Bolehkah Tidak Duduk Tawarruk karena Sempit?

Pertanyaan: Terkadang dalam shalat berjamaah, kondisi shaf sangatlah sempit. Sehingga ketika duduk tawarruk pada tasyahud akhir saya kesulitan untuk duduk dengan sempurna, karena akan mendesak orang di sebelah saya. Apakah boleh saya tidak duduk tawarruk jika kondisi shaf sempit? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Disyariatkan duduk tawarruk di dalam shalat. Yaitu cara duduk dengan menempatkan bokong di lantai, lalu kaki kiri dikeluarkan pada sisi kanan dan telapak kaki kanan ditegakkan.  Dalam hadis Abu Humaid As-Sa’idi radhiyallahu’anhu beliau berkata: فإذا جلس في الركعتين جلس على رجلٌه اليسرى، ونصب اليمنى، وإذا جلس في الركعة الآخرة، قدم رجلٌه اليسرى، ونصب الأخرى، وقعد على مقعدته “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam jika duduk dalam salat di dua rakaat pertama beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan. Jika beliau duduk di rakaat terakhir, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya dan duduk di atas lantai.” (HR. Bukhari no. 828 dan Muslim no. 226). Dalam riwayat lain: حتَّى إذا كانتِ الرَّكعةُ التي تنقضي فيها الصَّلاةُ، أخَّرَ رِجْلَه اليُسرى، وقعَد على شِقِّه متورِّكًا ثم سلَّمَ “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam jika sudah sampai pada rakaat terakhir salat, beliau menjulurkan kaki kirinya dan duduk langsung di lantai dalam keadaan tawarruk, kemudian salam.” (HR. Abu Daud no. 730, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud). Pendapat yang rajih (kuat), tempat duduk tawarruk adalah pada tasyahud akhir dalam salat yang terdapat dua tasyahud, seperti salat Zuhur, salat Ashar, salat, Maghrib, dan salat Isya. Dan hukum duduk tawarruk pada tempat tersebut adalah mustahab (sunnah), tidak sampai wajib. Oleh karena itu, jika duduk tawarruk bisa mengganggu orang yang salat di sebelahnya yang tepat adalah meninggalkan duduk tawarruk. Karena mengganggu orang hukumnya haram. Tidak boleh melakukan yang mustahab namun di saat yang bersamaan terjatuh pada yang haram. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah ditanya, “Bolehkah tidak duduk tawarruk (dalam salat) jika bisa mengganggu orang di sebelah kita (ketika shaf sangat rapat)?”. Beliau menjawab: ترك السنة لدفع الأذية خير من فعل السنة مع الأذية فهذا المتورك إذا كان بتوركه يؤذي جاره فلا يتورك “Meninggalkan sesuatu yang hukumnya sunnah jika bisa mengganggu orang lain, itu lebih baik daripada mengamalkan sunnah tapi mengganggu orang lain. Orang yang duduk tawarruk ini jika ia melakukan duduk tawarruk bisa menganggu orang di sebelahnya, maka hendaknya jangan duduk tawarruk.” (Liqa Baabil Maftuh, 2/38). Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah juga mengatakan: إذا دعت الحاجة إلى التضام، وعدم التورك لا يتورك، التورك سنة، مستحب في التشهد الأخير، فإذا كان يؤذي به إخوانه؛ فلا يتورك، يجلس على رجله اليسرى كجلوسه بين السجدتين وهو في التشهد الأول؛ لأن إيذاء إخوانه محرم، فلا يستبيح المحرم بمستحب، يترك المستحب حتى يتوقى المحرم “Jika memang ada kebutuhan untuk mengumpulkan kaki ketika duduk, sehingga tidak duduk tawarruk, maka boleh saja untuk tidak duduk tawarruk. Duduk tawarruk itu sunnah, dianjurkan pada tasyahud akhir. Maka jika dengan duduk tawarruk akan mengganggu saudaranya yang ada di sebelahnya, maka jangan duduk tawarruk. Hendaknya ia duduk di atas kaki kirinya (duduk iftirasy) seperti duduk di antara dua sujud dan duduk tasyahud awal. Karena mengganggu saudara Muslim itu hukumnya haram. Maka perkara yang mustahab tidak membolehkan perkara yang haram. Hendaknya meninggalkan perkara yang mustahab untuk menghindarkan diri dari yang haram” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, rekaman no.443 pertanyaan ke-17). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 670 times, 2 visit(s) today Post Views: 997 QRIS donasi Yufid

Bolehkah Tidak Duduk Tawarruk karena Sempit?

Pertanyaan: Terkadang dalam shalat berjamaah, kondisi shaf sangatlah sempit. Sehingga ketika duduk tawarruk pada tasyahud akhir saya kesulitan untuk duduk dengan sempurna, karena akan mendesak orang di sebelah saya. Apakah boleh saya tidak duduk tawarruk jika kondisi shaf sempit? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Disyariatkan duduk tawarruk di dalam shalat. Yaitu cara duduk dengan menempatkan bokong di lantai, lalu kaki kiri dikeluarkan pada sisi kanan dan telapak kaki kanan ditegakkan.  Dalam hadis Abu Humaid As-Sa’idi radhiyallahu’anhu beliau berkata: فإذا جلس في الركعتين جلس على رجلٌه اليسرى، ونصب اليمنى، وإذا جلس في الركعة الآخرة، قدم رجلٌه اليسرى، ونصب الأخرى، وقعد على مقعدته “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam jika duduk dalam salat di dua rakaat pertama beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan. Jika beliau duduk di rakaat terakhir, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya dan duduk di atas lantai.” (HR. Bukhari no. 828 dan Muslim no. 226). Dalam riwayat lain: حتَّى إذا كانتِ الرَّكعةُ التي تنقضي فيها الصَّلاةُ، أخَّرَ رِجْلَه اليُسرى، وقعَد على شِقِّه متورِّكًا ثم سلَّمَ “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam jika sudah sampai pada rakaat terakhir salat, beliau menjulurkan kaki kirinya dan duduk langsung di lantai dalam keadaan tawarruk, kemudian salam.” (HR. Abu Daud no. 730, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud). Pendapat yang rajih (kuat), tempat duduk tawarruk adalah pada tasyahud akhir dalam salat yang terdapat dua tasyahud, seperti salat Zuhur, salat Ashar, salat, Maghrib, dan salat Isya. Dan hukum duduk tawarruk pada tempat tersebut adalah mustahab (sunnah), tidak sampai wajib. Oleh karena itu, jika duduk tawarruk bisa mengganggu orang yang salat di sebelahnya yang tepat adalah meninggalkan duduk tawarruk. Karena mengganggu orang hukumnya haram. Tidak boleh melakukan yang mustahab namun di saat yang bersamaan terjatuh pada yang haram. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah ditanya, “Bolehkah tidak duduk tawarruk (dalam salat) jika bisa mengganggu orang di sebelah kita (ketika shaf sangat rapat)?”. Beliau menjawab: ترك السنة لدفع الأذية خير من فعل السنة مع الأذية فهذا المتورك إذا كان بتوركه يؤذي جاره فلا يتورك “Meninggalkan sesuatu yang hukumnya sunnah jika bisa mengganggu orang lain, itu lebih baik daripada mengamalkan sunnah tapi mengganggu orang lain. Orang yang duduk tawarruk ini jika ia melakukan duduk tawarruk bisa menganggu orang di sebelahnya, maka hendaknya jangan duduk tawarruk.” (Liqa Baabil Maftuh, 2/38). Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah juga mengatakan: إذا دعت الحاجة إلى التضام، وعدم التورك لا يتورك، التورك سنة، مستحب في التشهد الأخير، فإذا كان يؤذي به إخوانه؛ فلا يتورك، يجلس على رجله اليسرى كجلوسه بين السجدتين وهو في التشهد الأول؛ لأن إيذاء إخوانه محرم، فلا يستبيح المحرم بمستحب، يترك المستحب حتى يتوقى المحرم “Jika memang ada kebutuhan untuk mengumpulkan kaki ketika duduk, sehingga tidak duduk tawarruk, maka boleh saja untuk tidak duduk tawarruk. Duduk tawarruk itu sunnah, dianjurkan pada tasyahud akhir. Maka jika dengan duduk tawarruk akan mengganggu saudaranya yang ada di sebelahnya, maka jangan duduk tawarruk. Hendaknya ia duduk di atas kaki kirinya (duduk iftirasy) seperti duduk di antara dua sujud dan duduk tasyahud awal. Karena mengganggu saudara Muslim itu hukumnya haram. Maka perkara yang mustahab tidak membolehkan perkara yang haram. Hendaknya meninggalkan perkara yang mustahab untuk menghindarkan diri dari yang haram” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, rekaman no.443 pertanyaan ke-17). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 670 times, 2 visit(s) today Post Views: 997 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Terkadang dalam shalat berjamaah, kondisi shaf sangatlah sempit. Sehingga ketika duduk tawarruk pada tasyahud akhir saya kesulitan untuk duduk dengan sempurna, karena akan mendesak orang di sebelah saya. Apakah boleh saya tidak duduk tawarruk jika kondisi shaf sempit? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Disyariatkan duduk tawarruk di dalam shalat. Yaitu cara duduk dengan menempatkan bokong di lantai, lalu kaki kiri dikeluarkan pada sisi kanan dan telapak kaki kanan ditegakkan.  Dalam hadis Abu Humaid As-Sa’idi radhiyallahu’anhu beliau berkata: فإذا جلس في الركعتين جلس على رجلٌه اليسرى، ونصب اليمنى، وإذا جلس في الركعة الآخرة، قدم رجلٌه اليسرى، ونصب الأخرى، وقعد على مقعدته “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam jika duduk dalam salat di dua rakaat pertama beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan. Jika beliau duduk di rakaat terakhir, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya dan duduk di atas lantai.” (HR. Bukhari no. 828 dan Muslim no. 226). Dalam riwayat lain: حتَّى إذا كانتِ الرَّكعةُ التي تنقضي فيها الصَّلاةُ، أخَّرَ رِجْلَه اليُسرى، وقعَد على شِقِّه متورِّكًا ثم سلَّمَ “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam jika sudah sampai pada rakaat terakhir salat, beliau menjulurkan kaki kirinya dan duduk langsung di lantai dalam keadaan tawarruk, kemudian salam.” (HR. Abu Daud no. 730, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud). Pendapat yang rajih (kuat), tempat duduk tawarruk adalah pada tasyahud akhir dalam salat yang terdapat dua tasyahud, seperti salat Zuhur, salat Ashar, salat, Maghrib, dan salat Isya. Dan hukum duduk tawarruk pada tempat tersebut adalah mustahab (sunnah), tidak sampai wajib. Oleh karena itu, jika duduk tawarruk bisa mengganggu orang yang salat di sebelahnya yang tepat adalah meninggalkan duduk tawarruk. Karena mengganggu orang hukumnya haram. Tidak boleh melakukan yang mustahab namun di saat yang bersamaan terjatuh pada yang haram. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah ditanya, “Bolehkah tidak duduk tawarruk (dalam salat) jika bisa mengganggu orang di sebelah kita (ketika shaf sangat rapat)?”. Beliau menjawab: ترك السنة لدفع الأذية خير من فعل السنة مع الأذية فهذا المتورك إذا كان بتوركه يؤذي جاره فلا يتورك “Meninggalkan sesuatu yang hukumnya sunnah jika bisa mengganggu orang lain, itu lebih baik daripada mengamalkan sunnah tapi mengganggu orang lain. Orang yang duduk tawarruk ini jika ia melakukan duduk tawarruk bisa menganggu orang di sebelahnya, maka hendaknya jangan duduk tawarruk.” (Liqa Baabil Maftuh, 2/38). Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah juga mengatakan: إذا دعت الحاجة إلى التضام، وعدم التورك لا يتورك، التورك سنة، مستحب في التشهد الأخير، فإذا كان يؤذي به إخوانه؛ فلا يتورك، يجلس على رجله اليسرى كجلوسه بين السجدتين وهو في التشهد الأول؛ لأن إيذاء إخوانه محرم، فلا يستبيح المحرم بمستحب، يترك المستحب حتى يتوقى المحرم “Jika memang ada kebutuhan untuk mengumpulkan kaki ketika duduk, sehingga tidak duduk tawarruk, maka boleh saja untuk tidak duduk tawarruk. Duduk tawarruk itu sunnah, dianjurkan pada tasyahud akhir. Maka jika dengan duduk tawarruk akan mengganggu saudaranya yang ada di sebelahnya, maka jangan duduk tawarruk. Hendaknya ia duduk di atas kaki kirinya (duduk iftirasy) seperti duduk di antara dua sujud dan duduk tasyahud awal. Karena mengganggu saudara Muslim itu hukumnya haram. Maka perkara yang mustahab tidak membolehkan perkara yang haram. Hendaknya meninggalkan perkara yang mustahab untuk menghindarkan diri dari yang haram” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, rekaman no.443 pertanyaan ke-17). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 670 times, 2 visit(s) today Post Views: 997 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Terkadang dalam shalat berjamaah, kondisi shaf sangatlah sempit. Sehingga ketika duduk tawarruk pada tasyahud akhir saya kesulitan untuk duduk dengan sempurna, karena akan mendesak orang di sebelah saya. Apakah boleh saya tidak duduk tawarruk jika kondisi shaf sempit? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Disyariatkan duduk tawarruk di dalam shalat. Yaitu cara duduk dengan menempatkan bokong di lantai, lalu kaki kiri dikeluarkan pada sisi kanan dan telapak kaki kanan ditegakkan.  Dalam hadis Abu Humaid As-Sa’idi radhiyallahu’anhu beliau berkata: فإذا جلس في الركعتين جلس على رجلٌه اليسرى، ونصب اليمنى، وإذا جلس في الركعة الآخرة، قدم رجلٌه اليسرى، ونصب الأخرى، وقعد على مقعدته “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam jika duduk dalam salat di dua rakaat pertama beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan. Jika beliau duduk di rakaat terakhir, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya dan duduk di atas lantai.” (HR. Bukhari no. 828 dan Muslim no. 226). Dalam riwayat lain: حتَّى إذا كانتِ الرَّكعةُ التي تنقضي فيها الصَّلاةُ، أخَّرَ رِجْلَه اليُسرى، وقعَد على شِقِّه متورِّكًا ثم سلَّمَ “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam jika sudah sampai pada rakaat terakhir salat, beliau menjulurkan kaki kirinya dan duduk langsung di lantai dalam keadaan tawarruk, kemudian salam.” (HR. Abu Daud no. 730, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud). Pendapat yang rajih (kuat), tempat duduk tawarruk adalah pada tasyahud akhir dalam salat yang terdapat dua tasyahud, seperti salat Zuhur, salat Ashar, salat, Maghrib, dan salat Isya. Dan hukum duduk tawarruk pada tempat tersebut adalah mustahab (sunnah), tidak sampai wajib. Oleh karena itu, jika duduk tawarruk bisa mengganggu orang yang salat di sebelahnya yang tepat adalah meninggalkan duduk tawarruk. Karena mengganggu orang hukumnya haram. Tidak boleh melakukan yang mustahab namun di saat yang bersamaan terjatuh pada yang haram. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah ditanya, “Bolehkah tidak duduk tawarruk (dalam salat) jika bisa mengganggu orang di sebelah kita (ketika shaf sangat rapat)?”. Beliau menjawab: ترك السنة لدفع الأذية خير من فعل السنة مع الأذية فهذا المتورك إذا كان بتوركه يؤذي جاره فلا يتورك “Meninggalkan sesuatu yang hukumnya sunnah jika bisa mengganggu orang lain, itu lebih baik daripada mengamalkan sunnah tapi mengganggu orang lain. Orang yang duduk tawarruk ini jika ia melakukan duduk tawarruk bisa menganggu orang di sebelahnya, maka hendaknya jangan duduk tawarruk.” (Liqa Baabil Maftuh, 2/38). Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah juga mengatakan: إذا دعت الحاجة إلى التضام، وعدم التورك لا يتورك، التورك سنة، مستحب في التشهد الأخير، فإذا كان يؤذي به إخوانه؛ فلا يتورك، يجلس على رجله اليسرى كجلوسه بين السجدتين وهو في التشهد الأول؛ لأن إيذاء إخوانه محرم، فلا يستبيح المحرم بمستحب، يترك المستحب حتى يتوقى المحرم “Jika memang ada kebutuhan untuk mengumpulkan kaki ketika duduk, sehingga tidak duduk tawarruk, maka boleh saja untuk tidak duduk tawarruk. Duduk tawarruk itu sunnah, dianjurkan pada tasyahud akhir. Maka jika dengan duduk tawarruk akan mengganggu saudaranya yang ada di sebelahnya, maka jangan duduk tawarruk. Hendaknya ia duduk di atas kaki kirinya (duduk iftirasy) seperti duduk di antara dua sujud dan duduk tasyahud awal. Karena mengganggu saudara Muslim itu hukumnya haram. Maka perkara yang mustahab tidak membolehkan perkara yang haram. Hendaknya meninggalkan perkara yang mustahab untuk menghindarkan diri dari yang haram” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, rekaman no.443 pertanyaan ke-17). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 670 times, 2 visit(s) today Post Views: 997 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Berprasangka Baik kepada Allah

Daftar Isi Toggle Perintah berprasangka baik kepada AllahMengenal nama dan sifat Allah akan membuahkan berprasangka baik kepada Allah Berprasangka baik kepada Allah diwujudkan dengan banyak beramal Perintah berprasangka baik kepada Allah Nabi ﷺ bersabda, يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku sesuai persangkaan hamba-Ku.’”  (HR. Bukhari no. 7405 dan Muslim no. 2675) Imam Ahmad meriwayatkan dari Wasilah bin Asqa’, dia berkata bahwa Rasul ﷺ bersabda, قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Maka, berprasangkalah kepada-Ku menurut apa yang dikehendakinya.’” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 16.016 dan Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al-Jami’, no. 4316.) Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi ﷺ bersabda, قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Jika ia bersangka baik kepadaku, maka (kebaikan) itu untuknya dan jika ia bersangka buruk, maka itu untuknya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 9076 dan Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al-Jami’, no. 4315.) Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah ﷺ tiga hari sebelum wafatnya bersabda, لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ “Janganlah salah seorang di antara kalian mati, melainkan ia harus berhusnuzan pada Allah.” (HR. Muslim no. 2877) Termasuk amalan hati yang paling agung dan kewajiban iman yang mulia adalah husnuzan billah (berbaik sangka kepada Allah). Sesunggguhnya berbaik sangka kepada Allah memiliki kedudukan yang tinggi dalam agama yang mulia ini. Allah tidaklah membuat kecewa hamba yang berbaik sangka kepada-Nya. Karena Allah tidak akan mengecewakan harapan orang yang berharap dan tidak menganggap amalan orang yang beramal. Allah Ta’ala berfirman, وَٱصۡبِرۡ فَإِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ “Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Hud:115) Terdapat banyak dalil yang menunjukkan agungnya berbaik sangka kepada Allah dan dampak bagi pelakunya berupa kedudukan yang terpuji dan pengaruh yang besar serta buah manis keberkahan di dunia dan akhirat. Betapa agung kedudukannya, karena ini merupakan ibadah dan ketaatan yang mulia lagi utama. Semakin kuat berbaik sangka kepada Allah, maka akan semakin menghasilkan buah yang manis bagi pelakunya dan memberikan dampak keberkahan serta pujian baik di dunia maupun di  akhirat. Baca juga: Prasangka Buruk Yang Dibolehkan Mengenal nama dan sifat Allah akan membuahkan berprasangka baik kepada Allah Berbaik sangka kepada Allah merupakan cabang dari mengenal Allah. Sesungguhnya apabila seorang hamba semakin besar pengenalannya kepada Allah terhadap nama dan sifat Allah (bahwasanya rahmat dan ilmu Allah meliputi segala sesuatu, bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Allah Maha Penerima tobat dan Maha Pemurah, Yang Maha memberikan kebaikan, menerima tobat hambanya, dan mengampuni berbagai dosa, Allah tidak melipatgandakan balasan dosa, bahkan Dia sangat luas ampunan-Nya, dan sifat kemuliaan serta keagungan lainnya), maka akan bertambah pula sifat berbaik sangka kepada Allah. Hal ini karena sumber dari berbaik sangka kepada Allah adalah baiknya pengenalan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah. Setiap nama Allah dan setiap sifat Allah memiliki nilai peribadatan dan sifat berbaik sangka kepada Allah yang berhubungan dengannya. Ini adalah perkara yang hendaknya diketahui dan dipahami dalam masalah ini. Jika seorang muslim mengetahui bahwa di antara nama-nama Allah adalah Al-Ghaffar (Yang Maha Pengampun), maka dia akan berbaik sangka dengan beristigfar dan memperbanyak istigfar serta perhatian dan senantiasa konsisten untuk terus meminta ampun kepada Allah terhadap semua dosa, ketergelinciran, dan kesalahannya. Jika seorang hamba mengetahui bahwa di antara nama Allah adalah At-Tawwab (Yang Maha Menerima tobat) dan Allah menerima tobat dari hamba serta mengampuni kesalahannya, maka dia akan memiliki sifat berbaik sangka kepada Allah dengan bertobat kepada-Nya setiap dia melakukan dosa dan terjerumus dalam kesalahan. Apabila kesalahannya besar, maka Allah Mahaluas ampunan-Nya dan Dia akan menerima tobat bagi orang yang bertobat seberapa pun besar dosa dan kesalahan hamba. Allah Ta’ala berfirman, قُلۡ يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسۡرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُواْ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًاۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Az-Zumar: 53) Jika seorang hamba tertimpa musibah atau sakit, maka dia akan berprasangka baik kepada Allah karena sesungguhnya Allah adalah Asy-Syafi yang tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan yang berasal dari Allah Ta’ala. Sebagaimana hal ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim Khalilurrahman yang disebutkan Allah dalam Al Qur’an, وَإِذَا مَرِضۡتُ فَهُوَ يَشۡفِينِ “Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku.” (QS. Asy-Syu’ara’: 80) Ini adalah merupakan bentuk berprasangka baik kepada Allah. Apabila seorang hamba mengalami musibah atau sakit, maka dia akan  berprasangka baik kepada Allah bahwasanya Allah akan menyembuhkan dan menghilangkan kesulitannya. Jika berkurang apa yang dimilikinya atau ditimpa kekurangan dan kefakiran, maka dia berbaik sangka kepada Allah karena sesungguhnya Allah sangat luas karunia-Nya dan banyak pemberian-Nya. Dan sesungguhnya apa yang ada padanya adalah di antara nikmat yang Allah anugerahkan. Maka, dengan demikian, bisa dipahami bahwa berbaik sangka kepada Allah senantiasa melekat pada diri seorang mukmin dalam setiap kondisi dan keadaannya dan dalam seluruh amal dan ibadahnya. Itu semua dibangun di atas akidah yang kokoh dan iman yang kuat di hati orang beriman dan percaya kepada Allah. Tidaklah seorang hamba berbaik sangka kepada Allah dan menjadi pribadi yang jujur dalam berbaik sangka kepada Allah, kecuali Allah akan membalas persangkaannya, dan semua kebaikan berasal dari Allah. Maka, setiap hamba mengharapkan kebaikan dan menginginkannya untuk dirinya atau untuk orang lain semuanya berasal dari Allah. Kedudukan mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang mulia merupakan kedudukan yang agung, serta memiliki buah manis dan dampak keberkahan serta pujian bagi hamba yang beriman di kehidupan dunia maupun akhiratnya. Oleh karena itu, di antara perkara besar yang bisa menumbuhkan rasa berbaik sangka kepada Allah adalah memahami permasalahan ini yaitu tentang makrifatullah (mengenal Allah). Berprasangka baik kepada Allah diwujudkan dengan banyak beramal Berprasangka baik kepada Allah tidak selayaknya dibarengi dengan sifat meremehkan, menyia-nyiakan, menelantarkan, dan juga mengikuti syahwat, namun hendaknya dibarengi dengan kebagusan amal dan kesempurnaan dalam menghadap kepada Allah. Adapun orang yang jelek perangainya dan pelaku kemaksiatan, maka dosa-dosa dan kesalahan-kesalahannya akan menjauhkan dirinya dari sikap prasangka baik kepada Allah. Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya seorang mukmin adalah yang paling baik prasangkanya kepada Allah dan paling baik amalnya, Adapun orang fajir adalah yang paling jelek prasangkanya kepada Allah dan paling jelek dalam beramal.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushanaf no. 37925.) Ibnul Jauzy rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, bahwa benarnya harapan seorang mukmin terhadap karunia dan pemberian Allah akan menyebabkan sikap berprasangka baik kepada Allah. Bukanlah prasangka baik kepada Allah seperti apa yang diyakini oleh orang-orang bodoh berupa harapan kepada Allah, namun disertai dengan berbagai perbuatan maksiat. Permisalan mereka dalam hal ini seperti orang yang berharap hasil panen, namun tidak menanam; atau berharap anak, tetapi tidak menikah. Adapun orang yang bijak, maka dia bertobat kepada Allah dengan harapan diterima, dan melakukan ketaatan dengan harapan mendapat pahala.“ (Kasyful Musykil min Hadis As Shahihain) Hendaknya setiap hamba menasihati dirinya untuk bersungguh-sungguh dalam memperbagus amal yang merupakan buah dari sikap berprasangka baik kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-‘Ankabut: 69) Baca juga: Mari Mendoakan Kebaikan bagi Para Pemimpin Kita *** Penulis: dr. Adika Mianoki, Sp.S. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Ahadits Ishlahil Quluub Bab 34, karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: Husnuzanprasangka baik

Berprasangka Baik kepada Allah

Daftar Isi Toggle Perintah berprasangka baik kepada AllahMengenal nama dan sifat Allah akan membuahkan berprasangka baik kepada Allah Berprasangka baik kepada Allah diwujudkan dengan banyak beramal Perintah berprasangka baik kepada Allah Nabi ﷺ bersabda, يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku sesuai persangkaan hamba-Ku.’”  (HR. Bukhari no. 7405 dan Muslim no. 2675) Imam Ahmad meriwayatkan dari Wasilah bin Asqa’, dia berkata bahwa Rasul ﷺ bersabda, قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Maka, berprasangkalah kepada-Ku menurut apa yang dikehendakinya.’” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 16.016 dan Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al-Jami’, no. 4316.) Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi ﷺ bersabda, قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Jika ia bersangka baik kepadaku, maka (kebaikan) itu untuknya dan jika ia bersangka buruk, maka itu untuknya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 9076 dan Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al-Jami’, no. 4315.) Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah ﷺ tiga hari sebelum wafatnya bersabda, لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ “Janganlah salah seorang di antara kalian mati, melainkan ia harus berhusnuzan pada Allah.” (HR. Muslim no. 2877) Termasuk amalan hati yang paling agung dan kewajiban iman yang mulia adalah husnuzan billah (berbaik sangka kepada Allah). Sesunggguhnya berbaik sangka kepada Allah memiliki kedudukan yang tinggi dalam agama yang mulia ini. Allah tidaklah membuat kecewa hamba yang berbaik sangka kepada-Nya. Karena Allah tidak akan mengecewakan harapan orang yang berharap dan tidak menganggap amalan orang yang beramal. Allah Ta’ala berfirman, وَٱصۡبِرۡ فَإِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ “Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Hud:115) Terdapat banyak dalil yang menunjukkan agungnya berbaik sangka kepada Allah dan dampak bagi pelakunya berupa kedudukan yang terpuji dan pengaruh yang besar serta buah manis keberkahan di dunia dan akhirat. Betapa agung kedudukannya, karena ini merupakan ibadah dan ketaatan yang mulia lagi utama. Semakin kuat berbaik sangka kepada Allah, maka akan semakin menghasilkan buah yang manis bagi pelakunya dan memberikan dampak keberkahan serta pujian baik di dunia maupun di  akhirat. Baca juga: Prasangka Buruk Yang Dibolehkan Mengenal nama dan sifat Allah akan membuahkan berprasangka baik kepada Allah Berbaik sangka kepada Allah merupakan cabang dari mengenal Allah. Sesungguhnya apabila seorang hamba semakin besar pengenalannya kepada Allah terhadap nama dan sifat Allah (bahwasanya rahmat dan ilmu Allah meliputi segala sesuatu, bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Allah Maha Penerima tobat dan Maha Pemurah, Yang Maha memberikan kebaikan, menerima tobat hambanya, dan mengampuni berbagai dosa, Allah tidak melipatgandakan balasan dosa, bahkan Dia sangat luas ampunan-Nya, dan sifat kemuliaan serta keagungan lainnya), maka akan bertambah pula sifat berbaik sangka kepada Allah. Hal ini karena sumber dari berbaik sangka kepada Allah adalah baiknya pengenalan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah. Setiap nama Allah dan setiap sifat Allah memiliki nilai peribadatan dan sifat berbaik sangka kepada Allah yang berhubungan dengannya. Ini adalah perkara yang hendaknya diketahui dan dipahami dalam masalah ini. Jika seorang muslim mengetahui bahwa di antara nama-nama Allah adalah Al-Ghaffar (Yang Maha Pengampun), maka dia akan berbaik sangka dengan beristigfar dan memperbanyak istigfar serta perhatian dan senantiasa konsisten untuk terus meminta ampun kepada Allah terhadap semua dosa, ketergelinciran, dan kesalahannya. Jika seorang hamba mengetahui bahwa di antara nama Allah adalah At-Tawwab (Yang Maha Menerima tobat) dan Allah menerima tobat dari hamba serta mengampuni kesalahannya, maka dia akan memiliki sifat berbaik sangka kepada Allah dengan bertobat kepada-Nya setiap dia melakukan dosa dan terjerumus dalam kesalahan. Apabila kesalahannya besar, maka Allah Mahaluas ampunan-Nya dan Dia akan menerima tobat bagi orang yang bertobat seberapa pun besar dosa dan kesalahan hamba. Allah Ta’ala berfirman, قُلۡ يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسۡرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُواْ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًاۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Az-Zumar: 53) Jika seorang hamba tertimpa musibah atau sakit, maka dia akan berprasangka baik kepada Allah karena sesungguhnya Allah adalah Asy-Syafi yang tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan yang berasal dari Allah Ta’ala. Sebagaimana hal ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim Khalilurrahman yang disebutkan Allah dalam Al Qur’an, وَإِذَا مَرِضۡتُ فَهُوَ يَشۡفِينِ “Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku.” (QS. Asy-Syu’ara’: 80) Ini adalah merupakan bentuk berprasangka baik kepada Allah. Apabila seorang hamba mengalami musibah atau sakit, maka dia akan  berprasangka baik kepada Allah bahwasanya Allah akan menyembuhkan dan menghilangkan kesulitannya. Jika berkurang apa yang dimilikinya atau ditimpa kekurangan dan kefakiran, maka dia berbaik sangka kepada Allah karena sesungguhnya Allah sangat luas karunia-Nya dan banyak pemberian-Nya. Dan sesungguhnya apa yang ada padanya adalah di antara nikmat yang Allah anugerahkan. Maka, dengan demikian, bisa dipahami bahwa berbaik sangka kepada Allah senantiasa melekat pada diri seorang mukmin dalam setiap kondisi dan keadaannya dan dalam seluruh amal dan ibadahnya. Itu semua dibangun di atas akidah yang kokoh dan iman yang kuat di hati orang beriman dan percaya kepada Allah. Tidaklah seorang hamba berbaik sangka kepada Allah dan menjadi pribadi yang jujur dalam berbaik sangka kepada Allah, kecuali Allah akan membalas persangkaannya, dan semua kebaikan berasal dari Allah. Maka, setiap hamba mengharapkan kebaikan dan menginginkannya untuk dirinya atau untuk orang lain semuanya berasal dari Allah. Kedudukan mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang mulia merupakan kedudukan yang agung, serta memiliki buah manis dan dampak keberkahan serta pujian bagi hamba yang beriman di kehidupan dunia maupun akhiratnya. Oleh karena itu, di antara perkara besar yang bisa menumbuhkan rasa berbaik sangka kepada Allah adalah memahami permasalahan ini yaitu tentang makrifatullah (mengenal Allah). Berprasangka baik kepada Allah diwujudkan dengan banyak beramal Berprasangka baik kepada Allah tidak selayaknya dibarengi dengan sifat meremehkan, menyia-nyiakan, menelantarkan, dan juga mengikuti syahwat, namun hendaknya dibarengi dengan kebagusan amal dan kesempurnaan dalam menghadap kepada Allah. Adapun orang yang jelek perangainya dan pelaku kemaksiatan, maka dosa-dosa dan kesalahan-kesalahannya akan menjauhkan dirinya dari sikap prasangka baik kepada Allah. Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya seorang mukmin adalah yang paling baik prasangkanya kepada Allah dan paling baik amalnya, Adapun orang fajir adalah yang paling jelek prasangkanya kepada Allah dan paling jelek dalam beramal.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushanaf no. 37925.) Ibnul Jauzy rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, bahwa benarnya harapan seorang mukmin terhadap karunia dan pemberian Allah akan menyebabkan sikap berprasangka baik kepada Allah. Bukanlah prasangka baik kepada Allah seperti apa yang diyakini oleh orang-orang bodoh berupa harapan kepada Allah, namun disertai dengan berbagai perbuatan maksiat. Permisalan mereka dalam hal ini seperti orang yang berharap hasil panen, namun tidak menanam; atau berharap anak, tetapi tidak menikah. Adapun orang yang bijak, maka dia bertobat kepada Allah dengan harapan diterima, dan melakukan ketaatan dengan harapan mendapat pahala.“ (Kasyful Musykil min Hadis As Shahihain) Hendaknya setiap hamba menasihati dirinya untuk bersungguh-sungguh dalam memperbagus amal yang merupakan buah dari sikap berprasangka baik kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-‘Ankabut: 69) Baca juga: Mari Mendoakan Kebaikan bagi Para Pemimpin Kita *** Penulis: dr. Adika Mianoki, Sp.S. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Ahadits Ishlahil Quluub Bab 34, karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: Husnuzanprasangka baik
Daftar Isi Toggle Perintah berprasangka baik kepada AllahMengenal nama dan sifat Allah akan membuahkan berprasangka baik kepada Allah Berprasangka baik kepada Allah diwujudkan dengan banyak beramal Perintah berprasangka baik kepada Allah Nabi ﷺ bersabda, يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku sesuai persangkaan hamba-Ku.’”  (HR. Bukhari no. 7405 dan Muslim no. 2675) Imam Ahmad meriwayatkan dari Wasilah bin Asqa’, dia berkata bahwa Rasul ﷺ bersabda, قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Maka, berprasangkalah kepada-Ku menurut apa yang dikehendakinya.’” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 16.016 dan Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al-Jami’, no. 4316.) Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi ﷺ bersabda, قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Jika ia bersangka baik kepadaku, maka (kebaikan) itu untuknya dan jika ia bersangka buruk, maka itu untuknya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 9076 dan Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al-Jami’, no. 4315.) Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah ﷺ tiga hari sebelum wafatnya bersabda, لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ “Janganlah salah seorang di antara kalian mati, melainkan ia harus berhusnuzan pada Allah.” (HR. Muslim no. 2877) Termasuk amalan hati yang paling agung dan kewajiban iman yang mulia adalah husnuzan billah (berbaik sangka kepada Allah). Sesunggguhnya berbaik sangka kepada Allah memiliki kedudukan yang tinggi dalam agama yang mulia ini. Allah tidaklah membuat kecewa hamba yang berbaik sangka kepada-Nya. Karena Allah tidak akan mengecewakan harapan orang yang berharap dan tidak menganggap amalan orang yang beramal. Allah Ta’ala berfirman, وَٱصۡبِرۡ فَإِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ “Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Hud:115) Terdapat banyak dalil yang menunjukkan agungnya berbaik sangka kepada Allah dan dampak bagi pelakunya berupa kedudukan yang terpuji dan pengaruh yang besar serta buah manis keberkahan di dunia dan akhirat. Betapa agung kedudukannya, karena ini merupakan ibadah dan ketaatan yang mulia lagi utama. Semakin kuat berbaik sangka kepada Allah, maka akan semakin menghasilkan buah yang manis bagi pelakunya dan memberikan dampak keberkahan serta pujian baik di dunia maupun di  akhirat. Baca juga: Prasangka Buruk Yang Dibolehkan Mengenal nama dan sifat Allah akan membuahkan berprasangka baik kepada Allah Berbaik sangka kepada Allah merupakan cabang dari mengenal Allah. Sesungguhnya apabila seorang hamba semakin besar pengenalannya kepada Allah terhadap nama dan sifat Allah (bahwasanya rahmat dan ilmu Allah meliputi segala sesuatu, bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Allah Maha Penerima tobat dan Maha Pemurah, Yang Maha memberikan kebaikan, menerima tobat hambanya, dan mengampuni berbagai dosa, Allah tidak melipatgandakan balasan dosa, bahkan Dia sangat luas ampunan-Nya, dan sifat kemuliaan serta keagungan lainnya), maka akan bertambah pula sifat berbaik sangka kepada Allah. Hal ini karena sumber dari berbaik sangka kepada Allah adalah baiknya pengenalan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah. Setiap nama Allah dan setiap sifat Allah memiliki nilai peribadatan dan sifat berbaik sangka kepada Allah yang berhubungan dengannya. Ini adalah perkara yang hendaknya diketahui dan dipahami dalam masalah ini. Jika seorang muslim mengetahui bahwa di antara nama-nama Allah adalah Al-Ghaffar (Yang Maha Pengampun), maka dia akan berbaik sangka dengan beristigfar dan memperbanyak istigfar serta perhatian dan senantiasa konsisten untuk terus meminta ampun kepada Allah terhadap semua dosa, ketergelinciran, dan kesalahannya. Jika seorang hamba mengetahui bahwa di antara nama Allah adalah At-Tawwab (Yang Maha Menerima tobat) dan Allah menerima tobat dari hamba serta mengampuni kesalahannya, maka dia akan memiliki sifat berbaik sangka kepada Allah dengan bertobat kepada-Nya setiap dia melakukan dosa dan terjerumus dalam kesalahan. Apabila kesalahannya besar, maka Allah Mahaluas ampunan-Nya dan Dia akan menerima tobat bagi orang yang bertobat seberapa pun besar dosa dan kesalahan hamba. Allah Ta’ala berfirman, قُلۡ يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسۡرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُواْ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًاۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Az-Zumar: 53) Jika seorang hamba tertimpa musibah atau sakit, maka dia akan berprasangka baik kepada Allah karena sesungguhnya Allah adalah Asy-Syafi yang tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan yang berasal dari Allah Ta’ala. Sebagaimana hal ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim Khalilurrahman yang disebutkan Allah dalam Al Qur’an, وَإِذَا مَرِضۡتُ فَهُوَ يَشۡفِينِ “Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku.” (QS. Asy-Syu’ara’: 80) Ini adalah merupakan bentuk berprasangka baik kepada Allah. Apabila seorang hamba mengalami musibah atau sakit, maka dia akan  berprasangka baik kepada Allah bahwasanya Allah akan menyembuhkan dan menghilangkan kesulitannya. Jika berkurang apa yang dimilikinya atau ditimpa kekurangan dan kefakiran, maka dia berbaik sangka kepada Allah karena sesungguhnya Allah sangat luas karunia-Nya dan banyak pemberian-Nya. Dan sesungguhnya apa yang ada padanya adalah di antara nikmat yang Allah anugerahkan. Maka, dengan demikian, bisa dipahami bahwa berbaik sangka kepada Allah senantiasa melekat pada diri seorang mukmin dalam setiap kondisi dan keadaannya dan dalam seluruh amal dan ibadahnya. Itu semua dibangun di atas akidah yang kokoh dan iman yang kuat di hati orang beriman dan percaya kepada Allah. Tidaklah seorang hamba berbaik sangka kepada Allah dan menjadi pribadi yang jujur dalam berbaik sangka kepada Allah, kecuali Allah akan membalas persangkaannya, dan semua kebaikan berasal dari Allah. Maka, setiap hamba mengharapkan kebaikan dan menginginkannya untuk dirinya atau untuk orang lain semuanya berasal dari Allah. Kedudukan mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang mulia merupakan kedudukan yang agung, serta memiliki buah manis dan dampak keberkahan serta pujian bagi hamba yang beriman di kehidupan dunia maupun akhiratnya. Oleh karena itu, di antara perkara besar yang bisa menumbuhkan rasa berbaik sangka kepada Allah adalah memahami permasalahan ini yaitu tentang makrifatullah (mengenal Allah). Berprasangka baik kepada Allah diwujudkan dengan banyak beramal Berprasangka baik kepada Allah tidak selayaknya dibarengi dengan sifat meremehkan, menyia-nyiakan, menelantarkan, dan juga mengikuti syahwat, namun hendaknya dibarengi dengan kebagusan amal dan kesempurnaan dalam menghadap kepada Allah. Adapun orang yang jelek perangainya dan pelaku kemaksiatan, maka dosa-dosa dan kesalahan-kesalahannya akan menjauhkan dirinya dari sikap prasangka baik kepada Allah. Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya seorang mukmin adalah yang paling baik prasangkanya kepada Allah dan paling baik amalnya, Adapun orang fajir adalah yang paling jelek prasangkanya kepada Allah dan paling jelek dalam beramal.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushanaf no. 37925.) Ibnul Jauzy rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, bahwa benarnya harapan seorang mukmin terhadap karunia dan pemberian Allah akan menyebabkan sikap berprasangka baik kepada Allah. Bukanlah prasangka baik kepada Allah seperti apa yang diyakini oleh orang-orang bodoh berupa harapan kepada Allah, namun disertai dengan berbagai perbuatan maksiat. Permisalan mereka dalam hal ini seperti orang yang berharap hasil panen, namun tidak menanam; atau berharap anak, tetapi tidak menikah. Adapun orang yang bijak, maka dia bertobat kepada Allah dengan harapan diterima, dan melakukan ketaatan dengan harapan mendapat pahala.“ (Kasyful Musykil min Hadis As Shahihain) Hendaknya setiap hamba menasihati dirinya untuk bersungguh-sungguh dalam memperbagus amal yang merupakan buah dari sikap berprasangka baik kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-‘Ankabut: 69) Baca juga: Mari Mendoakan Kebaikan bagi Para Pemimpin Kita *** Penulis: dr. Adika Mianoki, Sp.S. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Ahadits Ishlahil Quluub Bab 34, karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: Husnuzanprasangka baik


Daftar Isi Toggle Perintah berprasangka baik kepada AllahMengenal nama dan sifat Allah akan membuahkan berprasangka baik kepada Allah Berprasangka baik kepada Allah diwujudkan dengan banyak beramal Perintah berprasangka baik kepada Allah Nabi ﷺ bersabda, يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku sesuai persangkaan hamba-Ku.’”  (HR. Bukhari no. 7405 dan Muslim no. 2675) Imam Ahmad meriwayatkan dari Wasilah bin Asqa’, dia berkata bahwa Rasul ﷺ bersabda, قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Maka, berprasangkalah kepada-Ku menurut apa yang dikehendakinya.’” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 16.016 dan Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al-Jami’, no. 4316.) Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi ﷺ bersabda, قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Jika ia bersangka baik kepadaku, maka (kebaikan) itu untuknya dan jika ia bersangka buruk, maka itu untuknya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 9076 dan Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al-Jami’, no. 4315.) Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah ﷺ tiga hari sebelum wafatnya bersabda, لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ “Janganlah salah seorang di antara kalian mati, melainkan ia harus berhusnuzan pada Allah.” (HR. Muslim no. 2877) Termasuk amalan hati yang paling agung dan kewajiban iman yang mulia adalah husnuzan billah (berbaik sangka kepada Allah). Sesunggguhnya berbaik sangka kepada Allah memiliki kedudukan yang tinggi dalam agama yang mulia ini. Allah tidaklah membuat kecewa hamba yang berbaik sangka kepada-Nya. Karena Allah tidak akan mengecewakan harapan orang yang berharap dan tidak menganggap amalan orang yang beramal. Allah Ta’ala berfirman, وَٱصۡبِرۡ فَإِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ “Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Hud:115) Terdapat banyak dalil yang menunjukkan agungnya berbaik sangka kepada Allah dan dampak bagi pelakunya berupa kedudukan yang terpuji dan pengaruh yang besar serta buah manis keberkahan di dunia dan akhirat. Betapa agung kedudukannya, karena ini merupakan ibadah dan ketaatan yang mulia lagi utama. Semakin kuat berbaik sangka kepada Allah, maka akan semakin menghasilkan buah yang manis bagi pelakunya dan memberikan dampak keberkahan serta pujian baik di dunia maupun di  akhirat. Baca juga: Prasangka Buruk Yang Dibolehkan Mengenal nama dan sifat Allah akan membuahkan berprasangka baik kepada Allah Berbaik sangka kepada Allah merupakan cabang dari mengenal Allah. Sesungguhnya apabila seorang hamba semakin besar pengenalannya kepada Allah terhadap nama dan sifat Allah (bahwasanya rahmat dan ilmu Allah meliputi segala sesuatu, bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Allah Maha Penerima tobat dan Maha Pemurah, Yang Maha memberikan kebaikan, menerima tobat hambanya, dan mengampuni berbagai dosa, Allah tidak melipatgandakan balasan dosa, bahkan Dia sangat luas ampunan-Nya, dan sifat kemuliaan serta keagungan lainnya), maka akan bertambah pula sifat berbaik sangka kepada Allah. Hal ini karena sumber dari berbaik sangka kepada Allah adalah baiknya pengenalan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah. Setiap nama Allah dan setiap sifat Allah memiliki nilai peribadatan dan sifat berbaik sangka kepada Allah yang berhubungan dengannya. Ini adalah perkara yang hendaknya diketahui dan dipahami dalam masalah ini. Jika seorang muslim mengetahui bahwa di antara nama-nama Allah adalah Al-Ghaffar (Yang Maha Pengampun), maka dia akan berbaik sangka dengan beristigfar dan memperbanyak istigfar serta perhatian dan senantiasa konsisten untuk terus meminta ampun kepada Allah terhadap semua dosa, ketergelinciran, dan kesalahannya. Jika seorang hamba mengetahui bahwa di antara nama Allah adalah At-Tawwab (Yang Maha Menerima tobat) dan Allah menerima tobat dari hamba serta mengampuni kesalahannya, maka dia akan memiliki sifat berbaik sangka kepada Allah dengan bertobat kepada-Nya setiap dia melakukan dosa dan terjerumus dalam kesalahan. Apabila kesalahannya besar, maka Allah Mahaluas ampunan-Nya dan Dia akan menerima tobat bagi orang yang bertobat seberapa pun besar dosa dan kesalahan hamba. Allah Ta’ala berfirman, قُلۡ يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسۡرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُواْ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًاۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Az-Zumar: 53) Jika seorang hamba tertimpa musibah atau sakit, maka dia akan berprasangka baik kepada Allah karena sesungguhnya Allah adalah Asy-Syafi yang tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan yang berasal dari Allah Ta’ala. Sebagaimana hal ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim Khalilurrahman yang disebutkan Allah dalam Al Qur’an, وَإِذَا مَرِضۡتُ فَهُوَ يَشۡفِينِ “Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku.” (QS. Asy-Syu’ara’: 80) Ini adalah merupakan bentuk berprasangka baik kepada Allah. Apabila seorang hamba mengalami musibah atau sakit, maka dia akan  berprasangka baik kepada Allah bahwasanya Allah akan menyembuhkan dan menghilangkan kesulitannya. Jika berkurang apa yang dimilikinya atau ditimpa kekurangan dan kefakiran, maka dia berbaik sangka kepada Allah karena sesungguhnya Allah sangat luas karunia-Nya dan banyak pemberian-Nya. Dan sesungguhnya apa yang ada padanya adalah di antara nikmat yang Allah anugerahkan. Maka, dengan demikian, bisa dipahami bahwa berbaik sangka kepada Allah senantiasa melekat pada diri seorang mukmin dalam setiap kondisi dan keadaannya dan dalam seluruh amal dan ibadahnya. Itu semua dibangun di atas akidah yang kokoh dan iman yang kuat di hati orang beriman dan percaya kepada Allah. Tidaklah seorang hamba berbaik sangka kepada Allah dan menjadi pribadi yang jujur dalam berbaik sangka kepada Allah, kecuali Allah akan membalas persangkaannya, dan semua kebaikan berasal dari Allah. Maka, setiap hamba mengharapkan kebaikan dan menginginkannya untuk dirinya atau untuk orang lain semuanya berasal dari Allah. Kedudukan mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang mulia merupakan kedudukan yang agung, serta memiliki buah manis dan dampak keberkahan serta pujian bagi hamba yang beriman di kehidupan dunia maupun akhiratnya. Oleh karena itu, di antara perkara besar yang bisa menumbuhkan rasa berbaik sangka kepada Allah adalah memahami permasalahan ini yaitu tentang makrifatullah (mengenal Allah). Berprasangka baik kepada Allah diwujudkan dengan banyak beramal Berprasangka baik kepada Allah tidak selayaknya dibarengi dengan sifat meremehkan, menyia-nyiakan, menelantarkan, dan juga mengikuti syahwat, namun hendaknya dibarengi dengan kebagusan amal dan kesempurnaan dalam menghadap kepada Allah. Adapun orang yang jelek perangainya dan pelaku kemaksiatan, maka dosa-dosa dan kesalahan-kesalahannya akan menjauhkan dirinya dari sikap prasangka baik kepada Allah. Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya seorang mukmin adalah yang paling baik prasangkanya kepada Allah dan paling baik amalnya, Adapun orang fajir adalah yang paling jelek prasangkanya kepada Allah dan paling jelek dalam beramal.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushanaf no. 37925.) Ibnul Jauzy rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, bahwa benarnya harapan seorang mukmin terhadap karunia dan pemberian Allah akan menyebabkan sikap berprasangka baik kepada Allah. Bukanlah prasangka baik kepada Allah seperti apa yang diyakini oleh orang-orang bodoh berupa harapan kepada Allah, namun disertai dengan berbagai perbuatan maksiat. Permisalan mereka dalam hal ini seperti orang yang berharap hasil panen, namun tidak menanam; atau berharap anak, tetapi tidak menikah. Adapun orang yang bijak, maka dia bertobat kepada Allah dengan harapan diterima, dan melakukan ketaatan dengan harapan mendapat pahala.“ (Kasyful Musykil min Hadis As Shahihain) Hendaknya setiap hamba menasihati dirinya untuk bersungguh-sungguh dalam memperbagus amal yang merupakan buah dari sikap berprasangka baik kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-‘Ankabut: 69) Baca juga: Mari Mendoakan Kebaikan bagi Para Pemimpin Kita *** Penulis: dr. Adika Mianoki, Sp.S. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Ahadits Ishlahil Quluub Bab 34, karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: Husnuzanprasangka baik

Keutamaan Menasihati Kaum Muslimin (Bag. 5)

Daftar Isi Toggle Contoh dari Al-Qur’an bahwasanya nasihat yang buruk akan melahirkan dampak yang burukNasihat Iblis kepada Adam dan HawaNasihat Firaun kepada kaumnya Melanjutkan pembahasan serial dari keutamaan menasihati kaum muslimin. Setelah sebelumnya membahas tentang pengaruh besar dari nasihat yang baik di mana nasihat yang baik akan melahirkan perbuatan yang baik, maka ada pula nasihat buruk yang akan berpengaruh dalam melahirkan perbuatan atau dampak yang buruk. Contoh dari Al-Qur’an bahwasanya nasihat yang buruk akan melahirkan dampak yang buruk Nasihat Iblis kepada Adam dan Hawa Di antara contoh dari nasihat yang buruk adalah nasihat Iblis kepada Adam dan Hawa ‘alaihimassalam. Sebagaimana yang Allah Ta’ala hikayatkan kisah mereka di dalam Al-Qur’an, وَقَاسَمَهُمَآ إِنِّى لَكُمَا لَمِنَ ٱلنَّـٰصِحِينَ  فَدَلَّٮٰهُمَا بِغُرُورٍ۬‌ۚ فَلَمَّا ذَاقَا ٱلشَّجَرَةَ بَدَتۡ لَهُمَا سَوۡءَٲتُہُمَا وَطَفِقَا يَخۡصِفَانِ عَلَيۡہِمَا مِن وَرَقِ ٱلۡجَنَّةِ‌ۖ وَنَادَٮٰهُمَا رَبُّہُمَآ أَلَمۡ أَنۡہَكُمَا عَن تِلۡكُمَا ٱلشَّجَرَةِ وَأَقُل لَّكُمَآ إِنَّ ٱلشَّيۡطَـٰنَ لَكُمَا عَدُوٌّ۬ مُّبِينٌ۬ “Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya, ‘Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasihat kepada kamu berdua.’ Maka, setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasakan buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian, Rabb mereka menyeru mereka, ‘Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu bahwasanya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?’” (QS. Al-’Araf: 21-22) Kemudian apa hasil dari nasihat yang buruk itu? Allah Ta’ala berfirman, قَالَ ٱهۡبِطُواْ بَعۡضُكُمۡ لِبَعۡضٍ عَدُوٌّ۬‌ۖ وَلَكُمۡ فِى ٱلۡأَرۡضِ مُسۡتَقَرٌّ۬ وَمَتَـٰعٌ إِلَىٰ حِينٍ۬ “Allah berfirman, ‘Turunlah kamu sekalian. Sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang telah ditentukan.'” (QS. Al-’Araf: 24) Dalam konteks yang lain, Allah Ta’ala berfirman, فَأَزَلَّهُمَا ٱلشَّيۡطَـٰنُ عَنۡہَا فَأَخۡرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ‌ۖ “Lalu, keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula.” (QS. Al-Baqarah: 36) Demikianlah, hasil dari nasihat yang buruk. Dampaknya begitu dahsyat sampai-sampai nenek moyang manusia Adam dan Hawa harus merasakan pahit dan getirnya dunia setelah merasakan manis dan indahnya surga. Nasihat Firaun kepada kaumnya Kisah yang lain, Allah Ta’ala menghikayatkan tentang Firaun yang menampakkan kepada kaumnya seolah-olah ia adalah pemberi nasihat yang baik untuk kaumnya. Allah Ta’ala berfirman, قَالَ فِرۡعَوۡنُ مَآ أُرِيكُمۡ إِلَّا مَآ أَرَىٰ وَمَآ أَهۡدِيكُمۡ إِلَّا سَبِيلَ ٱلرَّشَادِ “Firaun berkata, ‘Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik; dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar.'” (QS. Ghafir: 29) Bersamaan dengan nasihat ini, tampak kekhawatiran dan kecemasan Firaun akan kehadiran Nabi Musa ‘alaihis salam yang mengancam keyakinannya. Pada beberapa ayat sebelumnya, Allah Ta’ala berfirman tentang ucapan Firaun yang lain, وَقَالَ فِرۡعَوۡنُ ذَرُونِىٓ أَقۡتُلۡ مُوسَىٰ وَلۡيَدۡعُ رَبَّهُ ۥۤ‌ۖ إِنِّىٓ أَخَافُ أَن يُبَدِّلَ دِينَڪُمۡ أَوۡ أَن يُظۡهِرَ فِى ٱلۡأَرۡضِ ٱلۡفَسَادَ “Dan Firaun berkata (kepada pembesar-pembesarnya), ‘Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Rabbnya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi.'” (QS. Ghafir: 26) Dari nasihat-nasihat Firaun di atas, Allah Ta’ala pun mengabarkan tentang kaumnya Firaun yang menerima nasihat-nasihat dari Firaun, فَٱسۡتَخَفَّ قَوۡمَهُ ۥ فَأَطَاعُوهُ‌ۚ إِنَّهُمۡ كَانُواْ قَوۡمً۬ا فَـٰسِقِينَ “Maka, Firaun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.” (QS. Az-Zukhruf: 54) Kemudian, bagaimana kiranya hasil yang diperoleh oleh si penasihat (Firaun) dan yang dinasihati (kaumnya) dalam hal ini? Simaklah firman Allah Ta’ala dalam ayat-ayat berikut ini, فَوَقَٮٰهُ ٱللَّهُ سَيِّـَٔاتِ مَا مَڪَرُواْۖ وَحَاقَ بِـَٔالِ فِرۡعَوۡنَ سُوٓءُ ٱلۡعَذَابِ  ٱلنَّارُ يُعۡرَضُونَ عَلَيۡہَا غُدُوًّ۬ا وَعَشِيًّ۬اۖ وَيَوۡمَ تَقُومُ ٱلسَّاعَةُ أَدۡخِلُوٓاْ ءَالَ فِرۡعَوۡنَ أَشَدَّ ٱلۡعَذَابِ  وَإِذۡ يَتَحَآجُّونَ فِى ٱلنَّارِ فَيَقُولُ ٱلضُّعَفَـٰٓؤُاْ لِلَّذِينَ ٱسۡتَڪۡبَرُوٓاْ إِنَّا كُنَّا لَكُمۡ تَبَعً۬ا فَهَلۡ أَنتُم مُّغۡنُونَ عَنَّا نَصِيبً۬ا مِّنَ ٱلنَّارِ  قَالَ ٱلَّذِينَ ٱسۡتَڪۡبَرُوٓاْ إِنَّا كُلٌّ۬ فِيهَآ إِنَّ ٱللَّهَ قَدۡ حَكَمَ بَيۡنَ ٱلۡعِبَادِ “Maka, Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka. Dan Firaun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk. Kepada mereka ditampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat. (Dikatakan kepada malaikat), ‘Masukkanlah Firaun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras.’ Dan (ingatlah), ketika mereka berbantah-bantah dalam neraka, maka orang-orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri, ‘Sesungguhnya kami adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan dari kami sebagian azab api neraka?’ Orang-orang yang menyombongkan diri menjawab, ‘Sesungguhnya kita semua sama-sama dalam neraka karena sesungguhnya Allah telah menetapkan keputusan antara hamba-hamba-(Nya).’” (QS. Ghafir: 45-48) Kedua kisah di atas sebagai contoh akan buruknya dampak dari nasihat yang tidak baik. Sehingga, tidaklah yang terlahir dari nasihat yang buruk, melainkan keburukan pula, baik keburukan itu semisal atau lebih parah dampaknya. Karenanya, kaum muslimin hendaknya tetap tegar dalam memberikan nasihat di atas kebaikan dan petunjuk dan menjauhkan segala bentuk nasihat yang berlandaskan keburukan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا “Barangsiapa mengajak kepada kebaikan, maka ia akan mendapat pahala sebanyak pahala yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Sebaliknya, barangsiapa mengajak kepada kesesatan, maka ia akan mendapat dosa sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.”[1] Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Kembali ke bagian 4: Keutamaan Menasihati Kaum Muslimin (Bag. 4) Lanjut ke bagian 6: [Bersambung] *** Depok, 15 Zulkaidah 1445H / 22 Mei 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Hadis diriwayatkan oleh Muslim no. 4831. Tags: nasihat

Keutamaan Menasihati Kaum Muslimin (Bag. 5)

Daftar Isi Toggle Contoh dari Al-Qur’an bahwasanya nasihat yang buruk akan melahirkan dampak yang burukNasihat Iblis kepada Adam dan HawaNasihat Firaun kepada kaumnya Melanjutkan pembahasan serial dari keutamaan menasihati kaum muslimin. Setelah sebelumnya membahas tentang pengaruh besar dari nasihat yang baik di mana nasihat yang baik akan melahirkan perbuatan yang baik, maka ada pula nasihat buruk yang akan berpengaruh dalam melahirkan perbuatan atau dampak yang buruk. Contoh dari Al-Qur’an bahwasanya nasihat yang buruk akan melahirkan dampak yang buruk Nasihat Iblis kepada Adam dan Hawa Di antara contoh dari nasihat yang buruk adalah nasihat Iblis kepada Adam dan Hawa ‘alaihimassalam. Sebagaimana yang Allah Ta’ala hikayatkan kisah mereka di dalam Al-Qur’an, وَقَاسَمَهُمَآ إِنِّى لَكُمَا لَمِنَ ٱلنَّـٰصِحِينَ  فَدَلَّٮٰهُمَا بِغُرُورٍ۬‌ۚ فَلَمَّا ذَاقَا ٱلشَّجَرَةَ بَدَتۡ لَهُمَا سَوۡءَٲتُہُمَا وَطَفِقَا يَخۡصِفَانِ عَلَيۡہِمَا مِن وَرَقِ ٱلۡجَنَّةِ‌ۖ وَنَادَٮٰهُمَا رَبُّہُمَآ أَلَمۡ أَنۡہَكُمَا عَن تِلۡكُمَا ٱلشَّجَرَةِ وَأَقُل لَّكُمَآ إِنَّ ٱلشَّيۡطَـٰنَ لَكُمَا عَدُوٌّ۬ مُّبِينٌ۬ “Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya, ‘Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasihat kepada kamu berdua.’ Maka, setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasakan buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian, Rabb mereka menyeru mereka, ‘Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu bahwasanya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?’” (QS. Al-’Araf: 21-22) Kemudian apa hasil dari nasihat yang buruk itu? Allah Ta’ala berfirman, قَالَ ٱهۡبِطُواْ بَعۡضُكُمۡ لِبَعۡضٍ عَدُوٌّ۬‌ۖ وَلَكُمۡ فِى ٱلۡأَرۡضِ مُسۡتَقَرٌّ۬ وَمَتَـٰعٌ إِلَىٰ حِينٍ۬ “Allah berfirman, ‘Turunlah kamu sekalian. Sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang telah ditentukan.'” (QS. Al-’Araf: 24) Dalam konteks yang lain, Allah Ta’ala berfirman, فَأَزَلَّهُمَا ٱلشَّيۡطَـٰنُ عَنۡہَا فَأَخۡرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ‌ۖ “Lalu, keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula.” (QS. Al-Baqarah: 36) Demikianlah, hasil dari nasihat yang buruk. Dampaknya begitu dahsyat sampai-sampai nenek moyang manusia Adam dan Hawa harus merasakan pahit dan getirnya dunia setelah merasakan manis dan indahnya surga. Nasihat Firaun kepada kaumnya Kisah yang lain, Allah Ta’ala menghikayatkan tentang Firaun yang menampakkan kepada kaumnya seolah-olah ia adalah pemberi nasihat yang baik untuk kaumnya. Allah Ta’ala berfirman, قَالَ فِرۡعَوۡنُ مَآ أُرِيكُمۡ إِلَّا مَآ أَرَىٰ وَمَآ أَهۡدِيكُمۡ إِلَّا سَبِيلَ ٱلرَّشَادِ “Firaun berkata, ‘Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik; dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar.'” (QS. Ghafir: 29) Bersamaan dengan nasihat ini, tampak kekhawatiran dan kecemasan Firaun akan kehadiran Nabi Musa ‘alaihis salam yang mengancam keyakinannya. Pada beberapa ayat sebelumnya, Allah Ta’ala berfirman tentang ucapan Firaun yang lain, وَقَالَ فِرۡعَوۡنُ ذَرُونِىٓ أَقۡتُلۡ مُوسَىٰ وَلۡيَدۡعُ رَبَّهُ ۥۤ‌ۖ إِنِّىٓ أَخَافُ أَن يُبَدِّلَ دِينَڪُمۡ أَوۡ أَن يُظۡهِرَ فِى ٱلۡأَرۡضِ ٱلۡفَسَادَ “Dan Firaun berkata (kepada pembesar-pembesarnya), ‘Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Rabbnya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi.'” (QS. Ghafir: 26) Dari nasihat-nasihat Firaun di atas, Allah Ta’ala pun mengabarkan tentang kaumnya Firaun yang menerima nasihat-nasihat dari Firaun, فَٱسۡتَخَفَّ قَوۡمَهُ ۥ فَأَطَاعُوهُ‌ۚ إِنَّهُمۡ كَانُواْ قَوۡمً۬ا فَـٰسِقِينَ “Maka, Firaun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.” (QS. Az-Zukhruf: 54) Kemudian, bagaimana kiranya hasil yang diperoleh oleh si penasihat (Firaun) dan yang dinasihati (kaumnya) dalam hal ini? Simaklah firman Allah Ta’ala dalam ayat-ayat berikut ini, فَوَقَٮٰهُ ٱللَّهُ سَيِّـَٔاتِ مَا مَڪَرُواْۖ وَحَاقَ بِـَٔالِ فِرۡعَوۡنَ سُوٓءُ ٱلۡعَذَابِ  ٱلنَّارُ يُعۡرَضُونَ عَلَيۡہَا غُدُوًّ۬ا وَعَشِيًّ۬اۖ وَيَوۡمَ تَقُومُ ٱلسَّاعَةُ أَدۡخِلُوٓاْ ءَالَ فِرۡعَوۡنَ أَشَدَّ ٱلۡعَذَابِ  وَإِذۡ يَتَحَآجُّونَ فِى ٱلنَّارِ فَيَقُولُ ٱلضُّعَفَـٰٓؤُاْ لِلَّذِينَ ٱسۡتَڪۡبَرُوٓاْ إِنَّا كُنَّا لَكُمۡ تَبَعً۬ا فَهَلۡ أَنتُم مُّغۡنُونَ عَنَّا نَصِيبً۬ا مِّنَ ٱلنَّارِ  قَالَ ٱلَّذِينَ ٱسۡتَڪۡبَرُوٓاْ إِنَّا كُلٌّ۬ فِيهَآ إِنَّ ٱللَّهَ قَدۡ حَكَمَ بَيۡنَ ٱلۡعِبَادِ “Maka, Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka. Dan Firaun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk. Kepada mereka ditampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat. (Dikatakan kepada malaikat), ‘Masukkanlah Firaun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras.’ Dan (ingatlah), ketika mereka berbantah-bantah dalam neraka, maka orang-orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri, ‘Sesungguhnya kami adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan dari kami sebagian azab api neraka?’ Orang-orang yang menyombongkan diri menjawab, ‘Sesungguhnya kita semua sama-sama dalam neraka karena sesungguhnya Allah telah menetapkan keputusan antara hamba-hamba-(Nya).’” (QS. Ghafir: 45-48) Kedua kisah di atas sebagai contoh akan buruknya dampak dari nasihat yang tidak baik. Sehingga, tidaklah yang terlahir dari nasihat yang buruk, melainkan keburukan pula, baik keburukan itu semisal atau lebih parah dampaknya. Karenanya, kaum muslimin hendaknya tetap tegar dalam memberikan nasihat di atas kebaikan dan petunjuk dan menjauhkan segala bentuk nasihat yang berlandaskan keburukan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا “Barangsiapa mengajak kepada kebaikan, maka ia akan mendapat pahala sebanyak pahala yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Sebaliknya, barangsiapa mengajak kepada kesesatan, maka ia akan mendapat dosa sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.”[1] Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Kembali ke bagian 4: Keutamaan Menasihati Kaum Muslimin (Bag. 4) Lanjut ke bagian 6: [Bersambung] *** Depok, 15 Zulkaidah 1445H / 22 Mei 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Hadis diriwayatkan oleh Muslim no. 4831. Tags: nasihat
Daftar Isi Toggle Contoh dari Al-Qur’an bahwasanya nasihat yang buruk akan melahirkan dampak yang burukNasihat Iblis kepada Adam dan HawaNasihat Firaun kepada kaumnya Melanjutkan pembahasan serial dari keutamaan menasihati kaum muslimin. Setelah sebelumnya membahas tentang pengaruh besar dari nasihat yang baik di mana nasihat yang baik akan melahirkan perbuatan yang baik, maka ada pula nasihat buruk yang akan berpengaruh dalam melahirkan perbuatan atau dampak yang buruk. Contoh dari Al-Qur’an bahwasanya nasihat yang buruk akan melahirkan dampak yang buruk Nasihat Iblis kepada Adam dan Hawa Di antara contoh dari nasihat yang buruk adalah nasihat Iblis kepada Adam dan Hawa ‘alaihimassalam. Sebagaimana yang Allah Ta’ala hikayatkan kisah mereka di dalam Al-Qur’an, وَقَاسَمَهُمَآ إِنِّى لَكُمَا لَمِنَ ٱلنَّـٰصِحِينَ  فَدَلَّٮٰهُمَا بِغُرُورٍ۬‌ۚ فَلَمَّا ذَاقَا ٱلشَّجَرَةَ بَدَتۡ لَهُمَا سَوۡءَٲتُہُمَا وَطَفِقَا يَخۡصِفَانِ عَلَيۡہِمَا مِن وَرَقِ ٱلۡجَنَّةِ‌ۖ وَنَادَٮٰهُمَا رَبُّہُمَآ أَلَمۡ أَنۡہَكُمَا عَن تِلۡكُمَا ٱلشَّجَرَةِ وَأَقُل لَّكُمَآ إِنَّ ٱلشَّيۡطَـٰنَ لَكُمَا عَدُوٌّ۬ مُّبِينٌ۬ “Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya, ‘Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasihat kepada kamu berdua.’ Maka, setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasakan buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian, Rabb mereka menyeru mereka, ‘Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu bahwasanya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?’” (QS. Al-’Araf: 21-22) Kemudian apa hasil dari nasihat yang buruk itu? Allah Ta’ala berfirman, قَالَ ٱهۡبِطُواْ بَعۡضُكُمۡ لِبَعۡضٍ عَدُوٌّ۬‌ۖ وَلَكُمۡ فِى ٱلۡأَرۡضِ مُسۡتَقَرٌّ۬ وَمَتَـٰعٌ إِلَىٰ حِينٍ۬ “Allah berfirman, ‘Turunlah kamu sekalian. Sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang telah ditentukan.'” (QS. Al-’Araf: 24) Dalam konteks yang lain, Allah Ta’ala berfirman, فَأَزَلَّهُمَا ٱلشَّيۡطَـٰنُ عَنۡہَا فَأَخۡرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ‌ۖ “Lalu, keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula.” (QS. Al-Baqarah: 36) Demikianlah, hasil dari nasihat yang buruk. Dampaknya begitu dahsyat sampai-sampai nenek moyang manusia Adam dan Hawa harus merasakan pahit dan getirnya dunia setelah merasakan manis dan indahnya surga. Nasihat Firaun kepada kaumnya Kisah yang lain, Allah Ta’ala menghikayatkan tentang Firaun yang menampakkan kepada kaumnya seolah-olah ia adalah pemberi nasihat yang baik untuk kaumnya. Allah Ta’ala berfirman, قَالَ فِرۡعَوۡنُ مَآ أُرِيكُمۡ إِلَّا مَآ أَرَىٰ وَمَآ أَهۡدِيكُمۡ إِلَّا سَبِيلَ ٱلرَّشَادِ “Firaun berkata, ‘Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik; dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar.'” (QS. Ghafir: 29) Bersamaan dengan nasihat ini, tampak kekhawatiran dan kecemasan Firaun akan kehadiran Nabi Musa ‘alaihis salam yang mengancam keyakinannya. Pada beberapa ayat sebelumnya, Allah Ta’ala berfirman tentang ucapan Firaun yang lain, وَقَالَ فِرۡعَوۡنُ ذَرُونِىٓ أَقۡتُلۡ مُوسَىٰ وَلۡيَدۡعُ رَبَّهُ ۥۤ‌ۖ إِنِّىٓ أَخَافُ أَن يُبَدِّلَ دِينَڪُمۡ أَوۡ أَن يُظۡهِرَ فِى ٱلۡأَرۡضِ ٱلۡفَسَادَ “Dan Firaun berkata (kepada pembesar-pembesarnya), ‘Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Rabbnya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi.'” (QS. Ghafir: 26) Dari nasihat-nasihat Firaun di atas, Allah Ta’ala pun mengabarkan tentang kaumnya Firaun yang menerima nasihat-nasihat dari Firaun, فَٱسۡتَخَفَّ قَوۡمَهُ ۥ فَأَطَاعُوهُ‌ۚ إِنَّهُمۡ كَانُواْ قَوۡمً۬ا فَـٰسِقِينَ “Maka, Firaun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.” (QS. Az-Zukhruf: 54) Kemudian, bagaimana kiranya hasil yang diperoleh oleh si penasihat (Firaun) dan yang dinasihati (kaumnya) dalam hal ini? Simaklah firman Allah Ta’ala dalam ayat-ayat berikut ini, فَوَقَٮٰهُ ٱللَّهُ سَيِّـَٔاتِ مَا مَڪَرُواْۖ وَحَاقَ بِـَٔالِ فِرۡعَوۡنَ سُوٓءُ ٱلۡعَذَابِ  ٱلنَّارُ يُعۡرَضُونَ عَلَيۡہَا غُدُوًّ۬ا وَعَشِيًّ۬اۖ وَيَوۡمَ تَقُومُ ٱلسَّاعَةُ أَدۡخِلُوٓاْ ءَالَ فِرۡعَوۡنَ أَشَدَّ ٱلۡعَذَابِ  وَإِذۡ يَتَحَآجُّونَ فِى ٱلنَّارِ فَيَقُولُ ٱلضُّعَفَـٰٓؤُاْ لِلَّذِينَ ٱسۡتَڪۡبَرُوٓاْ إِنَّا كُنَّا لَكُمۡ تَبَعً۬ا فَهَلۡ أَنتُم مُّغۡنُونَ عَنَّا نَصِيبً۬ا مِّنَ ٱلنَّارِ  قَالَ ٱلَّذِينَ ٱسۡتَڪۡبَرُوٓاْ إِنَّا كُلٌّ۬ فِيهَآ إِنَّ ٱللَّهَ قَدۡ حَكَمَ بَيۡنَ ٱلۡعِبَادِ “Maka, Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka. Dan Firaun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk. Kepada mereka ditampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat. (Dikatakan kepada malaikat), ‘Masukkanlah Firaun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras.’ Dan (ingatlah), ketika mereka berbantah-bantah dalam neraka, maka orang-orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri, ‘Sesungguhnya kami adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan dari kami sebagian azab api neraka?’ Orang-orang yang menyombongkan diri menjawab, ‘Sesungguhnya kita semua sama-sama dalam neraka karena sesungguhnya Allah telah menetapkan keputusan antara hamba-hamba-(Nya).’” (QS. Ghafir: 45-48) Kedua kisah di atas sebagai contoh akan buruknya dampak dari nasihat yang tidak baik. Sehingga, tidaklah yang terlahir dari nasihat yang buruk, melainkan keburukan pula, baik keburukan itu semisal atau lebih parah dampaknya. Karenanya, kaum muslimin hendaknya tetap tegar dalam memberikan nasihat di atas kebaikan dan petunjuk dan menjauhkan segala bentuk nasihat yang berlandaskan keburukan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا “Barangsiapa mengajak kepada kebaikan, maka ia akan mendapat pahala sebanyak pahala yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Sebaliknya, barangsiapa mengajak kepada kesesatan, maka ia akan mendapat dosa sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.”[1] Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Kembali ke bagian 4: Keutamaan Menasihati Kaum Muslimin (Bag. 4) Lanjut ke bagian 6: [Bersambung] *** Depok, 15 Zulkaidah 1445H / 22 Mei 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Hadis diriwayatkan oleh Muslim no. 4831. Tags: nasihat


