Laporan Produksi Yufid Bulan Mei 2024

Laporan Produksi Yufid Bulan Mei 2024 Bismillahirrohmanirrohim … Berawal dari mengelola website pengusahamuslim.com dan konsultasisyariah.com pada tahun 2008, Yayasan Yufid Network telah berkontribusi lebih dari 15 tahun dalam menyediakan konten pendidikan dan dakwah Islam secara gratis melalui berbagai platform, termasuk channel YouTube seperti Yufid.TV, Yufid EDU, dan Yufid Kids yang telah memproduksi lebih dari 21.016 video dengan total 6.501.874 subscribers. Situs website yang kami kelola kini telah memproduksi 9.871 artikel yang tersebar di berbagai website. Melalui laporan produktivitas bulanan sejak tahun 2022, Yufid memberikan transparansi terhadap projek dan perkembangan timnya, memperkuat keterlibatan pemirsa Yufid dan membangun wadah kreativitas bersama untuk penyebaran dakwah Islam. Yufid telah menjadi kekuatan signifikan dalam memberikan akses luas kepada pengetahuan dan informasi dakwah Islam, mencapai lebih dari 1,5 miliar penayangan di platform YouTube. Dengan komitmen pada misi non-profit kami, Yufid terus memberikan dampak positif dan berusaha untuk terus berkembang sembari mempertahankan transparansi dan keterlibatan pemirsa yang kuat. Channel YouTube YUFID.TV Total Video Yufid.TV: 17.680 video Total Subscribers: 4.026.059 Total Tayangan Video: 688.497.669 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 111 video Produksi Video Mei 2024: 107 video Tayangan Video Mei 2024: 4.220.551 views Waktu Tayang Video Mei 2024: 390.179 jam Penambahan Subscribers Mei 2024: +15.304 Channel YouTube YUFID EDU Total Video Yufid Edu: 2.393 video Total Subscribers: 305.649 Total Tayangan Video: 21.410.489 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 19 video Produksi Video Mei 2024: 36 video Tayangan Video Mei 2024: 166.092 views Waktu Tayang Video Mei 2024: 9.270 jam Penambahan Subscribers Mei 2024: +1.693 Channel YouTube YUFID KIDS Total Video Yufid Kids: 87 video Total Subscribers: 452.875 Total Tayangan Video: 135.152.389 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 1 video Produksi Video Mei 2024: 1 video Tayangan Video Mei 2024: 1.992.409 views Waktu Tayang Video Mei 2024: 111.477 jam Penambahan Subscribers Mei 2024: +9.573 Untuk memproduksi video Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Channel YouTube Dunia Mengaji  Channel Dunia Mengaji adalah untuk menampung video-video yang secara kualitas pengambilan gambar dan kualitas gambar jauh di bawah standar Yufid.TV, agar konten dakwah tetap bisa dinikmati oleh pemirsa. Total Video: 272 Total Subscribers: 4.755 Total Tayangan Video: 463.609 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 3 video Tayangan Video Mei 2024: 2.368 views Jam Tayang Video Mei 2024: 548 Jam Penambahan Subscribers Mei 2024: +47 Channel YouTube العلم نور  Channel “Al-’Ilmu Nuurun” ini merupakan wadah yang berisi ceramah singkat maupun kajian-kajian panjang dari Masyayikh dari Timur Tengah seperti Syaikh Sulaiman Ar-Ruhayli, Syaikh Utsman Al-Khomis, Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al Badr hafidzahumullah dan masih banyak yang lainnya yang full menggunakan bahasa Arab. Cocok disimak para pemirsa Yufid.TV yang sudah menguasai bahasa Arab serta ingin belajar bersama guru-guru kita para alim ulama dari Saudi dan sekitarnya.  Total Video: 584 Total Subscribers: 51.400 Total Tayangan Video: 2.903.371 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 7 video Tayangan Video Mei 2024: 54.243 views Penambahan Subscribers Mei 2024: +800 Instagram Yufid TV & Instagram Yufid Network Instagram Yufid.TV Total Konten: 3.883 Postingan Total Pengikut: 1.159.196 Konten Bulan Mei 2024: 44 Rata-Rata Produksi: 46 Konten/bulan Penambahan Followers Mei 2024: +10.820 Instagram Yufid Network Total Konten: 3.790 Postingan Total Pengikut: 502.640 Konten Bulan Mei 2024: 44 Rata-Rata Produksi: 46 Konten/bulan Penambahan Followers Mei 2024: +3.942 Pertama kali Yufid memanfaatkan media instagram memiliki nama Yufid Network yaitu sejak tahun 2013, sebelum akhirnya di buatlah akun Yufid.TV pada tahun 2015 agar lebih dikenal seiring dengan berkembangnya channel YouTube Yufid.TV. Mulai tahun 2022, instagram Yufid.TV dan Yufid Network insya Allah akan memposting konten setiap hari minimal 2 postingan, jadi rata-rata dari kedua akun tersebut dapat memproduksi yaitu 60 konten per bulannya. Video Nasehat Ulama Salah satu project yang dikerjakan oleh tim Yufid.TV yaitu video Nasehat Ulama. Video pendek namun penuh dengan faedah berisi penggalan-penggalan nasehat serta jawaban dari pertanyaan kaum muslimin yang disampaikan ulama-ulama terkemuka. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Mei 2024, konten Nasehat Ulama di channel YouTube Yufid.TV telah mempublikasikan 11 video. Nasehat Ulama juga membuat konten baru dengan konsep berbeda dengan tetap mengambil penggalan-penggalan nasehat para masyaikh berbahasa Arab dalam bentuk shorts YouTube dan reels Instagram. Video Motion Graphic & Yufid Kids Project unggulan lainnya dari Yufid.TV yaitu pembuatan video animasi motion graphic dan video Yufid Kids. Project motion graphic Yufid.TV memproduksi video-video berkualitas yang memadukan antara pemilihan tema yang tepat berupa potongan-potongan nasehat dari para ustadz atau ceramah-ceramah pendek yang diilustrasikan dalam bentuk animasi yang menarik. Sedangkan video Yufid Kids mengemas materi-materi pendidikan untuk anak yang disajikan dengan gambar animasi anak sehingga membuat anak-anak kita lebih bersemangat dalam mempelajarinya. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Mei 2024, konten Motion Graphics di channel YouTube Yufid.TV telah mempublikasikan 2 video. Untuk memproduksi video Motion Graphic dan Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya.  Website KonsultasiSyariah.com KonsultasiSyariah.com merupakan sebuah website yang menyajikan berbagai tanya jawab seputar permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan kasus dan jawaban dipaparkan secara jelas dan ilmiah, berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah serta keterangan para ulama. Hingga saat ini, website tersebut telah menuliskan 5.030 artikel yang berisi materi-materi permasalahan agama yang telah dijawab oleh para asatidz. Artikel dalam website KonsultasiSyariah.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography dan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 2.025 audio dan rata-rata menghasilkan 23 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Poster Dakwah Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Mei 2024, website KonsultasiSyariah.com telah mempublikasikan 16 artikel.  Website KisahMuslim.com KisahMuslim.com berisi kumpulan kisah para Nabi dan Rasul, kisah para sahabat Nabi, kisah orang-orang shalih terdahulu, biografi ulama, dan berbagai kisah yang penuh hikmah. Dalam website tersebut sudah ada 1.095 artikel yang banyak kita ambil pelajarannya.  Artikel dalam website KisahMuslim.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk Audio Visual dengan teknik typography serta ilustrasi yang menarik dengan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 450 audio dan rata-rata menghasilkan 16 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Kisah Muslim Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Mei 2024, website KisahMuslim.com telah mempublikasikan 3 artikel.  Website KhotbahJumat.com KhotbahJumat.com berisi materi-materi khutbah yang bisa kita gunakan untuk mengisi khotbah pada ibadah shalat Jumat, terdapat 1.250 artikel hingga saat ini, yang sangat bermanfaat untuk para khatib dan da’i yang mengisi khutbah jumat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Mei 2024, website KhotbahJumat.com telah mempublikasikan 3 artikel.  Website PengusahaMuslim.com PengusahaMuslim.com merupakan sebuah website yang mengupas seluk beluk dunia usaha dan bisnis guna membantu terbentuknya pengusaha muslim baik secara ekonomi maupun agamanya, yang pada akhirnya menjadi kesatuan kuat dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dan memajukan perekonomian Indonesia. Terdapat 2.489 artikel dalam website tersebut yang dapat membantu Anda menjadi seorang pengusaha yang sukses, tidak hanya di dunia, namun kesuksesan tersebut abadi hingga ke negeri akhirat.  *Tim artikel Yufid yang terdiri dari penulis, penerjemah, editor, dan admin website menyiapkan konten untuk seluruh website yang dikelola oleh Yufid secara bergantian.  Website Kajian.net Kajian.net adalah situs koleksi audio ceramah berbahasa Indonesia terlengkap dari ustadz-ustadz Ahlussunnah wal Jamaah, audio bacaan doa dan hadits berformat mp3, serta software islami dan e-Book kitab-kitab para ulama besar.  Total audio yang tersedia dalam website kajian.net yaitu 28.601 file mp3 dengan total ukuran 388 Gb dan pada bulan Mei 2024 ini telah mempublikasikan 117 file mp3.  Website Kajian.net bercita-cita sebagai gudang podcast kumpulan audio MP3 ceramah terlengkap yang dapat di download secara gratis dengan harapan dapat memudahkan Anda belajar hukum agama Islam dan aqidah Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman salafush sholeh. Kami juga rutin mengupload audio MP3 seluruh kajian Yufid ke platform SoundCloud, Anda dapat mengaksesnya melalui https://soundcloud.com/kajiannet, yang pada bulan Mei 2024 ini saja telah didengarkan 26.476 kali dan telah di download sebanyak 1.622 file audio.  Project Terjemahan Project ini bertujuan menerjemahkan konten dakwah, baik itu artikel, buku, dan ceramah para ulama. Konten dakwah yang aslinya berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, konten yang sudah diterjemahkan tersebut diolah kembali menjadi konten video, mp3, e-book, dan artikel di website. Sejak memulai project ini pada tahun 2018, tim penerjemah Yufid telah menerjemahkan 3.518.792 kata dengan rata-rata produksi per bulan 51.746 kata. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Mei 2024, project terjemahan ini telah menerjemahkan 64.021 kata.  Perekaman Artikel Menjadi Audio Program ini adalah merekam seluruh artikel yang dipublikasikan di website-website Yufid seperti KonsultasiSyariah.com, PengusahaMuslim.com dan KisahMuslim.com ke dalam bentuk audio. Program ini bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin mengakses konten dakwah dalam bentuk audio, terutama bagi mereka yang sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk membaca artikel. Mereka dapat mendengarkan audio yang sudah Yufid rekam sambil mereka beraktivitas, semisal di kendaraan, sambil bekerja, berolahraga, dan lain-lain. Total artikel yang sudah direkam dalam format audio sejak pertama dimulai program ini tahun 2017 yaitu 2.457 artikel dengan total durasi audio 216 jam dengan rata-rata perekaman 31 artikel per bulan. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Mei 2024, perekaman audio yang telah diproduksi yaitu 19 artikel.  Pengelolaan Server Yufid mengelola tujuh server yang di dalamnya berisi website-website dakwah, ada server khusus untuk website Yufid, website yang telah dijelaskan pada point-point diatas hanya sebagian kecil dari website yang kami kelola, yaitu berTotal 29 website dalam satu server tersebut. Selain itu terdapat juga website para ulama yang diletakkan di server yang berbeda dari server Yufid, ada pula website-website dakwah, streaming radio dll. Dari ketujuh server yang Yufid kelola kurang lebih terdapat 107 website yang masih aktif hingga saat ini. Demikian telah kami sampaikan laporan produksi Yufid Network pada bulan Mei 2024. Wallahu a’lam… Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in, walhamdulillahi rabbil ‘alamin. 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 4 times, 1 visit(s) today Post Views: 616 QRIS donasi Yufid

Laporan Produksi Yufid Bulan Mei 2024

Laporan Produksi Yufid Bulan Mei 2024 Bismillahirrohmanirrohim … Berawal dari mengelola website pengusahamuslim.com dan konsultasisyariah.com pada tahun 2008, Yayasan Yufid Network telah berkontribusi lebih dari 15 tahun dalam menyediakan konten pendidikan dan dakwah Islam secara gratis melalui berbagai platform, termasuk channel YouTube seperti Yufid.TV, Yufid EDU, dan Yufid Kids yang telah memproduksi lebih dari 21.016 video dengan total 6.501.874 subscribers. Situs website yang kami kelola kini telah memproduksi 9.871 artikel yang tersebar di berbagai website. Melalui laporan produktivitas bulanan sejak tahun 2022, Yufid memberikan transparansi terhadap projek dan perkembangan timnya, memperkuat keterlibatan pemirsa Yufid dan membangun wadah kreativitas bersama untuk penyebaran dakwah Islam. Yufid telah menjadi kekuatan signifikan dalam memberikan akses luas kepada pengetahuan dan informasi dakwah Islam, mencapai lebih dari 1,5 miliar penayangan di platform YouTube. Dengan komitmen pada misi non-profit kami, Yufid terus memberikan dampak positif dan berusaha untuk terus berkembang sembari mempertahankan transparansi dan keterlibatan pemirsa yang kuat. Channel YouTube YUFID.TV Total Video Yufid.TV: 17.680 video Total Subscribers: 4.026.059 Total Tayangan Video: 688.497.669 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 111 video Produksi Video Mei 2024: 107 video Tayangan Video Mei 2024: 4.220.551 views Waktu Tayang Video Mei 2024: 390.179 jam Penambahan Subscribers Mei 2024: +15.304 Channel YouTube YUFID EDU Total Video Yufid Edu: 2.393 video Total Subscribers: 305.649 Total Tayangan Video: 21.410.489 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 19 video Produksi Video Mei 2024: 36 video Tayangan Video Mei 2024: 166.092 views Waktu Tayang Video Mei 2024: 9.270 jam Penambahan Subscribers Mei 2024: +1.693 Channel YouTube YUFID KIDS Total Video Yufid Kids: 87 video Total Subscribers: 452.875 Total Tayangan Video: 135.152.389 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 1 video Produksi Video Mei 2024: 1 video Tayangan Video Mei 2024: 1.992.409 views Waktu Tayang Video Mei 2024: 111.477 jam Penambahan Subscribers Mei 2024: +9.573 Untuk memproduksi video Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Channel YouTube Dunia Mengaji  Channel Dunia Mengaji adalah untuk menampung video-video yang secara kualitas pengambilan gambar dan kualitas gambar jauh di bawah standar Yufid.TV, agar konten dakwah tetap bisa dinikmati oleh pemirsa. Total Video: 272 Total Subscribers: 4.755 Total Tayangan Video: 463.609 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 3 video Tayangan Video Mei 2024: 2.368 views Jam Tayang Video Mei 2024: 548 Jam Penambahan Subscribers Mei 2024: +47 Channel YouTube العلم نور  Channel “Al-’Ilmu Nuurun” ini merupakan wadah yang berisi ceramah singkat maupun kajian-kajian panjang dari Masyayikh dari Timur Tengah seperti Syaikh Sulaiman Ar-Ruhayli, Syaikh Utsman Al-Khomis, Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al Badr hafidzahumullah dan masih banyak yang lainnya yang full menggunakan bahasa Arab. Cocok disimak para pemirsa Yufid.TV yang sudah menguasai bahasa Arab serta ingin belajar bersama guru-guru kita para alim ulama dari Saudi dan sekitarnya.  Total Video: 584 Total Subscribers: 51.400 Total Tayangan Video: 2.903.371 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 7 video Tayangan Video Mei 2024: 54.243 views Penambahan Subscribers Mei 2024: +800 Instagram Yufid TV & Instagram Yufid Network Instagram Yufid.TV Total Konten: 3.883 Postingan Total Pengikut: 1.159.196 Konten Bulan Mei 2024: 44 Rata-Rata Produksi: 46 Konten/bulan Penambahan Followers Mei 2024: +10.820 Instagram Yufid Network Total Konten: 3.790 Postingan Total Pengikut: 502.640 Konten Bulan Mei 2024: 44 Rata-Rata Produksi: 46 Konten/bulan Penambahan Followers Mei 2024: +3.942 Pertama kali Yufid memanfaatkan media instagram memiliki nama Yufid Network yaitu sejak tahun 2013, sebelum akhirnya di buatlah akun Yufid.TV pada tahun 2015 agar lebih dikenal seiring dengan berkembangnya channel YouTube Yufid.TV. Mulai tahun 2022, instagram Yufid.TV dan Yufid Network insya Allah akan memposting konten setiap hari minimal 2 postingan, jadi rata-rata dari kedua akun tersebut dapat memproduksi yaitu 60 konten per bulannya. Video Nasehat Ulama Salah satu project yang dikerjakan oleh tim Yufid.TV yaitu video Nasehat Ulama. Video pendek namun penuh dengan faedah berisi penggalan-penggalan nasehat serta jawaban dari pertanyaan kaum muslimin yang disampaikan ulama-ulama terkemuka. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Mei 2024, konten Nasehat Ulama di channel YouTube Yufid.TV telah mempublikasikan 11 video. Nasehat Ulama juga membuat konten baru dengan konsep berbeda dengan tetap mengambil penggalan-penggalan nasehat para masyaikh berbahasa Arab dalam bentuk shorts YouTube dan reels Instagram. Video Motion Graphic & Yufid Kids Project unggulan lainnya dari Yufid.TV yaitu pembuatan video animasi motion graphic dan video Yufid Kids. Project motion graphic Yufid.TV memproduksi video-video berkualitas yang memadukan antara pemilihan tema yang tepat berupa potongan-potongan nasehat dari para ustadz atau ceramah-ceramah pendek yang diilustrasikan dalam bentuk animasi yang menarik. Sedangkan video Yufid Kids mengemas materi-materi pendidikan untuk anak yang disajikan dengan gambar animasi anak sehingga membuat anak-anak kita lebih bersemangat dalam mempelajarinya. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Mei 2024, konten Motion Graphics di channel YouTube Yufid.TV telah mempublikasikan 2 video. Untuk memproduksi video Motion Graphic dan Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya.  Website KonsultasiSyariah.com KonsultasiSyariah.com merupakan sebuah website yang menyajikan berbagai tanya jawab seputar permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan kasus dan jawaban dipaparkan secara jelas dan ilmiah, berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah serta keterangan para ulama. Hingga saat ini, website tersebut telah menuliskan 5.030 artikel yang berisi materi-materi permasalahan agama yang telah dijawab oleh para asatidz. Artikel dalam website KonsultasiSyariah.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography dan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 2.025 audio dan rata-rata menghasilkan 23 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Poster Dakwah Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Mei 2024, website KonsultasiSyariah.com telah mempublikasikan 16 artikel.  Website KisahMuslim.com KisahMuslim.com berisi kumpulan kisah para Nabi dan Rasul, kisah para sahabat Nabi, kisah orang-orang shalih terdahulu, biografi ulama, dan berbagai kisah yang penuh hikmah. Dalam website tersebut sudah ada 1.095 artikel yang banyak kita ambil pelajarannya.  Artikel dalam website KisahMuslim.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk Audio Visual dengan teknik typography serta ilustrasi yang menarik dengan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 450 audio dan rata-rata menghasilkan 16 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Kisah Muslim Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Mei 2024, website KisahMuslim.com telah mempublikasikan 3 artikel.  Website KhotbahJumat.com KhotbahJumat.com berisi materi-materi khutbah yang bisa kita gunakan untuk mengisi khotbah pada ibadah shalat Jumat, terdapat 1.250 artikel hingga saat ini, yang sangat bermanfaat untuk para khatib dan da’i yang mengisi khutbah jumat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Mei 2024, website KhotbahJumat.com telah mempublikasikan 3 artikel.  Website PengusahaMuslim.com PengusahaMuslim.com merupakan sebuah website yang mengupas seluk beluk dunia usaha dan bisnis guna membantu terbentuknya pengusaha muslim baik secara ekonomi maupun agamanya, yang pada akhirnya menjadi kesatuan kuat dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dan memajukan perekonomian Indonesia. Terdapat 2.489 artikel dalam website tersebut yang dapat membantu Anda menjadi seorang pengusaha yang sukses, tidak hanya di dunia, namun kesuksesan tersebut abadi hingga ke negeri akhirat.  *Tim artikel Yufid yang terdiri dari penulis, penerjemah, editor, dan admin website menyiapkan konten untuk seluruh website yang dikelola oleh Yufid secara bergantian.  Website Kajian.net Kajian.net adalah situs koleksi audio ceramah berbahasa Indonesia terlengkap dari ustadz-ustadz Ahlussunnah wal Jamaah, audio bacaan doa dan hadits berformat mp3, serta software islami dan e-Book kitab-kitab para ulama besar.  Total audio yang tersedia dalam website kajian.net yaitu 28.601 file mp3 dengan total ukuran 388 Gb dan pada bulan Mei 2024 ini telah mempublikasikan 117 file mp3.  Website Kajian.net bercita-cita sebagai gudang podcast kumpulan audio MP3 ceramah terlengkap yang dapat di download secara gratis dengan harapan dapat memudahkan Anda belajar hukum agama Islam dan aqidah Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman salafush sholeh. Kami juga rutin mengupload audio MP3 seluruh kajian Yufid ke platform SoundCloud, Anda dapat mengaksesnya melalui https://soundcloud.com/kajiannet, yang pada bulan Mei 2024 ini saja telah didengarkan 26.476 kali dan telah di download sebanyak 1.622 file audio.  Project Terjemahan Project ini bertujuan menerjemahkan konten dakwah, baik itu artikel, buku, dan ceramah para ulama. Konten dakwah yang aslinya berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, konten yang sudah diterjemahkan tersebut diolah kembali menjadi konten video, mp3, e-book, dan artikel di website. Sejak memulai project ini pada tahun 2018, tim penerjemah Yufid telah menerjemahkan 3.518.792 kata dengan rata-rata produksi per bulan 51.746 kata. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Mei 2024, project terjemahan ini telah menerjemahkan 64.021 kata.  Perekaman Artikel Menjadi Audio Program ini adalah merekam seluruh artikel yang dipublikasikan di website-website Yufid seperti KonsultasiSyariah.com, PengusahaMuslim.com dan KisahMuslim.com ke dalam bentuk audio. Program ini bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin mengakses konten dakwah dalam bentuk audio, terutama bagi mereka yang sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk membaca artikel. Mereka dapat mendengarkan audio yang sudah Yufid rekam sambil mereka beraktivitas, semisal di kendaraan, sambil bekerja, berolahraga, dan lain-lain. Total artikel yang sudah direkam dalam format audio sejak pertama dimulai program ini tahun 2017 yaitu 2.457 artikel dengan total durasi audio 216 jam dengan rata-rata perekaman 31 artikel per bulan. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Mei 2024, perekaman audio yang telah diproduksi yaitu 19 artikel.  Pengelolaan Server Yufid mengelola tujuh server yang di dalamnya berisi website-website dakwah, ada server khusus untuk website Yufid, website yang telah dijelaskan pada point-point diatas hanya sebagian kecil dari website yang kami kelola, yaitu berTotal 29 website dalam satu server tersebut. Selain itu terdapat juga website para ulama yang diletakkan di server yang berbeda dari server Yufid, ada pula website-website dakwah, streaming radio dll. Dari ketujuh server yang Yufid kelola kurang lebih terdapat 107 website yang masih aktif hingga saat ini. Demikian telah kami sampaikan laporan produksi Yufid Network pada bulan Mei 2024. Wallahu a’lam… Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in, walhamdulillahi rabbil ‘alamin. 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 4 times, 1 visit(s) today Post Views: 616 QRIS donasi Yufid
Laporan Produksi Yufid Bulan Mei 2024 Bismillahirrohmanirrohim … Berawal dari mengelola website pengusahamuslim.com dan konsultasisyariah.com pada tahun 2008, Yayasan Yufid Network telah berkontribusi lebih dari 15 tahun dalam menyediakan konten pendidikan dan dakwah Islam secara gratis melalui berbagai platform, termasuk channel YouTube seperti Yufid.TV, Yufid EDU, dan Yufid Kids yang telah memproduksi lebih dari 21.016 video dengan total 6.501.874 subscribers. Situs website yang kami kelola kini telah memproduksi 9.871 artikel yang tersebar di berbagai website. Melalui laporan produktivitas bulanan sejak tahun 2022, Yufid memberikan transparansi terhadap projek dan perkembangan timnya, memperkuat keterlibatan pemirsa Yufid dan membangun wadah kreativitas bersama untuk penyebaran dakwah Islam. Yufid telah menjadi kekuatan signifikan dalam memberikan akses luas kepada pengetahuan dan informasi dakwah Islam, mencapai lebih dari 1,5 miliar penayangan di platform YouTube. Dengan komitmen pada misi non-profit kami, Yufid terus memberikan dampak positif dan berusaha untuk terus berkembang sembari mempertahankan transparansi dan keterlibatan pemirsa yang kuat. Channel YouTube YUFID.TV Total Video Yufid.TV: 17.680 video Total Subscribers: 4.026.059 Total Tayangan Video: 688.497.669 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 111 video Produksi Video Mei 2024: 107 video Tayangan Video Mei 2024: 4.220.551 views Waktu Tayang Video Mei 2024: 390.179 jam Penambahan Subscribers Mei 2024: +15.304 Channel YouTube YUFID EDU Total Video Yufid Edu: 2.393 video Total Subscribers: 305.649 Total Tayangan Video: 21.410.489 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 19 video Produksi Video Mei 2024: 36 video Tayangan Video Mei 2024: 166.092 views Waktu Tayang Video Mei 2024: 9.270 jam Penambahan Subscribers Mei 2024: +1.693 Channel YouTube YUFID KIDS Total Video Yufid Kids: 87 video Total Subscribers: 452.875 Total Tayangan Video: 135.152.389 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 1 video Produksi Video Mei 2024: 1 video Tayangan Video Mei 2024: 1.992.409 views Waktu Tayang Video Mei 2024: 111.477 jam Penambahan Subscribers Mei 2024: +9.573 Untuk memproduksi video Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Channel YouTube Dunia Mengaji  Channel Dunia Mengaji adalah untuk menampung video-video yang secara kualitas pengambilan gambar dan kualitas gambar jauh di bawah standar Yufid.TV, agar konten dakwah tetap bisa dinikmati oleh pemirsa. Total Video: 272 Total Subscribers: 4.755 Total Tayangan Video: 463.609 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 3 video Tayangan Video Mei 2024: 2.368 views Jam Tayang Video Mei 2024: 548 Jam Penambahan Subscribers Mei 2024: +47 Channel YouTube العلم نور  Channel “Al-’Ilmu Nuurun” ini merupakan wadah yang berisi ceramah singkat maupun kajian-kajian panjang dari Masyayikh dari Timur Tengah seperti Syaikh Sulaiman Ar-Ruhayli, Syaikh Utsman Al-Khomis, Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al Badr hafidzahumullah dan masih banyak yang lainnya yang full menggunakan bahasa Arab. Cocok disimak para pemirsa Yufid.TV yang sudah menguasai bahasa Arab serta ingin belajar bersama guru-guru kita para alim ulama dari Saudi dan sekitarnya.  Total Video: 584 Total Subscribers: 51.400 Total Tayangan Video: 2.903.371 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 7 video Tayangan Video Mei 2024: 54.243 views Penambahan Subscribers Mei 2024: +800 Instagram Yufid TV & Instagram Yufid Network Instagram Yufid.TV Total Konten: 3.883 Postingan Total Pengikut: 1.159.196 Konten Bulan Mei 2024: 44 Rata-Rata Produksi: 46 Konten/bulan Penambahan Followers Mei 2024: +10.820 Instagram Yufid Network Total Konten: 3.790 Postingan Total Pengikut: 502.640 Konten Bulan Mei 2024: 44 Rata-Rata Produksi: 46 Konten/bulan Penambahan Followers Mei 2024: +3.942 Pertama kali Yufid memanfaatkan media instagram memiliki nama Yufid Network yaitu sejak tahun 2013, sebelum akhirnya di buatlah akun Yufid.TV pada tahun 2015 agar lebih dikenal seiring dengan berkembangnya channel YouTube Yufid.TV. Mulai tahun 2022, instagram Yufid.TV dan Yufid Network insya Allah akan memposting konten setiap hari minimal 2 postingan, jadi rata-rata dari kedua akun tersebut dapat memproduksi yaitu 60 konten per bulannya. Video Nasehat Ulama Salah satu project yang dikerjakan oleh tim Yufid.TV yaitu video Nasehat Ulama. Video pendek namun penuh dengan faedah berisi penggalan-penggalan nasehat serta jawaban dari pertanyaan kaum muslimin yang disampaikan ulama-ulama terkemuka. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Mei 2024, konten Nasehat Ulama di channel YouTube Yufid.TV telah mempublikasikan 11 video. Nasehat Ulama juga membuat konten baru dengan konsep berbeda dengan tetap mengambil penggalan-penggalan nasehat para masyaikh berbahasa Arab dalam bentuk shorts YouTube dan reels Instagram. Video Motion Graphic & Yufid Kids Project unggulan lainnya dari Yufid.TV yaitu pembuatan video animasi motion graphic dan video Yufid Kids. Project motion graphic Yufid.TV memproduksi video-video berkualitas yang memadukan antara pemilihan tema yang tepat berupa potongan-potongan nasehat dari para ustadz atau ceramah-ceramah pendek yang diilustrasikan dalam bentuk animasi yang menarik. Sedangkan video Yufid Kids mengemas materi-materi pendidikan untuk anak yang disajikan dengan gambar animasi anak sehingga membuat anak-anak kita lebih bersemangat dalam mempelajarinya. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Mei 2024, konten Motion Graphics di channel YouTube Yufid.TV telah mempublikasikan 2 video. Untuk memproduksi video Motion Graphic dan Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya.  Website KonsultasiSyariah.com KonsultasiSyariah.com merupakan sebuah website yang menyajikan berbagai tanya jawab seputar permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan kasus dan jawaban dipaparkan secara jelas dan ilmiah, berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah serta keterangan para ulama. Hingga saat ini, website tersebut telah menuliskan 5.030 artikel yang berisi materi-materi permasalahan agama yang telah dijawab oleh para asatidz. Artikel dalam website KonsultasiSyariah.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography dan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 2.025 audio dan rata-rata menghasilkan 23 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Poster Dakwah Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Mei 2024, website KonsultasiSyariah.com telah mempublikasikan 16 artikel.  Website KisahMuslim.com KisahMuslim.com berisi kumpulan kisah para Nabi dan Rasul, kisah para sahabat Nabi, kisah orang-orang shalih terdahulu, biografi ulama, dan berbagai kisah yang penuh hikmah. Dalam website tersebut sudah ada 1.095 artikel yang banyak kita ambil pelajarannya.  Artikel dalam website KisahMuslim.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk Audio Visual dengan teknik typography serta ilustrasi yang menarik dengan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 450 audio dan rata-rata menghasilkan 16 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Kisah Muslim Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Mei 2024, website KisahMuslim.com telah mempublikasikan 3 artikel.  Website KhotbahJumat.com KhotbahJumat.com berisi materi-materi khutbah yang bisa kita gunakan untuk mengisi khotbah pada ibadah shalat Jumat, terdapat 1.250 artikel hingga saat ini, yang sangat bermanfaat untuk para khatib dan da’i yang mengisi khutbah jumat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Mei 2024, website KhotbahJumat.com telah mempublikasikan 3 artikel.  Website PengusahaMuslim.com PengusahaMuslim.com merupakan sebuah website yang mengupas seluk beluk dunia usaha dan bisnis guna membantu terbentuknya pengusaha muslim baik secara ekonomi maupun agamanya, yang pada akhirnya menjadi kesatuan kuat dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dan memajukan perekonomian Indonesia. Terdapat 2.489 artikel dalam website tersebut yang dapat membantu Anda menjadi seorang pengusaha yang sukses, tidak hanya di dunia, namun kesuksesan tersebut abadi hingga ke negeri akhirat.  *Tim artikel Yufid yang terdiri dari penulis, penerjemah, editor, dan admin website menyiapkan konten untuk seluruh website yang dikelola oleh Yufid secara bergantian.  Website Kajian.net Kajian.net adalah situs koleksi audio ceramah berbahasa Indonesia terlengkap dari ustadz-ustadz Ahlussunnah wal Jamaah, audio bacaan doa dan hadits berformat mp3, serta software islami dan e-Book kitab-kitab para ulama besar.  Total audio yang tersedia dalam website kajian.net yaitu 28.601 file mp3 dengan total ukuran 388 Gb dan pada bulan Mei 2024 ini telah mempublikasikan 117 file mp3.  Website Kajian.net bercita-cita sebagai gudang podcast kumpulan audio MP3 ceramah terlengkap yang dapat di download secara gratis dengan harapan dapat memudahkan Anda belajar hukum agama Islam dan aqidah Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman salafush sholeh. Kami juga rutin mengupload audio MP3 seluruh kajian Yufid ke platform SoundCloud, Anda dapat mengaksesnya melalui https://soundcloud.com/kajiannet, yang pada bulan Mei 2024 ini saja telah didengarkan 26.476 kali dan telah di download sebanyak 1.622 file audio.  Project Terjemahan Project ini bertujuan menerjemahkan konten dakwah, baik itu artikel, buku, dan ceramah para ulama. Konten dakwah yang aslinya berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, konten yang sudah diterjemahkan tersebut diolah kembali menjadi konten video, mp3, e-book, dan artikel di website. Sejak memulai project ini pada tahun 2018, tim penerjemah Yufid telah menerjemahkan 3.518.792 kata dengan rata-rata produksi per bulan 51.746 kata. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Mei 2024, project terjemahan ini telah menerjemahkan 64.021 kata.  Perekaman Artikel Menjadi Audio Program ini adalah merekam seluruh artikel yang dipublikasikan di website-website Yufid seperti KonsultasiSyariah.com, PengusahaMuslim.com dan KisahMuslim.com ke dalam bentuk audio. Program ini bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin mengakses konten dakwah dalam bentuk audio, terutama bagi mereka yang sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk membaca artikel. Mereka dapat mendengarkan audio yang sudah Yufid rekam sambil mereka beraktivitas, semisal di kendaraan, sambil bekerja, berolahraga, dan lain-lain. Total artikel yang sudah direkam dalam format audio sejak pertama dimulai program ini tahun 2017 yaitu 2.457 artikel dengan total durasi audio 216 jam dengan rata-rata perekaman 31 artikel per bulan. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Mei 2024, perekaman audio yang telah diproduksi yaitu 19 artikel.  Pengelolaan Server Yufid mengelola tujuh server yang di dalamnya berisi website-website dakwah, ada server khusus untuk website Yufid, website yang telah dijelaskan pada point-point diatas hanya sebagian kecil dari website yang kami kelola, yaitu berTotal 29 website dalam satu server tersebut. Selain itu terdapat juga website para ulama yang diletakkan di server yang berbeda dari server Yufid, ada pula website-website dakwah, streaming radio dll. Dari ketujuh server yang Yufid kelola kurang lebih terdapat 107 website yang masih aktif hingga saat ini. Demikian telah kami sampaikan laporan produksi Yufid Network pada bulan Mei 2024. Wallahu a’lam… Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in, walhamdulillahi rabbil ‘alamin. 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 4 times, 1 visit(s) today Post Views: 616 QRIS donasi Yufid


Laporan Produksi Yufid Bulan Mei 2024 Bismillahirrohmanirrohim … Berawal dari mengelola website pengusahamuslim.com dan konsultasisyariah.com pada tahun 2008, Yayasan Yufid Network telah berkontribusi lebih dari 15 tahun dalam menyediakan konten pendidikan dan dakwah Islam secara gratis melalui berbagai platform, termasuk channel YouTube seperti Yufid.TV, Yufid EDU, dan Yufid Kids yang telah memproduksi lebih dari 21.016 video dengan total 6.501.874 subscribers. Situs website yang kami kelola kini telah memproduksi 9.871 artikel yang tersebar di berbagai website. Melalui laporan produktivitas bulanan sejak tahun 2022, Yufid memberikan transparansi terhadap projek dan perkembangan timnya, memperkuat keterlibatan pemirsa Yufid dan membangun wadah kreativitas bersama untuk penyebaran dakwah Islam. Yufid telah menjadi kekuatan signifikan dalam memberikan akses luas kepada pengetahuan dan informasi dakwah Islam, mencapai lebih dari 1,5 miliar penayangan di platform YouTube. Dengan komitmen pada misi non-profit kami, Yufid terus memberikan dampak positif dan berusaha untuk terus berkembang sembari mempertahankan transparansi dan keterlibatan pemirsa yang kuat. Channel YouTube YUFID.TV <img decoding="async" src="https://lh7-us.googleusercontent.com/docsz/AD_4nXfxaYo89Sd_4Yd_-a4vf6uwsRoO1NSWWLhmaX5kVeK70hhHxyyKRoIqZNCxwzK0Jzz3Crq6OP0Zz5En0FzaYcbSYyA7fV1b2aNYF9Bvmk1iIVend3KlV4_4_N-V9zvptX_hdDkjbQ77r8wdMEOEQ8lAVMvO?key=CWYDstKLukOTilJFi9xR0g" alt=""/> Total Video Yufid.TV: 17.680 video Total Subscribers: 4.026.059 Total Tayangan Video: 688.497.669 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 111 video Produksi Video Mei 2024: 107 video Tayangan Video Mei 2024: 4.220.551 views Waktu Tayang Video Mei 2024: 390.179 jam Penambahan Subscribers Mei 2024: +15.304 Channel YouTube YUFID EDU <img decoding="async" src="https://lh7-us.googleusercontent.com/docsz/AD_4nXd1SZ-85e8mxWEnStzEmdQB0QQiLjI7_23eZrcq0_e7KCCvlhSkTIuYPlfac1XmeCn_nK5cu0l9gKK6fu2VWnJHLv4cSwjFmn5n6ktZnBwAXKAs7t90Q04ci6_OHSnOrXgU_avj6SV952xKiKijsKpYT5tf?key=CWYDstKLukOTilJFi9xR0g" alt=""/> Total Video Yufid Edu: 2.393 video Total Subscribers: 305.649 Total Tayangan Video: 21.410.489 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 19 video Produksi Video Mei 2024: 36 video Tayangan Video Mei 2024: 166.092 views Waktu Tayang Video Mei 2024: 9.270 jam Penambahan Subscribers Mei 2024: +1.693 Channel YouTube YUFID KIDS <img decoding="async" src="https://lh7-us.googleusercontent.com/docsz/AD_4nXe3LsHkvif3dUL9e0zu651DjptAa2U1VbUtWiQWzRlspSZPYTGTG6gs1fV1q4MPftVH4Y1YNEw0hx1WwG2LnTZ2ET-smwGnHk_Y0N1DVFpCp0rd0Qy8Yb3XMfhrEvfySkcselnqsP5o_kbjoX0XLHp-zgHH?key=CWYDstKLukOTilJFi9xR0g" alt=""/> Total Video Yufid Kids: 87 video Total Subscribers: 452.875 Total Tayangan Video: 135.152.389 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 1 video Produksi Video Mei 2024: 1 video Tayangan Video Mei 2024: 1.992.409 views Waktu Tayang Video Mei 2024: 111.477 jam Penambahan Subscribers Mei 2024: +9.573 Untuk memproduksi video Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Channel YouTube Dunia Mengaji  Channel Dunia Mengaji adalah untuk menampung video-video yang secara kualitas pengambilan gambar dan kualitas gambar jauh di bawah standar Yufid.TV, agar konten dakwah tetap bisa dinikmati oleh pemirsa. Total Video: 272 Total Subscribers: 4.755 Total Tayangan Video: 463.609 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 3 video Tayangan Video Mei 2024: 2.368 views Jam Tayang Video Mei 2024: 548 Jam Penambahan Subscribers Mei 2024: +47 Channel YouTube العلم نور  Channel “Al-’Ilmu Nuurun” ini merupakan wadah yang berisi ceramah singkat maupun kajian-kajian panjang dari Masyayikh dari Timur Tengah seperti Syaikh Sulaiman Ar-Ruhayli, Syaikh Utsman Al-Khomis, Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al Badr hafidzahumullah dan masih banyak yang lainnya yang full menggunakan bahasa Arab. Cocok disimak para pemirsa Yufid.TV yang sudah menguasai bahasa Arab serta ingin belajar bersama guru-guru kita para alim ulama dari Saudi dan sekitarnya.  Total Video: 584 Total Subscribers: 51.400 Total Tayangan Video: 2.903.371 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 7 video Tayangan Video Mei 2024: 54.243 views Penambahan Subscribers Mei 2024: +800 Instagram Yufid TV & Instagram Yufid Network <img decoding="async" src="https://lh7-us.googleusercontent.com/docsz/AD_4nXex6Jtqkp2-w-rVqa-pYuncqqukUUXu6_2V2yBQ9pQw9Bs42Rz0Mmbk2pWRSvalRtPJBMGz-jQpk5liVY4DmzK6_cMk6DQsTOYC-NEAWEOMWiDbtK86b6tKK6XTOWh_w0MlWWHO5b9L1EZ16GXNY26vDEw?key=CWYDstKLukOTilJFi9xR0g" alt=""/> Instagram Yufid.TV Total Konten: 3.883 Postingan Total Pengikut: 1.159.196 Konten Bulan Mei 2024: 44 Rata-Rata Produksi: 46 Konten/bulan Penambahan Followers Mei 2024: +10.820 Instagram Yufid Network Total Konten: 3.790 Postingan Total Pengikut: 502.640 Konten Bulan Mei 2024: 44 Rata-Rata Produksi: 46 Konten/bulan Penambahan Followers Mei 2024: +3.942 Pertama kali Yufid memanfaatkan media instagram memiliki nama Yufid Network yaitu sejak tahun 2013, sebelum akhirnya di buatlah akun Yufid.TV pada tahun 2015 agar lebih dikenal seiring dengan berkembangnya channel YouTube Yufid.TV. Mulai tahun 2022, instagram Yufid.TV dan Yufid Network insya Allah akan memposting konten setiap hari minimal 2 postingan, jadi rata-rata dari kedua akun tersebut dapat memproduksi yaitu 60 konten per bulannya. Video Nasehat Ulama Salah satu project yang dikerjakan oleh tim Yufid.TV yaitu video Nasehat Ulama. Video pendek namun penuh dengan faedah berisi penggalan-penggalan nasehat serta jawaban dari pertanyaan kaum muslimin yang disampaikan ulama-ulama terkemuka. <img decoding="async" src="https://lh7-us.googleusercontent.com/docsz/AD_4nXeNdAbAJ4QLMYPO9KrTRT7ckD4HFymRtdyNJZj0M-ExeiMW_pWnLTjg2SXp63JnLCBjID74G-2Rs-XrLpfbmnnpZEsk8yzWWMtpaCB2kgM_OmlvhjqgfhqCwjfSYcIN_Dpotby0VxUXZbvP1hs4K1sS-z2V?key=CWYDstKLukOTilJFi9xR0g" alt=""/>Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Mei 2024, konten Nasehat Ulama di channel YouTube Yufid.TV telah mempublikasikan 11 video. Nasehat Ulama juga membuat konten baru dengan konsep berbeda dengan tetap mengambil penggalan-penggalan nasehat para masyaikh berbahasa Arab dalam bentuk shorts YouTube dan reels Instagram. Video Motion Graphic & Yufid Kids Project unggulan lainnya dari Yufid.TV yaitu pembuatan video animasi motion graphic dan video Yufid Kids. Project motion graphic Yufid.TV memproduksi video-video berkualitas yang memadukan antara pemilihan tema yang tepat berupa potongan-potongan nasehat dari para ustadz atau ceramah-ceramah pendek yang diilustrasikan dalam bentuk animasi yang menarik. Sedangkan video Yufid Kids mengemas materi-materi pendidikan untuk anak yang disajikan dengan gambar animasi anak sehingga membuat anak-anak kita lebih bersemangat dalam mempelajarinya. <img decoding="async" src="https://lh7-us.googleusercontent.com/docsz/AD_4nXc3UmwfTgheSQmY_3S_yMLm0iqUT-uzy1NJV32n_V7405MxCD5jTCVsLskdCuOHFbTYyX3yb_7_UQy69kB1D4zawE_gMVnQ01BHIxq2msmksaazVhEpH7lNXarUVw4g0kheEusNr5TuQhIMs9VZRay-UsMA?key=CWYDstKLukOTilJFi9xR0g" alt=""/>Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Mei 2024, konten Motion Graphics di channel YouTube Yufid.TV telah mempublikasikan 2 video. Untuk memproduksi video Motion Graphic dan Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya.  Website KonsultasiSyariah.com KonsultasiSyariah.com merupakan sebuah website yang menyajikan berbagai tanya jawab seputar permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan kasus dan jawaban dipaparkan secara jelas dan ilmiah, berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah serta keterangan para ulama. Hingga saat ini, website tersebut telah menuliskan 5.030 artikel yang berisi materi-materi permasalahan agama yang telah dijawab oleh para asatidz. Artikel dalam website KonsultasiSyariah.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography dan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 2.025 audio dan rata-rata menghasilkan 23 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Poster Dakwah Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Mei 2024, website KonsultasiSyariah.com telah mempublikasikan 16 artikel.  Website KisahMuslim.com KisahMuslim.com berisi kumpulan kisah para Nabi dan Rasul, kisah para sahabat Nabi, kisah orang-orang shalih terdahulu, biografi ulama, dan berbagai kisah yang penuh hikmah. Dalam website tersebut sudah ada 1.095 artikel yang banyak kita ambil pelajarannya.  Artikel dalam website KisahMuslim.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk Audio Visual dengan teknik typography serta ilustrasi yang menarik dengan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 450 audio dan rata-rata menghasilkan 16 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Kisah Muslim Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Mei 2024, website KisahMuslim.com telah mempublikasikan 3 artikel.  Website KhotbahJumat.com KhotbahJumat.com berisi materi-materi khutbah yang bisa kita gunakan untuk mengisi khotbah pada ibadah shalat Jumat, terdapat 1.250 artikel hingga saat ini, yang sangat bermanfaat untuk para khatib dan da’i yang mengisi khutbah jumat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Mei 2024, website KhotbahJumat.com telah mempublikasikan 3 artikel.  Website PengusahaMuslim.com PengusahaMuslim.com merupakan sebuah website yang mengupas seluk beluk dunia usaha dan bisnis guna membantu terbentuknya pengusaha muslim baik secara ekonomi maupun agamanya, yang pada akhirnya menjadi kesatuan kuat dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dan memajukan perekonomian Indonesia. Terdapat 2.489 artikel dalam website tersebut yang dapat membantu Anda menjadi seorang pengusaha yang sukses, tidak hanya di dunia, namun kesuksesan tersebut abadi hingga ke negeri akhirat.  *Tim artikel Yufid yang terdiri dari penulis, penerjemah, editor, dan admin website menyiapkan konten untuk seluruh website yang dikelola oleh Yufid secara bergantian.  Website Kajian.net Kajian.net adalah situs koleksi audio ceramah berbahasa Indonesia terlengkap dari ustadz-ustadz Ahlussunnah wal Jamaah, audio bacaan doa dan hadits berformat mp3, serta software islami dan e-Book kitab-kitab para ulama besar.  Total audio yang tersedia dalam website kajian.net yaitu 28.601 file mp3 dengan total ukuran 388 Gb dan pada bulan Mei 2024 ini telah mempublikasikan 117 file mp3.  Website Kajian.net bercita-cita sebagai gudang podcast kumpulan audio MP3 ceramah terlengkap yang dapat di download secara gratis dengan harapan dapat memudahkan Anda belajar hukum agama Islam dan aqidah Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman salafush sholeh. Kami juga rutin mengupload audio MP3 seluruh kajian Yufid ke platform SoundCloud, Anda dapat mengaksesnya melalui https://soundcloud.com/kajiannet, yang pada bulan Mei 2024 ini saja telah didengarkan 26.476 kali dan telah di download sebanyak 1.622 file audio.  Project Terjemahan Project ini bertujuan menerjemahkan konten dakwah, baik itu artikel, buku, dan ceramah para ulama. Konten dakwah yang aslinya berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, konten yang sudah diterjemahkan tersebut diolah kembali menjadi konten video, mp3, e-book, dan artikel di website. Sejak memulai project ini pada tahun 2018, tim penerjemah Yufid telah menerjemahkan 3.518.792 kata dengan rata-rata produksi per bulan 51.746 kata. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Mei 2024, project terjemahan ini telah menerjemahkan 64.021 kata.  Perekaman Artikel Menjadi Audio Program ini adalah merekam seluruh artikel yang dipublikasikan di website-website Yufid seperti KonsultasiSyariah.com, PengusahaMuslim.com dan KisahMuslim.com ke dalam bentuk audio. Program ini bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin mengakses konten dakwah dalam bentuk audio, terutama bagi mereka yang sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk membaca artikel. Mereka dapat mendengarkan audio yang sudah Yufid rekam sambil mereka beraktivitas, semisal di kendaraan, sambil bekerja, berolahraga, dan lain-lain. Total artikel yang sudah direkam dalam format audio sejak pertama dimulai program ini tahun 2017 yaitu 2.457 artikel dengan total durasi audio 216 jam dengan rata-rata perekaman 31 artikel per bulan. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Mei 2024, perekaman audio yang telah diproduksi yaitu 19 artikel.  Pengelolaan Server Yufid mengelola tujuh server yang di dalamnya berisi website-website dakwah, ada server khusus untuk website Yufid, website yang telah dijelaskan pada point-point diatas hanya sebagian kecil dari website yang kami kelola, yaitu berTotal 29 website dalam satu server tersebut. Selain itu terdapat juga website para ulama yang diletakkan di server yang berbeda dari server Yufid, ada pula website-website dakwah, streaming radio dll. Dari ketujuh server yang Yufid kelola kurang lebih terdapat 107 website yang masih aktif hingga saat ini. Demikian telah kami sampaikan laporan produksi Yufid Network pada bulan Mei 2024. Wallahu a’lam… Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in, walhamdulillahi rabbil ‘alamin. 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 4 times, 1 visit(s) today Post Views: 616 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Fikih Transaksi Gadai (Bag. 2): Rukun dan Syarat Sah Transaksi Gadai

Daftar Isi Toggle Rukun transaksi gadai[1]Ar-Rahn / Al-Marhun (Jaminan)Ar-Rahin (Pemilik barang jaminan / Peminjam)Al-Murtahin (Pemegang barang jaminan / Pemberi pinjaman)Al-Marhun bihi (Utang)Syarat sah transaksi gadai[6]Jaminan yang diberikan peminjam termasuk dari barang yang boleh untuk diperjualbelikanAr-Rahin adalah orang yang layak bertransaksiAr-Rahin berstatus sebagai pemilik barang jaminanBarang jaminan dapat diketahui sifat, jenis, dan nilainya Beranjak dari pembahasan sebelumnya, setelah membahas tentang definisi, hukum, dan dalil pensyariatan transaksi gadai, termasuk hal yang penting untuk diketahui adalah tentang rukun dan syarat sah transaksi gadai. Agar transaksi gadai yang dilaksanakan sah dan sesuai dengan syariat. Rukun transaksi gadai[1] Pada pembahasan sebelumnya, telah sedikit disinggung tentang masalah rukun dari transaksi gadai. Setidaknya dalam transaksi gadai harus terpenuhi beberapa rukun berikut ini: Ar-Rahn / Al-Marhun (Jaminan) Rukun yang harus ada ialah jaminan berupa barang atau manfaat yang diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman. Yang kemudian jaminan tersebut dipegang oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan atas pinjaman yang diberikan. Tentang hal ini ada beberapa ketentuan dari para ulama: Pertama: Jaminan tersebut berupa barang atau manfaat. Kendati jaminan berupa manfaat terdapat khilaf di antara para ulama, yang nanti akan datang penjelasannya pada pembahasan berikutnya. Kedua: Jaminan tersebut bisa dan boleh untuk diperjualbelikan. Maksudnya, barang jaminan yang terpenuhi syarat-syarat jual beli padanya. Seperti, adanya barang tersebut ketika akad gadai. Maka, tidak sah menggadaikan anak kambing yang masih ada di dalam perut, karena belum ada wujudnya ketika akad. Tidak sah pula menggadaikan anjing dan babi, karena keduanya bukan termasuk komoditi yang sah untuk diperjualbelikan. Tidak sah pula menggadaikan burung yang sedang terbang di udara. Karena hal itu masih belum pasti untuk dapat diterima. Intinya jaminan tersebut bisa dijadikan sebagai tebusan jika peminjam atau pengutang tidak mampu untuk membayar utangnya. Ar-Rahin (Pemilik barang jaminan / Peminjam) Maka, yang dimaksud pada rukun yang kedua ini ialah peminjam. Sehingga tanggungannya adalah utang yang diberikan dan jaminan yang harus diserahkan kepada pemberi pinjaman. Dalam masalah Ar-Rahin para ulama memberikan ketentuan di antaranya: Pertama: Hendaknya Ar-Rahin (peminjam) adalah orang yang sudah layak untuk melakukan transaksi. Seperti sudah mencapai usia balig, berakal, dan tidak di-hajr[2]. Maka, tidak diperbolehkan anak kecil, orang gila, dan orang yang bangkrut hartanya[3] untuk melakukan transaksi gadai. Mengingat tidak termasuk ketentuan yang boleh menjadi Ar-Rahin. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ “Pena telah diangkat dari tiga golongan: orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia bermimpi, dan orang gila hingga ia berakal.“[4] Al-Murtahin (Pemegang barang jaminan / Pemberi pinjaman) Rukun yang ketiga dari segi ketentuan sama halnya dengan rukun yang kedua. Yaitu, transaksi gadai harus dilakukan oleh orang yang sudah layak melakukan transaksi. Dan posisi pemberi pinjaman pada transaksi ini adalah ia akan menerima jaminan dari peminjam. Ia harus menjaga dan menyimpan jaminan tersebut sampai pinjaman tersebut lunas, maka jaminan tersebut akan dikembalikan kepada peminjam. Tentunya, termasuk poin penting dalam hal ini, antara pihak Ar-Rahin dan Al-Murtahin melakukan transaksi gadai ini secara sukarela dan tidak terpaksa. Jika terpaksa, maka transaksi gadai tidak sah. Al-Marhun bihi (Utang) Tentunya, ini bagian yang terpenting. Karena justru adanya transaksi gadai ini karena ada maksud dari Ar-Rahin untuk berutang atau meminjam. Tentang hal ini para ulama memberikan ketentuan di antaranya: Hendaknya utang yang dimaksud harus jelas bagi kedua belah pihak. Baik secara nilai ataupun sifatnya. Jika tidak jelas, maka tidak sah transaksi tersebut. Demikianlah di antara rukun-rukun transaksi gadai yang harus terpenuhi. Termasuk di antara rukun transaksi gadai adalah adanya akad atau ijab dan kabul. Hal ini termasuk dari pendapat jumhur ulama, bahwa harus adanya ijab dan kabul. Kemudian ditegaskan lagi oleh para ulama dari kalangan mazhab Syafi’i. Bahkan, mereka berpendapat tidak sah transaksi gadai ini jika tidak ada ijab dan kabul. Alasannya karena transaksi ini termasuk transaksi masalah harta sehingga butuh akan ijab dan kabul. Adapun pendapat dari mazhab Maliki dan Hanbali bahwa akad transaksi gadai tetap sah. Kendati hanya dengan keridaan antara kedua belah pihak secara ‘urf (kebiasaan masyarakat sekitar). Maka, cukup dengan saling memberikan (barang dan utang), atau dengan isyarat yang dapat dipahami, atau dengan tulisan. Alasannya karena keumuman dalil pada seluruh akad yang ada, serta tidak adanya contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang mereka bertransaksi dengan ijab dan kabul. Andaikata mereka menggunakan cara tersebut, niscaya telah tersebar luas sampai sekarang. Nyatanya tidak demikian.[5] Sehingga cukuplah keempat rukun di atas yang telah disebutkan. Syarat sah transaksi gadai[6] Selain rukun, tentunya ada syarat-syarat yang harus terpenuhi agar transaksi gadai dikatakan sah. Di bawah ini termasuk di antara syarat sah gadai: Jaminan yang diberikan peminjam termasuk dari barang yang boleh untuk diperjualbelikan Karena jika jaminan bukan termasuk yang diperbolehkan untuk dijual, maka tidak ada faedahnya dari jaminan tersebut. Mengingat fungsi dari jaminan adalah ketika peminjam tidak mampu untuk melunasi utangnya, maka pemberi pinjaman berhak untuk menjual jaminan tersebut sebagai bentuk pelunasan dari utang peminjam. Ar-Rahin adalah orang yang layak bertransaksi Di antara syarat sah gadai adalah hendaknya Ar-Rahin termasuk orang yang layak bertransaksi. Yaitu balig, berakal, merdeka, dan tidak terpaksa. Jika kedua belah pihak atau salah satunya bukan dari orang yang layak bertransaksi, maka tidak sah. Ar-Rahin berstatus sebagai pemilik barang jaminan Maksudnya, peminjam yang ingin menggadaikan barang jaminannya harus berstatus sebagai pemilik. Bukan barang orang lain yang ia gadaikan. Jika terpaksa barang orang lain yang harus ia gadaikan, maka ia harus mendapatkan izin dari orang tersebut. Barang jaminan dapat diketahui sifat, jenis, dan nilainya Barang jaminan yang diberikan harus bersifat jelas bukan yang bersifat abstrak atau gambling. Jika yang dijadikan jaminan adalah mobil, maka mobil tersebut harus jelas warnanya, mesinnya, harganya, dan sebagainya. Kembali ke bagian 1: Definisi, Hukum, dan Dalil Pensyariatannya Lanjut ke bagian 3: Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (1) *** Depok, 23 Zulkaidah 1445 / 31 Mei 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imam Asy-Syafi’i Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah Al-Mukhtashar fil Mu’amalah, karya Prof. Dr. Kholid bin Ali bin Muhammad Al Musyaiqih. Cet. Maktabah Ar-Rusyd Maktabah Syamilah   Catatan kaki: [1] Lihat pembahasan ini di kitab Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imam Asy-Syafi’i, 7: 115. [2] Di dalam Islam ada orang-orang yang dimasukkan dalam kategori hajr. Artinya tidak diperbolehkan untuk melakukan transaksi karena beberapa hal yang ada pada dirinya. Seperti bangkrut, murtad, orang gila, dan lain sebagainya. Lihat Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 137. [3] Sebagian ulama mendefinisikan orang yang utangnya lebih banyak daripada hartanya adalah orang yang bangkrut hartanya. [4] Hadis diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 3825 [5] Lihat pembahasan ini di kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 23: 177. [6] Lihat pembahasan ini di kitab Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 105. Tags: gadai

