Hadis: Perintah kepada Para Pemuda untuk Menikah (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Teks hadis Kandungan hadis Kandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “Wahai sekalian pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah memiliki kemampuan, maka hendaklah dia menikah, karena menikah itu dapat menundukkan pandangan, dan juga lebih bisa menjaga kemaluan. Namun, siapa saja yang belum mampu, hendaklah dia berpuasa, sebab hal itu dapat meredakan nafsunya.” (HR. Bukhari no. 1905, 5065, 5066, dan Muslim no. 1905) Kandungan hadis Kandungan pertama Hadis di atas ditujukan kepada para pemuda. Siapakah yang disebut dengan “pemuda” (asy-syabab) itu? Asy-syabab memiliki makna asal: aktivitas dan semangat. Hal ini karena pada masa itu, seseorang memiliki lebih banyak aktivitas dan semangat dibandingkan periode kehidupan yang lainnya. Kata asy-syabab dimaksudkan untuk orang yang telah baligh hingga mencapai usia tiga puluh tahun. Ada pula yang menyebutkan hingga usia tiga puluh dua atau tiga puluh tiga tahun. Namun, ada pula yang menyebutkan hingga usia empat puluh tahun. (Lihat Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 9: 182; Al-I’lam li Ibnil Mulaqqin, 8: 109; Al-Mu’jam Al-Wajiz, hal. 333) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhususkan menyebutkan para pemuda dalam hadis ini karena masa muda adalah masa bergejolak dan meletupnya syahwat yang mendorong untuk jimak (hubungan badan). Berbeda halnya dengan orang-orang yang sudah setengah baya atau tua renta. Akan tetapi, jika kondisi yang sama juga didapatkan pada orang setengah baya atau tua renta, maka mereka pun tercakup dalam seruan hadis ini, karena memiliki alasan (sebab) yang sama. Kandungan kedua Apakah yang dimaksud dengan “mampu” (al-ba’ah) dalam hadis ini? Para ulama berbeda pendapat tentang makna al-ba’ah, ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah kemampuan untuk berjimak. Sehingga makna hadis tersebut menjadi, “Siapa saja di antara kalian yang mampu berjimak karena sudah memiliki biaya untuk menikah, baik mahar, nafkah, atau tempat tinggal, maka hendaklah dia menikah.” Pendapat kedua mengatakan bahwa maknanya adalah memiliki biaya untuk menikah, baik mahar atau nafkah. (Lihat Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 9: 183; Fathul Bari, 9: 108) Pendapat kedua inilah yang lebih tepat, dengan beberapa alasan berikut ini: Pertama, seruan tersebut ditujukan kepada para pemuda yang memang sudah mampu untuk berjimak. Sehingga kurang sesuai apabila dimaknai bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Siapa saja di antara kalian yang mampu untuk berjimak.” Hal ini karena memang masa muda itu adalah masa di mana seseorang secara umum sudah mampu untuk berjimak. Kedua, di ahir hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Siapa saja yang belum mampu, hendaklah dia berpuasa.” Jika “mampu” tersebut dimaknai dengan mampu berjimak, maka kalimat tersebut menjadi aneh. Karena orang yang belum mampu berjimak (atau belum ada gejolak syahwat untuk berjimak), tidak perlu berpuasa untuk bisa menahan syahwatnya. Ketiga, hadis tersebut juga terdapat dalam Sunan An-Nasa’i dengan lafal, مَنْ كَانَ مِنْكُمْ ذَا طَوْلٍ فَلْيَتَزَوَّجْ “Siapa saja di antara kalian yang memiliki kemampuan, maka hendaknya dia menikah .. “ (HR. An-Nasa’i no. 3206) Oleh karena itu, hadis ini merupakan dorongan dan motivasi kepada para pemuda yang memiliki biaya untuk menikah. Karena menikah itu memiliki maslahat yang besar. Menikah memiliki hikmah yang agung, yaitu bisa menjaganya dari terjerumus ke dalam perkara yang diharamkan. Meskipun demikian, tidak masalah jika “mampu” tersebut dimaknai lebih umum, yaitu mencakup kedua makna tersebut sekaligus: mampu untuk berjimak dan mampu menanggung biaya menikah. (Lihat Al-I’lam, 8: 110) Baca juga: Menikah adalah Sunah Nabi Kandungan ketiga Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menikah ketika faktor pendorongnya terpenuhi dan tidak ada faktor penghalang, menjadi dua pendapat: Pendapat pertama, hukum menikah adalah wajib. Ini adalah pendapat Dawud bin ‘Ali, Ibnu Hazm, Abu ‘Awanah (salah satu ulama Syafi’iyyah), dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. (Lihat Musnad Abu ‘Awanah, 3: 5; Al-Mughni, 9: 340; Al-Muhalla, 9: 440) Mereka berdalil dengan perintah untuk menikah, seperti firman Allah Ta’ala, فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء “Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi … “ (QS. An-Nisa’: 3) Allah Ta’ala berfirman, وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian .. “ (QS. An-Nuur: 32) Mereka juga berdalil dengan hadis yang sedang kita bahas saat ini. Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah berkata, “Diksi kata perintah itu zahirnya menunjukkan hukum wajib.” Pendapat kedua, menikah itu sunah. Ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya imam mazhab yang tiga (Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Malik), serta pendapat kedua dari Imam Ahmad. (Lihat Bidayatul Mujtahid, 3: 7; Syarh Fathul Qadir, 3: 187; Al-Mughni, 9: 340; Mughni Al-Muhtaj, 3: 127) Akan tetapi, mereka mengatakan bahwa apabila keinginan (kebutuhan) terhadap menikah itu sangat mendesak, dari sisi dia takut bahwa dirinya akan terjerumus ke dalam zina, maka wajib baginya menikah apabila memiliki kemampuan menanggung biaya nikah. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (QS. Al-Mu’minun: 5-6) Sisi pendalilan dari ayat tersebut adalah bahwa ayat tersebut jelas menunjukkan pujian kepada orang-orang yang menjaga kemaluannya dari perbuatan zina dengan (menyetubuhi) budak-budak yang mereka miliki, sehingga tidak perlu menikah. Seandainya hukum menikah itu wajib, maka orang yang tidak menikah itu tidak akan mendapatkan pujian. Karena orang yang meninggalkan kewajiban itu tidak dipuji, tetapi dicela. Mereka juga berdalil dengan hadis yang sedang kita bahas saat ini. Sisi pendalilannya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan puasa sebagai pengganti menikah, sedangkan puasa dalam kondisi ini tidaklah sampai derajat wajib. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa menikah itu tidak wajib. Amal yang tidak wajib (yaitu puasa) tidak bisa menggantikan amal yang wajib (yaitu menikah). (Lihat Al-Mu’lim, 2: 85; karya Al-Maziri) Syekh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Yang tampak bagiku, wallahu Ta’ala a’lam, adalah wajibnya menikah secara mutlak dengan dua syarat: (1) jika dia memiliki syahwat; dan (2) memiliki kemampuan menanggung biaya nikah, berdasarkan atas hadis ini. Juga karena mencegah perkara haram itu wajib, sedangkan perkara yang menjadi sarana mengerjakan perkara wajib itu juga hukumnya wajib. Betapa bagusnya perkataan Al-Qurthubi, ‘Orang yang mampu (menikah) yang dikhawatirkan terdapat marabahaya (mudarat) pada diri dan agamanya jika tidak menikah, dan marabahaya tersebut tidak akan hilang kecuali dengan menikah, maka tidak ada perbedaan pendapat tentang wajibnya menikah atas dirinya.’ (Al-Mufhim, 4: 82)” (Dikutip dari Minhatul ‘Allam, 7: 174) Lanjut ke bagian 2: Perintah kepada Para Pemuda untuk Menikah (Bag. 2) *** @BA, 28 Syawal 1445/ 7 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 170-177). Tags: menikahpemuda

Hadis: Perintah kepada Para Pemuda untuk Menikah (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Teks hadis Kandungan hadis Kandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “Wahai sekalian pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah memiliki kemampuan, maka hendaklah dia menikah, karena menikah itu dapat menundukkan pandangan, dan juga lebih bisa menjaga kemaluan. Namun, siapa saja yang belum mampu, hendaklah dia berpuasa, sebab hal itu dapat meredakan nafsunya.” (HR. Bukhari no. 1905, 5065, 5066, dan Muslim no. 1905) Kandungan hadis Kandungan pertama Hadis di atas ditujukan kepada para pemuda. Siapakah yang disebut dengan “pemuda” (asy-syabab) itu? Asy-syabab memiliki makna asal: aktivitas dan semangat. Hal ini karena pada masa itu, seseorang memiliki lebih banyak aktivitas dan semangat dibandingkan periode kehidupan yang lainnya. Kata asy-syabab dimaksudkan untuk orang yang telah baligh hingga mencapai usia tiga puluh tahun. Ada pula yang menyebutkan hingga usia tiga puluh dua atau tiga puluh tiga tahun. Namun, ada pula yang menyebutkan hingga usia empat puluh tahun. (Lihat Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 9: 182; Al-I’lam li Ibnil Mulaqqin, 8: 109; Al-Mu’jam Al-Wajiz, hal. 333) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhususkan menyebutkan para pemuda dalam hadis ini karena masa muda adalah masa bergejolak dan meletupnya syahwat yang mendorong untuk jimak (hubungan badan). Berbeda halnya dengan orang-orang yang sudah setengah baya atau tua renta. Akan tetapi, jika kondisi yang sama juga didapatkan pada orang setengah baya atau tua renta, maka mereka pun tercakup dalam seruan hadis ini, karena memiliki alasan (sebab) yang sama. Kandungan kedua Apakah yang dimaksud dengan “mampu” (al-ba’ah) dalam hadis ini? Para ulama berbeda pendapat tentang makna al-ba’ah, ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah kemampuan untuk berjimak. Sehingga makna hadis tersebut menjadi, “Siapa saja di antara kalian yang mampu berjimak karena sudah memiliki biaya untuk menikah, baik mahar, nafkah, atau tempat tinggal, maka hendaklah dia menikah.” Pendapat kedua mengatakan bahwa maknanya adalah memiliki biaya untuk menikah, baik mahar atau nafkah. (Lihat Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 9: 183; Fathul Bari, 9: 108) Pendapat kedua inilah yang lebih tepat, dengan beberapa alasan berikut ini: Pertama, seruan tersebut ditujukan kepada para pemuda yang memang sudah mampu untuk berjimak. Sehingga kurang sesuai apabila dimaknai bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Siapa saja di antara kalian yang mampu untuk berjimak.” Hal ini karena memang masa muda itu adalah masa di mana seseorang secara umum sudah mampu untuk berjimak. Kedua, di ahir hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Siapa saja yang belum mampu, hendaklah dia berpuasa.” Jika “mampu” tersebut dimaknai dengan mampu berjimak, maka kalimat tersebut menjadi aneh. Karena orang yang belum mampu berjimak (atau belum ada gejolak syahwat untuk berjimak), tidak perlu berpuasa untuk bisa menahan syahwatnya. Ketiga, hadis tersebut juga terdapat dalam Sunan An-Nasa’i dengan lafal, مَنْ كَانَ مِنْكُمْ ذَا طَوْلٍ فَلْيَتَزَوَّجْ “Siapa saja di antara kalian yang memiliki kemampuan, maka hendaknya dia menikah .. “ (HR. An-Nasa’i no. 3206) Oleh karena itu, hadis ini merupakan dorongan dan motivasi kepada para pemuda yang memiliki biaya untuk menikah. Karena menikah itu memiliki maslahat yang besar. Menikah memiliki hikmah yang agung, yaitu bisa menjaganya dari terjerumus ke dalam perkara yang diharamkan. Meskipun demikian, tidak masalah jika “mampu” tersebut dimaknai lebih umum, yaitu mencakup kedua makna tersebut sekaligus: mampu untuk berjimak dan mampu menanggung biaya menikah. (Lihat Al-I’lam, 8: 110) Baca juga: Menikah adalah Sunah Nabi Kandungan ketiga Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menikah ketika faktor pendorongnya terpenuhi dan tidak ada faktor penghalang, menjadi dua pendapat: Pendapat pertama, hukum menikah adalah wajib. Ini adalah pendapat Dawud bin ‘Ali, Ibnu Hazm, Abu ‘Awanah (salah satu ulama Syafi’iyyah), dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. (Lihat Musnad Abu ‘Awanah, 3: 5; Al-Mughni, 9: 340; Al-Muhalla, 9: 440) Mereka berdalil dengan perintah untuk menikah, seperti firman Allah Ta’ala, فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء “Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi … “ (QS. An-Nisa’: 3) Allah Ta’ala berfirman, وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian .. “ (QS. An-Nuur: 32) Mereka juga berdalil dengan hadis yang sedang kita bahas saat ini. Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah berkata, “Diksi kata perintah itu zahirnya menunjukkan hukum wajib.” Pendapat kedua, menikah itu sunah. Ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya imam mazhab yang tiga (Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Malik), serta pendapat kedua dari Imam Ahmad. (Lihat Bidayatul Mujtahid, 3: 7; Syarh Fathul Qadir, 3: 187; Al-Mughni, 9: 340; Mughni Al-Muhtaj, 3: 127) Akan tetapi, mereka mengatakan bahwa apabila keinginan (kebutuhan) terhadap menikah itu sangat mendesak, dari sisi dia takut bahwa dirinya akan terjerumus ke dalam zina, maka wajib baginya menikah apabila memiliki kemampuan menanggung biaya nikah. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (QS. Al-Mu’minun: 5-6) Sisi pendalilan dari ayat tersebut adalah bahwa ayat tersebut jelas menunjukkan pujian kepada orang-orang yang menjaga kemaluannya dari perbuatan zina dengan (menyetubuhi) budak-budak yang mereka miliki, sehingga tidak perlu menikah. Seandainya hukum menikah itu wajib, maka orang yang tidak menikah itu tidak akan mendapatkan pujian. Karena orang yang meninggalkan kewajiban itu tidak dipuji, tetapi dicela. Mereka juga berdalil dengan hadis yang sedang kita bahas saat ini. Sisi pendalilannya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan puasa sebagai pengganti menikah, sedangkan puasa dalam kondisi ini tidaklah sampai derajat wajib. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa menikah itu tidak wajib. Amal yang tidak wajib (yaitu puasa) tidak bisa menggantikan amal yang wajib (yaitu menikah). (Lihat Al-Mu’lim, 2: 85; karya Al-Maziri) Syekh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Yang tampak bagiku, wallahu Ta’ala a’lam, adalah wajibnya menikah secara mutlak dengan dua syarat: (1) jika dia memiliki syahwat; dan (2) memiliki kemampuan menanggung biaya nikah, berdasarkan atas hadis ini. Juga karena mencegah perkara haram itu wajib, sedangkan perkara yang menjadi sarana mengerjakan perkara wajib itu juga hukumnya wajib. Betapa bagusnya perkataan Al-Qurthubi, ‘Orang yang mampu (menikah) yang dikhawatirkan terdapat marabahaya (mudarat) pada diri dan agamanya jika tidak menikah, dan marabahaya tersebut tidak akan hilang kecuali dengan menikah, maka tidak ada perbedaan pendapat tentang wajibnya menikah atas dirinya.’ (Al-Mufhim, 4: 82)” (Dikutip dari Minhatul ‘Allam, 7: 174) Lanjut ke bagian 2: Perintah kepada Para Pemuda untuk Menikah (Bag. 2) *** @BA, 28 Syawal 1445/ 7 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 170-177). Tags: menikahpemuda
Daftar Isi Toggle Teks hadis Kandungan hadis Kandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “Wahai sekalian pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah memiliki kemampuan, maka hendaklah dia menikah, karena menikah itu dapat menundukkan pandangan, dan juga lebih bisa menjaga kemaluan. Namun, siapa saja yang belum mampu, hendaklah dia berpuasa, sebab hal itu dapat meredakan nafsunya.” (HR. Bukhari no. 1905, 5065, 5066, dan Muslim no. 1905) Kandungan hadis Kandungan pertama Hadis di atas ditujukan kepada para pemuda. Siapakah yang disebut dengan “pemuda” (asy-syabab) itu? Asy-syabab memiliki makna asal: aktivitas dan semangat. Hal ini karena pada masa itu, seseorang memiliki lebih banyak aktivitas dan semangat dibandingkan periode kehidupan yang lainnya. Kata asy-syabab dimaksudkan untuk orang yang telah baligh hingga mencapai usia tiga puluh tahun. Ada pula yang menyebutkan hingga usia tiga puluh dua atau tiga puluh tiga tahun. Namun, ada pula yang menyebutkan hingga usia empat puluh tahun. (Lihat Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 9: 182; Al-I’lam li Ibnil Mulaqqin, 8: 109; Al-Mu’jam Al-Wajiz, hal. 333) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhususkan menyebutkan para pemuda dalam hadis ini karena masa muda adalah masa bergejolak dan meletupnya syahwat yang mendorong untuk jimak (hubungan badan). Berbeda halnya dengan orang-orang yang sudah setengah baya atau tua renta. Akan tetapi, jika kondisi yang sama juga didapatkan pada orang setengah baya atau tua renta, maka mereka pun tercakup dalam seruan hadis ini, karena memiliki alasan (sebab) yang sama. Kandungan kedua Apakah yang dimaksud dengan “mampu” (al-ba’ah) dalam hadis ini? Para ulama berbeda pendapat tentang makna al-ba’ah, ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah kemampuan untuk berjimak. Sehingga makna hadis tersebut menjadi, “Siapa saja di antara kalian yang mampu berjimak karena sudah memiliki biaya untuk menikah, baik mahar, nafkah, atau tempat tinggal, maka hendaklah dia menikah.” Pendapat kedua mengatakan bahwa maknanya adalah memiliki biaya untuk menikah, baik mahar atau nafkah. (Lihat Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 9: 183; Fathul Bari, 9: 108) Pendapat kedua inilah yang lebih tepat, dengan beberapa alasan berikut ini: Pertama, seruan tersebut ditujukan kepada para pemuda yang memang sudah mampu untuk berjimak. Sehingga kurang sesuai apabila dimaknai bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Siapa saja di antara kalian yang mampu untuk berjimak.” Hal ini karena memang masa muda itu adalah masa di mana seseorang secara umum sudah mampu untuk berjimak. Kedua, di ahir hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Siapa saja yang belum mampu, hendaklah dia berpuasa.” Jika “mampu” tersebut dimaknai dengan mampu berjimak, maka kalimat tersebut menjadi aneh. Karena orang yang belum mampu berjimak (atau belum ada gejolak syahwat untuk berjimak), tidak perlu berpuasa untuk bisa menahan syahwatnya. Ketiga, hadis tersebut juga terdapat dalam Sunan An-Nasa’i dengan lafal, مَنْ كَانَ مِنْكُمْ ذَا طَوْلٍ فَلْيَتَزَوَّجْ “Siapa saja di antara kalian yang memiliki kemampuan, maka hendaknya dia menikah .. “ (HR. An-Nasa’i no. 3206) Oleh karena itu, hadis ini merupakan dorongan dan motivasi kepada para pemuda yang memiliki biaya untuk menikah. Karena menikah itu memiliki maslahat yang besar. Menikah memiliki hikmah yang agung, yaitu bisa menjaganya dari terjerumus ke dalam perkara yang diharamkan. Meskipun demikian, tidak masalah jika “mampu” tersebut dimaknai lebih umum, yaitu mencakup kedua makna tersebut sekaligus: mampu untuk berjimak dan mampu menanggung biaya menikah. (Lihat Al-I’lam, 8: 110) Baca juga: Menikah adalah Sunah Nabi Kandungan ketiga Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menikah ketika faktor pendorongnya terpenuhi dan tidak ada faktor penghalang, menjadi dua pendapat: Pendapat pertama, hukum menikah adalah wajib. Ini adalah pendapat Dawud bin ‘Ali, Ibnu Hazm, Abu ‘Awanah (salah satu ulama Syafi’iyyah), dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. (Lihat Musnad Abu ‘Awanah, 3: 5; Al-Mughni, 9: 340; Al-Muhalla, 9: 440) Mereka berdalil dengan perintah untuk menikah, seperti firman Allah Ta’ala, فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء “Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi … “ (QS. An-Nisa’: 3) Allah Ta’ala berfirman, وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian .. “ (QS. An-Nuur: 32) Mereka juga berdalil dengan hadis yang sedang kita bahas saat ini. Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah berkata, “Diksi kata perintah itu zahirnya menunjukkan hukum wajib.” Pendapat kedua, menikah itu sunah. Ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya imam mazhab yang tiga (Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Malik), serta pendapat kedua dari Imam Ahmad. (Lihat Bidayatul Mujtahid, 3: 7; Syarh Fathul Qadir, 3: 187; Al-Mughni, 9: 340; Mughni Al-Muhtaj, 3: 127) Akan tetapi, mereka mengatakan bahwa apabila keinginan (kebutuhan) terhadap menikah itu sangat mendesak, dari sisi dia takut bahwa dirinya akan terjerumus ke dalam zina, maka wajib baginya menikah apabila memiliki kemampuan menanggung biaya nikah. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (QS. Al-Mu’minun: 5-6) Sisi pendalilan dari ayat tersebut adalah bahwa ayat tersebut jelas menunjukkan pujian kepada orang-orang yang menjaga kemaluannya dari perbuatan zina dengan (menyetubuhi) budak-budak yang mereka miliki, sehingga tidak perlu menikah. Seandainya hukum menikah itu wajib, maka orang yang tidak menikah itu tidak akan mendapatkan pujian. Karena orang yang meninggalkan kewajiban itu tidak dipuji, tetapi dicela. Mereka juga berdalil dengan hadis yang sedang kita bahas saat ini. Sisi pendalilannya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan puasa sebagai pengganti menikah, sedangkan puasa dalam kondisi ini tidaklah sampai derajat wajib. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa menikah itu tidak wajib. Amal yang tidak wajib (yaitu puasa) tidak bisa menggantikan amal yang wajib (yaitu menikah). (Lihat Al-Mu’lim, 2: 85; karya Al-Maziri) Syekh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Yang tampak bagiku, wallahu Ta’ala a’lam, adalah wajibnya menikah secara mutlak dengan dua syarat: (1) jika dia memiliki syahwat; dan (2) memiliki kemampuan menanggung biaya nikah, berdasarkan atas hadis ini. Juga karena mencegah perkara haram itu wajib, sedangkan perkara yang menjadi sarana mengerjakan perkara wajib itu juga hukumnya wajib. Betapa bagusnya perkataan Al-Qurthubi, ‘Orang yang mampu (menikah) yang dikhawatirkan terdapat marabahaya (mudarat) pada diri dan agamanya jika tidak menikah, dan marabahaya tersebut tidak akan hilang kecuali dengan menikah, maka tidak ada perbedaan pendapat tentang wajibnya menikah atas dirinya.’ (Al-Mufhim, 4: 82)” (Dikutip dari Minhatul ‘Allam, 7: 174) Lanjut ke bagian 2: Perintah kepada Para Pemuda untuk Menikah (Bag. 2) *** @BA, 28 Syawal 1445/ 7 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 170-177). Tags: menikahpemuda


Daftar Isi Toggle Teks hadis Kandungan hadis Kandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “Wahai sekalian pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah memiliki kemampuan, maka hendaklah dia menikah, karena menikah itu dapat menundukkan pandangan, dan juga lebih bisa menjaga kemaluan. Namun, siapa saja yang belum mampu, hendaklah dia berpuasa, sebab hal itu dapat meredakan nafsunya.” (HR. Bukhari no. 1905, 5065, 5066, dan Muslim no. 1905) Kandungan hadis Kandungan pertama Hadis di atas ditujukan kepada para pemuda. Siapakah yang disebut dengan “pemuda” (asy-syabab) itu? Asy-syabab memiliki makna asal: aktivitas dan semangat. Hal ini karena pada masa itu, seseorang memiliki lebih banyak aktivitas dan semangat dibandingkan periode kehidupan yang lainnya. Kata asy-syabab dimaksudkan untuk orang yang telah baligh hingga mencapai usia tiga puluh tahun. Ada pula yang menyebutkan hingga usia tiga puluh dua atau tiga puluh tiga tahun. Namun, ada pula yang menyebutkan hingga usia empat puluh tahun. (Lihat Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 9: 182; Al-I’lam li Ibnil Mulaqqin, 8: 109; Al-Mu’jam Al-Wajiz, hal. 333) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhususkan menyebutkan para pemuda dalam hadis ini karena masa muda adalah masa bergejolak dan meletupnya syahwat yang mendorong untuk jimak (hubungan badan). Berbeda halnya dengan orang-orang yang sudah setengah baya atau tua renta. Akan tetapi, jika kondisi yang sama juga didapatkan pada orang setengah baya atau tua renta, maka mereka pun tercakup dalam seruan hadis ini, karena memiliki alasan (sebab) yang sama. Kandungan kedua Apakah yang dimaksud dengan “mampu” (al-ba’ah) dalam hadis ini? Para ulama berbeda pendapat tentang makna al-ba’ah, ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah kemampuan untuk berjimak. Sehingga makna hadis tersebut menjadi, “Siapa saja di antara kalian yang mampu berjimak karena sudah memiliki biaya untuk menikah, baik mahar, nafkah, atau tempat tinggal, maka hendaklah dia menikah.” Pendapat kedua mengatakan bahwa maknanya adalah memiliki biaya untuk menikah, baik mahar atau nafkah. (Lihat Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 9: 183; Fathul Bari, 9: 108) Pendapat kedua inilah yang lebih tepat, dengan beberapa alasan berikut ini: Pertama, seruan tersebut ditujukan kepada para pemuda yang memang sudah mampu untuk berjimak. Sehingga kurang sesuai apabila dimaknai bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Siapa saja di antara kalian yang mampu untuk berjimak.” Hal ini karena memang masa muda itu adalah masa di mana seseorang secara umum sudah mampu untuk berjimak. Kedua, di ahir hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Siapa saja yang belum mampu, hendaklah dia berpuasa.” Jika “mampu” tersebut dimaknai dengan mampu berjimak, maka kalimat tersebut menjadi aneh. Karena orang yang belum mampu berjimak (atau belum ada gejolak syahwat untuk berjimak), tidak perlu berpuasa untuk bisa menahan syahwatnya. Ketiga, hadis tersebut juga terdapat dalam Sunan An-Nasa’i dengan lafal, مَنْ كَانَ مِنْكُمْ ذَا طَوْلٍ فَلْيَتَزَوَّجْ “Siapa saja di antara kalian yang memiliki kemampuan, maka hendaknya dia menikah .. “ (HR. An-Nasa’i no. 3206) Oleh karena itu, hadis ini merupakan dorongan dan motivasi kepada para pemuda yang memiliki biaya untuk menikah. Karena menikah itu memiliki maslahat yang besar. Menikah memiliki hikmah yang agung, yaitu bisa menjaganya dari terjerumus ke dalam perkara yang diharamkan. Meskipun demikian, tidak masalah jika “mampu” tersebut dimaknai lebih umum, yaitu mencakup kedua makna tersebut sekaligus: mampu untuk berjimak dan mampu menanggung biaya menikah. (Lihat Al-I’lam, 8: 110) Baca juga: Menikah adalah Sunah Nabi Kandungan ketiga Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menikah ketika faktor pendorongnya terpenuhi dan tidak ada faktor penghalang, menjadi dua pendapat: Pendapat pertama, hukum menikah adalah wajib. Ini adalah pendapat Dawud bin ‘Ali, Ibnu Hazm, Abu ‘Awanah (salah satu ulama Syafi’iyyah), dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. (Lihat Musnad Abu ‘Awanah, 3: 5; Al-Mughni, 9: 340; Al-Muhalla, 9: 440) Mereka berdalil dengan perintah untuk menikah, seperti firman Allah Ta’ala, فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء “Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi … “ (QS. An-Nisa’: 3) Allah Ta’ala berfirman, وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian .. “ (QS. An-Nuur: 32) Mereka juga berdalil dengan hadis yang sedang kita bahas saat ini. Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah berkata, “Diksi kata perintah itu zahirnya menunjukkan hukum wajib.” Pendapat kedua, menikah itu sunah. Ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya imam mazhab yang tiga (Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Malik), serta pendapat kedua dari Imam Ahmad. (Lihat Bidayatul Mujtahid, 3: 7; Syarh Fathul Qadir, 3: 187; Al-Mughni, 9: 340; Mughni Al-Muhtaj, 3: 127) Akan tetapi, mereka mengatakan bahwa apabila keinginan (kebutuhan) terhadap menikah itu sangat mendesak, dari sisi dia takut bahwa dirinya akan terjerumus ke dalam zina, maka wajib baginya menikah apabila memiliki kemampuan menanggung biaya nikah. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (QS. Al-Mu’minun: 5-6) Sisi pendalilan dari ayat tersebut adalah bahwa ayat tersebut jelas menunjukkan pujian kepada orang-orang yang menjaga kemaluannya dari perbuatan zina dengan (menyetubuhi) budak-budak yang mereka miliki, sehingga tidak perlu menikah. Seandainya hukum menikah itu wajib, maka orang yang tidak menikah itu tidak akan mendapatkan pujian. Karena orang yang meninggalkan kewajiban itu tidak dipuji, tetapi dicela. Mereka juga berdalil dengan hadis yang sedang kita bahas saat ini. Sisi pendalilannya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan puasa sebagai pengganti menikah, sedangkan puasa dalam kondisi ini tidaklah sampai derajat wajib. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa menikah itu tidak wajib. Amal yang tidak wajib (yaitu puasa) tidak bisa menggantikan amal yang wajib (yaitu menikah). (Lihat Al-Mu’lim, 2: 85; karya Al-Maziri) Syekh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Yang tampak bagiku, wallahu Ta’ala a’lam, adalah wajibnya menikah secara mutlak dengan dua syarat: (1) jika dia memiliki syahwat; dan (2) memiliki kemampuan menanggung biaya nikah, berdasarkan atas hadis ini. Juga karena mencegah perkara haram itu wajib, sedangkan perkara yang menjadi sarana mengerjakan perkara wajib itu juga hukumnya wajib. Betapa bagusnya perkataan Al-Qurthubi, ‘Orang yang mampu (menikah) yang dikhawatirkan terdapat marabahaya (mudarat) pada diri dan agamanya jika tidak menikah, dan marabahaya tersebut tidak akan hilang kecuali dengan menikah, maka tidak ada perbedaan pendapat tentang wajibnya menikah atas dirinya.’ (Al-Mufhim, 4: 82)” (Dikutip dari Minhatul ‘Allam, 7: 174) Lanjut ke bagian 2: Perintah kepada Para Pemuda untuk Menikah (Bag. 2) *** @BA, 28 Syawal 1445/ 7 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 170-177). Tags: menikahpemuda

Ketika Cinta Ternodai

Daftar Isi Toggle Apa itu cinta?Cinta yang bersifat ibadahCinta yang bersifat tabiatNoda-noda cintaSyirik cintaZina cintaCinta tidak karena AllahMenomorduakan cinta kepada Allah Berbicara tentang cinta, maka cinta itu adalah suatu anugerah dari Allah Ta’ala. Cinta asalnya adalah suci dan merupakan ibadah yang sangat mulia. Cinta dalam Islam menjadi pondasi dan roh dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Jika seseorang belum mencintai Allah, maka ibadahnya hambar, bak jasad yang tak bernyawa dan menjadi bangkai hidup. Dengan adanya cinta, beratnya seorang ibu mengandung, melahirkan, dan merawat seorang anak, tergantikan dengan rasa bahagia. Cintanya kepada seorang anak juga mengalahkan lelahnya seorang Ayah membanting tulang siang dan malam untuk mencari nafkah. Bahkan, seringkali seorang pemuda rela menempuh segala cara tatkala jatuh hati pada wanita yang ia idamkan. Cinta seperti cahaya. Orang yang tidak mempunyai cinta, hidupnya akan terasa gelap. Cinta merupakan obat. Tanpa cinta, ia akan mudah rapuh dan sakit. Sehingga, orang yang tidak mempunyai rasa cinta, ia tidak akan menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Apa itu cinta? Cinta, sebuah perasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, namun kita semua pernah merasakannya. Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas. Mendefinisikan cinta hanya akan membuatnya kabur dan samar. Oleh karena itu, definisi cinta adalah adanya cinta itu sendiri. (Lihat Madarijus Salikin, 3: 10) Meskipun sulit didefinisikan, cinta menjadi alasan seseorang melakukan hal-hal besar dalam hidupnya. Bahkan, rela berjuang dan berkorban dengan alasan cinta. Ada sebuah ungkapan, من أحب أكثر من ذكره “Barangsiapa yang mencintai, pasti akan banyak menyebut-nyebutnya/mengingatnya.” Cinta yang bersifat ibadah Cinta yang bersifat ibadah adalah cinta yang diiringi pengagungan, penghambaan, perendahan diri, dan ketaatan yang mutlak kepada Allah. Cinta kepada Allah adalah puncak tertinggi dari segala cinta. Sebagian ulama menjelaskan bahwa ibadah itu harus dilandasi oleh tiga hal, yaitu: cinta (hubb), takut (khauf), dan harap (raja’). Hal ini laksana seekor burung, di mana rasa takut dan harap adalah kedua sayapnya, dan rasa cinta adalah kepalanya. Jadi, tidak mungkin seekor burung dapat hidup apalagi terbang tanpa adanya kepala. Oleh karena itu, kita harus senantiasa menghadirkan rasa cinta kepada Allah dalam beribadah, agar ibadah yang kita lakukan benar-benar hidup dan khusyuk kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ ۗ “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al Baqarah: 165) Begitu pula, kecintaan kepada Rasul shalallahu ‘alaihi wassalam yang merupakan ibadah dan kewajiban bagi setiap insan yang beriman. Seseorang belum bisa dikatakan beriman hingga ia mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya terhadap siapa pun, termasuk diri sendiri dan keluarganya. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ “Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga menjadikan aku lebih ia cintai dari orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.“ (HR. Bukhari) Cinta yang bersifat tabiat Cinta yang bersifat tabiat ini merupakan cinta bawaan dari lahir dan sifatnya manusiawi. Setiap manusia yang normal pasti memiliki jenis cinta ini, karena memang Allah menciptakan manusia dengan kecenderungan cinta kepada hal-hal duniawi. Allah Ta’ala berfirman, زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلْبَنِينَ وَٱلْقَنَٰطِيرِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلْخَيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلْأَنْعَٰمِ وَٱلْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan (kendaraan), binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Al Imran: 14) Cinta tabiat ini mencakup juga cinta terhadap lawan jenis, cinta karena penghormatan (anak hormat kepada orang tua dan guru), cinta karena belas kasihan dan rasa sayang sebagaimana cinta ibu kepada anaknya, cinta karena pertemanan, karena satu suku, dan yang lainnya. Maka, tidak mengapa mencintai perkara-perkara duniawi, asalkan tidak berlebihan, tidak melalaikan kewajiban agama atau bertentangan dengan syariat Islam, tidak membawa kepada kemaksiatan, dan tidak mengalahkan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Cinta yang sifatnya tabiat (duniawi) juga dapat menjadikan salah satu sarana untuk memperoleh cinta dari Allah. Semisal anak yang mencintai orang tuanya dengan cara berbakti; laki-laki yang mencintai seorang wanita dan menjalankan syariat Islam dengan menikahinya. Oleh karena itu, cinta yang berlebihan kepada dunia merupakan sumber dari segala keburukan, sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ “Cinta dunia adalah biang semua kesalahan.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman.) Baca juga: Tidak Mengenal Allah, Bagaimana Bisa Mencintai-Nya? Noda-noda cinta Cinta yang merupakan karunia dari Allah tersebut sayangnya sering dizalimi oleh banyak pihak. Hal ini karena tidak sedikit kita jumpai bahwa tatkala seseorang mendengar kata cinta, maka yang muncul di benaknya adalah cinta kepada lawan jenis (syahwat). Sehingga, banyak orang terjerumus kepada zina dengan berbagai ragam, model, dan rupanya. Selain itu, kesucian cinta juga ternodai oleh noda-noda yang disematkan para manusia. Ada beberapa faktor yang dapat menodai cinta kita kepada Allah, yang membuat hati kita tidak bisa menyelam ke dalam Samudra Cinta Ilahi, antara lain: Syirik cinta Syirik cinta adalah tatkala seseorang mencintai selain Allah dengan cinta yang bersifat ibadah (pengagungan, penghambaan, perendahan diri, dan ketaatan yang mutlak). Ia mencintai seseorang atau diri sendiri melebihi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, ada yang sampai beranggapan bahwa ada selain dari Allah yang dapat mendatangkan rezeki, manfaat, atau kebaikan. Contoh lain adalah perkataan berlebihan yang sering diucapkan oleh orang yang sedang jatuh hati, seperti “Tidak ada yang lebih aku cintai selain dirimu.” atau “Tidak ada yang bisa melebihi kecintaanku kepadamu.” atau “Hatiku telah dipenuhi oleh rasa cinta kepadamu, sehingga tiada tempat lagi bagi hati ini untuk mencintai selain dirimu.” Allah Ta’ala berfirman, وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ ۗ “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai  tandingan-tandingan. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al Baqarah: 165) Zina cinta Orang yang terlanjur cinta dan dimabuk asmara seringkali menyebabkan dirinya melakukan perbuatan dosa dan maksiat. Awalnya ia melakukan maksiat dari khalwat (berduaan di tempat sepi), kemudian saling menatap dengan syahwat, saling menyentuh, hingga akhirnya berujung kepada perbuatan zina. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا “Dan janganlah kamu mendekati zina! Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isra’: 32) Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, إن اللهَ كتب على ابنِ آدمَ حظَّه من الزنا ، أدرك ذلك لا محالةَ ، فزنا العينِ النظرُ ، وزنا اللسانِ المنطقُ ، والنفسُ تتمنى وتشتهي ، والفرجُ يصدقُ ذلك كلَّه أو يكذبُه “Sesungguhnya Allah telah menakdirkan bahwa pada setiap anak Adam memiliki bagian dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari. Zinanya mata adalah penglihatan, zinanya lisan adalah ucapan, sedangkan nafsu (zina hati) adalah berkeinginan dan berangan-angan, dan kemaluanlah yang membenarkan atau mengingkarinya.” (HR. Bukhari) Ketika mecintai seseorang, jangan sampai cinta yang suci tersebut menjadi nisbi. Jangan sampai kecintaan tersebut melanggar batasan-batasan syariat yang Allah tetapkan. Jangan sampai anugerah cinta menjadi murka. Cinta tidak karena Allah Di antara bentuk bukti cinta seorang hamba karena Allah adalah mencintai manakala kita mencintai apa yang dicintai oleh Allah (segala macam ibadah seperti salat, zikir, zakat, dan sebagainya) dan menyayangi siapa yang disayangi oleh Allah (kaum mukminin, orang saleh, dan semisalnya). Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ اْلإِيْمَانَ. “Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena Allah, maka sungguh telah sempurna imannya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Ia mengatakan, “Hadis hasan.”) Dalam riwayat lain, أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ الْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ “Tali iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Tirmidzi) Menomorduakan cinta kepada Allah Seseorang boleh mencintai selain Allah, tetapi tidak boleh sampai mengalahkan kecintaannya kepada Allah. Cinta kepada Allah harus di atas segala cinta. Setelah itu, adalah cinta kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَٰنُكُمْ وَأَزْوَٰجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَٰلٌ ٱقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍ فِى سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُوا۟ حَتَّىٰ يَأْتِىَ ٱللَّهُ بِأَمْرِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْفَٰسِقِينَ “Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya (azab).’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24) Baca juga: Makna Allah Mencintai Keindahan *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari rekaman kajian Islam ilmiah dengan judul “Noda-Noda Cinta” oleh Ustaz Abdullah Zaen, Lc. M.A. dengan berbagai tambahan faedah. Tags: cinta

