Jangan Biarkan Ramadan Berlalu Begitu Saja

Daftar Isi Toggle Sebuah tamu yang akan pergiRamadan adalah bulan ampunan, jangan lewatkan kesempatan iniRamadan adalah bulan Al-Qur’an, jadikanlah dia sahabat kitaRamadan adalah bulan doa, jangan lewatkan waktu-waktu mustajabJangan lewatkan malam lailatul qadarRamadan akan pergi, tapi jangan biarkan kebaikannya pergi bersamaManfaatkan waktu yang tersisa Sebuah tamu yang akan pergi Bayangkan seseorang yang sangat kita rindukan datang mengunjungi rumah kita. Ia membawa banyak hadiah, kebahagiaan, dan keberkahan. Ia mengajarkan kita arti kesabaran, memberi kita kesempatan untuk memperbaiki diri, dan menawarkan ampunan yang begitu luas. Namun, sebelum kita benar-benar menyadari betapa berharganya kehadirannya, ia harus pergi. Ramadan adalah tamu itu. Bulan yang penuh dengan rahmat, maghfirah (ampunan), dan pembebasan dari neraka itu hampir sampai di ujungnya. Tapi sudahkah kita benar-benar menghargainya? Sudahkah kita memanfaatkannya sebaik mungkin? Ramadan adalah tamu istimewa yang hanya datang sekali dalam setahun. Ia membawa keberkahan, ampunan, dan kesempatan untuk mendekat kepada Allah lebih dari bulan-bulan lainnya. Setiap hari di bulan ini penuh dengan rahmat, setiap amal dilipatgandakan, dan setiap dosa diampuni bagi mereka yang benar-benar ingin bertobat. Namun, betapa seringnya kita menjalani Ramadan tanpa benar-benar merasakannya. Waktu berlalu begitu cepat, dan sebelum kita menyadarinya, Ramadan sudah hampir berakhir. Jika kita tidak berhati-hati, kita bisa menjadi orang yang merugi, mereka yang melewatkan kesempatan emas ini tanpa memperoleh apa-apa selain rasa lapar dan haus. Rasulullah ﷺ mengingatkan, رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ “Betapa banyak orang yang berpuasa, namun hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga saja. Betapa banyak pula yang melakukan salat malam, namun hanya mendapatkan begadang di malam hari.” [1] Dalam riwayat lain, رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ “Betapa banyak orang yang berpuasa, namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” [2] Ramadan bukan sekadar rutinitas tahunan. Ia adalah kesempatan emas yang belum tentu bisa kita jumpai lagi tahun depan. Maka, jangan biarkan Ramadan berlalu begitu saja tanpa makna. Masih ada waktu untuk memperbaiki diri, meningkatkan ibadah, dan memastikan bahwa Ramadan ini menjadi yang terbaik dalam hidup kita. Ramadan adalah bulan ampunan, jangan lewatkan kesempatan ini Salah satu keistimewaan terbesar Ramadan adalah kesempatan untuk mendapatkan ampunan dari Allah. Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda, مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “Barangsiapa berpuasa Ramadan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” [3] Namun, apakah kita benar-benar telah memohon ampun kepada-Nya? Sudahkah kita meneteskan air mata dalam doa, meminta agar semua kesalahan kita dihapus? Jika belum, masih ada waktu. Jangan biarkan Ramadan berakhir tanpa memastikan bahwa kita keluar darinya dengan hati yang bersih dan jiwa yang kembali fitrah. Ramadan adalah bulan Al-Qur’an, jadikanlah dia sahabat kita Allah menurunkan Al-Qur’an di bulan yang mulia ini, sebagaimana firman-Nya, شَهرُ رَمَضَانَ الَّذِى اُنزِلَ فِيهِ القُراٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَ بَيِّنٰتٍ مِّنَ الهُدٰى وَالفُرقَانِ فَمَن “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil).” [4] Namun, bagaimana hubungan kita dengan Al-Qur’an selama