Fikih Transaksi Gadai (Bag. 2): Rukun dan Syarat Sah Transaksi Gadai

Daftar Isi Toggle Rukun transaksi gadai[1]Ar-Rahn / Al-Marhun (Jaminan)Ar-Rahin (Pemilik barang jaminan / Peminjam)Al-Murtahin (Pemegang barang jaminan / Pemberi pinjaman)Al-Marhun bihi (Utang)Syarat sah transaksi gadai[6]Jaminan yang diberikan peminjam termasuk dari barang yang boleh untuk diperjualbelikanAr-Rahin adalah orang yang layak bertransaksiAr-Rahin berstatus sebagai pemilik barang jaminanBarang jaminan dapat diketahui sifat, jenis, dan nilainya Beranjak dari pembahasan sebelumnya, setelah membahas tentang definisi, hukum, dan dalil pensyariatan transaksi gadai, termasuk hal yang penting untuk diketahui adalah tentang rukun dan syarat sah transaksi gadai. Agar transaksi gadai yang dilaksanakan sah dan sesuai dengan syariat. Rukun transaksi gadai[1] Pada pembahasan sebelumnya, telah sedikit disinggung tentang masalah rukun dari transaksi gadai. Setidaknya dalam transaksi gadai harus terpenuhi beberapa rukun berikut ini: Ar-Rahn / Al-Marhun (Jaminan) Rukun yang harus ada ialah jaminan berupa barang atau manfaat yang diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman. Yang kemudian jaminan tersebut dipegang oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan atas pinjaman yang diberikan. Tentang hal ini ada beberapa ketentuan dari para ulama: Pertama: Jaminan tersebut berupa barang atau manfaat. Kendati jaminan berupa manfaat terdapat khilaf di antara para ulama, yang nanti akan datang penjelasannya pada pembahasan berikutnya. Kedua: Jaminan tersebut bisa dan boleh untuk diperjualbelikan. Maksudnya, barang jaminan yang terpenuhi syarat-syarat jual beli padanya. Seperti, adanya barang tersebut ketika akad gadai. Maka, tidak sah menggadaikan anak kambing yang masih ada di dalam perut, karena belum ada wujudnya ketika akad. Tidak sah pula menggadaikan anjing dan babi, karena keduanya bukan termasuk komoditi yang sah untuk diperjualbelikan. Tidak sah pula menggadaikan burung yang sedang terbang di udara. Karena hal itu masih belum pasti untuk dapat diterima. Intinya jaminan tersebut bisa dijadikan sebagai tebusan jika peminjam atau pengutang tidak mampu untuk membayar utangnya. Ar-Rahin (Pemilik barang jaminan / Peminjam) Maka, yang dimaksud pada rukun yang kedua ini ialah peminjam. Sehingga tanggungannya adalah utang yang diberikan dan jaminan yang harus diserahkan kepada pemberi pinjaman. Dalam masalah Ar-Rahin para ulama memberikan ketentuan di antaranya: Pertama: Hendaknya Ar-Rahin (peminjam) adalah orang yang sudah layak untuk melakukan transaksi. Seperti sudah mencapai usia balig, berakal, dan tidak di-hajr[2]. Maka, tidak diperbolehkan anak kecil, orang gila, dan orang yang bangkrut hartanya[3] untuk melakukan transaksi gadai. Mengingat tidak termasuk ketentuan yang boleh menjadi Ar-Rahin. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ “Pena telah diangkat dari tiga golongan: orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia bermimpi, dan orang gila hingga ia berakal.“[4] Al-Murtahin (Pemegang barang jaminan / Pemberi pinjaman) Rukun yang ketiga dari segi ketentuan sama halnya dengan rukun yang kedua. Yaitu, transaksi gadai harus dilakukan oleh orang yang sudah layak melakukan transaksi. Dan posisi pemberi pinjaman pada transaksi ini adalah ia akan menerima jaminan dari peminjam. Ia harus menjaga dan menyimpan jaminan tersebut sampai pinjaman tersebut lunas, maka jaminan tersebut akan dikembalikan kepada peminjam. Tentunya, termasuk poin penting dalam hal ini, antara pihak Ar-Rahin dan Al-Murtahin melakukan transaksi gadai ini secara sukarela dan tidak terpaksa. Jika terpaksa, maka transaksi gadai tidak sah. Al-Marhun bihi (Utang) Tentunya, ini bagian yang terpenting. Karena justru adanya transaksi gadai ini karena ada maksud dari Ar-Rahin untuk berutang atau meminjam. Tentang hal ini para ulama memberikan ketentuan di antaranya: Hendaknya utang yang dimaksud harus jelas bagi kedua belah pihak. Baik secara nilai ataupun sifatnya. Jika tidak jelas, maka tidak sah transaksi tersebut. Demikianlah di antara rukun-rukun transaksi gadai yang harus terpenuhi. Termasuk di antara rukun transaksi gadai adalah adanya akad atau ijab dan kabul. Hal ini termasuk dari pendapat jumhur ulama, bahwa harus adanya ijab dan kabul. Kemudian ditegaskan lagi oleh para ulama dari kalangan mazhab Syafi’i. Bahkan, mereka berpendapat tidak sah transaksi gadai ini jika tidak ada ijab dan kabul. Alasannya karena transaksi ini termasuk transaksi masalah harta sehingga butuh akan ijab dan kabul. Adapun pendapat dari mazhab Maliki dan Hanbali bahwa akad transaksi gadai tetap sah. Kendati hanya dengan keridaan antara kedua belah pihak secara ‘urf (kebiasaan masyarakat sekitar). Maka, cukup dengan saling memberikan (barang dan utang), atau dengan isyarat yang dapat dipahami, atau dengan tulisan. Alasannya karena keumuman dalil pada seluruh akad yang ada, serta tidak adanya contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang mereka bertransaksi dengan ijab dan kabul. Andaikata mereka menggunakan cara tersebut, niscaya telah tersebar luas sampai sekarang. Nyatanya tidak demikian.[5] Sehingga cukuplah keempat rukun di atas yang telah disebutkan. Syarat sah transaksi gadai[6] Selain rukun, tentunya ada syarat-syarat yang harus terpenuhi agar transaksi gadai dikatakan sah. Di bawah ini termasuk di antara syarat sah gadai: Jaminan yang diberikan peminjam termasuk dari barang yang boleh untuk diperjualbelikan Karena jika jaminan bukan termasuk yang diperbolehkan untuk dijual, maka tidak ada faedahnya dari jaminan tersebut. Mengingat fungsi dari jaminan adalah ketika peminjam tidak mampu untuk melunasi utangnya, maka pemberi pinjaman berhak untuk menjual jaminan tersebut sebagai bentuk pelunasan dari utang peminjam. Ar-Rahin adalah orang yang layak bertransaksi Di antara syarat sah gadai adalah hendaknya Ar-Rahin termasuk orang yang layak bertransaksi. Yaitu balig, berakal, merdeka, dan tidak terpaksa. Jika kedua belah pihak atau salah satunya bukan dari orang yang layak bertransaksi, maka tidak sah. Ar-Rahin berstatus sebagai pemilik barang jaminan Maksudnya, peminjam yang ingin menggadaikan barang jaminannya harus berstatus sebagai pemilik. Bukan barang orang lain yang ia gadaikan. Jika terpaksa barang orang lain yang harus ia gadaikan, maka ia harus mendapatkan izin dari orang tersebut. Barang jaminan dapat diketahui sifat, jenis, dan nilainya Barang jaminan yang diberikan harus bersifat jelas bukan yang bersifat abstrak atau gambling. Jika yang dijadikan jaminan adalah mobil, maka mobil tersebut harus jelas warnanya, mesinnya, harganya, dan sebagainya. Kembali ke bagian 1: Definisi, Hukum, dan Dalil Pensyariatannya Lanjut ke bagian 3: Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (1) *** Depok, 23 Zulkaidah 1445 / 31 Mei 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imam Asy-Syafi’i Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah Al-Mukhtashar fil Mu’amalah, karya Prof. Dr. Kholid bin Ali bin Muhammad Al Musyaiqih. Cet. Maktabah Ar-Rusyd Maktabah Syamilah   Catatan kaki: [1] Lihat pembahasan ini di kitab Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imam Asy-Syafi’i, 7: 115. [2] Di dalam Islam ada orang-orang yang dimasukkan dalam kategori hajr. Artinya tidak diperbolehkan untuk melakukan transaksi karena beberapa hal yang ada pada dirinya. Seperti bangkrut, murtad, orang gila, dan lain sebagainya. Lihat Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 137. [3] Sebagian ulama mendefinisikan orang yang utangnya lebih banyak daripada hartanya adalah orang yang bangkrut hartanya. [4] Hadis diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 3825 [5] Lihat pembahasan ini di kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 23: 177. [6] Lihat pembahasan ini di kitab Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 105. Tags: gadai
Daftar Isi Toggle Rukun transaksi gadai[1]Ar-Rahn / Al-Marhun (Jaminan)Ar-Rahin (Pemilik barang jaminan / Peminjam)Al-Murtahin (Pemegang barang jaminan / Pemberi pinjaman)Al-Marhun bihi (Utang)Syarat sah transaksi gadai[6]Jaminan yang diberikan peminjam termasuk dari barang yang boleh untuk diperjualbelikanAr-Rahin adalah orang yang layak bertransaksiAr-Rahin berstatus sebagai pemilik barang jaminanBarang jaminan dapat diketahui sifat, jenis, dan nilainya Beranjak dari pembahasan sebelumnya, setelah membahas tentang definisi, hukum, dan dalil pensyariatan transaksi gadai, termasuk hal yang penting untuk diketahui adalah tentang rukun dan syarat sah transaksi gadai. Agar transaksi gadai yang dilaksanakan sah dan sesuai dengan syariat. Rukun transaksi gadai[1] Pada pembahasan sebelumnya, telah sedikit disinggung tentang masalah rukun dari transaksi gadai. Setidaknya dalam transaksi gadai harus terpenuhi beberapa rukun berikut ini: Ar-Rahn / Al-Marhun (Jaminan) Rukun yang harus ada ialah jaminan berupa barang atau manfaat yang diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman. Yang kemudian jaminan tersebut dipegang oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan atas pinjaman yang diberikan. Tentang hal ini ada beberapa ketentuan dari para ulama: Pertama: Jaminan tersebut berupa barang atau manfaat. Kendati jaminan berupa manfaat terdapat khilaf di antara para ulama, yang nanti akan datang penjelasannya pada pembahasan berikutnya. Kedua: Jaminan tersebut bisa dan boleh untuk diperjualbelikan. Maksudnya, barang jaminan yang terpenuhi syarat-syarat jual beli padanya. Seperti, adanya barang tersebut ketika akad gadai. Maka, tidak sah menggadaikan anak kambing yang masih ada di dalam perut, karena belum ada wujudnya ketika akad. Tidak sah pula menggadaikan anjing dan babi, karena keduanya bukan termasuk komoditi yang sah untuk diperjualbelikan. Tidak sah pula menggadaikan burung yang sedang terbang di udara. Karena hal itu masih belum pasti untuk dapat diterima. Intinya jaminan tersebut bisa dijadikan sebagai tebusan jika peminjam atau pengutang tidak mampu untuk membayar utangnya. Ar-Rahin (Pemilik barang jaminan / Peminjam) Maka, yang dimaksud pada rukun yang kedua ini ialah peminjam. Sehingga tanggungannya adalah utang yang diberikan dan jaminan yang harus diserahkan kepada pemberi pinjaman. Dalam masalah Ar-Rahin para ulama memberikan ketentuan di antaranya: Pertama: Hendaknya Ar-Rahin (peminjam) adalah orang yang sudah layak untuk melakukan transaksi. Seperti sudah mencapai usia balig, berakal, dan tidak di-hajr[2]. Maka, tidak diperbolehkan anak kecil, orang gila, dan orang yang bangkrut hartanya[3] untuk melakukan transaksi gadai. Mengingat tidak termasuk ketentuan yang boleh menjadi Ar-Rahin. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ “Pena telah diangkat dari tiga golongan: orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia bermimpi, dan orang gila hingga ia berakal.“[4] Al-Murtahin (Pemegang barang jaminan / Pemberi pinjaman) Rukun yang ketiga dari segi ketentuan sama halnya dengan rukun yang kedua. Yaitu, transaksi gadai harus dilakukan oleh orang yang sudah layak melakukan transaksi. Dan posisi pemberi pinjaman pada transaksi ini adalah ia akan menerima jaminan dari peminjam. Ia harus menjaga dan menyimpan jaminan tersebut sampai pinjaman tersebut lunas, maka jaminan tersebut akan dikembalikan kepada peminjam. Tentunya, termasuk poin penting dalam hal ini, antara pihak Ar-Rahin dan Al-Murtahin melakukan transaksi gadai ini secara sukarela dan tidak terpaksa. Jika terpaksa, maka transaksi gadai tidak sah. Al-Marhun bihi (Utang) Tentunya, ini bagian yang terpenting. Karena justru adanya transaksi gadai ini karena ada maksud dari Ar-Rahin untuk berutang atau meminjam. Tentang hal ini para ulama memberikan ketentuan di antaranya: Hendaknya utang yang dimaksud harus jelas bagi kedua belah pihak. Baik secara nilai ataupun sifatnya. Jika tidak jelas, maka tidak sah transaksi tersebut. Demikianlah di antara rukun-rukun transaksi gadai yang harus terpenuhi. Termasuk di antara rukun transaksi gadai adalah adanya akad atau ijab dan kabul. Hal ini termasuk dari pendapat jumhur ulama, bahwa harus adanya ijab dan kabul. Kemudian ditegaskan lagi oleh para ulama dari kalangan mazhab Syafi’i. Bahkan, mereka berpendapat tidak sah transaksi gadai ini jika tidak ada ijab dan kabul. Alasannya karena transaksi ini termasuk transaksi masalah harta sehingga butuh akan ijab dan kabul. Adapun pendapat dari mazhab Maliki dan Hanbali bahwa akad transaksi gadai tetap sah. Kendati hanya dengan keridaan antara kedua belah pihak secara ‘urf (kebiasaan masyarakat sekitar). Maka, cukup dengan saling memberikan (barang dan utang), atau dengan isyarat yang dapat dipahami, atau dengan tulisan. Alasannya karena keumuman dalil pada seluruh akad yang ada, serta tidak adanya contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang mereka bertransaksi dengan ijab dan kabul. Andaikata mereka menggunakan cara tersebut, niscaya telah tersebar luas sampai sekarang. Nyatanya tidak demikian.[5] Sehingga cukuplah keempat rukun di atas yang telah disebutkan. Syarat sah transaksi gadai[6] Selain rukun, tentunya ada syarat-syarat yang harus terpenuhi agar transaksi gadai dikatakan sah. Di bawah ini termasuk di antara syarat sah gadai: Jaminan yang diberikan peminjam termasuk dari barang yang boleh untuk diperjualbelikan Karena jika jaminan bukan termasuk yang diperbolehkan untuk dijual, maka tidak ada faedahnya dari jaminan tersebut. Mengingat fungsi dari jaminan adalah ketika peminjam tidak mampu untuk melunasi utangnya, maka pemberi pinjaman berhak untuk menjual jaminan tersebut sebagai bentuk pelunasan dari utang peminjam. Ar-Rahin adalah orang yang layak bertransaksi Di antara syarat sah gadai adalah hendaknya Ar-Rahin termasuk orang yang layak bertransaksi. Yaitu balig, berakal, merdeka, dan tidak terpaksa. Jika kedua belah pihak atau salah satunya bukan dari orang yang layak bertransaksi, maka tidak sah. Ar-Rahin berstatus sebagai pemilik barang jaminan Maksudnya, peminjam yang ingin menggadaikan barang jaminannya harus berstatus sebagai pemilik. Bukan barang orang lain yang ia gadaikan. Jika terpaksa barang orang lain yang harus ia gadaikan, maka ia harus mendapatkan izin dari orang tersebut. Barang jaminan dapat diketahui sifat, jenis, dan nilainya Barang jaminan yang diberikan harus bersifat jelas bukan yang bersifat abstrak atau gambling. Jika yang dijadikan jaminan adalah mobil, maka mobil tersebut harus jelas warnanya, mesinnya, harganya, dan sebagainya. Kembali ke bagian 1: Definisi, Hukum, dan Dalil Pensyariatannya Lanjut ke bagian 3: Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (1) *** Depok, 23 Zulkaidah 1445 / 31 Mei 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imam Asy-Syafi’i Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah Al-Mukhtashar fil Mu’amalah, karya Prof. Dr. Kholid bin Ali bin Muhammad Al Musyaiqih. Cet. Maktabah Ar-Rusyd Maktabah Syamilah   Catatan kaki: [1] Lihat pembahasan ini di kitab Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imam Asy-Syafi’i, 7: 115. [2] Di dalam Islam ada orang-orang yang dimasukkan dalam kategori hajr. Artinya tidak diperbolehkan untuk melakukan transaksi karena beberapa hal yang ada pada dirinya. Seperti bangkrut, murtad, orang gila, dan lain sebagainya. Lihat Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 137. [3] Sebagian ulama mendefinisikan orang yang utangnya lebih banyak daripada hartanya adalah orang yang bangkrut hartanya. [4] Hadis diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 3825 [5] Lihat pembahasan ini di kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 23: 177. [6] Lihat pembahasan ini di kitab Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 105. Tags: gadai


Daftar Isi Toggle Rukun transaksi gadai[1]Ar-Rahn / Al-Marhun (Jaminan)Ar-Rahin (Pemilik barang jaminan / Peminjam)Al-Murtahin (Pemegang barang jaminan / Pemberi pinjaman)Al-Marhun bihi (Utang)Syarat sah transaksi gadai[6]Jaminan yang diberikan peminjam termasuk dari barang yang boleh untuk diperjualbelikanAr-Rahin adalah orang yang layak bertransaksiAr-Rahin berstatus sebagai pemilik barang jaminanBarang jaminan dapat diketahui sifat, jenis, dan nilainya Beranjak dari pembahasan sebelumnya, setelah membahas tentang definisi, hukum, dan dalil pensyariatan transaksi gadai, termasuk hal yang penting untuk diketahui adalah tentang rukun dan syarat sah transaksi gadai. Agar transaksi gadai yang dilaksanakan sah dan sesuai dengan syariat. Rukun transaksi gadai[1] Pada pembahasan sebelumnya, telah sedikit disinggung tentang masalah rukun dari transaksi gadai. Setidaknya dalam transaksi gadai harus terpenuhi beberapa rukun berikut ini: Ar-Rahn / Al-Marhun (Jaminan) Rukun yang harus ada ialah jaminan berupa barang atau manfaat yang diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman. Yang kemudian jaminan tersebut dipegang oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan atas pinjaman yang diberikan. Tentang hal ini ada beberapa ketentuan dari para ulama: Pertama: Jaminan tersebut berupa barang atau manfaat. Kendati jaminan berupa manfaat terdapat khilaf di antara para ulama, yang nanti akan datang penjelasannya pada pembahasan berikutnya. Kedua: Jaminan tersebut bisa dan boleh untuk diperjualbelikan. Maksudnya, barang jaminan yang terpenuhi syarat-syarat jual beli padanya. Seperti, adanya barang tersebut ketika akad gadai. Maka, tidak sah menggadaikan anak kambing yang masih ada di dalam perut, karena belum ada wujudnya ketika akad. Tidak sah pula menggadaikan anjing dan babi, karena keduanya bukan termasuk komoditi yang sah untuk diperjualbelikan. Tidak sah pula menggadaikan burung yang sedang terbang di udara. Karena hal itu masih belum pasti untuk dapat diterima. Intinya jaminan tersebut bisa dijadikan sebagai tebusan jika peminjam atau pengutang tidak mampu untuk membayar utangnya. Ar-Rahin (Pemilik barang jaminan / Peminjam) Maka, yang dimaksud pada rukun yang kedua ini ialah peminjam. Sehingga tanggungannya adalah utang yang diberikan dan jaminan yang harus diserahkan kepada pemberi pinjaman. Dalam masalah Ar-Rahin para ulama memberikan ketentuan di antaranya: Pertama: Hendaknya Ar-Rahin (peminjam) adalah orang yang sudah layak untuk melakukan transaksi. Seperti sudah mencapai usia balig, berakal, dan tidak di-hajr[2]. Maka, tidak diperbolehkan anak kecil, orang gila, dan orang yang bangkrut hartanya[3] untuk melakukan transaksi gadai. Mengingat tidak termasuk ketentuan yang boleh menjadi Ar-Rahin. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ “Pena telah diangkat dari tiga golongan: orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia bermimpi, dan orang gila hingga ia berakal.“[4] Al-Murtahin (Pemegang barang jaminan / Pemberi pinjaman) Rukun yang ketiga dari segi ketentuan sama halnya dengan rukun yang kedua. Yaitu, transaksi gadai harus dilakukan oleh orang yang sudah layak melakukan transaksi. Dan posisi pemberi pinjaman pada transaksi ini adalah ia akan menerima jaminan dari peminjam. Ia harus menjaga dan menyimpan jaminan tersebut sampai pinjaman tersebut lunas, maka jaminan tersebut akan dikembalikan kepada peminjam. Tentunya, termasuk poin penting dalam hal ini, antara pihak Ar-Rahin dan Al-Murtahin melakukan transaksi gadai ini secara sukarela dan tidak terpaksa. Jika terpaksa, maka transaksi gadai tidak sah. Al-Marhun bihi (Utang) Tentunya, ini bagian yang terpenting. Karena justru adanya transaksi gadai ini karena ada maksud dari Ar-Rahin untuk berutang atau meminjam. Tentang hal ini para ulama memberikan ketentuan di antaranya: Hendaknya utang yang dimaksud harus jelas bagi kedua belah pihak. Baik secara nilai ataupun sifatnya. Jika tidak jelas, maka tidak sah transaksi tersebut. Demikianlah di antara rukun-rukun transaksi gadai yang harus terpenuhi. Termasuk di antara rukun transaksi gadai adalah adanya akad atau ijab dan kabul. Hal ini termasuk dari pendapat jumhur ulama, bahwa harus adanya ijab dan kabul. Kemudian ditegaskan lagi oleh para ulama dari kalangan mazhab Syafi’i. Bahkan, mereka berpendapat tidak sah transaksi gadai ini jika tidak ada ijab dan kabul. Alasannya karena transaksi ini termasuk transaksi masalah harta sehingga butuh akan ijab dan kabul. Adapun pendapat dari mazhab Maliki dan Hanbali bahwa akad transaksi gadai tetap sah. Kendati hanya dengan keridaan antara kedua belah pihak secara ‘urf (kebiasaan masyarakat sekitar). Maka, cukup dengan saling memberikan (barang dan utang), atau dengan isyarat yang dapat dipahami, atau dengan tulisan. Alasannya karena keumuman dalil pada seluruh akad yang ada, serta tidak adanya contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang mereka bertransaksi dengan ijab dan kabul. Andaikata mereka menggunakan cara tersebut, niscaya telah tersebar luas sampai sekarang. Nyatanya tidak demikian.[5] Sehingga cukuplah keempat rukun di atas yang telah disebutkan. Syarat sah transaksi gadai[6] Selain rukun, tentunya ada syarat-syarat yang harus terpenuhi agar transaksi gadai dikatakan sah. Di bawah ini termasuk di antara syarat sah gadai: Jaminan yang diberikan peminjam termasuk dari barang yang boleh untuk diperjualbelikan Karena jika jaminan bukan termasuk yang diperbolehkan untuk dijual, maka tidak ada faedahnya dari jaminan tersebut. Mengingat fungsi dari jaminan adalah ketika peminjam tidak mampu untuk melunasi utangnya, maka pemberi pinjaman berhak untuk menjual jaminan tersebut sebagai bentuk pelunasan dari utang peminjam. Ar-Rahin adalah orang yang layak bertransaksi Di antara syarat sah gadai adalah hendaknya Ar-Rahin termasuk orang yang layak bertransaksi. Yaitu balig, berakal, merdeka, dan tidak terpaksa. Jika kedua belah pihak atau salah satunya bukan dari orang yang layak bertransaksi, maka tidak sah. Ar-Rahin berstatus sebagai pemilik barang jaminan Maksudnya, peminjam yang ingin menggadaikan barang jaminannya harus berstatus sebagai pemilik. Bukan barang orang lain yang ia gadaikan. Jika terpaksa barang orang lain yang harus ia gadaikan, maka ia harus mendapatkan izin dari orang tersebut. Barang jaminan dapat diketahui sifat, jenis, dan nilainya Barang jaminan yang diberikan harus bersifat jelas bukan yang bersifat abstrak atau gambling. Jika yang dijadikan jaminan adalah mobil, maka mobil tersebut harus jelas warnanya, mesinnya, harganya, dan sebagainya. Kembali ke bagian 1: Definisi, Hukum, dan Dalil Pensyariatannya Lanjut ke bagian 3: Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (1) *** Depok, 23 Zulkaidah 1445 / 31 Mei 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imam Asy-Syafi’i Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah Al-Mukhtashar fil Mu’amalah, karya Prof. Dr. Kholid bin Ali bin Muhammad Al Musyaiqih. Cet. Maktabah Ar-Rusyd Maktabah Syamilah   Catatan kaki: [1] Lihat pembahasan ini di kitab Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imam Asy-Syafi’i, 7: 115. [2] Di dalam Islam ada orang-orang yang dimasukkan dalam kategori hajr. Artinya tidak diperbolehkan untuk melakukan transaksi karena beberapa hal yang ada pada dirinya. Seperti bangkrut, murtad, orang gila, dan lain sebagainya. Lihat Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 137. [3] Sebagian ulama mendefinisikan orang yang utangnya lebih banyak daripada hartanya adalah orang yang bangkrut hartanya. [4] Hadis diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 3825 [5] Lihat pembahasan ini di kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 23: 177. [6] Lihat pembahasan ini di kitab Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 105. Tags: gadai

Fikih Transaksi Gadai (Bag. 3): Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (1)

Daftar Isi Toggle Kaidah yang harus diketahui Gadai dari segi jenisnya terbagi menjadi beberapa macamGadai berupa barang Gadai berupa jasa atau manfaat[4] Pada tulisan sebelumnya, telah dijelaskan tentang rukun dan syarat sah transaksi gadai. Dan telah jelas pula bahwasanya gadai adalah salah satu transaksi yang diperbolehkan dalam agama Islam. Tentunya, hal ini sebagai kemudahan dari Allah Ta’ala untuk kaum muslimin dalam bermuamalah dengan kaum muslimin yang lainnya. Pada tulisan ini, akan lebih spesifik lagi membahas tentang apa saja yang boleh untuk digadaikan menurut syariat Islam, tidak hanya sebatas benda ataupun barang. Tentunya, agar transaksi gadai tidak sampai terjatuh kepada perkara syubhat ataupun perkara yang haram. Karena hal yang halal telah jelas dan yang haram pun telah jelas sifatnya. Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda, إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ “Sesungguhnya yang halal telah nyata (jelas) dan yang haram telah nyata. Dan di antara keduanya ada perkara yang tidak jelas, yang tidak diketahui kebanyakan orang. Maka, barangsiapa menjaga dirinya dari melakukan perkara yang meragukan, maka selamatlah agama dan harga dirinya. Tetapi, siapa yang terjatuh dalam perkara syubhat, maka dia terjatuh kepada keharaman.” [1] Kaidah yang harus diketahui Sebelum melangkah lebih jauh, dalam hal ini terdapat kaidah yang harus dipahami. Dengan memahami kaidah ini, akan mudah untuk mengetahui apa saja barang-barang yang diperbolehkan untuk digadaikan. Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, كُلُّ عَيْنٍ يَجُوْزُ بَيْعُهَا يَجُوْزُ رَهْنُهَا وَمَا لَا فَلَا “Setiap jenis barang yang boleh diperjualbelikan, maka boleh untuk digadaikan. Sebaliknya, jenis barang yang tidak boleh dijual, maka tidak boleh digadaikan.”[2] Para ulama fikih sepakat atas kaidah ini.[3] Bahwasanya boleh menggadaikan seluruh barang yang dimiliki oleh peminjam sebagai jaminan utangnya atau sebagai tebusan, yang bisa dimanfaatkan setelah barang tersebut dijual ketika peminjam tidak mampu untuk menyelesaikan utangnya. Namun, mereka berbeda pendapat di sebagian perincian tentang masalah ini. Adapun mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat, sebagaimana disebutkan di atas. Yaitu, setiap barang yang boleh diperjualbelikan, maka boleh pula untuk digadaikan. Karena tujuan dari barang gadaian adalah dijual untuk menutupi utang ketika peminjam tidak mampu membayarnya. Jika tujuan dari gadai adalah untuk dijual, maka selanjutnya menjadi sebuah ketentuan barang gadai adalah harus berdasarkan jenis barang yang bisa dijual. Gadai dari segi jenisnya terbagi menjadi beberapa macam Pertama: Gadai berupa barang (rumah, perhiasan, dan lain-lain). Kedua: Gadai berupa manfaat atau jasa. Ketiga: Gadai berupa utang. Keempat: Gadai berupa hewan, ladang, dan tanaman. Masing-masing poin di atas akan diuraikan pada penjelasan di bawah ini. Gadai berupa barang Barang-barang yang bisa digadaikan sangatlah banyak. Namun, tentunya ada barang-barang yang boleh digadaikan, ada yang tidak boleh digadaikan. Berikut ini penjelasan terkait barang apa saja yang boleh digadaikan. Gambaran contoh penggadaian barang Ali membutuhkan uang sebesar Rp.100.000.000,-. Ia memiliki aset pribadi berupa kendaraan mobil. Kemudian Ali datang ke Abdullah untuk meminjam uang sebesar Rp.100.000.000,-. Bersamaan dengan itu, Ali memberikan mobilnya kepada Abdullah sebagai jaminan atas utang yang Ali dapatkan dari Abdullah. Tentunya, hal ini diperbolehkan. Karena jenis barang gadaian yang diberikan Ali kepada Abdullah adalah jenis barang yang boleh diperjualbelikan. Begitu pun dengan jenis-jenis barang yang lain, seperti rumah, buku, perhiasan, tanah, dan lain sebagainya. Selama barang tersebut boleh diperjualbelikan, maka boleh untuk digadaikan. Gadai berupa jasa atau manfaat[4] Para ulama khilaf (berbeda pendapat) tentang masalah ini, apakah boleh menggadaikan jasa atau manfaat. Jumhur ulama berpendapat[5] tidak boleh menggadaikan manfaat. Karena beberapa alasan. Di antaranya: Pertama: Karena manfaat sifatnya hanya dimiliki sementara. Tidak dapat digunakan untuk menyempurnakan utang. Kedua: Manfaat sifatnya lambat laun akan sirna dan hilang. Ketiga: Pendapat dari mazhab Hanafi menuturkan bahwa manfaat bukan termasuk harta yang bernilai. Sehingga tidak bisa untuk digadaikan. Inilah ketiga alasan yang menyebabkan para ulama berpendapat tidak diperbolehkan gadai yang sifatnya jasa atau manfaat. Pendapat yang membolehkan adalah pendapat mazhab Maliki. Pendapat ini dikuatkan oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah. Dengan alasan: Pertama: Karena utang sangat memungkinkan untuk dilunaskan dengan jasa atau manfaat. Kedua: Kaidah asal tentang muamalah. Bahwasanya asal dari muamalah adalah mubah sampai datangnya dalil yang mengharamkannya. Sehingga sangat memungkinkan manfaat dapat digadaikan berdasarkan pendapat yang membolehkan. Gambaran contoh penggadaian manfaat atau jasa Ali memiliki rumah dan ingin meminjam uang kepada Abdullah sebesar Rp.100.000.000,-. Aset yang dimiliki Ali adalah rumah. Kemudian Ali menyewakan rumah tersebut kepada orang lain. Manfaat yang didapatkan dari rumah tersebut dijadikan sebagai gadai kepada Abdullah. Sehingga Abdullah menjadikan manfaat dari sewa rumah Ali sebagai gadai. Maka, hal seperti ini diperbolehkan. Di antara bentuk contoh yang lain, yaitu adalah mukatab[6]. Mukatab adalah budak yang sedang dalam proses untuk memerdekakan dirinya sendiri. Dengan cara mencicil dirinya sendiri kepada tuannya sampai batas waktu yang ditentukan. Bagi tuan yang memiliki budak seperti ini, dalam syariat dituntut untuk menerima permintaan budaknya. Bahkan, ia wajib menerima permintaan budaknya untuk memerdekakannya. Terlebih-lebih, jika tuannya tahu bahwa ketika budak itu merdeka terdapat kebaikan yang banyak. Allah Ta’ala berfirman, وَٱلَّذِينَ يَبۡتَغُونَ ٱلۡكِتَـٰبَ مِمَّا مَلَكَتۡ أَيۡمَـٰنُكُمۡ فَكَاتِبُوهُمۡ إِنۡ عَلِمۡتُمۡ فِيہِمۡ خَيۡرً۬ا “Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka.” (QS. An-Nur: 33) Lalu, bagaimana mukatab bisa digadaikan? Mukatab boleh digadaikan oleh tuannya karena mukatab di antara hal yang boleh untuk diperjualbelikan. Gambarannya sebagai berikut. Ali memiliki mukatab, kemudian ia ingin meminjam uang kepada Abdullah dengan menggadaikan mukatab-nya kepada Abdullah. Sehingga Abdullah meminjamkan uang kepada Ali dan Ali memberikan mukatab-nya kepada Abdullah sebagai jaminan utangnya. Hal ini termasuk gadai yang berupa manfaat atau jasa. Dan ini diperbolehkan karena mukatab termasuk yang boleh untuk diperjualbelikan. Di antara contoh yang lain adalah mudabbar adalah budak yang dijanjikan merdeka ketika tuannya wafat. Maka, selama tuannya belum wafat, ketika tuannya ingin menggadaikan mudabbar-nya, maka hal ini juga diperbolehkan. Karena budak tersebut belum merdeka dan bisa diperjualbelikan. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Kembali ke bagian 2: Rukun dan Syarat Sah Transaksi Gadai Lanjut ke bagian 4: [Bersambung] *** Depok, 24 Zulkaidah 1445 / 01 Juni 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al Mukhtashar fil Mu’amalah, karya Prof. Dr. Kholid bin Ali bin Muhammad Al Musyaiqih. Cet. Maktabah Ar-Rusyd. Shahih Fiqih Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Cet. Maktabah Taufiqiyyah. Syarhul Mumti’ ‘Ala Zaadil Mustaqni’, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah. https://dorar.net/ Dan kitab-kitab serta website lainnya.   Catatan kaki: [1] Hadis sahih diriwayatkan oleh Muslim no. 2996. [2] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, 9: 122, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah. [3] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 5: 322, karya Abu Malik Kamal bin As-Sayyid. [4] Pembahasan ini bisa dilihat di https://dorar.net/feqhia/9047. [5] Pendapat terbanyak tentang hal ini adalah pendapat dari mazhab Syafi’i. Hampir mayoritas mazhab Syafi’i berpendapat tidak bolehnya menggadaikan manfaat. [6] Sejatinya pembahasan ini sangat kecil terjadi kemungkinannya pada zaman ini. Karena perbudakan di zaman ini sudah tidak ada. Namun, sebagai tambahan faedah, kiranya perlu untuk dicantumkan pembahasan ini, terlebih hal ini sebagai penguat pendapat akan diperbolehkannya menggadaikan manfaat. Pembahasan ini bisa dilihat di Syarhul Mumti’ ‘Ala Zaadil Mustaqni’, 9: 123. Tags: gadai

Fikih Transaksi Gadai (Bag. 3): Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (1)

Daftar Isi Toggle Kaidah yang harus diketahui Gadai dari segi jenisnya terbagi menjadi beberapa macamGadai berupa barang Gadai berupa jasa atau manfaat[4] Pada tulisan sebelumnya, telah dijelaskan tentang rukun dan syarat sah transaksi gadai. Dan telah jelas pula bahwasanya gadai adalah salah satu transaksi yang diperbolehkan dalam agama Islam. Tentunya, hal ini sebagai kemudahan dari Allah Ta’ala untuk kaum muslimin dalam bermuamalah dengan kaum muslimin yang lainnya. Pada tulisan ini, akan lebih spesifik lagi membahas tentang apa saja yang boleh untuk digadaikan menurut syariat Islam, tidak hanya sebatas benda ataupun barang. Tentunya, agar transaksi gadai tidak sampai terjatuh kepada perkara syubhat ataupun perkara yang haram. Karena hal yang halal telah jelas dan yang haram pun telah jelas sifatnya. Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda, إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ “Sesungguhnya yang halal telah nyata (jelas) dan yang haram telah nyata. Dan di antara keduanya ada perkara yang tidak jelas, yang tidak diketahui kebanyakan orang. Maka, barangsiapa menjaga dirinya dari melakukan perkara yang meragukan, maka selamatlah agama dan harga dirinya. Tetapi, siapa yang terjatuh dalam perkara syubhat, maka dia terjatuh kepada keharaman.” [1] Kaidah yang harus diketahui Sebelum melangkah lebih jauh, dalam hal ini terdapat kaidah yang harus dipahami. Dengan memahami kaidah ini, akan mudah untuk mengetahui apa saja barang-barang yang diperbolehkan untuk digadaikan. Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, كُلُّ عَيْنٍ يَجُوْزُ بَيْعُهَا يَجُوْزُ رَهْنُهَا وَمَا لَا فَلَا “Setiap jenis barang yang boleh diperjualbelikan, maka boleh untuk digadaikan. Sebaliknya, jenis barang yang tidak boleh dijual, maka tidak boleh digadaikan.”[2] Para ulama fikih sepakat atas kaidah ini.[3] Bahwasanya boleh menggadaikan seluruh barang yang dimiliki oleh peminjam sebagai jaminan utangnya atau sebagai tebusan, yang bisa dimanfaatkan setelah barang tersebut dijual ketika peminjam tidak mampu untuk menyelesaikan utangnya. Namun, mereka berbeda pendapat di sebagian perincian tentang masalah ini. Adapun mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat, sebagaimana disebutkan di atas. Yaitu, setiap barang yang boleh diperjualbelikan, maka boleh pula untuk digadaikan. Karena tujuan dari barang gadaian adalah dijual untuk menutupi utang ketika peminjam tidak mampu membayarnya. Jika tujuan dari gadai adalah untuk dijual, maka selanjutnya menjadi sebuah ketentuan barang gadai adalah harus berdasarkan jenis barang yang bisa dijual. Gadai dari segi jenisnya terbagi menjadi beberapa macam Pertama: Gadai berupa barang (rumah, perhiasan, dan lain-lain). Kedua: Gadai berupa manfaat atau jasa. Ketiga: Gadai berupa utang. Keempat: Gadai berupa hewan, ladang, dan tanaman. Masing-masing poin di atas akan diuraikan pada penjelasan di bawah ini. Gadai berupa barang Barang-barang yang bisa digadaikan sangatlah banyak. Namun, tentunya ada barang-barang yang boleh digadaikan, ada yang tidak boleh digadaikan. Berikut ini penjelasan terkait barang apa saja yang boleh digadaikan. Gambaran contoh penggadaian barang Ali membutuhkan uang sebesar Rp.100.000.000,-. Ia memiliki aset pribadi berupa kendaraan mobil. Kemudian Ali datang ke Abdullah untuk meminjam uang sebesar Rp.100.000.000,-. Bersamaan dengan itu, Ali memberikan mobilnya kepada Abdullah sebagai jaminan atas utang yang Ali dapatkan dari Abdullah. Tentunya, hal ini diperbolehkan. Karena jenis barang gadaian yang diberikan Ali kepada Abdullah adalah jenis barang yang boleh diperjualbelikan. Begitu pun dengan jenis-jenis barang yang lain, seperti rumah, buku, perhiasan, tanah, dan lain sebagainya. Selama barang tersebut boleh diperjualbelikan, maka boleh untuk digadaikan. Gadai berupa jasa atau manfaat[4] Para ulama khilaf (berbeda pendapat) tentang masalah ini, apakah boleh menggadaikan jasa atau manfaat. Jumhur ulama berpendapat[5] tidak boleh menggadaikan manfaat. Karena beberapa alasan. Di antaranya: Pertama: Karena manfaat sifatnya hanya dimiliki sementara. Tidak dapat digunakan untuk menyempurnakan utang. Kedua: Manfaat sifatnya lambat laun akan sirna dan hilang. Ketiga: Pendapat dari mazhab Hanafi menuturkan bahwa manfaat bukan termasuk harta yang bernilai. Sehingga tidak bisa untuk digadaikan. Inilah ketiga alasan yang menyebabkan para ulama berpendapat tidak diperbolehkan gadai yang sifatnya jasa atau manfaat. Pendapat yang membolehkan adalah pendapat mazhab Maliki. Pendapat ini dikuatkan oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah. Dengan alasan: Pertama: Karena utang sangat memungkinkan untuk dilunaskan dengan jasa atau manfaat. Kedua: Kaidah asal tentang muamalah. Bahwasanya asal dari muamalah adalah mubah sampai datangnya dalil yang mengharamkannya. Sehingga sangat memungkinkan manfaat dapat digadaikan berdasarkan pendapat yang membolehkan. Gambaran contoh penggadaian manfaat atau jasa Ali memiliki rumah dan ingin meminjam uang kepada Abdullah sebesar Rp.100.000.000,-. Aset yang dimiliki Ali adalah rumah. Kemudian Ali menyewakan rumah tersebut kepada orang lain. Manfaat yang didapatkan dari rumah tersebut dijadikan sebagai gadai kepada Abdullah. Sehingga Abdullah menjadikan manfaat dari sewa rumah Ali sebagai gadai. Maka, hal seperti ini diperbolehkan. Di antara bentuk contoh yang lain, yaitu adalah mukatab[6]. Mukatab adalah budak yang sedang dalam proses untuk memerdekakan dirinya sendiri. Dengan cara mencicil dirinya sendiri kepada tuannya sampai batas waktu yang ditentukan. Bagi tuan yang memiliki budak seperti ini, dalam syariat dituntut untuk menerima permintaan budaknya. Bahkan, ia wajib menerima permintaan budaknya untuk memerdekakannya. Terlebih-lebih, jika tuannya tahu bahwa ketika budak itu merdeka terdapat kebaikan yang banyak. Allah Ta’ala berfirman, وَٱلَّذِينَ يَبۡتَغُونَ ٱلۡكِتَـٰبَ مِمَّا مَلَكَتۡ أَيۡمَـٰنُكُمۡ فَكَاتِبُوهُمۡ إِنۡ عَلِمۡتُمۡ فِيہِمۡ خَيۡرً۬ا “Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka.” (QS. An-Nur: 33) Lalu, bagaimana mukatab bisa digadaikan? Mukatab boleh digadaikan oleh tuannya karena mukatab di antara hal yang boleh untuk diperjualbelikan. Gambarannya sebagai berikut. Ali memiliki mukatab, kemudian ia ingin meminjam uang kepada Abdullah dengan menggadaikan mukatab-nya kepada Abdullah. Sehingga Abdullah meminjamkan uang kepada Ali dan Ali memberikan mukatab-nya kepada Abdullah sebagai jaminan utangnya. Hal ini termasuk gadai yang berupa manfaat atau jasa. Dan ini diperbolehkan karena mukatab termasuk yang boleh untuk diperjualbelikan. Di antara contoh yang lain adalah mudabbar adalah budak yang dijanjikan merdeka ketika tuannya wafat. Maka, selama tuannya belum wafat, ketika tuannya ingin menggadaikan mudabbar-nya, maka hal ini juga diperbolehkan. Karena budak tersebut belum merdeka dan bisa diperjualbelikan. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Kembali ke bagian 2: Rukun dan Syarat Sah Transaksi Gadai Lanjut ke bagian 4: [Bersambung] *** Depok, 24 Zulkaidah 1445 / 01 Juni 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al Mukhtashar fil Mu’amalah, karya Prof. Dr. Kholid bin Ali bin Muhammad Al Musyaiqih. Cet. Maktabah Ar-Rusyd. Shahih Fiqih Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Cet. Maktabah Taufiqiyyah. Syarhul Mumti’ ‘Ala Zaadil Mustaqni’, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah. https://dorar.net/ Dan kitab-kitab serta website lainnya.   Catatan kaki: [1] Hadis sahih diriwayatkan oleh Muslim no. 2996. [2] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, 9: 122, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah. [3] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 5: 322, karya Abu Malik Kamal bin As-Sayyid. [4] Pembahasan ini bisa dilihat di https://dorar.net/feqhia/9047. [5] Pendapat terbanyak tentang hal ini adalah pendapat dari mazhab Syafi’i. Hampir mayoritas mazhab Syafi’i berpendapat tidak bolehnya menggadaikan manfaat. [6] Sejatinya pembahasan ini sangat kecil terjadi kemungkinannya pada zaman ini. Karena perbudakan di zaman ini sudah tidak ada. Namun, sebagai tambahan faedah, kiranya perlu untuk dicantumkan pembahasan ini, terlebih hal ini sebagai penguat pendapat akan diperbolehkannya menggadaikan manfaat. Pembahasan ini bisa dilihat di Syarhul Mumti’ ‘Ala Zaadil Mustaqni’, 9: 123. Tags: gadai
Daftar Isi Toggle Kaidah yang harus diketahui Gadai dari segi jenisnya terbagi menjadi beberapa macamGadai berupa barang Gadai berupa jasa atau manfaat[4] Pada tulisan sebelumnya, telah dijelaskan tentang rukun dan syarat sah transaksi gadai. Dan telah jelas pula bahwasanya gadai adalah salah satu transaksi yang diperbolehkan dalam agama Islam. Tentunya, hal ini sebagai kemudahan dari Allah Ta’ala untuk kaum muslimin dalam bermuamalah dengan kaum muslimin yang lainnya. Pada tulisan ini, akan lebih spesifik lagi membahas tentang apa saja yang boleh untuk digadaikan menurut syariat Islam, tidak hanya sebatas benda ataupun barang. Tentunya, agar transaksi gadai tidak sampai terjatuh kepada perkara syubhat ataupun perkara yang haram. Karena hal yang halal telah jelas dan yang haram pun telah jelas sifatnya. Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda, إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ “Sesungguhnya yang halal telah nyata (jelas) dan yang haram telah nyata. Dan di antara keduanya ada perkara yang tidak jelas, yang tidak diketahui kebanyakan orang. Maka, barangsiapa menjaga dirinya dari melakukan perkara yang meragukan, maka selamatlah agama dan harga dirinya. Tetapi, siapa yang terjatuh dalam perkara syubhat, maka dia terjatuh kepada keharaman.” [1] Kaidah yang harus diketahui Sebelum melangkah lebih jauh, dalam hal ini terdapat kaidah yang harus dipahami. Dengan memahami kaidah ini, akan mudah untuk mengetahui apa saja barang-barang yang diperbolehkan untuk digadaikan. Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, كُلُّ عَيْنٍ يَجُوْزُ بَيْعُهَا يَجُوْزُ رَهْنُهَا وَمَا لَا فَلَا “Setiap jenis barang yang boleh diperjualbelikan, maka boleh untuk digadaikan. Sebaliknya, jenis barang yang tidak boleh dijual, maka tidak boleh digadaikan.”[2] Para ulama fikih sepakat atas kaidah ini.[3] Bahwasanya boleh menggadaikan seluruh barang yang dimiliki oleh peminjam sebagai jaminan utangnya atau sebagai tebusan, yang bisa dimanfaatkan setelah barang tersebut dijual ketika peminjam tidak mampu untuk menyelesaikan utangnya. Namun, mereka berbeda pendapat di sebagian perincian tentang masalah ini. Adapun mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat, sebagaimana disebutkan di atas. Yaitu, setiap barang yang boleh diperjualbelikan, maka boleh pula untuk digadaikan. Karena tujuan dari barang gadaian adalah dijual untuk menutupi utang ketika peminjam tidak mampu membayarnya. Jika tujuan dari gadai adalah untuk dijual, maka selanjutnya menjadi sebuah ketentuan barang gadai adalah harus berdasarkan jenis barang yang bisa dijual. Gadai dari segi jenisnya terbagi menjadi beberapa macam Pertama: Gadai berupa barang (rumah, perhiasan, dan lain-lain). Kedua: Gadai berupa manfaat atau jasa. Ketiga: Gadai berupa utang. Keempat: Gadai berupa hewan, ladang, dan tanaman. Masing-masing poin di atas akan diuraikan pada penjelasan di bawah ini. Gadai berupa barang Barang-barang yang bisa digadaikan sangatlah banyak. Namun, tentunya ada barang-barang yang boleh digadaikan, ada yang tidak boleh digadaikan. Berikut ini penjelasan terkait barang apa saja yang boleh digadaikan. Gambaran contoh penggadaian barang Ali membutuhkan uang sebesar Rp.100.000.000,-. Ia memiliki aset pribadi berupa kendaraan mobil. Kemudian Ali datang ke Abdullah untuk meminjam uang sebesar Rp.100.000.000,-. Bersamaan dengan itu, Ali memberikan mobilnya kepada Abdullah sebagai jaminan atas utang yang Ali dapatkan dari Abdullah. Tentunya, hal ini diperbolehkan. Karena jenis barang gadaian yang diberikan Ali kepada Abdullah adalah jenis barang yang boleh diperjualbelikan. Begitu pun dengan jenis-jenis barang yang lain, seperti rumah, buku, perhiasan, tanah, dan lain sebagainya. Selama barang tersebut boleh diperjualbelikan, maka boleh untuk digadaikan. Gadai berupa jasa atau manfaat[4] Para ulama khilaf (berbeda pendapat) tentang masalah ini, apakah boleh menggadaikan jasa atau manfaat. Jumhur ulama berpendapat[5] tidak boleh menggadaikan manfaat. Karena beberapa alasan. Di antaranya: Pertama: Karena manfaat sifatnya hanya dimiliki sementara. Tidak dapat digunakan untuk menyempurnakan utang. Kedua: Manfaat sifatnya lambat laun akan sirna dan hilang. Ketiga: Pendapat dari mazhab Hanafi menuturkan bahwa manfaat bukan termasuk harta yang bernilai. Sehingga tidak bisa untuk digadaikan. Inilah ketiga alasan yang menyebabkan para ulama berpendapat tidak diperbolehkan gadai yang sifatnya jasa atau manfaat. Pendapat yang membolehkan adalah pendapat mazhab Maliki. Pendapat ini dikuatkan oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah. Dengan alasan: Pertama: Karena utang sangat memungkinkan untuk dilunaskan dengan jasa atau manfaat. Kedua: Kaidah asal tentang muamalah. Bahwasanya asal dari muamalah adalah mubah sampai datangnya dalil yang mengharamkannya. Sehingga sangat memungkinkan manfaat dapat digadaikan berdasarkan pendapat yang membolehkan. Gambaran contoh penggadaian manfaat atau jasa Ali memiliki rumah dan ingin meminjam uang kepada Abdullah sebesar Rp.100.000.000,-. Aset yang dimiliki Ali adalah rumah. Kemudian Ali menyewakan rumah tersebut kepada orang lain. Manfaat yang didapatkan dari rumah tersebut dijadikan sebagai gadai kepada Abdullah. Sehingga Abdullah menjadikan manfaat dari sewa rumah Ali sebagai gadai. Maka, hal seperti ini diperbolehkan. Di antara bentuk contoh yang lain, yaitu adalah mukatab[6]. Mukatab adalah budak yang sedang dalam proses untuk memerdekakan dirinya sendiri. Dengan cara mencicil dirinya sendiri kepada tuannya sampai batas waktu yang ditentukan. Bagi tuan yang memiliki budak seperti ini, dalam syariat dituntut untuk menerima permintaan budaknya. Bahkan, ia wajib menerima permintaan budaknya untuk memerdekakannya. Terlebih-lebih, jika tuannya tahu bahwa ketika budak itu merdeka terdapat kebaikan yang banyak. Allah Ta’ala berfirman, وَٱلَّذِينَ يَبۡتَغُونَ ٱلۡكِتَـٰبَ مِمَّا مَلَكَتۡ أَيۡمَـٰنُكُمۡ فَكَاتِبُوهُمۡ إِنۡ عَلِمۡتُمۡ فِيہِمۡ خَيۡرً۬ا “Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka.” (QS. An-Nur: 33) Lalu, bagaimana mukatab bisa digadaikan? Mukatab boleh digadaikan oleh tuannya karena mukatab di antara hal yang boleh untuk diperjualbelikan. Gambarannya sebagai berikut. Ali memiliki mukatab, kemudian ia ingin meminjam uang kepada Abdullah dengan menggadaikan mukatab-nya kepada Abdullah. Sehingga Abdullah meminjamkan uang kepada Ali dan Ali memberikan mukatab-nya kepada Abdullah sebagai jaminan utangnya. Hal ini termasuk gadai yang berupa manfaat atau jasa. Dan ini diperbolehkan karena mukatab termasuk yang boleh untuk diperjualbelikan. Di antara contoh yang lain adalah mudabbar adalah budak yang dijanjikan merdeka ketika tuannya wafat. Maka, selama tuannya belum wafat, ketika tuannya ingin menggadaikan mudabbar-nya, maka hal ini juga diperbolehkan. Karena budak tersebut belum merdeka dan bisa diperjualbelikan. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Kembali ke bagian 2: Rukun dan Syarat Sah Transaksi Gadai Lanjut ke bagian 4: [Bersambung] *** Depok, 24 Zulkaidah 1445 / 01 Juni 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al Mukhtashar fil Mu’amalah, karya Prof. Dr. Kholid bin Ali bin Muhammad Al Musyaiqih. Cet. Maktabah Ar-Rusyd. Shahih Fiqih Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Cet. Maktabah Taufiqiyyah. Syarhul Mumti’ ‘Ala Zaadil Mustaqni’, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah. https://dorar.net/ Dan kitab-kitab serta website lainnya.   Catatan kaki: [1] Hadis sahih diriwayatkan oleh Muslim no. 2996. [2] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, 9: 122, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah. [3] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 5: 322, karya Abu Malik Kamal bin As-Sayyid. [4] Pembahasan ini bisa dilihat di https://dorar.net/feqhia/9047. [5] Pendapat terbanyak tentang hal ini adalah pendapat dari mazhab Syafi’i. Hampir mayoritas mazhab Syafi’i berpendapat tidak bolehnya menggadaikan manfaat. [6] Sejatinya pembahasan ini sangat kecil terjadi kemungkinannya pada zaman ini. Karena perbudakan di zaman ini sudah tidak ada. Namun, sebagai tambahan faedah, kiranya perlu untuk dicantumkan pembahasan ini, terlebih hal ini sebagai penguat pendapat akan diperbolehkannya menggadaikan manfaat. Pembahasan ini bisa dilihat di Syarhul Mumti’ ‘Ala Zaadil Mustaqni’, 9: 123. Tags: gadai


