Hukum Jual Beli Anjing dan Kucing

Daftar Isi Toggle Hadis-hadis tentang masalah iniPerkataan para ulama tentang kesahihan hadis-hadis di atasPerbedaan pendapat ulama tentang hukum menjual kucing dan anjingPendapat yang lebih kuat dalam hukum jual belinyaHukum jual beli anjingHukum jual beli kucing Jual beli merupakan salah satu aktivitas muamalah yang sering dilakukan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan aturan yang jelas mengenai transaksi jual beli, termasuk mengenai barang-barang yang boleh atau tidak boleh diperjualbelikan. Salah satu hal yang menjadi perbincangan di kalangan ulama adalah hukum jual beli anjing dan kucing, mengingat adanya beberapa hadis tentang permasalahan ini. Pembahasan ini akan mengulas hadis-hadis, pendapat para ulama, serta kesimpulan yang lebih kuat agar kita memahami hukum jual beli kedua hewan tersebut sesuai syariat. Hadis-hadis tentang masalah ini Hadis-hadis dalam masalah ini sangat banyak. Di antara yang terpenting adalah: Pertama: عن أبي مسعود: نَهَى عن ثَمَنِ الكَلْبِ، ومَهْرِ البَغِيِّ، وحُلْوَانِ الكَاهِنِ . Dari Abu Mas’ud, dia berkata, “Beliau melarang harga anjing, upah pelacur, dan bayaran tukang ramal.” (HR. Bukhari no. 2282 dan Muslim no. 1567) Kedua: عن محمد بن مسلم المكي أبو الزبير: سَأَلْتُ جَابِرًا، عن ثَمَنِ الكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ؟ قالَ: زَجَرَ النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ عن ذلكَ. Dari Muhammad bin Muslim Al-Makki Abu Az-Zubair, ia berkata, “Aku bertanya kepada Jabir tentang harga anjing dan kucing?” Ia menjawab, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang hal itu.” (HR. Muslim no. 1568) Ketiga: عَنْ جَابِرٍ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ ثَمَنِ الكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ Dari Jabir, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang harga anjing dan kucing.” (HR. At-Tirmidzi no. 1279, dan dinilai sahih oleh Al-Albani) Keempat: عن جابر: أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن ثمن الكلب والسِّنَّوْر. Dari Jabir, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang harga anjing dan kucing.” (HR. Abu Dawud no. 3479, dan dinilai sahih oleh Al-Albani) Kelima: عن جابر: أنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن ثمن السِّنَّور، والكلبِ، ‌إِلَّا ‌كلب ‌صيد. Dari Jabir, “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang harga kucing dan anjing, kecuali anjing pemburu.” (HR. An-Nasa’i no. 4668, dan dinilai sahih oleh Al-Albani) Perkataan para ulama tentang kesahihan hadis-hadis di atas Hadis pertama adalah sahih tanpa diragukan lagi karena termasuk hadis yang disepakati (muttafaq ‘alaih). Demikian pula hadis kedua, kecuali dalam lafaz “harga kucing”, yang hanya diriwayatkan oleh Muslim secara sendiri. As-Shan’ani mengatakan, والنَّهيُّ عنْ ثمنِ الكلبِ متفقٌ عليهِ منْ حديثِ [ابن] مسعودٍ. وانفرد مسلمٌ بروايةِ النَّهْي عنْ ثمنِ السِّنَّوْرِ. “Larangan terhadap harga anjing disepakati dalam hadis (Ibnu) [1] Mas’ud, sedangkan larangan harga kucing hanya diriwayatkan oleh Muslim secara sendiri.” [2] Tentang hadis ketiga dan keempat, di mana terdapat larangan tentang harga kucing, para ulama berselisih pendapat. At-Tirmidzi berkata, هَذَا حَدِيثٌ فِي إِسْنَادِهِ اضْطِرَابٌ وَلَا يَصِحُّ فِي ثَمَنِ السِّنَّوْرِ “Hadis ini dalam sanadnya terdapat kegoncangan, dan tidak ada hadis sahih mengenai larangan harga kucing.” [3] Demikian juga hadis kelima, di mana terdapat pengecualian anjing pemburu, terdapat silang pendapat di kalangan para ulama. Syekh Abdullah Al-Bassam berkata, “Tambahan riwayat An-Nasa’i (tentang pengecualian anjing pemburu) dilemahkan oleh Imam Ahmad, diingkari oleh An-Nasa’i, serta dilemahkan oleh An-Nawawi dan As-Suyuthi. Keduanya menukil adanya kesepakatan para ahli hadis dalam hal ini.” [4] Baca juga: Hukum Jual Beli Organ Tubuh Manusia Perbedaan pendapat ulama tentang hukum menjual kucing dan anjing Para ulama berbeda pendapat mengenai jual beli anjing. Mayoritas ulama seperti Syafi’iyah, Hanabilah, dan pendapat masyhur dalam Malikiyah mengharamkannya secara mutlak, baik untuk anjing yang terlatih maupun yang tidak. Larangan ini didasarkan pada hadis yang menegaskan bahwa hasil jual beli anjing adalah haram. Namun, sebagian ulama Malikiyah membolehkan jual beli anjing yang memiliki manfaat, seperti anjing pemburu atau penjaga. Di sisi lain, Hanafiyah memperbolehkan jual beli semua jenis anjing, termasuk yang tidak terlatih, karena mereka menganggap anjing memiliki nilai manfaat yang dapat diperjualbelikan. [5] Adapun mengenai hukum jual beli kucing, para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama dari mazhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah membolehkan transaksi ini dengan beberapa syarat. Malikiyah, misalnya, hanya memperbolehkan jika kucing dijual untuk diambil manfaat dari kulitnya, sedangkan Syafi’iyah membatasi kebolehan hanya pada kucing domestik/jinak, bukan kucing liar. Sementara itu, sebagian ulama seperti Abu Hurairah, Mujahid, Thawus, Jabir bin Zaid, serta sebagian Malikiyah dan Hanabilah menganggap jual beli kucing makruh karena adanya larangan dalam hadis. Bahkan, ada pendapat yang melarangnya secara mutlak dengan berpegang pada hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang transaksi terkait kucing. [6] Perbedaan pendapat ini muncul karena adanya perbedaan dalam menilai kesahihan hadis-hadis yang yang melarang jual beli kucing dan anjing, dan perbedaan dalam memahami hadis-hadis tersebut. [7] Pendapat yang lebih kuat dalam hukum jual belinya Hukum jual beli anjing Pendapat yang lebih kuat adalah tidak bolehnya jual beli anjing, karena dalil yang dipegang oleh mayoritas ulama dari mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah lebih kuat dan menunjukkan keharaman jual beli anjing, sebagaimana kami sebutkan di awal artikel. Namun, perlu diperhatikan adanya pengecualian pada jual beli anjing pemburu, penjaga, dan anjing yang terlatih untuk melayani kebutuhan manusia serta mendatangkan kemaslahatan karena melihat kesahihan hadis tentang hal ini. [8] Hukum jual beli kucing Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa jual beli kucing tidak diperbolehkan. Hal ini karena melihat kesahihan hadis-hadis dalam permasalahan ini sebagaimana kami sampaikan di awal artikel. [9] Wallahu a’lam. Baca juga: Hukum Jual Beli Dengan Uang Muka *** Rumdin PPIA Sragen, 25 Rajab 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mausūʿah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Diterbitkan oleh Kementerian Wakaf dan Urusan Islam, Kuwait. Cet. 2 (jilid 1–23), Dar Al-Safwah Press, Mesir; cet. 2 (jilid 39–45), Kuwait, 1404–1427 H. 45 jilid. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Zulhijah 1431 H), sesuai nomor cetakan. Milad, Abdul Nasir bin Khidr. Al-Buyūʿ Al-Muḥarramah wa Al-Munhiy ʿAnhā. Disertasi Doktoral, Universitas Khartoum, 1425 H/2004 M. Mansoura: Dar Al-Huda Al-Nabawiyyah, Seri Disertasi Universitas, No. 37, cet. 1, 1426 H/2005 M. 499 halaman. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Zulhijah 1431 H), sesuai nomor cetakan. Catatan kaki: [1] Mungkin yang lebih tepat adalah “Abu” Mas’ud, sebagaimana riwayat Bukhari dan Muslim di atas. Lihat juga: https://dorar.net/hadith/sharh/10776. Wallahu a’lam [2] Subul As-Salam Syarh Bulugh Al-Maram, 3: 14. [3] Sunan At-Tirmidzi, 3: 569. [4] Taudhih Al-Ahkam min Bulugh Al-Maram, 3: 102. [5] Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 9: 153-154, Al-Buyu’ Al-Muharramah wa Al-Manhiy ‘Anha, hal. 176. [6] Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 42: 266-267. [7] Lihat Subul As-Salam Syarh Bulugh Al-Maram, 5: 22. [8] Al-Buyū’ Al-Muḥarramah wa Al-Manhiy ‘Anhā, hal. 184, lihat juga: https://islamqa.info/ar/69818 [9] Lihat Ahkam Al-Qiththath, karya Fatimah binti Muhammad Al-Jarallah.

Hukum Jual Beli Anjing dan Kucing

Daftar Isi Toggle Hadis-hadis tentang masalah iniPerkataan para ulama tentang kesahihan hadis-hadis di atasPerbedaan pendapat ulama tentang hukum menjual kucing dan anjingPendapat yang lebih kuat dalam hukum jual belinyaHukum jual beli anjingHukum jual beli kucing Jual beli merupakan salah satu aktivitas muamalah yang sering dilakukan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan aturan yang jelas mengenai transaksi jual beli, termasuk mengenai barang-barang yang boleh atau tidak boleh diperjualbelikan. Salah satu hal yang menjadi perbincangan di kalangan ulama adalah hukum jual beli anjing dan kucing, mengingat adanya beberapa hadis tentang permasalahan ini. Pembahasan ini akan mengulas hadis-hadis, pendapat para ulama, serta kesimpulan yang lebih kuat agar kita memahami hukum jual beli kedua hewan tersebut sesuai syariat. Hadis-hadis tentang masalah ini Hadis-hadis dalam masalah ini sangat banyak. Di antara yang terpenting adalah: Pertama: عن أبي مسعود: نَهَى عن ثَمَنِ الكَلْبِ، ومَهْرِ البَغِيِّ، وحُلْوَانِ الكَاهِنِ . Dari Abu Mas’ud, dia berkata, “Beliau melarang harga anjing, upah pelacur, dan bayaran tukang ramal.” (HR. Bukhari no. 2282 dan Muslim no. 1567) Kedua: عن محمد بن مسلم المكي أبو الزبير: سَأَلْتُ جَابِرًا، عن ثَمَنِ الكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ؟ قالَ: زَجَرَ النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ عن ذلكَ. Dari Muhammad bin Muslim Al-Makki Abu Az-Zubair, ia berkata, “Aku bertanya kepada Jabir tentang harga anjing dan kucing?” Ia menjawab, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang hal itu.” (HR. Muslim no. 1568) Ketiga: عَنْ جَابِرٍ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ ثَمَنِ الكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ Dari Jabir, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang harga anjing dan kucing.” (HR. At-Tirmidzi no. 1279, dan dinilai sahih oleh Al-Albani) Keempat: عن جابر: أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن ثمن الكلب والسِّنَّوْر. Dari Jabir, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang harga anjing dan kucing.” (HR. Abu Dawud no. 3479, dan dinilai sahih oleh Al-Albani) Kelima: عن جابر: أنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن ثمن السِّنَّور، والكلبِ، ‌إِلَّا ‌كلب ‌صيد. Dari Jabir, “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang harga kucing dan anjing, kecuali anjing pemburu.” (HR. An-Nasa’i no. 4668, dan dinilai sahih oleh Al-Albani) Perkataan para ulama tentang kesahihan hadis-hadis di atas Hadis pertama adalah sahih tanpa diragukan lagi karena termasuk hadis yang disepakati (muttafaq ‘alaih). Demikian pula hadis kedua, kecuali dalam lafaz “harga kucing”, yang hanya diriwayatkan oleh Muslim secara sendiri. As-Shan’ani mengatakan, والنَّهيُّ عنْ ثمنِ الكلبِ متفقٌ عليهِ منْ حديثِ [ابن] مسعودٍ. وانفرد مسلمٌ بروايةِ النَّهْي عنْ ثمنِ السِّنَّوْرِ. “Larangan terhadap harga anjing disepakati dalam hadis (Ibnu) [1] Mas’ud, sedangkan larangan harga kucing hanya diriwayatkan oleh Muslim secara sendiri.” [2] Tentang hadis ketiga dan keempat, di mana terdapat larangan tentang harga kucing, para ulama berselisih pendapat. At-Tirmidzi berkata, هَذَا حَدِيثٌ فِي إِسْنَادِهِ اضْطِرَابٌ وَلَا يَصِحُّ فِي ثَمَنِ السِّنَّوْرِ “Hadis ini dalam sanadnya terdapat kegoncangan, dan tidak ada hadis sahih mengenai larangan harga kucing.” [3] Demikian juga hadis kelima, di mana terdapat pengecualian anjing pemburu, terdapat silang pendapat di kalangan para ulama. Syekh Abdullah Al-Bassam berkata, “Tambahan riwayat An-Nasa’i (tentang pengecualian anjing pemburu) dilemahkan oleh Imam Ahmad, diingkari oleh An-Nasa’i, serta dilemahkan oleh An-Nawawi dan As-Suyuthi. Keduanya menukil adanya kesepakatan para ahli hadis dalam hal ini.” [4] Baca juga: Hukum Jual Beli Organ Tubuh Manusia Perbedaan pendapat ulama tentang hukum menjual kucing dan anjing Para ulama berbeda pendapat mengenai jual beli anjing. Mayoritas ulama seperti Syafi’iyah, Hanabilah, dan pendapat masyhur dalam Malikiyah mengharamkannya secara mutlak, baik untuk anjing yang terlatih maupun yang tidak. Larangan ini didasarkan pada hadis yang menegaskan bahwa hasil jual beli anjing adalah haram. Namun, sebagian ulama Malikiyah membolehkan jual beli anjing yang memiliki manfaat, seperti anjing pemburu atau penjaga. Di sisi lain, Hanafiyah memperbolehkan jual beli semua jenis anjing, termasuk yang tidak terlatih, karena mereka menganggap anjing memiliki nilai manfaat yang dapat diperjualbelikan. [5] Adapun mengenai hukum jual beli kucing, para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama dari mazhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah membolehkan transaksi ini dengan beberapa syarat. Malikiyah, misalnya, hanya memperbolehkan jika kucing dijual untuk diambil manfaat dari kulitnya, sedangkan Syafi’iyah membatasi kebolehan hanya pada kucing domestik/jinak, bukan kucing liar. Sementara itu, sebagian ulama seperti Abu Hurairah, Mujahid, Thawus, Jabir bin Zaid, serta sebagian Malikiyah dan Hanabilah menganggap jual beli kucing makruh karena adanya larangan dalam hadis. Bahkan, ada pendapat yang melarangnya secara mutlak dengan berpegang pada hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang transaksi terkait kucing. [6] Perbedaan pendapat ini muncul karena adanya perbedaan dalam menilai kesahihan hadis-hadis yang yang melarang jual beli kucing dan anjing, dan perbedaan dalam memahami hadis-hadis tersebut. [7] Pendapat yang lebih kuat dalam hukum jual belinya Hukum jual beli anjing Pendapat yang lebih kuat adalah tidak bolehnya jual beli anjing, karena dalil yang dipegang oleh mayoritas ulama dari mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah lebih kuat dan menunjukkan keharaman jual beli anjing, sebagaimana kami sebutkan di awal artikel. Namun, perlu diperhatikan adanya pengecualian pada jual beli anjing pemburu, penjaga, dan anjing yang terlatih untuk melayani kebutuhan manusia serta mendatangkan kemaslahatan karena melihat kesahihan hadis tentang hal ini. [8] Hukum jual beli kucing Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa jual beli kucing tidak diperbolehkan. Hal ini karena melihat kesahihan hadis-hadis dalam permasalahan ini sebagaimana kami sampaikan di awal artikel. [9] Wallahu a’lam. Baca juga: Hukum Jual Beli Dengan Uang Muka *** Rumdin PPIA Sragen, 25 Rajab 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mausūʿah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Diterbitkan oleh Kementerian Wakaf dan Urusan Islam, Kuwait. Cet. 2 (jilid 1–23), Dar Al-Safwah Press, Mesir; cet. 2 (jilid 39–45), Kuwait, 1404–1427 H. 45 jilid. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Zulhijah 1431 H), sesuai nomor cetakan. Milad, Abdul Nasir bin Khidr. Al-Buyūʿ Al-Muḥarramah wa Al-Munhiy ʿAnhā. Disertasi Doktoral, Universitas Khartoum, 1425 H/2004 M. Mansoura: Dar Al-Huda Al-Nabawiyyah, Seri Disertasi Universitas, No. 37, cet. 1, 1426 H/2005 M. 499 halaman. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Zulhijah 1431 H), sesuai nomor cetakan. Catatan kaki: [1] Mungkin yang lebih tepat adalah “Abu” Mas’ud, sebagaimana riwayat Bukhari dan Muslim di atas. Lihat juga: https://dorar.net/hadith/sharh/10776. Wallahu a’lam [2] Subul As-Salam Syarh Bulugh Al-Maram, 3: 14. [3] Sunan At-Tirmidzi, 3: 569. [4] Taudhih Al-Ahkam min Bulugh Al-Maram, 3: 102. [5] Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 9: 153-154, Al-Buyu’ Al-Muharramah wa Al-Manhiy ‘Anha, hal. 176. [6] Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 42: 266-267. [7] Lihat Subul As-Salam Syarh Bulugh Al-Maram, 5: 22. [8] Al-Buyū’ Al-Muḥarramah wa Al-Manhiy ‘Anhā, hal. 184, lihat juga: https://islamqa.info/ar/69818 [9] Lihat Ahkam Al-Qiththath, karya Fatimah binti Muhammad Al-Jarallah.
Daftar Isi Toggle Hadis-hadis tentang masalah iniPerkataan para ulama tentang kesahihan hadis-hadis di atasPerbedaan pendapat ulama tentang hukum menjual kucing dan anjingPendapat yang lebih kuat dalam hukum jual belinyaHukum jual beli anjingHukum jual beli kucing Jual beli merupakan salah satu aktivitas muamalah yang sering dilakukan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan aturan yang jelas mengenai transaksi jual beli, termasuk mengenai barang-barang yang boleh atau tidak boleh diperjualbelikan. Salah satu hal yang menjadi perbincangan di kalangan ulama adalah hukum jual beli anjing dan kucing, mengingat adanya beberapa hadis tentang permasalahan ini. Pembahasan ini akan mengulas hadis-hadis, pendapat para ulama, serta kesimpulan yang lebih kuat agar kita memahami hukum jual beli kedua hewan tersebut sesuai syariat. Hadis-hadis tentang masalah ini Hadis-hadis dalam masalah ini sangat banyak. Di antara yang terpenting adalah: Pertama: عن أبي مسعود: نَهَى عن ثَمَنِ الكَلْبِ، ومَهْرِ البَغِيِّ، وحُلْوَانِ الكَاهِنِ . Dari Abu Mas’ud, dia berkata, “Beliau melarang harga anjing, upah pelacur, dan bayaran tukang ramal.” (HR. Bukhari no. 2282 dan Muslim no. 1567) Kedua: عن محمد بن مسلم المكي أبو الزبير: سَأَلْتُ جَابِرًا، عن ثَمَنِ الكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ؟ قالَ: زَجَرَ النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ عن ذلكَ. Dari Muhammad bin Muslim Al-Makki Abu Az-Zubair, ia berkata, “Aku bertanya kepada Jabir tentang harga anjing dan kucing?” Ia menjawab, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang hal itu.” (HR. Muslim no. 1568) Ketiga: عَنْ جَابِرٍ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ ثَمَنِ الكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ Dari Jabir, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang harga anjing dan kucing.” (HR. At-Tirmidzi no. 1279, dan dinilai sahih oleh Al-Albani) Keempat: عن جابر: أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن ثمن الكلب والسِّنَّوْر. Dari Jabir, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang harga anjing dan kucing.” (HR. Abu Dawud no. 3479, dan dinilai sahih oleh Al-Albani) Kelima: عن جابر: أنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن ثمن السِّنَّور، والكلبِ، ‌إِلَّا ‌كلب ‌صيد. Dari Jabir, “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang harga kucing dan anjing, kecuali anjing pemburu.” (HR. An-Nasa’i no. 4668, dan dinilai sahih oleh Al-Albani) Perkataan para ulama tentang kesahihan hadis-hadis di atas Hadis pertama adalah sahih tanpa diragukan lagi karena termasuk hadis yang disepakati (muttafaq ‘alaih). Demikian pula hadis kedua, kecuali dalam lafaz “harga kucing”, yang hanya diriwayatkan oleh Muslim secara sendiri. As-Shan’ani mengatakan, والنَّهيُّ عنْ ثمنِ الكلبِ متفقٌ عليهِ منْ حديثِ [ابن] مسعودٍ. وانفرد مسلمٌ بروايةِ النَّهْي عنْ ثمنِ السِّنَّوْرِ. “Larangan terhadap harga anjing disepakati dalam hadis (Ibnu) [1] Mas’ud, sedangkan larangan harga kucing hanya diriwayatkan oleh Muslim secara sendiri.” [2] Tentang hadis ketiga dan keempat, di mana terdapat larangan tentang harga kucing, para ulama berselisih pendapat. At-Tirmidzi berkata, هَذَا حَدِيثٌ فِي إِسْنَادِهِ اضْطِرَابٌ وَلَا يَصِحُّ فِي ثَمَنِ السِّنَّوْرِ “Hadis ini dalam sanadnya terdapat kegoncangan, dan tidak ada hadis sahih mengenai larangan harga kucing.” [3] Demikian juga hadis kelima, di mana terdapat pengecualian anjing pemburu, terdapat silang pendapat di kalangan para ulama. Syekh Abdullah Al-Bassam berkata, “Tambahan riwayat An-Nasa’i (tentang pengecualian anjing pemburu) dilemahkan oleh Imam Ahmad, diingkari oleh An-Nasa’i, serta dilemahkan oleh An-Nawawi dan As-Suyuthi. Keduanya menukil adanya kesepakatan para ahli hadis dalam hal ini.” [4] Baca juga: Hukum Jual Beli Organ Tubuh Manusia Perbedaan pendapat ulama tentang hukum menjual kucing dan anjing Para ulama berbeda pendapat mengenai jual beli anjing. Mayoritas ulama seperti Syafi’iyah, Hanabilah, dan pendapat masyhur dalam Malikiyah mengharamkannya secara mutlak, baik untuk anjing yang terlatih maupun yang tidak. Larangan ini didasarkan pada hadis yang menegaskan bahwa hasil jual beli anjing adalah haram. Namun, sebagian ulama Malikiyah membolehkan jual beli anjing yang memiliki manfaat, seperti anjing pemburu atau penjaga. Di sisi lain, Hanafiyah memperbolehkan jual beli semua jenis anjing, termasuk yang tidak terlatih, karena mereka menganggap anjing memiliki nilai manfaat yang dapat diperjualbelikan. [5] Adapun mengenai hukum jual beli kucing, para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama dari mazhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah membolehkan transaksi ini dengan beberapa syarat. Malikiyah, misalnya, hanya memperbolehkan jika kucing dijual untuk diambil manfaat dari kulitnya, sedangkan Syafi’iyah membatasi kebolehan hanya pada kucing domestik/jinak, bukan kucing liar. Sementara itu, sebagian ulama seperti Abu Hurairah, Mujahid, Thawus, Jabir bin Zaid, serta sebagian Malikiyah dan Hanabilah menganggap jual beli kucing makruh karena adanya larangan dalam hadis. Bahkan, ada pendapat yang melarangnya secara mutlak dengan berpegang pada hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang transaksi terkait kucing. [6] Perbedaan pendapat ini muncul karena adanya perbedaan dalam menilai kesahihan hadis-hadis yang yang melarang jual beli kucing dan anjing, dan perbedaan dalam memahami hadis-hadis tersebut. [7] Pendapat yang lebih kuat dalam hukum jual belinya Hukum jual beli anjing Pendapat yang lebih kuat adalah tidak bolehnya jual beli anjing, karena dalil yang dipegang oleh mayoritas ulama dari mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah lebih kuat dan menunjukkan keharaman jual beli anjing, sebagaimana kami sebutkan di awal artikel. Namun, perlu diperhatikan adanya pengecualian pada jual beli anjing pemburu, penjaga, dan anjing yang terlatih untuk melayani kebutuhan manusia serta mendatangkan kemaslahatan karena melihat kesahihan hadis tentang hal ini. [8] Hukum jual beli kucing Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa jual beli kucing tidak diperbolehkan. Hal ini karena melihat kesahihan hadis-hadis dalam permasalahan ini sebagaimana kami sampaikan di awal artikel. [9] Wallahu a’lam. Baca juga: Hukum Jual Beli Dengan Uang Muka *** Rumdin PPIA Sragen, 25 Rajab 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mausūʿah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Diterbitkan oleh Kementerian Wakaf dan Urusan Islam, Kuwait. Cet. 2 (jilid 1–23), Dar Al-Safwah Press, Mesir; cet. 2 (jilid 39–45), Kuwait, 1404–1427 H. 45 jilid. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Zulhijah 1431 H), sesuai nomor cetakan. Milad, Abdul Nasir bin Khidr. Al-Buyūʿ Al-Muḥarramah wa Al-Munhiy ʿAnhā. Disertasi Doktoral, Universitas Khartoum, 1425 H/2004 M. Mansoura: Dar Al-Huda Al-Nabawiyyah, Seri Disertasi Universitas, No. 37, cet. 1, 1426 H/2005 M. 499 halaman. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Zulhijah 1431 H), sesuai nomor cetakan. Catatan kaki: [1] Mungkin yang lebih tepat adalah “Abu” Mas’ud, sebagaimana riwayat Bukhari dan Muslim di atas. Lihat juga: https://dorar.net/hadith/sharh/10776. Wallahu a’lam [2] Subul As-Salam Syarh Bulugh Al-Maram, 3: 14. [3] Sunan At-Tirmidzi, 3: 569. [4] Taudhih Al-Ahkam min Bulugh Al-Maram, 3: 102. [5] Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 9: 153-154, Al-Buyu’ Al-Muharramah wa Al-Manhiy ‘Anha, hal. 176. [6] Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 42: 266-267. [7] Lihat Subul As-Salam Syarh Bulugh Al-Maram, 5: 22. [8] Al-Buyū’ Al-Muḥarramah wa Al-Manhiy ‘Anhā, hal. 184, lihat juga: https://islamqa.info/ar/69818 [9] Lihat Ahkam Al-Qiththath, karya Fatimah binti Muhammad Al-Jarallah.


Daftar Isi Toggle Hadis-hadis tentang masalah iniPerkataan para ulama tentang kesahihan hadis-hadis di atasPerbedaan pendapat ulama tentang hukum menjual kucing dan anjingPendapat yang lebih kuat dalam hukum jual belinyaHukum jual beli anjingHukum jual beli kucing Jual beli merupakan salah satu aktivitas muamalah yang sering dilakukan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan aturan yang jelas mengenai transaksi jual beli, termasuk mengenai barang-barang yang boleh atau tidak boleh diperjualbelikan. Salah satu hal yang menjadi perbincangan di kalangan ulama adalah hukum jual beli anjing dan kucing, mengingat adanya beberapa hadis tentang permasalahan ini. Pembahasan ini akan mengulas hadis-hadis, pendapat para ulama, serta kesimpulan yang lebih kuat agar kita memahami hukum jual beli kedua hewan tersebut sesuai syariat. Hadis-hadis tentang masalah ini Hadis-hadis dalam masalah ini sangat banyak. Di antara yang terpenting adalah: Pertama: عن أبي مسعود: نَهَى عن ثَمَنِ الكَلْبِ، ومَهْرِ البَغِيِّ، وحُلْوَانِ الكَاهِنِ . Dari Abu Mas’ud, dia berkata, “Beliau melarang harga anjing, upah pelacur, dan bayaran tukang ramal.” (HR. Bukhari no. 2282 dan Muslim no. 1567) Kedua: عن محمد بن مسلم المكي أبو الزبير: سَأَلْتُ جَابِرًا، عن ثَمَنِ الكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ؟ قالَ: زَجَرَ النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ عن ذلكَ. Dari Muhammad bin Muslim Al-Makki Abu Az-Zubair, ia berkata, “Aku bertanya kepada Jabir tentang harga anjing dan kucing?” Ia menjawab, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang hal itu.” (HR. Muslim no. 1568) Ketiga: عَنْ جَابِرٍ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ ثَمَنِ الكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ Dari Jabir, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang harga anjing dan kucing.” (HR. At-Tirmidzi no. 1279, dan dinilai sahih oleh Al-Albani) Keempat: عن جابر: أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن ثمن الكلب والسِّنَّوْر. Dari Jabir, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang harga anjing dan kucing.” (HR. Abu Dawud no. 3479, dan dinilai sahih oleh Al-Albani) Kelima: عن جابر: أنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن ثمن السِّنَّور، والكلبِ، ‌إِلَّا ‌كلب ‌صيد. Dari Jabir, “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang harga kucing dan anjing, kecuali anjing pemburu.” (HR. An-Nasa’i no. 4668, dan dinilai sahih oleh Al-Albani) Perkataan para ulama tentang kesahihan hadis-hadis di atas Hadis pertama adalah sahih tanpa diragukan lagi karena termasuk hadis yang disepakati (muttafaq ‘alaih). Demikian pula hadis kedua, kecuali dalam lafaz “harga kucing”, yang hanya diriwayatkan oleh Muslim secara sendiri. As-Shan’ani mengatakan, والنَّهيُّ عنْ ثمنِ الكلبِ متفقٌ عليهِ منْ حديثِ [ابن] مسعودٍ. وانفرد مسلمٌ بروايةِ النَّهْي عنْ ثمنِ السِّنَّوْرِ. “Larangan terhadap harga anjing disepakati dalam hadis (Ibnu) [1] Mas’ud, sedangkan larangan harga kucing hanya diriwayatkan oleh Muslim secara sendiri.” [2] Tentang hadis ketiga dan keempat, di mana terdapat larangan tentang harga kucing, para ulama berselisih pendapat. At-Tirmidzi berkata, هَذَا حَدِيثٌ فِي إِسْنَادِهِ اضْطِرَابٌ وَلَا يَصِحُّ فِي ثَمَنِ السِّنَّوْرِ “Hadis ini dalam sanadnya terdapat kegoncangan, dan tidak ada hadis sahih mengenai larangan harga kucing.” [3] Demikian juga hadis kelima, di mana terdapat pengecualian anjing pemburu, terdapat silang pendapat di kalangan para ulama. Syekh Abdullah Al-Bassam berkata, “Tambahan riwayat An-Nasa’i (tentang pengecualian anjing pemburu) dilemahkan oleh Imam Ahmad, diingkari oleh An-Nasa’i, serta dilemahkan oleh An-Nawawi dan As-Suyuthi. Keduanya menukil adanya kesepakatan para ahli hadis dalam hal ini.” [4] Baca juga: Hukum Jual Beli Organ Tubuh Manusia Perbedaan pendapat ulama tentang hukum menjual kucing dan anjing Para ulama berbeda pendapat mengenai jual beli anjing. Mayoritas ulama seperti Syafi’iyah, Hanabilah, dan pendapat masyhur dalam Malikiyah mengharamkannya secara mutlak, baik untuk anjing yang terlatih maupun yang tidak. Larangan ini didasarkan pada hadis yang menegaskan bahwa hasil jual beli anjing adalah haram. Namun, sebagian ulama Malikiyah membolehkan jual beli anjing yang memiliki manfaat, seperti anjing pemburu atau penjaga. Di sisi lain, Hanafiyah memperbolehkan jual beli semua jenis anjing, termasuk yang tidak terlatih, karena mereka menganggap anjing memiliki nilai manfaat yang dapat diperjualbelikan. [5] Adapun mengenai hukum jual beli kucing, para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama dari mazhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah membolehkan transaksi ini dengan beberapa syarat. Malikiyah, misalnya, hanya memperbolehkan jika kucing dijual untuk diambil manfaat dari kulitnya, sedangkan Syafi’iyah membatasi kebolehan hanya pada kucing domestik/jinak, bukan kucing liar. Sementara itu, sebagian ulama seperti Abu Hurairah, Mujahid, Thawus, Jabir bin Zaid, serta sebagian Malikiyah dan Hanabilah menganggap jual beli kucing makruh karena adanya larangan dalam hadis. Bahkan, ada pendapat yang melarangnya secara mutlak dengan berpegang pada hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang transaksi terkait kucing. [6] Perbedaan pendapat ini muncul karena adanya perbedaan dalam menilai kesahihan hadis-hadis yang yang melarang jual beli kucing dan anjing, dan perbedaan dalam memahami hadis-hadis tersebut. [7] Pendapat yang lebih kuat dalam hukum jual belinya Hukum jual beli anjing Pendapat yang lebih kuat adalah tidak bolehnya jual beli anjing, karena dalil yang dipegang oleh mayoritas ulama dari mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah lebih kuat dan menunjukkan keharaman jual beli anjing, sebagaimana kami sebutkan di awal artikel. Namun, perlu diperhatikan adanya pengecualian pada jual beli anjing pemburu, penjaga, dan anjing yang terlatih untuk melayani kebutuhan manusia serta mendatangkan kemaslahatan karena melihat kesahihan hadis tentang hal ini. [8] Hukum jual beli kucing Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa jual beli kucing tidak diperbolehkan. Hal ini karena melihat kesahihan hadis-hadis dalam permasalahan ini sebagaimana kami sampaikan di awal artikel. [9] Wallahu a’lam. Baca juga: Hukum Jual Beli Dengan Uang Muka *** Rumdin PPIA Sragen, 25 Rajab 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mausūʿah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Diterbitkan oleh Kementerian Wakaf dan Urusan Islam, Kuwait. Cet. 2 (jilid 1–23), Dar Al-Safwah Press, Mesir; cet. 2 (jilid 39–45), Kuwait, 1404–1427 H. 45 jilid. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Zulhijah 1431 H), sesuai nomor cetakan. Milad, Abdul Nasir bin Khidr. Al-Buyūʿ Al-Muḥarramah wa Al-Munhiy ʿAnhā. Disertasi Doktoral, Universitas Khartoum, 1425 H/2004 M. Mansoura: Dar Al-Huda Al-Nabawiyyah, Seri Disertasi Universitas, No. 37, cet. 1, 1426 H/2005 M. 499 halaman. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Zulhijah 1431 H), sesuai nomor cetakan. Catatan kaki: [1] Mungkin yang lebih tepat adalah “Abu” Mas’ud, sebagaimana riwayat Bukhari dan Muslim di atas. Lihat juga: https://dorar.net/hadith/sharh/10776. Wallahu a’lam [2] Subul As-Salam Syarh Bulugh Al-Maram, 3: 14. [3] Sunan At-Tirmidzi, 3: 569. [4] Taudhih Al-Ahkam min Bulugh Al-Maram, 3: 102. [5] Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 9: 153-154, Al-Buyu’ Al-Muharramah wa Al-Manhiy ‘Anha, hal. 176. [6] Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 42: 266-267. [7] Lihat Subul As-Salam Syarh Bulugh Al-Maram, 5: 22. [8] Al-Buyū’ Al-Muḥarramah wa Al-Manhiy ‘Anhā, hal. 184, lihat juga: https://islamqa.info/ar/69818 [9] Lihat Ahkam Al-Qiththath, karya Fatimah binti Muhammad Al-Jarallah.

Kapan Kita Harus Cinta, Takut, dan Berharap kepada Allah? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Kita baca beberapa pertanyaan yang telah kita terima di akun-akun media sosial Al-Majd. Ini ada pertanyaan dari seorang saudari kita, bahwa ia selalu mendengar bahwa seorang Muslim wajib menghimpun rasa takut dan harap kepada Allah. Pertanyaannya: kapan harus takut dan kapan harus berharap? Rasa takut dan harap kepada Allah–sebagaimana kata para ulama–keduanya bagaikan dua sayap bagi burung. Sedangkan rasa cinta kepada Allah bagaikan kepala burung. Seorang Muslim harus menjalani hidup dengan metode seperti itu. Ia dituntun oleh rasa cinta kepada Allah dan cinta pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu rasa takut dan harap harus senantiasa dalam keadaan seimbang. Karena jika seseorang lebih condong kepada rasa takut kepada Allah, maka bisa jadi ia akan terjerumus ke dalam rasa putus asa dari rahmat Allah. Sebaliknya jika ia lebih condong kepada rasa harap kepada Allah, maka bisa jadi ia akan terjerumus ke dalam rasa aman dari makar Allah. Padahal kedua hal itu tercela: putus asa dari rahmat Allah dan merasa aman dari makar Allah. Adapun yang seharusnya adalah menjaga keseimbangan. Yakni menjadi orang yang punya rasa harap sekaligus rasa takut kepada Allah. Berharap mendapat rahmat, karunia, dan pahala besar di sisi Allah yang telah Dia siapkan bagi para hamba-Nya yang beriman. Sekaligus takut dari siksaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Dia sangat keras siksaan-Nya. Jadi, ia di antara rasa takut dan harap kepada Allah. Ia juga hendaknya takut amalannya tidak diterima oleh Allah. Seorang Mukmin akan takut amalannya tidak diterima. Ketakutan inilah yang membuat banyak orang saleh tidak bisa tidur. Al-Bukhari berkata dalam kitab ash-Shahih, bahwa Ibnu Abi Mulaikah berkata: “Aku berjumpa dengan 30 Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka semua takut ada sifat kemunafikan dalam diri mereka.” Subhanallah! 30 Sahabat Nabi ‘alaihis shalatu wassalam! Ini disebutkan dalam Shahih al-Bukhari. Mereka semua takut ada kemunafikan dalam diri mereka. Inilah yang seharusnya dirasakan seorang Muslim. Mereka melakukan amalan-amalan besar, tapi tetap khawatir itu semua tidak diterima. Mereka takut menyerupai orang-orang munafik. Merekalah orang-orang yang Allah Ta’ala puji dalam firman-Nya: “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu) mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. al-Mu’minun: 60). Disebutkan dalam tafsirnya bahwa mereka orang-orang yang beramal saleh, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan sedekah, tapi mereka takut amalan itu tidak diterima dari mereka. Dengan demikian, seorang Muslim harus seimbang antara rasa takut dan harap kepada Allah. Tidak terlalu condong kepada rasa harap yang menjadikannya merasa aman dari makar Allah. Tidak pula terlalu condong kepada rasa takut yang menjadikannya merasa putus asa dari rahmat Allah Ta’ala. Kecuali ketika sedang sakaratul maut. Ketika akan meninggal dunia, para ulama berkata bahwa dianjurkan untuk lebih condong pada sangkaan baik kepada Allah. Berdasarkan sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam: “Janganlah seseorang dari kalian meninggal dunia kecuali dalam keadan bersangka baik kepada Allah.” (HR. Muslim). Oleh sebab itu, hendaklah orang yang hadir di sisi orang yang sedang sakaratul maut untuk menyebutkan amal-amal baiknya dan perbuatan baik yang telah ia kerjakan: “Kamu dulu sudah berbuat baik ini dan itu…” agar ia lebih condong kepada rasa harap dan sangkaan baik kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah salah satu keadaan yang hendaknya sangkaan baik kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan rasa harap lebih ditonjolkan. Sedangkan dalam keadaan lainnya, hendaklah seorang insan berada di antara rasa takut dan rasa harap. ==== نَأْخُذُ بَعْضَ الْأَسْئِلَةِ وَرَدَتْنَا فِي حِسَابَاتِ شَبَكَةِ الْمَجْدِ عَلَى مَوَاقِعِ التَّوَاصُلِ هُنَا سُؤَالٌ مِنْ إِحْدَى الْأَخَوَاتِ تَسْمَعُ دَائِمًا أَنَّ الْمُسْلِمَ يَجِبُ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ السُّؤَالُ مَتَى يَخَافُ مَتَى يَرْجُو؟ الْخَوْفُ وَالرَّجَاءُ كَمَا يَقُولُ أَهْلُ الْعِلْمِ هُمَا كَجَنَاحَيِ الطَّائِرِ وَالْمَحَبَّةُ كَرَأْسِ الطَّائِرِ وَالْمُسْلِمُ مَطْلُوبٌ مِنْهُ أَنْ يَسِيرَ بِهَذِهِ الطَّرِيقَةِ يَقُودُهُ الْمَحَبَّةُ مَحَبَّةُ اللَّهِ وَمَحَبَّةُ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَكُونُ الْخَوْفُ وَالرَّجَاءُ يَكُونَانِ مُتَوَازِنَيْنِ لِأَنَّهُ إِذَا غَلَّبَ الْإِنْسَانُ جَانِبَ الْخَوْفِ فَرُبَّمَا وَقَعَ فِي الْقُنُوطِ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ وَإِذَا غَلَّبَ جَانِبَ الرَّجَاءِ فَرُبَّمَا وَقَعَ فِي أَمْنٍ مِنْ مَكْرِ اللَّهِ وَكِلَاهُمَا مَذْمُومٌ الْقُنُوطُ وَالْأَمْنُ مِنْ مَكْرِ اللَّهِ وَإِنَّمَا الْمَطْلُوبُ هُوَ التَّوَازُنُ وَأَنْ يَكُونَ رَاجِيًا خَائِفًا رَاجِيًا مَا عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَالْفَضْلِ وَالثَّوَابِ الْعَظِيمِ الَّذِي أَعَدَّهُ لِعِبَادِهِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَخَائِفًا مِنْ عُقُوبَةِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى شَدِيدُ الْعِقَابِ فَهُوَ بَيْنَ الْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ أَيْضًا يَخَافُ يَخَافُ مِنْ أَنْ لَا يُتَقَبَّلَ عَمَلُهُ يَخْشَى الْمُؤْمِنُ أَنَّ عَمَلَهُ لَمْ يُتَقَبَّلْ مِنْهُ هَذَا هُوَ الَّذِي أَرَّقَ كَثِيرًا مِنَ الصَّالِحِينَ قَالَ الْبُخَارِىُّ فِى صَحِيحِهِ قَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ أَدْرَكْتُ الثَّلَاثِيْنَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ الثَّلَاثِيْنَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ هَذَا فِي صَحِيحِ الْبُخَارِيّ كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ هَذَا هُوَ الْمَطْلُوبُ مِنَ الْمُسْلِمِ يَعْمَلُونَ الْأَعْمَالَ الْعَظِيْمَةَ وَلَكِنَّهُمْ يَخْشَوْنَ أَلَّا تُتَقَبَّلَ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ مُشَابَهَةَ الْمُنَافِقِيْنَ وَهَؤُلَاءِ هُمُ الَّذِيْنَ أَثْنَى اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِمْ بِقَوْلِهِ وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ جَاءَ فِي التَّفْسِيرِ أَنَّهُمُ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الْأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ مِنَ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصِّيَامِ وَالْحَجِّ وَالصَّدَقَاتِ وَيَخْشَوْنَ أَلَّا تُتَقَبَّلَ مِنْهُمْ وَعَلَى هَذَا فَعَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَكُونَ مُعْتَدِلًا بَيْنَ الْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ لَا يُغَلِّبُ جَانِبَ الرَّجَاءِ تَغْلِيبًا يُؤَدِّي إِلَى الْأَمْنِ مِنْ مَكْرِ اللَّهِ وَلَا يُغَلِّبُ جَانِبَ الْخَوْفِ تَغْلِيبًا يُؤَدِّي إِلَى الْقُنُوطِ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ تَعَالَى إِلَّا عِنْدَ الِاحْتِضَارِ عِنْدَ الْوَفَاةِ قَالَ الْعُلَمَاءُ إِنَّهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ يُغَلِّبَ جَانِبَ حُسْنِ الظَّنِّ بِاللَّهِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللَّهِ رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَلِهَذَا يَنْبَغِي لِمَنْ حَضَرَ مُحْتَضَرًا أَنْ يُذَكِّرَهُ بِمَحَاسِنِهِ وَبِمَا عَمِلَ وَأنَّكَ فَعَلْتَ كَذَا وَكَذَا حَتَّى يُغَلِّبَ جَانِبَ الرَّجَاءِ وَجَانِبَ حُسْنِ الظَّنِّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَهَذَا مِنَ الْمَوَاطِنِ الَّتِي يَنْبَغِي أَنْ يُغَلِّبَ فِيهَا جَانِبَ حُسْنِ الظَّنِّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالرَّجَاءِ مَا عَدَا ذَلِكَ يَكُونُ الْإِنْسَانُ بَيْنَ الْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ

Kapan Kita Harus Cinta, Takut, dan Berharap kepada Allah? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Kita baca beberapa pertanyaan yang telah kita terima di akun-akun media sosial Al-Majd. Ini ada pertanyaan dari seorang saudari kita, bahwa ia selalu mendengar bahwa seorang Muslim wajib menghimpun rasa takut dan harap kepada Allah. Pertanyaannya: kapan harus takut dan kapan harus berharap? Rasa takut dan harap kepada Allah–sebagaimana kata para ulama–keduanya bagaikan dua sayap bagi burung. Sedangkan rasa cinta kepada Allah bagaikan kepala burung. Seorang Muslim harus menjalani hidup dengan metode seperti itu. Ia dituntun oleh rasa cinta kepada Allah dan cinta pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu rasa takut dan harap harus senantiasa dalam keadaan seimbang. Karena jika seseorang lebih condong kepada rasa takut kepada Allah, maka bisa jadi ia akan terjerumus ke dalam rasa putus asa dari rahmat Allah. Sebaliknya jika ia lebih condong kepada rasa harap kepada Allah, maka bisa jadi ia akan terjerumus ke dalam rasa aman dari makar Allah. Padahal kedua hal itu tercela: putus asa dari rahmat Allah dan merasa aman dari makar Allah. Adapun yang seharusnya adalah menjaga keseimbangan. Yakni menjadi orang yang punya rasa harap sekaligus rasa takut kepada Allah. Berharap mendapat rahmat, karunia, dan pahala besar di sisi Allah yang telah Dia siapkan bagi para hamba-Nya yang beriman. Sekaligus takut dari siksaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Dia sangat keras siksaan-Nya. Jadi, ia di antara rasa takut dan harap kepada Allah. Ia juga hendaknya takut amalannya tidak diterima oleh Allah. Seorang Mukmin akan takut amalannya tidak diterima. Ketakutan inilah yang membuat banyak orang saleh tidak bisa tidur. Al-Bukhari berkata dalam kitab ash-Shahih, bahwa Ibnu Abi Mulaikah berkata: “Aku berjumpa dengan 30 Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka semua takut ada sifat kemunafikan dalam diri mereka.” Subhanallah! 30 Sahabat Nabi ‘alaihis shalatu wassalam! Ini disebutkan dalam Shahih al-Bukhari. Mereka semua takut ada kemunafikan dalam diri mereka. Inilah yang seharusnya dirasakan seorang Muslim. Mereka melakukan amalan-amalan besar, tapi tetap khawatir itu semua tidak diterima. Mereka takut menyerupai orang-orang munafik. Merekalah orang-orang yang Allah Ta’ala puji dalam firman-Nya: “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu) mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. al-Mu’minun: 60). Disebutkan dalam tafsirnya bahwa mereka orang-orang yang beramal saleh, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan sedekah, tapi mereka takut amalan itu tidak diterima dari mereka. Dengan demikian, seorang Muslim harus seimbang antara rasa takut dan harap kepada Allah. Tidak terlalu condong kepada rasa harap yang menjadikannya merasa aman dari makar Allah. Tidak pula terlalu condong kepada rasa takut yang menjadikannya merasa putus asa dari rahmat Allah Ta’ala. Kecuali ketika sedang sakaratul maut. Ketika akan meninggal dunia, para ulama berkata bahwa dianjurkan untuk lebih condong pada sangkaan baik kepada Allah. Berdasarkan sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam: “Janganlah seseorang dari kalian meninggal dunia kecuali dalam keadan bersangka baik kepada Allah.” (HR. Muslim). Oleh sebab itu, hendaklah orang yang hadir di sisi orang yang sedang sakaratul maut untuk menyebutkan amal-amal baiknya dan perbuatan baik yang telah ia kerjakan: “Kamu dulu sudah berbuat baik ini dan itu…” agar ia lebih condong kepada rasa harap dan sangkaan baik kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah salah satu keadaan yang hendaknya sangkaan baik kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan rasa harap lebih ditonjolkan. Sedangkan dalam keadaan lainnya, hendaklah seorang insan berada di antara rasa takut dan rasa harap. ==== نَأْخُذُ بَعْضَ الْأَسْئِلَةِ وَرَدَتْنَا فِي حِسَابَاتِ شَبَكَةِ الْمَجْدِ عَلَى مَوَاقِعِ التَّوَاصُلِ هُنَا سُؤَالٌ مِنْ إِحْدَى الْأَخَوَاتِ تَسْمَعُ دَائِمًا أَنَّ الْمُسْلِمَ يَجِبُ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ السُّؤَالُ مَتَى يَخَافُ مَتَى يَرْجُو؟ الْخَوْفُ وَالرَّجَاءُ كَمَا يَقُولُ أَهْلُ الْعِلْمِ هُمَا كَجَنَاحَيِ الطَّائِرِ وَالْمَحَبَّةُ كَرَأْسِ الطَّائِرِ وَالْمُسْلِمُ مَطْلُوبٌ مِنْهُ أَنْ يَسِيرَ بِهَذِهِ الطَّرِيقَةِ يَقُودُهُ الْمَحَبَّةُ مَحَبَّةُ اللَّهِ وَمَحَبَّةُ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَكُونُ الْخَوْفُ وَالرَّجَاءُ يَكُونَانِ مُتَوَازِنَيْنِ لِأَنَّهُ إِذَا غَلَّبَ الْإِنْسَانُ جَانِبَ الْخَوْفِ فَرُبَّمَا وَقَعَ فِي الْقُنُوطِ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ وَإِذَا غَلَّبَ جَانِبَ الرَّجَاءِ فَرُبَّمَا وَقَعَ فِي أَمْنٍ مِنْ مَكْرِ اللَّهِ وَكِلَاهُمَا مَذْمُومٌ الْقُنُوطُ وَالْأَمْنُ مِنْ مَكْرِ اللَّهِ وَإِنَّمَا الْمَطْلُوبُ هُوَ التَّوَازُنُ وَأَنْ يَكُونَ رَاجِيًا خَائِفًا رَاجِيًا مَا عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَالْفَضْلِ وَالثَّوَابِ الْعَظِيمِ الَّذِي أَعَدَّهُ لِعِبَادِهِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَخَائِفًا مِنْ عُقُوبَةِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى شَدِيدُ الْعِقَابِ فَهُوَ بَيْنَ الْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ أَيْضًا يَخَافُ يَخَافُ مِنْ أَنْ لَا يُتَقَبَّلَ عَمَلُهُ يَخْشَى الْمُؤْمِنُ أَنَّ عَمَلَهُ لَمْ يُتَقَبَّلْ مِنْهُ هَذَا هُوَ الَّذِي أَرَّقَ كَثِيرًا مِنَ الصَّالِحِينَ قَالَ الْبُخَارِىُّ فِى صَحِيحِهِ قَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ أَدْرَكْتُ الثَّلَاثِيْنَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ الثَّلَاثِيْنَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ هَذَا فِي صَحِيحِ الْبُخَارِيّ كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ هَذَا هُوَ الْمَطْلُوبُ مِنَ الْمُسْلِمِ يَعْمَلُونَ الْأَعْمَالَ الْعَظِيْمَةَ وَلَكِنَّهُمْ يَخْشَوْنَ أَلَّا تُتَقَبَّلَ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ مُشَابَهَةَ الْمُنَافِقِيْنَ وَهَؤُلَاءِ هُمُ الَّذِيْنَ أَثْنَى اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِمْ بِقَوْلِهِ وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ جَاءَ فِي التَّفْسِيرِ أَنَّهُمُ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الْأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ مِنَ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصِّيَامِ وَالْحَجِّ وَالصَّدَقَاتِ وَيَخْشَوْنَ أَلَّا تُتَقَبَّلَ مِنْهُمْ وَعَلَى هَذَا فَعَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَكُونَ مُعْتَدِلًا بَيْنَ الْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ لَا يُغَلِّبُ جَانِبَ الرَّجَاءِ تَغْلِيبًا يُؤَدِّي إِلَى الْأَمْنِ مِنْ مَكْرِ اللَّهِ وَلَا يُغَلِّبُ جَانِبَ الْخَوْفِ تَغْلِيبًا يُؤَدِّي إِلَى الْقُنُوطِ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ تَعَالَى إِلَّا عِنْدَ الِاحْتِضَارِ عِنْدَ الْوَفَاةِ قَالَ الْعُلَمَاءُ إِنَّهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ يُغَلِّبَ جَانِبَ حُسْنِ الظَّنِّ بِاللَّهِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللَّهِ رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَلِهَذَا يَنْبَغِي لِمَنْ حَضَرَ مُحْتَضَرًا أَنْ يُذَكِّرَهُ بِمَحَاسِنِهِ وَبِمَا عَمِلَ وَأنَّكَ فَعَلْتَ كَذَا وَكَذَا حَتَّى يُغَلِّبَ جَانِبَ الرَّجَاءِ وَجَانِبَ حُسْنِ الظَّنِّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَهَذَا مِنَ الْمَوَاطِنِ الَّتِي يَنْبَغِي أَنْ يُغَلِّبَ فِيهَا جَانِبَ حُسْنِ الظَّنِّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالرَّجَاءِ مَا عَدَا ذَلِكَ يَكُونُ الْإِنْسَانُ بَيْنَ الْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ
Kita baca beberapa pertanyaan yang telah kita terima di akun-akun media sosial Al-Majd. Ini ada pertanyaan dari seorang saudari kita, bahwa ia selalu mendengar bahwa seorang Muslim wajib menghimpun rasa takut dan harap kepada Allah. Pertanyaannya: kapan harus takut dan kapan harus berharap? Rasa takut dan harap kepada Allah–sebagaimana kata para ulama–keduanya bagaikan dua sayap bagi burung. Sedangkan rasa cinta kepada Allah bagaikan kepala burung. Seorang Muslim harus menjalani hidup dengan metode seperti itu. Ia dituntun oleh rasa cinta kepada Allah dan cinta pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu rasa takut dan harap harus senantiasa dalam keadaan seimbang. Karena jika seseorang lebih condong kepada rasa takut kepada Allah, maka bisa jadi ia akan terjerumus ke dalam rasa putus asa dari rahmat Allah. Sebaliknya jika ia lebih condong kepada rasa harap kepada Allah, maka bisa jadi ia akan terjerumus ke dalam rasa aman dari makar Allah. Padahal kedua hal itu tercela: putus asa dari rahmat Allah dan merasa aman dari makar Allah. Adapun yang seharusnya adalah menjaga keseimbangan. Yakni menjadi orang yang punya rasa harap sekaligus rasa takut kepada Allah. Berharap mendapat rahmat, karunia, dan pahala besar di sisi Allah yang telah Dia siapkan bagi para hamba-Nya yang beriman. Sekaligus takut dari siksaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Dia sangat keras siksaan-Nya. Jadi, ia di antara rasa takut dan harap kepada Allah. Ia juga hendaknya takut amalannya tidak diterima oleh Allah. Seorang Mukmin akan takut amalannya tidak diterima. Ketakutan inilah yang membuat banyak orang saleh tidak bisa tidur. Al-Bukhari berkata dalam kitab ash-Shahih, bahwa Ibnu Abi Mulaikah berkata: “Aku berjumpa dengan 30 Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka semua takut ada sifat kemunafikan dalam diri mereka.” Subhanallah! 30 Sahabat Nabi ‘alaihis shalatu wassalam! Ini disebutkan dalam Shahih al-Bukhari. Mereka semua takut ada kemunafikan dalam diri mereka. Inilah yang seharusnya dirasakan seorang Muslim. Mereka melakukan amalan-amalan besar, tapi tetap khawatir itu semua tidak diterima. Mereka takut menyerupai orang-orang munafik. Merekalah orang-orang yang Allah Ta’ala puji dalam firman-Nya: “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu) mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. al-Mu’minun: 60). Disebutkan dalam tafsirnya bahwa mereka orang-orang yang beramal saleh, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan sedekah, tapi mereka takut amalan itu tidak diterima dari mereka. Dengan demikian, seorang Muslim harus seimbang antara rasa takut dan harap kepada Allah. Tidak terlalu condong kepada rasa harap yang menjadikannya merasa aman dari makar Allah. Tidak pula terlalu condong kepada rasa takut yang menjadikannya merasa putus asa dari rahmat Allah Ta’ala. Kecuali ketika sedang sakaratul maut. Ketika akan meninggal dunia, para ulama berkata bahwa dianjurkan untuk lebih condong pada sangkaan baik kepada Allah. Berdasarkan sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam: “Janganlah seseorang dari kalian meninggal dunia kecuali dalam keadan bersangka baik kepada Allah.” (HR. Muslim). Oleh sebab itu, hendaklah orang yang hadir di sisi orang yang sedang sakaratul maut untuk menyebutkan amal-amal baiknya dan perbuatan baik yang telah ia kerjakan: “Kamu dulu sudah berbuat baik ini dan itu…” agar ia lebih condong kepada rasa harap dan sangkaan baik kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah salah satu keadaan yang hendaknya sangkaan baik kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan rasa harap lebih ditonjolkan. Sedangkan dalam keadaan lainnya, hendaklah seorang insan berada di antara rasa takut dan rasa harap. ==== نَأْخُذُ بَعْضَ الْأَسْئِلَةِ وَرَدَتْنَا فِي حِسَابَاتِ شَبَكَةِ الْمَجْدِ عَلَى مَوَاقِعِ التَّوَاصُلِ هُنَا سُؤَالٌ مِنْ إِحْدَى الْأَخَوَاتِ تَسْمَعُ دَائِمًا أَنَّ الْمُسْلِمَ يَجِبُ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ السُّؤَالُ مَتَى يَخَافُ مَتَى يَرْجُو؟ الْخَوْفُ وَالرَّجَاءُ كَمَا يَقُولُ أَهْلُ الْعِلْمِ هُمَا كَجَنَاحَيِ الطَّائِرِ وَالْمَحَبَّةُ كَرَأْسِ الطَّائِرِ وَالْمُسْلِمُ مَطْلُوبٌ مِنْهُ أَنْ يَسِيرَ بِهَذِهِ الطَّرِيقَةِ يَقُودُهُ الْمَحَبَّةُ مَحَبَّةُ اللَّهِ وَمَحَبَّةُ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَكُونُ الْخَوْفُ وَالرَّجَاءُ يَكُونَانِ مُتَوَازِنَيْنِ لِأَنَّهُ إِذَا غَلَّبَ الْإِنْسَانُ جَانِبَ الْخَوْفِ فَرُبَّمَا وَقَعَ فِي الْقُنُوطِ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ وَإِذَا غَلَّبَ جَانِبَ الرَّجَاءِ فَرُبَّمَا وَقَعَ فِي أَمْنٍ مِنْ مَكْرِ اللَّهِ وَكِلَاهُمَا مَذْمُومٌ الْقُنُوطُ وَالْأَمْنُ مِنْ مَكْرِ اللَّهِ وَإِنَّمَا الْمَطْلُوبُ هُوَ التَّوَازُنُ وَأَنْ يَكُونَ رَاجِيًا خَائِفًا رَاجِيًا مَا عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَالْفَضْلِ وَالثَّوَابِ الْعَظِيمِ الَّذِي أَعَدَّهُ لِعِبَادِهِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَخَائِفًا مِنْ عُقُوبَةِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى شَدِيدُ الْعِقَابِ فَهُوَ بَيْنَ الْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ أَيْضًا يَخَافُ يَخَافُ مِنْ أَنْ لَا يُتَقَبَّلَ عَمَلُهُ يَخْشَى الْمُؤْمِنُ أَنَّ عَمَلَهُ لَمْ يُتَقَبَّلْ مِنْهُ هَذَا هُوَ الَّذِي أَرَّقَ كَثِيرًا مِنَ الصَّالِحِينَ قَالَ الْبُخَارِىُّ فِى صَحِيحِهِ قَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ أَدْرَكْتُ الثَّلَاثِيْنَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ الثَّلَاثِيْنَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ هَذَا فِي صَحِيحِ الْبُخَارِيّ كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ هَذَا هُوَ الْمَطْلُوبُ مِنَ الْمُسْلِمِ يَعْمَلُونَ الْأَعْمَالَ الْعَظِيْمَةَ وَلَكِنَّهُمْ يَخْشَوْنَ أَلَّا تُتَقَبَّلَ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ مُشَابَهَةَ الْمُنَافِقِيْنَ وَهَؤُلَاءِ هُمُ الَّذِيْنَ أَثْنَى اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِمْ بِقَوْلِهِ وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ جَاءَ فِي التَّفْسِيرِ أَنَّهُمُ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الْأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ مِنَ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصِّيَامِ وَالْحَجِّ وَالصَّدَقَاتِ وَيَخْشَوْنَ أَلَّا تُتَقَبَّلَ مِنْهُمْ وَعَلَى هَذَا فَعَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَكُونَ مُعْتَدِلًا بَيْنَ الْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ لَا يُغَلِّبُ جَانِبَ الرَّجَاءِ تَغْلِيبًا يُؤَدِّي إِلَى الْأَمْنِ مِنْ مَكْرِ اللَّهِ وَلَا يُغَلِّبُ جَانِبَ الْخَوْفِ تَغْلِيبًا يُؤَدِّي إِلَى الْقُنُوطِ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ تَعَالَى إِلَّا عِنْدَ الِاحْتِضَارِ عِنْدَ الْوَفَاةِ قَالَ الْعُلَمَاءُ إِنَّهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ يُغَلِّبَ جَانِبَ حُسْنِ الظَّنِّ بِاللَّهِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللَّهِ رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَلِهَذَا يَنْبَغِي لِمَنْ حَضَرَ مُحْتَضَرًا أَنْ يُذَكِّرَهُ بِمَحَاسِنِهِ وَبِمَا عَمِلَ وَأنَّكَ فَعَلْتَ كَذَا وَكَذَا حَتَّى يُغَلِّبَ جَانِبَ الرَّجَاءِ وَجَانِبَ حُسْنِ الظَّنِّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَهَذَا مِنَ الْمَوَاطِنِ الَّتِي يَنْبَغِي أَنْ يُغَلِّبَ فِيهَا جَانِبَ حُسْنِ الظَّنِّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالرَّجَاءِ مَا عَدَا ذَلِكَ يَكُونُ الْإِنْسَانُ بَيْنَ الْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ


Kita baca beberapa pertanyaan yang telah kita terima di akun-akun media sosial Al-Majd. Ini ada pertanyaan dari seorang saudari kita, bahwa ia selalu mendengar bahwa seorang Muslim wajib menghimpun rasa takut dan harap kepada Allah. Pertanyaannya: kapan harus takut dan kapan harus berharap? Rasa takut dan harap kepada Allah–sebagaimana kata para ulama–keduanya bagaikan dua sayap bagi burung. Sedangkan rasa cinta kepada Allah bagaikan kepala burung. Seorang Muslim harus menjalani hidup dengan metode seperti itu. Ia dituntun oleh rasa cinta kepada Allah dan cinta pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu rasa takut dan harap harus senantiasa dalam keadaan seimbang. Karena jika seseorang lebih condong kepada rasa takut kepada Allah, maka bisa jadi ia akan terjerumus ke dalam rasa putus asa dari rahmat Allah. Sebaliknya jika ia lebih condong kepada rasa harap kepada Allah, maka bisa jadi ia akan terjerumus ke dalam rasa aman dari makar Allah. Padahal kedua hal itu tercela: putus asa dari rahmat Allah dan merasa aman dari makar Allah. Adapun yang seharusnya adalah menjaga keseimbangan. Yakni menjadi orang yang punya rasa harap sekaligus rasa takut kepada Allah. Berharap mendapat rahmat, karunia, dan pahala besar di sisi Allah yang telah Dia siapkan bagi para hamba-Nya yang beriman. Sekaligus takut dari siksaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Dia sangat keras siksaan-Nya. Jadi, ia di antara rasa takut dan harap kepada Allah. Ia juga hendaknya takut amalannya tidak diterima oleh Allah. Seorang Mukmin akan takut amalannya tidak diterima. Ketakutan inilah yang membuat banyak orang saleh tidak bisa tidur. Al-Bukhari berkata dalam kitab ash-Shahih, bahwa Ibnu Abi Mulaikah berkata: “Aku berjumpa dengan 30 Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka semua takut ada sifat kemunafikan dalam diri mereka.” Subhanallah! 30 Sahabat Nabi ‘alaihis shalatu wassalam! Ini disebutkan dalam Shahih al-Bukhari. Mereka semua takut ada kemunafikan dalam diri mereka. Inilah yang seharusnya dirasakan seorang Muslim. Mereka melakukan amalan-amalan besar, tapi tetap khawatir itu semua tidak diterima. Mereka takut menyerupai orang-orang munafik. Merekalah orang-orang yang Allah Ta’ala puji dalam firman-Nya: “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu) mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. al-Mu’minun: 60). Disebutkan dalam tafsirnya bahwa mereka orang-orang yang beramal saleh, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan sedekah, tapi mereka takut amalan itu tidak diterima dari mereka. Dengan demikian, seorang Muslim harus seimbang antara rasa takut dan harap kepada Allah. Tidak terlalu condong kepada rasa harap yang menjadikannya merasa aman dari makar Allah. Tidak pula terlalu condong kepada rasa takut yang menjadikannya merasa putus asa dari rahmat Allah Ta’ala. Kecuali ketika sedang sakaratul maut. Ketika akan meninggal dunia, para ulama berkata bahwa dianjurkan untuk lebih condong pada sangkaan baik kepada Allah. Berdasarkan sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam: “Janganlah seseorang dari kalian meninggal dunia kecuali dalam keadan bersangka baik kepada Allah.” (HR. Muslim). Oleh sebab itu, hendaklah orang yang hadir di sisi orang yang sedang sakaratul maut untuk menyebutkan amal-amal baiknya dan perbuatan baik yang telah ia kerjakan: “Kamu dulu sudah berbuat baik ini dan itu…” agar ia lebih condong kepada rasa harap dan sangkaan baik kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah salah satu keadaan yang hendaknya sangkaan baik kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan rasa harap lebih ditonjolkan. Sedangkan dalam keadaan lainnya, hendaklah seorang insan berada di antara rasa takut dan rasa harap. ==== نَأْخُذُ بَعْضَ الْأَسْئِلَةِ وَرَدَتْنَا فِي حِسَابَاتِ شَبَكَةِ الْمَجْدِ عَلَى مَوَاقِعِ التَّوَاصُلِ هُنَا سُؤَالٌ مِنْ إِحْدَى الْأَخَوَاتِ تَسْمَعُ دَائِمًا أَنَّ الْمُسْلِمَ يَجِبُ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ السُّؤَالُ مَتَى يَخَافُ مَتَى يَرْجُو؟ الْخَوْفُ وَالرَّجَاءُ كَمَا يَقُولُ أَهْلُ الْعِلْمِ هُمَا كَجَنَاحَيِ الطَّائِرِ وَالْمَحَبَّةُ كَرَأْسِ الطَّائِرِ وَالْمُسْلِمُ مَطْلُوبٌ مِنْهُ أَنْ يَسِيرَ بِهَذِهِ الطَّرِيقَةِ يَقُودُهُ الْمَحَبَّةُ مَحَبَّةُ اللَّهِ وَمَحَبَّةُ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَكُونُ الْخَوْفُ وَالرَّجَاءُ يَكُونَانِ مُتَوَازِنَيْنِ لِأَنَّهُ إِذَا غَلَّبَ الْإِنْسَانُ جَانِبَ الْخَوْفِ فَرُبَّمَا وَقَعَ فِي الْقُنُوطِ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ وَإِذَا غَلَّبَ جَانِبَ الرَّجَاءِ فَرُبَّمَا وَقَعَ فِي أَمْنٍ مِنْ مَكْرِ اللَّهِ وَكِلَاهُمَا مَذْمُومٌ الْقُنُوطُ وَالْأَمْنُ مِنْ مَكْرِ اللَّهِ وَإِنَّمَا الْمَطْلُوبُ هُوَ التَّوَازُنُ وَأَنْ يَكُونَ رَاجِيًا خَائِفًا رَاجِيًا مَا عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَالْفَضْلِ وَالثَّوَابِ الْعَظِيمِ الَّذِي أَعَدَّهُ لِعِبَادِهِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَخَائِفًا مِنْ عُقُوبَةِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى شَدِيدُ الْعِقَابِ فَهُوَ بَيْنَ الْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ أَيْضًا يَخَافُ يَخَافُ مِنْ أَنْ لَا يُتَقَبَّلَ عَمَلُهُ يَخْشَى الْمُؤْمِنُ أَنَّ عَمَلَهُ لَمْ يُتَقَبَّلْ مِنْهُ هَذَا هُوَ الَّذِي أَرَّقَ كَثِيرًا مِنَ الصَّالِحِينَ قَالَ الْبُخَارِىُّ فِى صَحِيحِهِ قَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ أَدْرَكْتُ الثَّلَاثِيْنَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ الثَّلَاثِيْنَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ هَذَا فِي صَحِيحِ الْبُخَارِيّ كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ هَذَا هُوَ الْمَطْلُوبُ مِنَ الْمُسْلِمِ يَعْمَلُونَ الْأَعْمَالَ الْعَظِيْمَةَ وَلَكِنَّهُمْ يَخْشَوْنَ أَلَّا تُتَقَبَّلَ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ مُشَابَهَةَ الْمُنَافِقِيْنَ وَهَؤُلَاءِ هُمُ الَّذِيْنَ أَثْنَى اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِمْ بِقَوْلِهِ وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ جَاءَ فِي التَّفْسِيرِ أَنَّهُمُ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الْأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ مِنَ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصِّيَامِ وَالْحَجِّ وَالصَّدَقَاتِ وَيَخْشَوْنَ أَلَّا تُتَقَبَّلَ مِنْهُمْ وَعَلَى هَذَا فَعَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَكُونَ مُعْتَدِلًا بَيْنَ الْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ لَا يُغَلِّبُ جَانِبَ الرَّجَاءِ تَغْلِيبًا يُؤَدِّي إِلَى الْأَمْنِ مِنْ مَكْرِ اللَّهِ وَلَا يُغَلِّبُ جَانِبَ الْخَوْفِ تَغْلِيبًا يُؤَدِّي إِلَى الْقُنُوطِ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ تَعَالَى إِلَّا عِنْدَ الِاحْتِضَارِ عِنْدَ الْوَفَاةِ قَالَ الْعُلَمَاءُ إِنَّهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ يُغَلِّبَ جَانِبَ حُسْنِ الظَّنِّ بِاللَّهِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللَّهِ رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَلِهَذَا يَنْبَغِي لِمَنْ حَضَرَ مُحْتَضَرًا أَنْ يُذَكِّرَهُ بِمَحَاسِنِهِ وَبِمَا عَمِلَ وَأنَّكَ فَعَلْتَ كَذَا وَكَذَا حَتَّى يُغَلِّبَ جَانِبَ الرَّجَاءِ وَجَانِبَ حُسْنِ الظَّنِّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَهَذَا مِنَ الْمَوَاطِنِ الَّتِي يَنْبَغِي أَنْ يُغَلِّبَ فِيهَا جَانِبَ حُسْنِ الظَّنِّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالرَّجَاءِ مَا عَدَا ذَلِكَ يَكُونُ الْإِنْسَانُ بَيْنَ الْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ

Biografi Ringkas Imam Abu Dawud

Daftar Isi Toggle NamaPertumbuhan dan perjalanan menuntut ilmuGuru-guru Murid-muridKarya-karyaAkidah Abu DawudKedudukan Abu Dawud di mata para penguasa Perkataan para ulama tentang Abu DawudWafat Nama Beliau adalah Sulaiman bin Al-Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syaddad bin Amr bin Imran Al-Azdi As-Sijistani, lebih dikenal dengan Abu Dawud. Beliau adalah salah seorang ahli hadis terkemuka dalam ilmu hadis dan ‘illah-nya (cacat hadis), serta penulis kitab Sunan Abu Dawud. Beliau lahir di Sijistan pada tahun 202 Hijriah. Abu Dawud adalah ayah dari Abu Bakar Abdullah bin Abu Dawud, salah satu hafiz terkemuka di Baghdad yang juga merupakan seorang ulama yang diakui, dengan karya terkenal berjudul Al-Mashabih. Pertumbuhan dan perjalanan menuntut ilmu Abu Dawud lahir di Sijistan pada tahun 202 Hijriah. Imam Abu Dawud tumbuh dengan kecintaan yang besar terhadap ilmu. Sejak kecil, fokusnya adalah mencari dan mencatat hadis Rasulullah ﷺ. Tanda-tanda kecerdasannya telah terlihat sejak masa kanak-kanak. Sebagai murid Imam Bukhari, beliau sangat terpengaruh oleh gurunya itu dan menempuh jalan yang sama dalam ilmu. Selain itu, beliau memiliki banyak kesamaan dengan Imam Ahmad bin Hanbal dalam sikap, penampilan, dan gaya hidupnya. Abu Dawud melakukan perjalanan untuk mencari ilmu hadis ke Syam, Mesir, Jazirah Arab, Irak, Khurasan, dan berbagai wilayah lainnya. Ibnu Khallikan berkata tentangnya, “Beliau berada pada derajat tertinggi dalam hal ibadah dan kesalehan.” Guru-guru  Seperti ulama-ulama lain pada zamannya, Abu Dawud melakukan perjalanan ke berbagai wilayah peradaban Islam untuk mencari hadis, mendengar langsung dari para guru, dan belajar dari mereka. Dalam perjalanannya, beliau bertemu banyak hafiz dan ahli hadis terkemuka. Beliau belajar dari para ulama Irak, Khurasan, Syam, dan Mesir. Guru-gurunya antara lain: Abu Umar Adh-Dharir, Muslim bin Ibrahim, Ahmad bin Hanbal, Abdullah bin Maslamah Al-Qa’nabi, Abdullah bin Raja’, Abu Al-Walid Ath-Thayalisi, Ahmad bin Yunus, Abu Ja’far An-Nufaili, Abu Tubah Al-Halabi, Sulaiman bin Harb, Yahya bin Ma’in, Musaddad bin Musarhad, Qutaibah bin Sa’id ,Sulaiman bin Harb, Ishaq bin Rahuyah, ‘Ashim bin Ali, dan banyak ulama lainnya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Tsughur, serta Khurasan. Murid-murid Karena dedikasinya terhadap ilmu hadis, Abu Dawud memiliki banyak murid yang belajar dan meriwayatkan hadis darinya. Di antara murid-murid terkenalnya adalah Abu Isa At-Tirmidzi, Abu Abdirrahman An Nasa’i, putranya sendiri (Imam Abu Bakar bin Abu Dawud), Abu ‘Awanah, Abu Bisyr Ad-Dulabi, Ali bin Hasan bin Al-Abd, Abu Usamah Muhammad bin Abdul Malik, Abu Sa’id bin Al-A’rabi, Abu Ali Al-Lu’lu’i, Abu Bakar bin Dasah, Abu Salim Muhammad bin Said Al-Jaludi, Abu Amr Ahmad bin Ali, Abu Bakr bin Abi Ad-Dunya, Abu Bisyr Ad-Dulabi, Muhammad bin Ja’far Al-Firyabi, dan lainnya. Karya-karya Abu Dawud termasuk ulama yang produktif dalam menulis, khususnya dalam bidang ilmu hadis, baik dari segi riwayat maupun dirayah. Di antara karyanya: Dala’il An-Nubuwwah (Tanda-Tanda Kenabian), Kitab At-Tafarrud fi As-Sunan (Kitab Tentang Hadis-Hadis yang Diriwayatkan Sendirian), Kitab Al-Marasil (Hadis-Hadis Mursal), Kitab Al-Masa’il (Pertanyaan-Pertanyaan yang Diajukan kepada Imam Ahmad), dan Nasikh Al-Qur’an wa Mansukhuhu (Ayat-Ayat yang Dihapus dan yang Menghapus). Menurut Az-Zarkali dalam Al-A’lam, beliau juga menulis kitab Az-Zuhd yang masih berupa manuskrip dan tersimpan di perpustakaan Qarawiyyin dengan nomor katalog (80/133), ditulis dalam naskah Andalusia. Karya lainnya termasuk Al-Ba’ts dan Tasmiyatul Ikhwah yang keduanya juga masih berupa manuskrip. Akidah Abu Dawud Abu Dawud (rahimahullah) mengikuti akidah salaf dalam berpegang teguh kepada sunah, menyerahkan segala urusan kepada dalil, dan menghindari pembahasan yang mendalam dalam ilmu kalam. Kedudukan Abu Dawud di mata para penguasa  Abu Bakr bin Jabir, seorang pelayan Abu Dawud, menceritakan bahwa ia pernah bersama Abu Dawud di Baghdad. Seusai salat Magrib, datanglah Amir Abu Ahmad Al-Muwaffaq (Putra Mahkota). Ia berkata kepada Abu Dawud bahwa ia memiliki tiga permintaan: Pertama: Agar Abu Dawud pindah ke Bashrah dan menetap di sana supaya para pelajar dapat datang belajar dan memakmurkan kota tersebut yang sebelumnya rusak akibat fitnah kelompok Zanj. Kedua: Agar Abu Dawud meriwayatkan kitab As-Sunan kepada anak-anaknya. Ketiga: Agar Abu Dawud menyediakan majelis khusus untuk anak-anak khalifah agar mereka tidak duduk bersama masyarakat umum. Abu Dawud menerima dua permintaan pertama, tetapi menolak yang ketiga. Ia berkata, “Dalam ilmu, semua orang, baik yang mulia maupun yang biasa, adalah sama.” Akhirnya, anak-anak khalifah menghadiri majelis dan duduk di tempat yang berdekatan dengan orang umum tetapi diberi tirai. Perkataan para ulama tentang Abu Dawud Abu Bakr Al-Khalili berkata, “Abu Dawud adalah imam yang unggul pada zamannya. Tidak ada yang melampaui kemahirannya dalam memahami hadis dan menyusun ilmu. Dia adalah pribadi yang wara’.” Musa bin Harun berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih baik dari Abu Dawud.” Ahmad bin Muhammad Al-Harawi berkata, “Abu Dawud adalah salah satu penjaga Islam yang unggul dalam ilmu hadis, sanad, dan ilmunya. Dia memiliki derajat kesucian, ketaatan, dan wara‘ yang tinggi.” Al-Hakim berkata, “Abu Dawud adalah imam ahli hadis di zamannya tanpa ada yang menandinginya.” Abu Ali Al-Quhistani berkata, “Abu Dawud sering disamakan dengan Ahmad bin Hanbal.” Adz-Dzahabi berkata, “Abu Dawud, selain menjadi imam dalam hadis, juga termasuk ulama besar dalam fikih. Kitabnya, As-Sunan, menunjukkan hal itu. Dia adalah salah satu murid unggulan Imam Ahmad bin Hanbal dan sering bertanya kepadanya tentang masalah fikih dan akidah.” Ibnu Katsir berkata, “Abu Dawud adalah salah satu imam hadis yang banyak berkeliling dunia untuk menuntut ilmu. Ia menyusun dan meriwayatkan kitab As-Sunan yang menjadi rujukan para ulama.” Wafat Abu Dawud wafat di kota Basra pada hari Jumat, tanggal 16 Syawal tahun 275 Hijriah, dalam usia 73 tahun. Beliau dimakamkan di sebelah makam Sufyan Ats-Tsauri. Baca juga: Biografi Syu’aib Al-Arnauth *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Diterjemahkan dan disusun ulang oleh penulis dari web: https://www.alukah.net/culture/0/100696/ الإمام-الحافظ-أبو-داود-السجستاني/ https://ar.islamway.net/article/70511/ ترجمة-الإمام-أبو-داود

Biografi Ringkas Imam Abu Dawud

Daftar Isi Toggle NamaPertumbuhan dan perjalanan menuntut ilmuGuru-guru Murid-muridKarya-karyaAkidah Abu DawudKedudukan Abu Dawud di mata para penguasa Perkataan para ulama tentang Abu DawudWafat Nama Beliau adalah Sulaiman bin Al-Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syaddad bin Amr bin Imran Al-Azdi As-Sijistani, lebih dikenal dengan Abu Dawud. Beliau adalah salah seorang ahli hadis terkemuka dalam ilmu hadis dan ‘illah-nya (cacat hadis), serta penulis kitab Sunan Abu Dawud. Beliau lahir di Sijistan pada tahun 202 Hijriah. Abu Dawud adalah ayah dari Abu Bakar Abdullah bin Abu Dawud, salah satu hafiz terkemuka di Baghdad yang juga merupakan seorang ulama yang diakui, dengan karya terkenal berjudul Al-Mashabih. Pertumbuhan dan perjalanan menuntut ilmu Abu Dawud lahir di Sijistan pada tahun 202 Hijriah. Imam Abu Dawud tumbuh dengan kecintaan yang besar terhadap ilmu. Sejak kecil, fokusnya adalah mencari dan mencatat hadis Rasulullah ﷺ. Tanda-tanda kecerdasannya telah terlihat sejak masa kanak-kanak. Sebagai murid Imam Bukhari, beliau sangat terpengaruh oleh gurunya itu dan menempuh jalan yang sama dalam ilmu. Selain itu, beliau memiliki banyak kesamaan dengan Imam Ahmad bin Hanbal dalam sikap, penampilan, dan gaya hidupnya. Abu Dawud melakukan perjalanan untuk mencari ilmu hadis ke Syam, Mesir, Jazirah Arab, Irak, Khurasan, dan berbagai wilayah lainnya. Ibnu Khallikan berkata tentangnya, “Beliau berada pada derajat tertinggi dalam hal ibadah dan kesalehan.” Guru-guru  Seperti ulama-ulama lain pada zamannya, Abu Dawud melakukan perjalanan ke berbagai wilayah peradaban Islam untuk mencari hadis, mendengar langsung dari para guru, dan belajar dari mereka. Dalam perjalanannya, beliau bertemu banyak hafiz dan ahli hadis terkemuka. Beliau belajar dari para ulama Irak, Khurasan, Syam, dan Mesir. Guru-gurunya antara lain: Abu Umar Adh-Dharir, Muslim bin Ibrahim, Ahmad bin Hanbal, Abdullah bin Maslamah Al-Qa’nabi, Abdullah bin Raja’, Abu Al-Walid Ath-Thayalisi, Ahmad bin Yunus, Abu Ja’far An-Nufaili, Abu Tubah Al-Halabi, Sulaiman bin Harb, Yahya bin Ma’in, Musaddad bin Musarhad, Qutaibah bin Sa’id ,Sulaiman bin Harb, Ishaq bin Rahuyah, ‘Ashim bin Ali, dan banyak ulama lainnya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Tsughur, serta Khurasan. Murid-murid Karena dedikasinya terhadap ilmu hadis, Abu Dawud memiliki banyak murid yang belajar dan meriwayatkan hadis darinya. Di antara murid-murid terkenalnya adalah Abu Isa At-Tirmidzi, Abu Abdirrahman An Nasa’i, putranya sendiri (Imam Abu Bakar bin Abu Dawud), Abu ‘Awanah, Abu Bisyr Ad-Dulabi, Ali bin Hasan bin Al-Abd, Abu Usamah Muhammad bin Abdul Malik, Abu Sa’id bin Al-A’rabi, Abu Ali Al-Lu’lu’i, Abu Bakar bin Dasah, Abu Salim Muhammad bin Said Al-Jaludi, Abu Amr Ahmad bin Ali, Abu Bakr bin Abi Ad-Dunya, Abu Bisyr Ad-Dulabi, Muhammad bin Ja’far Al-Firyabi, dan lainnya. Karya-karya Abu Dawud termasuk ulama yang produktif dalam menulis, khususnya dalam bidang ilmu hadis, baik dari segi riwayat maupun dirayah. Di antara karyanya: Dala’il An-Nubuwwah (Tanda-Tanda Kenabian), Kitab At-Tafarrud fi As-Sunan (Kitab Tentang Hadis-Hadis yang Diriwayatkan Sendirian), Kitab Al-Marasil (Hadis-Hadis Mursal), Kitab Al-Masa’il (Pertanyaan-Pertanyaan yang Diajukan kepada Imam Ahmad), dan Nasikh Al-Qur’an wa Mansukhuhu (Ayat-Ayat yang Dihapus dan yang Menghapus). Menurut Az-Zarkali dalam Al-A’lam, beliau juga menulis kitab Az-Zuhd yang masih berupa manuskrip dan tersimpan di perpustakaan Qarawiyyin dengan nomor katalog (80/133), ditulis dalam naskah Andalusia. Karya lainnya termasuk Al-Ba’ts dan Tasmiyatul Ikhwah yang keduanya juga masih berupa manuskrip. Akidah Abu Dawud Abu Dawud (rahimahullah) mengikuti akidah salaf dalam berpegang teguh kepada sunah, menyerahkan segala urusan kepada dalil, dan menghindari pembahasan yang mendalam dalam ilmu kalam. Kedudukan Abu Dawud di mata para penguasa  Abu Bakr bin Jabir, seorang pelayan Abu Dawud, menceritakan bahwa ia pernah bersama Abu Dawud di Baghdad. Seusai salat Magrib, datanglah Amir Abu Ahmad Al-Muwaffaq (Putra Mahkota). Ia berkata kepada Abu Dawud bahwa ia memiliki tiga permintaan: Pertama: Agar Abu Dawud pindah ke Bashrah dan menetap di sana supaya para pelajar dapat datang belajar dan memakmurkan kota tersebut yang sebelumnya rusak akibat fitnah kelompok Zanj. Kedua: Agar Abu Dawud meriwayatkan kitab As-Sunan kepada anak-anaknya. Ketiga: Agar Abu Dawud menyediakan majelis khusus untuk anak-anak khalifah agar mereka tidak duduk bersama masyarakat umum. Abu Dawud menerima dua permintaan pertama, tetapi menolak yang ketiga. Ia berkata, “Dalam ilmu, semua orang, baik yang mulia maupun yang biasa, adalah sama.” Akhirnya, anak-anak khalifah menghadiri majelis dan duduk di tempat yang berdekatan dengan orang umum tetapi diberi tirai. Perkataan para ulama tentang Abu Dawud Abu Bakr Al-Khalili berkata, “Abu Dawud adalah imam yang unggul pada zamannya. Tidak ada yang melampaui kemahirannya dalam memahami hadis dan menyusun ilmu. Dia adalah pribadi yang wara’.” Musa bin Harun berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih baik dari Abu Dawud.” Ahmad bin Muhammad Al-Harawi berkata, “Abu Dawud adalah salah satu penjaga Islam yang unggul dalam ilmu hadis, sanad, dan ilmunya. Dia memiliki derajat kesucian, ketaatan, dan wara‘ yang tinggi.” Al-Hakim berkata, “Abu Dawud adalah imam ahli hadis di zamannya tanpa ada yang menandinginya.” Abu Ali Al-Quhistani berkata, “Abu Dawud sering disamakan dengan Ahmad bin Hanbal.” Adz-Dzahabi berkata, “Abu Dawud, selain menjadi imam dalam hadis, juga termasuk ulama besar dalam fikih. Kitabnya, As-Sunan, menunjukkan hal itu. Dia adalah salah satu murid unggulan Imam Ahmad bin Hanbal dan sering bertanya kepadanya tentang masalah fikih dan akidah.” Ibnu Katsir berkata, “Abu Dawud adalah salah satu imam hadis yang banyak berkeliling dunia untuk menuntut ilmu. Ia menyusun dan meriwayatkan kitab As-Sunan yang menjadi rujukan para ulama.” Wafat Abu Dawud wafat di kota Basra pada hari Jumat, tanggal 16 Syawal tahun 275 Hijriah, dalam usia 73 tahun. Beliau dimakamkan di sebelah makam Sufyan Ats-Tsauri. Baca juga: Biografi Syu’aib Al-Arnauth *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Diterjemahkan dan disusun ulang oleh penulis dari web: https://www.alukah.net/culture/0/100696/ الإمام-الحافظ-أبو-داود-السجستاني/ https://ar.islamway.net/article/70511/ ترجمة-الإمام-أبو-داود
Daftar Isi Toggle NamaPertumbuhan dan perjalanan menuntut ilmuGuru-guru Murid-muridKarya-karyaAkidah Abu DawudKedudukan Abu Dawud di mata para penguasa Perkataan para ulama tentang Abu DawudWafat Nama Beliau adalah Sulaiman bin Al-Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syaddad bin Amr bin Imran Al-Azdi As-Sijistani, lebih dikenal dengan Abu Dawud. Beliau adalah salah seorang ahli hadis terkemuka dalam ilmu hadis dan ‘illah-nya (cacat hadis), serta penulis kitab Sunan Abu Dawud. Beliau lahir di Sijistan pada tahun 202 Hijriah. Abu Dawud adalah ayah dari Abu Bakar Abdullah bin Abu Dawud, salah satu hafiz terkemuka di Baghdad yang juga merupakan seorang ulama yang diakui, dengan karya terkenal berjudul Al-Mashabih. Pertumbuhan dan perjalanan menuntut ilmu Abu Dawud lahir di Sijistan pada tahun 202 Hijriah. Imam Abu Dawud tumbuh dengan kecintaan yang besar terhadap ilmu. Sejak kecil, fokusnya adalah mencari dan mencatat hadis Rasulullah ﷺ. Tanda-tanda kecerdasannya telah terlihat sejak masa kanak-kanak. Sebagai murid Imam Bukhari, beliau sangat terpengaruh oleh gurunya itu dan menempuh jalan yang sama dalam ilmu. Selain itu, beliau memiliki banyak kesamaan dengan Imam Ahmad bin Hanbal dalam sikap, penampilan, dan gaya hidupnya. Abu Dawud melakukan perjalanan untuk mencari ilmu hadis ke Syam, Mesir, Jazirah Arab, Irak, Khurasan, dan berbagai wilayah lainnya. Ibnu Khallikan berkata tentangnya, “Beliau berada pada derajat tertinggi dalam hal ibadah dan kesalehan.” Guru-guru  Seperti ulama-ulama lain pada zamannya, Abu Dawud melakukan perjalanan ke berbagai wilayah peradaban Islam untuk mencari hadis, mendengar langsung dari para guru, dan belajar dari mereka. Dalam perjalanannya, beliau bertemu banyak hafiz dan ahli hadis terkemuka. Beliau belajar dari para ulama Irak, Khurasan, Syam, dan Mesir. Guru-gurunya antara lain: Abu Umar Adh-Dharir, Muslim bin Ibrahim, Ahmad bin Hanbal, Abdullah bin Maslamah Al-Qa’nabi, Abdullah bin Raja’, Abu Al-Walid Ath-Thayalisi, Ahmad bin Yunus, Abu Ja’far An-Nufaili, Abu Tubah Al-Halabi, Sulaiman bin Harb, Yahya bin Ma’in, Musaddad bin Musarhad, Qutaibah bin Sa’id ,Sulaiman bin Harb, Ishaq bin Rahuyah, ‘Ashim bin Ali, dan banyak ulama lainnya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Tsughur, serta Khurasan. Murid-murid Karena dedikasinya terhadap ilmu hadis, Abu Dawud memiliki banyak murid yang belajar dan meriwayatkan hadis darinya. Di antara murid-murid terkenalnya adalah Abu Isa At-Tirmidzi, Abu Abdirrahman An Nasa’i, putranya sendiri (Imam Abu Bakar bin Abu Dawud), Abu ‘Awanah, Abu Bisyr Ad-Dulabi, Ali bin Hasan bin Al-Abd, Abu Usamah Muhammad bin Abdul Malik, Abu Sa’id bin Al-A’rabi, Abu Ali Al-Lu’lu’i, Abu Bakar bin Dasah, Abu Salim Muhammad bin Said Al-Jaludi, Abu Amr Ahmad bin Ali, Abu Bakr bin Abi Ad-Dunya, Abu Bisyr Ad-Dulabi, Muhammad bin Ja’far Al-Firyabi, dan lainnya. Karya-karya Abu Dawud termasuk ulama yang produktif dalam menulis, khususnya dalam bidang ilmu hadis, baik dari segi riwayat maupun dirayah. Di antara karyanya: Dala’il An-Nubuwwah (Tanda-Tanda Kenabian), Kitab At-Tafarrud fi As-Sunan (Kitab Tentang Hadis-Hadis yang Diriwayatkan Sendirian), Kitab Al-Marasil (Hadis-Hadis Mursal), Kitab Al-Masa’il (Pertanyaan-Pertanyaan yang Diajukan kepada Imam Ahmad), dan Nasikh Al-Qur’an wa Mansukhuhu (Ayat-Ayat yang Dihapus dan yang Menghapus). Menurut Az-Zarkali dalam Al-A’lam, beliau juga menulis kitab Az-Zuhd yang masih berupa manuskrip dan tersimpan di perpustakaan Qarawiyyin dengan nomor katalog (80/133), ditulis dalam naskah Andalusia. Karya lainnya termasuk Al-Ba’ts dan Tasmiyatul Ikhwah yang keduanya juga masih berupa manuskrip. Akidah Abu Dawud Abu Dawud (rahimahullah) mengikuti akidah salaf dalam berpegang teguh kepada sunah, menyerahkan segala urusan kepada dalil, dan menghindari pembahasan yang mendalam dalam ilmu kalam. Kedudukan Abu Dawud di mata para penguasa  Abu Bakr bin Jabir, seorang pelayan Abu Dawud, menceritakan bahwa ia pernah bersama Abu Dawud di Baghdad. Seusai salat Magrib, datanglah Amir Abu Ahmad Al-Muwaffaq (Putra Mahkota). Ia berkata kepada Abu Dawud bahwa ia memiliki tiga permintaan: Pertama: Agar Abu Dawud pindah ke Bashrah dan menetap di sana supaya para pelajar dapat datang belajar dan memakmurkan kota tersebut yang sebelumnya rusak akibat fitnah kelompok Zanj. Kedua: Agar Abu Dawud meriwayatkan kitab As-Sunan kepada anak-anaknya. Ketiga: Agar Abu Dawud menyediakan majelis khusus untuk anak-anak khalifah agar mereka tidak duduk bersama masyarakat umum. Abu Dawud menerima dua permintaan pertama, tetapi menolak yang ketiga. Ia berkata, “Dalam ilmu, semua orang, baik yang mulia maupun yang biasa, adalah sama.” Akhirnya, anak-anak khalifah menghadiri majelis dan duduk di tempat yang berdekatan dengan orang umum tetapi diberi tirai. Perkataan para ulama tentang Abu Dawud Abu Bakr Al-Khalili berkata, “Abu Dawud adalah imam yang unggul pada zamannya. Tidak ada yang melampaui kemahirannya dalam memahami hadis dan menyusun ilmu. Dia adalah pribadi yang wara’.” Musa bin Harun berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih baik dari Abu Dawud.” Ahmad bin Muhammad Al-Harawi berkata, “Abu Dawud adalah salah satu penjaga Islam yang unggul dalam ilmu hadis, sanad, dan ilmunya. Dia memiliki derajat kesucian, ketaatan, dan wara‘ yang tinggi.” Al-Hakim berkata, “Abu Dawud adalah imam ahli hadis di zamannya tanpa ada yang menandinginya.” Abu Ali Al-Quhistani berkata, “Abu Dawud sering disamakan dengan Ahmad bin Hanbal.” Adz-Dzahabi berkata, “Abu Dawud, selain menjadi imam dalam hadis, juga termasuk ulama besar dalam fikih. Kitabnya, As-Sunan, menunjukkan hal itu. Dia adalah salah satu murid unggulan Imam Ahmad bin Hanbal dan sering bertanya kepadanya tentang masalah fikih dan akidah.” Ibnu Katsir berkata, “Abu Dawud adalah salah satu imam hadis yang banyak berkeliling dunia untuk menuntut ilmu. Ia menyusun dan meriwayatkan kitab As-Sunan yang menjadi rujukan para ulama.” Wafat Abu Dawud wafat di kota Basra pada hari Jumat, tanggal 16 Syawal tahun 275 Hijriah, dalam usia 73 tahun. Beliau dimakamkan di sebelah makam Sufyan Ats-Tsauri. Baca juga: Biografi Syu’aib Al-Arnauth *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Diterjemahkan dan disusun ulang oleh penulis dari web: https://www.alukah.net/culture/0/100696/ الإمام-الحافظ-أبو-داود-السجستاني/ https://ar.islamway.net/article/70511/ ترجمة-الإمام-أبو-داود