Daftar Isi Toggle Contoh dari Al-Qur’an bahwasanya nasihat yang buruk akan melahirkan dampak yang burukNasihat Iblis kepada Adam dan HawaNasihat Firaun kepada kaumnya Melanjutkan pembahasan serial dari keutamaan menasihati kaum muslimin. Setelah sebelumnya membahas tentang pengaruh besar dari nasihat yang baik di mana nasihat yang baik akan melahirkan perbuatan yang baik, maka ada pula nasihat buruk yang akan berpengaruh dalam melahirkan perbuatan atau dampak yang buruk. Contoh dari Al-Qur’an bahwasanya nasihat yang buruk akan melahirkan dampak yang buruk Nasihat Iblis kepada Adam dan Hawa Di antara contoh dari nasihat yang buruk adalah nasihat Iblis kepada Adam dan Hawa ‘alaihimassalam. Sebagaimana yang Allah Ta’ala hikayatkan kisah mereka di dalam Al-Qur’an, وَقَاسَمَهُمَآ إِنِّى لَكُمَا لَمِنَ ٱلنَّـٰصِحِينَ  فَدَلَّٮٰهُمَا بِغُرُورٍ۬‌ۚ فَلَمَّا ذَاقَا ٱلشَّجَرَةَ بَدَتۡ لَهُمَا سَوۡءَٲتُہُمَا وَطَفِقَا يَخۡصِفَانِ عَلَيۡہِمَا مِن وَرَقِ ٱلۡجَنَّةِ‌ۖ وَنَادَٮٰهُمَا رَبُّہُمَآ أَلَمۡ أَنۡہَكُمَا عَن تِلۡكُمَا ٱلشَّجَرَةِ وَأَقُل لَّكُمَآ إِنَّ ٱلشَّيۡطَـٰنَ لَكُمَا عَدُوٌّ۬ مُّبِينٌ۬ “Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya, ‘Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasihat kepada kamu berdua.’ Maka, setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasakan buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian, Rabb mereka menyeru mereka, ‘Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu bahwasanya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?’” (QS. Al-’Araf: 21-22) Kemudian apa hasil dari nasihat yang buruk itu? Allah Ta’ala berfirman, قَالَ ٱهۡبِطُواْ بَعۡضُكُمۡ لِبَعۡضٍ عَدُوٌّ۬‌ۖ وَلَكُمۡ فِى ٱلۡأَرۡضِ مُسۡتَقَرٌّ۬ وَمَتَـٰعٌ إِلَىٰ حِينٍ۬ “Allah berfirman, ‘Turunlah kamu sekalian. Sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang telah ditentukan.'” (QS. Al-’Araf: 24) Dalam konteks yang lain, Allah Ta’ala berfirman, فَأَزَلَّهُمَا ٱلشَّيۡطَـٰنُ عَنۡہَا فَأَخۡرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ‌ۖ “Lalu, keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula.” (QS. Al-Baqarah: 36) Demikianlah, hasil dari nasihat yang buruk. Dampaknya begitu dahsyat sampai-sampai nenek moyang manusia Adam dan Hawa harus merasakan pahit dan getirnya dunia setelah merasakan manis dan indahnya surga. Nasihat Firaun kepada kaumnya Kisah yang lain, Allah Ta’ala menghikayatkan tentang Firaun yang menampakkan kepada kaumnya seolah-olah ia adalah pemberi nasihat yang baik untuk kaumnya. Allah Ta’ala berfirman, قَالَ فِرۡعَوۡنُ مَآ أُرِيكُمۡ إِلَّا مَآ أَرَىٰ وَمَآ أَهۡدِيكُمۡ إِلَّا سَبِيلَ ٱلرَّشَادِ “Firaun berkata, ‘Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik; dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar.'” (QS. Ghafir: 29) Bersamaan dengan nasihat ini, tampak kekhawatiran dan kecemasan Firaun akan kehadiran Nabi Musa ‘alaihis salam yang mengancam keyakinannya. Pada beberapa ayat sebelumnya, Allah Ta’ala berfirman tentang ucapan Firaun yang lain, وَقَالَ فِرۡعَوۡنُ ذَرُونِىٓ أَقۡتُلۡ مُوسَىٰ وَلۡيَدۡعُ رَبَّهُ ۥۤ‌ۖ إِنِّىٓ أَخَافُ أَن يُبَدِّلَ دِينَڪُمۡ أَوۡ أَن يُظۡهِرَ فِى ٱلۡأَرۡضِ ٱلۡفَسَادَ “Dan Firaun berkata (kepada pembesar-pembesarnya), ‘Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Rabbnya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi.'” (QS. Ghafir: 26) Dari nasihat-nasihat Firaun di atas, Allah Ta’ala pun mengabarkan tentang kaumnya Firaun yang menerima nasihat-nasihat dari Firaun, فَٱسۡتَخَفَّ قَوۡمَهُ ۥ فَأَطَاعُوهُ‌ۚ إِنَّهُمۡ كَانُواْ قَوۡمً۬ا فَـٰسِقِينَ “Maka, Firaun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.” (QS. Az-Zukhruf: 54) Kemudian, bagaimana kiranya hasil yang diperoleh oleh si penasihat (Firaun) dan yang dinasihati (kaumnya) dalam hal ini? Simaklah firman Allah Ta’ala dalam ayat-ayat berikut ini, فَوَقَٮٰهُ ٱللَّهُ سَيِّـَٔاتِ مَا مَڪَرُواْۖ وَحَاقَ بِـَٔالِ فِرۡعَوۡنَ سُوٓءُ ٱلۡعَذَابِ  ٱلنَّارُ يُعۡرَضُونَ عَلَيۡہَا غُدُوًّ۬ا وَعَشِيًّ۬اۖ وَيَوۡمَ تَقُومُ ٱلسَّاعَةُ أَدۡخِلُوٓاْ ءَالَ فِرۡعَوۡنَ أَشَدَّ ٱلۡعَذَابِ  وَإِذۡ يَتَحَآجُّونَ فِى ٱلنَّارِ فَيَقُولُ ٱلضُّعَفَـٰٓؤُاْ لِلَّذِينَ ٱسۡتَڪۡبَرُوٓاْ إِنَّا كُنَّا لَكُمۡ تَبَعً۬ا فَهَلۡ أَنتُم مُّغۡنُونَ عَنَّا نَصِيبً۬ا مِّنَ ٱلنَّارِ  قَالَ ٱلَّذِينَ ٱسۡتَڪۡبَرُوٓاْ إِنَّا كُلٌّ۬ فِيهَآ إِنَّ ٱللَّهَ قَدۡ حَكَمَ بَيۡنَ ٱلۡعِبَادِ “Maka, Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka. Dan Firaun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk. Kepada mereka ditampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat. (Dikatakan kepada malaikat), ‘Masukkanlah Firaun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras.’ Dan (ingatlah), ketika mereka berbantah-bantah dalam neraka, maka orang-orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri, ‘Sesungguhnya kami adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan dari kami sebagian azab api neraka?’ Orang-orang yang menyombongkan diri menjawab, ‘Sesungguhnya kita semua sama-sama dalam neraka karena sesungguhnya Allah telah menetapkan keputusan antara hamba-hamba-(Nya).’” (QS. Ghafir: 45-48) Kedua kisah di atas sebagai contoh akan buruknya dampak dari nasihat yang tidak baik. Sehingga, tidaklah yang terlahir dari nasihat yang buruk, melainkan keburukan pula, baik keburukan itu semisal atau lebih parah dampaknya. Karenanya, kaum muslimin hendaknya tetap tegar dalam memberikan nasihat di atas kebaikan dan petunjuk dan menjauhkan segala bentuk nasihat yang berlandaskan keburukan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا “Barangsiapa mengajak kepada kebaikan, maka ia akan mendapat pahala sebanyak pahala yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Sebaliknya, barangsiapa mengajak kepada kesesatan, maka ia akan mendapat dosa sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.”[1] Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Kembali ke bagian 4: Keutamaan Menasihati Kaum Muslimin (Bag. 4) Lanjut ke bagian 6: [Bersambung] *** Depok, 15 Zulkaidah 1445H / 22 Mei 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Hadis diriwayatkan oleh Muslim no. 4831. Tags: nasihat

Apakah Suami Menanggung Dosa Istri Termasuk Dosa yang Terkecil Sekalipun

Pertanyaan: Benarkah bahwa suami menanggung semua dosa istrinya sampai yang terkecilnya? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Ini konsep yang tidak sejalan dengan syariat dan juga tidak sesuai dengan akal sehat. Dalam syariat, setiap orang hanya akan mempertanggungjawabkan hasil perbuatan masing-masing. Seseorang tidak akan diazab gara-gara kesalahan orang lain.  Kecuali, jika kesalahan orang lain tersebut hasil dari perbuatan dia. Jadi tetap saja, dia dihukum karena hasil perbuatannya sendiri.  Allah ta’ala berfirman: وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ “Seseorang tidak menanggung dosa karena kesalahan orang lain.” (QS. Fathir: 18). Allah ta’ala berfirman: ثُمَّ قِيلَ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا ذُوقُوا عَذَابَ الْخُلْدِ هَلْ تُجْزَوْنَ إِلَّا بِمَا كُنتُمْ تَكْسِبُونَ “Kemudian dikatakan kepada orang-orang yang zalim (musyrik) itu: “Rasakanlah olehmu siksaan yang kekal; kamu tidak diberi balasan melainkan dengan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Yunus: 52). Di hari pembalasan tidak ada orang yang terzalimi dengan mendapatkan hukuman atas kesalahan yang tidak ia perbuat. Semua balasan sesuai dengan perbuatannya. Allah ta’ala berfirman: فَالْيَوْمَ لَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَلَا تُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ “Di hari ini tidak ada orang terzalimi sama sekali, dan tidaklah seseorang dibalas kecuali atas apa yang ia kerjakan” (QS. Yasin: 54). Maka, dalam syariat, suami tidak menanggung dosa istri. Kecuali kesalahan-kesalahan istri yang disebabkan oleh suaminya. Seorang suami tidak menanggung dosa istri kecuali karena tiga sebab: 1. Suami lalai, tidak mengajarkan agama kepada istri sehingga istri jatuh pada penyimpangan agama. 2. Suami mengajarkan atau membantu istrinya melakukan keburukan. 3. Suami membiarkan atau menyetujui keburukan yang dilakukan istrinya. Dalilnya, Allah ta’ala berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan” (QS. At-Tahrim: 6). Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu ketika menafsirkan ayat ini, maksudnya adalah: علموا هم وأدبوا هم “Ajarkanlah keluargamu ilmu agama dan ajarkan mereka adab” (Tafsir Ath-Thabari, 23/103). Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah orang yang bertanggung jawab. Setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang imam adalah orang yang bertanggung jawab dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang lelaki bertanggung jawab terhadap keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawabannya” (HR. Al-Bukhari no.893, Muslim no.1829). Imam An-Nawawi dalam kitab Riyadhus Shalihin membuat judul bab: باب وجوب أمره أهله وأولاده المميزين وسائر من في رعيته بطاعة الله تعالى ونهيهم عن المخالفة وتأديبهم ومنعهم من ارتكاب مَنْهِيٍّ عَنْهُ “Bab wajib (bagi seorang suami) untuk memerintahkan istrinya dan anak-anaknya yang sudah mumayyiz serta semua orang yang ada dalam tanggung jawabnya untuk mengerjakan ketaatan kepada Allah ta’ala dan melarang mereka dari semua penyimpangan serta wajib mengatur mereka serta mencegah mereka terhadap hal-hal yang dilarang agama”. Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan: فواجب على كل مسلم أن يعلم أهله ما بهم الحاجة إليه من أمر دينهم ويأمرهم به، وواجب عليه أن ينهاهم عن كل ما لا يحل لهم ويوقفهم عليه ويمنعهم منه ويعلمهم ذلك كله “Wajib bagi setiap muslim untuk mengajarkan keluarganya perkara-perkara agama yang mereka butuhkan dan wajib memerintahkan mereka untuk melaksanakannya. Wajib juga untuk melarang mereka dari segala sesuatu yang tidak halal bagi mereka dan menjauhkan serta mencegah mereka dari semua itu. Dan wajib mengajarkan mereka semua hal ini (perintah dan larangan)” (Al-Istidzkar, hal. 510). Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, bahwa Nabi shallallahu’alaihi  wasallam bersabda: ثلاثةٌ لا يَدخلُونَ الجنةَ: العاقُّ لِوالِدَيْهِ ، و الدَّيُّوثُ ، ورَجِلَةُ النِّساءِ “Tidak masuk surga orang yang durhaka terhadap orang tuanya, AD-DAYYUTS, dan wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubra 10/226, Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhid 861/2, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, 3063). Dayyuts adalah lelaki yang membiarkan istrinya atau anak-anaknya melakukan maksiat. Dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dalam hadits lain: ثَلَاثَةٌ قَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ الْجَنَّةَ مُدْمِنُ الْخَمْرِ وَالْعَاقُّ وَالدَّيُّوثُ الَّذِي يُقِرُّ فِي أَهْلِهِ الْخَبَثَ “Ada tiga orang yang Allah haramkan mereka masuk surga. Pecandu khamr, anak yang durhaka pada orang tua dan AD-DAYYUTS, yaitu orang yang setuju pada khabats (maksiat) yang dilakukan oleh anak-istrinya” (HR. Ahmad no. 5372, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami‘ no.3052). Maka seorang suami berdosa jika istrinya melakukan kesalahan karena tiga sebab di atas. Dan sebenarnya dalam 3 poin di atas, suami menanggung dosa istri karena kesalahan si suami sendiri. Sehingga sesuai kaidah asal, bahwa setiap orang menanggung balasan atas sebab perbuatannya masing-masing. Adapun kesalahan istri yang tidak termasuk 3 poin di atas, maka suami berlepas diri dan tidak menanggung dosa istri. Semisal suami yang sudah mengajari istrinya dan sudah menasehatinya dengan baik, namun sang istri enggan menaati suaminya sehingga ia berbuat pelanggaran agama, maka suami tidak menanggung dosa istrinya. Dan konsep menanggung semua dosa orang lain ini berasal dari kaum Nasrani. Mereka meyakini Yesus menanggung dosa semua umat Nasrani sampai yang terkecilnya.  Akhir kalam, bagi para suami walaupun tidak menanggung semua dosa istri, tetap saja 3 poin di atas adalah perkara berat, jangan sampai jatuh ke dalamnya.  Semoga Allah beri taufik kepada para suami untuk bisa mendidik dan membimbing keluarganya dengan baik.  Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 1,653 times, 4 visit(s) today Post Views: 1,304 QRIS donasi Yufid

Apakah Suami Menanggung Dosa Istri Termasuk Dosa yang Terkecil Sekalipun

Pertanyaan: Benarkah bahwa suami menanggung semua dosa istrinya sampai yang terkecilnya? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Ini konsep yang tidak sejalan dengan syariat dan juga tidak sesuai dengan akal sehat. Dalam syariat, setiap orang hanya akan mempertanggungjawabkan hasil perbuatan masing-masing. Seseorang tidak akan diazab gara-gara kesalahan orang lain.  Kecuali, jika kesalahan orang lain tersebut hasil dari perbuatan dia. Jadi tetap saja, dia dihukum karena hasil perbuatannya sendiri.  Allah ta’ala berfirman: وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ “Seseorang tidak menanggung dosa karena kesalahan orang lain.” (QS. Fathir: 18). Allah ta’ala berfirman: ثُمَّ قِيلَ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا ذُوقُوا عَذَابَ الْخُلْدِ هَلْ تُجْزَوْنَ إِلَّا بِمَا كُنتُمْ تَكْسِبُونَ “Kemudian dikatakan kepada orang-orang yang zalim (musyrik) itu: “Rasakanlah olehmu siksaan yang kekal; kamu tidak diberi balasan melainkan dengan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Yunus: 52). Di hari pembalasan tidak ada orang yang terzalimi dengan mendapatkan hukuman atas kesalahan yang tidak ia perbuat. Semua balasan sesuai dengan perbuatannya. Allah ta’ala berfirman: فَالْيَوْمَ لَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَلَا تُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ “Di hari ini tidak ada orang terzalimi sama sekali, dan tidaklah seseorang dibalas kecuali atas apa yang ia kerjakan” (QS. Yasin: 54). Maka, dalam syariat, suami tidak menanggung dosa istri. Kecuali kesalahan-kesalahan istri yang disebabkan oleh suaminya. Seorang suami tidak menanggung dosa istri kecuali karena tiga sebab: 1. Suami lalai, tidak mengajarkan agama kepada istri sehingga istri jatuh pada penyimpangan agama. 2. Suami mengajarkan atau membantu istrinya melakukan keburukan. 3. Suami membiarkan atau menyetujui keburukan yang dilakukan istrinya. Dalilnya, Allah ta’ala berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan” (QS. At-Tahrim: 6). Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu ketika menafsirkan ayat ini, maksudnya adalah: علموا هم وأدبوا هم “Ajarkanlah keluargamu ilmu agama dan ajarkan mereka adab” (Tafsir Ath-Thabari, 23/103). Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah orang yang bertanggung jawab. Setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang imam adalah orang yang bertanggung jawab dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang lelaki bertanggung jawab terhadap keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawabannya” (HR. Al-Bukhari no.893, Muslim no.1829). Imam An-Nawawi dalam kitab Riyadhus Shalihin membuat judul bab: باب وجوب أمره أهله وأولاده المميزين وسائر من في رعيته بطاعة الله تعالى ونهيهم عن المخالفة وتأديبهم ومنعهم من ارتكاب مَنْهِيٍّ عَنْهُ “Bab wajib (bagi seorang suami) untuk memerintahkan istrinya dan anak-anaknya yang sudah mumayyiz serta semua orang yang ada dalam tanggung jawabnya untuk mengerjakan ketaatan kepada Allah ta’ala dan melarang mereka dari semua penyimpangan serta wajib mengatur mereka serta mencegah mereka terhadap hal-hal yang dilarang agama”. Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan: فواجب على كل مسلم أن يعلم أهله ما بهم الحاجة إليه من أمر دينهم ويأمرهم به، وواجب عليه أن ينهاهم عن كل ما لا يحل لهم ويوقفهم عليه ويمنعهم منه ويعلمهم ذلك كله “Wajib bagi setiap muslim untuk mengajarkan keluarganya perkara-perkara agama yang mereka butuhkan dan wajib memerintahkan mereka untuk melaksanakannya. Wajib juga untuk melarang mereka dari segala sesuatu yang tidak halal bagi mereka dan menjauhkan serta mencegah mereka dari semua itu. Dan wajib mengajarkan mereka semua hal ini (perintah dan larangan)” (Al-Istidzkar, hal. 510). Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, bahwa Nabi shallallahu’alaihi  wasallam bersabda: ثلاثةٌ لا يَدخلُونَ الجنةَ: العاقُّ لِوالِدَيْهِ ، و الدَّيُّوثُ ، ورَجِلَةُ النِّساءِ “Tidak masuk surga orang yang durhaka terhadap orang tuanya, AD-DAYYUTS, dan wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubra 10/226, Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhid 861/2, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, 3063). Dayyuts adalah lelaki yang membiarkan istrinya atau anak-anaknya melakukan maksiat. Dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dalam hadits lain: ثَلَاثَةٌ قَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ الْجَنَّةَ مُدْمِنُ الْخَمْرِ وَالْعَاقُّ وَالدَّيُّوثُ الَّذِي يُقِرُّ فِي أَهْلِهِ الْخَبَثَ “Ada tiga orang yang Allah haramkan mereka masuk surga. Pecandu khamr, anak yang durhaka pada orang tua dan AD-DAYYUTS, yaitu orang yang setuju pada khabats (maksiat) yang dilakukan oleh anak-istrinya” (HR. Ahmad no. 5372, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami‘ no.3052). Maka seorang suami berdosa jika istrinya melakukan kesalahan karena tiga sebab di atas. Dan sebenarnya dalam 3 poin di atas, suami menanggung dosa istri karena kesalahan si suami sendiri. Sehingga sesuai kaidah asal, bahwa setiap orang menanggung balasan atas sebab perbuatannya masing-masing. Adapun kesalahan istri yang tidak termasuk 3 poin di atas, maka suami berlepas diri dan tidak menanggung dosa istri. Semisal suami yang sudah mengajari istrinya dan sudah menasehatinya dengan baik, namun sang istri enggan menaati suaminya sehingga ia berbuat pelanggaran agama, maka suami tidak menanggung dosa istrinya. Dan konsep menanggung semua dosa orang lain ini berasal dari kaum Nasrani. Mereka meyakini Yesus menanggung dosa semua umat Nasrani sampai yang terkecilnya.  Akhir kalam, bagi para suami walaupun tidak menanggung semua dosa istri, tetap saja 3 poin di atas adalah perkara berat, jangan sampai jatuh ke dalamnya.  Semoga Allah beri taufik kepada para suami untuk bisa mendidik dan membimbing keluarganya dengan baik.  Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 1,653 times, 4 visit(s) today Post Views: 1,304 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Benarkah bahwa suami menanggung semua dosa istrinya sampai yang terkecilnya? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Ini konsep yang tidak sejalan dengan syariat dan juga tidak sesuai dengan akal sehat. Dalam syariat, setiap orang hanya akan mempertanggungjawabkan hasil perbuatan masing-masing. Seseorang tidak akan diazab gara-gara kesalahan orang lain.  Kecuali, jika kesalahan orang lain tersebut hasil dari perbuatan dia. Jadi tetap saja, dia dihukum karena hasil perbuatannya sendiri.  Allah ta’ala berfirman: وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ “Seseorang tidak menanggung dosa karena kesalahan orang lain.” (QS. Fathir: 18). Allah ta’ala berfirman: ثُمَّ قِيلَ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا ذُوقُوا عَذَابَ الْخُلْدِ هَلْ تُجْزَوْنَ إِلَّا بِمَا كُنتُمْ تَكْسِبُونَ “Kemudian dikatakan kepada orang-orang yang zalim (musyrik) itu: “Rasakanlah olehmu siksaan yang kekal; kamu tidak diberi balasan melainkan dengan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Yunus: 52). Di hari pembalasan tidak ada orang yang terzalimi dengan mendapatkan hukuman atas kesalahan yang tidak ia perbuat. Semua balasan sesuai dengan perbuatannya. Allah ta’ala berfirman: فَالْيَوْمَ لَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَلَا تُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ “Di hari ini tidak ada orang terzalimi sama sekali, dan tidaklah seseorang dibalas kecuali atas apa yang ia kerjakan” (QS. Yasin: 54). Maka, dalam syariat, suami tidak menanggung dosa istri. Kecuali kesalahan-kesalahan istri yang disebabkan oleh suaminya. Seorang suami tidak menanggung dosa istri kecuali karena tiga sebab: 1. Suami lalai, tidak mengajarkan agama kepada istri sehingga istri jatuh pada penyimpangan agama. 2. Suami mengajarkan atau membantu istrinya melakukan keburukan. 3. Suami membiarkan atau menyetujui keburukan yang dilakukan istrinya. Dalilnya, Allah ta’ala berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan” (QS. At-Tahrim: 6). Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu ketika menafsirkan ayat ini, maksudnya adalah: علموا هم وأدبوا هم “Ajarkanlah keluargamu ilmu agama dan ajarkan mereka adab” (Tafsir Ath-Thabari, 23/103). Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah orang yang bertanggung jawab. Setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang imam adalah orang yang bertanggung jawab dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang lelaki bertanggung jawab terhadap keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawabannya” (HR. Al-Bukhari no.893, Muslim no.1829). Imam An-Nawawi dalam kitab Riyadhus Shalihin membuat judul bab: باب وجوب أمره أهله وأولاده المميزين وسائر من في رعيته بطاعة الله تعالى ونهيهم عن المخالفة وتأديبهم ومنعهم من ارتكاب مَنْهِيٍّ عَنْهُ “Bab wajib (bagi seorang suami) untuk memerintahkan istrinya dan anak-anaknya yang sudah mumayyiz serta semua orang yang ada dalam tanggung jawabnya untuk mengerjakan ketaatan kepada Allah ta’ala dan melarang mereka dari semua penyimpangan serta wajib mengatur mereka serta mencegah mereka terhadap hal-hal yang dilarang agama”. Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan: فواجب على كل مسلم أن يعلم أهله ما بهم الحاجة إليه من أمر دينهم ويأمرهم به، وواجب عليه أن ينهاهم عن كل ما لا يحل لهم ويوقفهم عليه ويمنعهم منه ويعلمهم ذلك كله “Wajib bagi setiap muslim untuk mengajarkan keluarganya perkara-perkara agama yang mereka butuhkan dan wajib memerintahkan mereka untuk melaksanakannya. Wajib juga untuk melarang mereka dari segala sesuatu yang tidak halal bagi mereka dan menjauhkan serta mencegah mereka dari semua itu. Dan wajib mengajarkan mereka semua hal ini (perintah dan larangan)” (Al-Istidzkar, hal. 510). Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, bahwa Nabi shallallahu’alaihi  wasallam bersabda: ثلاثةٌ لا يَدخلُونَ الجنةَ: العاقُّ لِوالِدَيْهِ ، و الدَّيُّوثُ ، ورَجِلَةُ النِّساءِ “Tidak masuk surga orang yang durhaka terhadap orang tuanya, AD-DAYYUTS, dan wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubra 10/226, Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhid 861/2, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, 3063). Dayyuts adalah lelaki yang membiarkan istrinya atau anak-anaknya melakukan maksiat. Dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dalam hadits lain: ثَلَاثَةٌ قَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ الْجَنَّةَ مُدْمِنُ الْخَمْرِ وَالْعَاقُّ وَالدَّيُّوثُ الَّذِي يُقِرُّ فِي أَهْلِهِ الْخَبَثَ “Ada tiga orang yang Allah haramkan mereka masuk surga. Pecandu khamr, anak yang durhaka pada orang tua dan AD-DAYYUTS, yaitu orang yang setuju pada khabats (maksiat) yang dilakukan oleh anak-istrinya” (HR. Ahmad no. 5372, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami‘ no.3052). Maka seorang suami berdosa jika istrinya melakukan kesalahan karena tiga sebab di atas. Dan sebenarnya dalam 3 poin di atas, suami menanggung dosa istri karena kesalahan si suami sendiri. Sehingga sesuai kaidah asal, bahwa setiap orang menanggung balasan atas sebab perbuatannya masing-masing. Adapun kesalahan istri yang tidak termasuk 3 poin di atas, maka suami berlepas diri dan tidak menanggung dosa istri. Semisal suami yang sudah mengajari istrinya dan sudah menasehatinya dengan baik, namun sang istri enggan menaati suaminya sehingga ia berbuat pelanggaran agama, maka suami tidak menanggung dosa istrinya. Dan konsep menanggung semua dosa orang lain ini berasal dari kaum Nasrani. Mereka meyakini Yesus menanggung dosa semua umat Nasrani sampai yang terkecilnya.  Akhir kalam, bagi para suami walaupun tidak menanggung semua dosa istri, tetap saja 3 poin di atas adalah perkara berat, jangan sampai jatuh ke dalamnya.  Semoga Allah beri taufik kepada para suami untuk bisa mendidik dan membimbing keluarganya dengan baik.  Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 1,653 times, 4 visit(s) today Post Views: 1,304 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Benarkah bahwa suami menanggung semua dosa istrinya sampai yang terkecilnya? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Ini konsep yang tidak sejalan dengan syariat dan juga tidak sesuai dengan akal sehat. Dalam syariat, setiap orang hanya akan mempertanggungjawabkan hasil perbuatan masing-masing. Seseorang tidak akan diazab gara-gara kesalahan orang lain.  Kecuali, jika kesalahan orang lain tersebut hasil dari perbuatan dia. Jadi tetap saja, dia dihukum karena hasil perbuatannya sendiri.  Allah ta’ala berfirman: وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ “Seseorang tidak menanggung dosa karena kesalahan orang lain.” (QS. Fathir: 18). Allah ta’ala berfirman: ثُمَّ قِيلَ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا ذُوقُوا عَذَابَ الْخُلْدِ هَلْ تُجْزَوْنَ إِلَّا بِمَا كُنتُمْ تَكْسِبُونَ “Kemudian dikatakan kepada orang-orang yang zalim (musyrik) itu: “Rasakanlah olehmu siksaan yang kekal; kamu tidak diberi balasan melainkan dengan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Yunus: 52). Di hari pembalasan tidak ada orang yang terzalimi dengan mendapatkan hukuman atas kesalahan yang tidak ia perbuat. Semua balasan sesuai dengan perbuatannya. Allah ta’ala berfirman: فَالْيَوْمَ لَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَلَا تُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ “Di hari ini tidak ada orang terzalimi sama sekali, dan tidaklah seseorang dibalas kecuali atas apa yang ia kerjakan” (QS. Yasin: 54). Maka, dalam syariat, suami tidak menanggung dosa istri. Kecuali kesalahan-kesalahan istri yang disebabkan oleh suaminya. Seorang suami tidak menanggung dosa istri kecuali karena tiga sebab: 1. Suami lalai, tidak mengajarkan agama kepada istri sehingga istri jatuh pada penyimpangan agama. 2. Suami mengajarkan atau membantu istrinya melakukan keburukan. 3. Suami membiarkan atau menyetujui keburukan yang dilakukan istrinya. Dalilnya, Allah ta’ala berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan” (QS. At-Tahrim: 6). Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu ketika menafsirkan ayat ini, maksudnya adalah: علموا هم وأدبوا هم “Ajarkanlah keluargamu ilmu agama dan ajarkan mereka adab” (Tafsir Ath-Thabari, 23/103). Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah orang yang bertanggung jawab. Setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang imam adalah orang yang bertanggung jawab dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang lelaki bertanggung jawab terhadap keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawabannya” (HR. Al-Bukhari no.893, Muslim no.1829). Imam An-Nawawi dalam kitab Riyadhus Shalihin membuat judul bab: باب وجوب أمره أهله وأولاده المميزين وسائر من في رعيته بطاعة الله تعالى ونهيهم عن المخالفة وتأديبهم ومنعهم من ارتكاب مَنْهِيٍّ عَنْهُ “Bab wajib (bagi seorang suami) untuk memerintahkan istrinya dan anak-anaknya yang sudah mumayyiz serta semua orang yang ada dalam tanggung jawabnya untuk mengerjakan ketaatan kepada Allah ta’ala dan melarang mereka dari semua penyimpangan serta wajib mengatur mereka serta mencegah mereka terhadap hal-hal yang dilarang agama”. Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan: فواجب على كل مسلم أن يعلم أهله ما بهم الحاجة إليه من أمر دينهم ويأمرهم به، وواجب عليه أن ينهاهم عن كل ما لا يحل لهم ويوقفهم عليه ويمنعهم منه ويعلمهم ذلك كله “Wajib bagi setiap muslim untuk mengajarkan keluarganya perkara-perkara agama yang mereka butuhkan dan wajib memerintahkan mereka untuk melaksanakannya. Wajib juga untuk melarang mereka dari segala sesuatu yang tidak halal bagi mereka dan menjauhkan serta mencegah mereka dari semua itu. Dan wajib mengajarkan mereka semua hal ini (perintah dan larangan)” (Al-Istidzkar, hal. 510). Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, bahwa Nabi shallallahu’alaihi  wasallam bersabda: ثلاثةٌ لا يَدخلُونَ الجنةَ: العاقُّ لِوالِدَيْهِ ، و الدَّيُّوثُ ، ورَجِلَةُ النِّساءِ “Tidak masuk surga orang yang durhaka terhadap orang tuanya, AD-DAYYUTS, dan wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubra 10/226, Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhid 861/2, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, 3063). Dayyuts adalah lelaki yang membiarkan istrinya atau anak-anaknya melakukan maksiat. Dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dalam hadits lain: ثَلَاثَةٌ قَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ الْجَنَّةَ مُدْمِنُ الْخَمْرِ وَالْعَاقُّ وَالدَّيُّوثُ الَّذِي يُقِرُّ فِي أَهْلِهِ الْخَبَثَ “Ada tiga orang yang Allah haramkan mereka masuk surga. Pecandu khamr, anak yang durhaka pada orang tua dan AD-DAYYUTS, yaitu orang yang setuju pada khabats (maksiat) yang dilakukan oleh anak-istrinya” (HR. Ahmad no. 5372, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami‘ no.3052). Maka seorang suami berdosa jika istrinya melakukan kesalahan karena tiga sebab di atas. Dan sebenarnya dalam 3 poin di atas, suami menanggung dosa istri karena kesalahan si suami sendiri. Sehingga sesuai kaidah asal, bahwa setiap orang menanggung balasan atas sebab perbuatannya masing-masing. Adapun kesalahan istri yang tidak termasuk 3 poin di atas, maka suami berlepas diri dan tidak menanggung dosa istri. Semisal suami yang sudah mengajari istrinya dan sudah menasehatinya dengan baik, namun sang istri enggan menaati suaminya sehingga ia berbuat pelanggaran agama, maka suami tidak menanggung dosa istrinya. Dan konsep menanggung semua dosa orang lain ini berasal dari kaum Nasrani. Mereka meyakini Yesus menanggung dosa semua umat Nasrani sampai yang terkecilnya.  Akhir kalam, bagi para suami walaupun tidak menanggung semua dosa istri, tetap saja 3 poin di atas adalah perkara berat, jangan sampai jatuh ke dalamnya.  Semoga Allah beri taufik kepada para suami untuk bisa mendidik dan membimbing keluarganya dengan baik.  Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 1,653 times, 4 visit(s) today Post Views: 1,304 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Empat Overdosis Penyebab Hati Keracunan (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Overdosis melihatBentuk-bentuk melihat yang diharamkanBahaya overdosis melihat Overdosis melihat Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang karena nikmat-Nyalah sampai saat ini kita semua sudah dan masih menjadi seorang muslim yang semoga selalu diberi hidayah. Pada kesempatan kali ini, melanjutkan pembahasan sebelumnya, kita akan memasuki pembahasan فضول atau overdosis yang kedua, yaitu فضول النظر yang artinya terlalu banyak melihat, di mana kita narasikan dengan “overdosis melihat”. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمْ نَجْعَل لَّهُۥ عَيْنَيْنِ “Bukankah Kami sudah menjadikan untuknya sepasang mata?” (QS. Al-Balad: 8) Overdosis melihat dalam konteks pembahasan kali ini adalah menggunakan penglihatan yang telah Allah berikan kepada kita, yaitu mata (baik secara langsung, ataupun dengan alat bantu seperti kaca mata, teropong, kamera, dan semisalnya) untuk melihat hal-hal yang haram dan dilarang. Tidak diragukan lagi, melihat hal-hal yang haram dapat menghinakan seseorang dan merendahkan martabatnya. Mengapa? Karena dengan itu, seseorang akan menjadi budak dari apa yang ia lihat. Bagaimana bisa? Pada dasarnya, penglihatan terhubung sangat erat dengan hati. Pandangan visual secara tidak langsung akan menjadi penentu utama suka-tidaknya seseorang pada sesuatu. Apa yang dilihatnya akan langsung disimpan dan diproses dalam pikiran, berputar-putar di dalamnya, untuk kemudian melekat dan menetap di pikiran kita sebagai memori. Maka, ketika melihat, melahirkan kebencian atau kesukaan yang berlebih, keduanya akan mengotori hati (terlepas dari alasan yang dibenarkan syariat). Entah seseorang menjadi musuh bebuyutan sesuatu sehingga menghabiskan waktunya untuk itu, capek mental, atau seseorang menjadi budak dari hal yang ia lihat dan melahirkan kesukaan atau rasa cinta yang tidak sewajarnya, tentunya dalam hal ini sangat sering terjadi pada hal-hal yang diharamkan. Bentuk-bentuk melihat yang diharamkan Adapun bentuk-bentuk dari melihat yang diharamkan, tentu secara umum adalah melihat segala sesuatu yang dilarang dan diharamkan oleh syariat. Namun, di sini akan dijelaskan beberapa bentuk dari overdosis melihat yang diharamkan yang paling lazim terjadi di antara orang-orang, bahkan di antara kaum muslimin―naudzubillah. Berikut di antara bentuk-bentuk tersebut: Pertama: Melihat wanita secara umum, terlebih yang menampakkan aurat sebagai daya tariknya, baik secara langsung, ataupun secara visual melalui media-media, seperti: HP, televisi, dan sebagainya. Jika melihatnya saja sudah tidak boleh, terlebih menikmatinya, haruslah dihindari. قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا۟ مِنْ أَبْصَٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا۟ فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya!’ Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30) Kedua: Melihat laki-laki yang menimbulkan syahwat. Dalam hal ini banyak contohnya, seperti laki-laki yang disengaja tampil untuk unjuk diri, atau laki-laki yang menampakkan auratnya, termasuk yang berpakaian ketat (banyak sekali di tontonan seperti film, drama, bahkan olahraga), atau bahkan laki-laki yang berpenampilan dan berhias seperti perempuan alias banci. Allah Ta’ala melanjutkan firman-Nya di ayat berikutnya setelah dengan ditujukan kepada wanita yang beriman, وَقُل لِّلْمُؤْمِنَـٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَـٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ “Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat.” (QS. An-Nur: 31) Ketiga: Seorang wanita memandang (lebih daripada sekadar melihat sekilas) laki-laki selain suaminya. Begitu pun sebaliknya, seorang laki-laki memandang wanita selain istrinya. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpuasan akan pasangannya, bahkan cenderung mencari-cari kekurangan pasangannya. Bahkan, bisa sampai timbul perpecahan dan pertengkaran antar pasangan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, كُتب على ابن آدم نَصِيبُه من الزِنا مُدْرِكُ ذلك لا مَحَالة: العينان زِناهما النَظر، والأُذنان زِناهما الاستماع، واللسان زِناه الكلام، واليَدُ زِناها البَطْش، والرِّجل زِناها الخُطَا، والقلب يَهْوَى ويتمنى، ويُصَدِّق ذلك الفَرْج أو يُكذِّبُه “Telah ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, yang mana ia pasti mendapatkan hal itu, tak terhindarkan. Zina kedua mata adalah melihat. Zina kedua telinga adalah mendengarkan. Zina lisan adalah mengucapkan. Zina tangan adalah menyentuh. Zina kaki adalah melangkah. Dan zina hati adalah nafsu dan berharap. Sedangkan kemaluan, itulah yang membenarkan atau mendustakannya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad) Keempat: Menonton secara umum televisi, video-video, film, drama, dan berbagai tontonan lainnya yang ketidakbermanfaatannya jauh lebih banyak ketimbang manfaatnya atau bahkan yang tidak ada manfaatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan dalam sabdanya, مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ “Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah dengan meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi no. 2317 dan Ibnu Majah no. 3976) Kelima: Membaca buku-buku, kitab-kitab, tulisan-tulisan yang mengandung kesesatan, terlebih kesesatan akidah, seperti: buku-buku tentang sihir, ilmu gaib, ajaran sekte tertentu, dan semisalnya yang mengarahkan kepada kedurhakaan kepada Allah Ta’ala, apalagi sampai mempelajarinya. Keenam: Memandangi orang-orang yang lewat di jalanan. Selain mengandung banyak kemungkinan maksiat penglihatan, seperti ikhtilath (campur baur), aurat yang terbuka, hal ini juga dapat mengesankan seolah-olah yang memandangi seperti sedang mengawasi orang lain, sehingga dapat timbul rasa tidak nyaman. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan Sahabat Abu Said Al-Khudri, “إيّاكم والجُلوسَ في الطُّرُقاتِ”، قالوا: يا رسولَ اللهِ، ما لنا من مجالِسِنا بُدٌّ، نتحَدَّثُ فيها، قال: «فأمّا إذ أَبَيْتم إلّا المَجلِسَ فأَعْطوا الطريقَ حقَّه»، قالوا: يا رسولَ اللهِ، فما حقُّ الطريقِ؟ قال: «غَضُّ البَصَرِ، وكفُّ الأَذى، ورَدُّ السلامِ، والأَمرُ بالمعروفِ، والنَّهْيُ عنِ المُنكَرِ “Hindarilah duduk-duduk di pinggiran jalan.” Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kami butuh untuk duduk-duduk di sana memperbincangkan hal yang memang perlu?” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kalian memang perlu untuk duduk-duduk di pinggiran jalan, maka berikanlah hak pengguna jalanan.” Mereka bertanya; “Apa hak pengguna jalan wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, dan amar makruf nahi munkar.” (HR. Bukhari no. 2465, Muslim no. 2121, Abu Dawud no. 4815, Ahmad no. 11309) Tentu saja, selain daripada bentuk-bentuk tersebut, banyak sekali bentuk lainnya. Namun, disebutkannya bentuk-bentuk di atas bukanlah sebagai pembatasan, melainkan sebagai contoh yang paling lazim dan contoh mayor dari overdosis melihat yang sedang kita bahas. Baca juga: Menilai dan Melihat Orang Lain dari Yang Tampak Bahaya overdosis melihat Bahaya dan konsekuensi dari overdosis melihat, terutama dari salah satu atau lebih bentuk yang telah disebutkan di atas, ada banyak sekali, yang mana terkait dan terhubung satu sama lain. Tentunya, bahaya dan konsekuensi ini adalah efek samping dari overdosis melihat yang kemudian akan menjadi racun bagi hati dan menyebabkan hati keracunan, menjadi hati yang sakit, dan dalam kemungkinan terparah menjadi hati yang mati. Berikut di antaranya: Pertama: Memandang adalah salah satu anak panah Iblis, sehingga setan masuk pula lewat penglihatan. Sebagaimana bahwa penglihatan dan hati memiliki keterkaitan yang erat, maka tatkala Iblis melemparkan anak panahnya, sesuatu yang dipandang oleh manusia akan dihiasi oleh Iblis. Sehingga, terbentuklah ilusi-ilusi dan halusinasi, khayalan yang ditimbulkan dari apa yang dilihat. Kemudian Iblis dan setan akan menyalakan api syahwat dengan kayu bakar maksiat, hanya dengan penglihatan. Betapa dahsyatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, النَّظرةُ سَهمٌ من سِهامِ إبليسَ مَسمومةٌ، فمَن تَرَكها مِن خَوفِ اللهِ أثابَه جَلَّ وعزَّ إيمانًا يَجِدُ حَلاوتَه في قَلبِه. “Pandangan adalah salah satu dari anak panah Iblis yang beracun. Dan barangsiapa yang meninggalkannya (memandang hal yang haram) karena takut kepada Allah, maka Allah akan mengganjarnya dengan manisnya keimanan yang diberikan kepada hatinya.” (HR. Hakim no. 8088 dalam “Mustadrak”-nya) Kedua: Melihat dan memandang sesuatu juga akan menyibukkan hati kita dari amalan-amalan saleh yang seharusnya dilakukan. Ini karena melihat bukan sekadar melihat saja, akan tetapi hati kita dapat terpaut, berlarut-larut dengan apa yang kita lihat. Contoh sederhana adalah scroll media sosial yang bisa menghabiskan waktu berjam-jam dan itu masih salah satu bentuk melihat juga. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang larangan untuk mengikuti orang-orang yang hatinya tersibukkan oleh hal selain ibadah kepada-Nya, وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُۥ عَن ذِكْرِنَا وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ وَكَانَ أَمْرُهُۥ فُرُطًا “Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya  itu adalah keadaan yang sudah melewati batas.” (QS. Al-Kahfi: 28) Ketiga: Fudhul Nazhar (overdosis melihat) adalah bentuk kemaksiatan kepada Allah. Hal ini dikarenakan jelas-jelas bertentangan dengan perintah Allah yang secara gamblang dimaktubkan dalam firman-Nya yang berlaku bagi seluruh laki-laki dan perempuan pada surah An-Nur ayat 30-31 tentang perintah menjaga dan menundukkan pandangan. Sebagaimana perintahnya adalah menahan dan menundukkan pandangan, maka melakukan sebaliknya adalah kemaksiatan yang akan menjauhkan jiwa dari kebahagiaan dunia dan akhirat. Keempat: Memandang hal yang tidak selayaknya juga dapat menimbulkan kegelapan dalam hati. Masih berhubungan dengan poin sebelumnya, jika fudhul nazhar adalah maksiat, maka maksiat akan menggelapkan hati. إن العبدَ إذا أخطأ خطيئةُ نُكِتتْ في قلبهِ نُكتةً سوداءَ فإذا هو نزعَ واستغفرَ وتابَ سُقلَ قلبهُ وإن عادَ زيدَ فيها حتى تعلو قلبهُ وهو الرانُ الذي ذكرَ اللهُ كَلّا بَلْ رانَ عَلى قُلُوبِهِمْ ما كانُواْ يَكْسِبُونَ “Sesungguhnya apabila seorang hamba melakukan suatu kesalahan (dosa), akan muncul titik hitam di hatinya. Kemudian, apabila ia meninggalkan (dosa tersebut), meminta ampunan, dan bertobat, maka hatinya akan dibersihkan. Namun, apabila ia mengulanginya (dosa), maka akan bertambah titik hitamnya sampai menutupi hatinya, dan inilah ‘ran’ yang disebut oleh Allah (dalam ayat) ‘Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.’.” Selain itu, beberapa ayat setelah ayat perintah untuk menjaga pandangan, Allah berfirman, ٱللَّهُ نُورُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ “Allah (pemberi) cahaya kepada langit dan bumi.” (QS. An-Nur: 35) Pada ayat ini, Allah membawakan narasi tentang cahaya hanya berselang sedikit setelah perintah menjaga dan menundukkan pandangan. Dengan penglihatan sebagai awal impresi terhadap sesuatu, yang berdampak pada hati, maka apabila hati sudah diterangi dengan cahaya, maka kebaikan-kebaikan dan dorongan untuk melakukan kebaikan akan berdatangan dari berbagai arah. Sebaliknya, jika hati gelap, maka bagaimana pun hati itu akan selalu mendorong kepada keburukan dan akan terus dikelilingi keburukan. Kelima: Penglihatan yang digunakan untuk memandang hal-hal yang dilarang juga mengakibatkan butanya hati, buta dari membedakan yang baik dan benar, buta dari membedakan sunah dengan bid’ah. Sebaliknya, Allah justru menghadiahkan bagi yang menjaga pandangannya sebuah firasat yang kuat, yang dengannya seseorang dapat dengan mudah membedakan baik-buruk, benar-salah. Seorang salafus shalih terdahulu, Abu Syuja’ Al-Karmani, pernah mengatakan, من عمّر ظاهره باتباع السنة وباطنه بدوام المراقبة وغض بصره عن المحارم وكف نفسه عن الشبهات واغتذى بالحلال لم تخطئ له فراسة “Barangsiapa yang menjaga zahirnya dengan mengikuti sunah, dan batinnya dengan muraqabah (selalu merasa diawasi oleh Allah), dan menundukkan serta menjaga pandangannya dari yang haram, juga menjaga dirinya dari syubhat, serta selalu mengonsumsi hal-hal yang halal, maka firasatnya tidak akan salah.” Ibnul Qayyim menjelaskan hal ini dengan menyatakan bahwa di dalamnya terdapat الجزاء من جنس العمل (Balasan sesuatu tergantung jenis amal yang dilakukannya). Sebagaimana orang yang menjaga pandangannya dari yang haram mendapatkan ganjaran berupa firasat yang benar dan kuat, maka orang yang tidak menjaga pandangannya dari yang haram, maka hatinya akan dibutakan, terutamanya dari membedakan baik-buruk, benar-salah. Pembaca sekalian, adanya pembahasan ini bukanlah untuk melarang kita menggunakan penglihatan kita secara mutlak, akan tetapi agar kita mengendalikan fasilitas penglihatan yang telah diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita, menggunakan sebaik-baiknya, dan hanya untuk melihat yang baik. Karena apa? Karena sejatinya, seluruh anggota tubuh kita, bahkan seluruh hidup kita, haruslah didedikasikan secara penuh untuk peribadatan dan ketaatan kepada Allah. Namun, bukanlah hal yang dapat dipungkiri, keberadaan hal-hal yang tidak selayaknya dilihat adalah ada, lantas bagaimana kita menyikapinya jika kita melihatnya? Sahabat Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu menceritakan, سألتُ رسولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عن نظرةِ الفجأةِ فأمرني أن أصرفَ بصري “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang nazhar fuj’ah (pandangan sekilas atau tiba-tiba), maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Tirmidzi no. 2776) Para ulama kemudian menjelaskan hadis ini bahwa tidak mengapa tentang pandangan pertama, yang mana hanya terlihat oleh mata sekilas saja dan terjadi tanpa disengaja. Akan tetapi, haruslah segera memalingkan pandangan kita dari hal (yang dilarang) tersebut. Dan pandangan-pandangan setelahnya, jika diteruskan, maka sudah dianggap sebagai fudhul nazhar atau overdosis melihat yang kita bahas pada pembahasan ini. Semoga yang sedikit ini dapat bermanfaat dan kita semua senantiasa diberikan taufik oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk dapat menjaga pandangan kita dari hal-hal yang dilarang secara syariat dan dapat menggunakan penglihatan kita hanya untuk kemanfaatan saja. Kembali ke bagian 1: Empat Overdosis Penyebab Hati Keracunan (Bag. 1) Lanjut ke bagian 3: Bersambung *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id Tags: keracunanoverdosis

Empat Overdosis Penyebab Hati Keracunan (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Overdosis melihatBentuk-bentuk melihat yang diharamkanBahaya overdosis melihat Overdosis melihat Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang karena nikmat-Nyalah sampai saat ini kita semua sudah dan masih menjadi seorang muslim yang semoga selalu diberi hidayah. Pada kesempatan kali ini, melanjutkan pembahasan sebelumnya, kita akan memasuki pembahasan فضول atau overdosis yang kedua, yaitu فضول النظر yang artinya terlalu banyak melihat, di mana kita narasikan dengan “overdosis melihat”. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمْ نَجْعَل لَّهُۥ عَيْنَيْنِ “Bukankah Kami sudah menjadikan untuknya sepasang mata?” (QS. Al-Balad: 8) Overdosis melihat dalam konteks pembahasan kali ini adalah menggunakan penglihatan yang telah Allah berikan kepada kita, yaitu mata (baik secara langsung, ataupun dengan alat bantu seperti kaca mata, teropong, kamera, dan semisalnya) untuk melihat hal-hal yang haram dan dilarang. Tidak diragukan lagi, melihat hal-hal yang haram dapat menghinakan seseorang dan merendahkan martabatnya. Mengapa? Karena dengan itu, seseorang akan menjadi budak dari apa yang ia lihat. Bagaimana bisa? Pada dasarnya, penglihatan terhubung sangat erat dengan hati. Pandangan visual secara tidak langsung akan menjadi penentu utama suka-tidaknya seseorang pada sesuatu. Apa yang dilihatnya akan langsung disimpan dan diproses dalam pikiran, berputar-putar di dalamnya, untuk kemudian melekat dan menetap di pikiran kita sebagai memori. Maka, ketika melihat, melahirkan kebencian atau kesukaan yang berlebih, keduanya akan mengotori hati (terlepas dari alasan yang dibenarkan syariat). Entah seseorang menjadi musuh bebuyutan sesuatu sehingga menghabiskan waktunya untuk itu, capek mental, atau seseorang menjadi budak dari hal yang ia lihat dan melahirkan kesukaan atau rasa cinta yang tidak sewajarnya, tentunya dalam hal ini sangat sering terjadi pada hal-hal yang diharamkan. Bentuk-bentuk melihat yang diharamkan Adapun bentuk-bentuk dari melihat yang diharamkan, tentu secara umum adalah melihat segala sesuatu yang dilarang dan diharamkan oleh syariat. Namun, di sini akan dijelaskan beberapa bentuk dari overdosis melihat yang diharamkan yang paling lazim terjadi di antara orang-orang, bahkan di antara kaum muslimin―naudzubillah. Berikut di antara bentuk-bentuk tersebut: Pertama: Melihat wanita secara umum, terlebih yang menampakkan aurat sebagai daya tariknya, baik secara langsung, ataupun secara visual melalui media-media, seperti: HP, televisi, dan sebagainya. Jika melihatnya saja sudah tidak boleh, terlebih menikmatinya, haruslah dihindari. قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا۟ مِنْ أَبْصَٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا۟ فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya!’ Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30) Kedua: Melihat laki-laki yang menimbulkan syahwat. Dalam hal ini banyak contohnya, seperti laki-laki yang disengaja tampil untuk unjuk diri, atau laki-laki yang menampakkan auratnya, termasuk yang berpakaian ketat (banyak sekali di tontonan seperti film, drama, bahkan olahraga), atau bahkan laki-laki yang berpenampilan dan berhias seperti perempuan alias banci. Allah Ta’ala melanjutkan firman-Nya di ayat berikutnya setelah dengan ditujukan kepada wanita yang beriman, وَقُل لِّلْمُؤْمِنَـٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَـٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ “Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat.” (QS. An-Nur: 31) Ketiga: Seorang wanita memandang (lebih daripada sekadar melihat sekilas) laki-laki selain suaminya. Begitu pun sebaliknya, seorang laki-laki memandang wanita selain istrinya. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpuasan akan pasangannya, bahkan cenderung mencari-cari kekurangan pasangannya. Bahkan, bisa sampai timbul perpecahan dan pertengkaran antar pasangan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, كُتب على ابن آدم نَصِيبُه من الزِنا مُدْرِكُ ذلك لا مَحَالة: العينان زِناهما النَظر، والأُذنان زِناهما الاستماع، واللسان زِناه الكلام، واليَدُ زِناها البَطْش، والرِّجل زِناها الخُطَا، والقلب يَهْوَى ويتمنى، ويُصَدِّق ذلك الفَرْج أو يُكذِّبُه “Telah ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, yang mana ia pasti mendapatkan hal itu, tak terhindarkan. Zina kedua mata adalah melihat. Zina kedua telinga adalah mendengarkan. Zina lisan adalah mengucapkan. Zina tangan adalah menyentuh. Zina kaki adalah melangkah. Dan zina hati adalah nafsu dan berharap. Sedangkan kemaluan, itulah yang membenarkan atau mendustakannya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad) Keempat: Menonton secara umum televisi, video-video, film, drama, dan berbagai tontonan lainnya yang ketidakbermanfaatannya jauh lebih banyak ketimbang manfaatnya atau bahkan yang tidak ada manfaatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan dalam sabdanya, مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ “Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah dengan meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi no. 2317 dan Ibnu Majah no. 3976) Kelima: Membaca buku-buku, kitab-kitab, tulisan-tulisan yang mengandung kesesatan, terlebih kesesatan akidah, seperti: buku-buku tentang sihir, ilmu gaib, ajaran sekte tertentu, dan semisalnya yang mengarahkan kepada kedurhakaan kepada Allah Ta’ala, apalagi sampai mempelajarinya. Keenam: Memandangi orang-orang yang lewat di jalanan. Selain mengandung banyak kemungkinan maksiat penglihatan, seperti ikhtilath (campur baur), aurat yang terbuka, hal ini juga dapat mengesankan seolah-olah yang memandangi seperti sedang mengawasi orang lain, sehingga dapat timbul rasa tidak nyaman. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan Sahabat Abu Said Al-Khudri, “إيّاكم والجُلوسَ في الطُّرُقاتِ”، قالوا: يا رسولَ اللهِ، ما لنا من مجالِسِنا بُدٌّ، نتحَدَّثُ فيها، قال: «فأمّا إذ أَبَيْتم إلّا المَجلِسَ فأَعْطوا الطريقَ حقَّه»، قالوا: يا رسولَ اللهِ، فما حقُّ الطريقِ؟ قال: «غَضُّ البَصَرِ، وكفُّ الأَذى، ورَدُّ السلامِ، والأَمرُ بالمعروفِ، والنَّهْيُ عنِ المُنكَرِ “Hindarilah duduk-duduk di pinggiran jalan.” Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kami butuh untuk duduk-duduk di sana memperbincangkan hal yang memang perlu?” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kalian memang perlu untuk duduk-duduk di pinggiran jalan, maka berikanlah hak pengguna jalanan.” Mereka bertanya; “Apa hak pengguna jalan wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, dan amar makruf nahi munkar.” (HR. Bukhari no. 2465, Muslim no. 2121, Abu Dawud no. 4815, Ahmad no. 11309) Tentu saja, selain daripada bentuk-bentuk tersebut, banyak sekali bentuk lainnya. Namun, disebutkannya bentuk-bentuk di atas bukanlah sebagai pembatasan, melainkan sebagai contoh yang paling lazim dan contoh mayor dari overdosis melihat yang sedang kita bahas. Baca juga: Menilai dan Melihat Orang Lain dari Yang Tampak Bahaya overdosis melihat Bahaya dan konsekuensi dari overdosis melihat, terutama dari salah satu atau lebih bentuk yang telah disebutkan di atas, ada banyak sekali, yang mana terkait dan terhubung satu sama lain. Tentunya, bahaya dan konsekuensi ini adalah efek samping dari overdosis melihat yang kemudian akan menjadi racun bagi hati dan menyebabkan hati keracunan, menjadi hati yang sakit, dan dalam kemungkinan terparah menjadi hati yang mati. Berikut di antaranya: Pertama: Memandang adalah salah satu anak panah Iblis, sehingga setan masuk pula lewat penglihatan. Sebagaimana bahwa penglihatan dan hati memiliki keterkaitan yang erat, maka tatkala Iblis melemparkan anak panahnya, sesuatu yang dipandang oleh manusia akan dihiasi oleh Iblis. Sehingga, terbentuklah ilusi-ilusi dan halusinasi, khayalan yang ditimbulkan dari apa yang dilihat. Kemudian Iblis dan setan akan menyalakan api syahwat dengan kayu bakar maksiat, hanya dengan penglihatan. Betapa dahsyatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, النَّظرةُ سَهمٌ من سِهامِ إبليسَ مَسمومةٌ، فمَن تَرَكها مِن خَوفِ اللهِ أثابَه جَلَّ وعزَّ إيمانًا يَجِدُ حَلاوتَه في قَلبِه. “Pandangan adalah salah satu dari anak panah Iblis yang beracun. Dan barangsiapa yang meninggalkannya (memandang hal yang haram) karena takut kepada Allah, maka Allah akan mengganjarnya dengan manisnya keimanan yang diberikan kepada hatinya.” (HR. Hakim no. 8088 dalam “Mustadrak”-nya) Kedua: Melihat dan memandang sesuatu juga akan menyibukkan hati kita dari amalan-amalan saleh yang seharusnya dilakukan. Ini karena melihat bukan sekadar melihat saja, akan tetapi hati kita dapat terpaut, berlarut-larut dengan apa yang kita lihat. Contoh sederhana adalah scroll media sosial yang bisa menghabiskan waktu berjam-jam dan itu masih salah satu bentuk melihat juga. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang larangan untuk mengikuti orang-orang yang hatinya tersibukkan oleh hal selain ibadah kepada-Nya, وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُۥ عَن ذِكْرِنَا وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ وَكَانَ أَمْرُهُۥ فُرُطًا “Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya  itu adalah keadaan yang sudah melewati batas.” (QS. Al-Kahfi: 28) Ketiga: Fudhul Nazhar (overdosis melihat) adalah bentuk kemaksiatan kepada Allah. Hal ini dikarenakan jelas-jelas bertentangan dengan perintah Allah yang secara gamblang dimaktubkan dalam firman-Nya yang berlaku bagi seluruh laki-laki dan perempuan pada surah An-Nur ayat 30-31 tentang perintah menjaga dan menundukkan pandangan. Sebagaimana perintahnya adalah menahan dan menundukkan pandangan, maka melakukan sebaliknya adalah kemaksiatan yang akan menjauhkan jiwa dari kebahagiaan dunia dan akhirat. Keempat: Memandang hal yang tidak selayaknya juga dapat menimbulkan kegelapan dalam hati. Masih berhubungan dengan poin sebelumnya, jika fudhul nazhar adalah maksiat, maka maksiat akan menggelapkan hati. إن العبدَ إذا أخطأ خطيئةُ نُكِتتْ في قلبهِ نُكتةً سوداءَ فإذا هو نزعَ واستغفرَ وتابَ سُقلَ قلبهُ وإن عادَ زيدَ فيها حتى تعلو قلبهُ وهو الرانُ الذي ذكرَ اللهُ كَلّا بَلْ رانَ عَلى قُلُوبِهِمْ ما كانُواْ يَكْسِبُونَ “Sesungguhnya apabila seorang hamba melakukan suatu kesalahan (dosa), akan muncul titik hitam di hatinya. Kemudian, apabila ia meninggalkan (dosa tersebut), meminta ampunan, dan bertobat, maka hatinya akan dibersihkan. Namun, apabila ia mengulanginya (dosa), maka akan bertambah titik hitamnya sampai menutupi hatinya, dan inilah ‘ran’ yang disebut oleh Allah (dalam ayat) ‘Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.’.” Selain itu, beberapa ayat setelah ayat perintah untuk menjaga pandangan, Allah berfirman, ٱللَّهُ نُورُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ “Allah (pemberi) cahaya kepada langit dan bumi.” (QS. An-Nur: 35) Pada ayat ini, Allah membawakan narasi tentang cahaya hanya berselang sedikit setelah perintah menjaga dan menundukkan pandangan. Dengan penglihatan sebagai awal impresi terhadap sesuatu, yang berdampak pada hati, maka apabila hati sudah diterangi dengan cahaya, maka kebaikan-kebaikan dan dorongan untuk melakukan kebaikan akan berdatangan dari berbagai arah. Sebaliknya, jika hati gelap, maka bagaimana pun hati itu akan selalu mendorong kepada keburukan dan akan terus dikelilingi keburukan. Kelima: Penglihatan yang digunakan untuk memandang hal-hal yang dilarang juga mengakibatkan butanya hati, buta dari membedakan yang baik dan benar, buta dari membedakan sunah dengan bid’ah. Sebaliknya, Allah justru menghadiahkan bagi yang menjaga pandangannya sebuah firasat yang kuat, yang dengannya seseorang dapat dengan mudah membedakan baik-buruk, benar-salah. Seorang salafus shalih terdahulu, Abu Syuja’ Al-Karmani, pernah mengatakan, من عمّر ظاهره باتباع السنة وباطنه بدوام المراقبة وغض بصره عن المحارم وكف نفسه عن الشبهات واغتذى بالحلال لم تخطئ له فراسة “Barangsiapa yang menjaga zahirnya dengan mengikuti sunah, dan batinnya dengan muraqabah (selalu merasa diawasi oleh Allah), dan menundukkan serta menjaga pandangannya dari yang haram, juga menjaga dirinya dari syubhat, serta selalu mengonsumsi hal-hal yang halal, maka firasatnya tidak akan salah.” Ibnul Qayyim menjelaskan hal ini dengan menyatakan bahwa di dalamnya terdapat الجزاء من جنس العمل (Balasan sesuatu tergantung jenis amal yang dilakukannya). Sebagaimana orang yang menjaga pandangannya dari yang haram mendapatkan ganjaran berupa firasat yang benar dan kuat, maka orang yang tidak menjaga pandangannya dari yang haram, maka hatinya akan dibutakan, terutamanya dari membedakan baik-buruk, benar-salah. Pembaca sekalian, adanya pembahasan ini bukanlah untuk melarang kita menggunakan penglihatan kita secara mutlak, akan tetapi agar kita mengendalikan fasilitas penglihatan yang telah diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita, menggunakan sebaik-baiknya, dan hanya untuk melihat yang baik. Karena apa? Karena sejatinya, seluruh anggota tubuh kita, bahkan seluruh hidup kita, haruslah didedikasikan secara penuh untuk peribadatan dan ketaatan kepada Allah. Namun, bukanlah hal yang dapat dipungkiri, keberadaan hal-hal yang tidak selayaknya dilihat adalah ada, lantas bagaimana kita menyikapinya jika kita melihatnya? Sahabat Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu menceritakan, سألتُ رسولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عن نظرةِ الفجأةِ فأمرني أن أصرفَ بصري “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang nazhar fuj’ah (pandangan sekilas atau tiba-tiba), maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Tirmidzi no. 2776) Para ulama kemudian menjelaskan hadis ini bahwa tidak mengapa tentang pandangan pertama, yang mana hanya terlihat oleh mata sekilas saja dan terjadi tanpa disengaja. Akan tetapi, haruslah segera memalingkan pandangan kita dari hal (yang dilarang) tersebut. Dan pandangan-pandangan setelahnya, jika diteruskan, maka sudah dianggap sebagai fudhul nazhar atau overdosis melihat yang kita bahas pada pembahasan ini. Semoga yang sedikit ini dapat bermanfaat dan kita semua senantiasa diberikan taufik oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk dapat menjaga pandangan kita dari hal-hal yang dilarang secara syariat dan dapat menggunakan penglihatan kita hanya untuk kemanfaatan saja. Kembali ke bagian 1: Empat Overdosis Penyebab Hati Keracunan (Bag. 1) Lanjut ke bagian 3: Bersambung *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id Tags: keracunanoverdosis
Daftar Isi Toggle Overdosis melihatBentuk-bentuk melihat yang diharamkanBahaya overdosis melihat Overdosis melihat Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang karena nikmat-Nyalah sampai saat ini kita semua sudah dan masih menjadi seorang muslim yang semoga selalu diberi hidayah. Pada kesempatan kali ini, melanjutkan pembahasan sebelumnya, kita akan memasuki pembahasan فضول atau overdosis yang kedua, yaitu فضول النظر yang artinya terlalu banyak melihat, di mana kita narasikan dengan “overdosis melihat”. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمْ نَجْعَل لَّهُۥ عَيْنَيْنِ “Bukankah Kami sudah menjadikan untuknya sepasang mata?” (QS. Al-Balad: 8) Overdosis melihat dalam konteks pembahasan kali ini adalah menggunakan penglihatan yang telah Allah berikan kepada kita, yaitu mata (baik secara langsung, ataupun dengan alat bantu seperti kaca mata, teropong, kamera, dan semisalnya) untuk melihat hal-hal yang haram dan dilarang. Tidak diragukan lagi, melihat hal-hal yang haram dapat menghinakan seseorang dan merendahkan martabatnya. Mengapa? Karena dengan itu, seseorang akan menjadi budak dari apa yang ia lihat. Bagaimana bisa? Pada dasarnya, penglihatan terhubung sangat erat dengan hati. Pandangan visual secara tidak langsung akan menjadi penentu utama suka-tidaknya seseorang pada sesuatu. Apa yang dilihatnya akan langsung disimpan dan diproses dalam pikiran, berputar-putar di dalamnya, untuk kemudian melekat dan menetap di pikiran kita sebagai memori. Maka, ketika melihat, melahirkan kebencian atau kesukaan yang berlebih, keduanya akan mengotori hati (terlepas dari alasan yang dibenarkan syariat). Entah seseorang menjadi musuh bebuyutan sesuatu sehingga menghabiskan waktunya untuk itu, capek mental, atau seseorang menjadi budak dari hal yang ia lihat dan melahirkan kesukaan atau rasa cinta yang tidak sewajarnya, tentunya dalam hal ini sangat sering terjadi pada hal-hal yang diharamkan. Bentuk-bentuk melihat yang diharamkan Adapun bentuk-bentuk dari melihat yang diharamkan, tentu secara umum adalah melihat segala sesuatu yang dilarang dan diharamkan oleh syariat. Namun, di sini akan dijelaskan beberapa bentuk dari overdosis melihat yang diharamkan yang paling lazim terjadi di antara orang-orang, bahkan di antara kaum muslimin―naudzubillah. Berikut di antara bentuk-bentuk tersebut: Pertama: Melihat wanita secara umum, terlebih yang menampakkan aurat sebagai daya tariknya, baik secara langsung, ataupun secara visual melalui media-media, seperti: HP, televisi, dan sebagainya. Jika melihatnya saja sudah tidak boleh, terlebih menikmatinya, haruslah dihindari. قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا۟ مِنْ أَبْصَٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا۟ فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya!’ Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30) Kedua: Melihat laki-laki yang menimbulkan syahwat. Dalam hal ini banyak contohnya, seperti laki-laki yang disengaja tampil untuk unjuk diri, atau laki-laki yang menampakkan auratnya, termasuk yang berpakaian ketat (banyak sekali di tontonan seperti film, drama, bahkan olahraga), atau bahkan laki-laki yang berpenampilan dan berhias seperti perempuan alias banci. Allah Ta’ala melanjutkan firman-Nya di ayat berikutnya setelah dengan ditujukan kepada wanita yang beriman, وَقُل لِّلْمُؤْمِنَـٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَـٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ “Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat.” (QS. An-Nur: 31) Ketiga: Seorang wanita memandang (lebih daripada sekadar melihat sekilas) laki-laki selain suaminya. Begitu pun sebaliknya, seorang laki-laki memandang wanita selain istrinya. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpuasan akan pasangannya, bahkan cenderung mencari-cari kekurangan pasangannya. Bahkan, bisa sampai timbul perpecahan dan pertengkaran antar pasangan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, كُتب على ابن آدم نَصِيبُه من الزِنا مُدْرِكُ ذلك لا مَحَالة: العينان زِناهما النَظر، والأُذنان زِناهما الاستماع، واللسان زِناه الكلام، واليَدُ زِناها البَطْش، والرِّجل زِناها الخُطَا، والقلب يَهْوَى ويتمنى، ويُصَدِّق ذلك الفَرْج أو يُكذِّبُه “Telah ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, yang mana ia pasti mendapatkan hal itu, tak terhindarkan. Zina kedua mata adalah melihat. Zina kedua telinga adalah mendengarkan. Zina lisan adalah mengucapkan. Zina tangan adalah menyentuh. Zina kaki adalah melangkah. Dan zina hati adalah nafsu dan berharap. Sedangkan kemaluan, itulah yang membenarkan atau mendustakannya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad) Keempat: Menonton secara umum televisi, video-video, film, drama, dan berbagai tontonan lainnya yang ketidakbermanfaatannya jauh lebih banyak ketimbang manfaatnya atau bahkan yang tidak ada manfaatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan dalam sabdanya, مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ “Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah dengan meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi no. 2317 dan Ibnu Majah no. 3976) Kelima: Membaca buku-buku, kitab-kitab, tulisan-tulisan yang mengandung kesesatan, terlebih kesesatan akidah, seperti: buku-buku tentang sihir, ilmu gaib, ajaran sekte tertentu, dan semisalnya yang mengarahkan kepada kedurhakaan kepada Allah Ta’ala, apalagi sampai mempelajarinya. Keenam: Memandangi orang-orang yang lewat di jalanan. Selain mengandung banyak kemungkinan maksiat penglihatan, seperti ikhtilath (campur baur), aurat yang terbuka, hal ini juga dapat mengesankan seolah-olah yang memandangi seperti sedang mengawasi orang lain, sehingga dapat timbul rasa tidak nyaman. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan Sahabat Abu Said Al-Khudri, “إيّاكم والجُلوسَ في الطُّرُقاتِ”، قالوا: يا رسولَ اللهِ، ما لنا من مجالِسِنا بُدٌّ، نتحَدَّثُ فيها، قال: «فأمّا إذ أَبَيْتم إلّا المَجلِسَ فأَعْطوا الطريقَ حقَّه»، قالوا: يا رسولَ اللهِ، فما حقُّ الطريقِ؟ قال: «غَضُّ البَصَرِ، وكفُّ الأَذى، ورَدُّ السلامِ، والأَمرُ بالمعروفِ، والنَّهْيُ عنِ المُنكَرِ “Hindarilah duduk-duduk di pinggiran jalan.” Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kami butuh untuk duduk-duduk di sana memperbincangkan hal yang memang perlu?” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kalian memang perlu untuk duduk-duduk di pinggiran jalan, maka berikanlah hak pengguna jalanan.” Mereka bertanya; “Apa hak pengguna jalan wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, dan amar makruf nahi munkar.” (HR. Bukhari no. 2465, Muslim no. 2121, Abu Dawud no. 4815, Ahmad no. 11309) Tentu saja, selain daripada bentuk-bentuk tersebut, banyak sekali bentuk lainnya. Namun, disebutkannya bentuk-bentuk di atas bukanlah sebagai pembatasan, melainkan sebagai contoh yang paling lazim dan contoh mayor dari overdosis melihat yang sedang kita bahas. Baca juga: Menilai dan Melihat Orang Lain dari Yang Tampak Bahaya overdosis melihat Bahaya dan konsekuensi dari overdosis melihat, terutama dari salah satu atau lebih bentuk yang telah disebutkan di atas, ada banyak sekali, yang mana terkait dan terhubung satu sama lain. Tentunya, bahaya dan konsekuensi ini adalah efek samping dari overdosis melihat yang kemudian akan menjadi racun bagi hati dan menyebabkan hati keracunan, menjadi hati yang sakit, dan dalam kemungkinan terparah menjadi hati yang mati. Berikut di antaranya: Pertama: Memandang adalah salah satu anak panah Iblis, sehingga setan masuk pula lewat penglihatan. Sebagaimana bahwa penglihatan dan hati memiliki keterkaitan yang erat, maka tatkala Iblis melemparkan anak panahnya, sesuatu yang dipandang oleh manusia akan dihiasi oleh Iblis. Sehingga, terbentuklah ilusi-ilusi dan halusinasi, khayalan yang ditimbulkan dari apa yang dilihat. Kemudian Iblis dan setan akan menyalakan api syahwat dengan kayu bakar maksiat, hanya dengan penglihatan. Betapa dahsyatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, النَّظرةُ سَهمٌ من سِهامِ إبليسَ مَسمومةٌ، فمَن تَرَكها مِن خَوفِ اللهِ أثابَه جَلَّ وعزَّ إيمانًا يَجِدُ حَلاوتَه في قَلبِه. “Pandangan adalah salah satu dari anak panah Iblis yang beracun. Dan barangsiapa yang meninggalkannya (memandang hal yang haram) karena takut kepada Allah, maka Allah akan mengganjarnya dengan manisnya keimanan yang diberikan kepada hatinya.” (HR. Hakim no. 8088 dalam “Mustadrak”-nya) Kedua: Melihat dan memandang sesuatu juga akan menyibukkan hati kita dari amalan-amalan saleh yang seharusnya dilakukan. Ini karena melihat bukan sekadar melihat saja, akan tetapi hati kita dapat terpaut, berlarut-larut dengan apa yang kita lihat. Contoh sederhana adalah scroll media sosial yang bisa menghabiskan waktu berjam-jam dan itu masih salah satu bentuk melihat juga. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang larangan untuk mengikuti orang-orang yang hatinya tersibukkan oleh hal selain ibadah kepada-Nya, وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُۥ عَن ذِكْرِنَا وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ وَكَانَ أَمْرُهُۥ فُرُطًا “Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya  itu adalah keadaan yang sudah melewati batas.” (QS. Al-Kahfi: 28) Ketiga: Fudhul Nazhar (overdosis melihat) adalah bentuk kemaksiatan kepada Allah. Hal ini dikarenakan jelas-jelas bertentangan dengan perintah Allah yang secara gamblang dimaktubkan dalam firman-Nya yang berlaku bagi seluruh laki-laki dan perempuan pada surah An-Nur ayat 30-31 tentang perintah menjaga dan menundukkan pandangan. Sebagaimana perintahnya adalah menahan dan menundukkan pandangan, maka melakukan sebaliknya adalah kemaksiatan yang akan menjauhkan jiwa dari kebahagiaan dunia dan akhirat. Keempat: Memandang hal yang tidak selayaknya juga dapat menimbulkan kegelapan dalam hati. Masih berhubungan dengan poin sebelumnya, jika fudhul nazhar adalah maksiat, maka maksiat akan menggelapkan hati. إن العبدَ إذا أخطأ خطيئةُ نُكِتتْ في قلبهِ نُكتةً سوداءَ فإذا هو نزعَ واستغفرَ وتابَ سُقلَ قلبهُ وإن عادَ زيدَ فيها حتى تعلو قلبهُ وهو الرانُ الذي ذكرَ اللهُ كَلّا بَلْ رانَ عَلى قُلُوبِهِمْ ما كانُواْ يَكْسِبُونَ “Sesungguhnya apabila seorang hamba melakukan suatu kesalahan (dosa), akan muncul titik hitam di hatinya. Kemudian, apabila ia meninggalkan (dosa tersebut), meminta ampunan, dan bertobat, maka hatinya akan dibersihkan. Namun, apabila ia mengulanginya (dosa), maka akan bertambah titik hitamnya sampai menutupi hatinya, dan inilah ‘ran’ yang disebut oleh Allah (dalam ayat) ‘Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.’.” Selain itu, beberapa ayat setelah ayat perintah untuk menjaga pandangan, Allah berfirman, ٱللَّهُ نُورُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ “Allah (pemberi) cahaya kepada langit dan bumi.” (QS. An-Nur: 35) Pada ayat ini, Allah membawakan narasi tentang cahaya hanya berselang sedikit setelah perintah menjaga dan menundukkan pandangan. Dengan penglihatan sebagai awal impresi terhadap sesuatu, yang berdampak pada hati, maka apabila hati sudah diterangi dengan cahaya, maka kebaikan-kebaikan dan dorongan untuk melakukan kebaikan akan berdatangan dari berbagai arah. Sebaliknya, jika hati gelap, maka bagaimana pun hati itu akan selalu mendorong kepada keburukan dan akan terus dikelilingi keburukan. Kelima: Penglihatan yang digunakan untuk memandang hal-hal yang dilarang juga mengakibatkan butanya hati, buta dari membedakan yang baik dan benar, buta dari membedakan sunah dengan bid’ah. Sebaliknya, Allah justru menghadiahkan bagi yang menjaga pandangannya sebuah firasat yang kuat, yang dengannya seseorang dapat dengan mudah membedakan baik-buruk, benar-salah. Seorang salafus shalih terdahulu, Abu Syuja’ Al-Karmani, pernah mengatakan, من عمّر ظاهره باتباع السنة وباطنه بدوام المراقبة وغض بصره عن المحارم وكف نفسه عن الشبهات واغتذى بالحلال لم تخطئ له فراسة “Barangsiapa yang menjaga zahirnya dengan mengikuti sunah, dan batinnya dengan muraqabah (selalu merasa diawasi oleh Allah), dan menundukkan serta menjaga pandangannya dari yang haram, juga menjaga dirinya dari syubhat, serta selalu mengonsumsi hal-hal yang halal, maka firasatnya tidak akan salah.” Ibnul Qayyim menjelaskan hal ini dengan menyatakan bahwa di dalamnya terdapat الجزاء من جنس العمل (Balasan sesuatu tergantung jenis amal yang dilakukannya). Sebagaimana orang yang menjaga pandangannya dari yang haram mendapatkan ganjaran berupa firasat yang benar dan kuat, maka orang yang tidak menjaga pandangannya dari yang haram, maka hatinya akan dibutakan, terutamanya dari membedakan baik-buruk, benar-salah. Pembaca sekalian, adanya pembahasan ini bukanlah untuk melarang kita menggunakan penglihatan kita secara mutlak, akan tetapi agar kita mengendalikan fasilitas penglihatan yang telah diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita, menggunakan sebaik-baiknya, dan hanya untuk melihat yang baik. Karena apa? Karena sejatinya, seluruh anggota tubuh kita, bahkan seluruh hidup kita, haruslah didedikasikan secara penuh untuk peribadatan dan ketaatan kepada Allah. Namun, bukanlah hal yang dapat dipungkiri, keberadaan hal-hal yang tidak selayaknya dilihat adalah ada, lantas bagaimana kita menyikapinya jika kita melihatnya? Sahabat Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu menceritakan, سألتُ رسولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عن نظرةِ الفجأةِ فأمرني أن أصرفَ بصري “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang nazhar fuj’ah (pandangan sekilas atau tiba-tiba), maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Tirmidzi no. 2776) Para ulama kemudian menjelaskan hadis ini bahwa tidak mengapa tentang pandangan pertama, yang mana hanya terlihat oleh mata sekilas saja dan terjadi tanpa disengaja. Akan tetapi, haruslah segera memalingkan pandangan kita dari hal (yang dilarang) tersebut. Dan pandangan-pandangan setelahnya, jika diteruskan, maka sudah dianggap sebagai fudhul nazhar atau overdosis melihat yang kita bahas pada pembahasan ini. Semoga yang sedikit ini dapat bermanfaat dan kita semua senantiasa diberikan taufik oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk dapat menjaga pandangan kita dari hal-hal yang dilarang secara syariat dan dapat menggunakan penglihatan kita hanya untuk kemanfaatan saja. Kembali ke bagian 1: Empat Overdosis Penyebab Hati Keracunan (Bag. 1) Lanjut ke bagian 3: Bersambung *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id Tags: keracunanoverdosis