Ketika Cinta Ternodai

Daftar Isi Toggle Apa itu cinta?Cinta yang bersifat ibadahCinta yang bersifat tabiatNoda-noda cintaSyirik cintaZina cintaCinta tidak karena AllahMenomorduakan cinta kepada Allah Berbicara tentang cinta, maka cinta itu adalah suatu anugerah dari Allah Ta’ala. Cinta asalnya adalah suci dan merupakan ibadah yang sangat mulia. Cinta dalam Islam menjadi pondasi dan roh dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Jika seseorang belum mencintai Allah, maka ibadahnya hambar, bak jasad yang tak bernyawa dan menjadi bangkai hidup. Dengan adanya cinta, beratnya seorang ibu mengandung, melahirkan, dan merawat seorang anak, tergantikan dengan rasa bahagia. Cintanya kepada seorang anak juga mengalahkan lelahnya seorang Ayah membanting tulang siang dan malam untuk mencari nafkah. Bahkan, seringkali seorang pemuda rela menempuh segala cara tatkala jatuh hati pada wanita yang ia idamkan. Cinta seperti cahaya. Orang yang tidak mempunyai cinta, hidupnya akan terasa gelap. Cinta merupakan obat. Tanpa cinta, ia akan mudah rapuh dan sakit. Sehingga, orang yang tidak mempunyai rasa cinta, ia tidak akan menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Apa itu cinta? Cinta, sebuah perasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, namun kita semua pernah merasakannya. Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas. Mendefinisikan cinta hanya akan membuatnya kabur dan samar. Oleh karena itu, definisi cinta adalah adanya cinta itu sendiri. (Lihat Madarijus Salikin, 3: 10) Meskipun sulit didefinisikan, cinta menjadi alasan seseorang melakukan hal-hal besar dalam hidupnya. Bahkan, rela berjuang dan berkorban dengan alasan cinta. Ada sebuah ungkapan, من أحب أكثر من ذكره “Barangsiapa yang mencintai, pasti akan banyak menyebut-nyebutnya/mengingatnya.” Cinta yang bersifat ibadah Cinta yang bersifat ibadah adalah cinta yang diiringi pengagungan, penghambaan, perendahan diri, dan ketaatan yang mutlak kepada Allah. Cinta kepada Allah adalah puncak tertinggi dari segala cinta. Sebagian ulama menjelaskan bahwa ibadah itu harus dilandasi oleh tiga hal, yaitu: cinta (hubb), takut (khauf), dan harap (raja’). Hal ini laksana seekor burung, di mana rasa takut dan harap adalah kedua sayapnya, dan rasa cinta adalah kepalanya. Jadi, tidak mungkin seekor burung dapat hidup apalagi terbang tanpa adanya kepala. Oleh karena itu, kita harus senantiasa menghadirkan rasa cinta kepada Allah dalam beribadah, agar ibadah yang kita lakukan benar-benar hidup dan khusyuk kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ ۗ “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al Baqarah: 165) Begitu pula, kecintaan kepada Rasul shalallahu ‘alaihi wassalam yang merupakan ibadah dan kewajiban bagi setiap insan yang beriman. Seseorang belum bisa dikatakan beriman hingga ia mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya terhadap siapa pun, termasuk diri sendiri dan keluarganya. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ “Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga menjadikan aku lebih ia cintai dari orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.“ (HR. Bukhari) Cinta yang bersifat tabiat Cinta yang bersifat tabiat ini merupakan cinta bawaan dari lahir dan sifatnya manusiawi. Setiap manusia yang normal pasti memiliki jenis cinta ini, karena memang Allah menciptakan manusia dengan kecenderungan cinta kepada hal-hal duniawi. Allah Ta’ala berfirman, زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلْبَنِينَ وَٱلْقَنَٰطِيرِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلْخَيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلْأَنْعَٰمِ وَٱلْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan (kendaraan), binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Al Imran: 14) Cinta tabiat ini mencakup juga cinta terhadap lawan jenis, cinta karena penghormatan (anak hormat kepada orang tua dan guru), cinta karena belas kasihan dan rasa sayang sebagaimana cinta ibu kepada anaknya, cinta karena pertemanan, karena satu suku, dan yang lainnya. Maka, tidak mengapa mencintai perkara-perkara duniawi, asalkan tidak berlebihan, tidak melalaikan kewajiban agama atau bertentangan dengan syariat Islam, tidak membawa kepada kemaksiatan, dan tidak mengalahkan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Cinta yang sifatnya tabiat (duniawi) juga dapat menjadikan salah satu sarana untuk memperoleh cinta dari Allah. Semisal anak yang mencintai orang tuanya dengan cara berbakti; laki-laki yang mencintai seorang wanita dan menjalankan syariat Islam dengan menikahinya. Oleh karena itu, cinta yang berlebihan kepada dunia merupakan sumber dari segala keburukan, sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ “Cinta dunia adalah biang semua kesalahan.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman.) Baca juga: Tidak Mengenal Allah, Bagaimana Bisa Mencintai-Nya? Noda-noda cinta Cinta yang merupakan karunia dari Allah tersebut sayangnya sering dizalimi oleh banyak pihak. Hal ini karena tidak sedikit kita jumpai bahwa tatkala seseorang mendengar kata cinta, maka yang muncul di benaknya adalah cinta kepada lawan jenis (syahwat). Sehingga, banyak orang terjerumus kepada zina dengan berbagai ragam, model, dan rupanya. Selain itu, kesucian cinta juga ternodai oleh noda-noda yang disematkan para manusia. Ada beberapa faktor yang dapat menodai cinta kita kepada Allah, yang membuat hati kita tidak bisa menyelam ke dalam Samudra Cinta Ilahi, antara lain: Syirik cinta Syirik cinta adalah tatkala seseorang mencintai selain Allah dengan cinta yang bersifat ibadah (pengagungan, penghambaan, perendahan diri, dan ketaatan yang mutlak). Ia mencintai seseorang atau diri sendiri melebihi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, ada yang sampai beranggapan bahwa ada selain dari Allah yang dapat mendatangkan rezeki, manfaat, atau kebaikan. Contoh lain adalah perkataan berlebihan yang sering diucapkan oleh orang yang sedang jatuh hati, seperti “Tidak ada yang lebih aku cintai selain dirimu.” atau “Tidak ada yang bisa melebihi kecintaanku kepadamu.” atau “Hatiku telah dipenuhi oleh rasa cinta kepadamu, sehingga tiada tempat lagi bagi hati ini untuk mencintai selain dirimu.” Allah Ta’ala berfirman, وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ ۗ “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai  tandingan-tandingan. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al Baqarah: 165) Zina cinta Orang yang terlanjur cinta dan dimabuk asmara seringkali menyebabkan dirinya melakukan perbuatan dosa dan maksiat. Awalnya ia melakukan maksiat dari khalwat (berduaan di tempat sepi), kemudian saling menatap dengan syahwat, saling menyentuh, hingga akhirnya berujung kepada perbuatan zina. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا “Dan janganlah kamu mendekati zina! Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isra’: 32) Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, إن اللهَ كتب على ابنِ آدمَ حظَّه من الزنا ، أدرك ذلك لا محالةَ ، فزنا العينِ النظرُ ، وزنا اللسانِ المنطقُ ، والنفسُ تتمنى وتشتهي ، والفرجُ يصدقُ ذلك كلَّه أو يكذبُه “Sesungguhnya Allah telah menakdirkan bahwa pada setiap anak Adam memiliki bagian dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari. Zinanya mata adalah penglihatan, zinanya lisan adalah ucapan, sedangkan nafsu (zina hati) adalah berkeinginan dan berangan-angan, dan kemaluanlah yang membenarkan atau mengingkarinya.” (HR. Bukhari) Ketika mecintai seseorang, jangan sampai cinta yang suci tersebut menjadi nisbi. Jangan sampai kecintaan tersebut melanggar batasan-batasan syariat yang Allah tetapkan. Jangan sampai anugerah cinta menjadi murka. Cinta tidak karena Allah Di antara bentuk bukti cinta seorang hamba karena Allah adalah mencintai manakala kita mencintai apa yang dicintai oleh Allah (segala macam ibadah seperti salat, zikir, zakat, dan sebagainya) dan menyayangi siapa yang disayangi oleh Allah (kaum mukminin, orang saleh, dan semisalnya). Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ اْلإِيْمَانَ. “Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena Allah, maka sungguh telah sempurna imannya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Ia mengatakan, “Hadis hasan.”) Dalam riwayat lain, أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ الْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ “Tali iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Tirmidzi) Menomorduakan cinta kepada Allah Seseorang boleh mencintai selain Allah, tetapi tidak boleh sampai mengalahkan kecintaannya kepada Allah. Cinta kepada Allah harus di atas segala cinta. Setelah itu, adalah cinta kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَٰنُكُمْ وَأَزْوَٰجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَٰلٌ ٱقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍ فِى سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُوا۟ حَتَّىٰ يَأْتِىَ ٱللَّهُ بِأَمْرِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْفَٰسِقِينَ “Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya (azab).’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24) Baca juga: Makna Allah Mencintai Keindahan *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari rekaman kajian Islam ilmiah dengan judul “Noda-Noda Cinta” oleh Ustaz Abdullah Zaen, Lc. M.A. dengan berbagai tambahan faedah. Tags: cinta
Daftar Isi Toggle Apa itu cinta?Cinta yang bersifat ibadahCinta yang bersifat tabiatNoda-noda cintaSyirik cintaZina cintaCinta tidak karena AllahMenomorduakan cinta kepada Allah Berbicara tentang cinta, maka cinta itu adalah suatu anugerah dari Allah Ta’ala. Cinta asalnya adalah suci dan merupakan ibadah yang sangat mulia. Cinta dalam Islam menjadi pondasi dan roh dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Jika seseorang belum mencintai Allah, maka ibadahnya hambar, bak jasad yang tak bernyawa dan menjadi bangkai hidup. Dengan adanya cinta, beratnya seorang ibu mengandung, melahirkan, dan merawat seorang anak, tergantikan dengan rasa bahagia. Cintanya kepada seorang anak juga mengalahkan lelahnya seorang Ayah membanting tulang siang dan malam untuk mencari nafkah. Bahkan, seringkali seorang pemuda rela menempuh segala cara tatkala jatuh hati pada wanita yang ia idamkan. Cinta seperti cahaya. Orang yang tidak mempunyai cinta, hidupnya akan terasa gelap. Cinta merupakan obat. Tanpa cinta, ia akan mudah rapuh dan sakit. Sehingga, orang yang tidak mempunyai rasa cinta, ia tidak akan menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Apa itu cinta? Cinta, sebuah perasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, namun kita semua pernah merasakannya. Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas. Mendefinisikan cinta hanya akan membuatnya kabur dan samar. Oleh karena itu, definisi cinta adalah adanya cinta itu sendiri. (Lihat Madarijus Salikin, 3: 10) Meskipun sulit didefinisikan, cinta menjadi alasan seseorang melakukan hal-hal besar dalam hidupnya. Bahkan, rela berjuang dan berkorban dengan alasan cinta. Ada sebuah ungkapan, من أحب أكثر من ذكره “Barangsiapa yang mencintai, pasti akan banyak menyebut-nyebutnya/mengingatnya.” Cinta yang bersifat ibadah Cinta yang bersifat ibadah adalah cinta yang diiringi pengagungan, penghambaan, perendahan diri, dan ketaatan yang mutlak kepada Allah. Cinta kepada Allah adalah puncak tertinggi dari segala cinta. Sebagian ulama menjelaskan bahwa ibadah itu harus dilandasi oleh tiga hal, yaitu: cinta (hubb), takut (khauf), dan harap (raja’). Hal ini laksana seekor burung, di mana rasa takut dan harap adalah kedua sayapnya, dan rasa cinta adalah kepalanya. Jadi, tidak mungkin seekor burung dapat hidup apalagi terbang tanpa adanya kepala. Oleh karena itu, kita harus senantiasa menghadirkan rasa cinta kepada Allah dalam beribadah, agar ibadah yang kita lakukan benar-benar hidup dan khusyuk kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ ۗ “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al Baqarah: 165) Begitu pula, kecintaan kepada Rasul shalallahu ‘alaihi wassalam yang merupakan ibadah dan kewajiban bagi setiap insan yang beriman. Seseorang belum bisa dikatakan beriman hingga ia mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya terhadap siapa pun, termasuk diri sendiri dan keluarganya. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ “Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga menjadikan aku lebih ia cintai dari orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.“ (HR. Bukhari) Cinta yang bersifat tabiat Cinta yang bersifat tabiat ini merupakan cinta bawaan dari lahir dan sifatnya manusiawi. Setiap manusia yang normal pasti memiliki jenis cinta ini, karena memang Allah menciptakan manusia dengan kecenderungan cinta kepada hal-hal duniawi. Allah Ta’ala berfirman, زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلْبَنِينَ وَٱلْقَنَٰطِيرِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلْخَيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلْأَنْعَٰمِ وَٱلْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan (kendaraan), binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Al Imran: 14) Cinta tabiat ini mencakup juga cinta terhadap lawan jenis, cinta karena penghormatan (anak hormat kepada orang tua dan guru), cinta karena belas kasihan dan rasa sayang sebagaimana cinta ibu kepada anaknya, cinta karena pertemanan, karena satu suku, dan yang lainnya. Maka, tidak mengapa mencintai perkara-perkara duniawi, asalkan tidak berlebihan, tidak melalaikan kewajiban agama atau bertentangan dengan syariat Islam, tidak membawa kepada kemaksiatan, dan tidak mengalahkan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Cinta yang sifatnya tabiat (duniawi) juga dapat menjadikan salah satu sarana untuk memperoleh cinta dari Allah. Semisal anak yang mencintai orang tuanya dengan cara berbakti; laki-laki yang mencintai seorang wanita dan menjalankan syariat Islam dengan menikahinya. Oleh karena itu, cinta yang berlebihan kepada dunia merupakan sumber dari segala keburukan, sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ “Cinta dunia adalah biang semua kesalahan.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman.) Baca juga: Tidak Mengenal Allah, Bagaimana Bisa Mencintai-Nya? Noda-noda cinta Cinta yang merupakan karunia dari Allah tersebut sayangnya sering dizalimi oleh banyak pihak. Hal ini karena tidak sedikit kita jumpai bahwa tatkala seseorang mendengar kata cinta, maka yang muncul di benaknya adalah cinta kepada lawan jenis (syahwat). Sehingga, banyak orang terjerumus kepada zina dengan berbagai ragam, model, dan rupanya. Selain itu, kesucian cinta juga ternodai oleh noda-noda yang disematkan para manusia. Ada beberapa faktor yang dapat menodai cinta kita kepada Allah, yang membuat hati kita tidak bisa menyelam ke dalam Samudra Cinta Ilahi, antara lain: Syirik cinta Syirik cinta adalah tatkala seseorang mencintai selain Allah dengan cinta yang bersifat ibadah (pengagungan, penghambaan, perendahan diri, dan ketaatan yang mutlak). Ia mencintai seseorang atau diri sendiri melebihi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, ada yang sampai beranggapan bahwa ada selain dari Allah yang dapat mendatangkan rezeki, manfaat, atau kebaikan. Contoh lain adalah perkataan berlebihan yang sering diucapkan oleh orang yang sedang jatuh hati, seperti “Tidak ada yang lebih aku cintai selain dirimu.” atau “Tidak ada yang bisa melebihi kecintaanku kepadamu.” atau “Hatiku telah dipenuhi oleh rasa cinta kepadamu, sehingga tiada tempat lagi bagi hati ini untuk mencintai selain dirimu.” Allah Ta’ala berfirman, وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ ۗ “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai  tandingan-tandingan. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al Baqarah: 165) Zina cinta Orang yang terlanjur cinta dan dimabuk asmara seringkali menyebabkan dirinya melakukan perbuatan dosa dan maksiat. Awalnya ia melakukan maksiat dari khalwat (berduaan di tempat sepi), kemudian saling menatap dengan syahwat, saling menyentuh, hingga akhirnya berujung kepada perbuatan zina. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا “Dan janganlah kamu mendekati zina! Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isra’: 32) Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, إن اللهَ كتب على ابنِ آدمَ حظَّه من الزنا ، أدرك ذلك لا محالةَ ، فزنا العينِ النظرُ ، وزنا اللسانِ المنطقُ ، والنفسُ تتمنى وتشتهي ، والفرجُ يصدقُ ذلك كلَّه أو يكذبُه “Sesungguhnya Allah telah menakdirkan bahwa pada setiap anak Adam memiliki bagian dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari. Zinanya mata adalah penglihatan, zinanya lisan adalah ucapan, sedangkan nafsu (zina hati) adalah berkeinginan dan berangan-angan, dan kemaluanlah yang membenarkan atau mengingkarinya.” (HR. Bukhari) Ketika mecintai seseorang, jangan sampai cinta yang suci tersebut menjadi nisbi. Jangan sampai kecintaan tersebut melanggar batasan-batasan syariat yang Allah tetapkan. Jangan sampai anugerah cinta menjadi murka. Cinta tidak karena Allah Di antara bentuk bukti cinta seorang hamba karena Allah adalah mencintai manakala kita mencintai apa yang dicintai oleh Allah (segala macam ibadah seperti salat, zikir, zakat, dan sebagainya) dan menyayangi siapa yang disayangi oleh Allah (kaum mukminin, orang saleh, dan semisalnya). Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ اْلإِيْمَانَ. “Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena Allah, maka sungguh telah sempurna imannya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Ia mengatakan, “Hadis hasan.”) Dalam riwayat lain, أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ الْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ “Tali iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Tirmidzi) Menomorduakan cinta kepada Allah Seseorang boleh mencintai selain Allah, tetapi tidak boleh sampai mengalahkan kecintaannya kepada Allah. Cinta kepada Allah harus di atas segala cinta. Setelah itu, adalah cinta kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَٰنُكُمْ وَأَزْوَٰجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَٰلٌ ٱقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍ فِى سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُوا۟ حَتَّىٰ يَأْتِىَ ٱللَّهُ بِأَمْرِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْفَٰسِقِينَ “Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya (azab).’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24) Baca juga: Makna Allah Mencintai Keindahan *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari rekaman kajian Islam ilmiah dengan judul “Noda-Noda Cinta” oleh Ustaz Abdullah Zaen, Lc. M.A. dengan berbagai tambahan faedah. Tags: cinta


Daftar Isi Toggle Apa itu cinta?Cinta yang bersifat ibadahCinta yang bersifat tabiatNoda-noda cintaSyirik cintaZina cintaCinta tidak karena AllahMenomorduakan cinta kepada Allah Berbicara tentang cinta, maka cinta itu adalah suatu anugerah dari Allah Ta’ala. Cinta asalnya adalah suci dan merupakan ibadah yang sangat mulia. Cinta dalam Islam menjadi pondasi dan roh dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Jika seseorang belum mencintai Allah, maka ibadahnya hambar, bak jasad yang tak bernyawa dan menjadi bangkai hidup. Dengan adanya cinta, beratnya seorang ibu mengandung, melahirkan, dan merawat seorang anak, tergantikan dengan rasa bahagia. Cintanya kepada seorang anak juga mengalahkan lelahnya seorang Ayah membanting tulang siang dan malam untuk mencari nafkah. Bahkan, seringkali seorang pemuda rela menempuh segala cara tatkala jatuh hati pada wanita yang ia idamkan. Cinta seperti cahaya. Orang yang tidak mempunyai cinta, hidupnya akan terasa gelap. Cinta merupakan obat. Tanpa cinta, ia akan mudah rapuh dan sakit. Sehingga, orang yang tidak mempunyai rasa cinta, ia tidak akan menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Apa itu cinta? Cinta, sebuah perasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, namun kita semua pernah merasakannya. Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas. Mendefinisikan cinta hanya akan membuatnya kabur dan samar. Oleh karena itu, definisi cinta adalah adanya cinta itu sendiri. (Lihat Madarijus Salikin, 3: 10) Meskipun sulit didefinisikan, cinta menjadi alasan seseorang melakukan hal-hal besar dalam hidupnya. Bahkan, rela berjuang dan berkorban dengan alasan cinta. Ada sebuah ungkapan, من أحب أكثر من ذكره “Barangsiapa yang mencintai, pasti akan banyak menyebut-nyebutnya/mengingatnya.” Cinta yang bersifat ibadah Cinta yang bersifat ibadah adalah cinta yang diiringi pengagungan, penghambaan, perendahan diri, dan ketaatan yang mutlak kepada Allah. Cinta kepada Allah adalah puncak tertinggi dari segala cinta. Sebagian ulama menjelaskan bahwa ibadah itu harus dilandasi oleh tiga hal, yaitu: cinta (hubb), takut (khauf), dan harap (raja’). Hal ini laksana seekor burung, di mana rasa takut dan harap adalah kedua sayapnya, dan rasa cinta adalah kepalanya. Jadi, tidak mungkin seekor burung dapat hidup apalagi terbang tanpa adanya kepala. Oleh karena itu, kita harus senantiasa menghadirkan rasa cinta kepada Allah dalam beribadah, agar ibadah yang kita lakukan benar-benar hidup dan khusyuk kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ ۗ “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al Baqarah: 165) Begitu pula, kecintaan kepada Rasul shalallahu ‘alaihi wassalam yang merupakan ibadah dan kewajiban bagi setiap insan yang beriman. Seseorang belum bisa dikatakan beriman hingga ia mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya terhadap siapa pun, termasuk diri sendiri dan keluarganya. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ “Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga menjadikan aku lebih ia cintai dari orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.“ (HR. Bukhari) Cinta yang bersifat tabiat Cinta yang bersifat tabiat ini merupakan cinta bawaan dari lahir dan sifatnya manusiawi. Setiap manusia yang normal pasti memiliki jenis cinta ini, karena memang Allah menciptakan manusia dengan kecenderungan cinta kepada hal-hal duniawi. Allah Ta’ala berfirman, زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلْبَنِينَ وَٱلْقَنَٰطِيرِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلْخَيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلْأَنْعَٰمِ وَٱلْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan (kendaraan), binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Al Imran: 14) Cinta tabiat ini mencakup juga cinta terhadap lawan jenis, cinta karena penghormatan (anak hormat kepada orang tua dan guru), cinta karena belas kasihan dan rasa sayang sebagaimana cinta ibu kepada anaknya, cinta karena pertemanan, karena satu suku, dan yang lainnya. Maka, tidak mengapa mencintai perkara-perkara duniawi, asalkan tidak berlebihan, tidak melalaikan kewajiban agama atau bertentangan dengan syariat Islam, tidak membawa kepada kemaksiatan, dan tidak mengalahkan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Cinta yang sifatnya tabiat (duniawi) juga dapat menjadikan salah satu sarana untuk memperoleh cinta dari Allah. Semisal anak yang mencintai orang tuanya dengan cara berbakti; laki-laki yang mencintai seorang wanita dan menjalankan syariat Islam dengan menikahinya. Oleh karena itu, cinta yang berlebihan kepada dunia merupakan sumber dari segala keburukan, sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ “Cinta dunia adalah biang semua kesalahan.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman.) Baca juga: Tidak Mengenal Allah, Bagaimana Bisa Mencintai-Nya? Noda-noda cinta Cinta yang merupakan karunia dari Allah tersebut sayangnya sering dizalimi oleh banyak pihak. Hal ini karena tidak sedikit kita jumpai bahwa tatkala seseorang mendengar kata cinta, maka yang muncul di benaknya adalah cinta kepada lawan jenis (syahwat). Sehingga, banyak orang terjerumus kepada zina dengan berbagai ragam, model, dan rupanya. Selain itu, kesucian cinta juga ternodai oleh noda-noda yang disematkan para manusia. Ada beberapa faktor yang dapat menodai cinta kita kepada Allah, yang membuat hati kita tidak bisa menyelam ke dalam Samudra Cinta Ilahi, antara lain: Syirik cinta Syirik cinta adalah tatkala seseorang mencintai selain Allah dengan cinta yang bersifat ibadah (pengagungan, penghambaan, perendahan diri, dan ketaatan yang mutlak). Ia mencintai seseorang atau diri sendiri melebihi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, ada yang sampai beranggapan bahwa ada selain dari Allah yang dapat mendatangkan rezeki, manfaat, atau kebaikan. Contoh lain adalah perkataan berlebihan yang sering diucapkan oleh orang yang sedang jatuh hati, seperti “Tidak ada yang lebih aku cintai selain dirimu.” atau “Tidak ada yang bisa melebihi kecintaanku kepadamu.” atau “Hatiku telah dipenuhi oleh rasa cinta kepadamu, sehingga tiada tempat lagi bagi hati ini untuk mencintai selain dirimu.” Allah Ta’ala berfirman, وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ ۗ “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai  tandingan-tandingan. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al Baqarah: 165) Zina cinta Orang yang terlanjur cinta dan dimabuk asmara seringkali menyebabkan dirinya melakukan perbuatan dosa dan maksiat. Awalnya ia melakukan maksiat dari khalwat (berduaan di tempat sepi), kemudian saling menatap dengan syahwat, saling menyentuh, hingga akhirnya berujung kepada perbuatan zina. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا “Dan janganlah kamu mendekati zina! Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isra’: 32) Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, إن اللهَ كتب على ابنِ آدمَ حظَّه من الزنا ، أدرك ذلك لا محالةَ ، فزنا العينِ النظرُ ، وزنا اللسانِ المنطقُ ، والنفسُ تتمنى وتشتهي ، والفرجُ يصدقُ ذلك كلَّه أو يكذبُه “Sesungguhnya Allah telah menakdirkan bahwa pada setiap anak Adam memiliki bagian dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari. Zinanya mata adalah penglihatan, zinanya lisan adalah ucapan, sedangkan nafsu (zina hati) adalah berkeinginan dan berangan-angan, dan kemaluanlah yang membenarkan atau mengingkarinya.” (HR. Bukhari) Ketika mecintai seseorang, jangan sampai cinta yang suci tersebut menjadi nisbi. Jangan sampai kecintaan tersebut melanggar batasan-batasan syariat yang Allah tetapkan. Jangan sampai anugerah cinta menjadi murka. Cinta tidak karena Allah Di antara bentuk bukti cinta seorang hamba karena Allah adalah mencintai manakala kita mencintai apa yang dicintai oleh Allah (segala macam ibadah seperti salat, zikir, zakat, dan sebagainya) dan menyayangi siapa yang disayangi oleh Allah (kaum mukminin, orang saleh, dan semisalnya). Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ اْلإِيْمَانَ. “Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena Allah, maka sungguh telah sempurna imannya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Ia mengatakan, “Hadis hasan.”) Dalam riwayat lain, أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ الْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ “Tali iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Tirmidzi) Menomorduakan cinta kepada Allah Seseorang boleh mencintai selain Allah, tetapi tidak boleh sampai mengalahkan kecintaannya kepada Allah. Cinta kepada Allah harus di atas segala cinta. Setelah itu, adalah cinta kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَٰنُكُمْ وَأَزْوَٰجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَٰلٌ ٱقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍ فِى سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُوا۟ حَتَّىٰ يَأْتِىَ ٱللَّهُ بِأَمْرِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْفَٰسِقِينَ “Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya (azab).’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24) Baca juga: Makna Allah Mencintai Keindahan *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari rekaman kajian Islam ilmiah dengan judul “Noda-Noda Cinta” oleh Ustaz Abdullah Zaen, Lc. M.A. dengan berbagai tambahan faedah. Tags: cinta

Hukum Membaca Basmalah sebelum Wudhu di Toilet – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

PERTANYAAN: Apa hukum membaca basmalah (bismillah) saat akan berwudhu? Apakah disyariatkan membaca basmalah juga saat (berwudhu) di dalam toilet? JAWABAN: Membaca basmalah saat akan berwudhu hukumnya sunah. Ada juga sebagian ulama fikih yang berpendapat itu wajib beserta zikirnya. Inilah pendapat yang masyhur di mazhab Hambali. Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat mayoritas ulama, bahwa hukumnya adalah sunah muakkadah. Disunahkan bagi orang yang hendak berwudhu untuk mengucapkan “Bismillah” sebelum wudhunya. Kami katakan hukumnya sunah, bukan wajib, karena para perawi tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan dan tidak meriwayatkan bahwa Nabi membaca basmalah sebelum wudhu. Adapun hadis, “Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah sebelumnya” adalah hadis lemah. Diriwayatkan Imam Ahmad, tapi hadis lemah. Imam Ahmad sendiri berkata, “Tidak ada hadis yang sahih dalam hal ini.” Andai hadis itu sahih, maka dipahami bahwa maksudnya adalah “Tidak ada wudhu yang sempurna” untuk menyelaraskan antara hadis ini dan hadis-hadis yang menyebutkan tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang di dalamnya tidak disebutkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan basmalah pada permulaan wudhu. Dengan demikian, kami simpulkan bahwa membaca basmalah pada permulaan wudhu hukumnya sunah, bukan wajib. Adapun orang yang berwudhu di dalam toilet maka bisa membaca basmalah sebelum masuk toilet atau membaca basmalah dalam hati, tapi tanpa mengeraskan suara saat membacanya di dalam toilet sebagai bentuk pengagungan terhadap nama Allah ‘Azza wa Jalla. ==== مَا حُكْمُ التَّسْمِيَةِ عِنْدَ الْوُضُوءِ؟ وَهَلْ تُشْرَعُ التَّسْمِيَةُ دَاخِلَ دَوْرَاتِ الْمِيَاهِ؟ التَّسْمِيَةُ عِنْدَ الْوُضُوءِ سُنَّةٌ وَقَالَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ بِأَنَّهَا وَاجِبَةٌ مَعَ الذِّكْرِ هَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ بِمَذْهَبِ الْحَنَابِلَةِ وَلَكِنَّ الْقَوْلَ الرَّاجِحَ هُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ وَهُوَ أَنَّهَا سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ يُسْتَحَبُّ لِمَنْ يَتَوَضَّأُ أَنْ يَقُولَ قَبْلَ وُضُوئِهِ بِسْمِ اللهِ وَإِنَّمَا قُلْنَا سُنَّةٌ وَلَيْسَتْ وَاجِبَةً لِأَنَّ الْوَاصِفِيْنَ لِوُضُوءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَذْكُرُوا وَلَمْ يَنْقُلُوا أَنَّهُ كَانَ يُسَمِّي فِي أَوَّلِ وُضُوئِهِ وَالْحَدِيثُ لَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ حَدِيثٌ ضَعِيْفٌ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ لَكِنَّهُ ضَعِيفٌ وَالْإِمَامُ أَحْمَدُ نَفْسُهُ يَقُولُ لَا يَثْبُتُ فِي هَذَا الْبَابِ شَيْءٌ وَلَوْ ثَبَتَ هَذَا الْحَدِيثُ فَيُحْمَلُ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ لَا وُضُوءَ كَامِلًا جَمْعًا بَيْنَ هَذَا الْحَدِيثِ وَبَيْنَ الْأَحَادِيثِ الَّتِي فِيهَا صِفَةُ وُضُوءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّتِي لَمْ يُذْكَرْ فِيهَا أَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ سَمَّى فِي أَوَّلِ الْوُضُوءِ وَعَلَى ذَلِكَ نَقُولُ إِنَّ التَّسْمِيَةَ فِي أَوَّلِ الْوُضُوءِ مُسْتَحَبَّةٌ وَلَيْسَتْ وَاجِبَةً وَمَنْ كَانَ يَتَوَضَّأُ دَاخِلَ دَوْرَةِ الْمِيَاهِ يُسَمِّي قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ دَوْرَةَ الْمِيَاهِ أَوْ أَنَّهُ يُسَمِّي فِي نَفْسِهِ لَكِنْ لَا يَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالتَّسْمِيَةِ دَاخِلَ دَوْرَةِ الْمِيَاهِ تَعْظِيمًا بِاسْمِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

Hukum Membaca Basmalah sebelum Wudhu di Toilet – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

PERTANYAAN: Apa hukum membaca basmalah (bismillah) saat akan berwudhu? Apakah disyariatkan membaca basmalah juga saat (berwudhu) di dalam toilet? JAWABAN: Membaca basmalah saat akan berwudhu hukumnya sunah. Ada juga sebagian ulama fikih yang berpendapat itu wajib beserta zikirnya. Inilah pendapat yang masyhur di mazhab Hambali. Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat mayoritas ulama, bahwa hukumnya adalah sunah muakkadah. Disunahkan bagi orang yang hendak berwudhu untuk mengucapkan “Bismillah” sebelum wudhunya. Kami katakan hukumnya sunah, bukan wajib, karena para perawi tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan dan tidak meriwayatkan bahwa Nabi membaca basmalah sebelum wudhu. Adapun hadis, “Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah sebelumnya” adalah hadis lemah. Diriwayatkan Imam Ahmad, tapi hadis lemah. Imam Ahmad sendiri berkata, “Tidak ada hadis yang sahih dalam hal ini.” Andai hadis itu sahih, maka dipahami bahwa maksudnya adalah “Tidak ada wudhu yang sempurna” untuk menyelaraskan antara hadis ini dan hadis-hadis yang menyebutkan tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang di dalamnya tidak disebutkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan basmalah pada permulaan wudhu. Dengan demikian, kami simpulkan bahwa membaca basmalah pada permulaan wudhu hukumnya sunah, bukan wajib. Adapun orang yang berwudhu di dalam toilet maka bisa membaca basmalah sebelum masuk toilet atau membaca basmalah dalam hati, tapi tanpa mengeraskan suara saat membacanya di dalam toilet sebagai bentuk pengagungan terhadap nama Allah ‘Azza wa Jalla. ==== مَا حُكْمُ التَّسْمِيَةِ عِنْدَ الْوُضُوءِ؟ وَهَلْ تُشْرَعُ التَّسْمِيَةُ دَاخِلَ دَوْرَاتِ الْمِيَاهِ؟ التَّسْمِيَةُ عِنْدَ الْوُضُوءِ سُنَّةٌ وَقَالَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ بِأَنَّهَا وَاجِبَةٌ مَعَ الذِّكْرِ هَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ بِمَذْهَبِ الْحَنَابِلَةِ وَلَكِنَّ الْقَوْلَ الرَّاجِحَ هُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ وَهُوَ أَنَّهَا سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ يُسْتَحَبُّ لِمَنْ يَتَوَضَّأُ أَنْ يَقُولَ قَبْلَ وُضُوئِهِ بِسْمِ اللهِ وَإِنَّمَا قُلْنَا سُنَّةٌ وَلَيْسَتْ وَاجِبَةً لِأَنَّ الْوَاصِفِيْنَ لِوُضُوءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَذْكُرُوا وَلَمْ يَنْقُلُوا أَنَّهُ كَانَ يُسَمِّي فِي أَوَّلِ وُضُوئِهِ وَالْحَدِيثُ لَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ حَدِيثٌ ضَعِيْفٌ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ لَكِنَّهُ ضَعِيفٌ وَالْإِمَامُ أَحْمَدُ نَفْسُهُ يَقُولُ لَا يَثْبُتُ فِي هَذَا الْبَابِ شَيْءٌ وَلَوْ ثَبَتَ هَذَا الْحَدِيثُ فَيُحْمَلُ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ لَا وُضُوءَ كَامِلًا جَمْعًا بَيْنَ هَذَا الْحَدِيثِ وَبَيْنَ الْأَحَادِيثِ الَّتِي فِيهَا صِفَةُ وُضُوءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّتِي لَمْ يُذْكَرْ فِيهَا أَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ سَمَّى فِي أَوَّلِ الْوُضُوءِ وَعَلَى ذَلِكَ نَقُولُ إِنَّ التَّسْمِيَةَ فِي أَوَّلِ الْوُضُوءِ مُسْتَحَبَّةٌ وَلَيْسَتْ وَاجِبَةً وَمَنْ كَانَ يَتَوَضَّأُ دَاخِلَ دَوْرَةِ الْمِيَاهِ يُسَمِّي قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ دَوْرَةَ الْمِيَاهِ أَوْ أَنَّهُ يُسَمِّي فِي نَفْسِهِ لَكِنْ لَا يَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالتَّسْمِيَةِ دَاخِلَ دَوْرَةِ الْمِيَاهِ تَعْظِيمًا بِاسْمِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
PERTANYAAN: Apa hukum membaca basmalah (bismillah) saat akan berwudhu? Apakah disyariatkan membaca basmalah juga saat (berwudhu) di dalam toilet? JAWABAN: Membaca basmalah saat akan berwudhu hukumnya sunah. Ada juga sebagian ulama fikih yang berpendapat itu wajib beserta zikirnya. Inilah pendapat yang masyhur di mazhab Hambali. Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat mayoritas ulama, bahwa hukumnya adalah sunah muakkadah. Disunahkan bagi orang yang hendak berwudhu untuk mengucapkan “Bismillah” sebelum wudhunya. Kami katakan hukumnya sunah, bukan wajib, karena para perawi tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan dan tidak meriwayatkan bahwa Nabi membaca basmalah sebelum wudhu. Adapun hadis, “Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah sebelumnya” adalah hadis lemah. Diriwayatkan Imam Ahmad, tapi hadis lemah. Imam Ahmad sendiri berkata, “Tidak ada hadis yang sahih dalam hal ini.” Andai hadis itu sahih, maka dipahami bahwa maksudnya adalah “Tidak ada wudhu yang sempurna” untuk menyelaraskan antara hadis ini dan hadis-hadis yang menyebutkan tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang di dalamnya tidak disebutkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan basmalah pada permulaan wudhu. Dengan demikian, kami simpulkan bahwa membaca basmalah pada permulaan wudhu hukumnya sunah, bukan wajib. Adapun orang yang berwudhu di dalam toilet maka bisa membaca basmalah sebelum masuk toilet atau membaca basmalah dalam hati, tapi tanpa mengeraskan suara saat membacanya di dalam toilet sebagai bentuk pengagungan terhadap nama Allah ‘Azza wa Jalla. ==== مَا حُكْمُ التَّسْمِيَةِ عِنْدَ الْوُضُوءِ؟ وَهَلْ تُشْرَعُ التَّسْمِيَةُ دَاخِلَ دَوْرَاتِ الْمِيَاهِ؟ التَّسْمِيَةُ عِنْدَ الْوُضُوءِ سُنَّةٌ وَقَالَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ بِأَنَّهَا وَاجِبَةٌ مَعَ الذِّكْرِ هَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ بِمَذْهَبِ الْحَنَابِلَةِ وَلَكِنَّ الْقَوْلَ الرَّاجِحَ هُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ وَهُوَ أَنَّهَا سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ يُسْتَحَبُّ لِمَنْ يَتَوَضَّأُ أَنْ يَقُولَ قَبْلَ وُضُوئِهِ بِسْمِ اللهِ وَإِنَّمَا قُلْنَا سُنَّةٌ وَلَيْسَتْ وَاجِبَةً لِأَنَّ الْوَاصِفِيْنَ لِوُضُوءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَذْكُرُوا وَلَمْ يَنْقُلُوا أَنَّهُ كَانَ يُسَمِّي فِي أَوَّلِ وُضُوئِهِ وَالْحَدِيثُ لَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ حَدِيثٌ ضَعِيْفٌ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ لَكِنَّهُ ضَعِيفٌ وَالْإِمَامُ أَحْمَدُ نَفْسُهُ يَقُولُ لَا يَثْبُتُ فِي هَذَا الْبَابِ شَيْءٌ وَلَوْ ثَبَتَ هَذَا الْحَدِيثُ فَيُحْمَلُ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ لَا وُضُوءَ كَامِلًا جَمْعًا بَيْنَ هَذَا الْحَدِيثِ وَبَيْنَ الْأَحَادِيثِ الَّتِي فِيهَا صِفَةُ وُضُوءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّتِي لَمْ يُذْكَرْ فِيهَا أَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ سَمَّى فِي أَوَّلِ الْوُضُوءِ وَعَلَى ذَلِكَ نَقُولُ إِنَّ التَّسْمِيَةَ فِي أَوَّلِ الْوُضُوءِ مُسْتَحَبَّةٌ وَلَيْسَتْ وَاجِبَةً وَمَنْ كَانَ يَتَوَضَّأُ دَاخِلَ دَوْرَةِ الْمِيَاهِ يُسَمِّي قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ دَوْرَةَ الْمِيَاهِ أَوْ أَنَّهُ يُسَمِّي فِي نَفْسِهِ لَكِنْ لَا يَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالتَّسْمِيَةِ دَاخِلَ دَوْرَةِ الْمِيَاهِ تَعْظِيمًا بِاسْمِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ


PERTANYAAN: Apa hukum membaca basmalah (bismillah) saat akan berwudhu? Apakah disyariatkan membaca basmalah juga saat (berwudhu) di dalam toilet? JAWABAN: Membaca basmalah saat akan berwudhu hukumnya sunah. Ada juga sebagian ulama fikih yang berpendapat itu wajib beserta zikirnya. Inilah pendapat yang masyhur di mazhab Hambali. Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat mayoritas ulama, bahwa hukumnya adalah sunah muakkadah. Disunahkan bagi orang yang hendak berwudhu untuk mengucapkan “Bismillah” sebelum wudhunya. Kami katakan hukumnya sunah, bukan wajib, karena para perawi tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan dan tidak meriwayatkan bahwa Nabi membaca basmalah sebelum wudhu. Adapun hadis, “Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah sebelumnya” adalah hadis lemah. Diriwayatkan Imam Ahmad, tapi hadis lemah. Imam Ahmad sendiri berkata, “Tidak ada hadis yang sahih dalam hal ini.” Andai hadis itu sahih, maka dipahami bahwa maksudnya adalah “Tidak ada wudhu yang sempurna” untuk menyelaraskan antara hadis ini dan hadis-hadis yang menyebutkan tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang di dalamnya tidak disebutkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan basmalah pada permulaan wudhu. Dengan demikian, kami simpulkan bahwa membaca basmalah pada permulaan wudhu hukumnya sunah, bukan wajib. Adapun orang yang berwudhu di dalam toilet maka bisa membaca basmalah sebelum masuk toilet atau membaca basmalah dalam hati, tapi tanpa mengeraskan suara saat membacanya di dalam toilet sebagai bentuk pengagungan terhadap nama Allah ‘Azza wa Jalla. ==== مَا حُكْمُ التَّسْمِيَةِ عِنْدَ الْوُضُوءِ؟ وَهَلْ تُشْرَعُ التَّسْمِيَةُ دَاخِلَ دَوْرَاتِ الْمِيَاهِ؟ التَّسْمِيَةُ عِنْدَ الْوُضُوءِ سُنَّةٌ وَقَالَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ بِأَنَّهَا وَاجِبَةٌ مَعَ الذِّكْرِ هَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ بِمَذْهَبِ الْحَنَابِلَةِ وَلَكِنَّ الْقَوْلَ الرَّاجِحَ هُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ وَهُوَ أَنَّهَا سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ يُسْتَحَبُّ لِمَنْ يَتَوَضَّأُ أَنْ يَقُولَ قَبْلَ وُضُوئِهِ بِسْمِ اللهِ وَإِنَّمَا قُلْنَا سُنَّةٌ وَلَيْسَتْ وَاجِبَةً لِأَنَّ الْوَاصِفِيْنَ لِوُضُوءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَذْكُرُوا وَلَمْ يَنْقُلُوا أَنَّهُ كَانَ يُسَمِّي فِي أَوَّلِ وُضُوئِهِ وَالْحَدِيثُ لَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ حَدِيثٌ ضَعِيْفٌ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ لَكِنَّهُ ضَعِيفٌ وَالْإِمَامُ أَحْمَدُ نَفْسُهُ يَقُولُ لَا يَثْبُتُ فِي هَذَا الْبَابِ شَيْءٌ وَلَوْ ثَبَتَ هَذَا الْحَدِيثُ فَيُحْمَلُ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ لَا وُضُوءَ كَامِلًا جَمْعًا بَيْنَ هَذَا الْحَدِيثِ وَبَيْنَ الْأَحَادِيثِ الَّتِي فِيهَا صِفَةُ وُضُوءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّتِي لَمْ يُذْكَرْ فِيهَا أَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ سَمَّى فِي أَوَّلِ الْوُضُوءِ وَعَلَى ذَلِكَ نَقُولُ إِنَّ التَّسْمِيَةَ فِي أَوَّلِ الْوُضُوءِ مُسْتَحَبَّةٌ وَلَيْسَتْ وَاجِبَةً وَمَنْ كَانَ يَتَوَضَّأُ دَاخِلَ دَوْرَةِ الْمِيَاهِ يُسَمِّي قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ دَوْرَةَ الْمِيَاهِ أَوْ أَنَّهُ يُسَمِّي فِي نَفْسِهِ لَكِنْ لَا يَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالتَّسْمِيَةِ دَاخِلَ دَوْرَةِ الْمِيَاهِ تَعْظِيمًا بِاسْمِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

Akibat Bertikai di Dunia dan Akhirat

Daftar Isi Toggle Akibat buruk di duniaAkibat buruk di akhiratTulus meminta maaf dan saling memberi maaf Manusia adalah makhluk sosial, di mana ia tidak bisa hidup sendiri dan butuh untuk bermasyarakat. Ia perlu bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder dalam hidupnya. Namun, terkadang yang menjadi persoalan antar sesama adalah bahwasanya manusia itu diciptakan dengan bermacam-macam karakter. Ada yang tutur katanya sopan dan lembut. Ada yang bicaranya kasar. Ada tipe orang yang penyabar. Ada yang pemarah. Sehingga, dengan banyaknya ragam tipe karakter manusia tersebut (yang mana memang tiada manusia yang sempurna), maka seringkali terjadi pertengkaran dan pertikaian. Potensi pertikaian ini justru paling besar muncul antara orang-orang terdekat dan di sekitarnya. Akhirnya, ketika masalahnya tidak kunjung reda atau usai, maka mereka biasanya akan saling mendiamkan dan tidak menyapa satu sama lain dalam kurun waktu yang lama. Padahal, dalam syariat Islam, seseorang hanya boleh mendiamkan saudaranya maksimal hanya sampai tiga hari saja. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أنْ يَهْجُرَ أخاهُ فَوْقَ ثَلاثِ لَيالٍ، يَلْتَقِيانِ فَيُعْرِضُ هَذا ويُعْرِضُ هَذا، وخَيْرُهُما الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلامِ “Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari. Mereka berdua bertemu, tetapi saling memalingkan wajah. Dan yang terbaik dari keduanya adalah yang lebih dahulu memulai salam.” (HR. Muslim no. 2560.) Dari hadis di atas, maka dapat kita ketahui bahwa masih diperbolehkan mendiamkan saudara sesama muslim kurang dari tiga hari. Hal ini karena untuk menghilangkan perasaan jengkel, dendam, dan emosi itu butuh waktu dan proses. Oleh karena itu, syariat memberikan toleransi sampai tiga hari untuk meredakannya. Lalu, bagaimana jika pertikaian tidak kunjung usai hingga lebih dari tiga hari? Maka, akan ada akibat buruk yang didapatkan, baik di dunia maupun di akhirat. Akibat buruk di dunia Selama seseorang masih dalam pertikaian dan pertengkaran, maka ketika hidup di dunia, ia akan dijauhkan dari kebenaran. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, فإنَّهما ناكبانِ عن الحقِّ ما داما على صِرامِهما “Maka, keduanya akan dijauhkan dari kebenaran selama keduanya dalam pertikaian tersebut.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad. Lihat Al-Irwa’, 7: 95 dan Ash-Shahihah, no. 1246.) Dalam kehidupan ini, kita senantiasa dihadapkan ke dalam dua pilihan. Orang yang senantiasa bertikai dan masih terlibat dalam permusuhan, maka ia akan dijauhkan dari petunjuk dan kebenaran. Misalnya, ia sering salah dalam memilih prioritas, bisnis, jodoh, ataupun barang. Bahkan, dalam masalah akhirat pun, ia kerapkali salah dalam memilih amalan dan pemahaman. Dalam hadis yang lain, diriwayatkan dari Abu Khirasyu As-Sulami, bahwasanya dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من هجر أخاه سنة فهو بسفك دمه “Barangsiapa mendiamkan saudaranya selama setahun, maka dia seperti menumpahkan darahnya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 166. Lihat Ash-Shahihah, no. 928.) Baca juga: Petaka di Balik Amarah Akibat buruk di akhirat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, وإن ماتا على صرامهما لم يدخلا الجنة جميعا ابدا “Jika kedua (orang yang bertikai) tersebut meninggal dalam keadaan memutuskan hubungan mereka berdua (belum saling meminta maaf), maka keduanya tidak akan masuk surga selamanya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad. Lihat Al-Irwa’, 7: 95, dan Ash-Shahihah, no. 1246.) Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, تفتح أبواب الجنة يوم الاثنين ويوم الخميس فيغفر لكل عبد لا يشرك بالله شيئا إلا رجلا كانت بينه وبين أخيه شحناء فيقال: أنظروا هذين حتى يصطلحا، أنظروا هذين حتى يصطلحا، أنظروا هذين حتى يصطلحا “Pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis. Maka, akan diampuni semua hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, kecuali dua orang laki-laki yang terdapat permusuhan antara dia dengan saudaranya. Maka, dikatakan, ‘Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai.’” (HR. Muslim) Tulus meminta maaf dan saling memberi maaf Allah Ta’ala berfirman, وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى “Dan jika kamu memaafkan, itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al Baqarah: 237) Dalam firman-Nya yang lain, إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Oleh karena itu, damaikanlah antara kedua saudara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 10) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا “Tidaklah seorang hamba memberikan maaf (terhadap kesalahan orang lain), melainkan Allah pasti akan menambahkan kemuliaan pada dirinya.” (HR. Muslim) Dalam sabda yang lain, ألا أخبرُكُم بأفضلَ من دَرجةِ الصِّيامِ والصَّلاةِ والصَّدَقةِ قالوا بلَى قال صلاحُ ذاتِ البينِ فإنَّ فسادَ ذاتِ البينِ هيَ الحالِقةُ “Maukah aku mengabarkan kalian amal yang lebih utama dari salat, puasa, dan sedekah?” Mereka berkata, “Mau.” Beliau bersabda, “Yaitu, memperbaiki hubungan (sesama muslim). Karena rusaknya hubungan (sesama muslim) adalah pencukur (agama).” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi) Ketika kita dizalimi atau diperlakukan buruk oleh seseorang dan orang tersebut dikenal saleh dan baik agamanya, maka sangat dianjurkan anda memaafkannya. Karena Allah Ta’ala telah memuji orang-orang yang suka memaafkan dan ada potensi perbaikan di sana, sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Balaslah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik. Maka, tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushilat: 34) (Lihat Makarimul Akhlak, hal. 25.) Hal ini berbeda kondisi jika orang tersebut dikenal jahat dan bejat. Maka, bisa jadi kita menjatuhkan hukuman (bisa dengan menjauhi, melaporkan kepada pihak berwajib) kepadanya agar tidak timbul kerusakan baru terhadap diri kita maupun orang lain. Syaikhul Islam mengatakan bahwa ishlah (perbaikan) itu wajib, sedangkan memaafkan itu sunah. Jika dengan memaafkan malah membuat tidak terjadi perbaikan, maka ini berarti kita mendahulukan yang sunah daripada yang wajib. Yang seperti ini tidak ada dalam syariat.” (Lihat Makarimul Akhlak, hal. 27.) Baca juga: Marah yang Dianjurkan *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id Tags: bertikai