Daftar Isi Toggle NamaPertumbuhan dan perjalanan menuntut ilmuGuru-guru Murid-muridKarya-karyaAkidah Abu DawudKedudukan Abu Dawud di mata para penguasa Perkataan para ulama tentang Abu DawudWafat Nama Beliau adalah Sulaiman bin Al-Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syaddad bin Amr bin Imran Al-Azdi As-Sijistani, lebih dikenal dengan Abu Dawud. Beliau adalah salah seorang ahli hadis terkemuka dalam ilmu hadis dan ‘illah-nya (cacat hadis), serta penulis kitab Sunan Abu Dawud. Beliau lahir di Sijistan pada tahun 202 Hijriah. Abu Dawud adalah ayah dari Abu Bakar Abdullah bin Abu Dawud, salah satu hafiz terkemuka di Baghdad yang juga merupakan seorang ulama yang diakui, dengan karya terkenal berjudul Al-Mashabih. Pertumbuhan dan perjalanan menuntut ilmu Abu Dawud lahir di Sijistan pada tahun 202 Hijriah. Imam Abu Dawud tumbuh dengan kecintaan yang besar terhadap ilmu. Sejak kecil, fokusnya adalah mencari dan mencatat hadis Rasulullah ﷺ. Tanda-tanda kecerdasannya telah terlihat sejak masa kanak-kanak. Sebagai murid Imam Bukhari, beliau sangat terpengaruh oleh gurunya itu dan menempuh jalan yang sama dalam ilmu. Selain itu, beliau memiliki banyak kesamaan dengan Imam Ahmad bin Hanbal dalam sikap, penampilan, dan gaya hidupnya. Abu Dawud melakukan perjalanan untuk mencari ilmu hadis ke Syam, Mesir, Jazirah Arab, Irak, Khurasan, dan berbagai wilayah lainnya. Ibnu Khallikan berkata tentangnya, “Beliau berada pada derajat tertinggi dalam hal ibadah dan kesalehan.” Guru-guru  Seperti ulama-ulama lain pada zamannya, Abu Dawud melakukan perjalanan ke berbagai wilayah peradaban Islam untuk mencari hadis, mendengar langsung dari para guru, dan belajar dari mereka. Dalam perjalanannya, beliau bertemu banyak hafiz dan ahli hadis terkemuka. Beliau belajar dari para ulama Irak, Khurasan, Syam, dan Mesir. Guru-gurunya antara lain: Abu Umar Adh-Dharir, Muslim bin Ibrahim, Ahmad bin Hanbal, Abdullah bin Maslamah Al-Qa’nabi, Abdullah bin Raja’, Abu Al-Walid Ath-Thayalisi, Ahmad bin Yunus, Abu Ja’far An-Nufaili, Abu Tubah Al-Halabi, Sulaiman bin Harb, Yahya bin Ma’in, Musaddad bin Musarhad, Qutaibah bin Sa’id ,Sulaiman bin Harb, Ishaq bin Rahuyah, ‘Ashim bin Ali, dan banyak ulama lainnya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Tsughur, serta Khurasan. Murid-murid Karena dedikasinya terhadap ilmu hadis, Abu Dawud memiliki banyak murid yang belajar dan meriwayatkan hadis darinya. Di antara murid-murid terkenalnya adalah Abu Isa At-Tirmidzi, Abu Abdirrahman An Nasa’i, putranya sendiri (Imam Abu Bakar bin Abu Dawud), Abu ‘Awanah, Abu Bisyr Ad-Dulabi, Ali bin Hasan bin Al-Abd, Abu Usamah Muhammad bin Abdul Malik, Abu Sa’id bin Al-A’rabi, Abu Ali Al-Lu’lu’i, Abu Bakar bin Dasah, Abu Salim Muhammad bin Said Al-Jaludi, Abu Amr Ahmad bin Ali, Abu Bakr bin Abi Ad-Dunya, Abu Bisyr Ad-Dulabi, Muhammad bin Ja’far Al-Firyabi, dan lainnya. Karya-karya Abu Dawud termasuk ulama yang produktif dalam menulis, khususnya dalam bidang ilmu hadis, baik dari segi riwayat maupun dirayah. Di antara karyanya: Dala’il An-Nubuwwah (Tanda-Tanda Kenabian), Kitab At-Tafarrud fi As-Sunan (Kitab Tentang Hadis-Hadis yang Diriwayatkan Sendirian), Kitab Al-Marasil (Hadis-Hadis Mursal), Kitab Al-Masa’il (Pertanyaan-Pertanyaan yang Diajukan kepada Imam Ahmad), dan Nasikh Al-Qur’an wa Mansukhuhu (Ayat-Ayat yang Dihapus dan yang Menghapus). Menurut Az-Zarkali dalam Al-A’lam, beliau juga menulis kitab Az-Zuhd yang masih berupa manuskrip dan tersimpan di perpustakaan Qarawiyyin dengan nomor katalog (80/133), ditulis dalam naskah Andalusia. Karya lainnya termasuk Al-Ba’ts dan Tasmiyatul Ikhwah yang keduanya juga masih berupa manuskrip. Akidah Abu Dawud Abu Dawud (rahimahullah) mengikuti akidah salaf dalam berpegang teguh kepada sunah, menyerahkan segala urusan kepada dalil, dan menghindari pembahasan yang mendalam dalam ilmu kalam. Kedudukan Abu Dawud di mata para penguasa  Abu Bakr bin Jabir, seorang pelayan Abu Dawud, menceritakan bahwa ia pernah bersama Abu Dawud di Baghdad. Seusai salat Magrib, datanglah Amir Abu Ahmad Al-Muwaffaq (Putra Mahkota). Ia berkata kepada Abu Dawud bahwa ia memiliki tiga permintaan: Pertama: Agar Abu Dawud pindah ke Bashrah dan menetap di sana supaya para pelajar dapat datang belajar dan memakmurkan kota tersebut yang sebelumnya rusak akibat fitnah kelompok Zanj. Kedua: Agar Abu Dawud meriwayatkan kitab As-Sunan kepada anak-anaknya. Ketiga: Agar Abu Dawud menyediakan majelis khusus untuk anak-anak khalifah agar mereka tidak duduk bersama masyarakat umum. Abu Dawud menerima dua permintaan pertama, tetapi menolak yang ketiga. Ia berkata, “Dalam ilmu, semua orang, baik yang mulia maupun yang biasa, adalah sama.” Akhirnya, anak-anak khalifah menghadiri majelis dan duduk di tempat yang berdekatan dengan orang umum tetapi diberi tirai. Perkataan para ulama tentang Abu Dawud Abu Bakr Al-Khalili berkata, “Abu Dawud adalah imam yang unggul pada zamannya. Tidak ada yang melampaui kemahirannya dalam memahami hadis dan menyusun ilmu. Dia adalah pribadi yang wara’.” Musa bin Harun berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih baik dari Abu Dawud.” Ahmad bin Muhammad Al-Harawi berkata, “Abu Dawud adalah salah satu penjaga Islam yang unggul dalam ilmu hadis, sanad, dan ilmunya. Dia memiliki derajat kesucian, ketaatan, dan wara‘ yang tinggi.” Al-Hakim berkata, “Abu Dawud adalah imam ahli hadis di zamannya tanpa ada yang menandinginya.” Abu Ali Al-Quhistani berkata, “Abu Dawud sering disamakan dengan Ahmad bin Hanbal.” Adz-Dzahabi berkata, “Abu Dawud, selain menjadi imam dalam hadis, juga termasuk ulama besar dalam fikih. Kitabnya, As-Sunan, menunjukkan hal itu. Dia adalah salah satu murid unggulan Imam Ahmad bin Hanbal dan sering bertanya kepadanya tentang masalah fikih dan akidah.” Ibnu Katsir berkata, “Abu Dawud adalah salah satu imam hadis yang banyak berkeliling dunia untuk menuntut ilmu. Ia menyusun dan meriwayatkan kitab As-Sunan yang menjadi rujukan para ulama.” Wafat Abu Dawud wafat di kota Basra pada hari Jumat, tanggal 16 Syawal tahun 275 Hijriah, dalam usia 73 tahun. Beliau dimakamkan di sebelah makam Sufyan Ats-Tsauri. Baca juga: Biografi Syu’aib Al-Arnauth *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Diterjemahkan dan disusun ulang oleh penulis dari web: https://www.alukah.net/culture/0/100696/ الإمام-الحافظ-أبو-داود-السجستاني/ https://ar.islamway.net/article/70511/ ترجمة-الإمام-أبو-داود

Apakah Mayit Bisa Merasakan ketika Diziarahi? Syaikh Sa’ad asy-Syatsri – NasehatUlama

Pertanyaan: Ini ada pertanyaan. Saudara Abu Naif bertanya tentang mayit: “Apakah ia merasa jika ada orang yang menziarahi. Apakah ia merasa semisal jika ada yang menyebut atau mendoakannya?” Jawaban: Sebenarnya, pertanyaan yang seharusnya ditanyakan: “Apakah mayit mendapat manfaat dari ziarah orang yang menziarahinya?” “Apakah orang yang menziarahi mayit juga mendapat manfaat dari ziarahnya?” Inilah pertanyaan yang lebih penting! Inilah pertanyaan yang mengandung faidah dan manfaat. Disebutkan dalam banyak dalil bahwa ziarah kubur dapat mengingatkan pelakunya pada akhirat. Ziarah kubur juga salah satu perkara yang diperintahkan Allah kepada kaum laki-laki. Dengan demikian, kita meyakini hal tersebut. Terdapat pembahasan antara ulama syariat dalam hal yang berkaitan dengan pendengaran mayit: Apakah ia dapat mendengar orang yang menziarahinya? Apakah ia mengetahui keadaan orang yang ia tinggalkan di dunia? Mayoritas ulama berpendapat bahwa mayit tidak dapat mendengarnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala: “…dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (QS. Fathir: 22). Juga sebagaimana yang disebutkan dalam dalil-dalil lainnya. Di samping itu, ada para ulama lainnya berpendapat bahwa mayit dapat mendengar dan merasakan. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang berkaitan dengan hal itu. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apabila mayit telah diletakkan di liang lahatnya, ia dapat mendengar derap langkah alas kaki mereka.” Juga diriwayatkan dalam hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyeru para penghuni kubur. Lalu ada sebagian Sahabat beliau yang bertanya kepada beliau tentang hal itu. Nabi menjawab, “Kalian tidak lebih mendengar apa yang aku katakan daripada mereka.” Oleh sebab itu, ada segolongan ulama lain yang berpendapat bahwa keadaan-keadaan yang disebutkan dalil tentang penetapan bahwa mayit dapat mendengar, juga kami tetapkan itu. Sedangkan keadaan-keadaan lainnya tetap pada keumuman dalil yang ada dalam hal ini, yaitu mayit tidak dapat mendengar. Atas pendapat manapun itu, sebagaimana yang telah disebutkan bahwa masalah ini tidak mengandung banyak faidah. Namun justru yang lebih berfaidah adalah tingkat manfaat yang dapat diambil oleh orang yang berziarah kubur, dan tingkat manfaat yang dapat diperoleh para mayit dari ziarah orang yang menziarahinya. ==== هُنَا أَسْئِلَةٌ: الْأَخُ أَبُو نَائِفِ يَسْأَلُ عَنِ الْمَيِّتِ هَلْ يَشْعُرُ بِمَنْ يَزُورُهُ هَلْ يَشْعُرُ بِمَنْ مَثَلًا يَذْكُرُهُ أَوْ يَدْعُو لَهُ السُّؤَالُ الَّذِي يَنْبَغِي أَنْ يُسْأَلَ هَلْ يَسْتَفِيدُ الْمَيِّتُ بِزِيَارَةِ مَنْ زَارَهُ وَهَلْ مَنْ يَزُوْرُ الْمَيِّتَ يَسْتَفِيدُ مِنْ تِلْكَ الزِّيَارَةِ هَذَا هُوَ السُّؤَالُ الْمُهِمُّ هُوَ الَّذِي يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ فَائِدَةٌ وَثَمَرَةٌ وَجَاءَ فِي النُّصُوصِ بِأَنَّ زِيَارَةَ الْقُبُورِ تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ وَأَنَّ زِيَارَةَ الْقُبُورِ مِمَّا يَأْمُرُ اللَّهُ بِهِ بِالنِّسْبَةِ لِلرِّجَالِ وَبِالتَّالِي نَحْنُ نُوقِنُ بِذَلِكَ هُنَاكَ بَحْثٌ بَيْنَ عُلَمَاءِ الشَّرِيعَةِ فِيْمَا يَتَعَلَّقُ بِسَمَاعِ الْمَيِّتِ هَلْ يَسْمَعُ مَنْ يَزُورُهُ وَهَلْ يَعْلَمُ بِأَحْوَالِ مَنْ خَلْفَهُ فَالْجُمْهُورُ قَالُوا بِأَنَّهُ لَا يَسْمَعُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ وَكَمَا فِي نُصُوصٍ أُخْرَى بَيْنَمَا رَأَى آخَرُوْنَ أَنَّهُ يَسْمَعُ وَيَشْعُرُ وَقَدْ اسْتَدَلُّوْا عَلَيْهِ بِأَحَادِيثَ وَرَدَتْ فِي ذَلِكَ مِنْهَا قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وُضِعَ الْمَيِّتُ فِي لَحْدِهِ فَإِنَّهُ يَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ وَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَادَى أَهْلَ الْقَلِيبِ فَقَالَ لَهُ بَعْضُ أَصْحَابِهِ فِي ذَلِكَ فَقَالَ مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُولُ مِنْهُمْ وَلِذَا رَأَى طَائِفَةٌ بِأَنَّ الْمَوَاطِنَ الَّتِي وَرَدَ فِيهَا إِثْبَاتُ سَمَاعِ الْمَيِّتِ نُثْبِتُهُ وَيَبْقَى الْبَاقِي عَلَى الْعُمُومِ الْوَارِدِ فِي ذَلِكَ مِنْ عَدَمِ السَّمَاعِ وَعَلَى كُلٍّ فَكَمَا تَقَدَّمَ لَا يَتَرَتَّبُ عَلَى ذَلِكَ كَبِيرُ فَائِدَةٍ إِنَّمَا الْفَائِدَةُ فِي مَعْرِفَةِ مَدَى اسْتِفَادَةِ الزَّائِرِ لِلْقُبُورِ مِنْ زِيَارَتِهَا وَمَدَى اسْتِفَادَةِ الْمَقْبُورِيْنَ مِنْ زِيَارَةِ مَنْ يَزُوْرُهُم

Apakah Mayit Bisa Merasakan ketika Diziarahi? Syaikh Sa’ad asy-Syatsri – NasehatUlama

Pertanyaan: Ini ada pertanyaan. Saudara Abu Naif bertanya tentang mayit: “Apakah ia merasa jika ada orang yang menziarahi. Apakah ia merasa semisal jika ada yang menyebut atau mendoakannya?” Jawaban: Sebenarnya, pertanyaan yang seharusnya ditanyakan: “Apakah mayit mendapat manfaat dari ziarah orang yang menziarahinya?” “Apakah orang yang menziarahi mayit juga mendapat manfaat dari ziarahnya?” Inilah pertanyaan yang lebih penting! Inilah pertanyaan yang mengandung faidah dan manfaat. Disebutkan dalam banyak dalil bahwa ziarah kubur dapat mengingatkan pelakunya pada akhirat. Ziarah kubur juga salah satu perkara yang diperintahkan Allah kepada kaum laki-laki. Dengan demikian, kita meyakini hal tersebut. Terdapat pembahasan antara ulama syariat dalam hal yang berkaitan dengan pendengaran mayit: Apakah ia dapat mendengar orang yang menziarahinya? Apakah ia mengetahui keadaan orang yang ia tinggalkan di dunia? Mayoritas ulama berpendapat bahwa mayit tidak dapat mendengarnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala: “…dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (QS. Fathir: 22). Juga sebagaimana yang disebutkan dalam dalil-dalil lainnya. Di samping itu, ada para ulama lainnya berpendapat bahwa mayit dapat mendengar dan merasakan. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang berkaitan dengan hal itu. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apabila mayit telah diletakkan di liang lahatnya, ia dapat mendengar derap langkah alas kaki mereka.” Juga diriwayatkan dalam hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyeru para penghuni kubur. Lalu ada sebagian Sahabat beliau yang bertanya kepada beliau tentang hal itu. Nabi menjawab, “Kalian tidak lebih mendengar apa yang aku katakan daripada mereka.” Oleh sebab itu, ada segolongan ulama lain yang berpendapat bahwa keadaan-keadaan yang disebutkan dalil tentang penetapan bahwa mayit dapat mendengar, juga kami tetapkan itu. Sedangkan keadaan-keadaan lainnya tetap pada keumuman dalil yang ada dalam hal ini, yaitu mayit tidak dapat mendengar. Atas pendapat manapun itu, sebagaimana yang telah disebutkan bahwa masalah ini tidak mengandung banyak faidah. Namun justru yang lebih berfaidah adalah tingkat manfaat yang dapat diambil oleh orang yang berziarah kubur, dan tingkat manfaat yang dapat diperoleh para mayit dari ziarah orang yang menziarahinya. ==== هُنَا أَسْئِلَةٌ: الْأَخُ أَبُو نَائِفِ يَسْأَلُ عَنِ الْمَيِّتِ هَلْ يَشْعُرُ بِمَنْ يَزُورُهُ هَلْ يَشْعُرُ بِمَنْ مَثَلًا يَذْكُرُهُ أَوْ يَدْعُو لَهُ السُّؤَالُ الَّذِي يَنْبَغِي أَنْ يُسْأَلَ هَلْ يَسْتَفِيدُ الْمَيِّتُ بِزِيَارَةِ مَنْ زَارَهُ وَهَلْ مَنْ يَزُوْرُ الْمَيِّتَ يَسْتَفِيدُ مِنْ تِلْكَ الزِّيَارَةِ هَذَا هُوَ السُّؤَالُ الْمُهِمُّ هُوَ الَّذِي يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ فَائِدَةٌ وَثَمَرَةٌ وَجَاءَ فِي النُّصُوصِ بِأَنَّ زِيَارَةَ الْقُبُورِ تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ وَأَنَّ زِيَارَةَ الْقُبُورِ مِمَّا يَأْمُرُ اللَّهُ بِهِ بِالنِّسْبَةِ لِلرِّجَالِ وَبِالتَّالِي نَحْنُ نُوقِنُ بِذَلِكَ هُنَاكَ بَحْثٌ بَيْنَ عُلَمَاءِ الشَّرِيعَةِ فِيْمَا يَتَعَلَّقُ بِسَمَاعِ الْمَيِّتِ هَلْ يَسْمَعُ مَنْ يَزُورُهُ وَهَلْ يَعْلَمُ بِأَحْوَالِ مَنْ خَلْفَهُ فَالْجُمْهُورُ قَالُوا بِأَنَّهُ لَا يَسْمَعُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ وَكَمَا فِي نُصُوصٍ أُخْرَى بَيْنَمَا رَأَى آخَرُوْنَ أَنَّهُ يَسْمَعُ وَيَشْعُرُ وَقَدْ اسْتَدَلُّوْا عَلَيْهِ بِأَحَادِيثَ وَرَدَتْ فِي ذَلِكَ مِنْهَا قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وُضِعَ الْمَيِّتُ فِي لَحْدِهِ فَإِنَّهُ يَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ وَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَادَى أَهْلَ الْقَلِيبِ فَقَالَ لَهُ بَعْضُ أَصْحَابِهِ فِي ذَلِكَ فَقَالَ مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُولُ مِنْهُمْ وَلِذَا رَأَى طَائِفَةٌ بِأَنَّ الْمَوَاطِنَ الَّتِي وَرَدَ فِيهَا إِثْبَاتُ سَمَاعِ الْمَيِّتِ نُثْبِتُهُ وَيَبْقَى الْبَاقِي عَلَى الْعُمُومِ الْوَارِدِ فِي ذَلِكَ مِنْ عَدَمِ السَّمَاعِ وَعَلَى كُلٍّ فَكَمَا تَقَدَّمَ لَا يَتَرَتَّبُ عَلَى ذَلِكَ كَبِيرُ فَائِدَةٍ إِنَّمَا الْفَائِدَةُ فِي مَعْرِفَةِ مَدَى اسْتِفَادَةِ الزَّائِرِ لِلْقُبُورِ مِنْ زِيَارَتِهَا وَمَدَى اسْتِفَادَةِ الْمَقْبُورِيْنَ مِنْ زِيَارَةِ مَنْ يَزُوْرُهُم
Pertanyaan: Ini ada pertanyaan. Saudara Abu Naif bertanya tentang mayit: “Apakah ia merasa jika ada orang yang menziarahi. Apakah ia merasa semisal jika ada yang menyebut atau mendoakannya?” Jawaban: Sebenarnya, pertanyaan yang seharusnya ditanyakan: “Apakah mayit mendapat manfaat dari ziarah orang yang menziarahinya?” “Apakah orang yang menziarahi mayit juga mendapat manfaat dari ziarahnya?” Inilah pertanyaan yang lebih penting! Inilah pertanyaan yang mengandung faidah dan manfaat. Disebutkan dalam banyak dalil bahwa ziarah kubur dapat mengingatkan pelakunya pada akhirat. Ziarah kubur juga salah satu perkara yang diperintahkan Allah kepada kaum laki-laki. Dengan demikian, kita meyakini hal tersebut. Terdapat pembahasan antara ulama syariat dalam hal yang berkaitan dengan pendengaran mayit: Apakah ia dapat mendengar orang yang menziarahinya? Apakah ia mengetahui keadaan orang yang ia tinggalkan di dunia? Mayoritas ulama berpendapat bahwa mayit tidak dapat mendengarnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala: “…dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (QS. Fathir: 22). Juga sebagaimana yang disebutkan dalam dalil-dalil lainnya. Di samping itu, ada para ulama lainnya berpendapat bahwa mayit dapat mendengar dan merasakan. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang berkaitan dengan hal itu. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apabila mayit telah diletakkan di liang lahatnya, ia dapat mendengar derap langkah alas kaki mereka.” Juga diriwayatkan dalam hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyeru para penghuni kubur. Lalu ada sebagian Sahabat beliau yang bertanya kepada beliau tentang hal itu. Nabi menjawab, “Kalian tidak lebih mendengar apa yang aku katakan daripada mereka.” Oleh sebab itu, ada segolongan ulama lain yang berpendapat bahwa keadaan-keadaan yang disebutkan dalil tentang penetapan bahwa mayit dapat mendengar, juga kami tetapkan itu. Sedangkan keadaan-keadaan lainnya tetap pada keumuman dalil yang ada dalam hal ini, yaitu mayit tidak dapat mendengar. Atas pendapat manapun itu, sebagaimana yang telah disebutkan bahwa masalah ini tidak mengandung banyak faidah. Namun justru yang lebih berfaidah adalah tingkat manfaat yang dapat diambil oleh orang yang berziarah kubur, dan tingkat manfaat yang dapat diperoleh para mayit dari ziarah orang yang menziarahinya. ==== هُنَا أَسْئِلَةٌ: الْأَخُ أَبُو نَائِفِ يَسْأَلُ عَنِ الْمَيِّتِ هَلْ يَشْعُرُ بِمَنْ يَزُورُهُ هَلْ يَشْعُرُ بِمَنْ مَثَلًا يَذْكُرُهُ أَوْ يَدْعُو لَهُ السُّؤَالُ الَّذِي يَنْبَغِي أَنْ يُسْأَلَ هَلْ يَسْتَفِيدُ الْمَيِّتُ بِزِيَارَةِ مَنْ زَارَهُ وَهَلْ مَنْ يَزُوْرُ الْمَيِّتَ يَسْتَفِيدُ مِنْ تِلْكَ الزِّيَارَةِ هَذَا هُوَ السُّؤَالُ الْمُهِمُّ هُوَ الَّذِي يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ فَائِدَةٌ وَثَمَرَةٌ وَجَاءَ فِي النُّصُوصِ بِأَنَّ زِيَارَةَ الْقُبُورِ تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ وَأَنَّ زِيَارَةَ الْقُبُورِ مِمَّا يَأْمُرُ اللَّهُ بِهِ بِالنِّسْبَةِ لِلرِّجَالِ وَبِالتَّالِي نَحْنُ نُوقِنُ بِذَلِكَ هُنَاكَ بَحْثٌ بَيْنَ عُلَمَاءِ الشَّرِيعَةِ فِيْمَا يَتَعَلَّقُ بِسَمَاعِ الْمَيِّتِ هَلْ يَسْمَعُ مَنْ يَزُورُهُ وَهَلْ يَعْلَمُ بِأَحْوَالِ مَنْ خَلْفَهُ فَالْجُمْهُورُ قَالُوا بِأَنَّهُ لَا يَسْمَعُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ وَكَمَا فِي نُصُوصٍ أُخْرَى بَيْنَمَا رَأَى آخَرُوْنَ أَنَّهُ يَسْمَعُ وَيَشْعُرُ وَقَدْ اسْتَدَلُّوْا عَلَيْهِ بِأَحَادِيثَ وَرَدَتْ فِي ذَلِكَ مِنْهَا قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وُضِعَ الْمَيِّتُ فِي لَحْدِهِ فَإِنَّهُ يَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ وَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَادَى أَهْلَ الْقَلِيبِ فَقَالَ لَهُ بَعْضُ أَصْحَابِهِ فِي ذَلِكَ فَقَالَ مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُولُ مِنْهُمْ وَلِذَا رَأَى طَائِفَةٌ بِأَنَّ الْمَوَاطِنَ الَّتِي وَرَدَ فِيهَا إِثْبَاتُ سَمَاعِ الْمَيِّتِ نُثْبِتُهُ وَيَبْقَى الْبَاقِي عَلَى الْعُمُومِ الْوَارِدِ فِي ذَلِكَ مِنْ عَدَمِ السَّمَاعِ وَعَلَى كُلٍّ فَكَمَا تَقَدَّمَ لَا يَتَرَتَّبُ عَلَى ذَلِكَ كَبِيرُ فَائِدَةٍ إِنَّمَا الْفَائِدَةُ فِي مَعْرِفَةِ مَدَى اسْتِفَادَةِ الزَّائِرِ لِلْقُبُورِ مِنْ زِيَارَتِهَا وَمَدَى اسْتِفَادَةِ الْمَقْبُورِيْنَ مِنْ زِيَارَةِ مَنْ يَزُوْرُهُم


Pertanyaan: Ini ada pertanyaan. Saudara Abu Naif bertanya tentang mayit: “Apakah ia merasa jika ada orang yang menziarahi. Apakah ia merasa semisal jika ada yang menyebut atau mendoakannya?” Jawaban: Sebenarnya, pertanyaan yang seharusnya ditanyakan: “Apakah mayit mendapat manfaat dari ziarah orang yang menziarahinya?” “Apakah orang yang menziarahi mayit juga mendapat manfaat dari ziarahnya?” Inilah pertanyaan yang lebih penting! Inilah pertanyaan yang mengandung faidah dan manfaat. Disebutkan dalam banyak dalil bahwa ziarah kubur dapat mengingatkan pelakunya pada akhirat. Ziarah kubur juga salah satu perkara yang diperintahkan Allah kepada kaum laki-laki. Dengan demikian, kita meyakini hal tersebut. Terdapat pembahasan antara ulama syariat dalam hal yang berkaitan dengan pendengaran mayit: Apakah ia dapat mendengar orang yang menziarahinya? Apakah ia mengetahui keadaan orang yang ia tinggalkan di dunia? Mayoritas ulama berpendapat bahwa mayit tidak dapat mendengarnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala: “…dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (QS. Fathir: 22). Juga sebagaimana yang disebutkan dalam dalil-dalil lainnya. Di samping itu, ada para ulama lainnya berpendapat bahwa mayit dapat mendengar dan merasakan. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang berkaitan dengan hal itu. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apabila mayit telah diletakkan di liang lahatnya, ia dapat mendengar derap langkah alas kaki mereka.” Juga diriwayatkan dalam hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyeru para penghuni kubur. Lalu ada sebagian Sahabat beliau yang bertanya kepada beliau tentang hal itu. Nabi menjawab, “Kalian tidak lebih mendengar apa yang aku katakan daripada mereka.” Oleh sebab itu, ada segolongan ulama lain yang berpendapat bahwa keadaan-keadaan yang disebutkan dalil tentang penetapan bahwa mayit dapat mendengar, juga kami tetapkan itu. Sedangkan keadaan-keadaan lainnya tetap pada keumuman dalil yang ada dalam hal ini, yaitu mayit tidak dapat mendengar. Atas pendapat manapun itu, sebagaimana yang telah disebutkan bahwa masalah ini tidak mengandung banyak faidah. Namun justru yang lebih berfaidah adalah tingkat manfaat yang dapat diambil oleh orang yang berziarah kubur, dan tingkat manfaat yang dapat diperoleh para mayit dari ziarah orang yang menziarahinya. ==== هُنَا أَسْئِلَةٌ: الْأَخُ أَبُو نَائِفِ يَسْأَلُ عَنِ الْمَيِّتِ هَلْ يَشْعُرُ بِمَنْ يَزُورُهُ هَلْ يَشْعُرُ بِمَنْ مَثَلًا يَذْكُرُهُ أَوْ يَدْعُو لَهُ السُّؤَالُ الَّذِي يَنْبَغِي أَنْ يُسْأَلَ هَلْ يَسْتَفِيدُ الْمَيِّتُ بِزِيَارَةِ مَنْ زَارَهُ وَهَلْ مَنْ يَزُوْرُ الْمَيِّتَ يَسْتَفِيدُ مِنْ تِلْكَ الزِّيَارَةِ هَذَا هُوَ السُّؤَالُ الْمُهِمُّ هُوَ الَّذِي يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ فَائِدَةٌ وَثَمَرَةٌ وَجَاءَ فِي النُّصُوصِ بِأَنَّ زِيَارَةَ الْقُبُورِ تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ وَأَنَّ زِيَارَةَ الْقُبُورِ مِمَّا يَأْمُرُ اللَّهُ بِهِ بِالنِّسْبَةِ لِلرِّجَالِ وَبِالتَّالِي نَحْنُ نُوقِنُ بِذَلِكَ هُنَاكَ بَحْثٌ بَيْنَ عُلَمَاءِ الشَّرِيعَةِ فِيْمَا يَتَعَلَّقُ بِسَمَاعِ الْمَيِّتِ هَلْ يَسْمَعُ مَنْ يَزُورُهُ وَهَلْ يَعْلَمُ بِأَحْوَالِ مَنْ خَلْفَهُ فَالْجُمْهُورُ قَالُوا بِأَنَّهُ لَا يَسْمَعُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ وَكَمَا فِي نُصُوصٍ أُخْرَى بَيْنَمَا رَأَى آخَرُوْنَ أَنَّهُ يَسْمَعُ وَيَشْعُرُ وَقَدْ اسْتَدَلُّوْا عَلَيْهِ بِأَحَادِيثَ وَرَدَتْ فِي ذَلِكَ مِنْهَا قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وُضِعَ الْمَيِّتُ فِي لَحْدِهِ فَإِنَّهُ يَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ وَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَادَى أَهْلَ الْقَلِيبِ فَقَالَ لَهُ بَعْضُ أَصْحَابِهِ فِي ذَلِكَ فَقَالَ مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُولُ مِنْهُمْ وَلِذَا رَأَى طَائِفَةٌ بِأَنَّ الْمَوَاطِنَ الَّتِي وَرَدَ فِيهَا إِثْبَاتُ سَمَاعِ الْمَيِّتِ نُثْبِتُهُ وَيَبْقَى الْبَاقِي عَلَى الْعُمُومِ الْوَارِدِ فِي ذَلِكَ مِنْ عَدَمِ السَّمَاعِ وَعَلَى كُلٍّ فَكَمَا تَقَدَّمَ لَا يَتَرَتَّبُ عَلَى ذَلِكَ كَبِيرُ فَائِدَةٍ إِنَّمَا الْفَائِدَةُ فِي مَعْرِفَةِ مَدَى اسْتِفَادَةِ الزَّائِرِ لِلْقُبُورِ مِنْ زِيَارَتِهَا وَمَدَى اسْتِفَادَةِ الْمَقْبُورِيْنَ مِنْ زِيَارَةِ مَنْ يَزُوْرُهُم

Panduan Menikah dengan Pasangan yang Sekufu (Bag. 3)

Kriteria al-kafa’ah yang dipertimbangkan dalam syariat Hadis kedua dan ketiga menunjukkan bahwa nasab (keturunan) dan juga pekerjaan bukanlah kriteria yang dipertimbangkan untuk menentukan al-kafa’ah. Adapun dalil-dalil syariat yang lain menunjukkan bahwa kriteria utama yang perlu dipertimbangkan adalah al-kafa’ah dalam masalah agama dan akhlak seseorang, bukan kriteria yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13) Allah Ta’ala juga berfirman, وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاء اللّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُم بِذُنُوبِكُم بَلْ أَنتُم بَشَرٌ مِّمَّنْ خَلَقَ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ وَلِلّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ “Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” Katakanlah, “Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya dan (Allah) mengampuni siapa saja yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (QS. Al-Maidah: 18) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkhotbah, يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ  ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، إِلَّا بِالتَّقْوَى أَبَلَّغْتُ “Wahai manusia, ketahuilah bahwa Rabb (Tuhan) kalian adalah satu, dan ayah kalian (Adam) juga satu. Ketahuilah, tidak ada keutamaan orang Arab atas orang non-Arab, dan tidak ada keutamaan orang non-Arab atas orang Arab. Tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, atau orang berkulit hitam atas orang berkulit merah, kecuali karena ketakwaan. Apakah aku telah menyampaikan (pesan ini)?” (HR. Ahmad, 38: 474; sanadnya dinilai sahih oleh Al-Arnauth) Ayat dan hadis ini menunjukkan bahwa dalam timbangan dan hukum Islam, seluruh manusia adalah satu jenis (satu umat), tidak ada yang lebih utama di antara mereka kecuali dengan sebab ketakwaan. Sesungguhnya dalam hukum Allah Ta’ala dan syariat-Nya, kaum muslimin adalah saudara. Nasab, kehormatan (kedudukan) keluarga, dan warna kulit tidak menjadikan seseorang lebih utama dari yang lainnya. Juga terdapat hadis-hadis lain yang menekankan al-kafa’ah dalam hal agama dan akhlak seseorang. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ “Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Bukhari no. 5090, Muslim no. 1466, Abu Dawud no. 2047, An-Nasa’i no. 6816, Ibnu Majah no. 1858, dan Ahmad 15: 319) Dalam kitab Shahih-nya, Imam Bukhari meletakkan hadis di atas di bawah judul bab, بَابُ الأَكْفَاءِ فِي الدِّينِ “Bab sekufu dalam agama”; yang menunjukkan isyarat dari beliau bahwa beliau menguatkan pendapat ulama yang menyatakan bahwa al-kafa’ah yang dipertimbangkan dalam syariat adalah al-kafa’ah dalam hal agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ، فَأَنْكِحُوهُ، إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ “Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika kalian tidak melakukannya, akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 7: 132) Demikian pula dalam kisah istri Tsabit bin Qais yang ingin menggugat cerai suaminya. Istri dari Tsabit bin Qais mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ، مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلاَ دِينٍ، وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الكُفْرَ فِي الإِسْلاَمِ “Ya Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit bin Qais dalam hal akhlak dan agama, tetapi aku tidak suka kekufuran dalam Islam.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ “Apakah kamu bersedia mengembalikan kebunnya?” Dia menjawab, “Ya.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada suaminya, Tsabit, اقْبَلِ الحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً “Terimalah kebun itu dan ceraikan dia dengan talak satu.” (HR. Bukhari no. 5273) Setelah Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyebutkan sejumlah riwayat yang menunjukkan anjuran untuk menikahi wanita yang salehah, beliau berkata, هذه الآثار تدل على أن الكفاءة في الدين أولى ما اعتبر واعتمد عليه، وبالله التوفيق “Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa al-kafa’ah dalam agama adalah yang paling utama untuk dipertimbangkan dan dijadikan pegangan. Hanya kepada Allah-lah kita meminta taufik.” [1] Oleh karena itu, pendapat yang benar dalam masalah ini adalah seperti yang dikatakan oleh Imam Malik, yang juga merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan dipilih oleh Ibnu Abdil Barr, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani, serta Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahumullah. Pendapat tersebut menyatakan bahwa yang dipertimbangkan dalam al-kafa’ah adalah agama, dalam arti kesalehan dan ketakwaan, bukan nasab. Setiap muslim dianggap setara (sekufu) dengan muslimah, kecuali jika dia adalah seorang fasik. Sebab, seorang fasik dikhawatirkan akan berbuat zalim kepada istrinya karena kefasikannya, sehingga dia tidak dianggap sekufu dengan wanita yang menjaga kehormatan (wanita salehah). [2] Demikianlah pembahasan ini, semoga dapat menjadi panduan bagi kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. [3] [Selesai] Kembali ke bagian 2 *** @5 Jumadil akhir 1446/ 7 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] At-Tamhid, 19: 168. [2] Bidayatul Mujtahid, 3: 31; Al-Inshaf, 8: 108; At-Tamhid, 19: 168; Zaadul Ma’ad, 5: 159. [3] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 277-286) dan Taudhiihul Ahkaam min Buluughil Maraam (5: 307-316). Kutipan-kutipan dalam serial tulisan ini, sebagiannya adalah melalui perantaraan dua kitab tersebut.

Panduan Menikah dengan Pasangan yang Sekufu (Bag. 3)

Kriteria al-kafa’ah yang dipertimbangkan dalam syariat Hadis kedua dan ketiga menunjukkan bahwa nasab (keturunan) dan juga pekerjaan bukanlah kriteria yang dipertimbangkan untuk menentukan al-kafa’ah. Adapun dalil-dalil syariat yang lain menunjukkan bahwa kriteria utama yang perlu dipertimbangkan adalah al-kafa’ah dalam masalah agama dan akhlak seseorang, bukan kriteria yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13) Allah Ta’ala juga berfirman, وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاء اللّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُم بِذُنُوبِكُم بَلْ أَنتُم بَشَرٌ مِّمَّنْ خَلَقَ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ وَلِلّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ “Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” Katakanlah, “Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya dan (Allah) mengampuni siapa saja yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (QS. Al-Maidah: 18) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkhotbah, يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ  ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، إِلَّا بِالتَّقْوَى أَبَلَّغْتُ “Wahai manusia, ketahuilah bahwa Rabb (Tuhan) kalian adalah satu, dan ayah kalian (Adam) juga satu. Ketahuilah, tidak ada keutamaan orang Arab atas orang non-Arab, dan tidak ada keutamaan orang non-Arab atas orang Arab. Tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, atau orang berkulit hitam atas orang berkulit merah, kecuali karena ketakwaan. Apakah aku telah menyampaikan (pesan ini)?” (HR. Ahmad, 38: 474; sanadnya dinilai sahih oleh Al-Arnauth) Ayat dan hadis ini menunjukkan bahwa dalam timbangan dan hukum Islam, seluruh manusia adalah satu jenis (satu umat), tidak ada yang lebih utama di antara mereka kecuali dengan sebab ketakwaan. Sesungguhnya dalam hukum Allah Ta’ala dan syariat-Nya, kaum muslimin adalah saudara. Nasab, kehormatan (kedudukan) keluarga, dan warna kulit tidak menjadikan seseorang lebih utama dari yang lainnya. Juga terdapat hadis-hadis lain yang menekankan al-kafa’ah dalam hal agama dan akhlak seseorang. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ “Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Bukhari no. 5090, Muslim no. 1466, Abu Dawud no. 2047, An-Nasa’i no. 6816, Ibnu Majah no. 1858, dan Ahmad 15: 319) Dalam kitab Shahih-nya, Imam Bukhari meletakkan hadis di atas di bawah judul bab, بَابُ الأَكْفَاءِ فِي الدِّينِ “Bab sekufu dalam agama”; yang menunjukkan isyarat dari beliau bahwa beliau menguatkan pendapat ulama yang menyatakan bahwa al-kafa’ah yang dipertimbangkan dalam syariat adalah al-kafa’ah dalam hal agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ، فَأَنْكِحُوهُ، إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ “Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika kalian tidak melakukannya, akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 7: 132) Demikian pula dalam kisah istri Tsabit bin Qais yang ingin menggugat cerai suaminya. Istri dari Tsabit bin Qais mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ، مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلاَ دِينٍ، وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الكُفْرَ فِي الإِسْلاَمِ “Ya Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit bin Qais dalam hal akhlak dan agama, tetapi aku tidak suka kekufuran dalam Islam.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ “Apakah kamu bersedia mengembalikan kebunnya?” Dia menjawab, “Ya.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada suaminya, Tsabit, اقْبَلِ الحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً “Terimalah kebun itu dan ceraikan dia dengan talak satu.” (HR. Bukhari no. 5273) Setelah Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyebutkan sejumlah riwayat yang menunjukkan anjuran untuk menikahi wanita yang salehah, beliau berkata, هذه الآثار تدل على أن الكفاءة في الدين أولى ما اعتبر واعتمد عليه، وبالله التوفيق “Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa al-kafa’ah dalam agama adalah yang paling utama untuk dipertimbangkan dan dijadikan pegangan. Hanya kepada Allah-lah kita meminta taufik.” [1] Oleh karena itu, pendapat yang benar dalam masalah ini adalah seperti yang dikatakan oleh Imam Malik, yang juga merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan dipilih oleh Ibnu Abdil Barr, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani, serta Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahumullah. Pendapat tersebut menyatakan bahwa yang dipertimbangkan dalam al-kafa’ah adalah agama, dalam arti kesalehan dan ketakwaan, bukan nasab. Setiap muslim dianggap setara (sekufu) dengan muslimah, kecuali jika dia adalah seorang fasik. Sebab, seorang fasik dikhawatirkan akan berbuat zalim kepada istrinya karena kefasikannya, sehingga dia tidak dianggap sekufu dengan wanita yang menjaga kehormatan (wanita salehah). [2] Demikianlah pembahasan ini, semoga dapat menjadi panduan bagi kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. [3] [Selesai] Kembali ke bagian 2 *** @5 Jumadil akhir 1446/ 7 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] At-Tamhid, 19: 168. [2] Bidayatul Mujtahid, 3: 31; Al-Inshaf, 8: 108; At-Tamhid, 19: 168; Zaadul Ma’ad, 5: 159. [3] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 277-286) dan Taudhiihul Ahkaam min Buluughil Maraam (5: 307-316). Kutipan-kutipan dalam serial tulisan ini, sebagiannya adalah melalui perantaraan dua kitab tersebut.
Kriteria al-kafa’ah yang dipertimbangkan dalam syariat Hadis kedua dan ketiga menunjukkan bahwa nasab (keturunan) dan juga pekerjaan bukanlah kriteria yang dipertimbangkan untuk menentukan al-kafa’ah. Adapun dalil-dalil syariat yang lain menunjukkan bahwa kriteria utama yang perlu dipertimbangkan adalah al-kafa’ah dalam masalah agama dan akhlak seseorang, bukan kriteria yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13) Allah Ta’ala juga berfirman, وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاء اللّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُم بِذُنُوبِكُم بَلْ أَنتُم بَشَرٌ مِّمَّنْ خَلَقَ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ وَلِلّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ “Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” Katakanlah, “Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya dan (Allah) mengampuni siapa saja yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (QS. Al-Maidah: 18) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkhotbah, يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ  ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، إِلَّا بِالتَّقْوَى أَبَلَّغْتُ “Wahai manusia, ketahuilah bahwa Rabb (Tuhan) kalian adalah satu, dan ayah kalian (Adam) juga satu. Ketahuilah, tidak ada keutamaan orang Arab atas orang non-Arab, dan tidak ada keutamaan orang non-Arab atas orang Arab. Tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, atau orang berkulit hitam atas orang berkulit merah, kecuali karena ketakwaan. Apakah aku telah menyampaikan (pesan ini)?” (HR. Ahmad, 38: 474; sanadnya dinilai sahih oleh Al-Arnauth) Ayat dan hadis ini menunjukkan bahwa dalam timbangan dan hukum Islam, seluruh manusia adalah satu jenis (satu umat), tidak ada yang lebih utama di antara mereka kecuali dengan sebab ketakwaan. Sesungguhnya dalam hukum Allah Ta’ala dan syariat-Nya, kaum muslimin adalah saudara. Nasab, kehormatan (kedudukan) keluarga, dan warna kulit tidak menjadikan seseorang lebih utama dari yang lainnya. Juga terdapat hadis-hadis lain yang menekankan al-kafa’ah dalam hal agama dan akhlak seseorang. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ “Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Bukhari no. 5090, Muslim no. 1466, Abu Dawud no. 2047, An-Nasa’i no. 6816, Ibnu Majah no. 1858, dan Ahmad 15: 319) Dalam kitab Shahih-nya, Imam Bukhari meletakkan hadis di atas di bawah judul bab, بَابُ الأَكْفَاءِ فِي الدِّينِ “Bab sekufu dalam agama”; yang menunjukkan isyarat dari beliau bahwa beliau menguatkan pendapat ulama yang menyatakan bahwa al-kafa’ah yang dipertimbangkan dalam syariat adalah al-kafa’ah dalam hal agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ، فَأَنْكِحُوهُ، إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ “Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika kalian tidak melakukannya, akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 7: 132) Demikian pula dalam kisah istri Tsabit bin Qais yang ingin menggugat cerai suaminya. Istri dari Tsabit bin Qais mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ، مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلاَ دِينٍ، وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الكُفْرَ فِي الإِسْلاَمِ “Ya Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit bin Qais dalam hal akhlak dan agama, tetapi aku tidak suka kekufuran dalam Islam.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ “Apakah kamu bersedia mengembalikan kebunnya?” Dia menjawab, “Ya.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada suaminya, Tsabit, اقْبَلِ الحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً “Terimalah kebun itu dan ceraikan dia dengan talak satu.” (HR. Bukhari no. 5273) Setelah Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyebutkan sejumlah riwayat yang menunjukkan anjuran untuk menikahi wanita yang salehah, beliau berkata, هذه الآثار تدل على أن الكفاءة في الدين أولى ما اعتبر واعتمد عليه، وبالله التوفيق “Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa al-kafa’ah dalam agama adalah yang paling utama untuk dipertimbangkan dan dijadikan pegangan. Hanya kepada Allah-lah kita meminta taufik.” [1] Oleh karena itu, pendapat yang benar dalam masalah ini adalah seperti yang dikatakan oleh Imam Malik, yang juga merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan dipilih oleh Ibnu Abdil Barr, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani, serta Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahumullah. Pendapat tersebut menyatakan bahwa yang dipertimbangkan dalam al-kafa’ah adalah agama, dalam arti kesalehan dan ketakwaan, bukan nasab. Setiap muslim dianggap setara (sekufu) dengan muslimah, kecuali jika dia adalah seorang fasik. Sebab, seorang fasik dikhawatirkan akan berbuat zalim kepada istrinya karena kefasikannya, sehingga dia tidak dianggap sekufu dengan wanita yang menjaga kehormatan (wanita salehah). [2] Demikianlah pembahasan ini, semoga dapat menjadi panduan bagi kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. [3] [Selesai] Kembali ke bagian 2 *** @5 Jumadil akhir 1446/ 7 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] At-Tamhid, 19: 168. [2] Bidayatul Mujtahid, 3: 31; Al-Inshaf, 8: 108; At-Tamhid, 19: 168; Zaadul Ma’ad, 5: 159. [3] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 277-286) dan Taudhiihul Ahkaam min Buluughil Maraam (5: 307-316). Kutipan-kutipan dalam serial tulisan ini, sebagiannya adalah melalui perantaraan dua kitab tersebut.