Daftar Isi Toggle Kaidah yang harus diketahui Gadai dari segi jenisnya terbagi menjadi beberapa macamGadai berupa barang Gadai berupa jasa atau manfaat[4] Pada tulisan sebelumnya, telah dijelaskan tentang rukun dan syarat sah transaksi gadai. Dan telah jelas pula bahwasanya gadai adalah salah satu transaksi yang diperbolehkan dalam agama Islam. Tentunya, hal ini sebagai kemudahan dari Allah Ta’ala untuk kaum muslimin dalam bermuamalah dengan kaum muslimin yang lainnya. Pada tulisan ini, akan lebih spesifik lagi membahas tentang apa saja yang boleh untuk digadaikan menurut syariat Islam, tidak hanya sebatas benda ataupun barang. Tentunya, agar transaksi gadai tidak sampai terjatuh kepada perkara syubhat ataupun perkara yang haram. Karena hal yang halal telah jelas dan yang haram pun telah jelas sifatnya. Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda, إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ “Sesungguhnya yang halal telah nyata (jelas) dan yang haram telah nyata. Dan di antara keduanya ada perkara yang tidak jelas, yang tidak diketahui kebanyakan orang. Maka, barangsiapa menjaga dirinya dari melakukan perkara yang meragukan, maka selamatlah agama dan harga dirinya. Tetapi, siapa yang terjatuh dalam perkara syubhat, maka dia terjatuh kepada keharaman.” [1] Kaidah yang harus diketahui Sebelum melangkah lebih jauh, dalam hal ini terdapat kaidah yang harus dipahami. Dengan memahami kaidah ini, akan mudah untuk mengetahui apa saja barang-barang yang diperbolehkan untuk digadaikan. Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, كُلُّ عَيْنٍ يَجُوْزُ بَيْعُهَا يَجُوْزُ رَهْنُهَا وَمَا لَا فَلَا “Setiap jenis barang yang boleh diperjualbelikan, maka boleh untuk digadaikan. Sebaliknya, jenis barang yang tidak boleh dijual, maka tidak boleh digadaikan.”[2] Para ulama fikih sepakat atas kaidah ini.[3] Bahwasanya boleh menggadaikan seluruh barang yang dimiliki oleh peminjam sebagai jaminan utangnya atau sebagai tebusan, yang bisa dimanfaatkan setelah barang tersebut dijual ketika peminjam tidak mampu untuk menyelesaikan utangnya. Namun, mereka berbeda pendapat di sebagian perincian tentang masalah ini. Adapun mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat, sebagaimana disebutkan di atas. Yaitu, setiap barang yang boleh diperjualbelikan, maka boleh pula untuk digadaikan. Karena tujuan dari barang gadaian adalah dijual untuk menutupi utang ketika peminjam tidak mampu membayarnya. Jika tujuan dari gadai adalah untuk dijual, maka selanjutnya menjadi sebuah ketentuan barang gadai adalah harus berdasarkan jenis barang yang bisa dijual. Gadai dari segi jenisnya terbagi menjadi beberapa macam Pertama: Gadai berupa barang (rumah, perhiasan, dan lain-lain). Kedua: Gadai berupa manfaat atau jasa. Ketiga: Gadai berupa utang. Keempat: Gadai berupa hewan, ladang, dan tanaman. Masing-masing poin di atas akan diuraikan pada penjelasan di bawah ini. Gadai berupa barang Barang-barang yang bisa digadaikan sangatlah banyak. Namun, tentunya ada barang-barang yang boleh digadaikan, ada yang tidak boleh digadaikan. Berikut ini penjelasan terkait barang apa saja yang boleh digadaikan. Gambaran contoh penggadaian barang Ali membutuhkan uang sebesar Rp.100.000.000,-. Ia memiliki aset pribadi berupa kendaraan mobil. Kemudian Ali datang ke Abdullah untuk meminjam uang sebesar Rp.100.000.000,-. Bersamaan dengan itu, Ali memberikan mobilnya kepada Abdullah sebagai jaminan atas utang yang Ali dapatkan dari Abdullah. Tentunya, hal ini diperbolehkan. Karena jenis barang gadaian yang diberikan Ali kepada Abdullah adalah jenis barang yang boleh diperjualbelikan. Begitu pun dengan jenis-jenis barang yang lain, seperti rumah, buku, perhiasan, tanah, dan lain sebagainya. Selama barang tersebut boleh diperjualbelikan, maka boleh untuk digadaikan. Gadai berupa jasa atau manfaat[4] Para ulama khilaf (berbeda pendapat) tentang masalah ini, apakah boleh menggadaikan jasa atau manfaat. Jumhur ulama berpendapat[5] tidak boleh menggadaikan manfaat. Karena beberapa alasan. Di antaranya: Pertama: Karena manfaat sifatnya hanya dimiliki sementara. Tidak dapat digunakan untuk menyempurnakan utang. Kedua: Manfaat sifatnya lambat laun akan sirna dan hilang. Ketiga: Pendapat dari mazhab Hanafi menuturkan bahwa manfaat bukan termasuk harta yang bernilai. Sehingga tidak bisa untuk digadaikan. Inilah ketiga alasan yang menyebabkan para ulama berpendapat tidak diperbolehkan gadai yang sifatnya jasa atau manfaat. Pendapat yang membolehkan adalah pendapat mazhab Maliki. Pendapat ini dikuatkan oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah. Dengan alasan: Pertama: Karena utang sangat memungkinkan untuk dilunaskan dengan jasa atau manfaat. Kedua: Kaidah asal tentang muamalah. Bahwasanya asal dari muamalah adalah mubah sampai datangnya dalil yang mengharamkannya. Sehingga sangat memungkinkan manfaat dapat digadaikan berdasarkan pendapat yang membolehkan. Gambaran contoh penggadaian manfaat atau jasa Ali memiliki rumah dan ingin meminjam uang kepada Abdullah sebesar Rp.100.000.000,-. Aset yang dimiliki Ali adalah rumah. Kemudian Ali menyewakan rumah tersebut kepada orang lain. Manfaat yang didapatkan dari rumah tersebut dijadikan sebagai gadai kepada Abdullah. Sehingga Abdullah menjadikan manfaat dari sewa rumah Ali sebagai gadai. Maka, hal seperti ini diperbolehkan. Di antara bentuk contoh yang lain, yaitu adalah mukatab[6]. Mukatab adalah budak yang sedang dalam proses untuk memerdekakan dirinya sendiri. Dengan cara mencicil dirinya sendiri kepada tuannya sampai batas waktu yang ditentukan. Bagi tuan yang memiliki budak seperti ini, dalam syariat dituntut untuk menerima permintaan budaknya. Bahkan, ia wajib menerima permintaan budaknya untuk memerdekakannya. Terlebih-lebih, jika tuannya tahu bahwa ketika budak itu merdeka terdapat kebaikan yang banyak. Allah Ta’ala berfirman, وَٱلَّذِينَ يَبۡتَغُونَ ٱلۡكِتَـٰبَ مِمَّا مَلَكَتۡ أَيۡمَـٰنُكُمۡ فَكَاتِبُوهُمۡ إِنۡ عَلِمۡتُمۡ فِيہِمۡ خَيۡرً۬ا “Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka.” (QS. An-Nur: 33) Lalu, bagaimana mukatab bisa digadaikan? Mukatab boleh digadaikan oleh tuannya karena mukatab di antara hal yang boleh untuk diperjualbelikan. Gambarannya sebagai berikut. Ali memiliki mukatab, kemudian ia ingin meminjam uang kepada Abdullah dengan menggadaikan mukatab-nya kepada Abdullah. Sehingga Abdullah meminjamkan uang kepada Ali dan Ali memberikan mukatab-nya kepada Abdullah sebagai jaminan utangnya. Hal ini termasuk gadai yang berupa manfaat atau jasa. Dan ini diperbolehkan karena mukatab termasuk yang boleh untuk diperjualbelikan. Di antara contoh yang lain adalah mudabbar adalah budak yang dijanjikan merdeka ketika tuannya wafat. Maka, selama tuannya belum wafat, ketika tuannya ingin menggadaikan mudabbar-nya, maka hal ini juga diperbolehkan. Karena budak tersebut belum merdeka dan bisa diperjualbelikan. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Kembali ke bagian 2: Rukun dan Syarat Sah Transaksi Gadai Lanjut ke bagian 4: [Bersambung] *** Depok, 24 Zulkaidah 1445 / 01 Juni 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al Mukhtashar fil Mu’amalah, karya Prof. Dr. Kholid bin Ali bin Muhammad Al Musyaiqih. Cet. Maktabah Ar-Rusyd. Shahih Fiqih Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Cet. Maktabah Taufiqiyyah. Syarhul Mumti’ ‘Ala Zaadil Mustaqni’, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah. https://dorar.net/ Dan kitab-kitab serta website lainnya.   Catatan kaki: [1] Hadis sahih diriwayatkan oleh Muslim no. 2996. [2] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, 9: 122, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah. [3] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 5: 322, karya Abu Malik Kamal bin As-Sayyid. [4] Pembahasan ini bisa dilihat di https://dorar.net/feqhia/9047. [5] Pendapat terbanyak tentang hal ini adalah pendapat dari mazhab Syafi’i. Hampir mayoritas mazhab Syafi’i berpendapat tidak bolehnya menggadaikan manfaat. [6] Sejatinya pembahasan ini sangat kecil terjadi kemungkinannya pada zaman ini. Karena perbudakan di zaman ini sudah tidak ada. Namun, sebagai tambahan faedah, kiranya perlu untuk dicantumkan pembahasan ini, terlebih hal ini sebagai penguat pendapat akan diperbolehkannya menggadaikan manfaat. Pembahasan ini bisa dilihat di Syarhul Mumti’ ‘Ala Zaadil Mustaqni’, 9: 123. Tags: gadai

Hadis: Larangan Meminang Wanita yang Sedang Dipinang oleh Orang Lain

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketigaKandungan keempatKandungan kelima Teks Hadis Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, وَلَا يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ “Dan janganlah seseorang meminang atas pinangan saudaranya yang lain hingga ia meninggalkannya (membatalkannya), atau ia telah diberi izin oleh sang peminang pertama.” (HR. Bukhari no. 5142 dan Muslim no. 1412) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini adalah dalil terlarangnya seorang laki-laki meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki lain. Yaitu, dia meminang seorang wanita untuk menikah dengannya, setelah sebelumnya wanita tersebut dipinang oleh orang lain. Sehingga pada saat itu, sang wanita dan juga keluarganya sedang bermusyawarah atau sedang mencari informasi tentang laki-laki pertama, sebelum memutuskan untuk menerima pinangan tersebut ataukah tidak. Sisi terlarangnya adalah bahwa perbuatan tersebut dapat menyebabkan perselisihan, saling benci, dan permusuhan, juga terdapat kezaliman terhadap laki-laki pertama. Hal ini karena laki-laki tersebut sudah lebih dahulu meminang sang wanita. Sebagaimana perbuatan tersebut menyebabkan laki-laki kedua meninggikan dirinya dan merendahkan laki-laki pertama. Dari sahabat Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ فَلَا يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَذَرَ “Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin lainnya. Maka tidak halal bagi seorang mukmin membeli barang yang telah dibeli (dipesan) saudaranya, dan tidak halal meminang pinangan saudaranya sebelum ditinggalkan.” (HR. Muslim no. 1414) Kandungan kedua Di dalam hadis tersebut disebutkan dua pengecualian, sehingga menunjukkan bolehnya meminang seorang wanita yang sedang dalam proses dipinang oleh laki-laki lain: Pertama, ketika laki-laki pertama membatalkan pinangannya. Dalam kondisi ini, maka boleh bagi laki-laki kedua untuk meminang sang wanita. Karena ketika dia sudah membatalkan pinangannya, dia sudah tidak lagi memiliki hak yang sebelumnya telah diberikan oleh syariat. Jika dia melarang laki-laki lain meminang sang wanita, maka hal itu menimbulkan kerugian (mudarat) bagi sang wanita. Kedua, jika laki-laki pertama mengijinkan laki-laki kedua untuk meminang sang wanita. Para ulama fikih menyebutkan kondisi ketiga yang memperbolehkan seorang laki-laki meminang seorang wanita yang sedang dalam proses dipinang oleh laki-laki lain, yaitu jika laki-laki kedua tidak mengetahui bahwa sang wanita sedang dipinang, atau jika laki-laki kedua mengetahui bahwa sang wanita sedang dipinang, namun yang dia tahu bahwa pinangannya ditolak (padahal masih dimusyawarahkan atau pinangannya telah diterima). Hal ini karena memang laki-laki kedua tersebut betul-betul tidak mengetahui kondisi sebenarnya, dan tidak tahu (jahl) adalah uzur (alasan) yang dimaklumi dalam hukum syariat. Dan juga karena laki-laki kedua tersebut tidak memiliki niat buruk karena ketidaktahuannya tersebut. (Lihat Khitbatun Nisaa’ fi Asy-Syari’atil Islamiyyah, hal. 34) Baca juga: Melamar Wanita Yang Tidak Berjilbab Atau Ber-Tabarruj Kandungan ketiga Mayoritas ulama berpendapat bahwa jika pinangan laki-laki kedua tersebut diterima oleh sang wanita, dan selanjutnya terjadi akad nikah, maka akad nikah tersebut tetap sah dan tidak batal. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 9: 208) Akan tetapi, laki-laki kedua tersebut tetap berdosa, meskipun akad nikahnya sah. Hal ini karena larangan dalam hadis tersebut berkaitan dengan khitbah (pinangan atau lamaran), bukan berkaitan dengan akad nikah. Juga karena akad nikahnya telah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun akad nikah. Adanya penyelisihan terhadap syariat yang berkaitan dengan sarana (yaitu proses khitbah), tidaklah berkonsekuensi tidak sahnya akad nikah. Kandungan keempat Pemahaman sebaliknya dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Janganlah seseorang meminang atas pinangan saudaranya yang lain … “ adalah seorang laki-laki muslim boleh meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki non-muslim, seperti laki-laki ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Karena yang dimaksud dengan kata “saudara” di sini adalah “saudara sesama muslim” (laki-laki pertama dan kedua sama-sama muslim). Pendapat lain mengatakan bahwa perbuatan tersebut tetap terlarang, seorang laki-laki muslim tetap tidak diperbolehkan meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki non-muslim. Hal ini karena hadis tersebut menceritakan kondisi pada umumnya di masyarakat, yaitu seorang wanita muslimah dipinang oleh laki-laki muslim. Adapun kejadian “seorang laki-laki muslim meminang wanita non-muslimah (ahli kitab)” atau “seorang laki-laki muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki non-muslim” adalah kejadian yang sangat langka. Dan juga terdapat alasan yang sama atas terlarangnya hal tersebut, yaitu potensi menimbulkan permusuhan, bahkan hal itu bisa menimbulkan fitnah antara kaum muslimin dan kaum non-muslim. Kandungan kelima Jumhur ulama berpendapat tidak bolehnya seorang laki-laki saleh untuk meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki fasik (yang terus-menerus terjerumus dalam dosa besar, misalnya laki-laki pezina, pemabuk, dan sejenisnya). Jumhur ulama berdalil dengan cakupan makna umum yang terdapat dalam hadis di atas, karena hadis di atas tidak membedakan apakah laki-laki yang terlebih dulu meminang itu adalah laki-laki fasik atau laki-laki saleh. Alasan lainnya, kefasikan itu tidaklah mengeluarkan seseorang dari Islam, sehingga masih tercakup dalam kata “saudara”. Pendapat kedua mengatakan bolehnya seorang laki-laki saleh untuk meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki fasik. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Malikiyah, Al-Auza’i, dan Ibnu Hazm rahimahumullah. Hal ini karena pokok agama adalah nasihat, yaitu menginginkan kebaikan untuk orang lain. Selain itu, laki-laki saleh lebih layak diterima pinangannya dibandingkan laki-laki fasik. (Lihat Al-Istidzkar, 16: 13 dan Al-Muhalla, 10: 34-35) Pendapat pertama adalah pendapat yang lebih kuat, adapun pendapat kedua adalah ijtihad yang bertentangan dengan dalil yang sahih, sehingga tertolak. Karena tidak boleh ada ijtihad ketika sudah ada dalil tegas (nash). Alasan lainnya, karena sang wanita dan wali (keluarga) sang wanita itulah yang berhak memutuskan apakah pinangan laki-laki fasik tersebut ditolak atau diterima. Akan tetapi, jika sang wanita adalah seorang wanita yang menjaga kehormatannya (agamanya bagus), dan laki-laki kedua juga bagus agamanya, sedangkan laki-laki pertama adalah laki-laki fasik, maka bisa jadi pendapat sebagian ulama Malikiyah tersebut ada sisi benarnya jika dilihat dari sudut pandang sekufu ataukah tidak. Sehingga pinangan laki-laki fasik itu seperti tidak teranggap (tidak ada), karena tidak sekufu. Dan hadis di atas tetap berlaku sesuai makna umumnya. Penilaian sekufu ataukah tidak diserahkan keada wanita dan walinya, jika mereka rida dengan pinangan laki-laki fasik, maka seorang laki-laki saleh tidak boleh meminang wanita tersebut selama masih berproses dengan laki-laki fasik tersebut. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Menikah adalah Sunah Nabi *** @17 Zulkaidah 1445/ 25 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 205-208). Tags: melamarmenikah

Hadis: Larangan Meminang Wanita yang Sedang Dipinang oleh Orang Lain

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketigaKandungan keempatKandungan kelima Teks Hadis Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, وَلَا يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ “Dan janganlah seseorang meminang atas pinangan saudaranya yang lain hingga ia meninggalkannya (membatalkannya), atau ia telah diberi izin oleh sang peminang pertama.” (HR. Bukhari no. 5142 dan Muslim no. 1412) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini adalah dalil terlarangnya seorang laki-laki meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki lain. Yaitu, dia meminang seorang wanita untuk menikah dengannya, setelah sebelumnya wanita tersebut dipinang oleh orang lain. Sehingga pada saat itu, sang wanita dan juga keluarganya sedang bermusyawarah atau sedang mencari informasi tentang laki-laki pertama, sebelum memutuskan untuk menerima pinangan tersebut ataukah tidak. Sisi terlarangnya adalah bahwa perbuatan tersebut dapat menyebabkan perselisihan, saling benci, dan permusuhan, juga terdapat kezaliman terhadap laki-laki pertama. Hal ini karena laki-laki tersebut sudah lebih dahulu meminang sang wanita. Sebagaimana perbuatan tersebut menyebabkan laki-laki kedua meninggikan dirinya dan merendahkan laki-laki pertama. Dari sahabat Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ فَلَا يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَذَرَ “Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin lainnya. Maka tidak halal bagi seorang mukmin membeli barang yang telah dibeli (dipesan) saudaranya, dan tidak halal meminang pinangan saudaranya sebelum ditinggalkan.” (HR. Muslim no. 1414) Kandungan kedua Di dalam hadis tersebut disebutkan dua pengecualian, sehingga menunjukkan bolehnya meminang seorang wanita yang sedang dalam proses dipinang oleh laki-laki lain: Pertama, ketika laki-laki pertama membatalkan pinangannya. Dalam kondisi ini, maka boleh bagi laki-laki kedua untuk meminang sang wanita. Karena ketika dia sudah membatalkan pinangannya, dia sudah tidak lagi memiliki hak yang sebelumnya telah diberikan oleh syariat. Jika dia melarang laki-laki lain meminang sang wanita, maka hal itu menimbulkan kerugian (mudarat) bagi sang wanita. Kedua, jika laki-laki pertama mengijinkan laki-laki kedua untuk meminang sang wanita. Para ulama fikih menyebutkan kondisi ketiga yang memperbolehkan seorang laki-laki meminang seorang wanita yang sedang dalam proses dipinang oleh laki-laki lain, yaitu jika laki-laki kedua tidak mengetahui bahwa sang wanita sedang dipinang, atau jika laki-laki kedua mengetahui bahwa sang wanita sedang dipinang, namun yang dia tahu bahwa pinangannya ditolak (padahal masih dimusyawarahkan atau pinangannya telah diterima). Hal ini karena memang laki-laki kedua tersebut betul-betul tidak mengetahui kondisi sebenarnya, dan tidak tahu (jahl) adalah uzur (alasan) yang dimaklumi dalam hukum syariat. Dan juga karena laki-laki kedua tersebut tidak memiliki niat buruk karena ketidaktahuannya tersebut. (Lihat Khitbatun Nisaa’ fi Asy-Syari’atil Islamiyyah, hal. 34) Baca juga: Melamar Wanita Yang Tidak Berjilbab Atau Ber-Tabarruj Kandungan ketiga Mayoritas ulama berpendapat bahwa jika pinangan laki-laki kedua tersebut diterima oleh sang wanita, dan selanjutnya terjadi akad nikah, maka akad nikah tersebut tetap sah dan tidak batal. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 9: 208) Akan tetapi, laki-laki kedua tersebut tetap berdosa, meskipun akad nikahnya sah. Hal ini karena larangan dalam hadis tersebut berkaitan dengan khitbah (pinangan atau lamaran), bukan berkaitan dengan akad nikah. Juga karena akad nikahnya telah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun akad nikah. Adanya penyelisihan terhadap syariat yang berkaitan dengan sarana (yaitu proses khitbah), tidaklah berkonsekuensi tidak sahnya akad nikah. Kandungan keempat Pemahaman sebaliknya dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Janganlah seseorang meminang atas pinangan saudaranya yang lain … “ adalah seorang laki-laki muslim boleh meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki non-muslim, seperti laki-laki ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Karena yang dimaksud dengan kata “saudara” di sini adalah “saudara sesama muslim” (laki-laki pertama dan kedua sama-sama muslim). Pendapat lain mengatakan bahwa perbuatan tersebut tetap terlarang, seorang laki-laki muslim tetap tidak diperbolehkan meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki non-muslim. Hal ini karena hadis tersebut menceritakan kondisi pada umumnya di masyarakat, yaitu seorang wanita muslimah dipinang oleh laki-laki muslim. Adapun kejadian “seorang laki-laki muslim meminang wanita non-muslimah (ahli kitab)” atau “seorang laki-laki muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki non-muslim” adalah kejadian yang sangat langka. Dan juga terdapat alasan yang sama atas terlarangnya hal tersebut, yaitu potensi menimbulkan permusuhan, bahkan hal itu bisa menimbulkan fitnah antara kaum muslimin dan kaum non-muslim. Kandungan kelima Jumhur ulama berpendapat tidak bolehnya seorang laki-laki saleh untuk meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki fasik (yang terus-menerus terjerumus dalam dosa besar, misalnya laki-laki pezina, pemabuk, dan sejenisnya). Jumhur ulama berdalil dengan cakupan makna umum yang terdapat dalam hadis di atas, karena hadis di atas tidak membedakan apakah laki-laki yang terlebih dulu meminang itu adalah laki-laki fasik atau laki-laki saleh. Alasan lainnya, kefasikan itu tidaklah mengeluarkan seseorang dari Islam, sehingga masih tercakup dalam kata “saudara”. Pendapat kedua mengatakan bolehnya seorang laki-laki saleh untuk meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki fasik. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Malikiyah, Al-Auza’i, dan Ibnu Hazm rahimahumullah. Hal ini karena pokok agama adalah nasihat, yaitu menginginkan kebaikan untuk orang lain. Selain itu, laki-laki saleh lebih layak diterima pinangannya dibandingkan laki-laki fasik. (Lihat Al-Istidzkar, 16: 13 dan Al-Muhalla, 10: 34-35) Pendapat pertama adalah pendapat yang lebih kuat, adapun pendapat kedua adalah ijtihad yang bertentangan dengan dalil yang sahih, sehingga tertolak. Karena tidak boleh ada ijtihad ketika sudah ada dalil tegas (nash). Alasan lainnya, karena sang wanita dan wali (keluarga) sang wanita itulah yang berhak memutuskan apakah pinangan laki-laki fasik tersebut ditolak atau diterima. Akan tetapi, jika sang wanita adalah seorang wanita yang menjaga kehormatannya (agamanya bagus), dan laki-laki kedua juga bagus agamanya, sedangkan laki-laki pertama adalah laki-laki fasik, maka bisa jadi pendapat sebagian ulama Malikiyah tersebut ada sisi benarnya jika dilihat dari sudut pandang sekufu ataukah tidak. Sehingga pinangan laki-laki fasik itu seperti tidak teranggap (tidak ada), karena tidak sekufu. Dan hadis di atas tetap berlaku sesuai makna umumnya. Penilaian sekufu ataukah tidak diserahkan keada wanita dan walinya, jika mereka rida dengan pinangan laki-laki fasik, maka seorang laki-laki saleh tidak boleh meminang wanita tersebut selama masih berproses dengan laki-laki fasik tersebut. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Menikah adalah Sunah Nabi *** @17 Zulkaidah 1445/ 25 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 205-208). Tags: melamarmenikah
Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketigaKandungan keempatKandungan kelima Teks Hadis Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, وَلَا يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ “Dan janganlah seseorang meminang atas pinangan saudaranya yang lain hingga ia meninggalkannya (membatalkannya), atau ia telah diberi izin oleh sang peminang pertama.” (HR. Bukhari no. 5142 dan Muslim no. 1412) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini adalah dalil terlarangnya seorang laki-laki meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki lain. Yaitu, dia meminang seorang wanita untuk menikah dengannya, setelah sebelumnya wanita tersebut dipinang oleh orang lain. Sehingga pada saat itu, sang wanita dan juga keluarganya sedang bermusyawarah atau sedang mencari informasi tentang laki-laki pertama, sebelum memutuskan untuk menerima pinangan tersebut ataukah tidak. Sisi terlarangnya adalah bahwa perbuatan tersebut dapat menyebabkan perselisihan, saling benci, dan permusuhan, juga terdapat kezaliman terhadap laki-laki pertama. Hal ini karena laki-laki tersebut sudah lebih dahulu meminang sang wanita. Sebagaimana perbuatan tersebut menyebabkan laki-laki kedua meninggikan dirinya dan merendahkan laki-laki pertama. Dari sahabat Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ فَلَا يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَذَرَ “Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin lainnya. Maka tidak halal bagi seorang mukmin membeli barang yang telah dibeli (dipesan) saudaranya, dan tidak halal meminang pinangan saudaranya sebelum ditinggalkan.” (HR. Muslim no. 1414) Kandungan kedua Di dalam hadis tersebut disebutkan dua pengecualian, sehingga menunjukkan bolehnya meminang seorang wanita yang sedang dalam proses dipinang oleh laki-laki lain: Pertama, ketika laki-laki pertama membatalkan pinangannya. Dalam kondisi ini, maka boleh bagi laki-laki kedua untuk meminang sang wanita. Karena ketika dia sudah membatalkan pinangannya, dia sudah tidak lagi memiliki hak yang sebelumnya telah diberikan oleh syariat. Jika dia melarang laki-laki lain meminang sang wanita, maka hal itu menimbulkan kerugian (mudarat) bagi sang wanita. Kedua, jika laki-laki pertama mengijinkan laki-laki kedua untuk meminang sang wanita. Para ulama fikih menyebutkan kondisi ketiga yang memperbolehkan seorang laki-laki meminang seorang wanita yang sedang dalam proses dipinang oleh laki-laki lain, yaitu jika laki-laki kedua tidak mengetahui bahwa sang wanita sedang dipinang, atau jika laki-laki kedua mengetahui bahwa sang wanita sedang dipinang, namun yang dia tahu bahwa pinangannya ditolak (padahal masih dimusyawarahkan atau pinangannya telah diterima). Hal ini karena memang laki-laki kedua tersebut betul-betul tidak mengetahui kondisi sebenarnya, dan tidak tahu (jahl) adalah uzur (alasan) yang dimaklumi dalam hukum syariat. Dan juga karena laki-laki kedua tersebut tidak memiliki niat buruk karena ketidaktahuannya tersebut. (Lihat Khitbatun Nisaa’ fi Asy-Syari’atil Islamiyyah, hal. 34) Baca juga: Melamar Wanita Yang Tidak Berjilbab Atau Ber-Tabarruj Kandungan ketiga Mayoritas ulama berpendapat bahwa jika pinangan laki-laki kedua tersebut diterima oleh sang wanita, dan selanjutnya terjadi akad nikah, maka akad nikah tersebut tetap sah dan tidak batal. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 9: 208) Akan tetapi, laki-laki kedua tersebut tetap berdosa, meskipun akad nikahnya sah. Hal ini karena larangan dalam hadis tersebut berkaitan dengan khitbah (pinangan atau lamaran), bukan berkaitan dengan akad nikah. Juga karena akad nikahnya telah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun akad nikah. Adanya penyelisihan terhadap syariat yang berkaitan dengan sarana (yaitu proses khitbah), tidaklah berkonsekuensi tidak sahnya akad nikah. Kandungan keempat Pemahaman sebaliknya dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Janganlah seseorang meminang atas pinangan saudaranya yang lain … “ adalah seorang laki-laki muslim boleh meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki non-muslim, seperti laki-laki ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Karena yang dimaksud dengan kata “saudara” di sini adalah “saudara sesama muslim” (laki-laki pertama dan kedua sama-sama muslim). Pendapat lain mengatakan bahwa perbuatan tersebut tetap terlarang, seorang laki-laki muslim tetap tidak diperbolehkan meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki non-muslim. Hal ini karena hadis tersebut menceritakan kondisi pada umumnya di masyarakat, yaitu seorang wanita muslimah dipinang oleh laki-laki muslim. Adapun kejadian “seorang laki-laki muslim meminang wanita non-muslimah (ahli kitab)” atau “seorang laki-laki muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki non-muslim” adalah kejadian yang sangat langka. Dan juga terdapat alasan yang sama atas terlarangnya hal tersebut, yaitu potensi menimbulkan permusuhan, bahkan hal itu bisa menimbulkan fitnah antara kaum muslimin dan kaum non-muslim. Kandungan kelima Jumhur ulama berpendapat tidak bolehnya seorang laki-laki saleh untuk meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki fasik (yang terus-menerus terjerumus dalam dosa besar, misalnya laki-laki pezina, pemabuk, dan sejenisnya). Jumhur ulama berdalil dengan cakupan makna umum yang terdapat dalam hadis di atas, karena hadis di atas tidak membedakan apakah laki-laki yang terlebih dulu meminang itu adalah laki-laki fasik atau laki-laki saleh. Alasan lainnya, kefasikan itu tidaklah mengeluarkan seseorang dari Islam, sehingga masih tercakup dalam kata “saudara”. Pendapat kedua mengatakan bolehnya seorang laki-laki saleh untuk meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki fasik. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Malikiyah, Al-Auza’i, dan Ibnu Hazm rahimahumullah. Hal ini karena pokok agama adalah nasihat, yaitu menginginkan kebaikan untuk orang lain. Selain itu, laki-laki saleh lebih layak diterima pinangannya dibandingkan laki-laki fasik. (Lihat Al-Istidzkar, 16: 13 dan Al-Muhalla, 10: 34-35) Pendapat pertama adalah pendapat yang lebih kuat, adapun pendapat kedua adalah ijtihad yang bertentangan dengan dalil yang sahih, sehingga tertolak. Karena tidak boleh ada ijtihad ketika sudah ada dalil tegas (nash). Alasan lainnya, karena sang wanita dan wali (keluarga) sang wanita itulah yang berhak memutuskan apakah pinangan laki-laki fasik tersebut ditolak atau diterima. Akan tetapi, jika sang wanita adalah seorang wanita yang menjaga kehormatannya (agamanya bagus), dan laki-laki kedua juga bagus agamanya, sedangkan laki-laki pertama adalah laki-laki fasik, maka bisa jadi pendapat sebagian ulama Malikiyah tersebut ada sisi benarnya jika dilihat dari sudut pandang sekufu ataukah tidak. Sehingga pinangan laki-laki fasik itu seperti tidak teranggap (tidak ada), karena tidak sekufu. Dan hadis di atas tetap berlaku sesuai makna umumnya. Penilaian sekufu ataukah tidak diserahkan keada wanita dan walinya, jika mereka rida dengan pinangan laki-laki fasik, maka seorang laki-laki saleh tidak boleh meminang wanita tersebut selama masih berproses dengan laki-laki fasik tersebut. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Menikah adalah Sunah Nabi *** @17 Zulkaidah 1445/ 25 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 205-208). Tags: melamarmenikah


Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketigaKandungan keempatKandungan kelima Teks Hadis Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, وَلَا يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ “Dan janganlah seseorang meminang atas pinangan saudaranya yang lain hingga ia meninggalkannya (membatalkannya), atau ia telah diberi izin oleh sang peminang pertama.” (HR. Bukhari no. 5142 dan Muslim no. 1412) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini adalah dalil terlarangnya seorang laki-laki meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki lain. Yaitu, dia meminang seorang wanita untuk menikah dengannya, setelah sebelumnya wanita tersebut dipinang oleh orang lain. Sehingga pada saat itu, sang wanita dan juga keluarganya sedang bermusyawarah atau sedang mencari informasi tentang laki-laki pertama, sebelum memutuskan untuk menerima pinangan tersebut ataukah tidak. Sisi terlarangnya adalah bahwa perbuatan tersebut dapat menyebabkan perselisihan, saling benci, dan permusuhan, juga terdapat kezaliman terhadap laki-laki pertama. Hal ini karena laki-laki tersebut sudah lebih dahulu meminang sang wanita. Sebagaimana perbuatan tersebut menyebabkan laki-laki kedua meninggikan dirinya dan merendahkan laki-laki pertama. Dari sahabat Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ فَلَا يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَذَرَ “Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin lainnya. Maka tidak halal bagi seorang mukmin membeli barang yang telah dibeli (dipesan) saudaranya, dan tidak halal meminang pinangan saudaranya sebelum ditinggalkan.” (HR. Muslim no. 1414) Kandungan kedua Di dalam hadis tersebut disebutkan dua pengecualian, sehingga menunjukkan bolehnya meminang seorang wanita yang sedang dalam proses dipinang oleh laki-laki lain: Pertama, ketika laki-laki pertama membatalkan pinangannya. Dalam kondisi ini, maka boleh bagi laki-laki kedua untuk meminang sang wanita. Karena ketika dia sudah membatalkan pinangannya, dia sudah tidak lagi memiliki hak yang sebelumnya telah diberikan oleh syariat. Jika dia melarang laki-laki lain meminang sang wanita, maka hal itu menimbulkan kerugian (mudarat) bagi sang wanita. Kedua, jika laki-laki pertama mengijinkan laki-laki kedua untuk meminang sang wanita. Para ulama fikih menyebutkan kondisi ketiga yang memperbolehkan seorang laki-laki meminang seorang wanita yang sedang dalam proses dipinang oleh laki-laki lain, yaitu jika laki-laki kedua tidak mengetahui bahwa sang wanita sedang dipinang, atau jika laki-laki kedua mengetahui bahwa sang wanita sedang dipinang, namun yang dia tahu bahwa pinangannya ditolak (padahal masih dimusyawarahkan atau pinangannya telah diterima). Hal ini karena memang laki-laki kedua tersebut betul-betul tidak mengetahui kondisi sebenarnya, dan tidak tahu (jahl) adalah uzur (alasan) yang dimaklumi dalam hukum syariat. Dan juga karena laki-laki kedua tersebut tidak memiliki niat buruk karena ketidaktahuannya tersebut. (Lihat Khitbatun Nisaa’ fi Asy-Syari’atil Islamiyyah, hal. 34) Baca juga: Melamar Wanita Yang Tidak Berjilbab Atau Ber-Tabarruj Kandungan ketiga Mayoritas ulama berpendapat bahwa jika pinangan laki-laki kedua tersebut diterima oleh sang wanita, dan selanjutnya terjadi akad nikah, maka akad nikah tersebut tetap sah dan tidak batal. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 9: 208) Akan tetapi, laki-laki kedua tersebut tetap berdosa, meskipun akad nikahnya sah. Hal ini karena larangan dalam hadis tersebut berkaitan dengan khitbah (pinangan atau lamaran), bukan berkaitan dengan akad nikah. Juga karena akad nikahnya telah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun akad nikah. Adanya penyelisihan terhadap syariat yang berkaitan dengan sarana (yaitu proses khitbah), tidaklah berkonsekuensi tidak sahnya akad nikah. Kandungan keempat Pemahaman sebaliknya dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Janganlah seseorang meminang atas pinangan saudaranya yang lain … “ adalah seorang laki-laki muslim boleh meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki non-muslim, seperti laki-laki ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Karena yang dimaksud dengan kata “saudara” di sini adalah “saudara sesama muslim” (laki-laki pertama dan kedua sama-sama muslim). Pendapat lain mengatakan bahwa perbuatan tersebut tetap terlarang, seorang laki-laki muslim tetap tidak diperbolehkan meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki non-muslim. Hal ini karena hadis tersebut menceritakan kondisi pada umumnya di masyarakat, yaitu seorang wanita muslimah dipinang oleh laki-laki muslim. Adapun kejadian “seorang laki-laki muslim meminang wanita non-muslimah (ahli kitab)” atau “seorang laki-laki muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki non-muslim” adalah kejadian yang sangat langka. Dan juga terdapat alasan yang sama atas terlarangnya hal tersebut, yaitu potensi menimbulkan permusuhan, bahkan hal itu bisa menimbulkan fitnah antara kaum muslimin dan kaum non-muslim. Kandungan kelima Jumhur ulama berpendapat tidak bolehnya seorang laki-laki saleh untuk meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki fasik (yang terus-menerus terjerumus dalam dosa besar, misalnya laki-laki pezina, pemabuk, dan sejenisnya). Jumhur ulama berdalil dengan cakupan makna umum yang terdapat dalam hadis di atas, karena hadis di atas tidak membedakan apakah laki-laki yang terlebih dulu meminang itu adalah laki-laki fasik atau laki-laki saleh. Alasan lainnya, kefasikan itu tidaklah mengeluarkan seseorang dari Islam, sehingga masih tercakup dalam kata “saudara”. Pendapat kedua mengatakan bolehnya seorang laki-laki saleh untuk meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki fasik. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Malikiyah, Al-Auza’i, dan Ibnu Hazm rahimahumullah. Hal ini karena pokok agama adalah nasihat, yaitu menginginkan kebaikan untuk orang lain. Selain itu, laki-laki saleh lebih layak diterima pinangannya dibandingkan laki-laki fasik. (Lihat Al-Istidzkar, 16: 13 dan Al-Muhalla, 10: 34-35) Pendapat pertama adalah pendapat yang lebih kuat, adapun pendapat kedua adalah ijtihad yang bertentangan dengan dalil yang sahih, sehingga tertolak. Karena tidak boleh ada ijtihad ketika sudah ada dalil tegas (nash). Alasan lainnya, karena sang wanita dan wali (keluarga) sang wanita itulah yang berhak memutuskan apakah pinangan laki-laki fasik tersebut ditolak atau diterima. Akan tetapi, jika sang wanita adalah seorang wanita yang menjaga kehormatannya (agamanya bagus), dan laki-laki kedua juga bagus agamanya, sedangkan laki-laki pertama adalah laki-laki fasik, maka bisa jadi pendapat sebagian ulama Malikiyah tersebut ada sisi benarnya jika dilihat dari sudut pandang sekufu ataukah tidak. Sehingga pinangan laki-laki fasik itu seperti tidak teranggap (tidak ada), karena tidak sekufu. Dan hadis di atas tetap berlaku sesuai makna umumnya. Penilaian sekufu ataukah tidak diserahkan keada wanita dan walinya, jika mereka rida dengan pinangan laki-laki fasik, maka seorang laki-laki saleh tidak boleh meminang wanita tersebut selama masih berproses dengan laki-laki fasik tersebut. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Menikah adalah Sunah Nabi *** @17 Zulkaidah 1445/ 25 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 205-208). Tags: melamarmenikah

4 Tips dari Syaikh Utsaimin Agar Tidak Kesiangan Shalat Subuh – Syaikh Utsaimin #NasehatUlama

Pertanyaan: Syaikh yang terhormat, saya sering ketinggalan Salat Subuh, sehingga aku Salat Subuh setelah matahari terbit ketika aku hendak pergi kerja. Hal ini terjadi berulang kali. Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku perbuat agar dapat menjaga pelaksanaan salat pada waktunya? Jawaban: Lakukan beberapa hal berikut: [PERTAMA]Tidurlah lebih awal. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukai tidur sebelum isya dan tidak menyukai berbincang-bincang setelah isya, agar seseorang tidur lebih awal sehingga dapat bangun lebih awal. Ini yang pertama. [KEDUA]Kamu harus sudah berniat sebelum tidur serta bertekad dan berencana bahwa kamu akan bangun untuk mendirikan Salat Subuh. Sehingga ketika itu kamu akan lebih mudah untuk bangun tidur. [KETIGA]Gunakanlah alarm. Jam beker yang kamu letakkan di samping kepalamu agar dapat membangunkanmu. Jika kamu khawatir jika alarm itu berbunyi, kamu segera menekan tombol dan mematikannya, lalu kamu melanjutkan tidur, maka letakkanlah jam itu agak jauh sedikit. Ada sebagian orang–karena perhatiannya yang besar terhadap salat–meletakkan jam beker di toples kaleng. Kalian tentu tahu toples kaleng. Ia meletakkannya agak jauh darinya. Ini agar suara jam itu menjadi lebih keras, sehingga dia bisa terbangun. Lakukan ini, tidak masalah! [KEEMPAT]Jika ini semua juga masih susah bagimu, maka letakkanlah telepon di samping kepalamu, jika kamu punya telepon. Lalu katakan kepada salah satu saudaramu, “Jika azan subuh telah berkumandang, maka teruslah bangunkan aku!” Intinya, seseorang dapat melakukan banyak hal yang dapat menjadi perantaranya untuk bangun tidur, sehingga dia dapat mendirikan Salat Subuh pada waktunya. Barang siapa yang membiasakan dirinya bermalas-malasan, maka dia akan tetap malas. Adapun hukum salat yang dikerjakan di luar waktunya, jika dia sengaja melakukan ini, maka salatnya tidak diterima. Tidak sah, meskipun dia salat seribu kali. Berdasarkan sabda Nabi, “Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan perintah kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim) Yakni tertolak darinya. ==== فَضِيلَةَ الشَّيْخِ تَفُوتُنِي صَلَاةُ الْفَجْرِ كَثِيرًا وَلَا أُصَلِّي إِلَّا بَعْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ إِذَا أَرَدْتُ أَنْ أَذْهَبَ لِدَوَامِي وَهَذَا الْأَمْرُ قَدْ يَتَكَرَّرُ مِرَارًا فَهَلْ عَلَيَّ شَيْءٌ؟ وَمَاذَا أَصْنَعُ لِكَيْ أُحَافِظَ عَلَى الصَّلَاةِ فِي وَقْتِهَا؟ اِصْنَعْ أُمُورًا الْأَمْرُ الْأَوَّلُ أَنْ تَنَامَ مُبَكِّرًا أَنْ تَنَامَ مُبَكِّرًا وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيْثَ بعْدَهَا لِأَجْلِ أَنْ يَنَامَ الْإِنْسَانُ مُبَكِّرًا حَتَّى يَسْتَيْقِظَ مُبَكِّرًا هَذِهِ وَاحِدَةٌ ثَانِيًا أَنْ يَكُونَ عِنْدَكَ نِيَّةٌ عِنْدَ النَّوْمِ وَعَزْمٌ وَتَصْمِيْمٌ عَلَى أَنَّكَ سَوْفَ تَقُومُ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ فَحِيْنَئِذٍ سَوْفَ يَسْهُلُ عَلَيْكَ الْقِيَامُ ثَالِثًا أَنْ تسْتَعْمِلَ مُنَبِّهًا سَاعَةٌ تَجْعَلُهَا عِنْدَ رَأْسِكَ تُنَبِّهُكَ وَإِنْ خَشِيْتَ أَنَّهَا إِذَا صَوَّتَتْ غَمَسْتَهَا وَسَكَتَّهَا وَبَقِيْتَ نَائِمًا أَبْعِدْهَا عَنْكَ قَلِيْلاً وَكَانَ بَعْضُ النَّاسِ مِنْ حِرْصِهِ عَلَى الصَّلَاةِ يَجْعَلُ السَّاعَةَ الْمُنَبِّهَةَ فِي تَنَكَةٍ تَعْرِفُونَ التَّنَكَةَ وَيُبْعِدَهَا عَنْهُ مِنْ أَجْلِ أَنْ يَكُونَ صَوْتُهَا قَوِيًّا حَتَّى يَقُومَ اِفْعَلْ هَذَا مَا فِي مَانِعٍ رَابِعًا إِذَا لَمْ يَتَيَسَّرْ لَكَ هَذَا فَاجْعَلْ التِّلِفُونَ عِنْدَ رَأْسِكَ إِن كَانَ عِنْدَكَ التِّلِفُونُ وَقُلْ لِأَحَدِ إِخْوَانِكَ إِذَا أَذَّنَ الْفَجْرَ فَالْزَمْ عَلَيَّ الْمُهِمُّ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَفْعَلَ الْأَسْبَابَ الَّتِي يَتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى الِاسْتِيقَاظِ حَتَّى يُؤَدِّيَ صَلَاةَ الْفَجْرِ فِي وَقْتِهَا وَمَنْ عَوَّدَ نَفْسَهُ الْكَسَلَ فَإِنَّهُ لَنْ يَزَالَ عَلَى كَسَلٍ أَمَّا الصَّلَاةُ فِي غَيْرِ وَقْتِهَا فَإِنْ كَانَ يَتَعَمَّدُ هَذَا فَصَلَاتُهُ غَيْرُ مَقْبُولَةٍ مَرْدُودَةٌ عَلَيْهِ وَلَوْ صَلَّى أَلْفَ مَرَّةٍ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ أَيْ مَرْدُودٌ عَلَيْهِ

4 Tips dari Syaikh Utsaimin Agar Tidak Kesiangan Shalat Subuh – Syaikh Utsaimin #NasehatUlama

Pertanyaan: Syaikh yang terhormat, saya sering ketinggalan Salat Subuh, sehingga aku Salat Subuh setelah matahari terbit ketika aku hendak pergi kerja. Hal ini terjadi berulang kali. Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku perbuat agar dapat menjaga pelaksanaan salat pada waktunya? Jawaban: Lakukan beberapa hal berikut: [PERTAMA]Tidurlah lebih awal. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukai tidur sebelum isya dan tidak menyukai berbincang-bincang setelah isya, agar seseorang tidur lebih awal sehingga dapat bangun lebih awal. Ini yang pertama. [KEDUA]Kamu harus sudah berniat sebelum tidur serta bertekad dan berencana bahwa kamu akan bangun untuk mendirikan Salat Subuh. Sehingga ketika itu kamu akan lebih mudah untuk bangun tidur. [KETIGA]Gunakanlah alarm. Jam beker yang kamu letakkan di samping kepalamu agar dapat membangunkanmu. Jika kamu khawatir jika alarm itu berbunyi, kamu segera menekan tombol dan mematikannya, lalu kamu melanjutkan tidur, maka letakkanlah jam itu agak jauh sedikit. Ada sebagian orang–karena perhatiannya yang besar terhadap salat–meletakkan jam beker di toples kaleng. Kalian tentu tahu toples kaleng. Ia meletakkannya agak jauh darinya. Ini agar suara jam itu menjadi lebih keras, sehingga dia bisa terbangun. Lakukan ini, tidak masalah! [KEEMPAT]Jika ini semua juga masih susah bagimu, maka letakkanlah telepon di samping kepalamu, jika kamu punya telepon. Lalu katakan kepada salah satu saudaramu, “Jika azan subuh telah berkumandang, maka teruslah bangunkan aku!” Intinya, seseorang dapat melakukan banyak hal yang dapat menjadi perantaranya untuk bangun tidur, sehingga dia dapat mendirikan Salat Subuh pada waktunya. Barang siapa yang membiasakan dirinya bermalas-malasan, maka dia akan tetap malas. Adapun hukum salat yang dikerjakan di luar waktunya, jika dia sengaja melakukan ini, maka salatnya tidak diterima. Tidak sah, meskipun dia salat seribu kali. Berdasarkan sabda Nabi, “Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan perintah kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim) Yakni tertolak darinya. ==== فَضِيلَةَ الشَّيْخِ تَفُوتُنِي صَلَاةُ الْفَجْرِ كَثِيرًا وَلَا أُصَلِّي إِلَّا بَعْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ إِذَا أَرَدْتُ أَنْ أَذْهَبَ لِدَوَامِي وَهَذَا الْأَمْرُ قَدْ يَتَكَرَّرُ مِرَارًا فَهَلْ عَلَيَّ شَيْءٌ؟ وَمَاذَا أَصْنَعُ لِكَيْ أُحَافِظَ عَلَى الصَّلَاةِ فِي وَقْتِهَا؟ اِصْنَعْ أُمُورًا الْأَمْرُ الْأَوَّلُ أَنْ تَنَامَ مُبَكِّرًا أَنْ تَنَامَ مُبَكِّرًا وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيْثَ بعْدَهَا لِأَجْلِ أَنْ يَنَامَ الْإِنْسَانُ مُبَكِّرًا حَتَّى يَسْتَيْقِظَ مُبَكِّرًا هَذِهِ وَاحِدَةٌ ثَانِيًا أَنْ يَكُونَ عِنْدَكَ نِيَّةٌ عِنْدَ النَّوْمِ وَعَزْمٌ وَتَصْمِيْمٌ عَلَى أَنَّكَ سَوْفَ تَقُومُ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ فَحِيْنَئِذٍ سَوْفَ يَسْهُلُ عَلَيْكَ الْقِيَامُ ثَالِثًا أَنْ تسْتَعْمِلَ مُنَبِّهًا سَاعَةٌ تَجْعَلُهَا عِنْدَ رَأْسِكَ تُنَبِّهُكَ وَإِنْ خَشِيْتَ أَنَّهَا إِذَا صَوَّتَتْ غَمَسْتَهَا وَسَكَتَّهَا وَبَقِيْتَ نَائِمًا أَبْعِدْهَا عَنْكَ قَلِيْلاً وَكَانَ بَعْضُ النَّاسِ مِنْ حِرْصِهِ عَلَى الصَّلَاةِ يَجْعَلُ السَّاعَةَ الْمُنَبِّهَةَ فِي تَنَكَةٍ تَعْرِفُونَ التَّنَكَةَ وَيُبْعِدَهَا عَنْهُ مِنْ أَجْلِ أَنْ يَكُونَ صَوْتُهَا قَوِيًّا حَتَّى يَقُومَ اِفْعَلْ هَذَا مَا فِي مَانِعٍ رَابِعًا إِذَا لَمْ يَتَيَسَّرْ لَكَ هَذَا فَاجْعَلْ التِّلِفُونَ عِنْدَ رَأْسِكَ إِن كَانَ عِنْدَكَ التِّلِفُونُ وَقُلْ لِأَحَدِ إِخْوَانِكَ إِذَا أَذَّنَ الْفَجْرَ فَالْزَمْ عَلَيَّ الْمُهِمُّ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَفْعَلَ الْأَسْبَابَ الَّتِي يَتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى الِاسْتِيقَاظِ حَتَّى يُؤَدِّيَ صَلَاةَ الْفَجْرِ فِي وَقْتِهَا وَمَنْ عَوَّدَ نَفْسَهُ الْكَسَلَ فَإِنَّهُ لَنْ يَزَالَ عَلَى كَسَلٍ أَمَّا الصَّلَاةُ فِي غَيْرِ وَقْتِهَا فَإِنْ كَانَ يَتَعَمَّدُ هَذَا فَصَلَاتُهُ غَيْرُ مَقْبُولَةٍ مَرْدُودَةٌ عَلَيْهِ وَلَوْ صَلَّى أَلْفَ مَرَّةٍ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ أَيْ مَرْدُودٌ عَلَيْهِ
Pertanyaan: Syaikh yang terhormat, saya sering ketinggalan Salat Subuh, sehingga aku Salat Subuh setelah matahari terbit ketika aku hendak pergi kerja. Hal ini terjadi berulang kali. Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku perbuat agar dapat menjaga pelaksanaan salat pada waktunya? Jawaban: Lakukan beberapa hal berikut: [PERTAMA]Tidurlah lebih awal. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukai tidur sebelum isya dan tidak menyukai berbincang-bincang setelah isya, agar seseorang tidur lebih awal sehingga dapat bangun lebih awal. Ini yang pertama. [KEDUA]Kamu harus sudah berniat sebelum tidur serta bertekad dan berencana bahwa kamu akan bangun untuk mendirikan Salat Subuh. Sehingga ketika itu kamu akan lebih mudah untuk bangun tidur. [KETIGA]Gunakanlah alarm. Jam beker yang kamu letakkan di samping kepalamu agar dapat membangunkanmu. Jika kamu khawatir jika alarm itu berbunyi, kamu segera menekan tombol dan mematikannya, lalu kamu melanjutkan tidur, maka letakkanlah jam itu agak jauh sedikit. Ada sebagian orang–karena perhatiannya yang besar terhadap salat–meletakkan jam beker di toples kaleng. Kalian tentu tahu toples kaleng. Ia meletakkannya agak jauh darinya. Ini agar suara jam itu menjadi lebih keras, sehingga dia bisa terbangun. Lakukan ini, tidak masalah! [KEEMPAT]Jika ini semua juga masih susah bagimu, maka letakkanlah telepon di samping kepalamu, jika kamu punya telepon. Lalu katakan kepada salah satu saudaramu, “Jika azan subuh telah berkumandang, maka teruslah bangunkan aku!” Intinya, seseorang dapat melakukan banyak hal yang dapat menjadi perantaranya untuk bangun tidur, sehingga dia dapat mendirikan Salat Subuh pada waktunya. Barang siapa yang membiasakan dirinya bermalas-malasan, maka dia akan tetap malas. Adapun hukum salat yang dikerjakan di luar waktunya, jika dia sengaja melakukan ini, maka salatnya tidak diterima. Tidak sah, meskipun dia salat seribu kali. Berdasarkan sabda Nabi, “Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan perintah kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim) Yakni tertolak darinya. ==== فَضِيلَةَ الشَّيْخِ تَفُوتُنِي صَلَاةُ الْفَجْرِ كَثِيرًا وَلَا أُصَلِّي إِلَّا بَعْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ إِذَا أَرَدْتُ أَنْ أَذْهَبَ لِدَوَامِي وَهَذَا الْأَمْرُ قَدْ يَتَكَرَّرُ مِرَارًا فَهَلْ عَلَيَّ شَيْءٌ؟ وَمَاذَا أَصْنَعُ لِكَيْ أُحَافِظَ عَلَى الصَّلَاةِ فِي وَقْتِهَا؟ اِصْنَعْ أُمُورًا الْأَمْرُ الْأَوَّلُ أَنْ تَنَامَ مُبَكِّرًا أَنْ تَنَامَ مُبَكِّرًا وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيْثَ بعْدَهَا لِأَجْلِ أَنْ يَنَامَ الْإِنْسَانُ مُبَكِّرًا حَتَّى يَسْتَيْقِظَ مُبَكِّرًا هَذِهِ وَاحِدَةٌ ثَانِيًا أَنْ يَكُونَ عِنْدَكَ نِيَّةٌ عِنْدَ النَّوْمِ وَعَزْمٌ وَتَصْمِيْمٌ عَلَى أَنَّكَ سَوْفَ تَقُومُ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ فَحِيْنَئِذٍ سَوْفَ يَسْهُلُ عَلَيْكَ الْقِيَامُ ثَالِثًا أَنْ تسْتَعْمِلَ مُنَبِّهًا سَاعَةٌ تَجْعَلُهَا عِنْدَ رَأْسِكَ تُنَبِّهُكَ وَإِنْ خَشِيْتَ أَنَّهَا إِذَا صَوَّتَتْ غَمَسْتَهَا وَسَكَتَّهَا وَبَقِيْتَ نَائِمًا أَبْعِدْهَا عَنْكَ قَلِيْلاً وَكَانَ بَعْضُ النَّاسِ مِنْ حِرْصِهِ عَلَى الصَّلَاةِ يَجْعَلُ السَّاعَةَ الْمُنَبِّهَةَ فِي تَنَكَةٍ تَعْرِفُونَ التَّنَكَةَ وَيُبْعِدَهَا عَنْهُ مِنْ أَجْلِ أَنْ يَكُونَ صَوْتُهَا قَوِيًّا حَتَّى يَقُومَ اِفْعَلْ هَذَا مَا فِي مَانِعٍ رَابِعًا إِذَا لَمْ يَتَيَسَّرْ لَكَ هَذَا فَاجْعَلْ التِّلِفُونَ عِنْدَ رَأْسِكَ إِن كَانَ عِنْدَكَ التِّلِفُونُ وَقُلْ لِأَحَدِ إِخْوَانِكَ إِذَا أَذَّنَ الْفَجْرَ فَالْزَمْ عَلَيَّ الْمُهِمُّ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَفْعَلَ الْأَسْبَابَ الَّتِي يَتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى الِاسْتِيقَاظِ حَتَّى يُؤَدِّيَ صَلَاةَ الْفَجْرِ فِي وَقْتِهَا وَمَنْ عَوَّدَ نَفْسَهُ الْكَسَلَ فَإِنَّهُ لَنْ يَزَالَ عَلَى كَسَلٍ أَمَّا الصَّلَاةُ فِي غَيْرِ وَقْتِهَا فَإِنْ كَانَ يَتَعَمَّدُ هَذَا فَصَلَاتُهُ غَيْرُ مَقْبُولَةٍ مَرْدُودَةٌ عَلَيْهِ وَلَوْ صَلَّى أَلْفَ مَرَّةٍ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ أَيْ مَرْدُودٌ عَلَيْهِ


