Besarnya Kasih Sayang Allah (Bag. 3): Pintu Tobat Allah Tidak Pernah Tertutup

Setiap muslim dan muslimah yang hidup di dunia pasti pernah melakukan kesalahan dan dosa. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التوَّابوْنَ. “Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertobat.“ [1] Wahai saudaraku, segeralah bertobat! Sebesar apa pun dosa yang mungkin pernah dilakukan segeralah untuk bertobat. Sesungguhnya kita memiliki Rabb yang Maha Pengampun dan Maha Menerima tobat. Bahkan, salah satu bentuk kasih sayang Allah ‘Azza Wajalla adalah pintu tobatnya selalu terbuka siang dan malam untuk hamba-Nya yang ingin bertobat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ يبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيتوْبَ مُسِيئُ النهَارِ وَيبْسُطُ يَدَهُ بِالنهَارِ لِيتوْبَ مُسِيئُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا. “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu membuka tangan-Nya di waktu malam untuk menerima tobat orang yang melakukan kesalahan di siang hari, dan Allah membuka tangan-Nya pada siang hari untuk menerima tobat orang yang melakukan kesalahan di malam hari. Begitulah, hingga matahari terbit dari barat.“ [2] Dalam hadis qudsi, Allah Subhahanu wa Ta’ala berfirman, يا عبادي! إنَّكم تُخطئون بالليل والنهار، وأنا أغفرُ الذنوبَ جميعاً، فاستغفروني أغفرْ لكم “Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya kalian berdosa siang dan malam, dan Aku Maha Mengampuni dosa, maka mintalah ampunan kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni kalian.” [3] Saudaraku, Allah ‘Azza Wajalla memberikan kesempatan yang sama kepada setiap hamba-Nya yang telah terjerumus ke dalam kubangan dosa dan maksiat. Allah membuka pintu tobat-Nya sampai nyawa belum melewati kerongkongan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ يقْبَلُ توْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يغَرْغِرْ. “Sesungguhnya Allah menerima tobat seorang hamba, selama (roh) belum sampai di tenggorokan.“ [4] Saudaraku, bahkan pintu tobat akan selalu terbuka sebelum datangnya hari kiamat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَابَ قبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ. “Barangsiapa tobat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima tobatnya.“ [5] Hadis-hadis di atas menunjukkan betapa besarnya kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya yang terjerumus ke dalam maksiat, melalui pintu tobat. Jangan pernah kita beranggapan bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa-dosa kita. Sebesar apa pun dosa kita, Allah akan mengampuni selama kita bertobat kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّـهِ  إِنَّ اللَّـهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” [6] Syekh As-Sa’di menjelaskan ayat ini di dalam tafsirnya [7], “Allah mengabarkan kepada hamba-hamba-Nya yang melampaui batas akan keluasan kebaikan-Nya, dan mengimbau mereka untuk ber-inabah (kembali) kepada-Nya sebelum hal itu menjadi tidak mungkin mereka lakukan, seraya berfirman, “Katakanlah” wahai Rasul, dan wahai orang-orang yang menggantikan posisi beliau, yaitu para da’i yang menyerukan kepada agama Allah seraya menyampaikan berita kepada hamba-hamba-Nya dari Rabb mereka, “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri,” dengan menuruti apa saja yang diinginkan oleh hawa nafsunya, yaitu dosa-dosa dan perbuatan yang dapat mengundang murka Allah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib, “Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.” Maksudnya, janganlah berputus harap darinya (rahmat dan ampunan Allah, pent.), lalu kalian menceburkan diri kalian ke dalam kebinasaan dan kalian mengatakan, “Dosa-dosaku sudah terlanjur sangat banyak dan keburukan-keburukan sudah menggunung, maka sudah tidak ada lagi jalan untuk bisa menghilangkannya dan tidak ada cara untuk menjauhkannya.” Lalu, kalian tetap, disebabkan yang demikian itu, terus melakukan kemaksiatan, memperbekali diri dengan apa yang dapat menyebabkan Allah Yang Maha Pengasih murka terhadap kalian! Akan tetapi, kenalilah Tuhan kalian melalui nama-nama-Nya yang menunjukkan pada kemurahan dan kedermawanan-Nya, dan ketahuilah bahwasanya Dia mengampuni semua dosa, seperti dosa syirik, pembunuhan, zina, riba, kezaliman, dan lain sebagainya dari dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil. “Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” yakni, sifat-Nya yang memberikan ampunan dan rahmat adalah dua sifat yang lazim bagi-Nya, yang Zat-Nya tidak pernah lepas dari keduanya. Dan pengaruh kedua sifat ini terus berlangsung di alam ini bahkan memenuhi jagat raya ini, kedua tangan-Nya mencurahkan berbagai kebaikan sepanjang malam dan siang, dan Dia melimpahkan berbagai nikmat kepada hamba-hamba-Nya dan berbagai keutamaan-keutamaan secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan dan memberi, lebih disukai-Nya daripada menahan, dan rahmat (kasih sayang)-Nya mendahului dan mengalahkan sifat murka-Nya. Wahai saudaraku, jangan pernah merasa Allah tidak akan menerima tobatku atau merasa dosanya sudah terlampau besar sehingga merasa mustahil akan diampuni atau merasa pesimis apakah diri ini masih pantas untuk kembali kepada Allah. Allah memberikan kabar gembira kepada hamba-Nya yang mau bertobat dan memperbaiki dirinya bahwa tobatnya akan diterima. Allah berfirman, وَالَّذِينَ إِذَا فعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فعَلُوا وَهُمْ يعْلَمُونَ “Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa, selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui.“ [8] Allah juga berfirman, وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً ثُمَّ اهْتَدَى “Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman, dan beramal saleh (berbuat kebaikan), kemudian tetap dalam petunjuk.” [9] Allah ‘Azza Wajalla juga berfirman, وَمَن تَابَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَإِنَّهُ يتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَاباً “Dan orang-orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya.” [10] Saudaraku, tidak ada penghalang sedikit pun antara kita dan Allah untuk bertobat. Sesungguhnya Allah ‘Azza Wajalla adalah Zat yang Maha Penyayang dan Maha Menerima tobat. Allah akan mengampuni semua dosa kita selama kita jujur dengan tobat kita. Jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah yang begitu besar. Semoga Allah menjadikan kita menjadi hamba yang gemar bertobat dan menerima tobat kita. Kembali ke bagian 2 *** Diselesaikan di Jember, 18 Jumadilakhir 1446 H. Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Hadis hasan riwayat Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Hakim. [2] HR. Muslim no. 2759. [3] HR. Muslim. [4] HR. Tirmidzi, Al Hakim, dan Ibnu Majah. [5] HR. Muslim. [6] QS. Az-Zumar: 53. [7] Taisir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan, hal. 859. [8] QS. Ali Imran: 135. [9] QS. Thaha: 82. [10] QS. Al-Furqan: 71.

Besarnya Kasih Sayang Allah (Bag. 3): Pintu Tobat Allah Tidak Pernah Tertutup

Setiap muslim dan muslimah yang hidup di dunia pasti pernah melakukan kesalahan dan dosa. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التوَّابوْنَ. “Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertobat.“ [1] Wahai saudaraku, segeralah bertobat! Sebesar apa pun dosa yang mungkin pernah dilakukan segeralah untuk bertobat. Sesungguhnya kita memiliki Rabb yang Maha Pengampun dan Maha Menerima tobat. Bahkan, salah satu bentuk kasih sayang Allah ‘Azza Wajalla adalah pintu tobatnya selalu terbuka siang dan malam untuk hamba-Nya yang ingin bertobat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ يبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيتوْبَ مُسِيئُ النهَارِ وَيبْسُطُ يَدَهُ بِالنهَارِ لِيتوْبَ مُسِيئُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا. “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu membuka tangan-Nya di waktu malam untuk menerima tobat orang yang melakukan kesalahan di siang hari, dan Allah membuka tangan-Nya pada siang hari untuk menerima tobat orang yang melakukan kesalahan di malam hari. Begitulah, hingga matahari terbit dari barat.“ [2] Dalam hadis qudsi, Allah Subhahanu wa Ta’ala berfirman, يا عبادي! إنَّكم تُخطئون بالليل والنهار، وأنا أغفرُ الذنوبَ جميعاً، فاستغفروني أغفرْ لكم “Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya kalian berdosa siang dan malam, dan Aku Maha Mengampuni dosa, maka mintalah ampunan kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni kalian.” [3] Saudaraku, Allah ‘Azza Wajalla memberikan kesempatan yang sama kepada setiap hamba-Nya yang telah terjerumus ke dalam kubangan dosa dan maksiat. Allah membuka pintu tobat-Nya sampai nyawa belum melewati kerongkongan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ يقْبَلُ توْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يغَرْغِرْ. “Sesungguhnya Allah menerima tobat seorang hamba, selama (roh) belum sampai di tenggorokan.“ [4] Saudaraku, bahkan pintu tobat akan selalu terbuka sebelum datangnya hari kiamat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَابَ قبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ. “Barangsiapa tobat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima tobatnya.“ [5] Hadis-hadis di atas menunjukkan betapa besarnya kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya yang terjerumus ke dalam maksiat, melalui pintu tobat. Jangan pernah kita beranggapan bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa-dosa kita. Sebesar apa pun dosa kita, Allah akan mengampuni selama kita bertobat kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّـهِ  إِنَّ اللَّـهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” [6] Syekh As-Sa’di menjelaskan ayat ini di dalam tafsirnya [7], “Allah mengabarkan kepada hamba-hamba-Nya yang melampaui batas akan keluasan kebaikan-Nya, dan mengimbau mereka untuk ber-inabah (kembali) kepada-Nya sebelum hal itu menjadi tidak mungkin mereka lakukan, seraya berfirman, “Katakanlah” wahai Rasul, dan wahai orang-orang yang menggantikan posisi beliau, yaitu para da’i yang menyerukan kepada agama Allah seraya menyampaikan berita kepada hamba-hamba-Nya dari Rabb mereka, “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri,” dengan menuruti apa saja yang diinginkan oleh hawa nafsunya, yaitu dosa-dosa dan perbuatan yang dapat mengundang murka Allah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib, “Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.” Maksudnya, janganlah berputus harap darinya (rahmat dan ampunan Allah, pent.), lalu kalian menceburkan diri kalian ke dalam kebinasaan dan kalian mengatakan, “Dosa-dosaku sudah terlanjur sangat banyak dan keburukan-keburukan sudah menggunung, maka sudah tidak ada lagi jalan untuk bisa menghilangkannya dan tidak ada cara untuk menjauhkannya.” Lalu, kalian tetap, disebabkan yang demikian itu, terus melakukan kemaksiatan, memperbekali diri dengan apa yang dapat menyebabkan Allah Yang Maha Pengasih murka terhadap kalian! Akan tetapi, kenalilah Tuhan kalian melalui nama-nama-Nya yang menunjukkan pada kemurahan dan kedermawanan-Nya, dan ketahuilah bahwasanya Dia mengampuni semua dosa, seperti dosa syirik, pembunuhan, zina, riba, kezaliman, dan lain sebagainya dari dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil. “Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” yakni, sifat-Nya yang memberikan ampunan dan rahmat adalah dua sifat yang lazim bagi-Nya, yang Zat-Nya tidak pernah lepas dari keduanya. Dan pengaruh kedua sifat ini terus berlangsung di alam ini bahkan memenuhi jagat raya ini, kedua tangan-Nya mencurahkan berbagai kebaikan sepanjang malam dan siang, dan Dia melimpahkan berbagai nikmat kepada hamba-hamba-Nya dan berbagai keutamaan-keutamaan secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan dan memberi, lebih disukai-Nya daripada menahan, dan rahmat (kasih sayang)-Nya mendahului dan mengalahkan sifat murka-Nya. Wahai saudaraku, jangan pernah merasa Allah tidak akan menerima tobatku atau merasa dosanya sudah terlampau besar sehingga merasa mustahil akan diampuni atau merasa pesimis apakah diri ini masih pantas untuk kembali kepada Allah. Allah memberikan kabar gembira kepada hamba-Nya yang mau bertobat dan memperbaiki dirinya bahwa tobatnya akan diterima. Allah berfirman, وَالَّذِينَ إِذَا فعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فعَلُوا وَهُمْ يعْلَمُونَ “Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa, selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui.“ [8] Allah juga berfirman, وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً ثُمَّ اهْتَدَى “Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman, dan beramal saleh (berbuat kebaikan), kemudian tetap dalam petunjuk.” [9] Allah ‘Azza Wajalla juga berfirman, وَمَن تَابَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَإِنَّهُ يتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَاباً “Dan orang-orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya.” [10] Saudaraku, tidak ada penghalang sedikit pun antara kita dan Allah untuk bertobat. Sesungguhnya Allah ‘Azza Wajalla adalah Zat yang Maha Penyayang dan Maha Menerima tobat. Allah akan mengampuni semua dosa kita selama kita jujur dengan tobat kita. Jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah yang begitu besar. Semoga Allah menjadikan kita menjadi hamba yang gemar bertobat dan menerima tobat kita. Kembali ke bagian 2 *** Diselesaikan di Jember, 18 Jumadilakhir 1446 H. Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Hadis hasan riwayat Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Hakim. [2] HR. Muslim no. 2759. [3] HR. Muslim. [4] HR. Tirmidzi, Al Hakim, dan Ibnu Majah. [5] HR. Muslim. [6] QS. Az-Zumar: 53. [7] Taisir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan, hal. 859. [8] QS. Ali Imran: 135. [9] QS. Thaha: 82. [10] QS. Al-Furqan: 71.
Setiap muslim dan muslimah yang hidup di dunia pasti pernah melakukan kesalahan dan dosa. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التوَّابوْنَ. “Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertobat.“ [1] Wahai saudaraku, segeralah bertobat! Sebesar apa pun dosa yang mungkin pernah dilakukan segeralah untuk bertobat. Sesungguhnya kita memiliki Rabb yang Maha Pengampun dan Maha Menerima tobat. Bahkan, salah satu bentuk kasih sayang Allah ‘Azza Wajalla adalah pintu tobatnya selalu terbuka siang dan malam untuk hamba-Nya yang ingin bertobat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ يبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيتوْبَ مُسِيئُ النهَارِ وَيبْسُطُ يَدَهُ بِالنهَارِ لِيتوْبَ مُسِيئُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا. “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu membuka tangan-Nya di waktu malam untuk menerima tobat orang yang melakukan kesalahan di siang hari, dan Allah membuka tangan-Nya pada siang hari untuk menerima tobat orang yang melakukan kesalahan di malam hari. Begitulah, hingga matahari terbit dari barat.“ [2] Dalam hadis qudsi, Allah Subhahanu wa Ta’ala berfirman, يا عبادي! إنَّكم تُخطئون بالليل والنهار، وأنا أغفرُ الذنوبَ جميعاً، فاستغفروني أغفرْ لكم “Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya kalian berdosa siang dan malam, dan Aku Maha Mengampuni dosa, maka mintalah ampunan kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni kalian.” [3] Saudaraku, Allah ‘Azza Wajalla memberikan kesempatan yang sama kepada setiap hamba-Nya yang telah terjerumus ke dalam kubangan dosa dan maksiat. Allah membuka pintu tobat-Nya sampai nyawa belum melewati kerongkongan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ يقْبَلُ توْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يغَرْغِرْ. “Sesungguhnya Allah menerima tobat seorang hamba, selama (roh) belum sampai di tenggorokan.“ [4] Saudaraku, bahkan pintu tobat akan selalu terbuka sebelum datangnya hari kiamat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَابَ قبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ. “Barangsiapa tobat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima tobatnya.“ [5] Hadis-hadis di atas menunjukkan betapa besarnya kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya yang terjerumus ke dalam maksiat, melalui pintu tobat. Jangan pernah kita beranggapan bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa-dosa kita. Sebesar apa pun dosa kita, Allah akan mengampuni selama kita bertobat kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّـهِ  إِنَّ اللَّـهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” [6] Syekh As-Sa’di menjelaskan ayat ini di dalam tafsirnya [7], “Allah mengabarkan kepada hamba-hamba-Nya yang melampaui batas akan keluasan kebaikan-Nya, dan mengimbau mereka untuk ber-inabah (kembali) kepada-Nya sebelum hal itu menjadi tidak mungkin mereka lakukan, seraya berfirman, “Katakanlah” wahai Rasul, dan wahai orang-orang yang menggantikan posisi beliau, yaitu para da’i yang menyerukan kepada agama Allah seraya menyampaikan berita kepada hamba-hamba-Nya dari Rabb mereka, “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri,” dengan menuruti apa saja yang diinginkan oleh hawa nafsunya, yaitu dosa-dosa dan perbuatan yang dapat mengundang murka Allah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib, “Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.” Maksudnya, janganlah berputus harap darinya (rahmat dan ampunan Allah, pent.), lalu kalian menceburkan diri kalian ke dalam kebinasaan dan kalian mengatakan, “Dosa-dosaku sudah terlanjur sangat banyak dan keburukan-keburukan sudah menggunung, maka sudah tidak ada lagi jalan untuk bisa menghilangkannya dan tidak ada cara untuk menjauhkannya.” Lalu, kalian tetap, disebabkan yang demikian itu, terus melakukan kemaksiatan, memperbekali diri dengan apa yang dapat menyebabkan Allah Yang Maha Pengasih murka terhadap kalian! Akan tetapi, kenalilah Tuhan kalian melalui nama-nama-Nya yang menunjukkan pada kemurahan dan kedermawanan-Nya, dan ketahuilah bahwasanya Dia mengampuni semua dosa, seperti dosa syirik, pembunuhan, zina, riba, kezaliman, dan lain sebagainya dari dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil. “Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” yakni, sifat-Nya yang memberikan ampunan dan rahmat adalah dua sifat yang lazim bagi-Nya, yang Zat-Nya tidak pernah lepas dari keduanya. Dan pengaruh kedua sifat ini terus berlangsung di alam ini bahkan memenuhi jagat raya ini, kedua tangan-Nya mencurahkan berbagai kebaikan sepanjang malam dan siang, dan Dia melimpahkan berbagai nikmat kepada hamba-hamba-Nya dan berbagai keutamaan-keutamaan secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan dan memberi, lebih disukai-Nya daripada menahan, dan rahmat (kasih sayang)-Nya mendahului dan mengalahkan sifat murka-Nya. Wahai saudaraku, jangan pernah merasa Allah tidak akan menerima tobatku atau merasa dosanya sudah terlampau besar sehingga merasa mustahil akan diampuni atau merasa pesimis apakah diri ini masih pantas untuk kembali kepada Allah. Allah memberikan kabar gembira kepada hamba-Nya yang mau bertobat dan memperbaiki dirinya bahwa tobatnya akan diterima. Allah berfirman, وَالَّذِينَ إِذَا فعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فعَلُوا وَهُمْ يعْلَمُونَ “Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa, selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui.“ [8] Allah juga berfirman, وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً ثُمَّ اهْتَدَى “Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman, dan beramal saleh (berbuat kebaikan), kemudian tetap dalam petunjuk.” [9] Allah ‘Azza Wajalla juga berfirman, وَمَن تَابَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَإِنَّهُ يتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَاباً “Dan orang-orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya.” [10] Saudaraku, tidak ada penghalang sedikit pun antara kita dan Allah untuk bertobat. Sesungguhnya Allah ‘Azza Wajalla adalah Zat yang Maha Penyayang dan Maha Menerima tobat. Allah akan mengampuni semua dosa kita selama kita jujur dengan tobat kita. Jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah yang begitu besar. Semoga Allah menjadikan kita menjadi hamba yang gemar bertobat dan menerima tobat kita. Kembali ke bagian 2 *** Diselesaikan di Jember, 18 Jumadilakhir 1446 H. Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Hadis hasan riwayat Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Hakim. [2] HR. Muslim no. 2759. [3] HR. Muslim. [4] HR. Tirmidzi, Al Hakim, dan Ibnu Majah. [5] HR. Muslim. [6] QS. Az-Zumar: 53. [7] Taisir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan, hal. 859. [8] QS. Ali Imran: 135. [9] QS. Thaha: 82. [10] QS. Al-Furqan: 71.


Setiap muslim dan muslimah yang hidup di dunia pasti pernah melakukan kesalahan dan dosa. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التوَّابوْنَ. “Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertobat.“ [1] Wahai saudaraku, segeralah bertobat! Sebesar apa pun dosa yang mungkin pernah dilakukan segeralah untuk bertobat. Sesungguhnya kita memiliki Rabb yang Maha Pengampun dan Maha Menerima tobat. Bahkan, salah satu bentuk kasih sayang Allah ‘Azza Wajalla adalah pintu tobatnya selalu terbuka siang dan malam untuk hamba-Nya yang ingin bertobat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ يبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيتوْبَ مُسِيئُ النهَارِ وَيبْسُطُ يَدَهُ بِالنهَارِ لِيتوْبَ مُسِيئُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا. “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu membuka tangan-Nya di waktu malam untuk menerima tobat orang yang melakukan kesalahan di siang hari, dan Allah membuka tangan-Nya pada siang hari untuk menerima tobat orang yang melakukan kesalahan di malam hari. Begitulah, hingga matahari terbit dari barat.“ [2] Dalam hadis qudsi, Allah Subhahanu wa Ta’ala berfirman, يا عبادي! إنَّكم تُخطئون بالليل والنهار، وأنا أغفرُ الذنوبَ جميعاً، فاستغفروني أغفرْ لكم “Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya kalian berdosa siang dan malam, dan Aku Maha Mengampuni dosa, maka mintalah ampunan kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni kalian.” [3] Saudaraku, Allah ‘Azza Wajalla memberikan kesempatan yang sama kepada setiap hamba-Nya yang telah terjerumus ke dalam kubangan dosa dan maksiat. Allah membuka pintu tobat-Nya sampai nyawa belum melewati kerongkongan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ يقْبَلُ توْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يغَرْغِرْ. “Sesungguhnya Allah menerima tobat seorang hamba, selama (roh) belum sampai di tenggorokan.“ [4] Saudaraku, bahkan pintu tobat akan selalu terbuka sebelum datangnya hari kiamat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَابَ قبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ. “Barangsiapa tobat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima tobatnya.“ [5] Hadis-hadis di atas menunjukkan betapa besarnya kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya yang terjerumus ke dalam maksiat, melalui pintu tobat. Jangan pernah kita beranggapan bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa-dosa kita. Sebesar apa pun dosa kita, Allah akan mengampuni selama kita bertobat kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّـهِ  إِنَّ اللَّـهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” [6] Syekh As-Sa’di menjelaskan ayat ini di dalam tafsirnya [7], “Allah mengabarkan kepada hamba-hamba-Nya yang melampaui batas akan keluasan kebaikan-Nya, dan mengimbau mereka untuk ber-inabah (kembali) kepada-Nya sebelum hal itu menjadi tidak mungkin mereka lakukan, seraya berfirman, “Katakanlah” wahai Rasul, dan wahai orang-orang yang menggantikan posisi beliau, yaitu para da’i yang menyerukan kepada agama Allah seraya menyampaikan berita kepada hamba-hamba-Nya dari Rabb mereka, “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri,” dengan menuruti apa saja yang diinginkan oleh hawa nafsunya, yaitu dosa-dosa dan perbuatan yang dapat mengundang murka Allah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib, “Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.” Maksudnya, janganlah berputus harap darinya (rahmat dan ampunan Allah, pent.), lalu kalian menceburkan diri kalian ke dalam kebinasaan dan kalian mengatakan, “Dosa-dosaku sudah terlanjur sangat banyak dan keburukan-keburukan sudah menggunung, maka sudah tidak ada lagi jalan untuk bisa menghilangkannya dan tidak ada cara untuk menjauhkannya.” Lalu, kalian tetap, disebabkan yang demikian itu, terus melakukan kemaksiatan, memperbekali diri dengan apa yang dapat menyebabkan Allah Yang Maha Pengasih murka terhadap kalian! Akan tetapi, kenalilah Tuhan kalian melalui nama-nama-Nya yang menunjukkan pada kemurahan dan kedermawanan-Nya, dan ketahuilah bahwasanya Dia mengampuni semua dosa, seperti dosa syirik, pembunuhan, zina, riba, kezaliman, dan lain sebagainya dari dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil. “Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” yakni, sifat-Nya yang memberikan ampunan dan rahmat adalah dua sifat yang lazim bagi-Nya, yang Zat-Nya tidak pernah lepas dari keduanya. Dan pengaruh kedua sifat ini terus berlangsung di alam ini bahkan memenuhi jagat raya ini, kedua tangan-Nya mencurahkan berbagai kebaikan sepanjang malam dan siang, dan Dia melimpahkan berbagai nikmat kepada hamba-hamba-Nya dan berbagai keutamaan-keutamaan secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan dan memberi, lebih disukai-Nya daripada menahan, dan rahmat (kasih sayang)-Nya mendahului dan mengalahkan sifat murka-Nya. Wahai saudaraku, jangan pernah merasa Allah tidak akan menerima tobatku atau merasa dosanya sudah terlampau besar sehingga merasa mustahil akan diampuni atau merasa pesimis apakah diri ini masih pantas untuk kembali kepada Allah. Allah memberikan kabar gembira kepada hamba-Nya yang mau bertobat dan memperbaiki dirinya bahwa tobatnya akan diterima. Allah berfirman, وَالَّذِينَ إِذَا فعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فعَلُوا وَهُمْ يعْلَمُونَ “Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa, selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui.“ [8] Allah juga berfirman, وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً ثُمَّ اهْتَدَى “Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman, dan beramal saleh (berbuat kebaikan), kemudian tetap dalam petunjuk.” [9] Allah ‘Azza Wajalla juga berfirman, وَمَن تَابَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَإِنَّهُ يتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَاباً “Dan orang-orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya.” [10] Saudaraku, tidak ada penghalang sedikit pun antara kita dan Allah untuk bertobat. Sesungguhnya Allah ‘Azza Wajalla adalah Zat yang Maha Penyayang dan Maha Menerima tobat. Allah akan mengampuni semua dosa kita selama kita jujur dengan tobat kita. Jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah yang begitu besar. Semoga Allah menjadikan kita menjadi hamba yang gemar bertobat dan menerima tobat kita. Kembali ke bagian 2 *** Diselesaikan di Jember, 18 Jumadilakhir 1446 H. Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Hadis hasan riwayat Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Hakim. [2] HR. Muslim no. 2759. [3] HR. Muslim. [4] HR. Tirmidzi, Al Hakim, dan Ibnu Majah. [5] HR. Muslim. [6] QS. Az-Zumar: 53. [7] Taisir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan, hal. 859. [8] QS. Ali Imran: 135. [9] QS. Thaha: 82. [10] QS. Al-Furqan: 71.

Rahasia Doa Nabi Yunus: Kunci Terkabulnya Keinginan – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Doa saudaraku, Dzun Nun…” yakni Nabi Yunus–’alaihimas shalatu wassalam. “Doa saudaraku, Dzun Nun yang ia ucapkan ketika dalam perut ikan paus: LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN(Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau, Maha Suci Engkau. Sungguh aku termasuk orang-orang zalim). Tidaklah ada seorang pun Muslim yang mengucapkan doa ini karena suatu masalah, melainkan Allah akan mengabulkannya.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan sanad yang baik. Doa ini, doa Nabi Yunus ‘alaihis shalatu wassalam, dimulai dengan kalimat tauhid: LAA ILAAHA ILLAA ANTA (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau). Ini adalah kalimat paling agung, yang demi penegakan kalimat ini, Allah menurunkan Kitab-Kitab-Nya dan mengutus para Rasul. Setelah itu, doa itu menyebutkan penyucian bagi Allah ‘Azza wa Jalla:LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau, Maha Suci Engkau). Setelah itu, doa ini dilanjutkan dengan pengakuan seorang hamba atas dosa dan kesalahannya: INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIN (Sungguh aku termasuk orang-orang zalim), yaitu dengan terjerumusnya diriku ke dalam dosa dan maksiat. Ini adalah doa yang agung. Oleh sebab itu, ketika Allah Ta’ala menyebutkan doa ini dari Nabi Yunus, Allah ‘Azza wa Jalla lalu berfirman: “Maka Kami mengabulkan doanya dan menyelamatkannya dari kedukaan…” Lalu Allah Subhanah melanjutkan firman-Nya: “Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. al-Anbiya: 88). Ini berarti, siapa saja yang berdoa dengan doa ini ketika ia mengalami kegalauan, maka Allah Ta’ala akan menyelamatkannya dari kegalauan itu, sebagaimana Dia menyelamatkan Nabi Yunus. Dalam hadits ini, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Doa saudaraku, Yunus, tidaklah seorang Muslim yang mengucapkan doa ini karena suatu masalah melainkan Allah akan mengabulkannya.” Oleh sebab itu, wahai saudara Muslimku, hendaklah ketika kamu berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, hendaknya kamu memulainya dengan doa ini: LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA dst. Kamu jadikan doa ini sebagai pembuka doamu. Karena dianjurkan bagi setiap Muslim, apabila berdoa kepada Allah Ta’ala, agar memulai doanya dengan pujian dan pengagungan kepada Allah, lalu shalawat kepada Rasul-Nya. Kemudian barulah ia berdoa sesuai keinginannya. Maka hendaklah pengagungan dan pujian kepada Allah ‘Azza wa Jalla itu, diiringi juga dengan doa Dzun Nun ini, dengan mengucapkan: LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN, dan mengulanginya berkali-kali. Karena ini dapat menjadi sebab dipenuhinya kebutuhanmu dan dikabulkannya doamu. ==== عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعْوَةُ أَخِي ذِي النُّونِ يَعْنِي يُونُسَ عَلَيْهِمَا الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ دَعْوَةُ أَخِي ذِي النُّونِ إِذْ دَعَا بِهَا وَهُوَ فِي بَطْنِ الْحُوتِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ لَمْ يَدْعُ بِهَا مُسْلِمٌ قَطُّ فِي شَيْءٍ إِلَّا اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ بِسَنَدٍ جَيِّدٍ وَهَذَا الدُّعَاءُ دُعَاءُ يُونُسَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَبْتَدِئُ أَوَّلًا بِكَلِمَةِ التَّوْحِيدِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ وَهِيَ أَعْظَمُ كَلِمَةٍ وَهِيَ الَّتِي لِأَجْلِهَا أَنْزَلَ اللَّهُ الْكُتُبَ وَأَرْسَلَ الرُّسُلَ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ يَأْتِي تَنْزِيْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَتَسْبِيحُهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ ثُمَّ يَأْتِي بَعْدَ ذَلِكَ اِعْتِرَافُ الْعَبْدِ بِالذَّنْبِ وَالْخَطَأِ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ أَيْ بِوُقُوعِي فِي الذَّنْبِ وَالْمَعْصِيَةِ فَهَذَا دُعَاءٌ عَظِيمٌ وَلِهَذَا لَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى هَذَا الدُّعَاءَ عَنْ يُونُسَ قَالَ عَزَّ وَجَلَّ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ ثُمَّ قَالَ سُبْحَانَهُ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِيْنَ يَعْنِي مَنْ دَعَا بِهَذَا الدُّعَاءِ وَوَقَعَ فِي غَمٍّ نَجَّاهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ الْغَمِّ كَمَا نَجَّى يُونُسَ وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ دَعْوَةُ أَخِي ذِي النُّونِ لَمْ يَدْعُ بِهَا مُسْلِمٌ قَطُّ فِي شَيْءٍ إِلَّا اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمُ عِنْدَمَا تَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تَبْدَأَ بِهَذَا الدُّعَاءِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ تَجْعَلُهُ فِي مُقَدِّمَةِ دُعَائِكَ فَإِنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِلْمُسْلِمِ إِذَا دَعَا اللَّهَ تَعَالَى أَنْ يَبْدَأَ بِحَمْدِ اللَّهِ وَتَمْجِيدِهِ ثُمَّ الصَّلَاةِ عَلَى رَسُولِهِ ثُمَّ يَدْعُو فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ مَعَ تَمْجِيْدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ دَعْوَةُ ذِي النُّونِ أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ يُكَرِّرُهَا فَإِنَّ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ قَضَاءِ حَاجَتِكَ وَإِجَابَةِ دُعَائِكَ

Rahasia Doa Nabi Yunus: Kunci Terkabulnya Keinginan – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Doa saudaraku, Dzun Nun…” yakni Nabi Yunus–’alaihimas shalatu wassalam. “Doa saudaraku, Dzun Nun yang ia ucapkan ketika dalam perut ikan paus: LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN(Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau, Maha Suci Engkau. Sungguh aku termasuk orang-orang zalim). Tidaklah ada seorang pun Muslim yang mengucapkan doa ini karena suatu masalah, melainkan Allah akan mengabulkannya.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan sanad yang baik. Doa ini, doa Nabi Yunus ‘alaihis shalatu wassalam, dimulai dengan kalimat tauhid: LAA ILAAHA ILLAA ANTA (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau). Ini adalah kalimat paling agung, yang demi penegakan kalimat ini, Allah menurunkan Kitab-Kitab-Nya dan mengutus para Rasul. Setelah itu, doa itu menyebutkan penyucian bagi Allah ‘Azza wa Jalla:LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau, Maha Suci Engkau). Setelah itu, doa ini dilanjutkan dengan pengakuan seorang hamba atas dosa dan kesalahannya: INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIN (Sungguh aku termasuk orang-orang zalim), yaitu dengan terjerumusnya diriku ke dalam dosa dan maksiat. Ini adalah doa yang agung. Oleh sebab itu, ketika Allah Ta’ala menyebutkan doa ini dari Nabi Yunus, Allah ‘Azza wa Jalla lalu berfirman: “Maka Kami mengabulkan doanya dan menyelamatkannya dari kedukaan…” Lalu Allah Subhanah melanjutkan firman-Nya: “Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. al-Anbiya: 88). Ini berarti, siapa saja yang berdoa dengan doa ini ketika ia mengalami kegalauan, maka Allah Ta’ala akan menyelamatkannya dari kegalauan itu, sebagaimana Dia menyelamatkan Nabi Yunus. Dalam hadits ini, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Doa saudaraku, Yunus, tidaklah seorang Muslim yang mengucapkan doa ini karena suatu masalah melainkan Allah akan mengabulkannya.” Oleh sebab itu, wahai saudara Muslimku, hendaklah ketika kamu berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, hendaknya kamu memulainya dengan doa ini: LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA dst. Kamu jadikan doa ini sebagai pembuka doamu. Karena dianjurkan bagi setiap Muslim, apabila berdoa kepada Allah Ta’ala, agar memulai doanya dengan pujian dan pengagungan kepada Allah, lalu shalawat kepada Rasul-Nya. Kemudian barulah ia berdoa sesuai keinginannya. Maka hendaklah pengagungan dan pujian kepada Allah ‘Azza wa Jalla itu, diiringi juga dengan doa Dzun Nun ini, dengan mengucapkan: LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN, dan mengulanginya berkali-kali. Karena ini dapat menjadi sebab dipenuhinya kebutuhanmu dan dikabulkannya doamu. ==== عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعْوَةُ أَخِي ذِي النُّونِ يَعْنِي يُونُسَ عَلَيْهِمَا الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ دَعْوَةُ أَخِي ذِي النُّونِ إِذْ دَعَا بِهَا وَهُوَ فِي بَطْنِ الْحُوتِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ لَمْ يَدْعُ بِهَا مُسْلِمٌ قَطُّ فِي شَيْءٍ إِلَّا اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ بِسَنَدٍ جَيِّدٍ وَهَذَا الدُّعَاءُ دُعَاءُ يُونُسَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَبْتَدِئُ أَوَّلًا بِكَلِمَةِ التَّوْحِيدِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ وَهِيَ أَعْظَمُ كَلِمَةٍ وَهِيَ الَّتِي لِأَجْلِهَا أَنْزَلَ اللَّهُ الْكُتُبَ وَأَرْسَلَ الرُّسُلَ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ يَأْتِي تَنْزِيْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَتَسْبِيحُهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ ثُمَّ يَأْتِي بَعْدَ ذَلِكَ اِعْتِرَافُ الْعَبْدِ بِالذَّنْبِ وَالْخَطَأِ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ أَيْ بِوُقُوعِي فِي الذَّنْبِ وَالْمَعْصِيَةِ فَهَذَا دُعَاءٌ عَظِيمٌ وَلِهَذَا لَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى هَذَا الدُّعَاءَ عَنْ يُونُسَ قَالَ عَزَّ وَجَلَّ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ ثُمَّ قَالَ سُبْحَانَهُ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِيْنَ يَعْنِي مَنْ دَعَا بِهَذَا الدُّعَاءِ وَوَقَعَ فِي غَمٍّ نَجَّاهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ الْغَمِّ كَمَا نَجَّى يُونُسَ وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ دَعْوَةُ أَخِي ذِي النُّونِ لَمْ يَدْعُ بِهَا مُسْلِمٌ قَطُّ فِي شَيْءٍ إِلَّا اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمُ عِنْدَمَا تَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تَبْدَأَ بِهَذَا الدُّعَاءِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ تَجْعَلُهُ فِي مُقَدِّمَةِ دُعَائِكَ فَإِنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِلْمُسْلِمِ إِذَا دَعَا اللَّهَ تَعَالَى أَنْ يَبْدَأَ بِحَمْدِ اللَّهِ وَتَمْجِيدِهِ ثُمَّ الصَّلَاةِ عَلَى رَسُولِهِ ثُمَّ يَدْعُو فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ مَعَ تَمْجِيْدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ دَعْوَةُ ذِي النُّونِ أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ يُكَرِّرُهَا فَإِنَّ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ قَضَاءِ حَاجَتِكَ وَإِجَابَةِ دُعَائِكَ
Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Doa saudaraku, Dzun Nun…” yakni Nabi Yunus–’alaihimas shalatu wassalam. “Doa saudaraku, Dzun Nun yang ia ucapkan ketika dalam perut ikan paus: LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN(Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau, Maha Suci Engkau. Sungguh aku termasuk orang-orang zalim). Tidaklah ada seorang pun Muslim yang mengucapkan doa ini karena suatu masalah, melainkan Allah akan mengabulkannya.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan sanad yang baik. Doa ini, doa Nabi Yunus ‘alaihis shalatu wassalam, dimulai dengan kalimat tauhid: LAA ILAAHA ILLAA ANTA (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau). Ini adalah kalimat paling agung, yang demi penegakan kalimat ini, Allah menurunkan Kitab-Kitab-Nya dan mengutus para Rasul. Setelah itu, doa itu menyebutkan penyucian bagi Allah ‘Azza wa Jalla:LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau, Maha Suci Engkau). Setelah itu, doa ini dilanjutkan dengan pengakuan seorang hamba atas dosa dan kesalahannya: INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIN (Sungguh aku termasuk orang-orang zalim), yaitu dengan terjerumusnya diriku ke dalam dosa dan maksiat. Ini adalah doa yang agung. Oleh sebab itu, ketika Allah Ta’ala menyebutkan doa ini dari Nabi Yunus, Allah ‘Azza wa Jalla lalu berfirman: “Maka Kami mengabulkan doanya dan menyelamatkannya dari kedukaan…” Lalu Allah Subhanah melanjutkan firman-Nya: “Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. al-Anbiya: 88). Ini berarti, siapa saja yang berdoa dengan doa ini ketika ia mengalami kegalauan, maka Allah Ta’ala akan menyelamatkannya dari kegalauan itu, sebagaimana Dia menyelamatkan Nabi Yunus. Dalam hadits ini, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Doa saudaraku, Yunus, tidaklah seorang Muslim yang mengucapkan doa ini karena suatu masalah melainkan Allah akan mengabulkannya.” Oleh sebab itu, wahai saudara Muslimku, hendaklah ketika kamu berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, hendaknya kamu memulainya dengan doa ini: LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA dst. Kamu jadikan doa ini sebagai pembuka doamu. Karena dianjurkan bagi setiap Muslim, apabila berdoa kepada Allah Ta’ala, agar memulai doanya dengan pujian dan pengagungan kepada Allah, lalu shalawat kepada Rasul-Nya. Kemudian barulah ia berdoa sesuai keinginannya. Maka hendaklah pengagungan dan pujian kepada Allah ‘Azza wa Jalla itu, diiringi juga dengan doa Dzun Nun ini, dengan mengucapkan: LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN, dan mengulanginya berkali-kali. Karena ini dapat menjadi sebab dipenuhinya kebutuhanmu dan dikabulkannya doamu. ==== عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعْوَةُ أَخِي ذِي النُّونِ يَعْنِي يُونُسَ عَلَيْهِمَا الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ دَعْوَةُ أَخِي ذِي النُّونِ إِذْ دَعَا بِهَا وَهُوَ فِي بَطْنِ الْحُوتِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ لَمْ يَدْعُ بِهَا مُسْلِمٌ قَطُّ فِي شَيْءٍ إِلَّا اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ بِسَنَدٍ جَيِّدٍ وَهَذَا الدُّعَاءُ دُعَاءُ يُونُسَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَبْتَدِئُ أَوَّلًا بِكَلِمَةِ التَّوْحِيدِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ وَهِيَ أَعْظَمُ كَلِمَةٍ وَهِيَ الَّتِي لِأَجْلِهَا أَنْزَلَ اللَّهُ الْكُتُبَ وَأَرْسَلَ الرُّسُلَ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ يَأْتِي تَنْزِيْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَتَسْبِيحُهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ ثُمَّ يَأْتِي بَعْدَ ذَلِكَ اِعْتِرَافُ الْعَبْدِ بِالذَّنْبِ وَالْخَطَأِ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ أَيْ بِوُقُوعِي فِي الذَّنْبِ وَالْمَعْصِيَةِ فَهَذَا دُعَاءٌ عَظِيمٌ وَلِهَذَا لَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى هَذَا الدُّعَاءَ عَنْ يُونُسَ قَالَ عَزَّ وَجَلَّ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ ثُمَّ قَالَ سُبْحَانَهُ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِيْنَ يَعْنِي مَنْ دَعَا بِهَذَا الدُّعَاءِ وَوَقَعَ فِي غَمٍّ نَجَّاهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ الْغَمِّ كَمَا نَجَّى يُونُسَ وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ دَعْوَةُ أَخِي ذِي النُّونِ لَمْ يَدْعُ بِهَا مُسْلِمٌ قَطُّ فِي شَيْءٍ إِلَّا اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمُ عِنْدَمَا تَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تَبْدَأَ بِهَذَا الدُّعَاءِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ تَجْعَلُهُ فِي مُقَدِّمَةِ دُعَائِكَ فَإِنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِلْمُسْلِمِ إِذَا دَعَا اللَّهَ تَعَالَى أَنْ يَبْدَأَ بِحَمْدِ اللَّهِ وَتَمْجِيدِهِ ثُمَّ الصَّلَاةِ عَلَى رَسُولِهِ ثُمَّ يَدْعُو فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ مَعَ تَمْجِيْدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ دَعْوَةُ ذِي النُّونِ أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ يُكَرِّرُهَا فَإِنَّ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ قَضَاءِ حَاجَتِكَ وَإِجَابَةِ دُعَائِكَ


Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Doa saudaraku, Dzun Nun…” yakni Nabi Yunus–’alaihimas shalatu wassalam. “Doa saudaraku, Dzun Nun yang ia ucapkan ketika dalam perut ikan paus: LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN(Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau, Maha Suci Engkau. Sungguh aku termasuk orang-orang zalim). Tidaklah ada seorang pun Muslim yang mengucapkan doa ini karena suatu masalah, melainkan Allah akan mengabulkannya.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan sanad yang baik. Doa ini, doa Nabi Yunus ‘alaihis shalatu wassalam, dimulai dengan kalimat tauhid: LAA ILAAHA ILLAA ANTA (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau). Ini adalah kalimat paling agung, yang demi penegakan kalimat ini, Allah menurunkan Kitab-Kitab-Nya dan mengutus para Rasul. Setelah itu, doa itu menyebutkan penyucian bagi Allah ‘Azza wa Jalla:LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau, Maha Suci Engkau). Setelah itu, doa ini dilanjutkan dengan pengakuan seorang hamba atas dosa dan kesalahannya: INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIN (Sungguh aku termasuk orang-orang zalim), yaitu dengan terjerumusnya diriku ke dalam dosa dan maksiat. Ini adalah doa yang agung. Oleh sebab itu, ketika Allah Ta’ala menyebutkan doa ini dari Nabi Yunus, Allah ‘Azza wa Jalla lalu berfirman: “Maka Kami mengabulkan doanya dan menyelamatkannya dari kedukaan…” Lalu Allah Subhanah melanjutkan firman-Nya: “Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. al-Anbiya: 88). Ini berarti, siapa saja yang berdoa dengan doa ini ketika ia mengalami kegalauan, maka Allah Ta’ala akan menyelamatkannya dari kegalauan itu, sebagaimana Dia menyelamatkan Nabi Yunus. Dalam hadits ini, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Doa saudaraku, Yunus, tidaklah seorang Muslim yang mengucapkan doa ini karena suatu masalah melainkan Allah akan mengabulkannya.” Oleh sebab itu, wahai saudara Muslimku, hendaklah ketika kamu berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, hendaknya kamu memulainya dengan doa ini: LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA dst. Kamu jadikan doa ini sebagai pembuka doamu. Karena dianjurkan bagi setiap Muslim, apabila berdoa kepada Allah Ta’ala, agar memulai doanya dengan pujian dan pengagungan kepada Allah, lalu shalawat kepada Rasul-Nya. Kemudian barulah ia berdoa sesuai keinginannya. Maka hendaklah pengagungan dan pujian kepada Allah ‘Azza wa Jalla itu, diiringi juga dengan doa Dzun Nun ini, dengan mengucapkan: LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN, dan mengulanginya berkali-kali. Karena ini dapat menjadi sebab dipenuhinya kebutuhanmu dan dikabulkannya doamu. ==== عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعْوَةُ أَخِي ذِي النُّونِ يَعْنِي يُونُسَ عَلَيْهِمَا الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ دَعْوَةُ أَخِي ذِي النُّونِ إِذْ دَعَا بِهَا وَهُوَ فِي بَطْنِ الْحُوتِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ لَمْ يَدْعُ بِهَا مُسْلِمٌ قَطُّ فِي شَيْءٍ إِلَّا اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ بِسَنَدٍ جَيِّدٍ وَهَذَا الدُّعَاءُ دُعَاءُ يُونُسَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَبْتَدِئُ أَوَّلًا بِكَلِمَةِ التَّوْحِيدِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ وَهِيَ أَعْظَمُ كَلِمَةٍ وَهِيَ الَّتِي لِأَجْلِهَا أَنْزَلَ اللَّهُ الْكُتُبَ وَأَرْسَلَ الرُّسُلَ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ يَأْتِي تَنْزِيْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَتَسْبِيحُهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ ثُمَّ يَأْتِي بَعْدَ ذَلِكَ اِعْتِرَافُ الْعَبْدِ بِالذَّنْبِ وَالْخَطَأِ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ أَيْ بِوُقُوعِي فِي الذَّنْبِ وَالْمَعْصِيَةِ فَهَذَا دُعَاءٌ عَظِيمٌ وَلِهَذَا لَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى هَذَا الدُّعَاءَ عَنْ يُونُسَ قَالَ عَزَّ وَجَلَّ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ ثُمَّ قَالَ سُبْحَانَهُ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِيْنَ يَعْنِي مَنْ دَعَا بِهَذَا الدُّعَاءِ وَوَقَعَ فِي غَمٍّ نَجَّاهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ الْغَمِّ كَمَا نَجَّى يُونُسَ وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ دَعْوَةُ أَخِي ذِي النُّونِ لَمْ يَدْعُ بِهَا مُسْلِمٌ قَطُّ فِي شَيْءٍ إِلَّا اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمُ عِنْدَمَا تَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تَبْدَأَ بِهَذَا الدُّعَاءِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ تَجْعَلُهُ فِي مُقَدِّمَةِ دُعَائِكَ فَإِنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِلْمُسْلِمِ إِذَا دَعَا اللَّهَ تَعَالَى أَنْ يَبْدَأَ بِحَمْدِ اللَّهِ وَتَمْجِيدِهِ ثُمَّ الصَّلَاةِ عَلَى رَسُولِهِ ثُمَّ يَدْعُو فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ مَعَ تَمْجِيْدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ دَعْوَةُ ذِي النُّونِ أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ يُكَرِّرُهَا فَإِنَّ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ قَضَاءِ حَاجَتِكَ وَإِجَابَةِ دُعَائِكَ

Tuntunan Islam Ketika Terjadi Konflik Rumah Tangga

Daftar Isi Toggle Pertama: Introspeksi diri, beristigfar, dan bertobat kepada AllahKedua: Bertakwa kepada Allah dan istikamah dalam ketaatan kepada-NyaKetiga: Menempuh mediasi apabila menemukan kebuntuanKeempat: Perceraian adalah jalan terakhir Menikah merupakan ibadah yang menyatukan dan menghubungkan dua insan manusia. Menjadikan masing-masing dari mereka menyandang status baru yang sebelumnya tidak ada pada diri mereka. Menjadikan mereka berdua halal untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya Allah haramkan, kecuali dengan adanya pernikahan tersebut. Layaknya hubungan di antara manusia lainnya, hubungan suami istri rawan akan terjadinya sebuah konflik dan perselisihan. Jarang sekali kita temukan sebuah rumah tangga yang bersih dan terbebas dari perselisihan di dalamnya. Bahkan, di dalam rumah tangga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sekalipun, perselisihan merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Sebagaimana hal ini dikisahkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عِنْدَ بَعْضِ نِسَائِهِ فَأَرْسَلَتْ إِحْدَى أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ بِصَحْفَةٍ فِيهَا طَعَامٌ، فَضَرَبَتِ الَّتِي النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِي بَيْتِهَا يَدَ الْخَادِمِ فَسَقَطَتِ الصَّحْفَةُ فَانْفَلَقَتْ، فَجَمَعَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِلَقَ الصَّحْفَةِ، ثُمَّ جَعَلَ يَجْمَعُ فِيهَا الطَّعَامَ الَّذِي كَانَ فِي الصَّحْفَةِ وَيَقُولُ ‏ “‏ غَارَتْ أُمُّكُمْ ‏”‏، ثُمَّ حَبَسَ الْخَادِمَ حَتَّى أُتِيَ بِصَحْفَةٍ مِنْ عِنْدِ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا، فَدَفَعَ الصَّحْفَةَ الصَّحِيحَةَ إِلَى الَّتِي كُسِرَتْ صَحْفَتُهَا، وَأَمْسَكَ الْمَكْسُورَةَ فِي بَيْتِ الَّتِي كَسَرَتْ فِيه “Nabi pernah berada di salah seorang istrinya (‘Aisyah radhiyallahu ‘anha), lalu salah seorang Ummahatul Mukminin (Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha) mengirimkan satu piring berisi makanan. Kemudian istri yang rumahnya ditempati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memukul tangan pelayan sehingga piring itu jatuh dan pecah. Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan pecahan piring dan kemudian mengumpulkan kembali ke dalamnya makanan yang ada di piring tersebut seraya berkata, ‘Ibumu telah cemburu.’ Selanjutnya, pelayan itu ditahan sehingga didatangkan kepada pelayan sebuah piring dari istri yang rumahnya ditempati Nabi. Lalu, pelayan itu menyerahkan piring yang baik kepada istri yang dipecahkan piringnya. Sementara beliau tetap menahan piring yang pecah itu di rumah yang menjadi tempat pecahnya.” (HR. Bukhari no. 5225) Perselisihan di antara suami istri merupakan hal yang umum terjadi. Namun, seringkali di beberapa keadaan perselisihan tersebut membesar dan menyebabkan terjadinya perpecahan, ketidakharmonisan, dan bahkan mengarah kepada perceraian. Wal’iyadzubillah. Mengetahui bahaya tersebut, seorang muslim hendaknya mengetahui cara-cara yang efektif dan tuntunan syariat di dalam menyelesaikan konflik dan perselisihan yang terjadi di antara suami dan istri. Dengan begitu, dirinya dapat menyelesaikan perselisihan yang ada dengan kepala dingin, sesuai tuntunan syariat dan meminimalisir terjadinya perpecahan yang berujung kepada perceraian. Berikut ini adalah beberapa tuntunan syariat di dalam menyelesaikan perselisihan dan konflik yang kerap terjadi di dalam sebuah rumah tangga. Pertama: Introspeksi diri, beristigfar, dan bertobat kepada Allah Perselisihan yang terjadi di antara suami dan istri sejatinya adalah musibah dan ujian, sedangkan Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ “Dan apa saja bencana (musibah) yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisa’: 79) Tidaklah sebuah perselisihan terjadi, kecuali ada sebabnya. Oleh karena itu, sudah selayaknya masing-masing pasangan untuk mengintrospeksi dirinya sendiri, apakah ada kesalahan yang dilakukannya yang menjadi penyebab terjadinya perselisihan tersebut? Sudahkah dirinya meminta maaf kepada pasangannya atas kesalahan yang dilakukannya tersebut? Jika kesalahannya tersebut juga berkaitan dengan hak Allah Ta’ala, entah itu karena kemaksiatan yang dilakukan atau ketaatan yang ditinggalkan, maka iringilah permintaan maaf tersebut dengan tobat yang benar kepada Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ “Setiap anak Adam pasti memiliki kesalahan dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, Ibnu Majah no. 4251, Ahmad, 3: 198. Dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ish Shaghir no. 4391) Renungilah wahai saudaraku, sudahkah masing-masing dari kita sebagai suami ataupun istri menjalankan kewajibannya masing-masing? Sudahkah masing-masing memenuhi hak pasangannya? Sudahkah sebagai suami memperlakukan istrinya dengan cara yang baik dan lembut? Sudahkah sebagai istri menghormati dan menjaga rahasia suaminya? Sungguh, menyadari dan mengakui kesalahan dan kekurangan diri kita sendiri adalah sesuatu yang sulit dan tidak mudah dilakukan. Seorang manusia memiliki kecenderungan untuk menyalahkan orang lain terlebih dahulu atas sebuah musibah dan malapetaka yang terjadi. Hanya orang-orang pilihan Allah yang memiliki mental untuk mau mengakui kesalahan dirinya sendiri. Renungilah kisah Nabi Yunus ‘alaihis salam ketika dimakan ikan paus. Beliau tidak menyalahkan umatnya yang durhaka dan kufur, namun beliau menyalahkan dirinya sendiri, وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, ‘Bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya’: 87) Saat masing-masing pasangan mau mengakui kesalahannya, mau meminta maaf, dan sama-sama menginginkan kebaikan dan perdamaian, maka InsyaAllah sebuah perselisihan akan lebih mudah terurai, sebuah konflik akan lebih mudah untuk diselesaikan dan menemukan jalan keluarnya. Kedua: Bertakwa kepada Allah dan istikamah dalam ketaatan kepada-Nya Nasihat kedua, hendaknya suami dan istri sama-sama berusaha mewujudkan takwa dalam rumah tangga mereka dan berjuang maksimal mempertahankannya. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan keutamaan takwa, وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. At-Thalaq: 2-3) Saat sebuah rumah tangga dibangun di atas asas ketakwaan kepada Allah Ta’ala, mengedepankan syariat-Nya, dan menimbang perintah serta larangan-Nya dalam setiap keputusan, maka Allah Ta’ala akan menolong mereka dan memberikan mereka solusi dan jalan keluar atas setiap problem dan konflik yang terjadi. Di antara bentuk ketakwaan dalam rumah tangga yang mendapatkan pujian langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah apabila rumah tangga tersebut dipenuhi dengan nasihat dan saling mengingatkan dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, رحِمَ اللَّهُ رجلًا قامَ مِن اللَّيلِ فصلَّى وأيقظَ امرأتَه ، فإن أبَتْ نضحَ في وجهِها الماءَ ، رحِمَ اللَّهُ امرأةً قامَت مِن اللَّيلِ وصلَّتْ وأيقظَتْ زَوجَها فإن أبَى نضَحَتْ في وجهِه الماءَ “Allah merahmati laki-laki yang bangun pada malam hari, kemudian salat dan membangunkan istrinya, (kemudian istrinya juga salat). Maka, jika istrinya enggan, ia memercikkan air ke wajahnya (yaitu, memercikkan air dengan percikan yang lembut). Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga merahmati wanita yang bangun pada malam hari, kemudian salat dan membangunkan suaminya, (kemudian suaminya juga salat), maka jika suaminya enggan, ia memercikkan air ke wajahnya.” (HR. Abu Dawud no. 1308, An-Nasa’i no. 1610 dan Ibnu Majah no. 1336) Siapa di antara kita yang tidak ingin mendapatkan rahmat Allah dan kasih sayang-Nya?! Yang dengan rahmat-Nya dan kasih sayang-Nya tersebut sebuah rumah tangga akan terjaga kerukunannya serta utuh kasih sayangnya. Baca juga: Bekal Mengarungi Bahtera Rumah Tangga Ketiga: Menempuh mediasi apabila menemukan kebuntuan Jika sebuah perselisihan telah mencapai titik kebuntuan yang justru akan menimbulkan kerusakan yang lebih parah apabila diselesaikan hanya oleh mereka berdua, Islam memberikan tuntunan untuk mencari solusi melalui jalan mediasi dari masing-masing keluarga. Allah Ta’ala berfirman, وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً خَبِيراً “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya (antara suami dan istri), maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud ishlah (mengadakan perbaikan), niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa’: 35) Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa ketika konflik suami-istri sudah deadlock, maka masing-masing pihak mengirimkan hakam (wakil/mediator) untuk bermusyawarah dan berdiskusi. Ketika kedua hakam yang mewakili pihak suami dan istri itu memiliki niat yang baik untuk melakukan ishlah (perbaikan), maka Allah akan memberikan taufik kepada keduanya sehingga terwujudlah ishlah dan perdamaian yang diinginkan.  Keempat: Perceraian adalah jalan terakhir Jika sebuah perselisihan dan konflik tidak memiliki jalan keluar, kecuali melalui perceraian, maka ingatlah bahwa perceraian adalah jalan keluar yang tidak disukai Allah Ta’ala, terutama apabila perceraian tersebut terjadi tanpa adanya sebab yang jelas atau karena hal-hal lainnya yang dapat diselesaikan dengan cara yang lebih baik. Nabi shallallahu “alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air, kemudian dia mengutus bala tentaranya, maka yang akan menjadi pasukan yang paling dekat dengan dia adalah yang paling banyak fitnahnya. Lalu ada yang datang dan berkata, ‘Saya telah berbuat ini dan itu’. Maka, iblis berkata, ‘Engkau tidak berbuat apa-apa’. Kemudian ada yang datang lagi dan berkata, ‘Saya tidak meninggalkan seorang pun kecuali telah aku pisahkan antara dia dengan istrinya’. Maka, iblis mendekatkan dia padanya dan mengatakan, ‘Engkaulah sebaik-baik pasukanku’.” (HR. Muslim no. 2813) Jangan sampai setan mengambil celah dari perselisihan yang terjadi antara suami dan istri, lalu menjadikan perselisihan tersebut sebagai alasan untuk memisahkan keduanya. Jika perselisihan masih dimungkinkan untuk diselesaikan dengan cara yang lebih baik, maka masing-masing pasangan wajib untuk mengusahakannya. Karena dengan adanya perceraian, seringkali menimbulkan hal-hal buruk kepada keluarga tersebut, baik itu terpecahnya sebuah keluarga atau terlantarnya anak-anak. Allah Ta’ala juga memberikan tuntunan yang jelas jika pun sebuah perceraian harus terjadi, yaitu hendaknya hal tersebut dilakukan dengan cara yang baik dan benar. Allah Ta’ala berfirman, الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ “Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan (rujuk), dengan cara yang patut atau melepaskan (menceraikan) dengan baik.” (QS. Al-Baqarah: 229) Semoga Allah selalu memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada kita semua agar dimudahkan untuk menjaga rumah tangga kita hingga Allah masukkan kita ke dalam surga-Nya. Amin ya Rabbal ‘Alamin. Baca juga: Rumah Tangga Tidak Mesti dengan Cinta *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Tuntunan Islam Ketika Terjadi Konflik Rumah Tangga

