadaan seperti ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diberi satu ‘irq berisi kurma (al-‘irq adalah alat takaran), lalu beliau bersabda, ‘Mana orang yang bertanya tadi?’ Dia menjawab, ‘Saya orangnya.’ Beliau bersabda lagi, ‘Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!’ Kemudian orang tersebut berkata, ‘Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku.’ Maka, Rasulullah ﷺ tertawa sampai tampak gigi taringnya, kemudian beliau ﷺ bersabda, ‘Berilah makan keluargamu!’ “ (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111) Dari hadis tersebut, kita bisa mengambil faedah cara menyikapi orang yang melakukan dosa dari Nabi ﷺ. Tidak berlebihan dalam merespons dosa Pertama, perlu diketahui bahwa dosa yang dilakukan oleh orang tersebut bukanlah dosa yang ringan. Menyetubuhi istri ketika berpuasa di bulan Ramadan adalah dosa besar. Hal ini ditunjukkan atas kafarat yang diwajibkan dari dosa tersebut. Karena berpuasa di bulan Ramadan adalah kewajiban kaum muslimin, sehingga membatalkannya secara sengaja dengan jima’ adalah dosa besar yang keluar dari ketaatan. Kedua, meski dosa tersebut begitu fatal, tetapi ketika Nabi ﷺ mendengar pengakuan tersebut, beliau tetap tenang dan tidak menghukumi pelakunya sebagai pendosa yang tak pantas mendapatkan ampunan atau komentar-komentar yang tak layak. Hal ini yang juga terjadi tatkala sahabat Maiz radhiyallahu ‘anhu melaporkan bahwa dirinya berzina. Nabi ﷺ tidak menghukuminya dengan perkataan yang mencela, justru beliau memalingkan dirinya dan seakan tidak mau mendengarkan pengakuan tersebut. Faedah akhlak lainnya dari hadis Nabi ﷺ tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memiliki kecerdasan emosional yang luar biasa. Beliau tidak marah dan berusaha memahami kondisi orang yang melakukan dosa tersebut. Dalam kasus Maiz misalnya, beliau terlebih dahulu memvalidasi apakah Maiz benar-benar berzina atau tidak. Sedangkan pada kisah sahabat yang jima’ di bulan Ramadan, beliau menanyakan terlebih dahulu apa yang terjadi pada sahabat tersebut yang tiba-tiba datang mengucapkan celaka atas dirinya. Jika beliau ﷺ merespons para sahabat dengan respons panik atau emosi, pasti akan berdampak pada psikologis sahabat yang mungkin lebih tertutup atau kehilangan kepercayaan pada sosok Nabi ﷺ. Memberi solusi pada pelaku dosa Ketiga, Nabi ﷺ memberikan solusi atas apa yang telah terjadi. Dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas, setelah mendapatkan informasi tersebut, beliau ﷺ memberikan solusi secara tidak langsung berupa langkah-langkah menunaikan kafarat. Pada pertanyaan pertama beliau menanyakan dari segi kepemilikan harta, yakni apakah orang tersebut memiliki budak. Hal ini menunjukkan urutan dari salah satu jenis harta terbesar, yakni budak. Lalu, jika tidak ada, maka ditanyakan kemampuan pribadi dalam melakukan puasa. Kemudian jika masih tidak mampu, ditawarkan untuk memberikan sebagian harta kepada orang fakir miskin untuk memenuhi makan mereka. Para ulama berselisih, apakah pilihannya harus urut ataukah tidak? Maksudnya, pilihan pertama yaitu membebaskan budak. Bila tidak mampu, maka pilihan kedua, puasa dua bulan berturut-turut. Dan kalau tidak mampu juga, kemudian pilihan ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin, atau bebas memilih satu di antara tiga itu. Pendapat Ibnu Al-Mulaqqin bahwa dalam hadis ini terdapat kewajiban membebaskan budak, kemudian berpuasa, kemudian memberi makan, secara tartib (berurutan), tidak diberi hak memilih salah satunya. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, yang juga didukung oleh Ibn Daqiqil ‘Ied dan Ibnu Hajar dalam rangka kehati-hatian. Memberikan solusi sesuai kemampuan orang Keempat, solusi yang diberikan Nabi ﷺ juga bertingkat sesuai kemampuan orangnya. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ memperhatikan kemampuan dan kadar seseorang dalam memberikan hukuman sebagai jalan keluar dari dosa tersebut. Tindakan ini merupakan cerminan dari kebijaksanaan Nabi ﷺ yang tertuntun oleh wahyu Allah ﷻ. Memberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariat Kelima, Nabi ﷺ berusaha memberikan jalan keluar tanpa menggampangkan atau menyepelekan syariat Islam. Oleh karena itu, Nabi ﷺ menanyakan kemampuan sahabat tersebut dari hal yang paling berat terlebih dahulu, yakni memerdekakan budak, lalu berpuasa, kemudian memberi makan fakir miskin. Dari tawaran kafarat tersebut, dimaklumi bahwasanya pilihan tersebut berurutan dari yang paling berat hingga kepada kafarat yang lebih ringan. Sehingga, tatkala menyikapi seorang pendosa, hendaknya kita memberikan solusi yang terbaik sesuai panduan syariat. Kita juga perlu bijak menyikapi kadar diri sendiri dan jujur mengenai kemampuan kita. Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? Memberikan solusi dengan aksi Keenam, Nabi ﷺ mengusahakan solusi atas seseorang tidak hanya berupa kata-kata, melainkan juga berupa harta. Ketika Nabi ﷺ mendapatkan kurma, beliau memberikannya kepada orang tersebut agar ia dapat menunaikan kafaratnya. Padahal, tidak ada tuntutan bagi Nabi ﷺ sebetulnya untuk mencukupkan harta sahabat tersebut. Namun, dengan sifat rahmat dan bijaksananya Nabi ﷺ, beliau memberikan kurma itu sebagai bentuk kecukupan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Jadi, beliau tidak hanya sekadar berpangku tangan jika tidak mampu menjalankan syariat menunaikan kafarat. Namun, beliau berusaha semaksimal mungkin agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Inilah akhlak Islam, yakni bersemangat untuk memberikan kebaikan kepada orang lain. Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ, فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ “Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim) Abul Khaira rahimahullah berkata, فقلب مملوء إيمانا، فعلامته الشفقة على جميع المسلمين، والاهتمام بما يهمهم، ومعاونتهم على أن يعود صلاحه إليهم “Hati yang dipenuhi iman tandanya adalah sayang terhadap kaum muslimin, perhatian terhadap apa yang menjadi kepentingan mereka, dan membantu mereka agar kebaikannya kembali kepada mereka.” (Tarikh Dimasyqi, 66: 161) Kutipan dari Abul Khaira ini tercermin secara sempurna dari sikap Nabi ﷺ pada sahabat yang melakukan dosa tersebut. Beliau menyikapi sahabat tersebut dengan kasih sayang, serta perhatian atas kepentingan mereka. Sehingga beliau memikirkan dan ikut mengusahakan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Beliau bersemangat dalam membantu agar kebaikan kembali kepada sahabat tersebut, yakni kafarat atas dosanya dapat terpenuhi. Mudah memberi uzur Ketujuh, ketika semua langkah penunaian kafarat itu tidak mampu dilakukan oleh sahabat tersebut, Nabi ﷺ tetap tidak marah. Malah ketika sahabat tersebut menginginkan kurma yang seharusnya diberikan kepada orang fakir miskin, Nabi ﷺ tertawa mendengarkan itu dan membiarkan sahabat tersebut membawanya. Mudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan iman Kedelapan, saat sahabat tersebut bersumpah atas nama Allah ﷻ bahwa diri dan keluarganya yang termiskin di Madinah, Nabi ﷺ langsung mempercayainya. Sehingga Nabi ﷺ tidak pusing-pusing memvalidasi pernyataan tersebut. Dan meskipun sahabat tersebut melakukan dosa yang besar, Nabi ﷺ tidak kehilangan kepercayaan sepenuhnya kepada orang tersebut. Sehingga sumpahnya yang membawa nama yang paling agung langsung dipercayai. Kemuliaan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa Begitulah keindahan akhlak Nabi ﷺ dalam menyikapi pelaku dosa besar. Ini adalah keteladanan yang wajib kita tempuh dalam kehidupan. Kasih sayang Nabi ﷺ kepada umatnya melahirkan sikap kebijaksanaan dalam menyikapi keadaan tidak ideal. Sungguh para pelaku dosa telah berada dalam keterpurukan, maka janganlah menambah kegelapan dalam jurang kehidupan mereka. Tidak jarang kita temukan teman yang diharapkan dapat memberikan nasihat dan solusi atas perbuatan dosa si pelaku, justru kian menenggelamkan mereka dengan celaan. Sehingga pelaku dosa tersebut itu putus asa dari rahmat Allah ﷻ dan akhirnya terus berenang dalam kubangan dosa karena merasa terlanjur hitam dan tidak dapat diterima lagi tobatnya. Oleh karena itu, benarlah nasihat Syekh Ali bin Bakr As-Saqqaf, الداعية عليه أن يرفق في دعوته، فيشفق على الناس ولا يشق عليهم، ولا ينفرهم من الدين بأسلوبه الغليظ والعنيف “Seorang dai harus bersikap lemah lembut dalam dakwahnya, memiliki rasa kasih sayang kepada manusia, tidak memberatkan mereka, dan tidak menjauhkan mereka dari agama dengan gaya yang kasar dan keras.” فيدعو بالحكمة والموعظة الحسنة، ويتلطف مع العاصي بكلام ليِّن وبرفق ولا يعين الشيطان عليه “Maka, (seorang dai) hendaknya berdakwah dengan hikmah dan pelajaran yang baik, bersikap lembut kepada pelaku maksiat dengan perkataan yang halus dan penuh kelembutan, serta tidak membantu setan dalam menyesatkannya.” (Majmu’ Al-Akhlaq Al-Islamiyah, 1: 258) Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, إذا رأيتم أخاكم قارف ذنباً فلا تكونوا أعواناً للشيطان عليه، تقولوا: اللهم أخزه، اللهم العنه، “Jika kalian melihat saudara kalian melakukan dosa, maka janganlah kalian menjadi pembantu setan untuk melawannya dengan mengatakan, ‘Ya Allah, hinakan dia! Ya Allah, laknatilah dia!‘” ولكن سلوا الله العافية، فإنا أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم كنا نقول في أحد شيئاً حتى نعلم علام يموت؟ فإن ختم له بخير علمنا أن قد أصاب خيراً، وإن ختم بشر خفنا عليه “Akan tetapi, mintalah kepada Allah, keselamatan baginya. Sesungguhnya kami, para sahabat Muhammad ﷺ, tidak pernah berkata apa pun tentang seseorang hingga kami mengetahui bagaimana akhir hidupnya. Jika ia meninggal dengan akhir yang baik, maka kami tahu bahwa ia telah mendapatkan kebaikan. Namun, jika ia meninggal dengan akhir yang buruk, maka kami takut ia berada dalam keburukan.” (Riwayat Thabrani dalam Al-Mujam Al-Kabir no. 8574 dan Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd, 1: 313) Semoga kita tidak tergolong hamba yang menjadi pembantu setan. Semoga Allah ﷻ menjadikan kita hamba yang senantiasa semangat dalam meneladani Nabi ﷺ. [Bersambung] Baca juga: Doa untuk Menjaga Tubuh, Pendengaran, dan Penglihatan dari Perbuatan Dosa *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Nabi Sang Penyayang, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, terj. Mohd. Suri Sudahri, S.Pd.I. dan Rony Nugroho, Pustaka Al-Kautsar. Kafarat Orang yang Berhubungan Suami Istri di Siang Ramadhan, Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. https://shamela.ws/book/38218/259

Rahasia Panjang Umur dan Hidup Berkah Menurut Al-Qur’an dan Hadits

Waktu adalah anugerah Allah yang paling berharga, namun sering terabaikan. Islam mengajarkan kita untuk memanfaatkan usia dengan beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan serta kesabaran, agar hidup penuh keberkahan. KEUTAMAAN WAKTU DALAM ISLAMAllah Ta’ala berfirman dalam Surah Al-‘Ashr tentang pentingnya waktu dan kerugian manusia yang tidak memanfaatkannya untuk kebaikan. Hal ini menegaskan bahwa hidup kita harus diisi dengan keimanan, amal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan serta kesabaran.Allah Ta’ala berfirman,وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3).Surah ini menegaskan pentingnya waktu dan bagaimana manusia akan merugi jika tidak memanfaatkan hidup untuk beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran.Baca juga: Tafsir Surah Al-‘AshrPentingnya waktu juga ditegaskan oleh para ulama, seperti Ibnul Qayyim, yang menjelaskan bahwa umur manusia sebenarnya adalah waktu yang ia habiskan dalam ketaatan kepada Allah. Mari kita simak penjelasannya lebih dalam. HAKIKAT KEHIDUPAN DAN UMUR YANG BERKAHMenurut Ibnul Qayyim, kehidupan sejati adalah kehidupan hati yang dekat dengan Allah. Waktu yang dihabiskan dalam ketakwaan dan kebaikan menjadi hakikat dari umur seseorang. Kebaikan tidak hanya memperpanjang umur, tetapi juga memberikan keberkahan.Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا.Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut.وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ.Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88)Selain memahami hakikat umur, kita juga diajarkan untuk memohon kepada Allah agar diberi umur yang panjang dan penuh keberkahan. Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh doa yang dapat kita amalkan. DOA PANJANG UMURNabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mendoakan keberkahan dalam harta dan umur, seperti doa beliau kepada Anas bin Malik. Doa ini mengajarkan kita bahwa memohon panjang umur adalah sunnah, asalkan dimanfaatkan untuk kebaikan.Diriwayatkan dari Imam Al Bukhari, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi Ummu Sulaim (ibunya Anas). Ketika itu Ummu Sulaim mengatakan bahwa Anas (anaknya) siap menjadi pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau mendoakan Anas dalam urusan akhirat dan dunianya. Di antara do’a beliau pada Anas adalah,اللَّهُمَّ ارْزُقْهُ مَالًا، وَوَلَدًا، وَبَارِكْ لَهُ“Ya Allah, tambahkanlah rizki padanya berupa harta dan anak serta berkahilah dia dengan nikmat tersebut.” (HR. Bukhari no. 1982 dan Muslim no. 660)Dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Anas dengan do’a,اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ“Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480)Dalam do’a di atas terdapat dalil bolehnya meminta pada Allah banyak harta dan banyak anak serta keberkahan dalam harta dan anak. Dan di sini terdapat anjuran untuk mendoakan hal dunia namun disertai dengan mendoakan keberkahan di dalamnya. Yang namanya berkah adalah bertambahnya kebaikan dan kebaikan tersebut tetap terus ada. Harta dan anak bisa jadi berfaedah jika dimanfaatkan dalam kebaikan.Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits tersebut menunjukkan bolehnya berdo’a meminta banyak harta dan banyak anak pada Allah. Dan hal ini sama sekali tidak menafikan kebaikan ukhrowi (akhirat).” (Fathul Bari, 4/229)Sedangkan dalil bolehnya meminta panjang umur (asalkan dimanfaatkan dalam kebaikan) adalah hadits dari ‘Abdurrahman bin Abi Bakroh, dari ayahnya Abu Bakroh bahwa ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah,يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ ». قَالَ فَأَىُّ النَّاسِ شَرٌّ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ »“Wahai Rasulullah, manusia mana yang dikatakan baik?” Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun baik amalnya.” “Lalu manusia mana yang dikatakan jelek?”, tanya laki-laki tadi. Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun jelek amalnya.” (HR. Tirmidzi no. 2330, beliau katakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani berkata bahwa hadits ini shahih lighoirihi). Yang dimaksud dengan “baik amalnya” adalah apabila amalan tersebut ikhlas dan ittiba’ (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).Memohon kepada Allah agar diberikan umur panjang yang penuh keberkahan adalah sunnah. Salah satu doa yang bisa diamalkan adalah:اللَّهُمَّ أكْثِرْ مَالِي، وَوَلَدِي، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أعْطَيْتَنِي وَأطِلْ حَيَاتِي عَلَى طَاعَتِكَ، وَأحْسِنْ عَمَلِي وَاغْفِرْ لِيALLOOHUMMA AK-TSIR MAALII WA WALADII, WA BAARIK LII FIIMAA A’THOYTANII WA ATHIL HAYAATII ‘ALA THOO’ATIK WA AHSIN ‘AMALII WAGH-FIR LII.Artinya: Ya Allah perbanyaklah hartaku dan anakku serta berkahilah karunia yang Engkau berikan kepadaku. Panjangkanlah umurku dalam ketaatan kepada-Mu, perbaguslah amalku, dan ampunilah dosa-dosaku.Baca juga: Doa Meminta Panjang UmurNamun, doa saja tidak cukup. Ada amalan-amalan yang dapat kita lakukan untuk menjaga keberkahan umur dan menghindari kerugian di dunia maupun akhirat. AMALAN AGAR UMUR PANJANG DAN PENUH KEBERKAHANPertama: Menjaga ketaatan dan menjauhi maksiatIbnul Qayyim rahimahullah berkata,أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ.Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87)Baca juga: Dampak Maksiat, Mengurangi Umur Kedua: Berbakti kepada orang tuaBerbakti kepada orang tua adalah amalan mulia yang menjamin keberkahan hidup.Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُمَدَّ لَهُ فِي عُمْرِهِ وَأَنْ يُزَادَ لَهُ فِي رِزْقِهِ فَلْيَبَرَّ وَالِدَيْهِ وَلْيَصِلْ رَحِمَهُ“Barang siapa yang ingin umurnya dipanjangkan dan rezekinya diluaskan, maka hendaklah ia berbakti kepada kedua orang tuanya dan menjalin silaturahim dengan kerabatnya.” (HR. Ahmad, 3:229; 3:266. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menilai hadits ini shahih dengan sanad yang hasan).Baca juga: Cara Membahagiakan Orang Tua Ketiga: Menyambung silaturahimMenyambung tali silaturahim (menyambung hubungan keluarga yang terputus) merupakan salah satu amalan yang sangat dianjurkan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ“Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari, no. 5985; Muslim, no. 2557).Hadits ini menunjukkan hubungan antara kebaikan sosial terhadap kerabat dengan keberkahan duniawi. Dengan menyambung silaturahim, seseorang mendapatkan kelapangan rezeki dan umur yang penuh keberkahan.Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,مَنِ اتَّقَى رَبَّهُ، وَوَصَلَ رَحِمَهُ، نُسّىءَ فِي أَجَلِه وَثَرَى مَالَهُ، وَأَحَبَّهُ أَهْلُهُ“Barang siapa bertakwa kepada Rabb-nya dan menyambung silaturahim, niscaya umurnya diperpanjang, hartanya dilimpahkan, dan keluarganya akan mencintainya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 58, hasan).Baca juga: Keutamaan Menyambung Silaturahim Keempat: Memperbanyak istighfarMemohon ampun kepada Allah adalah kunci untuk mendapatkan hidup penuh keberkahan. Allah Ta’ala berfirman,فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12)“Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12)Baca juga: Istighfar Sebab Kemudahan Rezeki dan Turunnya HujanKeutamaan Istighfar Sebagai Penghalang Musibah Kelima: Jadikah akhir hidup itu baik (husnul khatimah)Dalam hadits disebutkan,وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6607)Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari hadits berikut.عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ نَظَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى رَجُلٍ يُقَاتِلُ الْمُشْرِكِينَ ، وَكَانَ مِنْ أَعْظَمِ الْمُسْلِمِينَ غَنَاءً عَنْهُمْ فَقَالَ « مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا » . فَتَبِعَهُ رَجُلٌ فَلَمْ يَزَلْ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى جُرِحَ ، فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ . فَقَالَ بِذُبَابَةِ سَيْفِهِ ، فَوَضَعَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ، فَتَحَامَلَ عَلَيْهِ ، حَتَّى خَرَجَ مِنْ بَيْنِ كَتِفَيْهِ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ النَّارِ ، وَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِخَوَاتِيمِهَا »Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat ada yang membunuh orang-orang musyrik dan ia merupakan salah seorang prajurit muslimin yang gagah berani. Namun anehnya beliau malah berujar, “Siapa yang ingin melihat seorang penduduk neraka, silakan lihat orang ini.” Kontan seseorang menguntitnya, dan terus ia kuntit hingga prajurit tadi terluka dan ia sendiri ingin segera mati (tak kuat menahan sakit, pen.). Lalu serta merta, ia ambil ujung pedangnya dan ia letakkan di dadanya, lantas ia hunjamkan hingga menembus di antara kedua lengannya.Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh ada seorang hamba yang menurut pandangan orang banyak mengamalkan amalan penghuni surga, namun berakhir menjadi penghuni neraka. Sebaliknya ada seorang hamba yang menurut pandangan orang melakukan amalan-amalan penduduk neraka, namun berakhir dengan menjadi penghuni surga. Sungguh amalan itu dilihat dari akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6493)Amalan yang dimaksud di sini adalah amalan shalih, bisa juga amalan jelek. Yang dimaksud ‘bil khawatim’ adalah amalan yang dilakukan di akhir umurnya atau akhir hayatnya.Az-Zarqani dalam Syarh Al-Muwatha’ menyatakan bahwa amalan akhir manusia itulah yang jadi penentu dan atas amalan itulah akan dibalas. Siapa yang beramal jelek lalu beralih beramal baik, maka ia dinilai sebagai orang yang bertaubat. Sebaliknya, siapa yang berpindah dari iman menjadi kufur, maka ia dianggap murtad. Keenam: Jangan malah tua-tua keladi, makin tua, makin menjadiDalam hadits disebutkan,قَلْبُ الشَّيْخِ شَابٌّ عَلَى حُبِّ اثْنَتَيْنِ حُبِّ الْعَيْشِ وَالْمَالِ“Masih ada yang sudah berumur memiliki hati seperti anak muda yaitu mencintai dua hal: cinta berumur panjang (panjang angan-angan) dan cinta harta.” (HR. Muslim, no. 1046)Dalam riwayat lain disebutkan,يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَتَشِبُّ مِنْهُ اثْنَتَانِ الْحِرْصُ عَلَى الْمَالِ وَالْحِرْصُ عَلَى الْعُمُرِ“Ada yang sudah tua dari usia, namun masih bernafsu seperti anak muda yaitu dalam dua hal: tamak pada harta dan terus panjang angan-angan (ingin terus hidup lama).” (HR. Muslim, no. 1047)Baca juga: Tanda Husnul Khatimah KESIMPULANHidup yang diberkahi adalah hidup yang diisi dengan ketaatan kepada Allah, doa yang tulus, dan amalan-amalan yang mendekatkan kita kepada kebaikan. Semoga kita termasuk hamba yang diberi umur panjang, penuh keberkahan, dan husnul khatimah.–Disusun @ Siyono Gunungkidul, 19 Rajab 1446 HPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan panjang umur dan rezeki berbakti kepada orang tua memperpanjang umur cara husnul khatimah cara mendapatkan keberkahan hidup dampak maksiat pada umur doa memohon keberkahan rezeki doa nabi untuk keberkahan hidup doa panjang umur islami hakikat umur yang berkah istighfar pembuka rezeki keutamaan waktu dalam islam kiat panjang umur kiat umur berkah panjang umur pentingnya ketaatan kepada Allah. pentingnya silaturahim dalam islam surah Al-'Ashr dan hikmahnya tanda-tanda husnul khatimah umur berkah umur panjang

Rahasia Panjang Umur dan Hidup Berkah Menurut Al-Qur’an dan Hadits

Waktu adalah anugerah Allah yang paling berharga, namun sering terabaikan. Islam mengajarkan kita untuk memanfaatkan usia dengan beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan serta kesabaran, agar hidup penuh keberkahan. KEUTAMAAN WAKTU DALAM ISLAMAllah Ta’ala berfirman dalam Surah Al-‘Ashr tentang pentingnya waktu dan kerugian manusia yang tidak memanfaatkannya untuk kebaikan. Hal ini menegaskan bahwa hidup kita harus diisi dengan keimanan, amal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan serta kesabaran.Allah Ta’ala berfirman,وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3).Surah ini menegaskan pentingnya waktu dan bagaimana manusia akan merugi jika tidak memanfaatkan hidup untuk beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran.Baca juga: Tafsir Surah Al-‘AshrPentingnya waktu juga ditegaskan oleh para ulama, seperti Ibnul Qayyim, yang menjelaskan bahwa umur manusia sebenarnya adalah waktu yang ia habiskan dalam ketaatan kepada Allah. Mari kita simak penjelasannya lebih dalam. HAKIKAT KEHIDUPAN DAN UMUR YANG BERKAHMenurut Ibnul Qayyim, kehidupan sejati adalah kehidupan hati yang dekat dengan Allah. Waktu yang dihabiskan dalam ketakwaan dan kebaikan menjadi hakikat dari umur seseorang. Kebaikan tidak hanya memperpanjang umur, tetapi juga memberikan keberkahan.Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا.Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut.وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ.Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88)Selain memahami hakikat umur, kita juga diajarkan untuk memohon kepada Allah agar diberi umur yang panjang dan penuh keberkahan. Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh doa yang dapat kita amalkan. DOA PANJANG UMURNabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mendoakan keberkahan dalam harta dan umur, seperti doa beliau kepada Anas bin Malik. Doa ini mengajarkan kita bahwa memohon panjang umur adalah sunnah, asalkan dimanfaatkan untuk kebaikan.Diriwayatkan dari Imam Al Bukhari, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi Ummu Sulaim (ibunya Anas). Ketika itu Ummu Sulaim mengatakan bahwa Anas (anaknya) siap menjadi pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau mendoakan Anas dalam urusan akhirat dan dunianya. Di antara do’a beliau pada Anas adalah,اللَّهُمَّ ارْزُقْهُ مَالًا، وَوَلَدًا، وَبَارِكْ لَهُ“Ya Allah, tambahkanlah rizki padanya berupa harta dan anak serta berkahilah dia dengan nikmat tersebut.” (HR. Bukhari no. 1982 dan Muslim no. 660)Dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Anas dengan do’a,اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ“Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480)Dalam do’a di atas terdapat dalil bolehnya meminta pada Allah banyak harta dan banyak anak serta keberkahan dalam harta dan anak. Dan di sini terdapat anjuran untuk mendoakan hal dunia namun disertai dengan mendoakan keberkahan di dalamnya. Yang namanya berkah adalah bertambahnya kebaikan dan kebaikan tersebut tetap terus ada. Harta dan anak bisa jadi berfaedah jika dimanfaatkan dalam kebaikan.Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits tersebut menunjukkan bolehnya berdo’a meminta banyak harta dan banyak anak pada Allah. Dan hal ini sama sekali tidak menafikan kebaikan ukhrowi (akhirat).” (Fathul Bari, 4/229)Sedangkan dalil bolehnya meminta panjang umur (asalkan dimanfaatkan dalam kebaikan) adalah hadits dari ‘Abdurrahman bin Abi Bakroh, dari ayahnya Abu Bakroh bahwa ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah,يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ ». قَالَ فَأَىُّ النَّاسِ شَرٌّ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ »“Wahai Rasulullah, manusia mana yang dikatakan baik?” Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun baik amalnya.” “Lalu manusia mana yang dikatakan jelek?”, tanya laki-laki tadi. Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun jelek amalnya.” (HR. Tirmidzi no. 2330, beliau katakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani berkata bahwa hadits ini shahih lighoirihi). Yang dimaksud dengan “baik amalnya” adalah apabila amalan tersebut ikhlas dan ittiba’ (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).Memohon kepada Allah agar diberikan umur panjang yang penuh keberkahan adalah sunnah. Salah satu doa yang bisa diamalkan adalah:اللَّهُمَّ أكْثِرْ مَالِي، وَوَلَدِي، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أعْطَيْتَنِي وَأطِلْ حَيَاتِي عَلَى طَاعَتِكَ، وَأحْسِنْ عَمَلِي وَاغْفِرْ لِيALLOOHUMMA AK-TSIR MAALII WA WALADII, WA BAARIK LII FIIMAA A’THOYTANII WA ATHIL HAYAATII ‘ALA THOO’ATIK WA AHSIN ‘AMALII WAGH-FIR LII.Artinya: Ya Allah perbanyaklah hartaku dan anakku serta berkahilah karunia yang Engkau berikan kepadaku. Panjangkanlah umurku dalam ketaatan kepada-Mu, perbaguslah amalku, dan ampunilah dosa-dosaku.Baca juga: Doa Meminta Panjang UmurNamun, doa saja tidak cukup. Ada amalan-amalan yang dapat kita lakukan untuk menjaga keberkahan umur dan menghindari kerugian di dunia maupun akhirat. AMALAN AGAR UMUR PANJANG DAN PENUH KEBERKAHANPertama: Menjaga ketaatan dan menjauhi maksiatIbnul Qayyim rahimahullah berkata,أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ.Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87)Baca juga: Dampak Maksiat, Mengurangi Umur Kedua: Berbakti kepada orang tuaBerbakti kepada orang tua adalah amalan mulia yang menjamin keberkahan hidup.Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُمَدَّ لَهُ فِي عُمْرِهِ وَأَنْ يُزَادَ لَهُ فِي رِزْقِهِ فَلْيَبَرَّ وَالِدَيْهِ وَلْيَصِلْ رَحِمَهُ“Barang siapa yang ingin umurnya dipanjangkan dan rezekinya diluaskan, maka hendaklah ia berbakti kepada kedua orang tuanya dan menjalin silaturahim dengan kerabatnya.” (HR. Ahmad, 3:229; 3:266. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menilai hadits ini shahih dengan sanad yang hasan).Baca juga: Cara Membahagiakan Orang Tua Ketiga: Menyambung silaturahimMenyambung tali silaturahim (menyambung hubungan keluarga yang terputus) merupakan salah satu amalan yang sangat dianjurkan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ“Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari, no. 5985; Muslim, no. 2557).Hadits ini menunjukkan hubungan antara kebaikan sosial terhadap kerabat dengan keberkahan duniawi. Dengan menyambung silaturahim, seseorang mendapatkan kelapangan rezeki dan umur yang penuh keberkahan.Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,مَنِ اتَّقَى رَبَّهُ، وَوَصَلَ رَحِمَهُ، نُسّىءَ فِي أَجَلِه وَثَرَى مَالَهُ، وَأَحَبَّهُ أَهْلُهُ“Barang siapa bertakwa kepada Rabb-nya dan menyambung silaturahim, niscaya umurnya diperpanjang, hartanya dilimpahkan, dan keluarganya akan mencintainya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 58, hasan).Baca juga: Keutamaan Menyambung Silaturahim Keempat: Memperbanyak istighfarMemohon ampun kepada Allah adalah kunci untuk mendapatkan hidup penuh keberkahan. Allah Ta’ala berfirman,فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12)“Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12)Baca juga: Istighfar Sebab Kemudahan Rezeki dan Turunnya HujanKeutamaan Istighfar Sebagai Penghalang Musibah Kelima: Jadikah akhir hidup itu baik (husnul khatimah)Dalam hadits disebutkan,وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6607)Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari hadits berikut.عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ نَظَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى رَجُلٍ يُقَاتِلُ الْمُشْرِكِينَ ، وَكَانَ مِنْ أَعْظَمِ الْمُسْلِمِينَ غَنَاءً عَنْهُمْ فَقَالَ « مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا » . فَتَبِعَهُ رَجُلٌ فَلَمْ يَزَلْ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى جُرِحَ ، فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ . فَقَالَ بِذُبَابَةِ سَيْفِهِ ، فَوَضَعَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ، فَتَحَامَلَ عَلَيْهِ ، حَتَّى خَرَجَ مِنْ بَيْنِ كَتِفَيْهِ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ النَّارِ ، وَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِخَوَاتِيمِهَا »Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat ada yang membunuh orang-orang musyrik dan ia merupakan salah seorang prajurit muslimin yang gagah berani. Namun anehnya beliau malah berujar, “Siapa yang ingin melihat seorang penduduk neraka, silakan lihat orang ini.” Kontan seseorang menguntitnya, dan terus ia kuntit hingga prajurit tadi terluka dan ia sendiri ingin segera mati (tak kuat menahan sakit, pen.). Lalu serta merta, ia ambil ujung pedangnya dan ia letakkan di dadanya, lantas ia hunjamkan hingga menembus di antara kedua lengannya.Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh ada seorang hamba yang menurut pandangan orang banyak mengamalkan amalan penghuni surga, namun berakhir menjadi penghuni neraka. Sebaliknya ada seorang hamba yang menurut pandangan orang melakukan amalan-amalan penduduk neraka, namun berakhir dengan menjadi penghuni surga. Sungguh amalan itu dilihat dari akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6493)Amalan yang dimaksud di sini adalah amalan shalih, bisa juga amalan jelek. Yang dimaksud ‘bil khawatim’ adalah amalan yang dilakukan di akhir umurnya atau akhir hayatnya.Az-Zarqani dalam Syarh Al-Muwatha’ menyatakan bahwa amalan akhir manusia itulah yang jadi penentu dan atas amalan itulah akan dibalas. Siapa yang beramal jelek lalu beralih beramal baik, maka ia dinilai sebagai orang yang bertaubat. Sebaliknya, siapa yang berpindah dari iman menjadi kufur, maka ia dianggap murtad. Keenam: Jangan malah tua-tua keladi, makin tua, makin menjadiDalam hadits disebutkan,قَلْبُ الشَّيْخِ شَابٌّ عَلَى حُبِّ اثْنَتَيْنِ حُبِّ الْعَيْشِ وَالْمَالِ“Masih ada yang sudah berumur memiliki hati seperti anak muda yaitu mencintai dua hal: cinta berumur panjang (panjang angan-angan) dan cinta harta.” (HR. Muslim, no. 1046)Dalam riwayat lain disebutkan,يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَتَشِبُّ مِنْهُ اثْنَتَانِ الْحِرْصُ عَلَى الْمَالِ وَالْحِرْصُ عَلَى الْعُمُرِ“Ada yang sudah tua dari usia, namun masih bernafsu seperti anak muda yaitu dalam dua hal: tamak pada harta dan terus panjang angan-angan (ingin terus hidup lama).” (HR. Muslim, no. 1047)Baca juga: Tanda Husnul Khatimah KESIMPULANHidup yang diberkahi adalah hidup yang diisi dengan ketaatan kepada Allah, doa yang tulus, dan amalan-amalan yang mendekatkan kita kepada kebaikan. Semoga kita termasuk hamba yang diberi umur panjang, penuh keberkahan, dan husnul khatimah.–Disusun @ Siyono Gunungkidul, 19 Rajab 1446 HPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan panjang umur dan rezeki berbakti kepada orang tua memperpanjang umur cara husnul khatimah cara mendapatkan keberkahan hidup dampak maksiat pada umur doa memohon keberkahan rezeki doa nabi untuk keberkahan hidup doa panjang umur islami hakikat umur yang berkah istighfar pembuka rezeki keutamaan waktu dalam islam kiat panjang umur kiat umur berkah panjang umur pentingnya ketaatan kepada Allah. pentingnya silaturahim dalam islam surah Al-'Ashr dan hikmahnya tanda-tanda husnul khatimah umur berkah umur panjang
Waktu adalah anugerah Allah yang paling berharga, namun sering terabaikan. Islam mengajarkan kita untuk memanfaatkan usia dengan beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan serta kesabaran, agar hidup penuh keberkahan. KEUTAMAAN WAKTU DALAM ISLAMAllah Ta’ala berfirman dalam Surah Al-‘Ashr tentang pentingnya waktu dan kerugian manusia yang tidak memanfaatkannya untuk kebaikan. Hal ini menegaskan bahwa hidup kita harus diisi dengan keimanan, amal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan serta kesabaran.Allah Ta’ala berfirman,وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3).Surah ini menegaskan pentingnya waktu dan bagaimana manusia akan merugi jika tidak memanfaatkan hidup untuk beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran.Baca juga: Tafsir Surah Al-‘AshrPentingnya waktu juga ditegaskan oleh para ulama, seperti Ibnul Qayyim, yang menjelaskan bahwa umur manusia sebenarnya adalah waktu yang ia habiskan dalam ketaatan kepada Allah. Mari kita simak penjelasannya lebih dalam. HAKIKAT KEHIDUPAN DAN UMUR YANG BERKAHMenurut Ibnul Qayyim, kehidupan sejati adalah kehidupan hati yang dekat dengan Allah. Waktu yang dihabiskan dalam ketakwaan dan kebaikan menjadi hakikat dari umur seseorang. Kebaikan tidak hanya memperpanjang umur, tetapi juga memberikan keberkahan.Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا.Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut.وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ.Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88)Selain memahami hakikat umur, kita juga diajarkan untuk memohon kepada Allah agar diberi umur yang panjang dan penuh keberkahan. Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh doa yang dapat kita amalkan. DOA PANJANG UMURNabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mendoakan keberkahan dalam harta dan umur, seperti doa beliau kepada Anas bin Malik. Doa ini mengajarkan kita bahwa memohon panjang umur adalah sunnah, asalkan dimanfaatkan untuk kebaikan.Diriwayatkan dari Imam Al Bukhari, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi Ummu Sulaim (ibunya Anas). Ketika itu Ummu Sulaim mengatakan bahwa Anas (anaknya) siap menjadi pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau mendoakan Anas dalam urusan akhirat dan dunianya. Di antara do’a beliau pada Anas adalah,اللَّهُمَّ ارْزُقْهُ مَالًا، وَوَلَدًا، وَبَارِكْ لَهُ“Ya Allah, tambahkanlah rizki padanya berupa harta dan anak serta berkahilah dia dengan nikmat tersebut.” (HR. Bukhari no. 1982 dan Muslim no. 660)Dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Anas dengan do’a,اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ“Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480)Dalam do’a di atas terdapat dalil bolehnya meminta pada Allah banyak harta dan banyak anak serta keberkahan dalam harta dan anak. Dan di sini terdapat anjuran untuk mendoakan hal dunia namun disertai dengan mendoakan keberkahan di dalamnya. Yang namanya berkah adalah bertambahnya kebaikan dan kebaikan tersebut tetap terus ada. Harta dan anak bisa jadi berfaedah jika dimanfaatkan dalam kebaikan.Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits tersebut menunjukkan bolehnya berdo’a meminta banyak harta dan banyak anak pada Allah. Dan hal ini sama sekali tidak menafikan kebaikan ukhrowi (akhirat).” (Fathul Bari, 4/229)Sedangkan dalil bolehnya meminta panjang umur (asalkan dimanfaatkan dalam kebaikan) adalah hadits dari ‘Abdurrahman bin Abi Bakroh, dari ayahnya Abu Bakroh bahwa ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah,يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ ». قَالَ فَأَىُّ النَّاسِ شَرٌّ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ »“Wahai Rasulullah, manusia mana yang dikatakan baik?” Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun baik amalnya.” “Lalu manusia mana yang dikatakan jelek?”, tanya laki-laki tadi. Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun jelek amalnya.” (HR. Tirmidzi no. 2330, beliau katakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani berkata bahwa hadits ini shahih lighoirihi). Yang dimaksud dengan “baik amalnya” adalah apabila amalan tersebut ikhlas dan ittiba’ (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).Memohon kepada Allah agar diberikan umur panjang yang penuh keberkahan adalah sunnah. Salah satu doa yang bisa diamalkan adalah:اللَّهُمَّ أكْثِرْ مَالِي، وَوَلَدِي، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أعْطَيْتَنِي وَأطِلْ حَيَاتِي عَلَى طَاعَتِكَ، وَأحْسِنْ عَمَلِي وَاغْفِرْ لِيALLOOHUMMA AK-TSIR MAALII WA WALADII, WA BAARIK LII FIIMAA A’THOYTANII WA ATHIL HAYAATII ‘ALA THOO’ATIK WA AHSIN ‘AMALII WAGH-FIR LII.Artinya: Ya Allah perbanyaklah hartaku dan anakku serta berkahilah karunia yang Engkau berikan kepadaku. Panjangkanlah umurku dalam ketaatan kepada-Mu, perbaguslah amalku, dan ampunilah dosa-dosaku.Baca juga: Doa Meminta Panjang UmurNamun, doa saja tidak cukup. Ada amalan-amalan yang dapat kita lakukan untuk menjaga keberkahan umur dan menghindari kerugian di dunia maupun akhirat. AMALAN AGAR UMUR PANJANG DAN PENUH KEBERKAHANPertama: Menjaga ketaatan dan menjauhi maksiatIbnul Qayyim rahimahullah berkata,أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ.Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87)Baca juga: Dampak Maksiat, Mengurangi Umur Kedua: Berbakti kepada orang tuaBerbakti kepada orang tua adalah amalan mulia yang menjamin keberkahan hidup.Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُمَدَّ لَهُ فِي عُمْرِهِ وَأَنْ يُزَادَ لَهُ فِي رِزْقِهِ فَلْيَبَرَّ وَالِدَيْهِ وَلْيَصِلْ رَحِمَهُ“Barang siapa yang ingin umurnya dipanjangkan dan rezekinya diluaskan, maka hendaklah ia berbakti kepada kedua orang tuanya dan menjalin silaturahim dengan kerabatnya.” (HR. Ahmad, 3:229; 3:266. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menilai hadits ini shahih dengan sanad yang hasan).Baca juga: Cara Membahagiakan Orang Tua Ketiga: Menyambung silaturahimMenyambung tali silaturahim (menyambung hubungan keluarga yang terputus) merupakan salah satu amalan yang sangat dianjurkan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ“Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari, no. 5985; Muslim, no. 2557).Hadits ini menunjukkan hubungan antara kebaikan sosial terhadap kerabat dengan keberkahan duniawi. Dengan menyambung silaturahim, seseorang mendapatkan kelapangan rezeki dan umur yang penuh keberkahan.Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,مَنِ اتَّقَى رَبَّهُ، وَوَصَلَ رَحِمَهُ، نُسّىءَ فِي أَجَلِه وَثَرَى مَالَهُ، وَأَحَبَّهُ أَهْلُهُ“Barang siapa bertakwa kepada Rabb-nya dan menyambung silaturahim, niscaya umurnya diperpanjang, hartanya dilimpahkan, dan keluarganya akan mencintainya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 58, hasan).Baca juga: Keutamaan Menyambung Silaturahim Keempat: Memperbanyak istighfarMemohon ampun kepada Allah adalah kunci untuk mendapatkan hidup penuh keberkahan. Allah Ta’ala berfirman,فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12)“Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12)Baca juga: Istighfar Sebab Kemudahan Rezeki dan Turunnya HujanKeutamaan Istighfar Sebagai Penghalang Musibah Kelima: Jadikah akhir hidup itu baik (husnul khatimah)Dalam hadits disebutkan,وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6607)Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari hadits berikut.عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ نَظَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى رَجُلٍ يُقَاتِلُ الْمُشْرِكِينَ ، وَكَانَ مِنْ أَعْظَمِ الْمُسْلِمِينَ غَنَاءً عَنْهُمْ فَقَالَ « مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا » . فَتَبِعَهُ رَجُلٌ فَلَمْ يَزَلْ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى جُرِحَ ، فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ . فَقَالَ بِذُبَابَةِ سَيْفِهِ ، فَوَضَعَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ، فَتَحَامَلَ عَلَيْهِ ، حَتَّى خَرَجَ مِنْ بَيْنِ كَتِفَيْهِ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ النَّارِ ، وَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِخَوَاتِيمِهَا »Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat ada yang membunuh orang-orang musyrik dan ia merupakan salah seorang prajurit muslimin yang gagah berani. Namun anehnya beliau malah berujar, “Siapa yang ingin melihat seorang penduduk neraka, silakan lihat orang ini.” Kontan seseorang menguntitnya, dan terus ia kuntit hingga prajurit tadi terluka dan ia sendiri ingin segera mati (tak kuat menahan sakit, pen.). Lalu serta merta, ia ambil ujung pedangnya dan ia letakkan di dadanya, lantas ia hunjamkan hingga menembus di antara kedua lengannya.Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh ada seorang hamba yang menurut pandangan orang banyak mengamalkan amalan penghuni surga, namun berakhir menjadi penghuni neraka. Sebaliknya ada seorang hamba yang menurut pandangan orang melakukan amalan-amalan penduduk neraka, namun berakhir dengan menjadi penghuni surga. Sungguh amalan itu dilihat dari akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6493)Amalan yang dimaksud di sini adalah amalan shalih, bisa juga amalan jelek. Yang dimaksud ‘bil khawatim’ adalah amalan yang dilakukan di akhir umurnya atau akhir hayatnya.Az-Zarqani dalam Syarh Al-Muwatha’ menyatakan bahwa amalan akhir manusia itulah yang jadi penentu dan atas amalan itulah akan dibalas. Siapa yang beramal jelek lalu beralih beramal baik, maka ia dinilai sebagai orang yang bertaubat. Sebaliknya, siapa yang berpindah dari iman menjadi kufur, maka ia dianggap murtad. Keenam: Jangan malah tua-tua keladi, makin tua, makin menjadiDalam hadits disebutkan,قَلْبُ الشَّيْخِ شَابٌّ عَلَى حُبِّ اثْنَتَيْنِ حُبِّ الْعَيْشِ وَالْمَالِ“Masih ada yang sudah berumur memiliki hati seperti anak muda yaitu mencintai dua hal: cinta berumur panjang (panjang angan-angan) dan cinta harta.” (HR. Muslim, no. 1046)Dalam riwayat lain disebutkan,يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَتَشِبُّ مِنْهُ اثْنَتَانِ الْحِرْصُ عَلَى الْمَالِ وَالْحِرْصُ عَلَى الْعُمُرِ“Ada yang sudah tua dari usia, namun masih bernafsu seperti anak muda yaitu dalam dua hal: tamak pada harta dan terus panjang angan-angan (ingin terus hidup lama).” (HR. Muslim, no. 1047)Baca juga: Tanda Husnul Khatimah KESIMPULANHidup yang diberkahi adalah hidup yang diisi dengan ketaatan kepada Allah, doa yang tulus, dan amalan-amalan yang mendekatkan kita kepada kebaikan. Semoga kita termasuk hamba yang diberi umur panjang, penuh keberkahan, dan husnul khatimah.–Disusun @ Siyono Gunungkidul, 19 Rajab 1446 HPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan panjang umur dan rezeki berbakti kepada orang tua memperpanjang umur cara husnul khatimah cara mendapatkan keberkahan hidup dampak maksiat pada umur doa memohon keberkahan rezeki doa nabi untuk keberkahan hidup doa panjang umur islami hakikat umur yang berkah istighfar pembuka rezeki keutamaan waktu dalam islam kiat panjang umur kiat umur berkah panjang umur pentingnya ketaatan kepada Allah. pentingnya silaturahim dalam islam surah Al-'Ashr dan hikmahnya tanda-tanda husnul khatimah umur berkah umur panjang


Waktu adalah anugerah Allah yang paling berharga, namun sering terabaikan. Islam mengajarkan kita untuk memanfaatkan usia dengan beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan serta kesabaran, agar hidup penuh keberkahan. KEUTAMAAN WAKTU DALAM ISLAMAllah Ta’ala berfirman dalam Surah Al-‘Ashr tentang pentingnya waktu dan kerugian manusia yang tidak memanfaatkannya untuk kebaikan. Hal ini menegaskan bahwa hidup kita harus diisi dengan keimanan, amal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan serta kesabaran.Allah Ta’ala berfirman,وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3).Surah ini menegaskan pentingnya waktu dan bagaimana manusia akan merugi jika tidak memanfaatkan hidup untuk beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran.Baca juga: Tafsir Surah Al-‘AshrPentingnya waktu juga ditegaskan oleh para ulama, seperti Ibnul Qayyim, yang menjelaskan bahwa umur manusia sebenarnya adalah waktu yang ia habiskan dalam ketaatan kepada Allah. Mari kita simak penjelasannya lebih dalam. HAKIKAT KEHIDUPAN DAN UMUR YANG BERKAHMenurut Ibnul Qayyim, kehidupan sejati adalah kehidupan hati yang dekat dengan Allah. Waktu yang dihabiskan dalam ketakwaan dan kebaikan menjadi hakikat dari umur seseorang. Kebaikan tidak hanya memperpanjang umur, tetapi juga memberikan keberkahan.Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا.Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut.وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ.Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88)Selain memahami hakikat umur, kita juga diajarkan untuk memohon kepada Allah agar diberi umur yang panjang dan penuh keberkahan. Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh doa yang dapat kita amalkan. DOA PANJANG UMURNabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mendoakan keberkahan dalam harta dan umur, seperti doa beliau kepada Anas bin Malik. Doa ini mengajarkan kita bahwa memohon panjang umur adalah sunnah, asalkan dimanfaatkan untuk kebaikan.Diriwayatkan dari Imam Al Bukhari, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi Ummu Sulaim (ibunya Anas). Ketika itu Ummu Sulaim mengatakan bahwa Anas (anaknya) siap menjadi pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau mendoakan Anas dalam urusan akhirat dan dunianya. Di antara do’a beliau pada Anas adalah,اللَّهُمَّ ارْزُقْهُ مَالًا، وَوَلَدًا، وَبَارِكْ لَهُ“Ya Allah, tambahkanlah rizki padanya berupa harta dan anak serta berkahilah dia dengan nikmat tersebut.” (HR. Bukhari no. 1982 dan Muslim no. 660)Dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Anas dengan do’a,اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ“Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480)Dalam do’a di atas terdapat dalil bolehnya meminta pada Allah banyak harta dan banyak anak serta keberkahan dalam harta dan anak. Dan di sini terdapat anjuran untuk mendoakan hal dunia namun disertai dengan mendoakan keberkahan di dalamnya. Yang namanya berkah adalah bertambahnya kebaikan dan kebaikan tersebut tetap terus ada. Harta dan anak bisa jadi berfaedah jika dimanfaatkan dalam kebaikan.Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits tersebut menunjukkan bolehnya berdo’a meminta banyak harta dan banyak anak pada Allah. Dan hal ini sama sekali tidak menafikan kebaikan ukhrowi (akhirat).” (Fathul Bari, 4/229)Sedangkan dalil bolehnya meminta panjang umur (asalkan dimanfaatkan dalam kebaikan) adalah hadits dari ‘Abdurrahman bin Abi Bakroh, dari ayahnya Abu Bakroh bahwa ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah,يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ ». قَالَ فَأَىُّ النَّاسِ شَرٌّ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ »“Wahai Rasulullah, manusia mana yang dikatakan baik?” Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun baik amalnya.” “Lalu manusia mana yang dikatakan jelek?”, tanya laki-laki tadi. Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun jelek amalnya.” (HR. Tirmidzi no. 2330, beliau katakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani berkata bahwa hadits ini shahih lighoirihi). Yang dimaksud dengan “baik amalnya” adalah apabila amalan tersebut ikhlas dan ittiba’ (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).Memohon kepada Allah agar diberikan umur panjang yang penuh keberkahan adalah sunnah. Salah satu doa yang bisa diamalkan adalah:اللَّهُمَّ أكْثِرْ مَالِي، وَوَلَدِي، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أعْطَيْتَنِي وَأطِلْ حَيَاتِي عَلَى طَاعَتِكَ، وَأحْسِنْ عَمَلِي وَاغْفِرْ لِيALLOOHUMMA AK-TSIR MAALII WA WALADII, WA BAARIK LII FIIMAA A’THOYTANII WA ATHIL HAYAATII ‘ALA THOO’ATIK WA AHSIN ‘AMALII WAGH-FIR LII.Artinya: Ya Allah perbanyaklah hartaku dan anakku serta berkahilah karunia yang Engkau berikan kepadaku. Panjangkanlah umurku dalam ketaatan kepada-Mu, perbaguslah amalku, dan ampunilah dosa-dosaku.Baca juga: Doa Meminta Panjang UmurNamun, doa saja tidak cukup. Ada amalan-amalan yang dapat kita lakukan untuk menjaga keberkahan umur dan menghindari kerugian di dunia maupun akhirat. AMALAN AGAR UMUR PANJANG DAN PENUH KEBERKAHANPertama: Menjaga ketaatan dan menjauhi maksiatIbnul Qayyim rahimahullah berkata,أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ.Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87)Baca juga: Dampak Maksiat, Mengurangi Umur Kedua: Berbakti kepada orang tuaBerbakti kepada orang tua adalah amalan mulia yang menjamin keberkahan hidup.Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُمَدَّ لَهُ فِي عُمْرِهِ وَأَنْ يُزَادَ لَهُ فِي رِزْقِهِ فَلْيَبَرَّ وَالِدَيْهِ وَلْيَصِلْ رَحِمَهُ“Barang siapa yang ingin umurnya dipanjangkan dan rezekinya diluaskan, maka hendaklah ia berbakti kepada kedua orang tuanya dan menjalin silaturahim dengan kerabatnya.” (HR. Ahmad, 3:229; 3:266. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menilai hadits ini shahih dengan sanad yang hasan).Baca juga: Cara Membahagiakan Orang Tua Ketiga: Menyambung silaturahimMenyambung tali silaturahim (menyambung hubungan keluarga yang terputus) merupakan salah satu amalan yang sangat dianjurkan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ“Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari, no. 5985; Muslim, no. 2557).Hadits ini menunjukkan hubungan antara kebaikan sosial terhadap kerabat dengan keberkahan duniawi. Dengan menyambung silaturahim, seseorang mendapatkan kelapangan rezeki dan umur yang penuh keberkahan.Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,مَنِ اتَّقَى رَبَّهُ، وَوَصَلَ رَحِمَهُ، نُسّىءَ فِي أَجَلِه وَثَرَى مَالَهُ، وَأَحَبَّهُ أَهْلُهُ“Barang siapa bertakwa kepada Rabb-nya dan menyambung silaturahim, niscaya umurnya diperpanjang, hartanya dilimpahkan, dan keluarganya akan mencintainya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 58, hasan).Baca juga: Keutamaan Menyambung Silaturahim Keempat: Memperbanyak istighfarMemohon ampun kepada Allah adalah kunci untuk mendapatkan hidup penuh keberkahan. Allah Ta’ala berfirman,فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12)“Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12)Baca juga: Istighfar Sebab Kemudahan Rezeki dan Turunnya HujanKeutamaan Istighfar Sebagai Penghalang Musibah Kelima: Jadikah akhir hidup itu baik (husnul khatimah)Dalam hadits disebutkan,وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6607)Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari hadits berikut.عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ نَظَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى رَجُلٍ يُقَاتِلُ الْمُشْرِكِينَ ، وَكَانَ مِنْ أَعْظَمِ الْمُسْلِمِينَ غَنَاءً عَنْهُمْ فَقَالَ « مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا » . فَتَبِعَهُ رَجُلٌ فَلَمْ يَزَلْ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى جُرِحَ ، فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ . فَقَالَ بِذُبَابَةِ سَيْفِهِ ، فَوَضَعَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ، فَتَحَامَلَ عَلَيْهِ ، حَتَّى خَرَجَ مِنْ بَيْنِ كَتِفَيْهِ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ النَّارِ ، وَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِخَوَاتِيمِهَا »Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat ada yang membunuh orang-orang musyrik dan ia merupakan salah seorang prajurit muslimin yang gagah berani. Namun anehnya beliau malah berujar, “Siapa yang ingin melihat seorang penduduk neraka, silakan lihat orang ini.” Kontan seseorang menguntitnya, dan terus ia kuntit hingga prajurit tadi terluka dan ia sendiri ingin segera mati (tak kuat menahan sakit, pen.). Lalu serta merta, ia ambil ujung pedangnya dan ia letakkan di dadanya, lantas ia hunjamkan hingga menembus di antara kedua lengannya.Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh ada seorang hamba yang menurut pandangan orang banyak mengamalkan amalan penghuni surga, namun berakhir menjadi penghuni neraka. Sebaliknya ada seorang hamba yang menurut pandangan orang melakukan amalan-amalan penduduk neraka, namun berakhir dengan menjadi penghuni surga. Sungguh amalan itu dilihat dari akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6493)Amalan yang dimaksud di sini adalah amalan shalih, bisa juga amalan jelek. Yang dimaksud ‘bil khawatim’ adalah amalan yang dilakukan di akhir umurnya atau akhir hayatnya.Az-Zarqani dalam Syarh Al-Muwatha’ menyatakan bahwa amalan akhir manusia itulah yang jadi penentu dan atas amalan itulah akan dibalas. Siapa yang beramal jelek lalu beralih beramal baik, maka ia dinilai sebagai orang yang bertaubat. Sebaliknya, siapa yang berpindah dari iman menjadi kufur, maka ia dianggap murtad. Keenam: Jangan malah tua-tua keladi, makin tua, makin menjadiDalam hadits disebutkan,قَلْبُ الشَّيْخِ شَابٌّ عَلَى حُبِّ اثْنَتَيْنِ حُبِّ الْعَيْشِ وَالْمَالِ“Masih ada yang sudah berumur memiliki hati seperti anak muda yaitu mencintai dua hal: cinta berumur panjang (panjang angan-angan) dan cinta harta.” (HR. Muslim, no. 1046)Dalam riwayat lain disebutkan,يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَتَشِبُّ مِنْهُ اثْنَتَانِ الْحِرْصُ عَلَى الْمَالِ وَالْحِرْصُ عَلَى الْعُمُرِ“Ada yang sudah tua dari usia, namun masih bernafsu seperti anak muda yaitu dalam dua hal: tamak pada harta dan terus panjang angan-angan (ingin terus hidup lama).” (HR. Muslim, no. 1047)Baca juga: Tanda Husnul Khatimah KESIMPULANHidup yang diberkahi adalah hidup yang diisi dengan ketaatan kepada Allah, doa yang tulus, dan amalan-amalan yang mendekatkan kita kepada kebaikan. Semoga kita termasuk hamba yang diberi umur panjang, penuh keberkahan, dan husnul khatimah.–Disusun @ Siyono Gunungkidul, 19 Rajab 1446 HPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan panjang umur dan rezeki berbakti kepada orang tua memperpanjang umur cara husnul khatimah cara mendapatkan keberkahan hidup dampak maksiat pada umur doa memohon keberkahan rezeki doa nabi untuk keberkahan hidup doa panjang umur islami hakikat umur yang berkah istighfar pembuka rezeki keutamaan waktu dalam islam kiat panjang umur kiat umur berkah panjang umur pentingnya ketaatan kepada Allah. pentingnya silaturahim dalam islam surah Al-'Ashr dan hikmahnya tanda-tanda husnul khatimah umur berkah umur panjang