Pertanyaan: Syaikh yang terhormat, saya sering ketinggalan Salat Subuh, sehingga aku Salat Subuh setelah matahari terbit ketika aku hendak pergi kerja. Hal ini terjadi berulang kali. Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku perbuat agar dapat menjaga pelaksanaan salat pada waktunya? Jawaban: Lakukan beberapa hal berikut: [PERTAMA]Tidurlah lebih awal. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukai tidur sebelum isya dan tidak menyukai berbincang-bincang setelah isya, agar seseorang tidur lebih awal sehingga dapat bangun lebih awal. Ini yang pertama. [KEDUA]Kamu harus sudah berniat sebelum tidur serta bertekad dan berencana bahwa kamu akan bangun untuk mendirikan Salat Subuh. Sehingga ketika itu kamu akan lebih mudah untuk bangun tidur. [KETIGA]Gunakanlah alarm. Jam beker yang kamu letakkan di samping kepalamu agar dapat membangunkanmu. Jika kamu khawatir jika alarm itu berbunyi, kamu segera menekan tombol dan mematikannya, lalu kamu melanjutkan tidur, maka letakkanlah jam itu agak jauh sedikit. Ada sebagian orang–karena perhatiannya yang besar terhadap salat–meletakkan jam beker di toples kaleng. Kalian tentu tahu toples kaleng. Ia meletakkannya agak jauh darinya. Ini agar suara jam itu menjadi lebih keras, sehingga dia bisa terbangun. Lakukan ini, tidak masalah! [KEEMPAT]Jika ini semua juga masih susah bagimu, maka letakkanlah telepon di samping kepalamu, jika kamu punya telepon. Lalu katakan kepada salah satu saudaramu, “Jika azan subuh telah berkumandang, maka teruslah bangunkan aku!” Intinya, seseorang dapat melakukan banyak hal yang dapat menjadi perantaranya untuk bangun tidur, sehingga dia dapat mendirikan Salat Subuh pada waktunya. Barang siapa yang membiasakan dirinya bermalas-malasan, maka dia akan tetap malas. Adapun hukum salat yang dikerjakan di luar waktunya, jika dia sengaja melakukan ini, maka salatnya tidak diterima. Tidak sah, meskipun dia salat seribu kali. Berdasarkan sabda Nabi, “Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan perintah kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim) Yakni tertolak darinya. ==== فَضِيلَةَ الشَّيْخِ تَفُوتُنِي صَلَاةُ الْفَجْرِ كَثِيرًا وَلَا أُصَلِّي إِلَّا بَعْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ إِذَا أَرَدْتُ أَنْ أَذْهَبَ لِدَوَامِي وَهَذَا الْأَمْرُ قَدْ يَتَكَرَّرُ مِرَارًا فَهَلْ عَلَيَّ شَيْءٌ؟ وَمَاذَا أَصْنَعُ لِكَيْ أُحَافِظَ عَلَى الصَّلَاةِ فِي وَقْتِهَا؟ اِصْنَعْ أُمُورًا الْأَمْرُ الْأَوَّلُ أَنْ تَنَامَ مُبَكِّرًا أَنْ تَنَامَ مُبَكِّرًا وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيْثَ بعْدَهَا لِأَجْلِ أَنْ يَنَامَ الْإِنْسَانُ مُبَكِّرًا حَتَّى يَسْتَيْقِظَ مُبَكِّرًا هَذِهِ وَاحِدَةٌ ثَانِيًا أَنْ يَكُونَ عِنْدَكَ نِيَّةٌ عِنْدَ النَّوْمِ وَعَزْمٌ وَتَصْمِيْمٌ عَلَى أَنَّكَ سَوْفَ تَقُومُ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ فَحِيْنَئِذٍ سَوْفَ يَسْهُلُ عَلَيْكَ الْقِيَامُ ثَالِثًا أَنْ تسْتَعْمِلَ مُنَبِّهًا سَاعَةٌ تَجْعَلُهَا عِنْدَ رَأْسِكَ تُنَبِّهُكَ وَإِنْ خَشِيْتَ أَنَّهَا إِذَا صَوَّتَتْ غَمَسْتَهَا وَسَكَتَّهَا وَبَقِيْتَ نَائِمًا أَبْعِدْهَا عَنْكَ قَلِيْلاً وَكَانَ بَعْضُ النَّاسِ مِنْ حِرْصِهِ عَلَى الصَّلَاةِ يَجْعَلُ السَّاعَةَ الْمُنَبِّهَةَ فِي تَنَكَةٍ تَعْرِفُونَ التَّنَكَةَ وَيُبْعِدَهَا عَنْهُ مِنْ أَجْلِ أَنْ يَكُونَ صَوْتُهَا قَوِيًّا حَتَّى يَقُومَ اِفْعَلْ هَذَا مَا فِي مَانِعٍ رَابِعًا إِذَا لَمْ يَتَيَسَّرْ لَكَ هَذَا فَاجْعَلْ التِّلِفُونَ عِنْدَ رَأْسِكَ إِن كَانَ عِنْدَكَ التِّلِفُونُ وَقُلْ لِأَحَدِ إِخْوَانِكَ إِذَا أَذَّنَ الْفَجْرَ فَالْزَمْ عَلَيَّ الْمُهِمُّ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَفْعَلَ الْأَسْبَابَ الَّتِي يَتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى الِاسْتِيقَاظِ حَتَّى يُؤَدِّيَ صَلَاةَ الْفَجْرِ فِي وَقْتِهَا وَمَنْ عَوَّدَ نَفْسَهُ الْكَسَلَ فَإِنَّهُ لَنْ يَزَالَ عَلَى كَسَلٍ أَمَّا الصَّلَاةُ فِي غَيْرِ وَقْتِهَا فَإِنْ كَانَ يَتَعَمَّدُ هَذَا فَصَلَاتُهُ غَيْرُ مَقْبُولَةٍ مَرْدُودَةٌ عَلَيْهِ وَلَوْ صَلَّى أَلْفَ مَرَّةٍ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ أَيْ مَرْدُودٌ عَلَيْهِ

Hadis: Mukmin yang Kuat

Daftar Isi Toggle Teks hadisKandungan hadis Teks hadis Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجَزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ، فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah, namun pada masing-masingnya terdapat kebaikan. Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan loyo/malas. Apabila sesuatu menimpamu, janganlah berkata, ‘Seandainya dahulu aku berbuat demikian, niscaya akan begini dan begitu.’ Akan tetapi, katakanlah, ‘Itulah ketetapan Allah. Dan apa yang Dia inginkan, maka Dia kerjakan.’ Dikarenakan ucapan ’seandainya’ itu akan membuka celah perbuatan setan.” (HR. Muslim no. 2664. Lihat Syarh Nawawi, jilid 8, hal. 260.) Kandungan hadis Hadis yang mulia ini menunjukkan: Pertama: Allah Ta’ala memiliki sifat cinta kepada sesuatu. Kecintaan Allah kepada sesuatu bertingkat-tingkat. Kecintaan-Nya kepada mukmin yang kuat (imannya) lebih dalam daripada kecintaan-Nya kepada mukmin yang lemah (imannya). Orang mukmin yang kuat adalah orang yang menyempurnakan dirinya dengan 4 hal: 1) ilmu yang bermanfaat, 2) beramal saleh, 3) saling mengajak kepada kebenaran, dan 4) saling menasihati kepada kesabaran. Adapun mukmin yang lemah adalah yang belum bisa menyempurnakan semua tingkatan ini. Kedua: Kebaikan pada diri orang-orang beriman itu bertingkat-tingkat. Mereka terdiri dari tiga golongan manusia. Pertama, kaum As-Sabiqun ilal khairat, orang-orang yang bersegera melakukan kebaikan-kebaikan. Mereka adalah orang-orang yang menunaikan amal yang wajib maupun yang sunah serta meninggalkan perkara yang haram dan yang makruh. Kedua, kaum Al-Muqtashidun atau pertengahan. Mereka itu adalah orang yang hanya mencukupkan diri dengan melakukan kewajiban dan meninggalkan keharaman. Ketiga, Azh-Zhalimuna li anfusihim. Mereka adalah orang-orang yang mencampuri amal kebaikan mereka dengan amal-amal jelek. Ketiga: Perkara yang bermanfaat ada dua macam: perkara akhirat/keagamaan dan perkara keduniaan. Sebagaimana seorang hamba membutuhkan perkara agama, maka ia juga membutuhkan perkara dunia. Kebahagiaan dirinya akan tercapai dengan senantiasa bersemangat untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat di dalam kedua perkara tersebut. Perkara yang bermanfaat dalam urusan agama kuncinya ada 2: ilmu yang bermanfaat dan amal saleh. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membersihkan hati dan roh sehingga dapat membuahkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, yaitu ilmu yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang terdapat dalam ilmu hadis, tafsir, dan fikih serta ilmu-ilmu lain yang dapat membantunya seperti ilmu bahasa Arab dan lain sebagainya. Adapun amal saleh adalah amal yang memadukan antara niat yang ikhlas untuk Allah serta perbuatan yang selalu mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan perkara dunia yang bermanfaat bagi manusia adalah dengan bekerja mencari rezeki. Pekerjaan yang paling utama bagi seseorang, berbeda-beda tergantung pada individu dan keadaan mereka. Batasan untuk itu adalah selama hal itu benar-benar bermanfaat baginya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu.” Keempat: Dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat itu, tidak sepantasnya manusia bersandar kepada kekuatan, kemampuan, dan kecerdasannya semata. Namun, dia harus menggantungkan hatinya kepada Allah Ta’ala dan meminta pertolongan-Nya dengan harapan Allah akan memudahkan urusannya. Kelima: Apabila seseorang menjumpai perkara yang tidak menyenangkan setelah dia berusaha sekuat tenaga, maka hendaknya dia merasa rida dengan takdir Allah Ta’ala. Tidak perlu berandai-andai. Karena dalam kondisi semacam itu, berandai-andai justru akan membuka celah bagi setan. Dengan sikap semacam inilah, hati kita akan menjadi tenang dan tenteram dalam menghadapi musibah yang menimpa. Keenam: Di dalam hadis yang mulia ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggabungkan antara keimanan kepada takdir dengan melakukan usaha yang bermanfaat. Kedua pokok ini telah ditunjukkan oleh dalil Al-Kitab maupun As-Sunnah dalam banyak tempat. Agama seseorang tidak akan sempurna, kecuali dengan kedua hal itu. Sabda Nabi, “Bersemangatlah untuk melakukan apa yang bermanfaat bagimu”, merupakan perintah untuk menempuh sebab-sebab agama maupun dunia. Bahkan, di dalamnya terkandung perintah untuk bersungguh-sungguh dalam melakukannya, membersihkan niat dan membulatkan tekad, mewujudkan hal itu dan mengaturnya dengan sebaik-baiknya. Sedangkan sabda Nabi, “Dan mintalah pertolongan kepada Allah”, merupakan bentuk keimanan kepada takdir serta perintah untuk bertawakal kepada Allah ketika mencari kemanfaatan dan menghindar dari kemudaratan dengan penuh rasa harap kepada Allah Ta’ala agar urusan dunia dan agamanya menjadi sempurna. Baca juga: Buhul yang Paling Kuat *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Diringkas dari Bahjat Al-Qulub Al-Abrar wa Qurratu ‘Uyun Al-Akhyar Syarh Jawami’ Al-Akhbar, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu ta’ala, cetakan Darul Kutub Ilmiyah, hal. 40-46. Tags: kuatmuslim

Hadis: Mukmin yang Kuat

Daftar Isi Toggle Teks hadisKandungan hadis Teks hadis Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجَزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ، فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah, namun pada masing-masingnya terdapat kebaikan. Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan loyo/malas. Apabila sesuatu menimpamu, janganlah berkata, ‘Seandainya dahulu aku berbuat demikian, niscaya akan begini dan begitu.’ Akan tetapi, katakanlah, ‘Itulah ketetapan Allah. Dan apa yang Dia inginkan, maka Dia kerjakan.’ Dikarenakan ucapan ’seandainya’ itu akan membuka celah perbuatan setan.” (HR. Muslim no. 2664. Lihat Syarh Nawawi, jilid 8, hal. 260.) Kandungan hadis Hadis yang mulia ini menunjukkan: Pertama: Allah Ta’ala memiliki sifat cinta kepada sesuatu. Kecintaan Allah kepada sesuatu bertingkat-tingkat. Kecintaan-Nya kepada mukmin yang kuat (imannya) lebih dalam daripada kecintaan-Nya kepada mukmin yang lemah (imannya). Orang mukmin yang kuat adalah orang yang menyempurnakan dirinya dengan 4 hal: 1) ilmu yang bermanfaat, 2) beramal saleh, 3) saling mengajak kepada kebenaran, dan 4) saling menasihati kepada kesabaran. Adapun mukmin yang lemah adalah yang belum bisa menyempurnakan semua tingkatan ini. Kedua: Kebaikan pada diri orang-orang beriman itu bertingkat-tingkat. Mereka terdiri dari tiga golongan manusia. Pertama, kaum As-Sabiqun ilal khairat, orang-orang yang bersegera melakukan kebaikan-kebaikan. Mereka adalah orang-orang yang menunaikan amal yang wajib maupun yang sunah serta meninggalkan perkara yang haram dan yang makruh. Kedua, kaum Al-Muqtashidun atau pertengahan. Mereka itu adalah orang yang hanya mencukupkan diri dengan melakukan kewajiban dan meninggalkan keharaman. Ketiga, Azh-Zhalimuna li anfusihim. Mereka adalah orang-orang yang mencampuri amal kebaikan mereka dengan amal-amal jelek. Ketiga: Perkara yang bermanfaat ada dua macam: perkara akhirat/keagamaan dan perkara keduniaan. Sebagaimana seorang hamba membutuhkan perkara agama, maka ia juga membutuhkan perkara dunia. Kebahagiaan dirinya akan tercapai dengan senantiasa bersemangat untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat di dalam kedua perkara tersebut. Perkara yang bermanfaat dalam urusan agama kuncinya ada 2: ilmu yang bermanfaat dan amal saleh. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membersihkan hati dan roh sehingga dapat membuahkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, yaitu ilmu yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang terdapat dalam ilmu hadis, tafsir, dan fikih serta ilmu-ilmu lain yang dapat membantunya seperti ilmu bahasa Arab dan lain sebagainya. Adapun amal saleh adalah amal yang memadukan antara niat yang ikhlas untuk Allah serta perbuatan yang selalu mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan perkara dunia yang bermanfaat bagi manusia adalah dengan bekerja mencari rezeki. Pekerjaan yang paling utama bagi seseorang, berbeda-beda tergantung pada individu dan keadaan mereka. Batasan untuk itu adalah selama hal itu benar-benar bermanfaat baginya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu.” Keempat: Dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat itu, tidak sepantasnya manusia bersandar kepada kekuatan, kemampuan, dan kecerdasannya semata. Namun, dia harus menggantungkan hatinya kepada Allah Ta’ala dan meminta pertolongan-Nya dengan harapan Allah akan memudahkan urusannya. Kelima: Apabila seseorang menjumpai perkara yang tidak menyenangkan setelah dia berusaha sekuat tenaga, maka hendaknya dia merasa rida dengan takdir Allah Ta’ala. Tidak perlu berandai-andai. Karena dalam kondisi semacam itu, berandai-andai justru akan membuka celah bagi setan. Dengan sikap semacam inilah, hati kita akan menjadi tenang dan tenteram dalam menghadapi musibah yang menimpa. Keenam: Di dalam hadis yang mulia ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggabungkan antara keimanan kepada takdir dengan melakukan usaha yang bermanfaat. Kedua pokok ini telah ditunjukkan oleh dalil Al-Kitab maupun As-Sunnah dalam banyak tempat. Agama seseorang tidak akan sempurna, kecuali dengan kedua hal itu. Sabda Nabi, “Bersemangatlah untuk melakukan apa yang bermanfaat bagimu”, merupakan perintah untuk menempuh sebab-sebab agama maupun dunia. Bahkan, di dalamnya terkandung perintah untuk bersungguh-sungguh dalam melakukannya, membersihkan niat dan membulatkan tekad, mewujudkan hal itu dan mengaturnya dengan sebaik-baiknya. Sedangkan sabda Nabi, “Dan mintalah pertolongan kepada Allah”, merupakan bentuk keimanan kepada takdir serta perintah untuk bertawakal kepada Allah ketika mencari kemanfaatan dan menghindar dari kemudaratan dengan penuh rasa harap kepada Allah Ta’ala agar urusan dunia dan agamanya menjadi sempurna. Baca juga: Buhul yang Paling Kuat *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Diringkas dari Bahjat Al-Qulub Al-Abrar wa Qurratu ‘Uyun Al-Akhyar Syarh Jawami’ Al-Akhbar, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu ta’ala, cetakan Darul Kutub Ilmiyah, hal. 40-46. Tags: kuatmuslim
Daftar Isi Toggle Teks hadisKandungan hadis Teks hadis Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجَزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ، فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah, namun pada masing-masingnya terdapat kebaikan. Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan loyo/malas. Apabila sesuatu menimpamu, janganlah berkata, ‘Seandainya dahulu aku berbuat demikian, niscaya akan begini dan begitu.’ Akan tetapi, katakanlah, ‘Itulah ketetapan Allah. Dan apa yang Dia inginkan, maka Dia kerjakan.’ Dikarenakan ucapan ’seandainya’ itu akan membuka celah perbuatan setan.” (HR. Muslim no. 2664. Lihat Syarh Nawawi, jilid 8, hal. 260.) Kandungan hadis Hadis yang mulia ini menunjukkan: Pertama: Allah Ta’ala memiliki sifat cinta kepada sesuatu. Kecintaan Allah kepada sesuatu bertingkat-tingkat. Kecintaan-Nya kepada mukmin yang kuat (imannya) lebih dalam daripada kecintaan-Nya kepada mukmin yang lemah (imannya). Orang mukmin yang kuat adalah orang yang menyempurnakan dirinya dengan 4 hal: 1) ilmu yang bermanfaat, 2) beramal saleh, 3) saling mengajak kepada kebenaran, dan 4) saling menasihati kepada kesabaran. Adapun mukmin yang lemah adalah yang belum bisa menyempurnakan semua tingkatan ini. Kedua: Kebaikan pada diri orang-orang beriman itu bertingkat-tingkat. Mereka terdiri dari tiga golongan manusia. Pertama, kaum As-Sabiqun ilal khairat, orang-orang yang bersegera melakukan kebaikan-kebaikan. Mereka adalah orang-orang yang menunaikan amal yang wajib maupun yang sunah serta meninggalkan perkara yang haram dan yang makruh. Kedua, kaum Al-Muqtashidun atau pertengahan. Mereka itu adalah orang yang hanya mencukupkan diri dengan melakukan kewajiban dan meninggalkan keharaman. Ketiga, Azh-Zhalimuna li anfusihim. Mereka adalah orang-orang yang mencampuri amal kebaikan mereka dengan amal-amal jelek. Ketiga: Perkara yang bermanfaat ada dua macam: perkara akhirat/keagamaan dan perkara keduniaan. Sebagaimana seorang hamba membutuhkan perkara agama, maka ia juga membutuhkan perkara dunia. Kebahagiaan dirinya akan tercapai dengan senantiasa bersemangat untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat di dalam kedua perkara tersebut. Perkara yang bermanfaat dalam urusan agama kuncinya ada 2: ilmu yang bermanfaat dan amal saleh. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membersihkan hati dan roh sehingga dapat membuahkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, yaitu ilmu yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang terdapat dalam ilmu hadis, tafsir, dan fikih serta ilmu-ilmu lain yang dapat membantunya seperti ilmu bahasa Arab dan lain sebagainya. Adapun amal saleh adalah amal yang memadukan antara niat yang ikhlas untuk Allah serta perbuatan yang selalu mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan perkara dunia yang bermanfaat bagi manusia adalah dengan bekerja mencari rezeki. Pekerjaan yang paling utama bagi seseorang, berbeda-beda tergantung pada individu dan keadaan mereka. Batasan untuk itu adalah selama hal itu benar-benar bermanfaat baginya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu.” Keempat: Dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat itu, tidak sepantasnya manusia bersandar kepada kekuatan, kemampuan, dan kecerdasannya semata. Namun, dia harus menggantungkan hatinya kepada Allah Ta’ala dan meminta pertolongan-Nya dengan harapan Allah akan memudahkan urusannya. Kelima: Apabila seseorang menjumpai perkara yang tidak menyenangkan setelah dia berusaha sekuat tenaga, maka hendaknya dia merasa rida dengan takdir Allah Ta’ala. Tidak perlu berandai-andai. Karena dalam kondisi semacam itu, berandai-andai justru akan membuka celah bagi setan. Dengan sikap semacam inilah, hati kita akan menjadi tenang dan tenteram dalam menghadapi musibah yang menimpa. Keenam: Di dalam hadis yang mulia ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggabungkan antara keimanan kepada takdir dengan melakukan usaha yang bermanfaat. Kedua pokok ini telah ditunjukkan oleh dalil Al-Kitab maupun As-Sunnah dalam banyak tempat. Agama seseorang tidak akan sempurna, kecuali dengan kedua hal itu. Sabda Nabi, “Bersemangatlah untuk melakukan apa yang bermanfaat bagimu”, merupakan perintah untuk menempuh sebab-sebab agama maupun dunia. Bahkan, di dalamnya terkandung perintah untuk bersungguh-sungguh dalam melakukannya, membersihkan niat dan membulatkan tekad, mewujudkan hal itu dan mengaturnya dengan sebaik-baiknya. Sedangkan sabda Nabi, “Dan mintalah pertolongan kepada Allah”, merupakan bentuk keimanan kepada takdir serta perintah untuk bertawakal kepada Allah ketika mencari kemanfaatan dan menghindar dari kemudaratan dengan penuh rasa harap kepada Allah Ta’ala agar urusan dunia dan agamanya menjadi sempurna. Baca juga: Buhul yang Paling Kuat *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Diringkas dari Bahjat Al-Qulub Al-Abrar wa Qurratu ‘Uyun Al-Akhyar Syarh Jawami’ Al-Akhbar, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu ta’ala, cetakan Darul Kutub Ilmiyah, hal. 40-46. Tags: kuatmuslim


Daftar Isi Toggle Teks hadisKandungan hadis Teks hadis Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجَزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ، فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah, namun pada masing-masingnya terdapat kebaikan. Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan loyo/malas. Apabila sesuatu menimpamu, janganlah berkata, ‘Seandainya dahulu aku berbuat demikian, niscaya akan begini dan begitu.’ Akan tetapi, katakanlah, ‘Itulah ketetapan Allah. Dan apa yang Dia inginkan, maka Dia kerjakan.’ Dikarenakan ucapan ’seandainya’ itu akan membuka celah perbuatan setan.” (HR. Muslim no. 2664. Lihat Syarh Nawawi, jilid 8, hal. 260.) Kandungan hadis Hadis yang mulia ini menunjukkan: Pertama: Allah Ta’ala memiliki sifat cinta kepada sesuatu. Kecintaan Allah kepada sesuatu bertingkat-tingkat. Kecintaan-Nya kepada mukmin yang kuat (imannya) lebih dalam daripada kecintaan-Nya kepada mukmin yang lemah (imannya). Orang mukmin yang kuat adalah orang yang menyempurnakan dirinya dengan 4 hal: 1) ilmu yang bermanfaat, 2) beramal saleh, 3) saling mengajak kepada kebenaran, dan 4) saling menasihati kepada kesabaran. Adapun mukmin yang lemah adalah yang belum bisa menyempurnakan semua tingkatan ini. Kedua: Kebaikan pada diri orang-orang beriman itu bertingkat-tingkat. Mereka terdiri dari tiga golongan manusia. Pertama, kaum As-Sabiqun ilal khairat, orang-orang yang bersegera melakukan kebaikan-kebaikan. Mereka adalah orang-orang yang menunaikan amal yang wajib maupun yang sunah serta meninggalkan perkara yang haram dan yang makruh. Kedua, kaum Al-Muqtashidun atau pertengahan. Mereka itu adalah orang yang hanya mencukupkan diri dengan melakukan kewajiban dan meninggalkan keharaman. Ketiga, Azh-Zhalimuna li anfusihim. Mereka adalah orang-orang yang mencampuri amal kebaikan mereka dengan amal-amal jelek. Ketiga: Perkara yang bermanfaat ada dua macam: perkara akhirat/keagamaan dan perkara keduniaan. Sebagaimana seorang hamba membutuhkan perkara agama, maka ia juga membutuhkan perkara dunia. Kebahagiaan dirinya akan tercapai dengan senantiasa bersemangat untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat di dalam kedua perkara tersebut. Perkara yang bermanfaat dalam urusan agama kuncinya ada 2: ilmu yang bermanfaat dan amal saleh. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membersihkan hati dan roh sehingga dapat membuahkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, yaitu ilmu yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang terdapat dalam ilmu hadis, tafsir, dan fikih serta ilmu-ilmu lain yang dapat membantunya seperti ilmu bahasa Arab dan lain sebagainya. Adapun amal saleh adalah amal yang memadukan antara niat yang ikhlas untuk Allah serta perbuatan yang selalu mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan perkara dunia yang bermanfaat bagi manusia adalah dengan bekerja mencari rezeki. Pekerjaan yang paling utama bagi seseorang, berbeda-beda tergantung pada individu dan keadaan mereka. Batasan untuk itu adalah selama hal itu benar-benar bermanfaat baginya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu.” Keempat: Dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat itu, tidak sepantasnya manusia bersandar kepada kekuatan, kemampuan, dan kecerdasannya semata. Namun, dia harus menggantungkan hatinya kepada Allah Ta’ala dan meminta pertolongan-Nya dengan harapan Allah akan memudahkan urusannya. Kelima: Apabila seseorang menjumpai perkara yang tidak menyenangkan setelah dia berusaha sekuat tenaga, maka hendaknya dia merasa rida dengan takdir Allah Ta’ala. Tidak perlu berandai-andai. Karena dalam kondisi semacam itu, berandai-andai justru akan membuka celah bagi setan. Dengan sikap semacam inilah, hati kita akan menjadi tenang dan tenteram dalam menghadapi musibah yang menimpa. Keenam: Di dalam hadis yang mulia ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggabungkan antara keimanan kepada takdir dengan melakukan usaha yang bermanfaat. Kedua pokok ini telah ditunjukkan oleh dalil Al-Kitab maupun As-Sunnah dalam banyak tempat. Agama seseorang tidak akan sempurna, kecuali dengan kedua hal itu. Sabda Nabi, “Bersemangatlah untuk melakukan apa yang bermanfaat bagimu”, merupakan perintah untuk menempuh sebab-sebab agama maupun dunia. Bahkan, di dalamnya terkandung perintah untuk bersungguh-sungguh dalam melakukannya, membersihkan niat dan membulatkan tekad, mewujudkan hal itu dan mengaturnya dengan sebaik-baiknya. Sedangkan sabda Nabi, “Dan mintalah pertolongan kepada Allah”, merupakan bentuk keimanan kepada takdir serta perintah untuk bertawakal kepada Allah ketika mencari kemanfaatan dan menghindar dari kemudaratan dengan penuh rasa harap kepada Allah Ta’ala agar urusan dunia dan agamanya menjadi sempurna. Baca juga: Buhul yang Paling Kuat *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Diringkas dari Bahjat Al-Qulub Al-Abrar wa Qurratu ‘Uyun Al-Akhyar Syarh Jawami’ Al-Akhbar, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu ta’ala, cetakan Darul Kutub Ilmiyah, hal. 40-46. Tags: kuatmuslim

Perbedaan antara Beberapa Jenis Salat Sunah dalam Fiqih Mazhab Syafi’i

Pertanyaan: Apa yang dimaksud dengan Salat al-Awwabin? Kemudian, apa beda antara Salat Tarawih, Salat Witir, Salat Tahajud, dan Salat Malam? Syaikh Dr. Labib Najib, seorang pakar fiqih mazhab Syafi’i menjelaskan perbedaan beberapa jenis Salat Sunah tersebut. Syaikh Dr. Labib Najib berkata: الفرق بين: صلاة الأوابين، وصلاة التراويح، وصلاة الوتر، ، وصلاة التهجد، وصلاة الليل.  صلاة الأوابين تطلق على صلاة الضحى، وعلى الصلاة بين المغرب والعشاء، وتسمى: صلاة الغفلة.  صلاة التراويح، هي عشرون ركعة، تكون بعد فعل العشاء، وتختص برمضان، وتسن الجماعة فيها.  صلاة الوتر، هي سنة مؤكدة، بل آكد النوافل التي لا تسن لها الجماعة، وآكد من التراويح، وأقلها: ركعة، وأكثرها: إحدى عشرة ركعة، ولا تختص برمضان، ووقتها بعد فعل العشاء. صلاة التهجد، هي: صلاة في الليل بعد نوم، فالصلاة تشمل الفرض، فلو قضى فرضًا بعد نومٍ حصل التهجد، ويحصل التهجد ولو بسنة العشاء، أو الوتر إذا فُعل بعد نومٍ. صلاة الليل، تشمل كلَّ صلاة في الليل، ولو وترا أو تهجدا أو تراويح، فالإضافة بتقدير (في). ويتبين مما تقدم أنَّ العلاقة بين الوتر والتهجد علاقة عموم وخصوص وجهي: – فلو صلى الوتر بعد النوم، فهو وتر وتهجد. – أو صلاه قبل النوم، فهو وتر، لا تهجد. – أو صلى غير الوتر – كنفل مطلق – بعد النوم فهو تهجدٌ لا وتر. Perbedaan antara Salat al-Awwabin, Salat Tarawih, Salat Witir, Salat Tahajud, dan Salat Malam: Salat al-Awwabin adalah sebutan bagi Salat Duha, dan salat di antara Salat Maghrib dan Salat Isya. Salat ini juga disebut dengan Salat Ghaflah. Salat Tarawih jumlah rakaatnya adalah 20 rakaat dan dilakukan setelah mendirikan Salat Isya, ia hanya dilakukan pada bulan Ramadan dan pelaksanaannya disunahkan secara berjamaah. Salat Witir adalah salat yang hukumnya sunah muakadah, bahkan ia lebih ditekankan pelaksanaannya daripada salat-salat sunah lain yang pelaksanaannya tidak disunahkan secara berjamaah. Ia juga lebih ditekankan daripada Salat Tarawih. Salat Witir ini jumlah minimal rakaatnya adalah satu rakaat, sedangkan maksimalnya adalah 11 rakaat. Salat ini tidak dikhususkan pelaksanaannya pada bulan Ramadan saja, dan waktu pelaksanaannya adalah setelah mendirikan Salat Isya. Salat Tahajud adalah salat pada malam hari setelah bangun tidur, dan salat ini juga mencakup Salat Fardu. Jadi seandainya ada orang yang mengqadha Salat Fardu (pada malam hari) setelah bangun tidur, maka itu juga dianggap sebagai Salat Tahajud. Bahkan jika ia mengerjakan Salat Sunah Rawatib Isya atau Salat Witir setelah bangun tidur, teranggap telah melakukan Shalat Tahajud. Sedangkan Salat Malam mencakup seluruh salat pada malam hari, meskipun itu berupa Salat Witir, Salat Tahajud, atau Salat Tarawih. Jadi frasa kata “Salat Malam” ini bermakna “di”, yakni salat di malam hari. Berdasarkan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa hubungan antara Salat Witir dan Salat Tahajud adalah hubungan umum dan khusus dari sudut pandangnya, yakni: Seandainya seseorang mendirikan Salat Witir setelah bangun tidur, maka salat itu adalah Salat Witir dan Salat Tahajud, atau Jika dia mendirikan salat itu sebelum tidur, maka itu adalah Salat Witir saja dan bukan Salat Tahajud, atau Jika dia salat selain Salat Witir–seperti Salat Sunah Mutlak–setelah bangun tidur, maka itu adalah Salat Tahajud saja dan bukan Salat Witir. Sumber artikel. 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 278 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,045 QRIS donasi Yufid

Perbedaan antara Beberapa Jenis Salat Sunah dalam Fiqih Mazhab Syafi’i

Pertanyaan: Apa yang dimaksud dengan Salat al-Awwabin? Kemudian, apa beda antara Salat Tarawih, Salat Witir, Salat Tahajud, dan Salat Malam? Syaikh Dr. Labib Najib, seorang pakar fiqih mazhab Syafi’i menjelaskan perbedaan beberapa jenis Salat Sunah tersebut. Syaikh Dr. Labib Najib berkata: الفرق بين: صلاة الأوابين، وصلاة التراويح، وصلاة الوتر، ، وصلاة التهجد، وصلاة الليل.  صلاة الأوابين تطلق على صلاة الضحى، وعلى الصلاة بين المغرب والعشاء، وتسمى: صلاة الغفلة.  صلاة التراويح، هي عشرون ركعة، تكون بعد فعل العشاء، وتختص برمضان، وتسن الجماعة فيها.  صلاة الوتر، هي سنة مؤكدة، بل آكد النوافل التي لا تسن لها الجماعة، وآكد من التراويح، وأقلها: ركعة، وأكثرها: إحدى عشرة ركعة، ولا تختص برمضان، ووقتها بعد فعل العشاء. صلاة التهجد، هي: صلاة في الليل بعد نوم، فالصلاة تشمل الفرض، فلو قضى فرضًا بعد نومٍ حصل التهجد، ويحصل التهجد ولو بسنة العشاء، أو الوتر إذا فُعل بعد نومٍ. صلاة الليل، تشمل كلَّ صلاة في الليل، ولو وترا أو تهجدا أو تراويح، فالإضافة بتقدير (في). ويتبين مما تقدم أنَّ العلاقة بين الوتر والتهجد علاقة عموم وخصوص وجهي: – فلو صلى الوتر بعد النوم، فهو وتر وتهجد. – أو صلاه قبل النوم، فهو وتر، لا تهجد. – أو صلى غير الوتر – كنفل مطلق – بعد النوم فهو تهجدٌ لا وتر. Perbedaan antara Salat al-Awwabin, Salat Tarawih, Salat Witir, Salat Tahajud, dan Salat Malam: Salat al-Awwabin adalah sebutan bagi Salat Duha, dan salat di antara Salat Maghrib dan Salat Isya. Salat ini juga disebut dengan Salat Ghaflah. Salat Tarawih jumlah rakaatnya adalah 20 rakaat dan dilakukan setelah mendirikan Salat Isya, ia hanya dilakukan pada bulan Ramadan dan pelaksanaannya disunahkan secara berjamaah. Salat Witir adalah salat yang hukumnya sunah muakadah, bahkan ia lebih ditekankan pelaksanaannya daripada salat-salat sunah lain yang pelaksanaannya tidak disunahkan secara berjamaah. Ia juga lebih ditekankan daripada Salat Tarawih. Salat Witir ini jumlah minimal rakaatnya adalah satu rakaat, sedangkan maksimalnya adalah 11 rakaat. Salat ini tidak dikhususkan pelaksanaannya pada bulan Ramadan saja, dan waktu pelaksanaannya adalah setelah mendirikan Salat Isya. Salat Tahajud adalah salat pada malam hari setelah bangun tidur, dan salat ini juga mencakup Salat Fardu. Jadi seandainya ada orang yang mengqadha Salat Fardu (pada malam hari) setelah bangun tidur, maka itu juga dianggap sebagai Salat Tahajud. Bahkan jika ia mengerjakan Salat Sunah Rawatib Isya atau Salat Witir setelah bangun tidur, teranggap telah melakukan Shalat Tahajud. Sedangkan Salat Malam mencakup seluruh salat pada malam hari, meskipun itu berupa Salat Witir, Salat Tahajud, atau Salat Tarawih. Jadi frasa kata “Salat Malam” ini bermakna “di”, yakni salat di malam hari. Berdasarkan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa hubungan antara Salat Witir dan Salat Tahajud adalah hubungan umum dan khusus dari sudut pandangnya, yakni: Seandainya seseorang mendirikan Salat Witir setelah bangun tidur, maka salat itu adalah Salat Witir dan Salat Tahajud, atau Jika dia mendirikan salat itu sebelum tidur, maka itu adalah Salat Witir saja dan bukan Salat Tahajud, atau Jika dia salat selain Salat Witir–seperti Salat Sunah Mutlak–setelah bangun tidur, maka itu adalah Salat Tahajud saja dan bukan Salat Witir. Sumber artikel. 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 278 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,045 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Apa yang dimaksud dengan Salat al-Awwabin? Kemudian, apa beda antara Salat Tarawih, Salat Witir, Salat Tahajud, dan Salat Malam? Syaikh Dr. Labib Najib, seorang pakar fiqih mazhab Syafi’i menjelaskan perbedaan beberapa jenis Salat Sunah tersebut. Syaikh Dr. Labib Najib berkata: الفرق بين: صلاة الأوابين، وصلاة التراويح، وصلاة الوتر، ، وصلاة التهجد، وصلاة الليل.  صلاة الأوابين تطلق على صلاة الضحى، وعلى الصلاة بين المغرب والعشاء، وتسمى: صلاة الغفلة.  صلاة التراويح، هي عشرون ركعة، تكون بعد فعل العشاء، وتختص برمضان، وتسن الجماعة فيها.  صلاة الوتر، هي سنة مؤكدة، بل آكد النوافل التي لا تسن لها الجماعة، وآكد من التراويح، وأقلها: ركعة، وأكثرها: إحدى عشرة ركعة، ولا تختص برمضان، ووقتها بعد فعل العشاء. صلاة التهجد، هي: صلاة في الليل بعد نوم، فالصلاة تشمل الفرض، فلو قضى فرضًا بعد نومٍ حصل التهجد، ويحصل التهجد ولو بسنة العشاء، أو الوتر إذا فُعل بعد نومٍ. صلاة الليل، تشمل كلَّ صلاة في الليل، ولو وترا أو تهجدا أو تراويح، فالإضافة بتقدير (في). ويتبين مما تقدم أنَّ العلاقة بين الوتر والتهجد علاقة عموم وخصوص وجهي: – فلو صلى الوتر بعد النوم، فهو وتر وتهجد. – أو صلاه قبل النوم، فهو وتر، لا تهجد. – أو صلى غير الوتر – كنفل مطلق – بعد النوم فهو تهجدٌ لا وتر. Perbedaan antara Salat al-Awwabin, Salat Tarawih, Salat Witir, Salat Tahajud, dan Salat Malam: Salat al-Awwabin adalah sebutan bagi Salat Duha, dan salat di antara Salat Maghrib dan Salat Isya. Salat ini juga disebut dengan Salat Ghaflah. Salat Tarawih jumlah rakaatnya adalah 20 rakaat dan dilakukan setelah mendirikan Salat Isya, ia hanya dilakukan pada bulan Ramadan dan pelaksanaannya disunahkan secara berjamaah. Salat Witir adalah salat yang hukumnya sunah muakadah, bahkan ia lebih ditekankan pelaksanaannya daripada salat-salat sunah lain yang pelaksanaannya tidak disunahkan secara berjamaah. Ia juga lebih ditekankan daripada Salat Tarawih. Salat Witir ini jumlah minimal rakaatnya adalah satu rakaat, sedangkan maksimalnya adalah 11 rakaat. Salat ini tidak dikhususkan pelaksanaannya pada bulan Ramadan saja, dan waktu pelaksanaannya adalah setelah mendirikan Salat Isya. Salat Tahajud adalah salat pada malam hari setelah bangun tidur, dan salat ini juga mencakup Salat Fardu. Jadi seandainya ada orang yang mengqadha Salat Fardu (pada malam hari) setelah bangun tidur, maka itu juga dianggap sebagai Salat Tahajud. Bahkan jika ia mengerjakan Salat Sunah Rawatib Isya atau Salat Witir setelah bangun tidur, teranggap telah melakukan Shalat Tahajud. Sedangkan Salat Malam mencakup seluruh salat pada malam hari, meskipun itu berupa Salat Witir, Salat Tahajud, atau Salat Tarawih. Jadi frasa kata “Salat Malam” ini bermakna “di”, yakni salat di malam hari. Berdasarkan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa hubungan antara Salat Witir dan Salat Tahajud adalah hubungan umum dan khusus dari sudut pandangnya, yakni: Seandainya seseorang mendirikan Salat Witir setelah bangun tidur, maka salat itu adalah Salat Witir dan Salat Tahajud, atau Jika dia mendirikan salat itu sebelum tidur, maka itu adalah Salat Witir saja dan bukan Salat Tahajud, atau Jika dia salat selain Salat Witir–seperti Salat Sunah Mutlak–setelah bangun tidur, maka itu adalah Salat Tahajud saja dan bukan Salat Witir. Sumber artikel. 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 278 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,045 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Apa yang dimaksud dengan Salat al-Awwabin? Kemudian, apa beda antara Salat Tarawih, Salat Witir, Salat Tahajud, dan Salat Malam? Syaikh Dr. Labib Najib, seorang pakar fiqih mazhab Syafi’i menjelaskan perbedaan beberapa jenis Salat Sunah tersebut. Syaikh Dr. Labib Najib berkata: الفرق بين: صلاة الأوابين، وصلاة التراويح، وصلاة الوتر، ، وصلاة التهجد، وصلاة الليل.  صلاة الأوابين تطلق على صلاة الضحى، وعلى الصلاة بين المغرب والعشاء، وتسمى: صلاة الغفلة.  صلاة التراويح، هي عشرون ركعة، تكون بعد فعل العشاء، وتختص برمضان، وتسن الجماعة فيها.  صلاة الوتر، هي سنة مؤكدة، بل آكد النوافل التي لا تسن لها الجماعة، وآكد من التراويح، وأقلها: ركعة، وأكثرها: إحدى عشرة ركعة، ولا تختص برمضان، ووقتها بعد فعل العشاء. صلاة التهجد، هي: صلاة في الليل بعد نوم، فالصلاة تشمل الفرض، فلو قضى فرضًا بعد نومٍ حصل التهجد، ويحصل التهجد ولو بسنة العشاء، أو الوتر إذا فُعل بعد نومٍ. صلاة الليل، تشمل كلَّ صلاة في الليل، ولو وترا أو تهجدا أو تراويح، فالإضافة بتقدير (في). ويتبين مما تقدم أنَّ العلاقة بين الوتر والتهجد علاقة عموم وخصوص وجهي: – فلو صلى الوتر بعد النوم، فهو وتر وتهجد. – أو صلاه قبل النوم، فهو وتر، لا تهجد. – أو صلى غير الوتر – كنفل مطلق – بعد النوم فهو تهجدٌ لا وتر. Perbedaan antara Salat al-Awwabin, Salat Tarawih, Salat Witir, Salat Tahajud, dan Salat Malam: Salat al-Awwabin adalah sebutan bagi Salat Duha, dan salat di antara Salat Maghrib dan Salat Isya. Salat ini juga disebut dengan Salat Ghaflah. Salat Tarawih jumlah rakaatnya adalah 20 rakaat dan dilakukan setelah mendirikan Salat Isya, ia hanya dilakukan pada bulan Ramadan dan pelaksanaannya disunahkan secara berjamaah. Salat Witir adalah salat yang hukumnya sunah muakadah, bahkan ia lebih ditekankan pelaksanaannya daripada salat-salat sunah lain yang pelaksanaannya tidak disunahkan secara berjamaah. Ia juga lebih ditekankan daripada Salat Tarawih. Salat Witir ini jumlah minimal rakaatnya adalah satu rakaat, sedangkan maksimalnya adalah 11 rakaat. Salat ini tidak dikhususkan pelaksanaannya pada bulan Ramadan saja, dan waktu pelaksanaannya adalah setelah mendirikan Salat Isya. Salat Tahajud adalah salat pada malam hari setelah bangun tidur, dan salat ini juga mencakup Salat Fardu. Jadi seandainya ada orang yang mengqadha Salat Fardu (pada malam hari) setelah bangun tidur, maka itu juga dianggap sebagai Salat Tahajud. Bahkan jika ia mengerjakan Salat Sunah Rawatib Isya atau Salat Witir setelah bangun tidur, teranggap telah melakukan Shalat Tahajud. Sedangkan Salat Malam mencakup seluruh salat pada malam hari, meskipun itu berupa Salat Witir, Salat Tahajud, atau Salat Tarawih. Jadi frasa kata “Salat Malam” ini bermakna “di”, yakni salat di malam hari. Berdasarkan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa hubungan antara Salat Witir dan Salat Tahajud adalah hubungan umum dan khusus dari sudut pandangnya, yakni: Seandainya seseorang mendirikan Salat Witir setelah bangun tidur, maka salat itu adalah Salat Witir dan Salat Tahajud, atau Jika dia mendirikan salat itu sebelum tidur, maka itu adalah Salat Witir saja dan bukan Salat Tahajud, atau Jika dia salat selain Salat Witir–seperti Salat Sunah Mutlak–setelah bangun tidur, maka itu adalah Salat Tahajud saja dan bukan Salat Witir. Sumber artikel. 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 278 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,045 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Fikih Transaksi Gadai (Bag. 1) : Definisi, Hukum, dan Dalil Pensyariatannya

Daftar Isi Toggle Definisi transaksi gadai[2]Hukum transaksi gadai[3]Hukum transaksi gadai dalam IslamHukum transaksi gadai di IndonesiaDalil pensyariatan transaksi gadaiDalil Al-Qur’anDalil As-SunnahKesimpulan Gadai merupakan suatu transaksi yang bisa dikatakan saat ini sedang banyak dilakukan di Indonesia. Dilansir dari sebuah berita, kurang lebih ada dua puluh empat juta orang melakukan transaksi gadai per tahun 2024.[1] Keuntungan yang diraup oleh pemilik usaha gadai pun kian meroket. Sehingga banyak orang yang tertarik untuk membuka usaha gadai, mengingat keuntungan yang sangat menggiurkan. Tentunya, agama Islam telah mengatur segala bentuk muamalah terhadap harta. Satu di antara banyaknya muamalah yang diatur oleh agama Islam adalah berkaitan dengan transaksi gadai. Sehingga, kaum muslimin dituntut untuk mempelajari tentang transaksi ini dengan dilandaskan ilmu yang diajarkan agama Islam. Sebelum beranjak lebih jauh tentang transaksi gadai ini, tentunya harus diketahui terlebih dahulu tentang pengertian transaksi gadai itu sendiri. Definisi transaksi gadai[2] Secara bahasa, dalam bahasa Arab gadai biasa disebut dengan ar-rahn. Secara bahasa, ar-rahn biasa didefinisikan dengan ats-tsubut wa ad-dawam (sesuatu yang tetap dan konsisten). Orang Arab biasa mengatakan نِعْمَةٌ رَاهِنَة artinya “Kenikmatan yang langgeng.” Terkadang ar-rahn juga biasa disebut dengan al-habs yang artinya tertahan. Dalil dari makna ini adalah firman Allah Ta’ala, كُلُّ ٱمۡرِىِٕۭ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ۬ “Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. Ath-Thur: 21) كُلُّ نَفۡسِۭ بِمَا كَسَبَتۡ رَهِينَةٌ “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (QS. Al-Muddatsir: 38) Sehingga, amalan ataupun tanggung jawab tersebut membuatnya tertahan dan terikat. Dari sini, jelaslah makna ar-rahn secara bahasa adalah sesuatu yang tetap ataupun tertahan. Secara istilah, makna ar-rahn atau transaksi gadai adalah menjadikan suatu barang yang bernilai atau berharga sebagai jaminan untuk berutang. Gambaran secara umumnya, ada seseorang yang ingin berutang kepada orang lain. Kemudian orang yang berutang memberikan kepada orang yang diutangi suatu barang ataupun hewan. Yang mana barang atau hewan tersebut sifatnya tertahan di tangan orang yang mengutangi sampai orang yang berutang menyelesaikan utangnya terlebih dahulu. Inilah gambaran transaksi gadai menurut syariat Islam. Sehingga, dalam transaksi gadai, setidaknya ada tiga rangkaian yang harus terpenuhi: Pertama: Ar-Rahn/ Al-Marhun (Barang jaminan). Kedua: Ar-Rahin (Pemilik barang jaminan/ Pengutang). Ketiga: Al-Murtahin (Pemegang barang jaminan/ Pemberi utang). Hukum transaksi gadai[3] Hukum transaksi gadai dalam Islam Hukum transaksi gadai dalam Islam diperbolehkan tanpa adanya perselisihan. Tentunya selama transaksi berjalan sesuai koridor syariat dan tidak keluar darinya. Transaksi gadai atau menjaminkan suatu barang dalam berutang tidak disebutkan hal yang wajib, karena perintah yang terdapat dalam nash tidak menunjukkan perintah wajib, akan tetapi perintah yang sifatnya memberikan solusi. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala dalam ayat utang, وَإِن كُنتُمۡ عَلَىٰ سَفَرٍ۬ وَلَمۡ تَجِدُواْ كَاتِبً۬ا فَرِهَـٰنٌ۬ مَّقۡبُوضَةٌ۬‌ۖ فَإِنۡ أَمِنَ بَعۡضُكُم بَعۡضً۬ا فَلۡيُؤَدِّ ٱلَّذِى ٱؤۡتُمِنَ أَمَـٰنَتَهُ ۥ وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُ ۥ‌ۗ “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Rabbnya …” (QS. Al-Baqarah: 283) Dari ayat di atas, dapat diketahui bahwa transaksi gadai sifatnya boleh, tidak sampai wajib. Karena perintah dalam ayat ini sifatnya memberikan solusi. Dan perintah pada ayat ini ada setelah terdapat uzur, berupa tidak adanya penulis utang, mengingat di zaman dahulu tidak semua orang bisa menulis. Sebagai ganti dari tidak adanya penulis utang, maka dijadikanlah barang jaminan untuk berutang. Hukum dari menulis utang sendiri bukanlah perkara wajib. Dari sini, para ulama mengambil kesimpulan bahwa menggadaikan barang untuk berutang bukanlah hal yang wajib pula. Kendati tidak ada barang gadai yang dapat dijadikan sebagai jaminan, orang yang berutang hendaknya bertakwa kepada Allah Ta’ala. Ia tetap harus menunaikan amanahnya untuk berusaha membayar utang tersebut. Hukum transaksi gadai di Indonesia Sebagai pengetahuan, di negara kita pun terdapat undang-undang yang mengatur transaksi gadai. Di Indonesia, hukum mengenai gadai diatur melalui beberapa peraturan. Berdasarkan pasal 1150 KUHP, terdapat beberapa unsur gadai, yaitu: Pertama: Hak yang diperoleh kreditur atas benda bergerak. Kedua: Benda bergerak itu diserahkan oleh debitur kepada kreditur. Ketiga: Penyerahan benda tersebut untuk jaminan utang. Keempat: Hak kreditur adalah pelunasan piutangnya dengan kekuasaan melelang benda jaminan apabila debitur tidak membayar. Kelima: Pelunasan tersebut didahulukan dari kreditur-kreditur lain. Keenam: Biaya-biaya lelang dan pemeliharaan benda jaminan dilunasi lebih dahulu dari hasil lelang sebelum pelunasan piutang.[4] Baca juga: Zakat Untuk Harta Yang Digadaikan Dalil pensyariatan transaksi gadai Dalil Al-Qur’an Di antara dalilnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Allah Ta’ala berfirman, وَإِن كُنتُمۡ عَلَىٰ سَفَرٍ۬ وَلَمۡ تَجِدُواْ كَاتِبً۬ا فَرِهَـٰنٌ۬ مَّقۡبُوضَةٌ۬‌ۖ “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang) …”(QS. Al-Baqarah: 283) Dalil As-Sunnah Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ “Binatang kendaraan boleh dikendarai jika hewan itu digadaikan dan susunya boleh diminum jika ia digadaikan dan bagi orang yang menunggang dan meminumnya wajib memberi nafkah.”[5] Dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ وَارْتَهَنَ مِنْهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi (dengan pembayaran di belakang dengan ketentuan waktu tertentu) dan beliau gadaikan baju besi beliau (sebagai jaminan).“[6] Inilah di antara dalil-dalil disyariatkannya transaksi gadai. Kesimpulan Kesimpulan dari pembahasan ini: Pertama: Transaksi gadai adalah termasuk transaksi yang diperbolehkan dalam agama Islam dan juga negara. Kedua: Transaksi gadai merupakan kemudahan dari Allah untuk hamba-hamba-Nya. Kemudahan bagi yang berutang maupun yang diutangi. Ketiga: Hukum dari transaksi gadai adalah mubah atau boleh. Tidak sampai wajib. Keempat: Transaksi gadai bisa dikatakan sebagai transaksi yang banyak digandrungi saat ini oleh masyarakat Indonesia. Sehingga, mereka sangat butuh untuk mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan transaksi gadai ini. Kelima: Orang-orang yang melakukan transaksi utang piutang atau transaksi gadai hendaknya bertakwa kepada Allah. Sebagaimana yang telah disebutkan pada ayat di atas. Demikian pembahasan awal dari transaksi gadai. Adapun perincian tentang gadai akan insyaAllah akan berlanjut di tulisan selanjutnya. Semoga bermanfaat. Wallahul muwaffiq. Lanjut ke bagian 2: Rukun dan Syarat Sah Transaksi Gadai *** Depok, 22 Syawal 1445 H / 1 Mei 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalah karya Prof.Dr. Kholid bin Ali bin Muhammad Al-Musyaiqih. Cet. Maktabah Ar-Rusyd Shahih Fiqih Sunnah karya Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim. Cet. Maktabah Taufiqiyyah Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq. Cet. Maktabah Ar-Rusyd Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah wa Kitabil ‘Aziz karya Abdul Azhim bin Badawi. Cet. Dar Ibnu Rajab Dan kitab-kitab serta website lainnya.   Catatan kaki: [1] https://www.tvonenews.com/ekonomi/205156-wah-ada-244-juta-orang-gadaikan-barang-pegadaian-raup-laba-bersih-rp14-triliun-di-kuartal-i-2024 [2] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 5: 320; Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 105; Fiqih Sunnah, 3: 134. [3] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 5: 321; Fiqih Sunnah, 3: 135. [4] https://sahabat.pegadaian.co.id/artikel/inspirasi/pengertian-gadai-sistem-dan-aturannya [5] Hadis diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam sunannya no. 1254. Hadis ini disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah. [6] Hadis sahih diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 2093. Tags: gadai