Ramadan ini? Apakah kita hanya membacanya untuk mengejar target khatam, atau benar-benar merenungi maknanya? Jika Ramadan ini belum menjadikan kita lebih dekat dengan Al-Qur’an, maka masih ada waktu untuk memperbaikinya. Jangan biarkan bulan ini berlalu tanpa menjadikan Al-Qur’an sebagai bagian dari hidup kita. Baca juga: Ramadan Menumbuhkan Empati Ramadan adalah bulan doa, jangan lewatkan waktu-waktu mustajab Salah satu keistimewaan Ramadan adalah banyaknya waktu mustajab untuk berdoa. Di antara waktu-waktu terbaik adalah menjelang berbuka, sepertiga malam terakhir, dan malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir. Rasulullah ﷺ bersabda, ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ “Tiga golongan yang doanya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan doa orang yang terzalimi.” [5] Dalam hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ “Ada tiga golongan yang doanya tidak ditolak: Pemimpin yang adil, orang yang berpuasa ketika dia berbuka, dan doa orang yang terzalimi.” [6] Namun, sudahkah kita berdoa dengan sungguh-sungguh? Ataukah kita hanya mengucapkan doa secara terburu-buru tanpa benar-benar merasakan maknanya? Jangan biarkan Ramadan berlalu tanpa meluangkan waktu khusus untuk berbicara dengan Allah, mencurahkan isi hati, dan memohon segala kebaikan dunia dan akhirat. Jangan biarkan waktu-waktu ini terlewat begitu saja. Berdoalah dengan penuh harapan. Mintalah kebaikan dunia dan akhirat, mintalah ampunan, mintalah surga, dan mintalah agar Allah tetap membimbing kita setelah Ramadan berlalu. Jangan lewatkan malam lailatul qadar Salah satu hadiah terbesar di bulan Ramadan adalah malam lailatul qadar. Malam yang lebih baik dari seribu bulan, ketika doa dikabulkan dan pahala dilipatgandakan. Allah berfirman, لَيْلَةُ ٱلْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ “Malam lailatul qadr itu lebih baik dari seribu bulan.” [7] Jika kita menyia-nyiakan sepuluh hari terakhir Ramadan dengan kesibukan dunia, kita bisa kehilangan kesempatan ini. Rasulullah ﷺ bersungguh-sungguh dalam ibadah pada malam-malam terakhir Ramadan lebih dari malam-malam lainnya. Beliau bersabda, تَحَرَّوْا ليلة القدرِ في الوِتْرِ، من العشرِ الأواخرِ من رمضانَ “Carilah oleh kalian keutamaan lailatul qadr (malam kemuliaan) pada malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir bulan Ramadan.” [8] Jangan biarkan diri kita melewatkan malam yang penuh keberkahan ini hanya karena kita terlalu sibuk atau terlalu lelah. Bangunlah, berdoalah, dan mintalah kebaikan kepada Allah. Ramadan akan pergi, tapi jangan biarkan kebaikannya pergi bersama Ramadan bukan hanya tentang meningkatkan ibadah selama sebulan, tetapi juga tentang membangun kebiasaan baik yang bisa kita lanjutkan sepanjang tahun. Jika selama Ramadan kita terbiasa salat tepat waktu, mengapa harus kembali menunda-nunda setelahnya? Jika kita bisa membaca Al-Qur’an setiap hari, mengapa harus berhenti setelah bulan ini berlalu? Jika kita bisa menahan diri dari dosa di bulan Ramadan, mengapa harus kembali melakukannya setelah Idulfitri? Rasulullah ﷺ bersabda, أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ ”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” [9] Namun, bagaimana jika kita justru menghabiskan malam-malam terakhir ini dengan tidur panjang, sibuk menyiapkan lebaran, atau malah tenggelam dalam media sosial? Jangan sampai kita menyesal karena melewatkan kesempatan mendapatkan pahala yang begitu besar. Jadikan Ramadan sebagai awal dari