Kriteria al-kafa’ah yang dipertimbangkan dalam syariat Hadis kedua dan ketiga menunjukkan bahwa nasab (keturunan) dan juga pekerjaan bukanlah kriteria yang dipertimbangkan untuk menentukan al-kafa’ah. Adapun dalil-dalil syariat yang lain menunjukkan bahwa kriteria utama yang perlu dipertimbangkan adalah al-kafa’ah dalam masalah agama dan akhlak seseorang, bukan kriteria yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13) Allah Ta’ala juga berfirman, وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاء اللّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُم بِذُنُوبِكُم بَلْ أَنتُم بَشَرٌ مِّمَّنْ خَلَقَ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ وَلِلّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ “Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” Katakanlah, “Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya dan (Allah) mengampuni siapa saja yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (QS. Al-Maidah: 18) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkhotbah, يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ  ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، إِلَّا بِالتَّقْوَى أَبَلَّغْتُ “Wahai manusia, ketahuilah bahwa Rabb (Tuhan) kalian adalah satu, dan ayah kalian (Adam) juga satu. Ketahuilah, tidak ada keutamaan orang Arab atas orang non-Arab, dan tidak ada keutamaan orang non-Arab atas orang Arab. Tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, atau orang berkulit hitam atas orang berkulit merah, kecuali karena ketakwaan. Apakah aku telah menyampaikan (pesan ini)?” (HR. Ahmad, 38: 474; sanadnya dinilai sahih oleh Al-Arnauth) Ayat dan hadis ini menunjukkan bahwa dalam timbangan dan hukum Islam, seluruh manusia adalah satu jenis (satu umat), tidak ada yang lebih utama di antara mereka kecuali dengan sebab ketakwaan. Sesungguhnya dalam hukum Allah Ta’ala dan syariat-Nya, kaum muslimin adalah saudara. Nasab, kehormatan (kedudukan) keluarga, dan warna kulit tidak menjadikan seseorang lebih utama dari yang lainnya. Juga terdapat hadis-hadis lain yang menekankan al-kafa’ah dalam hal agama dan akhlak seseorang. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ “Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Bukhari no. 5090, Muslim no. 1466, Abu Dawud no. 2047, An-Nasa’i no. 6816, Ibnu Majah no. 1858, dan Ahmad 15: 319) Dalam kitab Shahih-nya, Imam Bukhari meletakkan hadis di atas di bawah judul bab, بَابُ الأَكْفَاءِ فِي الدِّينِ “Bab sekufu dalam agama”; yang menunjukkan isyarat dari beliau bahwa beliau menguatkan pendapat ulama yang menyatakan bahwa al-kafa’ah yang dipertimbangkan dalam syariat adalah al-kafa’ah dalam hal agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ، فَأَنْكِحُوهُ، إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ “Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika kalian tidak melakukannya, akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 7: 132) Demikian pula dalam kisah istri Tsabit bin Qais yang ingin menggugat cerai suaminya. Istri dari Tsabit bin Qais mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ، مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلاَ دِينٍ، وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الكُفْرَ فِي الإِسْلاَمِ “Ya Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit bin Qais dalam hal akhlak dan agama, tetapi aku tidak suka kekufuran dalam Islam.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ “Apakah kamu bersedia mengembalikan kebunnya?” Dia menjawab, “Ya.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada suaminya, Tsabit, اقْبَلِ الحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً “Terimalah kebun itu dan ceraikan dia dengan talak satu.” (HR. Bukhari no. 5273) Setelah Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyebutkan sejumlah riwayat yang menunjukkan anjuran untuk menikahi wanita yang salehah, beliau berkata, هذه الآثار تدل على أن الكفاءة في الدين أولى ما اعتبر واعتمد عليه، وبالله التوفيق “Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa al-kafa’ah dalam agama adalah yang paling utama untuk dipertimbangkan dan dijadikan pegangan. Hanya kepada Allah-lah kita meminta taufik.” [1] Oleh karena itu, pendapat yang benar dalam masalah ini adalah seperti yang dikatakan oleh Imam Malik, yang juga merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan dipilih oleh Ibnu Abdil Barr, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani, serta Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahumullah. Pendapat tersebut menyatakan bahwa yang dipertimbangkan dalam al-kafa’ah adalah agama, dalam arti kesalehan dan ketakwaan, bukan nasab. Setiap muslim dianggap setara (sekufu) dengan muslimah, kecuali jika dia adalah seorang fasik. Sebab, seorang fasik dikhawatirkan akan berbuat zalim kepada istrinya karena kefasikannya, sehingga dia tidak dianggap sekufu dengan wanita yang menjaga kehormatan (wanita salehah). [2] Demikianlah pembahasan ini, semoga dapat menjadi panduan bagi kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. [3] [Selesai] Kembali ke bagian 2 *** @5 Jumadil akhir 1446/ 7 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] At-Tamhid, 19: 168. [2] Bidayatul Mujtahid, 3: 31; Al-Inshaf, 8: 108; At-Tamhid, 19: 168; Zaadul Ma’ad, 5: 159. [3] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 277-286) dan Taudhiihul Ahkaam min Buluughil Maraam (5: 307-316). Kutipan-kutipan dalam serial tulisan ini, sebagiannya adalah melalui perantaraan dua kitab tersebut.

Bolehkah Salat sambil Duduk? Inilah Beberapa Batasan Bolehnya Salat sambil Duduk

Ketika kita salat di masjid, terkadang kita jumpai beberapa jemaah salat yang tidak salat sambil berdiri. Sebagian di antaranya ada yang salat sambil duduk, ada yang duduk di lantai, ada juga yang membawa kursi sendiri, ada juga masjid yang menyediakan kursi bagi orang-orang yang salat sambil duduk. Biasanya, para jemaah yang salat sambil duduk tersebut merupakan orang-orang lanjut usia yang kesulitan untuk berdiri dan semisalnya. Akan tetapi, terkadang dijumpai juga ada orang yang salat sambil duduk, tetapi ia jalan menuju masjid dengan normal. Mungkin juga dijumpai orang yang salat sambil duduk walaupun masih muda dan sehat. Lalu, bagaimana batasan untuk boleh salat sambil duduk atau tidak berdiri. Sebelum kita membahas batasan duduk ketika salat, perlu kita ketahui terlebih dahulu hukum berdiri ketika salat fardu. Para ulama menyatakan bahwa berdiri dalam salat merupakan salah satu rukun salat. Dalil hal tersebut adalah firman Allah Ta’ala, وَقُومُوا لِلَّهِ قَنِتِينَ “Berdirilah (dalam salat) kepada Allah dengan khusyuk dan ketundukan.” (QS. Al-Baqarah: 238) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ “Salatlah sambil berdiri! Jika engkau tidak mampu, maka (salatlah) sambil duduk. Jika engkau tidak mampu, maka (salatlah) sambil berbaring.” (HR. Bukhari) Oleh karena itu, wajib bagi seseorang yang mampu berdiri untuk salat sambil berdiri. Ketika seseorang mampu berdiri ketika salat fardu, tetapi ia malah salat sambil duduk, maka tidaklah sah salatnya karena ada rukun yang ditinggalkan. Akan tetapi, ketika seseorang tidak mampu untuk berdiri, maka dibolehkan salat dalam keadaan sesuai dengan kemampuannya. Sesuai dengan hadis yang sudah disebutkan di atas dan juga firman Allah Ta’ala, وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ “Dan (Allah) tidak menjadikan kesulitan bagi kalian dalam agama.” (QS. Al-Hajj: 78) Lalu, apa saja yang bisa mendapatkan uzur utuk tidak salat sambil berdiri karena tidak mampu? Syekh Shalih Al-Fauzan menjelaskan, فإن لم يقدر على القيام لمرض صلى على حسب حاله قاعدًا أو على جنب، ومثل  لمريض الخائف والعريان، ومن يحتاج للجلوس أو الإضطجاع لمداواة تتطلب عدم القيام، وكذلك من كان لا يستطيع القيام لقصرِ سَقف فوقه، ولا يستطيع الخروج “Maka, jika orang yang sakit tidak mampu untuk berdiri, salatlah sesuai dengan keadaannya, sambil duduk maupun sambil berbaring. Juga, semisal orang yang sakit adalah orang yang takut atau telanjang dan orang-orang yang memerlukan untuk duduk atau berbaring dikarenakan keadaan yang mengharuskan untuk tidak bisa berdiri. Begitu juga, orang yang tidak mampu untuk berdiri karena rendahnya atap dan ia tidak bisa keluar dari ruangan tersebut.” Dari penjelasan Syekh di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tidak mampu yang dimaksud adalah dalam hal umum yang tidak memungkinkan untuk berdiri. Tidak hanya karena sakit saja, tetapi juga bisa karena hal lain seperti terjebak di tempat yang sempit sehingga tidak mampu berdiri, semisal terjebak di reruntuhan bangunan ketika terjadi bencana gempa. Bisa juga tidak mampu berdiri karena berlindung dari cuaca ekstrem dan tempat perlindungannya tidak memungkinkan untuk berdiri dan semisalnya. Setelah kita ketahui apa yang dimaksud dengan tidak mampu, selanjutnya kita perlu juga ketahui batasan tidak mampu itu seperti apa. Para ulama menjelaskan batasan tidak mampu adalah إذا لم يستطع أن يقوم لدُنياه , فليصل جالسا “Jika ia tidak mampu untuk berdiri untuk perkara dunia, maka salat sambil duduk.” Ini merupakan salah satu kaidah simpel yang bisa diikuti apakah kita termasuk yang punya uzur untuk salat sambil duduk atau tidak? Syekh ‘Utsaimin juga menjelaskan bahwa batasan seseorang dianggap tidak mampu untuk berdiri, الضابط للمشقة : ما زال به الخشوع ؛ والخشوع هو : حضور القلب والطمأنينة “Batasannya (tidak salat sambil berdiri) adalah kesusahan yang menghilangkan kekhusyukan. Khusyuk adalah hadirnya hati dan ketenangan.” Maka dari itu, seseorang yang boleh tidak salat sambil berdiri adalah orang yang memang tidak mampu berdiri atau kesulitan untuk berdiri sehingga jika ia berdiri, maka akan hilanglah kekhusyukannya ketika salat. Hal tersebut bisa karena rasa sakit atau juga kekhawatiran penyakitnya bertambah parah ketika ia berdiri dan semisalnya. Lalu, bagaimana jika seseorang mampu berdiri, tetapi tidak mampu berdiri lama? Contohnya ada seseorang yang hanya bisa berdiri selama satu rakaat saja lalu di rakaat setelahnya ia tidak bisa bangkit lagi untuk berdiri. Syekh Ibnu Baz pernah ditanya tentang orang yang berdiri ketika salat tapi ia menyempurnakan salatnya sambil duduk, beliau rahimahullahu menjawab, إن كانت نافلة كسنة الضحى والرواتب والوتر فلا بأس، أما الفريضة فلا بد من القدرة، إذا كانت تقدر يلزمها ولا تصح الصلاة مع الجلوس وهي قادرة، أما إذا كانت عاجزة في الركعة الأولى تقوى وفي الركعة الأخيرة ما تقدر تقوم فلا حرج عليها، إذا كان عليها مشقة كبيرة لا حرج عليها “Jika itu salat sunah seperti salat Duha, rawatib, dan salat witir, maka tidak mengapa. Adapun untuk salat fardu, maka harus sesuai kemampuan. Jika ia mampu terus berdiri, maka tidaklah sah salatnya sambil duduk, padahal ia mampu. Adapun jika ia lemah, di rakaat pertama ia kuat, akan tetapi di rakaat akhir ia tidak mampu, maka tidak mengapa jika ia memiliki kesulitan yang sangat, maka tidak apa-apa.” Akan tetapi, perlu diketahui batasan berdiri yang kita bahas di atas adalah berdiri ketika salat fardu. Adapun untuk salat sunah memiliki hukum yang berbeda dengan salat fardu. Pada salat sunah, hukum berdiri tidaklah wajib, tetapi sunah. Hal tersebut sebagaimana apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Ketika beliau bersafar, beliau salat sunah di atas kendaraannya dan beliau tidak salat fardu di atas kendaraan sebagaimana hadis dari Aisyah radhiyallahu ’anha, رَاَيْتُ اَلنَّبِيَّ صَلّي اﷲ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يُصَلّي مُتَرَبِّعاً “Aku melihat Nabi shallallahu ’alaihi wasallam salat di atas tunggangan.” (HR. Nasa’i) Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda, صَلَاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا نِصْفُ الصَّلَاةِ “Salatnya seorang yang duduk, setengah (pahala) salat (sambil berdiri).” (HR. Abu Dawud) Salat yang dimaksud pada hadis di atas adalah salat sunah. Maka dari itu, boleh bagi seseorang untuk salat sambil duduk pada salat sunah walaupun tanpa uzur sekalipun. Akan tetapi, pahala orang yang salat sambil duduk ini hanya setengah dari pahala orang yang salat sambil berdiri. Itulah beberapa pembahasan singkat mengenai salat sambil duduk, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. Baca juga: Hukum Mengikuti Imam dalam Qunut Salat Subuh *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Mulakhas Fiqhi, Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan https://binbaz.org.sa https://islamqa.info/ar

Bolehkah Salat sambil Duduk? Inilah Beberapa Batasan Bolehnya Salat sambil Duduk

Ketika kita salat di masjid, terkadang kita jumpai beberapa jemaah salat yang tidak salat sambil berdiri. Sebagian di antaranya ada yang salat sambil duduk, ada yang duduk di lantai, ada juga yang membawa kursi sendiri, ada juga masjid yang menyediakan kursi bagi orang-orang yang salat sambil duduk. Biasanya, para jemaah yang salat sambil duduk tersebut merupakan orang-orang lanjut usia yang kesulitan untuk berdiri dan semisalnya. Akan tetapi, terkadang dijumpai juga ada orang yang salat sambil duduk, tetapi ia jalan menuju masjid dengan normal. Mungkin juga dijumpai orang yang salat sambil duduk walaupun masih muda dan sehat. Lalu, bagaimana batasan untuk boleh salat sambil duduk atau tidak berdiri. Sebelum kita membahas batasan duduk ketika salat, perlu kita ketahui terlebih dahulu hukum berdiri ketika salat fardu. Para ulama menyatakan bahwa berdiri dalam salat merupakan salah satu rukun salat. Dalil hal tersebut adalah firman Allah Ta’ala, وَقُومُوا لِلَّهِ قَنِتِينَ “Berdirilah (dalam salat) kepada Allah dengan khusyuk dan ketundukan.” (QS. Al-Baqarah: 238) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ “Salatlah sambil berdiri! Jika engkau tidak mampu, maka (salatlah) sambil duduk. Jika engkau tidak mampu, maka (salatlah) sambil berbaring.” (HR. Bukhari) Oleh karena itu, wajib bagi seseorang yang mampu berdiri untuk salat sambil berdiri. Ketika seseorang mampu berdiri ketika salat fardu, tetapi ia malah salat sambil duduk, maka tidaklah sah salatnya karena ada rukun yang ditinggalkan. Akan tetapi, ketika seseorang tidak mampu untuk berdiri, maka dibolehkan salat dalam keadaan sesuai dengan kemampuannya. Sesuai dengan hadis yang sudah disebutkan di atas dan juga firman Allah Ta’ala, وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ “Dan (Allah) tidak menjadikan kesulitan bagi kalian dalam agama.” (QS. Al-Hajj: 78) Lalu, apa saja yang bisa mendapatkan uzur utuk tidak salat sambil berdiri karena tidak mampu? Syekh Shalih Al-Fauzan menjelaskan, فإن لم يقدر على القيام لمرض صلى على حسب حاله قاعدًا أو على جنب، ومثل  لمريض الخائف والعريان، ومن يحتاج للجلوس أو الإضطجاع لمداواة تتطلب عدم القيام، وكذلك من كان لا يستطيع القيام لقصرِ سَقف فوقه، ولا يستطيع الخروج “Maka, jika orang yang sakit tidak mampu untuk berdiri, salatlah sesuai dengan keadaannya, sambil duduk maupun sambil berbaring. Juga, semisal orang yang sakit adalah orang yang takut atau telanjang dan orang-orang yang memerlukan untuk duduk atau berbaring dikarenakan keadaan yang mengharuskan untuk tidak bisa berdiri. Begitu juga, orang yang tidak mampu untuk berdiri karena rendahnya atap dan ia tidak bisa keluar dari ruangan tersebut.” Dari penjelasan Syekh di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tidak mampu yang dimaksud adalah dalam hal umum yang tidak memungkinkan untuk berdiri. Tidak hanya karena sakit saja, tetapi juga bisa karena hal lain seperti terjebak di tempat yang sempit sehingga tidak mampu berdiri, semisal terjebak di reruntuhan bangunan ketika terjadi bencana gempa. Bisa juga tidak mampu berdiri karena berlindung dari cuaca ekstrem dan tempat perlindungannya tidak memungkinkan untuk berdiri dan semisalnya. Setelah kita ketahui apa yang dimaksud dengan tidak mampu, selanjutnya kita perlu juga ketahui batasan tidak mampu itu seperti apa. Para ulama menjelaskan batasan tidak mampu adalah إذا لم يستطع أن يقوم لدُنياه , فليصل جالسا “Jika ia tidak mampu untuk berdiri untuk perkara dunia, maka salat sambil duduk.” Ini merupakan salah satu kaidah simpel yang bisa diikuti apakah kita termasuk yang punya uzur untuk salat sambil duduk atau tidak? Syekh ‘Utsaimin juga menjelaskan bahwa batasan seseorang dianggap tidak mampu untuk berdiri, الضابط للمشقة : ما زال به الخشوع ؛ والخشوع هو : حضور القلب والطمأنينة “Batasannya (tidak salat sambil berdiri) adalah kesusahan yang menghilangkan kekhusyukan. Khusyuk adalah hadirnya hati dan ketenangan.” Maka dari itu, seseorang yang boleh tidak salat sambil berdiri adalah orang yang memang tidak mampu berdiri atau kesulitan untuk berdiri sehingga jika ia berdiri, maka akan hilanglah kekhusyukannya ketika salat. Hal tersebut bisa karena rasa sakit atau juga kekhawatiran penyakitnya bertambah parah ketika ia berdiri dan semisalnya. Lalu, bagaimana jika seseorang mampu berdiri, tetapi tidak mampu berdiri lama? Contohnya ada seseorang yang hanya bisa berdiri selama satu rakaat saja lalu di rakaat setelahnya ia tidak bisa bangkit lagi untuk berdiri. Syekh Ibnu Baz pernah ditanya tentang orang yang berdiri ketika salat tapi ia menyempurnakan salatnya sambil duduk, beliau rahimahullahu menjawab, إن كانت نافلة كسنة الضحى والرواتب والوتر فلا بأس، أما الفريضة فلا بد من القدرة، إذا كانت تقدر يلزمها ولا تصح الصلاة مع الجلوس وهي قادرة، أما إذا كانت عاجزة في الركعة الأولى تقوى وفي الركعة الأخيرة ما تقدر تقوم فلا حرج عليها، إذا كان عليها مشقة كبيرة لا حرج عليها “Jika itu salat sunah seperti salat Duha, rawatib, dan salat witir, maka tidak mengapa. Adapun untuk salat fardu, maka harus sesuai kemampuan. Jika ia mampu terus berdiri, maka tidaklah sah salatnya sambil duduk, padahal ia mampu. Adapun jika ia lemah, di rakaat pertama ia kuat, akan tetapi di rakaat akhir ia tidak mampu, maka tidak mengapa jika ia memiliki kesulitan yang sangat, maka tidak apa-apa.” Akan tetapi, perlu diketahui batasan berdiri yang kita bahas di atas adalah berdiri ketika salat fardu. Adapun untuk salat sunah memiliki hukum yang berbeda dengan salat fardu. Pada salat sunah, hukum berdiri tidaklah wajib, tetapi sunah. Hal tersebut sebagaimana apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Ketika beliau bersafar, beliau salat sunah di atas kendaraannya dan beliau tidak salat fardu di atas kendaraan sebagaimana hadis dari Aisyah radhiyallahu ’anha, رَاَيْتُ اَلنَّبِيَّ صَلّي اﷲ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يُصَلّي مُتَرَبِّعاً “Aku melihat Nabi shallallahu ’alaihi wasallam salat di atas tunggangan.” (HR. Nasa’i) Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda, صَلَاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا نِصْفُ الصَّلَاةِ “Salatnya seorang yang duduk, setengah (pahala) salat (sambil berdiri).” (HR. Abu Dawud) Salat yang dimaksud pada hadis di atas adalah salat sunah. Maka dari itu, boleh bagi seseorang untuk salat sambil duduk pada salat sunah walaupun tanpa uzur sekalipun. Akan tetapi, pahala orang yang salat sambil duduk ini hanya setengah dari pahala orang yang salat sambil berdiri. Itulah beberapa pembahasan singkat mengenai salat sambil duduk, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. Baca juga: Hukum Mengikuti Imam dalam Qunut Salat Subuh *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Mulakhas Fiqhi, Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan https://binbaz.org.sa https://islamqa.info/ar
Ketika kita salat di masjid, terkadang kita jumpai beberapa jemaah salat yang tidak salat sambil berdiri. Sebagian di antaranya ada yang salat sambil duduk, ada yang duduk di lantai, ada juga yang membawa kursi sendiri, ada juga masjid yang menyediakan kursi bagi orang-orang yang salat sambil duduk. Biasanya, para jemaah yang salat sambil duduk tersebut merupakan orang-orang lanjut usia yang kesulitan untuk berdiri dan semisalnya. Akan tetapi, terkadang dijumpai juga ada orang yang salat sambil duduk, tetapi ia jalan menuju masjid dengan normal. Mungkin juga dijumpai orang yang salat sambil duduk walaupun masih muda dan sehat. Lalu, bagaimana batasan untuk boleh salat sambil duduk atau tidak berdiri. Sebelum kita membahas batasan duduk ketika salat, perlu kita ketahui terlebih dahulu hukum berdiri ketika salat fardu. Para ulama menyatakan bahwa berdiri dalam salat merupakan salah satu rukun salat. Dalil hal tersebut adalah firman Allah Ta’ala, وَقُومُوا لِلَّهِ قَنِتِينَ “Berdirilah (dalam salat) kepada Allah dengan khusyuk dan ketundukan.” (QS. Al-Baqarah: 238) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ “Salatlah sambil berdiri! Jika engkau tidak mampu, maka (salatlah) sambil duduk. Jika engkau tidak mampu, maka (salatlah) sambil berbaring.” (HR. Bukhari) Oleh karena itu, wajib bagi seseorang yang mampu berdiri untuk salat sambil berdiri. Ketika seseorang mampu berdiri ketika salat fardu, tetapi ia malah salat sambil duduk, maka tidaklah sah salatnya karena ada rukun yang ditinggalkan. Akan tetapi, ketika seseorang tidak mampu untuk berdiri, maka dibolehkan salat dalam keadaan sesuai dengan kemampuannya. Sesuai dengan hadis yang sudah disebutkan di atas dan juga firman Allah Ta’ala, وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ “Dan (Allah) tidak menjadikan kesulitan bagi kalian dalam agama.” (QS. Al-Hajj: 78) Lalu, apa saja yang bisa mendapatkan uzur utuk tidak salat sambil berdiri karena tidak mampu? Syekh Shalih Al-Fauzan menjelaskan, فإن لم يقدر على القيام لمرض صلى على حسب حاله قاعدًا أو على جنب، ومثل  لمريض الخائف والعريان، ومن يحتاج للجلوس أو الإضطجاع لمداواة تتطلب عدم القيام، وكذلك من كان لا يستطيع القيام لقصرِ سَقف فوقه، ولا يستطيع الخروج “Maka, jika orang yang sakit tidak mampu untuk berdiri, salatlah sesuai dengan keadaannya, sambil duduk maupun sambil berbaring. Juga, semisal orang yang sakit adalah orang yang takut atau telanjang dan orang-orang yang memerlukan untuk duduk atau berbaring dikarenakan keadaan yang mengharuskan untuk tidak bisa berdiri. Begitu juga, orang yang tidak mampu untuk berdiri karena rendahnya atap dan ia tidak bisa keluar dari ruangan tersebut.” Dari penjelasan Syekh di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tidak mampu yang dimaksud adalah dalam hal umum yang tidak memungkinkan untuk berdiri. Tidak hanya karena sakit saja, tetapi juga bisa karena hal lain seperti terjebak di tempat yang sempit sehingga tidak mampu berdiri, semisal terjebak di reruntuhan bangunan ketika terjadi bencana gempa. Bisa juga tidak mampu berdiri karena berlindung dari cuaca ekstrem dan tempat perlindungannya tidak memungkinkan untuk berdiri dan semisalnya. Setelah kita ketahui apa yang dimaksud dengan tidak mampu, selanjutnya kita perlu juga ketahui batasan tidak mampu itu seperti apa. Para ulama menjelaskan batasan tidak mampu adalah إذا لم يستطع أن يقوم لدُنياه , فليصل جالسا “Jika ia tidak mampu untuk berdiri untuk perkara dunia, maka salat sambil duduk.” Ini merupakan salah satu kaidah simpel yang bisa diikuti apakah kita termasuk yang punya uzur untuk salat sambil duduk atau tidak? Syekh ‘Utsaimin juga menjelaskan bahwa batasan seseorang dianggap tidak mampu untuk berdiri, الضابط للمشقة : ما زال به الخشوع ؛ والخشوع هو : حضور القلب والطمأنينة “Batasannya (tidak salat sambil berdiri) adalah kesusahan yang menghilangkan kekhusyukan. Khusyuk adalah hadirnya hati dan ketenangan.” Maka dari itu, seseorang yang boleh tidak salat sambil berdiri adalah orang yang memang tidak mampu berdiri atau kesulitan untuk berdiri sehingga jika ia berdiri, maka akan hilanglah kekhusyukannya ketika salat. Hal tersebut bisa karena rasa sakit atau juga kekhawatiran penyakitnya bertambah parah ketika ia berdiri dan semisalnya. Lalu, bagaimana jika seseorang mampu berdiri, tetapi tidak mampu berdiri lama? Contohnya ada seseorang yang hanya bisa berdiri selama satu rakaat saja lalu di rakaat setelahnya ia tidak bisa bangkit lagi untuk berdiri. Syekh Ibnu Baz pernah ditanya tentang orang yang berdiri ketika salat tapi ia menyempurnakan salatnya sambil duduk, beliau rahimahullahu menjawab, إن كانت نافلة كسنة الضحى والرواتب والوتر فلا بأس، أما الفريضة فلا بد من القدرة، إذا كانت تقدر يلزمها ولا تصح الصلاة مع الجلوس وهي قادرة، أما إذا كانت عاجزة في الركعة الأولى تقوى وفي الركعة الأخيرة ما تقدر تقوم فلا حرج عليها، إذا كان عليها مشقة كبيرة لا حرج عليها “Jika itu salat sunah seperti salat Duha, rawatib, dan salat witir, maka tidak mengapa. Adapun untuk salat fardu, maka harus sesuai kemampuan. Jika ia mampu terus berdiri, maka tidaklah sah salatnya sambil duduk, padahal ia mampu. Adapun jika ia lemah, di rakaat pertama ia kuat, akan tetapi di rakaat akhir ia tidak mampu, maka tidak mengapa jika ia memiliki kesulitan yang sangat, maka tidak apa-apa.” Akan tetapi, perlu diketahui batasan berdiri yang kita bahas di atas adalah berdiri ketika salat fardu. Adapun untuk salat sunah memiliki hukum yang berbeda dengan salat fardu. Pada salat sunah, hukum berdiri tidaklah wajib, tetapi sunah. Hal tersebut sebagaimana apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Ketika beliau bersafar, beliau salat sunah di atas kendaraannya dan beliau tidak salat fardu di atas kendaraan sebagaimana hadis dari Aisyah radhiyallahu ’anha, رَاَيْتُ اَلنَّبِيَّ صَلّي اﷲ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يُصَلّي مُتَرَبِّعاً “Aku melihat Nabi shallallahu ’alaihi wasallam salat di atas tunggangan.” (HR. Nasa’i) Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda, صَلَاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا نِصْفُ الصَّلَاةِ “Salatnya seorang yang duduk, setengah (pahala) salat (sambil berdiri).” (HR. Abu Dawud) Salat yang dimaksud pada hadis di atas adalah salat sunah. Maka dari itu, boleh bagi seseorang untuk salat sambil duduk pada salat sunah walaupun tanpa uzur sekalipun. Akan tetapi, pahala orang yang salat sambil duduk ini hanya setengah dari pahala orang yang salat sambil berdiri. Itulah beberapa pembahasan singkat mengenai salat sambil duduk, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. Baca juga: Hukum Mengikuti Imam dalam Qunut Salat Subuh *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Mulakhas Fiqhi, Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan https://binbaz.org.sa https://islamqa.info/ar


Ketika kita salat di masjid, terkadang kita jumpai beberapa jemaah salat yang tidak salat sambil berdiri. Sebagian di antaranya ada yang salat sambil duduk, ada yang duduk di lantai, ada juga yang membawa kursi sendiri, ada juga masjid yang menyediakan kursi bagi orang-orang yang salat sambil duduk. Biasanya, para jemaah yang salat sambil duduk tersebut merupakan orang-orang lanjut usia yang kesulitan untuk berdiri dan semisalnya. Akan tetapi, terkadang dijumpai juga ada orang yang salat sambil duduk, tetapi ia jalan menuju masjid dengan normal. Mungkin juga dijumpai orang yang salat sambil duduk walaupun masih muda dan sehat. Lalu, bagaimana batasan untuk boleh salat sambil duduk atau tidak berdiri. Sebelum kita membahas batasan duduk ketika salat, perlu kita ketahui terlebih dahulu hukum berdiri ketika salat fardu. Para ulama menyatakan bahwa berdiri dalam salat merupakan salah satu rukun salat. Dalil hal tersebut adalah firman Allah Ta’ala, وَقُومُوا لِلَّهِ قَنِتِينَ “Berdirilah (dalam salat) kepada Allah dengan khusyuk dan ketundukan.” (QS. Al-Baqarah: 238) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ “Salatlah sambil berdiri! Jika engkau tidak mampu, maka (salatlah) sambil duduk. Jika engkau tidak mampu, maka (salatlah) sambil berbaring.” (HR. Bukhari) Oleh karena itu, wajib bagi seseorang yang mampu berdiri untuk salat sambil berdiri. Ketika seseorang mampu berdiri ketika salat fardu, tetapi ia malah salat sambil duduk, maka tidaklah sah salatnya karena ada rukun yang ditinggalkan. Akan tetapi, ketika seseorang tidak mampu untuk berdiri, maka dibolehkan salat dalam keadaan sesuai dengan kemampuannya. Sesuai dengan hadis yang sudah disebutkan di atas dan juga firman Allah Ta’ala, وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ “Dan (Allah) tidak menjadikan kesulitan bagi kalian dalam agama.” (QS. Al-Hajj: 78) Lalu, apa saja yang bisa mendapatkan uzur utuk tidak salat sambil berdiri karena tidak mampu? Syekh Shalih Al-Fauzan menjelaskan, فإن لم يقدر على القيام لمرض صلى على حسب حاله قاعدًا أو على جنب، ومثل  لمريض الخائف والعريان، ومن يحتاج للجلوس أو الإضطجاع لمداواة تتطلب عدم القيام، وكذلك من كان لا يستطيع القيام لقصرِ سَقف فوقه، ولا يستطيع الخروج “Maka, jika orang yang sakit tidak mampu untuk berdiri, salatlah sesuai dengan keadaannya, sambil duduk maupun sambil berbaring. Juga, semisal orang yang sakit adalah orang yang takut atau telanjang dan orang-orang yang memerlukan untuk duduk atau berbaring dikarenakan keadaan yang mengharuskan untuk tidak bisa berdiri. Begitu juga, orang yang tidak mampu untuk berdiri karena rendahnya atap dan ia tidak bisa keluar dari ruangan tersebut.” Dari penjelasan Syekh di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tidak mampu yang dimaksud adalah dalam hal umum yang tidak memungkinkan untuk berdiri. Tidak hanya karena sakit saja, tetapi juga bisa karena hal lain seperti terjebak di tempat yang sempit sehingga tidak mampu berdiri, semisal terjebak di reruntuhan bangunan ketika terjadi bencana gempa. Bisa juga tidak mampu berdiri karena berlindung dari cuaca ekstrem dan tempat perlindungannya tidak memungkinkan untuk berdiri dan semisalnya. Setelah kita ketahui apa yang dimaksud dengan tidak mampu, selanjutnya kita perlu juga ketahui batasan tidak mampu itu seperti apa. Para ulama menjelaskan batasan tidak mampu adalah إذا لم يستطع أن يقوم لدُنياه , فليصل جالسا “Jika ia tidak mampu untuk berdiri untuk perkara dunia, maka salat sambil duduk.” Ini merupakan salah satu kaidah simpel yang bisa diikuti apakah kita termasuk yang punya uzur untuk salat sambil duduk atau tidak? Syekh ‘Utsaimin juga menjelaskan bahwa batasan seseorang dianggap tidak mampu untuk berdiri, الضابط للمشقة : ما زال به الخشوع ؛ والخشوع هو : حضور القلب والطمأنينة “Batasannya (tidak salat sambil berdiri) adalah kesusahan yang menghilangkan kekhusyukan. Khusyuk adalah hadirnya hati dan ketenangan.” Maka dari itu, seseorang yang boleh tidak salat sambil berdiri adalah orang yang memang tidak mampu berdiri atau kesulitan untuk berdiri sehingga jika ia berdiri, maka akan hilanglah kekhusyukannya ketika salat. Hal tersebut bisa karena rasa sakit atau juga kekhawatiran penyakitnya bertambah parah ketika ia berdiri dan semisalnya. Lalu, bagaimana jika seseorang mampu berdiri, tetapi tidak mampu berdiri lama? Contohnya ada seseorang yang hanya bisa berdiri selama satu rakaat saja lalu di rakaat setelahnya ia tidak bisa bangkit lagi untuk berdiri. Syekh Ibnu Baz pernah ditanya tentang orang yang berdiri ketika salat tapi ia menyempurnakan salatnya sambil duduk, beliau rahimahullahu menjawab, إن كانت نافلة كسنة الضحى والرواتب والوتر فلا بأس، أما الفريضة فلا بد من القدرة، إذا كانت تقدر يلزمها ولا تصح الصلاة مع الجلوس وهي قادرة، أما إذا كانت عاجزة في الركعة الأولى تقوى وفي الركعة الأخيرة ما تقدر تقوم فلا حرج عليها، إذا كان عليها مشقة كبيرة لا حرج عليها “Jika itu salat sunah seperti salat Duha, rawatib, dan salat witir, maka tidak mengapa. Adapun untuk salat fardu, maka harus sesuai kemampuan. Jika ia mampu terus berdiri, maka tidaklah sah salatnya sambil duduk, padahal ia mampu. Adapun jika ia lemah, di rakaat pertama ia kuat, akan tetapi di rakaat akhir ia tidak mampu, maka tidak mengapa jika ia memiliki kesulitan yang sangat, maka tidak apa-apa.” Akan tetapi, perlu diketahui batasan berdiri yang kita bahas di atas adalah berdiri ketika salat fardu. Adapun untuk salat sunah memiliki hukum yang berbeda dengan salat fardu. Pada salat sunah, hukum berdiri tidaklah wajib, tetapi sunah. Hal tersebut sebagaimana apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Ketika beliau bersafar, beliau salat sunah di atas kendaraannya dan beliau tidak salat fardu di atas kendaraan sebagaimana hadis dari Aisyah radhiyallahu ’anha, رَاَيْتُ اَلنَّبِيَّ صَلّي اﷲ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يُصَلّي مُتَرَبِّعاً “Aku melihat Nabi shallallahu ’alaihi wasallam salat di atas tunggangan.” (HR. Nasa’i) Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda, صَلَاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا نِصْفُ الصَّلَاةِ “Salatnya seorang yang duduk, setengah (pahala) salat (sambil berdiri).” (HR. Abu Dawud) Salat yang dimaksud pada hadis di atas adalah salat sunah. Maka dari itu, boleh bagi seseorang untuk salat sambil duduk pada salat sunah walaupun tanpa uzur sekalipun. Akan tetapi, pahala orang yang salat sambil duduk ini hanya setengah dari pahala orang yang salat sambil berdiri. Itulah beberapa pembahasan singkat mengenai salat sambil duduk, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. Baca juga: Hukum Mengikuti Imam dalam Qunut Salat Subuh *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Mulakhas Fiqhi, Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan https://binbaz.org.sa https://islamqa.info/ar

Ringankan Musibahmu dengan Mengingat Ini – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

“Sungguh Allah telah menolong kalian pada perang Badar, padahal (ketika itu) kalian orang-orang yang lemah…” (QS. Ali Imran: 123). Dalam ayat ini terdapat penyebutan tentang perang Badar dan pengingatan terhadap masa lalu, yang ketika itu tercapai kemenangan. Serta pengingatan bagi mereka terhadap kabar baik dan hal yang dapat memberi rasa bahagia pada hati mereka. Terdapat juga isyarat bahwa ketika seorang insan tertimpa sesuatu yang mungkin tidak nyaman baginya, maka hendaklah ia mengingat apa, saudara-saudara?! Mengingat nikmat-nikmat Allah baginya. Tidak lalai dari mengingat nikmat-nikmat dari Allah. Karena dengan ia mengingat nikmat-nikmat itu, dapat meringankan apa, saudara-saudara? Tidak diragukan, itu dapat meringankan musibah yang menimpanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan apa yang terjadi pada perang Uhud, lalu menyebutkan kepada mereka apa yang terjadi pada perang Badar. Ini menjadi isyarat bahwa jika timbul kesabaran dan terdapat ketakwaan, maka dengan itu akan tercapai kemenangan dan kejayaan. Namun jika kesabaran tidak hadir,maka tidak tercapai kemenangan yang dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah memberi dua contoh ini dengan tujuan tersebut. ==== وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ جَاءَ الْحَدِيثُ عَنْ غَزْوَةِ بَدْرٍ وَالتَّذْكِيرُ بِالْمَاضِي وَالَّذِي حَصَلَ فِيهِ النَّصْرُ وَتَذْكِيرُهُمْ بِالْخَبَرِ الْمُفْرِحِ لَهُمْ وَالَّذِي يُدْخِلُ السُّرُوْرَ لِقُلُوبِهِمْ وَفِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّ الْإِنْسَانَ إِذَا أُصِيْبَ بِشَيْءٍ رُبَّمَا لَا يَرْتَاحُ لَهُ يَنْبَغِي أَنْ يَتَذَكَّرَ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ نِعَمَ اللَّهِ عَلَيْهِ لَا يَغْفَلُ عَنْ تَذَكُّرِ نِعَمِ اللَّهِ فَإِنَّ تَذَكَّرَهُ لِلنِّعَمِ يُخَفِّفُ عَلَيْهِ مَاذَا يَا إِخْوَان؟ يُخَفِّفُ عَلَيْهِ الْمُصِيبَةَ بِلَا شَكّ ذَكَرَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مَا حَصَلَ فِي أُحُدٍ وَذَكَّرَهُمْ بِمَا حَصَلَ فِي غَزْوَةِ بَدْرٍ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّهُ إِنْ حَصَلَ الصَّبْرُ وَوُجِدَتِ التَّقْوَى حَصَلَ مَعَهَا النَّصْرُ وَالظُّفْرُ وَإِنْ تَخَلَّفَ الصَّبْرُ لَمْ يَحْصُلْ مَا وَعَدَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ النَّصْرِ وَضَرَبَ هَذَيْنِ الْمِثَالَيْنِ لِمَا ذُكِرَ

Ringankan Musibahmu dengan Mengingat Ini – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

“Sungguh Allah telah menolong kalian pada perang Badar, padahal (ketika itu) kalian orang-orang yang lemah…” (QS. Ali Imran: 123). Dalam ayat ini terdapat penyebutan tentang perang Badar dan pengingatan terhadap masa lalu, yang ketika itu tercapai kemenangan. Serta pengingatan bagi mereka terhadap kabar baik dan hal yang dapat memberi rasa bahagia pada hati mereka. Terdapat juga isyarat bahwa ketika seorang insan tertimpa sesuatu yang mungkin tidak nyaman baginya, maka hendaklah ia mengingat apa, saudara-saudara?! Mengingat nikmat-nikmat Allah baginya. Tidak lalai dari mengingat nikmat-nikmat dari Allah. Karena dengan ia mengingat nikmat-nikmat itu, dapat meringankan apa, saudara-saudara? Tidak diragukan, itu dapat meringankan musibah yang menimpanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan apa yang terjadi pada perang Uhud, lalu menyebutkan kepada mereka apa yang terjadi pada perang Badar. Ini menjadi isyarat bahwa jika timbul kesabaran dan terdapat ketakwaan, maka dengan itu akan tercapai kemenangan dan kejayaan. Namun jika kesabaran tidak hadir,maka tidak tercapai kemenangan yang dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah memberi dua contoh ini dengan tujuan tersebut. ==== وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ جَاءَ الْحَدِيثُ عَنْ غَزْوَةِ بَدْرٍ وَالتَّذْكِيرُ بِالْمَاضِي وَالَّذِي حَصَلَ فِيهِ النَّصْرُ وَتَذْكِيرُهُمْ بِالْخَبَرِ الْمُفْرِحِ لَهُمْ وَالَّذِي يُدْخِلُ السُّرُوْرَ لِقُلُوبِهِمْ وَفِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّ الْإِنْسَانَ إِذَا أُصِيْبَ بِشَيْءٍ رُبَّمَا لَا يَرْتَاحُ لَهُ يَنْبَغِي أَنْ يَتَذَكَّرَ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ نِعَمَ اللَّهِ عَلَيْهِ لَا يَغْفَلُ عَنْ تَذَكُّرِ نِعَمِ اللَّهِ فَإِنَّ تَذَكَّرَهُ لِلنِّعَمِ يُخَفِّفُ عَلَيْهِ مَاذَا يَا إِخْوَان؟ يُخَفِّفُ عَلَيْهِ الْمُصِيبَةَ بِلَا شَكّ ذَكَرَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مَا حَصَلَ فِي أُحُدٍ وَذَكَّرَهُمْ بِمَا حَصَلَ فِي غَزْوَةِ بَدْرٍ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّهُ إِنْ حَصَلَ الصَّبْرُ وَوُجِدَتِ التَّقْوَى حَصَلَ مَعَهَا النَّصْرُ وَالظُّفْرُ وَإِنْ تَخَلَّفَ الصَّبْرُ لَمْ يَحْصُلْ مَا وَعَدَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ النَّصْرِ وَضَرَبَ هَذَيْنِ الْمِثَالَيْنِ لِمَا ذُكِرَ
“Sungguh Allah telah menolong kalian pada perang Badar, padahal (ketika itu) kalian orang-orang yang lemah…” (QS. Ali Imran: 123). Dalam ayat ini terdapat penyebutan tentang perang Badar dan pengingatan terhadap masa lalu, yang ketika itu tercapai kemenangan. Serta pengingatan bagi mereka terhadap kabar baik dan hal yang dapat memberi rasa bahagia pada hati mereka. Terdapat juga isyarat bahwa ketika seorang insan tertimpa sesuatu yang mungkin tidak nyaman baginya, maka hendaklah ia mengingat apa, saudara-saudara?! Mengingat nikmat-nikmat Allah baginya. Tidak lalai dari mengingat nikmat-nikmat dari Allah. Karena dengan ia mengingat nikmat-nikmat itu, dapat meringankan apa, saudara-saudara? Tidak diragukan, itu dapat meringankan musibah yang menimpanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan apa yang terjadi pada perang Uhud, lalu menyebutkan kepada mereka apa yang terjadi pada perang Badar. Ini menjadi isyarat bahwa jika timbul kesabaran dan terdapat ketakwaan, maka dengan itu akan tercapai kemenangan dan kejayaan. Namun jika kesabaran tidak hadir,maka tidak tercapai kemenangan yang dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah memberi dua contoh ini dengan tujuan tersebut. ==== وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ جَاءَ الْحَدِيثُ عَنْ غَزْوَةِ بَدْرٍ وَالتَّذْكِيرُ بِالْمَاضِي وَالَّذِي حَصَلَ فِيهِ النَّصْرُ وَتَذْكِيرُهُمْ بِالْخَبَرِ الْمُفْرِحِ لَهُمْ وَالَّذِي يُدْخِلُ السُّرُوْرَ لِقُلُوبِهِمْ وَفِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّ الْإِنْسَانَ إِذَا أُصِيْبَ بِشَيْءٍ رُبَّمَا لَا يَرْتَاحُ لَهُ يَنْبَغِي أَنْ يَتَذَكَّرَ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ نِعَمَ اللَّهِ عَلَيْهِ لَا يَغْفَلُ عَنْ تَذَكُّرِ نِعَمِ اللَّهِ فَإِنَّ تَذَكَّرَهُ لِلنِّعَمِ يُخَفِّفُ عَلَيْهِ مَاذَا يَا إِخْوَان؟ يُخَفِّفُ عَلَيْهِ الْمُصِيبَةَ بِلَا شَكّ ذَكَرَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مَا حَصَلَ فِي أُحُدٍ وَذَكَّرَهُمْ بِمَا حَصَلَ فِي غَزْوَةِ بَدْرٍ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّهُ إِنْ حَصَلَ الصَّبْرُ وَوُجِدَتِ التَّقْوَى حَصَلَ مَعَهَا النَّصْرُ وَالظُّفْرُ وَإِنْ تَخَلَّفَ الصَّبْرُ لَمْ يَحْصُلْ مَا وَعَدَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ النَّصْرِ وَضَرَبَ هَذَيْنِ الْمِثَالَيْنِ لِمَا ذُكِرَ