Rahasia Panjang Umur dan Hidup Berkah Menurut Al-Qur’an dan Hadits

Waktu adalah anugerah Allah yang paling berharga, namun sering terabaikan. Islam mengajarkan kita untuk memanfaatkan usia dengan beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan serta kesabaran, agar hidup penuh keberkahan.   KEUTAMAAN WAKTU DALAM ISLAM Allah Ta’ala berfirman dalam Surah Al-‘Ashr tentang pentingnya waktu dan kerugian manusia yang tidak memanfaatkannya untuk kebaikan. Hal ini menegaskan bahwa hidup kita harus diisi dengan keimanan, amal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan serta kesabaran. Allah Ta’ala berfirman, وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3). Surah ini menegaskan pentingnya waktu dan bagaimana manusia akan merugi jika tidak memanfaatkan hidup untuk beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran. Baca juga: Tafsir Surah Al-‘Ashr Pentingnya waktu juga ditegaskan oleh para ulama, seperti Ibnul Qayyim, yang menjelaskan bahwa umur manusia sebenarnya adalah waktu yang ia habiskan dalam ketaatan kepada Allah. Mari kita simak penjelasannya lebih dalam.   HAKIKAT KEHIDUPAN DAN UMUR YANG BERKAH Menurut Ibnul Qayyim, kehidupan sejati adalah kehidupan hati yang dekat dengan Allah. Waktu yang dihabiskan dalam ketakwaan dan kebaikan menjadi hakikat dari umur seseorang. Kebaikan tidak hanya memperpanjang umur, tetapi juga memberikan keberkahan. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا. Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut. وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ. Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88) Selain memahami hakikat umur, kita juga diajarkan untuk memohon kepada Allah agar diberi umur yang panjang dan penuh keberkahan. Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh doa yang dapat kita amalkan.   DOA PANJANG UMUR Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mendoakan keberkahan dalam harta dan umur, seperti doa beliau kepada Anas bin Malik. Doa ini mengajarkan kita bahwa memohon panjang umur adalah sunnah, asalkan dimanfaatkan untuk kebaikan. Diriwayatkan dari Imam Al Bukhari, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi Ummu Sulaim (ibunya Anas). Ketika itu Ummu Sulaim mengatakan bahwa Anas (anaknya) siap menjadi pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau mendoakan Anas dalam urusan akhirat dan dunianya. Di antara do’a beliau pada Anas adalah, اللَّهُمَّ ارْزُقْهُ مَالًا، وَوَلَدًا، وَبَارِكْ لَهُ “Ya Allah, tambahkanlah rizki padanya berupa harta dan anak serta berkahilah dia dengan nikmat tersebut.” (HR. Bukhari no. 1982 dan Muslim no. 660) Dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Anas dengan do’a, اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ “Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480) Dalam do’a di atas terdapat dalil bolehnya meminta pada Allah banyak harta dan banyak anak serta keberkahan dalam harta dan anak. Dan di sini terdapat anjuran untuk mendoakan hal dunia namun disertai dengan mendoakan keberkahan di dalamnya. Yang namanya berkah adalah bertambahnya kebaikan dan kebaikan tersebut tetap terus ada. Harta dan anak bisa jadi berfaedah jika dimanfaatkan dalam kebaikan. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits tersebut menunjukkan bolehnya berdo’a meminta banyak harta dan banyak anak pada Allah. Dan hal ini sama sekali tidak menafikan kebaikan ukhrowi (akhirat).” (Fathul Bari, 4/229) Sedangkan dalil bolehnya meminta panjang umur (asalkan dimanfaatkan dalam kebaikan) adalah hadits dari ‘Abdurrahman bin Abi Bakroh, dari ayahnya Abu Bakroh bahwa ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah, يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ ». قَالَ فَأَىُّ النَّاسِ شَرٌّ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ » “Wahai Rasulullah, manusia mana yang dikatakan baik?” Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun baik amalnya.” “Lalu manusia mana yang dikatakan jelek?”, tanya laki-laki tadi. Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun jelek amalnya.” (HR. Tirmidzi no. 2330, beliau katakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani berkata bahwa hadits ini shahih lighoirihi). Yang dimaksud dengan “baik amalnya” adalah apabila amalan tersebut ikhlas dan ittiba’ (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Memohon kepada Allah agar diberikan umur panjang yang penuh keberkahan adalah sunnah. Salah satu doa yang bisa diamalkan adalah: اللَّهُمَّ أكْثِرْ مَالِي، وَوَلَدِي، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أعْطَيْتَنِي وَأطِلْ حَيَاتِي عَلَى طَاعَتِكَ، وَأحْسِنْ عَمَلِي وَاغْفِرْ لِي ALLOOHUMMA AK-TSIR MAALII WA WALADII, WA BAARIK LII FIIMAA A’THOYTANII WA ATHIL HAYAATII ‘ALA THOO’ATIK WA AHSIN ‘AMALII WAGH-FIR LII. Artinya: Ya Allah perbanyaklah hartaku dan anakku serta berkahilah karunia yang Engkau berikan kepadaku. Panjangkanlah umurku dalam ketaatan kepada-Mu, perbaguslah amalku, dan ampunilah dosa-dosaku. Baca juga: Doa Meminta Panjang Umur Namun, doa saja tidak cukup. Ada amalan-amalan yang dapat kita lakukan untuk menjaga keberkahan umur dan menghindari kerugian di dunia maupun akhirat.   AMALAN AGAR UMUR PANJANG DAN PENUH KEBERKAHAN Pertama: Menjaga ketaatan dan menjauhi maksiat Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ. Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87) Baca juga: Dampak Maksiat, Mengurangi Umur   Kedua: Berbakti kepada orang tua Berbakti kepada orang tua adalah amalan mulia yang menjamin keberkahan hidup. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُمَدَّ لَهُ فِي عُمْرِهِ وَأَنْ يُزَادَ لَهُ فِي رِزْقِهِ فَلْيَبَرَّ وَالِدَيْهِ وَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Barang siapa yang ingin umurnya dipanjangkan dan rezekinya diluaskan, maka hendaklah ia berbakti kepada kedua orang tuanya dan menjalin silaturahim dengan kerabatnya.” (HR. Ahmad, 3:229; 3:266. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menilai hadits ini shahih dengan sanad yang hasan). Baca juga: Cara Membahagiakan Orang Tua   Ketiga: Menyambung silaturahim Menyambung tali silaturahim (menyambung hubungan keluarga yang terputus) merupakan salah satu amalan yang sangat dianjurkan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari, no. 5985; Muslim, no. 2557). Hadits ini menunjukkan hubungan antara kebaikan sosial terhadap kerabat dengan keberkahan duniawi. Dengan menyambung silaturahim, seseorang mendapatkan kelapangan rezeki dan umur yang penuh keberkahan. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, مَنِ اتَّقَى رَبَّهُ، وَوَصَلَ رَحِمَهُ، نُسّىءَ فِي أَجَلِه وَثَرَى مَالَهُ، وَأَحَبَّهُ أَهْلُهُ “Barang siapa bertakwa kepada Rabb-nya dan menyambung silaturahim, niscaya umurnya diperpanjang, hartanya dilimpahkan, dan keluarganya akan mencintainya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 58, hasan). Baca juga: Keutamaan Menyambung Silaturahim   Keempat: Memperbanyak istighfar Memohon ampun kepada Allah adalah kunci untuk mendapatkan hidup penuh keberkahan. Allah Ta’ala berfirman, فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12) “Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12) Baca juga:  Istighfar Sebab Kemudahan Rezeki dan Turunnya Hujan Keutamaan Istighfar Sebagai Penghalang Musibah   Kelima: Jadikah akhir hidup itu baik (husnul khatimah) Dalam hadits disebutkan, وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6607) Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari hadits berikut. عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ نَظَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى رَجُلٍ يُقَاتِلُ الْمُشْرِكِينَ ، وَكَانَ مِنْ أَعْظَمِ الْمُسْلِمِينَ غَنَاءً عَنْهُمْ فَقَالَ « مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا » . فَتَبِعَهُ رَجُلٌ فَلَمْ يَزَلْ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى جُرِحَ ، فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ . فَقَالَ بِذُبَابَةِ سَيْفِهِ ، فَوَضَعَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ، فَتَحَامَلَ عَلَيْهِ ، حَتَّى خَرَجَ مِنْ بَيْنِ كَتِفَيْهِ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ النَّارِ ، وَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِخَوَاتِيمِهَا » Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat ada yang membunuh orang-orang musyrik dan ia merupakan salah seorang prajurit muslimin yang gagah berani. Namun anehnya beliau malah berujar, “Siapa yang ingin melihat seorang penduduk neraka, silakan lihat orang ini.” Kontan seseorang menguntitnya, dan terus ia kuntit hingga prajurit tadi terluka dan ia sendiri ingin segera mati (tak kuat menahan sakit, pen.). Lalu serta merta, ia ambil ujung pedangnya dan ia letakkan di dadanya, lantas ia hunjamkan hingga menembus di antara kedua lengannya. Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh ada seorang hamba yang menurut pandangan orang banyak mengamalkan amalan penghuni surga, namun berakhir menjadi penghuni neraka. Sebaliknya ada seorang hamba yang menurut pandangan orang melakukan amalan-amalan penduduk neraka, namun berakhir dengan menjadi penghuni surga. Sungguh amalan itu dilihat dari akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6493) Amalan yang dimaksud di sini adalah amalan shalih, bisa juga amalan jelek. Yang dimaksud ‘bil khawatim’ adalah amalan yang dilakukan di akhir umurnya atau akhir hayatnya. Az-Zarqani dalam Syarh Al-Muwatha’ menyatakan bahwa amalan akhir manusia itulah yang jadi penentu dan atas amalan itulah akan dibalas. Siapa yang beramal jelek lalu beralih beramal baik, maka ia dinilai sebagai orang yang bertaubat. Sebaliknya, siapa yang berpindah dari iman menjadi kufur, maka ia dianggap murtad.   Keenam: Jangan malah tua-tua keladi, makin tua, makin menjadi Dalam hadits disebutkan, قَلْبُ الشَّيْخِ شَابٌّ عَلَى حُبِّ اثْنَتَيْنِ حُبِّ الْعَيْشِ وَالْمَالِ “Masih ada yang sudah berumur memiliki hati seperti anak muda yaitu mencintai dua hal: cinta berumur panjang (panjang angan-angan) dan cinta harta.” (HR. Muslim, no. 1046) Dalam riwayat lain disebutkan, يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَتَشِبُّ مِنْهُ اثْنَتَانِ الْحِرْصُ عَلَى الْمَالِ وَالْحِرْصُ عَلَى الْعُمُرِ “Ada yang sudah tua dari usia, namun masih bernafsu seperti anak muda yaitu dalam dua hal: tamak pada harta dan terus panjang angan-angan (ingin terus hidup lama).” (HR. Muslim, no. 1047) Baca juga: Tanda Husnul Khatimah   KESIMPULAN Hidup yang diberkahi adalah hidup yang diisi dengan ketaatan kepada Allah, doa yang tulus, dan amalan-amalan yang mendekatkan kita kepada kebaikan. Semoga kita termasuk hamba yang diberi umur panjang, penuh keberkahan, dan husnul khatimah. – Disusun @ Siyono Gunungkidul, 19 Rajab 1446 H Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan panjang umur dan rezeki berbakti kepada orang tua memperpanjang umur cara husnul khatimah cara mendapatkan keberkahan hidup dampak maksiat pada umur doa memohon keberkahan rezeki doa nabi untuk keberkahan hidup doa panjang umur islami hakikat umur yang berkah istighfar pembuka rezeki keutamaan waktu dalam islam kiat panjang umur kiat umur berkah panjang umur pentingnya ketaatan kepada Allah. pentingnya silaturahim dalam islam surah Al-'Ashr dan hikmahnya tanda-tanda husnul khatimah umur berkah umur panjang

Rahasia Panjang Umur dan Hidup Berkah Menurut Al-Qur’an dan Hadits

Waktu adalah anugerah Allah yang paling berharga, namun sering terabaikan. Islam mengajarkan kita untuk memanfaatkan usia dengan beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan serta kesabaran, agar hidup penuh keberkahan.   KEUTAMAAN WAKTU DALAM ISLAM Allah Ta’ala berfirman dalam Surah Al-‘Ashr tentang pentingnya waktu dan kerugian manusia yang tidak memanfaatkannya untuk kebaikan. Hal ini menegaskan bahwa hidup kita harus diisi dengan keimanan, amal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan serta kesabaran. Allah Ta’ala berfirman, وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3). Surah ini menegaskan pentingnya waktu dan bagaimana manusia akan merugi jika tidak memanfaatkan hidup untuk beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran. Baca juga: Tafsir Surah Al-‘Ashr Pentingnya waktu juga ditegaskan oleh para ulama, seperti Ibnul Qayyim, yang menjelaskan bahwa umur manusia sebenarnya adalah waktu yang ia habiskan dalam ketaatan kepada Allah. Mari kita simak penjelasannya lebih dalam.   HAKIKAT KEHIDUPAN DAN UMUR YANG BERKAH Menurut Ibnul Qayyim, kehidupan sejati adalah kehidupan hati yang dekat dengan Allah. Waktu yang dihabiskan dalam ketakwaan dan kebaikan menjadi hakikat dari umur seseorang. Kebaikan tidak hanya memperpanjang umur, tetapi juga memberikan keberkahan. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا. Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut. وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ. Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88) Selain memahami hakikat umur, kita juga diajarkan untuk memohon kepada Allah agar diberi umur yang panjang dan penuh keberkahan. Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh doa yang dapat kita amalkan.   DOA PANJANG UMUR Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mendoakan keberkahan dalam harta dan umur, seperti doa beliau kepada Anas bin Malik. Doa ini mengajarkan kita bahwa memohon panjang umur adalah sunnah, asalkan dimanfaatkan untuk kebaikan. Diriwayatkan dari Imam Al Bukhari, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi Ummu Sulaim (ibunya Anas). Ketika itu Ummu Sulaim mengatakan bahwa Anas (anaknya) siap menjadi pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau mendoakan Anas dalam urusan akhirat dan dunianya. Di antara do’a beliau pada Anas adalah, اللَّهُمَّ ارْزُقْهُ مَالًا، وَوَلَدًا، وَبَارِكْ لَهُ “Ya Allah, tambahkanlah rizki padanya berupa harta dan anak serta berkahilah dia dengan nikmat tersebut.” (HR. Bukhari no. 1982 dan Muslim no. 660) Dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Anas dengan do’a, اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ “Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480) Dalam do’a di atas terdapat dalil bolehnya meminta pada Allah banyak harta dan banyak anak serta keberkahan dalam harta dan anak. Dan di sini terdapat anjuran untuk mendoakan hal dunia namun disertai dengan mendoakan keberkahan di dalamnya. Yang namanya berkah adalah bertambahnya kebaikan dan kebaikan tersebut tetap terus ada. Harta dan anak bisa jadi berfaedah jika dimanfaatkan dalam kebaikan. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits tersebut menunjukkan bolehnya berdo’a meminta banyak harta dan banyak anak pada Allah. Dan hal ini sama sekali tidak menafikan kebaikan ukhrowi (akhirat).” (Fathul Bari, 4/229) Sedangkan dalil bolehnya meminta panjang umur (asalkan dimanfaatkan dalam kebaikan) adalah hadits dari ‘Abdurrahman bin Abi Bakroh, dari ayahnya Abu Bakroh bahwa ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah, يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ ». قَالَ فَأَىُّ النَّاسِ شَرٌّ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ » “Wahai Rasulullah, manusia mana yang dikatakan baik?” Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun baik amalnya.” “Lalu manusia mana yang dikatakan jelek?”, tanya laki-laki tadi. Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun jelek amalnya.” (HR. Tirmidzi no. 2330, beliau katakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani berkata bahwa hadits ini shahih lighoirihi). Yang dimaksud dengan “baik amalnya” adalah apabila amalan tersebut ikhlas dan ittiba’ (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Memohon kepada Allah agar diberikan umur panjang yang penuh keberkahan adalah sunnah. Salah satu doa yang bisa diamalkan adalah: اللَّهُمَّ أكْثِرْ مَالِي، وَوَلَدِي، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أعْطَيْتَنِي وَأطِلْ حَيَاتِي عَلَى طَاعَتِكَ، وَأحْسِنْ عَمَلِي وَاغْفِرْ لِي ALLOOHUMMA AK-TSIR MAALII WA WALADII, WA BAARIK LII FIIMAA A’THOYTANII WA ATHIL HAYAATII ‘ALA THOO’ATIK WA AHSIN ‘AMALII WAGH-FIR LII. Artinya: Ya Allah perbanyaklah hartaku dan anakku serta berkahilah karunia yang Engkau berikan kepadaku. Panjangkanlah umurku dalam ketaatan kepada-Mu, perbaguslah amalku, dan ampunilah dosa-dosaku. Baca juga: Doa Meminta Panjang Umur Namun, doa saja tidak cukup. Ada amalan-amalan yang dapat kita lakukan untuk menjaga keberkahan umur dan menghindari kerugian di dunia maupun akhirat.   AMALAN AGAR UMUR PANJANG DAN PENUH KEBERKAHAN Pertama: Menjaga ketaatan dan menjauhi maksiat Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ. Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87) Baca juga: Dampak Maksiat, Mengurangi Umur   Kedua: Berbakti kepada orang tua Berbakti kepada orang tua adalah amalan mulia yang menjamin keberkahan hidup. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُمَدَّ لَهُ فِي عُمْرِهِ وَأَنْ يُزَادَ لَهُ فِي رِزْقِهِ فَلْيَبَرَّ وَالِدَيْهِ وَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Barang siapa yang ingin umurnya dipanjangkan dan rezekinya diluaskan, maka hendaklah ia berbakti kepada kedua orang tuanya dan menjalin silaturahim dengan kerabatnya.” (HR. Ahmad, 3:229; 3:266. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menilai hadits ini shahih dengan sanad yang hasan). Baca juga: Cara Membahagiakan Orang Tua   Ketiga: Menyambung silaturahim Menyambung tali silaturahim (menyambung hubungan keluarga yang terputus) merupakan salah satu amalan yang sangat dianjurkan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari, no. 5985; Muslim, no. 2557). Hadits ini menunjukkan hubungan antara kebaikan sosial terhadap kerabat dengan keberkahan duniawi. Dengan menyambung silaturahim, seseorang mendapatkan kelapangan rezeki dan umur yang penuh keberkahan. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, مَنِ اتَّقَى رَبَّهُ، وَوَصَلَ رَحِمَهُ، نُسّىءَ فِي أَجَلِه وَثَرَى مَالَهُ، وَأَحَبَّهُ أَهْلُهُ “Barang siapa bertakwa kepada Rabb-nya dan menyambung silaturahim, niscaya umurnya diperpanjang, hartanya dilimpahkan, dan keluarganya akan mencintainya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 58, hasan). Baca juga: Keutamaan Menyambung Silaturahim   Keempat: Memperbanyak istighfar Memohon ampun kepada Allah adalah kunci untuk mendapatkan hidup penuh keberkahan. Allah Ta’ala berfirman, فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12) “Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12) Baca juga:  Istighfar Sebab Kemudahan Rezeki dan Turunnya Hujan Keutamaan Istighfar Sebagai Penghalang Musibah   Kelima: Jadikah akhir hidup itu baik (husnul khatimah) Dalam hadits disebutkan, وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6607) Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari hadits berikut. عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ نَظَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى رَجُلٍ يُقَاتِلُ الْمُشْرِكِينَ ، وَكَانَ مِنْ أَعْظَمِ الْمُسْلِمِينَ غَنَاءً عَنْهُمْ فَقَالَ « مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا » . فَتَبِعَهُ رَجُلٌ فَلَمْ يَزَلْ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى جُرِحَ ، فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ . فَقَالَ بِذُبَابَةِ سَيْفِهِ ، فَوَضَعَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ، فَتَحَامَلَ عَلَيْهِ ، حَتَّى خَرَجَ مِنْ بَيْنِ كَتِفَيْهِ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ النَّارِ ، وَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِخَوَاتِيمِهَا » Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat ada yang membunuh orang-orang musyrik dan ia merupakan salah seorang prajurit muslimin yang gagah berani. Namun anehnya beliau malah berujar, “Siapa yang ingin melihat seorang penduduk neraka, silakan lihat orang ini.” Kontan seseorang menguntitnya, dan terus ia kuntit hingga prajurit tadi terluka dan ia sendiri ingin segera mati (tak kuat menahan sakit, pen.). Lalu serta merta, ia ambil ujung pedangnya dan ia letakkan di dadanya, lantas ia hunjamkan hingga menembus di antara kedua lengannya. Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh ada seorang hamba yang menurut pandangan orang banyak mengamalkan amalan penghuni surga, namun berakhir menjadi penghuni neraka. Sebaliknya ada seorang hamba yang menurut pandangan orang melakukan amalan-amalan penduduk neraka, namun berakhir dengan menjadi penghuni surga. Sungguh amalan itu dilihat dari akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6493) Amalan yang dimaksud di sini adalah amalan shalih, bisa juga amalan jelek. Yang dimaksud ‘bil khawatim’ adalah amalan yang dilakukan di akhir umurnya atau akhir hayatnya. Az-Zarqani dalam Syarh Al-Muwatha’ menyatakan bahwa amalan akhir manusia itulah yang jadi penentu dan atas amalan itulah akan dibalas. Siapa yang beramal jelek lalu beralih beramal baik, maka ia dinilai sebagai orang yang bertaubat. Sebaliknya, siapa yang berpindah dari iman menjadi kufur, maka ia dianggap murtad.   Keenam: Jangan malah tua-tua keladi, makin tua, makin menjadi Dalam hadits disebutkan, قَلْبُ الشَّيْخِ شَابٌّ عَلَى حُبِّ اثْنَتَيْنِ حُبِّ الْعَيْشِ وَالْمَالِ “Masih ada yang sudah berumur memiliki hati seperti anak muda yaitu mencintai dua hal: cinta berumur panjang (panjang angan-angan) dan cinta harta.” (HR. Muslim, no. 1046) Dalam riwayat lain disebutkan, يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَتَشِبُّ مِنْهُ اثْنَتَانِ الْحِرْصُ عَلَى الْمَالِ وَالْحِرْصُ عَلَى الْعُمُرِ “Ada yang sudah tua dari usia, namun masih bernafsu seperti anak muda yaitu dalam dua hal: tamak pada harta dan terus panjang angan-angan (ingin terus hidup lama).” (HR. Muslim, no. 1047) Baca juga: Tanda Husnul Khatimah   KESIMPULAN Hidup yang diberkahi adalah hidup yang diisi dengan ketaatan kepada Allah, doa yang tulus, dan amalan-amalan yang mendekatkan kita kepada kebaikan. Semoga kita termasuk hamba yang diberi umur panjang, penuh keberkahan, dan husnul khatimah. – Disusun @ Siyono Gunungkidul, 19 Rajab 1446 H Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan panjang umur dan rezeki berbakti kepada orang tua memperpanjang umur cara husnul khatimah cara mendapatkan keberkahan hidup dampak maksiat pada umur doa memohon keberkahan rezeki doa nabi untuk keberkahan hidup doa panjang umur islami hakikat umur yang berkah istighfar pembuka rezeki keutamaan waktu dalam islam kiat panjang umur kiat umur berkah panjang umur pentingnya ketaatan kepada Allah. pentingnya silaturahim dalam islam surah Al-'Ashr dan hikmahnya tanda-tanda husnul khatimah umur berkah umur panjang
Waktu adalah anugerah Allah yang paling berharga, namun sering terabaikan. Islam mengajarkan kita untuk memanfaatkan usia dengan beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan serta kesabaran, agar hidup penuh keberkahan.   KEUTAMAAN WAKTU DALAM ISLAM Allah Ta’ala berfirman dalam Surah Al-‘Ashr tentang pentingnya waktu dan kerugian manusia yang tidak memanfaatkannya untuk kebaikan. Hal ini menegaskan bahwa hidup kita harus diisi dengan keimanan, amal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan serta kesabaran. Allah Ta’ala berfirman, وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3). Surah ini menegaskan pentingnya waktu dan bagaimana manusia akan merugi jika tidak memanfaatkan hidup untuk beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran. Baca juga: Tafsir Surah Al-‘Ashr Pentingnya waktu juga ditegaskan oleh para ulama, seperti Ibnul Qayyim, yang menjelaskan bahwa umur manusia sebenarnya adalah waktu yang ia habiskan dalam ketaatan kepada Allah. Mari kita simak penjelasannya lebih dalam.   HAKIKAT KEHIDUPAN DAN UMUR YANG BERKAH Menurut Ibnul Qayyim, kehidupan sejati adalah kehidupan hati yang dekat dengan Allah. Waktu yang dihabiskan dalam ketakwaan dan kebaikan menjadi hakikat dari umur seseorang. Kebaikan tidak hanya memperpanjang umur, tetapi juga memberikan keberkahan. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا. Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut. وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ. Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88) Selain memahami hakikat umur, kita juga diajarkan untuk memohon kepada Allah agar diberi umur yang panjang dan penuh keberkahan. Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh doa yang dapat kita amalkan.   DOA PANJANG UMUR Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mendoakan keberkahan dalam harta dan umur, seperti doa beliau kepada Anas bin Malik. Doa ini mengajarkan kita bahwa memohon panjang umur adalah sunnah, asalkan dimanfaatkan untuk kebaikan. Diriwayatkan dari Imam Al Bukhari, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi Ummu Sulaim (ibunya Anas). Ketika itu Ummu Sulaim mengatakan bahwa Anas (anaknya) siap menjadi pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau mendoakan Anas dalam urusan akhirat dan dunianya. Di antara do’a beliau pada Anas adalah, اللَّهُمَّ ارْزُقْهُ مَالًا، وَوَلَدًا، وَبَارِكْ لَهُ “Ya Allah, tambahkanlah rizki padanya berupa harta dan anak serta berkahilah dia dengan nikmat tersebut.” (HR. Bukhari no. 1982 dan Muslim no. 660) Dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Anas dengan do’a, اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ “Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480) Dalam do’a di atas terdapat dalil bolehnya meminta pada Allah banyak harta dan banyak anak serta keberkahan dalam harta dan anak. Dan di sini terdapat anjuran untuk mendoakan hal dunia namun disertai dengan mendoakan keberkahan di dalamnya. Yang namanya berkah adalah bertambahnya kebaikan dan kebaikan tersebut tetap terus ada. Harta dan anak bisa jadi berfaedah jika dimanfaatkan dalam kebaikan. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits tersebut menunjukkan bolehnya berdo’a meminta banyak harta dan banyak anak pada Allah. Dan hal ini sama sekali tidak menafikan kebaikan ukhrowi (akhirat).” (Fathul Bari, 4/229) Sedangkan dalil bolehnya meminta panjang umur (asalkan dimanfaatkan dalam kebaikan) adalah hadits dari ‘Abdurrahman bin Abi Bakroh, dari ayahnya Abu Bakroh bahwa ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah, يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ ». قَالَ فَأَىُّ النَّاسِ شَرٌّ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ » “Wahai Rasulullah, manusia mana yang dikatakan baik?” Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun baik amalnya.” “Lalu manusia mana yang dikatakan jelek?”, tanya laki-laki tadi. Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun jelek amalnya.” (HR. Tirmidzi no. 2330, beliau katakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani berkata bahwa hadits ini shahih lighoirihi). Yang dimaksud dengan “baik amalnya” adalah apabila amalan tersebut ikhlas dan ittiba’ (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Memohon kepada Allah agar diberikan umur panjang yang penuh keberkahan adalah sunnah. Salah satu doa yang bisa diamalkan adalah: اللَّهُمَّ أكْثِرْ مَالِي، وَوَلَدِي، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أعْطَيْتَنِي وَأطِلْ حَيَاتِي عَلَى طَاعَتِكَ، وَأحْسِنْ عَمَلِي وَاغْفِرْ لِي ALLOOHUMMA AK-TSIR MAALII WA WALADII, WA BAARIK LII FIIMAA A’THOYTANII WA ATHIL HAYAATII ‘ALA THOO’ATIK WA AHSIN ‘AMALII WAGH-FIR LII. Artinya: Ya Allah perbanyaklah hartaku dan anakku serta berkahilah karunia yang Engkau berikan kepadaku. Panjangkanlah umurku dalam ketaatan kepada-Mu, perbaguslah amalku, dan ampunilah dosa-dosaku. Baca juga: Doa Meminta Panjang Umur Namun, doa saja tidak cukup. Ada amalan-amalan yang dapat kita lakukan untuk menjaga keberkahan umur dan menghindari kerugian di dunia maupun akhirat.   AMALAN AGAR UMUR PANJANG DAN PENUH KEBERKAHAN Pertama: Menjaga ketaatan dan menjauhi maksiat Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ. Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87) Baca juga: Dampak Maksiat, Mengurangi Umur   Kedua: Berbakti kepada orang tua Berbakti kepada orang tua adalah amalan mulia yang menjamin keberkahan hidup. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُمَدَّ لَهُ فِي عُمْرِهِ وَأَنْ يُزَادَ لَهُ فِي رِزْقِهِ فَلْيَبَرَّ وَالِدَيْهِ وَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Barang siapa yang ingin umurnya dipanjangkan dan rezekinya diluaskan, maka hendaklah ia berbakti kepada kedua orang tuanya dan menjalin silaturahim dengan kerabatnya.” (HR. Ahmad, 3:229; 3:266. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menilai hadits ini shahih dengan sanad yang hasan). Baca juga: Cara Membahagiakan Orang Tua   Ketiga: Menyambung silaturahim Menyambung tali silaturahim (menyambung hubungan keluarga yang terputus) merupakan salah satu amalan yang sangat dianjurkan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari, no. 5985; Muslim, no. 2557). Hadits ini menunjukkan hubungan antara kebaikan sosial terhadap kerabat dengan keberkahan duniawi. Dengan menyambung silaturahim, seseorang mendapatkan kelapangan rezeki dan umur yang penuh keberkahan. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, مَنِ اتَّقَى رَبَّهُ، وَوَصَلَ رَحِمَهُ، نُسّىءَ فِي أَجَلِه وَثَرَى مَالَهُ، وَأَحَبَّهُ أَهْلُهُ “Barang siapa bertakwa kepada Rabb-nya dan menyambung silaturahim, niscaya umurnya diperpanjang, hartanya dilimpahkan, dan keluarganya akan mencintainya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 58, hasan). Baca juga: Keutamaan Menyambung Silaturahim   Keempat: Memperbanyak istighfar Memohon ampun kepada Allah adalah kunci untuk mendapatkan hidup penuh keberkahan. Allah Ta’ala berfirman, فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12) “Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12) Baca juga:  Istighfar Sebab Kemudahan Rezeki dan Turunnya Hujan Keutamaan Istighfar Sebagai Penghalang Musibah   Kelima: Jadikah akhir hidup itu baik (husnul khatimah) Dalam hadits disebutkan, وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6607) Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari hadits berikut. عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ نَظَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى رَجُلٍ يُقَاتِلُ الْمُشْرِكِينَ ، وَكَانَ مِنْ أَعْظَمِ الْمُسْلِمِينَ غَنَاءً عَنْهُمْ فَقَالَ « مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا » . فَتَبِعَهُ رَجُلٌ فَلَمْ يَزَلْ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى جُرِحَ ، فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ . فَقَالَ بِذُبَابَةِ سَيْفِهِ ، فَوَضَعَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ، فَتَحَامَلَ عَلَيْهِ ، حَتَّى خَرَجَ مِنْ بَيْنِ كَتِفَيْهِ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ النَّارِ ، وَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِخَوَاتِيمِهَا » Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat ada yang membunuh orang-orang musyrik dan ia merupakan salah seorang prajurit muslimin yang gagah berani. Namun anehnya beliau malah berujar, “Siapa yang ingin melihat seorang penduduk neraka, silakan lihat orang ini.” Kontan seseorang menguntitnya, dan terus ia kuntit hingga prajurit tadi terluka dan ia sendiri ingin segera mati (tak kuat menahan sakit, pen.). Lalu serta merta, ia ambil ujung pedangnya dan ia letakkan di dadanya, lantas ia hunjamkan hingga menembus di antara kedua lengannya. Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh ada seorang hamba yang menurut pandangan orang banyak mengamalkan amalan penghuni surga, namun berakhir menjadi penghuni neraka. Sebaliknya ada seorang hamba yang menurut pandangan orang melakukan amalan-amalan penduduk neraka, namun berakhir dengan menjadi penghuni surga. Sungguh amalan itu dilihat dari akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6493) Amalan yang dimaksud di sini adalah amalan shalih, bisa juga amalan jelek. Yang dimaksud ‘bil khawatim’ adalah amalan yang dilakukan di akhir umurnya atau akhir hayatnya. Az-Zarqani dalam Syarh Al-Muwatha’ menyatakan bahwa amalan akhir manusia itulah yang jadi penentu dan atas amalan itulah akan dibalas. Siapa yang beramal jelek lalu beralih beramal baik, maka ia dinilai sebagai orang yang bertaubat. Sebaliknya, siapa yang berpindah dari iman menjadi kufur, maka ia dianggap murtad.   Keenam: Jangan malah tua-tua keladi, makin tua, makin menjadi Dalam hadits disebutkan, قَلْبُ الشَّيْخِ شَابٌّ عَلَى حُبِّ اثْنَتَيْنِ حُبِّ الْعَيْشِ وَالْمَالِ “Masih ada yang sudah berumur memiliki hati seperti anak muda yaitu mencintai dua hal: cinta berumur panjang (panjang angan-angan) dan cinta harta.” (HR. Muslim, no. 1046) Dalam riwayat lain disebutkan, يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَتَشِبُّ مِنْهُ اثْنَتَانِ الْحِرْصُ عَلَى الْمَالِ وَالْحِرْصُ عَلَى الْعُمُرِ “Ada yang sudah tua dari usia, namun masih bernafsu seperti anak muda yaitu dalam dua hal: tamak pada harta dan terus panjang angan-angan (ingin terus hidup lama).” (HR. Muslim, no. 1047) Baca juga: Tanda Husnul Khatimah   KESIMPULAN Hidup yang diberkahi adalah hidup yang diisi dengan ketaatan kepada Allah, doa yang tulus, dan amalan-amalan yang mendekatkan kita kepada kebaikan. Semoga kita termasuk hamba yang diberi umur panjang, penuh keberkahan, dan husnul khatimah. – Disusun @ Siyono Gunungkidul, 19 Rajab 1446 H Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan panjang umur dan rezeki berbakti kepada orang tua memperpanjang umur cara husnul khatimah cara mendapatkan keberkahan hidup dampak maksiat pada umur doa memohon keberkahan rezeki doa nabi untuk keberkahan hidup doa panjang umur islami hakikat umur yang berkah istighfar pembuka rezeki keutamaan waktu dalam islam kiat panjang umur kiat umur berkah panjang umur pentingnya ketaatan kepada Allah. pentingnya silaturahim dalam islam surah Al-'Ashr dan hikmahnya tanda-tanda husnul khatimah umur berkah umur panjang


Waktu adalah anugerah Allah yang paling berharga, namun sering terabaikan. Islam mengajarkan kita untuk memanfaatkan usia dengan beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan serta kesabaran, agar hidup penuh keberkahan.   KEUTAMAAN WAKTU DALAM ISLAM Allah Ta’ala berfirman dalam Surah Al-‘Ashr tentang pentingnya waktu dan kerugian manusia yang tidak memanfaatkannya untuk kebaikan. Hal ini menegaskan bahwa hidup kita harus diisi dengan keimanan, amal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan serta kesabaran. Allah Ta’ala berfirman, وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3). Surah ini menegaskan pentingnya waktu dan bagaimana manusia akan merugi jika tidak memanfaatkan hidup untuk beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran. Baca juga: Tafsir Surah Al-‘Ashr Pentingnya waktu juga ditegaskan oleh para ulama, seperti Ibnul Qayyim, yang menjelaskan bahwa umur manusia sebenarnya adalah waktu yang ia habiskan dalam ketaatan kepada Allah. Mari kita simak penjelasannya lebih dalam.   HAKIKAT KEHIDUPAN DAN UMUR YANG BERKAH Menurut Ibnul Qayyim, kehidupan sejati adalah kehidupan hati yang dekat dengan Allah. Waktu yang dihabiskan dalam ketakwaan dan kebaikan menjadi hakikat dari umur seseorang. Kebaikan tidak hanya memperpanjang umur, tetapi juga memberikan keberkahan. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا. Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut. وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ. Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88) Selain memahami hakikat umur, kita juga diajarkan untuk memohon kepada Allah agar diberi umur yang panjang dan penuh keberkahan. Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh doa yang dapat kita amalkan.   DOA PANJANG UMUR Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mendoakan keberkahan dalam harta dan umur, seperti doa beliau kepada Anas bin Malik. Doa ini mengajarkan kita bahwa memohon panjang umur adalah sunnah, asalkan dimanfaatkan untuk kebaikan. Diriwayatkan dari Imam Al Bukhari, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi Ummu Sulaim (ibunya Anas). Ketika itu Ummu Sulaim mengatakan bahwa Anas (anaknya) siap menjadi pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau mendoakan Anas dalam urusan akhirat dan dunianya. Di antara do’a beliau pada Anas adalah, اللَّهُمَّ ارْزُقْهُ مَالًا، وَوَلَدًا، وَبَارِكْ لَهُ “Ya Allah, tambahkanlah rizki padanya berupa harta dan anak serta berkahilah dia dengan nikmat tersebut.” (HR. Bukhari no. 1982 dan Muslim no. 660) Dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Anas dengan do’a, اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ “Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480) Dalam do’a di atas terdapat dalil bolehnya meminta pada Allah banyak harta dan banyak anak serta keberkahan dalam harta dan anak. Dan di sini terdapat anjuran untuk mendoakan hal dunia namun disertai dengan mendoakan keberkahan di dalamnya. Yang namanya berkah adalah bertambahnya kebaikan dan kebaikan tersebut tetap terus ada. Harta dan anak bisa jadi berfaedah jika dimanfaatkan dalam kebaikan. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits tersebut menunjukkan bolehnya berdo’a meminta banyak harta dan banyak anak pada Allah. Dan hal ini sama sekali tidak menafikan kebaikan ukhrowi (akhirat).” (Fathul Bari, 4/229) Sedangkan dalil bolehnya meminta panjang umur (asalkan dimanfaatkan dalam kebaikan) adalah hadits dari ‘Abdurrahman bin Abi Bakroh, dari ayahnya Abu Bakroh bahwa ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah, يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ ». قَالَ فَأَىُّ النَّاسِ شَرٌّ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ » “Wahai Rasulullah, manusia mana yang dikatakan baik?” Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun baik amalnya.” “Lalu manusia mana yang dikatakan jelek?”, tanya laki-laki tadi. Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun jelek amalnya.” (HR. Tirmidzi no. 2330, beliau katakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani berkata bahwa hadits ini shahih lighoirihi). Yang dimaksud dengan “baik amalnya” adalah apabila amalan tersebut ikhlas dan ittiba’ (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Memohon kepada Allah agar diberikan umur panjang yang penuh keberkahan adalah sunnah. Salah satu doa yang bisa diamalkan adalah: اللَّهُمَّ أكْثِرْ مَالِي، وَوَلَدِي، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أعْطَيْتَنِي وَأطِلْ حَيَاتِي عَلَى طَاعَتِكَ، وَأحْسِنْ عَمَلِي وَاغْفِرْ لِي ALLOOHUMMA AK-TSIR MAALII WA WALADII, WA BAARIK LII FIIMAA A’THOYTANII WA ATHIL HAYAATII ‘ALA THOO’ATIK WA AHSIN ‘AMALII WAGH-FIR LII. Artinya: Ya Allah perbanyaklah hartaku dan anakku serta berkahilah karunia yang Engkau berikan kepadaku. Panjangkanlah umurku dalam ketaatan kepada-Mu, perbaguslah amalku, dan ampunilah dosa-dosaku. Baca juga: Doa Meminta Panjang Umur Namun, doa saja tidak cukup. Ada amalan-amalan yang dapat kita lakukan untuk menjaga keberkahan umur dan menghindari kerugian di dunia maupun akhirat.   AMALAN AGAR UMUR PANJANG DAN PENUH KEBERKAHAN Pertama: Menjaga ketaatan dan menjauhi maksiat Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ. Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87) Baca juga: Dampak Maksiat, Mengurangi Umur   Kedua: Berbakti kepada orang tua Berbakti kepada orang tua adalah amalan mulia yang menjamin keberkahan hidup. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُمَدَّ لَهُ فِي عُمْرِهِ وَأَنْ يُزَادَ لَهُ فِي رِزْقِهِ فَلْيَبَرَّ وَالِدَيْهِ وَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Barang siapa yang ingin umurnya dipanjangkan dan rezekinya diluaskan, maka hendaklah ia berbakti kepada kedua orang tuanya dan menjalin silaturahim dengan kerabatnya.” (HR. Ahmad, 3:229; 3:266. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menilai hadits ini shahih dengan sanad yang hasan). Baca juga: Cara Membahagiakan Orang Tua   Ketiga: Menyambung silaturahim Menyambung tali silaturahim (menyambung hubungan keluarga yang terputus) merupakan salah satu amalan yang sangat dianjurkan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari, no. 5985; Muslim, no. 2557). Hadits ini menunjukkan hubungan antara kebaikan sosial terhadap kerabat dengan keberkahan duniawi. Dengan menyambung silaturahim, seseorang mendapatkan kelapangan rezeki dan umur yang penuh keberkahan. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, مَنِ اتَّقَى رَبَّهُ، وَوَصَلَ رَحِمَهُ، نُسّىءَ فِي أَجَلِه وَثَرَى مَالَهُ، وَأَحَبَّهُ أَهْلُهُ “Barang siapa bertakwa kepada Rabb-nya dan menyambung silaturahim, niscaya umurnya diperpanjang, hartanya dilimpahkan, dan keluarganya akan mencintainya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 58, hasan). Baca juga: Keutamaan Menyambung Silaturahim   Keempat: Memperbanyak istighfar Memohon ampun kepada Allah adalah kunci untuk mendapatkan hidup penuh keberkahan. Allah Ta’ala berfirman, فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12) “Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12) Baca juga:  Istighfar Sebab Kemudahan Rezeki dan Turunnya Hujan Keutamaan Istighfar Sebagai Penghalang Musibah   Kelima: Jadikah akhir hidup itu baik (husnul khatimah) Dalam hadits disebutkan, وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6607) Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari hadits berikut. عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ نَظَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى رَجُلٍ يُقَاتِلُ الْمُشْرِكِينَ ، وَكَانَ مِنْ أَعْظَمِ الْمُسْلِمِينَ غَنَاءً عَنْهُمْ فَقَالَ « مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا » . فَتَبِعَهُ رَجُلٌ فَلَمْ يَزَلْ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى جُرِحَ ، فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ . فَقَالَ بِذُبَابَةِ سَيْفِهِ ، فَوَضَعَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ، فَتَحَامَلَ عَلَيْهِ ، حَتَّى خَرَجَ مِنْ بَيْنِ كَتِفَيْهِ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ النَّارِ ، وَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِخَوَاتِيمِهَا » Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat ada yang membunuh orang-orang musyrik dan ia merupakan salah seorang prajurit muslimin yang gagah berani. Namun anehnya beliau malah berujar, “Siapa yang ingin melihat seorang penduduk neraka, silakan lihat orang ini.” Kontan seseorang menguntitnya, dan terus ia kuntit hingga prajurit tadi terluka dan ia sendiri ingin segera mati (tak kuat menahan sakit, pen.). Lalu serta merta, ia ambil ujung pedangnya dan ia letakkan di dadanya, lantas ia hunjamkan hingga menembus di antara kedua lengannya. Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh ada seorang hamba yang menurut pandangan orang banyak mengamalkan amalan penghuni surga, namun berakhir menjadi penghuni neraka. Sebaliknya ada seorang hamba yang menurut pandangan orang melakukan amalan-amalan penduduk neraka, namun berakhir dengan menjadi penghuni surga. Sungguh amalan itu dilihat dari akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6493) Amalan yang dimaksud di sini adalah amalan shalih, bisa juga amalan jelek. Yang dimaksud ‘bil khawatim’ adalah amalan yang dilakukan di akhir umurnya atau akhir hayatnya. Az-Zarqani dalam Syarh Al-Muwatha’ menyatakan bahwa amalan akhir manusia itulah yang jadi penentu dan atas amalan itulah akan dibalas. Siapa yang beramal jelek lalu beralih beramal baik, maka ia dinilai sebagai orang yang bertaubat. Sebaliknya, siapa yang berpindah dari iman menjadi kufur, maka ia dianggap murtad.   Keenam: Jangan malah tua-tua keladi, makin tua, makin menjadi Dalam hadits disebutkan, قَلْبُ الشَّيْخِ شَابٌّ عَلَى حُبِّ اثْنَتَيْنِ حُبِّ الْعَيْشِ وَالْمَالِ “Masih ada yang sudah berumur memiliki hati seperti anak muda yaitu mencintai dua hal: cinta berumur panjang (panjang angan-angan) dan cinta harta.” (HR. Muslim, no. 1046) Dalam riwayat lain disebutkan, يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَتَشِبُّ مِنْهُ اثْنَتَانِ الْحِرْصُ عَلَى الْمَالِ وَالْحِرْصُ عَلَى الْعُمُرِ “Ada yang sudah tua dari usia, namun masih bernafsu seperti anak muda yaitu dalam dua hal: tamak pada harta dan terus panjang angan-angan (ingin terus hidup lama).” (HR. Muslim, no. 1047) Baca juga: Tanda Husnul Khatimah   KESIMPULAN Hidup yang diberkahi adalah hidup yang diisi dengan ketaatan kepada Allah, doa yang tulus, dan amalan-amalan yang mendekatkan kita kepada kebaikan. Semoga kita termasuk hamba yang diberi umur panjang, penuh keberkahan, dan husnul khatimah. – Disusun @ Siyono Gunungkidul, 19 Rajab 1446 H Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan panjang umur dan rezeki berbakti kepada orang tua memperpanjang umur cara husnul khatimah cara mendapatkan keberkahan hidup dampak maksiat pada umur doa memohon keberkahan rezeki doa nabi untuk keberkahan hidup doa panjang umur islami hakikat umur yang berkah istighfar pembuka rezeki keutamaan waktu dalam islam kiat panjang umur kiat umur berkah panjang umur pentingnya ketaatan kepada Allah. pentingnya silaturahim dalam islam surah Al-'Ashr dan hikmahnya tanda-tanda husnul khatimah umur berkah umur panjang