Daftar Isi Toggle Pertama: Introspeksi diri, beristigfar, dan bertobat kepada AllahKedua: Bertakwa kepada Allah dan istikamah dalam ketaatan kepada-NyaKetiga: Menempuh mediasi apabila menemukan kebuntuanKeempat: Perceraian adalah jalan terakhir Menikah merupakan ibadah yang menyatukan dan menghubungkan dua insan manusia. Menjadikan masing-masing dari mereka menyandang status baru yang sebelumnya tidak ada pada diri mereka. Menjadikan mereka berdua halal untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya Allah haramkan, kecuali dengan adanya pernikahan tersebut. Layaknya hubungan di antara manusia lainnya, hubungan suami istri rawan akan terjadinya sebuah konflik dan perselisihan. Jarang sekali kita temukan sebuah rumah tangga yang bersih dan terbebas dari perselisihan di dalamnya. Bahkan, di dalam rumah tangga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sekalipun, perselisihan merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Sebagaimana hal ini dikisahkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عِنْدَ بَعْضِ نِسَائِهِ فَأَرْسَلَتْ إِحْدَى أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ بِصَحْفَةٍ فِيهَا طَعَامٌ، فَضَرَبَتِ الَّتِي النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِي بَيْتِهَا يَدَ الْخَادِمِ فَسَقَطَتِ الصَّحْفَةُ فَانْفَلَقَتْ، فَجَمَعَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِلَقَ الصَّحْفَةِ، ثُمَّ جَعَلَ يَجْمَعُ فِيهَا الطَّعَامَ الَّذِي كَانَ فِي الصَّحْفَةِ وَيَقُولُ ‏ “‏ غَارَتْ أُمُّكُمْ ‏”‏، ثُمَّ حَبَسَ الْخَادِمَ حَتَّى أُتِيَ بِصَحْفَةٍ مِنْ عِنْدِ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا، فَدَفَعَ الصَّحْفَةَ الصَّحِيحَةَ إِلَى الَّتِي كُسِرَتْ صَحْفَتُهَا، وَأَمْسَكَ الْمَكْسُورَةَ فِي بَيْتِ الَّتِي كَسَرَتْ فِيه “Nabi pernah berada di salah seorang istrinya (‘Aisyah radhiyallahu ‘anha), lalu salah seorang Ummahatul Mukminin (Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha) mengirimkan satu piring berisi makanan. Kemudian istri yang rumahnya ditempati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memukul tangan pelayan sehingga piring itu jatuh dan pecah. Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan pecahan piring dan kemudian mengumpulkan kembali ke dalamnya makanan yang ada di piring tersebut seraya berkata, ‘Ibumu telah cemburu.’ Selanjutnya, pelayan itu ditahan sehingga didatangkan kepada pelayan sebuah piring dari istri yang rumahnya ditempati Nabi. Lalu, pelayan itu menyerahkan piring yang baik kepada istri yang dipecahkan piringnya. Sementara beliau tetap menahan piring yang pecah itu di rumah yang menjadi tempat pecahnya.” (HR. Bukhari no. 5225) Perselisihan di antara suami istri merupakan hal yang umum terjadi. Namun, seringkali di beberapa keadaan perselisihan tersebut membesar dan menyebabkan terjadinya perpecahan, ketidakharmonisan, dan bahkan mengarah kepada perceraian. Wal’iyadzubillah. Mengetahui bahaya tersebut, seorang muslim hendaknya mengetahui cara-cara yang efektif dan tuntunan syariat di dalam menyelesaikan konflik dan perselisihan yang terjadi di antara suami dan istri. Dengan begitu, dirinya dapat menyelesaikan perselisihan yang ada dengan kepala dingin, sesuai tuntunan syariat dan meminimalisir terjadinya perpecahan yang berujung kepada perceraian. Berikut ini adalah beberapa tuntunan syariat di dalam menyelesaikan perselisihan dan konflik yang kerap terjadi di dalam sebuah rumah tangga. Pertama: Introspeksi diri, beristigfar, dan bertobat kepada Allah Perselisihan yang terjadi di antara suami dan istri sejatinya adalah musibah dan ujian, sedangkan Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ “Dan apa saja bencana (musibah) yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisa’: 79) Tidaklah sebuah perselisihan terjadi, kecuali ada sebabnya. Oleh karena itu, sudah selayaknya masing-masing pasangan untuk mengintrospeksi dirinya sendiri, apakah ada kesalahan yang dilakukannya yang menjadi penyebab terjadinya perselisihan tersebut? Sudahkah dirinya meminta maaf kepada pasangannya atas kesalahan yang dilakukannya tersebut? Jika kesalahannya tersebut juga berkaitan dengan hak Allah Ta’ala, entah itu karena kemaksiatan yang dilakukan atau ketaatan yang ditinggalkan, maka iringilah permintaan maaf tersebut dengan tobat yang benar kepada Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ “Setiap anak Adam pasti memiliki kesalahan dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, Ibnu Majah no. 4251, Ahmad, 3: 198. Dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ish Shaghir no. 4391) Renungilah wahai saudaraku, sudahkah masing-masing dari kita sebagai suami ataupun istri menjalankan kewajibannya masing-masing? Sudahkah masing-masing memenuhi hak pasangannya? Sudahkah sebagai suami memperlakukan istrinya dengan cara yang baik dan lembut? Sudahkah sebagai istri menghormati dan menjaga rahasia suaminya? Sungguh, menyadari dan mengakui kesalahan dan kekurangan diri kita sendiri adalah sesuatu yang sulit dan tidak mudah dilakukan. Seorang manusia memiliki kecenderungan untuk menyalahkan orang lain terlebih dahulu atas sebuah musibah dan malapetaka yang terjadi. Hanya orang-orang pilihan Allah yang memiliki mental untuk mau mengakui kesalahan dirinya sendiri. Renungilah kisah Nabi Yunus ‘alaihis salam ketika dimakan ikan paus. Beliau tidak menyalahkan umatnya yang durhaka dan kufur, namun beliau menyalahkan dirinya sendiri, وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, ‘Bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya’: 87) Saat masing-masing pasangan mau mengakui kesalahannya, mau meminta maaf, dan sama-sama menginginkan kebaikan dan perdamaian, maka InsyaAllah sebuah perselisihan akan lebih mudah terurai, sebuah konflik akan lebih mudah untuk diselesaikan dan menemukan jalan keluarnya. Kedua: Bertakwa kepada Allah dan istikamah dalam ketaatan kepada-Nya Nasihat kedua, hendaknya suami dan istri sama-sama berusaha mewujudkan takwa dalam rumah tangga mereka dan berjuang maksimal mempertahankannya. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan keutamaan takwa, وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. At-Thalaq: 2-3) Saat sebuah rumah tangga dibangun di atas asas ketakwaan kepada Allah Ta’ala, mengedepankan syariat-Nya, dan menimbang perintah serta larangan-Nya dalam setiap keputusan, maka Allah Ta’ala akan menolong mereka dan memberikan mereka solusi dan jalan keluar atas setiap problem dan konflik yang terjadi. Di antara bentuk ketakwaan dalam rumah tangga yang mendapatkan pujian langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah apabila rumah tangga tersebut dipenuhi dengan nasihat dan saling mengingatkan dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, رحِمَ اللَّهُ رجلًا قامَ مِن اللَّيلِ فصلَّى وأيقظَ امرأتَه ، فإن أبَتْ نضحَ في وجهِها الماءَ ، رحِمَ اللَّهُ امرأةً قامَت مِن اللَّيلِ وصلَّتْ وأيقظَتْ زَوجَها فإن أبَى نضَحَتْ في وجهِه الماءَ “Allah merahmati laki-laki yang bangun pada malam hari, kemudian salat dan membangunkan istrinya, (kemudian istrinya juga salat). Maka, jika istrinya enggan, ia memercikkan air ke wajahnya (yaitu, memercikkan air dengan percikan yang lembut). Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga merahmati wanita yang bangun pada malam hari, kemudian salat dan membangunkan suaminya, (kemudian suaminya juga salat), maka jika suaminya enggan, ia memercikkan air ke wajahnya.” (HR. Abu Dawud no. 1308, An-Nasa’i no. 1610 dan Ibnu Majah no. 1336) Siapa di antara kita yang tidak ingin mendapatkan rahmat Allah dan kasih sayang-Nya?! Yang dengan rahmat-Nya dan kasih sayang-Nya tersebut sebuah rumah tangga akan terjaga kerukunannya serta utuh kasih sayangnya. Baca juga: Bekal Mengarungi Bahtera Rumah Tangga Ketiga: Menempuh mediasi apabila menemukan kebuntuan Jika sebuah perselisihan telah mencapai titik kebuntuan yang justru akan menimbulkan kerusakan yang lebih parah apabila diselesaikan hanya oleh mereka berdua, Islam memberikan tuntunan untuk mencari solusi melalui jalan mediasi dari masing-masing keluarga. Allah Ta’ala berfirman, وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً خَبِيراً “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya (antara suami dan istri), maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud ishlah (mengadakan perbaikan), niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa’: 35) Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa ketika konflik suami-istri sudah deadlock, maka masing-masing pihak mengirimkan hakam (wakil/mediator) untuk bermusyawarah dan berdiskusi. Ketika kedua hakam yang mewakili pihak suami dan istri itu memiliki niat yang baik untuk melakukan ishlah (perbaikan), maka Allah akan memberikan taufik kepada keduanya sehingga terwujudlah ishlah dan perdamaian yang diinginkan.  Keempat: Perceraian adalah jalan terakhir Jika sebuah perselisihan dan konflik tidak memiliki jalan keluar, kecuali melalui perceraian, maka ingatlah bahwa perceraian adalah jalan keluar yang tidak disukai Allah Ta’ala, terutama apabila perceraian tersebut terjadi tanpa adanya sebab yang jelas atau karena hal-hal lainnya yang dapat diselesaikan dengan cara yang lebih baik. Nabi shallallahu “alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air, kemudian dia mengutus bala tentaranya, maka yang akan menjadi pasukan yang paling dekat dengan dia adalah yang paling banyak fitnahnya. Lalu ada yang datang dan berkata, ‘Saya telah berbuat ini dan itu’. Maka, iblis berkata, ‘Engkau tidak berbuat apa-apa’. Kemudian ada yang datang lagi dan berkata, ‘Saya tidak meninggalkan seorang pun kecuali telah aku pisahkan antara dia dengan istrinya’. Maka, iblis mendekatkan dia padanya dan mengatakan, ‘Engkaulah sebaik-baik pasukanku’.” (HR. Muslim no. 2813) Jangan sampai setan mengambil celah dari perselisihan yang terjadi antara suami dan istri, lalu menjadikan perselisihan tersebut sebagai alasan untuk memisahkan keduanya. Jika perselisihan masih dimungkinkan untuk diselesaikan dengan cara yang lebih baik, maka masing-masing pasangan wajib untuk mengusahakannya. Karena dengan adanya perceraian, seringkali menimbulkan hal-hal buruk kepada keluarga tersebut, baik itu terpecahnya sebuah keluarga atau terlantarnya anak-anak. Allah Ta’ala juga memberikan tuntunan yang jelas jika pun sebuah perceraian harus terjadi, yaitu hendaknya hal tersebut dilakukan dengan cara yang baik dan benar. Allah Ta’ala berfirman, الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ “Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan (rujuk), dengan cara yang patut atau melepaskan (menceraikan) dengan baik.” (QS. Al-Baqarah: 229) Semoga Allah selalu memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada kita semua agar dimudahkan untuk menjaga rumah tangga kita hingga Allah masukkan kita ke dalam surga-Nya. Amin ya Rabbal ‘Alamin. Baca juga: Rumah Tangga Tidak Mesti dengan Cinta *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Pertama: Introspeksi diri, beristigfar, dan bertobat kepada AllahKedua: Bertakwa kepada Allah dan istikamah dalam ketaatan kepada-NyaKetiga: Menempuh mediasi apabila menemukan kebuntuanKeempat: Perceraian adalah jalan terakhir Menikah merupakan ibadah yang menyatukan dan menghubungkan dua insan manusia. Menjadikan masing-masing dari mereka menyandang status baru yang sebelumnya tidak ada pada diri mereka. Menjadikan mereka berdua halal untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya Allah haramkan, kecuali dengan adanya pernikahan tersebut. Layaknya hubungan di antara manusia lainnya, hubungan suami istri rawan akan terjadinya sebuah konflik dan perselisihan. Jarang sekali kita temukan sebuah rumah tangga yang bersih dan terbebas dari perselisihan di dalamnya. Bahkan, di dalam rumah tangga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sekalipun, perselisihan merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Sebagaimana hal ini dikisahkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عِنْدَ بَعْضِ نِسَائِهِ فَأَرْسَلَتْ إِحْدَى أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ بِصَحْفَةٍ فِيهَا طَعَامٌ، فَضَرَبَتِ الَّتِي النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِي بَيْتِهَا يَدَ الْخَادِمِ فَسَقَطَتِ الصَّحْفَةُ فَانْفَلَقَتْ، فَجَمَعَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِلَقَ الصَّحْفَةِ، ثُمَّ جَعَلَ يَجْمَعُ فِيهَا الطَّعَامَ الَّذِي كَانَ فِي الصَّحْفَةِ وَيَقُولُ ‏ “‏ غَارَتْ أُمُّكُمْ ‏”‏، ثُمَّ حَبَسَ الْخَادِمَ حَتَّى أُتِيَ بِصَحْفَةٍ مِنْ عِنْدِ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا، فَدَفَعَ الصَّحْفَةَ الصَّحِيحَةَ إِلَى الَّتِي كُسِرَتْ صَحْفَتُهَا، وَأَمْسَكَ الْمَكْسُورَةَ فِي بَيْتِ الَّتِي كَسَرَتْ فِيه “Nabi pernah berada di salah seorang istrinya (‘Aisyah radhiyallahu ‘anha), lalu salah seorang Ummahatul Mukminin (Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha) mengirimkan satu piring berisi makanan. Kemudian istri yang rumahnya ditempati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memukul tangan pelayan sehingga piring itu jatuh dan pecah. Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan pecahan piring dan kemudian mengumpulkan kembali ke dalamnya makanan yang ada di piring tersebut seraya berkata, ‘Ibumu telah cemburu.’ Selanjutnya, pelayan itu ditahan sehingga didatangkan kepada pelayan sebuah piring dari istri yang rumahnya ditempati Nabi. Lalu, pelayan itu menyerahkan piring yang baik kepada istri yang dipecahkan piringnya. Sementara beliau tetap menahan piring yang pecah itu di rumah yang menjadi tempat pecahnya.” (HR. Bukhari no. 5225) Perselisihan di antara suami istri merupakan hal yang umum terjadi. Namun, seringkali di beberapa keadaan perselisihan tersebut membesar dan menyebabkan terjadinya perpecahan, ketidakharmonisan, dan bahkan mengarah kepada perceraian. Wal’iyadzubillah. Mengetahui bahaya tersebut, seorang muslim hendaknya mengetahui cara-cara yang efektif dan tuntunan syariat di dalam menyelesaikan konflik dan perselisihan yang terjadi di antara suami dan istri. Dengan begitu, dirinya dapat menyelesaikan perselisihan yang ada dengan kepala dingin, sesuai tuntunan syariat dan meminimalisir terjadinya perpecahan yang berujung kepada perceraian. Berikut ini adalah beberapa tuntunan syariat di dalam menyelesaikan perselisihan dan konflik yang kerap terjadi di dalam sebuah rumah tangga. Pertama: Introspeksi diri, beristigfar, dan bertobat kepada Allah Perselisihan yang terjadi di antara suami dan istri sejatinya adalah musibah dan ujian, sedangkan Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ “Dan apa saja bencana (musibah) yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisa’: 79) Tidaklah sebuah perselisihan terjadi, kecuali ada sebabnya. Oleh karena itu, sudah selayaknya masing-masing pasangan untuk mengintrospeksi dirinya sendiri, apakah ada kesalahan yang dilakukannya yang menjadi penyebab terjadinya perselisihan tersebut? Sudahkah dirinya meminta maaf kepada pasangannya atas kesalahan yang dilakukannya tersebut? Jika kesalahannya tersebut juga berkaitan dengan hak Allah Ta’ala, entah itu karena kemaksiatan yang dilakukan atau ketaatan yang ditinggalkan, maka iringilah permintaan maaf tersebut dengan tobat yang benar kepada Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ “Setiap anak Adam pasti memiliki kesalahan dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, Ibnu Majah no. 4251, Ahmad, 3: 198. Dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ish Shaghir no. 4391) Renungilah wahai saudaraku, sudahkah masing-masing dari kita sebagai suami ataupun istri menjalankan kewajibannya masing-masing? Sudahkah masing-masing memenuhi hak pasangannya? Sudahkah sebagai suami memperlakukan istrinya dengan cara yang baik dan lembut? Sudahkah sebagai istri menghormati dan menjaga rahasia suaminya? Sungguh, menyadari dan mengakui kesalahan dan kekurangan diri kita sendiri adalah sesuatu yang sulit dan tidak mudah dilakukan. Seorang manusia memiliki kecenderungan untuk menyalahkan orang lain terlebih dahulu atas sebuah musibah dan malapetaka yang terjadi. Hanya orang-orang pilihan Allah yang memiliki mental untuk mau mengakui kesalahan dirinya sendiri. Renungilah kisah Nabi Yunus ‘alaihis salam ketika dimakan ikan paus. Beliau tidak menyalahkan umatnya yang durhaka dan kufur, namun beliau menyalahkan dirinya sendiri, وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, ‘Bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya’: 87) Saat masing-masing pasangan mau mengakui kesalahannya, mau meminta maaf, dan sama-sama menginginkan kebaikan dan perdamaian, maka InsyaAllah sebuah perselisihan akan lebih mudah terurai, sebuah konflik akan lebih mudah untuk diselesaikan dan menemukan jalan keluarnya. Kedua: Bertakwa kepada Allah dan istikamah dalam ketaatan kepada-Nya Nasihat kedua, hendaknya suami dan istri sama-sama berusaha mewujudkan takwa dalam rumah tangga mereka dan berjuang maksimal mempertahankannya. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan keutamaan takwa, وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. At-Thalaq: 2-3) Saat sebuah rumah tangga dibangun di atas asas ketakwaan kepada Allah Ta’ala, mengedepankan syariat-Nya, dan menimbang perintah serta larangan-Nya dalam setiap keputusan, maka Allah Ta’ala akan menolong mereka dan memberikan mereka solusi dan jalan keluar atas setiap problem dan konflik yang terjadi. Di antara bentuk ketakwaan dalam rumah tangga yang mendapatkan pujian langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah apabila rumah tangga tersebut dipenuhi dengan nasihat dan saling mengingatkan dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, رحِمَ اللَّهُ رجلًا قامَ مِن اللَّيلِ فصلَّى وأيقظَ امرأتَه ، فإن أبَتْ نضحَ في وجهِها الماءَ ، رحِمَ اللَّهُ امرأةً قامَت مِن اللَّيلِ وصلَّتْ وأيقظَتْ زَوجَها فإن أبَى نضَحَتْ في وجهِه الماءَ “Allah merahmati laki-laki yang bangun pada malam hari, kemudian salat dan membangunkan istrinya, (kemudian istrinya juga salat). Maka, jika istrinya enggan, ia memercikkan air ke wajahnya (yaitu, memercikkan air dengan percikan yang lembut). Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga merahmati wanita yang bangun pada malam hari, kemudian salat dan membangunkan suaminya, (kemudian suaminya juga salat), maka jika suaminya enggan, ia memercikkan air ke wajahnya.” (HR. Abu Dawud no. 1308, An-Nasa’i no. 1610 dan Ibnu Majah no. 1336) Siapa di antara kita yang tidak ingin mendapatkan rahmat Allah dan kasih sayang-Nya?! Yang dengan rahmat-Nya dan kasih sayang-Nya tersebut sebuah rumah tangga akan terjaga kerukunannya serta utuh kasih sayangnya. Baca juga: Bekal Mengarungi Bahtera Rumah Tangga Ketiga: Menempuh mediasi apabila menemukan kebuntuan Jika sebuah perselisihan telah mencapai titik kebuntuan yang justru akan menimbulkan kerusakan yang lebih parah apabila diselesaikan hanya oleh mereka berdua, Islam memberikan tuntunan untuk mencari solusi melalui jalan mediasi dari masing-masing keluarga. Allah Ta’ala berfirman, وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً خَبِيراً “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya (antara suami dan istri), maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud ishlah (mengadakan perbaikan), niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa’: 35) Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa ketika konflik suami-istri sudah deadlock, maka masing-masing pihak mengirimkan hakam (wakil/mediator) untuk bermusyawarah dan berdiskusi. Ketika kedua hakam yang mewakili pihak suami dan istri itu memiliki niat yang baik untuk melakukan ishlah (perbaikan), maka Allah akan memberikan taufik kepada keduanya sehingga terwujudlah ishlah dan perdamaian yang diinginkan.  Keempat: Perceraian adalah jalan terakhir Jika sebuah perselisihan dan konflik tidak memiliki jalan keluar, kecuali melalui perceraian, maka ingatlah bahwa perceraian adalah jalan keluar yang tidak disukai Allah Ta’ala, terutama apabila perceraian tersebut terjadi tanpa adanya sebab yang jelas atau karena hal-hal lainnya yang dapat diselesaikan dengan cara yang lebih baik. Nabi shallallahu “alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air, kemudian dia mengutus bala tentaranya, maka yang akan menjadi pasukan yang paling dekat dengan dia adalah yang paling banyak fitnahnya. Lalu ada yang datang dan berkata, ‘Saya telah berbuat ini dan itu’. Maka, iblis berkata, ‘Engkau tidak berbuat apa-apa’. Kemudian ada yang datang lagi dan berkata, ‘Saya tidak meninggalkan seorang pun kecuali telah aku pisahkan antara dia dengan istrinya’. Maka, iblis mendekatkan dia padanya dan mengatakan, ‘Engkaulah sebaik-baik pasukanku’.” (HR. Muslim no. 2813) Jangan sampai setan mengambil celah dari perselisihan yang terjadi antara suami dan istri, lalu menjadikan perselisihan tersebut sebagai alasan untuk memisahkan keduanya. Jika perselisihan masih dimungkinkan untuk diselesaikan dengan cara yang lebih baik, maka masing-masing pasangan wajib untuk mengusahakannya. Karena dengan adanya perceraian, seringkali menimbulkan hal-hal buruk kepada keluarga tersebut, baik itu terpecahnya sebuah keluarga atau terlantarnya anak-anak. Allah Ta’ala juga memberikan tuntunan yang jelas jika pun sebuah perceraian harus terjadi, yaitu hendaknya hal tersebut dilakukan dengan cara yang baik dan benar. Allah Ta’ala berfirman, الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ “Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan (rujuk), dengan cara yang patut atau melepaskan (menceraikan) dengan baik.” (QS. Al-Baqarah: 229) Semoga Allah selalu memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada kita semua agar dimudahkan untuk menjaga rumah tangga kita hingga Allah masukkan kita ke dalam surga-Nya. Amin ya Rabbal ‘Alamin. Baca juga: Rumah Tangga Tidak Mesti dengan Cinta *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Pertama: Introspeksi diri, beristigfar, dan bertobat kepada AllahKedua: Bertakwa kepada Allah dan istikamah dalam ketaatan kepada-NyaKetiga: Menempuh mediasi apabila menemukan kebuntuanKeempat: Perceraian adalah jalan terakhir Menikah merupakan ibadah yang menyatukan dan menghubungkan dua insan manusia. Menjadikan masing-masing dari mereka menyandang status baru yang sebelumnya tidak ada pada diri mereka. Menjadikan mereka berdua halal untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya Allah haramkan, kecuali dengan adanya pernikahan tersebut. Layaknya hubungan di antara manusia lainnya, hubungan suami istri rawan akan terjadinya sebuah konflik dan perselisihan. Jarang sekali kita temukan sebuah rumah tangga yang bersih dan terbebas dari perselisihan di dalamnya. Bahkan, di dalam rumah tangga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sekalipun, perselisihan merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Sebagaimana hal ini dikisahkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عِنْدَ بَعْضِ نِسَائِهِ فَأَرْسَلَتْ إِحْدَى أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ بِصَحْفَةٍ فِيهَا طَعَامٌ، فَضَرَبَتِ الَّتِي النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِي بَيْتِهَا يَدَ الْخَادِمِ فَسَقَطَتِ الصَّحْفَةُ فَانْفَلَقَتْ، فَجَمَعَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِلَقَ الصَّحْفَةِ، ثُمَّ جَعَلَ يَجْمَعُ فِيهَا الطَّعَامَ الَّذِي كَانَ فِي الصَّحْفَةِ وَيَقُولُ ‏ “‏ غَارَتْ أُمُّكُمْ ‏”‏، ثُمَّ حَبَسَ الْخَادِمَ حَتَّى أُتِيَ بِصَحْفَةٍ مِنْ عِنْدِ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا، فَدَفَعَ الصَّحْفَةَ الصَّحِيحَةَ إِلَى الَّتِي كُسِرَتْ صَحْفَتُهَا، وَأَمْسَكَ الْمَكْسُورَةَ فِي بَيْتِ الَّتِي كَسَرَتْ فِيه “Nabi pernah berada di salah seorang istrinya (‘Aisyah radhiyallahu ‘anha), lalu salah seorang Ummahatul Mukminin (Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha) mengirimkan satu piring berisi makanan. Kemudian istri yang rumahnya ditempati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memukul tangan pelayan sehingga piring itu jatuh dan pecah. Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan pecahan piring dan kemudian mengumpulkan kembali ke dalamnya makanan yang ada di piring tersebut seraya berkata, ‘Ibumu telah cemburu.’ Selanjutnya, pelayan itu ditahan sehingga didatangkan kepada pelayan sebuah piring dari istri yang rumahnya ditempati Nabi. Lalu, pelayan itu menyerahkan piring yang baik kepada istri yang dipecahkan piringnya. Sementara beliau tetap menahan piring yang pecah itu di rumah yang menjadi tempat pecahnya.” (HR. Bukhari no. 5225) Perselisihan di antara suami istri merupakan hal yang umum terjadi. Namun, seringkali di beberapa keadaan perselisihan tersebut membesar dan menyebabkan terjadinya perpecahan, ketidakharmonisan, dan bahkan mengarah kepada perceraian. Wal’iyadzubillah. Mengetahui bahaya tersebut, seorang muslim hendaknya mengetahui cara-cara yang efektif dan tuntunan syariat di dalam menyelesaikan konflik dan perselisihan yang terjadi di antara suami dan istri. Dengan begitu, dirinya dapat menyelesaikan perselisihan yang ada dengan kepala dingin, sesuai tuntunan syariat dan meminimalisir terjadinya perpecahan yang berujung kepada perceraian. Berikut ini adalah beberapa tuntunan syariat di dalam menyelesaikan perselisihan dan konflik yang kerap terjadi di dalam sebuah rumah tangga. Pertama: Introspeksi diri, beristigfar, dan bertobat kepada Allah Perselisihan yang terjadi di antara suami dan istri sejatinya adalah musibah dan ujian, sedangkan Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ “Dan apa saja bencana (musibah) yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisa’: 79) Tidaklah sebuah perselisihan terjadi, kecuali ada sebabnya. Oleh karena itu, sudah selayaknya masing-masing pasangan untuk mengintrospeksi dirinya sendiri, apakah ada kesalahan yang dilakukannya yang menjadi penyebab terjadinya perselisihan tersebut? Sudahkah dirinya meminta maaf kepada pasangannya atas kesalahan yang dilakukannya tersebut? Jika kesalahannya tersebut juga berkaitan dengan hak Allah Ta’ala, entah itu karena kemaksiatan yang dilakukan atau ketaatan yang ditinggalkan, maka iringilah permintaan maaf tersebut dengan tobat yang benar kepada Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ “Setiap anak Adam pasti memiliki kesalahan dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, Ibnu Majah no. 4251, Ahmad, 3: 198. Dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ish Shaghir no. 4391) Renungilah wahai saudaraku, sudahkah masing-masing dari kita sebagai suami ataupun istri menjalankan kewajibannya masing-masing? Sudahkah masing-masing memenuhi hak pasangannya? Sudahkah sebagai suami memperlakukan istrinya dengan cara yang baik dan lembut? Sudahkah sebagai istri menghormati dan menjaga rahasia suaminya? Sungguh, menyadari dan mengakui kesalahan dan kekurangan diri kita sendiri adalah sesuatu yang sulit dan tidak mudah dilakukan. Seorang manusia memiliki kecenderungan untuk menyalahkan orang lain terlebih dahulu atas sebuah musibah dan malapetaka yang terjadi. Hanya orang-orang pilihan Allah yang memiliki mental untuk mau mengakui kesalahan dirinya sendiri. Renungilah kisah Nabi Yunus ‘alaihis salam ketika dimakan ikan paus. Beliau tidak menyalahkan umatnya yang durhaka dan kufur, namun beliau menyalahkan dirinya sendiri, وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, ‘Bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya’: 87) Saat masing-masing pasangan mau mengakui kesalahannya, mau meminta maaf, dan sama-sama menginginkan kebaikan dan perdamaian, maka InsyaAllah sebuah perselisihan akan lebih mudah terurai, sebuah konflik akan lebih mudah untuk diselesaikan dan menemukan jalan keluarnya. Kedua: Bertakwa kepada Allah dan istikamah dalam ketaatan kepada-Nya Nasihat kedua, hendaknya suami dan istri sama-sama berusaha mewujudkan takwa dalam rumah tangga mereka dan berjuang maksimal mempertahankannya. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan keutamaan takwa, وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. At-Thalaq: 2-3) Saat sebuah rumah tangga dibangun di atas asas ketakwaan kepada Allah Ta’ala, mengedepankan syariat-Nya, dan menimbang perintah serta larangan-Nya dalam setiap keputusan, maka Allah Ta’ala akan menolong mereka dan memberikan mereka solusi dan jalan keluar atas setiap problem dan konflik yang terjadi. Di antara bentuk ketakwaan dalam rumah tangga yang mendapatkan pujian langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah apabila rumah tangga tersebut dipenuhi dengan nasihat dan saling mengingatkan dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, رحِمَ اللَّهُ رجلًا قامَ مِن اللَّيلِ فصلَّى وأيقظَ امرأتَه ، فإن أبَتْ نضحَ في وجهِها الماءَ ، رحِمَ اللَّهُ امرأةً قامَت مِن اللَّيلِ وصلَّتْ وأيقظَتْ زَوجَها فإن أبَى نضَحَتْ في وجهِه الماءَ “Allah merahmati laki-laki yang bangun pada malam hari, kemudian salat dan membangunkan istrinya, (kemudian istrinya juga salat). Maka, jika istrinya enggan, ia memercikkan air ke wajahnya (yaitu, memercikkan air dengan percikan yang lembut). Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga merahmati wanita yang bangun pada malam hari, kemudian salat dan membangunkan suaminya, (kemudian suaminya juga salat), maka jika suaminya enggan, ia memercikkan air ke wajahnya.” (HR. Abu Dawud no. 1308, An-Nasa’i no. 1610 dan Ibnu Majah no. 1336) Siapa di antara kita yang tidak ingin mendapatkan rahmat Allah dan kasih sayang-Nya?! Yang dengan rahmat-Nya dan kasih sayang-Nya tersebut sebuah rumah tangga akan terjaga kerukunannya serta utuh kasih sayangnya. Baca juga: Bekal Mengarungi Bahtera Rumah Tangga Ketiga: Menempuh mediasi apabila menemukan kebuntuan Jika sebuah perselisihan telah mencapai titik kebuntuan yang justru akan menimbulkan kerusakan yang lebih parah apabila diselesaikan hanya oleh mereka berdua, Islam memberikan tuntunan untuk mencari solusi melalui jalan mediasi dari masing-masing keluarga. Allah Ta’ala berfirman, وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً خَبِيراً “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya (antara suami dan istri), maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud ishlah (mengadakan perbaikan), niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa’: 35) Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa ketika konflik suami-istri sudah deadlock, maka masing-masing pihak mengirimkan hakam (wakil/mediator) untuk bermusyawarah dan berdiskusi. Ketika kedua hakam yang mewakili pihak suami dan istri itu memiliki niat yang baik untuk melakukan ishlah (perbaikan), maka Allah akan memberikan taufik kepada keduanya sehingga terwujudlah ishlah dan perdamaian yang diinginkan.  Keempat: Perceraian adalah jalan terakhir Jika sebuah perselisihan dan konflik tidak memiliki jalan keluar, kecuali melalui perceraian, maka ingatlah bahwa perceraian adalah jalan keluar yang tidak disukai Allah Ta’ala, terutama apabila perceraian tersebut terjadi tanpa adanya sebab yang jelas atau karena hal-hal lainnya yang dapat diselesaikan dengan cara yang lebih baik. Nabi shallallahu “alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air, kemudian dia mengutus bala tentaranya, maka yang akan menjadi pasukan yang paling dekat dengan dia adalah yang paling banyak fitnahnya. Lalu ada yang datang dan berkata, ‘Saya telah berbuat ini dan itu’. Maka, iblis berkata, ‘Engkau tidak berbuat apa-apa’. Kemudian ada yang datang lagi dan berkata, ‘Saya tidak meninggalkan seorang pun kecuali telah aku pisahkan antara dia dengan istrinya’. Maka, iblis mendekatkan dia padanya dan mengatakan, ‘Engkaulah sebaik-baik pasukanku’.” (HR. Muslim no. 2813) Jangan sampai setan mengambil celah dari perselisihan yang terjadi antara suami dan istri, lalu menjadikan perselisihan tersebut sebagai alasan untuk memisahkan keduanya. Jika perselisihan masih dimungkinkan untuk diselesaikan dengan cara yang lebih baik, maka masing-masing pasangan wajib untuk mengusahakannya. Karena dengan adanya perceraian, seringkali menimbulkan hal-hal buruk kepada keluarga tersebut, baik itu terpecahnya sebuah keluarga atau terlantarnya anak-anak. Allah Ta’ala juga memberikan tuntunan yang jelas jika pun sebuah perceraian harus terjadi, yaitu hendaknya hal tersebut dilakukan dengan cara yang baik dan benar. Allah Ta’ala berfirman, الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ “Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan (rujuk), dengan cara yang patut atau melepaskan (menceraikan) dengan baik.” (QS. Al-Baqarah: 229) Semoga Allah selalu memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada kita semua agar dimudahkan untuk menjaga rumah tangga kita hingga Allah masukkan kita ke dalam surga-Nya. Amin ya Rabbal ‘Alamin. Baca juga: Rumah Tangga Tidak Mesti dengan Cinta *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Apakah Islam Termasuk Logika Mistika ala Tan Malaka?

Daftar Isi Toggle Mengenal logika mistika ala Tan MalakaBerbagai bentuk logika mistikaApakah Islam termasuk logika mistika?Kritik atas miskonsepsi Tan Malaka terhadap IslamPujian Tan Malaka kepada Islam dan Nabi Muhammad ﷺKesimpulan Saat ini, di media sosial, kembali viral sebuah istilah logika mistika bersamaan dengan popularitas diskusi filsafat yang meningkat. Tidak sulit menemukan berbagai unggahan yang membahas pandangan filsafat tertentu yang dikaitkan dengan fenomena terkini. Salah satunya adalah fenomena kepercayaan banyak masyarakat Indonesia terhadap hal klenik berupa santet dan perdukunan. Isu ini dibahas oleh beberapa influencer sebagai penyebab Indonesia tidak menjadi negara maju, karena terjebak dalam logika mistika yang dipopulerkan oleh Tan Malaka. Tak sedikit yang memperluas pengkategorian sengkarut logika mistika ini kepada fenomena meningkatnya ketaatan masyarakat terhadap agama. Lalu, apa sebenarnya logika mistika itu? Benarkah Islam merupakan bagian dari logika mistika yang dimaksudkan Tan Malaka? Mengenal logika mistika ala Tan Malaka Logika mistika adalah struktur logika yang berdasarkan kerohanian. Istilah ini dikenal melalui karya magnum opus Tan Malaka, yakni Madilog (1943). Dalam karya beliau, logika mistika dijelaskan sebagai konsep keyakinan yang melekat pada seseorang berdasarkan pada dogma-dogma dari ayat suci Maha Dewa yang berkuasa. Narasi ini dibangun oleh Tan Malaka melalui cerita tentang Dewa Rah dalam keyakinan Mesir Kuno yang dianggap sebagai Maha Dewa yang mencipta dan menguasai alam semesta (hal. 32-33). Di dalam Madilog, logika mistika dijadikan konsep yang pertama kali diuraikan dalam bab panjang. Lalu, Tan Malaka menyelipkan berbagai contoh logika mistika sebagai penghalang kemajuan suatu dalam berbagai contoh di setiap bab yang diuraikannya. Beberapa argumennya menunjukkan bahwasanya logika mistika berupa penciptaan alam semesta, makhluk hidup, dan daurnya telah terbantahkan oleh filsafat sains yang lebih modern. Berbagai bentuk logika mistika Dalam Madilog, Tan Malaka sebetulnya membahas serba-serbi yang termasuk dalam pembahasan filsafat. Tujuannya adalah untuk mempresentasikan bahwa filsafat Madilog yang diusungnya dapat menjawab semua sengkarut permasalahan yang salah satunya disebabkan oleh logika mistika. Beberapa contoh yang dibawakan oleh Tan Malaka sebetulnya tidak ada yang eksplisit mengarah pada ajaran Islam. Hanya saja, Tan Malaka memotret fenomena yang terjadi di kampungnya terdahulu yang mayoritas beragama Islam. Begitu juga dengan fenomena sosial bank plecit di pra-kemerdekaan yang banyak dijalankan oleh orang Arab di Indonesia. Tan Malaka sebetulnya lebih banyak mengkritisi beberapa konsep keyakinan akan hal gaib dan agama yang dibawakan dari takhayul dalam konsep animisme-dinamisme, filsafat Hindu dan Budha. Di antaranya adalah kritik Tan Malaka terhadap angan-angan keberhasilan jika beriman kepada sebuah keyakinan (akidah) sehingga malas bekerja. Juga keyakinan akan datangnya ratu adil yang akan membebaskan Indonesia dari penjajahan, yang melemahkan Jaya Baya dalam penceritaan Hindu masa lampau. Hal ini sebetulnya merupakan kritik yang lazim muncul di komunitas pemikir materialisme seperti Karl Marx dan yang lainnya. Kritik Tan Malaka terhadap masalah mistika juga disebutkan dalam hal. 265-266, tentang kesalahan orang yang menganggap segala bentuk konsep yang ada dalam ide secara jelas pastilah ada. Gambaran emas sebesar gunung dan konsep Tuhan adalah gambaran yang jelas mungkin di kepala, maka pastilah ada. Keyakinan tersebut menurut Tan Malaka secara materialisme adalah sebuah kesalahan logika. Beliau membawakan fenomena yang terjadi semasa beliau di surau atau masjid di kampungnya, yang mana ada seorang rohaniawan mengajarkan bahwa “sesuatu yang diyakini mestilah ada”. Dikisahkan, rohaniawan itu menyugestikan bahwa di dalam kelapa ada ikan, lalu dibelahlah sebuah kelapa tersebut dan benar saja di dalamnya ada sebuah ikan. Keyakinan semacam ini menurut Tan Malaka tidak akan ada habisnya di Indonesia. Beliau mengkritik, “Rakyat Indonesia boleh saja ketinggalan dalam ilmu bukti seperti membangun kapal dll., tetapi dalam berbagai jenis doa (mantra) atau kepercayaan tidak akan kalah.” Kritik lain yang beliau maksudkan dalam logika mistika adalah kesalahan observasi yang menghasilkan sebuah ramalan. Contoh yang beliau maksudkan adalah ramalan kiamat dalam keyakinan Kristen ortodoks, bahwa surga akan datang 1000 tahun setelah perang besar terjadi. Keyakinan ini menggeliat setelah Perang Dunia I usai. Namun, menurut Tan Malaka, ramalan berikut sebenarnya terbatalkan dengan adanya Perang Dunia II. Begitu pula dengan kejadian di surau beliau. Ketika itu, seluruh warga kampung melakukan satu salat berjemaah karena ada fenomena pohon pisang berjantung dua yang dianggap sebagai tanda kiamat. Begitupula ramalan Pak Belalang dan Jaya Baya yang disebutkan beratus tahun yang lalu. Masih banyak contoh lainnya yang tersebar dalam setiap bab yang dituliskan Tan Malaka, setidaknya dihimpun dalam Bab “Lima Kesalahan”. Di akhir bab, beliau menyimpulkan kesalahan tersebut mayoritas berakar pada kesalahan apriori yang beliau sebut sebagai kesalahan mistifikasi. Contoh yang disebutkan tidak berkaitan dengan kekurangan dalam logika mereka, tetapi berkaitan dengan keyakinan mistik yang dianut, yakni pada kerohanian dewa atau alam. Apakah Islam termasuk logika mistika? Berdasarkan uraian yang dimaksudkan Tan Malaka dalam Madilog, bolehlah kita menimbang apakah contoh tersebut mewakili Islam yang sebenarnya? Apakah Islam termasuk dalam praktik kesalahan akibat mistifikasi? Maka, simaklah uraian berikut. Pertama, Islam memiliki keyakinan pokok bahwasanya ada Tuhan yang bersifat gaib yang mencipta, mengatur, dan memelihara alam semesta. Keyakinan ini tidak bisa ditawar-tawar, sehingga wajib ada dalam keyakinan Islam. Allah ﷻ berfirman dalam pembukaan QS. Al-Baqarah, الــم {1} ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ {2} الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ  يُنْفِقُونَ {3} “Alif lam mim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah: 1-3) Keyakinan pada Allah ﷻ dan hal gaib adalah bagian dari rukun iman yang membedakan seorang mukmin dengan orang kafir atau selainnya. Konstruksi keimanan pada hal yang gaib ini sangat diatur dalam Islam, sehingga tidak sembarangan orang menentukan sesuatu yang gaib ada secara hakiki, kecuali ada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah. Allah ﷻ berfirman, وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَيَعْلَمُهَآ إِلاَّ هُوَ “Dan pada sisi Allahlah, kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia sendiri.” (QS. Al-An’am: 59) Allah ﷻ juga berfirman, bahkan Nabi ﷺ pun tidak mengetahui hal gaib, kecuali apa yang Allah ﷻ berikan, قُل لاَّيَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ وَمَايَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ “Katakanlah (hai Muhammad), ‘Tiada siapa pun, baik di langit maupun di bumi yang mengetahui hal-hal yang gaib, kecuali Allah, dan mereka tidak mengetahui kapan mereka dibangkitkan’.” (QS. An-Naml: 65) Kedua, fenomena yang terjadi di surau Tan Malaka misalnya, berkaitan dengan seseorang yang tidak punya otoritas akan ilmu gaib berkata tentang hal gaib. Hal ini menyelisihi ajaran Islam yang hakiki. Sehingga kritik tersebut tidak mengenai keyakinan agama Islam, tetapi mengenai fenomena masyarakat muslim yang dipotret di masa itu. Seluruh peramal dan juga rohaniawan yang dianggap mengetahui hal gaib atau bisa mendatangkan atau memprediksi hal gaib telah dibantah dengan ayat yang disebutkan di atas. Bahkan, banyak dalil tegas yang melarang seorang muslim untuk mempercayai ramalan. Dari Shafiyyah bin Abi Ubaid, dari salah seorang istri Nabi, diriwayatkan bahwa beliau ﷺ bersabda, مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أرْبَعِينَ يَومًا “Barangsiapa yang mendatangi peramal, menanyakan kepadanya sesuatu, lalu mempercayainya, maka salatnya tidak akan diterima empat puluh hari lamanya.” (HR. Muslim no. 2230) Otoritas mengenai hal gaib seluruhnya dimiliki Allah ﷻ semata. Adapun semisal orang saleh mengetahui hal gaib atau firasat tentang masa depan, semuanya itu paling maksimal hanya dianggap sebagai tanda, bukan keyakinan yang pasti. Begitu pula, jika ada orang fasik mengetahui hal gaib dan benar, itu hanyalah bagian dari informasi yang dicuri setan dan telah dibumbui sejuta kebohongan. Maka, keyakinan Islam mana yang menunjukkan bolehnya meyakini ramalan tanpa ada otoritas dari penyampainya? Ketiga, berdasarkan contoh yang dimaksudkan Tan Malaka, beliau mengkritisi bahwa keyakinan pada hal gaib itu tidak menghasilkan produktivitas. Karena adanya penyandaran diri secara berlebih kepada hal gaib sehingga seseorang menjadi malas berikhtiar atau meneliti suatu fenomena dari segi ilmiah. Kritik ini tidak mengenai pokok ajaran Islam yang menyuruh umatnya untuk berikhtiar sebaik mungkin dalam urusan dunia. Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila salat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10) Ayat ini memerintahkan hamba agar setelah beribadah mengamalkan keimanan, seseorang juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya di dunia. Allah ﷻ memerintahkan untuk “bertebaran”, yang artinya hamba diperintahkan memaksimalkan usahanya di dunia untuk mendapatkan rezeki di dunia. Hal ini menunjukkan bahwasanya keimanan Islam tidak meninggalkan serta-merta urusan dunia. Hanya saja, Islam menggabungkan konsep idealisme dan materialisme secara apik, yakni bahwasanya hasil usaha di dunia itu sepenuhnya milik Allah ﷻ. Sehingga apabila hasilnya tidak sesuai ekspektasi seorang hamba, maka ia selamat secara psikologis dari perasaan bersalah atas dirinya yang tidak mendapatkan hasil tersebut. Keempat, Islam mengajarkan umatnya untuk memaksimalkan potensi duniawi, termasuk percaya pada sains sembari bertawakal kepada Allah ﷻ. Dalam peperangan misalnya, Nabi ﷺ pun bertawakal kepada Allah ﷻ, tetapi beliau tidak meninggalkan sebab perlindungan dengan menggunakan pakaian baju besi. Artinya, Nabi ﷺ mengajarkan keimanan juga sekaligus praktiknya secara logis, yakni dengan mencari sebab duniawi. Seandainya di masa itu ada teknologi yang secara ilmiah lebih bisa menjaga diri Nabi ﷺ, tentu beliau akan menggunakannya sesuai kemampuan beliau. Rasulullah ﷺ juga memerintahkan orang untuk berobat ketika sakit. Berdasarkan hadis Usamah bin Syarik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa seorang Arab badui bertanya, يَا رَسُولَ اللَّهِ! أَلَا نَتَدَاوَى؟ قَالَ: نَعَمْ، يَا عِبَادَ اللَّهِ تَدَاوَوْا! فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءً أَوْ قَالَ دَوَاءً إِلَّا دَاءً وَاحِدًا. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُوَ؟ قَالَ: الْهَرَمُ “Wahai Rasulullah, bolehkah kita berobat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berobatlah, karena Allah telah menetapkan obat bagi setiap penyakit yang diturunkan-Nya, kecuali satu penyakit!” Para sahabat bertanya, “Penyakit apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Pikun.” (HR. At-Tirmidzi no. 1961 dan berkata, “Hadis ini hasan sahih.”) Dan dalam perintah berobat ini pun, Nabi ﷺ memerintahkan untuk berobat kepada ahlinya. Sebagaimana Nabi ﷺ dalam sebuah hadis bersanad dha’if meminta seorang sahabat untuk berobat kepada sahabat lain yang mengerti ramuan obat tertentu. Bukti lainnya adalah ketika dalam strategi perang, beliau menerima masukan Salman Al-Farisi berkaitan taktik perang yang secara ilmiah dalam ilmu perang memiliki potensi keberhasilan yang baik. Meskipun taktik perang parit ala Persia tersebut tidak lazim di bangsa Arab. Namun, karena taktik ini dimungkinkan lebih baik secara perhitungan perang pada kondisi tersebut, Nabi ﷺ pun menerapkannya. Hal ini karena Nabi ﷺ tahu bahwa otoritasnya secara sempurna ada dalam ruang agama. Adapun dalam urusan dunia, bisa jadi para sahabat dan orang lain lebih mengetahui hal tersebut. Ini sekaligus menjadi poin kelima dalam argumentasi ini. Nabi ﷺ bersabda, أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ “Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.”  (HR. Muslim no. 2363) Artinya, Islam memberikan ruang untuk umatnya memaksimalkan potensi pengetahuan duniawi untuk dikembangkan dan diteliti. Keyakinan pada hal gaib dalam Islam tidak bertentangan dengan usaha duniawi dan penelitian saintifik. Justru Islam tidak mencampuri urusan tersebut sebagai langkah menegasikan agama sebagaimana yang terjadi pada sebagian fenomena politik agama di abad kegelapan di Eropa. Hanya saja, Islam juga memberikan batasan yang ketat berkaitan keyakinan yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunah. Pengetahuan dan proses sains tidak boleh mengganggu-gugat hal ini. Semisal proses penelaahan teori evolusi tidak boleh menegasikan keyakinan bahwa Nabi Adam ‘alaihis salam adalah manusia pertama yang diturunkan ke bumi setelah melalui proses di surga. Hal ini pun disetujui oleh Tan Malaka, ketika membahas secara deskriptif mengenai Islam di hal. 483. Bahwasanya ranah keyakinan dalam Islam berkaitan hal gaib dan ketuhanan adalah ranah yang tidak dimasuki oleh Madilog sebagai kerangka filsafat Tan Malaka. Keyakinan ini, menurut beliau ditentukan pada kecondongan perasaan saja. Dan setiap manusia merdeka atas pilihan sanubarinya ini. Baca juga: Seandainya Agama dengan Logika Kritik atas miskonsepsi Tan Malaka terhadap Islam Sebetulnya apa yang dikritisi Tan Malaka atas fenomena mistika dalam konteks masyarakat Islam didasarkan atas dua hal: Pertama: Miskonsepsi masyarakat atas syariat Islam Kedua: Miskonsepsi Tan Malaka atas syariat Islam Maksudnya, contoh yang dikritisi Tan Malaka tidaklah bersumber dari syariat Islam. Namun, dari miskonsepsi masyarakat atas syariat Islam, seperti keyakinan pada orang alim yang bisa meramal atau mendatangkan hal gaib. Kesalahan yang tersebar di masyarakat ini, dipotret oleh Tan Malaka sebagai miskonsepsi Islam. Hal ini yang telah kami uraikan di atas dengan berbagai argumentasinya bahwa syariat Islam tidaklah demikian. Kita juga perlu menyadari bahwasanya Tan Malaka menulis Madilog tanpa sumber rujukan di tangan, karena beliau menulisnya dalam berbagai pelarian sehingga buku-buku tidak ada di sisi beliau. Konsep keislaman yang dideskripsikan Tan Malaka pun hanya disandarkan pada pengalaman bermasyarakat di kampungnya di Padang terdahulu. Kehidupan di surau yang beliau lalui dipenuhi dengan pelajaran Islam yang baik, tetapi masih dihiasi dengan berbagai informasi invalid. Karena beliau memang hidup di masyarakat yang demikian. Beliau menjelaskan bahwa keluarganya masih terkait dengan tarikat atau pengamalan Islam dengan tata cara yang cenderung dari pengamalan sufisme. Ditambah lagi beliau kemudian melanjutkan sekolahnya ke Belanda dengan latar belakang perkembangan pemikiran filsafat ala barat. Beliau pun mengakui bahwa pelajaran Islam itu beliau murajaah kembali dari buku Snouck Hugronje dan orientalis barat lainnya. Hal ini membentuk pemahaman Tan Malaka akan Islam yang dapat dikritisi pada bagian tertentu. Contoh konsep Islam yang kurang tepat dari Tan Malaka adalah ketika proses Nabi ﷺ menyendiri atau ber-tahanuts di Gua Hira. Beliau memaknai proses itu sebagai proses pencarian Nabi ﷺ akan esensi Tuhan. Beliau juga mengutip sejarawan barat yang menilai Nabi ﷺ mendapatkan sedikit informasi tentang konsep Yahudi dan kekristenan dari perjalanannya ke Suriah, Mesir, dan Asia Barat. Beliau menyebutkan bahwa Nabi ﷺ tertarik pada konsep ketuhanan milik Yahudi dan Kristen, yakni Allah ﷻ sebagai Tuhan yang tunggal (hal. 479). Ungkapan ini dapat mengesankan bahwa Nabi ﷺ berkeyakinan tauhid karena pengaruh Yahudi dan Kristen. Padahal, realitanya Nabi ﷺ dan masyarakat Arab telah mengenal Allah ﷻ sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Namun, sebagian orang Arab dalam proses penyembahannya telah menyimpang sehingga menghadirkan berhala sebagai sesembahan untuk menghubungkan kepada Allah ﷻ. أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّينُ ٱلْخَالِصُ ۚ وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلْفَىٰٓ إِنَّ ٱللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِى مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى مَنْ هُوَ كَٰذِبٌ كَفَّارٌ “Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka, melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Az Zumar: 3) Miskonsepsi ini akan menimbulkan miskonsepsi lainnya, seperti bahwa Nabi ﷺ mengembangkan konsep agama ini sendiri, bukan berdasarkan wahyu dari Allah ﷻ. Pandangan ini akhirnya menganggap agama sebagai sebuah konsep saja, bukan sesuatu yang suci. Sehingga kelazimannya, apa yang diperintahkan oleh agama bisa dikritisi atau tidak digunakan. Miskonsepsi ini juga ditunjukkan dari beberapa kali Tan Malaka berusaha menjelaskan bahwa konsep surga itu berkaitan dengan latar belakang budaya di mana agama itu berkembang. Semisal tentang bidadari yang cantik matanya bak merpati dan air zam-zam yang ada di surga. Menurut Tan Malaka, ini adalah konsepsi surga dalam pandangan bangsa Arab (hal. 184). Berdasarkan penelaahan kami, tidak ada sumber valid yang mengatakan air zam-zam ada di surga atau berasal dari surga. Begitu pula, dengan konsep keindahan surga adalah konsep universal. Hanya saja, mungkin dalam pembahasaan Nabi ﷺ diterangkan keindahan surga itu dengan permisalan yang dipahami oleh kaumnya. Hal ini wajar, karena Nabi ﷺ diturunkan di tengah bangsa Arab yang pada akhirnya ajarannya meluas ke seluruh dunia. Maka, tidak tepat menyatakan konsep surga dalam Islam adalah konsep keindahan ala Arab semata. Pujian Tan Malaka kepada Islam dan Nabi Muhammad ﷺ Meskipun terdapat miskonsepsi dalam pemahaman Tan Malaka terhadap Islam, serta berbagai proses perjalanan kehidupannya, tetapi Tan Malaka memuji agama Islam sebagai konsep yang paling konsekuen, lurus, dan selaras dengan konstruksi logika (hal. 482). Pujian lainnya adalah kepada sosok Nabi Muhammad ﷺ yang penyayang kepada orang yang memusuhinya. Kemudian sikap keadilan Nabi ﷺ terhadap seluruh manusia di bawah kepemimpinannya. Semua sikap tersebut tersemat pada Islam dan Nabi ﷺ. Beliau juga memuji bahasa Arab sebagai atribut keagamaan yang memiliki nilai kebahasaan yang indah dan mulia. Segala informasi tentang Islam dan Arab masih begitu menarik bagi Tan Malaka. Namun, keterbatasan informasi dan upaya validasi di masanya itu pada akhirnya menghasilkan pemahaman yang dapat dikritisi. Terlebih lagi, Tan Malaka tidak dinilai sebagai ahli agama, melainkan sosok pemikir yang memberikan komentarnya pada fenomena di masyarakat. Sehingga, wajar saja jika Tan Malaka memiliki catatan kesalahan dalam proses pemotretannya terhadap Islam. Kesimpulan Dari panjangnya uraian di atas, kita bisa menyimpulkan bahwasanya Islam tidak termasuk dalam logika mistika yang dimaksudkan oleh Tan Malaka. Namun, praktik di masyarakat yang juga dilakukan oleh komunitas muslim, seperti ramalan dan perdukunan, termasuk dalam logika mistika yang bermasalah. Islam pun tidak menyetujui praktik logika mistika atau mistifikasi yang dipotret oleh Tan Malaka tersebut dalam Madilog. Masyarakat, utamanya anak muda di media sosial yang tengah gandrung dengan istilah ini, perlu mengetahui bahwa logika mistika tidak menjadi sebab menegasikan Islam sebagai keyakinan yang valid. Apalagi Tan Malaka secara jelas menyatakan bahwa keyakinan akan Tuhan sebagaimana Islam berada di luar liputan Madilog. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang dikomentari dalam isu logika mistika adalah sesuatu yang dinilai salah juga dalam Islam. Kami mengajak masyakat untuk mendalami Islam dari sumber yang valid, yakni Al-Qur’an, As-Sunah, dan berdasarkan pemahaman salaful ummah, sehingga tidak terjadi miskonsepsi atas agama. Juga masyarakat tidak perlu disibukkan dengan bacaan filsafat apalagi membacanya tidak keseluruhan sehingga menyimpulkan secara tidak tepat. Semoga Allah ﷻ merahmati kaum muslimin keseluruhan. Amin. Baca juga: Imam Asy Syafi’i dan Ilmu Filsafat *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Catatan ini didasarkan pada buku Madilog karya Tan Malaka, terbitan Narasi, Cet. XVI, 2021.

Apakah Islam Termasuk Logika Mistika ala Tan Malaka?

