Pandangan Mata dalam Shalat: Arah yang Dianjurkan dan Larangan Memandang ke Atas

Dalam shalat, setiap anggota tubuh memiliki aturan tersendiri, termasuk arah pandangan mata. Banyak orang mungkin mengabaikan hal ini, padahal mengarahkan pandangan dengan benar dapat meningkatkan kekhusyukan dalam shalat. Artikel ini akan mengulas bagaimana seharusnya arah pandangan saat shalat, berdasarkan dalil-dalil dari hadits dan pendapat para ulama.  Daftar Isi tutup 1. Tonton penjelasan dalam video Youtube: 2. Arah Pandangan yang Dianjurkan dalam Shalat 2.1. 1. Pandangan Mata ke Tempat Sujud 2.2. 2. Dalil dari Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 3. Larangan Memandang ke Atas saat Shalat 3.1. 1. Hadits Larangan Memandang ke Langit 3.2. 2. Bahaya Memandang ke Langit Saat Shalat 3.3. 3. Tidak Membatalkan Shalat, Tetapi Mengurangi Kekhusyukan 4. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Pandangan Mata Saat Shalat 5. Kesimpulan  Tonton penjelasan dalam video Youtube:Shalat di Depan Ka’bah: Pandangan ke Tempat Sujud atau Langsung ke Ka’bah?  Arah Pandangan yang Dianjurkan dalam Shalat1. Pandangan Mata ke Tempat SujudSyaikh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in menjelaskan,وَسُنَّ إِدَامَةُ نَظَرِ مَحَلِّ سُجُودِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ أَقْرَبُ إِلَى الْخُشُوعِ، وَلَوْ أَعْمَى، وَإِنْ كَانَ عِنْدَ الْكَعْبَةِ أَوْ فِي الظُّلْمَةِ، أَوْ فِي صَلَاةِ الْجَنَازَةِ. نَعَمْ، السُّنَّةُ أَنْ يَقْتَصِرَ نَظَرُهُ عَلَى مُسَبِّحَتِهِ عِنْدَ رَفْعِهَا فِي التَّشَهُّدِ لِخَبَرٍ صَحِيحٍ فِيهِ..“Disunahkan melanggengkan pandangan mata ke arah tempat sujud supaya lebih khusyuk sekalipun tunanetra, sedang shalat dekat Kabah, shalat di tempat yang gelap, ataupun shalat jenazah. Namun disunahkan mengarahkan pandangan mata ke jari telunjuk, terutama ketika mengangkat jari telunjuk, saat tasyahud, karena ada dalil shahih tentang kesunahan itu.” (Fath Al-Mu’in, hlm. 145)Dari pendapat di atas, disimpulkan bahwa:Sejak takbiratul ihram hingga salam, mata dianjurkan melihat ke tempat sujud.Tujuannya adalah untuk meningkatkan kekhusyukan dan menghindari gangguan dari lingkungan sekitar.Ketika tasyahud akhir, disunnahkan melihat ke jari telunjuk saat mengangkatnya. 2. Dalil dari Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamHadits dari Al-Hakim menyebutkan,كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى طَأْطَأَ رَأْسَهُ وَرَمَىٰ بِبَصَرِهِ نَحْوَ الْأَرْضِ.“Dahulu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat, beliau menundukkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke tanah.” (HR. Al-Hakim, beliau menilai hadits ini sahih berdasarkan syarat Imam Muslim, dan pendapat ini disepakati oleh Adz-Dzahabi serta Al-Albani).Hadits ini menjadi dasar kuat bahwa memandang ke tempat sujud adalah kebiasaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat. Larangan Memandang ke Atas saat Shalat1. Hadits Larangan Memandang ke LangitDari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوامٌ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرْجِعُ إِلَيْهِم“Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas (ke langit-langit) saat shalat berhenti atau pandangan itu tidak kembali kepada mereka.” (HR. Muslim, no. 428)Dari hadits ini, para ulama menyimpulkan bahwa:Memandang ke atas saat shalat adalah perbuatan terlarang karena menunjukkan kurangnya kekhusyukan.Larangan ini berlaku baik saat berdiri, rukuk, iktidal, maupun dalam kondisi lain selama shalat.Bahkan dalam doa saat shalat, tidak perlu mengarahkan pandangan ke langit. 2. Bahaya Memandang ke Langit Saat ShalatDari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ رَفْعِهِمْ أَبْصَارَهُمْ عِنْدَ الدُّعَاءِ فِى الصَّلاَةِ إِلَى السَّمَاءِ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ“Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas saat berdoa dalam shalat berhenti atau pandangan mereka akan dirampas.” (HR. Muslim, no. 429)Hadits ini menegaskan bahwa memandang ke atas dalam shalat dapat berakibat buruk, bahkan disebutkan bisa menyebabkan kehilangan penglihatan sebagai bentuk teguran dari Allah. 3. Tidak Membatalkan Shalat, Tetapi Mengurangi KekhusyukanMeskipun dilarang, memandang ke atas dalam shalat tidak sampai membatalkan shalat. Namun, perbuatan ini menunjukkan kurangnya fokus dan bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memandang ke atas juga berarti berpaling dari kiblat, yang seharusnya menjadi arah utama perhatian dalam shalat. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Pandangan Mata Saat ShalatMayoritas ulama menyepakati bahwa:Pandangan mata dalam shalat diarahkan ke tempat sujud.Saat tasyahud, pandangan diarahkan ke jari telunjuk.Namun, ulama Malikiyah memiliki pandangan berbeda:Mereka berpendapat bahwa pandangan mata sebaiknya diarahkan ke depan, bukan ke tempat sujud.Meski demikian, pendapat mayoritas lebih kuat karena didasarkan pada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. KesimpulanArah pandangan dalam shalat sangat penting untuk meningkatkan kekhusyukan.Mata dianjurkan melihat ke tempat sujud dari awal hingga akhir shalat.Ketika tasyahud (awal dan akhir), dianjurkan melihat ke jari telunjuk saat diangkat.Memandang ke atas saat shalat dilarang dan dapat berakibat buruk, meskipun tidak sampai membatalkan shalat.Mayoritas ulama berpendapat bahwa arah pandangan terbaik dalam shalat adalah ke tempat sujud, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Referensi:Al-Fauzan, A. bin S. (1431 H). Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram (Cet. 3, Vol. 2, hlm. 453–456). Dar Ibnul Jauzi.Al-Malibari, Z. A. bin M. (1443 H). Fath Al-Mu’in bi Syarh Qurroh Al-‘Ain bi Muhimmaat Ad-Diin (Cet. 1, hlm. 145). Dar Al-Fayha. – Ditulis pada Rabu sore, 20 Syakban 1446 H, 19 Februari 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsarah pandangan shalat cara shalat khusyuk Dalil Shalat Fikih Shalat hadits tentang shalat khusyuk Khusyuk dalam Shalat kiat Shalat kiat shalat khusyuk Larangan dalam Shalat Pandangan dalam Shalat shalat khusyuk sifat shalat nabi sunnah nabi tata cara shalat

Pandangan Mata dalam Shalat: Arah yang Dianjurkan dan Larangan Memandang ke Atas

Dalam shalat, setiap anggota tubuh memiliki aturan tersendiri, termasuk arah pandangan mata. Banyak orang mungkin mengabaikan hal ini, padahal mengarahkan pandangan dengan benar dapat meningkatkan kekhusyukan dalam shalat. Artikel ini akan mengulas bagaimana seharusnya arah pandangan saat shalat, berdasarkan dalil-dalil dari hadits dan pendapat para ulama.  Daftar Isi tutup 1. Tonton penjelasan dalam video Youtube: 2. Arah Pandangan yang Dianjurkan dalam Shalat 2.1. 1. Pandangan Mata ke Tempat Sujud 2.2. 2. Dalil dari Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 3. Larangan Memandang ke Atas saat Shalat 3.1. 1. Hadits Larangan Memandang ke Langit 3.2. 2. Bahaya Memandang ke Langit Saat Shalat 3.3. 3. Tidak Membatalkan Shalat, Tetapi Mengurangi Kekhusyukan 4. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Pandangan Mata Saat Shalat 5. Kesimpulan  Tonton penjelasan dalam video Youtube:Shalat di Depan Ka’bah: Pandangan ke Tempat Sujud atau Langsung ke Ka’bah?  Arah Pandangan yang Dianjurkan dalam Shalat1. Pandangan Mata ke Tempat SujudSyaikh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in menjelaskan,وَسُنَّ إِدَامَةُ نَظَرِ مَحَلِّ سُجُودِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ أَقْرَبُ إِلَى الْخُشُوعِ، وَلَوْ أَعْمَى، وَإِنْ كَانَ عِنْدَ الْكَعْبَةِ أَوْ فِي الظُّلْمَةِ، أَوْ فِي صَلَاةِ الْجَنَازَةِ. نَعَمْ، السُّنَّةُ أَنْ يَقْتَصِرَ نَظَرُهُ عَلَى مُسَبِّحَتِهِ عِنْدَ رَفْعِهَا فِي التَّشَهُّدِ لِخَبَرٍ صَحِيحٍ فِيهِ..“Disunahkan melanggengkan pandangan mata ke arah tempat sujud supaya lebih khusyuk sekalipun tunanetra, sedang shalat dekat Kabah, shalat di tempat yang gelap, ataupun shalat jenazah. Namun disunahkan mengarahkan pandangan mata ke jari telunjuk, terutama ketika mengangkat jari telunjuk, saat tasyahud, karena ada dalil shahih tentang kesunahan itu.” (Fath Al-Mu’in, hlm. 145)Dari pendapat di atas, disimpulkan bahwa:Sejak takbiratul ihram hingga salam, mata dianjurkan melihat ke tempat sujud.Tujuannya adalah untuk meningkatkan kekhusyukan dan menghindari gangguan dari lingkungan sekitar.Ketika tasyahud akhir, disunnahkan melihat ke jari telunjuk saat mengangkatnya. 2. Dalil dari Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamHadits dari Al-Hakim menyebutkan,كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى طَأْطَأَ رَأْسَهُ وَرَمَىٰ بِبَصَرِهِ نَحْوَ الْأَرْضِ.“Dahulu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat, beliau menundukkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke tanah.” (HR. Al-Hakim, beliau menilai hadits ini sahih berdasarkan syarat Imam Muslim, dan pendapat ini disepakati oleh Adz-Dzahabi serta Al-Albani).Hadits ini menjadi dasar kuat bahwa memandang ke tempat sujud adalah kebiasaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat. Larangan Memandang ke Atas saat Shalat1. Hadits Larangan Memandang ke LangitDari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوامٌ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرْجِعُ إِلَيْهِم“Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas (ke langit-langit) saat shalat berhenti atau pandangan itu tidak kembali kepada mereka.” (HR. Muslim, no. 428)Dari hadits ini, para ulama menyimpulkan bahwa:Memandang ke atas saat shalat adalah perbuatan terlarang karena menunjukkan kurangnya kekhusyukan.Larangan ini berlaku baik saat berdiri, rukuk, iktidal, maupun dalam kondisi lain selama shalat.Bahkan dalam doa saat shalat, tidak perlu mengarahkan pandangan ke langit. 2. Bahaya Memandang ke Langit Saat ShalatDari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ رَفْعِهِمْ أَبْصَارَهُمْ عِنْدَ الدُّعَاءِ فِى الصَّلاَةِ إِلَى السَّمَاءِ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ“Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas saat berdoa dalam shalat berhenti atau pandangan mereka akan dirampas.” (HR. Muslim, no. 429)Hadits ini menegaskan bahwa memandang ke atas dalam shalat dapat berakibat buruk, bahkan disebutkan bisa menyebabkan kehilangan penglihatan sebagai bentuk teguran dari Allah. 3. Tidak Membatalkan Shalat, Tetapi Mengurangi KekhusyukanMeskipun dilarang, memandang ke atas dalam shalat tidak sampai membatalkan shalat. Namun, perbuatan ini menunjukkan kurangnya fokus dan bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memandang ke atas juga berarti berpaling dari kiblat, yang seharusnya menjadi arah utama perhatian dalam shalat. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Pandangan Mata Saat ShalatMayoritas ulama menyepakati bahwa:Pandangan mata dalam shalat diarahkan ke tempat sujud.Saat tasyahud, pandangan diarahkan ke jari telunjuk.Namun, ulama Malikiyah memiliki pandangan berbeda:Mereka berpendapat bahwa pandangan mata sebaiknya diarahkan ke depan, bukan ke tempat sujud.Meski demikian, pendapat mayoritas lebih kuat karena didasarkan pada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. KesimpulanArah pandangan dalam shalat sangat penting untuk meningkatkan kekhusyukan.Mata dianjurkan melihat ke tempat sujud dari awal hingga akhir shalat.Ketika tasyahud (awal dan akhir), dianjurkan melihat ke jari telunjuk saat diangkat.Memandang ke atas saat shalat dilarang dan dapat berakibat buruk, meskipun tidak sampai membatalkan shalat.Mayoritas ulama berpendapat bahwa arah pandangan terbaik dalam shalat adalah ke tempat sujud, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Referensi:Al-Fauzan, A. bin S. (1431 H). Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram (Cet. 3, Vol. 2, hlm. 453–456). Dar Ibnul Jauzi.Al-Malibari, Z. A. bin M. (1443 H). Fath Al-Mu’in bi Syarh Qurroh Al-‘Ain bi Muhimmaat Ad-Diin (Cet. 1, hlm. 145). Dar Al-Fayha. – Ditulis pada Rabu sore, 20 Syakban 1446 H, 19 Februari 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsarah pandangan shalat cara shalat khusyuk Dalil Shalat Fikih Shalat hadits tentang shalat khusyuk Khusyuk dalam Shalat kiat Shalat kiat shalat khusyuk Larangan dalam Shalat Pandangan dalam Shalat shalat khusyuk sifat shalat nabi sunnah nabi tata cara shalat
Dalam shalat, setiap anggota tubuh memiliki aturan tersendiri, termasuk arah pandangan mata. Banyak orang mungkin mengabaikan hal ini, padahal mengarahkan pandangan dengan benar dapat meningkatkan kekhusyukan dalam shalat. Artikel ini akan mengulas bagaimana seharusnya arah pandangan saat shalat, berdasarkan dalil-dalil dari hadits dan pendapat para ulama.  Daftar Isi tutup 1. Tonton penjelasan dalam video Youtube: 2. Arah Pandangan yang Dianjurkan dalam Shalat 2.1. 1. Pandangan Mata ke Tempat Sujud 2.2. 2. Dalil dari Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 3. Larangan Memandang ke Atas saat Shalat 3.1. 1. Hadits Larangan Memandang ke Langit 3.2. 2. Bahaya Memandang ke Langit Saat Shalat 3.3. 3. Tidak Membatalkan Shalat, Tetapi Mengurangi Kekhusyukan 4. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Pandangan Mata Saat Shalat 5. Kesimpulan  Tonton penjelasan dalam video Youtube:Shalat di Depan Ka’bah: Pandangan ke Tempat Sujud atau Langsung ke Ka’bah?  Arah Pandangan yang Dianjurkan dalam Shalat1. Pandangan Mata ke Tempat SujudSyaikh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in menjelaskan,وَسُنَّ إِدَامَةُ نَظَرِ مَحَلِّ سُجُودِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ أَقْرَبُ إِلَى الْخُشُوعِ، وَلَوْ أَعْمَى، وَإِنْ كَانَ عِنْدَ الْكَعْبَةِ أَوْ فِي الظُّلْمَةِ، أَوْ فِي صَلَاةِ الْجَنَازَةِ. نَعَمْ، السُّنَّةُ أَنْ يَقْتَصِرَ نَظَرُهُ عَلَى مُسَبِّحَتِهِ عِنْدَ رَفْعِهَا فِي التَّشَهُّدِ لِخَبَرٍ صَحِيحٍ فِيهِ..“Disunahkan melanggengkan pandangan mata ke arah tempat sujud supaya lebih khusyuk sekalipun tunanetra, sedang shalat dekat Kabah, shalat di tempat yang gelap, ataupun shalat jenazah. Namun disunahkan mengarahkan pandangan mata ke jari telunjuk, terutama ketika mengangkat jari telunjuk, saat tasyahud, karena ada dalil shahih tentang kesunahan itu.” (Fath Al-Mu’in, hlm. 145)Dari pendapat di atas, disimpulkan bahwa:Sejak takbiratul ihram hingga salam, mata dianjurkan melihat ke tempat sujud.Tujuannya adalah untuk meningkatkan kekhusyukan dan menghindari gangguan dari lingkungan sekitar.Ketika tasyahud akhir, disunnahkan melihat ke jari telunjuk saat mengangkatnya. 2. Dalil dari Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamHadits dari Al-Hakim menyebutkan,كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى طَأْطَأَ رَأْسَهُ وَرَمَىٰ بِبَصَرِهِ نَحْوَ الْأَرْضِ.“Dahulu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat, beliau menundukkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke tanah.” (HR. Al-Hakim, beliau menilai hadits ini sahih berdasarkan syarat Imam Muslim, dan pendapat ini disepakati oleh Adz-Dzahabi serta Al-Albani).Hadits ini menjadi dasar kuat bahwa memandang ke tempat sujud adalah kebiasaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat. Larangan Memandang ke Atas saat Shalat1. Hadits Larangan Memandang ke LangitDari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوامٌ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرْجِعُ إِلَيْهِم“Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas (ke langit-langit) saat shalat berhenti atau pandangan itu tidak kembali kepada mereka.” (HR. Muslim, no. 428)Dari hadits ini, para ulama menyimpulkan bahwa:Memandang ke atas saat shalat adalah perbuatan terlarang karena menunjukkan kurangnya kekhusyukan.Larangan ini berlaku baik saat berdiri, rukuk, iktidal, maupun dalam kondisi lain selama shalat.Bahkan dalam doa saat shalat, tidak perlu mengarahkan pandangan ke langit. 2. Bahaya Memandang ke Langit Saat ShalatDari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ رَفْعِهِمْ أَبْصَارَهُمْ عِنْدَ الدُّعَاءِ فِى الصَّلاَةِ إِلَى السَّمَاءِ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ“Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas saat berdoa dalam shalat berhenti atau pandangan mereka akan dirampas.” (HR. Muslim, no. 429)Hadits ini menegaskan bahwa memandang ke atas dalam shalat dapat berakibat buruk, bahkan disebutkan bisa menyebabkan kehilangan penglihatan sebagai bentuk teguran dari Allah. 3. Tidak Membatalkan Shalat, Tetapi Mengurangi KekhusyukanMeskipun dilarang, memandang ke atas dalam shalat tidak sampai membatalkan shalat. Namun, perbuatan ini menunjukkan kurangnya fokus dan bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memandang ke atas juga berarti berpaling dari kiblat, yang seharusnya menjadi arah utama perhatian dalam shalat. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Pandangan Mata Saat ShalatMayoritas ulama menyepakati bahwa:Pandangan mata dalam shalat diarahkan ke tempat sujud.Saat tasyahud, pandangan diarahkan ke jari telunjuk.Namun, ulama Malikiyah memiliki pandangan berbeda:Mereka berpendapat bahwa pandangan mata sebaiknya diarahkan ke depan, bukan ke tempat sujud.Meski demikian, pendapat mayoritas lebih kuat karena didasarkan pada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. KesimpulanArah pandangan dalam shalat sangat penting untuk meningkatkan kekhusyukan.Mata dianjurkan melihat ke tempat sujud dari awal hingga akhir shalat.Ketika tasyahud (awal dan akhir), dianjurkan melihat ke jari telunjuk saat diangkat.Memandang ke atas saat shalat dilarang dan dapat berakibat buruk, meskipun tidak sampai membatalkan shalat.Mayoritas ulama berpendapat bahwa arah pandangan terbaik dalam shalat adalah ke tempat sujud, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Referensi:Al-Fauzan, A. bin S. (1431 H). Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram (Cet. 3, Vol. 2, hlm. 453–456). Dar Ibnul Jauzi.Al-Malibari, Z. A. bin M. (1443 H). Fath Al-Mu’in bi Syarh Qurroh Al-‘Ain bi Muhimmaat Ad-Diin (Cet. 1, hlm. 145). Dar Al-Fayha. – Ditulis pada Rabu sore, 20 Syakban 1446 H, 19 Februari 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsarah pandangan shalat cara shalat khusyuk Dalil Shalat Fikih Shalat hadits tentang shalat khusyuk Khusyuk dalam Shalat kiat Shalat kiat shalat khusyuk Larangan dalam Shalat Pandangan dalam Shalat shalat khusyuk sifat shalat nabi sunnah nabi tata cara shalat


Dalam shalat, setiap anggota tubuh memiliki aturan tersendiri, termasuk arah pandangan mata. Banyak orang mungkin mengabaikan hal ini, padahal mengarahkan pandangan dengan benar dapat meningkatkan kekhusyukan dalam shalat. Artikel ini akan mengulas bagaimana seharusnya arah pandangan saat shalat, berdasarkan dalil-dalil dari hadits dan pendapat para ulama.  Daftar Isi tutup 1. Tonton penjelasan dalam video Youtube: 2. Arah Pandangan yang Dianjurkan dalam Shalat 2.1. 1. Pandangan Mata ke Tempat Sujud 2.2. 2. Dalil dari Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 3. Larangan Memandang ke Atas saat Shalat 3.1. 1. Hadits Larangan Memandang ke Langit 3.2. 2. Bahaya Memandang ke Langit Saat Shalat 3.3. 3. Tidak Membatalkan Shalat, Tetapi Mengurangi Kekhusyukan 4. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Pandangan Mata Saat Shalat 5. Kesimpulan  Tonton penjelasan dalam video Youtube:Shalat di Depan Ka’bah: Pandangan ke Tempat Sujud atau Langsung ke Ka’bah?  Arah Pandangan yang Dianjurkan dalam Shalat1. Pandangan Mata ke Tempat SujudSyaikh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in menjelaskan,وَسُنَّ إِدَامَةُ نَظَرِ مَحَلِّ سُجُودِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ أَقْرَبُ إِلَى الْخُشُوعِ، وَلَوْ أَعْمَى، وَإِنْ كَانَ عِنْدَ الْكَعْبَةِ أَوْ فِي الظُّلْمَةِ، أَوْ فِي صَلَاةِ الْجَنَازَةِ. نَعَمْ، السُّنَّةُ أَنْ يَقْتَصِرَ نَظَرُهُ عَلَى مُسَبِّحَتِهِ عِنْدَ رَفْعِهَا فِي التَّشَهُّدِ لِخَبَرٍ صَحِيحٍ فِيهِ..“Disunahkan melanggengkan pandangan mata ke arah tempat sujud supaya lebih khusyuk sekalipun tunanetra, sedang shalat dekat Kabah, shalat di tempat yang gelap, ataupun shalat jenazah. Namun disunahkan mengarahkan pandangan mata ke jari telunjuk, terutama ketika mengangkat jari telunjuk, saat tasyahud, karena ada dalil shahih tentang kesunahan itu.” (Fath Al-Mu’in, hlm. 145)Dari pendapat di atas, disimpulkan bahwa:Sejak takbiratul ihram hingga salam, mata dianjurkan melihat ke tempat sujud.Tujuannya adalah untuk meningkatkan kekhusyukan dan menghindari gangguan dari lingkungan sekitar.Ketika tasyahud akhir, disunnahkan melihat ke jari telunjuk saat mengangkatnya. 2. Dalil dari Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamHadits dari Al-Hakim menyebutkan,كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى طَأْطَأَ رَأْسَهُ وَرَمَىٰ بِبَصَرِهِ نَحْوَ الْأَرْضِ.“Dahulu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat, beliau menundukkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke tanah.” (HR. Al-Hakim, beliau menilai hadits ini sahih berdasarkan syarat Imam Muslim, dan pendapat ini disepakati oleh Adz-Dzahabi serta Al-Albani).Hadits ini menjadi dasar kuat bahwa memandang ke tempat sujud adalah kebiasaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat. Larangan Memandang ke Atas saat Shalat1. Hadits Larangan Memandang ke LangitDari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوامٌ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرْجِعُ إِلَيْهِم“Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas (ke langit-langit) saat shalat berhenti atau pandangan itu tidak kembali kepada mereka.” (HR. Muslim, no. 428)Dari hadits ini, para ulama menyimpulkan bahwa:Memandang ke atas saat shalat adalah perbuatan terlarang karena menunjukkan kurangnya kekhusyukan.Larangan ini berlaku baik saat berdiri, rukuk, iktidal, maupun dalam kondisi lain selama shalat.Bahkan dalam doa saat shalat, tidak perlu mengarahkan pandangan ke langit. 2. Bahaya Memandang ke Langit Saat ShalatDari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ رَفْعِهِمْ أَبْصَارَهُمْ عِنْدَ الدُّعَاءِ فِى الصَّلاَةِ إِلَى السَّمَاءِ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ“Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas saat berdoa dalam shalat berhenti atau pandangan mereka akan dirampas.” (HR. Muslim, no. 429)Hadits ini menegaskan bahwa memandang ke atas dalam shalat dapat berakibat buruk, bahkan disebutkan bisa menyebabkan kehilangan penglihatan sebagai bentuk teguran dari Allah. 3. Tidak Membatalkan Shalat, Tetapi Mengurangi KekhusyukanMeskipun dilarang, memandang ke atas dalam shalat tidak sampai membatalkan shalat. Namun, perbuatan ini menunjukkan kurangnya fokus dan bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memandang ke atas juga berarti berpaling dari kiblat, yang seharusnya menjadi arah utama perhatian dalam shalat. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Pandangan Mata Saat ShalatMayoritas ulama menyepakati bahwa:Pandangan mata dalam shalat diarahkan ke tempat sujud.Saat tasyahud, pandangan diarahkan ke jari telunjuk.Namun, ulama Malikiyah memiliki pandangan berbeda:Mereka berpendapat bahwa pandangan mata sebaiknya diarahkan ke depan, bukan ke tempat sujud.Meski demikian, pendapat mayoritas lebih kuat karena didasarkan pada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. KesimpulanArah pandangan dalam shalat sangat penting untuk meningkatkan kekhusyukan.Mata dianjurkan melihat ke tempat sujud dari awal hingga akhir shalat.Ketika tasyahud (awal dan akhir), dianjurkan melihat ke jari telunjuk saat diangkat.Memandang ke atas saat shalat dilarang dan dapat berakibat buruk, meskipun tidak sampai membatalkan shalat.Mayoritas ulama berpendapat bahwa arah pandangan terbaik dalam shalat adalah ke tempat sujud, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Referensi:Al-Fauzan, A. bin S. (1431 H). Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram (Cet. 3, Vol. 2, hlm. 453–456). Dar Ibnul Jauzi.Al-Malibari, Z. A. bin M. (1443 H). Fath Al-Mu’in bi Syarh Qurroh Al-‘Ain bi Muhimmaat Ad-Diin (Cet. 1, hlm. 145). Dar Al-Fayha. – Ditulis pada Rabu sore, 20 Syakban 1446 H, 19 Februari 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsarah pandangan shalat cara shalat khusyuk Dalil Shalat Fikih Shalat hadits tentang shalat khusyuk Khusyuk dalam Shalat kiat Shalat kiat shalat khusyuk Larangan dalam Shalat Pandangan dalam Shalat shalat khusyuk sifat shalat nabi sunnah nabi tata cara shalat

Pandangan Mata dalam Shalat: Arah yang Dianjurkan dan Larangan Memandang ke Atas

Dalam shalat, setiap anggota tubuh memiliki aturan tersendiri, termasuk arah pandangan mata. Banyak orang mungkin mengabaikan hal ini, padahal mengarahkan pandangan dengan benar dapat meningkatkan kekhusyukan dalam shalat. Artikel ini akan mengulas bagaimana seharusnya arah pandangan saat shalat, berdasarkan dalil-dalil dari hadits dan pendapat para ulama.   Daftar Isi tutup 1. Tonton penjelasan dalam video Youtube: 2. Arah Pandangan yang Dianjurkan dalam Shalat 2.1. 1. Pandangan Mata ke Tempat Sujud 2.2. 2. Dalil dari Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 3. Larangan Memandang ke Atas saat Shalat 3.1. 1. Hadits Larangan Memandang ke Langit 3.2. 2. Bahaya Memandang ke Langit Saat Shalat 3.3. 3. Tidak Membatalkan Shalat, Tetapi Mengurangi Kekhusyukan 4. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Pandangan Mata Saat Shalat 5. Kesimpulan   Tonton penjelasan dalam video Youtube: Shalat di Depan Ka’bah: Pandangan ke Tempat Sujud atau Langsung ke Ka’bah?    Arah Pandangan yang Dianjurkan dalam Shalat 1. Pandangan Mata ke Tempat Sujud Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in menjelaskan, وَسُنَّ إِدَامَةُ نَظَرِ مَحَلِّ سُجُودِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ أَقْرَبُ إِلَى الْخُشُوعِ، وَلَوْ أَعْمَى، وَإِنْ كَانَ عِنْدَ الْكَعْبَةِ أَوْ فِي الظُّلْمَةِ، أَوْ فِي صَلَاةِ الْجَنَازَةِ. نَعَمْ، السُّنَّةُ أَنْ يَقْتَصِرَ نَظَرُهُ عَلَى مُسَبِّحَتِهِ عِنْدَ رَفْعِهَا فِي التَّشَهُّدِ لِخَبَرٍ صَحِيحٍ فِيهِ.. “Disunahkan melanggengkan pandangan mata ke arah tempat sujud supaya lebih khusyuk sekalipun tunanetra, sedang shalat dekat Kabah, shalat di tempat yang gelap, ataupun shalat jenazah. Namun disunahkan mengarahkan pandangan mata ke jari telunjuk, terutama ketika mengangkat jari telunjuk, saat tasyahud, karena ada dalil shahih tentang kesunahan itu.” (Fath Al-Mu’in, hlm. 145) Dari pendapat di atas, disimpulkan bahwa: Sejak takbiratul ihram hingga salam, mata dianjurkan melihat ke tempat sujud. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kekhusyukan dan menghindari gangguan dari lingkungan sekitar. Ketika tasyahud akhir, disunnahkan melihat ke jari telunjuk saat mengangkatnya.   2. Dalil dari Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Hadits dari Al-Hakim menyebutkan, كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى طَأْطَأَ رَأْسَهُ وَرَمَىٰ بِبَصَرِهِ نَحْوَ الْأَرْضِ. “Dahulu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat, beliau menundukkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke tanah.” (HR. Al-Hakim, beliau menilai hadits ini sahih berdasarkan syarat Imam Muslim, dan pendapat ini disepakati oleh Adz-Dzahabi serta Al-Albani). Hadits ini menjadi dasar kuat bahwa memandang ke tempat sujud adalah kebiasaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat.   Larangan Memandang ke Atas saat Shalat 1. Hadits Larangan Memandang ke Langit Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوامٌ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرْجِعُ إِلَيْهِم “Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas (ke langit-langit) saat shalat berhenti atau pandangan itu tidak kembali kepada mereka.” (HR. Muslim, no. 428) Dari hadits ini, para ulama menyimpulkan bahwa: Memandang ke atas saat shalat adalah perbuatan terlarang karena menunjukkan kurangnya kekhusyukan. Larangan ini berlaku baik saat berdiri, rukuk, iktidal, maupun dalam kondisi lain selama shalat. Bahkan dalam doa saat shalat, tidak perlu mengarahkan pandangan ke langit.   2. Bahaya Memandang ke Langit Saat Shalat Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ رَفْعِهِمْ أَبْصَارَهُمْ عِنْدَ الدُّعَاءِ فِى الصَّلاَةِ إِلَى السَّمَاءِ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ “Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas saat berdoa dalam shalat berhenti atau pandangan mereka akan dirampas.” (HR. Muslim, no. 429) Hadits ini menegaskan bahwa memandang ke atas dalam shalat dapat berakibat buruk, bahkan disebutkan bisa menyebabkan kehilangan penglihatan sebagai bentuk teguran dari Allah.   3. Tidak Membatalkan Shalat, Tetapi Mengurangi Kekhusyukan Meskipun dilarang, memandang ke atas dalam shalat tidak sampai membatalkan shalat. Namun, perbuatan ini menunjukkan kurangnya fokus dan bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memandang ke atas juga berarti berpaling dari kiblat, yang seharusnya menjadi arah utama perhatian dalam shalat.   Perbedaan Pendapat Ulama tentang Pandangan Mata Saat Shalat Mayoritas ulama menyepakati bahwa: Pandangan mata dalam shalat diarahkan ke tempat sujud. Saat tasyahud, pandangan diarahkan ke jari telunjuk. Namun, ulama Malikiyah memiliki pandangan berbeda: Mereka berpendapat bahwa pandangan mata sebaiknya diarahkan ke depan, bukan ke tempat sujud. Meski demikian, pendapat mayoritas lebih kuat karena didasarkan pada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.   Kesimpulan Arah pandangan dalam shalat sangat penting untuk meningkatkan kekhusyukan. Mata dianjurkan melihat ke tempat sujud dari awal hingga akhir shalat. Ketika tasyahud (awal dan akhir), dianjurkan melihat ke jari telunjuk saat diangkat. Memandang ke atas saat shalat dilarang dan dapat berakibat buruk, meskipun tidak sampai membatalkan shalat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa arah pandangan terbaik dalam shalat adalah ke tempat sujud, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.   Referensi: Al-Fauzan, A. bin S. (1431 H). Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram (Cet. 3, Vol. 2, hlm. 453–456). Dar Ibnul Jauzi. Al-Malibari, Z. A. bin M. (1443 H). Fath Al-Mu’in bi Syarh Qurroh Al-‘Ain bi Muhimmaat Ad-Diin (Cet. 1, hlm. 145). Dar Al-Fayha.   –   Ditulis pada Rabu sore, 20 Syakban 1446 H, 19 Februari 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsarah pandangan shalat cara shalat khusyuk Dalil Shalat Fikih Shalat hadits tentang shalat khusyuk Khusyuk dalam Shalat kiat Shalat kiat shalat khusyuk Larangan dalam Shalat Pandangan dalam Shalat shalat khusyuk sifat shalat nabi sunnah nabi tata cara shalat

Pandangan Mata dalam Shalat: Arah yang Dianjurkan dan Larangan Memandang ke Atas

Dalam shalat, setiap anggota tubuh memiliki aturan tersendiri, termasuk arah pandangan mata. Banyak orang mungkin mengabaikan hal ini, padahal mengarahkan pandangan dengan benar dapat meningkatkan kekhusyukan dalam shalat. Artikel ini akan mengulas bagaimana seharusnya arah pandangan saat shalat, berdasarkan dalil-dalil dari hadits dan pendapat para ulama.   Daftar Isi tutup 1. Tonton penjelasan dalam video Youtube: 2. Arah Pandangan yang Dianjurkan dalam Shalat 2.1. 1. Pandangan Mata ke Tempat Sujud 2.2. 2. Dalil dari Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 3. Larangan Memandang ke Atas saat Shalat 3.1. 1. Hadits Larangan Memandang ke Langit 3.2. 2. Bahaya Memandang ke Langit Saat Shalat 3.3. 3. Tidak Membatalkan Shalat, Tetapi Mengurangi Kekhusyukan 4. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Pandangan Mata Saat Shalat 5. Kesimpulan   Tonton penjelasan dalam video Youtube: Shalat di Depan Ka’bah: Pandangan ke Tempat Sujud atau Langsung ke Ka’bah?    Arah Pandangan yang Dianjurkan dalam Shalat 1. Pandangan Mata ke Tempat Sujud Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in menjelaskan, وَسُنَّ إِدَامَةُ نَظَرِ مَحَلِّ سُجُودِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ أَقْرَبُ إِلَى الْخُشُوعِ، وَلَوْ أَعْمَى، وَإِنْ كَانَ عِنْدَ الْكَعْبَةِ أَوْ فِي الظُّلْمَةِ، أَوْ فِي صَلَاةِ الْجَنَازَةِ. نَعَمْ، السُّنَّةُ أَنْ يَقْتَصِرَ نَظَرُهُ عَلَى مُسَبِّحَتِهِ عِنْدَ رَفْعِهَا فِي التَّشَهُّدِ لِخَبَرٍ صَحِيحٍ فِيهِ.. “Disunahkan melanggengkan pandangan mata ke arah tempat sujud supaya lebih khusyuk sekalipun tunanetra, sedang shalat dekat Kabah, shalat di tempat yang gelap, ataupun shalat jenazah. Namun disunahkan mengarahkan pandangan mata ke jari telunjuk, terutama ketika mengangkat jari telunjuk, saat tasyahud, karena ada dalil shahih tentang kesunahan itu.” (Fath Al-Mu’in, hlm. 145) Dari pendapat di atas, disimpulkan bahwa: Sejak takbiratul ihram hingga salam, mata dianjurkan melihat ke tempat sujud. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kekhusyukan dan menghindari gangguan dari lingkungan sekitar. Ketika tasyahud akhir, disunnahkan melihat ke jari telunjuk saat mengangkatnya.   2. Dalil dari Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Hadits dari Al-Hakim menyebutkan, كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى طَأْطَأَ رَأْسَهُ وَرَمَىٰ بِبَصَرِهِ نَحْوَ الْأَرْضِ. “Dahulu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat, beliau menundukkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke tanah.” (HR. Al-Hakim, beliau menilai hadits ini sahih berdasarkan syarat Imam Muslim, dan pendapat ini disepakati oleh Adz-Dzahabi serta Al-Albani). Hadits ini menjadi dasar kuat bahwa memandang ke tempat sujud adalah kebiasaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat.   Larangan Memandang ke Atas saat Shalat 1. Hadits Larangan Memandang ke Langit Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوامٌ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرْجِعُ إِلَيْهِم “Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas (ke langit-langit) saat shalat berhenti atau pandangan itu tidak kembali kepada mereka.” (HR. Muslim, no. 428) Dari hadits ini, para ulama menyimpulkan bahwa: Memandang ke atas saat shalat adalah perbuatan terlarang karena menunjukkan kurangnya kekhusyukan. Larangan ini berlaku baik saat berdiri, rukuk, iktidal, maupun dalam kondisi lain selama shalat. Bahkan dalam doa saat shalat, tidak perlu mengarahkan pandangan ke langit.   2. Bahaya Memandang ke Langit Saat Shalat Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ رَفْعِهِمْ أَبْصَارَهُمْ عِنْدَ الدُّعَاءِ فِى الصَّلاَةِ إِلَى السَّمَاءِ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ “Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas saat berdoa dalam shalat berhenti atau pandangan mereka akan dirampas.” (HR. Muslim, no. 429) Hadits ini menegaskan bahwa memandang ke atas dalam shalat dapat berakibat buruk, bahkan disebutkan bisa menyebabkan kehilangan penglihatan sebagai bentuk teguran dari Allah.   3. Tidak Membatalkan Shalat, Tetapi Mengurangi Kekhusyukan Meskipun dilarang, memandang ke atas dalam shalat tidak sampai membatalkan shalat. Namun, perbuatan ini menunjukkan kurangnya fokus dan bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memandang ke atas juga berarti berpaling dari kiblat, yang seharusnya menjadi arah utama perhatian dalam shalat.   Perbedaan Pendapat Ulama tentang Pandangan Mata Saat Shalat Mayoritas ulama menyepakati bahwa: Pandangan mata dalam shalat diarahkan ke tempat sujud. Saat tasyahud, pandangan diarahkan ke jari telunjuk. Namun, ulama Malikiyah memiliki pandangan berbeda: Mereka berpendapat bahwa pandangan mata sebaiknya diarahkan ke depan, bukan ke tempat sujud. Meski demikian, pendapat mayoritas lebih kuat karena didasarkan pada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.   Kesimpulan Arah pandangan dalam shalat sangat penting untuk meningkatkan kekhusyukan. Mata dianjurkan melihat ke tempat sujud dari awal hingga akhir shalat. Ketika tasyahud (awal dan akhir), dianjurkan melihat ke jari telunjuk saat diangkat. Memandang ke atas saat shalat dilarang dan dapat berakibat buruk, meskipun tidak sampai membatalkan shalat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa arah pandangan terbaik dalam shalat adalah ke tempat sujud, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.   Referensi: Al-Fauzan, A. bin S. (1431 H). Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram (Cet. 3, Vol. 2, hlm. 453–456). Dar Ibnul Jauzi. Al-Malibari, Z. A. bin M. (1443 H). Fath Al-Mu’in bi Syarh Qurroh Al-‘Ain bi Muhimmaat Ad-Diin (Cet. 1, hlm. 145). Dar Al-Fayha.   –   Ditulis pada Rabu sore, 20 Syakban 1446 H, 19 Februari 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsarah pandangan shalat cara shalat khusyuk Dalil Shalat Fikih Shalat hadits tentang shalat khusyuk Khusyuk dalam Shalat kiat Shalat kiat shalat khusyuk Larangan dalam Shalat Pandangan dalam Shalat shalat khusyuk sifat shalat nabi sunnah nabi tata cara shalat
Dalam shalat, setiap anggota tubuh memiliki aturan tersendiri, termasuk arah pandangan mata. Banyak orang mungkin mengabaikan hal ini, padahal mengarahkan pandangan dengan benar dapat meningkatkan kekhusyukan dalam shalat. Artikel ini akan mengulas bagaimana seharusnya arah pandangan saat shalat, berdasarkan dalil-dalil dari hadits dan pendapat para ulama.   Daftar Isi tutup 1. Tonton penjelasan dalam video Youtube: 2. Arah Pandangan yang Dianjurkan dalam Shalat 2.1. 1. Pandangan Mata ke Tempat Sujud 2.2. 2. Dalil dari Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 3. Larangan Memandang ke Atas saat Shalat 3.1. 1. Hadits Larangan Memandang ke Langit 3.2. 2. Bahaya Memandang ke Langit Saat Shalat 3.3. 3. Tidak Membatalkan Shalat, Tetapi Mengurangi Kekhusyukan 4. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Pandangan Mata Saat Shalat 5. Kesimpulan   Tonton penjelasan dalam video Youtube: Shalat di Depan Ka’bah: Pandangan ke Tempat Sujud atau Langsung ke Ka’bah?    Arah Pandangan yang Dianjurkan dalam Shalat 1. Pandangan Mata ke Tempat Sujud Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in menjelaskan, وَسُنَّ إِدَامَةُ نَظَرِ مَحَلِّ سُجُودِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ أَقْرَبُ إِلَى الْخُشُوعِ، وَلَوْ أَعْمَى، وَإِنْ كَانَ عِنْدَ الْكَعْبَةِ أَوْ فِي الظُّلْمَةِ، أَوْ فِي صَلَاةِ الْجَنَازَةِ. نَعَمْ، السُّنَّةُ أَنْ يَقْتَصِرَ نَظَرُهُ عَلَى مُسَبِّحَتِهِ عِنْدَ رَفْعِهَا فِي التَّشَهُّدِ لِخَبَرٍ صَحِيحٍ فِيهِ.. “Disunahkan melanggengkan pandangan mata ke arah tempat sujud supaya lebih khusyuk sekalipun tunanetra, sedang shalat dekat Kabah, shalat di tempat yang gelap, ataupun shalat jenazah. Namun disunahkan mengarahkan pandangan mata ke jari telunjuk, terutama ketika mengangkat jari telunjuk, saat tasyahud, karena ada dalil shahih tentang kesunahan itu.” (Fath Al-Mu’in, hlm. 145) Dari pendapat di atas, disimpulkan bahwa: Sejak takbiratul ihram hingga salam, mata dianjurkan melihat ke tempat sujud. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kekhusyukan dan menghindari gangguan dari lingkungan sekitar. Ketika tasyahud akhir, disunnahkan melihat ke jari telunjuk saat mengangkatnya.   2. Dalil dari Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Hadits dari Al-Hakim menyebutkan, كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى طَأْطَأَ رَأْسَهُ وَرَمَىٰ بِبَصَرِهِ نَحْوَ الْأَرْضِ. “Dahulu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat, beliau menundukkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke tanah.” (HR. Al-Hakim, beliau menilai hadits ini sahih berdasarkan syarat Imam Muslim, dan pendapat ini disepakati oleh Adz-Dzahabi serta Al-Albani). Hadits ini menjadi dasar kuat bahwa memandang ke tempat sujud adalah kebiasaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat.   Larangan Memandang ke Atas saat Shalat 1. Hadits Larangan Memandang ke Langit Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوامٌ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرْجِعُ إِلَيْهِم “Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas (ke langit-langit) saat shalat berhenti atau pandangan itu tidak kembali kepada mereka.” (HR. Muslim, no. 428) Dari hadits ini, para ulama menyimpulkan bahwa: Memandang ke atas saat shalat adalah perbuatan terlarang karena menunjukkan kurangnya kekhusyukan. Larangan ini berlaku baik saat berdiri, rukuk, iktidal, maupun dalam kondisi lain selama shalat. Bahkan dalam doa saat shalat, tidak perlu mengarahkan pandangan ke langit.   2. Bahaya Memandang ke Langit Saat Shalat Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ رَفْعِهِمْ أَبْصَارَهُمْ عِنْدَ الدُّعَاءِ فِى الصَّلاَةِ إِلَى السَّمَاءِ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ “Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas saat berdoa dalam shalat berhenti atau pandangan mereka akan dirampas.” (HR. Muslim, no. 429) Hadits ini menegaskan bahwa memandang ke atas dalam shalat dapat berakibat buruk, bahkan disebutkan bisa menyebabkan kehilangan penglihatan sebagai bentuk teguran dari Allah.   3. Tidak Membatalkan Shalat, Tetapi Mengurangi Kekhusyukan Meskipun dilarang, memandang ke atas dalam shalat tidak sampai membatalkan shalat. Namun, perbuatan ini menunjukkan kurangnya fokus dan bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memandang ke atas juga berarti berpaling dari kiblat, yang seharusnya menjadi arah utama perhatian dalam shalat.   Perbedaan Pendapat Ulama tentang Pandangan Mata Saat Shalat Mayoritas ulama menyepakati bahwa: Pandangan mata dalam shalat diarahkan ke tempat sujud. Saat tasyahud, pandangan diarahkan ke jari telunjuk. Namun, ulama Malikiyah memiliki pandangan berbeda: Mereka berpendapat bahwa pandangan mata sebaiknya diarahkan ke depan, bukan ke tempat sujud. Meski demikian, pendapat mayoritas lebih kuat karena didasarkan pada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.   Kesimpulan Arah pandangan dalam shalat sangat penting untuk meningkatkan kekhusyukan. Mata dianjurkan melihat ke tempat sujud dari awal hingga akhir shalat. Ketika tasyahud (awal dan akhir), dianjurkan melihat ke jari telunjuk saat diangkat. Memandang ke atas saat shalat dilarang dan dapat berakibat buruk, meskipun tidak sampai membatalkan shalat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa arah pandangan terbaik dalam shalat adalah ke tempat sujud, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.   Referensi: Al-Fauzan, A. bin S. (1431 H). Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram (Cet. 3, Vol. 2, hlm. 453–456). Dar Ibnul Jauzi. Al-Malibari, Z. A. bin M. (1443 H). Fath Al-Mu’in bi Syarh Qurroh Al-‘Ain bi Muhimmaat Ad-Diin (Cet. 1, hlm. 145). Dar Al-Fayha.   –   Ditulis pada Rabu sore, 20 Syakban 1446 H, 19 Februari 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsarah pandangan shalat cara shalat khusyuk Dalil Shalat Fikih Shalat hadits tentang shalat khusyuk Khusyuk dalam Shalat kiat Shalat kiat shalat khusyuk Larangan dalam Shalat Pandangan dalam Shalat shalat khusyuk sifat shalat nabi sunnah nabi tata cara shalat


Dalam shalat, setiap anggota tubuh memiliki aturan tersendiri, termasuk arah pandangan mata. Banyak orang mungkin mengabaikan hal ini, padahal mengarahkan pandangan dengan benar dapat meningkatkan kekhusyukan dalam shalat. Artikel ini akan mengulas bagaimana seharusnya arah pandangan saat shalat, berdasarkan dalil-dalil dari hadits dan pendapat para ulama.   Daftar Isi tutup 1. Tonton penjelasan dalam video Youtube: 2. Arah Pandangan yang Dianjurkan dalam Shalat 2.1. 1. Pandangan Mata ke Tempat Sujud 2.2. 2. Dalil dari Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 3. Larangan Memandang ke Atas saat Shalat 3.1. 1. Hadits Larangan Memandang ke Langit 3.2. 2. Bahaya Memandang ke Langit Saat Shalat 3.3. 3. Tidak Membatalkan Shalat, Tetapi Mengurangi Kekhusyukan 4. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Pandangan Mata Saat Shalat 5. Kesimpulan   Tonton penjelasan dalam video Youtube: Shalat di Depan Ka’bah: Pandangan ke Tempat Sujud atau Langsung ke Ka’bah?    Arah Pandangan yang Dianjurkan dalam Shalat 1. Pandangan Mata ke Tempat Sujud Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in menjelaskan, وَسُنَّ إِدَامَةُ نَظَرِ مَحَلِّ سُجُودِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ أَقْرَبُ إِلَى الْخُشُوعِ، وَلَوْ أَعْمَى، وَإِنْ كَانَ عِنْدَ الْكَعْبَةِ أَوْ فِي الظُّلْمَةِ، أَوْ فِي صَلَاةِ الْجَنَازَةِ. نَعَمْ، السُّنَّةُ أَنْ يَقْتَصِرَ نَظَرُهُ عَلَى مُسَبِّحَتِهِ عِنْدَ رَفْعِهَا فِي التَّشَهُّدِ لِخَبَرٍ صَحِيحٍ فِيهِ.. “Disunahkan melanggengkan pandangan mata ke arah tempat sujud supaya lebih khusyuk sekalipun tunanetra, sedang shalat dekat Kabah, shalat di tempat yang gelap, ataupun shalat jenazah. Namun disunahkan mengarahkan pandangan mata ke jari telunjuk, terutama ketika mengangkat jari telunjuk, saat tasyahud, karena ada dalil shahih tentang kesunahan itu.” (Fath Al-Mu’in, hlm. 145) Dari pendapat di atas, disimpulkan bahwa: Sejak takbiratul ihram hingga salam, mata dianjurkan melihat ke tempat sujud. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kekhusyukan dan menghindari gangguan dari lingkungan sekitar. Ketika tasyahud akhir, disunnahkan melihat ke jari telunjuk saat mengangkatnya.   2. Dalil dari Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Hadits dari Al-Hakim menyebutkan, كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى طَأْطَأَ رَأْسَهُ وَرَمَىٰ بِبَصَرِهِ نَحْوَ الْأَرْضِ. “Dahulu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat, beliau menundukkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke tanah.” (HR. Al-Hakim, beliau menilai hadits ini sahih berdasarkan syarat Imam Muslim, dan pendapat ini disepakati oleh Adz-Dzahabi serta Al-Albani). Hadits ini menjadi dasar kuat bahwa memandang ke tempat sujud adalah kebiasaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat.   Larangan Memandang ke Atas saat Shalat 1. Hadits Larangan Memandang ke Langit Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوامٌ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرْجِعُ إِلَيْهِم “Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas (ke langit-langit) saat shalat berhenti atau pandangan itu tidak kembali kepada mereka.” (HR. Muslim, no. 428) Dari hadits ini, para ulama menyimpulkan bahwa: Memandang ke atas saat shalat adalah perbuatan terlarang karena menunjukkan kurangnya kekhusyukan. Larangan ini berlaku baik saat berdiri, rukuk, iktidal, maupun dalam kondisi lain selama shalat. Bahkan dalam doa saat shalat, tidak perlu mengarahkan pandangan ke langit.   2. Bahaya Memandang ke Langit Saat Shalat Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ رَفْعِهِمْ أَبْصَارَهُمْ عِنْدَ الدُّعَاءِ فِى الصَّلاَةِ إِلَى السَّمَاءِ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ “Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas saat berdoa dalam shalat berhenti atau pandangan mereka akan dirampas.” (HR. Muslim, no. 429) Hadits ini menegaskan bahwa memandang ke atas dalam shalat dapat berakibat buruk, bahkan disebutkan bisa menyebabkan kehilangan penglihatan sebagai bentuk teguran dari Allah.   3. Tidak Membatalkan Shalat, Tetapi Mengurangi Kekhusyukan Meskipun dilarang, memandang ke atas dalam shalat tidak sampai membatalkan shalat. Namun, perbuatan ini menunjukkan kurangnya fokus dan bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memandang ke atas juga berarti berpaling dari kiblat, yang seharusnya menjadi arah utama perhatian dalam shalat.   Perbedaan Pendapat Ulama tentang Pandangan Mata Saat Shalat Mayoritas ulama menyepakati bahwa: Pandangan mata dalam shalat diarahkan ke tempat sujud. Saat tasyahud, pandangan diarahkan ke jari telunjuk. Namun, ulama Malikiyah memiliki pandangan berbeda: Mereka berpendapat bahwa pandangan mata sebaiknya diarahkan ke depan, bukan ke tempat sujud. Meski demikian, pendapat mayoritas lebih kuat karena didasarkan pada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.   Kesimpulan Arah pandangan dalam shalat sangat penting untuk meningkatkan kekhusyukan. Mata dianjurkan melihat ke tempat sujud dari awal hingga akhir shalat. Ketika tasyahud (awal dan akhir), dianjurkan melihat ke jari telunjuk saat diangkat. Memandang ke atas saat shalat dilarang dan dapat berakibat buruk, meskipun tidak sampai membatalkan shalat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa arah pandangan terbaik dalam shalat adalah ke tempat sujud, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.   Referensi: Al-Fauzan, A. bin S. (1431 H). Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram (Cet. 3, Vol. 2, hlm. 453–456). Dar Ibnul Jauzi. Al-Malibari, Z. A. bin M. (1443 H). Fath Al-Mu’in bi Syarh Qurroh Al-‘Ain bi Muhimmaat Ad-Diin (Cet. 1, hlm. 145). Dar Al-Fayha.   –   Ditulis pada Rabu sore, 20 Syakban 1446 H, 19 Februari 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsarah pandangan shalat cara shalat khusyuk Dalil Shalat Fikih Shalat hadits tentang shalat khusyuk Khusyuk dalam Shalat kiat Shalat kiat shalat khusyuk Larangan dalam Shalat Pandangan dalam Shalat shalat khusyuk sifat shalat nabi sunnah nabi tata cara shalat

Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 10)

Daftar Isi Toggle Jasa yang sifatnya muta’addi [1]Keadaan pertama: Harta dijadikan sebagai upah untuk jasa ibadah muta’addiKeadaan kedua: Harta yang dikeluarkan adalah upah dari baitul malKeadaan ketiga: Upah yang diberikan berupa sayembaraKeadaan keempat: Jika harta yang diberikan dalam rangka upah bukan sebagai syaratJasa yang sifatnya tidak ada kaitan langsung dengan ibadah Masih melanjutkan tentang persoalan sewa menyewa jasa untuk hal ketaatan atau ibadah. Telah disebutkan bahwasanya sewa menyewa jasa untuk hal ketaatan terbagi menjadi tiga: Pertama, jasa yang sifatnya khusus untuk ibadah mahdah. Dan telah berlalu pembahasan poin pertama ini. Kedua, jasa yang bentuknya muta’addi, yakni ibadah yang sifatnya sosial atau fardu kifayah. Ketiga, jasa yang sifatnya tidak ada kaitan dengan amal ibadah. Pada tulisan kali ini, pembahasan akan mengerucut pada poin kedua dan ketiga. Jasa yang sifatnya muta’addi [1] Maksudnya adalah sewa menyewa jasa secara khusus yang sifat ibadahnya adalah fardu kifayah atau dapat diwakilkan dan digantikan dengan orang lain. Seperti seseorang menyewa orang untuk mengumandangkan azan, menjadi imam, mengajarkan Al-Qur’an, mengajarkan hadis, dan lain sebagainya. Pada permasalahan ini terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama tentang hukum menerima upah dari sewa menyewa jasa yang sifatnya ibadah muta’addi atau fardu kifayah. Untuk mempermudah dalam memahami perbedaan ini, berikut adalah keadaaan-keadaan jasa yang sifatnya ibadah muta’addi. Keadaan pertama: Harta dijadikan sebagai upah untuk jasa ibadah muta’addi Pada keadaan pertama ini, seseorang menjadikan uang atau harga sebagai “alat tukar” dalam suatu ibadah. Dengan disyaratkan di awal akad, seperti suatu ungkapan, “Jika anda ingin saya azan di masjid anda, maka berikan saya uang sebesar sekian-sekian, saya akan datang untuk azan di sana.” Istilah lainnya adalah menentukan tarif di awal sebagai upah dan syarat di awal. Hal ini tidak diperbolehkan. Karena ia menjadikan suatu ibadah sebagai alat tukar sehingga tidak lagi menjadi wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan bahwa amalan itu tergantung dengan niatnya, dan Allah tidak menerima amalan, kecuali yang dilakukan ikhlas karena-Nya. Keadaan kedua: Harta yang dikeluarkan adalah upah dari baitul mal Dahulu, di negeri-negeri kaum muslimin terdapat baitul mal (tempat untuk menyimpan harta negara). Harta yang diambil dari jizyah (upeti), infak, sedekah, ghanimah (harta rampasan perang), dan lain sebagainya. Artinya, baitul mal adalah milik negara dan bukan milik perseorangan, sehingga tentunya maslahat yang diperoleh harus kembali kepada kaum muslimin. Sehingga, dari sini para ulama membolehkan jika upah dalam jasa yang sifatnya ibadah muta’addi untuk diambilkan dari baitul mal. Syekh Islam rahimahullah berkata, وَالفُقَهَاءُ مُتَّفِقُونَ عَلَى الفَرْقِ بَيْنَ الاستِئْجَارِ عَلَى القُرُبِ وَبَيْنَ رَزْقِ أَهْلِهَا، فَرَزْقُ المقاتِلَةِ وَالقُضَاةِ وَالمُؤَذِّنِينَ وَالأَئِمَّةِ جَائِزٌ بِلا نِزَاعٍ، وَأَمَّا الاستِئْجَارُ فَلَا يَجُوزُ عِندَ أَكْثَرِهِمْ “Para fuqaha (ulama) sepakat mengenai perbedaan antara menyewa untuk mendekatkan diri kepada Allah (isti’jar) dan rezeki (upah) bagi orang-orang yang berhak. Rezeki bagi para pejuang, hakim, muazin, dan imam adalah dibolehkan tanpa perselisihan, sementara menyewa mereka untuk tugas atau ibadah tertentu tidak diperbolehkan menurut sebagian besar ulama.” [2] Keadaan ketiga: Upah yang diberikan berupa sayembara Jika upah yang diberikan berupa sayembara, maka hukumnya boleh untuk diambil. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radiyallahu ‘anhu, أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرُّوا بِمَاءٍ فِيهِمْ لَدِيغٌ أَوْ سَلِيمٌ، فَعَرَضَ لَهُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْمَاءِ فَقَالَ : هَلْ فِيكُمْ مِنْ رَاقٍ إِنَّ فِي الْمَاءِ رَجُلًا لَدِيغًا أَوْ سَلِيمًا، فَانْطَلَقَ رَجُلٌ مِنْهُمْ، فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ عَلَى شَاءٍ فَبَرَأَ، فَجَاءَ بِالشَّاءِ إِلَى أَصْحَابِهِ، فَكَرِهُوا ذَلِكَ وَقَالُوا : أَخَذْتَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا، حَتَّى قَدِمُوا الْمَدِينَةَ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخَذَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati sumber mata air di mana terdapat orang yang tersengat binatang berbisa, lalu salah seorang yang bertempat tinggal di sumber mata air tersebut datang dan berkata, ‘Adakah di antara kalian seseorang yang pandai meruqyah? Karena di tempat tinggal dekat sumber mata air ada seseorang yang tersengat binatang berbisa.’ Lalu, salah seorang sahabat Nabi pergi ke tempat tersebut dan membacakan Al-Fatihah dengan upah seekor kambing. Ternyata orang yang tersengat tadi sembuh, maka sahabat tersebut membawa kambing itu kepada teman-temannya. Namun, teman-temannya tidak suka dengan hal itu, mereka berkata, ‘Kamu mengambil upah atas Kitabullah?’ Setelah mereka tiba di Madinah, mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, ia ini mengambil upah atas Kitabullah.’ Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah upah karena (mengajarkan) Kitabullah.'”(HR. Bukhari) Dalam hal ini, bentuknya adalah sayembara, dan sayembara lebih umum halnya dibandingkan dengan ijarah (sewa menyewa). Oleh karena itu, diperbolehkan terdapat ketidakjelasan pekerjaan dan waktu kerja pada sayembara. Sehingga dalam bentuk seperti ini, boleh untuk mengambil upah padanya. Keadaan keempat: Jika harta yang diberikan dalam rangka upah bukan sebagai syarat Artinya, harta tersebut bukanlah dalam rangka pemberian upah sebagai syarat di awal akad sebelum dilaksanakannya ibadah tersebut. Seperti memberikan orang yang mengajarkan Al-Qur’an berupa harta untuknya, tanpa pengajarnya mensyaratkan di awal. Hal ini diperbolehkan, sebagaimana contoh berikut, فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِينِي الْعَطَاءَ فَأَقُولُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي حَتَّى أَعْطَانِي مَرَّةً مَالًا فَقُلْتُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذْهُ فَتَمَوَّلْهُ وَتَصَدَّقْ بِهِ فَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ وَإِلَّا فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ “Rasulullah ﷺ biasa memberi saya pemberian. Lalu, saya berkata, ‘Berikanlah kepada orang yang lebih membutuhkan dariku.’ Sampai pada suatu ketika, beliau memberi saya uang, lalu saya berkata, ‘Berikanlah kepada orang yang lebih membutuhkan dariku.’ Maka, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Ambillah, lalu gunakanlah untuk kepentinganmu dan bersedekahlah dengannya. Apa pun yang datang kepadamu dari harta ini, jika engkau tidak dalam keadaan sombong atau meminta-minta, maka ambillah. Jika tidak, maka jangan biarkan harta itu mengikuti hatimu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Mengingat pada keadaan keempat ini bentuknya adalah seperti hadiah atau pemberian yang murni. Maka, boleh untuk diambil hadiah tersebut. Pada keadaan-keadaan ini, para ulama rahimahumullah berselisih antara boleh atau tidaknya mengambil upah dari suatu ibadah yang muta’addi. Mazhab Hanafi dan Hanbali lebih condong berpendapat akan ketidakbolehannya. Adapun Mazhab Malik dan Syafi’i lebih condong akan membolehkannya. Masing-masing dari mazhab tersebut memiliki dalil sebagai sandaran kuat atas pendapat mereka. [3] Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menengahkan akan kedua pendapat tersebut. Beliau mengatakan, “Hendaknya dibedakan (perihal menerima upah dari ibadah muta’addi) antara orang yang membutuhkan dan tidak. Sebagai bentuk penggabungan antara dalil-dalil yang ada. Pendapat yang melarang untuk mengambilnya diartikan dengan jika tidak ada kebutuhan dan cukup. Sedangkan pendapat yang membolehkan diartikan jika memang membutuhkan dan tidak memiliki kecukupan. Seseorang yang butuh jika memang butuh untuk mengambil, maka ia tetap harus meniatkan amalnya tersebut karena Allah, untuk menolongnya dalam rangka ibadah kepada Allah. Karena menafkahi keluarga juga hukumnya wajib, sehingga ia bisa menunaikan kewajiban dengan menerima upah tersebut. Berbeda halnya jika memang sudah cukup dan kaya. Ia tidak butuh lagi tentunya dengan upah tersebut. Bisa dikatakan tidak ada keperluan yang mendesak untuk mengerjakan amalan selain ia kerjakan hanya untuk Allah. Bahkan, jika Allah telah mencukupkannya, dialah orang yang pertama kali harus melaksanakannya. Jika tidak ada yang melaksanakannya, maka menjadi wajib ‘ain bagi dia untuk melaksanakannya.” [4] Jasa yang sifatnya tidak ada kaitan langsung dengan ibadah Adapun poin ketiga ini, bentuknya adalah seperti suatu jasa yang tidak dikhususkan untuk melakukan ibadah. Di antara contohnya: Pertama: Menyembelih sembelihan pada waktu Iduladha atau yang lainnya. Kedua: Mengajarkan untuk menulis, berhitung, dan lain sebagainya. Jasa yang sifatnya terkadang sebagai bentuk ibadah terkadang tidak. Contoh yang lain seperti menanam pohon, membangun rumah, dan lain-lain. Hal ini diperbolehkan untuk mengambil atau memberikan upah pada pekerjaannya. Ketiga: Memberikan upah kepada orang-orang yang membangun masjid, membersihkan, dan merapikannya. Hal-hal ini diperbolehkan karena tidak ada kaitan langsung dengan ibadah seseorang. Wallahu A’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 9  *** Depok, 11 Sya’ban 1446/ 9 Februari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Cet.Maktabah Tauqifiyyah. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr.Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Cet. Maktabah Imam Adz-Dzahabi. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 292 dan Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 349. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 351. [3] Lihat perbedaan pendapat tersebut di kitab Shahih Fiqih Sunnah, 5: 292-295. [4] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 296 dan Majmu’ Fatawa, 30: 208.

Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 10)

Daftar Isi Toggle Jasa yang sifatnya muta’addi [1]Keadaan pertama: Harta dijadikan sebagai upah untuk jasa ibadah muta’addiKeadaan kedua: Harta yang dikeluarkan adalah upah dari baitul malKeadaan ketiga: Upah yang diberikan berupa sayembaraKeadaan keempat: Jika harta yang diberikan dalam rangka upah bukan sebagai syaratJasa yang sifatnya tidak ada kaitan langsung dengan ibadah Masih melanjutkan tentang persoalan sewa menyewa jasa untuk hal ketaatan atau ibadah. Telah disebutkan bahwasanya sewa menyewa jasa untuk hal ketaatan terbagi menjadi tiga: Pertama, jasa yang sifatnya khusus untuk ibadah mahdah. Dan telah berlalu pembahasan poin pertama ini. Kedua, jasa yang bentuknya muta’addi, yakni ibadah yang sifatnya sosial atau fardu kifayah. Ketiga, jasa yang sifatnya tidak ada kaitan dengan amal ibadah. Pada tulisan kali ini, pembahasan akan mengerucut pada poin kedua dan ketiga. Jasa yang sifatnya muta’addi [1] Maksudnya adalah sewa menyewa jasa secara khusus yang sifat ibadahnya adalah fardu kifayah atau dapat diwakilkan dan digantikan dengan orang lain. Seperti seseorang menyewa orang untuk mengumandangkan azan, menjadi imam, mengajarkan Al-Qur’an, mengajarkan hadis, dan lain sebagainya. Pada permasalahan ini terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama tentang hukum menerima upah dari sewa menyewa jasa yang sifatnya ibadah muta’addi atau fardu kifayah. Untuk mempermudah dalam memahami perbedaan ini, berikut adalah keadaaan-keadaan jasa yang sifatnya ibadah muta’addi. Keadaan pertama: Harta dijadikan sebagai upah untuk jasa ibadah muta’addi Pada keadaan pertama ini, seseorang menjadikan uang atau harga sebagai “alat tukar” dalam suatu ibadah. Dengan disyaratkan di awal akad, seperti suatu ungkapan, “Jika anda ingin saya azan di masjid anda, maka berikan saya uang sebesar sekian-sekian, saya akan datang untuk azan di sana.” Istilah lainnya adalah menentukan tarif di awal sebagai upah dan syarat di awal. Hal ini tidak diperbolehkan. Karena ia menjadikan suatu ibadah sebagai alat tukar sehingga tidak lagi menjadi wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan bahwa amalan itu tergantung dengan niatnya, dan Allah tidak menerima amalan, kecuali yang dilakukan ikhlas karena-Nya. Keadaan kedua: Harta yang dikeluarkan adalah upah dari baitul mal Dahulu, di negeri-negeri kaum muslimin terdapat baitul mal (tempat untuk menyimpan harta negara). Harta yang diambil dari jizyah (upeti), infak, sedekah, ghanimah (harta rampasan perang), dan lain sebagainya. Artinya, baitul mal adalah milik negara dan bukan milik perseorangan, sehingga tentunya maslahat yang diperoleh harus kembali kepada kaum muslimin. Sehingga, dari sini para ulama membolehkan jika upah dalam jasa yang sifatnya ibadah muta’addi untuk diambilkan dari baitul mal. Syekh Islam rahimahullah berkata, وَالفُقَهَاءُ مُتَّفِقُونَ عَلَى الفَرْقِ بَيْنَ الاستِئْجَارِ عَلَى القُرُبِ وَبَيْنَ رَزْقِ أَهْلِهَا، فَرَزْقُ المقاتِلَةِ وَالقُضَاةِ وَالمُؤَذِّنِينَ وَالأَئِمَّةِ جَائِزٌ بِلا نِزَاعٍ، وَأَمَّا الاستِئْجَارُ فَلَا يَجُوزُ عِندَ أَكْثَرِهِمْ “Para fuqaha (ulama) sepakat mengenai perbedaan antara menyewa untuk mendekatkan diri kepada Allah (isti’jar) dan rezeki (upah) bagi orang-orang yang berhak. Rezeki bagi para pejuang, hakim, muazin, dan imam adalah dibolehkan tanpa perselisihan, sementara menyewa mereka untuk tugas atau ibadah tertentu tidak diperbolehkan menurut sebagian besar ulama.” [2] Keadaan ketiga: Upah yang diberikan berupa sayembara Jika upah yang diberikan berupa sayembara, maka hukumnya boleh untuk diambil. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radiyallahu ‘anhu, أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرُّوا بِمَاءٍ فِيهِمْ لَدِيغٌ أَوْ سَلِيمٌ، فَعَرَضَ لَهُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْمَاءِ فَقَالَ : هَلْ فِيكُمْ مِنْ رَاقٍ إِنَّ فِي الْمَاءِ رَجُلًا لَدِيغًا أَوْ سَلِيمًا، فَانْطَلَقَ رَجُلٌ مِنْهُمْ، فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ عَلَى شَاءٍ فَبَرَأَ، فَجَاءَ بِالشَّاءِ إِلَى أَصْحَابِهِ، فَكَرِهُوا ذَلِكَ وَقَالُوا : أَخَذْتَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا، حَتَّى قَدِمُوا الْمَدِينَةَ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخَذَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati sumber mata air di mana terdapat orang yang tersengat binatang berbisa, lalu salah seorang yang bertempat tinggal di sumber mata air tersebut datang dan berkata, ‘Adakah di antara kalian seseorang yang pandai meruqyah? Karena di tempat tinggal dekat sumber mata air ada seseorang yang tersengat binatang berbisa.’ Lalu, salah seorang sahabat Nabi pergi ke tempat tersebut dan membacakan Al-Fatihah dengan upah seekor kambing. Ternyata orang yang tersengat tadi sembuh, maka sahabat tersebut membawa kambing itu kepada teman-temannya. Namun, teman-temannya tidak suka dengan hal itu, mereka berkata, ‘Kamu mengambil upah atas Kitabullah?’ Setelah mereka tiba di Madinah, mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, ia ini mengambil upah atas Kitabullah.’ Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah upah karena (mengajarkan) Kitabullah.'”(HR. Bukhari) Dalam hal ini, bentuknya adalah sayembara, dan sayembara lebih umum halnya dibandingkan dengan ijarah (sewa menyewa). Oleh karena itu, diperbolehkan terdapat ketidakjelasan pekerjaan dan waktu kerja pada sayembara. Sehingga dalam bentuk seperti ini, boleh untuk mengambil upah padanya. Keadaan keempat: Jika harta yang diberikan dalam rangka upah bukan sebagai syarat Artinya, harta tersebut bukanlah dalam rangka pemberian upah sebagai syarat di awal akad sebelum dilaksanakannya ibadah tersebut. Seperti memberikan orang yang mengajarkan Al-Qur’an berupa harta untuknya, tanpa pengajarnya mensyaratkan di awal. Hal ini diperbolehkan, sebagaimana contoh berikut, فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِينِي الْعَطَاءَ فَأَقُولُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي حَتَّى أَعْطَانِي مَرَّةً مَالًا فَقُلْتُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذْهُ فَتَمَوَّلْهُ وَتَصَدَّقْ بِهِ فَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ وَإِلَّا فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ “Rasulullah ﷺ biasa memberi saya pemberian. Lalu, saya berkata, ‘Berikanlah kepada orang yang lebih membutuhkan dariku.’ Sampai pada suatu ketika, beliau memberi saya uang, lalu saya berkata, ‘Berikanlah kepada orang yang lebih membutuhkan dariku.’ Maka, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Ambillah, lalu gunakanlah untuk kepentinganmu dan bersedekahlah dengannya. Apa pun yang datang kepadamu dari harta ini, jika engkau tidak dalam keadaan sombong atau meminta-minta, maka ambillah. Jika tidak, maka jangan biarkan harta itu mengikuti hatimu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Mengingat pada keadaan keempat ini bentuknya adalah seperti hadiah atau pemberian yang murni. Maka, boleh untuk diambil hadiah tersebut. Pada keadaan-keadaan ini, para ulama rahimahumullah berselisih antara boleh atau tidaknya mengambil upah dari suatu ibadah yang muta’addi. Mazhab Hanafi dan Hanbali lebih condong berpendapat akan ketidakbolehannya. Adapun Mazhab Malik dan Syafi’i lebih condong akan membolehkannya. Masing-masing dari mazhab tersebut memiliki dalil sebagai sandaran kuat atas pendapat mereka. [3] Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menengahkan akan kedua pendapat tersebut. Beliau mengatakan, “Hendaknya dibedakan (perihal menerima upah dari ibadah muta’addi) antara orang yang membutuhkan dan tidak. Sebagai bentuk penggabungan antara dalil-dalil yang ada. Pendapat yang melarang untuk mengambilnya diartikan dengan jika tidak ada kebutuhan dan cukup. Sedangkan pendapat yang membolehkan diartikan jika memang membutuhkan dan tidak memiliki kecukupan. Seseorang yang butuh jika memang butuh untuk mengambil, maka ia tetap harus meniatkan amalnya tersebut karena Allah, untuk menolongnya dalam rangka ibadah kepada Allah. Karena menafkahi keluarga juga hukumnya wajib, sehingga ia bisa menunaikan kewajiban dengan menerima upah tersebut. Berbeda halnya jika memang sudah cukup dan kaya. Ia tidak butuh lagi tentunya dengan upah tersebut. Bisa dikatakan tidak ada keperluan yang mendesak untuk mengerjakan amalan selain ia kerjakan hanya untuk Allah. Bahkan, jika Allah telah mencukupkannya, dialah orang yang pertama kali harus melaksanakannya. Jika tidak ada yang melaksanakannya, maka menjadi wajib ‘ain bagi dia untuk melaksanakannya.” [4] Jasa yang sifatnya tidak ada kaitan langsung dengan ibadah Adapun poin ketiga ini, bentuknya adalah seperti suatu jasa yang tidak dikhususkan untuk melakukan ibadah. Di antara contohnya: Pertama: Menyembelih sembelihan pada waktu Iduladha atau yang lainnya. Kedua: Mengajarkan untuk menulis, berhitung, dan lain sebagainya. Jasa yang sifatnya terkadang sebagai bentuk ibadah terkadang tidak. Contoh yang lain seperti menanam pohon, membangun rumah, dan lain-lain. Hal ini diperbolehkan untuk mengambil atau memberikan upah pada pekerjaannya. Ketiga: Memberikan upah kepada orang-orang yang membangun masjid, membersihkan, dan merapikannya. Hal-hal ini diperbolehkan karena tidak ada kaitan langsung dengan ibadah seseorang. Wallahu A’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 9  *** Depok, 11 Sya’ban 1446/ 9 Februari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Cet.Maktabah Tauqifiyyah. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr.Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Cet. Maktabah Imam Adz-Dzahabi. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 292 dan Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 349. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 351. [3] Lihat perbedaan pendapat tersebut di kitab Shahih Fiqih Sunnah, 5: 292-295. [4] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 296 dan Majmu’ Fatawa, 30: 208.
Daftar Isi Toggle Jasa yang sifatnya muta’addi [1]Keadaan pertama: Harta dijadikan sebagai upah untuk jasa ibadah muta’addiKeadaan kedua: Harta yang dikeluarkan adalah upah dari baitul malKeadaan ketiga: Upah yang diberikan berupa sayembaraKeadaan keempat: Jika harta yang diberikan dalam rangka upah bukan sebagai syaratJasa yang sifatnya tidak ada kaitan langsung dengan ibadah Masih melanjutkan tentang persoalan sewa menyewa jasa untuk hal ketaatan atau ibadah. Telah disebutkan bahwasanya sewa menyewa jasa untuk hal ketaatan terbagi menjadi tiga: Pertama, jasa yang sifatnya khusus untuk ibadah mahdah. Dan telah berlalu pembahasan poin pertama ini. Kedua, jasa yang bentuknya muta’addi, yakni ibadah yang sifatnya sosial atau fardu kifayah. Ketiga, jasa yang sifatnya tidak ada kaitan dengan amal ibadah. Pada tulisan kali ini, pembahasan akan mengerucut pada poin kedua dan ketiga. Jasa yang sifatnya muta’addi [1] Maksudnya adalah sewa menyewa jasa secara khusus yang sifat ibadahnya adalah fardu kifayah atau dapat diwakilkan dan digantikan dengan orang lain. Seperti seseorang menyewa orang untuk mengumandangkan azan, menjadi imam, mengajarkan Al-Qur’an, mengajarkan hadis, dan lain sebagainya. Pada permasalahan ini terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama tentang hukum menerima upah dari sewa menyewa jasa yang sifatnya ibadah muta’addi atau fardu kifayah. Untuk mempermudah dalam memahami perbedaan ini, berikut adalah keadaaan-keadaan jasa yang sifatnya ibadah muta’addi. Keadaan pertama: Harta dijadikan sebagai upah untuk jasa ibadah muta’addi Pada keadaan pertama ini, seseorang menjadikan uang atau harga sebagai “alat tukar” dalam suatu ibadah. Dengan disyaratkan di awal akad, seperti suatu ungkapan, “Jika anda ingin saya azan di masjid anda, maka berikan saya uang sebesar sekian-sekian, saya akan datang untuk azan di sana.” Istilah lainnya adalah menentukan tarif di awal sebagai upah dan syarat di awal. Hal ini tidak diperbolehkan. Karena ia menjadikan suatu ibadah sebagai alat tukar sehingga tidak lagi menjadi wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan bahwa amalan itu tergantung dengan niatnya, dan Allah tidak menerima amalan, kecuali yang dilakukan ikhlas karena-Nya. Keadaan kedua: Harta yang dikeluarkan adalah upah dari baitul mal Dahulu, di negeri-negeri kaum muslimin terdapat baitul mal (tempat untuk menyimpan harta negara). Harta yang diambil dari jizyah (upeti), infak, sedekah, ghanimah (harta rampasan perang), dan lain sebagainya. Artinya, baitul mal adalah milik negara dan bukan milik perseorangan, sehingga tentunya maslahat yang diperoleh harus kembali kepada kaum muslimin. Sehingga, dari sini para ulama membolehkan jika upah dalam jasa yang sifatnya ibadah muta’addi untuk diambilkan dari baitul mal. Syekh Islam rahimahullah berkata, وَالفُقَهَاءُ مُتَّفِقُونَ عَلَى الفَرْقِ بَيْنَ الاستِئْجَارِ عَلَى القُرُبِ وَبَيْنَ رَزْقِ أَهْلِهَا، فَرَزْقُ المقاتِلَةِ وَالقُضَاةِ وَالمُؤَذِّنِينَ وَالأَئِمَّةِ جَائِزٌ بِلا نِزَاعٍ، وَأَمَّا الاستِئْجَارُ فَلَا يَجُوزُ عِندَ أَكْثَرِهِمْ “Para fuqaha (ulama) sepakat mengenai perbedaan antara menyewa untuk mendekatkan diri kepada Allah (isti’jar) dan rezeki (upah) bagi orang-orang yang berhak. Rezeki bagi para pejuang, hakim, muazin, dan imam adalah dibolehkan tanpa perselisihan, sementara menyewa mereka untuk tugas atau ibadah tertentu tidak diperbolehkan menurut sebagian besar ulama.” [2] Keadaan ketiga: Upah yang diberikan berupa sayembara Jika upah yang diberikan berupa sayembara, maka hukumnya boleh untuk diambil. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radiyallahu ‘anhu, أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرُّوا بِمَاءٍ فِيهِمْ لَدِيغٌ أَوْ سَلِيمٌ، فَعَرَضَ لَهُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْمَاءِ فَقَالَ : هَلْ فِيكُمْ مِنْ رَاقٍ إِنَّ فِي الْمَاءِ رَجُلًا لَدِيغًا أَوْ سَلِيمًا، فَانْطَلَقَ رَجُلٌ مِنْهُمْ، فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ عَلَى شَاءٍ فَبَرَأَ، فَجَاءَ بِالشَّاءِ إِلَى أَصْحَابِهِ، فَكَرِهُوا ذَلِكَ وَقَالُوا : أَخَذْتَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا، حَتَّى قَدِمُوا الْمَدِينَةَ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخَذَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati sumber mata air di mana terdapat orang yang tersengat binatang berbisa, lalu salah seorang yang bertempat tinggal di sumber mata air tersebut datang dan berkata, ‘Adakah di antara kalian seseorang yang pandai meruqyah? Karena di tempat tinggal dekat sumber mata air ada seseorang yang tersengat binatang berbisa.’ Lalu, salah seorang sahabat Nabi pergi ke tempat tersebut dan membacakan Al-Fatihah dengan upah seekor kambing. Ternyata orang yang tersengat tadi sembuh, maka sahabat tersebut membawa kambing itu kepada teman-temannya. Namun, teman-temannya tidak suka dengan hal itu, mereka berkata, ‘Kamu mengambil upah atas Kitabullah?’ Setelah mereka tiba di Madinah, mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, ia ini mengambil upah atas Kitabullah.’ Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah upah karena (mengajarkan) Kitabullah.'”(HR. Bukhari) Dalam hal ini, bentuknya adalah sayembara, dan sayembara lebih umum halnya dibandingkan dengan ijarah (sewa menyewa). Oleh karena itu, diperbolehkan terdapat ketidakjelasan pekerjaan dan waktu kerja pada sayembara. Sehingga dalam bentuk seperti ini, boleh untuk mengambil upah padanya. Keadaan keempat: Jika harta yang diberikan dalam rangka upah bukan sebagai syarat Artinya, harta tersebut bukanlah dalam rangka pemberian upah sebagai syarat di awal akad sebelum dilaksanakannya ibadah tersebut. Seperti memberikan orang yang mengajarkan Al-Qur’an berupa harta untuknya, tanpa pengajarnya mensyaratkan di awal. Hal ini diperbolehkan, sebagaimana contoh berikut, فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِينِي الْعَطَاءَ فَأَقُولُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي حَتَّى أَعْطَانِي مَرَّةً مَالًا فَقُلْتُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذْهُ فَتَمَوَّلْهُ وَتَصَدَّقْ بِهِ فَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ وَإِلَّا فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ “Rasulullah ﷺ biasa memberi saya pemberian. Lalu, saya berkata, ‘Berikanlah kepada orang yang lebih membutuhkan dariku.’ Sampai pada suatu ketika, beliau memberi saya uang, lalu saya berkata, ‘Berikanlah kepada orang yang lebih membutuhkan dariku.’ Maka, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Ambillah, lalu gunakanlah untuk kepentinganmu dan bersedekahlah dengannya. Apa pun yang datang kepadamu dari harta ini, jika engkau tidak dalam keadaan sombong atau meminta-minta, maka ambillah. Jika tidak, maka jangan biarkan harta itu mengikuti hatimu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Mengingat pada keadaan keempat ini bentuknya adalah seperti hadiah atau pemberian yang murni. Maka, boleh untuk diambil hadiah tersebut. Pada keadaan-keadaan ini, para ulama rahimahumullah berselisih antara boleh atau tidaknya mengambil upah dari suatu ibadah yang muta’addi. Mazhab Hanafi dan Hanbali lebih condong berpendapat akan ketidakbolehannya. Adapun Mazhab Malik dan Syafi’i lebih condong akan membolehkannya. Masing-masing dari mazhab tersebut memiliki dalil sebagai sandaran kuat atas pendapat mereka. [3] Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menengahkan akan kedua pendapat tersebut. Beliau mengatakan, “Hendaknya dibedakan (perihal menerima upah dari ibadah muta’addi) antara orang yang membutuhkan dan tidak. Sebagai bentuk penggabungan antara dalil-dalil yang ada. Pendapat yang melarang untuk mengambilnya diartikan dengan jika tidak ada kebutuhan dan cukup. Sedangkan pendapat yang membolehkan diartikan jika memang membutuhkan dan tidak memiliki kecukupan. Seseorang yang butuh jika memang butuh untuk mengambil, maka ia tetap harus meniatkan amalnya tersebut karena Allah, untuk menolongnya dalam rangka ibadah kepada Allah. Karena menafkahi keluarga juga hukumnya wajib, sehingga ia bisa menunaikan kewajiban dengan menerima upah tersebut. Berbeda halnya jika memang sudah cukup dan kaya. Ia tidak butuh lagi tentunya dengan upah tersebut. Bisa dikatakan tidak ada keperluan yang mendesak untuk mengerjakan amalan selain ia kerjakan hanya untuk Allah. Bahkan, jika Allah telah mencukupkannya, dialah orang yang pertama kali harus melaksanakannya. Jika tidak ada yang melaksanakannya, maka menjadi wajib ‘ain bagi dia untuk melaksanakannya.” [4] Jasa yang sifatnya tidak ada kaitan langsung dengan ibadah Adapun poin ketiga ini, bentuknya adalah seperti suatu jasa yang tidak dikhususkan untuk melakukan ibadah. Di antara contohnya: Pertama: Menyembelih sembelihan pada waktu Iduladha atau yang lainnya. Kedua: Mengajarkan untuk menulis, berhitung, dan lain sebagainya. Jasa yang sifatnya terkadang sebagai bentuk ibadah terkadang tidak. Contoh yang lain seperti menanam pohon, membangun rumah, dan lain-lain. Hal ini diperbolehkan untuk mengambil atau memberikan upah pada pekerjaannya. Ketiga: Memberikan upah kepada orang-orang yang membangun masjid, membersihkan, dan merapikannya. Hal-hal ini diperbolehkan karena tidak ada kaitan langsung dengan ibadah seseorang. Wallahu A’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 9  *** Depok, 11 Sya’ban 1446/ 9 Februari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Cet.Maktabah Tauqifiyyah. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr.Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Cet. Maktabah Imam Adz-Dzahabi. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 292 dan Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 349. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 351. [3] Lihat perbedaan pendapat tersebut di kitab Shahih Fiqih Sunnah, 5: 292-295. [4] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 296 dan Majmu’ Fatawa, 30: 208.


Daftar Isi Toggle Jasa yang sifatnya muta’addi [1]Keadaan pertama: Harta dijadikan sebagai upah untuk jasa ibadah muta’addiKeadaan kedua: Harta yang dikeluarkan adalah upah dari baitul malKeadaan ketiga: Upah yang diberikan berupa sayembaraKeadaan keempat: Jika harta yang diberikan dalam rangka upah bukan sebagai syaratJasa yang sifatnya tidak ada kaitan langsung dengan ibadah Masih melanjutkan tentang persoalan sewa menyewa jasa untuk hal ketaatan atau ibadah. Telah disebutkan bahwasanya sewa menyewa jasa untuk hal ketaatan terbagi menjadi tiga: Pertama, jasa yang sifatnya khusus untuk ibadah mahdah. Dan telah berlalu pembahasan poin pertama ini. Kedua, jasa yang bentuknya muta’addi, yakni ibadah yang sifatnya sosial atau fardu kifayah. Ketiga, jasa yang sifatnya tidak ada kaitan dengan amal ibadah. Pada tulisan kali ini, pembahasan akan mengerucut pada poin kedua dan ketiga. Jasa yang sifatnya muta’addi [1] Maksudnya adalah sewa menyewa jasa secara khusus yang sifat ibadahnya adalah fardu kifayah atau dapat diwakilkan dan digantikan dengan orang lain. Seperti seseorang menyewa orang untuk mengumandangkan azan, menjadi imam, mengajarkan Al-Qur’an, mengajarkan hadis, dan lain sebagainya. Pada permasalahan ini terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama tentang hukum menerima upah dari sewa menyewa jasa yang sifatnya ibadah muta’addi atau fardu kifayah. Untuk mempermudah dalam memahami perbedaan ini, berikut adalah keadaaan-keadaan jasa yang sifatnya ibadah muta’addi. Keadaan pertama: Harta dijadikan sebagai upah untuk jasa ibadah muta’addi Pada keadaan pertama ini, seseorang menjadikan uang atau harga sebagai “alat tukar” dalam suatu ibadah. Dengan disyaratkan di awal akad, seperti suatu ungkapan, “Jika anda ingin saya azan di masjid anda, maka berikan saya uang sebesar sekian-sekian, saya akan datang untuk azan di sana.” Istilah lainnya adalah menentukan tarif di awal sebagai upah dan syarat di awal. Hal ini tidak diperbolehkan. Karena ia menjadikan suatu ibadah sebagai alat tukar sehingga tidak lagi menjadi wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan bahwa amalan itu tergantung dengan niatnya, dan Allah tidak menerima amalan, kecuali yang dilakukan ikhlas karena-Nya. Keadaan kedua: Harta yang dikeluarkan adalah upah dari baitul mal Dahulu, di negeri-negeri kaum muslimin terdapat baitul mal (tempat untuk menyimpan harta negara). Harta yang diambil dari jizyah (upeti), infak, sedekah, ghanimah (harta rampasan perang), dan lain sebagainya. Artinya, baitul mal adalah milik negara dan bukan milik perseorangan, sehingga tentunya maslahat yang diperoleh harus kembali kepada kaum muslimin. Sehingga, dari sini para ulama membolehkan jika upah dalam jasa yang sifatnya ibadah muta’addi untuk diambilkan dari baitul mal. Syekh Islam rahimahullah berkata, وَالفُقَهَاءُ مُتَّفِقُونَ عَلَى الفَرْقِ بَيْنَ الاستِئْجَارِ عَلَى القُرُبِ وَبَيْنَ رَزْقِ أَهْلِهَا، فَرَزْقُ المقاتِلَةِ وَالقُضَاةِ وَالمُؤَذِّنِينَ وَالأَئِمَّةِ جَائِزٌ بِلا نِزَاعٍ، وَأَمَّا الاستِئْجَارُ فَلَا يَجُوزُ عِندَ أَكْثَرِهِمْ “Para fuqaha (ulama) sepakat mengenai perbedaan antara menyewa untuk mendekatkan diri kepada Allah (isti’jar) dan rezeki (upah) bagi orang-orang yang berhak. Rezeki bagi para pejuang, hakim, muazin, dan imam adalah dibolehkan tanpa perselisihan, sementara menyewa mereka untuk tugas atau ibadah tertentu tidak diperbolehkan menurut sebagian besar ulama.” [2] Keadaan ketiga: Upah yang diberikan berupa sayembara Jika upah yang diberikan berupa sayembara, maka hukumnya boleh untuk diambil. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radiyallahu ‘anhu, أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرُّوا بِمَاءٍ فِيهِمْ لَدِيغٌ أَوْ سَلِيمٌ، فَعَرَضَ لَهُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْمَاءِ فَقَالَ : هَلْ فِيكُمْ مِنْ رَاقٍ إِنَّ فِي الْمَاءِ رَجُلًا لَدِيغًا أَوْ سَلِيمًا، فَانْطَلَقَ رَجُلٌ مِنْهُمْ، فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ عَلَى شَاءٍ فَبَرَأَ، فَجَاءَ بِالشَّاءِ إِلَى أَصْحَابِهِ، فَكَرِهُوا ذَلِكَ وَقَالُوا : أَخَذْتَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا، حَتَّى قَدِمُوا الْمَدِينَةَ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخَذَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati sumber mata air di mana terdapat orang yang tersengat binatang berbisa, lalu salah seorang yang bertempat tinggal di sumber mata air tersebut datang dan berkata, ‘Adakah di antara kalian seseorang yang pandai meruqyah? Karena di tempat tinggal dekat sumber mata air ada seseorang yang tersengat binatang berbisa.’ Lalu, salah seorang sahabat Nabi pergi ke tempat tersebut dan membacakan Al-Fatihah dengan upah seekor kambing. Ternyata orang yang tersengat tadi sembuh, maka sahabat tersebut membawa kambing itu kepada teman-temannya. Namun, teman-temannya tidak suka dengan hal itu, mereka berkata, ‘Kamu mengambil upah atas Kitabullah?’ Setelah mereka tiba di Madinah, mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, ia ini mengambil upah atas Kitabullah.’ Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah upah karena (mengajarkan) Kitabullah.'”(HR. Bukhari) Dalam hal ini, bentuknya adalah sayembara, dan sayembara lebih umum halnya dibandingkan dengan ijarah (sewa menyewa). Oleh karena itu, diperbolehkan terdapat ketidakjelasan pekerjaan dan waktu kerja pada sayembara. Sehingga dalam bentuk seperti ini, boleh untuk mengambil upah padanya. Keadaan keempat: Jika harta yang diberikan dalam rangka upah bukan sebagai syarat Artinya, harta tersebut bukanlah dalam rangka pemberian upah sebagai syarat di awal akad sebelum dilaksanakannya ibadah tersebut. Seperti memberikan orang yang mengajarkan Al-Qur’an berupa harta untuknya, tanpa pengajarnya mensyaratkan di awal. Hal ini diperbolehkan, sebagaimana contoh berikut, فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِينِي الْعَطَاءَ فَأَقُولُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي حَتَّى أَعْطَانِي مَرَّةً مَالًا فَقُلْتُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذْهُ فَتَمَوَّلْهُ وَتَصَدَّقْ بِهِ فَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ وَإِلَّا فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ “Rasulullah ﷺ biasa memberi saya pemberian. Lalu, saya berkata, ‘Berikanlah kepada orang yang lebih membutuhkan dariku.’ Sampai pada suatu ketika, beliau memberi saya uang, lalu saya berkata, ‘Berikanlah kepada orang yang lebih membutuhkan dariku.’ Maka, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Ambillah, lalu gunakanlah untuk kepentinganmu dan bersedekahlah dengannya. Apa pun yang datang kepadamu dari harta ini, jika engkau tidak dalam keadaan sombong atau meminta-minta, maka ambillah. Jika tidak, maka jangan biarkan harta itu mengikuti hatimu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Mengingat pada keadaan keempat ini bentuknya adalah seperti hadiah atau pemberian yang murni. Maka, boleh untuk diambil hadiah tersebut. Pada keadaan-keadaan ini, para ulama rahimahumullah berselisih antara boleh atau tidaknya mengambil upah dari suatu ibadah yang muta’addi. Mazhab Hanafi dan Hanbali lebih condong berpendapat akan ketidakbolehannya. Adapun Mazhab Malik dan Syafi’i lebih condong akan membolehkannya. Masing-masing dari mazhab tersebut memiliki dalil sebagai sandaran kuat atas pendapat mereka. [3] Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menengahkan akan kedua pendapat tersebut. Beliau mengatakan, “Hendaknya dibedakan (perihal menerima upah dari ibadah muta’addi) antara orang yang membutuhkan dan tidak. Sebagai bentuk penggabungan antara dalil-dalil yang ada. Pendapat yang melarang untuk mengambilnya diartikan dengan jika tidak ada kebutuhan dan cukup. Sedangkan pendapat yang membolehkan diartikan jika memang membutuhkan dan tidak memiliki kecukupan. Seseorang yang butuh jika memang butuh untuk mengambil, maka ia tetap harus meniatkan amalnya tersebut karena Allah, untuk menolongnya dalam rangka ibadah kepada Allah. Karena menafkahi keluarga juga hukumnya wajib, sehingga ia bisa menunaikan kewajiban dengan menerima upah tersebut. Berbeda halnya jika memang sudah cukup dan kaya. Ia tidak butuh lagi tentunya dengan upah tersebut. Bisa dikatakan tidak ada keperluan yang mendesak untuk mengerjakan amalan selain ia kerjakan hanya untuk Allah. Bahkan, jika Allah telah mencukupkannya, dialah orang yang pertama kali harus melaksanakannya. Jika tidak ada yang melaksanakannya, maka menjadi wajib ‘ain bagi dia untuk melaksanakannya.” [4] Jasa yang sifatnya tidak ada kaitan langsung dengan ibadah Adapun poin ketiga ini, bentuknya adalah seperti suatu jasa yang tidak dikhususkan untuk melakukan ibadah. Di antara contohnya: Pertama: Menyembelih sembelihan pada waktu Iduladha atau yang lainnya. Kedua: Mengajarkan untuk menulis, berhitung, dan lain sebagainya. Jasa yang sifatnya terkadang sebagai bentuk ibadah terkadang tidak. Contoh yang lain seperti menanam pohon, membangun rumah, dan lain-lain. Hal ini diperbolehkan untuk mengambil atau memberikan upah pada pekerjaannya. Ketiga: Memberikan upah kepada orang-orang yang membangun masjid, membersihkan, dan merapikannya. Hal-hal ini diperbolehkan karena tidak ada kaitan langsung dengan ibadah seseorang. Wallahu A’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 9  *** Depok, 11 Sya’ban 1446/ 9 Februari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Cet.Maktabah Tauqifiyyah. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr.Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Cet. Maktabah Imam Adz-Dzahabi. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 292 dan Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 349. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 351. [3] Lihat perbedaan pendapat tersebut di kitab Shahih Fiqih Sunnah, 5: 292-295. [4] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 296 dan Majmu’ Fatawa, 30: 208.