Akibat Bertikai di Dunia dan Akhirat

Daftar Isi Toggle Akibat buruk di duniaAkibat buruk di akhiratTulus meminta maaf dan saling memberi maaf Manusia adalah makhluk sosial, di mana ia tidak bisa hidup sendiri dan butuh untuk bermasyarakat. Ia perlu bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder dalam hidupnya. Namun, terkadang yang menjadi persoalan antar sesama adalah bahwasanya manusia itu diciptakan dengan bermacam-macam karakter. Ada yang tutur katanya sopan dan lembut. Ada yang bicaranya kasar. Ada tipe orang yang penyabar. Ada yang pemarah. Sehingga, dengan banyaknya ragam tipe karakter manusia tersebut (yang mana memang tiada manusia yang sempurna), maka seringkali terjadi pertengkaran dan pertikaian. Potensi pertikaian ini justru paling besar muncul antara orang-orang terdekat dan di sekitarnya. Akhirnya, ketika masalahnya tidak kunjung reda atau usai, maka mereka biasanya akan saling mendiamkan dan tidak menyapa satu sama lain dalam kurun waktu yang lama. Padahal, dalam syariat Islam, seseorang hanya boleh mendiamkan saudaranya maksimal hanya sampai tiga hari saja. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أنْ يَهْجُرَ أخاهُ فَوْقَ ثَلاثِ لَيالٍ، يَلْتَقِيانِ فَيُعْرِضُ هَذا ويُعْرِضُ هَذا، وخَيْرُهُما الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلامِ “Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari. Mereka berdua bertemu, tetapi saling memalingkan wajah. Dan yang terbaik dari keduanya adalah yang lebih dahulu memulai salam.” (HR. Muslim no. 2560.) Dari hadis di atas, maka dapat kita ketahui bahwa masih diperbolehkan mendiamkan saudara sesama muslim kurang dari tiga hari. Hal ini karena untuk menghilangkan perasaan jengkel, dendam, dan emosi itu butuh waktu dan proses. Oleh karena itu, syariat memberikan toleransi sampai tiga hari untuk meredakannya. Lalu, bagaimana jika pertikaian tidak kunjung usai hingga lebih dari tiga hari? Maka, akan ada akibat buruk yang didapatkan, baik di dunia maupun di akhirat. Akibat buruk di dunia Selama seseorang masih dalam pertikaian dan pertengkaran, maka ketika hidup di dunia, ia akan dijauhkan dari kebenaran. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, فإنَّهما ناكبانِ عن الحقِّ ما داما على صِرامِهما “Maka, keduanya akan dijauhkan dari kebenaran selama keduanya dalam pertikaian tersebut.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad. Lihat Al-Irwa’, 7: 95 dan Ash-Shahihah, no. 1246.) Dalam kehidupan ini, kita senantiasa dihadapkan ke dalam dua pilihan. Orang yang senantiasa bertikai dan masih terlibat dalam permusuhan, maka ia akan dijauhkan dari petunjuk dan kebenaran. Misalnya, ia sering salah dalam memilih prioritas, bisnis, jodoh, ataupun barang. Bahkan, dalam masalah akhirat pun, ia kerapkali salah dalam memilih amalan dan pemahaman. Dalam hadis yang lain, diriwayatkan dari Abu Khirasyu As-Sulami, bahwasanya dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من هجر أخاه سنة فهو بسفك دمه “Barangsiapa mendiamkan saudaranya selama setahun, maka dia seperti menumpahkan darahnya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 166. Lihat Ash-Shahihah, no. 928.) Baca juga: Petaka di Balik Amarah Akibat buruk di akhirat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, وإن ماتا على صرامهما لم يدخلا الجنة جميعا ابدا “Jika kedua (orang yang bertikai) tersebut meninggal dalam keadaan memutuskan hubungan mereka berdua (belum saling meminta maaf), maka keduanya tidak akan masuk surga selamanya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad. Lihat Al-Irwa’, 7: 95, dan Ash-Shahihah, no. 1246.) Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, تفتح أبواب الجنة يوم الاثنين ويوم الخميس فيغفر لكل عبد لا يشرك بالله شيئا إلا رجلا كانت بينه وبين أخيه شحناء فيقال: أنظروا هذين حتى يصطلحا، أنظروا هذين حتى يصطلحا، أنظروا هذين حتى يصطلحا “Pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis. Maka, akan diampuni semua hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, kecuali dua orang laki-laki yang terdapat permusuhan antara dia dengan saudaranya. Maka, dikatakan, ‘Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai.’” (HR. Muslim) Tulus meminta maaf dan saling memberi maaf Allah Ta’ala berfirman, وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى “Dan jika kamu memaafkan, itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al Baqarah: 237) Dalam firman-Nya yang lain, إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Oleh karena itu, damaikanlah antara kedua saudara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 10) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا “Tidaklah seorang hamba memberikan maaf (terhadap kesalahan orang lain), melainkan Allah pasti akan menambahkan kemuliaan pada dirinya.” (HR. Muslim) Dalam sabda yang lain, ألا أخبرُكُم بأفضلَ من دَرجةِ الصِّيامِ والصَّلاةِ والصَّدَقةِ قالوا بلَى قال صلاحُ ذاتِ البينِ فإنَّ فسادَ ذاتِ البينِ هيَ الحالِقةُ “Maukah aku mengabarkan kalian amal yang lebih utama dari salat, puasa, dan sedekah?” Mereka berkata, “Mau.” Beliau bersabda, “Yaitu, memperbaiki hubungan (sesama muslim). Karena rusaknya hubungan (sesama muslim) adalah pencukur (agama).” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi) Ketika kita dizalimi atau diperlakukan buruk oleh seseorang dan orang tersebut dikenal saleh dan baik agamanya, maka sangat dianjurkan anda memaafkannya. Karena Allah Ta’ala telah memuji orang-orang yang suka memaafkan dan ada potensi perbaikan di sana, sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Balaslah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik. Maka, tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushilat: 34) (Lihat Makarimul Akhlak, hal. 25.) Hal ini berbeda kondisi jika orang tersebut dikenal jahat dan bejat. Maka, bisa jadi kita menjatuhkan hukuman (bisa dengan menjauhi, melaporkan kepada pihak berwajib) kepadanya agar tidak timbul kerusakan baru terhadap diri kita maupun orang lain. Syaikhul Islam mengatakan bahwa ishlah (perbaikan) itu wajib, sedangkan memaafkan itu sunah. Jika dengan memaafkan malah membuat tidak terjadi perbaikan, maka ini berarti kita mendahulukan yang sunah daripada yang wajib. Yang seperti ini tidak ada dalam syariat.” (Lihat Makarimul Akhlak, hal. 27.) Baca juga: Marah yang Dianjurkan *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id Tags: bertikai
Daftar Isi Toggle Akibat buruk di duniaAkibat buruk di akhiratTulus meminta maaf dan saling memberi maaf Manusia adalah makhluk sosial, di mana ia tidak bisa hidup sendiri dan butuh untuk bermasyarakat. Ia perlu bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder dalam hidupnya. Namun, terkadang yang menjadi persoalan antar sesama adalah bahwasanya manusia itu diciptakan dengan bermacam-macam karakter. Ada yang tutur katanya sopan dan lembut. Ada yang bicaranya kasar. Ada tipe orang yang penyabar. Ada yang pemarah. Sehingga, dengan banyaknya ragam tipe karakter manusia tersebut (yang mana memang tiada manusia yang sempurna), maka seringkali terjadi pertengkaran dan pertikaian. Potensi pertikaian ini justru paling besar muncul antara orang-orang terdekat dan di sekitarnya. Akhirnya, ketika masalahnya tidak kunjung reda atau usai, maka mereka biasanya akan saling mendiamkan dan tidak menyapa satu sama lain dalam kurun waktu yang lama. Padahal, dalam syariat Islam, seseorang hanya boleh mendiamkan saudaranya maksimal hanya sampai tiga hari saja. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أنْ يَهْجُرَ أخاهُ فَوْقَ ثَلاثِ لَيالٍ، يَلْتَقِيانِ فَيُعْرِضُ هَذا ويُعْرِضُ هَذا، وخَيْرُهُما الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلامِ “Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari. Mereka berdua bertemu, tetapi saling memalingkan wajah. Dan yang terbaik dari keduanya adalah yang lebih dahulu memulai salam.” (HR. Muslim no. 2560.) Dari hadis di atas, maka dapat kita ketahui bahwa masih diperbolehkan mendiamkan saudara sesama muslim kurang dari tiga hari. Hal ini karena untuk menghilangkan perasaan jengkel, dendam, dan emosi itu butuh waktu dan proses. Oleh karena itu, syariat memberikan toleransi sampai tiga hari untuk meredakannya. Lalu, bagaimana jika pertikaian tidak kunjung usai hingga lebih dari tiga hari? Maka, akan ada akibat buruk yang didapatkan, baik di dunia maupun di akhirat. Akibat buruk di dunia Selama seseorang masih dalam pertikaian dan pertengkaran, maka ketika hidup di dunia, ia akan dijauhkan dari kebenaran. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, فإنَّهما ناكبانِ عن الحقِّ ما داما على صِرامِهما “Maka, keduanya akan dijauhkan dari kebenaran selama keduanya dalam pertikaian tersebut.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad. Lihat Al-Irwa’, 7: 95 dan Ash-Shahihah, no. 1246.) Dalam kehidupan ini, kita senantiasa dihadapkan ke dalam dua pilihan. Orang yang senantiasa bertikai dan masih terlibat dalam permusuhan, maka ia akan dijauhkan dari petunjuk dan kebenaran. Misalnya, ia sering salah dalam memilih prioritas, bisnis, jodoh, ataupun barang. Bahkan, dalam masalah akhirat pun, ia kerapkali salah dalam memilih amalan dan pemahaman. Dalam hadis yang lain, diriwayatkan dari Abu Khirasyu As-Sulami, bahwasanya dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من هجر أخاه سنة فهو بسفك دمه “Barangsiapa mendiamkan saudaranya selama setahun, maka dia seperti menumpahkan darahnya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 166. Lihat Ash-Shahihah, no. 928.) Baca juga: Petaka di Balik Amarah Akibat buruk di akhirat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, وإن ماتا على صرامهما لم يدخلا الجنة جميعا ابدا “Jika kedua (orang yang bertikai) tersebut meninggal dalam keadaan memutuskan hubungan mereka berdua (belum saling meminta maaf), maka keduanya tidak akan masuk surga selamanya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad. Lihat Al-Irwa’, 7: 95, dan Ash-Shahihah, no. 1246.) Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, تفتح أبواب الجنة يوم الاثنين ويوم الخميس فيغفر لكل عبد لا يشرك بالله شيئا إلا رجلا كانت بينه وبين أخيه شحناء فيقال: أنظروا هذين حتى يصطلحا، أنظروا هذين حتى يصطلحا، أنظروا هذين حتى يصطلحا “Pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis. Maka, akan diampuni semua hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, kecuali dua orang laki-laki yang terdapat permusuhan antara dia dengan saudaranya. Maka, dikatakan, ‘Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai.’” (HR. Muslim) Tulus meminta maaf dan saling memberi maaf Allah Ta’ala berfirman, وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى “Dan jika kamu memaafkan, itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al Baqarah: 237) Dalam firman-Nya yang lain, إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Oleh karena itu, damaikanlah antara kedua saudara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 10) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا “Tidaklah seorang hamba memberikan maaf (terhadap kesalahan orang lain), melainkan Allah pasti akan menambahkan kemuliaan pada dirinya.” (HR. Muslim) Dalam sabda yang lain, ألا أخبرُكُم بأفضلَ من دَرجةِ الصِّيامِ والصَّلاةِ والصَّدَقةِ قالوا بلَى قال صلاحُ ذاتِ البينِ فإنَّ فسادَ ذاتِ البينِ هيَ الحالِقةُ “Maukah aku mengabarkan kalian amal yang lebih utama dari salat, puasa, dan sedekah?” Mereka berkata, “Mau.” Beliau bersabda, “Yaitu, memperbaiki hubungan (sesama muslim). Karena rusaknya hubungan (sesama muslim) adalah pencukur (agama).” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi) Ketika kita dizalimi atau diperlakukan buruk oleh seseorang dan orang tersebut dikenal saleh dan baik agamanya, maka sangat dianjurkan anda memaafkannya. Karena Allah Ta’ala telah memuji orang-orang yang suka memaafkan dan ada potensi perbaikan di sana, sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Balaslah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik. Maka, tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushilat: 34) (Lihat Makarimul Akhlak, hal. 25.) Hal ini berbeda kondisi jika orang tersebut dikenal jahat dan bejat. Maka, bisa jadi kita menjatuhkan hukuman (bisa dengan menjauhi, melaporkan kepada pihak berwajib) kepadanya agar tidak timbul kerusakan baru terhadap diri kita maupun orang lain. Syaikhul Islam mengatakan bahwa ishlah (perbaikan) itu wajib, sedangkan memaafkan itu sunah. Jika dengan memaafkan malah membuat tidak terjadi perbaikan, maka ini berarti kita mendahulukan yang sunah daripada yang wajib. Yang seperti ini tidak ada dalam syariat.” (Lihat Makarimul Akhlak, hal. 27.) Baca juga: Marah yang Dianjurkan *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id Tags: bertikai


Daftar Isi Toggle Akibat buruk di duniaAkibat buruk di akhiratTulus meminta maaf dan saling memberi maaf Manusia adalah makhluk sosial, di mana ia tidak bisa hidup sendiri dan butuh untuk bermasyarakat. Ia perlu bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder dalam hidupnya. Namun, terkadang yang menjadi persoalan antar sesama adalah bahwasanya manusia itu diciptakan dengan bermacam-macam karakter. Ada yang tutur katanya sopan dan lembut. Ada yang bicaranya kasar. Ada tipe orang yang penyabar. Ada yang pemarah. Sehingga, dengan banyaknya ragam tipe karakter manusia tersebut (yang mana memang tiada manusia yang sempurna), maka seringkali terjadi pertengkaran dan pertikaian. Potensi pertikaian ini justru paling besar muncul antara orang-orang terdekat dan di sekitarnya. Akhirnya, ketika masalahnya tidak kunjung reda atau usai, maka mereka biasanya akan saling mendiamkan dan tidak menyapa satu sama lain dalam kurun waktu yang lama. Padahal, dalam syariat Islam, seseorang hanya boleh mendiamkan saudaranya maksimal hanya sampai tiga hari saja. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أنْ يَهْجُرَ أخاهُ فَوْقَ ثَلاثِ لَيالٍ، يَلْتَقِيانِ فَيُعْرِضُ هَذا ويُعْرِضُ هَذا، وخَيْرُهُما الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلامِ “Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari. Mereka berdua bertemu, tetapi saling memalingkan wajah. Dan yang terbaik dari keduanya adalah yang lebih dahulu memulai salam.” (HR. Muslim no. 2560.) Dari hadis di atas, maka dapat kita ketahui bahwa masih diperbolehkan mendiamkan saudara sesama muslim kurang dari tiga hari. Hal ini karena untuk menghilangkan perasaan jengkel, dendam, dan emosi itu butuh waktu dan proses. Oleh karena itu, syariat memberikan toleransi sampai tiga hari untuk meredakannya. Lalu, bagaimana jika pertikaian tidak kunjung usai hingga lebih dari tiga hari? Maka, akan ada akibat buruk yang didapatkan, baik di dunia maupun di akhirat. Akibat buruk di dunia Selama seseorang masih dalam pertikaian dan pertengkaran, maka ketika hidup di dunia, ia akan dijauhkan dari kebenaran. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, فإنَّهما ناكبانِ عن الحقِّ ما داما على صِرامِهما “Maka, keduanya akan dijauhkan dari kebenaran selama keduanya dalam pertikaian tersebut.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad. Lihat Al-Irwa’, 7: 95 dan Ash-Shahihah, no. 1246.) Dalam kehidupan ini, kita senantiasa dihadapkan ke dalam dua pilihan. Orang yang senantiasa bertikai dan masih terlibat dalam permusuhan, maka ia akan dijauhkan dari petunjuk dan kebenaran. Misalnya, ia sering salah dalam memilih prioritas, bisnis, jodoh, ataupun barang. Bahkan, dalam masalah akhirat pun, ia kerapkali salah dalam memilih amalan dan pemahaman. Dalam hadis yang lain, diriwayatkan dari Abu Khirasyu As-Sulami, bahwasanya dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من هجر أخاه سنة فهو بسفك دمه “Barangsiapa mendiamkan saudaranya selama setahun, maka dia seperti menumpahkan darahnya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 166. Lihat Ash-Shahihah, no. 928.) Baca juga: Petaka di Balik Amarah Akibat buruk di akhirat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, وإن ماتا على صرامهما لم يدخلا الجنة جميعا ابدا “Jika kedua (orang yang bertikai) tersebut meninggal dalam keadaan memutuskan hubungan mereka berdua (belum saling meminta maaf), maka keduanya tidak akan masuk surga selamanya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad. Lihat Al-Irwa’, 7: 95, dan Ash-Shahihah, no. 1246.) Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, تفتح أبواب الجنة يوم الاثنين ويوم الخميس فيغفر لكل عبد لا يشرك بالله شيئا إلا رجلا كانت بينه وبين أخيه شحناء فيقال: أنظروا هذين حتى يصطلحا، أنظروا هذين حتى يصطلحا، أنظروا هذين حتى يصطلحا “Pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis. Maka, akan diampuni semua hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, kecuali dua orang laki-laki yang terdapat permusuhan antara dia dengan saudaranya. Maka, dikatakan, ‘Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai.’” (HR. Muslim) Tulus meminta maaf dan saling memberi maaf Allah Ta’ala berfirman, وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى “Dan jika kamu memaafkan, itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al Baqarah: 237) Dalam firman-Nya yang lain, إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Oleh karena itu, damaikanlah antara kedua saudara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 10) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا “Tidaklah seorang hamba memberikan maaf (terhadap kesalahan orang lain), melainkan Allah pasti akan menambahkan kemuliaan pada dirinya.” (HR. Muslim) Dalam sabda yang lain, ألا أخبرُكُم بأفضلَ من دَرجةِ الصِّيامِ والصَّلاةِ والصَّدَقةِ قالوا بلَى قال صلاحُ ذاتِ البينِ فإنَّ فسادَ ذاتِ البينِ هيَ الحالِقةُ “Maukah aku mengabarkan kalian amal yang lebih utama dari salat, puasa, dan sedekah?” Mereka berkata, “Mau.” Beliau bersabda, “Yaitu, memperbaiki hubungan (sesama muslim). Karena rusaknya hubungan (sesama muslim) adalah pencukur (agama).” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi) Ketika kita dizalimi atau diperlakukan buruk oleh seseorang dan orang tersebut dikenal saleh dan baik agamanya, maka sangat dianjurkan anda memaafkannya. Karena Allah Ta’ala telah memuji orang-orang yang suka memaafkan dan ada potensi perbaikan di sana, sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Balaslah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik. Maka, tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushilat: 34) (Lihat Makarimul Akhlak, hal. 25.) Hal ini berbeda kondisi jika orang tersebut dikenal jahat dan bejat. Maka, bisa jadi kita menjatuhkan hukuman (bisa dengan menjauhi, melaporkan kepada pihak berwajib) kepadanya agar tidak timbul kerusakan baru terhadap diri kita maupun orang lain. Syaikhul Islam mengatakan bahwa ishlah (perbaikan) itu wajib, sedangkan memaafkan itu sunah. Jika dengan memaafkan malah membuat tidak terjadi perbaikan, maka ini berarti kita mendahulukan yang sunah daripada yang wajib. Yang seperti ini tidak ada dalam syariat.” (Lihat Makarimul Akhlak, hal. 27.) Baca juga: Marah yang Dianjurkan *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id Tags: bertikai

Sujudnya Malaikat dan Iblis kepada Nabi Adam

Pertanyaan: Mengapa Allah ta’ala memerintahkan Malaikat dan iblis untuk sujud kepada Nabi Adam ‘alaihissalam? Bukankah tidak boleh sujud kepada selain Allah? Mohon penjelasannya. Jawaban:  Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Pertama, sujud ada dua macam. Sujud ibadah dan sujud penghormatan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: السُّجُودُ عَلَى ضَرْبَيْنِ : سُجُودُ عِبَادَةٍ مَحْضَةٍ ، وَسُجُودُ تَشْرِيفٍ ، فَأَمَّا الْأَوَّلُ فَلَا يَكُونُ إلَّا لِلَّهِ “Sujud ada dua macam: sujud yang murni ibadah dan sujud penghormatan. Adapun yang pertama (sujud ibadah) hanya boleh ditujukan kepada Allah semata.” (Majmu’ Al-Fatawa, 4/361). Yang merupakan kesyirikan akbar adalah jika sujud kepada selain Allah dalam rangka beribadah kepadanya. Allah ta’ala berfirman: فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا “Dan sujudlah kepada Allah semata dan beribadahlah hanya kepada-Nya” (QS. An-Najm: 62). Allah ta’ala berfirman: وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ “Sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah bersujud pada matahari dan jangan (pula) pada bulan. Bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.” (QS. Fushilat: 37).  Kedua, adapun sujud penghormatan kepada selain Allah, hukumnya haram di syariat kita namun dibolehkan di syariat-syariat terdahulu. Dan inilah sujud yang diperintahkan oleh Allah kepada Malaikat dan iblis terhadap Nabi Adam ‘alaihissalam. Itu adalah sujud penghormatan, bukan sujud ibadah.  Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan: ( فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ) : سُجُودُ تَحِيَّةٍ وَتَكْرِمَةٍ ، لَا سُجُودَ عِبَادَةٍ “[Mereka para Malaikat pun tunduk untuk bersujud kepada Adam], maksudnya sujud penghormatan dan pemuliaan, bukan sujud ibadah” (Tafsir Ath-Thabari, 14/65). Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan: وَلَا خلاف بَين أحد من أهل الْإِسْلَام فِي أَن سجودهم لله تَعَالَى سُجُود عبَادَة ، ولآدم سُجُود تَحِيَّة وإكرام “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama Islam bahwa sujudnya makhluk kepada Allah adalah sujud ibadah, sedangkan sujudnya Malaikat kepada Adam adalah sujud penghormatan” (Al-Fishal fil Milal, 2/129). Sujud penghormatan kepada selain Allah dibolehkan dalam syariat yang berlaku di masa Nabi ‘Adam ‘alaihissalam dan juga syariat para Nabi terdahulu. Allah ta’ala berfirman: لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَاجًا “Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan syariat dan jalan yang terang” (QS. Al-Maidah: 48). Dalam kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam disebutkan: وَرَفَعَ اَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوْا لَهٗ سُجَّدًاۚ “Dia (Yusuf) menaikkan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana. Mereka tunduk bersujud kepadanya (Yusuf).” (QS. Yusuf: 100). Ath-Thabari menjelaskan ayat ini : ذَلِكَ السُّجُودُ تَشْرِفَة ، كَمَا سَجَدَتِ الْمَلَائِكَةُ لِآدَمَ تَشْرِفَةً ، لَيْسَ بِسُجُودِ عِبَادَةٍ “Maksudnya sujud penghormatan, sebagaimana sujudnya Malaikat kepada Nabi Adam untuk memuliakan beliau. Bukan sujud ibadah.” (Tafsir Ath-Thabari, 13/356). Ini menunjukkan bahwa sujud penghormatan kepada selain Allah dibolehkan dalam syariat-syariat terdahulu. Ketiga, adapun dalam syariat yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, tidak lagi diperbolehkan sujud penghormatan kepada selain Allah, terlebih lagi sujud ibadah. Dalam hadis dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata: لَمَّا قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّامِ سَجَدَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: ( مَا هَذَا يَا مُعَاذُ؟ ) ، قَالَ : أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَافَقْتُهُمْ يَسْجُدُونَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ ، فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ نَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( فَلَا تَفْعَلُوا، فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا “Ketika Mu’adz baru pulang dari negeri Syam, dia bersujud kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Nabi bersabda: “Apa ini wahai Mu’adz?!”. Mu’adz menjawab: “Aku datang ke kota Syam, dan aku mendapati mereka bersujud kepada uskup-uskup mereka dan panglima-panglima perang mereka. Maka aku ingin untuk melakukannya terhadap engkau wahai Rasulullah”. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu lakukan demikian! Sesungguhnya andaikan aku memerintahkan seseorang sujud kepada selain Allah, maka aku akan perintahkan para istri agar sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang istri menunaikan hak Rabb-nya, sampai ia menunaikan hak suaminya” (HR. Ibnu Majah no.1515, Al-Albani mengatakan: “hasan shahih” dalam Shahih Ibnu Majah). Dalam hadis ini Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang Mu’adz sujud kepada beliau walaupun dalam rangka menghormati. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: فإن نصوص السنة ، وإجماع الأمة : تُحرِّم السجودَ لغير الله في شريعتنا ، تحيةً أو عبادةً ، كنهيه لمعاذ بن جبل أن يسجد لما قدمَ من الشام وسجدَ له سجود تحية “Berdasarkan nash-nash As-Sunnah dan juga ijma ulama, bahwa sujud kepada selain Allah itu hukumnya haram di dalam syariat kita. Baik sujud penghormatan ataupun sujud ibadah. Sebagaimana larangan Nabi terhadap Muadz bin Jabal yang bersujud kepada beliau ketika pulang dari Syam, dalam rangka sujud penghormatan” (Jami’ul Masail, 1/25). Ar-Ruhaibani rahimahullah menjelaskan: السُّجُودُ لِلْحُكَّامِ وَالْمَوْتَى بِقَصْدِ الْعِبَادَةِ : كَفْرٌ ، قَوْلًا وَاحِدًا ، بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ . وَالتَّحِيَّةُ لِمَخْلُوقٍ بِالسُّجُودِ لَهُ : كَبِيرَةٌ مِنْ الْكَبَائِرِ الْعِظَامِ “Sujud kepada penguasa dan kepada orang mati dengan niat ibadah adalah kekufuran. Hanya ada satu pendapat dalam masalah ini, ulama telah sepakat. Adapun sujud penghormatan kepada makhluk ini adalah dosa yang besar” (Mathalib Ulin Nuha, 6/278). Sujud kepada selain Allah dengan niat untuk menghormati dan memuliakan, hukumnya haram, termasuk dosa besar dan juga termasuk syirik asghar karena akan menjadi sarana untuk melakukan syirik akbar. Sehingga tetap tidak diperbolehkan walaupun niatnya hanya untuk menghormati atau memuliakan. Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 519 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,071 QRIS donasi Yufid

Sujudnya Malaikat dan Iblis kepada Nabi Adam

Pertanyaan: Mengapa Allah ta’ala memerintahkan Malaikat dan iblis untuk sujud kepada Nabi Adam ‘alaihissalam? Bukankah tidak boleh sujud kepada selain Allah? Mohon penjelasannya. Jawaban:  Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Pertama, sujud ada dua macam. Sujud ibadah dan sujud penghormatan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: السُّجُودُ عَلَى ضَرْبَيْنِ : سُجُودُ عِبَادَةٍ مَحْضَةٍ ، وَسُجُودُ تَشْرِيفٍ ، فَأَمَّا الْأَوَّلُ فَلَا يَكُونُ إلَّا لِلَّهِ “Sujud ada dua macam: sujud yang murni ibadah dan sujud penghormatan. Adapun yang pertama (sujud ibadah) hanya boleh ditujukan kepada Allah semata.” (Majmu’ Al-Fatawa, 4/361). Yang merupakan kesyirikan akbar adalah jika sujud kepada selain Allah dalam rangka beribadah kepadanya. Allah ta’ala berfirman: فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا “Dan sujudlah kepada Allah semata dan beribadahlah hanya kepada-Nya” (QS. An-Najm: 62). Allah ta’ala berfirman: وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ “Sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah bersujud pada matahari dan jangan (pula) pada bulan. Bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.” (QS. Fushilat: 37).  Kedua, adapun sujud penghormatan kepada selain Allah, hukumnya haram di syariat kita namun dibolehkan di syariat-syariat terdahulu. Dan inilah sujud yang diperintahkan oleh Allah kepada Malaikat dan iblis terhadap Nabi Adam ‘alaihissalam. Itu adalah sujud penghormatan, bukan sujud ibadah.  Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan: ( فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ) : سُجُودُ تَحِيَّةٍ وَتَكْرِمَةٍ ، لَا سُجُودَ عِبَادَةٍ “[Mereka para Malaikat pun tunduk untuk bersujud kepada Adam], maksudnya sujud penghormatan dan pemuliaan, bukan sujud ibadah” (Tafsir Ath-Thabari, 14/65). Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan: وَلَا خلاف بَين أحد من أهل الْإِسْلَام فِي أَن سجودهم لله تَعَالَى سُجُود عبَادَة ، ولآدم سُجُود تَحِيَّة وإكرام “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama Islam bahwa sujudnya makhluk kepada Allah adalah sujud ibadah, sedangkan sujudnya Malaikat kepada Adam adalah sujud penghormatan” (Al-Fishal fil Milal, 2/129). Sujud penghormatan kepada selain Allah dibolehkan dalam syariat yang berlaku di masa Nabi ‘Adam ‘alaihissalam dan juga syariat para Nabi terdahulu. Allah ta’ala berfirman: لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَاجًا “Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan syariat dan jalan yang terang” (QS. Al-Maidah: 48). Dalam kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam disebutkan: وَرَفَعَ اَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوْا لَهٗ سُجَّدًاۚ “Dia (Yusuf) menaikkan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana. Mereka tunduk bersujud kepadanya (Yusuf).” (QS. Yusuf: 100). Ath-Thabari menjelaskan ayat ini : ذَلِكَ السُّجُودُ تَشْرِفَة ، كَمَا سَجَدَتِ الْمَلَائِكَةُ لِآدَمَ تَشْرِفَةً ، لَيْسَ بِسُجُودِ عِبَادَةٍ “Maksudnya sujud penghormatan, sebagaimana sujudnya Malaikat kepada Nabi Adam untuk memuliakan beliau. Bukan sujud ibadah.” (Tafsir Ath-Thabari, 13/356). Ini menunjukkan bahwa sujud penghormatan kepada selain Allah dibolehkan dalam syariat-syariat terdahulu. Ketiga, adapun dalam syariat yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, tidak lagi diperbolehkan sujud penghormatan kepada selain Allah, terlebih lagi sujud ibadah. Dalam hadis dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata: لَمَّا قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّامِ سَجَدَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: ( مَا هَذَا يَا مُعَاذُ؟ ) ، قَالَ : أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَافَقْتُهُمْ يَسْجُدُونَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ ، فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ نَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( فَلَا تَفْعَلُوا، فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا “Ketika Mu’adz baru pulang dari negeri Syam, dia bersujud kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Nabi bersabda: “Apa ini wahai Mu’adz?!”. Mu’adz menjawab: “Aku datang ke kota Syam, dan aku mendapati mereka bersujud kepada uskup-uskup mereka dan panglima-panglima perang mereka. Maka aku ingin untuk melakukannya terhadap engkau wahai Rasulullah”. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu lakukan demikian! Sesungguhnya andaikan aku memerintahkan seseorang sujud kepada selain Allah, maka aku akan perintahkan para istri agar sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang istri menunaikan hak Rabb-nya, sampai ia menunaikan hak suaminya” (HR. Ibnu Majah no.1515, Al-Albani mengatakan: “hasan shahih” dalam Shahih Ibnu Majah). Dalam hadis ini Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang Mu’adz sujud kepada beliau walaupun dalam rangka menghormati. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: فإن نصوص السنة ، وإجماع الأمة : تُحرِّم السجودَ لغير الله في شريعتنا ، تحيةً أو عبادةً ، كنهيه لمعاذ بن جبل أن يسجد لما قدمَ من الشام وسجدَ له سجود تحية “Berdasarkan nash-nash As-Sunnah dan juga ijma ulama, bahwa sujud kepada selain Allah itu hukumnya haram di dalam syariat kita. Baik sujud penghormatan ataupun sujud ibadah. Sebagaimana larangan Nabi terhadap Muadz bin Jabal yang bersujud kepada beliau ketika pulang dari Syam, dalam rangka sujud penghormatan” (Jami’ul Masail, 1/25). Ar-Ruhaibani rahimahullah menjelaskan: السُّجُودُ لِلْحُكَّامِ وَالْمَوْتَى بِقَصْدِ الْعِبَادَةِ : كَفْرٌ ، قَوْلًا وَاحِدًا ، بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ . وَالتَّحِيَّةُ لِمَخْلُوقٍ بِالسُّجُودِ لَهُ : كَبِيرَةٌ مِنْ الْكَبَائِرِ الْعِظَامِ “Sujud kepada penguasa dan kepada orang mati dengan niat ibadah adalah kekufuran. Hanya ada satu pendapat dalam masalah ini, ulama telah sepakat. Adapun sujud penghormatan kepada makhluk ini adalah dosa yang besar” (Mathalib Ulin Nuha, 6/278). Sujud kepada selain Allah dengan niat untuk menghormati dan memuliakan, hukumnya haram, termasuk dosa besar dan juga termasuk syirik asghar karena akan menjadi sarana untuk melakukan syirik akbar. Sehingga tetap tidak diperbolehkan walaupun niatnya hanya untuk menghormati atau memuliakan. Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 519 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,071 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Mengapa Allah ta’ala memerintahkan Malaikat dan iblis untuk sujud kepada Nabi Adam ‘alaihissalam? Bukankah tidak boleh sujud kepada selain Allah? Mohon penjelasannya. Jawaban:  Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Pertama, sujud ada dua macam. Sujud ibadah dan sujud penghormatan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: السُّجُودُ عَلَى ضَرْبَيْنِ : سُجُودُ عِبَادَةٍ مَحْضَةٍ ، وَسُجُودُ تَشْرِيفٍ ، فَأَمَّا الْأَوَّلُ فَلَا يَكُونُ إلَّا لِلَّهِ “Sujud ada dua macam: sujud yang murni ibadah dan sujud penghormatan. Adapun yang pertama (sujud ibadah) hanya boleh ditujukan kepada Allah semata.” (Majmu’ Al-Fatawa, 4/361). Yang merupakan kesyirikan akbar adalah jika sujud kepada selain Allah dalam rangka beribadah kepadanya. Allah ta’ala berfirman: فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا “Dan sujudlah kepada Allah semata dan beribadahlah hanya kepada-Nya” (QS. An-Najm: 62). Allah ta’ala berfirman: وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ “Sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah bersujud pada matahari dan jangan (pula) pada bulan. Bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.” (QS. Fushilat: 37).  Kedua, adapun sujud penghormatan kepada selain Allah, hukumnya haram di syariat kita namun dibolehkan di syariat-syariat terdahulu. Dan inilah sujud yang diperintahkan oleh Allah kepada Malaikat dan iblis terhadap Nabi Adam ‘alaihissalam. Itu adalah sujud penghormatan, bukan sujud ibadah.  Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan: ( فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ) : سُجُودُ تَحِيَّةٍ وَتَكْرِمَةٍ ، لَا سُجُودَ عِبَادَةٍ “[Mereka para Malaikat pun tunduk untuk bersujud kepada Adam], maksudnya sujud penghormatan dan pemuliaan, bukan sujud ibadah” (Tafsir Ath-Thabari, 14/65). Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan: وَلَا خلاف بَين أحد من أهل الْإِسْلَام فِي أَن سجودهم لله تَعَالَى سُجُود عبَادَة ، ولآدم سُجُود تَحِيَّة وإكرام “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama Islam bahwa sujudnya makhluk kepada Allah adalah sujud ibadah, sedangkan sujudnya Malaikat kepada Adam adalah sujud penghormatan” (Al-Fishal fil Milal, 2/129). Sujud penghormatan kepada selain Allah dibolehkan dalam syariat yang berlaku di masa Nabi ‘Adam ‘alaihissalam dan juga syariat para Nabi terdahulu. Allah ta’ala berfirman: لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَاجًا “Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan syariat dan jalan yang terang” (QS. Al-Maidah: 48). Dalam kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam disebutkan: وَرَفَعَ اَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوْا لَهٗ سُجَّدًاۚ “Dia (Yusuf) menaikkan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana. Mereka tunduk bersujud kepadanya (Yusuf).” (QS. Yusuf: 100). Ath-Thabari menjelaskan ayat ini : ذَلِكَ السُّجُودُ تَشْرِفَة ، كَمَا سَجَدَتِ الْمَلَائِكَةُ لِآدَمَ تَشْرِفَةً ، لَيْسَ بِسُجُودِ عِبَادَةٍ “Maksudnya sujud penghormatan, sebagaimana sujudnya Malaikat kepada Nabi Adam untuk memuliakan beliau. Bukan sujud ibadah.” (Tafsir Ath-Thabari, 13/356). Ini menunjukkan bahwa sujud penghormatan kepada selain Allah dibolehkan dalam syariat-syariat terdahulu. Ketiga, adapun dalam syariat yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, tidak lagi diperbolehkan sujud penghormatan kepada selain Allah, terlebih lagi sujud ibadah. Dalam hadis dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata: لَمَّا قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّامِ سَجَدَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: ( مَا هَذَا يَا مُعَاذُ؟ ) ، قَالَ : أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَافَقْتُهُمْ يَسْجُدُونَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ ، فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ نَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( فَلَا تَفْعَلُوا، فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا “Ketika Mu’adz baru pulang dari negeri Syam, dia bersujud kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Nabi bersabda: “Apa ini wahai Mu’adz?!”. Mu’adz menjawab: “Aku datang ke kota Syam, dan aku mendapati mereka bersujud kepada uskup-uskup mereka dan panglima-panglima perang mereka. Maka aku ingin untuk melakukannya terhadap engkau wahai Rasulullah”. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu lakukan demikian! Sesungguhnya andaikan aku memerintahkan seseorang sujud kepada selain Allah, maka aku akan perintahkan para istri agar sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang istri menunaikan hak Rabb-nya, sampai ia menunaikan hak suaminya” (HR. Ibnu Majah no.1515, Al-Albani mengatakan: “hasan shahih” dalam Shahih Ibnu Majah). Dalam hadis ini Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang Mu’adz sujud kepada beliau walaupun dalam rangka menghormati. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: فإن نصوص السنة ، وإجماع الأمة : تُحرِّم السجودَ لغير الله في شريعتنا ، تحيةً أو عبادةً ، كنهيه لمعاذ بن جبل أن يسجد لما قدمَ من الشام وسجدَ له سجود تحية “Berdasarkan nash-nash As-Sunnah dan juga ijma ulama, bahwa sujud kepada selain Allah itu hukumnya haram di dalam syariat kita. Baik sujud penghormatan ataupun sujud ibadah. Sebagaimana larangan Nabi terhadap Muadz bin Jabal yang bersujud kepada beliau ketika pulang dari Syam, dalam rangka sujud penghormatan” (Jami’ul Masail, 1/25). Ar-Ruhaibani rahimahullah menjelaskan: السُّجُودُ لِلْحُكَّامِ وَالْمَوْتَى بِقَصْدِ الْعِبَادَةِ : كَفْرٌ ، قَوْلًا وَاحِدًا ، بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ . وَالتَّحِيَّةُ لِمَخْلُوقٍ بِالسُّجُودِ لَهُ : كَبِيرَةٌ مِنْ الْكَبَائِرِ الْعِظَامِ “Sujud kepada penguasa dan kepada orang mati dengan niat ibadah adalah kekufuran. Hanya ada satu pendapat dalam masalah ini, ulama telah sepakat. Adapun sujud penghormatan kepada makhluk ini adalah dosa yang besar” (Mathalib Ulin Nuha, 6/278). Sujud kepada selain Allah dengan niat untuk menghormati dan memuliakan, hukumnya haram, termasuk dosa besar dan juga termasuk syirik asghar karena akan menjadi sarana untuk melakukan syirik akbar. Sehingga tetap tidak diperbolehkan walaupun niatnya hanya untuk menghormati atau memuliakan. Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 519 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,071 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Mengapa Allah ta’ala memerintahkan Malaikat dan iblis untuk sujud kepada Nabi Adam ‘alaihissalam? Bukankah tidak boleh sujud kepada selain Allah? Mohon penjelasannya. Jawaban:  Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Pertama, sujud ada dua macam. Sujud ibadah dan sujud penghormatan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: السُّجُودُ عَلَى ضَرْبَيْنِ : سُجُودُ عِبَادَةٍ مَحْضَةٍ ، وَسُجُودُ تَشْرِيفٍ ، فَأَمَّا الْأَوَّلُ فَلَا يَكُونُ إلَّا لِلَّهِ “Sujud ada dua macam: sujud yang murni ibadah dan sujud penghormatan. Adapun yang pertama (sujud ibadah) hanya boleh ditujukan kepada Allah semata.” (Majmu’ Al-Fatawa, 4/361). Yang merupakan kesyirikan akbar adalah jika sujud kepada selain Allah dalam rangka beribadah kepadanya. Allah ta’ala berfirman: فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا “Dan sujudlah kepada Allah semata dan beribadahlah hanya kepada-Nya” (QS. An-Najm: 62). Allah ta’ala berfirman: وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ “Sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah bersujud pada matahari dan jangan (pula) pada bulan. Bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.” (QS. Fushilat: 37).  Kedua, adapun sujud penghormatan kepada selain Allah, hukumnya haram di syariat kita namun dibolehkan di syariat-syariat terdahulu. Dan inilah sujud yang diperintahkan oleh Allah kepada Malaikat dan iblis terhadap Nabi Adam ‘alaihissalam. Itu adalah sujud penghormatan, bukan sujud ibadah.  Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan: ( فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ) : سُجُودُ تَحِيَّةٍ وَتَكْرِمَةٍ ، لَا سُجُودَ عِبَادَةٍ “[Mereka para Malaikat pun tunduk untuk bersujud kepada Adam], maksudnya sujud penghormatan dan pemuliaan, bukan sujud ibadah” (Tafsir Ath-Thabari, 14/65). Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan: وَلَا خلاف بَين أحد من أهل الْإِسْلَام فِي أَن سجودهم لله تَعَالَى سُجُود عبَادَة ، ولآدم سُجُود تَحِيَّة وإكرام “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama Islam bahwa sujudnya makhluk kepada Allah adalah sujud ibadah, sedangkan sujudnya Malaikat kepada Adam adalah sujud penghormatan” (Al-Fishal fil Milal, 2/129). Sujud penghormatan kepada selain Allah dibolehkan dalam syariat yang berlaku di masa Nabi ‘Adam ‘alaihissalam dan juga syariat para Nabi terdahulu. Allah ta’ala berfirman: لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَاجًا “Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan syariat dan jalan yang terang” (QS. Al-Maidah: 48). Dalam kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam disebutkan: وَرَفَعَ اَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوْا لَهٗ سُجَّدًاۚ “Dia (Yusuf) menaikkan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana. Mereka tunduk bersujud kepadanya (Yusuf).” (QS. Yusuf: 100). Ath-Thabari menjelaskan ayat ini : ذَلِكَ السُّجُودُ تَشْرِفَة ، كَمَا سَجَدَتِ الْمَلَائِكَةُ لِآدَمَ تَشْرِفَةً ، لَيْسَ بِسُجُودِ عِبَادَةٍ “Maksudnya sujud penghormatan, sebagaimana sujudnya Malaikat kepada Nabi Adam untuk memuliakan beliau. Bukan sujud ibadah.” (Tafsir Ath-Thabari, 13/356). Ini menunjukkan bahwa sujud penghormatan kepada selain Allah dibolehkan dalam syariat-syariat terdahulu. Ketiga, adapun dalam syariat yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, tidak lagi diperbolehkan sujud penghormatan kepada selain Allah, terlebih lagi sujud ibadah. Dalam hadis dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata: لَمَّا قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّامِ سَجَدَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: ( مَا هَذَا يَا مُعَاذُ؟ ) ، قَالَ : أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَافَقْتُهُمْ يَسْجُدُونَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ ، فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ نَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( فَلَا تَفْعَلُوا، فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا “Ketika Mu’adz baru pulang dari negeri Syam, dia bersujud kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Nabi bersabda: “Apa ini wahai Mu’adz?!”. Mu’adz menjawab: “Aku datang ke kota Syam, dan aku mendapati mereka bersujud kepada uskup-uskup mereka dan panglima-panglima perang mereka. Maka aku ingin untuk melakukannya terhadap engkau wahai Rasulullah”. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu lakukan demikian! Sesungguhnya andaikan aku memerintahkan seseorang sujud kepada selain Allah, maka aku akan perintahkan para istri agar sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang istri menunaikan hak Rabb-nya, sampai ia menunaikan hak suaminya” (HR. Ibnu Majah no.1515, Al-Albani mengatakan: “hasan shahih” dalam Shahih Ibnu Majah). Dalam hadis ini Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang Mu’adz sujud kepada beliau walaupun dalam rangka menghormati. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: فإن نصوص السنة ، وإجماع الأمة : تُحرِّم السجودَ لغير الله في شريعتنا ، تحيةً أو عبادةً ، كنهيه لمعاذ بن جبل أن يسجد لما قدمَ من الشام وسجدَ له سجود تحية “Berdasarkan nash-nash As-Sunnah dan juga ijma ulama, bahwa sujud kepada selain Allah itu hukumnya haram di dalam syariat kita. Baik sujud penghormatan ataupun sujud ibadah. Sebagaimana larangan Nabi terhadap Muadz bin Jabal yang bersujud kepada beliau ketika pulang dari Syam, dalam rangka sujud penghormatan” (Jami’ul Masail, 1/25). Ar-Ruhaibani rahimahullah menjelaskan: السُّجُودُ لِلْحُكَّامِ وَالْمَوْتَى بِقَصْدِ الْعِبَادَةِ : كَفْرٌ ، قَوْلًا وَاحِدًا ، بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ . وَالتَّحِيَّةُ لِمَخْلُوقٍ بِالسُّجُودِ لَهُ : كَبِيرَةٌ مِنْ الْكَبَائِرِ الْعِظَامِ “Sujud kepada penguasa dan kepada orang mati dengan niat ibadah adalah kekufuran. Hanya ada satu pendapat dalam masalah ini, ulama telah sepakat. Adapun sujud penghormatan kepada makhluk ini adalah dosa yang besar” (Mathalib Ulin Nuha, 6/278). Sujud kepada selain Allah dengan niat untuk menghormati dan memuliakan, hukumnya haram, termasuk dosa besar dan juga termasuk syirik asghar karena akan menjadi sarana untuk melakukan syirik akbar. Sehingga tetap tidak diperbolehkan walaupun niatnya hanya untuk menghormati atau memuliakan. Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 519 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,071 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Memperbaiki Hati dan Mengokohkan Iman dengan Al-Quran