Daftar Isi Toggle Mengenal logika mistika ala Tan MalakaBerbagai bentuk logika mistikaApakah Islam termasuk logika mistika?Kritik atas miskonsepsi Tan Malaka terhadap IslamPujian Tan Malaka kepada Islam dan Nabi Muhammad ﷺKesimpulan Saat ini, di media sosial, kembali viral sebuah istilah logika mistika bersamaan dengan popularitas diskusi filsafat yang meningkat. Tidak sulit menemukan berbagai unggahan yang membahas pandangan filsafat tertentu yang dikaitkan dengan fenomena terkini. Salah satunya adalah fenomena kepercayaan banyak masyarakat Indonesia terhadap hal klenik berupa santet dan perdukunan. Isu ini dibahas oleh beberapa influencer sebagai penyebab Indonesia tidak menjadi negara maju, karena terjebak dalam logika mistika yang dipopulerkan oleh Tan Malaka. Tak sedikit yang memperluas pengkategorian sengkarut logika mistika ini kepada fenomena meningkatnya ketaatan masyarakat terhadap agama. Lalu, apa sebenarnya logika mistika itu? Benarkah Islam merupakan bagian dari logika mistika yang dimaksudkan Tan Malaka? Mengenal logika mistika ala Tan Malaka Logika mistika adalah struktur logika yang berdasarkan kerohanian. Istilah ini dikenal melalui karya magnum opus Tan Malaka, yakni Madilog (1943). Dalam karya beliau, logika mistika dijelaskan sebagai konsep keyakinan yang melekat pada seseorang berdasarkan pada dogma-dogma dari ayat suci Maha Dewa yang berkuasa. Narasi ini dibangun oleh Tan Malaka melalui cerita tentang Dewa Rah dalam keyakinan Mesir Kuno yang dianggap sebagai Maha Dewa yang mencipta dan menguasai alam semesta (hal. 32-33). Di dalam Madilog, logika mistika dijadikan konsep yang pertama kali diuraikan dalam bab panjang. Lalu, Tan Malaka menyelipkan berbagai contoh logika mistika sebagai penghalang kemajuan suatu dalam berbagai contoh di setiap bab yang diuraikannya. Beberapa argumennya menunjukkan bahwasanya logika mistika berupa penciptaan alam semesta, makhluk hidup, dan daurnya telah terbantahkan oleh filsafat sains yang lebih modern. Berbagai bentuk logika mistika Dalam Madilog, Tan Malaka sebetulnya membahas serba-serbi yang termasuk dalam pembahasan filsafat. Tujuannya adalah untuk mempresentasikan bahwa filsafat Madilog yang diusungnya dapat menjawab semua sengkarut permasalahan yang salah satunya disebabkan oleh logika mistika. Beberapa contoh yang dibawakan oleh Tan Malaka sebetulnya tidak ada yang eksplisit mengarah pada ajaran Islam. Hanya saja, Tan Malaka memotret fenomena yang terjadi di kampungnya terdahulu yang mayoritas beragama Islam. Begitu juga dengan fenomena sosial bank plecit di pra-kemerdekaan yang banyak dijalankan oleh orang Arab di Indonesia. Tan Malaka sebetulnya lebih banyak mengkritisi beberapa konsep keyakinan akan hal gaib dan agama yang dibawakan dari takhayul dalam konsep animisme-dinamisme, filsafat Hindu dan Budha. Di antaranya adalah kritik Tan Malaka terhadap angan-angan keberhasilan jika beriman kepada sebuah keyakinan (akidah) sehingga malas bekerja. Juga keyakinan akan datangnya ratu adil yang akan membebaskan Indonesia dari penjajahan, yang melemahkan Jaya Baya dalam penceritaan Hindu masa lampau. Hal ini sebetulnya merupakan kritik yang lazim muncul di komunitas pemikir materialisme seperti Karl Marx dan yang lainnya. Kritik Tan Malaka terhadap masalah mistika juga disebutkan dalam hal. 265-266, tentang kesalahan orang yang menganggap segala bentuk konsep yang ada dalam ide secara jelas pastilah ada. Gambaran emas sebesar gunung dan konsep Tuhan adalah gambaran yang jelas mungkin di kepala, maka pastilah ada. Keyakinan tersebut menurut Tan Malaka secara materialisme adalah sebuah kesalahan logika. Beliau membawakan fenomena yang terjadi semasa beliau di surau atau masjid di kampungnya, yang mana ada seorang rohaniawan mengajarkan bahwa “sesuatu yang diyakini mestilah ada”. Dikisahkan, rohaniawan itu menyugestikan bahwa di dalam kelapa ada ikan, lalu dibelahlah sebuah kelapa tersebut dan benar saja di dalamnya ada sebuah ikan. Keyakinan semacam ini menurut Tan Malaka tidak akan ada habisnya di Indonesia. Beliau mengkritik, “Rakyat Indonesia boleh saja ketinggalan dalam ilmu bukti seperti membangun kapal dll., tetapi dalam berbagai jenis doa (mantra) atau kepercayaan tidak akan kalah.” Kritik lain yang beliau maksudkan dalam logika mistika adalah kesalahan observasi yang menghasilkan sebuah ramalan. Contoh yang beliau maksudkan adalah ramalan kiamat dalam keyakinan Kristen ortodoks, bahwa surga akan datang 1000 tahun setelah perang besar terjadi. Keyakinan ini menggeliat setelah Perang Dunia I usai. Namun, menurut Tan Malaka, ramalan berikut sebenarnya terbatalkan dengan adanya Perang Dunia II. Begitu pula dengan kejadian di surau beliau. Ketika itu, seluruh warga kampung melakukan satu salat berjemaah karena ada fenomena pohon pisang berjantung dua yang dianggap sebagai tanda kiamat. Begitupula ramalan Pak Belalang dan Jaya Baya yang disebutkan beratus tahun yang lalu. Masih banyak contoh lainnya yang tersebar dalam setiap bab yang dituliskan Tan Malaka, setidaknya dihimpun dalam Bab “Lima Kesalahan”. Di akhir bab, beliau menyimpulkan kesalahan tersebut mayoritas berakar pada kesalahan apriori yang beliau sebut sebagai kesalahan mistifikasi. Contoh yang disebutkan tidak berkaitan dengan kekurangan dalam logika mereka, tetapi berkaitan dengan keyakinan mistik yang dianut, yakni pada kerohanian dewa atau alam. Apakah Islam termasuk logika mistika? Berdasarkan uraian yang dimaksudkan Tan Malaka dalam Madilog, bolehlah kita menimbang apakah contoh tersebut mewakili Islam yang sebenarnya? Apakah Islam termasuk dalam praktik kesalahan akibat mistifikasi? Maka, simaklah uraian berikut. Pertama, Islam memiliki keyakinan pokok bahwasanya ada Tuhan yang bersifat gaib yang mencipta, mengatur, dan memelihara alam semesta. Keyakinan ini tidak bisa ditawar-tawar, sehingga wajib ada dalam keyakinan Islam. Allah ﷻ berfirman dalam pembukaan QS. Al-Baqarah, الــم {1} ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ {2} الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ  يُنْفِقُونَ {3} “Alif lam mim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah: 1-3) Keyakinan pada Allah ﷻ dan hal gaib adalah bagian dari rukun iman yang membedakan seorang mukmin dengan orang kafir atau selainnya. Konstruksi keimanan pada hal yang gaib ini sangat diatur dalam Islam, sehingga tidak sembarangan orang menentukan sesuatu yang gaib ada secara hakiki, kecuali ada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah. Allah ﷻ berfirman, وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَيَعْلَمُهَآ إِلاَّ هُوَ “Dan pada sisi Allahlah, kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia sendiri.” (QS. Al-An’am: 59) Allah ﷻ juga berfirman, bahkan Nabi ﷺ pun tidak mengetahui hal gaib, kecuali apa yang Allah ﷻ berikan, قُل لاَّيَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ وَمَايَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ “Katakanlah (hai Muhammad), ‘Tiada siapa pun, baik di langit maupun di bumi yang mengetahui hal-hal yang gaib, kecuali Allah, dan mereka tidak mengetahui kapan mereka dibangkitkan’.” (QS. An-Naml: 65) Kedua, fenomena yang terjadi di surau Tan Malaka misalnya, berkaitan dengan seseorang yang tidak punya otoritas akan ilmu gaib berkata tentang hal gaib. Hal ini menyelisihi ajaran Islam yang hakiki. Sehingga kritik tersebut tidak mengenai keyakinan agama Islam, tetapi mengenai fenomena masyarakat muslim yang dipotret di masa itu. Seluruh peramal dan juga rohaniawan yang dianggap mengetahui hal gaib atau bisa mendatangkan atau memprediksi hal gaib telah dibantah dengan ayat yang disebutkan di atas. Bahkan, banyak dalil tegas yang melarang seorang muslim untuk mempercayai ramalan. Dari Shafiyyah bin Abi Ubaid, dari salah seorang istri Nabi, diriwayatkan bahwa beliau ﷺ bersabda, مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أرْبَعِينَ يَومًا “Barangsiapa yang mendatangi peramal, menanyakan kepadanya sesuatu, lalu mempercayainya, maka salatnya tidak akan diterima empat puluh hari lamanya.” (HR. Muslim no. 2230) Otoritas mengenai hal gaib seluruhnya dimiliki Allah ﷻ semata. Adapun semisal orang saleh mengetahui hal gaib atau firasat tentang masa depan, semuanya itu paling maksimal hanya dianggap sebagai tanda, bukan keyakinan yang pasti. Begitu pula, jika ada orang fasik mengetahui hal gaib dan benar, itu hanyalah bagian dari informasi yang dicuri setan dan telah dibumbui sejuta kebohongan. Maka, keyakinan Islam mana yang menunjukkan bolehnya meyakini ramalan tanpa ada otoritas dari penyampainya? Ketiga, berdasarkan contoh yang dimaksudkan Tan Malaka, beliau mengkritisi bahwa keyakinan pada hal gaib itu tidak menghasilkan produktivitas. Karena adanya penyandaran diri secara berlebih kepada hal gaib sehingga seseorang menjadi malas berikhtiar atau meneliti suatu fenomena dari segi ilmiah. Kritik ini tidak mengenai pokok ajaran Islam yang menyuruh umatnya untuk berikhtiar sebaik mungkin dalam urusan dunia. Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila salat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10) Ayat ini memerintahkan hamba agar setelah beribadah mengamalkan keimanan, seseorang juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya di dunia. Allah ﷻ memerintahkan untuk “bertebaran”, yang artinya hamba diperintahkan memaksimalkan usahanya di dunia untuk mendapatkan rezeki di dunia. Hal ini menunjukkan bahwasanya keimanan Islam tidak meninggalkan serta-merta urusan dunia. Hanya saja, Islam menggabungkan konsep idealisme dan materialisme secara apik, yakni bahwasanya hasil usaha di dunia itu sepenuhnya milik Allah ﷻ. Sehingga apabila hasilnya tidak sesuai ekspektasi seorang hamba, maka ia selamat secara psikologis dari perasaan bersalah atas dirinya yang tidak mendapatkan hasil tersebut. Keempat, Islam mengajarkan umatnya untuk memaksimalkan potensi duniawi, termasuk percaya pada sains sembari bertawakal kepada Allah ﷻ. Dalam peperangan misalnya, Nabi ﷺ pun bertawakal kepada Allah ﷻ, tetapi beliau tidak meninggalkan sebab perlindungan dengan menggunakan pakaian baju besi. Artinya, Nabi ﷺ mengajarkan keimanan juga sekaligus praktiknya secara logis, yakni dengan mencari sebab duniawi. Seandainya di masa itu ada teknologi yang secara ilmiah lebih bisa menjaga diri Nabi ﷺ, tentu beliau akan menggunakannya sesuai kemampuan beliau. Rasulullah ﷺ juga memerintahkan orang untuk berobat ketika sakit. Berdasarkan hadis Usamah bin Syarik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa seorang Arab badui bertanya, يَا رَسُولَ اللَّهِ! أَلَا نَتَدَاوَى؟ قَالَ: نَعَمْ، يَا عِبَادَ اللَّهِ تَدَاوَوْا! فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءً أَوْ قَالَ دَوَاءً إِلَّا دَاءً وَاحِدًا. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُوَ؟ قَالَ: الْهَرَمُ “Wahai Rasulullah, bolehkah kita berobat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berobatlah, karena Allah telah menetapkan obat bagi setiap penyakit yang diturunkan-Nya, kecuali satu penyakit!” Para sahabat bertanya, “Penyakit apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Pikun.” (HR. At-Tirmidzi no. 1961 dan berkata, “Hadis ini hasan sahih.”) Dan dalam perintah berobat ini pun, Nabi ﷺ memerintahkan untuk berobat kepada ahlinya. Sebagaimana Nabi ﷺ dalam sebuah hadis bersanad dha’if meminta seorang sahabat untuk berobat kepada sahabat lain yang mengerti ramuan obat tertentu. Bukti lainnya adalah ketika dalam strategi perang, beliau menerima masukan Salman Al-Farisi berkaitan taktik perang yang secara ilmiah dalam ilmu perang memiliki potensi keberhasilan yang baik. Meskipun taktik perang parit ala Persia tersebut tidak lazim di bangsa Arab. Namun, karena taktik ini dimungkinkan lebih baik secara perhitungan perang pada kondisi tersebut, Nabi ﷺ pun menerapkannya. Hal ini karena Nabi ﷺ tahu bahwa otoritasnya secara sempurna ada dalam ruang agama. Adapun dalam urusan dunia, bisa jadi para sahabat dan orang lain lebih mengetahui hal tersebut. Ini sekaligus menjadi poin kelima dalam argumentasi ini. Nabi ﷺ bersabda, أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ “Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.”  (HR. Muslim no. 2363) Artinya, Islam memberikan ruang untuk umatnya memaksimalkan potensi pengetahuan duniawi untuk dikembangkan dan diteliti. Keyakinan pada hal gaib dalam Islam tidak bertentangan dengan usaha duniawi dan penelitian saintifik. Justru Islam tidak mencampuri urusan tersebut sebagai langkah menegasikan agama sebagaimana yang terjadi pada sebagian fenomena politik agama di abad kegelapan di Eropa. Hanya saja, Islam juga memberikan batasan yang ketat berkaitan keyakinan yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunah. Pengetahuan dan proses sains tidak boleh mengganggu-gugat hal ini. Semisal proses penelaahan teori evolusi tidak boleh menegasikan keyakinan bahwa Nabi Adam ‘alaihis salam adalah manusia pertama yang diturunkan ke bumi setelah melalui proses di surga. Hal ini pun disetujui oleh Tan Malaka, ketika membahas secara deskriptif mengenai Islam di hal. 483. Bahwasanya ranah keyakinan dalam Islam berkaitan hal gaib dan ketuhanan adalah ranah yang tidak dimasuki oleh Madilog sebagai kerangka filsafat Tan Malaka. Keyakinan ini, menurut beliau ditentukan pada kecondongan perasaan saja. Dan setiap manusia merdeka atas pilihan sanubarinya ini. Baca juga: Seandainya Agama dengan Logika Kritik atas miskonsepsi Tan Malaka terhadap Islam Sebetulnya apa yang dikritisi Tan Malaka atas fenomena mistika dalam konteks masyarakat Islam didasarkan atas dua hal: Pertama: Miskonsepsi masyarakat atas syariat Islam Kedua: Miskonsepsi Tan Malaka atas syariat Islam Maksudnya, contoh yang dikritisi Tan Malaka tidaklah bersumber dari syariat Islam. Namun, dari miskonsepsi masyarakat atas syariat Islam, seperti keyakinan pada orang alim yang bisa meramal atau mendatangkan hal gaib. Kesalahan yang tersebar di masyarakat ini, dipotret oleh Tan Malaka sebagai miskonsepsi Islam. Hal ini yang telah kami uraikan di atas dengan berbagai argumentasinya bahwa syariat Islam tidaklah demikian. Kita juga perlu menyadari bahwasanya Tan Malaka menulis Madilog tanpa sumber rujukan di tangan, karena beliau menulisnya dalam berbagai pelarian sehingga buku-buku tidak ada di sisi beliau. Konsep keislaman yang dideskripsikan Tan Malaka pun hanya disandarkan pada pengalaman bermasyarakat di kampungnya di Padang terdahulu. Kehidupan di surau yang beliau lalui dipenuhi dengan pelajaran Islam yang baik, tetapi masih dihiasi dengan berbagai informasi invalid. Karena beliau memang hidup di masyarakat yang demikian. Beliau menjelaskan bahwa keluarganya masih terkait dengan tarikat atau pengamalan Islam dengan tata cara yang cenderung dari pengamalan sufisme. Ditambah lagi beliau kemudian melanjutkan sekolahnya ke Belanda dengan latar belakang perkembangan pemikiran filsafat ala barat. Beliau pun mengakui bahwa pelajaran Islam itu beliau murajaah kembali dari buku Snouck Hugronje dan orientalis barat lainnya. Hal ini membentuk pemahaman Tan Malaka akan Islam yang dapat dikritisi pada bagian tertentu. Contoh konsep Islam yang kurang tepat dari Tan Malaka adalah ketika proses Nabi ﷺ menyendiri atau ber-tahanuts di Gua Hira. Beliau memaknai proses itu sebagai proses pencarian Nabi ﷺ akan esensi Tuhan. Beliau juga mengutip sejarawan barat yang menilai Nabi ﷺ mendapatkan sedikit informasi tentang konsep Yahudi dan kekristenan dari perjalanannya ke Suriah, Mesir, dan Asia Barat. Beliau menyebutkan bahwa Nabi ﷺ tertarik pada konsep ketuhanan milik Yahudi dan Kristen, yakni Allah ﷻ sebagai Tuhan yang tunggal (hal. 479). Ungkapan ini dapat mengesankan bahwa Nabi ﷺ berkeyakinan tauhid karena pengaruh Yahudi dan Kristen. Padahal, realitanya Nabi ﷺ dan masyarakat Arab telah mengenal Allah ﷻ sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Namun, sebagian orang Arab dalam proses penyembahannya telah menyimpang sehingga menghadirkan berhala sebagai sesembahan untuk menghubungkan kepada Allah ﷻ. أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّينُ ٱلْخَالِصُ ۚ وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلْفَىٰٓ إِنَّ ٱللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِى مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى مَنْ هُوَ كَٰذِبٌ كَفَّارٌ “Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka, melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Az Zumar: 3) Miskonsepsi ini akan menimbulkan miskonsepsi lainnya, seperti bahwa Nabi ﷺ mengembangkan konsep agama ini sendiri, bukan berdasarkan wahyu dari Allah ﷻ. Pandangan ini akhirnya menganggap agama sebagai sebuah konsep saja, bukan sesuatu yang suci. Sehingga kelazimannya, apa yang diperintahkan oleh agama bisa dikritisi atau tidak digunakan. Miskonsepsi ini juga ditunjukkan dari beberapa kali Tan Malaka berusaha menjelaskan bahwa konsep surga itu berkaitan dengan latar belakang budaya di mana agama itu berkembang. Semisal tentang bidadari yang cantik matanya bak merpati dan air zam-zam yang ada di surga. Menurut Tan Malaka, ini adalah konsepsi surga dalam pandangan bangsa Arab (hal. 184). Berdasarkan penelaahan kami, tidak ada sumber valid yang mengatakan air zam-zam ada di surga atau berasal dari surga. Begitu pula, dengan konsep keindahan surga adalah konsep universal. Hanya saja, mungkin dalam pembahasaan Nabi ﷺ diterangkan keindahan surga itu dengan permisalan yang dipahami oleh kaumnya. Hal ini wajar, karena Nabi ﷺ diturunkan di tengah bangsa Arab yang pada akhirnya ajarannya meluas ke seluruh dunia. Maka, tidak tepat menyatakan konsep surga dalam Islam adalah konsep keindahan ala Arab semata. Pujian Tan Malaka kepada Islam dan Nabi Muhammad ﷺ Meskipun terdapat miskonsepsi dalam pemahaman Tan Malaka terhadap Islam, serta berbagai proses perjalanan kehidupannya, tetapi Tan Malaka memuji agama Islam sebagai konsep yang paling konsekuen, lurus, dan selaras dengan konstruksi logika (hal. 482). Pujian lainnya adalah kepada sosok Nabi Muhammad ﷺ yang penyayang kepada orang yang memusuhinya. Kemudian sikap keadilan Nabi ﷺ terhadap seluruh manusia di bawah kepemimpinannya. Semua sikap tersebut tersemat pada Islam dan Nabi ﷺ. Beliau juga memuji bahasa Arab sebagai atribut keagamaan yang memiliki nilai kebahasaan yang indah dan mulia. Segala informasi tentang Islam dan Arab masih begitu menarik bagi Tan Malaka. Namun, keterbatasan informasi dan upaya validasi di masanya itu pada akhirnya menghasilkan pemahaman yang dapat dikritisi. Terlebih lagi, Tan Malaka tidak dinilai sebagai ahli agama, melainkan sosok pemikir yang memberikan komentarnya pada fenomena di masyarakat. Sehingga, wajar saja jika Tan Malaka memiliki catatan kesalahan dalam proses pemotretannya terhadap Islam. Kesimpulan Dari panjangnya uraian di atas, kita bisa menyimpulkan bahwasanya Islam tidak termasuk dalam logika mistika yang dimaksudkan oleh Tan Malaka. Namun, praktik di masyarakat yang juga dilakukan oleh komunitas muslim, seperti ramalan dan perdukunan, termasuk dalam logika mistika yang bermasalah. Islam pun tidak menyetujui praktik logika mistika atau mistifikasi yang dipotret oleh Tan Malaka tersebut dalam Madilog. Masyarakat, utamanya anak muda di media sosial yang tengah gandrung dengan istilah ini, perlu mengetahui bahwa logika mistika tidak menjadi sebab menegasikan Islam sebagai keyakinan yang valid. Apalagi Tan Malaka secara jelas menyatakan bahwa keyakinan akan Tuhan sebagaimana Islam berada di luar liputan Madilog. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang dikomentari dalam isu logika mistika adalah sesuatu yang dinilai salah juga dalam Islam. Kami mengajak masyakat untuk mendalami Islam dari sumber yang valid, yakni Al-Qur’an, As-Sunah, dan berdasarkan pemahaman salaful ummah, sehingga tidak terjadi miskonsepsi atas agama. Juga masyarakat tidak perlu disibukkan dengan bacaan filsafat apalagi membacanya tidak keseluruhan sehingga menyimpulkan secara tidak tepat. Semoga Allah ﷻ merahmati kaum muslimin keseluruhan. Amin. Baca juga: Imam Asy Syafi’i dan Ilmu Filsafat *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Catatan ini didasarkan pada buku Madilog karya Tan Malaka, terbitan Narasi, Cet. XVI, 2021.
Daftar Isi Toggle Mengenal logika mistika ala Tan MalakaBerbagai bentuk logika mistikaApakah Islam termasuk logika mistika?Kritik atas miskonsepsi Tan Malaka terhadap IslamPujian Tan Malaka kepada Islam dan Nabi Muhammad ﷺKesimpulan Saat ini, di media sosial, kembali viral sebuah istilah logika mistika bersamaan dengan popularitas diskusi filsafat yang meningkat. Tidak sulit menemukan berbagai unggahan yang membahas pandangan filsafat tertentu yang dikaitkan dengan fenomena terkini. Salah satunya adalah fenomena kepercayaan banyak masyarakat Indonesia terhadap hal klenik berupa santet dan perdukunan. Isu ini dibahas oleh beberapa influencer sebagai penyebab Indonesia tidak menjadi negara maju, karena terjebak dalam logika mistika yang dipopulerkan oleh Tan Malaka. Tak sedikit yang memperluas pengkategorian sengkarut logika mistika ini kepada fenomena meningkatnya ketaatan masyarakat terhadap agama. Lalu, apa sebenarnya logika mistika itu? Benarkah Islam merupakan bagian dari logika mistika yang dimaksudkan Tan Malaka? Mengenal logika mistika ala Tan Malaka Logika mistika adalah struktur logika yang berdasarkan kerohanian. Istilah ini dikenal melalui karya magnum opus Tan Malaka, yakni Madilog (1943). Dalam karya beliau, logika mistika dijelaskan sebagai konsep keyakinan yang melekat pada seseorang berdasarkan pada dogma-dogma dari ayat suci Maha Dewa yang berkuasa. Narasi ini dibangun oleh Tan Malaka melalui cerita tentang Dewa Rah dalam keyakinan Mesir Kuno yang dianggap sebagai Maha Dewa yang mencipta dan menguasai alam semesta (hal. 32-33). Di dalam Madilog, logika mistika dijadikan konsep yang pertama kali diuraikan dalam bab panjang. Lalu, Tan Malaka menyelipkan berbagai contoh logika mistika sebagai penghalang kemajuan suatu dalam berbagai contoh di setiap bab yang diuraikannya. Beberapa argumennya menunjukkan bahwasanya logika mistika berupa penciptaan alam semesta, makhluk hidup, dan daurnya telah terbantahkan oleh filsafat sains yang lebih modern. Berbagai bentuk logika mistika Dalam Madilog, Tan Malaka sebetulnya membahas serba-serbi yang termasuk dalam pembahasan filsafat. Tujuannya adalah untuk mempresentasikan bahwa filsafat Madilog yang diusungnya dapat menjawab semua sengkarut permasalahan yang salah satunya disebabkan oleh logika mistika. Beberapa contoh yang dibawakan oleh Tan Malaka sebetulnya tidak ada yang eksplisit mengarah pada ajaran Islam. Hanya saja, Tan Malaka memotret fenomena yang terjadi di kampungnya terdahulu yang mayoritas beragama Islam. Begitu juga dengan fenomena sosial bank plecit di pra-kemerdekaan yang banyak dijalankan oleh orang Arab di Indonesia. Tan Malaka sebetulnya lebih banyak mengkritisi beberapa konsep keyakinan akan hal gaib dan agama yang dibawakan dari takhayul dalam konsep animisme-dinamisme, filsafat Hindu dan Budha. Di antaranya adalah kritik Tan Malaka terhadap angan-angan keberhasilan jika beriman kepada sebuah keyakinan (akidah) sehingga malas bekerja. Juga keyakinan akan datangnya ratu adil yang akan membebaskan Indonesia dari penjajahan, yang melemahkan Jaya Baya dalam penceritaan Hindu masa lampau. Hal ini sebetulnya merupakan kritik yang lazim muncul di komunitas pemikir materialisme seperti Karl Marx dan yang lainnya. Kritik Tan Malaka terhadap masalah mistika juga disebutkan dalam hal. 265-266, tentang kesalahan orang yang menganggap segala bentuk konsep yang ada dalam ide secara jelas pastilah ada. Gambaran emas sebesar gunung dan konsep Tuhan adalah gambaran yang jelas mungkin di kepala, maka pastilah ada. Keyakinan tersebut menurut Tan Malaka secara materialisme adalah sebuah kesalahan logika. Beliau membawakan fenomena yang terjadi semasa beliau di surau atau masjid di kampungnya, yang mana ada seorang rohaniawan mengajarkan bahwa “sesuatu yang diyakini mestilah ada”. Dikisahkan, rohaniawan itu menyugestikan bahwa di dalam kelapa ada ikan, lalu dibelahlah sebuah kelapa tersebut dan benar saja di dalamnya ada sebuah ikan. Keyakinan semacam ini menurut Tan Malaka tidak akan ada habisnya di Indonesia. Beliau mengkritik, “Rakyat Indonesia boleh saja ketinggalan dalam ilmu bukti seperti membangun kapal dll., tetapi dalam berbagai jenis doa (mantra) atau kepercayaan tidak akan kalah.” Kritik lain yang beliau maksudkan dalam logika mistika adalah kesalahan observasi yang menghasilkan sebuah ramalan. Contoh yang beliau maksudkan adalah ramalan kiamat dalam keyakinan Kristen ortodoks, bahwa surga akan datang 1000 tahun setelah perang besar terjadi. Keyakinan ini menggeliat setelah Perang Dunia I usai. Namun, menurut Tan Malaka, ramalan berikut sebenarnya terbatalkan dengan adanya Perang Dunia II. Begitu pula dengan kejadian di surau beliau. Ketika itu, seluruh warga kampung melakukan satu salat berjemaah karena ada fenomena pohon pisang berjantung dua yang dianggap sebagai tanda kiamat. Begitupula ramalan Pak Belalang dan Jaya Baya yang disebutkan beratus tahun yang lalu. Masih banyak contoh lainnya yang tersebar dalam setiap bab yang dituliskan Tan Malaka, setidaknya dihimpun dalam Bab “Lima Kesalahan”. Di akhir bab, beliau menyimpulkan kesalahan tersebut mayoritas berakar pada kesalahan apriori yang beliau sebut sebagai kesalahan mistifikasi. Contoh yang disebutkan tidak berkaitan dengan kekurangan dalam logika mereka, tetapi berkaitan dengan keyakinan mistik yang dianut, yakni pada kerohanian dewa atau alam. Apakah Islam termasuk logika mistika? Berdasarkan uraian yang dimaksudkan Tan Malaka dalam Madilog, bolehlah kita menimbang apakah contoh tersebut mewakili Islam yang sebenarnya? Apakah Islam termasuk dalam praktik kesalahan akibat mistifikasi? Maka, simaklah uraian berikut. Pertama, Islam memiliki keyakinan pokok bahwasanya ada Tuhan yang bersifat gaib yang mencipta, mengatur, dan memelihara alam semesta. Keyakinan ini tidak bisa ditawar-tawar, sehingga wajib ada dalam keyakinan Islam. Allah ﷻ berfirman dalam pembukaan QS. Al-Baqarah, الــم {1} ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ {2} الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ  يُنْفِقُونَ {3} “Alif lam mim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah: 1-3) Keyakinan pada Allah ﷻ dan hal gaib adalah bagian dari rukun iman yang membedakan seorang mukmin dengan orang kafir atau selainnya. Konstruksi keimanan pada hal yang gaib ini sangat diatur dalam Islam, sehingga tidak sembarangan orang menentukan sesuatu yang gaib ada secara hakiki, kecuali ada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah. Allah ﷻ berfirman, وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَيَعْلَمُهَآ إِلاَّ هُوَ “Dan pada sisi Allahlah, kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia sendiri.” (QS. Al-An’am: 59) Allah ﷻ juga berfirman, bahkan Nabi ﷺ pun tidak mengetahui hal gaib, kecuali apa yang Allah ﷻ berikan, قُل لاَّيَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ وَمَايَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ “Katakanlah (hai Muhammad), ‘Tiada siapa pun, baik di langit maupun di bumi yang mengetahui hal-hal yang gaib, kecuali Allah, dan mereka tidak mengetahui kapan mereka dibangkitkan’.” (QS. An-Naml: 65) Kedua, fenomena yang terjadi di surau Tan Malaka misalnya, berkaitan dengan seseorang yang tidak punya otoritas akan ilmu gaib berkata tentang hal gaib. Hal ini menyelisihi ajaran Islam yang hakiki. Sehingga kritik tersebut tidak mengenai keyakinan agama Islam, tetapi mengenai fenomena masyarakat muslim yang dipotret di masa itu. Seluruh peramal dan juga rohaniawan yang dianggap mengetahui hal gaib atau bisa mendatangkan atau memprediksi hal gaib telah dibantah dengan ayat yang disebutkan di atas. Bahkan, banyak dalil tegas yang melarang seorang muslim untuk mempercayai ramalan. Dari Shafiyyah bin Abi Ubaid, dari salah seorang istri Nabi, diriwayatkan bahwa beliau ﷺ bersabda, مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أرْبَعِينَ يَومًا “Barangsiapa yang mendatangi peramal, menanyakan kepadanya sesuatu, lalu mempercayainya, maka salatnya tidak akan diterima empat puluh hari lamanya.” (HR. Muslim no. 2230) Otoritas mengenai hal gaib seluruhnya dimiliki Allah ﷻ semata. Adapun semisal orang saleh mengetahui hal gaib atau firasat tentang masa depan, semuanya itu paling maksimal hanya dianggap sebagai tanda, bukan keyakinan yang pasti. Begitu pula, jika ada orang fasik mengetahui hal gaib dan benar, itu hanyalah bagian dari informasi yang dicuri setan dan telah dibumbui sejuta kebohongan. Maka, keyakinan Islam mana yang menunjukkan bolehnya meyakini ramalan tanpa ada otoritas dari penyampainya? Ketiga, berdasarkan contoh yang dimaksudkan Tan Malaka, beliau mengkritisi bahwa keyakinan pada hal gaib itu tidak menghasilkan produktivitas. Karena adanya penyandaran diri secara berlebih kepada hal gaib sehingga seseorang menjadi malas berikhtiar atau meneliti suatu fenomena dari segi ilmiah. Kritik ini tidak mengenai pokok ajaran Islam yang menyuruh umatnya untuk berikhtiar sebaik mungkin dalam urusan dunia. Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila salat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10) Ayat ini memerintahkan hamba agar setelah beribadah mengamalkan keimanan, seseorang juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya di dunia. Allah ﷻ memerintahkan untuk “bertebaran”, yang artinya hamba diperintahkan memaksimalkan usahanya di dunia untuk mendapatkan rezeki di dunia. Hal ini menunjukkan bahwasanya keimanan Islam tidak meninggalkan serta-merta urusan dunia. Hanya saja, Islam menggabungkan konsep idealisme dan materialisme secara apik, yakni bahwasanya hasil usaha di dunia itu sepenuhnya milik Allah ﷻ. Sehingga apabila hasilnya tidak sesuai ekspektasi seorang hamba, maka ia selamat secara psikologis dari perasaan bersalah atas dirinya yang tidak mendapatkan hasil tersebut. Keempat, Islam mengajarkan umatnya untuk memaksimalkan potensi duniawi, termasuk percaya pada sains sembari bertawakal kepada Allah ﷻ. Dalam peperangan misalnya, Nabi ﷺ pun bertawakal kepada Allah ﷻ, tetapi beliau tidak meninggalkan sebab perlindungan dengan menggunakan pakaian baju besi. Artinya, Nabi ﷺ mengajarkan keimanan juga sekaligus praktiknya secara logis, yakni dengan mencari sebab duniawi. Seandainya di masa itu ada teknologi yang secara ilmiah lebih bisa menjaga diri Nabi ﷺ, tentu beliau akan menggunakannya sesuai kemampuan beliau. Rasulullah ﷺ juga memerintahkan orang untuk berobat ketika sakit. Berdasarkan hadis Usamah bin Syarik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa seorang Arab badui bertanya, يَا رَسُولَ اللَّهِ! أَلَا نَتَدَاوَى؟ قَالَ: نَعَمْ، يَا عِبَادَ اللَّهِ تَدَاوَوْا! فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءً أَوْ قَالَ دَوَاءً إِلَّا دَاءً وَاحِدًا. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُوَ؟ قَالَ: الْهَرَمُ “Wahai Rasulullah, bolehkah kita berobat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berobatlah, karena Allah telah menetapkan obat bagi setiap penyakit yang diturunkan-Nya, kecuali satu penyakit!” Para sahabat bertanya, “Penyakit apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Pikun.” (HR. At-Tirmidzi no. 1961 dan berkata, “Hadis ini hasan sahih.”) Dan dalam perintah berobat ini pun, Nabi ﷺ memerintahkan untuk berobat kepada ahlinya. Sebagaimana Nabi ﷺ dalam sebuah hadis bersanad dha’if meminta seorang sahabat untuk berobat kepada sahabat lain yang mengerti ramuan obat tertentu. Bukti lainnya adalah ketika dalam strategi perang, beliau menerima masukan Salman Al-Farisi berkaitan taktik perang yang secara ilmiah dalam ilmu perang memiliki potensi keberhasilan yang baik. Meskipun taktik perang parit ala Persia tersebut tidak lazim di bangsa Arab. Namun, karena taktik ini dimungkinkan lebih baik secara perhitungan perang pada kondisi tersebut, Nabi ﷺ pun menerapkannya. Hal ini karena Nabi ﷺ tahu bahwa otoritasnya secara sempurna ada dalam ruang agama. Adapun dalam urusan dunia, bisa jadi para sahabat dan orang lain lebih mengetahui hal tersebut. Ini sekaligus menjadi poin kelima dalam argumentasi ini. Nabi ﷺ bersabda, أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ “Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.”  (HR. Muslim no. 2363) Artinya, Islam memberikan ruang untuk umatnya memaksimalkan potensi pengetahuan duniawi untuk dikembangkan dan diteliti. Keyakinan pada hal gaib dalam Islam tidak bertentangan dengan usaha duniawi dan penelitian saintifik. Justru Islam tidak mencampuri urusan tersebut sebagai langkah menegasikan agama sebagaimana yang terjadi pada sebagian fenomena politik agama di abad kegelapan di Eropa. Hanya saja, Islam juga memberikan batasan yang ketat berkaitan keyakinan yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunah. Pengetahuan dan proses sains tidak boleh mengganggu-gugat hal ini. Semisal proses penelaahan teori evolusi tidak boleh menegasikan keyakinan bahwa Nabi Adam ‘alaihis salam adalah manusia pertama yang diturunkan ke bumi setelah melalui proses di surga. Hal ini pun disetujui oleh Tan Malaka, ketika membahas secara deskriptif mengenai Islam di hal. 483. Bahwasanya ranah keyakinan dalam Islam berkaitan hal gaib dan ketuhanan adalah ranah yang tidak dimasuki oleh Madilog sebagai kerangka filsafat Tan Malaka. Keyakinan ini, menurut beliau ditentukan pada kecondongan perasaan saja. Dan setiap manusia merdeka atas pilihan sanubarinya ini. Baca juga: Seandainya Agama dengan Logika Kritik atas miskonsepsi Tan Malaka terhadap Islam Sebetulnya apa yang dikritisi Tan Malaka atas fenomena mistika dalam konteks masyarakat Islam didasarkan atas dua hal: Pertama: Miskonsepsi masyarakat atas syariat Islam Kedua: Miskonsepsi Tan Malaka atas syariat Islam Maksudnya, contoh yang dikritisi Tan Malaka tidaklah bersumber dari syariat Islam. Namun, dari miskonsepsi masyarakat atas syariat Islam, seperti keyakinan pada orang alim yang bisa meramal atau mendatangkan hal gaib. Kesalahan yang tersebar di masyarakat ini, dipotret oleh Tan Malaka sebagai miskonsepsi Islam. Hal ini yang telah kami uraikan di atas dengan berbagai argumentasinya bahwa syariat Islam tidaklah demikian. Kita juga perlu menyadari bahwasanya Tan Malaka menulis Madilog tanpa sumber rujukan di tangan, karena beliau menulisnya dalam berbagai pelarian sehingga buku-buku tidak ada di sisi beliau. Konsep keislaman yang dideskripsikan Tan Malaka pun hanya disandarkan pada pengalaman bermasyarakat di kampungnya di Padang terdahulu. Kehidupan di surau yang beliau lalui dipenuhi dengan pelajaran Islam yang baik, tetapi masih dihiasi dengan berbagai informasi invalid. Karena beliau memang hidup di masyarakat yang demikian. Beliau menjelaskan bahwa keluarganya masih terkait dengan tarikat atau pengamalan Islam dengan tata cara yang cenderung dari pengamalan sufisme. Ditambah lagi beliau kemudian melanjutkan sekolahnya ke Belanda dengan latar belakang perkembangan pemikiran filsafat ala barat. Beliau pun mengakui bahwa pelajaran Islam itu beliau murajaah kembali dari buku Snouck Hugronje dan orientalis barat lainnya. Hal ini membentuk pemahaman Tan Malaka akan Islam yang dapat dikritisi pada bagian tertentu. Contoh konsep Islam yang kurang tepat dari Tan Malaka adalah ketika proses Nabi ﷺ menyendiri atau ber-tahanuts di Gua Hira. Beliau memaknai proses itu sebagai proses pencarian Nabi ﷺ akan esensi Tuhan. Beliau juga mengutip sejarawan barat yang menilai Nabi ﷺ mendapatkan sedikit informasi tentang konsep Yahudi dan kekristenan dari perjalanannya ke Suriah, Mesir, dan Asia Barat. Beliau menyebutkan bahwa Nabi ﷺ tertarik pada konsep ketuhanan milik Yahudi dan Kristen, yakni Allah ﷻ sebagai Tuhan yang tunggal (hal. 479). Ungkapan ini dapat mengesankan bahwa Nabi ﷺ berkeyakinan tauhid karena pengaruh Yahudi dan Kristen. Padahal, realitanya Nabi ﷺ dan masyarakat Arab telah mengenal Allah ﷻ sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Namun, sebagian orang Arab dalam proses penyembahannya telah menyimpang sehingga menghadirkan berhala sebagai sesembahan untuk menghubungkan kepada Allah ﷻ. أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّينُ ٱلْخَالِصُ ۚ وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلْفَىٰٓ إِنَّ ٱللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِى مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى مَنْ هُوَ كَٰذِبٌ كَفَّارٌ “Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka, melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Az Zumar: 3) Miskonsepsi ini akan menimbulkan miskonsepsi lainnya, seperti bahwa Nabi ﷺ mengembangkan konsep agama ini sendiri, bukan berdasarkan wahyu dari Allah ﷻ. Pandangan ini akhirnya menganggap agama sebagai sebuah konsep saja, bukan sesuatu yang suci. Sehingga kelazimannya, apa yang diperintahkan oleh agama bisa dikritisi atau tidak digunakan. Miskonsepsi ini juga ditunjukkan dari beberapa kali Tan Malaka berusaha menjelaskan bahwa konsep surga itu berkaitan dengan latar belakang budaya di mana agama itu berkembang. Semisal tentang bidadari yang cantik matanya bak merpati dan air zam-zam yang ada di surga. Menurut Tan Malaka, ini adalah konsepsi surga dalam pandangan bangsa Arab (hal. 184). Berdasarkan penelaahan kami, tidak ada sumber valid yang mengatakan air zam-zam ada di surga atau berasal dari surga. Begitu pula, dengan konsep keindahan surga adalah konsep universal. Hanya saja, mungkin dalam pembahasaan Nabi ﷺ diterangkan keindahan surga itu dengan permisalan yang dipahami oleh kaumnya. Hal ini wajar, karena Nabi ﷺ diturunkan di tengah bangsa Arab yang pada akhirnya ajarannya meluas ke seluruh dunia. Maka, tidak tepat menyatakan konsep surga dalam Islam adalah konsep keindahan ala Arab semata. Pujian Tan Malaka kepada Islam dan Nabi Muhammad ﷺ Meskipun terdapat miskonsepsi dalam pemahaman Tan Malaka terhadap Islam, serta berbagai proses perjalanan kehidupannya, tetapi Tan Malaka memuji agama Islam sebagai konsep yang paling konsekuen, lurus, dan selaras dengan konstruksi logika (hal. 482). Pujian lainnya adalah kepada sosok Nabi Muhammad ﷺ yang penyayang kepada orang yang memusuhinya. Kemudian sikap keadilan Nabi ﷺ terhadap seluruh manusia di bawah kepemimpinannya. Semua sikap tersebut tersemat pada Islam dan Nabi ﷺ. Beliau juga memuji bahasa Arab sebagai atribut keagamaan yang memiliki nilai kebahasaan yang indah dan mulia. Segala informasi tentang Islam dan Arab masih begitu menarik bagi Tan Malaka. Namun, keterbatasan informasi dan upaya validasi di masanya itu pada akhirnya menghasilkan pemahaman yang dapat dikritisi. Terlebih lagi, Tan Malaka tidak dinilai sebagai ahli agama, melainkan sosok pemikir yang memberikan komentarnya pada fenomena di masyarakat. Sehingga, wajar saja jika Tan Malaka memiliki catatan kesalahan dalam proses pemotretannya terhadap Islam. Kesimpulan Dari panjangnya uraian di atas, kita bisa menyimpulkan bahwasanya Islam tidak termasuk dalam logika mistika yang dimaksudkan oleh Tan Malaka. Namun, praktik di masyarakat yang juga dilakukan oleh komunitas muslim, seperti ramalan dan perdukunan, termasuk dalam logika mistika yang bermasalah. Islam pun tidak menyetujui praktik logika mistika atau mistifikasi yang dipotret oleh Tan Malaka tersebut dalam Madilog. Masyarakat, utamanya anak muda di media sosial yang tengah gandrung dengan istilah ini, perlu mengetahui bahwa logika mistika tidak menjadi sebab menegasikan Islam sebagai keyakinan yang valid. Apalagi Tan Malaka secara jelas menyatakan bahwa keyakinan akan Tuhan sebagaimana Islam berada di luar liputan Madilog. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang dikomentari dalam isu logika mistika adalah sesuatu yang dinilai salah juga dalam Islam. Kami mengajak masyakat untuk mendalami Islam dari sumber yang valid, yakni Al-Qur’an, As-Sunah, dan berdasarkan pemahaman salaful ummah, sehingga tidak terjadi miskonsepsi atas agama. Juga masyarakat tidak perlu disibukkan dengan bacaan filsafat apalagi membacanya tidak keseluruhan sehingga menyimpulkan secara tidak tepat. Semoga Allah ﷻ merahmati kaum muslimin keseluruhan. Amin. Baca juga: Imam Asy Syafi’i dan Ilmu Filsafat *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Catatan ini didasarkan pada buku Madilog karya Tan Malaka, terbitan Narasi, Cet. XVI, 2021.


Daftar Isi Toggle Mengenal logika mistika ala Tan MalakaBerbagai bentuk logika mistikaApakah Islam termasuk logika mistika?Kritik atas miskonsepsi Tan Malaka terhadap IslamPujian Tan Malaka kepada Islam dan Nabi Muhammad ﷺKesimpulan Saat ini, di media sosial, kembali viral sebuah istilah logika mistika bersamaan dengan popularitas diskusi filsafat yang meningkat. Tidak sulit menemukan berbagai unggahan yang membahas pandangan filsafat tertentu yang dikaitkan dengan fenomena terkini. Salah satunya adalah fenomena kepercayaan banyak masyarakat Indonesia terhadap hal klenik berupa santet dan perdukunan. Isu ini dibahas oleh beberapa influencer sebagai penyebab Indonesia tidak menjadi negara maju, karena terjebak dalam logika mistika yang dipopulerkan oleh Tan Malaka. Tak sedikit yang memperluas pengkategorian sengkarut logika mistika ini kepada fenomena meningkatnya ketaatan masyarakat terhadap agama. Lalu, apa sebenarnya logika mistika itu? Benarkah Islam merupakan bagian dari logika mistika yang dimaksudkan Tan Malaka? Mengenal logika mistika ala Tan Malaka Logika mistika adalah struktur logika yang berdasarkan kerohanian. Istilah ini dikenal melalui karya magnum opus Tan Malaka, yakni Madilog (1943). Dalam karya beliau, logika mistika dijelaskan sebagai konsep keyakinan yang melekat pada seseorang berdasarkan pada dogma-dogma dari ayat suci Maha Dewa yang berkuasa. Narasi ini dibangun oleh Tan Malaka melalui cerita tentang Dewa Rah dalam keyakinan Mesir Kuno yang dianggap sebagai Maha Dewa yang mencipta dan menguasai alam semesta (hal. 32-33). Di dalam Madilog, logika mistika dijadikan konsep yang pertama kali diuraikan dalam bab panjang. Lalu, Tan Malaka menyelipkan berbagai contoh logika mistika sebagai penghalang kemajuan suatu dalam berbagai contoh di setiap bab yang diuraikannya. Beberapa argumennya menunjukkan bahwasanya logika mistika berupa penciptaan alam semesta, makhluk hidup, dan daurnya telah terbantahkan oleh filsafat sains yang lebih modern. Berbagai bentuk logika mistika Dalam Madilog, Tan Malaka sebetulnya membahas serba-serbi yang termasuk dalam pembahasan filsafat. Tujuannya adalah untuk mempresentasikan bahwa filsafat Madilog yang diusungnya dapat menjawab semua sengkarut permasalahan yang salah satunya disebabkan oleh logika mistika. Beberapa contoh yang dibawakan oleh Tan Malaka sebetulnya tidak ada yang eksplisit mengarah pada ajaran Islam. Hanya saja, Tan Malaka memotret fenomena yang terjadi di kampungnya terdahulu yang mayoritas beragama Islam. Begitu juga dengan fenomena sosial bank plecit di pra-kemerdekaan yang banyak dijalankan oleh orang Arab di Indonesia. Tan Malaka sebetulnya lebih banyak mengkritisi beberapa konsep keyakinan akan hal gaib dan agama yang dibawakan dari takhayul dalam konsep animisme-dinamisme, filsafat Hindu dan Budha. Di antaranya adalah kritik Tan Malaka terhadap angan-angan keberhasilan jika beriman kepada sebuah keyakinan (akidah) sehingga malas bekerja. Juga keyakinan akan datangnya ratu adil yang akan membebaskan Indonesia dari penjajahan, yang melemahkan Jaya Baya dalam penceritaan Hindu masa lampau. Hal ini sebetulnya merupakan kritik yang lazim muncul di komunitas pemikir materialisme seperti Karl Marx dan yang lainnya. Kritik Tan Malaka terhadap masalah mistika juga disebutkan dalam hal. 265-266, tentang kesalahan orang yang menganggap segala bentuk konsep yang ada dalam ide secara jelas pastilah ada. Gambaran emas sebesar gunung dan konsep Tuhan adalah gambaran yang jelas mungkin di kepala, maka pastilah ada. Keyakinan tersebut menurut Tan Malaka secara materialisme adalah sebuah kesalahan logika. Beliau membawakan fenomena yang terjadi semasa beliau di surau atau masjid di kampungnya, yang mana ada seorang rohaniawan mengajarkan bahwa “sesuatu yang diyakini mestilah ada”. Dikisahkan, rohaniawan itu menyugestikan bahwa di dalam kelapa ada ikan, lalu dibelahlah sebuah kelapa tersebut dan benar saja di dalamnya ada sebuah ikan. Keyakinan semacam ini menurut Tan Malaka tidak akan ada habisnya di Indonesia. Beliau mengkritik, “Rakyat Indonesia boleh saja ketinggalan dalam ilmu bukti seperti membangun kapal dll., tetapi dalam berbagai jenis doa (mantra) atau kepercayaan tidak akan kalah.” Kritik lain yang beliau maksudkan dalam logika mistika adalah kesalahan observasi yang menghasilkan sebuah ramalan. Contoh yang beliau maksudkan adalah ramalan kiamat dalam keyakinan Kristen ortodoks, bahwa surga akan datang 1000 tahun setelah perang besar terjadi. Keyakinan ini menggeliat setelah Perang Dunia I usai. Namun, menurut Tan Malaka, ramalan berikut sebenarnya terbatalkan dengan adanya Perang Dunia II. Begitu pula dengan kejadian di surau beliau. Ketika itu, seluruh warga kampung melakukan satu salat berjemaah karena ada fenomena pohon pisang berjantung dua yang dianggap sebagai tanda kiamat. Begitupula ramalan Pak Belalang dan Jaya Baya yang disebutkan beratus tahun yang lalu. Masih banyak contoh lainnya yang tersebar dalam setiap bab yang dituliskan Tan Malaka, setidaknya dihimpun dalam Bab “Lima Kesalahan”. Di akhir bab, beliau menyimpulkan kesalahan tersebut mayoritas berakar pada kesalahan apriori yang beliau sebut sebagai kesalahan mistifikasi. Contoh yang disebutkan tidak berkaitan dengan kekurangan dalam logika mereka, tetapi berkaitan dengan keyakinan mistik yang dianut, yakni pada kerohanian dewa atau alam. Apakah Islam termasuk logika mistika? Berdasarkan uraian yang dimaksudkan Tan Malaka dalam Madilog, bolehlah kita menimbang apakah contoh tersebut mewakili Islam yang sebenarnya? Apakah Islam termasuk dalam praktik kesalahan akibat mistifikasi? Maka, simaklah uraian berikut. Pertama, Islam memiliki keyakinan pokok bahwasanya ada Tuhan yang bersifat gaib yang mencipta, mengatur, dan memelihara alam semesta. Keyakinan ini tidak bisa ditawar-tawar, sehingga wajib ada dalam keyakinan Islam. Allah ﷻ berfirman dalam pembukaan QS. Al-Baqarah, الــم {1} ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ {2} الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ  يُنْفِقُونَ {3} “Alif lam mim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah: 1-3) Keyakinan pada Allah ﷻ dan hal gaib adalah bagian dari rukun iman yang membedakan seorang mukmin dengan orang kafir atau selainnya. Konstruksi keimanan pada hal yang gaib ini sangat diatur dalam Islam, sehingga tidak sembarangan orang menentukan sesuatu yang gaib ada secara hakiki, kecuali ada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah. Allah ﷻ berfirman, وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَيَعْلَمُهَآ إِلاَّ هُوَ “Dan pada sisi Allahlah, kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia sendiri.” (QS. Al-An’am: 59) Allah ﷻ juga berfirman, bahkan Nabi ﷺ pun tidak mengetahui hal gaib, kecuali apa yang Allah ﷻ berikan, قُل لاَّيَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ وَمَايَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ “Katakanlah (hai Muhammad), ‘Tiada siapa pun, baik di langit maupun di bumi yang mengetahui hal-hal yang gaib, kecuali Allah, dan mereka tidak mengetahui kapan mereka dibangkitkan’.” (QS. An-Naml: 65) Kedua, fenomena yang terjadi di surau Tan Malaka misalnya, berkaitan dengan seseorang yang tidak punya otoritas akan ilmu gaib berkata tentang hal gaib. Hal ini menyelisihi ajaran Islam yang hakiki. Sehingga kritik tersebut tidak mengenai keyakinan agama Islam, tetapi mengenai fenomena masyarakat muslim yang dipotret di masa itu. Seluruh peramal dan juga rohaniawan yang dianggap mengetahui hal gaib atau bisa mendatangkan atau memprediksi hal gaib telah dibantah dengan ayat yang disebutkan di atas. Bahkan, banyak dalil tegas yang melarang seorang muslim untuk mempercayai ramalan. Dari Shafiyyah bin Abi Ubaid, dari salah seorang istri Nabi, diriwayatkan bahwa beliau ﷺ bersabda, مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أرْبَعِينَ يَومًا “Barangsiapa yang mendatangi peramal, menanyakan kepadanya sesuatu, lalu mempercayainya, maka salatnya tidak akan diterima empat puluh hari lamanya.” (HR. Muslim no. 2230) Otoritas mengenai hal gaib seluruhnya dimiliki Allah ﷻ semata. Adapun semisal orang saleh mengetahui hal gaib atau firasat tentang masa depan, semuanya itu paling maksimal hanya dianggap sebagai tanda, bukan keyakinan yang pasti. Begitu pula, jika ada orang fasik mengetahui hal gaib dan benar, itu hanyalah bagian dari informasi yang dicuri setan dan telah dibumbui sejuta kebohongan. Maka, keyakinan Islam mana yang menunjukkan bolehnya meyakini ramalan tanpa ada otoritas dari penyampainya? Ketiga, berdasarkan contoh yang dimaksudkan Tan Malaka, beliau mengkritisi bahwa keyakinan pada hal gaib itu tidak menghasilkan produktivitas. Karena adanya penyandaran diri secara berlebih kepada hal gaib sehingga seseorang menjadi malas berikhtiar atau meneliti suatu fenomena dari segi ilmiah. Kritik ini tidak mengenai pokok ajaran Islam yang menyuruh umatnya untuk berikhtiar sebaik mungkin dalam urusan dunia. Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila salat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10) Ayat ini memerintahkan hamba agar setelah beribadah mengamalkan keimanan, seseorang juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya di dunia. Allah ﷻ memerintahkan untuk “bertebaran”, yang artinya hamba diperintahkan memaksimalkan usahanya di dunia untuk mendapatkan rezeki di dunia. Hal ini menunjukkan bahwasanya keimanan Islam tidak meninggalkan serta-merta urusan dunia. Hanya saja, Islam menggabungkan konsep idealisme dan materialisme secara apik, yakni bahwasanya hasil usaha di dunia itu sepenuhnya milik Allah ﷻ. Sehingga apabila hasilnya tidak sesuai ekspektasi seorang hamba, maka ia selamat secara psikologis dari perasaan bersalah atas dirinya yang tidak mendapatkan hasil tersebut. Keempat, Islam mengajarkan umatnya untuk memaksimalkan potensi duniawi, termasuk percaya pada sains sembari bertawakal kepada Allah ﷻ. Dalam peperangan misalnya, Nabi ﷺ pun bertawakal kepada Allah ﷻ, tetapi beliau tidak meninggalkan sebab perlindungan dengan menggunakan pakaian baju besi. Artinya, Nabi ﷺ mengajarkan keimanan juga sekaligus praktiknya secara logis, yakni dengan mencari sebab duniawi. Seandainya di masa itu ada teknologi yang secara ilmiah lebih bisa menjaga diri Nabi ﷺ, tentu beliau akan menggunakannya sesuai kemampuan beliau. Rasulullah ﷺ juga memerintahkan orang untuk berobat ketika sakit. Berdasarkan hadis Usamah bin Syarik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa seorang Arab badui bertanya, يَا رَسُولَ اللَّهِ! أَلَا نَتَدَاوَى؟ قَالَ: نَعَمْ، يَا عِبَادَ اللَّهِ تَدَاوَوْا! فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءً أَوْ قَالَ دَوَاءً إِلَّا دَاءً وَاحِدًا. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُوَ؟ قَالَ: الْهَرَمُ “Wahai Rasulullah, bolehkah kita berobat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berobatlah, karena Allah telah menetapkan obat bagi setiap penyakit yang diturunkan-Nya, kecuali satu penyakit!” Para sahabat bertanya, “Penyakit apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Pikun.” (HR. At-Tirmidzi no. 1961 dan berkata, “Hadis ini hasan sahih.”) Dan dalam perintah berobat ini pun, Nabi ﷺ memerintahkan untuk berobat kepada ahlinya. Sebagaimana Nabi ﷺ dalam sebuah hadis bersanad dha’if meminta seorang sahabat untuk berobat kepada sahabat lain yang mengerti ramuan obat tertentu. Bukti lainnya adalah ketika dalam strategi perang, beliau menerima masukan Salman Al-Farisi berkaitan taktik perang yang secara ilmiah dalam ilmu perang memiliki potensi keberhasilan yang baik. Meskipun taktik perang parit ala Persia tersebut tidak lazim di bangsa Arab. Namun, karena taktik ini dimungkinkan lebih baik secara perhitungan perang pada kondisi tersebut, Nabi ﷺ pun menerapkannya. Hal ini karena Nabi ﷺ tahu bahwa otoritasnya secara sempurna ada dalam ruang agama. Adapun dalam urusan dunia, bisa jadi para sahabat dan orang lain lebih mengetahui hal tersebut. Ini sekaligus menjadi poin kelima dalam argumentasi ini. Nabi ﷺ bersabda, أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ “Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.”  (HR. Muslim no. 2363) Artinya, Islam memberikan ruang untuk umatnya memaksimalkan potensi pengetahuan duniawi untuk dikembangkan dan diteliti. Keyakinan pada hal gaib dalam Islam tidak bertentangan dengan usaha duniawi dan penelitian saintifik. Justru Islam tidak mencampuri urusan tersebut sebagai langkah menegasikan agama sebagaimana yang terjadi pada sebagian fenomena politik agama di abad kegelapan di Eropa. Hanya saja, Islam juga memberikan batasan yang ketat berkaitan keyakinan yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunah. Pengetahuan dan proses sains tidak boleh mengganggu-gugat hal ini. Semisal proses penelaahan teori evolusi tidak boleh menegasikan keyakinan bahwa Nabi Adam ‘alaihis salam adalah manusia pertama yang diturunkan ke bumi setelah melalui proses di surga. Hal ini pun disetujui oleh Tan Malaka, ketika membahas secara deskriptif mengenai Islam di hal. 483. Bahwasanya ranah keyakinan dalam Islam berkaitan hal gaib dan ketuhanan adalah ranah yang tidak dimasuki oleh Madilog sebagai kerangka filsafat Tan Malaka. Keyakinan ini, menurut beliau ditentukan pada kecondongan perasaan saja. Dan setiap manusia merdeka atas pilihan sanubarinya ini. Baca juga: Seandainya Agama dengan Logika Kritik atas miskonsepsi Tan Malaka terhadap Islam Sebetulnya apa yang dikritisi Tan Malaka atas fenomena mistika dalam konteks masyarakat Islam didasarkan atas dua hal: Pertama: Miskonsepsi masyarakat atas syariat Islam Kedua: Miskonsepsi Tan Malaka atas syariat Islam Maksudnya, contoh yang dikritisi Tan Malaka tidaklah bersumber dari syariat Islam. Namun, dari miskonsepsi masyarakat atas syariat Islam, seperti keyakinan pada orang alim yang bisa meramal atau mendatangkan hal gaib. Kesalahan yang tersebar di masyarakat ini, dipotret oleh Tan Malaka sebagai miskonsepsi Islam. Hal ini yang telah kami uraikan di atas dengan berbagai argumentasinya bahwa syariat Islam tidaklah demikian. Kita juga perlu menyadari bahwasanya Tan Malaka menulis Madilog tanpa sumber rujukan di tangan, karena beliau menulisnya dalam berbagai pelarian sehingga buku-buku tidak ada di sisi beliau. Konsep keislaman yang dideskripsikan Tan Malaka pun hanya disandarkan pada pengalaman bermasyarakat di kampungnya di Padang terdahulu. Kehidupan di surau yang beliau lalui dipenuhi dengan pelajaran Islam yang baik, tetapi masih dihiasi dengan berbagai informasi invalid. Karena beliau memang hidup di masyarakat yang demikian. Beliau menjelaskan bahwa keluarganya masih terkait dengan tarikat atau pengamalan Islam dengan tata cara yang cenderung dari pengamalan sufisme. Ditambah lagi beliau kemudian melanjutkan sekolahnya ke Belanda dengan latar belakang perkembangan pemikiran filsafat ala barat. Beliau pun mengakui bahwa pelajaran Islam itu beliau murajaah kembali dari buku Snouck Hugronje dan orientalis barat lainnya. Hal ini membentuk pemahaman Tan Malaka akan Islam yang dapat dikritisi pada bagian tertentu. Contoh konsep Islam yang kurang tepat dari Tan Malaka adalah ketika proses Nabi ﷺ menyendiri atau ber-tahanuts di Gua Hira. Beliau memaknai proses itu sebagai proses pencarian Nabi ﷺ akan esensi Tuhan. Beliau juga mengutip sejarawan barat yang menilai Nabi ﷺ mendapatkan sedikit informasi tentang konsep Yahudi dan kekristenan dari perjalanannya ke Suriah, Mesir, dan Asia Barat. Beliau menyebutkan bahwa Nabi ﷺ tertarik pada konsep ketuhanan milik Yahudi dan Kristen, yakni Allah ﷻ sebagai Tuhan yang tunggal (hal. 479). Ungkapan ini dapat mengesankan bahwa Nabi ﷺ berkeyakinan tauhid karena pengaruh Yahudi dan Kristen. Padahal, realitanya Nabi ﷺ dan masyarakat Arab telah mengenal Allah ﷻ sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Namun, sebagian orang Arab dalam proses penyembahannya telah menyimpang sehingga menghadirkan berhala sebagai sesembahan untuk menghubungkan kepada Allah ﷻ. أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّينُ ٱلْخَالِصُ ۚ وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلْفَىٰٓ إِنَّ ٱللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِى مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى مَنْ هُوَ كَٰذِبٌ كَفَّارٌ “Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka, melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Az Zumar: 3) Miskonsepsi ini akan menimbulkan miskonsepsi lainnya, seperti bahwa Nabi ﷺ mengembangkan konsep agama ini sendiri, bukan berdasarkan wahyu dari Allah ﷻ. Pandangan ini akhirnya menganggap agama sebagai sebuah konsep saja, bukan sesuatu yang suci. Sehingga kelazimannya, apa yang diperintahkan oleh agama bisa dikritisi atau tidak digunakan. Miskonsepsi ini juga ditunjukkan dari beberapa kali Tan Malaka berusaha menjelaskan bahwa konsep surga itu berkaitan dengan latar belakang budaya di mana agama itu berkembang. Semisal tentang bidadari yang cantik matanya bak merpati dan air zam-zam yang ada di surga. Menurut Tan Malaka, ini adalah konsepsi surga dalam pandangan bangsa Arab (hal. 184). Berdasarkan penelaahan kami, tidak ada sumber valid yang mengatakan air zam-zam ada di surga atau berasal dari surga. Begitu pula, dengan konsep keindahan surga adalah konsep universal. Hanya saja, mungkin dalam pembahasaan Nabi ﷺ diterangkan keindahan surga itu dengan permisalan yang dipahami oleh kaumnya. Hal ini wajar, karena Nabi ﷺ diturunkan di tengah bangsa Arab yang pada akhirnya ajarannya meluas ke seluruh dunia. Maka, tidak tepat menyatakan konsep surga dalam Islam adalah konsep keindahan ala Arab semata. Pujian Tan Malaka kepada Islam dan Nabi Muhammad ﷺ Meskipun terdapat miskonsepsi dalam pemahaman Tan Malaka terhadap Islam, serta berbagai proses perjalanan kehidupannya, tetapi Tan Malaka memuji agama Islam sebagai konsep yang paling konsekuen, lurus, dan selaras dengan konstruksi logika (hal. 482). Pujian lainnya adalah kepada sosok Nabi Muhammad ﷺ yang penyayang kepada orang yang memusuhinya. Kemudian sikap keadilan Nabi ﷺ terhadap seluruh manusia di bawah kepemimpinannya. Semua sikap tersebut tersemat pada Islam dan Nabi ﷺ. Beliau juga memuji bahasa Arab sebagai atribut keagamaan yang memiliki nilai kebahasaan yang indah dan mulia. Segala informasi tentang Islam dan Arab masih begitu menarik bagi Tan Malaka. Namun, keterbatasan informasi dan upaya validasi di masanya itu pada akhirnya menghasilkan pemahaman yang dapat dikritisi. Terlebih lagi, Tan Malaka tidak dinilai sebagai ahli agama, melainkan sosok pemikir yang memberikan komentarnya pada fenomena di masyarakat. Sehingga, wajar saja jika Tan Malaka memiliki catatan kesalahan dalam proses pemotretannya terhadap Islam. Kesimpulan Dari panjangnya uraian di atas, kita bisa menyimpulkan bahwasanya Islam tidak termasuk dalam logika mistika yang dimaksudkan oleh Tan Malaka. Namun, praktik di masyarakat yang juga dilakukan oleh komunitas muslim, seperti ramalan dan perdukunan, termasuk dalam logika mistika yang bermasalah. Islam pun tidak menyetujui praktik logika mistika atau mistifikasi yang dipotret oleh Tan Malaka tersebut dalam Madilog. Masyarakat, utamanya anak muda di media sosial yang tengah gandrung dengan istilah ini, perlu mengetahui bahwa logika mistika tidak menjadi sebab menegasikan Islam sebagai keyakinan yang valid. Apalagi Tan Malaka secara jelas menyatakan bahwa keyakinan akan Tuhan sebagaimana Islam berada di luar liputan Madilog. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang dikomentari dalam isu logika mistika adalah sesuatu yang dinilai salah juga dalam Islam. Kami mengajak masyakat untuk mendalami Islam dari sumber yang valid, yakni Al-Qur’an, As-Sunah, dan berdasarkan pemahaman salaful ummah, sehingga tidak terjadi miskonsepsi atas agama. Juga masyarakat tidak perlu disibukkan dengan bacaan filsafat apalagi membacanya tidak keseluruhan sehingga menyimpulkan secara tidak tepat. Semoga Allah ﷻ merahmati kaum muslimin keseluruhan. Amin. Baca juga: Imam Asy Syafi’i dan Ilmu Filsafat *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Catatan ini didasarkan pada buku Madilog karya Tan Malaka, terbitan Narasi, Cet. XVI, 2021.