Bunuh Diri dalam Paradigma Islam (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Dalil terkaitHukum bunuh diriDalil pertamaDalil keduaDalil ketigaDalil keempatDalil kelima Dinamika kehidupan saat ini tidak bisa dipungkiri memang sarat akan tekanan dan polemik dalam banyak hal, mulai dari asmara, pendidikan, hubungan sosial, ekonomi, dan sebagainya. Perbincangan soal fenomena bunuh diri pun makin marak dan menjadi tren stres, bahkan tak jarang memenuhi judul-judul berita yang dibawakan oleh banyak media mainstream. Mirisnya adalah bahwa fenomena bunuh diri ini terjadi di tengah-tengah kalangan umat muslimin, tentu hal ini sangat bertentangan dengan ajaran yang dibawakan Islam. Lantas, bagaimana Islam memandang dan menyikapi bunuh diri? Dalil terkait Perlu kita ketahui bahwa dalam Al-Qur’an dan As-Sunah, ada banyak dalil terkait bunuh diri, yang mengindikasikan bahwa perkara bunuh diri bukanlah suatu hal yang baru dalam Islam, bahkan sudah ditunjukkan dalam berbagai dalil syar’i. Di antara dalil-dalil itu adalah firman Allah Ta’ala, ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًۭا وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ عُدْوَٰنًۭا وَظُلْمًۭا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًۭا ۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرًا  “… dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan cara melanggar hukum dan zalim, akan Kami masukkan dia ke dalam neraka. Yang demikian itu mudah bagi Allah.” (QS. An-Nisa: 29-30) Dalam sebuah hadis diriwayatkan, أنَّه ﷺ قال لعمرِو بنِ العاصٍ وقد تيمَّم عن الجنابةِ من شدَّةِ البرْدِ، يا عمرُو، صلَّيْتَ بأصحابِك وأنت جُنبٌ؟ فقال عمرٌو: إنِّي سمِعت اللهَ يقولَ: وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ الآيةَ، فضحِك النَّبيُّ ﷺ ولم يُنكِرْ عليه Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Amr bin Ash yang melakukan tayamum junub (alih-alih mandi) karena disebabkan dingin yang ekstrem, “Wahai Amr, apakah kamu salat bersama sahabat-sahabatmu dalam keadaan junub?” Amr menjawab, “Sesungguhnya aku mendengar Allah berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu” (QS. An-Nisa: 29).” Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tertawa dan tidak mengingkari jawabannya. Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, مَن قَتَلَ نَفْسَهُ بحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ في يَدِهِ يَتَوَجَّأُ بها في بَطْنِهِ في نارِ جَهَنَّمَ خالِدًا مُخَلَّدًا فيها أبَدًا، ومَن شَرِبَ سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهو يَتَحَسّاهُ في نارِ جَهَنَّمَ خالِدًا مُخَلَّدًا فيها أبَدًا، ومَن تَرَدّى مِن جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهو يَتَرَدّى في نارِ جَهَنَّمَ خالِدًا مُخَلَّدًا فيها أبَدًا. “Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan sebuah pisau yang tajam, maka kelak pisau tajam itu akan berada di tangannya, dan ia akan menusukkannya ke dalam perutnya di neraka Jahanam selamanya. Dan barangsiapa yang meminum racun hingga membunuhnya, maka kelak ia akan menenggak racun itu di dalam neraka Jahanam selamanya. Dan barangsiapa yang terjun dari atas gunung hingga membunuhnya, maka kelak ia akan menerjunkan dirinya ke dalam neraka Jahanam dan selamanya berada di sana.” (HR. Muslim no. 109 dan Bukhari no. 5778) Dan masih banyak lagi dalil terkait bunuh diri, setidaknya dalil-dalil di atas sudah cukup memberi perspektif pada kita bahwa Islam menaruh perhatian pada perkara bunuh diri dan tidak menutup mata akan hal tersebut. Hukum bunuh diri Bunuh diri yang mempunyai dalil-dalil syar’i terkait, berarti juga ia memiliki hukum. Lantas apa hukumnya bunuh diri dalam Islam? Para ulama telah berijmak (bersepakat) bahwa bunuh diri adalah haram, dengan berlandaskan beberapa dalil serta segi pendalilan dan poin argumentasi berikut ini: Dalil pertama Sebagaimana ayat yang sudah dibawakan di awal, yaitu pada Surah An-Nisa: 29, firman Allah Ta’ala, وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ “Dan janganlah kamu membunuh dirimu …” Terdapat beberapa penafsiran oleh ulama terkait membunuh diri sendiri pada ayat ini, di antaranya adalah: 1) Bunuh diri sebagaimana yang kita pahami, yaitu seseorang membunuh dirinya sendiri dan ini hukumnya haram. Hal ini karena kalimat larangan pada dalil syar’i, sebagaimana pada kaidah usul fikih, pada dasarnya mengimplikasikan keharaman. Inilah poin pendalilan yang kita garisbawahi dalam konteks pembahasan ini. Namun, untuk dapat memahami maksud ayat lebih mendalam, kita sebutkan juga beberapa pandangan lain dalam penafsiran makna “membunuh diri” dalam ayat ini. 2) Ada pula yang mengartikannya sebagai larangan untuk membunuh sesama manusia, terlebih lagi jika satu agama, sesama muslim. Di antara yang mengatakan seperti ini adalah ‘Atha bin Rabbah. 3) Abu Ubaidah berpendapat bahwa termasuk ke dalam kategori ini yaitu “membawa diri kepada kebinasaan”. Misalnya, ketika seseorang membebani dirinya dengan suatu amalan yang pada kondisi normal tidak masalah, tetapi dalam suatu kondisi justru bisa menimbulkan kemudaratan, bahkan sampai kematian. Ini sebagaimana yang dilakukan sahabat ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu, jikalau ia mandi junub dengan air pada saat itu dengan cuaca dingin yang ekstrem, hal itu justru dapat membunuhnya. Dan ini dibenarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga dapat dijadikan dalil. 4) Selain itu, membunuh diri sendiri dapat berarti melakukan dosa-dosa dan perbuatan yang diharamkan oleh Allah. Karena adanya maksiat dan dosa akan berakibat pada sakitnya hati, bahkan sampai hati menjadi mati, dan orang yang hatinya sudah mati ibarat tidak ada bedanya dengan orang mati. Dalil kedua Allah Ta’ala juga berfirman dalam ayat yang lain, وَلَا تَقْتُلُوا۟ ٱلنَّفْسَ ٱلَّتِى حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلْحَقِّ ۗ “Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar.” (QS. Al-Isra: 33) وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ ۛ “… dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri …” (QS. Al-Baqarah: 195) Dalam kedua ayat ini, secara tegas terdapat larangan bunuh diri yang di-nash-kan dalam lafaz umum. Nafs (jiwa) itu dilarang dibunuh, baik itu orang lain maupun diri sendiri, kecuali dengan kondisi dan alasan yang dibenarkan oleh syariat. Adapun tahlukah (kebinasaan), yang termasuk ke dalam “kebinasaan” adalah kematian. Kita dilarang mengantarkan diri kita sendiri ke dalam kematian, yang merupakan kebinasaan, sebagaimana yang didalilkan dalam ayat. Baca juga: Jangan Bunuh Diri: Sebuah Panggilan untuk Menemukan Kembali Harapan dalam Islam Dalil ketiga Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الَّذِي يَخْنُقُ نَفْسَهُ يَخْنُقُها في النّارِ، والذي يَطْعُنُها يَطْعُنُها في النّارِ “Barangsiapa yang mencekik dirinya (sampai mati), niscaya ia akan terus mencekiknya di neraka. Dan barangsiapa yang menikam dirinya, ia juga kelak akan terus menikam dirinya seperti itu di neraka.” (HR. Bukhari no. 1365 dan Muslim no. 109) Hadis ini, juga hadis dalam versi yang lebih panjang yang telah dibawakan di awal, menyebutkan beberapa contoh variasi upaya bunuh diri seperti mencekik, menikam, menenggak racun, dan terjun bebas. Hampir setiap orang yang bunuh diri melakukannya dengan salah satu cara itu, sebut saja gantung diri, maka ia termasuk ke dalam kategori mencekik. Ancaman dengan neraka saja sudah menunjukkan keharaman suatu perbuatan, belum lagi ancaman yang diperjelas. Dalam kasus ini adalah suatu lingkaran penderitaan yang terus berulang, ketika orang yang bunuh diri akan terus mendapat siksaan dengan bagaimana ia membunuh dirinya. Apakah bunuh diri dengan selain upaya yang disebutkan dalam hadis berarti diperbolehkan? Tentu saja tidak, karena hadis lain juga menyebutkan ancaman bunuh diri dalam narasi yang lebih umum, yaitu: Dalil keempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan sahabat Tsabit bin Ad-Dhahhak radhiyallahu ‘anhu, من قتل نفسه بشَيْءٍ عُذْبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, maka dengan itu pula ia akan diazab pada hari kiamat kelak.” (HR. Bukhari no. 6047 dan Muslim no. 110) Lihatlah, Islam benar-benar serius mengecam perilaku bunuh diri, sampai-sampai selain diharamkan, pelakunya juga akan terjebak dalam siksaan di akhirat karena ulahnya sendiri ketika di dunia. Ini sebagai refleksi atas realitas bahwa suatu tindakan itu akan menentukan nasib, baik ketika di dunia maupun di akhirat. Dalil kelima Dalam hadis yang lain, yang diriwayatkan oleh sahabat Jundub bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, كانَ برَجُلٍ جِراحٌ، فَقَتَلَ نَفْسَهُ، فقالَ اللَّهُ: بَدَرَنِي عَبْدِي بنَفْسِهِ حَرَّمْتُ عليه الجَنَّةَ “Tersebutlah ada seorang lelaki yang terluka, ia lalu membunuh dirinya. Maka Allah pun berfirman, ‘Hamba-Ku telah terburu-buru (mendahului ketetapan-Ku), maka Aku pun mengharamkan surga baginya’.” (HR. Bukhari no. 1364, Ahmad no. 18800, Ar-Ruyani dalam “Musnad”-nya no. 961, dan Al-Baihaqi no. 5977) Dengan adanya hadis ini, bulat sudah keharaman bunuh diri, selain diancam neraka dan siksaannya, juga diancam dengan diharamkannya dari surga. Tentu ini semua bukan ancaman yang main-main. Bunuh diri bukanlah suatu perkara ringan dalam agama Islam, karena termasuk mendahului ketetapan Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis yang terakhir. Semua ayat dan hadis ini merujuk kepada haramnya bunuh diri dalam Islam. Disebutkannya dalil-dalil ini tidak berarti tidak ada dalil lain lagi terkait bunuh diri, bahkan banyak. Akan tetapi, yang disebutkan di atas semuanya dirasa cukup dan mewakili untuk memperjelas keharaman dan betapa seriusnya Islam mengecam pelaku bunuh diri. Maka dengan mengetahui hukum bunuh diri yang tentunya didasarkan oleh berbagai dalil syar’i, sebagai bentuk ber-Islam secara kaffah, perilaku kita adalah menjauhinya, tidak membenarkannya, dan untuk jangan sekali-sekali berpikir untuk melakukannya. Hal ini karena bunuh diri sejatinya tidak membebaskan kita dari penderitaan, sama sekali tidak, justru malah membuat kita berputar-putar terus dalam lingkaran setan upaya bunuh diri dan tempatnya di neraka. Semoga Allah melindungi kita seluruh umat muslimin, terkhusus generasi yang sedang menelan asam-pahit kehidupan, dengan menjauhkan dari perilaku rendahan bunuh diri dan segala yang menghantarkan kepada hal itu. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel Muslim.or.id

Bunuh Diri dalam Paradigma Islam (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Dalil terkaitHukum bunuh diriDalil pertamaDalil keduaDalil ketigaDalil keempatDalil kelima Dinamika kehidupan saat ini tidak bisa dipungkiri memang sarat akan tekanan dan polemik dalam banyak hal, mulai dari asmara, pendidikan, hubungan sosial, ekonomi, dan sebagainya. Perbincangan soal fenomena bunuh diri pun makin marak dan menjadi tren stres, bahkan tak jarang memenuhi judul-judul berita yang dibawakan oleh banyak media mainstream. Mirisnya adalah bahwa fenomena bunuh diri ini terjadi di tengah-tengah kalangan umat muslimin, tentu hal ini sangat bertentangan dengan ajaran yang dibawakan Islam. Lantas, bagaimana Islam memandang dan menyikapi bunuh diri? Dalil terkait Perlu kita ketahui bahwa dalam Al-Qur’an dan As-Sunah, ada banyak dalil terkait bunuh diri, yang mengindikasikan bahwa perkara bunuh diri bukanlah suatu hal yang baru dalam Islam, bahkan sudah ditunjukkan dalam berbagai dalil syar’i. Di antara dalil-dalil itu adalah firman Allah Ta’ala, ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًۭا وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ عُدْوَٰنًۭا وَظُلْمًۭا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًۭا ۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرًا  “… dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan cara melanggar hukum dan zalim, akan Kami masukkan dia ke dalam neraka. Yang demikian itu mudah bagi Allah.” (QS. An-Nisa: 29-30) Dalam sebuah hadis diriwayatkan, أنَّه ﷺ قال لعمرِو بنِ العاصٍ وقد تيمَّم عن الجنابةِ من شدَّةِ البرْدِ، يا عمرُو، صلَّيْتَ بأصحابِك وأنت جُنبٌ؟ فقال عمرٌو: إنِّي سمِعت اللهَ يقولَ: وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ الآيةَ، فضحِك النَّبيُّ ﷺ ولم يُنكِرْ عليه Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Amr bin Ash yang melakukan tayamum junub (alih-alih mandi) karena disebabkan dingin yang ekstrem, “Wahai Amr, apakah kamu salat bersama sahabat-sahabatmu dalam keadaan junub?” Amr menjawab, “Sesungguhnya aku mendengar Allah berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu” (QS. An-Nisa: 29).” Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tertawa dan tidak mengingkari jawabannya. Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, مَن قَتَلَ نَفْسَهُ بحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ في يَدِهِ يَتَوَجَّأُ بها في بَطْنِهِ في نارِ جَهَنَّمَ خالِدًا مُخَلَّدًا فيها أبَدًا، ومَن شَرِبَ سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهو يَتَحَسّاهُ في نارِ جَهَنَّمَ خالِدًا مُخَلَّدًا فيها أبَدًا، ومَن تَرَدّى مِن جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهو يَتَرَدّى في نارِ جَهَنَّمَ خالِدًا مُخَلَّدًا فيها أبَدًا. “Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan sebuah pisau yang tajam, maka kelak pisau tajam itu akan berada di tangannya, dan ia akan menusukkannya ke dalam perutnya di neraka Jahanam selamanya. Dan barangsiapa yang meminum racun hingga membunuhnya, maka kelak ia akan menenggak racun itu di dalam neraka Jahanam selamanya. Dan barangsiapa yang terjun dari atas gunung hingga membunuhnya, maka kelak ia akan menerjunkan dirinya ke dalam neraka Jahanam dan selamanya berada di sana.” (HR. Muslim no. 109 dan Bukhari no. 5778) Dan masih banyak lagi dalil terkait bunuh diri, setidaknya dalil-dalil di atas sudah cukup memberi perspektif pada kita bahwa Islam menaruh perhatian pada perkara bunuh diri dan tidak menutup mata akan hal tersebut. Hukum bunuh diri Bunuh diri yang mempunyai dalil-dalil syar’i terkait, berarti juga ia memiliki hukum. Lantas apa hukumnya bunuh diri dalam Islam? Para ulama telah berijmak (bersepakat) bahwa bunuh diri adalah haram, dengan berlandaskan beberapa dalil serta segi pendalilan dan poin argumentasi berikut ini: Dalil pertama Sebagaimana ayat yang sudah dibawakan di awal, yaitu pada Surah An-Nisa: 29, firman Allah Ta’ala, وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ “Dan janganlah kamu membunuh dirimu …” Terdapat beberapa penafsiran oleh ulama terkait membunuh diri sendiri pada ayat ini, di antaranya adalah: 1) Bunuh diri sebagaimana yang kita pahami, yaitu seseorang membunuh dirinya sendiri dan ini hukumnya haram. Hal ini karena kalimat larangan pada dalil syar’i, sebagaimana pada kaidah usul fikih, pada dasarnya mengimplikasikan keharaman. Inilah poin pendalilan yang kita garisbawahi dalam konteks pembahasan ini. Namun, untuk dapat memahami maksud ayat lebih mendalam, kita sebutkan juga beberapa pandangan lain dalam penafsiran makna “membunuh diri” dalam ayat ini. 2) Ada pula yang mengartikannya sebagai larangan untuk membunuh sesama manusia, terlebih lagi jika satu agama, sesama muslim. Di antara yang mengatakan seperti ini adalah ‘Atha bin Rabbah. 3) Abu Ubaidah berpendapat bahwa termasuk ke dalam kategori ini yaitu “membawa diri kepada kebinasaan”. Misalnya, ketika seseorang membebani dirinya dengan suatu amalan yang pada kondisi normal tidak masalah, tetapi dalam suatu kondisi justru bisa menimbulkan kemudaratan, bahkan sampai kematian. Ini sebagaimana yang dilakukan sahabat ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu, jikalau ia mandi junub dengan air pada saat itu dengan cuaca dingin yang ekstrem, hal itu justru dapat membunuhnya. Dan ini dibenarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga dapat dijadikan dalil. 4) Selain itu, membunuh diri sendiri dapat berarti melakukan dosa-dosa dan perbuatan yang diharamkan oleh Allah. Karena adanya maksiat dan dosa akan berakibat pada sakitnya hati, bahkan sampai hati menjadi mati, dan orang yang hatinya sudah mati ibarat tidak ada bedanya dengan orang mati. Dalil kedua Allah Ta’ala juga berfirman dalam ayat yang lain, وَلَا تَقْتُلُوا۟ ٱلنَّفْسَ ٱلَّتِى حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلْحَقِّ ۗ “Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar.” (QS. Al-Isra: 33) وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ ۛ “… dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri …” (QS. Al-Baqarah: 195) Dalam kedua ayat ini, secara tegas terdapat larangan bunuh diri yang di-nash-kan dalam lafaz umum. Nafs (jiwa) itu dilarang dibunuh, baik itu orang lain maupun diri sendiri, kecuali dengan kondisi dan alasan yang dibenarkan oleh syariat. Adapun tahlukah (kebinasaan), yang termasuk ke dalam “kebinasaan” adalah kematian. Kita dilarang mengantarkan diri kita sendiri ke dalam kematian, yang merupakan kebinasaan, sebagaimana yang didalilkan dalam ayat. Baca juga: Jangan Bunuh Diri: Sebuah Panggilan untuk Menemukan Kembali Harapan dalam Islam Dalil ketiga Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الَّذِي يَخْنُقُ نَفْسَهُ يَخْنُقُها في النّارِ، والذي يَطْعُنُها يَطْعُنُها في النّارِ “Barangsiapa yang mencekik dirinya (sampai mati), niscaya ia akan terus mencekiknya di neraka. Dan barangsiapa yang menikam dirinya, ia juga kelak akan terus menikam dirinya seperti itu di neraka.” (HR. Bukhari no. 1365 dan Muslim no. 109) Hadis ini, juga hadis dalam versi yang lebih panjang yang telah dibawakan di awal, menyebutkan beberapa contoh variasi upaya bunuh diri seperti mencekik, menikam, menenggak racun, dan terjun bebas. Hampir setiap orang yang bunuh diri melakukannya dengan salah satu cara itu, sebut saja gantung diri, maka ia termasuk ke dalam kategori mencekik. Ancaman dengan neraka saja sudah menunjukkan keharaman suatu perbuatan, belum lagi ancaman yang diperjelas. Dalam kasus ini adalah suatu lingkaran penderitaan yang terus berulang, ketika orang yang bunuh diri akan terus mendapat siksaan dengan bagaimana ia membunuh dirinya. Apakah bunuh diri dengan selain upaya yang disebutkan dalam hadis berarti diperbolehkan? Tentu saja tidak, karena hadis lain juga menyebutkan ancaman bunuh diri dalam narasi yang lebih umum, yaitu: Dalil keempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan sahabat Tsabit bin Ad-Dhahhak radhiyallahu ‘anhu, من قتل نفسه بشَيْءٍ عُذْبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, maka dengan itu pula ia akan diazab pada hari kiamat kelak.” (HR. Bukhari no. 6047 dan Muslim no. 110) Lihatlah, Islam benar-benar serius mengecam perilaku bunuh diri, sampai-sampai selain diharamkan, pelakunya juga akan terjebak dalam siksaan di akhirat karena ulahnya sendiri ketika di dunia. Ini sebagai refleksi atas realitas bahwa suatu tindakan itu akan menentukan nasib, baik ketika di dunia maupun di akhirat. Dalil kelima Dalam hadis yang lain, yang diriwayatkan oleh sahabat Jundub bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, كانَ برَجُلٍ جِراحٌ، فَقَتَلَ نَفْسَهُ، فقالَ اللَّهُ: بَدَرَنِي عَبْدِي بنَفْسِهِ حَرَّمْتُ عليه الجَنَّةَ “Tersebutlah ada seorang lelaki yang terluka, ia lalu membunuh dirinya. Maka Allah pun berfirman, ‘Hamba-Ku telah terburu-buru (mendahului ketetapan-Ku), maka Aku pun mengharamkan surga baginya’.” (HR. Bukhari no. 1364, Ahmad no. 18800, Ar-Ruyani dalam “Musnad”-nya no. 961, dan Al-Baihaqi no. 5977) Dengan adanya hadis ini, bulat sudah keharaman bunuh diri, selain diancam neraka dan siksaannya, juga diancam dengan diharamkannya dari surga. Tentu ini semua bukan ancaman yang main-main. Bunuh diri bukanlah suatu perkara ringan dalam agama Islam, karena termasuk mendahului ketetapan Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis yang terakhir. Semua ayat dan hadis ini merujuk kepada haramnya bunuh diri dalam Islam. Disebutkannya dalil-dalil ini tidak berarti tidak ada dalil lain lagi terkait bunuh diri, bahkan banyak. Akan tetapi, yang disebutkan di atas semuanya dirasa cukup dan mewakili untuk memperjelas keharaman dan betapa seriusnya Islam mengecam pelaku bunuh diri. Maka dengan mengetahui hukum bunuh diri yang tentunya didasarkan oleh berbagai dalil syar’i, sebagai bentuk ber-Islam secara kaffah, perilaku kita adalah menjauhinya, tidak membenarkannya, dan untuk jangan sekali-sekali berpikir untuk melakukannya. Hal ini karena bunuh diri sejatinya tidak membebaskan kita dari penderitaan, sama sekali tidak, justru malah membuat kita berputar-putar terus dalam lingkaran setan upaya bunuh diri dan tempatnya di neraka. Semoga Allah melindungi kita seluruh umat muslimin, terkhusus generasi yang sedang menelan asam-pahit kehidupan, dengan menjauhkan dari perilaku rendahan bunuh diri dan segala yang menghantarkan kepada hal itu. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Dalil terkaitHukum bunuh diriDalil pertamaDalil keduaDalil ketigaDalil keempatDalil kelima Dinamika kehidupan saat ini tidak bisa dipungkiri memang sarat akan tekanan dan polemik dalam banyak hal, mulai dari asmara, pendidikan, hubungan sosial, ekonomi, dan sebagainya. Perbincangan soal fenomena bunuh diri pun makin marak dan menjadi tren stres, bahkan tak jarang memenuhi judul-judul berita yang dibawakan oleh banyak media mainstream. Mirisnya adalah bahwa fenomena bunuh diri ini terjadi di tengah-tengah kalangan umat muslimin, tentu hal ini sangat bertentangan dengan ajaran yang dibawakan Islam. Lantas, bagaimana Islam memandang dan menyikapi bunuh diri? Dalil terkait Perlu kita ketahui bahwa dalam Al-Qur’an dan As-Sunah, ada banyak dalil terkait bunuh diri, yang mengindikasikan bahwa perkara bunuh diri bukanlah suatu hal yang baru dalam Islam, bahkan sudah ditunjukkan dalam berbagai dalil syar’i. Di antara dalil-dalil itu adalah firman Allah Ta’ala, ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًۭا وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ عُدْوَٰنًۭا وَظُلْمًۭا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًۭا ۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرًا  “… dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan cara melanggar hukum dan zalim, akan Kami masukkan dia ke dalam neraka. Yang demikian itu mudah bagi Allah.” (QS. An-Nisa: 29-30) Dalam sebuah hadis diriwayatkan, أنَّه ﷺ قال لعمرِو بنِ العاصٍ وقد تيمَّم عن الجنابةِ من شدَّةِ البرْدِ، يا عمرُو، صلَّيْتَ بأصحابِك وأنت جُنبٌ؟ فقال عمرٌو: إنِّي سمِعت اللهَ يقولَ: وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ الآيةَ، فضحِك النَّبيُّ ﷺ ولم يُنكِرْ عليه Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Amr bin Ash yang melakukan tayamum junub (alih-alih mandi) karena disebabkan dingin yang ekstrem, “Wahai Amr, apakah kamu salat bersama sahabat-sahabatmu dalam keadaan junub?” Amr menjawab, “Sesungguhnya aku mendengar Allah berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu” (QS. An-Nisa: 29).” Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tertawa dan tidak mengingkari jawabannya. Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, مَن قَتَلَ نَفْسَهُ بحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ في يَدِهِ يَتَوَجَّأُ بها في بَطْنِهِ في نارِ جَهَنَّمَ خالِدًا مُخَلَّدًا فيها أبَدًا، ومَن شَرِبَ سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهو يَتَحَسّاهُ في نارِ جَهَنَّمَ خالِدًا مُخَلَّدًا فيها أبَدًا، ومَن تَرَدّى مِن جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهو يَتَرَدّى في نارِ جَهَنَّمَ خالِدًا مُخَلَّدًا فيها أبَدًا. “Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan sebuah pisau yang tajam, maka kelak pisau tajam itu akan berada di tangannya, dan ia akan menusukkannya ke dalam perutnya di neraka Jahanam selamanya. Dan barangsiapa yang meminum racun hingga membunuhnya, maka kelak ia akan menenggak racun itu di dalam neraka Jahanam selamanya. Dan barangsiapa yang terjun dari atas gunung hingga membunuhnya, maka kelak ia akan menerjunkan dirinya ke dalam neraka Jahanam dan selamanya berada di sana.” (HR. Muslim no. 109 dan Bukhari no. 5778) Dan masih banyak lagi dalil terkait bunuh diri, setidaknya dalil-dalil di atas sudah cukup memberi perspektif pada kita bahwa Islam menaruh perhatian pada perkara bunuh diri dan tidak menutup mata akan hal tersebut. Hukum bunuh diri Bunuh diri yang mempunyai dalil-dalil syar’i terkait, berarti juga ia memiliki hukum. Lantas apa hukumnya bunuh diri dalam Islam? Para ulama telah berijmak (bersepakat) bahwa bunuh diri adalah haram, dengan berlandaskan beberapa dalil serta segi pendalilan dan poin argumentasi berikut ini: Dalil pertama Sebagaimana ayat yang sudah dibawakan di awal, yaitu pada Surah An-Nisa: 29, firman Allah Ta’ala, وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ “Dan janganlah kamu membunuh dirimu …” Terdapat beberapa penafsiran oleh ulama terkait membunuh diri sendiri pada ayat ini, di antaranya adalah: 1) Bunuh diri sebagaimana yang kita pahami, yaitu seseorang membunuh dirinya sendiri dan ini hukumnya haram. Hal ini karena kalimat larangan pada dalil syar’i, sebagaimana pada kaidah usul fikih, pada dasarnya mengimplikasikan keharaman. Inilah poin pendalilan yang kita garisbawahi dalam konteks pembahasan ini. Namun, untuk dapat memahami maksud ayat lebih mendalam, kita sebutkan juga beberapa pandangan lain dalam penafsiran makna “membunuh diri” dalam ayat ini. 2) Ada pula yang mengartikannya sebagai larangan untuk membunuh sesama manusia, terlebih lagi jika satu agama, sesama muslim. Di antara yang mengatakan seperti ini adalah ‘Atha bin Rabbah. 3) Abu Ubaidah berpendapat bahwa termasuk ke dalam kategori ini yaitu “membawa diri kepada kebinasaan”. Misalnya, ketika seseorang membebani dirinya dengan suatu amalan yang pada kondisi normal tidak masalah, tetapi dalam suatu kondisi justru bisa menimbulkan kemudaratan, bahkan sampai kematian. Ini sebagaimana yang dilakukan sahabat ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu, jikalau ia mandi junub dengan air pada saat itu dengan cuaca dingin yang ekstrem, hal itu justru dapat membunuhnya. Dan ini dibenarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga dapat dijadikan dalil. 4) Selain itu, membunuh diri sendiri dapat berarti melakukan dosa-dosa dan perbuatan yang diharamkan oleh Allah. Karena adanya maksiat dan dosa akan berakibat pada sakitnya hati, bahkan sampai hati menjadi mati, dan orang yang hatinya sudah mati ibarat tidak ada bedanya dengan orang mati. Dalil kedua Allah Ta’ala juga berfirman dalam ayat yang lain, وَلَا تَقْتُلُوا۟ ٱلنَّفْسَ ٱلَّتِى حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلْحَقِّ ۗ “Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar.” (QS. Al-Isra: 33) وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ ۛ “… dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri …” (QS. Al-Baqarah: 195) Dalam kedua ayat ini, secara tegas terdapat larangan bunuh diri yang di-nash-kan dalam lafaz umum. Nafs (jiwa) itu dilarang dibunuh, baik itu orang lain maupun diri sendiri, kecuali dengan kondisi dan alasan yang dibenarkan oleh syariat. Adapun tahlukah (kebinasaan), yang termasuk ke dalam “kebinasaan” adalah kematian. Kita dilarang mengantarkan diri kita sendiri ke dalam kematian, yang merupakan kebinasaan, sebagaimana yang didalilkan dalam ayat. Baca juga: Jangan Bunuh Diri: Sebuah Panggilan untuk Menemukan Kembali Harapan dalam Islam Dalil ketiga Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الَّذِي يَخْنُقُ نَفْسَهُ يَخْنُقُها في النّارِ، والذي يَطْعُنُها يَطْعُنُها في النّارِ “Barangsiapa yang mencekik dirinya (sampai mati), niscaya ia akan terus mencekiknya di neraka. Dan barangsiapa yang menikam dirinya, ia juga kelak akan terus menikam dirinya seperti itu di neraka.” (HR. Bukhari no. 1365 dan Muslim no. 109) Hadis ini, juga hadis dalam versi yang lebih panjang yang telah dibawakan di awal, menyebutkan beberapa contoh variasi upaya bunuh diri seperti mencekik, menikam, menenggak racun, dan terjun bebas. Hampir setiap orang yang bunuh diri melakukannya dengan salah satu cara itu, sebut saja gantung diri, maka ia termasuk ke dalam kategori mencekik. Ancaman dengan neraka saja sudah menunjukkan keharaman suatu perbuatan, belum lagi ancaman yang diperjelas. Dalam kasus ini adalah suatu lingkaran penderitaan yang terus berulang, ketika orang yang bunuh diri akan terus mendapat siksaan dengan bagaimana ia membunuh dirinya. Apakah bunuh diri dengan selain upaya yang disebutkan dalam hadis berarti diperbolehkan? Tentu saja tidak, karena hadis lain juga menyebutkan ancaman bunuh diri dalam narasi yang lebih umum, yaitu: Dalil keempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan sahabat Tsabit bin Ad-Dhahhak radhiyallahu ‘anhu, من قتل نفسه بشَيْءٍ عُذْبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, maka dengan itu pula ia akan diazab pada hari kiamat kelak.” (HR. Bukhari no. 6047 dan Muslim no. 110) Lihatlah, Islam benar-benar serius mengecam perilaku bunuh diri, sampai-sampai selain diharamkan, pelakunya juga akan terjebak dalam siksaan di akhirat karena ulahnya sendiri ketika di dunia. Ini sebagai refleksi atas realitas bahwa suatu tindakan itu akan menentukan nasib, baik ketika di dunia maupun di akhirat. Dalil kelima Dalam hadis yang lain, yang diriwayatkan oleh sahabat Jundub bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, كانَ برَجُلٍ جِراحٌ، فَقَتَلَ نَفْسَهُ، فقالَ اللَّهُ: بَدَرَنِي عَبْدِي بنَفْسِهِ حَرَّمْتُ عليه الجَنَّةَ “Tersebutlah ada seorang lelaki yang terluka, ia lalu membunuh dirinya. Maka Allah pun berfirman, ‘Hamba-Ku telah terburu-buru (mendahului ketetapan-Ku), maka Aku pun mengharamkan surga baginya’.” (HR. Bukhari no. 1364, Ahmad no. 18800, Ar-Ruyani dalam “Musnad”-nya no. 961, dan Al-Baihaqi no. 5977) Dengan adanya hadis ini, bulat sudah keharaman bunuh diri, selain diancam neraka dan siksaannya, juga diancam dengan diharamkannya dari surga. Tentu ini semua bukan ancaman yang main-main. Bunuh diri bukanlah suatu perkara ringan dalam agama Islam, karena termasuk mendahului ketetapan Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis yang terakhir. Semua ayat dan hadis ini merujuk kepada haramnya bunuh diri dalam Islam. Disebutkannya dalil-dalil ini tidak berarti tidak ada dalil lain lagi terkait bunuh diri, bahkan banyak. Akan tetapi, yang disebutkan di atas semuanya dirasa cukup dan mewakili untuk memperjelas keharaman dan betapa seriusnya Islam mengecam pelaku bunuh diri. Maka dengan mengetahui hukum bunuh diri yang tentunya didasarkan oleh berbagai dalil syar’i, sebagai bentuk ber-Islam secara kaffah, perilaku kita adalah menjauhinya, tidak membenarkannya, dan untuk jangan sekali-sekali berpikir untuk melakukannya. Hal ini karena bunuh diri sejatinya tidak membebaskan kita dari penderitaan, sama sekali tidak, justru malah membuat kita berputar-putar terus dalam lingkaran setan upaya bunuh diri dan tempatnya di neraka. Semoga Allah melindungi kita seluruh umat muslimin, terkhusus generasi yang sedang menelan asam-pahit kehidupan, dengan menjauhkan dari perilaku rendahan bunuh diri dan segala yang menghantarkan kepada hal itu. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Dalil terkaitHukum bunuh diriDalil pertamaDalil keduaDalil ketigaDalil keempatDalil kelima Dinamika kehidupan saat ini tidak bisa dipungkiri memang sarat akan tekanan dan polemik dalam banyak hal, mulai dari asmara, pendidikan, hubungan sosial, ekonomi, dan sebagainya. Perbincangan soal fenomena bunuh diri pun makin marak dan menjadi tren stres, bahkan tak jarang memenuhi judul-judul berita yang dibawakan oleh banyak media mainstream. Mirisnya adalah bahwa fenomena bunuh diri ini terjadi di tengah-tengah kalangan umat muslimin, tentu hal ini sangat bertentangan dengan ajaran yang dibawakan Islam. Lantas, bagaimana Islam memandang dan menyikapi bunuh diri? Dalil terkait Perlu kita ketahui bahwa dalam Al-Qur’an dan As-Sunah, ada banyak dalil terkait bunuh diri, yang mengindikasikan bahwa perkara bunuh diri bukanlah suatu hal yang baru dalam Islam, bahkan sudah ditunjukkan dalam berbagai dalil syar’i. Di antara dalil-dalil itu adalah firman Allah Ta’ala, ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًۭا وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ عُدْوَٰنًۭا وَظُلْمًۭا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًۭا ۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرًا  “… dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan cara melanggar hukum dan zalim, akan Kami masukkan dia ke dalam neraka. Yang demikian itu mudah bagi Allah.” (QS. An-Nisa: 29-30) Dalam sebuah hadis diriwayatkan, أنَّه ﷺ قال لعمرِو بنِ العاصٍ وقد تيمَّم عن الجنابةِ من شدَّةِ البرْدِ، يا عمرُو، صلَّيْتَ بأصحابِك وأنت جُنبٌ؟ فقال عمرٌو: إنِّي سمِعت اللهَ يقولَ: وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ الآيةَ، فضحِك النَّبيُّ ﷺ ولم يُنكِرْ عليه Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Amr bin Ash yang melakukan tayamum junub (alih-alih mandi) karena disebabkan dingin yang ekstrem, “Wahai Amr, apakah kamu salat bersama sahabat-sahabatmu dalam keadaan junub?” Amr menjawab, “Sesungguhnya aku mendengar Allah berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu” (QS. An-Nisa: 29).” Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tertawa dan tidak mengingkari jawabannya. Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, مَن قَتَلَ نَفْسَهُ بحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ في يَدِهِ يَتَوَجَّأُ بها في بَطْنِهِ في نارِ جَهَنَّمَ خالِدًا مُخَلَّدًا فيها أبَدًا، ومَن شَرِبَ سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهو يَتَحَسّاهُ في نارِ جَهَنَّمَ خالِدًا مُخَلَّدًا فيها أبَدًا، ومَن تَرَدّى مِن جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهو يَتَرَدّى في نارِ جَهَنَّمَ خالِدًا مُخَلَّدًا فيها أبَدًا. “Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan sebuah pisau yang tajam, maka kelak pisau tajam itu akan berada di tangannya, dan ia akan menusukkannya ke dalam perutnya di neraka Jahanam selamanya. Dan barangsiapa yang meminum racun hingga membunuhnya, maka kelak ia akan menenggak racun itu di dalam neraka Jahanam selamanya. Dan barangsiapa yang terjun dari atas gunung hingga membunuhnya, maka kelak ia akan menerjunkan dirinya ke dalam neraka Jahanam dan selamanya berada di sana.” (HR. Muslim no. 109 dan Bukhari no. 5778) Dan masih banyak lagi dalil terkait bunuh diri, setidaknya dalil-dalil di atas sudah cukup memberi perspektif pada kita bahwa Islam menaruh perhatian pada perkara bunuh diri dan tidak menutup mata akan hal tersebut. Hukum bunuh diri Bunuh diri yang mempunyai dalil-dalil syar’i terkait, berarti juga ia memiliki hukum. Lantas apa hukumnya bunuh diri dalam Islam? Para ulama telah berijmak (bersepakat) bahwa bunuh diri adalah haram, dengan berlandaskan beberapa dalil serta segi pendalilan dan poin argumentasi berikut ini: Dalil pertama Sebagaimana ayat yang sudah dibawakan di awal, yaitu pada Surah An-Nisa: 29, firman Allah Ta’ala, وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ “Dan janganlah kamu membunuh dirimu …” Terdapat beberapa penafsiran oleh ulama terkait membunuh diri sendiri pada ayat ini, di antaranya adalah: 1) Bunuh diri sebagaimana yang kita pahami, yaitu seseorang membunuh dirinya sendiri dan ini hukumnya haram. Hal ini karena kalimat larangan pada dalil syar’i, sebagaimana pada kaidah usul fikih, pada dasarnya mengimplikasikan keharaman. Inilah poin pendalilan yang kita garisbawahi dalam konteks pembahasan ini. Namun, untuk dapat memahami maksud ayat lebih mendalam, kita sebutkan juga beberapa pandangan lain dalam penafsiran makna “membunuh diri” dalam ayat ini. 2) Ada pula yang mengartikannya sebagai larangan untuk membunuh sesama manusia, terlebih lagi jika satu agama, sesama muslim. Di antara yang mengatakan seperti ini adalah ‘Atha bin Rabbah. 3) Abu Ubaidah berpendapat bahwa termasuk ke dalam kategori ini yaitu “membawa diri kepada kebinasaan”. Misalnya, ketika seseorang membebani dirinya dengan suatu amalan yang pada kondisi normal tidak masalah, tetapi dalam suatu kondisi justru bisa menimbulkan kemudaratan, bahkan sampai kematian. Ini sebagaimana yang dilakukan sahabat ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu, jikalau ia mandi junub dengan air pada saat itu dengan cuaca dingin yang ekstrem, hal itu justru dapat membunuhnya. Dan ini dibenarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga dapat dijadikan dalil. 4) Selain itu, membunuh diri sendiri dapat berarti melakukan dosa-dosa dan perbuatan yang diharamkan oleh Allah. Karena adanya maksiat dan dosa akan berakibat pada sakitnya hati, bahkan sampai hati menjadi mati, dan orang yang hatinya sudah mati ibarat tidak ada bedanya dengan orang mati. Dalil kedua Allah Ta’ala juga berfirman dalam ayat yang lain, وَلَا تَقْتُلُوا۟ ٱلنَّفْسَ ٱلَّتِى حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلْحَقِّ ۗ “Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar.” (QS. Al-Isra: 33) وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ ۛ “… dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri …” (QS. Al-Baqarah: 195) Dalam kedua ayat ini, secara tegas terdapat larangan bunuh diri yang di-nash-kan dalam lafaz umum. Nafs (jiwa) itu dilarang dibunuh, baik itu orang lain maupun diri sendiri, kecuali dengan kondisi dan alasan yang dibenarkan oleh syariat. Adapun tahlukah (kebinasaan), yang termasuk ke dalam “kebinasaan” adalah kematian. Kita dilarang mengantarkan diri kita sendiri ke dalam kematian, yang merupakan kebinasaan, sebagaimana yang didalilkan dalam ayat. Baca juga: Jangan Bunuh Diri: Sebuah Panggilan untuk Menemukan Kembali Harapan dalam Islam Dalil ketiga Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الَّذِي يَخْنُقُ نَفْسَهُ يَخْنُقُها في النّارِ، والذي يَطْعُنُها يَطْعُنُها في النّارِ “Barangsiapa yang mencekik dirinya (sampai mati), niscaya ia akan terus mencekiknya di neraka. Dan barangsiapa yang menikam dirinya, ia juga kelak akan terus menikam dirinya seperti itu di neraka.” (HR. Bukhari no. 1365 dan Muslim no. 109) Hadis ini, juga hadis dalam versi yang lebih panjang yang telah dibawakan di awal, menyebutkan beberapa contoh variasi upaya bunuh diri seperti mencekik, menikam, menenggak racun, dan terjun bebas. Hampir setiap orang yang bunuh diri melakukannya dengan salah satu cara itu, sebut saja gantung diri, maka ia termasuk ke dalam kategori mencekik. Ancaman dengan neraka saja sudah menunjukkan keharaman suatu perbuatan, belum lagi ancaman yang diperjelas. Dalam kasus ini adalah suatu lingkaran penderitaan yang terus berulang, ketika orang yang bunuh diri akan terus mendapat siksaan dengan bagaimana ia membunuh dirinya. Apakah bunuh diri dengan selain upaya yang disebutkan dalam hadis berarti diperbolehkan? Tentu saja tidak, karena hadis lain juga menyebutkan ancaman bunuh diri dalam narasi yang lebih umum, yaitu: Dalil keempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan sahabat Tsabit bin Ad-Dhahhak radhiyallahu ‘anhu, من قتل نفسه بشَيْءٍ عُذْبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, maka dengan itu pula ia akan diazab pada hari kiamat kelak.” (HR. Bukhari no. 6047 dan Muslim no. 110) Lihatlah, Islam benar-benar serius mengecam perilaku bunuh diri, sampai-sampai selain diharamkan, pelakunya juga akan terjebak dalam siksaan di akhirat karena ulahnya sendiri ketika di dunia. Ini sebagai refleksi atas realitas bahwa suatu tindakan itu akan menentukan nasib, baik ketika di dunia maupun di akhirat. Dalil kelima Dalam hadis yang lain, yang diriwayatkan oleh sahabat Jundub bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, كانَ برَجُلٍ جِراحٌ، فَقَتَلَ نَفْسَهُ، فقالَ اللَّهُ: بَدَرَنِي عَبْدِي بنَفْسِهِ حَرَّمْتُ عليه الجَنَّةَ “Tersebutlah ada seorang lelaki yang terluka, ia lalu membunuh dirinya. Maka Allah pun berfirman, ‘Hamba-Ku telah terburu-buru (mendahului ketetapan-Ku), maka Aku pun mengharamkan surga baginya’.” (HR. Bukhari no. 1364, Ahmad no. 18800, Ar-Ruyani dalam “Musnad”-nya no. 961, dan Al-Baihaqi no. 5977) Dengan adanya hadis ini, bulat sudah keharaman bunuh diri, selain diancam neraka dan siksaannya, juga diancam dengan diharamkannya dari surga. Tentu ini semua bukan ancaman yang main-main. Bunuh diri bukanlah suatu perkara ringan dalam agama Islam, karena termasuk mendahului ketetapan Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis yang terakhir. Semua ayat dan hadis ini merujuk kepada haramnya bunuh diri dalam Islam. Disebutkannya dalil-dalil ini tidak berarti tidak ada dalil lain lagi terkait bunuh diri, bahkan banyak. Akan tetapi, yang disebutkan di atas semuanya dirasa cukup dan mewakili untuk memperjelas keharaman dan betapa seriusnya Islam mengecam pelaku bunuh diri. Maka dengan mengetahui hukum bunuh diri yang tentunya didasarkan oleh berbagai dalil syar’i, sebagai bentuk ber-Islam secara kaffah, perilaku kita adalah menjauhinya, tidak membenarkannya, dan untuk jangan sekali-sekali berpikir untuk melakukannya. Hal ini karena bunuh diri sejatinya tidak membebaskan kita dari penderitaan, sama sekali tidak, justru malah membuat kita berputar-putar terus dalam lingkaran setan upaya bunuh diri dan tempatnya di neraka. Semoga Allah melindungi kita seluruh umat muslimin, terkhusus generasi yang sedang menelan asam-pahit kehidupan, dengan menjauhkan dari perilaku rendahan bunuh diri dan segala yang menghantarkan kepada hal itu. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel Muslim.or.id

Fatwa Ulama: Apakah Doa Dapat Mengubah Takdir?

Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus   Pertanyaan: Apa perbedaan antara qadar (takdir) dan takdir yang tertulis (maktub) dalam Lauh Mahfuzh? Apakah takdir dapat berubah dengan sebab doa? Semoga Allah membalas kebaikan Anda. Jawaban: Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, serta kepada keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du. Tingkatan penulisan takdir: tingkatan penulisan takdir adalah ketetapan Allah Ta’ala atas segala sesuatu -baik yang kecil maupun besar- dalam Lauh Mahfuzh, mencakup segala sesuatu yang telah dan akan terjadi. Ini merupakan salah satu dari empat tingkatan takdir, yaitu: Pertama, ilmu Allah Ta’ala yang mencakup segala sesuatu. Kedua, penulisan Allah Ta’ala atas segala sesuatu dalam Lauh Mahfuzh. Ketiga, kehendak-Nya yang mutlak dan tidak dapat ditolak dan kekuasaan-Nya yang tidak terbatas dalam menciptakan segala sesuatu. Keempat, beriman bahwa Allah Ta’ala adalah Pencipta segala sesuatu dan yang mengadakannya. Berdasarkan penjelasan tersebut, ketika disebut “maktub” (tertulis), maka ini adalah bagian dari keseluruhan konsep takdir. Dalil mengenai empat tingkatan ini adalah firman Allah Ta’ala, مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَة فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِي كِتَٰب مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِير “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22) Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ القَلَمَ فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ، قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ “Sesungguhnya hal pertama yang Allah ciptakan adalah pena. Lalu Dia berfirman kepadanya, “Tulislah!” Pena bertanya, “Apa yang harus aku tulis?” Allah berfirman, “Tulislah takdir segala sesuatu hingga hari kiamat.” [1] Sedangkan doa adalah salah satu sebab yang memiliki pengaruh terhadap akibatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَرُدُّ القَضَاءَ إلَّا الدُّعَاءُ، وَلَا يَزِيدُ فِي العُمُرِ إلَّا البِرُّ “Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa, dan tidak ada yang dapat menambah umur kecuali kebajikan.” [2] Doa bisa menjadi sebab tertolaknya suatu takdir yang telah ditentukan. Begitu pula dengan kebajikan (birr), yang dapat memperpanjang umur seseorang yang seharusnya lebih pendek jika bukan karena amal baiknya. Dengan demikian, doa, kebajikan, dan sebab-sebab lainnya dapat mempengaruhi perubahan dalam ketetapan takdir. Namun, perlu dipahami bahwa perubahan tersebut juga telah ditulis dalam takdir karena sebab doa itu sendiri. Hal ini seperti obat yang dapat menyembuhkan penyakit, ia memiliki pengaruh dalam kesembuhan, akan tetapi tetap berada dalam ketetapan (baca: takdir) Allah. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّا كُلَّ شَيۡءٍ خَلَقۡنَٰهُ بِقَدَر “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (takdir).” (QS. Al-Qamar: 49) Hanya Allah yang Maha Mengetahui. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga hari kiamat. [3] Baca juga: Hukum Berdoa kepada Allah di Sisi Makam Orang Saleh *** @Unayzah, 8 Sya’ban 1446/ 7 Februari 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab As-Sunnah, bab tentang Qadar (no. 4700), dan oleh At-Tirmidzi dalam kitab Al-Qadar (no. 2155) serta dalam kitab At-Tafsir, bab Surat Nun (no. 3319), dari hadis ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu. Dinyatakan sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (no. 2018). [2] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam kitab Al-Qadar, bab “Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa” (no. 2139), dari hadis Salman radhiyallahu ‘anhu. Dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah As-Sahihah (no. 154) dan dalam Sahih Al-Jami’ (no. 7687). [3] Diterjemahkan dari: https://www.ferkous.app/home/index.php?q=fatwa-506

Fatwa Ulama: Apakah Doa Dapat Mengubah Takdir?

Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus   Pertanyaan: Apa perbedaan antara qadar (takdir) dan takdir yang tertulis (maktub) dalam Lauh Mahfuzh? Apakah takdir dapat berubah dengan sebab doa? Semoga Allah membalas kebaikan Anda. Jawaban: Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, serta kepada keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du. Tingkatan penulisan takdir: tingkatan penulisan takdir adalah ketetapan Allah Ta’ala atas segala sesuatu -baik yang kecil maupun besar- dalam Lauh Mahfuzh, mencakup segala sesuatu yang telah dan akan terjadi. Ini merupakan salah satu dari empat tingkatan takdir, yaitu: Pertama, ilmu Allah Ta’ala yang mencakup segala sesuatu. Kedua, penulisan Allah Ta’ala atas segala sesuatu dalam Lauh Mahfuzh. Ketiga, kehendak-Nya yang mutlak dan tidak dapat ditolak dan kekuasaan-Nya yang tidak terbatas dalam menciptakan segala sesuatu. Keempat, beriman bahwa Allah Ta’ala adalah Pencipta segala sesuatu dan yang mengadakannya. Berdasarkan penjelasan tersebut, ketika disebut “maktub” (tertulis), maka ini adalah bagian dari keseluruhan konsep takdir. Dalil mengenai empat tingkatan ini adalah firman Allah Ta’ala, مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَة فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِي كِتَٰب مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِير “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22) Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ القَلَمَ فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ، قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ “Sesungguhnya hal pertama yang Allah ciptakan adalah pena. Lalu Dia berfirman kepadanya, “Tulislah!” Pena bertanya, “Apa yang harus aku tulis?” Allah berfirman, “Tulislah takdir segala sesuatu hingga hari kiamat.” [1] Sedangkan doa adalah salah satu sebab yang memiliki pengaruh terhadap akibatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَرُدُّ القَضَاءَ إلَّا الدُّعَاءُ، وَلَا يَزِيدُ فِي العُمُرِ إلَّا البِرُّ “Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa, dan tidak ada yang dapat menambah umur kecuali kebajikan.” [2] Doa bisa menjadi sebab tertolaknya suatu takdir yang telah ditentukan. Begitu pula dengan kebajikan (birr), yang dapat memperpanjang umur seseorang yang seharusnya lebih pendek jika bukan karena amal baiknya. Dengan demikian, doa, kebajikan, dan sebab-sebab lainnya dapat mempengaruhi perubahan dalam ketetapan takdir. Namun, perlu dipahami bahwa perubahan tersebut juga telah ditulis dalam takdir karena sebab doa itu sendiri. Hal ini seperti obat yang dapat menyembuhkan penyakit, ia memiliki pengaruh dalam kesembuhan, akan tetapi tetap berada dalam ketetapan (baca: takdir) Allah. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّا كُلَّ شَيۡءٍ خَلَقۡنَٰهُ بِقَدَر “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (takdir).” (QS. Al-Qamar: 49) Hanya Allah yang Maha Mengetahui. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga hari kiamat. [3] Baca juga: Hukum Berdoa kepada Allah di Sisi Makam Orang Saleh *** @Unayzah, 8 Sya’ban 1446/ 7 Februari 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab As-Sunnah, bab tentang Qadar (no. 4700), dan oleh At-Tirmidzi dalam kitab Al-Qadar (no. 2155) serta dalam kitab At-Tafsir, bab Surat Nun (no. 3319), dari hadis ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu. Dinyatakan sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (no. 2018). [2] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam kitab Al-Qadar, bab “Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa” (no. 2139), dari hadis Salman radhiyallahu ‘anhu. Dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah As-Sahihah (no. 154) dan dalam Sahih Al-Jami’ (no. 7687). [3] Diterjemahkan dari: https://www.ferkous.app/home/index.php?q=fatwa-506
Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus   Pertanyaan: Apa perbedaan antara qadar (takdir) dan takdir yang tertulis (maktub) dalam Lauh Mahfuzh? Apakah takdir dapat berubah dengan sebab doa? Semoga Allah membalas kebaikan Anda. Jawaban: Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, serta kepada keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du. Tingkatan penulisan takdir: tingkatan penulisan takdir adalah ketetapan Allah Ta’ala atas segala sesuatu -baik yang kecil maupun besar- dalam Lauh Mahfuzh, mencakup segala sesuatu yang telah dan akan terjadi. Ini merupakan salah satu dari empat tingkatan takdir, yaitu: Pertama, ilmu Allah Ta’ala yang mencakup segala sesuatu. Kedua, penulisan Allah Ta’ala atas segala sesuatu dalam Lauh Mahfuzh. Ketiga, kehendak-Nya yang mutlak dan tidak dapat ditolak dan kekuasaan-Nya yang tidak terbatas dalam menciptakan segala sesuatu. Keempat, beriman bahwa Allah Ta’ala adalah Pencipta segala sesuatu dan yang mengadakannya. Berdasarkan penjelasan tersebut, ketika disebut “maktub” (tertulis), maka ini adalah bagian dari keseluruhan konsep takdir. Dalil mengenai empat tingkatan ini adalah firman Allah Ta’ala, مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَة فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِي كِتَٰب مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِير “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22) Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ القَلَمَ فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ، قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ “Sesungguhnya hal pertama yang Allah ciptakan adalah pena. Lalu Dia berfirman kepadanya, “Tulislah!” Pena bertanya, “Apa yang harus aku tulis?” Allah berfirman, “Tulislah takdir segala sesuatu hingga hari kiamat.” [1] Sedangkan doa adalah salah satu sebab yang memiliki pengaruh terhadap akibatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَرُدُّ القَضَاءَ إلَّا الدُّعَاءُ، وَلَا يَزِيدُ فِي العُمُرِ إلَّا البِرُّ “Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa, dan tidak ada yang dapat menambah umur kecuali kebajikan.” [2] Doa bisa menjadi sebab tertolaknya suatu takdir yang telah ditentukan. Begitu pula dengan kebajikan (birr), yang dapat memperpanjang umur seseorang yang seharusnya lebih pendek jika bukan karena amal baiknya. Dengan demikian, doa, kebajikan, dan sebab-sebab lainnya dapat mempengaruhi perubahan dalam ketetapan takdir. Namun, perlu dipahami bahwa perubahan tersebut juga telah ditulis dalam takdir karena sebab doa itu sendiri. Hal ini seperti obat yang dapat menyembuhkan penyakit, ia memiliki pengaruh dalam kesembuhan, akan tetapi tetap berada dalam ketetapan (baca: takdir) Allah. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّا كُلَّ شَيۡءٍ خَلَقۡنَٰهُ بِقَدَر “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (takdir).” (QS. Al-Qamar: 49) Hanya Allah yang Maha Mengetahui. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga hari kiamat. [3] Baca juga: Hukum Berdoa kepada Allah di Sisi Makam Orang Saleh *** @Unayzah, 8 Sya’ban 1446/ 7 Februari 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab As-Sunnah, bab tentang Qadar (no. 4700), dan oleh At-Tirmidzi dalam kitab Al-Qadar (no. 2155) serta dalam kitab At-Tafsir, bab Surat Nun (no. 3319), dari hadis ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu. Dinyatakan sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (no. 2018). [2] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam kitab Al-Qadar, bab “Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa” (no. 2139), dari hadis Salman radhiyallahu ‘anhu. Dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah As-Sahihah (no. 154) dan dalam Sahih Al-Jami’ (no. 7687). [3] Diterjemahkan dari: https://www.ferkous.app/home/index.php?q=fatwa-506


Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus   Pertanyaan: Apa perbedaan antara qadar (takdir) dan takdir yang tertulis (maktub) dalam Lauh Mahfuzh? Apakah takdir dapat berubah dengan sebab doa? Semoga Allah membalas kebaikan Anda. Jawaban: Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, serta kepada keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du. Tingkatan penulisan takdir: tingkatan penulisan takdir adalah ketetapan Allah Ta’ala atas segala sesuatu -baik yang kecil maupun besar- dalam Lauh Mahfuzh, mencakup segala sesuatu yang telah dan akan terjadi. Ini merupakan salah satu dari empat tingkatan takdir, yaitu: Pertama, ilmu Allah Ta’ala yang mencakup segala sesuatu. Kedua, penulisan Allah Ta’ala atas segala sesuatu dalam Lauh Mahfuzh. Ketiga, kehendak-Nya yang mutlak dan tidak dapat ditolak dan kekuasaan-Nya yang tidak terbatas dalam menciptakan segala sesuatu. Keempat, beriman bahwa Allah Ta’ala adalah Pencipta segala sesuatu dan yang mengadakannya. Berdasarkan penjelasan tersebut, ketika disebut “maktub” (tertulis), maka ini adalah bagian dari keseluruhan konsep takdir. Dalil mengenai empat tingkatan ini adalah firman Allah Ta’ala, مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَة فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِي كِتَٰب مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِير “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22) Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ القَلَمَ فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ، قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ “Sesungguhnya hal pertama yang Allah ciptakan adalah pena. Lalu Dia berfirman kepadanya, “Tulislah!” Pena bertanya, “Apa yang harus aku tulis?” Allah berfirman, “Tulislah takdir segala sesuatu hingga hari kiamat.” [1] Sedangkan doa adalah salah satu sebab yang memiliki pengaruh terhadap akibatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَرُدُّ القَضَاءَ إلَّا الدُّعَاءُ، وَلَا يَزِيدُ فِي العُمُرِ إلَّا البِرُّ “Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa, dan tidak ada yang dapat menambah umur kecuali kebajikan.” [2] Doa bisa menjadi sebab tertolaknya suatu takdir yang telah ditentukan. Begitu pula dengan kebajikan (birr), yang dapat memperpanjang umur seseorang yang seharusnya lebih pendek jika bukan karena amal baiknya. Dengan demikian, doa, kebajikan, dan sebab-sebab lainnya dapat mempengaruhi perubahan dalam ketetapan takdir. Namun, perlu dipahami bahwa perubahan tersebut juga telah ditulis dalam takdir karena sebab doa itu sendiri. Hal ini seperti obat yang dapat menyembuhkan penyakit, ia memiliki pengaruh dalam kesembuhan, akan tetapi tetap berada dalam ketetapan (baca: takdir) Allah. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّا كُلَّ شَيۡءٍ خَلَقۡنَٰهُ بِقَدَر “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (takdir).” (QS. Al-Qamar: 49) Hanya Allah yang Maha Mengetahui. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga hari kiamat. [3] Baca juga: Hukum Berdoa kepada Allah di Sisi Makam Orang Saleh *** @Unayzah, 8 Sya’ban 1446/ 7 Februari 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab As-Sunnah, bab tentang Qadar (no. 4700), dan oleh At-Tirmidzi dalam kitab Al-Qadar (no. 2155) serta dalam kitab At-Tafsir, bab Surat Nun (no. 3319), dari hadis ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu. Dinyatakan sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (no. 2018). [2] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam kitab Al-Qadar, bab “Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa” (no. 2139), dari hadis Salman radhiyallahu ‘anhu. Dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah As-Sahihah (no. 154) dan dalam Sahih Al-Jami’ (no. 7687). [3] Diterjemahkan dari: https://www.ferkous.app/home/index.php?q=fatwa-506