Daftar Isi Toggle Overdosis melihatBentuk-bentuk melihat yang diharamkanBahaya overdosis melihat Overdosis melihat Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang karena nikmat-Nyalah sampai saat ini kita semua sudah dan masih menjadi seorang muslim yang semoga selalu diberi hidayah. Pada kesempatan kali ini, melanjutkan pembahasan sebelumnya, kita akan memasuki pembahasan فضول atau overdosis yang kedua, yaitu فضول النظر yang artinya terlalu banyak melihat, di mana kita narasikan dengan “overdosis melihat”. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمْ نَجْعَل لَّهُۥ عَيْنَيْنِ “Bukankah Kami sudah menjadikan untuknya sepasang mata?” (QS. Al-Balad: 8) Overdosis melihat dalam konteks pembahasan kali ini adalah menggunakan penglihatan yang telah Allah berikan kepada kita, yaitu mata (baik secara langsung, ataupun dengan alat bantu seperti kaca mata, teropong, kamera, dan semisalnya) untuk melihat hal-hal yang haram dan dilarang. Tidak diragukan lagi, melihat hal-hal yang haram dapat menghinakan seseorang dan merendahkan martabatnya. Mengapa? Karena dengan itu, seseorang akan menjadi budak dari apa yang ia lihat. Bagaimana bisa? Pada dasarnya, penglihatan terhubung sangat erat dengan hati. Pandangan visual secara tidak langsung akan menjadi penentu utama suka-tidaknya seseorang pada sesuatu. Apa yang dilihatnya akan langsung disimpan dan diproses dalam pikiran, berputar-putar di dalamnya, untuk kemudian melekat dan menetap di pikiran kita sebagai memori. Maka, ketika melihat, melahirkan kebencian atau kesukaan yang berlebih, keduanya akan mengotori hati (terlepas dari alasan yang dibenarkan syariat). Entah seseorang menjadi musuh bebuyutan sesuatu sehingga menghabiskan waktunya untuk itu, capek mental, atau seseorang menjadi budak dari hal yang ia lihat dan melahirkan kesukaan atau rasa cinta yang tidak sewajarnya, tentunya dalam hal ini sangat sering terjadi pada hal-hal yang diharamkan. Bentuk-bentuk melihat yang diharamkan Adapun bentuk-bentuk dari melihat yang diharamkan, tentu secara umum adalah melihat segala sesuatu yang dilarang dan diharamkan oleh syariat. Namun, di sini akan dijelaskan beberapa bentuk dari overdosis melihat yang diharamkan yang paling lazim terjadi di antara orang-orang, bahkan di antara kaum muslimin―naudzubillah. Berikut di antara bentuk-bentuk tersebut: Pertama: Melihat wanita secara umum, terlebih yang menampakkan aurat sebagai daya tariknya, baik secara langsung, ataupun secara visual melalui media-media, seperti: HP, televisi, dan sebagainya. Jika melihatnya saja sudah tidak boleh, terlebih menikmatinya, haruslah dihindari. قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا۟ مِنْ أَبْصَٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا۟ فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya!’ Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30) Kedua: Melihat laki-laki yang menimbulkan syahwat. Dalam hal ini banyak contohnya, seperti laki-laki yang disengaja tampil untuk unjuk diri, atau laki-laki yang menampakkan auratnya, termasuk yang berpakaian ketat (banyak sekali di tontonan seperti film, drama, bahkan olahraga), atau bahkan laki-laki yang berpenampilan dan berhias seperti perempuan alias banci. Allah Ta’ala melanjutkan firman-Nya di ayat berikutnya setelah dengan ditujukan kepada wanita yang beriman, وَقُل لِّلْمُؤْمِنَـٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَـٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ “Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat.” (QS. An-Nur: 31) Ketiga: Seorang wanita memandang (lebih daripada sekadar melihat sekilas) laki-laki selain suaminya. Begitu pun sebaliknya, seorang laki-laki memandang wanita selain istrinya. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpuasan akan pasangannya, bahkan cenderung mencari-cari kekurangan pasangannya. Bahkan, bisa sampai timbul perpecahan dan pertengkaran antar pasangan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, كُتب على ابن آدم نَصِيبُه من الزِنا مُدْرِكُ ذلك لا مَحَالة: العينان زِناهما النَظر، والأُذنان زِناهما الاستماع، واللسان زِناه الكلام، واليَدُ زِناها البَطْش، والرِّجل زِناها الخُطَا، والقلب يَهْوَى ويتمنى، ويُصَدِّق ذلك الفَرْج أو يُكذِّبُه “Telah ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, yang mana ia pasti mendapatkan hal itu, tak terhindarkan. Zina kedua mata adalah melihat. Zina kedua telinga adalah mendengarkan. Zina lisan adalah mengucapkan. Zina tangan adalah menyentuh. Zina kaki adalah melangkah. Dan zina hati adalah nafsu dan berharap. Sedangkan kemaluan, itulah yang membenarkan atau mendustakannya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad) Keempat: Menonton secara umum televisi, video-video, film, drama, dan berbagai tontonan lainnya yang ketidakbermanfaatannya jauh lebih banyak ketimbang manfaatnya atau bahkan yang tidak ada manfaatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan dalam sabdanya, مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ “Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah dengan meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi no. 2317 dan Ibnu Majah no. 3976) Kelima: Membaca buku-buku, kitab-kitab, tulisan-tulisan yang mengandung kesesatan, terlebih kesesatan akidah, seperti: buku-buku tentang sihir, ilmu gaib, ajaran sekte tertentu, dan semisalnya yang mengarahkan kepada kedurhakaan kepada Allah Ta’ala, apalagi sampai mempelajarinya. Keenam: Memandangi orang-orang yang lewat di jalanan. Selain mengandung banyak kemungkinan maksiat penglihatan, seperti ikhtilath (campur baur), aurat yang terbuka, hal ini juga dapat mengesankan seolah-olah yang memandangi seperti sedang mengawasi orang lain, sehingga dapat timbul rasa tidak nyaman. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan Sahabat Abu Said Al-Khudri, “إيّاكم والجُلوسَ في الطُّرُقاتِ”، قالوا: يا رسولَ اللهِ، ما لنا من مجالِسِنا بُدٌّ، نتحَدَّثُ فيها، قال: «فأمّا إذ أَبَيْتم إلّا المَجلِسَ فأَعْطوا الطريقَ حقَّه»، قالوا: يا رسولَ اللهِ، فما حقُّ الطريقِ؟ قال: «غَضُّ البَصَرِ، وكفُّ الأَذى، ورَدُّ السلامِ، والأَمرُ بالمعروفِ، والنَّهْيُ عنِ المُنكَرِ “Hindarilah duduk-duduk di pinggiran jalan.” Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kami butuh untuk duduk-duduk di sana memperbincangkan hal yang memang perlu?” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kalian memang perlu untuk duduk-duduk di pinggiran jalan, maka berikanlah hak pengguna jalanan.” Mereka bertanya; “Apa hak pengguna jalan wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, dan amar makruf nahi munkar.” (HR. Bukhari no. 2465, Muslim no. 2121, Abu Dawud no. 4815, Ahmad no. 11309) Tentu saja, selain daripada bentuk-bentuk tersebut, banyak sekali bentuk lainnya. Namun, disebutkannya bentuk-bentuk di atas bukanlah sebagai pembatasan, melainkan sebagai contoh yang paling lazim dan contoh mayor dari overdosis melihat yang sedang kita bahas. Baca juga: Menilai dan Melihat Orang Lain dari Yang Tampak Bahaya overdosis melihat Bahaya dan konsekuensi dari overdosis melihat, terutama dari salah satu atau lebih bentuk yang telah disebutkan di atas, ada banyak sekali, yang mana terkait dan terhubung satu sama lain. Tentunya, bahaya dan konsekuensi ini adalah efek samping dari overdosis melihat yang kemudian akan menjadi racun bagi hati dan menyebabkan hati keracunan, menjadi hati yang sakit, dan dalam kemungkinan terparah menjadi hati yang mati. Berikut di antaranya: Pertama: Memandang adalah salah satu anak panah Iblis, sehingga setan masuk pula lewat penglihatan. Sebagaimana bahwa penglihatan dan hati memiliki keterkaitan yang erat, maka tatkala Iblis melemparkan anak panahnya, sesuatu yang dipandang oleh manusia akan dihiasi oleh Iblis. Sehingga, terbentuklah ilusi-ilusi dan halusinasi, khayalan yang ditimbulkan dari apa yang dilihat. Kemudian Iblis dan setan akan menyalakan api syahwat dengan kayu bakar maksiat, hanya dengan penglihatan. Betapa dahsyatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, النَّظرةُ سَهمٌ من سِهامِ إبليسَ مَسمومةٌ، فمَن تَرَكها مِن خَوفِ اللهِ أثابَه جَلَّ وعزَّ إيمانًا يَجِدُ حَلاوتَه في قَلبِه. “Pandangan adalah salah satu dari anak panah Iblis yang beracun. Dan barangsiapa yang meninggalkannya (memandang hal yang haram) karena takut kepada Allah, maka Allah akan mengganjarnya dengan manisnya keimanan yang diberikan kepada hatinya.” (HR. Hakim no. 8088 dalam “Mustadrak”-nya) Kedua: Melihat dan memandang sesuatu juga akan menyibukkan hati kita dari amalan-amalan saleh yang seharusnya dilakukan. Ini karena melihat bukan sekadar melihat saja, akan tetapi hati kita dapat terpaut, berlarut-larut dengan apa yang kita lihat. Contoh sederhana adalah scroll media sosial yang bisa menghabiskan waktu berjam-jam dan itu masih salah satu bentuk melihat juga. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang larangan untuk mengikuti orang-orang yang hatinya tersibukkan oleh hal selain ibadah kepada-Nya, وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُۥ عَن ذِكْرِنَا وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ وَكَانَ أَمْرُهُۥ فُرُطًا “Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya  itu adalah keadaan yang sudah melewati batas.” (QS. Al-Kahfi: 28) Ketiga: Fudhul Nazhar (overdosis melihat) adalah bentuk kemaksiatan kepada Allah. Hal ini dikarenakan jelas-jelas bertentangan dengan perintah Allah yang secara gamblang dimaktubkan dalam firman-Nya yang berlaku bagi seluruh laki-laki dan perempuan pada surah An-Nur ayat 30-31 tentang perintah menjaga dan menundukkan pandangan. Sebagaimana perintahnya adalah menahan dan menundukkan pandangan, maka melakukan sebaliknya adalah kemaksiatan yang akan menjauhkan jiwa dari kebahagiaan dunia dan akhirat. Keempat: Memandang hal yang tidak selayaknya juga dapat menimbulkan kegelapan dalam hati. Masih berhubungan dengan poin sebelumnya, jika fudhul nazhar adalah maksiat, maka maksiat akan menggelapkan hati. إن العبدَ إذا أخطأ خطيئةُ نُكِتتْ في قلبهِ نُكتةً سوداءَ فإذا هو نزعَ واستغفرَ وتابَ سُقلَ قلبهُ وإن عادَ زيدَ فيها حتى تعلو قلبهُ وهو الرانُ الذي ذكرَ اللهُ كَلّا بَلْ رانَ عَلى قُلُوبِهِمْ ما كانُواْ يَكْسِبُونَ “Sesungguhnya apabila seorang hamba melakukan suatu kesalahan (dosa), akan muncul titik hitam di hatinya. Kemudian, apabila ia meninggalkan (dosa tersebut), meminta ampunan, dan bertobat, maka hatinya akan dibersihkan. Namun, apabila ia mengulanginya (dosa), maka akan bertambah titik hitamnya sampai menutupi hatinya, dan inilah ‘ran’ yang disebut oleh Allah (dalam ayat) ‘Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.’.” Selain itu, beberapa ayat setelah ayat perintah untuk menjaga pandangan, Allah berfirman, ٱللَّهُ نُورُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ “Allah (pemberi) cahaya kepada langit dan bumi.” (QS. An-Nur: 35) Pada ayat ini, Allah membawakan narasi tentang cahaya hanya berselang sedikit setelah perintah menjaga dan menundukkan pandangan. Dengan penglihatan sebagai awal impresi terhadap sesuatu, yang berdampak pada hati, maka apabila hati sudah diterangi dengan cahaya, maka kebaikan-kebaikan dan dorongan untuk melakukan kebaikan akan berdatangan dari berbagai arah. Sebaliknya, jika hati gelap, maka bagaimana pun hati itu akan selalu mendorong kepada keburukan dan akan terus dikelilingi keburukan. Kelima: Penglihatan yang digunakan untuk memandang hal-hal yang dilarang juga mengakibatkan butanya hati, buta dari membedakan yang baik dan benar, buta dari membedakan sunah dengan bid’ah. Sebaliknya, Allah justru menghadiahkan bagi yang menjaga pandangannya sebuah firasat yang kuat, yang dengannya seseorang dapat dengan mudah membedakan baik-buruk, benar-salah. Seorang salafus shalih terdahulu, Abu Syuja’ Al-Karmani, pernah mengatakan, من عمّر ظاهره باتباع السنة وباطنه بدوام المراقبة وغض بصره عن المحارم وكف نفسه عن الشبهات واغتذى بالحلال لم تخطئ له فراسة “Barangsiapa yang menjaga zahirnya dengan mengikuti sunah, dan batinnya dengan muraqabah (selalu merasa diawasi oleh Allah), dan menundukkan serta menjaga pandangannya dari yang haram, juga menjaga dirinya dari syubhat, serta selalu mengonsumsi hal-hal yang halal, maka firasatnya tidak akan salah.” Ibnul Qayyim menjelaskan hal ini dengan menyatakan bahwa di dalamnya terdapat الجزاء من جنس العمل (Balasan sesuatu tergantung jenis amal yang dilakukannya). Sebagaimana orang yang menjaga pandangannya dari yang haram mendapatkan ganjaran berupa firasat yang benar dan kuat, maka orang yang tidak menjaga pandangannya dari yang haram, maka hatinya akan dibutakan, terutamanya dari membedakan baik-buruk, benar-salah. Pembaca sekalian, adanya pembahasan ini bukanlah untuk melarang kita menggunakan penglihatan kita secara mutlak, akan tetapi agar kita mengendalikan fasilitas penglihatan yang telah diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita, menggunakan sebaik-baiknya, dan hanya untuk melihat yang baik. Karena apa? Karena sejatinya, seluruh anggota tubuh kita, bahkan seluruh hidup kita, haruslah didedikasikan secara penuh untuk peribadatan dan ketaatan kepada Allah. Namun, bukanlah hal yang dapat dipungkiri, keberadaan hal-hal yang tidak selayaknya dilihat adalah ada, lantas bagaimana kita menyikapinya jika kita melihatnya? Sahabat Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu menceritakan, سألتُ رسولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عن نظرةِ الفجأةِ فأمرني أن أصرفَ بصري “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang nazhar fuj’ah (pandangan sekilas atau tiba-tiba), maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Tirmidzi no. 2776) Para ulama kemudian menjelaskan hadis ini bahwa tidak mengapa tentang pandangan pertama, yang mana hanya terlihat oleh mata sekilas saja dan terjadi tanpa disengaja. Akan tetapi, haruslah segera memalingkan pandangan kita dari hal (yang dilarang) tersebut. Dan pandangan-pandangan setelahnya, jika diteruskan, maka sudah dianggap sebagai fudhul nazhar atau overdosis melihat yang kita bahas pada pembahasan ini. Semoga yang sedikit ini dapat bermanfaat dan kita semua senantiasa diberikan taufik oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk dapat menjaga pandangan kita dari hal-hal yang dilarang secara syariat dan dapat menggunakan penglihatan kita hanya untuk kemanfaatan saja. Kembali ke bagian 1: Empat Overdosis Penyebab Hati Keracunan (Bag. 1) Lanjut ke bagian 3: Bersambung *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id Tags: keracunanoverdosis

Sediakan Waktu untuk Muhasabah An-Nafs (Introspeksi dan Evaluasi Diri)

Di antara ibadah yang agung adalah muhasabah an-nafs, yaitu seorang hamba senantiasa menghisab jiwa, mengintrospeksi, mengoreksi, dan mengevaluasi dirinya tentang apa yang telah dia perbuat dalam keseharian sebagai persiapan untuk hari esok di akhirat. Karena kita menyadari bahwa dunia yang kita tinggali ini hanya bersifat sementara, kita pasti akan mati, kemudian mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita di akhirat. Kita harus menyadari bahwa saat ini, kita hidup di suatu zaman yang sangat memungkinkan kita berbuat maksiat setiap harinya. Ketika kita membuka media sosial, semacam facebook, instagram, X (twiter), atau menonton youtube, sadar atau tidak sadar kita telah mengumbar pandangan. Keseharian kita mungkin dipenuhi dengan ghibah dan namimah, membicarakan dan mengorek aib si fulan dan si fulan. Oleh karena itu, di zaman ini kita sangat butuh muhasabah an-nafs. Caranya, kita berusaha menyisihkan menyisihkan waktu untuk menghisab dan mengevaluasi diri kita. Karena kalau tidak, kita akan lepas kontrol dan semakin jauh terperosok ke dalam kubangan maksiat. Lalu tanpa sadar, tiba-tiba kita dipanggil oleh Allah Ta’ala. Ini yang hendaknya selalu kita khawatirkan atas diri kita sendiri. Dalil pokok dalam hal ini adalah firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ. وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ. لَا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ ۚ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga. Penghuni-penghuni surga, itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 18-20) Ketika menjelaskan ayat ini, Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah mengatakan bahwa ayat mulia ini merupakan dalil agar seorang hamba melakukan introspeksi diri, sehingga hendaknya dia senantiasa mengoreksi dan mengevaluasi jiwanya. Apabila terdapat kesalahan, maka dia kemudian memperbaiki dengan meninggalkan kesalahan tersebut, lalu bertobat dengan sungguh-sungguh, serta berpaling dari berbagai sebab yang bisa mendorongnya untuk melakukan kesalahan yang sama. Apabila ternyata dia melalaikan salah satu perintah Allah Ta’ala, maka dia berupaya keras dan memohon pertolongan Allah Ta’ala untuk menyempurnakannya. Dia bandingkan antara kebaikan dan kenikmatan yang diperolehnya dengan kelalaian yang telah dilakukannya. Karena tanpa diragukan lagi, hal itu akan melahirkan rasa malu kepada Allah Ta’ala. Sungguh suatu kerugian yang teramat nyata, ketika seorang hamba lalai dan tidak berinstropeksi diri, sehingga dia pun serupa dengan golongan yang lupa kepada Allah, lalai dari berdzikir kepada-Nya, dan menunaikan hak-Nya. Mereka justru lebih mendahulukan kepentingan jiwa dan syahwatnya. Mereka itu hanya akan memperoleh kesia-siaan. Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala akan membuat mereka lupa terhadap segala sesuatu yang membawa manfaat bagi jiwa mereka. Dengan begitu, urusan mereka pun menjadi berantakan. Mereka mengalami kegagalan yang tidak mungkin lagi diperbaiki. Karena mereka orang-orang fasik, yang mengeluarkan diri mereka sendiri dari rel ketaatan, lalu menjerumuskan diri ke dalam jurang kemaksiatan. Apakah orang yang senantiasa menjaga diri dalam bingkai ketakwaan dan memperhatikan dampak dari apa yang telah diperbuatnya di hari esok akan sama kedudukannya dengan orang yang lalai mengingat Allah dan melupakan hak-Nya? Tentu orang yang pertama berhak memperoleh kenikmatan surga dan kehidupan yang tenteram bersama para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Sedangkan orang yang kedua justru akan celaka di dunia dan berhak memperoleh siksa di akhirat. Orang yang pertama adalah orang yang sukses, sedangkan orang yang kedua adalah orang yang gagal. (Lihat Taisir Karimir Rahman dalam penjelasan beliau terhadap ayat ini) Baca juga: Menghukum Diri dengan Muhasabah Sederhananya, kalau dalam urusan dunia kita senantiasa melakukan evaluasi agar kegiatan atau aktivitas selanjutnya bisa lebih baik, mengapa hal yang sama tidak kita lakukan untuk urusan akhirat? Yang bisa melakukan muhasabah an-nafs adalah diri kita sendiri, bukan orang lain, karena orang lain tidak tahu apa yang kita lakukan saat kita bersendirian dan apa yang terbesit dalam hati kita. Sehingga yang paling tahu kondisi kita, setelah Allah Ta’ala, adalah diri kita sendiri. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah menuturkan, الْمُؤْمِنُ قَوَّامٌ عَلَى نَفْسِهِ يُحَاسِبُ نَفْسَهُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَإِنَّمَا خَفَّ الْحِسَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى قَوْمٍ حَاسَبُوا أَنْفُسَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَإِنَّمَا شَقَّ الْحِسَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى قَوْمٍ أَخَذُوا هَذَا الْأَمْرَ مِنْ غَيْرِ مُحَاسَبَةٍ، إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَفْجَأَهُ الشَّيْءُ وَيُعْجِبُهُ، فَيَقُولُ وَاللَّهِ أَنِّي لَأَشْتَهِيكَ وَإِنَّكَ لَمِنْ حَاجَتِي، وَلَكِنْ وَاللَّهِ، مَا صِلَةٌ إِلَيْكَ هَيْهَاتَ، حِيلَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ وَيُفْرَطُ مِنْهُ الشَّيْءُ فَيَرْجِعُ إِلَى نَفْسِهِ فَيَقُولُ: هَيْهَاتَ مَا أَرَدْتُ إِلَى هَذَا وَمَا لِي وَلِهَذَا وَاللَّهِ مَا أُعْذَرُ بِهَذَا وَاللَّهِ لَا أَعُودُ إِلَى هَذَا أَبَدًا إِنْ شَاءَ اللَّهُ وَمَالِي وَلِهَذَا، وَاللَّهِ مَا أُعْذَرُ بِهَذَا وَاللَّهِ لَا أَعُودُ إِلَى هَذَا أَبَدًا إِنْ شَاءَ اللَّهُ، إِنَّ الْمُؤْمِنِينَ قَوْمٌ أَوْقَفَهُمُ الْقُرْآنُ وَحَالَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ هَلَكَتِهِمْ أَنَّ الْمُؤْمِنَ أَسِيرٌ فِي الدُّنْيَا يَسْعَى فِي فِكَاكِ رَقَبَتِهِ لَا يَأْمَنُ شَيْئًا حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ يَعْلَمُ أَنَّهُ مَأْخُوذٌ عَلَيْهِ فِي سَمْعِهِ، وَفِي بَصَرِهِ، وَفِي لِسَانِهِ، وَفِي جَوَارِحِهِ، مَأْخُوذٌ عَلَيْهِ فِي ذَلِكَ كُلِّهِ “Orang beriman itu pemimpin bagi jiwanya. Dia mengevaluasi jiwa karena Allah ‘Azza wa Jalla. Evaluasi (hisab) di hari kiamat akan lebih ringan bagi mereka yang mengevaluasi jiwa ketika di dunia. Sebaliknya, evaluasi di hari kiamat akan lebih berat bagi mereka yang memeluk agama ini dan tidak mengevaluasi jiwa ketika di dunia. Ketika suatu maksiat menggoda dan mengajak orang beriman, dia pun berkata kepada jiwanya. ‘Demi Allah, sungguh saya menginginkanmu dan membutuhkanmu. Akan tetapi, demi Allah, tidak ada hubungan denganmu yang bisa menghalangi diriku denganmu.’ Kemudian ia kembali berkata kepada jiwanya, “Betapa jauh dari kebenaran. Saya tidak ingin melakukannya. Apa urusanku dengan kemaksiatan tersebut? Demi Allah, saya tidak akan dimaafkan jika melakukannya. Demi Allah, saya tidak akan kembali melakukan kemaksiatan itu selamanya, insya Allah. Apa urusanku dengan kemaksiatan tersebut? Sungguh, orang beriman adalah golongan yang dihentikan dan dihalangi oleh Al-Quran dari kemaksiatan yang membinasakannya. Sungguh, orang beriman adalah tawanan di dunia yang berusaha untuk melepaskan kekangannya dan merasa khawatir kalau dia menjumpai Allah Ta’ala dalam kondisi disiksa pendengaran, penglihatan, lisan, dan anggota tubuhnya. Semua itu disiksa akibat kemaksiatan yang dilakukannya.” (Diriwayatkan Ibnu al-Mubarak dalam Az-Zuhd wa Ar-Raqaiq no. 307) Hal utama yang mampu membantu seorang hamba melakukan muhasabah an-nafs adalah merenungkan apa yang akan dia panen di hari kiamat kelak, hari ketika dia berdiri di hadapan Allah Ta’ala. Ketika itu, Allah akan mengevaluasi segala yang dilakukannya selama hidup di dunia ini. Dengan muhasabah an-nafs, dia bisa membentengi diri dari bisikan nafsu yang buruk. Apabila jiwa mengajaknya untuk berbuat sesuatu yang berpotensi mengundang kemurkaan Allah Ta’ala, maka dia pun mengingatkan jiwanya bahwa dia akan berdiri di hadapan Allah Ta’ala. Sehingga jiwanya pun berhenti mengajak untuk berbuat kemaksiatan dan dosa. Muhasabah an-nafs juga bisa dilakukan sebelum melakukan suatu amal atau perbuatan. Misalnya, ketika kita ingin posting sesuatu di media sosial, kita muhasabah jiwa kita, apakah ada manfaatnya? Apakah niat kita sudah benar? Apabila ternyata menimbulkan keburukan, kita batalkan niat kita untuk posting di media sosial tersebut. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengevalusi diri kita setiap harinya. Apakah hari ini kita menyempatkan untuk berdzikir pagi-petang? Atau, apakah hari ini kita salat lima waktu berjamaah di masjid? Atau, pada waktu antara azan dan ikamah, apakah kita memanfaatkannya untuk berdoa kepada Allah, atau kita hanya ngobrol dengan orang lain? Demikianlah seterusnya untuk perkara-perkara yang lainnya. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Sudahkah Kita Muhasabah? *** “Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri.” @BA, 1 Dzulqa’dah 1445/ 10 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id Tags: muhasabah

Sediakan Waktu untuk Muhasabah An-Nafs (Introspeksi dan Evaluasi Diri)

Di antara ibadah yang agung adalah muhasabah an-nafs, yaitu seorang hamba senantiasa menghisab jiwa, mengintrospeksi, mengoreksi, dan mengevaluasi dirinya tentang apa yang telah dia perbuat dalam keseharian sebagai persiapan untuk hari esok di akhirat. Karena kita menyadari bahwa dunia yang kita tinggali ini hanya bersifat sementara, kita pasti akan mati, kemudian mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita di akhirat. Kita harus menyadari bahwa saat ini, kita hidup di suatu zaman yang sangat memungkinkan kita berbuat maksiat setiap harinya. Ketika kita membuka media sosial, semacam facebook, instagram, X (twiter), atau menonton youtube, sadar atau tidak sadar kita telah mengumbar pandangan. Keseharian kita mungkin dipenuhi dengan ghibah dan namimah, membicarakan dan mengorek aib si fulan dan si fulan. Oleh karena itu, di zaman ini kita sangat butuh muhasabah an-nafs. Caranya, kita berusaha menyisihkan menyisihkan waktu untuk menghisab dan mengevaluasi diri kita. Karena kalau tidak, kita akan lepas kontrol dan semakin jauh terperosok ke dalam kubangan maksiat. Lalu tanpa sadar, tiba-tiba kita dipanggil oleh Allah Ta’ala. Ini yang hendaknya selalu kita khawatirkan atas diri kita sendiri. Dalil pokok dalam hal ini adalah firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ. وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ. لَا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ ۚ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga. Penghuni-penghuni surga, itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 18-20) Ketika menjelaskan ayat ini, Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah mengatakan bahwa ayat mulia ini merupakan dalil agar seorang hamba melakukan introspeksi diri, sehingga hendaknya dia senantiasa mengoreksi dan mengevaluasi jiwanya. Apabila terdapat kesalahan, maka dia kemudian memperbaiki dengan meninggalkan kesalahan tersebut, lalu bertobat dengan sungguh-sungguh, serta berpaling dari berbagai sebab yang bisa mendorongnya untuk melakukan kesalahan yang sama. Apabila ternyata dia melalaikan salah satu perintah Allah Ta’ala, maka dia berupaya keras dan memohon pertolongan Allah Ta’ala untuk menyempurnakannya. Dia bandingkan antara kebaikan dan kenikmatan yang diperolehnya dengan kelalaian yang telah dilakukannya. Karena tanpa diragukan lagi, hal itu akan melahirkan rasa malu kepada Allah Ta’ala. Sungguh suatu kerugian yang teramat nyata, ketika seorang hamba lalai dan tidak berinstropeksi diri, sehingga dia pun serupa dengan golongan yang lupa kepada Allah, lalai dari berdzikir kepada-Nya, dan menunaikan hak-Nya. Mereka justru lebih mendahulukan kepentingan jiwa dan syahwatnya. Mereka itu hanya akan memperoleh kesia-siaan. Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala akan membuat mereka lupa terhadap segala sesuatu yang membawa manfaat bagi jiwa mereka. Dengan begitu, urusan mereka pun menjadi berantakan. Mereka mengalami kegagalan yang tidak mungkin lagi diperbaiki. Karena mereka orang-orang fasik, yang mengeluarkan diri mereka sendiri dari rel ketaatan, lalu menjerumuskan diri ke dalam jurang kemaksiatan. Apakah orang yang senantiasa menjaga diri dalam bingkai ketakwaan dan memperhatikan dampak dari apa yang telah diperbuatnya di hari esok akan sama kedudukannya dengan orang yang lalai mengingat Allah dan melupakan hak-Nya? Tentu orang yang pertama berhak memperoleh kenikmatan surga dan kehidupan yang tenteram bersama para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Sedangkan orang yang kedua justru akan celaka di dunia dan berhak memperoleh siksa di akhirat. Orang yang pertama adalah orang yang sukses, sedangkan orang yang kedua adalah orang yang gagal. (Lihat Taisir Karimir Rahman dalam penjelasan beliau terhadap ayat ini) Baca juga: Menghukum Diri dengan Muhasabah Sederhananya, kalau dalam urusan dunia kita senantiasa melakukan evaluasi agar kegiatan atau aktivitas selanjutnya bisa lebih baik, mengapa hal yang sama tidak kita lakukan untuk urusan akhirat? Yang bisa melakukan muhasabah an-nafs adalah diri kita sendiri, bukan orang lain, karena orang lain tidak tahu apa yang kita lakukan saat kita bersendirian dan apa yang terbesit dalam hati kita. Sehingga yang paling tahu kondisi kita, setelah Allah Ta’ala, adalah diri kita sendiri. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah menuturkan, الْمُؤْمِنُ قَوَّامٌ عَلَى نَفْسِهِ يُحَاسِبُ نَفْسَهُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَإِنَّمَا خَفَّ الْحِسَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى قَوْمٍ حَاسَبُوا أَنْفُسَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَإِنَّمَا شَقَّ الْحِسَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى قَوْمٍ أَخَذُوا هَذَا الْأَمْرَ مِنْ غَيْرِ مُحَاسَبَةٍ، إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَفْجَأَهُ الشَّيْءُ وَيُعْجِبُهُ، فَيَقُولُ وَاللَّهِ أَنِّي لَأَشْتَهِيكَ وَإِنَّكَ لَمِنْ حَاجَتِي، وَلَكِنْ وَاللَّهِ، مَا صِلَةٌ إِلَيْكَ هَيْهَاتَ، حِيلَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ وَيُفْرَطُ مِنْهُ الشَّيْءُ فَيَرْجِعُ إِلَى نَفْسِهِ فَيَقُولُ: هَيْهَاتَ مَا أَرَدْتُ إِلَى هَذَا وَمَا لِي وَلِهَذَا وَاللَّهِ مَا أُعْذَرُ بِهَذَا وَاللَّهِ لَا أَعُودُ إِلَى هَذَا أَبَدًا إِنْ شَاءَ اللَّهُ وَمَالِي وَلِهَذَا، وَاللَّهِ مَا أُعْذَرُ بِهَذَا وَاللَّهِ لَا أَعُودُ إِلَى هَذَا أَبَدًا إِنْ شَاءَ اللَّهُ، إِنَّ الْمُؤْمِنِينَ قَوْمٌ أَوْقَفَهُمُ الْقُرْآنُ وَحَالَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ هَلَكَتِهِمْ أَنَّ الْمُؤْمِنَ أَسِيرٌ فِي الدُّنْيَا يَسْعَى فِي فِكَاكِ رَقَبَتِهِ لَا يَأْمَنُ شَيْئًا حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ يَعْلَمُ أَنَّهُ مَأْخُوذٌ عَلَيْهِ فِي سَمْعِهِ، وَفِي بَصَرِهِ، وَفِي لِسَانِهِ، وَفِي جَوَارِحِهِ، مَأْخُوذٌ عَلَيْهِ فِي ذَلِكَ كُلِّهِ “Orang beriman itu pemimpin bagi jiwanya. Dia mengevaluasi jiwa karena Allah ‘Azza wa Jalla. Evaluasi (hisab) di hari kiamat akan lebih ringan bagi mereka yang mengevaluasi jiwa ketika di dunia. Sebaliknya, evaluasi di hari kiamat akan lebih berat bagi mereka yang memeluk agama ini dan tidak mengevaluasi jiwa ketika di dunia. Ketika suatu maksiat menggoda dan mengajak orang beriman, dia pun berkata kepada jiwanya. ‘Demi Allah, sungguh saya menginginkanmu dan membutuhkanmu. Akan tetapi, demi Allah, tidak ada hubungan denganmu yang bisa menghalangi diriku denganmu.’ Kemudian ia kembali berkata kepada jiwanya, “Betapa jauh dari kebenaran. Saya tidak ingin melakukannya. Apa urusanku dengan kemaksiatan tersebut? Demi Allah, saya tidak akan dimaafkan jika melakukannya. Demi Allah, saya tidak akan kembali melakukan kemaksiatan itu selamanya, insya Allah. Apa urusanku dengan kemaksiatan tersebut? Sungguh, orang beriman adalah golongan yang dihentikan dan dihalangi oleh Al-Quran dari kemaksiatan yang membinasakannya. Sungguh, orang beriman adalah tawanan di dunia yang berusaha untuk melepaskan kekangannya dan merasa khawatir kalau dia menjumpai Allah Ta’ala dalam kondisi disiksa pendengaran, penglihatan, lisan, dan anggota tubuhnya. Semua itu disiksa akibat kemaksiatan yang dilakukannya.” (Diriwayatkan Ibnu al-Mubarak dalam Az-Zuhd wa Ar-Raqaiq no. 307) Hal utama yang mampu membantu seorang hamba melakukan muhasabah an-nafs adalah merenungkan apa yang akan dia panen di hari kiamat kelak, hari ketika dia berdiri di hadapan Allah Ta’ala. Ketika itu, Allah akan mengevaluasi segala yang dilakukannya selama hidup di dunia ini. Dengan muhasabah an-nafs, dia bisa membentengi diri dari bisikan nafsu yang buruk. Apabila jiwa mengajaknya untuk berbuat sesuatu yang berpotensi mengundang kemurkaan Allah Ta’ala, maka dia pun mengingatkan jiwanya bahwa dia akan berdiri di hadapan Allah Ta’ala. Sehingga jiwanya pun berhenti mengajak untuk berbuat kemaksiatan dan dosa. Muhasabah an-nafs juga bisa dilakukan sebelum melakukan suatu amal atau perbuatan. Misalnya, ketika kita ingin posting sesuatu di media sosial, kita muhasabah jiwa kita, apakah ada manfaatnya? Apakah niat kita sudah benar? Apabila ternyata menimbulkan keburukan, kita batalkan niat kita untuk posting di media sosial tersebut. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengevalusi diri kita setiap harinya. Apakah hari ini kita menyempatkan untuk berdzikir pagi-petang? Atau, apakah hari ini kita salat lima waktu berjamaah di masjid? Atau, pada waktu antara azan dan ikamah, apakah kita memanfaatkannya untuk berdoa kepada Allah, atau kita hanya ngobrol dengan orang lain? Demikianlah seterusnya untuk perkara-perkara yang lainnya. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Sudahkah Kita Muhasabah? *** “Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri.” @BA, 1 Dzulqa’dah 1445/ 10 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id Tags: muhasabah
Di antara ibadah yang agung adalah muhasabah an-nafs, yaitu seorang hamba senantiasa menghisab jiwa, mengintrospeksi, mengoreksi, dan mengevaluasi dirinya tentang apa yang telah dia perbuat dalam keseharian sebagai persiapan untuk hari esok di akhirat. Karena kita menyadari bahwa dunia yang kita tinggali ini hanya bersifat sementara, kita pasti akan mati, kemudian mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita di akhirat. Kita harus menyadari bahwa saat ini, kita hidup di suatu zaman yang sangat memungkinkan kita berbuat maksiat setiap harinya. Ketika kita membuka media sosial, semacam facebook, instagram, X (twiter), atau menonton youtube, sadar atau tidak sadar kita telah mengumbar pandangan. Keseharian kita mungkin dipenuhi dengan ghibah dan namimah, membicarakan dan mengorek aib si fulan dan si fulan. Oleh karena itu, di zaman ini kita sangat butuh muhasabah an-nafs. Caranya, kita berusaha menyisihkan menyisihkan waktu untuk menghisab dan mengevaluasi diri kita. Karena kalau tidak, kita akan lepas kontrol dan semakin jauh terperosok ke dalam kubangan maksiat. Lalu tanpa sadar, tiba-tiba kita dipanggil oleh Allah Ta’ala. Ini yang hendaknya selalu kita khawatirkan atas diri kita sendiri. Dalil pokok dalam hal ini adalah firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ. وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ. لَا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ ۚ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga. Penghuni-penghuni surga, itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 18-20) Ketika menjelaskan ayat ini, Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah mengatakan bahwa ayat mulia ini merupakan dalil agar seorang hamba melakukan introspeksi diri, sehingga hendaknya dia senantiasa mengoreksi dan mengevaluasi jiwanya. Apabila terdapat kesalahan, maka dia kemudian memperbaiki dengan meninggalkan kesalahan tersebut, lalu bertobat dengan sungguh-sungguh, serta berpaling dari berbagai sebab yang bisa mendorongnya untuk melakukan kesalahan yang sama. Apabila ternyata dia melalaikan salah satu perintah Allah Ta’ala, maka dia berupaya keras dan memohon pertolongan Allah Ta’ala untuk menyempurnakannya. Dia bandingkan antara kebaikan dan kenikmatan yang diperolehnya dengan kelalaian yang telah dilakukannya. Karena tanpa diragukan lagi, hal itu akan melahirkan rasa malu kepada Allah Ta’ala. Sungguh suatu kerugian yang teramat nyata, ketika seorang hamba lalai dan tidak berinstropeksi diri, sehingga dia pun serupa dengan golongan yang lupa kepada Allah, lalai dari berdzikir kepada-Nya, dan menunaikan hak-Nya. Mereka justru lebih mendahulukan kepentingan jiwa dan syahwatnya. Mereka itu hanya akan memperoleh kesia-siaan. Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala akan membuat mereka lupa terhadap segala sesuatu yang membawa manfaat bagi jiwa mereka. Dengan begitu, urusan mereka pun menjadi berantakan. Mereka mengalami kegagalan yang tidak mungkin lagi diperbaiki. Karena mereka orang-orang fasik, yang mengeluarkan diri mereka sendiri dari rel ketaatan, lalu menjerumuskan diri ke dalam jurang kemaksiatan. Apakah orang yang senantiasa menjaga diri dalam bingkai ketakwaan dan memperhatikan dampak dari apa yang telah diperbuatnya di hari esok akan sama kedudukannya dengan orang yang lalai mengingat Allah dan melupakan hak-Nya? Tentu orang yang pertama berhak memperoleh kenikmatan surga dan kehidupan yang tenteram bersama para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Sedangkan orang yang kedua justru akan celaka di dunia dan berhak memperoleh siksa di akhirat. Orang yang pertama adalah orang yang sukses, sedangkan orang yang kedua adalah orang yang gagal. (Lihat Taisir Karimir Rahman dalam penjelasan beliau terhadap ayat ini) Baca juga: Menghukum Diri dengan Muhasabah Sederhananya, kalau dalam urusan dunia kita senantiasa melakukan evaluasi agar kegiatan atau aktivitas selanjutnya bisa lebih baik, mengapa hal yang sama tidak kita lakukan untuk urusan akhirat? Yang bisa melakukan muhasabah an-nafs adalah diri kita sendiri, bukan orang lain, karena orang lain tidak tahu apa yang kita lakukan saat kita bersendirian dan apa yang terbesit dalam hati kita. Sehingga yang paling tahu kondisi kita, setelah Allah Ta’ala, adalah diri kita sendiri. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah menuturkan, الْمُؤْمِنُ قَوَّامٌ عَلَى نَفْسِهِ يُحَاسِبُ نَفْسَهُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَإِنَّمَا خَفَّ الْحِسَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى قَوْمٍ حَاسَبُوا أَنْفُسَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَإِنَّمَا شَقَّ الْحِسَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى قَوْمٍ أَخَذُوا هَذَا الْأَمْرَ مِنْ غَيْرِ مُحَاسَبَةٍ، إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَفْجَأَهُ الشَّيْءُ وَيُعْجِبُهُ، فَيَقُولُ وَاللَّهِ أَنِّي لَأَشْتَهِيكَ وَإِنَّكَ لَمِنْ حَاجَتِي، وَلَكِنْ وَاللَّهِ، مَا صِلَةٌ إِلَيْكَ هَيْهَاتَ، حِيلَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ وَيُفْرَطُ مِنْهُ الشَّيْءُ فَيَرْجِعُ إِلَى نَفْسِهِ فَيَقُولُ: هَيْهَاتَ مَا أَرَدْتُ إِلَى هَذَا وَمَا لِي وَلِهَذَا وَاللَّهِ مَا أُعْذَرُ بِهَذَا وَاللَّهِ لَا أَعُودُ إِلَى هَذَا أَبَدًا إِنْ شَاءَ اللَّهُ وَمَالِي وَلِهَذَا، وَاللَّهِ مَا أُعْذَرُ بِهَذَا وَاللَّهِ لَا أَعُودُ إِلَى هَذَا أَبَدًا إِنْ شَاءَ اللَّهُ، إِنَّ الْمُؤْمِنِينَ قَوْمٌ أَوْقَفَهُمُ الْقُرْآنُ وَحَالَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ هَلَكَتِهِمْ أَنَّ الْمُؤْمِنَ أَسِيرٌ فِي الدُّنْيَا يَسْعَى فِي فِكَاكِ رَقَبَتِهِ لَا يَأْمَنُ شَيْئًا حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ يَعْلَمُ أَنَّهُ مَأْخُوذٌ عَلَيْهِ فِي سَمْعِهِ، وَفِي بَصَرِهِ، وَفِي لِسَانِهِ، وَفِي جَوَارِحِهِ، مَأْخُوذٌ عَلَيْهِ فِي ذَلِكَ كُلِّهِ “Orang beriman itu pemimpin bagi jiwanya. Dia mengevaluasi jiwa karena Allah ‘Azza wa Jalla. Evaluasi (hisab) di hari kiamat akan lebih ringan bagi mereka yang mengevaluasi jiwa ketika di dunia. Sebaliknya, evaluasi di hari kiamat akan lebih berat bagi mereka yang memeluk agama ini dan tidak mengevaluasi jiwa ketika di dunia. Ketika suatu maksiat menggoda dan mengajak orang beriman, dia pun berkata kepada jiwanya. ‘Demi Allah, sungguh saya menginginkanmu dan membutuhkanmu. Akan tetapi, demi Allah, tidak ada hubungan denganmu yang bisa menghalangi diriku denganmu.’ Kemudian ia kembali berkata kepada jiwanya, “Betapa jauh dari kebenaran. Saya tidak ingin melakukannya. Apa urusanku dengan kemaksiatan tersebut? Demi Allah, saya tidak akan dimaafkan jika melakukannya. Demi Allah, saya tidak akan kembali melakukan kemaksiatan itu selamanya, insya Allah. Apa urusanku dengan kemaksiatan tersebut? Sungguh, orang beriman adalah golongan yang dihentikan dan dihalangi oleh Al-Quran dari kemaksiatan yang membinasakannya. Sungguh, orang beriman adalah tawanan di dunia yang berusaha untuk melepaskan kekangannya dan merasa khawatir kalau dia menjumpai Allah Ta’ala dalam kondisi disiksa pendengaran, penglihatan, lisan, dan anggota tubuhnya. Semua itu disiksa akibat kemaksiatan yang dilakukannya.” (Diriwayatkan Ibnu al-Mubarak dalam Az-Zuhd wa Ar-Raqaiq no. 307) Hal utama yang mampu membantu seorang hamba melakukan muhasabah an-nafs adalah merenungkan apa yang akan dia panen di hari kiamat kelak, hari ketika dia berdiri di hadapan Allah Ta’ala. Ketika itu, Allah akan mengevaluasi segala yang dilakukannya selama hidup di dunia ini. Dengan muhasabah an-nafs, dia bisa membentengi diri dari bisikan nafsu yang buruk. Apabila jiwa mengajaknya untuk berbuat sesuatu yang berpotensi mengundang kemurkaan Allah Ta’ala, maka dia pun mengingatkan jiwanya bahwa dia akan berdiri di hadapan Allah Ta’ala. Sehingga jiwanya pun berhenti mengajak untuk berbuat kemaksiatan dan dosa. Muhasabah an-nafs juga bisa dilakukan sebelum melakukan suatu amal atau perbuatan. Misalnya, ketika kita ingin posting sesuatu di media sosial, kita muhasabah jiwa kita, apakah ada manfaatnya? Apakah niat kita sudah benar? Apabila ternyata menimbulkan keburukan, kita batalkan niat kita untuk posting di media sosial tersebut. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengevalusi diri kita setiap harinya. Apakah hari ini kita menyempatkan untuk berdzikir pagi-petang? Atau, apakah hari ini kita salat lima waktu berjamaah di masjid? Atau, pada waktu antara azan dan ikamah, apakah kita memanfaatkannya untuk berdoa kepada Allah, atau kita hanya ngobrol dengan orang lain? Demikianlah seterusnya untuk perkara-perkara yang lainnya. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Sudahkah Kita Muhasabah? *** “Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri.” @BA, 1 Dzulqa’dah 1445/ 10 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id Tags: muhasabah


Di antara ibadah yang agung adalah muhasabah an-nafs, yaitu seorang hamba senantiasa menghisab jiwa, mengintrospeksi, mengoreksi, dan mengevaluasi dirinya tentang apa yang telah dia perbuat dalam keseharian sebagai persiapan untuk hari esok di akhirat. Karena kita menyadari bahwa dunia yang kita tinggali ini hanya bersifat sementara, kita pasti akan mati, kemudian mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita di akhirat. Kita harus menyadari bahwa saat ini, kita hidup di suatu zaman yang sangat memungkinkan kita berbuat maksiat setiap harinya. Ketika kita membuka media sosial, semacam facebook, instagram, X (twiter), atau menonton youtube, sadar atau tidak sadar kita telah mengumbar pandangan. Keseharian kita mungkin dipenuhi dengan ghibah dan namimah, membicarakan dan mengorek aib si fulan dan si fulan. Oleh karena itu, di zaman ini kita sangat butuh muhasabah an-nafs. Caranya, kita berusaha menyisihkan menyisihkan waktu untuk menghisab dan mengevaluasi diri kita. Karena kalau tidak, kita akan lepas kontrol dan semakin jauh terperosok ke dalam kubangan maksiat. Lalu tanpa sadar, tiba-tiba kita dipanggil oleh Allah Ta’ala. Ini yang hendaknya selalu kita khawatirkan atas diri kita sendiri. Dalil pokok dalam hal ini adalah firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ. وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ. لَا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ ۚ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga. Penghuni-penghuni surga, itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 18-20) Ketika menjelaskan ayat ini, Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah mengatakan bahwa ayat mulia ini merupakan dalil agar seorang hamba melakukan introspeksi diri, sehingga hendaknya dia senantiasa mengoreksi dan mengevaluasi jiwanya. Apabila terdapat kesalahan, maka dia kemudian memperbaiki dengan meninggalkan kesalahan tersebut, lalu bertobat dengan sungguh-sungguh, serta berpaling dari berbagai sebab yang bisa mendorongnya untuk melakukan kesalahan yang sama. Apabila ternyata dia melalaikan salah satu perintah Allah Ta’ala, maka dia berupaya keras dan memohon pertolongan Allah Ta’ala untuk menyempurnakannya. Dia bandingkan antara kebaikan dan kenikmatan yang diperolehnya dengan kelalaian yang telah dilakukannya. Karena tanpa diragukan lagi, hal itu akan melahirkan rasa malu kepada Allah Ta’ala. Sungguh suatu kerugian yang teramat nyata, ketika seorang hamba lalai dan tidak berinstropeksi diri, sehingga dia pun serupa dengan golongan yang lupa kepada Allah, lalai dari berdzikir kepada-Nya, dan menunaikan hak-Nya. Mereka justru lebih mendahulukan kepentingan jiwa dan syahwatnya. Mereka itu hanya akan memperoleh kesia-siaan. Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala akan membuat mereka lupa terhadap segala sesuatu yang membawa manfaat bagi jiwa mereka. Dengan begitu, urusan mereka pun menjadi berantakan. Mereka mengalami kegagalan yang tidak mungkin lagi diperbaiki. Karena mereka orang-orang fasik, yang mengeluarkan diri mereka sendiri dari rel ketaatan, lalu menjerumuskan diri ke dalam jurang kemaksiatan. Apakah orang yang senantiasa menjaga diri dalam bingkai ketakwaan dan memperhatikan dampak dari apa yang telah diperbuatnya di hari esok akan sama kedudukannya dengan orang yang lalai mengingat Allah dan melupakan hak-Nya? Tentu orang yang pertama berhak memperoleh kenikmatan surga dan kehidupan yang tenteram bersama para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Sedangkan orang yang kedua justru akan celaka di dunia dan berhak memperoleh siksa di akhirat. Orang yang pertama adalah orang yang sukses, sedangkan orang yang kedua adalah orang yang gagal. (Lihat Taisir Karimir Rahman dalam penjelasan beliau terhadap ayat ini) Baca juga: Menghukum Diri dengan Muhasabah Sederhananya, kalau dalam urusan dunia kita senantiasa melakukan evaluasi agar kegiatan atau aktivitas selanjutnya bisa lebih baik, mengapa hal yang sama tidak kita lakukan untuk urusan akhirat? Yang bisa melakukan muhasabah an-nafs adalah diri kita sendiri, bukan orang lain, karena orang lain tidak tahu apa yang kita lakukan saat kita bersendirian dan apa yang terbesit dalam hati kita. Sehingga yang paling tahu kondisi kita, setelah Allah Ta’ala, adalah diri kita sendiri. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah menuturkan, الْمُؤْمِنُ قَوَّامٌ عَلَى نَفْسِهِ يُحَاسِبُ نَفْسَهُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَإِنَّمَا خَفَّ الْحِسَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى قَوْمٍ حَاسَبُوا أَنْفُسَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَإِنَّمَا شَقَّ الْحِسَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى قَوْمٍ أَخَذُوا هَذَا الْأَمْرَ مِنْ غَيْرِ مُحَاسَبَةٍ، إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَفْجَأَهُ الشَّيْءُ وَيُعْجِبُهُ، فَيَقُولُ وَاللَّهِ أَنِّي لَأَشْتَهِيكَ وَإِنَّكَ لَمِنْ حَاجَتِي، وَلَكِنْ وَاللَّهِ، مَا صِلَةٌ إِلَيْكَ هَيْهَاتَ، حِيلَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ وَيُفْرَطُ مِنْهُ الشَّيْءُ فَيَرْجِعُ إِلَى نَفْسِهِ فَيَقُولُ: هَيْهَاتَ مَا أَرَدْتُ إِلَى هَذَا وَمَا لِي وَلِهَذَا وَاللَّهِ مَا أُعْذَرُ بِهَذَا وَاللَّهِ لَا أَعُودُ إِلَى هَذَا أَبَدًا إِنْ شَاءَ اللَّهُ وَمَالِي وَلِهَذَا، وَاللَّهِ مَا أُعْذَرُ بِهَذَا وَاللَّهِ لَا أَعُودُ إِلَى هَذَا أَبَدًا إِنْ شَاءَ اللَّهُ، إِنَّ الْمُؤْمِنِينَ قَوْمٌ أَوْقَفَهُمُ الْقُرْآنُ وَحَالَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ هَلَكَتِهِمْ أَنَّ الْمُؤْمِنَ أَسِيرٌ فِي الدُّنْيَا يَسْعَى فِي فِكَاكِ رَقَبَتِهِ لَا يَأْمَنُ شَيْئًا حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ يَعْلَمُ أَنَّهُ مَأْخُوذٌ عَلَيْهِ فِي سَمْعِهِ، وَفِي بَصَرِهِ، وَفِي لِسَانِهِ، وَفِي جَوَارِحِهِ، مَأْخُوذٌ عَلَيْهِ فِي ذَلِكَ كُلِّهِ “Orang beriman itu pemimpin bagi jiwanya. Dia mengevaluasi jiwa karena Allah ‘Azza wa Jalla. Evaluasi (hisab) di hari kiamat akan lebih ringan bagi mereka yang mengevaluasi jiwa ketika di dunia. Sebaliknya, evaluasi di hari kiamat akan lebih berat bagi mereka yang memeluk agama ini dan tidak mengevaluasi jiwa ketika di dunia. Ketika suatu maksiat menggoda dan mengajak orang beriman, dia pun berkata kepada jiwanya. ‘Demi Allah, sungguh saya menginginkanmu dan membutuhkanmu. Akan tetapi, demi Allah, tidak ada hubungan denganmu yang bisa menghalangi diriku denganmu.’ Kemudian ia kembali berkata kepada jiwanya, “Betapa jauh dari kebenaran. Saya tidak ingin melakukannya. Apa urusanku dengan kemaksiatan tersebut? Demi Allah, saya tidak akan dimaafkan jika melakukannya. Demi Allah, saya tidak akan kembali melakukan kemaksiatan itu selamanya, insya Allah. Apa urusanku dengan kemaksiatan tersebut? Sungguh, orang beriman adalah golongan yang dihentikan dan dihalangi oleh Al-Quran dari kemaksiatan yang membinasakannya. Sungguh, orang beriman adalah tawanan di dunia yang berusaha untuk melepaskan kekangannya dan merasa khawatir kalau dia menjumpai Allah Ta’ala dalam kondisi disiksa pendengaran, penglihatan, lisan, dan anggota tubuhnya. Semua itu disiksa akibat kemaksiatan yang dilakukannya.” (Diriwayatkan Ibnu al-Mubarak dalam Az-Zuhd wa Ar-Raqaiq no. 307) Hal utama yang mampu membantu seorang hamba melakukan muhasabah an-nafs adalah merenungkan apa yang akan dia panen di hari kiamat kelak, hari ketika dia berdiri di hadapan Allah Ta’ala. Ketika itu, Allah akan mengevaluasi segala yang dilakukannya selama hidup di dunia ini. Dengan muhasabah an-nafs, dia bisa membentengi diri dari bisikan nafsu yang buruk. Apabila jiwa mengajaknya untuk berbuat sesuatu yang berpotensi mengundang kemurkaan Allah Ta’ala, maka dia pun mengingatkan jiwanya bahwa dia akan berdiri di hadapan Allah Ta’ala. Sehingga jiwanya pun berhenti mengajak untuk berbuat kemaksiatan dan dosa. Muhasabah an-nafs juga bisa dilakukan sebelum melakukan suatu amal atau perbuatan. Misalnya, ketika kita ingin posting sesuatu di media sosial, kita muhasabah jiwa kita, apakah ada manfaatnya? Apakah niat kita sudah benar? Apabila ternyata menimbulkan keburukan, kita batalkan niat kita untuk posting di media sosial tersebut. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengevalusi diri kita setiap harinya. Apakah hari ini kita menyempatkan untuk berdzikir pagi-petang? Atau, apakah hari ini kita salat lima waktu berjamaah di masjid? Atau, pada waktu antara azan dan ikamah, apakah kita memanfaatkannya untuk berdoa kepada Allah, atau kita hanya ngobrol dengan orang lain? Demikianlah seterusnya untuk perkara-perkara yang lainnya. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Sudahkah Kita Muhasabah? *** “Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri.” @BA, 1 Dzulqa’dah 1445/ 10 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id Tags: muhasabah