Mengenal Nama Allah “Al-Fattah”

Ketahuilah, bahwa Al-Fattāḥ sejatinya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia adalah Zat Yang Mahaagung, Mahatinggi, dan Ia adalah Sebaik-baik Pembuka. Al-Fattāḥ adalah salah satu dari nama-Nya yang agung lagi mulia. Wajib bagi setiap muslim untuk beriman kepada Allah ‘Azza Wajalla dan beriman kepada seluruh asmaul husna. Termasuk nama-Nya yang mulia dan harus diimani ialah Al-Fattāḥ. Dengannya, seseorang bisa bertabaruk atau mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan beribadah kepada-Nya. Hal ini sebagai bentuk pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, وَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ فَٱدْعُوهُ بِهَا “Dan hanya milik Allahlah asmaul husna (nama-nama yang terindah), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna.” (QS Al-A’raf: 180) Berdoa kepada Allah Tabāraka Wata’ala dengan nama-nama-Nya yang Ia tetapkan mencakup dua hal: yaitu doa ibadah (du’aul-‘ibadah) dan doa permintaan (du’aul-mas’alah). Doa ibadah meliputi pemahaman terhadap nama-nama tersebut dan mengetahui makna yang terkandung dari nama tersebut, serta menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut. Kemudian, diwujudkan dalam bentuk ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah Tabāraka wa Ta’ala sesuai dengan apa yang diwajibkan dan dikehendaki oleh-Nya. Inilah bentuk merealisasikan keimanan terhadap nama Allah tersebut. Nama Allah Tabāraka Wata’ala, Al-Fattāḥ, disebutkan di dalam Al-Qur’an di dua tempat. Pertama, firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam sebuah doa yang dipanjatkan oleh Nabi Syuaib ‘alaihissalam, رَبَّنَا ٱفْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِٱلْحَقِّ وَأَنتَ خَيْرُ ٱلْفَٰتِحِينَ “Ya Rabb kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Sebaik-baik Pemberi Keputusan.” (QS. Al-A’raf: 89) Kedua, dalam firman-Nya Tabāraka Wata’ala, قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنَا رَبُّنَا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنَا بِٱلْحَقِّ وَهُوَ ٱلْفَتَّاحُ ٱلْعَلِيمُ “Katakanlah, ‘Rabb kami akan mengumpulkan kami semua, kemudian Ia akan memberikan keputusan antara kami dengan kebenaran. Dan Ialah Yang Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.’” (QS. Saba’: 26) Nama Allah Jalla Wa’ala, Al-Fattāḥ, menunjukkan bahwa Allah Jalla Wa’ala memiliki sifat al-fatḥ, yakni pembuka atau pemberi keputusan. Dan sifat yang agung ini mencakup berbagai makna sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama dari beberapa aspek. Di antaranya: Pertama: Allah Tabāraka Wata’ala memutuskan di antara hamba-hamba-Nya berdasarkan syariat-Nya. Kedua: Allah Jalla Wa’ala memutuskan perkara dengan keadilan-Nya di antara hamba-hamba-Nya sesuai dengan balasannya. Ketiga: Allah Tabāraka Wata’ala memutuskan di antara hamba-hamba-Nya berdasarkan hukum-Nya. Allah Ta’ala berfirman, مَّا يَفْتَحِ ٱللَّهُ لِلنَّاسِ مِن رَّحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا ۖ وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُۥ مِنۢ بَعْدِهِۦ ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيم “Apa yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang bisa menahannya. Dan apa yang Allah tahan, maka tidak ada seorang pun yang sanggup untuk melepaskannya setelahnya. Ialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Fatir: 2) Kiat pertama dalam hal ini adalah siapa pun yang ingin menjadi kunci pembuka pintu kebaikan, maka ia harus beriman kepada Al-Fattāḥ, kepada Sebaik-baik Pembuka, yaitu Allah Jalla Wa’ala, dengan memohon kepada-Nya, merendahkan diri disertai ketundukan di hadapan-Nya, berharap akan rahmat dan karunia-Nya dengan penuh keikhlasan dan kejujuran kepada-Nya. Allah ‘Azza Wajalla tidak akan pernah mengecewakan seorang hamba yang senantiasa memohon kepada-Nya, dan tidak akan menolak seorang mukmin yang berharap kepada-Nya dan memohon rahmat dan karunia-Nya. Maka, segala bentuk pembukaan maupun pemutusan perkara itu berasal dari Allah Jalla Wa’ala. Ialah yang membukakan untuk kita segala hal, baik berupa ilmu yang bermanfaat, amal saleh, dan akhlak yang mulia. Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian salaf, إن هذه الأخلاق وهائب وإن الله تبارك وتعالى إذا أحب عبده وهبه إياها والله عز وجل قسم بين العباد الأخلاق ، والأرزاق والأعمال والأعمار وكل شيء منه جلّ وعلا “Sesungguhnya akhlak yang mulia adalah pemberian dari Allah. Jika Allah Tabāraka Wata’ala mencintai seorang hamba, Ia akan menganugerahkan akhlak mulia itu kepadanya. Dan Allah ‘Azza Wajalla telah membagi kepada hamba-hamba-Nya berupa akhlak, rezeki, amal, umur, dan segala hal yang berasal dari-Nya.” Sehingga, kiat yang pertama ini adalah bentuk berserah diri secara totalitas kepada Allah ‘Azza Wajalla. Dan mustahil bagi seseorang bisa memperoleh ilmu, memahaminya, mencapai akhlak yang mulia, melaksanakan ibadah, maupun meraih hal-hal yang lainnya, kecuali jika Allah telah membukakan jalan baginya. Betapa indahnya perkataan Mutharrif bin Abdullah bin Asy-Syikhir, salah seorang ulama tabi’in rahimahullah, yang berkata dengan perkataan yang sangat menakjubkan, لو أخرج قلبي وجُعل في يساري وجيء بالخيرات كلها وجُعلت في يميني لم أستطع أن أجعل شيئا من هذه الخيرات في قلبي إلا أن يكون الله الذي يضعها “Seandainya hatiku dikeluarkan dan diletakkan di tangan kiriku, lalu seluruh kebaikan dibawa dan diletakkan di tangan kananku, aku tidak akan mampu memasukkan satu pun dari kebaikan itu ke dalam hatiku, kecuali jika Allah yang meletakkannya.” (Hilyatul-‘Auliyā’, 2: 201 dan Siyar A’lam An-Nubala, 4: 190) Maka, segala urusan itu semuanya ada di tangan Allah Tabāraka Wata’ala. Oleh karena itu, terkadang ada seseorang yang mendengar nasihat-nasihat yang penuh dengan manfaat, baik untuk urusan agamanya maupun dunianya. Lalu, ia mendengar tentang pintu-pintu kebaikan, amal saleh, dan keberuntungan. Akan tetapi, justru jiwanya cenderung menolak, menjauh, menyimpang, dan tidak termotivasi untuk beramal atau bersedekah. Jadi, segala keberhasilan dan taufik hanya ada di tangan Allah Jalla Wa’ala. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Nya. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Aliy”, “Al-A’la”, dan “Al-Muta’ali” *** Penerjemah: Chrisna Tri Hartadi, A.Md. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Kaifa Takunu Miftāhan lil-Khair, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 9-12.

Mengenal Nama Allah “Al-Fattah”

Ketahuilah, bahwa Al-Fattāḥ sejatinya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia adalah Zat Yang Mahaagung, Mahatinggi, dan Ia adalah Sebaik-baik Pembuka. Al-Fattāḥ adalah salah satu dari nama-Nya yang agung lagi mulia. Wajib bagi setiap muslim untuk beriman kepada Allah ‘Azza Wajalla dan beriman kepada seluruh asmaul husna. Termasuk nama-Nya yang mulia dan harus diimani ialah Al-Fattāḥ. Dengannya, seseorang bisa bertabaruk atau mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan beribadah kepada-Nya. Hal ini sebagai bentuk pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, وَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ فَٱدْعُوهُ بِهَا “Dan hanya milik Allahlah asmaul husna (nama-nama yang terindah), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna.” (QS Al-A’raf: 180) Berdoa kepada Allah Tabāraka Wata’ala dengan nama-nama-Nya yang Ia tetapkan mencakup dua hal: yaitu doa ibadah (du’aul-‘ibadah) dan doa permintaan (du’aul-mas’alah). Doa ibadah meliputi pemahaman terhadap nama-nama tersebut dan mengetahui makna yang terkandung dari nama tersebut, serta menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut. Kemudian, diwujudkan dalam bentuk ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah Tabāraka wa Ta’ala sesuai dengan apa yang diwajibkan dan dikehendaki oleh-Nya. Inilah bentuk merealisasikan keimanan terhadap nama Allah tersebut. Nama Allah Tabāraka Wata’ala, Al-Fattāḥ, disebutkan di dalam Al-Qur’an di dua tempat. Pertama, firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam sebuah doa yang dipanjatkan oleh Nabi Syuaib ‘alaihissalam, رَبَّنَا ٱفْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِٱلْحَقِّ وَأَنتَ خَيْرُ ٱلْفَٰتِحِينَ “Ya Rabb kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Sebaik-baik Pemberi Keputusan.” (QS. Al-A’raf: 89) Kedua, dalam firman-Nya Tabāraka Wata’ala, قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنَا رَبُّنَا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنَا بِٱلْحَقِّ وَهُوَ ٱلْفَتَّاحُ ٱلْعَلِيمُ “Katakanlah, ‘Rabb kami akan mengumpulkan kami semua, kemudian Ia akan memberikan keputusan antara kami dengan kebenaran. Dan Ialah Yang Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.’” (QS. Saba’: 26) Nama Allah Jalla Wa’ala, Al-Fattāḥ, menunjukkan bahwa Allah Jalla Wa’ala memiliki sifat al-fatḥ, yakni pembuka atau pemberi keputusan. Dan sifat yang agung ini mencakup berbagai makna sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama dari beberapa aspek. Di antaranya: Pertama: Allah Tabāraka Wata’ala memutuskan di antara hamba-hamba-Nya berdasarkan syariat-Nya. Kedua: Allah Jalla Wa’ala memutuskan perkara dengan keadilan-Nya di antara hamba-hamba-Nya sesuai dengan balasannya. Ketiga: Allah Tabāraka Wata’ala memutuskan di antara hamba-hamba-Nya berdasarkan hukum-Nya. Allah Ta’ala berfirman, مَّا يَفْتَحِ ٱللَّهُ لِلنَّاسِ مِن رَّحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا ۖ وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُۥ مِنۢ بَعْدِهِۦ ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيم “Apa yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang bisa menahannya. Dan apa yang Allah tahan, maka tidak ada seorang pun yang sanggup untuk melepaskannya setelahnya. Ialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Fatir: 2) Kiat pertama dalam hal ini adalah siapa pun yang ingin menjadi kunci pembuka pintu kebaikan, maka ia harus beriman kepada Al-Fattāḥ, kepada Sebaik-baik Pembuka, yaitu Allah Jalla Wa’ala, dengan memohon kepada-Nya, merendahkan diri disertai ketundukan di hadapan-Nya, berharap akan rahmat dan karunia-Nya dengan penuh keikhlasan dan kejujuran kepada-Nya. Allah ‘Azza Wajalla tidak akan pernah mengecewakan seorang hamba yang senantiasa memohon kepada-Nya, dan tidak akan menolak seorang mukmin yang berharap kepada-Nya dan memohon rahmat dan karunia-Nya. Maka, segala bentuk pembukaan maupun pemutusan perkara itu berasal dari Allah Jalla Wa’ala. Ialah yang membukakan untuk kita segala hal, baik berupa ilmu yang bermanfaat, amal saleh, dan akhlak yang mulia. Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian salaf, إن هذه الأخلاق وهائب وإن الله تبارك وتعالى إذا أحب عبده وهبه إياها والله عز وجل قسم بين العباد الأخلاق ، والأرزاق والأعمال والأعمار وكل شيء منه جلّ وعلا “Sesungguhnya akhlak yang mulia adalah pemberian dari Allah. Jika Allah Tabāraka Wata’ala mencintai seorang hamba, Ia akan menganugerahkan akhlak mulia itu kepadanya. Dan Allah ‘Azza Wajalla telah membagi kepada hamba-hamba-Nya berupa akhlak, rezeki, amal, umur, dan segala hal yang berasal dari-Nya.” Sehingga, kiat yang pertama ini adalah bentuk berserah diri secara totalitas kepada Allah ‘Azza Wajalla. Dan mustahil bagi seseorang bisa memperoleh ilmu, memahaminya, mencapai akhlak yang mulia, melaksanakan ibadah, maupun meraih hal-hal yang lainnya, kecuali jika Allah telah membukakan jalan baginya. Betapa indahnya perkataan Mutharrif bin Abdullah bin Asy-Syikhir, salah seorang ulama tabi’in rahimahullah, yang berkata dengan perkataan yang sangat menakjubkan, لو أخرج قلبي وجُعل في يساري وجيء بالخيرات كلها وجُعلت في يميني لم أستطع أن أجعل شيئا من هذه الخيرات في قلبي إلا أن يكون الله الذي يضعها “Seandainya hatiku dikeluarkan dan diletakkan di tangan kiriku, lalu seluruh kebaikan dibawa dan diletakkan di tangan kananku, aku tidak akan mampu memasukkan satu pun dari kebaikan itu ke dalam hatiku, kecuali jika Allah yang meletakkannya.” (Hilyatul-‘Auliyā’, 2: 201 dan Siyar A’lam An-Nubala, 4: 190) Maka, segala urusan itu semuanya ada di tangan Allah Tabāraka Wata’ala. Oleh karena itu, terkadang ada seseorang yang mendengar nasihat-nasihat yang penuh dengan manfaat, baik untuk urusan agamanya maupun dunianya. Lalu, ia mendengar tentang pintu-pintu kebaikan, amal saleh, dan keberuntungan. Akan tetapi, justru jiwanya cenderung menolak, menjauh, menyimpang, dan tidak termotivasi untuk beramal atau bersedekah. Jadi, segala keberhasilan dan taufik hanya ada di tangan Allah Jalla Wa’ala. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Nya. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Aliy”, “Al-A’la”, dan “Al-Muta’ali” *** Penerjemah: Chrisna Tri Hartadi, A.Md. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Kaifa Takunu Miftāhan lil-Khair, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 9-12.
Ketahuilah, bahwa Al-Fattāḥ sejatinya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia adalah Zat Yang Mahaagung, Mahatinggi, dan Ia adalah Sebaik-baik Pembuka. Al-Fattāḥ adalah salah satu dari nama-Nya yang agung lagi mulia. Wajib bagi setiap muslim untuk beriman kepada Allah ‘Azza Wajalla dan beriman kepada seluruh asmaul husna. Termasuk nama-Nya yang mulia dan harus diimani ialah Al-Fattāḥ. Dengannya, seseorang bisa bertabaruk atau mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan beribadah kepada-Nya. Hal ini sebagai bentuk pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, وَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ فَٱدْعُوهُ بِهَا “Dan hanya milik Allahlah asmaul husna (nama-nama yang terindah), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna.” (QS Al-A’raf: 180) Berdoa kepada Allah Tabāraka Wata’ala dengan nama-nama-Nya yang Ia tetapkan mencakup dua hal: yaitu doa ibadah (du’aul-‘ibadah) dan doa permintaan (du’aul-mas’alah). Doa ibadah meliputi pemahaman terhadap nama-nama tersebut dan mengetahui makna yang terkandung dari nama tersebut, serta menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut. Kemudian, diwujudkan dalam bentuk ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah Tabāraka wa Ta’ala sesuai dengan apa yang diwajibkan dan dikehendaki oleh-Nya. Inilah bentuk merealisasikan keimanan terhadap nama Allah tersebut. Nama Allah Tabāraka Wata’ala, Al-Fattāḥ, disebutkan di dalam Al-Qur’an di dua tempat. Pertama, firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam sebuah doa yang dipanjatkan oleh Nabi Syuaib ‘alaihissalam, رَبَّنَا ٱفْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِٱلْحَقِّ وَأَنتَ خَيْرُ ٱلْفَٰتِحِينَ “Ya Rabb kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Sebaik-baik Pemberi Keputusan.” (QS. Al-A’raf: 89) Kedua, dalam firman-Nya Tabāraka Wata’ala, قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنَا رَبُّنَا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنَا بِٱلْحَقِّ وَهُوَ ٱلْفَتَّاحُ ٱلْعَلِيمُ “Katakanlah, ‘Rabb kami akan mengumpulkan kami semua, kemudian Ia akan memberikan keputusan antara kami dengan kebenaran. Dan Ialah Yang Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.’” (QS. Saba’: 26) Nama Allah Jalla Wa’ala, Al-Fattāḥ, menunjukkan bahwa Allah Jalla Wa’ala memiliki sifat al-fatḥ, yakni pembuka atau pemberi keputusan. Dan sifat yang agung ini mencakup berbagai makna sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama dari beberapa aspek. Di antaranya: Pertama: Allah Tabāraka Wata’ala memutuskan di antara hamba-hamba-Nya berdasarkan syariat-Nya. Kedua: Allah Jalla Wa’ala memutuskan perkara dengan keadilan-Nya di antara hamba-hamba-Nya sesuai dengan balasannya. Ketiga: Allah Tabāraka Wata’ala memutuskan di antara hamba-hamba-Nya berdasarkan hukum-Nya. Allah Ta’ala berfirman, مَّا يَفْتَحِ ٱللَّهُ لِلنَّاسِ مِن رَّحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا ۖ وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُۥ مِنۢ بَعْدِهِۦ ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيم “Apa yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang bisa menahannya. Dan apa yang Allah tahan, maka tidak ada seorang pun yang sanggup untuk melepaskannya setelahnya. Ialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Fatir: 2) Kiat pertama dalam hal ini adalah siapa pun yang ingin menjadi kunci pembuka pintu kebaikan, maka ia harus beriman kepada Al-Fattāḥ, kepada Sebaik-baik Pembuka, yaitu Allah Jalla Wa’ala, dengan memohon kepada-Nya, merendahkan diri disertai ketundukan di hadapan-Nya, berharap akan rahmat dan karunia-Nya dengan penuh keikhlasan dan kejujuran kepada-Nya. Allah ‘Azza Wajalla tidak akan pernah mengecewakan seorang hamba yang senantiasa memohon kepada-Nya, dan tidak akan menolak seorang mukmin yang berharap kepada-Nya dan memohon rahmat dan karunia-Nya. Maka, segala bentuk pembukaan maupun pemutusan perkara itu berasal dari Allah Jalla Wa’ala. Ialah yang membukakan untuk kita segala hal, baik berupa ilmu yang bermanfaat, amal saleh, dan akhlak yang mulia. Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian salaf, إن هذه الأخلاق وهائب وإن الله تبارك وتعالى إذا أحب عبده وهبه إياها والله عز وجل قسم بين العباد الأخلاق ، والأرزاق والأعمال والأعمار وكل شيء منه جلّ وعلا “Sesungguhnya akhlak yang mulia adalah pemberian dari Allah. Jika Allah Tabāraka Wata’ala mencintai seorang hamba, Ia akan menganugerahkan akhlak mulia itu kepadanya. Dan Allah ‘Azza Wajalla telah membagi kepada hamba-hamba-Nya berupa akhlak, rezeki, amal, umur, dan segala hal yang berasal dari-Nya.” Sehingga, kiat yang pertama ini adalah bentuk berserah diri secara totalitas kepada Allah ‘Azza Wajalla. Dan mustahil bagi seseorang bisa memperoleh ilmu, memahaminya, mencapai akhlak yang mulia, melaksanakan ibadah, maupun meraih hal-hal yang lainnya, kecuali jika Allah telah membukakan jalan baginya. Betapa indahnya perkataan Mutharrif bin Abdullah bin Asy-Syikhir, salah seorang ulama tabi’in rahimahullah, yang berkata dengan perkataan yang sangat menakjubkan, لو أخرج قلبي وجُعل في يساري وجيء بالخيرات كلها وجُعلت في يميني لم أستطع أن أجعل شيئا من هذه الخيرات في قلبي إلا أن يكون الله الذي يضعها “Seandainya hatiku dikeluarkan dan diletakkan di tangan kiriku, lalu seluruh kebaikan dibawa dan diletakkan di tangan kananku, aku tidak akan mampu memasukkan satu pun dari kebaikan itu ke dalam hatiku, kecuali jika Allah yang meletakkannya.” (Hilyatul-‘Auliyā’, 2: 201 dan Siyar A’lam An-Nubala, 4: 190) Maka, segala urusan itu semuanya ada di tangan Allah Tabāraka Wata’ala. Oleh karena itu, terkadang ada seseorang yang mendengar nasihat-nasihat yang penuh dengan manfaat, baik untuk urusan agamanya maupun dunianya. Lalu, ia mendengar tentang pintu-pintu kebaikan, amal saleh, dan keberuntungan. Akan tetapi, justru jiwanya cenderung menolak, menjauh, menyimpang, dan tidak termotivasi untuk beramal atau bersedekah. Jadi, segala keberhasilan dan taufik hanya ada di tangan Allah Jalla Wa’ala. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Nya. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Aliy”, “Al-A’la”, dan “Al-Muta’ali” *** Penerjemah: Chrisna Tri Hartadi, A.Md. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Kaifa Takunu Miftāhan lil-Khair, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 9-12.


Ketahuilah, bahwa Al-Fattāḥ sejatinya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia adalah Zat Yang Mahaagung, Mahatinggi, dan Ia adalah Sebaik-baik Pembuka. Al-Fattāḥ adalah salah satu dari nama-Nya yang agung lagi mulia. Wajib bagi setiap muslim untuk beriman kepada Allah ‘Azza Wajalla dan beriman kepada seluruh asmaul husna. Termasuk nama-Nya yang mulia dan harus diimani ialah Al-Fattāḥ. Dengannya, seseorang bisa bertabaruk atau mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan beribadah kepada-Nya. Hal ini sebagai bentuk pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, وَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ فَٱدْعُوهُ بِهَا “Dan hanya milik Allahlah asmaul husna (nama-nama yang terindah), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna.” (QS Al-A’raf: 180) Berdoa kepada Allah Tabāraka Wata’ala dengan nama-nama-Nya yang Ia tetapkan mencakup dua hal: yaitu doa ibadah (du’aul-‘ibadah) dan doa permintaan (du’aul-mas’alah). Doa ibadah meliputi pemahaman terhadap nama-nama tersebut dan mengetahui makna yang terkandung dari nama tersebut, serta menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut. Kemudian, diwujudkan dalam bentuk ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah Tabāraka wa Ta’ala sesuai dengan apa yang diwajibkan dan dikehendaki oleh-Nya. Inilah bentuk merealisasikan keimanan terhadap nama Allah tersebut. Nama Allah Tabāraka Wata’ala, Al-Fattāḥ, disebutkan di dalam Al-Qur’an di dua tempat. Pertama, firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam sebuah doa yang dipanjatkan oleh Nabi Syuaib ‘alaihissalam, رَبَّنَا ٱفْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِٱلْحَقِّ وَأَنتَ خَيْرُ ٱلْفَٰتِحِينَ “Ya Rabb kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Sebaik-baik Pemberi Keputusan.” (QS. Al-A’raf: 89) Kedua, dalam firman-Nya Tabāraka Wata’ala, قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنَا رَبُّنَا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنَا بِٱلْحَقِّ وَهُوَ ٱلْفَتَّاحُ ٱلْعَلِيمُ “Katakanlah, ‘Rabb kami akan mengumpulkan kami semua, kemudian Ia akan memberikan keputusan antara kami dengan kebenaran. Dan Ialah Yang Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.’” (QS. Saba’: 26) Nama Allah Jalla Wa’ala, Al-Fattāḥ, menunjukkan bahwa Allah Jalla Wa’ala memiliki sifat al-fatḥ, yakni pembuka atau pemberi keputusan. Dan sifat yang agung ini mencakup berbagai makna sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama dari beberapa aspek. Di antaranya: Pertama: Allah Tabāraka Wata’ala memutuskan di antara hamba-hamba-Nya berdasarkan syariat-Nya. Kedua: Allah Jalla Wa’ala memutuskan perkara dengan keadilan-Nya di antara hamba-hamba-Nya sesuai dengan balasannya. Ketiga: Allah Tabāraka Wata’ala memutuskan di antara hamba-hamba-Nya berdasarkan hukum-Nya. Allah Ta’ala berfirman, مَّا يَفْتَحِ ٱللَّهُ لِلنَّاسِ مِن رَّحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا ۖ وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُۥ مِنۢ بَعْدِهِۦ ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيم “Apa yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang bisa menahannya. Dan apa yang Allah tahan, maka tidak ada seorang pun yang sanggup untuk melepaskannya setelahnya. Ialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Fatir: 2) Kiat pertama dalam hal ini adalah siapa pun yang ingin menjadi kunci pembuka pintu kebaikan, maka ia harus beriman kepada Al-Fattāḥ, kepada Sebaik-baik Pembuka, yaitu Allah Jalla Wa’ala, dengan memohon kepada-Nya, merendahkan diri disertai ketundukan di hadapan-Nya, berharap akan rahmat dan karunia-Nya dengan penuh keikhlasan dan kejujuran kepada-Nya. Allah ‘Azza Wajalla tidak akan pernah mengecewakan seorang hamba yang senantiasa memohon kepada-Nya, dan tidak akan menolak seorang mukmin yang berharap kepada-Nya dan memohon rahmat dan karunia-Nya. Maka, segala bentuk pembukaan maupun pemutusan perkara itu berasal dari Allah Jalla Wa’ala. Ialah yang membukakan untuk kita segala hal, baik berupa ilmu yang bermanfaat, amal saleh, dan akhlak yang mulia. Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian salaf, إن هذه الأخلاق وهائب وإن الله تبارك وتعالى إذا أحب عبده وهبه إياها والله عز وجل قسم بين العباد الأخلاق ، والأرزاق والأعمال والأعمار وكل شيء منه جلّ وعلا “Sesungguhnya akhlak yang mulia adalah pemberian dari Allah. Jika Allah Tabāraka Wata’ala mencintai seorang hamba, Ia akan menganugerahkan akhlak mulia itu kepadanya. Dan Allah ‘Azza Wajalla telah membagi kepada hamba-hamba-Nya berupa akhlak, rezeki, amal, umur, dan segala hal yang berasal dari-Nya.” Sehingga, kiat yang pertama ini adalah bentuk berserah diri secara totalitas kepada Allah ‘Azza Wajalla. Dan mustahil bagi seseorang bisa memperoleh ilmu, memahaminya, mencapai akhlak yang mulia, melaksanakan ibadah, maupun meraih hal-hal yang lainnya, kecuali jika Allah telah membukakan jalan baginya. Betapa indahnya perkataan Mutharrif bin Abdullah bin Asy-Syikhir, salah seorang ulama tabi’in rahimahullah, yang berkata dengan perkataan yang sangat menakjubkan, لو أخرج قلبي وجُعل في يساري وجيء بالخيرات كلها وجُعلت في يميني لم أستطع أن أجعل شيئا من هذه الخيرات في قلبي إلا أن يكون الله الذي يضعها “Seandainya hatiku dikeluarkan dan diletakkan di tangan kiriku, lalu seluruh kebaikan dibawa dan diletakkan di tangan kananku, aku tidak akan mampu memasukkan satu pun dari kebaikan itu ke dalam hatiku, kecuali jika Allah yang meletakkannya.” (Hilyatul-‘Auliyā’, 2: 201 dan Siyar A’lam An-Nubala, 4: 190) Maka, segala urusan itu semuanya ada di tangan Allah Tabāraka Wata’ala. Oleh karena itu, terkadang ada seseorang yang mendengar nasihat-nasihat yang penuh dengan manfaat, baik untuk urusan agamanya maupun dunianya. Lalu, ia mendengar tentang pintu-pintu kebaikan, amal saleh, dan keberuntungan. Akan tetapi, justru jiwanya cenderung menolak, menjauh, menyimpang, dan tidak termotivasi untuk beramal atau bersedekah. Jadi, segala keberhasilan dan taufik hanya ada di tangan Allah Jalla Wa’ala. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Nya. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Aliy”, “Al-A’la”, dan “Al-Muta’ali” *** Penerjemah: Chrisna Tri Hartadi, A.Md. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Kaifa Takunu Miftāhan lil-Khair, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 9-12.

180 Video Belajar Iqro 1-6 dari Yufid TV

Panduan Lengkap Belajar Membaca Iqro 1 Sampai Iqro 6 Ini adalah panduan ringkas dan lengkap belajar Iqro 1 sampai Iqro 6, yang merupakan salah satu cara cepat belajar membaca Al-Qur’an dari nol untuk pemula. Mengapa Metode Iqro Sangat Populer? Belajar membaca Al-Qur’an adalah langkah awal untuk memahami kalamullah (firman Allah).  Namun, sering kali muncul pertanyaan: “Apa cara cepat membaca Al-Qur’an dari nol untuk pemula?” Jawabannya adalah metode Iqro. Banyak metode cara cepat belajar Al-Qur’an yang tersedia, namun metode Iqro telah menjadi pilihan utama bagi mayoritas umat Islam, terutama di Indonesia. Mengapa demikian? Karena metode ini praktis, mudah dipahami, dan cocok untuk semua usia. Metode Iqro adalah cara praktis dan terstruktur yang dirancang untuk membantu pemula belajar membaca Al-Qur’an dari nol hingga lancar. Buku Iqro terdiri dari 6 jilid yang berisi materi-materi pembelajaran bertahap, dimulai dari pengenalan huruf hijaiyah hingga praktik membaca Al-Qur’an dengan sempurna. Apa Keistimewaan Metode Iqro Dibandingkan Metode Lainnya? 1. Struktur Belajar yang Bertahap Metode Iqro dirancang bertahap, dimulai dari pengenalan huruf hijaiyah hingga praktik membaca ayat-ayat Al-Qur’an secara utuh. Ini memudahkan pemula untuk belajar membaca Al-Qur’an tanpa merasa kewalahan. 2. Fokus pada Praktik Membaca Berbeda dengan metode belajar Al-Qur’an tradisional yang lebih banyak menekankan hafalan teori, metode Iqro lebih berfokus pada praktik langsung membaca. 3. Cocok untuk Semua Usia Metode ini dapat diterapkan untuk anak-anak, remaja, hingga orang dewasa, bahkan mereka yang belum pernah mengenal huruf Arab sekalipun. 4. Cepat dan Efisien Dengan konsistensi, metode ini memungkinkan seseorang untuk mulai membaca Al-Qur’an hanya dalam beberapa bulan.  Siapa Penggagas Metode Iqro? Metode Iqro pertama kali diperkenalkan oleh K.H. As’ad Humam –semoga Allah merahmati beliau dan memasukkan beliau ke dalam surga firdaus-Nya– seorang ulama asal Yogyakarta. Beliau menciptakan metode ini pada tahun 1988 dengan tujuan memudahkan umat Islam untuk belajar membaca Al-Qur’an secara efektif. Keberhasilan metode ini tak lepas dari pendekatan pembelajaran yang sederhana namun terstruktur, sehingga dengan cepat diterima oleh masyarakat luas dan kini menjadi metode standar di berbagai lembaga pendidikan Islam. *** Panduan Belajar Iqro 1 Sampai Iqro 6  Sekarang, kita mulai perjalanan belajar Iqro. Kita mulai langkah pertama kita dengan belajar Iqro 1. Ini insya Allah adalah perjalanan belajar yang penuh berkah, karena kita sedang mempelajari wasilah untuk mempelajari sesuatu yang diberkahi, yaitu Al-Qur’an yang mulia. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah, kemudian berterima kasih kepada tim Yufid.TV yang telah membuat 180 video belajar Iqro, sangat lengkap, dari Iqro 1 hingga Iqro 6. Pada panduan belajar Iqro 1 – 6 ini, kita akan menggunakan 180 video tersebut. IQRO 1: Mengenal Huruf Hijaiyah dengan Harakat Fathah Materi yang Dipelajari: Iqro 1 adalah langkah awal bagi pemula untuk belajar membaca Al-Qur’an. Pada tahap ini, Anda akan: Mengenal 28 huruf hijaiyah satu per satu, seperti alif, ba, ta, dan seterusnya. Memahami bentuk huruf hijaiyah dasar dengan harakat fathah. Fokus pada pengucapan huruf yang benar secara makhraj. Tips Belajar: Latih setiap huruf hijaiyah dengan perlahan. Dengarkan pengucapan huruf dari guru atau video belajar iqro. Ulangi setiap huruf hingga Anda benar-benar menguasainya. 31 Video Belajar Iqro 1 dari Yufid.TV  Berikut ini 31 video belajar Iqro 1 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video lebih kurang 6 menit. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 1 dalam waktu 16 hari. IQRO 2: Membaca Huruf Hijaiyah Bersambung yang Dirangkai 2 Huruf dan 3 Huruf dengan Harakat Fathah Materi yang Dipelajari: Di Iqro 2, Anda akan belajar tentang membaca 2 huruf hijaiyah yang dirangkai, dilanjutkan 3 huruf hijaiyah yang dirangkai. Tujuan Utama: Membiasakan membaca huruf hijaiyah bersambung 2 huruf dan 3 huruf dengan harakat fathah. Melatih membaca tanda mad atau tanda panjang pada huruf yang berharokat fathah. Tips Belajar: Ulangi setiap halaman hingga Anda lancar. Pastikan membaca dengan tartil, tidak tergesa-gesa. Pastikan huruf bertanda mad dibaca panjang. 30 Video Belajar Iqro 2 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 2 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video lebih kurang 5 – 7 menit. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 2 dalam waktu 15 hari. IQRO 3: Mengenal Harakat Kasrah dan Dhammah Materi yang Dipelajari: Setelah lancar membaca huruf hijaiyah bersambung 2 dan 3 huruf dengan harakat fathah, di Iqro 3 Anda akan mempelajari harakat kasrah (bunyi “i”) dan harakat dhammah (bunyi “u”). Tujuan Utama: Membaca huruf hijaiyah dengan tiga jenis harakat: fathah, kasrah, dan dhammah. Membiasakan membaca huruf hijaiyah bersambung dengan rangkaian banyak huruf hijaiyah dengan harakat fathah, kasrah, dan dhammah. Memahami perubahan bunyi berdasarkan harakat fathah, kasrah, dan dhammah. Tips Belajar: Pelajari pola harakat fathah, kasrah, dan dhammah secara perlahan. Ucapkan perlahan, yang terpenting adalah benar secara pengucapannya. Ulang-ulang beberapa kali secara perlahan. Ingat, pelan-pelan, yang penting benar, bukan cepat tapi salah. 30 Video Belajar Iqro 3 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 3 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video berkisar 5 – 7 menit. Sempatkan belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 3 dalam waktu 15 hari. IQRO 4: Membaca Kombinasi Huruf Hijaiyah Berharakat Tanwin Materi yang Dipelajari: Di tahap ini, Anda akan mulai membaca huruf hijaiyah berharakat tanwin: fathatain (fathah bertanwin), kasratain (kasrah bertanwin), dhammatain (dhammah bertanwin). Anda juga akan mengenal tanda sukun. Anda juga akan belajar mengucapkan huruf-huruf qolqolah. Sedangkan pelajaran-pelajaran terdahulu di Iqro 1, Iqro 2, dan Iqro 3 tetap ulang pada Iqro 4 ini.  Tujuan Utama: Membiasakan huruf hijaiyah berharakat tanwin dengan kombinasinya. Membiasakan membaca huruf-huruf hijaiyah yang bertanda sukun. Membiasakan membaca huruf-huruf qolqolah. Secara tidak langsung juga berlatih mengulang-ulang materi pada Iqro 1, Iqro 2, dan Iqro 3. Tips Belajar: Perbanyak latihan membaca huruf-huruf hijaiyah berharakat tanwin. Fokuskan pada perbedaan bunyi pada setiap bentuk harakat tanwinnya. Setelah itu latih mengucapkan huruf-huruf qolqolah. Ini lebih mudah. Setelah itu latih mengucapkan huruf bertanda sukun. Ini lebih mudah lagi. Fokus pada kelancaran membaca. Ucapkan secara perlahan. 30 Video Belajar Iqro 4 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 4 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video berkisar 4 – 5 menit. Sempatkan belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 4 dalam waktu 15 hari. IQRO 5: Mengenal Idghom, Ikhfa, Tasydid, dan Tajwid Sederhana Lainnya Materi yang Dipelajari: Pada Iqro 5 Anda akan mengenal: Idghom Ikhfa Tanda mad yang dibaca 5 harakat dan 6 harakat. Tanda alif lam yang alifnya tidak dibaca. Tanda mad seperti alif (hamzah washal), ya, dan waw.  Tasydid Tujuan Utama: Membaca potongan ayat Al-Qur’an dengan tanda baca lengkap. Memahami fungsi setiap tanda baca dalam memperindah bacaan. Tips Belajar: Latih pengucapan idghom, ikhfa, tasydid, dan mad dengan hati-hati. Baca dengan perlahan. Tidak perlu menghafal istilah tajwid, yang terpenting adalah benar pengucapannya. Dengarkan bacaan dari guru atau video untuk meniru pelafalan. Ulang-ulang hingga lancar. 30 Video Belajar Iqro 5 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 5 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video antara 5 – 10 menit. Tekadkan diri untuk belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 5 dalam waktu 15 hari. IQRO 6: Membaca Ayat Al-Qur’an dengan Lancar Materi yang Dipelajari: Iqro 6 adalah tahap akhir sebelum Anda mulai membaca mushaf Al-Qur’an. Di sini, Anda akan membaca rangkaian ayat Al-Qur’an dengan tanda baca lengkap, seperti surah pendek dari Juz Amma. Pada Iqro 6 ini juga diperkenalkan tanda waqaf (tanda berhenti) karena sudah mulai praktek membaca potongan ayat-ayat Al-Qur’an. Tujuan Utama: Membaca potongan ayat Al-Qur’an dengan tartil. Menguasai semua aturan dasar tajwid sederhana. Tips Belajar: Latih membaca surah-surah pendek secara berulang. Jangan terburu-buru; fokus pada kualitas bacaan. 30 Video Belajar Iqro 6 dari Yufid.TV Jika Anda sudah sampai tahap ini, Anda hebat! Baarokallaahu fiik!  Berikut ini 29 video belajar Iqro 6 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video berkisar 7 – 15 menit. Tekadkan diri untuk belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 6 dalam waktu kurang dari 15 hari. Tips Belajar Iqro dengan Cepat Konsisten: Sediakan waktu khusus setiap hari untuk belajar, meskipun hanya 15-30 menit. Fokus: Pusatkan metode belajar hanya menggunakan buku Iqro saja. Jauhkan semua faktor yang merusak fokus Anda, seperti sosial media, gadget, main game, dan lain-lain. Gunakan Media Pendukung: Aplikasi belajar Iqro, video tutorial, atau audio murottal dapat membantu mempercepat pembelajaran. Bersabar dan Berdoa: Kesabaran adalah kunci dalam belajar membaca Al-Qur’an. Jangan lupa untuk selalu memohon pertolongan kepada Allah. Berdoa adalah yang pertama dan terakhir. Awali belajar dengan berdoa dan akhiri pula dengan berdoa. Berapa Lama Waktu yang Dibutuhkan untuk Belajar Iqro 1-6? Lamanya waktu belajar Iqro tergantung pada konsistensi dan jumlah halaman yang dipelajari setiap hari. Berikut logikanya: 1. Jumlah Halaman dalam Iqro 1-6 Setiap jilid Iqro rata-rata terdiri dari 30-35 halaman. Jika digabungkan, total halaman dari Iqro 1 hingga Iqro 6 sekitar 190 halaman. 2. Belajar 1 Halaman per Hari Jika Anda konsisten belajar 1 halaman per hari, maka: 200 halaman ÷ 1 halaman/hari = 190 hari (sekitar 6-7 bulan). 3. Belajar 2 Halaman per Hari Jika Anda meningkatkan intensitas belajar menjadi 2 halaman per hari, maka: 190 halaman ÷ 2 halaman/hari = 95 hari (sekitar 3-4 bulan). 4. Belajar 3 Halaman per Hari Dengan belajar 3 halaman per hari, Anda bisa menyelesaikan seluruh jilid Iqro dalam: 200 halaman ÷ 3 halaman/hari ≈ 63 hari (sekitar 2-2,5 bulan). 5. Belajar 2 Video Iqro Yufid.TV Setiap Hari Jika Anda setiap hari mempelajari 2 video belajar Iqro Yufid.TV setiap hari, insya Allah Anda menyelesaikan Iqro 1 hingga Iqro 6 dalam waktu 90 hari. Ingat 2 Kunci Sukses Belajar Iqro Kunci keberhasilan belajar adalah konsistensi dan fokus setelah banyak berdoa kepada Allah. Dengan disiplin, siapa pun bisa menyelesaikan Iqro dalam waktu yang relatif singkat. Panduan & Tips Belajar Iqro dengan Efektif 1. Wajib berurutan: Mulailah dari Iqro 1 untuk mengenal huruf hijaiyah. Kuasai satu materi sebelum melangkah ke materi selanjutnya. 2. Tetapkan Jadwal Rutin: Tentukan waktu khusus setiap hari, misalnya setelah shalat Subuh atau Maghrib. Konsistensi adalah kunci. Gunakan waktu belajar secara rutin, meskipun hanya 15-30 menit per hari. 3. Belajar Bersama Guru: Memiliki pembimbing dapat membantu memperbaiki kesalahan dalam pengucapan dan memahami materi lebih cepat. Anda dapat belajar secara online atau bertemu langsung dengan guru. 4. Gunakan Media Pendukung: Manfaatkan aplikasi belajar Iqro, video tutorial, atau audio murottal sebagai tambahan pembelajaran. Pada panduan belajar iqro ini, kita menggunakan 180 video belajar Iqro dari Yufid.TV. 5. Latih Bacaan dengan Tartil: Bacalah dengan perlahan dan jelas sesuai tajwid. Hindari terburu-buru agar bacaan Anda benar sejak awal. 6. Sabar: Sabar, sabar, sabar, dan nikmati proses pembelajaran. Ingat, ini adalah bagian dari ibadah yang besar pahalanya. 7. Murajaah: Ulang, ulang, dan ulangi. Latihan, latihan, dan latihan. Mengulang-ulang pelajaran adalah kunci lekat dan lengketnya ilmu pengetahuan di dalam benak dan hati kita. 8. Berdoa Memohon Kemudahan: Jangan lupa berdoa kepada Allah agar diberikan kemudahan dalam belajar. Bacalah doa sebelum belajar:  رَبِّ زِدْنِى عِلْمًا ROBBI ZIDNII ‘ILMAA “Ya Allah, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS. Thaha: 114) رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي، وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي ROBBISY ROHLII SHODRII WAYAS-SIRLII AMRII “Ya Allah, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah urusanku.” (QS. Thaha: 25-26) Anda juga dapat mengamalkan doa agar dimudahkan membaca, menghafal, dan mempelajari Al-Quran ini. Mengapa Harus Segera Memulai Belajar Iqro? Belajar Iqro adalah salah satu pintu gerbang menuju keindahan Al-Qur’an. Ini adalah langkah awal untuk menjadi bagian dari Ahlul Qur’an—golongan yang mencintai dan mengamalkan Al-Qur’an.  Belajar membaca Al-Qur’an bukan sekadar kewajiban kita sebagai muslim, tetapi juga kemuliaan yang membawa kita lebih dekat kepada Allah, tonggak kebangkitan Islam, dan tangga menuju kejayaan Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari) Hadis ini mengajarkan bahwa belajar dan mengajarkan Al-Qur’an adalah amal yang membawa keberkahan, tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga bagi generasi penerus. Memulai belajar Iqro berarti Anda sedang menapaki jalan menuju kebaikan yang terus mengalir pahalanya. Jadi, jangan tunda lagi untuk memulai langkah ini. Anda bisa menjadi bagian dari orang-orang terbaik yang dicintai oleh Allah. Jangan Tunggu Lagi, Mulailah Hari Ini Belajar Iqro adalah langkah awal menuju keberkahan hidup. Dengan doa yang konsisten, kemudian metode yang terstruktur, lalu dukungan dari keluarga dan guru, siapa pun dapat lancar membaca Al-Qur’an. Ingatlah, setiap langkah yang Anda tempuh untuk belajar membaca Al-Qur’an adalah pahala besar di sisi Allah. Jadi, jangan tunda lagi. Mulailah hari ini, raihlah keutamaan mempelajari Al-Qur’an. Semoga artikel ini bermanfaat dan menginspirasi Anda untuk segera memulai belajar Iqro. Wallahu a’lam bish-shawab. Banghen Sumber: https://banghen.com/belajar-iqro/ 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 529 times, 1 visit(s) today Post Views: 704 QRIS donasi Yufid

180 Video Belajar Iqro 1-6 dari Yufid TV

Panduan Lengkap Belajar Membaca Iqro 1 Sampai Iqro 6 Ini adalah panduan ringkas dan lengkap belajar Iqro 1 sampai Iqro 6, yang merupakan salah satu cara cepat belajar membaca Al-Qur’an dari nol untuk pemula. Mengapa Metode Iqro Sangat Populer? Belajar membaca Al-Qur’an adalah langkah awal untuk memahami kalamullah (firman Allah).  Namun, sering kali muncul pertanyaan: “Apa cara cepat membaca Al-Qur’an dari nol untuk pemula?” Jawabannya adalah metode Iqro. Banyak metode cara cepat belajar Al-Qur’an yang tersedia, namun metode Iqro telah menjadi pilihan utama bagi mayoritas umat Islam, terutama di Indonesia. Mengapa demikian? Karena metode ini praktis, mudah dipahami, dan cocok untuk semua usia. Metode Iqro adalah cara praktis dan terstruktur yang dirancang untuk membantu pemula belajar membaca Al-Qur’an dari nol hingga lancar. Buku Iqro terdiri dari 6 jilid yang berisi materi-materi pembelajaran bertahap, dimulai dari pengenalan huruf hijaiyah hingga praktik membaca Al-Qur’an dengan sempurna. Apa Keistimewaan Metode Iqro Dibandingkan Metode Lainnya? 1. Struktur Belajar yang Bertahap Metode Iqro dirancang bertahap, dimulai dari pengenalan huruf hijaiyah hingga praktik membaca ayat-ayat Al-Qur’an secara utuh. Ini memudahkan pemula untuk belajar membaca Al-Qur’an tanpa merasa kewalahan. 2. Fokus pada Praktik Membaca Berbeda dengan metode belajar Al-Qur’an tradisional yang lebih banyak menekankan hafalan teori, metode Iqro lebih berfokus pada praktik langsung membaca. 3. Cocok untuk Semua Usia Metode ini dapat diterapkan untuk anak-anak, remaja, hingga orang dewasa, bahkan mereka yang belum pernah mengenal huruf Arab sekalipun. 4. Cepat dan Efisien Dengan konsistensi, metode ini memungkinkan seseorang untuk mulai membaca Al-Qur’an hanya dalam beberapa bulan.  Siapa Penggagas Metode Iqro? Metode Iqro pertama kali diperkenalkan oleh K.H. As’ad Humam –semoga Allah merahmati beliau dan memasukkan beliau ke dalam surga firdaus-Nya– seorang ulama asal Yogyakarta. Beliau menciptakan metode ini pada tahun 1988 dengan tujuan memudahkan umat Islam untuk belajar membaca Al-Qur’an secara efektif. Keberhasilan metode ini tak lepas dari pendekatan pembelajaran yang sederhana namun terstruktur, sehingga dengan cepat diterima oleh masyarakat luas dan kini menjadi metode standar di berbagai lembaga pendidikan Islam. *** Panduan Belajar Iqro 1 Sampai Iqro 6  Sekarang, kita mulai perjalanan belajar Iqro. Kita mulai langkah pertama kita dengan belajar Iqro 1. Ini insya Allah adalah perjalanan belajar yang penuh berkah, karena kita sedang mempelajari wasilah untuk mempelajari sesuatu yang diberkahi, yaitu Al-Qur’an yang mulia. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah, kemudian berterima kasih kepada tim Yufid.TV yang telah membuat 180 video belajar Iqro, sangat lengkap, dari Iqro 1 hingga Iqro 6. Pada panduan belajar Iqro 1 – 6 ini, kita akan menggunakan 180 video tersebut. IQRO 1: Mengenal Huruf Hijaiyah dengan Harakat Fathah Materi yang Dipelajari: Iqro 1 adalah langkah awal bagi pemula untuk belajar membaca Al-Qur’an. Pada tahap ini, Anda akan: Mengenal 28 huruf hijaiyah satu per satu, seperti alif, ba, ta, dan seterusnya. Memahami bentuk huruf hijaiyah dasar dengan harakat fathah. Fokus pada pengucapan huruf yang benar secara makhraj. Tips Belajar: Latih setiap huruf hijaiyah dengan perlahan. Dengarkan pengucapan huruf dari guru atau video belajar iqro. Ulangi setiap huruf hingga Anda benar-benar menguasainya. 31 Video Belajar Iqro 1 dari Yufid.TV  Berikut ini 31 video belajar Iqro 1 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video lebih kurang 6 menit. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 1 dalam waktu 16 hari. IQRO 2: Membaca Huruf Hijaiyah Bersambung yang Dirangkai 2 Huruf dan 3 Huruf dengan Harakat Fathah Materi yang Dipelajari: Di Iqro 2, Anda akan belajar tentang membaca 2 huruf hijaiyah yang dirangkai, dilanjutkan 3 huruf hijaiyah yang dirangkai. Tujuan Utama: Membiasakan membaca huruf hijaiyah bersambung 2 huruf dan 3 huruf dengan harakat fathah. Melatih membaca tanda mad atau tanda panjang pada huruf yang berharokat fathah. Tips Belajar: Ulangi setiap halaman hingga Anda lancar. Pastikan membaca dengan tartil, tidak tergesa-gesa. Pastikan huruf bertanda mad dibaca panjang. 30 Video Belajar Iqro 2 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 2 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video lebih kurang 5 – 7 menit. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 2 dalam waktu 15 hari. IQRO 3: Mengenal Harakat Kasrah dan Dhammah Materi yang Dipelajari: Setelah lancar membaca huruf hijaiyah bersambung 2 dan 3 huruf dengan harakat fathah, di Iqro 3 Anda akan mempelajari harakat kasrah (bunyi “i”) dan harakat dhammah (bunyi “u”). Tujuan Utama: Membaca huruf hijaiyah dengan tiga jenis harakat: fathah, kasrah, dan dhammah. Membiasakan membaca huruf hijaiyah bersambung dengan rangkaian banyak huruf hijaiyah dengan harakat fathah, kasrah, dan dhammah. Memahami perubahan bunyi berdasarkan harakat fathah, kasrah, dan dhammah. Tips Belajar: Pelajari pola harakat fathah, kasrah, dan dhammah secara perlahan. Ucapkan perlahan, yang terpenting adalah benar secara pengucapannya. Ulang-ulang beberapa kali secara perlahan. Ingat, pelan-pelan, yang penting benar, bukan cepat tapi salah. 30 Video Belajar Iqro 3 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 3 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video berkisar 5 – 7 menit. Sempatkan belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 3 dalam waktu 15 hari. IQRO 4: Membaca Kombinasi Huruf Hijaiyah Berharakat Tanwin Materi yang Dipelajari: Di tahap ini, Anda akan mulai membaca huruf hijaiyah berharakat tanwin: fathatain (fathah bertanwin), kasratain (kasrah bertanwin), dhammatain (dhammah bertanwin). Anda juga akan mengenal tanda sukun. Anda juga akan belajar mengucapkan huruf-huruf qolqolah. Sedangkan pelajaran-pelajaran terdahulu di Iqro 1, Iqro 2, dan Iqro 3 tetap ulang pada Iqro 4 ini.  Tujuan Utama: Membiasakan huruf hijaiyah berharakat tanwin dengan kombinasinya. Membiasakan membaca huruf-huruf hijaiyah yang bertanda sukun. Membiasakan membaca huruf-huruf qolqolah. Secara tidak langsung juga berlatih mengulang-ulang materi pada Iqro 1, Iqro 2, dan Iqro 3. Tips Belajar: Perbanyak latihan membaca huruf-huruf hijaiyah berharakat tanwin. Fokuskan pada perbedaan bunyi pada setiap bentuk harakat tanwinnya. Setelah itu latih mengucapkan huruf-huruf qolqolah. Ini lebih mudah. Setelah itu latih mengucapkan huruf bertanda sukun. Ini lebih mudah lagi. Fokus pada kelancaran membaca. Ucapkan secara perlahan. 30 Video Belajar Iqro 4 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 4 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video berkisar 4 – 5 menit. Sempatkan belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 4 dalam waktu 15 hari. IQRO 5: Mengenal Idghom, Ikhfa, Tasydid, dan Tajwid Sederhana Lainnya Materi yang Dipelajari: Pada Iqro 5 Anda akan mengenal: Idghom Ikhfa Tanda mad yang dibaca 5 harakat dan 6 harakat. Tanda alif lam yang alifnya tidak dibaca. Tanda mad seperti alif (hamzah washal), ya, dan waw.  Tasydid Tujuan Utama: Membaca potongan ayat Al-Qur’an dengan tanda baca lengkap. Memahami fungsi setiap tanda baca dalam memperindah bacaan. Tips Belajar: Latih pengucapan idghom, ikhfa, tasydid, dan mad dengan hati-hati. Baca dengan perlahan. Tidak perlu menghafal istilah tajwid, yang terpenting adalah benar pengucapannya. Dengarkan bacaan dari guru atau video untuk meniru pelafalan. Ulang-ulang hingga lancar. 30 Video Belajar Iqro 5 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 5 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video antara 5 – 10 menit. Tekadkan diri untuk belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 5 dalam waktu 15 hari. IQRO 6: Membaca Ayat Al-Qur’an dengan Lancar Materi yang Dipelajari: Iqro 6 adalah tahap akhir sebelum Anda mulai membaca mushaf Al-Qur’an. Di sini, Anda akan membaca rangkaian ayat Al-Qur’an dengan tanda baca lengkap, seperti surah pendek dari Juz Amma. Pada Iqro 6 ini juga diperkenalkan tanda waqaf (tanda berhenti) karena sudah mulai praktek membaca potongan ayat-ayat Al-Qur’an. Tujuan Utama: Membaca potongan ayat Al-Qur’an dengan tartil. Menguasai semua aturan dasar tajwid sederhana. Tips Belajar: Latih membaca surah-surah pendek secara berulang. Jangan terburu-buru; fokus pada kualitas bacaan. 30 Video Belajar Iqro 6 dari Yufid.TV Jika Anda sudah sampai tahap ini, Anda hebat! Baarokallaahu fiik!  Berikut ini 29 video belajar Iqro 6 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video berkisar 7 – 15 menit. Tekadkan diri untuk belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 6 dalam waktu kurang dari 15 hari. Tips Belajar Iqro dengan Cepat Konsisten: Sediakan waktu khusus setiap hari untuk belajar, meskipun hanya 15-30 menit. Fokus: Pusatkan metode belajar hanya menggunakan buku Iqro saja. Jauhkan semua faktor yang merusak fokus Anda, seperti sosial media, gadget, main game, dan lain-lain. Gunakan Media Pendukung: Aplikasi belajar Iqro, video tutorial, atau audio murottal dapat membantu mempercepat pembelajaran. Bersabar dan Berdoa: Kesabaran adalah kunci dalam belajar membaca Al-Qur’an. Jangan lupa untuk selalu memohon pertolongan kepada Allah. Berdoa adalah yang pertama dan terakhir. Awali belajar dengan berdoa dan akhiri pula dengan berdoa. Berapa Lama Waktu yang Dibutuhkan untuk Belajar Iqro 1-6? Lamanya waktu belajar Iqro tergantung pada konsistensi dan jumlah halaman yang dipelajari setiap hari. Berikut logikanya: 1. Jumlah Halaman dalam Iqro 1-6 Setiap jilid Iqro rata-rata terdiri dari 30-35 halaman. Jika digabungkan, total halaman dari Iqro 1 hingga Iqro 6 sekitar 190 halaman. 2. Belajar 1 Halaman per Hari Jika Anda konsisten belajar 1 halaman per hari, maka: 200 halaman ÷ 1 halaman/hari = 190 hari (sekitar 6-7 bulan). 3. Belajar 2 Halaman per Hari Jika Anda meningkatkan intensitas belajar menjadi 2 halaman per hari, maka: 190 halaman ÷ 2 halaman/hari = 95 hari (sekitar 3-4 bulan). 4. Belajar 3 Halaman per Hari Dengan belajar 3 halaman per hari, Anda bisa menyelesaikan seluruh jilid Iqro dalam: 200 halaman ÷ 3 halaman/hari ≈ 63 hari (sekitar 2-2,5 bulan). 5. Belajar 2 Video Iqro Yufid.TV Setiap Hari Jika Anda setiap hari mempelajari 2 video belajar Iqro Yufid.TV setiap hari, insya Allah Anda menyelesaikan Iqro 1 hingga Iqro 6 dalam waktu 90 hari. Ingat 2 Kunci Sukses Belajar Iqro Kunci keberhasilan belajar adalah konsistensi dan fokus setelah banyak berdoa kepada Allah. Dengan disiplin, siapa pun bisa menyelesaikan Iqro dalam waktu yang relatif singkat. Panduan & Tips Belajar Iqro dengan Efektif 1. Wajib berurutan: Mulailah dari Iqro 1 untuk mengenal huruf hijaiyah. Kuasai satu materi sebelum melangkah ke materi selanjutnya. 2. Tetapkan Jadwal Rutin: Tentukan waktu khusus setiap hari, misalnya setelah shalat Subuh atau Maghrib. Konsistensi adalah kunci. Gunakan waktu belajar secara rutin, meskipun hanya 15-30 menit per hari. 3. Belajar Bersama Guru: Memiliki pembimbing dapat membantu memperbaiki kesalahan dalam pengucapan dan memahami materi lebih cepat. Anda dapat belajar secara online atau bertemu langsung dengan guru. 4. Gunakan Media Pendukung: Manfaatkan aplikasi belajar Iqro, video tutorial, atau audio murottal sebagai tambahan pembelajaran. Pada panduan belajar iqro ini, kita menggunakan 180 video belajar Iqro dari Yufid.TV. 5. Latih Bacaan dengan Tartil: Bacalah dengan perlahan dan jelas sesuai tajwid. Hindari terburu-buru agar bacaan Anda benar sejak awal. 6. Sabar: Sabar, sabar, sabar, dan nikmati proses pembelajaran. Ingat, ini adalah bagian dari ibadah yang besar pahalanya. 7. Murajaah: Ulang, ulang, dan ulangi. Latihan, latihan, dan latihan. Mengulang-ulang pelajaran adalah kunci lekat dan lengketnya ilmu pengetahuan di dalam benak dan hati kita. 8. Berdoa Memohon Kemudahan: Jangan lupa berdoa kepada Allah agar diberikan kemudahan dalam belajar. Bacalah doa sebelum belajar:  رَبِّ زِدْنِى عِلْمًا ROBBI ZIDNII ‘ILMAA “Ya Allah, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS. Thaha: 114) رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي، وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي ROBBISY ROHLII SHODRII WAYAS-SIRLII AMRII “Ya Allah, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah urusanku.” (QS. Thaha: 25-26) Anda juga dapat mengamalkan doa agar dimudahkan membaca, menghafal, dan mempelajari Al-Quran ini. Mengapa Harus Segera Memulai Belajar Iqro? Belajar Iqro adalah salah satu pintu gerbang menuju keindahan Al-Qur’an. Ini adalah langkah awal untuk menjadi bagian dari Ahlul Qur’an—golongan yang mencintai dan mengamalkan Al-Qur’an.  Belajar membaca Al-Qur’an bukan sekadar kewajiban kita sebagai muslim, tetapi juga kemuliaan yang membawa kita lebih dekat kepada Allah, tonggak kebangkitan Islam, dan tangga menuju kejayaan Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari) Hadis ini mengajarkan bahwa belajar dan mengajarkan Al-Qur’an adalah amal yang membawa keberkahan, tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga bagi generasi penerus. Memulai belajar Iqro berarti Anda sedang menapaki jalan menuju kebaikan yang terus mengalir pahalanya. Jadi, jangan tunda lagi untuk memulai langkah ini. Anda bisa menjadi bagian dari orang-orang terbaik yang dicintai oleh Allah. Jangan Tunggu Lagi, Mulailah Hari Ini Belajar Iqro adalah langkah awal menuju keberkahan hidup. Dengan doa yang konsisten, kemudian metode yang terstruktur, lalu dukungan dari keluarga dan guru, siapa pun dapat lancar membaca Al-Qur’an. Ingatlah, setiap langkah yang Anda tempuh untuk belajar membaca Al-Qur’an adalah pahala besar di sisi Allah. Jadi, jangan tunda lagi. Mulailah hari ini, raihlah keutamaan mempelajari Al-Qur’an. Semoga artikel ini bermanfaat dan menginspirasi Anda untuk segera memulai belajar Iqro. Wallahu a’lam bish-shawab. Banghen Sumber: https://banghen.com/belajar-iqro/ 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 529 times, 1 visit(s) today Post Views: 704 QRIS donasi Yufid
Panduan Lengkap Belajar Membaca Iqro 1 Sampai Iqro 6 Ini adalah panduan ringkas dan lengkap belajar Iqro 1 sampai Iqro 6, yang merupakan salah satu cara cepat belajar membaca Al-Qur’an dari nol untuk pemula. Mengapa Metode Iqro Sangat Populer? Belajar membaca Al-Qur’an adalah langkah awal untuk memahami kalamullah (firman Allah).  Namun, sering kali muncul pertanyaan: “Apa cara cepat membaca Al-Qur’an dari nol untuk pemula?” Jawabannya adalah metode Iqro. Banyak metode cara cepat belajar Al-Qur’an yang tersedia, namun metode Iqro telah menjadi pilihan utama bagi mayoritas umat Islam, terutama di Indonesia. Mengapa demikian? Karena metode ini praktis, mudah dipahami, dan cocok untuk semua usia. Metode Iqro adalah cara praktis dan terstruktur yang dirancang untuk membantu pemula belajar membaca Al-Qur’an dari nol hingga lancar. Buku Iqro terdiri dari 6 jilid yang berisi materi-materi pembelajaran bertahap, dimulai dari pengenalan huruf hijaiyah hingga praktik membaca Al-Qur’an dengan sempurna. Apa Keistimewaan Metode Iqro Dibandingkan Metode Lainnya? 1. Struktur Belajar yang Bertahap Metode Iqro dirancang bertahap, dimulai dari pengenalan huruf hijaiyah hingga praktik membaca ayat-ayat Al-Qur’an secara utuh. Ini memudahkan pemula untuk belajar membaca Al-Qur’an tanpa merasa kewalahan. 2. Fokus pada Praktik Membaca Berbeda dengan metode belajar Al-Qur’an tradisional yang lebih banyak menekankan hafalan teori, metode Iqro lebih berfokus pada praktik langsung membaca. 3. Cocok untuk Semua Usia Metode ini dapat diterapkan untuk anak-anak, remaja, hingga orang dewasa, bahkan mereka yang belum pernah mengenal huruf Arab sekalipun. 4. Cepat dan Efisien Dengan konsistensi, metode ini memungkinkan seseorang untuk mulai membaca Al-Qur’an hanya dalam beberapa bulan.  Siapa Penggagas Metode Iqro? Metode Iqro pertama kali diperkenalkan oleh K.H. As’ad Humam –semoga Allah merahmati beliau dan memasukkan beliau ke dalam surga firdaus-Nya– seorang ulama asal Yogyakarta. Beliau menciptakan metode ini pada tahun 1988 dengan tujuan memudahkan umat Islam untuk belajar membaca Al-Qur’an secara efektif. Keberhasilan metode ini tak lepas dari pendekatan pembelajaran yang sederhana namun terstruktur, sehingga dengan cepat diterima oleh masyarakat luas dan kini menjadi metode standar di berbagai lembaga pendidikan Islam. *** Panduan Belajar Iqro 1 Sampai Iqro 6  Sekarang, kita mulai perjalanan belajar Iqro. Kita mulai langkah pertama kita dengan belajar Iqro 1. Ini insya Allah adalah perjalanan belajar yang penuh berkah, karena kita sedang mempelajari wasilah untuk mempelajari sesuatu yang diberkahi, yaitu Al-Qur’an yang mulia. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah, kemudian berterima kasih kepada tim Yufid.TV yang telah membuat 180 video belajar Iqro, sangat lengkap, dari Iqro 1 hingga Iqro 6. Pada panduan belajar Iqro 1 – 6 ini, kita akan menggunakan 180 video tersebut. IQRO 1: Mengenal Huruf Hijaiyah dengan Harakat Fathah Materi yang Dipelajari: Iqro 1 adalah langkah awal bagi pemula untuk belajar membaca Al-Qur’an. Pada tahap ini, Anda akan: Mengenal 28 huruf hijaiyah satu per satu, seperti alif, ba, ta, dan seterusnya. Memahami bentuk huruf hijaiyah dasar dengan harakat fathah. Fokus pada pengucapan huruf yang benar secara makhraj. Tips Belajar: Latih setiap huruf hijaiyah dengan perlahan. Dengarkan pengucapan huruf dari guru atau video belajar iqro. Ulangi setiap huruf hingga Anda benar-benar menguasainya. 31 Video Belajar Iqro 1 dari Yufid.TV  Berikut ini 31 video belajar Iqro 1 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video lebih kurang 6 menit. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 1 dalam waktu 16 hari. IQRO 2: Membaca Huruf Hijaiyah Bersambung yang Dirangkai 2 Huruf dan 3 Huruf dengan Harakat Fathah Materi yang Dipelajari: Di Iqro 2, Anda akan belajar tentang membaca 2 huruf hijaiyah yang dirangkai, dilanjutkan 3 huruf hijaiyah yang dirangkai. Tujuan Utama: Membiasakan membaca huruf hijaiyah bersambung 2 huruf dan 3 huruf dengan harakat fathah. Melatih membaca tanda mad atau tanda panjang pada huruf yang berharokat fathah. Tips Belajar: Ulangi setiap halaman hingga Anda lancar. Pastikan membaca dengan tartil, tidak tergesa-gesa. Pastikan huruf bertanda mad dibaca panjang. 30 Video Belajar Iqro 2 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 2 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video lebih kurang 5 – 7 menit. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 2 dalam waktu 15 hari. IQRO 3: Mengenal Harakat Kasrah dan Dhammah Materi yang Dipelajari: Setelah lancar membaca huruf hijaiyah bersambung 2 dan 3 huruf dengan harakat fathah, di Iqro 3 Anda akan mempelajari harakat kasrah (bunyi “i”) dan harakat dhammah (bunyi “u”). Tujuan Utama: Membaca huruf hijaiyah dengan tiga jenis harakat: fathah, kasrah, dan dhammah. Membiasakan membaca huruf hijaiyah bersambung dengan rangkaian banyak huruf hijaiyah dengan harakat fathah, kasrah, dan dhammah. Memahami perubahan bunyi berdasarkan harakat fathah, kasrah, dan dhammah. Tips Belajar: Pelajari pola harakat fathah, kasrah, dan dhammah secara perlahan. Ucapkan perlahan, yang terpenting adalah benar secara pengucapannya. Ulang-ulang beberapa kali secara perlahan. Ingat, pelan-pelan, yang penting benar, bukan cepat tapi salah. 30 Video Belajar Iqro 3 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 3 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video berkisar 5 – 7 menit. Sempatkan belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 3 dalam waktu 15 hari. IQRO 4: Membaca Kombinasi Huruf Hijaiyah Berharakat Tanwin Materi yang Dipelajari: Di tahap ini, Anda akan mulai membaca huruf hijaiyah berharakat tanwin: fathatain (fathah bertanwin), kasratain (kasrah bertanwin), dhammatain (dhammah bertanwin). Anda juga akan mengenal tanda sukun. Anda juga akan belajar mengucapkan huruf-huruf qolqolah. Sedangkan pelajaran-pelajaran terdahulu di Iqro 1, Iqro 2, dan Iqro 3 tetap ulang pada Iqro 4 ini.  Tujuan Utama: Membiasakan huruf hijaiyah berharakat tanwin dengan kombinasinya. Membiasakan membaca huruf-huruf hijaiyah yang bertanda sukun. Membiasakan membaca huruf-huruf qolqolah. Secara tidak langsung juga berlatih mengulang-ulang materi pada Iqro 1, Iqro 2, dan Iqro 3. Tips Belajar: Perbanyak latihan membaca huruf-huruf hijaiyah berharakat tanwin. Fokuskan pada perbedaan bunyi pada setiap bentuk harakat tanwinnya. Setelah itu latih mengucapkan huruf-huruf qolqolah. Ini lebih mudah. Setelah itu latih mengucapkan huruf bertanda sukun. Ini lebih mudah lagi. Fokus pada kelancaran membaca. Ucapkan secara perlahan. 30 Video Belajar Iqro 4 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 4 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video berkisar 4 – 5 menit. Sempatkan belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 4 dalam waktu 15 hari. IQRO 5: Mengenal Idghom, Ikhfa, Tasydid, dan Tajwid Sederhana Lainnya Materi yang Dipelajari: Pada Iqro 5 Anda akan mengenal: Idghom Ikhfa Tanda mad yang dibaca 5 harakat dan 6 harakat. Tanda alif lam yang alifnya tidak dibaca. Tanda mad seperti alif (hamzah washal), ya, dan waw.  Tasydid Tujuan Utama: Membaca potongan ayat Al-Qur’an dengan tanda baca lengkap. Memahami fungsi setiap tanda baca dalam memperindah bacaan. Tips Belajar: Latih pengucapan idghom, ikhfa, tasydid, dan mad dengan hati-hati. Baca dengan perlahan. Tidak perlu menghafal istilah tajwid, yang terpenting adalah benar pengucapannya. Dengarkan bacaan dari guru atau video untuk meniru pelafalan. Ulang-ulang hingga lancar. 30 Video Belajar Iqro 5 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 5 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video antara 5 – 10 menit. Tekadkan diri untuk belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 5 dalam waktu 15 hari. IQRO 6: Membaca Ayat Al-Qur’an dengan Lancar Materi yang Dipelajari: Iqro 6 adalah tahap akhir sebelum Anda mulai membaca mushaf Al-Qur’an. Di sini, Anda akan membaca rangkaian ayat Al-Qur’an dengan tanda baca lengkap, seperti surah pendek dari Juz Amma. Pada Iqro 6 ini juga diperkenalkan tanda waqaf (tanda berhenti) karena sudah mulai praktek membaca potongan ayat-ayat Al-Qur’an. Tujuan Utama: Membaca potongan ayat Al-Qur’an dengan tartil. Menguasai semua aturan dasar tajwid sederhana. Tips Belajar: Latih membaca surah-surah pendek secara berulang. Jangan terburu-buru; fokus pada kualitas bacaan. 30 Video Belajar Iqro 6 dari Yufid.TV Jika Anda sudah sampai tahap ini, Anda hebat! Baarokallaahu fiik!  Berikut ini 29 video belajar Iqro 6 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video berkisar 7 – 15 menit. Tekadkan diri untuk belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 6 dalam waktu kurang dari 15 hari. Tips Belajar Iqro dengan Cepat Konsisten: Sediakan waktu khusus setiap hari untuk belajar, meskipun hanya 15-30 menit. Fokus: Pusatkan metode belajar hanya menggunakan buku Iqro saja. Jauhkan semua faktor yang merusak fokus Anda, seperti sosial media, gadget, main game, dan lain-lain. Gunakan Media Pendukung: Aplikasi belajar Iqro, video tutorial, atau audio murottal dapat membantu mempercepat pembelajaran. Bersabar dan Berdoa: Kesabaran adalah kunci dalam belajar membaca Al-Qur’an. Jangan lupa untuk selalu memohon pertolongan kepada Allah. Berdoa adalah yang pertama dan terakhir. Awali belajar dengan berdoa dan akhiri pula dengan berdoa. Berapa Lama Waktu yang Dibutuhkan untuk Belajar Iqro 1-6? Lamanya waktu belajar Iqro tergantung pada konsistensi dan jumlah halaman yang dipelajari setiap hari. Berikut logikanya: 1. Jumlah Halaman dalam Iqro 1-6 Setiap jilid Iqro rata-rata terdiri dari 30-35 halaman. Jika digabungkan, total halaman dari Iqro 1 hingga Iqro 6 sekitar 190 halaman. 2. Belajar 1 Halaman per Hari Jika Anda konsisten belajar 1 halaman per hari, maka: 200 halaman ÷ 1 halaman/hari = 190 hari (sekitar 6-7 bulan). 3. Belajar 2 Halaman per Hari Jika Anda meningkatkan intensitas belajar menjadi 2 halaman per hari, maka: 190 halaman ÷ 2 halaman/hari = 95 hari (sekitar 3-4 bulan). 4. Belajar 3 Halaman per Hari Dengan belajar 3 halaman per hari, Anda bisa menyelesaikan seluruh jilid Iqro dalam: 200 halaman ÷ 3 halaman/hari ≈ 63 hari (sekitar 2-2,5 bulan). 5. Belajar 2 Video Iqro Yufid.TV Setiap Hari Jika Anda setiap hari mempelajari 2 video belajar Iqro Yufid.TV setiap hari, insya Allah Anda menyelesaikan Iqro 1 hingga Iqro 6 dalam waktu 90 hari. Ingat 2 Kunci Sukses Belajar Iqro Kunci keberhasilan belajar adalah konsistensi dan fokus setelah banyak berdoa kepada Allah. Dengan disiplin, siapa pun bisa menyelesaikan Iqro dalam waktu yang relatif singkat. Panduan & Tips Belajar Iqro dengan Efektif 1. Wajib berurutan: Mulailah dari Iqro 1 untuk mengenal huruf hijaiyah. Kuasai satu materi sebelum melangkah ke materi selanjutnya. 2. Tetapkan Jadwal Rutin: Tentukan waktu khusus setiap hari, misalnya setelah shalat Subuh atau Maghrib. Konsistensi adalah kunci. Gunakan waktu belajar secara rutin, meskipun hanya 15-30 menit per hari. 3. Belajar Bersama Guru: Memiliki pembimbing dapat membantu memperbaiki kesalahan dalam pengucapan dan memahami materi lebih cepat. Anda dapat belajar secara online atau bertemu langsung dengan guru. 4. Gunakan Media Pendukung: Manfaatkan aplikasi belajar Iqro, video tutorial, atau audio murottal sebagai tambahan pembelajaran. Pada panduan belajar iqro ini, kita menggunakan 180 video belajar Iqro dari Yufid.TV. 5. Latih Bacaan dengan Tartil: Bacalah dengan perlahan dan jelas sesuai tajwid. Hindari terburu-buru agar bacaan Anda benar sejak awal. 6. Sabar: Sabar, sabar, sabar, dan nikmati proses pembelajaran. Ingat, ini adalah bagian dari ibadah yang besar pahalanya. 7. Murajaah: Ulang, ulang, dan ulangi. Latihan, latihan, dan latihan. Mengulang-ulang pelajaran adalah kunci lekat dan lengketnya ilmu pengetahuan di dalam benak dan hati kita. 8. Berdoa Memohon Kemudahan: Jangan lupa berdoa kepada Allah agar diberikan kemudahan dalam belajar. Bacalah doa sebelum belajar:  رَبِّ زِدْنِى عِلْمًا ROBBI ZIDNII ‘ILMAA “Ya Allah, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS. Thaha: 114) رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي، وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي ROBBISY ROHLII SHODRII WAYAS-SIRLII AMRII “Ya Allah, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah urusanku.” (QS. Thaha: 25-26) Anda juga dapat mengamalkan doa agar dimudahkan membaca, menghafal, dan mempelajari Al-Quran ini. Mengapa Harus Segera Memulai Belajar Iqro? Belajar Iqro adalah salah satu pintu gerbang menuju keindahan Al-Qur’an. Ini adalah langkah awal untuk menjadi bagian dari Ahlul Qur’an—golongan yang mencintai dan mengamalkan Al-Qur’an.  Belajar membaca Al-Qur’an bukan sekadar kewajiban kita sebagai muslim, tetapi juga kemuliaan yang membawa kita lebih dekat kepada Allah, tonggak kebangkitan Islam, dan tangga menuju kejayaan Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari) Hadis ini mengajarkan bahwa belajar dan mengajarkan Al-Qur’an adalah amal yang membawa keberkahan, tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga bagi generasi penerus. Memulai belajar Iqro berarti Anda sedang menapaki jalan menuju kebaikan yang terus mengalir pahalanya. Jadi, jangan tunda lagi untuk memulai langkah ini. Anda bisa menjadi bagian dari orang-orang terbaik yang dicintai oleh Allah. Jangan Tunggu Lagi, Mulailah Hari Ini Belajar Iqro adalah langkah awal menuju keberkahan hidup. Dengan doa yang konsisten, kemudian metode yang terstruktur, lalu dukungan dari keluarga dan guru, siapa pun dapat lancar membaca Al-Qur’an. Ingatlah, setiap langkah yang Anda tempuh untuk belajar membaca Al-Qur’an adalah pahala besar di sisi Allah. Jadi, jangan tunda lagi. Mulailah hari ini, raihlah keutamaan mempelajari Al-Qur’an. Semoga artikel ini bermanfaat dan menginspirasi Anda untuk segera memulai belajar Iqro. Wallahu a’lam bish-shawab. Banghen Sumber: https://banghen.com/belajar-iqro/ 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 529 times, 1 visit(s) today Post Views: 704 QRIS donasi Yufid