Menginspirasi: Mengapa Orang Saleh Ini Bersedekah Setiap Hari? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Apakah benar ada hadits yang menyebutkan bahwa sedekah akan menjadi seperti awan yang menaungi manusia dari panasnya Padang Mahsyar? Benar. Ini disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa seorang Mukmin akan berada di bawah naungan sedekahnya pada Hari Kiamat. Ada seorang Tabi’in yang mengamalkan hadits ini. Tiada satu hari berlalu, melainkan beliau bersedekah dengan suatu sedekah karena Allah. Suatu hari, beliau tidak mempunyai apa pun untuk disedekahkan. Beliau pun mencari-cari dan hanya menemukan bawang. Beliau lalu mengambil bawang itu dan membawanya di atas kepala untuk beliau sedekahkan. Lalu ada seseorang yang berjumpa dengannya, ia berkata: “Semoga Allah merahmatimu, Allah tidak mewajibkanmu melakukan ini!” Yakni sedekah ini hanya amalan sunnah. Beliau pun menjawab: “Aku bertekad agar tidak berlalu satu hari pun melainkan aku bersedekah sesuatu karena Allah, karena aku mendengar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Seorang Mukmin akan berada di bawah naungan sedekahnya pada Hari Kiamat.’ Sehingga aku ingin agar tidaklah berlalu satu hari melainkan aku bersedekah sesuatu karena Allah.” Oleh sebab itu, saudara Muslimku, berusahalah untuk bersedekah, karena balasannya besar dan pahalanya sangat banyak. Ia juga termasuk hal yang mencegah turunnya bala dan musibah dari seorang insan. Juga termasuk sebab datangnya jalan keluar dari kesulitan, dan salah satu sebab dimudahkannya urusan. Karena barang siapa yang memudahkan seorang Muslim, maka Allah akan memudahkannya. Dan siapa yang memberi solusi bagi saudara Muslimnya atas kesulitannya, Allah akan memberi solusi baginya. Jadi, sedekah sangat besar pengaruhnya bagi seorang Muslim di dunia dan akhirat, sehingga hendaklah kamu–wahai saudara Muslimku–untuk berusaha banyak bersedekah di berbagai sektor kebaikan. === هَلْ وَرَدَ أَنَّ الصَّدَقَةَ تَكُونُ كَالسَّحَابَةِ تُظَلِّلُ الْإِنْسَانَ مِنْ حَرِّ يَوْمِ الْمَحْشَرِ نَعَمْ جَاءَ ذَلِكَ فِي حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الْمُؤْمِنَ يَكُونُ فِي ظِلِّ صَدَقَتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَحَدُ التَّابِعِينَ كَانَ يَعْمَلُ بِهَذَا الْحَدِيثِ فَكَانَ لَا يَمُرُّ عَلَيْهِ يَوْمٌ إِلَّا تَصَدَّقَ فِيهِ لِلَّهِ بِصَدَقَةٍ وَذَاتَ يَوْمٍ لَمْ يَجِدْ مَا يَتَصَدَّقُ بِهِ وَبَحَثَ وَلَمْ يَجِدْ إِلَّا بَصَلًا فَأَخَذَ هَذَا الْبَصَلَ وَحَمَلَهُ عَلَى رَأْسِهِ يُرِيدُ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِهِ فَلَقِيَهُ أَحَدُ النَّاسِ وَقَالَ رَحِمَكَ اللَّهُ لَمْ يُوجِبِ اللَّهُ عَلَيْكَ هَذَا يَعْنِي هَذِهِ الصَّدَقَةُ تَطَوُّعٌ قَالَ إِنِّي أَرَدْتُ أَنْ لَا يَمُرَّ عَلَيَّ يَوْمٌ إِلَّا تَصَدَّقْتُ فِيهِ لِلَّهِ بِصَدَقَةٍ إِنَّهُ قَدْ بَلَغَنِي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَكُونُ فِي ظِلِّ صَدَقَتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَحْبَبْتُ أَنْ لَا يَمُرَّ عَلَيَّ يَوْمٌ إِلَّا تَصَدَّقْتُ فِيهِ لِلَّهِ بِصَدَقَةٍ فَاحْرِصْ أَخِي الْمُسْلِمُ عَلَى الصَّدَقَةِ فَإِنَّ ثَوَابَهَا عَظِيمٌ وَأَجْرَهَا جَزِيْلٌ وَهِيَ مِنْ أَسْبَابِ دَفْعِ الْبَلَاءِ وَالْمَصَائِبِ عَنْ الْإِنْسَانِ وَمِنْ أَسْبَابِ تَفْرِيجِ الْكُرُبَاتِ وَمِنْ أَسْبَابِ تَيْسِيرِ الأُمُورِ فَإِنَّهُ مَنْ يَسَّرَ عَلَى مُسْلِمٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَمَنْ فَرَّجَ كُرْبَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ فَرَّجَ اللَّهُ كُرْبَتَهُ فَالصَّدَقَةُ آثَارُهَا عَظِيمَةٌ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمُ أَنْ تَحْرِصَ عَلَى الْإِكْثَارِ مِنَ الصَّدَقَاتِ فِي سُبُلِ الْخَيْرِ

Menginspirasi: Mengapa Orang Saleh Ini Bersedekah Setiap Hari? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Apakah benar ada hadits yang menyebutkan bahwa sedekah akan menjadi seperti awan yang menaungi manusia dari panasnya Padang Mahsyar? Benar. Ini disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa seorang Mukmin akan berada di bawah naungan sedekahnya pada Hari Kiamat. Ada seorang Tabi’in yang mengamalkan hadits ini. Tiada satu hari berlalu, melainkan beliau bersedekah dengan suatu sedekah karena Allah. Suatu hari, beliau tidak mempunyai apa pun untuk disedekahkan. Beliau pun mencari-cari dan hanya menemukan bawang. Beliau lalu mengambil bawang itu dan membawanya di atas kepala untuk beliau sedekahkan. Lalu ada seseorang yang berjumpa dengannya, ia berkata: “Semoga Allah merahmatimu, Allah tidak mewajibkanmu melakukan ini!” Yakni sedekah ini hanya amalan sunnah. Beliau pun menjawab: “Aku bertekad agar tidak berlalu satu hari pun melainkan aku bersedekah sesuatu karena Allah, karena aku mendengar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Seorang Mukmin akan berada di bawah naungan sedekahnya pada Hari Kiamat.’ Sehingga aku ingin agar tidaklah berlalu satu hari melainkan aku bersedekah sesuatu karena Allah.” Oleh sebab itu, saudara Muslimku, berusahalah untuk bersedekah, karena balasannya besar dan pahalanya sangat banyak. Ia juga termasuk hal yang mencegah turunnya bala dan musibah dari seorang insan. Juga termasuk sebab datangnya jalan keluar dari kesulitan, dan salah satu sebab dimudahkannya urusan. Karena barang siapa yang memudahkan seorang Muslim, maka Allah akan memudahkannya. Dan siapa yang memberi solusi bagi saudara Muslimnya atas kesulitannya, Allah akan memberi solusi baginya. Jadi, sedekah sangat besar pengaruhnya bagi seorang Muslim di dunia dan akhirat, sehingga hendaklah kamu–wahai saudara Muslimku–untuk berusaha banyak bersedekah di berbagai sektor kebaikan. === هَلْ وَرَدَ أَنَّ الصَّدَقَةَ تَكُونُ كَالسَّحَابَةِ تُظَلِّلُ الْإِنْسَانَ مِنْ حَرِّ يَوْمِ الْمَحْشَرِ نَعَمْ جَاءَ ذَلِكَ فِي حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الْمُؤْمِنَ يَكُونُ فِي ظِلِّ صَدَقَتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَحَدُ التَّابِعِينَ كَانَ يَعْمَلُ بِهَذَا الْحَدِيثِ فَكَانَ لَا يَمُرُّ عَلَيْهِ يَوْمٌ إِلَّا تَصَدَّقَ فِيهِ لِلَّهِ بِصَدَقَةٍ وَذَاتَ يَوْمٍ لَمْ يَجِدْ مَا يَتَصَدَّقُ بِهِ وَبَحَثَ وَلَمْ يَجِدْ إِلَّا بَصَلًا فَأَخَذَ هَذَا الْبَصَلَ وَحَمَلَهُ عَلَى رَأْسِهِ يُرِيدُ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِهِ فَلَقِيَهُ أَحَدُ النَّاسِ وَقَالَ رَحِمَكَ اللَّهُ لَمْ يُوجِبِ اللَّهُ عَلَيْكَ هَذَا يَعْنِي هَذِهِ الصَّدَقَةُ تَطَوُّعٌ قَالَ إِنِّي أَرَدْتُ أَنْ لَا يَمُرَّ عَلَيَّ يَوْمٌ إِلَّا تَصَدَّقْتُ فِيهِ لِلَّهِ بِصَدَقَةٍ إِنَّهُ قَدْ بَلَغَنِي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَكُونُ فِي ظِلِّ صَدَقَتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَحْبَبْتُ أَنْ لَا يَمُرَّ عَلَيَّ يَوْمٌ إِلَّا تَصَدَّقْتُ فِيهِ لِلَّهِ بِصَدَقَةٍ فَاحْرِصْ أَخِي الْمُسْلِمُ عَلَى الصَّدَقَةِ فَإِنَّ ثَوَابَهَا عَظِيمٌ وَأَجْرَهَا جَزِيْلٌ وَهِيَ مِنْ أَسْبَابِ دَفْعِ الْبَلَاءِ وَالْمَصَائِبِ عَنْ الْإِنْسَانِ وَمِنْ أَسْبَابِ تَفْرِيجِ الْكُرُبَاتِ وَمِنْ أَسْبَابِ تَيْسِيرِ الأُمُورِ فَإِنَّهُ مَنْ يَسَّرَ عَلَى مُسْلِمٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَمَنْ فَرَّجَ كُرْبَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ فَرَّجَ اللَّهُ كُرْبَتَهُ فَالصَّدَقَةُ آثَارُهَا عَظِيمَةٌ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمُ أَنْ تَحْرِصَ عَلَى الْإِكْثَارِ مِنَ الصَّدَقَاتِ فِي سُبُلِ الْخَيْرِ
Apakah benar ada hadits yang menyebutkan bahwa sedekah akan menjadi seperti awan yang menaungi manusia dari panasnya Padang Mahsyar? Benar. Ini disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa seorang Mukmin akan berada di bawah naungan sedekahnya pada Hari Kiamat. Ada seorang Tabi’in yang mengamalkan hadits ini. Tiada satu hari berlalu, melainkan beliau bersedekah dengan suatu sedekah karena Allah. Suatu hari, beliau tidak mempunyai apa pun untuk disedekahkan. Beliau pun mencari-cari dan hanya menemukan bawang. Beliau lalu mengambil bawang itu dan membawanya di atas kepala untuk beliau sedekahkan. Lalu ada seseorang yang berjumpa dengannya, ia berkata: “Semoga Allah merahmatimu, Allah tidak mewajibkanmu melakukan ini!” Yakni sedekah ini hanya amalan sunnah. Beliau pun menjawab: “Aku bertekad agar tidak berlalu satu hari pun melainkan aku bersedekah sesuatu karena Allah, karena aku mendengar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Seorang Mukmin akan berada di bawah naungan sedekahnya pada Hari Kiamat.’ Sehingga aku ingin agar tidaklah berlalu satu hari melainkan aku bersedekah sesuatu karena Allah.” Oleh sebab itu, saudara Muslimku, berusahalah untuk bersedekah, karena balasannya besar dan pahalanya sangat banyak. Ia juga termasuk hal yang mencegah turunnya bala dan musibah dari seorang insan. Juga termasuk sebab datangnya jalan keluar dari kesulitan, dan salah satu sebab dimudahkannya urusan. Karena barang siapa yang memudahkan seorang Muslim, maka Allah akan memudahkannya. Dan siapa yang memberi solusi bagi saudara Muslimnya atas kesulitannya, Allah akan memberi solusi baginya. Jadi, sedekah sangat besar pengaruhnya bagi seorang Muslim di dunia dan akhirat, sehingga hendaklah kamu–wahai saudara Muslimku–untuk berusaha banyak bersedekah di berbagai sektor kebaikan. === هَلْ وَرَدَ أَنَّ الصَّدَقَةَ تَكُونُ كَالسَّحَابَةِ تُظَلِّلُ الْإِنْسَانَ مِنْ حَرِّ يَوْمِ الْمَحْشَرِ نَعَمْ جَاءَ ذَلِكَ فِي حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الْمُؤْمِنَ يَكُونُ فِي ظِلِّ صَدَقَتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَحَدُ التَّابِعِينَ كَانَ يَعْمَلُ بِهَذَا الْحَدِيثِ فَكَانَ لَا يَمُرُّ عَلَيْهِ يَوْمٌ إِلَّا تَصَدَّقَ فِيهِ لِلَّهِ بِصَدَقَةٍ وَذَاتَ يَوْمٍ لَمْ يَجِدْ مَا يَتَصَدَّقُ بِهِ وَبَحَثَ وَلَمْ يَجِدْ إِلَّا بَصَلًا فَأَخَذَ هَذَا الْبَصَلَ وَحَمَلَهُ عَلَى رَأْسِهِ يُرِيدُ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِهِ فَلَقِيَهُ أَحَدُ النَّاسِ وَقَالَ رَحِمَكَ اللَّهُ لَمْ يُوجِبِ اللَّهُ عَلَيْكَ هَذَا يَعْنِي هَذِهِ الصَّدَقَةُ تَطَوُّعٌ قَالَ إِنِّي أَرَدْتُ أَنْ لَا يَمُرَّ عَلَيَّ يَوْمٌ إِلَّا تَصَدَّقْتُ فِيهِ لِلَّهِ بِصَدَقَةٍ إِنَّهُ قَدْ بَلَغَنِي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَكُونُ فِي ظِلِّ صَدَقَتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَحْبَبْتُ أَنْ لَا يَمُرَّ عَلَيَّ يَوْمٌ إِلَّا تَصَدَّقْتُ فِيهِ لِلَّهِ بِصَدَقَةٍ فَاحْرِصْ أَخِي الْمُسْلِمُ عَلَى الصَّدَقَةِ فَإِنَّ ثَوَابَهَا عَظِيمٌ وَأَجْرَهَا جَزِيْلٌ وَهِيَ مِنْ أَسْبَابِ دَفْعِ الْبَلَاءِ وَالْمَصَائِبِ عَنْ الْإِنْسَانِ وَمِنْ أَسْبَابِ تَفْرِيجِ الْكُرُبَاتِ وَمِنْ أَسْبَابِ تَيْسِيرِ الأُمُورِ فَإِنَّهُ مَنْ يَسَّرَ عَلَى مُسْلِمٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَمَنْ فَرَّجَ كُرْبَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ فَرَّجَ اللَّهُ كُرْبَتَهُ فَالصَّدَقَةُ آثَارُهَا عَظِيمَةٌ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمُ أَنْ تَحْرِصَ عَلَى الْإِكْثَارِ مِنَ الصَّدَقَاتِ فِي سُبُلِ الْخَيْرِ


Apakah benar ada hadits yang menyebutkan bahwa sedekah akan menjadi seperti awan yang menaungi manusia dari panasnya Padang Mahsyar? Benar. Ini disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa seorang Mukmin akan berada di bawah naungan sedekahnya pada Hari Kiamat. Ada seorang Tabi’in yang mengamalkan hadits ini. Tiada satu hari berlalu, melainkan beliau bersedekah dengan suatu sedekah karena Allah. Suatu hari, beliau tidak mempunyai apa pun untuk disedekahkan. Beliau pun mencari-cari dan hanya menemukan bawang. Beliau lalu mengambil bawang itu dan membawanya di atas kepala untuk beliau sedekahkan. Lalu ada seseorang yang berjumpa dengannya, ia berkata: “Semoga Allah merahmatimu, Allah tidak mewajibkanmu melakukan ini!” Yakni sedekah ini hanya amalan sunnah. Beliau pun menjawab: “Aku bertekad agar tidak berlalu satu hari pun melainkan aku bersedekah sesuatu karena Allah, karena aku mendengar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Seorang Mukmin akan berada di bawah naungan sedekahnya pada Hari Kiamat.’ Sehingga aku ingin agar tidaklah berlalu satu hari melainkan aku bersedekah sesuatu karena Allah.” Oleh sebab itu, saudara Muslimku, berusahalah untuk bersedekah, karena balasannya besar dan pahalanya sangat banyak. Ia juga termasuk hal yang mencegah turunnya bala dan musibah dari seorang insan. Juga termasuk sebab datangnya jalan keluar dari kesulitan, dan salah satu sebab dimudahkannya urusan. Karena barang siapa yang memudahkan seorang Muslim, maka Allah akan memudahkannya. Dan siapa yang memberi solusi bagi saudara Muslimnya atas kesulitannya, Allah akan memberi solusi baginya. Jadi, sedekah sangat besar pengaruhnya bagi seorang Muslim di dunia dan akhirat, sehingga hendaklah kamu–wahai saudara Muslimku–untuk berusaha banyak bersedekah di berbagai sektor kebaikan. === هَلْ وَرَدَ أَنَّ الصَّدَقَةَ تَكُونُ كَالسَّحَابَةِ تُظَلِّلُ الْإِنْسَانَ مِنْ حَرِّ يَوْمِ الْمَحْشَرِ نَعَمْ جَاءَ ذَلِكَ فِي حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الْمُؤْمِنَ يَكُونُ فِي ظِلِّ صَدَقَتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَحَدُ التَّابِعِينَ كَانَ يَعْمَلُ بِهَذَا الْحَدِيثِ فَكَانَ لَا يَمُرُّ عَلَيْهِ يَوْمٌ إِلَّا تَصَدَّقَ فِيهِ لِلَّهِ بِصَدَقَةٍ وَذَاتَ يَوْمٍ لَمْ يَجِدْ مَا يَتَصَدَّقُ بِهِ وَبَحَثَ وَلَمْ يَجِدْ إِلَّا بَصَلًا فَأَخَذَ هَذَا الْبَصَلَ وَحَمَلَهُ عَلَى رَأْسِهِ يُرِيدُ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِهِ فَلَقِيَهُ أَحَدُ النَّاسِ وَقَالَ رَحِمَكَ اللَّهُ لَمْ يُوجِبِ اللَّهُ عَلَيْكَ هَذَا يَعْنِي هَذِهِ الصَّدَقَةُ تَطَوُّعٌ قَالَ إِنِّي أَرَدْتُ أَنْ لَا يَمُرَّ عَلَيَّ يَوْمٌ إِلَّا تَصَدَّقْتُ فِيهِ لِلَّهِ بِصَدَقَةٍ إِنَّهُ قَدْ بَلَغَنِي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَكُونُ فِي ظِلِّ صَدَقَتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَحْبَبْتُ أَنْ لَا يَمُرَّ عَلَيَّ يَوْمٌ إِلَّا تَصَدَّقْتُ فِيهِ لِلَّهِ بِصَدَقَةٍ فَاحْرِصْ أَخِي الْمُسْلِمُ عَلَى الصَّدَقَةِ فَإِنَّ ثَوَابَهَا عَظِيمٌ وَأَجْرَهَا جَزِيْلٌ وَهِيَ مِنْ أَسْبَابِ دَفْعِ الْبَلَاءِ وَالْمَصَائِبِ عَنْ الْإِنْسَانِ وَمِنْ أَسْبَابِ تَفْرِيجِ الْكُرُبَاتِ وَمِنْ أَسْبَابِ تَيْسِيرِ الأُمُورِ فَإِنَّهُ مَنْ يَسَّرَ عَلَى مُسْلِمٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَمَنْ فَرَّجَ كُرْبَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ فَرَّجَ اللَّهُ كُرْبَتَهُ فَالصَّدَقَةُ آثَارُهَا عَظِيمَةٌ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمُ أَنْ تَحْرِصَ عَلَى الْإِكْثَارِ مِنَ الصَّدَقَاتِ فِي سُبُلِ الْخَيْرِ

Benarkah Doa ketika Hujan adalah Doa yang Terkabul? – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Syaikh kami, ada yang bertanya tentang berdoa ketika turun hujan: “Apakah ada dalil yang menjelaskan bahwa itu adalah waktu doa yang mustajab?” Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’ad, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ada dua doa yang tidak tertolak atau hampir tidak akan tertolak: yaitu doa ketika azan dan ketika sedang berperang.” (HR. Abu Daud) Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan para perawi lain. Namun, dalam beberapa riwayatnya disebutkan dengan lafaz, “…dan doa ketika hujan.” Oleh sebab itu, sebagian ulama berpendapat bahwa doa ketika turun hujan itu mustajab. Namun, lafaz tambahan “…dan ketika hujan” ini…tidak diriwayatkan dengan sanad yang shahih dan bersambung. Lalu lafaz ini juga menyelisihi riwayat para perawi lain yang tidak menyebutkan selain doa ketika azan dan ketika perang. Oleh sebab itu, pendapat yang lebih kuat adalah tidak ada riwayat yang shahih dalam hal ini. Terlebih lagi, diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa dalam banyak momen, dan hujan pun banyak turun pada zaman beliau. Namun tidak ada riwayat dari beliau bahwa beliau mengkhususkan waktu tersebut untuk berdoa dengan doa-doa tertentu. Beliau hanya membaca doa turun hujan: ALLAAHUMMA SHOYYIBAN NAAFI’AN(Ya Allah! Jadikanlah hujan ini deras dan bermanfaat). Juga ketika beliau berada di pagi hari, di Hudaibiyah, setelah hujannya turun, beliau bersabda bahwa Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Ada dari hamba-Ku yang memasuki waktu pagi dalam keadaan beriman, ada pula yang kafir. Adapun yang mengucapkan: ‘Kami diguyur hujan berkat fase bulan ini’ maka orang itu telah kafir terhadap-Ku dan beriman kepada bintang. Sedangkan yang mengucapkan: ‘Kami diguyur hujan berkat karunia dan rahmat Allah’maka orang itu telah beriman kepada-Ku dan kafir terhadap bintang.” Dari sini dapat kita katakan bahwa tidak ada riwayat yang shahih dalam permasalahan ini (mustajabnya doa saat turun hujan). ==== سَأَلَ يَا شَيْخَنَا عَنِ الدُّعَاءِ فِي وَقْتِ نُزُولِ الْمَطَرِ هَلْ وَرَدَ أَنَّهُ وَقْتٌ لِاسْتِجَابَةِ الدُّعَاءِ قَدْ وَرَدَ فِي حَدِيثِ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثِنْتَانِ لاَ تُرَدَّانِ أَوْ قَلَّمَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِ وَعِنْدَ الْبَأْسِ وَهَذَا الْحَدِيثُ قَدْ أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَابْنُ حِبَّانَ وَجَمَاعَةٌ وَلَكِن فِي بَعْضِ رِوَايَاتِهِ قَالَ وَوَقْتَ الْمَطَرِ وَلِذَلِكَ رَأَى بَعْضُهُمْ أَنَّ الدُّعَاءَ فِي وَقْتِ الْمَطَرِ مُسْتَجَابٌ لَكِنْ هَذِهِ الزِّيَادَةُ وَهَذِهِ اللَّفْظَةُ وَقْتَ الْمَطَرِ لَمْ تَأْتِ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ مُتَّصِلٍ ثُمَّ إِنَّهَا قَدْ خَالَفَتْ رِوَايَةَ الْبَقِيَّةِ مِنَ الرُّوَاةِ الَّذِيْنَ لَمْ يَذْكُرُوا إِلَّا النِّدَاءَ وَحِينَ الْبَأْسِ وَلِذَا فَالْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ شَيْءٌ مِنْ هَذَا خُصُوصًا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ وَرَدَ عَنْهُ الدُّعَاءُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَقَدْ نَزَلَتِ الأَمْطَارُ فِى زَمَانِهِ فِي مَرَّاتٍ كَثِيرَةٍ وَلَمْ يُؤْثَرْ عَنْهُ أَنَّهُ خَصَّ ذَلِكَ الْوَقْتَ بِدَعَوَاتٍ يَدْعُو بِهَا وَإِنَّمَا يَقُولُ اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا وَلَمَّا أَصْبَحَ فِي الْحُدَيْبِيَةِ عَلَى إِثْرِ مَطَرٍ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ فَمَنْ قَالَ مُطِرْنَا بنَوْءِ كَذَا فَذَاكَ كَافِرٌ بِيْ مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ وَمَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَمِنْ هُنَا فَنَقُولُ بِأَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ شَيْءٌ فِي هَذَا الْمَعْنَى

Benarkah Doa ketika Hujan adalah Doa yang Terkabul? – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Syaikh kami, ada yang bertanya tentang berdoa ketika turun hujan: “Apakah ada dalil yang menjelaskan bahwa itu adalah waktu doa yang mustajab?” Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’ad, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ada dua doa yang tidak tertolak atau hampir tidak akan tertolak: yaitu doa ketika azan dan ketika sedang berperang.” (HR. Abu Daud) Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan para perawi lain. Namun, dalam beberapa riwayatnya disebutkan dengan lafaz, “…dan doa ketika hujan.” Oleh sebab itu, sebagian ulama berpendapat bahwa doa ketika turun hujan itu mustajab. Namun, lafaz tambahan “…dan ketika hujan” ini…tidak diriwayatkan dengan sanad yang shahih dan bersambung. Lalu lafaz ini juga menyelisihi riwayat para perawi lain yang tidak menyebutkan selain doa ketika azan dan ketika perang. Oleh sebab itu, pendapat yang lebih kuat adalah tidak ada riwayat yang shahih dalam hal ini. Terlebih lagi, diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa dalam banyak momen, dan hujan pun banyak turun pada zaman beliau. Namun tidak ada riwayat dari beliau bahwa beliau mengkhususkan waktu tersebut untuk berdoa dengan doa-doa tertentu. Beliau hanya membaca doa turun hujan: ALLAAHUMMA SHOYYIBAN NAAFI’AN(Ya Allah! Jadikanlah hujan ini deras dan bermanfaat). Juga ketika beliau berada di pagi hari, di Hudaibiyah, setelah hujannya turun, beliau bersabda bahwa Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Ada dari hamba-Ku yang memasuki waktu pagi dalam keadaan beriman, ada pula yang kafir. Adapun yang mengucapkan: ‘Kami diguyur hujan berkat fase bulan ini’ maka orang itu telah kafir terhadap-Ku dan beriman kepada bintang. Sedangkan yang mengucapkan: ‘Kami diguyur hujan berkat karunia dan rahmat Allah’maka orang itu telah beriman kepada-Ku dan kafir terhadap bintang.” Dari sini dapat kita katakan bahwa tidak ada riwayat yang shahih dalam permasalahan ini (mustajabnya doa saat turun hujan). ==== سَأَلَ يَا شَيْخَنَا عَنِ الدُّعَاءِ فِي وَقْتِ نُزُولِ الْمَطَرِ هَلْ وَرَدَ أَنَّهُ وَقْتٌ لِاسْتِجَابَةِ الدُّعَاءِ قَدْ وَرَدَ فِي حَدِيثِ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثِنْتَانِ لاَ تُرَدَّانِ أَوْ قَلَّمَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِ وَعِنْدَ الْبَأْسِ وَهَذَا الْحَدِيثُ قَدْ أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَابْنُ حِبَّانَ وَجَمَاعَةٌ وَلَكِن فِي بَعْضِ رِوَايَاتِهِ قَالَ وَوَقْتَ الْمَطَرِ وَلِذَلِكَ رَأَى بَعْضُهُمْ أَنَّ الدُّعَاءَ فِي وَقْتِ الْمَطَرِ مُسْتَجَابٌ لَكِنْ هَذِهِ الزِّيَادَةُ وَهَذِهِ اللَّفْظَةُ وَقْتَ الْمَطَرِ لَمْ تَأْتِ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ مُتَّصِلٍ ثُمَّ إِنَّهَا قَدْ خَالَفَتْ رِوَايَةَ الْبَقِيَّةِ مِنَ الرُّوَاةِ الَّذِيْنَ لَمْ يَذْكُرُوا إِلَّا النِّدَاءَ وَحِينَ الْبَأْسِ وَلِذَا فَالْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ شَيْءٌ مِنْ هَذَا خُصُوصًا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ وَرَدَ عَنْهُ الدُّعَاءُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَقَدْ نَزَلَتِ الأَمْطَارُ فِى زَمَانِهِ فِي مَرَّاتٍ كَثِيرَةٍ وَلَمْ يُؤْثَرْ عَنْهُ أَنَّهُ خَصَّ ذَلِكَ الْوَقْتَ بِدَعَوَاتٍ يَدْعُو بِهَا وَإِنَّمَا يَقُولُ اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا وَلَمَّا أَصْبَحَ فِي الْحُدَيْبِيَةِ عَلَى إِثْرِ مَطَرٍ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ فَمَنْ قَالَ مُطِرْنَا بنَوْءِ كَذَا فَذَاكَ كَافِرٌ بِيْ مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ وَمَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَمِنْ هُنَا فَنَقُولُ بِأَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ شَيْءٌ فِي هَذَا الْمَعْنَى
Syaikh kami, ada yang bertanya tentang berdoa ketika turun hujan: “Apakah ada dalil yang menjelaskan bahwa itu adalah waktu doa yang mustajab?” Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’ad, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ada dua doa yang tidak tertolak atau hampir tidak akan tertolak: yaitu doa ketika azan dan ketika sedang berperang.” (HR. Abu Daud) Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan para perawi lain. Namun, dalam beberapa riwayatnya disebutkan dengan lafaz, “…dan doa ketika hujan.” Oleh sebab itu, sebagian ulama berpendapat bahwa doa ketika turun hujan itu mustajab. Namun, lafaz tambahan “…dan ketika hujan” ini…tidak diriwayatkan dengan sanad yang shahih dan bersambung. Lalu lafaz ini juga menyelisihi riwayat para perawi lain yang tidak menyebutkan selain doa ketika azan dan ketika perang. Oleh sebab itu, pendapat yang lebih kuat adalah tidak ada riwayat yang shahih dalam hal ini. Terlebih lagi, diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa dalam banyak momen, dan hujan pun banyak turun pada zaman beliau. Namun tidak ada riwayat dari beliau bahwa beliau mengkhususkan waktu tersebut untuk berdoa dengan doa-doa tertentu. Beliau hanya membaca doa turun hujan: ALLAAHUMMA SHOYYIBAN NAAFI’AN(Ya Allah! Jadikanlah hujan ini deras dan bermanfaat). Juga ketika beliau berada di pagi hari, di Hudaibiyah, setelah hujannya turun, beliau bersabda bahwa Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Ada dari hamba-Ku yang memasuki waktu pagi dalam keadaan beriman, ada pula yang kafir. Adapun yang mengucapkan: ‘Kami diguyur hujan berkat fase bulan ini’ maka orang itu telah kafir terhadap-Ku dan beriman kepada bintang. Sedangkan yang mengucapkan: ‘Kami diguyur hujan berkat karunia dan rahmat Allah’maka orang itu telah beriman kepada-Ku dan kafir terhadap bintang.” Dari sini dapat kita katakan bahwa tidak ada riwayat yang shahih dalam permasalahan ini (mustajabnya doa saat turun hujan). ==== سَأَلَ يَا شَيْخَنَا عَنِ الدُّعَاءِ فِي وَقْتِ نُزُولِ الْمَطَرِ هَلْ وَرَدَ أَنَّهُ وَقْتٌ لِاسْتِجَابَةِ الدُّعَاءِ قَدْ وَرَدَ فِي حَدِيثِ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثِنْتَانِ لاَ تُرَدَّانِ أَوْ قَلَّمَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِ وَعِنْدَ الْبَأْسِ وَهَذَا الْحَدِيثُ قَدْ أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَابْنُ حِبَّانَ وَجَمَاعَةٌ وَلَكِن فِي بَعْضِ رِوَايَاتِهِ قَالَ وَوَقْتَ الْمَطَرِ وَلِذَلِكَ رَأَى بَعْضُهُمْ أَنَّ الدُّعَاءَ فِي وَقْتِ الْمَطَرِ مُسْتَجَابٌ لَكِنْ هَذِهِ الزِّيَادَةُ وَهَذِهِ اللَّفْظَةُ وَقْتَ الْمَطَرِ لَمْ تَأْتِ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ مُتَّصِلٍ ثُمَّ إِنَّهَا قَدْ خَالَفَتْ رِوَايَةَ الْبَقِيَّةِ مِنَ الرُّوَاةِ الَّذِيْنَ لَمْ يَذْكُرُوا إِلَّا النِّدَاءَ وَحِينَ الْبَأْسِ وَلِذَا فَالْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ شَيْءٌ مِنْ هَذَا خُصُوصًا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ وَرَدَ عَنْهُ الدُّعَاءُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَقَدْ نَزَلَتِ الأَمْطَارُ فِى زَمَانِهِ فِي مَرَّاتٍ كَثِيرَةٍ وَلَمْ يُؤْثَرْ عَنْهُ أَنَّهُ خَصَّ ذَلِكَ الْوَقْتَ بِدَعَوَاتٍ يَدْعُو بِهَا وَإِنَّمَا يَقُولُ اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا وَلَمَّا أَصْبَحَ فِي الْحُدَيْبِيَةِ عَلَى إِثْرِ مَطَرٍ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ فَمَنْ قَالَ مُطِرْنَا بنَوْءِ كَذَا فَذَاكَ كَافِرٌ بِيْ مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ وَمَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَمِنْ هُنَا فَنَقُولُ بِأَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ شَيْءٌ فِي هَذَا الْمَعْنَى


Syaikh kami, ada yang bertanya tentang berdoa ketika turun hujan: “Apakah ada dalil yang menjelaskan bahwa itu adalah waktu doa yang mustajab?” Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’ad, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ada dua doa yang tidak tertolak atau hampir tidak akan tertolak: yaitu doa ketika azan dan ketika sedang berperang.” (HR. Abu Daud) Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan para perawi lain. Namun, dalam beberapa riwayatnya disebutkan dengan lafaz, “…dan doa ketika hujan.” Oleh sebab itu, sebagian ulama berpendapat bahwa doa ketika turun hujan itu mustajab. Namun, lafaz tambahan “…dan ketika hujan” ini…tidak diriwayatkan dengan sanad yang shahih dan bersambung. Lalu lafaz ini juga menyelisihi riwayat para perawi lain yang tidak menyebutkan selain doa ketika azan dan ketika perang. Oleh sebab itu, pendapat yang lebih kuat adalah tidak ada riwayat yang shahih dalam hal ini. Terlebih lagi, diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa dalam banyak momen, dan hujan pun banyak turun pada zaman beliau. Namun tidak ada riwayat dari beliau bahwa beliau mengkhususkan waktu tersebut untuk berdoa dengan doa-doa tertentu. Beliau hanya membaca doa turun hujan: ALLAAHUMMA SHOYYIBAN NAAFI’AN(Ya Allah! Jadikanlah hujan ini deras dan bermanfaat). Juga ketika beliau berada di pagi hari, di Hudaibiyah, setelah hujannya turun, beliau bersabda bahwa Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Ada dari hamba-Ku yang memasuki waktu pagi dalam keadaan beriman, ada pula yang kafir. Adapun yang mengucapkan: ‘Kami diguyur hujan berkat fase bulan ini’ maka orang itu telah kafir terhadap-Ku dan beriman kepada bintang. Sedangkan yang mengucapkan: ‘Kami diguyur hujan berkat karunia dan rahmat Allah’maka orang itu telah beriman kepada-Ku dan kafir terhadap bintang.” Dari sini dapat kita katakan bahwa tidak ada riwayat yang shahih dalam permasalahan ini (mustajabnya doa saat turun hujan). ==== سَأَلَ يَا شَيْخَنَا عَنِ الدُّعَاءِ فِي وَقْتِ نُزُولِ الْمَطَرِ هَلْ وَرَدَ أَنَّهُ وَقْتٌ لِاسْتِجَابَةِ الدُّعَاءِ قَدْ وَرَدَ فِي حَدِيثِ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثِنْتَانِ لاَ تُرَدَّانِ أَوْ قَلَّمَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِ وَعِنْدَ الْبَأْسِ وَهَذَا الْحَدِيثُ قَدْ أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَابْنُ حِبَّانَ وَجَمَاعَةٌ وَلَكِن فِي بَعْضِ رِوَايَاتِهِ قَالَ وَوَقْتَ الْمَطَرِ وَلِذَلِكَ رَأَى بَعْضُهُمْ أَنَّ الدُّعَاءَ فِي وَقْتِ الْمَطَرِ مُسْتَجَابٌ لَكِنْ هَذِهِ الزِّيَادَةُ وَهَذِهِ اللَّفْظَةُ وَقْتَ الْمَطَرِ لَمْ تَأْتِ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ مُتَّصِلٍ ثُمَّ إِنَّهَا قَدْ خَالَفَتْ رِوَايَةَ الْبَقِيَّةِ مِنَ الرُّوَاةِ الَّذِيْنَ لَمْ يَذْكُرُوا إِلَّا النِّدَاءَ وَحِينَ الْبَأْسِ وَلِذَا فَالْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ شَيْءٌ مِنْ هَذَا خُصُوصًا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ وَرَدَ عَنْهُ الدُّعَاءُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَقَدْ نَزَلَتِ الأَمْطَارُ فِى زَمَانِهِ فِي مَرَّاتٍ كَثِيرَةٍ وَلَمْ يُؤْثَرْ عَنْهُ أَنَّهُ خَصَّ ذَلِكَ الْوَقْتَ بِدَعَوَاتٍ يَدْعُو بِهَا وَإِنَّمَا يَقُولُ اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا وَلَمَّا أَصْبَحَ فِي الْحُدَيْبِيَةِ عَلَى إِثْرِ مَطَرٍ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ فَمَنْ قَالَ مُطِرْنَا بنَوْءِ كَذَا فَذَاكَ كَافِرٌ بِيْ مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ وَمَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَمِنْ هُنَا فَنَقُولُ بِأَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ شَيْءٌ فِي هَذَا الْمَعْنَى

Besarnya Kasih Sayang Allah (Bag. 4): Rahmat Allah Mendahului Murka-Nya

Manusia tentu tidak pernah lepas dari yang namanya dosa dan maksiat. Tidak ada manusia di muka bumi ini yang terbebas dari kesalahan. Terjerumusnya hamba kepada dosa dan maksiat merupakan sebuah hal yang wajar, karena manusia diciptakan memiliki syahwat dan hawa nafsu. Dua hal inilah yang merupakan di antara penyebab seorang hamba terjerumus ke dalam kemaksiatan. Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah dalam kondisi banyak melakukan kesalahan. Dan apabila manusia tidak melakukan dosa, maka Allah pun akan melenyapkannya dan mengganti mereka dengan manusia yang lain yang berbuat dosa kemudian bertobat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seandainya kalian tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan melenyapkan kalian dan benar-benar akan menciptakan suatu kaum yang mereka berbuat dosa, kemudian memohon ampunan kepada Allah, lalu Dia pun mengampuni mereka.” [1] Kendati demikian, tentu kita harus mengakui bahwa diri kita ini banyak berlumuran dengan dosa dan maksiat. Hanya saja, Allah ‘Azza Wajalla yang Maha Pemurah yang menutupi semua aib kita. Andaikan Allah jadikan setiap dosa atau maksiat yang dilakukan oleh kita dapat dicium oleh manusia, niscaya tidak akan ada seorang pun yang mau mendekati kita. Sekalipun itu ayah, ibu, suami, istri, anak, dan orang-orang terdekat kita. Allah yang Mahaluas rahmat-Nya selalu menutupi aib kita dan memberikan kesempatan kepada kita untuk bertobat. Allah berfirman, وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia memohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [2] Salah satu bentuk rahmat Allah adalah ampunan Allah. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْبًا فَقَالَ:اَللّـهُمَّ اغْفِرْلِي ذَنْبِي فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى:أَذْنَبَ عَبْدِي ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ، ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ فَقَالَ:أَيْ رَبِّ اغْفِرْلِي ذَنْبِي، فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَذْنَبَ عَبْدِي ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ، ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ فَقَالَ:أَيْ رَبِّ اغْفِرْلِي ذَنْبِي، فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَذْنَبَ عَبْدِي ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ، اِعْمَلْ مَاشِعْتَ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ. “Jika seorang hamba melakukan dosa, lalu berkata, ‘Ya Allah, ampunilah dosaku,’ maka Allah Tabaraka wa Ta’ala, berfirman, ‘Hamba-Ku telah melakukan dosa, lalu ia mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang akan mengampuni dosa dan menghapusnya. Kemudian ia mengulangi perbuatan dosanya.’ Lalu, orang tersebut berkata, ‘Ya Allah, ampunilah dosaku,’ maka Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ‘Hamba-Ku telah melakukan dosa, lalu ia mengetahui bahwa ia mempunyai Rabb yang mengampuni dosa dan menghapusnya.’ Kemudian ia mengulangi lagi perbuatan dosanya. Lalu, ia berkata, ‘Ya Allah ampunilah dosaku,’ maka Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman lagi, ‘Hamba-Ku telah melakukan dosa. Lalu, ia mengetahui bahwa ia mempunyai Rabb yang mengampuni dosa dan menghapusnya, berbuatlah apa yang engkau kehendaki, karena Aku telah memberi ampunan untukmu.’” [3] Allah ‘Azza Wajalla akan mengampuni seluruh dosa hamba-Nya, walaupun dosa itu sebesar bumi dan setinggi langit. Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah berfirman, يَا ابْنَ آدَمَ ، إنَّكَ مَا دَعَوْتَنِيْ وَرَجَوْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيْكَ وَلَا أُبَالِيْ ، يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ، ثُمَّ اسْتَغفَرْتَنِيْ ، غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِيْ ، يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ، ثُمَّ لَقِيتَنيْ لَا تُشْرِكُ بِيْ شَيْئًا ، لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابهَا مَغْفِرَةً ‘Hai anak Adam! Sesungguhnya selama engkau berdoa dan berharap hanya kepada-Ku, niscaya Aku mengampuni dosa-dosa yang telah engkau lakukan dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam! Seandainya dosa-dosamu setinggi langit, kemudian engkau minta ampunan kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam! Jika engkau datang kepadaku dengan membawa dosa-dosa yang hampir memenuhi bumi kemudian engkau bertemu dengan-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun, niscaya Aku datang kepadamu dengan memberikan ampunan sepenuh bumi.’” [4] Allah ‘Azza Wajalla merupakan Zat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Allah berfirman, نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ “Kabarkan kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Akulah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [5] Ada sebuah ketetapan dari Allah ‘Azza Wajalla kepada dirinya sendiri di kala Allah menetapkan penciptaan makhluk. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalllam bersabda, لَمَّا قَضَى اللَّهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابٍ فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ إِنَّ رَحْمَتِي تَغْلِبُ غَضَبِي “Ketika Allah menetapkan penciptaan makhluk, Dia menulis di dalam Kitab-Nya, yang berada di sisi-Nya di atas Arsy, ‘Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemurkaan-Ku.’” [6] Allah berfirman, وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” [7] Hadis di atas merupakan kabar gembira bagi seluruh hamba-Nya. Kita mengetahui Allah ‘Azza Wajalla memiliki azab dan siksaan yang pedih bagi para pelaku maksiat, namun rahmat Allah jauh lebih besar dari azab dan murka-Nya. Ketetapan ini patut kita syukuri dengan memperbanyak amal ibadah dan semakin bersemangat untuk meninggalkan kemaksiatan. Semoga Allah menjadikan kita semua menjadi hamba-hamba yang pandai untuk bersyukur dan menerima segala amal ibadah dan tobat kita. Wallahu a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 3 *** Diselesaikan di Temanggung, 14 Rajab 1446 Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Mukhtashar Shahih Muslim, no. 1922, dari hadis Abu Hurairah. [2] QS. An-Nisa’: 110. [3] HR. Muslim. [4] HR. Tirmidzi dan beliau berkata, “Hadis ini hasan sahih.” [5] QS. Al Hijr: 49. [6] HR. Bukhari no. 3194 dan Muslim no. 2751. [7] QS. Al-A’raf: 156.

Besarnya Kasih Sayang Allah (Bag. 4): Rahmat Allah Mendahului Murka-Nya

Manusia tentu tidak pernah lepas dari yang namanya dosa dan maksiat. Tidak ada manusia di muka bumi ini yang terbebas dari kesalahan. Terjerumusnya hamba kepada dosa dan maksiat merupakan sebuah hal yang wajar, karena manusia diciptakan memiliki syahwat dan hawa nafsu. Dua hal inilah yang merupakan di antara penyebab seorang hamba terjerumus ke dalam kemaksiatan. Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah dalam kondisi banyak melakukan kesalahan. Dan apabila manusia tidak melakukan dosa, maka Allah pun akan melenyapkannya dan mengganti mereka dengan manusia yang lain yang berbuat dosa kemudian bertobat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seandainya kalian tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan melenyapkan kalian dan benar-benar akan menciptakan suatu kaum yang mereka berbuat dosa, kemudian memohon ampunan kepada Allah, lalu Dia pun mengampuni mereka.” [1] Kendati demikian, tentu kita harus mengakui bahwa diri kita ini banyak berlumuran dengan dosa dan maksiat. Hanya saja, Allah ‘Azza Wajalla yang Maha Pemurah yang menutupi semua aib kita. Andaikan Allah jadikan setiap dosa atau maksiat yang dilakukan oleh kita dapat dicium oleh manusia, niscaya tidak akan ada seorang pun yang mau mendekati kita. Sekalipun itu ayah, ibu, suami, istri, anak, dan orang-orang terdekat kita. Allah yang Mahaluas rahmat-Nya selalu menutupi aib kita dan memberikan kesempatan kepada kita untuk bertobat. Allah berfirman, وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia memohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [2] Salah satu bentuk rahmat Allah adalah ampunan Allah. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْبًا فَقَالَ:اَللّـهُمَّ اغْفِرْلِي ذَنْبِي فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى:أَذْنَبَ عَبْدِي ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ، ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ فَقَالَ:أَيْ رَبِّ اغْفِرْلِي ذَنْبِي، فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَذْنَبَ عَبْدِي ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ، ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ فَقَالَ:أَيْ رَبِّ اغْفِرْلِي ذَنْبِي، فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَذْنَبَ عَبْدِي ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ، اِعْمَلْ مَاشِعْتَ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ. “Jika seorang hamba melakukan dosa, lalu berkata, ‘Ya Allah, ampunilah dosaku,’ maka Allah Tabaraka wa Ta’ala, berfirman, ‘Hamba-Ku telah melakukan dosa, lalu ia mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang akan mengampuni dosa dan menghapusnya. Kemudian ia mengulangi perbuatan dosanya.’ Lalu, orang tersebut berkata, ‘Ya Allah, ampunilah dosaku,’ maka Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ‘Hamba-Ku telah melakukan dosa, lalu ia mengetahui bahwa ia mempunyai Rabb yang mengampuni dosa dan menghapusnya.’ Kemudian ia mengulangi lagi perbuatan dosanya. Lalu, ia berkata, ‘Ya Allah ampunilah dosaku,’ maka Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman lagi, ‘Hamba-Ku telah melakukan dosa. Lalu, ia mengetahui bahwa ia mempunyai Rabb yang mengampuni dosa dan menghapusnya, berbuatlah apa yang engkau kehendaki, karena Aku telah memberi ampunan untukmu.’” [3] Allah ‘Azza Wajalla akan mengampuni seluruh dosa hamba-Nya, walaupun dosa itu sebesar bumi dan setinggi langit. Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah berfirman, يَا ابْنَ آدَمَ ، إنَّكَ مَا دَعَوْتَنِيْ وَرَجَوْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيْكَ وَلَا أُبَالِيْ ، يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ، ثُمَّ اسْتَغفَرْتَنِيْ ، غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِيْ ، يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ، ثُمَّ لَقِيتَنيْ لَا تُشْرِكُ بِيْ شَيْئًا ، لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابهَا مَغْفِرَةً ‘Hai anak Adam! Sesungguhnya selama engkau berdoa dan berharap hanya kepada-Ku, niscaya Aku mengampuni dosa-dosa yang telah engkau lakukan dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam! Seandainya dosa-dosamu setinggi langit, kemudian engkau minta ampunan kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam! Jika engkau datang kepadaku dengan membawa dosa-dosa yang hampir memenuhi bumi kemudian engkau bertemu dengan-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun, niscaya Aku datang kepadamu dengan memberikan ampunan sepenuh bumi.’” [4] Allah ‘Azza Wajalla merupakan Zat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Allah berfirman, نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ “Kabarkan kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Akulah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [5] Ada sebuah ketetapan dari Allah ‘Azza Wajalla kepada dirinya sendiri di kala Allah menetapkan penciptaan makhluk. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalllam bersabda, لَمَّا قَضَى اللَّهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابٍ فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ إِنَّ رَحْمَتِي تَغْلِبُ غَضَبِي “Ketika Allah menetapkan penciptaan makhluk, Dia menulis di dalam Kitab-Nya, yang berada di sisi-Nya di atas Arsy, ‘Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemurkaan-Ku.’” [6] Allah berfirman, وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” [7] Hadis di atas merupakan kabar gembira bagi seluruh hamba-Nya. Kita mengetahui Allah ‘Azza Wajalla memiliki azab dan siksaan yang pedih bagi para pelaku maksiat, namun rahmat Allah jauh lebih besar dari azab dan murka-Nya. Ketetapan ini patut kita syukuri dengan memperbanyak amal ibadah dan semakin bersemangat untuk meninggalkan kemaksiatan. Semoga Allah menjadikan kita semua menjadi hamba-hamba yang pandai untuk bersyukur dan menerima segala amal ibadah dan tobat kita. Wallahu a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 3 *** Diselesaikan di Temanggung, 14 Rajab 1446 Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Mukhtashar Shahih Muslim, no. 1922, dari hadis Abu Hurairah. [2] QS. An-Nisa’: 110. [3] HR. Muslim. [4] HR. Tirmidzi dan beliau berkata, “Hadis ini hasan sahih.” [5] QS. Al Hijr: 49. [6] HR. Bukhari no. 3194 dan Muslim no. 2751. [7] QS. Al-A’raf: 156.
Manusia tentu tidak pernah lepas dari yang namanya dosa dan maksiat. Tidak ada manusia di muka bumi ini yang terbebas dari kesalahan. Terjerumusnya hamba kepada dosa dan maksiat merupakan sebuah hal yang wajar, karena manusia diciptakan memiliki syahwat dan hawa nafsu. Dua hal inilah yang merupakan di antara penyebab seorang hamba terjerumus ke dalam kemaksiatan. Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah dalam kondisi banyak melakukan kesalahan. Dan apabila manusia tidak melakukan dosa, maka Allah pun akan melenyapkannya dan mengganti mereka dengan manusia yang lain yang berbuat dosa kemudian bertobat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seandainya kalian tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan melenyapkan kalian dan benar-benar akan menciptakan suatu kaum yang mereka berbuat dosa, kemudian memohon ampunan kepada Allah, lalu Dia pun mengampuni mereka.” [1] Kendati demikian, tentu kita harus mengakui bahwa diri kita ini banyak berlumuran dengan dosa dan maksiat. Hanya saja, Allah ‘Azza Wajalla yang Maha Pemurah yang menutupi semua aib kita. Andaikan Allah jadikan setiap dosa atau maksiat yang dilakukan oleh kita dapat dicium oleh manusia, niscaya tidak akan ada seorang pun yang mau mendekati kita. Sekalipun itu ayah, ibu, suami, istri, anak, dan orang-orang terdekat kita. Allah yang Mahaluas rahmat-Nya selalu menutupi aib kita dan memberikan kesempatan kepada kita untuk bertobat. Allah berfirman, وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia memohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [2] Salah satu bentuk rahmat Allah adalah ampunan Allah. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْبًا فَقَالَ:اَللّـهُمَّ اغْفِرْلِي ذَنْبِي فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى:أَذْنَبَ عَبْدِي ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ، ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ فَقَالَ:أَيْ رَبِّ اغْفِرْلِي ذَنْبِي، فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَذْنَبَ عَبْدِي ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ، ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ فَقَالَ:أَيْ رَبِّ اغْفِرْلِي ذَنْبِي، فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَذْنَبَ عَبْدِي ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ، اِعْمَلْ مَاشِعْتَ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ. “Jika seorang hamba melakukan dosa, lalu berkata, ‘Ya Allah, ampunilah dosaku,’ maka Allah Tabaraka wa Ta’ala, berfirman, ‘Hamba-Ku telah melakukan dosa, lalu ia mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang akan mengampuni dosa dan menghapusnya. Kemudian ia mengulangi perbuatan dosanya.’ Lalu, orang tersebut berkata, ‘Ya Allah, ampunilah dosaku,’ maka Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ‘Hamba-Ku telah melakukan dosa, lalu ia mengetahui bahwa ia mempunyai Rabb yang mengampuni dosa dan menghapusnya.’ Kemudian ia mengulangi lagi perbuatan dosanya. Lalu, ia berkata, ‘Ya Allah ampunilah dosaku,’ maka Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman lagi, ‘Hamba-Ku telah melakukan dosa. Lalu, ia mengetahui bahwa ia mempunyai Rabb yang mengampuni dosa dan menghapusnya, berbuatlah apa yang engkau kehendaki, karena Aku telah memberi ampunan untukmu.’” [3] Allah ‘Azza Wajalla akan mengampuni seluruh dosa hamba-Nya, walaupun dosa itu sebesar bumi dan setinggi langit. Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah berfirman, يَا ابْنَ آدَمَ ، إنَّكَ مَا دَعَوْتَنِيْ وَرَجَوْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيْكَ وَلَا أُبَالِيْ ، يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ، ثُمَّ اسْتَغفَرْتَنِيْ ، غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِيْ ، يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ، ثُمَّ لَقِيتَنيْ لَا تُشْرِكُ بِيْ شَيْئًا ، لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابهَا مَغْفِرَةً ‘Hai anak Adam! Sesungguhnya selama engkau berdoa dan berharap hanya kepada-Ku, niscaya Aku mengampuni dosa-dosa yang telah engkau lakukan dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam! Seandainya dosa-dosamu setinggi langit, kemudian engkau minta ampunan kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam! Jika engkau datang kepadaku dengan membawa dosa-dosa yang hampir memenuhi bumi kemudian engkau bertemu dengan-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun, niscaya Aku datang kepadamu dengan memberikan ampunan sepenuh bumi.’” [4] Allah ‘Azza Wajalla merupakan Zat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Allah berfirman, نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ “Kabarkan kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Akulah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [5] Ada sebuah ketetapan dari Allah ‘Azza Wajalla kepada dirinya sendiri di kala Allah menetapkan penciptaan makhluk. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalllam bersabda, لَمَّا قَضَى اللَّهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابٍ فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ إِنَّ رَحْمَتِي تَغْلِبُ غَضَبِي “Ketika Allah menetapkan penciptaan makhluk, Dia menulis di dalam Kitab-Nya, yang berada di sisi-Nya di atas Arsy, ‘Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemurkaan-Ku.’” [6] Allah berfirman, وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” [7] Hadis di atas merupakan kabar gembira bagi seluruh hamba-Nya. Kita mengetahui Allah ‘Azza Wajalla memiliki azab dan siksaan yang pedih bagi para pelaku maksiat, namun rahmat Allah jauh lebih besar dari azab dan murka-Nya. Ketetapan ini patut kita syukuri dengan memperbanyak amal ibadah dan semakin bersemangat untuk meninggalkan kemaksiatan. Semoga Allah menjadikan kita semua menjadi hamba-hamba yang pandai untuk bersyukur dan menerima segala amal ibadah dan tobat kita. Wallahu a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 3 *** Diselesaikan di Temanggung, 14 Rajab 1446 Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Mukhtashar Shahih Muslim, no. 1922, dari hadis Abu Hurairah. [2] QS. An-Nisa’: 110. [3] HR. Muslim. [4] HR. Tirmidzi dan beliau berkata, “Hadis ini hasan sahih.” [5] QS. Al Hijr: 49. [6] HR. Bukhari no. 3194 dan Muslim no. 2751. [7] QS. Al-A’raf: 156.