Kesalahan dalam Membaca Al-Fatihah yang Menyebabkan Salat Tidak Sah

Daftar Isi Toggle Salat tidak sah tanpa bacaan Al-FatihahKesalahan yang membatalkan bacaan Al-FatihahKeabsahan salat orang yang tidak mampu membaca Al-Fatihah dengan benar Membaca Al-Fatihah adalah rukun dalam setiap rakaat salat, baik salat wajib maupun sunah, baik dibaca secara keras (jahr) maupun lirih (sir), bagi imam, orang yang salat sendirian, dan makmum. [1] Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ “Tidak ada salat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah.” [2] Dalam riwayat lain disebutkan, لا تجزي صلاة لا يقرأ فيها الرجل بفاتحة الكتاب “Tidak sah salat yang tidak dibacakan Al-Fatihah di dalamnya.” [3] Selain itu, hal ini juga berdasarkan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan hadis riwayat Bukhari, صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي “Salatlah kalian sebagaimana kalian melihatku salat.” [4] Salat tidak sah tanpa bacaan Al-Fatihah Salat tidak sah, kecuali dengan membaca Al-Fatihah. Hal ini ditegaskan oleh banyak ulama, di antaranya Ibnu Qudamah rahimahullah yang mengatakan, قراءة الفاتحة واجبة في الصلاة، وركن من أركانها، لا تصح إلا بها في المشهور عن أحمد، نقله عنه الجماعة، وهو قول مالك، والثوري، والشافعي وروي عن عمر بن الخطاب، وعثمان بن أبي العاص وسعيد بن جبير – رضي الله عنهم أنهم قالوا: لا صلاة إلا بقراءة فاتحة الكتاب “Membaca Al-Fatihah adalah wajib dalam salat dan merupakan rukun salat yang (salat itu) tidak sah tanpanya. Ini adalah pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad, yang juga merupakan pendapat Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i. Diriwayatkan pula dari Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Sa’id bin Jubair radhiyallahu ‘anhum, bahwa mereka berkata, ‘Tidak ada salat, kecuali dengan membaca Al-Fatihah.’” [5] Kemudian beliau melanjutkan, ومن ترك تكبيرة الإحرام، أو قراءة الفاتحة – وهو إمام أو منفرد … بطلت صلاته “Barangsiapa yang meninggalkan takbiratul ihram atau bacaan Al-Fatihah, baik sebagai imam atau salat sendirian, … maka salatnya batal.” [6] Imam An-Nawawi rahimahullah juga mengatakan, وقراءة الفاتحة للقادر عليها فرض من فروض الصلاة وركن من أركاتها ومتعينة لا يقوم مقامها ترجمتها بغير العربية ولا قراءة غيرها من القرآن، ويستوي في تعينها جميع الصلوات فرضها ونقلها جهرها وسرها، والرجل والمرأة والمسافر والصبي، والقائم والقاعد والمضطجع، وفي حال شدة الخوف وغيرها سواء في تعينها الإمام والمأموم والمنفرد “Membaca Al-Fatihah bagi yang mampu adalah wajib dan rukun dalam salat. Tidak ada yang dapat menggantikannya, baik dengan terjemahannya dalam bahasa selain Arab maupun dengan membaca ayat Al-Qur’an lainnya. Kewajiban ini berlaku untuk semua salat, baik wajib maupun sunah, jahr maupun sir, laki-laki maupun perempuan, musafir maupun anak-anak, berdiri, duduk, maupun berbaring, baik dalam keadaan takut maupun tidak. Kewajiban ini juga berlaku bagi imam, makmum, dan orang yang salat sendirian.” [7] Baca juga: Surah Al-Fatihah sebagai Ruqyah Kesalahan yang membatalkan bacaan Al-Fatihah Membaca Al-Fatihah batal karena beberapa kesalahan, yang mengakibatkan batalnya satu rakaat atau salat secara keseluruhan. Berikut ini kesalahan-kesalahan tersebut yang disarikan dari kitab Tajwidul Fatihah alladzi La Yahsunu Jahluhu [8]: Pertama: Menghilangkan salah satu huruf dari huruf-hurufnya. Al-Fatihah terdiri dari 120 huruf. Kedua: Menghilangkan tasydid (syaddah) dari huruf-huruf yang seharusnya dibaca dengan tasydid. Al-Fatihah memiliki 14 huruf yang dibaca tasydid. Peringatan: Sebagian orang tidak menghilangkan syaddah, tetapi membacanya dengan lemah dan ringan. Terdapat dua pendapat mengenai apakah salat batal karena kesalahan ini. Ketiga: Mengganti satu huruf dengan huruf yang lain. Hal ini terbagi menjadi dua: Bagian pertama: Jika huruf diganti dengan huruf lain dan huruf pengganti tersebut terdapat dalam bacaan lain yang sahih dan tetap, maka salat tidak batal. Bacaan-bacaan yang termasuk dalam kategori ini terbatas pada berikut ini: Pertama: Mengganti huruf ‘shad‘ pada kata (الصراط، صراط) menjadi ‘sin‘ tidak membatalkan salat, karena penggantian dengan ‘sin‘ merupakan bacaan yang sahih dalam qiraah sab’ah, yaitu qiraah Qunbul dari Ibnu Katsir (الصراط => السراط), (صراط => سراط). Kedua: Membaca huruf ‘shad‘ pada kata (الصراط، صراط) dengan samar-samar (الإشمام) karena ini adalah bacaan Imam Hamzah. Ketiga: Mengganti huruf ‘dhad‘ pada kata (المغضوب – الضالين) menjadi ‘zha‘ (ظ), khusus bagi mereka yang kesulitan membedakan keduanya dan sulit mengucapkan huruf ‘dhad‘. Bagian kedua: Jika huruf yang diganti dengan huruf lain dan tidak ada bacaan lain yang sahih, maka salat menjadi batal karena Al-Fatihah adalah rukun salat, sehingga harus dibaca dengan lengkap. Huruf-huruf yang memiliki bacaan lain yang sahih adalah yang telah disebutkan sebelumnya. Selain tiga huruf tersebut, tidak boleh ada penggantian huruf. Contohnya, jika seseorang mengganti huruf ‘dhad‘ menjadi ‘dal‘ sehingga berbunyi (ولا الدالين) seperti yang diucapkan sebagian orang non-Arab, atau mengganti huruf ‘dhad‘ pada kata (المغضوب) menjadi ‘dzal‘ (ذ), maka salatnya tidak sah. Begitu pula dengan huruf-huruf lainnya. Keempat: Mengganti harakat (tanda baca) dengan harakat yang lain. Hal ini terbagi menjadi dua: Bagian pertama: Jika perubahan harakat mengubah makna, maka salat menjadi batal. Contohnya, jika fathah pada kata (أنعمتَ) diganti menjadi dammah (أنعمتُ), maka maknanya akan berubah total sehingga salat menjadi batal. Bagian kedua: Jika perubahan harakat tidak mengubah makna, maka salat tidak batal, meskipun tidak seharusnya dilakukan karena termasuk mengubah kitab Allah. Contohnya, jika kasrah pada huruf shad dalam kata (الصِّراط) diganti menjadi fathah, menjadi  (الصَّراط). Begitu juga jika membaca kata (يومِ) dengan fathah menjadi (يومَ). Keabsahan salat orang yang tidak mampu membaca Al-Fatihah dengan benar Setelah kita mengetahui jenis-jenis kesalahan yang dapat membatalkan salat, perlu diketahui bahwasanya orang yang salah dalam membaca Al-Fatihah, jika dia salah karena tidak mampu, maka salatnya tetap sah. Syaikh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Ayah saya adalah seorang yang buta huruf dan tidak bisa membaca atau menulis. Beliau rajin salat di masjid, tetapi tidak bisa membaca Al-Fatihah dengan baik. Apakah salatnya diterima?” Beliau menjawab, “Ajarilah beliau, agar beliau bisa belajar (membaca Al-Fatihah dengan benar). Jika beliau tidak mampu, salatnya tetap sah berdasarkan firman Allah, فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ ‘Maka, bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.’ [9] Namun, dia tetap harus diajari Al-Fatihah dan berusaha keras untuk mempelajarinya. Allah berfirman (yang artinya), “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” Maka, anak-anaknya dan orang lain harus mengajarinya. Dia harus belajar dan memohon kepada Allah agar dimudahkan dalam menghafal dan memahami Al-Fatihah. Seorang laki-laki datang kepada Nabi ﷺ, mengeluhkan bahwa dia tidak bisa membaca Al-Qur’an sama sekali. Nabi ﷺ bersabda, قل: سبحان الله، والحمد لله، ولا إله إلا الله، والله أكبر، ولا حول ولا قوة إلا بالله ‘Ucapkanlah, ‘Subhanallah, walhamdulillah, wa lailahaillallah, wallahu akbar, wa lahaula walaquwwata illa billah.” Kalimat ini dapat menggantikan Al-Fatihah bagi yang tidak mampu. Barangsiapa tidak mampu membaca Al-Fatihah, hendaklah membaca tasbih ini. Namun, dia tetap wajib berusaha mempelajarinya karena Al-Fatihah adalah rukun salat dan merupakan surat yang agung dalam Al-Qur’an. Al-Fatihah mudah untuk dipelajari dengan izin Allah. Oleh karena itu, wajib untuk mempelajarinya. Jika tidak memungkinkan untuk menghafalnya, maka bacalah apa yang disebutkan oleh Nabi ﷺ, Subhanallah, walhamdulillah, wa lailahaillallah, wallahu akbar, wa lahaula walaquwwata illa billah ketika berdiri dalam salat, saat membaca bacaan salat. Namun, dia tetap harus berusaha keras untuk mempelajari Al-Fatihah dan ayat-ayat lain yang mampu dibacanya.” [10] Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang kesalahan dalam membaca Al-Fatihah yang menyebabkan batalnya salat. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendirikan salat sebagaimana yang Dia cintai dan ridai. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Hukum Membaca Surah Al-Fatihah dan Surah Lain ketika Salat Jenazah *** 12 Zulkaidah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Tajwidul Fatihah alladzi La Yahsunu Jahluhu, Malik bin Ridha Al-Muhammadiy, -, 2020 M (https://t.me/MAlmohamady/386) Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shofwah – Mesir, cet. ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah) Al-Mughni, Abdullah bin Ahmad Ibnu Qudamah, Dar Alamil Kutub – Saudi, cet. ke-3, 1417 (Maktabah Syamilah)   Catatan kaki: [1] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, 64: 27. [2] HR. Bukhari no. 756, dari Sahabat Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu. [3] HR. Ad-Daruquthni, sahih. Lihat https://dorar.net/hadith/sharh/73611 [4] HR. Bukhari no. 689. [5] Al-Mughni, 2: 146. [6] Al-Mughni, 2: 381. [7] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 3: 326. [8] Tajwidul Fatihah, hal. 42-43. [9] QS. At-Taghabun: 16. [10] https://files.zadapps.info/binbaz.org.sa/fatawa/fatawa_dross/fatwa%20167.mp3 Tags: al fatihahsalat

Kesalahan dalam Membaca Al-Fatihah yang Menyebabkan Salat Tidak Sah

Daftar Isi Toggle Salat tidak sah tanpa bacaan Al-FatihahKesalahan yang membatalkan bacaan Al-FatihahKeabsahan salat orang yang tidak mampu membaca Al-Fatihah dengan benar Membaca Al-Fatihah adalah rukun dalam setiap rakaat salat, baik salat wajib maupun sunah, baik dibaca secara keras (jahr) maupun lirih (sir), bagi imam, orang yang salat sendirian, dan makmum. [1] Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ “Tidak ada salat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah.” [2] Dalam riwayat lain disebutkan, لا تجزي صلاة لا يقرأ فيها الرجل بفاتحة الكتاب “Tidak sah salat yang tidak dibacakan Al-Fatihah di dalamnya.” [3] Selain itu, hal ini juga berdasarkan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan hadis riwayat Bukhari, صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي “Salatlah kalian sebagaimana kalian melihatku salat.” [4] Salat tidak sah tanpa bacaan Al-Fatihah Salat tidak sah, kecuali dengan membaca Al-Fatihah. Hal ini ditegaskan oleh banyak ulama, di antaranya Ibnu Qudamah rahimahullah yang mengatakan, قراءة الفاتحة واجبة في الصلاة، وركن من أركانها، لا تصح إلا بها في المشهور عن أحمد، نقله عنه الجماعة، وهو قول مالك، والثوري، والشافعي وروي عن عمر بن الخطاب، وعثمان بن أبي العاص وسعيد بن جبير – رضي الله عنهم أنهم قالوا: لا صلاة إلا بقراءة فاتحة الكتاب “Membaca Al-Fatihah adalah wajib dalam salat dan merupakan rukun salat yang (salat itu) tidak sah tanpanya. Ini adalah pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad, yang juga merupakan pendapat Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i. Diriwayatkan pula dari Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Sa’id bin Jubair radhiyallahu ‘anhum, bahwa mereka berkata, ‘Tidak ada salat, kecuali dengan membaca Al-Fatihah.’” [5] Kemudian beliau melanjutkan, ومن ترك تكبيرة الإحرام، أو قراءة الفاتحة – وهو إمام أو منفرد … بطلت صلاته “Barangsiapa yang meninggalkan takbiratul ihram atau bacaan Al-Fatihah, baik sebagai imam atau salat sendirian, … maka salatnya batal.” [6] Imam An-Nawawi rahimahullah juga mengatakan, وقراءة الفاتحة للقادر عليها فرض من فروض الصلاة وركن من أركاتها ومتعينة لا يقوم مقامها ترجمتها بغير العربية ولا قراءة غيرها من القرآن، ويستوي في تعينها جميع الصلوات فرضها ونقلها جهرها وسرها، والرجل والمرأة والمسافر والصبي، والقائم والقاعد والمضطجع، وفي حال شدة الخوف وغيرها سواء في تعينها الإمام والمأموم والمنفرد “Membaca Al-Fatihah bagi yang mampu adalah wajib dan rukun dalam salat. Tidak ada yang dapat menggantikannya, baik dengan terjemahannya dalam bahasa selain Arab maupun dengan membaca ayat Al-Qur’an lainnya. Kewajiban ini berlaku untuk semua salat, baik wajib maupun sunah, jahr maupun sir, laki-laki maupun perempuan, musafir maupun anak-anak, berdiri, duduk, maupun berbaring, baik dalam keadaan takut maupun tidak. Kewajiban ini juga berlaku bagi imam, makmum, dan orang yang salat sendirian.” [7] Baca juga: Surah Al-Fatihah sebagai Ruqyah Kesalahan yang membatalkan bacaan Al-Fatihah Membaca Al-Fatihah batal karena beberapa kesalahan, yang mengakibatkan batalnya satu rakaat atau salat secara keseluruhan. Berikut ini kesalahan-kesalahan tersebut yang disarikan dari kitab Tajwidul Fatihah alladzi La Yahsunu Jahluhu [8]: Pertama: Menghilangkan salah satu huruf dari huruf-hurufnya. Al-Fatihah terdiri dari 120 huruf. Kedua: Menghilangkan tasydid (syaddah) dari huruf-huruf yang seharusnya dibaca dengan tasydid. Al-Fatihah memiliki 14 huruf yang dibaca tasydid. Peringatan: Sebagian orang tidak menghilangkan syaddah, tetapi membacanya dengan lemah dan ringan. Terdapat dua pendapat mengenai apakah salat batal karena kesalahan ini. Ketiga: Mengganti satu huruf dengan huruf yang lain. Hal ini terbagi menjadi dua: Bagian pertama: Jika huruf diganti dengan huruf lain dan huruf pengganti tersebut terdapat dalam bacaan lain yang sahih dan tetap, maka salat tidak batal. Bacaan-bacaan yang termasuk dalam kategori ini terbatas pada berikut ini: Pertama: Mengganti huruf ‘shad‘ pada kata (الصراط، صراط) menjadi ‘sin‘ tidak membatalkan salat, karena penggantian dengan ‘sin‘ merupakan bacaan yang sahih dalam qiraah sab’ah, yaitu qiraah Qunbul dari Ibnu Katsir (الصراط => السراط), (صراط => سراط). Kedua: Membaca huruf ‘shad‘ pada kata (الصراط، صراط) dengan samar-samar (الإشمام) karena ini adalah bacaan Imam Hamzah. Ketiga: Mengganti huruf ‘dhad‘ pada kata (المغضوب – الضالين) menjadi ‘zha‘ (ظ), khusus bagi mereka yang kesulitan membedakan keduanya dan sulit mengucapkan huruf ‘dhad‘. Bagian kedua: Jika huruf yang diganti dengan huruf lain dan tidak ada bacaan lain yang sahih, maka salat menjadi batal karena Al-Fatihah adalah rukun salat, sehingga harus dibaca dengan lengkap. Huruf-huruf yang memiliki bacaan lain yang sahih adalah yang telah disebutkan sebelumnya. Selain tiga huruf tersebut, tidak boleh ada penggantian huruf. Contohnya, jika seseorang mengganti huruf ‘dhad‘ menjadi ‘dal‘ sehingga berbunyi (ولا الدالين) seperti yang diucapkan sebagian orang non-Arab, atau mengganti huruf ‘dhad‘ pada kata (المغضوب) menjadi ‘dzal‘ (ذ), maka salatnya tidak sah. Begitu pula dengan huruf-huruf lainnya. Keempat: Mengganti harakat (tanda baca) dengan harakat yang lain. Hal ini terbagi menjadi dua: Bagian pertama: Jika perubahan harakat mengubah makna, maka salat menjadi batal. Contohnya, jika fathah pada kata (أنعمتَ) diganti menjadi dammah (أنعمتُ), maka maknanya akan berubah total sehingga salat menjadi batal. Bagian kedua: Jika perubahan harakat tidak mengubah makna, maka salat tidak batal, meskipun tidak seharusnya dilakukan karena termasuk mengubah kitab Allah. Contohnya, jika kasrah pada huruf shad dalam kata (الصِّراط) diganti menjadi fathah, menjadi  (الصَّراط). Begitu juga jika membaca kata (يومِ) dengan fathah menjadi (يومَ). Keabsahan salat orang yang tidak mampu membaca Al-Fatihah dengan benar Setelah kita mengetahui jenis-jenis kesalahan yang dapat membatalkan salat, perlu diketahui bahwasanya orang yang salah dalam membaca Al-Fatihah, jika dia salah karena tidak mampu, maka salatnya tetap sah. Syaikh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Ayah saya adalah seorang yang buta huruf dan tidak bisa membaca atau menulis. Beliau rajin salat di masjid, tetapi tidak bisa membaca Al-Fatihah dengan baik. Apakah salatnya diterima?” Beliau menjawab, “Ajarilah beliau, agar beliau bisa belajar (membaca Al-Fatihah dengan benar). Jika beliau tidak mampu, salatnya tetap sah berdasarkan firman Allah, فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ ‘Maka, bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.’ [9] Namun, dia tetap harus diajari Al-Fatihah dan berusaha keras untuk mempelajarinya. Allah berfirman (yang artinya), “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” Maka, anak-anaknya dan orang lain harus mengajarinya. Dia harus belajar dan memohon kepada Allah agar dimudahkan dalam menghafal dan memahami Al-Fatihah. Seorang laki-laki datang kepada Nabi ﷺ, mengeluhkan bahwa dia tidak bisa membaca Al-Qur’an sama sekali. Nabi ﷺ bersabda, قل: سبحان الله، والحمد لله، ولا إله إلا الله، والله أكبر، ولا حول ولا قوة إلا بالله ‘Ucapkanlah, ‘Subhanallah, walhamdulillah, wa lailahaillallah, wallahu akbar, wa lahaula walaquwwata illa billah.” Kalimat ini dapat menggantikan Al-Fatihah bagi yang tidak mampu. Barangsiapa tidak mampu membaca Al-Fatihah, hendaklah membaca tasbih ini. Namun, dia tetap wajib berusaha mempelajarinya karena Al-Fatihah adalah rukun salat dan merupakan surat yang agung dalam Al-Qur’an. Al-Fatihah mudah untuk dipelajari dengan izin Allah. Oleh karena itu, wajib untuk mempelajarinya. Jika tidak memungkinkan untuk menghafalnya, maka bacalah apa yang disebutkan oleh Nabi ﷺ, Subhanallah, walhamdulillah, wa lailahaillallah, wallahu akbar, wa lahaula walaquwwata illa billah ketika berdiri dalam salat, saat membaca bacaan salat. Namun, dia tetap harus berusaha keras untuk mempelajari Al-Fatihah dan ayat-ayat lain yang mampu dibacanya.” [10] Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang kesalahan dalam membaca Al-Fatihah yang menyebabkan batalnya salat. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendirikan salat sebagaimana yang Dia cintai dan ridai. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Hukum Membaca Surah Al-Fatihah dan Surah Lain ketika Salat Jenazah *** 12 Zulkaidah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Tajwidul Fatihah alladzi La Yahsunu Jahluhu, Malik bin Ridha Al-Muhammadiy, -, 2020 M (https://t.me/MAlmohamady/386) Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shofwah – Mesir, cet. ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah) Al-Mughni, Abdullah bin Ahmad Ibnu Qudamah, Dar Alamil Kutub – Saudi, cet. ke-3, 1417 (Maktabah Syamilah)   Catatan kaki: [1] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, 64: 27. [2] HR. Bukhari no. 756, dari Sahabat Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu. [3] HR. Ad-Daruquthni, sahih. Lihat https://dorar.net/hadith/sharh/73611 [4] HR. Bukhari no. 689. [5] Al-Mughni, 2: 146. [6] Al-Mughni, 2: 381. [7] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 3: 326. [8] Tajwidul Fatihah, hal. 42-43. [9] QS. At-Taghabun: 16. [10] https://files.zadapps.info/binbaz.org.sa/fatawa/fatawa_dross/fatwa%20167.mp3 Tags: al fatihahsalat
Daftar Isi Toggle Salat tidak sah tanpa bacaan Al-FatihahKesalahan yang membatalkan bacaan Al-FatihahKeabsahan salat orang yang tidak mampu membaca Al-Fatihah dengan benar Membaca Al-Fatihah adalah rukun dalam setiap rakaat salat, baik salat wajib maupun sunah, baik dibaca secara keras (jahr) maupun lirih (sir), bagi imam, orang yang salat sendirian, dan makmum. [1] Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ “Tidak ada salat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah.” [2] Dalam riwayat lain disebutkan, لا تجزي صلاة لا يقرأ فيها الرجل بفاتحة الكتاب “Tidak sah salat yang tidak dibacakan Al-Fatihah di dalamnya.” [3] Selain itu, hal ini juga berdasarkan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan hadis riwayat Bukhari, صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي “Salatlah kalian sebagaimana kalian melihatku salat.” [4] Salat tidak sah tanpa bacaan Al-Fatihah Salat tidak sah, kecuali dengan membaca Al-Fatihah. Hal ini ditegaskan oleh banyak ulama, di antaranya Ibnu Qudamah rahimahullah yang mengatakan, قراءة الفاتحة واجبة في الصلاة، وركن من أركانها، لا تصح إلا بها في المشهور عن أحمد، نقله عنه الجماعة، وهو قول مالك، والثوري، والشافعي وروي عن عمر بن الخطاب، وعثمان بن أبي العاص وسعيد بن جبير – رضي الله عنهم أنهم قالوا: لا صلاة إلا بقراءة فاتحة الكتاب “Membaca Al-Fatihah adalah wajib dalam salat dan merupakan rukun salat yang (salat itu) tidak sah tanpanya. Ini adalah pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad, yang juga merupakan pendapat Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i. Diriwayatkan pula dari Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Sa’id bin Jubair radhiyallahu ‘anhum, bahwa mereka berkata, ‘Tidak ada salat, kecuali dengan membaca Al-Fatihah.’” [5] Kemudian beliau melanjutkan, ومن ترك تكبيرة الإحرام، أو قراءة الفاتحة – وهو إمام أو منفرد … بطلت صلاته “Barangsiapa yang meninggalkan takbiratul ihram atau bacaan Al-Fatihah, baik sebagai imam atau salat sendirian, … maka salatnya batal.” [6] Imam An-Nawawi rahimahullah juga mengatakan, وقراءة الفاتحة للقادر عليها فرض من فروض الصلاة وركن من أركاتها ومتعينة لا يقوم مقامها ترجمتها بغير العربية ولا قراءة غيرها من القرآن، ويستوي في تعينها جميع الصلوات فرضها ونقلها جهرها وسرها، والرجل والمرأة والمسافر والصبي، والقائم والقاعد والمضطجع، وفي حال شدة الخوف وغيرها سواء في تعينها الإمام والمأموم والمنفرد “Membaca Al-Fatihah bagi yang mampu adalah wajib dan rukun dalam salat. Tidak ada yang dapat menggantikannya, baik dengan terjemahannya dalam bahasa selain Arab maupun dengan membaca ayat Al-Qur’an lainnya. Kewajiban ini berlaku untuk semua salat, baik wajib maupun sunah, jahr maupun sir, laki-laki maupun perempuan, musafir maupun anak-anak, berdiri, duduk, maupun berbaring, baik dalam keadaan takut maupun tidak. Kewajiban ini juga berlaku bagi imam, makmum, dan orang yang salat sendirian.” [7] Baca juga: Surah Al-Fatihah sebagai Ruqyah Kesalahan yang membatalkan bacaan Al-Fatihah Membaca Al-Fatihah batal karena beberapa kesalahan, yang mengakibatkan batalnya satu rakaat atau salat secara keseluruhan. Berikut ini kesalahan-kesalahan tersebut yang disarikan dari kitab Tajwidul Fatihah alladzi La Yahsunu Jahluhu [8]: Pertama: Menghilangkan salah satu huruf dari huruf-hurufnya. Al-Fatihah terdiri dari 120 huruf. Kedua: Menghilangkan tasydid (syaddah) dari huruf-huruf yang seharusnya dibaca dengan tasydid. Al-Fatihah memiliki 14 huruf yang dibaca tasydid. Peringatan: Sebagian orang tidak menghilangkan syaddah, tetapi membacanya dengan lemah dan ringan. Terdapat dua pendapat mengenai apakah salat batal karena kesalahan ini. Ketiga: Mengganti satu huruf dengan huruf yang lain. Hal ini terbagi menjadi dua: Bagian pertama: Jika huruf diganti dengan huruf lain dan huruf pengganti tersebut terdapat dalam bacaan lain yang sahih dan tetap, maka salat tidak batal. Bacaan-bacaan yang termasuk dalam kategori ini terbatas pada berikut ini: Pertama: Mengganti huruf ‘shad‘ pada kata (الصراط، صراط) menjadi ‘sin‘ tidak membatalkan salat, karena penggantian dengan ‘sin‘ merupakan bacaan yang sahih dalam qiraah sab’ah, yaitu qiraah Qunbul dari Ibnu Katsir (الصراط => السراط), (صراط => سراط). Kedua: Membaca huruf ‘shad‘ pada kata (الصراط، صراط) dengan samar-samar (الإشمام) karena ini adalah bacaan Imam Hamzah. Ketiga: Mengganti huruf ‘dhad‘ pada kata (المغضوب – الضالين) menjadi ‘zha‘ (ظ), khusus bagi mereka yang kesulitan membedakan keduanya dan sulit mengucapkan huruf ‘dhad‘. Bagian kedua: Jika huruf yang diganti dengan huruf lain dan tidak ada bacaan lain yang sahih, maka salat menjadi batal karena Al-Fatihah adalah rukun salat, sehingga harus dibaca dengan lengkap. Huruf-huruf yang memiliki bacaan lain yang sahih adalah yang telah disebutkan sebelumnya. Selain tiga huruf tersebut, tidak boleh ada penggantian huruf. Contohnya, jika seseorang mengganti huruf ‘dhad‘ menjadi ‘dal‘ sehingga berbunyi (ولا الدالين) seperti yang diucapkan sebagian orang non-Arab, atau mengganti huruf ‘dhad‘ pada kata (المغضوب) menjadi ‘dzal‘ (ذ), maka salatnya tidak sah. Begitu pula dengan huruf-huruf lainnya. Keempat: Mengganti harakat (tanda baca) dengan harakat yang lain. Hal ini terbagi menjadi dua: Bagian pertama: Jika perubahan harakat mengubah makna, maka salat menjadi batal. Contohnya, jika fathah pada kata (أنعمتَ) diganti menjadi dammah (أنعمتُ), maka maknanya akan berubah total sehingga salat menjadi batal. Bagian kedua: Jika perubahan harakat tidak mengubah makna, maka salat tidak batal, meskipun tidak seharusnya dilakukan karena termasuk mengubah kitab Allah. Contohnya, jika kasrah pada huruf shad dalam kata (الصِّراط) diganti menjadi fathah, menjadi  (الصَّراط). Begitu juga jika membaca kata (يومِ) dengan fathah menjadi (يومَ). Keabsahan salat orang yang tidak mampu membaca Al-Fatihah dengan benar Setelah kita mengetahui jenis-jenis kesalahan yang dapat membatalkan salat, perlu diketahui bahwasanya orang yang salah dalam membaca Al-Fatihah, jika dia salah karena tidak mampu, maka salatnya tetap sah. Syaikh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Ayah saya adalah seorang yang buta huruf dan tidak bisa membaca atau menulis. Beliau rajin salat di masjid, tetapi tidak bisa membaca Al-Fatihah dengan baik. Apakah salatnya diterima?” Beliau menjawab, “Ajarilah beliau, agar beliau bisa belajar (membaca Al-Fatihah dengan benar). Jika beliau tidak mampu, salatnya tetap sah berdasarkan firman Allah, فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ ‘Maka, bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.’ [9] Namun, dia tetap harus diajari Al-Fatihah dan berusaha keras untuk mempelajarinya. Allah berfirman (yang artinya), “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” Maka, anak-anaknya dan orang lain harus mengajarinya. Dia harus belajar dan memohon kepada Allah agar dimudahkan dalam menghafal dan memahami Al-Fatihah. Seorang laki-laki datang kepada Nabi ﷺ, mengeluhkan bahwa dia tidak bisa membaca Al-Qur’an sama sekali. Nabi ﷺ bersabda, قل: سبحان الله، والحمد لله، ولا إله إلا الله، والله أكبر، ولا حول ولا قوة إلا بالله ‘Ucapkanlah, ‘Subhanallah, walhamdulillah, wa lailahaillallah, wallahu akbar, wa lahaula walaquwwata illa billah.” Kalimat ini dapat menggantikan Al-Fatihah bagi yang tidak mampu. Barangsiapa tidak mampu membaca Al-Fatihah, hendaklah membaca tasbih ini. Namun, dia tetap wajib berusaha mempelajarinya karena Al-Fatihah adalah rukun salat dan merupakan surat yang agung dalam Al-Qur’an. Al-Fatihah mudah untuk dipelajari dengan izin Allah. Oleh karena itu, wajib untuk mempelajarinya. Jika tidak memungkinkan untuk menghafalnya, maka bacalah apa yang disebutkan oleh Nabi ﷺ, Subhanallah, walhamdulillah, wa lailahaillallah, wallahu akbar, wa lahaula walaquwwata illa billah ketika berdiri dalam salat, saat membaca bacaan salat. Namun, dia tetap harus berusaha keras untuk mempelajari Al-Fatihah dan ayat-ayat lain yang mampu dibacanya.” [10] Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang kesalahan dalam membaca Al-Fatihah yang menyebabkan batalnya salat. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendirikan salat sebagaimana yang Dia cintai dan ridai. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Hukum Membaca Surah Al-Fatihah dan Surah Lain ketika Salat Jenazah *** 12 Zulkaidah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Tajwidul Fatihah alladzi La Yahsunu Jahluhu, Malik bin Ridha Al-Muhammadiy, -, 2020 M (https://t.me/MAlmohamady/386) Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shofwah – Mesir, cet. ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah) Al-Mughni, Abdullah bin Ahmad Ibnu Qudamah, Dar Alamil Kutub – Saudi, cet. ke-3, 1417 (Maktabah Syamilah)   Catatan kaki: [1] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, 64: 27. [2] HR. Bukhari no. 756, dari Sahabat Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu. [3] HR. Ad-Daruquthni, sahih. Lihat https://dorar.net/hadith/sharh/73611 [4] HR. Bukhari no. 689. [5] Al-Mughni, 2: 146. [6] Al-Mughni, 2: 381. [7] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 3: 326. [8] Tajwidul Fatihah, hal. 42-43. [9] QS. At-Taghabun: 16. [10] https://files.zadapps.info/binbaz.org.sa/fatawa/fatawa_dross/fatwa%20167.mp3 Tags: al fatihahsalat


Daftar Isi Toggle Salat tidak sah tanpa bacaan Al-FatihahKesalahan yang membatalkan bacaan Al-FatihahKeabsahan salat orang yang tidak mampu membaca Al-Fatihah dengan benar Membaca Al-Fatihah adalah rukun dalam setiap rakaat salat, baik salat wajib maupun sunah, baik dibaca secara keras (jahr) maupun lirih (sir), bagi imam, orang yang salat sendirian, dan makmum. [1] Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ “Tidak ada salat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah.” [2] Dalam riwayat lain disebutkan, لا تجزي صلاة لا يقرأ فيها الرجل بفاتحة الكتاب “Tidak sah salat yang tidak dibacakan Al-Fatihah di dalamnya.” [3] Selain itu, hal ini juga berdasarkan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan hadis riwayat Bukhari, صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي “Salatlah kalian sebagaimana kalian melihatku salat.” [4] Salat tidak sah tanpa bacaan Al-Fatihah Salat tidak sah, kecuali dengan membaca Al-Fatihah. Hal ini ditegaskan oleh banyak ulama, di antaranya Ibnu Qudamah rahimahullah yang mengatakan, قراءة الفاتحة واجبة في الصلاة، وركن من أركانها، لا تصح إلا بها في المشهور عن أحمد، نقله عنه الجماعة، وهو قول مالك، والثوري، والشافعي وروي عن عمر بن الخطاب، وعثمان بن أبي العاص وسعيد بن جبير – رضي الله عنهم أنهم قالوا: لا صلاة إلا بقراءة فاتحة الكتاب “Membaca Al-Fatihah adalah wajib dalam salat dan merupakan rukun salat yang (salat itu) tidak sah tanpanya. Ini adalah pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad, yang juga merupakan pendapat Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i. Diriwayatkan pula dari Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Sa’id bin Jubair radhiyallahu ‘anhum, bahwa mereka berkata, ‘Tidak ada salat, kecuali dengan membaca Al-Fatihah.’” [5] Kemudian beliau melanjutkan, ومن ترك تكبيرة الإحرام، أو قراءة الفاتحة – وهو إمام أو منفرد … بطلت صلاته “Barangsiapa yang meninggalkan takbiratul ihram atau bacaan Al-Fatihah, baik sebagai imam atau salat sendirian, … maka salatnya batal.” [6] Imam An-Nawawi rahimahullah juga mengatakan, وقراءة الفاتحة للقادر عليها فرض من فروض الصلاة وركن من أركاتها ومتعينة لا يقوم مقامها ترجمتها بغير العربية ولا قراءة غيرها من القرآن، ويستوي في تعينها جميع الصلوات فرضها ونقلها جهرها وسرها، والرجل والمرأة والمسافر والصبي، والقائم والقاعد والمضطجع، وفي حال شدة الخوف وغيرها سواء في تعينها الإمام والمأموم والمنفرد “Membaca Al-Fatihah bagi yang mampu adalah wajib dan rukun dalam salat. Tidak ada yang dapat menggantikannya, baik dengan terjemahannya dalam bahasa selain Arab maupun dengan membaca ayat Al-Qur’an lainnya. Kewajiban ini berlaku untuk semua salat, baik wajib maupun sunah, jahr maupun sir, laki-laki maupun perempuan, musafir maupun anak-anak, berdiri, duduk, maupun berbaring, baik dalam keadaan takut maupun tidak. Kewajiban ini juga berlaku bagi imam, makmum, dan orang yang salat sendirian.” [7] Baca juga: Surah Al-Fatihah sebagai Ruqyah Kesalahan yang membatalkan bacaan Al-Fatihah Membaca Al-Fatihah batal karena beberapa kesalahan, yang mengakibatkan batalnya satu rakaat atau salat secara keseluruhan. Berikut ini kesalahan-kesalahan tersebut yang disarikan dari kitab Tajwidul Fatihah alladzi La Yahsunu Jahluhu [8]: Pertama: Menghilangkan salah satu huruf dari huruf-hurufnya. Al-Fatihah terdiri dari 120 huruf. Kedua: Menghilangkan tasydid (syaddah) dari huruf-huruf yang seharusnya dibaca dengan tasydid. Al-Fatihah memiliki 14 huruf yang dibaca tasydid. Peringatan: Sebagian orang tidak menghilangkan syaddah, tetapi membacanya dengan lemah dan ringan. Terdapat dua pendapat mengenai apakah salat batal karena kesalahan ini. Ketiga: Mengganti satu huruf dengan huruf yang lain. Hal ini terbagi menjadi dua: Bagian pertama: Jika huruf diganti dengan huruf lain dan huruf pengganti tersebut terdapat dalam bacaan lain yang sahih dan tetap, maka salat tidak batal. Bacaan-bacaan yang termasuk dalam kategori ini terbatas pada berikut ini: Pertama: Mengganti huruf ‘shad‘ pada kata (الصراط، صراط) menjadi ‘sin‘ tidak membatalkan salat, karena penggantian dengan ‘sin‘ merupakan bacaan yang sahih dalam qiraah sab’ah, yaitu qiraah Qunbul dari Ibnu Katsir (الصراط => السراط), (صراط => سراط). Kedua: Membaca huruf ‘shad‘ pada kata (الصراط، صراط) dengan samar-samar (الإشمام) karena ini adalah bacaan Imam Hamzah. Ketiga: Mengganti huruf ‘dhad‘ pada kata (المغضوب – الضالين) menjadi ‘zha‘ (ظ), khusus bagi mereka yang kesulitan membedakan keduanya dan sulit mengucapkan huruf ‘dhad‘. Bagian kedua: Jika huruf yang diganti dengan huruf lain dan tidak ada bacaan lain yang sahih, maka salat menjadi batal karena Al-Fatihah adalah rukun salat, sehingga harus dibaca dengan lengkap. Huruf-huruf yang memiliki bacaan lain yang sahih adalah yang telah disebutkan sebelumnya. Selain tiga huruf tersebut, tidak boleh ada penggantian huruf. Contohnya, jika seseorang mengganti huruf ‘dhad‘ menjadi ‘dal‘ sehingga berbunyi (ولا الدالين) seperti yang diucapkan sebagian orang non-Arab, atau mengganti huruf ‘dhad‘ pada kata (المغضوب) menjadi ‘dzal‘ (ذ), maka salatnya tidak sah. Begitu pula dengan huruf-huruf lainnya. Keempat: Mengganti harakat (tanda baca) dengan harakat yang lain. Hal ini terbagi menjadi dua: Bagian pertama: Jika perubahan harakat mengubah makna, maka salat menjadi batal. Contohnya, jika fathah pada kata (أنعمتَ) diganti menjadi dammah (أنعمتُ), maka maknanya akan berubah total sehingga salat menjadi batal. Bagian kedua: Jika perubahan harakat tidak mengubah makna, maka salat tidak batal, meskipun tidak seharusnya dilakukan karena termasuk mengubah kitab Allah. Contohnya, jika kasrah pada huruf shad dalam kata (الصِّراط) diganti menjadi fathah, menjadi  (الصَّراط). Begitu juga jika membaca kata (يومِ) dengan fathah menjadi (يومَ). Keabsahan salat orang yang tidak mampu membaca Al-Fatihah dengan benar Setelah kita mengetahui jenis-jenis kesalahan yang dapat membatalkan salat, perlu diketahui bahwasanya orang yang salah dalam membaca Al-Fatihah, jika dia salah karena tidak mampu, maka salatnya tetap sah. Syaikh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Ayah saya adalah seorang yang buta huruf dan tidak bisa membaca atau menulis. Beliau rajin salat di masjid, tetapi tidak bisa membaca Al-Fatihah dengan baik. Apakah salatnya diterima?” Beliau menjawab, “Ajarilah beliau, agar beliau bisa belajar (membaca Al-Fatihah dengan benar). Jika beliau tidak mampu, salatnya tetap sah berdasarkan firman Allah, فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ ‘Maka, bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.’ [9] Namun, dia tetap harus diajari Al-Fatihah dan berusaha keras untuk mempelajarinya. Allah berfirman (yang artinya), “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” Maka, anak-anaknya dan orang lain harus mengajarinya. Dia harus belajar dan memohon kepada Allah agar dimudahkan dalam menghafal dan memahami Al-Fatihah. Seorang laki-laki datang kepada Nabi ﷺ, mengeluhkan bahwa dia tidak bisa membaca Al-Qur’an sama sekali. Nabi ﷺ bersabda, قل: سبحان الله، والحمد لله، ولا إله إلا الله، والله أكبر، ولا حول ولا قوة إلا بالله ‘Ucapkanlah, ‘Subhanallah, walhamdulillah, wa lailahaillallah, wallahu akbar, wa lahaula walaquwwata illa billah.” Kalimat ini dapat menggantikan Al-Fatihah bagi yang tidak mampu. Barangsiapa tidak mampu membaca Al-Fatihah, hendaklah membaca tasbih ini. Namun, dia tetap wajib berusaha mempelajarinya karena Al-Fatihah adalah rukun salat dan merupakan surat yang agung dalam Al-Qur’an. Al-Fatihah mudah untuk dipelajari dengan izin Allah. Oleh karena itu, wajib untuk mempelajarinya. Jika tidak memungkinkan untuk menghafalnya, maka bacalah apa yang disebutkan oleh Nabi ﷺ, Subhanallah, walhamdulillah, wa lailahaillallah, wallahu akbar, wa lahaula walaquwwata illa billah ketika berdiri dalam salat, saat membaca bacaan salat. Namun, dia tetap harus berusaha keras untuk mempelajari Al-Fatihah dan ayat-ayat lain yang mampu dibacanya.” [10] Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang kesalahan dalam membaca Al-Fatihah yang menyebabkan batalnya salat. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendirikan salat sebagaimana yang Dia cintai dan ridai. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Hukum Membaca Surah Al-Fatihah dan Surah Lain ketika Salat Jenazah *** 12 Zulkaidah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Tajwidul Fatihah alladzi La Yahsunu Jahluhu, Malik bin Ridha Al-Muhammadiy, -, 2020 M (https://t.me/MAlmohamady/386) Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shofwah – Mesir, cet. ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah) Al-Mughni, Abdullah bin Ahmad Ibnu Qudamah, Dar Alamil Kutub – Saudi, cet. ke-3, 1417 (Maktabah Syamilah)   Catatan kaki: [1] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, 64: 27. [2] HR. Bukhari no. 756, dari Sahabat Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu. [3] HR. Ad-Daruquthni, sahih. Lihat https://dorar.net/hadith/sharh/73611 [4] HR. Bukhari no. 689. [5] Al-Mughni, 2: 146. [6] Al-Mughni, 2: 381. [7] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 3: 326. [8] Tajwidul Fatihah, hal. 42-43. [9] QS. At-Taghabun: 16. [10] https://files.zadapps.info/binbaz.org.sa/fatawa/fatawa_dross/fatwa%20167.mp3 Tags: al fatihahsalat

Setan Menyukai Musik?

Pertanyaan: Ustadz, benarkah setan menyukai musik? Apakah berarti rumah yang sering menyetel musik berarti banyak setannya? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Benar bahwa setan itu menyukai musik dan menyukai jika manusia memainkan musik. Karena musik disebut oleh Allah sebagai alat untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Padahal menyesatkan manusia adalah pekerjaan setan. Allah ta’ala berfirman: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ “Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan “lahwal hadis” untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan” (QS. Luqman: 6). Dan karena mendengarkan musik adalah maksiat serta dapat melalaikan dari mengingat Allah. Padahal mengajak kepada maksiat dan lalai dari mengingat Allah adalah pekerjaan setan. Allah ta’ala berfirman: إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat” (QS. Al-Maidah: 91). Musik juga disebut sebagai suara setan. Allah ta’ala berfirman: وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُم بِصَوْتِكَ “Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu (wahai setan)” (QS. Al-Isra: 64). Seorang ulama tabi’in, Mujahid bin Jabr rahimahullah, menafsirkan bahwa “suara setan” dalam ayat ini maknanya adalah al ghina’ (nyanyian yang diiringi musik). Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu mendapati ada dua anak perempuan bermain rebana di rumah Nabi, beliau mengatakan: مزمار الشيطان ؟ مرتين “Seruling setan? Seruling setan?” (HR. Bukhari no. 3931). Ini menunjukkan bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu memahami semua alat musik sebagai seruling setan, dan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak mengingkari penamaan tersebut.  Ketika di perjalanan, setan akan menggoda manusia untuk bernyanyi dengan musik. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata: إِذَا رَكِبَ الرَّجُلُ الدَّابَّةَ , وَلَمْ يُسَمِّ , رَدَفَهُ شَيْطَانٌ , فَقَالَ: تَغَنَّهْ , فَإِنْ كَانَ لَا يُحْسِنُ , قَالَ لَهُ: تَمَنَّهْ “ “Jika seseorang naik kendaraan, dan ia tidak menyebut nama Allah ketika naik, maka setan akan berbisik: Ayo bernyanyilah (dengan musik). Jika ia tidak pandai bernyanyi maka setan akan berbisik: Ayo berangan-angan !!!” (Dzammul Malahi, no.40). Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa setan menyukai musik. Bahkan kata Ibnul Qayyim rahimahullah, musik adalah Qur’an-nya setan : والمقصود : أن الغناء المحرم قرآن الشيطان ، ولما أراد عدو الله أن يجمع عليه نفوس المبطلين قرَنه بما يزيِّنه من الألحان المطربة وآلات الملاهي والمعازف ، وأن يكون من امرأة جميلة ، أو صبي جميل ، ليكون ذلك أدعى إلى قبول النفوس لقرآنه ، وتعوضها به عن القرآن المجيد “Kesimpulannya, nyanyian yang haram (yaitu yang diiringi dengan musik) adalah Qur’an-nya setan. Ketika musuh Allah ingin menggabungkan seluruh jiwa yang batil, maka ia akan menambahkan alat-alat musik dengan adanya wanita cantik, atau anak wanita yang cantik, sehingga jiwa yang batil lebih leluasa untuk menerima Qur’an-nya setan, yang akan menggantikan posisi Al-Qur’an yang mulia dalam hati mereka.” (Ighatsatul Lahafan, 1/254). Oleh karena itu, jika setan lari dari rumah yang dibacakan Al-Qur’an di dalamnya, maka rumah yang sering disetel musik di dalamnya, setan akan betah di dalamnya. Allahul musta’an. Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 798 times, 2 visit(s) today Post Views: 1,233 QRIS donasi Yufid

Setan Menyukai Musik?

Pertanyaan: Ustadz, benarkah setan menyukai musik? Apakah berarti rumah yang sering menyetel musik berarti banyak setannya? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Benar bahwa setan itu menyukai musik dan menyukai jika manusia memainkan musik. Karena musik disebut oleh Allah sebagai alat untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Padahal menyesatkan manusia adalah pekerjaan setan. Allah ta’ala berfirman: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ “Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan “lahwal hadis” untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan” (QS. Luqman: 6). Dan karena mendengarkan musik adalah maksiat serta dapat melalaikan dari mengingat Allah. Padahal mengajak kepada maksiat dan lalai dari mengingat Allah adalah pekerjaan setan. Allah ta’ala berfirman: إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat” (QS. Al-Maidah: 91). Musik juga disebut sebagai suara setan. Allah ta’ala berfirman: وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُم بِصَوْتِكَ “Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu (wahai setan)” (QS. Al-Isra: 64). Seorang ulama tabi’in, Mujahid bin Jabr rahimahullah, menafsirkan bahwa “suara setan” dalam ayat ini maknanya adalah al ghina’ (nyanyian yang diiringi musik). Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu mendapati ada dua anak perempuan bermain rebana di rumah Nabi, beliau mengatakan: مزمار الشيطان ؟ مرتين “Seruling setan? Seruling setan?” (HR. Bukhari no. 3931). Ini menunjukkan bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu memahami semua alat musik sebagai seruling setan, dan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak mengingkari penamaan tersebut.  Ketika di perjalanan, setan akan menggoda manusia untuk bernyanyi dengan musik. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata: إِذَا رَكِبَ الرَّجُلُ الدَّابَّةَ , وَلَمْ يُسَمِّ , رَدَفَهُ شَيْطَانٌ , فَقَالَ: تَغَنَّهْ , فَإِنْ كَانَ لَا يُحْسِنُ , قَالَ لَهُ: تَمَنَّهْ “ “Jika seseorang naik kendaraan, dan ia tidak menyebut nama Allah ketika naik, maka setan akan berbisik: Ayo bernyanyilah (dengan musik). Jika ia tidak pandai bernyanyi maka setan akan berbisik: Ayo berangan-angan !!!” (Dzammul Malahi, no.40). Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa setan menyukai musik. Bahkan kata Ibnul Qayyim rahimahullah, musik adalah Qur’an-nya setan : والمقصود : أن الغناء المحرم قرآن الشيطان ، ولما أراد عدو الله أن يجمع عليه نفوس المبطلين قرَنه بما يزيِّنه من الألحان المطربة وآلات الملاهي والمعازف ، وأن يكون من امرأة جميلة ، أو صبي جميل ، ليكون ذلك أدعى إلى قبول النفوس لقرآنه ، وتعوضها به عن القرآن المجيد “Kesimpulannya, nyanyian yang haram (yaitu yang diiringi dengan musik) adalah Qur’an-nya setan. Ketika musuh Allah ingin menggabungkan seluruh jiwa yang batil, maka ia akan menambahkan alat-alat musik dengan adanya wanita cantik, atau anak wanita yang cantik, sehingga jiwa yang batil lebih leluasa untuk menerima Qur’an-nya setan, yang akan menggantikan posisi Al-Qur’an yang mulia dalam hati mereka.” (Ighatsatul Lahafan, 1/254). Oleh karena itu, jika setan lari dari rumah yang dibacakan Al-Qur’an di dalamnya, maka rumah yang sering disetel musik di dalamnya, setan akan betah di dalamnya. Allahul musta’an. Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 798 times, 2 visit(s) today Post Views: 1,233 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Ustadz, benarkah setan menyukai musik? Apakah berarti rumah yang sering menyetel musik berarti banyak setannya? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Benar bahwa setan itu menyukai musik dan menyukai jika manusia memainkan musik. Karena musik disebut oleh Allah sebagai alat untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Padahal menyesatkan manusia adalah pekerjaan setan. Allah ta’ala berfirman: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ “Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan “lahwal hadis” untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan” (QS. Luqman: 6). Dan karena mendengarkan musik adalah maksiat serta dapat melalaikan dari mengingat Allah. Padahal mengajak kepada maksiat dan lalai dari mengingat Allah adalah pekerjaan setan. Allah ta’ala berfirman: إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat” (QS. Al-Maidah: 91). Musik juga disebut sebagai suara setan. Allah ta’ala berfirman: وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُم بِصَوْتِكَ “Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu (wahai setan)” (QS. Al-Isra: 64). Seorang ulama tabi’in, Mujahid bin Jabr rahimahullah, menafsirkan bahwa “suara setan” dalam ayat ini maknanya adalah al ghina’ (nyanyian yang diiringi musik). Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu mendapati ada dua anak perempuan bermain rebana di rumah Nabi, beliau mengatakan: مزمار الشيطان ؟ مرتين “Seruling setan? Seruling setan?” (HR. Bukhari no. 3931). Ini menunjukkan bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu memahami semua alat musik sebagai seruling setan, dan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak mengingkari penamaan tersebut.  Ketika di perjalanan, setan akan menggoda manusia untuk bernyanyi dengan musik. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata: إِذَا رَكِبَ الرَّجُلُ الدَّابَّةَ , وَلَمْ يُسَمِّ , رَدَفَهُ شَيْطَانٌ , فَقَالَ: تَغَنَّهْ , فَإِنْ كَانَ لَا يُحْسِنُ , قَالَ لَهُ: تَمَنَّهْ “ “Jika seseorang naik kendaraan, dan ia tidak menyebut nama Allah ketika naik, maka setan akan berbisik: Ayo bernyanyilah (dengan musik). Jika ia tidak pandai bernyanyi maka setan akan berbisik: Ayo berangan-angan !!!” (Dzammul Malahi, no.40). Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa setan menyukai musik. Bahkan kata Ibnul Qayyim rahimahullah, musik adalah Qur’an-nya setan : والمقصود : أن الغناء المحرم قرآن الشيطان ، ولما أراد عدو الله أن يجمع عليه نفوس المبطلين قرَنه بما يزيِّنه من الألحان المطربة وآلات الملاهي والمعازف ، وأن يكون من امرأة جميلة ، أو صبي جميل ، ليكون ذلك أدعى إلى قبول النفوس لقرآنه ، وتعوضها به عن القرآن المجيد “Kesimpulannya, nyanyian yang haram (yaitu yang diiringi dengan musik) adalah Qur’an-nya setan. Ketika musuh Allah ingin menggabungkan seluruh jiwa yang batil, maka ia akan menambahkan alat-alat musik dengan adanya wanita cantik, atau anak wanita yang cantik, sehingga jiwa yang batil lebih leluasa untuk menerima Qur’an-nya setan, yang akan menggantikan posisi Al-Qur’an yang mulia dalam hati mereka.” (Ighatsatul Lahafan, 1/254). Oleh karena itu, jika setan lari dari rumah yang dibacakan Al-Qur’an di dalamnya, maka rumah yang sering disetel musik di dalamnya, setan akan betah di dalamnya. Allahul musta’an. Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 798 times, 2 visit(s) today Post Views: 1,233 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Ustadz, benarkah setan menyukai musik? Apakah berarti rumah yang sering menyetel musik berarti banyak setannya? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Benar bahwa setan itu menyukai musik dan menyukai jika manusia memainkan musik. Karena musik disebut oleh Allah sebagai alat untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Padahal menyesatkan manusia adalah pekerjaan setan. Allah ta’ala berfirman: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ “Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan “lahwal hadis” untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan” (QS. Luqman: 6). Dan karena mendengarkan musik adalah maksiat serta dapat melalaikan dari mengingat Allah. Padahal mengajak kepada maksiat dan lalai dari mengingat Allah adalah pekerjaan setan. Allah ta’ala berfirman: إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat” (QS. Al-Maidah: 91). Musik juga disebut sebagai suara setan. Allah ta’ala berfirman: وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُم بِصَوْتِكَ “Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu (wahai setan)” (QS. Al-Isra: 64). Seorang ulama tabi’in, Mujahid bin Jabr rahimahullah, menafsirkan bahwa “suara setan” dalam ayat ini maknanya adalah al ghina’ (nyanyian yang diiringi musik). Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu mendapati ada dua anak perempuan bermain rebana di rumah Nabi, beliau mengatakan: مزمار الشيطان ؟ مرتين “Seruling setan? Seruling setan?” (HR. Bukhari no. 3931). Ini menunjukkan bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu memahami semua alat musik sebagai seruling setan, dan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak mengingkari penamaan tersebut.  Ketika di perjalanan, setan akan menggoda manusia untuk bernyanyi dengan musik. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata: إِذَا رَكِبَ الرَّجُلُ الدَّابَّةَ , وَلَمْ يُسَمِّ , رَدَفَهُ شَيْطَانٌ , فَقَالَ: تَغَنَّهْ , فَإِنْ كَانَ لَا يُحْسِنُ , قَالَ لَهُ: تَمَنَّهْ “ “Jika seseorang naik kendaraan, dan ia tidak menyebut nama Allah ketika naik, maka setan akan berbisik: Ayo bernyanyilah (dengan musik). Jika ia tidak pandai bernyanyi maka setan akan berbisik: Ayo berangan-angan !!!” (Dzammul Malahi, no.40). Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa setan menyukai musik. Bahkan kata Ibnul Qayyim rahimahullah, musik adalah Qur’an-nya setan : والمقصود : أن الغناء المحرم قرآن الشيطان ، ولما أراد عدو الله أن يجمع عليه نفوس المبطلين قرَنه بما يزيِّنه من الألحان المطربة وآلات الملاهي والمعازف ، وأن يكون من امرأة جميلة ، أو صبي جميل ، ليكون ذلك أدعى إلى قبول النفوس لقرآنه ، وتعوضها به عن القرآن المجيد “Kesimpulannya, nyanyian yang haram (yaitu yang diiringi dengan musik) adalah Qur’an-nya setan. Ketika musuh Allah ingin menggabungkan seluruh jiwa yang batil, maka ia akan menambahkan alat-alat musik dengan adanya wanita cantik, atau anak wanita yang cantik, sehingga jiwa yang batil lebih leluasa untuk menerima Qur’an-nya setan, yang akan menggantikan posisi Al-Qur’an yang mulia dalam hati mereka.” (Ighatsatul Lahafan, 1/254). Oleh karena itu, jika setan lari dari rumah yang dibacakan Al-Qur’an di dalamnya, maka rumah yang sering disetel musik di dalamnya, setan akan betah di dalamnya. Allahul musta’an. Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 798 times, 2 visit(s) today Post Views: 1,233 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Dalil Jumlah Rakaat Shalat-Shalat Fardhu

Pertanyaan: Ustadz, ada yang bertanya kepada saya, apa dalilnya shalat subuh 2 rakaat, shalat zuhur 4 rakaat, shalat ashar 4 rakaat, shalat maghrib 3 rakaat dan shalat isya 4 rakaat? Karena katanya di dalam Al-Qur’an tidak ada seperti itu? Mohon pencerahannya. Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Dalil-dalil jumlah rakaat masing-masing shalat fardhu ada dalam hadis dan juga ijma’ ulama. Ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para Sahabat masih di Makkah sebelum hijrah, shalat 5 waktu hanya diwajibkan dua rakaat saja untuk semua shalat. Dalam hadis dari Aisyah radhiyallahu’anha, ia berkata: فُرِضَتِ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ في الحَضَرِ وَالسَّفَرِ، فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ، وَزِيدَ في صَلَاةِ الحَضَرِ “Dahulu shalat (lima waktu) diwajibkan dua rakaat – dua rakaat, baik ketika tidak safar maupun ketika safar. Setelah itu, shalat dua rakaat tetap ada untuk kondisi safar. Dan shalat dalam kondisi tidak safar ditambahkan (menjadi empat rakaat)” (HR. Al-Bukhari no. 685). Dalam riwayat lain, Aisyah radhiyallahu’anha berkata: فُرِضَتِ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ هَاجَرَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فَفُرِضَتْ أرْبَعًا، وتُرِكَتْ صَلَاةُ السَّفَرِ علَى الأُولَى “Dahulu shalat (lima waktu) dua rakaat – dua rakaat. Kemudian ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, barulah diwajibkan shalat 4 rakaat. Namun shalat 4 rakaat ditinggalkan ketika safar seperti dahulu.” (HR. Al-Bukhari no. 3935). Dalam riwayat Ahmad, Aisyah radhiyallahu’anha berkata: قد فُرِضَتِ الصلاةُ رَكعَتَينِ رَكعَتَينِ بمكَّةَ، فلمَّا قدِمَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ المَدينةَ زادَ مع كلِّ رَكعَتَينِ رَكعَتَينِ إلَّا المَغرِبَ؛ فإنَّها وَتْرُ النَّهارِ، وصَلاةُ الفَجرِ لطولِ قِراءَتِها “Dahulu ketika di Makkah, (shalat lima waktu) diwajibkan dua rakaat – dua rakaat. Kemudian ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, setiap shalat ditambahkan dua rakaat, kecuali shalat Maghrib. Karena ia adalah shalat ganjil untuk siang. Dan kecuali shalat subuh, karena panjangnya bacaannya.” (HR. Ahmad no. 26042, sanadnya dhaif namun maknanya benar). Sehingga, jumlah raka’at shalat ketika di Makkah : Subuh 2 rakaat Zuhur 2 rakaat Ashar 2 rakaat Maghrib 2 rakaat Isya 2 rakaat  Setelah hijrah ke Madinah, semua ditambah dua kecuali Maghrib (hanya ditambah 1) dan subuh:  Subuh 2 rakaat Zuhur 2+2 = 4 rakaat Ashar 2+2 = 4 rakaat Maghrib 2+1 = 3 rakaat Isya 2+2 = 4 rakaat  Total ada 17 rakaat sebagaimana kita ketahui. Ini berlaku dalam kondisi muqim (tidak safar) dan tidak ada kondisi khauf (seperti perang). Di sebagian riwayat disebutkan bahwa shalat Maghrib sejak di Makkah sudah 3 rakaat. Terdapat lafaz: إلا المغرب؛ فإنها كانت ثلاثًا “… kecuali Maghrib, sejak dahulu tiga raka’at”. Demikian juga, terdapat hadis-hadis yang menjelaskan jumlah rakaat masing-masing shalat secara khusus. Sebagaimana hadis dari Qays bin ‘Amr Al Anshari radhiyallahu’anhu, ia berkata: رأى النَّبيُّ صلَّى الله عليْهِ وسلَّمَ رجلاً يصلِّي بعدَ صلاةِ الصُّبحِ رَكعتينِ فقالَ النَّبيُّ صلَّى الله عليْهِ وسلَّمَ أصلاةَ الصُّبحِ مرَّتينِ “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pernah melihat orang yang shalat dua rakaat setelah shalat subuh. Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bertanya: Apakah engkau shalat subuh dua kali?” (HR. Ibnu Majah no.954, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah). Hadis ini menunjukkan bahwa shalat subuh dua rakaat. Kemudian hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: لا توتِروا بثلاثٍ أوتِروا بخمسٍ أو بسبعٍ ولا تشبَّهوا بصلاةِ المغربِ “Jangan kerjakan shalat witir tiga rakaat. Namun kerjakanlah 5 rakaat atau 7 rakaat. Jangan serupakan shalat witir dengan shalat maghrib.” (HR. Ibnu Hibban no.2429, Ad-Daruquthni no.1650, dishahihkan oleh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Shahih Ibnu Hibban). Hadis ini menunjukkan bahwa shalat Maghrib itu tiga rakaat. Dan ulama telah ijma‘ (sepakat) tidak ada khilafiyah di antara mereka tentang jumlah rakaat shalat wajib. Ibnul Mundzir rahimahullah mengatakan: أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ صَلَاةَ الظُّهْرِ أَرْبَعُ رَكَعَاتٍ يُخَافَتُ فِيهَا بِالْقِرَاءَةِ … أَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ أَرْبَعًا كَصَلَاةِ الظُّهْرِ لَا يُجْهَرُ فِيهَا بِالْقِرَاءَةِ … وَأَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ ثَلَاثًا يُجْهَرُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الْأُولَتَيْنِ مِنْهَا بِالْقِرَاءَةِ وَيُخَافَتُ فِي الثَّالِثَةِ … وَأَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ أَرْبَعًا، يُجْهَرُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الْأُولَتَيْنِ مِنْهَا بِالْقِرَاءَةِ، وَيُخَافَتُ فِي الْأُخْرَيَيْنِ  … وَأَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ يُجْهَرُ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ  “Para ulama ijma bahwa shalat zuhur itu 4 rakaat dengan bacaan yang lirih … dan shalat ashar itu 4 rakaat seperti shalat zuhur, tidak dikeraskan bacaannya … dan shalat maghrib itu 3 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan pada dua rakaat awal dan bacaan yang lirih pada rakaat ketiga … dan shalat isya itu 4 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan pada dua rakaat awal dan bacaan yang lirih pada dua rakaat terakhir … dan shalat subuh itu 2 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan.” (Al-Awsath fis Sunan wal Ijma’ wal Ikhtilaf, 2/318). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 1,545 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,026 QRIS donasi Yufid

Dalil Jumlah Rakaat Shalat-Shalat Fardhu

Pertanyaan: Ustadz, ada yang bertanya kepada saya, apa dalilnya shalat subuh 2 rakaat, shalat zuhur 4 rakaat, shalat ashar 4 rakaat, shalat maghrib 3 rakaat dan shalat isya 4 rakaat? Karena katanya di dalam Al-Qur’an tidak ada seperti itu? Mohon pencerahannya. Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Dalil-dalil jumlah rakaat masing-masing shalat fardhu ada dalam hadis dan juga ijma’ ulama. Ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para Sahabat masih di Makkah sebelum hijrah, shalat 5 waktu hanya diwajibkan dua rakaat saja untuk semua shalat. Dalam hadis dari Aisyah radhiyallahu’anha, ia berkata: فُرِضَتِ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ في الحَضَرِ وَالسَّفَرِ، فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ، وَزِيدَ في صَلَاةِ الحَضَرِ “Dahulu shalat (lima waktu) diwajibkan dua rakaat – dua rakaat, baik ketika tidak safar maupun ketika safar. Setelah itu, shalat dua rakaat tetap ada untuk kondisi safar. Dan shalat dalam kondisi tidak safar ditambahkan (menjadi empat rakaat)” (HR. Al-Bukhari no. 685). Dalam riwayat lain, Aisyah radhiyallahu’anha berkata: فُرِضَتِ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ هَاجَرَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فَفُرِضَتْ أرْبَعًا، وتُرِكَتْ صَلَاةُ السَّفَرِ علَى الأُولَى “Dahulu shalat (lima waktu) dua rakaat – dua rakaat. Kemudian ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, barulah diwajibkan shalat 4 rakaat. Namun shalat 4 rakaat ditinggalkan ketika safar seperti dahulu.” (HR. Al-Bukhari no. 3935). Dalam riwayat Ahmad, Aisyah radhiyallahu’anha berkata: قد فُرِضَتِ الصلاةُ رَكعَتَينِ رَكعَتَينِ بمكَّةَ، فلمَّا قدِمَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ المَدينةَ زادَ مع كلِّ رَكعَتَينِ رَكعَتَينِ إلَّا المَغرِبَ؛ فإنَّها وَتْرُ النَّهارِ، وصَلاةُ الفَجرِ لطولِ قِراءَتِها “Dahulu ketika di Makkah, (shalat lima waktu) diwajibkan dua rakaat – dua rakaat. Kemudian ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, setiap shalat ditambahkan dua rakaat, kecuali shalat Maghrib. Karena ia adalah shalat ganjil untuk siang. Dan kecuali shalat subuh, karena panjangnya bacaannya.” (HR. Ahmad no. 26042, sanadnya dhaif namun maknanya benar). Sehingga, jumlah raka’at shalat ketika di Makkah : Subuh 2 rakaat Zuhur 2 rakaat Ashar 2 rakaat Maghrib 2 rakaat Isya 2 rakaat  Setelah hijrah ke Madinah, semua ditambah dua kecuali Maghrib (hanya ditambah 1) dan subuh:  Subuh 2 rakaat Zuhur 2+2 = 4 rakaat Ashar 2+2 = 4 rakaat Maghrib 2+1 = 3 rakaat Isya 2+2 = 4 rakaat  Total ada 17 rakaat sebagaimana kita ketahui. Ini berlaku dalam kondisi muqim (tidak safar) dan tidak ada kondisi khauf (seperti perang). Di sebagian riwayat disebutkan bahwa shalat Maghrib sejak di Makkah sudah 3 rakaat. Terdapat lafaz: إلا المغرب؛ فإنها كانت ثلاثًا “… kecuali Maghrib, sejak dahulu tiga raka’at”. Demikian juga, terdapat hadis-hadis yang menjelaskan jumlah rakaat masing-masing shalat secara khusus. Sebagaimana hadis dari Qays bin ‘Amr Al Anshari radhiyallahu’anhu, ia berkata: رأى النَّبيُّ صلَّى الله عليْهِ وسلَّمَ رجلاً يصلِّي بعدَ صلاةِ الصُّبحِ رَكعتينِ فقالَ النَّبيُّ صلَّى الله عليْهِ وسلَّمَ أصلاةَ الصُّبحِ مرَّتينِ “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pernah melihat orang yang shalat dua rakaat setelah shalat subuh. Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bertanya: Apakah engkau shalat subuh dua kali?” (HR. Ibnu Majah no.954, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah). Hadis ini menunjukkan bahwa shalat subuh dua rakaat. Kemudian hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: لا توتِروا بثلاثٍ أوتِروا بخمسٍ أو بسبعٍ ولا تشبَّهوا بصلاةِ المغربِ “Jangan kerjakan shalat witir tiga rakaat. Namun kerjakanlah 5 rakaat atau 7 rakaat. Jangan serupakan shalat witir dengan shalat maghrib.” (HR. Ibnu Hibban no.2429, Ad-Daruquthni no.1650, dishahihkan oleh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Shahih Ibnu Hibban). Hadis ini menunjukkan bahwa shalat Maghrib itu tiga rakaat. Dan ulama telah ijma‘ (sepakat) tidak ada khilafiyah di antara mereka tentang jumlah rakaat shalat wajib. Ibnul Mundzir rahimahullah mengatakan: أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ صَلَاةَ الظُّهْرِ أَرْبَعُ رَكَعَاتٍ يُخَافَتُ فِيهَا بِالْقِرَاءَةِ … أَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ أَرْبَعًا كَصَلَاةِ الظُّهْرِ لَا يُجْهَرُ فِيهَا بِالْقِرَاءَةِ … وَأَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ ثَلَاثًا يُجْهَرُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الْأُولَتَيْنِ مِنْهَا بِالْقِرَاءَةِ وَيُخَافَتُ فِي الثَّالِثَةِ … وَأَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ أَرْبَعًا، يُجْهَرُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الْأُولَتَيْنِ مِنْهَا بِالْقِرَاءَةِ، وَيُخَافَتُ فِي الْأُخْرَيَيْنِ  … وَأَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ يُجْهَرُ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ  “Para ulama ijma bahwa shalat zuhur itu 4 rakaat dengan bacaan yang lirih … dan shalat ashar itu 4 rakaat seperti shalat zuhur, tidak dikeraskan bacaannya … dan shalat maghrib itu 3 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan pada dua rakaat awal dan bacaan yang lirih pada rakaat ketiga … dan shalat isya itu 4 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan pada dua rakaat awal dan bacaan yang lirih pada dua rakaat terakhir … dan shalat subuh itu 2 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan.” (Al-Awsath fis Sunan wal Ijma’ wal Ikhtilaf, 2/318). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 1,545 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,026 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Ustadz, ada yang bertanya kepada saya, apa dalilnya shalat subuh 2 rakaat, shalat zuhur 4 rakaat, shalat ashar 4 rakaat, shalat maghrib 3 rakaat dan shalat isya 4 rakaat? Karena katanya di dalam Al-Qur’an tidak ada seperti itu? Mohon pencerahannya. Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Dalil-dalil jumlah rakaat masing-masing shalat fardhu ada dalam hadis dan juga ijma’ ulama. Ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para Sahabat masih di Makkah sebelum hijrah, shalat 5 waktu hanya diwajibkan dua rakaat saja untuk semua shalat. Dalam hadis dari Aisyah radhiyallahu’anha, ia berkata: فُرِضَتِ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ في الحَضَرِ وَالسَّفَرِ، فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ، وَزِيدَ في صَلَاةِ الحَضَرِ “Dahulu shalat (lima waktu) diwajibkan dua rakaat – dua rakaat, baik ketika tidak safar maupun ketika safar. Setelah itu, shalat dua rakaat tetap ada untuk kondisi safar. Dan shalat dalam kondisi tidak safar ditambahkan (menjadi empat rakaat)” (HR. Al-Bukhari no. 685). Dalam riwayat lain, Aisyah radhiyallahu’anha berkata: فُرِضَتِ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ هَاجَرَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فَفُرِضَتْ أرْبَعًا، وتُرِكَتْ صَلَاةُ السَّفَرِ علَى الأُولَى “Dahulu shalat (lima waktu) dua rakaat – dua rakaat. Kemudian ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, barulah diwajibkan shalat 4 rakaat. Namun shalat 4 rakaat ditinggalkan ketika safar seperti dahulu.” (HR. Al-Bukhari no. 3935). Dalam riwayat Ahmad, Aisyah radhiyallahu’anha berkata: قد فُرِضَتِ الصلاةُ رَكعَتَينِ رَكعَتَينِ بمكَّةَ، فلمَّا قدِمَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ المَدينةَ زادَ مع كلِّ رَكعَتَينِ رَكعَتَينِ إلَّا المَغرِبَ؛ فإنَّها وَتْرُ النَّهارِ، وصَلاةُ الفَجرِ لطولِ قِراءَتِها “Dahulu ketika di Makkah, (shalat lima waktu) diwajibkan dua rakaat – dua rakaat. Kemudian ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, setiap shalat ditambahkan dua rakaat, kecuali shalat Maghrib. Karena ia adalah shalat ganjil untuk siang. Dan kecuali shalat subuh, karena panjangnya bacaannya.” (HR. Ahmad no. 26042, sanadnya dhaif namun maknanya benar). Sehingga, jumlah raka’at shalat ketika di Makkah : Subuh 2 rakaat Zuhur 2 rakaat Ashar 2 rakaat Maghrib 2 rakaat Isya 2 rakaat  Setelah hijrah ke Madinah, semua ditambah dua kecuali Maghrib (hanya ditambah 1) dan subuh:  Subuh 2 rakaat Zuhur 2+2 = 4 rakaat Ashar 2+2 = 4 rakaat Maghrib 2+1 = 3 rakaat Isya 2+2 = 4 rakaat  Total ada 17 rakaat sebagaimana kita ketahui. Ini berlaku dalam kondisi muqim (tidak safar) dan tidak ada kondisi khauf (seperti perang). Di sebagian riwayat disebutkan bahwa shalat Maghrib sejak di Makkah sudah 3 rakaat. Terdapat lafaz: إلا المغرب؛ فإنها كانت ثلاثًا “… kecuali Maghrib, sejak dahulu tiga raka’at”. Demikian juga, terdapat hadis-hadis yang menjelaskan jumlah rakaat masing-masing shalat secara khusus. Sebagaimana hadis dari Qays bin ‘Amr Al Anshari radhiyallahu’anhu, ia berkata: رأى النَّبيُّ صلَّى الله عليْهِ وسلَّمَ رجلاً يصلِّي بعدَ صلاةِ الصُّبحِ رَكعتينِ فقالَ النَّبيُّ صلَّى الله عليْهِ وسلَّمَ أصلاةَ الصُّبحِ مرَّتينِ “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pernah melihat orang yang shalat dua rakaat setelah shalat subuh. Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bertanya: Apakah engkau shalat subuh dua kali?” (HR. Ibnu Majah no.954, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah). Hadis ini menunjukkan bahwa shalat subuh dua rakaat. Kemudian hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: لا توتِروا بثلاثٍ أوتِروا بخمسٍ أو بسبعٍ ولا تشبَّهوا بصلاةِ المغربِ “Jangan kerjakan shalat witir tiga rakaat. Namun kerjakanlah 5 rakaat atau 7 rakaat. Jangan serupakan shalat witir dengan shalat maghrib.” (HR. Ibnu Hibban no.2429, Ad-Daruquthni no.1650, dishahihkan oleh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Shahih Ibnu Hibban). Hadis ini menunjukkan bahwa shalat Maghrib itu tiga rakaat. Dan ulama telah ijma‘ (sepakat) tidak ada khilafiyah di antara mereka tentang jumlah rakaat shalat wajib. Ibnul Mundzir rahimahullah mengatakan: أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ صَلَاةَ الظُّهْرِ أَرْبَعُ رَكَعَاتٍ يُخَافَتُ فِيهَا بِالْقِرَاءَةِ … أَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ أَرْبَعًا كَصَلَاةِ الظُّهْرِ لَا يُجْهَرُ فِيهَا بِالْقِرَاءَةِ … وَأَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ ثَلَاثًا يُجْهَرُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الْأُولَتَيْنِ مِنْهَا بِالْقِرَاءَةِ وَيُخَافَتُ فِي الثَّالِثَةِ … وَأَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ أَرْبَعًا، يُجْهَرُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الْأُولَتَيْنِ مِنْهَا بِالْقِرَاءَةِ، وَيُخَافَتُ فِي الْأُخْرَيَيْنِ  … وَأَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ يُجْهَرُ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ  “Para ulama ijma bahwa shalat zuhur itu 4 rakaat dengan bacaan yang lirih … dan shalat ashar itu 4 rakaat seperti shalat zuhur, tidak dikeraskan bacaannya … dan shalat maghrib itu 3 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan pada dua rakaat awal dan bacaan yang lirih pada rakaat ketiga … dan shalat isya itu 4 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan pada dua rakaat awal dan bacaan yang lirih pada dua rakaat terakhir … dan shalat subuh itu 2 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan.” (Al-Awsath fis Sunan wal Ijma’ wal Ikhtilaf, 2/318). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 1,545 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,026 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Ustadz, ada yang bertanya kepada saya, apa dalilnya shalat subuh 2 rakaat, shalat zuhur 4 rakaat, shalat ashar 4 rakaat, shalat maghrib 3 rakaat dan shalat isya 4 rakaat? Karena katanya di dalam Al-Qur’an tidak ada seperti itu? Mohon pencerahannya. Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Dalil-dalil jumlah rakaat masing-masing shalat fardhu ada dalam hadis dan juga ijma’ ulama. Ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para Sahabat masih di Makkah sebelum hijrah, shalat 5 waktu hanya diwajibkan dua rakaat saja untuk semua shalat. Dalam hadis dari Aisyah radhiyallahu’anha, ia berkata: فُرِضَتِ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ في الحَضَرِ وَالسَّفَرِ، فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ، وَزِيدَ في صَلَاةِ الحَضَرِ “Dahulu shalat (lima waktu) diwajibkan dua rakaat – dua rakaat, baik ketika tidak safar maupun ketika safar. Setelah itu, shalat dua rakaat tetap ada untuk kondisi safar. Dan shalat dalam kondisi tidak safar ditambahkan (menjadi empat rakaat)” (HR. Al-Bukhari no. 685). Dalam riwayat lain, Aisyah radhiyallahu’anha berkata: فُرِضَتِ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ هَاجَرَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فَفُرِضَتْ أرْبَعًا، وتُرِكَتْ صَلَاةُ السَّفَرِ علَى الأُولَى “Dahulu shalat (lima waktu) dua rakaat – dua rakaat. Kemudian ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, barulah diwajibkan shalat 4 rakaat. Namun shalat 4 rakaat ditinggalkan ketika safar seperti dahulu.” (HR. Al-Bukhari no. 3935). Dalam riwayat Ahmad, Aisyah radhiyallahu’anha berkata: قد فُرِضَتِ الصلاةُ رَكعَتَينِ رَكعَتَينِ بمكَّةَ، فلمَّا قدِمَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ المَدينةَ زادَ مع كلِّ رَكعَتَينِ رَكعَتَينِ إلَّا المَغرِبَ؛ فإنَّها وَتْرُ النَّهارِ، وصَلاةُ الفَجرِ لطولِ قِراءَتِها “Dahulu ketika di Makkah, (shalat lima waktu) diwajibkan dua rakaat – dua rakaat. Kemudian ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, setiap shalat ditambahkan dua rakaat, kecuali shalat Maghrib. Karena ia adalah shalat ganjil untuk siang. Dan kecuali shalat subuh, karena panjangnya bacaannya.” (HR. Ahmad no. 26042, sanadnya dhaif namun maknanya benar). Sehingga, jumlah raka’at shalat ketika di Makkah : Subuh 2 rakaat Zuhur 2 rakaat Ashar 2 rakaat Maghrib 2 rakaat Isya 2 rakaat  Setelah hijrah ke Madinah, semua ditambah dua kecuali Maghrib (hanya ditambah 1) dan subuh:  Subuh 2 rakaat Zuhur 2+2 = 4 rakaat Ashar 2+2 = 4 rakaat Maghrib 2+1 = 3 rakaat Isya 2+2 = 4 rakaat  Total ada 17 rakaat sebagaimana kita ketahui. Ini berlaku dalam kondisi muqim (tidak safar) dan tidak ada kondisi khauf (seperti perang). Di sebagian riwayat disebutkan bahwa shalat Maghrib sejak di Makkah sudah 3 rakaat. Terdapat lafaz: إلا المغرب؛ فإنها كانت ثلاثًا “… kecuali Maghrib, sejak dahulu tiga raka’at”. Demikian juga, terdapat hadis-hadis yang menjelaskan jumlah rakaat masing-masing shalat secara khusus. Sebagaimana hadis dari Qays bin ‘Amr Al Anshari radhiyallahu’anhu, ia berkata: رأى النَّبيُّ صلَّى الله عليْهِ وسلَّمَ رجلاً يصلِّي بعدَ صلاةِ الصُّبحِ رَكعتينِ فقالَ النَّبيُّ صلَّى الله عليْهِ وسلَّمَ أصلاةَ الصُّبحِ مرَّتينِ “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pernah melihat orang yang shalat dua rakaat setelah shalat subuh. Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bertanya: Apakah engkau shalat subuh dua kali?” (HR. Ibnu Majah no.954, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah). Hadis ini menunjukkan bahwa shalat subuh dua rakaat. Kemudian hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: لا توتِروا بثلاثٍ أوتِروا بخمسٍ أو بسبعٍ ولا تشبَّهوا بصلاةِ المغربِ “Jangan kerjakan shalat witir tiga rakaat. Namun kerjakanlah 5 rakaat atau 7 rakaat. Jangan serupakan shalat witir dengan shalat maghrib.” (HR. Ibnu Hibban no.2429, Ad-Daruquthni no.1650, dishahihkan oleh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Shahih Ibnu Hibban). Hadis ini menunjukkan bahwa shalat Maghrib itu tiga rakaat. Dan ulama telah ijma‘ (sepakat) tidak ada khilafiyah di antara mereka tentang jumlah rakaat shalat wajib. Ibnul Mundzir rahimahullah mengatakan: أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ صَلَاةَ الظُّهْرِ أَرْبَعُ رَكَعَاتٍ يُخَافَتُ فِيهَا بِالْقِرَاءَةِ … أَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ أَرْبَعًا كَصَلَاةِ الظُّهْرِ لَا يُجْهَرُ فِيهَا بِالْقِرَاءَةِ … وَأَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ ثَلَاثًا يُجْهَرُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الْأُولَتَيْنِ مِنْهَا بِالْقِرَاءَةِ وَيُخَافَتُ فِي الثَّالِثَةِ … وَأَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ أَرْبَعًا، يُجْهَرُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الْأُولَتَيْنِ مِنْهَا بِالْقِرَاءَةِ، وَيُخَافَتُ فِي الْأُخْرَيَيْنِ  … وَأَنَّ عَدَدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ يُجْهَرُ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ  “Para ulama ijma bahwa shalat zuhur itu 4 rakaat dengan bacaan yang lirih … dan shalat ashar itu 4 rakaat seperti shalat zuhur, tidak dikeraskan bacaannya … dan shalat maghrib itu 3 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan pada dua rakaat awal dan bacaan yang lirih pada rakaat ketiga … dan shalat isya itu 4 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan pada dua rakaat awal dan bacaan yang lirih pada dua rakaat terakhir … dan shalat subuh itu 2 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan.” (Al-Awsath fis Sunan wal Ijma’ wal Ikhtilaf, 2/318). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 1,545 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,026 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Menjadi Imam Salat di Perusahaan, Dapat Gaji dan Hadiah dari Karyawan, Bagaimana Hukumnya?