“Sungguh Allah telah menolong kalian pada perang Badar, padahal (ketika itu) kalian orang-orang yang lemah…” (QS. Ali Imran: 123). Dalam ayat ini terdapat penyebutan tentang perang Badar dan pengingatan terhadap masa lalu, yang ketika itu tercapai kemenangan. Serta pengingatan bagi mereka terhadap kabar baik dan hal yang dapat memberi rasa bahagia pada hati mereka. Terdapat juga isyarat bahwa ketika seorang insan tertimpa sesuatu yang mungkin tidak nyaman baginya, maka hendaklah ia mengingat apa, saudara-saudara?! Mengingat nikmat-nikmat Allah baginya. Tidak lalai dari mengingat nikmat-nikmat dari Allah. Karena dengan ia mengingat nikmat-nikmat itu, dapat meringankan apa, saudara-saudara? Tidak diragukan, itu dapat meringankan musibah yang menimpanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan apa yang terjadi pada perang Uhud, lalu menyebutkan kepada mereka apa yang terjadi pada perang Badar. Ini menjadi isyarat bahwa jika timbul kesabaran dan terdapat ketakwaan, maka dengan itu akan tercapai kemenangan dan kejayaan. Namun jika kesabaran tidak hadir,maka tidak tercapai kemenangan yang dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah memberi dua contoh ini dengan tujuan tersebut. ==== وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ جَاءَ الْحَدِيثُ عَنْ غَزْوَةِ بَدْرٍ وَالتَّذْكِيرُ بِالْمَاضِي وَالَّذِي حَصَلَ فِيهِ النَّصْرُ وَتَذْكِيرُهُمْ بِالْخَبَرِ الْمُفْرِحِ لَهُمْ وَالَّذِي يُدْخِلُ السُّرُوْرَ لِقُلُوبِهِمْ وَفِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّ الْإِنْسَانَ إِذَا أُصِيْبَ بِشَيْءٍ رُبَّمَا لَا يَرْتَاحُ لَهُ يَنْبَغِي أَنْ يَتَذَكَّرَ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ نِعَمَ اللَّهِ عَلَيْهِ لَا يَغْفَلُ عَنْ تَذَكُّرِ نِعَمِ اللَّهِ فَإِنَّ تَذَكَّرَهُ لِلنِّعَمِ يُخَفِّفُ عَلَيْهِ مَاذَا يَا إِخْوَان؟ يُخَفِّفُ عَلَيْهِ الْمُصِيبَةَ بِلَا شَكّ ذَكَرَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مَا حَصَلَ فِي أُحُدٍ وَذَكَّرَهُمْ بِمَا حَصَلَ فِي غَزْوَةِ بَدْرٍ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّهُ إِنْ حَصَلَ الصَّبْرُ وَوُجِدَتِ التَّقْوَى حَصَلَ مَعَهَا النَّصْرُ وَالظُّفْرُ وَإِنْ تَخَلَّفَ الصَّبْرُ لَمْ يَحْصُلْ مَا وَعَدَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ النَّصْرِ وَضَرَبَ هَذَيْنِ الْمِثَالَيْنِ لِمَا ذُكِرَ

Cara Menumbuhkan Syukur: Tujuh Hal yang Membantu untuk Bersyukur (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Pertama, melihat kepada orang-orang yang di bawah atau tidak seberuntung kitaKedua, melihat segala hal dari kedua sisiKetiga, membaca riwayat dan kisah tentang orang-orang saleh terdahulu Syukur adalah salah satu amalan mulia yang sangat dianjurkan dalam Islam. Syukur bukan hanya sekadar ucapan di bibir, tetapi juga harus meresap dalam hati dan tercermin pada perilaku. Suatu amalan itu perlu dilatih dan dibiasakan untuk melakukannya. Salah satunya adalah amalan hati, yaitu syukur. Bagaimana cara melatihnya? Berikut beberapa poin yang dapat membantu seseorang agar bisa lebih bersyukur. Pertama, melihat kepada orang-orang yang di bawah atau tidak seberuntung kita Melihat kepada orang-orang yang berada di bawah atau tidak seberuntung kita adalah salah satu cara yang sangat efektif untuk membantu kita dalam melatih rasa syukur. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, انظروا إلى من هو أسفل منكم ولا تنظروا إلى من هو فوقكم ، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم “Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan (merendahkan) nikmat Allah padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat yang lain, “Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan bentuk (rupa), maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Terkadang, kita terlalu fokus pada apa yang kita belum miliki, padahal di luar sana banyak orang yang lebih membutuhkan dan hidupnya jauh lebih sulit daripada kita. Menyadari hal ini bisa membuka hati kita untuk lebih bersyukur atas apa yang telah kita miliki. Ketika melihat orang-orang yang kurang beruntung, kita akan menyadari bahwa banyak nikmat yang selama ini kita anggap biasa, ternyata sangat berarti bagi kehidupan orang lain. Misalnya, kita mengeluh dengan pekerjaan yang melelahkan, namun ada banyak orang yang masih mencari pekerjaan atau tidak memiliki pekerjaan yang layak. Baca juga: Mensyukuri Nikmat Keamanan Bangsa Kedua, melihat segala hal dari kedua sisi Melihat suatu hal dari kedua sisi dapat mendorong seseorang untuk bersyukur. Dalam kehidupan, setiap keadaan yang baik atau buruk memiliki hikmah dan pelajaran yang bisa diambil. Allah Ta’ala memberikan pedoman dalam keluarga untuk melihat dari kedua sisi sebagaimana firman-Nya, وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا “Dan bergaullah kalian dengan mereka (para istri) secara patut. Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan pada dirinya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ “Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (istri). Jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya, maka (bisa jadi) ia rida (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim) Dari ayat dan hadis di atas, Islam pun mengajarkan kita untuk melihat pasangan dari kedua sisi. Jika ada hal yang kurang disukai atau kekurangan yang nampak, maka pasti ada sisi kelebihan yang dimilikinya. Begitu pula dalam hal lainnya, baik dalam menghadapi kebaikan atau keburukan, kebahagiaan atau penderitaan, kenikmatan maupun kesulitan. Kedua sisi tersebut adalah bagian dari ujian dan nikmat yang diberikan Allah. Ketika ada orang yang lebih dari kita di beberapa aspek, mungkin ada sisi lain yang ia korbankan. Jika seseorang terbiasa melihat dari kedua sisi, maka ia akan terdorong untuk lebih bersyukur atas segala kejadian yang menimpanya dengan melihat dari sisi positifnya. Dengan melihat segala sesuatu dari kedua sisi ini, kita dapat menjalani hidup dengan lebih bijaksana, menerima takdir dengan lapang dada, dan senantiasa bersyukur atas segala nikmat-Nya. Ketiga, membaca riwayat dan kisah tentang orang-orang saleh terdahulu Sebagian dari kita terkadang mengeluh tentang rumah yang sempit, makanan yang kurang enak atau pekerjaan yang melelahkan. Maka, renungkanlah kisah-kisah tentang orang-orang saleh terdahulu, khususnya kisah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bagaimana sedari kecil beliau ditinggal wafat oleh orang-orang tercinta, rumah dan tempat tidur beliau yang sederhana, kondisi ketika beliau diboikot, bahkan beliau tidak mendapati makanan yang melimpah dalam kesehariannya dan hanya sekadar terpenuhi kebutuhan pokoknya saja sehingga tidak kelaparan sebagaimana riwayat berikut. Dari Malik bin Dinar radhiyallahu ’anhu, beliau mengatakan, مَا شَبِعَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ خُبْزٍ قَطُّ وَلاَ لَحْمٍ إِلاَّ عَلَى ضَفَفٍ “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti atau kenyang karena makan daging, kecuali jika sedang menjamu tamu (maka beliau makan sampai kenyang).” (HR. Tirmidzi dalam Asy-Syama’il no. 70, lihat Mukhtashar Asy-Syama’il Al-Muhammadiyah no. 109) Dalam riwayat lain, ما شبِعَ آلُ محمدٍ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم من خُبزِ بُرٍّ مَأدومٍ ثلاثةَ أيامٍ حتى لحِقَ باللهِ “Keluarga Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti gandum yang diberi idam (semacam kuah) dalam tiga hari, sampai ia bertemu dengan Allah (wafat).” (HR. Bukhari no. 5423, Muslim no. 2970) Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan, قال لي رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، ذاتَ يومٍ يا عائشةُ ! هل عندكم شيٌء ؟ قالت فقلتُ : يا رسولَ اللهِ ! ما عندنا شيٌء قال فإني صائمٌ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadaku pada suatu hari, ‘Wahai Aisyah, apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan pagi ini)?’ Aku menjawab, ‘Wahai Rasulullah, kita tidak memiliki sesuatu pun (untuk dimakan).’ Beliau lalu bersabda, ‘Kalau begitu, aku akan puasa.’ ” (HR. Muslim no. 1154) [Bersambung] Baca juga: Mengingat Nikmat dan Memperbanyak Syukur *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: A’malul Qulub, karya Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah, hal. 301.

Cara Menumbuhkan Syukur: Tujuh Hal yang Membantu untuk Bersyukur (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Pertama, melihat kepada orang-orang yang di bawah atau tidak seberuntung kitaKedua, melihat segala hal dari kedua sisiKetiga, membaca riwayat dan kisah tentang orang-orang saleh terdahulu Syukur adalah salah satu amalan mulia yang sangat dianjurkan dalam Islam. Syukur bukan hanya sekadar ucapan di bibir, tetapi juga harus meresap dalam hati dan tercermin pada perilaku. Suatu amalan itu perlu dilatih dan dibiasakan untuk melakukannya. Salah satunya adalah amalan hati, yaitu syukur. Bagaimana cara melatihnya? Berikut beberapa poin yang dapat membantu seseorang agar bisa lebih bersyukur. Pertama, melihat kepada orang-orang yang di bawah atau tidak seberuntung kita Melihat kepada orang-orang yang berada di bawah atau tidak seberuntung kita adalah salah satu cara yang sangat efektif untuk membantu kita dalam melatih rasa syukur. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, انظروا إلى من هو أسفل منكم ولا تنظروا إلى من هو فوقكم ، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم “Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan (merendahkan) nikmat Allah padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat yang lain, “Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan bentuk (rupa), maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Terkadang, kita terlalu fokus pada apa yang kita belum miliki, padahal di luar sana banyak orang yang lebih membutuhkan dan hidupnya jauh lebih sulit daripada kita. Menyadari hal ini bisa membuka hati kita untuk lebih bersyukur atas apa yang telah kita miliki. Ketika melihat orang-orang yang kurang beruntung, kita akan menyadari bahwa banyak nikmat yang selama ini kita anggap biasa, ternyata sangat berarti bagi kehidupan orang lain. Misalnya, kita mengeluh dengan pekerjaan yang melelahkan, namun ada banyak orang yang masih mencari pekerjaan atau tidak memiliki pekerjaan yang layak. Baca juga: Mensyukuri Nikmat Keamanan Bangsa Kedua, melihat segala hal dari kedua sisi Melihat suatu hal dari kedua sisi dapat mendorong seseorang untuk bersyukur. Dalam kehidupan, setiap keadaan yang baik atau buruk memiliki hikmah dan pelajaran yang bisa diambil. Allah Ta’ala memberikan pedoman dalam keluarga untuk melihat dari kedua sisi sebagaimana firman-Nya, وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا “Dan bergaullah kalian dengan mereka (para istri) secara patut. Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan pada dirinya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ “Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (istri). Jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya, maka (bisa jadi) ia rida (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim) Dari ayat dan hadis di atas, Islam pun mengajarkan kita untuk melihat pasangan dari kedua sisi. Jika ada hal yang kurang disukai atau kekurangan yang nampak, maka pasti ada sisi kelebihan yang dimilikinya. Begitu pula dalam hal lainnya, baik dalam menghadapi kebaikan atau keburukan, kebahagiaan atau penderitaan, kenikmatan maupun kesulitan. Kedua sisi tersebut adalah bagian dari ujian dan nikmat yang diberikan Allah. Ketika ada orang yang lebih dari kita di beberapa aspek, mungkin ada sisi lain yang ia korbankan. Jika seseorang terbiasa melihat dari kedua sisi, maka ia akan terdorong untuk lebih bersyukur atas segala kejadian yang menimpanya dengan melihat dari sisi positifnya. Dengan melihat segala sesuatu dari kedua sisi ini, kita dapat menjalani hidup dengan lebih bijaksana, menerima takdir dengan lapang dada, dan senantiasa bersyukur atas segala nikmat-Nya. Ketiga, membaca riwayat dan kisah tentang orang-orang saleh terdahulu Sebagian dari kita terkadang mengeluh tentang rumah yang sempit, makanan yang kurang enak atau pekerjaan yang melelahkan. Maka, renungkanlah kisah-kisah tentang orang-orang saleh terdahulu, khususnya kisah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bagaimana sedari kecil beliau ditinggal wafat oleh orang-orang tercinta, rumah dan tempat tidur beliau yang sederhana, kondisi ketika beliau diboikot, bahkan beliau tidak mendapati makanan yang melimpah dalam kesehariannya dan hanya sekadar terpenuhi kebutuhan pokoknya saja sehingga tidak kelaparan sebagaimana riwayat berikut. Dari Malik bin Dinar radhiyallahu ’anhu, beliau mengatakan, مَا شَبِعَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ خُبْزٍ قَطُّ وَلاَ لَحْمٍ إِلاَّ عَلَى ضَفَفٍ “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti atau kenyang karena makan daging, kecuali jika sedang menjamu tamu (maka beliau makan sampai kenyang).” (HR. Tirmidzi dalam Asy-Syama’il no. 70, lihat Mukhtashar Asy-Syama’il Al-Muhammadiyah no. 109) Dalam riwayat lain, ما شبِعَ آلُ محمدٍ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم من خُبزِ بُرٍّ مَأدومٍ ثلاثةَ أيامٍ حتى لحِقَ باللهِ “Keluarga Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti gandum yang diberi idam (semacam kuah) dalam tiga hari, sampai ia bertemu dengan Allah (wafat).” (HR. Bukhari no. 5423, Muslim no. 2970) Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan, قال لي رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، ذاتَ يومٍ يا عائشةُ ! هل عندكم شيٌء ؟ قالت فقلتُ : يا رسولَ اللهِ ! ما عندنا شيٌء قال فإني صائمٌ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadaku pada suatu hari, ‘Wahai Aisyah, apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan pagi ini)?’ Aku menjawab, ‘Wahai Rasulullah, kita tidak memiliki sesuatu pun (untuk dimakan).’ Beliau lalu bersabda, ‘Kalau begitu, aku akan puasa.’ ” (HR. Muslim no. 1154) [Bersambung] Baca juga: Mengingat Nikmat dan Memperbanyak Syukur *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: A’malul Qulub, karya Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah, hal. 301.
Daftar Isi Toggle Pertama, melihat kepada orang-orang yang di bawah atau tidak seberuntung kitaKedua, melihat segala hal dari kedua sisiKetiga, membaca riwayat dan kisah tentang orang-orang saleh terdahulu Syukur adalah salah satu amalan mulia yang sangat dianjurkan dalam Islam. Syukur bukan hanya sekadar ucapan di bibir, tetapi juga harus meresap dalam hati dan tercermin pada perilaku. Suatu amalan itu perlu dilatih dan dibiasakan untuk melakukannya. Salah satunya adalah amalan hati, yaitu syukur. Bagaimana cara melatihnya? Berikut beberapa poin yang dapat membantu seseorang agar bisa lebih bersyukur. Pertama, melihat kepada orang-orang yang di bawah atau tidak seberuntung kita Melihat kepada orang-orang yang berada di bawah atau tidak seberuntung kita adalah salah satu cara yang sangat efektif untuk membantu kita dalam melatih rasa syukur. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, انظروا إلى من هو أسفل منكم ولا تنظروا إلى من هو فوقكم ، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم “Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan (merendahkan) nikmat Allah padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat yang lain, “Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan bentuk (rupa), maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Terkadang, kita terlalu fokus pada apa yang kita belum miliki, padahal di luar sana banyak orang yang lebih membutuhkan dan hidupnya jauh lebih sulit daripada kita. Menyadari hal ini bisa membuka hati kita untuk lebih bersyukur atas apa yang telah kita miliki. Ketika melihat orang-orang yang kurang beruntung, kita akan menyadari bahwa banyak nikmat yang selama ini kita anggap biasa, ternyata sangat berarti bagi kehidupan orang lain. Misalnya, kita mengeluh dengan pekerjaan yang melelahkan, namun ada banyak orang yang masih mencari pekerjaan atau tidak memiliki pekerjaan yang layak. Baca juga: Mensyukuri Nikmat Keamanan Bangsa Kedua, melihat segala hal dari kedua sisi Melihat suatu hal dari kedua sisi dapat mendorong seseorang untuk bersyukur. Dalam kehidupan, setiap keadaan yang baik atau buruk memiliki hikmah dan pelajaran yang bisa diambil. Allah Ta’ala memberikan pedoman dalam keluarga untuk melihat dari kedua sisi sebagaimana firman-Nya, وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا “Dan bergaullah kalian dengan mereka (para istri) secara patut. Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan pada dirinya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ “Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (istri). Jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya, maka (bisa jadi) ia rida (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim) Dari ayat dan hadis di atas, Islam pun mengajarkan kita untuk melihat pasangan dari kedua sisi. Jika ada hal yang kurang disukai atau kekurangan yang nampak, maka pasti ada sisi kelebihan yang dimilikinya. Begitu pula dalam hal lainnya, baik dalam menghadapi kebaikan atau keburukan, kebahagiaan atau penderitaan, kenikmatan maupun kesulitan. Kedua sisi tersebut adalah bagian dari ujian dan nikmat yang diberikan Allah. Ketika ada orang yang lebih dari kita di beberapa aspek, mungkin ada sisi lain yang ia korbankan. Jika seseorang terbiasa melihat dari kedua sisi, maka ia akan terdorong untuk lebih bersyukur atas segala kejadian yang menimpanya dengan melihat dari sisi positifnya. Dengan melihat segala sesuatu dari kedua sisi ini, kita dapat menjalani hidup dengan lebih bijaksana, menerima takdir dengan lapang dada, dan senantiasa bersyukur atas segala nikmat-Nya. Ketiga, membaca riwayat dan kisah tentang orang-orang saleh terdahulu Sebagian dari kita terkadang mengeluh tentang rumah yang sempit, makanan yang kurang enak atau pekerjaan yang melelahkan. Maka, renungkanlah kisah-kisah tentang orang-orang saleh terdahulu, khususnya kisah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bagaimana sedari kecil beliau ditinggal wafat oleh orang-orang tercinta, rumah dan tempat tidur beliau yang sederhana, kondisi ketika beliau diboikot, bahkan beliau tidak mendapati makanan yang melimpah dalam kesehariannya dan hanya sekadar terpenuhi kebutuhan pokoknya saja sehingga tidak kelaparan sebagaimana riwayat berikut. Dari Malik bin Dinar radhiyallahu ’anhu, beliau mengatakan, مَا شَبِعَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ خُبْزٍ قَطُّ وَلاَ لَحْمٍ إِلاَّ عَلَى ضَفَفٍ “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti atau kenyang karena makan daging, kecuali jika sedang menjamu tamu (maka beliau makan sampai kenyang).” (HR. Tirmidzi dalam Asy-Syama’il no. 70, lihat Mukhtashar Asy-Syama’il Al-Muhammadiyah no. 109) Dalam riwayat lain, ما شبِعَ آلُ محمدٍ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم من خُبزِ بُرٍّ مَأدومٍ ثلاثةَ أيامٍ حتى لحِقَ باللهِ “Keluarga Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti gandum yang diberi idam (semacam kuah) dalam tiga hari, sampai ia bertemu dengan Allah (wafat).” (HR. Bukhari no. 5423, Muslim no. 2970) Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan, قال لي رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، ذاتَ يومٍ يا عائشةُ ! هل عندكم شيٌء ؟ قالت فقلتُ : يا رسولَ اللهِ ! ما عندنا شيٌء قال فإني صائمٌ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadaku pada suatu hari, ‘Wahai Aisyah, apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan pagi ini)?’ Aku menjawab, ‘Wahai Rasulullah, kita tidak memiliki sesuatu pun (untuk dimakan).’ Beliau lalu bersabda, ‘Kalau begitu, aku akan puasa.’ ” (HR. Muslim no. 1154) [Bersambung] Baca juga: Mengingat Nikmat dan Memperbanyak Syukur *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: A’malul Qulub, karya Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah, hal. 301.


Daftar Isi Toggle Pertama, melihat kepada orang-orang yang di bawah atau tidak seberuntung kitaKedua, melihat segala hal dari kedua sisiKetiga, membaca riwayat dan kisah tentang orang-orang saleh terdahulu Syukur adalah salah satu amalan mulia yang sangat dianjurkan dalam Islam. Syukur bukan hanya sekadar ucapan di bibir, tetapi juga harus meresap dalam hati dan tercermin pada perilaku. Suatu amalan itu perlu dilatih dan dibiasakan untuk melakukannya. Salah satunya adalah amalan hati, yaitu syukur. Bagaimana cara melatihnya? Berikut beberapa poin yang dapat membantu seseorang agar bisa lebih bersyukur. Pertama, melihat kepada orang-orang yang di bawah atau tidak seberuntung kita Melihat kepada orang-orang yang berada di bawah atau tidak seberuntung kita adalah salah satu cara yang sangat efektif untuk membantu kita dalam melatih rasa syukur. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, انظروا إلى من هو أسفل منكم ولا تنظروا إلى من هو فوقكم ، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم “Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan (merendahkan) nikmat Allah padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat yang lain, “Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan bentuk (rupa), maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Terkadang, kita terlalu fokus pada apa yang kita belum miliki, padahal di luar sana banyak orang yang lebih membutuhkan dan hidupnya jauh lebih sulit daripada kita. Menyadari hal ini bisa membuka hati kita untuk lebih bersyukur atas apa yang telah kita miliki. Ketika melihat orang-orang yang kurang beruntung, kita akan menyadari bahwa banyak nikmat yang selama ini kita anggap biasa, ternyata sangat berarti bagi kehidupan orang lain. Misalnya, kita mengeluh dengan pekerjaan yang melelahkan, namun ada banyak orang yang masih mencari pekerjaan atau tidak memiliki pekerjaan yang layak. Baca juga: Mensyukuri Nikmat Keamanan Bangsa Kedua, melihat segala hal dari kedua sisi Melihat suatu hal dari kedua sisi dapat mendorong seseorang untuk bersyukur. Dalam kehidupan, setiap keadaan yang baik atau buruk memiliki hikmah dan pelajaran yang bisa diambil. Allah Ta’ala memberikan pedoman dalam keluarga untuk melihat dari kedua sisi sebagaimana firman-Nya, وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا “Dan bergaullah kalian dengan mereka (para istri) secara patut. Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan pada dirinya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ “Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (istri). Jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya, maka (bisa jadi) ia rida (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim) Dari ayat dan hadis di atas, Islam pun mengajarkan kita untuk melihat pasangan dari kedua sisi. Jika ada hal yang kurang disukai atau kekurangan yang nampak, maka pasti ada sisi kelebihan yang dimilikinya. Begitu pula dalam hal lainnya, baik dalam menghadapi kebaikan atau keburukan, kebahagiaan atau penderitaan, kenikmatan maupun kesulitan. Kedua sisi tersebut adalah bagian dari ujian dan nikmat yang diberikan Allah. Ketika ada orang yang lebih dari kita di beberapa aspek, mungkin ada sisi lain yang ia korbankan. Jika seseorang terbiasa melihat dari kedua sisi, maka ia akan terdorong untuk lebih bersyukur atas segala kejadian yang menimpanya dengan melihat dari sisi positifnya. Dengan melihat segala sesuatu dari kedua sisi ini, kita dapat menjalani hidup dengan lebih bijaksana, menerima takdir dengan lapang dada, dan senantiasa bersyukur atas segala nikmat-Nya. Ketiga, membaca riwayat dan kisah tentang orang-orang saleh terdahulu Sebagian dari kita terkadang mengeluh tentang rumah yang sempit, makanan yang kurang enak atau pekerjaan yang melelahkan. Maka, renungkanlah kisah-kisah tentang orang-orang saleh terdahulu, khususnya kisah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bagaimana sedari kecil beliau ditinggal wafat oleh orang-orang tercinta, rumah dan tempat tidur beliau yang sederhana, kondisi ketika beliau diboikot, bahkan beliau tidak mendapati makanan yang melimpah dalam kesehariannya dan hanya sekadar terpenuhi kebutuhan pokoknya saja sehingga tidak kelaparan sebagaimana riwayat berikut. Dari Malik bin Dinar radhiyallahu ’anhu, beliau mengatakan, مَا شَبِعَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ خُبْزٍ قَطُّ وَلاَ لَحْمٍ إِلاَّ عَلَى ضَفَفٍ “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti atau kenyang karena makan daging, kecuali jika sedang menjamu tamu (maka beliau makan sampai kenyang).” (HR. Tirmidzi dalam Asy-Syama’il no. 70, lihat Mukhtashar Asy-Syama’il Al-Muhammadiyah no. 109) Dalam riwayat lain, ما شبِعَ آلُ محمدٍ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم من خُبزِ بُرٍّ مَأدومٍ ثلاثةَ أيامٍ حتى لحِقَ باللهِ “Keluarga Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti gandum yang diberi idam (semacam kuah) dalam tiga hari, sampai ia bertemu dengan Allah (wafat).” (HR. Bukhari no. 5423, Muslim no. 2970) Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan, قال لي رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، ذاتَ يومٍ يا عائشةُ ! هل عندكم شيٌء ؟ قالت فقلتُ : يا رسولَ اللهِ ! ما عندنا شيٌء قال فإني صائمٌ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadaku pada suatu hari, ‘Wahai Aisyah, apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan pagi ini)?’ Aku menjawab, ‘Wahai Rasulullah, kita tidak memiliki sesuatu pun (untuk dimakan).’ Beliau lalu bersabda, ‘Kalau begitu, aku akan puasa.’ ” (HR. Muslim no. 1154) [Bersambung] Baca juga: Mengingat Nikmat dan Memperbanyak Syukur *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: A’malul Qulub, karya Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah, hal. 301.

Fatwa Ulama: Hukum Mengikuti Imam dalam Qunut Salat Subuh

Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus   Pertanyaan: Apa hukum mengikuti imam jika ia melakukan qunut dalam salat Subuh? Jawaban: Segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘Alamin, selawat, dan salam atas utusan Allah rahmatan lil ‘alamin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa ikhwanihi ila yaumiddin, Amma ba’du. Para ulama membedakan antara qunut doa dan qunut nazilah. Terdapat riwayat yang sahih bahwa Rasulullah ﷺ melakukan qunut nazilah dalam salat Subuh, sebagaimana diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, أنَّ النبيَّ صلى اللهُ عليه وآله وسَلَّم قَنَتَ في صلاة الصبح “Rasulullah ﷺ pernah melakukan qunut dalam salat Subuh.”[1] Namun, tidak ada riwayat yang sahih bahwa Rasulullah ﷺ melakukan doa qunut, kecuali pada salat witir. Dan inilah yang merupakan pendapat yang paling kuat (benar) di antara pendapat-pendapat dalam mazhab. Oleh karena itu, jika seorang makmum salat di belakang imam yang meyakini adanya qunut doa dalam salat Subuh, maka makmum tersebut tidak boleh mengikuti imam dalam hal yang bertentangan dengan perbuatan Rasulullah ﷺ. Hendaklah makmum cukup menunggu hingga imam selesai (melakukan qunut-pen) kemudian rukuk bersamanya. Sebagaimana seorang makmum yang menunggu imam menyelesaikan rakaat keempat dari salat Isya, jika ia (makmum) salat bersamanya dengan niat yang berbeda (misalnya, niat salat Magrib). Makmum tetap menunggu hingga imam selesai melaksanakan rakaat keempatnya. Atau seperti kasus ketika imam membatalkan satu rakaat dan bangkit untuk menambah rakaat kelima. Maka, makmum harus menunggunya dalam posisi duduk sambil tetap berada dalam salatnya. Kemudian ia (makmum) mengikuti imam dalam tasyahud (membaca salam) bersamanya dan mengucapkan salam setelahnya (imam). Wa al-‘ilmu ‘inda al-lāh. Akhīru al-kalām, wa al-ḥamdu li al-lāhi Rabbi al-‘ālamīna wa ṣallā al-lāhu ‘alā al-nabiyyi Muḥammadin wa ‘alā aṣhābihī wa ikhwānihī ilā yaumi al-dīn, wa sallama taslīman. Dikeluarkan di Aljazair, pada 23 Safar 1427 H Bertepatan dengan: 23 Maret 2006 M Baca juga: Lafal Qunut Witir dan Penjelasan Maknanya *** Penerjemah: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id   Sumber: https://www.ferkous.app/home/index.php?q=fatwa-501   Catatan kaki: [1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab “Bab-Bab tentang Witir”, 1: 240 dan oleh Muslim dalam kitab “Masjid dan Tempat Salat”, 1: 304, no. 677, dari Muhammad, ia berkata, “Aku bertanya kepada Anas, ‘Apakah Nabi ﷺ pernah melakukan qunut dalam salat Subuh?’ Anas menjawab, ‘Ya, setelah ruku’ dalam waktu yang singkat.’ ” Dan Muslim juga meriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa “Rasulullah ﷺ melakukan qunut selama satu bulan setelah rukuk dalam salat Fajar (Subuh), mendoakan keburukan atas Ri‘l dan Dzakwan, dan beliau berkata, ‘Ushayyah telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.’” (Shahih Muslim, no. 677) Lihat juga jalur sanad dan berbagai riwayatnya dalam kitab “Irwa’ Al-Ghalil” karya Al-Albani, 2: 160-162.

Fatwa Ulama: Hukum Mengikuti Imam dalam Qunut Salat Subuh

Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus   Pertanyaan: Apa hukum mengikuti imam jika ia melakukan qunut dalam salat Subuh? Jawaban: Segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘Alamin, selawat, dan salam atas utusan Allah rahmatan lil ‘alamin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa ikhwanihi ila yaumiddin, Amma ba’du. Para ulama membedakan antara qunut doa dan qunut nazilah. Terdapat riwayat yang sahih bahwa Rasulullah ﷺ melakukan qunut nazilah dalam salat Subuh, sebagaimana diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, أنَّ النبيَّ صلى اللهُ عليه وآله وسَلَّم قَنَتَ في صلاة الصبح “Rasulullah ﷺ pernah melakukan qunut dalam salat Subuh.”[1] Namun, tidak ada riwayat yang sahih bahwa Rasulullah ﷺ melakukan doa qunut, kecuali pada salat witir. Dan inilah yang merupakan pendapat yang paling kuat (benar) di antara pendapat-pendapat dalam mazhab. Oleh karena itu, jika seorang makmum salat di belakang imam yang meyakini adanya qunut doa dalam salat Subuh, maka makmum tersebut tidak boleh mengikuti imam dalam hal yang bertentangan dengan perbuatan Rasulullah ﷺ. Hendaklah makmum cukup menunggu hingga imam selesai (melakukan qunut-pen) kemudian rukuk bersamanya. Sebagaimana seorang makmum yang menunggu imam menyelesaikan rakaat keempat dari salat Isya, jika ia (makmum) salat bersamanya dengan niat yang berbeda (misalnya, niat salat Magrib). Makmum tetap menunggu hingga imam selesai melaksanakan rakaat keempatnya. Atau seperti kasus ketika imam membatalkan satu rakaat dan bangkit untuk menambah rakaat kelima. Maka, makmum harus menunggunya dalam posisi duduk sambil tetap berada dalam salatnya. Kemudian ia (makmum) mengikuti imam dalam tasyahud (membaca salam) bersamanya dan mengucapkan salam setelahnya (imam). Wa al-‘ilmu ‘inda al-lāh. Akhīru al-kalām, wa al-ḥamdu li al-lāhi Rabbi al-‘ālamīna wa ṣallā al-lāhu ‘alā al-nabiyyi Muḥammadin wa ‘alā aṣhābihī wa ikhwānihī ilā yaumi al-dīn, wa sallama taslīman. Dikeluarkan di Aljazair, pada 23 Safar 1427 H Bertepatan dengan: 23 Maret 2006 M Baca juga: Lafal Qunut Witir dan Penjelasan Maknanya *** Penerjemah: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id   Sumber: https://www.ferkous.app/home/index.php?q=fatwa-501   Catatan kaki: [1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab “Bab-Bab tentang Witir”, 1: 240 dan oleh Muslim dalam kitab “Masjid dan Tempat Salat”, 1: 304, no. 677, dari Muhammad, ia berkata, “Aku bertanya kepada Anas, ‘Apakah Nabi ﷺ pernah melakukan qunut dalam salat Subuh?’ Anas menjawab, ‘Ya, setelah ruku’ dalam waktu yang singkat.’ ” Dan Muslim juga meriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa “Rasulullah ﷺ melakukan qunut selama satu bulan setelah rukuk dalam salat Fajar (Subuh), mendoakan keburukan atas Ri‘l dan Dzakwan, dan beliau berkata, ‘Ushayyah telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.’” (Shahih Muslim, no. 677) Lihat juga jalur sanad dan berbagai riwayatnya dalam kitab “Irwa’ Al-Ghalil” karya Al-Albani, 2: 160-162.
Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus   Pertanyaan: Apa hukum mengikuti imam jika ia melakukan qunut dalam salat Subuh? Jawaban: Segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘Alamin, selawat, dan salam atas utusan Allah rahmatan lil ‘alamin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa ikhwanihi ila yaumiddin, Amma ba’du. Para ulama membedakan antara qunut doa dan qunut nazilah. Terdapat riwayat yang sahih bahwa Rasulullah ﷺ melakukan qunut nazilah dalam salat Subuh, sebagaimana diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, أنَّ النبيَّ صلى اللهُ عليه وآله وسَلَّم قَنَتَ في صلاة الصبح “Rasulullah ﷺ pernah melakukan qunut dalam salat Subuh.”[1] Namun, tidak ada riwayat yang sahih bahwa Rasulullah ﷺ melakukan doa qunut, kecuali pada salat witir. Dan inilah yang merupakan pendapat yang paling kuat (benar) di antara pendapat-pendapat dalam mazhab. Oleh karena itu, jika seorang makmum salat di belakang imam yang meyakini adanya qunut doa dalam salat Subuh, maka makmum tersebut tidak boleh mengikuti imam dalam hal yang bertentangan dengan perbuatan Rasulullah ﷺ. Hendaklah makmum cukup menunggu hingga imam selesai (melakukan qunut-pen) kemudian rukuk bersamanya. Sebagaimana seorang makmum yang menunggu imam menyelesaikan rakaat keempat dari salat Isya, jika ia (makmum) salat bersamanya dengan niat yang berbeda (misalnya, niat salat Magrib). Makmum tetap menunggu hingga imam selesai melaksanakan rakaat keempatnya. Atau seperti kasus ketika imam membatalkan satu rakaat dan bangkit untuk menambah rakaat kelima. Maka, makmum harus menunggunya dalam posisi duduk sambil tetap berada dalam salatnya. Kemudian ia (makmum) mengikuti imam dalam tasyahud (membaca salam) bersamanya dan mengucapkan salam setelahnya (imam). Wa al-‘ilmu ‘inda al-lāh. Akhīru al-kalām, wa al-ḥamdu li al-lāhi Rabbi al-‘ālamīna wa ṣallā al-lāhu ‘alā al-nabiyyi Muḥammadin wa ‘alā aṣhābihī wa ikhwānihī ilā yaumi al-dīn, wa sallama taslīman. Dikeluarkan di Aljazair, pada 23 Safar 1427 H Bertepatan dengan: 23 Maret 2006 M Baca juga: Lafal Qunut Witir dan Penjelasan Maknanya *** Penerjemah: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id   Sumber: https://www.ferkous.app/home/index.php?q=fatwa-501   Catatan kaki: [1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab “Bab-Bab tentang Witir”, 1: 240 dan oleh Muslim dalam kitab “Masjid dan Tempat Salat”, 1: 304, no. 677, dari Muhammad, ia berkata, “Aku bertanya kepada Anas, ‘Apakah Nabi ﷺ pernah melakukan qunut dalam salat Subuh?’ Anas menjawab, ‘Ya, setelah ruku’ dalam waktu yang singkat.’ ” Dan Muslim juga meriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa “Rasulullah ﷺ melakukan qunut selama satu bulan setelah rukuk dalam salat Fajar (Subuh), mendoakan keburukan atas Ri‘l dan Dzakwan, dan beliau berkata, ‘Ushayyah telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.’” (Shahih Muslim, no. 677) Lihat juga jalur sanad dan berbagai riwayatnya dalam kitab “Irwa’ Al-Ghalil” karya Al-Albani, 2: 160-162.


Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus   Pertanyaan: Apa hukum mengikuti imam jika ia melakukan qunut dalam salat Subuh? Jawaban: Segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘Alamin, selawat, dan salam atas utusan Allah rahmatan lil ‘alamin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa ikhwanihi ila yaumiddin, Amma ba’du. Para ulama membedakan antara qunut doa dan qunut nazilah. Terdapat riwayat yang sahih bahwa Rasulullah ﷺ melakukan qunut nazilah dalam salat Subuh, sebagaimana diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, أنَّ النبيَّ صلى اللهُ عليه وآله وسَلَّم قَنَتَ في صلاة الصبح “Rasulullah ﷺ pernah melakukan qunut dalam salat Subuh.”[1] Namun, tidak ada riwayat yang sahih bahwa Rasulullah ﷺ melakukan doa qunut, kecuali pada salat witir. Dan inilah yang merupakan pendapat yang paling kuat (benar) di antara pendapat-pendapat dalam mazhab. Oleh karena itu, jika seorang makmum salat di belakang imam yang meyakini adanya qunut doa dalam salat Subuh, maka makmum tersebut tidak boleh mengikuti imam dalam hal yang bertentangan dengan perbuatan Rasulullah ﷺ. Hendaklah makmum cukup menunggu hingga imam selesai (melakukan qunut-pen) kemudian rukuk bersamanya. Sebagaimana seorang makmum yang menunggu imam menyelesaikan rakaat keempat dari salat Isya, jika ia (makmum) salat bersamanya dengan niat yang berbeda (misalnya, niat salat Magrib). Makmum tetap menunggu hingga imam selesai melaksanakan rakaat keempatnya. Atau seperti kasus ketika imam membatalkan satu rakaat dan bangkit untuk menambah rakaat kelima. Maka, makmum harus menunggunya dalam posisi duduk sambil tetap berada dalam salatnya. Kemudian ia (makmum) mengikuti imam dalam tasyahud (membaca salam) bersamanya dan mengucapkan salam setelahnya (imam). Wa al-‘ilmu ‘inda al-lāh. Akhīru al-kalām, wa al-ḥamdu li al-lāhi Rabbi al-‘ālamīna wa ṣallā al-lāhu ‘alā al-nabiyyi Muḥammadin wa ‘alā aṣhābihī wa ikhwānihī ilā yaumi al-dīn, wa sallama taslīman. Dikeluarkan di Aljazair, pada 23 Safar 1427 H Bertepatan dengan: 23 Maret 2006 M Baca juga: Lafal Qunut Witir dan Penjelasan Maknanya *** Penerjemah: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id   Sumber: https://www.ferkous.app/home/index.php?q=fatwa-501   Catatan kaki: [1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab “Bab-Bab tentang Witir”, 1: 240 dan oleh Muslim dalam kitab “Masjid dan Tempat Salat”, 1: 304, no. 677, dari Muhammad, ia berkata, “Aku bertanya kepada Anas, ‘Apakah Nabi ﷺ pernah melakukan qunut dalam salat Subuh?’ Anas menjawab, ‘Ya, setelah ruku’ dalam waktu yang singkat.’ ” Dan Muslim juga meriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa “Rasulullah ﷺ melakukan qunut selama satu bulan setelah rukuk dalam salat Fajar (Subuh), mendoakan keburukan atas Ri‘l dan Dzakwan, dan beliau berkata, ‘Ushayyah telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.’” (Shahih Muslim, no. 677) Lihat juga jalur sanad dan berbagai riwayatnya dalam kitab “Irwa’ Al-Ghalil” karya Al-Albani, 2: 160-162.