Di antara cara dan metode untuk memperbaiki kondisi hati kita, juga untuk menambah, mempertebal, dan mengokohkan iman adalah dengan membaca Al-Quran dan merenungi makna ayat-ayatnya. Karena Al-Quran diturunkan oleh Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya sebagai rahmat, petunjuk, kabar gembira, serta pengingat bagi orang-orang yang mau mengingat Allah. Allah Ta’ala juga berfirman, وَهَٰذَا كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ مُبَارَك فَٱتَّبِعُوهُ وَٱتَّقُواْ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ “Dan Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (QS. Al-An’am: 155) Al-Quran diturunkan sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala juga berfirman, وَلَقَدۡ جِئۡنَٰهُم بِكِتَٰب فَصَّلۡنَٰهُ عَلَىٰ عِلۡمٍ هُدى وَرَحۡمَة لِّقَوۡم يُؤۡمِنُونَ “Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al-Quran) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A’raf: 52) Allah Ta’ala juga berfirman, وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنا لِّكُلِّ شَيۡء وَهُدى وَرَحۡمَة وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِينَ “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang mau berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89) Allah Ta’ala pun berfirman, إِنَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ يَهۡدِي لِلَّتِي هِيَ أَقۡوَمُ وَيُبَشِّرُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمۡ أَجۡرا كَبِيرا “Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Al-Isra’: 9) Al-Quran diturunkan dengan penuh keberkahan. Allah Ta’ala juga berfirman, كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَك لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai fikiran bisa mendapatkan pelajaran.” (QS. Sad: 29) Al-Quran diturunkan sebagai obat (penawar), baik untuk penyakit badan dan juga penyakit hati. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَآء وَرَحۡمَة لِّلۡمُؤۡمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارا “Dan Kami turunkan dari Al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Isra’: 82) Demikian pula, Al-Quran diturunkan sebagai peringatan bagi orang-orang yang mau merenunginya. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكۡرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُۥ قَلۡبٌ أَوۡ أَلۡقَى ٱلسَّمۡعَ وَهُوَ شَهِيد “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaf: 37) Pada ayat-ayat Al-Quran tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan keutamaan yang dimiliki oleh Al-Quranul Karim. Allah Ta’ala telah menjadikan Al-Quran penuh berkah dan petunjuk bagi semesta alam. Allah Ta’ala menjadikan di dalam Al-Quran penyembuh atas berbagai penyakit, lebih-lebih penyakit syubhat dan syahwat yang terdapat di dalam hati. Allah Ta’ala pun menjadikan Al-Quran sebagai kabar gembira dan kasih sayang bagi semesta alam, juga menjadi pengingat bagi orang-orang yang mau ingat dan menjadikan di dalamnya terdapat ayat-ayat peringatan. Semua itu agar manusia mau bertakwa dan bisa menjadi pengingat bagi mereka. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila orang yang menekuni Al-Quran adalah di antara wali (kekasih) Allah. Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنْ النَّاسِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ هُمْ أَهْلُ الْقُرْآنِ أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ “Sesungguhnya Allah mempunyai banyak ahli (wali) dari kalangan manusia.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah mereka itu?” Beliau menjawab, “Mereka adalah ahlul Quran, mereka adalah para ahli dan orang khusus Allah.” (HR. Ahmad no. 12293, An-Nasa’i dalam Al-Kabir no. 7977, dan Ibnu Majah no. 215, dinilai sahih oleh Al-Albani) Baca juga: Kebahagiaan di Balik Ahli Quran Demikian pula, hamba Allah yang terbaik adalah mereka yang senantiasa tekun belajar Al-Quran dan kemudian mengajarkan Al-Quran. Dari sahabat Utsman radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ “Orang yang paling baik di antara kalian adalah seorang yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari no. 5027) Sampai-sampai, kita boleh hasad kepada orang yang telah diberi nikmat berupa ilmu tentang Al-Quran. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ فَقَالَ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يُهْلِكُهُ فِي الْحَقِّ فَقَالَ رَجُلٌ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ “Tidak diperbolehkan hasad kecuali pada dua perkara, yaitu kepada seseorang yang telah diajari Al-Quran oleh Allah, sehingga ia membacanya di pertengahan malam dan siang. Sampai tetangga yang mendengarnya berkata, ‘Duh.., sekiranya aku diberikan sebagaimana apa yang diberikan kepada si Fulan, niscaya aku akan melakukan apa yang dia lakukan.’ Kemudian seseorang diberi karunia harta oleh Allah, sehingga ia dapat membelanjakannya pada kebenaran. Lalu orang pun berkata, ‘Seandainya aku diberi karunia sebagaimana si Fulan, niscaya aku akan melakukan sebagaimana yang dilakukannya.’” (HR. Bukhari no. 5026) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah membuat perumpamaan bagi seorang mukmin yang gemar membaca Al-Quran. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam umpamakan seperti buah utrujah (semacam buah apel), buah yang baunya harum dan ketika dimakan, rasanya pun enak. Dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْأُتْرُجَّةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ لَا رِيحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ لَيْسَ لَهَا رِيحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ “Perumpamaan seorang mukmin yang suka membaca Al-Quran seperti buah utrujah, baunya harum dan rasanya enak. Perumpamaan seorang mukmin yang tidak suka membaca Al-Quran seperti buah kurma, tidak berbau harum, namun rasanya manis. Perumpamaan seorang munafik yang suka membaca Al-Quran seperti buah raihanah, baunya harum tapi rasanya pahit. Dan perumpamaan seorang munafik yang tidak suka membaca Al-Quran seperti buah hanzhalah, baunya tidak enak dan rasanya pahit.” (HR. Bukhari no. 5427 dan Muslim no. 797) Ketika kita membaca Al-Quran, kita akan dapati bahwa di dalamnya terdapat berbagai ilmu dan pengetahuan yang bisa memperbaiki dan mengobati hatinya; serta bisa menguatkan serta mengokohkan imannya. Seseorang akan mengetahui bahwa isinya adalah tentang Allah Ta’ala, kesempurnaan nama dan sifat Allah Ta’ala. Dengan membaca Al-Quran dan merenungi maknanya, seseorang akan semakin mengenal Allah Ta’ala. Seseorang mengenal Allah sebagai pemilik langit dan bumi, yang memberikan rizki untuk hamba-hamba-Nya, dan yang mengatur semua urusan di alam semesta. Allah pun mengingatkan hamba-hamba-Nya atas kebutuhan mereka terhadap-Nya, dan besarnya hajat mereka kepada-Nya dari segala sisi. Di dalam Al-Quran, Allah menyebutkan hal-hal yang bisa membahagiakan mereka dan mengantarkan mereka kepada keberuntungan, berupa ibadah, ketaatan, dan amal saleh. Allah memotivasi mereka atas hal tersebut. Sebaliknya, Allah Ta’ala pun peringatkan mereka atas apa yang bisa mencelakakan mereka, berupa perbuatan dosa, maksiat, dan keburukan. Allah peringatkan mereka dari kemurkaan-Nya. Allah ingatkan mereka tentang apa yang telah disiapkannya berupa kemuliaan bagi mereka jika menaati-Nya, apa yang telah disiapkannya berupa hukuman bagi mereka jika mereka tidak menaati dan mendurhakai-Nya. Allah Ta’ala memuji para kekasih-Nya dengan sebab amal saleh dan sifat mereka yang mulia, lalu mencela musuh-musuh-Nya dengan sebab keburukan amal dan jeleknya sifat-sifat mereka. Allah Ta’ala juga mengabarkan bagaimana Allah telah membalas para kekasih-Nya berupa kebaikan dan pahala; dan apa yang telah Allah Ta’ala balas kepada musuh-musuh-Nya berupa azab dan hukuman. Allah Ta’ala pun kabarkan tentang kesudahan kedua kelompok tersebut. Allah mengajak kepada negeri keselamatan (surga), menyebutkan sifat-sifat, keindahan, serta kenikmatannya. Juga memberi peringatan tentang negeri kebinasaan (neraka), mengingatkan adzab serta kepedihan di dalamnya. Allah telah mengabarkan bahwa Al-Quran bisa menambahkan keimanan bagi orang-orang yang beriman jika mereka membaca dan mentadaburi ayat-ayatnya. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُهُمۡ وَإِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنا وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka. Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya). Dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal.” (QS. Al-Anfal: 2) Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk ke dalam golongan ahlul Qur’an. Baca juga: Karakteristik Fundamental Al-Quran *** “Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri.” @BA, 11 Dzulqa’dah 1445/ 20 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 13; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: Al-Quran

Memperbaiki Hati dan Mengokohkan Iman dengan Al-Quran

Di antara cara dan metode untuk memperbaiki kondisi hati kita, juga untuk menambah, mempertebal, dan mengokohkan iman adalah dengan membaca Al-Quran dan merenungi makna ayat-ayatnya. Karena Al-Quran diturunkan oleh Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya sebagai rahmat, petunjuk, kabar gembira, serta pengingat bagi orang-orang yang mau mengingat Allah. Allah Ta’ala juga berfirman, وَهَٰذَا كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ مُبَارَك فَٱتَّبِعُوهُ وَٱتَّقُواْ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ “Dan Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (QS. Al-An’am: 155) Al-Quran diturunkan sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala juga berfirman, وَلَقَدۡ جِئۡنَٰهُم بِكِتَٰب فَصَّلۡنَٰهُ عَلَىٰ عِلۡمٍ هُدى وَرَحۡمَة لِّقَوۡم يُؤۡمِنُونَ “Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al-Quran) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A’raf: 52) Allah Ta’ala juga berfirman, وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنا لِّكُلِّ شَيۡء وَهُدى وَرَحۡمَة وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِينَ “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang mau berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89) Allah Ta’ala pun berfirman, إِنَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ يَهۡدِي لِلَّتِي هِيَ أَقۡوَمُ وَيُبَشِّرُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمۡ أَجۡرا كَبِيرا “Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Al-Isra’: 9) Al-Quran diturunkan dengan penuh keberkahan. Allah Ta’ala juga berfirman, كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَك لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai fikiran bisa mendapatkan pelajaran.” (QS. Sad: 29) Al-Quran diturunkan sebagai obat (penawar), baik untuk penyakit badan dan juga penyakit hati. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَآء وَرَحۡمَة لِّلۡمُؤۡمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارا “Dan Kami turunkan dari Al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Isra’: 82) Demikian pula, Al-Quran diturunkan sebagai peringatan bagi orang-orang yang mau merenunginya. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكۡرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُۥ قَلۡبٌ أَوۡ أَلۡقَى ٱلسَّمۡعَ وَهُوَ شَهِيد “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaf: 37) Pada ayat-ayat Al-Quran tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan keutamaan yang dimiliki oleh Al-Quranul Karim. Allah Ta’ala telah menjadikan Al-Quran penuh berkah dan petunjuk bagi semesta alam. Allah Ta’ala menjadikan di dalam Al-Quran penyembuh atas berbagai penyakit, lebih-lebih penyakit syubhat dan syahwat yang terdapat di dalam hati. Allah Ta’ala pun menjadikan Al-Quran sebagai kabar gembira dan kasih sayang bagi semesta alam, juga menjadi pengingat bagi orang-orang yang mau ingat dan menjadikan di dalamnya terdapat ayat-ayat peringatan. Semua itu agar manusia mau bertakwa dan bisa menjadi pengingat bagi mereka. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila orang yang menekuni Al-Quran adalah di antara wali (kekasih) Allah. Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنْ النَّاسِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ هُمْ أَهْلُ الْقُرْآنِ أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ “Sesungguhnya Allah mempunyai banyak ahli (wali) dari kalangan manusia.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah mereka itu?” Beliau menjawab, “Mereka adalah ahlul Quran, mereka adalah para ahli dan orang khusus Allah.” (HR. Ahmad no. 12293, An-Nasa’i dalam Al-Kabir no. 7977, dan Ibnu Majah no. 215, dinilai sahih oleh Al-Albani) Baca juga: Kebahagiaan di Balik Ahli Quran Demikian pula, hamba Allah yang terbaik adalah mereka yang senantiasa tekun belajar Al-Quran dan kemudian mengajarkan Al-Quran. Dari sahabat Utsman radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ “Orang yang paling baik di antara kalian adalah seorang yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari no. 5027) Sampai-sampai, kita boleh hasad kepada orang yang telah diberi nikmat berupa ilmu tentang Al-Quran. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ فَقَالَ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يُهْلِكُهُ فِي الْحَقِّ فَقَالَ رَجُلٌ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ “Tidak diperbolehkan hasad kecuali pada dua perkara, yaitu kepada seseorang yang telah diajari Al-Quran oleh Allah, sehingga ia membacanya di pertengahan malam dan siang. Sampai tetangga yang mendengarnya berkata, ‘Duh.., sekiranya aku diberikan sebagaimana apa yang diberikan kepada si Fulan, niscaya aku akan melakukan apa yang dia lakukan.’ Kemudian seseorang diberi karunia harta oleh Allah, sehingga ia dapat membelanjakannya pada kebenaran. Lalu orang pun berkata, ‘Seandainya aku diberi karunia sebagaimana si Fulan, niscaya aku akan melakukan sebagaimana yang dilakukannya.’” (HR. Bukhari no. 5026) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah membuat perumpamaan bagi seorang mukmin yang gemar membaca Al-Quran. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam umpamakan seperti buah utrujah (semacam buah apel), buah yang baunya harum dan ketika dimakan, rasanya pun enak. Dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْأُتْرُجَّةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ لَا رِيحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ لَيْسَ لَهَا رِيحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ “Perumpamaan seorang mukmin yang suka membaca Al-Quran seperti buah utrujah, baunya harum dan rasanya enak. Perumpamaan seorang mukmin yang tidak suka membaca Al-Quran seperti buah kurma, tidak berbau harum, namun rasanya manis. Perumpamaan seorang munafik yang suka membaca Al-Quran seperti buah raihanah, baunya harum tapi rasanya pahit. Dan perumpamaan seorang munafik yang tidak suka membaca Al-Quran seperti buah hanzhalah, baunya tidak enak dan rasanya pahit.” (HR. Bukhari no. 5427 dan Muslim no. 797) Ketika kita membaca Al-Quran, kita akan dapati bahwa di dalamnya terdapat berbagai ilmu dan pengetahuan yang bisa memperbaiki dan mengobati hatinya; serta bisa menguatkan serta mengokohkan imannya. Seseorang akan mengetahui bahwa isinya adalah tentang Allah Ta’ala, kesempurnaan nama dan sifat Allah Ta’ala. Dengan membaca Al-Quran dan merenungi maknanya, seseorang akan semakin mengenal Allah Ta’ala. Seseorang mengenal Allah sebagai pemilik langit dan bumi, yang memberikan rizki untuk hamba-hamba-Nya, dan yang mengatur semua urusan di alam semesta. Allah pun mengingatkan hamba-hamba-Nya atas kebutuhan mereka terhadap-Nya, dan besarnya hajat mereka kepada-Nya dari segala sisi. Di dalam Al-Quran, Allah menyebutkan hal-hal yang bisa membahagiakan mereka dan mengantarkan mereka kepada keberuntungan, berupa ibadah, ketaatan, dan amal saleh. Allah memotivasi mereka atas hal tersebut. Sebaliknya, Allah Ta’ala pun peringatkan mereka atas apa yang bisa mencelakakan mereka, berupa perbuatan dosa, maksiat, dan keburukan. Allah peringatkan mereka dari kemurkaan-Nya. Allah ingatkan mereka tentang apa yang telah disiapkannya berupa kemuliaan bagi mereka jika menaati-Nya, apa yang telah disiapkannya berupa hukuman bagi mereka jika mereka tidak menaati dan mendurhakai-Nya. Allah Ta’ala memuji para kekasih-Nya dengan sebab amal saleh dan sifat mereka yang mulia, lalu mencela musuh-musuh-Nya dengan sebab keburukan amal dan jeleknya sifat-sifat mereka. Allah Ta’ala juga mengabarkan bagaimana Allah telah membalas para kekasih-Nya berupa kebaikan dan pahala; dan apa yang telah Allah Ta’ala balas kepada musuh-musuh-Nya berupa azab dan hukuman. Allah Ta’ala pun kabarkan tentang kesudahan kedua kelompok tersebut. Allah mengajak kepada negeri keselamatan (surga), menyebutkan sifat-sifat, keindahan, serta kenikmatannya. Juga memberi peringatan tentang negeri kebinasaan (neraka), mengingatkan adzab serta kepedihan di dalamnya. Allah telah mengabarkan bahwa Al-Quran bisa menambahkan keimanan bagi orang-orang yang beriman jika mereka membaca dan mentadaburi ayat-ayatnya. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُهُمۡ وَإِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنا وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka. Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya). Dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal.” (QS. Al-Anfal: 2) Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk ke dalam golongan ahlul Qur’an. Baca juga: Karakteristik Fundamental Al-Quran *** “Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri.” @BA, 11 Dzulqa’dah 1445/ 20 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 13; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: Al-Quran
Di antara cara dan metode untuk memperbaiki kondisi hati kita, juga untuk menambah, mempertebal, dan mengokohkan iman adalah dengan membaca Al-Quran dan merenungi makna ayat-ayatnya. Karena Al-Quran diturunkan oleh Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya sebagai rahmat, petunjuk, kabar gembira, serta pengingat bagi orang-orang yang mau mengingat Allah. Allah Ta’ala juga berfirman, وَهَٰذَا كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ مُبَارَك فَٱتَّبِعُوهُ وَٱتَّقُواْ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ “Dan Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (QS. Al-An’am: 155) Al-Quran diturunkan sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala juga berfirman, وَلَقَدۡ جِئۡنَٰهُم بِكِتَٰب فَصَّلۡنَٰهُ عَلَىٰ عِلۡمٍ هُدى وَرَحۡمَة لِّقَوۡم يُؤۡمِنُونَ “Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al-Quran) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A’raf: 52) Allah Ta’ala juga berfirman, وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنا لِّكُلِّ شَيۡء وَهُدى وَرَحۡمَة وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِينَ “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang mau berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89) Allah Ta’ala pun berfirman, إِنَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ يَهۡدِي لِلَّتِي هِيَ أَقۡوَمُ وَيُبَشِّرُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمۡ أَجۡرا كَبِيرا “Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Al-Isra’: 9) Al-Quran diturunkan dengan penuh keberkahan. Allah Ta’ala juga berfirman, كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَك لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai fikiran bisa mendapatkan pelajaran.” (QS. Sad: 29) Al-Quran diturunkan sebagai obat (penawar), baik untuk penyakit badan dan juga penyakit hati. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَآء وَرَحۡمَة لِّلۡمُؤۡمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارا “Dan Kami turunkan dari Al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Isra’: 82) Demikian pula, Al-Quran diturunkan sebagai peringatan bagi orang-orang yang mau merenunginya. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكۡرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُۥ قَلۡبٌ أَوۡ أَلۡقَى ٱلسَّمۡعَ وَهُوَ شَهِيد “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaf: 37) Pada ayat-ayat Al-Quran tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan keutamaan yang dimiliki oleh Al-Quranul Karim. Allah Ta’ala telah menjadikan Al-Quran penuh berkah dan petunjuk bagi semesta alam. Allah Ta’ala menjadikan di dalam Al-Quran penyembuh atas berbagai penyakit, lebih-lebih penyakit syubhat dan syahwat yang terdapat di dalam hati. Allah Ta’ala pun menjadikan Al-Quran sebagai kabar gembira dan kasih sayang bagi semesta alam, juga menjadi pengingat bagi orang-orang yang mau ingat dan menjadikan di dalamnya terdapat ayat-ayat peringatan. Semua itu agar manusia mau bertakwa dan bisa menjadi pengingat bagi mereka. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila orang yang menekuni Al-Quran adalah di antara wali (kekasih) Allah. Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنْ النَّاسِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ هُمْ أَهْلُ الْقُرْآنِ أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ “Sesungguhnya Allah mempunyai banyak ahli (wali) dari kalangan manusia.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah mereka itu?” Beliau menjawab, “Mereka adalah ahlul Quran, mereka adalah para ahli dan orang khusus Allah.” (HR. Ahmad no. 12293, An-Nasa’i dalam Al-Kabir no. 7977, dan Ibnu Majah no. 215, dinilai sahih oleh Al-Albani) Baca juga: Kebahagiaan di Balik Ahli Quran Demikian pula, hamba Allah yang terbaik adalah mereka yang senantiasa tekun belajar Al-Quran dan kemudian mengajarkan Al-Quran. Dari sahabat Utsman radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ “Orang yang paling baik di antara kalian adalah seorang yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari no. 5027) Sampai-sampai, kita boleh hasad kepada orang yang telah diberi nikmat berupa ilmu tentang Al-Quran. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ فَقَالَ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يُهْلِكُهُ فِي الْحَقِّ فَقَالَ رَجُلٌ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ “Tidak diperbolehkan hasad kecuali pada dua perkara, yaitu kepada seseorang yang telah diajari Al-Quran oleh Allah, sehingga ia membacanya di pertengahan malam dan siang. Sampai tetangga yang mendengarnya berkata, ‘Duh.., sekiranya aku diberikan sebagaimana apa yang diberikan kepada si Fulan, niscaya aku akan melakukan apa yang dia lakukan.’ Kemudian seseorang diberi karunia harta oleh Allah, sehingga ia dapat membelanjakannya pada kebenaran. Lalu orang pun berkata, ‘Seandainya aku diberi karunia sebagaimana si Fulan, niscaya aku akan melakukan sebagaimana yang dilakukannya.’” (HR. Bukhari no. 5026) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah membuat perumpamaan bagi seorang mukmin yang gemar membaca Al-Quran. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam umpamakan seperti buah utrujah (semacam buah apel), buah yang baunya harum dan ketika dimakan, rasanya pun enak. Dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْأُتْرُجَّةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ لَا رِيحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ لَيْسَ لَهَا رِيحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ “Perumpamaan seorang mukmin yang suka membaca Al-Quran seperti buah utrujah, baunya harum dan rasanya enak. Perumpamaan seorang mukmin yang tidak suka membaca Al-Quran seperti buah kurma, tidak berbau harum, namun rasanya manis. Perumpamaan seorang munafik yang suka membaca Al-Quran seperti buah raihanah, baunya harum tapi rasanya pahit. Dan perumpamaan seorang munafik yang tidak suka membaca Al-Quran seperti buah hanzhalah, baunya tidak enak dan rasanya pahit.” (HR. Bukhari no. 5427 dan Muslim no. 797) Ketika kita membaca Al-Quran, kita akan dapati bahwa di dalamnya terdapat berbagai ilmu dan pengetahuan yang bisa memperbaiki dan mengobati hatinya; serta bisa menguatkan serta mengokohkan imannya. Seseorang akan mengetahui bahwa isinya adalah tentang Allah Ta’ala, kesempurnaan nama dan sifat Allah Ta’ala. Dengan membaca Al-Quran dan merenungi maknanya, seseorang akan semakin mengenal Allah Ta’ala. Seseorang mengenal Allah sebagai pemilik langit dan bumi, yang memberikan rizki untuk hamba-hamba-Nya, dan yang mengatur semua urusan di alam semesta. Allah pun mengingatkan hamba-hamba-Nya atas kebutuhan mereka terhadap-Nya, dan besarnya hajat mereka kepada-Nya dari segala sisi. Di dalam Al-Quran, Allah menyebutkan hal-hal yang bisa membahagiakan mereka dan mengantarkan mereka kepada keberuntungan, berupa ibadah, ketaatan, dan amal saleh. Allah memotivasi mereka atas hal tersebut. Sebaliknya, Allah Ta’ala pun peringatkan mereka atas apa yang bisa mencelakakan mereka, berupa perbuatan dosa, maksiat, dan keburukan. Allah peringatkan mereka dari kemurkaan-Nya. Allah ingatkan mereka tentang apa yang telah disiapkannya berupa kemuliaan bagi mereka jika menaati-Nya, apa yang telah disiapkannya berupa hukuman bagi mereka jika mereka tidak menaati dan mendurhakai-Nya. Allah Ta’ala memuji para kekasih-Nya dengan sebab amal saleh dan sifat mereka yang mulia, lalu mencela musuh-musuh-Nya dengan sebab keburukan amal dan jeleknya sifat-sifat mereka. Allah Ta’ala juga mengabarkan bagaimana Allah telah membalas para kekasih-Nya berupa kebaikan dan pahala; dan apa yang telah Allah Ta’ala balas kepada musuh-musuh-Nya berupa azab dan hukuman. Allah Ta’ala pun kabarkan tentang kesudahan kedua kelompok tersebut. Allah mengajak kepada negeri keselamatan (surga), menyebutkan sifat-sifat, keindahan, serta kenikmatannya. Juga memberi peringatan tentang negeri kebinasaan (neraka), mengingatkan adzab serta kepedihan di dalamnya. Allah telah mengabarkan bahwa Al-Quran bisa menambahkan keimanan bagi orang-orang yang beriman jika mereka membaca dan mentadaburi ayat-ayatnya. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُهُمۡ وَإِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنا وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka. Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya). Dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal.” (QS. Al-Anfal: 2) Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk ke dalam golongan ahlul Qur’an. Baca juga: Karakteristik Fundamental Al-Quran *** “Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri.” @BA, 11 Dzulqa’dah 1445/ 20 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 13; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: Al-Quran


Di antara cara dan metode untuk memperbaiki kondisi hati kita, juga untuk menambah, mempertebal, dan mengokohkan iman adalah dengan membaca Al-Quran dan merenungi makna ayat-ayatnya. Karena Al-Quran diturunkan oleh Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya sebagai rahmat, petunjuk, kabar gembira, serta pengingat bagi orang-orang yang mau mengingat Allah. Allah Ta’ala juga berfirman, وَهَٰذَا كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ مُبَارَك فَٱتَّبِعُوهُ وَٱتَّقُواْ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ “Dan Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (QS. Al-An’am: 155) Al-Quran diturunkan sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala juga berfirman, وَلَقَدۡ جِئۡنَٰهُم بِكِتَٰب فَصَّلۡنَٰهُ عَلَىٰ عِلۡمٍ هُدى وَرَحۡمَة لِّقَوۡم يُؤۡمِنُونَ “Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al-Quran) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A’raf: 52) Allah Ta’ala juga berfirman, وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنا لِّكُلِّ شَيۡء وَهُدى وَرَحۡمَة وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِينَ “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang mau berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89) Allah Ta’ala pun berfirman, إِنَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ يَهۡدِي لِلَّتِي هِيَ أَقۡوَمُ وَيُبَشِّرُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمۡ أَجۡرا كَبِيرا “Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Al-Isra’: 9) Al-Quran diturunkan dengan penuh keberkahan. Allah Ta’ala juga berfirman, كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَك لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai fikiran bisa mendapatkan pelajaran.” (QS. Sad: 29) Al-Quran diturunkan sebagai obat (penawar), baik untuk penyakit badan dan juga penyakit hati. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَآء وَرَحۡمَة لِّلۡمُؤۡمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارا “Dan Kami turunkan dari Al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Isra’: 82) Demikian pula, Al-Quran diturunkan sebagai peringatan bagi orang-orang yang mau merenunginya. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكۡرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُۥ قَلۡبٌ أَوۡ أَلۡقَى ٱلسَّمۡعَ وَهُوَ شَهِيد “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaf: 37) Pada ayat-ayat Al-Quran tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan keutamaan yang dimiliki oleh Al-Quranul Karim. Allah Ta’ala telah menjadikan Al-Quran penuh berkah dan petunjuk bagi semesta alam. Allah Ta’ala menjadikan di dalam Al-Quran penyembuh atas berbagai penyakit, lebih-lebih penyakit syubhat dan syahwat yang terdapat di dalam hati. Allah Ta’ala pun menjadikan Al-Quran sebagai kabar gembira dan kasih sayang bagi semesta alam, juga menjadi pengingat bagi orang-orang yang mau ingat dan menjadikan di dalamnya terdapat ayat-ayat peringatan. Semua itu agar manusia mau bertakwa dan bisa menjadi pengingat bagi mereka. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila orang yang menekuni Al-Quran adalah di antara wali (kekasih) Allah. Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنْ النَّاسِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ هُمْ أَهْلُ الْقُرْآنِ أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ “Sesungguhnya Allah mempunyai banyak ahli (wali) dari kalangan manusia.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah mereka itu?” Beliau menjawab, “Mereka adalah ahlul Quran, mereka adalah para ahli dan orang khusus Allah.” (HR. Ahmad no. 12293, An-Nasa’i dalam Al-Kabir no. 7977, dan Ibnu Majah no. 215, dinilai sahih oleh Al-Albani) Baca juga: Kebahagiaan di Balik Ahli Quran Demikian pula, hamba Allah yang terbaik adalah mereka yang senantiasa tekun belajar Al-Quran dan kemudian mengajarkan Al-Quran. Dari sahabat Utsman radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ “Orang yang paling baik di antara kalian adalah seorang yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari no. 5027) Sampai-sampai, kita boleh hasad kepada orang yang telah diberi nikmat berupa ilmu tentang Al-Quran. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ فَقَالَ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يُهْلِكُهُ فِي الْحَقِّ فَقَالَ رَجُلٌ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ “Tidak diperbolehkan hasad kecuali pada dua perkara, yaitu kepada seseorang yang telah diajari Al-Quran oleh Allah, sehingga ia membacanya di pertengahan malam dan siang. Sampai tetangga yang mendengarnya berkata, ‘Duh.., sekiranya aku diberikan sebagaimana apa yang diberikan kepada si Fulan, niscaya aku akan melakukan apa yang dia lakukan.’ Kemudian seseorang diberi karunia harta oleh Allah, sehingga ia dapat membelanjakannya pada kebenaran. Lalu orang pun berkata, ‘Seandainya aku diberi karunia sebagaimana si Fulan, niscaya aku akan melakukan sebagaimana yang dilakukannya.’” (HR. Bukhari no. 5026) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah membuat perumpamaan bagi seorang mukmin yang gemar membaca Al-Quran. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam umpamakan seperti buah utrujah (semacam buah apel), buah yang baunya harum dan ketika dimakan, rasanya pun enak. Dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْأُتْرُجَّةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ لَا رِيحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ لَيْسَ لَهَا رِيحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ “Perumpamaan seorang mukmin yang suka membaca Al-Quran seperti buah utrujah, baunya harum dan rasanya enak. Perumpamaan seorang mukmin yang tidak suka membaca Al-Quran seperti buah kurma, tidak berbau harum, namun rasanya manis. Perumpamaan seorang munafik yang suka membaca Al-Quran seperti buah raihanah, baunya harum tapi rasanya pahit. Dan perumpamaan seorang munafik yang tidak suka membaca Al-Quran seperti buah hanzhalah, baunya tidak enak dan rasanya pahit.” (HR. Bukhari no. 5427 dan Muslim no. 797) Ketika kita membaca Al-Quran, kita akan dapati bahwa di dalamnya terdapat berbagai ilmu dan pengetahuan yang bisa memperbaiki dan mengobati hatinya; serta bisa menguatkan serta mengokohkan imannya. Seseorang akan mengetahui bahwa isinya adalah tentang Allah Ta’ala, kesempurnaan nama dan sifat Allah Ta’ala. Dengan membaca Al-Quran dan merenungi maknanya, seseorang akan semakin mengenal Allah Ta’ala. Seseorang mengenal Allah sebagai pemilik langit dan bumi, yang memberikan rizki untuk hamba-hamba-Nya, dan yang mengatur semua urusan di alam semesta. Allah pun mengingatkan hamba-hamba-Nya atas kebutuhan mereka terhadap-Nya, dan besarnya hajat mereka kepada-Nya dari segala sisi. Di dalam Al-Quran, Allah menyebutkan hal-hal yang bisa membahagiakan mereka dan mengantarkan mereka kepada keberuntungan, berupa ibadah, ketaatan, dan amal saleh. Allah memotivasi mereka atas hal tersebut. Sebaliknya, Allah Ta’ala pun peringatkan mereka atas apa yang bisa mencelakakan mereka, berupa perbuatan dosa, maksiat, dan keburukan. Allah peringatkan mereka dari kemurkaan-Nya. Allah ingatkan mereka tentang apa yang telah disiapkannya berupa kemuliaan bagi mereka jika menaati-Nya, apa yang telah disiapkannya berupa hukuman bagi mereka jika mereka tidak menaati dan mendurhakai-Nya. Allah Ta’ala memuji para kekasih-Nya dengan sebab amal saleh dan sifat mereka yang mulia, lalu mencela musuh-musuh-Nya dengan sebab keburukan amal dan jeleknya sifat-sifat mereka. Allah Ta’ala juga mengabarkan bagaimana Allah telah membalas para kekasih-Nya berupa kebaikan dan pahala; dan apa yang telah Allah Ta’ala balas kepada musuh-musuh-Nya berupa azab dan hukuman. Allah Ta’ala pun kabarkan tentang kesudahan kedua kelompok tersebut. Allah mengajak kepada negeri keselamatan (surga), menyebutkan sifat-sifat, keindahan, serta kenikmatannya. Juga memberi peringatan tentang negeri kebinasaan (neraka), mengingatkan adzab serta kepedihan di dalamnya. Allah telah mengabarkan bahwa Al-Quran bisa menambahkan keimanan bagi orang-orang yang beriman jika mereka membaca dan mentadaburi ayat-ayatnya. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُهُمۡ وَإِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنا وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka. Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya). Dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal.” (QS. Al-Anfal: 2) Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk ke dalam golongan ahlul Qur’an. Baca juga: Karakteristik Fundamental Al-Quran *** “Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri.” @BA, 11 Dzulqa’dah 1445/ 20 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 13; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: Al-Quran

Kaidah Fikih: Hukum Wasilah (Sarana) Tergantung pada Tujuan-Tujuannya

Daftar Isi Toggle Bait syair untuk kaidah iniKaidah-kaidah yang terlahir dari kaidah iniPertama: Perantara untuk amalan wajibBerjalan untuk melaksanakan salat wajibMenghadiri majelis ilmu dan mempelajari ilmu agamaBerjihad di jalan AllahKedua: Perantara untuk amalan sunahKetiga: Perantara untuk hal yang mubahKeempat: Perantara untuk hal makruhKelima: Perantara untuk hal haram Kaidah kali ini akan menjelaskan bahwa wasilah atau perantara di dalam syariat Islam terkena hukum yang lima. Baik wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Sehingga, wasilah terkena hukum yang lima tersebut sesuai dengan tujuannya. Jika tujuannya adalah hal yang wajib, maka wasilah pun menjadi hal yang wajib, dan begitu seterusnya. Bait syair untuk kaidah ini Untuk lebih jelas, simaklah bait syair dari kaidah berikut, وَسَائِلُ الْأُمُوْرِ كَالْمَقَاصِدِ وَاحْكُمْ بِهَذَا الحُكْمِ لِلزَّوَائِدِ “Wasilah suatu perkara sama hukumnya seperti tujuannya. Maka, berhukumlah dengan hukum ini sebagai penyempurna.”[1] Maksudnya, wasilah atau sarana sama seperti tujuannya. Kaidah-kaidah yang terlahir dari kaidah ini Pertama: Perantara untuk amalan wajib Sehingga, dari sini terlahir beberapa kaidah yang lain. Di antaranya, مَا لَا يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ “Perkara wajib yang tidak dapat sempurna kecuali dengannya (suatu perkara), maka suatu perkara itu menjadi wajib.” Maka, perantara untuk amalan yang wajib, perantara tersebut dihukumi menjadi hal yang wajib. Beberapa contohnya, Berjalan untuk melaksanakan salat wajib Dalam hal ini, terdapat keutamaan tersendiri bagi orang-orang yang berjalan ke masjid untuk melaksanakan salat wajib. Akan diangkat derajatnya, dihapuskan dosa-dosanya, dan akan didoakan oleh malaikat selama ia menunggu waktu salat.[2] Begitu pun dengan syarat-syarat yang lainnya. Bersuci, menutup aurat, menghadap kiblat, dan lain-lain. Ini semua hal yang wajib sebagai perantara untuk sempurnanya amalan wajib, yaitu salat. Menghadiri majelis ilmu dan mempelajari ilmu agama Menuntut ilmu hukumnya wajib. Sehingga, segala sarana untuk mempelajari ilmu hukumnya wajib. Terlebih ilmu tersebut berkaitan dengan fardhu ‘ain. Karena hal ini, Nabi yang mulia shallallahu ‘alihi wasallam bersabda, وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ “Barangsiapa yang berjalan menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mempermudah untuknya jalan menuju surga.”[3] Dalam mempelajari ilmu agama terdapat dua hal. Ada yang bersifat tujuan, yaitu ilmu Al-Qur’an dan Sunnah. Dan ada yang sifatnya sarana yang mengantarkan untuk memahami kedua ilmu tersebut, seperti halnya ilmu bahasa Arab. Maka bagi orang-orang yang ingin memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, wajib baginya untuk mempelajari ilmu bahasa Arab terlebih dahulu. Karena itu sebagai pengantar kepada hal yang wajib. Berjihad di jalan Allah Berjihad di jalan Allah pun hukumnya wajib. Tentunya setelah terpenuhi segala syarat. Dan di antara syarat jihad adalah bersama Ulil Amri. Untuk berjihad di jalan Allah tentunya harus ada persiapan dan sarana-sarana yang dipersiapkan. Maka, segala hal tersebut dihukumi wajib pula. Simaklah firman Allah Ta’ala, ذَٲلِكَ بِأَنَّهُمۡ لَا يُصِيبُهُمۡ ظَمَأٌ۬ وَلَا نَصَبٌ۬ وَلَا مَخۡمَصَةٌ۬ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَطَـُٔونَ مَوۡطِئً۬ا يَغِيظُ ٱلۡڪُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنۡ عَدُوٍّ۬ نَّيۡلاً إِلَّا كُتِبَ لَهُم بِهِۦ عَمَلٌ۬ صَـٰلِحٌ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ  وَلَا يُنفِقُونَ نَفَقَةً۬ صَغِيرَةً۬ وَلَا ڪَبِيرَةً۬ وَلَا يَقۡطَعُونَ وَادِيًا إِلَّا ڪُتِبَ لَهُمۡ لِيَجۡزِيَهُمُ ٱللَّهُ أَحۡسَنَ مَا ڪَانُواْ يَعۡمَلُونَ  “Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan, dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula). Karena Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. At-Taubah: 120-121) Dari ayat di atas, dapat diketahui bahwa segala sarana diberikan balasan oleh Allah Ta’ala. Sebagai ganjaran atas usaha untuk melakukan kewajiban dari ibadah tersebut. Masih banyak lagi sarana-sarana kepada amalan yang wajib. Seperti wajibnya mencari air untuk melaksanakan salat, mempelajari tentang petunjuk waktu salat atau kiblat, usaha untuk mencari nafkah yang halal, dan lain sebagainya. Baca juga: Syariat Hadir untuk Kemaslahatan Kedua: Perantara untuk amalan sunah مَا لَا يَتِمُّ المَسْنُوْنُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ مَسْنُوْنٌ “Perkara sunah yang tidak dapat sempurna kecuali dengannya (suatu perkara), maka suatu perkara itu adalah sunah.” Segala perantara untuk amalan sunah, maka hukumnya pun sunah. Seperti salat sunah, sedekah, puasa sunah, sunah-sunah yang berkaitan dengan haji dan umrah. Sarana untuk mengantarkan kepada amalan ini, maka hukumnya pun sunah. Ketiga: Perantara untuk hal yang mubah Sama halnya dengan hukum-hukum yang telah disebutkan di atas. Sarana dihukumi mubah ketika suatu perbuatan dihukumi mubah. Sedangkan perkara yang dihukumi mubah dalam syariat adalah segala hal yang berkaitan dengan muamalah atau perkara duniawi, selama tidak ada dalil yang melarangnya. Karenanya para ulama membuat kaidah, الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإبَاحَةُ “Hukum asal segala sesuatu adalah mubah.”[4] Namun, dalam perkara mubah ini ada hal yang harus diketahui. Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, أَنَّ كُلَّ مُبَاحٍ تَوَسَّلَ بِهِ إِلَى تَرْكِ وَاجِبٍ أَوْ فِعْلِ مُحَرَّمٍ فَهُوَ مُحَرَّمٌ “Setiap hal mubah yang mengantarkan seseorang untuk meninggalkan yang wajib dan mengerjakan yang haram, maka hukumnya haram.”[5] Contohnya adalah jual beli setelah dikumandangkan azan untuk salat Jumat. Jual beli hukum asalnya mubah, namun ketika dilakukan setelah dikumandangkannya azan untuk salat Jumat, maka jual beli di waktu tersebut hukumnya menjadi haram. Hal ini karena terdapat larangan dari Allah Ta’ala, يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوۡمِ ٱلۡجُمُعَةِ فَٱسۡعَوۡاْ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَذَرُواْ ٱلۡبَيۡعَ‌ۚ “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli.” (QS. Al-Jumu’ah: 9) Sehingga, jual beli menjadi haram hukumnya setelah dikumandangkannya azan Jumat. Berdasarkan perintah untuk meninggalkan hal tersebut yang ada pada ayat di atas.“ Termasuk perkara mubah yang dapat mengantarkan kepada meninggalkan yang wajib atau melakukan yang haram adalah bermain atau menonton bola saat azan sudah dikumandangkan. Terlebih-lebih sampai tidak mengerjakan salat. Maka, hal ini tentunya menjadi haram hukumnya. Masih banyak lagi contoh dari perkara mubah menjadi haram dikarenakan menjadi sarana untuk meninggalkan perkara wajib ataupun melakukan yang haram. Keempat: Perantara untuk hal makruh Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, الوَسِيْلَةُ إِلَى المَكْرُوْهِ مَكْرُوْهٌ “Perantara kepada hal yang makruh, maka hukumnya makruh.”[6] Contoh perkara yang makruh adalah tidur sebelum Isya dan mengobrol setelah waktu salat Isya. Dari Abu Barzah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyukai tidur sebelum Isya dan mengobrol setelah Isya.”[7] Dalam hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلَاثًا قِيلَ وَقَالَ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ “Sesungguhnya Allah membenci untuk kalian tiga hal: orang yang menyampaikan setiap hal yang didengarnya, menyia-nyiakan harta, dan banyak bertanya.”[8] Maka, segala perantara yang bertujuan untuk melakukan hal makruh tersebut, dihukumi makruh. Termasuk dalam hal ini juga, perbuatan dosa dan maksiat. Segala perantara yang mengantarkan seseorang untuk melakukan dosa dan maksiat, maka harus dihindari. Seperti zina, segala perantara yang mengantarkan kepada zina, tidak boleh dilakukan. Seperti pacaran, berbicara tanpa hajat dengan lawan jenis, dan lain sebagainya. Maka, sudah semestinya hal tersebut ditinggalkan. Kelima: Perantara untuk hal haram Seperti halnya syirik besar. Telah diketahui bersama bahwa orang yang mati dalam keadaan berbuat syirik besar, Allah tidak akan mengampuninya dan pelakunya kekal di dalam neraka. Karena itu, segala perbuatan yang mengantarkan kepada syirik besar dilarang dalam syariat Islam. Dalam hal ini adalah segala bentuk syirik kecil. Karena syirik kecil dapat mengantarkan seseorang kepada syirik besar. Seperti contohnya, bersumpah dengan selain nama Allah, riya‘, sum’ah, memakai gelang atau benda-benda lainnya sebagai penangkal dari marabahaya, dan lain sebagainya. Ini semua diharamkan dalam syariat karena dapat mengantarkan kepada syirik besar. Demikianlah kaidah di antara kaidah-kaidah fikih yang sangat jelas. Sungguh kaidah ini sangat bermanfaat bagi kaum muslimin, sebagai penimbang suatu perkara maupun amalan-amalan. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Baca juga: 10 Kaidah Pemurnian Tauhid *** Depok, 10 Zulkaidah 1445 H / 17 Mei 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id.   Referensi: Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. (Jilid 7) Al-Qawâ’id wal-Ushûl Al-Jami’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm Al-Badî’ah An-Nâfi’ah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah.   Catatan kaki: [1] Lihat kitab Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah, hal. 29. [2] Hadis diriwayatkan oleh Bukhari no. 1967 dan Muslim no. 1059. [3] Hadis diriwayatkan oleh Muslim no. 4867. [4] Kaidah ini disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa-nya, 29: 16. [5] Lihat kitab  Al-Qawâ’id wal-Ushûl Al-Jami’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm Al-Badî’ah An-Nâfi’ah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah. [6] Lihat Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 30, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah. [7] Hadis diriwayatkan oleh Bukhari no. 568. [8] Hadis diriwayatkan oleh Bukhari no. 1477. Tags: kaidah fikih