Fikih Transaksi Gadai (Bag. 1) : Definisi, Hukum, dan Dalil Pensyariatannya

Daftar Isi Toggle Definisi transaksi gadai[2]Hukum transaksi gadai[3]Hukum transaksi gadai dalam IslamHukum transaksi gadai di IndonesiaDalil pensyariatan transaksi gadaiDalil Al-Qur’anDalil As-SunnahKesimpulan Gadai merupakan suatu transaksi yang bisa dikatakan saat ini sedang banyak dilakukan di Indonesia. Dilansir dari sebuah berita, kurang lebih ada dua puluh empat juta orang melakukan transaksi gadai per tahun 2024.[1] Keuntungan yang diraup oleh pemilik usaha gadai pun kian meroket. Sehingga banyak orang yang tertarik untuk membuka usaha gadai, mengingat keuntungan yang sangat menggiurkan. Tentunya, agama Islam telah mengatur segala bentuk muamalah terhadap harta. Satu di antara banyaknya muamalah yang diatur oleh agama Islam adalah berkaitan dengan transaksi gadai. Sehingga, kaum muslimin dituntut untuk mempelajari tentang transaksi ini dengan dilandaskan ilmu yang diajarkan agama Islam. Sebelum beranjak lebih jauh tentang transaksi gadai ini, tentunya harus diketahui terlebih dahulu tentang pengertian transaksi gadai itu sendiri. Definisi transaksi gadai[2] Secara bahasa, dalam bahasa Arab gadai biasa disebut dengan ar-rahn. Secara bahasa, ar-rahn biasa didefinisikan dengan ats-tsubut wa ad-dawam (sesuatu yang tetap dan konsisten). Orang Arab biasa mengatakan نِعْمَةٌ رَاهِنَة artinya “Kenikmatan yang langgeng.” Terkadang ar-rahn juga biasa disebut dengan al-habs yang artinya tertahan. Dalil dari makna ini adalah firman Allah Ta’ala, كُلُّ ٱمۡرِىِٕۭ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ۬ “Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. Ath-Thur: 21) كُلُّ نَفۡسِۭ بِمَا كَسَبَتۡ رَهِينَةٌ “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (QS. Al-Muddatsir: 38) Sehingga, amalan ataupun tanggung jawab tersebut membuatnya tertahan dan terikat. Dari sini, jelaslah makna ar-rahn secara bahasa adalah sesuatu yang tetap ataupun tertahan. Secara istilah, makna ar-rahn atau transaksi gadai adalah menjadikan suatu barang yang bernilai atau berharga sebagai jaminan untuk berutang. Gambaran secara umumnya, ada seseorang yang ingin berutang kepada orang lain. Kemudian orang yang berutang memberikan kepada orang yang diutangi suatu barang ataupun hewan. Yang mana barang atau hewan tersebut sifatnya tertahan di tangan orang yang mengutangi sampai orang yang berutang menyelesaikan utangnya terlebih dahulu. Inilah gambaran transaksi gadai menurut syariat Islam. Sehingga, dalam transaksi gadai, setidaknya ada tiga rangkaian yang harus terpenuhi: Pertama: Ar-Rahn/ Al-Marhun (Barang jaminan). Kedua: Ar-Rahin (Pemilik barang jaminan/ Pengutang). Ketiga: Al-Murtahin (Pemegang barang jaminan/ Pemberi utang). Hukum transaksi gadai[3] Hukum transaksi gadai dalam Islam Hukum transaksi gadai dalam Islam diperbolehkan tanpa adanya perselisihan. Tentunya selama transaksi berjalan sesuai koridor syariat dan tidak keluar darinya. Transaksi gadai atau menjaminkan suatu barang dalam berutang tidak disebutkan hal yang wajib, karena perintah yang terdapat dalam nash tidak menunjukkan perintah wajib, akan tetapi perintah yang sifatnya memberikan solusi. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala dalam ayat utang, وَإِن كُنتُمۡ عَلَىٰ سَفَرٍ۬ وَلَمۡ تَجِدُواْ كَاتِبً۬ا فَرِهَـٰنٌ۬ مَّقۡبُوضَةٌ۬‌ۖ فَإِنۡ أَمِنَ بَعۡضُكُم بَعۡضً۬ا فَلۡيُؤَدِّ ٱلَّذِى ٱؤۡتُمِنَ أَمَـٰنَتَهُ ۥ وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُ ۥ‌ۗ “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Rabbnya …” (QS. Al-Baqarah: 283) Dari ayat di atas, dapat diketahui bahwa transaksi gadai sifatnya boleh, tidak sampai wajib. Karena perintah dalam ayat ini sifatnya memberikan solusi. Dan perintah pada ayat ini ada setelah terdapat uzur, berupa tidak adanya penulis utang, mengingat di zaman dahulu tidak semua orang bisa menulis. Sebagai ganti dari tidak adanya penulis utang, maka dijadikanlah barang jaminan untuk berutang. Hukum dari menulis utang sendiri bukanlah perkara wajib. Dari sini, para ulama mengambil kesimpulan bahwa menggadaikan barang untuk berutang bukanlah hal yang wajib pula. Kendati tidak ada barang gadai yang dapat dijadikan sebagai jaminan, orang yang berutang hendaknya bertakwa kepada Allah Ta’ala. Ia tetap harus menunaikan amanahnya untuk berusaha membayar utang tersebut. Hukum transaksi gadai di Indonesia Sebagai pengetahuan, di negara kita pun terdapat undang-undang yang mengatur transaksi gadai. Di Indonesia, hukum mengenai gadai diatur melalui beberapa peraturan. Berdasarkan pasal 1150 KUHP, terdapat beberapa unsur gadai, yaitu: Pertama: Hak yang diperoleh kreditur atas benda bergerak. Kedua: Benda bergerak itu diserahkan oleh debitur kepada kreditur. Ketiga: Penyerahan benda tersebut untuk jaminan utang. Keempat: Hak kreditur adalah pelunasan piutangnya dengan kekuasaan melelang benda jaminan apabila debitur tidak membayar. Kelima: Pelunasan tersebut didahulukan dari kreditur-kreditur lain. Keenam: Biaya-biaya lelang dan pemeliharaan benda jaminan dilunasi lebih dahulu dari hasil lelang sebelum pelunasan piutang.[4] Baca juga: Zakat Untuk Harta Yang Digadaikan Dalil pensyariatan transaksi gadai Dalil Al-Qur’an Di antara dalilnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Allah Ta’ala berfirman, وَإِن كُنتُمۡ عَلَىٰ سَفَرٍ۬ وَلَمۡ تَجِدُواْ كَاتِبً۬ا فَرِهَـٰنٌ۬ مَّقۡبُوضَةٌ۬‌ۖ “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang) …”(QS. Al-Baqarah: 283) Dalil As-Sunnah Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ “Binatang kendaraan boleh dikendarai jika hewan itu digadaikan dan susunya boleh diminum jika ia digadaikan dan bagi orang yang menunggang dan meminumnya wajib memberi nafkah.”[5] Dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ وَارْتَهَنَ مِنْهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi (dengan pembayaran di belakang dengan ketentuan waktu tertentu) dan beliau gadaikan baju besi beliau (sebagai jaminan).“[6] Inilah di antara dalil-dalil disyariatkannya transaksi gadai. Kesimpulan Kesimpulan dari pembahasan ini: Pertama: Transaksi gadai adalah termasuk transaksi yang diperbolehkan dalam agama Islam dan juga negara. Kedua: Transaksi gadai merupakan kemudahan dari Allah untuk hamba-hamba-Nya. Kemudahan bagi yang berutang maupun yang diutangi. Ketiga: Hukum dari transaksi gadai adalah mubah atau boleh. Tidak sampai wajib. Keempat: Transaksi gadai bisa dikatakan sebagai transaksi yang banyak digandrungi saat ini oleh masyarakat Indonesia. Sehingga, mereka sangat butuh untuk mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan transaksi gadai ini. Kelima: Orang-orang yang melakukan transaksi utang piutang atau transaksi gadai hendaknya bertakwa kepada Allah. Sebagaimana yang telah disebutkan pada ayat di atas. Demikian pembahasan awal dari transaksi gadai. Adapun perincian tentang gadai akan insyaAllah akan berlanjut di tulisan selanjutnya. Semoga bermanfaat. Wallahul muwaffiq. Lanjut ke bagian 2: Rukun dan Syarat Sah Transaksi Gadai *** Depok, 22 Syawal 1445 H / 1 Mei 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalah karya Prof.Dr. Kholid bin Ali bin Muhammad Al-Musyaiqih. Cet. Maktabah Ar-Rusyd Shahih Fiqih Sunnah karya Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim. Cet. Maktabah Taufiqiyyah Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq. Cet. Maktabah Ar-Rusyd Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah wa Kitabil ‘Aziz karya Abdul Azhim bin Badawi. Cet. Dar Ibnu Rajab Dan kitab-kitab serta website lainnya.   Catatan kaki: [1] https://www.tvonenews.com/ekonomi/205156-wah-ada-244-juta-orang-gadaikan-barang-pegadaian-raup-laba-bersih-rp14-triliun-di-kuartal-i-2024 [2] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 5: 320; Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 105; Fiqih Sunnah, 3: 134. [3] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 5: 321; Fiqih Sunnah, 3: 135. [4] https://sahabat.pegadaian.co.id/artikel/inspirasi/pengertian-gadai-sistem-dan-aturannya [5] Hadis diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam sunannya no. 1254. Hadis ini disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah. [6] Hadis sahih diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 2093. Tags: gadai
Daftar Isi Toggle Definisi transaksi gadai[2]Hukum transaksi gadai[3]Hukum transaksi gadai dalam IslamHukum transaksi gadai di IndonesiaDalil pensyariatan transaksi gadaiDalil Al-Qur’anDalil As-SunnahKesimpulan Gadai merupakan suatu transaksi yang bisa dikatakan saat ini sedang banyak dilakukan di Indonesia. Dilansir dari sebuah berita, kurang lebih ada dua puluh empat juta orang melakukan transaksi gadai per tahun 2024.[1] Keuntungan yang diraup oleh pemilik usaha gadai pun kian meroket. Sehingga banyak orang yang tertarik untuk membuka usaha gadai, mengingat keuntungan yang sangat menggiurkan. Tentunya, agama Islam telah mengatur segala bentuk muamalah terhadap harta. Satu di antara banyaknya muamalah yang diatur oleh agama Islam adalah berkaitan dengan transaksi gadai. Sehingga, kaum muslimin dituntut untuk mempelajari tentang transaksi ini dengan dilandaskan ilmu yang diajarkan agama Islam. Sebelum beranjak lebih jauh tentang transaksi gadai ini, tentunya harus diketahui terlebih dahulu tentang pengertian transaksi gadai itu sendiri. Definisi transaksi gadai[2] Secara bahasa, dalam bahasa Arab gadai biasa disebut dengan ar-rahn. Secara bahasa, ar-rahn biasa didefinisikan dengan ats-tsubut wa ad-dawam (sesuatu yang tetap dan konsisten). Orang Arab biasa mengatakan نِعْمَةٌ رَاهِنَة artinya “Kenikmatan yang langgeng.” Terkadang ar-rahn juga biasa disebut dengan al-habs yang artinya tertahan. Dalil dari makna ini adalah firman Allah Ta’ala, كُلُّ ٱمۡرِىِٕۭ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ۬ “Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. Ath-Thur: 21) كُلُّ نَفۡسِۭ بِمَا كَسَبَتۡ رَهِينَةٌ “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (QS. Al-Muddatsir: 38) Sehingga, amalan ataupun tanggung jawab tersebut membuatnya tertahan dan terikat. Dari sini, jelaslah makna ar-rahn secara bahasa adalah sesuatu yang tetap ataupun tertahan. Secara istilah, makna ar-rahn atau transaksi gadai adalah menjadikan suatu barang yang bernilai atau berharga sebagai jaminan untuk berutang. Gambaran secara umumnya, ada seseorang yang ingin berutang kepada orang lain. Kemudian orang yang berutang memberikan kepada orang yang diutangi suatu barang ataupun hewan. Yang mana barang atau hewan tersebut sifatnya tertahan di tangan orang yang mengutangi sampai orang yang berutang menyelesaikan utangnya terlebih dahulu. Inilah gambaran transaksi gadai menurut syariat Islam. Sehingga, dalam transaksi gadai, setidaknya ada tiga rangkaian yang harus terpenuhi: Pertama: Ar-Rahn/ Al-Marhun (Barang jaminan). Kedua: Ar-Rahin (Pemilik barang jaminan/ Pengutang). Ketiga: Al-Murtahin (Pemegang barang jaminan/ Pemberi utang). Hukum transaksi gadai[3] Hukum transaksi gadai dalam Islam Hukum transaksi gadai dalam Islam diperbolehkan tanpa adanya perselisihan. Tentunya selama transaksi berjalan sesuai koridor syariat dan tidak keluar darinya. Transaksi gadai atau menjaminkan suatu barang dalam berutang tidak disebutkan hal yang wajib, karena perintah yang terdapat dalam nash tidak menunjukkan perintah wajib, akan tetapi perintah yang sifatnya memberikan solusi. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala dalam ayat utang, وَإِن كُنتُمۡ عَلَىٰ سَفَرٍ۬ وَلَمۡ تَجِدُواْ كَاتِبً۬ا فَرِهَـٰنٌ۬ مَّقۡبُوضَةٌ۬‌ۖ فَإِنۡ أَمِنَ بَعۡضُكُم بَعۡضً۬ا فَلۡيُؤَدِّ ٱلَّذِى ٱؤۡتُمِنَ أَمَـٰنَتَهُ ۥ وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُ ۥ‌ۗ “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Rabbnya …” (QS. Al-Baqarah: 283) Dari ayat di atas, dapat diketahui bahwa transaksi gadai sifatnya boleh, tidak sampai wajib. Karena perintah dalam ayat ini sifatnya memberikan solusi. Dan perintah pada ayat ini ada setelah terdapat uzur, berupa tidak adanya penulis utang, mengingat di zaman dahulu tidak semua orang bisa menulis. Sebagai ganti dari tidak adanya penulis utang, maka dijadikanlah barang jaminan untuk berutang. Hukum dari menulis utang sendiri bukanlah perkara wajib. Dari sini, para ulama mengambil kesimpulan bahwa menggadaikan barang untuk berutang bukanlah hal yang wajib pula. Kendati tidak ada barang gadai yang dapat dijadikan sebagai jaminan, orang yang berutang hendaknya bertakwa kepada Allah Ta’ala. Ia tetap harus menunaikan amanahnya untuk berusaha membayar utang tersebut. Hukum transaksi gadai di Indonesia Sebagai pengetahuan, di negara kita pun terdapat undang-undang yang mengatur transaksi gadai. Di Indonesia, hukum mengenai gadai diatur melalui beberapa peraturan. Berdasarkan pasal 1150 KUHP, terdapat beberapa unsur gadai, yaitu: Pertama: Hak yang diperoleh kreditur atas benda bergerak. Kedua: Benda bergerak itu diserahkan oleh debitur kepada kreditur. Ketiga: Penyerahan benda tersebut untuk jaminan utang. Keempat: Hak kreditur adalah pelunasan piutangnya dengan kekuasaan melelang benda jaminan apabila debitur tidak membayar. Kelima: Pelunasan tersebut didahulukan dari kreditur-kreditur lain. Keenam: Biaya-biaya lelang dan pemeliharaan benda jaminan dilunasi lebih dahulu dari hasil lelang sebelum pelunasan piutang.[4] Baca juga: Zakat Untuk Harta Yang Digadaikan Dalil pensyariatan transaksi gadai Dalil Al-Qur’an Di antara dalilnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Allah Ta’ala berfirman, وَإِن كُنتُمۡ عَلَىٰ سَفَرٍ۬ وَلَمۡ تَجِدُواْ كَاتِبً۬ا فَرِهَـٰنٌ۬ مَّقۡبُوضَةٌ۬‌ۖ “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang) …”(QS. Al-Baqarah: 283) Dalil As-Sunnah Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ “Binatang kendaraan boleh dikendarai jika hewan itu digadaikan dan susunya boleh diminum jika ia digadaikan dan bagi orang yang menunggang dan meminumnya wajib memberi nafkah.”[5] Dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ وَارْتَهَنَ مِنْهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi (dengan pembayaran di belakang dengan ketentuan waktu tertentu) dan beliau gadaikan baju besi beliau (sebagai jaminan).“[6] Inilah di antara dalil-dalil disyariatkannya transaksi gadai. Kesimpulan Kesimpulan dari pembahasan ini: Pertama: Transaksi gadai adalah termasuk transaksi yang diperbolehkan dalam agama Islam dan juga negara. Kedua: Transaksi gadai merupakan kemudahan dari Allah untuk hamba-hamba-Nya. Kemudahan bagi yang berutang maupun yang diutangi. Ketiga: Hukum dari transaksi gadai adalah mubah atau boleh. Tidak sampai wajib. Keempat: Transaksi gadai bisa dikatakan sebagai transaksi yang banyak digandrungi saat ini oleh masyarakat Indonesia. Sehingga, mereka sangat butuh untuk mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan transaksi gadai ini. Kelima: Orang-orang yang melakukan transaksi utang piutang atau transaksi gadai hendaknya bertakwa kepada Allah. Sebagaimana yang telah disebutkan pada ayat di atas. Demikian pembahasan awal dari transaksi gadai. Adapun perincian tentang gadai akan insyaAllah akan berlanjut di tulisan selanjutnya. Semoga bermanfaat. Wallahul muwaffiq. Lanjut ke bagian 2: Rukun dan Syarat Sah Transaksi Gadai *** Depok, 22 Syawal 1445 H / 1 Mei 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalah karya Prof.Dr. Kholid bin Ali bin Muhammad Al-Musyaiqih. Cet. Maktabah Ar-Rusyd Shahih Fiqih Sunnah karya Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim. Cet. Maktabah Taufiqiyyah Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq. Cet. Maktabah Ar-Rusyd Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah wa Kitabil ‘Aziz karya Abdul Azhim bin Badawi. Cet. Dar Ibnu Rajab Dan kitab-kitab serta website lainnya.   Catatan kaki: [1] https://www.tvonenews.com/ekonomi/205156-wah-ada-244-juta-orang-gadaikan-barang-pegadaian-raup-laba-bersih-rp14-triliun-di-kuartal-i-2024 [2] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 5: 320; Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 105; Fiqih Sunnah, 3: 134. [3] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 5: 321; Fiqih Sunnah, 3: 135. [4] https://sahabat.pegadaian.co.id/artikel/inspirasi/pengertian-gadai-sistem-dan-aturannya [5] Hadis diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam sunannya no. 1254. Hadis ini disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah. [6] Hadis sahih diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 2093. Tags: gadai


Daftar Isi Toggle Definisi transaksi gadai[2]Hukum transaksi gadai[3]Hukum transaksi gadai dalam IslamHukum transaksi gadai di IndonesiaDalil pensyariatan transaksi gadaiDalil Al-Qur’anDalil As-SunnahKesimpulan Gadai merupakan suatu transaksi yang bisa dikatakan saat ini sedang banyak dilakukan di Indonesia. Dilansir dari sebuah berita, kurang lebih ada dua puluh empat juta orang melakukan transaksi gadai per tahun 2024.[1] Keuntungan yang diraup oleh pemilik usaha gadai pun kian meroket. Sehingga banyak orang yang tertarik untuk membuka usaha gadai, mengingat keuntungan yang sangat menggiurkan. Tentunya, agama Islam telah mengatur segala bentuk muamalah terhadap harta. Satu di antara banyaknya muamalah yang diatur oleh agama Islam adalah berkaitan dengan transaksi gadai. Sehingga, kaum muslimin dituntut untuk mempelajari tentang transaksi ini dengan dilandaskan ilmu yang diajarkan agama Islam. Sebelum beranjak lebih jauh tentang transaksi gadai ini, tentunya harus diketahui terlebih dahulu tentang pengertian transaksi gadai itu sendiri. Definisi transaksi gadai[2] Secara bahasa, dalam bahasa Arab gadai biasa disebut dengan ar-rahn. Secara bahasa, ar-rahn biasa didefinisikan dengan ats-tsubut wa ad-dawam (sesuatu yang tetap dan konsisten). Orang Arab biasa mengatakan نِعْمَةٌ رَاهِنَة artinya “Kenikmatan yang langgeng.” Terkadang ar-rahn juga biasa disebut dengan al-habs yang artinya tertahan. Dalil dari makna ini adalah firman Allah Ta’ala, كُلُّ ٱمۡرِىِٕۭ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ۬ “Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. Ath-Thur: 21) كُلُّ نَفۡسِۭ بِمَا كَسَبَتۡ رَهِينَةٌ “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (QS. Al-Muddatsir: 38) Sehingga, amalan ataupun tanggung jawab tersebut membuatnya tertahan dan terikat. Dari sini, jelaslah makna ar-rahn secara bahasa adalah sesuatu yang tetap ataupun tertahan. Secara istilah, makna ar-rahn atau transaksi gadai adalah menjadikan suatu barang yang bernilai atau berharga sebagai jaminan untuk berutang. Gambaran secara umumnya, ada seseorang yang ingin berutang kepada orang lain. Kemudian orang yang berutang memberikan kepada orang yang diutangi suatu barang ataupun hewan. Yang mana barang atau hewan tersebut sifatnya tertahan di tangan orang yang mengutangi sampai orang yang berutang menyelesaikan utangnya terlebih dahulu. Inilah gambaran transaksi gadai menurut syariat Islam. Sehingga, dalam transaksi gadai, setidaknya ada tiga rangkaian yang harus terpenuhi: Pertama: Ar-Rahn/ Al-Marhun (Barang jaminan). Kedua: Ar-Rahin (Pemilik barang jaminan/ Pengutang). Ketiga: Al-Murtahin (Pemegang barang jaminan/ Pemberi utang). Hukum transaksi gadai[3] Hukum transaksi gadai dalam Islam Hukum transaksi gadai dalam Islam diperbolehkan tanpa adanya perselisihan. Tentunya selama transaksi berjalan sesuai koridor syariat dan tidak keluar darinya. Transaksi gadai atau menjaminkan suatu barang dalam berutang tidak disebutkan hal yang wajib, karena perintah yang terdapat dalam nash tidak menunjukkan perintah wajib, akan tetapi perintah yang sifatnya memberikan solusi. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala dalam ayat utang, وَإِن كُنتُمۡ عَلَىٰ سَفَرٍ۬ وَلَمۡ تَجِدُواْ كَاتِبً۬ا فَرِهَـٰنٌ۬ مَّقۡبُوضَةٌ۬‌ۖ فَإِنۡ أَمِنَ بَعۡضُكُم بَعۡضً۬ا فَلۡيُؤَدِّ ٱلَّذِى ٱؤۡتُمِنَ أَمَـٰنَتَهُ ۥ وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُ ۥ‌ۗ “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Rabbnya …” (QS. Al-Baqarah: 283) Dari ayat di atas, dapat diketahui bahwa transaksi gadai sifatnya boleh, tidak sampai wajib. Karena perintah dalam ayat ini sifatnya memberikan solusi. Dan perintah pada ayat ini ada setelah terdapat uzur, berupa tidak adanya penulis utang, mengingat di zaman dahulu tidak semua orang bisa menulis. Sebagai ganti dari tidak adanya penulis utang, maka dijadikanlah barang jaminan untuk berutang. Hukum dari menulis utang sendiri bukanlah perkara wajib. Dari sini, para ulama mengambil kesimpulan bahwa menggadaikan barang untuk berutang bukanlah hal yang wajib pula. Kendati tidak ada barang gadai yang dapat dijadikan sebagai jaminan, orang yang berutang hendaknya bertakwa kepada Allah Ta’ala. Ia tetap harus menunaikan amanahnya untuk berusaha membayar utang tersebut. Hukum transaksi gadai di Indonesia Sebagai pengetahuan, di negara kita pun terdapat undang-undang yang mengatur transaksi gadai. Di Indonesia, hukum mengenai gadai diatur melalui beberapa peraturan. Berdasarkan pasal 1150 KUHP, terdapat beberapa unsur gadai, yaitu: Pertama: Hak yang diperoleh kreditur atas benda bergerak. Kedua: Benda bergerak itu diserahkan oleh debitur kepada kreditur. Ketiga: Penyerahan benda tersebut untuk jaminan utang. Keempat: Hak kreditur adalah pelunasan piutangnya dengan kekuasaan melelang benda jaminan apabila debitur tidak membayar. Kelima: Pelunasan tersebut didahulukan dari kreditur-kreditur lain. Keenam: Biaya-biaya lelang dan pemeliharaan benda jaminan dilunasi lebih dahulu dari hasil lelang sebelum pelunasan piutang.[4] Baca juga: Zakat Untuk Harta Yang Digadaikan Dalil pensyariatan transaksi gadai Dalil Al-Qur’an Di antara dalilnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Allah Ta’ala berfirman, وَإِن كُنتُمۡ عَلَىٰ سَفَرٍ۬ وَلَمۡ تَجِدُواْ كَاتِبً۬ا فَرِهَـٰنٌ۬ مَّقۡبُوضَةٌ۬‌ۖ “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang) …”(QS. Al-Baqarah: 283) Dalil As-Sunnah Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ “Binatang kendaraan boleh dikendarai jika hewan itu digadaikan dan susunya boleh diminum jika ia digadaikan dan bagi orang yang menunggang dan meminumnya wajib memberi nafkah.”[5] Dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ وَارْتَهَنَ مِنْهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi (dengan pembayaran di belakang dengan ketentuan waktu tertentu) dan beliau gadaikan baju besi beliau (sebagai jaminan).“[6] Inilah di antara dalil-dalil disyariatkannya transaksi gadai. Kesimpulan Kesimpulan dari pembahasan ini: Pertama: Transaksi gadai adalah termasuk transaksi yang diperbolehkan dalam agama Islam dan juga negara. Kedua: Transaksi gadai merupakan kemudahan dari Allah untuk hamba-hamba-Nya. Kemudahan bagi yang berutang maupun yang diutangi. Ketiga: Hukum dari transaksi gadai adalah mubah atau boleh. Tidak sampai wajib. Keempat: Transaksi gadai bisa dikatakan sebagai transaksi yang banyak digandrungi saat ini oleh masyarakat Indonesia. Sehingga, mereka sangat butuh untuk mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan transaksi gadai ini. Kelima: Orang-orang yang melakukan transaksi utang piutang atau transaksi gadai hendaknya bertakwa kepada Allah. Sebagaimana yang telah disebutkan pada ayat di atas. Demikian pembahasan awal dari transaksi gadai. Adapun perincian tentang gadai akan insyaAllah akan berlanjut di tulisan selanjutnya. Semoga bermanfaat. Wallahul muwaffiq. Lanjut ke bagian 2: Rukun dan Syarat Sah Transaksi Gadai *** Depok, 22 Syawal 1445 H / 1 Mei 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalah karya Prof.Dr. Kholid bin Ali bin Muhammad Al-Musyaiqih. Cet. Maktabah Ar-Rusyd Shahih Fiqih Sunnah karya Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim. Cet. Maktabah Taufiqiyyah Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq. Cet. Maktabah Ar-Rusyd Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah wa Kitabil ‘Aziz karya Abdul Azhim bin Badawi. Cet. Dar Ibnu Rajab Dan kitab-kitab serta website lainnya.   Catatan kaki: [1] https://www.tvonenews.com/ekonomi/205156-wah-ada-244-juta-orang-gadaikan-barang-pegadaian-raup-laba-bersih-rp14-triliun-di-kuartal-i-2024 [2] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 5: 320; Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 105; Fiqih Sunnah, 3: 134. [3] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 5: 321; Fiqih Sunnah, 3: 135. [4] https://sahabat.pegadaian.co.id/artikel/inspirasi/pengertian-gadai-sistem-dan-aturannya [5] Hadis diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam sunannya no. 1254. Hadis ini disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah. [6] Hadis sahih diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 2093. Tags: gadai

Sumber Penghasilan Nabi Muhammad

Daftar Isi Toggle Sumber penghasilan beliau sebelum diangkat menjadi NabiMotivasi Nabi agar umatnya bekerja dan berusahaSumber penghasilan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah diutus menjadi NabiRenungan Sumber penghasilan beliau sebelum diangkat menjadi Nabi Jika membaca buku-buku sirah dan biografi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka akan kita dapati rata-rata buku-buku tersebut akan membahas tentang kehidupan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum diangkat menjadi Nabi, semenjak kelahiran beliau hingga kemudian pertumbuhan beliau dalam kondisi yatim di bawah pengasuhan kakeknya Abdul Muttalib dan juga pamannya Abu Thalib. Akan kita temukan juga bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tumbuh dalam kondisi fakir dan kekurangan. Beliau hidup dengan menggembala kambing-kambing yang dimiliki oleh penduduk Makkah demi mendapatkan beberapa pemasukan. Hingga kemudian, tatkala beliau telah mencapai usia dewasa dan matang, beliau membantu menjualkan dagangan Khadijah radhiyallahu ‘anha yang tatkala itu merupakan salah satu saudagar kaya di kota Makkah. Khadijah melihat bahwa Muhammad muda shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki bakat dalam berdagang, maka ia menjadikannya sebagai orang kepercayaannya untuk menjualkan dagangannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ditugaskan untuk berdagang ke negeri Syam sebanyak dua kali. Sepulangnya dari sana, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam membawa keuntungan yang besar dan harta yang melimpah. Khadijah radhiyallahu ‘anha terpikat dengan rasa amanah dan kebaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hingga akhirnya ia datang meminang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Khadijah pun menjadi istri pertama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam serta ibu bagi keempat putri beliau dan kedua anak laki-laki beliau, Al-Qasim dan Abdullah. Pernikahan beliau dengan Khadijah merupakan keberkahan dan salah satu bukti kebenaran firman Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.” (QS. Ad-Dhuha: 8) Sebagian ulama menafsirkan makna kecukupan di dalam ayat ini dengan pernikahan beliau dengan Khadijah dan kelimpahan harta Khadijah yang dapat beliau rasakan. Karena Khadijah adalah orang pertama yang memberikan hartanya untuk keperluan dakwah di jalan Allah Ta’ala. Motivasi Nabi agar umatnya bekerja dan berusaha Tidak diragukan lagi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bekerja dengan cara berdagang dan mencari penghasilan dari hasil kerja keras tangannya sendiri sebelum diutus menjadi Nabi. Dan seperti inilah kondisi para nabi terdahulu. Mereka makan dan mencari penghasilan dengan usaha tangan mereka sendiri. Diriwayatkan bahwa Nabi Nuh ‘alaihis salam merupakan seorang perajin kayu, Nabi Hud ‘alaihis salam adalah seorang pandai besi, dan Nabi Musa ‘alaihis salam merupakan seorang penggembala kambing. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memotivasi dan menyemangati para sahabatnya untuk bekerja dan berusaha. Di dalam Shahih Bukhari, disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما أكَلَ أحَدٌ طَعامًا قَطُّ، خَيْرًا مِن أنْ يَأْكُلَ مِن عَمَلِ يَدِهِ، وإنَّ نَبِيَّ اللَّهِ داوُدَ عليه السَّلامُ، كانَ يَأْكُلُ مِن عَمَلِ يَدِهِ “Tidak ada seseorang yang memakan satu makanan pun yang lebih baik dari makanan hasil usaha tangannya (bekerja) sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah Daud ‘alaihis salam memakan makanan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhari no. 2072) Di kesempatan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan dan memuji perihal Nabi Zakaria ‘alaihis salam, كانَ زَكَرِيَّاءُ نَجَّارًا. “Dahulu Zakaria bekerja sebagai seorang tukang kayu (pembuat mebel).” (HR. Muslim no. 2379) Jikalau nabi saja memuji para nabi terdahulu serta para sahabatnya yang mencari penghasilan dengan usaha tangannya sendiri, maka tidak diragukan lagi bahwa beliau merupakan teladan yang sempurna dalam hal mencari nafkah untuk keluarga bagi kita semua. Akan tetapi, yang mungkin menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah cara beliau shallallahu ‘alaihi wasallam untuk merealisasikan hal tersebut setelah beliau diutus menjadi seorang rasul yang harus mendakwahkan Islam ini kepada seluruh umat manusia? Di mana waktu beliau banyak dihabiskan untuk mengajarkan para sahabat terkait ajaran Islam yang penuh dengan kemuliaan ini, serta banyaknya kesibukan beliau dengan urusan kaum muslimin. Pembahasan berikut ini adalah sedikit penjelasan tentang bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berusaha memenuhi kebutuhan keluarganya dan mencari nafkah untuk mereka. Baca juga: Motivasi agar Giat dalam Bekerja dan Mencari Nafkah Sumber penghasilan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah diutus menjadi Nabi Jika menengok buku-buku sejarah yang ada, tidak banyak penulis yang membahas secara panjang lebar dan spesifik mengenai pekerjaan dan profesi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam serta sumber-sumber penghasilan beliau setelah diangkat menjadi Rasul dan fokus berdakwah. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak didapati menggeluti satu bidang saja di dalam mencari penghasilan, karena sibuknya beliau di dalam berdakwah, memimpin, dan mengatur strategi kaum muslimin. Akan tetapi, dari hadis-hadis yang ada, sering kita dengar dan kita temukan bahwa beliau melakukan praktik jual beli, di mana hal tersebut merupakan salah satu jalan untuk mendapatkan keuntungan dan penghasilan. Contohnya adalah apa yang beliau lakukan saat akan hijrah ke kota Madinah, tatkala itu Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menawarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam salah satu untanya untuk digunakan sebagai kendaraan berhijrah, namun beliau memilih untuk membelinya. Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata, يا رَسولَ اللَّهِ، إنَّ عِندِي نَاقَتَيْنِ أعْدَدْتُهُما لِلْخُرُوجِ، فَخُذْ إحْدَاهُمَا، قالَ: قدْ أخَذْتُهَا بالثَّمَنِ. “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku punya dua ekor unta yang telah aku siapkan keduanya untuk keluar hijrah, maka ambillah salah satunya.” Maka, beliau berkata, “Aku sudah mengambil salah satunya dan kamu terima harga jualnya.” (HR. Bukhari no. 2138) Dari kisah ini dapat disimpulkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sesekali dapat memenuhi kebutuhan hariannya dengan praktik jual beli dan berdagang. Di kesempatan lainnya, beliau dapat memenuhi kebutuhan keluarganya karena mendapatkan bagian dari harta rampasan perang. Dalam Islam, harta rampasan perang dibagi menjadi lima bagian. Empat bagian untuk mereka yang ikut berperang dan satu bagian lainnya, salah satunya diberikan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Anfal: 41) Di beberapa kesempatan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendapatkan bagian dari harta fa’i, yaitu harta yang didapatkan dari nonmuslim dengan cara damai tanpa peperangan. Di zaman tersebut, pendapatan kaum muslimin dari harta fa’i tidaklah kecil, sebagaimana tercantum di dalam Shahih Bukhari, كَانَتْ أَمْوَالُ بَنِي النَّضِيرِ ممَّا أَفَاءَ اللَّهُ علَى رَسولِهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، ممَّا لَمْ يُوجِفِ المُسْلِمُونَ عليه بخَيْلٍ، ولَا رِكَابٍ، فَكَانَتْ لِرَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ خَاصَّةً، وكانَ يُنْفِقُ علَى أَهْلِهِ نَفَقَةَ سَنَتِهِ، ثُمَّ يَجْعَلُ ما بَقِيَ في السِّلَاحِ والكُرَاعِ عُدَّةً في سَبيلِ اللَّهِ. “Harta benda Bani Nadhir adalah fa`i (pemberian Allah) kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam di mana kaum muslimin tidak perlu memacu kuda dan kendaraan perang mereka. Harta fa`i itu murni milik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka, beliau menyisihkan untuk nafkah keluarganya selama setahun, dan sisanya untuk tunggangan dan peralatan perang di jalan Allah.” (HR. Bukhari no. 2904 dan Muslim no. 1757) Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengganti jalan rezeki Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari yang sebelumnya beliau berdagang dan mendapatkan rezeki darinya, hingga kemudian tersibukkan dengan berdakwah dan mengajak umat untuk beribadah kepada Allah Ta’ala, Allah ganti jalan rezeki beliau dengan adanya bagian khusus dari harta rampasan perang dan harta fa’i. Sungguh Allah Mahaadil kepada para hamba-Nya. Telah kita ketahui bersama bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah memakan ataupun menerima harta zakat dan sedekah, namun beliau menerima dan tidak menolak hadiah serta pemberian. Di beberapa kesempatan, beliau bisa memenuhi kebutuhan hariannya karena mendapatkan hadiah dan pemberian dari keluarganya ataupun para sahabatnya. Sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ خَالَتَهُ أَهْدَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمْنًا وَأَضُبًّا وَأَقِطًا فَأَكَلَ مِنْ السَّمْنِ وَمِنْ الْأَقِطِ وَتَرَكَ الْأَضُبَّ تَقَذُّرًا وَأُكِلَ عَلَى مَائِدَتِهِ وَلَوْ كَانَ حَرَامًا مَا أُكِلَ عَلَى مَائِدَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Dari Ibnu Abbas bahwa bibinya telah memberi hadiah mentega, dhab, dan keju kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, beliau memakan sebagian dari mentega dan keju, serta meninggalkan dhab karena merasa jijik. Dan dhab tersebut dimakan di atas meja makan beliau, seandainya dhab itu haram, maka dhab tersebut tidak akan dimakan di atas meja makan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Bukhari no. 2575 dan Muslim no. 1947) Dari pemaparan singkat ini insyaAllah akan menjawab rasa penasaran kita perihal bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu kala memenuhi kebutuhan keluarganya, terutama setelah beliau diberikan amanat oleh Allah Ta’ala untuk berdakwah dan menyampaikan kebenaran yang tentu saja banyak menyita waktu beliau. Dapat disimpulkan bahwa pemasukan beliau setelah berdakwah dihasilkan dari usaha perdagangan yang ringan, ganimah, fa’i, dan juga hadiah serta pemberian dari para sahabatnya. Renungan Mungkin terbetik dan terlintas di pikiran kita, bukankan sumber pemasukan beliau ini kecil dan sedikit? Maka, jawabannya adalah inilah letak perbedaan beliau dan keluarganya dengan kita semua di masa sekarang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan keluarganya tidak menjadikan urusan makanan sebagai prioritas utama mereka. Mereka makan apa yang ada, mensyukurinya, dan tidak berlebih-lebihan di dalamnya. Tidak jarang jika di rumah beliau dan istri-istrinya, yang tersedia hanyalah air dan kurma. Pernah pula api tungku masak tidak menyala selama berbulan-bulan karena tidak ada bahan makanan yang dapat dimasak, dan bahkan beliau pernah mengganjal perutnya dengan batu karena rasa lapar yang dirasakannya. Sungguh, kesemuanya ini menggambarkan kesederhanaan dan kezuhudan beliau terhadap perkara dunia. Wahai saudaraku, sungguh, dalam diri Rasulullah terdapat suri teladan dalam hal rezeki. Beliau adalah manusia yang paling perhatian dengan keluarganya, peduli dengan mereka, dan tidak melupakan hak-hak mereka. Beliau juga paham skala prioritas dirinya sendiri, sehingga tidak terlena dengan kehidupan dunia dan lebih memfokuskan dirinya untuk kepentingan umat Islam. Beliau hidup dengan sederhana, namun sangat banyak kisah-kisah yang menyebutkan kepedulian beliau terhadap umatnya. Semoga kita semua dapat berjumpa dengan beliau di surga Allah Ta’ala. Baca juga: Jangan Jadikan Pekerjaanmu Hanya sebagai Rutinitas Harian Semata *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: pekerjaanpenghasilan

Sumber Penghasilan Nabi Muhammad

Daftar Isi Toggle Sumber penghasilan beliau sebelum diangkat menjadi NabiMotivasi Nabi agar umatnya bekerja dan berusahaSumber penghasilan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah diutus menjadi NabiRenungan Sumber penghasilan beliau sebelum diangkat menjadi Nabi Jika membaca buku-buku sirah dan biografi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka akan kita dapati rata-rata buku-buku tersebut akan membahas tentang kehidupan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum diangkat menjadi Nabi, semenjak kelahiran beliau hingga kemudian pertumbuhan beliau dalam kondisi yatim di bawah pengasuhan kakeknya Abdul Muttalib dan juga pamannya Abu Thalib. Akan kita temukan juga bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tumbuh dalam kondisi fakir dan kekurangan. Beliau hidup dengan menggembala kambing-kambing yang dimiliki oleh penduduk Makkah demi mendapatkan beberapa pemasukan. Hingga kemudian, tatkala beliau telah mencapai usia dewasa dan matang, beliau membantu menjualkan dagangan Khadijah radhiyallahu ‘anha yang tatkala itu merupakan salah satu saudagar kaya di kota Makkah. Khadijah melihat bahwa Muhammad muda shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki bakat dalam berdagang, maka ia menjadikannya sebagai orang kepercayaannya untuk menjualkan dagangannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ditugaskan untuk berdagang ke negeri Syam sebanyak dua kali. Sepulangnya dari sana, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam membawa keuntungan yang besar dan harta yang melimpah. Khadijah radhiyallahu ‘anha terpikat dengan rasa amanah dan kebaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hingga akhirnya ia datang meminang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Khadijah pun menjadi istri pertama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam serta ibu bagi keempat putri beliau dan kedua anak laki-laki beliau, Al-Qasim dan Abdullah. Pernikahan beliau dengan Khadijah merupakan keberkahan dan salah satu bukti kebenaran firman Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.” (QS. Ad-Dhuha: 8) Sebagian ulama menafsirkan makna kecukupan di dalam ayat ini dengan pernikahan beliau dengan Khadijah dan kelimpahan harta Khadijah yang dapat beliau rasakan. Karena Khadijah adalah orang pertama yang memberikan hartanya untuk keperluan dakwah di jalan Allah Ta’ala. Motivasi Nabi agar umatnya bekerja dan berusaha Tidak diragukan lagi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bekerja dengan cara berdagang dan mencari penghasilan dari hasil kerja keras tangannya sendiri sebelum diutus menjadi Nabi. Dan seperti inilah kondisi para nabi terdahulu. Mereka makan dan mencari penghasilan dengan usaha tangan mereka sendiri. Diriwayatkan bahwa Nabi Nuh ‘alaihis salam merupakan seorang perajin kayu, Nabi Hud ‘alaihis salam adalah seorang pandai besi, dan Nabi Musa ‘alaihis salam merupakan seorang penggembala kambing. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memotivasi dan menyemangati para sahabatnya untuk bekerja dan berusaha. Di dalam Shahih Bukhari, disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما أكَلَ أحَدٌ طَعامًا قَطُّ، خَيْرًا مِن أنْ يَأْكُلَ مِن عَمَلِ يَدِهِ، وإنَّ نَبِيَّ اللَّهِ داوُدَ عليه السَّلامُ، كانَ يَأْكُلُ مِن عَمَلِ يَدِهِ “Tidak ada seseorang yang memakan satu makanan pun yang lebih baik dari makanan hasil usaha tangannya (bekerja) sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah Daud ‘alaihis salam memakan makanan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhari no. 2072) Di kesempatan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan dan memuji perihal Nabi Zakaria ‘alaihis salam, كانَ زَكَرِيَّاءُ نَجَّارًا. “Dahulu Zakaria bekerja sebagai seorang tukang kayu (pembuat mebel).” (HR. Muslim no. 2379) Jikalau nabi saja memuji para nabi terdahulu serta para sahabatnya yang mencari penghasilan dengan usaha tangannya sendiri, maka tidak diragukan lagi bahwa beliau merupakan teladan yang sempurna dalam hal mencari nafkah untuk keluarga bagi kita semua. Akan tetapi, yang mungkin menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah cara beliau shallallahu ‘alaihi wasallam untuk merealisasikan hal tersebut setelah beliau diutus menjadi seorang rasul yang harus mendakwahkan Islam ini kepada seluruh umat manusia? Di mana waktu beliau banyak dihabiskan untuk mengajarkan para sahabat terkait ajaran Islam yang penuh dengan kemuliaan ini, serta banyaknya kesibukan beliau dengan urusan kaum muslimin. Pembahasan berikut ini adalah sedikit penjelasan tentang bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berusaha memenuhi kebutuhan keluarganya dan mencari nafkah untuk mereka. Baca juga: Motivasi agar Giat dalam Bekerja dan Mencari Nafkah Sumber penghasilan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah diutus menjadi Nabi Jika menengok buku-buku sejarah yang ada, tidak banyak penulis yang membahas secara panjang lebar dan spesifik mengenai pekerjaan dan profesi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam serta sumber-sumber penghasilan beliau setelah diangkat menjadi Rasul dan fokus berdakwah. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak didapati menggeluti satu bidang saja di dalam mencari penghasilan, karena sibuknya beliau di dalam berdakwah, memimpin, dan mengatur strategi kaum muslimin. Akan tetapi, dari hadis-hadis yang ada, sering kita dengar dan kita temukan bahwa beliau melakukan praktik jual beli, di mana hal tersebut merupakan salah satu jalan untuk mendapatkan keuntungan dan penghasilan. Contohnya adalah apa yang beliau lakukan saat akan hijrah ke kota Madinah, tatkala itu Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menawarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam salah satu untanya untuk digunakan sebagai kendaraan berhijrah, namun beliau memilih untuk membelinya. Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata, يا رَسولَ اللَّهِ، إنَّ عِندِي نَاقَتَيْنِ أعْدَدْتُهُما لِلْخُرُوجِ، فَخُذْ إحْدَاهُمَا، قالَ: قدْ أخَذْتُهَا بالثَّمَنِ. “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku punya dua ekor unta yang telah aku siapkan keduanya untuk keluar hijrah, maka ambillah salah satunya.” Maka, beliau berkata, “Aku sudah mengambil salah satunya dan kamu terima harga jualnya.” (HR. Bukhari no. 2138) Dari kisah ini dapat disimpulkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sesekali dapat memenuhi kebutuhan hariannya dengan praktik jual beli dan berdagang. Di kesempatan lainnya, beliau dapat memenuhi kebutuhan keluarganya karena mendapatkan bagian dari harta rampasan perang. Dalam Islam, harta rampasan perang dibagi menjadi lima bagian. Empat bagian untuk mereka yang ikut berperang dan satu bagian lainnya, salah satunya diberikan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Anfal: 41) Di beberapa kesempatan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendapatkan bagian dari harta fa’i, yaitu harta yang didapatkan dari nonmuslim dengan cara damai tanpa peperangan. Di zaman tersebut, pendapatan kaum muslimin dari harta fa’i tidaklah kecil, sebagaimana tercantum di dalam Shahih Bukhari, كَانَتْ أَمْوَالُ بَنِي النَّضِيرِ ممَّا أَفَاءَ اللَّهُ علَى رَسولِهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، ممَّا لَمْ يُوجِفِ المُسْلِمُونَ عليه بخَيْلٍ، ولَا رِكَابٍ، فَكَانَتْ لِرَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ خَاصَّةً، وكانَ يُنْفِقُ علَى أَهْلِهِ نَفَقَةَ سَنَتِهِ، ثُمَّ يَجْعَلُ ما بَقِيَ في السِّلَاحِ والكُرَاعِ عُدَّةً في سَبيلِ اللَّهِ. “Harta benda Bani Nadhir adalah fa`i (pemberian Allah) kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam di mana kaum muslimin tidak perlu memacu kuda dan kendaraan perang mereka. Harta fa`i itu murni milik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka, beliau menyisihkan untuk nafkah keluarganya selama setahun, dan sisanya untuk tunggangan dan peralatan perang di jalan Allah.” (HR. Bukhari no. 2904 dan Muslim no. 1757) Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengganti jalan rezeki Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari yang sebelumnya beliau berdagang dan mendapatkan rezeki darinya, hingga kemudian tersibukkan dengan berdakwah dan mengajak umat untuk beribadah kepada Allah Ta’ala, Allah ganti jalan rezeki beliau dengan adanya bagian khusus dari harta rampasan perang dan harta fa’i. Sungguh Allah Mahaadil kepada para hamba-Nya. Telah kita ketahui bersama bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah memakan ataupun menerima harta zakat dan sedekah, namun beliau menerima dan tidak menolak hadiah serta pemberian. Di beberapa kesempatan, beliau bisa memenuhi kebutuhan hariannya karena mendapatkan hadiah dan pemberian dari keluarganya ataupun para sahabatnya. Sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ خَالَتَهُ أَهْدَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمْنًا وَأَضُبًّا وَأَقِطًا فَأَكَلَ مِنْ السَّمْنِ وَمِنْ الْأَقِطِ وَتَرَكَ الْأَضُبَّ تَقَذُّرًا وَأُكِلَ عَلَى مَائِدَتِهِ وَلَوْ كَانَ حَرَامًا مَا أُكِلَ عَلَى مَائِدَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Dari Ibnu Abbas bahwa bibinya telah memberi hadiah mentega, dhab, dan keju kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, beliau memakan sebagian dari mentega dan keju, serta meninggalkan dhab karena merasa jijik. Dan dhab tersebut dimakan di atas meja makan beliau, seandainya dhab itu haram, maka dhab tersebut tidak akan dimakan di atas meja makan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Bukhari no. 2575 dan Muslim no. 1947) Dari pemaparan singkat ini insyaAllah akan menjawab rasa penasaran kita perihal bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu kala memenuhi kebutuhan keluarganya, terutama setelah beliau diberikan amanat oleh Allah Ta’ala untuk berdakwah dan menyampaikan kebenaran yang tentu saja banyak menyita waktu beliau. Dapat disimpulkan bahwa pemasukan beliau setelah berdakwah dihasilkan dari usaha perdagangan yang ringan, ganimah, fa’i, dan juga hadiah serta pemberian dari para sahabatnya. Renungan Mungkin terbetik dan terlintas di pikiran kita, bukankan sumber pemasukan beliau ini kecil dan sedikit? Maka, jawabannya adalah inilah letak perbedaan beliau dan keluarganya dengan kita semua di masa sekarang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan keluarganya tidak menjadikan urusan makanan sebagai prioritas utama mereka. Mereka makan apa yang ada, mensyukurinya, dan tidak berlebih-lebihan di dalamnya. Tidak jarang jika di rumah beliau dan istri-istrinya, yang tersedia hanyalah air dan kurma. Pernah pula api tungku masak tidak menyala selama berbulan-bulan karena tidak ada bahan makanan yang dapat dimasak, dan bahkan beliau pernah mengganjal perutnya dengan batu karena rasa lapar yang dirasakannya. Sungguh, kesemuanya ini menggambarkan kesederhanaan dan kezuhudan beliau terhadap perkara dunia. Wahai saudaraku, sungguh, dalam diri Rasulullah terdapat suri teladan dalam hal rezeki. Beliau adalah manusia yang paling perhatian dengan keluarganya, peduli dengan mereka, dan tidak melupakan hak-hak mereka. Beliau juga paham skala prioritas dirinya sendiri, sehingga tidak terlena dengan kehidupan dunia dan lebih memfokuskan dirinya untuk kepentingan umat Islam. Beliau hidup dengan sederhana, namun sangat banyak kisah-kisah yang menyebutkan kepedulian beliau terhadap umatnya. Semoga kita semua dapat berjumpa dengan beliau di surga Allah Ta’ala. Baca juga: Jangan Jadikan Pekerjaanmu Hanya sebagai Rutinitas Harian Semata *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: pekerjaanpenghasilan
Daftar Isi Toggle Sumber penghasilan beliau sebelum diangkat menjadi NabiMotivasi Nabi agar umatnya bekerja dan berusahaSumber penghasilan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah diutus menjadi NabiRenungan Sumber penghasilan beliau sebelum diangkat menjadi Nabi Jika membaca buku-buku sirah dan biografi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka akan kita dapati rata-rata buku-buku tersebut akan membahas tentang kehidupan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum diangkat menjadi Nabi, semenjak kelahiran beliau hingga kemudian pertumbuhan beliau dalam kondisi yatim di bawah pengasuhan kakeknya Abdul Muttalib dan juga pamannya Abu Thalib. Akan kita temukan juga bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tumbuh dalam kondisi fakir dan kekurangan. Beliau hidup dengan menggembala kambing-kambing yang dimiliki oleh penduduk Makkah demi mendapatkan beberapa pemasukan. Hingga kemudian, tatkala beliau telah mencapai usia dewasa dan matang, beliau membantu menjualkan dagangan Khadijah radhiyallahu ‘anha yang tatkala itu merupakan salah satu saudagar kaya di kota Makkah. Khadijah melihat bahwa Muhammad muda shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki bakat dalam berdagang, maka ia menjadikannya sebagai orang kepercayaannya untuk menjualkan dagangannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ditugaskan untuk berdagang ke negeri Syam sebanyak dua kali. Sepulangnya dari sana, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam membawa keuntungan yang besar dan harta yang melimpah. Khadijah radhiyallahu ‘anha terpikat dengan rasa amanah dan kebaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hingga akhirnya ia datang meminang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Khadijah pun menjadi istri pertama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam serta ibu bagi keempat putri beliau dan kedua anak laki-laki beliau, Al-Qasim dan Abdullah. Pernikahan beliau dengan Khadijah merupakan keberkahan dan salah satu bukti kebenaran firman Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.” (QS. Ad-Dhuha: 8) Sebagian ulama menafsirkan makna kecukupan di dalam ayat ini dengan pernikahan beliau dengan Khadijah dan kelimpahan harta Khadijah yang dapat beliau rasakan. Karena Khadijah adalah orang pertama yang memberikan hartanya untuk keperluan dakwah di jalan Allah Ta’ala. Motivasi Nabi agar umatnya bekerja dan berusaha Tidak diragukan lagi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bekerja dengan cara berdagang dan mencari penghasilan dari hasil kerja keras tangannya sendiri sebelum diutus menjadi Nabi. Dan seperti inilah kondisi para nabi terdahulu. Mereka makan dan mencari penghasilan dengan usaha tangan mereka sendiri. Diriwayatkan bahwa Nabi Nuh ‘alaihis salam merupakan seorang perajin kayu, Nabi Hud ‘alaihis salam adalah seorang pandai besi, dan Nabi Musa ‘alaihis salam merupakan seorang penggembala kambing. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memotivasi dan menyemangati para sahabatnya untuk bekerja dan berusaha. Di dalam Shahih Bukhari, disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما أكَلَ أحَدٌ طَعامًا قَطُّ، خَيْرًا مِن أنْ يَأْكُلَ مِن عَمَلِ يَدِهِ، وإنَّ نَبِيَّ اللَّهِ داوُدَ عليه السَّلامُ، كانَ يَأْكُلُ مِن عَمَلِ يَدِهِ “Tidak ada seseorang yang memakan satu makanan pun yang lebih baik dari makanan hasil usaha tangannya (bekerja) sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah Daud ‘alaihis salam memakan makanan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhari no. 2072) Di kesempatan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan dan memuji perihal Nabi Zakaria ‘alaihis salam, كانَ زَكَرِيَّاءُ نَجَّارًا. “Dahulu Zakaria bekerja sebagai seorang tukang kayu (pembuat mebel).” (HR. Muslim no. 2379) Jikalau nabi saja memuji para nabi terdahulu serta para sahabatnya yang mencari penghasilan dengan usaha tangannya sendiri, maka tidak diragukan lagi bahwa beliau merupakan teladan yang sempurna dalam hal mencari nafkah untuk keluarga bagi kita semua. Akan tetapi, yang mungkin menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah cara beliau shallallahu ‘alaihi wasallam untuk merealisasikan hal tersebut setelah beliau diutus menjadi seorang rasul yang harus mendakwahkan Islam ini kepada seluruh umat manusia? Di mana waktu beliau banyak dihabiskan untuk mengajarkan para sahabat terkait ajaran Islam yang penuh dengan kemuliaan ini, serta banyaknya kesibukan beliau dengan urusan kaum muslimin. Pembahasan berikut ini adalah sedikit penjelasan tentang bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berusaha memenuhi kebutuhan keluarganya dan mencari nafkah untuk mereka. Baca juga: Motivasi agar Giat dalam Bekerja dan Mencari Nafkah Sumber penghasilan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah diutus menjadi Nabi Jika menengok buku-buku sejarah yang ada, tidak banyak penulis yang membahas secara panjang lebar dan spesifik mengenai pekerjaan dan profesi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam serta sumber-sumber penghasilan beliau setelah diangkat menjadi Rasul dan fokus berdakwah. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak didapati menggeluti satu bidang saja di dalam mencari penghasilan, karena sibuknya beliau di dalam berdakwah, memimpin, dan mengatur strategi kaum muslimin. Akan tetapi, dari hadis-hadis yang ada, sering kita dengar dan kita temukan bahwa beliau melakukan praktik jual beli, di mana hal tersebut merupakan salah satu jalan untuk mendapatkan keuntungan dan penghasilan. Contohnya adalah apa yang beliau lakukan saat akan hijrah ke kota Madinah, tatkala itu Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menawarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam salah satu untanya untuk digunakan sebagai kendaraan berhijrah, namun beliau memilih untuk membelinya. Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata, يا رَسولَ اللَّهِ، إنَّ عِندِي نَاقَتَيْنِ أعْدَدْتُهُما لِلْخُرُوجِ، فَخُذْ إحْدَاهُمَا، قالَ: قدْ أخَذْتُهَا بالثَّمَنِ. “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku punya dua ekor unta yang telah aku siapkan keduanya untuk keluar hijrah, maka ambillah salah satunya.” Maka, beliau berkata, “Aku sudah mengambil salah satunya dan kamu terima harga jualnya.” (HR. Bukhari no. 2138) Dari kisah ini dapat disimpulkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sesekali dapat memenuhi kebutuhan hariannya dengan praktik jual beli dan berdagang. Di kesempatan lainnya, beliau dapat memenuhi kebutuhan keluarganya karena mendapatkan bagian dari harta rampasan perang. Dalam Islam, harta rampasan perang dibagi menjadi lima bagian. Empat bagian untuk mereka yang ikut berperang dan satu bagian lainnya, salah satunya diberikan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Anfal: 41) Di beberapa kesempatan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendapatkan bagian dari harta fa’i, yaitu harta yang didapatkan dari nonmuslim dengan cara damai tanpa peperangan. Di zaman tersebut, pendapatan kaum muslimin dari harta fa’i tidaklah kecil, sebagaimana tercantum di dalam Shahih Bukhari, كَانَتْ أَمْوَالُ بَنِي النَّضِيرِ ممَّا أَفَاءَ اللَّهُ علَى رَسولِهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، ممَّا لَمْ يُوجِفِ المُسْلِمُونَ عليه بخَيْلٍ، ولَا رِكَابٍ، فَكَانَتْ لِرَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ خَاصَّةً، وكانَ يُنْفِقُ علَى أَهْلِهِ نَفَقَةَ سَنَتِهِ، ثُمَّ يَجْعَلُ ما بَقِيَ في السِّلَاحِ والكُرَاعِ عُدَّةً في سَبيلِ اللَّهِ. “Harta benda Bani Nadhir adalah fa`i (pemberian Allah) kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam di mana kaum muslimin tidak perlu memacu kuda dan kendaraan perang mereka. Harta fa`i itu murni milik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka, beliau menyisihkan untuk nafkah keluarganya selama setahun, dan sisanya untuk tunggangan dan peralatan perang di jalan Allah.” (HR. Bukhari no. 2904 dan Muslim no. 1757) Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengganti jalan rezeki Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari yang sebelumnya beliau berdagang dan mendapatkan rezeki darinya, hingga kemudian tersibukkan dengan berdakwah dan mengajak umat untuk beribadah kepada Allah Ta’ala, Allah ganti jalan rezeki beliau dengan adanya bagian khusus dari harta rampasan perang dan harta fa’i. Sungguh Allah Mahaadil kepada para hamba-Nya. Telah kita ketahui bersama bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah memakan ataupun menerima harta zakat dan sedekah, namun beliau menerima dan tidak menolak hadiah serta pemberian. Di beberapa kesempatan, beliau bisa memenuhi kebutuhan hariannya karena mendapatkan hadiah dan pemberian dari keluarganya ataupun para sahabatnya. Sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ خَالَتَهُ أَهْدَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمْنًا وَأَضُبًّا وَأَقِطًا فَأَكَلَ مِنْ السَّمْنِ وَمِنْ الْأَقِطِ وَتَرَكَ الْأَضُبَّ تَقَذُّرًا وَأُكِلَ عَلَى مَائِدَتِهِ وَلَوْ كَانَ حَرَامًا مَا أُكِلَ عَلَى مَائِدَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Dari Ibnu Abbas bahwa bibinya telah memberi hadiah mentega, dhab, dan keju kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, beliau memakan sebagian dari mentega dan keju, serta meninggalkan dhab karena merasa jijik. Dan dhab tersebut dimakan di atas meja makan beliau, seandainya dhab itu haram, maka dhab tersebut tidak akan dimakan di atas meja makan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Bukhari no. 2575 dan Muslim no. 1947) Dari pemaparan singkat ini insyaAllah akan menjawab rasa penasaran kita perihal bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu kala memenuhi kebutuhan keluarganya, terutama setelah beliau diberikan amanat oleh Allah Ta’ala untuk berdakwah dan menyampaikan kebenaran yang tentu saja banyak menyita waktu beliau. Dapat disimpulkan bahwa pemasukan beliau setelah berdakwah dihasilkan dari usaha perdagangan yang ringan, ganimah, fa’i, dan juga hadiah serta pemberian dari para sahabatnya. Renungan Mungkin terbetik dan terlintas di pikiran kita, bukankan sumber pemasukan beliau ini kecil dan sedikit? Maka, jawabannya adalah inilah letak perbedaan beliau dan keluarganya dengan kita semua di masa sekarang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan keluarganya tidak menjadikan urusan makanan sebagai prioritas utama mereka. Mereka makan apa yang ada, mensyukurinya, dan tidak berlebih-lebihan di dalamnya. Tidak jarang jika di rumah beliau dan istri-istrinya, yang tersedia hanyalah air dan kurma. Pernah pula api tungku masak tidak menyala selama berbulan-bulan karena tidak ada bahan makanan yang dapat dimasak, dan bahkan beliau pernah mengganjal perutnya dengan batu karena rasa lapar yang dirasakannya. Sungguh, kesemuanya ini menggambarkan kesederhanaan dan kezuhudan beliau terhadap perkara dunia. Wahai saudaraku, sungguh, dalam diri Rasulullah terdapat suri teladan dalam hal rezeki. Beliau adalah manusia yang paling perhatian dengan keluarganya, peduli dengan mereka, dan tidak melupakan hak-hak mereka. Beliau juga paham skala prioritas dirinya sendiri, sehingga tidak terlena dengan kehidupan dunia dan lebih memfokuskan dirinya untuk kepentingan umat Islam. Beliau hidup dengan sederhana, namun sangat banyak kisah-kisah yang menyebutkan kepedulian beliau terhadap umatnya. Semoga kita semua dapat berjumpa dengan beliau di surga Allah Ta’ala. Baca juga: Jangan Jadikan Pekerjaanmu Hanya sebagai Rutinitas Harian Semata *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: pekerjaanpenghasilan