Mengenal Nama Allah “Al-Majid”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Majid”Kandungan makna nama Allah “Al-Majid“Makna bahasa dari “Al-Majid“Makna “Al-Majid” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Majid” bagi hambaPertama: Beriman kepada luasnya karunia AllahKedua: Mengagungkan Allah melalui tilawah Al-Qur’anKetiga: Berzikir, bertasbih, dan memuji Allah Allah memiliki nama-nama yang indah dan penuh makna yang dikenal dengan Al-Asmaul Husna. Salah satunya adalah Al-Majid, nama yang mencerminkan kebesaran dan kemuliaan-Nya yang tak terbatas. Nama ini mengingatkan kita pada keagungan sifat-sifat Allah yang mencakup segala kesempurnaan yang tidak dapat dijangkau oleh makhluk. Dalam artikel ini, kita akan membahas dalil, makna, dan implikasi nama Al-Majid bagi kehidupan seorang hamba. Semoga pembahasan ini menginspirasi kita untuk lebih mengenal dan mengagungkan Allah dalam setiap aspek kehidupan. Dalil nama Allah “Al-Majid” Nama ini disebutkan sebanyak dua kali dalam Al-Qur’an: Pertama: Dalam firman Allah, رَحْمَتُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَّجِيدٌ “Rahmat Allah dan berkah-Nya atas kamu, wahai Ahlul Bait! Sesungguhnya Dia Maha Terpuji, Mahamulia.” (QS. Hud: 73) Kedua: Dalam firman-Nya, وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ  ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيدُ “Dan Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Pengasih. Pemilik ‘Arsy yang mulia.” (QS. Al-Buruj: 14-15) Pada ayat kedua ini, kata “Al-Majid” dibaca dengan dua cara: Pertama: Dengan rafa’ (Al-Majidu) sebagai sifat Allah. [1] Kedua: Dengan jar (Al-Majidi) sebagai sifat bagi ‘Arasy. [2] Kandungan makna nama Allah “Al-Majid“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Majid” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Majid“ Az-Zajjaji (w. 337 H) mengatakan, “Al-Majid adalah (الكريم) yang dermawan, dan al-majdu berarti kemurahan hati. Kata ini berasal dari ungkapan Arab, «أمجدت الدابة علفًا» ‘Aku memuliakan binatang dengan makanannya’; yang berarti (إذا أكثرته لها) memberinya makanan yang banyak.” [3] Ibn Faris (w. 395 H) mengatakan, “(huruf mim, jim, dan dal) merupakan akar kata yang sahih, yang menunjukkan pencapaian pada puncak. Makna ini hanya digunakan dalam konteks yang terpuji. Dari akar kata ini muncul istilah al-majdu, yang berarti (بُلُوغُ النِّهَايَةِ فِي الْكَرَمِ) pencapaian puncak dalam kemurahan hati.” [4] Al-Fayyumi (w. sekitar 770 H) mengatakan, : (م ج د)  الْمَجْدُ الْعِزُّ وَالشَّرَفُ وَرَجُلٌ مَاجِدٌ كَرِيمٌ شَرِيف “(huruf mim, jim, dan dal) berarti kemuliaan dan kehormatan. Seorang yang disebut majid adalah orang yang dermawan, mulia, dan terhormat.” [5] Dapat disimpulkan bahwa makna al-majdu (secara bahasa) meliputi: Pertama: Kemuliaan yang sempurna dan lengkap. Kedua: Kelimpahan dan keluasan. [6] Makna “Al-Majid” dalam konteks Allah Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, وأما المجد فهو سعة الصفات وعظمتها، فالمجيد يرجع إلى عظمة أوصافه وكثرتها وسعتها، وإلى عظمة ملكه وسلطانه، وإلى تفرده بالكمال المطلق والجلال المطلق والجمال المطلق، الذي لا يمكن العباد أن يحيطوا بشيء من ذلك. “Adapun Al-Majd adalah keluasan sifat-sifat Allah dan keagungannya. Maka, Al-Majid merujuk pada keagungan sifat-sifat Allah, banyaknya, dan luasnya sifat-sifat tersebut. Ia juga merujuk pada keagungan kerajaan dan kekuasaan-Nya, serta pada keunikan-Nya dalam kesempurnaan mutlak, keagungan mutlak, dan keindahan mutlak yang tidak mungkin dapat dilingkupi oleh hamba-hamba-Nya.” [7] Secara lebih rinci, Syekh Abdul Razzaq Al-Badr mengatakan, وهو من الأسماء الحسنى الدالة على أوصاف عديدة لا على معنى مفرد. ومعناه واسع الصفات عظيمها كثير النعوت كريمها “Al-Majid termasuk nama-nama Allah yang indah (Al-Asmaul Husna), yang menunjukkan banyak sifat, bukan hanya satu makna tunggal. Maknanya adalah luasnya sifat-sifat Allah, keagungannya, banyaknya sifat-sifat tersebut, dan kemuliaannya.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Allah adalah yang terbesar dari segala sesuatu, yang paling agung dari segala sesuatu, yang paling mulia, dan yang paling tinggi. Dialah yang memiliki penghormatan dan keagungan di hati para wali-Nya dan hamba-hamba pilihan-Nya. Hati mereka penuh dengan penghormatan, keagungan, ketundukan, dan kerendahan kepada kebesaran-Nya. Tidak ada kemuliaan, kecuali kemuliaan-Nya. Tidak ada keagungan, kecuali keagungan-Nya. Tidak ada keindahan, keagungan, atau kebesaran, kecuali milik-Nya. Nama-nama-Nya semua menunjukkan kemuliaan, sifat-sifat-Nya penuh dengan kemuliaan, dan perbuatan serta ucapan-Nya adalah kemuliaan. Allah adalah Yang Mahamulia dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya.” [8] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Azhim” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Majid” bagi hamba Penetapan nama “Al-Majid” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Beriman kepada luasnya karunia Allah Keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki karunia yang luas dan anugerah-Nya yang melimpah, mencakup orang beriman dan kafir, yang baik maupun yang durhaka. Allah memuliakan diri-Nya dengan hal ini dalam firman-Nya, وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَتَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya.” (QS. Ibrahim: 34) Kedua: Mengagungkan Allah melalui tilawah Al-Qur’an Salah satu cara terbesar untuk mengagungkan dan memuliakan Allah adalah dengan membaca kitab-Nya pada waktu malam dan siang. Sebab, tidak ada seorang pun yang dapat menghitung pujian kepada Allah sebagaimana Dia memuji diri-Nya sendiri. Dalam hadis qudsi, Allah berfirman, قَسَمتُ الصلاةَ بيني وبين عبدي نِصْفَين؛ ولعبدي ما سَأل، فإذا قال العبد: (الحمدُ للهِ ربِّ العَالمين)، قال الله تعالى: حَمَدني عبدي، وإذا قال: (الرَّحْمَن الرَّحِيم)، قال الله تعالى: أثْنى عليَّ عبدي، وإذا قال: (مالك يوم الدين)، قال: مجَّدني عبدي… “Aku membagi salat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Setengahnya untuk-Ku dan setengahnya untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta. Ketika hamba itu berkata, (الحمدُ للهِ ربِّ العَالمين), Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku.’ Ketika dia berkata, (الرَّحْمَن الرَّحِيم), Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.’ Ketika dia berkata, (مالك يوم الدين), Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah memuliakan-Ku …’ ” (HR. Muslim no. 296) [9] Ketiga: Berzikir, bertasbih, dan memuji Allah Kemudian, di antara cara terbesar untuk mengagungkan Allah adalah dengan banyak mengingat-Nya, bertasbih, memuji-Nya, bertakbir, bertahlil, dan melakukan zikir-zikir lain, seperti: hauqalah (ucapan lahaula walaquwwata illa billah), basmalah, hasbalah (hasbunallah wa ni’mal wakil), istigfar, dan berdoa untuk kebaikan dunia dan akhirat. Keadaan ini adalah ciri orang-orang yang berzikir, yang keberadaannya membawa kebahagiaan bagi teman mereka, seperti para nabi, orang-orang yang sangat jujur (shiddiqin), para syuhada, dan orang-orang saleh. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ لله ملائكة يَطُوفون في الطُّرق؛ يلتمسون أهلَ الذكر، فإذا وَجَدوا قوماً يَذْكرون الله؛ تنادوا: هلُمُّوا إلى حَاجتكم، قال: فيَحفُّونهم بأجْنحتهم إلى السَّماء الدنيا، قال: فيَسألهم ربُّهم عزّ وجل وهو أعلمُ منهم: ما يقولُ عِبَادي؟ قال تقول: يُسبّحونك ويكبرِّونك ويَحْمدونك ويُمجِدُونك، قال فيقول: كيفَ لو رأوني؟ قال: يقولون: لو رأوك كانوا أشدَّ لكَ عبادةً، وأشدّ لك تمجيداً، وأكثر لك تسبيحاً…، حتى قال تعالى: فأُشْهدكم أني قد غفرتُ لهم، قال يقول ملكٌ من الملائكة: فيهم فلانٌ ليس منهم، إنما جاء لحاجة، قال: هم الجُلَساء لا يشقى جليسهم. “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang berkeliling di jalan-jalan mencari orang-orang yang berzikir. Ketika mereka menemukan suatu kaum yang berzikir kepada Allah, mereka memanggil satu sama lain, ‘Mari menuju tujuan kita!’ Maka, mereka mengelilingi mereka dengan sayap-sayap mereka hingga ke langit dunia. Kemudian Allah bertanya kepada mereka, padahal Dia lebih mengetahui dari mereka, ‘Apa yang diucapkan oleh hamba-hamba-Ku?’ Malaikat menjawab, ‘Mereka memuji-Mu, membesarkan-Mu, memuliakan-Mu, dan mengagungkan-Mu.’ Allah berfirman, ‘Bagaimana jika mereka melihat-Ku?’ Mereka berkata, ‘Jika mereka melihat-Mu, niscaya mereka akan lebih beribadah kepada-Mu, lebih memuliakan-Mu, dan lebih banyak bertasbih kepada-Mu’ … Hingga Allah berfirman, ‘Aku bersaksi kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka.’ Kemudian seorang malaikat berkata, ‘Di antara mereka ada seorang yang bukan bagian dari mereka. Ia hanya datang untuk suatu keperluan.’ Allah berfirman, ‘Mereka adalah kaum yang tidak membuat celaka orang yang duduk bersama mereka.’” (HR. Bukhari, 11: 208-209) [10] Ya Allah, kami memuji dan mengagungkan-Mu, dan memohon ampunan dari segala dosa dan kesalahan. Jadikan kami termasuk dalam golongan yang selalu menyebut nama-Mu, memuji, dan membaca kitab-Mu pada setiap waktu. Ampunilah dosa-dosa kami dan limpahkanlah karunia-Mu di dunia dan akhirat. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabat-sahabatnya. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Lathif” *** Rumdin PPIA Sragen, 4 Rajab 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar al-Hadith, 1439 H/2008 M. hal 984., jilid 1. Ibnu Abi Maryam, Nashruddin Ali bin Muhammad. Al-Mudhah fi Wujuh Al-Qira’at wa ‘Ilaliha. Tahqiq dan studi oleh Dr. Umar Hamdan Al-Kubaisi. Cetakan Pertama. Makkah: Al-Jama‘ah Al-Khairiyyah li Tahfizh Al-Qur’an Al-Karim, 1414 H/1993 M. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. As-Si‘diy, Abdurrahman bin Nashir. Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam fi ‘Ilm Al-‘Aqa’id wa At-Tauhid wa Al-Akhlaq wa Al-Ahkam Al-Mustanbithah min Al-Qur’an. Riyadh: Dar Fadhilah. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Asma Al-Husna, hal. 231. [2] Ini adalah qiraah Hamzah dan Al-Kisai, lihat Al-Mudhah, hal. 1356. Lihat juga An-Nahj Al-Asma, hal. 299. [3] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 152. [4] Maqayis Al-Lughah, hal. 852. [5] Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 577. [6] An-Nahj Al-Asma, hal. 298. [7] Fathur Rahim Al-Malikul ‘Allam, hal. 43. [8] Fiqhul Asma Al-Husna, hal. 231. [9] An-Nahjul Asma, hal. 300. [10] ibid, hal. 301.

Mengenal Nama Allah “Al-Majid”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Majid”Kandungan makna nama Allah “Al-Majid“Makna bahasa dari “Al-Majid“Makna “Al-Majid” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Majid” bagi hambaPertama: Beriman kepada luasnya karunia AllahKedua: Mengagungkan Allah melalui tilawah Al-Qur’anKetiga: Berzikir, bertasbih, dan memuji Allah Allah memiliki nama-nama yang indah dan penuh makna yang dikenal dengan Al-Asmaul Husna. Salah satunya adalah Al-Majid, nama yang mencerminkan kebesaran dan kemuliaan-Nya yang tak terbatas. Nama ini mengingatkan kita pada keagungan sifat-sifat Allah yang mencakup segala kesempurnaan yang tidak dapat dijangkau oleh makhluk. Dalam artikel ini, kita akan membahas dalil, makna, dan implikasi nama Al-Majid bagi kehidupan seorang hamba. Semoga pembahasan ini menginspirasi kita untuk lebih mengenal dan mengagungkan Allah dalam setiap aspek kehidupan. Dalil nama Allah “Al-Majid” Nama ini disebutkan sebanyak dua kali dalam Al-Qur’an: Pertama: Dalam firman Allah, رَحْمَتُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَّجِيدٌ “Rahmat Allah dan berkah-Nya atas kamu, wahai Ahlul Bait! Sesungguhnya Dia Maha Terpuji, Mahamulia.” (QS. Hud: 73) Kedua: Dalam firman-Nya, وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ  ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيدُ “Dan Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Pengasih. Pemilik ‘Arsy yang mulia.” (QS. Al-Buruj: 14-15) Pada ayat kedua ini, kata “Al-Majid” dibaca dengan dua cara: Pertama: Dengan rafa’ (Al-Majidu) sebagai sifat Allah. [1] Kedua: Dengan jar (Al-Majidi) sebagai sifat bagi ‘Arasy. [2] Kandungan makna nama Allah “Al-Majid“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Majid” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Majid“ Az-Zajjaji (w. 337 H) mengatakan, “Al-Majid adalah (الكريم) yang dermawan, dan al-majdu berarti kemurahan hati. Kata ini berasal dari ungkapan Arab, «أمجدت الدابة علفًا» ‘Aku memuliakan binatang dengan makanannya’; yang berarti (إذا أكثرته لها) memberinya makanan yang banyak.” [3] Ibn Faris (w. 395 H) mengatakan, “(huruf mim, jim, dan dal) merupakan akar kata yang sahih, yang menunjukkan pencapaian pada puncak. Makna ini hanya digunakan dalam konteks yang terpuji. Dari akar kata ini muncul istilah al-majdu, yang berarti (بُلُوغُ النِّهَايَةِ فِي الْكَرَمِ) pencapaian puncak dalam kemurahan hati.” [4] Al-Fayyumi (w. sekitar 770 H) mengatakan, : (م ج د)  الْمَجْدُ الْعِزُّ وَالشَّرَفُ وَرَجُلٌ مَاجِدٌ كَرِيمٌ شَرِيف “(huruf mim, jim, dan dal) berarti kemuliaan dan kehormatan. Seorang yang disebut majid adalah orang yang dermawan, mulia, dan terhormat.” [5] Dapat disimpulkan bahwa makna al-majdu (secara bahasa) meliputi: Pertama: Kemuliaan yang sempurna dan lengkap. Kedua: Kelimpahan dan keluasan. [6] Makna “Al-Majid” dalam konteks Allah Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, وأما المجد فهو سعة الصفات وعظمتها، فالمجيد يرجع إلى عظمة أوصافه وكثرتها وسعتها، وإلى عظمة ملكه وسلطانه، وإلى تفرده بالكمال المطلق والجلال المطلق والجمال المطلق، الذي لا يمكن العباد أن يحيطوا بشيء من ذلك. “Adapun Al-Majd adalah keluasan sifat-sifat Allah dan keagungannya. Maka, Al-Majid merujuk pada keagungan sifat-sifat Allah, banyaknya, dan luasnya sifat-sifat tersebut. Ia juga merujuk pada keagungan kerajaan dan kekuasaan-Nya, serta pada keunikan-Nya dalam kesempurnaan mutlak, keagungan mutlak, dan keindahan mutlak yang tidak mungkin dapat dilingkupi oleh hamba-hamba-Nya.” [7] Secara lebih rinci, Syekh Abdul Razzaq Al-Badr mengatakan, وهو من الأسماء الحسنى الدالة على أوصاف عديدة لا على معنى مفرد. ومعناه واسع الصفات عظيمها كثير النعوت كريمها “Al-Majid termasuk nama-nama Allah yang indah (Al-Asmaul Husna), yang menunjukkan banyak sifat, bukan hanya satu makna tunggal. Maknanya adalah luasnya sifat-sifat Allah, keagungannya, banyaknya sifat-sifat tersebut, dan kemuliaannya.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Allah adalah yang terbesar dari segala sesuatu, yang paling agung dari segala sesuatu, yang paling mulia, dan yang paling tinggi. Dialah yang memiliki penghormatan dan keagungan di hati para wali-Nya dan hamba-hamba pilihan-Nya. Hati mereka penuh dengan penghormatan, keagungan, ketundukan, dan kerendahan kepada kebesaran-Nya. Tidak ada kemuliaan, kecuali kemuliaan-Nya. Tidak ada keagungan, kecuali keagungan-Nya. Tidak ada keindahan, keagungan, atau kebesaran, kecuali milik-Nya. Nama-nama-Nya semua menunjukkan kemuliaan, sifat-sifat-Nya penuh dengan kemuliaan, dan perbuatan serta ucapan-Nya adalah kemuliaan. Allah adalah Yang Mahamulia dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya.” [8] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Azhim” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Majid” bagi hamba Penetapan nama “Al-Majid” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Beriman kepada luasnya karunia Allah Keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki karunia yang luas dan anugerah-Nya yang melimpah, mencakup orang beriman dan kafir, yang baik maupun yang durhaka. Allah memuliakan diri-Nya dengan hal ini dalam firman-Nya, وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَتَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya.” (QS. Ibrahim: 34) Kedua: Mengagungkan Allah melalui tilawah Al-Qur’an Salah satu cara terbesar untuk mengagungkan dan memuliakan Allah adalah dengan membaca kitab-Nya pada waktu malam dan siang. Sebab, tidak ada seorang pun yang dapat menghitung pujian kepada Allah sebagaimana Dia memuji diri-Nya sendiri. Dalam hadis qudsi, Allah berfirman, قَسَمتُ الصلاةَ بيني وبين عبدي نِصْفَين؛ ولعبدي ما سَأل، فإذا قال العبد: (الحمدُ للهِ ربِّ العَالمين)، قال الله تعالى: حَمَدني عبدي، وإذا قال: (الرَّحْمَن الرَّحِيم)، قال الله تعالى: أثْنى عليَّ عبدي، وإذا قال: (مالك يوم الدين)، قال: مجَّدني عبدي… “Aku membagi salat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Setengahnya untuk-Ku dan setengahnya untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta. Ketika hamba itu berkata, (الحمدُ للهِ ربِّ العَالمين), Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku.’ Ketika dia berkata, (الرَّحْمَن الرَّحِيم), Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.’ Ketika dia berkata, (مالك يوم الدين), Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah memuliakan-Ku …’ ” (HR. Muslim no. 296) [9] Ketiga: Berzikir, bertasbih, dan memuji Allah Kemudian, di antara cara terbesar untuk mengagungkan Allah adalah dengan banyak mengingat-Nya, bertasbih, memuji-Nya, bertakbir, bertahlil, dan melakukan zikir-zikir lain, seperti: hauqalah (ucapan lahaula walaquwwata illa billah), basmalah, hasbalah (hasbunallah wa ni’mal wakil), istigfar, dan berdoa untuk kebaikan dunia dan akhirat. Keadaan ini adalah ciri orang-orang yang berzikir, yang keberadaannya membawa kebahagiaan bagi teman mereka, seperti para nabi, orang-orang yang sangat jujur (shiddiqin), para syuhada, dan orang-orang saleh. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ لله ملائكة يَطُوفون في الطُّرق؛ يلتمسون أهلَ الذكر، فإذا وَجَدوا قوماً يَذْكرون الله؛ تنادوا: هلُمُّوا إلى حَاجتكم، قال: فيَحفُّونهم بأجْنحتهم إلى السَّماء الدنيا، قال: فيَسألهم ربُّهم عزّ وجل وهو أعلمُ منهم: ما يقولُ عِبَادي؟ قال تقول: يُسبّحونك ويكبرِّونك ويَحْمدونك ويُمجِدُونك، قال فيقول: كيفَ لو رأوني؟ قال: يقولون: لو رأوك كانوا أشدَّ لكَ عبادةً، وأشدّ لك تمجيداً، وأكثر لك تسبيحاً…، حتى قال تعالى: فأُشْهدكم أني قد غفرتُ لهم، قال يقول ملكٌ من الملائكة: فيهم فلانٌ ليس منهم، إنما جاء لحاجة، قال: هم الجُلَساء لا يشقى جليسهم. “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang berkeliling di jalan-jalan mencari orang-orang yang berzikir. Ketika mereka menemukan suatu kaum yang berzikir kepada Allah, mereka memanggil satu sama lain, ‘Mari menuju tujuan kita!’ Maka, mereka mengelilingi mereka dengan sayap-sayap mereka hingga ke langit dunia. Kemudian Allah bertanya kepada mereka, padahal Dia lebih mengetahui dari mereka, ‘Apa yang diucapkan oleh hamba-hamba-Ku?’ Malaikat menjawab, ‘Mereka memuji-Mu, membesarkan-Mu, memuliakan-Mu, dan mengagungkan-Mu.’ Allah berfirman, ‘Bagaimana jika mereka melihat-Ku?’ Mereka berkata, ‘Jika mereka melihat-Mu, niscaya mereka akan lebih beribadah kepada-Mu, lebih memuliakan-Mu, dan lebih banyak bertasbih kepada-Mu’ … Hingga Allah berfirman, ‘Aku bersaksi kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka.’ Kemudian seorang malaikat berkata, ‘Di antara mereka ada seorang yang bukan bagian dari mereka. Ia hanya datang untuk suatu keperluan.’ Allah berfirman, ‘Mereka adalah kaum yang tidak membuat celaka orang yang duduk bersama mereka.’” (HR. Bukhari, 11: 208-209) [10] Ya Allah, kami memuji dan mengagungkan-Mu, dan memohon ampunan dari segala dosa dan kesalahan. Jadikan kami termasuk dalam golongan yang selalu menyebut nama-Mu, memuji, dan membaca kitab-Mu pada setiap waktu. Ampunilah dosa-dosa kami dan limpahkanlah karunia-Mu di dunia dan akhirat. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabat-sahabatnya. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Lathif” *** Rumdin PPIA Sragen, 4 Rajab 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar al-Hadith, 1439 H/2008 M. hal 984., jilid 1. Ibnu Abi Maryam, Nashruddin Ali bin Muhammad. Al-Mudhah fi Wujuh Al-Qira’at wa ‘Ilaliha. Tahqiq dan studi oleh Dr. Umar Hamdan Al-Kubaisi. Cetakan Pertama. Makkah: Al-Jama‘ah Al-Khairiyyah li Tahfizh Al-Qur’an Al-Karim, 1414 H/1993 M. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. As-Si‘diy, Abdurrahman bin Nashir. Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam fi ‘Ilm Al-‘Aqa’id wa At-Tauhid wa Al-Akhlaq wa Al-Ahkam Al-Mustanbithah min Al-Qur’an. Riyadh: Dar Fadhilah. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Asma Al-Husna, hal. 231. [2] Ini adalah qiraah Hamzah dan Al-Kisai, lihat Al-Mudhah, hal. 1356. Lihat juga An-Nahj Al-Asma, hal. 299. [3] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 152. [4] Maqayis Al-Lughah, hal. 852. [5] Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 577. [6] An-Nahj Al-Asma, hal. 298. [7] Fathur Rahim Al-Malikul ‘Allam, hal. 43. [8] Fiqhul Asma Al-Husna, hal. 231. [9] An-Nahjul Asma, hal. 300. [10] ibid, hal. 301.
Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Majid”Kandungan makna nama Allah “Al-Majid“Makna bahasa dari “Al-Majid“Makna “Al-Majid” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Majid” bagi hambaPertama: Beriman kepada luasnya karunia AllahKedua: Mengagungkan Allah melalui tilawah Al-Qur’anKetiga: Berzikir, bertasbih, dan memuji Allah Allah memiliki nama-nama yang indah dan penuh makna yang dikenal dengan Al-Asmaul Husna. Salah satunya adalah Al-Majid, nama yang mencerminkan kebesaran dan kemuliaan-Nya yang tak terbatas. Nama ini mengingatkan kita pada keagungan sifat-sifat Allah yang mencakup segala kesempurnaan yang tidak dapat dijangkau oleh makhluk. Dalam artikel ini, kita akan membahas dalil, makna, dan implikasi nama Al-Majid bagi kehidupan seorang hamba. Semoga pembahasan ini menginspirasi kita untuk lebih mengenal dan mengagungkan Allah dalam setiap aspek kehidupan. Dalil nama Allah “Al-Majid” Nama ini disebutkan sebanyak dua kali dalam Al-Qur’an: Pertama: Dalam firman Allah, رَحْمَتُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَّجِيدٌ “Rahmat Allah dan berkah-Nya atas kamu, wahai Ahlul Bait! Sesungguhnya Dia Maha Terpuji, Mahamulia.” (QS. Hud: 73) Kedua: Dalam firman-Nya, وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ  ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيدُ “Dan Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Pengasih. Pemilik ‘Arsy yang mulia.” (QS. Al-Buruj: 14-15) Pada ayat kedua ini, kata “Al-Majid” dibaca dengan dua cara: Pertama: Dengan rafa’ (Al-Majidu) sebagai sifat Allah. [1] Kedua: Dengan jar (Al-Majidi) sebagai sifat bagi ‘Arasy. [2] Kandungan makna nama Allah “Al-Majid“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Majid” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Majid“ Az-Zajjaji (w. 337 H) mengatakan, “Al-Majid adalah (الكريم) yang dermawan, dan al-majdu berarti kemurahan hati. Kata ini berasal dari ungkapan Arab, «أمجدت الدابة علفًا» ‘Aku memuliakan binatang dengan makanannya’; yang berarti (إذا أكثرته لها) memberinya makanan yang banyak.” [3] Ibn Faris (w. 395 H) mengatakan, “(huruf mim, jim, dan dal) merupakan akar kata yang sahih, yang menunjukkan pencapaian pada puncak. Makna ini hanya digunakan dalam konteks yang terpuji. Dari akar kata ini muncul istilah al-majdu, yang berarti (بُلُوغُ النِّهَايَةِ فِي الْكَرَمِ) pencapaian puncak dalam kemurahan hati.” [4] Al-Fayyumi (w. sekitar 770 H) mengatakan, : (م ج د)  الْمَجْدُ الْعِزُّ وَالشَّرَفُ وَرَجُلٌ مَاجِدٌ كَرِيمٌ شَرِيف “(huruf mim, jim, dan dal) berarti kemuliaan dan kehormatan. Seorang yang disebut majid adalah orang yang dermawan, mulia, dan terhormat.” [5] Dapat disimpulkan bahwa makna al-majdu (secara bahasa) meliputi: Pertama: Kemuliaan yang sempurna dan lengkap. Kedua: Kelimpahan dan keluasan. [6] Makna “Al-Majid” dalam konteks Allah Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, وأما المجد فهو سعة الصفات وعظمتها، فالمجيد يرجع إلى عظمة أوصافه وكثرتها وسعتها، وإلى عظمة ملكه وسلطانه، وإلى تفرده بالكمال المطلق والجلال المطلق والجمال المطلق، الذي لا يمكن العباد أن يحيطوا بشيء من ذلك. “Adapun Al-Majd adalah keluasan sifat-sifat Allah dan keagungannya. Maka, Al-Majid merujuk pada keagungan sifat-sifat Allah, banyaknya, dan luasnya sifat-sifat tersebut. Ia juga merujuk pada keagungan kerajaan dan kekuasaan-Nya, serta pada keunikan-Nya dalam kesempurnaan mutlak, keagungan mutlak, dan keindahan mutlak yang tidak mungkin dapat dilingkupi oleh hamba-hamba-Nya.” [7] Secara lebih rinci, Syekh Abdul Razzaq Al-Badr mengatakan, وهو من الأسماء الحسنى الدالة على أوصاف عديدة لا على معنى مفرد. ومعناه واسع الصفات عظيمها كثير النعوت كريمها “Al-Majid termasuk nama-nama Allah yang indah (Al-Asmaul Husna), yang menunjukkan banyak sifat, bukan hanya satu makna tunggal. Maknanya adalah luasnya sifat-sifat Allah, keagungannya, banyaknya sifat-sifat tersebut, dan kemuliaannya.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Allah adalah yang terbesar dari segala sesuatu, yang paling agung dari segala sesuatu, yang paling mulia, dan yang paling tinggi. Dialah yang memiliki penghormatan dan keagungan di hati para wali-Nya dan hamba-hamba pilihan-Nya. Hati mereka penuh dengan penghormatan, keagungan, ketundukan, dan kerendahan kepada kebesaran-Nya. Tidak ada kemuliaan, kecuali kemuliaan-Nya. Tidak ada keagungan, kecuali keagungan-Nya. Tidak ada keindahan, keagungan, atau kebesaran, kecuali milik-Nya. Nama-nama-Nya semua menunjukkan kemuliaan, sifat-sifat-Nya penuh dengan kemuliaan, dan perbuatan serta ucapan-Nya adalah kemuliaan. Allah adalah Yang Mahamulia dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya.” [8] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Azhim” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Majid” bagi hamba Penetapan nama “Al-Majid” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Beriman kepada luasnya karunia Allah Keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki karunia yang luas dan anugerah-Nya yang melimpah, mencakup orang beriman dan kafir, yang baik maupun yang durhaka. Allah memuliakan diri-Nya dengan hal ini dalam firman-Nya, وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَتَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya.” (QS. Ibrahim: 34) Kedua: Mengagungkan Allah melalui tilawah Al-Qur’an Salah satu cara terbesar untuk mengagungkan dan memuliakan Allah adalah dengan membaca kitab-Nya pada waktu malam dan siang. Sebab, tidak ada seorang pun yang dapat menghitung pujian kepada Allah sebagaimana Dia memuji diri-Nya sendiri. Dalam hadis qudsi, Allah berfirman, قَسَمتُ الصلاةَ بيني وبين عبدي نِصْفَين؛ ولعبدي ما سَأل، فإذا قال العبد: (الحمدُ للهِ ربِّ العَالمين)، قال الله تعالى: حَمَدني عبدي، وإذا قال: (الرَّحْمَن الرَّحِيم)، قال الله تعالى: أثْنى عليَّ عبدي، وإذا قال: (مالك يوم الدين)، قال: مجَّدني عبدي… “Aku membagi salat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Setengahnya untuk-Ku dan setengahnya untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta. Ketika hamba itu berkata, (الحمدُ للهِ ربِّ العَالمين), Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku.’ Ketika dia berkata, (الرَّحْمَن الرَّحِيم), Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.’ Ketika dia berkata, (مالك يوم الدين), Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah memuliakan-Ku …’ ” (HR. Muslim no. 296) [9] Ketiga: Berzikir, bertasbih, dan memuji Allah Kemudian, di antara cara terbesar untuk mengagungkan Allah adalah dengan banyak mengingat-Nya, bertasbih, memuji-Nya, bertakbir, bertahlil, dan melakukan zikir-zikir lain, seperti: hauqalah (ucapan lahaula walaquwwata illa billah), basmalah, hasbalah (hasbunallah wa ni’mal wakil), istigfar, dan berdoa untuk kebaikan dunia dan akhirat. Keadaan ini adalah ciri orang-orang yang berzikir, yang keberadaannya membawa kebahagiaan bagi teman mereka, seperti para nabi, orang-orang yang sangat jujur (shiddiqin), para syuhada, dan orang-orang saleh. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ لله ملائكة يَطُوفون في الطُّرق؛ يلتمسون أهلَ الذكر، فإذا وَجَدوا قوماً يَذْكرون الله؛ تنادوا: هلُمُّوا إلى حَاجتكم، قال: فيَحفُّونهم بأجْنحتهم إلى السَّماء الدنيا، قال: فيَسألهم ربُّهم عزّ وجل وهو أعلمُ منهم: ما يقولُ عِبَادي؟ قال تقول: يُسبّحونك ويكبرِّونك ويَحْمدونك ويُمجِدُونك، قال فيقول: كيفَ لو رأوني؟ قال: يقولون: لو رأوك كانوا أشدَّ لكَ عبادةً، وأشدّ لك تمجيداً، وأكثر لك تسبيحاً…، حتى قال تعالى: فأُشْهدكم أني قد غفرتُ لهم، قال يقول ملكٌ من الملائكة: فيهم فلانٌ ليس منهم، إنما جاء لحاجة، قال: هم الجُلَساء لا يشقى جليسهم. “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang berkeliling di jalan-jalan mencari orang-orang yang berzikir. Ketika mereka menemukan suatu kaum yang berzikir kepada Allah, mereka memanggil satu sama lain, ‘Mari menuju tujuan kita!’ Maka, mereka mengelilingi mereka dengan sayap-sayap mereka hingga ke langit dunia. Kemudian Allah bertanya kepada mereka, padahal Dia lebih mengetahui dari mereka, ‘Apa yang diucapkan oleh hamba-hamba-Ku?’ Malaikat menjawab, ‘Mereka memuji-Mu, membesarkan-Mu, memuliakan-Mu, dan mengagungkan-Mu.’ Allah berfirman, ‘Bagaimana jika mereka melihat-Ku?’ Mereka berkata, ‘Jika mereka melihat-Mu, niscaya mereka akan lebih beribadah kepada-Mu, lebih memuliakan-Mu, dan lebih banyak bertasbih kepada-Mu’ … Hingga Allah berfirman, ‘Aku bersaksi kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka.’ Kemudian seorang malaikat berkata, ‘Di antara mereka ada seorang yang bukan bagian dari mereka. Ia hanya datang untuk suatu keperluan.’ Allah berfirman, ‘Mereka adalah kaum yang tidak membuat celaka orang yang duduk bersama mereka.’” (HR. Bukhari, 11: 208-209) [10] Ya Allah, kami memuji dan mengagungkan-Mu, dan memohon ampunan dari segala dosa dan kesalahan. Jadikan kami termasuk dalam golongan yang selalu menyebut nama-Mu, memuji, dan membaca kitab-Mu pada setiap waktu. Ampunilah dosa-dosa kami dan limpahkanlah karunia-Mu di dunia dan akhirat. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabat-sahabatnya. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Lathif” *** Rumdin PPIA Sragen, 4 Rajab 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar al-Hadith, 1439 H/2008 M. hal 984., jilid 1. Ibnu Abi Maryam, Nashruddin Ali bin Muhammad. Al-Mudhah fi Wujuh Al-Qira’at wa ‘Ilaliha. Tahqiq dan studi oleh Dr. Umar Hamdan Al-Kubaisi. Cetakan Pertama. Makkah: Al-Jama‘ah Al-Khairiyyah li Tahfizh Al-Qur’an Al-Karim, 1414 H/1993 M. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. As-Si‘diy, Abdurrahman bin Nashir. Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam fi ‘Ilm Al-‘Aqa’id wa At-Tauhid wa Al-Akhlaq wa Al-Ahkam Al-Mustanbithah min Al-Qur’an. Riyadh: Dar Fadhilah. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Asma Al-Husna, hal. 231. [2] Ini adalah qiraah Hamzah dan Al-Kisai, lihat Al-Mudhah, hal. 1356. Lihat juga An-Nahj Al-Asma, hal. 299. [3] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 152. [4] Maqayis Al-Lughah, hal. 852. [5] Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 577. [6] An-Nahj Al-Asma, hal. 298. [7] Fathur Rahim Al-Malikul ‘Allam, hal. 43. [8] Fiqhul Asma Al-Husna, hal. 231. [9] An-Nahjul Asma, hal. 300. [10] ibid, hal. 301.


Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Majid”Kandungan makna nama Allah “Al-Majid“Makna bahasa dari “Al-Majid“Makna “Al-Majid” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Majid” bagi hambaPertama: Beriman kepada luasnya karunia AllahKedua: Mengagungkan Allah melalui tilawah Al-Qur’anKetiga: Berzikir, bertasbih, dan memuji Allah Allah memiliki nama-nama yang indah dan penuh makna yang dikenal dengan Al-Asmaul Husna. Salah satunya adalah Al-Majid, nama yang mencerminkan kebesaran dan kemuliaan-Nya yang tak terbatas. Nama ini mengingatkan kita pada keagungan sifat-sifat Allah yang mencakup segala kesempurnaan yang tidak dapat dijangkau oleh makhluk. Dalam artikel ini, kita akan membahas dalil, makna, dan implikasi nama Al-Majid bagi kehidupan seorang hamba. Semoga pembahasan ini menginspirasi kita untuk lebih mengenal dan mengagungkan Allah dalam setiap aspek kehidupan. Dalil nama Allah “Al-Majid” Nama ini disebutkan sebanyak dua kali dalam Al-Qur’an: Pertama: Dalam firman Allah, رَحْمَتُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَّجِيدٌ “Rahmat Allah dan berkah-Nya atas kamu, wahai Ahlul Bait! Sesungguhnya Dia Maha Terpuji, Mahamulia.” (QS. Hud: 73) Kedua: Dalam firman-Nya, وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ  ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيدُ “Dan Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Pengasih. Pemilik ‘Arsy yang mulia.” (QS. Al-Buruj: 14-15) Pada ayat kedua ini, kata “Al-Majid” dibaca dengan dua cara: Pertama: Dengan rafa’ (Al-Majidu) sebagai sifat Allah. [1] Kedua: Dengan jar (Al-Majidi) sebagai sifat bagi ‘Arasy. [2] Kandungan makna nama Allah “Al-Majid“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Majid” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Majid“ Az-Zajjaji (w. 337 H) mengatakan, “Al-Majid adalah (الكريم) yang dermawan, dan al-majdu berarti kemurahan hati. Kata ini berasal dari ungkapan Arab, «أمجدت الدابة علفًا» ‘Aku memuliakan binatang dengan makanannya’; yang berarti (إذا أكثرته لها) memberinya makanan yang banyak.” [3] Ibn Faris (w. 395 H) mengatakan, “(huruf mim, jim, dan dal) merupakan akar kata yang sahih, yang menunjukkan pencapaian pada puncak. Makna ini hanya digunakan dalam konteks yang terpuji. Dari akar kata ini muncul istilah al-majdu, yang berarti (بُلُوغُ النِّهَايَةِ فِي الْكَرَمِ) pencapaian puncak dalam kemurahan hati.” [4] Al-Fayyumi (w. sekitar 770 H) mengatakan, : (م ج د)  الْمَجْدُ الْعِزُّ وَالشَّرَفُ وَرَجُلٌ مَاجِدٌ كَرِيمٌ شَرِيف “(huruf mim, jim, dan dal) berarti kemuliaan dan kehormatan. Seorang yang disebut majid adalah orang yang dermawan, mulia, dan terhormat.” [5] Dapat disimpulkan bahwa makna al-majdu (secara bahasa) meliputi: Pertama: Kemuliaan yang sempurna dan lengkap. Kedua: Kelimpahan dan keluasan. [6] Makna “Al-Majid” dalam konteks Allah Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, وأما المجد فهو سعة الصفات وعظمتها، فالمجيد يرجع إلى عظمة أوصافه وكثرتها وسعتها، وإلى عظمة ملكه وسلطانه، وإلى تفرده بالكمال المطلق والجلال المطلق والجمال المطلق، الذي لا يمكن العباد أن يحيطوا بشيء من ذلك. “Adapun Al-Majd adalah keluasan sifat-sifat Allah dan keagungannya. Maka, Al-Majid merujuk pada keagungan sifat-sifat Allah, banyaknya, dan luasnya sifat-sifat tersebut. Ia juga merujuk pada keagungan kerajaan dan kekuasaan-Nya, serta pada keunikan-Nya dalam kesempurnaan mutlak, keagungan mutlak, dan keindahan mutlak yang tidak mungkin dapat dilingkupi oleh hamba-hamba-Nya.” [7] Secara lebih rinci, Syekh Abdul Razzaq Al-Badr mengatakan, وهو من الأسماء الحسنى الدالة على أوصاف عديدة لا على معنى مفرد. ومعناه واسع الصفات عظيمها كثير النعوت كريمها “Al-Majid termasuk nama-nama Allah yang indah (Al-Asmaul Husna), yang menunjukkan banyak sifat, bukan hanya satu makna tunggal. Maknanya adalah luasnya sifat-sifat Allah, keagungannya, banyaknya sifat-sifat tersebut, dan kemuliaannya.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Allah adalah yang terbesar dari segala sesuatu, yang paling agung dari segala sesuatu, yang paling mulia, dan yang paling tinggi. Dialah yang memiliki penghormatan dan keagungan di hati para wali-Nya dan hamba-hamba pilihan-Nya. Hati mereka penuh dengan penghormatan, keagungan, ketundukan, dan kerendahan kepada kebesaran-Nya. Tidak ada kemuliaan, kecuali kemuliaan-Nya. Tidak ada keagungan, kecuali keagungan-Nya. Tidak ada keindahan, keagungan, atau kebesaran, kecuali milik-Nya. Nama-nama-Nya semua menunjukkan kemuliaan, sifat-sifat-Nya penuh dengan kemuliaan, dan perbuatan serta ucapan-Nya adalah kemuliaan. Allah adalah Yang Mahamulia dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya.” [8] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Azhim” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Majid” bagi hamba Penetapan nama “Al-Majid” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Beriman kepada luasnya karunia Allah Keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki karunia yang luas dan anugerah-Nya yang melimpah, mencakup orang beriman dan kafir, yang baik maupun yang durhaka. Allah memuliakan diri-Nya dengan hal ini dalam firman-Nya, وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَتَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya.” (QS. Ibrahim: 34) Kedua: Mengagungkan Allah melalui tilawah Al-Qur’an Salah satu cara terbesar untuk mengagungkan dan memuliakan Allah adalah dengan membaca kitab-Nya pada waktu malam dan siang. Sebab, tidak ada seorang pun yang dapat menghitung pujian kepada Allah sebagaimana Dia memuji diri-Nya sendiri. Dalam hadis qudsi, Allah berfirman, قَسَمتُ الصلاةَ بيني وبين عبدي نِصْفَين؛ ولعبدي ما سَأل، فإذا قال العبد: (الحمدُ للهِ ربِّ العَالمين)، قال الله تعالى: حَمَدني عبدي، وإذا قال: (الرَّحْمَن الرَّحِيم)، قال الله تعالى: أثْنى عليَّ عبدي، وإذا قال: (مالك يوم الدين)، قال: مجَّدني عبدي… “Aku membagi salat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Setengahnya untuk-Ku dan setengahnya untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta. Ketika hamba itu berkata, (الحمدُ للهِ ربِّ العَالمين), Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku.’ Ketika dia berkata, (الرَّحْمَن الرَّحِيم), Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.’ Ketika dia berkata, (مالك يوم الدين), Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah memuliakan-Ku …’ ” (HR. Muslim no. 296) [9] Ketiga: Berzikir, bertasbih, dan memuji Allah Kemudian, di antara cara terbesar untuk mengagungkan Allah adalah dengan banyak mengingat-Nya, bertasbih, memuji-Nya, bertakbir, bertahlil, dan melakukan zikir-zikir lain, seperti: hauqalah (ucapan lahaula walaquwwata illa billah), basmalah, hasbalah (hasbunallah wa ni’mal wakil), istigfar, dan berdoa untuk kebaikan dunia dan akhirat. Keadaan ini adalah ciri orang-orang yang berzikir, yang keberadaannya membawa kebahagiaan bagi teman mereka, seperti para nabi, orang-orang yang sangat jujur (shiddiqin), para syuhada, dan orang-orang saleh. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ لله ملائكة يَطُوفون في الطُّرق؛ يلتمسون أهلَ الذكر، فإذا وَجَدوا قوماً يَذْكرون الله؛ تنادوا: هلُمُّوا إلى حَاجتكم، قال: فيَحفُّونهم بأجْنحتهم إلى السَّماء الدنيا، قال: فيَسألهم ربُّهم عزّ وجل وهو أعلمُ منهم: ما يقولُ عِبَادي؟ قال تقول: يُسبّحونك ويكبرِّونك ويَحْمدونك ويُمجِدُونك، قال فيقول: كيفَ لو رأوني؟ قال: يقولون: لو رأوك كانوا أشدَّ لكَ عبادةً، وأشدّ لك تمجيداً، وأكثر لك تسبيحاً…، حتى قال تعالى: فأُشْهدكم أني قد غفرتُ لهم، قال يقول ملكٌ من الملائكة: فيهم فلانٌ ليس منهم، إنما جاء لحاجة، قال: هم الجُلَساء لا يشقى جليسهم. “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang berkeliling di jalan-jalan mencari orang-orang yang berzikir. Ketika mereka menemukan suatu kaum yang berzikir kepada Allah, mereka memanggil satu sama lain, ‘Mari menuju tujuan kita!’ Maka, mereka mengelilingi mereka dengan sayap-sayap mereka hingga ke langit dunia. Kemudian Allah bertanya kepada mereka, padahal Dia lebih mengetahui dari mereka, ‘Apa yang diucapkan oleh hamba-hamba-Ku?’ Malaikat menjawab, ‘Mereka memuji-Mu, membesarkan-Mu, memuliakan-Mu, dan mengagungkan-Mu.’ Allah berfirman, ‘Bagaimana jika mereka melihat-Ku?’ Mereka berkata, ‘Jika mereka melihat-Mu, niscaya mereka akan lebih beribadah kepada-Mu, lebih memuliakan-Mu, dan lebih banyak bertasbih kepada-Mu’ … Hingga Allah berfirman, ‘Aku bersaksi kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka.’ Kemudian seorang malaikat berkata, ‘Di antara mereka ada seorang yang bukan bagian dari mereka. Ia hanya datang untuk suatu keperluan.’ Allah berfirman, ‘Mereka adalah kaum yang tidak membuat celaka orang yang duduk bersama mereka.’” (HR. Bukhari, 11: 208-209) [10] Ya Allah, kami memuji dan mengagungkan-Mu, dan memohon ampunan dari segala dosa dan kesalahan. Jadikan kami termasuk dalam golongan yang selalu menyebut nama-Mu, memuji, dan membaca kitab-Mu pada setiap waktu. Ampunilah dosa-dosa kami dan limpahkanlah karunia-Mu di dunia dan akhirat. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabat-sahabatnya. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Lathif” *** Rumdin PPIA Sragen, 4 Rajab 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar al-Hadith, 1439 H/2008 M. hal 984., jilid 1. Ibnu Abi Maryam, Nashruddin Ali bin Muhammad. Al-Mudhah fi Wujuh Al-Qira’at wa ‘Ilaliha. Tahqiq dan studi oleh Dr. Umar Hamdan Al-Kubaisi. Cetakan Pertama. Makkah: Al-Jama‘ah Al-Khairiyyah li Tahfizh Al-Qur’an Al-Karim, 1414 H/1993 M. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. As-Si‘diy, Abdurrahman bin Nashir. Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam fi ‘Ilm Al-‘Aqa’id wa At-Tauhid wa Al-Akhlaq wa Al-Ahkam Al-Mustanbithah min Al-Qur’an. Riyadh: Dar Fadhilah. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Asma Al-Husna, hal. 231. [2] Ini adalah qiraah Hamzah dan Al-Kisai, lihat Al-Mudhah, hal. 1356. Lihat juga An-Nahj Al-Asma, hal. 299. [3] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 152. [4] Maqayis Al-Lughah, hal. 852. [5] Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 577. [6] An-Nahj Al-Asma, hal. 298. [7] Fathur Rahim Al-Malikul ‘Allam, hal. 43. [8] Fiqhul Asma Al-Husna, hal. 231. [9] An-Nahjul Asma, hal. 300. [10] ibid, hal. 301.

Prinsip-Prinsip Memahami Halal Haram dalam Transaksi Muamalah (Bag. 3)

Daftar Isi Toggle Prinsip kedua: Melarang praktik ribaPengertian riba secara bahasa dan istilahHukum riba dalam transaksi muamalahDalil dari Al-QuranDalil dari As-SunahDalil ijmakContoh penerapan dalam transaksi muamalah Prinsip kedua: Melarang praktik riba Pengertian riba secara bahasa dan istilah Secara bahasa, riba artinya penambahan. Dikatakan, رَبَا الشَّيْئُ jika sesuatu tersebut bertambah. [1] Makna tersebut ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala, وَمَا آتَيْتُم مِّن رِّباً لِّيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِندَ اللَّهِ “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.” (QS. Ar-Rum: 39) Adapun dalam istilah fikih, riba terdiri dari dua jenis: Pertama: riba jahiliyah atau riba utang piutang (riba qardh). Yang dimaksud dengan riba utang piutang adalah penambahan nominal utang (=bunga) sebagai kompensasi atas penundaan pelunasan. Baik penambahan nominal utang tersebut disyaratkan di awal akad atau disyaratkan ketika jatuh tempo. [2] Dalam praktik jahiliyah, riba baru ditetapkan apabila utang telah jatuh tempo dan debitur tidak mampu melunasi. Sehingga, apabila debitur mampu melunasi pada saat jatuh tempo, tidak ada riba yang ditetapkan oleh kreditur. Oleh karena itu, riba zaman sekarang ini lebih parah daripada riba jahiliyah karena pada zaman sekarang, bunga telah ditetapkan sejak awal akad. Kedua: riba jual beli (riba bai’). Riba jual beli ada dua jenis: 1) Riba fadhl; yaitu penambahan kuantitas salah satu komoditas riba yang sejenis (satu kelompok) ketika dipertukarkan. [3] 2) Riba nasi’ah; yaitu penundaan penyerahan salah satu dari dua komoditas riba yang dipertukarkan yang masih satu kelompok. [4] Untuk lebih memahami dua jenis riba jul beli, kita perlu mengenal terlebih dahulu komoditas ribawi yang ditetapkan oleh syariat. Komoditas ribawi ada enam, yaitu emas, perak, kurma, gandum halus (burr), gandum kasar (sya’ir), dan garam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ، فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ، إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ “Jika emas dibarter (ditukar) dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum halus ditukar dengan gandum halus, gandum kasar ditukar dengan gandum kasar, kurma ditukar dengan kurma, garam ditukar dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika barang yang ditukarkan berbeda, maka takarannya boleh sesuai keinginan kalian, asalkan harus tunai.” (HR. Muslim no. 1587) Berdasarkan hadis-hadis dalam masalah ini, para ulama membagi komoditas ribawi menjadi dua macam: Kelompok pertama, adalah emas dan perak. ‘Illah (latar belakang adanya hukum) untuk kelompok pertama adalah karena statusnya sebagai muthlaq tsamaniyyah (digunakan sebagai mata uang), menurut pendapat yang paling kuat. Sehingga diqiyaskan dengan kelompok pertama ini adalah semua mata uang di zaman sekarang (uang rupiah, dolar, euro, dan sebagainya). Kelompok kedua, adalah kurma, gandum halus, gandum kasar, dan garam. ‘Illah untuk kelompok kedua adalah statusnya sebagai bahan makanan pokok dan bisa disimpan, menurut pendapat yang paling kuat. Aturan yang berlaku dalam tukar-menukar komoditas ribawi adalah sebagai berikut. Pertama, jika tukar-menukar dilakukan antara barang yang sama, maka harus memenuhi dua syarat, yaitu: 1) kuantitas harus sama; dan 2) harus tunai. Jika kuantitas tidak sama, maka terjadi riba fadhl. Misalnya, uang Rp.100.000 yang masih baru ditukar dengan 11 lembar uang Rp. 10.000 uang lama (sehingga totalnya Rp.110.000). Kelebihan Rp.10.000 merupakan riba fadhl. Jika tidak tunai, maka terjadi riba nasi’ah. Misalnya, uang Rp.100.000 ditukar dengan pecahan uang Rp.50.000 2 lembar, 1 lembar diserahkan pada saat akad, 1 lembar lagi diserahkan seminggu kemudian. Kedua, jika tukar-menukar dilakukan antara barang yang berbeda, namun masih satu kelompok, maka hanya ada satu syarat, yaitu harus tunai, sedangkan kuantitas boleh berbeda. Misalnya, uang 1 dolar Amerika ditukar dengan Rp.15.000. Maka, harus terjadi serah terima pada saat akad. Jika tidak diserahkan tunai (ada yang tertunda), maka terjadilah riba nasi’ah. Ketiga, jika tukar-menukar dilakukan antara barang yang berbeda kelompok. Untuk bentuk ketiga ini, maka tidak ada aturan khusus, artinya kuantitas boleh tidak sama dan boleh tidak tunai. Hukum riba dalam transaksi muamalah Diharamkannya riba merupakan salah satu pokok syariat dalam bab muamalah, dan termasuk dalam perkara al-ma’lum min ad-diin bi adh-dharurah (perkara-perkara yang hukumnya jelas dan terang-benderang, diketahui oleh kaum muslimin awam sekalipun). [5] Haramnya riba ditetapkan berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran, As-Sunah, dan ijmak. Dalil dari Al-Quran Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakannya (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 278-279) Juga firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130) Dalil dari As-Sunah Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُؤْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ ، وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba, penyetor riba, juru tulisnya, dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama (dalam dosa).” (HR. Muslim no. 1598) Riba termasuk dosa besar. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اجْتَنِبُوا السَّبْعَ المُوبِقَاتِ ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ اليَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ الغَافِلاَتِ “Jauhilah tujuh dosa besar yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa saja itu?” Rasulullah bersabda, “Berbuat syirik kepada Allah; melakukan sihir; membunuh jiwa yang Allah haramkan, kecuali dengan alasan yang benar; memakan riba; memakan harta anak yatim; berpaling dari perang yang sedang berkecamuk; dan menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina.” (HR. Bukhari no. 2766 dan Muslim no. 89) Dalil ijmak Para ulama sepakat haramnya riba dalam akad muamalah, sebagai ijmak yang qath’i (pasti). [6] Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa diharamkannya riba juga disepakati oleh syariat-syariat sebelumnya. [7] Meskipun demikian, para ulama berselisih pendapat tentang rincian kasusnya, juga dalam menentukan syarat-syaratnya. Riba yang pertama kali diharamkan oleh Allah Ta’ala adalah riba jahiliyah, ketika orang-orang musyrik mengatakan, وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275) Yaitu, ketika orang yang memberikan pinjaman (kreditur) berkata kepada orang yang meminjam (berutang, atau debitur), “(Utangmu) dilunasi sekarang, atau berikan tambahan (bunga).” Allah Ta’ala berkata ketika mengharamkan riba jenis ini, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda; dan bertakwalah kamu kepada Allah, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata tentang riba jahiliyah, وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُهُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ ”Riba jahiliyah telah dihapus. Dan riba yang pertama kali aku hapus adalah riba ‘Abbas bin Abdul Muththalib (paman Nabi sendiri, pen.). Maka riba ‘Abbas bin Abdul Muththalib dihapus seluruhnya”  (HR. Muslim no. 1218) Riba jahiliyah diharamkan karena mengandung kezaliman, memakan harta orang lain secara batil. Hal ini karena penambahan dari pokok utang yang dilakukan oleh kreditur, penambahan tersebut diambil tanpa ada kompensasi. [8] Demikian pula, termasuk dalam praktik riba adalah semua keuntungan (manfaat) yang diperoleh dari transaksi utang piutang. [9] Ulama sepakat bahwa semua utang yang menghasilkan manfaat atau keuntungan, maka statusnya adalah riba. Hal ini karena transaksi utang piutang didasari untuk membantu meringankan kesulitan orang lain, sehingga tidak selayaknya seorang muslim mengambil keuntungan dari utang piutang. Dalil-dalil yang mengharamkan riba mencakup semua jenis riba di atas. Oleh karena itu, jelaslah bahwa adanya unsur riba dalam akad muamalah merupakan sebab diharamkannya akad muamalah tersebut. [10] Akan tetapi, untuk menghukumi apakah suatu akad atau transaksi itu mengandung unsur riba ataukah tidak, hal ini membutuhkan penelitian yang mendalam tentang seluk beluk transaksi dan juga membutuhkan kehati-hatian, tidak tergesa-gesa dalam memvonis apakah mengandung riba ataukah tidak. Ibnu Katsir rahimahullah mengingatkan, وَبَابُ الرِّبَا مِنْ أَشْكَلِ الْأَبْوَابِ عَلَى كَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ “Bab tentang riba adalah salah satu bab yang paling sulit dipahami oleh banyak ulama.” [11] Contoh penerapan dalam transaksi muamalah Untuk lebih memahami prinsip ini, berikut kami sebutkan beberapa contoh akad muamalah yang haram karena mengandung unsur riba [12]: Contoh pertama: bunga bank. Bank sebagai lembaga pembiayaan memberikan pinjaman kepada perseorangan atau pengusaha untuk digunakan sebagai modal (atau keperluan lainnya). Nominal utang tersebut harus dikembalikan dalam jumlah yang sama ditambah bunga, atau pihak bank menerapkan denda jika debitur terlambat membayar utang sesuai dengan tempo yang telah ditentukan. Begitu pula bunga bank yang diterima oleh orang yang menabung di bank, karena hakikat dari menabung di bank adalah memberikan pinjaman (qardh). Contoh kedua: jual beli emas dengan cara tidak tunai, misalnya murabahah emas. Bentuknya, seseorang datang ke bank untuk membeli emas batangan dengan berat tertentu seraya membayar uang muka. Lalu, bank membeli emas batangan yang diinginkan nasabah, dijadikan barang gadai yang dipegang oleh bank sampai utang tersebut lunas. Dalam deskripsi ini, uang muka diserahkan di depan, namun emas batangan baru diserahkan beberapa bulan atau tahun setelah lunas. Contoh ketiga: memanfaatkan barang gadai. Barang gadai diserahkan kepada kreditur sebagai jaminan kepercayaan dari pihak debitur, sehingga statusnya masih tetap milik debitur. Ketika barang gadai ini dimanfaatkan oleh kreditur, berarti dia mendapatkan manfaat atau keuntungan dari utang yang diberikan. Sedangkan semua utang-piutang yang menghasilkan keuntungan, maka statusnya adalah riba. [Bersambung] Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4 *** @26 Jumadil akhir 1446/ 28 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Lisanul ‘Arab, 14: 304; Al-Mishbah Al-Munir, hal. 114-115. [2] Lihat Ar-Riba wal Mu’amalat Al-Mu’ashirah, hal. 152-160; Al-Jami’ fi Ushul Ar-Riba, hal. 22-26. [3] Lihat Ar-Riba wal Mu’amalat Al-Mu’ashirah, hal. 55; Al-Jami’ fi Ushul Ar-Riba, hal. 74. [4] Lihat Kasyaf Al-Qina’, 3: 263-264; Mathalib Ulin Nuha, 3: 170. [5] Lihat Al-Muqaddimah Al-Mumahhidat, 2: 8. [6] Di antara ulama yang menukil ijmak ini adalah Ibnu Hazm dalam Maratib Al-Ijma’, hal. 103; Ibnu Rusyd dalam Al-Muqaddimah Al-Mumahhidat, 2: 8; Al-Mawardi dalam Al-Hawi Al-Kabir, 5: 74; An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 9: 391; dan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa, [7] Lihat Al-Muqaddimah Al-Mumahhidat, 2: 5; Al-Hawi Al-Kabir, 5: 74. [8] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 419, 20: 341, 350; I’lamul Muwaqi’in, 1: 387; Al-Muwafaqat, 4: 40. [9] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 19: 283-284; I’lamul Muwaqi’in, 2: 136-137; Al-Muwafaqat, 4: 41-42. [10] Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 125; Majmu’ Al-Fatawa, 29: 419; Tafsir Ibnu Katsir, 1: 327; Al-Muwafaqat, 4: 42. [11] Tafsir Ibnu Katsir, 1: 327. [12] Contoh-contoh ini merujuk pada buku Ada Apa dengan Riba, karya Ustadz Ammi Nur Baits; dan Harta Haram Muamalat Kontemporer, karya Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA.