Kaidah Fikih: Hukum Wasilah (Sarana) Tergantung pada Tujuan-Tujuannya

Daftar Isi Toggle Bait syair untuk kaidah iniKaidah-kaidah yang terlahir dari kaidah iniPertama: Perantara untuk amalan wajibBerjalan untuk melaksanakan salat wajibMenghadiri majelis ilmu dan mempelajari ilmu agamaBerjihad di jalan AllahKedua: Perantara untuk amalan sunahKetiga: Perantara untuk hal yang mubahKeempat: Perantara untuk hal makruhKelima: Perantara untuk hal haram Kaidah kali ini akan menjelaskan bahwa wasilah atau perantara di dalam syariat Islam terkena hukum yang lima. Baik wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Sehingga, wasilah terkena hukum yang lima tersebut sesuai dengan tujuannya. Jika tujuannya adalah hal yang wajib, maka wasilah pun menjadi hal yang wajib, dan begitu seterusnya. Bait syair untuk kaidah ini Untuk lebih jelas, simaklah bait syair dari kaidah berikut, وَسَائِلُ الْأُمُوْرِ كَالْمَقَاصِدِ وَاحْكُمْ بِهَذَا الحُكْمِ لِلزَّوَائِدِ “Wasilah suatu perkara sama hukumnya seperti tujuannya. Maka, berhukumlah dengan hukum ini sebagai penyempurna.”[1] Maksudnya, wasilah atau sarana sama seperti tujuannya. Kaidah-kaidah yang terlahir dari kaidah ini Pertama: Perantara untuk amalan wajib Sehingga, dari sini terlahir beberapa kaidah yang lain. Di antaranya, مَا لَا يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ “Perkara wajib yang tidak dapat sempurna kecuali dengannya (suatu perkara), maka suatu perkara itu menjadi wajib.” Maka, perantara untuk amalan yang wajib, perantara tersebut dihukumi menjadi hal yang wajib. Beberapa contohnya, Berjalan untuk melaksanakan salat wajib Dalam hal ini, terdapat keutamaan tersendiri bagi orang-orang yang berjalan ke masjid untuk melaksanakan salat wajib. Akan diangkat derajatnya, dihapuskan dosa-dosanya, dan akan didoakan oleh malaikat selama ia menunggu waktu salat.[2] Begitu pun dengan syarat-syarat yang lainnya. Bersuci, menutup aurat, menghadap kiblat, dan lain-lain. Ini semua hal yang wajib sebagai perantara untuk sempurnanya amalan wajib, yaitu salat. Menghadiri majelis ilmu dan mempelajari ilmu agama Menuntut ilmu hukumnya wajib. Sehingga, segala sarana untuk mempelajari ilmu hukumnya wajib. Terlebih ilmu tersebut berkaitan dengan fardhu ‘ain. Karena hal ini, Nabi yang mulia shallallahu ‘alihi wasallam bersabda, وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ “Barangsiapa yang berjalan menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mempermudah untuknya jalan menuju surga.”[3] Dalam mempelajari ilmu agama terdapat dua hal. Ada yang bersifat tujuan, yaitu ilmu Al-Qur’an dan Sunnah. Dan ada yang sifatnya sarana yang mengantarkan untuk memahami kedua ilmu tersebut, seperti halnya ilmu bahasa Arab. Maka bagi orang-orang yang ingin memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, wajib baginya untuk mempelajari ilmu bahasa Arab terlebih dahulu. Karena itu sebagai pengantar kepada hal yang wajib. Berjihad di jalan Allah Berjihad di jalan Allah pun hukumnya wajib. Tentunya setelah terpenuhi segala syarat. Dan di antara syarat jihad adalah bersama Ulil Amri. Untuk berjihad di jalan Allah tentunya harus ada persiapan dan sarana-sarana yang dipersiapkan. Maka, segala hal tersebut dihukumi wajib pula. Simaklah firman Allah Ta’ala, ذَٲلِكَ بِأَنَّهُمۡ لَا يُصِيبُهُمۡ ظَمَأٌ۬ وَلَا نَصَبٌ۬ وَلَا مَخۡمَصَةٌ۬ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَطَـُٔونَ مَوۡطِئً۬ا يَغِيظُ ٱلۡڪُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنۡ عَدُوٍّ۬ نَّيۡلاً إِلَّا كُتِبَ لَهُم بِهِۦ عَمَلٌ۬ صَـٰلِحٌ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ  وَلَا يُنفِقُونَ نَفَقَةً۬ صَغِيرَةً۬ وَلَا ڪَبِيرَةً۬ وَلَا يَقۡطَعُونَ وَادِيًا إِلَّا ڪُتِبَ لَهُمۡ لِيَجۡزِيَهُمُ ٱللَّهُ أَحۡسَنَ مَا ڪَانُواْ يَعۡمَلُونَ  “Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan, dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula). Karena Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. At-Taubah: 120-121) Dari ayat di atas, dapat diketahui bahwa segala sarana diberikan balasan oleh Allah Ta’ala. Sebagai ganjaran atas usaha untuk melakukan kewajiban dari ibadah tersebut. Masih banyak lagi sarana-sarana kepada amalan yang wajib. Seperti wajibnya mencari air untuk melaksanakan salat, mempelajari tentang petunjuk waktu salat atau kiblat, usaha untuk mencari nafkah yang halal, dan lain sebagainya. Baca juga: Syariat Hadir untuk Kemaslahatan Kedua: Perantara untuk amalan sunah مَا لَا يَتِمُّ المَسْنُوْنُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ مَسْنُوْنٌ “Perkara sunah yang tidak dapat sempurna kecuali dengannya (suatu perkara), maka suatu perkara itu adalah sunah.” Segala perantara untuk amalan sunah, maka hukumnya pun sunah. Seperti salat sunah, sedekah, puasa sunah, sunah-sunah yang berkaitan dengan haji dan umrah. Sarana untuk mengantarkan kepada amalan ini, maka hukumnya pun sunah. Ketiga: Perantara untuk hal yang mubah Sama halnya dengan hukum-hukum yang telah disebutkan di atas. Sarana dihukumi mubah ketika suatu perbuatan dihukumi mubah. Sedangkan perkara yang dihukumi mubah dalam syariat adalah segala hal yang berkaitan dengan muamalah atau perkara duniawi, selama tidak ada dalil yang melarangnya. Karenanya para ulama membuat kaidah, الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإبَاحَةُ “Hukum asal segala sesuatu adalah mubah.”[4] Namun, dalam perkara mubah ini ada hal yang harus diketahui. Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, أَنَّ كُلَّ مُبَاحٍ تَوَسَّلَ بِهِ إِلَى تَرْكِ وَاجِبٍ أَوْ فِعْلِ مُحَرَّمٍ فَهُوَ مُحَرَّمٌ “Setiap hal mubah yang mengantarkan seseorang untuk meninggalkan yang wajib dan mengerjakan yang haram, maka hukumnya haram.”[5] Contohnya adalah jual beli setelah dikumandangkan azan untuk salat Jumat. Jual beli hukum asalnya mubah, namun ketika dilakukan setelah dikumandangkannya azan untuk salat Jumat, maka jual beli di waktu tersebut hukumnya menjadi haram. Hal ini karena terdapat larangan dari Allah Ta’ala, يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوۡمِ ٱلۡجُمُعَةِ فَٱسۡعَوۡاْ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَذَرُواْ ٱلۡبَيۡعَ‌ۚ “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli.” (QS. Al-Jumu’ah: 9) Sehingga, jual beli menjadi haram hukumnya setelah dikumandangkannya azan Jumat. Berdasarkan perintah untuk meninggalkan hal tersebut yang ada pada ayat di atas.“ Termasuk perkara mubah yang dapat mengantarkan kepada meninggalkan yang wajib atau melakukan yang haram adalah bermain atau menonton bola saat azan sudah dikumandangkan. Terlebih-lebih sampai tidak mengerjakan salat. Maka, hal ini tentunya menjadi haram hukumnya. Masih banyak lagi contoh dari perkara mubah menjadi haram dikarenakan menjadi sarana untuk meninggalkan perkara wajib ataupun melakukan yang haram. Keempat: Perantara untuk hal makruh Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, الوَسِيْلَةُ إِلَى المَكْرُوْهِ مَكْرُوْهٌ “Perantara kepada hal yang makruh, maka hukumnya makruh.”[6] Contoh perkara yang makruh adalah tidur sebelum Isya dan mengobrol setelah waktu salat Isya. Dari Abu Barzah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyukai tidur sebelum Isya dan mengobrol setelah Isya.”[7] Dalam hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلَاثًا قِيلَ وَقَالَ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ “Sesungguhnya Allah membenci untuk kalian tiga hal: orang yang menyampaikan setiap hal yang didengarnya, menyia-nyiakan harta, dan banyak bertanya.”[8] Maka, segala perantara yang bertujuan untuk melakukan hal makruh tersebut, dihukumi makruh. Termasuk dalam hal ini juga, perbuatan dosa dan maksiat. Segala perantara yang mengantarkan seseorang untuk melakukan dosa dan maksiat, maka harus dihindari. Seperti zina, segala perantara yang mengantarkan kepada zina, tidak boleh dilakukan. Seperti pacaran, berbicara tanpa hajat dengan lawan jenis, dan lain sebagainya. Maka, sudah semestinya hal tersebut ditinggalkan. Kelima: Perantara untuk hal haram Seperti halnya syirik besar. Telah diketahui bersama bahwa orang yang mati dalam keadaan berbuat syirik besar, Allah tidak akan mengampuninya dan pelakunya kekal di dalam neraka. Karena itu, segala perbuatan yang mengantarkan kepada syirik besar dilarang dalam syariat Islam. Dalam hal ini adalah segala bentuk syirik kecil. Karena syirik kecil dapat mengantarkan seseorang kepada syirik besar. Seperti contohnya, bersumpah dengan selain nama Allah, riya‘, sum’ah, memakai gelang atau benda-benda lainnya sebagai penangkal dari marabahaya, dan lain sebagainya. Ini semua diharamkan dalam syariat karena dapat mengantarkan kepada syirik besar. Demikianlah kaidah di antara kaidah-kaidah fikih yang sangat jelas. Sungguh kaidah ini sangat bermanfaat bagi kaum muslimin, sebagai penimbang suatu perkara maupun amalan-amalan. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Baca juga: 10 Kaidah Pemurnian Tauhid *** Depok, 10 Zulkaidah 1445 H / 17 Mei 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id.   Referensi: Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. (Jilid 7) Al-Qawâ’id wal-Ushûl Al-Jami’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm Al-Badî’ah An-Nâfi’ah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah.   Catatan kaki: [1] Lihat kitab Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah, hal. 29. [2] Hadis diriwayatkan oleh Bukhari no. 1967 dan Muslim no. 1059. [3] Hadis diriwayatkan oleh Muslim no. 4867. [4] Kaidah ini disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa-nya, 29: 16. [5] Lihat kitab  Al-Qawâ’id wal-Ushûl Al-Jami’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm Al-Badî’ah An-Nâfi’ah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah. [6] Lihat Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 30, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah. [7] Hadis diriwayatkan oleh Bukhari no. 568. [8] Hadis diriwayatkan oleh Bukhari no. 1477. Tags: kaidah fikih
Daftar Isi Toggle Bait syair untuk kaidah iniKaidah-kaidah yang terlahir dari kaidah iniPertama: Perantara untuk amalan wajibBerjalan untuk melaksanakan salat wajibMenghadiri majelis ilmu dan mempelajari ilmu agamaBerjihad di jalan AllahKedua: Perantara untuk amalan sunahKetiga: Perantara untuk hal yang mubahKeempat: Perantara untuk hal makruhKelima: Perantara untuk hal haram Kaidah kali ini akan menjelaskan bahwa wasilah atau perantara di dalam syariat Islam terkena hukum yang lima. Baik wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Sehingga, wasilah terkena hukum yang lima tersebut sesuai dengan tujuannya. Jika tujuannya adalah hal yang wajib, maka wasilah pun menjadi hal yang wajib, dan begitu seterusnya. Bait syair untuk kaidah ini Untuk lebih jelas, simaklah bait syair dari kaidah berikut, وَسَائِلُ الْأُمُوْرِ كَالْمَقَاصِدِ وَاحْكُمْ بِهَذَا الحُكْمِ لِلزَّوَائِدِ “Wasilah suatu perkara sama hukumnya seperti tujuannya. Maka, berhukumlah dengan hukum ini sebagai penyempurna.”[1] Maksudnya, wasilah atau sarana sama seperti tujuannya. Kaidah-kaidah yang terlahir dari kaidah ini Pertama: Perantara untuk amalan wajib Sehingga, dari sini terlahir beberapa kaidah yang lain. Di antaranya, مَا لَا يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ “Perkara wajib yang tidak dapat sempurna kecuali dengannya (suatu perkara), maka suatu perkara itu menjadi wajib.” Maka, perantara untuk amalan yang wajib, perantara tersebut dihukumi menjadi hal yang wajib. Beberapa contohnya, Berjalan untuk melaksanakan salat wajib Dalam hal ini, terdapat keutamaan tersendiri bagi orang-orang yang berjalan ke masjid untuk melaksanakan salat wajib. Akan diangkat derajatnya, dihapuskan dosa-dosanya, dan akan didoakan oleh malaikat selama ia menunggu waktu salat.[2] Begitu pun dengan syarat-syarat yang lainnya. Bersuci, menutup aurat, menghadap kiblat, dan lain-lain. Ini semua hal yang wajib sebagai perantara untuk sempurnanya amalan wajib, yaitu salat. Menghadiri majelis ilmu dan mempelajari ilmu agama Menuntut ilmu hukumnya wajib. Sehingga, segala sarana untuk mempelajari ilmu hukumnya wajib. Terlebih ilmu tersebut berkaitan dengan fardhu ‘ain. Karena hal ini, Nabi yang mulia shallallahu ‘alihi wasallam bersabda, وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ “Barangsiapa yang berjalan menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mempermudah untuknya jalan menuju surga.”[3] Dalam mempelajari ilmu agama terdapat dua hal. Ada yang bersifat tujuan, yaitu ilmu Al-Qur’an dan Sunnah. Dan ada yang sifatnya sarana yang mengantarkan untuk memahami kedua ilmu tersebut, seperti halnya ilmu bahasa Arab. Maka bagi orang-orang yang ingin memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, wajib baginya untuk mempelajari ilmu bahasa Arab terlebih dahulu. Karena itu sebagai pengantar kepada hal yang wajib. Berjihad di jalan Allah Berjihad di jalan Allah pun hukumnya wajib. Tentunya setelah terpenuhi segala syarat. Dan di antara syarat jihad adalah bersama Ulil Amri. Untuk berjihad di jalan Allah tentunya harus ada persiapan dan sarana-sarana yang dipersiapkan. Maka, segala hal tersebut dihukumi wajib pula. Simaklah firman Allah Ta’ala, ذَٲلِكَ بِأَنَّهُمۡ لَا يُصِيبُهُمۡ ظَمَأٌ۬ وَلَا نَصَبٌ۬ وَلَا مَخۡمَصَةٌ۬ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَطَـُٔونَ مَوۡطِئً۬ا يَغِيظُ ٱلۡڪُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنۡ عَدُوٍّ۬ نَّيۡلاً إِلَّا كُتِبَ لَهُم بِهِۦ عَمَلٌ۬ صَـٰلِحٌ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ  وَلَا يُنفِقُونَ نَفَقَةً۬ صَغِيرَةً۬ وَلَا ڪَبِيرَةً۬ وَلَا يَقۡطَعُونَ وَادِيًا إِلَّا ڪُتِبَ لَهُمۡ لِيَجۡزِيَهُمُ ٱللَّهُ أَحۡسَنَ مَا ڪَانُواْ يَعۡمَلُونَ  “Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan, dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula). Karena Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. At-Taubah: 120-121) Dari ayat di atas, dapat diketahui bahwa segala sarana diberikan balasan oleh Allah Ta’ala. Sebagai ganjaran atas usaha untuk melakukan kewajiban dari ibadah tersebut. Masih banyak lagi sarana-sarana kepada amalan yang wajib. Seperti wajibnya mencari air untuk melaksanakan salat, mempelajari tentang petunjuk waktu salat atau kiblat, usaha untuk mencari nafkah yang halal, dan lain sebagainya. Baca juga: Syariat Hadir untuk Kemaslahatan Kedua: Perantara untuk amalan sunah مَا لَا يَتِمُّ المَسْنُوْنُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ مَسْنُوْنٌ “Perkara sunah yang tidak dapat sempurna kecuali dengannya (suatu perkara), maka suatu perkara itu adalah sunah.” Segala perantara untuk amalan sunah, maka hukumnya pun sunah. Seperti salat sunah, sedekah, puasa sunah, sunah-sunah yang berkaitan dengan haji dan umrah. Sarana untuk mengantarkan kepada amalan ini, maka hukumnya pun sunah. Ketiga: Perantara untuk hal yang mubah Sama halnya dengan hukum-hukum yang telah disebutkan di atas. Sarana dihukumi mubah ketika suatu perbuatan dihukumi mubah. Sedangkan perkara yang dihukumi mubah dalam syariat adalah segala hal yang berkaitan dengan muamalah atau perkara duniawi, selama tidak ada dalil yang melarangnya. Karenanya para ulama membuat kaidah, الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإبَاحَةُ “Hukum asal segala sesuatu adalah mubah.”[4] Namun, dalam perkara mubah ini ada hal yang harus diketahui. Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, أَنَّ كُلَّ مُبَاحٍ تَوَسَّلَ بِهِ إِلَى تَرْكِ وَاجِبٍ أَوْ فِعْلِ مُحَرَّمٍ فَهُوَ مُحَرَّمٌ “Setiap hal mubah yang mengantarkan seseorang untuk meninggalkan yang wajib dan mengerjakan yang haram, maka hukumnya haram.”[5] Contohnya adalah jual beli setelah dikumandangkan azan untuk salat Jumat. Jual beli hukum asalnya mubah, namun ketika dilakukan setelah dikumandangkannya azan untuk salat Jumat, maka jual beli di waktu tersebut hukumnya menjadi haram. Hal ini karena terdapat larangan dari Allah Ta’ala, يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوۡمِ ٱلۡجُمُعَةِ فَٱسۡعَوۡاْ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَذَرُواْ ٱلۡبَيۡعَ‌ۚ “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli.” (QS. Al-Jumu’ah: 9) Sehingga, jual beli menjadi haram hukumnya setelah dikumandangkannya azan Jumat. Berdasarkan perintah untuk meninggalkan hal tersebut yang ada pada ayat di atas.“ Termasuk perkara mubah yang dapat mengantarkan kepada meninggalkan yang wajib atau melakukan yang haram adalah bermain atau menonton bola saat azan sudah dikumandangkan. Terlebih-lebih sampai tidak mengerjakan salat. Maka, hal ini tentunya menjadi haram hukumnya. Masih banyak lagi contoh dari perkara mubah menjadi haram dikarenakan menjadi sarana untuk meninggalkan perkara wajib ataupun melakukan yang haram. Keempat: Perantara untuk hal makruh Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, الوَسِيْلَةُ إِلَى المَكْرُوْهِ مَكْرُوْهٌ “Perantara kepada hal yang makruh, maka hukumnya makruh.”[6] Contoh perkara yang makruh adalah tidur sebelum Isya dan mengobrol setelah waktu salat Isya. Dari Abu Barzah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyukai tidur sebelum Isya dan mengobrol setelah Isya.”[7] Dalam hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلَاثًا قِيلَ وَقَالَ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ “Sesungguhnya Allah membenci untuk kalian tiga hal: orang yang menyampaikan setiap hal yang didengarnya, menyia-nyiakan harta, dan banyak bertanya.”[8] Maka, segala perantara yang bertujuan untuk melakukan hal makruh tersebut, dihukumi makruh. Termasuk dalam hal ini juga, perbuatan dosa dan maksiat. Segala perantara yang mengantarkan seseorang untuk melakukan dosa dan maksiat, maka harus dihindari. Seperti zina, segala perantara yang mengantarkan kepada zina, tidak boleh dilakukan. Seperti pacaran, berbicara tanpa hajat dengan lawan jenis, dan lain sebagainya. Maka, sudah semestinya hal tersebut ditinggalkan. Kelima: Perantara untuk hal haram Seperti halnya syirik besar. Telah diketahui bersama bahwa orang yang mati dalam keadaan berbuat syirik besar, Allah tidak akan mengampuninya dan pelakunya kekal di dalam neraka. Karena itu, segala perbuatan yang mengantarkan kepada syirik besar dilarang dalam syariat Islam. Dalam hal ini adalah segala bentuk syirik kecil. Karena syirik kecil dapat mengantarkan seseorang kepada syirik besar. Seperti contohnya, bersumpah dengan selain nama Allah, riya‘, sum’ah, memakai gelang atau benda-benda lainnya sebagai penangkal dari marabahaya, dan lain sebagainya. Ini semua diharamkan dalam syariat karena dapat mengantarkan kepada syirik besar. Demikianlah kaidah di antara kaidah-kaidah fikih yang sangat jelas. Sungguh kaidah ini sangat bermanfaat bagi kaum muslimin, sebagai penimbang suatu perkara maupun amalan-amalan. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Baca juga: 10 Kaidah Pemurnian Tauhid *** Depok, 10 Zulkaidah 1445 H / 17 Mei 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id.   Referensi: Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. (Jilid 7) Al-Qawâ’id wal-Ushûl Al-Jami’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm Al-Badî’ah An-Nâfi’ah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah.   Catatan kaki: [1] Lihat kitab Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah, hal. 29. [2] Hadis diriwayatkan oleh Bukhari no. 1967 dan Muslim no. 1059. [3] Hadis diriwayatkan oleh Muslim no. 4867. [4] Kaidah ini disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa-nya, 29: 16. [5] Lihat kitab  Al-Qawâ’id wal-Ushûl Al-Jami’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm Al-Badî’ah An-Nâfi’ah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah. [6] Lihat Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 30, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah. [7] Hadis diriwayatkan oleh Bukhari no. 568. [8] Hadis diriwayatkan oleh Bukhari no. 1477. Tags: kaidah fikih


Daftar Isi Toggle Bait syair untuk kaidah iniKaidah-kaidah yang terlahir dari kaidah iniPertama: Perantara untuk amalan wajibBerjalan untuk melaksanakan salat wajibMenghadiri majelis ilmu dan mempelajari ilmu agamaBerjihad di jalan AllahKedua: Perantara untuk amalan sunahKetiga: Perantara untuk hal yang mubahKeempat: Perantara untuk hal makruhKelima: Perantara untuk hal haram Kaidah kali ini akan menjelaskan bahwa wasilah atau perantara di dalam syariat Islam terkena hukum yang lima. Baik wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Sehingga, wasilah terkena hukum yang lima tersebut sesuai dengan tujuannya. Jika tujuannya adalah hal yang wajib, maka wasilah pun menjadi hal yang wajib, dan begitu seterusnya. Bait syair untuk kaidah ini Untuk lebih jelas, simaklah bait syair dari kaidah berikut, وَسَائِلُ الْأُمُوْرِ كَالْمَقَاصِدِ وَاحْكُمْ بِهَذَا الحُكْمِ لِلزَّوَائِدِ “Wasilah suatu perkara sama hukumnya seperti tujuannya. Maka, berhukumlah dengan hukum ini sebagai penyempurna.”[1] Maksudnya, wasilah atau sarana sama seperti tujuannya. Kaidah-kaidah yang terlahir dari kaidah ini Pertama: Perantara untuk amalan wajib Sehingga, dari sini terlahir beberapa kaidah yang lain. Di antaranya, مَا لَا يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ “Perkara wajib yang tidak dapat sempurna kecuali dengannya (suatu perkara), maka suatu perkara itu menjadi wajib.” Maka, perantara untuk amalan yang wajib, perantara tersebut dihukumi menjadi hal yang wajib. Beberapa contohnya, Berjalan untuk melaksanakan salat wajib Dalam hal ini, terdapat keutamaan tersendiri bagi orang-orang yang berjalan ke masjid untuk melaksanakan salat wajib. Akan diangkat derajatnya, dihapuskan dosa-dosanya, dan akan didoakan oleh malaikat selama ia menunggu waktu salat.[2] Begitu pun dengan syarat-syarat yang lainnya. Bersuci, menutup aurat, menghadap kiblat, dan lain-lain. Ini semua hal yang wajib sebagai perantara untuk sempurnanya amalan wajib, yaitu salat. Menghadiri majelis ilmu dan mempelajari ilmu agama Menuntut ilmu hukumnya wajib. Sehingga, segala sarana untuk mempelajari ilmu hukumnya wajib. Terlebih ilmu tersebut berkaitan dengan fardhu ‘ain. Karena hal ini, Nabi yang mulia shallallahu ‘alihi wasallam bersabda, وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ “Barangsiapa yang berjalan menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mempermudah untuknya jalan menuju surga.”[3] Dalam mempelajari ilmu agama terdapat dua hal. Ada yang bersifat tujuan, yaitu ilmu Al-Qur’an dan Sunnah. Dan ada yang sifatnya sarana yang mengantarkan untuk memahami kedua ilmu tersebut, seperti halnya ilmu bahasa Arab. Maka bagi orang-orang yang ingin memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, wajib baginya untuk mempelajari ilmu bahasa Arab terlebih dahulu. Karena itu sebagai pengantar kepada hal yang wajib. Berjihad di jalan Allah Berjihad di jalan Allah pun hukumnya wajib. Tentunya setelah terpenuhi segala syarat. Dan di antara syarat jihad adalah bersama Ulil Amri. Untuk berjihad di jalan Allah tentunya harus ada persiapan dan sarana-sarana yang dipersiapkan. Maka, segala hal tersebut dihukumi wajib pula. Simaklah firman Allah Ta’ala, ذَٲلِكَ بِأَنَّهُمۡ لَا يُصِيبُهُمۡ ظَمَأٌ۬ وَلَا نَصَبٌ۬ وَلَا مَخۡمَصَةٌ۬ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَطَـُٔونَ مَوۡطِئً۬ا يَغِيظُ ٱلۡڪُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنۡ عَدُوٍّ۬ نَّيۡلاً إِلَّا كُتِبَ لَهُم بِهِۦ عَمَلٌ۬ صَـٰلِحٌ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ  وَلَا يُنفِقُونَ نَفَقَةً۬ صَغِيرَةً۬ وَلَا ڪَبِيرَةً۬ وَلَا يَقۡطَعُونَ وَادِيًا إِلَّا ڪُتِبَ لَهُمۡ لِيَجۡزِيَهُمُ ٱللَّهُ أَحۡسَنَ مَا ڪَانُواْ يَعۡمَلُونَ  “Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan, dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula). Karena Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. At-Taubah: 120-121) Dari ayat di atas, dapat diketahui bahwa segala sarana diberikan balasan oleh Allah Ta’ala. Sebagai ganjaran atas usaha untuk melakukan kewajiban dari ibadah tersebut. Masih banyak lagi sarana-sarana kepada amalan yang wajib. Seperti wajibnya mencari air untuk melaksanakan salat, mempelajari tentang petunjuk waktu salat atau kiblat, usaha untuk mencari nafkah yang halal, dan lain sebagainya. Baca juga: Syariat Hadir untuk Kemaslahatan Kedua: Perantara untuk amalan sunah مَا لَا يَتِمُّ المَسْنُوْنُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ مَسْنُوْنٌ “Perkara sunah yang tidak dapat sempurna kecuali dengannya (suatu perkara), maka suatu perkara itu adalah sunah.” Segala perantara untuk amalan sunah, maka hukumnya pun sunah. Seperti salat sunah, sedekah, puasa sunah, sunah-sunah yang berkaitan dengan haji dan umrah. Sarana untuk mengantarkan kepada amalan ini, maka hukumnya pun sunah. Ketiga: Perantara untuk hal yang mubah Sama halnya dengan hukum-hukum yang telah disebutkan di atas. Sarana dihukumi mubah ketika suatu perbuatan dihukumi mubah. Sedangkan perkara yang dihukumi mubah dalam syariat adalah segala hal yang berkaitan dengan muamalah atau perkara duniawi, selama tidak ada dalil yang melarangnya. Karenanya para ulama membuat kaidah, الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإبَاحَةُ “Hukum asal segala sesuatu adalah mubah.”[4] Namun, dalam perkara mubah ini ada hal yang harus diketahui. Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, أَنَّ كُلَّ مُبَاحٍ تَوَسَّلَ بِهِ إِلَى تَرْكِ وَاجِبٍ أَوْ فِعْلِ مُحَرَّمٍ فَهُوَ مُحَرَّمٌ “Setiap hal mubah yang mengantarkan seseorang untuk meninggalkan yang wajib dan mengerjakan yang haram, maka hukumnya haram.”[5] Contohnya adalah jual beli setelah dikumandangkan azan untuk salat Jumat. Jual beli hukum asalnya mubah, namun ketika dilakukan setelah dikumandangkannya azan untuk salat Jumat, maka jual beli di waktu tersebut hukumnya menjadi haram. Hal ini karena terdapat larangan dari Allah Ta’ala, يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوۡمِ ٱلۡجُمُعَةِ فَٱسۡعَوۡاْ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَذَرُواْ ٱلۡبَيۡعَ‌ۚ “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli.” (QS. Al-Jumu’ah: 9) Sehingga, jual beli menjadi haram hukumnya setelah dikumandangkannya azan Jumat. Berdasarkan perintah untuk meninggalkan hal tersebut yang ada pada ayat di atas.“ Termasuk perkara mubah yang dapat mengantarkan kepada meninggalkan yang wajib atau melakukan yang haram adalah bermain atau menonton bola saat azan sudah dikumandangkan. Terlebih-lebih sampai tidak mengerjakan salat. Maka, hal ini tentunya menjadi haram hukumnya. Masih banyak lagi contoh dari perkara mubah menjadi haram dikarenakan menjadi sarana untuk meninggalkan perkara wajib ataupun melakukan yang haram. Keempat: Perantara untuk hal makruh Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, الوَسِيْلَةُ إِلَى المَكْرُوْهِ مَكْرُوْهٌ “Perantara kepada hal yang makruh, maka hukumnya makruh.”[6] Contoh perkara yang makruh adalah tidur sebelum Isya dan mengobrol setelah waktu salat Isya. Dari Abu Barzah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyukai tidur sebelum Isya dan mengobrol setelah Isya.”[7] Dalam hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلَاثًا قِيلَ وَقَالَ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ “Sesungguhnya Allah membenci untuk kalian tiga hal: orang yang menyampaikan setiap hal yang didengarnya, menyia-nyiakan harta, dan banyak bertanya.”[8] Maka, segala perantara yang bertujuan untuk melakukan hal makruh tersebut, dihukumi makruh. Termasuk dalam hal ini juga, perbuatan dosa dan maksiat. Segala perantara yang mengantarkan seseorang untuk melakukan dosa dan maksiat, maka harus dihindari. Seperti zina, segala perantara yang mengantarkan kepada zina, tidak boleh dilakukan. Seperti pacaran, berbicara tanpa hajat dengan lawan jenis, dan lain sebagainya. Maka, sudah semestinya hal tersebut ditinggalkan. Kelima: Perantara untuk hal haram Seperti halnya syirik besar. Telah diketahui bersama bahwa orang yang mati dalam keadaan berbuat syirik besar, Allah tidak akan mengampuninya dan pelakunya kekal di dalam neraka. Karena itu, segala perbuatan yang mengantarkan kepada syirik besar dilarang dalam syariat Islam. Dalam hal ini adalah segala bentuk syirik kecil. Karena syirik kecil dapat mengantarkan seseorang kepada syirik besar. Seperti contohnya, bersumpah dengan selain nama Allah, riya‘, sum’ah, memakai gelang atau benda-benda lainnya sebagai penangkal dari marabahaya, dan lain sebagainya. Ini semua diharamkan dalam syariat karena dapat mengantarkan kepada syirik besar. Demikianlah kaidah di antara kaidah-kaidah fikih yang sangat jelas. Sungguh kaidah ini sangat bermanfaat bagi kaum muslimin, sebagai penimbang suatu perkara maupun amalan-amalan. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Baca juga: 10 Kaidah Pemurnian Tauhid *** Depok, 10 Zulkaidah 1445 H / 17 Mei 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id.   Referensi: Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. (Jilid 7) Al-Qawâ’id wal-Ushûl Al-Jami’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm Al-Badî’ah An-Nâfi’ah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah.   Catatan kaki: [1] Lihat kitab Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah, hal. 29. [2] Hadis diriwayatkan oleh Bukhari no. 1967 dan Muslim no. 1059. [3] Hadis diriwayatkan oleh Muslim no. 4867. [4] Kaidah ini disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa-nya, 29: 16. [5] Lihat kitab  Al-Qawâ’id wal-Ushûl Al-Jami’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm Al-Badî’ah An-Nâfi’ah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah. [6] Lihat Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 30, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah. [7] Hadis diriwayatkan oleh Bukhari no. 568. [8] Hadis diriwayatkan oleh Bukhari no. 1477. Tags: kaidah fikih

Makna Kemerdekaan bagi Seorang Muslim

Daftar Isi Toggle Kemerdekaan terbesar adalah berlepas diri dari kesyirikanMerdeka dari hawa nafsuMerdeka dari fitnah duniaKesimpulan Tanggal 17 Agustus adalah hari kemerdekaan Negara Indonesia, negara kita. Hari bersejarah yang selalu dikenang dan diingat oleh rakyat Indonesia. Dengan merdekanya Indonesia dari tangan penjajah, maka kita menjadi rakyat independen yang dapat bergerak bebas dan tidak terikat secara pemerintahan dengan negara lainnya. Dalam Islam, makna kemerdekaan lebih jauh dari sekedar kemerdekaan sebuah negara dan bangsa. Dalam Islam, kemerdekaan adalah tatkala seorang hamba bebas melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala tanpa adanya suatu penghalang apa pun. Dalam Islam, kemerdekaan adalah tatkala seorang muslim tidak memiliki penghalang antara dirinya dan surga Allah Ta’ala. Kemerdekaan terbesar adalah berlepas diri dari kesyirikan Dalam beribadah dan melakukan ketaatan kepada Allah, seseorang muslim tidak akan dikatakan merdeka, kecuali apabila hanya beribadah kepada Allah Ta’ala dan menjauhkan diri dari kesyirikan kepada-Nya. Karena di dalam penyelewengan dan pemberian ibadah kepada selain Allah Ta’ala, sejatinya merupakan bentuk perbudakan kepada makhluk selain Allah Ta’ala. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan mengenai hal ini. Beliau rahimahullah berkata, العبودية لله هي حقيقة الحرية، فمن لم يتعبد له، كان عابدا لغيره “Menjadi hamba Allah adalah kemerdekaan yang hakiki. Barangsiapa yang tidak menghamba kepada Allah, dia akan menjadi hamba kepada selain-Nya.” (Al-Majmu’ Al-Fatawa, 8: 306) Saat seseorang berbuat kesyirikan, maka sejatinya ia bergantung dan merasa butuh kepada selain Allah Ta’ala. Ketika akan melakukan sesuatu, seringkali ia akan meminta persetujuan terlebih dahulu dari objek atau mahkluk yang ia sembah tersebut. Tidaklah ia memulai sebuah kegiatan, kecuali terlebih dahulu memberikan persembahan kepada sesembahannya tersebut. Bahkan, tidak jarang kita temukan, sebagian dari mereka yang mengaku muslim dan beriman kepada Allah Ta’ala, justru datang dan meminta kesembuhan, kesuksesan, dan kekayaan kepada makhluk-makhluk selain Allah, yang lemah lagi tak memiliki kuasa. Sungguh, ini menunjukkan betapa kebebasan dan kemerdekaan diri orang tersebut tersandera oleh kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Jiwanya tidak bebas dalam beribadah dan bermunajat kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan ketidakmampuan makhluk-makhluk tersebut di dalam mengabulkan doa dan keinginan para penyembah dan pemujanya, وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ* وَإِذَا حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاءً وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ كَافِرِينَ “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sesembahan-sesembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat), niscaya sesembahan-sesembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.” (QS. Al-Ahqaf 5-6) Ketahuilah wahai saudaraku, jiwa yang merdeka adalah jiwa yang bertauhid dan tunduk hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bebas dari kesyirikan dan peribadatan kepada selain Allah. Merdeka dari hawa nafsu Di antara bentuk kemerdekaan yang dituntut dan diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kemerdekaan dari belenggu hawa nafsu. Karena muaranya hawa nafsu akan menjerumuskan seseorang kepada kesesatan dan kebatilan. Lihatlah bagaimana Allah Ta’ala berbicara dan mewanti-wanti Nabi Daud ‘alaihis salam yang notabene-nya adalah seorang penguasa, seorang penguasa yang merdeka, dan tentu saja jauh dari ketundukan dan kehinaan. Allah peringatkan beliau agar jangan sampai dirinya tunduk dan menjadi sandera atas hawa nafsunya sendiri. Allah Ta’ala berfirman, يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ  “Wahai Daud! Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allâh.” (QS. Shad: 26) Di antara cara yang paling ampuh untuk menundukkan hawa nafsu dan menang darinya adalah dengan merasa takut kepada Allah Ta’ala, merasa takut juga akan azab-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ * فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at: 40-41) Mereka yang takut akan kebesaran Allah Ta’ala dan hukuman-Nya, maka akan mudah di dalam menundukkan hawa nafsunya. Sebaliknya, mereka yang tidak takut kepada Allah Ta’ala, merasa aman tatkala bermaksiat dan melakukan perbuatan dosa, maka bisa dipastikan ia akan kalah dan tunduk kepada hawa nafsunya. Baca juga: Kemerdekaan yang Hakiki Menjadi Hamba Allah Merdeka dari fitnah dunia Di antara ujian yang Allah berikan kepada kita adalah fitnah kehidupan dunia. Setiap dari kita pastilah diuji dengannya, entah itu berupa kekayaan harta yang melimpah ataupun ketidakcukupan dalam memenuhi kebutuhan. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan kepada kita hakikat kehidupan dunia ini, اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan, suatu yang melalaikan, perhiasan, bermegah-megahan di antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak. Seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering, dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadîd: 20) Seorang muslim yang merdeka adalah mereka yang terbebas dari fitnah dan ujian tersebut. Ia bersabar tatkala diuji dengan kesempitan dan bersyukur tatkala diuji dengan kelapangan. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang sahih, عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له. “Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin. Jika dia mendapatkan kesenangan, dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya. Dan jika dia ditimpa kesusahan, dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” (HR. Muslim no. 2999) Jiwanya bebas dan merdeka, tidak mengutuk Allah dan menyalahkan keadaan tatkala sedang dalam keadaan sempit serta terbebas dan tidak diperbudak oleh hartanya tatkala Allah berikan kelapangan. Kesimpulan Momentum hari kemerdekaan Indonesia, selain tentunya mengajak kita untuk kembali bersyukur kepada Allah Ta’ala atas limpahan nikmat rasa aman dan kebebasan, hendaknya juga kita manfaatkan untuk memaknai kembali kemerdekaan diri kita sendiri. Di mana di dalam ajaran Islam, tidaklah seseorang dikatakan merdeka dan bebas, kecuali setidaknya terbebas dari tiga hal berikut: Pertama: Terbebas dari kesyirikan dan hal-hal yang mengantarkan kepadanya. Sehingga jiwanya bebas di dalam beribadah kepada Allah dan tidak menjadi sandera sesembahan-sesembahan selain-Nya. Kedua: Terbebas dari belenggu hawa nafsu. Dalam kesehariannya, perbuatan yang dilakukannya jauh dari ketundukan kepada hawa nafsu, aktifitas kesehariannya jauh dari berbagai macam bentuk godaan nafsu syahwat dan nafsu syubhat. Karena rasa takutnya yang besar kepada Allah Ta’ala. Ketiga: Bebas dari jerat-jerat fitnah dunia. Tidaklah dirinya diuji dengan rasa susah, kecuali ia bersabar, dan tidaklah ia diuji dengan rasa lapang, kecuali ia bersyukur kepada Allah Ta’ala. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga keamanan dan kedamaian di negeri kita, memberikan hidayah kepada para pemimpin kita, dan senantiasa memberikan kemerdekaan dan kebebasan kepada diri kita untuk beribadah kepada-Nya, اللَّهُمَّ إنِّي أسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي ، اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِي وَآمِنْ رَوْعَاتِي ، اللَّهُمَّ احْفَظْنِي مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ وَمِنْ خَلْفِي ، وَعَن يَمِينِي وَعَن شِمَالِي وَمِنْ فَوْقِي ، وَأَعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِي “Ya Allâh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allâh, sungguh aku mohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan untuk agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku. Ya Allâh, tutuplah auratku (aib celaku), berilah keamanan dari rasa takutku. Ya Allâh, perliharalah aku dari arah depan, belakang, kanan, kiri, dan dari arah atasku. Aku berlindung dengan keagungan-Mu, agar aku terhindar kebinasaan dari bawahku (dibenamkan ke dalam bumi).” Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Menjadi Muslim Produktif di Era Disruptif *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: kemerdekaan