السؤال جزاكم الله خيرا على ما تقومون به من هذه الخدمة التي ينتفع بها المسلمون إن شاء الله تعالى. سؤالي هو أن رجلا يتقدم بترخيص من مديرية الأوقاف لأداء صلاة التراويح في شركة كبيرة ذات نظام داخلي في رمضان، بعد طلب الشركة من الأوقاف بترشيح إمام لذلك، فتقوم الشركة بأداء راتب للإمام وفق عقد تستحدثه الشركة نفسها مع هذا الإمام، مع العلم أنه لا يتقاضى من مديرية الأوقاف شيئا، وفي نهاية رمضان يقوم العمال في الشركة من تلقاء أنفسهم بجمع مبلغ آخر للإمام ويعطونه إياه، مع العلم أن هذا الجمع بعلم من الشركة وبصورة علنية فيها. فهل هذا الفعل الذي يفعله هذا الرجل صحيح؟ وما حكم أجره من الشركة؟ وما حكم المال الذي يجمعه العمال له في نهاية رمضان؟ Pertanyaan: Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan atas dedikasi Anda dalam khidmah yang insya Allah bermanfaat bagi umat Islam.  Pertanyaan saya, ada seorang laki-laki yang mengajukan izin kepada Direktorat Wakaf untuk melaksanakan Salat Tarawih pada bulan Ramadan di sebuah perusahaan besar, yang memiliki aturan internal sendiri.  Setelah perusahaan tersebut meminta kepada Direktorat Wakaf untuk menunjuk seorang imam untuk pelaksanaan itu, lalu perusahaan tersebut akan membayar gaji kepada imam tersebut sesuai dengan kontrak yang dibuat oleh perusahaan itu sendiri dengan imam tersebut.  Perlu diketahui bahwa dia tidak menerima gaji dari Direktorat Wakaf sedikit pun. Di akhir Ramadan, dengan inisiatif para karyawan sendiri yang bekerja di perusahaan tersebut, mereka mengumpulkan sejumlah uang untuk imam tersebut dan memberikannya kepadanya. Perlu diketahui bahwa pengumpulan uang ini adalah dengan sepengetahuan perusahaan dan dilakukan secara terang-terangan di tengah perusahaan.  Apakah perbuatan yang dilakukan orang ini benar? Apa hukum gaji yang ia terima dari perusahaan? Bagaimana juga hukumnya uang yang dikumpulkan oleh para karyawan untuknya di akhir Ramadan tersebut? الجواب الحمد لله. أولا : اختلف العلماء في جواز أخذ الأجرة على العبادات، ومنها: الإمامة. فذهب بعضهم إلى تحريم ذلك. قال ابن قدامة رحمه الله في “المغني” (2/9): “وَرُوِيَ عَنْهُ [أي عن الإمام أحمد] أَنَّهُ قَالَ : “لَا تُصَلِّ خَلْفَ مَنْ يُشَارِطُ، وَلَا بَأْسَ أَنْ يَدْفَعُوا إلَيْهِ مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ ” انتهى. والقول بأنه لا يصح الاستئجار على الإمامة، ولو في نافلة كالتراويح: هو مذهب الشافعية. وعللوه بأن الإمام يصلي لنفسه، ومنفعة عمله المستأجر عليه، إنما تعود إليه، لا إلى المستأجِر. Jawaban: Alhamdulillah.  Pertama, bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan mengambil upah dari ibadah, termasuk menjadi imam.  Sebagian dari mereka berpandangan bahwa hukumnya haram.  Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata dalam al-Mughni (2/9) bahwa ada riwayat dari beliau (maksudnya Imam Ahmad) bahwa beliau berkata, “Janganlah kalian salat di belakang orang yang mensyaratkan (bayaran, pent.), tapi tidak mengapa jika orang-orang membayarnya tanpa ada syarat.” Selesai kutipan.  Pendapat yang menyatakan bahwa akad menyewa seseorang menjadi imam tidaklah sah, meskipun hanya untuk salat sunah, seperti Salat Tarawih adalah pendapat dalam mazhab Syafii. Mereka beralasan bahwa hakikatnya imam itu salat untuk dirinya sendiri, sehingga manfaat sewa yang untuk tujuan itu dia disewa sebenarnya kembali kepada dirinya sendiri, bukan kepada orang yang menyewa jasanya. قال الشيخ زكريا الأنصاري، رحمه الله في “أسنى المطالب” (2/ 410): «(ولو استأجر) شخص آخر (للإمامة ولو لنافلة كالتراويح لم يصح) لأن فائدتها من تحصيل فضيلة الجماعة لا تحصل للمستأجر بل للأجير”. وينظر أيضا: “تحفة المحتاج” لابن حجر الهيتمي (6/155).  Syekh Zakaria al-Anshari —Semoga Allah Merahmatinya— berkata dalam Asnā Maṯālib (2/410): “(Jika dia menyewa) orang lain (untuk menjadi imam salat, walaupun hanya untuk salat sunah, semisal Salat Tarawih, maka tidaklah sah) karena manfaat berupa mendapatkan fadilah memimpin jamaah tidak didapatkan oleh orang yang menyewanya, melainkan oleh orang yang disewa jasanya.” Lihat juga Tuẖfatu al-Muẖtāj karya Ibnu Hajar al-Haitami (6/155).  وذهب جماعة من العلماء إلى جواز أخذ الأجرة على الإمامة، لمن كان محتاجا، أما الغني فلا يجوز له ذلك. وهو مذهب المتأخرين من الحنفية، وبعض الحنابلة، وهو المعمول به عند المالكية. واختار هذا القول شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله . Sebagian ulama berpandangan bolehnya mengambil upah sebagai imam salat jika dia dalam keadaan membutuhkan. Adapun bagi yang kaya, maka tidak boleh. Demikianlah dalam mazhab Hanafi kontemporer, sebagian ulama Hanbali, dan itu juga yang diamalkan dalam mazhab Maliki. Ini juga pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah —Semoga Allah Merahmatinya. قال ابنُ عَابدين الحنفي رحمه الله : “على أنَّ المُفتَى به : مذهب المتأخِّرين، من جواز الاستئجار على تعليم القرآن، والإمامة، والأذان؛ للضرورة” انتهى من “حاشية ابن عابدين” (1/562). وقال ابن نجيم الحنفي رحمه الله: “على المختار للفتوى في زماننا: فيجوز أخذ الأجر للإمام والمؤذن والمعلم والمفتي، كما صرحوا به في كتاب الإجارات” انتهى من “البحر الرائق” (1/268). Ibnu Abidin al-Hanafi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa pendapat yang difatwakan para ulama kontemporer adalah diperbolehkannya pekerjaan mengajarkan al-Quran, mengimami salat, dan azan, karena alasan darurat. Selesai kutipan dari H̱āsyiyah Ibni ʿĀbidīn (1/562).  Ibnu Najim al-Hanafi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Berdasarkan fatwa terpilih di zaman kami, boleh hukumnya mengambil upah menjadi imam, muazin, guru, dan mufti, sebagaimana mereka menyatakannya dalam kitab al-Ijārāt.” Selesai kutipan dari al-Baẖr ar-Rāʾiq (1/268). وقال الملا علي القاري، رحمه الله – عند قول صاحب “النُّقاية”: ” ولا تَصِحُّ للعِبَادَاتِ: كالأَذَانِ والإِمَامَةِ وتَعْلِيم القُرْآنِ) -: ” (ويُفْتَى اليَّوْمَ بِصِحَّتِهَا): أَي الإِجارة على الأَذَان والإِمامة وتعليم القرآن، لأن المتقدِّمِينَ إِنَّما مَنَعُوا منها لرغبة الناس في زمانهم في فِعْلها احتساباً، وفي مجازاة فاعلها بالإِحْسان بلا شَرْط. وفي هذا الزمان: قد زال المعنيان، ففي عدم صحة الإِجارة عليها تَضْيِيعُهَا، ولا يَبْعُد أَنْ يختلف الحكم باختلاف الأَزْمِنة، أَلا ترى أَنَّ النِّسَاءُ كُنَّ يَخْرجن إِلى الجماعات في زمنه عليه الصلاة والسلام وأَبي بكر حتى مَنَعَهن عُمَرُ عن ذلك. Mullā Ali al-Qārī —Semoga Allah Merahmatinya— ketika mengomentari perkataan pengarang kitab an-Nuqāyah mengatakan, “(Tidak sah jika untuk ibadah, seperti azan, mengimami salat, dan mengajarkan al-Quran.)” – “(Sekarang difatwakan bahwa itu benar, …)” yakni menyewa jasa untuk azan, mengimami salat, dan mengajarkan al-Quran, karena ulama klasik melarang hal itu di zaman mereka untuk memotivasi orang agar melakukannya hanya karena mengharap pahala dari Allah dan agar orang yang melakukannya dibalas dengan kebaikan tanpa ada syarat di awal.  Adapun di zaman ini, dua hal itu sudah tidak ada, sehingga jika pekerjaan tersebut dinilai tidak sah, maka justru mempersempit ibadah-ibadah itu. Selain itu, tidak menutup kemungkinan bahwa hukum bisa berbeda-beda seiring dengan perubahan zaman. Tidakkah Anda perhatikan bagaimana para wanita dahulu keluar salat berjamaah di zaman Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan Abu Bakar sampai Umar melarang mereka melakukannya? وفي: «الهداية»: وبعض مشايخنا استحسنوا الاستئجار على تعليم القرآن اليوم، وعليه الفتوى. وفي «النهاية»: يُفْتى بجواز الاستئجار على تعليم الفقه أَيضاً في زماننا. وفي «المجمع»: وقيل: يُفْتَى بجوازِهِ، أَي الاستئجار على التعليم والإِمامة والفقه. وفي «الذخيرة» و«الروضة»: عن بعض أَصحابنا: يجوز في زماننا للإِمام، والمؤذن، والمعلم أَخْذُ الأُجرة”. انتهى، من “فتح باب العناية بشرح النقاية” (2/ 436). وقال ابن عبد البر المالكي رحمه الله في “الكافي” (2/155): “واختلف في جواز إجارة الإمام ليؤم الناس في الفريضة والنافلة فكرهه مالك … وأجازه بعض أصحابه وطائفة من أهل المدينة، وهو المعمول به” انتهى. Dalam kitab al-Hidāyah disebutkan, “Sebagian syekh kami memandang baiknya menyewa seseorang untuk mengajar al-Quran di zaman ini. Inilah yang difatwakan.”  Dalam kitab an-Nihāyah juga difatwakan bolehnya mempekerjakan seseorang untuk mengajar fikih di zaman sekarang. Dalam kitab al-Majmaʿ dikatakan bahwa ada  yang mengatakan bahwa ada fatwa yang menyatakan kebolehannya, yakni mempekerjakan orang untuk mengajar, menjadi imam, dan mengajari fikih. Dalam kitab adz-Dzakhīrah dan ar-Rauḏah diriwayatkan dari sebagian sahabat kami, “Di ​​zaman kita ini diperbolehkan mengambil upah jika untuk mengimami salat, muazin, dan guru.” Selesai kutipan dari Fatẖu Bābi al-ʿInāyah fi Syarẖi an-Nuqāyah (2/436).  Ibnu Abdul Barr al-Maliki —Semoga Allah Merahmatinya— dalam al-Kāfī (2/155) menyatakan adanya perbedaan pendapat mengenai bolehnya mempekerjakan seorang imam untuk mengimami orang-orang dalam salat wajib dan sunah. Malik menilainya makruh. Sebagian sahabat beliau dan sebagian penduduk Madinah membolehkannya, dan inilah yang diamalkan. Selesai kutipan. بل نُقل عن الإمام أحمد رحمه الله رواية: أخرى أنه يجوز أخذ الأجرة للفقير والغني. قال المرداوي الحنبلي رحمه الله: “ونص الإمام أحمد على أنه يصح [يعني : أخذ الأجرة على العبادات، ومنها الإمامة]، كأخذه بلا شرط … وقيل : يصح للحاجة ، ذكره الشيخ تقي الدين ابن تيمية واختاره” انتهى من “الإنصاف” (14/378). وما أشار إليه المرداوي، من اختيار شيخ الإسلام، نصه – كما في “مجموع الفتاوى” (30/207) -: “ومَن فرَّق بين المحتاج وغيره- وهو أقربُ-   Namun, ada riwayat lain yang diriwayatkan dari Imam Ahmad —Semoga Allah Merahmatinya— tentang bolehnya mengambil upah, baik bagi orang miskin atau kaya. Al-Mardawi al-Hanbali —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa Imam Ahmad menyatakan bahwa itu sah (yakni mengambil upah atas ibadah, termasuk menjadi imam) sebagaimana menerima upah tanpa disyaratkan. … Ada yang mengatakan sah jika memang dia membutuhkan. Syekh Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah memilih pendapat ini. Selesai kutipan dari al-Inṣhāf (14/378).  Apa yang disinggung oleh al-Mardawi tentang pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam, beliau berkata —sebagaimana tersebut dalam Majmūʿ al-Fatāwā (30/207)— bahwa ulama yang membedakan antara orang yang fakir dan tidak adalah pendapat yang lebih dekat dengan kebenaran. قال: المحتاجُ إذا اكتسَب بها، أمكنه أن ينويَ عملها لله، ويأخذ الأجرة؛ ليستعينَ بها على العبادة; فإنَّ الكسب على العيال واجبٌ أيضًا، فيؤدِّي الواجبات بهذا، بخلاف الغنيِّ؛ لأنَّه لا يحتاج إلى الكسب، فلا حاجةَ تدعوه أن يعملَها لغير الله؛ بل إذا كان الله قد أغناه، وهذا فرضٌ على الكفايةِ: كان هو مخاطبًا به، وإذا لم يَقُمْ [أي: الفرضُ] إلَّا به [أي: بهذا الغني]، كان ذلك واجبًا عليه عينًا، والله أعلم” انتهى من “مجموع الفتاوى” (30/207). Mereka berkata bahwa orang yang membutuhkan jika menjadikannya sebagai pendapatan, maka masih mungkin dia meniatkan amalannya karena Allah, dan mengambil upahnya, sehingga itu bisa membantunya dalam menegakkan ibadah. Selain itu, mencari nafkah untuk keluarganya juga wajib baginya, sehingga dengan itu dia juga sedang menunaikan kewajiban tersebut.  Keadaan ini tentu berbeda dengan orang kaya, yang tidak memerlukan pendapatan. Dia (orang fakir) tidak punya hajat yang mendorongnya untuk melakukannya karena selain Allah, bahkan seandainya Allah telah Memberinya kekayaan, sementara ini adalah fardu kifayah, yang mana perintah ini juga ditujukan kepadanya, maka jika dia tidak bisa melakukannya (yakni amalan fardu kifayah tersebut) kecuali dengannya (yakni kekayaan tersebut), maka itu menjadi Fardu ʿAin (kewajiban personal) baginya. Selesai kutipan dari Majmūʿ al-Fatāwā (30/207). وسئل الشيخ عبد العزيز بن باز، رحمه الله: ” ما حكم تحديد الإمام أجرة لصلاته بالناس، خصوصًا إذا كان يذهب لمناطق بعيدة ليُصلي بهم التراويح؟ فأجاب: ” التحديد ما ينبغي، وقد كرهه جمعٌ من السلف، فإذا ساعدوه بشيءٍ غير محدد فلا حرج في ذلك. أما الصلاة فصحيحة لا بأس بها -إن شاء الله- ، ولو حدَّدوا له مساعدةً؛ لأن الحاجة قد تدعو إلى ذلك. لكن ينبغي ألا يفعل ذلك، وأن تكون المساعدة بدون مشارطة، هذا هو الأفضل والأحوط كما قاله جمعٌ من السلف رحمة الله عليهم.” انتهى.  Syekh Abdul Aziz bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya, “Apa hukum menetapkan upah bagi imam untuk mengimami salat orang-orang, apalagi jika ia harus pergi ke tempat yang jauh untuk mengimami mereka salat Tarawih?”  Beliau menjawab bahwa penetapan upah itu tidaklah patut dilakukan. Sebagian Salaf membencinya. Jika orang-orang membantunya tanpa ditetapkan sebelumnya, maka tidak masalah. Adapun salatnya tersebut, sah dan tidak mengapa, Insya Allah. Jika mereka menetapkannya sebagai bentuk bantuan untuknya, karena mungkin ada tuntutan kebutuhan, hanya saja, seyogianya dia tidak melakukannya. Bantuan itu hendaknya tanpa disyaratkan sebelumnya. Inilah yang afdal dan lebih selamat, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian Salaf —Semoga Allah Merahmatinya. Selesai kutipan. وعلى هذا ؛ فلا حرج على هذا الإمام أن يأخذ أجرًا من الشركة على إمامته في صلاة التراويح ، إذا كان محتاجا لذلك . وما رجحه شيخ الإسلام من الترخيص فيها للمحتاج: ظاهر، وبهذا تقوم مصلحة الإمامة، وإلا، تكافها الناس، ولم ينضبط أمر المساجد، وعليه عمل الناس أيضا. وقد خرج بعض فقهاء الشافعية جواز ما جرت به العادة من إعطاء الأئمة أرزاقا لأجل إمامتهم؛ خرجوها على أنها من باب “الجعالة”، وهي أوسع من “الإجارة”؛ وفي هذا خروج من إشكال أن نفع الإجارة لا يعود إلى المستأجِر؛ فلا تصح الإجارة عليها. بل نقل عن الغزالي التصريح بجواز الإجارة على الإمامة. Dengan demikian, tidak mengapa imam ini mengambil upah dari perusahaan tersebut atas pekerjaannya memimpin Salat Tarawih, jika memang dia membutuhkan. Pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam yang membolehkan hal itu bagi orang yang membutuhkan sangat kuat, yang dengan demikian maslahat mengimami salat dapat terwujud, yang apabila tidak terwujud, maka akan menghambat masyarakat dan urusan masjid menjadi terbengkalai. Ini juga yang sudah menjadi praktik umum masyarakat.  Sebagian ulama mazhab Syafii juga membolehkan adat kebiasaan masyarakat yang biasa memberikan sesuatu kepada imam karena telah mengimami salat. Mereka menganggapnya sebagai akad Juʿālah (memberi upah), yang lebih luas cakupannya daripada akad Ijārah (sewa-menyewa). Ini menjadi solusi atas masalah bahwa manfaat pekerjaannya (jasanya yang disewa) tidak kembali kepada orang yang mempekerjakannya (yang menyewa jasanya), yang membuatnya menjadi akad yang tidak sah, bahkan ada kutipan pernyataan al-Ghazali yang menyatakan bolehnya  menyewa jasa mengimami salat. قال الشيخ عبد الرحمن الشربيني، رحمه الله، في حاشيته على الغرر البهية في شرح البهجة الوردية: (3/ 320): «(قوله: والإمامة) قال م ر في شرح المنهاج: وما جرت به العادة من جعل جامِكِيّة على ذلك: فليس من باب الإجارة، وإنما هو من باب الإرزاق، والإحسان، والمسامحة، بخلاف الإجارة، فإنها من باب المعاوضة. اهـ. وقال ح ل: إن ذلك جعالة لا إجارة. اهـ. ولعل الفرق: أن الإجارة تُملك بها المنفعة، فيلزم أن تقع للمستأجِر، بخلاف الجعالة. فتأمل هذا. ونقل الشيخ عميرة على المحلي، عن الغزالي: أنه يصح ‌الاستئجار على ‌الإمامة، وله الأجرة في مقابلة إتعاب نفسه بالحضور إلى موضع معين، والقيام بها في وقت معين”. انتهى. و(الجامكية): هي الراتب الذي يتقاضاه الموظف. انظر: “معجم تيمور الكبير” (3/47)، وأيضا: ” معجم المصطلحات المالية والاقتصادية في لغة الفقهاء”، د. نزيه حماد (161-162). وما قاله الغزالي: ظاهر، متجه. Syekh Abdurrahman asy-Syirbini —Semoga Allah Merahmatinya— dalam H̱āsyiyah-nya terhadap al-Ghurar al-Bahiyyah fī Syarẖi al-Bahjati al-Wardiyyah (3/320) menyatakan bahwa “Perkataannya: adapun masalah menjadi imam salat, maka M.R. berkata dalam Syarẖ al-Minhāj: dikatakan bahwa kebiasaan yang ada di masyarakat yang mana mereka memberi Jāmikiyyah atas hal itu (mengimami salat), bukan termasuk akad Ijārah, melainkan pemberian, kedermawanan, dan kasih sayang, yang berbeda dengan akad Ijārah yang merupakan akad timbal balik. Selesai kutipan. H.L. berkata bahwa itu adalah akad Juʿālah (memberi upah), bukan Ijārah (sewa-menyewa). Mungkin bedanya adalah bahwa dalam akad Ijārah manfaatnya harus dimiliki dan didapat oleh penyewa, berbeda dengan Juʿālah. Coba perhatikan hal ini! Syekh ʿAmīrah Ali al-Maẖalli mengutip dari al-Ghazali bahwa menyewa jasa imam salat boleh, dia mendapat upah atas timbal balik atas usahanya datang ke suatu tempat tertentu dan mengerjakannya pada waktu tertentu. Selesai kutipan. Jāmikiyyah adalah gaji yang diterima oleh seorang karyawan. Lihat: Muʿjam Taimur al-Kabīr (3/47) dan juga Muʿjam Muṣṯalaẖā al-Māliyyah wal Iqtiṣādiyyah fī Lughati al-Fuqahāʾ karya Dr. Nazih Hammad (161-162). Apa yang dikatakan oleh al-Ghazali sangat jelas dan gamblang. وقد سئل شيخ الإسلام ابن تيمية، رحمه الله، عن رجل أوقف وقفا على مدرسة وشرط فيها أن ريع الوقف للعمارة؛ والثلثين يكون للفقهاء؛ وللمدرسة؛ وأرباب الوظائف. وشرط أن الناظر يرى بالمصلحة؛ والحال جاريا كذلك مدة ثلاثين سنة؛ وإن حصر المدرسة وملء الصهريج يكون من ‌جامكية الفقهاء؛ لأن لهم غيبة؛ وأماكن غيرها؛ وأن معلوم الإمام في كل شهر من الدراهم عشرون درهما؛ وكذلك المؤذن؛ فطلب الفقهاء بعد هذه المسألة أرباب الوظائف أن يشاركوهم فيما يؤخذ من جوامكهم؛ لأجل الحصر؛ وملء الصهريج؛ وأن أرباب الوظائف قائمون بهذه الوظيفة، ولو لم يكن لهم غيرها: هل يجب للناظر موافقة الفقهاء على ما طلبوه، ونقص هؤلاء المساكين عن معلومهم اليسير؟ أم لا؟  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya tentang seseorang yang memberikan wakaf untuk sebuah sekolah dan mensyaratkan bahwa hasil wakaf itu dialokasikan untuk pembangunan, sementara dua pertiganya untuk para guru fikih, sekolah, dan para pegawai sekolah, dengan ketentuan bahwa pengawas wakaf tetap memperhatikan maslahat.  Keadaan seperti ini berjalan selama tiga puluh tahun. Adapun operasional sekolah dan pengisian tangki diambil dari gaji para guru fikih, karena mereka yang biasanya tidak berada di tempat dan punya tanggung jawab di tempat-tempat lain. Sudah maklum bahwa imam setiap bulan mendapat dua puluh dirham, begitu pula muazinnya. Setelah masalah ini, para guru fikih meminta agar para pegawai sekolah yang lain ikut serta bersama mereka di mana gaji pegawai yang lain juga dikurangi untuk operasional dan pengisian tangki, dan agar para pegawai tersebut juga ikut menanggung beban biaya sekolah ini, meskipun mereka tidak memiliki pemasukan yang lain.  Apakah pengawas wakaf harus menyetujui permintaan para guru fikih ini dan memotong pendapatan mereka yang miskin yang sudah diketahui bahwa nominalnya hanya sedikit, atau tidak? فأجاب: ، إذا رأى الناظر تقديم أرباب الوظائف الذين يأخذون على عمل معلوم – كالإمام؛ والمؤذن – فقد أصاب في ذلك؛ إذا كان الذي يأخذونه لا يزيد على جعل مثلهم في العادة؛ كما أنه يجب أن يقدم الجابي والحامل والصانع والبناء، ونحوهم ممن يأخذ على عمل يعمله في تحصيل المال؛ أو عمارة المكان؛ يقدمون بأخذ الأجرة. والإمامة والأذان شعائر لا يمكن إبطالها؛ ولا تنقيصها بحال؛ فالجاعل جعل مثل ذلك لأصحابها، يقدم على ما يأخذه الفقهاء؛ وهذا بخلاف المدرس والمفيد والفقهاء؛ فإنهم من جنس واحد …” انتهى، من “مجموع الفتاوى” (31/22). Beliau menjawab bahwa jika pengawas wakaf memandang bahwa para pegawai sekolah yang mengambil pekerjaan yang sudah diketahui —seperti imam dan muazin— haruslah diprioritaskan, maka dia sudah benar, asalkan nominal yang mereka terima tidaklah melebihi apa yang biasanya diterima oleh pegawai yang seperti mereka. Sementara dia juga harus memprioritaskan para tukang pungut, pengangkut, pegawai produksi, dan kuli bangunan, dan pihak-pihak lain yang melakukan pekerjaan mengumpulkan dana atau pembangunan, maka hendaknya mereka diprioritaskan untuk pengalokasian upah.  Adapun menjadi imam dan mengumandangkan azan, ini merupakan syiar yang tidak bisa dihentikan, maka jangan dikurangi karena alasan itu. Pihak pemberi upah hendaknya memberikan yang serupa bagi yang lain, dengan memprioritaskan mereka daripada apa yang diterima para guru fikih. Hal ini berbeda dengan para guru, ustaz, dan guru fikih, mereka semua sama. Selesai kutipan dari Majmūʿ al-Fatāwā (31/22). ثانيا : أما ما يجمعه العمال له في نهاية رمضان ، فهذا لا إشكال في جوازه ، لأنه أخذه من غير مشارطة ، بل هو تبرع منهم للإمام . وقد تقدم قول الإمام أحمد رحمه الله : “لا بأس أن يدفعوا إليه من غير شرط” . وقال ابن نجيم الحنفي رحمه الله : ” قالوا : فإن لم يشارطهم على شيء ، لكن عرفوا حاجته فجمعوا له في كل وقت شيئا : كان حسنا ، ويطيب له ” انتهى من  “البحر الرائق” (1/268) . وينظر جواب السؤال (294681 ) والله أعلم .         Kedua, adapun apa yang dikumpulkan oleh para karyawan untuknya di akhir bulan Ramadan, maka ini boleh tanpa ada permasalahan, karena ia menerimanya tanpa disyaratkan, melainkan atas dasar kesukarelaan dari mereka untuk si imam.  Tadi telah disampaikan perkataan Imam Ahmad —Semoga Allah Merahmatinya— sebelumnya, “Tidak mengapa jika orang-orang membayarnya tanpa disyaratkan.”  Ibnu Najim al-Hanafi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Mereka berkata bahwa jika dia tidak mempersyaratkan apa pun, sementara mereka mengetahui bahwa dia membutuhkan lalu mereka mengumpulkan sesuatu untuknya setiap saat, maka itu baik dan baik baginya.” Selesai kutipan dari al-Baẖr ar-Rāʾiq (1/268). Lihat juga jawaban atas pertanyaan no. 294681. Allah Yang lebih Mengetahui. Sumber: www.islamqa.info/ar/answers/497513/ما-حكم-اخذ-الاجرة-على-الامامة-في-الصلاة PDF sumber artikel. 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 635 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,193 QRIS donasi Yufid

Menjadi Imam Salat di Perusahaan, Dapat Gaji dan Hadiah dari Karyawan, Bagaimana Hukumnya?

السؤال جزاكم الله خيرا على ما تقومون به من هذه الخدمة التي ينتفع بها المسلمون إن شاء الله تعالى. سؤالي هو أن رجلا يتقدم بترخيص من مديرية الأوقاف لأداء صلاة التراويح في شركة كبيرة ذات نظام داخلي في رمضان، بعد طلب الشركة من الأوقاف بترشيح إمام لذلك، فتقوم الشركة بأداء راتب للإمام وفق عقد تستحدثه الشركة نفسها مع هذا الإمام، مع العلم أنه لا يتقاضى من مديرية الأوقاف شيئا، وفي نهاية رمضان يقوم العمال في الشركة من تلقاء أنفسهم بجمع مبلغ آخر للإمام ويعطونه إياه، مع العلم أن هذا الجمع بعلم من الشركة وبصورة علنية فيها. فهل هذا الفعل الذي يفعله هذا الرجل صحيح؟ وما حكم أجره من الشركة؟ وما حكم المال الذي يجمعه العمال له في نهاية رمضان؟ Pertanyaan: Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan atas dedikasi Anda dalam khidmah yang insya Allah bermanfaat bagi umat Islam.  Pertanyaan saya, ada seorang laki-laki yang mengajukan izin kepada Direktorat Wakaf untuk melaksanakan Salat Tarawih pada bulan Ramadan di sebuah perusahaan besar, yang memiliki aturan internal sendiri.  Setelah perusahaan tersebut meminta kepada Direktorat Wakaf untuk menunjuk seorang imam untuk pelaksanaan itu, lalu perusahaan tersebut akan membayar gaji kepada imam tersebut sesuai dengan kontrak yang dibuat oleh perusahaan itu sendiri dengan imam tersebut.  Perlu diketahui bahwa dia tidak menerima gaji dari Direktorat Wakaf sedikit pun. Di akhir Ramadan, dengan inisiatif para karyawan sendiri yang bekerja di perusahaan tersebut, mereka mengumpulkan sejumlah uang untuk imam tersebut dan memberikannya kepadanya. Perlu diketahui bahwa pengumpulan uang ini adalah dengan sepengetahuan perusahaan dan dilakukan secara terang-terangan di tengah perusahaan.  Apakah perbuatan yang dilakukan orang ini benar? Apa hukum gaji yang ia terima dari perusahaan? Bagaimana juga hukumnya uang yang dikumpulkan oleh para karyawan untuknya di akhir Ramadan tersebut? الجواب الحمد لله. أولا : اختلف العلماء في جواز أخذ الأجرة على العبادات، ومنها: الإمامة. فذهب بعضهم إلى تحريم ذلك. قال ابن قدامة رحمه الله في “المغني” (2/9): “وَرُوِيَ عَنْهُ [أي عن الإمام أحمد] أَنَّهُ قَالَ : “لَا تُصَلِّ خَلْفَ مَنْ يُشَارِطُ، وَلَا بَأْسَ أَنْ يَدْفَعُوا إلَيْهِ مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ ” انتهى. والقول بأنه لا يصح الاستئجار على الإمامة، ولو في نافلة كالتراويح: هو مذهب الشافعية. وعللوه بأن الإمام يصلي لنفسه، ومنفعة عمله المستأجر عليه، إنما تعود إليه، لا إلى المستأجِر. Jawaban: Alhamdulillah.  Pertama, bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan mengambil upah dari ibadah, termasuk menjadi imam.  Sebagian dari mereka berpandangan bahwa hukumnya haram.  Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata dalam al-Mughni (2/9) bahwa ada riwayat dari beliau (maksudnya Imam Ahmad) bahwa beliau berkata, “Janganlah kalian salat di belakang orang yang mensyaratkan (bayaran, pent.), tapi tidak mengapa jika orang-orang membayarnya tanpa ada syarat.” Selesai kutipan.  Pendapat yang menyatakan bahwa akad menyewa seseorang menjadi imam tidaklah sah, meskipun hanya untuk salat sunah, seperti Salat Tarawih adalah pendapat dalam mazhab Syafii. Mereka beralasan bahwa hakikatnya imam itu salat untuk dirinya sendiri, sehingga manfaat sewa yang untuk tujuan itu dia disewa sebenarnya kembali kepada dirinya sendiri, bukan kepada orang yang menyewa jasanya. قال الشيخ زكريا الأنصاري، رحمه الله في “أسنى المطالب” (2/ 410): «(ولو استأجر) شخص آخر (للإمامة ولو لنافلة كالتراويح لم يصح) لأن فائدتها من تحصيل فضيلة الجماعة لا تحصل للمستأجر بل للأجير”. وينظر أيضا: “تحفة المحتاج” لابن حجر الهيتمي (6/155).  Syekh Zakaria al-Anshari —Semoga Allah Merahmatinya— berkata dalam Asnā Maṯālib (2/410): “(Jika dia menyewa) orang lain (untuk menjadi imam salat, walaupun hanya untuk salat sunah, semisal Salat Tarawih, maka tidaklah sah) karena manfaat berupa mendapatkan fadilah memimpin jamaah tidak didapatkan oleh orang yang menyewanya, melainkan oleh orang yang disewa jasanya.” Lihat juga Tuẖfatu al-Muẖtāj karya Ibnu Hajar al-Haitami (6/155).  وذهب جماعة من العلماء إلى جواز أخذ الأجرة على الإمامة، لمن كان محتاجا، أما الغني فلا يجوز له ذلك. وهو مذهب المتأخرين من الحنفية، وبعض الحنابلة، وهو المعمول به عند المالكية. واختار هذا القول شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله . Sebagian ulama berpandangan bolehnya mengambil upah sebagai imam salat jika dia dalam keadaan membutuhkan. Adapun bagi yang kaya, maka tidak boleh. Demikianlah dalam mazhab Hanafi kontemporer, sebagian ulama Hanbali, dan itu juga yang diamalkan dalam mazhab Maliki. Ini juga pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah —Semoga Allah Merahmatinya. قال ابنُ عَابدين الحنفي رحمه الله : “على أنَّ المُفتَى به : مذهب المتأخِّرين، من جواز الاستئجار على تعليم القرآن، والإمامة، والأذان؛ للضرورة” انتهى من “حاشية ابن عابدين” (1/562). وقال ابن نجيم الحنفي رحمه الله: “على المختار للفتوى في زماننا: فيجوز أخذ الأجر للإمام والمؤذن والمعلم والمفتي، كما صرحوا به في كتاب الإجارات” انتهى من “البحر الرائق” (1/268). Ibnu Abidin al-Hanafi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa pendapat yang difatwakan para ulama kontemporer adalah diperbolehkannya pekerjaan mengajarkan al-Quran, mengimami salat, dan azan, karena alasan darurat. Selesai kutipan dari H̱āsyiyah Ibni ʿĀbidīn (1/562).  Ibnu Najim al-Hanafi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Berdasarkan fatwa terpilih di zaman kami, boleh hukumnya mengambil upah menjadi imam, muazin, guru, dan mufti, sebagaimana mereka menyatakannya dalam kitab al-Ijārāt.” Selesai kutipan dari al-Baẖr ar-Rāʾiq (1/268). وقال الملا علي القاري، رحمه الله – عند قول صاحب “النُّقاية”: ” ولا تَصِحُّ للعِبَادَاتِ: كالأَذَانِ والإِمَامَةِ وتَعْلِيم القُرْآنِ) -: ” (ويُفْتَى اليَّوْمَ بِصِحَّتِهَا): أَي الإِجارة على الأَذَان والإِمامة وتعليم القرآن، لأن المتقدِّمِينَ إِنَّما مَنَعُوا منها لرغبة الناس في زمانهم في فِعْلها احتساباً، وفي مجازاة فاعلها بالإِحْسان بلا شَرْط. وفي هذا الزمان: قد زال المعنيان، ففي عدم صحة الإِجارة عليها تَضْيِيعُهَا، ولا يَبْعُد أَنْ يختلف الحكم باختلاف الأَزْمِنة، أَلا ترى أَنَّ النِّسَاءُ كُنَّ يَخْرجن إِلى الجماعات في زمنه عليه الصلاة والسلام وأَبي بكر حتى مَنَعَهن عُمَرُ عن ذلك. Mullā Ali al-Qārī —Semoga Allah Merahmatinya— ketika mengomentari perkataan pengarang kitab an-Nuqāyah mengatakan, “(Tidak sah jika untuk ibadah, seperti azan, mengimami salat, dan mengajarkan al-Quran.)” – “(Sekarang difatwakan bahwa itu benar, …)” yakni menyewa jasa untuk azan, mengimami salat, dan mengajarkan al-Quran, karena ulama klasik melarang hal itu di zaman mereka untuk memotivasi orang agar melakukannya hanya karena mengharap pahala dari Allah dan agar orang yang melakukannya dibalas dengan kebaikan tanpa ada syarat di awal.  Adapun di zaman ini, dua hal itu sudah tidak ada, sehingga jika pekerjaan tersebut dinilai tidak sah, maka justru mempersempit ibadah-ibadah itu. Selain itu, tidak menutup kemungkinan bahwa hukum bisa berbeda-beda seiring dengan perubahan zaman. Tidakkah Anda perhatikan bagaimana para wanita dahulu keluar salat berjamaah di zaman Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan Abu Bakar sampai Umar melarang mereka melakukannya? وفي: «الهداية»: وبعض مشايخنا استحسنوا الاستئجار على تعليم القرآن اليوم، وعليه الفتوى. وفي «النهاية»: يُفْتى بجواز الاستئجار على تعليم الفقه أَيضاً في زماننا. وفي «المجمع»: وقيل: يُفْتَى بجوازِهِ، أَي الاستئجار على التعليم والإِمامة والفقه. وفي «الذخيرة» و«الروضة»: عن بعض أَصحابنا: يجوز في زماننا للإِمام، والمؤذن، والمعلم أَخْذُ الأُجرة”. انتهى، من “فتح باب العناية بشرح النقاية” (2/ 436). وقال ابن عبد البر المالكي رحمه الله في “الكافي” (2/155): “واختلف في جواز إجارة الإمام ليؤم الناس في الفريضة والنافلة فكرهه مالك … وأجازه بعض أصحابه وطائفة من أهل المدينة، وهو المعمول به” انتهى. Dalam kitab al-Hidāyah disebutkan, “Sebagian syekh kami memandang baiknya menyewa seseorang untuk mengajar al-Quran di zaman ini. Inilah yang difatwakan.”  Dalam kitab an-Nihāyah juga difatwakan bolehnya mempekerjakan seseorang untuk mengajar fikih di zaman sekarang. Dalam kitab al-Majmaʿ dikatakan bahwa ada  yang mengatakan bahwa ada fatwa yang menyatakan kebolehannya, yakni mempekerjakan orang untuk mengajar, menjadi imam, dan mengajari fikih. Dalam kitab adz-Dzakhīrah dan ar-Rauḏah diriwayatkan dari sebagian sahabat kami, “Di ​​zaman kita ini diperbolehkan mengambil upah jika untuk mengimami salat, muazin, dan guru.” Selesai kutipan dari Fatẖu Bābi al-ʿInāyah fi Syarẖi an-Nuqāyah (2/436).  Ibnu Abdul Barr al-Maliki —Semoga Allah Merahmatinya— dalam al-Kāfī (2/155) menyatakan adanya perbedaan pendapat mengenai bolehnya mempekerjakan seorang imam untuk mengimami orang-orang dalam salat wajib dan sunah. Malik menilainya makruh. Sebagian sahabat beliau dan sebagian penduduk Madinah membolehkannya, dan inilah yang diamalkan. Selesai kutipan. بل نُقل عن الإمام أحمد رحمه الله رواية: أخرى أنه يجوز أخذ الأجرة للفقير والغني. قال المرداوي الحنبلي رحمه الله: “ونص الإمام أحمد على أنه يصح [يعني : أخذ الأجرة على العبادات، ومنها الإمامة]، كأخذه بلا شرط … وقيل : يصح للحاجة ، ذكره الشيخ تقي الدين ابن تيمية واختاره” انتهى من “الإنصاف” (14/378). وما أشار إليه المرداوي، من اختيار شيخ الإسلام، نصه – كما في “مجموع الفتاوى” (30/207) -: “ومَن فرَّق بين المحتاج وغيره- وهو أقربُ-   Namun, ada riwayat lain yang diriwayatkan dari Imam Ahmad —Semoga Allah Merahmatinya— tentang bolehnya mengambil upah, baik bagi orang miskin atau kaya. Al-Mardawi al-Hanbali —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa Imam Ahmad menyatakan bahwa itu sah (yakni mengambil upah atas ibadah, termasuk menjadi imam) sebagaimana menerima upah tanpa disyaratkan. … Ada yang mengatakan sah jika memang dia membutuhkan. Syekh Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah memilih pendapat ini. Selesai kutipan dari al-Inṣhāf (14/378).  Apa yang disinggung oleh al-Mardawi tentang pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam, beliau berkata —sebagaimana tersebut dalam Majmūʿ al-Fatāwā (30/207)— bahwa ulama yang membedakan antara orang yang fakir dan tidak adalah pendapat yang lebih dekat dengan kebenaran. قال: المحتاجُ إذا اكتسَب بها، أمكنه أن ينويَ عملها لله، ويأخذ الأجرة؛ ليستعينَ بها على العبادة; فإنَّ الكسب على العيال واجبٌ أيضًا، فيؤدِّي الواجبات بهذا، بخلاف الغنيِّ؛ لأنَّه لا يحتاج إلى الكسب، فلا حاجةَ تدعوه أن يعملَها لغير الله؛ بل إذا كان الله قد أغناه، وهذا فرضٌ على الكفايةِ: كان هو مخاطبًا به، وإذا لم يَقُمْ [أي: الفرضُ] إلَّا به [أي: بهذا الغني]، كان ذلك واجبًا عليه عينًا، والله أعلم” انتهى من “مجموع الفتاوى” (30/207). Mereka berkata bahwa orang yang membutuhkan jika menjadikannya sebagai pendapatan, maka masih mungkin dia meniatkan amalannya karena Allah, dan mengambil upahnya, sehingga itu bisa membantunya dalam menegakkan ibadah. Selain itu, mencari nafkah untuk keluarganya juga wajib baginya, sehingga dengan itu dia juga sedang menunaikan kewajiban tersebut.  Keadaan ini tentu berbeda dengan orang kaya, yang tidak memerlukan pendapatan. Dia (orang fakir) tidak punya hajat yang mendorongnya untuk melakukannya karena selain Allah, bahkan seandainya Allah telah Memberinya kekayaan, sementara ini adalah fardu kifayah, yang mana perintah ini juga ditujukan kepadanya, maka jika dia tidak bisa melakukannya (yakni amalan fardu kifayah tersebut) kecuali dengannya (yakni kekayaan tersebut), maka itu menjadi Fardu ʿAin (kewajiban personal) baginya. Selesai kutipan dari Majmūʿ al-Fatāwā (30/207). وسئل الشيخ عبد العزيز بن باز، رحمه الله: ” ما حكم تحديد الإمام أجرة لصلاته بالناس، خصوصًا إذا كان يذهب لمناطق بعيدة ليُصلي بهم التراويح؟ فأجاب: ” التحديد ما ينبغي، وقد كرهه جمعٌ من السلف، فإذا ساعدوه بشيءٍ غير محدد فلا حرج في ذلك. أما الصلاة فصحيحة لا بأس بها -إن شاء الله- ، ولو حدَّدوا له مساعدةً؛ لأن الحاجة قد تدعو إلى ذلك. لكن ينبغي ألا يفعل ذلك، وأن تكون المساعدة بدون مشارطة، هذا هو الأفضل والأحوط كما قاله جمعٌ من السلف رحمة الله عليهم.” انتهى.  Syekh Abdul Aziz bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya, “Apa hukum menetapkan upah bagi imam untuk mengimami salat orang-orang, apalagi jika ia harus pergi ke tempat yang jauh untuk mengimami mereka salat Tarawih?”  Beliau menjawab bahwa penetapan upah itu tidaklah patut dilakukan. Sebagian Salaf membencinya. Jika orang-orang membantunya tanpa ditetapkan sebelumnya, maka tidak masalah. Adapun salatnya tersebut, sah dan tidak mengapa, Insya Allah. Jika mereka menetapkannya sebagai bentuk bantuan untuknya, karena mungkin ada tuntutan kebutuhan, hanya saja, seyogianya dia tidak melakukannya. Bantuan itu hendaknya tanpa disyaratkan sebelumnya. Inilah yang afdal dan lebih selamat, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian Salaf —Semoga Allah Merahmatinya. Selesai kutipan. وعلى هذا ؛ فلا حرج على هذا الإمام أن يأخذ أجرًا من الشركة على إمامته في صلاة التراويح ، إذا كان محتاجا لذلك . وما رجحه شيخ الإسلام من الترخيص فيها للمحتاج: ظاهر، وبهذا تقوم مصلحة الإمامة، وإلا، تكافها الناس، ولم ينضبط أمر المساجد، وعليه عمل الناس أيضا. وقد خرج بعض فقهاء الشافعية جواز ما جرت به العادة من إعطاء الأئمة أرزاقا لأجل إمامتهم؛ خرجوها على أنها من باب “الجعالة”، وهي أوسع من “الإجارة”؛ وفي هذا خروج من إشكال أن نفع الإجارة لا يعود إلى المستأجِر؛ فلا تصح الإجارة عليها. بل نقل عن الغزالي التصريح بجواز الإجارة على الإمامة. Dengan demikian, tidak mengapa imam ini mengambil upah dari perusahaan tersebut atas pekerjaannya memimpin Salat Tarawih, jika memang dia membutuhkan. Pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam yang membolehkan hal itu bagi orang yang membutuhkan sangat kuat, yang dengan demikian maslahat mengimami salat dapat terwujud, yang apabila tidak terwujud, maka akan menghambat masyarakat dan urusan masjid menjadi terbengkalai. Ini juga yang sudah menjadi praktik umum masyarakat.  Sebagian ulama mazhab Syafii juga membolehkan adat kebiasaan masyarakat yang biasa memberikan sesuatu kepada imam karena telah mengimami salat. Mereka menganggapnya sebagai akad Juʿālah (memberi upah), yang lebih luas cakupannya daripada akad Ijārah (sewa-menyewa). Ini menjadi solusi atas masalah bahwa manfaat pekerjaannya (jasanya yang disewa) tidak kembali kepada orang yang mempekerjakannya (yang menyewa jasanya), yang membuatnya menjadi akad yang tidak sah, bahkan ada kutipan pernyataan al-Ghazali yang menyatakan bolehnya  menyewa jasa mengimami salat. قال الشيخ عبد الرحمن الشربيني، رحمه الله، في حاشيته على الغرر البهية في شرح البهجة الوردية: (3/ 320): «(قوله: والإمامة) قال م ر في شرح المنهاج: وما جرت به العادة من جعل جامِكِيّة على ذلك: فليس من باب الإجارة، وإنما هو من باب الإرزاق، والإحسان، والمسامحة، بخلاف الإجارة، فإنها من باب المعاوضة. اهـ. وقال ح ل: إن ذلك جعالة لا إجارة. اهـ. ولعل الفرق: أن الإجارة تُملك بها المنفعة، فيلزم أن تقع للمستأجِر، بخلاف الجعالة. فتأمل هذا. ونقل الشيخ عميرة على المحلي، عن الغزالي: أنه يصح ‌الاستئجار على ‌الإمامة، وله الأجرة في مقابلة إتعاب نفسه بالحضور إلى موضع معين، والقيام بها في وقت معين”. انتهى. و(الجامكية): هي الراتب الذي يتقاضاه الموظف. انظر: “معجم تيمور الكبير” (3/47)، وأيضا: ” معجم المصطلحات المالية والاقتصادية في لغة الفقهاء”، د. نزيه حماد (161-162). وما قاله الغزالي: ظاهر، متجه. Syekh Abdurrahman asy-Syirbini —Semoga Allah Merahmatinya— dalam H̱āsyiyah-nya terhadap al-Ghurar al-Bahiyyah fī Syarẖi al-Bahjati al-Wardiyyah (3/320) menyatakan bahwa “Perkataannya: adapun masalah menjadi imam salat, maka M.R. berkata dalam Syarẖ al-Minhāj: dikatakan bahwa kebiasaan yang ada di masyarakat yang mana mereka memberi Jāmikiyyah atas hal itu (mengimami salat), bukan termasuk akad Ijārah, melainkan pemberian, kedermawanan, dan kasih sayang, yang berbeda dengan akad Ijārah yang merupakan akad timbal balik. Selesai kutipan. H.L. berkata bahwa itu adalah akad Juʿālah (memberi upah), bukan Ijārah (sewa-menyewa). Mungkin bedanya adalah bahwa dalam akad Ijārah manfaatnya harus dimiliki dan didapat oleh penyewa, berbeda dengan Juʿālah. Coba perhatikan hal ini! Syekh ʿAmīrah Ali al-Maẖalli mengutip dari al-Ghazali bahwa menyewa jasa imam salat boleh, dia mendapat upah atas timbal balik atas usahanya datang ke suatu tempat tertentu dan mengerjakannya pada waktu tertentu. Selesai kutipan. Jāmikiyyah adalah gaji yang diterima oleh seorang karyawan. Lihat: Muʿjam Taimur al-Kabīr (3/47) dan juga Muʿjam Muṣṯalaẖā al-Māliyyah wal Iqtiṣādiyyah fī Lughati al-Fuqahāʾ karya Dr. Nazih Hammad (161-162). Apa yang dikatakan oleh al-Ghazali sangat jelas dan gamblang. وقد سئل شيخ الإسلام ابن تيمية، رحمه الله، عن رجل أوقف وقفا على مدرسة وشرط فيها أن ريع الوقف للعمارة؛ والثلثين يكون للفقهاء؛ وللمدرسة؛ وأرباب الوظائف. وشرط أن الناظر يرى بالمصلحة؛ والحال جاريا كذلك مدة ثلاثين سنة؛ وإن حصر المدرسة وملء الصهريج يكون من ‌جامكية الفقهاء؛ لأن لهم غيبة؛ وأماكن غيرها؛ وأن معلوم الإمام في كل شهر من الدراهم عشرون درهما؛ وكذلك المؤذن؛ فطلب الفقهاء بعد هذه المسألة أرباب الوظائف أن يشاركوهم فيما يؤخذ من جوامكهم؛ لأجل الحصر؛ وملء الصهريج؛ وأن أرباب الوظائف قائمون بهذه الوظيفة، ولو لم يكن لهم غيرها: هل يجب للناظر موافقة الفقهاء على ما طلبوه، ونقص هؤلاء المساكين عن معلومهم اليسير؟ أم لا؟  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya tentang seseorang yang memberikan wakaf untuk sebuah sekolah dan mensyaratkan bahwa hasil wakaf itu dialokasikan untuk pembangunan, sementara dua pertiganya untuk para guru fikih, sekolah, dan para pegawai sekolah, dengan ketentuan bahwa pengawas wakaf tetap memperhatikan maslahat.  Keadaan seperti ini berjalan selama tiga puluh tahun. Adapun operasional sekolah dan pengisian tangki diambil dari gaji para guru fikih, karena mereka yang biasanya tidak berada di tempat dan punya tanggung jawab di tempat-tempat lain. Sudah maklum bahwa imam setiap bulan mendapat dua puluh dirham, begitu pula muazinnya. Setelah masalah ini, para guru fikih meminta agar para pegawai sekolah yang lain ikut serta bersama mereka di mana gaji pegawai yang lain juga dikurangi untuk operasional dan pengisian tangki, dan agar para pegawai tersebut juga ikut menanggung beban biaya sekolah ini, meskipun mereka tidak memiliki pemasukan yang lain.  Apakah pengawas wakaf harus menyetujui permintaan para guru fikih ini dan memotong pendapatan mereka yang miskin yang sudah diketahui bahwa nominalnya hanya sedikit, atau tidak? فأجاب: ، إذا رأى الناظر تقديم أرباب الوظائف الذين يأخذون على عمل معلوم – كالإمام؛ والمؤذن – فقد أصاب في ذلك؛ إذا كان الذي يأخذونه لا يزيد على جعل مثلهم في العادة؛ كما أنه يجب أن يقدم الجابي والحامل والصانع والبناء، ونحوهم ممن يأخذ على عمل يعمله في تحصيل المال؛ أو عمارة المكان؛ يقدمون بأخذ الأجرة. والإمامة والأذان شعائر لا يمكن إبطالها؛ ولا تنقيصها بحال؛ فالجاعل جعل مثل ذلك لأصحابها، يقدم على ما يأخذه الفقهاء؛ وهذا بخلاف المدرس والمفيد والفقهاء؛ فإنهم من جنس واحد …” انتهى، من “مجموع الفتاوى” (31/22). Beliau menjawab bahwa jika pengawas wakaf memandang bahwa para pegawai sekolah yang mengambil pekerjaan yang sudah diketahui —seperti imam dan muazin— haruslah diprioritaskan, maka dia sudah benar, asalkan nominal yang mereka terima tidaklah melebihi apa yang biasanya diterima oleh pegawai yang seperti mereka. Sementara dia juga harus memprioritaskan para tukang pungut, pengangkut, pegawai produksi, dan kuli bangunan, dan pihak-pihak lain yang melakukan pekerjaan mengumpulkan dana atau pembangunan, maka hendaknya mereka diprioritaskan untuk pengalokasian upah.  Adapun menjadi imam dan mengumandangkan azan, ini merupakan syiar yang tidak bisa dihentikan, maka jangan dikurangi karena alasan itu. Pihak pemberi upah hendaknya memberikan yang serupa bagi yang lain, dengan memprioritaskan mereka daripada apa yang diterima para guru fikih. Hal ini berbeda dengan para guru, ustaz, dan guru fikih, mereka semua sama. Selesai kutipan dari Majmūʿ al-Fatāwā (31/22). ثانيا : أما ما يجمعه العمال له في نهاية رمضان ، فهذا لا إشكال في جوازه ، لأنه أخذه من غير مشارطة ، بل هو تبرع منهم للإمام . وقد تقدم قول الإمام أحمد رحمه الله : “لا بأس أن يدفعوا إليه من غير شرط” . وقال ابن نجيم الحنفي رحمه الله : ” قالوا : فإن لم يشارطهم على شيء ، لكن عرفوا حاجته فجمعوا له في كل وقت شيئا : كان حسنا ، ويطيب له ” انتهى من  “البحر الرائق” (1/268) . وينظر جواب السؤال (294681 ) والله أعلم .         Kedua, adapun apa yang dikumpulkan oleh para karyawan untuknya di akhir bulan Ramadan, maka ini boleh tanpa ada permasalahan, karena ia menerimanya tanpa disyaratkan, melainkan atas dasar kesukarelaan dari mereka untuk si imam.  Tadi telah disampaikan perkataan Imam Ahmad —Semoga Allah Merahmatinya— sebelumnya, “Tidak mengapa jika orang-orang membayarnya tanpa disyaratkan.”  Ibnu Najim al-Hanafi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Mereka berkata bahwa jika dia tidak mempersyaratkan apa pun, sementara mereka mengetahui bahwa dia membutuhkan lalu mereka mengumpulkan sesuatu untuknya setiap saat, maka itu baik dan baik baginya.” Selesai kutipan dari al-Baẖr ar-Rāʾiq (1/268). Lihat juga jawaban atas pertanyaan no. 294681. Allah Yang lebih Mengetahui. Sumber: www.islamqa.info/ar/answers/497513/ما-حكم-اخذ-الاجرة-على-الامامة-في-الصلاة PDF sumber artikel. 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 635 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,193 QRIS donasi Yufid
السؤال جزاكم الله خيرا على ما تقومون به من هذه الخدمة التي ينتفع بها المسلمون إن شاء الله تعالى. سؤالي هو أن رجلا يتقدم بترخيص من مديرية الأوقاف لأداء صلاة التراويح في شركة كبيرة ذات نظام داخلي في رمضان، بعد طلب الشركة من الأوقاف بترشيح إمام لذلك، فتقوم الشركة بأداء راتب للإمام وفق عقد تستحدثه الشركة نفسها مع هذا الإمام، مع العلم أنه لا يتقاضى من مديرية الأوقاف شيئا، وفي نهاية رمضان يقوم العمال في الشركة من تلقاء أنفسهم بجمع مبلغ آخر للإمام ويعطونه إياه، مع العلم أن هذا الجمع بعلم من الشركة وبصورة علنية فيها. فهل هذا الفعل الذي يفعله هذا الرجل صحيح؟ وما حكم أجره من الشركة؟ وما حكم المال الذي يجمعه العمال له في نهاية رمضان؟ Pertanyaan: Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan atas dedikasi Anda dalam khidmah yang insya Allah bermanfaat bagi umat Islam.  Pertanyaan saya, ada seorang laki-laki yang mengajukan izin kepada Direktorat Wakaf untuk melaksanakan Salat Tarawih pada bulan Ramadan di sebuah perusahaan besar, yang memiliki aturan internal sendiri.  Setelah perusahaan tersebut meminta kepada Direktorat Wakaf untuk menunjuk seorang imam untuk pelaksanaan itu, lalu perusahaan tersebut akan membayar gaji kepada imam tersebut sesuai dengan kontrak yang dibuat oleh perusahaan itu sendiri dengan imam tersebut.  Perlu diketahui bahwa dia tidak menerima gaji dari Direktorat Wakaf sedikit pun. Di akhir Ramadan, dengan inisiatif para karyawan sendiri yang bekerja di perusahaan tersebut, mereka mengumpulkan sejumlah uang untuk imam tersebut dan memberikannya kepadanya. Perlu diketahui bahwa pengumpulan uang ini adalah dengan sepengetahuan perusahaan dan dilakukan secara terang-terangan di tengah perusahaan.  Apakah perbuatan yang dilakukan orang ini benar? Apa hukum gaji yang ia terima dari perusahaan? Bagaimana juga hukumnya uang yang dikumpulkan oleh para karyawan untuknya di akhir Ramadan tersebut? الجواب الحمد لله. أولا : اختلف العلماء في جواز أخذ الأجرة على العبادات، ومنها: الإمامة. فذهب بعضهم إلى تحريم ذلك. قال ابن قدامة رحمه الله في “المغني” (2/9): “وَرُوِيَ عَنْهُ [أي عن الإمام أحمد] أَنَّهُ قَالَ : “لَا تُصَلِّ خَلْفَ مَنْ يُشَارِطُ، وَلَا بَأْسَ أَنْ يَدْفَعُوا إلَيْهِ مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ ” انتهى. والقول بأنه لا يصح الاستئجار على الإمامة، ولو في نافلة كالتراويح: هو مذهب الشافعية. وعللوه بأن الإمام يصلي لنفسه، ومنفعة عمله المستأجر عليه، إنما تعود إليه، لا إلى المستأجِر. Jawaban: Alhamdulillah.  Pertama, bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan mengambil upah dari ibadah, termasuk menjadi imam.  Sebagian dari mereka berpandangan bahwa hukumnya haram.  Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata dalam al-Mughni (2/9) bahwa ada riwayat dari beliau (maksudnya Imam Ahmad) bahwa beliau berkata, “Janganlah kalian salat di belakang orang yang mensyaratkan (bayaran, pent.), tapi tidak mengapa jika orang-orang membayarnya tanpa ada syarat.” Selesai kutipan.  Pendapat yang menyatakan bahwa akad menyewa seseorang menjadi imam tidaklah sah, meskipun hanya untuk salat sunah, seperti Salat Tarawih adalah pendapat dalam mazhab Syafii. Mereka beralasan bahwa hakikatnya imam itu salat untuk dirinya sendiri, sehingga manfaat sewa yang untuk tujuan itu dia disewa sebenarnya kembali kepada dirinya sendiri, bukan kepada orang yang menyewa jasanya. قال الشيخ زكريا الأنصاري، رحمه الله في “أسنى المطالب” (2/ 410): «(ولو استأجر) شخص آخر (للإمامة ولو لنافلة كالتراويح لم يصح) لأن فائدتها من تحصيل فضيلة الجماعة لا تحصل للمستأجر بل للأجير”. وينظر أيضا: “تحفة المحتاج” لابن حجر الهيتمي (6/155).  Syekh Zakaria al-Anshari —Semoga Allah Merahmatinya— berkata dalam Asnā Maṯālib (2/410): “(Jika dia menyewa) orang lain (untuk menjadi imam salat, walaupun hanya untuk salat sunah, semisal Salat Tarawih, maka tidaklah sah) karena manfaat berupa mendapatkan fadilah memimpin jamaah tidak didapatkan oleh orang yang menyewanya, melainkan oleh orang yang disewa jasanya.” Lihat juga Tuẖfatu al-Muẖtāj karya Ibnu Hajar al-Haitami (6/155).  وذهب جماعة من العلماء إلى جواز أخذ الأجرة على الإمامة، لمن كان محتاجا، أما الغني فلا يجوز له ذلك. وهو مذهب المتأخرين من الحنفية، وبعض الحنابلة، وهو المعمول به عند المالكية. واختار هذا القول شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله . Sebagian ulama berpandangan bolehnya mengambil upah sebagai imam salat jika dia dalam keadaan membutuhkan. Adapun bagi yang kaya, maka tidak boleh. Demikianlah dalam mazhab Hanafi kontemporer, sebagian ulama Hanbali, dan itu juga yang diamalkan dalam mazhab Maliki. Ini juga pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah —Semoga Allah Merahmatinya. قال ابنُ عَابدين الحنفي رحمه الله : “على أنَّ المُفتَى به : مذهب المتأخِّرين، من جواز الاستئجار على تعليم القرآن، والإمامة، والأذان؛ للضرورة” انتهى من “حاشية ابن عابدين” (1/562). وقال ابن نجيم الحنفي رحمه الله: “على المختار للفتوى في زماننا: فيجوز أخذ الأجر للإمام والمؤذن والمعلم والمفتي، كما صرحوا به في كتاب الإجارات” انتهى من “البحر الرائق” (1/268). Ibnu Abidin al-Hanafi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa pendapat yang difatwakan para ulama kontemporer adalah diperbolehkannya pekerjaan mengajarkan al-Quran, mengimami salat, dan azan, karena alasan darurat. Selesai kutipan dari H̱āsyiyah Ibni ʿĀbidīn (1/562).  Ibnu Najim al-Hanafi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Berdasarkan fatwa terpilih di zaman kami, boleh hukumnya mengambil upah menjadi imam, muazin, guru, dan mufti, sebagaimana mereka menyatakannya dalam kitab al-Ijārāt.” Selesai kutipan dari al-Baẖr ar-Rāʾiq (1/268). وقال الملا علي القاري، رحمه الله – عند قول صاحب “النُّقاية”: ” ولا تَصِحُّ للعِبَادَاتِ: كالأَذَانِ والإِمَامَةِ وتَعْلِيم القُرْآنِ) -: ” (ويُفْتَى اليَّوْمَ بِصِحَّتِهَا): أَي الإِجارة على الأَذَان والإِمامة وتعليم القرآن، لأن المتقدِّمِينَ إِنَّما مَنَعُوا منها لرغبة الناس في زمانهم في فِعْلها احتساباً، وفي مجازاة فاعلها بالإِحْسان بلا شَرْط. وفي هذا الزمان: قد زال المعنيان، ففي عدم صحة الإِجارة عليها تَضْيِيعُهَا، ولا يَبْعُد أَنْ يختلف الحكم باختلاف الأَزْمِنة، أَلا ترى أَنَّ النِّسَاءُ كُنَّ يَخْرجن إِلى الجماعات في زمنه عليه الصلاة والسلام وأَبي بكر حتى مَنَعَهن عُمَرُ عن ذلك. Mullā Ali al-Qārī —Semoga Allah Merahmatinya— ketika mengomentari perkataan pengarang kitab an-Nuqāyah mengatakan, “(Tidak sah jika untuk ibadah, seperti azan, mengimami salat, dan mengajarkan al-Quran.)” – “(Sekarang difatwakan bahwa itu benar, …)” yakni menyewa jasa untuk azan, mengimami salat, dan mengajarkan al-Quran, karena ulama klasik melarang hal itu di zaman mereka untuk memotivasi orang agar melakukannya hanya karena mengharap pahala dari Allah dan agar orang yang melakukannya dibalas dengan kebaikan tanpa ada syarat di awal.  Adapun di zaman ini, dua hal itu sudah tidak ada, sehingga jika pekerjaan tersebut dinilai tidak sah, maka justru mempersempit ibadah-ibadah itu. Selain itu, tidak menutup kemungkinan bahwa hukum bisa berbeda-beda seiring dengan perubahan zaman. Tidakkah Anda perhatikan bagaimana para wanita dahulu keluar salat berjamaah di zaman Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan Abu Bakar sampai Umar melarang mereka melakukannya? وفي: «الهداية»: وبعض مشايخنا استحسنوا الاستئجار على تعليم القرآن اليوم، وعليه الفتوى. وفي «النهاية»: يُفْتى بجواز الاستئجار على تعليم الفقه أَيضاً في زماننا. وفي «المجمع»: وقيل: يُفْتَى بجوازِهِ، أَي الاستئجار على التعليم والإِمامة والفقه. وفي «الذخيرة» و«الروضة»: عن بعض أَصحابنا: يجوز في زماننا للإِمام، والمؤذن، والمعلم أَخْذُ الأُجرة”. انتهى، من “فتح باب العناية بشرح النقاية” (2/ 436). وقال ابن عبد البر المالكي رحمه الله في “الكافي” (2/155): “واختلف في جواز إجارة الإمام ليؤم الناس في الفريضة والنافلة فكرهه مالك … وأجازه بعض أصحابه وطائفة من أهل المدينة، وهو المعمول به” انتهى. Dalam kitab al-Hidāyah disebutkan, “Sebagian syekh kami memandang baiknya menyewa seseorang untuk mengajar al-Quran di zaman ini. Inilah yang difatwakan.”  Dalam kitab an-Nihāyah juga difatwakan bolehnya mempekerjakan seseorang untuk mengajar fikih di zaman sekarang. Dalam kitab al-Majmaʿ dikatakan bahwa ada  yang mengatakan bahwa ada fatwa yang menyatakan kebolehannya, yakni mempekerjakan orang untuk mengajar, menjadi imam, dan mengajari fikih. Dalam kitab adz-Dzakhīrah dan ar-Rauḏah diriwayatkan dari sebagian sahabat kami, “Di ​​zaman kita ini diperbolehkan mengambil upah jika untuk mengimami salat, muazin, dan guru.” Selesai kutipan dari Fatẖu Bābi al-ʿInāyah fi Syarẖi an-Nuqāyah (2/436).  Ibnu Abdul Barr al-Maliki —Semoga Allah Merahmatinya— dalam al-Kāfī (2/155) menyatakan adanya perbedaan pendapat mengenai bolehnya mempekerjakan seorang imam untuk mengimami orang-orang dalam salat wajib dan sunah. Malik menilainya makruh. Sebagian sahabat beliau dan sebagian penduduk Madinah membolehkannya, dan inilah yang diamalkan. Selesai kutipan. بل نُقل عن الإمام أحمد رحمه الله رواية: أخرى أنه يجوز أخذ الأجرة للفقير والغني. قال المرداوي الحنبلي رحمه الله: “ونص الإمام أحمد على أنه يصح [يعني : أخذ الأجرة على العبادات، ومنها الإمامة]، كأخذه بلا شرط … وقيل : يصح للحاجة ، ذكره الشيخ تقي الدين ابن تيمية واختاره” انتهى من “الإنصاف” (14/378). وما أشار إليه المرداوي، من اختيار شيخ الإسلام، نصه – كما في “مجموع الفتاوى” (30/207) -: “ومَن فرَّق بين المحتاج وغيره- وهو أقربُ-   Namun, ada riwayat lain yang diriwayatkan dari Imam Ahmad —Semoga Allah Merahmatinya— tentang bolehnya mengambil upah, baik bagi orang miskin atau kaya. Al-Mardawi al-Hanbali —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa Imam Ahmad menyatakan bahwa itu sah (yakni mengambil upah atas ibadah, termasuk menjadi imam) sebagaimana menerima upah tanpa disyaratkan. … Ada yang mengatakan sah jika memang dia membutuhkan. Syekh Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah memilih pendapat ini. Selesai kutipan dari al-Inṣhāf (14/378).  Apa yang disinggung oleh al-Mardawi tentang pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam, beliau berkata —sebagaimana tersebut dalam Majmūʿ al-Fatāwā (30/207)— bahwa ulama yang membedakan antara orang yang fakir dan tidak adalah pendapat yang lebih dekat dengan kebenaran. قال: المحتاجُ إذا اكتسَب بها، أمكنه أن ينويَ عملها لله، ويأخذ الأجرة؛ ليستعينَ بها على العبادة; فإنَّ الكسب على العيال واجبٌ أيضًا، فيؤدِّي الواجبات بهذا، بخلاف الغنيِّ؛ لأنَّه لا يحتاج إلى الكسب، فلا حاجةَ تدعوه أن يعملَها لغير الله؛ بل إذا كان الله قد أغناه، وهذا فرضٌ على الكفايةِ: كان هو مخاطبًا به، وإذا لم يَقُمْ [أي: الفرضُ] إلَّا به [أي: بهذا الغني]، كان ذلك واجبًا عليه عينًا، والله أعلم” انتهى من “مجموع الفتاوى” (30/207). Mereka berkata bahwa orang yang membutuhkan jika menjadikannya sebagai pendapatan, maka masih mungkin dia meniatkan amalannya karena Allah, dan mengambil upahnya, sehingga itu bisa membantunya dalam menegakkan ibadah. Selain itu, mencari nafkah untuk keluarganya juga wajib baginya, sehingga dengan itu dia juga sedang menunaikan kewajiban tersebut.  Keadaan ini tentu berbeda dengan orang kaya, yang tidak memerlukan pendapatan. Dia (orang fakir) tidak punya hajat yang mendorongnya untuk melakukannya karena selain Allah, bahkan seandainya Allah telah Memberinya kekayaan, sementara ini adalah fardu kifayah, yang mana perintah ini juga ditujukan kepadanya, maka jika dia tidak bisa melakukannya (yakni amalan fardu kifayah tersebut) kecuali dengannya (yakni kekayaan tersebut), maka itu menjadi Fardu ʿAin (kewajiban personal) baginya. Selesai kutipan dari Majmūʿ al-Fatāwā (30/207). وسئل الشيخ عبد العزيز بن باز، رحمه الله: ” ما حكم تحديد الإمام أجرة لصلاته بالناس، خصوصًا إذا كان يذهب لمناطق بعيدة ليُصلي بهم التراويح؟ فأجاب: ” التحديد ما ينبغي، وقد كرهه جمعٌ من السلف، فإذا ساعدوه بشيءٍ غير محدد فلا حرج في ذلك. أما الصلاة فصحيحة لا بأس بها -إن شاء الله- ، ولو حدَّدوا له مساعدةً؛ لأن الحاجة قد تدعو إلى ذلك. لكن ينبغي ألا يفعل ذلك، وأن تكون المساعدة بدون مشارطة، هذا هو الأفضل والأحوط كما قاله جمعٌ من السلف رحمة الله عليهم.” انتهى.  Syekh Abdul Aziz bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya, “Apa hukum menetapkan upah bagi imam untuk mengimami salat orang-orang, apalagi jika ia harus pergi ke tempat yang jauh untuk mengimami mereka salat Tarawih?”  Beliau menjawab bahwa penetapan upah itu tidaklah patut dilakukan. Sebagian Salaf membencinya. Jika orang-orang membantunya tanpa ditetapkan sebelumnya, maka tidak masalah. Adapun salatnya tersebut, sah dan tidak mengapa, Insya Allah. Jika mereka menetapkannya sebagai bentuk bantuan untuknya, karena mungkin ada tuntutan kebutuhan, hanya saja, seyogianya dia tidak melakukannya. Bantuan itu hendaknya tanpa disyaratkan sebelumnya. Inilah yang afdal dan lebih selamat, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian Salaf —Semoga Allah Merahmatinya. Selesai kutipan. وعلى هذا ؛ فلا حرج على هذا الإمام أن يأخذ أجرًا من الشركة على إمامته في صلاة التراويح ، إذا كان محتاجا لذلك . وما رجحه شيخ الإسلام من الترخيص فيها للمحتاج: ظاهر، وبهذا تقوم مصلحة الإمامة، وإلا، تكافها الناس، ولم ينضبط أمر المساجد، وعليه عمل الناس أيضا. وقد خرج بعض فقهاء الشافعية جواز ما جرت به العادة من إعطاء الأئمة أرزاقا لأجل إمامتهم؛ خرجوها على أنها من باب “الجعالة”، وهي أوسع من “الإجارة”؛ وفي هذا خروج من إشكال أن نفع الإجارة لا يعود إلى المستأجِر؛ فلا تصح الإجارة عليها. بل نقل عن الغزالي التصريح بجواز الإجارة على الإمامة. Dengan demikian, tidak mengapa imam ini mengambil upah dari perusahaan tersebut atas pekerjaannya memimpin Salat Tarawih, jika memang dia membutuhkan. Pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam yang membolehkan hal itu bagi orang yang membutuhkan sangat kuat, yang dengan demikian maslahat mengimami salat dapat terwujud, yang apabila tidak terwujud, maka akan menghambat masyarakat dan urusan masjid menjadi terbengkalai. Ini juga yang sudah menjadi praktik umum masyarakat.  Sebagian ulama mazhab Syafii juga membolehkan adat kebiasaan masyarakat yang biasa memberikan sesuatu kepada imam karena telah mengimami salat. Mereka menganggapnya sebagai akad Juʿālah (memberi upah), yang lebih luas cakupannya daripada akad Ijārah (sewa-menyewa). Ini menjadi solusi atas masalah bahwa manfaat pekerjaannya (jasanya yang disewa) tidak kembali kepada orang yang mempekerjakannya (yang menyewa jasanya), yang membuatnya menjadi akad yang tidak sah, bahkan ada kutipan pernyataan al-Ghazali yang menyatakan bolehnya  menyewa jasa mengimami salat. قال الشيخ عبد الرحمن الشربيني، رحمه الله، في حاشيته على الغرر البهية في شرح البهجة الوردية: (3/ 320): «(قوله: والإمامة) قال م ر في شرح المنهاج: وما جرت به العادة من جعل جامِكِيّة على ذلك: فليس من باب الإجارة، وإنما هو من باب الإرزاق، والإحسان، والمسامحة، بخلاف الإجارة، فإنها من باب المعاوضة. اهـ. وقال ح ل: إن ذلك جعالة لا إجارة. اهـ. ولعل الفرق: أن الإجارة تُملك بها المنفعة، فيلزم أن تقع للمستأجِر، بخلاف الجعالة. فتأمل هذا. ونقل الشيخ عميرة على المحلي، عن الغزالي: أنه يصح ‌الاستئجار على ‌الإمامة، وله الأجرة في مقابلة إتعاب نفسه بالحضور إلى موضع معين، والقيام بها في وقت معين”. انتهى. و(الجامكية): هي الراتب الذي يتقاضاه الموظف. انظر: “معجم تيمور الكبير” (3/47)، وأيضا: ” معجم المصطلحات المالية والاقتصادية في لغة الفقهاء”، د. نزيه حماد (161-162). وما قاله الغزالي: ظاهر، متجه. Syekh Abdurrahman asy-Syirbini —Semoga Allah Merahmatinya— dalam H̱āsyiyah-nya terhadap al-Ghurar al-Bahiyyah fī Syarẖi al-Bahjati al-Wardiyyah (3/320) menyatakan bahwa “Perkataannya: adapun masalah menjadi imam salat, maka M.R. berkata dalam Syarẖ al-Minhāj: dikatakan bahwa kebiasaan yang ada di masyarakat yang mana mereka memberi Jāmikiyyah atas hal itu (mengimami salat), bukan termasuk akad Ijārah, melainkan pemberian, kedermawanan, dan kasih sayang, yang berbeda dengan akad Ijārah yang merupakan akad timbal balik. Selesai kutipan. H.L. berkata bahwa itu adalah akad Juʿālah (memberi upah), bukan Ijārah (sewa-menyewa). Mungkin bedanya adalah bahwa dalam akad Ijārah manfaatnya harus dimiliki dan didapat oleh penyewa, berbeda dengan Juʿālah. Coba perhatikan hal ini! Syekh ʿAmīrah Ali al-Maẖalli mengutip dari al-Ghazali bahwa menyewa jasa imam salat boleh, dia mendapat upah atas timbal balik atas usahanya datang ke suatu tempat tertentu dan mengerjakannya pada waktu tertentu. Selesai kutipan. Jāmikiyyah adalah gaji yang diterima oleh seorang karyawan. Lihat: Muʿjam Taimur al-Kabīr (3/47) dan juga Muʿjam Muṣṯalaẖā al-Māliyyah wal Iqtiṣādiyyah fī Lughati al-Fuqahāʾ karya Dr. Nazih Hammad (161-162). Apa yang dikatakan oleh al-Ghazali sangat jelas dan gamblang. وقد سئل شيخ الإسلام ابن تيمية، رحمه الله، عن رجل أوقف وقفا على مدرسة وشرط فيها أن ريع الوقف للعمارة؛ والثلثين يكون للفقهاء؛ وللمدرسة؛ وأرباب الوظائف. وشرط أن الناظر يرى بالمصلحة؛ والحال جاريا كذلك مدة ثلاثين سنة؛ وإن حصر المدرسة وملء الصهريج يكون من ‌جامكية الفقهاء؛ لأن لهم غيبة؛ وأماكن غيرها؛ وأن معلوم الإمام في كل شهر من الدراهم عشرون درهما؛ وكذلك المؤذن؛ فطلب الفقهاء بعد هذه المسألة أرباب الوظائف أن يشاركوهم فيما يؤخذ من جوامكهم؛ لأجل الحصر؛ وملء الصهريج؛ وأن أرباب الوظائف قائمون بهذه الوظيفة، ولو لم يكن لهم غيرها: هل يجب للناظر موافقة الفقهاء على ما طلبوه، ونقص هؤلاء المساكين عن معلومهم اليسير؟ أم لا؟  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya tentang seseorang yang memberikan wakaf untuk sebuah sekolah dan mensyaratkan bahwa hasil wakaf itu dialokasikan untuk pembangunan, sementara dua pertiganya untuk para guru fikih, sekolah, dan para pegawai sekolah, dengan ketentuan bahwa pengawas wakaf tetap memperhatikan maslahat.  Keadaan seperti ini berjalan selama tiga puluh tahun. Adapun operasional sekolah dan pengisian tangki diambil dari gaji para guru fikih, karena mereka yang biasanya tidak berada di tempat dan punya tanggung jawab di tempat-tempat lain. Sudah maklum bahwa imam setiap bulan mendapat dua puluh dirham, begitu pula muazinnya. Setelah masalah ini, para guru fikih meminta agar para pegawai sekolah yang lain ikut serta bersama mereka di mana gaji pegawai yang lain juga dikurangi untuk operasional dan pengisian tangki, dan agar para pegawai tersebut juga ikut menanggung beban biaya sekolah ini, meskipun mereka tidak memiliki pemasukan yang lain.  Apakah pengawas wakaf harus menyetujui permintaan para guru fikih ini dan memotong pendapatan mereka yang miskin yang sudah diketahui bahwa nominalnya hanya sedikit, atau tidak? فأجاب: ، إذا رأى الناظر تقديم أرباب الوظائف الذين يأخذون على عمل معلوم – كالإمام؛ والمؤذن – فقد أصاب في ذلك؛ إذا كان الذي يأخذونه لا يزيد على جعل مثلهم في العادة؛ كما أنه يجب أن يقدم الجابي والحامل والصانع والبناء، ونحوهم ممن يأخذ على عمل يعمله في تحصيل المال؛ أو عمارة المكان؛ يقدمون بأخذ الأجرة. والإمامة والأذان شعائر لا يمكن إبطالها؛ ولا تنقيصها بحال؛ فالجاعل جعل مثل ذلك لأصحابها، يقدم على ما يأخذه الفقهاء؛ وهذا بخلاف المدرس والمفيد والفقهاء؛ فإنهم من جنس واحد …” انتهى، من “مجموع الفتاوى” (31/22). Beliau menjawab bahwa jika pengawas wakaf memandang bahwa para pegawai sekolah yang mengambil pekerjaan yang sudah diketahui —seperti imam dan muazin— haruslah diprioritaskan, maka dia sudah benar, asalkan nominal yang mereka terima tidaklah melebihi apa yang biasanya diterima oleh pegawai yang seperti mereka. Sementara dia juga harus memprioritaskan para tukang pungut, pengangkut, pegawai produksi, dan kuli bangunan, dan pihak-pihak lain yang melakukan pekerjaan mengumpulkan dana atau pembangunan, maka hendaknya mereka diprioritaskan untuk pengalokasian upah.  Adapun menjadi imam dan mengumandangkan azan, ini merupakan syiar yang tidak bisa dihentikan, maka jangan dikurangi karena alasan itu. Pihak pemberi upah hendaknya memberikan yang serupa bagi yang lain, dengan memprioritaskan mereka daripada apa yang diterima para guru fikih. Hal ini berbeda dengan para guru, ustaz, dan guru fikih, mereka semua sama. Selesai kutipan dari Majmūʿ al-Fatāwā (31/22). ثانيا : أما ما يجمعه العمال له في نهاية رمضان ، فهذا لا إشكال في جوازه ، لأنه أخذه من غير مشارطة ، بل هو تبرع منهم للإمام . وقد تقدم قول الإمام أحمد رحمه الله : “لا بأس أن يدفعوا إليه من غير شرط” . وقال ابن نجيم الحنفي رحمه الله : ” قالوا : فإن لم يشارطهم على شيء ، لكن عرفوا حاجته فجمعوا له في كل وقت شيئا : كان حسنا ، ويطيب له ” انتهى من  “البحر الرائق” (1/268) . وينظر جواب السؤال (294681 ) والله أعلم .         Kedua, adapun apa yang dikumpulkan oleh para karyawan untuknya di akhir bulan Ramadan, maka ini boleh tanpa ada permasalahan, karena ia menerimanya tanpa disyaratkan, melainkan atas dasar kesukarelaan dari mereka untuk si imam.  Tadi telah disampaikan perkataan Imam Ahmad —Semoga Allah Merahmatinya— sebelumnya, “Tidak mengapa jika orang-orang membayarnya tanpa disyaratkan.”  Ibnu Najim al-Hanafi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Mereka berkata bahwa jika dia tidak mempersyaratkan apa pun, sementara mereka mengetahui bahwa dia membutuhkan lalu mereka mengumpulkan sesuatu untuknya setiap saat, maka itu baik dan baik baginya.” Selesai kutipan dari al-Baẖr ar-Rāʾiq (1/268). Lihat juga jawaban atas pertanyaan no. 294681. Allah Yang lebih Mengetahui. Sumber: www.islamqa.info/ar/answers/497513/ما-حكم-اخذ-الاجرة-على-الامامة-في-الصلاة PDF sumber artikel. 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 635 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,193 QRIS donasi Yufid