Daftar Isi Toggle Sumber penghasilan beliau sebelum diangkat menjadi NabiMotivasi Nabi agar umatnya bekerja dan berusahaSumber penghasilan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah diutus menjadi NabiRenungan Sumber penghasilan beliau sebelum diangkat menjadi Nabi Jika membaca buku-buku sirah dan biografi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka akan kita dapati rata-rata buku-buku tersebut akan membahas tentang kehidupan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum diangkat menjadi Nabi, semenjak kelahiran beliau hingga kemudian pertumbuhan beliau dalam kondisi yatim di bawah pengasuhan kakeknya Abdul Muttalib dan juga pamannya Abu Thalib. Akan kita temukan juga bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tumbuh dalam kondisi fakir dan kekurangan. Beliau hidup dengan menggembala kambing-kambing yang dimiliki oleh penduduk Makkah demi mendapatkan beberapa pemasukan. Hingga kemudian, tatkala beliau telah mencapai usia dewasa dan matang, beliau membantu menjualkan dagangan Khadijah radhiyallahu ‘anha yang tatkala itu merupakan salah satu saudagar kaya di kota Makkah. Khadijah melihat bahwa Muhammad muda shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki bakat dalam berdagang, maka ia menjadikannya sebagai orang kepercayaannya untuk menjualkan dagangannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ditugaskan untuk berdagang ke negeri Syam sebanyak dua kali. Sepulangnya dari sana, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam membawa keuntungan yang besar dan harta yang melimpah. Khadijah radhiyallahu ‘anha terpikat dengan rasa amanah dan kebaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hingga akhirnya ia datang meminang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Khadijah pun menjadi istri pertama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam serta ibu bagi keempat putri beliau dan kedua anak laki-laki beliau, Al-Qasim dan Abdullah. Pernikahan beliau dengan Khadijah merupakan keberkahan dan salah satu bukti kebenaran firman Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.” (QS. Ad-Dhuha: 8) Sebagian ulama menafsirkan makna kecukupan di dalam ayat ini dengan pernikahan beliau dengan Khadijah dan kelimpahan harta Khadijah yang dapat beliau rasakan. Karena Khadijah adalah orang pertama yang memberikan hartanya untuk keperluan dakwah di jalan Allah Ta’ala. Motivasi Nabi agar umatnya bekerja dan berusaha Tidak diragukan lagi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bekerja dengan cara berdagang dan mencari penghasilan dari hasil kerja keras tangannya sendiri sebelum diutus menjadi Nabi. Dan seperti inilah kondisi para nabi terdahulu. Mereka makan dan mencari penghasilan dengan usaha tangan mereka sendiri. Diriwayatkan bahwa Nabi Nuh ‘alaihis salam merupakan seorang perajin kayu, Nabi Hud ‘alaihis salam adalah seorang pandai besi, dan Nabi Musa ‘alaihis salam merupakan seorang penggembala kambing. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memotivasi dan menyemangati para sahabatnya untuk bekerja dan berusaha. Di dalam Shahih Bukhari, disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما أكَلَ أحَدٌ طَعامًا قَطُّ، خَيْرًا مِن أنْ يَأْكُلَ مِن عَمَلِ يَدِهِ، وإنَّ نَبِيَّ اللَّهِ داوُدَ عليه السَّلامُ، كانَ يَأْكُلُ مِن عَمَلِ يَدِهِ “Tidak ada seseorang yang memakan satu makanan pun yang lebih baik dari makanan hasil usaha tangannya (bekerja) sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah Daud ‘alaihis salam memakan makanan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhari no. 2072) Di kesempatan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan dan memuji perihal Nabi Zakaria ‘alaihis salam, كانَ زَكَرِيَّاءُ نَجَّارًا. “Dahulu Zakaria bekerja sebagai seorang tukang kayu (pembuat mebel).” (HR. Muslim no. 2379) Jikalau nabi saja memuji para nabi terdahulu serta para sahabatnya yang mencari penghasilan dengan usaha tangannya sendiri, maka tidak diragukan lagi bahwa beliau merupakan teladan yang sempurna dalam hal mencari nafkah untuk keluarga bagi kita semua. Akan tetapi, yang mungkin menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah cara beliau shallallahu ‘alaihi wasallam untuk merealisasikan hal tersebut setelah beliau diutus menjadi seorang rasul yang harus mendakwahkan Islam ini kepada seluruh umat manusia? Di mana waktu beliau banyak dihabiskan untuk mengajarkan para sahabat terkait ajaran Islam yang penuh dengan kemuliaan ini, serta banyaknya kesibukan beliau dengan urusan kaum muslimin. Pembahasan berikut ini adalah sedikit penjelasan tentang bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berusaha memenuhi kebutuhan keluarganya dan mencari nafkah untuk mereka. Baca juga: Motivasi agar Giat dalam Bekerja dan Mencari Nafkah Sumber penghasilan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah diutus menjadi Nabi Jika menengok buku-buku sejarah yang ada, tidak banyak penulis yang membahas secara panjang lebar dan spesifik mengenai pekerjaan dan profesi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam serta sumber-sumber penghasilan beliau setelah diangkat menjadi Rasul dan fokus berdakwah. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak didapati menggeluti satu bidang saja di dalam mencari penghasilan, karena sibuknya beliau di dalam berdakwah, memimpin, dan mengatur strategi kaum muslimin. Akan tetapi, dari hadis-hadis yang ada, sering kita dengar dan kita temukan bahwa beliau melakukan praktik jual beli, di mana hal tersebut merupakan salah satu jalan untuk mendapatkan keuntungan dan penghasilan. Contohnya adalah apa yang beliau lakukan saat akan hijrah ke kota Madinah, tatkala itu Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menawarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam salah satu untanya untuk digunakan sebagai kendaraan berhijrah, namun beliau memilih untuk membelinya. Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata, يا رَسولَ اللَّهِ، إنَّ عِندِي نَاقَتَيْنِ أعْدَدْتُهُما لِلْخُرُوجِ، فَخُذْ إحْدَاهُمَا، قالَ: قدْ أخَذْتُهَا بالثَّمَنِ. “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku punya dua ekor unta yang telah aku siapkan keduanya untuk keluar hijrah, maka ambillah salah satunya.” Maka, beliau berkata, “Aku sudah mengambil salah satunya dan kamu terima harga jualnya.” (HR. Bukhari no. 2138) Dari kisah ini dapat disimpulkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sesekali dapat memenuhi kebutuhan hariannya dengan praktik jual beli dan berdagang. Di kesempatan lainnya, beliau dapat memenuhi kebutuhan keluarganya karena mendapatkan bagian dari harta rampasan perang. Dalam Islam, harta rampasan perang dibagi menjadi lima bagian. Empat bagian untuk mereka yang ikut berperang dan satu bagian lainnya, salah satunya diberikan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Anfal: 41) Di beberapa kesempatan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendapatkan bagian dari harta fa’i, yaitu harta yang didapatkan dari nonmuslim dengan cara damai tanpa peperangan. Di zaman tersebut, pendapatan kaum muslimin dari harta fa’i tidaklah kecil, sebagaimana tercantum di dalam Shahih Bukhari, كَانَتْ أَمْوَالُ بَنِي النَّضِيرِ ممَّا أَفَاءَ اللَّهُ علَى رَسولِهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، ممَّا لَمْ يُوجِفِ المُسْلِمُونَ عليه بخَيْلٍ، ولَا رِكَابٍ، فَكَانَتْ لِرَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ خَاصَّةً، وكانَ يُنْفِقُ علَى أَهْلِهِ نَفَقَةَ سَنَتِهِ، ثُمَّ يَجْعَلُ ما بَقِيَ في السِّلَاحِ والكُرَاعِ عُدَّةً في سَبيلِ اللَّهِ. “Harta benda Bani Nadhir adalah fa`i (pemberian Allah) kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam di mana kaum muslimin tidak perlu memacu kuda dan kendaraan perang mereka. Harta fa`i itu murni milik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka, beliau menyisihkan untuk nafkah keluarganya selama setahun, dan sisanya untuk tunggangan dan peralatan perang di jalan Allah.” (HR. Bukhari no. 2904 dan Muslim no. 1757) Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengganti jalan rezeki Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari yang sebelumnya beliau berdagang dan mendapatkan rezeki darinya, hingga kemudian tersibukkan dengan berdakwah dan mengajak umat untuk beribadah kepada Allah Ta’ala, Allah ganti jalan rezeki beliau dengan adanya bagian khusus dari harta rampasan perang dan harta fa’i. Sungguh Allah Mahaadil kepada para hamba-Nya. Telah kita ketahui bersama bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah memakan ataupun menerima harta zakat dan sedekah, namun beliau menerima dan tidak menolak hadiah serta pemberian. Di beberapa kesempatan, beliau bisa memenuhi kebutuhan hariannya karena mendapatkan hadiah dan pemberian dari keluarganya ataupun para sahabatnya. Sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ خَالَتَهُ أَهْدَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمْنًا وَأَضُبًّا وَأَقِطًا فَأَكَلَ مِنْ السَّمْنِ وَمِنْ الْأَقِطِ وَتَرَكَ الْأَضُبَّ تَقَذُّرًا وَأُكِلَ عَلَى مَائِدَتِهِ وَلَوْ كَانَ حَرَامًا مَا أُكِلَ عَلَى مَائِدَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Dari Ibnu Abbas bahwa bibinya telah memberi hadiah mentega, dhab, dan keju kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, beliau memakan sebagian dari mentega dan keju, serta meninggalkan dhab karena merasa jijik. Dan dhab tersebut dimakan di atas meja makan beliau, seandainya dhab itu haram, maka dhab tersebut tidak akan dimakan di atas meja makan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Bukhari no. 2575 dan Muslim no. 1947) Dari pemaparan singkat ini insyaAllah akan menjawab rasa penasaran kita perihal bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu kala memenuhi kebutuhan keluarganya, terutama setelah beliau diberikan amanat oleh Allah Ta’ala untuk berdakwah dan menyampaikan kebenaran yang tentu saja banyak menyita waktu beliau. Dapat disimpulkan bahwa pemasukan beliau setelah berdakwah dihasilkan dari usaha perdagangan yang ringan, ganimah, fa’i, dan juga hadiah serta pemberian dari para sahabatnya. Renungan Mungkin terbetik dan terlintas di pikiran kita, bukankan sumber pemasukan beliau ini kecil dan sedikit? Maka, jawabannya adalah inilah letak perbedaan beliau dan keluarganya dengan kita semua di masa sekarang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan keluarganya tidak menjadikan urusan makanan sebagai prioritas utama mereka. Mereka makan apa yang ada, mensyukurinya, dan tidak berlebih-lebihan di dalamnya. Tidak jarang jika di rumah beliau dan istri-istrinya, yang tersedia hanyalah air dan kurma. Pernah pula api tungku masak tidak menyala selama berbulan-bulan karena tidak ada bahan makanan yang dapat dimasak, dan bahkan beliau pernah mengganjal perutnya dengan batu karena rasa lapar yang dirasakannya. Sungguh, kesemuanya ini menggambarkan kesederhanaan dan kezuhudan beliau terhadap perkara dunia. Wahai saudaraku, sungguh, dalam diri Rasulullah terdapat suri teladan dalam hal rezeki. Beliau adalah manusia yang paling perhatian dengan keluarganya, peduli dengan mereka, dan tidak melupakan hak-hak mereka. Beliau juga paham skala prioritas dirinya sendiri, sehingga tidak terlena dengan kehidupan dunia dan lebih memfokuskan dirinya untuk kepentingan umat Islam. Beliau hidup dengan sederhana, namun sangat banyak kisah-kisah yang menyebutkan kepedulian beliau terhadap umatnya. Semoga kita semua dapat berjumpa dengan beliau di surga Allah Ta’ala. Baca juga: Jangan Jadikan Pekerjaanmu Hanya sebagai Rutinitas Harian Semata *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: pekerjaanpenghasilan

Penghilang Kegalauan

Daftar Isi Toggle Kembali kepada AllahPerbaiki salatMembaca Al-Qur’anDoaIstigfar Problem dalam kehidupan merupakan sesuatu yang niscaya terjadi bagi setiap insan. Masalah hidup sering membuat seseorang gundah gulana. Mulai dari persoalan ekonomi, seperti: kemiskinan, kelaparan, kekurangan harta, hingga persoalan sosial, seperti: konflik antar sesama, retaknya hubungan kekerabatan/keluarga, serta terkucilkan dari lingkungan pergaulan. Saudaraku, apabila kita coba merenungi lebih dalam tentang hakikat kehidupan yang telah Allah ciptakan secara paripurna ini, maka kita dapati bahwa memang segala persoalan yang dihadapi oleh setiap insan merupakan skenario Allah Ta’ala untuk menguji siapa di antara hamba-hamba-Nya yang terbaik amalannya. Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْمَوْتَ وَٱلْحَيَوٰةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْغَفُورُ “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2) Begitu pula halnya dengan segala bentuk ujian kehidupan. Bagaimana mungkin kita memperoleh predikat sebagai hamba Allah yang bersabar jika tidak ada bukti dari kesabaran tersebut melalui cobaan yang diberikan oleh Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya, وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155) Namun, apabila kita benar-benar bersandar pada prinsip-prinsip Islam dalam menjalani kehidupan ini, maka insyaAllah terasa ringanlah segala persoalan itu, seberat apapun bebannya. Perhatikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut. إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ “Dunia itu terlaknat dan segala yang terkandung di dalamnya pun terlaknat, kecuali orang yang berzikir kepada Allah, yang melakukan ketaatan kepada-Nya, seorang ‘alim atau penuntut ilmu syar’i.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah. Dalam Shahihul Jami’, Syekh Al-Albani mengatakan, “Hadis ini hasan.”) Dalam hadis lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَوْ كَانَت الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ الله جَنَاحَ بَعُوضَةٍ ، مَا سَقَى كَافِراً مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ “Seandainya dunia ini di sisi Allah senilai harganya dengan sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum barang seteguk sekalipun kepada orang kafir.” (HR. Tirmidzi, dan dia berkata, “Hadis hasan sahih.” dari Sa’id As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu.) Ketahuilah, bahwa tidak seorang pun manusia yang terlepas dari ujian dan cobaan. Renungkanlah kisah-kisah yang dapat diambil dari sirah nabawiyah. Bagaimana kesedihan yang menimpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika istrinya Khadijah radhiyallahu ‘anha wafat yang kemudian disusul pamannya Abu Thalib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mendapatkan ujian berupa kehilangan semua putra-putranya di usia mereka yang masih belia, dan berbagai ujian yang menimpa beliau. Namun, beliau mampu mencontohkan kepada kita bagaimana menghadapi semua persoalan kehidupan tersebut dengan penuh kebijaksanaan. Oleh karenanya, mari kita mengambil hikmah dari teladan kita yang mulia tersebut. Melalui artikel ini, kiranya kita dapat sedikit membekali diri untuk lebih bijak dalam menyikapi berbagai persoalan kehidupan berupa ujian/musibah yang menimpa. Berikut beberapa poin yang bisa kita tanamkan dalam jiwa kita setiap kali menghadapi permasalahan. Kembali kepada Allah Lihatlah kembali sejarah Islam sebagai ibrah. Kaum muslimin mengalami guncangan batin yang cukup berat tatkala Allah Ta’ala mentakdirkan mereka untuk kalah di perang Uhud. Sebanyak 700 pasukan muslimin berhadapan dengan lebih dari 3000 pasukan kuffar. Padahal, hampir saja kaum muslimin memenangkan peperangan. Namun, ketika 43 dari 50 pasukan ahli panah yang berada di atas bukit tergiur untuk mengambil ghanimah musuh yang hampir kalah (padahal Rasulullah telah memerintahkan mereka untuk tetap berada di atas bukit), maka Allah Ta’ala memberikan teguran kepada mereka berupa kembalinya kekuatan musuh hingga keadaan berbalik sebagai pelajaran berharga bagi kaum muslimin. Terdapat setidaknya 2 (dua) sebab kekalahan kaum muslimin dari perang Uhud tersebut, yaitu: tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan berlebihan pada cinta dunia. Maka, sadarilah bahwa ketika ujian sedang menimpa diri kita. Lihat dan muhasabahlah diri, lalu tanyakan, “Adakah perintah Allah dan Rasul-Nya yang telah aku langgar?” Atau, “Apakah diri ini terlalu berlebihan cinta terhadap perkara duniawi?” Saudaraku, tatkala jawaban dari salah satu atau kedua pertanyaan tersebut adalah “Ya”, maka kembalilah kepada Allah Ta’ala. Segera bertobat, beristigfar, dan paksakan diri untuk menjadi hamba Allah Ta’ala yang tunduk dan patuh terhadap perintah-Nya dan menjauh dari segala larangan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam sebuah hadis qudsi, bahwa Allah Ta’ala berfirman, وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا ، وَإِنْ أَتَانِى يَمْشِى أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً “Dan jika ia (hamba Allah -pent.) mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.” (HR. Bukhari no. 6970 dan Muslim no. 2675 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.) Perbaiki salat Salat merupakan ibadah mulia setelah tauhid. Perhatikan rukun Islam, perkara kedua setelah syahadat adalah salat. Karenanya, meninggalkan salat merupakan dosa besar setelah dosa syirik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ “Pemisah antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah salat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath-Thabari dengan sanad sahih, dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu. Syekh Al Albani mengatakan, “Hadis ini sahih.” Lihat Shahih At-Targib wa At-Tarhib no. 566). Sungguh kedudukan salat begitu agung dalam Islam. Lantas, bagaimana kita sebaiknya memperlakukan ibadah salat dalam kehidupan sehari-hari? Ketahuilah, bahwa salat merupakan bagian dari zikir (mengingat Allah). Dan hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang. Allah Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “(Yaitu), orang-orang yang beriman dan hati mereka tenang dengan mengingat Allâh. Ketahuilah, dengan mengingat Allâh, hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Ingatlah kegundahan yang dialami karena abainya kita terhadap salat. Karena, orang yang memprioritaskan salat dalam hidupnya, seberat apapun ujian dan cobaan yang mungkin dapat membuat hatinya galau dan cemas, maka sesegera mungkin ia mampu tenang dan bijak dalam menyikapinya. Baca juga: Nikmat Lapangnya Hati Membaca Al-Qur’an Penghilang kegalauan selanjutnya adalah Al-Qur’an. Seseorang yang mengalihkan kegundahan hati dari cobaan yang sedang menimpanya kepada Al-Qur’an dengan membaca dan mentadaburi maknanya akan memperoleh ketenangan dan kebijaksanaan. Karena Al-Qur’an merupakan penawar dari segala macam penyakit, tidak terkecuali penyakit yang menyerang batin berupa kegalauan dan kegundahan. Allah Ta’ala berfirman, وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارًا “Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Isra: 82) Namun, tidak jarang pula, kita merasa cukup dengan sedikit membaca dan mentadaburi Al-Qur’an. Padahal, seseorang yang senantiasa mampu menikmati bacaan Al-Qur’an adalah orang yang hatinya bersih. Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, لَوْ طَهَرَتْ قُلُوْبُنَا مَا شَبِعَتْ مِنْ كَلَامِ اللّٰهِ “Seandainya hati kita bersih, maka tidak akan puas membaca Kalamullah (Al-Qur’an).” (Ighatsatul Lahfan, 1: 64) Maka dari itu, bersihkanlah hati. Mungkin masih banyak dosa yang biasa kita remehkan. Bersihkan hati dengan tobat dan tidak mengulanginya, sekecil apa pun dosa tersebut. Mulailah membaca Al-Qur’an sekarang juga. Sebab Al-Qur’an akan mendatangkan kebahagiaan dan menghilangkan kesedihan. InsyaAllah. Doa Orang yang beriman akan selalu menggantungkan segala urusannya kepada Allah Ta’ala. Hal yang pertama yang dilakukan apabila ditimpa musibah adalah berdoa dan mengadu kepada Allah. Karena keyakinan bahwa Allah yang mengizinkan segala hal untuk terjadi dan Allahlah yang mentakdirkan semuanya, akan membawa seseorang kepada kebijaksanaan dalam menghadapi segala ujian kehidupan. Karenanya, adukanlah segala kegalauan dan kegundahan itu kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana doa Nabi Zakaria ‘alaihis salam yang dengan haqqul yaqin pada doanya kepada Allah dari kegundahan yang ia rasakan bertahun-tahun sebab ujian yang diberikan Allah karena belum mendapatkan keturunan. Allah Ta’ala berfirman tentang doa Nabi Zakaria yang mengadu kepada Allah tentang kegundahannya yang kemudian Allah jawab dengan karunia seorang anak lelaki saleh, yaitu Nabi Yahya ‘alaihis salam. قَالَ رَبِّ إِنِّى وَهَنَ ٱلْعَظْمُ مِنِّى وَٱشْتَعَلَ ٱلرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنۢ بِدُعَآئِكَ رَبِّ شَقِيًّا “Ia berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku.” Oleh sebab itu, yakinlah bahwa Allah Ta’ala mengabulkan segala permohonan hamba-hamba-Nya. Termasuk di antaranya adalah permohonan agar diberi kekuatan dalam menghadapi berbagai ujian kehidupan di dunia dan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah atas kesabarannya. Allah Ta’ala berfirman, وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” Istigfar Ketahuilah bahwa musibah dan cobaan yang ditimpakan kepada manusia merupakan akibat dari dosa yang ia lakukan. Adapun upaya agar musibah tersebut diangkat oleh Allah Ta’ala adalah dengan melakukan tobat. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30) Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dalam Kitab Al-Jawabul Kafi (hal. 87) mengatakan, مَا نُزِّلَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍ وَلاَ رُفِعَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ “Tidaklah musibah tersebut turun, melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan tobat.” Maka, bertobatlah kepada Allah Ta’ala agar musibah yang menimpa segera diangkat. Di antara kalimat tobat yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah “istigfar”, yaitu memohon ampunan dari Allah Ta’ala. Mudah-mudahan, dengan banyak beristigfar, Allah Ta’ala juga akan memberikan karunia yang berlimpah sebagai ganti dari musibah sebelumnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, فَقُلْتُ ٱسْتَغْفِرُوا۟ رَبَّكُمْ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارًا * يُرْسِلِ ٱلسَّمَآءَ عَلَيْكُم مِّدْرَارًا *  وَيُمْدِدْكُم بِأَمْوَٰلٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّٰتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَٰرًا “Maka, aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10 – 12) Wallahua’lam. Baca juga: Obat bagi Hati yang Gelisah *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: galau

Penghilang Kegalauan

Daftar Isi Toggle Kembali kepada AllahPerbaiki salatMembaca Al-Qur’anDoaIstigfar Problem dalam kehidupan merupakan sesuatu yang niscaya terjadi bagi setiap insan. Masalah hidup sering membuat seseorang gundah gulana. Mulai dari persoalan ekonomi, seperti: kemiskinan, kelaparan, kekurangan harta, hingga persoalan sosial, seperti: konflik antar sesama, retaknya hubungan kekerabatan/keluarga, serta terkucilkan dari lingkungan pergaulan. Saudaraku, apabila kita coba merenungi lebih dalam tentang hakikat kehidupan yang telah Allah ciptakan secara paripurna ini, maka kita dapati bahwa memang segala persoalan yang dihadapi oleh setiap insan merupakan skenario Allah Ta’ala untuk menguji siapa di antara hamba-hamba-Nya yang terbaik amalannya. Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْمَوْتَ وَٱلْحَيَوٰةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْغَفُورُ “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2) Begitu pula halnya dengan segala bentuk ujian kehidupan. Bagaimana mungkin kita memperoleh predikat sebagai hamba Allah yang bersabar jika tidak ada bukti dari kesabaran tersebut melalui cobaan yang diberikan oleh Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya, وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155) Namun, apabila kita benar-benar bersandar pada prinsip-prinsip Islam dalam menjalani kehidupan ini, maka insyaAllah terasa ringanlah segala persoalan itu, seberat apapun bebannya. Perhatikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut. إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ “Dunia itu terlaknat dan segala yang terkandung di dalamnya pun terlaknat, kecuali orang yang berzikir kepada Allah, yang melakukan ketaatan kepada-Nya, seorang ‘alim atau penuntut ilmu syar’i.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah. Dalam Shahihul Jami’, Syekh Al-Albani mengatakan, “Hadis ini hasan.”) Dalam hadis lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَوْ كَانَت الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ الله جَنَاحَ بَعُوضَةٍ ، مَا سَقَى كَافِراً مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ “Seandainya dunia ini di sisi Allah senilai harganya dengan sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum barang seteguk sekalipun kepada orang kafir.” (HR. Tirmidzi, dan dia berkata, “Hadis hasan sahih.” dari Sa’id As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu.) Ketahuilah, bahwa tidak seorang pun manusia yang terlepas dari ujian dan cobaan. Renungkanlah kisah-kisah yang dapat diambil dari sirah nabawiyah. Bagaimana kesedihan yang menimpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika istrinya Khadijah radhiyallahu ‘anha wafat yang kemudian disusul pamannya Abu Thalib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mendapatkan ujian berupa kehilangan semua putra-putranya di usia mereka yang masih belia, dan berbagai ujian yang menimpa beliau. Namun, beliau mampu mencontohkan kepada kita bagaimana menghadapi semua persoalan kehidupan tersebut dengan penuh kebijaksanaan. Oleh karenanya, mari kita mengambil hikmah dari teladan kita yang mulia tersebut. Melalui artikel ini, kiranya kita dapat sedikit membekali diri untuk lebih bijak dalam menyikapi berbagai persoalan kehidupan berupa ujian/musibah yang menimpa. Berikut beberapa poin yang bisa kita tanamkan dalam jiwa kita setiap kali menghadapi permasalahan. Kembali kepada Allah Lihatlah kembali sejarah Islam sebagai ibrah. Kaum muslimin mengalami guncangan batin yang cukup berat tatkala Allah Ta’ala mentakdirkan mereka untuk kalah di perang Uhud. Sebanyak 700 pasukan muslimin berhadapan dengan lebih dari 3000 pasukan kuffar. Padahal, hampir saja kaum muslimin memenangkan peperangan. Namun, ketika 43 dari 50 pasukan ahli panah yang berada di atas bukit tergiur untuk mengambil ghanimah musuh yang hampir kalah (padahal Rasulullah telah memerintahkan mereka untuk tetap berada di atas bukit), maka Allah Ta’ala memberikan teguran kepada mereka berupa kembalinya kekuatan musuh hingga keadaan berbalik sebagai pelajaran berharga bagi kaum muslimin. Terdapat setidaknya 2 (dua) sebab kekalahan kaum muslimin dari perang Uhud tersebut, yaitu: tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan berlebihan pada cinta dunia. Maka, sadarilah bahwa ketika ujian sedang menimpa diri kita. Lihat dan muhasabahlah diri, lalu tanyakan, “Adakah perintah Allah dan Rasul-Nya yang telah aku langgar?” Atau, “Apakah diri ini terlalu berlebihan cinta terhadap perkara duniawi?” Saudaraku, tatkala jawaban dari salah satu atau kedua pertanyaan tersebut adalah “Ya”, maka kembalilah kepada Allah Ta’ala. Segera bertobat, beristigfar, dan paksakan diri untuk menjadi hamba Allah Ta’ala yang tunduk dan patuh terhadap perintah-Nya dan menjauh dari segala larangan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam sebuah hadis qudsi, bahwa Allah Ta’ala berfirman, وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا ، وَإِنْ أَتَانِى يَمْشِى أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً “Dan jika ia (hamba Allah -pent.) mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.” (HR. Bukhari no. 6970 dan Muslim no. 2675 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.) Perbaiki salat Salat merupakan ibadah mulia setelah tauhid. Perhatikan rukun Islam, perkara kedua setelah syahadat adalah salat. Karenanya, meninggalkan salat merupakan dosa besar setelah dosa syirik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ “Pemisah antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah salat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath-Thabari dengan sanad sahih, dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu. Syekh Al Albani mengatakan, “Hadis ini sahih.” Lihat Shahih At-Targib wa At-Tarhib no. 566). Sungguh kedudukan salat begitu agung dalam Islam. Lantas, bagaimana kita sebaiknya memperlakukan ibadah salat dalam kehidupan sehari-hari? Ketahuilah, bahwa salat merupakan bagian dari zikir (mengingat Allah). Dan hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang. Allah Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “(Yaitu), orang-orang yang beriman dan hati mereka tenang dengan mengingat Allâh. Ketahuilah, dengan mengingat Allâh, hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Ingatlah kegundahan yang dialami karena abainya kita terhadap salat. Karena, orang yang memprioritaskan salat dalam hidupnya, seberat apapun ujian dan cobaan yang mungkin dapat membuat hatinya galau dan cemas, maka sesegera mungkin ia mampu tenang dan bijak dalam menyikapinya. Baca juga: Nikmat Lapangnya Hati Membaca Al-Qur’an Penghilang kegalauan selanjutnya adalah Al-Qur’an. Seseorang yang mengalihkan kegundahan hati dari cobaan yang sedang menimpanya kepada Al-Qur’an dengan membaca dan mentadaburi maknanya akan memperoleh ketenangan dan kebijaksanaan. Karena Al-Qur’an merupakan penawar dari segala macam penyakit, tidak terkecuali penyakit yang menyerang batin berupa kegalauan dan kegundahan. Allah Ta’ala berfirman, وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارًا “Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Isra: 82) Namun, tidak jarang pula, kita merasa cukup dengan sedikit membaca dan mentadaburi Al-Qur’an. Padahal, seseorang yang senantiasa mampu menikmati bacaan Al-Qur’an adalah orang yang hatinya bersih. Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, لَوْ طَهَرَتْ قُلُوْبُنَا مَا شَبِعَتْ مِنْ كَلَامِ اللّٰهِ “Seandainya hati kita bersih, maka tidak akan puas membaca Kalamullah (Al-Qur’an).” (Ighatsatul Lahfan, 1: 64) Maka dari itu, bersihkanlah hati. Mungkin masih banyak dosa yang biasa kita remehkan. Bersihkan hati dengan tobat dan tidak mengulanginya, sekecil apa pun dosa tersebut. Mulailah membaca Al-Qur’an sekarang juga. Sebab Al-Qur’an akan mendatangkan kebahagiaan dan menghilangkan kesedihan. InsyaAllah. Doa Orang yang beriman akan selalu menggantungkan segala urusannya kepada Allah Ta’ala. Hal yang pertama yang dilakukan apabila ditimpa musibah adalah berdoa dan mengadu kepada Allah. Karena keyakinan bahwa Allah yang mengizinkan segala hal untuk terjadi dan Allahlah yang mentakdirkan semuanya, akan membawa seseorang kepada kebijaksanaan dalam menghadapi segala ujian kehidupan. Karenanya, adukanlah segala kegalauan dan kegundahan itu kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana doa Nabi Zakaria ‘alaihis salam yang dengan haqqul yaqin pada doanya kepada Allah dari kegundahan yang ia rasakan bertahun-tahun sebab ujian yang diberikan Allah karena belum mendapatkan keturunan. Allah Ta’ala berfirman tentang doa Nabi Zakaria yang mengadu kepada Allah tentang kegundahannya yang kemudian Allah jawab dengan karunia seorang anak lelaki saleh, yaitu Nabi Yahya ‘alaihis salam. قَالَ رَبِّ إِنِّى وَهَنَ ٱلْعَظْمُ مِنِّى وَٱشْتَعَلَ ٱلرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنۢ بِدُعَآئِكَ رَبِّ شَقِيًّا “Ia berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku.” Oleh sebab itu, yakinlah bahwa Allah Ta’ala mengabulkan segala permohonan hamba-hamba-Nya. Termasuk di antaranya adalah permohonan agar diberi kekuatan dalam menghadapi berbagai ujian kehidupan di dunia dan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah atas kesabarannya. Allah Ta’ala berfirman, وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” Istigfar Ketahuilah bahwa musibah dan cobaan yang ditimpakan kepada manusia merupakan akibat dari dosa yang ia lakukan. Adapun upaya agar musibah tersebut diangkat oleh Allah Ta’ala adalah dengan melakukan tobat. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30) Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dalam Kitab Al-Jawabul Kafi (hal. 87) mengatakan, مَا نُزِّلَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍ وَلاَ رُفِعَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ “Tidaklah musibah tersebut turun, melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan tobat.” Maka, bertobatlah kepada Allah Ta’ala agar musibah yang menimpa segera diangkat. Di antara kalimat tobat yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah “istigfar”, yaitu memohon ampunan dari Allah Ta’ala. Mudah-mudahan, dengan banyak beristigfar, Allah Ta’ala juga akan memberikan karunia yang berlimpah sebagai ganti dari musibah sebelumnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, فَقُلْتُ ٱسْتَغْفِرُوا۟ رَبَّكُمْ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارًا * يُرْسِلِ ٱلسَّمَآءَ عَلَيْكُم مِّدْرَارًا *  وَيُمْدِدْكُم بِأَمْوَٰلٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّٰتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَٰرًا “Maka, aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10 – 12) Wallahua’lam. Baca juga: Obat bagi Hati yang Gelisah *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: galau
Daftar Isi Toggle Kembali kepada AllahPerbaiki salatMembaca Al-Qur’anDoaIstigfar Problem dalam kehidupan merupakan sesuatu yang niscaya terjadi bagi setiap insan. Masalah hidup sering membuat seseorang gundah gulana. Mulai dari persoalan ekonomi, seperti: kemiskinan, kelaparan, kekurangan harta, hingga persoalan sosial, seperti: konflik antar sesama, retaknya hubungan kekerabatan/keluarga, serta terkucilkan dari lingkungan pergaulan. Saudaraku, apabila kita coba merenungi lebih dalam tentang hakikat kehidupan yang telah Allah ciptakan secara paripurna ini, maka kita dapati bahwa memang segala persoalan yang dihadapi oleh setiap insan merupakan skenario Allah Ta’ala untuk menguji siapa di antara hamba-hamba-Nya yang terbaik amalannya. Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْمَوْتَ وَٱلْحَيَوٰةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْغَفُورُ “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2) Begitu pula halnya dengan segala bentuk ujian kehidupan. Bagaimana mungkin kita memperoleh predikat sebagai hamba Allah yang bersabar jika tidak ada bukti dari kesabaran tersebut melalui cobaan yang diberikan oleh Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya, وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155) Namun, apabila kita benar-benar bersandar pada prinsip-prinsip Islam dalam menjalani kehidupan ini, maka insyaAllah terasa ringanlah segala persoalan itu, seberat apapun bebannya. Perhatikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut. إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ “Dunia itu terlaknat dan segala yang terkandung di dalamnya pun terlaknat, kecuali orang yang berzikir kepada Allah, yang melakukan ketaatan kepada-Nya, seorang ‘alim atau penuntut ilmu syar’i.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah. Dalam Shahihul Jami’, Syekh Al-Albani mengatakan, “Hadis ini hasan.”) Dalam hadis lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَوْ كَانَت الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ الله جَنَاحَ بَعُوضَةٍ ، مَا سَقَى كَافِراً مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ “Seandainya dunia ini di sisi Allah senilai harganya dengan sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum barang seteguk sekalipun kepada orang kafir.” (HR. Tirmidzi, dan dia berkata, “Hadis hasan sahih.” dari Sa’id As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu.) Ketahuilah, bahwa tidak seorang pun manusia yang terlepas dari ujian dan cobaan. Renungkanlah kisah-kisah yang dapat diambil dari sirah nabawiyah. Bagaimana kesedihan yang menimpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika istrinya Khadijah radhiyallahu ‘anha wafat yang kemudian disusul pamannya Abu Thalib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mendapatkan ujian berupa kehilangan semua putra-putranya di usia mereka yang masih belia, dan berbagai ujian yang menimpa beliau. Namun, beliau mampu mencontohkan kepada kita bagaimana menghadapi semua persoalan kehidupan tersebut dengan penuh kebijaksanaan. Oleh karenanya, mari kita mengambil hikmah dari teladan kita yang mulia tersebut. Melalui artikel ini, kiranya kita dapat sedikit membekali diri untuk lebih bijak dalam menyikapi berbagai persoalan kehidupan berupa ujian/musibah yang menimpa. Berikut beberapa poin yang bisa kita tanamkan dalam jiwa kita setiap kali menghadapi permasalahan. Kembali kepada Allah Lihatlah kembali sejarah Islam sebagai ibrah. Kaum muslimin mengalami guncangan batin yang cukup berat tatkala Allah Ta’ala mentakdirkan mereka untuk kalah di perang Uhud. Sebanyak 700 pasukan muslimin berhadapan dengan lebih dari 3000 pasukan kuffar. Padahal, hampir saja kaum muslimin memenangkan peperangan. Namun, ketika 43 dari 50 pasukan ahli panah yang berada di atas bukit tergiur untuk mengambil ghanimah musuh yang hampir kalah (padahal Rasulullah telah memerintahkan mereka untuk tetap berada di atas bukit), maka Allah Ta’ala memberikan teguran kepada mereka berupa kembalinya kekuatan musuh hingga keadaan berbalik sebagai pelajaran berharga bagi kaum muslimin. Terdapat setidaknya 2 (dua) sebab kekalahan kaum muslimin dari perang Uhud tersebut, yaitu: tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan berlebihan pada cinta dunia. Maka, sadarilah bahwa ketika ujian sedang menimpa diri kita. Lihat dan muhasabahlah diri, lalu tanyakan, “Adakah perintah Allah dan Rasul-Nya yang telah aku langgar?” Atau, “Apakah diri ini terlalu berlebihan cinta terhadap perkara duniawi?” Saudaraku, tatkala jawaban dari salah satu atau kedua pertanyaan tersebut adalah “Ya”, maka kembalilah kepada Allah Ta’ala. Segera bertobat, beristigfar, dan paksakan diri untuk menjadi hamba Allah Ta’ala yang tunduk dan patuh terhadap perintah-Nya dan menjauh dari segala larangan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam sebuah hadis qudsi, bahwa Allah Ta’ala berfirman, وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا ، وَإِنْ أَتَانِى يَمْشِى أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً “Dan jika ia (hamba Allah -pent.) mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.” (HR. Bukhari no. 6970 dan Muslim no. 2675 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.) Perbaiki salat Salat merupakan ibadah mulia setelah tauhid. Perhatikan rukun Islam, perkara kedua setelah syahadat adalah salat. Karenanya, meninggalkan salat merupakan dosa besar setelah dosa syirik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ “Pemisah antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah salat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath-Thabari dengan sanad sahih, dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu. Syekh Al Albani mengatakan, “Hadis ini sahih.” Lihat Shahih At-Targib wa At-Tarhib no. 566). Sungguh kedudukan salat begitu agung dalam Islam. Lantas, bagaimana kita sebaiknya memperlakukan ibadah salat dalam kehidupan sehari-hari? Ketahuilah, bahwa salat merupakan bagian dari zikir (mengingat Allah). Dan hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang. Allah Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “(Yaitu), orang-orang yang beriman dan hati mereka tenang dengan mengingat Allâh. Ketahuilah, dengan mengingat Allâh, hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Ingatlah kegundahan yang dialami karena abainya kita terhadap salat. Karena, orang yang memprioritaskan salat dalam hidupnya, seberat apapun ujian dan cobaan yang mungkin dapat membuat hatinya galau dan cemas, maka sesegera mungkin ia mampu tenang dan bijak dalam menyikapinya. Baca juga: Nikmat Lapangnya Hati Membaca Al-Qur’an Penghilang kegalauan selanjutnya adalah Al-Qur’an. Seseorang yang mengalihkan kegundahan hati dari cobaan yang sedang menimpanya kepada Al-Qur’an dengan membaca dan mentadaburi maknanya akan memperoleh ketenangan dan kebijaksanaan. Karena Al-Qur’an merupakan penawar dari segala macam penyakit, tidak terkecuali penyakit yang menyerang batin berupa kegalauan dan kegundahan. Allah Ta’ala berfirman, وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارًا “Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Isra: 82) Namun, tidak jarang pula, kita merasa cukup dengan sedikit membaca dan mentadaburi Al-Qur’an. Padahal, seseorang yang senantiasa mampu menikmati bacaan Al-Qur’an adalah orang yang hatinya bersih. Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, لَوْ طَهَرَتْ قُلُوْبُنَا مَا شَبِعَتْ مِنْ كَلَامِ اللّٰهِ “Seandainya hati kita bersih, maka tidak akan puas membaca Kalamullah (Al-Qur’an).” (Ighatsatul Lahfan, 1: 64) Maka dari itu, bersihkanlah hati. Mungkin masih banyak dosa yang biasa kita remehkan. Bersihkan hati dengan tobat dan tidak mengulanginya, sekecil apa pun dosa tersebut. Mulailah membaca Al-Qur’an sekarang juga. Sebab Al-Qur’an akan mendatangkan kebahagiaan dan menghilangkan kesedihan. InsyaAllah. Doa Orang yang beriman akan selalu menggantungkan segala urusannya kepada Allah Ta’ala. Hal yang pertama yang dilakukan apabila ditimpa musibah adalah berdoa dan mengadu kepada Allah. Karena keyakinan bahwa Allah yang mengizinkan segala hal untuk terjadi dan Allahlah yang mentakdirkan semuanya, akan membawa seseorang kepada kebijaksanaan dalam menghadapi segala ujian kehidupan. Karenanya, adukanlah segala kegalauan dan kegundahan itu kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana doa Nabi Zakaria ‘alaihis salam yang dengan haqqul yaqin pada doanya kepada Allah dari kegundahan yang ia rasakan bertahun-tahun sebab ujian yang diberikan Allah karena belum mendapatkan keturunan. Allah Ta’ala berfirman tentang doa Nabi Zakaria yang mengadu kepada Allah tentang kegundahannya yang kemudian Allah jawab dengan karunia seorang anak lelaki saleh, yaitu Nabi Yahya ‘alaihis salam. قَالَ رَبِّ إِنِّى وَهَنَ ٱلْعَظْمُ مِنِّى وَٱشْتَعَلَ ٱلرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنۢ بِدُعَآئِكَ رَبِّ شَقِيًّا “Ia berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku.” Oleh sebab itu, yakinlah bahwa Allah Ta’ala mengabulkan segala permohonan hamba-hamba-Nya. Termasuk di antaranya adalah permohonan agar diberi kekuatan dalam menghadapi berbagai ujian kehidupan di dunia dan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah atas kesabarannya. Allah Ta’ala berfirman, وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” Istigfar Ketahuilah bahwa musibah dan cobaan yang ditimpakan kepada manusia merupakan akibat dari dosa yang ia lakukan. Adapun upaya agar musibah tersebut diangkat oleh Allah Ta’ala adalah dengan melakukan tobat. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30) Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dalam Kitab Al-Jawabul Kafi (hal. 87) mengatakan, مَا نُزِّلَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍ وَلاَ رُفِعَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ “Tidaklah musibah tersebut turun, melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan tobat.” Maka, bertobatlah kepada Allah Ta’ala agar musibah yang menimpa segera diangkat. Di antara kalimat tobat yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah “istigfar”, yaitu memohon ampunan dari Allah Ta’ala. Mudah-mudahan, dengan banyak beristigfar, Allah Ta’ala juga akan memberikan karunia yang berlimpah sebagai ganti dari musibah sebelumnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, فَقُلْتُ ٱسْتَغْفِرُوا۟ رَبَّكُمْ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارًا * يُرْسِلِ ٱلسَّمَآءَ عَلَيْكُم مِّدْرَارًا *  وَيُمْدِدْكُم بِأَمْوَٰلٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّٰتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَٰرًا “Maka, aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10 – 12) Wallahua’lam. Baca juga: Obat bagi Hati yang Gelisah *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: galau