Prinsip-Prinsip Memahami Halal Haram dalam Transaksi Muamalah (Bag. 3)

Daftar Isi Toggle Prinsip kedua: Melarang praktik ribaPengertian riba secara bahasa dan istilahHukum riba dalam transaksi muamalahDalil dari Al-QuranDalil dari As-SunahDalil ijmakContoh penerapan dalam transaksi muamalah Prinsip kedua: Melarang praktik riba Pengertian riba secara bahasa dan istilah Secara bahasa, riba artinya penambahan. Dikatakan, رَبَا الشَّيْئُ jika sesuatu tersebut bertambah. [1] Makna tersebut ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala, وَمَا آتَيْتُم مِّن رِّباً لِّيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِندَ اللَّهِ “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.” (QS. Ar-Rum: 39) Adapun dalam istilah fikih, riba terdiri dari dua jenis: Pertama: riba jahiliyah atau riba utang piutang (riba qardh). Yang dimaksud dengan riba utang piutang adalah penambahan nominal utang (=bunga) sebagai kompensasi atas penundaan pelunasan. Baik penambahan nominal utang tersebut disyaratkan di awal akad atau disyaratkan ketika jatuh tempo. [2] Dalam praktik jahiliyah, riba baru ditetapkan apabila utang telah jatuh tempo dan debitur tidak mampu melunasi. Sehingga, apabila debitur mampu melunasi pada saat jatuh tempo, tidak ada riba yang ditetapkan oleh kreditur. Oleh karena itu, riba zaman sekarang ini lebih parah daripada riba jahiliyah karena pada zaman sekarang, bunga telah ditetapkan sejak awal akad. Kedua: riba jual beli (riba bai’). Riba jual beli ada dua jenis: 1) Riba fadhl; yaitu penambahan kuantitas salah satu komoditas riba yang sejenis (satu kelompok) ketika dipertukarkan. [3] 2) Riba nasi’ah; yaitu penundaan penyerahan salah satu dari dua komoditas riba yang dipertukarkan yang masih satu kelompok. [4] Untuk lebih memahami dua jenis riba jul beli, kita perlu mengenal terlebih dahulu komoditas ribawi yang ditetapkan oleh syariat. Komoditas ribawi ada enam, yaitu emas, perak, kurma, gandum halus (burr), gandum kasar (sya’ir), dan garam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ، فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ، إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ “Jika emas dibarter (ditukar) dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum halus ditukar dengan gandum halus, gandum kasar ditukar dengan gandum kasar, kurma ditukar dengan kurma, garam ditukar dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika barang yang ditukarkan berbeda, maka takarannya boleh sesuai keinginan kalian, asalkan harus tunai.” (HR. Muslim no. 1587) Berdasarkan hadis-hadis dalam masalah ini, para ulama membagi komoditas ribawi menjadi dua macam: Kelompok pertama, adalah emas dan perak. ‘Illah (latar belakang adanya hukum) untuk kelompok pertama adalah karena statusnya sebagai muthlaq tsamaniyyah (digunakan sebagai mata uang), menurut pendapat yang paling kuat. Sehingga diqiyaskan dengan kelompok pertama ini adalah semua mata uang di zaman sekarang (uang rupiah, dolar, euro, dan sebagainya). Kelompok kedua, adalah kurma, gandum halus, gandum kasar, dan garam. ‘Illah untuk kelompok kedua adalah statusnya sebagai bahan makanan pokok dan bisa disimpan, menurut pendapat yang paling kuat. Aturan yang berlaku dalam tukar-menukar komoditas ribawi adalah sebagai berikut. Pertama, jika tukar-menukar dilakukan antara barang yang sama, maka harus memenuhi dua syarat, yaitu: 1) kuantitas harus sama; dan 2) harus tunai. Jika kuantitas tidak sama, maka terjadi riba fadhl. Misalnya, uang Rp.100.000 yang masih baru ditukar dengan 11 lembar uang Rp. 10.000 uang lama (sehingga totalnya Rp.110.000). Kelebihan Rp.10.000 merupakan riba fadhl. Jika tidak tunai, maka terjadi riba nasi’ah. Misalnya, uang Rp.100.000 ditukar dengan pecahan uang Rp.50.000 2 lembar, 1 lembar diserahkan pada saat akad, 1 lembar lagi diserahkan seminggu kemudian. Kedua, jika tukar-menukar dilakukan antara barang yang berbeda, namun masih satu kelompok, maka hanya ada satu syarat, yaitu harus tunai, sedangkan kuantitas boleh berbeda. Misalnya, uang 1 dolar Amerika ditukar dengan Rp.15.000. Maka, harus terjadi serah terima pada saat akad. Jika tidak diserahkan tunai (ada yang tertunda), maka terjadilah riba nasi’ah. Ketiga, jika tukar-menukar dilakukan antara barang yang berbeda kelompok. Untuk bentuk ketiga ini, maka tidak ada aturan khusus, artinya kuantitas boleh tidak sama dan boleh tidak tunai. Hukum riba dalam transaksi muamalah Diharamkannya riba merupakan salah satu pokok syariat dalam bab muamalah, dan termasuk dalam perkara al-ma’lum min ad-diin bi adh-dharurah (perkara-perkara yang hukumnya jelas dan terang-benderang, diketahui oleh kaum muslimin awam sekalipun). [5] Haramnya riba ditetapkan berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran, As-Sunah, dan ijmak. Dalil dari Al-Quran Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakannya (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 278-279) Juga firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130) Dalil dari As-Sunah Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُؤْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ ، وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba, penyetor riba, juru tulisnya, dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama (dalam dosa).” (HR. Muslim no. 1598) Riba termasuk dosa besar. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اجْتَنِبُوا السَّبْعَ المُوبِقَاتِ ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ اليَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ الغَافِلاَتِ “Jauhilah tujuh dosa besar yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa saja itu?” Rasulullah bersabda, “Berbuat syirik kepada Allah; melakukan sihir; membunuh jiwa yang Allah haramkan, kecuali dengan alasan yang benar; memakan riba; memakan harta anak yatim; berpaling dari perang yang sedang berkecamuk; dan menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina.” (HR. Bukhari no. 2766 dan Muslim no. 89) Dalil ijmak Para ulama sepakat haramnya riba dalam akad muamalah, sebagai ijmak yang qath’i (pasti). [6] Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa diharamkannya riba juga disepakati oleh syariat-syariat sebelumnya. [7] Meskipun demikian, para ulama berselisih pendapat tentang rincian kasusnya, juga dalam menentukan syarat-syaratnya. Riba yang pertama kali diharamkan oleh Allah Ta’ala adalah riba jahiliyah, ketika orang-orang musyrik mengatakan, وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275) Yaitu, ketika orang yang memberikan pinjaman (kreditur) berkata kepada orang yang meminjam (berutang, atau debitur), “(Utangmu) dilunasi sekarang, atau berikan tambahan (bunga).” Allah Ta’ala berkata ketika mengharamkan riba jenis ini, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda; dan bertakwalah kamu kepada Allah, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata tentang riba jahiliyah, وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُهُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ ”Riba jahiliyah telah dihapus. Dan riba yang pertama kali aku hapus adalah riba ‘Abbas bin Abdul Muththalib (paman Nabi sendiri, pen.). Maka riba ‘Abbas bin Abdul Muththalib dihapus seluruhnya”  (HR. Muslim no. 1218) Riba jahiliyah diharamkan karena mengandung kezaliman, memakan harta orang lain secara batil. Hal ini karena penambahan dari pokok utang yang dilakukan oleh kreditur, penambahan tersebut diambil tanpa ada kompensasi. [8] Demikian pula, termasuk dalam praktik riba adalah semua keuntungan (manfaat) yang diperoleh dari transaksi utang piutang. [9] Ulama sepakat bahwa semua utang yang menghasilkan manfaat atau keuntungan, maka statusnya adalah riba. Hal ini karena transaksi utang piutang didasari untuk membantu meringankan kesulitan orang lain, sehingga tidak selayaknya seorang muslim mengambil keuntungan dari utang piutang. Dalil-dalil yang mengharamkan riba mencakup semua jenis riba di atas. Oleh karena itu, jelaslah bahwa adanya unsur riba dalam akad muamalah merupakan sebab diharamkannya akad muamalah tersebut. [10] Akan tetapi, untuk menghukumi apakah suatu akad atau transaksi itu mengandung unsur riba ataukah tidak, hal ini membutuhkan penelitian yang mendalam tentang seluk beluk transaksi dan juga membutuhkan kehati-hatian, tidak tergesa-gesa dalam memvonis apakah mengandung riba ataukah tidak. Ibnu Katsir rahimahullah mengingatkan, وَبَابُ الرِّبَا مِنْ أَشْكَلِ الْأَبْوَابِ عَلَى كَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ “Bab tentang riba adalah salah satu bab yang paling sulit dipahami oleh banyak ulama.” [11] Contoh penerapan dalam transaksi muamalah Untuk lebih memahami prinsip ini, berikut kami sebutkan beberapa contoh akad muamalah yang haram karena mengandung unsur riba [12]: Contoh pertama: bunga bank. Bank sebagai lembaga pembiayaan memberikan pinjaman kepada perseorangan atau pengusaha untuk digunakan sebagai modal (atau keperluan lainnya). Nominal utang tersebut harus dikembalikan dalam jumlah yang sama ditambah bunga, atau pihak bank menerapkan denda jika debitur terlambat membayar utang sesuai dengan tempo yang telah ditentukan. Begitu pula bunga bank yang diterima oleh orang yang menabung di bank, karena hakikat dari menabung di bank adalah memberikan pinjaman (qardh). Contoh kedua: jual beli emas dengan cara tidak tunai, misalnya murabahah emas. Bentuknya, seseorang datang ke bank untuk membeli emas batangan dengan berat tertentu seraya membayar uang muka. Lalu, bank membeli emas batangan yang diinginkan nasabah, dijadikan barang gadai yang dipegang oleh bank sampai utang tersebut lunas. Dalam deskripsi ini, uang muka diserahkan di depan, namun emas batangan baru diserahkan beberapa bulan atau tahun setelah lunas. Contoh ketiga: memanfaatkan barang gadai. Barang gadai diserahkan kepada kreditur sebagai jaminan kepercayaan dari pihak debitur, sehingga statusnya masih tetap milik debitur. Ketika barang gadai ini dimanfaatkan oleh kreditur, berarti dia mendapatkan manfaat atau keuntungan dari utang yang diberikan. Sedangkan semua utang-piutang yang menghasilkan keuntungan, maka statusnya adalah riba. [Bersambung] Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4 *** @26 Jumadil akhir 1446/ 28 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Lisanul ‘Arab, 14: 304; Al-Mishbah Al-Munir, hal. 114-115. [2] Lihat Ar-Riba wal Mu’amalat Al-Mu’ashirah, hal. 152-160; Al-Jami’ fi Ushul Ar-Riba, hal. 22-26. [3] Lihat Ar-Riba wal Mu’amalat Al-Mu’ashirah, hal. 55; Al-Jami’ fi Ushul Ar-Riba, hal. 74. [4] Lihat Kasyaf Al-Qina’, 3: 263-264; Mathalib Ulin Nuha, 3: 170. [5] Lihat Al-Muqaddimah Al-Mumahhidat, 2: 8. [6] Di antara ulama yang menukil ijmak ini adalah Ibnu Hazm dalam Maratib Al-Ijma’, hal. 103; Ibnu Rusyd dalam Al-Muqaddimah Al-Mumahhidat, 2: 8; Al-Mawardi dalam Al-Hawi Al-Kabir, 5: 74; An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 9: 391; dan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa, [7] Lihat Al-Muqaddimah Al-Mumahhidat, 2: 5; Al-Hawi Al-Kabir, 5: 74. [8] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 419, 20: 341, 350; I’lamul Muwaqi’in, 1: 387; Al-Muwafaqat, 4: 40. [9] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 19: 283-284; I’lamul Muwaqi’in, 2: 136-137; Al-Muwafaqat, 4: 41-42. [10] Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 125; Majmu’ Al-Fatawa, 29: 419; Tafsir Ibnu Katsir, 1: 327; Al-Muwafaqat, 4: 42. [11] Tafsir Ibnu Katsir, 1: 327. [12] Contoh-contoh ini merujuk pada buku Ada Apa dengan Riba, karya Ustadz Ammi Nur Baits; dan Harta Haram Muamalat Kontemporer, karya Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA.
Daftar Isi Toggle Prinsip kedua: Melarang praktik ribaPengertian riba secara bahasa dan istilahHukum riba dalam transaksi muamalahDalil dari Al-QuranDalil dari As-SunahDalil ijmakContoh penerapan dalam transaksi muamalah Prinsip kedua: Melarang praktik riba Pengertian riba secara bahasa dan istilah Secara bahasa, riba artinya penambahan. Dikatakan, رَبَا الشَّيْئُ jika sesuatu tersebut bertambah. [1] Makna tersebut ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala, وَمَا آتَيْتُم مِّن رِّباً لِّيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِندَ اللَّهِ “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.” (QS. Ar-Rum: 39) Adapun dalam istilah fikih, riba terdiri dari dua jenis: Pertama: riba jahiliyah atau riba utang piutang (riba qardh). Yang dimaksud dengan riba utang piutang adalah penambahan nominal utang (=bunga) sebagai kompensasi atas penundaan pelunasan. Baik penambahan nominal utang tersebut disyaratkan di awal akad atau disyaratkan ketika jatuh tempo. [2] Dalam praktik jahiliyah, riba baru ditetapkan apabila utang telah jatuh tempo dan debitur tidak mampu melunasi. Sehingga, apabila debitur mampu melunasi pada saat jatuh tempo, tidak ada riba yang ditetapkan oleh kreditur. Oleh karena itu, riba zaman sekarang ini lebih parah daripada riba jahiliyah karena pada zaman sekarang, bunga telah ditetapkan sejak awal akad. Kedua: riba jual beli (riba bai’). Riba jual beli ada dua jenis: 1) Riba fadhl; yaitu penambahan kuantitas salah satu komoditas riba yang sejenis (satu kelompok) ketika dipertukarkan. [3] 2) Riba nasi’ah; yaitu penundaan penyerahan salah satu dari dua komoditas riba yang dipertukarkan yang masih satu kelompok. [4] Untuk lebih memahami dua jenis riba jul beli, kita perlu mengenal terlebih dahulu komoditas ribawi yang ditetapkan oleh syariat. Komoditas ribawi ada enam, yaitu emas, perak, kurma, gandum halus (burr), gandum kasar (sya’ir), dan garam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ، فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ، إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ “Jika emas dibarter (ditukar) dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum halus ditukar dengan gandum halus, gandum kasar ditukar dengan gandum kasar, kurma ditukar dengan kurma, garam ditukar dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika barang yang ditukarkan berbeda, maka takarannya boleh sesuai keinginan kalian, asalkan harus tunai.” (HR. Muslim no. 1587) Berdasarkan hadis-hadis dalam masalah ini, para ulama membagi komoditas ribawi menjadi dua macam: Kelompok pertama, adalah emas dan perak. ‘Illah (latar belakang adanya hukum) untuk kelompok pertama adalah karena statusnya sebagai muthlaq tsamaniyyah (digunakan sebagai mata uang), menurut pendapat yang paling kuat. Sehingga diqiyaskan dengan kelompok pertama ini adalah semua mata uang di zaman sekarang (uang rupiah, dolar, euro, dan sebagainya). Kelompok kedua, adalah kurma, gandum halus, gandum kasar, dan garam. ‘Illah untuk kelompok kedua adalah statusnya sebagai bahan makanan pokok dan bisa disimpan, menurut pendapat yang paling kuat. Aturan yang berlaku dalam tukar-menukar komoditas ribawi adalah sebagai berikut. Pertama, jika tukar-menukar dilakukan antara barang yang sama, maka harus memenuhi dua syarat, yaitu: 1) kuantitas harus sama; dan 2) harus tunai. Jika kuantitas tidak sama, maka terjadi riba fadhl. Misalnya, uang Rp.100.000 yang masih baru ditukar dengan 11 lembar uang Rp. 10.000 uang lama (sehingga totalnya Rp.110.000). Kelebihan Rp.10.000 merupakan riba fadhl. Jika tidak tunai, maka terjadi riba nasi’ah. Misalnya, uang Rp.100.000 ditukar dengan pecahan uang Rp.50.000 2 lembar, 1 lembar diserahkan pada saat akad, 1 lembar lagi diserahkan seminggu kemudian. Kedua, jika tukar-menukar dilakukan antara barang yang berbeda, namun masih satu kelompok, maka hanya ada satu syarat, yaitu harus tunai, sedangkan kuantitas boleh berbeda. Misalnya, uang 1 dolar Amerika ditukar dengan Rp.15.000. Maka, harus terjadi serah terima pada saat akad. Jika tidak diserahkan tunai (ada yang tertunda), maka terjadilah riba nasi’ah. Ketiga, jika tukar-menukar dilakukan antara barang yang berbeda kelompok. Untuk bentuk ketiga ini, maka tidak ada aturan khusus, artinya kuantitas boleh tidak sama dan boleh tidak tunai. Hukum riba dalam transaksi muamalah Diharamkannya riba merupakan salah satu pokok syariat dalam bab muamalah, dan termasuk dalam perkara al-ma’lum min ad-diin bi adh-dharurah (perkara-perkara yang hukumnya jelas dan terang-benderang, diketahui oleh kaum muslimin awam sekalipun). [5] Haramnya riba ditetapkan berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran, As-Sunah, dan ijmak. Dalil dari Al-Quran Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakannya (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 278-279) Juga firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130) Dalil dari As-Sunah Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُؤْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ ، وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba, penyetor riba, juru tulisnya, dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama (dalam dosa).” (HR. Muslim no. 1598) Riba termasuk dosa besar. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اجْتَنِبُوا السَّبْعَ المُوبِقَاتِ ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ اليَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ الغَافِلاَتِ “Jauhilah tujuh dosa besar yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa saja itu?” Rasulullah bersabda, “Berbuat syirik kepada Allah; melakukan sihir; membunuh jiwa yang Allah haramkan, kecuali dengan alasan yang benar; memakan riba; memakan harta anak yatim; berpaling dari perang yang sedang berkecamuk; dan menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina.” (HR. Bukhari no. 2766 dan Muslim no. 89) Dalil ijmak Para ulama sepakat haramnya riba dalam akad muamalah, sebagai ijmak yang qath’i (pasti). [6] Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa diharamkannya riba juga disepakati oleh syariat-syariat sebelumnya. [7] Meskipun demikian, para ulama berselisih pendapat tentang rincian kasusnya, juga dalam menentukan syarat-syaratnya. Riba yang pertama kali diharamkan oleh Allah Ta’ala adalah riba jahiliyah, ketika orang-orang musyrik mengatakan, وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275) Yaitu, ketika orang yang memberikan pinjaman (kreditur) berkata kepada orang yang meminjam (berutang, atau debitur), “(Utangmu) dilunasi sekarang, atau berikan tambahan (bunga).” Allah Ta’ala berkata ketika mengharamkan riba jenis ini, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda; dan bertakwalah kamu kepada Allah, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata tentang riba jahiliyah, وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُهُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ ”Riba jahiliyah telah dihapus. Dan riba yang pertama kali aku hapus adalah riba ‘Abbas bin Abdul Muththalib (paman Nabi sendiri, pen.). Maka riba ‘Abbas bin Abdul Muththalib dihapus seluruhnya”  (HR. Muslim no. 1218) Riba jahiliyah diharamkan karena mengandung kezaliman, memakan harta orang lain secara batil. Hal ini karena penambahan dari pokok utang yang dilakukan oleh kreditur, penambahan tersebut diambil tanpa ada kompensasi. [8] Demikian pula, termasuk dalam praktik riba adalah semua keuntungan (manfaat) yang diperoleh dari transaksi utang piutang. [9] Ulama sepakat bahwa semua utang yang menghasilkan manfaat atau keuntungan, maka statusnya adalah riba. Hal ini karena transaksi utang piutang didasari untuk membantu meringankan kesulitan orang lain, sehingga tidak selayaknya seorang muslim mengambil keuntungan dari utang piutang. Dalil-dalil yang mengharamkan riba mencakup semua jenis riba di atas. Oleh karena itu, jelaslah bahwa adanya unsur riba dalam akad muamalah merupakan sebab diharamkannya akad muamalah tersebut. [10] Akan tetapi, untuk menghukumi apakah suatu akad atau transaksi itu mengandung unsur riba ataukah tidak, hal ini membutuhkan penelitian yang mendalam tentang seluk beluk transaksi dan juga membutuhkan kehati-hatian, tidak tergesa-gesa dalam memvonis apakah mengandung riba ataukah tidak. Ibnu Katsir rahimahullah mengingatkan, وَبَابُ الرِّبَا مِنْ أَشْكَلِ الْأَبْوَابِ عَلَى كَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ “Bab tentang riba adalah salah satu bab yang paling sulit dipahami oleh banyak ulama.” [11] Contoh penerapan dalam transaksi muamalah Untuk lebih memahami prinsip ini, berikut kami sebutkan beberapa contoh akad muamalah yang haram karena mengandung unsur riba [12]: Contoh pertama: bunga bank. Bank sebagai lembaga pembiayaan memberikan pinjaman kepada perseorangan atau pengusaha untuk digunakan sebagai modal (atau keperluan lainnya). Nominal utang tersebut harus dikembalikan dalam jumlah yang sama ditambah bunga, atau pihak bank menerapkan denda jika debitur terlambat membayar utang sesuai dengan tempo yang telah ditentukan. Begitu pula bunga bank yang diterima oleh orang yang menabung di bank, karena hakikat dari menabung di bank adalah memberikan pinjaman (qardh). Contoh kedua: jual beli emas dengan cara tidak tunai, misalnya murabahah emas. Bentuknya, seseorang datang ke bank untuk membeli emas batangan dengan berat tertentu seraya membayar uang muka. Lalu, bank membeli emas batangan yang diinginkan nasabah, dijadikan barang gadai yang dipegang oleh bank sampai utang tersebut lunas. Dalam deskripsi ini, uang muka diserahkan di depan, namun emas batangan baru diserahkan beberapa bulan atau tahun setelah lunas. Contoh ketiga: memanfaatkan barang gadai. Barang gadai diserahkan kepada kreditur sebagai jaminan kepercayaan dari pihak debitur, sehingga statusnya masih tetap milik debitur. Ketika barang gadai ini dimanfaatkan oleh kreditur, berarti dia mendapatkan manfaat atau keuntungan dari utang yang diberikan. Sedangkan semua utang-piutang yang menghasilkan keuntungan, maka statusnya adalah riba. [Bersambung] Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4 *** @26 Jumadil akhir 1446/ 28 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Lisanul ‘Arab, 14: 304; Al-Mishbah Al-Munir, hal. 114-115. [2] Lihat Ar-Riba wal Mu’amalat Al-Mu’ashirah, hal. 152-160; Al-Jami’ fi Ushul Ar-Riba, hal. 22-26. [3] Lihat Ar-Riba wal Mu’amalat Al-Mu’ashirah, hal. 55; Al-Jami’ fi Ushul Ar-Riba, hal. 74. [4] Lihat Kasyaf Al-Qina’, 3: 263-264; Mathalib Ulin Nuha, 3: 170. [5] Lihat Al-Muqaddimah Al-Mumahhidat, 2: 8. [6] Di antara ulama yang menukil ijmak ini adalah Ibnu Hazm dalam Maratib Al-Ijma’, hal. 103; Ibnu Rusyd dalam Al-Muqaddimah Al-Mumahhidat, 2: 8; Al-Mawardi dalam Al-Hawi Al-Kabir, 5: 74; An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 9: 391; dan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa, [7] Lihat Al-Muqaddimah Al-Mumahhidat, 2: 5; Al-Hawi Al-Kabir, 5: 74. [8] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 419, 20: 341, 350; I’lamul Muwaqi’in, 1: 387; Al-Muwafaqat, 4: 40. [9] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 19: 283-284; I’lamul Muwaqi’in, 2: 136-137; Al-Muwafaqat, 4: 41-42. [10] Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 125; Majmu’ Al-Fatawa, 29: 419; Tafsir Ibnu Katsir, 1: 327; Al-Muwafaqat, 4: 42. [11] Tafsir Ibnu Katsir, 1: 327. [12] Contoh-contoh ini merujuk pada buku Ada Apa dengan Riba, karya Ustadz Ammi Nur Baits; dan Harta Haram Muamalat Kontemporer, karya Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA.


Daftar Isi Toggle Prinsip kedua: Melarang praktik ribaPengertian riba secara bahasa dan istilahHukum riba dalam transaksi muamalahDalil dari Al-QuranDalil dari As-SunahDalil ijmakContoh penerapan dalam transaksi muamalah Prinsip kedua: Melarang praktik riba Pengertian riba secara bahasa dan istilah Secara bahasa, riba artinya penambahan. Dikatakan, رَبَا الشَّيْئُ jika sesuatu tersebut bertambah. [1] Makna tersebut ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala, وَمَا آتَيْتُم مِّن رِّباً لِّيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِندَ اللَّهِ “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.” (QS. Ar-Rum: 39) Adapun dalam istilah fikih, riba terdiri dari dua jenis: Pertama: riba jahiliyah atau riba utang piutang (riba qardh). Yang dimaksud dengan riba utang piutang adalah penambahan nominal utang (=bunga) sebagai kompensasi atas penundaan pelunasan. Baik penambahan nominal utang tersebut disyaratkan di awal akad atau disyaratkan ketika jatuh tempo. [2] Dalam praktik jahiliyah, riba baru ditetapkan apabila utang telah jatuh tempo dan debitur tidak mampu melunasi. Sehingga, apabila debitur mampu melunasi pada saat jatuh tempo, tidak ada riba yang ditetapkan oleh kreditur. Oleh karena itu, riba zaman sekarang ini lebih parah daripada riba jahiliyah karena pada zaman sekarang, bunga telah ditetapkan sejak awal akad. Kedua: riba jual beli (riba bai’). Riba jual beli ada dua jenis: 1) Riba fadhl; yaitu penambahan kuantitas salah satu komoditas riba yang sejenis (satu kelompok) ketika dipertukarkan. [3] 2) Riba nasi’ah; yaitu penundaan penyerahan salah satu dari dua komoditas riba yang dipertukarkan yang masih satu kelompok. [4] Untuk lebih memahami dua jenis riba jul beli, kita perlu mengenal terlebih dahulu komoditas ribawi yang ditetapkan oleh syariat. Komoditas ribawi ada enam, yaitu emas, perak, kurma, gandum halus (burr), gandum kasar (sya’ir), dan garam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ، فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ، إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ “Jika emas dibarter (ditukar) dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum halus ditukar dengan gandum halus, gandum kasar ditukar dengan gandum kasar, kurma ditukar dengan kurma, garam ditukar dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika barang yang ditukarkan berbeda, maka takarannya boleh sesuai keinginan kalian, asalkan harus tunai.” (HR. Muslim no. 1587) Berdasarkan hadis-hadis dalam masalah ini, para ulama membagi komoditas ribawi menjadi dua macam: Kelompok pertama, adalah emas dan perak. ‘Illah (latar belakang adanya hukum) untuk kelompok pertama adalah karena statusnya sebagai muthlaq tsamaniyyah (digunakan sebagai mata uang), menurut pendapat yang paling kuat. Sehingga diqiyaskan dengan kelompok pertama ini adalah semua mata uang di zaman sekarang (uang rupiah, dolar, euro, dan sebagainya). Kelompok kedua, adalah kurma, gandum halus, gandum kasar, dan garam. ‘Illah untuk kelompok kedua adalah statusnya sebagai bahan makanan pokok dan bisa disimpan, menurut pendapat yang paling kuat. Aturan yang berlaku dalam tukar-menukar komoditas ribawi adalah sebagai berikut. Pertama, jika tukar-menukar dilakukan antara barang yang sama, maka harus memenuhi dua syarat, yaitu: 1) kuantitas harus sama; dan 2) harus tunai. Jika kuantitas tidak sama, maka terjadi riba fadhl. Misalnya, uang Rp.100.000 yang masih baru ditukar dengan 11 lembar uang Rp. 10.000 uang lama (sehingga totalnya Rp.110.000). Kelebihan Rp.10.000 merupakan riba fadhl. Jika tidak tunai, maka terjadi riba nasi’ah. Misalnya, uang Rp.100.000 ditukar dengan pecahan uang Rp.50.000 2 lembar, 1 lembar diserahkan pada saat akad, 1 lembar lagi diserahkan seminggu kemudian. Kedua, jika tukar-menukar dilakukan antara barang yang berbeda, namun masih satu kelompok, maka hanya ada satu syarat, yaitu harus tunai, sedangkan kuantitas boleh berbeda. Misalnya, uang 1 dolar Amerika ditukar dengan Rp.15.000. Maka, harus terjadi serah terima pada saat akad. Jika tidak diserahkan tunai (ada yang tertunda), maka terjadilah riba nasi’ah. Ketiga, jika tukar-menukar dilakukan antara barang yang berbeda kelompok. Untuk bentuk ketiga ini, maka tidak ada aturan khusus, artinya kuantitas boleh tidak sama dan boleh tidak tunai. Hukum riba dalam transaksi muamalah Diharamkannya riba merupakan salah satu pokok syariat dalam bab muamalah, dan termasuk dalam perkara al-ma’lum min ad-diin bi adh-dharurah (perkara-perkara yang hukumnya jelas dan terang-benderang, diketahui oleh kaum muslimin awam sekalipun). [5] Haramnya riba ditetapkan berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran, As-Sunah, dan ijmak. Dalil dari Al-Quran Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakannya (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 278-279) Juga firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130) Dalil dari As-Sunah Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُؤْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ ، وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba, penyetor riba, juru tulisnya, dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama (dalam dosa).” (HR. Muslim no. 1598) Riba termasuk dosa besar. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اجْتَنِبُوا السَّبْعَ المُوبِقَاتِ ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ اليَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ الغَافِلاَتِ “Jauhilah tujuh dosa besar yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa saja itu?” Rasulullah bersabda, “Berbuat syirik kepada Allah; melakukan sihir; membunuh jiwa yang Allah haramkan, kecuali dengan alasan yang benar; memakan riba; memakan harta anak yatim; berpaling dari perang yang sedang berkecamuk; dan menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina.” (HR. Bukhari no. 2766 dan Muslim no. 89) Dalil ijmak Para ulama sepakat haramnya riba dalam akad muamalah, sebagai ijmak yang qath’i (pasti). [6] Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa diharamkannya riba juga disepakati oleh syariat-syariat sebelumnya. [7] Meskipun demikian, para ulama berselisih pendapat tentang rincian kasusnya, juga dalam menentukan syarat-syaratnya. Riba yang pertama kali diharamkan oleh Allah Ta’ala adalah riba jahiliyah, ketika orang-orang musyrik mengatakan, وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275) Yaitu, ketika orang yang memberikan pinjaman (kreditur) berkata kepada orang yang meminjam (berutang, atau debitur), “(Utangmu) dilunasi sekarang, atau berikan tambahan (bunga).” Allah Ta’ala berkata ketika mengharamkan riba jenis ini, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda; dan bertakwalah kamu kepada Allah, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata tentang riba jahiliyah, وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُهُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ ”Riba jahiliyah telah dihapus. Dan riba yang pertama kali aku hapus adalah riba ‘Abbas bin Abdul Muththalib (paman Nabi sendiri, pen.). Maka riba ‘Abbas bin Abdul Muththalib dihapus seluruhnya”  (HR. Muslim no. 1218) Riba jahiliyah diharamkan karena mengandung kezaliman, memakan harta orang lain secara batil. Hal ini karena penambahan dari pokok utang yang dilakukan oleh kreditur, penambahan tersebut diambil tanpa ada kompensasi. [8] Demikian pula, termasuk dalam praktik riba adalah semua keuntungan (manfaat) yang diperoleh dari transaksi utang piutang. [9] Ulama sepakat bahwa semua utang yang menghasilkan manfaat atau keuntungan, maka statusnya adalah riba. Hal ini karena transaksi utang piutang didasari untuk membantu meringankan kesulitan orang lain, sehingga tidak selayaknya seorang muslim mengambil keuntungan dari utang piutang. Dalil-dalil yang mengharamkan riba mencakup semua jenis riba di atas. Oleh karena itu, jelaslah bahwa adanya unsur riba dalam akad muamalah merupakan sebab diharamkannya akad muamalah tersebut. [10] Akan tetapi, untuk menghukumi apakah suatu akad atau transaksi itu mengandung unsur riba ataukah tidak, hal ini membutuhkan penelitian yang mendalam tentang seluk beluk transaksi dan juga membutuhkan kehati-hatian, tidak tergesa-gesa dalam memvonis apakah mengandung riba ataukah tidak. Ibnu Katsir rahimahullah mengingatkan, وَبَابُ الرِّبَا مِنْ أَشْكَلِ الْأَبْوَابِ عَلَى كَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ “Bab tentang riba adalah salah satu bab yang paling sulit dipahami oleh banyak ulama.” [11] Contoh penerapan dalam transaksi muamalah Untuk lebih memahami prinsip ini, berikut kami sebutkan beberapa contoh akad muamalah yang haram karena mengandung unsur riba [12]: Contoh pertama: bunga bank. Bank sebagai lembaga pembiayaan memberikan pinjaman kepada perseorangan atau pengusaha untuk digunakan sebagai modal (atau keperluan lainnya). Nominal utang tersebut harus dikembalikan dalam jumlah yang sama ditambah bunga, atau pihak bank menerapkan denda jika debitur terlambat membayar utang sesuai dengan tempo yang telah ditentukan. Begitu pula bunga bank yang diterima oleh orang yang menabung di bank, karena hakikat dari menabung di bank adalah memberikan pinjaman (qardh). Contoh kedua: jual beli emas dengan cara tidak tunai, misalnya murabahah emas. Bentuknya, seseorang datang ke bank untuk membeli emas batangan dengan berat tertentu seraya membayar uang muka. Lalu, bank membeli emas batangan yang diinginkan nasabah, dijadikan barang gadai yang dipegang oleh bank sampai utang tersebut lunas. Dalam deskripsi ini, uang muka diserahkan di depan, namun emas batangan baru diserahkan beberapa bulan atau tahun setelah lunas. Contoh ketiga: memanfaatkan barang gadai. Barang gadai diserahkan kepada kreditur sebagai jaminan kepercayaan dari pihak debitur, sehingga statusnya masih tetap milik debitur. Ketika barang gadai ini dimanfaatkan oleh kreditur, berarti dia mendapatkan manfaat atau keuntungan dari utang yang diberikan. Sedangkan semua utang-piutang yang menghasilkan keuntungan, maka statusnya adalah riba. [Bersambung] Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4 *** @26 Jumadil akhir 1446/ 28 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Lisanul ‘Arab, 14: 304; Al-Mishbah Al-Munir, hal. 114-115. [2] Lihat Ar-Riba wal Mu’amalat Al-Mu’ashirah, hal. 152-160; Al-Jami’ fi Ushul Ar-Riba, hal. 22-26. [3] Lihat Ar-Riba wal Mu’amalat Al-Mu’ashirah, hal. 55; Al-Jami’ fi Ushul Ar-Riba, hal. 74. [4] Lihat Kasyaf Al-Qina’, 3: 263-264; Mathalib Ulin Nuha, 3: 170. [5] Lihat Al-Muqaddimah Al-Mumahhidat, 2: 8. [6] Di antara ulama yang menukil ijmak ini adalah Ibnu Hazm dalam Maratib Al-Ijma’, hal. 103; Ibnu Rusyd dalam Al-Muqaddimah Al-Mumahhidat, 2: 8; Al-Mawardi dalam Al-Hawi Al-Kabir, 5: 74; An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 9: 391; dan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa, [7] Lihat Al-Muqaddimah Al-Mumahhidat, 2: 5; Al-Hawi Al-Kabir, 5: 74. [8] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 419, 20: 341, 350; I’lamul Muwaqi’in, 1: 387; Al-Muwafaqat, 4: 40. [9] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 19: 283-284; I’lamul Muwaqi’in, 2: 136-137; Al-Muwafaqat, 4: 41-42. [10] Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 125; Majmu’ Al-Fatawa, 29: 419; Tafsir Ibnu Katsir, 1: 327; Al-Muwafaqat, 4: 42. [11] Tafsir Ibnu Katsir, 1: 327. [12] Contoh-contoh ini merujuk pada buku Ada Apa dengan Riba, karya Ustadz Ammi Nur Baits; dan Harta Haram Muamalat Kontemporer, karya Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA.

Mengenal Nama Allah “Al-‘Azhim”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-‘Azhim“Kandungan makna nama Allah “Al-‘Azhim“Makna bahasa dari “Al-‘Azhim“Makna “Al-‘Azhim” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-‘Azhim” bagi hambaPertama: Mengagungkan Allah dengan keimanan yang benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat-NyaKedua: Memperbanyak zikir kepada AllahKetiga: Mengagungkan Rasulullah dan ulamaKeempat: Mengagungkan syiar-syiar Allah dan menjauhi larangan-Nya Setiap nama Allah memiliki makna yang mendalam dan penuh hikmah, memberikan pelajaran bagi hamba-Nya yang beriman. Salah satu nama-Nya yang penuh keagungan adalah Al-‘Azhim, yang berarti Mahaagung. Nama ini tercantum dalam berbagai ayat Al-Qur’an, menunjukkan kebesaran, kekuasaan, dan keagungan-Nya yang tiada tara. Dengan mengenal dan memahami makna nama Allah Al-‘Azhim, seorang hamba akan semakin menguatkan keimanannya kepada Sang Pencipta. Melalui artikel ini, kita akan bersama-sama menggali dalil-dalil yang menunjukkan nama Allah Al-‘Azhim, memahami kandungan maknanya, serta mengetahui konsekuensinya bagi kehidupan seorang hamba. Semoga pembahasan ini semakin mendekatkan hati kita kepada Allah, memperkuat keyakinan kita, dan menumbuhkan rasa takut serta cinta kepada-Nya. Dalil nama Allah “Al-‘Azhim“ Nama ini disebutkan sebanyak sembilan kali dalam Al-Qur’an, di antaranya: Firman Allah Ta’ala, وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ “Dan pemeliharaan keduanya (langit dan bumi) tidak memberatkan-Nya. Dan Dia Mahatinggi, Mahaagung.” (QS. Al-Baqarah: 255) Dan firman-Nya, فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ “Maka, bertasbihlah dengan nama Tuhanmu yang Mahaagung.” (QS. Al-Waqi’ah: 96, 74; dan QS. Al-Haqqah: 52) [1] Kandungan makna nama Allah “Al-‘Azhim“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-‘Azhim” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-‘Azhim“ Az-Zajjaji (w. 337 H) mengatakan, “Al-‘Azhim” adalah ( ذو العظمة والجلال في ملكه وسلطانه عز وجل ) “yang memiliki kebesaran dan keagungan dalam kerajaan dan kekuasaan-Nya”. Hal ini sebagaimana yang diketahui oleh bangsa Arab dalam pidato dan percakapan mereka. Seorang pembicara berkata, ( من عظيم بني فلان اليوم؟ ) ‘Siapakah orang besar dari Bani Fulan hari ini?’ Maksudnya, siapa yang memiliki kebesaran dan kepemimpinan di antara mereka.” [2] Ibn Faris (w. 395 H) mengatakan, (عظم) الْعَيْنُ وَالظَّاءُ وَالْمِيمُ أَصْلٌ وَاحِدٌ صَحِيحٌ يَدُلُّ عَلَى كِبَرٍ وَقُوَّةٍ. “(Huruf ‘ain’, ‘zha’, dan ‘mim’) merupakan akar kata yang satu yang sahih, yang menunjukkan kebesaran dan kekuatan.” [3] Al-Fayyumi (w. sekitar 770 H) mengatakan, وَالْعَظَمَةُ الْكِبْرِيَاءُ “‘Al-‘Azhamah’ berarti kebesaran dan keagungan.” [4] Makna “Al-‘Azhim” dalam konteks Allah Syekh Abdurrahman bin Nashi As-Si’diy mengatakan, {‌الْعَظِيمُ} الجامع، لجميع صفات العظمة والكبرياء، والمجد والبهاء، الذي تحبه القلوب، وتعظمه الأرواح، ويعرف العارفون أن عظمة كل شيء، وإن جلت عن الصفة، فإنها مضمحلة في جانب عظمة العلي ‌العظيم. “Al-‘Azhim adalah yang mengumpulkan semua sifat keagungan, kebesaran, kemuliaan, dan keindahan. Dialah yang dicintai oleh hati, diagungkan oleh ruh, dan dikenal oleh orang-orang yang berilmu, bahwa kebesaran segala sesuatu, meskipun sangat besar sehingga sulit digambarkan, tetaplah lenyap dibandingkan dengan kebesaran Al-‘Aliy Al-‘Azhim.” [5] Dalam kitab lain, Asy-Syekh As-Si’diy menjelaskan, Makna kebesaran (kibriya`) dan keagungan (‘azhamah) ada dua macam: Pertama, berkaitan dengan sifat-sifat-Nya. Allah memiliki semua makna kebesaran dan keagungan, seperti kekuatan, kemuliaan, kesempurnaan kekuasaan, keluasan ilmu, kemuliaan yang sempurna, dan sifat-sifat keagungan, serta kebesaran lainnya. Di antara keagungan-Nya adalah bahwa langit dan bumi seluruhnya seperti biji sawi di genggaman Ar-Rahman, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّتُ بِيَمِينِهِ “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit dilipat dengan tangan kanan-Nya.” (QS. Az-Zumar: 67) Juga firman-Nya, إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ أَن تَزُولَا وَلَئِن زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا “Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi agar tidak lenyap, dan sungguh jika keduanya lenyap, tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya, selain Dia. Sungguh Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun.” (QS. Fatir: 41) Oleh karena itu, Allah memiliki kebesaran dan keagungan yang tidak terukur, yang tidak dapat dijangkau oleh makhluk. Kedua, tidak ada seorang pun yang berhak untuk diagungkan, dibesarkan, dimuliakan, dan disanjung, selain Dia. Allah berhak untuk diagungkan oleh hamba-hamba-Nya dengan hati, lisan, dan amal perbuatan mereka. Hal ini dilakukan dengan berusaha mengenal-Nya, mencintai-Nya, tunduk kepada-Nya, takut kepada-Nya, menggerakkan lisan untuk mengingat-Nya dan memuji-Nya, serta menggerakkan anggota tubuh untuk bersyukur kepada-Nya dan beribadah kepada-Nya. [6] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Lathif” Konsekuensi dari nama Allah “Al-‘Azhim” bagi hamba Penetapan nama “Al-‘Azhim” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Mengagungkan Allah dengan keimanan yang benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat-Nya Seorang muslim harus mengagungkan Allah dengan sebenar-benar pengagungan dan menghormati-Nya dengan sebenar-benar penghormatan. Meskipun hal ini tidak mungkin dicapai secara sempurna, seorang muslim harus berusaha sekuat tenaga untuk mencapainya. Pengagungan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala dimulai dengan keimanan terhadap kebesaran dan kemuliaan nama-nama dan dan sifat-sifat yang layak bagi-Nya, sebagaimana yang Dia sebutkan dalam kitab-Nya atau melalui Rasul-Nya. Seorang muslim harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat tersebut tanpa menyerupakan-Nya dengan makhluk atau meniadakan maknanya. Siapa saja yang menyerupakan Allah dengan makhluk, atau meniadakan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, berarti ia tidak mengagungkan Allah dengan sebenarnya. Kedua: Memperbanyak zikir kepada Allah Mengagungkan Allah juga melibatkan kegiatan memperbanyak zikir kepada-Nya di setiap waktu. Memulai segala urusan dengan menyebut nama-Nya, memuji, dan menyanjung-Nya sesuai dengan keagungan-Nya, serta mengucapkan kalimat tahlil (lailahaillallah) dan takbir (allahu akbar). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar bertasbih dengan nama ini ketika rukuk. Beliau bersabda, ألا وإني نُهيتُ أنْ أقرأ القرآن راكعاً أو ساجداً، فأمَّا الركوع؛ فَعظِّموا فيه الرَّبَّ عزَّ وجلَّ، وأما السُّجودُ؛ فاجْتَهدِوا في الدُّعاء، فقَمِنٌ أنْ يُسْتجابَ لكم “Ketahuilah, aku dilarang membaca Al-Qur’an saat rukuk atau sujud. Adapun ketika rukuk, maka agungkanlah Rabb kalian. Sedangkan saat sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, karena besar kemungkinan doa kalian akan dikabulkan.” (HR. Muslim no. 479) Ketiga: Mengagungkan Rasulullah dan ulama Mengagungkan Allah juga berarti mengagungkan Rasul-Nya serta memuliakannya. Allah berfirman, لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ “Agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, memuliakan (menghormati) dan mengagungkan-Nya.” (QS. Al-Fath: 9) Makna dari ( توقروه ) adalah ( تعظموه ) mengagungkan-Nya. [7] Tidak boleh mendahulukan perkataan siapa pun di atas firman Allah dan sabda Rasul-Nya, betapa pun tingginya kedudukan orang tersebut. Allah berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah.” (QS. Al-Hujurat: 1) Hal ini juga mencakup penghormatan kepada para ulama, karena mereka adalah pewaris para nabi. Keempat: Mengagungkan syiar-syiar Allah dan menjauhi larangan-Nya Mengagungkan Allah juga mencakup penghormatan terhadap syiar-syiar agama-Nya, seperti salat, zakat, puasa, haji, dan lainnya. Allah berfirman, ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32) Selain itu, mengagungkan Allah berarti menjauhi segala larangan dan hal-hal yang diharamkan oleh-Nya, baik dalam Al-Qur’an maupun melalui sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman, ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ عِندَ رَبِّهِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan larangan-larangan Allah, maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya.” (QS. Al-Hajj: 30) Di antara larangan yang paling besar adalah syirik dalam segala bentuknya. Sebaliknya, seorang muslim harus melaksanakan perintah-perintah Allah, terutama perintah untuk mentauhidkan-Nya dan mengesakan-Nya dalam ibadah, tanpa menyekutukan-Nya dengan apa pun. [8] Sebagai penutup, memahami nama Allah Al-‘Azhim mengarahkan seorang hamba untuk menyadari keagungan dan kebesaran Allah yang tak tertandingi. Penghayatan terhadap makna nama ini mengajarkan kita untuk tunduk dan merendahkan diri di hadapan-Nya, serta mempersembahkan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya. Kesadaran akan keagungan Allah juga mendorong kita untuk mengagungkan syariat-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya, dan memenuhi kehidupan dengan ketaatan kepada-Nya. Semoga pemahaman ini menjadikan kita hamba yang semakin dekat kepada Allah, dan senantiasa menghormati serta memuliakan-Nya dengan sebenar-benarnya penghormatan. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Razzaaq” dan “Ar-Raaziq” *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Rajab 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. As-Si‘diy, Abdurrahman bin Nashir. Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam fi ‘Ilm Al-‘Aqa’id wa At-Tauhid wa Al-Akhlaq wa Al-Ahkam Al-Mustanbithah min Al-Qur’an. Riyadh: Dar Fadhilah. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 197. [2] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 111. [3] Maqayiis Al-Lughah, hal. 686. [4] Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 420. [5] Taysir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 954. [6] Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-‘Allam, hal. 52. [7] Tafsir Ibnu Katsir, 7: 329. [8] Disarikan dari An-Nahj Al-Asma, hal. 199-201.