perubahan, bukan sekadar bulan singkat yang kita jalani tanpa makna. Manfaatkan waktu yang tersisa Ramadan adalah anugerah yang tidak semua orang mendapatkannya lagi tahun depan. Berapa banyak saudara kita yang tahun lalu masih bisa menjalani Ramadan, tetapi kini telah kembali kepada Allah? Kita masih diberi kesempatan. Kita masih memiliki waktu. Jangan biarkan Ramadan berlalu begitu saja tanpa meninggalkan bekas dalam hati dan amal kita. Masih ada waktu untuk memperbaiki niat, memperbanyak ibadah, dan memohon ampunan. Jangan sampai kita menjadi orang yang menyesal saat Ramadan telah pergi. Ya Allah, jangan biarkan kami menjadi hamba yang lalai. Jadikanlah Ramadan ini sebagai sarana untuk mendekat kepada-Mu, untuk memperbaiki diri, dan untuk mendapatkan ampunan-Mu. Jangan biarkan kami kembali pada kebiasaan buruk setelah bulan ini berakhir. Terimalah amal ibadah kami dan jadikan kami termasuk orang-orang yang mendapatkan keberkahan Ramadan. آمين. Baca juga: Berat Beramal di Bulan Ramadan? Lihat Kondisi Hatimu! *** Ditulis di Jember, 3 Ramadan 1446/3 Maret 2025 Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. Ahmad [2] HR. Ath-Thabraniy [3] HR. Bukhari dan Muslim [4] QS. Al Baqarah: 185 [5] HR. Ahmad [6] HR. Tirmidzi [7] QS. Al Qadr: 3 [8] HR. Bukhari dan Muslim [9] HR. Muslim

Jangan Biarkan Ramadan Berlalu Begitu Saja

Daftar Isi Toggle Sebuah tamu yang akan pergiRamadan adalah bulan ampunan, jangan lewatkan kesempatan iniRamadan adalah bulan Al-Qur’an, jadikanlah dia sahabat kitaRamadan adalah bulan doa, jangan lewatkan waktu-waktu mustajabJangan lewatkan malam lailatul qadarRamadan akan pergi, tapi jangan biarkan kebaikannya pergi bersamaManfaatkan waktu yang tersisa Sebuah tamu yang akan pergi Bayangkan seseorang yang sangat kita rindukan datang mengunjungi rumah kita. Ia membawa banyak hadiah, kebahagiaan, dan keberkahan. Ia mengajarkan kita arti kesabaran, memberi kita kesempatan untuk memperbaiki diri, dan menawarkan ampunan yang begitu luas. Namun, sebelum kita benar-benar menyadari betapa berharganya kehadirannya, ia harus pergi. Ramadan adalah tamu itu. Bulan yang penuh dengan rahmat, maghfirah (ampunan), dan pembebasan dari neraka itu hampir sampai di ujungnya. Tapi sudahkah kita benar-benar menghargainya? Sudahkah kita memanfaatkannya sebaik mungkin? Ramadan adalah tamu istimewa yang hanya datang sekali dalam setahun. Ia membawa keberkahan, ampunan, dan kesempatan untuk mendekat kepada Allah lebih dari bulan-bulan lainnya. Setiap hari di bulan ini penuh dengan rahmat, setiap amal dilipatgandakan, dan setiap dosa diampuni bagi mereka yang benar-benar ingin bertobat. Namun, betapa seringnya kita menjalani Ramadan tanpa benar-benar merasakannya. Waktu berlalu begitu cepat, dan sebelum kita menyadarinya, Ramadan sudah hampir berakhir. Jika kita tidak berhati-hati, kita bisa menjadi orang yang merugi, mereka yang melewatkan kesempatan emas ini tanpa memperoleh apa-apa selain rasa lapar dan haus. Rasulullah ﷺ mengingatkan, رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ “Betapa banyak orang yang berpuasa, namun hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga saja. Betapa banyak pula yang melakukan salat malam, namun hanya mendapatkan begadang di malam hari.” [1] Dalam riwayat lain, رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ “Betapa banyak orang yang berpuasa, namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” [2] Ramadan bukan sekadar rutinitas tahunan. Ia adalah kesempatan emas yang belum tentu bisa kita jumpai lagi tahun depan. Maka, jangan biarkan Ramadan berlalu begitu saja tanpa makna. Masih ada waktu untuk memperbaiki diri, meningkatkan ibadah, dan memastikan bahwa Ramadan ini menjadi yang terbaik dalam hidup kita. Ramadan adalah bulan ampunan, jangan lewatkan kesempatan ini Salah satu keistimewaan terbesar Ramadan adalah kesempatan untuk mendapatkan ampunan dari Allah. Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda, مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “Barangsiapa berpuasa Ramadan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” [3] Namun, apakah kita benar-benar telah memohon ampun kepada-Nya? Sudahkah kita meneteskan air mata dalam doa, meminta agar semua kesalahan kita dihapus? Jika belum, masih ada waktu. Jangan biarkan Ramadan berakhir tanpa memastikan bahwa kita keluar darinya dengan hati yang bersih dan jiwa yang kembali fitrah. Ramadan adalah bulan Al-Qur’an, jadikanlah dia sahabat kita Allah menurunkan Al-Qur’an di bulan yang mulia ini, sebagaimana firman-Nya, شَهرُ رَمَضَانَ الَّذِى اُنزِلَ فِيهِ القُراٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَ بَيِّنٰتٍ مِّنَ الهُدٰى وَالفُرقَانِ فَمَن “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil).” [4] Namun, bagaimana hubungan kita dengan Al-Qur’an selama Ramadan ini? Apakah kita hanya membacanya untuk mengejar target khatam, atau benar-benar merenungi maknanya? Jika Ramadan ini belum menjadikan kita lebih dekat dengan Al-Qur’an, maka masih ada waktu untuk memperbaikinya. Jangan biarkan bulan ini berlalu tanpa menjadikan Al-Qur’an sebagai bagian dari hidup kita. Baca juga: Ramadan Menumbuhkan Empati Ramadan adalah bulan doa, jangan lewatkan waktu-waktu mustajab Salah satu keistimewaan Ramadan adalah banyaknya waktu mustajab untuk berdoa. Di antara waktu-waktu terbaik adalah menjelang berbuka, sepertiga malam terakhir, dan malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir. Rasulullah ﷺ bersabda, ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ “Tiga golongan yang doanya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan doa orang yang terzalimi.” [5] Dalam hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ “Ada tiga golongan yang doanya tidak ditolak: Pemimpin yang adil, orang yang berpuasa ketika dia berbuka, dan doa orang yang terzalimi.” [6] Namun, sudahkah kita berdoa dengan sungguh-sungguh? Ataukah kita hanya mengucapkan doa secara terburu-buru tanpa benar-benar merasakan maknanya? Jangan biarkan Ramadan berlalu tanpa meluangkan waktu khusus untuk berbicara dengan Allah, mencurahkan isi hati, dan memohon segala kebaikan dunia dan akhirat. Jangan biarkan waktu-waktu ini terlewat begitu saja. Berdoalah dengan penuh harapan. Mintalah kebaikan dunia dan akhirat, mintalah ampunan, mintalah surga, dan mintalah agar Allah tetap membimbing kita setelah Ramadan berlalu. Jangan lewatkan malam lailatul qadar Salah satu hadiah terbesar di bulan Ramadan adalah malam lailatul qadar. Malam yang lebih baik dari seribu bulan, ketika doa dikabulkan dan pahala dilipatgandakan. Allah berfirman, لَيْلَةُ ٱلْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ “Malam lailatul qadr itu lebih baik dari seribu bulan.” [7] Jika kita menyia-nyiakan sepuluh hari terakhir Ramadan dengan kesibukan dunia, kita bisa kehilangan kesempatan ini. Rasulullah ﷺ bersungguh-sungguh dalam ibadah pada malam-malam terakhir Ramadan lebih dari malam-malam lainnya. Beliau bersabda, تَحَرَّوْا ليلة القدرِ في الوِتْرِ، من العشرِ الأواخرِ من رمضانَ “Carilah oleh kalian keutamaan lailatul qadr (malam kemuliaan) pada malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir bulan Ramadan.” [8] Jangan biarkan diri kita melewatkan malam yang penuh keberkahan ini hanya karena kita terlalu sibuk atau terlalu lelah. Bangunlah, berdoalah, dan mintalah kebaikan kepada Allah. Ramadan akan pergi, tapi jangan biarkan kebaikannya pergi bersama Ramadan bukan hanya tentang meningkatkan ibadah selama sebulan, tetapi juga tentang membangun kebiasaan baik yang bisa kita lanjutkan sepanjang tahun. Jika selama Ramadan kita terbiasa salat tepat waktu, mengapa harus kembali menunda-nunda setelahnya? Jika kita bisa membaca Al-Qur’an setiap hari, mengapa harus berhenti setelah bulan ini berlalu? Jika kita bisa menahan diri dari dosa di bulan Ramadan, mengapa harus kembali melakukannya setelah Idulfitri? Rasulullah ﷺ bersabda, أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ ”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” [9] Namun, bagaimana jika kita justru menghabiskan malam-malam terakhir ini dengan tidur panjang, sibuk menyiapkan lebaran, atau malah tenggelam dalam media sosial? Jangan sampai kita menyesal karena melewatkan kesempatan mendapatkan pahala yang begitu besar. Jadikan Ramadan sebagai awal dari perubahan, bukan sekadar bulan singkat yang kita jalani tanpa makna. Manfaatkan waktu yang tersisa Ramadan adalah anugerah yang tidak semua orang mendapatkannya lagi tahun depan. Berapa banyak saudara kita yang tahun lalu masih bisa menjalani Ramadan, tetapi kini telah kembali kepada Allah? Kita masih diberi kesempatan. Kita masih memiliki waktu. Jangan biarkan Ramadan berlalu begitu saja tanpa meninggalkan bekas dalam hati dan amal kita. Masih ada waktu untuk memperbaiki niat, memperbanyak ibadah, dan memohon ampunan. Jangan sampai kita menjadi orang yang menyesal saat Ramadan telah pergi. Ya Allah, jangan biarkan kami menjadi hamba yang lalai. Jadikanlah Ramadan ini sebagai sarana untuk mendekat kepada-Mu, untuk memperbaiki diri, dan untuk mendapatkan ampunan-Mu. Jangan biarkan kami kembali pada kebiasaan buruk setelah bulan ini berakhir. Terimalah amal ibadah kami dan jadikan kami termasuk orang-orang yang mendapatkan keberkahan Ramadan. آمين. Baca juga: Berat Beramal di Bulan Ramadan? Lihat Kondisi Hatimu! *** Ditulis di Jember, 3 Ramadan 1446/3 Maret 2025 Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. Ahmad [2] HR. Ath-Thabraniy [3] HR. Bukhari dan Muslim [4] QS. Al Baqarah: 185 [5] HR. Ahmad [6] HR. Tirmidzi [7] QS. Al Qadr: 3 [8] HR. Bukhari dan Muslim [9] HR. Muslim
Daftar Isi Toggle Sebuah tamu yang akan pergiRamadan adalah bulan ampunan, jangan lewatkan kesempatan iniRamadan adalah bulan Al-Qur’an, jadikanlah dia sahabat kitaRamadan adalah bulan doa, jangan lewatkan waktu-waktu mustajabJangan lewatkan malam lailatul qadarRamadan akan pergi, tapi jangan biarkan kebaikannya pergi bersamaManfaatkan waktu yang tersisa Sebuah tamu yang akan pergi Bayangkan seseorang yang sangat kita rindukan datang mengunjungi rumah kita. Ia membawa banyak hadiah, kebahagiaan, dan keberkahan. Ia mengajarkan kita arti kesabaran, memberi kita kesempatan untuk memperbaiki diri, dan menawarkan ampunan yang begitu luas. Namun, sebelum kita benar-benar menyadari betapa berharganya kehadirannya, ia harus pergi. Ramadan adalah tamu itu. Bulan yang penuh dengan rahmat, maghfirah (ampunan), dan pembebasan dari neraka itu hampir sampai di ujungnya. Tapi sudahkah kita benar-benar