Manusia tentu tidak pernah lepas dari yang namanya dosa dan maksiat. Tidak ada manusia di muka bumi ini yang terbebas dari kesalahan. Terjerumusnya hamba kepada dosa dan maksiat merupakan sebuah hal yang wajar, karena manusia diciptakan memiliki syahwat dan hawa nafsu. Dua hal inilah yang merupakan di antara penyebab seorang hamba terjerumus ke dalam kemaksiatan. Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah dalam kondisi banyak melakukan kesalahan. Dan apabila manusia tidak melakukan dosa, maka Allah pun akan melenyapkannya dan mengganti mereka dengan manusia yang lain yang berbuat dosa kemudian bertobat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seandainya kalian tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan melenyapkan kalian dan benar-benar akan menciptakan suatu kaum yang mereka berbuat dosa, kemudian memohon ampunan kepada Allah, lalu Dia pun mengampuni mereka.” [1] Kendati demikian, tentu kita harus mengakui bahwa diri kita ini banyak berlumuran dengan dosa dan maksiat. Hanya saja, Allah ‘Azza Wajalla yang Maha Pemurah yang menutupi semua aib kita. Andaikan Allah jadikan setiap dosa atau maksiat yang dilakukan oleh kita dapat dicium oleh manusia, niscaya tidak akan ada seorang pun yang mau mendekati kita. Sekalipun itu ayah, ibu, suami, istri, anak, dan orang-orang terdekat kita. Allah yang Mahaluas rahmat-Nya selalu menutupi aib kita dan memberikan kesempatan kepada kita untuk bertobat. Allah berfirman, وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia memohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [2] Salah satu bentuk rahmat Allah adalah ampunan Allah. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْبًا فَقَالَ:اَللّـهُمَّ اغْفِرْلِي ذَنْبِي فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى:أَذْنَبَ عَبْدِي ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ، ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ فَقَالَ:أَيْ رَبِّ اغْفِرْلِي ذَنْبِي، فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَذْنَبَ عَبْدِي ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ، ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ فَقَالَ:أَيْ رَبِّ اغْفِرْلِي ذَنْبِي، فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَذْنَبَ عَبْدِي ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ، اِعْمَلْ مَاشِعْتَ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ. “Jika seorang hamba melakukan dosa, lalu berkata, ‘Ya Allah, ampunilah dosaku,’ maka Allah Tabaraka wa Ta’ala, berfirman, ‘Hamba-Ku telah melakukan dosa, lalu ia mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang akan mengampuni dosa dan menghapusnya. Kemudian ia mengulangi perbuatan dosanya.’ Lalu, orang tersebut berkata, ‘Ya Allah, ampunilah dosaku,’ maka Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ‘Hamba-Ku telah melakukan dosa, lalu ia mengetahui bahwa ia mempunyai Rabb yang mengampuni dosa dan menghapusnya.’ Kemudian ia mengulangi lagi perbuatan dosanya. Lalu, ia berkata, ‘Ya Allah ampunilah dosaku,’ maka Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman lagi, ‘Hamba-Ku telah melakukan dosa. Lalu, ia mengetahui bahwa ia mempunyai Rabb yang mengampuni dosa dan menghapusnya, berbuatlah apa yang engkau kehendaki, karena Aku telah memberi ampunan untukmu.’” [3] Allah ‘Azza Wajalla akan mengampuni seluruh dosa hamba-Nya, walaupun dosa itu sebesar bumi dan setinggi langit. Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah berfirman, يَا ابْنَ آدَمَ ، إنَّكَ مَا دَعَوْتَنِيْ وَرَجَوْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيْكَ وَلَا أُبَالِيْ ، يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ، ثُمَّ اسْتَغفَرْتَنِيْ ، غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِيْ ، يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ، ثُمَّ لَقِيتَنيْ لَا تُشْرِكُ بِيْ شَيْئًا ، لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابهَا مَغْفِرَةً ‘Hai anak Adam! Sesungguhnya selama engkau berdoa dan berharap hanya kepada-Ku, niscaya Aku mengampuni dosa-dosa yang telah engkau lakukan dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam! Seandainya dosa-dosamu setinggi langit, kemudian engkau minta ampunan kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam! Jika engkau datang kepadaku dengan membawa dosa-dosa yang hampir memenuhi bumi kemudian engkau bertemu dengan-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun, niscaya Aku datang kepadamu dengan memberikan ampunan sepenuh bumi.’” [4] Allah ‘Azza Wajalla merupakan Zat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Allah berfirman, نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ “Kabarkan kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Akulah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [5] Ada sebuah ketetapan dari Allah ‘Azza Wajalla kepada dirinya sendiri di kala Allah menetapkan penciptaan makhluk. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalllam bersabda, لَمَّا قَضَى اللَّهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابٍ فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ إِنَّ رَحْمَتِي تَغْلِبُ غَضَبِي “Ketika Allah menetapkan penciptaan makhluk, Dia menulis di dalam Kitab-Nya, yang berada di sisi-Nya di atas Arsy, ‘Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemurkaan-Ku.’” [6] Allah berfirman, وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” [7] Hadis di atas merupakan kabar gembira bagi seluruh hamba-Nya. Kita mengetahui Allah ‘Azza Wajalla memiliki azab dan siksaan yang pedih bagi para pelaku maksiat, namun rahmat Allah jauh lebih besar dari azab dan murka-Nya. Ketetapan ini patut kita syukuri dengan memperbanyak amal ibadah dan semakin bersemangat untuk meninggalkan kemaksiatan. Semoga Allah menjadikan kita semua menjadi hamba-hamba yang pandai untuk bersyukur dan menerima segala amal ibadah dan tobat kita. Wallahu a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 3 *** Diselesaikan di Temanggung, 14 Rajab 1446 Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Mukhtashar Shahih Muslim, no. 1922, dari hadis Abu Hurairah. [2] QS. An-Nisa’: 110. [3] HR. Muslim. [4] HR. Tirmidzi dan beliau berkata, “Hadis ini hasan sahih.” [5] QS. Al Hijr: 49. [6] HR. Bukhari no. 3194 dan Muslim no. 2751. [7] QS. Al-A’raf: 156.

Sebab Turunnya Keberkahan pada Harta – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim dari Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia berkata: “Aku pernah meminta harta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau memberiku. Lalu aku memintanya lagi kepada beliau, dan beliau memberiku. Lalu aku memintanya lagi kepada beliau, dan beliau memberiku. Kemudian beliau bersabda: ‘Wahai Hakim, sungguh harta ini menarik dan manis. Barang siapa yang mengambilnya dengan kemurahan hati, ia akan diberkahi dalam harta itu. Dan barang siapa yang mengambilnya dengan jiwa yang serakah, ia tidak diberkahi dalam harta itu. Lalu ia seperti orang yang makan dan minum, tapi tidak juga kenyang. Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.’ Hakim lalu berkata: ‘Demi Allah! Aku tidak akan meminta kepada seorang pun setelah engkau ini, wahai Rasulullah!’” (HR. Bukhari) Yakni aku tidak akan meminta apa pun kepada siapa pun. Hingga pada kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq, beliau ingin memberi Hakim haknya, tapi ia menolak. Begitupun pada kekhalifahan Umar, beliau ingin memberi Hakim haknya, tapi ia juga menolak. Umar pun berkata: “Aku menjadikan kalian sebagai saksi, bahwa aku telah memberikan haknya, tapi ia enggan menerimanya.” Pertama, lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlakukan seorang Sahabat ini. Sahabat ini, semoga Allah meridainya, dulunya tidak menyadari makna-makna ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada mulanya memenuhi permintaannya, juga pada kali kedua dan ketiga. Lalu Nabi memberinya nasihat ini dengan penuh kelembutan, sehingga tersentuh hatinya, sampai-sampai ia bertekad untuk tidak meminta sesuatu kepada siapa pun setelah itu. Selain itu, perhatikan juga untaian kalimat agung ini, yang menjadi nasihat yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hakim, dan ini juga menjadi nasihat bagi umat beliau seluruhnya: “Sungguh harta ini menarik dan manis…” Harta sangatlah disukai setiap jiwa. Sebagaimana firman Allah: “Dan kalian mencintai harta dengan cinta yang berlebihan.” (al-Fajr: 20). “Barang siapa yang mengambilnya dengan kemurahan hati…” Yakni barang siapa yang mengambil harta ini dengan kelapangan hati, “…maka ia akan diberkahi dalam harta itu.” Kemurahan hati merupakan salah satu sebab turunnya keberkahan. Makna kemurahan hati adalah seseorang tidak terpaut hatinya dengan harta tersebut, dan tidak punya keserakahan, ketamakan, dan rakus. Maka dari itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda setelah itu: “Dan barang siapa yang mengambilnya dengan jiwa yang serakah…” Yakni dengan keterpautan, ketamakan, dan kerakusan terhadap harta itu. “…maka ia tidak diberkahi dalam harta itu…” Keterpautan, ketamakan, dan kerakusan terhadap harta termasuk sebab dicabutnya keberkahan dari harta itu. “…maka ia tidak diberkahi dalam harta itu, dan ia seperti orang yang makan dan minum, tapi tidak juga kenyang.” Lalu Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “…Dan tangan yang di atas…” Yakni tangan yang berinfak dan memberi. “…lebih baik daripada tangan yang di bawah…” Yaitu tangan yang menerima pemberian. Hendaklah seorang Muslim menghadirkan hakikat-hakikat ini dalam dirinya. Dan jika ia menerima harta, ia menerimanya dengan kemurahan hati. Karena ini salah satu sebab turunnya keberkahan pada harta. Dan menjauhkan diri dari keserakahan jiwa, dari keterpautan kuat terhadap harta, dari kerakusan, dan ketamakan. Karena sesungguhnya sifat-sifat ini menjadi sebab dicabutnya keberkahan dari harta tersebut. ==== جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِي ثُمَّ قَالَ يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرٌ حُلْوٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ وَكَانَ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى قَالَ حَكِيمٌ وَاللَّهِ لَا أَرْزَؤُ بَعْدَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَحَدًا أَبَدًا يَعْنِي لَا أَطْلُبُ مِنْ أَحَدٍ شَيْئًا فَكَانَ فِي خِلَافِةِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ يُعْطِيْهِ أَبُو بَكْرٍ حَقَّهُ مِنَ الْعَطَاءِ فَيَأْبَى وَفِي خِلَافَةِ عُمَرَ يُعْطِيْهِ حَقَّهُ فَيَأْبَى فَيَقُولُ عُمَرُ أُشْهِدُكُمْ أَنِّي أُعْطِيْهِ حَقَّهُ وَأَنَّهُ يَأْبَى ذَلِكَ فَانْظُرْ كَيْفَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَّلًا كَيْفَ تَعَامَلَ مَعَ هَذَا الصَّحَابِيِّ هَذَا الصَّحَابِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ غَافِلًا عَنْ هَذِهِ الْمَعَانِي أَعْطَاهُ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى ثُمَّ الثَّانِيَةِ ثُمَّ الثَّالِثَةِ ثُمَّ قَدَّمَ لَهُ هَذِهِ النَّصِيحَةَ بِلُطْفٍ وَلِيْنٍ فَتَأَثَّرَ بِهَا لِدَرَجَةِ أَنَّهُ قَرَّرَ مِنْ ذَلِكَ الْحِينِ أَنَّهُ لَا يَسْأَلُ أَحَدًا شَيْئًا ثُمَّ تَأَمَّلْ فِي هَذِهِ الْكَلِمَاتِ الْعَظِيمَةِ الَّتِي نَصَحَ بِهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَكِيمًا وَهِي نَصِيحَةٌ لِلْأُمَّةِ جَمِيْعًا إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرٌ حُلْوٌ الْمَالُ مَحْبُوبٌ لِلنُّفُوسِ كَمَا قَالَ رَبُّنَا سُبْحَانَهُ وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ يَعْنِي مَنْ أَخَذَ هَذَا الْمَالَ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ فَسَخَاوَةُ النَّفْسِ مِنْ أَسْبَابِ حُلُولِ الْبَرَكَةِ مَعْنَى سَخَاوَةِ النَّفْسِ أَنْ لَا يَتَعَلَّقَ الْإِنْسَانُ بِهَذَا الْمَالِ وَأَنْ لَا يَكُونَ عِنْدَهُ إِشْرَافٌ وَطَمَعٌ وَجَشَعٌ وَلِهَذَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ بَعْدَ ذَلِكَ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ يَعْنِي بِتَعَلُّقٍ وَجَشَعٍ وَطَمَعٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ التَّعَلُّقُ وَالجَشَعُ وَإِشْرَافُ النَّفْسِ مِنْ أَسْبَابِ نَزْعِ الْبَرَكَةِ فِي الْمَالِ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ وَكَانَ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ ثُمَّ قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَالْيَدُ الْعُلْيَا وَهِيَ الْمُنْفِقَةُ وَالْمُعْطِيَةُ خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى وَهِيَ الْآخِذَةُ فَيَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَسْتَحْضِرَ هَذِهِ الْمَعَانِيَ وَإِذَا أَخَذَ الْمَالَ يَأْخُذُهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ فَإِنَّ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ حُلُولِ الْبَرَكَةِ فِي الْمَالِ وَأَنْ يَبْتَعِدَ عَنْ إِشْرَافِ النَّفْسِ وَعَنِ التَّعَلُّقِ الشَّدِيْدِ بِالْمَالِ وَعَنِ الجَشَعَ وَالطَّمَعِ فَإِنَّ هَذِهِ الْمَعَانِيَ تَكُونُ سَبَبًا لِنَزْعِ الْبَرَكَةِ مِنْ هَذَا الْمَالِ

Sebab Turunnya Keberkahan pada Harta – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim dari Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia berkata: “Aku pernah meminta harta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau memberiku. Lalu aku memintanya lagi kepada beliau, dan beliau memberiku. Lalu aku memintanya lagi kepada beliau, dan beliau memberiku. Kemudian beliau bersabda: ‘Wahai Hakim, sungguh harta ini menarik dan manis. Barang siapa yang mengambilnya dengan kemurahan hati, ia akan diberkahi dalam harta itu. Dan barang siapa yang mengambilnya dengan jiwa yang serakah, ia tidak diberkahi dalam harta itu. Lalu ia seperti orang yang makan dan minum, tapi tidak juga kenyang. Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.’ Hakim lalu berkata: ‘Demi Allah! Aku tidak akan meminta kepada seorang pun setelah engkau ini, wahai Rasulullah!’” (HR. Bukhari) Yakni aku tidak akan meminta apa pun kepada siapa pun. Hingga pada kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq, beliau ingin memberi Hakim haknya, tapi ia menolak. Begitupun pada kekhalifahan Umar, beliau ingin memberi Hakim haknya, tapi ia juga menolak. Umar pun berkata: “Aku menjadikan kalian sebagai saksi, bahwa aku telah memberikan haknya, tapi ia enggan menerimanya.” Pertama, lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlakukan seorang Sahabat ini. Sahabat ini, semoga Allah meridainya, dulunya tidak menyadari makna-makna ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada mulanya memenuhi permintaannya, juga pada kali kedua dan ketiga. Lalu Nabi memberinya nasihat ini dengan penuh kelembutan, sehingga tersentuh hatinya, sampai-sampai ia bertekad untuk tidak meminta sesuatu kepada siapa pun setelah itu. Selain itu, perhatikan juga untaian kalimat agung ini, yang menjadi nasihat yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hakim, dan ini juga menjadi nasihat bagi umat beliau seluruhnya: “Sungguh harta ini menarik dan manis…” Harta sangatlah disukai setiap jiwa. Sebagaimana firman Allah: “Dan kalian mencintai harta dengan cinta yang berlebihan.” (al-Fajr: 20). “Barang siapa yang mengambilnya dengan kemurahan hati…” Yakni barang siapa yang mengambil harta ini dengan kelapangan hati, “…maka ia akan diberkahi dalam harta itu.” Kemurahan hati merupakan salah satu sebab turunnya keberkahan. Makna kemurahan hati adalah seseorang tidak terpaut hatinya dengan harta tersebut, dan tidak punya keserakahan, ketamakan, dan rakus. Maka dari itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda setelah itu: “Dan barang siapa yang mengambilnya dengan jiwa yang serakah…” Yakni dengan keterpautan, ketamakan, dan kerakusan terhadap harta itu. “…maka ia tidak diberkahi dalam harta itu…” Keterpautan, ketamakan, dan kerakusan terhadap harta termasuk sebab dicabutnya keberkahan dari harta itu. “…maka ia tidak diberkahi dalam harta itu, dan ia seperti orang yang makan dan minum, tapi tidak juga kenyang.” Lalu Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “…Dan tangan yang di atas…” Yakni tangan yang berinfak dan memberi. “…lebih baik daripada tangan yang di bawah…” Yaitu tangan yang menerima pemberian. Hendaklah seorang Muslim menghadirkan hakikat-hakikat ini dalam dirinya. Dan jika ia menerima harta, ia menerimanya dengan kemurahan hati. Karena ini salah satu sebab turunnya keberkahan pada harta. Dan menjauhkan diri dari keserakahan jiwa, dari keterpautan kuat terhadap harta, dari kerakusan, dan ketamakan. Karena sesungguhnya sifat-sifat ini menjadi sebab dicabutnya keberkahan dari harta tersebut. ==== جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِي ثُمَّ قَالَ يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرٌ حُلْوٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ وَكَانَ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى قَالَ حَكِيمٌ وَاللَّهِ لَا أَرْزَؤُ بَعْدَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَحَدًا أَبَدًا يَعْنِي لَا أَطْلُبُ مِنْ أَحَدٍ شَيْئًا فَكَانَ فِي خِلَافِةِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ يُعْطِيْهِ أَبُو بَكْرٍ حَقَّهُ مِنَ الْعَطَاءِ فَيَأْبَى وَفِي خِلَافَةِ عُمَرَ يُعْطِيْهِ حَقَّهُ فَيَأْبَى فَيَقُولُ عُمَرُ أُشْهِدُكُمْ أَنِّي أُعْطِيْهِ حَقَّهُ وَأَنَّهُ يَأْبَى ذَلِكَ فَانْظُرْ كَيْفَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَّلًا كَيْفَ تَعَامَلَ مَعَ هَذَا الصَّحَابِيِّ هَذَا الصَّحَابِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ غَافِلًا عَنْ هَذِهِ الْمَعَانِي أَعْطَاهُ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى ثُمَّ الثَّانِيَةِ ثُمَّ الثَّالِثَةِ ثُمَّ قَدَّمَ لَهُ هَذِهِ النَّصِيحَةَ بِلُطْفٍ وَلِيْنٍ فَتَأَثَّرَ بِهَا لِدَرَجَةِ أَنَّهُ قَرَّرَ مِنْ ذَلِكَ الْحِينِ أَنَّهُ لَا يَسْأَلُ أَحَدًا شَيْئًا ثُمَّ تَأَمَّلْ فِي هَذِهِ الْكَلِمَاتِ الْعَظِيمَةِ الَّتِي نَصَحَ بِهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَكِيمًا وَهِي نَصِيحَةٌ لِلْأُمَّةِ جَمِيْعًا إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرٌ حُلْوٌ الْمَالُ مَحْبُوبٌ لِلنُّفُوسِ كَمَا قَالَ رَبُّنَا سُبْحَانَهُ وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ يَعْنِي مَنْ أَخَذَ هَذَا الْمَالَ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ فَسَخَاوَةُ النَّفْسِ مِنْ أَسْبَابِ حُلُولِ الْبَرَكَةِ مَعْنَى سَخَاوَةِ النَّفْسِ أَنْ لَا يَتَعَلَّقَ الْإِنْسَانُ بِهَذَا الْمَالِ وَأَنْ لَا يَكُونَ عِنْدَهُ إِشْرَافٌ وَطَمَعٌ وَجَشَعٌ وَلِهَذَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ بَعْدَ ذَلِكَ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ يَعْنِي بِتَعَلُّقٍ وَجَشَعٍ وَطَمَعٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ التَّعَلُّقُ وَالجَشَعُ وَإِشْرَافُ النَّفْسِ مِنْ أَسْبَابِ نَزْعِ الْبَرَكَةِ فِي الْمَالِ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ وَكَانَ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ ثُمَّ قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَالْيَدُ الْعُلْيَا وَهِيَ الْمُنْفِقَةُ وَالْمُعْطِيَةُ خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى وَهِيَ الْآخِذَةُ فَيَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَسْتَحْضِرَ هَذِهِ الْمَعَانِيَ وَإِذَا أَخَذَ الْمَالَ يَأْخُذُهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ فَإِنَّ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ حُلُولِ الْبَرَكَةِ فِي الْمَالِ وَأَنْ يَبْتَعِدَ عَنْ إِشْرَافِ النَّفْسِ وَعَنِ التَّعَلُّقِ الشَّدِيْدِ بِالْمَالِ وَعَنِ الجَشَعَ وَالطَّمَعِ فَإِنَّ هَذِهِ الْمَعَانِيَ تَكُونُ سَبَبًا لِنَزْعِ الْبَرَكَةِ مِنْ هَذَا الْمَالِ
Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim dari Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia berkata: “Aku pernah meminta harta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau memberiku. Lalu aku memintanya lagi kepada beliau, dan beliau memberiku. Lalu aku memintanya lagi kepada beliau, dan beliau memberiku. Kemudian beliau bersabda: ‘Wahai Hakim, sungguh harta ini menarik dan manis. Barang siapa yang mengambilnya dengan kemurahan hati, ia akan diberkahi dalam harta itu. Dan barang siapa yang mengambilnya dengan jiwa yang serakah, ia tidak diberkahi dalam harta itu. Lalu ia seperti orang yang makan dan minum, tapi tidak juga kenyang. Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.’ Hakim lalu berkata: ‘Demi Allah! Aku tidak akan meminta kepada seorang pun setelah engkau ini, wahai Rasulullah!’” (HR. Bukhari) Yakni aku tidak akan meminta apa pun kepada siapa pun. Hingga pada kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq, beliau ingin memberi Hakim haknya, tapi ia menolak. Begitupun pada kekhalifahan Umar, beliau ingin memberi Hakim haknya, tapi ia juga menolak. Umar pun berkata: “Aku menjadikan kalian sebagai saksi, bahwa aku telah memberikan haknya, tapi ia enggan menerimanya.” Pertama, lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlakukan seorang Sahabat ini. Sahabat ini, semoga Allah meridainya, dulunya tidak menyadari makna-makna ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada mulanya memenuhi permintaannya, juga pada kali kedua dan ketiga. Lalu Nabi memberinya nasihat ini dengan penuh kelembutan, sehingga tersentuh hatinya, sampai-sampai ia bertekad untuk tidak meminta sesuatu kepada siapa pun setelah itu. Selain itu, perhatikan juga untaian kalimat agung ini, yang menjadi nasihat yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hakim, dan ini juga menjadi nasihat bagi umat beliau seluruhnya: “Sungguh harta ini menarik dan manis…” Harta sangatlah disukai setiap jiwa. Sebagaimana firman Allah: “Dan kalian mencintai harta dengan cinta yang berlebihan.” (al-Fajr: 20). “Barang siapa yang mengambilnya dengan kemurahan hati…” Yakni barang siapa yang mengambil harta ini dengan kelapangan hati, “…maka ia akan diberkahi dalam harta itu.” Kemurahan hati merupakan salah satu sebab turunnya keberkahan. Makna kemurahan hati adalah seseorang tidak terpaut hatinya dengan harta tersebut, dan tidak punya keserakahan, ketamakan, dan rakus. Maka dari itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda setelah itu: “Dan barang siapa yang mengambilnya dengan jiwa yang serakah…” Yakni dengan keterpautan, ketamakan, dan kerakusan terhadap harta itu. “…maka ia tidak diberkahi dalam harta itu…” Keterpautan, ketamakan, dan kerakusan terhadap harta termasuk sebab dicabutnya keberkahan dari harta itu. “…maka ia tidak diberkahi dalam harta itu, dan ia seperti orang yang makan dan minum, tapi tidak juga kenyang.” Lalu Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “…Dan tangan yang di atas…” Yakni tangan yang berinfak dan memberi. “…lebih baik daripada tangan yang di bawah…” Yaitu tangan yang menerima pemberian. Hendaklah seorang Muslim menghadirkan hakikat-hakikat ini dalam dirinya. Dan jika ia menerima harta, ia menerimanya dengan kemurahan hati. Karena ini salah satu sebab turunnya keberkahan pada harta. Dan menjauhkan diri dari keserakahan jiwa, dari keterpautan kuat terhadap harta, dari kerakusan, dan ketamakan. Karena sesungguhnya sifat-sifat ini menjadi sebab dicabutnya keberkahan dari harta tersebut. ==== جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِي ثُمَّ قَالَ يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرٌ حُلْوٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ وَكَانَ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى قَالَ حَكِيمٌ وَاللَّهِ لَا أَرْزَؤُ بَعْدَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَحَدًا أَبَدًا يَعْنِي لَا أَطْلُبُ مِنْ أَحَدٍ شَيْئًا فَكَانَ فِي خِلَافِةِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ يُعْطِيْهِ أَبُو بَكْرٍ حَقَّهُ مِنَ الْعَطَاءِ فَيَأْبَى وَفِي خِلَافَةِ عُمَرَ يُعْطِيْهِ حَقَّهُ فَيَأْبَى فَيَقُولُ عُمَرُ أُشْهِدُكُمْ أَنِّي أُعْطِيْهِ حَقَّهُ وَأَنَّهُ يَأْبَى ذَلِكَ فَانْظُرْ كَيْفَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَّلًا كَيْفَ تَعَامَلَ مَعَ هَذَا الصَّحَابِيِّ هَذَا الصَّحَابِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ غَافِلًا عَنْ هَذِهِ الْمَعَانِي أَعْطَاهُ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى ثُمَّ الثَّانِيَةِ ثُمَّ الثَّالِثَةِ ثُمَّ قَدَّمَ لَهُ هَذِهِ النَّصِيحَةَ بِلُطْفٍ وَلِيْنٍ فَتَأَثَّرَ بِهَا لِدَرَجَةِ أَنَّهُ قَرَّرَ مِنْ ذَلِكَ الْحِينِ أَنَّهُ لَا يَسْأَلُ أَحَدًا شَيْئًا ثُمَّ تَأَمَّلْ فِي هَذِهِ الْكَلِمَاتِ الْعَظِيمَةِ الَّتِي نَصَحَ بِهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَكِيمًا وَهِي نَصِيحَةٌ لِلْأُمَّةِ جَمِيْعًا إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرٌ حُلْوٌ الْمَالُ مَحْبُوبٌ لِلنُّفُوسِ كَمَا قَالَ رَبُّنَا سُبْحَانَهُ وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ يَعْنِي مَنْ أَخَذَ هَذَا الْمَالَ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ فَسَخَاوَةُ النَّفْسِ مِنْ أَسْبَابِ حُلُولِ الْبَرَكَةِ مَعْنَى سَخَاوَةِ النَّفْسِ أَنْ لَا يَتَعَلَّقَ الْإِنْسَانُ بِهَذَا الْمَالِ وَأَنْ لَا يَكُونَ عِنْدَهُ إِشْرَافٌ وَطَمَعٌ وَجَشَعٌ وَلِهَذَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ بَعْدَ ذَلِكَ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ يَعْنِي بِتَعَلُّقٍ وَجَشَعٍ وَطَمَعٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ التَّعَلُّقُ وَالجَشَعُ وَإِشْرَافُ النَّفْسِ مِنْ أَسْبَابِ نَزْعِ الْبَرَكَةِ فِي الْمَالِ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ وَكَانَ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ ثُمَّ قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَالْيَدُ الْعُلْيَا وَهِيَ الْمُنْفِقَةُ وَالْمُعْطِيَةُ خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى وَهِيَ الْآخِذَةُ فَيَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَسْتَحْضِرَ هَذِهِ الْمَعَانِيَ وَإِذَا أَخَذَ الْمَالَ يَأْخُذُهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ فَإِنَّ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ حُلُولِ الْبَرَكَةِ فِي الْمَالِ وَأَنْ يَبْتَعِدَ عَنْ إِشْرَافِ النَّفْسِ وَعَنِ التَّعَلُّقِ الشَّدِيْدِ بِالْمَالِ وَعَنِ الجَشَعَ وَالطَّمَعِ فَإِنَّ هَذِهِ الْمَعَانِيَ تَكُونُ سَبَبًا لِنَزْعِ الْبَرَكَةِ مِنْ هَذَا الْمَالِ


Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim dari Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia berkata: “Aku pernah meminta harta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau memberiku. Lalu aku memintanya lagi kepada beliau, dan beliau memberiku. Lalu aku memintanya lagi kepada beliau, dan beliau memberiku. Kemudian beliau bersabda: ‘Wahai Hakim, sungguh harta ini menarik dan manis. Barang siapa yang mengambilnya dengan kemurahan hati, ia akan diberkahi dalam harta itu. Dan barang siapa yang mengambilnya dengan jiwa yang serakah, ia tidak diberkahi dalam harta itu. Lalu ia seperti orang yang makan dan minum, tapi tidak juga kenyang. Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.’ Hakim lalu berkata: ‘Demi Allah! Aku tidak akan meminta kepada seorang pun setelah engkau ini, wahai Rasulullah!’” (HR. Bukhari) Yakni aku tidak akan meminta apa pun kepada siapa pun. Hingga pada kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq, beliau ingin memberi Hakim haknya, tapi ia menolak. Begitupun pada kekhalifahan Umar, beliau ingin memberi Hakim haknya, tapi ia juga menolak. Umar pun berkata: “Aku menjadikan kalian sebagai saksi, bahwa aku telah memberikan haknya, tapi ia enggan menerimanya.” Pertama, lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlakukan seorang Sahabat ini. Sahabat ini, semoga Allah meridainya, dulunya tidak menyadari makna-makna ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada mulanya memenuhi permintaannya, juga pada kali kedua dan ketiga. Lalu Nabi memberinya nasihat ini dengan penuh kelembutan, sehingga tersentuh hatinya, sampai-sampai ia bertekad untuk tidak meminta sesuatu kepada siapa pun setelah itu. Selain itu, perhatikan juga untaian kalimat agung ini, yang menjadi nasihat yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hakim, dan ini juga menjadi nasihat bagi umat beliau seluruhnya: “Sungguh harta ini menarik dan manis…” Harta sangatlah disukai setiap jiwa. Sebagaimana firman Allah: “Dan kalian mencintai harta dengan cinta yang berlebihan.” (al-Fajr: 20). “Barang siapa yang mengambilnya dengan kemurahan hati…” Yakni barang siapa yang mengambil harta ini dengan kelapangan hati, “…maka ia akan diberkahi dalam harta itu.” Kemurahan hati merupakan salah satu sebab turunnya keberkahan. Makna kemurahan hati adalah seseorang tidak terpaut hatinya dengan harta tersebut, dan tidak punya keserakahan, ketamakan, dan rakus. Maka dari itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda setelah itu: “Dan barang siapa yang mengambilnya dengan jiwa yang serakah…” Yakni dengan keterpautan, ketamakan, dan kerakusan terhadap harta itu. “…maka ia tidak diberkahi dalam harta itu…” Keterpautan, ketamakan, dan kerakusan terhadap harta termasuk sebab dicabutnya keberkahan dari harta itu. “…maka ia tidak diberkahi dalam harta itu, dan ia seperti orang yang makan dan minum, tapi tidak juga kenyang.” Lalu Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “…Dan tangan yang di atas…” Yakni tangan yang berinfak dan memberi. “…lebih baik daripada tangan yang di bawah…” Yaitu tangan yang menerima pemberian. Hendaklah seorang Muslim menghadirkan hakikat-hakikat ini dalam dirinya. Dan jika ia menerima harta, ia menerimanya dengan kemurahan hati. Karena ini salah satu sebab turunnya keberkahan pada harta. Dan menjauhkan diri dari keserakahan jiwa, dari keterpautan kuat terhadap harta, dari kerakusan, dan ketamakan. Karena sesungguhnya sifat-sifat ini menjadi sebab dicabutnya keberkahan dari harta tersebut. ==== جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِي ثُمَّ قَالَ يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرٌ حُلْوٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ وَكَانَ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى قَالَ حَكِيمٌ وَاللَّهِ لَا أَرْزَؤُ بَعْدَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَحَدًا أَبَدًا يَعْنِي لَا أَطْلُبُ مِنْ أَحَدٍ شَيْئًا فَكَانَ فِي خِلَافِةِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ يُعْطِيْهِ أَبُو بَكْرٍ حَقَّهُ مِنَ الْعَطَاءِ فَيَأْبَى وَفِي خِلَافَةِ عُمَرَ يُعْطِيْهِ حَقَّهُ فَيَأْبَى فَيَقُولُ عُمَرُ أُشْهِدُكُمْ أَنِّي أُعْطِيْهِ حَقَّهُ وَأَنَّهُ يَأْبَى ذَلِكَ فَانْظُرْ كَيْفَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَّلًا كَيْفَ تَعَامَلَ مَعَ هَذَا الصَّحَابِيِّ هَذَا الصَّحَابِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ غَافِلًا عَنْ هَذِهِ الْمَعَانِي أَعْطَاهُ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى ثُمَّ الثَّانِيَةِ ثُمَّ الثَّالِثَةِ ثُمَّ قَدَّمَ لَهُ هَذِهِ النَّصِيحَةَ بِلُطْفٍ وَلِيْنٍ فَتَأَثَّرَ بِهَا لِدَرَجَةِ أَنَّهُ قَرَّرَ مِنْ ذَلِكَ الْحِينِ أَنَّهُ لَا يَسْأَلُ أَحَدًا شَيْئًا ثُمَّ تَأَمَّلْ فِي هَذِهِ الْكَلِمَاتِ الْعَظِيمَةِ الَّتِي نَصَحَ بِهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَكِيمًا وَهِي نَصِيحَةٌ لِلْأُمَّةِ جَمِيْعًا إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرٌ حُلْوٌ الْمَالُ مَحْبُوبٌ لِلنُّفُوسِ كَمَا قَالَ رَبُّنَا سُبْحَانَهُ وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ يَعْنِي مَنْ أَخَذَ هَذَا الْمَالَ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ فَسَخَاوَةُ النَّفْسِ مِنْ أَسْبَابِ حُلُولِ الْبَرَكَةِ مَعْنَى سَخَاوَةِ النَّفْسِ أَنْ لَا يَتَعَلَّقَ الْإِنْسَانُ بِهَذَا الْمَالِ وَأَنْ لَا يَكُونَ عِنْدَهُ إِشْرَافٌ وَطَمَعٌ وَجَشَعٌ وَلِهَذَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ بَعْدَ ذَلِكَ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ يَعْنِي بِتَعَلُّقٍ وَجَشَعٍ وَطَمَعٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ التَّعَلُّقُ وَالجَشَعُ وَإِشْرَافُ النَّفْسِ مِنْ أَسْبَابِ نَزْعِ الْبَرَكَةِ فِي الْمَالِ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ وَكَانَ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ ثُمَّ قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَالْيَدُ الْعُلْيَا وَهِيَ الْمُنْفِقَةُ وَالْمُعْطِيَةُ خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى وَهِيَ الْآخِذَةُ فَيَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَسْتَحْضِرَ هَذِهِ الْمَعَانِيَ وَإِذَا أَخَذَ الْمَالَ يَأْخُذُهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ فَإِنَّ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ حُلُولِ الْبَرَكَةِ فِي الْمَالِ وَأَنْ يَبْتَعِدَ عَنْ إِشْرَافِ النَّفْسِ وَعَنِ التَّعَلُّقِ الشَّدِيْدِ بِالْمَالِ وَعَنِ الجَشَعَ وَالطَّمَعِ فَإِنَّ هَذِهِ الْمَعَانِيَ تَكُونُ سَبَبًا لِنَزْعِ الْبَرَكَةِ مِنْ هَذَا الْمَالِ

Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 9)

Telah berlalu pada pembahasan sebelumnya, terkait dengan hal-hal yang diharamkan dalam sewa menyewa jasa yang bersifat khusus. Tentunya telah jelas segala hal yang Allah dan Rasul-Nya halalkan dan haramkan. Sebagaimana hadis yang telah masyhur, dari sahabat Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ “Sesungguhnya yang halal telah nyata (jelas) dan yang haram juga telah nyata. Dan di antara keduanya ada perkara yang tidak jelas, yang tidak diketahui kebanyakan orang. Barangsiapa menjaga dirinya dari melakukan perkara yang meragukan, maka selamatlah agama dan harga dirinya. Tetapi siapa saja yang terjatuh dalam perkara syubhat, maka dia terjatuh kepada keharaman.” (HR. Muslim) Telah jelas perkara yang halal dan yang haram dalam agama ini. Tidaklah tersisa kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskannya. Sehingga sikap seorang muslim pada masalah muamalah, berputar pada tiga hal: Pertama: Muamalah yang sifatnya halal Silakan untuk dimanfaatkan, dilakukan dan laksanakan, selama sifat dan akadnya jelas dan halal. Kedua: Muamalah yang sifatnya haram Silahkan untuk ditinggalkan karena terdapat larangan yang telah melarangnya. Mengingat segala yang Allah dan Rasul-Nya larang mustahil jika tidak menimbulkan mudarat ataupun kerugian. Seringkali kerugian muncul karena adanya sistem transaksi yang haram. Ketiga: Muamalah yang sifatnya syubhat Pada hal inilah seorang muslim dituntut untuk bertanya kepada ahli ilmu akan keabsahan suatu akad. Apakah akadnya tersebut halal atau haram. Jika masih tetap berada di atas perkara syubhat, maka lebih baik ditinggalkan. Hal itu lebih selamat untuk diri dan agamanya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikianlah hendaknya seorang muslim bermuamalah. Tidak menerjang segala yang dilarang oleh Allah hanya karena masalah perut. Terdapat hadis yang dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis dha’if, namun secara makna dapat diambil faidah darinya, كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ “Setiap daging yang tumbuh dari hal yang haram, maka neraka lebih baik untuknya.” Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidzhullah berkata, “Hadis tersebut adalah hadis yang dha’if, datang dari Abu Bakr Ash Shiddiq …. Adapun makna hadisnya adalah sesungguhnya setiap tubuh dan daging yang diberikan gizi dengan yang haram, maka di akhirat kelak ia akan ditempatkan di neraka sebagai hukuman untuknya. Karena Allah Ta’ala telah mengharamkan hal-hal yang buruk dan penghasilan yang haram dan Allah hanya memerintahkan untuk memakan yang halal saja …” [1] Sewa menyewa jasa untuk hal ketaatan Setelah membahas hal-hal yang diharamkan, tentu perlu untuk diketahui soal sewa menyewa jasa untuk hal ibadah dan ketaatan [2]. Terkait dengan sewa menyewa jasa untuk hal ketaatan setidaknya terbagi menjadi tiga: Pertama, jasa yang sifatnya khusus untuk ibadah mahdah. Yakni, untuk ibadah-ibadah yang sifatnya fardhu ‘ain yang wajib dilakukan untuk setiap individu, bukan sifatnya fardhu kifayah yang dapat diwakili oleh yang lain. Seperti salat lima waktu, haji untuk dirinya sendiri, menunaikan zakat, puasa Ramadan, dan amalan-amalan lainnya yang wajib untuk setiap individu melaksanakannya. Amalan atau ibadah yang demikian tidak diperbolehkan untuk menyewa jasa orang lain untuk melakukannya, atau mengambil upah dari melaksanakan ibadah orang lain. Allah Ta’ala berfirman, مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَا وَزِيْنَتَهَا نُوَفِّ اِلَيْهِمْ اَعْمَالَهُمْ فِيْهَا وَهُمْ فِيْهَا لَا يُبْخَسُوْنَ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ لَيْسَ لَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ اِلَّا النَّارُ ۖوَحَبِطَ مَا صَنَعُوْا فِيْهَا وَبٰطِلٌ مَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ “Siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan kepada mereka (balasan) perbuatan mereka di dalamnya dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, sia-sialah apa yang telah mereka usahakan (di dunia), dan batallah apa yang dahulu selalu mereka kerjakan.” (QS. Hud: 15-16) Demikian pula, seseorang tidak diperbolehkan untuk mengambil upah dari amalannya tersebut upah dari baitul mal atau melakukan sayembara. Seperti memberikan upah bagi orang yang ingin salat di belakangnya (akan mendapat uang). Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, وَلَا يَصِحُّ ٱلِٱسْتِئْجَارُ عَلَى ٱلْقِرَاءَةِ وَإِهْدَائِهَا إِلَى ٱلْمَيِّتِ، لِأَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِّنَ ٱلْأَئِمَّةِ ٱلْإِذْنُ فِي ذَٰلِكَ. وَقَدْ قَالَ ٱلْعُلَمَاءُ إِنَّ ٱلْقَارِئَ إِذَا قَرَأَ لِأَجْلِ ٱلْمَالِ فَلَا ثَوَابَ لَهُ، فَأَيُّ شَيْءٍ يُهْدَىٰ إِلَى ٱلْمَيِّتِ؟ وَإِنَّمَا يَصِلُ إِلَى ٱلْمَيِّتِ ٱلْعَمَلُ ٱلصَّالِحُ، وَٱلِٱسْتِئْجَارُ عَلَىٰ مُجَرَّدِ ٱلتِّلَاوَةِ لَمْ يَقُلْ بِهِ أَحَدٌ مِّنَ ٱلْأَئِمَّةِ، وَإِنَّمَا تَنَازَعُوا فِي ٱلِٱسْتِئْجَارِ عَلَى ٱلتَّعْلِيمِ “Dan tidak sah hukumnya menyewa seseorang untuk membacakan Al-Qur’an dan kemudian menghadiahkannya kepada orang yang sudah meninggal. Hal ini karena tidak ada ada satu pun riwayat yang dinukil dari para imam yang membolehkan akan hal tersebut. Para ulama telah mengatakan bahwa seorang qari’ (pembaca Al-Qur’an), jika ia membaca Al-Qur’an hanya sebatas untuk mendapatkan harta (uang) saja, maka tidak ada pahala untuknya. Lantas, apa kiranya yang dapat dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal? Sesungguhnya yang sampai kepada orang yang sudah meninggal adalah hanya amal salehnya saja. Dan menyewa (seorang qari’) untuk sebatas membaca Al-Qur’an saja (tanpa tujuan belajar), tidak ada satu pun ulama yang berpendapat akan kebolehannya. Sejatinya mereka (para ulama) berselisih pada sewa menyewa jasa yang sifatnya mengajarkan.” [3] Sehingga para ulama sepakat pada hal-hal yang sifatnya ibadah mahdah atau sifatnya fardhu ‘ain, tidak berlaku padanya sewa menyewa jasa. Bahkan, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, بِغَيْرِ خِلَافٍ “Tidak ada perselisihan (pada masalah tersebut).” Bentuk larangan dari masalah ini adalah dikarenakan jika kembali kepada definisi sewa menyewa adalah sifatnya seperti jual beli jasa. Ada jasa yang diterima dan dikerjakan dan ada upah yang diterima, jelas padanya jasa dan upahnya. Sedangkan pada perkara ibadah yang sifatnya fardhu ‘ain, manfaat yang diperoleh adalah pahala. Tentunya, jual beli pahala itu tidak sah. Selain itu, pada sewa menyewa jasa telah diketahui bahwa secara umum upah itu tidak berhak diterima kecuali setelah manfaat tersebut diterima. Sedangkan bagaimana dengan pahala? Tidak ada keterangan yang jelas dan pasti bahwa pahala tersebut sudah diperoleh dan diterima oleh si penyewa jasa. Berangkat dari hal tersebut, para ulama sepakat tentang tidak bolehnya ibadah yang sifatnya fardhu ‘ain digunakan sebagai sewa menyewa. Adapun yang menjadi perselisihan di antara para ulama adalah ibadah atau ketaatan yang sifatnya fardhu kifayah, ibadah yang dapat digantikan oleh orang lain. Terkait pembahasan ini, InsyaAllah akan datang pada tulisan selanjutnya. Wallahu a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 8 Lanjut ke bagian 10 *** Depok, 6 Sya’ban 1446/ 5 Februari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Cet. Maktabah Tauqifiyyah. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy, Cet. Maktabah Imam Adz-Dzahabi. Al-Fatawa Al-Kubra, karya Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, Cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Majmu’ Fatawa Shalih bin Fauzan Al Fauzan, 1: 203. [2] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 394 dan Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal.349. [3] Al-Fatawa Al-Kubra, 5: 408.

Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 9)

Telah berlalu pada pembahasan sebelumnya, terkait dengan hal-hal yang diharamkan dalam sewa menyewa jasa yang bersifat khusus. Tentunya telah jelas segala hal yang Allah dan Rasul-Nya halalkan dan haramkan. Sebagaimana hadis yang telah masyhur, dari sahabat Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ “Sesungguhnya yang halal telah nyata (jelas) dan yang haram juga telah nyata. Dan di antara keduanya ada perkara yang tidak jelas, yang tidak diketahui kebanyakan orang. Barangsiapa menjaga dirinya dari melakukan perkara yang meragukan, maka selamatlah agama dan harga dirinya. Tetapi siapa saja yang terjatuh dalam perkara syubhat, maka dia terjatuh kepada keharaman.” (HR. Muslim) Telah jelas perkara yang halal dan yang haram dalam agama ini. Tidaklah tersisa kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskannya. Sehingga sikap seorang muslim pada masalah muamalah, berputar pada tiga hal: Pertama: Muamalah yang sifatnya halal Silakan untuk dimanfaatkan, dilakukan dan laksanakan, selama sifat dan akadnya jelas dan halal. Kedua: Muamalah yang sifatnya haram Silahkan untuk ditinggalkan karena terdapat larangan yang telah melarangnya. Mengingat segala yang Allah dan Rasul-Nya larang mustahil jika tidak menimbulkan mudarat ataupun kerugian. Seringkali kerugian muncul karena adanya sistem transaksi yang haram. Ketiga: Muamalah yang sifatnya syubhat Pada hal inilah seorang muslim dituntut untuk bertanya kepada ahli ilmu akan keabsahan suatu akad. Apakah akadnya tersebut halal atau haram. Jika masih tetap berada di atas perkara syubhat, maka lebih baik ditinggalkan. Hal itu lebih selamat untuk diri dan agamanya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikianlah hendaknya seorang muslim bermuamalah. Tidak menerjang segala yang dilarang oleh Allah hanya karena masalah perut. Terdapat hadis yang dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis dha’if, namun secara makna dapat diambil faidah darinya, كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ “Setiap daging yang tumbuh dari hal yang haram, maka neraka lebih baik untuknya.” Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidzhullah berkata, “Hadis tersebut adalah hadis yang dha’if, datang dari Abu Bakr Ash Shiddiq …. Adapun makna hadisnya adalah sesungguhnya setiap tubuh dan daging yang diberikan gizi dengan yang haram, maka di akhirat kelak ia akan ditempatkan di neraka sebagai hukuman untuknya. Karena Allah Ta’ala telah mengharamkan hal-hal yang buruk dan penghasilan yang haram dan Allah hanya memerintahkan untuk memakan yang halal saja …” [1] Sewa menyewa jasa untuk hal ketaatan Setelah membahas hal-hal yang diharamkan, tentu perlu untuk diketahui soal sewa menyewa jasa untuk hal ibadah dan ketaatan [2]. Terkait dengan sewa menyewa jasa untuk hal ketaatan setidaknya terbagi menjadi tiga: Pertama, jasa yang sifatnya khusus untuk ibadah mahdah. Yakni, untuk ibadah-ibadah yang sifatnya fardhu ‘ain yang wajib dilakukan untuk setiap individu, bukan sifatnya fardhu kifayah yang dapat diwakili oleh yang lain. Seperti salat lima waktu, haji untuk dirinya sendiri, menunaikan zakat, puasa Ramadan, dan amalan-amalan lainnya yang wajib untuk setiap individu melaksanakannya. Amalan atau ibadah yang demikian tidak diperbolehkan untuk menyewa jasa orang lain untuk melakukannya, atau mengambil upah dari melaksanakan ibadah orang lain. Allah Ta’ala berfirman, مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَا وَزِيْنَتَهَا نُوَفِّ اِلَيْهِمْ اَعْمَالَهُمْ فِيْهَا وَهُمْ فِيْهَا لَا يُبْخَسُوْنَ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ لَيْسَ لَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ اِلَّا النَّارُ ۖوَحَبِطَ مَا صَنَعُوْا فِيْهَا وَبٰطِلٌ مَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ “Siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan kepada mereka (balasan) perbuatan mereka di dalamnya dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, sia-sialah apa yang telah mereka usahakan (di dunia), dan batallah apa yang dahulu selalu mereka kerjakan.” (QS. Hud: 15-16) Demikian pula, seseorang tidak diperbolehkan untuk mengambil upah dari amalannya tersebut upah dari baitul mal atau melakukan sayembara. Seperti memberikan upah bagi orang yang ingin salat di belakangnya (akan mendapat uang). Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, وَلَا يَصِحُّ ٱلِٱسْتِئْجَارُ عَلَى ٱلْقِرَاءَةِ وَإِهْدَائِهَا إِلَى ٱلْمَيِّتِ، لِأَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِّنَ ٱلْأَئِمَّةِ ٱلْإِذْنُ فِي ذَٰلِكَ. وَقَدْ قَالَ ٱلْعُلَمَاءُ إِنَّ ٱلْقَارِئَ إِذَا قَرَأَ لِأَجْلِ ٱلْمَالِ فَلَا ثَوَابَ لَهُ، فَأَيُّ شَيْءٍ يُهْدَىٰ إِلَى ٱلْمَيِّتِ؟ وَإِنَّمَا يَصِلُ إِلَى ٱلْمَيِّتِ ٱلْعَمَلُ ٱلصَّالِحُ، وَٱلِٱسْتِئْجَارُ عَلَىٰ مُجَرَّدِ ٱلتِّلَاوَةِ لَمْ يَقُلْ بِهِ أَحَدٌ مِّنَ ٱلْأَئِمَّةِ، وَإِنَّمَا تَنَازَعُوا فِي ٱلِٱسْتِئْجَارِ عَلَى ٱلتَّعْلِيمِ “Dan tidak sah hukumnya menyewa seseorang untuk membacakan Al-Qur’an dan kemudian menghadiahkannya kepada orang yang sudah meninggal. Hal ini karena tidak ada ada satu pun riwayat yang dinukil dari para imam yang membolehkan akan hal tersebut. Para ulama telah mengatakan bahwa seorang qari’ (pembaca Al-Qur’an), jika ia membaca Al-Qur’an hanya sebatas untuk mendapatkan harta (uang) saja, maka tidak ada pahala untuknya. Lantas, apa kiranya yang dapat dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal? Sesungguhnya yang sampai kepada orang yang sudah meninggal adalah hanya amal salehnya saja. Dan menyewa (seorang qari’) untuk sebatas membaca Al-Qur’an saja (tanpa tujuan belajar), tidak ada satu pun ulama yang berpendapat akan kebolehannya. Sejatinya mereka (para ulama) berselisih pada sewa menyewa jasa yang sifatnya mengajarkan.” [3] Sehingga para ulama sepakat pada hal-hal yang sifatnya ibadah mahdah atau sifatnya fardhu ‘ain, tidak berlaku padanya sewa menyewa jasa. Bahkan, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, بِغَيْرِ خِلَافٍ “Tidak ada perselisihan (pada masalah tersebut).” Bentuk larangan dari masalah ini adalah dikarenakan jika kembali kepada definisi sewa menyewa adalah sifatnya seperti jual beli jasa. Ada jasa yang diterima dan dikerjakan dan ada upah yang diterima, jelas padanya jasa dan upahnya. Sedangkan pada perkara ibadah yang sifatnya fardhu ‘ain, manfaat yang diperoleh adalah pahala. Tentunya, jual beli pahala itu tidak sah. Selain itu, pada sewa menyewa jasa telah diketahui bahwa secara umum upah itu tidak berhak diterima kecuali setelah manfaat tersebut diterima. Sedangkan bagaimana dengan pahala? Tidak ada keterangan yang jelas dan pasti bahwa pahala tersebut sudah diperoleh dan diterima oleh si penyewa jasa. Berangkat dari hal tersebut, para ulama sepakat tentang tidak bolehnya ibadah yang sifatnya fardhu ‘ain digunakan sebagai sewa menyewa. Adapun yang menjadi perselisihan di antara para ulama adalah ibadah atau ketaatan yang sifatnya fardhu kifayah, ibadah yang dapat digantikan oleh orang lain. Terkait pembahasan ini, InsyaAllah akan datang pada tulisan selanjutnya. Wallahu a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 8 Lanjut ke bagian 10 *** Depok, 6 Sya’ban 1446/ 5 Februari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Cet. Maktabah Tauqifiyyah. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy, Cet. Maktabah Imam Adz-Dzahabi. Al-Fatawa Al-Kubra, karya Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, Cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Majmu’ Fatawa Shalih bin Fauzan Al Fauzan, 1: 203. [2] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 394 dan Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal.349. [3] Al-Fatawa Al-Kubra, 5: 408.
Telah berlalu pada pembahasan sebelumnya, terkait dengan hal-hal yang diharamkan dalam sewa menyewa jasa yang bersifat khusus. Tentunya telah jelas segala hal yang Allah dan Rasul-Nya halalkan dan haramkan. Sebagaimana hadis yang telah masyhur, dari sahabat Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ “Sesungguhnya yang halal telah nyata (jelas) dan yang haram juga telah nyata. Dan di antara keduanya ada perkara yang tidak jelas, yang tidak diketahui kebanyakan orang. Barangsiapa menjaga dirinya dari melakukan perkara yang meragukan, maka selamatlah agama dan harga dirinya. Tetapi siapa saja yang terjatuh dalam perkara syubhat, maka dia terjatuh kepada keharaman.” (HR. Muslim) Telah jelas perkara yang halal dan yang haram dalam agama ini. Tidaklah tersisa kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskannya. Sehingga sikap seorang muslim pada masalah muamalah, berputar pada tiga hal: Pertama: Muamalah yang sifatnya halal Silakan untuk dimanfaatkan, dilakukan dan laksanakan, selama sifat dan akadnya jelas dan halal. Kedua: Muamalah yang sifatnya haram Silahkan untuk ditinggalkan karena terdapat larangan yang telah melarangnya. Mengingat segala yang Allah dan Rasul-Nya larang mustahil jika tidak menimbulkan mudarat ataupun kerugian. Seringkali kerugian muncul karena adanya sistem transaksi yang haram. Ketiga: Muamalah yang sifatnya syubhat Pada hal inilah seorang muslim dituntut untuk bertanya kepada ahli ilmu akan keabsahan suatu akad. Apakah akadnya tersebut halal atau haram. Jika masih tetap berada di atas perkara syubhat, maka lebih baik ditinggalkan. Hal itu lebih selamat untuk diri dan agamanya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikianlah hendaknya seorang muslim bermuamalah. Tidak menerjang segala yang dilarang oleh Allah hanya karena masalah perut. Terdapat hadis yang dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis dha’if, namun secara makna dapat diambil faidah darinya, كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ “Setiap daging yang tumbuh dari hal yang haram, maka neraka lebih baik untuknya.” Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidzhullah berkata, “Hadis tersebut adalah hadis yang dha’if, datang dari Abu Bakr Ash Shiddiq …. Adapun makna hadisnya adalah sesungguhnya setiap tubuh dan daging yang diberikan gizi dengan yang haram, maka di akhirat kelak ia akan ditempatkan di neraka sebagai hukuman untuknya. Karena Allah Ta’ala telah mengharamkan hal-hal yang buruk dan penghasilan yang haram dan Allah hanya memerintahkan untuk memakan yang halal saja …” [1] Sewa menyewa jasa untuk hal ketaatan Setelah membahas hal-hal yang diharamkan, tentu perlu untuk diketahui soal sewa menyewa jasa untuk hal ibadah dan ketaatan [2]. Terkait dengan sewa menyewa jasa untuk hal ketaatan setidaknya terbagi menjadi tiga: Pertama, jasa yang sifatnya khusus untuk ibadah mahdah. Yakni, untuk ibadah-ibadah yang sifatnya fardhu ‘ain yang wajib dilakukan untuk setiap individu, bukan sifatnya fardhu kifayah yang dapat diwakili oleh yang lain. Seperti salat lima waktu, haji untuk dirinya sendiri, menunaikan zakat, puasa Ramadan, dan amalan-amalan lainnya yang wajib untuk setiap individu melaksanakannya. Amalan atau ibadah yang demikian tidak diperbolehkan untuk menyewa jasa orang lain untuk melakukannya, atau mengambil upah dari melaksanakan ibadah orang lain. Allah Ta’ala berfirman, مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَا وَزِيْنَتَهَا نُوَفِّ اِلَيْهِمْ اَعْمَالَهُمْ فِيْهَا وَهُمْ فِيْهَا لَا يُبْخَسُوْنَ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ لَيْسَ لَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ اِلَّا النَّارُ ۖوَحَبِطَ مَا صَنَعُوْا فِيْهَا وَبٰطِلٌ مَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ “Siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan kepada mereka (balasan) perbuatan mereka di dalamnya dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, sia-sialah apa yang telah mereka usahakan (di dunia), dan batallah apa yang dahulu selalu mereka kerjakan.” (QS. Hud: 15-16) Demikian pula, seseorang tidak diperbolehkan untuk mengambil upah dari amalannya tersebut upah dari baitul mal atau melakukan sayembara. Seperti memberikan upah bagi orang yang ingin salat di belakangnya (akan mendapat uang). Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, وَلَا يَصِحُّ ٱلِٱسْتِئْجَارُ عَلَى ٱلْقِرَاءَةِ وَإِهْدَائِهَا إِلَى ٱلْمَيِّتِ، لِأَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِّنَ ٱلْأَئِمَّةِ ٱلْإِذْنُ فِي ذَٰلِكَ. وَقَدْ قَالَ ٱلْعُلَمَاءُ إِنَّ ٱلْقَارِئَ إِذَا قَرَأَ لِأَجْلِ ٱلْمَالِ فَلَا ثَوَابَ لَهُ، فَأَيُّ شَيْءٍ يُهْدَىٰ إِلَى ٱلْمَيِّتِ؟ وَإِنَّمَا يَصِلُ إِلَى ٱلْمَيِّتِ ٱلْعَمَلُ ٱلصَّالِحُ، وَٱلِٱسْتِئْجَارُ عَلَىٰ مُجَرَّدِ ٱلتِّلَاوَةِ لَمْ يَقُلْ بِهِ أَحَدٌ مِّنَ ٱلْأَئِمَّةِ، وَإِنَّمَا تَنَازَعُوا فِي ٱلِٱسْتِئْجَارِ عَلَى ٱلتَّعْلِيمِ “Dan tidak sah hukumnya menyewa seseorang untuk membacakan Al-Qur’an dan kemudian menghadiahkannya kepada orang yang sudah meninggal. Hal ini karena tidak ada ada satu pun riwayat yang dinukil dari para imam yang membolehkan akan hal tersebut. Para ulama telah mengatakan bahwa seorang qari’ (pembaca Al-Qur’an), jika ia membaca Al-Qur’an hanya sebatas untuk mendapatkan harta (uang) saja, maka tidak ada pahala untuknya. Lantas, apa kiranya yang dapat dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal? Sesungguhnya yang sampai kepada orang yang sudah meninggal adalah hanya amal salehnya saja. Dan menyewa (seorang qari’) untuk sebatas membaca Al-Qur’an saja (tanpa tujuan belajar), tidak ada satu pun ulama yang berpendapat akan kebolehannya. Sejatinya mereka (para ulama) berselisih pada sewa menyewa jasa yang sifatnya mengajarkan.” [3] Sehingga para ulama sepakat pada hal-hal yang sifatnya ibadah mahdah atau sifatnya fardhu ‘ain, tidak berlaku padanya sewa menyewa jasa. Bahkan, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, بِغَيْرِ خِلَافٍ “Tidak ada perselisihan (pada masalah tersebut).” Bentuk larangan dari masalah ini adalah dikarenakan jika kembali kepada definisi sewa menyewa adalah sifatnya seperti jual beli jasa. Ada jasa yang diterima dan dikerjakan dan ada upah yang diterima, jelas padanya jasa dan upahnya. Sedangkan pada perkara ibadah yang sifatnya fardhu ‘ain, manfaat yang diperoleh adalah pahala. Tentunya, jual beli pahala itu tidak sah. Selain itu, pada sewa menyewa jasa telah diketahui bahwa secara umum upah itu tidak berhak diterima kecuali setelah manfaat tersebut diterima. Sedangkan bagaimana dengan pahala? Tidak ada keterangan yang jelas dan pasti bahwa pahala tersebut sudah diperoleh dan diterima oleh si penyewa jasa. Berangkat dari hal tersebut, para ulama sepakat tentang tidak bolehnya ibadah yang sifatnya fardhu ‘ain digunakan sebagai sewa menyewa. Adapun yang menjadi perselisihan di antara para ulama adalah ibadah atau ketaatan yang sifatnya fardhu kifayah, ibadah yang dapat digantikan oleh orang lain. Terkait pembahasan ini, InsyaAllah akan datang pada tulisan selanjutnya. Wallahu a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 8 Lanjut ke bagian 10 *** Depok, 6 Sya’ban 1446/ 5 Februari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Cet. Maktabah Tauqifiyyah. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy, Cet. Maktabah Imam Adz-Dzahabi. Al-Fatawa Al-Kubra, karya Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, Cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Majmu’ Fatawa Shalih bin Fauzan Al Fauzan, 1: 203. [2] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 394 dan Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal.349. [3] Al-Fatawa Al-Kubra, 5: 408.


Telah berlalu pada pembahasan sebelumnya, terkait dengan hal-hal yang diharamkan dalam sewa menyewa jasa yang bersifat khusus. Tentunya telah jelas segala hal yang Allah dan Rasul-Nya halalkan dan haramkan. Sebagaimana hadis yang telah masyhur, dari sahabat Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ “Sesungguhnya yang halal telah nyata (jelas) dan yang haram juga telah nyata. Dan di antara keduanya ada perkara yang tidak jelas, yang tidak diketahui kebanyakan orang. Barangsiapa menjaga dirinya dari melakukan perkara yang meragukan, maka selamatlah agama dan harga dirinya. Tetapi siapa saja yang terjatuh dalam perkara syubhat, maka dia terjatuh kepada keharaman.” (HR. Muslim) Telah jelas perkara yang halal dan yang haram dalam agama ini. Tidaklah tersisa kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskannya. Sehingga sikap seorang muslim pada masalah muamalah, berputar pada tiga hal: Pertama: Muamalah yang sifatnya halal Silakan untuk dimanfaatkan, dilakukan dan laksanakan, selama sifat dan akadnya jelas dan halal. Kedua: Muamalah yang sifatnya haram Silahkan untuk ditinggalkan karena terdapat larangan yang telah melarangnya. Mengingat segala yang Allah dan Rasul-Nya larang mustahil jika tidak menimbulkan mudarat ataupun kerugian. Seringkali kerugian muncul karena adanya sistem transaksi yang haram. Ketiga: Muamalah yang sifatnya syubhat Pada hal inilah seorang muslim dituntut untuk bertanya kepada ahli ilmu akan keabsahan suatu akad. Apakah akadnya tersebut halal atau haram. Jika masih tetap berada di atas perkara syubhat, maka lebih baik ditinggalkan. Hal itu lebih selamat untuk diri dan agamanya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikianlah hendaknya seorang muslim bermuamalah. Tidak menerjang segala yang dilarang oleh Allah hanya karena masalah perut. Terdapat hadis yang dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis dha’if, namun secara makna dapat diambil faidah darinya, كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ “Setiap daging yang tumbuh dari hal yang haram, maka neraka lebih baik untuknya.” Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidzhullah berkata, “Hadis tersebut adalah hadis yang dha’if, datang dari Abu Bakr Ash Shiddiq …. Adapun makna hadisnya adalah sesungguhnya setiap tubuh dan daging yang diberikan gizi dengan yang haram, maka di akhirat kelak ia akan ditempatkan di neraka sebagai hukuman untuknya. Karena Allah Ta’ala telah mengharamkan hal-hal yang buruk dan penghasilan yang haram dan Allah hanya memerintahkan untuk memakan yang halal saja …” [1] Sewa menyewa jasa untuk hal ketaatan Setelah membahas hal-hal yang diharamkan, tentu perlu untuk diketahui soal sewa menyewa jasa untuk hal ibadah dan ketaatan [2]. Terkait dengan sewa menyewa jasa untuk hal ketaatan setidaknya terbagi menjadi tiga: Pertama, jasa yang sifatnya khusus untuk ibadah mahdah. Yakni, untuk ibadah-ibadah yang sifatnya fardhu ‘ain yang wajib dilakukan untuk setiap individu, bukan sifatnya fardhu kifayah yang dapat diwakili oleh yang lain. Seperti salat lima waktu, haji untuk dirinya sendiri, menunaikan zakat, puasa Ramadan, dan amalan-amalan lainnya yang wajib untuk setiap individu melaksanakannya. Amalan atau ibadah yang demikian tidak diperbolehkan untuk menyewa jasa orang lain untuk melakukannya, atau mengambil upah dari melaksanakan ibadah orang lain. Allah Ta’ala berfirman, مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَا وَزِيْنَتَهَا نُوَفِّ اِلَيْهِمْ اَعْمَالَهُمْ فِيْهَا وَهُمْ فِيْهَا لَا يُبْخَسُوْنَ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ لَيْسَ لَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ اِلَّا النَّارُ ۖوَحَبِطَ مَا صَنَعُوْا فِيْهَا وَبٰطِلٌ مَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ “Siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan kepada mereka (balasan) perbuatan mereka di dalamnya dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, sia-sialah apa yang telah mereka usahakan (di dunia), dan batallah apa yang dahulu selalu mereka kerjakan.” (QS. Hud: 15-16) Demikian pula, seseorang tidak diperbolehkan untuk mengambil upah dari amalannya tersebut upah dari baitul mal atau melakukan sayembara. Seperti memberikan upah bagi orang yang ingin salat di belakangnya (akan mendapat uang). Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, وَلَا يَصِحُّ ٱلِٱسْتِئْجَارُ عَلَى ٱلْقِرَاءَةِ وَإِهْدَائِهَا إِلَى ٱلْمَيِّتِ، لِأَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِّنَ ٱلْأَئِمَّةِ ٱلْإِذْنُ فِي ذَٰلِكَ. وَقَدْ قَالَ ٱلْعُلَمَاءُ إِنَّ ٱلْقَارِئَ إِذَا قَرَأَ لِأَجْلِ ٱلْمَالِ فَلَا ثَوَابَ لَهُ، فَأَيُّ شَيْءٍ يُهْدَىٰ إِلَى ٱلْمَيِّتِ؟ وَإِنَّمَا يَصِلُ إِلَى ٱلْمَيِّتِ ٱلْعَمَلُ ٱلصَّالِحُ، وَٱلِٱسْتِئْجَارُ عَلَىٰ مُجَرَّدِ ٱلتِّلَاوَةِ لَمْ يَقُلْ بِهِ أَحَدٌ مِّنَ ٱلْأَئِمَّةِ، وَإِنَّمَا تَنَازَعُوا فِي ٱلِٱسْتِئْجَارِ عَلَى ٱلتَّعْلِيمِ “Dan tidak sah hukumnya menyewa seseorang untuk membacakan Al-Qur’an dan kemudian menghadiahkannya kepada orang yang sudah meninggal. Hal ini karena tidak ada ada satu pun riwayat yang dinukil dari para imam yang membolehkan akan hal tersebut. Para ulama telah mengatakan bahwa seorang qari’ (pembaca Al-Qur’an), jika ia membaca Al-Qur’an hanya sebatas untuk mendapatkan harta (uang) saja, maka tidak ada pahala untuknya. Lantas, apa kiranya yang dapat dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal? Sesungguhnya yang sampai kepada orang yang sudah meninggal adalah hanya amal salehnya saja. Dan menyewa (seorang qari’) untuk sebatas membaca Al-Qur’an saja (tanpa tujuan belajar), tidak ada satu pun ulama yang berpendapat akan kebolehannya. Sejatinya mereka (para ulama) berselisih pada sewa menyewa jasa yang sifatnya mengajarkan.” [3] Sehingga para ulama sepakat pada hal-hal yang sifatnya ibadah mahdah atau sifatnya fardhu ‘ain, tidak berlaku padanya sewa menyewa jasa. Bahkan, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, بِغَيْرِ خِلَافٍ “Tidak ada perselisihan (pada masalah tersebut).” Bentuk larangan dari masalah ini adalah dikarenakan jika kembali kepada definisi sewa menyewa adalah sifatnya seperti jual beli jasa. Ada jasa yang diterima dan dikerjakan dan ada upah yang diterima, jelas padanya jasa dan upahnya. Sedangkan pada perkara ibadah yang sifatnya fardhu ‘ain, manfaat yang diperoleh adalah pahala. Tentunya, jual beli pahala itu tidak sah. Selain itu, pada sewa menyewa jasa telah diketahui bahwa secara umum upah itu tidak berhak diterima kecuali setelah manfaat tersebut diterima. Sedangkan bagaimana dengan pahala? Tidak ada keterangan yang jelas dan pasti bahwa pahala tersebut sudah diperoleh dan diterima oleh si penyewa jasa. Berangkat dari hal tersebut, para ulama sepakat tentang tidak bolehnya ibadah yang sifatnya fardhu ‘ain digunakan sebagai sewa menyewa. Adapun yang menjadi perselisihan di antara para ulama adalah ibadah atau ketaatan yang sifatnya fardhu kifayah, ibadah yang dapat digantikan oleh orang lain. Terkait pembahasan ini, InsyaAllah akan datang pada tulisan selanjutnya. Wallahu a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 8 Lanjut ke bagian 10 *** Depok, 6 Sya’ban 1446/ 5 Februari 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Cet. Maktabah Tauqifiyyah. Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy, Cet. Maktabah Imam Adz-Dzahabi. Al-Fatawa Al-Kubra, karya Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, Cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Majmu’ Fatawa Shalih bin Fauzan Al Fauzan, 1: 203. [2] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 394 dan Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal.349. [3] Al-Fatawa Al-Kubra, 5: 408.

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 16): Lanjutan Al-Asma As-Sittah

Ibnu Hisyam mengisyaratkan bahwa ذُوا مَالٍ tidak termasuk dalam al-asma as-sittah, kecuali jika kata tersebut bermakna pemilik (صَاحِبٌ). Contohnya adalah جَاءَ ذُوامَالٍ “Pemilik harta telah datang.” Maksud dari contoh di atas adalah صَاحِبُ مَالٍ “Pemilik harta.” Berbeda dengan ذُوا yang bermakna al-maushulah (kata sambung). Kata ذُوا yang bermakna al-maushulah tersebut tidak termasuk al-asma as-sittah, karena kata ذُوا yang bermakna al-maushulah memiliki makna الَّذِي (yang). Pendapat ini dianut oleh Bani Thayyi’. Kata ذُوا yang bermakna al-maushulah bersifat mabni, tidak mu’rab. Contohnya adalah جَاءَ ذُوْا سَافَرَ “Orang yang bersafar telah datang.” Kata ذُوا tersebut adalah isim maushul mabni dengan tanda sukun dalam kedudukan sebagai isim marfu’ yang berfungsi sebagai fa’il. Maksud dari contoh di atas adalah جَاءَ الَّذِي سَافَرَ “Orang yang bersafar telah datang.” Jumlah سَافَرَ tersebut adalah silah. Kata ذُوْا disyaratkan untuk di-idhafah-kan kepada isim jenis zahir, bukan sifat. Contohnya adalah زَمِيْلِي ذُوْا أَدَبٍ “Temanku adalah orang yang beradab.” Maka, kata أَدَب tersebut termasuk isim jenis. Contohnya dalam firman Allah adalah وَاِنَّ رَبَّكَ لَذُوْ مَغْفِرَةٍ لِّلنَّاسِ عَلٰى ظُلْمِهِمْۚ “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar memiliki ampunan bagi manusia meskipun mereka zalim.” (QS. Ar-Ra’d: 6) Huruf الَّامُ yang bergaris bawah pada contoh di atas adalah huruf ibtida’ (huruf yang berfungsi untuk mengawali kalimat). Adapun kata ذُو yang terletak setelah huruf الَّامُ tersebut berkedudukan sebagai khabar inna marfu’. Tanda marfu’-nya adalah dengan huruf wawu, karena kata tersebut termasuk bagian dari al-asma as-sittah. Contoh lainnya terdapat dalam firman Allah, وَاٰتِ ذَا الْقُرْبٰى حَقَّهٗ “Berikanlah kepada kerabat dekat haknya.” (QS. Al-Isra’: 26) Kata ذَا tersebut berkedudukan sebagai maf’ul bih manshub dengan tanda alif, serta berfungsi sebagai mudhaf dari kata الْقُرْبٰى, yang berkedudukan sebagai mudhaf ilaih majrur dengan tanda kasrah muqaddarah karena adanya uzur. Contoh lainnya terdapat dalam firman Allah, هَلْ فِيْ ذٰلِكَ قَسَمٌ لِّذِيْ حِجْرٍۗ “Apakah pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh (orang) yang berakal?” (QS. Al-Fajr: 5) Kata ذِيْ pada contoh di atas berkedudukan sebagai majrur dengan tanda ya’, serta berfungsi sebagai mudhaf dari kata حِجْر. Yang dimaksud dengan isim jenis adalah isim jamid, bukan isim musytaq. Contohnya adalah kata العلم، المال، والفضل. Adapun kata قائم bukan termasuk isim jamid, melainkan isim musytaq. Contoh dalam kalimat adalah جَاءَنِي قَائِمٌ “Orang yang berdiri telah datang kepadaku.” Maka, tidak diperbolehkan menggunakan kata قائم tersebut. Ibnu Hisyam mengisyaratkan penggunaan kata فُوْهُ. Kata tersebut tidak di-i’rab dengan huruf, kecuali jika huruf mim-nya dihapus. Contohnya adalah فُوْكَ رَائِحَتَهُ طَيِّبَةً “Mulutmu baunya harum.“ Kata yang bergaris bawah di atas marfu‘ dengan tanda wawu. نَظِّفْ فَاكَ بِالسِوَاكِ “Bersihkan mulutmu dengan siwak.” Kata yang bergaris bawah di atas manshub dengan tanda alif. كَرِحْتُ رَائِحَةَ فِيْكَ “Saya tidak suka bau mulutmu.” Kata yang bergaris di atas majrur dengan tanda ya’. Jika huruf mim pada kata tersebut tetap ada, maka di-i’rab dengan harakat. Contohnya adalah هَذَا فَامٌ “Ini adalah mulut.” نظفت فاما “Saya membersihkan mulut.” وَنَظَرْتُ إِلَى فَامٍ “Saya melihat ke mulut.” Al-asma as-sittah berikutnya adalah حَمُوْهَا, yang di-idhafah-kan kepada dhamir muannats, yaitu dhamir ها. الحَمُ secara bahasa artinya adalah kerabat istri dari keluarga suami, seperti bapaknya suami, pamannya suami, atau keponakan suami. Namun, terkadang istilah ini juga digunakan untuk kerabat suami dari keluarga istri, dengan ungkapan حَمُوْهُ, yang artinya iparnya (dia laki-laki). Kata tersebut di-idhafah-kan kepada mudzakar. Kemudian terkait al-asma as-sittah, الْهَنُ (sesuatu/anu). Yang paling fasih adalah dengan menggunakan هَنٍ, sebagaimana kata غَادٍ, maksudnya adalah keduanya di-i’rab dengan harakat damah, fathah, atau kasrah. Isim ini digunakan sebagai kata kiasan untuk isim jenis. Contohnya adalah هَذَا هَنُ زَيْدٍ “Ini anu/sesuatu milik Zaid.” Maksud dari kalimat di atas bisa bermakna هَذَا فَرْسُ زَيْدٍ “Ini kuda milik Zaid.” Ada juga yang berpendapat bahwa kata الْهَنُ digunakan untuk menyebutkan sesuatu yang tidak bagus untuk diungkapkan secara langsung. Contohnya dalam hadis adalah مَنْ تَعَزَّى بِعَزَاءِ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَعِضُّوْهُ بِهَنِ أَبِيْهِ وَلَا تكنوا “Barangsiapa yang berbangga-bangga karena nasabnya seperti orang jahiliah, hendaklah kalian gigitan dia di anu (alat kelamin) bapaknya dan janganlah kalian panggil dengan julukan yang sebagai kebanggaannya.” Kata الْهَنُ jika digunakan tanpa di-idhafah-kan, maka kata tersebut bukan termasuk al-asma as-sittah, melainkan isim manqush, yang maksudnya adalah huruf lam fi’il-nya dihapus, yaitu berupa huruf wawu. Asal dari kata tersebut adalah هَنَوٌ dengan wazan فعَلٌ dan di-i’rab dengan harakat. Contohnya adalah هَذَا هَنٌ “Ini anu/sesuatu.” وَرَأَيْتُ هَنًا “Aku telah melihat anu/sesuatu.” وَمَرَرْتُ بِهَنٍ “Aku telah melewati anu/sesuatu.” Apabila kata الْهَنُ tersebut di-idhafah-kan, maka mayoritas orang Arab memaksudkan kata tersebut di-i’rab dengan harakat. Contohnya adalah هَذَا هَنُكَ “Ini anu-mu.” وَرَأَيْتُ هَنَكَ “Aku telah melihat anu-mu.” وَمَرَرْتُ بِهَنِكَ “Aku telah melewati anu-mu.” Minoritas orang Arab meng-i’rab kata الْهَنُ dengan huruf wawu, alif, dan ya’. Mereka menganggap kata الْهَنُ tersebut sama dengan kata أب dan أخ, yaitu termasuk al-asma as-sittah. Contohnya adalah هَذَا هَنُوْكَ “Ini anu-mu.” وَرَأَيْتُ هَنَاكَ “Aku telah melihat anu-mu.” وَمَرَرْتُ بِهَنِيْكَ “Aku telah melewati anu-mu.” Oleh karena itu, kata الْهَنُ masuk dalam pembahasan al-asma as-sittah, karena sebagian kecil orang Arab menganggap kata tersebut sama seperti al-asma al-khamsah. [Bersambung] Kembali ke bagian 15 *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 16): Lanjutan Al-Asma As-Sittah

Ibnu Hisyam mengisyaratkan bahwa ذُوا مَالٍ tidak termasuk dalam al-asma as-sittah, kecuali jika kata tersebut bermakna pemilik (صَاحِبٌ). Contohnya adalah جَاءَ ذُوامَالٍ “Pemilik harta telah datang.” Maksud dari contoh di atas adalah صَاحِبُ مَالٍ “Pemilik harta.” Berbeda dengan ذُوا yang bermakna al-maushulah (kata sambung). Kata ذُوا yang bermakna al-maushulah tersebut tidak termasuk al-asma as-sittah, karena kata ذُوا yang bermakna al-maushulah memiliki makna الَّذِي (yang). Pendapat ini dianut oleh Bani Thayyi’. Kata ذُوا yang bermakna al-maushulah bersifat mabni, tidak mu’rab. Contohnya adalah جَاءَ ذُوْا سَافَرَ “Orang yang bersafar telah datang.” Kata ذُوا tersebut adalah isim maushul mabni dengan tanda sukun dalam kedudukan sebagai isim marfu’ yang berfungsi sebagai fa’il. Maksud dari contoh di atas adalah جَاءَ الَّذِي سَافَرَ “Orang yang bersafar telah datang.” Jumlah سَافَرَ tersebut adalah silah. Kata ذُوْا disyaratkan untuk di-idhafah-kan kepada isim jenis zahir, bukan sifat. Contohnya adalah زَمِيْلِي ذُوْا أَدَبٍ “Temanku adalah orang yang beradab.” Maka, kata أَدَب tersebut termasuk isim jenis. Contohnya dalam firman Allah adalah وَاِنَّ رَبَّكَ لَذُوْ مَغْفِرَةٍ لِّلنَّاسِ عَلٰى ظُلْمِهِمْۚ “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar memiliki ampunan bagi manusia meskipun mereka zalim.” (QS. Ar-Ra’d: 6) Huruf الَّامُ yang bergaris bawah pada contoh di atas adalah huruf ibtida’ (huruf yang berfungsi untuk mengawali kalimat). Adapun kata ذُو yang terletak setelah huruf الَّامُ tersebut berkedudukan sebagai khabar inna marfu’. Tanda marfu’-nya adalah dengan huruf wawu, karena kata tersebut termasuk bagian dari al-asma as-sittah. Contoh lainnya terdapat dalam firman Allah, وَاٰتِ ذَا الْقُرْبٰى حَقَّهٗ “Berikanlah kepada kerabat dekat haknya.” (QS. Al-Isra’: 26) Kata ذَا tersebut berkedudukan sebagai maf’ul bih manshub dengan tanda alif, serta berfungsi sebagai mudhaf dari kata الْقُرْبٰى, yang berkedudukan sebagai mudhaf ilaih majrur dengan tanda kasrah muqaddarah karena adanya uzur. Contoh lainnya terdapat dalam firman Allah, هَلْ فِيْ ذٰلِكَ قَسَمٌ لِّذِيْ حِجْرٍۗ “Apakah pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh (orang) yang berakal?” (QS. Al-Fajr: 5) Kata ذِيْ pada contoh di atas berkedudukan sebagai majrur dengan tanda ya’, serta berfungsi sebagai mudhaf dari kata حِجْر. Yang dimaksud dengan isim jenis adalah isim jamid, bukan isim musytaq. Contohnya adalah kata العلم، المال، والفضل. Adapun kata قائم bukan termasuk isim jamid, melainkan isim musytaq. Contoh dalam kalimat adalah جَاءَنِي قَائِمٌ “Orang yang berdiri telah datang kepadaku.” Maka, tidak diperbolehkan menggunakan kata قائم tersebut. Ibnu Hisyam mengisyaratkan penggunaan kata فُوْهُ. Kata tersebut tidak di-i’rab dengan huruf, kecuali jika huruf mim-nya dihapus. Contohnya adalah فُوْكَ رَائِحَتَهُ طَيِّبَةً “Mulutmu baunya harum.“ Kata yang bergaris bawah di atas marfu‘ dengan tanda wawu. نَظِّفْ فَاكَ بِالسِوَاكِ “Bersihkan mulutmu dengan siwak.” Kata yang bergaris bawah di atas manshub dengan tanda alif. كَرِحْتُ رَائِحَةَ فِيْكَ “Saya tidak suka bau mulutmu.” Kata yang bergaris di atas majrur dengan tanda ya’. Jika huruf mim pada kata tersebut tetap ada, maka di-i’rab dengan harakat. Contohnya adalah هَذَا فَامٌ “Ini adalah mulut.” نظفت فاما “Saya membersihkan mulut.” وَنَظَرْتُ إِلَى فَامٍ “Saya melihat ke mulut.” Al-asma as-sittah berikutnya adalah حَمُوْهَا, yang di-idhafah-kan kepada dhamir muannats, yaitu dhamir ها. الحَمُ secara bahasa artinya adalah kerabat istri dari keluarga suami, seperti bapaknya suami, pamannya suami, atau keponakan suami. Namun, terkadang istilah ini juga digunakan untuk kerabat suami dari keluarga istri, dengan ungkapan حَمُوْهُ, yang artinya iparnya (dia laki-laki). Kata tersebut di-idhafah-kan kepada mudzakar. Kemudian terkait al-asma as-sittah, الْهَنُ (sesuatu/anu). Yang paling fasih adalah dengan menggunakan هَنٍ, sebagaimana kata غَادٍ, maksudnya adalah keduanya di-i’rab dengan harakat damah, fathah, atau kasrah. Isim ini digunakan sebagai kata kiasan untuk isim jenis. Contohnya adalah هَذَا هَنُ زَيْدٍ “Ini anu/sesuatu milik Zaid.” Maksud dari kalimat di atas bisa bermakna هَذَا فَرْسُ زَيْدٍ “Ini kuda milik Zaid.” Ada juga yang berpendapat bahwa kata الْهَنُ digunakan untuk menyebutkan sesuatu yang tidak bagus untuk diungkapkan secara langsung. Contohnya dalam hadis adalah مَنْ تَعَزَّى بِعَزَاءِ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَعِضُّوْهُ بِهَنِ أَبِيْهِ وَلَا تكنوا “Barangsiapa yang berbangga-bangga karena nasabnya seperti orang jahiliah, hendaklah kalian gigitan dia di anu (alat kelamin) bapaknya dan janganlah kalian panggil dengan julukan yang sebagai kebanggaannya.” Kata الْهَنُ jika digunakan tanpa di-idhafah-kan, maka kata tersebut bukan termasuk al-asma as-sittah, melainkan isim manqush, yang maksudnya adalah huruf lam fi’il-nya dihapus, yaitu berupa huruf wawu. Asal dari kata tersebut adalah هَنَوٌ dengan wazan فعَلٌ dan di-i’rab dengan harakat. Contohnya adalah هَذَا هَنٌ “Ini anu/sesuatu.” وَرَأَيْتُ هَنًا “Aku telah melihat anu/sesuatu.” وَمَرَرْتُ بِهَنٍ “Aku telah melewati anu/sesuatu.” Apabila kata الْهَنُ tersebut di-idhafah-kan, maka mayoritas orang Arab memaksudkan kata tersebut di-i’rab dengan harakat. Contohnya adalah هَذَا هَنُكَ “Ini anu-mu.” وَرَأَيْتُ هَنَكَ “Aku telah melihat anu-mu.” وَمَرَرْتُ بِهَنِكَ “Aku telah melewati anu-mu.” Minoritas orang Arab meng-i’rab kata الْهَنُ dengan huruf wawu, alif, dan ya’. Mereka menganggap kata الْهَنُ tersebut sama dengan kata أب dan أخ, yaitu termasuk al-asma as-sittah. Contohnya adalah هَذَا هَنُوْكَ “Ini anu-mu.” وَرَأَيْتُ هَنَاكَ “Aku telah melihat anu-mu.” وَمَرَرْتُ بِهَنِيْكَ “Aku telah melewati anu-mu.” Oleh karena itu, kata الْهَنُ masuk dalam pembahasan al-asma as-sittah, karena sebagian kecil orang Arab menganggap kata tersebut sama seperti al-asma al-khamsah. [Bersambung] Kembali ke bagian 15 *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id
Ibnu Hisyam mengisyaratkan bahwa ذُوا مَالٍ tidak termasuk dalam al-asma as-sittah, kecuali jika kata tersebut bermakna pemilik (صَاحِبٌ). Contohnya adalah جَاءَ ذُوامَالٍ “Pemilik harta telah datang.” Maksud dari contoh di atas adalah صَاحِبُ مَالٍ “Pemilik harta.” Berbeda dengan ذُوا yang bermakna al-maushulah (kata sambung). Kata ذُوا yang bermakna al-maushulah tersebut tidak termasuk al-asma as-sittah, karena kata ذُوا yang bermakna al-maushulah memiliki makna الَّذِي (yang). Pendapat ini dianut oleh Bani Thayyi’. Kata ذُوا yang bermakna al-maushulah bersifat mabni, tidak mu’rab. Contohnya adalah جَاءَ ذُوْا سَافَرَ “Orang yang bersafar telah datang.” Kata ذُوا tersebut adalah isim maushul mabni dengan tanda sukun dalam kedudukan sebagai isim marfu’ yang berfungsi sebagai fa’il. Maksud dari contoh di atas adalah جَاءَ الَّذِي سَافَرَ “Orang yang bersafar telah datang.” Jumlah سَافَرَ tersebut adalah silah. Kata ذُوْا disyaratkan untuk di-idhafah-kan kepada isim jenis zahir, bukan sifat. Contohnya adalah زَمِيْلِي ذُوْا أَدَبٍ “Temanku adalah orang yang beradab.” Maka, kata أَدَب tersebut termasuk isim jenis. Contohnya dalam firman Allah adalah وَاِنَّ رَبَّكَ لَذُوْ مَغْفِرَةٍ لِّلنَّاسِ عَلٰى ظُلْمِهِمْۚ “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar memiliki ampunan bagi manusia meskipun mereka zalim.” (QS. Ar-Ra’d: 6) Huruf الَّامُ yang bergaris bawah pada contoh di atas adalah huruf ibtida’ (huruf yang berfungsi untuk mengawali kalimat). Adapun kata ذُو yang terletak setelah huruf الَّامُ tersebut berkedudukan sebagai khabar inna marfu’. Tanda marfu’-nya adalah dengan huruf wawu, karena kata tersebut termasuk bagian dari al-asma as-sittah. Contoh lainnya terdapat dalam firman Allah, وَاٰتِ ذَا الْقُرْبٰى حَقَّهٗ “Berikanlah kepada kerabat dekat haknya.” (QS. Al-Isra’: 26) Kata ذَا tersebut berkedudukan sebagai maf’ul bih manshub dengan tanda alif, serta berfungsi sebagai mudhaf dari kata الْقُرْبٰى, yang berkedudukan sebagai mudhaf ilaih majrur dengan tanda kasrah muqaddarah karena adanya uzur. Contoh lainnya terdapat dalam firman Allah, هَلْ فِيْ ذٰلِكَ قَسَمٌ لِّذِيْ حِجْرٍۗ “Apakah pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh (orang) yang berakal?” (QS. Al-Fajr: 5) Kata ذِيْ pada contoh di atas berkedudukan sebagai majrur dengan tanda ya’, serta berfungsi sebagai mudhaf dari kata حِجْر. Yang dimaksud dengan isim jenis adalah isim jamid, bukan isim musytaq. Contohnya adalah kata العلم، المال، والفضل. Adapun kata قائم bukan termasuk isim jamid, melainkan isim musytaq. Contoh dalam kalimat adalah جَاءَنِي قَائِمٌ “Orang yang berdiri telah datang kepadaku.” Maka, tidak diperbolehkan menggunakan kata قائم tersebut. Ibnu Hisyam mengisyaratkan penggunaan kata فُوْهُ. Kata tersebut tidak di-i’rab dengan huruf, kecuali jika huruf mim-nya dihapus. Contohnya adalah فُوْكَ رَائِحَتَهُ طَيِّبَةً “Mulutmu baunya harum.“ Kata yang bergaris bawah di atas marfu‘ dengan tanda wawu. نَظِّفْ فَاكَ بِالسِوَاكِ “Bersihkan mulutmu dengan siwak.” Kata yang bergaris bawah di atas manshub dengan tanda alif. كَرِحْتُ رَائِحَةَ فِيْكَ “Saya tidak suka bau mulutmu.” Kata yang bergaris di atas majrur dengan tanda ya’. Jika huruf mim pada kata tersebut tetap ada, maka di-i’rab dengan harakat. Contohnya adalah هَذَا فَامٌ “Ini adalah mulut.” نظفت فاما “Saya membersihkan mulut.” وَنَظَرْتُ إِلَى فَامٍ “Saya melihat ke mulut.” Al-asma as-sittah berikutnya adalah حَمُوْهَا, yang di-idhafah-kan kepada dhamir muannats, yaitu dhamir ها. الحَمُ secara bahasa artinya adalah kerabat istri dari keluarga suami, seperti bapaknya suami, pamannya suami, atau keponakan suami. Namun, terkadang istilah ini juga digunakan untuk kerabat suami dari keluarga istri, dengan ungkapan حَمُوْهُ, yang artinya iparnya (dia laki-laki). Kata tersebut di-idhafah-kan kepada mudzakar. Kemudian terkait al-asma as-sittah, الْهَنُ (sesuatu/anu). Yang paling fasih adalah dengan menggunakan هَنٍ, sebagaimana kata غَادٍ, maksudnya adalah keduanya di-i’rab dengan harakat damah, fathah, atau kasrah. Isim ini digunakan sebagai kata kiasan untuk isim jenis. Contohnya adalah هَذَا هَنُ زَيْدٍ “Ini anu/sesuatu milik Zaid.” Maksud dari kalimat di atas bisa bermakna هَذَا فَرْسُ زَيْدٍ “Ini kuda milik Zaid.” Ada juga yang berpendapat bahwa kata الْهَنُ digunakan untuk menyebutkan sesuatu yang tidak bagus untuk diungkapkan secara langsung. Contohnya dalam hadis adalah مَنْ تَعَزَّى بِعَزَاءِ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَعِضُّوْهُ بِهَنِ أَبِيْهِ وَلَا تكنوا “Barangsiapa yang berbangga-bangga karena nasabnya seperti orang jahiliah, hendaklah kalian gigitan dia di anu (alat kelamin) bapaknya dan janganlah kalian panggil dengan julukan yang sebagai kebanggaannya.” Kata الْهَنُ jika digunakan tanpa di-idhafah-kan, maka kata tersebut bukan termasuk al-asma as-sittah, melainkan isim manqush, yang maksudnya adalah huruf lam fi’il-nya dihapus, yaitu berupa huruf wawu. Asal dari kata tersebut adalah هَنَوٌ dengan wazan فعَلٌ dan di-i’rab dengan harakat. Contohnya adalah هَذَا هَنٌ “Ini anu/sesuatu.” وَرَأَيْتُ هَنًا “Aku telah melihat anu/sesuatu.” وَمَرَرْتُ بِهَنٍ “Aku telah melewati anu/sesuatu.” Apabila kata الْهَنُ tersebut di-idhafah-kan, maka mayoritas orang Arab memaksudkan kata tersebut di-i’rab dengan harakat. Contohnya adalah هَذَا هَنُكَ “Ini anu-mu.” وَرَأَيْتُ هَنَكَ “Aku telah melihat anu-mu.” وَمَرَرْتُ بِهَنِكَ “Aku telah melewati anu-mu.” Minoritas orang Arab meng-i’rab kata الْهَنُ dengan huruf wawu, alif, dan ya’. Mereka menganggap kata الْهَنُ tersebut sama dengan kata أب dan أخ, yaitu termasuk al-asma as-sittah. Contohnya adalah هَذَا هَنُوْكَ “Ini anu-mu.” وَرَأَيْتُ هَنَاكَ “Aku telah melihat anu-mu.” وَمَرَرْتُ بِهَنِيْكَ “Aku telah melewati anu-mu.” Oleh karena itu, kata الْهَنُ masuk dalam pembahasan al-asma as-sittah, karena sebagian kecil orang Arab menganggap kata tersebut sama seperti al-asma al-khamsah. [Bersambung] Kembali ke bagian 15 *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id


Ibnu Hisyam mengisyaratkan bahwa ذُوا مَالٍ tidak termasuk dalam al-asma as-sittah, kecuali jika kata tersebut bermakna pemilik (صَاحِبٌ). Contohnya adalah جَاءَ ذُوامَالٍ “Pemilik harta telah datang.” Maksud dari contoh di atas adalah صَاحِبُ مَالٍ “Pemilik harta.” Berbeda dengan ذُوا yang bermakna al-maushulah (kata sambung). Kata ذُوا yang bermakna al-maushulah tersebut tidak termasuk al-asma as-sittah, karena kata ذُوا yang bermakna al-maushulah memiliki makna الَّذِي (yang). Pendapat ini dianut oleh Bani Thayyi’. Kata ذُوا yang bermakna al-maushulah bersifat mabni, tidak mu’rab. Contohnya adalah جَاءَ ذُوْا سَافَرَ “Orang yang bersafar telah datang.” Kata ذُوا tersebut adalah isim maushul mabni dengan tanda sukun dalam kedudukan sebagai isim marfu’ yang berfungsi sebagai fa’il. Maksud dari contoh di atas adalah جَاءَ الَّذِي سَافَرَ “Orang yang bersafar telah datang.” Jumlah سَافَرَ tersebut adalah silah. Kata ذُوْا disyaratkan untuk di-idhafah-kan kepada isim jenis zahir, bukan sifat. Contohnya adalah زَمِيْلِي ذُوْا أَدَبٍ “Temanku adalah orang yang beradab.” Maka, kata أَدَب tersebut termasuk isim jenis. Contohnya dalam firman Allah adalah وَاِنَّ رَبَّكَ لَذُوْ مَغْفِرَةٍ لِّلنَّاسِ عَلٰى ظُلْمِهِمْۚ “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar memiliki ampunan bagi manusia meskipun mereka zalim.” (QS. Ar-Ra’d: 6) Huruf الَّامُ yang bergaris bawah pada contoh di atas adalah huruf ibtida’ (huruf yang berfungsi untuk mengawali kalimat). Adapun kata ذُو yang terletak setelah huruf الَّامُ tersebut berkedudukan sebagai khabar inna marfu’. Tanda marfu’-nya adalah dengan huruf wawu, karena kata tersebut termasuk bagian dari al-asma as-sittah. Contoh lainnya terdapat dalam firman Allah, وَاٰتِ ذَا الْقُرْبٰى حَقَّهٗ “Berikanlah kepada kerabat dekat haknya.” (QS. Al-Isra’: 26) Kata ذَا tersebut berkedudukan sebagai maf’ul bih manshub dengan tanda alif, serta berfungsi sebagai mudhaf dari kata الْقُرْبٰى, yang berkedudukan sebagai mudhaf ilaih majrur dengan tanda kasrah muqaddarah karena adanya uzur. Contoh lainnya terdapat dalam firman Allah, هَلْ فِيْ ذٰلِكَ قَسَمٌ لِّذِيْ حِجْرٍۗ “Apakah pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh (orang) yang berakal?” (QS. Al-Fajr: 5) Kata ذِيْ pada contoh di atas berkedudukan sebagai majrur dengan tanda ya’, serta berfungsi sebagai mudhaf dari kata حِجْر. Yang dimaksud dengan isim jenis adalah isim jamid, bukan isim musytaq. Contohnya adalah kata العلم، المال، والفضل. Adapun kata قائم bukan termasuk isim jamid, melainkan isim musytaq. Contoh dalam kalimat adalah جَاءَنِي قَائِمٌ “Orang yang berdiri telah datang kepadaku.” Maka, tidak diperbolehkan menggunakan kata قائم tersebut. Ibnu Hisyam mengisyaratkan penggunaan kata فُوْهُ. Kata tersebut tidak di-i’rab dengan huruf, kecuali jika huruf mim-nya dihapus. Contohnya adalah فُوْكَ رَائِحَتَهُ طَيِّبَةً “Mulutmu baunya harum.“ Kata yang bergaris bawah di atas marfu‘ dengan tanda wawu. نَظِّفْ فَاكَ بِالسِوَاكِ “Bersihkan mulutmu dengan siwak.” Kata yang bergaris bawah di atas manshub dengan tanda alif. كَرِحْتُ رَائِحَةَ فِيْكَ “Saya tidak suka bau mulutmu.” Kata yang bergaris di atas majrur dengan tanda ya’. Jika huruf mim pada kata tersebut tetap ada, maka di-i’rab dengan harakat. Contohnya adalah هَذَا فَامٌ “Ini adalah mulut.” نظفت فاما “Saya membersihkan mulut.” وَنَظَرْتُ إِلَى فَامٍ “Saya melihat ke mulut.” Al-asma as-sittah berikutnya adalah حَمُوْهَا, yang di-idhafah-kan kepada dhamir muannats, yaitu dhamir ها. الحَمُ secara bahasa artinya adalah kerabat istri dari keluarga suami, seperti bapaknya suami, pamannya suami, atau keponakan suami. Namun, terkadang istilah ini juga digunakan untuk kerabat suami dari keluarga istri, dengan ungkapan حَمُوْهُ, yang artinya iparnya (dia laki-laki). Kata tersebut di-idhafah-kan kepada mudzakar. Kemudian terkait al-asma as-sittah, الْهَنُ (sesuatu/anu). Yang paling fasih adalah dengan menggunakan هَنٍ, sebagaimana kata غَادٍ, maksudnya adalah keduanya di-i’rab dengan harakat damah, fathah, atau kasrah. Isim ini digunakan sebagai kata kiasan untuk isim jenis. Contohnya adalah هَذَا هَنُ زَيْدٍ “Ini anu/sesuatu milik Zaid.” Maksud dari kalimat di atas bisa bermakna هَذَا فَرْسُ زَيْدٍ “Ini kuda milik Zaid.” Ada juga yang berpendapat bahwa kata الْهَنُ digunakan untuk menyebutkan sesuatu yang tidak bagus untuk diungkapkan secara langsung. Contohnya dalam hadis adalah مَنْ تَعَزَّى بِعَزَاءِ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَعِضُّوْهُ بِهَنِ أَبِيْهِ وَلَا تكنوا “Barangsiapa yang berbangga-bangga karena nasabnya seperti orang jahiliah, hendaklah kalian gigitan dia di anu (alat kelamin) bapaknya dan janganlah kalian panggil dengan julukan yang sebagai kebanggaannya.” Kata الْهَنُ jika digunakan tanpa di-idhafah-kan, maka kata tersebut bukan termasuk al-asma as-sittah, melainkan isim manqush, yang maksudnya adalah huruf lam fi’il-nya dihapus, yaitu berupa huruf wawu. Asal dari kata tersebut adalah هَنَوٌ dengan wazan فعَلٌ dan di-i’rab dengan harakat. Contohnya adalah هَذَا هَنٌ “Ini anu/sesuatu.” وَرَأَيْتُ هَنًا “Aku telah melihat anu/sesuatu.” وَمَرَرْتُ بِهَنٍ “Aku telah melewati anu/sesuatu.” Apabila kata الْهَنُ tersebut di-idhafah-kan, maka mayoritas orang Arab memaksudkan kata tersebut di-i’rab dengan harakat. Contohnya adalah هَذَا هَنُكَ “Ini anu-mu.” وَرَأَيْتُ هَنَكَ “Aku telah melihat anu-mu.” وَمَرَرْتُ بِهَنِكَ “Aku telah melewati anu-mu.” Minoritas orang Arab meng-i’rab kata الْهَنُ dengan huruf wawu, alif, dan ya’. Mereka menganggap kata الْهَنُ tersebut sama dengan kata أب dan أخ, yaitu termasuk al-asma as-sittah. Contohnya adalah هَذَا هَنُوْكَ “Ini anu-mu.” وَرَأَيْتُ هَنَاكَ “Aku telah melihat anu-mu.” وَمَرَرْتُ بِهَنِيْكَ “Aku telah melewati anu-mu.” Oleh karena itu, kata الْهَنُ masuk dalam pembahasan al-asma as-sittah, karena sebagian kecil orang Arab menganggap kata tersebut sama seperti al-asma al-khamsah. [Bersambung] Kembali ke bagian 15 *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id

Apakah Tobatnya Pembunuh Diterima oleh Allah?

Daftar Isi Toggle Pembunuhan termasuk dosa besarSeorang mukmin akan senantiasa dalam kelapangan agamanya selama tidak menumpahkan darah yang haramJika seseorang bertobat dari pembunuhan, apakah tobatnya diterima?Tiga hak terkait dengan pembunuhanHak AllahHak korbanHak keluarga korbanRingkasan Pembunuhan adalah salah satu dosa besar dalam Islam yang memiliki dampak luas, baik bagi pelaku, korban, maupun masyarakat. Syariat Islam telah mengatur hukuman yang tegas bagi pelaku pembunuhan, sekaligus memberikan jalan bagi mereka yang ingin bertobat. Hal ini menunjukkan keseimbangan antara keadilan dan kasih sayang dalam ajaran Islam. Artikel ini akan membahas tentang hukum tobat bagi pelaku pembunuhan dalam Islam. Mulai dari kedudukan dosa pembunuhan, hak-hak terkait dengan pembunuhan, dan hukum tobat pelakunya, apakah diterima atau tidak. Dengan memahami pembahasan ini, diharapkan kita dapat mengambil pelajaran dan lebih berhati-hati dalam menjaga hak dan nyawa sesama manusia. Pembunuhan termasuk dosa besar Pembunuhan merupakan dosa besar, yang pelakunya mendapatkan ancaman yang sangat keras dan peringatan tegas dari Allah Ta’ala. Allah berfirman, وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا “Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahanam. Ia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, melaknatnya, dan menyediakan baginya azab yang besar.” (QS. An-Nisa: 93) Al-Hafidz Ibnu Katsir menyebutkan tentang tafsir ayat tersebut, وَهَذَا تَهْدِيدٌ شَدِيدٌ وَوَعِيدٌ أَكِيدٌ لِمَنْ تَعَاطَى هَذَا الذَّنْبَ الْعَظِيمَ “Ayat ini merupakan ancaman yang sangat keras dan peringatan tegas bagi siapa saja yang melakukan dosa besar ini.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Pembunuhan dalam banyak ayat Al-Qur’an disandingkan dengan kesyirikan kepada Allah, misalnya dalam firman-Nya, وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ ‘Dan orang-orang yang tidak menyembah sesembahan lain bersama Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah, kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina.’ (QS. Al-Furqan: 68)” Hadis-hadis tentang keharaman pembunuhan juga sangat banyak. Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah ﷺ bersabda, أَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي الدِّمَاءِ “Perkara pertama yang akan diadili di antara manusia pada hari kiamat adalah mengenai darah (pembunuhan).” (HR. Bukhari no. 6864, Muslim no. 1678) Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari ‘Ubadah bin Shamit, Rasulullah ﷺ bersabda, لَا يَزَالُ الْمُؤْمِنُ مُعْنِقًا صَالِحًا مَا لَمْ يُصِبْ دَمًا حَرَامًا، فَإِذَا أَصَابَ دَمًا حَرَامًا بَلَّح “Seorang mukmin akan senantiasa berada dalam kelapangan agama selama ia tidak menumpahkan darah yang haram. Jika ia telah melakukannya, maka ia akan binasa.” (HR. Abu Dawud no. 4270, disahihkan oleh Al-Albani) [1] Seorang mukmin akan senantiasa dalam kelapangan agamanya selama tidak menumpahkan darah yang haram Syekh Muhammad Ibnu ‘Utsaimin mengatakan tentang hadis di atas, “Makna “kelapangan dalam agamanya” adalah seseorang masih berada dalam keadaan yang baik dalam beragama, memiliki kesempatan untuk bertobat, serta tidak mengalami kesempitan dan kebinasaan dalam agama. Namun, jika seseorang menumpahkan darah yang haram, maka agamanya menjadi sempit, jiwanya menjadi gelisah, hingga akhirnya ia bisa terlepas dari agama secara keseluruhan, na’udzu billah min dzalik. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُتَعَمِّداً فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً “Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahanam. Ia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, melaknatnya, dan menyediakan baginya azab yang besar.” (QS. An-Nisa: 93) Dalam ayat ini, terdapat lima hukuman yang sangat berat bagi pelaku pembunuhan dengan sengaja: balasannya adalah neraka Jahanam, ia kekal di dalamnya, Allah murka kepadanya, Allah melaknatnya, dan Allah menyiapkan azab yang besar untuknya. Inilah akibat dari menumpahkan darah seorang mukmin dengan sengaja. Sebab, jika seseorang telah melakukan dosa besar ini, maka agamanya akan semakin sempit hingga ia bisa terlepas darinya secara total dan menjadi penghuni neraka yang kekal di dalamnya.” [2] Baca juga: Pembunuhan yang Dilakukan Bersama-Sama Jika seseorang bertobat dari pembunuhan, apakah tobatnya diterima? Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin melanjutkan, “Mayoritas ulama berpendapat bahwa tobatnya diterima, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ لا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهاً آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَاماً يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَاناً وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَاباً ‘Dan orang-orang yang tidak menyembah sesembahan lain bersama Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina. Barangsiapa melakukan hal itu, niscaya dia mendapat hukuman. Akan dilipatgandakan azabnya pada hari Kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh, maka mereka itulah yang Allah terima tobatnya dengan sebenar-benarnya.’ (QS. Al-Furqan: 68-71) Dalam ayat ini ditegaskan (nash) bahwa siapa saja yang bertobat dari membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah, kemudian beriman dan beramal saleh, maka Allah akan menerima tobatnya. Allah juga berfirman, قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ‘Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53) [3] Tiga hak terkait dengan pembunuhan Ada tiga hak yang berkaitan dengan pembunuhan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, أنّ القتل يتعلق به ثلاث حقوق: حقّ لله، وحقّ للمقتول، وحقّ للولي “Pembunuhan berkaitan dengan tiga hak: hak Allah, hak korban, dan hak wali korban.” [4] Hak Allah Adapun hak Allah, maka jika seseorang bertobat dengan tulus, Allah akan menerima tobatnya tanpa keraguan. Allah berfirman, إِلَاّ مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِل عَمَلاً صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّل اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا “Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh, maka mereka itulah yang Allah ganti keburukan mereka dengan kebaikan. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqan: 70) Hak korban Sedangkan hak korban, maka haknya tetap ada di sisinya. Karena korban telah terbunuh, tidak mungkin haknya dikembalikan di dunia. Pertanyaannya, apakah tobat seorang pembunuh berarti Allah akan menanggung hak korban dan membebaskan pelakunya dari tuntutan di akhirat? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian mengatakan bahwa hak korban tidak gugur dengan tobat karena salah satu syarat tobat adalah mengembalikan hak kepada pemiliknya, sedangkan hak korban tidak dapat dikembalikan karena ia telah terbunuh. Oleh karena itu, harus ada pembalasan di akhirat. Namun, sebagian lain berpendapat bahwa berdasarkan ayat dalam Surah Al-Furqan, jika seseorang bertobat dengan tulus, maka Allah akan menerima tobatnya sepenuhnya. Dari kemurahan dan keadilan-Nya, jika Allah mengetahui ketulusan tobat hamba-Nya, maka Dia akan menanggung hak korban dan menyelesaikannya dengan keadilan-Nya pada hari kiamat. Hak keluarga korban Hak ketiga adalah hak keluarga korban, dan ini harus diselesaikan karena masih bisa dituntaskan di dunia. Cara menyelesaikannya adalah dengan menyerahkan diri kepada keluarga korban dan berkata, “Aku telah membunuh kerabat kalian, maka lakukanlah apa yang kalian kehendaki.” Dalam hal ini, keluarga korban memiliki empat pilihan: Pertama: Memaafkan tanpa kompensasi. Kedua: Menuntut qishash (hukuman setimpal). Ketiga: Menerima diyat (ganti rugi yang ditetapkan syariat). Keempat: Berdamai dengan jumlah yang lebih rendah atau setara dengan diyat. [5] Ringkasan Tobat seorang pembunuh yang disengaja tetap diterima, berdasarkan ayat dalam Surah Al-Furqan yang secara khusus membahas tentang pembunuhan, serta ayat umum dalam Surah Az-Zumar, إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً “Sesungguhnya Allah mengampuni segala dosa.” (QS. Az-Zumar: 53) Berkaitan dengan hak korban, maka Allah Ta’ala yang akan menanggung hak tersebut, dan menyelesaikannya pada hari kiamat. Wallaahu a’lam. Baca juga: Pembunuhan Sadis Bukan Ajaran Islam *** Rumdin PPIA Sragen, 20 Rajab 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mawsūʿah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaytiyyah. Diterbitkan oleh Dar Al-Safwah Press, Mesir; cet. 2 (jilid 39–45). Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Zulhijah 1431 H), sesuai nomor cetakan. Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Syarh Riyadhus Shalihin. Riyadh: Darul Wathan, 1426 H. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Zulhijah 1431 H), sesuai nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] Diringkas dari Tafsir Ibnu Katsir, 2: 376. [2] Diringkas dari Syarh Riyadhus Shalihin, 2: 534-535. [3] Syarh Riyadhus Shalihin, 2: 535, lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 41: 30-31. [4] Ad-Da’ wa Ad-Dawa’, hal. 334. [5] Lihat Syarh Riyadhus Shalihin, 2: 536-527.

Apakah Tobatnya Pembunuh Diterima oleh Allah?

Daftar Isi Toggle Pembunuhan termasuk dosa besarSeorang mukmin akan senantiasa dalam kelapangan agamanya selama tidak menumpahkan darah yang haramJika seseorang bertobat dari pembunuhan, apakah tobatnya diterima?Tiga hak terkait dengan pembunuhanHak AllahHak korbanHak keluarga korbanRingkasan Pembunuhan adalah salah satu dosa besar dalam Islam yang memiliki dampak luas, baik bagi pelaku, korban, maupun masyarakat. Syariat Islam telah mengatur hukuman yang tegas bagi pelaku pembunuhan, sekaligus memberikan jalan bagi mereka yang ingin bertobat. Hal ini menunjukkan keseimbangan antara keadilan dan kasih sayang dalam ajaran Islam. Artikel ini akan membahas tentang hukum tobat bagi pelaku pembunuhan dalam Islam. Mulai dari kedudukan dosa pembunuhan, hak-hak terkait dengan pembunuhan, dan hukum tobat pelakunya, apakah diterima atau tidak. Dengan memahami pembahasan ini, diharapkan kita dapat mengambil pelajaran dan lebih berhati-hati dalam menjaga hak dan nyawa sesama manusia. Pembunuhan termasuk dosa besar Pembunuhan merupakan dosa besar, yang pelakunya mendapatkan ancaman yang sangat keras dan peringatan tegas dari Allah Ta’ala. Allah berfirman, وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا “Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahanam. Ia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, melaknatnya, dan menyediakan baginya azab yang besar.” (QS. An-Nisa: 93) Al-Hafidz Ibnu Katsir menyebutkan tentang tafsir ayat tersebut, وَهَذَا تَهْدِيدٌ شَدِيدٌ وَوَعِيدٌ أَكِيدٌ لِمَنْ تَعَاطَى هَذَا الذَّنْبَ الْعَظِيمَ “Ayat ini merupakan ancaman yang sangat keras dan peringatan tegas bagi siapa saja yang melakukan dosa besar ini.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Pembunuhan dalam banyak ayat Al-Qur’an disandingkan dengan kesyirikan kepada Allah, misalnya dalam firman-Nya, وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ ‘Dan orang-orang yang tidak menyembah sesembahan lain bersama Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah, kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina.’ (QS. Al-Furqan: 68)” Hadis-hadis tentang keharaman pembunuhan juga sangat banyak. Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah ﷺ bersabda, أَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي الدِّمَاءِ “Perkara pertama yang akan diadili di antara manusia pada hari kiamat adalah mengenai darah (pembunuhan).” (HR. Bukhari no. 6864, Muslim no. 1678) Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari ‘Ubadah bin Shamit, Rasulullah ﷺ bersabda, لَا يَزَالُ الْمُؤْمِنُ مُعْنِقًا صَالِحًا مَا لَمْ يُصِبْ دَمًا حَرَامًا، فَإِذَا أَصَابَ دَمًا حَرَامًا بَلَّح “Seorang mukmin akan senantiasa berada dalam kelapangan agama selama ia tidak menumpahkan darah yang haram. Jika ia telah melakukannya, maka ia akan binasa.” (HR. Abu Dawud no. 4270, disahihkan oleh Al-Albani) [1] Seorang mukmin akan senantiasa dalam kelapangan agamanya selama tidak menumpahkan darah yang haram Syekh Muhammad Ibnu ‘Utsaimin mengatakan tentang hadis di atas, “Makna “kelapangan dalam agamanya” adalah seseorang masih berada dalam keadaan yang baik dalam beragama, memiliki kesempatan untuk bertobat, serta tidak mengalami kesempitan dan kebinasaan dalam agama. Namun, jika seseorang menumpahkan darah yang haram, maka agamanya menjadi sempit, jiwanya menjadi gelisah, hingga akhirnya ia bisa terlepas dari agama secara keseluruhan, na’udzu billah min dzalik. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُتَعَمِّداً فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً “Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahanam. Ia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, melaknatnya, dan menyediakan baginya azab yang besar.” (QS. An-Nisa: 93) Dalam ayat ini, terdapat lima hukuman yang sangat berat bagi pelaku pembunuhan dengan sengaja: balasannya adalah neraka Jahanam, ia kekal di dalamnya, Allah murka kepadanya, Allah melaknatnya, dan Allah menyiapkan azab yang besar untuknya. Inilah akibat dari menumpahkan darah seorang mukmin dengan sengaja. Sebab, jika seseorang telah melakukan dosa besar ini, maka agamanya akan semakin sempit hingga ia bisa terlepas darinya secara total dan menjadi penghuni neraka yang kekal di dalamnya.” [2] Baca juga: Pembunuhan yang Dilakukan Bersama-Sama Jika seseorang bertobat dari pembunuhan, apakah tobatnya diterima? Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin melanjutkan, “Mayoritas ulama berpendapat bahwa tobatnya diterima, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ لا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهاً آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَاماً يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَاناً وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَاباً ‘Dan orang-orang yang tidak menyembah sesembahan lain bersama Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina. Barangsiapa melakukan hal itu, niscaya dia mendapat hukuman. Akan dilipatgandakan azabnya pada hari Kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh, maka mereka itulah yang Allah terima tobatnya dengan sebenar-benarnya.’ (QS. Al-Furqan: 68-71) Dalam ayat ini ditegaskan (nash) bahwa siapa saja yang bertobat dari membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah, kemudian beriman dan beramal saleh, maka Allah akan menerima tobatnya. Allah juga berfirman, قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ‘Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53) [3] Tiga hak terkait dengan pembunuhan Ada tiga hak yang berkaitan dengan pembunuhan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, أنّ القتل يتعلق به ثلاث حقوق: حقّ لله، وحقّ للمقتول، وحقّ للولي “Pembunuhan berkaitan dengan tiga hak: hak Allah, hak korban, dan hak wali korban.” [4] Hak Allah Adapun hak Allah, maka jika seseorang bertobat dengan tulus, Allah akan menerima tobatnya tanpa keraguan. Allah berfirman, إِلَاّ مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِل عَمَلاً صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّل اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا “Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh, maka mereka itulah yang Allah ganti keburukan mereka dengan kebaikan. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqan: 70) Hak korban Sedangkan hak korban, maka haknya tetap ada di sisinya. Karena korban telah terbunuh, tidak mungkin haknya dikembalikan di dunia. Pertanyaannya, apakah tobat seorang pembunuh berarti Allah akan menanggung hak korban dan membebaskan pelakunya dari tuntutan di akhirat? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian mengatakan bahwa hak korban tidak gugur dengan tobat karena salah satu syarat tobat adalah mengembalikan hak kepada pemiliknya, sedangkan hak korban tidak dapat dikembalikan karena ia telah terbunuh. Oleh karena itu, harus ada pembalasan di akhirat. Namun, sebagian lain berpendapat bahwa berdasarkan ayat dalam Surah Al-Furqan, jika seseorang bertobat dengan tulus, maka Allah akan menerima tobatnya sepenuhnya. Dari kemurahan dan keadilan-Nya, jika Allah mengetahui ketulusan tobat hamba-Nya, maka Dia akan menanggung hak korban dan menyelesaikannya dengan keadilan-Nya pada hari kiamat. Hak keluarga korban Hak ketiga adalah hak keluarga korban, dan ini harus diselesaikan karena masih bisa dituntaskan di dunia. Cara menyelesaikannya adalah dengan menyerahkan diri kepada keluarga korban dan berkata, “Aku telah membunuh kerabat kalian, maka lakukanlah apa yang kalian kehendaki.” Dalam hal ini, keluarga korban memiliki empat pilihan: Pertama: Memaafkan tanpa kompensasi. Kedua: Menuntut qishash (hukuman setimpal). Ketiga: Menerima diyat (ganti rugi yang ditetapkan syariat). Keempat: Berdamai dengan jumlah yang lebih rendah atau setara dengan diyat. [5] Ringkasan Tobat seorang pembunuh yang disengaja tetap diterima, berdasarkan ayat dalam Surah Al-Furqan yang secara khusus membahas tentang pembunuhan, serta ayat umum dalam Surah Az-Zumar, إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً “Sesungguhnya Allah mengampuni segala dosa.” (QS. Az-Zumar: 53) Berkaitan dengan hak korban, maka Allah Ta’ala yang akan menanggung hak tersebut, dan menyelesaikannya pada hari kiamat. Wallaahu a’lam. Baca juga: Pembunuhan Sadis Bukan Ajaran Islam *** Rumdin PPIA Sragen, 20 Rajab 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mawsūʿah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaytiyyah. Diterbitkan oleh Dar Al-Safwah Press, Mesir; cet. 2 (jilid 39–45). Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Zulhijah 1431 H), sesuai nomor cetakan. Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Syarh Riyadhus Shalihin. Riyadh: Darul Wathan, 1426 H. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Zulhijah 1431 H), sesuai nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] Diringkas dari Tafsir Ibnu Katsir, 2: 376. [2] Diringkas dari Syarh Riyadhus Shalihin, 2: 534-535. [3] Syarh Riyadhus Shalihin, 2: 535, lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 41: 30-31. [4] Ad-Da’ wa Ad-Dawa’, hal. 334. [5] Lihat Syarh Riyadhus Shalihin, 2: 536-527.
Daftar Isi Toggle Pembunuhan termasuk dosa besarSeorang mukmin akan senantiasa dalam kelapangan agamanya selama tidak menumpahkan darah yang haramJika seseorang bertobat dari pembunuhan, apakah tobatnya diterima?Tiga hak terkait dengan pembunuhanHak AllahHak korbanHak keluarga korbanRingkasan Pembunuhan adalah salah satu dosa besar dalam Islam yang memiliki dampak luas, baik bagi pelaku, korban, maupun masyarakat. Syariat Islam telah mengatur hukuman yang tegas bagi pelaku pembunuhan, sekaligus memberikan jalan bagi mereka yang ingin bertobat. Hal ini menunjukkan keseimbangan antara keadilan dan kasih sayang dalam ajaran Islam. Artikel ini akan membahas tentang hukum tobat bagi pelaku pembunuhan dalam Islam. Mulai dari kedudukan dosa pembunuhan, hak-hak terkait dengan pembunuhan, dan hukum tobat pelakunya, apakah diterima atau tidak. Dengan memahami pembahasan ini, diharapkan kita dapat mengambil pelajaran dan lebih berhati-hati dalam menjaga hak dan nyawa sesama manusia. Pembunuhan termasuk dosa besar Pembunuhan merupakan dosa besar, yang pelakunya mendapatkan ancaman yang sangat keras dan peringatan tegas dari Allah Ta’ala. Allah berfirman, وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا “Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahanam. Ia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, melaknatnya, dan menyediakan baginya azab yang besar.” (QS. An-Nisa: 93) Al-Hafidz Ibnu Katsir menyebutkan tentang tafsir ayat tersebut, وَهَذَا تَهْدِيدٌ شَدِيدٌ وَوَعِيدٌ أَكِيدٌ لِمَنْ تَعَاطَى هَذَا الذَّنْبَ الْعَظِيمَ “Ayat ini merupakan ancaman yang sangat keras dan peringatan tegas bagi siapa saja yang melakukan dosa besar ini.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Pembunuhan dalam banyak ayat Al-Qur’an disandingkan dengan kesyirikan kepada Allah, misalnya dalam firman-Nya, وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ ‘Dan orang-orang yang tidak menyembah sesembahan lain bersama Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah, kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina.’ (QS. Al-Furqan: 68)” Hadis-hadis tentang keharaman pembunuhan juga sangat banyak. Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah ﷺ bersabda, أَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي الدِّمَاءِ “Perkara pertama yang akan diadili di antara manusia pada hari kiamat adalah mengenai darah (pembunuhan).” (HR. Bukhari no. 6864, Muslim no. 1678) Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari ‘Ubadah bin Shamit, Rasulullah ﷺ bersabda, لَا يَزَالُ الْمُؤْمِنُ مُعْنِقًا صَالِحًا مَا لَمْ يُصِبْ دَمًا حَرَامًا، فَإِذَا أَصَابَ دَمًا حَرَامًا بَلَّح “Seorang mukmin akan senantiasa berada dalam kelapangan agama selama ia tidak menumpahkan darah yang haram. Jika ia telah melakukannya, maka ia akan binasa.” (HR. Abu Dawud no. 4270, disahihkan oleh Al-Albani) [1] Seorang mukmin akan senantiasa dalam kelapangan agamanya selama tidak menumpahkan darah yang haram Syekh Muhammad Ibnu ‘Utsaimin mengatakan tentang hadis di atas, “Makna “kelapangan dalam agamanya” adalah seseorang masih berada dalam keadaan yang baik dalam beragama, memiliki kesempatan untuk bertobat, serta tidak mengalami kesempitan dan kebinasaan dalam agama. Namun, jika seseorang menumpahkan darah yang haram, maka agamanya menjadi sempit, jiwanya menjadi gelisah, hingga akhirnya ia bisa terlepas dari agama secara keseluruhan, na’udzu billah min dzalik. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُتَعَمِّداً فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً “Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahanam. Ia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, melaknatnya, dan menyediakan baginya azab yang besar.” (QS. An-Nisa: 93) Dalam ayat ini, terdapat lima hukuman yang sangat berat bagi pelaku pembunuhan dengan sengaja: balasannya adalah neraka Jahanam, ia kekal di dalamnya, Allah murka kepadanya, Allah melaknatnya, dan Allah menyiapkan azab yang besar untuknya. Inilah akibat dari menumpahkan darah seorang mukmin dengan sengaja. Sebab, jika seseorang telah melakukan dosa besar ini, maka agamanya akan semakin sempit hingga ia bisa terlepas darinya secara total dan menjadi penghuni neraka yang kekal di dalamnya.” [2] Baca juga: Pembunuhan yang Dilakukan Bersama-Sama Jika seseorang bertobat dari pembunuhan, apakah tobatnya diterima? Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin melanjutkan, “Mayoritas ulama berpendapat bahwa tobatnya diterima, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ لا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهاً آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَاماً يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَاناً وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَاباً ‘Dan orang-orang yang tidak menyembah sesembahan lain bersama Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina. Barangsiapa melakukan hal itu, niscaya dia mendapat hukuman. Akan dilipatgandakan azabnya pada hari Kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh, maka mereka itulah yang Allah terima tobatnya dengan sebenar-benarnya.’ (QS. Al-Furqan: 68-71) Dalam ayat ini ditegaskan (nash) bahwa siapa saja yang bertobat dari membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah, kemudian beriman dan beramal saleh, maka Allah akan menerima tobatnya. Allah juga berfirman, قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ‘Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53) [3] Tiga hak terkait dengan pembunuhan Ada tiga hak yang berkaitan dengan pembunuhan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, أنّ القتل يتعلق به ثلاث حقوق: حقّ لله، وحقّ للمقتول، وحقّ للولي “Pembunuhan berkaitan dengan tiga hak: hak Allah, hak korban, dan hak wali korban.” [4] Hak Allah Adapun hak Allah, maka jika seseorang bertobat dengan tulus, Allah akan menerima tobatnya tanpa keraguan. Allah berfirman, إِلَاّ مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِل عَمَلاً صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّل اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا “Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh, maka mereka itulah yang Allah ganti keburukan mereka dengan kebaikan. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqan: 70) Hak korban Sedangkan hak korban, maka haknya tetap ada di sisinya. Karena korban telah terbunuh, tidak mungkin haknya dikembalikan di dunia. Pertanyaannya, apakah tobat seorang pembunuh berarti Allah akan menanggung hak korban dan membebaskan pelakunya dari tuntutan di akhirat? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian mengatakan bahwa hak korban tidak gugur dengan tobat karena salah satu syarat tobat adalah mengembalikan hak kepada pemiliknya, sedangkan hak korban tidak dapat dikembalikan karena ia telah terbunuh. Oleh karena itu, harus ada pembalasan di akhirat. Namun, sebagian lain berpendapat bahwa berdasarkan ayat dalam Surah Al-Furqan, jika seseorang bertobat dengan tulus, maka Allah akan menerima tobatnya sepenuhnya. Dari kemurahan dan keadilan-Nya, jika Allah mengetahui ketulusan tobat hamba-Nya, maka Dia akan menanggung hak korban dan menyelesaikannya dengan keadilan-Nya pada hari kiamat. Hak keluarga korban Hak ketiga adalah hak keluarga korban, dan ini harus diselesaikan karena masih bisa dituntaskan di dunia. Cara menyelesaikannya adalah dengan menyerahkan diri kepada keluarga korban dan berkata, “Aku telah membunuh kerabat kalian, maka lakukanlah apa yang kalian kehendaki.” Dalam hal ini, keluarga korban memiliki empat pilihan: Pertama: Memaafkan tanpa kompensasi. Kedua: Menuntut qishash (hukuman setimpal). Ketiga: Menerima diyat (ganti rugi yang ditetapkan syariat). Keempat: Berdamai dengan jumlah yang lebih rendah atau setara dengan diyat. [5] Ringkasan Tobat seorang pembunuh yang disengaja tetap diterima, berdasarkan ayat dalam Surah Al-Furqan yang secara khusus membahas tentang pembunuhan, serta ayat umum dalam Surah Az-Zumar, إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً “Sesungguhnya Allah mengampuni segala dosa.” (QS. Az-Zumar: 53) Berkaitan dengan hak korban, maka Allah Ta’ala yang akan menanggung hak tersebut, dan menyelesaikannya pada hari kiamat. Wallaahu a’lam. Baca juga: Pembunuhan Sadis Bukan Ajaran Islam *** Rumdin PPIA Sragen, 20 Rajab 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mawsūʿah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaytiyyah. Diterbitkan oleh Dar Al-Safwah Press, Mesir; cet. 2 (jilid 39–45). Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Zulhijah 1431 H), sesuai nomor cetakan. Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Syarh Riyadhus Shalihin. Riyadh: Darul Wathan, 1426 H. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Zulhijah 1431 H), sesuai nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] Diringkas dari Tafsir Ibnu Katsir, 2: 376. [2] Diringkas dari Syarh Riyadhus Shalihin, 2: 534-535. [3] Syarh Riyadhus Shalihin, 2: 535, lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 41: 30-31. [4] Ad-Da’ wa Ad-Dawa’, hal. 334. [5] Lihat Syarh Riyadhus Shalihin, 2: 536-527.


Daftar Isi Toggle Pembunuhan termasuk dosa besarSeorang mukmin akan senantiasa dalam kelapangan agamanya selama tidak menumpahkan darah yang haramJika seseorang bertobat dari pembunuhan, apakah tobatnya diterima?Tiga hak terkait dengan pembunuhanHak AllahHak korbanHak keluarga korbanRingkasan Pembunuhan adalah salah satu dosa besar dalam Islam yang memiliki dampak luas, baik bagi pelaku, korban, maupun masyarakat. Syariat Islam telah mengatur hukuman yang tegas bagi pelaku pembunuhan, sekaligus memberikan jalan bagi mereka yang ingin bertobat. Hal ini menunjukkan keseimbangan antara keadilan dan kasih sayang dalam ajaran Islam. Artikel ini akan membahas tentang hukum tobat bagi pelaku pembunuhan dalam Islam. Mulai dari kedudukan dosa pembunuhan, hak-hak terkait dengan pembunuhan, dan hukum tobat pelakunya, apakah diterima atau tidak. Dengan memahami pembahasan ini, diharapkan kita dapat mengambil pelajaran dan lebih berhati-hati dalam menjaga hak dan nyawa sesama manusia. Pembunuhan termasuk dosa besar Pembunuhan merupakan dosa besar, yang pelakunya mendapatkan ancaman yang sangat keras dan peringatan tegas dari Allah Ta’ala. Allah berfirman, وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا “Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahanam. Ia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, melaknatnya, dan menyediakan baginya azab yang besar.” (QS. An-Nisa: 93) Al-Hafidz Ibnu Katsir menyebutkan tentang tafsir ayat tersebut, وَهَذَا تَهْدِيدٌ شَدِيدٌ وَوَعِيدٌ أَكِيدٌ لِمَنْ تَعَاطَى هَذَا الذَّنْبَ الْعَظِيمَ “Ayat ini merupakan ancaman yang sangat keras dan peringatan tegas bagi siapa saja yang melakukan dosa besar ini.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Pembunuhan dalam banyak ayat Al-Qur’an disandingkan dengan kesyirikan kepada Allah, misalnya dalam firman-Nya, وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ ‘Dan orang-orang yang tidak menyembah sesembahan lain bersama Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah, kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina.’ (QS. Al-Furqan: 68)” Hadis-hadis tentang keharaman pembunuhan juga sangat banyak. Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah ﷺ bersabda, أَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي الدِّمَاءِ “Perkara pertama yang akan diadili di antara manusia pada hari kiamat adalah mengenai darah (pembunuhan).” (HR. Bukhari no. 6864, Muslim no. 1678) Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari ‘Ubadah bin Shamit, Rasulullah ﷺ bersabda, لَا يَزَالُ الْمُؤْمِنُ مُعْنِقًا صَالِحًا مَا لَمْ يُصِبْ دَمًا حَرَامًا، فَإِذَا أَصَابَ دَمًا حَرَامًا بَلَّح “Seorang mukmin akan senantiasa berada dalam kelapangan agama selama ia tidak menumpahkan darah yang haram. Jika ia telah melakukannya, maka ia akan binasa.” (HR. Abu Dawud no. 4270, disahihkan oleh Al-Albani) [1] Seorang mukmin akan senantiasa dalam kelapangan agamanya selama tidak menumpahkan darah yang haram Syekh Muhammad Ibnu ‘Utsaimin mengatakan tentang hadis di atas, “Makna “kelapangan dalam agamanya” adalah seseorang masih berada dalam keadaan yang baik dalam beragama, memiliki kesempatan untuk bertobat, serta tidak mengalami kesempitan dan kebinasaan dalam agama. Namun, jika seseorang menumpahkan darah yang haram, maka agamanya menjadi sempit, jiwanya menjadi gelisah, hingga akhirnya ia bisa terlepas dari agama secara keseluruhan, na’udzu billah min dzalik. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُتَعَمِّداً فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً “Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahanam. Ia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, melaknatnya, dan menyediakan baginya azab yang besar.” (QS. An-Nisa: 93) Dalam ayat ini, terdapat lima hukuman yang sangat berat bagi pelaku pembunuhan dengan sengaja: balasannya adalah neraka Jahanam, ia kekal di dalamnya, Allah murka kepadanya, Allah melaknatnya, dan Allah menyiapkan azab yang besar untuknya. Inilah akibat dari menumpahkan darah seorang mukmin dengan sengaja. Sebab, jika seseorang telah melakukan dosa besar ini, maka agamanya akan semakin sempit hingga ia bisa terlepas darinya secara total dan menjadi penghuni neraka yang kekal di dalamnya.” [2] Baca juga: Pembunuhan yang Dilakukan Bersama-Sama Jika seseorang bertobat dari pembunuhan, apakah tobatnya diterima? Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin melanjutkan, “Mayoritas ulama berpendapat bahwa tobatnya diterima, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ لا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهاً آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَاماً يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَاناً وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَاباً ‘Dan orang-orang yang tidak menyembah sesembahan lain bersama Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina. Barangsiapa melakukan hal itu, niscaya dia mendapat hukuman. Akan dilipatgandakan azabnya pada hari Kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh, maka mereka itulah yang Allah terima tobatnya dengan sebenar-benarnya.’ (QS. Al-Furqan: 68-71) Dalam ayat ini ditegaskan (nash) bahwa siapa saja yang bertobat dari membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah, kemudian beriman dan beramal saleh, maka Allah akan menerima tobatnya. Allah juga berfirman, قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ‘Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53) [3] Tiga hak terkait dengan pembunuhan Ada tiga hak yang berkaitan dengan pembunuhan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, أنّ القتل يتعلق به ثلاث حقوق: حقّ لله، وحقّ للمقتول، وحقّ للولي “Pembunuhan berkaitan dengan tiga hak: hak Allah, hak korban, dan hak wali korban.” [4] Hak Allah Adapun hak Allah, maka jika seseorang bertobat dengan tulus, Allah akan menerima tobatnya tanpa keraguan. Allah berfirman, إِلَاّ مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِل عَمَلاً صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّل اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا “Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh, maka mereka itulah yang Allah ganti keburukan mereka dengan kebaikan. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqan: 70) Hak korban Sedangkan hak korban, maka haknya tetap ada di sisinya. Karena korban telah terbunuh, tidak mungkin haknya dikembalikan di dunia. Pertanyaannya, apakah tobat seorang pembunuh berarti Allah akan menanggung hak korban dan membebaskan pelakunya dari tuntutan di akhirat? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian mengatakan bahwa hak korban tidak gugur dengan tobat karena salah satu syarat tobat adalah mengembalikan hak kepada pemiliknya, sedangkan hak korban tidak dapat dikembalikan karena ia telah terbunuh. Oleh karena itu, harus ada pembalasan di akhirat. Namun, sebagian lain berpendapat bahwa berdasarkan ayat dalam Surah Al-Furqan, jika seseorang bertobat dengan tulus, maka Allah akan menerima tobatnya sepenuhnya. Dari kemurahan dan keadilan-Nya, jika Allah mengetahui ketulusan tobat hamba-Nya, maka Dia akan menanggung hak korban dan menyelesaikannya dengan keadilan-Nya pada hari kiamat. Hak keluarga korban Hak ketiga adalah hak keluarga korban, dan ini harus diselesaikan karena masih bisa dituntaskan di dunia. Cara menyelesaikannya adalah dengan menyerahkan diri kepada keluarga korban dan berkata, “Aku telah membunuh kerabat kalian, maka lakukanlah apa yang kalian kehendaki.” Dalam hal ini, keluarga korban memiliki empat pilihan: Pertama: Memaafkan tanpa kompensasi. Kedua: Menuntut qishash (hukuman setimpal). Ketiga: Menerima diyat (ganti rugi yang ditetapkan syariat). Keempat: Berdamai dengan jumlah yang lebih rendah atau setara dengan diyat. [5] Ringkasan Tobat seorang pembunuh yang disengaja tetap diterima, berdasarkan ayat dalam Surah Al-Furqan yang secara khusus membahas tentang pembunuhan, serta ayat umum dalam Surah Az-Zumar, إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً “Sesungguhnya Allah mengampuni segala dosa.” (QS. Az-Zumar: 53) Berkaitan dengan hak korban, maka Allah Ta’ala yang akan menanggung hak tersebut, dan menyelesaikannya pada hari kiamat. Wallaahu a’lam. Baca juga: Pembunuhan Sadis Bukan Ajaran Islam *** Rumdin PPIA Sragen, 20 Rajab 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mawsūʿah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaytiyyah. Diterbitkan oleh Dar Al-Safwah Press, Mesir; cet. 2 (jilid 39–45). Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Zulhijah 1431 H), sesuai nomor cetakan. Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Syarh Riyadhus Shalihin. Riyadh: Darul Wathan, 1426 H. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Zulhijah 1431 H), sesuai nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] Diringkas dari Tafsir Ibnu Katsir, 2: 376. [2] Diringkas dari Syarh Riyadhus Shalihin, 2: 534-535. [3] Syarh Riyadhus Shalihin, 2: 535, lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 41: 30-31. [4] Ad-Da’ wa Ad-Dawa’, hal. 334. [5] Lihat Syarh Riyadhus Shalihin, 2: 536-527.

Laporan Produksi Yufid Bulan Januari 2025

Laporan Produksi Yufid Bulan Januari 2025 Bismillahirrohmanirrohim… Yayasan Yufid Network telah berkontribusi selama 15 tahun dalam menyediakan konten pendidikan dan dakwah Islam secara gratis melalui berbagai platform, termasuk channel YouTube seperti Yufid.TV, Yufid EDU, dan Yufid Kids yang telah memproduksi 22.370 video dengan total 6.682.733 subscribers. Yufid juga mengelola situs website dan telah mempublikasikan 9.962 artikel yang tersebar di berbagai platform. Melalui laporan produktivitas ini, Yufid berusaha memberikan transparansi terhadap projek dan perkembangan tim, memperkuat keterlibatan pemirsa Yufid dan membangun wadah kreativitas bersama untuk penyebaran dakwah Islam. Yufid telah menjadi kekuatan signifikan dalam memberikan akses luas kepada pengetahuan dan informasi dakwah Islam, mencapai lebih dari 887.753.961 penayangan di platform YouTube. Dengan komitmen pada misi non-profit kami, Yufid terus memberikan dampak positif dan berusaha untuk terus berkembang sembari mempertahankan transparansi dan keterlibatan pemirsa yang kuat. Channel YouTube YUFID.TV Total Video Yufid.TV: 18.646 video Total Subscribers: 4.120.181 subscribers Total Tayangan Video: 710.435.052 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 111 video Produksi Video Januari 2025: 119 video Tayangan Video Januari 2025: 3.554.230 views Waktu Tayang Video Januari 2025: 363.802 jam Penambahan Subscribers Januari 2025: +10.751 Selama bulan Januari 2025 tim Yufid menyiarkan video live sebanyak 150 kali. Channel YouTube YUFID EDU Total Video Yufid Edu: 2.765 video Total Subscribers: 320.006 Total Tayangan Video: 21.638.165 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 20 video Produksi Video Januari 2025: 39 video Tayangan Video Januari 2025: 146.170 views Waktu Tayang Video Januari 2025: 8.349 jam Penambahan Subscribers Januari 2025: +1.552 Channel YouTube YUFID KIDS Total Video Yufid Kids: 87 video Total Subscribers: 500.741 Total Tayangan Video: 152.025.421 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 1 video Produksi Video Januari 2025: 0 video Tayangan Video Januari 2025: 2.090.456 views Waktu Tayang Video Januari 2025: 107.646 jam Penambahan Subscribers Januari 2025: +4.625 Untuk memproduksi video Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Channel YouTube Dunia Mengaji  Channel Dunia Mengaji adalah untuk menampung video-video yang secara kualitas pengambilan gambar dan kualitas gambar jauh di bawah standar Yufid.TV, agar konten dakwah tetap bisa dinikmati oleh pemirsa. Total Video: 272 Total Subscribers: 4.937 Total Tayangan Video: 469.735 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 3 video Tayangan Video Januari 2025: 1.502 views Jam Tayang Video Januari 2025: 277 Jam Penambahan Subscribers Januari 2025: +5 Channel YouTube العلم نور  Channel “Al-’Ilmu Nuurun” ini merupakan wadah yang berisi ceramah singkat maupun kajian-kajian panjang dari Masyayikh dari Timur Tengah seperti Syaikh Sulaiman Ar-Ruhayli, Syaikh Utsman Al-Khomis, Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al Badr hafidzahumullah dan masih banyak yang lainnya yang full menggunakan bahasa Arab. Cocok disimak para pemirsa Yufid.TV yang sudah menguasai bahasa Arab serta ingin belajar bersama guru-guru kita para alim ulama dari Saudi dan sekitarnya.  Total Video: 612 Total Subscribers: 55.200 Total Tayangan Video: 3.185.588 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 8 video Produksi Video Januari 2025: 0 video Tayangan Video Januari 2025: 26.724 views Penambahan Subscribers Januari 2025: +400 Instagram Yufid TV & Instagram Yufid Network Instagram Yufid.TV Total Konten: 4.196 Postingan Total Pengikut: 1.173.191 followers Konten Bulan Januari 2025: 66 Rata-Rata Produksi: 46 konten/bulan Penambahan Followers Januari 2025: +9.423 Instagram Yufid Network Total Konten: 4.106 Postingan Total Pengikut: 508.877 Konten Bulan Januari 2025: 66 Rata-Rata Produksi: 46 konten/bulan Penambahan Followers Januari 2025: +4.326 Pertama kali Yufid memanfaatkan media instagram memiliki nama Yufid Network yaitu sejak tahun 2013, sebelum akhirnya di buatlah akun Yufid.TV pada tahun 2015 agar lebih dikenal seiring dengan berkembangnya channel YouTube Yufid.TV.  Video Nasehat Ulama Salah satu project yang dikerjakan oleh tim Yufid.TV yaitu video Nasehat Ulama. Video pendek namun penuh dengan faedah berisi penggalan-penggalan nasehat serta jawaban dari pertanyaan kaum muslimin yang disampaikan ulama-ulama terkemuka. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Januari 2025, konten Nasehat Ulama di channel YouTube Yufid.TV telah mempublikasikan 34 video. Nasehat Ulama juga membuat konten baru dengan konsep berbeda dengan tetap mengambil penggalan-penggalan nasehat para masyaikh berbahasa Arab dalam bentuk shorts YouTube dan reels Instagram. Video Motion Graphic & Yufid Kids Project unggulan lainnya dari Yufid.TV yaitu pembuatan video animasi motion graphic dan video Yufid Kids. Project motion graphic Yufid.TV memproduksi video-video berkualitas yang memadukan antara pemilihan tema yang tepat berupa potongan-potongan nasehat dari para ustadz atau ceramah-ceramah pendek yang diilustrasikan dalam bentuk animasi yang menarik. Sedangkan video Yufid Kids mengemas materi-materi pendidikan untuk anak yang disajikan dengan gambar animasi anak sehingga membuat anak-anak kita lebih bersemangat dalam mempelajarinya. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Januari 2025, konten Motion Graphics di channel YouTube Yufid.TV telah mempublikasikan 8 video. Untuk memproduksi video Motion Graphic dan Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya.  Website KonsultasiSyariah.com KonsultasiSyariah.com merupakan sebuah website yang menyajikan berbagai tanya jawab seputar permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan kasus dan jawaban dipaparkan secara jelas dan ilmiah, berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah serta keterangan para ulama. Hingga saat ini, website tersebut telah menuliskan 5.072 artikel yang berisi materi-materi permasalahan agama yang telah dijawab oleh para asatidz. Artikel dalam website KonsultasiSyariah.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography dan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 2.025 audio dan rata-rata menghasilkan 23 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Poster Dakwah Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Januari 2025, website KonsultasiSyariah.com telah mempublikasikan 5 artikel.  Website KisahMuslim.com KisahMuslim.com berisi kumpulan kisah para Nabi dan Rasul, kisah para sahabat Nabi, kisah orang-orang shalih terdahulu, biografi ulama, dan berbagai kisah yang penuh hikmah. Dalam website tersebut sudah ada 1.109 artikel yang banyak kita ambil pelajarannya.  Artikel dalam website KisahMuslim.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk Audio Visual dengan teknik typography serta ilustrasi yang menarik dengan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 562 audio dan rata-rata menghasilkan 16 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Kisah Muslim Yufid.TV. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Januari 2025, website KisahMuslim.com telah mempublikasikan 1 artikel.  Website KhotbahJumat.com KhotbahJumat.com berisi materi-materi khutbah yang bisa kita gunakan untuk mengisi khotbah pada ibadah shalat Jumat, terdapat 1.286 artikel hingga saat ini, yang sangat bermanfaat untuk para khatib dan da’i yang mengisi khutbah jumat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Januari 2025, website KhotbahJumat.com telah mempublikasikan 2 artikel.  Website PengusahaMuslim.com PengusahaMuslim.com merupakan sebuah website yang mengupas seluk beluk dunia usaha dan bisnis guna membantu terbentuknya pengusaha muslim baik secara ekonomi maupun agamanya, yang pada akhirnya menjadi kesatuan kuat dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dan memajukan perekonomian Indonesia. Terdapat 2.495 artikel dalam website tersebut yang dapat membantu Anda menjadi seorang pengusaha yang sukses, tidak hanya di dunia, namun kesuksesan tersebut abadi hingga ke negeri akhirat. *Tim artikel Yufid yang terdiri dari penulis, penerjemah, editor, dan admin website menyiapkan konten untuk seluruh website yang dikelola oleh Yufid secara bergantian.  Website Kajian.net Kajian.net adalah situs koleksi audio ceramah berbahasa Indonesia terlengkap dari ustadz-ustadz Ahlussunnah wal Jamaah, audio bacaan doa dan hadits berformat mp3, serta software islami dan e-Book kitab-kitab para ulama besar.  Total audio yang tersedia dalam website kajian.net yaitu 31.779 file mp3 dengan total ukuran 424 Gb dan pada bulan Januari 2025 ini telah mempublikasikan 1.779 file mp3.  Website Kajian.net bercita-cita sebagai gudang podcast kumpulan audio MP3 ceramah terlengkap yang dapat di download secara gratis dengan harapan dapat memudahkan Anda belajar hukum agama Islam dan aqidah Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman salafush sholeh. Kami juga rutin mengupload audio MP3 seluruh kajian Yufid ke platform SoundCloud, Anda dapat mengaksesnya melalui https://soundcloud.com/kajiannet, yang pada bulan Januari 2025 ini saja telah didengarkan 26.300 kali dan telah di download sebanyak 398 file audio.  Project Terjemahan Project ini bertujuan menerjemahkan konten dakwah, baik itu artikel, buku, dan ceramah para ulama. Konten dakwah yang aslinya berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, konten yang sudah diterjemahkan tersebut diolah kembali menjadi konten video, mp3, e-book, dan artikel di website. Sejak memulai project ini pada tahun 2018, tim penerjemah Yufid telah menerjemahkan 4.004.442 kata kata dengan rata-rata produksi per bulan 52.690 kata. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Januari 2025, project terjemahan ini telah menerjemahkan 59.895 kata.  Perekaman Artikel Menjadi Audio Program ini adalah merekam seluruh artikel yang dipublikasikan di website-website Yufid seperti KonsultasiSyariah.com, PengusahaMuslim.com dan KisahMuslim.com ke dalam bentuk audio. Program ini bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin mengakses konten dakwah dalam bentuk audio, terutama bagi mereka yang sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk membaca artikel. Mereka dapat mendengarkan audio yang sudah Yufid rekam sambil mereka beraktivitas, semisal di kendaraan, sambil bekerja, berolahraga, dan lain-lain. Total artikel yang sudah direkam dalam format audio sejak pertama dimulai program ini tahun 2017 yaitu 2.613 artikel dengan total durasi audio 240 jam dengan rata-rata perekaman 29 artikel per bulan. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Januari 2025, perekaman audio yang telah diproduksi yaitu 23 artikel.  Pengelolaan Server Yufid mengelola tujuh server yang di dalamnya berisi website-website dakwah, ada server khusus untuk website Yufid, website yang telah dijelaskan pada point-point diatas hanya sebagian kecil dari website yang kami kelola, yaitu bertotal 29 website dalam satu server tersebut. Selain itu terdapat juga website para ulama yang diletakkan di server yang berbeda dari server Yufid, ada pula website-website dakwah, streaming radio dll. Dari ketujuh server yang Yufid kelola kurang lebih terdapat 107 website yang masih aktif hingga saat ini. Demikian telah kami sampaikan laporan produksi Yufid Network pada bulan Januari 2025.Wallahu a’lam… Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in, walhamdulillahi rabbil ‘alamin. 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 133 times, 1 visit(s) today Post Views: 741 QRIS donasi Yufid