Mengenal Nama Allah “Al-‘Azhim”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-‘Azhim“Kandungan makna nama Allah “Al-‘Azhim“Makna bahasa dari “Al-‘Azhim“Makna “Al-‘Azhim” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-‘Azhim” bagi hambaPertama: Mengagungkan Allah dengan keimanan yang benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat-NyaKedua: Memperbanyak zikir kepada AllahKetiga: Mengagungkan Rasulullah dan ulamaKeempat: Mengagungkan syiar-syiar Allah dan menjauhi larangan-Nya Setiap nama Allah memiliki makna yang mendalam dan penuh hikmah, memberikan pelajaran bagi hamba-Nya yang beriman. Salah satu nama-Nya yang penuh keagungan adalah Al-‘Azhim, yang berarti Mahaagung. Nama ini tercantum dalam berbagai ayat Al-Qur’an, menunjukkan kebesaran, kekuasaan, dan keagungan-Nya yang tiada tara. Dengan mengenal dan memahami makna nama Allah Al-‘Azhim, seorang hamba akan semakin menguatkan keimanannya kepada Sang Pencipta. Melalui artikel ini, kita akan bersama-sama menggali dalil-dalil yang menunjukkan nama Allah Al-‘Azhim, memahami kandungan maknanya, serta mengetahui konsekuensinya bagi kehidupan seorang hamba. Semoga pembahasan ini semakin mendekatkan hati kita kepada Allah, memperkuat keyakinan kita, dan menumbuhkan rasa takut serta cinta kepada-Nya. Dalil nama Allah “Al-‘Azhim“ Nama ini disebutkan sebanyak sembilan kali dalam Al-Qur’an, di antaranya: Firman Allah Ta’ala, وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ “Dan pemeliharaan keduanya (langit dan bumi) tidak memberatkan-Nya. Dan Dia Mahatinggi, Mahaagung.” (QS. Al-Baqarah: 255) Dan firman-Nya, فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ “Maka, bertasbihlah dengan nama Tuhanmu yang Mahaagung.” (QS. Al-Waqi’ah: 96, 74; dan QS. Al-Haqqah: 52) [1] Kandungan makna nama Allah “Al-‘Azhim“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-‘Azhim” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-‘Azhim“ Az-Zajjaji (w. 337 H) mengatakan, “Al-‘Azhim” adalah ( ذو العظمة والجلال في ملكه وسلطانه عز وجل ) “yang memiliki kebesaran dan keagungan dalam kerajaan dan kekuasaan-Nya”. Hal ini sebagaimana yang diketahui oleh bangsa Arab dalam pidato dan percakapan mereka. Seorang pembicara berkata, ( من عظيم بني فلان اليوم؟ ) ‘Siapakah orang besar dari Bani Fulan hari ini?’ Maksudnya, siapa yang memiliki kebesaran dan kepemimpinan di antara mereka.” [2] Ibn Faris (w. 395 H) mengatakan, (عظم) الْعَيْنُ وَالظَّاءُ وَالْمِيمُ أَصْلٌ وَاحِدٌ صَحِيحٌ يَدُلُّ عَلَى كِبَرٍ وَقُوَّةٍ. “(Huruf ‘ain’, ‘zha’, dan ‘mim’) merupakan akar kata yang satu yang sahih, yang menunjukkan kebesaran dan kekuatan.” [3] Al-Fayyumi (w. sekitar 770 H) mengatakan, وَالْعَظَمَةُ الْكِبْرِيَاءُ “‘Al-‘Azhamah’ berarti kebesaran dan keagungan.” [4] Makna “Al-‘Azhim” dalam konteks Allah Syekh Abdurrahman bin Nashi As-Si’diy mengatakan, {‌الْعَظِيمُ} الجامع، لجميع صفات العظمة والكبرياء، والمجد والبهاء، الذي تحبه القلوب، وتعظمه الأرواح، ويعرف العارفون أن عظمة كل شيء، وإن جلت عن الصفة، فإنها مضمحلة في جانب عظمة العلي ‌العظيم. “Al-‘Azhim adalah yang mengumpulkan semua sifat keagungan, kebesaran, kemuliaan, dan keindahan. Dialah yang dicintai oleh hati, diagungkan oleh ruh, dan dikenal oleh orang-orang yang berilmu, bahwa kebesaran segala sesuatu, meskipun sangat besar sehingga sulit digambarkan, tetaplah lenyap dibandingkan dengan kebesaran Al-‘Aliy Al-‘Azhim.” [5] Dalam kitab lain, Asy-Syekh As-Si’diy menjelaskan, Makna kebesaran (kibriya`) dan keagungan (‘azhamah) ada dua macam: Pertama, berkaitan dengan sifat-sifat-Nya. Allah memiliki semua makna kebesaran dan keagungan, seperti kekuatan, kemuliaan, kesempurnaan kekuasaan, keluasan ilmu, kemuliaan yang sempurna, dan sifat-sifat keagungan, serta kebesaran lainnya. Di antara keagungan-Nya adalah bahwa langit dan bumi seluruhnya seperti biji sawi di genggaman Ar-Rahman, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّتُ بِيَمِينِهِ “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit dilipat dengan tangan kanan-Nya.” (QS. Az-Zumar: 67) Juga firman-Nya, إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ أَن تَزُولَا وَلَئِن زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا “Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi agar tidak lenyap, dan sungguh jika keduanya lenyap, tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya, selain Dia. Sungguh Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun.” (QS. Fatir: 41) Oleh karena itu, Allah memiliki kebesaran dan keagungan yang tidak terukur, yang tidak dapat dijangkau oleh makhluk. Kedua, tidak ada seorang pun yang berhak untuk diagungkan, dibesarkan, dimuliakan, dan disanjung, selain Dia. Allah berhak untuk diagungkan oleh hamba-hamba-Nya dengan hati, lisan, dan amal perbuatan mereka. Hal ini dilakukan dengan berusaha mengenal-Nya, mencintai-Nya, tunduk kepada-Nya, takut kepada-Nya, menggerakkan lisan untuk mengingat-Nya dan memuji-Nya, serta menggerakkan anggota tubuh untuk bersyukur kepada-Nya dan beribadah kepada-Nya. [6] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Lathif” Konsekuensi dari nama Allah “Al-‘Azhim” bagi hamba Penetapan nama “Al-‘Azhim” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Mengagungkan Allah dengan keimanan yang benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat-Nya Seorang muslim harus mengagungkan Allah dengan sebenar-benar pengagungan dan menghormati-Nya dengan sebenar-benar penghormatan. Meskipun hal ini tidak mungkin dicapai secara sempurna, seorang muslim harus berusaha sekuat tenaga untuk mencapainya. Pengagungan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala dimulai dengan keimanan terhadap kebesaran dan kemuliaan nama-nama dan dan sifat-sifat yang layak bagi-Nya, sebagaimana yang Dia sebutkan dalam kitab-Nya atau melalui Rasul-Nya. Seorang muslim harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat tersebut tanpa menyerupakan-Nya dengan makhluk atau meniadakan maknanya. Siapa saja yang menyerupakan Allah dengan makhluk, atau meniadakan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, berarti ia tidak mengagungkan Allah dengan sebenarnya. Kedua: Memperbanyak zikir kepada Allah Mengagungkan Allah juga melibatkan kegiatan memperbanyak zikir kepada-Nya di setiap waktu. Memulai segala urusan dengan menyebut nama-Nya, memuji, dan menyanjung-Nya sesuai dengan keagungan-Nya, serta mengucapkan kalimat tahlil (lailahaillallah) dan takbir (allahu akbar). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar bertasbih dengan nama ini ketika rukuk. Beliau bersabda, ألا وإني نُهيتُ أنْ أقرأ القرآن راكعاً أو ساجداً، فأمَّا الركوع؛ فَعظِّموا فيه الرَّبَّ عزَّ وجلَّ، وأما السُّجودُ؛ فاجْتَهدِوا في الدُّعاء، فقَمِنٌ أنْ يُسْتجابَ لكم “Ketahuilah, aku dilarang membaca Al-Qur’an saat rukuk atau sujud. Adapun ketika rukuk, maka agungkanlah Rabb kalian. Sedangkan saat sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, karena besar kemungkinan doa kalian akan dikabulkan.” (HR. Muslim no. 479) Ketiga: Mengagungkan Rasulullah dan ulama Mengagungkan Allah juga berarti mengagungkan Rasul-Nya serta memuliakannya. Allah berfirman, لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ “Agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, memuliakan (menghormati) dan mengagungkan-Nya.” (QS. Al-Fath: 9) Makna dari ( توقروه ) adalah ( تعظموه ) mengagungkan-Nya. [7] Tidak boleh mendahulukan perkataan siapa pun di atas firman Allah dan sabda Rasul-Nya, betapa pun tingginya kedudukan orang tersebut. Allah berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah.” (QS. Al-Hujurat: 1) Hal ini juga mencakup penghormatan kepada para ulama, karena mereka adalah pewaris para nabi. Keempat: Mengagungkan syiar-syiar Allah dan menjauhi larangan-Nya Mengagungkan Allah juga mencakup penghormatan terhadap syiar-syiar agama-Nya, seperti salat, zakat, puasa, haji, dan lainnya. Allah berfirman, ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32) Selain itu, mengagungkan Allah berarti menjauhi segala larangan dan hal-hal yang diharamkan oleh-Nya, baik dalam Al-Qur’an maupun melalui sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman, ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ عِندَ رَبِّهِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan larangan-larangan Allah, maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya.” (QS. Al-Hajj: 30) Di antara larangan yang paling besar adalah syirik dalam segala bentuknya. Sebaliknya, seorang muslim harus melaksanakan perintah-perintah Allah, terutama perintah untuk mentauhidkan-Nya dan mengesakan-Nya dalam ibadah, tanpa menyekutukan-Nya dengan apa pun. [8] Sebagai penutup, memahami nama Allah Al-‘Azhim mengarahkan seorang hamba untuk menyadari keagungan dan kebesaran Allah yang tak tertandingi. Penghayatan terhadap makna nama ini mengajarkan kita untuk tunduk dan merendahkan diri di hadapan-Nya, serta mempersembahkan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya. Kesadaran akan keagungan Allah juga mendorong kita untuk mengagungkan syariat-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya, dan memenuhi kehidupan dengan ketaatan kepada-Nya. Semoga pemahaman ini menjadikan kita hamba yang semakin dekat kepada Allah, dan senantiasa menghormati serta memuliakan-Nya dengan sebenar-benarnya penghormatan. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Razzaaq” dan “Ar-Raaziq” *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Rajab 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. As-Si‘diy, Abdurrahman bin Nashir. Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam fi ‘Ilm Al-‘Aqa’id wa At-Tauhid wa Al-Akhlaq wa Al-Ahkam Al-Mustanbithah min Al-Qur’an. Riyadh: Dar Fadhilah. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 197. [2] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 111. [3] Maqayiis Al-Lughah, hal. 686. [4] Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 420. [5] Taysir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 954. [6] Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-‘Allam, hal. 52. [7] Tafsir Ibnu Katsir, 7: 329. [8] Disarikan dari An-Nahj Al-Asma, hal. 199-201.
Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-‘Azhim“Kandungan makna nama Allah “Al-‘Azhim“Makna bahasa dari “Al-‘Azhim“Makna “Al-‘Azhim” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-‘Azhim” bagi hambaPertama: Mengagungkan Allah dengan keimanan yang benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat-NyaKedua: Memperbanyak zikir kepada AllahKetiga: Mengagungkan Rasulullah dan ulamaKeempat: Mengagungkan syiar-syiar Allah dan menjauhi larangan-Nya Setiap nama Allah memiliki makna yang mendalam dan penuh hikmah, memberikan pelajaran bagi hamba-Nya yang beriman. Salah satu nama-Nya yang penuh keagungan adalah Al-‘Azhim, yang berarti Mahaagung. Nama ini tercantum dalam berbagai ayat Al-Qur’an, menunjukkan kebesaran, kekuasaan, dan keagungan-Nya yang tiada tara. Dengan mengenal dan memahami makna nama Allah Al-‘Azhim, seorang hamba akan semakin menguatkan keimanannya kepada Sang Pencipta. Melalui artikel ini, kita akan bersama-sama menggali dalil-dalil yang menunjukkan nama Allah Al-‘Azhim, memahami kandungan maknanya, serta mengetahui konsekuensinya bagi kehidupan seorang hamba. Semoga pembahasan ini semakin mendekatkan hati kita kepada Allah, memperkuat keyakinan kita, dan menumbuhkan rasa takut serta cinta kepada-Nya. Dalil nama Allah “Al-‘Azhim“ Nama ini disebutkan sebanyak sembilan kali dalam Al-Qur’an, di antaranya: Firman Allah Ta’ala, وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ “Dan pemeliharaan keduanya (langit dan bumi) tidak memberatkan-Nya. Dan Dia Mahatinggi, Mahaagung.” (QS. Al-Baqarah: 255) Dan firman-Nya, فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ “Maka, bertasbihlah dengan nama Tuhanmu yang Mahaagung.” (QS. Al-Waqi’ah: 96, 74; dan QS. Al-Haqqah: 52) [1] Kandungan makna nama Allah “Al-‘Azhim“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-‘Azhim” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-‘Azhim“ Az-Zajjaji (w. 337 H) mengatakan, “Al-‘Azhim” adalah ( ذو العظمة والجلال في ملكه وسلطانه عز وجل ) “yang memiliki kebesaran dan keagungan dalam kerajaan dan kekuasaan-Nya”. Hal ini sebagaimana yang diketahui oleh bangsa Arab dalam pidato dan percakapan mereka. Seorang pembicara berkata, ( من عظيم بني فلان اليوم؟ ) ‘Siapakah orang besar dari Bani Fulan hari ini?’ Maksudnya, siapa yang memiliki kebesaran dan kepemimpinan di antara mereka.” [2] Ibn Faris (w. 395 H) mengatakan, (عظم) الْعَيْنُ وَالظَّاءُ وَالْمِيمُ أَصْلٌ وَاحِدٌ صَحِيحٌ يَدُلُّ عَلَى كِبَرٍ وَقُوَّةٍ. “(Huruf ‘ain’, ‘zha’, dan ‘mim’) merupakan akar kata yang satu yang sahih, yang menunjukkan kebesaran dan kekuatan.” [3] Al-Fayyumi (w. sekitar 770 H) mengatakan, وَالْعَظَمَةُ الْكِبْرِيَاءُ “‘Al-‘Azhamah’ berarti kebesaran dan keagungan.” [4] Makna “Al-‘Azhim” dalam konteks Allah Syekh Abdurrahman bin Nashi As-Si’diy mengatakan, {‌الْعَظِيمُ} الجامع، لجميع صفات العظمة والكبرياء، والمجد والبهاء، الذي تحبه القلوب، وتعظمه الأرواح، ويعرف العارفون أن عظمة كل شيء، وإن جلت عن الصفة، فإنها مضمحلة في جانب عظمة العلي ‌العظيم. “Al-‘Azhim adalah yang mengumpulkan semua sifat keagungan, kebesaran, kemuliaan, dan keindahan. Dialah yang dicintai oleh hati, diagungkan oleh ruh, dan dikenal oleh orang-orang yang berilmu, bahwa kebesaran segala sesuatu, meskipun sangat besar sehingga sulit digambarkan, tetaplah lenyap dibandingkan dengan kebesaran Al-‘Aliy Al-‘Azhim.” [5] Dalam kitab lain, Asy-Syekh As-Si’diy menjelaskan, Makna kebesaran (kibriya`) dan keagungan (‘azhamah) ada dua macam: Pertama, berkaitan dengan sifat-sifat-Nya. Allah memiliki semua makna kebesaran dan keagungan, seperti kekuatan, kemuliaan, kesempurnaan kekuasaan, keluasan ilmu, kemuliaan yang sempurna, dan sifat-sifat keagungan, serta kebesaran lainnya. Di antara keagungan-Nya adalah bahwa langit dan bumi seluruhnya seperti biji sawi di genggaman Ar-Rahman, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّتُ بِيَمِينِهِ “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit dilipat dengan tangan kanan-Nya.” (QS. Az-Zumar: 67) Juga firman-Nya, إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ أَن تَزُولَا وَلَئِن زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا “Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi agar tidak lenyap, dan sungguh jika keduanya lenyap, tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya, selain Dia. Sungguh Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun.” (QS. Fatir: 41) Oleh karena itu, Allah memiliki kebesaran dan keagungan yang tidak terukur, yang tidak dapat dijangkau oleh makhluk. Kedua, tidak ada seorang pun yang berhak untuk diagungkan, dibesarkan, dimuliakan, dan disanjung, selain Dia. Allah berhak untuk diagungkan oleh hamba-hamba-Nya dengan hati, lisan, dan amal perbuatan mereka. Hal ini dilakukan dengan berusaha mengenal-Nya, mencintai-Nya, tunduk kepada-Nya, takut kepada-Nya, menggerakkan lisan untuk mengingat-Nya dan memuji-Nya, serta menggerakkan anggota tubuh untuk bersyukur kepada-Nya dan beribadah kepada-Nya. [6] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Lathif” Konsekuensi dari nama Allah “Al-‘Azhim” bagi hamba Penetapan nama “Al-‘Azhim” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Mengagungkan Allah dengan keimanan yang benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat-Nya Seorang muslim harus mengagungkan Allah dengan sebenar-benar pengagungan dan menghormati-Nya dengan sebenar-benar penghormatan. Meskipun hal ini tidak mungkin dicapai secara sempurna, seorang muslim harus berusaha sekuat tenaga untuk mencapainya. Pengagungan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala dimulai dengan keimanan terhadap kebesaran dan kemuliaan nama-nama dan dan sifat-sifat yang layak bagi-Nya, sebagaimana yang Dia sebutkan dalam kitab-Nya atau melalui Rasul-Nya. Seorang muslim harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat tersebut tanpa menyerupakan-Nya dengan makhluk atau meniadakan maknanya. Siapa saja yang menyerupakan Allah dengan makhluk, atau meniadakan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, berarti ia tidak mengagungkan Allah dengan sebenarnya. Kedua: Memperbanyak zikir kepada Allah Mengagungkan Allah juga melibatkan kegiatan memperbanyak zikir kepada-Nya di setiap waktu. Memulai segala urusan dengan menyebut nama-Nya, memuji, dan menyanjung-Nya sesuai dengan keagungan-Nya, serta mengucapkan kalimat tahlil (lailahaillallah) dan takbir (allahu akbar). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar bertasbih dengan nama ini ketika rukuk. Beliau bersabda, ألا وإني نُهيتُ أنْ أقرأ القرآن راكعاً أو ساجداً، فأمَّا الركوع؛ فَعظِّموا فيه الرَّبَّ عزَّ وجلَّ، وأما السُّجودُ؛ فاجْتَهدِوا في الدُّعاء، فقَمِنٌ أنْ يُسْتجابَ لكم “Ketahuilah, aku dilarang membaca Al-Qur’an saat rukuk atau sujud. Adapun ketika rukuk, maka agungkanlah Rabb kalian. Sedangkan saat sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, karena besar kemungkinan doa kalian akan dikabulkan.” (HR. Muslim no. 479) Ketiga: Mengagungkan Rasulullah dan ulama Mengagungkan Allah juga berarti mengagungkan Rasul-Nya serta memuliakannya. Allah berfirman, لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ “Agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, memuliakan (menghormati) dan mengagungkan-Nya.” (QS. Al-Fath: 9) Makna dari ( توقروه ) adalah ( تعظموه ) mengagungkan-Nya. [7] Tidak boleh mendahulukan perkataan siapa pun di atas firman Allah dan sabda Rasul-Nya, betapa pun tingginya kedudukan orang tersebut. Allah berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah.” (QS. Al-Hujurat: 1) Hal ini juga mencakup penghormatan kepada para ulama, karena mereka adalah pewaris para nabi. Keempat: Mengagungkan syiar-syiar Allah dan menjauhi larangan-Nya Mengagungkan Allah juga mencakup penghormatan terhadap syiar-syiar agama-Nya, seperti salat, zakat, puasa, haji, dan lainnya. Allah berfirman, ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32) Selain itu, mengagungkan Allah berarti menjauhi segala larangan dan hal-hal yang diharamkan oleh-Nya, baik dalam Al-Qur’an maupun melalui sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman, ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ عِندَ رَبِّهِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan larangan-larangan Allah, maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya.” (QS. Al-Hajj: 30) Di antara larangan yang paling besar adalah syirik dalam segala bentuknya. Sebaliknya, seorang muslim harus melaksanakan perintah-perintah Allah, terutama perintah untuk mentauhidkan-Nya dan mengesakan-Nya dalam ibadah, tanpa menyekutukan-Nya dengan apa pun. [8] Sebagai penutup, memahami nama Allah Al-‘Azhim mengarahkan seorang hamba untuk menyadari keagungan dan kebesaran Allah yang tak tertandingi. Penghayatan terhadap makna nama ini mengajarkan kita untuk tunduk dan merendahkan diri di hadapan-Nya, serta mempersembahkan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya. Kesadaran akan keagungan Allah juga mendorong kita untuk mengagungkan syariat-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya, dan memenuhi kehidupan dengan ketaatan kepada-Nya. Semoga pemahaman ini menjadikan kita hamba yang semakin dekat kepada Allah, dan senantiasa menghormati serta memuliakan-Nya dengan sebenar-benarnya penghormatan. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Razzaaq” dan “Ar-Raaziq” *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Rajab 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. As-Si‘diy, Abdurrahman bin Nashir. Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam fi ‘Ilm Al-‘Aqa’id wa At-Tauhid wa Al-Akhlaq wa Al-Ahkam Al-Mustanbithah min Al-Qur’an. Riyadh: Dar Fadhilah. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 197. [2] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 111. [3] Maqayiis Al-Lughah, hal. 686. [4] Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 420. [5] Taysir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 954. [6] Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-‘Allam, hal. 52. [7] Tafsir Ibnu Katsir, 7: 329. [8] Disarikan dari An-Nahj Al-Asma, hal. 199-201.


Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-‘Azhim“Kandungan makna nama Allah “Al-‘Azhim“Makna bahasa dari “Al-‘Azhim“Makna “Al-‘Azhim” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-‘Azhim” bagi hambaPertama: Mengagungkan Allah dengan keimanan yang benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat-NyaKedua: Memperbanyak zikir kepada AllahKetiga: Mengagungkan Rasulullah dan ulamaKeempat: Mengagungkan syiar-syiar Allah dan menjauhi larangan-Nya Setiap nama Allah memiliki makna yang mendalam dan penuh hikmah, memberikan pelajaran bagi hamba-Nya yang beriman. Salah satu nama-Nya yang penuh keagungan adalah Al-‘Azhim, yang berarti Mahaagung. Nama ini tercantum dalam berbagai ayat Al-Qur’an, menunjukkan kebesaran, kekuasaan, dan keagungan-Nya yang tiada tara. Dengan mengenal dan memahami makna nama Allah Al-‘Azhim, seorang hamba akan semakin menguatkan keimanannya kepada Sang Pencipta. Melalui artikel ini, kita akan bersama-sama menggali dalil-dalil yang menunjukkan nama Allah Al-‘Azhim, memahami kandungan maknanya, serta mengetahui konsekuensinya bagi kehidupan seorang hamba. Semoga pembahasan ini semakin mendekatkan hati kita kepada Allah, memperkuat keyakinan kita, dan menumbuhkan rasa takut serta cinta kepada-Nya. Dalil nama Allah “Al-‘Azhim“ Nama ini disebutkan sebanyak sembilan kali dalam Al-Qur’an, di antaranya: Firman Allah Ta’ala, وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ “Dan pemeliharaan keduanya (langit dan bumi) tidak memberatkan-Nya. Dan Dia Mahatinggi, Mahaagung.” (QS. Al-Baqarah: 255) Dan firman-Nya, فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ “Maka, bertasbihlah dengan nama Tuhanmu yang Mahaagung.” (QS. Al-Waqi’ah: 96, 74; dan QS. Al-Haqqah: 52) [1] Kandungan makna nama Allah “Al-‘Azhim“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-‘Azhim” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-‘Azhim“ Az-Zajjaji (w. 337 H) mengatakan, “Al-‘Azhim” adalah ( ذو العظمة والجلال في ملكه وسلطانه عز وجل ) “yang memiliki kebesaran dan keagungan dalam kerajaan dan kekuasaan-Nya”. Hal ini sebagaimana yang diketahui oleh bangsa Arab dalam pidato dan percakapan mereka. Seorang pembicara berkata, ( من عظيم بني فلان اليوم؟ ) ‘Siapakah orang besar dari Bani Fulan hari ini?’ Maksudnya, siapa yang memiliki kebesaran dan kepemimpinan di antara mereka.” [2] Ibn Faris (w. 395 H) mengatakan, (عظم) الْعَيْنُ وَالظَّاءُ وَالْمِيمُ أَصْلٌ وَاحِدٌ صَحِيحٌ يَدُلُّ عَلَى كِبَرٍ وَقُوَّةٍ. “(Huruf ‘ain’, ‘zha’, dan ‘mim’) merupakan akar kata yang satu yang sahih, yang menunjukkan kebesaran dan kekuatan.” [3] Al-Fayyumi (w. sekitar 770 H) mengatakan, وَالْعَظَمَةُ الْكِبْرِيَاءُ “‘Al-‘Azhamah’ berarti kebesaran dan keagungan.” [4] Makna “Al-‘Azhim” dalam konteks Allah Syekh Abdurrahman bin Nashi As-Si’diy mengatakan, {‌الْعَظِيمُ} الجامع، لجميع صفات العظمة والكبرياء، والمجد والبهاء، الذي تحبه القلوب، وتعظمه الأرواح، ويعرف العارفون أن عظمة كل شيء، وإن جلت عن الصفة، فإنها مضمحلة في جانب عظمة العلي ‌العظيم. “Al-‘Azhim adalah yang mengumpulkan semua sifat keagungan, kebesaran, kemuliaan, dan keindahan. Dialah yang dicintai oleh hati, diagungkan oleh ruh, dan dikenal oleh orang-orang yang berilmu, bahwa kebesaran segala sesuatu, meskipun sangat besar sehingga sulit digambarkan, tetaplah lenyap dibandingkan dengan kebesaran Al-‘Aliy Al-‘Azhim.” [5] Dalam kitab lain, Asy-Syekh As-Si’diy menjelaskan, Makna kebesaran (kibriya`) dan keagungan (‘azhamah) ada dua macam: Pertama, berkaitan dengan sifat-sifat-Nya. Allah memiliki semua makna kebesaran dan keagungan, seperti kekuatan, kemuliaan, kesempurnaan kekuasaan, keluasan ilmu, kemuliaan yang sempurna, dan sifat-sifat keagungan, serta kebesaran lainnya. Di antara keagungan-Nya adalah bahwa langit dan bumi seluruhnya seperti biji sawi di genggaman Ar-Rahman, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّتُ بِيَمِينِهِ “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit dilipat dengan tangan kanan-Nya.” (QS. Az-Zumar: 67) Juga firman-Nya, إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ أَن تَزُولَا وَلَئِن زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا “Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi agar tidak lenyap, dan sungguh jika keduanya lenyap, tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya, selain Dia. Sungguh Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun.” (QS. Fatir: 41) Oleh karena itu, Allah memiliki kebesaran dan keagungan yang tidak terukur, yang tidak dapat dijangkau oleh makhluk. Kedua, tidak ada seorang pun yang berhak untuk diagungkan, dibesarkan, dimuliakan, dan disanjung, selain Dia. Allah berhak untuk diagungkan oleh hamba-hamba-Nya dengan hati, lisan, dan amal perbuatan mereka. Hal ini dilakukan dengan berusaha mengenal-Nya, mencintai-Nya, tunduk kepada-Nya, takut kepada-Nya, menggerakkan lisan untuk mengingat-Nya dan memuji-Nya, serta menggerakkan anggota tubuh untuk bersyukur kepada-Nya dan beribadah kepada-Nya. [6] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Lathif” Konsekuensi dari nama Allah “Al-‘Azhim” bagi hamba Penetapan nama “Al-‘Azhim” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Mengagungkan Allah dengan keimanan yang benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat-Nya Seorang muslim harus mengagungkan Allah dengan sebenar-benar pengagungan dan menghormati-Nya dengan sebenar-benar penghormatan. Meskipun hal ini tidak mungkin dicapai secara sempurna, seorang muslim harus berusaha sekuat tenaga untuk mencapainya. Pengagungan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala dimulai dengan keimanan terhadap kebesaran dan kemuliaan nama-nama dan dan sifat-sifat yang layak bagi-Nya, sebagaimana yang Dia sebutkan dalam kitab-Nya atau melalui Rasul-Nya. Seorang muslim harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat tersebut tanpa menyerupakan-Nya dengan makhluk atau meniadakan maknanya. Siapa saja yang menyerupakan Allah dengan makhluk, atau meniadakan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, berarti ia tidak mengagungkan Allah dengan sebenarnya. Kedua: Memperbanyak zikir kepada Allah Mengagungkan Allah juga melibatkan kegiatan memperbanyak zikir kepada-Nya di setiap waktu. Memulai segala urusan dengan menyebut nama-Nya, memuji, dan menyanjung-Nya sesuai dengan keagungan-Nya, serta mengucapkan kalimat tahlil (lailahaillallah) dan takbir (allahu akbar). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar bertasbih dengan nama ini ketika rukuk. Beliau bersabda, ألا وإني نُهيتُ أنْ أقرأ القرآن راكعاً أو ساجداً، فأمَّا الركوع؛ فَعظِّموا فيه الرَّبَّ عزَّ وجلَّ، وأما السُّجودُ؛ فاجْتَهدِوا في الدُّعاء، فقَمِنٌ أنْ يُسْتجابَ لكم “Ketahuilah, aku dilarang membaca Al-Qur’an saat rukuk atau sujud. Adapun ketika rukuk, maka agungkanlah Rabb kalian. Sedangkan saat sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, karena besar kemungkinan doa kalian akan dikabulkan.” (HR. Muslim no. 479) Ketiga: Mengagungkan Rasulullah dan ulama Mengagungkan Allah juga berarti mengagungkan Rasul-Nya serta memuliakannya. Allah berfirman, لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ “Agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, memuliakan (menghormati) dan mengagungkan-Nya.” (QS. Al-Fath: 9) Makna dari ( توقروه ) adalah ( تعظموه ) mengagungkan-Nya. [7] Tidak boleh mendahulukan perkataan siapa pun di atas firman Allah dan sabda Rasul-Nya, betapa pun tingginya kedudukan orang tersebut. Allah berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah.” (QS. Al-Hujurat: 1) Hal ini juga mencakup penghormatan kepada para ulama, karena mereka adalah pewaris para nabi. Keempat: Mengagungkan syiar-syiar Allah dan menjauhi larangan-Nya Mengagungkan Allah juga mencakup penghormatan terhadap syiar-syiar agama-Nya, seperti salat, zakat, puasa, haji, dan lainnya. Allah berfirman, ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32) Selain itu, mengagungkan Allah berarti menjauhi segala larangan dan hal-hal yang diharamkan oleh-Nya, baik dalam Al-Qur’an maupun melalui sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman, ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ عِندَ رَبِّهِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan larangan-larangan Allah, maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya.” (QS. Al-Hajj: 30) Di antara larangan yang paling besar adalah syirik dalam segala bentuknya. Sebaliknya, seorang muslim harus melaksanakan perintah-perintah Allah, terutama perintah untuk mentauhidkan-Nya dan mengesakan-Nya dalam ibadah, tanpa menyekutukan-Nya dengan apa pun. [8] Sebagai penutup, memahami nama Allah Al-‘Azhim mengarahkan seorang hamba untuk menyadari keagungan dan kebesaran Allah yang tak tertandingi. Penghayatan terhadap makna nama ini mengajarkan kita untuk tunduk dan merendahkan diri di hadapan-Nya, serta mempersembahkan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya. Kesadaran akan keagungan Allah juga mendorong kita untuk mengagungkan syariat-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya, dan memenuhi kehidupan dengan ketaatan kepada-Nya. Semoga pemahaman ini menjadikan kita hamba yang semakin dekat kepada Allah, dan senantiasa menghormati serta memuliakan-Nya dengan sebenar-benarnya penghormatan. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Razzaaq” dan “Ar-Raaziq” *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Rajab 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. As-Si‘diy, Abdurrahman bin Nashir. Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam fi ‘Ilm Al-‘Aqa’id wa At-Tauhid wa Al-Akhlaq wa Al-Ahkam Al-Mustanbithah min Al-Qur’an. Riyadh: Dar Fadhilah. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 197. [2] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 111. [3] Maqayiis Al-Lughah, hal. 686. [4] Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 420. [5] Taysir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 954. [6] Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-‘Allam, hal. 52. [7] Tafsir Ibnu Katsir, 7: 329. [8] Disarikan dari An-Nahj Al-Asma, hal. 199-201.

Perlengkapan Jihad Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam

Daftar Isi Toggle Pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamZirah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallamTopi besi Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam Dakwah Islam yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dimulai dengan lisan dan tulisan kepada para penguasa yang ada. Dakwah Islam ketika itu, dimulai dengan mengirimkan surat-surat kepada pimpinan dan raja-raja di sekitar daerah kaum muslimin. Ketika itu, selain berhadapan dengan kaum musyrikin Arab, kaum muslimin juga berhadapan dengan dua kerajaan adidaya yang sedang saling berperang, Persia dan Romawi Timur atau Bizantium. Ketika itu, kaum muslimin harus mempertahankan diri dari serangan kaum musyrikin. Setelah bisa mengalahkan mereka, kaum muslimin pun mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru bumi. Sebagian menerima Islam dan sebagian lagi mengobarkan peperangan dengan Islam. Maka dari itu, jihad merupakan suatu hal yang mesti dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum ketika itu. Ketika berjihad, tentunya ada perlengkapan-perlengkapan yang harus dipakai ketika berjihad. Tidak mungkin seseorang berjihad tanpa membawa alat apa pun. Lalu, bagaimanakah perlengkapan jihad yang digunakan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam? Pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki 9 pedang. Kesembilan pedang tersebut memiliki ciri-ciri yang hampir sama. Nama kesembilan pedang tersebut dikumpulkan oleh para ulama dalam dua bait syair, لهادينا من الأسياف تسع‌       رسوب و المخذم ذو الفقار قضيب حتف و البتار عضب‌     و قلعي و مأثور الفجار Kami memiliki sembilan pedang Rasub, Al-Mikhdzam, Dzulfiqar Qadhib, Hatf, Al-Battar, ‘Adhb, Qal’i, dan Ma’tsurul Fujar. Itulah nama sembilan pedang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, bagaimana ciri pedang-pedang tersebut? Dari Sa’id bin Abul Hasan, ia berkata, كَانَتْ قَبِيعَةُ سَيْفِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ فِضَّة “Gagang pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terbuat dari perak.” (HR. Tirmidzi) Pada hadis lain, disebutkan, حدثنا محمد بن بكر أخبرنا عثمان بن سعد الكاتب قال قال لي ابن سيرين صنعت سيفي على سيف سمرة وقال سمرة صنعت سيفي على سيف النبي صلى الله عليه وسلم وكان حنفيا “Muhammad bin Bakar telah menceritakan kepada kami, Utsman bin Sa’ad Al-Katib telah mengabarkan kepada kami, ia berkata, ‘Ibnu Sirin berkata kepadaku, ‘Kubuat pedangku seperti pedang Samurah bin Jundub.’ Dan Samurah bin Jundub berkata, ‘Kubuat pedangku seperti pedang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Sedangkan pedang beliau adalah seperti pedang bani Hanifah.” (HR. Ahmad) Lalu, seperti apa pedang Bani Hanifah? Syekh Abdurrazaq menjelaskan bahwa pedang Bani Hanifah dikenal dengan bagusnya kualitas pedang yang dibuat. Dari kedua hadis di atas, bisa disimpulkan bahwa pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan pedang yang bagus. Beliau tidak pergi berjihad dengan pedang seadanya dengan kualitas yang biasa saja. Baca juga: Bom Bunuh Diri Bukan Jihad Zirah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam Ketika berperang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengenakan zirah yang terbuat dari besi yang dibuat secara berantai-rantai. Rasulullah menggunakan zirah tentunya bukan karena takut terluka dan kurangnya tawakal. Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr dalam kitab Syarah Syama’il Muhammadiyah menjelaskan, وقد أخذ أهل العلم من ذلك أنَّ بذل الأسباب للحماية والوقاية ونحو ذلك لا يتنافى مع التّوكُل، بل حقيقة التّوكُل على الله سبحانه قائمة على اعتماد القلب على الله ، وتفويض الأمر إليه سبحانه مع بذل السبب، فلا يتعلق قلبه بالسبب، وإِنَّما يكونُ متوكلا على الله مفوضًا أمره إليه “Para ahlul ilmi telah berpendapat bahwa mengambil sebab untuk perlindungan dan penjagaan dan semisalnya tidaklah menafikan tawakal. Bahkan, hakikat dari tawakal pada Allah Subhanahu wa Ta’ala berdiri di atas bergantungnya hati kepada Allah dan memasrahkan perkara kepadanya bersamaan dengan mengupayakan sebab. Maka, tidaklah hatinya bergantung pada sebab, akan tetapi ia bergantung kepada Allah dan memasrahkan perkaranya pada-Nya.” Rasulullah bahkan mengenakan dua zirah sekaligus secara rangkap pada perang Uhud. Dari Zubair bin Awwam, ia berkata, كَانَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعَانِ يَوْمَ أُحُدٍ فَنَهَضَ إِلَى الصَّخْرَةِ فَلَمْ يَسْتَطِعْ فَأَقْعَدَ طَلْحَةَ تَحْتَهُ فَصَعِدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ حَتَّى اسْتَوَى عَلَى الصَّخْرَةِ فَقَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَوْجَبَ طَلْحَةُ “Pada perang Uhud, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengenakan dua baju perang. Beliau lalu naik ke atas batu tetapi tidak bisa. Maka, Thalhah pun jongkok di bawahnya hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dapat naik di atas batu tersebut.” Zubair berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Telah wajib bagi Thalhah (masuk surga).’ ” (HR. Ahmad) Pada hadis lain, juga disebutkan, أنَّ رسولَ اللهِ كان عليه يومَ أُحُدٍ دِرعان قد ظاهر بينهما ”Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ’alaihi wasallam, ketika perang Uhud, beliau memakai dua baju besi. Sungguh beliau memakai keduanya secara rangkap.“ (HR. Tirmidzi) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika berjihad, tentunya selalu menggunakan baju zirah untuk melindungi dirinya dari serangan musuh. Bahkan, beliau memiliki lebih dari satu zirah hingga tujuh buah. Ketika perang Uhud, beliau shallallahu ’alaihi wasallam mengenakan zirah dua rangkap sehingga dengan izin Allah, beliau bisa selamat dari serangan mematikan yang dilakukan oleh Abdullah bin Qamiah. Topi besi Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam Selain menggunakan baju zirah, Rasulullah juga menggunakan topi besi untuk melindungi kepala. Telah diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ مَكَّةَ يَوْمَ الْفَتْحِ وَعَلَى رَأْسِهِ الْمِغْفَرُ فَلَمَّا نَزَعَهُ جَاءَ رَجُلٌ فَقَالَ ابْنُ خَطَلٍ مُتَعَلِّقٌ بِأَسْتَارِ الْكَعْبَةِ فَقَالَ اقْتُلْهُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki Makkah pada hari Fathu Makkah dengan memakai topi besi di atas kepalanya. Ketika beliau melepasnya, seorang laki-laki datang dan berkata, ‘Itu, si Ibnu Khathal bersembunyi di balik tirai Ka’bah.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata, ‘Bunuhlah dia.’ ” (HR. Bukhari) Dari hadis di atas, kita juga bisa tahu bahwa beliau juga menggunakan topi besi ketika berjihad. Sebagaimana baju zirahnya Rasulullah yang tersusun dengan rantai-rantai, beberapa bagian dari topi besi beliau juga tersusun dengan berantai-rantai. Hal tersebut bisa kita ketahui dari kejadian diserangnya Rasulullah oleh Abdullah bin Qamiah sehingga bagian cincin rantai topi besi Rasulullah tertancap di pipi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Selain itu, Rasulullah juga menggunakan imamah (serban) di atas topi besinya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah radiyallahu ‘anhu, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Makkah di hari Fathu Makkah dengan memakai surban hitam.” (HR. Muslim) Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr dalam kitab Syarah Syama’il Muhammadiyah menjelaskan tentang dua hadis masuknya Rasulullah ke kota Makkah hari Fathu Makkah. Di mana satu hadis menyebutkan menggunakan topi besi dan yang lainnya menyebutkan menggunakan imamah berwarna hitam. فلا تنافي؛ لأنه من الممكن أن يكون قد جمع بينهما، فالمغفر يمكن أن يُلبس وحده، ويمكن أن تلبس تحته القلنسوة، ويمكن أن تُلبس فوقه العمامة، أو أنه عقب دخوله نزع المغفر ، ثم لبس العمامة السوداء “Tidaklah saling bertentangan, dikarenakan mungkin untuk menggabungkan keduanya. Topi besi bisa digunakan bersendirian, bisa juga digunakan dan di bawahnya menggunakan topi dan di atasnya menggunakan imamah. Bisa juga setelah berhasil memasuki Makkah, beliau melepas topi besi lalu menggunakan imamah hitam.” Itulah beberapa perlengkapan perang yang digunakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berperang. Beliau ketika berjihad menggunakan pedang yang berkualitas dan juga melindungi dirinya dengan menggunakan baju zirah dan juga topi besi. Baca juga: Mengajarkan Peperangan dan Jihad Bukan Berarti Mengajarkan Radikal *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Syarah Syama’il Muhammadiyah, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr

Perlengkapan Jihad Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam

Daftar Isi Toggle Pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamZirah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallamTopi besi Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam Dakwah Islam yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dimulai dengan lisan dan tulisan kepada para penguasa yang ada. Dakwah Islam ketika itu, dimulai dengan mengirimkan surat-surat kepada pimpinan dan raja-raja di sekitar daerah kaum muslimin. Ketika itu, selain berhadapan dengan kaum musyrikin Arab, kaum muslimin juga berhadapan dengan dua kerajaan adidaya yang sedang saling berperang, Persia dan Romawi Timur atau Bizantium. Ketika itu, kaum muslimin harus mempertahankan diri dari serangan kaum musyrikin. Setelah bisa mengalahkan mereka, kaum muslimin pun mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru bumi. Sebagian menerima Islam dan sebagian lagi mengobarkan peperangan dengan Islam. Maka dari itu, jihad merupakan suatu hal yang mesti dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum ketika itu. Ketika berjihad, tentunya ada perlengkapan-perlengkapan yang harus dipakai ketika berjihad. Tidak mungkin seseorang berjihad tanpa membawa alat apa pun. Lalu, bagaimanakah perlengkapan jihad yang digunakan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam? Pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki 9 pedang. Kesembilan pedang tersebut memiliki ciri-ciri yang hampir sama. Nama kesembilan pedang tersebut dikumpulkan oleh para ulama dalam dua bait syair, لهادينا من الأسياف تسع‌       رسوب و المخذم ذو الفقار قضيب حتف و البتار عضب‌     و قلعي و مأثور الفجار Kami memiliki sembilan pedang Rasub, Al-Mikhdzam, Dzulfiqar Qadhib, Hatf, Al-Battar, ‘Adhb, Qal’i, dan Ma’tsurul Fujar. Itulah nama sembilan pedang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, bagaimana ciri pedang-pedang tersebut? Dari Sa’id bin Abul Hasan, ia berkata, كَانَتْ قَبِيعَةُ سَيْفِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ فِضَّة “Gagang pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terbuat dari perak.” (HR. Tirmidzi) Pada hadis lain, disebutkan, حدثنا محمد بن بكر أخبرنا عثمان بن سعد الكاتب قال قال لي ابن سيرين صنعت سيفي على سيف سمرة وقال سمرة صنعت سيفي على سيف النبي صلى الله عليه وسلم وكان حنفيا “Muhammad bin Bakar telah menceritakan kepada kami, Utsman bin Sa’ad Al-Katib telah mengabarkan kepada kami, ia berkata, ‘Ibnu Sirin berkata kepadaku, ‘Kubuat pedangku seperti pedang Samurah bin Jundub.’ Dan Samurah bin Jundub berkata, ‘Kubuat pedangku seperti pedang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Sedangkan pedang beliau adalah seperti pedang bani Hanifah.” (HR. Ahmad) Lalu, seperti apa pedang Bani Hanifah? Syekh Abdurrazaq menjelaskan bahwa pedang Bani Hanifah dikenal dengan bagusnya kualitas pedang yang dibuat. Dari kedua hadis di atas, bisa disimpulkan bahwa pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan pedang yang bagus. Beliau tidak pergi berjihad dengan pedang seadanya dengan kualitas yang biasa saja. Baca juga: Bom Bunuh Diri Bukan Jihad Zirah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam Ketika berperang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengenakan zirah yang terbuat dari besi yang dibuat secara berantai-rantai. Rasulullah menggunakan zirah tentunya bukan karena takut terluka dan kurangnya tawakal. Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr dalam kitab Syarah Syama’il Muhammadiyah menjelaskan, وقد أخذ أهل العلم من ذلك أنَّ بذل الأسباب للحماية والوقاية ونحو ذلك لا يتنافى مع التّوكُل، بل حقيقة التّوكُل على الله سبحانه قائمة على اعتماد القلب على الله ، وتفويض الأمر إليه سبحانه مع بذل السبب، فلا يتعلق قلبه بالسبب، وإِنَّما يكونُ متوكلا على الله مفوضًا أمره إليه “Para ahlul ilmi telah berpendapat bahwa mengambil sebab untuk perlindungan dan penjagaan dan semisalnya tidaklah menafikan tawakal. Bahkan, hakikat dari tawakal pada Allah Subhanahu wa Ta’ala berdiri di atas bergantungnya hati kepada Allah dan memasrahkan perkara kepadanya bersamaan dengan mengupayakan sebab. Maka, tidaklah hatinya bergantung pada sebab, akan tetapi ia bergantung kepada Allah dan memasrahkan perkaranya pada-Nya.” Rasulullah bahkan mengenakan dua zirah sekaligus secara rangkap pada perang Uhud. Dari Zubair bin Awwam, ia berkata, كَانَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعَانِ يَوْمَ أُحُدٍ فَنَهَضَ إِلَى الصَّخْرَةِ فَلَمْ يَسْتَطِعْ فَأَقْعَدَ طَلْحَةَ تَحْتَهُ فَصَعِدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ حَتَّى اسْتَوَى عَلَى الصَّخْرَةِ فَقَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَوْجَبَ طَلْحَةُ “Pada perang Uhud, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengenakan dua baju perang. Beliau lalu naik ke atas batu tetapi tidak bisa. Maka, Thalhah pun jongkok di bawahnya hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dapat naik di atas batu tersebut.” Zubair berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Telah wajib bagi Thalhah (masuk surga).’ ” (HR. Ahmad) Pada hadis lain, juga disebutkan, أنَّ رسولَ اللهِ كان عليه يومَ أُحُدٍ دِرعان قد ظاهر بينهما ”Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ’alaihi wasallam, ketika perang Uhud, beliau memakai dua baju besi. Sungguh beliau memakai keduanya secara rangkap.“ (HR. Tirmidzi) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika berjihad, tentunya selalu menggunakan baju zirah untuk melindungi dirinya dari serangan musuh. Bahkan, beliau memiliki lebih dari satu zirah hingga tujuh buah. Ketika perang Uhud, beliau shallallahu ’alaihi wasallam mengenakan zirah dua rangkap sehingga dengan izin Allah, beliau bisa selamat dari serangan mematikan yang dilakukan oleh Abdullah bin Qamiah. Topi besi Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam Selain menggunakan baju zirah, Rasulullah juga menggunakan topi besi untuk melindungi kepala. Telah diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ مَكَّةَ يَوْمَ الْفَتْحِ وَعَلَى رَأْسِهِ الْمِغْفَرُ فَلَمَّا نَزَعَهُ جَاءَ رَجُلٌ فَقَالَ ابْنُ خَطَلٍ مُتَعَلِّقٌ بِأَسْتَارِ الْكَعْبَةِ فَقَالَ اقْتُلْهُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki Makkah pada hari Fathu Makkah dengan memakai topi besi di atas kepalanya. Ketika beliau melepasnya, seorang laki-laki datang dan berkata, ‘Itu, si Ibnu Khathal bersembunyi di balik tirai Ka’bah.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata, ‘Bunuhlah dia.’ ” (HR. Bukhari) Dari hadis di atas, kita juga bisa tahu bahwa beliau juga menggunakan topi besi ketika berjihad. Sebagaimana baju zirahnya Rasulullah yang tersusun dengan rantai-rantai, beberapa bagian dari topi besi beliau juga tersusun dengan berantai-rantai. Hal tersebut bisa kita ketahui dari kejadian diserangnya Rasulullah oleh Abdullah bin Qamiah sehingga bagian cincin rantai topi besi Rasulullah tertancap di pipi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Selain itu, Rasulullah juga menggunakan imamah (serban) di atas topi besinya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah radiyallahu ‘anhu, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Makkah di hari Fathu Makkah dengan memakai surban hitam.” (HR. Muslim) Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr dalam kitab Syarah Syama’il Muhammadiyah menjelaskan tentang dua hadis masuknya Rasulullah ke kota Makkah hari Fathu Makkah. Di mana satu hadis menyebutkan menggunakan topi besi dan yang lainnya menyebutkan menggunakan imamah berwarna hitam. فلا تنافي؛ لأنه من الممكن أن يكون قد جمع بينهما، فالمغفر يمكن أن يُلبس وحده، ويمكن أن تلبس تحته القلنسوة، ويمكن أن تُلبس فوقه العمامة، أو أنه عقب دخوله نزع المغفر ، ثم لبس العمامة السوداء “Tidaklah saling bertentangan, dikarenakan mungkin untuk menggabungkan keduanya. Topi besi bisa digunakan bersendirian, bisa juga digunakan dan di bawahnya menggunakan topi dan di atasnya menggunakan imamah. Bisa juga setelah berhasil memasuki Makkah, beliau melepas topi besi lalu menggunakan imamah hitam.” Itulah beberapa perlengkapan perang yang digunakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berperang. Beliau ketika berjihad menggunakan pedang yang berkualitas dan juga melindungi dirinya dengan menggunakan baju zirah dan juga topi besi. Baca juga: Mengajarkan Peperangan dan Jihad Bukan Berarti Mengajarkan Radikal *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Syarah Syama’il Muhammadiyah, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr
Daftar Isi Toggle Pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamZirah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallamTopi besi Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam Dakwah Islam yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dimulai dengan lisan dan tulisan kepada para penguasa yang ada. Dakwah Islam ketika itu, dimulai dengan mengirimkan surat-surat kepada pimpinan dan raja-raja di sekitar daerah kaum muslimin. Ketika itu, selain berhadapan dengan kaum musyrikin Arab, kaum muslimin juga berhadapan dengan dua kerajaan adidaya yang sedang saling berperang, Persia dan Romawi Timur atau Bizantium. Ketika itu, kaum muslimin harus mempertahankan diri dari serangan kaum musyrikin. Setelah bisa mengalahkan mereka, kaum muslimin pun mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru bumi. Sebagian menerima Islam dan sebagian lagi mengobarkan peperangan dengan Islam. Maka dari itu, jihad merupakan suatu hal yang mesti dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum ketika itu. Ketika berjihad, tentunya ada perlengkapan-perlengkapan yang harus dipakai ketika berjihad. Tidak mungkin seseorang berjihad tanpa membawa alat apa pun. Lalu, bagaimanakah perlengkapan jihad yang digunakan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam? Pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki 9 pedang. Kesembilan pedang tersebut memiliki ciri-ciri yang hampir sama. Nama kesembilan pedang tersebut dikumpulkan oleh para ulama dalam dua bait syair, لهادينا من الأسياف تسع‌       رسوب و المخذم ذو الفقار قضيب حتف و البتار عضب‌     و قلعي و مأثور الفجار Kami memiliki sembilan pedang Rasub, Al-Mikhdzam, Dzulfiqar Qadhib, Hatf, Al-Battar, ‘Adhb, Qal’i, dan Ma’tsurul Fujar. Itulah nama sembilan pedang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, bagaimana ciri pedang-pedang tersebut? Dari Sa’id bin Abul Hasan, ia berkata, كَانَتْ قَبِيعَةُ سَيْفِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ فِضَّة “Gagang pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terbuat dari perak.” (HR. Tirmidzi) Pada hadis lain, disebutkan, حدثنا محمد بن بكر أخبرنا عثمان بن سعد الكاتب قال قال لي ابن سيرين صنعت سيفي على سيف سمرة وقال سمرة صنعت سيفي على سيف النبي صلى الله عليه وسلم وكان حنفيا “Muhammad bin Bakar telah menceritakan kepada kami, Utsman bin Sa’ad Al-Katib telah mengabarkan kepada kami, ia berkata, ‘Ibnu Sirin berkata kepadaku, ‘Kubuat pedangku seperti pedang Samurah bin Jundub.’ Dan Samurah bin Jundub berkata, ‘Kubuat pedangku seperti pedang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Sedangkan pedang beliau adalah seperti pedang bani Hanifah.” (HR. Ahmad) Lalu, seperti apa pedang Bani Hanifah? Syekh Abdurrazaq menjelaskan bahwa pedang Bani Hanifah dikenal dengan bagusnya kualitas pedang yang dibuat. Dari kedua hadis di atas, bisa disimpulkan bahwa pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan pedang yang bagus. Beliau tidak pergi berjihad dengan pedang seadanya dengan kualitas yang biasa saja. Baca juga: Bom Bunuh Diri Bukan Jihad Zirah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam Ketika berperang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengenakan zirah yang terbuat dari besi yang dibuat secara berantai-rantai. Rasulullah menggunakan zirah tentunya bukan karena takut terluka dan kurangnya tawakal. Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr dalam kitab Syarah Syama’il Muhammadiyah menjelaskan, وقد أخذ أهل العلم من ذلك أنَّ بذل الأسباب للحماية والوقاية ونحو ذلك لا يتنافى مع التّوكُل، بل حقيقة التّوكُل على الله سبحانه قائمة على اعتماد القلب على الله ، وتفويض الأمر إليه سبحانه مع بذل السبب، فلا يتعلق قلبه بالسبب، وإِنَّما يكونُ متوكلا على الله مفوضًا أمره إليه “Para ahlul ilmi telah berpendapat bahwa mengambil sebab untuk perlindungan dan penjagaan dan semisalnya tidaklah menafikan tawakal. Bahkan, hakikat dari tawakal pada Allah Subhanahu wa Ta’ala berdiri di atas bergantungnya hati kepada Allah dan memasrahkan perkara kepadanya bersamaan dengan mengupayakan sebab. Maka, tidaklah hatinya bergantung pada sebab, akan tetapi ia bergantung kepada Allah dan memasrahkan perkaranya pada-Nya.” Rasulullah bahkan mengenakan dua zirah sekaligus secara rangkap pada perang Uhud. Dari Zubair bin Awwam, ia berkata, كَانَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعَانِ يَوْمَ أُحُدٍ فَنَهَضَ إِلَى الصَّخْرَةِ فَلَمْ يَسْتَطِعْ فَأَقْعَدَ طَلْحَةَ تَحْتَهُ فَصَعِدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ حَتَّى اسْتَوَى عَلَى الصَّخْرَةِ فَقَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَوْجَبَ طَلْحَةُ “Pada perang Uhud, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengenakan dua baju perang. Beliau lalu naik ke atas batu tetapi tidak bisa. Maka, Thalhah pun jongkok di bawahnya hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dapat naik di atas batu tersebut.” Zubair berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Telah wajib bagi Thalhah (masuk surga).’ ” (HR. Ahmad) Pada hadis lain, juga disebutkan, أنَّ رسولَ اللهِ كان عليه يومَ أُحُدٍ دِرعان قد ظاهر بينهما ”Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ’alaihi wasallam, ketika perang Uhud, beliau memakai dua baju besi. Sungguh beliau memakai keduanya secara rangkap.“ (HR. Tirmidzi) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika berjihad, tentunya selalu menggunakan baju zirah untuk melindungi dirinya dari serangan musuh. Bahkan, beliau memiliki lebih dari satu zirah hingga tujuh buah. Ketika perang Uhud, beliau shallallahu ’alaihi wasallam mengenakan zirah dua rangkap sehingga dengan izin Allah, beliau bisa selamat dari serangan mematikan yang dilakukan oleh Abdullah bin Qamiah. Topi besi Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam Selain menggunakan baju zirah, Rasulullah juga menggunakan topi besi untuk melindungi kepala. Telah diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ مَكَّةَ يَوْمَ الْفَتْحِ وَعَلَى رَأْسِهِ الْمِغْفَرُ فَلَمَّا نَزَعَهُ جَاءَ رَجُلٌ فَقَالَ ابْنُ خَطَلٍ مُتَعَلِّقٌ بِأَسْتَارِ الْكَعْبَةِ فَقَالَ اقْتُلْهُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki Makkah pada hari Fathu Makkah dengan memakai topi besi di atas kepalanya. Ketika beliau melepasnya, seorang laki-laki datang dan berkata, ‘Itu, si Ibnu Khathal bersembunyi di balik tirai Ka’bah.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata, ‘Bunuhlah dia.’ ” (HR. Bukhari) Dari hadis di atas, kita juga bisa tahu bahwa beliau juga menggunakan topi besi ketika berjihad. Sebagaimana baju zirahnya Rasulullah yang tersusun dengan rantai-rantai, beberapa bagian dari topi besi beliau juga tersusun dengan berantai-rantai. Hal tersebut bisa kita ketahui dari kejadian diserangnya Rasulullah oleh Abdullah bin Qamiah sehingga bagian cincin rantai topi besi Rasulullah tertancap di pipi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Selain itu, Rasulullah juga menggunakan imamah (serban) di atas topi besinya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah radiyallahu ‘anhu, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Makkah di hari Fathu Makkah dengan memakai surban hitam.” (HR. Muslim) Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr dalam kitab Syarah Syama’il Muhammadiyah menjelaskan tentang dua hadis masuknya Rasulullah ke kota Makkah hari Fathu Makkah. Di mana satu hadis menyebutkan menggunakan topi besi dan yang lainnya menyebutkan menggunakan imamah berwarna hitam. فلا تنافي؛ لأنه من الممكن أن يكون قد جمع بينهما، فالمغفر يمكن أن يُلبس وحده، ويمكن أن تلبس تحته القلنسوة، ويمكن أن تُلبس فوقه العمامة، أو أنه عقب دخوله نزع المغفر ، ثم لبس العمامة السوداء “Tidaklah saling bertentangan, dikarenakan mungkin untuk menggabungkan keduanya. Topi besi bisa digunakan bersendirian, bisa juga digunakan dan di bawahnya menggunakan topi dan di atasnya menggunakan imamah. Bisa juga setelah berhasil memasuki Makkah, beliau melepas topi besi lalu menggunakan imamah hitam.” Itulah beberapa perlengkapan perang yang digunakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berperang. Beliau ketika berjihad menggunakan pedang yang berkualitas dan juga melindungi dirinya dengan menggunakan baju zirah dan juga topi besi. Baca juga: Mengajarkan Peperangan dan Jihad Bukan Berarti Mengajarkan Radikal *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Syarah Syama’il Muhammadiyah, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr


Daftar Isi Toggle Pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamZirah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallamTopi besi Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam Dakwah Islam yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dimulai dengan lisan dan tulisan kepada para penguasa yang ada. Dakwah Islam ketika itu, dimulai dengan mengirimkan surat-surat kepada pimpinan dan raja-raja di sekitar daerah kaum muslimin. Ketika itu, selain berhadapan dengan kaum musyrikin Arab, kaum muslimin juga berhadapan dengan dua kerajaan adidaya yang sedang saling berperang, Persia dan Romawi Timur atau Bizantium. Ketika itu, kaum muslimin harus mempertahankan diri dari serangan kaum musyrikin. Setelah bisa mengalahkan mereka, kaum muslimin pun mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru bumi. Sebagian menerima Islam dan sebagian lagi mengobarkan peperangan dengan Islam. Maka dari itu, jihad merupakan suatu hal yang mesti dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum ketika itu. Ketika berjihad, tentunya ada perlengkapan-perlengkapan yang harus dipakai ketika berjihad. Tidak mungkin seseorang berjihad tanpa membawa alat apa pun. Lalu, bagaimanakah perlengkapan jihad yang digunakan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam? Pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki 9 pedang. Kesembilan pedang tersebut memiliki ciri-ciri yang hampir sama. Nama kesembilan pedang tersebut dikumpulkan oleh para ulama dalam dua bait syair, لهادينا من الأسياف تسع‌       رسوب و المخذم ذو الفقار قضيب حتف و البتار عضب‌     و قلعي و مأثور الفجار Kami memiliki sembilan pedang Rasub, Al-Mikhdzam, Dzulfiqar Qadhib, Hatf, Al-Battar, ‘Adhb, Qal’i, dan Ma’tsurul Fujar. Itulah nama sembilan pedang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, bagaimana ciri pedang-pedang tersebut? Dari Sa’id bin Abul Hasan, ia berkata, كَانَتْ قَبِيعَةُ سَيْفِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ فِضَّة “Gagang pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terbuat dari perak.” (HR. Tirmidzi) Pada hadis lain, disebutkan, حدثنا محمد بن بكر أخبرنا عثمان بن سعد الكاتب قال قال لي ابن سيرين صنعت سيفي على سيف سمرة وقال سمرة صنعت سيفي على سيف النبي صلى الله عليه وسلم وكان حنفيا “Muhammad bin Bakar telah menceritakan kepada kami, Utsman bin Sa’ad Al-Katib telah mengabarkan kepada kami, ia berkata, ‘Ibnu Sirin berkata kepadaku, ‘Kubuat pedangku seperti pedang Samurah bin Jundub.’ Dan Samurah bin Jundub berkata, ‘Kubuat pedangku seperti pedang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Sedangkan pedang beliau adalah seperti pedang bani Hanifah.” (HR. Ahmad) Lalu, seperti apa pedang Bani Hanifah? Syekh Abdurrazaq menjelaskan bahwa pedang Bani Hanifah dikenal dengan bagusnya kualitas pedang yang dibuat. Dari kedua hadis di atas, bisa disimpulkan bahwa pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan pedang yang bagus. Beliau tidak pergi berjihad dengan pedang seadanya dengan kualitas yang biasa saja. Baca juga: Bom Bunuh Diri Bukan Jihad Zirah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam Ketika berperang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengenakan zirah yang terbuat dari besi yang dibuat secara berantai-rantai. Rasulullah menggunakan zirah tentunya bukan karena takut terluka dan kurangnya tawakal. Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr dalam kitab Syarah Syama’il Muhammadiyah menjelaskan, وقد أخذ أهل العلم من ذلك أنَّ بذل الأسباب للحماية والوقاية ونحو ذلك لا يتنافى مع التّوكُل، بل حقيقة التّوكُل على الله سبحانه قائمة على اعتماد القلب على الله ، وتفويض الأمر إليه سبحانه مع بذل السبب، فلا يتعلق قلبه بالسبب، وإِنَّما يكونُ متوكلا على الله مفوضًا أمره إليه “Para ahlul ilmi telah berpendapat bahwa mengambil sebab untuk perlindungan dan penjagaan dan semisalnya tidaklah menafikan tawakal. Bahkan, hakikat dari tawakal pada Allah Subhanahu wa Ta’ala berdiri di atas bergantungnya hati kepada Allah dan memasrahkan perkara kepadanya bersamaan dengan mengupayakan sebab. Maka, tidaklah hatinya bergantung pada sebab, akan tetapi ia bergantung kepada Allah dan memasrahkan perkaranya pada-Nya.” Rasulullah bahkan mengenakan dua zirah sekaligus secara rangkap pada perang Uhud. Dari Zubair bin Awwam, ia berkata, كَانَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعَانِ يَوْمَ أُحُدٍ فَنَهَضَ إِلَى الصَّخْرَةِ فَلَمْ يَسْتَطِعْ فَأَقْعَدَ طَلْحَةَ تَحْتَهُ فَصَعِدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ حَتَّى اسْتَوَى عَلَى الصَّخْرَةِ فَقَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَوْجَبَ طَلْحَةُ “Pada perang Uhud, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengenakan dua baju perang. Beliau lalu naik ke atas batu tetapi tidak bisa. Maka, Thalhah pun jongkok di bawahnya hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dapat naik di atas batu tersebut.” Zubair berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Telah wajib bagi Thalhah (masuk surga).’ ” (HR. Ahmad) Pada hadis lain, juga disebutkan, أنَّ رسولَ اللهِ كان عليه يومَ أُحُدٍ دِرعان قد ظاهر بينهما ”Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ’alaihi wasallam, ketika perang Uhud, beliau memakai dua baju besi. Sungguh beliau memakai keduanya secara rangkap.“ (HR. Tirmidzi) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika berjihad, tentunya selalu menggunakan baju zirah untuk melindungi dirinya dari serangan musuh. Bahkan, beliau memiliki lebih dari satu zirah hingga tujuh buah. Ketika perang Uhud, beliau shallallahu ’alaihi wasallam mengenakan zirah dua rangkap sehingga dengan izin Allah, beliau bisa selamat dari serangan mematikan yang dilakukan oleh Abdullah bin Qamiah. Topi besi Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam Selain menggunakan baju zirah, Rasulullah juga menggunakan topi besi untuk melindungi kepala. Telah diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ مَكَّةَ يَوْمَ الْفَتْحِ وَعَلَى رَأْسِهِ الْمِغْفَرُ فَلَمَّا نَزَعَهُ جَاءَ رَجُلٌ فَقَالَ ابْنُ خَطَلٍ مُتَعَلِّقٌ بِأَسْتَارِ الْكَعْبَةِ فَقَالَ اقْتُلْهُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki Makkah pada hari Fathu Makkah dengan memakai topi besi di atas kepalanya. Ketika beliau melepasnya, seorang laki-laki datang dan berkata, ‘Itu, si Ibnu Khathal bersembunyi di balik tirai Ka’bah.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata, ‘Bunuhlah dia.’ ” (HR. Bukhari) Dari hadis di atas, kita juga bisa tahu bahwa beliau juga menggunakan topi besi ketika berjihad. Sebagaimana baju zirahnya Rasulullah yang tersusun dengan rantai-rantai, beberapa bagian dari topi besi beliau juga tersusun dengan berantai-rantai. Hal tersebut bisa kita ketahui dari kejadian diserangnya Rasulullah oleh Abdullah bin Qamiah sehingga bagian cincin rantai topi besi Rasulullah tertancap di pipi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Selain itu, Rasulullah juga menggunakan imamah (serban) di atas topi besinya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah radiyallahu ‘anhu, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Makkah di hari Fathu Makkah dengan memakai surban hitam.” (HR. Muslim) Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr dalam kitab Syarah Syama’il Muhammadiyah menjelaskan tentang dua hadis masuknya Rasulullah ke kota Makkah hari Fathu Makkah. Di mana satu hadis menyebutkan menggunakan topi besi dan yang lainnya menyebutkan menggunakan imamah berwarna hitam. فلا تنافي؛ لأنه من الممكن أن يكون قد جمع بينهما، فالمغفر يمكن أن يُلبس وحده، ويمكن أن تلبس تحته القلنسوة، ويمكن أن تُلبس فوقه العمامة، أو أنه عقب دخوله نزع المغفر ، ثم لبس العمامة السوداء “Tidaklah saling bertentangan, dikarenakan mungkin untuk menggabungkan keduanya. Topi besi bisa digunakan bersendirian, bisa juga digunakan dan di bawahnya menggunakan topi dan di atasnya menggunakan imamah. Bisa juga setelah berhasil memasuki Makkah, beliau melepas topi besi lalu menggunakan imamah hitam.” Itulah beberapa perlengkapan perang yang digunakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berperang. Beliau ketika berjihad menggunakan pedang yang berkualitas dan juga melindungi dirinya dengan menggunakan baju zirah dan juga topi besi. Baca juga: Mengajarkan Peperangan dan Jihad Bukan Berarti Mengajarkan Radikal *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Syarah Syama’il Muhammadiyah, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr

Hati-hati Tanda Aman dari Makar Allah Ini – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Tanda seseorang merasa aman dari makar Allah adalah ia terus-menerus berbuat maksiat, sementara ia bergelimang kenikmatan. Sebagaimana yang sering dikatakan: “Nikmat terus bertambah, namun rasa syukur justru berkurang, sementara maksiat semakin banyak.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadis riwayat Uqbah: “Jika kalian melihat Allah memberi karunia kepada seorang hamba apa yang ia inginkan.” Yakni seorang hamba mendapat kenikmatan dunia yang ia sukai, padahal ia terus bermaksiat. “Jika kamu melihat Allah memberi karunia kepada seorang hamba apa yang ia inginkan dari kenikmatan dunia, padahal ia terus bermaksiat, maka ketahuilah bahwa itu adalah istidraj dari Allah.” Dan makna istidraj adalah? Allah menggiringnya kepada azab selangkah demi selangkah. Allah menangguhkan azab dan membiarkannya sejenak. “Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya tipu daya-Ku amat tangguh.” (QS. al-Qalam: 45). ==== عَلَامَةُ أَمْنِ الْإِنْسَانِ مِنْ مَكْرِ اللَّهِ أَنْ يُقِيمَ عَلَى الْمَعَاصِي مَعَ تَوَفُّرِ النِّعَمِ كَمَا يُقَالُ النِّعَمُ تَزِيْدُ وَالشُّكْرُ مَاذَا يَا إِخْوَانُ يَنْقُصُ وَمَعَاصِي تَكْثُرُ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيثِ عُقْبَةَ إِذَا رَأَيْتُمُ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مَا يُحِبُّ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مَا يُحِبُّ عَلَى مَعَاصِي مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَاعْلَمْ أَنَّمَا ذَلِكَ مِنْهُ اسْتِدْرَاجٌ وَمَعْنَى الِاسْتِدْرَاجِ يُدْنِيْهِ مِنَ الْعَذَابِ دَرَجَةً دَرَجَةً يُمْلِي لَهُ وَيُمْهِلُهُ وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ

Hati-hati Tanda Aman dari Makar Allah Ini – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Tanda seseorang merasa aman dari makar Allah adalah ia terus-menerus berbuat maksiat, sementara ia bergelimang kenikmatan. Sebagaimana yang sering dikatakan: “Nikmat terus bertambah, namun rasa syukur justru berkurang, sementara maksiat semakin banyak.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadis riwayat Uqbah: “Jika kalian melihat Allah memberi karunia kepada seorang hamba apa yang ia inginkan.” Yakni seorang hamba mendapat kenikmatan dunia yang ia sukai, padahal ia terus bermaksiat. “Jika kamu melihat Allah memberi karunia kepada seorang hamba apa yang ia inginkan dari kenikmatan dunia, padahal ia terus bermaksiat, maka ketahuilah bahwa itu adalah istidraj dari Allah.” Dan makna istidraj adalah? Allah menggiringnya kepada azab selangkah demi selangkah. Allah menangguhkan azab dan membiarkannya sejenak. “Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya tipu daya-Ku amat tangguh.” (QS. al-Qalam: 45). ==== عَلَامَةُ أَمْنِ الْإِنْسَانِ مِنْ مَكْرِ اللَّهِ أَنْ يُقِيمَ عَلَى الْمَعَاصِي مَعَ تَوَفُّرِ النِّعَمِ كَمَا يُقَالُ النِّعَمُ تَزِيْدُ وَالشُّكْرُ مَاذَا يَا إِخْوَانُ يَنْقُصُ وَمَعَاصِي تَكْثُرُ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيثِ عُقْبَةَ إِذَا رَأَيْتُمُ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مَا يُحِبُّ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مَا يُحِبُّ عَلَى مَعَاصِي مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَاعْلَمْ أَنَّمَا ذَلِكَ مِنْهُ اسْتِدْرَاجٌ وَمَعْنَى الِاسْتِدْرَاجِ يُدْنِيْهِ مِنَ الْعَذَابِ دَرَجَةً دَرَجَةً يُمْلِي لَهُ وَيُمْهِلُهُ وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ
Tanda seseorang merasa aman dari makar Allah adalah ia terus-menerus berbuat maksiat, sementara ia bergelimang kenikmatan. Sebagaimana yang sering dikatakan: “Nikmat terus bertambah, namun rasa syukur justru berkurang, sementara maksiat semakin banyak.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadis riwayat Uqbah: “Jika kalian melihat Allah memberi karunia kepada seorang hamba apa yang ia inginkan.” Yakni seorang hamba mendapat kenikmatan dunia yang ia sukai, padahal ia terus bermaksiat. “Jika kamu melihat Allah memberi karunia kepada seorang hamba apa yang ia inginkan dari kenikmatan dunia, padahal ia terus bermaksiat, maka ketahuilah bahwa itu adalah istidraj dari Allah.” Dan makna istidraj adalah? Allah menggiringnya kepada azab selangkah demi selangkah. Allah menangguhkan azab dan membiarkannya sejenak. “Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya tipu daya-Ku amat tangguh.” (QS. al-Qalam: 45). ==== عَلَامَةُ أَمْنِ الْإِنْسَانِ مِنْ مَكْرِ اللَّهِ أَنْ يُقِيمَ عَلَى الْمَعَاصِي مَعَ تَوَفُّرِ النِّعَمِ كَمَا يُقَالُ النِّعَمُ تَزِيْدُ وَالشُّكْرُ مَاذَا يَا إِخْوَانُ يَنْقُصُ وَمَعَاصِي تَكْثُرُ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيثِ عُقْبَةَ إِذَا رَأَيْتُمُ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مَا يُحِبُّ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مَا يُحِبُّ عَلَى مَعَاصِي مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَاعْلَمْ أَنَّمَا ذَلِكَ مِنْهُ اسْتِدْرَاجٌ وَمَعْنَى الِاسْتِدْرَاجِ يُدْنِيْهِ مِنَ الْعَذَابِ دَرَجَةً دَرَجَةً يُمْلِي لَهُ وَيُمْهِلُهُ وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ


Tanda seseorang merasa aman dari makar Allah adalah ia terus-menerus berbuat maksiat, sementara ia bergelimang kenikmatan. Sebagaimana yang sering dikatakan: “Nikmat terus bertambah, namun rasa syukur justru berkurang, sementara maksiat semakin banyak.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadis riwayat Uqbah: “Jika kalian melihat Allah memberi karunia kepada seorang hamba apa yang ia inginkan.” Yakni seorang hamba mendapat kenikmatan dunia yang ia sukai, padahal ia terus bermaksiat. “Jika kamu melihat Allah memberi karunia kepada seorang hamba apa yang ia inginkan dari kenikmatan dunia, padahal ia terus bermaksiat, maka ketahuilah bahwa itu adalah istidraj dari Allah.” Dan makna istidraj adalah? Allah menggiringnya kepada azab selangkah demi selangkah. Allah menangguhkan azab dan membiarkannya sejenak. “Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya tipu daya-Ku amat tangguh.” (QS. al-Qalam: 45). ==== عَلَامَةُ أَمْنِ الْإِنْسَانِ مِنْ مَكْرِ اللَّهِ أَنْ يُقِيمَ عَلَى الْمَعَاصِي مَعَ تَوَفُّرِ النِّعَمِ كَمَا يُقَالُ النِّعَمُ تَزِيْدُ وَالشُّكْرُ مَاذَا يَا إِخْوَانُ يَنْقُصُ وَمَعَاصِي تَكْثُرُ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيثِ عُقْبَةَ إِذَا رَأَيْتُمُ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مَا يُحِبُّ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مَا يُحِبُّ عَلَى مَعَاصِي مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَاعْلَمْ أَنَّمَا ذَلِكَ مِنْهُ اسْتِدْرَاجٌ وَمَعْنَى الِاسْتِدْرَاجِ يُدْنِيْهِ مِنَ الْعَذَابِ دَرَجَةً دَرَجَةً يُمْلِي لَهُ وَيُمْهِلُهُ وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ

Lakukan 3 Sebab Ini agar Anda Takut Berbuat Dosa – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Di antara sebab yang dapat membantu agar takut berbuat dosa: [PERTAMA]Mengetahui betapa buruknya kejahatan dan dosa yang dilakukan oleh seorang insan. Dan mengetahui bahwa tidaklah Allah melarang sesuatu kecuali karena di dalamnya terdapat keburukan. Baik itu keburukan yang sudah pasti akan terjadi atau kemungkinan besar ada. [KEDUA]Meyakini adanya ancaman hukuman yang ditetapkan pada dosa itu jika seseorang melakukannya. Karena jika ia benar-benar meyakini ancaman itu, seharusnya ia menjauhi dosa tersebut. Kamu tahu bahwa itu adalah dosa, dan meyakini ancaman Allah bagi orang yang melakukan dosa itu. Lantas bagaimana mungkin seseorang masih melakukan dosa itu?! [KETIGA]Para ulama mengatakan: Rasa takut akan terhalang dari kesempatan bertobat. Karena bisa jadi ia akan terjerumus ke dalam dosa. Lalu–na’udzubillah–ia menikmati dosa itu. Sedangkan dosa akan melahirkan dosa lainnya, dan keburukan akan memanggil keburukan lainnya. Sehingga ia terus melakukan dosa-dosa, lalu ia terhalang dari tobat. Sebagaimana yang difirmankan Allah ‘Azza wa Jalla: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dengan hatinya…” (QS. al-Anfal: 24). Ia terhalang dari hatinya, hingga ketika ia ingin bertobat, tapi ia tidak bisa. Padahal dialah yang telah mencelakakan dirinya sendiri dengan keberaniannya melakukan dosa dan maksiat. ==== مِنَ الْأَسْبَابِ الْمُعِينَةِ يَا إِخْوَانُ عَلَى الْخَوْفِ مَعْرِفَةُ قُبْحِ الْجِنَايَةِ وَالذَّنْبِ الَّذِي يَقْتَرِفُهُ الْإِنْسَانُ وَأَنَّهُ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْ شَيْءٍ إِلَّا وَفِيهِ مَفْسَدَةٌ إِمَّا مُحَقَّقَةٌ وَإِمَّا مَاذَا؟ وَإِمَّا رَاجِحَةٌ الشَّيْءُ الثَّانِي تَصْدِيقُ الْوَعِيدِ الْمُرَتَّبِ عَلَى هَذَا الذَّنْبِ إِذَا اقْتَرَفَهُ الْإِنْسَانُ فَإِنَّهُ إِذْ كَانَ مُصَدِّقًا كَانَ مِنَ الْوَاجِبِ عَلَيْهِ أَنْ يَمْتَنِعَ مِنْ هَذَا الذَّنْبِ فَأَنْتَ تَعْرِفُ أَنَّهُ ذَنْبٌ وَمُصَدِّقٌ لِوَعِيدِ اللَّهِ عَلَى مَنْ اقْتَرَفَ هَذَا الذَّنْبَ فَكَيْفَ يُقْبِلُ الْإِنْسَانُ عَلَى الذَّنْبِ الثَّالِثُ يَقُولُ أَهْلُ الْعِلْمِ خَوْفُهُ مِنْ أَنْ يُحَالَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ لِأَنَّهُ قَدْ يَقَعُ فِي الذَّنْبِ ثُمَّ عِيَاذًا بِاللَّهِ يَسْتَمْرِئُ الذَّنْبَ وَالذَّنْبُ يُنْتِجُ الذَّنْبَ وَالسَّيِّئَةُ تَقُولُ أُخْتِي فَيَسْتَمِرُّ فِي الذُّنُوبِ وَيُحَالُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ كَمَا قَالَ عَزَّ وَجَلَّ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ فَيُحَالُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقَلْبِ حَتَّى يَتَمَنَّى التَّوْبَةَ وَلَكِنْ لَا يَسْتَطِيعُ وَهُوَ الَّذِي جَنَى عَلَى نَفْسِهِ بِإِقْدَامِهِ عَلَى الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي

Lakukan 3 Sebab Ini agar Anda Takut Berbuat Dosa – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Di antara sebab yang dapat membantu agar takut berbuat dosa: [PERTAMA]Mengetahui betapa buruknya kejahatan dan dosa yang dilakukan oleh seorang insan. Dan mengetahui bahwa tidaklah Allah melarang sesuatu kecuali karena di dalamnya terdapat keburukan. Baik itu keburukan yang sudah pasti akan terjadi atau kemungkinan besar ada. [KEDUA]Meyakini adanya ancaman hukuman yang ditetapkan pada dosa itu jika seseorang melakukannya. Karena jika ia benar-benar meyakini ancaman itu, seharusnya ia menjauhi dosa tersebut. Kamu tahu bahwa itu adalah dosa, dan meyakini ancaman Allah bagi orang yang melakukan dosa itu. Lantas bagaimana mungkin seseorang masih melakukan dosa itu?! [KETIGA]Para ulama mengatakan: Rasa takut akan terhalang dari kesempatan bertobat. Karena bisa jadi ia akan terjerumus ke dalam dosa. Lalu–na’udzubillah–ia menikmati dosa itu. Sedangkan dosa akan melahirkan dosa lainnya, dan keburukan akan memanggil keburukan lainnya. Sehingga ia terus melakukan dosa-dosa, lalu ia terhalang dari tobat. Sebagaimana yang difirmankan Allah ‘Azza wa Jalla: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dengan hatinya…” (QS. al-Anfal: 24). Ia terhalang dari hatinya, hingga ketika ia ingin bertobat, tapi ia tidak bisa. Padahal dialah yang telah mencelakakan dirinya sendiri dengan keberaniannya melakukan dosa dan maksiat. ==== مِنَ الْأَسْبَابِ الْمُعِينَةِ يَا إِخْوَانُ عَلَى الْخَوْفِ مَعْرِفَةُ قُبْحِ الْجِنَايَةِ وَالذَّنْبِ الَّذِي يَقْتَرِفُهُ الْإِنْسَانُ وَأَنَّهُ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْ شَيْءٍ إِلَّا وَفِيهِ مَفْسَدَةٌ إِمَّا مُحَقَّقَةٌ وَإِمَّا مَاذَا؟ وَإِمَّا رَاجِحَةٌ الشَّيْءُ الثَّانِي تَصْدِيقُ الْوَعِيدِ الْمُرَتَّبِ عَلَى هَذَا الذَّنْبِ إِذَا اقْتَرَفَهُ الْإِنْسَانُ فَإِنَّهُ إِذْ كَانَ مُصَدِّقًا كَانَ مِنَ الْوَاجِبِ عَلَيْهِ أَنْ يَمْتَنِعَ مِنْ هَذَا الذَّنْبِ فَأَنْتَ تَعْرِفُ أَنَّهُ ذَنْبٌ وَمُصَدِّقٌ لِوَعِيدِ اللَّهِ عَلَى مَنْ اقْتَرَفَ هَذَا الذَّنْبَ فَكَيْفَ يُقْبِلُ الْإِنْسَانُ عَلَى الذَّنْبِ الثَّالِثُ يَقُولُ أَهْلُ الْعِلْمِ خَوْفُهُ مِنْ أَنْ يُحَالَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ لِأَنَّهُ قَدْ يَقَعُ فِي الذَّنْبِ ثُمَّ عِيَاذًا بِاللَّهِ يَسْتَمْرِئُ الذَّنْبَ وَالذَّنْبُ يُنْتِجُ الذَّنْبَ وَالسَّيِّئَةُ تَقُولُ أُخْتِي فَيَسْتَمِرُّ فِي الذُّنُوبِ وَيُحَالُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ كَمَا قَالَ عَزَّ وَجَلَّ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ فَيُحَالُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقَلْبِ حَتَّى يَتَمَنَّى التَّوْبَةَ وَلَكِنْ لَا يَسْتَطِيعُ وَهُوَ الَّذِي جَنَى عَلَى نَفْسِهِ بِإِقْدَامِهِ عَلَى الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي
Di antara sebab yang dapat membantu agar takut berbuat dosa: [PERTAMA]Mengetahui betapa buruknya kejahatan dan dosa yang dilakukan oleh seorang insan. Dan mengetahui bahwa tidaklah Allah melarang sesuatu kecuali karena di dalamnya terdapat keburukan. Baik itu keburukan yang sudah pasti akan terjadi atau kemungkinan besar ada. [KEDUA]Meyakini adanya ancaman hukuman yang ditetapkan pada dosa itu jika seseorang melakukannya. Karena jika ia benar-benar meyakini ancaman itu, seharusnya ia menjauhi dosa tersebut. Kamu tahu bahwa itu adalah dosa, dan meyakini ancaman Allah bagi orang yang melakukan dosa itu. Lantas bagaimana mungkin seseorang masih melakukan dosa itu?! [KETIGA]Para ulama mengatakan: Rasa takut akan terhalang dari kesempatan bertobat. Karena bisa jadi ia akan terjerumus ke dalam dosa. Lalu–na’udzubillah–ia menikmati dosa itu. Sedangkan dosa akan melahirkan dosa lainnya, dan keburukan akan memanggil keburukan lainnya. Sehingga ia terus melakukan dosa-dosa, lalu ia terhalang dari tobat. Sebagaimana yang difirmankan Allah ‘Azza wa Jalla: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dengan hatinya…” (QS. al-Anfal: 24). Ia terhalang dari hatinya, hingga ketika ia ingin bertobat, tapi ia tidak bisa. Padahal dialah yang telah mencelakakan dirinya sendiri dengan keberaniannya melakukan dosa dan maksiat. ==== مِنَ الْأَسْبَابِ الْمُعِينَةِ يَا إِخْوَانُ عَلَى الْخَوْفِ مَعْرِفَةُ قُبْحِ الْجِنَايَةِ وَالذَّنْبِ الَّذِي يَقْتَرِفُهُ الْإِنْسَانُ وَأَنَّهُ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْ شَيْءٍ إِلَّا وَفِيهِ مَفْسَدَةٌ إِمَّا مُحَقَّقَةٌ وَإِمَّا مَاذَا؟ وَإِمَّا رَاجِحَةٌ الشَّيْءُ الثَّانِي تَصْدِيقُ الْوَعِيدِ الْمُرَتَّبِ عَلَى هَذَا الذَّنْبِ إِذَا اقْتَرَفَهُ الْإِنْسَانُ فَإِنَّهُ إِذْ كَانَ مُصَدِّقًا كَانَ مِنَ الْوَاجِبِ عَلَيْهِ أَنْ يَمْتَنِعَ مِنْ هَذَا الذَّنْبِ فَأَنْتَ تَعْرِفُ أَنَّهُ ذَنْبٌ وَمُصَدِّقٌ لِوَعِيدِ اللَّهِ عَلَى مَنْ اقْتَرَفَ هَذَا الذَّنْبَ فَكَيْفَ يُقْبِلُ الْإِنْسَانُ عَلَى الذَّنْبِ الثَّالِثُ يَقُولُ أَهْلُ الْعِلْمِ خَوْفُهُ مِنْ أَنْ يُحَالَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ لِأَنَّهُ قَدْ يَقَعُ فِي الذَّنْبِ ثُمَّ عِيَاذًا بِاللَّهِ يَسْتَمْرِئُ الذَّنْبَ وَالذَّنْبُ يُنْتِجُ الذَّنْبَ وَالسَّيِّئَةُ تَقُولُ أُخْتِي فَيَسْتَمِرُّ فِي الذُّنُوبِ وَيُحَالُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ كَمَا قَالَ عَزَّ وَجَلَّ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ فَيُحَالُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقَلْبِ حَتَّى يَتَمَنَّى التَّوْبَةَ وَلَكِنْ لَا يَسْتَطِيعُ وَهُوَ الَّذِي جَنَى عَلَى نَفْسِهِ بِإِقْدَامِهِ عَلَى الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي


Di antara sebab yang dapat membantu agar takut berbuat dosa: [PERTAMA]Mengetahui betapa buruknya kejahatan dan dosa yang dilakukan oleh seorang insan. Dan mengetahui bahwa tidaklah Allah melarang sesuatu kecuali karena di dalamnya terdapat keburukan. Baik itu keburukan yang sudah pasti akan terjadi atau kemungkinan besar ada. [KEDUA]Meyakini adanya ancaman hukuman yang ditetapkan pada dosa itu jika seseorang melakukannya. Karena jika ia benar-benar meyakini ancaman itu, seharusnya ia menjauhi dosa tersebut. Kamu tahu bahwa itu adalah dosa, dan meyakini ancaman Allah bagi orang yang melakukan dosa itu. Lantas bagaimana mungkin seseorang masih melakukan dosa itu?! [KETIGA]Para ulama mengatakan: Rasa takut akan terhalang dari kesempatan bertobat. Karena bisa jadi ia akan terjerumus ke dalam dosa. Lalu–na’udzubillah–ia menikmati dosa itu. Sedangkan dosa akan melahirkan dosa lainnya, dan keburukan akan memanggil keburukan lainnya. Sehingga ia terus melakukan dosa-dosa, lalu ia terhalang dari tobat. Sebagaimana yang difirmankan Allah ‘Azza wa Jalla: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dengan hatinya…” (QS. al-Anfal: 24). Ia terhalang dari hatinya, hingga ketika ia ingin bertobat, tapi ia tidak bisa. Padahal dialah yang telah mencelakakan dirinya sendiri dengan keberaniannya melakukan dosa dan maksiat. ==== مِنَ الْأَسْبَابِ الْمُعِينَةِ يَا إِخْوَانُ عَلَى الْخَوْفِ مَعْرِفَةُ قُبْحِ الْجِنَايَةِ وَالذَّنْبِ الَّذِي يَقْتَرِفُهُ الْإِنْسَانُ وَأَنَّهُ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْ شَيْءٍ إِلَّا وَفِيهِ مَفْسَدَةٌ إِمَّا مُحَقَّقَةٌ وَإِمَّا مَاذَا؟ وَإِمَّا رَاجِحَةٌ الشَّيْءُ الثَّانِي تَصْدِيقُ الْوَعِيدِ الْمُرَتَّبِ عَلَى هَذَا الذَّنْبِ إِذَا اقْتَرَفَهُ الْإِنْسَانُ فَإِنَّهُ إِذْ كَانَ مُصَدِّقًا كَانَ مِنَ الْوَاجِبِ عَلَيْهِ أَنْ يَمْتَنِعَ مِنْ هَذَا الذَّنْبِ فَأَنْتَ تَعْرِفُ أَنَّهُ ذَنْبٌ وَمُصَدِّقٌ لِوَعِيدِ اللَّهِ عَلَى مَنْ اقْتَرَفَ هَذَا الذَّنْبَ فَكَيْفَ يُقْبِلُ الْإِنْسَانُ عَلَى الذَّنْبِ الثَّالِثُ يَقُولُ أَهْلُ الْعِلْمِ خَوْفُهُ مِنْ أَنْ يُحَالَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ لِأَنَّهُ قَدْ يَقَعُ فِي الذَّنْبِ ثُمَّ عِيَاذًا بِاللَّهِ يَسْتَمْرِئُ الذَّنْبَ وَالذَّنْبُ يُنْتِجُ الذَّنْبَ وَالسَّيِّئَةُ تَقُولُ أُخْتِي فَيَسْتَمِرُّ فِي الذُّنُوبِ وَيُحَالُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ كَمَا قَالَ عَزَّ وَجَلَّ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ فَيُحَالُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقَلْبِ حَتَّى يَتَمَنَّى التَّوْبَةَ وَلَكِنْ لَا يَسْتَطِيعُ وَهُوَ الَّذِي جَنَى عَلَى نَفْسِهِ بِإِقْدَامِهِ عَلَى الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي

Sepuluh Kiat Melawan Godaan Setan

Daftar Isi Toggle Ikrar iblis untuk terus menyesatkan manusiaPerlunya melakukan perlawanan terhadap setanUpaya yang bisa dilakukan untuk melawan setanPertama: Mengetahui bahwa setan adalah musuh kitaKedua: Meminta pertolongan dan perlindungan kepada AllahKetiga: IkhlasKeempat: Bertawakal kepada AllahKelima: Menjauhi langkah-langkah setanKeenam: Membekali diri dengan ilmuKetujuh: Menetapi kesabaranKedelapan: Memperbanyak zikir kepada AllahKesembilan: Membaca Al-Qur’anKesepuluh: Menetapi Jama’ah Dalam usaha menuju kebahagiaan hakiki dan menggapai rida Allah, manusia selalu mendapatkan berbagai rintangan. Di antara rintangan terbesar adalah setan yang selalu menggoda dan membujuk rayu manusia untuk menjadi pengikutnya dalam kesesatan. Dia berusaha menghiasi keburukan sehingga manusia tertarik kepadanya, dan menjelek-jelekkan kebaikan sehingga manusia menjauhinya. Ikrar iblis untuk terus menyesatkan manusia Upaya setan untuk terus menyesatkan manusia ini bermula dari rasa hasad Iblis kepada Nabi Adam yang lebih diutamakan oleh Allah daripada dirinya, sehingga dia pun sombong tidak mau sujud kepada Adam. Lalu, Iblis pun bersumpah janji di hadapan Allah akan berusaha menyesatkan Adam dan anak keturunannya. قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ  قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ  إِلَى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ  قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي ‌لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ “Iblis berkata, ‘Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan.’ Allah berfirman, ‘(Kalau begitu), maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai hari (suatu) waktu yang telah ditentukan.’ Iblis berkata, ‘Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.’” (QS. Al-Hijr: 36-39) Dalam ayat lain, Allah berfirman, لَعَنَهُ اللَّهُ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا  وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ ‌فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا “Allah melaknat setan. Dan setan itu mengatakan, ‘Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan (untuk saya), dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya.’ Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisa: 118-119) Perlunya melakukan perlawanan terhadap setan Seorang mukmin yang memiliki ketulusan niat untuk menggapai rida Allah, tentu akan berusaha semaksimal mungkin menghadapi rintangan yang ada. Maka, dia akan berusaha melakukan perlawanan terhadap setan dan gangguannya. Apabila dia bersungguh-sungguh dalam usahanya ini, niscaya Allah akan memberi pertolongan dan kemudahan kepadanya. Allah berfirman, وَالَّذِينَ ‌جَاهَدُوا ‌فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut: 69) As-Suddi dan yang lain mengatakan bahwa ayat ini turun sebelum diwajibkan berperang. Ibnu Athiyyah berkata, “Ayat ini sebelum adanya jihad yang makruf (yakni: perang -pen), sehingga dia adalah jihad yang bersifat umum untuk menegakkan agama Allah dan mencari rida-Nya.” (Tafsir Al-Qurthubi, 16: 390) Dan jihad dengan makna yang umum mencakup jihad melawan empat hal. Di antaranya adalah jihad melawan setan. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jihad itu ada empat tingkatan. Jihad melawan hawa nafsu, jihad melawan setan, jihad melawan orang-orang kafir, dan jihad melawan orang-orang munafik.” (Zadul Ma’ad, 3: 9) Lalu, beliau menjelaskan tentang jihad melawan setan, “Adapun jihad melawan setan, maka ada dua tingkatan: Pertama adalah jihad melawannya dengan menolak berbagai hal yang dilemparkan oleh setan kepada seorang hamba, berupa syubhat, dan keraguan yang bisa merusak keimanan. Kedua adalah jihad melawan setan dengan menolak berbagai hal yang dilemparkan setan kepada hamba yang berupa syahwat dan keinginan-keinginan yang merusak.” (Zadul Ma’ad, 3: 10) Baca juga: Benarkah Godaan Wanita Lebih Besar daripada Godaan Setan? Upaya yang bisa dilakukan untuk melawan setan Pertama: Mengetahui bahwa setan adalah musuh kita Seseorang yang tidak mengetahui siapa musuhnya, tidak akan mungkin melakukan perlawanan kepadanya. Maka, hal pertama yang harus dimiliki oleh seorang mukmin dalam melawan setan adalah, meyakini bahwa setan adalah musuh yang sebenarnya baginya. Yang terus berusaha menjerumuskannya dalam kebinasaan. Allah berfirman, إِنَّ الشَّيْطَانَ ‌لَكُمْ ‌عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ “Sungguh, setan itu musuh bagimu, maka perlakukanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongannya agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6) Kedua: Meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah Manusia adalah makhluk yang lemah. Dia tidak bisa mengerjakan suatu kebaikan dan menghindari keburukan, kecuali dengan pertolongan Allah. Terlebih lagi ketika dia ingin menghadapi musuh yang tidak bisa dia lihat dan tidak bisa dia dengar. Maka, semakin besar kebutuhannya untuk meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Allah berfirman, وَإِمَّا ‌يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ “Dan jika setan mengganggumu dengan suatu godaan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sungguh, Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat: 36) Ketiga: Ikhlas Sebesar apa pun usaha yang dilakukan setan menyesatkan manusia, ternyata ada orang-orang yang setan sendiri mengakui tidak bisa menyesatkannya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keikhlasan dalam hatinya. Allah berfirman, قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ  إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ ‌الْمُخْلَصِينَ “Ia (Iblis) berkata, ‘Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka.’ ” (QS. Al-Hijr: 39-40) Syekh As-Sa’di menjelaskan tentang makna kata “المخلَصين” (hamba-hamba yang terpilih) di dalam ayat tersebut, “Yaitu, yang Engkau pilih mereka karena keikhlasan, keimanan, dan tawakal mereka.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 431) Dalam Tafsir Al-Qurthubi, dijelaskan bahwa ulama (qiraah) dari Madinah dan dari Kufah membaca kata tersebut dengan difathah huruf lamnya. Sehingga dibaca “mukhlasin”, yang artinya orang-orang yang dipilih. Sedangkan ulama ahli qiraah lainnya membaca kata tersebut dengan dikasrah huruf lamnya. Sehingga dibaca “mukhlisin”, yang artinya adalah orang-orang yang memurnikan ibadah hanya untuk Allah dan membersihkannya dari kerusakan dan riya. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi, 12 :212) Keempat: Bertawakal kepada Allah Tawakal kepada Allah maknanya adalah bersandarnya hati hanya kepada Allah dalam mendatangkan kebaikan dan menghindari keburukan, disertai dengan melakukan usaha yang disyariatkan dan diizinkan oleh Allah. Tawakal merupakan ibadah yang sangat agung dan juga penting. Dia memiliki banyak keutamaan. Di antaranya adalah orang yang bertawakal kepada Allah tidak akan dikuasai dan dipengaruhi oleh setan. Allah berfirman, فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ  إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ  إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ ‌يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ  “Maka, apabila engkau (Muhammad) hendak membaca Al-Qur`ān, mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Sungguh, setan itu tidak akan berpengaruh terhadap orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhan. Pengaruhnya hanyalah terhadap orang yang menjadikannya pemimpin dan terhadap orang yang menyekutukannya dengan Allah.” (QS. An-Nahl: 98-100) Kelima: Menjauhi langkah-langkah setan Perlu kita ketahui, ketika setan ingin menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan dan kebinasaan, dia tidak menggunakan satu cara saja. Bahkan, setan memiliki begitu banyak langkah dan cara untuk menyesatkan manusia. Oleh karena itu, apabila kita ingin melawan setan, sangat perlu bagi kita untuk mengetahui apa saja langkah-langkah yang ditempuh oleh setan, untuk kemudian kita jauhi. Allah berfirman, يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا ‌خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ ‌خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَى مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya dia (setan) menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan mungkar. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 21) Qatadah berkata, “Semua kemaksiatan adalah termasuk langkah-langkah setan.” (Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nur: 21) Syekh As-Sa’di berkata, “Dan langkah-langkah setan mencakup semua kemaksiatan yang berkaitan dengan hati, lisan, dan anggota badan.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 563) Keenam: Membekali diri dengan ilmu Kebodohan manusia merupakan kondisi yang disukai setan. Dengan kebodohan, setan mendapatkan kesempatan besar untuk menjerumuskan manusia dalam kesalahan dan dosa. Sebagaimana telah dijelaskan para ulama, salah satu senjata setan untuk menyesatkan manusia adalah syubhat. Yaitu, kerancuan-kerancuan yang dilemparkan setan untuk menipu manusia sehingga dia menganggap yang batil sebagai kebenaran, dan menganggap yang benar sebagai kebatilan. Senjata ini tentu hanya akan berhasil pada orang-orang yang tidak memiliki ilmu tentang kebenaran dan kebatilan. Maka, untuk melawan setan dalam hal ini, kita harus membekali diri dengan ilmu yang benar. Ibnul Qayyim berkata, “Fitnah itu ada dua macam; fitnah syubhat dan fitnah syahwat. Dan yang paling besar (bahayanya) adalah fitnah syubhat. Kadang-kadang keduanya terkumpul pada diri seorang hamba dan terkadang hanya satu saja yang ada. Maka, fitnah syubhat adalah disebabkan karena lemahnya bashirah dan sedikitnya ilmu.” (Ighatsatul Lahfan, 2: 887) Syekh Ali Hasan memberikan komentar atas ucapan Ibnul Qayyim di atas, “Dan dari pintu sedikitnya ilmu inilah, setan bisa masuk (menyesatkan) banyak orang-orang yang lalai. Setan menghias-hiasi dan memperindah (keburukan) sehingga mereka jatuh dalam jaring-jaring setan. Maka, ilmu yang bermanfaat adalah kunci semua kebaikan dan penolak semua keburukan.” (Catatan kaki no.1, Ighatsatul Lahfan, 2: 887) Ketujuh: Menetapi kesabaran Selain syubhat, senjata lain yang digunakan setan adalah syahwat. Yaitu, kecenderungan pada diri manusia untuk memuaskan hawa nafsunya. Dengan adanya syahwat pada diri manusia, setan bisa menggoda dan membujuk seseorang yang sebenarnya telah memiliki ilmu sehingga dia melakukan kemaksiatan yang cocok dengan hawa nafsunya. Maka, untuk menghadapi hal ini, di samping ilmu yang harus dimiliki, kita juga harus memiliki kesabaran untuk menahan diri dari menuruti keinginan hawa nafsu untuk melakukan kemaksiatan. وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ ‌وَنَهَى ‌النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى  فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at: 40-41) Kedelapan: Memperbanyak zikir kepada Allah Disebutkan dalam hadis bahwa Allah memerintahkan Yahya bin Zakariya dengan lima kalimat agar diamalkan. Di antaranya disebutkan, وآمُركم أن تَذكُروا اللهَ؛ فإنَّ مَثلَ ذلك كمَثلِ رجلٍ خرَج العدوُّ في أثَرِه سِراعًا حتَّى إذا أتى على حِصنٍ حَصينٍ، فأحرَز نفسَه منهم، كذلك العبدُ لا يُحرِزُ نفسَه مِن الشَّيطانِ إلَّا بذِكْرِ اللهِ “Dan aku perintahkan kalian untuk berzikir kepada Allah. Karena perumpamaannya bagaikan seseorang yang dikejar oleh musuh di belakangnya dengan cepat, sehingga apabila dia telah sampai pada benteng yang kokoh, maka dia pun melindungi diri dari mereka. Demikianlah perumpamaan seorang hamba, dia tidak bisa melindungi diri dari setan, kecuali dengan zikir kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi no. 2863) Kesembilan: Membaca Al-Qur’an Membaca Al-Qur’an merupakan salah satu zikir terbaik. Di samping bahwa Al-Qur’an berisi petunjuk dan obat bagi penyakit di dalam dada. Allah berfirman, يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ ‌وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 57) Maka, apabila seorang hamba membaca Al-Qur’an, dia akan dijauhi oleh setan. Terlebih lagi apabila dia mau merenungi isi kandungannya, serta mengamalkannya, niscaya setan akan menjauh darinya. Renungilah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut, لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ. إِنَّ ‌الشَّيْطَانَ ‌يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ “Jangan kamu jadikan rumahmu sebagai kuburan, sesungguhnya setan akan kabur dari rumah yang dibacakan padanya surat Al-Baqarah.” (HR. Muslim no. 780) Kesepuluh: Menetapi Jama’ah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ ثَلاثَةٍ فِي قَرْيةٍ، وَلَا بَدْوٍ، لَا تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلَاةُ إلاَّ قَد اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِم الشَّيْطَانُ. فَعَلَيْكُمْ بِالجَمَاعَةِ، فَإنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ مِنَ الغَنَمِ ‌القَاصِيَة “Tidaklah tiga orang berada pada suatu kampung atau suatu padang sahara yang tidak ditegakkan padanya salat, melainkan setan akan menguasai mereka. Maka, hendaknya kalian menetapi jama’ah. Karena serigala hanya akan memangsa kambing yang menyendiri (dari jama’ah).” (HR. Abu Daud no. 547) Jama’ah yang dimaksud, tentunya adalah orang-orang yang berpegang pada kebenaran. Bukan sembarang jama’ah atau kumpulan orang-orang, walaupun di atas kebatilan. Abdullah bin Mas’ud berkata kepada Amr bin Maimun, “Tahukah kamu, apa itu jama’ah?” Dia menjawab, “Aku tidak tahu.” Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya mayoritas jama’ah (orang-orang) mereka menyelisihi jama’ah. Jama’ah (sesungguhnya) adalah apa yang sesuai dengan kebenaran walaupun kamu sendirian.” (Ad-Durar As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyah, 12: 109) Wallahul Musta’an. Baca juga: Penjelasan Hadis Tanduk Setan dari Timur *** Penulis: Abu Ubaidillah Apri Hernowo Artikel: Muslim.or.id