Makna Kemerdekaan bagi Seorang Muslim

Daftar Isi Toggle Kemerdekaan terbesar adalah berlepas diri dari kesyirikanMerdeka dari hawa nafsuMerdeka dari fitnah duniaKesimpulan Tanggal 17 Agustus adalah hari kemerdekaan Negara Indonesia, negara kita. Hari bersejarah yang selalu dikenang dan diingat oleh rakyat Indonesia. Dengan merdekanya Indonesia dari tangan penjajah, maka kita menjadi rakyat independen yang dapat bergerak bebas dan tidak terikat secara pemerintahan dengan negara lainnya. Dalam Islam, makna kemerdekaan lebih jauh dari sekedar kemerdekaan sebuah negara dan bangsa. Dalam Islam, kemerdekaan adalah tatkala seorang hamba bebas melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala tanpa adanya suatu penghalang apa pun. Dalam Islam, kemerdekaan adalah tatkala seorang muslim tidak memiliki penghalang antara dirinya dan surga Allah Ta’ala. Kemerdekaan terbesar adalah berlepas diri dari kesyirikan Dalam beribadah dan melakukan ketaatan kepada Allah, seseorang muslim tidak akan dikatakan merdeka, kecuali apabila hanya beribadah kepada Allah Ta’ala dan menjauhkan diri dari kesyirikan kepada-Nya. Karena di dalam penyelewengan dan pemberian ibadah kepada selain Allah Ta’ala, sejatinya merupakan bentuk perbudakan kepada makhluk selain Allah Ta’ala. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan mengenai hal ini. Beliau rahimahullah berkata, العبودية لله هي حقيقة الحرية، فمن لم يتعبد له، كان عابدا لغيره “Menjadi hamba Allah adalah kemerdekaan yang hakiki. Barangsiapa yang tidak menghamba kepada Allah, dia akan menjadi hamba kepada selain-Nya.” (Al-Majmu’ Al-Fatawa, 8: 306) Saat seseorang berbuat kesyirikan, maka sejatinya ia bergantung dan merasa butuh kepada selain Allah Ta’ala. Ketika akan melakukan sesuatu, seringkali ia akan meminta persetujuan terlebih dahulu dari objek atau mahkluk yang ia sembah tersebut. Tidaklah ia memulai sebuah kegiatan, kecuali terlebih dahulu memberikan persembahan kepada sesembahannya tersebut. Bahkan, tidak jarang kita temukan, sebagian dari mereka yang mengaku muslim dan beriman kepada Allah Ta’ala, justru datang dan meminta kesembuhan, kesuksesan, dan kekayaan kepada makhluk-makhluk selain Allah, yang lemah lagi tak memiliki kuasa. Sungguh, ini menunjukkan betapa kebebasan dan kemerdekaan diri orang tersebut tersandera oleh kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Jiwanya tidak bebas dalam beribadah dan bermunajat kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan ketidakmampuan makhluk-makhluk tersebut di dalam mengabulkan doa dan keinginan para penyembah dan pemujanya, وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ* وَإِذَا حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاءً وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ كَافِرِينَ “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sesembahan-sesembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat), niscaya sesembahan-sesembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.” (QS. Al-Ahqaf 5-6) Ketahuilah wahai saudaraku, jiwa yang merdeka adalah jiwa yang bertauhid dan tunduk hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bebas dari kesyirikan dan peribadatan kepada selain Allah. Merdeka dari hawa nafsu Di antara bentuk kemerdekaan yang dituntut dan diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kemerdekaan dari belenggu hawa nafsu. Karena muaranya hawa nafsu akan menjerumuskan seseorang kepada kesesatan dan kebatilan. Lihatlah bagaimana Allah Ta’ala berbicara dan mewanti-wanti Nabi Daud ‘alaihis salam yang notabene-nya adalah seorang penguasa, seorang penguasa yang merdeka, dan tentu saja jauh dari ketundukan dan kehinaan. Allah peringatkan beliau agar jangan sampai dirinya tunduk dan menjadi sandera atas hawa nafsunya sendiri. Allah Ta’ala berfirman, يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ  “Wahai Daud! Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allâh.” (QS. Shad: 26) Di antara cara yang paling ampuh untuk menundukkan hawa nafsu dan menang darinya adalah dengan merasa takut kepada Allah Ta’ala, merasa takut juga akan azab-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ * فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at: 40-41) Mereka yang takut akan kebesaran Allah Ta’ala dan hukuman-Nya, maka akan mudah di dalam menundukkan hawa nafsunya. Sebaliknya, mereka yang tidak takut kepada Allah Ta’ala, merasa aman tatkala bermaksiat dan melakukan perbuatan dosa, maka bisa dipastikan ia akan kalah dan tunduk kepada hawa nafsunya. Baca juga: Kemerdekaan yang Hakiki Menjadi Hamba Allah Merdeka dari fitnah dunia Di antara ujian yang Allah berikan kepada kita adalah fitnah kehidupan dunia. Setiap dari kita pastilah diuji dengannya, entah itu berupa kekayaan harta yang melimpah ataupun ketidakcukupan dalam memenuhi kebutuhan. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan kepada kita hakikat kehidupan dunia ini, اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan, suatu yang melalaikan, perhiasan, bermegah-megahan di antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak. Seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering, dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadîd: 20) Seorang muslim yang merdeka adalah mereka yang terbebas dari fitnah dan ujian tersebut. Ia bersabar tatkala diuji dengan kesempitan dan bersyukur tatkala diuji dengan kelapangan. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang sahih, عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له. “Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin. Jika dia mendapatkan kesenangan, dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya. Dan jika dia ditimpa kesusahan, dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” (HR. Muslim no. 2999) Jiwanya bebas dan merdeka, tidak mengutuk Allah dan menyalahkan keadaan tatkala sedang dalam keadaan sempit serta terbebas dan tidak diperbudak oleh hartanya tatkala Allah berikan kelapangan. Kesimpulan Momentum hari kemerdekaan Indonesia, selain tentunya mengajak kita untuk kembali bersyukur kepada Allah Ta’ala atas limpahan nikmat rasa aman dan kebebasan, hendaknya juga kita manfaatkan untuk memaknai kembali kemerdekaan diri kita sendiri. Di mana di dalam ajaran Islam, tidaklah seseorang dikatakan merdeka dan bebas, kecuali setidaknya terbebas dari tiga hal berikut: Pertama: Terbebas dari kesyirikan dan hal-hal yang mengantarkan kepadanya. Sehingga jiwanya bebas di dalam beribadah kepada Allah dan tidak menjadi sandera sesembahan-sesembahan selain-Nya. Kedua: Terbebas dari belenggu hawa nafsu. Dalam kesehariannya, perbuatan yang dilakukannya jauh dari ketundukan kepada hawa nafsu, aktifitas kesehariannya jauh dari berbagai macam bentuk godaan nafsu syahwat dan nafsu syubhat. Karena rasa takutnya yang besar kepada Allah Ta’ala. Ketiga: Bebas dari jerat-jerat fitnah dunia. Tidaklah dirinya diuji dengan rasa susah, kecuali ia bersabar, dan tidaklah ia diuji dengan rasa lapang, kecuali ia bersyukur kepada Allah Ta’ala. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga keamanan dan kedamaian di negeri kita, memberikan hidayah kepada para pemimpin kita, dan senantiasa memberikan kemerdekaan dan kebebasan kepada diri kita untuk beribadah kepada-Nya, اللَّهُمَّ إنِّي أسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي ، اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِي وَآمِنْ رَوْعَاتِي ، اللَّهُمَّ احْفَظْنِي مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ وَمِنْ خَلْفِي ، وَعَن يَمِينِي وَعَن شِمَالِي وَمِنْ فَوْقِي ، وَأَعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِي “Ya Allâh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allâh, sungguh aku mohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan untuk agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku. Ya Allâh, tutuplah auratku (aib celaku), berilah keamanan dari rasa takutku. Ya Allâh, perliharalah aku dari arah depan, belakang, kanan, kiri, dan dari arah atasku. Aku berlindung dengan keagungan-Mu, agar aku terhindar kebinasaan dari bawahku (dibenamkan ke dalam bumi).” Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Menjadi Muslim Produktif di Era Disruptif *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: kemerdekaan
Daftar Isi Toggle Kemerdekaan terbesar adalah berlepas diri dari kesyirikanMerdeka dari hawa nafsuMerdeka dari fitnah duniaKesimpulan Tanggal 17 Agustus adalah hari kemerdekaan Negara Indonesia, negara kita. Hari bersejarah yang selalu dikenang dan diingat oleh rakyat Indonesia. Dengan merdekanya Indonesia dari tangan penjajah, maka kita menjadi rakyat independen yang dapat bergerak bebas dan tidak terikat secara pemerintahan dengan negara lainnya. Dalam Islam, makna kemerdekaan lebih jauh dari sekedar kemerdekaan sebuah negara dan bangsa. Dalam Islam, kemerdekaan adalah tatkala seorang hamba bebas melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala tanpa adanya suatu penghalang apa pun. Dalam Islam, kemerdekaan adalah tatkala seorang muslim tidak memiliki penghalang antara dirinya dan surga Allah Ta’ala. Kemerdekaan terbesar adalah berlepas diri dari kesyirikan Dalam beribadah dan melakukan ketaatan kepada Allah, seseorang muslim tidak akan dikatakan merdeka, kecuali apabila hanya beribadah kepada Allah Ta’ala dan menjauhkan diri dari kesyirikan kepada-Nya. Karena di dalam penyelewengan dan pemberian ibadah kepada selain Allah Ta’ala, sejatinya merupakan bentuk perbudakan kepada makhluk selain Allah Ta’ala. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan mengenai hal ini. Beliau rahimahullah berkata, العبودية لله هي حقيقة الحرية، فمن لم يتعبد له، كان عابدا لغيره “Menjadi hamba Allah adalah kemerdekaan yang hakiki. Barangsiapa yang tidak menghamba kepada Allah, dia akan menjadi hamba kepada selain-Nya.” (Al-Majmu’ Al-Fatawa, 8: 306) Saat seseorang berbuat kesyirikan, maka sejatinya ia bergantung dan merasa butuh kepada selain Allah Ta’ala. Ketika akan melakukan sesuatu, seringkali ia akan meminta persetujuan terlebih dahulu dari objek atau mahkluk yang ia sembah tersebut. Tidaklah ia memulai sebuah kegiatan, kecuali terlebih dahulu memberikan persembahan kepada sesembahannya tersebut. Bahkan, tidak jarang kita temukan, sebagian dari mereka yang mengaku muslim dan beriman kepada Allah Ta’ala, justru datang dan meminta kesembuhan, kesuksesan, dan kekayaan kepada makhluk-makhluk selain Allah, yang lemah lagi tak memiliki kuasa. Sungguh, ini menunjukkan betapa kebebasan dan kemerdekaan diri orang tersebut tersandera oleh kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Jiwanya tidak bebas dalam beribadah dan bermunajat kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan ketidakmampuan makhluk-makhluk tersebut di dalam mengabulkan doa dan keinginan para penyembah dan pemujanya, وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ* وَإِذَا حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاءً وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ كَافِرِينَ “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sesembahan-sesembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat), niscaya sesembahan-sesembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.” (QS. Al-Ahqaf 5-6) Ketahuilah wahai saudaraku, jiwa yang merdeka adalah jiwa yang bertauhid dan tunduk hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bebas dari kesyirikan dan peribadatan kepada selain Allah. Merdeka dari hawa nafsu Di antara bentuk kemerdekaan yang dituntut dan diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kemerdekaan dari belenggu hawa nafsu. Karena muaranya hawa nafsu akan menjerumuskan seseorang kepada kesesatan dan kebatilan. Lihatlah bagaimana Allah Ta’ala berbicara dan mewanti-wanti Nabi Daud ‘alaihis salam yang notabene-nya adalah seorang penguasa, seorang penguasa yang merdeka, dan tentu saja jauh dari ketundukan dan kehinaan. Allah peringatkan beliau agar jangan sampai dirinya tunduk dan menjadi sandera atas hawa nafsunya sendiri. Allah Ta’ala berfirman, يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ  “Wahai Daud! Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allâh.” (QS. Shad: 26) Di antara cara yang paling ampuh untuk menundukkan hawa nafsu dan menang darinya adalah dengan merasa takut kepada Allah Ta’ala, merasa takut juga akan azab-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ * فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at: 40-41) Mereka yang takut akan kebesaran Allah Ta’ala dan hukuman-Nya, maka akan mudah di dalam menundukkan hawa nafsunya. Sebaliknya, mereka yang tidak takut kepada Allah Ta’ala, merasa aman tatkala bermaksiat dan melakukan perbuatan dosa, maka bisa dipastikan ia akan kalah dan tunduk kepada hawa nafsunya. Baca juga: Kemerdekaan yang Hakiki Menjadi Hamba Allah Merdeka dari fitnah dunia Di antara ujian yang Allah berikan kepada kita adalah fitnah kehidupan dunia. Setiap dari kita pastilah diuji dengannya, entah itu berupa kekayaan harta yang melimpah ataupun ketidakcukupan dalam memenuhi kebutuhan. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan kepada kita hakikat kehidupan dunia ini, اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan, suatu yang melalaikan, perhiasan, bermegah-megahan di antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak. Seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering, dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadîd: 20) Seorang muslim yang merdeka adalah mereka yang terbebas dari fitnah dan ujian tersebut. Ia bersabar tatkala diuji dengan kesempitan dan bersyukur tatkala diuji dengan kelapangan. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang sahih, عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له. “Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin. Jika dia mendapatkan kesenangan, dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya. Dan jika dia ditimpa kesusahan, dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” (HR. Muslim no. 2999) Jiwanya bebas dan merdeka, tidak mengutuk Allah dan menyalahkan keadaan tatkala sedang dalam keadaan sempit serta terbebas dan tidak diperbudak oleh hartanya tatkala Allah berikan kelapangan. Kesimpulan Momentum hari kemerdekaan Indonesia, selain tentunya mengajak kita untuk kembali bersyukur kepada Allah Ta’ala atas limpahan nikmat rasa aman dan kebebasan, hendaknya juga kita manfaatkan untuk memaknai kembali kemerdekaan diri kita sendiri. Di mana di dalam ajaran Islam, tidaklah seseorang dikatakan merdeka dan bebas, kecuali setidaknya terbebas dari tiga hal berikut: Pertama: Terbebas dari kesyirikan dan hal-hal yang mengantarkan kepadanya. Sehingga jiwanya bebas di dalam beribadah kepada Allah dan tidak menjadi sandera sesembahan-sesembahan selain-Nya. Kedua: Terbebas dari belenggu hawa nafsu. Dalam kesehariannya, perbuatan yang dilakukannya jauh dari ketundukan kepada hawa nafsu, aktifitas kesehariannya jauh dari berbagai macam bentuk godaan nafsu syahwat dan nafsu syubhat. Karena rasa takutnya yang besar kepada Allah Ta’ala. Ketiga: Bebas dari jerat-jerat fitnah dunia. Tidaklah dirinya diuji dengan rasa susah, kecuali ia bersabar, dan tidaklah ia diuji dengan rasa lapang, kecuali ia bersyukur kepada Allah Ta’ala. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga keamanan dan kedamaian di negeri kita, memberikan hidayah kepada para pemimpin kita, dan senantiasa memberikan kemerdekaan dan kebebasan kepada diri kita untuk beribadah kepada-Nya, اللَّهُمَّ إنِّي أسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي ، اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِي وَآمِنْ رَوْعَاتِي ، اللَّهُمَّ احْفَظْنِي مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ وَمِنْ خَلْفِي ، وَعَن يَمِينِي وَعَن شِمَالِي وَمِنْ فَوْقِي ، وَأَعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِي “Ya Allâh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allâh, sungguh aku mohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan untuk agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku. Ya Allâh, tutuplah auratku (aib celaku), berilah keamanan dari rasa takutku. Ya Allâh, perliharalah aku dari arah depan, belakang, kanan, kiri, dan dari arah atasku. Aku berlindung dengan keagungan-Mu, agar aku terhindar kebinasaan dari bawahku (dibenamkan ke dalam bumi).” Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Menjadi Muslim Produktif di Era Disruptif *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: kemerdekaan


Daftar Isi Toggle Kemerdekaan terbesar adalah berlepas diri dari kesyirikanMerdeka dari hawa nafsuMerdeka dari fitnah duniaKesimpulan Tanggal 17 Agustus adalah hari kemerdekaan Negara Indonesia, negara kita. Hari bersejarah yang selalu dikenang dan diingat oleh rakyat Indonesia. Dengan merdekanya Indonesia dari tangan penjajah, maka kita menjadi rakyat independen yang dapat bergerak bebas dan tidak terikat secara pemerintahan dengan negara lainnya. Dalam Islam, makna kemerdekaan lebih jauh dari sekedar kemerdekaan sebuah negara dan bangsa. Dalam Islam, kemerdekaan adalah tatkala seorang hamba bebas melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala tanpa adanya suatu penghalang apa pun. Dalam Islam, kemerdekaan adalah tatkala seorang muslim tidak memiliki penghalang antara dirinya dan surga Allah Ta’ala. Kemerdekaan terbesar adalah berlepas diri dari kesyirikan Dalam beribadah dan melakukan ketaatan kepada Allah, seseorang muslim tidak akan dikatakan merdeka, kecuali apabila hanya beribadah kepada Allah Ta’ala dan menjauhkan diri dari kesyirikan kepada-Nya. Karena di dalam penyelewengan dan pemberian ibadah kepada selain Allah Ta’ala, sejatinya merupakan bentuk perbudakan kepada makhluk selain Allah Ta’ala. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan mengenai hal ini. Beliau rahimahullah berkata, العبودية لله هي حقيقة الحرية، فمن لم يتعبد له، كان عابدا لغيره “Menjadi hamba Allah adalah kemerdekaan yang hakiki. Barangsiapa yang tidak menghamba kepada Allah, dia akan menjadi hamba kepada selain-Nya.” (Al-Majmu’ Al-Fatawa, 8: 306) Saat seseorang berbuat kesyirikan, maka sejatinya ia bergantung dan merasa butuh kepada selain Allah Ta’ala. Ketika akan melakukan sesuatu, seringkali ia akan meminta persetujuan terlebih dahulu dari objek atau mahkluk yang ia sembah tersebut. Tidaklah ia memulai sebuah kegiatan, kecuali terlebih dahulu memberikan persembahan kepada sesembahannya tersebut. Bahkan, tidak jarang kita temukan, sebagian dari mereka yang mengaku muslim dan beriman kepada Allah Ta’ala, justru datang dan meminta kesembuhan, kesuksesan, dan kekayaan kepada makhluk-makhluk selain Allah, yang lemah lagi tak memiliki kuasa. Sungguh, ini menunjukkan betapa kebebasan dan kemerdekaan diri orang tersebut tersandera oleh kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Jiwanya tidak bebas dalam beribadah dan bermunajat kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan ketidakmampuan makhluk-makhluk tersebut di dalam mengabulkan doa dan keinginan para penyembah dan pemujanya, وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ* وَإِذَا حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاءً وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ كَافِرِينَ “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sesembahan-sesembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat), niscaya sesembahan-sesembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.” (QS. Al-Ahqaf 5-6) Ketahuilah wahai saudaraku, jiwa yang merdeka adalah jiwa yang bertauhid dan tunduk hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bebas dari kesyirikan dan peribadatan kepada selain Allah. Merdeka dari hawa nafsu Di antara bentuk kemerdekaan yang dituntut dan diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kemerdekaan dari belenggu hawa nafsu. Karena muaranya hawa nafsu akan menjerumuskan seseorang kepada kesesatan dan kebatilan. Lihatlah bagaimana Allah Ta’ala berbicara dan mewanti-wanti Nabi Daud ‘alaihis salam yang notabene-nya adalah seorang penguasa, seorang penguasa yang merdeka, dan tentu saja jauh dari ketundukan dan kehinaan. Allah peringatkan beliau agar jangan sampai dirinya tunduk dan menjadi sandera atas hawa nafsunya sendiri. Allah Ta’ala berfirman, يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ  “Wahai Daud! Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allâh.” (QS. Shad: 26) Di antara cara yang paling ampuh untuk menundukkan hawa nafsu dan menang darinya adalah dengan merasa takut kepada Allah Ta’ala, merasa takut juga akan azab-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ * فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at: 40-41) Mereka yang takut akan kebesaran Allah Ta’ala dan hukuman-Nya, maka akan mudah di dalam menundukkan hawa nafsunya. Sebaliknya, mereka yang tidak takut kepada Allah Ta’ala, merasa aman tatkala bermaksiat dan melakukan perbuatan dosa, maka bisa dipastikan ia akan kalah dan tunduk kepada hawa nafsunya. Baca juga: Kemerdekaan yang Hakiki Menjadi Hamba Allah Merdeka dari fitnah dunia Di antara ujian yang Allah berikan kepada kita adalah fitnah kehidupan dunia. Setiap dari kita pastilah diuji dengannya, entah itu berupa kekayaan harta yang melimpah ataupun ketidakcukupan dalam memenuhi kebutuhan. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan kepada kita hakikat kehidupan dunia ini, اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan, suatu yang melalaikan, perhiasan, bermegah-megahan di antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak. Seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering, dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadîd: 20) Seorang muslim yang merdeka adalah mereka yang terbebas dari fitnah dan ujian tersebut. Ia bersabar tatkala diuji dengan kesempitan dan bersyukur tatkala diuji dengan kelapangan. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang sahih, عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له. “Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin. Jika dia mendapatkan kesenangan, dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya. Dan jika dia ditimpa kesusahan, dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” (HR. Muslim no. 2999) Jiwanya bebas dan merdeka, tidak mengutuk Allah dan menyalahkan keadaan tatkala sedang dalam keadaan sempit serta terbebas dan tidak diperbudak oleh hartanya tatkala Allah berikan kelapangan. Kesimpulan Momentum hari kemerdekaan Indonesia, selain tentunya mengajak kita untuk kembali bersyukur kepada Allah Ta’ala atas limpahan nikmat rasa aman dan kebebasan, hendaknya juga kita manfaatkan untuk memaknai kembali kemerdekaan diri kita sendiri. Di mana di dalam ajaran Islam, tidaklah seseorang dikatakan merdeka dan bebas, kecuali setidaknya terbebas dari tiga hal berikut: Pertama: Terbebas dari kesyirikan dan hal-hal yang mengantarkan kepadanya. Sehingga jiwanya bebas di dalam beribadah kepada Allah dan tidak menjadi sandera sesembahan-sesembahan selain-Nya. Kedua: Terbebas dari belenggu hawa nafsu. Dalam kesehariannya, perbuatan yang dilakukannya jauh dari ketundukan kepada hawa nafsu, aktifitas kesehariannya jauh dari berbagai macam bentuk godaan nafsu syahwat dan nafsu syubhat. Karena rasa takutnya yang besar kepada Allah Ta’ala. Ketiga: Bebas dari jerat-jerat fitnah dunia. Tidaklah dirinya diuji dengan rasa susah, kecuali ia bersabar, dan tidaklah ia diuji dengan rasa lapang, kecuali ia bersyukur kepada Allah Ta’ala. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga keamanan dan kedamaian di negeri kita, memberikan hidayah kepada para pemimpin kita, dan senantiasa memberikan kemerdekaan dan kebebasan kepada diri kita untuk beribadah kepada-Nya, اللَّهُمَّ إنِّي أسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي ، اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِي وَآمِنْ رَوْعَاتِي ، اللَّهُمَّ احْفَظْنِي مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ وَمِنْ خَلْفِي ، وَعَن يَمِينِي وَعَن شِمَالِي وَمِنْ فَوْقِي ، وَأَعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِي “Ya Allâh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allâh, sungguh aku mohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan untuk agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku. Ya Allâh, tutuplah auratku (aib celaku), berilah keamanan dari rasa takutku. Ya Allâh, perliharalah aku dari arah depan, belakang, kanan, kiri, dan dari arah atasku. Aku berlindung dengan keagungan-Mu, agar aku terhindar kebinasaan dari bawahku (dibenamkan ke dalam bumi).” Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Menjadi Muslim Produktif di Era Disruptif *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: kemerdekaan

Niat Shalat Malam dan Shalat Witir Apakah Sama? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Apakah niat Salat Malam berbeda dengan niat Salat Witir, atau niatnya sama? Sebagian ulama fikih membedakannya, tapi pendapat yang lebih kuat adalah tidak ada bedanya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salat Malam dua rakaat dua rakaat, apabila kalian khawatir waktu subuh segera tiba, maka hendaklah Salat Witir satu rakaat.” (Muttafaq ‘alaihi) Itu adalah Salat Malam, dikerjakan dua rakaat dua rakaat. Lalu ditutup dengan Salat Witir satu rakaat. Niatnya cukup niat Salat Malam, lalu menutupnya dengan Salat Witir. ==== هَلْ نِيَّةُ صَلَاةِ اللَّيْلِ تَخْتَلِفُ عَنْ نِيَّةِ صَلَاةِ الْوِتْرِ أَمِ النِّيَّةُ وَاحِدَةٌ؟ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا وَالْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَا فَرْقَ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ فَلْيُوتِرْ بِوَاحِدَةٍ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ فَهِيَ صَلَاةُ اللَّيْلِ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ فَالنِّيَّةُ تَكْفِي أَنْ يَنْوِيَهَا صَلَاةَ اللَّيْلِ وَأَنَّهُ يَخْتِمُهَا بِالْوِتْرِ

Niat Shalat Malam dan Shalat Witir Apakah Sama? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Apakah niat Salat Malam berbeda dengan niat Salat Witir, atau niatnya sama? Sebagian ulama fikih membedakannya, tapi pendapat yang lebih kuat adalah tidak ada bedanya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salat Malam dua rakaat dua rakaat, apabila kalian khawatir waktu subuh segera tiba, maka hendaklah Salat Witir satu rakaat.” (Muttafaq ‘alaihi) Itu adalah Salat Malam, dikerjakan dua rakaat dua rakaat. Lalu ditutup dengan Salat Witir satu rakaat. Niatnya cukup niat Salat Malam, lalu menutupnya dengan Salat Witir. ==== هَلْ نِيَّةُ صَلَاةِ اللَّيْلِ تَخْتَلِفُ عَنْ نِيَّةِ صَلَاةِ الْوِتْرِ أَمِ النِّيَّةُ وَاحِدَةٌ؟ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا وَالْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَا فَرْقَ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ فَلْيُوتِرْ بِوَاحِدَةٍ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ فَهِيَ صَلَاةُ اللَّيْلِ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ فَالنِّيَّةُ تَكْفِي أَنْ يَنْوِيَهَا صَلَاةَ اللَّيْلِ وَأَنَّهُ يَخْتِمُهَا بِالْوِتْرِ
Apakah niat Salat Malam berbeda dengan niat Salat Witir, atau niatnya sama? Sebagian ulama fikih membedakannya, tapi pendapat yang lebih kuat adalah tidak ada bedanya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salat Malam dua rakaat dua rakaat, apabila kalian khawatir waktu subuh segera tiba, maka hendaklah Salat Witir satu rakaat.” (Muttafaq ‘alaihi) Itu adalah Salat Malam, dikerjakan dua rakaat dua rakaat. Lalu ditutup dengan Salat Witir satu rakaat. Niatnya cukup niat Salat Malam, lalu menutupnya dengan Salat Witir. ==== هَلْ نِيَّةُ صَلَاةِ اللَّيْلِ تَخْتَلِفُ عَنْ نِيَّةِ صَلَاةِ الْوِتْرِ أَمِ النِّيَّةُ وَاحِدَةٌ؟ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا وَالْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَا فَرْقَ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ فَلْيُوتِرْ بِوَاحِدَةٍ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ فَهِيَ صَلَاةُ اللَّيْلِ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ فَالنِّيَّةُ تَكْفِي أَنْ يَنْوِيَهَا صَلَاةَ اللَّيْلِ وَأَنَّهُ يَخْتِمُهَا بِالْوِتْرِ


Apakah niat Salat Malam berbeda dengan niat Salat Witir, atau niatnya sama? Sebagian ulama fikih membedakannya, tapi pendapat yang lebih kuat adalah tidak ada bedanya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salat Malam dua rakaat dua rakaat, apabila kalian khawatir waktu subuh segera tiba, maka hendaklah Salat Witir satu rakaat.” (Muttafaq ‘alaihi) Itu adalah Salat Malam, dikerjakan dua rakaat dua rakaat. Lalu ditutup dengan Salat Witir satu rakaat. Niatnya cukup niat Salat Malam, lalu menutupnya dengan Salat Witir. ==== هَلْ نِيَّةُ صَلَاةِ اللَّيْلِ تَخْتَلِفُ عَنْ نِيَّةِ صَلَاةِ الْوِتْرِ أَمِ النِّيَّةُ وَاحِدَةٌ؟ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا وَالْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَا فَرْقَ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ فَلْيُوتِرْ بِوَاحِدَةٍ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ فَهِيَ صَلَاةُ اللَّيْلِ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ فَالنِّيَّةُ تَكْفِي أَنْ يَنْوِيَهَا صَلَاةَ اللَّيْلِ وَأَنَّهُ يَخْتِمُهَا بِالْوِتْرِ

Hadis: Menikah adalah Sunah Nabi

Daftar Isi Toggle Teks hadis Kandungan hadis Kandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada tiga orang yang mendatangi rumah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakan bagaimanakah ibadah beliau. Ketika telah disampaikan kepada mereka, mereka pun merasa bahwa ibadah mereka sangat sedikit, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengatakan, “Di manakah posisi kita dibandingkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal Allah Ta’ala telah mengampuni dosa-dosa beliau, baik yang telah berlalu maupun di masa mendatang.” Salah seorang di antara mereka berkata, “Adapun aku, aku akan salat malam selamanya.” (maksudnya, tidak tidur demi bisa mendirikan shalat, pent.) Yang lain berkata, “Aku akan berpuasa dahr (berpuasa sepanjang tahun) dan selalu berpuasa (tidak pernah tidak puasa).” Orang ke tiga berkata, “Aku akan jauhi wanita, aku tidak akan menikah selama-lamanya.” Lalu datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau berkata, أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي “Apakah kalian yang mengatakan demikian dan demikian? Demi Allah, sungguh aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya dibandingkan kalian. Akan tetapi, terkadang aku puasa dan terkadang aku tidak berpuasa; aku salat dan aku juga tidur; dan aku juga menikah dengan wanita. Siapa saja yang membenci sunahku, maka dia bukan termasuk golonganku.” (HR. Bukhari no. 5063 dan Muslim no. 1401) Kandungan hadis Kandungan pertama Hadis tersebut menunjukkan keutamaan menikah dan juga dorongan (motivasi) untuk menikah karena di dalamnya terkandung maslahat (kebaikan) yang besar. Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa tidak menikah karena tidak ingin ibadahnya terganggu bukanlah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan pula termasuk sunahnya. Bahkan, menikah termasuk dalam sunah para Rasul, sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجاً وَذُرِّيَّةً “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar-Ra’du: 38) Kandungan kedua Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa syariat itu dibangun di atas kemudahan untuk mukallaf (orang yang dibebani syariat). Tenggelam (berlebih-lebihan) dalam ibadah dengan memberatkan dan menyusahkan badan itu bukanlah termasuk ajaran agama, dan bukan pula termasuk sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ “Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit). Maka berlakulah lurus kalian, mendekatlah (kepada kesempurnaan amal jika kalian tidak mampu melakukannya dengan sempurna, pent.), berilah kabar gembira, dan minta tolonglah dengan al-ghadwah (di awal pagi), ar-ruhah (setelah Zuhur), dan dari ad-duljah (di akhir malam).” (HR. Bukhari no. 39) Maksudnya, kita berusaha kontinyu dalam ibadah dengan menunaikannya di waktu-waktu yang kita bisa bersemangat, yaitu ketika di awal pagi, bakda Zuhur, dan di akhir malam. Oleh karena itu, Islam memberikan petunjuk untuk tidak memaksa-maksa diri (berlebihan) dalam ibadah, dan juga membebani badan di luar batas ketika beribadah. Siapa saja yang berbuat demikian, maka lama-lama dia akan bosan, berhenti, dan terputus dari amal ibadah. Akan tetapi, jika seseorang bersikap pertengahan, maka dia akan beramal secara kontinyu. Memungkinkan juga baginya untuk memenuhi hak yang menjadi kewajibannya, baik hak Allah, hak badan (untuk istirahat), hak keluarga, dan juga hak orang lain secara umum. Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَأَنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ “Sesungguhnya amal yang dicintai oleh Allah adalah yang terus-menerus walaupun sedikit.” (HR. Bukhari no. 6464) Kandungan ketiga Di dalam hadis tersebut terdapat suatu kaidah yang penting, yaitu “bersesuaian dengan sunah itu lebih baik daripada banyaknya amal.” Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas, فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي “Siapa saja yang membenci sunahku, maka dia bukan termasuk dalam golonganku.” Tiga orang tersebut ingin agar amalnya lebih banyak dari amal ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa perbuatan tersebut menyelisihi sunah. Kebaikan itu adalah dengan mengikuti sunah dan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam salat, puasa, dan kebiasaan-kebiasaan beliau. Contoh penerapan kaidah ini adalah riwayat dari Sa’id bin Musayyib rahimahullah. Beliau rahimahullah melihat seorang laki-laki yang salat sunah setelah terbit fajar (salat sunah qabliyah subuh) lebih dari dua rakaat, dia memperbanyak rukuk dan sujud dalam salat tersebut. Sa’id bin Musayyib pun melarangnya. Orang tersebut berkata, يا أبا محمد! يعذبني الله على الصلاة؟ “Wahai Abu Muhammad! Apakah Allah akan mengazabku karena aku (memperbanyak) salat?” Sa’id bin Musayyib rahimahullah menjawab, لا، ولكن يعذبك على خلاف السنة “Tidak, akan tetapi (bisa jadi Engkau diazab) karena menyelisihi sunah (petunjuk Nabi).” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 2: 366; Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih, 1: 147; ‘Abdur Razzaq, 3: 25; Ad-Darimi, 1: 116 dan Ibnu Nashr, hal. 84; dengan sanad yang hasan) Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Baca juga: Anggapan Sial Menikah di Bulan Muharam *** @BA, 26 Syawal 1445/ 5 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 178-179). Tags: menikahsunah nabi

Hadis: Menikah adalah Sunah Nabi

Daftar Isi Toggle Teks hadis Kandungan hadis Kandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada tiga orang yang mendatangi rumah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakan bagaimanakah ibadah beliau. Ketika telah disampaikan kepada mereka, mereka pun merasa bahwa ibadah mereka sangat sedikit, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengatakan, “Di manakah posisi kita dibandingkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal Allah Ta’ala telah mengampuni dosa-dosa beliau, baik yang telah berlalu maupun di masa mendatang.” Salah seorang di antara mereka berkata, “Adapun aku, aku akan salat malam selamanya.” (maksudnya, tidak tidur demi bisa mendirikan shalat, pent.) Yang lain berkata, “Aku akan berpuasa dahr (berpuasa sepanjang tahun) dan selalu berpuasa (tidak pernah tidak puasa).” Orang ke tiga berkata, “Aku akan jauhi wanita, aku tidak akan menikah selama-lamanya.” Lalu datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau berkata, أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي “Apakah kalian yang mengatakan demikian dan demikian? Demi Allah, sungguh aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya dibandingkan kalian. Akan tetapi, terkadang aku puasa dan terkadang aku tidak berpuasa; aku salat dan aku juga tidur; dan aku juga menikah dengan wanita. Siapa saja yang membenci sunahku, maka dia bukan termasuk golonganku.” (HR. Bukhari no. 5063 dan Muslim no. 1401) Kandungan hadis Kandungan pertama Hadis tersebut menunjukkan keutamaan menikah dan juga dorongan (motivasi) untuk menikah karena di dalamnya terkandung maslahat (kebaikan) yang besar. Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa tidak menikah karena tidak ingin ibadahnya terganggu bukanlah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan pula termasuk sunahnya. Bahkan, menikah termasuk dalam sunah para Rasul, sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجاً وَذُرِّيَّةً “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar-Ra’du: 38) Kandungan kedua Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa syariat itu dibangun di atas kemudahan untuk mukallaf (orang yang dibebani syariat). Tenggelam (berlebih-lebihan) dalam ibadah dengan memberatkan dan menyusahkan badan itu bukanlah termasuk ajaran agama, dan bukan pula termasuk sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ “Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit). Maka berlakulah lurus kalian, mendekatlah (kepada kesempurnaan amal jika kalian tidak mampu melakukannya dengan sempurna, pent.), berilah kabar gembira, dan minta tolonglah dengan al-ghadwah (di awal pagi), ar-ruhah (setelah Zuhur), dan dari ad-duljah (di akhir malam).” (HR. Bukhari no. 39) Maksudnya, kita berusaha kontinyu dalam ibadah dengan menunaikannya di waktu-waktu yang kita bisa bersemangat, yaitu ketika di awal pagi, bakda Zuhur, dan di akhir malam. Oleh karena itu, Islam memberikan petunjuk untuk tidak memaksa-maksa diri (berlebihan) dalam ibadah, dan juga membebani badan di luar batas ketika beribadah. Siapa saja yang berbuat demikian, maka lama-lama dia akan bosan, berhenti, dan terputus dari amal ibadah. Akan tetapi, jika seseorang bersikap pertengahan, maka dia akan beramal secara kontinyu. Memungkinkan juga baginya untuk memenuhi hak yang menjadi kewajibannya, baik hak Allah, hak badan (untuk istirahat), hak keluarga, dan juga hak orang lain secara umum. Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَأَنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ “Sesungguhnya amal yang dicintai oleh Allah adalah yang terus-menerus walaupun sedikit.” (HR. Bukhari no. 6464) Kandungan ketiga Di dalam hadis tersebut terdapat suatu kaidah yang penting, yaitu “bersesuaian dengan sunah itu lebih baik daripada banyaknya amal.” Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas, فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي “Siapa saja yang membenci sunahku, maka dia bukan termasuk dalam golonganku.” Tiga orang tersebut ingin agar amalnya lebih banyak dari amal ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa perbuatan tersebut menyelisihi sunah. Kebaikan itu adalah dengan mengikuti sunah dan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam salat, puasa, dan kebiasaan-kebiasaan beliau. Contoh penerapan kaidah ini adalah riwayat dari Sa’id bin Musayyib rahimahullah. Beliau rahimahullah melihat seorang laki-laki yang salat sunah setelah terbit fajar (salat sunah qabliyah subuh) lebih dari dua rakaat, dia memperbanyak rukuk dan sujud dalam salat tersebut. Sa’id bin Musayyib pun melarangnya. Orang tersebut berkata, يا أبا محمد! يعذبني الله على الصلاة؟ “Wahai Abu Muhammad! Apakah Allah akan mengazabku karena aku (memperbanyak) salat?” Sa’id bin Musayyib rahimahullah menjawab, لا، ولكن يعذبك على خلاف السنة “Tidak, akan tetapi (bisa jadi Engkau diazab) karena menyelisihi sunah (petunjuk Nabi).” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 2: 366; Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih, 1: 147; ‘Abdur Razzaq, 3: 25; Ad-Darimi, 1: 116 dan Ibnu Nashr, hal. 84; dengan sanad yang hasan) Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Baca juga: Anggapan Sial Menikah di Bulan Muharam *** @BA, 26 Syawal 1445/ 5 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 178-179). Tags: menikahsunah nabi
Daftar Isi Toggle Teks hadis Kandungan hadis Kandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada tiga orang yang mendatangi rumah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakan bagaimanakah ibadah beliau. Ketika telah disampaikan kepada mereka, mereka pun merasa bahwa ibadah mereka sangat sedikit, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengatakan, “Di manakah posisi kita dibandingkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal Allah Ta’ala telah mengampuni dosa-dosa beliau, baik yang telah berlalu maupun di masa mendatang.” Salah seorang di antara mereka berkata, “Adapun aku, aku akan salat malam selamanya.” (maksudnya, tidak tidur demi bisa mendirikan shalat, pent.) Yang lain berkata, “Aku akan berpuasa dahr (berpuasa sepanjang tahun) dan selalu berpuasa (tidak pernah tidak puasa).” Orang ke tiga berkata, “Aku akan jauhi wanita, aku tidak akan menikah selama-lamanya.” Lalu datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau berkata, أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي “Apakah kalian yang mengatakan demikian dan demikian? Demi Allah, sungguh aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya dibandingkan kalian. Akan tetapi, terkadang aku puasa dan terkadang aku tidak berpuasa; aku salat dan aku juga tidur; dan aku juga menikah dengan wanita. Siapa saja yang membenci sunahku, maka dia bukan termasuk golonganku.” (HR. Bukhari no. 5063 dan Muslim no. 1401) Kandungan hadis Kandungan pertama Hadis tersebut menunjukkan keutamaan menikah dan juga dorongan (motivasi) untuk menikah karena di dalamnya terkandung maslahat (kebaikan) yang besar. Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa tidak menikah karena tidak ingin ibadahnya terganggu bukanlah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan pula termasuk sunahnya. Bahkan, menikah termasuk dalam sunah para Rasul, sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجاً وَذُرِّيَّةً “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar-Ra’du: 38) Kandungan kedua Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa syariat itu dibangun di atas kemudahan untuk mukallaf (orang yang dibebani syariat). Tenggelam (berlebih-lebihan) dalam ibadah dengan memberatkan dan menyusahkan badan itu bukanlah termasuk ajaran agama, dan bukan pula termasuk sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ “Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit). Maka berlakulah lurus kalian, mendekatlah (kepada kesempurnaan amal jika kalian tidak mampu melakukannya dengan sempurna, pent.), berilah kabar gembira, dan minta tolonglah dengan al-ghadwah (di awal pagi), ar-ruhah (setelah Zuhur), dan dari ad-duljah (di akhir malam).” (HR. Bukhari no. 39) Maksudnya, kita berusaha kontinyu dalam ibadah dengan menunaikannya di waktu-waktu yang kita bisa bersemangat, yaitu ketika di awal pagi, bakda Zuhur, dan di akhir malam. Oleh karena itu, Islam memberikan petunjuk untuk tidak memaksa-maksa diri (berlebihan) dalam ibadah, dan juga membebani badan di luar batas ketika beribadah. Siapa saja yang berbuat demikian, maka lama-lama dia akan bosan, berhenti, dan terputus dari amal ibadah. Akan tetapi, jika seseorang bersikap pertengahan, maka dia akan beramal secara kontinyu. Memungkinkan juga baginya untuk memenuhi hak yang menjadi kewajibannya, baik hak Allah, hak badan (untuk istirahat), hak keluarga, dan juga hak orang lain secara umum. Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَأَنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ “Sesungguhnya amal yang dicintai oleh Allah adalah yang terus-menerus walaupun sedikit.” (HR. Bukhari no. 6464) Kandungan ketiga Di dalam hadis tersebut terdapat suatu kaidah yang penting, yaitu “bersesuaian dengan sunah itu lebih baik daripada banyaknya amal.” Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas, فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي “Siapa saja yang membenci sunahku, maka dia bukan termasuk dalam golonganku.” Tiga orang tersebut ingin agar amalnya lebih banyak dari amal ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa perbuatan tersebut menyelisihi sunah. Kebaikan itu adalah dengan mengikuti sunah dan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam salat, puasa, dan kebiasaan-kebiasaan beliau. Contoh penerapan kaidah ini adalah riwayat dari Sa’id bin Musayyib rahimahullah. Beliau rahimahullah melihat seorang laki-laki yang salat sunah setelah terbit fajar (salat sunah qabliyah subuh) lebih dari dua rakaat, dia memperbanyak rukuk dan sujud dalam salat tersebut. Sa’id bin Musayyib pun melarangnya. Orang tersebut berkata, يا أبا محمد! يعذبني الله على الصلاة؟ “Wahai Abu Muhammad! Apakah Allah akan mengazabku karena aku (memperbanyak) salat?” Sa’id bin Musayyib rahimahullah menjawab, لا، ولكن يعذبك على خلاف السنة “Tidak, akan tetapi (bisa jadi Engkau diazab) karena menyelisihi sunah (petunjuk Nabi).” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 2: 366; Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih, 1: 147; ‘Abdur Razzaq, 3: 25; Ad-Darimi, 1: 116 dan Ibnu Nashr, hal. 84; dengan sanad yang hasan) Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Baca juga: Anggapan Sial Menikah di Bulan Muharam *** @BA, 26 Syawal 1445/ 5 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 178-179). Tags: menikahsunah nabi


Daftar Isi Toggle Teks hadis Kandungan hadis Kandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada tiga orang yang mendatangi rumah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakan bagaimanakah ibadah beliau. Ketika telah disampaikan kepada mereka, mereka pun merasa bahwa ibadah mereka sangat sedikit, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengatakan, “Di manakah posisi kita dibandingkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal Allah Ta’ala telah mengampuni dosa-dosa beliau, baik yang telah berlalu maupun di masa mendatang.” Salah seorang di antara mereka berkata, “Adapun aku, aku akan salat malam selamanya.” (maksudnya, tidak tidur demi bisa mendirikan shalat, pent.) Yang lain berkata, “Aku akan berpuasa dahr (berpuasa sepanjang tahun) dan selalu berpuasa (tidak pernah tidak puasa).” Orang ke tiga berkata, “Aku akan jauhi wanita, aku tidak akan menikah selama-lamanya.” Lalu datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau berkata, أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي “Apakah kalian yang mengatakan demikian dan demikian? Demi Allah, sungguh aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya dibandingkan kalian. Akan tetapi, terkadang aku puasa dan terkadang aku tidak berpuasa; aku salat dan aku juga tidur; dan aku juga menikah dengan wanita. Siapa saja yang membenci sunahku, maka dia bukan termasuk golonganku.” (HR. Bukhari no. 5063 dan Muslim no. 1401) Kandungan hadis Kandungan pertama Hadis tersebut menunjukkan keutamaan menikah dan juga dorongan (motivasi) untuk menikah karena di dalamnya terkandung maslahat (kebaikan) yang besar. Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa tidak menikah karena tidak ingin ibadahnya terganggu bukanlah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan pula termasuk sunahnya. Bahkan, menikah termasuk dalam sunah para Rasul, sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجاً وَذُرِّيَّةً “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar-Ra’du: 38) Kandungan kedua Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa syariat itu dibangun di atas kemudahan untuk mukallaf (orang yang dibebani syariat). Tenggelam (berlebih-lebihan) dalam ibadah dengan memberatkan dan menyusahkan badan itu bukanlah termasuk ajaran agama, dan bukan pula termasuk sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ “Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit). Maka berlakulah lurus kalian, mendekatlah (kepada kesempurnaan amal jika kalian tidak mampu melakukannya dengan sempurna, pent.), berilah kabar gembira, dan minta tolonglah dengan al-ghadwah (di awal pagi), ar-ruhah (setelah Zuhur), dan dari ad-duljah (di akhir malam).” (HR. Bukhari no. 39) Maksudnya, kita berusaha kontinyu dalam ibadah dengan menunaikannya di waktu-waktu yang kita bisa bersemangat, yaitu ketika di awal pagi, bakda Zuhur, dan di akhir malam. Oleh karena itu, Islam memberikan petunjuk untuk tidak memaksa-maksa diri (berlebihan) dalam ibadah, dan juga membebani badan di luar batas ketika beribadah. Siapa saja yang berbuat demikian, maka lama-lama dia akan bosan, berhenti, dan terputus dari amal ibadah. Akan tetapi, jika seseorang bersikap pertengahan, maka dia akan beramal secara kontinyu. Memungkinkan juga baginya untuk memenuhi hak yang menjadi kewajibannya, baik hak Allah, hak badan (untuk istirahat), hak keluarga, dan juga hak orang lain secara umum. Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَأَنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ “Sesungguhnya amal yang dicintai oleh Allah adalah yang terus-menerus walaupun sedikit.” (HR. Bukhari no. 6464) Kandungan ketiga Di dalam hadis tersebut terdapat suatu kaidah yang penting, yaitu “bersesuaian dengan sunah itu lebih baik daripada banyaknya amal.” Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas, فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي “Siapa saja yang membenci sunahku, maka dia bukan termasuk dalam golonganku.” Tiga orang tersebut ingin agar amalnya lebih banyak dari amal ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa perbuatan tersebut menyelisihi sunah. Kebaikan itu adalah dengan mengikuti sunah dan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam salat, puasa, dan kebiasaan-kebiasaan beliau. Contoh penerapan kaidah ini adalah riwayat dari Sa’id bin Musayyib rahimahullah. Beliau rahimahullah melihat seorang laki-laki yang salat sunah setelah terbit fajar (salat sunah qabliyah subuh) lebih dari dua rakaat, dia memperbanyak rukuk dan sujud dalam salat tersebut. Sa’id bin Musayyib pun melarangnya. Orang tersebut berkata, يا أبا محمد! يعذبني الله على الصلاة؟ “Wahai Abu Muhammad! Apakah Allah akan mengazabku karena aku (memperbanyak) salat?” Sa’id bin Musayyib rahimahullah menjawab, لا، ولكن يعذبك على خلاف السنة “Tidak, akan tetapi (bisa jadi Engkau diazab) karena menyelisihi sunah (petunjuk Nabi).” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 2: 366; Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih, 1: 147; ‘Abdur Razzaq, 3: 25; Ad-Darimi, 1: 116 dan Ibnu Nashr, hal. 84; dengan sanad yang hasan) Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Baca juga: Anggapan Sial Menikah di Bulan Muharam *** @BA, 26 Syawal 1445/ 5 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 178-179). Tags: menikahsunah nabi

Bolehkah Berdoa Kejelekan untuk Orang yang Menzalimi? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

PERTANYAAN:Saudari Ummu Anas bertanya, “Apakah boleh mendoakan keburukan bagi orang zalim meskipun dia masih ada hubungan kerabat atau keluarga?” JAWABAN:Boleh mendoakan keburukan atas orang zalim, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Allah tidak menyukai ucapan buruk dengan terus terang, kecuali oleh orang yang dizalimi.” (QS. an-Nisa: 148) Makna ayat ini seperti yang dikatakan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Allah tidak menyukai kalian saling mendoakan keburukan, kecuali orang yang terzalimi, karena dia boleh mendoakan keburukan atas orang yang menzaliminya. Doa keburukan dari orang terzalimi terhadap orang yang menzaliminya mudah untuk dikabulkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berhati-hatilah terhadap doa orang yang terzalimi, karena antara doa itu dan Allah tidak ada penghalang.” Jadi, seorang Muslim harus menjauhi kezaliman, karena akibatnya sangat buruk. Betapa banyak orang yang terzalimi mendoakan keburukan bagi orang yang menzaliminya, sehingga menyebabkan banyak malapetaka. Jadi, tidak ada penghalang antara doa orang terzalimi dengan Allah. Namun, jika seseorang mampu untuk tidak mendoakan keburukan atas orang yang menzaliminya, tapi justru mendoakan kebaikan bagi diri sendiri, agar Allah memudahkan urusannya dan mendapatkan kembali haknya, serta agar Allah memberi petunjuk kepada orang zalim ini, maka ini lebih utama. Namun, dari sisi hukum syariat, dia boleh mendoakan keburukan atas orang yang menzaliminya, karena terkadang diri manusia tidak mampu menahan kezaliman dan seseorang merasakan beban, sehingga dia berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta’ala akan mengabulkan doa orang yang terzalimi. Oleh sebab itu, Allah berfirman, “Wahai para hamba-Ku, sungguh Aku haramkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku juga menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim) ==== الْأُخْتُ أُمُّ أَنَسٍ تَقُولُ هَلْ يَجُوزُ الدُّعَاءُ عَلَى الظَّالِمِ وَلَوْ كَانَ قَرِيبًا أَوْ مِنَ الْأَرْحَامِ؟ يَجُوزُ الدُّعَاءُ عَلَى الظَّالِمِ لِقَوْلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يُحِبُّ اللهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَمَعْنَى الْآيَةِ كَمَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَيْ لَا يُحِبُّ اللهُ أَنْ يَدْعُوَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الْمَظْلُومُ فَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى ظَالِمِهِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ عَلَى ظَالِمِهِ حَرِيَّةٌ بِالْإِجَابَةِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ فَعَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَتَّقِيَ الظُّلْمَ الظُّلْمُ عَاقِبَتُهُ وَخِيمَةٌ وَرُبَّ مَظْلُومٍ يَدْعُو عَلَى الْإِنْسَانِ يَتَسَبَّبُ فِي مَصَائِبَ وَكَوَارِثَ فَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ لَكِنْ إِنْ أَمْكَنَ الْإِنْسَانُ لَا يَدْعُو عَلَى هَذَا الظَّالِمِ وَيَدْعُوَ لَهُ وَأَنَّ اللهَ تَعَالَى يُيَسِّرُ لَهُ وَالْوُصُولَ لِحَقِّهِ وَأَنْ يُهْدِيَ هَذَا الظَّالِمَ هَذَا أَوْلَى لَكِنْ مِنْ حَيْثُ الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ لَهُ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى ظَالِمِهِ لِأَنَّهُ أَحْيَانًا قَدْ تَكُوْنُ النَّفْسُ الْبَشَرِيَّةُ لَا تَحْتَمِلُ الظُّلْمَ وَيُحِسُّ الْإِنْسَانُ بِشَيْءٍ مِنْ يَعْنِي الْقَهْر وَيَدْعُو اللهَ عَزَّ وَجَلّ وَاللهُ تَعَالَى يَسْتَجِيبُ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ وَلِهَذَا قَالَ سُبْحَانَهُ يَا عِبَادِيْ إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ مُحَرَّمًا بَيْنَكُمْ فَلَا تَظَالَمُوا