Hubungan Shalat Malam dan al-Quran – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

“…mereka membaca ayat-ayat Allah pada malam hari dalam keadaan bersujud (shalat).” (QS. Ali Imran: 113). Yakni mereka menghimpun antara amalan Shalat Malam dengan membaca al-Quran. Antara Shalat Malam dan al-Quran terdapat hubungan erat yang tidak terpisahkan. Barang siapa yang menghafal al-Quran, hendaknya ia juga punya jatah waktu khusus untuk Shalat Malam. Karena Allah saat memberi pujian bagi segolongan dari Bani Israil, Dia memberi pujian bagi mereka karena hal tersebut. Yaitu karena mereka menghimpun antara amalan membaca al-Quran dan Shalat Malam. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Dan pada sebagian malam dirikanlah Shalat Tahajud sebagai ibadah tambahan bagimu mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS. al-Isra: 79). Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman: “Hai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya)…” (QS. al-Muzzammil: 1-2). Lalu setelahnya Allah berfirman, “…dan bacalah al-Quran dengan baik dan perlahan.” (QS. al-Muzzammil: 4). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dalam kitab ash-Shahih: “Jagalah al-Quran, karena demi Zat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, al-Quran lebih cepat hilangnya daripada unta yang lepas dari tali kekangnya…” Jika penghafal al-Quran membacanya pada Shalat Malam dan Siang, maka ia akan mengingatnya. Namun jika ia tidak membacanya dalam shalat, ia akan lupa. Jadi, shalatnya pada malam dan siangnya menjadi sebab kelancaran dan kekuatan hafalan al-Qurannya. Kesimpulannya, seorang penghafal al-Quran harus berusaha keras, agar punya jatah waktu rutin untuk Shalat Malam, sebagaimana ia punya jatah waktu rutin untuk membaca al-Quran. ==== يَتْلُونَ آيَاتِ اللَّهِ آنَاءَ اللَّيْلِ – أَيْ أَوْقَاتَ اللَّيْلِ – وَهُمْ يَسْجُدُونَ فَجَمَعُوا بَيْنَ الْقِيَامِ وَبَيْنَ تِلَاوَةِ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَبَيْنَ الْقِيَامِ وَالْقُرْآنِ عَلَاقَةٌ لَا تَنْقَطِعُ مَنْ كَانَ مَعَهُ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ لَهُ وِرْدٌ مِنَ الْقِيَامِ لِأَنَّ رَبَّنَا لَمَّا أَثْنَى عَلَى مَنْ أَثْنَى عَلَيْهِ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَثْنَى عَلَيْهِمْ بِهَذَا الْأَمْرِ وَهُوَ أَنَّهُمْ جَمَعُوا بَيْنَ الْقُرْآنِ وَبَيْنَ قِيَامِ اللَّيْلِ قَالَ تَعَالَى لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا وَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا ثُمَّ قَالَ بَعْدَهَا وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ؟ نَعَمْ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيْلًا قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيثٍ مُخَرَّجٍ فِي الصَّحِيحِ تَعَاهَدُوا الْقُرْآنَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ تَفَلُّتًا مِنَ الْإِبِلِ فِي عُقُلِهَا فَإِنْ صَاحِبُ الْقُرْآنِ قَامَ بِهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ وَإِنْ لَمْ يَقُمْ بِهِ نَسِيَهُ فَكَانَ قِيَامُهُ بِاللَّيْلِ مَعَ النَّهَارِ سَبَبًا لِضَبْطِهِ وَحِفْظِهِ وَإِتْقَانِهِ الْمَقْصُودُ أَنَّ صَاحِبَ الْقُرْآنِ لَا بُدَّ أَنْ يُجَاهِدَ نَفْسَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وِرْدٌ مِنَ اللَّيْلِ كَمَا لَهُ وِرْدٌ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Hubungan Shalat Malam dan al-Quran – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

“…mereka membaca ayat-ayat Allah pada malam hari dalam keadaan bersujud (shalat).” (QS. Ali Imran: 113). Yakni mereka menghimpun antara amalan Shalat Malam dengan membaca al-Quran. Antara Shalat Malam dan al-Quran terdapat hubungan erat yang tidak terpisahkan. Barang siapa yang menghafal al-Quran, hendaknya ia juga punya jatah waktu khusus untuk Shalat Malam. Karena Allah saat memberi pujian bagi segolongan dari Bani Israil, Dia memberi pujian bagi mereka karena hal tersebut. Yaitu karena mereka menghimpun antara amalan membaca al-Quran dan Shalat Malam. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Dan pada sebagian malam dirikanlah Shalat Tahajud sebagai ibadah tambahan bagimu mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS. al-Isra: 79). Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman: “Hai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya)…” (QS. al-Muzzammil: 1-2). Lalu setelahnya Allah berfirman, “…dan bacalah al-Quran dengan baik dan perlahan.” (QS. al-Muzzammil: 4). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dalam kitab ash-Shahih: “Jagalah al-Quran, karena demi Zat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, al-Quran lebih cepat hilangnya daripada unta yang lepas dari tali kekangnya…” Jika penghafal al-Quran membacanya pada Shalat Malam dan Siang, maka ia akan mengingatnya. Namun jika ia tidak membacanya dalam shalat, ia akan lupa. Jadi, shalatnya pada malam dan siangnya menjadi sebab kelancaran dan kekuatan hafalan al-Qurannya. Kesimpulannya, seorang penghafal al-Quran harus berusaha keras, agar punya jatah waktu rutin untuk Shalat Malam, sebagaimana ia punya jatah waktu rutin untuk membaca al-Quran. ==== يَتْلُونَ آيَاتِ اللَّهِ آنَاءَ اللَّيْلِ – أَيْ أَوْقَاتَ اللَّيْلِ – وَهُمْ يَسْجُدُونَ فَجَمَعُوا بَيْنَ الْقِيَامِ وَبَيْنَ تِلَاوَةِ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَبَيْنَ الْقِيَامِ وَالْقُرْآنِ عَلَاقَةٌ لَا تَنْقَطِعُ مَنْ كَانَ مَعَهُ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ لَهُ وِرْدٌ مِنَ الْقِيَامِ لِأَنَّ رَبَّنَا لَمَّا أَثْنَى عَلَى مَنْ أَثْنَى عَلَيْهِ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَثْنَى عَلَيْهِمْ بِهَذَا الْأَمْرِ وَهُوَ أَنَّهُمْ جَمَعُوا بَيْنَ الْقُرْآنِ وَبَيْنَ قِيَامِ اللَّيْلِ قَالَ تَعَالَى لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا وَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا ثُمَّ قَالَ بَعْدَهَا وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ؟ نَعَمْ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيْلًا قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيثٍ مُخَرَّجٍ فِي الصَّحِيحِ تَعَاهَدُوا الْقُرْآنَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ تَفَلُّتًا مِنَ الْإِبِلِ فِي عُقُلِهَا فَإِنْ صَاحِبُ الْقُرْآنِ قَامَ بِهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ وَإِنْ لَمْ يَقُمْ بِهِ نَسِيَهُ فَكَانَ قِيَامُهُ بِاللَّيْلِ مَعَ النَّهَارِ سَبَبًا لِضَبْطِهِ وَحِفْظِهِ وَإِتْقَانِهِ الْمَقْصُودُ أَنَّ صَاحِبَ الْقُرْآنِ لَا بُدَّ أَنْ يُجَاهِدَ نَفْسَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وِرْدٌ مِنَ اللَّيْلِ كَمَا لَهُ وِرْدٌ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“…mereka membaca ayat-ayat Allah pada malam hari dalam keadaan bersujud (shalat).” (QS. Ali Imran: 113). Yakni mereka menghimpun antara amalan Shalat Malam dengan membaca al-Quran. Antara Shalat Malam dan al-Quran terdapat hubungan erat yang tidak terpisahkan. Barang siapa yang menghafal al-Quran, hendaknya ia juga punya jatah waktu khusus untuk Shalat Malam. Karena Allah saat memberi pujian bagi segolongan dari Bani Israil, Dia memberi pujian bagi mereka karena hal tersebut. Yaitu karena mereka menghimpun antara amalan membaca al-Quran dan Shalat Malam. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Dan pada sebagian malam dirikanlah Shalat Tahajud sebagai ibadah tambahan bagimu mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS. al-Isra: 79). Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman: “Hai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya)…” (QS. al-Muzzammil: 1-2). Lalu setelahnya Allah berfirman, “…dan bacalah al-Quran dengan baik dan perlahan.” (QS. al-Muzzammil: 4). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dalam kitab ash-Shahih: “Jagalah al-Quran, karena demi Zat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, al-Quran lebih cepat hilangnya daripada unta yang lepas dari tali kekangnya…” Jika penghafal al-Quran membacanya pada Shalat Malam dan Siang, maka ia akan mengingatnya. Namun jika ia tidak membacanya dalam shalat, ia akan lupa. Jadi, shalatnya pada malam dan siangnya menjadi sebab kelancaran dan kekuatan hafalan al-Qurannya. Kesimpulannya, seorang penghafal al-Quran harus berusaha keras, agar punya jatah waktu rutin untuk Shalat Malam, sebagaimana ia punya jatah waktu rutin untuk membaca al-Quran. ==== يَتْلُونَ آيَاتِ اللَّهِ آنَاءَ اللَّيْلِ – أَيْ أَوْقَاتَ اللَّيْلِ – وَهُمْ يَسْجُدُونَ فَجَمَعُوا بَيْنَ الْقِيَامِ وَبَيْنَ تِلَاوَةِ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَبَيْنَ الْقِيَامِ وَالْقُرْآنِ عَلَاقَةٌ لَا تَنْقَطِعُ مَنْ كَانَ مَعَهُ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ لَهُ وِرْدٌ مِنَ الْقِيَامِ لِأَنَّ رَبَّنَا لَمَّا أَثْنَى عَلَى مَنْ أَثْنَى عَلَيْهِ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَثْنَى عَلَيْهِمْ بِهَذَا الْأَمْرِ وَهُوَ أَنَّهُمْ جَمَعُوا بَيْنَ الْقُرْآنِ وَبَيْنَ قِيَامِ اللَّيْلِ قَالَ تَعَالَى لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا وَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا ثُمَّ قَالَ بَعْدَهَا وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ؟ نَعَمْ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيْلًا قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيثٍ مُخَرَّجٍ فِي الصَّحِيحِ تَعَاهَدُوا الْقُرْآنَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ تَفَلُّتًا مِنَ الْإِبِلِ فِي عُقُلِهَا فَإِنْ صَاحِبُ الْقُرْآنِ قَامَ بِهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ وَإِنْ لَمْ يَقُمْ بِهِ نَسِيَهُ فَكَانَ قِيَامُهُ بِاللَّيْلِ مَعَ النَّهَارِ سَبَبًا لِضَبْطِهِ وَحِفْظِهِ وَإِتْقَانِهِ الْمَقْصُودُ أَنَّ صَاحِبَ الْقُرْآنِ لَا بُدَّ أَنْ يُجَاهِدَ نَفْسَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وِرْدٌ مِنَ اللَّيْلِ كَمَا لَهُ وِرْدٌ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ


“…mereka membaca ayat-ayat Allah pada malam hari dalam keadaan bersujud (shalat).” (QS. Ali Imran: 113). Yakni mereka menghimpun antara amalan Shalat Malam dengan membaca al-Quran. Antara Shalat Malam dan al-Quran terdapat hubungan erat yang tidak terpisahkan. Barang siapa yang menghafal al-Quran, hendaknya ia juga punya jatah waktu khusus untuk Shalat Malam. Karena Allah saat memberi pujian bagi segolongan dari Bani Israil, Dia memberi pujian bagi mereka karena hal tersebut. Yaitu karena mereka menghimpun antara amalan membaca al-Quran dan Shalat Malam. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Dan pada sebagian malam dirikanlah Shalat Tahajud sebagai ibadah tambahan bagimu mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS. al-Isra: 79). Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman: “Hai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya)…” (QS. al-Muzzammil: 1-2). Lalu setelahnya Allah berfirman, “…dan bacalah al-Quran dengan baik dan perlahan.” (QS. al-Muzzammil: 4). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dalam kitab ash-Shahih: “Jagalah al-Quran, karena demi Zat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, al-Quran lebih cepat hilangnya daripada unta yang lepas dari tali kekangnya…” Jika penghafal al-Quran membacanya pada Shalat Malam dan Siang, maka ia akan mengingatnya. Namun jika ia tidak membacanya dalam shalat, ia akan lupa. Jadi, shalatnya pada malam dan siangnya menjadi sebab kelancaran dan kekuatan hafalan al-Qurannya. Kesimpulannya, seorang penghafal al-Quran harus berusaha keras, agar punya jatah waktu rutin untuk Shalat Malam, sebagaimana ia punya jatah waktu rutin untuk membaca al-Quran. ==== يَتْلُونَ آيَاتِ اللَّهِ آنَاءَ اللَّيْلِ – أَيْ أَوْقَاتَ اللَّيْلِ – وَهُمْ يَسْجُدُونَ فَجَمَعُوا بَيْنَ الْقِيَامِ وَبَيْنَ تِلَاوَةِ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَبَيْنَ الْقِيَامِ وَالْقُرْآنِ عَلَاقَةٌ لَا تَنْقَطِعُ مَنْ كَانَ مَعَهُ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ لَهُ وِرْدٌ مِنَ الْقِيَامِ لِأَنَّ رَبَّنَا لَمَّا أَثْنَى عَلَى مَنْ أَثْنَى عَلَيْهِ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَثْنَى عَلَيْهِمْ بِهَذَا الْأَمْرِ وَهُوَ أَنَّهُمْ جَمَعُوا بَيْنَ الْقُرْآنِ وَبَيْنَ قِيَامِ اللَّيْلِ قَالَ تَعَالَى لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا وَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا ثُمَّ قَالَ بَعْدَهَا وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ؟ نَعَمْ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيْلًا قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيثٍ مُخَرَّجٍ فِي الصَّحِيحِ تَعَاهَدُوا الْقُرْآنَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ تَفَلُّتًا مِنَ الْإِبِلِ فِي عُقُلِهَا فَإِنْ صَاحِبُ الْقُرْآنِ قَامَ بِهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ وَإِنْ لَمْ يَقُمْ بِهِ نَسِيَهُ فَكَانَ قِيَامُهُ بِاللَّيْلِ مَعَ النَّهَارِ سَبَبًا لِضَبْطِهِ وَحِفْظِهِ وَإِتْقَانِهِ الْمَقْصُودُ أَنَّ صَاحِبَ الْقُرْآنِ لَا بُدَّ أَنْ يُجَاهِدَ نَفْسَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وِرْدٌ مِنَ اللَّيْلِ كَمَا لَهُ وِرْدٌ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Teks Khotbah Jumat: Anjuran Memperbanyak Puasa di Bulan Sya’ban

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral Muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, baik itu dengan menjalankan seluruh perintah-Nya ataupun dengan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Karena takwa adalah perkara yang Allah wasiatkan kepada kita dan umat-umat sebelumnya. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Bulan Rajab, salah satu bulan haram baru saja berlalu, dan saat ini kita berada di bulan Sya’ban, yang menandakan dekatnya bulan Ramadan yang penuh kemuliaan. Ketahuilah wahai jemaah sekalian, letak bulan Sya’ban yang terjepit antara bulan Rajab dan Ramadan akhirnya membuat kebanyakan manusia lalai darinya. Mengapa? Karena bulan Rajab, bulan sebelumnya dan Ramadan bulan setelahnya, termasuk bulan yang dihormati di dalam Islam. Bulan Rajab termasuk bulan haram, bulan di mana sebuah kemaksiatan dosanya menjadi lebih berat dan sebuah ketaatan pahalanya menjadi lebih banyak. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus. Maka, janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36) Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menjelaskan makna ayat di atas, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram (Rajab di antaranya), kesemuanya dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan saleh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latha’if Al-Ma’arif, hal. 207) Sedangkan bulan Ramadan, maka semua kaum muslimin mengetahui, bahwa pada bulan ini mereka dituntut untuk memperbanyak amalan dan menjauhi kemaksiatan. Oleh karena itu, ketika bulan Sya’ban tiba, (yang terletak di antara keduanya) manusia menjadi lalai dan mengambil kesempatan untuk menyelesaikan urusan. Kebanyakan mereka lalai dari melakukan ketaatan di bulan ini karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan haram) dan juga menanti bulan sesudahnya, yaitu bulan Ramadan. Padahal wahai jemaah sekalian, terdapat banyak sekali dalil yang menunjukkan tentang anjuran memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun memperbanyak puasa di bulan Sya’ban daripada bulan-bulan lainnya (selain puasa wajib di bulan Ramadan tentunya). Diriwayatkan dari sahabat Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, يا رسولَ اللَّهِ ! لم ارك تَصومُ شَهْرًا منَ الشُّهورِ ما تصومُ من شعبانَ ؟ ! قالَ : ذلِكَ شَهْرٌ يَغفُلُ النَّاسُ عنهُ بينَ رجبٍ ورمضانَ ، وَهوَ شَهْرٌ تُرفَعُ فيهِ الأعمالُ إلى ربِّ العالمينَ ، فأحبُّ أن يُرفَعَ عمَلي وأَنا صائمٌ “Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa dalam sebuah bulan layaknya puasamu di bulan Sya’ban.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai, yakni di antara bulan Rajab dan Ramadan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan” (HR. An Nasa’i no. 2357. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan.) ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga menceritakan tentang bagaimana sifat puasa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam di bulan Sya’ban, “Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156) Dalam lafaz Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Beliau berpuasa pada bulan Sya’ban, kecuali hanya beberapa hari saja (yang beliau tidak berpuasa di dalamnya).” (HR. Muslim no. 1156) Jawaban Nabi untuk sahabat Usamah bin Zaid di atas seakan-akan beliau mengatakan kepada kita, “Tidak pantas bagi kita untuk lalai dari Allah Ta’ala di saat semua manusia lalai pada-Nya. Seharusnya kita lebih bersemangat dan menyadari keberadaan Tuhan kita, agar diri kita termasuk hamba Allah yang memilih menghadap kepada-Nya di saat manusia lainnya lalai dari-Nya. Rajinlah bersedekah di saat semua manusia pelit mengeluarkan hartanya. Bangun malamlah di saat yang lain terlelap dalam tidur. Jagalah salat di saat hamba-hamba yang lain menyia-nyiakannya.” Allah menyiapkan ganjaran yang besar bagi mereka yang mengingat Allah di waktu manusia-manusia lainnya sedang lalai. Kita ambil contoh dalam hal bangun di malam hari untuk beribadah, ketika kebanyakan manusia sedang terlelap dalam tidurnya. Allah berfirman, تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ ٱلْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ * فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّآ أُخْفِىَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَآءًۢ بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ “Lambung mereka (orang-orang beriman) itu jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan. Tidak seorang pun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.” (QS. As-Sajdah: 16) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Hikmah Memperbanyak Puasa di Bulan Sya’ban Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Beribadah di waktu manusia lalai juga memiliki beberapa keutamaan lainnya, di antaranya: Pertama, akan menjadi amalan rahasia dan tersembunyi. Pada dasarnya, menyembunyikan dan merahasiakan ibadah sunah itu lebih utama. Apalagi amalan tersebut adalah puasa, yang merupakan rahasia seorang hamba dengan Rabbnya. Kedua, layaknya hijrah kepada Nabi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda, الْعِبَادَةُ فِي الْهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إِلَيَّ  “Beribadah pada waktu terjadi fitnah seperti hijrah kepadaku.” (HR. Muslim no. 2948) An-Nawawi rahimahulah mengatakan, “Maksud dari kata ‘Al-Harj’ disini adalah fitnah dan simpang siurnya urusan. Sebab banyaknya keutamaan beribadah di dalamnya. Karena orang-orang lalai dan tersibukkan sehingga tidak ada yang fokus (beribadah), melainkan sedikit sekali.” (Syarah Shahih Muslim, 18: 88) Ketiga, berbuat ketaatan sendirian di saat yang lain bermaksiat dan lalai bisa jadi akan menangkal marabahaya dari manusia seluruhnya. Sehingga ia seakan-akan melindungi dan menjaga mereka. (Latha’if Al-Ma’arif, hal. 191-193) Oleh karena itu, wahai jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, dapat kita simpulkan bahwa hikmah terbesar berpuasa di bulan Sya’ban adalah mendapatkan keutamaan beramal di waktu manusia yang lain lalai dari mengingat Allah Ta’ala. Sungguh, ini merupakan hikmah yang sangat agung yang seharusnya kaum muslimin berlomba-lomba di dalam menggapainya. Belum lagi, memperbanyak puasa di bulan Sy’aban mendatangkan beberapa hikmah lainnya. Sebagaimana hal ini disampaikan oleh Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya, Latha’if Al-Ma’arif. Beliau mengatakan, “Berpuasa pada bulan Sya’ban merupakan bentuk latihan untuk puasa Ramadan. Dengan demikian, ia tidak akan merasa berat dan terbebani ketika mulai puasa Ramadan.” Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga menyebutkan di dalam Majmu’ Fatawa, “Para ahli ilmu mengatakan bahwa puasa pada bulan Sya’ban layaknya salat sunah dan salat rawatib bagi salat wajib lima waktu (yaitu, sebagai pelengkap), dan ia seakan-akan menjadi awal untuk menjalani puasa Ramadan.” Semoga Allah menjadikan kita sebagai salah satu hamba yang ketika amalan kita diangkat, diri kita sedang dalam kondisi berpuasa untuknya. Semoga Allah berikan kita hidayah untuk terus menghidupkan sunah-sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Mengenal Hadits-Hadits Lemah Seputar Bulan Sya’ban *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Teks Khotbah Jumat: Anjuran Memperbanyak Puasa di Bulan Sya’ban

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral Muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, baik itu dengan menjalankan seluruh perintah-Nya ataupun dengan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Karena takwa adalah perkara yang Allah wasiatkan kepada kita dan umat-umat sebelumnya. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Bulan Rajab, salah satu bulan haram baru saja berlalu, dan saat ini kita berada di bulan Sya’ban, yang menandakan dekatnya bulan Ramadan yang penuh kemuliaan. Ketahuilah wahai jemaah sekalian, letak bulan Sya’ban yang terjepit antara bulan Rajab dan Ramadan akhirnya membuat kebanyakan manusia lalai darinya. Mengapa? Karena bulan Rajab, bulan sebelumnya dan Ramadan bulan setelahnya, termasuk bulan yang dihormati di dalam Islam. Bulan Rajab termasuk bulan haram, bulan di mana sebuah kemaksiatan dosanya menjadi lebih berat dan sebuah ketaatan pahalanya menjadi lebih banyak. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus. Maka, janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36) Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menjelaskan makna ayat di atas, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram (Rajab di antaranya), kesemuanya dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan saleh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latha’if Al-Ma’arif, hal. 207) Sedangkan bulan Ramadan, maka semua kaum muslimin mengetahui, bahwa pada bulan ini mereka dituntut untuk memperbanyak amalan dan menjauhi kemaksiatan. Oleh karena itu, ketika bulan Sya’ban tiba, (yang terletak di antara keduanya) manusia menjadi lalai dan mengambil kesempatan untuk menyelesaikan urusan. Kebanyakan mereka lalai dari melakukan ketaatan di bulan ini karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan haram) dan juga menanti bulan sesudahnya, yaitu bulan Ramadan. Padahal wahai jemaah sekalian, terdapat banyak sekali dalil yang menunjukkan tentang anjuran memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun memperbanyak puasa di bulan Sya’ban daripada bulan-bulan lainnya (selain puasa wajib di bulan Ramadan tentunya). Diriwayatkan dari sahabat Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, يا رسولَ اللَّهِ ! لم ارك تَصومُ شَهْرًا منَ الشُّهورِ ما تصومُ من شعبانَ ؟ ! قالَ : ذلِكَ شَهْرٌ يَغفُلُ النَّاسُ عنهُ بينَ رجبٍ ورمضانَ ، وَهوَ شَهْرٌ تُرفَعُ فيهِ الأعمالُ إلى ربِّ العالمينَ ، فأحبُّ أن يُرفَعَ عمَلي وأَنا صائمٌ “Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa dalam sebuah bulan layaknya puasamu di bulan Sya’ban.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai, yakni di antara bulan Rajab dan Ramadan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan” (HR. An Nasa’i no. 2357. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan.) ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga menceritakan tentang bagaimana sifat puasa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam di bulan Sya’ban, “Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156) Dalam lafaz Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Beliau berpuasa pada bulan Sya’ban, kecuali hanya beberapa hari saja (yang beliau tidak berpuasa di dalamnya).” (HR. Muslim no. 1156) Jawaban Nabi untuk sahabat Usamah bin Zaid di atas seakan-akan beliau mengatakan kepada kita, “Tidak pantas bagi kita untuk lalai dari Allah Ta’ala di saat semua manusia lalai pada-Nya. Seharusnya kita lebih bersemangat dan menyadari keberadaan Tuhan kita, agar diri kita termasuk hamba Allah yang memilih menghadap kepada-Nya di saat manusia lainnya lalai dari-Nya. Rajinlah bersedekah di saat semua manusia pelit mengeluarkan hartanya. Bangun malamlah di saat yang lain terlelap dalam tidur. Jagalah salat di saat hamba-hamba yang lain menyia-nyiakannya.” Allah menyiapkan ganjaran yang besar bagi mereka yang mengingat Allah di waktu manusia-manusia lainnya sedang lalai. Kita ambil contoh dalam hal bangun di malam hari untuk beribadah, ketika kebanyakan manusia sedang terlelap dalam tidurnya. Allah berfirman, تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ ٱلْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ * فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّآ أُخْفِىَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَآءًۢ بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ “Lambung mereka (orang-orang beriman) itu jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan. Tidak seorang pun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.” (QS. As-Sajdah: 16) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Hikmah Memperbanyak Puasa di Bulan Sya’ban Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Beribadah di waktu manusia lalai juga memiliki beberapa keutamaan lainnya, di antaranya: Pertama, akan menjadi amalan rahasia dan tersembunyi. Pada dasarnya, menyembunyikan dan merahasiakan ibadah sunah itu lebih utama. Apalagi amalan tersebut adalah puasa, yang merupakan rahasia seorang hamba dengan Rabbnya. Kedua, layaknya hijrah kepada Nabi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda, الْعِبَادَةُ فِي الْهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إِلَيَّ  “Beribadah pada waktu terjadi fitnah seperti hijrah kepadaku.” (HR. Muslim no. 2948) An-Nawawi rahimahulah mengatakan, “Maksud dari kata ‘Al-Harj’ disini adalah fitnah dan simpang siurnya urusan. Sebab banyaknya keutamaan beribadah di dalamnya. Karena orang-orang lalai dan tersibukkan sehingga tidak ada yang fokus (beribadah), melainkan sedikit sekali.” (Syarah Shahih Muslim, 18: 88) Ketiga, berbuat ketaatan sendirian di saat yang lain bermaksiat dan lalai bisa jadi akan menangkal marabahaya dari manusia seluruhnya. Sehingga ia seakan-akan melindungi dan menjaga mereka. (Latha’if Al-Ma’arif, hal. 191-193) Oleh karena itu, wahai jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, dapat kita simpulkan bahwa hikmah terbesar berpuasa di bulan Sya’ban adalah mendapatkan keutamaan beramal di waktu manusia yang lain lalai dari mengingat Allah Ta’ala. Sungguh, ini merupakan hikmah yang sangat agung yang seharusnya kaum muslimin berlomba-lomba di dalam menggapainya. Belum lagi, memperbanyak puasa di bulan Sy’aban mendatangkan beberapa hikmah lainnya. Sebagaimana hal ini disampaikan oleh Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya, Latha’if Al-Ma’arif. Beliau mengatakan, “Berpuasa pada bulan Sya’ban merupakan bentuk latihan untuk puasa Ramadan. Dengan demikian, ia tidak akan merasa berat dan terbebani ketika mulai puasa Ramadan.” Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga menyebutkan di dalam Majmu’ Fatawa, “Para ahli ilmu mengatakan bahwa puasa pada bulan Sya’ban layaknya salat sunah dan salat rawatib bagi salat wajib lima waktu (yaitu, sebagai pelengkap), dan ia seakan-akan menjadi awal untuk menjalani puasa Ramadan.” Semoga Allah menjadikan kita sebagai salah satu hamba yang ketika amalan kita diangkat, diri kita sedang dalam kondisi berpuasa untuknya. Semoga Allah berikan kita hidayah untuk terus menghidupkan sunah-sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Mengenal Hadits-Hadits Lemah Seputar Bulan Sya’ban *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral Muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, baik itu dengan menjalankan seluruh perintah-Nya ataupun dengan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Karena takwa adalah perkara yang Allah wasiatkan kepada kita dan umat-umat sebelumnya. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Bulan Rajab, salah satu bulan haram baru saja berlalu, dan saat ini kita berada di bulan Sya’ban, yang menandakan dekatnya bulan Ramadan yang penuh kemuliaan. Ketahuilah wahai jemaah sekalian, letak bulan Sya’ban yang terjepit antara bulan Rajab dan Ramadan akhirnya membuat kebanyakan manusia lalai darinya. Mengapa? Karena bulan Rajab, bulan sebelumnya dan Ramadan bulan setelahnya, termasuk bulan yang dihormati di dalam Islam. Bulan Rajab termasuk bulan haram, bulan di mana sebuah kemaksiatan dosanya menjadi lebih berat dan sebuah ketaatan pahalanya menjadi lebih banyak. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus. Maka, janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36) Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menjelaskan makna ayat di atas, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram (Rajab di antaranya), kesemuanya dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan saleh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latha’if Al-Ma’arif, hal. 207) Sedangkan bulan Ramadan, maka semua kaum muslimin mengetahui, bahwa pada bulan ini mereka dituntut untuk memperbanyak amalan dan menjauhi kemaksiatan. Oleh karena itu, ketika bulan Sya’ban tiba, (yang terletak di antara keduanya) manusia menjadi lalai dan mengambil kesempatan untuk menyelesaikan urusan. Kebanyakan mereka lalai dari melakukan ketaatan di bulan ini karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan haram) dan juga menanti bulan sesudahnya, yaitu bulan Ramadan. Padahal wahai jemaah sekalian, terdapat banyak sekali dalil yang menunjukkan tentang anjuran memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun memperbanyak puasa di bulan Sya’ban daripada bulan-bulan lainnya (selain puasa wajib di bulan Ramadan tentunya). Diriwayatkan dari sahabat Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, يا رسولَ اللَّهِ ! لم ارك تَصومُ شَهْرًا منَ الشُّهورِ ما تصومُ من شعبانَ ؟ ! قالَ : ذلِكَ شَهْرٌ يَغفُلُ النَّاسُ عنهُ بينَ رجبٍ ورمضانَ ، وَهوَ شَهْرٌ تُرفَعُ فيهِ الأعمالُ إلى ربِّ العالمينَ ، فأحبُّ أن يُرفَعَ عمَلي وأَنا صائمٌ “Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa dalam sebuah bulan layaknya puasamu di bulan Sya’ban.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai, yakni di antara bulan Rajab dan Ramadan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan” (HR. An Nasa’i no. 2357. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan.) ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga menceritakan tentang bagaimana sifat puasa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam di bulan Sya’ban, “Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156) Dalam lafaz Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Beliau berpuasa pada bulan Sya’ban, kecuali hanya beberapa hari saja (yang beliau tidak berpuasa di dalamnya).” (HR. Muslim no. 1156) Jawaban Nabi untuk sahabat Usamah bin Zaid di atas seakan-akan beliau mengatakan kepada kita, “Tidak pantas bagi kita untuk lalai dari Allah Ta’ala di saat semua manusia lalai pada-Nya. Seharusnya kita lebih bersemangat dan menyadari keberadaan Tuhan kita, agar diri kita termasuk hamba Allah yang memilih menghadap kepada-Nya di saat manusia lainnya lalai dari-Nya. Rajinlah bersedekah di saat semua manusia pelit mengeluarkan hartanya. Bangun malamlah di saat yang lain terlelap dalam tidur. Jagalah salat di saat hamba-hamba yang lain menyia-nyiakannya.” Allah menyiapkan ganjaran yang besar bagi mereka yang mengingat Allah di waktu manusia-manusia lainnya sedang lalai. Kita ambil contoh dalam hal bangun di malam hari untuk beribadah, ketika kebanyakan manusia sedang terlelap dalam tidurnya. Allah berfirman, تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ ٱلْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ * فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّآ أُخْفِىَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَآءًۢ بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ “Lambung mereka (orang-orang beriman) itu jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan. Tidak seorang pun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.” (QS. As-Sajdah: 16) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Hikmah Memperbanyak Puasa di Bulan Sya’ban Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Beribadah di waktu manusia lalai juga memiliki beberapa keutamaan lainnya, di antaranya: Pertama, akan menjadi amalan rahasia dan tersembunyi. Pada dasarnya, menyembunyikan dan merahasiakan ibadah sunah itu lebih utama. Apalagi amalan tersebut adalah puasa, yang merupakan rahasia seorang hamba dengan Rabbnya. Kedua, layaknya hijrah kepada Nabi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda, الْعِبَادَةُ فِي الْهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إِلَيَّ  “Beribadah pada waktu terjadi fitnah seperti hijrah kepadaku.” (HR. Muslim no. 2948) An-Nawawi rahimahulah mengatakan, “Maksud dari kata ‘Al-Harj’ disini adalah fitnah dan simpang siurnya urusan. Sebab banyaknya keutamaan beribadah di dalamnya. Karena orang-orang lalai dan tersibukkan sehingga tidak ada yang fokus (beribadah), melainkan sedikit sekali.” (Syarah Shahih Muslim, 18: 88) Ketiga, berbuat ketaatan sendirian di saat yang lain bermaksiat dan lalai bisa jadi akan menangkal marabahaya dari manusia seluruhnya. Sehingga ia seakan-akan melindungi dan menjaga mereka. (Latha’if Al-Ma’arif, hal. 191-193) Oleh karena itu, wahai jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, dapat kita simpulkan bahwa hikmah terbesar berpuasa di bulan Sya’ban adalah mendapatkan keutamaan beramal di waktu manusia yang lain lalai dari mengingat Allah Ta’ala. Sungguh, ini merupakan hikmah yang sangat agung yang seharusnya kaum muslimin berlomba-lomba di dalam menggapainya. Belum lagi, memperbanyak puasa di bulan Sy’aban mendatangkan beberapa hikmah lainnya. Sebagaimana hal ini disampaikan oleh Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya, Latha’if Al-Ma’arif. Beliau mengatakan, “Berpuasa pada bulan Sya’ban merupakan bentuk latihan untuk puasa Ramadan. Dengan demikian, ia tidak akan merasa berat dan terbebani ketika mulai puasa Ramadan.” Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga menyebutkan di dalam Majmu’ Fatawa, “Para ahli ilmu mengatakan bahwa puasa pada bulan Sya’ban layaknya salat sunah dan salat rawatib bagi salat wajib lima waktu (yaitu, sebagai pelengkap), dan ia seakan-akan menjadi awal untuk menjalani puasa Ramadan.” Semoga Allah menjadikan kita sebagai salah satu hamba yang ketika amalan kita diangkat, diri kita sedang dalam kondisi berpuasa untuknya. Semoga Allah berikan kita hidayah untuk terus menghidupkan sunah-sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Mengenal Hadits-Hadits Lemah Seputar Bulan Sya’ban *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral Muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, baik itu dengan menjalankan seluruh perintah-Nya ataupun dengan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Karena takwa adalah perkara yang Allah wasiatkan kepada kita dan umat-umat sebelumnya. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Bulan Rajab, salah satu bulan haram baru saja berlalu, dan saat ini kita berada di bulan Sya’ban, yang menandakan dekatnya bulan Ramadan yang penuh kemuliaan. Ketahuilah wahai jemaah sekalian, letak bulan Sya’ban yang terjepit antara bulan Rajab dan Ramadan akhirnya membuat kebanyakan manusia lalai darinya. Mengapa? Karena bulan Rajab, bulan sebelumnya dan Ramadan bulan setelahnya, termasuk bulan yang dihormati di dalam Islam. Bulan Rajab termasuk bulan haram, bulan di mana sebuah kemaksiatan dosanya menjadi lebih berat dan sebuah ketaatan pahalanya menjadi lebih banyak. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus. Maka, janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36) Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menjelaskan makna ayat di atas, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram (Rajab di antaranya), kesemuanya dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan saleh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latha’if Al-Ma’arif, hal. 207) Sedangkan bulan Ramadan, maka semua kaum muslimin mengetahui, bahwa pada bulan ini mereka dituntut untuk memperbanyak amalan dan menjauhi kemaksiatan. Oleh karena itu, ketika bulan Sya’ban tiba, (yang terletak di antara keduanya) manusia menjadi lalai dan mengambil kesempatan untuk menyelesaikan urusan. Kebanyakan mereka lalai dari melakukan ketaatan di bulan ini karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan haram) dan juga menanti bulan sesudahnya, yaitu bulan Ramadan. Padahal wahai jemaah sekalian, terdapat banyak sekali dalil yang menunjukkan tentang anjuran memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun memperbanyak puasa di bulan Sya’ban daripada bulan-bulan lainnya (selain puasa wajib di bulan Ramadan tentunya). Diriwayatkan dari sahabat Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, يا رسولَ اللَّهِ ! لم ارك تَصومُ شَهْرًا منَ الشُّهورِ ما تصومُ من شعبانَ ؟ ! قالَ : ذلِكَ شَهْرٌ يَغفُلُ النَّاسُ عنهُ بينَ رجبٍ ورمضانَ ، وَهوَ شَهْرٌ تُرفَعُ فيهِ الأعمالُ إلى ربِّ العالمينَ ، فأحبُّ أن يُرفَعَ عمَلي وأَنا صائمٌ “Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa dalam sebuah bulan layaknya puasamu di bulan Sya’ban.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai, yakni di antara bulan Rajab dan Ramadan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan” (HR. An Nasa’i no. 2357. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan.) ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga menceritakan tentang bagaimana sifat puasa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam di bulan Sya’ban, “Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156) Dalam lafaz Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Beliau berpuasa pada bulan Sya’ban, kecuali hanya beberapa hari saja (yang beliau tidak berpuasa di dalamnya).” (HR. Muslim no. 1156) Jawaban Nabi untuk sahabat Usamah bin Zaid di atas seakan-akan beliau mengatakan kepada kita, “Tidak pantas bagi kita untuk lalai dari Allah Ta’ala di saat semua manusia lalai pada-Nya. Seharusnya kita lebih bersemangat dan menyadari keberadaan Tuhan kita, agar diri kita termasuk hamba Allah yang memilih menghadap kepada-Nya di saat manusia lainnya lalai dari-Nya. Rajinlah bersedekah di saat semua manusia pelit mengeluarkan hartanya. Bangun malamlah di saat yang lain terlelap dalam tidur. Jagalah salat di saat hamba-hamba yang lain menyia-nyiakannya.” Allah menyiapkan ganjaran yang besar bagi mereka yang mengingat Allah di waktu manusia-manusia lainnya sedang lalai. Kita ambil contoh dalam hal bangun di malam hari untuk beribadah, ketika kebanyakan manusia sedang terlelap dalam tidurnya. Allah berfirman, تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ ٱلْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ * فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّآ أُخْفِىَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَآءًۢ بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ “Lambung mereka (orang-orang beriman) itu jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan. Tidak seorang pun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.” (QS. As-Sajdah: 16) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Hikmah Memperbanyak Puasa di Bulan Sya’ban Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Beribadah di waktu manusia lalai juga memiliki beberapa keutamaan lainnya, di antaranya: Pertama, akan menjadi amalan rahasia dan tersembunyi. Pada dasarnya, menyembunyikan dan merahasiakan ibadah sunah itu lebih utama. Apalagi amalan tersebut adalah puasa, yang merupakan rahasia seorang hamba dengan Rabbnya. Kedua, layaknya hijrah kepada Nabi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda, الْعِبَادَةُ فِي الْهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إِلَيَّ  “Beribadah pada waktu terjadi fitnah seperti hijrah kepadaku.” (HR. Muslim no. 2948) An-Nawawi rahimahulah mengatakan, “Maksud dari kata ‘Al-Harj’ disini adalah fitnah dan simpang siurnya urusan. Sebab banyaknya keutamaan beribadah di dalamnya. Karena orang-orang lalai dan tersibukkan sehingga tidak ada yang fokus (beribadah), melainkan sedikit sekali.” (Syarah Shahih Muslim, 18: 88) Ketiga, berbuat ketaatan sendirian di saat yang lain bermaksiat dan lalai bisa jadi akan menangkal marabahaya dari manusia seluruhnya. Sehingga ia seakan-akan melindungi dan menjaga mereka. (Latha’if Al-Ma’arif, hal. 191-193) Oleh karena itu, wahai jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, dapat kita simpulkan bahwa hikmah terbesar berpuasa di bulan Sya’ban adalah mendapatkan keutamaan beramal di waktu manusia yang lain lalai dari mengingat Allah Ta’ala. Sungguh, ini merupakan hikmah yang sangat agung yang seharusnya kaum muslimin berlomba-lomba di dalam menggapainya. Belum lagi, memperbanyak puasa di bulan Sy’aban mendatangkan beberapa hikmah lainnya. Sebagaimana hal ini disampaikan oleh Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya, Latha’if Al-Ma’arif. Beliau mengatakan, “Berpuasa pada bulan Sya’ban merupakan bentuk latihan untuk puasa Ramadan. Dengan demikian, ia tidak akan merasa berat dan terbebani ketika mulai puasa Ramadan.” Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga menyebutkan di dalam Majmu’ Fatawa, “Para ahli ilmu mengatakan bahwa puasa pada bulan Sya’ban layaknya salat sunah dan salat rawatib bagi salat wajib lima waktu (yaitu, sebagai pelengkap), dan ia seakan-akan menjadi awal untuk menjalani puasa Ramadan.” Semoga Allah menjadikan kita sebagai salah satu hamba yang ketika amalan kita diangkat, diri kita sedang dalam kondisi berpuasa untuknya. Semoga Allah berikan kita hidayah untuk terus menghidupkan sunah-sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Mengenal Hadits-Hadits Lemah Seputar Bulan Sya’ban *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Fikih Akad Salam (Bag. 1): Definisi dan Hukum

Daftar Isi Toggle Definisi salamHukum dan dalil akad salamPertama, dalil dari Al-Qur’anKedua, dalil dari As-SunnahKetiga, dalil ijma’Keempat, dalil secara akal Salam adalah termasuk akad jual beli di antara manusia tatkala barang yang diinginkan oleh pembeli belum bisa diwujudkan oleh penjual, sehingga pembeli memberikan uang terlebih dahulu di muka (tunai) yang setelah itu penjual akan memberikan barangnya pada waktu yang telah disepakati bersama. Demikian gambaran secara umum tentang salam. Definisi salam Secara bahasa, salam diambil dari kata salaf. As-salam secara bahasa adalah as-salaf (pembayaran di muka). Istilah ‘aslama‘ dalam sesuatu memiliki makna yang sama dengan ‘as-salaf‘, yaitu memberikan sesuatu di awal sebagai pembayaran di muka. Bedanya adalah kalau as-salam itu adalah bahasa Hijaz, adapun as-salaf adalah bahasa yang digunakan oleh Irak. Secara istilah, akad atas barang yang memiliki sifat tertentu dalam tanggungan (utang) dengan waktu penyerahan yang jelas, dan harga dibayarkan secara tunai di majelis akad. Atau bisa juga dikatakan, pembelian barang yang ditangguhkan dengan pembayaran tunai. [1] Hukum dan dalil akad salam Hukum dari akad salam sendiri adalah mubah (diperbolehkan) di dalam Islam. Dengan dalil-dalil berikut ini [2], Pertama, dalil dari Al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya… “ (QS. Al-Baqarah: 282) Al-Imam Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Mustadrak-nya, dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَشْهَدُ أَنَّ السَّلَفَ المَضْمُوْنُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قَدْ أَحَلَّهُ اللهُ فِي كِتَابِهِ، وَأَذِنَ فِيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ: ﴿ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ ﴾ “Aku bersaksi bahwa akad salam (pembayaran tunai) yang dijamin hingga waktu tertentu telah Allah halalkan dalam Kitab-Nya dan Allah izinkan. Kemudian, beliau membaca firman Allah (yang artinya), ‘Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya’ (QS. Al-Baqarah: 282).” Hal ini menunjukkan bahwa ayat di atas menunjukkan bolehnya akad utang-piutang secara umum dan ayat di atas juga mencakup akad salam secara khusus. Sehingga, bisa dikatakan akad salam memiliki dasar yang kuat dari Al-Qur’an dan diperkuat pula oleh pemahaman sahabat, seperti ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Kedua, dalil dari As-Sunnah Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di kota Madinah, penduduk Madinah menjual buah-buahan dengan pembayaran di muka, sedangkan buah-buahan yang dijualnya dijanjikan mereka dalam tempo setahun atau dua tahun kemudian. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang menjual kurma dengan tempo waktu, hendaklah dengan ia menjualnya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan jangka waktu yang jelas.” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Fikih Akad Muzara’ah Ketiga, dalil ijma’ Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُهُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ عَلَى أَنَّ السَّلَمَ جَائِزٌ “Seluruh orang yang kami ketahui (ambil ilmu mereka) dari kalangan ahli ilmu telah sepakat bahwa akad salam itu diperbolehkan.” Keempat, dalil secara akal Secara akal, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan dalam Al-Mughni, وَلِأَنَّ الْمُثَمَنَ فِي الْبَيْعِ أَحَدُ عِوَضَيْ الْعَقْدِ، فَجَازَ أَنْ يَثْبُتَ فِي الذِّمَّةِ، كَالثَّمَنِ، وَلِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً إِلَيْهِ؛ لِأَنَّ أَرْبَابَ الزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ وَالتِّجَارَاتِ يَحْتَاجُونَ إِلَى النَّفَقَةِ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَعَلَيْهَا؛ لِتَكْمُلَ، وَقَدْ تَعُوزُهُمُ النَّفَقَةُ، فَجُوِّزَ لَهُمُ السَّلَمُ؛ لِيَرْتَفِقُوا، وَيَرْتَفِقَ الْمُسْلِمُ بِالِاسْتِرْخَاصِ. “Karena barang yang menjadi objek jual beli (al-mutsman) adalah salah satu dari dua pengganti dalam akad, maka diperbolehkan untuk ditetapkan dalam tanggungan (utang), seperti halnya harga (tsaman). Dan karena manusia butuh terhadapnya. Sebab para pemilik tanaman, buah-buahan, dan perdagangan memerlukan nafkah untuk diri mereka sendiri dan juga untuk usaha mereka agar usaha tersebut dapat sempurna. Namun, terkadang mereka kekurangan nafkah, maka diperbolehkan bagi mereka (melakukan) akad salam agar mereka mendapatkan kemudahan, dan pembeli (muslam) juga mendapatkan keuntungan berupa harga yang lebih murah.” [3] Perlu diketahui bahwa akad salam tentunya bukanlah akad seperti jual beli barang yang tidak dimiliki atau menjual barang yang tidak ada. Karena tentunya berbeda antara menjual barang yang tidak dimiliki dengan menjual barang dengan barang yang akan diberikan di waktu kemudian sesuai dengan kesepakatan. Sehingga, tidak bisa dikatakan bahwa salam adalah jual beli yang terlarang karena ketidakjelasan barangnya. Syekh Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahullah berpendapat tentang hal ini [4], “Allah telah memberikan fitrah kepada orang-orang yang berakal akan perbedaan antara seseorang jual beli barang yang tidak ia miliki, tidak mampu untuk menjualnya dengan seseorang yang menjual dengan cara salam (penangguhan barang dengan uang di awal), yang tentunya salam dapat diketahui secara pasti diterima barangnya oleh pembeli. Menyamakan antara bentuk jual beli keduanya seperti menyamakan antara daging bangkai dengan daging yang disembelih, seperti menyamakan antara riba dan jual beli.” Kemudian dilanjutkan, “Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ ‘Jangan menjual barang yang tidak ada padamu (bukan milikmu).’ (HR. At-Tirmidzi) Terdapat dua makna dalam hal ini, Pertama, seseorang menjual barang tertentu yang bukan miliknya, akan tetapi barang tersebut milik orang lain yang ia belum membelinya dari penjualnya. Kemudian ia berusaha untuk mendapatkan barang tersebut dan memberikannya kepada pembeli. Gambaran seperti ini sering terjadi di sebagian pasar atau mall. Ketika ada penjual handphone tidak memiliki handphone yang diinginkan pembeli, kemudian penjual mencari terlebih dahulu ke penjual lain atau toko lain sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh pembeli tanpa ia membeli terlebih dahulu dari pemilik handphone-nya. Dalam kasus ini, ia termasuk dalam menjual barang yang tidak ia miliki. Kedua, seseorang ingin menjual barang yang tidak atau belum mampu diserahkan kepada pembeli. Meskipun dalam bentuk utang, namun dalam hal ini penjual menjamin sesuatu yang tidak jelas. Alias masih tidak diketahui apakah dia akan mendapatkan barang tersebut atau tidak. Sehingga, pada poin kedua ini terdapat beberapa kemungkinan: Pertama: Menjual barang tertentu yang bukan atau belum jadi miliknya. Kedua: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan yang belum jelas apakah barang itu bisa didapat atau tidak. Ketiga: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan tidak ada perjanjian yang jelas atau pembeli yang tidak dapat dipercaya. Sehingga ketiga kemungkinan ini semuanya terlarang. Kemudian, Syekh Islam rahimahullah mengatakan, “Adapun akad salam yang berjangka waktu (salam mu’ajjal), maka ia adalah utang dari jenis utang-utang lainnya, serupa dengan pembelian dengan harga yang ditangguhkan.” [5] Sehingga dari sini dapat diketahui bahwa akad salam adalah akad yang diperbolehkan dalam Islam, dan jumhur ulama bersepakat atas kebolehannya. Tentunya akad salam berbeda dengan menjual barang yang tidak dimiliki sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Baca juga: Fikih Akad Musaqah *** Depok, 28 Rajab 1446/ 27 Januari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Majmu’ Fatawa, karya Syekh Islam Ibnu Taimiyyah. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178 dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 240. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178. [3] Al-Mughni, 4: 338. [4] Majmu’ Fatawa, 20: 529; I’lamul Muwaqqi’in, 2: 19-20; Shahih Fiqh Sunnah, 5: 243. [5] Majmu’ Fatawa, 20: 529.