Laporan Produksi Yufid Bulan Januari 2025

Laporan Produksi Yufid Bulan Januari 2025 Bismillahirrohmanirrohim… Yayasan Yufid Network telah berkontribusi selama 15 tahun dalam menyediakan konten pendidikan dan dakwah Islam secara gratis melalui berbagai platform, termasuk channel YouTube seperti Yufid.TV, Yufid EDU, dan Yufid Kids yang telah memproduksi 22.370 video dengan total 6.682.733 subscribers. Yufid juga mengelola situs website dan telah mempublikasikan 9.962 artikel yang tersebar di berbagai platform. Melalui laporan produktivitas ini, Yufid berusaha memberikan transparansi terhadap projek dan perkembangan tim, memperkuat keterlibatan pemirsa Yufid dan membangun wadah kreativitas bersama untuk penyebaran dakwah Islam. Yufid telah menjadi kekuatan signifikan dalam memberikan akses luas kepada pengetahuan dan informasi dakwah Islam, mencapai lebih dari 887.753.961 penayangan di platform YouTube. Dengan komitmen pada misi non-profit kami, Yufid terus memberikan dampak positif dan berusaha untuk terus berkembang sembari mempertahankan transparansi dan keterlibatan pemirsa yang kuat. Channel YouTube YUFID.TV Total Video Yufid.TV: 18.646 video Total Subscribers: 4.120.181 subscribers Total Tayangan Video: 710.435.052 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 111 video Produksi Video Januari 2025: 119 video Tayangan Video Januari 2025: 3.554.230 views Waktu Tayang Video Januari 2025: 363.802 jam Penambahan Subscribers Januari 2025: +10.751 Selama bulan Januari 2025 tim Yufid menyiarkan video live sebanyak 150 kali. Channel YouTube YUFID EDU Total Video Yufid Edu: 2.765 video Total Subscribers: 320.006 Total Tayangan Video: 21.638.165 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 20 video Produksi Video Januari 2025: 39 video Tayangan Video Januari 2025: 146.170 views Waktu Tayang Video Januari 2025: 8.349 jam Penambahan Subscribers Januari 2025: +1.552 Channel YouTube YUFID KIDS Total Video Yufid Kids: 87 video Total Subscribers: 500.741 Total Tayangan Video: 152.025.421 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 1 video Produksi Video Januari 2025: 0 video Tayangan Video Januari 2025: 2.090.456 views Waktu Tayang Video Januari 2025: 107.646 jam Penambahan Subscribers Januari 2025: +4.625 Untuk memproduksi video Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Channel YouTube Dunia Mengaji  Channel Dunia Mengaji adalah untuk menampung video-video yang secara kualitas pengambilan gambar dan kualitas gambar jauh di bawah standar Yufid.TV, agar konten dakwah tetap bisa dinikmati oleh pemirsa. Total Video: 272 Total Subscribers: 4.937 Total Tayangan Video: 469.735 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 3 video Tayangan Video Januari 2025: 1.502 views Jam Tayang Video Januari 2025: 277 Jam Penambahan Subscribers Januari 2025: +5 Channel YouTube العلم نور  Channel “Al-’Ilmu Nuurun” ini merupakan wadah yang berisi ceramah singkat maupun kajian-kajian panjang dari Masyayikh dari Timur Tengah seperti Syaikh Sulaiman Ar-Ruhayli, Syaikh Utsman Al-Khomis, Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al Badr hafidzahumullah dan masih banyak yang lainnya yang full menggunakan bahasa Arab. Cocok disimak para pemirsa Yufid.TV yang sudah menguasai bahasa Arab serta ingin belajar bersama guru-guru kita para alim ulama dari Saudi dan sekitarnya.  Total Video: 612 Total Subscribers: 55.200 Total Tayangan Video: 3.185.588 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 8 video Produksi Video Januari 2025: 0 video Tayangan Video Januari 2025: 26.724 views Penambahan Subscribers Januari 2025: +400 Instagram Yufid TV & Instagram Yufid Network Instagram Yufid.TV Total Konten: 4.196 Postingan Total Pengikut: 1.173.191 followers Konten Bulan Januari 2025: 66 Rata-Rata Produksi: 46 konten/bulan Penambahan Followers Januari 2025: +9.423 Instagram Yufid Network Total Konten: 4.106 Postingan Total Pengikut: 508.877 Konten Bulan Januari 2025: 66 Rata-Rata Produksi: 46 konten/bulan Penambahan Followers Januari 2025: +4.326 Pertama kali Yufid memanfaatkan media instagram memiliki nama Yufid Network yaitu sejak tahun 2013, sebelum akhirnya di buatlah akun Yufid.TV pada tahun 2015 agar lebih dikenal seiring dengan berkembangnya channel YouTube Yufid.TV.  Video Nasehat Ulama Salah satu project yang dikerjakan oleh tim Yufid.TV yaitu video Nasehat Ulama. Video pendek namun penuh dengan faedah berisi penggalan-penggalan nasehat serta jawaban dari pertanyaan kaum muslimin yang disampaikan ulama-ulama terkemuka. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Januari 2025, konten Nasehat Ulama di channel YouTube Yufid.TV telah mempublikasikan 34 video. Nasehat Ulama juga membuat konten baru dengan konsep berbeda dengan tetap mengambil penggalan-penggalan nasehat para masyaikh berbahasa Arab dalam bentuk shorts YouTube dan reels Instagram. Video Motion Graphic & Yufid Kids Project unggulan lainnya dari Yufid.TV yaitu pembuatan video animasi motion graphic dan video Yufid Kids. Project motion graphic Yufid.TV memproduksi video-video berkualitas yang memadukan antara pemilihan tema yang tepat berupa potongan-potongan nasehat dari para ustadz atau ceramah-ceramah pendek yang diilustrasikan dalam bentuk animasi yang menarik. Sedangkan video Yufid Kids mengemas materi-materi pendidikan untuk anak yang disajikan dengan gambar animasi anak sehingga membuat anak-anak kita lebih bersemangat dalam mempelajarinya. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Januari 2025, konten Motion Graphics di channel YouTube Yufid.TV telah mempublikasikan 8 video. Untuk memproduksi video Motion Graphic dan Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya.  Website KonsultasiSyariah.com KonsultasiSyariah.com merupakan sebuah website yang menyajikan berbagai tanya jawab seputar permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan kasus dan jawaban dipaparkan secara jelas dan ilmiah, berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah serta keterangan para ulama. Hingga saat ini, website tersebut telah menuliskan 5.072 artikel yang berisi materi-materi permasalahan agama yang telah dijawab oleh para asatidz. Artikel dalam website KonsultasiSyariah.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography dan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 2.025 audio dan rata-rata menghasilkan 23 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Poster Dakwah Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Januari 2025, website KonsultasiSyariah.com telah mempublikasikan 5 artikel.  Website KisahMuslim.com KisahMuslim.com berisi kumpulan kisah para Nabi dan Rasul, kisah para sahabat Nabi, kisah orang-orang shalih terdahulu, biografi ulama, dan berbagai kisah yang penuh hikmah. Dalam website tersebut sudah ada 1.109 artikel yang banyak kita ambil pelajarannya.  Artikel dalam website KisahMuslim.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk Audio Visual dengan teknik typography serta ilustrasi yang menarik dengan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 562 audio dan rata-rata menghasilkan 16 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Kisah Muslim Yufid.TV. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Januari 2025, website KisahMuslim.com telah mempublikasikan 1 artikel.  Website KhotbahJumat.com KhotbahJumat.com berisi materi-materi khutbah yang bisa kita gunakan untuk mengisi khotbah pada ibadah shalat Jumat, terdapat 1.286 artikel hingga saat ini, yang sangat bermanfaat untuk para khatib dan da’i yang mengisi khutbah jumat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Januari 2025, website KhotbahJumat.com telah mempublikasikan 2 artikel.  Website PengusahaMuslim.com PengusahaMuslim.com merupakan sebuah website yang mengupas seluk beluk dunia usaha dan bisnis guna membantu terbentuknya pengusaha muslim baik secara ekonomi maupun agamanya, yang pada akhirnya menjadi kesatuan kuat dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dan memajukan perekonomian Indonesia. Terdapat 2.495 artikel dalam website tersebut yang dapat membantu Anda menjadi seorang pengusaha yang sukses, tidak hanya di dunia, namun kesuksesan tersebut abadi hingga ke negeri akhirat. *Tim artikel Yufid yang terdiri dari penulis, penerjemah, editor, dan admin website menyiapkan konten untuk seluruh website yang dikelola oleh Yufid secara bergantian.  Website Kajian.net Kajian.net adalah situs koleksi audio ceramah berbahasa Indonesia terlengkap dari ustadz-ustadz Ahlussunnah wal Jamaah, audio bacaan doa dan hadits berformat mp3, serta software islami dan e-Book kitab-kitab para ulama besar.  Total audio yang tersedia dalam website kajian.net yaitu 31.779 file mp3 dengan total ukuran 424 Gb dan pada bulan Januari 2025 ini telah mempublikasikan 1.779 file mp3.  Website Kajian.net bercita-cita sebagai gudang podcast kumpulan audio MP3 ceramah terlengkap yang dapat di download secara gratis dengan harapan dapat memudahkan Anda belajar hukum agama Islam dan aqidah Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman salafush sholeh. Kami juga rutin mengupload audio MP3 seluruh kajian Yufid ke platform SoundCloud, Anda dapat mengaksesnya melalui https://soundcloud.com/kajiannet, yang pada bulan Januari 2025 ini saja telah didengarkan 26.300 kali dan telah di download sebanyak 398 file audio.  Project Terjemahan Project ini bertujuan menerjemahkan konten dakwah, baik itu artikel, buku, dan ceramah para ulama. Konten dakwah yang aslinya berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, konten yang sudah diterjemahkan tersebut diolah kembali menjadi konten video, mp3, e-book, dan artikel di website. Sejak memulai project ini pada tahun 2018, tim penerjemah Yufid telah menerjemahkan 4.004.442 kata kata dengan rata-rata produksi per bulan 52.690 kata. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Januari 2025, project terjemahan ini telah menerjemahkan 59.895 kata.  Perekaman Artikel Menjadi Audio Program ini adalah merekam seluruh artikel yang dipublikasikan di website-website Yufid seperti KonsultasiSyariah.com, PengusahaMuslim.com dan KisahMuslim.com ke dalam bentuk audio. Program ini bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin mengakses konten dakwah dalam bentuk audio, terutama bagi mereka yang sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk membaca artikel. Mereka dapat mendengarkan audio yang sudah Yufid rekam sambil mereka beraktivitas, semisal di kendaraan, sambil bekerja, berolahraga, dan lain-lain. Total artikel yang sudah direkam dalam format audio sejak pertama dimulai program ini tahun 2017 yaitu 2.613 artikel dengan total durasi audio 240 jam dengan rata-rata perekaman 29 artikel per bulan. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Januari 2025, perekaman audio yang telah diproduksi yaitu 23 artikel.  Pengelolaan Server Yufid mengelola tujuh server yang di dalamnya berisi website-website dakwah, ada server khusus untuk website Yufid, website yang telah dijelaskan pada point-point diatas hanya sebagian kecil dari website yang kami kelola, yaitu bertotal 29 website dalam satu server tersebut. Selain itu terdapat juga website para ulama yang diletakkan di server yang berbeda dari server Yufid, ada pula website-website dakwah, streaming radio dll. Dari ketujuh server yang Yufid kelola kurang lebih terdapat 107 website yang masih aktif hingga saat ini. Demikian telah kami sampaikan laporan produksi Yufid Network pada bulan Januari 2025.Wallahu a’lam… Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in, walhamdulillahi rabbil ‘alamin. 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 133 times, 1 visit(s) today Post Views: 741 QRIS donasi Yufid
Laporan Produksi Yufid Bulan Januari 2025 Bismillahirrohmanirrohim… Yayasan Yufid Network telah berkontribusi selama 15 tahun dalam menyediakan konten pendidikan dan dakwah Islam secara gratis melalui berbagai platform, termasuk channel YouTube seperti Yufid.TV, Yufid EDU, dan Yufid Kids yang telah memproduksi 22.370 video dengan total 6.682.733 subscribers. Yufid juga mengelola situs website dan telah mempublikasikan 9.962 artikel yang tersebar di berbagai platform. Melalui laporan produktivitas ini, Yufid berusaha memberikan transparansi terhadap projek dan perkembangan tim, memperkuat keterlibatan pemirsa Yufid dan membangun wadah kreativitas bersama untuk penyebaran dakwah Islam. Yufid telah menjadi kekuatan signifikan dalam memberikan akses luas kepada pengetahuan dan informasi dakwah Islam, mencapai lebih dari 887.753.961 penayangan di platform YouTube. Dengan komitmen pada misi non-profit kami, Yufid terus memberikan dampak positif dan berusaha untuk terus berkembang sembari mempertahankan transparansi dan keterlibatan pemirsa yang kuat. Channel YouTube YUFID.TV Total Video Yufid.TV: 18.646 video Total Subscribers: 4.120.181 subscribers Total Tayangan Video: 710.435.052 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 111 video Produksi Video Januari 2025: 119 video Tayangan Video Januari 2025: 3.554.230 views Waktu Tayang Video Januari 2025: 363.802 jam Penambahan Subscribers Januari 2025: +10.751 Selama bulan Januari 2025 tim Yufid menyiarkan video live sebanyak 150 kali. Channel YouTube YUFID EDU Total Video Yufid Edu: 2.765 video Total Subscribers: 320.006 Total Tayangan Video: 21.638.165 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 20 video Produksi Video Januari 2025: 39 video Tayangan Video Januari 2025: 146.170 views Waktu Tayang Video Januari 2025: 8.349 jam Penambahan Subscribers Januari 2025: +1.552 Channel YouTube YUFID KIDS Total Video Yufid Kids: 87 video Total Subscribers: 500.741 Total Tayangan Video: 152.025.421 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 1 video Produksi Video Januari 2025: 0 video Tayangan Video Januari 2025: 2.090.456 views Waktu Tayang Video Januari 2025: 107.646 jam Penambahan Subscribers Januari 2025: +4.625 Untuk memproduksi video Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Channel YouTube Dunia Mengaji  Channel Dunia Mengaji adalah untuk menampung video-video yang secara kualitas pengambilan gambar dan kualitas gambar jauh di bawah standar Yufid.TV, agar konten dakwah tetap bisa dinikmati oleh pemirsa. Total Video: 272 Total Subscribers: 4.937 Total Tayangan Video: 469.735 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 3 video Tayangan Video Januari 2025: 1.502 views Jam Tayang Video Januari 2025: 277 Jam Penambahan Subscribers Januari 2025: +5 Channel YouTube العلم نور  Channel “Al-’Ilmu Nuurun” ini merupakan wadah yang berisi ceramah singkat maupun kajian-kajian panjang dari Masyayikh dari Timur Tengah seperti Syaikh Sulaiman Ar-Ruhayli, Syaikh Utsman Al-Khomis, Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al Badr hafidzahumullah dan masih banyak yang lainnya yang full menggunakan bahasa Arab. Cocok disimak para pemirsa Yufid.TV yang sudah menguasai bahasa Arab serta ingin belajar bersama guru-guru kita para alim ulama dari Saudi dan sekitarnya.  Total Video: 612 Total Subscribers: 55.200 Total Tayangan Video: 3.185.588 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 8 video Produksi Video Januari 2025: 0 video Tayangan Video Januari 2025: 26.724 views Penambahan Subscribers Januari 2025: +400 Instagram Yufid TV & Instagram Yufid Network Instagram Yufid.TV Total Konten: 4.196 Postingan Total Pengikut: 1.173.191 followers Konten Bulan Januari 2025: 66 Rata-Rata Produksi: 46 konten/bulan Penambahan Followers Januari 2025: +9.423 Instagram Yufid Network Total Konten: 4.106 Postingan Total Pengikut: 508.877 Konten Bulan Januari 2025: 66 Rata-Rata Produksi: 46 konten/bulan Penambahan Followers Januari 2025: +4.326 Pertama kali Yufid memanfaatkan media instagram memiliki nama Yufid Network yaitu sejak tahun 2013, sebelum akhirnya di buatlah akun Yufid.TV pada tahun 2015 agar lebih dikenal seiring dengan berkembangnya channel YouTube Yufid.TV.  Video Nasehat Ulama Salah satu project yang dikerjakan oleh tim Yufid.TV yaitu video Nasehat Ulama. Video pendek namun penuh dengan faedah berisi penggalan-penggalan nasehat serta jawaban dari pertanyaan kaum muslimin yang disampaikan ulama-ulama terkemuka. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Januari 2025, konten Nasehat Ulama di channel YouTube Yufid.TV telah mempublikasikan 34 video. Nasehat Ulama juga membuat konten baru dengan konsep berbeda dengan tetap mengambil penggalan-penggalan nasehat para masyaikh berbahasa Arab dalam bentuk shorts YouTube dan reels Instagram. Video Motion Graphic & Yufid Kids Project unggulan lainnya dari Yufid.TV yaitu pembuatan video animasi motion graphic dan video Yufid Kids. Project motion graphic Yufid.TV memproduksi video-video berkualitas yang memadukan antara pemilihan tema yang tepat berupa potongan-potongan nasehat dari para ustadz atau ceramah-ceramah pendek yang diilustrasikan dalam bentuk animasi yang menarik. Sedangkan video Yufid Kids mengemas materi-materi pendidikan untuk anak yang disajikan dengan gambar animasi anak sehingga membuat anak-anak kita lebih bersemangat dalam mempelajarinya. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Januari 2025, konten Motion Graphics di channel YouTube Yufid.TV telah mempublikasikan 8 video. Untuk memproduksi video Motion Graphic dan Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya.  Website KonsultasiSyariah.com KonsultasiSyariah.com merupakan sebuah website yang menyajikan berbagai tanya jawab seputar permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan kasus dan jawaban dipaparkan secara jelas dan ilmiah, berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah serta keterangan para ulama. Hingga saat ini, website tersebut telah menuliskan 5.072 artikel yang berisi materi-materi permasalahan agama yang telah dijawab oleh para asatidz. Artikel dalam website KonsultasiSyariah.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography dan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 2.025 audio dan rata-rata menghasilkan 23 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Poster Dakwah Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Januari 2025, website KonsultasiSyariah.com telah mempublikasikan 5 artikel.  Website KisahMuslim.com KisahMuslim.com berisi kumpulan kisah para Nabi dan Rasul, kisah para sahabat Nabi, kisah orang-orang shalih terdahulu, biografi ulama, dan berbagai kisah yang penuh hikmah. Dalam website tersebut sudah ada 1.109 artikel yang banyak kita ambil pelajarannya.  Artikel dalam website KisahMuslim.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk Audio Visual dengan teknik typography serta ilustrasi yang menarik dengan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 562 audio dan rata-rata menghasilkan 16 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Kisah Muslim Yufid.TV. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Januari 2025, website KisahMuslim.com telah mempublikasikan 1 artikel.  Website KhotbahJumat.com KhotbahJumat.com berisi materi-materi khutbah yang bisa kita gunakan untuk mengisi khotbah pada ibadah shalat Jumat, terdapat 1.286 artikel hingga saat ini, yang sangat bermanfaat untuk para khatib dan da’i yang mengisi khutbah jumat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Januari 2025, website KhotbahJumat.com telah mempublikasikan 2 artikel.  Website PengusahaMuslim.com PengusahaMuslim.com merupakan sebuah website yang mengupas seluk beluk dunia usaha dan bisnis guna membantu terbentuknya pengusaha muslim baik secara ekonomi maupun agamanya, yang pada akhirnya menjadi kesatuan kuat dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dan memajukan perekonomian Indonesia. Terdapat 2.495 artikel dalam website tersebut yang dapat membantu Anda menjadi seorang pengusaha yang sukses, tidak hanya di dunia, namun kesuksesan tersebut abadi hingga ke negeri akhirat. *Tim artikel Yufid yang terdiri dari penulis, penerjemah, editor, dan admin website menyiapkan konten untuk seluruh website yang dikelola oleh Yufid secara bergantian.  Website Kajian.net Kajian.net adalah situs koleksi audio ceramah berbahasa Indonesia terlengkap dari ustadz-ustadz Ahlussunnah wal Jamaah, audio bacaan doa dan hadits berformat mp3, serta software islami dan e-Book kitab-kitab para ulama besar.  Total audio yang tersedia dalam website kajian.net yaitu 31.779 file mp3 dengan total ukuran 424 Gb dan pada bulan Januari 2025 ini telah mempublikasikan 1.779 file mp3.  Website Kajian.net bercita-cita sebagai gudang podcast kumpulan audio MP3 ceramah terlengkap yang dapat di download secara gratis dengan harapan dapat memudahkan Anda belajar hukum agama Islam dan aqidah Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman salafush sholeh. Kami juga rutin mengupload audio MP3 seluruh kajian Yufid ke platform SoundCloud, Anda dapat mengaksesnya melalui https://soundcloud.com/kajiannet, yang pada bulan Januari 2025 ini saja telah didengarkan 26.300 kali dan telah di download sebanyak 398 file audio.  Project Terjemahan Project ini bertujuan menerjemahkan konten dakwah, baik itu artikel, buku, dan ceramah para ulama. Konten dakwah yang aslinya berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, konten yang sudah diterjemahkan tersebut diolah kembali menjadi konten video, mp3, e-book, dan artikel di website. Sejak memulai project ini pada tahun 2018, tim penerjemah Yufid telah menerjemahkan 4.004.442 kata kata dengan rata-rata produksi per bulan 52.690 kata. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Januari 2025, project terjemahan ini telah menerjemahkan 59.895 kata.  Perekaman Artikel Menjadi Audio Program ini adalah merekam seluruh artikel yang dipublikasikan di website-website Yufid seperti KonsultasiSyariah.com, PengusahaMuslim.com dan KisahMuslim.com ke dalam bentuk audio. Program ini bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin mengakses konten dakwah dalam bentuk audio, terutama bagi mereka yang sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk membaca artikel. Mereka dapat mendengarkan audio yang sudah Yufid rekam sambil mereka beraktivitas, semisal di kendaraan, sambil bekerja, berolahraga, dan lain-lain. Total artikel yang sudah direkam dalam format audio sejak pertama dimulai program ini tahun 2017 yaitu 2.613 artikel dengan total durasi audio 240 jam dengan rata-rata perekaman 29 artikel per bulan. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Januari 2025, perekaman audio yang telah diproduksi yaitu 23 artikel.  Pengelolaan Server Yufid mengelola tujuh server yang di dalamnya berisi website-website dakwah, ada server khusus untuk website Yufid, website yang telah dijelaskan pada point-point diatas hanya sebagian kecil dari website yang kami kelola, yaitu bertotal 29 website dalam satu server tersebut. Selain itu terdapat juga website para ulama yang diletakkan di server yang berbeda dari server Yufid, ada pula website-website dakwah, streaming radio dll. Dari ketujuh server yang Yufid kelola kurang lebih terdapat 107 website yang masih aktif hingga saat ini. Demikian telah kami sampaikan laporan produksi Yufid Network pada bulan Januari 2025.Wallahu a’lam… Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in, walhamdulillahi rabbil ‘alamin. 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 133 times, 1 visit(s) today Post Views: 741 QRIS donasi Yufid


Laporan Produksi Yufid Bulan Januari 2025 Bismillahirrohmanirrohim… Yayasan Yufid Network telah berkontribusi selama 15 tahun dalam menyediakan konten pendidikan dan dakwah Islam secara gratis melalui berbagai platform, termasuk channel YouTube seperti Yufid.TV, Yufid EDU, dan Yufid Kids yang telah memproduksi 22.370 video dengan total 6.682.733 subscribers. Yufid juga mengelola situs website dan telah mempublikasikan 9.962 artikel yang tersebar di berbagai platform. Melalui laporan produktivitas ini, Yufid berusaha memberikan transparansi terhadap projek dan perkembangan tim, memperkuat keterlibatan pemirsa Yufid dan membangun wadah kreativitas bersama untuk penyebaran dakwah Islam. Yufid telah menjadi kekuatan signifikan dalam memberikan akses luas kepada pengetahuan dan informasi dakwah Islam, mencapai lebih dari 887.753.961 penayangan di platform YouTube. Dengan komitmen pada misi non-profit kami, Yufid terus memberikan dampak positif dan berusaha untuk terus berkembang sembari mempertahankan transparansi dan keterlibatan pemirsa yang kuat. Channel YouTube YUFID.TV <img decoding="async" src="https://lh7-rt.googleusercontent.com/docsz/AD_4nXfA74wlUDLLoKDjXvTeBeidS3wIKFCSF0UBIFUKeTBRZBcucSbdFXfLkudo6WhrzBNmm2KkZKp2d92PYMVkASIGvC1rFFcNBBmmQUUDids6vG2mm7JStRXhAfeIsAGVg3fdKil29g?key=hyAjf5EZ7FIttlwGgV9iS15s" alt=""/> Total Video Yufid.TV: 18.646 video Total Subscribers: 4.120.181 subscribers Total Tayangan Video: 710.435.052 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 111 video Produksi Video Januari 2025: 119 video Tayangan Video Januari 2025: 3.554.230 views Waktu Tayang Video Januari 2025: 363.802 jam Penambahan Subscribers Januari 2025: +10.751 Selama bulan Januari 2025 tim Yufid menyiarkan video live sebanyak 150 kali. Channel YouTube YUFID EDU <img decoding="async" src="https://lh7-rt.googleusercontent.com/docsz/AD_4nXd5-kFV4dz80JQC4lptPT2d9kDAdOF9ymWj_3ohnioiPcsx_p4pCAkpwOM0BYwGHB0n-4Z9iLIr2UTTyfMhzkg805zp0MFY5vR_Ozv-7JFedv0wNxQjyFoIeDeqHBhzl8fxRRsNQg?key=hyAjf5EZ7FIttlwGgV9iS15s" alt=""/> Total Video Yufid Edu: 2.765 video Total Subscribers: 320.006 Total Tayangan Video: 21.638.165 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 20 video Produksi Video Januari 2025: 39 video Tayangan Video Januari 2025: 146.170 views Waktu Tayang Video Januari 2025: 8.349 jam Penambahan Subscribers Januari 2025: +1.552 Channel YouTube YUFID KIDS <img decoding="async" src="https://lh7-rt.googleusercontent.com/docsz/AD_4nXeLaH7IZlqgBgmhaiGuf_dScRYu2XBqZ7j_qsbM2lLeb4odBEi6Wmh_ppUFFtS-zBau-5SzJWF4VgG7Clwwmd6Q7dYs1DiRQmE8xOWSNsMHRv_oc9zLyHyBd6gxrjjfvsNIK90u1A?key=hyAjf5EZ7FIttlwGgV9iS15s" alt=""/> Total Video Yufid Kids: 87 video Total Subscribers: 500.741 Total Tayangan Video: 152.025.421 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 1 video Produksi Video Januari 2025: 0 video Tayangan Video Januari 2025: 2.090.456 views Waktu Tayang Video Januari 2025: 107.646 jam Penambahan Subscribers Januari 2025: +4.625 Untuk memproduksi video Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Channel YouTube Dunia Mengaji  Channel Dunia Mengaji adalah untuk menampung video-video yang secara kualitas pengambilan gambar dan kualitas gambar jauh di bawah standar Yufid.TV, agar konten dakwah tetap bisa dinikmati oleh pemirsa. Total Video: 272 Total Subscribers: 4.937 Total Tayangan Video: 469.735 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 3 video Tayangan Video Januari 2025: 1.502 views Jam Tayang Video Januari 2025: 277 Jam Penambahan Subscribers Januari 2025: +5 Channel YouTube العلم نور  Channel “Al-’Ilmu Nuurun” ini merupakan wadah yang berisi ceramah singkat maupun kajian-kajian panjang dari Masyayikh dari Timur Tengah seperti Syaikh Sulaiman Ar-Ruhayli, Syaikh Utsman Al-Khomis, Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al Badr hafidzahumullah dan masih banyak yang lainnya yang full menggunakan bahasa Arab. Cocok disimak para pemirsa Yufid.TV yang sudah menguasai bahasa Arab serta ingin belajar bersama guru-guru kita para alim ulama dari Saudi dan sekitarnya.  Total Video: 612 Total Subscribers: 55.200 Total Tayangan Video: 3.185.588 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 8 video Produksi Video Januari 2025: 0 video Tayangan Video Januari 2025: 26.724 views Penambahan Subscribers Januari 2025: +400 Instagram Yufid TV & Instagram Yufid Network <img decoding="async" src="https://lh7-rt.googleusercontent.com/docsz/AD_4nXeWTBb1gpN5qFkbCClJXKOtC2qDkE8dzT4uykz-88aXfechrty3GwupK9YL1fZFVWTxHnBs06azVaiV_5QObbEqt078rA9OEvFyE6IUNAUArLW43kY_Q7uf9I0xL0kyU1J0auCClw?key=hyAjf5EZ7FIttlwGgV9iS15s" alt=""/> Instagram Yufid.TV Total Konten: 4.196 Postingan Total Pengikut: 1.173.191 followers Konten Bulan Januari 2025: 66 Rata-Rata Produksi: 46 konten/bulan Penambahan Followers Januari 2025: +9.423 Instagram Yufid Network Total Konten: 4.106 Postingan Total Pengikut: 508.877 Konten Bulan Januari 2025: 66 Rata-Rata Produksi: 46 konten/bulan Penambahan Followers Januari 2025: +4.326 Pertama kali Yufid memanfaatkan media instagram memiliki nama Yufid Network yaitu sejak tahun 2013, sebelum akhirnya di buatlah akun Yufid.TV pada tahun 2015 agar lebih dikenal seiring dengan berkembangnya channel YouTube Yufid.TV.  Video Nasehat Ulama Salah satu project yang dikerjakan oleh tim Yufid.TV yaitu video Nasehat Ulama. Video pendek namun penuh dengan faedah berisi penggalan-penggalan nasehat serta jawaban dari pertanyaan kaum muslimin yang disampaikan ulama-ulama terkemuka. <img decoding="async" src="https://lh7-rt.googleusercontent.com/docsz/AD_4nXcf0sg3caYCZDAeLOQA8WfyKk17647Br4vM1FbQuxR0pbOORW8_eCwGIWgRr6NOUaa6qkbQ-3QVhjbqKrkZQ0z6tvenDEWDP3c5jV7Evh4Nhj20NmuoJ04-v8aolEPluuUF-wqr0w?key=hyAjf5EZ7FIttlwGgV9iS15s" alt=""/>Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Januari 2025, konten Nasehat Ulama di channel YouTube Yufid.TV telah mempublikasikan 34 video. Nasehat Ulama juga membuat konten baru dengan konsep berbeda dengan tetap mengambil penggalan-penggalan nasehat para masyaikh berbahasa Arab dalam bentuk shorts YouTube dan reels Instagram. Video Motion Graphic & Yufid Kids Project unggulan lainnya dari Yufid.TV yaitu pembuatan video animasi motion graphic dan video Yufid Kids. Project motion graphic Yufid.TV memproduksi video-video berkualitas yang memadukan antara pemilihan tema yang tepat berupa potongan-potongan nasehat dari para ustadz atau ceramah-ceramah pendek yang diilustrasikan dalam bentuk animasi yang menarik. Sedangkan video Yufid Kids mengemas materi-materi pendidikan untuk anak yang disajikan dengan gambar animasi anak sehingga membuat anak-anak kita lebih bersemangat dalam mempelajarinya. <img decoding="async" src="https://lh7-rt.googleusercontent.com/docsz/AD_4nXfxkqaA-Sl0G0IXD6DMXYcPhTDzcUs-ysUO7g09U69cvZyivI3wmUvOn7OjoH1DY_oNEd5j4rT6nQNY6Gd16W7XZnOcIk13aw8vDmkqSzj6pmgX_dd9_ffvGeKLiXv-tYqPfRq-xg?key=hyAjf5EZ7FIttlwGgV9iS15s" alt=""/>Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Januari 2025, konten Motion Graphics di channel YouTube Yufid.TV telah mempublikasikan 8 video. Untuk memproduksi video Motion Graphic dan Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya.  Website KonsultasiSyariah.com KonsultasiSyariah.com merupakan sebuah website yang menyajikan berbagai tanya jawab seputar permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan kasus dan jawaban dipaparkan secara jelas dan ilmiah, berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah serta keterangan para ulama. Hingga saat ini, website tersebut telah menuliskan 5.072 artikel yang berisi materi-materi permasalahan agama yang telah dijawab oleh para asatidz. Artikel dalam website KonsultasiSyariah.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography dan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 2.025 audio dan rata-rata menghasilkan 23 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Poster Dakwah Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Januari 2025, website KonsultasiSyariah.com telah mempublikasikan 5 artikel.  Website KisahMuslim.com KisahMuslim.com berisi kumpulan kisah para Nabi dan Rasul, kisah para sahabat Nabi, kisah orang-orang shalih terdahulu, biografi ulama, dan berbagai kisah yang penuh hikmah. Dalam website tersebut sudah ada 1.109 artikel yang banyak kita ambil pelajarannya.  Artikel dalam website KisahMuslim.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk Audio Visual dengan teknik typography serta ilustrasi yang menarik dengan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 562 audio dan rata-rata menghasilkan 16 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Kisah Muslim Yufid.TV. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Januari 2025, website KisahMuslim.com telah mempublikasikan 1 artikel.  Website KhotbahJumat.com KhotbahJumat.com berisi materi-materi khutbah yang bisa kita gunakan untuk mengisi khotbah pada ibadah shalat Jumat, terdapat 1.286 artikel hingga saat ini, yang sangat bermanfaat untuk para khatib dan da’i yang mengisi khutbah jumat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Januari 2025, website KhotbahJumat.com telah mempublikasikan 2 artikel.  Website PengusahaMuslim.com PengusahaMuslim.com merupakan sebuah website yang mengupas seluk beluk dunia usaha dan bisnis guna membantu terbentuknya pengusaha muslim baik secara ekonomi maupun agamanya, yang pada akhirnya menjadi kesatuan kuat dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dan memajukan perekonomian Indonesia. Terdapat 2.495 artikel dalam website tersebut yang dapat membantu Anda menjadi seorang pengusaha yang sukses, tidak hanya di dunia, namun kesuksesan tersebut abadi hingga ke negeri akhirat. *Tim artikel Yufid yang terdiri dari penulis, penerjemah, editor, dan admin website menyiapkan konten untuk seluruh website yang dikelola oleh Yufid secara bergantian.  Website Kajian.net Kajian.net adalah situs koleksi audio ceramah berbahasa Indonesia terlengkap dari ustadz-ustadz Ahlussunnah wal Jamaah, audio bacaan doa dan hadits berformat mp3, serta software islami dan e-Book kitab-kitab para ulama besar.  Total audio yang tersedia dalam website kajian.net yaitu 31.779 file mp3 dengan total ukuran 424 Gb dan pada bulan Januari 2025 ini telah mempublikasikan 1.779 file mp3.  Website Kajian.net bercita-cita sebagai gudang podcast kumpulan audio MP3 ceramah terlengkap yang dapat di download secara gratis dengan harapan dapat memudahkan Anda belajar hukum agama Islam dan aqidah Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman salafush sholeh. Kami juga rutin mengupload audio MP3 seluruh kajian Yufid ke platform SoundCloud, Anda dapat mengaksesnya melalui https://soundcloud.com/kajiannet, yang pada bulan Januari 2025 ini saja telah didengarkan 26.300 kali dan telah di download sebanyak 398 file audio.  Project Terjemahan Project ini bertujuan menerjemahkan konten dakwah, baik itu artikel, buku, dan ceramah para ulama. Konten dakwah yang aslinya berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, konten yang sudah diterjemahkan tersebut diolah kembali menjadi konten video, mp3, e-book, dan artikel di website. Sejak memulai project ini pada tahun 2018, tim penerjemah Yufid telah menerjemahkan 4.004.442 kata kata dengan rata-rata produksi per bulan 52.690 kata. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Januari 2025, project terjemahan ini telah menerjemahkan 59.895 kata.  Perekaman Artikel Menjadi Audio Program ini adalah merekam seluruh artikel yang dipublikasikan di website-website Yufid seperti KonsultasiSyariah.com, PengusahaMuslim.com dan KisahMuslim.com ke dalam bentuk audio. Program ini bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin mengakses konten dakwah dalam bentuk audio, terutama bagi mereka yang sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk membaca artikel. Mereka dapat mendengarkan audio yang sudah Yufid rekam sambil mereka beraktivitas, semisal di kendaraan, sambil bekerja, berolahraga, dan lain-lain. Total artikel yang sudah direkam dalam format audio sejak pertama dimulai program ini tahun 2017 yaitu 2.613 artikel dengan total durasi audio 240 jam dengan rata-rata perekaman 29 artikel per bulan. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Januari 2025, perekaman audio yang telah diproduksi yaitu 23 artikel.  Pengelolaan Server Yufid mengelola tujuh server yang di dalamnya berisi website-website dakwah, ada server khusus untuk website Yufid, website yang telah dijelaskan pada point-point diatas hanya sebagian kecil dari website yang kami kelola, yaitu bertotal 29 website dalam satu server tersebut. Selain itu terdapat juga website para ulama yang diletakkan di server yang berbeda dari server Yufid, ada pula website-website dakwah, streaming radio dll. Dari ketujuh server yang Yufid kelola kurang lebih terdapat 107 website yang masih aktif hingga saat ini. Demikian telah kami sampaikan laporan produksi Yufid Network pada bulan Januari 2025.Wallahu a’lam… Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in, walhamdulillahi rabbil ‘alamin. 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 133 times, 1 visit(s) today Post Views: 741 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Mengapa Allah Mengujiku? – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Mungkin akan ada yang berkata: “Apa hikmah di balik ujian yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada hamba-Nya dengan berbagai musibah?” Dalam hadits disebutkan: “Manusia yang paling berat ujiannya adalah para Nabi, lalu orang-orang yang mendekati derajat mereka, lalu yang mendekati derajat mereka setelahnya. Manusia akan diuji sesuai dengan kadar agamanya. Apabila agamanya kuat, ujiannya juga berat. Jika agamanya lemah, maka ujiannya juga diringankan. Ujian akan terus menimpa seorang Mukmin seperti lintasan yang harus ia lalui, hingga ia berjalan di muka bumi tanpa membawa satu pun dosa.” Lalu apa hikmah dari ujian yang Allah Ta’ala berikan kepada para hamba terkasih-Nya? Tidak diragukan lagi bahwa di antara hikmahnya, wahai Muhammad, bahwa manusia tidak akan terlepas dari dosa-dosa. Sedangkan dosa-dosa adalah sebab terbesar turunnya berbagai musibah. Berikan saya dalilnya! “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri…” (QS. asy-Syura: 30). Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi beberapa musibah bagi para hamba-Nya, agar menjadi sebab penghapusan dosa-dosa yang menimpa mereka. Para ulama berkata: “Sungguh Allah tidak ridha jika dunia menjadi negeri untuk membalas para hamba terkasih-Nya. Dan tidak pula menjadi negeri untuk menyiksa para musuh-Nya.” Namun, Allah akan menyimpan siksaan bagi mereka di akhirat kelak, sebagaimana yang akan dijelaskan. Sedangkan bagi para hamba terkasih-Nya, siksaan disegerakan di dunia. Agar mereka berjumpa dengan Allah tanpa memikul apa, saudara-saudara? Tanpa memikul satu pun dosa. ==== قَدْ يَقُولُ قَائِلٌ مَا الْحِكْمَةُ مِنْ كَوْنِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يَبْتَلِي عِبَادَهُ بِالْمَصَائِبِ وَفِي الْحَدِيثِ أَشَدُّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ يُبْتَلَى الْإِنْسَانُ عَلَى قَدْرِ دِيْنِهِ فَإِنْ كَانَ صَلْبًا فِي دِينِهِ اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ هُوِّنَ عَلَيْهِ الْبَلَاءُ وَمَا يَزَالُ الْبَلَاءُ كَمَمَرٍّ بِالْمُؤْمِنِ حَتَّى يَمْشِيَ عَلَى الْأَرْضِ وَلَيْسَ عَلَيْهَا خَطِيئَةٌ فَمَا الْحِكْمَةُ مِنْ كَوْنِهِ تَعَالَى يَبْتَلِي أَحْبَابَهُ؟ لَا شَكَّ يَعْنِي مِنَ الْحِكَمِ يَا مُحَمَّدُ أَنَّ الْإِنْسَانَ لَا يَخْلُو مِنَ الذُّنُوبِ وَالذُّنُوبُ هِيَ أَعْظَمُ أَسْبَابِ الْمَصَائِبِ تُعْطُونِي دَلِيلًا وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ فَيَبْتَلِي اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى عِبَادِهِ بَعْضًا مِنَ الْمَصَائِبِ لِتَكُونَ سَبَبًا لِتَكْفِيرِ مَاذَا؟ لِتَكْفِيرِ مَا أَلَمُّوا بِهِ مِنَ الذُّنُوبِ قَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمْ يَرْضَ بِالدُّنْيَا أَنْ تَكُونَ دَارًا لِمُجَازَاتِ أَحْبَابِهِ وَلَا أَنْ تَكُونَ دَارًا لِمُعَاقِبَةِ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ أَعْدَائِهِ بَلِ ادَّخَرَ الْعُقُوبَةَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ كَمَا سَيَأْتِي وَأَمَّا أَحْبَابُهُ فَيُعَجَّلُ لَهُمُ الْعُقُوبَةُ فِي مَاذَا؟ فِي الدُّنْيَا حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ عَلَيْهِ مَاذَا يَا إِخْوَان؟ وَلَيْسَ عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ

Mengapa Allah Mengujiku? – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Mungkin akan ada yang berkata: “Apa hikmah di balik ujian yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada hamba-Nya dengan berbagai musibah?” Dalam hadits disebutkan: “Manusia yang paling berat ujiannya adalah para Nabi, lalu orang-orang yang mendekati derajat mereka, lalu yang mendekati derajat mereka setelahnya. Manusia akan diuji sesuai dengan kadar agamanya. Apabila agamanya kuat, ujiannya juga berat. Jika agamanya lemah, maka ujiannya juga diringankan. Ujian akan terus menimpa seorang Mukmin seperti lintasan yang harus ia lalui, hingga ia berjalan di muka bumi tanpa membawa satu pun dosa.” Lalu apa hikmah dari ujian yang Allah Ta’ala berikan kepada para hamba terkasih-Nya? Tidak diragukan lagi bahwa di antara hikmahnya, wahai Muhammad, bahwa manusia tidak akan terlepas dari dosa-dosa. Sedangkan dosa-dosa adalah sebab terbesar turunnya berbagai musibah. Berikan saya dalilnya! “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri…” (QS. asy-Syura: 30). Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi beberapa musibah bagi para hamba-Nya, agar menjadi sebab penghapusan dosa-dosa yang menimpa mereka. Para ulama berkata: “Sungguh Allah tidak ridha jika dunia menjadi negeri untuk membalas para hamba terkasih-Nya. Dan tidak pula menjadi negeri untuk menyiksa para musuh-Nya.” Namun, Allah akan menyimpan siksaan bagi mereka di akhirat kelak, sebagaimana yang akan dijelaskan. Sedangkan bagi para hamba terkasih-Nya, siksaan disegerakan di dunia. Agar mereka berjumpa dengan Allah tanpa memikul apa, saudara-saudara? Tanpa memikul satu pun dosa. ==== قَدْ يَقُولُ قَائِلٌ مَا الْحِكْمَةُ مِنْ كَوْنِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يَبْتَلِي عِبَادَهُ بِالْمَصَائِبِ وَفِي الْحَدِيثِ أَشَدُّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ يُبْتَلَى الْإِنْسَانُ عَلَى قَدْرِ دِيْنِهِ فَإِنْ كَانَ صَلْبًا فِي دِينِهِ اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ هُوِّنَ عَلَيْهِ الْبَلَاءُ وَمَا يَزَالُ الْبَلَاءُ كَمَمَرٍّ بِالْمُؤْمِنِ حَتَّى يَمْشِيَ عَلَى الْأَرْضِ وَلَيْسَ عَلَيْهَا خَطِيئَةٌ فَمَا الْحِكْمَةُ مِنْ كَوْنِهِ تَعَالَى يَبْتَلِي أَحْبَابَهُ؟ لَا شَكَّ يَعْنِي مِنَ الْحِكَمِ يَا مُحَمَّدُ أَنَّ الْإِنْسَانَ لَا يَخْلُو مِنَ الذُّنُوبِ وَالذُّنُوبُ هِيَ أَعْظَمُ أَسْبَابِ الْمَصَائِبِ تُعْطُونِي دَلِيلًا وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ فَيَبْتَلِي اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى عِبَادِهِ بَعْضًا مِنَ الْمَصَائِبِ لِتَكُونَ سَبَبًا لِتَكْفِيرِ مَاذَا؟ لِتَكْفِيرِ مَا أَلَمُّوا بِهِ مِنَ الذُّنُوبِ قَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمْ يَرْضَ بِالدُّنْيَا أَنْ تَكُونَ دَارًا لِمُجَازَاتِ أَحْبَابِهِ وَلَا أَنْ تَكُونَ دَارًا لِمُعَاقِبَةِ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ أَعْدَائِهِ بَلِ ادَّخَرَ الْعُقُوبَةَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ كَمَا سَيَأْتِي وَأَمَّا أَحْبَابُهُ فَيُعَجَّلُ لَهُمُ الْعُقُوبَةُ فِي مَاذَا؟ فِي الدُّنْيَا حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ عَلَيْهِ مَاذَا يَا إِخْوَان؟ وَلَيْسَ عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
Mungkin akan ada yang berkata: “Apa hikmah di balik ujian yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada hamba-Nya dengan berbagai musibah?” Dalam hadits disebutkan: “Manusia yang paling berat ujiannya adalah para Nabi, lalu orang-orang yang mendekati derajat mereka, lalu yang mendekati derajat mereka setelahnya. Manusia akan diuji sesuai dengan kadar agamanya. Apabila agamanya kuat, ujiannya juga berat. Jika agamanya lemah, maka ujiannya juga diringankan. Ujian akan terus menimpa seorang Mukmin seperti lintasan yang harus ia lalui, hingga ia berjalan di muka bumi tanpa membawa satu pun dosa.” Lalu apa hikmah dari ujian yang Allah Ta’ala berikan kepada para hamba terkasih-Nya? Tidak diragukan lagi bahwa di antara hikmahnya, wahai Muhammad, bahwa manusia tidak akan terlepas dari dosa-dosa. Sedangkan dosa-dosa adalah sebab terbesar turunnya berbagai musibah. Berikan saya dalilnya! “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri…” (QS. asy-Syura: 30). Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi beberapa musibah bagi para hamba-Nya, agar menjadi sebab penghapusan dosa-dosa yang menimpa mereka. Para ulama berkata: “Sungguh Allah tidak ridha jika dunia menjadi negeri untuk membalas para hamba terkasih-Nya. Dan tidak pula menjadi negeri untuk menyiksa para musuh-Nya.” Namun, Allah akan menyimpan siksaan bagi mereka di akhirat kelak, sebagaimana yang akan dijelaskan. Sedangkan bagi para hamba terkasih-Nya, siksaan disegerakan di dunia. Agar mereka berjumpa dengan Allah tanpa memikul apa, saudara-saudara? Tanpa memikul satu pun dosa. ==== قَدْ يَقُولُ قَائِلٌ مَا الْحِكْمَةُ مِنْ كَوْنِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يَبْتَلِي عِبَادَهُ بِالْمَصَائِبِ وَفِي الْحَدِيثِ أَشَدُّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ يُبْتَلَى الْإِنْسَانُ عَلَى قَدْرِ دِيْنِهِ فَإِنْ كَانَ صَلْبًا فِي دِينِهِ اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ هُوِّنَ عَلَيْهِ الْبَلَاءُ وَمَا يَزَالُ الْبَلَاءُ كَمَمَرٍّ بِالْمُؤْمِنِ حَتَّى يَمْشِيَ عَلَى الْأَرْضِ وَلَيْسَ عَلَيْهَا خَطِيئَةٌ فَمَا الْحِكْمَةُ مِنْ كَوْنِهِ تَعَالَى يَبْتَلِي أَحْبَابَهُ؟ لَا شَكَّ يَعْنِي مِنَ الْحِكَمِ يَا مُحَمَّدُ أَنَّ الْإِنْسَانَ لَا يَخْلُو مِنَ الذُّنُوبِ وَالذُّنُوبُ هِيَ أَعْظَمُ أَسْبَابِ الْمَصَائِبِ تُعْطُونِي دَلِيلًا وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ فَيَبْتَلِي اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى عِبَادِهِ بَعْضًا مِنَ الْمَصَائِبِ لِتَكُونَ سَبَبًا لِتَكْفِيرِ مَاذَا؟ لِتَكْفِيرِ مَا أَلَمُّوا بِهِ مِنَ الذُّنُوبِ قَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمْ يَرْضَ بِالدُّنْيَا أَنْ تَكُونَ دَارًا لِمُجَازَاتِ أَحْبَابِهِ وَلَا أَنْ تَكُونَ دَارًا لِمُعَاقِبَةِ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ أَعْدَائِهِ بَلِ ادَّخَرَ الْعُقُوبَةَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ كَمَا سَيَأْتِي وَأَمَّا أَحْبَابُهُ فَيُعَجَّلُ لَهُمُ الْعُقُوبَةُ فِي مَاذَا؟ فِي الدُّنْيَا حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ عَلَيْهِ مَاذَا يَا إِخْوَان؟ وَلَيْسَ عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ


Mungkin akan ada yang berkata: “Apa hikmah di balik ujian yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada hamba-Nya dengan berbagai musibah?” Dalam hadits disebutkan: “Manusia yang paling berat ujiannya adalah para Nabi, lalu orang-orang yang mendekati derajat mereka, lalu yang mendekati derajat mereka setelahnya. Manusia akan diuji sesuai dengan kadar agamanya. Apabila agamanya kuat, ujiannya juga berat. Jika agamanya lemah, maka ujiannya juga diringankan. Ujian akan terus menimpa seorang Mukmin seperti lintasan yang harus ia lalui, hingga ia berjalan di muka bumi tanpa membawa satu pun dosa.” Lalu apa hikmah dari ujian yang Allah Ta’ala berikan kepada para hamba terkasih-Nya? Tidak diragukan lagi bahwa di antara hikmahnya, wahai Muhammad, bahwa manusia tidak akan terlepas dari dosa-dosa. Sedangkan dosa-dosa adalah sebab terbesar turunnya berbagai musibah. Berikan saya dalilnya! “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri…” (QS. asy-Syura: 30). Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi beberapa musibah bagi para hamba-Nya, agar menjadi sebab penghapusan dosa-dosa yang menimpa mereka. Para ulama berkata: “Sungguh Allah tidak ridha jika dunia menjadi negeri untuk membalas para hamba terkasih-Nya. Dan tidak pula menjadi negeri untuk menyiksa para musuh-Nya.” Namun, Allah akan menyimpan siksaan bagi mereka di akhirat kelak, sebagaimana yang akan dijelaskan. Sedangkan bagi para hamba terkasih-Nya, siksaan disegerakan di dunia. Agar mereka berjumpa dengan Allah tanpa memikul apa, saudara-saudara? Tanpa memikul satu pun dosa. ==== قَدْ يَقُولُ قَائِلٌ مَا الْحِكْمَةُ مِنْ كَوْنِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يَبْتَلِي عِبَادَهُ بِالْمَصَائِبِ وَفِي الْحَدِيثِ أَشَدُّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ يُبْتَلَى الْإِنْسَانُ عَلَى قَدْرِ دِيْنِهِ فَإِنْ كَانَ صَلْبًا فِي دِينِهِ اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ هُوِّنَ عَلَيْهِ الْبَلَاءُ وَمَا يَزَالُ الْبَلَاءُ كَمَمَرٍّ بِالْمُؤْمِنِ حَتَّى يَمْشِيَ عَلَى الْأَرْضِ وَلَيْسَ عَلَيْهَا خَطِيئَةٌ فَمَا الْحِكْمَةُ مِنْ كَوْنِهِ تَعَالَى يَبْتَلِي أَحْبَابَهُ؟ لَا شَكَّ يَعْنِي مِنَ الْحِكَمِ يَا مُحَمَّدُ أَنَّ الْإِنْسَانَ لَا يَخْلُو مِنَ الذُّنُوبِ وَالذُّنُوبُ هِيَ أَعْظَمُ أَسْبَابِ الْمَصَائِبِ تُعْطُونِي دَلِيلًا وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ فَيَبْتَلِي اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى عِبَادِهِ بَعْضًا مِنَ الْمَصَائِبِ لِتَكُونَ سَبَبًا لِتَكْفِيرِ مَاذَا؟ لِتَكْفِيرِ مَا أَلَمُّوا بِهِ مِنَ الذُّنُوبِ قَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمْ يَرْضَ بِالدُّنْيَا أَنْ تَكُونَ دَارًا لِمُجَازَاتِ أَحْبَابِهِ وَلَا أَنْ تَكُونَ دَارًا لِمُعَاقِبَةِ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ أَعْدَائِهِ بَلِ ادَّخَرَ الْعُقُوبَةَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ كَمَا سَيَأْتِي وَأَمَّا أَحْبَابُهُ فَيُعَجَّلُ لَهُمُ الْعُقُوبَةُ فِي مَاذَا؟ فِي الدُّنْيَا حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ عَلَيْهِ مَاذَا يَا إِخْوَان؟ وَلَيْسَ عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
Prev     Next