Bolehkah Berdoa Kejelekan untuk Orang yang Menzalimi? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

PERTANYAAN:Saudari Ummu Anas bertanya, “Apakah boleh mendoakan keburukan bagi orang zalim meskipun dia masih ada hubungan kerabat atau keluarga?” JAWABAN:Boleh mendoakan keburukan atas orang zalim, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Allah tidak menyukai ucapan buruk dengan terus terang, kecuali oleh orang yang dizalimi.” (QS. an-Nisa: 148) Makna ayat ini seperti yang dikatakan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Allah tidak menyukai kalian saling mendoakan keburukan, kecuali orang yang terzalimi, karena dia boleh mendoakan keburukan atas orang yang menzaliminya. Doa keburukan dari orang terzalimi terhadap orang yang menzaliminya mudah untuk dikabulkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berhati-hatilah terhadap doa orang yang terzalimi, karena antara doa itu dan Allah tidak ada penghalang.” Jadi, seorang Muslim harus menjauhi kezaliman, karena akibatnya sangat buruk. Betapa banyak orang yang terzalimi mendoakan keburukan bagi orang yang menzaliminya, sehingga menyebabkan banyak malapetaka. Jadi, tidak ada penghalang antara doa orang terzalimi dengan Allah. Namun, jika seseorang mampu untuk tidak mendoakan keburukan atas orang yang menzaliminya, tapi justru mendoakan kebaikan bagi diri sendiri, agar Allah memudahkan urusannya dan mendapatkan kembali haknya, serta agar Allah memberi petunjuk kepada orang zalim ini, maka ini lebih utama. Namun, dari sisi hukum syariat, dia boleh mendoakan keburukan atas orang yang menzaliminya, karena terkadang diri manusia tidak mampu menahan kezaliman dan seseorang merasakan beban, sehingga dia berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta’ala akan mengabulkan doa orang yang terzalimi. Oleh sebab itu, Allah berfirman, “Wahai para hamba-Ku, sungguh Aku haramkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku juga menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim) ==== الْأُخْتُ أُمُّ أَنَسٍ تَقُولُ هَلْ يَجُوزُ الدُّعَاءُ عَلَى الظَّالِمِ وَلَوْ كَانَ قَرِيبًا أَوْ مِنَ الْأَرْحَامِ؟ يَجُوزُ الدُّعَاءُ عَلَى الظَّالِمِ لِقَوْلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يُحِبُّ اللهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَمَعْنَى الْآيَةِ كَمَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَيْ لَا يُحِبُّ اللهُ أَنْ يَدْعُوَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الْمَظْلُومُ فَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى ظَالِمِهِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ عَلَى ظَالِمِهِ حَرِيَّةٌ بِالْإِجَابَةِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ فَعَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَتَّقِيَ الظُّلْمَ الظُّلْمُ عَاقِبَتُهُ وَخِيمَةٌ وَرُبَّ مَظْلُومٍ يَدْعُو عَلَى الْإِنْسَانِ يَتَسَبَّبُ فِي مَصَائِبَ وَكَوَارِثَ فَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ لَكِنْ إِنْ أَمْكَنَ الْإِنْسَانُ لَا يَدْعُو عَلَى هَذَا الظَّالِمِ وَيَدْعُوَ لَهُ وَأَنَّ اللهَ تَعَالَى يُيَسِّرُ لَهُ وَالْوُصُولَ لِحَقِّهِ وَأَنْ يُهْدِيَ هَذَا الظَّالِمَ هَذَا أَوْلَى لَكِنْ مِنْ حَيْثُ الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ لَهُ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى ظَالِمِهِ لِأَنَّهُ أَحْيَانًا قَدْ تَكُوْنُ النَّفْسُ الْبَشَرِيَّةُ لَا تَحْتَمِلُ الظُّلْمَ وَيُحِسُّ الْإِنْسَانُ بِشَيْءٍ مِنْ يَعْنِي الْقَهْر وَيَدْعُو اللهَ عَزَّ وَجَلّ وَاللهُ تَعَالَى يَسْتَجِيبُ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ وَلِهَذَا قَالَ سُبْحَانَهُ يَا عِبَادِيْ إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ مُحَرَّمًا بَيْنَكُمْ فَلَا تَظَالَمُوا
PERTANYAAN:Saudari Ummu Anas bertanya, “Apakah boleh mendoakan keburukan bagi orang zalim meskipun dia masih ada hubungan kerabat atau keluarga?” JAWABAN:Boleh mendoakan keburukan atas orang zalim, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Allah tidak menyukai ucapan buruk dengan terus terang, kecuali oleh orang yang dizalimi.” (QS. an-Nisa: 148) Makna ayat ini seperti yang dikatakan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Allah tidak menyukai kalian saling mendoakan keburukan, kecuali orang yang terzalimi, karena dia boleh mendoakan keburukan atas orang yang menzaliminya. Doa keburukan dari orang terzalimi terhadap orang yang menzaliminya mudah untuk dikabulkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berhati-hatilah terhadap doa orang yang terzalimi, karena antara doa itu dan Allah tidak ada penghalang.” Jadi, seorang Muslim harus menjauhi kezaliman, karena akibatnya sangat buruk. Betapa banyak orang yang terzalimi mendoakan keburukan bagi orang yang menzaliminya, sehingga menyebabkan banyak malapetaka. Jadi, tidak ada penghalang antara doa orang terzalimi dengan Allah. Namun, jika seseorang mampu untuk tidak mendoakan keburukan atas orang yang menzaliminya, tapi justru mendoakan kebaikan bagi diri sendiri, agar Allah memudahkan urusannya dan mendapatkan kembali haknya, serta agar Allah memberi petunjuk kepada orang zalim ini, maka ini lebih utama. Namun, dari sisi hukum syariat, dia boleh mendoakan keburukan atas orang yang menzaliminya, karena terkadang diri manusia tidak mampu menahan kezaliman dan seseorang merasakan beban, sehingga dia berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta’ala akan mengabulkan doa orang yang terzalimi. Oleh sebab itu, Allah berfirman, “Wahai para hamba-Ku, sungguh Aku haramkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku juga menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim) ==== الْأُخْتُ أُمُّ أَنَسٍ تَقُولُ هَلْ يَجُوزُ الدُّعَاءُ عَلَى الظَّالِمِ وَلَوْ كَانَ قَرِيبًا أَوْ مِنَ الْأَرْحَامِ؟ يَجُوزُ الدُّعَاءُ عَلَى الظَّالِمِ لِقَوْلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يُحِبُّ اللهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَمَعْنَى الْآيَةِ كَمَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَيْ لَا يُحِبُّ اللهُ أَنْ يَدْعُوَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الْمَظْلُومُ فَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى ظَالِمِهِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ عَلَى ظَالِمِهِ حَرِيَّةٌ بِالْإِجَابَةِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ فَعَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَتَّقِيَ الظُّلْمَ الظُّلْمُ عَاقِبَتُهُ وَخِيمَةٌ وَرُبَّ مَظْلُومٍ يَدْعُو عَلَى الْإِنْسَانِ يَتَسَبَّبُ فِي مَصَائِبَ وَكَوَارِثَ فَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ لَكِنْ إِنْ أَمْكَنَ الْإِنْسَانُ لَا يَدْعُو عَلَى هَذَا الظَّالِمِ وَيَدْعُوَ لَهُ وَأَنَّ اللهَ تَعَالَى يُيَسِّرُ لَهُ وَالْوُصُولَ لِحَقِّهِ وَأَنْ يُهْدِيَ هَذَا الظَّالِمَ هَذَا أَوْلَى لَكِنْ مِنْ حَيْثُ الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ لَهُ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى ظَالِمِهِ لِأَنَّهُ أَحْيَانًا قَدْ تَكُوْنُ النَّفْسُ الْبَشَرِيَّةُ لَا تَحْتَمِلُ الظُّلْمَ وَيُحِسُّ الْإِنْسَانُ بِشَيْءٍ مِنْ يَعْنِي الْقَهْر وَيَدْعُو اللهَ عَزَّ وَجَلّ وَاللهُ تَعَالَى يَسْتَجِيبُ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ وَلِهَذَا قَالَ سُبْحَانَهُ يَا عِبَادِيْ إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ مُحَرَّمًا بَيْنَكُمْ فَلَا تَظَالَمُوا


PERTANYAAN:Saudari Ummu Anas bertanya, “Apakah boleh mendoakan keburukan bagi orang zalim meskipun dia masih ada hubungan kerabat atau keluarga?” JAWABAN:Boleh mendoakan keburukan atas orang zalim, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Allah tidak menyukai ucapan buruk dengan terus terang, kecuali oleh orang yang dizalimi.” (QS. an-Nisa: 148) Makna ayat ini seperti yang dikatakan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Allah tidak menyukai kalian saling mendoakan keburukan, kecuali orang yang terzalimi, karena dia boleh mendoakan keburukan atas orang yang menzaliminya. Doa keburukan dari orang terzalimi terhadap orang yang menzaliminya mudah untuk dikabulkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berhati-hatilah terhadap doa orang yang terzalimi, karena antara doa itu dan Allah tidak ada penghalang.” Jadi, seorang Muslim harus menjauhi kezaliman, karena akibatnya sangat buruk. Betapa banyak orang yang terzalimi mendoakan keburukan bagi orang yang menzaliminya, sehingga menyebabkan banyak malapetaka. Jadi, tidak ada penghalang antara doa orang terzalimi dengan Allah. Namun, jika seseorang mampu untuk tidak mendoakan keburukan atas orang yang menzaliminya, tapi justru mendoakan kebaikan bagi diri sendiri, agar Allah memudahkan urusannya dan mendapatkan kembali haknya, serta agar Allah memberi petunjuk kepada orang zalim ini, maka ini lebih utama. Namun, dari sisi hukum syariat, dia boleh mendoakan keburukan atas orang yang menzaliminya, karena terkadang diri manusia tidak mampu menahan kezaliman dan seseorang merasakan beban, sehingga dia berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta’ala akan mengabulkan doa orang yang terzalimi. Oleh sebab itu, Allah berfirman, “Wahai para hamba-Ku, sungguh Aku haramkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku juga menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim) ==== الْأُخْتُ أُمُّ أَنَسٍ تَقُولُ هَلْ يَجُوزُ الدُّعَاءُ عَلَى الظَّالِمِ وَلَوْ كَانَ قَرِيبًا أَوْ مِنَ الْأَرْحَامِ؟ يَجُوزُ الدُّعَاءُ عَلَى الظَّالِمِ لِقَوْلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يُحِبُّ اللهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَمَعْنَى الْآيَةِ كَمَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَيْ لَا يُحِبُّ اللهُ أَنْ يَدْعُوَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الْمَظْلُومُ فَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى ظَالِمِهِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ عَلَى ظَالِمِهِ حَرِيَّةٌ بِالْإِجَابَةِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ فَعَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَتَّقِيَ الظُّلْمَ الظُّلْمُ عَاقِبَتُهُ وَخِيمَةٌ وَرُبَّ مَظْلُومٍ يَدْعُو عَلَى الْإِنْسَانِ يَتَسَبَّبُ فِي مَصَائِبَ وَكَوَارِثَ فَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ لَكِنْ إِنْ أَمْكَنَ الْإِنْسَانُ لَا يَدْعُو عَلَى هَذَا الظَّالِمِ وَيَدْعُوَ لَهُ وَأَنَّ اللهَ تَعَالَى يُيَسِّرُ لَهُ وَالْوُصُولَ لِحَقِّهِ وَأَنْ يُهْدِيَ هَذَا الظَّالِمَ هَذَا أَوْلَى لَكِنْ مِنْ حَيْثُ الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ لَهُ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى ظَالِمِهِ لِأَنَّهُ أَحْيَانًا قَدْ تَكُوْنُ النَّفْسُ الْبَشَرِيَّةُ لَا تَحْتَمِلُ الظُّلْمَ وَيُحِسُّ الْإِنْسَانُ بِشَيْءٍ مِنْ يَعْنِي الْقَهْر وَيَدْعُو اللهَ عَزَّ وَجَلّ وَاللهُ تَعَالَى يَسْتَجِيبُ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ وَلِهَذَا قَالَ سُبْحَانَهُ يَا عِبَادِيْ إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ مُحَرَّمًا بَيْنَكُمْ فَلَا تَظَالَمُوا

Sebab Doa Tak Terkabul Karena Terlalu Tergesa-Gesa, Apa Maksudnya?

Salah satu sebab doa tak terkabul adalah karena terlalu tergesa-gesa. Apa maksudnya?   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ sebagai berikut. وَمِنْ أَنْفَعِ الاَدْوِيَّةِ الاِلْحَاحُ فِى الدُّعَاءِ Sikap terus menerus berdoa (memelas atau merengek-rengek dalam doa) termasuk obat penawar yang amat bermanfaat bagi manusia. Ibnu Majah dalam Sunan-nya meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللَّهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ  “Barang siapa yang tidak meminta kepada Allah, niscaya Allah akan murka kepadanya.” (HR. Ibnu Majah, no. 3827; Tirmidzi, no. 3370; Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 658; Ahmad, 2:442, 477; Al-Hakim, 1:491; Al-Baihaqi dalam Ad-Da’awaat Al-Kabiroh, no. 22). Disebutkan pula dalam Shahih Al-Hakim dari Anas, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَا تَعْجِزُوا فِي الدُّعَاءِ فَإِنَّهُ لَا يَهْلِكُ مَعَ الدُّعَاءِ أَحَدٌ “Jangan kalian lemah dalam berdoa karena sesungguhnya tidak ada orang yang binasa dikarenakan doa.” (HR. Al-Hakim, 1:493. Dalam sanadnya terdapat ‘Umar bin Muhammad bin Shuhbaan, ia perawai matruk. Hadits ini disebutkan dalam kumpulan hadits dhaif dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dhaifah, no. 843 karya Syaikh Al-Albani). Al-Auza’i menuturkan dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُلِحِّينَ فِي الدُّعَاءِ “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang ilhah (merengek-rengek atau memelas) ketika berdoa.” (HR. Thabrani, no. 20, terdapat perawi yang matruk). وَفِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِلْإِمَامِ أَحْمَدَ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ: قَالَ مُوَرِّقٌ: مَا وَجَدْتُ لِلْمُؤْمِنِ مَثَلًا إِلَّا رَجُلٌ فِي الْبَحْرِ عَلَى خَشَبَةٍ، فَهُوَ يَدْعُو: يَا رَبِّ يَا رَبِّ لَعَلَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُنْجِيَهُ. Di dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad disebutkan bahwa Qatadah menukilkan penuturan Muwarriq tentang hamba mukmin yang terus menerus berdoa kepada Allah. Muwarriq rahimahullah menuturkan, “Saya tidak pernah mendapati suatu perumpamaan bagi orang mukmin dalam hal berdoa kecuali seperti seseorang di atas kayu yang tengah mengapung di lautan. Kemudian lanjut Muwarriq, orang mukmin itu mengucap doa, “Wahai Rabbku, wahai Rabbku.” Orang mukmin berharap semoga Allah menyelamatkannya.” (HR. Abu Nuaim dalam Al-Hilyah, 2:235) وَمِنَ الْآفَاتِ الَّتِي تَمْنَعُ تَرَتُّبَ أَثَرِ الدُّعَاءِ عَلَيْهِ: أَنْ يَسْتَعْجِلَ الْعَبْدُ، وَيَسْتَبْطِئَ الْإِجَابَةَ، فَيَسْتَحْسِرُ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ، Salah satu kesalahan yang dapat menghalangi terkabulnya doa adalah tergesa-gesanya seorang hamba. Ia menganggap doanya lambat dikabulkan, lantas ia pun merasa jenuh dan letih, sehingga akhirnya ia meninggalkan doa. وَهُوَ بِمَنْزِلَةِ مَنْ بَذَرَ بَذْرًا أَوْ غَرَسَ غَرْسًا، فَجَعَلَ يَتَعَاهَدُهُ وَيَسْقِيهِ، فَلَمَّا اسْتَبْطَأَ كَمَالَهُ وَإِدْرَاكَهُ تَرَكَهُ وَأَهْمَلَهُ. Ini ibarat orang yang menabur benih atau menanam tanaman, kemudian ia menjaga dan menyiraminya. Namun, karena merasa terlalu lama menunggu hasilnya, orang itu pun membiarkan dan mengabaikan tanaman tersebut. Dalam Shahih Bukhari terdapat riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ،يَقُولُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي “Doa setiap kalian akan dikabulkan selama tidak tergesa-gesa, yaitu dengan berkata: ‘Saya sudah berdoa, tetapi belum juga dikabulkan.” (HR. Bukhari, no. 5981) Dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَا يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ، مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ، مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الِاسْتِعْجَالُ؟ قَالَ يَقُولُ: قَدْ دَعَوْتُ، وَقَدْ دَعَوْتُ، فَلَمْ أَرَ يُسْتَجَابُ لِي، فَيَسْتَحْسِرُ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ “Doa hamba akan terkabul selama tidak berdoa untuk kemaksiatan atau untuk memutus silaturahim, dan selama ia tidak tergesa-gesa.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, seperti apakah bentuk ketergesa-gesaan tersebut?” Nabi menjawab, “Hamba tadi berkata: ‘Aku telah berdoa, sungguh aku telah berdoa, tetapi Allah belum juga mengabulkan doa tersebut.” Ia merasa jenuh dan letih, lalu akhirnya, ia meninggalkan doa.” (HR. Muslim, no. 2735) Di dalam musnad Imam Ahmad, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, «لَا يَزَالُ الْعَبْدُ بِخَيْرٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ،قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يَسْتَعْجِلُ؟ قَالَ: يَقُولُ قَدْ دَعَوْتُ رَبِّي فَلَمْ يَسْتَجِبْ لِي» “Seorang hamba selalu dalam kebaikan selama tidak tergesa-gesa.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah bentuk ketergesa-gesaannya?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Hamba itu berkata, ‘Aku telah berdoa kepada Rabbku, tetapi Allah belum mengabulkan permohonanku.” (HR. Ahmad, 3:193, 210. Hadits ini hasan menurut Syaikh Ali Hasan Al-Halabi) Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 17-19.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Baca Juga: Doa untuk Meminta Rezeki, Selamat dari Penyakit, Kebaikan Dunia Akhirat – Rabu pagi, 13 Dzulqa’dah 1445 H, 22 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa al jawabul kaafi cara ruqyah faedah dari Ibnul Qayyim hati bersih manajemen hati masalah hidup masalah rumah tangga obat hati penyakit ruqyah solusi masalah hidup

Sebab Doa Tak Terkabul Karena Terlalu Tergesa-Gesa, Apa Maksudnya?

Salah satu sebab doa tak terkabul adalah karena terlalu tergesa-gesa. Apa maksudnya?   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ sebagai berikut. وَمِنْ أَنْفَعِ الاَدْوِيَّةِ الاِلْحَاحُ فِى الدُّعَاءِ Sikap terus menerus berdoa (memelas atau merengek-rengek dalam doa) termasuk obat penawar yang amat bermanfaat bagi manusia. Ibnu Majah dalam Sunan-nya meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللَّهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ  “Barang siapa yang tidak meminta kepada Allah, niscaya Allah akan murka kepadanya.” (HR. Ibnu Majah, no. 3827; Tirmidzi, no. 3370; Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 658; Ahmad, 2:442, 477; Al-Hakim, 1:491; Al-Baihaqi dalam Ad-Da’awaat Al-Kabiroh, no. 22). Disebutkan pula dalam Shahih Al-Hakim dari Anas, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَا تَعْجِزُوا فِي الدُّعَاءِ فَإِنَّهُ لَا يَهْلِكُ مَعَ الدُّعَاءِ أَحَدٌ “Jangan kalian lemah dalam berdoa karena sesungguhnya tidak ada orang yang binasa dikarenakan doa.” (HR. Al-Hakim, 1:493. Dalam sanadnya terdapat ‘Umar bin Muhammad bin Shuhbaan, ia perawai matruk. Hadits ini disebutkan dalam kumpulan hadits dhaif dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dhaifah, no. 843 karya Syaikh Al-Albani). Al-Auza’i menuturkan dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُلِحِّينَ فِي الدُّعَاءِ “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang ilhah (merengek-rengek atau memelas) ketika berdoa.” (HR. Thabrani, no. 20, terdapat perawi yang matruk). وَفِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِلْإِمَامِ أَحْمَدَ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ: قَالَ مُوَرِّقٌ: مَا وَجَدْتُ لِلْمُؤْمِنِ مَثَلًا إِلَّا رَجُلٌ فِي الْبَحْرِ عَلَى خَشَبَةٍ، فَهُوَ يَدْعُو: يَا رَبِّ يَا رَبِّ لَعَلَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُنْجِيَهُ. Di dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad disebutkan bahwa Qatadah menukilkan penuturan Muwarriq tentang hamba mukmin yang terus menerus berdoa kepada Allah. Muwarriq rahimahullah menuturkan, “Saya tidak pernah mendapati suatu perumpamaan bagi orang mukmin dalam hal berdoa kecuali seperti seseorang di atas kayu yang tengah mengapung di lautan. Kemudian lanjut Muwarriq, orang mukmin itu mengucap doa, “Wahai Rabbku, wahai Rabbku.” Orang mukmin berharap semoga Allah menyelamatkannya.” (HR. Abu Nuaim dalam Al-Hilyah, 2:235) وَمِنَ الْآفَاتِ الَّتِي تَمْنَعُ تَرَتُّبَ أَثَرِ الدُّعَاءِ عَلَيْهِ: أَنْ يَسْتَعْجِلَ الْعَبْدُ، وَيَسْتَبْطِئَ الْإِجَابَةَ، فَيَسْتَحْسِرُ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ، Salah satu kesalahan yang dapat menghalangi terkabulnya doa adalah tergesa-gesanya seorang hamba. Ia menganggap doanya lambat dikabulkan, lantas ia pun merasa jenuh dan letih, sehingga akhirnya ia meninggalkan doa. وَهُوَ بِمَنْزِلَةِ مَنْ بَذَرَ بَذْرًا أَوْ غَرَسَ غَرْسًا، فَجَعَلَ يَتَعَاهَدُهُ وَيَسْقِيهِ، فَلَمَّا اسْتَبْطَأَ كَمَالَهُ وَإِدْرَاكَهُ تَرَكَهُ وَأَهْمَلَهُ. Ini ibarat orang yang menabur benih atau menanam tanaman, kemudian ia menjaga dan menyiraminya. Namun, karena merasa terlalu lama menunggu hasilnya, orang itu pun membiarkan dan mengabaikan tanaman tersebut. Dalam Shahih Bukhari terdapat riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ،يَقُولُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي “Doa setiap kalian akan dikabulkan selama tidak tergesa-gesa, yaitu dengan berkata: ‘Saya sudah berdoa, tetapi belum juga dikabulkan.” (HR. Bukhari, no. 5981) Dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَا يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ، مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ، مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الِاسْتِعْجَالُ؟ قَالَ يَقُولُ: قَدْ دَعَوْتُ، وَقَدْ دَعَوْتُ، فَلَمْ أَرَ يُسْتَجَابُ لِي، فَيَسْتَحْسِرُ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ “Doa hamba akan terkabul selama tidak berdoa untuk kemaksiatan atau untuk memutus silaturahim, dan selama ia tidak tergesa-gesa.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, seperti apakah bentuk ketergesa-gesaan tersebut?” Nabi menjawab, “Hamba tadi berkata: ‘Aku telah berdoa, sungguh aku telah berdoa, tetapi Allah belum juga mengabulkan doa tersebut.” Ia merasa jenuh dan letih, lalu akhirnya, ia meninggalkan doa.” (HR. Muslim, no. 2735) Di dalam musnad Imam Ahmad, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, «لَا يَزَالُ الْعَبْدُ بِخَيْرٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ،قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يَسْتَعْجِلُ؟ قَالَ: يَقُولُ قَدْ دَعَوْتُ رَبِّي فَلَمْ يَسْتَجِبْ لِي» “Seorang hamba selalu dalam kebaikan selama tidak tergesa-gesa.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah bentuk ketergesa-gesaannya?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Hamba itu berkata, ‘Aku telah berdoa kepada Rabbku, tetapi Allah belum mengabulkan permohonanku.” (HR. Ahmad, 3:193, 210. Hadits ini hasan menurut Syaikh Ali Hasan Al-Halabi) Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 17-19.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Baca Juga: Doa untuk Meminta Rezeki, Selamat dari Penyakit, Kebaikan Dunia Akhirat – Rabu pagi, 13 Dzulqa’dah 1445 H, 22 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa al jawabul kaafi cara ruqyah faedah dari Ibnul Qayyim hati bersih manajemen hati masalah hidup masalah rumah tangga obat hati penyakit ruqyah solusi masalah hidup
Salah satu sebab doa tak terkabul adalah karena terlalu tergesa-gesa. Apa maksudnya?   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ sebagai berikut. وَمِنْ أَنْفَعِ الاَدْوِيَّةِ الاِلْحَاحُ فِى الدُّعَاءِ Sikap terus menerus berdoa (memelas atau merengek-rengek dalam doa) termasuk obat penawar yang amat bermanfaat bagi manusia. Ibnu Majah dalam Sunan-nya meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللَّهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ  “Barang siapa yang tidak meminta kepada Allah, niscaya Allah akan murka kepadanya.” (HR. Ibnu Majah, no. 3827; Tirmidzi, no. 3370; Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 658; Ahmad, 2:442, 477; Al-Hakim, 1:491; Al-Baihaqi dalam Ad-Da’awaat Al-Kabiroh, no. 22). Disebutkan pula dalam Shahih Al-Hakim dari Anas, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَا تَعْجِزُوا فِي الدُّعَاءِ فَإِنَّهُ لَا يَهْلِكُ مَعَ الدُّعَاءِ أَحَدٌ “Jangan kalian lemah dalam berdoa karena sesungguhnya tidak ada orang yang binasa dikarenakan doa.” (HR. Al-Hakim, 1:493. Dalam sanadnya terdapat ‘Umar bin Muhammad bin Shuhbaan, ia perawai matruk. Hadits ini disebutkan dalam kumpulan hadits dhaif dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dhaifah, no. 843 karya Syaikh Al-Albani). Al-Auza’i menuturkan dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُلِحِّينَ فِي الدُّعَاءِ “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang ilhah (merengek-rengek atau memelas) ketika berdoa.” (HR. Thabrani, no. 20, terdapat perawi yang matruk). وَفِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِلْإِمَامِ أَحْمَدَ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ: قَالَ مُوَرِّقٌ: مَا وَجَدْتُ لِلْمُؤْمِنِ مَثَلًا إِلَّا رَجُلٌ فِي الْبَحْرِ عَلَى خَشَبَةٍ، فَهُوَ يَدْعُو: يَا رَبِّ يَا رَبِّ لَعَلَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُنْجِيَهُ. Di dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad disebutkan bahwa Qatadah menukilkan penuturan Muwarriq tentang hamba mukmin yang terus menerus berdoa kepada Allah. Muwarriq rahimahullah menuturkan, “Saya tidak pernah mendapati suatu perumpamaan bagi orang mukmin dalam hal berdoa kecuali seperti seseorang di atas kayu yang tengah mengapung di lautan. Kemudian lanjut Muwarriq, orang mukmin itu mengucap doa, “Wahai Rabbku, wahai Rabbku.” Orang mukmin berharap semoga Allah menyelamatkannya.” (HR. Abu Nuaim dalam Al-Hilyah, 2:235) وَمِنَ الْآفَاتِ الَّتِي تَمْنَعُ تَرَتُّبَ أَثَرِ الدُّعَاءِ عَلَيْهِ: أَنْ يَسْتَعْجِلَ الْعَبْدُ، وَيَسْتَبْطِئَ الْإِجَابَةَ، فَيَسْتَحْسِرُ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ، Salah satu kesalahan yang dapat menghalangi terkabulnya doa adalah tergesa-gesanya seorang hamba. Ia menganggap doanya lambat dikabulkan, lantas ia pun merasa jenuh dan letih, sehingga akhirnya ia meninggalkan doa. وَهُوَ بِمَنْزِلَةِ مَنْ بَذَرَ بَذْرًا أَوْ غَرَسَ غَرْسًا، فَجَعَلَ يَتَعَاهَدُهُ وَيَسْقِيهِ، فَلَمَّا اسْتَبْطَأَ كَمَالَهُ وَإِدْرَاكَهُ تَرَكَهُ وَأَهْمَلَهُ. Ini ibarat orang yang menabur benih atau menanam tanaman, kemudian ia menjaga dan menyiraminya. Namun, karena merasa terlalu lama menunggu hasilnya, orang itu pun membiarkan dan mengabaikan tanaman tersebut. Dalam Shahih Bukhari terdapat riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ،يَقُولُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي “Doa setiap kalian akan dikabulkan selama tidak tergesa-gesa, yaitu dengan berkata: ‘Saya sudah berdoa, tetapi belum juga dikabulkan.” (HR. Bukhari, no. 5981) Dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَا يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ، مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ، مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الِاسْتِعْجَالُ؟ قَالَ يَقُولُ: قَدْ دَعَوْتُ، وَقَدْ دَعَوْتُ، فَلَمْ أَرَ يُسْتَجَابُ لِي، فَيَسْتَحْسِرُ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ “Doa hamba akan terkabul selama tidak berdoa untuk kemaksiatan atau untuk memutus silaturahim, dan selama ia tidak tergesa-gesa.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, seperti apakah bentuk ketergesa-gesaan tersebut?” Nabi menjawab, “Hamba tadi berkata: ‘Aku telah berdoa, sungguh aku telah berdoa, tetapi Allah belum juga mengabulkan doa tersebut.” Ia merasa jenuh dan letih, lalu akhirnya, ia meninggalkan doa.” (HR. Muslim, no. 2735) Di dalam musnad Imam Ahmad, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, «لَا يَزَالُ الْعَبْدُ بِخَيْرٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ،قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يَسْتَعْجِلُ؟ قَالَ: يَقُولُ قَدْ دَعَوْتُ رَبِّي فَلَمْ يَسْتَجِبْ لِي» “Seorang hamba selalu dalam kebaikan selama tidak tergesa-gesa.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah bentuk ketergesa-gesaannya?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Hamba itu berkata, ‘Aku telah berdoa kepada Rabbku, tetapi Allah belum mengabulkan permohonanku.” (HR. Ahmad, 3:193, 210. Hadits ini hasan menurut Syaikh Ali Hasan Al-Halabi) Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 17-19.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Baca Juga: Doa untuk Meminta Rezeki, Selamat dari Penyakit, Kebaikan Dunia Akhirat – Rabu pagi, 13 Dzulqa’dah 1445 H, 22 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa al jawabul kaafi cara ruqyah faedah dari Ibnul Qayyim hati bersih manajemen hati masalah hidup masalah rumah tangga obat hati penyakit ruqyah solusi masalah hidup


Salah satu sebab doa tak terkabul adalah karena terlalu tergesa-gesa. Apa maksudnya?   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ sebagai berikut. وَمِنْ أَنْفَعِ الاَدْوِيَّةِ الاِلْحَاحُ فِى الدُّعَاءِ Sikap terus menerus berdoa (memelas atau merengek-rengek dalam doa) termasuk obat penawar yang amat bermanfaat bagi manusia. Ibnu Majah dalam Sunan-nya meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللَّهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ  “Barang siapa yang tidak meminta kepada Allah, niscaya Allah akan murka kepadanya.” (HR. Ibnu Majah, no. 3827; Tirmidzi, no. 3370; Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 658; Ahmad, 2:442, 477; Al-Hakim, 1:491; Al-Baihaqi dalam Ad-Da’awaat Al-Kabiroh, no. 22). Disebutkan pula dalam Shahih Al-Hakim dari Anas, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَا تَعْجِزُوا فِي الدُّعَاءِ فَإِنَّهُ لَا يَهْلِكُ مَعَ الدُّعَاءِ أَحَدٌ “Jangan kalian lemah dalam berdoa karena sesungguhnya tidak ada orang yang binasa dikarenakan doa.” (HR. Al-Hakim, 1:493. Dalam sanadnya terdapat ‘Umar bin Muhammad bin Shuhbaan, ia perawai matruk. Hadits ini disebutkan dalam kumpulan hadits dhaif dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dhaifah, no. 843 karya Syaikh Al-Albani). Al-Auza’i menuturkan dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُلِحِّينَ فِي الدُّعَاءِ “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang ilhah (merengek-rengek atau memelas) ketika berdoa.” (HR. Thabrani, no. 20, terdapat perawi yang matruk). وَفِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِلْإِمَامِ أَحْمَدَ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ: قَالَ مُوَرِّقٌ: مَا وَجَدْتُ لِلْمُؤْمِنِ مَثَلًا إِلَّا رَجُلٌ فِي الْبَحْرِ عَلَى خَشَبَةٍ، فَهُوَ يَدْعُو: يَا رَبِّ يَا رَبِّ لَعَلَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُنْجِيَهُ. Di dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad disebutkan bahwa Qatadah menukilkan penuturan Muwarriq tentang hamba mukmin yang terus menerus berdoa kepada Allah. Muwarriq rahimahullah menuturkan, “Saya tidak pernah mendapati suatu perumpamaan bagi orang mukmin dalam hal berdoa kecuali seperti seseorang di atas kayu yang tengah mengapung di lautan. Kemudian lanjut Muwarriq, orang mukmin itu mengucap doa, “Wahai Rabbku, wahai Rabbku.” Orang mukmin berharap semoga Allah menyelamatkannya.” (HR. Abu Nuaim dalam Al-Hilyah, 2:235) وَمِنَ الْآفَاتِ الَّتِي تَمْنَعُ تَرَتُّبَ أَثَرِ الدُّعَاءِ عَلَيْهِ: أَنْ يَسْتَعْجِلَ الْعَبْدُ، وَيَسْتَبْطِئَ الْإِجَابَةَ، فَيَسْتَحْسِرُ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ، Salah satu kesalahan yang dapat menghalangi terkabulnya doa adalah tergesa-gesanya seorang hamba. Ia menganggap doanya lambat dikabulkan, lantas ia pun merasa jenuh dan letih, sehingga akhirnya ia meninggalkan doa. وَهُوَ بِمَنْزِلَةِ مَنْ بَذَرَ بَذْرًا أَوْ غَرَسَ غَرْسًا، فَجَعَلَ يَتَعَاهَدُهُ وَيَسْقِيهِ، فَلَمَّا اسْتَبْطَأَ كَمَالَهُ وَإِدْرَاكَهُ تَرَكَهُ وَأَهْمَلَهُ. Ini ibarat orang yang menabur benih atau menanam tanaman, kemudian ia menjaga dan menyiraminya. Namun, karena merasa terlalu lama menunggu hasilnya, orang itu pun membiarkan dan mengabaikan tanaman tersebut. Dalam Shahih Bukhari terdapat riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ،يَقُولُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي “Doa setiap kalian akan dikabulkan selama tidak tergesa-gesa, yaitu dengan berkata: ‘Saya sudah berdoa, tetapi belum juga dikabulkan.” (HR. Bukhari, no. 5981) Dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَا يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ، مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ، مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الِاسْتِعْجَالُ؟ قَالَ يَقُولُ: قَدْ دَعَوْتُ، وَقَدْ دَعَوْتُ، فَلَمْ أَرَ يُسْتَجَابُ لِي، فَيَسْتَحْسِرُ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ “Doa hamba akan terkabul selama tidak berdoa untuk kemaksiatan atau untuk memutus silaturahim, dan selama ia tidak tergesa-gesa.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, seperti apakah bentuk ketergesa-gesaan tersebut?” Nabi menjawab, “Hamba tadi berkata: ‘Aku telah berdoa, sungguh aku telah berdoa, tetapi Allah belum juga mengabulkan doa tersebut.” Ia merasa jenuh dan letih, lalu akhirnya, ia meninggalkan doa.” (HR. Muslim, no. 2735) Di dalam musnad Imam Ahmad, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, «لَا يَزَالُ الْعَبْدُ بِخَيْرٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ،قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يَسْتَعْجِلُ؟ قَالَ: يَقُولُ قَدْ دَعَوْتُ رَبِّي فَلَمْ يَسْتَجِبْ لِي» “Seorang hamba selalu dalam kebaikan selama tidak tergesa-gesa.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah bentuk ketergesa-gesaannya?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Hamba itu berkata, ‘Aku telah berdoa kepada Rabbku, tetapi Allah belum mengabulkan permohonanku.” (HR. Ahmad, 3:193, 210. Hadits ini hasan menurut Syaikh Ali Hasan Al-Halabi) Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 17-19.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Baca Juga: Doa untuk Meminta Rezeki, Selamat dari Penyakit, Kebaikan Dunia Akhirat – Rabu pagi, 13 Dzulqa’dah 1445 H, 22 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa al jawabul kaafi cara ruqyah faedah dari Ibnul Qayyim hati bersih manajemen hati masalah hidup masalah rumah tangga obat hati penyakit ruqyah solusi masalah hidup

Tafsir Surat Asy-Syu’ara Ayat 224

Pertanyaan: Apakah makna surat Asy-Syu’ara ayat 224? Apakah menunjukkan bahwa bersyair terlarang? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Allah ta’ala berfirman: وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ “Dan para penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat” (QS. Asy-Syu’ara: 224). Asy-syu’ara artinya para penyair. Para penyair yang dimaksud dalam ayat ini adalah para penyair yang sya’irnya berisi kebatilan. Ibnu Katsir rahimahullah membawakan perkataan para salaf: وقال الحسن البصري : قد – والله – رأينا أوديتهم التي يهيمون فيها ، مرة في شتمة فلان ، ومرة في مدحة فلان . وقال قتادة : الشاعر يمدح قوما بباطل ، ويذم قوما بباطل “Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan: “Sungguh demi Allah kami melihat lembah-lembah yang dilewati para penyair itu. Terkadang mereka mencela si fulan dengan syairnya, terkadang mereka memuji si fulan”. Qatadah rahimahullah berkata: “Para penyair biasanya memuji suatu kaum secara batil dan mencela suatu kaum secara batil”” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/172). Imam Al-Baghawi rahimahullah menjelaskan: أراد شعراء الكفار الذين كانوا يهجون رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ، وذكر مقاتل أسماءهم ، فقال : منهم عبد الله بن الزبعرى السهمي ، وهبيرة بن أبي وهب المخزومي ، ومشافع بن عبد مناف . وأبو عزة بن عبد الله الجمحي ، وأمية بن أبي الصلت الثقفي ، تكلموا بالكذب وبالباطل ، وقالوا : نحن نقول مثل ما يقول محمد “Yang dimaksud dalam ayat ini adalah para penyair kaum kafir yang dahulu sering menyerang Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Dan disebutkan perintah untuk memerangi nama mereka (dalam syair). Para ulama menyebutkan, bahwa di antara penyair tersebut adalah Abdullah bin Az-Zab’ari As-Sahmi, Haibarah bin Abi Wahb Al-Makhzumi, Musafi’ bin Abdi Manaf, Abu Ghazzah bin Abdillah Al-Juhmi, Umayyah bin Abi Ash-Shalt Ats-Tsaqafi. Mereka semua mengucapkan dusta dan kebatilan (dalam syair mereka). Mereka juga berkata: kami sekedar mengucapkan seperti yang diucapkan Muhammad” (Tafsir Al-Baghawi, 6/135). Para penyair tersebut mengatakan “kami sekedar mengucapkan seperti yang diucapkan Muhammad”, maksudnya Al-Qur’an. Mereka mengklaim bahwasanya Al-Qur’an yang disampaikan Nabi sekedar syair sama seperti syair yang mereka buat. Oleh karena itu Allah bantah klaim ini dengan firman-Nya: أَمْ يَقُولُونَ شَاعِرٌ نَتَرَبَّصُ بِهِ رَيْبَ الْمَنُونِ قُلْ تَرَبَّصُوا۟ فَإِنِّى مَعَكُم مِّنَ ٱلْمُتَرَبِّصِينَ أَمْ تَأْمُرُهُمْ أَحْلَٰمُهُم بِهَٰذَآ ۚ أَمْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ “Bahkan mereka mengatakan: “Dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya”. Katakanlah: “Tunggulah, maka sesungguhnya aku pun termasuk orang yang menunggu (pula) bersama kamu”. Apakah mereka diperintah oleh fikiran-fikiran mereka untuk mengucapkan tuduhan-tuduhan ini ataukah mereka kaum yang melampaui batas?” (QS. Ath-Thur: 31-33). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan: فإِنَّه لا يَتَّبِعُ الشعرَ غالبًا إِلَّا الغواةُ، فهو باطلٌ، وهذا القُرآنُ ليس كذلك، هذا القُرانُ لا يتبعه إلا أهلُ الرُّشْدِ والسَّدادِ، فدَلَّ ذلك على أنه ليسَ بالشعرِ؛ لأن الغالبَ أن الشعرَ لا يَتَّبِعُه إلّا الغاوونَ “Yang mengikuti syair-syair mereka umumnya adalah orang-orang sesat. Maka syair-syair mereka adalah kebatilan. Adapun Al-Qur’an, tidaklah demikian. Yang mengikuti Al-Qur’an adalah orang-orang yang berpikir dan lurus akalnya. Maka ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an bukanlah syair. Karena umumnya syair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat” (Tafsir Surah Asy-Syu’ara, hal. 311). Adapun tentang al ghawun dalam ayat ini, disebutkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir Ath-Thabari (19/416) ada empat pendapat di kalangan ahli tafsir: 1. Maknanya adalah orang-orang yang meriwayatkan syair-syair yang batil. Ini tafsiran dari Ibnu Abbas. 2. Maknanya adalah para setan. Ini tafsiran dari Mujahid, Qatadah, dan Ikrimah. 3. Maknanya adalah orang-orang bodoh. Ini tafsiran dari Ibnu Abbas dan Adh-Dhahhak. 4. Maknanya adalah orang-orang sesat dan orang-orang musyrik. Ini tafsiran Ibnu Abbas dan Ibnu Wahab. Semua tafsir di atas tidaklah saling bertentangan, dan dapat kita kompromikan. Sehingga para penyair yang sesat itu diikuti oleh para hamba yang sesat dari kalangan orang-orang yang gembira dengan syair mereka kemudian menukilnya, orang-orang bodoh, orang-orang yang akidahnya menyimpang, orang-orang musyrik dan juga setan. Namun tidak semua penyair demikian. Karena di lanjutan ayatnya, Allah ta’ala berfirman: إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيراً وَانتَصَرُوا مِن بَعْدِ مَا ظُلِمُوا “Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman.” (QS. Asy-Syu’ara’: 247). Hukum Syair  Selain surat Asy-Syu’ara ayat 224, terdapat beberapa dalil yang zahirnya mengharamkan syair. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ رَجُلٍ قَيْحًا يَرِيهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا “Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah daripada memenuhinya dengan syair.” (HR. Al-Bukhari no. 6155). Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ تَنَاشُدِ الْأَشْعَارِ فِي الْمَسْجِدِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melantunkan syair-syair di masjid“ (HR. Tirmidzi no. 296, dihasankan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi). Di sisi lain, terdapat dalil-dalil yang zahirnya membolehkan syair. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata: وَعَنْهُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ؛ أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَرَّ بِحَسَّانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يُنْشِدُ فِي الْمَسْجِدِ، فَلَحَظَ إلَيْهِ، فَقَالَ: قَدْ كُنْتُ أُنْشِدُ، وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ. “Umar radhiyallahu ‘anhu pernah melewati Hassan bin Tsabit yang sedang bersyair di dalam masjid kemudian beliau memandangnya dengan tajam. Maka Hassan berkata, “Aku pernah bersyair dan di masjid ketika ada seorang yang lebih utama darimu (yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam)” (HR. Al-Bukhari no. 3212 dan Muslim no. 2485). Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ الشِّعْرِ حِكْمَةً “Sesungguhnya di sebagian syair terdapat hikmah” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 85, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad). Oleh karena itu hukum syair perlu dirinci. Sebagaimana penjelasan Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah: هذا فيه تفصيل أيضًا، والشعر مثلما قال الشافعي رحمه الله: “حسنه حسن، وقبيحه قبيح”، فالشعر الذي ينصر الحقَّ ويُؤيد الحقَّ، ويهدم الباطل وأهل الباطل؛ هذا مطلوبٌ، هذا مشروعٌ، وهو الذي كان يقوم به حسان بن ثابت ، وعبدالله بن رواحة، وسعد بن مالك، وغيرهم من الشعراء الذين كانوا في عهده ﷺ وبعده. أما إذا كان الشعر في ذمِّ الحق، ومدح الخنا والفساد، والدعوة إلى الزنا والفجور؛ فهذا منكرٌ محض لا يجوز “Hal ini juga memerlukan perincian. Hukum syair sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, “Syair yang baik maka baik hukumnya, dan syair yang jelek maka jelek hukumnya”. Syair yang mendukung kebenaran dan menghancurkan kebatilan serta para pelakunya, maka ini dituntut dalam agama dan disyariatkan. Dan itulah yang dilakukan Hassan bin Tsabit radhiyallahu’anhu, Abdullah bin Rawahah radhiyallahu’anhu, Sa’ad bin Malik radhiyallahu’anhu, dan para penyair lainnya yang ada di zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Namun, jika syairnya mencela kebenaran, memuji pengkhianatan dan kejahatan, serta menyerukan perzinaan dan maksiat, maka ini jelas kemungkaran dan tidak diperbolehkan” (Fatawa Ad Durus, no.413). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 255 times, 2 visit(s) today Post Views: 1,035 QRIS donasi Yufid