Fikih Akad Salam (Bag. 1): Definisi dan Hukum

Daftar Isi Toggle Definisi salamHukum dan dalil akad salamPertama, dalil dari Al-Qur’anKedua, dalil dari As-SunnahKetiga, dalil ijma’Keempat, dalil secara akal Salam adalah termasuk akad jual beli di antara manusia tatkala barang yang diinginkan oleh pembeli belum bisa diwujudkan oleh penjual, sehingga pembeli memberikan uang terlebih dahulu di muka (tunai) yang setelah itu penjual akan memberikan barangnya pada waktu yang telah disepakati bersama. Demikian gambaran secara umum tentang salam. Definisi salam Secara bahasa, salam diambil dari kata salaf. As-salam secara bahasa adalah as-salaf (pembayaran di muka). Istilah ‘aslama‘ dalam sesuatu memiliki makna yang sama dengan ‘as-salaf‘, yaitu memberikan sesuatu di awal sebagai pembayaran di muka. Bedanya adalah kalau as-salam itu adalah bahasa Hijaz, adapun as-salaf adalah bahasa yang digunakan oleh Irak. Secara istilah, akad atas barang yang memiliki sifat tertentu dalam tanggungan (utang) dengan waktu penyerahan yang jelas, dan harga dibayarkan secara tunai di majelis akad. Atau bisa juga dikatakan, pembelian barang yang ditangguhkan dengan pembayaran tunai. [1] Hukum dan dalil akad salam Hukum dari akad salam sendiri adalah mubah (diperbolehkan) di dalam Islam. Dengan dalil-dalil berikut ini [2], Pertama, dalil dari Al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya… “ (QS. Al-Baqarah: 282) Al-Imam Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Mustadrak-nya, dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَشْهَدُ أَنَّ السَّلَفَ المَضْمُوْنُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قَدْ أَحَلَّهُ اللهُ فِي كِتَابِهِ، وَأَذِنَ فِيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ: ﴿ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ ﴾ “Aku bersaksi bahwa akad salam (pembayaran tunai) yang dijamin hingga waktu tertentu telah Allah halalkan dalam Kitab-Nya dan Allah izinkan. Kemudian, beliau membaca firman Allah (yang artinya), ‘Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya’ (QS. Al-Baqarah: 282).” Hal ini menunjukkan bahwa ayat di atas menunjukkan bolehnya akad utang-piutang secara umum dan ayat di atas juga mencakup akad salam secara khusus. Sehingga, bisa dikatakan akad salam memiliki dasar yang kuat dari Al-Qur’an dan diperkuat pula oleh pemahaman sahabat, seperti ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Kedua, dalil dari As-Sunnah Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di kota Madinah, penduduk Madinah menjual buah-buahan dengan pembayaran di muka, sedangkan buah-buahan yang dijualnya dijanjikan mereka dalam tempo setahun atau dua tahun kemudian. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang menjual kurma dengan tempo waktu, hendaklah dengan ia menjualnya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan jangka waktu yang jelas.” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Fikih Akad Muzara’ah Ketiga, dalil ijma’ Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُهُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ عَلَى أَنَّ السَّلَمَ جَائِزٌ “Seluruh orang yang kami ketahui (ambil ilmu mereka) dari kalangan ahli ilmu telah sepakat bahwa akad salam itu diperbolehkan.” Keempat, dalil secara akal Secara akal, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan dalam Al-Mughni, وَلِأَنَّ الْمُثَمَنَ فِي الْبَيْعِ أَحَدُ عِوَضَيْ الْعَقْدِ، فَجَازَ أَنْ يَثْبُتَ فِي الذِّمَّةِ، كَالثَّمَنِ، وَلِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً إِلَيْهِ؛ لِأَنَّ أَرْبَابَ الزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ وَالتِّجَارَاتِ يَحْتَاجُونَ إِلَى النَّفَقَةِ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَعَلَيْهَا؛ لِتَكْمُلَ، وَقَدْ تَعُوزُهُمُ النَّفَقَةُ، فَجُوِّزَ لَهُمُ السَّلَمُ؛ لِيَرْتَفِقُوا، وَيَرْتَفِقَ الْمُسْلِمُ بِالِاسْتِرْخَاصِ. “Karena barang yang menjadi objek jual beli (al-mutsman) adalah salah satu dari dua pengganti dalam akad, maka diperbolehkan untuk ditetapkan dalam tanggungan (utang), seperti halnya harga (tsaman). Dan karena manusia butuh terhadapnya. Sebab para pemilik tanaman, buah-buahan, dan perdagangan memerlukan nafkah untuk diri mereka sendiri dan juga untuk usaha mereka agar usaha tersebut dapat sempurna. Namun, terkadang mereka kekurangan nafkah, maka diperbolehkan bagi mereka (melakukan) akad salam agar mereka mendapatkan kemudahan, dan pembeli (muslam) juga mendapatkan keuntungan berupa harga yang lebih murah.” [3] Perlu diketahui bahwa akad salam tentunya bukanlah akad seperti jual beli barang yang tidak dimiliki atau menjual barang yang tidak ada. Karena tentunya berbeda antara menjual barang yang tidak dimiliki dengan menjual barang dengan barang yang akan diberikan di waktu kemudian sesuai dengan kesepakatan. Sehingga, tidak bisa dikatakan bahwa salam adalah jual beli yang terlarang karena ketidakjelasan barangnya. Syekh Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahullah berpendapat tentang hal ini [4], “Allah telah memberikan fitrah kepada orang-orang yang berakal akan perbedaan antara seseorang jual beli barang yang tidak ia miliki, tidak mampu untuk menjualnya dengan seseorang yang menjual dengan cara salam (penangguhan barang dengan uang di awal), yang tentunya salam dapat diketahui secara pasti diterima barangnya oleh pembeli. Menyamakan antara bentuk jual beli keduanya seperti menyamakan antara daging bangkai dengan daging yang disembelih, seperti menyamakan antara riba dan jual beli.” Kemudian dilanjutkan, “Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ ‘Jangan menjual barang yang tidak ada padamu (bukan milikmu).’ (HR. At-Tirmidzi) Terdapat dua makna dalam hal ini, Pertama, seseorang menjual barang tertentu yang bukan miliknya, akan tetapi barang tersebut milik orang lain yang ia belum membelinya dari penjualnya. Kemudian ia berusaha untuk mendapatkan barang tersebut dan memberikannya kepada pembeli. Gambaran seperti ini sering terjadi di sebagian pasar atau mall. Ketika ada penjual handphone tidak memiliki handphone yang diinginkan pembeli, kemudian penjual mencari terlebih dahulu ke penjual lain atau toko lain sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh pembeli tanpa ia membeli terlebih dahulu dari pemilik handphone-nya. Dalam kasus ini, ia termasuk dalam menjual barang yang tidak ia miliki. Kedua, seseorang ingin menjual barang yang tidak atau belum mampu diserahkan kepada pembeli. Meskipun dalam bentuk utang, namun dalam hal ini penjual menjamin sesuatu yang tidak jelas. Alias masih tidak diketahui apakah dia akan mendapatkan barang tersebut atau tidak. Sehingga, pada poin kedua ini terdapat beberapa kemungkinan: Pertama: Menjual barang tertentu yang bukan atau belum jadi miliknya. Kedua: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan yang belum jelas apakah barang itu bisa didapat atau tidak. Ketiga: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan tidak ada perjanjian yang jelas atau pembeli yang tidak dapat dipercaya. Sehingga ketiga kemungkinan ini semuanya terlarang. Kemudian, Syekh Islam rahimahullah mengatakan, “Adapun akad salam yang berjangka waktu (salam mu’ajjal), maka ia adalah utang dari jenis utang-utang lainnya, serupa dengan pembelian dengan harga yang ditangguhkan.” [5] Sehingga dari sini dapat diketahui bahwa akad salam adalah akad yang diperbolehkan dalam Islam, dan jumhur ulama bersepakat atas kebolehannya. Tentunya akad salam berbeda dengan menjual barang yang tidak dimiliki sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Baca juga: Fikih Akad Musaqah *** Depok, 28 Rajab 1446/ 27 Januari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Majmu’ Fatawa, karya Syekh Islam Ibnu Taimiyyah. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178 dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 240. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178. [3] Al-Mughni, 4: 338. [4] Majmu’ Fatawa, 20: 529; I’lamul Muwaqqi’in, 2: 19-20; Shahih Fiqh Sunnah, 5: 243. [5] Majmu’ Fatawa, 20: 529.
Daftar Isi Toggle Definisi salamHukum dan dalil akad salamPertama, dalil dari Al-Qur’anKedua, dalil dari As-SunnahKetiga, dalil ijma’Keempat, dalil secara akal Salam adalah termasuk akad jual beli di antara manusia tatkala barang yang diinginkan oleh pembeli belum bisa diwujudkan oleh penjual, sehingga pembeli memberikan uang terlebih dahulu di muka (tunai) yang setelah itu penjual akan memberikan barangnya pada waktu yang telah disepakati bersama. Demikian gambaran secara umum tentang salam. Definisi salam Secara bahasa, salam diambil dari kata salaf. As-salam secara bahasa adalah as-salaf (pembayaran di muka). Istilah ‘aslama‘ dalam sesuatu memiliki makna yang sama dengan ‘as-salaf‘, yaitu memberikan sesuatu di awal sebagai pembayaran di muka. Bedanya adalah kalau as-salam itu adalah bahasa Hijaz, adapun as-salaf adalah bahasa yang digunakan oleh Irak. Secara istilah, akad atas barang yang memiliki sifat tertentu dalam tanggungan (utang) dengan waktu penyerahan yang jelas, dan harga dibayarkan secara tunai di majelis akad. Atau bisa juga dikatakan, pembelian barang yang ditangguhkan dengan pembayaran tunai. [1] Hukum dan dalil akad salam Hukum dari akad salam sendiri adalah mubah (diperbolehkan) di dalam Islam. Dengan dalil-dalil berikut ini [2], Pertama, dalil dari Al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya… “ (QS. Al-Baqarah: 282) Al-Imam Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Mustadrak-nya, dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَشْهَدُ أَنَّ السَّلَفَ المَضْمُوْنُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قَدْ أَحَلَّهُ اللهُ فِي كِتَابِهِ، وَأَذِنَ فِيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ: ﴿ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ ﴾ “Aku bersaksi bahwa akad salam (pembayaran tunai) yang dijamin hingga waktu tertentu telah Allah halalkan dalam Kitab-Nya dan Allah izinkan. Kemudian, beliau membaca firman Allah (yang artinya), ‘Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya’ (QS. Al-Baqarah: 282).” Hal ini menunjukkan bahwa ayat di atas menunjukkan bolehnya akad utang-piutang secara umum dan ayat di atas juga mencakup akad salam secara khusus. Sehingga, bisa dikatakan akad salam memiliki dasar yang kuat dari Al-Qur’an dan diperkuat pula oleh pemahaman sahabat, seperti ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Kedua, dalil dari As-Sunnah Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di kota Madinah, penduduk Madinah menjual buah-buahan dengan pembayaran di muka, sedangkan buah-buahan yang dijualnya dijanjikan mereka dalam tempo setahun atau dua tahun kemudian. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang menjual kurma dengan tempo waktu, hendaklah dengan ia menjualnya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan jangka waktu yang jelas.” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Fikih Akad Muzara’ah Ketiga, dalil ijma’ Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُهُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ عَلَى أَنَّ السَّلَمَ جَائِزٌ “Seluruh orang yang kami ketahui (ambil ilmu mereka) dari kalangan ahli ilmu telah sepakat bahwa akad salam itu diperbolehkan.” Keempat, dalil secara akal Secara akal, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan dalam Al-Mughni, وَلِأَنَّ الْمُثَمَنَ فِي الْبَيْعِ أَحَدُ عِوَضَيْ الْعَقْدِ، فَجَازَ أَنْ يَثْبُتَ فِي الذِّمَّةِ، كَالثَّمَنِ، وَلِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً إِلَيْهِ؛ لِأَنَّ أَرْبَابَ الزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ وَالتِّجَارَاتِ يَحْتَاجُونَ إِلَى النَّفَقَةِ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَعَلَيْهَا؛ لِتَكْمُلَ، وَقَدْ تَعُوزُهُمُ النَّفَقَةُ، فَجُوِّزَ لَهُمُ السَّلَمُ؛ لِيَرْتَفِقُوا، وَيَرْتَفِقَ الْمُسْلِمُ بِالِاسْتِرْخَاصِ. “Karena barang yang menjadi objek jual beli (al-mutsman) adalah salah satu dari dua pengganti dalam akad, maka diperbolehkan untuk ditetapkan dalam tanggungan (utang), seperti halnya harga (tsaman). Dan karena manusia butuh terhadapnya. Sebab para pemilik tanaman, buah-buahan, dan perdagangan memerlukan nafkah untuk diri mereka sendiri dan juga untuk usaha mereka agar usaha tersebut dapat sempurna. Namun, terkadang mereka kekurangan nafkah, maka diperbolehkan bagi mereka (melakukan) akad salam agar mereka mendapatkan kemudahan, dan pembeli (muslam) juga mendapatkan keuntungan berupa harga yang lebih murah.” [3] Perlu diketahui bahwa akad salam tentunya bukanlah akad seperti jual beli barang yang tidak dimiliki atau menjual barang yang tidak ada. Karena tentunya berbeda antara menjual barang yang tidak dimiliki dengan menjual barang dengan barang yang akan diberikan di waktu kemudian sesuai dengan kesepakatan. Sehingga, tidak bisa dikatakan bahwa salam adalah jual beli yang terlarang karena ketidakjelasan barangnya. Syekh Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahullah berpendapat tentang hal ini [4], “Allah telah memberikan fitrah kepada orang-orang yang berakal akan perbedaan antara seseorang jual beli barang yang tidak ia miliki, tidak mampu untuk menjualnya dengan seseorang yang menjual dengan cara salam (penangguhan barang dengan uang di awal), yang tentunya salam dapat diketahui secara pasti diterima barangnya oleh pembeli. Menyamakan antara bentuk jual beli keduanya seperti menyamakan antara daging bangkai dengan daging yang disembelih, seperti menyamakan antara riba dan jual beli.” Kemudian dilanjutkan, “Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ ‘Jangan menjual barang yang tidak ada padamu (bukan milikmu).’ (HR. At-Tirmidzi) Terdapat dua makna dalam hal ini, Pertama, seseorang menjual barang tertentu yang bukan miliknya, akan tetapi barang tersebut milik orang lain yang ia belum membelinya dari penjualnya. Kemudian ia berusaha untuk mendapatkan barang tersebut dan memberikannya kepada pembeli. Gambaran seperti ini sering terjadi di sebagian pasar atau mall. Ketika ada penjual handphone tidak memiliki handphone yang diinginkan pembeli, kemudian penjual mencari terlebih dahulu ke penjual lain atau toko lain sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh pembeli tanpa ia membeli terlebih dahulu dari pemilik handphone-nya. Dalam kasus ini, ia termasuk dalam menjual barang yang tidak ia miliki. Kedua, seseorang ingin menjual barang yang tidak atau belum mampu diserahkan kepada pembeli. Meskipun dalam bentuk utang, namun dalam hal ini penjual menjamin sesuatu yang tidak jelas. Alias masih tidak diketahui apakah dia akan mendapatkan barang tersebut atau tidak. Sehingga, pada poin kedua ini terdapat beberapa kemungkinan: Pertama: Menjual barang tertentu yang bukan atau belum jadi miliknya. Kedua: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan yang belum jelas apakah barang itu bisa didapat atau tidak. Ketiga: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan tidak ada perjanjian yang jelas atau pembeli yang tidak dapat dipercaya. Sehingga ketiga kemungkinan ini semuanya terlarang. Kemudian, Syekh Islam rahimahullah mengatakan, “Adapun akad salam yang berjangka waktu (salam mu’ajjal), maka ia adalah utang dari jenis utang-utang lainnya, serupa dengan pembelian dengan harga yang ditangguhkan.” [5] Sehingga dari sini dapat diketahui bahwa akad salam adalah akad yang diperbolehkan dalam Islam, dan jumhur ulama bersepakat atas kebolehannya. Tentunya akad salam berbeda dengan menjual barang yang tidak dimiliki sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Baca juga: Fikih Akad Musaqah *** Depok, 28 Rajab 1446/ 27 Januari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Majmu’ Fatawa, karya Syekh Islam Ibnu Taimiyyah. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178 dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 240. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178. [3] Al-Mughni, 4: 338. [4] Majmu’ Fatawa, 20: 529; I’lamul Muwaqqi’in, 2: 19-20; Shahih Fiqh Sunnah, 5: 243. [5] Majmu’ Fatawa, 20: 529.


Daftar Isi Toggle Definisi salamHukum dan dalil akad salamPertama, dalil dari Al-Qur’anKedua, dalil dari As-SunnahKetiga, dalil ijma’Keempat, dalil secara akal Salam adalah termasuk akad jual beli di antara manusia tatkala barang yang diinginkan oleh pembeli belum bisa diwujudkan oleh penjual, sehingga pembeli memberikan uang terlebih dahulu di muka (tunai) yang setelah itu penjual akan memberikan barangnya pada waktu yang telah disepakati bersama. Demikian gambaran secara umum tentang salam. Definisi salam Secara bahasa, salam diambil dari kata salaf. As-salam secara bahasa adalah as-salaf (pembayaran di muka). Istilah ‘aslama‘ dalam sesuatu memiliki makna yang sama dengan ‘as-salaf‘, yaitu memberikan sesuatu di awal sebagai pembayaran di muka. Bedanya adalah kalau as-salam itu adalah bahasa Hijaz, adapun as-salaf adalah bahasa yang digunakan oleh Irak. Secara istilah, akad atas barang yang memiliki sifat tertentu dalam tanggungan (utang) dengan waktu penyerahan yang jelas, dan harga dibayarkan secara tunai di majelis akad. Atau bisa juga dikatakan, pembelian barang yang ditangguhkan dengan pembayaran tunai. [1] Hukum dan dalil akad salam Hukum dari akad salam sendiri adalah mubah (diperbolehkan) di dalam Islam. Dengan dalil-dalil berikut ini [2], Pertama, dalil dari Al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya… “ (QS. Al-Baqarah: 282) Al-Imam Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Mustadrak-nya, dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَشْهَدُ أَنَّ السَّلَفَ المَضْمُوْنُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قَدْ أَحَلَّهُ اللهُ فِي كِتَابِهِ، وَأَذِنَ فِيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ: ﴿ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ ﴾ “Aku bersaksi bahwa akad salam (pembayaran tunai) yang dijamin hingga waktu tertentu telah Allah halalkan dalam Kitab-Nya dan Allah izinkan. Kemudian, beliau membaca firman Allah (yang artinya), ‘Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya’ (QS. Al-Baqarah: 282).” Hal ini menunjukkan bahwa ayat di atas menunjukkan bolehnya akad utang-piutang secara umum dan ayat di atas juga mencakup akad salam secara khusus. Sehingga, bisa dikatakan akad salam memiliki dasar yang kuat dari Al-Qur’an dan diperkuat pula oleh pemahaman sahabat, seperti ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Kedua, dalil dari As-Sunnah Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di kota Madinah, penduduk Madinah menjual buah-buahan dengan pembayaran di muka, sedangkan buah-buahan yang dijualnya dijanjikan mereka dalam tempo setahun atau dua tahun kemudian. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang menjual kurma dengan tempo waktu, hendaklah dengan ia menjualnya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan jangka waktu yang jelas.” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Fikih Akad Muzara’ah Ketiga, dalil ijma’ Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُهُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ عَلَى أَنَّ السَّلَمَ جَائِزٌ “Seluruh orang yang kami ketahui (ambil ilmu mereka) dari kalangan ahli ilmu telah sepakat bahwa akad salam itu diperbolehkan.” Keempat, dalil secara akal Secara akal, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan dalam Al-Mughni, وَلِأَنَّ الْمُثَمَنَ فِي الْبَيْعِ أَحَدُ عِوَضَيْ الْعَقْدِ، فَجَازَ أَنْ يَثْبُتَ فِي الذِّمَّةِ، كَالثَّمَنِ، وَلِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً إِلَيْهِ؛ لِأَنَّ أَرْبَابَ الزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ وَالتِّجَارَاتِ يَحْتَاجُونَ إِلَى النَّفَقَةِ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَعَلَيْهَا؛ لِتَكْمُلَ، وَقَدْ تَعُوزُهُمُ النَّفَقَةُ، فَجُوِّزَ لَهُمُ السَّلَمُ؛ لِيَرْتَفِقُوا، وَيَرْتَفِقَ الْمُسْلِمُ بِالِاسْتِرْخَاصِ. “Karena barang yang menjadi objek jual beli (al-mutsman) adalah salah satu dari dua pengganti dalam akad, maka diperbolehkan untuk ditetapkan dalam tanggungan (utang), seperti halnya harga (tsaman). Dan karena manusia butuh terhadapnya. Sebab para pemilik tanaman, buah-buahan, dan perdagangan memerlukan nafkah untuk diri mereka sendiri dan juga untuk usaha mereka agar usaha tersebut dapat sempurna. Namun, terkadang mereka kekurangan nafkah, maka diperbolehkan bagi mereka (melakukan) akad salam agar mereka mendapatkan kemudahan, dan pembeli (muslam) juga mendapatkan keuntungan berupa harga yang lebih murah.” [3] Perlu diketahui bahwa akad salam tentunya bukanlah akad seperti jual beli barang yang tidak dimiliki atau menjual barang yang tidak ada. Karena tentunya berbeda antara menjual barang yang tidak dimiliki dengan menjual barang dengan barang yang akan diberikan di waktu kemudian sesuai dengan kesepakatan. Sehingga, tidak bisa dikatakan bahwa salam adalah jual beli yang terlarang karena ketidakjelasan barangnya. Syekh Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahullah berpendapat tentang hal ini [4], “Allah telah memberikan fitrah kepada orang-orang yang berakal akan perbedaan antara seseorang jual beli barang yang tidak ia miliki, tidak mampu untuk menjualnya dengan seseorang yang menjual dengan cara salam (penangguhan barang dengan uang di awal), yang tentunya salam dapat diketahui secara pasti diterima barangnya oleh pembeli. Menyamakan antara bentuk jual beli keduanya seperti menyamakan antara daging bangkai dengan daging yang disembelih, seperti menyamakan antara riba dan jual beli.” Kemudian dilanjutkan, “Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ ‘Jangan menjual barang yang tidak ada padamu (bukan milikmu).’ (HR. At-Tirmidzi) Terdapat dua makna dalam hal ini, Pertama, seseorang menjual barang tertentu yang bukan miliknya, akan tetapi barang tersebut milik orang lain yang ia belum membelinya dari penjualnya. Kemudian ia berusaha untuk mendapatkan barang tersebut dan memberikannya kepada pembeli. Gambaran seperti ini sering terjadi di sebagian pasar atau mall. Ketika ada penjual handphone tidak memiliki handphone yang diinginkan pembeli, kemudian penjual mencari terlebih dahulu ke penjual lain atau toko lain sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh pembeli tanpa ia membeli terlebih dahulu dari pemilik handphone-nya. Dalam kasus ini, ia termasuk dalam menjual barang yang tidak ia miliki. Kedua, seseorang ingin menjual barang yang tidak atau belum mampu diserahkan kepada pembeli. Meskipun dalam bentuk utang, namun dalam hal ini penjual menjamin sesuatu yang tidak jelas. Alias masih tidak diketahui apakah dia akan mendapatkan barang tersebut atau tidak. Sehingga, pada poin kedua ini terdapat beberapa kemungkinan: Pertama: Menjual barang tertentu yang bukan atau belum jadi miliknya. Kedua: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan yang belum jelas apakah barang itu bisa didapat atau tidak. Ketiga: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan tidak ada perjanjian yang jelas atau pembeli yang tidak dapat dipercaya. Sehingga ketiga kemungkinan ini semuanya terlarang. Kemudian, Syekh Islam rahimahullah mengatakan, “Adapun akad salam yang berjangka waktu (salam mu’ajjal), maka ia adalah utang dari jenis utang-utang lainnya, serupa dengan pembelian dengan harga yang ditangguhkan.” [5] Sehingga dari sini dapat diketahui bahwa akad salam adalah akad yang diperbolehkan dalam Islam, dan jumhur ulama bersepakat atas kebolehannya. Tentunya akad salam berbeda dengan menjual barang yang tidak dimiliki sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Baca juga: Fikih Akad Musaqah *** Depok, 28 Rajab 1446/ 27 Januari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Majmu’ Fatawa, karya Syekh Islam Ibnu Taimiyyah. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178 dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 240. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178. [3] Al-Mughni, 4: 338. [4] Majmu’ Fatawa, 20: 529; I’lamul Muwaqqi’in, 2: 19-20; Shahih Fiqh Sunnah, 5: 243. [5] Majmu’ Fatawa, 20: 529.

Fikih Akad Salam

Daftar Isi Toggle Definisi salamHukum dan dalil akad salamPertama, dalil dari Al-Qur’anKedua, dalil dari As-SunnahKetiga, dalil ijma’Keempat, dalil secara akal Salam adalah termasuk akad jual beli di antara manusia tatkala barang yang diinginkan oleh pembeli belum bisa diwujudkan oleh penjual, sehingga pembeli memberikan uang terlebih dahulu di muka (tunai) yang setelah itu penjual akan memberikan barangnya pada waktu yang telah disepakati bersama. Demikian gambaran secara umum tentang salam. Definisi salam Secara bahasa, salam diambil dari kata salaf. As-salam secara bahasa adalah as-salaf (pembayaran di muka). Istilah ‘aslama‘ dalam sesuatu memiliki makna yang sama dengan ‘as-salaf‘, yaitu memberikan sesuatu di awal sebagai pembayaran di muka. Bedanya adalah kalau as-salam itu adalah bahasa Hijaz, adapun as-salaf adalah bahasa yang digunakan oleh Irak. Secara istilah, akad atas barang yang memiliki sifat tertentu dalam tanggungan (utang) dengan waktu penyerahan yang jelas, dan harga dibayarkan secara tunai di majelis akad. Atau bisa juga dikatakan, pembelian barang yang ditangguhkan dengan pembayaran tunai. [1] Hukum dan dalil akad salam Hukum dari akad salam sendiri adalah mubah (diperbolehkan) di dalam Islam. Dengan dalil-dalil berikut ini [2], Pertama, dalil dari Al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya… “ (QS. Al-Baqarah: 282) Al-Imam Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Mustadrak-nya, dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَشْهَدُ أَنَّ السَّلَفَ المَضْمُوْنُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قَدْ أَحَلَّهُ اللهُ فِي كِتَابِهِ، وَأَذِنَ فِيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ: ﴿ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ ﴾ “Aku bersaksi bahwa akad salam (pembayaran tunai) yang dijamin hingga waktu tertentu telah Allah halalkan dalam Kitab-Nya dan Allah izinkan. Kemudian, beliau membaca firman Allah (yang artinya), ‘Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya’ (QS. Al-Baqarah: 282).” Hal ini menunjukkan bahwa ayat di atas menunjukkan bolehnya akad utang-piutang secara umum dan ayat di atas juga mencakup akad salam secara khusus. Sehingga, bisa dikatakan akad salam memiliki dasar yang kuat dari Al-Qur’an dan diperkuat pula oleh pemahaman sahabat, seperti ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Kedua, dalil dari As-Sunnah Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di kota Madinah, penduduk Madinah menjual buah-buahan dengan pembayaran di muka, sedangkan buah-buahan yang dijualnya dijanjikan mereka dalam tempo setahun atau dua tahun kemudian. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang menjual kurma dengan tempo waktu, hendaklah dengan ia menjualnya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan jangka waktu yang jelas.” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Fikih Akad Muzara’ah Ketiga, dalil ijma’ Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُهُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ عَلَى أَنَّ السَّلَمَ جَائِزٌ “Seluruh orang yang kami ketahui (ambil ilmu mereka) dari kalangan ahli ilmu telah sepakat bahwa akad salam itu diperbolehkan.” Keempat, dalil secara akal Secara akal, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan dalam Al-Mughni, وَلِأَنَّ الْمُثَمَنَ فِي الْبَيْعِ أَحَدُ عِوَضَيْ الْعَقْدِ، فَجَازَ أَنْ يَثْبُتَ فِي الذِّمَّةِ، كَالثَّمَنِ، وَلِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً إِلَيْهِ؛ لِأَنَّ أَرْبَابَ الزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ وَالتِّجَارَاتِ يَحْتَاجُونَ إِلَى النَّفَقَةِ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَعَلَيْهَا؛ لِتَكْمُلَ، وَقَدْ تَعُوزُهُمُ النَّفَقَةُ، فَجُوِّزَ لَهُمُ السَّلَمُ؛ لِيَرْتَفِقُوا، وَيَرْتَفِقَ الْمُسْلِمُ بِالِاسْتِرْخَاصِ. “Karena barang yang menjadi objek jual beli (al-mutsman) adalah salah satu dari dua pengganti dalam akad, maka diperbolehkan untuk ditetapkan dalam tanggungan (utang), seperti halnya harga (tsaman). Dan karena manusia butuh terhadapnya. Sebab para pemilik tanaman, buah-buahan, dan perdagangan memerlukan nafkah untuk diri mereka sendiri dan juga untuk usaha mereka agar usaha tersebut dapat sempurna. Namun, terkadang mereka kekurangan nafkah, maka diperbolehkan bagi mereka (melakukan) akad salam agar mereka mendapatkan kemudahan, dan pembeli (muslam) juga mendapatkan keuntungan berupa harga yang lebih murah.” [3] Perlu diketahui bahwa akad salam tentunya bukanlah akad seperti jual beli barang yang tidak dimiliki atau menjual barang yang tidak ada. Karena tentunya berbeda antara menjual barang yang tidak dimiliki dengan menjual barang dengan barang yang akan diberikan di waktu kemudian sesuai dengan kesepakatan. Sehingga, tidak bisa dikatakan bahwa salam adalah jual beli yang terlarang karena ketidakjelasan barangnya. Syekh Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahullah berpendapat tentang hal ini [4], “Allah telah memberikan fitrah kepada orang-orang yang berakal akan perbedaan antara seseorang jual beli barang yang tidak ia miliki, tidak mampu untuk menjualnya dengan seseorang yang menjual dengan cara salam (penangguhan barang dengan uang di awal), yang tentunya salam dapat diketahui secara pasti diterima barangnya oleh pembeli. Menyamakan antara bentuk jual beli keduanya seperti menyamakan antara daging bangkai dengan daging yang disembelih, seperti menyamakan antara riba dan jual beli.” Kemudian dilanjutkan, “Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ ‘Jangan menjual barang yang tidak ada padamu (bukan milikmu).’ (HR. At-Tirmidzi) Terdapat dua makna dalam hal ini, Pertama, seseorang menjual barang tertentu yang bukan miliknya, akan tetapi barang tersebut milik orang lain yang ia belum membelinya dari penjualnya. Kemudian ia berusaha untuk mendapatkan barang tersebut dan memberikannya kepada pembeli. Gambaran seperti ini sering terjadi di sebagian pasar atau mall. Ketika ada penjual handphone tidak memiliki handphone yang diinginkan pembeli, kemudian penjual mencari terlebih dahulu ke penjual lain atau toko lain sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh pembeli tanpa ia membeli terlebih dahulu dari pemilik handphone-nya. Dalam kasus ini, ia termasuk dalam menjual barang yang tidak ia miliki. Kedua, seseorang ingin menjual barang yang tidak atau belum mampu diserahkan kepada pembeli. Meskipun dalam bentuk utang, namun dalam hal ini penjual menjamin sesuatu yang tidak jelas. Alias masih tidak diketahui apakah dia akan mendapatkan barang tersebut atau tidak. Sehingga, pada poin kedua ini terdapat beberapa kemungkinan: Pertama: Menjual barang tertentu yang bukan atau belum jadi miliknya. Kedua: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan yang belum jelas apakah barang itu bisa didapat atau tidak. Ketiga: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan tidak ada perjanjian yang jelas atau pembeli yang tidak dapat dipercaya. Sehingga ketiga kemungkinan ini semuanya terlarang. Kemudian, Syekh Islam rahimahullah mengatakan, “Adapun akad salam yang berjangka waktu (salam mu’ajjal), maka ia adalah utang dari jenis utang-utang lainnya, serupa dengan pembelian dengan harga yang ditangguhkan.” [5] Sehingga dari sini dapat diketahui bahwa akad salam adalah akad yang diperbolehkan dalam Islam, dan jumhur ulama bersepakat atas kebolehannya. Tentunya akad salam berbeda dengan menjual barang yang tidak dimiliki sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Baca juga: Fikih Akad Musaqah *** Depok, 28 Rajab 1446/ 27 Januari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Majmu’ Fatawa, karya Syekh Islam Ibnu Taimiyyah. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178 dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 240. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178. [3] Al-Mughni, 4: 338. [4] Majmu’ Fatawa, 20: 529; I’lamul Muwaqqi’in, 2: 19-20; Shahih Fiqh Sunnah, 5: 243. [5] Majmu’ Fatawa, 20: 529.

Fikih Akad Salam

Daftar Isi Toggle Definisi salamHukum dan dalil akad salamPertama, dalil dari Al-Qur’anKedua, dalil dari As-SunnahKetiga, dalil ijma’Keempat, dalil secara akal Salam adalah termasuk akad jual beli di antara manusia tatkala barang yang diinginkan oleh pembeli belum bisa diwujudkan oleh penjual, sehingga pembeli memberikan uang terlebih dahulu di muka (tunai) yang setelah itu penjual akan memberikan barangnya pada waktu yang telah disepakati bersama. Demikian gambaran secara umum tentang salam. Definisi salam Secara bahasa, salam diambil dari kata salaf. As-salam secara bahasa adalah as-salaf (pembayaran di muka). Istilah ‘aslama‘ dalam sesuatu memiliki makna yang sama dengan ‘as-salaf‘, yaitu memberikan sesuatu di awal sebagai pembayaran di muka. Bedanya adalah kalau as-salam itu adalah bahasa Hijaz, adapun as-salaf adalah bahasa yang digunakan oleh Irak. Secara istilah, akad atas barang yang memiliki sifat tertentu dalam tanggungan (utang) dengan waktu penyerahan yang jelas, dan harga dibayarkan secara tunai di majelis akad. Atau bisa juga dikatakan, pembelian barang yang ditangguhkan dengan pembayaran tunai. [1] Hukum dan dalil akad salam Hukum dari akad salam sendiri adalah mubah (diperbolehkan) di dalam Islam. Dengan dalil-dalil berikut ini [2], Pertama, dalil dari Al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya… “ (QS. Al-Baqarah: 282) Al-Imam Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Mustadrak-nya, dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَشْهَدُ أَنَّ السَّلَفَ المَضْمُوْنُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قَدْ أَحَلَّهُ اللهُ فِي كِتَابِهِ، وَأَذِنَ فِيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ: ﴿ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ ﴾ “Aku bersaksi bahwa akad salam (pembayaran tunai) yang dijamin hingga waktu tertentu telah Allah halalkan dalam Kitab-Nya dan Allah izinkan. Kemudian, beliau membaca firman Allah (yang artinya), ‘Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya’ (QS. Al-Baqarah: 282).” Hal ini menunjukkan bahwa ayat di atas menunjukkan bolehnya akad utang-piutang secara umum dan ayat di atas juga mencakup akad salam secara khusus. Sehingga, bisa dikatakan akad salam memiliki dasar yang kuat dari Al-Qur’an dan diperkuat pula oleh pemahaman sahabat, seperti ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Kedua, dalil dari As-Sunnah Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di kota Madinah, penduduk Madinah menjual buah-buahan dengan pembayaran di muka, sedangkan buah-buahan yang dijualnya dijanjikan mereka dalam tempo setahun atau dua tahun kemudian. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang menjual kurma dengan tempo waktu, hendaklah dengan ia menjualnya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan jangka waktu yang jelas.” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Fikih Akad Muzara’ah Ketiga, dalil ijma’ Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُهُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ عَلَى أَنَّ السَّلَمَ جَائِزٌ “Seluruh orang yang kami ketahui (ambil ilmu mereka) dari kalangan ahli ilmu telah sepakat bahwa akad salam itu diperbolehkan.” Keempat, dalil secara akal Secara akal, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan dalam Al-Mughni, وَلِأَنَّ الْمُثَمَنَ فِي الْبَيْعِ أَحَدُ عِوَضَيْ الْعَقْدِ، فَجَازَ أَنْ يَثْبُتَ فِي الذِّمَّةِ، كَالثَّمَنِ، وَلِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً إِلَيْهِ؛ لِأَنَّ أَرْبَابَ الزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ وَالتِّجَارَاتِ يَحْتَاجُونَ إِلَى النَّفَقَةِ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَعَلَيْهَا؛ لِتَكْمُلَ، وَقَدْ تَعُوزُهُمُ النَّفَقَةُ، فَجُوِّزَ لَهُمُ السَّلَمُ؛ لِيَرْتَفِقُوا، وَيَرْتَفِقَ الْمُسْلِمُ بِالِاسْتِرْخَاصِ. “Karena barang yang menjadi objek jual beli (al-mutsman) adalah salah satu dari dua pengganti dalam akad, maka diperbolehkan untuk ditetapkan dalam tanggungan (utang), seperti halnya harga (tsaman). Dan karena manusia butuh terhadapnya. Sebab para pemilik tanaman, buah-buahan, dan perdagangan memerlukan nafkah untuk diri mereka sendiri dan juga untuk usaha mereka agar usaha tersebut dapat sempurna. Namun, terkadang mereka kekurangan nafkah, maka diperbolehkan bagi mereka (melakukan) akad salam agar mereka mendapatkan kemudahan, dan pembeli (muslam) juga mendapatkan keuntungan berupa harga yang lebih murah.” [3] Perlu diketahui bahwa akad salam tentunya bukanlah akad seperti jual beli barang yang tidak dimiliki atau menjual barang yang tidak ada. Karena tentunya berbeda antara menjual barang yang tidak dimiliki dengan menjual barang dengan barang yang akan diberikan di waktu kemudian sesuai dengan kesepakatan. Sehingga, tidak bisa dikatakan bahwa salam adalah jual beli yang terlarang karena ketidakjelasan barangnya. Syekh Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahullah berpendapat tentang hal ini [4], “Allah telah memberikan fitrah kepada orang-orang yang berakal akan perbedaan antara seseorang jual beli barang yang tidak ia miliki, tidak mampu untuk menjualnya dengan seseorang yang menjual dengan cara salam (penangguhan barang dengan uang di awal), yang tentunya salam dapat diketahui secara pasti diterima barangnya oleh pembeli. Menyamakan antara bentuk jual beli keduanya seperti menyamakan antara daging bangkai dengan daging yang disembelih, seperti menyamakan antara riba dan jual beli.” Kemudian dilanjutkan, “Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ ‘Jangan menjual barang yang tidak ada padamu (bukan milikmu).’ (HR. At-Tirmidzi) Terdapat dua makna dalam hal ini, Pertama, seseorang menjual barang tertentu yang bukan miliknya, akan tetapi barang tersebut milik orang lain yang ia belum membelinya dari penjualnya. Kemudian ia berusaha untuk mendapatkan barang tersebut dan memberikannya kepada pembeli. Gambaran seperti ini sering terjadi di sebagian pasar atau mall. Ketika ada penjual handphone tidak memiliki handphone yang diinginkan pembeli, kemudian penjual mencari terlebih dahulu ke penjual lain atau toko lain sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh pembeli tanpa ia membeli terlebih dahulu dari pemilik handphone-nya. Dalam kasus ini, ia termasuk dalam menjual barang yang tidak ia miliki. Kedua, seseorang ingin menjual barang yang tidak atau belum mampu diserahkan kepada pembeli. Meskipun dalam bentuk utang, namun dalam hal ini penjual menjamin sesuatu yang tidak jelas. Alias masih tidak diketahui apakah dia akan mendapatkan barang tersebut atau tidak. Sehingga, pada poin kedua ini terdapat beberapa kemungkinan: Pertama: Menjual barang tertentu yang bukan atau belum jadi miliknya. Kedua: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan yang belum jelas apakah barang itu bisa didapat atau tidak. Ketiga: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan tidak ada perjanjian yang jelas atau pembeli yang tidak dapat dipercaya. Sehingga ketiga kemungkinan ini semuanya terlarang. Kemudian, Syekh Islam rahimahullah mengatakan, “Adapun akad salam yang berjangka waktu (salam mu’ajjal), maka ia adalah utang dari jenis utang-utang lainnya, serupa dengan pembelian dengan harga yang ditangguhkan.” [5] Sehingga dari sini dapat diketahui bahwa akad salam adalah akad yang diperbolehkan dalam Islam, dan jumhur ulama bersepakat atas kebolehannya. Tentunya akad salam berbeda dengan menjual barang yang tidak dimiliki sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Baca juga: Fikih Akad Musaqah *** Depok, 28 Rajab 1446/ 27 Januari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Majmu’ Fatawa, karya Syekh Islam Ibnu Taimiyyah. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178 dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 240. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178. [3] Al-Mughni, 4: 338. [4] Majmu’ Fatawa, 20: 529; I’lamul Muwaqqi’in, 2: 19-20; Shahih Fiqh Sunnah, 5: 243. [5] Majmu’ Fatawa, 20: 529.
Daftar Isi Toggle Definisi salamHukum dan dalil akad salamPertama, dalil dari Al-Qur’anKedua, dalil dari As-SunnahKetiga, dalil ijma’Keempat, dalil secara akal Salam adalah termasuk akad jual beli di antara manusia tatkala barang yang diinginkan oleh pembeli belum bisa diwujudkan oleh penjual, sehingga pembeli memberikan uang terlebih dahulu di muka (tunai) yang setelah itu penjual akan memberikan barangnya pada waktu yang telah disepakati bersama. Demikian gambaran secara umum tentang salam. Definisi salam Secara bahasa, salam diambil dari kata salaf. As-salam secara bahasa adalah as-salaf (pembayaran di muka). Istilah ‘aslama‘ dalam sesuatu memiliki makna yang sama dengan ‘as-salaf‘, yaitu memberikan sesuatu di awal sebagai pembayaran di muka. Bedanya adalah kalau as-salam itu adalah bahasa Hijaz, adapun as-salaf adalah bahasa yang digunakan oleh Irak. Secara istilah, akad atas barang yang memiliki sifat tertentu dalam tanggungan (utang) dengan waktu penyerahan yang jelas, dan harga dibayarkan secara tunai di majelis akad. Atau bisa juga dikatakan, pembelian barang yang ditangguhkan dengan pembayaran tunai. [1] Hukum dan dalil akad salam Hukum dari akad salam sendiri adalah mubah (diperbolehkan) di dalam Islam. Dengan dalil-dalil berikut ini [2], Pertama, dalil dari Al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya… “ (QS. Al-Baqarah: 282) Al-Imam Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Mustadrak-nya, dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَشْهَدُ أَنَّ السَّلَفَ المَضْمُوْنُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قَدْ أَحَلَّهُ اللهُ فِي كِتَابِهِ، وَأَذِنَ فِيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ: ﴿ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ ﴾ “Aku bersaksi bahwa akad salam (pembayaran tunai) yang dijamin hingga waktu tertentu telah Allah halalkan dalam Kitab-Nya dan Allah izinkan. Kemudian, beliau membaca firman Allah (yang artinya), ‘Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya’ (QS. Al-Baqarah: 282).” Hal ini menunjukkan bahwa ayat di atas menunjukkan bolehnya akad utang-piutang secara umum dan ayat di atas juga mencakup akad salam secara khusus. Sehingga, bisa dikatakan akad salam memiliki dasar yang kuat dari Al-Qur’an dan diperkuat pula oleh pemahaman sahabat, seperti ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Kedua, dalil dari As-Sunnah Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di kota Madinah, penduduk Madinah menjual buah-buahan dengan pembayaran di muka, sedangkan buah-buahan yang dijualnya dijanjikan mereka dalam tempo setahun atau dua tahun kemudian. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang menjual kurma dengan tempo waktu, hendaklah dengan ia menjualnya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan jangka waktu yang jelas.” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Fikih Akad Muzara’ah Ketiga, dalil ijma’ Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُهُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ عَلَى أَنَّ السَّلَمَ جَائِزٌ “Seluruh orang yang kami ketahui (ambil ilmu mereka) dari kalangan ahli ilmu telah sepakat bahwa akad salam itu diperbolehkan.” Keempat, dalil secara akal Secara akal, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan dalam Al-Mughni, وَلِأَنَّ الْمُثَمَنَ فِي الْبَيْعِ أَحَدُ عِوَضَيْ الْعَقْدِ، فَجَازَ أَنْ يَثْبُتَ فِي الذِّمَّةِ، كَالثَّمَنِ، وَلِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً إِلَيْهِ؛ لِأَنَّ أَرْبَابَ الزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ وَالتِّجَارَاتِ يَحْتَاجُونَ إِلَى النَّفَقَةِ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَعَلَيْهَا؛ لِتَكْمُلَ، وَقَدْ تَعُوزُهُمُ النَّفَقَةُ، فَجُوِّزَ لَهُمُ السَّلَمُ؛ لِيَرْتَفِقُوا، وَيَرْتَفِقَ الْمُسْلِمُ بِالِاسْتِرْخَاصِ. “Karena barang yang menjadi objek jual beli (al-mutsman) adalah salah satu dari dua pengganti dalam akad, maka diperbolehkan untuk ditetapkan dalam tanggungan (utang), seperti halnya harga (tsaman). Dan karena manusia butuh terhadapnya. Sebab para pemilik tanaman, buah-buahan, dan perdagangan memerlukan nafkah untuk diri mereka sendiri dan juga untuk usaha mereka agar usaha tersebut dapat sempurna. Namun, terkadang mereka kekurangan nafkah, maka diperbolehkan bagi mereka (melakukan) akad salam agar mereka mendapatkan kemudahan, dan pembeli (muslam) juga mendapatkan keuntungan berupa harga yang lebih murah.” [3] Perlu diketahui bahwa akad salam tentunya bukanlah akad seperti jual beli barang yang tidak dimiliki atau menjual barang yang tidak ada. Karena tentunya berbeda antara menjual barang yang tidak dimiliki dengan menjual barang dengan barang yang akan diberikan di waktu kemudian sesuai dengan kesepakatan. Sehingga, tidak bisa dikatakan bahwa salam adalah jual beli yang terlarang karena ketidakjelasan barangnya. Syekh Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahullah berpendapat tentang hal ini [4], “Allah telah memberikan fitrah kepada orang-orang yang berakal akan perbedaan antara seseorang jual beli barang yang tidak ia miliki, tidak mampu untuk menjualnya dengan seseorang yang menjual dengan cara salam (penangguhan barang dengan uang di awal), yang tentunya salam dapat diketahui secara pasti diterima barangnya oleh pembeli. Menyamakan antara bentuk jual beli keduanya seperti menyamakan antara daging bangkai dengan daging yang disembelih, seperti menyamakan antara riba dan jual beli.” Kemudian dilanjutkan, “Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ ‘Jangan menjual barang yang tidak ada padamu (bukan milikmu).’ (HR. At-Tirmidzi) Terdapat dua makna dalam hal ini, Pertama, seseorang menjual barang tertentu yang bukan miliknya, akan tetapi barang tersebut milik orang lain yang ia belum membelinya dari penjualnya. Kemudian ia berusaha untuk mendapatkan barang tersebut dan memberikannya kepada pembeli. Gambaran seperti ini sering terjadi di sebagian pasar atau mall. Ketika ada penjual handphone tidak memiliki handphone yang diinginkan pembeli, kemudian penjual mencari terlebih dahulu ke penjual lain atau toko lain sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh pembeli tanpa ia membeli terlebih dahulu dari pemilik handphone-nya. Dalam kasus ini, ia termasuk dalam menjual barang yang tidak ia miliki. Kedua, seseorang ingin menjual barang yang tidak atau belum mampu diserahkan kepada pembeli. Meskipun dalam bentuk utang, namun dalam hal ini penjual menjamin sesuatu yang tidak jelas. Alias masih tidak diketahui apakah dia akan mendapatkan barang tersebut atau tidak. Sehingga, pada poin kedua ini terdapat beberapa kemungkinan: Pertama: Menjual barang tertentu yang bukan atau belum jadi miliknya. Kedua: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan yang belum jelas apakah barang itu bisa didapat atau tidak. Ketiga: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan tidak ada perjanjian yang jelas atau pembeli yang tidak dapat dipercaya. Sehingga ketiga kemungkinan ini semuanya terlarang. Kemudian, Syekh Islam rahimahullah mengatakan, “Adapun akad salam yang berjangka waktu (salam mu’ajjal), maka ia adalah utang dari jenis utang-utang lainnya, serupa dengan pembelian dengan harga yang ditangguhkan.” [5] Sehingga dari sini dapat diketahui bahwa akad salam adalah akad yang diperbolehkan dalam Islam, dan jumhur ulama bersepakat atas kebolehannya. Tentunya akad salam berbeda dengan menjual barang yang tidak dimiliki sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Baca juga: Fikih Akad Musaqah *** Depok, 28 Rajab 1446/ 27 Januari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Majmu’ Fatawa, karya Syekh Islam Ibnu Taimiyyah. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178 dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 240. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178. [3] Al-Mughni, 4: 338. [4] Majmu’ Fatawa, 20: 529; I’lamul Muwaqqi’in, 2: 19-20; Shahih Fiqh Sunnah, 5: 243. [5] Majmu’ Fatawa, 20: 529.