menghargainya? Sudahkah kita memanfaatkannya sebaik mungkin? Ramadan adalah tamu istimewa yang hanya datang sekali dalam setahun. Ia membawa keberkahan, ampunan, dan kesempatan untuk mendekat kepada Allah lebih dari bulan-bulan lainnya. Setiap hari di bulan ini penuh dengan rahmat, setiap amal dilipatgandakan, dan setiap dosa diampuni bagi mereka yang benar-benar ingin bertobat. Namun, betapa seringnya kita menjalani Ramadan tanpa benar-benar merasakannya. Waktu berlalu begitu cepat, dan sebelum kita menyadarinya, Ramadan sudah hampir berakhir. Jika kita tidak berhati-hati, kita bisa menjadi orang yang merugi, mereka yang melewatkan kesempatan emas ini tanpa memperoleh apa-apa selain rasa lapar dan haus. Rasulullah ﷺ mengingatkan, رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ “Betapa banyak orang yang berpuasa, namun hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga saja. Betapa banyak pula yang melakukan salat malam, namun hanya mendapatkan begadang di malam hari.” [1] Dalam riwayat lain, رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ “Betapa banyak orang yang berpuasa, namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” [2] Ramadan bukan sekadar rutinitas tahunan. Ia adalah kesempatan emas yang belum tentu bisa kita jumpai lagi tahun depan. Maka, jangan biarkan Ramadan berlalu begitu saja tanpa makna. Masih ada waktu untuk memperbaiki diri, meningkatkan ibadah, dan memastikan bahwa Ramadan ini menjadi yang terbaik dalam hidup kita. Ramadan adalah bulan ampunan, jangan lewatkan kesempatan ini Salah satu keistimewaan terbesar Ramadan adalah kesempatan untuk mendapatkan ampunan dari Allah. Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda, مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “Barangsiapa berpuasa Ramadan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” [3] Namun, apakah kita benar-benar telah memohon ampun kepada-Nya? Sudahkah kita meneteskan air mata dalam doa, meminta agar semua kesalahan kita dihapus? Jika belum, masih ada waktu. Jangan biarkan Ramadan berakhir tanpa memastikan bahwa kita keluar darinya dengan hati yang bersih dan jiwa yang kembali fitrah. Ramadan adalah bulan Al-Qur’an, jadikanlah dia sahabat kita Allah menurunkan Al-Qur’an di bulan yang mulia ini, sebagaimana firman-Nya, شَهرُ رَمَضَانَ الَّذِى اُنزِلَ فِيهِ القُراٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَ بَيِّنٰتٍ مِّنَ الهُدٰى وَالفُرقَانِ فَمَن “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil).” [4] Namun, bagaimana hubungan kita dengan Al-Qur’an selama Ramadan ini? Apakah kita hanya membacanya untuk mengejar target khatam, atau benar-benar merenungi maknanya? Jika Ramadan ini belum menjadikan kita lebih dekat dengan Al-Qur’an, maka masih ada waktu untuk memperbaikinya. Jangan biarkan bulan ini berlalu tanpa menjadikan Al-Qur’an sebagai bagian dari hidup kita. Baca juga: Ramadan Menumbuhkan Empati Ramadan adalah bulan doa, jangan lewatkan waktu-waktu mustajab Salah satu keistimewaan Ramadan adalah banyaknya waktu mustajab untuk berdoa. Di antara waktu-waktu terbaik adalah menjelang berbuka, sepertiga malam terakhir, dan malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir. Rasulullah ﷺ bersabda, ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ “Tiga golongan yang doanya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan doa orang yang terzalimi.” [5] Dalam hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ “Ada tiga golongan yang doanya tidak ditolak: Pemimpin yang adil, orang yang berpuasa ketika dia berbuka, dan doa orang yang terzalimi.” [6] Namun, sudahkah kita berdoa dengan sungguh-sungguh? Ataukah kita hanya mengucapkan doa secara terburu-buru tanpa benar-benar merasakan maknanya? Jangan biarkan Ramadan berlalu tanpa meluangkan waktu khusus untuk berbicara dengan Allah, mencurahkan isi hati, dan memohon segala kebaikan dunia dan akhirat. Jangan biarkan waktu-waktu ini terlewat begitu saja. Berdoalah dengan penuh harapan. Mintalah kebaikan dunia dan akhirat, mintalah ampunan, mintalah surga, dan mintalah agar Allah tetap membimbing kita setelah Ramadan berlalu. Jangan lewatkan malam lailatul qadar Salah satu hadiah terbesar di bulan Ramadan adalah malam lailatul qadar. Malam yang lebih baik dari seribu bulan, ketika doa dikabulkan dan pahala dilipatgandakan. Allah berfirman, لَيْلَةُ ٱلْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ “Malam lailatul qadr itu lebih baik dari seribu bulan.” [7] Jika kita menyia-nyiakan sepuluh hari terakhir Ramadan dengan kesibukan dunia, kita bisa kehilangan kesempatan ini. Rasulullah ﷺ bersungguh-sungguh dalam ibadah pada malam-malam terakhir Ramadan lebih dari malam-malam lainnya. Beliau bersabda, تَحَرَّوْا ليلة القدرِ في الوِتْرِ، من العشرِ الأواخرِ من رمضانَ “Carilah oleh kalian keutamaan lailatul qadr (malam kemuliaan) pada malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir bulan Ramadan.” [8] Jangan biarkan diri kita melewatkan malam yang penuh keberkahan ini hanya karena kita terlalu sibuk atau terlalu lelah. Bangunlah, berdoalah, dan mintalah kebaikan kepada Allah. Ramadan akan pergi, tapi jangan biarkan kebaikannya pergi bersama Ramadan bukan hanya tentang meningkatkan ibadah selama sebulan, tetapi juga tentang membangun kebiasaan baik yang bisa kita lanjutkan sepanjang tahun. Jika selama Ramadan kita terbiasa salat tepat waktu, mengapa harus kembali menunda-nunda setelahnya? Jika kita bisa membaca Al-Qur’an setiap hari, mengapa harus berhenti setelah bulan ini berlalu? Jika kita bisa menahan diri dari dosa di bulan Ramadan, mengapa harus kembali melakukannya setelah Idulfitri? Rasulullah ﷺ bersabda, أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ ”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” [9] Namun, bagaimana jika kita justru menghabiskan malam-malam terakhir ini dengan tidur panjang, sibuk menyiapkan lebaran, atau malah tenggelam dalam media sosial? Jangan sampai kita menyesal karena melewatkan kesempatan mendapatkan pahala yang begitu besar. Jadikan Ramadan sebagai awal dari perubahan, bukan sekadar bulan singkat yang kita jalani tanpa makna. Manfaatkan waktu yang tersisa Ramadan adalah anugerah yang tidak semua orang mendapatkannya lagi tahun depan. Berapa banyak saudara kita yang tahun lalu masih bisa menjalani Ramadan, tetapi kini telah kembali kepada Allah? Kita masih diberi kesempatan. Kita masih memiliki waktu. Jangan biarkan Ramadan berlalu begitu saja tanpa meninggalkan bekas dalam hati dan amal kita. Masih ada waktu untuk memperbaiki niat, memperbanyak ibadah, dan memohon ampunan. Jangan sampai kita menjadi orang yang menyesal saat Ramadan telah pergi. Ya Allah, jangan biarkan kami menjadi hamba yang lalai. Jadikanlah Ramadan ini sebagai sarana untuk mendekat kepada-Mu, untuk memperbaiki diri, dan untuk mendapatkan ampunan-Mu. Jangan biarkan kami kembali pada kebiasaan buruk setelah bulan ini berakhir. Terimalah amal ibadah kami dan jadikan kami termasuk orang-orang yang mendapatkan keberkahan Ramadan. آمين. Baca juga: Berat Beramal di Bulan Ramadan? Lihat Kondisi Hatimu! *** Ditulis di Jember, 3 Ramadan 1446/3 Maret 2025 Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. Ahmad [2] HR. Ath-Thabraniy [3] HR. Bukhari dan Muslim [4] QS. Al Baqarah: 185 [5] HR. Ahmad [6] HR. Tirmidzi [7] QS. Al Qadr: 3 [8] HR. Bukhari dan Muslim [9] HR. Muslim