Tafsir Surat Asy-Syu’ara Ayat 224

Pertanyaan: Apakah makna surat Asy-Syu’ara ayat 224? Apakah menunjukkan bahwa bersyair terlarang? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Allah ta’ala berfirman: وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ “Dan para penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat” (QS. Asy-Syu’ara: 224). Asy-syu’ara artinya para penyair. Para penyair yang dimaksud dalam ayat ini adalah para penyair yang sya’irnya berisi kebatilan. Ibnu Katsir rahimahullah membawakan perkataan para salaf: وقال الحسن البصري : قد – والله – رأينا أوديتهم التي يهيمون فيها ، مرة في شتمة فلان ، ومرة في مدحة فلان . وقال قتادة : الشاعر يمدح قوما بباطل ، ويذم قوما بباطل “Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan: “Sungguh demi Allah kami melihat lembah-lembah yang dilewati para penyair itu. Terkadang mereka mencela si fulan dengan syairnya, terkadang mereka memuji si fulan”. Qatadah rahimahullah berkata: “Para penyair biasanya memuji suatu kaum secara batil dan mencela suatu kaum secara batil”” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/172). Imam Al-Baghawi rahimahullah menjelaskan: أراد شعراء الكفار الذين كانوا يهجون رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ، وذكر مقاتل أسماءهم ، فقال : منهم عبد الله بن الزبعرى السهمي ، وهبيرة بن أبي وهب المخزومي ، ومشافع بن عبد مناف . وأبو عزة بن عبد الله الجمحي ، وأمية بن أبي الصلت الثقفي ، تكلموا بالكذب وبالباطل ، وقالوا : نحن نقول مثل ما يقول محمد “Yang dimaksud dalam ayat ini adalah para penyair kaum kafir yang dahulu sering menyerang Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Dan disebutkan perintah untuk memerangi nama mereka (dalam syair). Para ulama menyebutkan, bahwa di antara penyair tersebut adalah Abdullah bin Az-Zab’ari As-Sahmi, Haibarah bin Abi Wahb Al-Makhzumi, Musafi’ bin Abdi Manaf, Abu Ghazzah bin Abdillah Al-Juhmi, Umayyah bin Abi Ash-Shalt Ats-Tsaqafi. Mereka semua mengucapkan dusta dan kebatilan (dalam syair mereka). Mereka juga berkata: kami sekedar mengucapkan seperti yang diucapkan Muhammad” (Tafsir Al-Baghawi, 6/135). Para penyair tersebut mengatakan “kami sekedar mengucapkan seperti yang diucapkan Muhammad”, maksudnya Al-Qur’an. Mereka mengklaim bahwasanya Al-Qur’an yang disampaikan Nabi sekedar syair sama seperti syair yang mereka buat. Oleh karena itu Allah bantah klaim ini dengan firman-Nya: أَمْ يَقُولُونَ شَاعِرٌ نَتَرَبَّصُ بِهِ رَيْبَ الْمَنُونِ قُلْ تَرَبَّصُوا۟ فَإِنِّى مَعَكُم مِّنَ ٱلْمُتَرَبِّصِينَ أَمْ تَأْمُرُهُمْ أَحْلَٰمُهُم بِهَٰذَآ ۚ أَمْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ “Bahkan mereka mengatakan: “Dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya”. Katakanlah: “Tunggulah, maka sesungguhnya aku pun termasuk orang yang menunggu (pula) bersama kamu”. Apakah mereka diperintah oleh fikiran-fikiran mereka untuk mengucapkan tuduhan-tuduhan ini ataukah mereka kaum yang melampaui batas?” (QS. Ath-Thur: 31-33). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan: فإِنَّه لا يَتَّبِعُ الشعرَ غالبًا إِلَّا الغواةُ، فهو باطلٌ، وهذا القُرآنُ ليس كذلك، هذا القُرانُ لا يتبعه إلا أهلُ الرُّشْدِ والسَّدادِ، فدَلَّ ذلك على أنه ليسَ بالشعرِ؛ لأن الغالبَ أن الشعرَ لا يَتَّبِعُه إلّا الغاوونَ “Yang mengikuti syair-syair mereka umumnya adalah orang-orang sesat. Maka syair-syair mereka adalah kebatilan. Adapun Al-Qur’an, tidaklah demikian. Yang mengikuti Al-Qur’an adalah orang-orang yang berpikir dan lurus akalnya. Maka ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an bukanlah syair. Karena umumnya syair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat” (Tafsir Surah Asy-Syu’ara, hal. 311). Adapun tentang al ghawun dalam ayat ini, disebutkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir Ath-Thabari (19/416) ada empat pendapat di kalangan ahli tafsir: 1. Maknanya adalah orang-orang yang meriwayatkan syair-syair yang batil. Ini tafsiran dari Ibnu Abbas. 2. Maknanya adalah para setan. Ini tafsiran dari Mujahid, Qatadah, dan Ikrimah. 3. Maknanya adalah orang-orang bodoh. Ini tafsiran dari Ibnu Abbas dan Adh-Dhahhak. 4. Maknanya adalah orang-orang sesat dan orang-orang musyrik. Ini tafsiran Ibnu Abbas dan Ibnu Wahab. Semua tafsir di atas tidaklah saling bertentangan, dan dapat kita kompromikan. Sehingga para penyair yang sesat itu diikuti oleh para hamba yang sesat dari kalangan orang-orang yang gembira dengan syair mereka kemudian menukilnya, orang-orang bodoh, orang-orang yang akidahnya menyimpang, orang-orang musyrik dan juga setan. Namun tidak semua penyair demikian. Karena di lanjutan ayatnya, Allah ta’ala berfirman: إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيراً وَانتَصَرُوا مِن بَعْدِ مَا ظُلِمُوا “Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman.” (QS. Asy-Syu’ara’: 247). Hukum Syair  Selain surat Asy-Syu’ara ayat 224, terdapat beberapa dalil yang zahirnya mengharamkan syair. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ رَجُلٍ قَيْحًا يَرِيهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا “Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah daripada memenuhinya dengan syair.” (HR. Al-Bukhari no. 6155). Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ تَنَاشُدِ الْأَشْعَارِ فِي الْمَسْجِدِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melantunkan syair-syair di masjid“ (HR. Tirmidzi no. 296, dihasankan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi). Di sisi lain, terdapat dalil-dalil yang zahirnya membolehkan syair. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata: وَعَنْهُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ؛ أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَرَّ بِحَسَّانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يُنْشِدُ فِي الْمَسْجِدِ، فَلَحَظَ إلَيْهِ، فَقَالَ: قَدْ كُنْتُ أُنْشِدُ، وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ. “Umar radhiyallahu ‘anhu pernah melewati Hassan bin Tsabit yang sedang bersyair di dalam masjid kemudian beliau memandangnya dengan tajam. Maka Hassan berkata, “Aku pernah bersyair dan di masjid ketika ada seorang yang lebih utama darimu (yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam)” (HR. Al-Bukhari no. 3212 dan Muslim no. 2485). Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ الشِّعْرِ حِكْمَةً “Sesungguhnya di sebagian syair terdapat hikmah” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 85, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad). Oleh karena itu hukum syair perlu dirinci. Sebagaimana penjelasan Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah: هذا فيه تفصيل أيضًا، والشعر مثلما قال الشافعي رحمه الله: “حسنه حسن، وقبيحه قبيح”، فالشعر الذي ينصر الحقَّ ويُؤيد الحقَّ، ويهدم الباطل وأهل الباطل؛ هذا مطلوبٌ، هذا مشروعٌ، وهو الذي كان يقوم به حسان بن ثابت ، وعبدالله بن رواحة، وسعد بن مالك، وغيرهم من الشعراء الذين كانوا في عهده ﷺ وبعده. أما إذا كان الشعر في ذمِّ الحق، ومدح الخنا والفساد، والدعوة إلى الزنا والفجور؛ فهذا منكرٌ محض لا يجوز “Hal ini juga memerlukan perincian. Hukum syair sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, “Syair yang baik maka baik hukumnya, dan syair yang jelek maka jelek hukumnya”. Syair yang mendukung kebenaran dan menghancurkan kebatilan serta para pelakunya, maka ini dituntut dalam agama dan disyariatkan. Dan itulah yang dilakukan Hassan bin Tsabit radhiyallahu’anhu, Abdullah bin Rawahah radhiyallahu’anhu, Sa’ad bin Malik radhiyallahu’anhu, dan para penyair lainnya yang ada di zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Namun, jika syairnya mencela kebenaran, memuji pengkhianatan dan kejahatan, serta menyerukan perzinaan dan maksiat, maka ini jelas kemungkaran dan tidak diperbolehkan” (Fatawa Ad Durus, no.413). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 255 times, 2 visit(s) today Post Views: 1,035 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Apakah makna surat Asy-Syu’ara ayat 224? Apakah menunjukkan bahwa bersyair terlarang? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Allah ta’ala berfirman: وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ “Dan para penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat” (QS. Asy-Syu’ara: 224). Asy-syu’ara artinya para penyair. Para penyair yang dimaksud dalam ayat ini adalah para penyair yang sya’irnya berisi kebatilan. Ibnu Katsir rahimahullah membawakan perkataan para salaf: وقال الحسن البصري : قد – والله – رأينا أوديتهم التي يهيمون فيها ، مرة في شتمة فلان ، ومرة في مدحة فلان . وقال قتادة : الشاعر يمدح قوما بباطل ، ويذم قوما بباطل “Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan: “Sungguh demi Allah kami melihat lembah-lembah yang dilewati para penyair itu. Terkadang mereka mencela si fulan dengan syairnya, terkadang mereka memuji si fulan”. Qatadah rahimahullah berkata: “Para penyair biasanya memuji suatu kaum secara batil dan mencela suatu kaum secara batil”” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/172). Imam Al-Baghawi rahimahullah menjelaskan: أراد شعراء الكفار الذين كانوا يهجون رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ، وذكر مقاتل أسماءهم ، فقال : منهم عبد الله بن الزبعرى السهمي ، وهبيرة بن أبي وهب المخزومي ، ومشافع بن عبد مناف . وأبو عزة بن عبد الله الجمحي ، وأمية بن أبي الصلت الثقفي ، تكلموا بالكذب وبالباطل ، وقالوا : نحن نقول مثل ما يقول محمد “Yang dimaksud dalam ayat ini adalah para penyair kaum kafir yang dahulu sering menyerang Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Dan disebutkan perintah untuk memerangi nama mereka (dalam syair). Para ulama menyebutkan, bahwa di antara penyair tersebut adalah Abdullah bin Az-Zab’ari As-Sahmi, Haibarah bin Abi Wahb Al-Makhzumi, Musafi’ bin Abdi Manaf, Abu Ghazzah bin Abdillah Al-Juhmi, Umayyah bin Abi Ash-Shalt Ats-Tsaqafi. Mereka semua mengucapkan dusta dan kebatilan (dalam syair mereka). Mereka juga berkata: kami sekedar mengucapkan seperti yang diucapkan Muhammad” (Tafsir Al-Baghawi, 6/135). Para penyair tersebut mengatakan “kami sekedar mengucapkan seperti yang diucapkan Muhammad”, maksudnya Al-Qur’an. Mereka mengklaim bahwasanya Al-Qur’an yang disampaikan Nabi sekedar syair sama seperti syair yang mereka buat. Oleh karena itu Allah bantah klaim ini dengan firman-Nya: أَمْ يَقُولُونَ شَاعِرٌ نَتَرَبَّصُ بِهِ رَيْبَ الْمَنُونِ قُلْ تَرَبَّصُوا۟ فَإِنِّى مَعَكُم مِّنَ ٱلْمُتَرَبِّصِينَ أَمْ تَأْمُرُهُمْ أَحْلَٰمُهُم بِهَٰذَآ ۚ أَمْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ “Bahkan mereka mengatakan: “Dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya”. Katakanlah: “Tunggulah, maka sesungguhnya aku pun termasuk orang yang menunggu (pula) bersama kamu”. Apakah mereka diperintah oleh fikiran-fikiran mereka untuk mengucapkan tuduhan-tuduhan ini ataukah mereka kaum yang melampaui batas?” (QS. Ath-Thur: 31-33). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan: فإِنَّه لا يَتَّبِعُ الشعرَ غالبًا إِلَّا الغواةُ، فهو باطلٌ، وهذا القُرآنُ ليس كذلك، هذا القُرانُ لا يتبعه إلا أهلُ الرُّشْدِ والسَّدادِ، فدَلَّ ذلك على أنه ليسَ بالشعرِ؛ لأن الغالبَ أن الشعرَ لا يَتَّبِعُه إلّا الغاوونَ “Yang mengikuti syair-syair mereka umumnya adalah orang-orang sesat. Maka syair-syair mereka adalah kebatilan. Adapun Al-Qur’an, tidaklah demikian. Yang mengikuti Al-Qur’an adalah orang-orang yang berpikir dan lurus akalnya. Maka ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an bukanlah syair. Karena umumnya syair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat” (Tafsir Surah Asy-Syu’ara, hal. 311). Adapun tentang al ghawun dalam ayat ini, disebutkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir Ath-Thabari (19/416) ada empat pendapat di kalangan ahli tafsir: 1. Maknanya adalah orang-orang yang meriwayatkan syair-syair yang batil. Ini tafsiran dari Ibnu Abbas. 2. Maknanya adalah para setan. Ini tafsiran dari Mujahid, Qatadah, dan Ikrimah. 3. Maknanya adalah orang-orang bodoh. Ini tafsiran dari Ibnu Abbas dan Adh-Dhahhak. 4. Maknanya adalah orang-orang sesat dan orang-orang musyrik. Ini tafsiran Ibnu Abbas dan Ibnu Wahab. Semua tafsir di atas tidaklah saling bertentangan, dan dapat kita kompromikan. Sehingga para penyair yang sesat itu diikuti oleh para hamba yang sesat dari kalangan orang-orang yang gembira dengan syair mereka kemudian menukilnya, orang-orang bodoh, orang-orang yang akidahnya menyimpang, orang-orang musyrik dan juga setan. Namun tidak semua penyair demikian. Karena di lanjutan ayatnya, Allah ta’ala berfirman: إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيراً وَانتَصَرُوا مِن بَعْدِ مَا ظُلِمُوا “Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman.” (QS. Asy-Syu’ara’: 247). Hukum Syair  Selain surat Asy-Syu’ara ayat 224, terdapat beberapa dalil yang zahirnya mengharamkan syair. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ رَجُلٍ قَيْحًا يَرِيهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا “Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah daripada memenuhinya dengan syair.” (HR. Al-Bukhari no. 6155). Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ تَنَاشُدِ الْأَشْعَارِ فِي الْمَسْجِدِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melantunkan syair-syair di masjid“ (HR. Tirmidzi no. 296, dihasankan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi). Di sisi lain, terdapat dalil-dalil yang zahirnya membolehkan syair. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata: وَعَنْهُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ؛ أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَرَّ بِحَسَّانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يُنْشِدُ فِي الْمَسْجِدِ، فَلَحَظَ إلَيْهِ، فَقَالَ: قَدْ كُنْتُ أُنْشِدُ، وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ. “Umar radhiyallahu ‘anhu pernah melewati Hassan bin Tsabit yang sedang bersyair di dalam masjid kemudian beliau memandangnya dengan tajam. Maka Hassan berkata, “Aku pernah bersyair dan di masjid ketika ada seorang yang lebih utama darimu (yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam)” (HR. Al-Bukhari no. 3212 dan Muslim no. 2485). Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ الشِّعْرِ حِكْمَةً “Sesungguhnya di sebagian syair terdapat hikmah” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 85, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad). Oleh karena itu hukum syair perlu dirinci. Sebagaimana penjelasan Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah: هذا فيه تفصيل أيضًا، والشعر مثلما قال الشافعي رحمه الله: “حسنه حسن، وقبيحه قبيح”، فالشعر الذي ينصر الحقَّ ويُؤيد الحقَّ، ويهدم الباطل وأهل الباطل؛ هذا مطلوبٌ، هذا مشروعٌ، وهو الذي كان يقوم به حسان بن ثابت ، وعبدالله بن رواحة، وسعد بن مالك، وغيرهم من الشعراء الذين كانوا في عهده ﷺ وبعده. أما إذا كان الشعر في ذمِّ الحق، ومدح الخنا والفساد، والدعوة إلى الزنا والفجور؛ فهذا منكرٌ محض لا يجوز “Hal ini juga memerlukan perincian. Hukum syair sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, “Syair yang baik maka baik hukumnya, dan syair yang jelek maka jelek hukumnya”. Syair yang mendukung kebenaran dan menghancurkan kebatilan serta para pelakunya, maka ini dituntut dalam agama dan disyariatkan. Dan itulah yang dilakukan Hassan bin Tsabit radhiyallahu’anhu, Abdullah bin Rawahah radhiyallahu’anhu, Sa’ad bin Malik radhiyallahu’anhu, dan para penyair lainnya yang ada di zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Namun, jika syairnya mencela kebenaran, memuji pengkhianatan dan kejahatan, serta menyerukan perzinaan dan maksiat, maka ini jelas kemungkaran dan tidak diperbolehkan” (Fatawa Ad Durus, no.413). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 255 times, 2 visit(s) today Post Views: 1,035 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Apakah makna surat Asy-Syu’ara ayat 224? Apakah menunjukkan bahwa bersyair terlarang? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Allah ta’ala berfirman: وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ “Dan para penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat” (QS. Asy-Syu’ara: 224). Asy-syu’ara artinya para penyair. Para penyair yang dimaksud dalam ayat ini adalah para penyair yang sya’irnya berisi kebatilan. Ibnu Katsir rahimahullah membawakan perkataan para salaf: وقال الحسن البصري : قد – والله – رأينا أوديتهم التي يهيمون فيها ، مرة في شتمة فلان ، ومرة في مدحة فلان . وقال قتادة : الشاعر يمدح قوما بباطل ، ويذم قوما بباطل “Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan: “Sungguh demi Allah kami melihat lembah-lembah yang dilewati para penyair itu. Terkadang mereka mencela si fulan dengan syairnya, terkadang mereka memuji si fulan”. Qatadah rahimahullah berkata: “Para penyair biasanya memuji suatu kaum secara batil dan mencela suatu kaum secara batil”” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/172). Imam Al-Baghawi rahimahullah menjelaskan: أراد شعراء الكفار الذين كانوا يهجون رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ، وذكر مقاتل أسماءهم ، فقال : منهم عبد الله بن الزبعرى السهمي ، وهبيرة بن أبي وهب المخزومي ، ومشافع بن عبد مناف . وأبو عزة بن عبد الله الجمحي ، وأمية بن أبي الصلت الثقفي ، تكلموا بالكذب وبالباطل ، وقالوا : نحن نقول مثل ما يقول محمد “Yang dimaksud dalam ayat ini adalah para penyair kaum kafir yang dahulu sering menyerang Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Dan disebutkan perintah untuk memerangi nama mereka (dalam syair). Para ulama menyebutkan, bahwa di antara penyair tersebut adalah Abdullah bin Az-Zab’ari As-Sahmi, Haibarah bin Abi Wahb Al-Makhzumi, Musafi’ bin Abdi Manaf, Abu Ghazzah bin Abdillah Al-Juhmi, Umayyah bin Abi Ash-Shalt Ats-Tsaqafi. Mereka semua mengucapkan dusta dan kebatilan (dalam syair mereka). Mereka juga berkata: kami sekedar mengucapkan seperti yang diucapkan Muhammad” (Tafsir Al-Baghawi, 6/135). Para penyair tersebut mengatakan “kami sekedar mengucapkan seperti yang diucapkan Muhammad”, maksudnya Al-Qur’an. Mereka mengklaim bahwasanya Al-Qur’an yang disampaikan Nabi sekedar syair sama seperti syair yang mereka buat. Oleh karena itu Allah bantah klaim ini dengan firman-Nya: أَمْ يَقُولُونَ شَاعِرٌ نَتَرَبَّصُ بِهِ رَيْبَ الْمَنُونِ قُلْ تَرَبَّصُوا۟ فَإِنِّى مَعَكُم مِّنَ ٱلْمُتَرَبِّصِينَ أَمْ تَأْمُرُهُمْ أَحْلَٰمُهُم بِهَٰذَآ ۚ أَمْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ “Bahkan mereka mengatakan: “Dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya”. Katakanlah: “Tunggulah, maka sesungguhnya aku pun termasuk orang yang menunggu (pula) bersama kamu”. Apakah mereka diperintah oleh fikiran-fikiran mereka untuk mengucapkan tuduhan-tuduhan ini ataukah mereka kaum yang melampaui batas?” (QS. Ath-Thur: 31-33). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan: فإِنَّه لا يَتَّبِعُ الشعرَ غالبًا إِلَّا الغواةُ، فهو باطلٌ، وهذا القُرآنُ ليس كذلك، هذا القُرانُ لا يتبعه إلا أهلُ الرُّشْدِ والسَّدادِ، فدَلَّ ذلك على أنه ليسَ بالشعرِ؛ لأن الغالبَ أن الشعرَ لا يَتَّبِعُه إلّا الغاوونَ “Yang mengikuti syair-syair mereka umumnya adalah orang-orang sesat. Maka syair-syair mereka adalah kebatilan. Adapun Al-Qur’an, tidaklah demikian. Yang mengikuti Al-Qur’an adalah orang-orang yang berpikir dan lurus akalnya. Maka ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an bukanlah syair. Karena umumnya syair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat” (Tafsir Surah Asy-Syu’ara, hal. 311). Adapun tentang al ghawun dalam ayat ini, disebutkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir Ath-Thabari (19/416) ada empat pendapat di kalangan ahli tafsir: 1. Maknanya adalah orang-orang yang meriwayatkan syair-syair yang batil. Ini tafsiran dari Ibnu Abbas. 2. Maknanya adalah para setan. Ini tafsiran dari Mujahid, Qatadah, dan Ikrimah. 3. Maknanya adalah orang-orang bodoh. Ini tafsiran dari Ibnu Abbas dan Adh-Dhahhak. 4. Maknanya adalah orang-orang sesat dan orang-orang musyrik. Ini tafsiran Ibnu Abbas dan Ibnu Wahab. Semua tafsir di atas tidaklah saling bertentangan, dan dapat kita kompromikan. Sehingga para penyair yang sesat itu diikuti oleh para hamba yang sesat dari kalangan orang-orang yang gembira dengan syair mereka kemudian menukilnya, orang-orang bodoh, orang-orang yang akidahnya menyimpang, orang-orang musyrik dan juga setan. Namun tidak semua penyair demikian. Karena di lanjutan ayatnya, Allah ta’ala berfirman: إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيراً وَانتَصَرُوا مِن بَعْدِ مَا ظُلِمُوا “Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman.” (QS. Asy-Syu’ara’: 247). Hukum Syair  Selain surat Asy-Syu’ara ayat 224, terdapat beberapa dalil yang zahirnya mengharamkan syair. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ رَجُلٍ قَيْحًا يَرِيهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا “Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah daripada memenuhinya dengan syair.” (HR. Al-Bukhari no. 6155). Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ تَنَاشُدِ الْأَشْعَارِ فِي الْمَسْجِدِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melantunkan syair-syair di masjid“ (HR. Tirmidzi no. 296, dihasankan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi). Di sisi lain, terdapat dalil-dalil yang zahirnya membolehkan syair. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata: وَعَنْهُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ؛ أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَرَّ بِحَسَّانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يُنْشِدُ فِي الْمَسْجِدِ، فَلَحَظَ إلَيْهِ، فَقَالَ: قَدْ كُنْتُ أُنْشِدُ، وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ. “Umar radhiyallahu ‘anhu pernah melewati Hassan bin Tsabit yang sedang bersyair di dalam masjid kemudian beliau memandangnya dengan tajam. Maka Hassan berkata, “Aku pernah bersyair dan di masjid ketika ada seorang yang lebih utama darimu (yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam)” (HR. Al-Bukhari no. 3212 dan Muslim no. 2485). Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ الشِّعْرِ حِكْمَةً “Sesungguhnya di sebagian syair terdapat hikmah” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 85, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad). Oleh karena itu hukum syair perlu dirinci. Sebagaimana penjelasan Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah: هذا فيه تفصيل أيضًا، والشعر مثلما قال الشافعي رحمه الله: “حسنه حسن، وقبيحه قبيح”، فالشعر الذي ينصر الحقَّ ويُؤيد الحقَّ، ويهدم الباطل وأهل الباطل؛ هذا مطلوبٌ، هذا مشروعٌ، وهو الذي كان يقوم به حسان بن ثابت ، وعبدالله بن رواحة، وسعد بن مالك، وغيرهم من الشعراء الذين كانوا في عهده ﷺ وبعده. أما إذا كان الشعر في ذمِّ الحق، ومدح الخنا والفساد، والدعوة إلى الزنا والفجور؛ فهذا منكرٌ محض لا يجوز “Hal ini juga memerlukan perincian. Hukum syair sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, “Syair yang baik maka baik hukumnya, dan syair yang jelek maka jelek hukumnya”. Syair yang mendukung kebenaran dan menghancurkan kebatilan serta para pelakunya, maka ini dituntut dalam agama dan disyariatkan. Dan itulah yang dilakukan Hassan bin Tsabit radhiyallahu’anhu, Abdullah bin Rawahah radhiyallahu’anhu, Sa’ad bin Malik radhiyallahu’anhu, dan para penyair lainnya yang ada di zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Namun, jika syairnya mencela kebenaran, memuji pengkhianatan dan kejahatan, serta menyerukan perzinaan dan maksiat, maka ini jelas kemungkaran dan tidak diperbolehkan” (Fatawa Ad Durus, no.413). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 255 times, 2 visit(s) today Post Views: 1,035 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 7): Fi’il Amr (Lanjutan)

Adapun menurut dialek Hijaz, maka kata هَلُمَّ  dibaca dengan satu cara baca saja dan tidak ada dhamir yang melekat pada kata tersebut. Sehingga cara bacanya adalah هَلُمَّ يَا صَالِح “Kemarilah, wahai Shalih!” هَلُمَّ يَا عَائِشَةُ “Kemarilah, wahai Aisyah!” هَلُمَّ يَا مُحَّدَانِ “Kemarilah, kalian berdua Muhammad!” هَلُمُّ يَا عَلِيُّوْنَ “Kemarilah, kalian wahai Ali (banyak)!” هَلُمُّ يَا هِنْدَاتُ “Kemarilah, kalian Hindun (banyak)!” Dengan dialek penduduk Hijaz tersebutlah Al-Qur’an turun. Allah berfirman, وَالْقَائِلِينَ لِإِخْوَانِهِمْ هَلُمَّ إِلَيْنَا “Orang-orang yang berkata kepada saudara-saudaranya, ‘Marilah kepada kami!’” قُلْ هَلُمَّ شُهَدَآءَكُمُ “Katakanlah (Muhammad), ‘Bawalah saksi-saksimu!‘” Pada kedua potongan firman Allah Ta’ala di atas, yang diajak berbicara adalah orang yang banyak. Akan tetapi, Allah Ta’ala tetap menggunakan lafaz  هَلُمّ. Kata هَلُم tersebut menurut dialek Hijaz adalah bentuk isim fi’il amr. Bukan fi’il amr. Meskipun kata tersebut menunjukkan perintah, akan tetapi tidak bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. Menurut sebagian Ulama Nahwu, kata هَاتِ  dan تَعَالَ termasuk isim fi’il. Pendapat yang kuat adalah kedua kata tersebut termasuk fi’il amr karena menunjukkan perintah dan bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. Contohnya adalah : يَا فَاطِمَةُ هَاتِي المُصْحَفَ “Berikan Al-Qur’an itu kepadaku, wahai Fatimah!” يَا عَائِشَةُ تَعَالَي “Wahai Aisyah, kemarilah!” Adapun kata هَاتِي  selamanya berharakat kasrah. Kecuali untuk jama’ mudzakkar, maka huruf ت pada kata tersebut berharakat dhammah. Contohnya adalah يَا خَالِدُ هَاتِي الكِتَابَ “Wahai Khalid, berikan buku itu!” يَا حَفْصَةُ هَاتِي الكِتَابَ “Wahai Hafshah, berikan buku itu!” يَا مُحَمَّدَانِ َأَوْ يَا هِنْدَانِ هَاتِيَا الكِتَابَ “Wahai 2 orang yang bernama Muhammad dan 2 orang yang bernama Hindun, berikan buku itu!” يَا هِنْدَاتِ هَاتِيَيْنَ الكِتَابَ “Wahai 3 orang yang bernama Hindun, berikan buku itu!” Semua contoh kalimat di atas, maka huruf ت pada kata  هَاتِي semuanya berharakat kasrah. Kecuali ketika berbentuk jama’ mudzakkar salim. Berikut contohnya يَا مُحَمَّدُوْنَ هَاتُوا كُتُبُكُمْ “Wahai 3 orang yang bernama Muhammad, berikan buku itu!” Contoh dari firman Allah Ta’ala adalah قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ “Katakanlah (Muhammad), ‘Datangkanlah saksi-saksi kalian!’” (Q.S. Al-Baqarah:111) Kata هَاتِي adalah fi’il amr mabni dengan hapus huruf ya, dan ketika dibaca هَاتُوا itu adalah fi’il amr mabni dengan tanda hapus huruf nun. Adapun huruf wawu tersebut adalah fa’il. Adapun kata تَعَالَ  maka huruf terakhirnya berharakat fathah pada semua keadaan tanpa pengecualian. Contohnya adalah تَعَالَ يَا مُحَمَّدَانِ “Kemarilah, wahai Muhammad!” Kata تَعَال tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapus huruf alif. Contoh lainya adalah تَعَالَي يَا رَابِعَةُ “Kemarilah, wahai Rabiah!” تَعَالَيَا يَا مُحَمَّدَانِ “Kemarilah, wahai 2 orang yang bernama Muhammad!” تَعَالَوا يَا مُحَمَّدُونَ “Kemarilah, wahai 3 orang yang bernama Muhammad!” تَعَالَيْنَ يَا هِنْدَاتُ “Kemarilah, wahai 3 orang yang bernama Hindun!” Semua contoh kalimat di atas, maka huruf lam pada kata تَعَالَ berharakat  fathah. Contoh dari firman Allah adalah قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ “Kataknalah, ‘Kemarilah kalian, akan Aku bacakan…’” (Q.S Al-An’am:151) Kata تَعَالَ tersebut fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun karena bersambung dengan wawu jama’. Huruf wawu tersebut berkedudukan sebagai fa’il. Contoh lainya dari firman Allah adalah فَتَعَلَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ “Maka, kemarilah kalian, supaya akan aku berikan talak.” Kata تَعَالَ adalah fi’il amr mabni dengan sukun karena bersambung dengan nun inats. Adapun nun inats tersebut berkedudukan sebagai fa’il. Kembali ke bagian 6: Fi’il Amr Lanjut ke bagian 8: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 7): Fi’il Amr (Lanjutan)

Adapun menurut dialek Hijaz, maka kata هَلُمَّ  dibaca dengan satu cara baca saja dan tidak ada dhamir yang melekat pada kata tersebut. Sehingga cara bacanya adalah هَلُمَّ يَا صَالِح “Kemarilah, wahai Shalih!” هَلُمَّ يَا عَائِشَةُ “Kemarilah, wahai Aisyah!” هَلُمَّ يَا مُحَّدَانِ “Kemarilah, kalian berdua Muhammad!” هَلُمُّ يَا عَلِيُّوْنَ “Kemarilah, kalian wahai Ali (banyak)!” هَلُمُّ يَا هِنْدَاتُ “Kemarilah, kalian Hindun (banyak)!” Dengan dialek penduduk Hijaz tersebutlah Al-Qur’an turun. Allah berfirman, وَالْقَائِلِينَ لِإِخْوَانِهِمْ هَلُمَّ إِلَيْنَا “Orang-orang yang berkata kepada saudara-saudaranya, ‘Marilah kepada kami!’” قُلْ هَلُمَّ شُهَدَآءَكُمُ “Katakanlah (Muhammad), ‘Bawalah saksi-saksimu!‘” Pada kedua potongan firman Allah Ta’ala di atas, yang diajak berbicara adalah orang yang banyak. Akan tetapi, Allah Ta’ala tetap menggunakan lafaz  هَلُمّ. Kata هَلُم tersebut menurut dialek Hijaz adalah bentuk isim fi’il amr. Bukan fi’il amr. Meskipun kata tersebut menunjukkan perintah, akan tetapi tidak bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. Menurut sebagian Ulama Nahwu, kata هَاتِ  dan تَعَالَ termasuk isim fi’il. Pendapat yang kuat adalah kedua kata tersebut termasuk fi’il amr karena menunjukkan perintah dan bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. Contohnya adalah : يَا فَاطِمَةُ هَاتِي المُصْحَفَ “Berikan Al-Qur’an itu kepadaku, wahai Fatimah!” يَا عَائِشَةُ تَعَالَي “Wahai Aisyah, kemarilah!” Adapun kata هَاتِي  selamanya berharakat kasrah. Kecuali untuk jama’ mudzakkar, maka huruf ت pada kata tersebut berharakat dhammah. Contohnya adalah يَا خَالِدُ هَاتِي الكِتَابَ “Wahai Khalid, berikan buku itu!” يَا حَفْصَةُ هَاتِي الكِتَابَ “Wahai Hafshah, berikan buku itu!” يَا مُحَمَّدَانِ َأَوْ يَا هِنْدَانِ هَاتِيَا الكِتَابَ “Wahai 2 orang yang bernama Muhammad dan 2 orang yang bernama Hindun, berikan buku itu!” يَا هِنْدَاتِ هَاتِيَيْنَ الكِتَابَ “Wahai 3 orang yang bernama Hindun, berikan buku itu!” Semua contoh kalimat di atas, maka huruf ت pada kata  هَاتِي semuanya berharakat kasrah. Kecuali ketika berbentuk jama’ mudzakkar salim. Berikut contohnya يَا مُحَمَّدُوْنَ هَاتُوا كُتُبُكُمْ “Wahai 3 orang yang bernama Muhammad, berikan buku itu!” Contoh dari firman Allah Ta’ala adalah قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ “Katakanlah (Muhammad), ‘Datangkanlah saksi-saksi kalian!’” (Q.S. Al-Baqarah:111) Kata هَاتِي adalah fi’il amr mabni dengan hapus huruf ya, dan ketika dibaca هَاتُوا itu adalah fi’il amr mabni dengan tanda hapus huruf nun. Adapun huruf wawu tersebut adalah fa’il. Adapun kata تَعَالَ  maka huruf terakhirnya berharakat fathah pada semua keadaan tanpa pengecualian. Contohnya adalah تَعَالَ يَا مُحَمَّدَانِ “Kemarilah, wahai Muhammad!” Kata تَعَال tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapus huruf alif. Contoh lainya adalah تَعَالَي يَا رَابِعَةُ “Kemarilah, wahai Rabiah!” تَعَالَيَا يَا مُحَمَّدَانِ “Kemarilah, wahai 2 orang yang bernama Muhammad!” تَعَالَوا يَا مُحَمَّدُونَ “Kemarilah, wahai 3 orang yang bernama Muhammad!” تَعَالَيْنَ يَا هِنْدَاتُ “Kemarilah, wahai 3 orang yang bernama Hindun!” Semua contoh kalimat di atas, maka huruf lam pada kata تَعَالَ berharakat  fathah. Contoh dari firman Allah adalah قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ “Kataknalah, ‘Kemarilah kalian, akan Aku bacakan…’” (Q.S Al-An’am:151) Kata تَعَالَ tersebut fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun karena bersambung dengan wawu jama’. Huruf wawu tersebut berkedudukan sebagai fa’il. Contoh lainya dari firman Allah adalah فَتَعَلَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ “Maka, kemarilah kalian, supaya akan aku berikan talak.” Kata تَعَالَ adalah fi’il amr mabni dengan sukun karena bersambung dengan nun inats. Adapun nun inats tersebut berkedudukan sebagai fa’il. Kembali ke bagian 6: Fi’il Amr Lanjut ke bagian 8: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada
Adapun menurut dialek Hijaz, maka kata هَلُمَّ  dibaca dengan satu cara baca saja dan tidak ada dhamir yang melekat pada kata tersebut. Sehingga cara bacanya adalah هَلُمَّ يَا صَالِح “Kemarilah, wahai Shalih!” هَلُمَّ يَا عَائِشَةُ “Kemarilah, wahai Aisyah!” هَلُمَّ يَا مُحَّدَانِ “Kemarilah, kalian berdua Muhammad!” هَلُمُّ يَا عَلِيُّوْنَ “Kemarilah, kalian wahai Ali (banyak)!” هَلُمُّ يَا هِنْدَاتُ “Kemarilah, kalian Hindun (banyak)!” Dengan dialek penduduk Hijaz tersebutlah Al-Qur’an turun. Allah berfirman, وَالْقَائِلِينَ لِإِخْوَانِهِمْ هَلُمَّ إِلَيْنَا “Orang-orang yang berkata kepada saudara-saudaranya, ‘Marilah kepada kami!’” قُلْ هَلُمَّ شُهَدَآءَكُمُ “Katakanlah (Muhammad), ‘Bawalah saksi-saksimu!‘” Pada kedua potongan firman Allah Ta’ala di atas, yang diajak berbicara adalah orang yang banyak. Akan tetapi, Allah Ta’ala tetap menggunakan lafaz  هَلُمّ. Kata هَلُم tersebut menurut dialek Hijaz adalah bentuk isim fi’il amr. Bukan fi’il amr. Meskipun kata tersebut menunjukkan perintah, akan tetapi tidak bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. Menurut sebagian Ulama Nahwu, kata هَاتِ  dan تَعَالَ termasuk isim fi’il. Pendapat yang kuat adalah kedua kata tersebut termasuk fi’il amr karena menunjukkan perintah dan bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. Contohnya adalah : يَا فَاطِمَةُ هَاتِي المُصْحَفَ “Berikan Al-Qur’an itu kepadaku, wahai Fatimah!” يَا عَائِشَةُ تَعَالَي “Wahai Aisyah, kemarilah!” Adapun kata هَاتِي  selamanya berharakat kasrah. Kecuali untuk jama’ mudzakkar, maka huruf ت pada kata tersebut berharakat dhammah. Contohnya adalah يَا خَالِدُ هَاتِي الكِتَابَ “Wahai Khalid, berikan buku itu!” يَا حَفْصَةُ هَاتِي الكِتَابَ “Wahai Hafshah, berikan buku itu!” يَا مُحَمَّدَانِ َأَوْ يَا هِنْدَانِ هَاتِيَا الكِتَابَ “Wahai 2 orang yang bernama Muhammad dan 2 orang yang bernama Hindun, berikan buku itu!” يَا هِنْدَاتِ هَاتِيَيْنَ الكِتَابَ “Wahai 3 orang yang bernama Hindun, berikan buku itu!” Semua contoh kalimat di atas, maka huruf ت pada kata  هَاتِي semuanya berharakat kasrah. Kecuali ketika berbentuk jama’ mudzakkar salim. Berikut contohnya يَا مُحَمَّدُوْنَ هَاتُوا كُتُبُكُمْ “Wahai 3 orang yang bernama Muhammad, berikan buku itu!” Contoh dari firman Allah Ta’ala adalah قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ “Katakanlah (Muhammad), ‘Datangkanlah saksi-saksi kalian!’” (Q.S. Al-Baqarah:111) Kata هَاتِي adalah fi’il amr mabni dengan hapus huruf ya, dan ketika dibaca هَاتُوا itu adalah fi’il amr mabni dengan tanda hapus huruf nun. Adapun huruf wawu tersebut adalah fa’il. Adapun kata تَعَالَ  maka huruf terakhirnya berharakat fathah pada semua keadaan tanpa pengecualian. Contohnya adalah تَعَالَ يَا مُحَمَّدَانِ “Kemarilah, wahai Muhammad!” Kata تَعَال tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapus huruf alif. Contoh lainya adalah تَعَالَي يَا رَابِعَةُ “Kemarilah, wahai Rabiah!” تَعَالَيَا يَا مُحَمَّدَانِ “Kemarilah, wahai 2 orang yang bernama Muhammad!” تَعَالَوا يَا مُحَمَّدُونَ “Kemarilah, wahai 3 orang yang bernama Muhammad!” تَعَالَيْنَ يَا هِنْدَاتُ “Kemarilah, wahai 3 orang yang bernama Hindun!” Semua contoh kalimat di atas, maka huruf lam pada kata تَعَالَ berharakat  fathah. Contoh dari firman Allah adalah قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ “Kataknalah, ‘Kemarilah kalian, akan Aku bacakan…’” (Q.S Al-An’am:151) Kata تَعَالَ tersebut fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun karena bersambung dengan wawu jama’. Huruf wawu tersebut berkedudukan sebagai fa’il. Contoh lainya dari firman Allah adalah فَتَعَلَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ “Maka, kemarilah kalian, supaya akan aku berikan talak.” Kata تَعَالَ adalah fi’il amr mabni dengan sukun karena bersambung dengan nun inats. Adapun nun inats tersebut berkedudukan sebagai fa’il. Kembali ke bagian 6: Fi’il Amr Lanjut ke bagian 8: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada


Adapun menurut dialek Hijaz, maka kata هَلُمَّ  dibaca dengan satu cara baca saja dan tidak ada dhamir yang melekat pada kata tersebut. Sehingga cara bacanya adalah هَلُمَّ يَا صَالِح “Kemarilah, wahai Shalih!” هَلُمَّ يَا عَائِشَةُ “Kemarilah, wahai Aisyah!” هَلُمَّ يَا مُحَّدَانِ “Kemarilah, kalian berdua Muhammad!” هَلُمُّ يَا عَلِيُّوْنَ “Kemarilah, kalian wahai Ali (banyak)!” هَلُمُّ يَا هِنْدَاتُ “Kemarilah, kalian Hindun (banyak)!” Dengan dialek penduduk Hijaz tersebutlah Al-Qur’an turun. Allah berfirman, وَالْقَائِلِينَ لِإِخْوَانِهِمْ هَلُمَّ إِلَيْنَا “Orang-orang yang berkata kepada saudara-saudaranya, ‘Marilah kepada kami!’” قُلْ هَلُمَّ شُهَدَآءَكُمُ “Katakanlah (Muhammad), ‘Bawalah saksi-saksimu!‘” Pada kedua potongan firman Allah Ta’ala di atas, yang diajak berbicara adalah orang yang banyak. Akan tetapi, Allah Ta’ala tetap menggunakan lafaz  هَلُمّ. Kata هَلُم tersebut menurut dialek Hijaz adalah bentuk isim fi’il amr. Bukan fi’il amr. Meskipun kata tersebut menunjukkan perintah, akan tetapi tidak bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. Menurut sebagian Ulama Nahwu, kata هَاتِ  dan تَعَالَ termasuk isim fi’il. Pendapat yang kuat adalah kedua kata tersebut termasuk fi’il amr karena menunjukkan perintah dan bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. Contohnya adalah : يَا فَاطِمَةُ هَاتِي المُصْحَفَ “Berikan Al-Qur’an itu kepadaku, wahai Fatimah!” يَا عَائِشَةُ تَعَالَي “Wahai Aisyah, kemarilah!” Adapun kata هَاتِي  selamanya berharakat kasrah. Kecuali untuk jama’ mudzakkar, maka huruf ت pada kata tersebut berharakat dhammah. Contohnya adalah يَا خَالِدُ هَاتِي الكِتَابَ “Wahai Khalid, berikan buku itu!” يَا حَفْصَةُ هَاتِي الكِتَابَ “Wahai Hafshah, berikan buku itu!” يَا مُحَمَّدَانِ َأَوْ يَا هِنْدَانِ هَاتِيَا الكِتَابَ “Wahai 2 orang yang bernama Muhammad dan 2 orang yang bernama Hindun, berikan buku itu!” يَا هِنْدَاتِ هَاتِيَيْنَ الكِتَابَ “Wahai 3 orang yang bernama Hindun, berikan buku itu!” Semua contoh kalimat di atas, maka huruf ت pada kata  هَاتِي semuanya berharakat kasrah. Kecuali ketika berbentuk jama’ mudzakkar salim. Berikut contohnya يَا مُحَمَّدُوْنَ هَاتُوا كُتُبُكُمْ “Wahai 3 orang yang bernama Muhammad, berikan buku itu!” Contoh dari firman Allah Ta’ala adalah قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ “Katakanlah (Muhammad), ‘Datangkanlah saksi-saksi kalian!’” (Q.S. Al-Baqarah:111) Kata هَاتِي adalah fi’il amr mabni dengan hapus huruf ya, dan ketika dibaca هَاتُوا itu adalah fi’il amr mabni dengan tanda hapus huruf nun. Adapun huruf wawu tersebut adalah fa’il. Adapun kata تَعَالَ  maka huruf terakhirnya berharakat fathah pada semua keadaan tanpa pengecualian. Contohnya adalah تَعَالَ يَا مُحَمَّدَانِ “Kemarilah, wahai Muhammad!” Kata تَعَال tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapus huruf alif. Contoh lainya adalah تَعَالَي يَا رَابِعَةُ “Kemarilah, wahai Rabiah!” تَعَالَيَا يَا مُحَمَّدَانِ “Kemarilah, wahai 2 orang yang bernama Muhammad!” تَعَالَوا يَا مُحَمَّدُونَ “Kemarilah, wahai 3 orang yang bernama Muhammad!” تَعَالَيْنَ يَا هِنْدَاتُ “Kemarilah, wahai 3 orang yang bernama Hindun!” Semua contoh kalimat di atas, maka huruf lam pada kata تَعَالَ berharakat  fathah. Contoh dari firman Allah adalah قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ “Kataknalah, ‘Kemarilah kalian, akan Aku bacakan…’” (Q.S Al-An’am:151) Kata تَعَالَ tersebut fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun karena bersambung dengan wawu jama’. Huruf wawu tersebut berkedudukan sebagai fa’il. Contoh lainya dari firman Allah adalah فَتَعَلَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ “Maka, kemarilah kalian, supaya akan aku berikan talak.” Kata تَعَالَ adalah fi’il amr mabni dengan sukun karena bersambung dengan nun inats. Adapun nun inats tersebut berkedudukan sebagai fa’il. Kembali ke bagian 6: Fi’il Amr Lanjut ke bagian 8: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada
Prev     Next