Sepuluh Kiat Melawan Godaan Setan

Daftar Isi Toggle Ikrar iblis untuk terus menyesatkan manusiaPerlunya melakukan perlawanan terhadap setanUpaya yang bisa dilakukan untuk melawan setanPertama: Mengetahui bahwa setan adalah musuh kitaKedua: Meminta pertolongan dan perlindungan kepada AllahKetiga: IkhlasKeempat: Bertawakal kepada AllahKelima: Menjauhi langkah-langkah setanKeenam: Membekali diri dengan ilmuKetujuh: Menetapi kesabaranKedelapan: Memperbanyak zikir kepada AllahKesembilan: Membaca Al-Qur’anKesepuluh: Menetapi Jama’ah Dalam usaha menuju kebahagiaan hakiki dan menggapai rida Allah, manusia selalu mendapatkan berbagai rintangan. Di antara rintangan terbesar adalah setan yang selalu menggoda dan membujuk rayu manusia untuk menjadi pengikutnya dalam kesesatan. Dia berusaha menghiasi keburukan sehingga manusia tertarik kepadanya, dan menjelek-jelekkan kebaikan sehingga manusia menjauhinya. Ikrar iblis untuk terus menyesatkan manusia Upaya setan untuk terus menyesatkan manusia ini bermula dari rasa hasad Iblis kepada Nabi Adam yang lebih diutamakan oleh Allah daripada dirinya, sehingga dia pun sombong tidak mau sujud kepada Adam. Lalu, Iblis pun bersumpah janji di hadapan Allah akan berusaha menyesatkan Adam dan anak keturunannya. قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ  قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ  إِلَى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ  قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي ‌لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ “Iblis berkata, ‘Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan.’ Allah berfirman, ‘(Kalau begitu), maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai hari (suatu) waktu yang telah ditentukan.’ Iblis berkata, ‘Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.’” (QS. Al-Hijr: 36-39) Dalam ayat lain, Allah berfirman, لَعَنَهُ اللَّهُ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا  وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ ‌فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا “Allah melaknat setan. Dan setan itu mengatakan, ‘Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan (untuk saya), dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya.’ Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisa: 118-119) Perlunya melakukan perlawanan terhadap setan Seorang mukmin yang memiliki ketulusan niat untuk menggapai rida Allah, tentu akan berusaha semaksimal mungkin menghadapi rintangan yang ada. Maka, dia akan berusaha melakukan perlawanan terhadap setan dan gangguannya. Apabila dia bersungguh-sungguh dalam usahanya ini, niscaya Allah akan memberi pertolongan dan kemudahan kepadanya. Allah berfirman, وَالَّذِينَ ‌جَاهَدُوا ‌فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut: 69) As-Suddi dan yang lain mengatakan bahwa ayat ini turun sebelum diwajibkan berperang. Ibnu Athiyyah berkata, “Ayat ini sebelum adanya jihad yang makruf (yakni: perang -pen), sehingga dia adalah jihad yang bersifat umum untuk menegakkan agama Allah dan mencari rida-Nya.” (Tafsir Al-Qurthubi, 16: 390) Dan jihad dengan makna yang umum mencakup jihad melawan empat hal. Di antaranya adalah jihad melawan setan. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jihad itu ada empat tingkatan. Jihad melawan hawa nafsu, jihad melawan setan, jihad melawan orang-orang kafir, dan jihad melawan orang-orang munafik.” (Zadul Ma’ad, 3: 9) Lalu, beliau menjelaskan tentang jihad melawan setan, “Adapun jihad melawan setan, maka ada dua tingkatan: Pertama adalah jihad melawannya dengan menolak berbagai hal yang dilemparkan oleh setan kepada seorang hamba, berupa syubhat, dan keraguan yang bisa merusak keimanan. Kedua adalah jihad melawan setan dengan menolak berbagai hal yang dilemparkan setan kepada hamba yang berupa syahwat dan keinginan-keinginan yang merusak.” (Zadul Ma’ad, 3: 10) Baca juga: Benarkah Godaan Wanita Lebih Besar daripada Godaan Setan? Upaya yang bisa dilakukan untuk melawan setan Pertama: Mengetahui bahwa setan adalah musuh kita Seseorang yang tidak mengetahui siapa musuhnya, tidak akan mungkin melakukan perlawanan kepadanya. Maka, hal pertama yang harus dimiliki oleh seorang mukmin dalam melawan setan adalah, meyakini bahwa setan adalah musuh yang sebenarnya baginya. Yang terus berusaha menjerumuskannya dalam kebinasaan. Allah berfirman, إِنَّ الشَّيْطَانَ ‌لَكُمْ ‌عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ “Sungguh, setan itu musuh bagimu, maka perlakukanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongannya agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6) Kedua: Meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah Manusia adalah makhluk yang lemah. Dia tidak bisa mengerjakan suatu kebaikan dan menghindari keburukan, kecuali dengan pertolongan Allah. Terlebih lagi ketika dia ingin menghadapi musuh yang tidak bisa dia lihat dan tidak bisa dia dengar. Maka, semakin besar kebutuhannya untuk meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Allah berfirman, وَإِمَّا ‌يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ “Dan jika setan mengganggumu dengan suatu godaan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sungguh, Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat: 36) Ketiga: Ikhlas Sebesar apa pun usaha yang dilakukan setan menyesatkan manusia, ternyata ada orang-orang yang setan sendiri mengakui tidak bisa menyesatkannya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keikhlasan dalam hatinya. Allah berfirman, قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ  إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ ‌الْمُخْلَصِينَ “Ia (Iblis) berkata, ‘Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka.’ ” (QS. Al-Hijr: 39-40) Syekh As-Sa’di menjelaskan tentang makna kata “المخلَصين” (hamba-hamba yang terpilih) di dalam ayat tersebut, “Yaitu, yang Engkau pilih mereka karena keikhlasan, keimanan, dan tawakal mereka.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 431) Dalam Tafsir Al-Qurthubi, dijelaskan bahwa ulama (qiraah) dari Madinah dan dari Kufah membaca kata tersebut dengan difathah huruf lamnya. Sehingga dibaca “mukhlasin”, yang artinya orang-orang yang dipilih. Sedangkan ulama ahli qiraah lainnya membaca kata tersebut dengan dikasrah huruf lamnya. Sehingga dibaca “mukhlisin”, yang artinya adalah orang-orang yang memurnikan ibadah hanya untuk Allah dan membersihkannya dari kerusakan dan riya. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi, 12 :212) Keempat: Bertawakal kepada Allah Tawakal kepada Allah maknanya adalah bersandarnya hati hanya kepada Allah dalam mendatangkan kebaikan dan menghindari keburukan, disertai dengan melakukan usaha yang disyariatkan dan diizinkan oleh Allah. Tawakal merupakan ibadah yang sangat agung dan juga penting. Dia memiliki banyak keutamaan. Di antaranya adalah orang yang bertawakal kepada Allah tidak akan dikuasai dan dipengaruhi oleh setan. Allah berfirman, فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ  إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ  إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ ‌يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ  “Maka, apabila engkau (Muhammad) hendak membaca Al-Qur`ān, mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Sungguh, setan itu tidak akan berpengaruh terhadap orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhan. Pengaruhnya hanyalah terhadap orang yang menjadikannya pemimpin dan terhadap orang yang menyekutukannya dengan Allah.” (QS. An-Nahl: 98-100) Kelima: Menjauhi langkah-langkah setan Perlu kita ketahui, ketika setan ingin menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan dan kebinasaan, dia tidak menggunakan satu cara saja. Bahkan, setan memiliki begitu banyak langkah dan cara untuk menyesatkan manusia. Oleh karena itu, apabila kita ingin melawan setan, sangat perlu bagi kita untuk mengetahui apa saja langkah-langkah yang ditempuh oleh setan, untuk kemudian kita jauhi. Allah berfirman, يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا ‌خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ ‌خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَى مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya dia (setan) menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan mungkar. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 21) Qatadah berkata, “Semua kemaksiatan adalah termasuk langkah-langkah setan.” (Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nur: 21) Syekh As-Sa’di berkata, “Dan langkah-langkah setan mencakup semua kemaksiatan yang berkaitan dengan hati, lisan, dan anggota badan.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 563) Keenam: Membekali diri dengan ilmu Kebodohan manusia merupakan kondisi yang disukai setan. Dengan kebodohan, setan mendapatkan kesempatan besar untuk menjerumuskan manusia dalam kesalahan dan dosa. Sebagaimana telah dijelaskan para ulama, salah satu senjata setan untuk menyesatkan manusia adalah syubhat. Yaitu, kerancuan-kerancuan yang dilemparkan setan untuk menipu manusia sehingga dia menganggap yang batil sebagai kebenaran, dan menganggap yang benar sebagai kebatilan. Senjata ini tentu hanya akan berhasil pada orang-orang yang tidak memiliki ilmu tentang kebenaran dan kebatilan. Maka, untuk melawan setan dalam hal ini, kita harus membekali diri dengan ilmu yang benar. Ibnul Qayyim berkata, “Fitnah itu ada dua macam; fitnah syubhat dan fitnah syahwat. Dan yang paling besar (bahayanya) adalah fitnah syubhat. Kadang-kadang keduanya terkumpul pada diri seorang hamba dan terkadang hanya satu saja yang ada. Maka, fitnah syubhat adalah disebabkan karena lemahnya bashirah dan sedikitnya ilmu.” (Ighatsatul Lahfan, 2: 887) Syekh Ali Hasan memberikan komentar atas ucapan Ibnul Qayyim di atas, “Dan dari pintu sedikitnya ilmu inilah, setan bisa masuk (menyesatkan) banyak orang-orang yang lalai. Setan menghias-hiasi dan memperindah (keburukan) sehingga mereka jatuh dalam jaring-jaring setan. Maka, ilmu yang bermanfaat adalah kunci semua kebaikan dan penolak semua keburukan.” (Catatan kaki no.1, Ighatsatul Lahfan, 2: 887) Ketujuh: Menetapi kesabaran Selain syubhat, senjata lain yang digunakan setan adalah syahwat. Yaitu, kecenderungan pada diri manusia untuk memuaskan hawa nafsunya. Dengan adanya syahwat pada diri manusia, setan bisa menggoda dan membujuk seseorang yang sebenarnya telah memiliki ilmu sehingga dia melakukan kemaksiatan yang cocok dengan hawa nafsunya. Maka, untuk menghadapi hal ini, di samping ilmu yang harus dimiliki, kita juga harus memiliki kesabaran untuk menahan diri dari menuruti keinginan hawa nafsu untuk melakukan kemaksiatan. وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ ‌وَنَهَى ‌النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى  فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at: 40-41) Kedelapan: Memperbanyak zikir kepada Allah Disebutkan dalam hadis bahwa Allah memerintahkan Yahya bin Zakariya dengan lima kalimat agar diamalkan. Di antaranya disebutkan, وآمُركم أن تَذكُروا اللهَ؛ فإنَّ مَثلَ ذلك كمَثلِ رجلٍ خرَج العدوُّ في أثَرِه سِراعًا حتَّى إذا أتى على حِصنٍ حَصينٍ، فأحرَز نفسَه منهم، كذلك العبدُ لا يُحرِزُ نفسَه مِن الشَّيطانِ إلَّا بذِكْرِ اللهِ “Dan aku perintahkan kalian untuk berzikir kepada Allah. Karena perumpamaannya bagaikan seseorang yang dikejar oleh musuh di belakangnya dengan cepat, sehingga apabila dia telah sampai pada benteng yang kokoh, maka dia pun melindungi diri dari mereka. Demikianlah perumpamaan seorang hamba, dia tidak bisa melindungi diri dari setan, kecuali dengan zikir kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi no. 2863) Kesembilan: Membaca Al-Qur’an Membaca Al-Qur’an merupakan salah satu zikir terbaik. Di samping bahwa Al-Qur’an berisi petunjuk dan obat bagi penyakit di dalam dada. Allah berfirman, يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ ‌وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 57) Maka, apabila seorang hamba membaca Al-Qur’an, dia akan dijauhi oleh setan. Terlebih lagi apabila dia mau merenungi isi kandungannya, serta mengamalkannya, niscaya setan akan menjauh darinya. Renungilah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut, لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ. إِنَّ ‌الشَّيْطَانَ ‌يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ “Jangan kamu jadikan rumahmu sebagai kuburan, sesungguhnya setan akan kabur dari rumah yang dibacakan padanya surat Al-Baqarah.” (HR. Muslim no. 780) Kesepuluh: Menetapi Jama’ah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ ثَلاثَةٍ فِي قَرْيةٍ، وَلَا بَدْوٍ، لَا تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلَاةُ إلاَّ قَد اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِم الشَّيْطَانُ. فَعَلَيْكُمْ بِالجَمَاعَةِ، فَإنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ مِنَ الغَنَمِ ‌القَاصِيَة “Tidaklah tiga orang berada pada suatu kampung atau suatu padang sahara yang tidak ditegakkan padanya salat, melainkan setan akan menguasai mereka. Maka, hendaknya kalian menetapi jama’ah. Karena serigala hanya akan memangsa kambing yang menyendiri (dari jama’ah).” (HR. Abu Daud no. 547) Jama’ah yang dimaksud, tentunya adalah orang-orang yang berpegang pada kebenaran. Bukan sembarang jama’ah atau kumpulan orang-orang, walaupun di atas kebatilan. Abdullah bin Mas’ud berkata kepada Amr bin Maimun, “Tahukah kamu, apa itu jama’ah?” Dia menjawab, “Aku tidak tahu.” Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya mayoritas jama’ah (orang-orang) mereka menyelisihi jama’ah. Jama’ah (sesungguhnya) adalah apa yang sesuai dengan kebenaran walaupun kamu sendirian.” (Ad-Durar As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyah, 12: 109) Wallahul Musta’an. Baca juga: Penjelasan Hadis Tanduk Setan dari Timur *** Penulis: Abu Ubaidillah Apri Hernowo Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Ikrar iblis untuk terus menyesatkan manusiaPerlunya melakukan perlawanan terhadap setanUpaya yang bisa dilakukan untuk melawan setanPertama: Mengetahui bahwa setan adalah musuh kitaKedua: Meminta pertolongan dan perlindungan kepada AllahKetiga: IkhlasKeempat: Bertawakal kepada AllahKelima: Menjauhi langkah-langkah setanKeenam: Membekali diri dengan ilmuKetujuh: Menetapi kesabaranKedelapan: Memperbanyak zikir kepada AllahKesembilan: Membaca Al-Qur’anKesepuluh: Menetapi Jama’ah Dalam usaha menuju kebahagiaan hakiki dan menggapai rida Allah, manusia selalu mendapatkan berbagai rintangan. Di antara rintangan terbesar adalah setan yang selalu menggoda dan membujuk rayu manusia untuk menjadi pengikutnya dalam kesesatan. Dia berusaha menghiasi keburukan sehingga manusia tertarik kepadanya, dan menjelek-jelekkan kebaikan sehingga manusia menjauhinya. Ikrar iblis untuk terus menyesatkan manusia Upaya setan untuk terus menyesatkan manusia ini bermula dari rasa hasad Iblis kepada Nabi Adam yang lebih diutamakan oleh Allah daripada dirinya, sehingga dia pun sombong tidak mau sujud kepada Adam. Lalu, Iblis pun bersumpah janji di hadapan Allah akan berusaha menyesatkan Adam dan anak keturunannya. قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ  قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ  إِلَى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ  قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي ‌لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ “Iblis berkata, ‘Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan.’ Allah berfirman, ‘(Kalau begitu), maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai hari (suatu) waktu yang telah ditentukan.’ Iblis berkata, ‘Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.’” (QS. Al-Hijr: 36-39) Dalam ayat lain, Allah berfirman, لَعَنَهُ اللَّهُ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا  وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ ‌فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا “Allah melaknat setan. Dan setan itu mengatakan, ‘Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan (untuk saya), dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya.’ Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisa: 118-119) Perlunya melakukan perlawanan terhadap setan Seorang mukmin yang memiliki ketulusan niat untuk menggapai rida Allah, tentu akan berusaha semaksimal mungkin menghadapi rintangan yang ada. Maka, dia akan berusaha melakukan perlawanan terhadap setan dan gangguannya. Apabila dia bersungguh-sungguh dalam usahanya ini, niscaya Allah akan memberi pertolongan dan kemudahan kepadanya. Allah berfirman, وَالَّذِينَ ‌جَاهَدُوا ‌فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut: 69) As-Suddi dan yang lain mengatakan bahwa ayat ini turun sebelum diwajibkan berperang. Ibnu Athiyyah berkata, “Ayat ini sebelum adanya jihad yang makruf (yakni: perang -pen), sehingga dia adalah jihad yang bersifat umum untuk menegakkan agama Allah dan mencari rida-Nya.” (Tafsir Al-Qurthubi, 16: 390) Dan jihad dengan makna yang umum mencakup jihad melawan empat hal. Di antaranya adalah jihad melawan setan. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jihad itu ada empat tingkatan. Jihad melawan hawa nafsu, jihad melawan setan, jihad melawan orang-orang kafir, dan jihad melawan orang-orang munafik.” (Zadul Ma’ad, 3: 9) Lalu, beliau menjelaskan tentang jihad melawan setan, “Adapun jihad melawan setan, maka ada dua tingkatan: Pertama adalah jihad melawannya dengan menolak berbagai hal yang dilemparkan oleh setan kepada seorang hamba, berupa syubhat, dan keraguan yang bisa merusak keimanan. Kedua adalah jihad melawan setan dengan menolak berbagai hal yang dilemparkan setan kepada hamba yang berupa syahwat dan keinginan-keinginan yang merusak.” (Zadul Ma’ad, 3: 10) Baca juga: Benarkah Godaan Wanita Lebih Besar daripada Godaan Setan? Upaya yang bisa dilakukan untuk melawan setan Pertama: Mengetahui bahwa setan adalah musuh kita Seseorang yang tidak mengetahui siapa musuhnya, tidak akan mungkin melakukan perlawanan kepadanya. Maka, hal pertama yang harus dimiliki oleh seorang mukmin dalam melawan setan adalah, meyakini bahwa setan adalah musuh yang sebenarnya baginya. Yang terus berusaha menjerumuskannya dalam kebinasaan. Allah berfirman, إِنَّ الشَّيْطَانَ ‌لَكُمْ ‌عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ “Sungguh, setan itu musuh bagimu, maka perlakukanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongannya agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6) Kedua: Meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah Manusia adalah makhluk yang lemah. Dia tidak bisa mengerjakan suatu kebaikan dan menghindari keburukan, kecuali dengan pertolongan Allah. Terlebih lagi ketika dia ingin menghadapi musuh yang tidak bisa dia lihat dan tidak bisa dia dengar. Maka, semakin besar kebutuhannya untuk meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Allah berfirman, وَإِمَّا ‌يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ “Dan jika setan mengganggumu dengan suatu godaan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sungguh, Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat: 36) Ketiga: Ikhlas Sebesar apa pun usaha yang dilakukan setan menyesatkan manusia, ternyata ada orang-orang yang setan sendiri mengakui tidak bisa menyesatkannya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keikhlasan dalam hatinya. Allah berfirman, قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ  إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ ‌الْمُخْلَصِينَ “Ia (Iblis) berkata, ‘Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka.’ ” (QS. Al-Hijr: 39-40) Syekh As-Sa’di menjelaskan tentang makna kata “المخلَصين” (hamba-hamba yang terpilih) di dalam ayat tersebut, “Yaitu, yang Engkau pilih mereka karena keikhlasan, keimanan, dan tawakal mereka.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 431) Dalam Tafsir Al-Qurthubi, dijelaskan bahwa ulama (qiraah) dari Madinah dan dari Kufah membaca kata tersebut dengan difathah huruf lamnya. Sehingga dibaca “mukhlasin”, yang artinya orang-orang yang dipilih. Sedangkan ulama ahli qiraah lainnya membaca kata tersebut dengan dikasrah huruf lamnya. Sehingga dibaca “mukhlisin”, yang artinya adalah orang-orang yang memurnikan ibadah hanya untuk Allah dan membersihkannya dari kerusakan dan riya. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi, 12 :212) Keempat: Bertawakal kepada Allah Tawakal kepada Allah maknanya adalah bersandarnya hati hanya kepada Allah dalam mendatangkan kebaikan dan menghindari keburukan, disertai dengan melakukan usaha yang disyariatkan dan diizinkan oleh Allah. Tawakal merupakan ibadah yang sangat agung dan juga penting. Dia memiliki banyak keutamaan. Di antaranya adalah orang yang bertawakal kepada Allah tidak akan dikuasai dan dipengaruhi oleh setan. Allah berfirman, فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ  إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ  إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ ‌يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ  “Maka, apabila engkau (Muhammad) hendak membaca Al-Qur`ān, mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Sungguh, setan itu tidak akan berpengaruh terhadap orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhan. Pengaruhnya hanyalah terhadap orang yang menjadikannya pemimpin dan terhadap orang yang menyekutukannya dengan Allah.” (QS. An-Nahl: 98-100) Kelima: Menjauhi langkah-langkah setan Perlu kita ketahui, ketika setan ingin menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan dan kebinasaan, dia tidak menggunakan satu cara saja. Bahkan, setan memiliki begitu banyak langkah dan cara untuk menyesatkan manusia. Oleh karena itu, apabila kita ingin melawan setan, sangat perlu bagi kita untuk mengetahui apa saja langkah-langkah yang ditempuh oleh setan, untuk kemudian kita jauhi. Allah berfirman, يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا ‌خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ ‌خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَى مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya dia (setan) menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan mungkar. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 21) Qatadah berkata, “Semua kemaksiatan adalah termasuk langkah-langkah setan.” (Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nur: 21) Syekh As-Sa’di berkata, “Dan langkah-langkah setan mencakup semua kemaksiatan yang berkaitan dengan hati, lisan, dan anggota badan.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 563) Keenam: Membekali diri dengan ilmu Kebodohan manusia merupakan kondisi yang disukai setan. Dengan kebodohan, setan mendapatkan kesempatan besar untuk menjerumuskan manusia dalam kesalahan dan dosa. Sebagaimana telah dijelaskan para ulama, salah satu senjata setan untuk menyesatkan manusia adalah syubhat. Yaitu, kerancuan-kerancuan yang dilemparkan setan untuk menipu manusia sehingga dia menganggap yang batil sebagai kebenaran, dan menganggap yang benar sebagai kebatilan. Senjata ini tentu hanya akan berhasil pada orang-orang yang tidak memiliki ilmu tentang kebenaran dan kebatilan. Maka, untuk melawan setan dalam hal ini, kita harus membekali diri dengan ilmu yang benar. Ibnul Qayyim berkata, “Fitnah itu ada dua macam; fitnah syubhat dan fitnah syahwat. Dan yang paling besar (bahayanya) adalah fitnah syubhat. Kadang-kadang keduanya terkumpul pada diri seorang hamba dan terkadang hanya satu saja yang ada. Maka, fitnah syubhat adalah disebabkan karena lemahnya bashirah dan sedikitnya ilmu.” (Ighatsatul Lahfan, 2: 887) Syekh Ali Hasan memberikan komentar atas ucapan Ibnul Qayyim di atas, “Dan dari pintu sedikitnya ilmu inilah, setan bisa masuk (menyesatkan) banyak orang-orang yang lalai. Setan menghias-hiasi dan memperindah (keburukan) sehingga mereka jatuh dalam jaring-jaring setan. Maka, ilmu yang bermanfaat adalah kunci semua kebaikan dan penolak semua keburukan.” (Catatan kaki no.1, Ighatsatul Lahfan, 2: 887) Ketujuh: Menetapi kesabaran Selain syubhat, senjata lain yang digunakan setan adalah syahwat. Yaitu, kecenderungan pada diri manusia untuk memuaskan hawa nafsunya. Dengan adanya syahwat pada diri manusia, setan bisa menggoda dan membujuk seseorang yang sebenarnya telah memiliki ilmu sehingga dia melakukan kemaksiatan yang cocok dengan hawa nafsunya. Maka, untuk menghadapi hal ini, di samping ilmu yang harus dimiliki, kita juga harus memiliki kesabaran untuk menahan diri dari menuruti keinginan hawa nafsu untuk melakukan kemaksiatan. وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ ‌وَنَهَى ‌النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى  فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at: 40-41) Kedelapan: Memperbanyak zikir kepada Allah Disebutkan dalam hadis bahwa Allah memerintahkan Yahya bin Zakariya dengan lima kalimat agar diamalkan. Di antaranya disebutkan, وآمُركم أن تَذكُروا اللهَ؛ فإنَّ مَثلَ ذلك كمَثلِ رجلٍ خرَج العدوُّ في أثَرِه سِراعًا حتَّى إذا أتى على حِصنٍ حَصينٍ، فأحرَز نفسَه منهم، كذلك العبدُ لا يُحرِزُ نفسَه مِن الشَّيطانِ إلَّا بذِكْرِ اللهِ “Dan aku perintahkan kalian untuk berzikir kepada Allah. Karena perumpamaannya bagaikan seseorang yang dikejar oleh musuh di belakangnya dengan cepat, sehingga apabila dia telah sampai pada benteng yang kokoh, maka dia pun melindungi diri dari mereka. Demikianlah perumpamaan seorang hamba, dia tidak bisa melindungi diri dari setan, kecuali dengan zikir kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi no. 2863) Kesembilan: Membaca Al-Qur’an Membaca Al-Qur’an merupakan salah satu zikir terbaik. Di samping bahwa Al-Qur’an berisi petunjuk dan obat bagi penyakit di dalam dada. Allah berfirman, يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ ‌وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 57) Maka, apabila seorang hamba membaca Al-Qur’an, dia akan dijauhi oleh setan. Terlebih lagi apabila dia mau merenungi isi kandungannya, serta mengamalkannya, niscaya setan akan menjauh darinya. Renungilah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut, لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ. إِنَّ ‌الشَّيْطَانَ ‌يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ “Jangan kamu jadikan rumahmu sebagai kuburan, sesungguhnya setan akan kabur dari rumah yang dibacakan padanya surat Al-Baqarah.” (HR. Muslim no. 780) Kesepuluh: Menetapi Jama’ah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ ثَلاثَةٍ فِي قَرْيةٍ، وَلَا بَدْوٍ، لَا تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلَاةُ إلاَّ قَد اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِم الشَّيْطَانُ. فَعَلَيْكُمْ بِالجَمَاعَةِ، فَإنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ مِنَ الغَنَمِ ‌القَاصِيَة “Tidaklah tiga orang berada pada suatu kampung atau suatu padang sahara yang tidak ditegakkan padanya salat, melainkan setan akan menguasai mereka. Maka, hendaknya kalian menetapi jama’ah. Karena serigala hanya akan memangsa kambing yang menyendiri (dari jama’ah).” (HR. Abu Daud no. 547) Jama’ah yang dimaksud, tentunya adalah orang-orang yang berpegang pada kebenaran. Bukan sembarang jama’ah atau kumpulan orang-orang, walaupun di atas kebatilan. Abdullah bin Mas’ud berkata kepada Amr bin Maimun, “Tahukah kamu, apa itu jama’ah?” Dia menjawab, “Aku tidak tahu.” Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya mayoritas jama’ah (orang-orang) mereka menyelisihi jama’ah. Jama’ah (sesungguhnya) adalah apa yang sesuai dengan kebenaran walaupun kamu sendirian.” (Ad-Durar As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyah, 12: 109) Wallahul Musta’an. Baca juga: Penjelasan Hadis Tanduk Setan dari Timur *** Penulis: Abu Ubaidillah Apri Hernowo Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Ikrar iblis untuk terus menyesatkan manusiaPerlunya melakukan perlawanan terhadap setanUpaya yang bisa dilakukan untuk melawan setanPertama: Mengetahui bahwa setan adalah musuh kitaKedua: Meminta pertolongan dan perlindungan kepada AllahKetiga: IkhlasKeempat: Bertawakal kepada AllahKelima: Menjauhi langkah-langkah setanKeenam: Membekali diri dengan ilmuKetujuh: Menetapi kesabaranKedelapan: Memperbanyak zikir kepada AllahKesembilan: Membaca Al-Qur’anKesepuluh: Menetapi Jama’ah Dalam usaha menuju kebahagiaan hakiki dan menggapai rida Allah, manusia selalu mendapatkan berbagai rintangan. Di antara rintangan terbesar adalah setan yang selalu menggoda dan membujuk rayu manusia untuk menjadi pengikutnya dalam kesesatan. Dia berusaha menghiasi keburukan sehingga manusia tertarik kepadanya, dan menjelek-jelekkan kebaikan sehingga manusia menjauhinya. Ikrar iblis untuk terus menyesatkan manusia Upaya setan untuk terus menyesatkan manusia ini bermula dari rasa hasad Iblis kepada Nabi Adam yang lebih diutamakan oleh Allah daripada dirinya, sehingga dia pun sombong tidak mau sujud kepada Adam. Lalu, Iblis pun bersumpah janji di hadapan Allah akan berusaha menyesatkan Adam dan anak keturunannya. قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ  قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ  إِلَى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ  قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي ‌لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ “Iblis berkata, ‘Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan.’ Allah berfirman, ‘(Kalau begitu), maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai hari (suatu) waktu yang telah ditentukan.’ Iblis berkata, ‘Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.’” (QS. Al-Hijr: 36-39) Dalam ayat lain, Allah berfirman, لَعَنَهُ اللَّهُ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا  وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ ‌فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا “Allah melaknat setan. Dan setan itu mengatakan, ‘Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan (untuk saya), dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya.’ Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisa: 118-119) Perlunya melakukan perlawanan terhadap setan Seorang mukmin yang memiliki ketulusan niat untuk menggapai rida Allah, tentu akan berusaha semaksimal mungkin menghadapi rintangan yang ada. Maka, dia akan berusaha melakukan perlawanan terhadap setan dan gangguannya. Apabila dia bersungguh-sungguh dalam usahanya ini, niscaya Allah akan memberi pertolongan dan kemudahan kepadanya. Allah berfirman, وَالَّذِينَ ‌جَاهَدُوا ‌فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut: 69) As-Suddi dan yang lain mengatakan bahwa ayat ini turun sebelum diwajibkan berperang. Ibnu Athiyyah berkata, “Ayat ini sebelum adanya jihad yang makruf (yakni: perang -pen), sehingga dia adalah jihad yang bersifat umum untuk menegakkan agama Allah dan mencari rida-Nya.” (Tafsir Al-Qurthubi, 16: 390) Dan jihad dengan makna yang umum mencakup jihad melawan empat hal. Di antaranya adalah jihad melawan setan. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jihad itu ada empat tingkatan. Jihad melawan hawa nafsu, jihad melawan setan, jihad melawan orang-orang kafir, dan jihad melawan orang-orang munafik.” (Zadul Ma’ad, 3: 9) Lalu, beliau menjelaskan tentang jihad melawan setan, “Adapun jihad melawan setan, maka ada dua tingkatan: Pertama adalah jihad melawannya dengan menolak berbagai hal yang dilemparkan oleh setan kepada seorang hamba, berupa syubhat, dan keraguan yang bisa merusak keimanan. Kedua adalah jihad melawan setan dengan menolak berbagai hal yang dilemparkan setan kepada hamba yang berupa syahwat dan keinginan-keinginan yang merusak.” (Zadul Ma’ad, 3: 10) Baca juga: Benarkah Godaan Wanita Lebih Besar daripada Godaan Setan? Upaya yang bisa dilakukan untuk melawan setan Pertama: Mengetahui bahwa setan adalah musuh kita Seseorang yang tidak mengetahui siapa musuhnya, tidak akan mungkin melakukan perlawanan kepadanya. Maka, hal pertama yang harus dimiliki oleh seorang mukmin dalam melawan setan adalah, meyakini bahwa setan adalah musuh yang sebenarnya baginya. Yang terus berusaha menjerumuskannya dalam kebinasaan. Allah berfirman, إِنَّ الشَّيْطَانَ ‌لَكُمْ ‌عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ “Sungguh, setan itu musuh bagimu, maka perlakukanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongannya agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6) Kedua: Meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah Manusia adalah makhluk yang lemah. Dia tidak bisa mengerjakan suatu kebaikan dan menghindari keburukan, kecuali dengan pertolongan Allah. Terlebih lagi ketika dia ingin menghadapi musuh yang tidak bisa dia lihat dan tidak bisa dia dengar. Maka, semakin besar kebutuhannya untuk meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Allah berfirman, وَإِمَّا ‌يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ “Dan jika setan mengganggumu dengan suatu godaan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sungguh, Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat: 36) Ketiga: Ikhlas Sebesar apa pun usaha yang dilakukan setan menyesatkan manusia, ternyata ada orang-orang yang setan sendiri mengakui tidak bisa menyesatkannya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keikhlasan dalam hatinya. Allah berfirman, قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ  إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ ‌الْمُخْلَصِينَ “Ia (Iblis) berkata, ‘Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka.’ ” (QS. Al-Hijr: 39-40) Syekh As-Sa’di menjelaskan tentang makna kata “المخلَصين” (hamba-hamba yang terpilih) di dalam ayat tersebut, “Yaitu, yang Engkau pilih mereka karena keikhlasan, keimanan, dan tawakal mereka.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 431) Dalam Tafsir Al-Qurthubi, dijelaskan bahwa ulama (qiraah) dari Madinah dan dari Kufah membaca kata tersebut dengan difathah huruf lamnya. Sehingga dibaca “mukhlasin”, yang artinya orang-orang yang dipilih. Sedangkan ulama ahli qiraah lainnya membaca kata tersebut dengan dikasrah huruf lamnya. Sehingga dibaca “mukhlisin”, yang artinya adalah orang-orang yang memurnikan ibadah hanya untuk Allah dan membersihkannya dari kerusakan dan riya. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi, 12 :212) Keempat: Bertawakal kepada Allah Tawakal kepada Allah maknanya adalah bersandarnya hati hanya kepada Allah dalam mendatangkan kebaikan dan menghindari keburukan, disertai dengan melakukan usaha yang disyariatkan dan diizinkan oleh Allah. Tawakal merupakan ibadah yang sangat agung dan juga penting. Dia memiliki banyak keutamaan. Di antaranya adalah orang yang bertawakal kepada Allah tidak akan dikuasai dan dipengaruhi oleh setan. Allah berfirman, فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ  إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ  إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ ‌يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ  “Maka, apabila engkau (Muhammad) hendak membaca Al-Qur`ān, mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Sungguh, setan itu tidak akan berpengaruh terhadap orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhan. Pengaruhnya hanyalah terhadap orang yang menjadikannya pemimpin dan terhadap orang yang menyekutukannya dengan Allah.” (QS. An-Nahl: 98-100) Kelima: Menjauhi langkah-langkah setan Perlu kita ketahui, ketika setan ingin menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan dan kebinasaan, dia tidak menggunakan satu cara saja. Bahkan, setan memiliki begitu banyak langkah dan cara untuk menyesatkan manusia. Oleh karena itu, apabila kita ingin melawan setan, sangat perlu bagi kita untuk mengetahui apa saja langkah-langkah yang ditempuh oleh setan, untuk kemudian kita jauhi. Allah berfirman, يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا ‌خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ ‌خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَى مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya dia (setan) menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan mungkar. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 21) Qatadah berkata, “Semua kemaksiatan adalah termasuk langkah-langkah setan.” (Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nur: 21) Syekh As-Sa’di berkata, “Dan langkah-langkah setan mencakup semua kemaksiatan yang berkaitan dengan hati, lisan, dan anggota badan.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 563) Keenam: Membekali diri dengan ilmu Kebodohan manusia merupakan kondisi yang disukai setan. Dengan kebodohan, setan mendapatkan kesempatan besar untuk menjerumuskan manusia dalam kesalahan dan dosa. Sebagaimana telah dijelaskan para ulama, salah satu senjata setan untuk menyesatkan manusia adalah syubhat. Yaitu, kerancuan-kerancuan yang dilemparkan setan untuk menipu manusia sehingga dia menganggap yang batil sebagai kebenaran, dan menganggap yang benar sebagai kebatilan. Senjata ini tentu hanya akan berhasil pada orang-orang yang tidak memiliki ilmu tentang kebenaran dan kebatilan. Maka, untuk melawan setan dalam hal ini, kita harus membekali diri dengan ilmu yang benar. Ibnul Qayyim berkata, “Fitnah itu ada dua macam; fitnah syubhat dan fitnah syahwat. Dan yang paling besar (bahayanya) adalah fitnah syubhat. Kadang-kadang keduanya terkumpul pada diri seorang hamba dan terkadang hanya satu saja yang ada. Maka, fitnah syubhat adalah disebabkan karena lemahnya bashirah dan sedikitnya ilmu.” (Ighatsatul Lahfan, 2: 887) Syekh Ali Hasan memberikan komentar atas ucapan Ibnul Qayyim di atas, “Dan dari pintu sedikitnya ilmu inilah, setan bisa masuk (menyesatkan) banyak orang-orang yang lalai. Setan menghias-hiasi dan memperindah (keburukan) sehingga mereka jatuh dalam jaring-jaring setan. Maka, ilmu yang bermanfaat adalah kunci semua kebaikan dan penolak semua keburukan.” (Catatan kaki no.1, Ighatsatul Lahfan, 2: 887) Ketujuh: Menetapi kesabaran Selain syubhat, senjata lain yang digunakan setan adalah syahwat. Yaitu, kecenderungan pada diri manusia untuk memuaskan hawa nafsunya. Dengan adanya syahwat pada diri manusia, setan bisa menggoda dan membujuk seseorang yang sebenarnya telah memiliki ilmu sehingga dia melakukan kemaksiatan yang cocok dengan hawa nafsunya. Maka, untuk menghadapi hal ini, di samping ilmu yang harus dimiliki, kita juga harus memiliki kesabaran untuk menahan diri dari menuruti keinginan hawa nafsu untuk melakukan kemaksiatan. وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ ‌وَنَهَى ‌النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى  فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at: 40-41) Kedelapan: Memperbanyak zikir kepada Allah Disebutkan dalam hadis bahwa Allah memerintahkan Yahya bin Zakariya dengan lima kalimat agar diamalkan. Di antaranya disebutkan, وآمُركم أن تَذكُروا اللهَ؛ فإنَّ مَثلَ ذلك كمَثلِ رجلٍ خرَج العدوُّ في أثَرِه سِراعًا حتَّى إذا أتى على حِصنٍ حَصينٍ، فأحرَز نفسَه منهم، كذلك العبدُ لا يُحرِزُ نفسَه مِن الشَّيطانِ إلَّا بذِكْرِ اللهِ “Dan aku perintahkan kalian untuk berzikir kepada Allah. Karena perumpamaannya bagaikan seseorang yang dikejar oleh musuh di belakangnya dengan cepat, sehingga apabila dia telah sampai pada benteng yang kokoh, maka dia pun melindungi diri dari mereka. Demikianlah perumpamaan seorang hamba, dia tidak bisa melindungi diri dari setan, kecuali dengan zikir kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi no. 2863) Kesembilan: Membaca Al-Qur’an Membaca Al-Qur’an merupakan salah satu zikir terbaik. Di samping bahwa Al-Qur’an berisi petunjuk dan obat bagi penyakit di dalam dada. Allah berfirman, يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ ‌وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 57) Maka, apabila seorang hamba membaca Al-Qur’an, dia akan dijauhi oleh setan. Terlebih lagi apabila dia mau merenungi isi kandungannya, serta mengamalkannya, niscaya setan akan menjauh darinya. Renungilah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut, لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ. إِنَّ ‌الشَّيْطَانَ ‌يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ “Jangan kamu jadikan rumahmu sebagai kuburan, sesungguhnya setan akan kabur dari rumah yang dibacakan padanya surat Al-Baqarah.” (HR. Muslim no. 780) Kesepuluh: Menetapi Jama’ah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ ثَلاثَةٍ فِي قَرْيةٍ، وَلَا بَدْوٍ، لَا تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلَاةُ إلاَّ قَد اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِم الشَّيْطَانُ. فَعَلَيْكُمْ بِالجَمَاعَةِ، فَإنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ مِنَ الغَنَمِ ‌القَاصِيَة “Tidaklah tiga orang berada pada suatu kampung atau suatu padang sahara yang tidak ditegakkan padanya salat, melainkan setan akan menguasai mereka. Maka, hendaknya kalian menetapi jama’ah. Karena serigala hanya akan memangsa kambing yang menyendiri (dari jama’ah).” (HR. Abu Daud no. 547) Jama’ah yang dimaksud, tentunya adalah orang-orang yang berpegang pada kebenaran. Bukan sembarang jama’ah atau kumpulan orang-orang, walaupun di atas kebatilan. Abdullah bin Mas’ud berkata kepada Amr bin Maimun, “Tahukah kamu, apa itu jama’ah?” Dia menjawab, “Aku tidak tahu.” Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya mayoritas jama’ah (orang-orang) mereka menyelisihi jama’ah. Jama’ah (sesungguhnya) adalah apa yang sesuai dengan kebenaran walaupun kamu sendirian.” (Ad-Durar As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyah, 12: 109) Wallahul Musta’an. Baca juga: Penjelasan Hadis Tanduk Setan dari Timur *** Penulis: Abu Ubaidillah Apri Hernowo Artikel: Muslim.or.id

Apa Hukum Beli Online Pakai Uang Kurir Terlebih Dahulu? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Ini ada pertanyaan yang diajukan penanya: Apa hukum meminta kurir membelikan sesuatu untukku pakai uangnya terlebih dahulu, lalu nanti aku ganti uangnya sekalian dengan ongkos kirimnya? Masalah ini dilarang oleh beberapa penuntut ilmu dengan alasan: karena di dalamnya terdapat penggabungan antara akad utang dan jual beli, sedangkan ada larangan berutang dan jual beli sekaligus. Namun, pendapat yang lebih benar–wallahu a’lam–adalah transaksi ini dibolehkan. Hal ini karena tujuan utama dari transaksi ini adalah layanan pengantaran. Sedangkan utang yang terjadi itu hanya transaksi turunan saja. Selain itu, alasan dilarangnya transaksi yang mengandung utang dan jual beli, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnu al-Qayyim rahimahumallahu Ta’ala, bahwa alasan dari larangan itu adalah karena adanya muhabah, yakni ia memberi utang agar pihak lain merasa sungkan sehingga mau berjual beli atau melakukan salah satu akad tukar-menukar dengannya. Keadaan tersebut tidak terealisasi dalam transaksi ini, karena tujuan utamanya adalah transaksi layanan pengantaran.Oleh karena itulah, kurirnya tidak berselisih dulu dengan pemesan, ketika pemesan bilang: “Bayar dulu nanti aku ganti!” atau ketika kurir harus membayar dengan uangnya terlebih dahulu. Ongkos kirim juga tidak terpengaruh karena hal itu. Ini menunjukkan bahwa utang yang terjadi dalam hal ini bukan menjadi tujuan dalam transaksi. Namun, barangkali untuk menghemat waktu, maka kurir membayar terlebih dulu dengan uangnya. Lalu ia meminta ganti uangnya itu langsung setelah pengantaran. Di antara tanda lain bahwa utang yang terjadi tidak menjadi tujuan dari transaksi ini adalah utang itu tidak punya tempo tertentu, tapi langsung dilunasi setelah itu. Ketika kurir sampai di tempat orang yang memesan jasanya, pemesan langsung mengganti uang yang dipakai itu. Ini menunjukkan utang tersebut tidak menjadi tujuan dalam transaksi ini. Sedangkan tujuannya adalah transaksi layanan pengantaran. Dan substansi yang menjadi alasan Syariat melarang penggabungan transaksi utang piutang dan jual beli tidak terealisasi dalam transaksi ini. Dengan demikian, berdasarkan yang tampak dari analisisnya, transaksi ini boleh dilakukan, insya Allah. ==== هَذَا سُؤَالٌ يَقُولُ فِيهِ السَّائِلُ مَا حُكْمُ أَنْ أَطْلُبَ مِنْ مَنْدُوبِ التَّوْصِيلِ أَنْ يَشْتَرِيَ لِي شَيْئًا مِنْ مَالِهِ ثُمَّ أُعْطِيْهِ حَقَّهُ مَعَ أُجْرَةِ التَّوْصِيْلِ؟ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مَنَعَ مِنْهَا بَعْضُ طُلَّابِ الْعِلْمِ وَعَلَّلُوا لِذَلِكَ بِأَنَّهُ يَجْتَمِعُ فِيهَا سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَقَدْ وَرَدَ النَّهْيُ عَنْ سَلَفٍ وَبَيْعٍ وَالَّذِي يَظْهَرُ اللَّهُ أَعْلَمُ أَنَّ هَذِهِ الْمُعَامَلَةَ أَنَّهَا جَائِزَةٌ وَذَلِكَ لِأَنَّ الْغَرَضَ الْأَسَاسَ هُوَ خِدْمَةُ التَّوْصِيْلِ وَالْقَرْضُ أَتَى تَبْعًا ثُمَّ إِنَّ عِلَّةَ النَّهْيِ عَنْ سَلَفٍ وَبَيْعٍ كَمَا قَرَّرَ ذَلِكَ الْإِمَامَانِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ وَابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُمَا اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ عِلَّةَ ذَلِكَ هِيَ الْمُحَابَاةُ أَيْ أَنَّهُ يُقْرِضُهُ قَرْضًا لِيُحَابِيَهُ فِي الْبَيْعِ أَوْ فِي عَقْدٍ مِنْ عُقُودِ الْمُعَاوَضَةِ وَهَذَا الْمَعْنَى غَيْرُ مَوْجُودٍ فِي هَذِهِ الْمُعَامَلَةِ إِذْ أَنَّ الْمَقْصُودَ هُوَ خِدْمَةُ التَّوْصِيْلِ وَلِذَلِك فَمَنْدُوبُ التَّوْصِيْلِ لَا يَخْتَلِفُ مَعَهُ الْأَمْرَ أَنْ يَقُولَ اِدْفَعْ وَأُعْطِيكَ أَوْ أَنَّهُ يُدْفَعُ لَهُ الْمَبْلَغُ مُقَدَّمًا وَلَا تَتَأَثَّرُ أُجْرَةُ التَّوْصِيْلِ بِذَلِكَ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْقَرْضَ هُنَا أَنَّهُ غَيْرُ مَقْصُودٍ وَلَكِنْ رُبَّمَا اخْتِصَارًا لِلْوَقْتِ مَنْدُوبُ التَّوْصِيلِ يَدْفَعُ مِنْ جَيْبِهِ ثُمَّ يَسْتَرِدُّ مَا دَفَعَهُ مُبَاشَرَةً وَمِمَّا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْقَرْضَ غَيْرُ مَقْصُودٍ أَنَّ الْقَرْضَ هُنَا لَيْسَ لَهُ أَجَلٌ وَإِنَّمَا مُبَاشَرَةً مِنْ حِينِ مَا يَصِلُ مَنْدُوبُ التَّوْصِيلِ إِلَى طَالِبِ هَذَا الطَّلَبِ يُعْطِيْهِ الْمَبْلَغَ مُبَاشَرَةً وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْقَرْضَ غَيْرُ مَقْصُودٍ وَأَنَّ الْمَقْصُودَ هُوَ خِدْمَةُ التَّوْصِيلِ وَأَنَّ الْمَعْنَى الَّذِي لِأَجْلِهِ نَهَى الشَّارِِعُ عَنِ الْجَمْعِ بَيْنَ سَلَفٍ وَبَيْعٍ أَنَّهُ غَيْرُ مُتَحَقِّقٍ فِي هَذِهِ الْمُعَامَلَةِ وَعَلَى ذَلِكَ فَالَّذِي يَظْهَرُ أَنَّ هَذَا التَّعَامُلَ لَا بَأْسَ بِهِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

Apa Hukum Beli Online Pakai Uang Kurir Terlebih Dahulu? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Ini ada pertanyaan yang diajukan penanya: Apa hukum meminta kurir membelikan sesuatu untukku pakai uangnya terlebih dahulu, lalu nanti aku ganti uangnya sekalian dengan ongkos kirimnya? Masalah ini dilarang oleh beberapa penuntut ilmu dengan alasan: karena di dalamnya terdapat penggabungan antara akad utang dan jual beli, sedangkan ada larangan berutang dan jual beli sekaligus. Namun, pendapat yang lebih benar–wallahu a’lam–adalah transaksi ini dibolehkan. Hal ini karena tujuan utama dari transaksi ini adalah layanan pengantaran. Sedangkan utang yang terjadi itu hanya transaksi turunan saja. Selain itu, alasan dilarangnya transaksi yang mengandung utang dan jual beli, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnu al-Qayyim rahimahumallahu Ta’ala, bahwa alasan dari larangan itu adalah karena adanya muhabah, yakni ia memberi utang agar pihak lain merasa sungkan sehingga mau berjual beli atau melakukan salah satu akad tukar-menukar dengannya. Keadaan tersebut tidak terealisasi dalam transaksi ini, karena tujuan utamanya adalah transaksi layanan pengantaran.Oleh karena itulah, kurirnya tidak berselisih dulu dengan pemesan, ketika pemesan bilang: “Bayar dulu nanti aku ganti!” atau ketika kurir harus membayar dengan uangnya terlebih dahulu. Ongkos kirim juga tidak terpengaruh karena hal itu. Ini menunjukkan bahwa utang yang terjadi dalam hal ini bukan menjadi tujuan dalam transaksi. Namun, barangkali untuk menghemat waktu, maka kurir membayar terlebih dulu dengan uangnya. Lalu ia meminta ganti uangnya itu langsung setelah pengantaran. Di antara tanda lain bahwa utang yang terjadi tidak menjadi tujuan dari transaksi ini adalah utang itu tidak punya tempo tertentu, tapi langsung dilunasi setelah itu. Ketika kurir sampai di tempat orang yang memesan jasanya, pemesan langsung mengganti uang yang dipakai itu. Ini menunjukkan utang tersebut tidak menjadi tujuan dalam transaksi ini. Sedangkan tujuannya adalah transaksi layanan pengantaran. Dan substansi yang menjadi alasan Syariat melarang penggabungan transaksi utang piutang dan jual beli tidak terealisasi dalam transaksi ini. Dengan demikian, berdasarkan yang tampak dari analisisnya, transaksi ini boleh dilakukan, insya Allah. ==== هَذَا سُؤَالٌ يَقُولُ فِيهِ السَّائِلُ مَا حُكْمُ أَنْ أَطْلُبَ مِنْ مَنْدُوبِ التَّوْصِيلِ أَنْ يَشْتَرِيَ لِي شَيْئًا مِنْ مَالِهِ ثُمَّ أُعْطِيْهِ حَقَّهُ مَعَ أُجْرَةِ التَّوْصِيْلِ؟ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مَنَعَ مِنْهَا بَعْضُ طُلَّابِ الْعِلْمِ وَعَلَّلُوا لِذَلِكَ بِأَنَّهُ يَجْتَمِعُ فِيهَا سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَقَدْ وَرَدَ النَّهْيُ عَنْ سَلَفٍ وَبَيْعٍ وَالَّذِي يَظْهَرُ اللَّهُ أَعْلَمُ أَنَّ هَذِهِ الْمُعَامَلَةَ أَنَّهَا جَائِزَةٌ وَذَلِكَ لِأَنَّ الْغَرَضَ الْأَسَاسَ هُوَ خِدْمَةُ التَّوْصِيْلِ وَالْقَرْضُ أَتَى تَبْعًا ثُمَّ إِنَّ عِلَّةَ النَّهْيِ عَنْ سَلَفٍ وَبَيْعٍ كَمَا قَرَّرَ ذَلِكَ الْإِمَامَانِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ وَابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُمَا اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ عِلَّةَ ذَلِكَ هِيَ الْمُحَابَاةُ أَيْ أَنَّهُ يُقْرِضُهُ قَرْضًا لِيُحَابِيَهُ فِي الْبَيْعِ أَوْ فِي عَقْدٍ مِنْ عُقُودِ الْمُعَاوَضَةِ وَهَذَا الْمَعْنَى غَيْرُ مَوْجُودٍ فِي هَذِهِ الْمُعَامَلَةِ إِذْ أَنَّ الْمَقْصُودَ هُوَ خِدْمَةُ التَّوْصِيْلِ وَلِذَلِك فَمَنْدُوبُ التَّوْصِيْلِ لَا يَخْتَلِفُ مَعَهُ الْأَمْرَ أَنْ يَقُولَ اِدْفَعْ وَأُعْطِيكَ أَوْ أَنَّهُ يُدْفَعُ لَهُ الْمَبْلَغُ مُقَدَّمًا وَلَا تَتَأَثَّرُ أُجْرَةُ التَّوْصِيْلِ بِذَلِكَ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْقَرْضَ هُنَا أَنَّهُ غَيْرُ مَقْصُودٍ وَلَكِنْ رُبَّمَا اخْتِصَارًا لِلْوَقْتِ مَنْدُوبُ التَّوْصِيلِ يَدْفَعُ مِنْ جَيْبِهِ ثُمَّ يَسْتَرِدُّ مَا دَفَعَهُ مُبَاشَرَةً وَمِمَّا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْقَرْضَ غَيْرُ مَقْصُودٍ أَنَّ الْقَرْضَ هُنَا لَيْسَ لَهُ أَجَلٌ وَإِنَّمَا مُبَاشَرَةً مِنْ حِينِ مَا يَصِلُ مَنْدُوبُ التَّوْصِيلِ إِلَى طَالِبِ هَذَا الطَّلَبِ يُعْطِيْهِ الْمَبْلَغَ مُبَاشَرَةً وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْقَرْضَ غَيْرُ مَقْصُودٍ وَأَنَّ الْمَقْصُودَ هُوَ خِدْمَةُ التَّوْصِيلِ وَأَنَّ الْمَعْنَى الَّذِي لِأَجْلِهِ نَهَى الشَّارِِعُ عَنِ الْجَمْعِ بَيْنَ سَلَفٍ وَبَيْعٍ أَنَّهُ غَيْرُ مُتَحَقِّقٍ فِي هَذِهِ الْمُعَامَلَةِ وَعَلَى ذَلِكَ فَالَّذِي يَظْهَرُ أَنَّ هَذَا التَّعَامُلَ لَا بَأْسَ بِهِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Ini ada pertanyaan yang diajukan penanya: Apa hukum meminta kurir membelikan sesuatu untukku pakai uangnya terlebih dahulu, lalu nanti aku ganti uangnya sekalian dengan ongkos kirimnya? Masalah ini dilarang oleh beberapa penuntut ilmu dengan alasan: karena di dalamnya terdapat penggabungan antara akad utang dan jual beli, sedangkan ada larangan berutang dan jual beli sekaligus. Namun, pendapat yang lebih benar–wallahu a’lam–adalah transaksi ini dibolehkan. Hal ini karena tujuan utama dari transaksi ini adalah layanan pengantaran. Sedangkan utang yang terjadi itu hanya transaksi turunan saja. Selain itu, alasan dilarangnya transaksi yang mengandung utang dan jual beli, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnu al-Qayyim rahimahumallahu Ta’ala, bahwa alasan dari larangan itu adalah karena adanya muhabah, yakni ia memberi utang agar pihak lain merasa sungkan sehingga mau berjual beli atau melakukan salah satu akad tukar-menukar dengannya. Keadaan tersebut tidak terealisasi dalam transaksi ini, karena tujuan utamanya adalah transaksi layanan pengantaran.Oleh karena itulah, kurirnya tidak berselisih dulu dengan pemesan, ketika pemesan bilang: “Bayar dulu nanti aku ganti!” atau ketika kurir harus membayar dengan uangnya terlebih dahulu. Ongkos kirim juga tidak terpengaruh karena hal itu. Ini menunjukkan bahwa utang yang terjadi dalam hal ini bukan menjadi tujuan dalam transaksi. Namun, barangkali untuk menghemat waktu, maka kurir membayar terlebih dulu dengan uangnya. Lalu ia meminta ganti uangnya itu langsung setelah pengantaran. Di antara tanda lain bahwa utang yang terjadi tidak menjadi tujuan dari transaksi ini adalah utang itu tidak punya tempo tertentu, tapi langsung dilunasi setelah itu. Ketika kurir sampai di tempat orang yang memesan jasanya, pemesan langsung mengganti uang yang dipakai itu. Ini menunjukkan utang tersebut tidak menjadi tujuan dalam transaksi ini. Sedangkan tujuannya adalah transaksi layanan pengantaran. Dan substansi yang menjadi alasan Syariat melarang penggabungan transaksi utang piutang dan jual beli tidak terealisasi dalam transaksi ini. Dengan demikian, berdasarkan yang tampak dari analisisnya, transaksi ini boleh dilakukan, insya Allah. ==== هَذَا سُؤَالٌ يَقُولُ فِيهِ السَّائِلُ مَا حُكْمُ أَنْ أَطْلُبَ مِنْ مَنْدُوبِ التَّوْصِيلِ أَنْ يَشْتَرِيَ لِي شَيْئًا مِنْ مَالِهِ ثُمَّ أُعْطِيْهِ حَقَّهُ مَعَ أُجْرَةِ التَّوْصِيْلِ؟ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مَنَعَ مِنْهَا بَعْضُ طُلَّابِ الْعِلْمِ وَعَلَّلُوا لِذَلِكَ بِأَنَّهُ يَجْتَمِعُ فِيهَا سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَقَدْ وَرَدَ النَّهْيُ عَنْ سَلَفٍ وَبَيْعٍ وَالَّذِي يَظْهَرُ اللَّهُ أَعْلَمُ أَنَّ هَذِهِ الْمُعَامَلَةَ أَنَّهَا جَائِزَةٌ وَذَلِكَ لِأَنَّ الْغَرَضَ الْأَسَاسَ هُوَ خِدْمَةُ التَّوْصِيْلِ وَالْقَرْضُ أَتَى تَبْعًا ثُمَّ إِنَّ عِلَّةَ النَّهْيِ عَنْ سَلَفٍ وَبَيْعٍ كَمَا قَرَّرَ ذَلِكَ الْإِمَامَانِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ وَابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُمَا اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ عِلَّةَ ذَلِكَ هِيَ الْمُحَابَاةُ أَيْ أَنَّهُ يُقْرِضُهُ قَرْضًا لِيُحَابِيَهُ فِي الْبَيْعِ أَوْ فِي عَقْدٍ مِنْ عُقُودِ الْمُعَاوَضَةِ وَهَذَا الْمَعْنَى غَيْرُ مَوْجُودٍ فِي هَذِهِ الْمُعَامَلَةِ إِذْ أَنَّ الْمَقْصُودَ هُوَ خِدْمَةُ التَّوْصِيْلِ وَلِذَلِك فَمَنْدُوبُ التَّوْصِيْلِ لَا يَخْتَلِفُ مَعَهُ الْأَمْرَ أَنْ يَقُولَ اِدْفَعْ وَأُعْطِيكَ أَوْ أَنَّهُ يُدْفَعُ لَهُ الْمَبْلَغُ مُقَدَّمًا وَلَا تَتَأَثَّرُ أُجْرَةُ التَّوْصِيْلِ بِذَلِكَ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْقَرْضَ هُنَا أَنَّهُ غَيْرُ مَقْصُودٍ وَلَكِنْ رُبَّمَا اخْتِصَارًا لِلْوَقْتِ مَنْدُوبُ التَّوْصِيلِ يَدْفَعُ مِنْ جَيْبِهِ ثُمَّ يَسْتَرِدُّ مَا دَفَعَهُ مُبَاشَرَةً وَمِمَّا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْقَرْضَ غَيْرُ مَقْصُودٍ أَنَّ الْقَرْضَ هُنَا لَيْسَ لَهُ أَجَلٌ وَإِنَّمَا مُبَاشَرَةً مِنْ حِينِ مَا يَصِلُ مَنْدُوبُ التَّوْصِيلِ إِلَى طَالِبِ هَذَا الطَّلَبِ يُعْطِيْهِ الْمَبْلَغَ مُبَاشَرَةً وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْقَرْضَ غَيْرُ مَقْصُودٍ وَأَنَّ الْمَقْصُودَ هُوَ خِدْمَةُ التَّوْصِيلِ وَأَنَّ الْمَعْنَى الَّذِي لِأَجْلِهِ نَهَى الشَّارِِعُ عَنِ الْجَمْعِ بَيْنَ سَلَفٍ وَبَيْعٍ أَنَّهُ غَيْرُ مُتَحَقِّقٍ فِي هَذِهِ الْمُعَامَلَةِ وَعَلَى ذَلِكَ فَالَّذِي يَظْهَرُ أَنَّ هَذَا التَّعَامُلَ لَا بَأْسَ بِهِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ


Ini ada pertanyaan yang diajukan penanya: Apa hukum meminta kurir membelikan sesuatu untukku pakai uangnya terlebih dahulu, lalu nanti aku ganti uangnya sekalian dengan ongkos kirimnya? Masalah ini dilarang oleh beberapa penuntut ilmu dengan alasan: karena di dalamnya terdapat penggabungan antara akad utang dan jual beli, sedangkan ada larangan berutang dan jual beli sekaligus. Namun, pendapat yang lebih benar–wallahu a’lam–adalah transaksi ini dibolehkan. Hal ini karena tujuan utama dari transaksi ini adalah layanan pengantaran. Sedangkan utang yang terjadi itu hanya transaksi turunan saja. Selain itu, alasan dilarangnya transaksi yang mengandung utang dan jual beli, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnu al-Qayyim rahimahumallahu Ta’ala, bahwa alasan dari larangan itu adalah karena adanya muhabah, yakni ia memberi utang agar pihak lain merasa sungkan sehingga mau berjual beli atau melakukan salah satu akad tukar-menukar dengannya. Keadaan tersebut tidak terealisasi dalam transaksi ini, karena tujuan utamanya adalah transaksi layanan pengantaran.Oleh karena itulah, kurirnya tidak berselisih dulu dengan pemesan, ketika pemesan bilang: “Bayar dulu nanti aku ganti!” atau ketika kurir harus membayar dengan uangnya terlebih dahulu. Ongkos kirim juga tidak terpengaruh karena hal itu. Ini menunjukkan bahwa utang yang terjadi dalam hal ini bukan menjadi tujuan dalam transaksi. Namun, barangkali untuk menghemat waktu, maka kurir membayar terlebih dulu dengan uangnya. Lalu ia meminta ganti uangnya itu langsung setelah pengantaran. Di antara tanda lain bahwa utang yang terjadi tidak menjadi tujuan dari transaksi ini adalah utang itu tidak punya tempo tertentu, tapi langsung dilunasi setelah itu. Ketika kurir sampai di tempat orang yang memesan jasanya, pemesan langsung mengganti uang yang dipakai itu. Ini menunjukkan utang tersebut tidak menjadi tujuan dalam transaksi ini. Sedangkan tujuannya adalah transaksi layanan pengantaran. Dan substansi yang menjadi alasan Syariat melarang penggabungan transaksi utang piutang dan jual beli tidak terealisasi dalam transaksi ini. Dengan demikian, berdasarkan yang tampak dari analisisnya, transaksi ini boleh dilakukan, insya Allah. ==== هَذَا سُؤَالٌ يَقُولُ فِيهِ السَّائِلُ مَا حُكْمُ أَنْ أَطْلُبَ مِنْ مَنْدُوبِ التَّوْصِيلِ أَنْ يَشْتَرِيَ لِي شَيْئًا مِنْ مَالِهِ ثُمَّ أُعْطِيْهِ حَقَّهُ مَعَ أُجْرَةِ التَّوْصِيْلِ؟ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مَنَعَ مِنْهَا بَعْضُ طُلَّابِ الْعِلْمِ وَعَلَّلُوا لِذَلِكَ بِأَنَّهُ يَجْتَمِعُ فِيهَا سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَقَدْ وَرَدَ النَّهْيُ عَنْ سَلَفٍ وَبَيْعٍ وَالَّذِي يَظْهَرُ اللَّهُ أَعْلَمُ أَنَّ هَذِهِ الْمُعَامَلَةَ أَنَّهَا جَائِزَةٌ وَذَلِكَ لِأَنَّ الْغَرَضَ الْأَسَاسَ هُوَ خِدْمَةُ التَّوْصِيْلِ وَالْقَرْضُ أَتَى تَبْعًا ثُمَّ إِنَّ عِلَّةَ النَّهْيِ عَنْ سَلَفٍ وَبَيْعٍ كَمَا قَرَّرَ ذَلِكَ الْإِمَامَانِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ وَابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُمَا اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ عِلَّةَ ذَلِكَ هِيَ الْمُحَابَاةُ أَيْ أَنَّهُ يُقْرِضُهُ قَرْضًا لِيُحَابِيَهُ فِي الْبَيْعِ أَوْ فِي عَقْدٍ مِنْ عُقُودِ الْمُعَاوَضَةِ وَهَذَا الْمَعْنَى غَيْرُ مَوْجُودٍ فِي هَذِهِ الْمُعَامَلَةِ إِذْ أَنَّ الْمَقْصُودَ هُوَ خِدْمَةُ التَّوْصِيْلِ وَلِذَلِك فَمَنْدُوبُ التَّوْصِيْلِ لَا يَخْتَلِفُ مَعَهُ الْأَمْرَ أَنْ يَقُولَ اِدْفَعْ وَأُعْطِيكَ أَوْ أَنَّهُ يُدْفَعُ لَهُ الْمَبْلَغُ مُقَدَّمًا وَلَا تَتَأَثَّرُ أُجْرَةُ التَّوْصِيْلِ بِذَلِكَ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْقَرْضَ هُنَا أَنَّهُ غَيْرُ مَقْصُودٍ وَلَكِنْ رُبَّمَا اخْتِصَارًا لِلْوَقْتِ مَنْدُوبُ التَّوْصِيلِ يَدْفَعُ مِنْ جَيْبِهِ ثُمَّ يَسْتَرِدُّ مَا دَفَعَهُ مُبَاشَرَةً وَمِمَّا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْقَرْضَ غَيْرُ مَقْصُودٍ أَنَّ الْقَرْضَ هُنَا لَيْسَ لَهُ أَجَلٌ وَإِنَّمَا مُبَاشَرَةً مِنْ حِينِ مَا يَصِلُ مَنْدُوبُ التَّوْصِيلِ إِلَى طَالِبِ هَذَا الطَّلَبِ يُعْطِيْهِ الْمَبْلَغَ مُبَاشَرَةً وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْقَرْضَ غَيْرُ مَقْصُودٍ وَأَنَّ الْمَقْصُودَ هُوَ خِدْمَةُ التَّوْصِيلِ وَأَنَّ الْمَعْنَى الَّذِي لِأَجْلِهِ نَهَى الشَّارِِعُ عَنِ الْجَمْعِ بَيْنَ سَلَفٍ وَبَيْعٍ أَنَّهُ غَيْرُ مُتَحَقِّقٍ فِي هَذِهِ الْمُعَامَلَةِ وَعَلَى ذَلِكَ فَالَّذِي يَظْهَرُ أَنَّ هَذَا التَّعَامُلَ لَا بَأْسَ بِهِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

Biografi Ringkas Syekh Islam Ibnu Taimiyah (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle NamaJulukanKunyahKelahiran dan masa kecilGuru-guruMurid-murid AkidahMazhab Nama Abu Al-Abbas Ahmad bin Syekh Imam Shihabuddin Abi Al-Muhassin Abdulhalim bin Syekh Imam Majduddin Abi Al-Barakat Abdul Salam bin Abi Muhammad Abdullah bin Abi Al-Qasim Al-Khadr bin Muhammad bin Taimiyyah bin Al-Khadr bin Ali bin Abdullah An-Namiri. [1] Julukan Beliau dikenal dengan julukan “Syekh Islam” dan “Ibn Taimiyyah,” dan sering kali kedua julukan tersebut digabungkan menjadi “Syekh Islam Ibn Taimiyyah.” Kunyah Beliau dikenal dengan kunyah “Abu Al-Abbas,” meskipun beliau tidak menikah. Hal ini berdasarkan sunah Nabi yang menganjurkan bagi setiap muslim untuk menggunakan kunyah, meskipun tanpa memiliki anak atau masih kecil. Sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah Ummul Mu’minin radhiyallahu ‘anha, beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ya Rasulullah, mengapa semua istri-istrimu memiliki kunyah, kecuali aku?” Nabi menjawab, “Gunakanlah kunyah dengan menyebut anakmu, Abdullah (yaitu, anak Az-Zubair).” [2] Dan dalam hadis lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada seorang anak yang disebutkan “Abu Umair”, “Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan oleh nughair (burung peliharaan kecilnya)?” [3] Kelahiran dan masa kecil Imam Ibnu Taimiyah lahir pada hari Senin, 10 Rabiulawal tahun 661 H di Harran. [4] Beliau lahir dalam keluarga yang terkenal dengan ilmu dan ketakwaan. Keluarga beliau memiliki tradisi panjang dalam ilmu pengetahuan dan banyak di antara mereka yang menjadi imam di masjid-masjid besar. Ayahnya, Imam Abdulhalim, dan kakeknya, Imam Majduddin, adalah ulama terkenal yang mengajarkan akidah dan fikih menurut mazhab Hanbali. Imam Ibn Taimiyah tumbuh dalam keluarga yang sangat menghargai ilmu dan menjadi tempat bagi anak-anaknya untuk berkembang dalam berbagai bidang ilmu, termasuk ilmu syariat, fikih, hadis, dan bahasa Arab. Imam Ibnu Taimiyah tumbuh di lingkungan yang sangat mendukung pengembangan ilmu, yang memberikan pengaruh besar dalam dirinya. Sejak kecil, beliau telah menunjukkan kecerdasan dan bakat luar biasa dalam ilmu pengetahuan. Beliau menyelesaikan hafalan Al-Qur’an pada usia muda, lalu melanjutkan untuk menghafal hadis, mempelajari fikih, dan bahasa Arab. Beliau rajin menghadiri majelis-majelis ilmiah, berdiskusi, memberi fatwa, dan mengajarkan orang lain, meskipun usianya masih muda. Lingkungan yang penuh dengan ilmu dan kebajikan sangat memengaruhi perkembangan kepribadian dan kecerdasannya. Imam Ibn Taimiyyah dibesarkan dengan semangat kuat untuk mencari ilmu dan membela ajaran Islam, terutama dalam menghadapi permasalahan-permasalahan fikih dan akidah. Beliau belajar dengan sangat tekun dan berdedikasi, yang tercermin dalam karya-karya dan fatwa-fatwanya yang mempertahankan kemurnian ajaran Islam. Semangatnya untuk terus menggali ilmu sejak usia muda menjadikannya seorang imam besar yang dihormati hingga hari ini. [5] Baca juga: Biografi Syu’aib Al-Arnauth Guru-guru Kepribadian luar biasa seperti Imam Ibnu Taimiyah menunjukkan bahwa ia memiliki banyak sumber pengetahuan cabang ilmu yang dipelajari. Hal ini menegaskan bahwa beliau menerima ilmu dari banyak guru, baik pria maupun wanita, yang beragam sesuai dengan luasnya bidang ilmu yang dipelajarinya. Diriwayatkan bahwa beliau belajar dari lebih dari 200 guru [6] pria dan empat guru wanita. Di antara guru-gurunya adalah: Pertama: Imam Ibn Abd Al-Da’im Kedua: Ayahnya sendiri, Syihabuddin Abu al-Mahasin Abdulhalim bin Abd al-Salam Ibn Taimiyyah. Ketiga: Imam Abdulrahman bin Muhammad bin Qudamah Keempat: Syekh Ali Al-Shalihi Kelima: Syekh Afifuddin Abdulrahman bin Faris Al-Baghdadi Keenam: Syekh Al-Manja Al-Tiyukhi Ketujuh: Syekh Muhammad bin Abdulqawi Kedelapan: Syekh Syarafuddin Al-Maqdisi Kesembilan: Syekh Al-Wasiti Kesepuluh: Syekh Muhammad bin Ismail Al-Syaibani Dari kalangan wanita, beliau juga belajar dari: Pertama: Bibi beliau, Sitt Al-Dar. Kedua: Syekhah Ummu Al-Khair Al-Dimasyqiyyah. Ketiga: Syekhah Ummu Al-Arab. Keempat: Syekhah Ummu Ahmad Al-Haraniyyah. Kelima: Syekhah Ummu Muhammad Al-Maqdisiyyah. Guru-guru tersebut memberikan pengaruh besar pada keilmuan, akhlak, dan kepemimpinannya, yang kemudian mengokohkan kecerdasan dan kebrilianan beliau. Murid-murid  Ibnu Taimiyah memiliki banyak murid yang mendapatkan manfaat dari ilmunya. Murid-murid beliau tidak hanya belajar ilmu, tetapi juga mengambil metodologi pemikiran dan kebijaksanaan dari beliau. Banyak di antara mereka yang kemudian menjadi imam besar di bidangnya masing-masing. Di antara murid-muridnya adalah: Pertama: Imam Ibn Qayyim Al-Jauziyyah Kedua: Imam Al-Dzahabi Ketiga: Imam Ibn Katsir Keempat: Al-Hafidz Al-Bazzar Kelima: Imam Ibn Abdulhadi Keenam: Syekh Al-Wasiti Ketujuh: Syekh Ibn Al-Wardi Kedelapan: Syekh Ibn Rasyiq Kesepuluh: Imam Ibn Muflih Akidah Ibnu Taimiyah memegang teguh akidah salaf saleh, yaitu akidah ahli sunah waljamaah, yang berlandaskan pada ajaran Nabi Muhammad ﷺ dan generasi awal Islam, dalam tiga generasi terbaik yang disebutkan dalam sabda Nabi, خير أمَّتي قرْني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم “Sebaik-baik umatku adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka, lalu generasi setelah mereka.“[7] Akidah ini bersumber pada Al-Qur’an dan Sunah yang sahih, serta penafsiran para sahabat, tabiin, dan tabi’ut tabi’in dari tiga abad pertama Islam yang penuh keutamaan. Imam Ibnu Taimiyah tidak pernah mengaitkan akidahnya dengan individu atau mazhab tertentu, termasuk mazhab Hanbali yang menjadi panduannya dalam fikih. Sebaliknya, ia menyeru kepada komitmen pada akidah salaf tanpa fanatisme terhadap mazhab tertentu. Dalam salah satu pernyataannya, beliau menegaskan, أما الاعتقاد، فإنَّه لا يُؤخذ عني ولا عمَّن هو أكبرُ مني؛ بل يؤخذ عن الله ورسوله – صلَّى الله عليه وسلَّم – وما أجمع عليه سلفُ الأمَّة، فما كان في القرآن وجَب اعتقادُه، وكذلك ما ثبَت في الأحاديث الصحيحة، مثل صحيحي البخاري ومسلم… وكان يَرِدُ عليَّ مِن مصر وغيرها مَن يسألني عن مسائلَ في الاعتقاد أو غيره، فأُجيبه بالكتاب والسُّنة، وما كان عليه سَلفُ الأمة “Adapun akidah, maka tidak boleh diambil dariku atau dari siapa pun yang lebih besar dariku. Akidah hanya diambil dari Allah dan Rasul-Nya ﷺ, serta dari apa yang disepakati oleh salaful-ummah ini. Apa yang terdapat dalam Al-Qur’an wajib diyakini, demikian pula apa yang sahih dari hadis-hadis, seperti yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim…  Dan datanglah kepadaku orang-orang dari Mesir dan tempat lainnya yang menanyakan kepadaku tentang berbagai persoalan, baik dalam hal akidah maupun yang lainnya. Maka, aku menjawab mereka dengan (berdasarkan) Al-Qur’an dan Sunah, serta apa yang telah menjadi pegangan salaf saleh.” [8] Mazhab Ibnu Taimiyah tumbuh, belajar, dan dididik berdasarkan prinsip-prinsip mazhab Hanbali. Ayah dan kakeknya, bahkan keluarganya secara keseluruhan, merupakan tokoh-tokoh besar mazhab Hanbali di Damaskus dan wilayah Syam. Namun, dia tidak membatasi studinya hanya pada mazhab Hanbali saja, melainkan mempelajari juga mazhab-mazhab fikih lainnya. Pada akhirnya, di masa akhir hidupnya, ia tidak terikat pada satu mazhab tertentu. Dia memberikan fatwa berdasarkan pendapat yang menurutnya paling kuat dalilnya. Meski demikian, dia tidak bersikap fanatik terhadap satu imam, guru, atau mazhab tertentu. Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa hal yang diperbolehkan bagi umat Islam untuk mengikuti pendapat salah satu ulama selama tidak diyakini bahwa pendapat tersebut salah. Ketika muridnya, Al-Hafizh Al-Bazzar, memintanya menyusun kitab fikih yang mengumpulkan pilihan dan pendapatnya sebagai rujukan utama dalam fatwa, dia menjawab, “Masalah cabang (furu’) itu perkara yang ringan. Siapa saja yang mengikuti salah satu ulama yang berkompeten dalam hal ini, diperbolehkan baginya untuk mengamalkan pendapatnya, selama dia tidak yakin bahwa pendapat tersebut keliru.” [9] Ibnu Taimiyah juga menyebut bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah rahmat yang luas. Beliau berkata, ولهذا كان بعضُ العلماء يقول: إجماعهم حُجَّة قاطعة، واختلافهم رحمة واسعة “Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan, ‘Ijma’ mereka adalah hujah yang pasti, dan perbedaan mereka adalah rahmat yang luas.’” Ibnu Taimiyah juga menekankan pentingnya tidak memaksakan satu mazhab tertentu kepada umat. Dia mengutip sebagian ulama Syafi’i yang berkata, “Tidak seorang pun boleh memaksa orang lain untuk mengikuti pendapatnya dalam masalah-masalah ini, tetapi dia harus berbicara dengan pendapat yang ilmiah. Siapa pun yang memahami kebenaran dari salah satu pendapat, dia boleh mengikutinya. Dan siapa yang mengikuti kepada pendapat lainnya, tidak ada kecaman baginya.” [10] Meskipun begitu, Ibnu Taimiyah sangat menghormati para imam mazhab, membela mereka, dan melarang mencela mereka. Dia menegaskan bahwa perbedaan pendapat di kalangan mereka muncul dari hasil ijtihad masing-masing. Ibnu Taimiyah menjelaskan hal ini dalam risalahnya yang terkenal Raf’ul Malam ‘an al-A’immatil A’lam. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, Muqaddimah Jami’ Al-Fatawa, (jilid 1, hal. أ), Dr. Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Al-Madkhal ila Atsar Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyyah, hal. 15. [2] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 6: 151, 186, dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (1: 45), no. 132. [3] Muttafaqun ‘alaihi. [4] Op.Cit. [5] Al-Hafizh Al-Bazzar, Al-A’lam Al-‘Aliyyah, hal. 17, 19, dengan diringkas dan beberapa perubahan. [6] Disebutkan Imam Ibn ‘Abd Al-Hadi dalam kitabnya Al-‘Uqud Al-Durriyyah, hal. 6. [7] Muttafaqun ‘alaihi. [8] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, Muqaddimah Jami’ Al-Fatawa, 3: 161. [9] Al-Hafizh Al-Bazzar, Al-A’lam Al-‘Aliyyah, hal. 33, dengan beberapa perubahan. [10] Imam Ibnu Taymiyah, Majmu’ Al-Fatawa, 30: 80.

Biografi Ringkas Syekh Islam Ibnu Taimiyah (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle NamaJulukanKunyahKelahiran dan masa kecilGuru-guruMurid-murid AkidahMazhab Nama Abu Al-Abbas Ahmad bin Syekh Imam Shihabuddin Abi Al-Muhassin Abdulhalim bin Syekh Imam Majduddin Abi Al-Barakat Abdul Salam bin Abi Muhammad Abdullah bin Abi Al-Qasim Al-Khadr bin Muhammad bin Taimiyyah bin Al-Khadr bin Ali bin Abdullah An-Namiri. [1] Julukan Beliau dikenal dengan julukan “Syekh Islam” dan “Ibn Taimiyyah,” dan sering kali kedua julukan tersebut digabungkan menjadi “Syekh Islam Ibn Taimiyyah.” Kunyah Beliau dikenal dengan kunyah “Abu Al-Abbas,” meskipun beliau tidak menikah. Hal ini berdasarkan sunah Nabi yang menganjurkan bagi setiap muslim untuk menggunakan kunyah, meskipun tanpa memiliki anak atau masih kecil. Sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah Ummul Mu’minin radhiyallahu ‘anha, beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ya Rasulullah, mengapa semua istri-istrimu memiliki kunyah, kecuali aku?” Nabi menjawab, “Gunakanlah kunyah dengan menyebut anakmu, Abdullah (yaitu, anak Az-Zubair).” [2] Dan dalam hadis lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada seorang anak yang disebutkan “Abu Umair”, “Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan oleh nughair (burung peliharaan kecilnya)?” [3] Kelahiran dan masa kecil Imam Ibnu Taimiyah lahir pada hari Senin, 10 Rabiulawal tahun 661 H di Harran. [4] Beliau lahir dalam keluarga yang terkenal dengan ilmu dan ketakwaan. Keluarga beliau memiliki tradisi panjang dalam ilmu pengetahuan dan banyak di antara mereka yang menjadi imam di masjid-masjid besar. Ayahnya, Imam Abdulhalim, dan kakeknya, Imam Majduddin, adalah ulama terkenal yang mengajarkan akidah dan fikih menurut mazhab Hanbali. Imam Ibn Taimiyah tumbuh dalam keluarga yang sangat menghargai ilmu dan menjadi tempat bagi anak-anaknya untuk berkembang dalam berbagai bidang ilmu, termasuk ilmu syariat, fikih, hadis, dan bahasa Arab. Imam Ibnu Taimiyah tumbuh di lingkungan yang sangat mendukung pengembangan ilmu, yang memberikan pengaruh besar dalam dirinya. Sejak kecil, beliau telah menunjukkan kecerdasan dan bakat luar biasa dalam ilmu pengetahuan. Beliau menyelesaikan hafalan Al-Qur’an pada usia muda, lalu melanjutkan untuk menghafal hadis, mempelajari fikih, dan bahasa Arab. Beliau rajin menghadiri majelis-majelis ilmiah, berdiskusi, memberi fatwa, dan mengajarkan orang lain, meskipun usianya masih muda. Lingkungan yang penuh dengan ilmu dan kebajikan sangat memengaruhi perkembangan kepribadian dan kecerdasannya. Imam Ibn Taimiyyah dibesarkan dengan semangat kuat untuk mencari ilmu dan membela ajaran Islam, terutama dalam menghadapi permasalahan-permasalahan fikih dan akidah. Beliau belajar dengan sangat tekun dan berdedikasi, yang tercermin dalam karya-karya dan fatwa-fatwanya yang mempertahankan kemurnian ajaran Islam. Semangatnya untuk terus menggali ilmu sejak usia muda menjadikannya seorang imam besar yang dihormati hingga hari ini. [5] Baca juga: Biografi Syu’aib Al-Arnauth Guru-guru Kepribadian luar biasa seperti Imam Ibnu Taimiyah menunjukkan bahwa ia memiliki banyak sumber pengetahuan cabang ilmu yang dipelajari. Hal ini menegaskan bahwa beliau menerima ilmu dari banyak guru, baik pria maupun wanita, yang beragam sesuai dengan luasnya bidang ilmu yang dipelajarinya. Diriwayatkan bahwa beliau belajar dari lebih dari 200 guru [6] pria dan empat guru wanita. Di antara guru-gurunya adalah: Pertama: Imam Ibn Abd Al-Da’im Kedua: Ayahnya sendiri, Syihabuddin Abu al-Mahasin Abdulhalim bin Abd al-Salam Ibn Taimiyyah. Ketiga: Imam Abdulrahman bin Muhammad bin Qudamah Keempat: Syekh Ali Al-Shalihi Kelima: Syekh Afifuddin Abdulrahman bin Faris Al-Baghdadi Keenam: Syekh Al-Manja Al-Tiyukhi Ketujuh: Syekh Muhammad bin Abdulqawi Kedelapan: Syekh Syarafuddin Al-Maqdisi Kesembilan: Syekh Al-Wasiti Kesepuluh: Syekh Muhammad bin Ismail Al-Syaibani Dari kalangan wanita, beliau juga belajar dari: Pertama: Bibi beliau, Sitt Al-Dar. Kedua: Syekhah Ummu Al-Khair Al-Dimasyqiyyah. Ketiga: Syekhah Ummu Al-Arab. Keempat: Syekhah Ummu Ahmad Al-Haraniyyah. Kelima: Syekhah Ummu Muhammad Al-Maqdisiyyah. Guru-guru tersebut memberikan pengaruh besar pada keilmuan, akhlak, dan kepemimpinannya, yang kemudian mengokohkan kecerdasan dan kebrilianan beliau. Murid-murid  Ibnu Taimiyah memiliki banyak murid yang mendapatkan manfaat dari ilmunya. Murid-murid beliau tidak hanya belajar ilmu, tetapi juga mengambil metodologi pemikiran dan kebijaksanaan dari beliau. Banyak di antara mereka yang kemudian menjadi imam besar di bidangnya masing-masing. Di antara murid-muridnya adalah: Pertama: Imam Ibn Qayyim Al-Jauziyyah Kedua: Imam Al-Dzahabi Ketiga: Imam Ibn Katsir Keempat: Al-Hafidz Al-Bazzar Kelima: Imam Ibn Abdulhadi Keenam: Syekh Al-Wasiti Ketujuh: Syekh Ibn Al-Wardi Kedelapan: Syekh Ibn Rasyiq Kesepuluh: Imam Ibn Muflih Akidah Ibnu Taimiyah memegang teguh akidah salaf saleh, yaitu akidah ahli sunah waljamaah, yang berlandaskan pada ajaran Nabi Muhammad ﷺ dan generasi awal Islam, dalam tiga generasi terbaik yang disebutkan dalam sabda Nabi, خير أمَّتي قرْني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم “Sebaik-baik umatku adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka, lalu generasi setelah mereka.“[7] Akidah ini bersumber pada Al-Qur’an dan Sunah yang sahih, serta penafsiran para sahabat, tabiin, dan tabi’ut tabi’in dari tiga abad pertama Islam yang penuh keutamaan. Imam Ibnu Taimiyah tidak pernah mengaitkan akidahnya dengan individu atau mazhab tertentu, termasuk mazhab Hanbali yang menjadi panduannya dalam fikih. Sebaliknya, ia menyeru kepada komitmen pada akidah salaf tanpa fanatisme terhadap mazhab tertentu. Dalam salah satu pernyataannya, beliau menegaskan, أما الاعتقاد، فإنَّه لا يُؤخذ عني ولا عمَّن هو أكبرُ مني؛ بل يؤخذ عن الله ورسوله – صلَّى الله عليه وسلَّم – وما أجمع عليه سلفُ الأمَّة، فما كان في القرآن وجَب اعتقادُه، وكذلك ما ثبَت في الأحاديث الصحيحة، مثل صحيحي البخاري ومسلم… وكان يَرِدُ عليَّ مِن مصر وغيرها مَن يسألني عن مسائلَ في الاعتقاد أو غيره، فأُجيبه بالكتاب والسُّنة، وما كان عليه سَلفُ الأمة “Adapun akidah, maka tidak boleh diambil dariku atau dari siapa pun yang lebih besar dariku. Akidah hanya diambil dari Allah dan Rasul-Nya ﷺ, serta dari apa yang disepakati oleh salaful-ummah ini. Apa yang terdapat dalam Al-Qur’an wajib diyakini, demikian pula apa yang sahih dari hadis-hadis, seperti yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim…  Dan datanglah kepadaku orang-orang dari Mesir dan tempat lainnya yang menanyakan kepadaku tentang berbagai persoalan, baik dalam hal akidah maupun yang lainnya. Maka, aku menjawab mereka dengan (berdasarkan) Al-Qur’an dan Sunah, serta apa yang telah menjadi pegangan salaf saleh.” [8] Mazhab Ibnu Taimiyah tumbuh, belajar, dan dididik berdasarkan prinsip-prinsip mazhab Hanbali. Ayah dan kakeknya, bahkan keluarganya secara keseluruhan, merupakan tokoh-tokoh besar mazhab Hanbali di Damaskus dan wilayah Syam. Namun, dia tidak membatasi studinya hanya pada mazhab Hanbali saja, melainkan mempelajari juga mazhab-mazhab fikih lainnya. Pada akhirnya, di masa akhir hidupnya, ia tidak terikat pada satu mazhab tertentu. Dia memberikan fatwa berdasarkan pendapat yang menurutnya paling kuat dalilnya. Meski demikian, dia tidak bersikap fanatik terhadap satu imam, guru, atau mazhab tertentu. Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa hal yang diperbolehkan bagi umat Islam untuk mengikuti pendapat salah satu ulama selama tidak diyakini bahwa pendapat tersebut salah. Ketika muridnya, Al-Hafizh Al-Bazzar, memintanya menyusun kitab fikih yang mengumpulkan pilihan dan pendapatnya sebagai rujukan utama dalam fatwa, dia menjawab, “Masalah cabang (furu’) itu perkara yang ringan. Siapa saja yang mengikuti salah satu ulama yang berkompeten dalam hal ini, diperbolehkan baginya untuk mengamalkan pendapatnya, selama dia tidak yakin bahwa pendapat tersebut keliru.” [9] Ibnu Taimiyah juga menyebut bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah rahmat yang luas. Beliau berkata, ولهذا كان بعضُ العلماء يقول: إجماعهم حُجَّة قاطعة، واختلافهم رحمة واسعة “Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan, ‘Ijma’ mereka adalah hujah yang pasti, dan perbedaan mereka adalah rahmat yang luas.’” Ibnu Taimiyah juga menekankan pentingnya tidak memaksakan satu mazhab tertentu kepada umat. Dia mengutip sebagian ulama Syafi’i yang berkata, “Tidak seorang pun boleh memaksa orang lain untuk mengikuti pendapatnya dalam masalah-masalah ini, tetapi dia harus berbicara dengan pendapat yang ilmiah. Siapa pun yang memahami kebenaran dari salah satu pendapat, dia boleh mengikutinya. Dan siapa yang mengikuti kepada pendapat lainnya, tidak ada kecaman baginya.” [10] Meskipun begitu, Ibnu Taimiyah sangat menghormati para imam mazhab, membela mereka, dan melarang mencela mereka. Dia menegaskan bahwa perbedaan pendapat di kalangan mereka muncul dari hasil ijtihad masing-masing. Ibnu Taimiyah menjelaskan hal ini dalam risalahnya yang terkenal Raf’ul Malam ‘an al-A’immatil A’lam. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, Muqaddimah Jami’ Al-Fatawa, (jilid 1, hal. أ), Dr. Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Al-Madkhal ila Atsar Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyyah, hal. 15. [2] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 6: 151, 186, dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (1: 45), no. 132. [3] Muttafaqun ‘alaihi. [4] Op.Cit. [5] Al-Hafizh Al-Bazzar, Al-A’lam Al-‘Aliyyah, hal. 17, 19, dengan diringkas dan beberapa perubahan. [6] Disebutkan Imam Ibn ‘Abd Al-Hadi dalam kitabnya Al-‘Uqud Al-Durriyyah, hal. 6. [7] Muttafaqun ‘alaihi. [8] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, Muqaddimah Jami’ Al-Fatawa, 3: 161. [9] Al-Hafizh Al-Bazzar, Al-A’lam Al-‘Aliyyah, hal. 33, dengan beberapa perubahan. [10] Imam Ibnu Taymiyah, Majmu’ Al-Fatawa, 30: 80.
Daftar Isi Toggle NamaJulukanKunyahKelahiran dan masa kecilGuru-guruMurid-murid AkidahMazhab Nama Abu Al-Abbas Ahmad bin Syekh Imam Shihabuddin Abi Al-Muhassin Abdulhalim bin Syekh Imam Majduddin Abi Al-Barakat Abdul Salam bin Abi Muhammad Abdullah bin Abi Al-Qasim Al-Khadr bin Muhammad bin Taimiyyah bin Al-Khadr bin Ali bin Abdullah An-Namiri. [1] Julukan Beliau dikenal dengan julukan “Syekh Islam” dan “Ibn Taimiyyah,” dan sering kali kedua julukan tersebut digabungkan menjadi “Syekh Islam Ibn Taimiyyah.” Kunyah Beliau dikenal dengan kunyah “Abu Al-Abbas,” meskipun beliau tidak menikah. Hal ini berdasarkan sunah Nabi yang menganjurkan bagi setiap muslim untuk menggunakan kunyah, meskipun tanpa memiliki anak atau masih kecil. Sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah Ummul Mu’minin radhiyallahu ‘anha, beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ya Rasulullah, mengapa semua istri-istrimu memiliki kunyah, kecuali aku?” Nabi menjawab, “Gunakanlah kunyah dengan menyebut anakmu, Abdullah (yaitu, anak Az-Zubair).” [2] Dan dalam hadis lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada seorang anak yang disebutkan “Abu Umair”, “Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan oleh nughair (burung peliharaan kecilnya)?” [3] Kelahiran dan masa kecil Imam Ibnu Taimiyah lahir pada hari Senin, 10 Rabiulawal tahun 661 H di Harran. [4] Beliau lahir dalam keluarga yang terkenal dengan ilmu dan ketakwaan. Keluarga beliau memiliki tradisi panjang dalam ilmu pengetahuan dan banyak di antara mereka yang menjadi imam di masjid-masjid besar. Ayahnya, Imam Abdulhalim, dan kakeknya, Imam Majduddin, adalah ulama terkenal yang mengajarkan akidah dan fikih menurut mazhab Hanbali. Imam Ibn Taimiyah tumbuh dalam keluarga yang sangat menghargai ilmu dan menjadi tempat bagi anak-anaknya untuk berkembang dalam berbagai bidang ilmu, termasuk ilmu syariat, fikih, hadis, dan bahasa Arab. Imam Ibnu Taimiyah tumbuh di lingkungan yang sangat mendukung pengembangan ilmu, yang memberikan pengaruh besar dalam dirinya. Sejak kecil, beliau telah menunjukkan kecerdasan dan bakat luar biasa dalam ilmu pengetahuan. Beliau menyelesaikan hafalan Al-Qur’an pada usia muda, lalu melanjutkan untuk menghafal hadis, mempelajari fikih, dan bahasa Arab. Beliau rajin menghadiri majelis-majelis ilmiah, berdiskusi, memberi fatwa, dan mengajarkan orang lain, meskipun usianya masih muda. Lingkungan yang penuh dengan ilmu dan kebajikan sangat memengaruhi perkembangan kepribadian dan kecerdasannya. Imam Ibn Taimiyyah dibesarkan dengan semangat kuat untuk mencari ilmu dan membela ajaran Islam, terutama dalam menghadapi permasalahan-permasalahan fikih dan akidah. Beliau belajar dengan sangat tekun dan berdedikasi, yang tercermin dalam karya-karya dan fatwa-fatwanya yang mempertahankan kemurnian ajaran Islam. Semangatnya untuk terus menggali ilmu sejak usia muda menjadikannya seorang imam besar yang dihormati hingga hari ini. [5] Baca juga: Biografi Syu’aib Al-Arnauth Guru-guru Kepribadian luar biasa seperti Imam Ibnu Taimiyah menunjukkan bahwa ia memiliki banyak sumber pengetahuan cabang ilmu yang dipelajari. Hal ini menegaskan bahwa beliau menerima ilmu dari banyak guru, baik pria maupun wanita, yang beragam sesuai dengan luasnya bidang ilmu yang dipelajarinya. Diriwayatkan bahwa beliau belajar dari lebih dari 200 guru [6] pria dan empat guru wanita. Di antara guru-gurunya adalah: Pertama: Imam Ibn Abd Al-Da’im Kedua: Ayahnya sendiri, Syihabuddin Abu al-Mahasin Abdulhalim bin Abd al-Salam Ibn Taimiyyah. Ketiga: Imam Abdulrahman bin Muhammad bin Qudamah Keempat: Syekh Ali Al-Shalihi Kelima: Syekh Afifuddin Abdulrahman bin Faris Al-Baghdadi Keenam: Syekh Al-Manja Al-Tiyukhi Ketujuh: Syekh Muhammad bin Abdulqawi Kedelapan: Syekh Syarafuddin Al-Maqdisi Kesembilan: Syekh Al-Wasiti Kesepuluh: Syekh Muhammad bin Ismail Al-Syaibani Dari kalangan wanita, beliau juga belajar dari: Pertama: Bibi beliau, Sitt Al-Dar. Kedua: Syekhah Ummu Al-Khair Al-Dimasyqiyyah. Ketiga: Syekhah Ummu Al-Arab. Keempat: Syekhah Ummu Ahmad Al-Haraniyyah. Kelima: Syekhah Ummu Muhammad Al-Maqdisiyyah. Guru-guru tersebut memberikan pengaruh besar pada keilmuan, akhlak, dan kepemimpinannya, yang kemudian mengokohkan kecerdasan dan kebrilianan beliau. Murid-murid  Ibnu Taimiyah memiliki banyak murid yang mendapatkan manfaat dari ilmunya. Murid-murid beliau tidak hanya belajar ilmu, tetapi juga mengambil metodologi pemikiran dan kebijaksanaan dari beliau. Banyak di antara mereka yang kemudian menjadi imam besar di bidangnya masing-masing. Di antara murid-muridnya adalah: Pertama: Imam Ibn Qayyim Al-Jauziyyah Kedua: Imam Al-Dzahabi Ketiga: Imam Ibn Katsir Keempat: Al-Hafidz Al-Bazzar Kelima: Imam Ibn Abdulhadi Keenam: Syekh Al-Wasiti Ketujuh: Syekh Ibn Al-Wardi Kedelapan: Syekh Ibn Rasyiq Kesepuluh: Imam Ibn Muflih Akidah Ibnu Taimiyah memegang teguh akidah salaf saleh, yaitu akidah ahli sunah waljamaah, yang berlandaskan pada ajaran Nabi Muhammad ﷺ dan generasi awal Islam, dalam tiga generasi terbaik yang disebutkan dalam sabda Nabi, خير أمَّتي قرْني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم “Sebaik-baik umatku adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka, lalu generasi setelah mereka.“[7] Akidah ini bersumber pada Al-Qur’an dan Sunah yang sahih, serta penafsiran para sahabat, tabiin, dan tabi’ut tabi’in dari tiga abad pertama Islam yang penuh keutamaan. Imam Ibnu Taimiyah tidak pernah mengaitkan akidahnya dengan individu atau mazhab tertentu, termasuk mazhab Hanbali yang menjadi panduannya dalam fikih. Sebaliknya, ia menyeru kepada komitmen pada akidah salaf tanpa fanatisme terhadap mazhab tertentu. Dalam salah satu pernyataannya, beliau menegaskan, أما الاعتقاد، فإنَّه لا يُؤخذ عني ولا عمَّن هو أكبرُ مني؛ بل يؤخذ عن الله ورسوله – صلَّى الله عليه وسلَّم – وما أجمع عليه سلفُ الأمَّة، فما كان في القرآن وجَب اعتقادُه، وكذلك ما ثبَت في الأحاديث الصحيحة، مثل صحيحي البخاري ومسلم… وكان يَرِدُ عليَّ مِن مصر وغيرها مَن يسألني عن مسائلَ في الاعتقاد أو غيره، فأُجيبه بالكتاب والسُّنة، وما كان عليه سَلفُ الأمة “Adapun akidah, maka tidak boleh diambil dariku atau dari siapa pun yang lebih besar dariku. Akidah hanya diambil dari Allah dan Rasul-Nya ﷺ, serta dari apa yang disepakati oleh salaful-ummah ini. Apa yang terdapat dalam Al-Qur’an wajib diyakini, demikian pula apa yang sahih dari hadis-hadis, seperti yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim…  Dan datanglah kepadaku orang-orang dari Mesir dan tempat lainnya yang menanyakan kepadaku tentang berbagai persoalan, baik dalam hal akidah maupun yang lainnya. Maka, aku menjawab mereka dengan (berdasarkan) Al-Qur’an dan Sunah, serta apa yang telah menjadi pegangan salaf saleh.” [8] Mazhab Ibnu Taimiyah tumbuh, belajar, dan dididik berdasarkan prinsip-prinsip mazhab Hanbali. Ayah dan kakeknya, bahkan keluarganya secara keseluruhan, merupakan tokoh-tokoh besar mazhab Hanbali di Damaskus dan wilayah Syam. Namun, dia tidak membatasi studinya hanya pada mazhab Hanbali saja, melainkan mempelajari juga mazhab-mazhab fikih lainnya. Pada akhirnya, di masa akhir hidupnya, ia tidak terikat pada satu mazhab tertentu. Dia memberikan fatwa berdasarkan pendapat yang menurutnya paling kuat dalilnya. Meski demikian, dia tidak bersikap fanatik terhadap satu imam, guru, atau mazhab tertentu. Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa hal yang diperbolehkan bagi umat Islam untuk mengikuti pendapat salah satu ulama selama tidak diyakini bahwa pendapat tersebut salah. Ketika muridnya, Al-Hafizh Al-Bazzar, memintanya menyusun kitab fikih yang mengumpulkan pilihan dan pendapatnya sebagai rujukan utama dalam fatwa, dia menjawab, “Masalah cabang (furu’) itu perkara yang ringan. Siapa saja yang mengikuti salah satu ulama yang berkompeten dalam hal ini, diperbolehkan baginya untuk mengamalkan pendapatnya, selama dia tidak yakin bahwa pendapat tersebut keliru.” [9] Ibnu Taimiyah juga menyebut bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah rahmat yang luas. Beliau berkata, ولهذا كان بعضُ العلماء يقول: إجماعهم حُجَّة قاطعة، واختلافهم رحمة واسعة “Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan, ‘Ijma’ mereka adalah hujah yang pasti, dan perbedaan mereka adalah rahmat yang luas.’” Ibnu Taimiyah juga menekankan pentingnya tidak memaksakan satu mazhab tertentu kepada umat. Dia mengutip sebagian ulama Syafi’i yang berkata, “Tidak seorang pun boleh memaksa orang lain untuk mengikuti pendapatnya dalam masalah-masalah ini, tetapi dia harus berbicara dengan pendapat yang ilmiah. Siapa pun yang memahami kebenaran dari salah satu pendapat, dia boleh mengikutinya. Dan siapa yang mengikuti kepada pendapat lainnya, tidak ada kecaman baginya.” [10] Meskipun begitu, Ibnu Taimiyah sangat menghormati para imam mazhab, membela mereka, dan melarang mencela mereka. Dia menegaskan bahwa perbedaan pendapat di kalangan mereka muncul dari hasil ijtihad masing-masing. Ibnu Taimiyah menjelaskan hal ini dalam risalahnya yang terkenal Raf’ul Malam ‘an al-A’immatil A’lam. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, Muqaddimah Jami’ Al-Fatawa, (jilid 1, hal. أ), Dr. Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Al-Madkhal ila Atsar Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyyah, hal. 15. [2] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 6: 151, 186, dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (1: 45), no. 132. [3] Muttafaqun ‘alaihi. [4] Op.Cit. [5] Al-Hafizh Al-Bazzar, Al-A’lam Al-‘Aliyyah, hal. 17, 19, dengan diringkas dan beberapa perubahan. [6] Disebutkan Imam Ibn ‘Abd Al-Hadi dalam kitabnya Al-‘Uqud Al-Durriyyah, hal. 6. [7] Muttafaqun ‘alaihi. [8] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, Muqaddimah Jami’ Al-Fatawa, 3: 161. [9] Al-Hafizh Al-Bazzar, Al-A’lam Al-‘Aliyyah, hal. 33, dengan beberapa perubahan. [10] Imam Ibnu Taymiyah, Majmu’ Al-Fatawa, 30: 80.


Daftar Isi Toggle NamaJulukanKunyahKelahiran dan masa kecilGuru-guruMurid-murid AkidahMazhab Nama Abu Al-Abbas Ahmad bin Syekh Imam Shihabuddin Abi Al-Muhassin Abdulhalim bin Syekh Imam Majduddin Abi Al-Barakat Abdul Salam bin Abi Muhammad Abdullah bin Abi Al-Qasim Al-Khadr bin Muhammad bin Taimiyyah bin Al-Khadr bin Ali bin Abdullah An-Namiri. [1] Julukan Beliau dikenal dengan julukan “Syekh Islam” dan “Ibn Taimiyyah,” dan sering kali kedua julukan tersebut digabungkan menjadi “Syekh Islam Ibn Taimiyyah.” Kunyah Beliau dikenal dengan kunyah “Abu Al-Abbas,” meskipun beliau tidak menikah. Hal ini berdasarkan sunah Nabi yang menganjurkan bagi setiap muslim untuk menggunakan kunyah, meskipun tanpa memiliki anak atau masih kecil. Sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah Ummul Mu’minin radhiyallahu ‘anha, beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ya Rasulullah, mengapa semua istri-istrimu memiliki kunyah, kecuali aku?” Nabi menjawab, “Gunakanlah kunyah dengan menyebut anakmu, Abdullah (yaitu, anak Az-Zubair).” [2] Dan dalam hadis lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada seorang anak yang disebutkan “Abu Umair”, “Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan oleh nughair (burung peliharaan kecilnya)?” [3] Kelahiran dan masa kecil Imam Ibnu Taimiyah lahir pada hari Senin, 10 Rabiulawal tahun 661 H di Harran. [4] Beliau lahir dalam keluarga yang terkenal dengan ilmu dan ketakwaan. Keluarga beliau memiliki tradisi panjang dalam ilmu pengetahuan dan banyak di antara mereka yang menjadi imam di masjid-masjid besar. Ayahnya, Imam Abdulhalim, dan kakeknya, Imam Majduddin, adalah ulama terkenal yang mengajarkan akidah dan fikih menurut mazhab Hanbali. Imam Ibn Taimiyah tumbuh dalam keluarga yang sangat menghargai ilmu dan menjadi tempat bagi anak-anaknya untuk berkembang dalam berbagai bidang ilmu, termasuk ilmu syariat, fikih, hadis, dan bahasa Arab. Imam Ibnu Taimiyah tumbuh di lingkungan yang sangat mendukung pengembangan ilmu, yang memberikan pengaruh besar dalam dirinya. Sejak kecil, beliau telah menunjukkan kecerdasan dan bakat luar biasa dalam ilmu pengetahuan. Beliau menyelesaikan hafalan Al-Qur’an pada usia muda, lalu melanjutkan untuk menghafal hadis, mempelajari fikih, dan bahasa Arab. Beliau rajin menghadiri majelis-majelis ilmiah, berdiskusi, memberi fatwa, dan mengajarkan orang lain, meskipun usianya masih muda. Lingkungan yang penuh dengan ilmu dan kebajikan sangat memengaruhi perkembangan kepribadian dan kecerdasannya. Imam Ibn Taimiyyah dibesarkan dengan semangat kuat untuk mencari ilmu dan membela ajaran Islam, terutama dalam menghadapi permasalahan-permasalahan fikih dan akidah. Beliau belajar dengan sangat tekun dan berdedikasi, yang tercermin dalam karya-karya dan fatwa-fatwanya yang mempertahankan kemurnian ajaran Islam. Semangatnya untuk terus menggali ilmu sejak usia muda menjadikannya seorang imam besar yang dihormati hingga hari ini. [5] Baca juga: Biografi Syu’aib Al-Arnauth Guru-guru Kepribadian luar biasa seperti Imam Ibnu Taimiyah menunjukkan bahwa ia memiliki banyak sumber pengetahuan cabang ilmu yang dipelajari. Hal ini menegaskan bahwa beliau menerima ilmu dari banyak guru, baik pria maupun wanita, yang beragam sesuai dengan luasnya bidang ilmu yang dipelajarinya. Diriwayatkan bahwa beliau belajar dari lebih dari 200 guru [6] pria dan empat guru wanita. Di antara guru-gurunya adalah: Pertama: Imam Ibn Abd Al-Da’im Kedua: Ayahnya sendiri, Syihabuddin Abu al-Mahasin Abdulhalim bin Abd al-Salam Ibn Taimiyyah. Ketiga: Imam Abdulrahman bin Muhammad bin Qudamah Keempat: Syekh Ali Al-Shalihi Kelima: Syekh Afifuddin Abdulrahman bin Faris Al-Baghdadi Keenam: Syekh Al-Manja Al-Tiyukhi Ketujuh: Syekh Muhammad bin Abdulqawi Kedelapan: Syekh Syarafuddin Al-Maqdisi Kesembilan: Syekh Al-Wasiti Kesepuluh: Syekh Muhammad bin Ismail Al-Syaibani Dari kalangan wanita, beliau juga belajar dari: Pertama: Bibi beliau, Sitt Al-Dar. Kedua: Syekhah Ummu Al-Khair Al-Dimasyqiyyah. Ketiga: Syekhah Ummu Al-Arab. Keempat: Syekhah Ummu Ahmad Al-Haraniyyah. Kelima: Syekhah Ummu Muhammad Al-Maqdisiyyah. Guru-guru tersebut memberikan pengaruh besar pada keilmuan, akhlak, dan kepemimpinannya, yang kemudian mengokohkan kecerdasan dan kebrilianan beliau. Murid-murid  Ibnu Taimiyah memiliki banyak murid yang mendapatkan manfaat dari ilmunya. Murid-murid beliau tidak hanya belajar ilmu, tetapi juga mengambil metodologi pemikiran dan kebijaksanaan dari beliau. Banyak di antara mereka yang kemudian menjadi imam besar di bidangnya masing-masing. Di antara murid-muridnya adalah: Pertama: Imam Ibn Qayyim Al-Jauziyyah Kedua: Imam Al-Dzahabi Ketiga: Imam Ibn Katsir Keempat: Al-Hafidz Al-Bazzar Kelima: Imam Ibn Abdulhadi Keenam: Syekh Al-Wasiti Ketujuh: Syekh Ibn Al-Wardi Kedelapan: Syekh Ibn Rasyiq Kesepuluh: Imam Ibn Muflih Akidah Ibnu Taimiyah memegang teguh akidah salaf saleh, yaitu akidah ahli sunah waljamaah, yang berlandaskan pada ajaran Nabi Muhammad ﷺ dan generasi awal Islam, dalam tiga generasi terbaik yang disebutkan dalam sabda Nabi, خير أمَّتي قرْني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم “Sebaik-baik umatku adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka, lalu generasi setelah mereka.“[7] Akidah ini bersumber pada Al-Qur’an dan Sunah yang sahih, serta penafsiran para sahabat, tabiin, dan tabi’ut tabi’in dari tiga abad pertama Islam yang penuh keutamaan. Imam Ibnu Taimiyah tidak pernah mengaitkan akidahnya dengan individu atau mazhab tertentu, termasuk mazhab Hanbali yang menjadi panduannya dalam fikih. Sebaliknya, ia menyeru kepada komitmen pada akidah salaf tanpa fanatisme terhadap mazhab tertentu. Dalam salah satu pernyataannya, beliau menegaskan, أما الاعتقاد، فإنَّه لا يُؤخذ عني ولا عمَّن هو أكبرُ مني؛ بل يؤخذ عن الله ورسوله – صلَّى الله عليه وسلَّم – وما أجمع عليه سلفُ الأمَّة، فما كان في القرآن وجَب اعتقادُه، وكذلك ما ثبَت في الأحاديث الصحيحة، مثل صحيحي البخاري ومسلم… وكان يَرِدُ عليَّ مِن مصر وغيرها مَن يسألني عن مسائلَ في الاعتقاد أو غيره، فأُجيبه بالكتاب والسُّنة، وما كان عليه سَلفُ الأمة “Adapun akidah, maka tidak boleh diambil dariku atau dari siapa pun yang lebih besar dariku. Akidah hanya diambil dari Allah dan Rasul-Nya ﷺ, serta dari apa yang disepakati oleh salaful-ummah ini. Apa yang terdapat dalam Al-Qur’an wajib diyakini, demikian pula apa yang sahih dari hadis-hadis, seperti yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim…  Dan datanglah kepadaku orang-orang dari Mesir dan tempat lainnya yang menanyakan kepadaku tentang berbagai persoalan, baik dalam hal akidah maupun yang lainnya. Maka, aku menjawab mereka dengan (berdasarkan) Al-Qur’an dan Sunah, serta apa yang telah menjadi pegangan salaf saleh.” [8] Mazhab Ibnu Taimiyah tumbuh, belajar, dan dididik berdasarkan prinsip-prinsip mazhab Hanbali. Ayah dan kakeknya, bahkan keluarganya secara keseluruhan, merupakan tokoh-tokoh besar mazhab Hanbali di Damaskus dan wilayah Syam. Namun, dia tidak membatasi studinya hanya pada mazhab Hanbali saja, melainkan mempelajari juga mazhab-mazhab fikih lainnya. Pada akhirnya, di masa akhir hidupnya, ia tidak terikat pada satu mazhab tertentu. Dia memberikan fatwa berdasarkan pendapat yang menurutnya paling kuat dalilnya. Meski demikian, dia tidak bersikap fanatik terhadap satu imam, guru, atau mazhab tertentu. Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa hal yang diperbolehkan bagi umat Islam untuk mengikuti pendapat salah satu ulama selama tidak diyakini bahwa pendapat tersebut salah. Ketika muridnya, Al-Hafizh Al-Bazzar, memintanya menyusun kitab fikih yang mengumpulkan pilihan dan pendapatnya sebagai rujukan utama dalam fatwa, dia menjawab, “Masalah cabang (furu’) itu perkara yang ringan. Siapa saja yang mengikuti salah satu ulama yang berkompeten dalam hal ini, diperbolehkan baginya untuk mengamalkan pendapatnya, selama dia tidak yakin bahwa pendapat tersebut keliru.” [9] Ibnu Taimiyah juga menyebut bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah rahmat yang luas. Beliau berkata, ولهذا كان بعضُ العلماء يقول: إجماعهم حُجَّة قاطعة، واختلافهم رحمة واسعة “Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan, ‘Ijma’ mereka adalah hujah yang pasti, dan perbedaan mereka adalah rahmat yang luas.’” Ibnu Taimiyah juga menekankan pentingnya tidak memaksakan satu mazhab tertentu kepada umat. Dia mengutip sebagian ulama Syafi’i yang berkata, “Tidak seorang pun boleh memaksa orang lain untuk mengikuti pendapatnya dalam masalah-masalah ini, tetapi dia harus berbicara dengan pendapat yang ilmiah. Siapa pun yang memahami kebenaran dari salah satu pendapat, dia boleh mengikutinya. Dan siapa yang mengikuti kepada pendapat lainnya, tidak ada kecaman baginya.” [10] Meskipun begitu, Ibnu Taimiyah sangat menghormati para imam mazhab, membela mereka, dan melarang mencela mereka. Dia menegaskan bahwa perbedaan pendapat di kalangan mereka muncul dari hasil ijtihad masing-masing. Ibnu Taimiyah menjelaskan hal ini dalam risalahnya yang terkenal Raf’ul Malam ‘an al-A’immatil A’lam. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, Muqaddimah Jami’ Al-Fatawa, (jilid 1, hal. أ), Dr. Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Al-Madkhal ila Atsar Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyyah, hal. 15. [2] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 6: 151, 186, dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (1: 45), no. 132. [3] Muttafaqun ‘alaihi. [4] Op.Cit. [5] Al-Hafizh Al-Bazzar, Al-A’lam Al-‘Aliyyah, hal. 17, 19, dengan diringkas dan beberapa perubahan. [6] Disebutkan Imam Ibn ‘Abd Al-Hadi dalam kitabnya Al-‘Uqud Al-Durriyyah, hal. 6. [7] Muttafaqun ‘alaihi. [8] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, Muqaddimah Jami’ Al-Fatawa, 3: 161. [9] Al-Hafizh Al-Bazzar, Al-A’lam Al-‘Aliyyah, hal. 33, dengan beberapa perubahan. [10] Imam Ibnu Taymiyah, Majmu’ Al-Fatawa, 30: 80.
Prev     Next