Daftar Isi Toggle Kembali kepada AllahPerbaiki salatMembaca Al-Qur’anDoaIstigfar Problem dalam kehidupan merupakan sesuatu yang niscaya terjadi bagi setiap insan. Masalah hidup sering membuat seseorang gundah gulana. Mulai dari persoalan ekonomi, seperti: kemiskinan, kelaparan, kekurangan harta, hingga persoalan sosial, seperti: konflik antar sesama, retaknya hubungan kekerabatan/keluarga, serta terkucilkan dari lingkungan pergaulan. Saudaraku, apabila kita coba merenungi lebih dalam tentang hakikat kehidupan yang telah Allah ciptakan secara paripurna ini, maka kita dapati bahwa memang segala persoalan yang dihadapi oleh setiap insan merupakan skenario Allah Ta’ala untuk menguji siapa di antara hamba-hamba-Nya yang terbaik amalannya. Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْمَوْتَ وَٱلْحَيَوٰةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْغَفُورُ “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2) Begitu pula halnya dengan segala bentuk ujian kehidupan. Bagaimana mungkin kita memperoleh predikat sebagai hamba Allah yang bersabar jika tidak ada bukti dari kesabaran tersebut melalui cobaan yang diberikan oleh Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya, وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155) Namun, apabila kita benar-benar bersandar pada prinsip-prinsip Islam dalam menjalani kehidupan ini, maka insyaAllah terasa ringanlah segala persoalan itu, seberat apapun bebannya. Perhatikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut. إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ “Dunia itu terlaknat dan segala yang terkandung di dalamnya pun terlaknat, kecuali orang yang berzikir kepada Allah, yang melakukan ketaatan kepada-Nya, seorang ‘alim atau penuntut ilmu syar’i.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah. Dalam Shahihul Jami’, Syekh Al-Albani mengatakan, “Hadis ini hasan.”) Dalam hadis lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَوْ كَانَت الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ الله جَنَاحَ بَعُوضَةٍ ، مَا سَقَى كَافِراً مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ “Seandainya dunia ini di sisi Allah senilai harganya dengan sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum barang seteguk sekalipun kepada orang kafir.” (HR. Tirmidzi, dan dia berkata, “Hadis hasan sahih.” dari Sa’id As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu.) Ketahuilah, bahwa tidak seorang pun manusia yang terlepas dari ujian dan cobaan. Renungkanlah kisah-kisah yang dapat diambil dari sirah nabawiyah. Bagaimana kesedihan yang menimpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika istrinya Khadijah radhiyallahu ‘anha wafat yang kemudian disusul pamannya Abu Thalib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mendapatkan ujian berupa kehilangan semua putra-putranya di usia mereka yang masih belia, dan berbagai ujian yang menimpa beliau. Namun, beliau mampu mencontohkan kepada kita bagaimana menghadapi semua persoalan kehidupan tersebut dengan penuh kebijaksanaan. Oleh karenanya, mari kita mengambil hikmah dari teladan kita yang mulia tersebut. Melalui artikel ini, kiranya kita dapat sedikit membekali diri untuk lebih bijak dalam menyikapi berbagai persoalan kehidupan berupa ujian/musibah yang menimpa. Berikut beberapa poin yang bisa kita tanamkan dalam jiwa kita setiap kali menghadapi permasalahan. Kembali kepada Allah Lihatlah kembali sejarah Islam sebagai ibrah. Kaum muslimin mengalami guncangan batin yang cukup berat tatkala Allah Ta’ala mentakdirkan mereka untuk kalah di perang Uhud. Sebanyak 700 pasukan muslimin berhadapan dengan lebih dari 3000 pasukan kuffar. Padahal, hampir saja kaum muslimin memenangkan peperangan. Namun, ketika 43 dari 50 pasukan ahli panah yang berada di atas bukit tergiur untuk mengambil ghanimah musuh yang hampir kalah (padahal Rasulullah telah memerintahkan mereka untuk tetap berada di atas bukit), maka Allah Ta’ala memberikan teguran kepada mereka berupa kembalinya kekuatan musuh hingga keadaan berbalik sebagai pelajaran berharga bagi kaum muslimin. Terdapat setidaknya 2 (dua) sebab kekalahan kaum muslimin dari perang Uhud tersebut, yaitu: tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan berlebihan pada cinta dunia. Maka, sadarilah bahwa ketika ujian sedang menimpa diri kita. Lihat dan muhasabahlah diri, lalu tanyakan, “Adakah perintah Allah dan Rasul-Nya yang telah aku langgar?” Atau, “Apakah diri ini terlalu berlebihan cinta terhadap perkara duniawi?” Saudaraku, tatkala jawaban dari salah satu atau kedua pertanyaan tersebut adalah “Ya”, maka kembalilah kepada Allah Ta’ala. Segera bertobat, beristigfar, dan paksakan diri untuk menjadi hamba Allah Ta’ala yang tunduk dan patuh terhadap perintah-Nya dan menjauh dari segala larangan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam sebuah hadis qudsi, bahwa Allah Ta’ala berfirman, وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا ، وَإِنْ أَتَانِى يَمْشِى أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً “Dan jika ia (hamba Allah -pent.) mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.” (HR. Bukhari no. 6970 dan Muslim no. 2675 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.) Perbaiki salat Salat merupakan ibadah mulia setelah tauhid. Perhatikan rukun Islam, perkara kedua setelah syahadat adalah salat. Karenanya, meninggalkan salat merupakan dosa besar setelah dosa syirik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ “Pemisah antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah salat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath-Thabari dengan sanad sahih, dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu. Syekh Al Albani mengatakan, “Hadis ini sahih.” Lihat Shahih At-Targib wa At-Tarhib no. 566). Sungguh kedudukan salat begitu agung dalam Islam. Lantas, bagaimana kita sebaiknya memperlakukan ibadah salat dalam kehidupan sehari-hari? Ketahuilah, bahwa salat merupakan bagian dari zikir (mengingat Allah). Dan hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang. Allah Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “(Yaitu), orang-orang yang beriman dan hati mereka tenang dengan mengingat Allâh. Ketahuilah, dengan mengingat Allâh, hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Ingatlah kegundahan yang dialami karena abainya kita terhadap salat. Karena, orang yang memprioritaskan salat dalam hidupnya, seberat apapun ujian dan cobaan yang mungkin dapat membuat hatinya galau dan cemas, maka sesegera mungkin ia mampu tenang dan bijak dalam menyikapinya. Baca juga: Nikmat Lapangnya Hati Membaca Al-Qur’an Penghilang kegalauan selanjutnya adalah Al-Qur’an. Seseorang yang mengalihkan kegundahan hati dari cobaan yang sedang menimpanya kepada Al-Qur’an dengan membaca dan mentadaburi maknanya akan memperoleh ketenangan dan kebijaksanaan. Karena Al-Qur’an merupakan penawar dari segala macam penyakit, tidak terkecuali penyakit yang menyerang batin berupa kegalauan dan kegundahan. Allah Ta’ala berfirman, وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارًا “Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Isra: 82) Namun, tidak jarang pula, kita merasa cukup dengan sedikit membaca dan mentadaburi Al-Qur’an. Padahal, seseorang yang senantiasa mampu menikmati bacaan Al-Qur’an adalah orang yang hatinya bersih. Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, لَوْ طَهَرَتْ قُلُوْبُنَا مَا شَبِعَتْ مِنْ كَلَامِ اللّٰهِ “Seandainya hati kita bersih, maka tidak akan puas membaca Kalamullah (Al-Qur’an).” (Ighatsatul Lahfan, 1: 64) Maka dari itu, bersihkanlah hati. Mungkin masih banyak dosa yang biasa kita remehkan. Bersihkan hati dengan tobat dan tidak mengulanginya, sekecil apa pun dosa tersebut. Mulailah membaca Al-Qur’an sekarang juga. Sebab Al-Qur’an akan mendatangkan kebahagiaan dan menghilangkan kesedihan. InsyaAllah. Doa Orang yang beriman akan selalu menggantungkan segala urusannya kepada Allah Ta’ala. Hal yang pertama yang dilakukan apabila ditimpa musibah adalah berdoa dan mengadu kepada Allah. Karena keyakinan bahwa Allah yang mengizinkan segala hal untuk terjadi dan Allahlah yang mentakdirkan semuanya, akan membawa seseorang kepada kebijaksanaan dalam menghadapi segala ujian kehidupan. Karenanya, adukanlah segala kegalauan dan kegundahan itu kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana doa Nabi Zakaria ‘alaihis salam yang dengan haqqul yaqin pada doanya kepada Allah dari kegundahan yang ia rasakan bertahun-tahun sebab ujian yang diberikan Allah karena belum mendapatkan keturunan. Allah Ta’ala berfirman tentang doa Nabi Zakaria yang mengadu kepada Allah tentang kegundahannya yang kemudian Allah jawab dengan karunia seorang anak lelaki saleh, yaitu Nabi Yahya ‘alaihis salam. قَالَ رَبِّ إِنِّى وَهَنَ ٱلْعَظْمُ مِنِّى وَٱشْتَعَلَ ٱلرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنۢ بِدُعَآئِكَ رَبِّ شَقِيًّا “Ia berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku.” Oleh sebab itu, yakinlah bahwa Allah Ta’ala mengabulkan segala permohonan hamba-hamba-Nya. Termasuk di antaranya adalah permohonan agar diberi kekuatan dalam menghadapi berbagai ujian kehidupan di dunia dan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah atas kesabarannya. Allah Ta’ala berfirman, وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” Istigfar Ketahuilah bahwa musibah dan cobaan yang ditimpakan kepada manusia merupakan akibat dari dosa yang ia lakukan. Adapun upaya agar musibah tersebut diangkat oleh Allah Ta’ala adalah dengan melakukan tobat. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30) Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dalam Kitab Al-Jawabul Kafi (hal. 87) mengatakan, مَا نُزِّلَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍ وَلاَ رُفِعَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ “Tidaklah musibah tersebut turun, melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan tobat.” Maka, bertobatlah kepada Allah Ta’ala agar musibah yang menimpa segera diangkat. Di antara kalimat tobat yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah “istigfar”, yaitu memohon ampunan dari Allah Ta’ala. Mudah-mudahan, dengan banyak beristigfar, Allah Ta’ala juga akan memberikan karunia yang berlimpah sebagai ganti dari musibah sebelumnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, فَقُلْتُ ٱسْتَغْفِرُوا۟ رَبَّكُمْ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارًا * يُرْسِلِ ٱلسَّمَآءَ عَلَيْكُم مِّدْرَارًا *  وَيُمْدِدْكُم بِأَمْوَٰلٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّٰتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَٰرًا “Maka, aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10 – 12) Wallahua’lam. Baca juga: Obat bagi Hati yang Gelisah *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: galau

Mengapa Disyariatkan Membaca Istighfar Setelah Ibadah? – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

“Dan mintalah ampun kepada Allah, sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Muzzammil: 20) Dalam firman Allah ini terdapat perintah untuk beristigfar. Permohonan ampun seorang hamba kepada Tuhannya–subhanahu wa bihamdihi–dari dosa-dosanya setelah melakukan ibadah-ibadah. Sebagaimana yang kalian ketahui, hal ini disyariatkan setelah salat, dan disyariatkan setelah tawaf ifadah setelah amalan-amalan haji yang terpenting selesai dilakukan, dan yang terpenting adalah hari Arafah, yang mana haji tidak terlewat kecuali jika hari ini terlewat. Juga setelah puasa Ramadan, “…hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu…” (QS. al-Baqarah: 185) Bagus! Dan juga pada waktu sahur. “…dan orang-orang yang memohon ampun di waktu sahur.” (QS. Ali Imran: 17) Mengapa diperintahkan untuk beristigfar setelah ibadah, wahai saudara-saudara? Pertama-tama, karena setelah beribadah, sering kali manusia menjadi lalai. “Sudah, ibadah telah selesai!” Sehingga dia lalai dari mengingat Allah dan memohon ampun kepada-Nya. Alasan kedua, manusia diperintahkan beristigfar karena meskipun dia beramal (sebesar dan sebanyak apa pun), amalannya pasti tetap ada kekurangannya, dan dia juga pasti ada kelalaiannya. Dia pasti lalai untuk bersyukur atas kenikmatan Allah yang diberikan kepadanya, karena Allah telah memberinya karunia sehingga bisa mendirikan salat. Saudara-saudara, berapa banyak orang yang tidak salat?! Berapa banyak pula orang yang dosa-dosanya menjadi penghalang –na’udzubillah–antara dirinya dan masjid?! Sedangkan Allah memberikan karunia kepadamu, sehingga dapat datang menuju salat! Jadi nikmat yang berikan kepadamu sungguh besar, sehingga sebanyak apa pun kamu beramal…Apa? Kamu tetap lalai dalam bersyukur. Maka mohonlah ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kelalaian. ==== وَاسْتَغْفِرُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ وَفِيهِ الأَمْرُ بِالِاسْتِغْفَارِ اسْتِغْفَارُ الْعَبْدِ لِرَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَمِنْ ذُنُوبِهِ عَقِبَ الْعِبَادَاتِ وَهَذَا كَمَا تَعْلَمُونَ مَشْرُوعٌ عَقِبَ الصَّلَاةِ وَمَشْرُوعٌ عَقِبَ الْإِفَاضَةِ أَيْضًا وَقَدْ انْتَهَتْ أَعْمَالُ الْحَجِّ الْكُبْرَى وَأَكْبَرُهَا يَوْمُ عَرَفَةَ الَّتِي لَا يَفُوتُ الْحَجُّ إِلَّا بِفَوَاتِهِ وَأَيْضًا فِي آخِرِ رَمَضَانَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَفِي السَّحَرِ أَحْسَنْتُمْ أَيْضًا وَالْمُسْتَغْفِرِيْنَ بِالأَسْحَارِ فَلِمَاذَا يُؤْمَرُ يَا إِخْوَانِي بِالِاسْتِغْفَارِ عَقِبَ الْعِبَادَاتِ؟ أَوَّلًا لِأَنَّ الْإِنْسَانَ عَقِبَ الْعِبَادَةِ رُبَّمَا يَغْفَلُ خَلَاصٌ انْتَهَتِ الْعِبَادَةُ فَيَغْفَلُ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَعَنِ اسْتِغْفَارِهِ وَالْأَمْرُ الثَّانِي وَإِنَّمَا يَسْتَغْفِرُ لِأَنَّهُ مَهْمَا عَمِلَ فَعَمَلَهُ لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ قَاصِرًا وَلَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ هُوَ مُقَصِّرًا فَهُوَ مُقَصِّرٌ بِشُكْرِ نِعْمَةِ اللهِ عَلَيْهِ إِذْ مَنَّ اللهُ عَلَيْهِ فَصَلَّى كَمْ مِنَ النَّاسِ يَا إِخْوَانِي لَا يُصَلِّي وَكَمْ مِنَ النَّاسِ تَحُوْلُ ذُنُوبُهُ عِيَاذًا بِاللهِ دُونَهُ وَدُونَ الْمَسْجِدِ وَأَنْتَ مَنَّ اللهُ عَلَيْكَ وَأَتَيْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَالنِّعْمَةُ عَلَيْكَ كَبِيرَةٌ فَمَهْمَا عَمِلْتَ فَأَنْتَ مَاذَا؟ فَأَنْتَ مُقَصِّرٌ فَاسْتَغْفِرِ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ التَّقْصِيرِ

Mengapa Disyariatkan Membaca Istighfar Setelah Ibadah? – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

“Dan mintalah ampun kepada Allah, sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Muzzammil: 20) Dalam firman Allah ini terdapat perintah untuk beristigfar. Permohonan ampun seorang hamba kepada Tuhannya–subhanahu wa bihamdihi–dari dosa-dosanya setelah melakukan ibadah-ibadah. Sebagaimana yang kalian ketahui, hal ini disyariatkan setelah salat, dan disyariatkan setelah tawaf ifadah setelah amalan-amalan haji yang terpenting selesai dilakukan, dan yang terpenting adalah hari Arafah, yang mana haji tidak terlewat kecuali jika hari ini terlewat. Juga setelah puasa Ramadan, “…hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu…” (QS. al-Baqarah: 185) Bagus! Dan juga pada waktu sahur. “…dan orang-orang yang memohon ampun di waktu sahur.” (QS. Ali Imran: 17) Mengapa diperintahkan untuk beristigfar setelah ibadah, wahai saudara-saudara? Pertama-tama, karena setelah beribadah, sering kali manusia menjadi lalai. “Sudah, ibadah telah selesai!” Sehingga dia lalai dari mengingat Allah dan memohon ampun kepada-Nya. Alasan kedua, manusia diperintahkan beristigfar karena meskipun dia beramal (sebesar dan sebanyak apa pun), amalannya pasti tetap ada kekurangannya, dan dia juga pasti ada kelalaiannya. Dia pasti lalai untuk bersyukur atas kenikmatan Allah yang diberikan kepadanya, karena Allah telah memberinya karunia sehingga bisa mendirikan salat. Saudara-saudara, berapa banyak orang yang tidak salat?! Berapa banyak pula orang yang dosa-dosanya menjadi penghalang –na’udzubillah–antara dirinya dan masjid?! Sedangkan Allah memberikan karunia kepadamu, sehingga dapat datang menuju salat! Jadi nikmat yang berikan kepadamu sungguh besar, sehingga sebanyak apa pun kamu beramal…Apa? Kamu tetap lalai dalam bersyukur. Maka mohonlah ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kelalaian. ==== وَاسْتَغْفِرُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ وَفِيهِ الأَمْرُ بِالِاسْتِغْفَارِ اسْتِغْفَارُ الْعَبْدِ لِرَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَمِنْ ذُنُوبِهِ عَقِبَ الْعِبَادَاتِ وَهَذَا كَمَا تَعْلَمُونَ مَشْرُوعٌ عَقِبَ الصَّلَاةِ وَمَشْرُوعٌ عَقِبَ الْإِفَاضَةِ أَيْضًا وَقَدْ انْتَهَتْ أَعْمَالُ الْحَجِّ الْكُبْرَى وَأَكْبَرُهَا يَوْمُ عَرَفَةَ الَّتِي لَا يَفُوتُ الْحَجُّ إِلَّا بِفَوَاتِهِ وَأَيْضًا فِي آخِرِ رَمَضَانَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَفِي السَّحَرِ أَحْسَنْتُمْ أَيْضًا وَالْمُسْتَغْفِرِيْنَ بِالأَسْحَارِ فَلِمَاذَا يُؤْمَرُ يَا إِخْوَانِي بِالِاسْتِغْفَارِ عَقِبَ الْعِبَادَاتِ؟ أَوَّلًا لِأَنَّ الْإِنْسَانَ عَقِبَ الْعِبَادَةِ رُبَّمَا يَغْفَلُ خَلَاصٌ انْتَهَتِ الْعِبَادَةُ فَيَغْفَلُ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَعَنِ اسْتِغْفَارِهِ وَالْأَمْرُ الثَّانِي وَإِنَّمَا يَسْتَغْفِرُ لِأَنَّهُ مَهْمَا عَمِلَ فَعَمَلَهُ لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ قَاصِرًا وَلَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ هُوَ مُقَصِّرًا فَهُوَ مُقَصِّرٌ بِشُكْرِ نِعْمَةِ اللهِ عَلَيْهِ إِذْ مَنَّ اللهُ عَلَيْهِ فَصَلَّى كَمْ مِنَ النَّاسِ يَا إِخْوَانِي لَا يُصَلِّي وَكَمْ مِنَ النَّاسِ تَحُوْلُ ذُنُوبُهُ عِيَاذًا بِاللهِ دُونَهُ وَدُونَ الْمَسْجِدِ وَأَنْتَ مَنَّ اللهُ عَلَيْكَ وَأَتَيْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَالنِّعْمَةُ عَلَيْكَ كَبِيرَةٌ فَمَهْمَا عَمِلْتَ فَأَنْتَ مَاذَا؟ فَأَنْتَ مُقَصِّرٌ فَاسْتَغْفِرِ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ التَّقْصِيرِ
“Dan mintalah ampun kepada Allah, sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Muzzammil: 20) Dalam firman Allah ini terdapat perintah untuk beristigfar. Permohonan ampun seorang hamba kepada Tuhannya–subhanahu wa bihamdihi–dari dosa-dosanya setelah melakukan ibadah-ibadah. Sebagaimana yang kalian ketahui, hal ini disyariatkan setelah salat, dan disyariatkan setelah tawaf ifadah setelah amalan-amalan haji yang terpenting selesai dilakukan, dan yang terpenting adalah hari Arafah, yang mana haji tidak terlewat kecuali jika hari ini terlewat. Juga setelah puasa Ramadan, “…hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu…” (QS. al-Baqarah: 185) Bagus! Dan juga pada waktu sahur. “…dan orang-orang yang memohon ampun di waktu sahur.” (QS. Ali Imran: 17) Mengapa diperintahkan untuk beristigfar setelah ibadah, wahai saudara-saudara? Pertama-tama, karena setelah beribadah, sering kali manusia menjadi lalai. “Sudah, ibadah telah selesai!” Sehingga dia lalai dari mengingat Allah dan memohon ampun kepada-Nya. Alasan kedua, manusia diperintahkan beristigfar karena meskipun dia beramal (sebesar dan sebanyak apa pun), amalannya pasti tetap ada kekurangannya, dan dia juga pasti ada kelalaiannya. Dia pasti lalai untuk bersyukur atas kenikmatan Allah yang diberikan kepadanya, karena Allah telah memberinya karunia sehingga bisa mendirikan salat. Saudara-saudara, berapa banyak orang yang tidak salat?! Berapa banyak pula orang yang dosa-dosanya menjadi penghalang –na’udzubillah–antara dirinya dan masjid?! Sedangkan Allah memberikan karunia kepadamu, sehingga dapat datang menuju salat! Jadi nikmat yang berikan kepadamu sungguh besar, sehingga sebanyak apa pun kamu beramal…Apa? Kamu tetap lalai dalam bersyukur. Maka mohonlah ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kelalaian. ==== وَاسْتَغْفِرُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ وَفِيهِ الأَمْرُ بِالِاسْتِغْفَارِ اسْتِغْفَارُ الْعَبْدِ لِرَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَمِنْ ذُنُوبِهِ عَقِبَ الْعِبَادَاتِ وَهَذَا كَمَا تَعْلَمُونَ مَشْرُوعٌ عَقِبَ الصَّلَاةِ وَمَشْرُوعٌ عَقِبَ الْإِفَاضَةِ أَيْضًا وَقَدْ انْتَهَتْ أَعْمَالُ الْحَجِّ الْكُبْرَى وَأَكْبَرُهَا يَوْمُ عَرَفَةَ الَّتِي لَا يَفُوتُ الْحَجُّ إِلَّا بِفَوَاتِهِ وَأَيْضًا فِي آخِرِ رَمَضَانَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَفِي السَّحَرِ أَحْسَنْتُمْ أَيْضًا وَالْمُسْتَغْفِرِيْنَ بِالأَسْحَارِ فَلِمَاذَا يُؤْمَرُ يَا إِخْوَانِي بِالِاسْتِغْفَارِ عَقِبَ الْعِبَادَاتِ؟ أَوَّلًا لِأَنَّ الْإِنْسَانَ عَقِبَ الْعِبَادَةِ رُبَّمَا يَغْفَلُ خَلَاصٌ انْتَهَتِ الْعِبَادَةُ فَيَغْفَلُ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَعَنِ اسْتِغْفَارِهِ وَالْأَمْرُ الثَّانِي وَإِنَّمَا يَسْتَغْفِرُ لِأَنَّهُ مَهْمَا عَمِلَ فَعَمَلَهُ لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ قَاصِرًا وَلَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ هُوَ مُقَصِّرًا فَهُوَ مُقَصِّرٌ بِشُكْرِ نِعْمَةِ اللهِ عَلَيْهِ إِذْ مَنَّ اللهُ عَلَيْهِ فَصَلَّى كَمْ مِنَ النَّاسِ يَا إِخْوَانِي لَا يُصَلِّي وَكَمْ مِنَ النَّاسِ تَحُوْلُ ذُنُوبُهُ عِيَاذًا بِاللهِ دُونَهُ وَدُونَ الْمَسْجِدِ وَأَنْتَ مَنَّ اللهُ عَلَيْكَ وَأَتَيْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَالنِّعْمَةُ عَلَيْكَ كَبِيرَةٌ فَمَهْمَا عَمِلْتَ فَأَنْتَ مَاذَا؟ فَأَنْتَ مُقَصِّرٌ فَاسْتَغْفِرِ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ التَّقْصِيرِ


“Dan mintalah ampun kepada Allah, sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Muzzammil: 20) Dalam firman Allah ini terdapat perintah untuk beristigfar. Permohonan ampun seorang hamba kepada Tuhannya–subhanahu wa bihamdihi–dari dosa-dosanya setelah melakukan ibadah-ibadah. Sebagaimana yang kalian ketahui, hal ini disyariatkan setelah salat, dan disyariatkan setelah tawaf ifadah setelah amalan-amalan haji yang terpenting selesai dilakukan, dan yang terpenting adalah hari Arafah, yang mana haji tidak terlewat kecuali jika hari ini terlewat. Juga setelah puasa Ramadan, “…hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu…” (QS. al-Baqarah: 185) Bagus! Dan juga pada waktu sahur. “…dan orang-orang yang memohon ampun di waktu sahur.” (QS. Ali Imran: 17) Mengapa diperintahkan untuk beristigfar setelah ibadah, wahai saudara-saudara? Pertama-tama, karena setelah beribadah, sering kali manusia menjadi lalai. “Sudah, ibadah telah selesai!” Sehingga dia lalai dari mengingat Allah dan memohon ampun kepada-Nya. Alasan kedua, manusia diperintahkan beristigfar karena meskipun dia beramal (sebesar dan sebanyak apa pun), amalannya pasti tetap ada kekurangannya, dan dia juga pasti ada kelalaiannya. Dia pasti lalai untuk bersyukur atas kenikmatan Allah yang diberikan kepadanya, karena Allah telah memberinya karunia sehingga bisa mendirikan salat. Saudara-saudara, berapa banyak orang yang tidak salat?! Berapa banyak pula orang yang dosa-dosanya menjadi penghalang –na’udzubillah–antara dirinya dan masjid?! Sedangkan Allah memberikan karunia kepadamu, sehingga dapat datang menuju salat! Jadi nikmat yang berikan kepadamu sungguh besar, sehingga sebanyak apa pun kamu beramal…Apa? Kamu tetap lalai dalam bersyukur. Maka mohonlah ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kelalaian. ==== وَاسْتَغْفِرُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ وَفِيهِ الأَمْرُ بِالِاسْتِغْفَارِ اسْتِغْفَارُ الْعَبْدِ لِرَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَمِنْ ذُنُوبِهِ عَقِبَ الْعِبَادَاتِ وَهَذَا كَمَا تَعْلَمُونَ مَشْرُوعٌ عَقِبَ الصَّلَاةِ وَمَشْرُوعٌ عَقِبَ الْإِفَاضَةِ أَيْضًا وَقَدْ انْتَهَتْ أَعْمَالُ الْحَجِّ الْكُبْرَى وَأَكْبَرُهَا يَوْمُ عَرَفَةَ الَّتِي لَا يَفُوتُ الْحَجُّ إِلَّا بِفَوَاتِهِ وَأَيْضًا فِي آخِرِ رَمَضَانَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَفِي السَّحَرِ أَحْسَنْتُمْ أَيْضًا وَالْمُسْتَغْفِرِيْنَ بِالأَسْحَارِ فَلِمَاذَا يُؤْمَرُ يَا إِخْوَانِي بِالِاسْتِغْفَارِ عَقِبَ الْعِبَادَاتِ؟ أَوَّلًا لِأَنَّ الْإِنْسَانَ عَقِبَ الْعِبَادَةِ رُبَّمَا يَغْفَلُ خَلَاصٌ انْتَهَتِ الْعِبَادَةُ فَيَغْفَلُ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَعَنِ اسْتِغْفَارِهِ وَالْأَمْرُ الثَّانِي وَإِنَّمَا يَسْتَغْفِرُ لِأَنَّهُ مَهْمَا عَمِلَ فَعَمَلَهُ لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ قَاصِرًا وَلَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ هُوَ مُقَصِّرًا فَهُوَ مُقَصِّرٌ بِشُكْرِ نِعْمَةِ اللهِ عَلَيْهِ إِذْ مَنَّ اللهُ عَلَيْهِ فَصَلَّى كَمْ مِنَ النَّاسِ يَا إِخْوَانِي لَا يُصَلِّي وَكَمْ مِنَ النَّاسِ تَحُوْلُ ذُنُوبُهُ عِيَاذًا بِاللهِ دُونَهُ وَدُونَ الْمَسْجِدِ وَأَنْتَ مَنَّ اللهُ عَلَيْكَ وَأَتَيْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَالنِّعْمَةُ عَلَيْكَ كَبِيرَةٌ فَمَهْمَا عَمِلْتَ فَأَنْتَ مَاذَا؟ فَأَنْتَ مُقَصِّرٌ فَاسْتَغْفِرِ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ التَّقْصِيرِ

Hadis: Doa untuk Pengantin Baru

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan Hadis Teks Hadis Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَفَّأَ الْإِنْسَانَ إِذَا تَزَوَّجَ، قَالَ: بَارَكَ اللَّهُ لَكَ، وَبَارَكَ عَلَيْكَ، وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan selamat kepada seseorang ketika menikah, beliau mengucapkan, “BAARAKALLAAHU LAKA WA BAARAKA ‘ALAIKA WA JAMA’A BAINAKUMAA FII KHAIRIN.” (Semoga Allah memberkahimu dan senantiasa memberkahimu; dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.)” (HR. Ahmad, 14: 517-518; Abu Dawud no. 2130; At-Tirmidzi no. 1091; An-Nasa’i dalam Al-Kubra, 9: 107; Ibnu Majah no. 1905; dan Ibnu Hibban, 9: 359. Hadis ini sahih.) Kandungan Hadis Hadis ini merupakan dalil dianjurkannya mendoakan pengantin baru agar Allah Ta’ala memberkahinya dan agar Allah Ta’ala mengumpulkan antara dia dan pasangannya dalam kebaikan. “Kebaikan” di sini merupakan kata yang bersifat umum. Maksudnya, mencakup semua bentuk kebaikan, baik berupa ketaatan kepada Allah, keluarga yang harmonis, dan keturunan yang saleh. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendokan Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu ketika menikah dengan mengatakan, بَارَكَ اللَّهُ لَكَ “Semoga Allah memberkahimu.” Doa untuk pasangan yang menikah termasuk dalam keluhuran akhlak Islam. Dengan doa tersebut, seorang muslim mengucapkan selamat karena pasangan tersebut memperoleh kebaikan, dan juga mendoakan sesuai dengan kondisi saat itu, yaitu turunnya keberkahan dan nikmat yang kontinyu. Seorang muslim hendaknya tidak meninggalkan doa tersebut dan lebih memilih ucapan yang menjadi kebiasaan sebagian masyarakat, misalnya dengan mengucapkan, بِالرِّفَاءِ وَالْبَنِينَ “Semoga harmonis (langgeng) dan banyak anak.“ Karena hal ini termasuk dalam amalan jahiliyah. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah melarang hal tersebut. Diriwayatkan dari Al-Hasan, beliau berkata, “Aqil bin Abi Thalib menikahi seorang wanita dari Bani Jatsm. Kemudian ia diberi ucapan selamat, بِالرِّفَاءِ وَالْبَنِينَ “Semoga harmonis (langgeng) dan banyak anak.” Lalu ia mengatakan, “Katakanlah sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ، وَبَارَكَ لَكُمْ “BAARAKALLAAHU FIIKUM WA BAARAKA LAKUM” (Semoga Allah memberi berkah kepada kalian dan melipatgandakan keberkahan bagi kalian).” (HR. An-Nasa’i no. 3371, sahih) Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa Aqil bin Abi Thalib berkata, لَا تَقُولُوا هَكَذَا، وَلَكِنْ قُولُوا كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ، وَبَارِكْ عَلَيْهِمْ “Janganlah kalian mengatakan begitu, tetapi ucapkanlah sebagaimana yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “ALLAHUMMA BAARIK LAHUM WA BAARIK ‘ALAIHIM” (Ya Allah, berilah berkah kepada mereka dan atas mereka.)” (HR. Ibnu Majah no. 1906, sahih) Hikmah dari larangan tersebut, wallahu a’lam, adalah tiga hal berikut ini: Pertama, untuk menyelisihi kebiasaan (adat) kaum jahiliyah. Kedua, dalam kalimat tersebut, hanya disebutkan al-banin (anak laki-laki), tanpa menyebutkan banat (anak perempuan). Sehingga ucapan tersebut mirip dengan masyarakat jahiliyah yang membenci kelahiran anak perempuan. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالأُنثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدّاً وَهُوَ كَظِيمٌ “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.” (QS. An-Nahl: 58) Ketiga, dalam ucapan tersebut, tidak disebutkan nama Allah, tidak pula memuji dan menyanjung Allah Ta’ala. Akan tetapi, jika mengucapkan, “Semoga harmonis (langgeng)”, tidaklah terlarang. Hal ini karena para sahabat radhiyallahu ‘anhum juga mengucapkan atau menggunakan kalimat tersebut, dan mereka lebih mengetahui dalil-dalil syariat dan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang terlarang adalah mendoakan pengantin baru dengan “semoga banyak anak laki-laki” (tanpa anak perempuan), dengan alasan (pertimbangan) yang telah disebutkan. (Lihat Tashhih Ad-Du’a, hal. 528) Renungkanlah bagaimanakah yang dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam rangkaian doa tersebut, doa yang ringkas dan banyak makna. Doa tersebut mengumpulkan semua kebaikan (maslahat) dunia dan akhirat. Didapatkannya keberkahan untuk mereka berdua dan berkumpulnya mereka berdua dalam kebaikan merupakan unsur pokok kebahagiaan suami-istri, kebaikan untuk mereka dan juga anak keturunannya. Baca juga: Hukum Menghadiri Perayaan Pernikahan di Gedung Pernikahan *** @14 Zulkaidah 1445/ 22 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 188-190). Tags: doapengantin

Hadis: Doa untuk Pengantin Baru

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan Hadis Teks Hadis Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَفَّأَ الْإِنْسَانَ إِذَا تَزَوَّجَ، قَالَ: بَارَكَ اللَّهُ لَكَ، وَبَارَكَ عَلَيْكَ، وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan selamat kepada seseorang ketika menikah, beliau mengucapkan, “BAARAKALLAAHU LAKA WA BAARAKA ‘ALAIKA WA JAMA’A BAINAKUMAA FII KHAIRIN.” (Semoga Allah memberkahimu dan senantiasa memberkahimu; dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.)” (HR. Ahmad, 14: 517-518; Abu Dawud no. 2130; At-Tirmidzi no. 1091; An-Nasa’i dalam Al-Kubra, 9: 107; Ibnu Majah no. 1905; dan Ibnu Hibban, 9: 359. Hadis ini sahih.) Kandungan Hadis Hadis ini merupakan dalil dianjurkannya mendoakan pengantin baru agar Allah Ta’ala memberkahinya dan agar Allah Ta’ala mengumpulkan antara dia dan pasangannya dalam kebaikan. “Kebaikan” di sini merupakan kata yang bersifat umum. Maksudnya, mencakup semua bentuk kebaikan, baik berupa ketaatan kepada Allah, keluarga yang harmonis, dan keturunan yang saleh. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendokan Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu ketika menikah dengan mengatakan, بَارَكَ اللَّهُ لَكَ “Semoga Allah memberkahimu.” Doa untuk pasangan yang menikah termasuk dalam keluhuran akhlak Islam. Dengan doa tersebut, seorang muslim mengucapkan selamat karena pasangan tersebut memperoleh kebaikan, dan juga mendoakan sesuai dengan kondisi saat itu, yaitu turunnya keberkahan dan nikmat yang kontinyu. Seorang muslim hendaknya tidak meninggalkan doa tersebut dan lebih memilih ucapan yang menjadi kebiasaan sebagian masyarakat, misalnya dengan mengucapkan, بِالرِّفَاءِ وَالْبَنِينَ “Semoga harmonis (langgeng) dan banyak anak.“ Karena hal ini termasuk dalam amalan jahiliyah. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah melarang hal tersebut. Diriwayatkan dari Al-Hasan, beliau berkata, “Aqil bin Abi Thalib menikahi seorang wanita dari Bani Jatsm. Kemudian ia diberi ucapan selamat, بِالرِّفَاءِ وَالْبَنِينَ “Semoga harmonis (langgeng) dan banyak anak.” Lalu ia mengatakan, “Katakanlah sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ، وَبَارَكَ لَكُمْ “BAARAKALLAAHU FIIKUM WA BAARAKA LAKUM” (Semoga Allah memberi berkah kepada kalian dan melipatgandakan keberkahan bagi kalian).” (HR. An-Nasa’i no. 3371, sahih) Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa Aqil bin Abi Thalib berkata, لَا تَقُولُوا هَكَذَا، وَلَكِنْ قُولُوا كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ، وَبَارِكْ عَلَيْهِمْ “Janganlah kalian mengatakan begitu, tetapi ucapkanlah sebagaimana yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “ALLAHUMMA BAARIK LAHUM WA BAARIK ‘ALAIHIM” (Ya Allah, berilah berkah kepada mereka dan atas mereka.)” (HR. Ibnu Majah no. 1906, sahih) Hikmah dari larangan tersebut, wallahu a’lam, adalah tiga hal berikut ini: Pertama, untuk menyelisihi kebiasaan (adat) kaum jahiliyah. Kedua, dalam kalimat tersebut, hanya disebutkan al-banin (anak laki-laki), tanpa menyebutkan banat (anak perempuan). Sehingga ucapan tersebut mirip dengan masyarakat jahiliyah yang membenci kelahiran anak perempuan. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالأُنثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدّاً وَهُوَ كَظِيمٌ “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.” (QS. An-Nahl: 58) Ketiga, dalam ucapan tersebut, tidak disebutkan nama Allah, tidak pula memuji dan menyanjung Allah Ta’ala. Akan tetapi, jika mengucapkan, “Semoga harmonis (langgeng)”, tidaklah terlarang. Hal ini karena para sahabat radhiyallahu ‘anhum juga mengucapkan atau menggunakan kalimat tersebut, dan mereka lebih mengetahui dalil-dalil syariat dan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang terlarang adalah mendoakan pengantin baru dengan “semoga banyak anak laki-laki” (tanpa anak perempuan), dengan alasan (pertimbangan) yang telah disebutkan. (Lihat Tashhih Ad-Du’a, hal. 528) Renungkanlah bagaimanakah yang dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam rangkaian doa tersebut, doa yang ringkas dan banyak makna. Doa tersebut mengumpulkan semua kebaikan (maslahat) dunia dan akhirat. Didapatkannya keberkahan untuk mereka berdua dan berkumpulnya mereka berdua dalam kebaikan merupakan unsur pokok kebahagiaan suami-istri, kebaikan untuk mereka dan juga anak keturunannya. Baca juga: Hukum Menghadiri Perayaan Pernikahan di Gedung Pernikahan *** @14 Zulkaidah 1445/ 22 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 188-190). Tags: doapengantin
Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan Hadis Teks Hadis Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَفَّأَ الْإِنْسَانَ إِذَا تَزَوَّجَ، قَالَ: بَارَكَ اللَّهُ لَكَ، وَبَارَكَ عَلَيْكَ، وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan selamat kepada seseorang ketika menikah, beliau mengucapkan, “BAARAKALLAAHU LAKA WA BAARAKA ‘ALAIKA WA JAMA’A BAINAKUMAA FII KHAIRIN.” (Semoga Allah memberkahimu dan senantiasa memberkahimu; dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.)” (HR. Ahmad, 14: 517-518; Abu Dawud no. 2130; At-Tirmidzi no. 1091; An-Nasa’i dalam Al-Kubra, 9: 107; Ibnu Majah no. 1905; dan Ibnu Hibban, 9: 359. Hadis ini sahih.) Kandungan Hadis Hadis ini merupakan dalil dianjurkannya mendoakan pengantin baru agar Allah Ta’ala memberkahinya dan agar Allah Ta’ala mengumpulkan antara dia dan pasangannya dalam kebaikan. “Kebaikan” di sini merupakan kata yang bersifat umum. Maksudnya, mencakup semua bentuk kebaikan, baik berupa ketaatan kepada Allah, keluarga yang harmonis, dan keturunan yang saleh. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendokan Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu ketika menikah dengan mengatakan, بَارَكَ اللَّهُ لَكَ “Semoga Allah memberkahimu.” Doa untuk pasangan yang menikah termasuk dalam keluhuran akhlak Islam. Dengan doa tersebut, seorang muslim mengucapkan selamat karena pasangan tersebut memperoleh kebaikan, dan juga mendoakan sesuai dengan kondisi saat itu, yaitu turunnya keberkahan dan nikmat yang kontinyu. Seorang muslim hendaknya tidak meninggalkan doa tersebut dan lebih memilih ucapan yang menjadi kebiasaan sebagian masyarakat, misalnya dengan mengucapkan, بِالرِّفَاءِ وَالْبَنِينَ “Semoga harmonis (langgeng) dan banyak anak.“ Karena hal ini termasuk dalam amalan jahiliyah. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah melarang hal tersebut. Diriwayatkan dari Al-Hasan, beliau berkata, “Aqil bin Abi Thalib menikahi seorang wanita dari Bani Jatsm. Kemudian ia diberi ucapan selamat, بِالرِّفَاءِ وَالْبَنِينَ “Semoga harmonis (langgeng) dan banyak anak.” Lalu ia mengatakan, “Katakanlah sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ، وَبَارَكَ لَكُمْ “BAARAKALLAAHU FIIKUM WA BAARAKA LAKUM” (Semoga Allah memberi berkah kepada kalian dan melipatgandakan keberkahan bagi kalian).” (HR. An-Nasa’i no. 3371, sahih) Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa Aqil bin Abi Thalib berkata, لَا تَقُولُوا هَكَذَا، وَلَكِنْ قُولُوا كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ، وَبَارِكْ عَلَيْهِمْ “Janganlah kalian mengatakan begitu, tetapi ucapkanlah sebagaimana yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “ALLAHUMMA BAARIK LAHUM WA BAARIK ‘ALAIHIM” (Ya Allah, berilah berkah kepada mereka dan atas mereka.)” (HR. Ibnu Majah no. 1906, sahih) Hikmah dari larangan tersebut, wallahu a’lam, adalah tiga hal berikut ini: Pertama, untuk menyelisihi kebiasaan (adat) kaum jahiliyah. Kedua, dalam kalimat tersebut, hanya disebutkan al-banin (anak laki-laki), tanpa menyebutkan banat (anak perempuan). Sehingga ucapan tersebut mirip dengan masyarakat jahiliyah yang membenci kelahiran anak perempuan. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالأُنثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدّاً وَهُوَ كَظِيمٌ “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.” (QS. An-Nahl: 58) Ketiga, dalam ucapan tersebut, tidak disebutkan nama Allah, tidak pula memuji dan menyanjung Allah Ta’ala. Akan tetapi, jika mengucapkan, “Semoga harmonis (langgeng)”, tidaklah terlarang. Hal ini karena para sahabat radhiyallahu ‘anhum juga mengucapkan atau menggunakan kalimat tersebut, dan mereka lebih mengetahui dalil-dalil syariat dan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang terlarang adalah mendoakan pengantin baru dengan “semoga banyak anak laki-laki” (tanpa anak perempuan), dengan alasan (pertimbangan) yang telah disebutkan. (Lihat Tashhih Ad-Du’a, hal. 528) Renungkanlah bagaimanakah yang dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam rangkaian doa tersebut, doa yang ringkas dan banyak makna. Doa tersebut mengumpulkan semua kebaikan (maslahat) dunia dan akhirat. Didapatkannya keberkahan untuk mereka berdua dan berkumpulnya mereka berdua dalam kebaikan merupakan unsur pokok kebahagiaan suami-istri, kebaikan untuk mereka dan juga anak keturunannya. Baca juga: Hukum Menghadiri Perayaan Pernikahan di Gedung Pernikahan *** @14 Zulkaidah 1445/ 22 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 188-190). Tags: doapengantin


Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan Hadis Teks Hadis Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَفَّأَ الْإِنْسَانَ إِذَا تَزَوَّجَ، قَالَ: بَارَكَ اللَّهُ لَكَ، وَبَارَكَ عَلَيْكَ، وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan selamat kepada seseorang ketika menikah, beliau mengucapkan, “BAARAKALLAAHU LAKA WA BAARAKA ‘ALAIKA WA JAMA’A BAINAKUMAA FII KHAIRIN.” (Semoga Allah memberkahimu dan senantiasa memberkahimu; dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.)” (HR. Ahmad, 14: 517-518; Abu Dawud no. 2130; At-Tirmidzi no. 1091; An-Nasa’i dalam Al-Kubra, 9: 107; Ibnu Majah no. 1905; dan Ibnu Hibban, 9: 359. Hadis ini sahih.) Kandungan Hadis Hadis ini merupakan dalil dianjurkannya mendoakan pengantin baru agar Allah Ta’ala memberkahinya dan agar Allah Ta’ala mengumpulkan antara dia dan pasangannya dalam kebaikan. “Kebaikan” di sini merupakan kata yang bersifat umum. Maksudnya, mencakup semua bentuk kebaikan, baik berupa ketaatan kepada Allah, keluarga yang harmonis, dan keturunan yang saleh. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendokan Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu ketika menikah dengan mengatakan, بَارَكَ اللَّهُ لَكَ “Semoga Allah memberkahimu.” Doa untuk pasangan yang menikah termasuk dalam keluhuran akhlak Islam. Dengan doa tersebut, seorang muslim mengucapkan selamat karena pasangan tersebut memperoleh kebaikan, dan juga mendoakan sesuai dengan kondisi saat itu, yaitu turunnya keberkahan dan nikmat yang kontinyu. Seorang muslim hendaknya tidak meninggalkan doa tersebut dan lebih memilih ucapan yang menjadi kebiasaan sebagian masyarakat, misalnya dengan mengucapkan, بِالرِّفَاءِ وَالْبَنِينَ “Semoga harmonis (langgeng) dan banyak anak.“ Karena hal ini termasuk dalam amalan jahiliyah. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah melarang hal tersebut. Diriwayatkan dari Al-Hasan, beliau berkata, “Aqil bin Abi Thalib menikahi seorang wanita dari Bani Jatsm. Kemudian ia diberi ucapan selamat, بِالرِّفَاءِ وَالْبَنِينَ “Semoga harmonis (langgeng) dan banyak anak.” Lalu ia mengatakan, “Katakanlah sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ، وَبَارَكَ لَكُمْ “BAARAKALLAAHU FIIKUM WA BAARAKA LAKUM” (Semoga Allah memberi berkah kepada kalian dan melipatgandakan keberkahan bagi kalian).” (HR. An-Nasa’i no. 3371, sahih) Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa Aqil bin Abi Thalib berkata, لَا تَقُولُوا هَكَذَا، وَلَكِنْ قُولُوا كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ، وَبَارِكْ عَلَيْهِمْ “Janganlah kalian mengatakan begitu, tetapi ucapkanlah sebagaimana yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “ALLAHUMMA BAARIK LAHUM WA BAARIK ‘ALAIHIM” (Ya Allah, berilah berkah kepada mereka dan atas mereka.)” (HR. Ibnu Majah no. 1906, sahih) Hikmah dari larangan tersebut, wallahu a’lam, adalah tiga hal berikut ini: Pertama, untuk menyelisihi kebiasaan (adat) kaum jahiliyah. Kedua, dalam kalimat tersebut, hanya disebutkan al-banin (anak laki-laki), tanpa menyebutkan banat (anak perempuan). Sehingga ucapan tersebut mirip dengan masyarakat jahiliyah yang membenci kelahiran anak perempuan. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالأُنثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدّاً وَهُوَ كَظِيمٌ “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.” (QS. An-Nahl: 58) Ketiga, dalam ucapan tersebut, tidak disebutkan nama Allah, tidak pula memuji dan menyanjung Allah Ta’ala. Akan tetapi, jika mengucapkan, “Semoga harmonis (langgeng)”, tidaklah terlarang. Hal ini karena para sahabat radhiyallahu ‘anhum juga mengucapkan atau menggunakan kalimat tersebut, dan mereka lebih mengetahui dalil-dalil syariat dan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang terlarang adalah mendoakan pengantin baru dengan “semoga banyak anak laki-laki” (tanpa anak perempuan), dengan alasan (pertimbangan) yang telah disebutkan. (Lihat Tashhih Ad-Du’a, hal. 528) Renungkanlah bagaimanakah yang dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam rangkaian doa tersebut, doa yang ringkas dan banyak makna. Doa tersebut mengumpulkan semua kebaikan (maslahat) dunia dan akhirat. Didapatkannya keberkahan untuk mereka berdua dan berkumpulnya mereka berdua dalam kebaikan merupakan unsur pokok kebahagiaan suami-istri, kebaikan untuk mereka dan juga anak keturunannya. Baca juga: Hukum Menghadiri Perayaan Pernikahan di Gedung Pernikahan *** @14 Zulkaidah 1445/ 22 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 188-190). Tags: doapengantin

Khotbah Jumat: Rahasia dan Hikmah Ibadah Haji

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, serta manfaatkanlah waktu yang kita miliki untuk bergegas menyambut hidayah dan kebaikan serta menjauhkan diri dari hal-hal yang melalaikan. Resapilah wahai saudaraku, firman Allah Ta’ala, قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءكُمُ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَمَا أَنَاْ عَلَيْكُم بِوَكِيل “Katakanlah, “Hai manusia, sesungguhnya teIah datang kepadamu kebenaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu. Maka, barangsiapa yang mendapat petunjuk, sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu.” (QS. Yunus: 108) Saat hidayah dan petunjuk ini menyapa, sambutlah hidayah tersebut dengan hati yang lapang, bergegaslah untuk beramal dan melakukan kebaikan, karena sesungguhnya diri kitalah yang memegang kendali, apakah diri kita akan menjadi hamba yang beruntung atau menjadi hamba yang merugi lagi celaka. Jemaah Jum’at yang berbahagia, Sesungguhnya ibadah haji merupakan perjalanan yang sarat akan keimanan dan pengagungan kepada Allah Ta’ala. Sungguh, ia merupakan perjalanan yang paling mewah dan paling nikmat. Karena di dalamnya menggabungkan kemuliaan waktu dengan kemuliaan tempat. Marilah bersama-sama mengingat dan saling mengingatkan akan beberapa pelajaran berharga serta rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, maka akan bertambah pula keimanan dan pengagungan kita kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوب “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32) Ma’asyiral mukminin yang semoga mendapatkan rahmat Allah Ta’ala, Hikmah pertama dari syariat haji adalah mudahnya menyatukan dan menyelaraskan kaum muslimin serta bersatunya mereka dalam satu barisan yang sama. Di musim haji, kaum muslimin datang berbondong-bondong dari segala penjuru dunia. Tidak ada perbedaan di antara mereka, baik yang kaya maupun yang miskin, yang terpandang maupun yang biasa saja, atau yang berkulit putih maupun yang berkulit gelap. Semua datang dengan niat memenuhi panggilan Allah, beribadah kepada-Nya dengan hanya mengenakan kain ihram putih sederhana serta menanggalkan baju-baju mewah yang biasanya mereka kenakan. Yang kedua wahai saudaraku, haji mengingatkan kita akan perjalanan seseorang menuju alam akhirat. Orang yang berhaji akan meninggalkan negara tercintanya. Begitu pula seseorang yang meninggal dunia, maka ia juga akan meninggalkan dunia tempat ia tinggal sebelumnya. Sebagaimana seseorang yang sedang haji melepaskan seluruh pakaiannya dan hanya menggunakan 2 helai kain ihram, begitu pula kondisi seseorang tatkala meninggal dunia, maka akan dilepaskan seluruh bajunya darinya. Lalu, ia akan dimandikan dan hanya dipakaikan kain kafan berwarna putih saja. Di dalam wukuf seorang jemaah haji di padang arafah, maka itu adalah miniatur kecil dari salah satu kejadian di hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman, أَلَا يَظُنُّ أُو۟لَٰٓئِكَ أَنَّهُم مَّبْعُوثُونَ * لِيَوْمٍ عَظِيمٍ *  يَوْمَ يَقُومُ ٱلنَّاسُ لِرَبّ ٱلْعَـٰلَمِينَ “Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?” (QS. Al-Muthaffifin: 4-6) Pada hari Arafah, tatkala jemaah haji berdiri bersama-sama, bermunajat dan berdoa kepada Allah Ta’ala, maka itu merupakan salah satu gambaran bagaimana nantinya seluruh manusia berkumpul dan menghadap Allah Ta’ala untuk menunggu hisab akan amal perbuatan yang mereka lakukan di dunia. Karena hal ini juga, Allah Ta’ala memulai surah Al-Hajj, surat yang membahas ibadah haji ini, dengan peringatan akan dahsyatnya hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ إِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَيْءٌ عَظِيمٌ * يَوْمَ تَرَوْنَهَا تَذْهَلُ كُلُّ مُرْضِعَةٍ عَمَّا أَرْضَعَتْ وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا وَتَرَى النَّاسَ سُكَارَى وَمَا هُمْ بِسُكَارَى وَلَكِنَّ عَذَابَ اللَّهِ شَدِيدٌ “Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu. Sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). (Ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu. Semua wanita yang menyusui anaknya lalai dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil. Dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk. Akan tetapi, azab Allah itu sangat kerasnya.” (QS. Al-Hajj: 1-2) Di antara hikmahnya juga adalah besarnya pahala yang akan didapatkan oleh seorang hamba tatkala melaksanakan ibadah haji dan ia merupakan seutama-utamanya amalan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, العُمْرَةُ إلى العُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِما بيْنَهُمَا، والحَجُّ المَبْرُورُ ليسَ له جَزَاءٌ إلَّا الجَنَّةُ ”Dari satu umrah ke umrah yang lain adalah penghapus dosa di antara keduanya. Dan haji mabrur, tidak ada balasan baginya, melainkan surga.”  (HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349) Pada kesempatan yang lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya, أيُّ العَمَلِ أفْضَلُ؟ فَقالَ: إيمَانٌ باللَّهِ ورَسولِهِ. قيلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قالَ: الجِهَادُ في سَبيلِ اللَّهِ قيلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قالَ: حَجٌّ مَبْرُورٌ. “Manakah amalan yang paling utama?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Lalu, ditanya lagi, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Jihad fi sabilillah (berperang di jalan Allah).” Lalu, ditanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Maka, beliau menjawab, “Haji mabrur.” (HR. Bukhari no. 26) Jemaah yang berbahagia, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda, مَن حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ، ولَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَيَومِ ولَدَتْهُ أُمُّهُ “Siapa yang berhaji dan tidak berkata jorok dan tidak berbuat fasik, dia akan kembali seperti dilahirkan ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 1350) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Selepas Haji, Apa yang Harus Kita Lakukan? Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Ma’asyiral mukminin, yang mencintai dan dicintai oleh Allah Ta’ala, Begitu banyak hikmah dan rahasia lainnya dari syariat haji ini yang tidak terhitung jumlahnya. Oleh karenanya, tatkala Allah Ta’ala berfirman, وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ * لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ  “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus. Mereka datang dari segenap penjuru yang jauh. Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang diberikan kepada mereka berupa hewan ternak. Maka, makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” Allah Ta’ala di dalam ayat tersebut menggunakan lafaz yang umum dan tidak membatasi, menandakan begitu banyaknya manfaat dan hikmah dari pelaksanaan ibadah haji. Baik itu maslahat dan manfaat dalam kehidupan dunia maupun dalam kehidupan akhirat. Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa hikmah terbesar dari ibadah haji adalah agar seorang hamba memperbanyak diri bermunajat dan berzikir, mengingat Allah Ta’ala. Di dalam surah Al-Baqarah, Allah Ta’ala berfirman, وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ “Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (QS. Al-Baqarah: 203) Hari-hari yang berbilang di dalam ayat tersebut maksudnya adalah hari-hari tasyrik (11, 12, dan 13 dari bulan Zulhijah). Hari-hari di mana jemaah haji diperintahkan untuk melempar jumrah dan memperbanyak takbir di Mina. Jika kita perhatikan kembali, seluruh kegiatan dan amal ibadah dalam prosesi haji seluruhnya penuh dengan zikir dan permohonan kepada Allah Ta’ala. Talbiah yang senantiasa dilantunkan adalah zikir dan ketundukan kita kepada Allah. Tawaf yang kita lakukan, maka penuh dengan zikir. Dalam melempar jamrah sekalipun, maka kita juga diperintahkan untuk berzikir. Bahkan, apabila telah menyelesaikan ibadah haji, kita tetap ditekankan untuk memperbanyak zikir. Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu.” (QS. Al-Baqarah: 200) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala. Ibadah haji adalah momentum terbesar bagi seorang hamba untuk mengingat Allah Ta’ala, bertobat dan memohon ampunan kepada-Nya. Semoga Allah Ta’ala menjadikan haji kaum muslimin yang sedang berada di tanah suci sebagai haji yang mabrur dan semoga Allah Ta’ala memberikan kita kesempatan untuk bisa berhaji atau kembali berhaji ke baitullah, serta menjadikan kita hamba Allah yang mendapatkan surga dan meraih keridaan Allah Ta’ala serta ampunan-Nya. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Haji Furoda Juga Butuh Kesabaran *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: Hajihikmahrahasia