السؤال جزاكم الله خيرا على ما تقومون به من هذه الخدمة التي ينتفع بها المسلمون إن شاء الله تعالى. سؤالي هو أن رجلا يتقدم بترخيص من مديرية الأوقاف لأداء صلاة التراويح في شركة كبيرة ذات نظام داخلي في رمضان، بعد طلب الشركة من الأوقاف بترشيح إمام لذلك، فتقوم الشركة بأداء راتب للإمام وفق عقد تستحدثه الشركة نفسها مع هذا الإمام، مع العلم أنه لا يتقاضى من مديرية الأوقاف شيئا، وفي نهاية رمضان يقوم العمال في الشركة من تلقاء أنفسهم بجمع مبلغ آخر للإمام ويعطونه إياه، مع العلم أن هذا الجمع بعلم من الشركة وبصورة علنية فيها. فهل هذا الفعل الذي يفعله هذا الرجل صحيح؟ وما حكم أجره من الشركة؟ وما حكم المال الذي يجمعه العمال له في نهاية رمضان؟ Pertanyaan: Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan atas dedikasi Anda dalam khidmah yang insya Allah bermanfaat bagi umat Islam.  Pertanyaan saya, ada seorang laki-laki yang mengajukan izin kepada Direktorat Wakaf untuk melaksanakan Salat Tarawih pada bulan Ramadan di sebuah perusahaan besar, yang memiliki aturan internal sendiri.  Setelah perusahaan tersebut meminta kepada Direktorat Wakaf untuk menunjuk seorang imam untuk pelaksanaan itu, lalu perusahaan tersebut akan membayar gaji kepada imam tersebut sesuai dengan kontrak yang dibuat oleh perusahaan itu sendiri dengan imam tersebut.  Perlu diketahui bahwa dia tidak menerima gaji dari Direktorat Wakaf sedikit pun. Di akhir Ramadan, dengan inisiatif para karyawan sendiri yang bekerja di perusahaan tersebut, mereka mengumpulkan sejumlah uang untuk imam tersebut dan memberikannya kepadanya. Perlu diketahui bahwa pengumpulan uang ini adalah dengan sepengetahuan perusahaan dan dilakukan secara terang-terangan di tengah perusahaan.  Apakah perbuatan yang dilakukan orang ini benar? Apa hukum gaji yang ia terima dari perusahaan? Bagaimana juga hukumnya uang yang dikumpulkan oleh para karyawan untuknya di akhir Ramadan tersebut? الجواب الحمد لله. أولا : اختلف العلماء في جواز أخذ الأجرة على العبادات، ومنها: الإمامة. فذهب بعضهم إلى تحريم ذلك. قال ابن قدامة رحمه الله في “المغني” (2/9): “وَرُوِيَ عَنْهُ [أي عن الإمام أحمد] أَنَّهُ قَالَ : “لَا تُصَلِّ خَلْفَ مَنْ يُشَارِطُ، وَلَا بَأْسَ أَنْ يَدْفَعُوا إلَيْهِ مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ ” انتهى. والقول بأنه لا يصح الاستئجار على الإمامة، ولو في نافلة كالتراويح: هو مذهب الشافعية. وعللوه بأن الإمام يصلي لنفسه، ومنفعة عمله المستأجر عليه، إنما تعود إليه، لا إلى المستأجِر. Jawaban: Alhamdulillah.  Pertama, bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan mengambil upah dari ibadah, termasuk menjadi imam.  Sebagian dari mereka berpandangan bahwa hukumnya haram.  Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata dalam al-Mughni (2/9) bahwa ada riwayat dari beliau (maksudnya Imam Ahmad) bahwa beliau berkata, “Janganlah kalian salat di belakang orang yang mensyaratkan (bayaran, pent.), tapi tidak mengapa jika orang-orang membayarnya tanpa ada syarat.” Selesai kutipan.  Pendapat yang menyatakan bahwa akad menyewa seseorang menjadi imam tidaklah sah, meskipun hanya untuk salat sunah, seperti Salat Tarawih adalah pendapat dalam mazhab Syafii. Mereka beralasan bahwa hakikatnya imam itu salat untuk dirinya sendiri, sehingga manfaat sewa yang untuk tujuan itu dia disewa sebenarnya kembali kepada dirinya sendiri, bukan kepada orang yang menyewa jasanya. قال الشيخ زكريا الأنصاري، رحمه الله في “أسنى المطالب” (2/ 410): «(ولو استأجر) شخص آخر (للإمامة ولو لنافلة كالتراويح لم يصح) لأن فائدتها من تحصيل فضيلة الجماعة لا تحصل للمستأجر بل للأجير”. وينظر أيضا: “تحفة المحتاج” لابن حجر الهيتمي (6/155).  Syekh Zakaria al-Anshari —Semoga Allah Merahmatinya— berkata dalam Asnā Maṯālib (2/410): “(Jika dia menyewa) orang lain (untuk menjadi imam salat, walaupun hanya untuk salat sunah, semisal Salat Tarawih, maka tidaklah sah) karena manfaat berupa mendapatkan fadilah memimpin jamaah tidak didapatkan oleh orang yang menyewanya, melainkan oleh orang yang disewa jasanya.” Lihat juga Tuẖfatu al-Muẖtāj karya Ibnu Hajar al-Haitami (6/155).  وذهب جماعة من العلماء إلى جواز أخذ الأجرة على الإمامة، لمن كان محتاجا، أما الغني فلا يجوز له ذلك. وهو مذهب المتأخرين من الحنفية، وبعض الحنابلة، وهو المعمول به عند المالكية. واختار هذا القول شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله . Sebagian ulama berpandangan bolehnya mengambil upah sebagai imam salat jika dia dalam keadaan membutuhkan. Adapun bagi yang kaya, maka tidak boleh. Demikianlah dalam mazhab Hanafi kontemporer, sebagian ulama Hanbali, dan itu juga yang diamalkan dalam mazhab Maliki. Ini juga pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah —Semoga Allah Merahmatinya. قال ابنُ عَابدين الحنفي رحمه الله : “على أنَّ المُفتَى به : مذهب المتأخِّرين، من جواز الاستئجار على تعليم القرآن، والإمامة، والأذان؛ للضرورة” انتهى من “حاشية ابن عابدين” (1/562). وقال ابن نجيم الحنفي رحمه الله: “على المختار للفتوى في زماننا: فيجوز أخذ الأجر للإمام والمؤذن والمعلم والمفتي، كما صرحوا به في كتاب الإجارات” انتهى من “البحر الرائق” (1/268). Ibnu Abidin al-Hanafi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa pendapat yang difatwakan para ulama kontemporer adalah diperbolehkannya pekerjaan mengajarkan al-Quran, mengimami salat, dan azan, karena alasan darurat. Selesai kutipan dari H̱āsyiyah Ibni ʿĀbidīn (1/562).  Ibnu Najim al-Hanafi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Berdasarkan fatwa terpilih di zaman kami, boleh hukumnya mengambil upah menjadi imam, muazin, guru, dan mufti, sebagaimana mereka menyatakannya dalam kitab al-Ijārāt.” Selesai kutipan dari al-Baẖr ar-Rāʾiq (1/268). وقال الملا علي القاري، رحمه الله – عند قول صاحب “النُّقاية”: ” ولا تَصِحُّ للعِبَادَاتِ: كالأَذَانِ والإِمَامَةِ وتَعْلِيم القُرْآنِ) -: ” (ويُفْتَى اليَّوْمَ بِصِحَّتِهَا): أَي الإِجارة على الأَذَان والإِمامة وتعليم القرآن، لأن المتقدِّمِينَ إِنَّما مَنَعُوا منها لرغبة الناس في زمانهم في فِعْلها احتساباً، وفي مجازاة فاعلها بالإِحْسان بلا شَرْط. وفي هذا الزمان: قد زال المعنيان، ففي عدم صحة الإِجارة عليها تَضْيِيعُهَا، ولا يَبْعُد أَنْ يختلف الحكم باختلاف الأَزْمِنة، أَلا ترى أَنَّ النِّسَاءُ كُنَّ يَخْرجن إِلى الجماعات في زمنه عليه الصلاة والسلام وأَبي بكر حتى مَنَعَهن عُمَرُ عن ذلك. Mullā Ali al-Qārī —Semoga Allah Merahmatinya— ketika mengomentari perkataan pengarang kitab an-Nuqāyah mengatakan, “(Tidak sah jika untuk ibadah, seperti azan, mengimami salat, dan mengajarkan al-Quran.)” – “(Sekarang difatwakan bahwa itu benar, …)” yakni menyewa jasa untuk azan, mengimami salat, dan mengajarkan al-Quran, karena ulama klasik melarang hal itu di zaman mereka untuk memotivasi orang agar melakukannya hanya karena mengharap pahala dari Allah dan agar orang yang melakukannya dibalas dengan kebaikan tanpa ada syarat di awal.  Adapun di zaman ini, dua hal itu sudah tidak ada, sehingga jika pekerjaan tersebut dinilai tidak sah, maka justru mempersempit ibadah-ibadah itu. Selain itu, tidak menutup kemungkinan bahwa hukum bisa berbeda-beda seiring dengan perubahan zaman. Tidakkah Anda perhatikan bagaimana para wanita dahulu keluar salat berjamaah di zaman Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan Abu Bakar sampai Umar melarang mereka melakukannya? وفي: «الهداية»: وبعض مشايخنا استحسنوا الاستئجار على تعليم القرآن اليوم، وعليه الفتوى. وفي «النهاية»: يُفْتى بجواز الاستئجار على تعليم الفقه أَيضاً في زماننا. وفي «المجمع»: وقيل: يُفْتَى بجوازِهِ، أَي الاستئجار على التعليم والإِمامة والفقه. وفي «الذخيرة» و«الروضة»: عن بعض أَصحابنا: يجوز في زماننا للإِمام، والمؤذن، والمعلم أَخْذُ الأُجرة”. انتهى، من “فتح باب العناية بشرح النقاية” (2/ 436). وقال ابن عبد البر المالكي رحمه الله في “الكافي” (2/155): “واختلف في جواز إجارة الإمام ليؤم الناس في الفريضة والنافلة فكرهه مالك … وأجازه بعض أصحابه وطائفة من أهل المدينة، وهو المعمول به” انتهى. Dalam kitab al-Hidāyah disebutkan, “Sebagian syekh kami memandang baiknya menyewa seseorang untuk mengajar al-Quran di zaman ini. Inilah yang difatwakan.”  Dalam kitab an-Nihāyah juga difatwakan bolehnya mempekerjakan seseorang untuk mengajar fikih di zaman sekarang. Dalam kitab al-Majmaʿ dikatakan bahwa ada  yang mengatakan bahwa ada fatwa yang menyatakan kebolehannya, yakni mempekerjakan orang untuk mengajar, menjadi imam, dan mengajari fikih. Dalam kitab adz-Dzakhīrah dan ar-Rauḏah diriwayatkan dari sebagian sahabat kami, “Di ​​zaman kita ini diperbolehkan mengambil upah jika untuk mengimami salat, muazin, dan guru.” Selesai kutipan dari Fatẖu Bābi al-ʿInāyah fi Syarẖi an-Nuqāyah (2/436).  Ibnu Abdul Barr al-Maliki —Semoga Allah Merahmatinya— dalam al-Kāfī (2/155) menyatakan adanya perbedaan pendapat mengenai bolehnya mempekerjakan seorang imam untuk mengimami orang-orang dalam salat wajib dan sunah. Malik menilainya makruh. Sebagian sahabat beliau dan sebagian penduduk Madinah membolehkannya, dan inilah yang diamalkan. Selesai kutipan. بل نُقل عن الإمام أحمد رحمه الله رواية: أخرى أنه يجوز أخذ الأجرة للفقير والغني. قال المرداوي الحنبلي رحمه الله: “ونص الإمام أحمد على أنه يصح [يعني : أخذ الأجرة على العبادات، ومنها الإمامة]، كأخذه بلا شرط … وقيل : يصح للحاجة ، ذكره الشيخ تقي الدين ابن تيمية واختاره” انتهى من “الإنصاف” (14/378). وما أشار إليه المرداوي، من اختيار شيخ الإسلام، نصه – كما في “مجموع الفتاوى” (30/207) -: “ومَن فرَّق بين المحتاج وغيره- وهو أقربُ-   Namun, ada riwayat lain yang diriwayatkan dari Imam Ahmad —Semoga Allah Merahmatinya— tentang bolehnya mengambil upah, baik bagi orang miskin atau kaya. Al-Mardawi al-Hanbali —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa Imam Ahmad menyatakan bahwa itu sah (yakni mengambil upah atas ibadah, termasuk menjadi imam) sebagaimana menerima upah tanpa disyaratkan. … Ada yang mengatakan sah jika memang dia membutuhkan. Syekh Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah memilih pendapat ini. Selesai kutipan dari al-Inṣhāf (14/378).  Apa yang disinggung oleh al-Mardawi tentang pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam, beliau berkata —sebagaimana tersebut dalam Majmūʿ al-Fatāwā (30/207)— bahwa ulama yang membedakan antara orang yang fakir dan tidak adalah pendapat yang lebih dekat dengan kebenaran. قال: المحتاجُ إذا اكتسَب بها، أمكنه أن ينويَ عملها لله، ويأخذ الأجرة؛ ليستعينَ بها على العبادة; فإنَّ الكسب على العيال واجبٌ أيضًا، فيؤدِّي الواجبات بهذا، بخلاف الغنيِّ؛ لأنَّه لا يحتاج إلى الكسب، فلا حاجةَ تدعوه أن يعملَها لغير الله؛ بل إذا كان الله قد أغناه، وهذا فرضٌ على الكفايةِ: كان هو مخاطبًا به، وإذا لم يَقُمْ [أي: الفرضُ] إلَّا به [أي: بهذا الغني]، كان ذلك واجبًا عليه عينًا، والله أعلم” انتهى من “مجموع الفتاوى” (30/207). Mereka berkata bahwa orang yang membutuhkan jika menjadikannya sebagai pendapatan, maka masih mungkin dia meniatkan amalannya karena Allah, dan mengambil upahnya, sehingga itu bisa membantunya dalam menegakkan ibadah. Selain itu, mencari nafkah untuk keluarganya juga wajib baginya, sehingga dengan itu dia juga sedang menunaikan kewajiban tersebut.  Keadaan ini tentu berbeda dengan orang kaya, yang tidak memerlukan pendapatan. Dia (orang fakir) tidak punya hajat yang mendorongnya untuk melakukannya karena selain Allah, bahkan seandainya Allah telah Memberinya kekayaan, sementara ini adalah fardu kifayah, yang mana perintah ini juga ditujukan kepadanya, maka jika dia tidak bisa melakukannya (yakni amalan fardu kifayah tersebut) kecuali dengannya (yakni kekayaan tersebut), maka itu menjadi Fardu ʿAin (kewajiban personal) baginya. Selesai kutipan dari Majmūʿ al-Fatāwā (30/207). وسئل الشيخ عبد العزيز بن باز، رحمه الله: ” ما حكم تحديد الإمام أجرة لصلاته بالناس، خصوصًا إذا كان يذهب لمناطق بعيدة ليُصلي بهم التراويح؟ فأجاب: ” التحديد ما ينبغي، وقد كرهه جمعٌ من السلف، فإذا ساعدوه بشيءٍ غير محدد فلا حرج في ذلك. أما الصلاة فصحيحة لا بأس بها -إن شاء الله- ، ولو حدَّدوا له مساعدةً؛ لأن الحاجة قد تدعو إلى ذلك. لكن ينبغي ألا يفعل ذلك، وأن تكون المساعدة بدون مشارطة، هذا هو الأفضل والأحوط كما قاله جمعٌ من السلف رحمة الله عليهم.” انتهى.  Syekh Abdul Aziz bin Baz —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya, “Apa hukum menetapkan upah bagi imam untuk mengimami salat orang-orang, apalagi jika ia harus pergi ke tempat yang jauh untuk mengimami mereka salat Tarawih?”  Beliau menjawab bahwa penetapan upah itu tidaklah patut dilakukan. Sebagian Salaf membencinya. Jika orang-orang membantunya tanpa ditetapkan sebelumnya, maka tidak masalah. Adapun salatnya tersebut, sah dan tidak mengapa, Insya Allah. Jika mereka menetapkannya sebagai bentuk bantuan untuknya, karena mungkin ada tuntutan kebutuhan, hanya saja, seyogianya dia tidak melakukannya. Bantuan itu hendaknya tanpa disyaratkan sebelumnya. Inilah yang afdal dan lebih selamat, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian Salaf —Semoga Allah Merahmatinya. Selesai kutipan. وعلى هذا ؛ فلا حرج على هذا الإمام أن يأخذ أجرًا من الشركة على إمامته في صلاة التراويح ، إذا كان محتاجا لذلك . وما رجحه شيخ الإسلام من الترخيص فيها للمحتاج: ظاهر، وبهذا تقوم مصلحة الإمامة، وإلا، تكافها الناس، ولم ينضبط أمر المساجد، وعليه عمل الناس أيضا. وقد خرج بعض فقهاء الشافعية جواز ما جرت به العادة من إعطاء الأئمة أرزاقا لأجل إمامتهم؛ خرجوها على أنها من باب “الجعالة”، وهي أوسع من “الإجارة”؛ وفي هذا خروج من إشكال أن نفع الإجارة لا يعود إلى المستأجِر؛ فلا تصح الإجارة عليها. بل نقل عن الغزالي التصريح بجواز الإجارة على الإمامة. Dengan demikian, tidak mengapa imam ini mengambil upah dari perusahaan tersebut atas pekerjaannya memimpin Salat Tarawih, jika memang dia membutuhkan. Pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam yang membolehkan hal itu bagi orang yang membutuhkan sangat kuat, yang dengan demikian maslahat mengimami salat dapat terwujud, yang apabila tidak terwujud, maka akan menghambat masyarakat dan urusan masjid menjadi terbengkalai. Ini juga yang sudah menjadi praktik umum masyarakat.  Sebagian ulama mazhab Syafii juga membolehkan adat kebiasaan masyarakat yang biasa memberikan sesuatu kepada imam karena telah mengimami salat. Mereka menganggapnya sebagai akad Juʿālah (memberi upah), yang lebih luas cakupannya daripada akad Ijārah (sewa-menyewa). Ini menjadi solusi atas masalah bahwa manfaat pekerjaannya (jasanya yang disewa) tidak kembali kepada orang yang mempekerjakannya (yang menyewa jasanya), yang membuatnya menjadi akad yang tidak sah, bahkan ada kutipan pernyataan al-Ghazali yang menyatakan bolehnya  menyewa jasa mengimami salat. قال الشيخ عبد الرحمن الشربيني، رحمه الله، في حاشيته على الغرر البهية في شرح البهجة الوردية: (3/ 320): «(قوله: والإمامة) قال م ر في شرح المنهاج: وما جرت به العادة من جعل جامِكِيّة على ذلك: فليس من باب الإجارة، وإنما هو من باب الإرزاق، والإحسان، والمسامحة، بخلاف الإجارة، فإنها من باب المعاوضة. اهـ. وقال ح ل: إن ذلك جعالة لا إجارة. اهـ. ولعل الفرق: أن الإجارة تُملك بها المنفعة، فيلزم أن تقع للمستأجِر، بخلاف الجعالة. فتأمل هذا. ونقل الشيخ عميرة على المحلي، عن الغزالي: أنه يصح ‌الاستئجار على ‌الإمامة، وله الأجرة في مقابلة إتعاب نفسه بالحضور إلى موضع معين، والقيام بها في وقت معين”. انتهى. و(الجامكية): هي الراتب الذي يتقاضاه الموظف. انظر: “معجم تيمور الكبير” (3/47)، وأيضا: ” معجم المصطلحات المالية والاقتصادية في لغة الفقهاء”، د. نزيه حماد (161-162). وما قاله الغزالي: ظاهر، متجه. Syekh Abdurrahman asy-Syirbini —Semoga Allah Merahmatinya— dalam H̱āsyiyah-nya terhadap al-Ghurar al-Bahiyyah fī Syarẖi al-Bahjati al-Wardiyyah (3/320) menyatakan bahwa “Perkataannya: adapun masalah menjadi imam salat, maka M.R. berkata dalam Syarẖ al-Minhāj: dikatakan bahwa kebiasaan yang ada di masyarakat yang mana mereka memberi Jāmikiyyah atas hal itu (mengimami salat), bukan termasuk akad Ijārah, melainkan pemberian, kedermawanan, dan kasih sayang, yang berbeda dengan akad Ijārah yang merupakan akad timbal balik. Selesai kutipan. H.L. berkata bahwa itu adalah akad Juʿālah (memberi upah), bukan Ijārah (sewa-menyewa). Mungkin bedanya adalah bahwa dalam akad Ijārah manfaatnya harus dimiliki dan didapat oleh penyewa, berbeda dengan Juʿālah. Coba perhatikan hal ini! Syekh ʿAmīrah Ali al-Maẖalli mengutip dari al-Ghazali bahwa menyewa jasa imam salat boleh, dia mendapat upah atas timbal balik atas usahanya datang ke suatu tempat tertentu dan mengerjakannya pada waktu tertentu. Selesai kutipan. Jāmikiyyah adalah gaji yang diterima oleh seorang karyawan. Lihat: Muʿjam Taimur al-Kabīr (3/47) dan juga Muʿjam Muṣṯalaẖā al-Māliyyah wal Iqtiṣādiyyah fī Lughati al-Fuqahāʾ karya Dr. Nazih Hammad (161-162). Apa yang dikatakan oleh al-Ghazali sangat jelas dan gamblang. وقد سئل شيخ الإسلام ابن تيمية، رحمه الله، عن رجل أوقف وقفا على مدرسة وشرط فيها أن ريع الوقف للعمارة؛ والثلثين يكون للفقهاء؛ وللمدرسة؛ وأرباب الوظائف. وشرط أن الناظر يرى بالمصلحة؛ والحال جاريا كذلك مدة ثلاثين سنة؛ وإن حصر المدرسة وملء الصهريج يكون من ‌جامكية الفقهاء؛ لأن لهم غيبة؛ وأماكن غيرها؛ وأن معلوم الإمام في كل شهر من الدراهم عشرون درهما؛ وكذلك المؤذن؛ فطلب الفقهاء بعد هذه المسألة أرباب الوظائف أن يشاركوهم فيما يؤخذ من جوامكهم؛ لأجل الحصر؛ وملء الصهريج؛ وأن أرباب الوظائف قائمون بهذه الوظيفة، ولو لم يكن لهم غيرها: هل يجب للناظر موافقة الفقهاء على ما طلبوه، ونقص هؤلاء المساكين عن معلومهم اليسير؟ أم لا؟  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya tentang seseorang yang memberikan wakaf untuk sebuah sekolah dan mensyaratkan bahwa hasil wakaf itu dialokasikan untuk pembangunan, sementara dua pertiganya untuk para guru fikih, sekolah, dan para pegawai sekolah, dengan ketentuan bahwa pengawas wakaf tetap memperhatikan maslahat.  Keadaan seperti ini berjalan selama tiga puluh tahun. Adapun operasional sekolah dan pengisian tangki diambil dari gaji para guru fikih, karena mereka yang biasanya tidak berada di tempat dan punya tanggung jawab di tempat-tempat lain. Sudah maklum bahwa imam setiap bulan mendapat dua puluh dirham, begitu pula muazinnya. Setelah masalah ini, para guru fikih meminta agar para pegawai sekolah yang lain ikut serta bersama mereka di mana gaji pegawai yang lain juga dikurangi untuk operasional dan pengisian tangki, dan agar para pegawai tersebut juga ikut menanggung beban biaya sekolah ini, meskipun mereka tidak memiliki pemasukan yang lain.  Apakah pengawas wakaf harus menyetujui permintaan para guru fikih ini dan memotong pendapatan mereka yang miskin yang sudah diketahui bahwa nominalnya hanya sedikit, atau tidak? فأجاب: ، إذا رأى الناظر تقديم أرباب الوظائف الذين يأخذون على عمل معلوم – كالإمام؛ والمؤذن – فقد أصاب في ذلك؛ إذا كان الذي يأخذونه لا يزيد على جعل مثلهم في العادة؛ كما أنه يجب أن يقدم الجابي والحامل والصانع والبناء، ونحوهم ممن يأخذ على عمل يعمله في تحصيل المال؛ أو عمارة المكان؛ يقدمون بأخذ الأجرة. والإمامة والأذان شعائر لا يمكن إبطالها؛ ولا تنقيصها بحال؛ فالجاعل جعل مثل ذلك لأصحابها، يقدم على ما يأخذه الفقهاء؛ وهذا بخلاف المدرس والمفيد والفقهاء؛ فإنهم من جنس واحد …” انتهى، من “مجموع الفتاوى” (31/22). Beliau menjawab bahwa jika pengawas wakaf memandang bahwa para pegawai sekolah yang mengambil pekerjaan yang sudah diketahui —seperti imam dan muazin— haruslah diprioritaskan, maka dia sudah benar, asalkan nominal yang mereka terima tidaklah melebihi apa yang biasanya diterima oleh pegawai yang seperti mereka. Sementara dia juga harus memprioritaskan para tukang pungut, pengangkut, pegawai produksi, dan kuli bangunan, dan pihak-pihak lain yang melakukan pekerjaan mengumpulkan dana atau pembangunan, maka hendaknya mereka diprioritaskan untuk pengalokasian upah.  Adapun menjadi imam dan mengumandangkan azan, ini merupakan syiar yang tidak bisa dihentikan, maka jangan dikurangi karena alasan itu. Pihak pemberi upah hendaknya memberikan yang serupa bagi yang lain, dengan memprioritaskan mereka daripada apa yang diterima para guru fikih. Hal ini berbeda dengan para guru, ustaz, dan guru fikih, mereka semua sama. Selesai kutipan dari Majmūʿ al-Fatāwā (31/22). ثانيا : أما ما يجمعه العمال له في نهاية رمضان ، فهذا لا إشكال في جوازه ، لأنه أخذه من غير مشارطة ، بل هو تبرع منهم للإمام . وقد تقدم قول الإمام أحمد رحمه الله : “لا بأس أن يدفعوا إليه من غير شرط” . وقال ابن نجيم الحنفي رحمه الله : ” قالوا : فإن لم يشارطهم على شيء ، لكن عرفوا حاجته فجمعوا له في كل وقت شيئا : كان حسنا ، ويطيب له ” انتهى من  “البحر الرائق” (1/268) . وينظر جواب السؤال (294681 ) والله أعلم .         Kedua, adapun apa yang dikumpulkan oleh para karyawan untuknya di akhir bulan Ramadan, maka ini boleh tanpa ada permasalahan, karena ia menerimanya tanpa disyaratkan, melainkan atas dasar kesukarelaan dari mereka untuk si imam.  Tadi telah disampaikan perkataan Imam Ahmad —Semoga Allah Merahmatinya— sebelumnya, “Tidak mengapa jika orang-orang membayarnya tanpa disyaratkan.”  Ibnu Najim al-Hanafi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Mereka berkata bahwa jika dia tidak mempersyaratkan apa pun, sementara mereka mengetahui bahwa dia membutuhkan lalu mereka mengumpulkan sesuatu untuknya setiap saat, maka itu baik dan baik baginya.” Selesai kutipan dari al-Baẖr ar-Rāʾiq (1/268). Lihat juga jawaban atas pertanyaan no. 294681. Allah Yang lebih Mengetahui. Sumber: www.islamqa.info/ar/answers/497513/ما-حكم-اخذ-الاجرة-على-الامامة-في-الصلاة PDF sumber artikel. 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 635 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,193 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

10 Pelajaran di Balik Ibadah Haji

Apa saja pelajaran-pelajaran penting di balik ibadah haji? Daftar Isi tutup 1. 1- Belajar untuk ikhlas 2. 2- Belajar untuk mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam 2.1. 3- Belajar untuk sedekah harta, berderma, dan mengorbankan harta 3. 4- Dalam haji saat ihram, belajar untuk meninggalkan larangan walau sementara waktu 4. 5- Belajar untuk rajin berdzikir 5. 6- Capek dalam ibadah pasti berpahala 6. 7- Semangat meraih surga 6.1. Haji mabrur berarti memiliki lima sifat atau tanda: 7. 8- Ibadah melihat dari kemampuan 8. 9- Amalan ada yang bisa dibadalkan 9. 10- Belajar dari ucapan talbiyah 1- Belajar untuk ikhlas Dalam penyembelihan hadyuu dan qurban, Allah Ta’ala berfirman, لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37) Untuk ibadah haji demikian, kita diperintahkan untuk ikhlas, bukan cari gelar dan cari sanjungan. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ “Siapa yang berhaji karena Allah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari, no. 1521). 2- Belajar untuk mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Dalam ibadah haji, hadyuu disembelih sebagaimana aturan qurban untuk waktunya, yaitu mulai dari Iduladha. Al Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah kepada para sahabat pada hari Iduladha setelah mengerjakan shalat Iduladha. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا وَنَسَكَ نُسُكَنَا فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ ، وَمَنْ نَسَكَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّهُ قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَلاَ نُسُكَ لَهُ “Siapa yang shalat seperti shalat kami dan menyembelih kurban seperti kurban kami, maka ia telah mendapatkan pahala kurban. Barangsiapa yang berkurban sebelum shalat Idul Adha, maka itu hanyalah sembelihan yang ada sebelum shalat dan tidak teranggap sebagai kurban.” Abu Burdah yang merupakan paman dari Al Bara’ bin ‘Azib dari jalur ibunya berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ ، فَإِنِّى نَسَكْتُ شَاتِى قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَعَرَفْتُ أَنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ ، وَأَحْبَبْتُ أَنْ تَكُونَ شَاتِى أَوَّلَ مَا يُذْبَحُ فِى بَيْتِى ، فَذَبَحْتُ شَاتِى وَتَغَدَّيْتُ قَبْلَ أَنْ آتِىَ الصَّلاَةَ “Wahai Rasulullah, aku telah menyembelih kambingku sebelum shalat Idul Adha. Aku tahu bahwa hari itu adalah hari untuk makan dan minum. Aku senang jika kambingku adalah binatang yang pertama kali disembelih di rumahku. Oleh karena itu, aku menyembelihnya dan aku sarapan dengannya sebelum aku shalat Idul Adha.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, شَاتُكَ شَاةُ لَحْمٍ “Kambingmu hanyalah kambing biasa (yang dimakan dagingnya, bukan kambing kurban).” (HR. Bukhari no. 955) Begitu pula dalam ibadah haji hendaklah sesuai tuntunan, tidak bisa kita beribadah asal-asalan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ أَدْرِى لَعَلِّى لاَ أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِى هَذِهِ “Ambillah dariku manasik-manasik kalian, karena sesungguhnya aku tidak mengetahui, mungkin saja aku tidak berhaji setelah hajiku ini.” (HR. Muslim no. 1297, dari Jabir).   3- Belajar untuk sedekah harta, berderma, dan mengorbankan harta Ingat Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula, مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ “Sedekah tidaklah mengurangi harta.” (HR. Muslim, no. 2588; dari Abu Hurairah) Imam Nawawi berkata, “Kekurangan harta bisa ditutup dengan keberkahannya atau ditutup dengan pahala di sisi Allah.” (Syarh Shahih Muslim, 16: 128).   4- Dalam haji saat ihram, belajar untuk meninggalkan larangan walau sementara waktu Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang pakaian yang dipakai oleh orang yang berihram. Beliau bersabda, أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ ( سُئِلَ: مَا يَلْبَسُ اَلْمُحْرِمُ مِنْ اَلثِّيَابِ? فَقَالَ: ” لَا تَلْبَسُوا الْقُمُصَ, وَلَا اَلْعَمَائِمَ, وَلَا السَّرَاوِيلَاتِ, وَلَا اَلْبَرَانِسَ, وَلَا اَلْخِفَافَ, إِلَّا أَحَدٌ لَا يَجِدُ اَلنَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ اَلْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ اَلْكَعْبَيْنِ, وَلَا تَلْبَسُوا شَيْئًا مِنْ اَلثِّيَابِ مَسَّهُ اَلزَّعْفَرَانُ وَلَا اَلْوَرْسُ” “Tidak boleh memakai gamis (baju), surban, celana, penutup kepala, dan sepatu kecuali seseorang yang tidak memakai sandal, ia boleh mengenakan sepatu. Namun, hendaklah ia memotong bagian yang lebih bawah dari mata kaki. Jangan memakai pakaian yang terkena za’faran dan wars.” (Muttafaqun ‘alaih dan lafaznya dari Imam Muslim). [HR. Bukhari, no. 1542 dan Muslim, no. 1177] Pakaian yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dikenakan adalah: (1) qamis, yaitu pakaian yang memiliki lengan, yang dilarang pula kaos, jubah, dan kemeja, (2) imamah, yaitu penutup kepala, yang dilarang pula kopiah, (3) sarowil, yaitu pakaian bawah seperti celana, yang dilarang pula celana pendek dan celana dalam, (4) burnus, yaitu pakaian yang menutupi kepala dan badan, yang dilarang pula abaya (mantel), (5) khuf, yaitu yang menutupi kaki terbuat dari kulit, yang dilarang pula sepatu dan kaos kaki. Lima hal di atas dilarang bertujuan: (1) agar menjauhkan dari hidup mewah, lebih dari hal yang biasa dikenakan, (2) orang yang berihram tampak seperti orang yang tunduk dan zuhud, (3) orang-orang yang berihram semuanya berpakaian sama, tak tampak saling berbangga diri, (4) ibadah yang dilakukan sejatinya lebih besar dibandingkan dengan pakaian yang dikenakan, (5) lebih fokus untuk memperbanyak dzikir dan makin dekat kepada Allah, serta berusaha menjauhi maksiat, (6) lebih banyak mengingat mati karena pakaian ihram mengingatkan pada kain kafan yang dikenakan saat meninggal dunia, (7) mengingatkan pada hari berbangkit kelak. Inilah beberapa rahasia di balik larangan ihram. Kaidah larangan ihram: SEGALA YANG MENYELIMUTI BADAN ATAU BAGIAN DARINYA ATAU SEBAGIAN ANGGOTANYA, MAKA ORANG YANG BERIHRAM (MUHRIM) TERLARANG MELAKUKANNYA. Baca juga: Inilah pakaian yang dilarang bagi laki-laki saat ihram dan hikmah di balik itu   5- Belajar untuk rajin berdzikir Sejak sepuluh hari pertama Dzulhijjah, kita sudah diperintahkan untuk banyak bertakbir. Allah Ta’ala berfirman, وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ “Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (QS. Al Hajj: 28). ‘Ayyam ma’lumaat’ menurut salah satu penafsiran adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Dalam ayat lain disebutkan, وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ “Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang terbilang.” (QS. Al Baqarah: 203). Ibnu ‘Umar dan ulama lainnya mengatakan bahwa ayyamul ma’dudat adalah tiga hari tasyriq. Ini menunjukkan adanya perintah berdzikir di hari-hari tasyriq. Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan, Ibnu ‘Abbas berkata, “Berdzikirlah kalian pada Allah di hari-hari yang ditentukan yaitu 10 hari pertama Dzulhijah dan juga pada hari-hari tasyriq.” Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah pernah keluar ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijah, lalu mereka bertakbir, lantas manusia pun ikut bertakbir. Muhammad bin ‘Ali pun bertakbir setelah shalat sunnah. (Dikeluarkan oleh Bukhari tanpa sanad (mu’allaq), pada Bab “Keutamaan beramal di hari tasyriq”) Ibadah thawaf, sa’i dan melempar jumrah pun dilakukan dalam rangka berdzikir pada Allah. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْىُ الْجِمَارِ لإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّهِ “Sesungguhnya thawaf di Ka’bah, melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah dan melempar jumrah adalah bagian dari dzikrullah (dzikir pada Allah).” (HR. Abu Daud, no. 1888; Tirmidzi, no. 902; Ahmad, 6: 46. Imam Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih. Syaikh Al-Albani dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini dha’if) Di hari-hari tasyriq, kita pun diperintahkan untuk membaca doa sapu jagad. Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ, وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Robbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina ‘adzaban naar” [Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka].” (QS. Al Baqarah: 200-201) Dari ayat ini kebanyakan ulama salaf menganjurkan membaca do’a “Robbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina ‘adzaban naar” di hari-hari tasyriq. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh ‘Ikrimah dan ‘Atha’. (Lihat Latha-if Al-Ma’arif, hlm. 505-506). Ini semua mengajarkan pada kita untuk rajin berdzikir. عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ رضى الله عنه أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَىَّ فَأَخْبِرْنِى بِشَىْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ. قَالَ « لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ » Dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ada seseorang yang berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, syariat Islam sungguh banyak dan membebani kami. Beritahukanlah padaku suatu amalan yang aku bisa konsisten dengannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Hendaklah lisanmu tidak berhenti dari berdzikir pada Allah.” (HR. Tirmidzi, no. 3375; Ibnu Majah, no. 3793; Ahmad, 4: 188. Hadits ini shahih menurut Syaikh Al Albani). Baca juga: Khutbah Idul Adha, Pelajaran di Balik Ibadah Qurban dan Haji   6- Capek dalam ibadah pasti berpahala Ibadah haji pasti akan mendapatkan rasa capek, letih, kepayahan luar biasa. Ini namanya capek dalam ibadah. Capek dalam ibadah pasti berpahala. Imam Az-Zarkasi berkata dalam Al-Mantsur, العَمَلُ كُلَّمَا كَثُرَ وَشَقَّ كَانَ أَفْضَلُ مِمَّا لَيْسَ كَذَلِكَ “Amalan yang semakin banyak dan sulit, lebih afdhal daripada amalan yang tidak seperti itu.” Dasar kaidah di atas disimpulkan dari hadits ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, وَلَكِنَّهَا عَلَى قَدْرِ نَصَبِكِ “Akan tetapi, pahalanya tergantung pada usaha yang dikorbankan.” (HR. Muslim, no. 1211). Demikian dikatakan oleh As-Suyuthi ketika menyebutkan kaidah di atas dalam Al-Asybah wa An-Nazhair (hlm. 320). Syaikh ‘Ali Ath-Thanthawi berkata: Aku telah membaca lebih dari tujuh puluh tahun, perkataan penuh hikmah yang paling berkesan adalah: ” أن مشقة الطاعة تذهب ويبقى ثوابها وأن لذة المعاصي تذهب ويبقى عقابها “ – kesulitan dalam ketaatan akan sirna, pahalanya akan tetap ada kelak. – kenikmatan saat bermaksiat akan hilang, tentu hukumannya akan tetap ada.   7- Semangat meraih surga عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: { اَلْعُمْرَةُ إِلَى اَلْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا, وَالْحَجُّ اَلْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا اَلْجَنَّةَ } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Umrah ke umrah menghapus dosa antara keduanya. Pahala bagi haji mabrur tentu saja adalah surga.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 1773 dan Muslim, no. 1349) Haji mabrur berarti memiliki lima sifat atau tanda: haji yang ikhlas karena Allah, tidak ada riya’, tidak ada sum’ah, haji dengan menggunakan harta halal, haji yang jauh dari maksiat, dosa, bid’ah, dan penyimpangan agama, berakhlak yang baik, melakukan syiar Allah dengan penuh pengagungan dan ketundukan kepada Allah, di mana ditandai dengan ketenangan dan tidak tergesa-gesa saat berucap dan berbuat, serta melakukan haji dengan memperbanyak dzikir, takbir, tasbih, tahmid, dan istighfar. Baca juga: 5 Tanda Haji Mabrur   8- Ibadah melihat dari kemampuan Allah Ta’ala berfirman, وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan mampu melakukan perjalanan adalah: (1) sehat badan, (2) bekal uang yang cukup, (3) ada kendaraan tanpa ada bahaya. (Tafsir Ibnu Jarir, 7:38; As-Sunan Al-Kabiir oleh Imam Al-Baihaqi, 4:331. Sanad hadits ini sahih. Lihat Minhah Al-‘Allam, 5:167) Baca juga: Syarat Mampu dalam Berhaji     9- Amalan ada yang bisa dibadalkan Amalan itu ada yang bisa dibadalkan, digantikan oleh orang lain seperti amalan haji. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, أَمَرَتِ امْرَأَةُ سِنَانَ بْنِ سَلَمَةَ الْجُهَنِىِّ أَنْ يَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ أُمَّهَا مَاتَتْ وَلَمْ تَحُجَّ أَفَيُجْزِئُ عَنْ أُمِّهَا أَنْ تَحُجَّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّهَا دَيْنٌ فَقَضَتْهُ عَنْهَا أَلَمْ يَكُنْ يُجْزِئُ عَنْهَا فَلْتَحُجَّ عَنْ أُمِّهَا Istri Sinan bin Salamah Al-Juhaniy meminta bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ibunya yang meninggal dunia dan belum sempat menunaikan haji. Ia tanyakan apakah boleh ia menghajikan ibunya. “Iya, boleh. Seandainya ibunya punya utang, lalu ia lunasi utang tersebut, bukankah itu bermanfaat bagi ibunya? Maka silakan ia hajikan ibunya”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. An-Nasai, no. 2634; Ahmad 1: 217 dari hadits Abu At Tiyah, Ibnu Khuzaimah 3034, Sunan An-Nasai Al-Kubra 3613. Sanad hadits ini sahih kata Al-Hafizh Abu Thahir). Dalam riwayat lain, عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَبِيهَا مَاتَ وَلَمْ يَحُجَّ قَالَ حُجِّى عَنْ أَبِيكِ Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya seorang wanita pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai ayahnya yang meninggal dunia dan belum berhaji, maka beliau bersabda, “Hajikanlah ayahmu.” (HR. Bukhari, no. 1513; Muslim, no. 1334, lafazhnya adalah dari An-Nasai dalam sunannya, no. 2635). Begitu pula boleh menghajikan dan mengumrahkan orang yang tidak mampu itu manfaat sebagaimana hadits berikut. عَنْ أَبِى رَزِينٍ الْعُقَيْلِىِّ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِى شَيْخٌ كَبِيرٌ لاَ يَسْتَطِيعُ الْحَجَّ وَلاَ الْعُمْرَةَ وَالظَّعْنَ. قَالَ حُجَّ عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِرْ Dari Abu Razin Al-‘Uqaili, ia berkata, “Wahai Rasulullah, ayahku sudah tua renta dan tidak mampu berhaji dan berumrah, serta tidak mampu melakukan perjalanan jauh.” Beliau bersabda, “Hajikan ayahmu dan berumrahlah untuknya pula.” (HR. An-Nasai, no. 2638, sanadnya sahih kata Al Hafizh Abu Thahir). Yang membadalkan haji atau umrah diharuskan telah melakukan ibadah tersebut terlebih dahulu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ابْدَأْ بِنَفْسِكَ “Mulailah dari dirimu sendiri.” (HR. Muslim, no. 997). Juga didukung oleh hadits, عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ.فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ شُبْرُمَةُ ». قَالَ قَرِيبٌ لِى. قَالَ « هَلْ حَجَجْتَ قَطُّ ». قَالَ لاَ. قَالَ « فَاجْعَلْ هَذِهِ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ احْجُجْ عَنْ شُبْرُمَةَ ». Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang yang berucap ‘labbaik ‘an Syubrumah’ (aku memenuhi panggilan-Mu -Ya Allah- atas nama Syubrumah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, “Siapa Syubrumah?” “Ia adalah kerabat dekatku”, jawab orang tersebut. “Apakah engkau sudah pernah berhaji sekali sebelumnya?”, tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia jawab, “Belum.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatinya, “Jadikan hajimu ini untuk dirimu, nanti engkau berhaji lagi untuk Syubrumah.” (HR. Ibnu Majah, no. 2903; Abu Daud, no. 1811, Ibnu Khuzaimah 3039, Ibnu Hibban 962. Sanad hadits ini dha’if, Ibnu Abi ‘Urubah adalah perowi ‘an-‘anah. Sedangkan Syaikh Al-Albani mensahihkan hadits ini). Membadalkan haji untuk mayat ada tiga keadaan: Ia sudah wajib berhaji di masa hidupnya, ia wajib dihajikan dari harta peninggalannya. Jika ia tidak memiliki harta peninggalan, ahli waris disunnahkan menghajikannya. Dalam hal ini, yang bukan mahram (ajnabi) boleh menghajikan walau tanpa izin. Ia tidak terkena wajib haji pada masa hidupnya, maka kerabat atau yang bukan mahram (ajnabi) disunnahkan menghajikannya, baik ada wasiat ataukah tidak. Ia sudah pernah berhaji untuk dirinya, apakah ia perlu dihajikan lagi dengan status sunnah? Menurut pendapat al-mu’tamad: Ia dihajikan jika memang ada wasiat. Jika tidak ada wasiat, maka tidak perlu menghajikan. Lihat Tahqiq Ar-Raghbaat bi At-Taqsiimaat wa At-Tasyjiiroot li Tholabah Al-Fiqh Asy-Syafii, hlm. 216. Baca juga: 10 Ketentuan Badal Haji   10- Belajar dari ucapan talbiyah Dari Khallad bin As-Saa-ib, dari ayahnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَتَانِي جِبْرِيلُ, فَأَمَرَنِي أَنْ آمُرَأَصْحَابِي أَنْ يَرْفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالْإِهْلَالِ “Jibril datang kepadaku, lalu memerintahkanku agar aku menyuruh sahabat-sahabatku mengeraskan suara mereka dengan bacaan talbiyah.” (Diriwayatkan oleh Imam yang lima. Hadits ini sahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Hibban). [HR. Abu Daud, no. 1814; Tirmidzi, no. 829; An-Nasai, 5:162; Ibnu Majah, no. 2922; Ahmad, 27:89-90; Ibnu Hibban, no. 3791]. Kalimat “LABBAIK ALLAHUMMA LABBAIK” di atas maksudnya adalah aku penuhi panggilan-Mu, wahai Rabbku, sekali lalu sekali. Kalimat “LAA SYARIKA LAK”, maksudnya adalah aku penuhi panggilan-Mu semata, tidak ada sekutu bagi-Mu. Artinya, kalimat ini berisi pengakuan untuk tidak berbuat syirik. Ini menunjukkan ibadah haji dan ibadah lainnya mesti dilakukan dengan ikhlas untuk mengharap ridha Allah Ta’ala. Lafazh talbiyah diucapkan dengan pengulangan dengan mengharap bahwa pengabulannya itu berulang kali. Lafazh talbiyah yang baik adalah yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi dalam tidak mengapa ditambah atau dikurangi. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar para sahabat menambah atau mengurangi, tetapi beliau tidak mengingkari mereka. Baca juga: Ucapan Talbiyah, Maksud dan Aturan Pengucapannya untuk Jamaah Haji dan Umrah Semoga Allah mudahkan untuk berhaji. Bagi yang sudah berhaji, semoga menjadi haji mabrur. – Perjalanan Panggang – Bandara YIA Kulonprogo, 21 Dzulhijjah 1445 H, 30 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsajakan berhaji amalan haji berhaji fikih haji