Panduan Lengkap Belajar Membaca Iqro 1 Sampai Iqro 6 Ini adalah panduan ringkas dan lengkap belajar Iqro 1 sampai Iqro 6, yang merupakan salah satu cara cepat belajar membaca Al-Qur’an dari nol untuk pemula. Mengapa Metode Iqro Sangat Populer? Belajar membaca Al-Qur’an adalah langkah awal untuk memahami kalamullah (firman Allah).  Namun, sering kali muncul pertanyaan: “Apa cara cepat membaca Al-Qur’an dari nol untuk pemula?” Jawabannya adalah metode Iqro. Banyak metode cara cepat belajar Al-Qur’an yang tersedia, namun metode Iqro telah menjadi pilihan utama bagi mayoritas umat Islam, terutama di Indonesia. Mengapa demikian? Karena metode ini praktis, mudah dipahami, dan cocok untuk semua usia. Metode Iqro adalah cara praktis dan terstruktur yang dirancang untuk membantu pemula belajar membaca Al-Qur’an dari nol hingga lancar. Buku Iqro terdiri dari 6 jilid yang berisi materi-materi pembelajaran bertahap, dimulai dari pengenalan huruf hijaiyah hingga praktik membaca Al-Qur’an dengan sempurna. Apa Keistimewaan Metode Iqro Dibandingkan Metode Lainnya? 1. Struktur Belajar yang Bertahap Metode Iqro dirancang bertahap, dimulai dari pengenalan huruf hijaiyah hingga praktik membaca ayat-ayat Al-Qur’an secara utuh. Ini memudahkan pemula untuk belajar membaca Al-Qur’an tanpa merasa kewalahan. 2. Fokus pada Praktik Membaca Berbeda dengan metode belajar Al-Qur’an tradisional yang lebih banyak menekankan hafalan teori, metode Iqro lebih berfokus pada praktik langsung membaca. 3. Cocok untuk Semua Usia Metode ini dapat diterapkan untuk anak-anak, remaja, hingga orang dewasa, bahkan mereka yang belum pernah mengenal huruf Arab sekalipun. 4. Cepat dan Efisien Dengan konsistensi, metode ini memungkinkan seseorang untuk mulai membaca Al-Qur’an hanya dalam beberapa bulan.  Siapa Penggagas Metode Iqro? Metode Iqro pertama kali diperkenalkan oleh K.H. As’ad Humam –semoga Allah merahmati beliau dan memasukkan beliau ke dalam surga firdaus-Nya– seorang ulama asal Yogyakarta. Beliau menciptakan metode ini pada tahun 1988 dengan tujuan memudahkan umat Islam untuk belajar membaca Al-Qur’an secara efektif. Keberhasilan metode ini tak lepas dari pendekatan pembelajaran yang sederhana namun terstruktur, sehingga dengan cepat diterima oleh masyarakat luas dan kini menjadi metode standar di berbagai lembaga pendidikan Islam. *** Panduan Belajar Iqro 1 Sampai Iqro 6  Sekarang, kita mulai perjalanan belajar Iqro. Kita mulai langkah pertama kita dengan belajar Iqro 1. Ini insya Allah adalah perjalanan belajar yang penuh berkah, karena kita sedang mempelajari wasilah untuk mempelajari sesuatu yang diberkahi, yaitu Al-Qur’an yang mulia. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah, kemudian berterima kasih kepada tim Yufid.TV yang telah membuat 180 video belajar Iqro, sangat lengkap, dari Iqro 1 hingga Iqro 6. Pada panduan belajar Iqro 1 – 6 ini, kita akan menggunakan 180 video tersebut. IQRO 1: Mengenal Huruf Hijaiyah dengan Harakat Fathah Materi yang Dipelajari: Iqro 1 adalah langkah awal bagi pemula untuk belajar membaca Al-Qur’an. Pada tahap ini, Anda akan: Mengenal 28 huruf hijaiyah satu per satu, seperti alif, ba, ta, dan seterusnya. Memahami bentuk huruf hijaiyah dasar dengan harakat fathah. Fokus pada pengucapan huruf yang benar secara makhraj. Tips Belajar: Latih setiap huruf hijaiyah dengan perlahan. Dengarkan pengucapan huruf dari guru atau video belajar iqro. Ulangi setiap huruf hingga Anda benar-benar menguasainya. <img decoding="async" width="800" height="533" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-1-1.jpg" alt="" class="wp-image-44603" srcset="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-1-1.jpg 800w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-1-1-300x200.jpg 300w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-1-1-150x100.jpg 150w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-1-1-768x512.jpg 768w" sizes="(max-width: 800px) 100vw, 800px" /> 31 Video Belajar Iqro 1 dari Yufid.TV  Berikut ini 31 video belajar Iqro 1 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video lebih kurang 6 menit. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 1 dalam waktu 16 hari. <iframe title="Belajar Mengaji Iqro 1 LENGKAP dengan Suara: Belajar Membaca AlQuran dengan CEPAT (Seri 1)" width="616" height="347" src="https://www.youtube.com/embed/kwsF_iIEBg8?list=PLUuYlj8dcEXbH1NOHAhUYUWo-7OMDcSQS" frameborder="0" allow="accelerometer; autoplay; clipboard-write; encrypted-media; gyroscope; picture-in-picture; web-share" referrerpolicy="strict-origin-when-cross-origin" allowfullscreen></iframe> IQRO 2: Membaca Huruf Hijaiyah Bersambung yang Dirangkai 2 Huruf dan 3 Huruf dengan Harakat Fathah Materi yang Dipelajari: Di Iqro 2, Anda akan belajar tentang membaca 2 huruf hijaiyah yang dirangkai, dilanjutkan 3 huruf hijaiyah yang dirangkai. Tujuan Utama: Membiasakan membaca huruf hijaiyah bersambung 2 huruf dan 3 huruf dengan harakat fathah. Melatih membaca tanda mad atau tanda panjang pada huruf yang berharokat fathah. Tips Belajar: Ulangi setiap halaman hingga Anda lancar. Pastikan membaca dengan tartil, tidak tergesa-gesa. Pastikan huruf bertanda mad dibaca panjang. <img decoding="async" width="800" height="533" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-2.jpg" alt="" class="wp-image-44605" srcset="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-2.jpg 800w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-2-300x200.jpg 300w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-2-150x100.jpg 150w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-2-768x512.jpg 768w" sizes="(max-width: 800px) 100vw, 800px" /> 30 Video Belajar Iqro 2 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 2 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video lebih kurang 5 – 7 menit. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 2 dalam waktu 15 hari. <iframe title="Belajar Mengaji Iqro 2 LENGKAP dengan Suara: Belajar Membaca AlQuran dengan CEPAT (Seri 1)" width="616" height="347" src="https://www.youtube.com/embed/X4-jaEGcACE?list=PLUuYlj8dcEXY4TcCHJ1i0xvJ5tJGiVQ1e" frameborder="0" allow="accelerometer; autoplay; clipboard-write; encrypted-media; gyroscope; picture-in-picture; web-share" referrerpolicy="strict-origin-when-cross-origin" allowfullscreen></iframe> IQRO 3: Mengenal Harakat Kasrah dan Dhammah Materi yang Dipelajari: Setelah lancar membaca huruf hijaiyah bersambung 2 dan 3 huruf dengan harakat fathah, di Iqro 3 Anda akan mempelajari harakat kasrah (bunyi “i”) dan harakat dhammah (bunyi “u”). Tujuan Utama: Membaca huruf hijaiyah dengan tiga jenis harakat: fathah, kasrah, dan dhammah. Membiasakan membaca huruf hijaiyah bersambung dengan rangkaian banyak huruf hijaiyah dengan harakat fathah, kasrah, dan dhammah. Memahami perubahan bunyi berdasarkan harakat fathah, kasrah, dan dhammah. Tips Belajar: Pelajari pola harakat fathah, kasrah, dan dhammah secara perlahan. Ucapkan perlahan, yang terpenting adalah benar secara pengucapannya. Ulang-ulang beberapa kali secara perlahan. Ingat, pelan-pelan, yang penting benar, bukan cepat tapi salah. <img decoding="async" width="800" height="533" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-3.jpg" alt="" class="wp-image-44607" srcset="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-3.jpg 800w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-3-300x200.jpg 300w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-3-150x100.jpg 150w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-3-768x512.jpg 768w" sizes="(max-width: 800px) 100vw, 800px" /> 30 Video Belajar Iqro 3 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 3 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video berkisar 5 – 7 menit. Sempatkan belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 3 dalam waktu 15 hari. <iframe title="Belajar Mengaji Iqro 3 LENGKAP dengan Suara: Belajar Membaca AlQuran dengan CEPAT (Seri 1)" width="616" height="347" src="https://www.youtube.com/embed/JANmWtC4bSs?list=PLUuYlj8dcEXamoFK-OCiH47Q57wcoNHnc" frameborder="0" allow="accelerometer; autoplay; clipboard-write; encrypted-media; gyroscope; picture-in-picture; web-share" referrerpolicy="strict-origin-when-cross-origin" allowfullscreen></iframe> IQRO 4: Membaca Kombinasi Huruf Hijaiyah Berharakat Tanwin Materi yang Dipelajari: Di tahap ini, Anda akan mulai membaca huruf hijaiyah berharakat tanwin: fathatain (fathah bertanwin), kasratain (kasrah bertanwin), dhammatain (dhammah bertanwin). Anda juga akan mengenal tanda sukun. Anda juga akan belajar mengucapkan huruf-huruf qolqolah. Sedangkan pelajaran-pelajaran terdahulu di Iqro 1, Iqro 2, dan Iqro 3 tetap ulang pada Iqro 4 ini.  Tujuan Utama: Membiasakan huruf hijaiyah berharakat tanwin dengan kombinasinya. Membiasakan membaca huruf-huruf hijaiyah yang bertanda sukun. Membiasakan membaca huruf-huruf qolqolah. Secara tidak langsung juga berlatih mengulang-ulang materi pada Iqro 1, Iqro 2, dan Iqro 3. Tips Belajar: Perbanyak latihan membaca huruf-huruf hijaiyah berharakat tanwin. Fokuskan pada perbedaan bunyi pada setiap bentuk harakat tanwinnya. Setelah itu latih mengucapkan huruf-huruf qolqolah. Ini lebih mudah. Setelah itu latih mengucapkan huruf bertanda sukun. Ini lebih mudah lagi. Fokus pada kelancaran membaca. Ucapkan secara perlahan. <img decoding="async" width="800" height="533" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-4.jpg" alt="" class="wp-image-44609" srcset="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-4.jpg 800w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-4-300x200.jpg 300w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-4-150x100.jpg 150w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-4-768x512.jpg 768w" sizes="(max-width: 800px) 100vw, 800px" /> 30 Video Belajar Iqro 4 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 4 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video berkisar 4 – 5 menit. Sempatkan belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 4 dalam waktu 15 hari. <iframe title="Belajar Mengaji Iqro 4 LENGKAP dengan Suara: Belajar Membaca AlQuran dengan CEPAT (Seri 1)" width="616" height="347" src="https://www.youtube.com/embed/IhyBnd6RwfA?list=PLUuYlj8dcEXaR5Boq_FJwFba_IvAWJ-g0" frameborder="0" allow="accelerometer; autoplay; clipboard-write; encrypted-media; gyroscope; picture-in-picture; web-share" referrerpolicy="strict-origin-when-cross-origin" allowfullscreen></iframe> IQRO 5: Mengenal Idghom, Ikhfa, Tasydid, dan Tajwid Sederhana Lainnya Materi yang Dipelajari: Pada Iqro 5 Anda akan mengenal: Idghom Ikhfa Tanda mad yang dibaca 5 harakat dan 6 harakat. Tanda alif lam yang alifnya tidak dibaca. Tanda mad seperti alif (hamzah washal), ya, dan waw.  Tasydid Tujuan Utama: Membaca potongan ayat Al-Qur’an dengan tanda baca lengkap. Memahami fungsi setiap tanda baca dalam memperindah bacaan. Tips Belajar: Latih pengucapan idghom, ikhfa, tasydid, dan mad dengan hati-hati. Baca dengan perlahan. Tidak perlu menghafal istilah tajwid, yang terpenting adalah benar pengucapannya. Dengarkan bacaan dari guru atau video untuk meniru pelafalan. Ulang-ulang hingga lancar. <img decoding="async" width="800" height="533" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-5.jpg" alt="" class="wp-image-44611" srcset="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-5.jpg 800w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-5-300x200.jpg 300w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-5-150x100.jpg 150w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-5-768x512.jpg 768w" sizes="(max-width: 800px) 100vw, 800px" /> 30 Video Belajar Iqro 5 dari Yufid.TV Berikut ini 30 video belajar Iqro 5 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video antara 5 – 10 menit. Tekadkan diri untuk belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 5 dalam waktu 15 hari. <iframe title="Belajar Mengaji Iqro 5 LENGKAP dengan Suara: Belajar Membaca AlQuran dengan CEPAT (Seri 1)" width="616" height="347" src="https://www.youtube.com/embed/Bdo_jU3YEdQ?list=PLUuYlj8dcEXYzgN4ER3L3g3_vzvblZLtb" frameborder="0" allow="accelerometer; autoplay; clipboard-write; encrypted-media; gyroscope; picture-in-picture; web-share" referrerpolicy="strict-origin-when-cross-origin" allowfullscreen></iframe> IQRO 6: Membaca Ayat Al-Qur’an dengan Lancar Materi yang Dipelajari: Iqro 6 adalah tahap akhir sebelum Anda mulai membaca mushaf Al-Qur’an. Di sini, Anda akan membaca rangkaian ayat Al-Qur’an dengan tanda baca lengkap, seperti surah pendek dari Juz Amma. Pada Iqro 6 ini juga diperkenalkan tanda waqaf (tanda berhenti) karena sudah mulai praktek membaca potongan ayat-ayat Al-Qur’an. Tujuan Utama: Membaca potongan ayat Al-Qur’an dengan tartil. Menguasai semua aturan dasar tajwid sederhana. Tips Belajar: Latih membaca surah-surah pendek secara berulang. Jangan terburu-buru; fokus pada kualitas bacaan. <img decoding="async" width="800" height="533" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-6.jpg" alt="" class="wp-image-44613" srcset="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-6.jpg 800w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-6-300x200.jpg 300w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-6-150x100.jpg 150w, https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2025/01/iqro-6-768x512.jpg 768w" sizes="(max-width: 800px) 100vw, 800px" /> 30 Video Belajar Iqro 6 dari Yufid.TV Jika Anda sudah sampai tahap ini, Anda hebat! Baarokallaahu fiik!  Berikut ini 29 video belajar Iqro 6 dari Yufid.TV, Anda dapat belajar melalui video ini. Durasi satu video berkisar 7 – 15 menit. Tekadkan diri untuk belajar 2 video dalam sehari. Jika Anda setiap hari belajar 2 video, insya Allah Anda menyelesaikan belajar Iqro 6 dalam waktu kurang dari 15 hari. <iframe title="Belajar Mengaji Iqro 6 LENGKAP dengan Suara: Belajar Membaca AlQuran dengan CEPAT (Seri 1)" width="616" height="347" src="https://www.youtube.com/embed/8n1U95_q0Yk?list=PLUuYlj8dcEXanAxCd1aJpFTnsyN7x3vE-" frameborder="0" allow="accelerometer; autoplay; clipboard-write; encrypted-media; gyroscope; picture-in-picture; web-share" referrerpolicy="strict-origin-when-cross-origin" allowfullscreen></iframe> Tips Belajar Iqro dengan Cepat Konsisten: Sediakan waktu khusus setiap hari untuk belajar, meskipun hanya 15-30 menit. Fokus: Pusatkan metode belajar hanya menggunakan buku Iqro saja. Jauhkan semua faktor yang merusak fokus Anda, seperti sosial media, gadget, main game, dan lain-lain. Gunakan Media Pendukung: Aplikasi belajar Iqro, video tutorial, atau audio murottal dapat membantu mempercepat pembelajaran. Bersabar dan Berdoa: Kesabaran adalah kunci dalam belajar membaca Al-Qur’an. Jangan lupa untuk selalu memohon pertolongan kepada Allah. Berdoa adalah yang pertama dan terakhir. Awali belajar dengan berdoa dan akhiri pula dengan berdoa. Berapa Lama Waktu yang Dibutuhkan untuk Belajar Iqro 1-6? Lamanya waktu belajar Iqro tergantung pada konsistensi dan jumlah halaman yang dipelajari setiap hari. Berikut logikanya: 1. Jumlah Halaman dalam Iqro 1-6 Setiap jilid Iqro rata-rata terdiri dari 30-35 halaman. Jika digabungkan, total halaman dari Iqro 1 hingga Iqro 6 sekitar 190 halaman. 2. Belajar 1 Halaman per Hari Jika Anda konsisten belajar 1 halaman per hari, maka: 200 halaman ÷ 1 halaman/hari = 190 hari (sekitar 6-7 bulan). 3. Belajar 2 Halaman per Hari Jika Anda meningkatkan intensitas belajar menjadi 2 halaman per hari, maka: 190 halaman ÷ 2 halaman/hari = 95 hari (sekitar 3-4 bulan). 4. Belajar 3 Halaman per Hari Dengan belajar 3 halaman per hari, Anda bisa menyelesaikan seluruh jilid Iqro dalam: 200 halaman ÷ 3 halaman/hari ≈ 63 hari (sekitar 2-2,5 bulan). 5. Belajar 2 Video Iqro Yufid.TV Setiap Hari Jika Anda setiap hari mempelajari 2 video belajar Iqro Yufid.TV setiap hari, insya Allah Anda menyelesaikan Iqro 1 hingga Iqro 6 dalam waktu 90 hari. Ingat 2 Kunci Sukses Belajar Iqro Kunci keberhasilan belajar adalah konsistensi dan fokus setelah banyak berdoa kepada Allah. Dengan disiplin, siapa pun bisa menyelesaikan Iqro dalam waktu yang relatif singkat. Panduan & Tips Belajar Iqro dengan Efektif 1. Wajib berurutan: Mulailah dari Iqro 1 untuk mengenal huruf hijaiyah. Kuasai satu materi sebelum melangkah ke materi selanjutnya. 2. Tetapkan Jadwal Rutin: Tentukan waktu khusus setiap hari, misalnya setelah shalat Subuh atau Maghrib. Konsistensi adalah kunci. Gunakan waktu belajar secara rutin, meskipun hanya 15-30 menit per hari. 3. Belajar Bersama Guru: Memiliki pembimbing dapat membantu memperbaiki kesalahan dalam pengucapan dan memahami materi lebih cepat. Anda dapat belajar secara online atau bertemu langsung dengan guru. 4. Gunakan Media Pendukung: Manfaatkan aplikasi belajar Iqro, video tutorial, atau audio murottal sebagai tambahan pembelajaran. Pada panduan belajar iqro ini, kita menggunakan 180 video belajar Iqro dari Yufid.TV. 5. Latih Bacaan dengan Tartil: Bacalah dengan perlahan dan jelas sesuai tajwid. Hindari terburu-buru agar bacaan Anda benar sejak awal. 6. Sabar: Sabar, sabar, sabar, dan nikmati proses pembelajaran. Ingat, ini adalah bagian dari ibadah yang besar pahalanya. 7. Murajaah: Ulang, ulang, dan ulangi. Latihan, latihan, dan latihan. Mengulang-ulang pelajaran adalah kunci lekat dan lengketnya ilmu pengetahuan di dalam benak dan hati kita. 8. Berdoa Memohon Kemudahan: Jangan lupa berdoa kepada Allah agar diberikan kemudahan dalam belajar. Bacalah doa sebelum belajar:  رَبِّ زِدْنِى عِلْمًا ROBBI ZIDNII ‘ILMAA “Ya Allah, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS. Thaha: 114) رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي، وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي ROBBISY ROHLII SHODRII WAYAS-SIRLII AMRII “Ya Allah, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah urusanku.” (QS. Thaha: 25-26) Anda juga dapat mengamalkan doa agar dimudahkan membaca, menghafal, dan mempelajari Al-Quran ini. Mengapa Harus Segera Memulai Belajar Iqro? Belajar Iqro adalah salah satu pintu gerbang menuju keindahan Al-Qur’an. Ini adalah langkah awal untuk menjadi bagian dari Ahlul Qur’an—golongan yang mencintai dan mengamalkan Al-Qur’an.  Belajar membaca Al-Qur’an bukan sekadar kewajiban kita sebagai muslim, tetapi juga kemuliaan yang membawa kita lebih dekat kepada Allah, tonggak kebangkitan Islam, dan tangga menuju kejayaan Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari) Hadis ini mengajarkan bahwa belajar dan mengajarkan Al-Qur’an adalah amal yang membawa keberkahan, tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga bagi generasi penerus. Memulai belajar Iqro berarti Anda sedang menapaki jalan menuju kebaikan yang terus mengalir pahalanya. Jadi, jangan tunda lagi untuk memulai langkah ini. Anda bisa menjadi bagian dari orang-orang terbaik yang dicintai oleh Allah. Jangan Tunggu Lagi, Mulailah Hari Ini Belajar Iqro adalah langkah awal menuju keberkahan hidup. Dengan doa yang konsisten, kemudian metode yang terstruktur, lalu dukungan dari keluarga dan guru, siapa pun dapat lancar membaca Al-Qur’an. Ingatlah, setiap langkah yang Anda tempuh untuk belajar membaca Al-Qur’an adalah pahala besar di sisi Allah. Jadi, jangan tunda lagi. Mulailah hari ini, raihlah keutamaan mempelajari Al-Qur’an. Semoga artikel ini bermanfaat dan menginspirasi Anda untuk segera memulai belajar Iqro. Wallahu a’lam bish-shawab. Banghen Sumber: https://banghen.com/belajar-iqro/ 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 529 times, 1 visit(s) today Post Views: 704 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Fikih Akad Muzara’ah

Daftar Isi Toggle Definisi muzara’ahHukum muzara’ahDalil muzara’ahSyarat pada lahan penanamanSyarat pembagian hasil Muzara’ah sejatinya tidak jauh berbeda dengan musaqah. Jika musaqah adalah kesepakatan antara pemilik kebun dan pengelola untuk mengairi kebun atau pohon, adapun muzara’ah adalah kerja sama antara pemilik lahan dengan pengelola untuk menanam sebuah tanaman atau pertanian. Sederhananya, musaqah fokus pada perawatan tanaman, sedangkan muzara’ah fokus pada penanaman tanaman atau pertanian. Tentunya terkait keduanya ada hukum-hukum yang harus diketahui. Para ulama ada yang menyatukan pembahasan keduanya mengingat pembahasan keduanya tidak jauh berbeda. Di antara ulama pula ada yang menyatukan pembahasan musaqah dan muzara’ah, dikarenakan ada sedikit perbedaan di antara keduanya. Definisi muzara’ah Secara bahasa, muzara’ah diambil dari kata الزَّرْعُ yang berarti menanam. Secara istilah, muzara’ah adalah memberikan tanah kepada pengelola (penanam) untuk ditanami bibit tanaman yang diberikan oleh pemilik tanah atau pengelola. Istilah sederhananya adalah berkerja sama dalam pertanian. [1] Hal ini karena adakalanya pemilik tanah tidak memiliki keahlian dalam bidang pertanian, sedangkan petani yang memiliki kemampuan dan keahlian, mereka tidak memiliki tanah untuk bertani. Sehingga adanya akad muzara’ah adalah sebagai bentuk kerjasama untuk membangun perekonomian yang tidak bersifat individual. Hukum muzara’ah Hukum muzara’ah tidak ada bedanya dengan musaqah. Hukumnya adalah mubah, yakni diperbolehkan di dalam agama Islam. Kendati ada sebagian ulama yang tidak memperbolehkannya karena mengandung unsur gharar (ketidakjelasan). Namun, yang lebih tepat, wallahu’alam, adalah bolehnya akad muzara’ah ini. Hal ini sebagaimana pendapat jumhur ulama, seperti ulama Maliki, Hanbali, Dzahiri, dan lainnya. Dalil muzara’ah Dalil dari bolehnya muzara’ah adalah hadis dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, عَامَلَ النَّبِيُّ ﷺ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mempekerjakan seseorang untuk memanfaatkan tanah Khaibar dengan ketentuan separuh dari hasilnya berupa kurma atau sayuran untuk pekerja.” (HR. Bukhari dan Muslim) Al-Imam Bukhari rahimahullah membuat bab muzara’ah dalam Shahih-nya, kemudian beliau membawakan perkataan Abu Ja’far. بَابُ المُزَارَعَةِ بِالشَّطْرِ وَنَحْوِهِ وَقَالَ قَيْسُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِى جَعْفَرٍ قَالَ مَا بِالْمَدِينَةِ أَهْلُ بَيْتِ هِجْرَةٍ إِلاَّ يَزْرَعُونَ عَلَى الثُّلُثِ وَالرُّبُعِ. وَزَارَعَ عَلِىٌّ وَسَعْدُ بْنُ مَالِكٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَالْقَاسِمُ وَعُرْوَةُ وَآلُ أَبِى بَكْرٍ وَآلُ عُمَرَ وَآلُ عَلِىٍّ وَابْنُ سِيرِينَ “Bab Kerja Sama Pertanian dengan Bagi Hasil Setengah atau Sejenisnya Qais bin Muslim meriwayatkan dari Abu Ja’far, ia berkata, ‘Di Madinah tidak ada satu pun keluarga dari kaum muhajirin, kecuali mereka melakukan kerja sama pertanian dengan bagi hasil sepertiga atau seperempat.’ Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr, Urwah bin Zubair, keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali, dan Ibnu Sirin semuanya pernah melakukan kerja sama pertanian.” (HR. Bukhari no. 2328) Ibnu Hajar rahimahullah berkata, أَنَّ الْبُخَارِيَّ إِنَّمَا أَرَادَ بِسِيَاقِ هَذِهِ الْآثَارِ الْإِشَارَةَ إِلَى أَنَّ الصَّحَابَةَ لَمْ يُنْقَلْ عَنْهُمْ خِلَافٌ فِي الْجَوَازِ خُصُوصًا أَهْلَ الْمَدِينَةِ “Imam Bukhari dengan menyebutkan asar-asar ini sebenarnya bertujuan untuk menunjukkan bahwa para sahabat, tidak diriwayatkan dari mereka perbedaan pendapat tentang kebolehannya, terutama penduduk Madinah.”[2] Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, وَهَذِهِ الْآثَارُ الَّتِي ذَكَرَهَا الْبُخَارِيُّ قَدْ رَوَاهَا غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ الْمُصَنِّفِينَ فِي الْآثَارِ. فَإِذَا كَانَ جَمِيعُ الْمُهَاجِرِينَ كَانُوا يُزَارِعُونَ وَالْخُلَفَاءُ الرَّاشِدُونَ وَأَكَابِرُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْكِرَ ذَلِكَ مُنْكِرٌ: لَمْ يَكُنْ إجْمَاعٌ أَعْظَمَ مِنْ هَذَا؛ بَلْ إنْ كَانَ فِي الدُّنْيَا إجْمَاعٌ فَهُوَ هَذَا “Asar-asar yang disebutkan oleh Imam Bukhari ini telah diriwayatkan oleh lebih dari satu penulis kitab tentang asar. Jika seluruh kaum muhajirin, para khalifah yang diberi petunjuk (Khulafa’ Rasyidin), para tokoh besar dari kalangan sahabat, dan tabi’in semuanya melakukan kerja sama pertanian tanpa ada seorang pun yang mengingkari hal itu, maka tidak ada bentuk ijma’ (kesepakatan) yang lebih kuat dari ini. Bahkan, jika ada ijma’ di dunia ini, maka inilah salah satunya.” [3] Oleh karena itu, akad muzara’ah adalah akad yang sudah diwarisi dari generasi para sahabat. Artinya, hal ini dilakukan oleh mereka radhiyallahu ‘anhum. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun melakukannya. Kalau pun dikatakan, Nabi melakukan di Khaibar dengan orang kafir, adapun dengan kaum muslimin tidak diperbolehkan, maka hal ini tertolak, dikarenakan Khaibar telah menjadi negeri kaum muslimin. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah. Baca juga: Fikih Akad Ju’alah (Sayembara) Syarat pada lahan penanaman Pertama, lahan yang digunakan untuk penanaman adalah lahan yang jelas kepemilikannya. Jika kepemilikannya belum jelas atau tidak jelas, maka tidak boleh digunakan untuk akad muzara’ah. Kedua, lahan yang digunakan untuk penanaman adalah lahan yang layak dan bisa digunakan untuk penanaman selama akad muzara’ah berlangsung. Jika lahan yang digunakan tersebut tidak layak, maka tidak boleh untuk melakukan akad muzara’ah di sana. Karena tidak mungkin pemilik lahan dan pengelola mendapatkan keuntungan darinya. Ketiga, pemilik lahan harus menyerahkan lahannya kepada pengelola (penanam). Artinya, pemilik lahan memberikan kepercayaan kepada pengelola untuk mengelola lahannya tersebut. [4] Demikian terkait dengan akad muzara’ah, yang mana muzara’ah diperbolehkan dengan dalil-dalil yang telah disebutkan di atas dan dengan ketentuan-ketentuan yang jelas dan harus ditunaikan oleh kedua belah pihak. Syarat pembagian hasil Terdapat dua syarat terkait dengan pembagian hasil dari kedua belah pihak. Pertama, hasil yang dibagi antara pemilik lahan dan pengelola harus sesuai dengan kesepakatan bersama. Sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lakukan bersama penduduk Khaibar. Kalau dalam syarat tersebut hasil hanya dibagikan kepada salah satu pihak, maka akad muzara’ah tersebut terbatalkan. Hal ini sesuai dengan kesepakatan para ulama, mengingat syarat ini tidak sesuai dengan akad kerjasama, di mana kerja sama adalah akad yang ada di akad muzara’ah. Kedua, bagi hasil dari kedua belah pihak harus jelas dan terbilang jumlahnya. Seperti 1/3, 1/2, dan yang semisalnya. Sebagaimana yang Nabi shallahu ‘alahi wasallam lakukan bersama penduduk Khaibar. [5] Wallahu’alam. Baca juga: Fikih Akad Musaqah *** Depok, 22 Rajab 1446 H / 22 Januari 2024 M Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Dan beberapa referensi lainnya   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, hal. 316. [2] Fathul Bari, 5: 11. [3] Majmu’ Fatawa, 29: 97. [4] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 419. [5] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 419.

Fikih Akad Muzara’ah

Daftar Isi Toggle Definisi muzara’ahHukum muzara’ahDalil muzara’ahSyarat pada lahan penanamanSyarat pembagian hasil Muzara’ah sejatinya tidak jauh berbeda dengan musaqah. Jika musaqah adalah kesepakatan antara pemilik kebun dan pengelola untuk mengairi kebun atau pohon, adapun muzara’ah adalah kerja sama antara pemilik lahan dengan pengelola untuk menanam sebuah tanaman atau pertanian. Sederhananya, musaqah fokus pada perawatan tanaman, sedangkan muzara’ah fokus pada penanaman tanaman atau pertanian. Tentunya terkait keduanya ada hukum-hukum yang harus diketahui. Para ulama ada yang menyatukan pembahasan keduanya mengingat pembahasan keduanya tidak jauh berbeda. Di antara ulama pula ada yang menyatukan pembahasan musaqah dan muzara’ah, dikarenakan ada sedikit perbedaan di antara keduanya. Definisi muzara’ah Secara bahasa, muzara’ah diambil dari kata الزَّرْعُ yang berarti menanam. Secara istilah, muzara’ah adalah memberikan tanah kepada pengelola (penanam) untuk ditanami bibit tanaman yang diberikan oleh pemilik tanah atau pengelola. Istilah sederhananya adalah berkerja sama dalam pertanian. [1] Hal ini karena adakalanya pemilik tanah tidak memiliki keahlian dalam bidang pertanian, sedangkan petani yang memiliki kemampuan dan keahlian, mereka tidak memiliki tanah untuk bertani. Sehingga adanya akad muzara’ah adalah sebagai bentuk kerjasama untuk membangun perekonomian yang tidak bersifat individual. Hukum muzara’ah Hukum muzara’ah tidak ada bedanya dengan musaqah. Hukumnya adalah mubah, yakni diperbolehkan di dalam agama Islam. Kendati ada sebagian ulama yang tidak memperbolehkannya karena mengandung unsur gharar (ketidakjelasan). Namun, yang lebih tepat, wallahu’alam, adalah bolehnya akad muzara’ah ini. Hal ini sebagaimana pendapat jumhur ulama, seperti ulama Maliki, Hanbali, Dzahiri, dan lainnya. Dalil muzara’ah Dalil dari bolehnya muzara’ah adalah hadis dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, عَامَلَ النَّبِيُّ ﷺ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mempekerjakan seseorang untuk memanfaatkan tanah Khaibar dengan ketentuan separuh dari hasilnya berupa kurma atau sayuran untuk pekerja.” (HR. Bukhari dan Muslim) Al-Imam Bukhari rahimahullah membuat bab muzara’ah dalam Shahih-nya, kemudian beliau membawakan perkataan Abu Ja’far. بَابُ المُزَارَعَةِ بِالشَّطْرِ وَنَحْوِهِ وَقَالَ قَيْسُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِى جَعْفَرٍ قَالَ مَا بِالْمَدِينَةِ أَهْلُ بَيْتِ هِجْرَةٍ إِلاَّ يَزْرَعُونَ عَلَى الثُّلُثِ وَالرُّبُعِ. وَزَارَعَ عَلِىٌّ وَسَعْدُ بْنُ مَالِكٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَالْقَاسِمُ وَعُرْوَةُ وَآلُ أَبِى بَكْرٍ وَآلُ عُمَرَ وَآلُ عَلِىٍّ وَابْنُ سِيرِينَ “Bab Kerja Sama Pertanian dengan Bagi Hasil Setengah atau Sejenisnya Qais bin Muslim meriwayatkan dari Abu Ja’far, ia berkata, ‘Di Madinah tidak ada satu pun keluarga dari kaum muhajirin, kecuali mereka melakukan kerja sama pertanian dengan bagi hasil sepertiga atau seperempat.’ Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr, Urwah bin Zubair, keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali, dan Ibnu Sirin semuanya pernah melakukan kerja sama pertanian.” (HR. Bukhari no. 2328) Ibnu Hajar rahimahullah berkata, أَنَّ الْبُخَارِيَّ إِنَّمَا أَرَادَ بِسِيَاقِ هَذِهِ الْآثَارِ الْإِشَارَةَ إِلَى أَنَّ الصَّحَابَةَ لَمْ يُنْقَلْ عَنْهُمْ خِلَافٌ فِي الْجَوَازِ خُصُوصًا أَهْلَ الْمَدِينَةِ “Imam Bukhari dengan menyebutkan asar-asar ini sebenarnya bertujuan untuk menunjukkan bahwa para sahabat, tidak diriwayatkan dari mereka perbedaan pendapat tentang kebolehannya, terutama penduduk Madinah.”[2] Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, وَهَذِهِ الْآثَارُ الَّتِي ذَكَرَهَا الْبُخَارِيُّ قَدْ رَوَاهَا غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ الْمُصَنِّفِينَ فِي الْآثَارِ. فَإِذَا كَانَ جَمِيعُ الْمُهَاجِرِينَ كَانُوا يُزَارِعُونَ وَالْخُلَفَاءُ الرَّاشِدُونَ وَأَكَابِرُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْكِرَ ذَلِكَ مُنْكِرٌ: لَمْ يَكُنْ إجْمَاعٌ أَعْظَمَ مِنْ هَذَا؛ بَلْ إنْ كَانَ فِي الدُّنْيَا إجْمَاعٌ فَهُوَ هَذَا “Asar-asar yang disebutkan oleh Imam Bukhari ini telah diriwayatkan oleh lebih dari satu penulis kitab tentang asar. Jika seluruh kaum muhajirin, para khalifah yang diberi petunjuk (Khulafa’ Rasyidin), para tokoh besar dari kalangan sahabat, dan tabi’in semuanya melakukan kerja sama pertanian tanpa ada seorang pun yang mengingkari hal itu, maka tidak ada bentuk ijma’ (kesepakatan) yang lebih kuat dari ini. Bahkan, jika ada ijma’ di dunia ini, maka inilah salah satunya.” [3] Oleh karena itu, akad muzara’ah adalah akad yang sudah diwarisi dari generasi para sahabat. Artinya, hal ini dilakukan oleh mereka radhiyallahu ‘anhum. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun melakukannya. Kalau pun dikatakan, Nabi melakukan di Khaibar dengan orang kafir, adapun dengan kaum muslimin tidak diperbolehkan, maka hal ini tertolak, dikarenakan Khaibar telah menjadi negeri kaum muslimin. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah. Baca juga: Fikih Akad Ju’alah (Sayembara) Syarat pada lahan penanaman Pertama, lahan yang digunakan untuk penanaman adalah lahan yang jelas kepemilikannya. Jika kepemilikannya belum jelas atau tidak jelas, maka tidak boleh digunakan untuk akad muzara’ah. Kedua, lahan yang digunakan untuk penanaman adalah lahan yang layak dan bisa digunakan untuk penanaman selama akad muzara’ah berlangsung. Jika lahan yang digunakan tersebut tidak layak, maka tidak boleh untuk melakukan akad muzara’ah di sana. Karena tidak mungkin pemilik lahan dan pengelola mendapatkan keuntungan darinya. Ketiga, pemilik lahan harus menyerahkan lahannya kepada pengelola (penanam). Artinya, pemilik lahan memberikan kepercayaan kepada pengelola untuk mengelola lahannya tersebut. [4] Demikian terkait dengan akad muzara’ah, yang mana muzara’ah diperbolehkan dengan dalil-dalil yang telah disebutkan di atas dan dengan ketentuan-ketentuan yang jelas dan harus ditunaikan oleh kedua belah pihak. Syarat pembagian hasil Terdapat dua syarat terkait dengan pembagian hasil dari kedua belah pihak. Pertama, hasil yang dibagi antara pemilik lahan dan pengelola harus sesuai dengan kesepakatan bersama. Sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lakukan bersama penduduk Khaibar. Kalau dalam syarat tersebut hasil hanya dibagikan kepada salah satu pihak, maka akad muzara’ah tersebut terbatalkan. Hal ini sesuai dengan kesepakatan para ulama, mengingat syarat ini tidak sesuai dengan akad kerjasama, di mana kerja sama adalah akad yang ada di akad muzara’ah. Kedua, bagi hasil dari kedua belah pihak harus jelas dan terbilang jumlahnya. Seperti 1/3, 1/2, dan yang semisalnya. Sebagaimana yang Nabi shallahu ‘alahi wasallam lakukan bersama penduduk Khaibar. [5] Wallahu’alam. Baca juga: Fikih Akad Musaqah *** Depok, 22 Rajab 1446 H / 22 Januari 2024 M Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Dan beberapa referensi lainnya   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, hal. 316. [2] Fathul Bari, 5: 11. [3] Majmu’ Fatawa, 29: 97. [4] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 419. [5] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 419.
Daftar Isi Toggle Definisi muzara’ahHukum muzara’ahDalil muzara’ahSyarat pada lahan penanamanSyarat pembagian hasil Muzara’ah sejatinya tidak jauh berbeda dengan musaqah. Jika musaqah adalah kesepakatan antara pemilik kebun dan pengelola untuk mengairi kebun atau pohon, adapun muzara’ah adalah kerja sama antara pemilik lahan dengan pengelola untuk menanam sebuah tanaman atau pertanian. Sederhananya, musaqah fokus pada perawatan tanaman, sedangkan muzara’ah fokus pada penanaman tanaman atau pertanian. Tentunya terkait keduanya ada hukum-hukum yang harus diketahui. Para ulama ada yang menyatukan pembahasan keduanya mengingat pembahasan keduanya tidak jauh berbeda. Di antara ulama pula ada yang menyatukan pembahasan musaqah dan muzara’ah, dikarenakan ada sedikit perbedaan di antara keduanya. Definisi muzara’ah Secara bahasa, muzara’ah diambil dari kata الزَّرْعُ yang berarti menanam. Secara istilah, muzara’ah adalah memberikan tanah kepada pengelola (penanam) untuk ditanami bibit tanaman yang diberikan oleh pemilik tanah atau pengelola. Istilah sederhananya adalah berkerja sama dalam pertanian. [1] Hal ini karena adakalanya pemilik tanah tidak memiliki keahlian dalam bidang pertanian, sedangkan petani yang memiliki kemampuan dan keahlian, mereka tidak memiliki tanah untuk bertani. Sehingga adanya akad muzara’ah adalah sebagai bentuk kerjasama untuk membangun perekonomian yang tidak bersifat individual. Hukum muzara’ah Hukum muzara’ah tidak ada bedanya dengan musaqah. Hukumnya adalah mubah, yakni diperbolehkan di dalam agama Islam. Kendati ada sebagian ulama yang tidak memperbolehkannya karena mengandung unsur gharar (ketidakjelasan). Namun, yang lebih tepat, wallahu’alam, adalah bolehnya akad muzara’ah ini. Hal ini sebagaimana pendapat jumhur ulama, seperti ulama Maliki, Hanbali, Dzahiri, dan lainnya. Dalil muzara’ah Dalil dari bolehnya muzara’ah adalah hadis dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, عَامَلَ النَّبِيُّ ﷺ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mempekerjakan seseorang untuk memanfaatkan tanah Khaibar dengan ketentuan separuh dari hasilnya berupa kurma atau sayuran untuk pekerja.” (HR. Bukhari dan Muslim) Al-Imam Bukhari rahimahullah membuat bab muzara’ah dalam Shahih-nya, kemudian beliau membawakan perkataan Abu Ja’far. بَابُ المُزَارَعَةِ بِالشَّطْرِ وَنَحْوِهِ وَقَالَ قَيْسُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِى جَعْفَرٍ قَالَ مَا بِالْمَدِينَةِ أَهْلُ بَيْتِ هِجْرَةٍ إِلاَّ يَزْرَعُونَ عَلَى الثُّلُثِ وَالرُّبُعِ. وَزَارَعَ عَلِىٌّ وَسَعْدُ بْنُ مَالِكٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَالْقَاسِمُ وَعُرْوَةُ وَآلُ أَبِى بَكْرٍ وَآلُ عُمَرَ وَآلُ عَلِىٍّ وَابْنُ سِيرِينَ “Bab Kerja Sama Pertanian dengan Bagi Hasil Setengah atau Sejenisnya Qais bin Muslim meriwayatkan dari Abu Ja’far, ia berkata, ‘Di Madinah tidak ada satu pun keluarga dari kaum muhajirin, kecuali mereka melakukan kerja sama pertanian dengan bagi hasil sepertiga atau seperempat.’ Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr, Urwah bin Zubair, keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali, dan Ibnu Sirin semuanya pernah melakukan kerja sama pertanian.” (HR. Bukhari no. 2328) Ibnu Hajar rahimahullah berkata, أَنَّ الْبُخَارِيَّ إِنَّمَا أَرَادَ بِسِيَاقِ هَذِهِ الْآثَارِ الْإِشَارَةَ إِلَى أَنَّ الصَّحَابَةَ لَمْ يُنْقَلْ عَنْهُمْ خِلَافٌ فِي الْجَوَازِ خُصُوصًا أَهْلَ الْمَدِينَةِ “Imam Bukhari dengan menyebutkan asar-asar ini sebenarnya bertujuan untuk menunjukkan bahwa para sahabat, tidak diriwayatkan dari mereka perbedaan pendapat tentang kebolehannya, terutama penduduk Madinah.”[2] Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, وَهَذِهِ الْآثَارُ الَّتِي ذَكَرَهَا الْبُخَارِيُّ قَدْ رَوَاهَا غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ الْمُصَنِّفِينَ فِي الْآثَارِ. فَإِذَا كَانَ جَمِيعُ الْمُهَاجِرِينَ كَانُوا يُزَارِعُونَ وَالْخُلَفَاءُ الرَّاشِدُونَ وَأَكَابِرُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْكِرَ ذَلِكَ مُنْكِرٌ: لَمْ يَكُنْ إجْمَاعٌ أَعْظَمَ مِنْ هَذَا؛ بَلْ إنْ كَانَ فِي الدُّنْيَا إجْمَاعٌ فَهُوَ هَذَا “Asar-asar yang disebutkan oleh Imam Bukhari ini telah diriwayatkan oleh lebih dari satu penulis kitab tentang asar. Jika seluruh kaum muhajirin, para khalifah yang diberi petunjuk (Khulafa’ Rasyidin), para tokoh besar dari kalangan sahabat, dan tabi’in semuanya melakukan kerja sama pertanian tanpa ada seorang pun yang mengingkari hal itu, maka tidak ada bentuk ijma’ (kesepakatan) yang lebih kuat dari ini. Bahkan, jika ada ijma’ di dunia ini, maka inilah salah satunya.” [3] Oleh karena itu, akad muzara’ah adalah akad yang sudah diwarisi dari generasi para sahabat. Artinya, hal ini dilakukan oleh mereka radhiyallahu ‘anhum. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun melakukannya. Kalau pun dikatakan, Nabi melakukan di Khaibar dengan orang kafir, adapun dengan kaum muslimin tidak diperbolehkan, maka hal ini tertolak, dikarenakan Khaibar telah menjadi negeri kaum muslimin. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah. Baca juga: Fikih Akad Ju’alah (Sayembara) Syarat pada lahan penanaman Pertama, lahan yang digunakan untuk penanaman adalah lahan yang jelas kepemilikannya. Jika kepemilikannya belum jelas atau tidak jelas, maka tidak boleh digunakan untuk akad muzara’ah. Kedua, lahan yang digunakan untuk penanaman adalah lahan yang layak dan bisa digunakan untuk penanaman selama akad muzara’ah berlangsung. Jika lahan yang digunakan tersebut tidak layak, maka tidak boleh untuk melakukan akad muzara’ah di sana. Karena tidak mungkin pemilik lahan dan pengelola mendapatkan keuntungan darinya. Ketiga, pemilik lahan harus menyerahkan lahannya kepada pengelola (penanam). Artinya, pemilik lahan memberikan kepercayaan kepada pengelola untuk mengelola lahannya tersebut. [4] Demikian terkait dengan akad muzara’ah, yang mana muzara’ah diperbolehkan dengan dalil-dalil yang telah disebutkan di atas dan dengan ketentuan-ketentuan yang jelas dan harus ditunaikan oleh kedua belah pihak. Syarat pembagian hasil Terdapat dua syarat terkait dengan pembagian hasil dari kedua belah pihak. Pertama, hasil yang dibagi antara pemilik lahan dan pengelola harus sesuai dengan kesepakatan bersama. Sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lakukan bersama penduduk Khaibar. Kalau dalam syarat tersebut hasil hanya dibagikan kepada salah satu pihak, maka akad muzara’ah tersebut terbatalkan. Hal ini sesuai dengan kesepakatan para ulama, mengingat syarat ini tidak sesuai dengan akad kerjasama, di mana kerja sama adalah akad yang ada di akad muzara’ah. Kedua, bagi hasil dari kedua belah pihak harus jelas dan terbilang jumlahnya. Seperti 1/3, 1/2, dan yang semisalnya. Sebagaimana yang Nabi shallahu ‘alahi wasallam lakukan bersama penduduk Khaibar. [5] Wallahu’alam. Baca juga: Fikih Akad Musaqah *** Depok, 22 Rajab 1446 H / 22 Januari 2024 M Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Dan beberapa referensi lainnya   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, hal. 316. [2] Fathul Bari, 5: 11. [3] Majmu’ Fatawa, 29: 97. [4] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 419. [5] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 419.