Daftar Isi Toggle Definisi salamHukum dan dalil akad salamPertama, dalil dari Al-Qur’anKedua, dalil dari As-SunnahKetiga, dalil ijma’Keempat, dalil secara akal Salam adalah termasuk akad jual beli di antara manusia tatkala barang yang diinginkan oleh pembeli belum bisa diwujudkan oleh penjual, sehingga pembeli memberikan uang terlebih dahulu di muka (tunai) yang setelah itu penjual akan memberikan barangnya pada waktu yang telah disepakati bersama. Demikian gambaran secara umum tentang salam. Definisi salam Secara bahasa, salam diambil dari kata salaf. As-salam secara bahasa adalah as-salaf (pembayaran di muka). Istilah ‘aslama‘ dalam sesuatu memiliki makna yang sama dengan ‘as-salaf‘, yaitu memberikan sesuatu di awal sebagai pembayaran di muka. Bedanya adalah kalau as-salam itu adalah bahasa Hijaz, adapun as-salaf adalah bahasa yang digunakan oleh Irak. Secara istilah, akad atas barang yang memiliki sifat tertentu dalam tanggungan (utang) dengan waktu penyerahan yang jelas, dan harga dibayarkan secara tunai di majelis akad. Atau bisa juga dikatakan, pembelian barang yang ditangguhkan dengan pembayaran tunai. [1] Hukum dan dalil akad salam Hukum dari akad salam sendiri adalah mubah (diperbolehkan) di dalam Islam. Dengan dalil-dalil berikut ini [2], Pertama, dalil dari Al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya… “ (QS. Al-Baqarah: 282) Al-Imam Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Mustadrak-nya, dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَشْهَدُ أَنَّ السَّلَفَ المَضْمُوْنُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قَدْ أَحَلَّهُ اللهُ فِي كِتَابِهِ، وَأَذِنَ فِيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ: ﴿ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ ﴾ “Aku bersaksi bahwa akad salam (pembayaran tunai) yang dijamin hingga waktu tertentu telah Allah halalkan dalam Kitab-Nya dan Allah izinkan. Kemudian, beliau membaca firman Allah (yang artinya), ‘Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya’ (QS. Al-Baqarah: 282).” Hal ini menunjukkan bahwa ayat di atas menunjukkan bolehnya akad utang-piutang secara umum dan ayat di atas juga mencakup akad salam secara khusus. Sehingga, bisa dikatakan akad salam memiliki dasar yang kuat dari Al-Qur’an dan diperkuat pula oleh pemahaman sahabat, seperti ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Kedua, dalil dari As-Sunnah Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di kota Madinah, penduduk Madinah menjual buah-buahan dengan pembayaran di muka, sedangkan buah-buahan yang dijualnya dijanjikan mereka dalam tempo setahun atau dua tahun kemudian. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang menjual kurma dengan tempo waktu, hendaklah dengan ia menjualnya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan jangka waktu yang jelas.” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Fikih Akad Muzara’ah Ketiga, dalil ijma’ Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُهُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ عَلَى أَنَّ السَّلَمَ جَائِزٌ “Seluruh orang yang kami ketahui (ambil ilmu mereka) dari kalangan ahli ilmu telah sepakat bahwa akad salam itu diperbolehkan.” Keempat, dalil secara akal Secara akal, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan dalam Al-Mughni, وَلِأَنَّ الْمُثَمَنَ فِي الْبَيْعِ أَحَدُ عِوَضَيْ الْعَقْدِ، فَجَازَ أَنْ يَثْبُتَ فِي الذِّمَّةِ، كَالثَّمَنِ، وَلِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً إِلَيْهِ؛ لِأَنَّ أَرْبَابَ الزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ وَالتِّجَارَاتِ يَحْتَاجُونَ إِلَى النَّفَقَةِ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَعَلَيْهَا؛ لِتَكْمُلَ، وَقَدْ تَعُوزُهُمُ النَّفَقَةُ، فَجُوِّزَ لَهُمُ السَّلَمُ؛ لِيَرْتَفِقُوا، وَيَرْتَفِقَ الْمُسْلِمُ بِالِاسْتِرْخَاصِ. “Karena barang yang menjadi objek jual beli (al-mutsman) adalah salah satu dari dua pengganti dalam akad, maka diperbolehkan untuk ditetapkan dalam tanggungan (utang), seperti halnya harga (tsaman). Dan karena manusia butuh terhadapnya. Sebab para pemilik tanaman, buah-buahan, dan perdagangan memerlukan nafkah untuk diri mereka sendiri dan juga untuk usaha mereka agar usaha tersebut dapat sempurna. Namun, terkadang mereka kekurangan nafkah, maka diperbolehkan bagi mereka (melakukan) akad salam agar mereka mendapatkan kemudahan, dan pembeli (muslam) juga mendapatkan keuntungan berupa harga yang lebih murah.” [3] Perlu diketahui bahwa akad salam tentunya bukanlah akad seperti jual beli barang yang tidak dimiliki atau menjual barang yang tidak ada. Karena tentunya berbeda antara menjual barang yang tidak dimiliki dengan menjual barang dengan barang yang akan diberikan di waktu kemudian sesuai dengan kesepakatan. Sehingga, tidak bisa dikatakan bahwa salam adalah jual beli yang terlarang karena ketidakjelasan barangnya. Syekh Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahullah berpendapat tentang hal ini [4], “Allah telah memberikan fitrah kepada orang-orang yang berakal akan perbedaan antara seseorang jual beli barang yang tidak ia miliki, tidak mampu untuk menjualnya dengan seseorang yang menjual dengan cara salam (penangguhan barang dengan uang di awal), yang tentunya salam dapat diketahui secara pasti diterima barangnya oleh pembeli. Menyamakan antara bentuk jual beli keduanya seperti menyamakan antara daging bangkai dengan daging yang disembelih, seperti menyamakan antara riba dan jual beli.” Kemudian dilanjutkan, “Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ ‘Jangan menjual barang yang tidak ada padamu (bukan milikmu).’ (HR. At-Tirmidzi) Terdapat dua makna dalam hal ini, Pertama, seseorang menjual barang tertentu yang bukan miliknya, akan tetapi barang tersebut milik orang lain yang ia belum membelinya dari penjualnya. Kemudian ia berusaha untuk mendapatkan barang tersebut dan memberikannya kepada pembeli. Gambaran seperti ini sering terjadi di sebagian pasar atau mall. Ketika ada penjual handphone tidak memiliki handphone yang diinginkan pembeli, kemudian penjual mencari terlebih dahulu ke penjual lain atau toko lain sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh pembeli tanpa ia membeli terlebih dahulu dari pemilik handphone-nya. Dalam kasus ini, ia termasuk dalam menjual barang yang tidak ia miliki. Kedua, seseorang ingin menjual barang yang tidak atau belum mampu diserahkan kepada pembeli. Meskipun dalam bentuk utang, namun dalam hal ini penjual menjamin sesuatu yang tidak jelas. Alias masih tidak diketahui apakah dia akan mendapatkan barang tersebut atau tidak. Sehingga, pada poin kedua ini terdapat beberapa kemungkinan: Pertama: Menjual barang tertentu yang bukan atau belum jadi miliknya. Kedua: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan yang belum jelas apakah barang itu bisa didapat atau tidak. Ketiga: Menjual barang dengan pembeli utang terlebih dahulu, dalam keadaan tidak ada perjanjian yang jelas atau pembeli yang tidak dapat dipercaya. Sehingga ketiga kemungkinan ini semuanya terlarang. Kemudian, Syekh Islam rahimahullah mengatakan, “Adapun akad salam yang berjangka waktu (salam mu’ajjal), maka ia adalah utang dari jenis utang-utang lainnya, serupa dengan pembelian dengan harga yang ditangguhkan.” [5] Sehingga dari sini dapat diketahui bahwa akad salam adalah akad yang diperbolehkan dalam Islam, dan jumhur ulama bersepakat atas kebolehannya. Tentunya akad salam berbeda dengan menjual barang yang tidak dimiliki sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Baca juga: Fikih Akad Musaqah *** Depok, 28 Rajab 1446/ 27 Januari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Majmu’ Fatawa, karya Syekh Islam Ibnu Taimiyyah. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178 dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 240. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 178. [3] Al-Mughni, 4: 338. [4] Majmu’ Fatawa, 20: 529; I’lamul Muwaqqi’in, 2: 19-20; Shahih Fiqh Sunnah, 5: 243. [5] Majmu’ Fatawa, 20: 529.

Panduan Menikah dengan Pasangan yang Sekufu (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Teks Hadis PertamaKandungan Hadis PertamaTeks Hadis KeduaKandungan Hadis KeduaTeks Hadis KetigaKandungan Hadis Ketiga Teks Hadis Pertama Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْعَرَبُ بَعْضُهُمْ أَكفَاءُ بَعضٍ، وَالْمَوَالِي بَعْضُهُمْ أَكفَاءُ بَعْضٍ، إلَّا حَائِكًا أوْ حَجَّامًا “Orang-orang Arab, sebagian mereka setara dengan sebagian yang lain; dan para bekas budak (mawali), sebagian mereka setara dengan sebagian yang lain, kecuali penenun atau tukang bekam.” [HR. Al-Baihaqi, 7: 134; namun sanad hadis ini dha’if karena sanadnya terputus (munqathi’) dan juga ada perawi yang mudallis] Syekh Al-Albani rahimahullah berkata, وجملة القول أن طرق الحديث أكثرها شديد الضعف، فلا يطمئن القلب لتقويتها بها، لا سيما وقد حكم عليه بعض الحفاظ بوضعه؛ كابن عبد البر وغيره، وأما ضعفه فهو في حكم المتفق عليه، والقلب إلى وضعه أميل، لبعد معناه عن كثير من النصوص الثابتة “Kesimpulannya, sebagian besar jalur periwayatan hadis ini sangat lemah, sehingga hati ini tidak merasa tenang untuk menguatkan hadis ini melalui jalur-jalur tersebut. Terlebih lagi, beberapa ahli hadis telah menyatakan bahwa hadis ini palsu (maudhu’), seperti Ibn Abdil Barr dan lainnya. Adapun status dha’if-nya, hal itu menjadi kesepakatan di kalangan para ulama (ahli hadis). Bahkan, hati ini cenderung untuk menganggapnya sebagai hadis palsu, mengingat maknanya yang jauh bertentangan dengan banyak dalil nash yang sahih lainnya.” [1] Kandungan Hadis Pertama Hadis ini menunjukkan adanya pertimbangan kesetaraan (al-kafa’ah) berdasarkan keturunan (nasab), di mana seluruh orang Arab dianggap sama dalam al-kafa’ah; sedangkan para bekas budak (mawali) dianggap setara satu sama lain, tetapi tidak setara dengan orang Arab. Namun, ada pengecualian jika seorang Arab bekerja dalam profesi seperti penenun atau tukang bekam, maka status keturunannya jatuh dan dia tidak dianggap setara dengan perempuan Arab. Pendapat yang mempertimbangkan al-kafa’ah berdasarkan nasab (keturunan) adalah pandangan mayoritas ulama (jumhur), sebagaimana disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. Namun, pemahaman ini, yang didasarkan pada hadis di atas, itu tidak benar. Karena sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hadis ini batil dan tidak memiliki dasar yang sahih. Hal ini juga diperkuat oleh dalil lain, seperti kisah setelahnya di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha untuk menikah dengan Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, padahal dia adalah bekas budak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan agar Abu Hind dinikahkan, meskipun ia adalah seorang tukang bekam. Hal ini menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak sahih dan bertentangan dengan dalil yang lebih kuat. Mungkin inilah alasan mengapa al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan hadis ini dalam bab al-kafa’ah ini, kemudian mencantumkan dua hadis setelahnya untuk menunjukkan ketidaksahihannya, karena kedua hadis tersebut menunjukkan bahwa kesetaraan berdasarkan nasab (keturunan) tidaklah dipertimbangkan. Oleh karena itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, لم يثبت في اعتبار الكفاءة بالنسب حديث “Tidak ada hadis yang sahih tentang mempertimbangan al-kafa’ah berdasarkan nasab (keturunan).” [2] Teks Hadis Kedua Dari Abu Bakar bin Abi Al-Jahm bin Sukhair Al-Adawi, ia berkata, سَمِعْتُ فَاطِمَةَ بِنْتَ قَيْسٍ، تَقُولُ: إِنَّ زَوْجَهَا طَلَّقَهَا ثَلَاثًا، فَلَمْ يَجْعَلْ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُكْنَى، وَلَا نَفَقَةً، قَالَتْ: قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي ، فَآذَنْتُهُ، فَخَطَبَهَا مُعَاوِيَةُ، وَأَبُو جَهْمٍ، وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَرَجُلٌ تَرِبٌ، لَا مَالَ لَهُ، وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ، وَلَكِنْ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ» فَقَالَتْ بِيَدِهَا هَكَذَا: أُسَامَةُ، أُسَامَةُ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: طَاعَةُ اللهِ، وَطَاعَةُ رَسُولِهِ خَيْرٌ لَكِ ، قَالَتْ: فَتَزَوَّجْتُهُ، فَاغْتَبَطْتُ “Aku mendengar Fatimah binti Qais berkata, “Sesungguhnya suaminya telah menceraikannya dengan talak tiga, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menetapkan untuknya hak tempat tinggal atau nafkah.” Fatimah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku, “Jika masa idahmu selesai, beritahukanlah kepadaku.” Maka aku memberitahukannya. Kemudian Mu’awiyah, Abu Jahm, dan Usamah bin Zaid melamarku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah adalah seorang yang miskin, tidak memiliki harta. Sedangkan Abu Jahm adalah seorang yang suka memukul wanita. Tetapi (pilihlah) Usamah bin Zaid.” Fatimah berkata, “Aku memberi isyarat dengan tanganku seperti ini, Usamah, Usamah.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku, “Ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya adalah yang terbaik bagimu.” Lalu aku menikah dengannya, dan aku merasa bahagia.” (HR. Muslim no. 1480) Kandungan Hadis Kedua Hadis ini menjadi dalil bahwa al-kafa’ah dalam hal nasab tidaklah dipertimbangkan, dan diperbolehkan menikahkan seorang wanita Quraisy dengan seorang mantan budak. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Fatimah binti Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid, meskipun Usamah tidak sekufu dengannya dalam hal nasab. Fatimah adalah wanita Quraisy, sedangkan Usamah berasal dari golongan mawali (bekas budak). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga meminta Fatimah untuk mengabaikan lamaran dari Mu’awiyah dan Abu Jahm, meskipun keduanya berasal dari kaumnya, sukunya, dan juga dari Quraisy. Hal ini menunjukkan bahwa kesetaraan dalam nasab tidaklah menjadi syarat yang dipertimbangkan dalam pernikahan. Juga terdapat hadis tentang Dhiba’ah binti Zubair, yang menjadi istri dari Miqdad bin Al-Aswad. Dhiba’ah adalah seorang wanita dari Bani Hasyim yang memiliki kedudukan nasab lebih tinggi darinya. Dhiba’ah adalah putri dari paman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan Miqdad bukan berasal dari Quraisy. Pendapat ini adalah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. [3] Ibnu Abi Musa juga meriwayatkan pendapat ini dari Imam Ahmad rahimahullah. [4] Syekh Muhammad bin Utsaimin berkata, “Pendapat inilah yang benar.” [5] Teks Hadis Ketiga Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَنَّ أَبَا هِنْدٍ، حَجَمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْيَافُوخِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا بَنِي بَيَاضَةَ أَنْكِحُوا أَبَا هِنْدٍ وَأَنْكِحُوا إِلَيْهِ “Bahwa Abu Hind telah melakukan hijamah (bekam) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di bagian tengah kepala (ubun-ubun). Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai Bani Bayadhah, nikahkanlah Abu Hind dan terimalah pernikahan darinya (dengan keluarga kalian).” (HR. Abu Dawud no. 2102, dinilai hasan oleh Al-Albani) Kandungan Hadis Ketiga Hadis ini menjadi dalil bahwa al-kafa’ah dalam hal nasab dan profesi tidaklah dipertimbangkan dalam pernikahan. Seorang tukang bekam (hajjam) dapat dianggap setara dengan kerabatnya yang bukan tukang bekam. Hal yang sama juga berlaku bagi tukang jagal, tukang sepatu, penyamak kulit, atau profesi lain yang dianggap rendah oleh sebagian orang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menikahkan Abu Hindin, meskipun ia adalah seorang mantan budak dan pekerjaannya adalah tukang bekam. Pekerjaan ini pada zaman mereka dianggap sebagai pekerjaan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa hadis sebelumnya yang menyatakan sebaliknya (yaitu hadis pertama) adalah batil. Al-Khathabi rahimahullah berkata, في هذا الحديث حجة لمالك ولمن ذهب مذهبه في أن الكفاءة بالدين وحده، دون غيره “Hadis ini menjadi hujah bagi Imam Malik dan mereka yang mengikuti pendapatnya, yaitu bahwa al-kafa’ah hanya dinilai dari agama, bukan yang lainnya …’ [6] Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, ومعلوم أن الحجامة، والدباغة، والحياكة، والحدادة فيها مصالح عظيمة للمسلمين، فالذي يقوم بها جدير بأن يشكر لا بأن يهمل، فإهماله وعدم تزويجه معناه التنفير عن هذه المهن النافعة للناس، فكما أنَّه غَلَظ في الحكم هو غلط في المعنى … “Sudah diketahui bahwa profesi seperti tukang bekam, penyamak kulit, penjahit, dan pandai besi membawa manfaat besar bagi umat Islam. Orang-orang yang menjalani profesi ini seharusnya diberi penghargaan, bukan diabaikan. Mengabaikan mereka dan menolak menikahkan mereka sama saja dengan mengurangi motivasi untuk menjalani profesi-profesi bermanfaat ini. Sebagaimana ini adalah kekeliruan dalam hukum, ini juga merupakan kekeliruan dalam makna …” [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** @5 Jumadil akhir 1446/ 7 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Irwa’, 6: 270. [2] Fathul Baari, 9: 132. [3] Al-Inshaf, 8: 108. [4] Al-Irsyad, hal. 268. [5] Ta’liq (komentar) beliau terhadap kitab Ar-Raudh Al-Murbi’, hal. 517. [6] Ma’alim As-Sunan, 3: 44.

Panduan Menikah dengan Pasangan yang Sekufu (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Teks Hadis PertamaKandungan Hadis PertamaTeks Hadis KeduaKandungan Hadis KeduaTeks Hadis KetigaKandungan Hadis Ketiga Teks Hadis Pertama Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْعَرَبُ بَعْضُهُمْ أَكفَاءُ بَعضٍ، وَالْمَوَالِي بَعْضُهُمْ أَكفَاءُ بَعْضٍ، إلَّا حَائِكًا أوْ حَجَّامًا “Orang-orang Arab, sebagian mereka setara dengan sebagian yang lain; dan para bekas budak (mawali), sebagian mereka setara dengan sebagian yang lain, kecuali penenun atau tukang bekam.” [HR. Al-Baihaqi, 7: 134; namun sanad hadis ini dha’if karena sanadnya terputus (munqathi’) dan juga ada perawi yang mudallis] Syekh Al-Albani rahimahullah berkata, وجملة القول أن طرق الحديث أكثرها شديد الضعف، فلا يطمئن القلب لتقويتها بها، لا سيما وقد حكم عليه بعض الحفاظ بوضعه؛ كابن عبد البر وغيره، وأما ضعفه فهو في حكم المتفق عليه، والقلب إلى وضعه أميل، لبعد معناه عن كثير من النصوص الثابتة “Kesimpulannya, sebagian besar jalur periwayatan hadis ini sangat lemah, sehingga hati ini tidak merasa tenang untuk menguatkan hadis ini melalui jalur-jalur tersebut. Terlebih lagi, beberapa ahli hadis telah menyatakan bahwa hadis ini palsu (maudhu’), seperti Ibn Abdil Barr dan lainnya. Adapun status dha’if-nya, hal itu menjadi kesepakatan di kalangan para ulama (ahli hadis). Bahkan, hati ini cenderung untuk menganggapnya sebagai hadis palsu, mengingat maknanya yang jauh bertentangan dengan banyak dalil nash yang sahih lainnya.” [1] Kandungan Hadis Pertama Hadis ini menunjukkan adanya pertimbangan kesetaraan (al-kafa’ah) berdasarkan keturunan (nasab), di mana seluruh orang Arab dianggap sama dalam al-kafa’ah; sedangkan para bekas budak (mawali) dianggap setara satu sama lain, tetapi tidak setara dengan orang Arab. Namun, ada pengecualian jika seorang Arab bekerja dalam profesi seperti penenun atau tukang bekam, maka status keturunannya jatuh dan dia tidak dianggap setara dengan perempuan Arab. Pendapat yang mempertimbangkan al-kafa’ah berdasarkan nasab (keturunan) adalah pandangan mayoritas ulama (jumhur), sebagaimana disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. Namun, pemahaman ini, yang didasarkan pada hadis di atas, itu tidak benar. Karena sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hadis ini batil dan tidak memiliki dasar yang sahih. Hal ini juga diperkuat oleh dalil lain, seperti kisah setelahnya di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha untuk menikah dengan Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, padahal dia adalah bekas budak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan agar Abu Hind dinikahkan, meskipun ia adalah seorang tukang bekam. Hal ini menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak sahih dan bertentangan dengan dalil yang lebih kuat. Mungkin inilah alasan mengapa al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan hadis ini dalam bab al-kafa’ah ini, kemudian mencantumkan dua hadis setelahnya untuk menunjukkan ketidaksahihannya, karena kedua hadis tersebut menunjukkan bahwa kesetaraan berdasarkan nasab (keturunan) tidaklah dipertimbangkan. Oleh karena itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, لم يثبت في اعتبار الكفاءة بالنسب حديث “Tidak ada hadis yang sahih tentang mempertimbangan al-kafa’ah berdasarkan nasab (keturunan).” [2] Teks Hadis Kedua Dari Abu Bakar bin Abi Al-Jahm bin Sukhair Al-Adawi, ia berkata, سَمِعْتُ فَاطِمَةَ بِنْتَ قَيْسٍ، تَقُولُ: إِنَّ زَوْجَهَا طَلَّقَهَا ثَلَاثًا، فَلَمْ يَجْعَلْ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُكْنَى، وَلَا نَفَقَةً، قَالَتْ: قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي ، فَآذَنْتُهُ، فَخَطَبَهَا مُعَاوِيَةُ، وَأَبُو جَهْمٍ، وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَرَجُلٌ تَرِبٌ، لَا مَالَ لَهُ، وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ، وَلَكِنْ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ» فَقَالَتْ بِيَدِهَا هَكَذَا: أُسَامَةُ، أُسَامَةُ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: طَاعَةُ اللهِ، وَطَاعَةُ رَسُولِهِ خَيْرٌ لَكِ ، قَالَتْ: فَتَزَوَّجْتُهُ، فَاغْتَبَطْتُ “Aku mendengar Fatimah binti Qais berkata, “Sesungguhnya suaminya telah menceraikannya dengan talak tiga, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menetapkan untuknya hak tempat tinggal atau nafkah.” Fatimah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku, “Jika masa idahmu selesai, beritahukanlah kepadaku.” Maka aku memberitahukannya. Kemudian Mu’awiyah, Abu Jahm, dan Usamah bin Zaid melamarku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah adalah seorang yang miskin, tidak memiliki harta. Sedangkan Abu Jahm adalah seorang yang suka memukul wanita. Tetapi (pilihlah) Usamah bin Zaid.” Fatimah berkata, “Aku memberi isyarat dengan tanganku seperti ini, Usamah, Usamah.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku, “Ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya adalah yang terbaik bagimu.” Lalu aku menikah dengannya, dan aku merasa bahagia.” (HR. Muslim no. 1480) Kandungan Hadis Kedua Hadis ini menjadi dalil bahwa al-kafa’ah dalam hal nasab tidaklah dipertimbangkan, dan diperbolehkan menikahkan seorang wanita Quraisy dengan seorang mantan budak. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Fatimah binti Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid, meskipun Usamah tidak sekufu dengannya dalam hal nasab. Fatimah adalah wanita Quraisy, sedangkan Usamah berasal dari golongan mawali (bekas budak). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga meminta Fatimah untuk mengabaikan lamaran dari Mu’awiyah dan Abu Jahm, meskipun keduanya berasal dari kaumnya, sukunya, dan juga dari Quraisy. Hal ini menunjukkan bahwa kesetaraan dalam nasab tidaklah menjadi syarat yang dipertimbangkan dalam pernikahan. Juga terdapat hadis tentang Dhiba’ah binti Zubair, yang menjadi istri dari Miqdad bin Al-Aswad. Dhiba’ah adalah seorang wanita dari Bani Hasyim yang memiliki kedudukan nasab lebih tinggi darinya. Dhiba’ah adalah putri dari paman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan Miqdad bukan berasal dari Quraisy. Pendapat ini adalah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. [3] Ibnu Abi Musa juga meriwayatkan pendapat ini dari Imam Ahmad rahimahullah. [4] Syekh Muhammad bin Utsaimin berkata, “Pendapat inilah yang benar.” [5] Teks Hadis Ketiga Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَنَّ أَبَا هِنْدٍ، حَجَمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْيَافُوخِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا بَنِي بَيَاضَةَ أَنْكِحُوا أَبَا هِنْدٍ وَأَنْكِحُوا إِلَيْهِ “Bahwa Abu Hind telah melakukan hijamah (bekam) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di bagian tengah kepala (ubun-ubun). Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai Bani Bayadhah, nikahkanlah Abu Hind dan terimalah pernikahan darinya (dengan keluarga kalian).” (HR. Abu Dawud no. 2102, dinilai hasan oleh Al-Albani) Kandungan Hadis Ketiga Hadis ini menjadi dalil bahwa al-kafa’ah dalam hal nasab dan profesi tidaklah dipertimbangkan dalam pernikahan. Seorang tukang bekam (hajjam) dapat dianggap setara dengan kerabatnya yang bukan tukang bekam. Hal yang sama juga berlaku bagi tukang jagal, tukang sepatu, penyamak kulit, atau profesi lain yang dianggap rendah oleh sebagian orang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menikahkan Abu Hindin, meskipun ia adalah seorang mantan budak dan pekerjaannya adalah tukang bekam. Pekerjaan ini pada zaman mereka dianggap sebagai pekerjaan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa hadis sebelumnya yang menyatakan sebaliknya (yaitu hadis pertama) adalah batil. Al-Khathabi rahimahullah berkata, في هذا الحديث حجة لمالك ولمن ذهب مذهبه في أن الكفاءة بالدين وحده، دون غيره “Hadis ini menjadi hujah bagi Imam Malik dan mereka yang mengikuti pendapatnya, yaitu bahwa al-kafa’ah hanya dinilai dari agama, bukan yang lainnya …’ [6] Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, ومعلوم أن الحجامة، والدباغة، والحياكة، والحدادة فيها مصالح عظيمة للمسلمين، فالذي يقوم بها جدير بأن يشكر لا بأن يهمل، فإهماله وعدم تزويجه معناه التنفير عن هذه المهن النافعة للناس، فكما أنَّه غَلَظ في الحكم هو غلط في المعنى … “Sudah diketahui bahwa profesi seperti tukang bekam, penyamak kulit, penjahit, dan pandai besi membawa manfaat besar bagi umat Islam. Orang-orang yang menjalani profesi ini seharusnya diberi penghargaan, bukan diabaikan. Mengabaikan mereka dan menolak menikahkan mereka sama saja dengan mengurangi motivasi untuk menjalani profesi-profesi bermanfaat ini. Sebagaimana ini adalah kekeliruan dalam hukum, ini juga merupakan kekeliruan dalam makna …” [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** @5 Jumadil akhir 1446/ 7 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Irwa’, 6: 270. [2] Fathul Baari, 9: 132. [3] Al-Inshaf, 8: 108. [4] Al-Irsyad, hal. 268. [5] Ta’liq (komentar) beliau terhadap kitab Ar-Raudh Al-Murbi’, hal. 517. [6] Ma’alim As-Sunan, 3: 44.
Daftar Isi Toggle Teks Hadis PertamaKandungan Hadis PertamaTeks Hadis KeduaKandungan Hadis KeduaTeks Hadis KetigaKandungan Hadis Ketiga Teks Hadis Pertama Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْعَرَبُ بَعْضُهُمْ أَكفَاءُ بَعضٍ، وَالْمَوَالِي بَعْضُهُمْ أَكفَاءُ بَعْضٍ، إلَّا حَائِكًا أوْ حَجَّامًا “Orang-orang Arab, sebagian mereka setara dengan sebagian yang lain; dan para bekas budak (mawali), sebagian mereka setara dengan sebagian yang lain, kecuali penenun atau tukang bekam.” [HR. Al-Baihaqi, 7: 134; namun sanad hadis ini dha’if karena sanadnya terputus (munqathi’) dan juga ada perawi yang mudallis] Syekh Al-Albani rahimahullah berkata, وجملة القول أن طرق الحديث أكثرها شديد الضعف، فلا يطمئن القلب لتقويتها بها، لا سيما وقد حكم عليه بعض الحفاظ بوضعه؛ كابن عبد البر وغيره، وأما ضعفه فهو في حكم المتفق عليه، والقلب إلى وضعه أميل، لبعد معناه عن كثير من النصوص الثابتة “Kesimpulannya, sebagian besar jalur periwayatan hadis ini sangat lemah, sehingga hati ini tidak merasa tenang untuk menguatkan hadis ini melalui jalur-jalur tersebut. Terlebih lagi, beberapa ahli hadis telah menyatakan bahwa hadis ini palsu (maudhu’), seperti Ibn Abdil Barr dan lainnya. Adapun status dha’if-nya, hal itu menjadi kesepakatan di kalangan para ulama (ahli hadis). Bahkan, hati ini cenderung untuk menganggapnya sebagai hadis palsu, mengingat maknanya yang jauh bertentangan dengan banyak dalil nash yang sahih lainnya.” [1] Kandungan Hadis Pertama Hadis ini menunjukkan adanya pertimbangan kesetaraan (al-kafa’ah) berdasarkan keturunan (nasab), di mana seluruh orang Arab dianggap sama dalam al-kafa’ah; sedangkan para bekas budak (mawali) dianggap setara satu sama lain, tetapi tidak setara dengan orang Arab. Namun, ada pengecualian jika seorang Arab bekerja dalam profesi seperti penenun atau tukang bekam, maka status keturunannya jatuh dan dia tidak dianggap setara dengan perempuan Arab. Pendapat yang mempertimbangkan al-kafa’ah berdasarkan nasab (keturunan) adalah pandangan mayoritas ulama (jumhur), sebagaimana disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. Namun, pemahaman ini, yang didasarkan pada hadis di atas, itu tidak benar. Karena sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hadis ini batil dan tidak memiliki dasar yang sahih. Hal ini juga diperkuat oleh dalil lain, seperti kisah setelahnya di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha untuk menikah dengan Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, padahal dia adalah bekas budak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan agar Abu Hind dinikahkan, meskipun ia adalah seorang tukang bekam. Hal ini menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak sahih dan bertentangan dengan dalil yang lebih kuat. Mungkin inilah alasan mengapa al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan hadis ini dalam bab al-kafa’ah ini, kemudian mencantumkan dua hadis setelahnya untuk menunjukkan ketidaksahihannya, karena kedua hadis tersebut menunjukkan bahwa kesetaraan berdasarkan nasab (keturunan) tidaklah dipertimbangkan. Oleh karena itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, لم يثبت في اعتبار الكفاءة بالنسب حديث “Tidak ada hadis yang sahih tentang mempertimbangan al-kafa’ah berdasarkan nasab (keturunan).” [2] Teks Hadis Kedua Dari Abu Bakar bin Abi Al-Jahm bin Sukhair Al-Adawi, ia berkata, سَمِعْتُ فَاطِمَةَ بِنْتَ قَيْسٍ، تَقُولُ: إِنَّ زَوْجَهَا طَلَّقَهَا ثَلَاثًا، فَلَمْ يَجْعَلْ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُكْنَى، وَلَا نَفَقَةً، قَالَتْ: قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي ، فَآذَنْتُهُ، فَخَطَبَهَا مُعَاوِيَةُ، وَأَبُو جَهْمٍ، وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَرَجُلٌ تَرِبٌ، لَا مَالَ لَهُ، وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ، وَلَكِنْ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ» فَقَالَتْ بِيَدِهَا هَكَذَا: أُسَامَةُ، أُسَامَةُ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: طَاعَةُ اللهِ، وَطَاعَةُ رَسُولِهِ خَيْرٌ لَكِ ، قَالَتْ: فَتَزَوَّجْتُهُ، فَاغْتَبَطْتُ “Aku mendengar Fatimah binti Qais berkata, “Sesungguhnya suaminya telah menceraikannya dengan talak tiga, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menetapkan untuknya hak tempat tinggal atau nafkah.” Fatimah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku, “Jika masa idahmu selesai, beritahukanlah kepadaku.” Maka aku memberitahukannya. Kemudian Mu’awiyah, Abu Jahm, dan Usamah bin Zaid melamarku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah adalah seorang yang miskin, tidak memiliki harta. Sedangkan Abu Jahm adalah seorang yang suka memukul wanita. Tetapi (pilihlah) Usamah bin Zaid.” Fatimah berkata, “Aku memberi isyarat dengan tanganku seperti ini, Usamah, Usamah.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku, “Ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya adalah yang terbaik bagimu.” Lalu aku menikah dengannya, dan aku merasa bahagia.” (HR. Muslim no. 1480) Kandungan Hadis Kedua Hadis ini menjadi dalil bahwa al-kafa’ah dalam hal nasab tidaklah dipertimbangkan, dan diperbolehkan menikahkan seorang wanita Quraisy dengan seorang mantan budak. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Fatimah binti Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid, meskipun Usamah tidak sekufu dengannya dalam hal nasab. Fatimah adalah wanita Quraisy, sedangkan Usamah berasal dari golongan mawali (bekas budak). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga meminta Fatimah untuk mengabaikan lamaran dari Mu’awiyah dan Abu Jahm, meskipun keduanya berasal dari kaumnya, sukunya, dan juga dari Quraisy. Hal ini menunjukkan bahwa kesetaraan dalam nasab tidaklah menjadi syarat yang dipertimbangkan dalam pernikahan. Juga terdapat hadis tentang Dhiba’ah binti Zubair, yang menjadi istri dari Miqdad bin Al-Aswad. Dhiba’ah adalah seorang wanita dari Bani Hasyim yang memiliki kedudukan nasab lebih tinggi darinya. Dhiba’ah adalah putri dari paman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan Miqdad bukan berasal dari Quraisy. Pendapat ini adalah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. [3] Ibnu Abi Musa juga meriwayatkan pendapat ini dari Imam Ahmad rahimahullah. [4] Syekh Muhammad bin Utsaimin berkata, “Pendapat inilah yang benar.” [5] Teks Hadis Ketiga Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَنَّ أَبَا هِنْدٍ، حَجَمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْيَافُوخِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا بَنِي بَيَاضَةَ أَنْكِحُوا أَبَا هِنْدٍ وَأَنْكِحُوا إِلَيْهِ “Bahwa Abu Hind telah melakukan hijamah (bekam) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di bagian tengah kepala (ubun-ubun). Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai Bani Bayadhah, nikahkanlah Abu Hind dan terimalah pernikahan darinya (dengan keluarga kalian).” (HR. Abu Dawud no. 2102, dinilai hasan oleh Al-Albani) Kandungan Hadis Ketiga Hadis ini menjadi dalil bahwa al-kafa’ah dalam hal nasab dan profesi tidaklah dipertimbangkan dalam pernikahan. Seorang tukang bekam (hajjam) dapat dianggap setara dengan kerabatnya yang bukan tukang bekam. Hal yang sama juga berlaku bagi tukang jagal, tukang sepatu, penyamak kulit, atau profesi lain yang dianggap rendah oleh sebagian orang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menikahkan Abu Hindin, meskipun ia adalah seorang mantan budak dan pekerjaannya adalah tukang bekam. Pekerjaan ini pada zaman mereka dianggap sebagai pekerjaan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa hadis sebelumnya yang menyatakan sebaliknya (yaitu hadis pertama) adalah batil. Al-Khathabi rahimahullah berkata, في هذا الحديث حجة لمالك ولمن ذهب مذهبه في أن الكفاءة بالدين وحده، دون غيره “Hadis ini menjadi hujah bagi Imam Malik dan mereka yang mengikuti pendapatnya, yaitu bahwa al-kafa’ah hanya dinilai dari agama, bukan yang lainnya …’ [6] Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, ومعلوم أن الحجامة، والدباغة، والحياكة، والحدادة فيها مصالح عظيمة للمسلمين، فالذي يقوم بها جدير بأن يشكر لا بأن يهمل، فإهماله وعدم تزويجه معناه التنفير عن هذه المهن النافعة للناس، فكما أنَّه غَلَظ في الحكم هو غلط في المعنى … “Sudah diketahui bahwa profesi seperti tukang bekam, penyamak kulit, penjahit, dan pandai besi membawa manfaat besar bagi umat Islam. Orang-orang yang menjalani profesi ini seharusnya diberi penghargaan, bukan diabaikan. Mengabaikan mereka dan menolak menikahkan mereka sama saja dengan mengurangi motivasi untuk menjalani profesi-profesi bermanfaat ini. Sebagaimana ini adalah kekeliruan dalam hukum, ini juga merupakan kekeliruan dalam makna …” [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** @5 Jumadil akhir 1446/ 7 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Irwa’, 6: 270. [2] Fathul Baari, 9: 132. [3] Al-Inshaf, 8: 108. [4] Al-Irsyad, hal. 268. [5] Ta’liq (komentar) beliau terhadap kitab Ar-Raudh Al-Murbi’, hal. 517. [6] Ma’alim As-Sunan, 3: 44.


Daftar Isi Toggle Teks Hadis PertamaKandungan Hadis PertamaTeks Hadis KeduaKandungan Hadis KeduaTeks Hadis KetigaKandungan Hadis Ketiga Teks Hadis Pertama Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْعَرَبُ بَعْضُهُمْ أَكفَاءُ بَعضٍ، وَالْمَوَالِي بَعْضُهُمْ أَكفَاءُ بَعْضٍ، إلَّا حَائِكًا أوْ حَجَّامًا “Orang-orang Arab, sebagian mereka setara dengan sebagian yang lain; dan para bekas budak (mawali), sebagian mereka setara dengan sebagian yang lain, kecuali penenun atau tukang bekam.” [HR. Al-Baihaqi, 7: 134; namun sanad hadis ini dha’if karena sanadnya terputus (munqathi’) dan juga ada perawi yang mudallis] Syekh Al-Albani rahimahullah berkata, وجملة القول أن طرق الحديث أكثرها شديد الضعف، فلا يطمئن القلب لتقويتها بها، لا سيما وقد حكم عليه بعض الحفاظ بوضعه؛ كابن عبد البر وغيره، وأما ضعفه فهو في حكم المتفق عليه، والقلب إلى وضعه أميل، لبعد معناه عن كثير من النصوص الثابتة “Kesimpulannya, sebagian besar jalur periwayatan hadis ini sangat lemah, sehingga hati ini tidak merasa tenang untuk menguatkan hadis ini melalui jalur-jalur tersebut. Terlebih lagi, beberapa ahli hadis telah menyatakan bahwa hadis ini palsu (maudhu’), seperti Ibn Abdil Barr dan lainnya. Adapun status dha’if-nya, hal itu menjadi kesepakatan di kalangan para ulama (ahli hadis). Bahkan, hati ini cenderung untuk menganggapnya sebagai hadis palsu, mengingat maknanya yang jauh bertentangan dengan banyak dalil nash yang sahih lainnya.” [1] Kandungan Hadis Pertama Hadis ini menunjukkan adanya pertimbangan kesetaraan (al-kafa’ah) berdasarkan keturunan (nasab), di mana seluruh orang Arab dianggap sama dalam al-kafa’ah; sedangkan para bekas budak (mawali) dianggap setara satu sama lain, tetapi tidak setara dengan orang Arab. Namun, ada pengecualian jika seorang Arab bekerja dalam profesi seperti penenun atau tukang bekam, maka status keturunannya jatuh dan dia tidak dianggap setara dengan perempuan Arab. Pendapat yang mempertimbangkan al-kafa’ah berdasarkan nasab (keturunan) adalah pandangan mayoritas ulama (jumhur), sebagaimana disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. Namun, pemahaman ini, yang didasarkan pada hadis di atas, itu tidak benar. Karena sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hadis ini batil dan tidak memiliki dasar yang sahih. Hal ini juga diperkuat oleh dalil lain, seperti kisah setelahnya di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha untuk menikah dengan Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, padahal dia adalah bekas budak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan agar Abu Hind dinikahkan, meskipun ia adalah seorang tukang bekam. Hal ini menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak sahih dan bertentangan dengan dalil yang lebih kuat. Mungkin inilah alasan mengapa al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan hadis ini dalam bab al-kafa’ah ini, kemudian mencantumkan dua hadis setelahnya untuk menunjukkan ketidaksahihannya, karena kedua hadis tersebut menunjukkan bahwa kesetaraan berdasarkan nasab (keturunan) tidaklah dipertimbangkan. Oleh karena itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, لم يثبت في اعتبار الكفاءة بالنسب حديث “Tidak ada hadis yang sahih tentang mempertimbangan al-kafa’ah berdasarkan nasab (keturunan).” [2] Teks Hadis Kedua Dari Abu Bakar bin Abi Al-Jahm bin Sukhair Al-Adawi, ia berkata, سَمِعْتُ فَاطِمَةَ بِنْتَ قَيْسٍ، تَقُولُ: إِنَّ زَوْجَهَا طَلَّقَهَا ثَلَاثًا، فَلَمْ يَجْعَلْ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُكْنَى، وَلَا نَفَقَةً، قَالَتْ: قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي ، فَآذَنْتُهُ، فَخَطَبَهَا مُعَاوِيَةُ، وَأَبُو جَهْمٍ، وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَرَجُلٌ تَرِبٌ، لَا مَالَ لَهُ، وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ، وَلَكِنْ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ» فَقَالَتْ بِيَدِهَا هَكَذَا: أُسَامَةُ، أُسَامَةُ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: طَاعَةُ اللهِ، وَطَاعَةُ رَسُولِهِ خَيْرٌ لَكِ ، قَالَتْ: فَتَزَوَّجْتُهُ، فَاغْتَبَطْتُ “Aku mendengar Fatimah binti Qais berkata, “Sesungguhnya suaminya telah menceraikannya dengan talak tiga, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menetapkan untuknya hak tempat tinggal atau nafkah.” Fatimah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku, “Jika masa idahmu selesai, beritahukanlah kepadaku.” Maka aku memberitahukannya. Kemudian Mu’awiyah, Abu Jahm, dan Usamah bin Zaid melamarku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah adalah seorang yang miskin, tidak memiliki harta. Sedangkan Abu Jahm adalah seorang yang suka memukul wanita. Tetapi (pilihlah) Usamah bin Zaid.” Fatimah berkata, “Aku memberi isyarat dengan tanganku seperti ini, Usamah, Usamah.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku, “Ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya adalah yang terbaik bagimu.” Lalu aku menikah dengannya, dan aku merasa bahagia.” (HR. Muslim no. 1480) Kandungan Hadis Kedua Hadis ini menjadi dalil bahwa al-kafa’ah dalam hal nasab tidaklah dipertimbangkan, dan diperbolehkan menikahkan seorang wanita Quraisy dengan seorang mantan budak. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Fatimah binti Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid, meskipun Usamah tidak sekufu dengannya dalam hal nasab. Fatimah adalah wanita Quraisy, sedangkan Usamah berasal dari golongan mawali (bekas budak). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga meminta Fatimah untuk mengabaikan lamaran dari Mu’awiyah dan Abu Jahm, meskipun keduanya berasal dari kaumnya, sukunya, dan juga dari Quraisy. Hal ini menunjukkan bahwa kesetaraan dalam nasab tidaklah menjadi syarat yang dipertimbangkan dalam pernikahan. Juga terdapat hadis tentang Dhiba’ah binti Zubair, yang menjadi istri dari Miqdad bin Al-Aswad. Dhiba’ah adalah seorang wanita dari Bani Hasyim yang memiliki kedudukan nasab lebih tinggi darinya. Dhiba’ah adalah putri dari paman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan Miqdad bukan berasal dari Quraisy. Pendapat ini adalah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. [3] Ibnu Abi Musa juga meriwayatkan pendapat ini dari Imam Ahmad rahimahullah. [4] Syekh Muhammad bin Utsaimin berkata, “Pendapat inilah yang benar.” [5] Teks Hadis Ketiga Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَنَّ أَبَا هِنْدٍ، حَجَمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْيَافُوخِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا بَنِي بَيَاضَةَ أَنْكِحُوا أَبَا هِنْدٍ وَأَنْكِحُوا إِلَيْهِ “Bahwa Abu Hind telah melakukan hijamah (bekam) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di bagian tengah kepala (ubun-ubun). Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai Bani Bayadhah, nikahkanlah Abu Hind dan terimalah pernikahan darinya (dengan keluarga kalian).” (HR. Abu Dawud no. 2102, dinilai hasan oleh Al-Albani) Kandungan Hadis Ketiga Hadis ini menjadi dalil bahwa al-kafa’ah dalam hal nasab dan profesi tidaklah dipertimbangkan dalam pernikahan. Seorang tukang bekam (hajjam) dapat dianggap setara dengan kerabatnya yang bukan tukang bekam. Hal yang sama juga berlaku bagi tukang jagal, tukang sepatu, penyamak kulit, atau profesi lain yang dianggap rendah oleh sebagian orang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menikahkan Abu Hindin, meskipun ia adalah seorang mantan budak dan pekerjaannya adalah tukang bekam. Pekerjaan ini pada zaman mereka dianggap sebagai pekerjaan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa hadis sebelumnya yang menyatakan sebaliknya (yaitu hadis pertama) adalah batil. Al-Khathabi rahimahullah berkata, في هذا الحديث حجة لمالك ولمن ذهب مذهبه في أن الكفاءة بالدين وحده، دون غيره “Hadis ini menjadi hujah bagi Imam Malik dan mereka yang mengikuti pendapatnya, yaitu bahwa al-kafa’ah hanya dinilai dari agama, bukan yang lainnya …’ [6] Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, ومعلوم أن الحجامة، والدباغة، والحياكة، والحدادة فيها مصالح عظيمة للمسلمين، فالذي يقوم بها جدير بأن يشكر لا بأن يهمل، فإهماله وعدم تزويجه معناه التنفير عن هذه المهن النافعة للناس، فكما أنَّه غَلَظ في الحكم هو غلط في المعنى … “Sudah diketahui bahwa profesi seperti tukang bekam, penyamak kulit, penjahit, dan pandai besi membawa manfaat besar bagi umat Islam. Orang-orang yang menjalani profesi ini seharusnya diberi penghargaan, bukan diabaikan. Mengabaikan mereka dan menolak menikahkan mereka sama saja dengan mengurangi motivasi untuk menjalani profesi-profesi bermanfaat ini. Sebagaimana ini adalah kekeliruan dalam hukum, ini juga merupakan kekeliruan dalam makna …” [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** @5 Jumadil akhir 1446/ 7 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Irwa’, 6: 270. [2] Fathul Baari, 9: 132. [3] Al-Inshaf, 8: 108. [4] Al-Irsyad, hal. 268. [5] Ta’liq (komentar) beliau terhadap kitab Ar-Raudh Al-Murbi’, hal. 517. [6] Ma’alim As-Sunan, 3: 44.
Prev     Next