10 Pelajaran di Balik Ibadah Haji

Apa saja pelajaran-pelajaran penting di balik ibadah haji? Daftar Isi tutup 1. 1- Belajar untuk ikhlas 2. 2- Belajar untuk mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam 2.1. 3- Belajar untuk sedekah harta, berderma, dan mengorbankan harta 3. 4- Dalam haji saat ihram, belajar untuk meninggalkan larangan walau sementara waktu 4. 5- Belajar untuk rajin berdzikir 5. 6- Capek dalam ibadah pasti berpahala 6. 7- Semangat meraih surga 6.1. Haji mabrur berarti memiliki lima sifat atau tanda: 7. 8- Ibadah melihat dari kemampuan 8. 9- Amalan ada yang bisa dibadalkan 9. 10- Belajar dari ucapan talbiyah 1- Belajar untuk ikhlas Dalam penyembelihan hadyuu dan qurban, Allah Ta’ala berfirman, لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37) Untuk ibadah haji demikian, kita diperintahkan untuk ikhlas, bukan cari gelar dan cari sanjungan. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ “Siapa yang berhaji karena Allah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari, no. 1521). 2- Belajar untuk mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Dalam ibadah haji, hadyuu disembelih sebagaimana aturan qurban untuk waktunya, yaitu mulai dari Iduladha. Al Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah kepada para sahabat pada hari Iduladha setelah mengerjakan shalat Iduladha. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا وَنَسَكَ نُسُكَنَا فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ ، وَمَنْ نَسَكَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّهُ قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَلاَ نُسُكَ لَهُ “Siapa yang shalat seperti shalat kami dan menyembelih kurban seperti kurban kami, maka ia telah mendapatkan pahala kurban. Barangsiapa yang berkurban sebelum shalat Idul Adha, maka itu hanyalah sembelihan yang ada sebelum shalat dan tidak teranggap sebagai kurban.” Abu Burdah yang merupakan paman dari Al Bara’ bin ‘Azib dari jalur ibunya berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ ، فَإِنِّى نَسَكْتُ شَاتِى قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَعَرَفْتُ أَنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ ، وَأَحْبَبْتُ أَنْ تَكُونَ شَاتِى أَوَّلَ مَا يُذْبَحُ فِى بَيْتِى ، فَذَبَحْتُ شَاتِى وَتَغَدَّيْتُ قَبْلَ أَنْ آتِىَ الصَّلاَةَ “Wahai Rasulullah, aku telah menyembelih kambingku sebelum shalat Idul Adha. Aku tahu bahwa hari itu adalah hari untuk makan dan minum. Aku senang jika kambingku adalah binatang yang pertama kali disembelih di rumahku. Oleh karena itu, aku menyembelihnya dan aku sarapan dengannya sebelum aku shalat Idul Adha.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, شَاتُكَ شَاةُ لَحْمٍ “Kambingmu hanyalah kambing biasa (yang dimakan dagingnya, bukan kambing kurban).” (HR. Bukhari no. 955) Begitu pula dalam ibadah haji hendaklah sesuai tuntunan, tidak bisa kita beribadah asal-asalan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ أَدْرِى لَعَلِّى لاَ أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِى هَذِهِ “Ambillah dariku manasik-manasik kalian, karena sesungguhnya aku tidak mengetahui, mungkin saja aku tidak berhaji setelah hajiku ini.” (HR. Muslim no. 1297, dari Jabir).   3- Belajar untuk sedekah harta, berderma, dan mengorbankan harta Ingat Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula, مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ “Sedekah tidaklah mengurangi harta.” (HR. Muslim, no. 2588; dari Abu Hurairah) Imam Nawawi berkata, “Kekurangan harta bisa ditutup dengan keberkahannya atau ditutup dengan pahala di sisi Allah.” (Syarh Shahih Muslim, 16: 128).   4- Dalam haji saat ihram, belajar untuk meninggalkan larangan walau sementara waktu Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang pakaian yang dipakai oleh orang yang berihram. Beliau bersabda, أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ ( سُئِلَ: مَا يَلْبَسُ اَلْمُحْرِمُ مِنْ اَلثِّيَابِ? فَقَالَ: ” لَا تَلْبَسُوا الْقُمُصَ, وَلَا اَلْعَمَائِمَ, وَلَا السَّرَاوِيلَاتِ, وَلَا اَلْبَرَانِسَ, وَلَا اَلْخِفَافَ, إِلَّا أَحَدٌ لَا يَجِدُ اَلنَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ اَلْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ اَلْكَعْبَيْنِ, وَلَا تَلْبَسُوا شَيْئًا مِنْ اَلثِّيَابِ مَسَّهُ اَلزَّعْفَرَانُ وَلَا اَلْوَرْسُ” “Tidak boleh memakai gamis (baju), surban, celana, penutup kepala, dan sepatu kecuali seseorang yang tidak memakai sandal, ia boleh mengenakan sepatu. Namun, hendaklah ia memotong bagian yang lebih bawah dari mata kaki. Jangan memakai pakaian yang terkena za’faran dan wars.” (Muttafaqun ‘alaih dan lafaznya dari Imam Muslim). [HR. Bukhari, no. 1542 dan Muslim, no. 1177] Pakaian yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dikenakan adalah: (1) qamis, yaitu pakaian yang memiliki lengan, yang dilarang pula kaos, jubah, dan kemeja, (2) imamah, yaitu penutup kepala, yang dilarang pula kopiah, (3) sarowil, yaitu pakaian bawah seperti celana, yang dilarang pula celana pendek dan celana dalam, (4) burnus, yaitu pakaian yang menutupi kepala dan badan, yang dilarang pula abaya (mantel), (5) khuf, yaitu yang menutupi kaki terbuat dari kulit, yang dilarang pula sepatu dan kaos kaki. Lima hal di atas dilarang bertujuan: (1) agar menjauhkan dari hidup mewah, lebih dari hal yang biasa dikenakan, (2) orang yang berihram tampak seperti orang yang tunduk dan zuhud, (3) orang-orang yang berihram semuanya berpakaian sama, tak tampak saling berbangga diri, (4) ibadah yang dilakukan sejatinya lebih besar dibandingkan dengan pakaian yang dikenakan, (5) lebih fokus untuk memperbanyak dzikir dan makin dekat kepada Allah, serta berusaha menjauhi maksiat, (6) lebih banyak mengingat mati karena pakaian ihram mengingatkan pada kain kafan yang dikenakan saat meninggal dunia, (7) mengingatkan pada hari berbangkit kelak. Inilah beberapa rahasia di balik larangan ihram. Kaidah larangan ihram: SEGALA YANG MENYELIMUTI BADAN ATAU BAGIAN DARINYA ATAU SEBAGIAN ANGGOTANYA, MAKA ORANG YANG BERIHRAM (MUHRIM) TERLARANG MELAKUKANNYA. Baca juga: Inilah pakaian yang dilarang bagi laki-laki saat ihram dan hikmah di balik itu   5- Belajar untuk rajin berdzikir Sejak sepuluh hari pertama Dzulhijjah, kita sudah diperintahkan untuk banyak bertakbir. Allah Ta’ala berfirman, وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ “Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (QS. Al Hajj: 28). ‘Ayyam ma’lumaat’ menurut salah satu penafsiran adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Dalam ayat lain disebutkan, وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ “Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang terbilang.” (QS. Al Baqarah: 203). Ibnu ‘Umar dan ulama lainnya mengatakan bahwa ayyamul ma’dudat adalah tiga hari tasyriq. Ini menunjukkan adanya perintah berdzikir di hari-hari tasyriq. Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan, Ibnu ‘Abbas berkata, “Berdzikirlah kalian pada Allah di hari-hari yang ditentukan yaitu 10 hari pertama Dzulhijah dan juga pada hari-hari tasyriq.” Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah pernah keluar ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijah, lalu mereka bertakbir, lantas manusia pun ikut bertakbir. Muhammad bin ‘Ali pun bertakbir setelah shalat sunnah. (Dikeluarkan oleh Bukhari tanpa sanad (mu’allaq), pada Bab “Keutamaan beramal di hari tasyriq”) Ibadah thawaf, sa’i dan melempar jumrah pun dilakukan dalam rangka berdzikir pada Allah. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْىُ الْجِمَارِ لإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّهِ “Sesungguhnya thawaf di Ka’bah, melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah dan melempar jumrah adalah bagian dari dzikrullah (dzikir pada Allah).” (HR. Abu Daud, no. 1888; Tirmidzi, no. 902; Ahmad, 6: 46. Imam Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih. Syaikh Al-Albani dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini dha’if) Di hari-hari tasyriq, kita pun diperintahkan untuk membaca doa sapu jagad. Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ, وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Robbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina ‘adzaban naar” [Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka].” (QS. Al Baqarah: 200-201) Dari ayat ini kebanyakan ulama salaf menganjurkan membaca do’a “Robbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina ‘adzaban naar” di hari-hari tasyriq. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh ‘Ikrimah dan ‘Atha’. (Lihat Latha-if Al-Ma’arif, hlm. 505-506). Ini semua mengajarkan pada kita untuk rajin berdzikir. عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ رضى الله عنه أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَىَّ فَأَخْبِرْنِى بِشَىْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ. قَالَ « لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ » Dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ada seseorang yang berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, syariat Islam sungguh banyak dan membebani kami. Beritahukanlah padaku suatu amalan yang aku bisa konsisten dengannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Hendaklah lisanmu tidak berhenti dari berdzikir pada Allah.” (HR. Tirmidzi, no. 3375; Ibnu Majah, no. 3793; Ahmad, 4: 188. Hadits ini shahih menurut Syaikh Al Albani). Baca juga: Khutbah Idul Adha, Pelajaran di Balik Ibadah Qurban dan Haji   6- Capek dalam ibadah pasti berpahala Ibadah haji pasti akan mendapatkan rasa capek, letih, kepayahan luar biasa. Ini namanya capek dalam ibadah. Capek dalam ibadah pasti berpahala. Imam Az-Zarkasi berkata dalam Al-Mantsur, العَمَلُ كُلَّمَا كَثُرَ وَشَقَّ كَانَ أَفْضَلُ مِمَّا لَيْسَ كَذَلِكَ “Amalan yang semakin banyak dan sulit, lebih afdhal daripada amalan yang tidak seperti itu.” Dasar kaidah di atas disimpulkan dari hadits ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, وَلَكِنَّهَا عَلَى قَدْرِ نَصَبِكِ “Akan tetapi, pahalanya tergantung pada usaha yang dikorbankan.” (HR. Muslim, no. 1211). Demikian dikatakan oleh As-Suyuthi ketika menyebutkan kaidah di atas dalam Al-Asybah wa An-Nazhair (hlm. 320). Syaikh ‘Ali Ath-Thanthawi berkata: Aku telah membaca lebih dari tujuh puluh tahun, perkataan penuh hikmah yang paling berkesan adalah: ” أن مشقة الطاعة تذهب ويبقى ثوابها وأن لذة المعاصي تذهب ويبقى عقابها “ – kesulitan dalam ketaatan akan sirna, pahalanya akan tetap ada kelak. – kenikmatan saat bermaksiat akan hilang, tentu hukumannya akan tetap ada.   7- Semangat meraih surga عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: { اَلْعُمْرَةُ إِلَى اَلْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا, وَالْحَجُّ اَلْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا اَلْجَنَّةَ } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Umrah ke umrah menghapus dosa antara keduanya. Pahala bagi haji mabrur tentu saja adalah surga.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 1773 dan Muslim, no. 1349) Haji mabrur berarti memiliki lima sifat atau tanda: haji yang ikhlas karena Allah, tidak ada riya’, tidak ada sum’ah, haji dengan menggunakan harta halal, haji yang jauh dari maksiat, dosa, bid’ah, dan penyimpangan agama, berakhlak yang baik, melakukan syiar Allah dengan penuh pengagungan dan ketundukan kepada Allah, di mana ditandai dengan ketenangan dan tidak tergesa-gesa saat berucap dan berbuat, serta melakukan haji dengan memperbanyak dzikir, takbir, tasbih, tahmid, dan istighfar. Baca juga: 5 Tanda Haji Mabrur   8- Ibadah melihat dari kemampuan Allah Ta’ala berfirman, وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan mampu melakukan perjalanan adalah: (1) sehat badan, (2) bekal uang yang cukup, (3) ada kendaraan tanpa ada bahaya. (Tafsir Ibnu Jarir, 7:38; As-Sunan Al-Kabiir oleh Imam Al-Baihaqi, 4:331. Sanad hadits ini sahih. Lihat Minhah Al-‘Allam, 5:167) Baca juga: Syarat Mampu dalam Berhaji     9- Amalan ada yang bisa dibadalkan Amalan itu ada yang bisa dibadalkan, digantikan oleh orang lain seperti amalan haji. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, أَمَرَتِ امْرَأَةُ سِنَانَ بْنِ سَلَمَةَ الْجُهَنِىِّ أَنْ يَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ أُمَّهَا مَاتَتْ وَلَمْ تَحُجَّ أَفَيُجْزِئُ عَنْ أُمِّهَا أَنْ تَحُجَّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّهَا دَيْنٌ فَقَضَتْهُ عَنْهَا أَلَمْ يَكُنْ يُجْزِئُ عَنْهَا فَلْتَحُجَّ عَنْ أُمِّهَا Istri Sinan bin Salamah Al-Juhaniy meminta bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ibunya yang meninggal dunia dan belum sempat menunaikan haji. Ia tanyakan apakah boleh ia menghajikan ibunya. “Iya, boleh. Seandainya ibunya punya utang, lalu ia lunasi utang tersebut, bukankah itu bermanfaat bagi ibunya? Maka silakan ia hajikan ibunya”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. An-Nasai, no. 2634; Ahmad 1: 217 dari hadits Abu At Tiyah, Ibnu Khuzaimah 3034, Sunan An-Nasai Al-Kubra 3613. Sanad hadits ini sahih kata Al-Hafizh Abu Thahir). Dalam riwayat lain, عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَبِيهَا مَاتَ وَلَمْ يَحُجَّ قَالَ حُجِّى عَنْ أَبِيكِ Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya seorang wanita pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai ayahnya yang meninggal dunia dan belum berhaji, maka beliau bersabda, “Hajikanlah ayahmu.” (HR. Bukhari, no. 1513; Muslim, no. 1334, lafazhnya adalah dari An-Nasai dalam sunannya, no. 2635). Begitu pula boleh menghajikan dan mengumrahkan orang yang tidak mampu itu manfaat sebagaimana hadits berikut. عَنْ أَبِى رَزِينٍ الْعُقَيْلِىِّ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِى شَيْخٌ كَبِيرٌ لاَ يَسْتَطِيعُ الْحَجَّ وَلاَ الْعُمْرَةَ وَالظَّعْنَ. قَالَ حُجَّ عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِرْ Dari Abu Razin Al-‘Uqaili, ia berkata, “Wahai Rasulullah, ayahku sudah tua renta dan tidak mampu berhaji dan berumrah, serta tidak mampu melakukan perjalanan jauh.” Beliau bersabda, “Hajikan ayahmu dan berumrahlah untuknya pula.” (HR. An-Nasai, no. 2638, sanadnya sahih kata Al Hafizh Abu Thahir). Yang membadalkan haji atau umrah diharuskan telah melakukan ibadah tersebut terlebih dahulu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ابْدَأْ بِنَفْسِكَ “Mulailah dari dirimu sendiri.” (HR. Muslim, no. 997). Juga didukung oleh hadits, عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ.فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ شُبْرُمَةُ ». قَالَ قَرِيبٌ لِى. قَالَ « هَلْ حَجَجْتَ قَطُّ ». قَالَ لاَ. قَالَ « فَاجْعَلْ هَذِهِ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ احْجُجْ عَنْ شُبْرُمَةَ ». Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang yang berucap ‘labbaik ‘an Syubrumah’ (aku memenuhi panggilan-Mu -Ya Allah- atas nama Syubrumah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, “Siapa Syubrumah?” “Ia adalah kerabat dekatku”, jawab orang tersebut. “Apakah engkau sudah pernah berhaji sekali sebelumnya?”, tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia jawab, “Belum.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatinya, “Jadikan hajimu ini untuk dirimu, nanti engkau berhaji lagi untuk Syubrumah.” (HR. Ibnu Majah, no. 2903; Abu Daud, no. 1811, Ibnu Khuzaimah 3039, Ibnu Hibban 962. Sanad hadits ini dha’if, Ibnu Abi ‘Urubah adalah perowi ‘an-‘anah. Sedangkan Syaikh Al-Albani mensahihkan hadits ini). Membadalkan haji untuk mayat ada tiga keadaan: Ia sudah wajib berhaji di masa hidupnya, ia wajib dihajikan dari harta peninggalannya. Jika ia tidak memiliki harta peninggalan, ahli waris disunnahkan menghajikannya. Dalam hal ini, yang bukan mahram (ajnabi) boleh menghajikan walau tanpa izin. Ia tidak terkena wajib haji pada masa hidupnya, maka kerabat atau yang bukan mahram (ajnabi) disunnahkan menghajikannya, baik ada wasiat ataukah tidak. Ia sudah pernah berhaji untuk dirinya, apakah ia perlu dihajikan lagi dengan status sunnah? Menurut pendapat al-mu’tamad: Ia dihajikan jika memang ada wasiat. Jika tidak ada wasiat, maka tidak perlu menghajikan. Lihat Tahqiq Ar-Raghbaat bi At-Taqsiimaat wa At-Tasyjiiroot li Tholabah Al-Fiqh Asy-Syafii, hlm. 216. Baca juga: 10 Ketentuan Badal Haji   10- Belajar dari ucapan talbiyah Dari Khallad bin As-Saa-ib, dari ayahnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَتَانِي جِبْرِيلُ, فَأَمَرَنِي أَنْ آمُرَأَصْحَابِي أَنْ يَرْفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالْإِهْلَالِ “Jibril datang kepadaku, lalu memerintahkanku agar aku menyuruh sahabat-sahabatku mengeraskan suara mereka dengan bacaan talbiyah.” (Diriwayatkan oleh Imam yang lima. Hadits ini sahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Hibban). [HR. Abu Daud, no. 1814; Tirmidzi, no. 829; An-Nasai, 5:162; Ibnu Majah, no. 2922; Ahmad, 27:89-90; Ibnu Hibban, no. 3791]. Kalimat “LABBAIK ALLAHUMMA LABBAIK” di atas maksudnya adalah aku penuhi panggilan-Mu, wahai Rabbku, sekali lalu sekali. Kalimat “LAA SYARIKA LAK”, maksudnya adalah aku penuhi panggilan-Mu semata, tidak ada sekutu bagi-Mu. Artinya, kalimat ini berisi pengakuan untuk tidak berbuat syirik. Ini menunjukkan ibadah haji dan ibadah lainnya mesti dilakukan dengan ikhlas untuk mengharap ridha Allah Ta’ala. Lafazh talbiyah diucapkan dengan pengulangan dengan mengharap bahwa pengabulannya itu berulang kali. Lafazh talbiyah yang baik adalah yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi dalam tidak mengapa ditambah atau dikurangi. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar para sahabat menambah atau mengurangi, tetapi beliau tidak mengingkari mereka. Baca juga: Ucapan Talbiyah, Maksud dan Aturan Pengucapannya untuk Jamaah Haji dan Umrah Semoga Allah mudahkan untuk berhaji. Bagi yang sudah berhaji, semoga menjadi haji mabrur. – Perjalanan Panggang – Bandara YIA Kulonprogo, 21 Dzulhijjah 1445 H, 30 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsajakan berhaji amalan haji berhaji fikih haji
Apa saja pelajaran-pelajaran penting di balik ibadah haji? Daftar Isi tutup 1. 1- Belajar untuk ikhlas 2. 2- Belajar untuk mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam 2.1. 3- Belajar untuk sedekah harta, berderma, dan mengorbankan harta 3. 4- Dalam haji saat ihram, belajar untuk meninggalkan larangan walau sementara waktu 4. 5- Belajar untuk rajin berdzikir 5. 6- Capek dalam ibadah pasti berpahala 6. 7- Semangat meraih surga 6.1. Haji mabrur berarti memiliki lima sifat atau tanda: 7. 8- Ibadah melihat dari kemampuan 8. 9- Amalan ada yang bisa dibadalkan 9. 10- Belajar dari ucapan talbiyah 1- Belajar untuk ikhlas Dalam penyembelihan hadyuu dan qurban, Allah Ta’ala berfirman, لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37) Untuk ibadah haji demikian, kita diperintahkan untuk ikhlas, bukan cari gelar dan cari sanjungan. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ “Siapa yang berhaji karena Allah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari, no. 1521). 2- Belajar untuk mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Dalam ibadah haji, hadyuu disembelih sebagaimana aturan qurban untuk waktunya, yaitu mulai dari Iduladha. Al Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah kepada para sahabat pada hari Iduladha setelah mengerjakan shalat Iduladha. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا وَنَسَكَ نُسُكَنَا فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ ، وَمَنْ نَسَكَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّهُ قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَلاَ نُسُكَ لَهُ “Siapa yang shalat seperti shalat kami dan menyembelih kurban seperti kurban kami, maka ia telah mendapatkan pahala kurban. Barangsiapa yang berkurban sebelum shalat Idul Adha, maka itu hanyalah sembelihan yang ada sebelum shalat dan tidak teranggap sebagai kurban.” Abu Burdah yang merupakan paman dari Al Bara’ bin ‘Azib dari jalur ibunya berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ ، فَإِنِّى نَسَكْتُ شَاتِى قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَعَرَفْتُ أَنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ ، وَأَحْبَبْتُ أَنْ تَكُونَ شَاتِى أَوَّلَ مَا يُذْبَحُ فِى بَيْتِى ، فَذَبَحْتُ شَاتِى وَتَغَدَّيْتُ قَبْلَ أَنْ آتِىَ الصَّلاَةَ “Wahai Rasulullah, aku telah menyembelih kambingku sebelum shalat Idul Adha. Aku tahu bahwa hari itu adalah hari untuk makan dan minum. Aku senang jika kambingku adalah binatang yang pertama kali disembelih di rumahku. Oleh karena itu, aku menyembelihnya dan aku sarapan dengannya sebelum aku shalat Idul Adha.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, شَاتُكَ شَاةُ لَحْمٍ “Kambingmu hanyalah kambing biasa (yang dimakan dagingnya, bukan kambing kurban).” (HR. Bukhari no. 955) Begitu pula dalam ibadah haji hendaklah sesuai tuntunan, tidak bisa kita beribadah asal-asalan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ أَدْرِى لَعَلِّى لاَ أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِى هَذِهِ “Ambillah dariku manasik-manasik kalian, karena sesungguhnya aku tidak mengetahui, mungkin saja aku tidak berhaji setelah hajiku ini.” (HR. Muslim no. 1297, dari Jabir).   3- Belajar untuk sedekah harta, berderma, dan mengorbankan harta Ingat Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula, مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ “Sedekah tidaklah mengurangi harta.” (HR. Muslim, no. 2588; dari Abu Hurairah) Imam Nawawi berkata, “Kekurangan harta bisa ditutup dengan keberkahannya atau ditutup dengan pahala di sisi Allah.” (Syarh Shahih Muslim, 16: 128).   4- Dalam haji saat ihram, belajar untuk meninggalkan larangan walau sementara waktu Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang pakaian yang dipakai oleh orang yang berihram. Beliau bersabda, أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ ( سُئِلَ: مَا يَلْبَسُ اَلْمُحْرِمُ مِنْ اَلثِّيَابِ? فَقَالَ: ” لَا تَلْبَسُوا الْقُمُصَ, وَلَا اَلْعَمَائِمَ, وَلَا السَّرَاوِيلَاتِ, وَلَا اَلْبَرَانِسَ, وَلَا اَلْخِفَافَ, إِلَّا أَحَدٌ لَا يَجِدُ اَلنَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ اَلْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ اَلْكَعْبَيْنِ, وَلَا تَلْبَسُوا شَيْئًا مِنْ اَلثِّيَابِ مَسَّهُ اَلزَّعْفَرَانُ وَلَا اَلْوَرْسُ” “Tidak boleh memakai gamis (baju), surban, celana, penutup kepala, dan sepatu kecuali seseorang yang tidak memakai sandal, ia boleh mengenakan sepatu. Namun, hendaklah ia memotong bagian yang lebih bawah dari mata kaki. Jangan memakai pakaian yang terkena za’faran dan wars.” (Muttafaqun ‘alaih dan lafaznya dari Imam Muslim). [HR. Bukhari, no. 1542 dan Muslim, no. 1177] Pakaian yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dikenakan adalah: (1) qamis, yaitu pakaian yang memiliki lengan, yang dilarang pula kaos, jubah, dan kemeja, (2) imamah, yaitu penutup kepala, yang dilarang pula kopiah, (3) sarowil, yaitu pakaian bawah seperti celana, yang dilarang pula celana pendek dan celana dalam, (4) burnus, yaitu pakaian yang menutupi kepala dan badan, yang dilarang pula abaya (mantel), (5) khuf, yaitu yang menutupi kaki terbuat dari kulit, yang dilarang pula sepatu dan kaos kaki. Lima hal di atas dilarang bertujuan: (1) agar menjauhkan dari hidup mewah, lebih dari hal yang biasa dikenakan, (2) orang yang berihram tampak seperti orang yang tunduk dan zuhud, (3) orang-orang yang berihram semuanya berpakaian sama, tak tampak saling berbangga diri, (4) ibadah yang dilakukan sejatinya lebih besar dibandingkan dengan pakaian yang dikenakan, (5) lebih fokus untuk memperbanyak dzikir dan makin dekat kepada Allah, serta berusaha menjauhi maksiat, (6) lebih banyak mengingat mati karena pakaian ihram mengingatkan pada kain kafan yang dikenakan saat meninggal dunia, (7) mengingatkan pada hari berbangkit kelak. Inilah beberapa rahasia di balik larangan ihram. Kaidah larangan ihram: SEGALA YANG MENYELIMUTI BADAN ATAU BAGIAN DARINYA ATAU SEBAGIAN ANGGOTANYA, MAKA ORANG YANG BERIHRAM (MUHRIM) TERLARANG MELAKUKANNYA. Baca juga: Inilah pakaian yang dilarang bagi laki-laki saat ihram dan hikmah di balik itu   5- Belajar untuk rajin berdzikir Sejak sepuluh hari pertama Dzulhijjah, kita sudah diperintahkan untuk banyak bertakbir. Allah Ta’ala berfirman, وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ “Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (QS. Al Hajj: 28). ‘Ayyam ma’lumaat’ menurut salah satu penafsiran adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Dalam ayat lain disebutkan, وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ “Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang terbilang.” (QS. Al Baqarah: 203). Ibnu ‘Umar dan ulama lainnya mengatakan bahwa ayyamul ma’dudat adalah tiga hari tasyriq. Ini menunjukkan adanya perintah berdzikir di hari-hari tasyriq. Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan, Ibnu ‘Abbas berkata, “Berdzikirlah kalian pada Allah di hari-hari yang ditentukan yaitu 10 hari pertama Dzulhijah dan juga pada hari-hari tasyriq.” Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah pernah keluar ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijah, lalu mereka bertakbir, lantas manusia pun ikut bertakbir. Muhammad bin ‘Ali pun bertakbir setelah shalat sunnah. (Dikeluarkan oleh Bukhari tanpa sanad (mu’allaq), pada Bab “Keutamaan beramal di hari tasyriq”) Ibadah thawaf, sa’i dan melempar jumrah pun dilakukan dalam rangka berdzikir pada Allah. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْىُ الْجِمَارِ لإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّهِ “Sesungguhnya thawaf di Ka’bah, melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah dan melempar jumrah adalah bagian dari dzikrullah (dzikir pada Allah).” (HR. Abu Daud, no. 1888; Tirmidzi, no. 902; Ahmad, 6: 46. Imam Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih. Syaikh Al-Albani dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini dha’if) Di hari-hari tasyriq, kita pun diperintahkan untuk membaca doa sapu jagad. Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ, وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Robbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina ‘adzaban naar” [Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka].” (QS. Al Baqarah: 200-201) Dari ayat ini kebanyakan ulama salaf menganjurkan membaca do’a “Robbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina ‘adzaban naar” di hari-hari tasyriq. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh ‘Ikrimah dan ‘Atha’. (Lihat Latha-if Al-Ma’arif, hlm. 505-506). Ini semua mengajarkan pada kita untuk rajin berdzikir. عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ رضى الله عنه أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَىَّ فَأَخْبِرْنِى بِشَىْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ. قَالَ « لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ » Dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ada seseorang yang berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, syariat Islam sungguh banyak dan membebani kami. Beritahukanlah padaku suatu amalan yang aku bisa konsisten dengannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Hendaklah lisanmu tidak berhenti dari berdzikir pada Allah.” (HR. Tirmidzi, no. 3375; Ibnu Majah, no. 3793; Ahmad, 4: 188. Hadits ini shahih menurut Syaikh Al Albani). Baca juga: Khutbah Idul Adha, Pelajaran di Balik Ibadah Qurban dan Haji   6- Capek dalam ibadah pasti berpahala Ibadah haji pasti akan mendapatkan rasa capek, letih, kepayahan luar biasa. Ini namanya capek dalam ibadah. Capek dalam ibadah pasti berpahala. Imam Az-Zarkasi berkata dalam Al-Mantsur, العَمَلُ كُلَّمَا كَثُرَ وَشَقَّ كَانَ أَفْضَلُ مِمَّا لَيْسَ كَذَلِكَ “Amalan yang semakin banyak dan sulit, lebih afdhal daripada amalan yang tidak seperti itu.” Dasar kaidah di atas disimpulkan dari hadits ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, وَلَكِنَّهَا عَلَى قَدْرِ نَصَبِكِ “Akan tetapi, pahalanya tergantung pada usaha yang dikorbankan.” (HR. Muslim, no. 1211). Demikian dikatakan oleh As-Suyuthi ketika menyebutkan kaidah di atas dalam Al-Asybah wa An-Nazhair (hlm. 320). Syaikh ‘Ali Ath-Thanthawi berkata: Aku telah membaca lebih dari tujuh puluh tahun, perkataan penuh hikmah yang paling berkesan adalah: ” أن مشقة الطاعة تذهب ويبقى ثوابها وأن لذة المعاصي تذهب ويبقى عقابها “ – kesulitan dalam ketaatan akan sirna, pahalanya akan tetap ada kelak. – kenikmatan saat bermaksiat akan hilang, tentu hukumannya akan tetap ada.   7- Semangat meraih surga عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: { اَلْعُمْرَةُ إِلَى اَلْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا, وَالْحَجُّ اَلْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا اَلْجَنَّةَ } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Umrah ke umrah menghapus dosa antara keduanya. Pahala bagi haji mabrur tentu saja adalah surga.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 1773 dan Muslim, no. 1349) Haji mabrur berarti memiliki lima sifat atau tanda: haji yang ikhlas karena Allah, tidak ada riya’, tidak ada sum’ah, haji dengan menggunakan harta halal, haji yang jauh dari maksiat, dosa, bid’ah, dan penyimpangan agama, berakhlak yang baik, melakukan syiar Allah dengan penuh pengagungan dan ketundukan kepada Allah, di mana ditandai dengan ketenangan dan tidak tergesa-gesa saat berucap dan berbuat, serta melakukan haji dengan memperbanyak dzikir, takbir, tasbih, tahmid, dan istighfar. Baca juga: 5 Tanda Haji Mabrur   8- Ibadah melihat dari kemampuan Allah Ta’ala berfirman, وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan mampu melakukan perjalanan adalah: (1) sehat badan, (2) bekal uang yang cukup, (3) ada kendaraan tanpa ada bahaya. (Tafsir Ibnu Jarir, 7:38; As-Sunan Al-Kabiir oleh Imam Al-Baihaqi, 4:331. Sanad hadits ini sahih. Lihat Minhah Al-‘Allam, 5:167) Baca juga: Syarat Mampu dalam Berhaji     9- Amalan ada yang bisa dibadalkan Amalan itu ada yang bisa dibadalkan, digantikan oleh orang lain seperti amalan haji. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, أَمَرَتِ امْرَأَةُ سِنَانَ بْنِ سَلَمَةَ الْجُهَنِىِّ أَنْ يَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ أُمَّهَا مَاتَتْ وَلَمْ تَحُجَّ أَفَيُجْزِئُ عَنْ أُمِّهَا أَنْ تَحُجَّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّهَا دَيْنٌ فَقَضَتْهُ عَنْهَا أَلَمْ يَكُنْ يُجْزِئُ عَنْهَا فَلْتَحُجَّ عَنْ أُمِّهَا Istri Sinan bin Salamah Al-Juhaniy meminta bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ibunya yang meninggal dunia dan belum sempat menunaikan haji. Ia tanyakan apakah boleh ia menghajikan ibunya. “Iya, boleh. Seandainya ibunya punya utang, lalu ia lunasi utang tersebut, bukankah itu bermanfaat bagi ibunya? Maka silakan ia hajikan ibunya”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. An-Nasai, no. 2634; Ahmad 1: 217 dari hadits Abu At Tiyah, Ibnu Khuzaimah 3034, Sunan An-Nasai Al-Kubra 3613. Sanad hadits ini sahih kata Al-Hafizh Abu Thahir). Dalam riwayat lain, عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَبِيهَا مَاتَ وَلَمْ يَحُجَّ قَالَ حُجِّى عَنْ أَبِيكِ Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya seorang wanita pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai ayahnya yang meninggal dunia dan belum berhaji, maka beliau bersabda, “Hajikanlah ayahmu.” (HR. Bukhari, no. 1513; Muslim, no. 1334, lafazhnya adalah dari An-Nasai dalam sunannya, no. 2635). Begitu pula boleh menghajikan dan mengumrahkan orang yang tidak mampu itu manfaat sebagaimana hadits berikut. عَنْ أَبِى رَزِينٍ الْعُقَيْلِىِّ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِى شَيْخٌ كَبِيرٌ لاَ يَسْتَطِيعُ الْحَجَّ وَلاَ الْعُمْرَةَ وَالظَّعْنَ. قَالَ حُجَّ عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِرْ Dari Abu Razin Al-‘Uqaili, ia berkata, “Wahai Rasulullah, ayahku sudah tua renta dan tidak mampu berhaji dan berumrah, serta tidak mampu melakukan perjalanan jauh.” Beliau bersabda, “Hajikan ayahmu dan berumrahlah untuknya pula.” (HR. An-Nasai, no. 2638, sanadnya sahih kata Al Hafizh Abu Thahir). Yang membadalkan haji atau umrah diharuskan telah melakukan ibadah tersebut terlebih dahulu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ابْدَأْ بِنَفْسِكَ “Mulailah dari dirimu sendiri.” (HR. Muslim, no. 997). Juga didukung oleh hadits, عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ.فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ شُبْرُمَةُ ». قَالَ قَرِيبٌ لِى. قَالَ « هَلْ حَجَجْتَ قَطُّ ». قَالَ لاَ. قَالَ « فَاجْعَلْ هَذِهِ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ احْجُجْ عَنْ شُبْرُمَةَ ». Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang yang berucap ‘labbaik ‘an Syubrumah’ (aku memenuhi panggilan-Mu -Ya Allah- atas nama Syubrumah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, “Siapa Syubrumah?” “Ia adalah kerabat dekatku”, jawab orang tersebut. “Apakah engkau sudah pernah berhaji sekali sebelumnya?”, tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia jawab, “Belum.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatinya, “Jadikan hajimu ini untuk dirimu, nanti engkau berhaji lagi untuk Syubrumah.” (HR. Ibnu Majah, no. 2903; Abu Daud, no. 1811, Ibnu Khuzaimah 3039, Ibnu Hibban 962. Sanad hadits ini dha’if, Ibnu Abi ‘Urubah adalah perowi ‘an-‘anah. Sedangkan Syaikh Al-Albani mensahihkan hadits ini). Membadalkan haji untuk mayat ada tiga keadaan: Ia sudah wajib berhaji di masa hidupnya, ia wajib dihajikan dari harta peninggalannya. Jika ia tidak memiliki harta peninggalan, ahli waris disunnahkan menghajikannya. Dalam hal ini, yang bukan mahram (ajnabi) boleh menghajikan walau tanpa izin. Ia tidak terkena wajib haji pada masa hidupnya, maka kerabat atau yang bukan mahram (ajnabi) disunnahkan menghajikannya, baik ada wasiat ataukah tidak. Ia sudah pernah berhaji untuk dirinya, apakah ia perlu dihajikan lagi dengan status sunnah? Menurut pendapat al-mu’tamad: Ia dihajikan jika memang ada wasiat. Jika tidak ada wasiat, maka tidak perlu menghajikan. Lihat Tahqiq Ar-Raghbaat bi At-Taqsiimaat wa At-Tasyjiiroot li Tholabah Al-Fiqh Asy-Syafii, hlm. 216. Baca juga: 10 Ketentuan Badal Haji   10- Belajar dari ucapan talbiyah Dari Khallad bin As-Saa-ib, dari ayahnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَتَانِي جِبْرِيلُ, فَأَمَرَنِي أَنْ آمُرَأَصْحَابِي أَنْ يَرْفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالْإِهْلَالِ “Jibril datang kepadaku, lalu memerintahkanku agar aku menyuruh sahabat-sahabatku mengeraskan suara mereka dengan bacaan talbiyah.” (Diriwayatkan oleh Imam yang lima. Hadits ini sahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Hibban). [HR. Abu Daud, no. 1814; Tirmidzi, no. 829; An-Nasai, 5:162; Ibnu Majah, no. 2922; Ahmad, 27:89-90; Ibnu Hibban, no. 3791]. Kalimat “LABBAIK ALLAHUMMA LABBAIK” di atas maksudnya adalah aku penuhi panggilan-Mu, wahai Rabbku, sekali lalu sekali. Kalimat “LAA SYARIKA LAK”, maksudnya adalah aku penuhi panggilan-Mu semata, tidak ada sekutu bagi-Mu. Artinya, kalimat ini berisi pengakuan untuk tidak berbuat syirik. Ini menunjukkan ibadah haji dan ibadah lainnya mesti dilakukan dengan ikhlas untuk mengharap ridha Allah Ta’ala. Lafazh talbiyah diucapkan dengan pengulangan dengan mengharap bahwa pengabulannya itu berulang kali. Lafazh talbiyah yang baik adalah yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi dalam tidak mengapa ditambah atau dikurangi. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar para sahabat menambah atau mengurangi, tetapi beliau tidak mengingkari mereka. Baca juga: Ucapan Talbiyah, Maksud dan Aturan Pengucapannya untuk Jamaah Haji dan Umrah Semoga Allah mudahkan untuk berhaji. Bagi yang sudah berhaji, semoga menjadi haji mabrur. – Perjalanan Panggang – Bandara YIA Kulonprogo, 21 Dzulhijjah 1445 H, 30 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsajakan berhaji amalan haji berhaji fikih haji


Apa saja pelajaran-pelajaran penting di balik ibadah haji? Daftar Isi tutup 1. 1- Belajar untuk ikhlas 2. 2- Belajar untuk mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam 2.1. 3- Belajar untuk sedekah harta, berderma, dan mengorbankan harta 3. 4- Dalam haji saat ihram, belajar untuk meninggalkan larangan walau sementara waktu 4. 5- Belajar untuk rajin berdzikir 5. 6- Capek dalam ibadah pasti berpahala 6. 7- Semangat meraih surga 6.1. Haji mabrur berarti memiliki lima sifat atau tanda: 7. 8- Ibadah melihat dari kemampuan 8. 9- Amalan ada yang bisa dibadalkan 9. 10- Belajar dari ucapan talbiyah 1- Belajar untuk ikhlas Dalam penyembelihan hadyuu dan qurban, Allah Ta’ala berfirman, لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37) Untuk ibadah haji demikian, kita diperintahkan untuk ikhlas, bukan cari gelar dan cari sanjungan. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ “Siapa yang berhaji karena Allah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari, no. 1521). 2- Belajar untuk mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Dalam ibadah haji, hadyuu disembelih sebagaimana aturan qurban untuk waktunya, yaitu mulai dari Iduladha. Al Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah kepada para sahabat pada hari Iduladha setelah mengerjakan shalat Iduladha. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا وَنَسَكَ نُسُكَنَا فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ ، وَمَنْ نَسَكَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّهُ قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَلاَ نُسُكَ لَهُ “Siapa yang shalat seperti shalat kami dan menyembelih kurban seperti kurban kami, maka ia telah mendapatkan pahala kurban. Barangsiapa yang berkurban sebelum shalat Idul Adha, maka itu hanyalah sembelihan yang ada sebelum shalat dan tidak teranggap sebagai kurban.” Abu Burdah yang merupakan paman dari Al Bara’ bin ‘Azib dari jalur ibunya berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ ، فَإِنِّى نَسَكْتُ شَاتِى قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَعَرَفْتُ أَنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ ، وَأَحْبَبْتُ أَنْ تَكُونَ شَاتِى أَوَّلَ مَا يُذْبَحُ فِى بَيْتِى ، فَذَبَحْتُ شَاتِى وَتَغَدَّيْتُ قَبْلَ أَنْ آتِىَ الصَّلاَةَ “Wahai Rasulullah, aku telah menyembelih kambingku sebelum shalat Idul Adha. Aku tahu bahwa hari itu adalah hari untuk makan dan minum. Aku senang jika kambingku adalah binatang yang pertama kali disembelih di rumahku. Oleh karena itu, aku menyembelihnya dan aku sarapan dengannya sebelum aku shalat Idul Adha.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, شَاتُكَ شَاةُ لَحْمٍ “Kambingmu hanyalah kambing biasa (yang dimakan dagingnya, bukan kambing kurban).” (HR. Bukhari no. 955) Begitu pula dalam ibadah haji hendaklah sesuai tuntunan, tidak bisa kita beribadah asal-asalan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ أَدْرِى لَعَلِّى لاَ أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِى هَذِهِ “Ambillah dariku manasik-manasik kalian, karena sesungguhnya aku tidak mengetahui, mungkin saja aku tidak berhaji setelah hajiku ini.” (HR. Muslim no. 1297, dari Jabir).   3- Belajar untuk sedekah harta, berderma, dan mengorbankan harta Ingat Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula, مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ “Sedekah tidaklah mengurangi harta.” (HR. Muslim, no. 2588; dari Abu Hurairah) Imam Nawawi berkata, “Kekurangan harta bisa ditutup dengan keberkahannya atau ditutup dengan pahala di sisi Allah.” (Syarh Shahih Muslim, 16: 128).   4- Dalam haji saat ihram, belajar untuk meninggalkan larangan walau sementara waktu Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang pakaian yang dipakai oleh orang yang berihram. Beliau bersabda, أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ ( سُئِلَ: مَا يَلْبَسُ اَلْمُحْرِمُ مِنْ اَلثِّيَابِ? فَقَالَ: ” لَا تَلْبَسُوا الْقُمُصَ, وَلَا اَلْعَمَائِمَ, وَلَا السَّرَاوِيلَاتِ, وَلَا اَلْبَرَانِسَ, وَلَا اَلْخِفَافَ, إِلَّا أَحَدٌ لَا يَجِدُ اَلنَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ اَلْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ اَلْكَعْبَيْنِ, وَلَا تَلْبَسُوا شَيْئًا مِنْ اَلثِّيَابِ مَسَّهُ اَلزَّعْفَرَانُ وَلَا اَلْوَرْسُ” “Tidak boleh memakai gamis (baju), surban, celana, penutup kepala, dan sepatu kecuali seseorang yang tidak memakai sandal, ia boleh mengenakan sepatu. Namun, hendaklah ia memotong bagian yang lebih bawah dari mata kaki. Jangan memakai pakaian yang terkena za’faran dan wars.” (Muttafaqun ‘alaih dan lafaznya dari Imam Muslim). [HR. Bukhari, no. 1542 dan Muslim, no. 1177] Pakaian yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dikenakan adalah: (1) qamis, yaitu pakaian yang memiliki lengan, yang dilarang pula kaos, jubah, dan kemeja, (2) imamah, yaitu penutup kepala, yang dilarang pula kopiah, (3) sarowil, yaitu pakaian bawah seperti celana, yang dilarang pula celana pendek dan celana dalam, (4) burnus, yaitu pakaian yang menutupi kepala dan badan, yang dilarang pula abaya (mantel), (5) khuf, yaitu yang menutupi kaki terbuat dari kulit, yang dilarang pula sepatu dan kaos kaki. Lima hal di atas dilarang bertujuan: (1) agar menjauhkan dari hidup mewah, lebih dari hal yang biasa dikenakan, (2) orang yang berihram tampak seperti orang yang tunduk dan zuhud, (3) orang-orang yang berihram semuanya berpakaian sama, tak tampak saling berbangga diri, (4) ibadah yang dilakukan sejatinya lebih besar dibandingkan dengan pakaian yang dikenakan, (5) lebih fokus untuk memperbanyak dzikir dan makin dekat kepada Allah, serta berusaha menjauhi maksiat, (6) lebih banyak mengingat mati karena pakaian ihram mengingatkan pada kain kafan yang dikenakan saat meninggal dunia, (7) mengingatkan pada hari berbangkit kelak. Inilah beberapa rahasia di balik larangan ihram. Kaidah larangan ihram: SEGALA YANG MENYELIMUTI BADAN ATAU BAGIAN DARINYA ATAU SEBAGIAN ANGGOTANYA, MAKA ORANG YANG BERIHRAM (MUHRIM) TERLARANG MELAKUKANNYA. Baca juga: Inilah pakaian yang dilarang bagi laki-laki saat ihram dan hikmah di balik itu   5- Belajar untuk rajin berdzikir Sejak sepuluh hari pertama Dzulhijjah, kita sudah diperintahkan untuk banyak bertakbir. Allah Ta’ala berfirman, وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ “Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (QS. Al Hajj: 28). ‘Ayyam ma’lumaat’ menurut salah satu penafsiran adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Dalam ayat lain disebutkan, وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ “Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang terbilang.” (QS. Al Baqarah: 203). Ibnu ‘Umar dan ulama lainnya mengatakan bahwa ayyamul ma’dudat adalah tiga hari tasyriq. Ini menunjukkan adanya perintah berdzikir di hari-hari tasyriq. Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan, Ibnu ‘Abbas berkata, “Berdzikirlah kalian pada Allah di hari-hari yang ditentukan yaitu 10 hari pertama Dzulhijah dan juga pada hari-hari tasyriq.” Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah pernah keluar ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijah, lalu mereka bertakbir, lantas manusia pun ikut bertakbir. Muhammad bin ‘Ali pun bertakbir setelah shalat sunnah. (Dikeluarkan oleh Bukhari tanpa sanad (mu’allaq), pada Bab “Keutamaan beramal di hari tasyriq”) Ibadah thawaf, sa’i dan melempar jumrah pun dilakukan dalam rangka berdzikir pada Allah. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْىُ الْجِمَارِ لإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّهِ “Sesungguhnya thawaf di Ka’bah, melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah dan melempar jumrah adalah bagian dari dzikrullah (dzikir pada Allah).” (HR. Abu Daud, no. 1888; Tirmidzi, no. 902; Ahmad, 6: 46. Imam Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih. Syaikh Al-Albani dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini dha’if) Di hari-hari tasyriq, kita pun diperintahkan untuk membaca doa sapu jagad. Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ, وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Robbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina ‘adzaban naar” [Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka].” (QS. Al Baqarah: 200-201) Dari ayat ini kebanyakan ulama salaf menganjurkan membaca do’a “Robbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina ‘adzaban naar” di hari-hari tasyriq. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh ‘Ikrimah dan ‘Atha’. (Lihat Latha-if Al-Ma’arif, hlm. 505-506). Ini semua mengajarkan pada kita untuk rajin berdzikir. عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ رضى الله عنه أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَىَّ فَأَخْبِرْنِى بِشَىْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ. قَالَ « لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ » Dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ada seseorang yang berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, syariat Islam sungguh banyak dan membebani kami. Beritahukanlah padaku suatu amalan yang aku bisa konsisten dengannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Hendaklah lisanmu tidak berhenti dari berdzikir pada Allah.” (HR. Tirmidzi, no. 3375; Ibnu Majah, no. 3793; Ahmad, 4: 188. Hadits ini shahih menurut Syaikh Al Albani). Baca juga: Khutbah Idul Adha, Pelajaran di Balik Ibadah Qurban dan Haji   6- Capek dalam ibadah pasti berpahala Ibadah haji pasti akan mendapatkan rasa capek, letih, kepayahan luar biasa. Ini namanya capek dalam ibadah. Capek dalam ibadah pasti berpahala. Imam Az-Zarkasi berkata dalam Al-Mantsur, العَمَلُ كُلَّمَا كَثُرَ وَشَقَّ كَانَ أَفْضَلُ مِمَّا لَيْسَ كَذَلِكَ “Amalan yang semakin banyak dan sulit, lebih afdhal daripada amalan yang tidak seperti itu.” Dasar kaidah di atas disimpulkan dari hadits ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, وَلَكِنَّهَا عَلَى قَدْرِ نَصَبِكِ “Akan tetapi, pahalanya tergantung pada usaha yang dikorbankan.” (HR. Muslim, no. 1211). Demikian dikatakan oleh As-Suyuthi ketika menyebutkan kaidah di atas dalam Al-Asybah wa An-Nazhair (hlm. 320). Syaikh ‘Ali Ath-Thanthawi berkata: Aku telah membaca lebih dari tujuh puluh tahun, perkataan penuh hikmah yang paling berkesan adalah: ” أن مشقة الطاعة تذهب ويبقى ثوابها وأن لذة المعاصي تذهب ويبقى عقابها “ – kesulitan dalam ketaatan akan sirna, pahalanya akan tetap ada kelak. – kenikmatan saat bermaksiat akan hilang, tentu hukumannya akan tetap ada.   7- Semangat meraih surga عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: { اَلْعُمْرَةُ إِلَى اَلْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا, وَالْحَجُّ اَلْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا اَلْجَنَّةَ } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Umrah ke umrah menghapus dosa antara keduanya. Pahala bagi haji mabrur tentu saja adalah surga.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 1773 dan Muslim, no. 1349) Haji mabrur berarti memiliki lima sifat atau tanda: haji yang ikhlas karena Allah, tidak ada riya’, tidak ada sum’ah, haji dengan menggunakan harta halal, haji yang jauh dari maksiat, dosa, bid’ah, dan penyimpangan agama, berakhlak yang baik, melakukan syiar Allah dengan penuh pengagungan dan ketundukan kepada Allah, di mana ditandai dengan ketenangan dan tidak tergesa-gesa saat berucap dan berbuat, serta melakukan haji dengan memperbanyak dzikir, takbir, tasbih, tahmid, dan istighfar. Baca juga: 5 Tanda Haji Mabrur   8- Ibadah melihat dari kemampuan Allah Ta’ala berfirman, وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan mampu melakukan perjalanan adalah: (1) sehat badan, (2) bekal uang yang cukup, (3) ada kendaraan tanpa ada bahaya. (Tafsir Ibnu Jarir, 7:38; As-Sunan Al-Kabiir oleh Imam Al-Baihaqi, 4:331. Sanad hadits ini sahih. Lihat Minhah Al-‘Allam, 5:167) Baca juga: Syarat Mampu dalam Berhaji     9- Amalan ada yang bisa dibadalkan Amalan itu ada yang bisa dibadalkan, digantikan oleh orang lain seperti amalan haji. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, أَمَرَتِ امْرَأَةُ سِنَانَ بْنِ سَلَمَةَ الْجُهَنِىِّ أَنْ يَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ أُمَّهَا مَاتَتْ وَلَمْ تَحُجَّ أَفَيُجْزِئُ عَنْ أُمِّهَا أَنْ تَحُجَّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّهَا دَيْنٌ فَقَضَتْهُ عَنْهَا أَلَمْ يَكُنْ يُجْزِئُ عَنْهَا فَلْتَحُجَّ عَنْ أُمِّهَا Istri Sinan bin Salamah Al-Juhaniy meminta bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ibunya yang meninggal dunia dan belum sempat menunaikan haji. Ia tanyakan apakah boleh ia menghajikan ibunya. “Iya, boleh. Seandainya ibunya punya utang, lalu ia lunasi utang tersebut, bukankah itu bermanfaat bagi ibunya? Maka silakan ia hajikan ibunya”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. An-Nasai, no. 2634; Ahmad 1: 217 dari hadits Abu At Tiyah, Ibnu Khuzaimah 3034, Sunan An-Nasai Al-Kubra 3613. Sanad hadits ini sahih kata Al-Hafizh Abu Thahir). Dalam riwayat lain, عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَبِيهَا مَاتَ وَلَمْ يَحُجَّ قَالَ حُجِّى عَنْ أَبِيكِ Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya seorang wanita pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai ayahnya yang meninggal dunia dan belum berhaji, maka beliau bersabda, “Hajikanlah ayahmu.” (HR. Bukhari, no. 1513; Muslim, no. 1334, lafazhnya adalah dari An-Nasai dalam sunannya, no. 2635). Begitu pula boleh menghajikan dan mengumrahkan orang yang tidak mampu itu manfaat sebagaimana hadits berikut. عَنْ أَبِى رَزِينٍ الْعُقَيْلِىِّ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِى شَيْخٌ كَبِيرٌ لاَ يَسْتَطِيعُ الْحَجَّ وَلاَ الْعُمْرَةَ وَالظَّعْنَ. قَالَ حُجَّ عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِرْ Dari Abu Razin Al-‘Uqaili, ia berkata, “Wahai Rasulullah, ayahku sudah tua renta dan tidak mampu berhaji dan berumrah, serta tidak mampu melakukan perjalanan jauh.” Beliau bersabda, “Hajikan ayahmu dan berumrahlah untuknya pula.” (HR. An-Nasai, no. 2638, sanadnya sahih kata Al Hafizh Abu Thahir). Yang membadalkan haji atau umrah diharuskan telah melakukan ibadah tersebut terlebih dahulu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ابْدَأْ بِنَفْسِكَ “Mulailah dari dirimu sendiri.” (HR. Muslim, no. 997). Juga didukung oleh hadits, عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ.فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ شُبْرُمَةُ ». قَالَ قَرِيبٌ لِى. قَالَ « هَلْ حَجَجْتَ قَطُّ ». قَالَ لاَ. قَالَ « فَاجْعَلْ هَذِهِ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ احْجُجْ عَنْ شُبْرُمَةَ ». Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang yang berucap ‘labbaik ‘an Syubrumah’ (aku memenuhi panggilan-Mu -Ya Allah- atas nama Syubrumah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, “Siapa Syubrumah?” “Ia adalah kerabat dekatku”, jawab orang tersebut. “Apakah engkau sudah pernah berhaji sekali sebelumnya?”, tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia jawab, “Belum.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatinya, “Jadikan hajimu ini untuk dirimu, nanti engkau berhaji lagi untuk Syubrumah.” (HR. Ibnu Majah, no. 2903; Abu Daud, no. 1811, Ibnu Khuzaimah 3039, Ibnu Hibban 962. Sanad hadits ini dha’if, Ibnu Abi ‘Urubah adalah perowi ‘an-‘anah. Sedangkan Syaikh Al-Albani mensahihkan hadits ini). Membadalkan haji untuk mayat ada tiga keadaan: Ia sudah wajib berhaji di masa hidupnya, ia wajib dihajikan dari harta peninggalannya. Jika ia tidak memiliki harta peninggalan, ahli waris disunnahkan menghajikannya. Dalam hal ini, yang bukan mahram (ajnabi) boleh menghajikan walau tanpa izin. Ia tidak terkena wajib haji pada masa hidupnya, maka kerabat atau yang bukan mahram (ajnabi) disunnahkan menghajikannya, baik ada wasiat ataukah tidak. Ia sudah pernah berhaji untuk dirinya, apakah ia perlu dihajikan lagi dengan status sunnah? Menurut pendapat al-mu’tamad: Ia dihajikan jika memang ada wasiat. Jika tidak ada wasiat, maka tidak perlu menghajikan. Lihat Tahqiq Ar-Raghbaat bi At-Taqsiimaat wa At-Tasyjiiroot li Tholabah Al-Fiqh Asy-Syafii, hlm. 216. Baca juga: 10 Ketentuan Badal Haji   10- Belajar dari ucapan talbiyah Dari Khallad bin As-Saa-ib, dari ayahnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَتَانِي جِبْرِيلُ, فَأَمَرَنِي أَنْ آمُرَأَصْحَابِي أَنْ يَرْفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالْإِهْلَالِ “Jibril datang kepadaku, lalu memerintahkanku agar aku menyuruh sahabat-sahabatku mengeraskan suara mereka dengan bacaan talbiyah.” (Diriwayatkan oleh Imam yang lima. Hadits ini sahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Hibban). [HR. Abu Daud, no. 1814; Tirmidzi, no. 829; An-Nasai, 5:162; Ibnu Majah, no. 2922; Ahmad, 27:89-90; Ibnu Hibban, no. 3791]. Kalimat “LABBAIK ALLAHUMMA LABBAIK” di atas maksudnya adalah aku penuhi panggilan-Mu, wahai Rabbku, sekali lalu sekali. Kalimat “LAA SYARIKA LAK”, maksudnya adalah aku penuhi panggilan-Mu semata, tidak ada sekutu bagi-Mu. Artinya, kalimat ini berisi pengakuan untuk tidak berbuat syirik. Ini menunjukkan ibadah haji dan ibadah lainnya mesti dilakukan dengan ikhlas untuk mengharap ridha Allah Ta’ala. Lafazh talbiyah diucapkan dengan pengulangan dengan mengharap bahwa pengabulannya itu berulang kali. Lafazh talbiyah yang baik adalah yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi dalam tidak mengapa ditambah atau dikurangi. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar para sahabat menambah atau mengurangi, tetapi beliau tidak mengingkari mereka. Baca juga: Ucapan Talbiyah, Maksud dan Aturan Pengucapannya untuk Jamaah Haji dan Umrah Semoga Allah mudahkan untuk berhaji. Bagi yang sudah berhaji, semoga menjadi haji mabrur. – Perjalanan Panggang – Bandara YIA Kulonprogo, 21 Dzulhijjah 1445 H, 30 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsajakan berhaji amalan haji berhaji fikih haji

Cara Rukuk dan Sujud dalam Salat Sambil Duduk atau Berbaring

Daftar Isi Toggle Diperbolehkannya salat sunah sambil dudukCara rukuk dan sujud dalam salat sambil dudukSalat sunah sambil berbaring dan cara rukuk dan sujud di dalamnyaSalat wajib tidak boleh dilakukan sambil duduk atau berbaring, kecuali ada uzurDalam salat wajib, rukuk dan sujud tidak gugur karena tidak bisa berdiriRingkasan dari penjelasan di atasCatatan tentang salat sunah sambil berbaring Salat sunah merupakan amalan yang sangat penting, yang perlu dikerjakan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, diperbolehkan melakukan salat sunah sambil duduk, meskipun mampu berdiri. Karena jika diwajibkan untuk berdiri, maka akan sulit untuk membiasakan kebaikan ini. Selain itu, banyak orang merasa kesulitan untuk berdiri lama. Jika berdiri diwajibkan (dalam salat sunah), maka kebanyakan salat sunah akan ditinggalkan. Oleh karena itu, pembuat syariat memberi keringanan untuk tidak berdiri di dalamnya sebagai dorongan untuk memperbanyak salat sunah, sebagaimana keringanan untuk melakukannya di atas kendaraan saat bepergian. [1] Diperbolehkannya salat sunah sambil duduk Baik karena ada uzur atau tidak ada uzur, diperbolehkannya salat sunah sambil duduk. Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat seseorang sambil duduk. Beliau bersabda, مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَل وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ “Barangsiapa salat sambil berdiri, maka itu lebih utama. Dan barangsiapa salat sambil duduk, maka baginya setengah pahala orang yang berdiri. Dan barangsiapa salat sambil tidur, maka baginya setengah pahala orang yang duduk.” [2] Para ulama sepakat tentang diperbolehkannya salat sunah sambil duduk baik karena ada uzur atau tidak ada uzur. [3] Cara rukuk dan sujud dalam salat sambil duduk Orang yang salat dengan duduk, boleh baginya memilih antara berdiri atau duduk saat rukuk dan sujud. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan keduanya. Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan, أَنَّ رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي جَالِسًا، فَيَقْرَأُ وَهُوَ جَالِسٌ، فَإِذَا بَقِيَ مِنْ قِرَاءَتِهِ قَدْرُ مَا يَكُونُ ثَلَاثِينَ أَوْ أَرْبَعِينَ آيَةً، قَامَ فَقَرَأَ وَهُوَ قَائِمٌ، ثُمَّ رَكَعَ، ثُمَّ سَجَدَ، ثُمَّ يَفْعَل فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْل ذَلِكَ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salat sambil duduk, beliau membaca (Al-Qur’an) sambil duduk. Ketika bacaannya tersisa sekitar tiga puluh atau empat puluh ayat, beliau berdiri, lalu membaca sambil berdiri. Kemudian rukuk, lalu sujud, kemudian melakukan hal yang sama pada rakaat kedua.” [4] Dan dalam hadis yang lain, masih dari Aisyah radhiyallahu ‘anha [5], beliau menceritakan, أَنَّ رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي لَيْلاً طَوِيلاً قَائِمًا، وَلَيْلاً طَوِيلاً قَاعِدًا، وَكَانَ إِذَا قَرَأَ وَهُوَ قَائِمٌ رَكَعَ وَسَجَدَ وَهُوَ قَائِمٌ، وَإِذَا قَرَأَ وَهُوَ قَاعِدٌ رَكَعَ وَسَجَدَ وَهُوَ قَاعِدٌ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa salat malam dalam waktu lama sambil berdiri, dan dalam waktu lama sambil duduk. Ketika beliau membaca sambil berdiri, beliau rukuk dan sujud sambil berdiri. Dan ketika beliau membaca sambil duduk, beliau rukuk dan sujud sambil duduk.” [6] Salat sunah sambil berbaring dan cara rukuk dan sujud di dalamnya Sebagian ulama berpendapat bolehnya seseorang salat sunah sambil berbaring, walaupun dia bisa berdiri atau duduk. Dalil dari hal tersebut adalah hadis dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, yang ketika itu mengalami sakit bisul, ia berkata, “Saya bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat seseorang sambil duduk, maka beliau bersabda, مَن صَلَّى قَائِمًا فَهو أفْضَلُ، ومَن صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أجْرِ القَائِمِ، ومَن صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أجْرِ القَاعِدِ ‘Barangsiapa salat sambil berdiri, maka itu lebih utama. Dan barangsiapa salat sambil duduk, maka baginya setengah pahala orang yang berdiri. Dan barangsiapa salat sambil tidur, maka baginya setengah pahala orang yang duduk.’” [7] Setelah membawakan hadis di atas, Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, والمراد بالنائم المضطجع. ولو تنفل مضطجعا بالإيماء بالرأس مع قدرته على القيام والقعود فوجهان (أحدهما) لا تصح صلاته لأنه يذهب صورتها بغير عذر وهذا أرجحهما عند إمام الحرمين والثاني وهو الصحيح صحتها لحديث عمران. “Yang dimaksud dengan tidur (dalam hadis di atas) adalah berbaring (miring). Jika seseorang salat sunah sambil berbaring dengan memberi isyarat kepala (ketika rukuk dan sujud), padahal mampu berdiri dan duduk, maka ada dua pendapat: (Pertama) Salatnya tidak sah karena menghilangkan bentuk salat tanpa uzur, dan ini yang lebih kuat menurut Imam al-Haramain. (Kedua) Dan ini yang benar, salatnya sah berdasarkan hadis Imran (di atas).” [8] Baca juga: Tatacara Bersuci untuk Salat Ketika di Pesawat Salat wajib tidak boleh dilakukan sambil duduk atau berbaring, kecuali ada uzur Semua yang disebutkan di atas adalah untuk salat sunah. Adapun salat wajib, para ulama sepakat bahwa berdiri adalah rukun di dalam salat bagi yang mampu. Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku menderita wasir, maka aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat, maka beliau bersabda, صَل قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ “Salatlah sambil berdiri! Jika tidak mampu, maka sambil duduk. Jika tidak mampu, maka sambil berbaring miring.” [9] Para ulama sepakat bahwa berdiri adalah rukun dalam salat wajib bagi yang mampu melakukannya. [10] Dalam salat wajib, rukuk dan sujud tidak gugur karena tidak bisa berdiri Barangsiapa yang tidak mampu berdiri dalam salat wajib, maka dia boleh salat sambil duduk, tetapi rukuk dan sujud tidak gugur darinya jika dia mampu melakukannya. Demikian juga, barangsiapa yang mampu berdiri tetapi tidak mampu rukuk atau sujud, maka berdiri tidak gugur darinya. Maka, yang mudah tidak gugur karena yang sulit, sebagaimana kaedah, الميسور لا يسقط بالمعسور “Sesuatu yang mudah tidak gugur karena sesuatu yang sulit.” Imam Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, [ومن قَدَرَ على القِيَامِ، وعَجَزَ عن الرُّكُوعِ أو السُّجُودِ، ‌لم ‌يَسْقُطْ ‌عنه ‌القِيَامُ]، ويُصَلِّى قائِمًا، فَيُومِئُ بالرُّكُوعِ، ثم يَجْلِسُ فَيُومِئُ بالسُّجُودِ “Barangsiapa yang mampu berdiri, tetapi tidak mampu rukuk atau sujud, maka berdiri tidak gugur darinya. Dia salat sambil berdiri, lalu memberi isyarat dengan rukuk, kemudian duduk, lalu memberi isyarat dengan sujud.” [11] Penjelasan rinci tentang bab ini telah disebutkan oleh para ulama dalam hukum salat orang yang memiliki uzur. Ringkasan dari penjelasan di atas Pertama: Dalam salat wajib, tidak boleh berpindah dari satu posisi ke posisi yang lebih rendah, kecuali ada uzur. Sedangkan dalam salat sunah, boleh (walaupun tanpa uzur) berpindah ke posisi salat sambil duduk dan berbaring dengan syarat tidak berbaring telentang. Kedua: Rukuk dan sujud tidak terkait dengan berdiri dalam salat wajib. Sehingga jika mampu melakukan rukuk dan sujud, keduanya tidak gugur, meskipun tidak bisa berdiri. Adapun dalam salat sunah, keduanya mengikuti posisi berdiri. Jika berdiri ditinggalkan, maka boleh meninggalkan rukuk dan sujud sambil berdiri (meskipun mampu). [12] Catatan tentang salat sunah sambil berbaring Pertama: Jumhur ulama berpendapat bahwa salat sunah sambil berbaring tidak diperbolehkan. Ibnu Taimiyah berkata, “Salat sunnah sambil berbaring tanpa uzur tidak diperbolehkan, kecuali oleh sekelompok kecil dari pengikut Syafi’i dan Ahmad. Dan kami tidak mendapatkan riwayat dari salah satu dari mereka bahwa mereka salat sambil berbaring tanpa uzur. Dan jika ini diperbolehkan, tentu mereka akan melakukannya.” [13] Oleh karena itu, hendaknya hal ini tidak sering dipraktikkan, apalagi dijadikan sebagai kebiasaan. Wallahu a’lam. Kedua: Yang dimaksud dengan berbaring adalah berbaring miring. Jika seseorang berbaring telentang, padahal mampu berbaring miring, maka salatnya tidak sah. [14] Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang cara rukuk dan sujud dalam salat sambil duduk atau berbaring. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Hukum Bertayamum untuk Salat ketika Safar *** 14 Zulkaidah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shofwah – Mesir, cet. ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah) Al-Mughni, Abdullah bin Ahmad Ibnu Qudamah, Dar Alamil Kutub – Saudi, cet. ke-3, 1417 (Maktabah Syamilah)   Catatan kaki: [1] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 161. [2] HR. Bukhari (Fath Al-Bari, 2: 586.) [3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 109. [4] HR. Muslim (1: 505 – cetakan Halabi) [5] HR. Muslim (1: 504 – cetakan Halabi) [6] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 161-162. [7] HR. Bukhari no. 1116. [8] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 3: 275. [9] HR. Bukhari (Fath Al-Bari, 2: 587, cetakan Salafiyah) [10] Al-Mughni, 1: 463, Lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 106. [11] Al-Mughni, 2: 572. [12] https://nahrjari.com.sa/ar/node/610 [13] Al-Nukat wa Al-Fawaid Al-Sunniyah, 1: 87 dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, 27: 163. Lihat juga https://dorar.net/feqhia/1283 [14] Syarh Al-Nawawi ‘ala Muslim, 6: 15. Tags: rukuksujud

Cara Rukuk dan Sujud dalam Salat Sambil Duduk atau Berbaring

Daftar Isi Toggle Diperbolehkannya salat sunah sambil dudukCara rukuk dan sujud dalam salat sambil dudukSalat sunah sambil berbaring dan cara rukuk dan sujud di dalamnyaSalat wajib tidak boleh dilakukan sambil duduk atau berbaring, kecuali ada uzurDalam salat wajib, rukuk dan sujud tidak gugur karena tidak bisa berdiriRingkasan dari penjelasan di atasCatatan tentang salat sunah sambil berbaring Salat sunah merupakan amalan yang sangat penting, yang perlu dikerjakan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, diperbolehkan melakukan salat sunah sambil duduk, meskipun mampu berdiri. Karena jika diwajibkan untuk berdiri, maka akan sulit untuk membiasakan kebaikan ini. Selain itu, banyak orang merasa kesulitan untuk berdiri lama. Jika berdiri diwajibkan (dalam salat sunah), maka kebanyakan salat sunah akan ditinggalkan. Oleh karena itu, pembuat syariat memberi keringanan untuk tidak berdiri di dalamnya sebagai dorongan untuk memperbanyak salat sunah, sebagaimana keringanan untuk melakukannya di atas kendaraan saat bepergian. [1] Diperbolehkannya salat sunah sambil duduk Baik karena ada uzur atau tidak ada uzur, diperbolehkannya salat sunah sambil duduk. Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat seseorang sambil duduk. Beliau bersabda, مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَل وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ “Barangsiapa salat sambil berdiri, maka itu lebih utama. Dan barangsiapa salat sambil duduk, maka baginya setengah pahala orang yang berdiri. Dan barangsiapa salat sambil tidur, maka baginya setengah pahala orang yang duduk.” [2] Para ulama sepakat tentang diperbolehkannya salat sunah sambil duduk baik karena ada uzur atau tidak ada uzur. [3] Cara rukuk dan sujud dalam salat sambil duduk Orang yang salat dengan duduk, boleh baginya memilih antara berdiri atau duduk saat rukuk dan sujud. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan keduanya. Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan, أَنَّ رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي جَالِسًا، فَيَقْرَأُ وَهُوَ جَالِسٌ، فَإِذَا بَقِيَ مِنْ قِرَاءَتِهِ قَدْرُ مَا يَكُونُ ثَلَاثِينَ أَوْ أَرْبَعِينَ آيَةً، قَامَ فَقَرَأَ وَهُوَ قَائِمٌ، ثُمَّ رَكَعَ، ثُمَّ سَجَدَ، ثُمَّ يَفْعَل فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْل ذَلِكَ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salat sambil duduk, beliau membaca (Al-Qur’an) sambil duduk. Ketika bacaannya tersisa sekitar tiga puluh atau empat puluh ayat, beliau berdiri, lalu membaca sambil berdiri. Kemudian rukuk, lalu sujud, kemudian melakukan hal yang sama pada rakaat kedua.” [4] Dan dalam hadis yang lain, masih dari Aisyah radhiyallahu ‘anha [5], beliau menceritakan, أَنَّ رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي لَيْلاً طَوِيلاً قَائِمًا، وَلَيْلاً طَوِيلاً قَاعِدًا، وَكَانَ إِذَا قَرَأَ وَهُوَ قَائِمٌ رَكَعَ وَسَجَدَ وَهُوَ قَائِمٌ، وَإِذَا قَرَأَ وَهُوَ قَاعِدٌ رَكَعَ وَسَجَدَ وَهُوَ قَاعِدٌ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa salat malam dalam waktu lama sambil berdiri, dan dalam waktu lama sambil duduk. Ketika beliau membaca sambil berdiri, beliau rukuk dan sujud sambil berdiri. Dan ketika beliau membaca sambil duduk, beliau rukuk dan sujud sambil duduk.” [6] Salat sunah sambil berbaring dan cara rukuk dan sujud di dalamnya Sebagian ulama berpendapat bolehnya seseorang salat sunah sambil berbaring, walaupun dia bisa berdiri atau duduk. Dalil dari hal tersebut adalah hadis dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, yang ketika itu mengalami sakit bisul, ia berkata, “Saya bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat seseorang sambil duduk, maka beliau bersabda, مَن صَلَّى قَائِمًا فَهو أفْضَلُ، ومَن صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أجْرِ القَائِمِ، ومَن صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أجْرِ القَاعِدِ ‘Barangsiapa salat sambil berdiri, maka itu lebih utama. Dan barangsiapa salat sambil duduk, maka baginya setengah pahala orang yang berdiri. Dan barangsiapa salat sambil tidur, maka baginya setengah pahala orang yang duduk.’” [7] Setelah membawakan hadis di atas, Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, والمراد بالنائم المضطجع. ولو تنفل مضطجعا بالإيماء بالرأس مع قدرته على القيام والقعود فوجهان (أحدهما) لا تصح صلاته لأنه يذهب صورتها بغير عذر وهذا أرجحهما عند إمام الحرمين والثاني وهو الصحيح صحتها لحديث عمران. “Yang dimaksud dengan tidur (dalam hadis di atas) adalah berbaring (miring). Jika seseorang salat sunah sambil berbaring dengan memberi isyarat kepala (ketika rukuk dan sujud), padahal mampu berdiri dan duduk, maka ada dua pendapat: (Pertama) Salatnya tidak sah karena menghilangkan bentuk salat tanpa uzur, dan ini yang lebih kuat menurut Imam al-Haramain. (Kedua) Dan ini yang benar, salatnya sah berdasarkan hadis Imran (di atas).” [8] Baca juga: Tatacara Bersuci untuk Salat Ketika di Pesawat Salat wajib tidak boleh dilakukan sambil duduk atau berbaring, kecuali ada uzur Semua yang disebutkan di atas adalah untuk salat sunah. Adapun salat wajib, para ulama sepakat bahwa berdiri adalah rukun di dalam salat bagi yang mampu. Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku menderita wasir, maka aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat, maka beliau bersabda, صَل قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ “Salatlah sambil berdiri! Jika tidak mampu, maka sambil duduk. Jika tidak mampu, maka sambil berbaring miring.” [9] Para ulama sepakat bahwa berdiri adalah rukun dalam salat wajib bagi yang mampu melakukannya. [10] Dalam salat wajib, rukuk dan sujud tidak gugur karena tidak bisa berdiri Barangsiapa yang tidak mampu berdiri dalam salat wajib, maka dia boleh salat sambil duduk, tetapi rukuk dan sujud tidak gugur darinya jika dia mampu melakukannya. Demikian juga, barangsiapa yang mampu berdiri tetapi tidak mampu rukuk atau sujud, maka berdiri tidak gugur darinya. Maka, yang mudah tidak gugur karena yang sulit, sebagaimana kaedah, الميسور لا يسقط بالمعسور “Sesuatu yang mudah tidak gugur karena sesuatu yang sulit.” Imam Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, [ومن قَدَرَ على القِيَامِ، وعَجَزَ عن الرُّكُوعِ أو السُّجُودِ، ‌لم ‌يَسْقُطْ ‌عنه ‌القِيَامُ]، ويُصَلِّى قائِمًا، فَيُومِئُ بالرُّكُوعِ، ثم يَجْلِسُ فَيُومِئُ بالسُّجُودِ “Barangsiapa yang mampu berdiri, tetapi tidak mampu rukuk atau sujud, maka berdiri tidak gugur darinya. Dia salat sambil berdiri, lalu memberi isyarat dengan rukuk, kemudian duduk, lalu memberi isyarat dengan sujud.” [11] Penjelasan rinci tentang bab ini telah disebutkan oleh para ulama dalam hukum salat orang yang memiliki uzur. Ringkasan dari penjelasan di atas Pertama: Dalam salat wajib, tidak boleh berpindah dari satu posisi ke posisi yang lebih rendah, kecuali ada uzur. Sedangkan dalam salat sunah, boleh (walaupun tanpa uzur) berpindah ke posisi salat sambil duduk dan berbaring dengan syarat tidak berbaring telentang. Kedua: Rukuk dan sujud tidak terkait dengan berdiri dalam salat wajib. Sehingga jika mampu melakukan rukuk dan sujud, keduanya tidak gugur, meskipun tidak bisa berdiri. Adapun dalam salat sunah, keduanya mengikuti posisi berdiri. Jika berdiri ditinggalkan, maka boleh meninggalkan rukuk dan sujud sambil berdiri (meskipun mampu). [12] Catatan tentang salat sunah sambil berbaring Pertama: Jumhur ulama berpendapat bahwa salat sunah sambil berbaring tidak diperbolehkan. Ibnu Taimiyah berkata, “Salat sunnah sambil berbaring tanpa uzur tidak diperbolehkan, kecuali oleh sekelompok kecil dari pengikut Syafi’i dan Ahmad. Dan kami tidak mendapatkan riwayat dari salah satu dari mereka bahwa mereka salat sambil berbaring tanpa uzur. Dan jika ini diperbolehkan, tentu mereka akan melakukannya.” [13] Oleh karena itu, hendaknya hal ini tidak sering dipraktikkan, apalagi dijadikan sebagai kebiasaan. Wallahu a’lam. Kedua: Yang dimaksud dengan berbaring adalah berbaring miring. Jika seseorang berbaring telentang, padahal mampu berbaring miring, maka salatnya tidak sah. [14] Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang cara rukuk dan sujud dalam salat sambil duduk atau berbaring. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Hukum Bertayamum untuk Salat ketika Safar *** 14 Zulkaidah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shofwah – Mesir, cet. ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah) Al-Mughni, Abdullah bin Ahmad Ibnu Qudamah, Dar Alamil Kutub – Saudi, cet. ke-3, 1417 (Maktabah Syamilah)   Catatan kaki: [1] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 161. [2] HR. Bukhari (Fath Al-Bari, 2: 586.) [3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 109. [4] HR. Muslim (1: 505 – cetakan Halabi) [5] HR. Muslim (1: 504 – cetakan Halabi) [6] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 161-162. [7] HR. Bukhari no. 1116. [8] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 3: 275. [9] HR. Bukhari (Fath Al-Bari, 2: 587, cetakan Salafiyah) [10] Al-Mughni, 1: 463, Lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 106. [11] Al-Mughni, 2: 572. [12] https://nahrjari.com.sa/ar/node/610 [13] Al-Nukat wa Al-Fawaid Al-Sunniyah, 1: 87 dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, 27: 163. Lihat juga https://dorar.net/feqhia/1283 [14] Syarh Al-Nawawi ‘ala Muslim, 6: 15. Tags: rukuksujud
Daftar Isi Toggle Diperbolehkannya salat sunah sambil dudukCara rukuk dan sujud dalam salat sambil dudukSalat sunah sambil berbaring dan cara rukuk dan sujud di dalamnyaSalat wajib tidak boleh dilakukan sambil duduk atau berbaring, kecuali ada uzurDalam salat wajib, rukuk dan sujud tidak gugur karena tidak bisa berdiriRingkasan dari penjelasan di atasCatatan tentang salat sunah sambil berbaring Salat sunah merupakan amalan yang sangat penting, yang perlu dikerjakan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, diperbolehkan melakukan salat sunah sambil duduk, meskipun mampu berdiri. Karena jika diwajibkan untuk berdiri, maka akan sulit untuk membiasakan kebaikan ini. Selain itu, banyak orang merasa kesulitan untuk berdiri lama. Jika berdiri diwajibkan (dalam salat sunah), maka kebanyakan salat sunah akan ditinggalkan. Oleh karena itu, pembuat syariat memberi keringanan untuk tidak berdiri di dalamnya sebagai dorongan untuk memperbanyak salat sunah, sebagaimana keringanan untuk melakukannya di atas kendaraan saat bepergian. [1] Diperbolehkannya salat sunah sambil duduk Baik karena ada uzur atau tidak ada uzur, diperbolehkannya salat sunah sambil duduk. Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat seseorang sambil duduk. Beliau bersabda, مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَل وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ “Barangsiapa salat sambil berdiri, maka itu lebih utama. Dan barangsiapa salat sambil duduk, maka baginya setengah pahala orang yang berdiri. Dan barangsiapa salat sambil tidur, maka baginya setengah pahala orang yang duduk.” [2] Para ulama sepakat tentang diperbolehkannya salat sunah sambil duduk baik karena ada uzur atau tidak ada uzur. [3] Cara rukuk dan sujud dalam salat sambil duduk Orang yang salat dengan duduk, boleh baginya memilih antara berdiri atau duduk saat rukuk dan sujud. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan keduanya. Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan, أَنَّ رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي جَالِسًا، فَيَقْرَأُ وَهُوَ جَالِسٌ، فَإِذَا بَقِيَ مِنْ قِرَاءَتِهِ قَدْرُ مَا يَكُونُ ثَلَاثِينَ أَوْ أَرْبَعِينَ آيَةً، قَامَ فَقَرَأَ وَهُوَ قَائِمٌ، ثُمَّ رَكَعَ، ثُمَّ سَجَدَ، ثُمَّ يَفْعَل فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْل ذَلِكَ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salat sambil duduk, beliau membaca (Al-Qur’an) sambil duduk. Ketika bacaannya tersisa sekitar tiga puluh atau empat puluh ayat, beliau berdiri, lalu membaca sambil berdiri. Kemudian rukuk, lalu sujud, kemudian melakukan hal yang sama pada rakaat kedua.” [4] Dan dalam hadis yang lain, masih dari Aisyah radhiyallahu ‘anha [5], beliau menceritakan, أَنَّ رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي لَيْلاً طَوِيلاً قَائِمًا، وَلَيْلاً طَوِيلاً قَاعِدًا، وَكَانَ إِذَا قَرَأَ وَهُوَ قَائِمٌ رَكَعَ وَسَجَدَ وَهُوَ قَائِمٌ، وَإِذَا قَرَأَ وَهُوَ قَاعِدٌ رَكَعَ وَسَجَدَ وَهُوَ قَاعِدٌ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa salat malam dalam waktu lama sambil berdiri, dan dalam waktu lama sambil duduk. Ketika beliau membaca sambil berdiri, beliau rukuk dan sujud sambil berdiri. Dan ketika beliau membaca sambil duduk, beliau rukuk dan sujud sambil duduk.” [6] Salat sunah sambil berbaring dan cara rukuk dan sujud di dalamnya Sebagian ulama berpendapat bolehnya seseorang salat sunah sambil berbaring, walaupun dia bisa berdiri atau duduk. Dalil dari hal tersebut adalah hadis dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, yang ketika itu mengalami sakit bisul, ia berkata, “Saya bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat seseorang sambil duduk, maka beliau bersabda, مَن صَلَّى قَائِمًا فَهو أفْضَلُ، ومَن صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أجْرِ القَائِمِ، ومَن صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أجْرِ القَاعِدِ ‘Barangsiapa salat sambil berdiri, maka itu lebih utama. Dan barangsiapa salat sambil duduk, maka baginya setengah pahala orang yang berdiri. Dan barangsiapa salat sambil tidur, maka baginya setengah pahala orang yang duduk.’” [7] Setelah membawakan hadis di atas, Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, والمراد بالنائم المضطجع. ولو تنفل مضطجعا بالإيماء بالرأس مع قدرته على القيام والقعود فوجهان (أحدهما) لا تصح صلاته لأنه يذهب صورتها بغير عذر وهذا أرجحهما عند إمام الحرمين والثاني وهو الصحيح صحتها لحديث عمران. “Yang dimaksud dengan tidur (dalam hadis di atas) adalah berbaring (miring). Jika seseorang salat sunah sambil berbaring dengan memberi isyarat kepala (ketika rukuk dan sujud), padahal mampu berdiri dan duduk, maka ada dua pendapat: (Pertama) Salatnya tidak sah karena menghilangkan bentuk salat tanpa uzur, dan ini yang lebih kuat menurut Imam al-Haramain. (Kedua) Dan ini yang benar, salatnya sah berdasarkan hadis Imran (di atas).” [8] Baca juga: Tatacara Bersuci untuk Salat Ketika di Pesawat Salat wajib tidak boleh dilakukan sambil duduk atau berbaring, kecuali ada uzur Semua yang disebutkan di atas adalah untuk salat sunah. Adapun salat wajib, para ulama sepakat bahwa berdiri adalah rukun di dalam salat bagi yang mampu. Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku menderita wasir, maka aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat, maka beliau bersabda, صَل قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ “Salatlah sambil berdiri! Jika tidak mampu, maka sambil duduk. Jika tidak mampu, maka sambil berbaring miring.” [9] Para ulama sepakat bahwa berdiri adalah rukun dalam salat wajib bagi yang mampu melakukannya. [10] Dalam salat wajib, rukuk dan sujud tidak gugur karena tidak bisa berdiri Barangsiapa yang tidak mampu berdiri dalam salat wajib, maka dia boleh salat sambil duduk, tetapi rukuk dan sujud tidak gugur darinya jika dia mampu melakukannya. Demikian juga, barangsiapa yang mampu berdiri tetapi tidak mampu rukuk atau sujud, maka berdiri tidak gugur darinya. Maka, yang mudah tidak gugur karena yang sulit, sebagaimana kaedah, الميسور لا يسقط بالمعسور “Sesuatu yang mudah tidak gugur karena sesuatu yang sulit.” Imam Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, [ومن قَدَرَ على القِيَامِ، وعَجَزَ عن الرُّكُوعِ أو السُّجُودِ، ‌لم ‌يَسْقُطْ ‌عنه ‌القِيَامُ]، ويُصَلِّى قائِمًا، فَيُومِئُ بالرُّكُوعِ، ثم يَجْلِسُ فَيُومِئُ بالسُّجُودِ “Barangsiapa yang mampu berdiri, tetapi tidak mampu rukuk atau sujud, maka berdiri tidak gugur darinya. Dia salat sambil berdiri, lalu memberi isyarat dengan rukuk, kemudian duduk, lalu memberi isyarat dengan sujud.” [11] Penjelasan rinci tentang bab ini telah disebutkan oleh para ulama dalam hukum salat orang yang memiliki uzur. Ringkasan dari penjelasan di atas Pertama: Dalam salat wajib, tidak boleh berpindah dari satu posisi ke posisi yang lebih rendah, kecuali ada uzur. Sedangkan dalam salat sunah, boleh (walaupun tanpa uzur) berpindah ke posisi salat sambil duduk dan berbaring dengan syarat tidak berbaring telentang. Kedua: Rukuk dan sujud tidak terkait dengan berdiri dalam salat wajib. Sehingga jika mampu melakukan rukuk dan sujud, keduanya tidak gugur, meskipun tidak bisa berdiri. Adapun dalam salat sunah, keduanya mengikuti posisi berdiri. Jika berdiri ditinggalkan, maka boleh meninggalkan rukuk dan sujud sambil berdiri (meskipun mampu). [12] Catatan tentang salat sunah sambil berbaring Pertama: Jumhur ulama berpendapat bahwa salat sunah sambil berbaring tidak diperbolehkan. Ibnu Taimiyah berkata, “Salat sunnah sambil berbaring tanpa uzur tidak diperbolehkan, kecuali oleh sekelompok kecil dari pengikut Syafi’i dan Ahmad. Dan kami tidak mendapatkan riwayat dari salah satu dari mereka bahwa mereka salat sambil berbaring tanpa uzur. Dan jika ini diperbolehkan, tentu mereka akan melakukannya.” [13] Oleh karena itu, hendaknya hal ini tidak sering dipraktikkan, apalagi dijadikan sebagai kebiasaan. Wallahu a’lam. Kedua: Yang dimaksud dengan berbaring adalah berbaring miring. Jika seseorang berbaring telentang, padahal mampu berbaring miring, maka salatnya tidak sah. [14] Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang cara rukuk dan sujud dalam salat sambil duduk atau berbaring. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Hukum Bertayamum untuk Salat ketika Safar *** 14 Zulkaidah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shofwah – Mesir, cet. ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah) Al-Mughni, Abdullah bin Ahmad Ibnu Qudamah, Dar Alamil Kutub – Saudi, cet. ke-3, 1417 (Maktabah Syamilah)   Catatan kaki: [1] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 161. [2] HR. Bukhari (Fath Al-Bari, 2: 586.) [3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 109. [4] HR. Muslim (1: 505 – cetakan Halabi) [5] HR. Muslim (1: 504 – cetakan Halabi) [6] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 161-162. [7] HR. Bukhari no. 1116. [8] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 3: 275. [9] HR. Bukhari (Fath Al-Bari, 2: 587, cetakan Salafiyah) [10] Al-Mughni, 1: 463, Lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 106. [11] Al-Mughni, 2: 572. [12] https://nahrjari.com.sa/ar/node/610 [13] Al-Nukat wa Al-Fawaid Al-Sunniyah, 1: 87 dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, 27: 163. Lihat juga https://dorar.net/feqhia/1283 [14] Syarh Al-Nawawi ‘ala Muslim, 6: 15. Tags: rukuksujud