Daftar Isi Toggle Definisi muzara’ahHukum muzara’ahDalil muzara’ahSyarat pada lahan penanamanSyarat pembagian hasil Muzara’ah sejatinya tidak jauh berbeda dengan musaqah. Jika musaqah adalah kesepakatan antara pemilik kebun dan pengelola untuk mengairi kebun atau pohon, adapun muzara’ah adalah kerja sama antara pemilik lahan dengan pengelola untuk menanam sebuah tanaman atau pertanian. Sederhananya, musaqah fokus pada perawatan tanaman, sedangkan muzara’ah fokus pada penanaman tanaman atau pertanian. Tentunya terkait keduanya ada hukum-hukum yang harus diketahui. Para ulama ada yang menyatukan pembahasan keduanya mengingat pembahasan keduanya tidak jauh berbeda. Di antara ulama pula ada yang menyatukan pembahasan musaqah dan muzara’ah, dikarenakan ada sedikit perbedaan di antara keduanya. Definisi muzara’ah Secara bahasa, muzara’ah diambil dari kata الزَّرْعُ yang berarti menanam. Secara istilah, muzara’ah adalah memberikan tanah kepada pengelola (penanam) untuk ditanami bibit tanaman yang diberikan oleh pemilik tanah atau pengelola. Istilah sederhananya adalah berkerja sama dalam pertanian. [1] Hal ini karena adakalanya pemilik tanah tidak memiliki keahlian dalam bidang pertanian, sedangkan petani yang memiliki kemampuan dan keahlian, mereka tidak memiliki tanah untuk bertani. Sehingga adanya akad muzara’ah adalah sebagai bentuk kerjasama untuk membangun perekonomian yang tidak bersifat individual. Hukum muzara’ah Hukum muzara’ah tidak ada bedanya dengan musaqah. Hukumnya adalah mubah, yakni diperbolehkan di dalam agama Islam. Kendati ada sebagian ulama yang tidak memperbolehkannya karena mengandung unsur gharar (ketidakjelasan). Namun, yang lebih tepat, wallahu’alam, adalah bolehnya akad muzara’ah ini. Hal ini sebagaimana pendapat jumhur ulama, seperti ulama Maliki, Hanbali, Dzahiri, dan lainnya. Dalil muzara’ah Dalil dari bolehnya muzara’ah adalah hadis dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, عَامَلَ النَّبِيُّ ﷺ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mempekerjakan seseorang untuk memanfaatkan tanah Khaibar dengan ketentuan separuh dari hasilnya berupa kurma atau sayuran untuk pekerja.” (HR. Bukhari dan Muslim) Al-Imam Bukhari rahimahullah membuat bab muzara’ah dalam Shahih-nya, kemudian beliau membawakan perkataan Abu Ja’far. بَابُ المُزَارَعَةِ بِالشَّطْرِ وَنَحْوِهِ وَقَالَ قَيْسُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِى جَعْفَرٍ قَالَ مَا بِالْمَدِينَةِ أَهْلُ بَيْتِ هِجْرَةٍ إِلاَّ يَزْرَعُونَ عَلَى الثُّلُثِ وَالرُّبُعِ. وَزَارَعَ عَلِىٌّ وَسَعْدُ بْنُ مَالِكٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَالْقَاسِمُ وَعُرْوَةُ وَآلُ أَبِى بَكْرٍ وَآلُ عُمَرَ وَآلُ عَلِىٍّ وَابْنُ سِيرِينَ “Bab Kerja Sama Pertanian dengan Bagi Hasil Setengah atau Sejenisnya Qais bin Muslim meriwayatkan dari Abu Ja’far, ia berkata, ‘Di Madinah tidak ada satu pun keluarga dari kaum muhajirin, kecuali mereka melakukan kerja sama pertanian dengan bagi hasil sepertiga atau seperempat.’ Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr, Urwah bin Zubair, keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali, dan Ibnu Sirin semuanya pernah melakukan kerja sama pertanian.” (HR. Bukhari no. 2328) Ibnu Hajar rahimahullah berkata, أَنَّ الْبُخَارِيَّ إِنَّمَا أَرَادَ بِسِيَاقِ هَذِهِ الْآثَارِ الْإِشَارَةَ إِلَى أَنَّ الصَّحَابَةَ لَمْ يُنْقَلْ عَنْهُمْ خِلَافٌ فِي الْجَوَازِ خُصُوصًا أَهْلَ الْمَدِينَةِ “Imam Bukhari dengan menyebutkan asar-asar ini sebenarnya bertujuan untuk menunjukkan bahwa para sahabat, tidak diriwayatkan dari mereka perbedaan pendapat tentang kebolehannya, terutama penduduk Madinah.”[2] Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, وَهَذِهِ الْآثَارُ الَّتِي ذَكَرَهَا الْبُخَارِيُّ قَدْ رَوَاهَا غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ الْمُصَنِّفِينَ فِي الْآثَارِ. فَإِذَا كَانَ جَمِيعُ الْمُهَاجِرِينَ كَانُوا يُزَارِعُونَ وَالْخُلَفَاءُ الرَّاشِدُونَ وَأَكَابِرُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْكِرَ ذَلِكَ مُنْكِرٌ: لَمْ يَكُنْ إجْمَاعٌ أَعْظَمَ مِنْ هَذَا؛ بَلْ إنْ كَانَ فِي الدُّنْيَا إجْمَاعٌ فَهُوَ هَذَا “Asar-asar yang disebutkan oleh Imam Bukhari ini telah diriwayatkan oleh lebih dari satu penulis kitab tentang asar. Jika seluruh kaum muhajirin, para khalifah yang diberi petunjuk (Khulafa’ Rasyidin), para tokoh besar dari kalangan sahabat, dan tabi’in semuanya melakukan kerja sama pertanian tanpa ada seorang pun yang mengingkari hal itu, maka tidak ada bentuk ijma’ (kesepakatan) yang lebih kuat dari ini. Bahkan, jika ada ijma’ di dunia ini, maka inilah salah satunya.” [3] Oleh karena itu, akad muzara’ah adalah akad yang sudah diwarisi dari generasi para sahabat. Artinya, hal ini dilakukan oleh mereka radhiyallahu ‘anhum. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun melakukannya. Kalau pun dikatakan, Nabi melakukan di Khaibar dengan orang kafir, adapun dengan kaum muslimin tidak diperbolehkan, maka hal ini tertolak, dikarenakan Khaibar telah menjadi negeri kaum muslimin. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah. Baca juga: Fikih Akad Ju’alah (Sayembara) Syarat pada lahan penanaman Pertama, lahan yang digunakan untuk penanaman adalah lahan yang jelas kepemilikannya. Jika kepemilikannya belum jelas atau tidak jelas, maka tidak boleh digunakan untuk akad muzara’ah. Kedua, lahan yang digunakan untuk penanaman adalah lahan yang layak dan bisa digunakan untuk penanaman selama akad muzara’ah berlangsung. Jika lahan yang digunakan tersebut tidak layak, maka tidak boleh untuk melakukan akad muzara’ah di sana. Karena tidak mungkin pemilik lahan dan pengelola mendapatkan keuntungan darinya. Ketiga, pemilik lahan harus menyerahkan lahannya kepada pengelola (penanam). Artinya, pemilik lahan memberikan kepercayaan kepada pengelola untuk mengelola lahannya tersebut. [4] Demikian terkait dengan akad muzara’ah, yang mana muzara’ah diperbolehkan dengan dalil-dalil yang telah disebutkan di atas dan dengan ketentuan-ketentuan yang jelas dan harus ditunaikan oleh kedua belah pihak. Syarat pembagian hasil Terdapat dua syarat terkait dengan pembagian hasil dari kedua belah pihak. Pertama, hasil yang dibagi antara pemilik lahan dan pengelola harus sesuai dengan kesepakatan bersama. Sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lakukan bersama penduduk Khaibar. Kalau dalam syarat tersebut hasil hanya dibagikan kepada salah satu pihak, maka akad muzara’ah tersebut terbatalkan. Hal ini sesuai dengan kesepakatan para ulama, mengingat syarat ini tidak sesuai dengan akad kerjasama, di mana kerja sama adalah akad yang ada di akad muzara’ah. Kedua, bagi hasil dari kedua belah pihak harus jelas dan terbilang jumlahnya. Seperti 1/3, 1/2, dan yang semisalnya. Sebagaimana yang Nabi shallahu ‘alahi wasallam lakukan bersama penduduk Khaibar. [5] Wallahu’alam. Baca juga: Fikih Akad Musaqah *** Depok, 22 Rajab 1446 H / 22 Januari 2024 M Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Dan beberapa referensi lainnya   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, hal. 316. [2] Fathul Bari, 5: 11. [3] Majmu’ Fatawa, 29: 97. [4] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 419. [5] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 419.

Bagaimana Cara Menjadi Mahir Al-Quran? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

https://youtu.be/UKHLksVhehU Apa makna Mahir Al-Quran (yang disebutkan dalam hadits)? Dan bagaimana seorang Muslim dapat mencapai tingkat ini? Mahir maknanya adalah terampil dan cakap. Yaitu orang yang menghafal al-Quran dan mampu membacanya dengan lancar, penuh penguasaan, dan kemahiran. Maka, orang seperti ini punya kedudukan yang tinggi. Ia akan bersama para Malaikat yang mulia dan taat. Sedangkan orang yang membaca al-Quran dengan terbata-bata dan merasa kesulitan maka ia mendapat dua pahala: pahala membaca dan pahala atas kesulitan membacanya. Ini menunjukkan keutamaan mempelajari al-Quran, dan seorang Muslim hendaknya mahir dalam al-Quran. Bacaan al-Quran tidaklah dapat dipelajari kecuali dengan belajar secara langsung. Jibril mendapatkannya secara langsung dari Allah ‘Azza wa Jalla. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkannya secara langsung dari Jibril. Sedangkan umat Islam mendapatkannya langsung dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu, barang siapa yang ingin menghafal al-Quran, maka ia belajar dengan guru al-Quran yang ahli. Sekarang ini, banyak masjid yang memiliki guru al-Quran yang ahli. Atau ia dapat memanfaatkan rekaman audio dan tilawah yang ada di YouTube, dan lain sebagainya. Ia dapat mendengar satu ayat, lalu mengulang-ulangnya. Namun, yang terpenting adalah ia melafazkannya dengan benar. Ada sebagian orang punya ketekunan, dan punya kesabaran, serta kepiawaian dalam mendalami bacaan al-Quran al-Karim. Namun ada sebagian orang yang kesulitan dalam membacanya. Orang yang kesulitan membacanya akan mendapat dua pahala: pahala bacaan dan pahala kesulitan dalam membacanya. Sedangkan orang yang mahir, terampil, dan ahli, yang membaca al-Quran dari hafalannya, menerapkan hukum-hukum tajwidnya, dan membacanya dengan suara yang merdu, serta membacanya siang dan malam, inilah yang dimaksud dalam hadits itu: “Orang yang mahir al-Quran akan bersama para malaikat yang mulia dan taat…” (HR. Muslim). Namun, orang yang terbata-bata dan kesulitan dalam membaca al-Quran, tetap mendapat pahala, bahkan mendapat dua pahala. Ia mendapat dua pahala, tapi di bawah derajat orang yang mahir al-Quran. Namun keduanya dalam kebaikan, yang mahir dan yang terbata-bata, sama-sama dalam kebaikan. Benar. ==== مَا مَعْنَى الْمَاهِرِ بِالْقُرْآنِ؟ كَيْفَ يَصِلُ الْمُسْلِمُ إِلَى هَذِهِ المَرْحَلَةِ؟ الْمَاهِرُ مَعْنَاهُ الْحَاذِقُ الْمُتْقِنُ الَّذِي حَفِظَ الْقُرْآنَ وَأَصْبَحَ يَتْلُوْهُ بِحِذْقٍ وَدِرَايَةٍ وَمَهَارَةٍ فَهَذَا مَنْزِلَتُهُ عَلِيَّةٌ يَكُونُ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ بَيْنَمَا الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَعَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ أَجْرُ التِّلَاوَةِ وَأَجْرُ الْمَشَقَّةِ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى فَضْلِ تَعَلُّمِ الْقُرْآنِ وَأَنَّ الْمُسْلِمَ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ مَاهِرًا فِيْهِ وَالْقُرْآنُ لَا يُؤْخَذُ إِلَّا بِالتَّلَقِّي تَلَقَّاهُ جِبْرِيلُ مِنَ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ وَتَلَقَّاهُ نَبِيُّنَا مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جِبْرِيلَ وَتَلَقَّتْهُ الْأُمَّةُ مِنْ مُحَمَّدٍ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَلِذَلِكَ مَنْ أَرَادَ أَنْ يَحْفَظَ الْقُرْآنَ فَإِمَّا أَنْ يَذْهَبَ لِمُقْرِئٍ مُتْقِنٍ وَيُوجَدُ الْآنَ فِي كَثِيرٍ مِنَ الْمَسَاجِدِ يُوجَدُ فِيهَا مُقْرِئُوْنَ أَوْ أَنَّهُ يَسْتَفِيدُ مِنْ أَشْرِطَةٍ وَالتِّلَاوَةِ الَّتِي عَلَى الْيُوْتِيُوبِ وَنَحْوِ ذَلِكَ يَسْتَمِعُ لِلْآيَةِ ثُمَّ يُكَرِّرُهَا لَكِنَّ الْمُهِمَّ أَنْ يَنْطِقَهَا النُّطْقَ الصَّحِيحَ لِأَنَّ بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَهُ جَلَدٌ وَعِنْدَهُ يَعْنِي صَبْرٌ وَحِذْقٌ فِي الْمَهَارَةِ فِي تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ وَبَعْضُ النَّاسِ يَشُقُّ عَلَيْهِ فَالَّذِي يَشُقُّ عَلَيْهِ لَهُ أَجْرَانِ أَجْرُ التِّلَاوَةِ وَأَجْرُ الْمَشَقَّةِ لَكِن الْمَاهِرُ الْحَاذِقُ الْمُتْقِنُ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ عَنْ ظَهْرِ الْقَلْبِ يُطَبِّقُ أَحْكَامَ التَّجْوِيْدِ يَقْرَأُهُ بِصَوْتٍ حَسَنٍ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ آنَاءَ النَّهَارِ هَذَا هُوَ الْمَقْصُودُ فِي الْحَدِيثِ الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ لَكِنَّ هَذَا يَعْنِي أَيْضًا الَّذِي يَتَتَعْتَعُ فِي الْقُرْآنِ وَيَشُقُّ عَلَيْهِ أَيْضًا لَهُ أَجْرٌ بَلْ لَهُ أَجْرَانِ لَهُ أَجْرَانِ لَكِنَّهُ دُونَ مَنْزِلَةِ الْمَاهِرِ بِالْقُرْآنِ يَعْنِي فِي كُلٍّ خَيْرٌ الْمَاهِرُ وَالْمُتَتَعْتِعُ كُلٌّ فِي خَيْرٍ نَعَمْ

Bagaimana Cara Menjadi Mahir Al-Quran? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

https://youtu.be/UKHLksVhehU Apa makna Mahir Al-Quran (yang disebutkan dalam hadits)? Dan bagaimana seorang Muslim dapat mencapai tingkat ini? Mahir maknanya adalah terampil dan cakap. Yaitu orang yang menghafal al-Quran dan mampu membacanya dengan lancar, penuh penguasaan, dan kemahiran. Maka, orang seperti ini punya kedudukan yang tinggi. Ia akan bersama para Malaikat yang mulia dan taat. Sedangkan orang yang membaca al-Quran dengan terbata-bata dan merasa kesulitan maka ia mendapat dua pahala: pahala membaca dan pahala atas kesulitan membacanya. Ini menunjukkan keutamaan mempelajari al-Quran, dan seorang Muslim hendaknya mahir dalam al-Quran. Bacaan al-Quran tidaklah dapat dipelajari kecuali dengan belajar secara langsung. Jibril mendapatkannya secara langsung dari Allah ‘Azza wa Jalla. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkannya secara langsung dari Jibril. Sedangkan umat Islam mendapatkannya langsung dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu, barang siapa yang ingin menghafal al-Quran, maka ia belajar dengan guru al-Quran yang ahli. Sekarang ini, banyak masjid yang memiliki guru al-Quran yang ahli. Atau ia dapat memanfaatkan rekaman audio dan tilawah yang ada di YouTube, dan lain sebagainya. Ia dapat mendengar satu ayat, lalu mengulang-ulangnya. Namun, yang terpenting adalah ia melafazkannya dengan benar. Ada sebagian orang punya ketekunan, dan punya kesabaran, serta kepiawaian dalam mendalami bacaan al-Quran al-Karim. Namun ada sebagian orang yang kesulitan dalam membacanya. Orang yang kesulitan membacanya akan mendapat dua pahala: pahala bacaan dan pahala kesulitan dalam membacanya. Sedangkan orang yang mahir, terampil, dan ahli, yang membaca al-Quran dari hafalannya, menerapkan hukum-hukum tajwidnya, dan membacanya dengan suara yang merdu, serta membacanya siang dan malam, inilah yang dimaksud dalam hadits itu: “Orang yang mahir al-Quran akan bersama para malaikat yang mulia dan taat…” (HR. Muslim). Namun, orang yang terbata-bata dan kesulitan dalam membaca al-Quran, tetap mendapat pahala, bahkan mendapat dua pahala. Ia mendapat dua pahala, tapi di bawah derajat orang yang mahir al-Quran. Namun keduanya dalam kebaikan, yang mahir dan yang terbata-bata, sama-sama dalam kebaikan. Benar. ==== مَا مَعْنَى الْمَاهِرِ بِالْقُرْآنِ؟ كَيْفَ يَصِلُ الْمُسْلِمُ إِلَى هَذِهِ المَرْحَلَةِ؟ الْمَاهِرُ مَعْنَاهُ الْحَاذِقُ الْمُتْقِنُ الَّذِي حَفِظَ الْقُرْآنَ وَأَصْبَحَ يَتْلُوْهُ بِحِذْقٍ وَدِرَايَةٍ وَمَهَارَةٍ فَهَذَا مَنْزِلَتُهُ عَلِيَّةٌ يَكُونُ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ بَيْنَمَا الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَعَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ أَجْرُ التِّلَاوَةِ وَأَجْرُ الْمَشَقَّةِ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى فَضْلِ تَعَلُّمِ الْقُرْآنِ وَأَنَّ الْمُسْلِمَ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ مَاهِرًا فِيْهِ وَالْقُرْآنُ لَا يُؤْخَذُ إِلَّا بِالتَّلَقِّي تَلَقَّاهُ جِبْرِيلُ مِنَ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ وَتَلَقَّاهُ نَبِيُّنَا مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جِبْرِيلَ وَتَلَقَّتْهُ الْأُمَّةُ مِنْ مُحَمَّدٍ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَلِذَلِكَ مَنْ أَرَادَ أَنْ يَحْفَظَ الْقُرْآنَ فَإِمَّا أَنْ يَذْهَبَ لِمُقْرِئٍ مُتْقِنٍ وَيُوجَدُ الْآنَ فِي كَثِيرٍ مِنَ الْمَسَاجِدِ يُوجَدُ فِيهَا مُقْرِئُوْنَ أَوْ أَنَّهُ يَسْتَفِيدُ مِنْ أَشْرِطَةٍ وَالتِّلَاوَةِ الَّتِي عَلَى الْيُوْتِيُوبِ وَنَحْوِ ذَلِكَ يَسْتَمِعُ لِلْآيَةِ ثُمَّ يُكَرِّرُهَا لَكِنَّ الْمُهِمَّ أَنْ يَنْطِقَهَا النُّطْقَ الصَّحِيحَ لِأَنَّ بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَهُ جَلَدٌ وَعِنْدَهُ يَعْنِي صَبْرٌ وَحِذْقٌ فِي الْمَهَارَةِ فِي تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ وَبَعْضُ النَّاسِ يَشُقُّ عَلَيْهِ فَالَّذِي يَشُقُّ عَلَيْهِ لَهُ أَجْرَانِ أَجْرُ التِّلَاوَةِ وَأَجْرُ الْمَشَقَّةِ لَكِن الْمَاهِرُ الْحَاذِقُ الْمُتْقِنُ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ عَنْ ظَهْرِ الْقَلْبِ يُطَبِّقُ أَحْكَامَ التَّجْوِيْدِ يَقْرَأُهُ بِصَوْتٍ حَسَنٍ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ آنَاءَ النَّهَارِ هَذَا هُوَ الْمَقْصُودُ فِي الْحَدِيثِ الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ لَكِنَّ هَذَا يَعْنِي أَيْضًا الَّذِي يَتَتَعْتَعُ فِي الْقُرْآنِ وَيَشُقُّ عَلَيْهِ أَيْضًا لَهُ أَجْرٌ بَلْ لَهُ أَجْرَانِ لَهُ أَجْرَانِ لَكِنَّهُ دُونَ مَنْزِلَةِ الْمَاهِرِ بِالْقُرْآنِ يَعْنِي فِي كُلٍّ خَيْرٌ الْمَاهِرُ وَالْمُتَتَعْتِعُ كُلٌّ فِي خَيْرٍ نَعَمْ
https://youtu.be/UKHLksVhehU Apa makna Mahir Al-Quran (yang disebutkan dalam hadits)? Dan bagaimana seorang Muslim dapat mencapai tingkat ini? Mahir maknanya adalah terampil dan cakap. Yaitu orang yang menghafal al-Quran dan mampu membacanya dengan lancar, penuh penguasaan, dan kemahiran. Maka, orang seperti ini punya kedudukan yang tinggi. Ia akan bersama para Malaikat yang mulia dan taat. Sedangkan orang yang membaca al-Quran dengan terbata-bata dan merasa kesulitan maka ia mendapat dua pahala: pahala membaca dan pahala atas kesulitan membacanya. Ini menunjukkan keutamaan mempelajari al-Quran, dan seorang Muslim hendaknya mahir dalam al-Quran. Bacaan al-Quran tidaklah dapat dipelajari kecuali dengan belajar secara langsung. Jibril mendapatkannya secara langsung dari Allah ‘Azza wa Jalla. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkannya secara langsung dari Jibril. Sedangkan umat Islam mendapatkannya langsung dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu, barang siapa yang ingin menghafal al-Quran, maka ia belajar dengan guru al-Quran yang ahli. Sekarang ini, banyak masjid yang memiliki guru al-Quran yang ahli. Atau ia dapat memanfaatkan rekaman audio dan tilawah yang ada di YouTube, dan lain sebagainya. Ia dapat mendengar satu ayat, lalu mengulang-ulangnya. Namun, yang terpenting adalah ia melafazkannya dengan benar. Ada sebagian orang punya ketekunan, dan punya kesabaran, serta kepiawaian dalam mendalami bacaan al-Quran al-Karim. Namun ada sebagian orang yang kesulitan dalam membacanya. Orang yang kesulitan membacanya akan mendapat dua pahala: pahala bacaan dan pahala kesulitan dalam membacanya. Sedangkan orang yang mahir, terampil, dan ahli, yang membaca al-Quran dari hafalannya, menerapkan hukum-hukum tajwidnya, dan membacanya dengan suara yang merdu, serta membacanya siang dan malam, inilah yang dimaksud dalam hadits itu: “Orang yang mahir al-Quran akan bersama para malaikat yang mulia dan taat…” (HR. Muslim). Namun, orang yang terbata-bata dan kesulitan dalam membaca al-Quran, tetap mendapat pahala, bahkan mendapat dua pahala. Ia mendapat dua pahala, tapi di bawah derajat orang yang mahir al-Quran. Namun keduanya dalam kebaikan, yang mahir dan yang terbata-bata, sama-sama dalam kebaikan. Benar. ==== مَا مَعْنَى الْمَاهِرِ بِالْقُرْآنِ؟ كَيْفَ يَصِلُ الْمُسْلِمُ إِلَى هَذِهِ المَرْحَلَةِ؟ الْمَاهِرُ مَعْنَاهُ الْحَاذِقُ الْمُتْقِنُ الَّذِي حَفِظَ الْقُرْآنَ وَأَصْبَحَ يَتْلُوْهُ بِحِذْقٍ وَدِرَايَةٍ وَمَهَارَةٍ فَهَذَا مَنْزِلَتُهُ عَلِيَّةٌ يَكُونُ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ بَيْنَمَا الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَعَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ أَجْرُ التِّلَاوَةِ وَأَجْرُ الْمَشَقَّةِ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى فَضْلِ تَعَلُّمِ الْقُرْآنِ وَأَنَّ الْمُسْلِمَ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ مَاهِرًا فِيْهِ وَالْقُرْآنُ لَا يُؤْخَذُ إِلَّا بِالتَّلَقِّي تَلَقَّاهُ جِبْرِيلُ مِنَ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ وَتَلَقَّاهُ نَبِيُّنَا مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جِبْرِيلَ وَتَلَقَّتْهُ الْأُمَّةُ مِنْ مُحَمَّدٍ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَلِذَلِكَ مَنْ أَرَادَ أَنْ يَحْفَظَ الْقُرْآنَ فَإِمَّا أَنْ يَذْهَبَ لِمُقْرِئٍ مُتْقِنٍ وَيُوجَدُ الْآنَ فِي كَثِيرٍ مِنَ الْمَسَاجِدِ يُوجَدُ فِيهَا مُقْرِئُوْنَ أَوْ أَنَّهُ يَسْتَفِيدُ مِنْ أَشْرِطَةٍ وَالتِّلَاوَةِ الَّتِي عَلَى الْيُوْتِيُوبِ وَنَحْوِ ذَلِكَ يَسْتَمِعُ لِلْآيَةِ ثُمَّ يُكَرِّرُهَا لَكِنَّ الْمُهِمَّ أَنْ يَنْطِقَهَا النُّطْقَ الصَّحِيحَ لِأَنَّ بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَهُ جَلَدٌ وَعِنْدَهُ يَعْنِي صَبْرٌ وَحِذْقٌ فِي الْمَهَارَةِ فِي تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ وَبَعْضُ النَّاسِ يَشُقُّ عَلَيْهِ فَالَّذِي يَشُقُّ عَلَيْهِ لَهُ أَجْرَانِ أَجْرُ التِّلَاوَةِ وَأَجْرُ الْمَشَقَّةِ لَكِن الْمَاهِرُ الْحَاذِقُ الْمُتْقِنُ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ عَنْ ظَهْرِ الْقَلْبِ يُطَبِّقُ أَحْكَامَ التَّجْوِيْدِ يَقْرَأُهُ بِصَوْتٍ حَسَنٍ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ آنَاءَ النَّهَارِ هَذَا هُوَ الْمَقْصُودُ فِي الْحَدِيثِ الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ لَكِنَّ هَذَا يَعْنِي أَيْضًا الَّذِي يَتَتَعْتَعُ فِي الْقُرْآنِ وَيَشُقُّ عَلَيْهِ أَيْضًا لَهُ أَجْرٌ بَلْ لَهُ أَجْرَانِ لَهُ أَجْرَانِ لَكِنَّهُ دُونَ مَنْزِلَةِ الْمَاهِرِ بِالْقُرْآنِ يَعْنِي فِي كُلٍّ خَيْرٌ الْمَاهِرُ وَالْمُتَتَعْتِعُ كُلٌّ فِي خَيْرٍ نَعَمْ


https://youtu.be/UKHLksVhehU Apa makna Mahir Al-Quran (yang disebutkan dalam hadits)? Dan bagaimana seorang Muslim dapat mencapai tingkat ini? Mahir maknanya adalah terampil dan cakap. Yaitu orang yang menghafal al-Quran dan mampu membacanya dengan lancar, penuh penguasaan, dan kemahiran. Maka, orang seperti ini punya kedudukan yang tinggi. Ia akan bersama para Malaikat yang mulia dan taat. Sedangkan orang yang membaca al-Quran dengan terbata-bata dan merasa kesulitan maka ia mendapat dua pahala: pahala membaca dan pahala atas kesulitan membacanya. Ini menunjukkan keutamaan mempelajari al-Quran, dan seorang Muslim hendaknya mahir dalam al-Quran. Bacaan al-Quran tidaklah dapat dipelajari kecuali dengan belajar secara langsung. Jibril mendapatkannya secara langsung dari Allah ‘Azza wa Jalla. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkannya secara langsung dari Jibril. Sedangkan umat Islam mendapatkannya langsung dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu, barang siapa yang ingin menghafal al-Quran, maka ia belajar dengan guru al-Quran yang ahli. Sekarang ini, banyak masjid yang memiliki guru al-Quran yang ahli. Atau ia dapat memanfaatkan rekaman audio dan tilawah yang ada di YouTube, dan lain sebagainya. Ia dapat mendengar satu ayat, lalu mengulang-ulangnya. Namun, yang terpenting adalah ia melafazkannya dengan benar. Ada sebagian orang punya ketekunan, dan punya kesabaran, serta kepiawaian dalam mendalami bacaan al-Quran al-Karim. Namun ada sebagian orang yang kesulitan dalam membacanya. Orang yang kesulitan membacanya akan mendapat dua pahala: pahala bacaan dan pahala kesulitan dalam membacanya. Sedangkan orang yang mahir, terampil, dan ahli, yang membaca al-Quran dari hafalannya, menerapkan hukum-hukum tajwidnya, dan membacanya dengan suara yang merdu, serta membacanya siang dan malam, inilah yang dimaksud dalam hadits itu: “Orang yang mahir al-Quran akan bersama para malaikat yang mulia dan taat…” (HR. Muslim). Namun, orang yang terbata-bata dan kesulitan dalam membaca al-Quran, tetap mendapat pahala, bahkan mendapat dua pahala. Ia mendapat dua pahala, tapi di bawah derajat orang yang mahir al-Quran. Namun keduanya dalam kebaikan, yang mahir dan yang terbata-bata, sama-sama dalam kebaikan. Benar. ==== مَا مَعْنَى الْمَاهِرِ بِالْقُرْآنِ؟ كَيْفَ يَصِلُ الْمُسْلِمُ إِلَى هَذِهِ المَرْحَلَةِ؟ الْمَاهِرُ مَعْنَاهُ الْحَاذِقُ الْمُتْقِنُ الَّذِي حَفِظَ الْقُرْآنَ وَأَصْبَحَ يَتْلُوْهُ بِحِذْقٍ وَدِرَايَةٍ وَمَهَارَةٍ فَهَذَا مَنْزِلَتُهُ عَلِيَّةٌ يَكُونُ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ بَيْنَمَا الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَعَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ أَجْرُ التِّلَاوَةِ وَأَجْرُ الْمَشَقَّةِ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى فَضْلِ تَعَلُّمِ الْقُرْآنِ وَأَنَّ الْمُسْلِمَ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ مَاهِرًا فِيْهِ وَالْقُرْآنُ لَا يُؤْخَذُ إِلَّا بِالتَّلَقِّي تَلَقَّاهُ جِبْرِيلُ مِنَ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ وَتَلَقَّاهُ نَبِيُّنَا مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جِبْرِيلَ وَتَلَقَّتْهُ الْأُمَّةُ مِنْ مُحَمَّدٍ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَلِذَلِكَ مَنْ أَرَادَ أَنْ يَحْفَظَ الْقُرْآنَ فَإِمَّا أَنْ يَذْهَبَ لِمُقْرِئٍ مُتْقِنٍ وَيُوجَدُ الْآنَ فِي كَثِيرٍ مِنَ الْمَسَاجِدِ يُوجَدُ فِيهَا مُقْرِئُوْنَ أَوْ أَنَّهُ يَسْتَفِيدُ مِنْ أَشْرِطَةٍ وَالتِّلَاوَةِ الَّتِي عَلَى الْيُوْتِيُوبِ وَنَحْوِ ذَلِكَ يَسْتَمِعُ لِلْآيَةِ ثُمَّ يُكَرِّرُهَا لَكِنَّ الْمُهِمَّ أَنْ يَنْطِقَهَا النُّطْقَ الصَّحِيحَ لِأَنَّ بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَهُ جَلَدٌ وَعِنْدَهُ يَعْنِي صَبْرٌ وَحِذْقٌ فِي الْمَهَارَةِ فِي تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ وَبَعْضُ النَّاسِ يَشُقُّ عَلَيْهِ فَالَّذِي يَشُقُّ عَلَيْهِ لَهُ أَجْرَانِ أَجْرُ التِّلَاوَةِ وَأَجْرُ الْمَشَقَّةِ لَكِن الْمَاهِرُ الْحَاذِقُ الْمُتْقِنُ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ عَنْ ظَهْرِ الْقَلْبِ يُطَبِّقُ أَحْكَامَ التَّجْوِيْدِ يَقْرَأُهُ بِصَوْتٍ حَسَنٍ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ آنَاءَ النَّهَارِ هَذَا هُوَ الْمَقْصُودُ فِي الْحَدِيثِ الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ لَكِنَّ هَذَا يَعْنِي أَيْضًا الَّذِي يَتَتَعْتَعُ فِي الْقُرْآنِ وَيَشُقُّ عَلَيْهِ أَيْضًا لَهُ أَجْرٌ بَلْ لَهُ أَجْرَانِ لَهُ أَجْرَانِ لَكِنَّهُ دُونَ مَنْزِلَةِ الْمَاهِرِ بِالْقُرْآنِ يَعْنِي فِي كُلٍّ خَيْرٌ الْمَاهِرُ وَالْمُتَتَعْتِعُ كُلٌّ فِي خَيْرٍ نَعَمْ

Mau Hidup Tenang? Inilah Rahasianya – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Demi Allah, zuhud di dunia adalah ketenangan bagi hati. Ketika Anda meninggalkan ketergantungan pada kesenangan dunia, lalu Anda fokus pada hal-hal yang bermanfaat bagimu, seperti ilmu yang bermanfaat dan amal saleh, demi Allah, Anda akan terbebas dari bersibuk-sibuk pada makanan, minuman, pembicaraan sia-sia, berbagai penyakit, serta banyak tidur. Niscaya hati dan pikiranmu akan dipenuhi dengan keinginan membaca Al-Quran, menadaburinya, dan mencari ilmu yang bermanfaat. Ini sangat jauh lebih bermanfaat bagi Anda, bahkan tidak sebanding jika seluruh perhatianmu hanya tertuju pada mengejar kesenangan dunia. ==== وَاللهِ الزُهْدُ فِي الدُّنْيَا رَاحَةٌ لِلْقَلْبِ عِنْدَمَا تَزْهَدُ فِي مَتَاعِ الدُّنْيَا وَتُقْبِلُ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ عَلَى الْعِلْمِ النَّافِعِ عَلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ وَاللهِ تَسْتَرِيحُ مِنَ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ وَالْقِيْلِ وَالْقَالِ وَالْأَمْرَاضِ وَكَثْرَةِ النَّوْمِ يَكُونُ عِنْدَكَ هَمٌّ فِي تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ وَتَدَبُّرِهِ وَالْعِلْمِ النَّافِعِ هَذَا أَنْفَعُ لَكَ بِكَثِيرٍ بَلْ بِلَا مُوَازَنَةٍ مِنْ أَنْ يَكُونَ هَمَّكَ اللَّهْثَ خَلْفَ مَتَاعِ الدُّنْيَا

Mau Hidup Tenang? Inilah Rahasianya – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Demi Allah, zuhud di dunia adalah ketenangan bagi hati. Ketika Anda meninggalkan ketergantungan pada kesenangan dunia, lalu Anda fokus pada hal-hal yang bermanfaat bagimu, seperti ilmu yang bermanfaat dan amal saleh, demi Allah, Anda akan terbebas dari bersibuk-sibuk pada makanan, minuman, pembicaraan sia-sia, berbagai penyakit, serta banyak tidur. Niscaya hati dan pikiranmu akan dipenuhi dengan keinginan membaca Al-Quran, menadaburinya, dan mencari ilmu yang bermanfaat. Ini sangat jauh lebih bermanfaat bagi Anda, bahkan tidak sebanding jika seluruh perhatianmu hanya tertuju pada mengejar kesenangan dunia. ==== وَاللهِ الزُهْدُ فِي الدُّنْيَا رَاحَةٌ لِلْقَلْبِ عِنْدَمَا تَزْهَدُ فِي مَتَاعِ الدُّنْيَا وَتُقْبِلُ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ عَلَى الْعِلْمِ النَّافِعِ عَلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ وَاللهِ تَسْتَرِيحُ مِنَ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ وَالْقِيْلِ وَالْقَالِ وَالْأَمْرَاضِ وَكَثْرَةِ النَّوْمِ يَكُونُ عِنْدَكَ هَمٌّ فِي تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ وَتَدَبُّرِهِ وَالْعِلْمِ النَّافِعِ هَذَا أَنْفَعُ لَكَ بِكَثِيرٍ بَلْ بِلَا مُوَازَنَةٍ مِنْ أَنْ يَكُونَ هَمَّكَ اللَّهْثَ خَلْفَ مَتَاعِ الدُّنْيَا
Demi Allah, zuhud di dunia adalah ketenangan bagi hati. Ketika Anda meninggalkan ketergantungan pada kesenangan dunia, lalu Anda fokus pada hal-hal yang bermanfaat bagimu, seperti ilmu yang bermanfaat dan amal saleh, demi Allah, Anda akan terbebas dari bersibuk-sibuk pada makanan, minuman, pembicaraan sia-sia, berbagai penyakit, serta banyak tidur. Niscaya hati dan pikiranmu akan dipenuhi dengan keinginan membaca Al-Quran, menadaburinya, dan mencari ilmu yang bermanfaat. Ini sangat jauh lebih bermanfaat bagi Anda, bahkan tidak sebanding jika seluruh perhatianmu hanya tertuju pada mengejar kesenangan dunia. ==== وَاللهِ الزُهْدُ فِي الدُّنْيَا رَاحَةٌ لِلْقَلْبِ عِنْدَمَا تَزْهَدُ فِي مَتَاعِ الدُّنْيَا وَتُقْبِلُ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ عَلَى الْعِلْمِ النَّافِعِ عَلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ وَاللهِ تَسْتَرِيحُ مِنَ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ وَالْقِيْلِ وَالْقَالِ وَالْأَمْرَاضِ وَكَثْرَةِ النَّوْمِ يَكُونُ عِنْدَكَ هَمٌّ فِي تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ وَتَدَبُّرِهِ وَالْعِلْمِ النَّافِعِ هَذَا أَنْفَعُ لَكَ بِكَثِيرٍ بَلْ بِلَا مُوَازَنَةٍ مِنْ أَنْ يَكُونَ هَمَّكَ اللَّهْثَ خَلْفَ مَتَاعِ الدُّنْيَا


Demi Allah, zuhud di dunia adalah ketenangan bagi hati. Ketika Anda meninggalkan ketergantungan pada kesenangan dunia, lalu Anda fokus pada hal-hal yang bermanfaat bagimu, seperti ilmu yang bermanfaat dan amal saleh, demi Allah, Anda akan terbebas dari bersibuk-sibuk pada makanan, minuman, pembicaraan sia-sia, berbagai penyakit, serta banyak tidur. Niscaya hati dan pikiranmu akan dipenuhi dengan keinginan membaca Al-Quran, menadaburinya, dan mencari ilmu yang bermanfaat. Ini sangat jauh lebih bermanfaat bagi Anda, bahkan tidak sebanding jika seluruh perhatianmu hanya tertuju pada mengejar kesenangan dunia. ==== وَاللهِ الزُهْدُ فِي الدُّنْيَا رَاحَةٌ لِلْقَلْبِ عِنْدَمَا تَزْهَدُ فِي مَتَاعِ الدُّنْيَا وَتُقْبِلُ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ عَلَى الْعِلْمِ النَّافِعِ عَلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ وَاللهِ تَسْتَرِيحُ مِنَ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ وَالْقِيْلِ وَالْقَالِ وَالْأَمْرَاضِ وَكَثْرَةِ النَّوْمِ يَكُونُ عِنْدَكَ هَمٌّ فِي تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ وَتَدَبُّرِهِ وَالْعِلْمِ النَّافِعِ هَذَا أَنْفَعُ لَكَ بِكَثِيرٍ بَلْ بِلَا مُوَازَنَةٍ مِنْ أَنْ يَكُونَ هَمَّكَ اللَّهْثَ خَلْفَ مَتَاعِ الدُّنْيَا

Teks Khotbah Jumat: Saat Musibah Menimpa, Waktu yang Tepat untuk Bertobat

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian. Marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh-Nya dan meninggalkan dosa dan kemaksiatan yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Dengan ketakwaan inilah, Allah akan memberikan hidayah dan taufik sehingga diri kita dapat membedakan kebaikan dan keburukan dan dijauhkan dari kesalahan dan dosa. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ ذُو ٱلْفَضْلِ ٱلْعَظِيمِ “Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu furqan (taufik untuk membedakan yang baik dan buruk). Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Anfal: 29) Jemaah yang dimuliakan Allah, musibah dan ujian silih berganti datang kepada seseorang, dan tidaklah musibah dan ujian tersebut terjadi di dunia ini ataupun di akhirat nanti, melainkan di antara sebabnya adalah dosa dan kemaksiatan orang tersebut kepada Allah Ta’ala. Renungilah wahai saudaraku sekalian, tidaklah Adam dan Hawa Allah turunkan dari surga, melainkan karena sebuah kemaksiatan. Tidaklah Iblis diusir oleh Allah dari langit dan surga, melainkan juga karena pembangkangan dan kemaksiatan yang dilakukannya terhadap Allah Ta’ala. Allah berfirman, قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِى مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُۥ مِن طِينٍ  قَالَ فَٱهْبِطْ مِنْهَا فَمَا يَكُونُ لَكَ أَن تَتَكَبَّرَ فِيهَا فَٱخْرُجْ إِنَّكَ مِنَ ٱلصَّٰغِرِينَ “Allah berfirman, ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” (Iblis) menjawab, ‘Saya lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan saya dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.’ Allah berfirman, ‘Turunlah kamu dari surga itu. Karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina.'” (QS. Al-A’raf: 12-13) Apa yang menimpa umat-umat terdahulu dari azab yang pedih. Dari kaum Nuh yang Allah tenggelamkan. Kaum Ad yang Allah luluh lantakkan dengan angin yang sangat dahsyat. Kaum Luth yang Allah balikkan bumi mereka, lalu Allah hujani dengan batuan panas dari neraka. Fir’aun dan bala tentaranya yang Allah tenggelamkan melalui perantara tongkat musa. Tidaklah semua itu terjadi, melainkan karena kemaksiatan dan ketidakpatuhan mereka terhadap perintah Allah Azza Wajalla. Mengenai kisah Nabi Musa dan Fir’aun, Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Quran surah Az-Zariyat, وَفِى مُوسَىٰٓ إِذْ أَرْسَلْنَٰهُ إِلَىٰ فِرْعَوْنَ بِسُلْطَٰنٍ مُّبِينٍ  فَتَوَلَّىٰ بِرُكْنِهِۦ وَقَالَ سَٰحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ  فَأَخَذْنَٰهُ وَجُنُودَهُۥ فَنَبَذْنَٰهُمْ فِى ٱلْيَمِّ وَهُوَ مُلِيمٌ “Dan juga pada Musa (terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah) ketika Kami mengutusnya kepada Fir’aun dengan membawa mukjizat yang nyata. Maka, dia (Fir’aun) berpaling (dari iman) bersama tentaranya dan berkata, ‘Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila.’ Maka, Kami siksa dia dan tentaranya lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut, sedang dia melakukan pekerjaan yang tercela.” (QS. Az-Zariyat: 38-40) Jemaah yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala, seperti itulah Allah Ta’ala silih berganti menimpakan malapetaka bagi mereka yang menyelisihi perintah-Nya dan bermaksiat kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنۢبِهِۦ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُم مَّنْ أَخَذَتْهُ ٱلصَّيْحَةُ وَمِنْهُم مَّنْ خَسَفْنَا بِهِ ٱلْأَرْضَ وَمِنْهُم مَّنْ أَغْرَقْنَا ۚ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَٰكِن كَانُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ “Maka, masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya. Maka, di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil. Dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur. Dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi. Dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan. Dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al-Ankabut: 40) Di ayat yang lainnya, Allah Ta’ala kembali menyampaikan bahwa seluruh musibah yang menimpa manusia, baik itu rasa sempit yang mereka rasakan, rasa sakit pada tubuh mereka, cobaan pada anak keturunan ataupun harta mereka, atau bahkan musibah yang menimpa negeri dan tempat tinggal mereka, maka semuanya disebabkan perbuatan yang dilakukan oleh diri mereka sendiri. Allah Ta’ala berfirman, وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا۟ عَن كَثِيرٍ “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Maksiat kita kepada Allah Ta’ala, selain tentunya mendatangkan malapetaka dan musibah, hal tersebut juga menyebabkan setidaknya dua hal buruk lainnya kepada diri kita. Yang pertama, menghalangi diri kita dari mendapatkan ilmu, menjadikan kita malas dan tidak bersemangat dalam menghafal dan menuntut ilmu. Suatu ketika, Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, شكوت إلى وكيع سوء حفظي            فأرشدني إلى ترك المعاصي وقال اعلم بأن العلم نور                        ونور الله لا يهدى لعاصي. “Aku mengadukan kepada Waki’ atas jeleknya hafalanku. Lalu, ia menasihatiku untuk meninggalkan maksiat. Dan mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat.” Yang kedua, maksiat menghalangi datangnya rezeki. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِ “Takwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa, maka dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat.” (Ad-Da’ wa Ad-Dawa’, hal. 85) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Saat Musibah Menimpa Saudara Kita Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Pada khotbah sebelumnya, kita ketahui bersama bahwa sebuah musibah dan ujian seringkali datang dikarenakan kemaksiatan dan dosa yang dilakukan seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Oleh karenanya, ketika seorang hamba sedang diberikan ujian, maka sudah sepantasnya baginya untuk bertobat dan beristigfar, memohon ampun kepada Allah Ta’ala, serta kembali kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan hikmah dari adanya ujian kepada umat manusia, وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ “Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (QS. Al-A’raf: 168) Allah Ta’ala juga berfirman, وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ  فَلَوْلا إِذْ جَاءَهُمْ بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلَكِنْ قَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka, mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan setan pun menghiasi (keburukan) apa yang selalu mereka kerjakan (sehingga mereka terlenakan).” (QS. Al-An’am: 42-43) Saat ujian itu datang, kembalilah dan ingatlah Allah Ta’ala, mohonlah ampunan atas dosa yang telah kita perbuat dan mintalah kemudahan dan jalan keluar atas ujian yang sedang kita hadapi tersebut. Adapun mereka yang tidak mau kembali dan memohon kepada Allah Ta’ala, maka Allah pun murka kepadanya dan setan pun akan memperdaya orang tersebut, menghiasi amal keburukan dan dosa mereka seakan-seakan itu merupakan hal yang baik dan dapat dibanggakan, hingga kemudian Allah turunkan kepadanya istidraj dan hukuman yang tiba-tiba kepadanya tanpa disadari. Di ayat selanjutnya, Allah berfirman, فَلَمَّا نَسُوا۟ مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوٓا۟ أَخَذْنَٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ “Maka, tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga, apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44) Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah dan taufik kepada kita untuk selalu beramal saleh dan meninggalkan kemaksiatan kepada-Nya, memberikan taufik kepada kita untuk bertobat dan beristigfar, baik di kala susah maupun senang. Semoga Allah Ta’ala mengangkat seluruh ujian, penyakit dan malapetaka yang menimpa kaum muslimin, memberikan mereka kesabaran dan pahala yang berlipat atas ujian yang mereka hadapi tersebut. Wabillahi At-Taufiq. اللَّهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَأَنْتَ تَجْعَلُ الحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً “Ya Allah, tidak ada kemudahan, kecuali yang Engkau buat mudah. Dan engkau menjadikan kesedihan (kesulitan), jika Engkau kehendaki, pasti akan menjadi mudah.” إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Teks Khotbah Jumat: Saat Musibah Menimpa, Waktu yang Tepat untuk Bertobat

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian. Marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh-Nya dan meninggalkan dosa dan kemaksiatan yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Dengan ketakwaan inilah, Allah akan memberikan hidayah dan taufik sehingga diri kita dapat membedakan kebaikan dan keburukan dan dijauhkan dari kesalahan dan dosa. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ ذُو ٱلْفَضْلِ ٱلْعَظِيمِ “Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu furqan (taufik untuk membedakan yang baik dan buruk). Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Anfal: 29) Jemaah yang dimuliakan Allah, musibah dan ujian silih berganti datang kepada seseorang, dan tidaklah musibah dan ujian tersebut terjadi di dunia ini ataupun di akhirat nanti, melainkan di antara sebabnya adalah dosa dan kemaksiatan orang tersebut kepada Allah Ta’ala. Renungilah wahai saudaraku sekalian, tidaklah Adam dan Hawa Allah turunkan dari surga, melainkan karena sebuah kemaksiatan. Tidaklah Iblis diusir oleh Allah dari langit dan surga, melainkan juga karena pembangkangan dan kemaksiatan yang dilakukannya terhadap Allah Ta’ala. Allah berfirman, قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِى مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُۥ مِن طِينٍ  قَالَ فَٱهْبِطْ مِنْهَا فَمَا يَكُونُ لَكَ أَن تَتَكَبَّرَ فِيهَا فَٱخْرُجْ إِنَّكَ مِنَ ٱلصَّٰغِرِينَ “Allah berfirman, ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” (Iblis) menjawab, ‘Saya lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan saya dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.’ Allah berfirman, ‘Turunlah kamu dari surga itu. Karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina.'” (QS. Al-A’raf: 12-13) Apa yang menimpa umat-umat terdahulu dari azab yang pedih. Dari kaum Nuh yang Allah tenggelamkan. Kaum Ad yang Allah luluh lantakkan dengan angin yang sangat dahsyat. Kaum Luth yang Allah balikkan bumi mereka, lalu Allah hujani dengan batuan panas dari neraka. Fir’aun dan bala tentaranya yang Allah tenggelamkan melalui perantara tongkat musa. Tidaklah semua itu terjadi, melainkan karena kemaksiatan dan ketidakpatuhan mereka terhadap perintah Allah Azza Wajalla. Mengenai kisah Nabi Musa dan Fir’aun, Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Quran surah Az-Zariyat, وَفِى مُوسَىٰٓ إِذْ أَرْسَلْنَٰهُ إِلَىٰ فِرْعَوْنَ بِسُلْطَٰنٍ مُّبِينٍ  فَتَوَلَّىٰ بِرُكْنِهِۦ وَقَالَ سَٰحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ  فَأَخَذْنَٰهُ وَجُنُودَهُۥ فَنَبَذْنَٰهُمْ فِى ٱلْيَمِّ وَهُوَ مُلِيمٌ “Dan juga pada Musa (terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah) ketika Kami mengutusnya kepada Fir’aun dengan membawa mukjizat yang nyata. Maka, dia (Fir’aun) berpaling (dari iman) bersama tentaranya dan berkata, ‘Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila.’ Maka, Kami siksa dia dan tentaranya lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut, sedang dia melakukan pekerjaan yang tercela.” (QS. Az-Zariyat: 38-40) Jemaah yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala, seperti itulah Allah Ta’ala silih berganti menimpakan malapetaka bagi mereka yang menyelisihi perintah-Nya dan bermaksiat kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنۢبِهِۦ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُم مَّنْ أَخَذَتْهُ ٱلصَّيْحَةُ وَمِنْهُم مَّنْ خَسَفْنَا بِهِ ٱلْأَرْضَ وَمِنْهُم مَّنْ أَغْرَقْنَا ۚ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَٰكِن كَانُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ “Maka, masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya. Maka, di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil. Dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur. Dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi. Dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan. Dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al-Ankabut: 40) Di ayat yang lainnya, Allah Ta’ala kembali menyampaikan bahwa seluruh musibah yang menimpa manusia, baik itu rasa sempit yang mereka rasakan, rasa sakit pada tubuh mereka, cobaan pada anak keturunan ataupun harta mereka, atau bahkan musibah yang menimpa negeri dan tempat tinggal mereka, maka semuanya disebabkan perbuatan yang dilakukan oleh diri mereka sendiri. Allah Ta’ala berfirman, وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا۟ عَن كَثِيرٍ “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Maksiat kita kepada Allah Ta’ala, selain tentunya mendatangkan malapetaka dan musibah, hal tersebut juga menyebabkan setidaknya dua hal buruk lainnya kepada diri kita. Yang pertama, menghalangi diri kita dari mendapatkan ilmu, menjadikan kita malas dan tidak bersemangat dalam menghafal dan menuntut ilmu. Suatu ketika, Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, شكوت إلى وكيع سوء حفظي            فأرشدني إلى ترك المعاصي وقال اعلم بأن العلم نور                        ونور الله لا يهدى لعاصي. “Aku mengadukan kepada Waki’ atas jeleknya hafalanku. Lalu, ia menasihatiku untuk meninggalkan maksiat. Dan mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat.” Yang kedua, maksiat menghalangi datangnya rezeki. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِ “Takwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa, maka dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat.” (Ad-Da’ wa Ad-Dawa’, hal. 85) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Saat Musibah Menimpa Saudara Kita Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Pada khotbah sebelumnya, kita ketahui bersama bahwa sebuah musibah dan ujian seringkali datang dikarenakan kemaksiatan dan dosa yang dilakukan seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Oleh karenanya, ketika seorang hamba sedang diberikan ujian, maka sudah sepantasnya baginya untuk bertobat dan beristigfar, memohon ampun kepada Allah Ta’ala, serta kembali kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan hikmah dari adanya ujian kepada umat manusia, وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ “Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (QS. Al-A’raf: 168) Allah Ta’ala juga berfirman, وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ  فَلَوْلا إِذْ جَاءَهُمْ بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلَكِنْ قَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka, mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan setan pun menghiasi (keburukan) apa yang selalu mereka kerjakan (sehingga mereka terlenakan).” (QS. Al-An’am: 42-43) Saat ujian itu datang, kembalilah dan ingatlah Allah Ta’ala, mohonlah ampunan atas dosa yang telah kita perbuat dan mintalah kemudahan dan jalan keluar atas ujian yang sedang kita hadapi tersebut. Adapun mereka yang tidak mau kembali dan memohon kepada Allah Ta’ala, maka Allah pun murka kepadanya dan setan pun akan memperdaya orang tersebut, menghiasi amal keburukan dan dosa mereka seakan-seakan itu merupakan hal yang baik dan dapat dibanggakan, hingga kemudian Allah turunkan kepadanya istidraj dan hukuman yang tiba-tiba kepadanya tanpa disadari. Di ayat selanjutnya, Allah berfirman, فَلَمَّا نَسُوا۟ مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوٓا۟ أَخَذْنَٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ “Maka, tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga, apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44) Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah dan taufik kepada kita untuk selalu beramal saleh dan meninggalkan kemaksiatan kepada-Nya, memberikan taufik kepada kita untuk bertobat dan beristigfar, baik di kala susah maupun senang. Semoga Allah Ta’ala mengangkat seluruh ujian, penyakit dan malapetaka yang menimpa kaum muslimin, memberikan mereka kesabaran dan pahala yang berlipat atas ujian yang mereka hadapi tersebut. Wabillahi At-Taufiq. اللَّهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَأَنْتَ تَجْعَلُ الحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً “Ya Allah, tidak ada kemudahan, kecuali yang Engkau buat mudah. Dan engkau menjadikan kesedihan (kesulitan), jika Engkau kehendaki, pasti akan menjadi mudah.” إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian. Marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh-Nya dan meninggalkan dosa dan kemaksiatan yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Dengan ketakwaan inilah, Allah akan memberikan hidayah dan taufik sehingga diri kita dapat membedakan kebaikan dan keburukan dan dijauhkan dari kesalahan dan dosa. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ ذُو ٱلْفَضْلِ ٱلْعَظِيمِ “Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu furqan (taufik untuk membedakan yang baik dan buruk). Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Anfal: 29) Jemaah yang dimuliakan Allah, musibah dan ujian silih berganti datang kepada seseorang, dan tidaklah musibah dan ujian tersebut terjadi di dunia ini ataupun di akhirat nanti, melainkan di antara sebabnya adalah dosa dan kemaksiatan orang tersebut kepada Allah Ta’ala. Renungilah wahai saudaraku sekalian, tidaklah Adam dan Hawa Allah turunkan dari surga, melainkan karena sebuah kemaksiatan. Tidaklah Iblis diusir oleh Allah dari langit dan surga, melainkan juga karena pembangkangan dan kemaksiatan yang dilakukannya terhadap Allah Ta’ala. Allah berfirman, قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِى مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُۥ مِن طِينٍ  قَالَ فَٱهْبِطْ مِنْهَا فَمَا يَكُونُ لَكَ أَن تَتَكَبَّرَ فِيهَا فَٱخْرُجْ إِنَّكَ مِنَ ٱلصَّٰغِرِينَ “Allah berfirman, ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” (Iblis) menjawab, ‘Saya lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan saya dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.’ Allah berfirman, ‘Turunlah kamu dari surga itu. Karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina.'” (QS. Al-A’raf: 12-13) Apa yang menimpa umat-umat terdahulu dari azab yang pedih. Dari kaum Nuh yang Allah tenggelamkan. Kaum Ad yang Allah luluh lantakkan dengan angin yang sangat dahsyat. Kaum Luth yang Allah balikkan bumi mereka, lalu Allah hujani dengan batuan panas dari neraka. Fir’aun dan bala tentaranya yang Allah tenggelamkan melalui perantara tongkat musa. Tidaklah semua itu terjadi, melainkan karena kemaksiatan dan ketidakpatuhan mereka terhadap perintah Allah Azza Wajalla. Mengenai kisah Nabi Musa dan Fir’aun, Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Quran surah Az-Zariyat, وَفِى مُوسَىٰٓ إِذْ أَرْسَلْنَٰهُ إِلَىٰ فِرْعَوْنَ بِسُلْطَٰنٍ مُّبِينٍ  فَتَوَلَّىٰ بِرُكْنِهِۦ وَقَالَ سَٰحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ  فَأَخَذْنَٰهُ وَجُنُودَهُۥ فَنَبَذْنَٰهُمْ فِى ٱلْيَمِّ وَهُوَ مُلِيمٌ “Dan juga pada Musa (terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah) ketika Kami mengutusnya kepada Fir’aun dengan membawa mukjizat yang nyata. Maka, dia (Fir’aun) berpaling (dari iman) bersama tentaranya dan berkata, ‘Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila.’ Maka, Kami siksa dia dan tentaranya lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut, sedang dia melakukan pekerjaan yang tercela.” (QS. Az-Zariyat: 38-40) Jemaah yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala, seperti itulah Allah Ta’ala silih berganti menimpakan malapetaka bagi mereka yang menyelisihi perintah-Nya dan bermaksiat kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنۢبِهِۦ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُم مَّنْ أَخَذَتْهُ ٱلصَّيْحَةُ وَمِنْهُم مَّنْ خَسَفْنَا بِهِ ٱلْأَرْضَ وَمِنْهُم مَّنْ أَغْرَقْنَا ۚ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَٰكِن كَانُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ “Maka, masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya. Maka, di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil. Dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur. Dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi. Dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan. Dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al-Ankabut: 40) Di ayat yang lainnya, Allah Ta’ala kembali menyampaikan bahwa seluruh musibah yang menimpa manusia, baik itu rasa sempit yang mereka rasakan, rasa sakit pada tubuh mereka, cobaan pada anak keturunan ataupun harta mereka, atau bahkan musibah yang menimpa negeri dan tempat tinggal mereka, maka semuanya disebabkan perbuatan yang dilakukan oleh diri mereka sendiri. Allah Ta’ala berfirman, وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا۟ عَن كَثِيرٍ “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Maksiat kita kepada Allah Ta’ala, selain tentunya mendatangkan malapetaka dan musibah, hal tersebut juga menyebabkan setidaknya dua hal buruk lainnya kepada diri kita. Yang pertama, menghalangi diri kita dari mendapatkan ilmu, menjadikan kita malas dan tidak bersemangat dalam menghafal dan menuntut ilmu. Suatu ketika, Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, شكوت إلى وكيع سوء حفظي            فأرشدني إلى ترك المعاصي وقال اعلم بأن العلم نور                        ونور الله لا يهدى لعاصي. “Aku mengadukan kepada Waki’ atas jeleknya hafalanku. Lalu, ia menasihatiku untuk meninggalkan maksiat. Dan mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat.” Yang kedua, maksiat menghalangi datangnya rezeki. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِ “Takwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa, maka dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat.” (Ad-Da’ wa Ad-Dawa’, hal. 85) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Saat Musibah Menimpa Saudara Kita Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Pada khotbah sebelumnya, kita ketahui bersama bahwa sebuah musibah dan ujian seringkali datang dikarenakan kemaksiatan dan dosa yang dilakukan seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Oleh karenanya, ketika seorang hamba sedang diberikan ujian, maka sudah sepantasnya baginya untuk bertobat dan beristigfar, memohon ampun kepada Allah Ta’ala, serta kembali kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan hikmah dari adanya ujian kepada umat manusia, وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ “Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (QS. Al-A’raf: 168) Allah Ta’ala juga berfirman, وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ  فَلَوْلا إِذْ جَاءَهُمْ بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلَكِنْ قَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka, mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan setan pun menghiasi (keburukan) apa yang selalu mereka kerjakan (sehingga mereka terlenakan).” (QS. Al-An’am: 42-43) Saat ujian itu datang, kembalilah dan ingatlah Allah Ta’ala, mohonlah ampunan atas dosa yang telah kita perbuat dan mintalah kemudahan dan jalan keluar atas ujian yang sedang kita hadapi tersebut. Adapun mereka yang tidak mau kembali dan memohon kepada Allah Ta’ala, maka Allah pun murka kepadanya dan setan pun akan memperdaya orang tersebut, menghiasi amal keburukan dan dosa mereka seakan-seakan itu merupakan hal yang baik dan dapat dibanggakan, hingga kemudian Allah turunkan kepadanya istidraj dan hukuman yang tiba-tiba kepadanya tanpa disadari. Di ayat selanjutnya, Allah berfirman, فَلَمَّا نَسُوا۟ مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوٓا۟ أَخَذْنَٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ “Maka, tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga, apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44) Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah dan taufik kepada kita untuk selalu beramal saleh dan meninggalkan kemaksiatan kepada-Nya, memberikan taufik kepada kita untuk bertobat dan beristigfar, baik di kala susah maupun senang. Semoga Allah Ta’ala mengangkat seluruh ujian, penyakit dan malapetaka yang menimpa kaum muslimin, memberikan mereka kesabaran dan pahala yang berlipat atas ujian yang mereka hadapi tersebut. Wabillahi At-Taufiq. اللَّهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَأَنْتَ تَجْعَلُ الحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً “Ya Allah, tidak ada kemudahan, kecuali yang Engkau buat mudah. Dan engkau menjadikan kesedihan (kesulitan), jika Engkau kehendaki, pasti akan menjadi mudah.” إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian. Marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh-Nya dan meninggalkan dosa dan kemaksiatan yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Dengan ketakwaan inilah, Allah akan memberikan hidayah dan taufik sehingga diri kita dapat membedakan kebaikan dan keburukan dan dijauhkan dari kesalahan dan dosa. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ ذُو ٱلْفَضْلِ ٱلْعَظِيمِ “Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu furqan (taufik untuk membedakan yang baik dan buruk). Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Anfal: 29) Jemaah yang dimuliakan Allah, musibah dan ujian silih berganti datang kepada seseorang, dan tidaklah musibah dan ujian tersebut terjadi di dunia ini ataupun di akhirat nanti, melainkan di antara sebabnya adalah dosa dan kemaksiatan orang tersebut kepada Allah Ta’ala. Renungilah wahai saudaraku sekalian, tidaklah Adam dan Hawa Allah turunkan dari surga, melainkan karena sebuah kemaksiatan. Tidaklah Iblis diusir oleh Allah dari langit dan surga, melainkan juga karena pembangkangan dan kemaksiatan yang dilakukannya terhadap Allah Ta’ala. Allah berfirman, قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِى مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُۥ مِن طِينٍ  قَالَ فَٱهْبِطْ مِنْهَا فَمَا يَكُونُ لَكَ أَن تَتَكَبَّرَ فِيهَا فَٱخْرُجْ إِنَّكَ مِنَ ٱلصَّٰغِرِينَ “Allah berfirman, ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” (Iblis) menjawab, ‘Saya lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan saya dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.’ Allah berfirman, ‘Turunlah kamu dari surga itu. Karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina.'” (QS. Al-A’raf: 12-13) Apa yang menimpa umat-umat terdahulu dari azab yang pedih. Dari kaum Nuh yang Allah tenggelamkan. Kaum Ad yang Allah luluh lantakkan dengan angin yang sangat dahsyat. Kaum Luth yang Allah balikkan bumi mereka, lalu Allah hujani dengan batuan panas dari neraka. Fir’aun dan bala tentaranya yang Allah tenggelamkan melalui perantara tongkat musa. Tidaklah semua itu terjadi, melainkan karena kemaksiatan dan ketidakpatuhan mereka terhadap perintah Allah Azza Wajalla. Mengenai kisah Nabi Musa dan Fir’aun, Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Quran surah Az-Zariyat, وَفِى مُوسَىٰٓ إِذْ أَرْسَلْنَٰهُ إِلَىٰ فِرْعَوْنَ بِسُلْطَٰنٍ مُّبِينٍ  فَتَوَلَّىٰ بِرُكْنِهِۦ وَقَالَ سَٰحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ  فَأَخَذْنَٰهُ وَجُنُودَهُۥ فَنَبَذْنَٰهُمْ فِى ٱلْيَمِّ وَهُوَ مُلِيمٌ “Dan juga pada Musa (terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah) ketika Kami mengutusnya kepada Fir’aun dengan membawa mukjizat yang nyata. Maka, dia (Fir’aun) berpaling (dari iman) bersama tentaranya dan berkata, ‘Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila.’ Maka, Kami siksa dia dan tentaranya lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut, sedang dia melakukan pekerjaan yang tercela.” (QS. Az-Zariyat: 38-40) Jemaah yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala, seperti itulah Allah Ta’ala silih berganti menimpakan malapetaka bagi mereka yang menyelisihi perintah-Nya dan bermaksiat kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنۢبِهِۦ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُم مَّنْ أَخَذَتْهُ ٱلصَّيْحَةُ وَمِنْهُم مَّنْ خَسَفْنَا بِهِ ٱلْأَرْضَ وَمِنْهُم مَّنْ أَغْرَقْنَا ۚ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَٰكِن كَانُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ “Maka, masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya. Maka, di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil. Dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur. Dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi. Dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan. Dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al-Ankabut: 40) Di ayat yang lainnya, Allah Ta’ala kembali menyampaikan bahwa seluruh musibah yang menimpa manusia, baik itu rasa sempit yang mereka rasakan, rasa sakit pada tubuh mereka, cobaan pada anak keturunan ataupun harta mereka, atau bahkan musibah yang menimpa negeri dan tempat tinggal mereka, maka semuanya disebabkan perbuatan yang dilakukan oleh diri mereka sendiri. Allah Ta’ala berfirman, وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا۟ عَن كَثِيرٍ “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Maksiat kita kepada Allah Ta’ala, selain tentunya mendatangkan malapetaka dan musibah, hal tersebut juga menyebabkan setidaknya dua hal buruk lainnya kepada diri kita. Yang pertama, menghalangi diri kita dari mendapatkan ilmu, menjadikan kita malas dan tidak bersemangat dalam menghafal dan menuntut ilmu. Suatu ketika, Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, شكوت إلى وكيع سوء حفظي            فأرشدني إلى ترك المعاصي وقال اعلم بأن العلم نور                        ونور الله لا يهدى لعاصي. “Aku mengadukan kepada Waki’ atas jeleknya hafalanku. Lalu, ia menasihatiku untuk meninggalkan maksiat. Dan mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat.” Yang kedua, maksiat menghalangi datangnya rezeki. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِ “Takwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa, maka dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat.” (Ad-Da’ wa Ad-Dawa’, hal. 85) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Saat Musibah Menimpa Saudara Kita Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Pada khotbah sebelumnya, kita ketahui bersama bahwa sebuah musibah dan ujian seringkali datang dikarenakan kemaksiatan dan dosa yang dilakukan seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Oleh karenanya, ketika seorang hamba sedang diberikan ujian, maka sudah sepantasnya baginya untuk bertobat dan beristigfar, memohon ampun kepada Allah Ta’ala, serta kembali kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan hikmah dari adanya ujian kepada umat manusia, وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ “Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (QS. Al-A’raf: 168) Allah Ta’ala juga berfirman, وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ  فَلَوْلا إِذْ جَاءَهُمْ بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلَكِنْ قَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka, mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan setan pun menghiasi (keburukan) apa yang selalu mereka kerjakan (sehingga mereka terlenakan).” (QS. Al-An’am: 42-43) Saat ujian itu datang, kembalilah dan ingatlah Allah Ta’ala, mohonlah ampunan atas dosa yang telah kita perbuat dan mintalah kemudahan dan jalan keluar atas ujian yang sedang kita hadapi tersebut. Adapun mereka yang tidak mau kembali dan memohon kepada Allah Ta’ala, maka Allah pun murka kepadanya dan setan pun akan memperdaya orang tersebut, menghiasi amal keburukan dan dosa mereka seakan-seakan itu merupakan hal yang baik dan dapat dibanggakan, hingga kemudian Allah turunkan kepadanya istidraj dan hukuman yang tiba-tiba kepadanya tanpa disadari. Di ayat selanjutnya, Allah berfirman, فَلَمَّا نَسُوا۟ مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوٓا۟ أَخَذْنَٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ “Maka, tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga, apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44) Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah dan taufik kepada kita untuk selalu beramal saleh dan meninggalkan kemaksiatan kepada-Nya, memberikan taufik kepada kita untuk bertobat dan beristigfar, baik di kala susah maupun senang. Semoga Allah Ta’ala mengangkat seluruh ujian, penyakit dan malapetaka yang menimpa kaum muslimin, memberikan mereka kesabaran dan pahala yang berlipat atas ujian yang mereka hadapi tersebut. Wabillahi At-Taufiq. اللَّهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَأَنْتَ تَجْعَلُ الحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً “Ya Allah, tidak ada kemudahan, kecuali yang Engkau buat mudah. Dan engkau menjadikan kesedihan (kesulitan), jika Engkau kehendaki, pasti akan menjadi mudah.” إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Hukum Berdoa kepada Allah di Sisi Makam Orang Saleh