Khotbah Jumat: Rahasia dan Hikmah Ibadah Haji

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, serta manfaatkanlah waktu yang kita miliki untuk bergegas menyambut hidayah dan kebaikan serta menjauhkan diri dari hal-hal yang melalaikan. Resapilah wahai saudaraku, firman Allah Ta’ala, قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءكُمُ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَمَا أَنَاْ عَلَيْكُم بِوَكِيل “Katakanlah, “Hai manusia, sesungguhnya teIah datang kepadamu kebenaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu. Maka, barangsiapa yang mendapat petunjuk, sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu.” (QS. Yunus: 108) Saat hidayah dan petunjuk ini menyapa, sambutlah hidayah tersebut dengan hati yang lapang, bergegaslah untuk beramal dan melakukan kebaikan, karena sesungguhnya diri kitalah yang memegang kendali, apakah diri kita akan menjadi hamba yang beruntung atau menjadi hamba yang merugi lagi celaka. Jemaah Jum’at yang berbahagia, Sesungguhnya ibadah haji merupakan perjalanan yang sarat akan keimanan dan pengagungan kepada Allah Ta’ala. Sungguh, ia merupakan perjalanan yang paling mewah dan paling nikmat. Karena di dalamnya menggabungkan kemuliaan waktu dengan kemuliaan tempat. Marilah bersama-sama mengingat dan saling mengingatkan akan beberapa pelajaran berharga serta rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, maka akan bertambah pula keimanan dan pengagungan kita kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوب “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32) Ma’asyiral mukminin yang semoga mendapatkan rahmat Allah Ta’ala, Hikmah pertama dari syariat haji adalah mudahnya menyatukan dan menyelaraskan kaum muslimin serta bersatunya mereka dalam satu barisan yang sama. Di musim haji, kaum muslimin datang berbondong-bondong dari segala penjuru dunia. Tidak ada perbedaan di antara mereka, baik yang kaya maupun yang miskin, yang terpandang maupun yang biasa saja, atau yang berkulit putih maupun yang berkulit gelap. Semua datang dengan niat memenuhi panggilan Allah, beribadah kepada-Nya dengan hanya mengenakan kain ihram putih sederhana serta menanggalkan baju-baju mewah yang biasanya mereka kenakan. Yang kedua wahai saudaraku, haji mengingatkan kita akan perjalanan seseorang menuju alam akhirat. Orang yang berhaji akan meninggalkan negara tercintanya. Begitu pula seseorang yang meninggal dunia, maka ia juga akan meninggalkan dunia tempat ia tinggal sebelumnya. Sebagaimana seseorang yang sedang haji melepaskan seluruh pakaiannya dan hanya menggunakan 2 helai kain ihram, begitu pula kondisi seseorang tatkala meninggal dunia, maka akan dilepaskan seluruh bajunya darinya. Lalu, ia akan dimandikan dan hanya dipakaikan kain kafan berwarna putih saja. Di dalam wukuf seorang jemaah haji di padang arafah, maka itu adalah miniatur kecil dari salah satu kejadian di hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman, أَلَا يَظُنُّ أُو۟لَٰٓئِكَ أَنَّهُم مَّبْعُوثُونَ * لِيَوْمٍ عَظِيمٍ *  يَوْمَ يَقُومُ ٱلنَّاسُ لِرَبّ ٱلْعَـٰلَمِينَ “Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?” (QS. Al-Muthaffifin: 4-6) Pada hari Arafah, tatkala jemaah haji berdiri bersama-sama, bermunajat dan berdoa kepada Allah Ta’ala, maka itu merupakan salah satu gambaran bagaimana nantinya seluruh manusia berkumpul dan menghadap Allah Ta’ala untuk menunggu hisab akan amal perbuatan yang mereka lakukan di dunia. Karena hal ini juga, Allah Ta’ala memulai surah Al-Hajj, surat yang membahas ibadah haji ini, dengan peringatan akan dahsyatnya hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ إِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَيْءٌ عَظِيمٌ * يَوْمَ تَرَوْنَهَا تَذْهَلُ كُلُّ مُرْضِعَةٍ عَمَّا أَرْضَعَتْ وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا وَتَرَى النَّاسَ سُكَارَى وَمَا هُمْ بِسُكَارَى وَلَكِنَّ عَذَابَ اللَّهِ شَدِيدٌ “Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu. Sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). (Ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu. Semua wanita yang menyusui anaknya lalai dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil. Dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk. Akan tetapi, azab Allah itu sangat kerasnya.” (QS. Al-Hajj: 1-2) Di antara hikmahnya juga adalah besarnya pahala yang akan didapatkan oleh seorang hamba tatkala melaksanakan ibadah haji dan ia merupakan seutama-utamanya amalan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, العُمْرَةُ إلى العُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِما بيْنَهُمَا، والحَجُّ المَبْرُورُ ليسَ له جَزَاءٌ إلَّا الجَنَّةُ ”Dari satu umrah ke umrah yang lain adalah penghapus dosa di antara keduanya. Dan haji mabrur, tidak ada balasan baginya, melainkan surga.”  (HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349) Pada kesempatan yang lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya, أيُّ العَمَلِ أفْضَلُ؟ فَقالَ: إيمَانٌ باللَّهِ ورَسولِهِ. قيلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قالَ: الجِهَادُ في سَبيلِ اللَّهِ قيلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قالَ: حَجٌّ مَبْرُورٌ. “Manakah amalan yang paling utama?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Lalu, ditanya lagi, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Jihad fi sabilillah (berperang di jalan Allah).” Lalu, ditanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Maka, beliau menjawab, “Haji mabrur.” (HR. Bukhari no. 26) Jemaah yang berbahagia, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda, مَن حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ، ولَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَيَومِ ولَدَتْهُ أُمُّهُ “Siapa yang berhaji dan tidak berkata jorok dan tidak berbuat fasik, dia akan kembali seperti dilahirkan ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 1350) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Selepas Haji, Apa yang Harus Kita Lakukan? Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Ma’asyiral mukminin, yang mencintai dan dicintai oleh Allah Ta’ala, Begitu banyak hikmah dan rahasia lainnya dari syariat haji ini yang tidak terhitung jumlahnya. Oleh karenanya, tatkala Allah Ta’ala berfirman, وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ * لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ  “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus. Mereka datang dari segenap penjuru yang jauh. Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang diberikan kepada mereka berupa hewan ternak. Maka, makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” Allah Ta’ala di dalam ayat tersebut menggunakan lafaz yang umum dan tidak membatasi, menandakan begitu banyaknya manfaat dan hikmah dari pelaksanaan ibadah haji. Baik itu maslahat dan manfaat dalam kehidupan dunia maupun dalam kehidupan akhirat. Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa hikmah terbesar dari ibadah haji adalah agar seorang hamba memperbanyak diri bermunajat dan berzikir, mengingat Allah Ta’ala. Di dalam surah Al-Baqarah, Allah Ta’ala berfirman, وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ “Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (QS. Al-Baqarah: 203) Hari-hari yang berbilang di dalam ayat tersebut maksudnya adalah hari-hari tasyrik (11, 12, dan 13 dari bulan Zulhijah). Hari-hari di mana jemaah haji diperintahkan untuk melempar jumrah dan memperbanyak takbir di Mina. Jika kita perhatikan kembali, seluruh kegiatan dan amal ibadah dalam prosesi haji seluruhnya penuh dengan zikir dan permohonan kepada Allah Ta’ala. Talbiah yang senantiasa dilantunkan adalah zikir dan ketundukan kita kepada Allah. Tawaf yang kita lakukan, maka penuh dengan zikir. Dalam melempar jamrah sekalipun, maka kita juga diperintahkan untuk berzikir. Bahkan, apabila telah menyelesaikan ibadah haji, kita tetap ditekankan untuk memperbanyak zikir. Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu.” (QS. Al-Baqarah: 200) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala. Ibadah haji adalah momentum terbesar bagi seorang hamba untuk mengingat Allah Ta’ala, bertobat dan memohon ampunan kepada-Nya. Semoga Allah Ta’ala menjadikan haji kaum muslimin yang sedang berada di tanah suci sebagai haji yang mabrur dan semoga Allah Ta’ala memberikan kita kesempatan untuk bisa berhaji atau kembali berhaji ke baitullah, serta menjadikan kita hamba Allah yang mendapatkan surga dan meraih keridaan Allah Ta’ala serta ampunan-Nya. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Haji Furoda Juga Butuh Kesabaran *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: Hajihikmahrahasia
Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, serta manfaatkanlah waktu yang kita miliki untuk bergegas menyambut hidayah dan kebaikan serta menjauhkan diri dari hal-hal yang melalaikan. Resapilah wahai saudaraku, firman Allah Ta’ala, قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءكُمُ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَمَا أَنَاْ عَلَيْكُم بِوَكِيل “Katakanlah, “Hai manusia, sesungguhnya teIah datang kepadamu kebenaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu. Maka, barangsiapa yang mendapat petunjuk, sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu.” (QS. Yunus: 108) Saat hidayah dan petunjuk ini menyapa, sambutlah hidayah tersebut dengan hati yang lapang, bergegaslah untuk beramal dan melakukan kebaikan, karena sesungguhnya diri kitalah yang memegang kendali, apakah diri kita akan menjadi hamba yang beruntung atau menjadi hamba yang merugi lagi celaka. Jemaah Jum’at yang berbahagia, Sesungguhnya ibadah haji merupakan perjalanan yang sarat akan keimanan dan pengagungan kepada Allah Ta’ala. Sungguh, ia merupakan perjalanan yang paling mewah dan paling nikmat. Karena di dalamnya menggabungkan kemuliaan waktu dengan kemuliaan tempat. Marilah bersama-sama mengingat dan saling mengingatkan akan beberapa pelajaran berharga serta rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, maka akan bertambah pula keimanan dan pengagungan kita kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوب “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32) Ma’asyiral mukminin yang semoga mendapatkan rahmat Allah Ta’ala, Hikmah pertama dari syariat haji adalah mudahnya menyatukan dan menyelaraskan kaum muslimin serta bersatunya mereka dalam satu barisan yang sama. Di musim haji, kaum muslimin datang berbondong-bondong dari segala penjuru dunia. Tidak ada perbedaan di antara mereka, baik yang kaya maupun yang miskin, yang terpandang maupun yang biasa saja, atau yang berkulit putih maupun yang berkulit gelap. Semua datang dengan niat memenuhi panggilan Allah, beribadah kepada-Nya dengan hanya mengenakan kain ihram putih sederhana serta menanggalkan baju-baju mewah yang biasanya mereka kenakan. Yang kedua wahai saudaraku, haji mengingatkan kita akan perjalanan seseorang menuju alam akhirat. Orang yang berhaji akan meninggalkan negara tercintanya. Begitu pula seseorang yang meninggal dunia, maka ia juga akan meninggalkan dunia tempat ia tinggal sebelumnya. Sebagaimana seseorang yang sedang haji melepaskan seluruh pakaiannya dan hanya menggunakan 2 helai kain ihram, begitu pula kondisi seseorang tatkala meninggal dunia, maka akan dilepaskan seluruh bajunya darinya. Lalu, ia akan dimandikan dan hanya dipakaikan kain kafan berwarna putih saja. Di dalam wukuf seorang jemaah haji di padang arafah, maka itu adalah miniatur kecil dari salah satu kejadian di hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman, أَلَا يَظُنُّ أُو۟لَٰٓئِكَ أَنَّهُم مَّبْعُوثُونَ * لِيَوْمٍ عَظِيمٍ *  يَوْمَ يَقُومُ ٱلنَّاسُ لِرَبّ ٱلْعَـٰلَمِينَ “Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?” (QS. Al-Muthaffifin: 4-6) Pada hari Arafah, tatkala jemaah haji berdiri bersama-sama, bermunajat dan berdoa kepada Allah Ta’ala, maka itu merupakan salah satu gambaran bagaimana nantinya seluruh manusia berkumpul dan menghadap Allah Ta’ala untuk menunggu hisab akan amal perbuatan yang mereka lakukan di dunia. Karena hal ini juga, Allah Ta’ala memulai surah Al-Hajj, surat yang membahas ibadah haji ini, dengan peringatan akan dahsyatnya hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ إِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَيْءٌ عَظِيمٌ * يَوْمَ تَرَوْنَهَا تَذْهَلُ كُلُّ مُرْضِعَةٍ عَمَّا أَرْضَعَتْ وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا وَتَرَى النَّاسَ سُكَارَى وَمَا هُمْ بِسُكَارَى وَلَكِنَّ عَذَابَ اللَّهِ شَدِيدٌ “Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu. Sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). (Ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu. Semua wanita yang menyusui anaknya lalai dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil. Dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk. Akan tetapi, azab Allah itu sangat kerasnya.” (QS. Al-Hajj: 1-2) Di antara hikmahnya juga adalah besarnya pahala yang akan didapatkan oleh seorang hamba tatkala melaksanakan ibadah haji dan ia merupakan seutama-utamanya amalan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, العُمْرَةُ إلى العُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِما بيْنَهُمَا، والحَجُّ المَبْرُورُ ليسَ له جَزَاءٌ إلَّا الجَنَّةُ ”Dari satu umrah ke umrah yang lain adalah penghapus dosa di antara keduanya. Dan haji mabrur, tidak ada balasan baginya, melainkan surga.”  (HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349) Pada kesempatan yang lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya, أيُّ العَمَلِ أفْضَلُ؟ فَقالَ: إيمَانٌ باللَّهِ ورَسولِهِ. قيلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قالَ: الجِهَادُ في سَبيلِ اللَّهِ قيلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قالَ: حَجٌّ مَبْرُورٌ. “Manakah amalan yang paling utama?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Lalu, ditanya lagi, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Jihad fi sabilillah (berperang di jalan Allah).” Lalu, ditanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Maka, beliau menjawab, “Haji mabrur.” (HR. Bukhari no. 26) Jemaah yang berbahagia, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda, مَن حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ، ولَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَيَومِ ولَدَتْهُ أُمُّهُ “Siapa yang berhaji dan tidak berkata jorok dan tidak berbuat fasik, dia akan kembali seperti dilahirkan ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 1350) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Selepas Haji, Apa yang Harus Kita Lakukan? Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Ma’asyiral mukminin, yang mencintai dan dicintai oleh Allah Ta’ala, Begitu banyak hikmah dan rahasia lainnya dari syariat haji ini yang tidak terhitung jumlahnya. Oleh karenanya, tatkala Allah Ta’ala berfirman, وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ * لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ  “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus. Mereka datang dari segenap penjuru yang jauh. Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang diberikan kepada mereka berupa hewan ternak. Maka, makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” Allah Ta’ala di dalam ayat tersebut menggunakan lafaz yang umum dan tidak membatasi, menandakan begitu banyaknya manfaat dan hikmah dari pelaksanaan ibadah haji. Baik itu maslahat dan manfaat dalam kehidupan dunia maupun dalam kehidupan akhirat. Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa hikmah terbesar dari ibadah haji adalah agar seorang hamba memperbanyak diri bermunajat dan berzikir, mengingat Allah Ta’ala. Di dalam surah Al-Baqarah, Allah Ta’ala berfirman, وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ “Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (QS. Al-Baqarah: 203) Hari-hari yang berbilang di dalam ayat tersebut maksudnya adalah hari-hari tasyrik (11, 12, dan 13 dari bulan Zulhijah). Hari-hari di mana jemaah haji diperintahkan untuk melempar jumrah dan memperbanyak takbir di Mina. Jika kita perhatikan kembali, seluruh kegiatan dan amal ibadah dalam prosesi haji seluruhnya penuh dengan zikir dan permohonan kepada Allah Ta’ala. Talbiah yang senantiasa dilantunkan adalah zikir dan ketundukan kita kepada Allah. Tawaf yang kita lakukan, maka penuh dengan zikir. Dalam melempar jamrah sekalipun, maka kita juga diperintahkan untuk berzikir. Bahkan, apabila telah menyelesaikan ibadah haji, kita tetap ditekankan untuk memperbanyak zikir. Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu.” (QS. Al-Baqarah: 200) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala. Ibadah haji adalah momentum terbesar bagi seorang hamba untuk mengingat Allah Ta’ala, bertobat dan memohon ampunan kepada-Nya. Semoga Allah Ta’ala menjadikan haji kaum muslimin yang sedang berada di tanah suci sebagai haji yang mabrur dan semoga Allah Ta’ala memberikan kita kesempatan untuk bisa berhaji atau kembali berhaji ke baitullah, serta menjadikan kita hamba Allah yang mendapatkan surga dan meraih keridaan Allah Ta’ala serta ampunan-Nya. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Haji Furoda Juga Butuh Kesabaran *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: Hajihikmahrahasia


Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, serta manfaatkanlah waktu yang kita miliki untuk bergegas menyambut hidayah dan kebaikan serta menjauhkan diri dari hal-hal yang melalaikan. Resapilah wahai saudaraku, firman Allah Ta’ala, قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءكُمُ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَمَا أَنَاْ عَلَيْكُم بِوَكِيل “Katakanlah, “Hai manusia, sesungguhnya teIah datang kepadamu kebenaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu. Maka, barangsiapa yang mendapat petunjuk, sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu.” (QS. Yunus: 108) Saat hidayah dan petunjuk ini menyapa, sambutlah hidayah tersebut dengan hati yang lapang, bergegaslah untuk beramal dan melakukan kebaikan, karena sesungguhnya diri kitalah yang memegang kendali, apakah diri kita akan menjadi hamba yang beruntung atau menjadi hamba yang merugi lagi celaka. Jemaah Jum’at yang berbahagia, Sesungguhnya ibadah haji merupakan perjalanan yang sarat akan keimanan dan pengagungan kepada Allah Ta’ala. Sungguh, ia merupakan perjalanan yang paling mewah dan paling nikmat. Karena di dalamnya menggabungkan kemuliaan waktu dengan kemuliaan tempat. Marilah bersama-sama mengingat dan saling mengingatkan akan beberapa pelajaran berharga serta rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, maka akan bertambah pula keimanan dan pengagungan kita kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوب “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32) Ma’asyiral mukminin yang semoga mendapatkan rahmat Allah Ta’ala, Hikmah pertama dari syariat haji adalah mudahnya menyatukan dan menyelaraskan kaum muslimin serta bersatunya mereka dalam satu barisan yang sama. Di musim haji, kaum muslimin datang berbondong-bondong dari segala penjuru dunia. Tidak ada perbedaan di antara mereka, baik yang kaya maupun yang miskin, yang terpandang maupun yang biasa saja, atau yang berkulit putih maupun yang berkulit gelap. Semua datang dengan niat memenuhi panggilan Allah, beribadah kepada-Nya dengan hanya mengenakan kain ihram putih sederhana serta menanggalkan baju-baju mewah yang biasanya mereka kenakan. Yang kedua wahai saudaraku, haji mengingatkan kita akan perjalanan seseorang menuju alam akhirat. Orang yang berhaji akan meninggalkan negara tercintanya. Begitu pula seseorang yang meninggal dunia, maka ia juga akan meninggalkan dunia tempat ia tinggal sebelumnya. Sebagaimana seseorang yang sedang haji melepaskan seluruh pakaiannya dan hanya menggunakan 2 helai kain ihram, begitu pula kondisi seseorang tatkala meninggal dunia, maka akan dilepaskan seluruh bajunya darinya. Lalu, ia akan dimandikan dan hanya dipakaikan kain kafan berwarna putih saja. Di dalam wukuf seorang jemaah haji di padang arafah, maka itu adalah miniatur kecil dari salah satu kejadian di hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman, أَلَا يَظُنُّ أُو۟لَٰٓئِكَ أَنَّهُم مَّبْعُوثُونَ * لِيَوْمٍ عَظِيمٍ *  يَوْمَ يَقُومُ ٱلنَّاسُ لِرَبّ ٱلْعَـٰلَمِينَ “Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?” (QS. Al-Muthaffifin: 4-6) Pada hari Arafah, tatkala jemaah haji berdiri bersama-sama, bermunajat dan berdoa kepada Allah Ta’ala, maka itu merupakan salah satu gambaran bagaimana nantinya seluruh manusia berkumpul dan menghadap Allah Ta’ala untuk menunggu hisab akan amal perbuatan yang mereka lakukan di dunia. Karena hal ini juga, Allah Ta’ala memulai surah Al-Hajj, surat yang membahas ibadah haji ini, dengan peringatan akan dahsyatnya hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ إِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَيْءٌ عَظِيمٌ * يَوْمَ تَرَوْنَهَا تَذْهَلُ كُلُّ مُرْضِعَةٍ عَمَّا أَرْضَعَتْ وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا وَتَرَى النَّاسَ سُكَارَى وَمَا هُمْ بِسُكَارَى وَلَكِنَّ عَذَابَ اللَّهِ شَدِيدٌ “Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu. Sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). (Ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu. Semua wanita yang menyusui anaknya lalai dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil. Dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk. Akan tetapi, azab Allah itu sangat kerasnya.” (QS. Al-Hajj: 1-2) Di antara hikmahnya juga adalah besarnya pahala yang akan didapatkan oleh seorang hamba tatkala melaksanakan ibadah haji dan ia merupakan seutama-utamanya amalan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, العُمْرَةُ إلى العُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِما بيْنَهُمَا، والحَجُّ المَبْرُورُ ليسَ له جَزَاءٌ إلَّا الجَنَّةُ ”Dari satu umrah ke umrah yang lain adalah penghapus dosa di antara keduanya. Dan haji mabrur, tidak ada balasan baginya, melainkan surga.”  (HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349) Pada kesempatan yang lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya, أيُّ العَمَلِ أفْضَلُ؟ فَقالَ: إيمَانٌ باللَّهِ ورَسولِهِ. قيلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قالَ: الجِهَادُ في سَبيلِ اللَّهِ قيلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قالَ: حَجٌّ مَبْرُورٌ. “Manakah amalan yang paling utama?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Lalu, ditanya lagi, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Jihad fi sabilillah (berperang di jalan Allah).” Lalu, ditanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Maka, beliau menjawab, “Haji mabrur.” (HR. Bukhari no. 26) Jemaah yang berbahagia, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda, مَن حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ، ولَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَيَومِ ولَدَتْهُ أُمُّهُ “Siapa yang berhaji dan tidak berkata jorok dan tidak berbuat fasik, dia akan kembali seperti dilahirkan ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 1350) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Selepas Haji, Apa yang Harus Kita Lakukan? Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Ma’asyiral mukminin, yang mencintai dan dicintai oleh Allah Ta’ala, Begitu banyak hikmah dan rahasia lainnya dari syariat haji ini yang tidak terhitung jumlahnya. Oleh karenanya, tatkala Allah Ta’ala berfirman, وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ * لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ  “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus. Mereka datang dari segenap penjuru yang jauh. Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang diberikan kepada mereka berupa hewan ternak. Maka, makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” Allah Ta’ala di dalam ayat tersebut menggunakan lafaz yang umum dan tidak membatasi, menandakan begitu banyaknya manfaat dan hikmah dari pelaksanaan ibadah haji. Baik itu maslahat dan manfaat dalam kehidupan dunia maupun dalam kehidupan akhirat. Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa hikmah terbesar dari ibadah haji adalah agar seorang hamba memperbanyak diri bermunajat dan berzikir, mengingat Allah Ta’ala. Di dalam surah Al-Baqarah, Allah Ta’ala berfirman, وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ “Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (QS. Al-Baqarah: 203) Hari-hari yang berbilang di dalam ayat tersebut maksudnya adalah hari-hari tasyrik (11, 12, dan 13 dari bulan Zulhijah). Hari-hari di mana jemaah haji diperintahkan untuk melempar jumrah dan memperbanyak takbir di Mina. Jika kita perhatikan kembali, seluruh kegiatan dan amal ibadah dalam prosesi haji seluruhnya penuh dengan zikir dan permohonan kepada Allah Ta’ala. Talbiah yang senantiasa dilantunkan adalah zikir dan ketundukan kita kepada Allah. Tawaf yang kita lakukan, maka penuh dengan zikir. Dalam melempar jamrah sekalipun, maka kita juga diperintahkan untuk berzikir. Bahkan, apabila telah menyelesaikan ibadah haji, kita tetap ditekankan untuk memperbanyak zikir. Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu.” (QS. Al-Baqarah: 200) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala. Ibadah haji adalah momentum terbesar bagi seorang hamba untuk mengingat Allah Ta’ala, bertobat dan memohon ampunan kepada-Nya. Semoga Allah Ta’ala menjadikan haji kaum muslimin yang sedang berada di tanah suci sebagai haji yang mabrur dan semoga Allah Ta’ala memberikan kita kesempatan untuk bisa berhaji atau kembali berhaji ke baitullah, serta menjadikan kita hamba Allah yang mendapatkan surga dan meraih keridaan Allah Ta’ala serta ampunan-Nya. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Haji Furoda Juga Butuh Kesabaran *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: Hajihikmahrahasia

Konsekuensi Syahadatain

Daftar Isi Toggle Makna syahadat LailahaillallahMakna syahadat Muhammadan RasulullahKonsekuensi syahadatain Islam adalah agama yang mengajarkan tauhid, yaitu keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Zat yang layak disembah. Dasar dari agama Islam terletak pada syahadatain, dua kalimat kesaksian yang menjadi pintu gerbang masuknya seseorang ke dalam agama Islam. Syahadatain terdiri dari dua bagian: Lailahaillallah dan Muhammadan Rasulullah. Dua kalimat syahadat ini merupakan rukun pertama keislaman seseorang. Tatkala seseorang mengucapkan kesaksian syahadat, maka ia telah menerima segala konsekuensinya. Syahadat Lailahaillallah mengandung komitmen seorang yang mengucapkannya untuk menyembah hanya kepada Allah Ta’ala dan tidak membiarkan sedikit pun celah penghambaannya kepada makhluk. Begitu pula, syahadat Muhammadan Rasulullah yang mengandung komitmen seorang yang mengucapkannya untuk ittiba’ secara totalitas kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam khususnya dalam perkara ibadah kepada Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ ، وَ إِقَامِ الصَّلَاةِ ، وَ إِيْتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَ حَجِّ الْبَيْتِ ، وَ صَوْمِ رَمَضَانَ “Islam dibangun di atas lima: persaksian bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah dengan benar, kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan salat; menunaikan zakat; naik haji; dan puasa Ramadan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththab) Tatkala seorang hamba mengucapkan dua kalimat syahadat, ia seakan terlahir kembali dengan sebuah janji suci yang terukir di dalam hatinya. Janji ini bukan sekadar lafaz yang terucap di bibir, melainkan ikrar yang mengikat jiwa untuk menjalani hidup dalam ketundukan total kepada Allah dan ittiba’ yang tulus kepada Rasul-Nya. Dua kalimat yang tampak sederhana ini menyimpan kekuatan dahsyat yang mampu mengubah hidup seseorang, membimbingnya dari kegelapan menuju cahaya, dari kebingungan menuju kepastian. Dalam setiap kalimatnya, terdapat konsekuensi yang menuntut komitmen penuh, yang bila dipahami dan diamalkan, akan membentuk pribadi yang tangguh dan berakhlak mulia. Makna syahadat Lailahaillallah Lailahaillallah berarti “Tiada sesembahan yang berhak disembah, selain Allah.” Dengan mengucapkan kalimat ini, seorang Muslim menyatakan keyakinannya bahwa tidak ada Zat yang layak disembah, kecuali Allah. Konsekuensi dari syahadat ini adalah komitmen untuk mengesakan Allah dalam segala bentuk ibadah, baik itu salat, puasa, zakat, haji, maupun ibadah lainnya. Seorang muslim harus menjauhkan diri dari segala bentuk kesyirikan, yakni mempersekutukan Allah dengan makhluk-Nya. Perhatikanlah, betapa keistimewaan yang dikaruniakan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang benar-benar komitmen untuk mentauhidkan Allah Ta’ala dengan ampunan sepenuh dosa yang dilakukan hamba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِي لاَ تُشْرِكُ بِي شَيْئاً لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً. “Wahai bani Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi, sedangkan engkau ketika mati tidak menyekutukan Aku sedikit pun juga, pasti Aku akan berikan kepadamu ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. At-Tirmidzi no. 3540) Ketika seorang muslim mengucapkan Lailahaillallah, ia berjanji untuk mengabdikan seluruh hidupnya hanya kepada Allah Ta’ala. Ini berarti semua tindakan, pikiran, dan tujuan hidupnya harus selaras dengan kehendak Allah. Seorang muslim harus menghindari semua bentuk penyembahan kepada makhluk, seperti berdoa kepada selain Allah, mempercayai ramalan nasib, atau menggantungkan harapan kepada benda-benda tertentu. Penghambaan total ini menuntut konsistensi dalam menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Namun, perlu diingat bahwa kita wajib menyempurnakan rukun syahadat yang pertama ini. Rukun syahadat Lailahaillallah ada dua, yaitu: Pertama: Peniadaan (an-nafyu), dalam ucapan “Lailaha”, yaitu membatalkan segala praktik kesyirikan dan mewajibkan kekafiran terhadap segala apa yang disembah selain Allah. Kedua: Penetapan (al-itsbat), dalam ucapan “illallah”, yaitu menetapkan bahwa tidak ada Zat yang berhak disembah selain Allah dan mewajibkan pengamalan sesuai dengan konsekuensinya. Terhadap dua rukun ini, Allah Ta’ala berfirman, فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا “Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat.” (QS. Al-Baqarah: 256) Pada ayat tersebut, kalimat “فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ” merupakan makna dari “Lailaha”. Sedangkan kalimat “وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ” merupakan makna dari “illallah”. Hal ini merupakan bagian dari banyaknya dalil yang menguatkan dua rukun syahadat yang harus dipenuhi oleh setiap muslim. Baca juga: 7 Syarat Diterimanya Dua Kalimat Syahadat Makna syahadat Muhammadan Rasulullah Muhammadan Rasulullah berarti “Muhammad adalah utusan Allah.” Dengan mengucapkan kalimat ini, seorang muslim mengakui bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah utusan Allah yang terakhir dan penutup para nabi. Konsekuensi dari syahadat ini adalah mengikuti ajaran dan sunah Rasulullah dalam setiap aspek kehidupan, terutama dalam peribadatan kepada Allah. Sebagaimana umumnya, diketahui dari banyak dalil-dalil sahih bahwa syarat diterimanya ibadah ada dua, yaitu: ikhlas dan ittiba’. Terkait dengan ittiba’, Allah Ta’ala mewajibkan kita untuk menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai sosok teladan yang diikuti. Allah Ta’ala berfirman, مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ ٱللَّهَ ۖ وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا “Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. An-Nisa: 80) Ittiba’ berarti mengikuti secara totalitas. Seorang muslim yang mengucapkan Muhammadan Rasulullah harus mengikuti Rasulullah dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam beribadah, berakhlak, dan bermuamalah. Rasulullah adalah teladan yang sempurna bagi umat Islam, sehingga mengikuti beliau berarti meneladani perilaku, perkataan, dan sikap beliau dalam kehidupan sehari-hari. Seorang muslim harus menjadikan sunah Rasulullah sebagai pedoman utama setelah Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman, لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21) Terkhusus dalam perkara ibadah, telah sangat jelas dalam nas-nas yang sahih bahwa mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perkara ibadah adalah prasyarat mutlak setelah ikhlas. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718) Konsekuensi syahadatain Mengucapkan syahadatain bukan sekadar pernyataan lisan, tetapi juga komitmen yang harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Seorang muslim harus menaati segala perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya. Ketaatan ini mencakup seluruh aspek kehidupan, dari cara beribadah hingga bagaimana berinteraksi dengan sesama. Seorang muslim yang taat akan selalu berusaha mengikuti syariat Islam dalam setiap langkahnya. Menjaga keikhlasan adalah salah satu konsekuensi penting dari syahadatain. Ibadah seorang muslim harus dilakukan dengan ikhlas hanya untuk Allah, tanpa mencampurkannya dengan niat lain. Keikhlasan ini menjamin bahwa setiap amal ibadah yang dilakukan, diterima oleh Allah dan mendapatkan pahala yang sesuai. Oleh karena itu, seorang muslim harus selalu introspeksi diri dan memastikan bahwa niatnya murni dalam setiap perbuatan. Allah Ta’ala berfirman, فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al Kahfi: 110) Mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan konsekuensi logis dari mengucapkan syahadat Muhammadan Rasulullah. Seorang muslim harus berusaha memahami dan mengamalkan sunah Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari. Sunah adalah panduan praktis dari Rasulullah yang mencakup segala aspek kehidupan, mulai dari cara beribadah hingga adab dalam berinteraksi dengan orang lain. Dengan mengikuti sunah, seorang muslim akan mendapatkan petunjuk yang jelas dalam menjalani hidupnya. Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَي اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ “Aku berwasiat kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat, meskipun kalian dipimpin seorang budak. Sungguh, orang yang hidup di antara kalian sepeninggalku, ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, wajib atas kalian berpegang teguh pada sunahku dan sunah khulafaur rasyidin al-mahdiyyin (yang mendapatkan petunjuk dalam ilmu dan amal). Gigitlah sunah tersebut dengan gigi geraham kalian, serta jauhilah setiap perkara yang diada-adakan, karena setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Ia berkata bahwa hadis ini hasan sahih. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih.) Syahadatain adalah pondasi utama dalam agama Islam. Mengucapkannya berarti menerima segala konsekuensi dan tanggung jawab yang menyertainya. Seorang muslim harus senantiasa memperbarui komitmen ini dengan menjaga keimanan, ketaatan, dan ketulusan dalam beribadah kepada Allah serta mengikuti sunah Rasulullah. Dengan memahami dan mengamalkan syahadatain, seorang muslim akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Baca juga: Andai ini Salat Terakhirku *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: konsekuensisyahadat

Konsekuensi Syahadatain

Daftar Isi Toggle Makna syahadat LailahaillallahMakna syahadat Muhammadan RasulullahKonsekuensi syahadatain Islam adalah agama yang mengajarkan tauhid, yaitu keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Zat yang layak disembah. Dasar dari agama Islam terletak pada syahadatain, dua kalimat kesaksian yang menjadi pintu gerbang masuknya seseorang ke dalam agama Islam. Syahadatain terdiri dari dua bagian: Lailahaillallah dan Muhammadan Rasulullah. Dua kalimat syahadat ini merupakan rukun pertama keislaman seseorang. Tatkala seseorang mengucapkan kesaksian syahadat, maka ia telah menerima segala konsekuensinya. Syahadat Lailahaillallah mengandung komitmen seorang yang mengucapkannya untuk menyembah hanya kepada Allah Ta’ala dan tidak membiarkan sedikit pun celah penghambaannya kepada makhluk. Begitu pula, syahadat Muhammadan Rasulullah yang mengandung komitmen seorang yang mengucapkannya untuk ittiba’ secara totalitas kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam khususnya dalam perkara ibadah kepada Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ ، وَ إِقَامِ الصَّلَاةِ ، وَ إِيْتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَ حَجِّ الْبَيْتِ ، وَ صَوْمِ رَمَضَانَ “Islam dibangun di atas lima: persaksian bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah dengan benar, kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan salat; menunaikan zakat; naik haji; dan puasa Ramadan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththab) Tatkala seorang hamba mengucapkan dua kalimat syahadat, ia seakan terlahir kembali dengan sebuah janji suci yang terukir di dalam hatinya. Janji ini bukan sekadar lafaz yang terucap di bibir, melainkan ikrar yang mengikat jiwa untuk menjalani hidup dalam ketundukan total kepada Allah dan ittiba’ yang tulus kepada Rasul-Nya. Dua kalimat yang tampak sederhana ini menyimpan kekuatan dahsyat yang mampu mengubah hidup seseorang, membimbingnya dari kegelapan menuju cahaya, dari kebingungan menuju kepastian. Dalam setiap kalimatnya, terdapat konsekuensi yang menuntut komitmen penuh, yang bila dipahami dan diamalkan, akan membentuk pribadi yang tangguh dan berakhlak mulia. Makna syahadat Lailahaillallah Lailahaillallah berarti “Tiada sesembahan yang berhak disembah, selain Allah.” Dengan mengucapkan kalimat ini, seorang Muslim menyatakan keyakinannya bahwa tidak ada Zat yang layak disembah, kecuali Allah. Konsekuensi dari syahadat ini adalah komitmen untuk mengesakan Allah dalam segala bentuk ibadah, baik itu salat, puasa, zakat, haji, maupun ibadah lainnya. Seorang muslim harus menjauhkan diri dari segala bentuk kesyirikan, yakni mempersekutukan Allah dengan makhluk-Nya. Perhatikanlah, betapa keistimewaan yang dikaruniakan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang benar-benar komitmen untuk mentauhidkan Allah Ta’ala dengan ampunan sepenuh dosa yang dilakukan hamba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِي لاَ تُشْرِكُ بِي شَيْئاً لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً. “Wahai bani Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi, sedangkan engkau ketika mati tidak menyekutukan Aku sedikit pun juga, pasti Aku akan berikan kepadamu ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. At-Tirmidzi no. 3540) Ketika seorang muslim mengucapkan Lailahaillallah, ia berjanji untuk mengabdikan seluruh hidupnya hanya kepada Allah Ta’ala. Ini berarti semua tindakan, pikiran, dan tujuan hidupnya harus selaras dengan kehendak Allah. Seorang muslim harus menghindari semua bentuk penyembahan kepada makhluk, seperti berdoa kepada selain Allah, mempercayai ramalan nasib, atau menggantungkan harapan kepada benda-benda tertentu. Penghambaan total ini menuntut konsistensi dalam menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Namun, perlu diingat bahwa kita wajib menyempurnakan rukun syahadat yang pertama ini. Rukun syahadat Lailahaillallah ada dua, yaitu: Pertama: Peniadaan (an-nafyu), dalam ucapan “Lailaha”, yaitu membatalkan segala praktik kesyirikan dan mewajibkan kekafiran terhadap segala apa yang disembah selain Allah. Kedua: Penetapan (al-itsbat), dalam ucapan “illallah”, yaitu menetapkan bahwa tidak ada Zat yang berhak disembah selain Allah dan mewajibkan pengamalan sesuai dengan konsekuensinya. Terhadap dua rukun ini, Allah Ta’ala berfirman, فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا “Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat.” (QS. Al-Baqarah: 256) Pada ayat tersebut, kalimat “فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ” merupakan makna dari “Lailaha”. Sedangkan kalimat “وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ” merupakan makna dari “illallah”. Hal ini merupakan bagian dari banyaknya dalil yang menguatkan dua rukun syahadat yang harus dipenuhi oleh setiap muslim. Baca juga: 7 Syarat Diterimanya Dua Kalimat Syahadat Makna syahadat Muhammadan Rasulullah Muhammadan Rasulullah berarti “Muhammad adalah utusan Allah.” Dengan mengucapkan kalimat ini, seorang muslim mengakui bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah utusan Allah yang terakhir dan penutup para nabi. Konsekuensi dari syahadat ini adalah mengikuti ajaran dan sunah Rasulullah dalam setiap aspek kehidupan, terutama dalam peribadatan kepada Allah. Sebagaimana umumnya, diketahui dari banyak dalil-dalil sahih bahwa syarat diterimanya ibadah ada dua, yaitu: ikhlas dan ittiba’. Terkait dengan ittiba’, Allah Ta’ala mewajibkan kita untuk menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai sosok teladan yang diikuti. Allah Ta’ala berfirman, مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ ٱللَّهَ ۖ وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا “Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. An-Nisa: 80) Ittiba’ berarti mengikuti secara totalitas. Seorang muslim yang mengucapkan Muhammadan Rasulullah harus mengikuti Rasulullah dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam beribadah, berakhlak, dan bermuamalah. Rasulullah adalah teladan yang sempurna bagi umat Islam, sehingga mengikuti beliau berarti meneladani perilaku, perkataan, dan sikap beliau dalam kehidupan sehari-hari. Seorang muslim harus menjadikan sunah Rasulullah sebagai pedoman utama setelah Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman, لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21) Terkhusus dalam perkara ibadah, telah sangat jelas dalam nas-nas yang sahih bahwa mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perkara ibadah adalah prasyarat mutlak setelah ikhlas. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718) Konsekuensi syahadatain Mengucapkan syahadatain bukan sekadar pernyataan lisan, tetapi juga komitmen yang harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Seorang muslim harus menaati segala perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya. Ketaatan ini mencakup seluruh aspek kehidupan, dari cara beribadah hingga bagaimana berinteraksi dengan sesama. Seorang muslim yang taat akan selalu berusaha mengikuti syariat Islam dalam setiap langkahnya. Menjaga keikhlasan adalah salah satu konsekuensi penting dari syahadatain. Ibadah seorang muslim harus dilakukan dengan ikhlas hanya untuk Allah, tanpa mencampurkannya dengan niat lain. Keikhlasan ini menjamin bahwa setiap amal ibadah yang dilakukan, diterima oleh Allah dan mendapatkan pahala yang sesuai. Oleh karena itu, seorang muslim harus selalu introspeksi diri dan memastikan bahwa niatnya murni dalam setiap perbuatan. Allah Ta’ala berfirman, فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al Kahfi: 110) Mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan konsekuensi logis dari mengucapkan syahadat Muhammadan Rasulullah. Seorang muslim harus berusaha memahami dan mengamalkan sunah Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari. Sunah adalah panduan praktis dari Rasulullah yang mencakup segala aspek kehidupan, mulai dari cara beribadah hingga adab dalam berinteraksi dengan orang lain. Dengan mengikuti sunah, seorang muslim akan mendapatkan petunjuk yang jelas dalam menjalani hidupnya. Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَي اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ “Aku berwasiat kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat, meskipun kalian dipimpin seorang budak. Sungguh, orang yang hidup di antara kalian sepeninggalku, ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, wajib atas kalian berpegang teguh pada sunahku dan sunah khulafaur rasyidin al-mahdiyyin (yang mendapatkan petunjuk dalam ilmu dan amal). Gigitlah sunah tersebut dengan gigi geraham kalian, serta jauhilah setiap perkara yang diada-adakan, karena setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Ia berkata bahwa hadis ini hasan sahih. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih.) Syahadatain adalah pondasi utama dalam agama Islam. Mengucapkannya berarti menerima segala konsekuensi dan tanggung jawab yang menyertainya. Seorang muslim harus senantiasa memperbarui komitmen ini dengan menjaga keimanan, ketaatan, dan ketulusan dalam beribadah kepada Allah serta mengikuti sunah Rasulullah. Dengan memahami dan mengamalkan syahadatain, seorang muslim akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Baca juga: Andai ini Salat Terakhirku *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: konsekuensisyahadat
Daftar Isi Toggle Makna syahadat LailahaillallahMakna syahadat Muhammadan RasulullahKonsekuensi syahadatain Islam adalah agama yang mengajarkan tauhid, yaitu keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Zat yang layak disembah. Dasar dari agama Islam terletak pada syahadatain, dua kalimat kesaksian yang menjadi pintu gerbang masuknya seseorang ke dalam agama Islam. Syahadatain terdiri dari dua bagian: Lailahaillallah dan Muhammadan Rasulullah. Dua kalimat syahadat ini merupakan rukun pertama keislaman seseorang. Tatkala seseorang mengucapkan kesaksian syahadat, maka ia telah menerima segala konsekuensinya. Syahadat Lailahaillallah mengandung komitmen seorang yang mengucapkannya untuk menyembah hanya kepada Allah Ta’ala dan tidak membiarkan sedikit pun celah penghambaannya kepada makhluk. Begitu pula, syahadat Muhammadan Rasulullah yang mengandung komitmen seorang yang mengucapkannya untuk ittiba’ secara totalitas kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam khususnya dalam perkara ibadah kepada Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ ، وَ إِقَامِ الصَّلَاةِ ، وَ إِيْتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَ حَجِّ الْبَيْتِ ، وَ صَوْمِ رَمَضَانَ “Islam dibangun di atas lima: persaksian bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah dengan benar, kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan salat; menunaikan zakat; naik haji; dan puasa Ramadan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththab) Tatkala seorang hamba mengucapkan dua kalimat syahadat, ia seakan terlahir kembali dengan sebuah janji suci yang terukir di dalam hatinya. Janji ini bukan sekadar lafaz yang terucap di bibir, melainkan ikrar yang mengikat jiwa untuk menjalani hidup dalam ketundukan total kepada Allah dan ittiba’ yang tulus kepada Rasul-Nya. Dua kalimat yang tampak sederhana ini menyimpan kekuatan dahsyat yang mampu mengubah hidup seseorang, membimbingnya dari kegelapan menuju cahaya, dari kebingungan menuju kepastian. Dalam setiap kalimatnya, terdapat konsekuensi yang menuntut komitmen penuh, yang bila dipahami dan diamalkan, akan membentuk pribadi yang tangguh dan berakhlak mulia. Makna syahadat Lailahaillallah Lailahaillallah berarti “Tiada sesembahan yang berhak disembah, selain Allah.” Dengan mengucapkan kalimat ini, seorang Muslim menyatakan keyakinannya bahwa tidak ada Zat yang layak disembah, kecuali Allah. Konsekuensi dari syahadat ini adalah komitmen untuk mengesakan Allah dalam segala bentuk ibadah, baik itu salat, puasa, zakat, haji, maupun ibadah lainnya. Seorang muslim harus menjauhkan diri dari segala bentuk kesyirikan, yakni mempersekutukan Allah dengan makhluk-Nya. Perhatikanlah, betapa keistimewaan yang dikaruniakan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang benar-benar komitmen untuk mentauhidkan Allah Ta’ala dengan ampunan sepenuh dosa yang dilakukan hamba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِي لاَ تُشْرِكُ بِي شَيْئاً لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً. “Wahai bani Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi, sedangkan engkau ketika mati tidak menyekutukan Aku sedikit pun juga, pasti Aku akan berikan kepadamu ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. At-Tirmidzi no. 3540) Ketika seorang muslim mengucapkan Lailahaillallah, ia berjanji untuk mengabdikan seluruh hidupnya hanya kepada Allah Ta’ala. Ini berarti semua tindakan, pikiran, dan tujuan hidupnya harus selaras dengan kehendak Allah. Seorang muslim harus menghindari semua bentuk penyembahan kepada makhluk, seperti berdoa kepada selain Allah, mempercayai ramalan nasib, atau menggantungkan harapan kepada benda-benda tertentu. Penghambaan total ini menuntut konsistensi dalam menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Namun, perlu diingat bahwa kita wajib menyempurnakan rukun syahadat yang pertama ini. Rukun syahadat Lailahaillallah ada dua, yaitu: Pertama: Peniadaan (an-nafyu), dalam ucapan “Lailaha”, yaitu membatalkan segala praktik kesyirikan dan mewajibkan kekafiran terhadap segala apa yang disembah selain Allah. Kedua: Penetapan (al-itsbat), dalam ucapan “illallah”, yaitu menetapkan bahwa tidak ada Zat yang berhak disembah selain Allah dan mewajibkan pengamalan sesuai dengan konsekuensinya. Terhadap dua rukun ini, Allah Ta’ala berfirman, فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا “Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat.” (QS. Al-Baqarah: 256) Pada ayat tersebut, kalimat “فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ” merupakan makna dari “Lailaha”. Sedangkan kalimat “وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ” merupakan makna dari “illallah”. Hal ini merupakan bagian dari banyaknya dalil yang menguatkan dua rukun syahadat yang harus dipenuhi oleh setiap muslim. Baca juga: 7 Syarat Diterimanya Dua Kalimat Syahadat Makna syahadat Muhammadan Rasulullah Muhammadan Rasulullah berarti “Muhammad adalah utusan Allah.” Dengan mengucapkan kalimat ini, seorang muslim mengakui bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah utusan Allah yang terakhir dan penutup para nabi. Konsekuensi dari syahadat ini adalah mengikuti ajaran dan sunah Rasulullah dalam setiap aspek kehidupan, terutama dalam peribadatan kepada Allah. Sebagaimana umumnya, diketahui dari banyak dalil-dalil sahih bahwa syarat diterimanya ibadah ada dua, yaitu: ikhlas dan ittiba’. Terkait dengan ittiba’, Allah Ta’ala mewajibkan kita untuk menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai sosok teladan yang diikuti. Allah Ta’ala berfirman, مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ ٱللَّهَ ۖ وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا “Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. An-Nisa: 80) Ittiba’ berarti mengikuti secara totalitas. Seorang muslim yang mengucapkan Muhammadan Rasulullah harus mengikuti Rasulullah dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam beribadah, berakhlak, dan bermuamalah. Rasulullah adalah teladan yang sempurna bagi umat Islam, sehingga mengikuti beliau berarti meneladani perilaku, perkataan, dan sikap beliau dalam kehidupan sehari-hari. Seorang muslim harus menjadikan sunah Rasulullah sebagai pedoman utama setelah Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman, لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21) Terkhusus dalam perkara ibadah, telah sangat jelas dalam nas-nas yang sahih bahwa mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perkara ibadah adalah prasyarat mutlak setelah ikhlas. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718) Konsekuensi syahadatain Mengucapkan syahadatain bukan sekadar pernyataan lisan, tetapi juga komitmen yang harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Seorang muslim harus menaati segala perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya. Ketaatan ini mencakup seluruh aspek kehidupan, dari cara beribadah hingga bagaimana berinteraksi dengan sesama. Seorang muslim yang taat akan selalu berusaha mengikuti syariat Islam dalam setiap langkahnya. Menjaga keikhlasan adalah salah satu konsekuensi penting dari syahadatain. Ibadah seorang muslim harus dilakukan dengan ikhlas hanya untuk Allah, tanpa mencampurkannya dengan niat lain. Keikhlasan ini menjamin bahwa setiap amal ibadah yang dilakukan, diterima oleh Allah dan mendapatkan pahala yang sesuai. Oleh karena itu, seorang muslim harus selalu introspeksi diri dan memastikan bahwa niatnya murni dalam setiap perbuatan. Allah Ta’ala berfirman, فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al Kahfi: 110) Mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan konsekuensi logis dari mengucapkan syahadat Muhammadan Rasulullah. Seorang muslim harus berusaha memahami dan mengamalkan sunah Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari. Sunah adalah panduan praktis dari Rasulullah yang mencakup segala aspek kehidupan, mulai dari cara beribadah hingga adab dalam berinteraksi dengan orang lain. Dengan mengikuti sunah, seorang muslim akan mendapatkan petunjuk yang jelas dalam menjalani hidupnya. Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَي اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ “Aku berwasiat kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat, meskipun kalian dipimpin seorang budak. Sungguh, orang yang hidup di antara kalian sepeninggalku, ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, wajib atas kalian berpegang teguh pada sunahku dan sunah khulafaur rasyidin al-mahdiyyin (yang mendapatkan petunjuk dalam ilmu dan amal). Gigitlah sunah tersebut dengan gigi geraham kalian, serta jauhilah setiap perkara yang diada-adakan, karena setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Ia berkata bahwa hadis ini hasan sahih. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih.) Syahadatain adalah pondasi utama dalam agama Islam. Mengucapkannya berarti menerima segala konsekuensi dan tanggung jawab yang menyertainya. Seorang muslim harus senantiasa memperbarui komitmen ini dengan menjaga keimanan, ketaatan, dan ketulusan dalam beribadah kepada Allah serta mengikuti sunah Rasulullah. Dengan memahami dan mengamalkan syahadatain, seorang muslim akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Baca juga: Andai ini Salat Terakhirku *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: konsekuensisyahadat


Daftar Isi Toggle Makna syahadat LailahaillallahMakna syahadat Muhammadan RasulullahKonsekuensi syahadatain Islam adalah agama yang mengajarkan tauhid, yaitu keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Zat yang layak disembah. Dasar dari agama Islam terletak pada syahadatain, dua kalimat kesaksian yang menjadi pintu gerbang masuknya seseorang ke dalam agama Islam. Syahadatain terdiri dari dua bagian: Lailahaillallah dan Muhammadan Rasulullah. Dua kalimat syahadat ini merupakan rukun pertama keislaman seseorang. Tatkala seseorang mengucapkan kesaksian syahadat, maka ia telah menerima segala konsekuensinya. Syahadat Lailahaillallah mengandung komitmen seorang yang mengucapkannya untuk menyembah hanya kepada Allah Ta’ala dan tidak membiarkan sedikit pun celah penghambaannya kepada makhluk. Begitu pula, syahadat Muhammadan Rasulullah yang mengandung komitmen seorang yang mengucapkannya untuk ittiba’ secara totalitas kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam khususnya dalam perkara ibadah kepada Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ ، وَ إِقَامِ الصَّلَاةِ ، وَ إِيْتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَ حَجِّ الْبَيْتِ ، وَ صَوْمِ رَمَضَانَ “Islam dibangun di atas lima: persaksian bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah dengan benar, kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan salat; menunaikan zakat; naik haji; dan puasa Ramadan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththab) Tatkala seorang hamba mengucapkan dua kalimat syahadat, ia seakan terlahir kembali dengan sebuah janji suci yang terukir di dalam hatinya. Janji ini bukan sekadar lafaz yang terucap di bibir, melainkan ikrar yang mengikat jiwa untuk menjalani hidup dalam ketundukan total kepada Allah dan ittiba’ yang tulus kepada Rasul-Nya. Dua kalimat yang tampak sederhana ini menyimpan kekuatan dahsyat yang mampu mengubah hidup seseorang, membimbingnya dari kegelapan menuju cahaya, dari kebingungan menuju kepastian. Dalam setiap kalimatnya, terdapat konsekuensi yang menuntut komitmen penuh, yang bila dipahami dan diamalkan, akan membentuk pribadi yang tangguh dan berakhlak mulia. Makna syahadat Lailahaillallah Lailahaillallah berarti “Tiada sesembahan yang berhak disembah, selain Allah.” Dengan mengucapkan kalimat ini, seorang Muslim menyatakan keyakinannya bahwa tidak ada Zat yang layak disembah, kecuali Allah. Konsekuensi dari syahadat ini adalah komitmen untuk mengesakan Allah dalam segala bentuk ibadah, baik itu salat, puasa, zakat, haji, maupun ibadah lainnya. Seorang muslim harus menjauhkan diri dari segala bentuk kesyirikan, yakni mempersekutukan Allah dengan makhluk-Nya. Perhatikanlah, betapa keistimewaan yang dikaruniakan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang benar-benar komitmen untuk mentauhidkan Allah Ta’ala dengan ampunan sepenuh dosa yang dilakukan hamba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِي لاَ تُشْرِكُ بِي شَيْئاً لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً. “Wahai bani Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi, sedangkan engkau ketika mati tidak menyekutukan Aku sedikit pun juga, pasti Aku akan berikan kepadamu ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. At-Tirmidzi no. 3540) Ketika seorang muslim mengucapkan Lailahaillallah, ia berjanji untuk mengabdikan seluruh hidupnya hanya kepada Allah Ta’ala. Ini berarti semua tindakan, pikiran, dan tujuan hidupnya harus selaras dengan kehendak Allah. Seorang muslim harus menghindari semua bentuk penyembahan kepada makhluk, seperti berdoa kepada selain Allah, mempercayai ramalan nasib, atau menggantungkan harapan kepada benda-benda tertentu. Penghambaan total ini menuntut konsistensi dalam menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Namun, perlu diingat bahwa kita wajib menyempurnakan rukun syahadat yang pertama ini. Rukun syahadat Lailahaillallah ada dua, yaitu: Pertama: Peniadaan (an-nafyu), dalam ucapan “Lailaha”, yaitu membatalkan segala praktik kesyirikan dan mewajibkan kekafiran terhadap segala apa yang disembah selain Allah. Kedua: Penetapan (al-itsbat), dalam ucapan “illallah”, yaitu menetapkan bahwa tidak ada Zat yang berhak disembah selain Allah dan mewajibkan pengamalan sesuai dengan konsekuensinya. Terhadap dua rukun ini, Allah Ta’ala berfirman, فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا “Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat.” (QS. Al-Baqarah: 256) Pada ayat tersebut, kalimat “فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ” merupakan makna dari “Lailaha”. Sedangkan kalimat “وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ” merupakan makna dari “illallah”. Hal ini merupakan bagian dari banyaknya dalil yang menguatkan dua rukun syahadat yang harus dipenuhi oleh setiap muslim. Baca juga: 7 Syarat Diterimanya Dua Kalimat Syahadat Makna syahadat Muhammadan Rasulullah Muhammadan Rasulullah berarti “Muhammad adalah utusan Allah.” Dengan mengucapkan kalimat ini, seorang muslim mengakui bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah utusan Allah yang terakhir dan penutup para nabi. Konsekuensi dari syahadat ini adalah mengikuti ajaran dan sunah Rasulullah dalam setiap aspek kehidupan, terutama dalam peribadatan kepada Allah. Sebagaimana umumnya, diketahui dari banyak dalil-dalil sahih bahwa syarat diterimanya ibadah ada dua, yaitu: ikhlas dan ittiba’. Terkait dengan ittiba’, Allah Ta’ala mewajibkan kita untuk menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai sosok teladan yang diikuti. Allah Ta’ala berfirman, مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ ٱللَّهَ ۖ وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا “Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. An-Nisa: 80) Ittiba’ berarti mengikuti secara totalitas. Seorang muslim yang mengucapkan Muhammadan Rasulullah harus mengikuti Rasulullah dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam beribadah, berakhlak, dan bermuamalah. Rasulullah adalah teladan yang sempurna bagi umat Islam, sehingga mengikuti beliau berarti meneladani perilaku, perkataan, dan sikap beliau dalam kehidupan sehari-hari. Seorang muslim harus menjadikan sunah Rasulullah sebagai pedoman utama setelah Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman, لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21) Terkhusus dalam perkara ibadah, telah sangat jelas dalam nas-nas yang sahih bahwa mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perkara ibadah adalah prasyarat mutlak setelah ikhlas. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718) Konsekuensi syahadatain Mengucapkan syahadatain bukan sekadar pernyataan lisan, tetapi juga komitmen yang harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Seorang muslim harus menaati segala perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya. Ketaatan ini mencakup seluruh aspek kehidupan, dari cara beribadah hingga bagaimana berinteraksi dengan sesama. Seorang muslim yang taat akan selalu berusaha mengikuti syariat Islam dalam setiap langkahnya. Menjaga keikhlasan adalah salah satu konsekuensi penting dari syahadatain. Ibadah seorang muslim harus dilakukan dengan ikhlas hanya untuk Allah, tanpa mencampurkannya dengan niat lain. Keikhlasan ini menjamin bahwa setiap amal ibadah yang dilakukan, diterima oleh Allah dan mendapatkan pahala yang sesuai. Oleh karena itu, seorang muslim harus selalu introspeksi diri dan memastikan bahwa niatnya murni dalam setiap perbuatan. Allah Ta’ala berfirman, فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al Kahfi: 110) Mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan konsekuensi logis dari mengucapkan syahadat Muhammadan Rasulullah. Seorang muslim harus berusaha memahami dan mengamalkan sunah Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari. Sunah adalah panduan praktis dari Rasulullah yang mencakup segala aspek kehidupan, mulai dari cara beribadah hingga adab dalam berinteraksi dengan orang lain. Dengan mengikuti sunah, seorang muslim akan mendapatkan petunjuk yang jelas dalam menjalani hidupnya. Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَي اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ “Aku berwasiat kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat, meskipun kalian dipimpin seorang budak. Sungguh, orang yang hidup di antara kalian sepeninggalku, ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, wajib atas kalian berpegang teguh pada sunahku dan sunah khulafaur rasyidin al-mahdiyyin (yang mendapatkan petunjuk dalam ilmu dan amal). Gigitlah sunah tersebut dengan gigi geraham kalian, serta jauhilah setiap perkara yang diada-adakan, karena setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Ia berkata bahwa hadis ini hasan sahih. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih.) Syahadatain adalah pondasi utama dalam agama Islam. Mengucapkannya berarti menerima segala konsekuensi dan tanggung jawab yang menyertainya. Seorang muslim harus senantiasa memperbarui komitmen ini dengan menjaga keimanan, ketaatan, dan ketulusan dalam beribadah kepada Allah serta mengikuti sunah Rasulullah. Dengan memahami dan mengamalkan syahadatain, seorang muslim akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Baca juga: Andai ini Salat Terakhirku *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: konsekuensisyahadat
Prev     Next