Daftar Isi Toggle Diperbolehkannya salat sunah sambil dudukCara rukuk dan sujud dalam salat sambil dudukSalat sunah sambil berbaring dan cara rukuk dan sujud di dalamnyaSalat wajib tidak boleh dilakukan sambil duduk atau berbaring, kecuali ada uzurDalam salat wajib, rukuk dan sujud tidak gugur karena tidak bisa berdiriRingkasan dari penjelasan di atasCatatan tentang salat sunah sambil berbaring Salat sunah merupakan amalan yang sangat penting, yang perlu dikerjakan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, diperbolehkan melakukan salat sunah sambil duduk, meskipun mampu berdiri. Karena jika diwajibkan untuk berdiri, maka akan sulit untuk membiasakan kebaikan ini. Selain itu, banyak orang merasa kesulitan untuk berdiri lama. Jika berdiri diwajibkan (dalam salat sunah), maka kebanyakan salat sunah akan ditinggalkan. Oleh karena itu, pembuat syariat memberi keringanan untuk tidak berdiri di dalamnya sebagai dorongan untuk memperbanyak salat sunah, sebagaimana keringanan untuk melakukannya di atas kendaraan saat bepergian. [1] Diperbolehkannya salat sunah sambil duduk Baik karena ada uzur atau tidak ada uzur, diperbolehkannya salat sunah sambil duduk. Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat seseorang sambil duduk. Beliau bersabda, مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَل وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ “Barangsiapa salat sambil berdiri, maka itu lebih utama. Dan barangsiapa salat sambil duduk, maka baginya setengah pahala orang yang berdiri. Dan barangsiapa salat sambil tidur, maka baginya setengah pahala orang yang duduk.” [2] Para ulama sepakat tentang diperbolehkannya salat sunah sambil duduk baik karena ada uzur atau tidak ada uzur. [3] Cara rukuk dan sujud dalam salat sambil duduk Orang yang salat dengan duduk, boleh baginya memilih antara berdiri atau duduk saat rukuk dan sujud. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan keduanya. Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan, أَنَّ رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي جَالِسًا، فَيَقْرَأُ وَهُوَ جَالِسٌ، فَإِذَا بَقِيَ مِنْ قِرَاءَتِهِ قَدْرُ مَا يَكُونُ ثَلَاثِينَ أَوْ أَرْبَعِينَ آيَةً، قَامَ فَقَرَأَ وَهُوَ قَائِمٌ، ثُمَّ رَكَعَ، ثُمَّ سَجَدَ، ثُمَّ يَفْعَل فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْل ذَلِكَ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salat sambil duduk, beliau membaca (Al-Qur’an) sambil duduk. Ketika bacaannya tersisa sekitar tiga puluh atau empat puluh ayat, beliau berdiri, lalu membaca sambil berdiri. Kemudian rukuk, lalu sujud, kemudian melakukan hal yang sama pada rakaat kedua.” [4] Dan dalam hadis yang lain, masih dari Aisyah radhiyallahu ‘anha [5], beliau menceritakan, أَنَّ رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي لَيْلاً طَوِيلاً قَائِمًا، وَلَيْلاً طَوِيلاً قَاعِدًا، وَكَانَ إِذَا قَرَأَ وَهُوَ قَائِمٌ رَكَعَ وَسَجَدَ وَهُوَ قَائِمٌ، وَإِذَا قَرَأَ وَهُوَ قَاعِدٌ رَكَعَ وَسَجَدَ وَهُوَ قَاعِدٌ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa salat malam dalam waktu lama sambil berdiri, dan dalam waktu lama sambil duduk. Ketika beliau membaca sambil berdiri, beliau rukuk dan sujud sambil berdiri. Dan ketika beliau membaca sambil duduk, beliau rukuk dan sujud sambil duduk.” [6] Salat sunah sambil berbaring dan cara rukuk dan sujud di dalamnya Sebagian ulama berpendapat bolehnya seseorang salat sunah sambil berbaring, walaupun dia bisa berdiri atau duduk. Dalil dari hal tersebut adalah hadis dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, yang ketika itu mengalami sakit bisul, ia berkata, “Saya bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat seseorang sambil duduk, maka beliau bersabda, مَن صَلَّى قَائِمًا فَهو أفْضَلُ، ومَن صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أجْرِ القَائِمِ، ومَن صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أجْرِ القَاعِدِ ‘Barangsiapa salat sambil berdiri, maka itu lebih utama. Dan barangsiapa salat sambil duduk, maka baginya setengah pahala orang yang berdiri. Dan barangsiapa salat sambil tidur, maka baginya setengah pahala orang yang duduk.’” [7] Setelah membawakan hadis di atas, Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, والمراد بالنائم المضطجع. ولو تنفل مضطجعا بالإيماء بالرأس مع قدرته على القيام والقعود فوجهان (أحدهما) لا تصح صلاته لأنه يذهب صورتها بغير عذر وهذا أرجحهما عند إمام الحرمين والثاني وهو الصحيح صحتها لحديث عمران. “Yang dimaksud dengan tidur (dalam hadis di atas) adalah berbaring (miring). Jika seseorang salat sunah sambil berbaring dengan memberi isyarat kepala (ketika rukuk dan sujud), padahal mampu berdiri dan duduk, maka ada dua pendapat: (Pertama) Salatnya tidak sah karena menghilangkan bentuk salat tanpa uzur, dan ini yang lebih kuat menurut Imam al-Haramain. (Kedua) Dan ini yang benar, salatnya sah berdasarkan hadis Imran (di atas).” [8] Baca juga: Tatacara Bersuci untuk Salat Ketika di Pesawat Salat wajib tidak boleh dilakukan sambil duduk atau berbaring, kecuali ada uzur Semua yang disebutkan di atas adalah untuk salat sunah. Adapun salat wajib, para ulama sepakat bahwa berdiri adalah rukun di dalam salat bagi yang mampu. Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku menderita wasir, maka aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat, maka beliau bersabda, صَل قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ “Salatlah sambil berdiri! Jika tidak mampu, maka sambil duduk. Jika tidak mampu, maka sambil berbaring miring.” [9] Para ulama sepakat bahwa berdiri adalah rukun dalam salat wajib bagi yang mampu melakukannya. [10] Dalam salat wajib, rukuk dan sujud tidak gugur karena tidak bisa berdiri Barangsiapa yang tidak mampu berdiri dalam salat wajib, maka dia boleh salat sambil duduk, tetapi rukuk dan sujud tidak gugur darinya jika dia mampu melakukannya. Demikian juga, barangsiapa yang mampu berdiri tetapi tidak mampu rukuk atau sujud, maka berdiri tidak gugur darinya. Maka, yang mudah tidak gugur karena yang sulit, sebagaimana kaedah, الميسور لا يسقط بالمعسور “Sesuatu yang mudah tidak gugur karena sesuatu yang sulit.” Imam Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, [ومن قَدَرَ على القِيَامِ، وعَجَزَ عن الرُّكُوعِ أو السُّجُودِ، ‌لم ‌يَسْقُطْ ‌عنه ‌القِيَامُ]، ويُصَلِّى قائِمًا، فَيُومِئُ بالرُّكُوعِ، ثم يَجْلِسُ فَيُومِئُ بالسُّجُودِ “Barangsiapa yang mampu berdiri, tetapi tidak mampu rukuk atau sujud, maka berdiri tidak gugur darinya. Dia salat sambil berdiri, lalu memberi isyarat dengan rukuk, kemudian duduk, lalu memberi isyarat dengan sujud.” [11] Penjelasan rinci tentang bab ini telah disebutkan oleh para ulama dalam hukum salat orang yang memiliki uzur. Ringkasan dari penjelasan di atas Pertama: Dalam salat wajib, tidak boleh berpindah dari satu posisi ke posisi yang lebih rendah, kecuali ada uzur. Sedangkan dalam salat sunah, boleh (walaupun tanpa uzur) berpindah ke posisi salat sambil duduk dan berbaring dengan syarat tidak berbaring telentang. Kedua: Rukuk dan sujud tidak terkait dengan berdiri dalam salat wajib. Sehingga jika mampu melakukan rukuk dan sujud, keduanya tidak gugur, meskipun tidak bisa berdiri. Adapun dalam salat sunah, keduanya mengikuti posisi berdiri. Jika berdiri ditinggalkan, maka boleh meninggalkan rukuk dan sujud sambil berdiri (meskipun mampu). [12] Catatan tentang salat sunah sambil berbaring Pertama: Jumhur ulama berpendapat bahwa salat sunah sambil berbaring tidak diperbolehkan. Ibnu Taimiyah berkata, “Salat sunnah sambil berbaring tanpa uzur tidak diperbolehkan, kecuali oleh sekelompok kecil dari pengikut Syafi’i dan Ahmad. Dan kami tidak mendapatkan riwayat dari salah satu dari mereka bahwa mereka salat sambil berbaring tanpa uzur. Dan jika ini diperbolehkan, tentu mereka akan melakukannya.” [13] Oleh karena itu, hendaknya hal ini tidak sering dipraktikkan, apalagi dijadikan sebagai kebiasaan. Wallahu a’lam. Kedua: Yang dimaksud dengan berbaring adalah berbaring miring. Jika seseorang berbaring telentang, padahal mampu berbaring miring, maka salatnya tidak sah. [14] Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang cara rukuk dan sujud dalam salat sambil duduk atau berbaring. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Hukum Bertayamum untuk Salat ketika Safar *** 14 Zulkaidah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shofwah – Mesir, cet. ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah) Al-Mughni, Abdullah bin Ahmad Ibnu Qudamah, Dar Alamil Kutub – Saudi, cet. ke-3, 1417 (Maktabah Syamilah)   Catatan kaki: [1] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 161. [2] HR. Bukhari (Fath Al-Bari, 2: 586.) [3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 109. [4] HR. Muslim (1: 505 – cetakan Halabi) [5] HR. Muslim (1: 504 – cetakan Halabi) [6] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 161-162. [7] HR. Bukhari no. 1116. [8] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 3: 275. [9] HR. Bukhari (Fath Al-Bari, 2: 587, cetakan Salafiyah) [10] Al-Mughni, 1: 463, Lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 106. [11] Al-Mughni, 2: 572. [12] https://nahrjari.com.sa/ar/node/610 [13] Al-Nukat wa Al-Fawaid Al-Sunniyah, 1: 87 dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, 27: 163. Lihat juga https://dorar.net/feqhia/1283 [14] Syarh Al-Nawawi ‘ala Muslim, 6: 15. Tags: rukuksujud

Hadis: Perintah kepada Para Pemuda untuk Menikah (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Kandungan hadis (lanjutan)Kandungan keempatKandungan kelimaKandungan keenam Kandungan hadis (lanjutan) Kandungan keempat Hadis ini juga menunjukkan bahwa hendaknya seseorang tidak menyusahkan diri atau memaksakan diri untuk menikah ketika hal itu belum memungkinkan baginya, misalnya dengan berhutang. Hal ini karena di dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan petunjuk untuk berpuasa jika belum mampu menikah. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa dalam masalah ini, terdapat perselisihan pendapat antara Imam Ahmad dan selainnya. Allah Ta’ala berfirman, وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحاً حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur: 33) Zahir ayat tersebut menunjukkan bahwa hendaknya orang miskin itu tidak sampai berhutang untuk menikah. Akan tetapi, hendaknya dia berusaha bertakwa dengan menjaga kesucian dirinya (dari perbuatan zina) sampai Allah membuatnya mampu dengan karunia dari-Nya. Berusaha menjaga kesucian diri ini terdapat dalam firman Allah Ta’ala, قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandanganya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30) Allah Ta’ala berfirman, وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32) (Lihat Al-Fatawa, 32: 6; Adhwa’ul Bayan, 6: 219) Kandungan kelima Al-Khattabi rahimahullah menyebutkan bahwa di dalam hadis ini terdapat dalil bolehnya berobat untuk meredakan syahwat untuk berjimak, dengan obat-obatan tertentu atau semisalnya. (Lihat Ma’alim As-Sunan, 3: 3) Akan tetapi, hendaknya obat-obatan ini hanya untuk meredakan atau meringankan syahwatnya, tidak sampai menghilangkannya sama sekali, karena dianalogikan dengan puasa. Jika sampai menghilangkan syahwat secara total, maka terlarang menurut syariat dengan dua alasan berikut ini: Pertama, bisa jadi Allah Ta’ala memberikan kemampuan untuknya sehingga memiliki biaya untuk menikah dan juga memudahkan sebab-sebab untuk menikah. Allah Ta’ala telah berjanji kepada orang-orang yang menjaga kesucian dirinya bahwa Dia akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Kedua, para ulama telah sepakat (ijmak) terlarangnya al-jabb dan al-khishaa’, yaitu kebiri. Sehingga diqiyaskan dengannya perbuatan lain yang bisa menghilangkan syahwat sama sekali, termasuk dengan obat-obatan. Baca juga: Anggapan Sial Menikah di Bulan Muharam Kandungan keenam Sebagian ulama Malikiyah berdalil dengan hadis ini untuk mengatakan haramnya istimna’ (onani). Sisi pendalilannya adalah, jika onani itu diperbolehkan (mubah), maka tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan menyebutkannya sebagai solusi, karena onani tentu lebih mudah dan lebih ringan (daripada puasa), dan juga mengandung unsur kenikmatan. Hukum onani adalah haram menurut mayoritas (jumhur) ulama. Ini adalah pendapat yang lebih kuat dalam mazhab Imam Ahmad. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Pendapat ulama yang mengatakan bolehnya istimna’ untuk meredakan syahwat itu tidak perlu dianggap. Hal ini karena mudarat perbuatan istimna’ itu besar. Maka pendapat yang benar adalah haram, tidak boleh dilakukan, baik dengan tujuan untuk meredakan syahwat atau tujuan-tujuan lainnya. Wallahu a’lam.” (Al-Fatawa, 10: 573-575) Ulama yang berpendapat haramnya istimna’ juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Mu’minun: 5-7) Maksud “orang-orang yang melampaui batas” dalam ayat di atas adalah mereka yang melewati batasan yang telah Allah tetapkan. Hal ini menunjukkan haramnya perbuatan tersebut. Para ulama tersebut juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحاً حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur: 33) Yang dimaksud dengan isti’faf adalah menjaga kesucian diri dengan menjaga kemaluan dari semua bentuk penyaluran syahwat yang haram. Perintah ini menunjukkan hukum wajib. (Lihat Al-Umm karya Asy-Syafi’i, 5: 101-102, 156) Ketika membahas hukum istimna’, sejumlah ulama menyebutkan bahwa istimna’ memiliki mudarat yang besar, di antaranya dapat melemahkan badan atau dapat mempengaruhi kualitas hubungan suami-istri (ketika sudah menikah). Ini adalah alasan lain diharamkannya istimna’. Pendapat kedua menyatakan bahwa hukum onani adalah makruh, tidak berdosa, dan pelakunya tidak berhak mendapatkan hukuman. Ini adalah pendapat ulama Zahiriyah, juga diriwayatkan dari sejumlah ulama salaf bahwa mereka membolehkannya. (Lihat Al-Mushannaf karya Abdur Razaq, 7: 390-392; Al-Muhalla, 11: 392) Alasannya, karena tidak ada dalil tegas yang menunjukkan haramnya. Ibnu Hazm rahimahullah menyebutkan sisi makruhnya onani, yaitu bahwa perbuatan tersebut tidak termasuk dalam akhlak yang mulia dan utama. Ulama yang berpendapat boleh, mereka tidak melihat bahwa dalil-dalil yang dibawakan oleh ulama yang mengharamkan itu cukup kuat untuk menyimpulkan hukum haram, karena sisi pendalilannya yang tidak tegas untuk menunjukkan hukum haram. Demikian pula, mudarat-mudarat yang mereka sebutkan dari perbuatan istimna’ juga tidak cukup menunjukkan hukum haramnya. Pendapat kedua ini dipilih oleh Asy-Syaukani rahimahullah dan beliau memiliki kitab khusus dalam masalah ini. Para ulama fikih mengecualikan bagi orang yang takut terjerumus ke dalam zina atau terjerumus dalam perbuatan homoseksual. Mereka mengatakan bahwa istimna’ itu diperbolehkan untuk mereka, karena mereka berada dalam kondisi terdesak, dengan syarat bahwa mereka memang tidak mampu menikah, meskipun hanya dengan menikahi budak wanita. (Lihat Syarh Al-Muntaha lil Buhuti, 6: 229) Ibnu Rajab rahimahullah mengutip pendapat Ibnu ‘Aqil Al-Hambali bahwa beliau mengharamkan istimna’, apapun kondisinya, dan beliau juga menyebutkan sejumlah riwayat lainnya. (Lihat Adz-Dzail ‘ala Thabaqat Al-Hanabilah, 1: 159) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Istimna’ dengan menggunakan tangan itu hukumnya haram menurut jumhur ulama. Ini adalah pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat dalam mazhab Imam Ahmad. Demikian pula, pelakunya berhak mendapatkan hukuman ta’zir (hukuman yang bentuk dan kadarnya ditentukan oleh ijtihad penguasa). Pendapat lain mengatakan bahwa hukumnya makruh, tidak sampai haram. Mayoritas (jumhur) ulama tidak memperbolehkannya meskipun khawatir terhadap zina atau kekhawatiran lainnya. Dikutip dari sejumlah sahabat dan tabi’in bahwa mereka memberikan keringanan (memperbolehkan) istimna’ dalam situasi terdesak (darurat). Misalnya, dia sangat khawatir terjerumus zina dan dia tidak bisa menghindar darinya kecuali dengan melakukan istimna’. Atau, jika dia tidak melakukannya, dia bisa jatuh sakit. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan ulama yang lainnya. Adapun jika tidak dalam kondisi darurat, maka aku tidak mengetahui ada ulama yang memberikan keringanan. Wallahu a’lam.” (Al-Fatawa, 10: 573-575; 34: 229. Lihat pula Badai’ Al-Fawaid, 4: 1471) [Selesai] Kembali ke bagian 1: Perintah kepada Para Pemuda untuk Menikah (Bag. 1) *** “Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri.” @BA, 28 Syawal 1445/ 7 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 170-177). Tags: menikahpemuda

Hadis: Perintah kepada Para Pemuda untuk Menikah (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Kandungan hadis (lanjutan)Kandungan keempatKandungan kelimaKandungan keenam Kandungan hadis (lanjutan) Kandungan keempat Hadis ini juga menunjukkan bahwa hendaknya seseorang tidak menyusahkan diri atau memaksakan diri untuk menikah ketika hal itu belum memungkinkan baginya, misalnya dengan berhutang. Hal ini karena di dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan petunjuk untuk berpuasa jika belum mampu menikah. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa dalam masalah ini, terdapat perselisihan pendapat antara Imam Ahmad dan selainnya. Allah Ta’ala berfirman, وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحاً حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur: 33) Zahir ayat tersebut menunjukkan bahwa hendaknya orang miskin itu tidak sampai berhutang untuk menikah. Akan tetapi, hendaknya dia berusaha bertakwa dengan menjaga kesucian dirinya (dari perbuatan zina) sampai Allah membuatnya mampu dengan karunia dari-Nya. Berusaha menjaga kesucian diri ini terdapat dalam firman Allah Ta’ala, قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandanganya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30) Allah Ta’ala berfirman, وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32) (Lihat Al-Fatawa, 32: 6; Adhwa’ul Bayan, 6: 219) Kandungan kelima Al-Khattabi rahimahullah menyebutkan bahwa di dalam hadis ini terdapat dalil bolehnya berobat untuk meredakan syahwat untuk berjimak, dengan obat-obatan tertentu atau semisalnya. (Lihat Ma’alim As-Sunan, 3: 3) Akan tetapi, hendaknya obat-obatan ini hanya untuk meredakan atau meringankan syahwatnya, tidak sampai menghilangkannya sama sekali, karena dianalogikan dengan puasa. Jika sampai menghilangkan syahwat secara total, maka terlarang menurut syariat dengan dua alasan berikut ini: Pertama, bisa jadi Allah Ta’ala memberikan kemampuan untuknya sehingga memiliki biaya untuk menikah dan juga memudahkan sebab-sebab untuk menikah. Allah Ta’ala telah berjanji kepada orang-orang yang menjaga kesucian dirinya bahwa Dia akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Kedua, para ulama telah sepakat (ijmak) terlarangnya al-jabb dan al-khishaa’, yaitu kebiri. Sehingga diqiyaskan dengannya perbuatan lain yang bisa menghilangkan syahwat sama sekali, termasuk dengan obat-obatan. Baca juga: Anggapan Sial Menikah di Bulan Muharam Kandungan keenam Sebagian ulama Malikiyah berdalil dengan hadis ini untuk mengatakan haramnya istimna’ (onani). Sisi pendalilannya adalah, jika onani itu diperbolehkan (mubah), maka tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan menyebutkannya sebagai solusi, karena onani tentu lebih mudah dan lebih ringan (daripada puasa), dan juga mengandung unsur kenikmatan. Hukum onani adalah haram menurut mayoritas (jumhur) ulama. Ini adalah pendapat yang lebih kuat dalam mazhab Imam Ahmad. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Pendapat ulama yang mengatakan bolehnya istimna’ untuk meredakan syahwat itu tidak perlu dianggap. Hal ini karena mudarat perbuatan istimna’ itu besar. Maka pendapat yang benar adalah haram, tidak boleh dilakukan, baik dengan tujuan untuk meredakan syahwat atau tujuan-tujuan lainnya. Wallahu a’lam.” (Al-Fatawa, 10: 573-575) Ulama yang berpendapat haramnya istimna’ juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Mu’minun: 5-7) Maksud “orang-orang yang melampaui batas” dalam ayat di atas adalah mereka yang melewati batasan yang telah Allah tetapkan. Hal ini menunjukkan haramnya perbuatan tersebut. Para ulama tersebut juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحاً حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur: 33) Yang dimaksud dengan isti’faf adalah menjaga kesucian diri dengan menjaga kemaluan dari semua bentuk penyaluran syahwat yang haram. Perintah ini menunjukkan hukum wajib. (Lihat Al-Umm karya Asy-Syafi’i, 5: 101-102, 156) Ketika membahas hukum istimna’, sejumlah ulama menyebutkan bahwa istimna’ memiliki mudarat yang besar, di antaranya dapat melemahkan badan atau dapat mempengaruhi kualitas hubungan suami-istri (ketika sudah menikah). Ini adalah alasan lain diharamkannya istimna’. Pendapat kedua menyatakan bahwa hukum onani adalah makruh, tidak berdosa, dan pelakunya tidak berhak mendapatkan hukuman. Ini adalah pendapat ulama Zahiriyah, juga diriwayatkan dari sejumlah ulama salaf bahwa mereka membolehkannya. (Lihat Al-Mushannaf karya Abdur Razaq, 7: 390-392; Al-Muhalla, 11: 392) Alasannya, karena tidak ada dalil tegas yang menunjukkan haramnya. Ibnu Hazm rahimahullah menyebutkan sisi makruhnya onani, yaitu bahwa perbuatan tersebut tidak termasuk dalam akhlak yang mulia dan utama. Ulama yang berpendapat boleh, mereka tidak melihat bahwa dalil-dalil yang dibawakan oleh ulama yang mengharamkan itu cukup kuat untuk menyimpulkan hukum haram, karena sisi pendalilannya yang tidak tegas untuk menunjukkan hukum haram. Demikian pula, mudarat-mudarat yang mereka sebutkan dari perbuatan istimna’ juga tidak cukup menunjukkan hukum haramnya. Pendapat kedua ini dipilih oleh Asy-Syaukani rahimahullah dan beliau memiliki kitab khusus dalam masalah ini. Para ulama fikih mengecualikan bagi orang yang takut terjerumus ke dalam zina atau terjerumus dalam perbuatan homoseksual. Mereka mengatakan bahwa istimna’ itu diperbolehkan untuk mereka, karena mereka berada dalam kondisi terdesak, dengan syarat bahwa mereka memang tidak mampu menikah, meskipun hanya dengan menikahi budak wanita. (Lihat Syarh Al-Muntaha lil Buhuti, 6: 229) Ibnu Rajab rahimahullah mengutip pendapat Ibnu ‘Aqil Al-Hambali bahwa beliau mengharamkan istimna’, apapun kondisinya, dan beliau juga menyebutkan sejumlah riwayat lainnya. (Lihat Adz-Dzail ‘ala Thabaqat Al-Hanabilah, 1: 159) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Istimna’ dengan menggunakan tangan itu hukumnya haram menurut jumhur ulama. Ini adalah pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat dalam mazhab Imam Ahmad. Demikian pula, pelakunya berhak mendapatkan hukuman ta’zir (hukuman yang bentuk dan kadarnya ditentukan oleh ijtihad penguasa). Pendapat lain mengatakan bahwa hukumnya makruh, tidak sampai haram. Mayoritas (jumhur) ulama tidak memperbolehkannya meskipun khawatir terhadap zina atau kekhawatiran lainnya. Dikutip dari sejumlah sahabat dan tabi’in bahwa mereka memberikan keringanan (memperbolehkan) istimna’ dalam situasi terdesak (darurat). Misalnya, dia sangat khawatir terjerumus zina dan dia tidak bisa menghindar darinya kecuali dengan melakukan istimna’. Atau, jika dia tidak melakukannya, dia bisa jatuh sakit. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan ulama yang lainnya. Adapun jika tidak dalam kondisi darurat, maka aku tidak mengetahui ada ulama yang memberikan keringanan. Wallahu a’lam.” (Al-Fatawa, 10: 573-575; 34: 229. Lihat pula Badai’ Al-Fawaid, 4: 1471) [Selesai] Kembali ke bagian 1: Perintah kepada Para Pemuda untuk Menikah (Bag. 1) *** “Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri.” @BA, 28 Syawal 1445/ 7 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 170-177). Tags: menikahpemuda
Daftar Isi Toggle Kandungan hadis (lanjutan)Kandungan keempatKandungan kelimaKandungan keenam Kandungan hadis (lanjutan) Kandungan keempat Hadis ini juga menunjukkan bahwa hendaknya seseorang tidak menyusahkan diri atau memaksakan diri untuk menikah ketika hal itu belum memungkinkan baginya, misalnya dengan berhutang. Hal ini karena di dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan petunjuk untuk berpuasa jika belum mampu menikah. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa dalam masalah ini, terdapat perselisihan pendapat antara Imam Ahmad dan selainnya. Allah Ta’ala berfirman, وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحاً حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur: 33) Zahir ayat tersebut menunjukkan bahwa hendaknya orang miskin itu tidak sampai berhutang untuk menikah. Akan tetapi, hendaknya dia berusaha bertakwa dengan menjaga kesucian dirinya (dari perbuatan zina) sampai Allah membuatnya mampu dengan karunia dari-Nya. Berusaha menjaga kesucian diri ini terdapat dalam firman Allah Ta’ala, قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandanganya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30) Allah Ta’ala berfirman, وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32) (Lihat Al-Fatawa, 32: 6; Adhwa’ul Bayan, 6: 219) Kandungan kelima Al-Khattabi rahimahullah menyebutkan bahwa di dalam hadis ini terdapat dalil bolehnya berobat untuk meredakan syahwat untuk berjimak, dengan obat-obatan tertentu atau semisalnya. (Lihat Ma’alim As-Sunan, 3: 3) Akan tetapi, hendaknya obat-obatan ini hanya untuk meredakan atau meringankan syahwatnya, tidak sampai menghilangkannya sama sekali, karena dianalogikan dengan puasa. Jika sampai menghilangkan syahwat secara total, maka terlarang menurut syariat dengan dua alasan berikut ini: Pertama, bisa jadi Allah Ta’ala memberikan kemampuan untuknya sehingga memiliki biaya untuk menikah dan juga memudahkan sebab-sebab untuk menikah. Allah Ta’ala telah berjanji kepada orang-orang yang menjaga kesucian dirinya bahwa Dia akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Kedua, para ulama telah sepakat (ijmak) terlarangnya al-jabb dan al-khishaa’, yaitu kebiri. Sehingga diqiyaskan dengannya perbuatan lain yang bisa menghilangkan syahwat sama sekali, termasuk dengan obat-obatan. Baca juga: Anggapan Sial Menikah di Bulan Muharam Kandungan keenam Sebagian ulama Malikiyah berdalil dengan hadis ini untuk mengatakan haramnya istimna’ (onani). Sisi pendalilannya adalah, jika onani itu diperbolehkan (mubah), maka tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan menyebutkannya sebagai solusi, karena onani tentu lebih mudah dan lebih ringan (daripada puasa), dan juga mengandung unsur kenikmatan. Hukum onani adalah haram menurut mayoritas (jumhur) ulama. Ini adalah pendapat yang lebih kuat dalam mazhab Imam Ahmad. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Pendapat ulama yang mengatakan bolehnya istimna’ untuk meredakan syahwat itu tidak perlu dianggap. Hal ini karena mudarat perbuatan istimna’ itu besar. Maka pendapat yang benar adalah haram, tidak boleh dilakukan, baik dengan tujuan untuk meredakan syahwat atau tujuan-tujuan lainnya. Wallahu a’lam.” (Al-Fatawa, 10: 573-575) Ulama yang berpendapat haramnya istimna’ juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Mu’minun: 5-7) Maksud “orang-orang yang melampaui batas” dalam ayat di atas adalah mereka yang melewati batasan yang telah Allah tetapkan. Hal ini menunjukkan haramnya perbuatan tersebut. Para ulama tersebut juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحاً حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur: 33) Yang dimaksud dengan isti’faf adalah menjaga kesucian diri dengan menjaga kemaluan dari semua bentuk penyaluran syahwat yang haram. Perintah ini menunjukkan hukum wajib. (Lihat Al-Umm karya Asy-Syafi’i, 5: 101-102, 156) Ketika membahas hukum istimna’, sejumlah ulama menyebutkan bahwa istimna’ memiliki mudarat yang besar, di antaranya dapat melemahkan badan atau dapat mempengaruhi kualitas hubungan suami-istri (ketika sudah menikah). Ini adalah alasan lain diharamkannya istimna’. Pendapat kedua menyatakan bahwa hukum onani adalah makruh, tidak berdosa, dan pelakunya tidak berhak mendapatkan hukuman. Ini adalah pendapat ulama Zahiriyah, juga diriwayatkan dari sejumlah ulama salaf bahwa mereka membolehkannya. (Lihat Al-Mushannaf karya Abdur Razaq, 7: 390-392; Al-Muhalla, 11: 392) Alasannya, karena tidak ada dalil tegas yang menunjukkan haramnya. Ibnu Hazm rahimahullah menyebutkan sisi makruhnya onani, yaitu bahwa perbuatan tersebut tidak termasuk dalam akhlak yang mulia dan utama. Ulama yang berpendapat boleh, mereka tidak melihat bahwa dalil-dalil yang dibawakan oleh ulama yang mengharamkan itu cukup kuat untuk menyimpulkan hukum haram, karena sisi pendalilannya yang tidak tegas untuk menunjukkan hukum haram. Demikian pula, mudarat-mudarat yang mereka sebutkan dari perbuatan istimna’ juga tidak cukup menunjukkan hukum haramnya. Pendapat kedua ini dipilih oleh Asy-Syaukani rahimahullah dan beliau memiliki kitab khusus dalam masalah ini. Para ulama fikih mengecualikan bagi orang yang takut terjerumus ke dalam zina atau terjerumus dalam perbuatan homoseksual. Mereka mengatakan bahwa istimna’ itu diperbolehkan untuk mereka, karena mereka berada dalam kondisi terdesak, dengan syarat bahwa mereka memang tidak mampu menikah, meskipun hanya dengan menikahi budak wanita. (Lihat Syarh Al-Muntaha lil Buhuti, 6: 229) Ibnu Rajab rahimahullah mengutip pendapat Ibnu ‘Aqil Al-Hambali bahwa beliau mengharamkan istimna’, apapun kondisinya, dan beliau juga menyebutkan sejumlah riwayat lainnya. (Lihat Adz-Dzail ‘ala Thabaqat Al-Hanabilah, 1: 159) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Istimna’ dengan menggunakan tangan itu hukumnya haram menurut jumhur ulama. Ini adalah pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat dalam mazhab Imam Ahmad. Demikian pula, pelakunya berhak mendapatkan hukuman ta’zir (hukuman yang bentuk dan kadarnya ditentukan oleh ijtihad penguasa). Pendapat lain mengatakan bahwa hukumnya makruh, tidak sampai haram. Mayoritas (jumhur) ulama tidak memperbolehkannya meskipun khawatir terhadap zina atau kekhawatiran lainnya. Dikutip dari sejumlah sahabat dan tabi’in bahwa mereka memberikan keringanan (memperbolehkan) istimna’ dalam situasi terdesak (darurat). Misalnya, dia sangat khawatir terjerumus zina dan dia tidak bisa menghindar darinya kecuali dengan melakukan istimna’. Atau, jika dia tidak melakukannya, dia bisa jatuh sakit. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan ulama yang lainnya. Adapun jika tidak dalam kondisi darurat, maka aku tidak mengetahui ada ulama yang memberikan keringanan. Wallahu a’lam.” (Al-Fatawa, 10: 573-575; 34: 229. Lihat pula Badai’ Al-Fawaid, 4: 1471) [Selesai] Kembali ke bagian 1: Perintah kepada Para Pemuda untuk Menikah (Bag. 1) *** “Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri.” @BA, 28 Syawal 1445/ 7 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 170-177). Tags: menikahpemuda


Daftar Isi Toggle Kandungan hadis (lanjutan)Kandungan keempatKandungan kelimaKandungan keenam Kandungan hadis (lanjutan) Kandungan keempat Hadis ini juga menunjukkan bahwa hendaknya seseorang tidak menyusahkan diri atau memaksakan diri untuk menikah ketika hal itu belum memungkinkan baginya, misalnya dengan berhutang. Hal ini karena di dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan petunjuk untuk berpuasa jika belum mampu menikah. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa dalam masalah ini, terdapat perselisihan pendapat antara Imam Ahmad dan selainnya. Allah Ta’ala berfirman, وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحاً حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur: 33) Zahir ayat tersebut menunjukkan bahwa hendaknya orang miskin itu tidak sampai berhutang untuk menikah. Akan tetapi, hendaknya dia berusaha bertakwa dengan menjaga kesucian dirinya (dari perbuatan zina) sampai Allah membuatnya mampu dengan karunia dari-Nya. Berusaha menjaga kesucian diri ini terdapat dalam firman Allah Ta’ala, قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandanganya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30) Allah Ta’ala berfirman, وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32) (Lihat Al-Fatawa, 32: 6; Adhwa’ul Bayan, 6: 219) Kandungan kelima Al-Khattabi rahimahullah menyebutkan bahwa di dalam hadis ini terdapat dalil bolehnya berobat untuk meredakan syahwat untuk berjimak, dengan obat-obatan tertentu atau semisalnya. (Lihat Ma’alim As-Sunan, 3: 3) Akan tetapi, hendaknya obat-obatan ini hanya untuk meredakan atau meringankan syahwatnya, tidak sampai menghilangkannya sama sekali, karena dianalogikan dengan puasa. Jika sampai menghilangkan syahwat secara total, maka terlarang menurut syariat dengan dua alasan berikut ini: Pertama, bisa jadi Allah Ta’ala memberikan kemampuan untuknya sehingga memiliki biaya untuk menikah dan juga memudahkan sebab-sebab untuk menikah. Allah Ta’ala telah berjanji kepada orang-orang yang menjaga kesucian dirinya bahwa Dia akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Kedua, para ulama telah sepakat (ijmak) terlarangnya al-jabb dan al-khishaa’, yaitu kebiri. Sehingga diqiyaskan dengannya perbuatan lain yang bisa menghilangkan syahwat sama sekali, termasuk dengan obat-obatan. Baca juga: Anggapan Sial Menikah di Bulan Muharam Kandungan keenam Sebagian ulama Malikiyah berdalil dengan hadis ini untuk mengatakan haramnya istimna’ (onani). Sisi pendalilannya adalah, jika onani itu diperbolehkan (mubah), maka tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan menyebutkannya sebagai solusi, karena onani tentu lebih mudah dan lebih ringan (daripada puasa), dan juga mengandung unsur kenikmatan. Hukum onani adalah haram menurut mayoritas (jumhur) ulama. Ini adalah pendapat yang lebih kuat dalam mazhab Imam Ahmad. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Pendapat ulama yang mengatakan bolehnya istimna’ untuk meredakan syahwat itu tidak perlu dianggap. Hal ini karena mudarat perbuatan istimna’ itu besar. Maka pendapat yang benar adalah haram, tidak boleh dilakukan, baik dengan tujuan untuk meredakan syahwat atau tujuan-tujuan lainnya. Wallahu a’lam.” (Al-Fatawa, 10: 573-575) Ulama yang berpendapat haramnya istimna’ juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Mu’minun: 5-7) Maksud “orang-orang yang melampaui batas” dalam ayat di atas adalah mereka yang melewati batasan yang telah Allah tetapkan. Hal ini menunjukkan haramnya perbuatan tersebut. Para ulama tersebut juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحاً حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur: 33) Yang dimaksud dengan isti’faf adalah menjaga kesucian diri dengan menjaga kemaluan dari semua bentuk penyaluran syahwat yang haram. Perintah ini menunjukkan hukum wajib. (Lihat Al-Umm karya Asy-Syafi’i, 5: 101-102, 156) Ketika membahas hukum istimna’, sejumlah ulama menyebutkan bahwa istimna’ memiliki mudarat yang besar, di antaranya dapat melemahkan badan atau dapat mempengaruhi kualitas hubungan suami-istri (ketika sudah menikah). Ini adalah alasan lain diharamkannya istimna’. Pendapat kedua menyatakan bahwa hukum onani adalah makruh, tidak berdosa, dan pelakunya tidak berhak mendapatkan hukuman. Ini adalah pendapat ulama Zahiriyah, juga diriwayatkan dari sejumlah ulama salaf bahwa mereka membolehkannya. (Lihat Al-Mushannaf karya Abdur Razaq, 7: 390-392; Al-Muhalla, 11: 392) Alasannya, karena tidak ada dalil tegas yang menunjukkan haramnya. Ibnu Hazm rahimahullah menyebutkan sisi makruhnya onani, yaitu bahwa perbuatan tersebut tidak termasuk dalam akhlak yang mulia dan utama. Ulama yang berpendapat boleh, mereka tidak melihat bahwa dalil-dalil yang dibawakan oleh ulama yang mengharamkan itu cukup kuat untuk menyimpulkan hukum haram, karena sisi pendalilannya yang tidak tegas untuk menunjukkan hukum haram. Demikian pula, mudarat-mudarat yang mereka sebutkan dari perbuatan istimna’ juga tidak cukup menunjukkan hukum haramnya. Pendapat kedua ini dipilih oleh Asy-Syaukani rahimahullah dan beliau memiliki kitab khusus dalam masalah ini. Para ulama fikih mengecualikan bagi orang yang takut terjerumus ke dalam zina atau terjerumus dalam perbuatan homoseksual. Mereka mengatakan bahwa istimna’ itu diperbolehkan untuk mereka, karena mereka berada dalam kondisi terdesak, dengan syarat bahwa mereka memang tidak mampu menikah, meskipun hanya dengan menikahi budak wanita. (Lihat Syarh Al-Muntaha lil Buhuti, 6: 229) Ibnu Rajab rahimahullah mengutip pendapat Ibnu ‘Aqil Al-Hambali bahwa beliau mengharamkan istimna’, apapun kondisinya, dan beliau juga menyebutkan sejumlah riwayat lainnya. (Lihat Adz-Dzail ‘ala Thabaqat Al-Hanabilah, 1: 159) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Istimna’ dengan menggunakan tangan itu hukumnya haram menurut jumhur ulama. Ini adalah pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat dalam mazhab Imam Ahmad. Demikian pula, pelakunya berhak mendapatkan hukuman ta’zir (hukuman yang bentuk dan kadarnya ditentukan oleh ijtihad penguasa). Pendapat lain mengatakan bahwa hukumnya makruh, tidak sampai haram. Mayoritas (jumhur) ulama tidak memperbolehkannya meskipun khawatir terhadap zina atau kekhawatiran lainnya. Dikutip dari sejumlah sahabat dan tabi’in bahwa mereka memberikan keringanan (memperbolehkan) istimna’ dalam situasi terdesak (darurat). Misalnya, dia sangat khawatir terjerumus zina dan dia tidak bisa menghindar darinya kecuali dengan melakukan istimna’. Atau, jika dia tidak melakukannya, dia bisa jatuh sakit. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan ulama yang lainnya. Adapun jika tidak dalam kondisi darurat, maka aku tidak mengetahui ada ulama yang memberikan keringanan. Wallahu a’lam.” (Al-Fatawa, 10: 573-575; 34: 229. Lihat pula Badai’ Al-Fawaid, 4: 1471) [Selesai] Kembali ke bagian 1: Perintah kepada Para Pemuda untuk Menikah (Bag. 1) *** “Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri.” @BA, 28 Syawal 1445/ 7 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 170-177). Tags: menikahpemuda

Cara Agar Doa Cepat Dikabulkan: Memanfaatkan Waktu, Khusyuk, dan Penuhi Adab

Bagaimana cara agar doa kita cepat dikabulkan? Kiatnya adalah memanfaatkan waktu, khusyuk, dan penuhi adab dalam berdoa. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ sebagai berikut. وَإِذَا جَمَعَ مَعَ الدُّعَاءِ حُضُورَ الْقَلْبِ وَجَمْعِيَّتَهُ بِكُلِّيَّتِهِ عَلَى الْمَطْلُوبِ، وَصَادَفَ وَقْتًا مِنْ أَوْقَاتِ الْإِجَابَةِ السِّتَّةِ، وَهِيَ: Doa akan dikabulkan jika seseorang menggabungkan: (1) hadirnya hati, konsentrasi secara penuh terhadap apa yang diminta, (2) bertepatan dengan salah satu waktu terkabulnya doa yang enam berikut: الثُّلُثُ الْأَخِيرُ مِنَ اللَّيْلِ، وَعِنْدَ الْأَذَانِ، وَبَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ، وَأَدْبَارُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ، وَعِنْدَ صُعُودِ الْإِمَامِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ حَتَّى تُقْضَى الصَّلَاةُ مِنْ ذَلِكَ الْيَوْمِ، وَآخِرُ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ. (a) sepertiga malam terakhir, (b) saat azan, (c) antara azan dan iqamah, (d) setiap akhir shalat lima waktu, (e) ketika imam naik mimbar pada hari Jumat sampai shalat Jumat selesai dilaksanakan pada hari tersebut, (f) akhir waktu pada hari Jumat setelah Ashar. وَصَادَفَ خُشُوعًا فِي الْقَلْبِ، وَانْكِسَارًا بَيْنَ يَدَيِ الرَّبِّ، وَذُلًّا لَهُ، وَتَضَرُّعًا، وَرِقَّةً. وَاسْتَقْبَلَ الدَّاعِي الْقِبْلَةَ. وَكَانَ عَلَى طَهَارَةٍ. وَرَفَعَ يَدَيْهِ إِلَى اللَّهِ. وَبَدَأَ بِحَمْدِ اللَّهِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ. ثُمَّ ثَنَّى بِالصَّلَاةِ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِهِ وَرَسُولِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. ثُمَّ قَدَّمَ بَيْنَ يَدَيْ حَاجَتِهِ التَّوْبَةَ وَالِاسْتِغْفَارَ. ثُمَّ دَخَلَ عَلَى اللَّهِ، وَأَلَحَّ عَلَيْهِ فِي الْمَسْأَلَةِ، وَتَمَلَّقَهُ وَدَعَاهُ رَغْبَةً وَرَهْبَةً. وَتَوَسَّلَ إِلَيْهِ بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَتَوْحِيدِهِ. وَقَدَّمَ بَيْنَ يَدَيْ دُعَائِهِ صَدَقَةً، فَإِنَّ هَذَا الدُّعَاءَ لَا يَكَادُ يُرَدُّ أَبَدًا، Hal di atas ditambahkan dengan: (3) hati yang khusyuk saat berdoa, (4) merendahkan diri di hadapan Allah yang diiringi dengan ketundukan dan kelembutan, lalu (5) yang berdoa memenuhi adab berdoa: (a) menghadap kiblat, (b) dalam keadaan suci, (c) mengangkat tangan di hadapan Allah, (d) memulai dengan memuji dan menyanjung Allah (ucapan Alhamdulillah), (e) memuji Nabi dengan bershalawat kepada Muhammad sebagai hamba dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, (f) bertaubat dan beristighfar sebelum menyampaikan hajat, (g) menghadirkan diri di hadapan Allah, (h) bertawassul dengan nama, sifat, dan keesaan Allah, (i) melakukan sedekah sebelum memanjatkan doa. Doa semacam ini hampir tidak akan pernah tertolak. وَلَا سِيَّمَا إِنْ صَادَفَ الْأَدْعِيَةَ الَّتِي أَخْبَرَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهَا مَظَنَّةُ الْإِجَابَةِ، أَوْ أَنَّهَا مُتَضَمِّنَةٌ لِلِاسْمِ الْأَعْظَمِ. (j) Hal ini lebih-lebih lagi dengan memanjatkan doa yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang beliau sendiri mengabarkan bahwa doa ini akan terkabulkan atau mengandung ISMULLAH AL-A’ZHOM (nama Allah yang mulia). Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 17-18. Maka dari itu, janganlah kita meremehkan kekuatan doa. Ketahuilah bahwa dengan menghadirkan hati yang khusyuk, merendahkan diri di hadapan Allah, serta memenuhi segala adab dalam berdoa, kita telah menempuh jalan yang benar agar doa cepat dikabulkan. Jangan pernah berhenti berdoa dan berusaha, karena sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui segala hajat hamba-Nya. Semoga kita semua senantiasa diberikan kemudahan dan kelapangan dalam setiap doa yang kita panjatkan.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Baca Juga: Doa untuk Meminta Rezeki, Selamat dari Penyakit, Kebaikan Dunia Akhirat – Rabu pagi, 20 Dzulqa’dah 1445 H, 29 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa al jawabul kaafi cara ruqyah faedah dari Ibnul Qayyim hati bersih khusyuk manajemen hati masalah hidup masalah rumah tangga obat hati penyakit ruqyah solusi masalah hidup

Cara Agar Doa Cepat Dikabulkan: Memanfaatkan Waktu, Khusyuk, dan Penuhi Adab

Bagaimana cara agar doa kita cepat dikabulkan? Kiatnya adalah memanfaatkan waktu, khusyuk, dan penuhi adab dalam berdoa. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ sebagai berikut. وَإِذَا جَمَعَ مَعَ الدُّعَاءِ حُضُورَ الْقَلْبِ وَجَمْعِيَّتَهُ بِكُلِّيَّتِهِ عَلَى الْمَطْلُوبِ، وَصَادَفَ وَقْتًا مِنْ أَوْقَاتِ الْإِجَابَةِ السِّتَّةِ، وَهِيَ: Doa akan dikabulkan jika seseorang menggabungkan: (1) hadirnya hati, konsentrasi secara penuh terhadap apa yang diminta, (2) bertepatan dengan salah satu waktu terkabulnya doa yang enam berikut: الثُّلُثُ الْأَخِيرُ مِنَ اللَّيْلِ، وَعِنْدَ الْأَذَانِ، وَبَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ، وَأَدْبَارُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ، وَعِنْدَ صُعُودِ الْإِمَامِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ حَتَّى تُقْضَى الصَّلَاةُ مِنْ ذَلِكَ الْيَوْمِ، وَآخِرُ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ. (a) sepertiga malam terakhir, (b) saat azan, (c) antara azan dan iqamah, (d) setiap akhir shalat lima waktu, (e) ketika imam naik mimbar pada hari Jumat sampai shalat Jumat selesai dilaksanakan pada hari tersebut, (f) akhir waktu pada hari Jumat setelah Ashar. وَصَادَفَ خُشُوعًا فِي الْقَلْبِ، وَانْكِسَارًا بَيْنَ يَدَيِ الرَّبِّ، وَذُلًّا لَهُ، وَتَضَرُّعًا، وَرِقَّةً. وَاسْتَقْبَلَ الدَّاعِي الْقِبْلَةَ. وَكَانَ عَلَى طَهَارَةٍ. وَرَفَعَ يَدَيْهِ إِلَى اللَّهِ. وَبَدَأَ بِحَمْدِ اللَّهِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ. ثُمَّ ثَنَّى بِالصَّلَاةِ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِهِ وَرَسُولِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. ثُمَّ قَدَّمَ بَيْنَ يَدَيْ حَاجَتِهِ التَّوْبَةَ وَالِاسْتِغْفَارَ. ثُمَّ دَخَلَ عَلَى اللَّهِ، وَأَلَحَّ عَلَيْهِ فِي الْمَسْأَلَةِ، وَتَمَلَّقَهُ وَدَعَاهُ رَغْبَةً وَرَهْبَةً. وَتَوَسَّلَ إِلَيْهِ بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَتَوْحِيدِهِ. وَقَدَّمَ بَيْنَ يَدَيْ دُعَائِهِ صَدَقَةً، فَإِنَّ هَذَا الدُّعَاءَ لَا يَكَادُ يُرَدُّ أَبَدًا، Hal di atas ditambahkan dengan: (3) hati yang khusyuk saat berdoa, (4) merendahkan diri di hadapan Allah yang diiringi dengan ketundukan dan kelembutan, lalu (5) yang berdoa memenuhi adab berdoa: (a) menghadap kiblat, (b) dalam keadaan suci, (c) mengangkat tangan di hadapan Allah, (d) memulai dengan memuji dan menyanjung Allah (ucapan Alhamdulillah), (e) memuji Nabi dengan bershalawat kepada Muhammad sebagai hamba dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, (f) bertaubat dan beristighfar sebelum menyampaikan hajat, (g) menghadirkan diri di hadapan Allah, (h) bertawassul dengan nama, sifat, dan keesaan Allah, (i) melakukan sedekah sebelum memanjatkan doa. Doa semacam ini hampir tidak akan pernah tertolak. وَلَا سِيَّمَا إِنْ صَادَفَ الْأَدْعِيَةَ الَّتِي أَخْبَرَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهَا مَظَنَّةُ الْإِجَابَةِ، أَوْ أَنَّهَا مُتَضَمِّنَةٌ لِلِاسْمِ الْأَعْظَمِ. (j) Hal ini lebih-lebih lagi dengan memanjatkan doa yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang beliau sendiri mengabarkan bahwa doa ini akan terkabulkan atau mengandung ISMULLAH AL-A’ZHOM (nama Allah yang mulia). Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 17-18. Maka dari itu, janganlah kita meremehkan kekuatan doa. Ketahuilah bahwa dengan menghadirkan hati yang khusyuk, merendahkan diri di hadapan Allah, serta memenuhi segala adab dalam berdoa, kita telah menempuh jalan yang benar agar doa cepat dikabulkan. Jangan pernah berhenti berdoa dan berusaha, karena sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui segala hajat hamba-Nya. Semoga kita semua senantiasa diberikan kemudahan dan kelapangan dalam setiap doa yang kita panjatkan.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Baca Juga: Doa untuk Meminta Rezeki, Selamat dari Penyakit, Kebaikan Dunia Akhirat – Rabu pagi, 20 Dzulqa’dah 1445 H, 29 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa al jawabul kaafi cara ruqyah faedah dari Ibnul Qayyim hati bersih khusyuk manajemen hati masalah hidup masalah rumah tangga obat hati penyakit ruqyah solusi masalah hidup
Bagaimana cara agar doa kita cepat dikabulkan? Kiatnya adalah memanfaatkan waktu, khusyuk, dan penuhi adab dalam berdoa. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ sebagai berikut. وَإِذَا جَمَعَ مَعَ الدُّعَاءِ حُضُورَ الْقَلْبِ وَجَمْعِيَّتَهُ بِكُلِّيَّتِهِ عَلَى الْمَطْلُوبِ، وَصَادَفَ وَقْتًا مِنْ أَوْقَاتِ الْإِجَابَةِ السِّتَّةِ، وَهِيَ: Doa akan dikabulkan jika seseorang menggabungkan: (1) hadirnya hati, konsentrasi secara penuh terhadap apa yang diminta, (2) bertepatan dengan salah satu waktu terkabulnya doa yang enam berikut: الثُّلُثُ الْأَخِيرُ مِنَ اللَّيْلِ، وَعِنْدَ الْأَذَانِ، وَبَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ، وَأَدْبَارُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ، وَعِنْدَ صُعُودِ الْإِمَامِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ حَتَّى تُقْضَى الصَّلَاةُ مِنْ ذَلِكَ الْيَوْمِ، وَآخِرُ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ. (a) sepertiga malam terakhir, (b) saat azan, (c) antara azan dan iqamah, (d) setiap akhir shalat lima waktu, (e) ketika imam naik mimbar pada hari Jumat sampai shalat Jumat selesai dilaksanakan pada hari tersebut, (f) akhir waktu pada hari Jumat setelah Ashar. وَصَادَفَ خُشُوعًا فِي الْقَلْبِ، وَانْكِسَارًا بَيْنَ يَدَيِ الرَّبِّ، وَذُلًّا لَهُ، وَتَضَرُّعًا، وَرِقَّةً. وَاسْتَقْبَلَ الدَّاعِي الْقِبْلَةَ. وَكَانَ عَلَى طَهَارَةٍ. وَرَفَعَ يَدَيْهِ إِلَى اللَّهِ. وَبَدَأَ بِحَمْدِ اللَّهِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ. ثُمَّ ثَنَّى بِالصَّلَاةِ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِهِ وَرَسُولِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. ثُمَّ قَدَّمَ بَيْنَ يَدَيْ حَاجَتِهِ التَّوْبَةَ وَالِاسْتِغْفَارَ. ثُمَّ دَخَلَ عَلَى اللَّهِ، وَأَلَحَّ عَلَيْهِ فِي الْمَسْأَلَةِ، وَتَمَلَّقَهُ وَدَعَاهُ رَغْبَةً وَرَهْبَةً. وَتَوَسَّلَ إِلَيْهِ بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَتَوْحِيدِهِ. وَقَدَّمَ بَيْنَ يَدَيْ دُعَائِهِ صَدَقَةً، فَإِنَّ هَذَا الدُّعَاءَ لَا يَكَادُ يُرَدُّ أَبَدًا، Hal di atas ditambahkan dengan: (3) hati yang khusyuk saat berdoa, (4) merendahkan diri di hadapan Allah yang diiringi dengan ketundukan dan kelembutan, lalu (5) yang berdoa memenuhi adab berdoa: (a) menghadap kiblat, (b) dalam keadaan suci, (c) mengangkat tangan di hadapan Allah, (d) memulai dengan memuji dan menyanjung Allah (ucapan Alhamdulillah), (e) memuji Nabi dengan bershalawat kepada Muhammad sebagai hamba dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, (f) bertaubat dan beristighfar sebelum menyampaikan hajat, (g) menghadirkan diri di hadapan Allah, (h) bertawassul dengan nama, sifat, dan keesaan Allah, (i) melakukan sedekah sebelum memanjatkan doa. Doa semacam ini hampir tidak akan pernah tertolak. وَلَا سِيَّمَا إِنْ صَادَفَ الْأَدْعِيَةَ الَّتِي أَخْبَرَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهَا مَظَنَّةُ الْإِجَابَةِ، أَوْ أَنَّهَا مُتَضَمِّنَةٌ لِلِاسْمِ الْأَعْظَمِ. (j) Hal ini lebih-lebih lagi dengan memanjatkan doa yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang beliau sendiri mengabarkan bahwa doa ini akan terkabulkan atau mengandung ISMULLAH AL-A’ZHOM (nama Allah yang mulia). Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 17-18. Maka dari itu, janganlah kita meremehkan kekuatan doa. Ketahuilah bahwa dengan menghadirkan hati yang khusyuk, merendahkan diri di hadapan Allah, serta memenuhi segala adab dalam berdoa, kita telah menempuh jalan yang benar agar doa cepat dikabulkan. Jangan pernah berhenti berdoa dan berusaha, karena sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui segala hajat hamba-Nya. Semoga kita semua senantiasa diberikan kemudahan dan kelapangan dalam setiap doa yang kita panjatkan.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Baca Juga: Doa untuk Meminta Rezeki, Selamat dari Penyakit, Kebaikan Dunia Akhirat – Rabu pagi, 20 Dzulqa’dah 1445 H, 29 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa al jawabul kaafi cara ruqyah faedah dari Ibnul Qayyim hati bersih khusyuk manajemen hati masalah hidup masalah rumah tangga obat hati penyakit ruqyah solusi masalah hidup


Bagaimana cara agar doa kita cepat dikabulkan? Kiatnya adalah memanfaatkan waktu, khusyuk, dan penuhi adab dalam berdoa. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ sebagai berikut. وَإِذَا جَمَعَ مَعَ الدُّعَاءِ حُضُورَ الْقَلْبِ وَجَمْعِيَّتَهُ بِكُلِّيَّتِهِ عَلَى الْمَطْلُوبِ، وَصَادَفَ وَقْتًا مِنْ أَوْقَاتِ الْإِجَابَةِ السِّتَّةِ، وَهِيَ: Doa akan dikabulkan jika seseorang menggabungkan: (1) hadirnya hati, konsentrasi secara penuh terhadap apa yang diminta, (2) bertepatan dengan salah satu waktu terkabulnya doa yang enam berikut: الثُّلُثُ الْأَخِيرُ مِنَ اللَّيْلِ، وَعِنْدَ الْأَذَانِ، وَبَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ، وَأَدْبَارُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ، وَعِنْدَ صُعُودِ الْإِمَامِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ حَتَّى تُقْضَى الصَّلَاةُ مِنْ ذَلِكَ الْيَوْمِ، وَآخِرُ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ. (a) sepertiga malam terakhir, (b) saat azan, (c) antara azan dan iqamah, (d) setiap akhir shalat lima waktu, (e) ketika imam naik mimbar pada hari Jumat sampai shalat Jumat selesai dilaksanakan pada hari tersebut, (f) akhir waktu pada hari Jumat setelah Ashar. وَصَادَفَ خُشُوعًا فِي الْقَلْبِ، وَانْكِسَارًا بَيْنَ يَدَيِ الرَّبِّ، وَذُلًّا لَهُ، وَتَضَرُّعًا، وَرِقَّةً. وَاسْتَقْبَلَ الدَّاعِي الْقِبْلَةَ. وَكَانَ عَلَى طَهَارَةٍ. وَرَفَعَ يَدَيْهِ إِلَى اللَّهِ. وَبَدَأَ بِحَمْدِ اللَّهِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ. ثُمَّ ثَنَّى بِالصَّلَاةِ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِهِ وَرَسُولِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. ثُمَّ قَدَّمَ بَيْنَ يَدَيْ حَاجَتِهِ التَّوْبَةَ وَالِاسْتِغْفَارَ. ثُمَّ دَخَلَ عَلَى اللَّهِ، وَأَلَحَّ عَلَيْهِ فِي الْمَسْأَلَةِ، وَتَمَلَّقَهُ وَدَعَاهُ رَغْبَةً وَرَهْبَةً. وَتَوَسَّلَ إِلَيْهِ بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَتَوْحِيدِهِ. وَقَدَّمَ بَيْنَ يَدَيْ دُعَائِهِ صَدَقَةً، فَإِنَّ هَذَا الدُّعَاءَ لَا يَكَادُ يُرَدُّ أَبَدًا، Hal di atas ditambahkan dengan: (3) hati yang khusyuk saat berdoa, (4) merendahkan diri di hadapan Allah yang diiringi dengan ketundukan dan kelembutan, lalu (5) yang berdoa memenuhi adab berdoa: (a) menghadap kiblat, (b) dalam keadaan suci, (c) mengangkat tangan di hadapan Allah, (d) memulai dengan memuji dan menyanjung Allah (ucapan Alhamdulillah), (e) memuji Nabi dengan bershalawat kepada Muhammad sebagai hamba dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, (f) bertaubat dan beristighfar sebelum menyampaikan hajat, (g) menghadirkan diri di hadapan Allah, (h) bertawassul dengan nama, sifat, dan keesaan Allah, (i) melakukan sedekah sebelum memanjatkan doa. Doa semacam ini hampir tidak akan pernah tertolak. وَلَا سِيَّمَا إِنْ صَادَفَ الْأَدْعِيَةَ الَّتِي أَخْبَرَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهَا مَظَنَّةُ الْإِجَابَةِ، أَوْ أَنَّهَا مُتَضَمِّنَةٌ لِلِاسْمِ الْأَعْظَمِ. (j) Hal ini lebih-lebih lagi dengan memanjatkan doa yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang beliau sendiri mengabarkan bahwa doa ini akan terkabulkan atau mengandung ISMULLAH AL-A’ZHOM (nama Allah yang mulia). Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 17-18. Maka dari itu, janganlah kita meremehkan kekuatan doa. Ketahuilah bahwa dengan menghadirkan hati yang khusyuk, merendahkan diri di hadapan Allah, serta memenuhi segala adab dalam berdoa, kita telah menempuh jalan yang benar agar doa cepat dikabulkan. Jangan pernah berhenti berdoa dan berusaha, karena sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui segala hajat hamba-Nya. Semoga kita semua senantiasa diberikan kemudahan dan kelapangan dalam setiap doa yang kita panjatkan.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Baca Juga: Doa untuk Meminta Rezeki, Selamat dari Penyakit, Kebaikan Dunia Akhirat – Rabu pagi, 20 Dzulqa’dah 1445 H, 29 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa al jawabul kaafi cara ruqyah faedah dari Ibnul Qayyim hati bersih khusyuk manajemen hati masalah hidup masalah rumah tangga obat hati penyakit ruqyah solusi masalah hidup
Prev     Next