Daftar Isi Toggle Kedudukan doa dalam akidah Islam dan penyimpangannyaBentuk-bentuk doa di kuburan orang saleh dan hukumnyaPendapat para ulamaPendapat yang rajihPertama: Doa adalah ibadahKedua: Usaha para sahabat melarang praktik doa di kuburanKetiga: Para ulama salaf membenci tindakan sengaja berdoa di kuburanKeempat: Mencegah fitnahKelima: Menutup pintu kesyirikanBantahan bagi yang membolehkan Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan sahabatnya. Doa merupakan ibadah agung yang mencerminkan ketergantungan seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Syariat mengatur adab dan tata cara berdoa agar seorang muslim dapat meraih keberkahan dan rida-Nya. Di antaranya adalah memilih tempat yang diberkahi. Tulisan ini akan mengulas tentang pentingnya doa, hukum, dan rincian berdoa di sisi makam orang saleh. Semoga Allah memberikan taufik-Nya bagi kita semua. Kedudukan doa dalam akidah Islam dan penyimpangannya Telah diketahui bahwa doa adalah salah satu ibadah terpenting yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya, dan Dia berjanji akan mengabulkannya sebagai karunia dan kemurahan-Nya. Rasulullah bersabda, لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ مِنَ الدُّعَاءِ “Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah daripada doa.” (HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, hal. 712, sahih) Beliau juga bersabda, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو لَيْسَ بِإِثْمٍ وَلَا بِقَطِيعَةِ رَحِمٍ، إِلَّا أَعْطَاهُ إِحْدَى ثَلَاثَ: إِمَّا أَنْ يُعَجِّلَ لَهُ دَعْوَتَهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَدْفَعَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا “Tidak ada seorang muslim pun yang berdoa, yang bukan berisi dosa dan memutuskan silaturahmi, melainkan Allah akan memberinya salah satu dari tiga hal: Allah akan segera mengabulkan doanya, atau Allah akan menyimpannya baginya di akhirat, atau Allah akan menghindarkan darinya keburukan semisalnya.” (HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, 710, sahih) Allah telah menetapkan adab-adab untuk doa. Di antaranya adalah memilih tempat-tempat yang mulia dan waktu-waktu yang utama, yang dianggap lebih dekat untuk dikabulkan dibandingkan selainnya. Di sisi lain, Allah juga menganjurkan doa secara umum tanpa dibatasi oleh waktu atau tempat tertentu. Akan tetapi, setan menghiasi sebagian orang untuk mengganti amalan yang disyariatkan dan baik ini dengan amalan bid’ah yang buruk. Mereka mengganti doa di masjid, di waktu sahur, dan saat sujud; dengan berdoa di kuburan, dengan menyangka bahwa doa di kuburan lebih mustajab. Hanya kepada Allahlah kita memohon taufik. [1] Bentuk-bentuk doa di kuburan orang saleh dan hukumnya Berdoa di kuburan seorang wali, nabi, atau tempat yang diyakini sebagai kuburan nabi atau wali (meskipun sebenarnya tidak demikian), memiliki tiga bentuk. Hukum masing-masing bentuk berbeda sesuai dengan perbedaannya: Bentuk Pertama: Berdoa di kuburan karena kebetulan atau tidak disengaja. Misalnya, seseorang berdoa kepada Allah saat sedang dalam perjalanan dan kebetulan melewati kuburan, atau seseorang yang berziarah untuk mengucapkan salam kepada penghuni kubur dan meminta keselamatan kepada Allah bagi dirinya dan mereka yang telah meninggal, sebagaimana yang diajarkan oleh sunah. Hukum berdoa dalam kondisi ini diperbolehkan. Hal ini karena doa tersebut terjadi secara kebetulan dan sebagai bagian dari ziarah, bukan karena sengaja memilih tempat tersebut. Pendapat ini didukung oleh hadis-hadis yang menganjurkan mengucapkan salam kepada penghuni kubur. Bentuk Kedua: Berziarah ke kuburan dengan sengaja dan memilih tempat tersebut hanya untuk berdoa, dengan keyakinan bahwa doa di tempat tersebut lebih mustajab, bahwa tempat tersebut memiliki keistimewaan khusus dalam pengabulan doa, dan bahwa doa di sana lebih utama dibandingkan doa di masjid atau rumah. Bentuk Ketiga: Berziarah ke kuburan dengan tujuan mendoakan orang yang dikuburkan di sana, sekaligus berdoa di tempat tersebut dengan keyakinan sebagaimana yang telah disebutkan di atas. [2] Bentuk kedua dan ketiga inilah yang akan kita bahas dalam pembahasan selanjutnya. Baca juga: Apakah Tidak Menziarahi Kuburan Kedua Orang Tua Termasuk Kedurhakaan? Pendapat para ulama Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum doa seseorang untuk dirinya sendiri di kuburan (yaitu, pada bentuk pertama dan kedua). Ada yang memperbolehkannya (menilai hukumnya adalah boleh) dan ada pula yang melarangnya (menilai hukumnya adalah haram). Di antara argumen terkuat dari ulama yang membolehkannya adalah adanya riwayat-riwayat dari sebagian imam dan ulama kaum muslimin yang mempraktikkannya. [3] Sedangkan para ulama yang melarangnya, di antara argumennya adalah, أن الزيارة على هذه الوجوه كلها مبتدعة لم يشرعها النبي صلى الله عليه وسلم ولا فعلها الصحابة لا عند قبر النبي صلى الله عليه وسلم ولا عند غيره وهي من جنس الشرك وأسباب الشرك “Ziarah dengan cara seperti ini semuanya adalah bid’ah, yang tidak disyariatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak dilakukan oleh para sahabat, baik di kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maupun di kubur selainnya. Hal ini termasuk dalam jenis syirik dan sebab-sebab syirik.” [4] Pendapat yang rajih Pendapat yang rajih dalam permasalahan ini (yaitu, sengaja berdoa untuk diri sendiri di kuburan) adalah bahwasanya perkara tersebut merupakan bid’ah yang diharamkan. Hal-hal yang menguatkan pendapat tersebut adalah sebagai berikut: Pertama: Doa adalah ibadah Doa merupakan ibadah mulia yang harus dilakukan dengan ikhlas dan mengikuti tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak ada satu pun dalil, baik dari Al-Qur’an maupun hadis sahih, yang menunjukkan bahwa kuburan adalah tempat yang dianjurkan untuk berdoa. Para ulama salaf pun tidak pernah mengajarkan atau mempraktikkan hal tersebut. Kedua: Usaha para sahabat melarang praktik doa di kuburan Para sahabat Nabi telah memberikan contoh nyata dalam melarang praktik berdoa di kuburan. Mereka menutup kuburan yang sering diziarahi untuk berdoa, tidak menjadikan makam para nabi sebagai tempat khusus untuk berdoa, dan bahkan mengubur Nabi Daniel secara rahasia di salah satu dari tiga belas liang lahat agar makamnya tidak diketahui dan diziarahi. Ketiga: Para ulama salaf membenci tindakan sengaja berdoa di kuburan Para ulama salaf, seperti Zainal Abidin dan Al-Hasan bin Al-Hasan, dengan tegas melarang umat Islam untuk menjadikan makam Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai tempat berdoa. Beliau bersabda, لا تجعلوا قبري عيدًا ، ولا تجعلوا بيوتَكم قبورًا ، وصلوا عليَّ وسلِّمُوا حيثُما كنتم ، فسيبلُغُنِي سلامُكم وصلاتُكم “Jangan jadikan kuburanku sebagai Id, dan jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan, berselawatlah kepadaku karena selawat kalian akan sampai kepadaku di mana pun engkau berada.” (HR. Abu Dawud no. 2042, dan disahihkan oleh Al-Albani) Keempat: Mencegah fitnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melarang salat di kuburan atau menghadap ke arahnya untuk mencegah fitnah. Dengan demikian, maka larangan berdoa di kuburan, tentu lebih dilarang lagi, karena peluang untuk menimbulkan fitnah lebih besar, seperti meminta-minta kepada penghuni kubur. Kelima: Menutup pintu kesyirikan Berdoa di kuburan dikhawatirkan dapat mengantarkan seseorang pada kesyirikan, yaitu memohon kepada selain Allah. Oleh karena itu, pintu yang mengarah kepada kesyirikan tersebut harus ditutup rapat-rapat. [5] Bantahan bagi yang membolehkan Dari pembahasan-pembahasan sebelumnya, sebenarnya sudah jelas terkandung bantahan secara umum bagi pendapat yang membolehkan. Di mana poin utamanya adalah bahwasanya hal tersebut merupakan bid’ah, yang tidak disyariatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak dilakukan oleh para sahabat. Bahkan, sebagian salaf mengingkari hal tersebut. Di antara contoh “dalil” yang mereka gunakan untuk mendukung pendapat bolehnya berdoa di sisi kuburan orang saleh adalah hikayat tawasul Imam Syafi’i dengan Imam Abu Hanifah rahimahumallah. Diriwayatkan dari Umar bin Ishaq bin Ibrahim, ia berkata, Ali bin Maimun menyampaikan, “Aku mendengar Imam Syafi’i berkata, ‘Aku mencari keberkahan melalui Abu Hanifah, dan aku mendatangi kuburannya setiap hari (yakni, untuk berziarah). Jika aku memiliki kebutuhan, aku salat dua rakaat, lalu mendatangi kuburannya, dan aku memohon kepada Allah kebutuhan tersebut di sisinya, maka tidak lama kemudian kebutuhan itu terpenuhi.’” (Tārīkh Baghdād, 1: 123) Jawaban terhadap “dalil” tersebut adalah: Kelemahan sanad Sanad kisah ini lemah dan tidak sahih seperti yang diklaim oleh sebagian orang. Dalam sanadnya terdapat Umar bin Ishaq bin Ibrahim, yang tidak dikenal. Kekeliruan dari segi makna Dari sisi makna, kebohongan kisah ini tampak jelas. Menurut Syekh Islam Ibn Taimiyyah, kisah ini adalah dusta yang diketahui dengan pasti oleh orang yang memahami riwayat. Ketika Imam Syafi’i datang ke Baghdad, di sana belum ada satu pun kuburan yang biasa dikunjungi untuk berdoa. Bahkan, pada masa Imam Syafi’i, kebiasaan semacam itu tidak dikenal. Imam Syafi’i telah melihat banyak kuburan para nabi, sahabat, dan tabi’in di Hijaz, Yaman, Syam, Irak, dan Mesir. Orang-orang yang dimakamkan di sana, menurut Imam Syafi’i dan kaum muslimin, lebih utama daripada Abu Hanifah dan ulama sejenisnya. Namun, mengapa ia justru hanya mendatangi kuburan Abu Hanifah? Praktik murid Abu Hanifah Para murid sekaligus sahabat Imam Abu Hanifah, seperti Abu Yusuf dan Muhammad, yang hidup sezaman dengannya, tidak pernah melakukan doa khusus di kuburan Abu Hanifah atau lainnya. Pandangan Imam Syafi’i tentang kuburan Dalam kitab-kitab Imam Syafi’i yang sahih, ia telah menetapkan kebenciannya terhadap pengagungan kuburan manusia karena khawatir menimbulkan fitnah. Ketidakmasukakalan kisah Klaim bahwa Imam Syafi’i mendatangi kuburan Abu Hanifah setiap hari adalah bentuk berlebihan yang nyata. Tidak masuk akal jika Imam Syafi’i tidak memiliki kegiatan lain, kecuali berulang kali mengunjungi makam tersebut setiap hari. [6] Semoga Allah Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk beribadah sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menjaga tauhid kita dari segala bentuk penyimpangan. Baca juga: Sujud dan Thawaf di Kuburan, Apakah Kafir? *** Rumdin PPIA Sragen, 5 Rajab 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Al-‘Arusi, Abu Abdurrahman Jailan bin Khidr. Ad-Du’a wa Manzilatuhu min Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah. Cetakan Pertama. Riyadh: Maktabah Ar-Rusyd dan Syarikah Ar-Riyadh, 1417 H/1996 M. 2 jilid. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (27 Zulkaidah 1444 H), sesuai dengan nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] Lihat Ad-Du’a wa Manzilatuhu min Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, 2: 604-605. [2] Ibid, 2: 622-623. [3] https://www.dar-alifta.org/ar/fatawa/17157/ [4] Majmu’ Al-Fatawa, 1: 166; Lihat juga Ma’arij Al-Qabul bi Syarh Sullam Al-Wushul, 2: 518; Majmu’ Fatawa wa Rasail Al-‘Utsaimin, 2: 309-310. [5] Diringkas dengan sedikit tambahah, dari tulisan guru kami, Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA. di tautan berikut ini: https://almanhaj.or.id/69740-hukum-berdoa-di-kuburan.html [6] Ad-Du’a wa Manzilatuhu min Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, 2: 836.

Hukum Berdoa kepada Allah di Sisi Makam Orang Saleh

Daftar Isi Toggle Kedudukan doa dalam akidah Islam dan penyimpangannyaBentuk-bentuk doa di kuburan orang saleh dan hukumnyaPendapat para ulamaPendapat yang rajihPertama: Doa adalah ibadahKedua: Usaha para sahabat melarang praktik doa di kuburanKetiga: Para ulama salaf membenci tindakan sengaja berdoa di kuburanKeempat: Mencegah fitnahKelima: Menutup pintu kesyirikanBantahan bagi yang membolehkan Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan sahabatnya. Doa merupakan ibadah agung yang mencerminkan ketergantungan seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Syariat mengatur adab dan tata cara berdoa agar seorang muslim dapat meraih keberkahan dan rida-Nya. Di antaranya adalah memilih tempat yang diberkahi. Tulisan ini akan mengulas tentang pentingnya doa, hukum, dan rincian berdoa di sisi makam orang saleh. Semoga Allah memberikan taufik-Nya bagi kita semua. Kedudukan doa dalam akidah Islam dan penyimpangannya Telah diketahui bahwa doa adalah salah satu ibadah terpenting yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya, dan Dia berjanji akan mengabulkannya sebagai karunia dan kemurahan-Nya. Rasulullah bersabda, لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ مِنَ الدُّعَاءِ “Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah daripada doa.” (HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, hal. 712, sahih) Beliau juga bersabda, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو لَيْسَ بِإِثْمٍ وَلَا بِقَطِيعَةِ رَحِمٍ، إِلَّا أَعْطَاهُ إِحْدَى ثَلَاثَ: إِمَّا أَنْ يُعَجِّلَ لَهُ دَعْوَتَهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَدْفَعَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا “Tidak ada seorang muslim pun yang berdoa, yang bukan berisi dosa dan memutuskan silaturahmi, melainkan Allah akan memberinya salah satu dari tiga hal: Allah akan segera mengabulkan doanya, atau Allah akan menyimpannya baginya di akhirat, atau Allah akan menghindarkan darinya keburukan semisalnya.” (HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, 710, sahih) Allah telah menetapkan adab-adab untuk doa. Di antaranya adalah memilih tempat-tempat yang mulia dan waktu-waktu yang utama, yang dianggap lebih dekat untuk dikabulkan dibandingkan selainnya. Di sisi lain, Allah juga menganjurkan doa secara umum tanpa dibatasi oleh waktu atau tempat tertentu. Akan tetapi, setan menghiasi sebagian orang untuk mengganti amalan yang disyariatkan dan baik ini dengan amalan bid’ah yang buruk. Mereka mengganti doa di masjid, di waktu sahur, dan saat sujud; dengan berdoa di kuburan, dengan menyangka bahwa doa di kuburan lebih mustajab. Hanya kepada Allahlah kita memohon taufik. [1] Bentuk-bentuk doa di kuburan orang saleh dan hukumnya Berdoa di kuburan seorang wali, nabi, atau tempat yang diyakini sebagai kuburan nabi atau wali (meskipun sebenarnya tidak demikian), memiliki tiga bentuk. Hukum masing-masing bentuk berbeda sesuai dengan perbedaannya: Bentuk Pertama: Berdoa di kuburan karena kebetulan atau tidak disengaja. Misalnya, seseorang berdoa kepada Allah saat sedang dalam perjalanan dan kebetulan melewati kuburan, atau seseorang yang berziarah untuk mengucapkan salam kepada penghuni kubur dan meminta keselamatan kepada Allah bagi dirinya dan mereka yang telah meninggal, sebagaimana yang diajarkan oleh sunah. Hukum berdoa dalam kondisi ini diperbolehkan. Hal ini karena doa tersebut terjadi secara kebetulan dan sebagai bagian dari ziarah, bukan karena sengaja memilih tempat tersebut. Pendapat ini didukung oleh hadis-hadis yang menganjurkan mengucapkan salam kepada penghuni kubur. Bentuk Kedua: Berziarah ke kuburan dengan sengaja dan memilih tempat tersebut hanya untuk berdoa, dengan keyakinan bahwa doa di tempat tersebut lebih mustajab, bahwa tempat tersebut memiliki keistimewaan khusus dalam pengabulan doa, dan bahwa doa di sana lebih utama dibandingkan doa di masjid atau rumah. Bentuk Ketiga: Berziarah ke kuburan dengan tujuan mendoakan orang yang dikuburkan di sana, sekaligus berdoa di tempat tersebut dengan keyakinan sebagaimana yang telah disebutkan di atas. [2] Bentuk kedua dan ketiga inilah yang akan kita bahas dalam pembahasan selanjutnya. Baca juga: Apakah Tidak Menziarahi Kuburan Kedua Orang Tua Termasuk Kedurhakaan? Pendapat para ulama Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum doa seseorang untuk dirinya sendiri di kuburan (yaitu, pada bentuk pertama dan kedua). Ada yang memperbolehkannya (menilai hukumnya adalah boleh) dan ada pula yang melarangnya (menilai hukumnya adalah haram). Di antara argumen terkuat dari ulama yang membolehkannya adalah adanya riwayat-riwayat dari sebagian imam dan ulama kaum muslimin yang mempraktikkannya. [3] Sedangkan para ulama yang melarangnya, di antara argumennya adalah, أن الزيارة على هذه الوجوه كلها مبتدعة لم يشرعها النبي صلى الله عليه وسلم ولا فعلها الصحابة لا عند قبر النبي صلى الله عليه وسلم ولا عند غيره وهي من جنس الشرك وأسباب الشرك “Ziarah dengan cara seperti ini semuanya adalah bid’ah, yang tidak disyariatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak dilakukan oleh para sahabat, baik di kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maupun di kubur selainnya. Hal ini termasuk dalam jenis syirik dan sebab-sebab syirik.” [4] Pendapat yang rajih Pendapat yang rajih dalam permasalahan ini (yaitu, sengaja berdoa untuk diri sendiri di kuburan) adalah bahwasanya perkara tersebut merupakan bid’ah yang diharamkan. Hal-hal yang menguatkan pendapat tersebut adalah sebagai berikut: Pertama: Doa adalah ibadah Doa merupakan ibadah mulia yang harus dilakukan dengan ikhlas dan mengikuti tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak ada satu pun dalil, baik dari Al-Qur’an maupun hadis sahih, yang menunjukkan bahwa kuburan adalah tempat yang dianjurkan untuk berdoa. Para ulama salaf pun tidak pernah mengajarkan atau mempraktikkan hal tersebut. Kedua: Usaha para sahabat melarang praktik doa di kuburan Para sahabat Nabi telah memberikan contoh nyata dalam melarang praktik berdoa di kuburan. Mereka menutup kuburan yang sering diziarahi untuk berdoa, tidak menjadikan makam para nabi sebagai tempat khusus untuk berdoa, dan bahkan mengubur Nabi Daniel secara rahasia di salah satu dari tiga belas liang lahat agar makamnya tidak diketahui dan diziarahi. Ketiga: Para ulama salaf membenci tindakan sengaja berdoa di kuburan Para ulama salaf, seperti Zainal Abidin dan Al-Hasan bin Al-Hasan, dengan tegas melarang umat Islam untuk menjadikan makam Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai tempat berdoa. Beliau bersabda, لا تجعلوا قبري عيدًا ، ولا تجعلوا بيوتَكم قبورًا ، وصلوا عليَّ وسلِّمُوا حيثُما كنتم ، فسيبلُغُنِي سلامُكم وصلاتُكم “Jangan jadikan kuburanku sebagai Id, dan jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan, berselawatlah kepadaku karena selawat kalian akan sampai kepadaku di mana pun engkau berada.” (HR. Abu Dawud no. 2042, dan disahihkan oleh Al-Albani) Keempat: Mencegah fitnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melarang salat di kuburan atau menghadap ke arahnya untuk mencegah fitnah. Dengan demikian, maka larangan berdoa di kuburan, tentu lebih dilarang lagi, karena peluang untuk menimbulkan fitnah lebih besar, seperti meminta-minta kepada penghuni kubur. Kelima: Menutup pintu kesyirikan Berdoa di kuburan dikhawatirkan dapat mengantarkan seseorang pada kesyirikan, yaitu memohon kepada selain Allah. Oleh karena itu, pintu yang mengarah kepada kesyirikan tersebut harus ditutup rapat-rapat. [5] Bantahan bagi yang membolehkan Dari pembahasan-pembahasan sebelumnya, sebenarnya sudah jelas terkandung bantahan secara umum bagi pendapat yang membolehkan. Di mana poin utamanya adalah bahwasanya hal tersebut merupakan bid’ah, yang tidak disyariatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak dilakukan oleh para sahabat. Bahkan, sebagian salaf mengingkari hal tersebut. Di antara contoh “dalil” yang mereka gunakan untuk mendukung pendapat bolehnya berdoa di sisi kuburan orang saleh adalah hikayat tawasul Imam Syafi’i dengan Imam Abu Hanifah rahimahumallah. Diriwayatkan dari Umar bin Ishaq bin Ibrahim, ia berkata, Ali bin Maimun menyampaikan, “Aku mendengar Imam Syafi’i berkata, ‘Aku mencari keberkahan melalui Abu Hanifah, dan aku mendatangi kuburannya setiap hari (yakni, untuk berziarah). Jika aku memiliki kebutuhan, aku salat dua rakaat, lalu mendatangi kuburannya, dan aku memohon kepada Allah kebutuhan tersebut di sisinya, maka tidak lama kemudian kebutuhan itu terpenuhi.’” (Tārīkh Baghdād, 1: 123) Jawaban terhadap “dalil” tersebut adalah: Kelemahan sanad Sanad kisah ini lemah dan tidak sahih seperti yang diklaim oleh sebagian orang. Dalam sanadnya terdapat Umar bin Ishaq bin Ibrahim, yang tidak dikenal. Kekeliruan dari segi makna Dari sisi makna, kebohongan kisah ini tampak jelas. Menurut Syekh Islam Ibn Taimiyyah, kisah ini adalah dusta yang diketahui dengan pasti oleh orang yang memahami riwayat. Ketika Imam Syafi’i datang ke Baghdad, di sana belum ada satu pun kuburan yang biasa dikunjungi untuk berdoa. Bahkan, pada masa Imam Syafi’i, kebiasaan semacam itu tidak dikenal. Imam Syafi’i telah melihat banyak kuburan para nabi, sahabat, dan tabi’in di Hijaz, Yaman, Syam, Irak, dan Mesir. Orang-orang yang dimakamkan di sana, menurut Imam Syafi’i dan kaum muslimin, lebih utama daripada Abu Hanifah dan ulama sejenisnya. Namun, mengapa ia justru hanya mendatangi kuburan Abu Hanifah? Praktik murid Abu Hanifah Para murid sekaligus sahabat Imam Abu Hanifah, seperti Abu Yusuf dan Muhammad, yang hidup sezaman dengannya, tidak pernah melakukan doa khusus di kuburan Abu Hanifah atau lainnya. Pandangan Imam Syafi’i tentang kuburan Dalam kitab-kitab Imam Syafi’i yang sahih, ia telah menetapkan kebenciannya terhadap pengagungan kuburan manusia karena khawatir menimbulkan fitnah. Ketidakmasukakalan kisah Klaim bahwa Imam Syafi’i mendatangi kuburan Abu Hanifah setiap hari adalah bentuk berlebihan yang nyata. Tidak masuk akal jika Imam Syafi’i tidak memiliki kegiatan lain, kecuali berulang kali mengunjungi makam tersebut setiap hari. [6] Semoga Allah Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk beribadah sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menjaga tauhid kita dari segala bentuk penyimpangan. Baca juga: Sujud dan Thawaf di Kuburan, Apakah Kafir? *** Rumdin PPIA Sragen, 5 Rajab 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Al-‘Arusi, Abu Abdurrahman Jailan bin Khidr. Ad-Du’a wa Manzilatuhu min Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah. Cetakan Pertama. Riyadh: Maktabah Ar-Rusyd dan Syarikah Ar-Riyadh, 1417 H/1996 M. 2 jilid. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (27 Zulkaidah 1444 H), sesuai dengan nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] Lihat Ad-Du’a wa Manzilatuhu min Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, 2: 604-605. [2] Ibid, 2: 622-623. [3] https://www.dar-alifta.org/ar/fatawa/17157/ [4] Majmu’ Al-Fatawa, 1: 166; Lihat juga Ma’arij Al-Qabul bi Syarh Sullam Al-Wushul, 2: 518; Majmu’ Fatawa wa Rasail Al-‘Utsaimin, 2: 309-310. [5] Diringkas dengan sedikit tambahah, dari tulisan guru kami, Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA. di tautan berikut ini: https://almanhaj.or.id/69740-hukum-berdoa-di-kuburan.html [6] Ad-Du’a wa Manzilatuhu min Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, 2: 836.
Daftar Isi Toggle Kedudukan doa dalam akidah Islam dan penyimpangannyaBentuk-bentuk doa di kuburan orang saleh dan hukumnyaPendapat para ulamaPendapat yang rajihPertama: Doa adalah ibadahKedua: Usaha para sahabat melarang praktik doa di kuburanKetiga: Para ulama salaf membenci tindakan sengaja berdoa di kuburanKeempat: Mencegah fitnahKelima: Menutup pintu kesyirikanBantahan bagi yang membolehkan Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan sahabatnya. Doa merupakan ibadah agung yang mencerminkan ketergantungan seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Syariat mengatur adab dan tata cara berdoa agar seorang muslim dapat meraih keberkahan dan rida-Nya. Di antaranya adalah memilih tempat yang diberkahi. Tulisan ini akan mengulas tentang pentingnya doa, hukum, dan rincian berdoa di sisi makam orang saleh. Semoga Allah memberikan taufik-Nya bagi kita semua. Kedudukan doa dalam akidah Islam dan penyimpangannya Telah diketahui bahwa doa adalah salah satu ibadah terpenting yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya, dan Dia berjanji akan mengabulkannya sebagai karunia dan kemurahan-Nya. Rasulullah bersabda, لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ مِنَ الدُّعَاءِ “Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah daripada doa.” (HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, hal. 712, sahih) Beliau juga bersabda, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو لَيْسَ بِإِثْمٍ وَلَا بِقَطِيعَةِ رَحِمٍ، إِلَّا أَعْطَاهُ إِحْدَى ثَلَاثَ: إِمَّا أَنْ يُعَجِّلَ لَهُ دَعْوَتَهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَدْفَعَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا “Tidak ada seorang muslim pun yang berdoa, yang bukan berisi dosa dan memutuskan silaturahmi, melainkan Allah akan memberinya salah satu dari tiga hal: Allah akan segera mengabulkan doanya, atau Allah akan menyimpannya baginya di akhirat, atau Allah akan menghindarkan darinya keburukan semisalnya.” (HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, 710, sahih) Allah telah menetapkan adab-adab untuk doa. Di antaranya adalah memilih tempat-tempat yang mulia dan waktu-waktu yang utama, yang dianggap lebih dekat untuk dikabulkan dibandingkan selainnya. Di sisi lain, Allah juga menganjurkan doa secara umum tanpa dibatasi oleh waktu atau tempat tertentu. Akan tetapi, setan menghiasi sebagian orang untuk mengganti amalan yang disyariatkan dan baik ini dengan amalan bid’ah yang buruk. Mereka mengganti doa di masjid, di waktu sahur, dan saat sujud; dengan berdoa di kuburan, dengan menyangka bahwa doa di kuburan lebih mustajab. Hanya kepada Allahlah kita memohon taufik. [1] Bentuk-bentuk doa di kuburan orang saleh dan hukumnya Berdoa di kuburan seorang wali, nabi, atau tempat yang diyakini sebagai kuburan nabi atau wali (meskipun sebenarnya tidak demikian), memiliki tiga bentuk. Hukum masing-masing bentuk berbeda sesuai dengan perbedaannya: Bentuk Pertama: Berdoa di kuburan karena kebetulan atau tidak disengaja. Misalnya, seseorang berdoa kepada Allah saat sedang dalam perjalanan dan kebetulan melewati kuburan, atau seseorang yang berziarah untuk mengucapkan salam kepada penghuni kubur dan meminta keselamatan kepada Allah bagi dirinya dan mereka yang telah meninggal, sebagaimana yang diajarkan oleh sunah. Hukum berdoa dalam kondisi ini diperbolehkan. Hal ini karena doa tersebut terjadi secara kebetulan dan sebagai bagian dari ziarah, bukan karena sengaja memilih tempat tersebut. Pendapat ini didukung oleh hadis-hadis yang menganjurkan mengucapkan salam kepada penghuni kubur. Bentuk Kedua: Berziarah ke kuburan dengan sengaja dan memilih tempat tersebut hanya untuk berdoa, dengan keyakinan bahwa doa di tempat tersebut lebih mustajab, bahwa tempat tersebut memiliki keistimewaan khusus dalam pengabulan doa, dan bahwa doa di sana lebih utama dibandingkan doa di masjid atau rumah. Bentuk Ketiga: Berziarah ke kuburan dengan tujuan mendoakan orang yang dikuburkan di sana, sekaligus berdoa di tempat tersebut dengan keyakinan sebagaimana yang telah disebutkan di atas. [2] Bentuk kedua dan ketiga inilah yang akan kita bahas dalam pembahasan selanjutnya. Baca juga: Apakah Tidak Menziarahi Kuburan Kedua Orang Tua Termasuk Kedurhakaan? Pendapat para ulama Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum doa seseorang untuk dirinya sendiri di kuburan (yaitu, pada bentuk pertama dan kedua). Ada yang memperbolehkannya (menilai hukumnya adalah boleh) dan ada pula yang melarangnya (menilai hukumnya adalah haram). Di antara argumen terkuat dari ulama yang membolehkannya adalah adanya riwayat-riwayat dari sebagian imam dan ulama kaum muslimin yang mempraktikkannya. [3] Sedangkan para ulama yang melarangnya, di antara argumennya adalah, أن الزيارة على هذه الوجوه كلها مبتدعة لم يشرعها النبي صلى الله عليه وسلم ولا فعلها الصحابة لا عند قبر النبي صلى الله عليه وسلم ولا عند غيره وهي من جنس الشرك وأسباب الشرك “Ziarah dengan cara seperti ini semuanya adalah bid’ah, yang tidak disyariatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak dilakukan oleh para sahabat, baik di kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maupun di kubur selainnya. Hal ini termasuk dalam jenis syirik dan sebab-sebab syirik.” [4] Pendapat yang rajih Pendapat yang rajih dalam permasalahan ini (yaitu, sengaja berdoa untuk diri sendiri di kuburan) adalah bahwasanya perkara tersebut merupakan bid’ah yang diharamkan. Hal-hal yang menguatkan pendapat tersebut adalah sebagai berikut: Pertama: Doa adalah ibadah Doa merupakan ibadah mulia yang harus dilakukan dengan ikhlas dan mengikuti tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak ada satu pun dalil, baik dari Al-Qur’an maupun hadis sahih, yang menunjukkan bahwa kuburan adalah tempat yang dianjurkan untuk berdoa. Para ulama salaf pun tidak pernah mengajarkan atau mempraktikkan hal tersebut. Kedua: Usaha para sahabat melarang praktik doa di kuburan Para sahabat Nabi telah memberikan contoh nyata dalam melarang praktik berdoa di kuburan. Mereka menutup kuburan yang sering diziarahi untuk berdoa, tidak menjadikan makam para nabi sebagai tempat khusus untuk berdoa, dan bahkan mengubur Nabi Daniel secara rahasia di salah satu dari tiga belas liang lahat agar makamnya tidak diketahui dan diziarahi. Ketiga: Para ulama salaf membenci tindakan sengaja berdoa di kuburan Para ulama salaf, seperti Zainal Abidin dan Al-Hasan bin Al-Hasan, dengan tegas melarang umat Islam untuk menjadikan makam Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai tempat berdoa. Beliau bersabda, لا تجعلوا قبري عيدًا ، ولا تجعلوا بيوتَكم قبورًا ، وصلوا عليَّ وسلِّمُوا حيثُما كنتم ، فسيبلُغُنِي سلامُكم وصلاتُكم “Jangan jadikan kuburanku sebagai Id, dan jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan, berselawatlah kepadaku karena selawat kalian akan sampai kepadaku di mana pun engkau berada.” (HR. Abu Dawud no. 2042, dan disahihkan oleh Al-Albani) Keempat: Mencegah fitnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melarang salat di kuburan atau menghadap ke arahnya untuk mencegah fitnah. Dengan demikian, maka larangan berdoa di kuburan, tentu lebih dilarang lagi, karena peluang untuk menimbulkan fitnah lebih besar, seperti meminta-minta kepada penghuni kubur. Kelima: Menutup pintu kesyirikan Berdoa di kuburan dikhawatirkan dapat mengantarkan seseorang pada kesyirikan, yaitu memohon kepada selain Allah. Oleh karena itu, pintu yang mengarah kepada kesyirikan tersebut harus ditutup rapat-rapat. [5] Bantahan bagi yang membolehkan Dari pembahasan-pembahasan sebelumnya, sebenarnya sudah jelas terkandung bantahan secara umum bagi pendapat yang membolehkan. Di mana poin utamanya adalah bahwasanya hal tersebut merupakan bid’ah, yang tidak disyariatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak dilakukan oleh para sahabat. Bahkan, sebagian salaf mengingkari hal tersebut. Di antara contoh “dalil” yang mereka gunakan untuk mendukung pendapat bolehnya berdoa di sisi kuburan orang saleh adalah hikayat tawasul Imam Syafi’i dengan Imam Abu Hanifah rahimahumallah. Diriwayatkan dari Umar bin Ishaq bin Ibrahim, ia berkata, Ali bin Maimun menyampaikan, “Aku mendengar Imam Syafi’i berkata, ‘Aku mencari keberkahan melalui Abu Hanifah, dan aku mendatangi kuburannya setiap hari (yakni, untuk berziarah). Jika aku memiliki kebutuhan, aku salat dua rakaat, lalu mendatangi kuburannya, dan aku memohon kepada Allah kebutuhan tersebut di sisinya, maka tidak lama kemudian kebutuhan itu terpenuhi.’” (Tārīkh Baghdād, 1: 123) Jawaban terhadap “dalil” tersebut adalah: Kelemahan sanad Sanad kisah ini lemah dan tidak sahih seperti yang diklaim oleh sebagian orang. Dalam sanadnya terdapat Umar bin Ishaq bin Ibrahim, yang tidak dikenal. Kekeliruan dari segi makna Dari sisi makna, kebohongan kisah ini tampak jelas. Menurut Syekh Islam Ibn Taimiyyah, kisah ini adalah dusta yang diketahui dengan pasti oleh orang yang memahami riwayat. Ketika Imam Syafi’i datang ke Baghdad, di sana belum ada satu pun kuburan yang biasa dikunjungi untuk berdoa. Bahkan, pada masa Imam Syafi’i, kebiasaan semacam itu tidak dikenal. Imam Syafi’i telah melihat banyak kuburan para nabi, sahabat, dan tabi’in di Hijaz, Yaman, Syam, Irak, dan Mesir. Orang-orang yang dimakamkan di sana, menurut Imam Syafi’i dan kaum muslimin, lebih utama daripada Abu Hanifah dan ulama sejenisnya. Namun, mengapa ia justru hanya mendatangi kuburan Abu Hanifah? Praktik murid Abu Hanifah Para murid sekaligus sahabat Imam Abu Hanifah, seperti Abu Yusuf dan Muhammad, yang hidup sezaman dengannya, tidak pernah melakukan doa khusus di kuburan Abu Hanifah atau lainnya. Pandangan Imam Syafi’i tentang kuburan Dalam kitab-kitab Imam Syafi’i yang sahih, ia telah menetapkan kebenciannya terhadap pengagungan kuburan manusia karena khawatir menimbulkan fitnah. Ketidakmasukakalan kisah Klaim bahwa Imam Syafi’i mendatangi kuburan Abu Hanifah setiap hari adalah bentuk berlebihan yang nyata. Tidak masuk akal jika Imam Syafi’i tidak memiliki kegiatan lain, kecuali berulang kali mengunjungi makam tersebut setiap hari. [6] Semoga Allah Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk beribadah sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menjaga tauhid kita dari segala bentuk penyimpangan. Baca juga: Sujud dan Thawaf di Kuburan, Apakah Kafir? *** Rumdin PPIA Sragen, 5 Rajab 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Al-‘Arusi, Abu Abdurrahman Jailan bin Khidr. Ad-Du’a wa Manzilatuhu min Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah. Cetakan Pertama. Riyadh: Maktabah Ar-Rusyd dan Syarikah Ar-Riyadh, 1417 H/1996 M. 2 jilid. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (27 Zulkaidah 1444 H), sesuai dengan nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] Lihat Ad-Du’a wa Manzilatuhu min Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, 2: 604-605. [2] Ibid, 2: 622-623. [3] https://www.dar-alifta.org/ar/fatawa/17157/ [4] Majmu’ Al-Fatawa, 1: 166; Lihat juga Ma’arij Al-Qabul bi Syarh Sullam Al-Wushul, 2: 518; Majmu’ Fatawa wa Rasail Al-‘Utsaimin, 2: 309-310. [5] Diringkas dengan sedikit tambahah, dari tulisan guru kami, Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA. di tautan berikut ini: https://almanhaj.or.id/69740-hukum-berdoa-di-kuburan.html [6] Ad-Du’a wa Manzilatuhu min Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, 2: 836.


Daftar Isi Toggle Kedudukan doa dalam akidah Islam dan penyimpangannyaBentuk-bentuk doa di kuburan orang saleh dan hukumnyaPendapat para ulamaPendapat yang rajihPertama: Doa adalah ibadahKedua: Usaha para sahabat melarang praktik doa di kuburanKetiga: Para ulama salaf membenci tindakan sengaja berdoa di kuburanKeempat: Mencegah fitnahKelima: Menutup pintu kesyirikanBantahan bagi yang membolehkan Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan sahabatnya. Doa merupakan ibadah agung yang mencerminkan ketergantungan seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Syariat mengatur adab dan tata cara berdoa agar seorang muslim dapat meraih keberkahan dan rida-Nya. Di antaranya adalah memilih tempat yang diberkahi. Tulisan ini akan mengulas tentang pentingnya doa, hukum, dan rincian berdoa di sisi makam orang saleh. Semoga Allah memberikan taufik-Nya bagi kita semua. Kedudukan doa dalam akidah Islam dan penyimpangannya Telah diketahui bahwa doa adalah salah satu ibadah terpenting yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya, dan Dia berjanji akan mengabulkannya sebagai karunia dan kemurahan-Nya. Rasulullah bersabda, لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ مِنَ الدُّعَاءِ “Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah daripada doa.” (HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, hal. 712, sahih) Beliau juga bersabda, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو لَيْسَ بِإِثْمٍ وَلَا بِقَطِيعَةِ رَحِمٍ، إِلَّا أَعْطَاهُ إِحْدَى ثَلَاثَ: إِمَّا أَنْ يُعَجِّلَ لَهُ دَعْوَتَهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَدْفَعَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا “Tidak ada seorang muslim pun yang berdoa, yang bukan berisi dosa dan memutuskan silaturahmi, melainkan Allah akan memberinya salah satu dari tiga hal: Allah akan segera mengabulkan doanya, atau Allah akan menyimpannya baginya di akhirat, atau Allah akan menghindarkan darinya keburukan semisalnya.” (HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, 710, sahih) Allah telah menetapkan adab-adab untuk doa. Di antaranya adalah memilih tempat-tempat yang mulia dan waktu-waktu yang utama, yang dianggap lebih dekat untuk dikabulkan dibandingkan selainnya. Di sisi lain, Allah juga menganjurkan doa secara umum tanpa dibatasi oleh waktu atau tempat tertentu. Akan tetapi, setan menghiasi sebagian orang untuk mengganti amalan yang disyariatkan dan baik ini dengan amalan bid’ah yang buruk. Mereka mengganti doa di masjid, di waktu sahur, dan saat sujud; dengan berdoa di kuburan, dengan menyangka bahwa doa di kuburan lebih mustajab. Hanya kepada Allahlah kita memohon taufik. [1] Bentuk-bentuk doa di kuburan orang saleh dan hukumnya Berdoa di kuburan seorang wali, nabi, atau tempat yang diyakini sebagai kuburan nabi atau wali (meskipun sebenarnya tidak demikian), memiliki tiga bentuk. Hukum masing-masing bentuk berbeda sesuai dengan perbedaannya: Bentuk Pertama: Berdoa di kuburan karena kebetulan atau tidak disengaja. Misalnya, seseorang berdoa kepada Allah saat sedang dalam perjalanan dan kebetulan melewati kuburan, atau seseorang yang berziarah untuk mengucapkan salam kepada penghuni kubur dan meminta keselamatan kepada Allah bagi dirinya dan mereka yang telah meninggal, sebagaimana yang diajarkan oleh sunah. Hukum berdoa dalam kondisi ini diperbolehkan. Hal ini karena doa tersebut terjadi secara kebetulan dan sebagai bagian dari ziarah, bukan karena sengaja memilih tempat tersebut. Pendapat ini didukung oleh hadis-hadis yang menganjurkan mengucapkan salam kepada penghuni kubur. Bentuk Kedua: Berziarah ke kuburan dengan sengaja dan memilih tempat tersebut hanya untuk berdoa, dengan keyakinan bahwa doa di tempat tersebut lebih mustajab, bahwa tempat tersebut memiliki keistimewaan khusus dalam pengabulan doa, dan bahwa doa di sana lebih utama dibandingkan doa di masjid atau rumah. Bentuk Ketiga: Berziarah ke kuburan dengan tujuan mendoakan orang yang dikuburkan di sana, sekaligus berdoa di tempat tersebut dengan keyakinan sebagaimana yang telah disebutkan di atas. [2] Bentuk kedua dan ketiga inilah yang akan kita bahas dalam pembahasan selanjutnya. Baca juga: Apakah Tidak Menziarahi Kuburan Kedua Orang Tua Termasuk Kedurhakaan? Pendapat para ulama Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum doa seseorang untuk dirinya sendiri di kuburan (yaitu, pada bentuk pertama dan kedua). Ada yang memperbolehkannya (menilai hukumnya adalah boleh) dan ada pula yang melarangnya (menilai hukumnya adalah haram). Di antara argumen terkuat dari ulama yang membolehkannya adalah adanya riwayat-riwayat dari sebagian imam dan ulama kaum muslimin yang mempraktikkannya. [3] Sedangkan para ulama yang melarangnya, di antara argumennya adalah, أن الزيارة على هذه الوجوه كلها مبتدعة لم يشرعها النبي صلى الله عليه وسلم ولا فعلها الصحابة لا عند قبر النبي صلى الله عليه وسلم ولا عند غيره وهي من جنس الشرك وأسباب الشرك “Ziarah dengan cara seperti ini semuanya adalah bid’ah, yang tidak disyariatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak dilakukan oleh para sahabat, baik di kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maupun di kubur selainnya. Hal ini termasuk dalam jenis syirik dan sebab-sebab syirik.” [4] Pendapat yang rajih Pendapat yang rajih dalam permasalahan ini (yaitu, sengaja berdoa untuk diri sendiri di kuburan) adalah bahwasanya perkara tersebut merupakan bid’ah yang diharamkan. Hal-hal yang menguatkan pendapat tersebut adalah sebagai berikut: Pertama: Doa adalah ibadah Doa merupakan ibadah mulia yang harus dilakukan dengan ikhlas dan mengikuti tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak ada satu pun dalil, baik dari Al-Qur’an maupun hadis sahih, yang menunjukkan bahwa kuburan adalah tempat yang dianjurkan untuk berdoa. Para ulama salaf pun tidak pernah mengajarkan atau mempraktikkan hal tersebut. Kedua: Usaha para sahabat melarang praktik doa di kuburan Para sahabat Nabi telah memberikan contoh nyata dalam melarang praktik berdoa di kuburan. Mereka menutup kuburan yang sering diziarahi untuk berdoa, tidak menjadikan makam para nabi sebagai tempat khusus untuk berdoa, dan bahkan mengubur Nabi Daniel secara rahasia di salah satu dari tiga belas liang lahat agar makamnya tidak diketahui dan diziarahi. Ketiga: Para ulama salaf membenci tindakan sengaja berdoa di kuburan Para ulama salaf, seperti Zainal Abidin dan Al-Hasan bin Al-Hasan, dengan tegas melarang umat Islam untuk menjadikan makam Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai tempat berdoa. Beliau bersabda, لا تجعلوا قبري عيدًا ، ولا تجعلوا بيوتَكم قبورًا ، وصلوا عليَّ وسلِّمُوا حيثُما كنتم ، فسيبلُغُنِي سلامُكم وصلاتُكم “Jangan jadikan kuburanku sebagai Id, dan jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan, berselawatlah kepadaku karena selawat kalian akan sampai kepadaku di mana pun engkau berada.” (HR. Abu Dawud no. 2042, dan disahihkan oleh Al-Albani) Keempat: Mencegah fitnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melarang salat di kuburan atau menghadap ke arahnya untuk mencegah fitnah. Dengan demikian, maka larangan berdoa di kuburan, tentu lebih dilarang lagi, karena peluang untuk menimbulkan fitnah lebih besar, seperti meminta-minta kepada penghuni kubur. Kelima: Menutup pintu kesyirikan Berdoa di kuburan dikhawatirkan dapat mengantarkan seseorang pada kesyirikan, yaitu memohon kepada selain Allah. Oleh karena itu, pintu yang mengarah kepada kesyirikan tersebut harus ditutup rapat-rapat. [5] Bantahan bagi yang membolehkan Dari pembahasan-pembahasan sebelumnya, sebenarnya sudah jelas terkandung bantahan secara umum bagi pendapat yang membolehkan. Di mana poin utamanya adalah bahwasanya hal tersebut merupakan bid’ah, yang tidak disyariatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak dilakukan oleh para sahabat. Bahkan, sebagian salaf mengingkari hal tersebut. Di antara contoh “dalil” yang mereka gunakan untuk mendukung pendapat bolehnya berdoa di sisi kuburan orang saleh adalah hikayat tawasul Imam Syafi’i dengan Imam Abu Hanifah rahimahumallah. Diriwayatkan dari Umar bin Ishaq bin Ibrahim, ia berkata, Ali bin Maimun menyampaikan, “Aku mendengar Imam Syafi’i berkata, ‘Aku mencari keberkahan melalui Abu Hanifah, dan aku mendatangi kuburannya setiap hari (yakni, untuk berziarah). Jika aku memiliki kebutuhan, aku salat dua rakaat, lalu mendatangi kuburannya, dan aku memohon kepada Allah kebutuhan tersebut di sisinya, maka tidak lama kemudian kebutuhan itu terpenuhi.’” (Tārīkh Baghdād, 1: 123) Jawaban terhadap “dalil” tersebut adalah: Kelemahan sanad Sanad kisah ini lemah dan tidak sahih seperti yang diklaim oleh sebagian orang. Dalam sanadnya terdapat Umar bin Ishaq bin Ibrahim, yang tidak dikenal. Kekeliruan dari segi makna Dari sisi makna, kebohongan kisah ini tampak jelas. Menurut Syekh Islam Ibn Taimiyyah, kisah ini adalah dusta yang diketahui dengan pasti oleh orang yang memahami riwayat. Ketika Imam Syafi’i datang ke Baghdad, di sana belum ada satu pun kuburan yang biasa dikunjungi untuk berdoa. Bahkan, pada masa Imam Syafi’i, kebiasaan semacam itu tidak dikenal. Imam Syafi’i telah melihat banyak kuburan para nabi, sahabat, dan tabi’in di Hijaz, Yaman, Syam, Irak, dan Mesir. Orang-orang yang dimakamkan di sana, menurut Imam Syafi’i dan kaum muslimin, lebih utama daripada Abu Hanifah dan ulama sejenisnya. Namun, mengapa ia justru hanya mendatangi kuburan Abu Hanifah? Praktik murid Abu Hanifah Para murid sekaligus sahabat Imam Abu Hanifah, seperti Abu Yusuf dan Muhammad, yang hidup sezaman dengannya, tidak pernah melakukan doa khusus di kuburan Abu Hanifah atau lainnya. Pandangan Imam Syafi’i tentang kuburan Dalam kitab-kitab Imam Syafi’i yang sahih, ia telah menetapkan kebenciannya terhadap pengagungan kuburan manusia karena khawatir menimbulkan fitnah. Ketidakmasukakalan kisah Klaim bahwa Imam Syafi’i mendatangi kuburan Abu Hanifah setiap hari adalah bentuk berlebihan yang nyata. Tidak masuk akal jika Imam Syafi’i tidak memiliki kegiatan lain, kecuali berulang kali mengunjungi makam tersebut setiap hari. [6] Semoga Allah Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk beribadah sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menjaga tauhid kita dari segala bentuk penyimpangan. Baca juga: Sujud dan Thawaf di Kuburan, Apakah Kafir? *** Rumdin PPIA Sragen, 5 Rajab 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Al-‘Arusi, Abu Abdurrahman Jailan bin Khidr. Ad-Du’a wa Manzilatuhu min Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah. Cetakan Pertama. Riyadh: Maktabah Ar-Rusyd dan Syarikah Ar-Riyadh, 1417 H/1996 M. 2 jilid. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (27 Zulkaidah 1444 H), sesuai dengan nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] Lihat Ad-Du’a wa Manzilatuhu min Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, 2: 604-605. [2] Ibid, 2: 622-623. [3] https://www.dar-alifta.org/ar/fatawa/17157/ [4] Majmu’ Al-Fatawa, 1: 166; Lihat juga Ma’arij Al-Qabul bi Syarh Sullam Al-Wushul, 2: 518; Majmu’ Fatawa wa Rasail Al-‘Utsaimin, 2: 309-310. [5] Diringkas dengan sedikit tambahah, dari tulisan guru kami, Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA. di tautan berikut ini: https://almanhaj.or.id/69740-hukum-berdoa-di-kuburan.html [6] Ad-Du’a wa Manzilatuhu min Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, 2: 836.

Anda Miskin Tapi Mau Nikah? Tonton Ini Dulu! – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Disebutkan: “Janganlah engkau menikah dalam keadaan miskin!” Janganlah engkau menikah dalam keadaan miskin, kecuali dalam keadaan darurat. Kecuali jika keadaan Anda sangat mendesak. Artinya, orang miskin yang tidak mempunyai kemampuan untuk menafkahi, menyediakan tempat tinggal, makanan, dan lain sebagainya, janganlah ia menikah dulu dalam keadaan miskin, kecuali darurat. Dalam kondisi seperti ini, ia wajib membentengi dirinya dengan berpuasa. ==== يَقُولُ وَلَا تَنْكِحَنْ فِي الْفَقْرِ لَا تَنْكِحَنْ فِي الْفَقْرِ إِلَّا ضَرُورَةً إِلَّا أَنْ تَكُونَ مُضْطَرًّا يَعْنِي الْلإِنْسَانُ الْفَقِيرُ الَّذِي مَا عِنْدَهُ قُدْرَةٌ عَلَى النَّفَقَةِ وَالْبَيْتِ وَالطَّعَامِ وَمَا إِلَى ذَلِكَ لَا يُقْدِمُ عَلَى النِّكَاحِ فِي الْفَقْرِ إِلَّا ضَرُورَةً فَهُوَ عَلَيْهِ فِي هَذِهِ الْحَالِ أَنْ يَلُوذَ بِوِجَاهِ الصَّوْمِ

Anda Miskin Tapi Mau Nikah? Tonton Ini Dulu! – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Disebutkan: “Janganlah engkau menikah dalam keadaan miskin!” Janganlah engkau menikah dalam keadaan miskin, kecuali dalam keadaan darurat. Kecuali jika keadaan Anda sangat mendesak. Artinya, orang miskin yang tidak mempunyai kemampuan untuk menafkahi, menyediakan tempat tinggal, makanan, dan lain sebagainya, janganlah ia menikah dulu dalam keadaan miskin, kecuali darurat. Dalam kondisi seperti ini, ia wajib membentengi dirinya dengan berpuasa. ==== يَقُولُ وَلَا تَنْكِحَنْ فِي الْفَقْرِ لَا تَنْكِحَنْ فِي الْفَقْرِ إِلَّا ضَرُورَةً إِلَّا أَنْ تَكُونَ مُضْطَرًّا يَعْنِي الْلإِنْسَانُ الْفَقِيرُ الَّذِي مَا عِنْدَهُ قُدْرَةٌ عَلَى النَّفَقَةِ وَالْبَيْتِ وَالطَّعَامِ وَمَا إِلَى ذَلِكَ لَا يُقْدِمُ عَلَى النِّكَاحِ فِي الْفَقْرِ إِلَّا ضَرُورَةً فَهُوَ عَلَيْهِ فِي هَذِهِ الْحَالِ أَنْ يَلُوذَ بِوِجَاهِ الصَّوْمِ
Disebutkan: “Janganlah engkau menikah dalam keadaan miskin!” Janganlah engkau menikah dalam keadaan miskin, kecuali dalam keadaan darurat. Kecuali jika keadaan Anda sangat mendesak. Artinya, orang miskin yang tidak mempunyai kemampuan untuk menafkahi, menyediakan tempat tinggal, makanan, dan lain sebagainya, janganlah ia menikah dulu dalam keadaan miskin, kecuali darurat. Dalam kondisi seperti ini, ia wajib membentengi dirinya dengan berpuasa. ==== يَقُولُ وَلَا تَنْكِحَنْ فِي الْفَقْرِ لَا تَنْكِحَنْ فِي الْفَقْرِ إِلَّا ضَرُورَةً إِلَّا أَنْ تَكُونَ مُضْطَرًّا يَعْنِي الْلإِنْسَانُ الْفَقِيرُ الَّذِي مَا عِنْدَهُ قُدْرَةٌ عَلَى النَّفَقَةِ وَالْبَيْتِ وَالطَّعَامِ وَمَا إِلَى ذَلِكَ لَا يُقْدِمُ عَلَى النِّكَاحِ فِي الْفَقْرِ إِلَّا ضَرُورَةً فَهُوَ عَلَيْهِ فِي هَذِهِ الْحَالِ أَنْ يَلُوذَ بِوِجَاهِ الصَّوْمِ


Disebutkan: “Janganlah engkau menikah dalam keadaan miskin!” Janganlah engkau menikah dalam keadaan miskin, kecuali dalam keadaan darurat. Kecuali jika keadaan Anda sangat mendesak. Artinya, orang miskin yang tidak mempunyai kemampuan untuk menafkahi, menyediakan tempat tinggal, makanan, dan lain sebagainya, janganlah ia menikah dulu dalam keadaan miskin, kecuali darurat. Dalam kondisi seperti ini, ia wajib membentengi dirinya dengan berpuasa. ==== يَقُولُ وَلَا تَنْكِحَنْ فِي الْفَقْرِ لَا تَنْكِحَنْ فِي الْفَقْرِ إِلَّا ضَرُورَةً إِلَّا أَنْ تَكُونَ مُضْطَرًّا يَعْنِي الْلإِنْسَانُ الْفَقِيرُ الَّذِي مَا عِنْدَهُ قُدْرَةٌ عَلَى النَّفَقَةِ وَالْبَيْتِ وَالطَّعَامِ وَمَا إِلَى ذَلِكَ لَا يُقْدِمُ عَلَى النِّكَاحِ فِي الْفَقْرِ إِلَّا ضَرُورَةً فَهُوَ عَلَيْهِ فِي هَذِهِ الْحَالِ أَنْ يَلُوذَ بِوِجَاهِ الصَّوْمِ

Membangun Kokohnya Iman dan Amal

Daftar Isi Toggle Urgensi amalCakupan iman dan pondasinyaPokok amal ibadah Sesungguhnya iman dan amal saleh adalah sebab utama untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Semakin bagus seorang hamba dalam mewujudkan iman dan amal saleh, maka semakin besar pula kebahagiaan yang akan didapatkan olehnya. (Lihat keterangan Syekh As-Sa’di rahimahullah dalam Taisir Al-Lathif Al-Mannan, hal. 346) Iman dan amal saleh inilah yang akan membuahkan kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala, مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ “Barangsiapa melakukan amal saleh dari kalangan lelaki atau perempuan dalam keadaan beriman, maka benar-benar Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik, dan benar-benar Kami akan berikan balasan untuk mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97) Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah janji dari Allah Ta’ala bagi orang-orang yang melakukan amal saleh. Yaitu, amalan yang mengikuti Kitabullah Ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya. Apakah dia lelaki atau perempuan dari umat manusia, sedangkan hatinya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan amal yang diperintahkan di sini adalah sesuatu yang memang disyariatkan dari sisi Allah, bahwa Allah akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik di dunia dan akan membalasnya di akhirat dengan balasan yang lebih baik dari apa yang telah dilakukannya.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4: 601) Urgensi amal Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan, niscaya Allah Yang Mahasuci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan, niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (Lihat Al-Fawa’id, hal. 34) Allah Ta’ala berfirman, وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِیُضِیعَ إِیمَـٰنَكُمۡۚ “Tidaklah Allah menyia-nyiakan amal kalian.” (QS. Al-Baqarah: 143) Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Para ulama ahli tafsir tidak berselisih bahwa yang dimaksud iman di sini adalah ‘salat kalian (para sahabat) menghadap Baitul Maqdis’. Allah menamakan salat dengan iman.” (Lihat dalam Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1142) Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Adalah suatu hal yang telah disepakati di antara para sahabat, tabi’in, ulama sesudah mereka, dan para ulama yang kami jumpai bahwasanya iman terdiri dari ucapan, amalan, dan niat. Salah satu saja tidak sah apabila tidak dibarengi oleh bagian yang lainnya.” (Lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1145) Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat dan tabi’in serta orang-orang sesudah mereka dari kalangan para ulama Sunnah telah sepakat bahwasanya amal adalah bagian dari iman. Mereka mengatakan bahwa iman adalah ucapan, amalan, dan akidah/keyakinan.” (Lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1145) Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بين الرجل وبين الكفر والشرك ترك الصلاة “Batas antara seorang dengan kekafiran dan kesyirikan itu adalah meninggalkan salat.” (HR. Muslim) Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة، فمن تركها فقد كفر “Perjanjian antara kami dengan mereka adalah salat. Barangsiapa meninggalkannya, maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi. Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih. Serta disahihkan oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi) (Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Muyassarah, 1: 307) Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أول ما يحاسب عنه العبد من عمله صلاته فإن قبلت صلاته قبل منه سائر عمله، وإن ردت عليه صلاته رد عليه سائر عمله “Amalan pertama yang akan dihisab pada diri setiap hamba kelak pada hari kiamat adalah salat. Apabila diterima, maka diterima pula seluruh amalnya. Apabila ditolak, maka ditolak seluruh amalnya.” (HR. Thabrani dalam Al-Ausath, disahihkan Al-Albani) Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa tidak melakukan salat, maka dia sudah tidak punya agama.” Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Tidak ada jatah di dalam Islam bagi orang yang meninggalkan salat.” (Lihat Ta’zhim Ash-Shalah, karya Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah, hal. 21) Umat Islam tidaklah berbeda pendapat bahwasanya meninggalkan salat wajib secara sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan bahwasanya dosa pelakunya di sisi Allah lebih berat daripada dosa orang yang membunuh, merampok, dan lebih berat daripada dosa zina, mencuri, atau meminum khamar. Dan pelakunya berhak mendapatkan ancaman hukuman Allah, kemurkaan, dan kehinaan dari-Nya di dunia dan di akhirat. (Lihat Ta’zhim Ash-Shalah, hal. 23, lihat juga Kitab Ash-Shalah, karya Ibnul Qayyim rahimahullah, hal. 5) Mujahid bin Jabr rahimahullah pernah bertanya kepada Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, “Apakah amalan yang membedakan antara kekafiran dan keimanan menurut kalian di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”. Beliau menjawab, “Salat.” (Lihat dalam Al-Manhaj As-Salafi ‘inda Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani, hal. 176) Baca juga: Doa Memohon Ilmu, Rezeki, dan Amal yang Diterima Cakupan iman dan pondasinya Para ulama menjelaskan bahwa iman terdiri dari ucapan dan perbuatan. Yang dimaksud ucapan mencakup ucapan hati dan ucapan lisan, sedangkan yang dimaksud perbuatan adalah meliputi perbuatan hati, lisan, dan anggota badan. Dengan kata lain, iman terdiri dari ucapan, amalan, dan keyakinan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan. (Lihat At-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman, hal. 11) Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka, iman bukanlah semata-mata ucapan dengan lisan. Dan juga iman bukanlah semata-mata dengan akidah di dalam hati saja. Dan bukan pula ia dengan beramal tanpa disertai akidah dan ucapan. Akan tetapi, ketiga perkara ini harus ada dan saling berkaitan satu sama lain.” (Lihat Syarh Lum’atil I’tiqad, hal. 175) Dalam akidah Islam, iman itu terdiri dari bagian-bagian dan cabang-cabang. Ada yang berkaitan dengan hati, ada yang berkaitan dengan lisan, dan ada yang berkaitan dengan anggota badan. Sebagaimana iman juga memiliki pokok dan cabang. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمۡ تَرَ كَیۡفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلࣰا كَلِمَةࣰ طَیِّبَةࣰ كَشَجَرَةࣲ طَیِّبَةٍ أَصۡلُهَا ثَابِتࣱ وَفَرۡعُهَا فِی ٱلسَّمَاۤءِ “Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah memberikan perumpamaan mengenai kalimat yang baik itu seperti sebuah pohon yang indah yang pokoknya (akarnya) kokoh tertanam dan cabang-cabangnya menjulang di langit.” (QS. Ibrahim: 24) Di dalam ayat ini, Allah menyerupakan iman dan kalimat tauhid seperti sebatang pohon yang memiliki pokok, cabang, dan buah. Maka, iman pun demikian, ia memiliki pokok, cabang, dan buah. (Lihat Tadzkiratul Mu’tasi, hal. 297) Di antara dalil yang menunjukkan bahwa iman mencakup ucapan lisan, keyakinan hati, dan amal anggota badan adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, الإيمانُ بضعٌ وسبعون شعبةً ، أعلاها قولُ لا إله إلا اللهُ ، وأدناها إماطةُ الأذى عن الطريقِ والْحَياءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإيمانِ “Iman terdiri dari tujuh puluh lebih cabang. Yang tertinggi adalah ucapan lailahaillallah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu pun termasuk salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kalimat lailahaillallah adalah ucapan, menyingkirkan gangguan dari jalan adalah amal anggota badan, dan rasa malu adalah bagian dari keyakinan atau amalan hati. (Lihat Syarh Manzhumah Ha’iyah, hal. 189) An-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa bagian iman yang paling utama adalah tauhid yang hukumnya wajib ‘ain atas setiap orang, dan itulah perkara yang tidaklah dianggap sah/benar cabang-cabang iman yang lain, kecuali setelah sahnya hal ini (tauhid).” (Lihat Syarh Muslim, 2: 88) Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Akidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan akidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat lailahaillallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apa pun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan akidahnya.” (Lihat Ia’nat Al-Mustafid bi Syarh Kitab At-Tauhid, 1: 17) Syekh Zaid bin Hadi Al-Madkhali rahimahullah berkata, “Setiap amal yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus dalam syirik, maka hal itu tidak ada harganya dan tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah (yang benar) tanpa tauhid, pabila tidak disertai tauhid. Maka, bagaimana pun seorang berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah, seperti: bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada orang, dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya, maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘Azza Wajalla, وَقَدِمۡنَاۤ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنۡ عَمَلࣲ فَجَعَلۡنَـٰهُ هَبَاۤءࣰ مَّنثُورًا ‘Kami teliti segala sesuatu yang telah mereka amalkan (di dunia) kemudian Kami jadikan ia laksana debu yang beterbangan.’ (QS. Al-Furqan: 23)” (Lihat Abraz Al-Fawa’id min Al-Arba’ Al-Qawa’id, hal. 11) Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan, “Apa yang dahulu telah mereka amalkan”; yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai makna, “Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan”; maka beliau menjelaskan, “Karena sesungguhnya amalan tidak akan diterima jika dibarengi dengan kesyirikan.” (Lihat Zadul Masir, hal. 1014) Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Maka, apabila seorang mukmin mengetahui bahwasanya tauhid apabila tercampuri dengan syirik, maka hal itu akan merusaknya. Sebagaimana hadas merusak thaharah. Maka, dia pun mengerti bahwa dirinya harus mengenali hakikat tauhid dan hakikat syirik supaya dia tidak terjerumus dalam syirik. Karena syirik itulah yang akan menghapuskan tauhid dan agamanya. Karena tauhid inilah agama Allah dan hakikat ajaran Islam. Tauhid inilah petunjuk yang sebenarnya. Apabila dia melakukan salah satu bentuk kesyirikan itu, maka Islamnya menjadi batal dan agamanya lenyap…” (Lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba‘ oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, hal. 11) Syekh Zaid bin Hadi Al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah, melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah/menghamba kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, dia menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari beribadah kepada Allah.” (Lihat Thariq Al-Wushul ila Idhah Ats-Tsalatsah Al-Ushul, hal. 147) Pokok amal ibadah Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “… Pokok semua amalan adalah kecintaan. Seorang manusia tidak akan melakukan amalan/perbuatan, kecuali untuk apa yang dicintainya, bisa berupa keinginan untuk mendapatkan manfaat atau demi menolak mudarat. Apabila dia melakukan sesuatu, maka bisa jadi hal itu terjadi karena untuk mendapatkan sesuatu yang disenangi karena barangnya, seperti halnya makanan, atau karena sebab luar yang mendorongnya, seperti halnya mengkonsumsi obat. Adapun ibadah kepada Allah itu dibangun di atas kecintaan, bahkan ia merupakan hakikat/inti daripada ibadah. Sebab, seandainya kamu melakukan sebentuk ibadah tanpa ada unsur cinta, niscaya ibadahmu akan terasa hampa dan tidak ada rohnya sama sekali…” (Lihat Al-Qaul Al-Mufid ‘ala Kitab At-Tauhid, 2: 3; cet. Maktabah Al-‘Ilmu) Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ibadah dibangun di atas dua perkara: cinta dan pengagungan. Dengan rasa cinta, maka seorang berjuang menggapai keridaan Sesembahannya (Allah). Dengan pengagungan, maka seorang akan menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan kepada-Nya. Karena kamu mengagungkan-Nya, maka kamu merasa takut kepada-Nya. Dan karena kamu mencintai-Nya, maka kamu berharap dan mencari keridaan-Nya.” (Lihat Asy-Syarh Al-Mumti’ ‘ala Zad Al-Mustaqni’, 1: 9; cet. Mu’assasah Asam) Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ibadah yang diperintahkan itu mengandung perendahan diri dan kecintaan. Ibadah ini ditopang oleh tiga pilar: cinta, harap, dan takut. Ketiga pilar ini harus berpadu. Barangsiapa yang hanya bergantung kepada salah satunya, maka dia belum beribadah kepada Allah dengan benar. Beribadah kepada Allah dengan modal cinta saja adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan rasa harap semata adalah metode kaum Murji’ah. Adapun beribadah kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka, maka ini adalah jalannya kaum Khawarij.” (Lihat Al-Irsyad ila Shahih Al-I’tiqad, hal. 35; cet. Dar Ibnu Khuzaimah) Ibadah itu mencakup segala hal yang diperintahkan maupun larangan yang ada di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Perintah dikerjakan, sedangkan larangan ditinggalkan. Baik perintah itu bersifat wajib atau mustahab (sunah). Demikian pula, larangan yang bersifat haram ataupun makruh. Oleh sebab itu, ibadah meliputi segala yang dicintai Allah berupa ucapan dan perbuatan yang tampak maupun yang tersembunyi. (Lihat Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah, karya Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Ar-Rajihi, hal. 10) Hakikat dari ibadah itu sendiri adalah perendahan diri kepada Allah yang dilandasi kecintaan dan pengagungan dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah itu adalah sumber kebahagiaan insan. Ibadah harus dikerjakan dengan ikhlas untuk Allah semata. Karena ibadah itu adalah hak khusus milik Allah. Di dalam kalimat ‘iyyaka na’budu‘ telah terkandung penetapan bahwa tidak ada yang berhak disembah, selain Allah. Oleh sebab itu, di dalam kalimat ini terkandung makna dari kalimat tauhid lailahaillallah. (Lihat keterangan Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Ahkam Minal Qur’anil Karim, hal. 22-23) Baca juga: Cara Mendapatkan Pahala tanpa Beramal *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id

Membangun Kokohnya Iman dan Amal

Daftar Isi Toggle Urgensi amalCakupan iman dan pondasinyaPokok amal ibadah Sesungguhnya iman dan amal saleh adalah sebab utama untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Semakin bagus seorang hamba dalam mewujudkan iman dan amal saleh, maka semakin besar pula kebahagiaan yang akan didapatkan olehnya. (Lihat keterangan Syekh As-Sa’di rahimahullah dalam Taisir Al-Lathif Al-Mannan, hal. 346) Iman dan amal saleh inilah yang akan membuahkan kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala, مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ “Barangsiapa melakukan amal saleh dari kalangan lelaki atau perempuan dalam keadaan beriman, maka benar-benar Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik, dan benar-benar Kami akan berikan balasan untuk mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97) Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah janji dari Allah Ta’ala bagi orang-orang yang melakukan amal saleh. Yaitu, amalan yang mengikuti Kitabullah Ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya. Apakah dia lelaki atau perempuan dari umat manusia, sedangkan hatinya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan amal yang diperintahkan di sini adalah sesuatu yang memang disyariatkan dari sisi Allah, bahwa Allah akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik di dunia dan akan membalasnya di akhirat dengan balasan yang lebih baik dari apa yang telah dilakukannya.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4: 601) Urgensi amal Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan, niscaya Allah Yang Mahasuci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan, niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (Lihat Al-Fawa’id, hal. 34) Allah Ta’ala berfirman, وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِیُضِیعَ إِیمَـٰنَكُمۡۚ “Tidaklah Allah menyia-nyiakan amal kalian.” (QS. Al-Baqarah: 143) Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Para ulama ahli tafsir tidak berselisih bahwa yang dimaksud iman di sini adalah ‘salat kalian (para sahabat) menghadap Baitul Maqdis’. Allah menamakan salat dengan iman.” (Lihat dalam Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1142) Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Adalah suatu hal yang telah disepakati di antara para sahabat, tabi’in, ulama sesudah mereka, dan para ulama yang kami jumpai bahwasanya iman terdiri dari ucapan, amalan, dan niat. Salah satu saja tidak sah apabila tidak dibarengi oleh bagian yang lainnya.” (Lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1145) Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat dan tabi’in serta orang-orang sesudah mereka dari kalangan para ulama Sunnah telah sepakat bahwasanya amal adalah bagian dari iman. Mereka mengatakan bahwa iman adalah ucapan, amalan, dan akidah/keyakinan.” (Lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1145) Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بين الرجل وبين الكفر والشرك ترك الصلاة “Batas antara seorang dengan kekafiran dan kesyirikan itu adalah meninggalkan salat.” (HR. Muslim) Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة، فمن تركها فقد كفر “Perjanjian antara kami dengan mereka adalah salat. Barangsiapa meninggalkannya, maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi. Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih. Serta disahihkan oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi) (Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Muyassarah, 1: 307) Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أول ما يحاسب عنه العبد من عمله صلاته فإن قبلت صلاته قبل منه سائر عمله، وإن ردت عليه صلاته رد عليه سائر عمله “Amalan pertama yang akan dihisab pada diri setiap hamba kelak pada hari kiamat adalah salat. Apabila diterima, maka diterima pula seluruh amalnya. Apabila ditolak, maka ditolak seluruh amalnya.” (HR. Thabrani dalam Al-Ausath, disahihkan Al-Albani) Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa tidak melakukan salat, maka dia sudah tidak punya agama.” Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Tidak ada jatah di dalam Islam bagi orang yang meninggalkan salat.” (Lihat Ta’zhim Ash-Shalah, karya Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah, hal. 21) Umat Islam tidaklah berbeda pendapat bahwasanya meninggalkan salat wajib secara sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan bahwasanya dosa pelakunya di sisi Allah lebih berat daripada dosa orang yang membunuh, merampok, dan lebih berat daripada dosa zina, mencuri, atau meminum khamar. Dan pelakunya berhak mendapatkan ancaman hukuman Allah, kemurkaan, dan kehinaan dari-Nya di dunia dan di akhirat. (Lihat Ta’zhim Ash-Shalah, hal. 23, lihat juga Kitab Ash-Shalah, karya Ibnul Qayyim rahimahullah, hal. 5) Mujahid bin Jabr rahimahullah pernah bertanya kepada Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, “Apakah amalan yang membedakan antara kekafiran dan keimanan menurut kalian di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”. Beliau menjawab, “Salat.” (Lihat dalam Al-Manhaj As-Salafi ‘inda Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani, hal. 176) Baca juga: Doa Memohon Ilmu, Rezeki, dan Amal yang Diterima Cakupan iman dan pondasinya Para ulama menjelaskan bahwa iman terdiri dari ucapan dan perbuatan. Yang dimaksud ucapan mencakup ucapan hati dan ucapan lisan, sedangkan yang dimaksud perbuatan adalah meliputi perbuatan hati, lisan, dan anggota badan. Dengan kata lain, iman terdiri dari ucapan, amalan, dan keyakinan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan. (Lihat At-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman, hal. 11) Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka, iman bukanlah semata-mata ucapan dengan lisan. Dan juga iman bukanlah semata-mata dengan akidah di dalam hati saja. Dan bukan pula ia dengan beramal tanpa disertai akidah dan ucapan. Akan tetapi, ketiga perkara ini harus ada dan saling berkaitan satu sama lain.” (Lihat Syarh Lum’atil I’tiqad, hal. 175) Dalam akidah Islam, iman itu terdiri dari bagian-bagian dan cabang-cabang. Ada yang berkaitan dengan hati, ada yang berkaitan dengan lisan, dan ada yang berkaitan dengan anggota badan. Sebagaimana iman juga memiliki pokok dan cabang. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمۡ تَرَ كَیۡفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلࣰا كَلِمَةࣰ طَیِّبَةࣰ كَشَجَرَةࣲ طَیِّبَةٍ أَصۡلُهَا ثَابِتࣱ وَفَرۡعُهَا فِی ٱلسَّمَاۤءِ “Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah memberikan perumpamaan mengenai kalimat yang baik itu seperti sebuah pohon yang indah yang pokoknya (akarnya) kokoh tertanam dan cabang-cabangnya menjulang di langit.” (QS. Ibrahim: 24) Di dalam ayat ini, Allah menyerupakan iman dan kalimat tauhid seperti sebatang pohon yang memiliki pokok, cabang, dan buah. Maka, iman pun demikian, ia memiliki pokok, cabang, dan buah. (Lihat Tadzkiratul Mu’tasi, hal. 297) Di antara dalil yang menunjukkan bahwa iman mencakup ucapan lisan, keyakinan hati, dan amal anggota badan adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, الإيمانُ بضعٌ وسبعون شعبةً ، أعلاها قولُ لا إله إلا اللهُ ، وأدناها إماطةُ الأذى عن الطريقِ والْحَياءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإيمانِ “Iman terdiri dari tujuh puluh lebih cabang. Yang tertinggi adalah ucapan lailahaillallah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu pun termasuk salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kalimat lailahaillallah adalah ucapan, menyingkirkan gangguan dari jalan adalah amal anggota badan, dan rasa malu adalah bagian dari keyakinan atau amalan hati. (Lihat Syarh Manzhumah Ha’iyah, hal. 189) An-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa bagian iman yang paling utama adalah tauhid yang hukumnya wajib ‘ain atas setiap orang, dan itulah perkara yang tidaklah dianggap sah/benar cabang-cabang iman yang lain, kecuali setelah sahnya hal ini (tauhid).” (Lihat Syarh Muslim, 2: 88) Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Akidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan akidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat lailahaillallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apa pun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan akidahnya.” (Lihat Ia’nat Al-Mustafid bi Syarh Kitab At-Tauhid, 1: 17) Syekh Zaid bin Hadi Al-Madkhali rahimahullah berkata, “Setiap amal yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus dalam syirik, maka hal itu tidak ada harganya dan tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah (yang benar) tanpa tauhid, pabila tidak disertai tauhid. Maka, bagaimana pun seorang berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah, seperti: bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada orang, dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya, maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘Azza Wajalla, وَقَدِمۡنَاۤ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنۡ عَمَلࣲ فَجَعَلۡنَـٰهُ هَبَاۤءࣰ مَّنثُورًا ‘Kami teliti segala sesuatu yang telah mereka amalkan (di dunia) kemudian Kami jadikan ia laksana debu yang beterbangan.’ (QS. Al-Furqan: 23)” (Lihat Abraz Al-Fawa’id min Al-Arba’ Al-Qawa’id, hal. 11) Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan, “Apa yang dahulu telah mereka amalkan”; yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai makna, “Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan”; maka beliau menjelaskan, “Karena sesungguhnya amalan tidak akan diterima jika dibarengi dengan kesyirikan.” (Lihat Zadul Masir, hal. 1014) Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Maka, apabila seorang mukmin mengetahui bahwasanya tauhid apabila tercampuri dengan syirik, maka hal itu akan merusaknya. Sebagaimana hadas merusak thaharah. Maka, dia pun mengerti bahwa dirinya harus mengenali hakikat tauhid dan hakikat syirik supaya dia tidak terjerumus dalam syirik. Karena syirik itulah yang akan menghapuskan tauhid dan agamanya. Karena tauhid inilah agama Allah dan hakikat ajaran Islam. Tauhid inilah petunjuk yang sebenarnya. Apabila dia melakukan salah satu bentuk kesyirikan itu, maka Islamnya menjadi batal dan agamanya lenyap…” (Lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba‘ oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, hal. 11) Syekh Zaid bin Hadi Al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah, melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah/menghamba kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, dia menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari beribadah kepada Allah.” (Lihat Thariq Al-Wushul ila Idhah Ats-Tsalatsah Al-Ushul, hal. 147) Pokok amal ibadah Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “… Pokok semua amalan adalah kecintaan. Seorang manusia tidak akan melakukan amalan/perbuatan, kecuali untuk apa yang dicintainya, bisa berupa keinginan untuk mendapatkan manfaat atau demi menolak mudarat. Apabila dia melakukan sesuatu, maka bisa jadi hal itu terjadi karena untuk mendapatkan sesuatu yang disenangi karena barangnya, seperti halnya makanan, atau karena sebab luar yang mendorongnya, seperti halnya mengkonsumsi obat. Adapun ibadah kepada Allah itu dibangun di atas kecintaan, bahkan ia merupakan hakikat/inti daripada ibadah. Sebab, seandainya kamu melakukan sebentuk ibadah tanpa ada unsur cinta, niscaya ibadahmu akan terasa hampa dan tidak ada rohnya sama sekali…” (Lihat Al-Qaul Al-Mufid ‘ala Kitab At-Tauhid, 2: 3; cet. Maktabah Al-‘Ilmu) Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ibadah dibangun di atas dua perkara: cinta dan pengagungan. Dengan rasa cinta, maka seorang berjuang menggapai keridaan Sesembahannya (Allah). Dengan pengagungan, maka seorang akan menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan kepada-Nya. Karena kamu mengagungkan-Nya, maka kamu merasa takut kepada-Nya. Dan karena kamu mencintai-Nya, maka kamu berharap dan mencari keridaan-Nya.” (Lihat Asy-Syarh Al-Mumti’ ‘ala Zad Al-Mustaqni’, 1: 9; cet. Mu’assasah Asam) Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ibadah yang diperintahkan itu mengandung perendahan diri dan kecintaan. Ibadah ini ditopang oleh tiga pilar: cinta, harap, dan takut. Ketiga pilar ini harus berpadu. Barangsiapa yang hanya bergantung kepada salah satunya, maka dia belum beribadah kepada Allah dengan benar. Beribadah kepada Allah dengan modal cinta saja adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan rasa harap semata adalah metode kaum Murji’ah. Adapun beribadah kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka, maka ini adalah jalannya kaum Khawarij.” (Lihat Al-Irsyad ila Shahih Al-I’tiqad, hal. 35; cet. Dar Ibnu Khuzaimah) Ibadah itu mencakup segala hal yang diperintahkan maupun larangan yang ada di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Perintah dikerjakan, sedangkan larangan ditinggalkan. Baik perintah itu bersifat wajib atau mustahab (sunah). Demikian pula, larangan yang bersifat haram ataupun makruh. Oleh sebab itu, ibadah meliputi segala yang dicintai Allah berupa ucapan dan perbuatan yang tampak maupun yang tersembunyi. (Lihat Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah, karya Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Ar-Rajihi, hal. 10) Hakikat dari ibadah itu sendiri adalah perendahan diri kepada Allah yang dilandasi kecintaan dan pengagungan dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah itu adalah sumber kebahagiaan insan. Ibadah harus dikerjakan dengan ikhlas untuk Allah semata. Karena ibadah itu adalah hak khusus milik Allah. Di dalam kalimat ‘iyyaka na’budu‘ telah terkandung penetapan bahwa tidak ada yang berhak disembah, selain Allah. Oleh sebab itu, di dalam kalimat ini terkandung makna dari kalimat tauhid lailahaillallah. (Lihat keterangan Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Ahkam Minal Qur’anil Karim, hal. 22-23) Baca juga: Cara Mendapatkan Pahala tanpa Beramal *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Urgensi amalCakupan iman dan pondasinyaPokok amal ibadah Sesungguhnya iman dan amal saleh adalah sebab utama untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Semakin bagus seorang hamba dalam mewujudkan iman dan amal saleh, maka semakin besar pula kebahagiaan yang akan didapatkan olehnya. (Lihat keterangan Syekh As-Sa’di rahimahullah dalam Taisir Al-Lathif Al-Mannan, hal. 346) Iman dan amal saleh inilah yang akan membuahkan kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala, مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ “Barangsiapa melakukan amal saleh dari kalangan lelaki atau perempuan dalam keadaan beriman, maka benar-benar Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik, dan benar-benar Kami akan berikan balasan untuk mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97) Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah janji dari Allah Ta’ala bagi orang-orang yang melakukan amal saleh. Yaitu, amalan yang mengikuti Kitabullah Ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya. Apakah dia lelaki atau perempuan dari umat manusia, sedangkan hatinya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan amal yang diperintahkan di sini adalah sesuatu yang memang disyariatkan dari sisi Allah, bahwa Allah akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik di dunia dan akan membalasnya di akhirat dengan balasan yang lebih baik dari apa yang telah dilakukannya.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4: 601) Urgensi amal Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan, niscaya Allah Yang Mahasuci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan, niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (Lihat Al-Fawa’id, hal. 34) Allah Ta’ala berfirman, وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِیُضِیعَ إِیمَـٰنَكُمۡۚ “Tidaklah Allah menyia-nyiakan amal kalian.” (QS. Al-Baqarah: 143) Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Para ulama ahli tafsir tidak berselisih bahwa yang dimaksud iman di sini adalah ‘salat kalian (para sahabat) menghadap Baitul Maqdis’. Allah menamakan salat dengan iman.” (Lihat dalam Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1142) Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Adalah suatu hal yang telah disepakati di antara para sahabat, tabi’in, ulama sesudah mereka, dan para ulama yang kami jumpai bahwasanya iman terdiri dari ucapan, amalan, dan niat. Salah satu saja tidak sah apabila tidak dibarengi oleh bagian yang lainnya.” (Lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1145) Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat dan tabi’in serta orang-orang sesudah mereka dari kalangan para ulama Sunnah telah sepakat bahwasanya amal adalah bagian dari iman. Mereka mengatakan bahwa iman adalah ucapan, amalan, dan akidah/keyakinan.” (Lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1145) Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بين الرجل وبين الكفر والشرك ترك الصلاة “Batas antara seorang dengan kekafiran dan kesyirikan itu adalah meninggalkan salat.” (HR. Muslim) Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة، فمن تركها فقد كفر “Perjanjian antara kami dengan mereka adalah salat. Barangsiapa meninggalkannya, maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi. Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih. Serta disahihkan oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi) (Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Muyassarah, 1: 307) Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أول ما يحاسب عنه العبد من عمله صلاته فإن قبلت صلاته قبل منه سائر عمله، وإن ردت عليه صلاته رد عليه سائر عمله “Amalan pertama yang akan dihisab pada diri setiap hamba kelak pada hari kiamat adalah salat. Apabila diterima, maka diterima pula seluruh amalnya. Apabila ditolak, maka ditolak seluruh amalnya.” (HR. Thabrani dalam Al-Ausath, disahihkan Al-Albani) Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa tidak melakukan salat, maka dia sudah tidak punya agama.” Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Tidak ada jatah di dalam Islam bagi orang yang meninggalkan salat.” (Lihat Ta’zhim Ash-Shalah, karya Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah, hal. 21) Umat Islam tidaklah berbeda pendapat bahwasanya meninggalkan salat wajib secara sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan bahwasanya dosa pelakunya di sisi Allah lebih berat daripada dosa orang yang membunuh, merampok, dan lebih berat daripada dosa zina, mencuri, atau meminum khamar. Dan pelakunya berhak mendapatkan ancaman hukuman Allah, kemurkaan, dan kehinaan dari-Nya di dunia dan di akhirat. (Lihat Ta’zhim Ash-Shalah, hal. 23, lihat juga Kitab Ash-Shalah, karya Ibnul Qayyim rahimahullah, hal. 5) Mujahid bin Jabr rahimahullah pernah bertanya kepada Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, “Apakah amalan yang membedakan antara kekafiran dan keimanan menurut kalian di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”. Beliau menjawab, “Salat.” (Lihat dalam Al-Manhaj As-Salafi ‘inda Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani, hal. 176) Baca juga: Doa Memohon Ilmu, Rezeki, dan Amal yang Diterima Cakupan iman dan pondasinya Para ulama menjelaskan bahwa iman terdiri dari ucapan dan perbuatan. Yang dimaksud ucapan mencakup ucapan hati dan ucapan lisan, sedangkan yang dimaksud perbuatan adalah meliputi perbuatan hati, lisan, dan anggota badan. Dengan kata lain, iman terdiri dari ucapan, amalan, dan keyakinan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan. (Lihat At-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman, hal. 11) Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka, iman bukanlah semata-mata ucapan dengan lisan. Dan juga iman bukanlah semata-mata dengan akidah di dalam hati saja. Dan bukan pula ia dengan beramal tanpa disertai akidah dan ucapan. Akan tetapi, ketiga perkara ini harus ada dan saling berkaitan satu sama lain.” (Lihat Syarh Lum’atil I’tiqad, hal. 175) Dalam akidah Islam, iman itu terdiri dari bagian-bagian dan cabang-cabang. Ada yang berkaitan dengan hati, ada yang berkaitan dengan lisan, dan ada yang berkaitan dengan anggota badan. Sebagaimana iman juga memiliki pokok dan cabang. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمۡ تَرَ كَیۡفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلࣰا كَلِمَةࣰ طَیِّبَةࣰ كَشَجَرَةࣲ طَیِّبَةٍ أَصۡلُهَا ثَابِتࣱ وَفَرۡعُهَا فِی ٱلسَّمَاۤءِ “Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah memberikan perumpamaan mengenai kalimat yang baik itu seperti sebuah pohon yang indah yang pokoknya (akarnya) kokoh tertanam dan cabang-cabangnya menjulang di langit.” (QS. Ibrahim: 24) Di dalam ayat ini, Allah menyerupakan iman dan kalimat tauhid seperti sebatang pohon yang memiliki pokok, cabang, dan buah. Maka, iman pun demikian, ia memiliki pokok, cabang, dan buah. (Lihat Tadzkiratul Mu’tasi, hal. 297) Di antara dalil yang menunjukkan bahwa iman mencakup ucapan lisan, keyakinan hati, dan amal anggota badan adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, الإيمانُ بضعٌ وسبعون شعبةً ، أعلاها قولُ لا إله إلا اللهُ ، وأدناها إماطةُ الأذى عن الطريقِ والْحَياءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإيمانِ “Iman terdiri dari tujuh puluh lebih cabang. Yang tertinggi adalah ucapan lailahaillallah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu pun termasuk salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kalimat lailahaillallah adalah ucapan, menyingkirkan gangguan dari jalan adalah amal anggota badan, dan rasa malu adalah bagian dari keyakinan atau amalan hati. (Lihat Syarh Manzhumah Ha’iyah, hal. 189) An-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa bagian iman yang paling utama adalah tauhid yang hukumnya wajib ‘ain atas setiap orang, dan itulah perkara yang tidaklah dianggap sah/benar cabang-cabang iman yang lain, kecuali setelah sahnya hal ini (tauhid).” (Lihat Syarh Muslim, 2: 88) Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Akidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan akidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat lailahaillallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apa pun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan akidahnya.” (Lihat Ia’nat Al-Mustafid bi Syarh Kitab At-Tauhid, 1: 17) Syekh Zaid bin Hadi Al-Madkhali rahimahullah berkata, “Setiap amal yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus dalam syirik, maka hal itu tidak ada harganya dan tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah (yang benar) tanpa tauhid, pabila tidak disertai tauhid. Maka, bagaimana pun seorang berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah, seperti: bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada orang, dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya, maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘Azza Wajalla, وَقَدِمۡنَاۤ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنۡ عَمَلࣲ فَجَعَلۡنَـٰهُ هَبَاۤءࣰ مَّنثُورًا ‘Kami teliti segala sesuatu yang telah mereka amalkan (di dunia) kemudian Kami jadikan ia laksana debu yang beterbangan.’ (QS. Al-Furqan: 23)” (Lihat Abraz Al-Fawa’id min Al-Arba’ Al-Qawa’id, hal. 11) Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan, “Apa yang dahulu telah mereka amalkan”; yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai makna, “Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan”; maka beliau menjelaskan, “Karena sesungguhnya amalan tidak akan diterima jika dibarengi dengan kesyirikan.” (Lihat Zadul Masir, hal. 1014) Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Maka, apabila seorang mukmin mengetahui bahwasanya tauhid apabila tercampuri dengan syirik, maka hal itu akan merusaknya. Sebagaimana hadas merusak thaharah. Maka, dia pun mengerti bahwa dirinya harus mengenali hakikat tauhid dan hakikat syirik supaya dia tidak terjerumus dalam syirik. Karena syirik itulah yang akan menghapuskan tauhid dan agamanya. Karena tauhid inilah agama Allah dan hakikat ajaran Islam. Tauhid inilah petunjuk yang sebenarnya. Apabila dia melakukan salah satu bentuk kesyirikan itu, maka Islamnya menjadi batal dan agamanya lenyap…” (Lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba‘ oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, hal. 11) Syekh Zaid bin Hadi Al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah, melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah/menghamba kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, dia menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari beribadah kepada Allah.” (Lihat Thariq Al-Wushul ila Idhah Ats-Tsalatsah Al-Ushul, hal. 147) Pokok amal ibadah Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “… Pokok semua amalan adalah kecintaan. Seorang manusia tidak akan melakukan amalan/perbuatan, kecuali untuk apa yang dicintainya, bisa berupa keinginan untuk mendapatkan manfaat atau demi menolak mudarat. Apabila dia melakukan sesuatu, maka bisa jadi hal itu terjadi karena untuk mendapatkan sesuatu yang disenangi karena barangnya, seperti halnya makanan, atau karena sebab luar yang mendorongnya, seperti halnya mengkonsumsi obat. Adapun ibadah kepada Allah itu dibangun di atas kecintaan, bahkan ia merupakan hakikat/inti daripada ibadah. Sebab, seandainya kamu melakukan sebentuk ibadah tanpa ada unsur cinta, niscaya ibadahmu akan terasa hampa dan tidak ada rohnya sama sekali…” (Lihat Al-Qaul Al-Mufid ‘ala Kitab At-Tauhid, 2: 3; cet. Maktabah Al-‘Ilmu) Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ibadah dibangun di atas dua perkara: cinta dan pengagungan. Dengan rasa cinta, maka seorang berjuang menggapai keridaan Sesembahannya (Allah). Dengan pengagungan, maka seorang akan menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan kepada-Nya. Karena kamu mengagungkan-Nya, maka kamu merasa takut kepada-Nya. Dan karena kamu mencintai-Nya, maka kamu berharap dan mencari keridaan-Nya.” (Lihat Asy-Syarh Al-Mumti’ ‘ala Zad Al-Mustaqni’, 1: 9; cet. Mu’assasah Asam) Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ibadah yang diperintahkan itu mengandung perendahan diri dan kecintaan. Ibadah ini ditopang oleh tiga pilar: cinta, harap, dan takut. Ketiga pilar ini harus berpadu. Barangsiapa yang hanya bergantung kepada salah satunya, maka dia belum beribadah kepada Allah dengan benar. Beribadah kepada Allah dengan modal cinta saja adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan rasa harap semata adalah metode kaum Murji’ah. Adapun beribadah kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka, maka ini adalah jalannya kaum Khawarij.” (Lihat Al-Irsyad ila Shahih Al-I’tiqad, hal. 35; cet. Dar Ibnu Khuzaimah) Ibadah itu mencakup segala hal yang diperintahkan maupun larangan yang ada di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Perintah dikerjakan, sedangkan larangan ditinggalkan. Baik perintah itu bersifat wajib atau mustahab (sunah). Demikian pula, larangan yang bersifat haram ataupun makruh. Oleh sebab itu, ibadah meliputi segala yang dicintai Allah berupa ucapan dan perbuatan yang tampak maupun yang tersembunyi. (Lihat Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah, karya Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Ar-Rajihi, hal. 10) Hakikat dari ibadah itu sendiri adalah perendahan diri kepada Allah yang dilandasi kecintaan dan pengagungan dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah itu adalah sumber kebahagiaan insan. Ibadah harus dikerjakan dengan ikhlas untuk Allah semata. Karena ibadah itu adalah hak khusus milik Allah. Di dalam kalimat ‘iyyaka na’budu‘ telah terkandung penetapan bahwa tidak ada yang berhak disembah, selain Allah. Oleh sebab itu, di dalam kalimat ini terkandung makna dari kalimat tauhid lailahaillallah. (Lihat keterangan Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Ahkam Minal Qur’anil Karim, hal. 22-23) Baca juga: Cara Mendapatkan Pahala tanpa Beramal *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Urgensi amalCakupan iman dan pondasinyaPokok amal ibadah Sesungguhnya iman dan amal saleh adalah sebab utama untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Semakin bagus seorang hamba dalam mewujudkan iman dan amal saleh, maka semakin besar pula kebahagiaan yang akan didapatkan olehnya. (Lihat keterangan Syekh As-Sa’di rahimahullah dalam Taisir Al-Lathif Al-Mannan, hal. 346) Iman dan amal saleh inilah yang akan membuahkan kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala, مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ “Barangsiapa melakukan amal saleh dari kalangan lelaki atau perempuan dalam keadaan beriman, maka benar-benar Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik, dan benar-benar Kami akan berikan balasan untuk mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97) Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah janji dari Allah Ta’ala bagi orang-orang yang melakukan amal saleh. Yaitu, amalan yang mengikuti Kitabullah Ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya. Apakah dia lelaki atau perempuan dari umat manusia, sedangkan hatinya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan amal yang diperintahkan di sini adalah sesuatu yang memang disyariatkan dari sisi Allah, bahwa Allah akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik di dunia dan akan membalasnya di akhirat dengan balasan yang lebih baik dari apa yang telah dilakukannya.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4: 601) Urgensi amal Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan, niscaya Allah Yang Mahasuci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan, niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (Lihat Al-Fawa’id, hal. 34) Allah Ta’ala berfirman, وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِیُضِیعَ إِیمَـٰنَكُمۡۚ “Tidaklah Allah menyia-nyiakan amal kalian.” (QS. Al-Baqarah: 143) Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Para ulama ahli tafsir tidak berselisih bahwa yang dimaksud iman di sini adalah ‘salat kalian (para sahabat) menghadap Baitul Maqdis’. Allah menamakan salat dengan iman.” (Lihat dalam Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1142) Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Adalah suatu hal yang telah disepakati di antara para sahabat, tabi’in, ulama sesudah mereka, dan para ulama yang kami jumpai bahwasanya iman terdiri dari ucapan, amalan, dan niat. Salah satu saja tidak sah apabila tidak dibarengi oleh bagian yang lainnya.” (Lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1145) Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat dan tabi’in serta orang-orang sesudah mereka dari kalangan para ulama Sunnah telah sepakat bahwasanya amal adalah bagian dari iman. Mereka mengatakan bahwa iman adalah ucapan, amalan, dan akidah/keyakinan.” (Lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1145) Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بين الرجل وبين الكفر والشرك ترك الصلاة “Batas antara seorang dengan kekafiran dan kesyirikan itu adalah meninggalkan salat.” (HR. Muslim) Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة، فمن تركها فقد كفر “Perjanjian antara kami dengan mereka adalah salat. Barangsiapa meninggalkannya, maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi. Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih. Serta disahihkan oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi) (Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Muyassarah, 1: 307) Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أول ما يحاسب عنه العبد من عمله صلاته فإن قبلت صلاته قبل منه سائر عمله، وإن ردت عليه صلاته رد عليه سائر عمله “Amalan pertama yang akan dihisab pada diri setiap hamba kelak pada hari kiamat adalah salat. Apabila diterima, maka diterima pula seluruh amalnya. Apabila ditolak, maka ditolak seluruh amalnya.” (HR. Thabrani dalam Al-Ausath, disahihkan Al-Albani) Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa tidak melakukan salat, maka dia sudah tidak punya agama.” Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Tidak ada jatah di dalam Islam bagi orang yang meninggalkan salat.” (Lihat Ta’zhim Ash-Shalah, karya Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah, hal. 21) Umat Islam tidaklah berbeda pendapat bahwasanya meninggalkan salat wajib secara sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan bahwasanya dosa pelakunya di sisi Allah lebih berat daripada dosa orang yang membunuh, merampok, dan lebih berat daripada dosa zina, mencuri, atau meminum khamar. Dan pelakunya berhak mendapatkan ancaman hukuman Allah, kemurkaan, dan kehinaan dari-Nya di dunia dan di akhirat. (Lihat Ta’zhim Ash-Shalah, hal. 23, lihat juga Kitab Ash-Shalah, karya Ibnul Qayyim rahimahullah, hal. 5) Mujahid bin Jabr rahimahullah pernah bertanya kepada Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, “Apakah amalan yang membedakan antara kekafiran dan keimanan menurut kalian di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”. Beliau menjawab, “Salat.” (Lihat dalam Al-Manhaj As-Salafi ‘inda Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani, hal. 176) Baca juga: Doa Memohon Ilmu, Rezeki, dan Amal yang Diterima Cakupan iman dan pondasinya Para ulama menjelaskan bahwa iman terdiri dari ucapan dan perbuatan. Yang dimaksud ucapan mencakup ucapan hati dan ucapan lisan, sedangkan yang dimaksud perbuatan adalah meliputi perbuatan hati, lisan, dan anggota badan. Dengan kata lain, iman terdiri dari ucapan, amalan, dan keyakinan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan. (Lihat At-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman, hal. 11) Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka, iman bukanlah semata-mata ucapan dengan lisan. Dan juga iman bukanlah semata-mata dengan akidah di dalam hati saja. Dan bukan pula ia dengan beramal tanpa disertai akidah dan ucapan. Akan tetapi, ketiga perkara ini harus ada dan saling berkaitan satu sama lain.” (Lihat Syarh Lum’atil I’tiqad, hal. 175) Dalam akidah Islam, iman itu terdiri dari bagian-bagian dan cabang-cabang. Ada yang berkaitan dengan hati, ada yang berkaitan dengan lisan, dan ada yang berkaitan dengan anggota badan. Sebagaimana iman juga memiliki pokok dan cabang. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمۡ تَرَ كَیۡفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلࣰا كَلِمَةࣰ طَیِّبَةࣰ كَشَجَرَةࣲ طَیِّبَةٍ أَصۡلُهَا ثَابِتࣱ وَفَرۡعُهَا فِی ٱلسَّمَاۤءِ “Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah memberikan perumpamaan mengenai kalimat yang baik itu seperti sebuah pohon yang indah yang pokoknya (akarnya) kokoh tertanam dan cabang-cabangnya menjulang di langit.” (QS. Ibrahim: 24) Di dalam ayat ini, Allah menyerupakan iman dan kalimat tauhid seperti sebatang pohon yang memiliki pokok, cabang, dan buah. Maka, iman pun demikian, ia memiliki pokok, cabang, dan buah. (Lihat Tadzkiratul Mu’tasi, hal. 297) Di antara dalil yang menunjukkan bahwa iman mencakup ucapan lisan, keyakinan hati, dan amal anggota badan adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, الإيمانُ بضعٌ وسبعون شعبةً ، أعلاها قولُ لا إله إلا اللهُ ، وأدناها إماطةُ الأذى عن الطريقِ والْحَياءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإيمانِ “Iman terdiri dari tujuh puluh lebih cabang. Yang tertinggi adalah ucapan lailahaillallah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu pun termasuk salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kalimat lailahaillallah adalah ucapan, menyingkirkan gangguan dari jalan adalah amal anggota badan, dan rasa malu adalah bagian dari keyakinan atau amalan hati. (Lihat Syarh Manzhumah Ha’iyah, hal. 189) An-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa bagian iman yang paling utama adalah tauhid yang hukumnya wajib ‘ain atas setiap orang, dan itulah perkara yang tidaklah dianggap sah/benar cabang-cabang iman yang lain, kecuali setelah sahnya hal ini (tauhid).” (Lihat Syarh Muslim, 2: 88) Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Akidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan akidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat lailahaillallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apa pun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan akidahnya.” (Lihat Ia’nat Al-Mustafid bi Syarh Kitab At-Tauhid, 1: 17) Syekh Zaid bin Hadi Al-Madkhali rahimahullah berkata, “Setiap amal yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus dalam syirik, maka hal itu tidak ada harganya dan tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah (yang benar) tanpa tauhid, pabila tidak disertai tauhid. Maka, bagaimana pun seorang berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah, seperti: bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada orang, dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya, maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘Azza Wajalla, وَقَدِمۡنَاۤ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنۡ عَمَلࣲ فَجَعَلۡنَـٰهُ هَبَاۤءࣰ مَّنثُورًا ‘Kami teliti segala sesuatu yang telah mereka amalkan (di dunia) kemudian Kami jadikan ia laksana debu yang beterbangan.’ (QS. Al-Furqan: 23)” (Lihat Abraz Al-Fawa’id min Al-Arba’ Al-Qawa’id, hal. 11) Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan, “Apa yang dahulu telah mereka amalkan”; yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai makna, “Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan”; maka beliau menjelaskan, “Karena sesungguhnya amalan tidak akan diterima jika dibarengi dengan kesyirikan.” (Lihat Zadul Masir, hal. 1014) Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Maka, apabila seorang mukmin mengetahui bahwasanya tauhid apabila tercampuri dengan syirik, maka hal itu akan merusaknya. Sebagaimana hadas merusak thaharah. Maka, dia pun mengerti bahwa dirinya harus mengenali hakikat tauhid dan hakikat syirik supaya dia tidak terjerumus dalam syirik. Karena syirik itulah yang akan menghapuskan tauhid dan agamanya. Karena tauhid inilah agama Allah dan hakikat ajaran Islam. Tauhid inilah petunjuk yang sebenarnya. Apabila dia melakukan salah satu bentuk kesyirikan itu, maka Islamnya menjadi batal dan agamanya lenyap…” (Lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba‘ oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, hal. 11) Syekh Zaid bin Hadi Al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah, melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah/menghamba kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, dia menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari beribadah kepada Allah.” (Lihat Thariq Al-Wushul ila Idhah Ats-Tsalatsah Al-Ushul, hal. 147) Pokok amal ibadah Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “… Pokok semua amalan adalah kecintaan. Seorang manusia tidak akan melakukan amalan/perbuatan, kecuali untuk apa yang dicintainya, bisa berupa keinginan untuk mendapatkan manfaat atau demi menolak mudarat. Apabila dia melakukan sesuatu, maka bisa jadi hal itu terjadi karena untuk mendapatkan sesuatu yang disenangi karena barangnya, seperti halnya makanan, atau karena sebab luar yang mendorongnya, seperti halnya mengkonsumsi obat. Adapun ibadah kepada Allah itu dibangun di atas kecintaan, bahkan ia merupakan hakikat/inti daripada ibadah. Sebab, seandainya kamu melakukan sebentuk ibadah tanpa ada unsur cinta, niscaya ibadahmu akan terasa hampa dan tidak ada rohnya sama sekali…” (Lihat Al-Qaul Al-Mufid ‘ala Kitab At-Tauhid, 2: 3; cet. Maktabah Al-‘Ilmu) Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ibadah dibangun di atas dua perkara: cinta dan pengagungan. Dengan rasa cinta, maka seorang berjuang menggapai keridaan Sesembahannya (Allah). Dengan pengagungan, maka seorang akan menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan kepada-Nya. Karena kamu mengagungkan-Nya, maka kamu merasa takut kepada-Nya. Dan karena kamu mencintai-Nya, maka kamu berharap dan mencari keridaan-Nya.” (Lihat Asy-Syarh Al-Mumti’ ‘ala Zad Al-Mustaqni’, 1: 9; cet. Mu’assasah Asam) Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ibadah yang diperintahkan itu mengandung perendahan diri dan kecintaan. Ibadah ini ditopang oleh tiga pilar: cinta, harap, dan takut. Ketiga pilar ini harus berpadu. Barangsiapa yang hanya bergantung kepada salah satunya, maka dia belum beribadah kepada Allah dengan benar. Beribadah kepada Allah dengan modal cinta saja adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan rasa harap semata adalah metode kaum Murji’ah. Adapun beribadah kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka, maka ini adalah jalannya kaum Khawarij.” (Lihat Al-Irsyad ila Shahih Al-I’tiqad, hal. 35; cet. Dar Ibnu Khuzaimah) Ibadah itu mencakup segala hal yang diperintahkan maupun larangan yang ada di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Perintah dikerjakan, sedangkan larangan ditinggalkan. Baik perintah itu bersifat wajib atau mustahab (sunah). Demikian pula, larangan yang bersifat haram ataupun makruh. Oleh sebab itu, ibadah meliputi segala yang dicintai Allah berupa ucapan dan perbuatan yang tampak maupun yang tersembunyi. (Lihat Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah, karya Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Ar-Rajihi, hal. 10) Hakikat dari ibadah itu sendiri adalah perendahan diri kepada Allah yang dilandasi kecintaan dan pengagungan dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah itu adalah sumber kebahagiaan insan. Ibadah harus dikerjakan dengan ikhlas untuk Allah semata. Karena ibadah itu adalah hak khusus milik Allah. Di dalam kalimat ‘iyyaka na’budu‘ telah terkandung penetapan bahwa tidak ada yang berhak disembah, selain Allah. Oleh sebab itu, di dalam kalimat ini terkandung makna dari kalimat tauhid lailahaillallah. (Lihat keterangan Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Ahkam Minal Qur’anil Karim, hal. 22-23) Baca juga: Cara Mendapatkan Pahala tanpa Beramal *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id

Inilah Rahasia agar Khusyuk dalam Shalat – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Mengingat kematian, inilah yang membuat seseorang khusyuk dalam salatnya, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadis, bahwa ada seorang lelaki berkata: “Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat!” Rasulullah menjawab: “Ingatlah kematian dalam salatmu! Karena jika seseorang mengingat kematian dalam salatnya, niscaya ia akan berusaha memperbagus salatnya.” (HR. Al-Baihaqi). Juga tersebut dalam hadis: “Salatlah seperti salatnya orang yang mau meninggal dunia.” (HR. ath-Thabrani) Semakin sedikit harapan hidup, maka semakin sungguh-sungguh amalnya. Dahulu, Muʿādzah raḥimahallāh ketika malam tiba, ia berkata, “Ini adalah malam di mana aku akan mati.” lalu dia salat dan salat lagi. Saat pagi tiba, ia berkata, “Ini adalah hari di mana aku akan mati.” Lalu ia berpuasa, dan begitu seterusnya. Demi Allah, jika sekarang dikabarkan kepada Anda: “Ini adalah malam terakhir dalam hidup Anda.” Demi Allah, Anda takkan bisa tidur, dan Anda akan Salat Malam sambil merendah dan menangis di hadapan Allah. Demikianlah, Anda tidak akan tahu. “Tidak ada seorang pun mengetahui dengan pasti apa yang akan dia kerjakan besok, dan tidak ada seorang pun yang tahu di bumi mana dia akan mati.” (QS Luqman: 34). ==== ذِكْرُ الْمَوْتِ هُوَ الَّذِي يَجْعَلُ الْإِنْسَانَ يَخْشَعُ فِي صَلَاتِهِ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ أَوْصِنِي فَقَالَ: اذْكُرِ الْمَوْتَ فِي صَلَاتِكَ فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا ذَكَرَ الْمَوْتَ فِي صَلَاتِهِ لَحَرِيٌّ أَنْ يُحْسِنَ صَلَاتَهُ وَكَمَا يَعْنِي جَاءَ: صَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ كُلَّمَا قَصُرَ الْأَمَلُ جَادَّ الْعَمَلُ كَانَتْ مُعَاذَةُ رَحِمَهَا اللهُ إِذَا جَنَّ اللَّيْلُ تَقُولُ: هَذِهِ لَيْلَةُ الَّتِي أَمُوْتُ فِيهَا فَتُصَلِّي وَتُصَلِّي وَإِذَا أَصْبَحَتْ تَقُولُ هَذَا يَوْمٌ الَّذِي أَمُوْتُ فِيهِ فَتَصُومُ وَهَكَذَا بِاللَّهِ عَلَيْكَ الْآنَ لَوْ قِيلَ لَكَ هَذِهِ آخِرُ اللَّيْلَةِ فِي حَيَاتِكَ وَاللهِ لَنْ تَنَمْ وَسَتَقُومُ اللَّيْلَ تَتَضَرَّعُ لِلَّهِ وَتَبْكِي لِلَّهِ وَهَكَذَا مَا تَدْرِي وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ

Inilah Rahasia agar Khusyuk dalam Shalat – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Mengingat kematian, inilah yang membuat seseorang khusyuk dalam salatnya, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadis, bahwa ada seorang lelaki berkata: “Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat!” Rasulullah menjawab: “Ingatlah kematian dalam salatmu! Karena jika seseorang mengingat kematian dalam salatnya, niscaya ia akan berusaha memperbagus salatnya.” (HR. Al-Baihaqi). Juga tersebut dalam hadis: “Salatlah seperti salatnya orang yang mau meninggal dunia.” (HR. ath-Thabrani) Semakin sedikit harapan hidup, maka semakin sungguh-sungguh amalnya. Dahulu, Muʿādzah raḥimahallāh ketika malam tiba, ia berkata, “Ini adalah malam di mana aku akan mati.” lalu dia salat dan salat lagi. Saat pagi tiba, ia berkata, “Ini adalah hari di mana aku akan mati.” Lalu ia berpuasa, dan begitu seterusnya. Demi Allah, jika sekarang dikabarkan kepada Anda: “Ini adalah malam terakhir dalam hidup Anda.” Demi Allah, Anda takkan bisa tidur, dan Anda akan Salat Malam sambil merendah dan menangis di hadapan Allah. Demikianlah, Anda tidak akan tahu. “Tidak ada seorang pun mengetahui dengan pasti apa yang akan dia kerjakan besok, dan tidak ada seorang pun yang tahu di bumi mana dia akan mati.” (QS Luqman: 34). ==== ذِكْرُ الْمَوْتِ هُوَ الَّذِي يَجْعَلُ الْإِنْسَانَ يَخْشَعُ فِي صَلَاتِهِ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ أَوْصِنِي فَقَالَ: اذْكُرِ الْمَوْتَ فِي صَلَاتِكَ فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا ذَكَرَ الْمَوْتَ فِي صَلَاتِهِ لَحَرِيٌّ أَنْ يُحْسِنَ صَلَاتَهُ وَكَمَا يَعْنِي جَاءَ: صَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ كُلَّمَا قَصُرَ الْأَمَلُ جَادَّ الْعَمَلُ كَانَتْ مُعَاذَةُ رَحِمَهَا اللهُ إِذَا جَنَّ اللَّيْلُ تَقُولُ: هَذِهِ لَيْلَةُ الَّتِي أَمُوْتُ فِيهَا فَتُصَلِّي وَتُصَلِّي وَإِذَا أَصْبَحَتْ تَقُولُ هَذَا يَوْمٌ الَّذِي أَمُوْتُ فِيهِ فَتَصُومُ وَهَكَذَا بِاللَّهِ عَلَيْكَ الْآنَ لَوْ قِيلَ لَكَ هَذِهِ آخِرُ اللَّيْلَةِ فِي حَيَاتِكَ وَاللهِ لَنْ تَنَمْ وَسَتَقُومُ اللَّيْلَ تَتَضَرَّعُ لِلَّهِ وَتَبْكِي لِلَّهِ وَهَكَذَا مَا تَدْرِي وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ
Mengingat kematian, inilah yang membuat seseorang khusyuk dalam salatnya, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadis, bahwa ada seorang lelaki berkata: “Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat!” Rasulullah menjawab: “Ingatlah kematian dalam salatmu! Karena jika seseorang mengingat kematian dalam salatnya, niscaya ia akan berusaha memperbagus salatnya.” (HR. Al-Baihaqi). Juga tersebut dalam hadis: “Salatlah seperti salatnya orang yang mau meninggal dunia.” (HR. ath-Thabrani) Semakin sedikit harapan hidup, maka semakin sungguh-sungguh amalnya. Dahulu, Muʿādzah raḥimahallāh ketika malam tiba, ia berkata, “Ini adalah malam di mana aku akan mati.” lalu dia salat dan salat lagi. Saat pagi tiba, ia berkata, “Ini adalah hari di mana aku akan mati.” Lalu ia berpuasa, dan begitu seterusnya. Demi Allah, jika sekarang dikabarkan kepada Anda: “Ini adalah malam terakhir dalam hidup Anda.” Demi Allah, Anda takkan bisa tidur, dan Anda akan Salat Malam sambil merendah dan menangis di hadapan Allah. Demikianlah, Anda tidak akan tahu. “Tidak ada seorang pun mengetahui dengan pasti apa yang akan dia kerjakan besok, dan tidak ada seorang pun yang tahu di bumi mana dia akan mati.” (QS Luqman: 34). ==== ذِكْرُ الْمَوْتِ هُوَ الَّذِي يَجْعَلُ الْإِنْسَانَ يَخْشَعُ فِي صَلَاتِهِ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ أَوْصِنِي فَقَالَ: اذْكُرِ الْمَوْتَ فِي صَلَاتِكَ فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا ذَكَرَ الْمَوْتَ فِي صَلَاتِهِ لَحَرِيٌّ أَنْ يُحْسِنَ صَلَاتَهُ وَكَمَا يَعْنِي جَاءَ: صَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ كُلَّمَا قَصُرَ الْأَمَلُ جَادَّ الْعَمَلُ كَانَتْ مُعَاذَةُ رَحِمَهَا اللهُ إِذَا جَنَّ اللَّيْلُ تَقُولُ: هَذِهِ لَيْلَةُ الَّتِي أَمُوْتُ فِيهَا فَتُصَلِّي وَتُصَلِّي وَإِذَا أَصْبَحَتْ تَقُولُ هَذَا يَوْمٌ الَّذِي أَمُوْتُ فِيهِ فَتَصُومُ وَهَكَذَا بِاللَّهِ عَلَيْكَ الْآنَ لَوْ قِيلَ لَكَ هَذِهِ آخِرُ اللَّيْلَةِ فِي حَيَاتِكَ وَاللهِ لَنْ تَنَمْ وَسَتَقُومُ اللَّيْلَ تَتَضَرَّعُ لِلَّهِ وَتَبْكِي لِلَّهِ وَهَكَذَا مَا تَدْرِي وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ


Mengingat kematian, inilah yang membuat seseorang khusyuk dalam salatnya, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadis, bahwa ada seorang lelaki berkata: “Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat!” Rasulullah menjawab: “Ingatlah kematian dalam salatmu! Karena jika seseorang mengingat kematian dalam salatnya, niscaya ia akan berusaha memperbagus salatnya.” (HR. Al-Baihaqi). Juga tersebut dalam hadis: “Salatlah seperti salatnya orang yang mau meninggal dunia.” (HR. ath-Thabrani) Semakin sedikit harapan hidup, maka semakin sungguh-sungguh amalnya. Dahulu, Muʿādzah raḥimahallāh ketika malam tiba, ia berkata, “Ini adalah malam di mana aku akan mati.” lalu dia salat dan salat lagi. Saat pagi tiba, ia berkata, “Ini adalah hari di mana aku akan mati.” Lalu ia berpuasa, dan begitu seterusnya. Demi Allah, jika sekarang dikabarkan kepada Anda: “Ini adalah malam terakhir dalam hidup Anda.” Demi Allah, Anda takkan bisa tidur, dan Anda akan Salat Malam sambil merendah dan menangis di hadapan Allah. Demikianlah, Anda tidak akan tahu. “Tidak ada seorang pun mengetahui dengan pasti apa yang akan dia kerjakan besok, dan tidak ada seorang pun yang tahu di bumi mana dia akan mati.” (QS Luqman: 34). ==== ذِكْرُ الْمَوْتِ هُوَ الَّذِي يَجْعَلُ الْإِنْسَانَ يَخْشَعُ فِي صَلَاتِهِ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ أَوْصِنِي فَقَالَ: اذْكُرِ الْمَوْتَ فِي صَلَاتِكَ فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا ذَكَرَ الْمَوْتَ فِي صَلَاتِهِ لَحَرِيٌّ أَنْ يُحْسِنَ صَلَاتَهُ وَكَمَا يَعْنِي جَاءَ: صَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ كُلَّمَا قَصُرَ الْأَمَلُ جَادَّ الْعَمَلُ كَانَتْ مُعَاذَةُ رَحِمَهَا اللهُ إِذَا جَنَّ اللَّيْلُ تَقُولُ: هَذِهِ لَيْلَةُ الَّتِي أَمُوْتُ فِيهَا فَتُصَلِّي وَتُصَلِّي وَإِذَا أَصْبَحَتْ تَقُولُ هَذَا يَوْمٌ الَّذِي أَمُوْتُ فِيهِ فَتَصُومُ وَهَكَذَا بِاللَّهِ عَلَيْكَ الْآنَ لَوْ قِيلَ لَكَ هَذِهِ آخِرُ اللَّيْلَةِ فِي حَيَاتِكَ وَاللهِ لَنْ تَنَمْ وَسَتَقُومُ اللَّيْلَ تَتَضَرَّعُ لِلَّهِ وَتَبْكِي لِلَّهِ وَهَكَذَا مَا تَدْرِي وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ
Prev     Next