Daftar Isi Toggle Sebuah tamu yang akan pergiRamadan adalah bulan ampunan, jangan lewatkan kesempatan iniRamadan adalah bulan Al-Qur’an, jadikanlah dia sahabat kitaRamadan adalah bulan doa, jangan lewatkan waktu-waktu mustajabJangan lewatkan malam lailatul qadarRamadan akan pergi, tapi jangan biarkan kebaikannya pergi bersamaManfaatkan waktu yang tersisa Sebuah tamu yang akan pergi Bayangkan seseorang yang sangat kita rindukan datang mengunjungi rumah kita. Ia membawa banyak hadiah, kebahagiaan, dan keberkahan. Ia mengajarkan kita arti kesabaran, memberi kita kesempatan untuk memperbaiki diri, dan menawarkan ampunan yang begitu luas. Namun, sebelum kita benar-benar menyadari betapa berharganya kehadirannya, ia harus pergi. Ramadan adalah tamu itu. Bulan yang penuh dengan rahmat, maghfirah (ampunan), dan pembebasan dari neraka itu hampir sampai di ujungnya. Tapi sudahkah kita benar-benar menghargainya? Sudahkah kita memanfaatkannya sebaik mungkin? Ramadan adalah tamu istimewa yang hanya datang sekali dalam setahun. Ia membawa keberkahan, ampunan, dan kesempatan untuk mendekat kepada Allah lebih dari bulan-bulan lainnya. Setiap hari di bulan ini penuh dengan rahmat, setiap amal dilipatgandakan, dan setiap dosa diampuni bagi mereka yang benar-benar ingin bertobat. Namun, betapa seringnya kita menjalani Ramadan tanpa benar-benar merasakannya. Waktu berlalu begitu cepat, dan sebelum kita menyadarinya, Ramadan sudah hampir berakhir. Jika kita tidak berhati-hati, kita bisa menjadi orang yang merugi, mereka yang melewatkan kesempatan emas ini tanpa memperoleh apa-apa selain rasa lapar dan haus. Rasulullah ﷺ mengingatkan, رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ “Betapa banyak orang yang berpuasa, namun hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga saja. Betapa banyak pula yang melakukan salat malam, namun hanya mendapatkan begadang di malam hari.” [1] Dalam riwayat lain, رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ “Betapa banyak orang yang berpuasa, namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” [2] Ramadan bukan sekadar rutinitas tahunan. Ia adalah kesempatan emas yang belum tentu bisa kita jumpai lagi tahun depan. Maka, jangan biarkan Ramadan berlalu begitu saja tanpa makna. Masih ada waktu untuk memperbaiki diri, meningkatkan ibadah, dan memastikan bahwa Ramadan ini menjadi yang terbaik dalam hidup kita. Ramadan adalah bulan ampunan, jangan lewatkan kesempatan ini Salah satu keistimewaan terbesar Ramadan adalah kesempatan untuk mendapatkan ampunan dari Allah. Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda, مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “Barangsiapa berpuasa Ramadan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” [3] Namun, apakah kita benar-benar telah memohon ampun kepada-Nya? Sudahkah kita meneteskan air mata dalam doa, meminta agar semua kesalahan kita dihapus? Jika belum, masih ada waktu. Jangan biarkan Ramadan berakhir tanpa memastikan bahwa kita keluar darinya dengan hati yang bersih dan jiwa yang kembali fitrah. Ramadan adalah bulan Al-Qur’an, jadikanlah dia sahabat kita Allah menurunkan Al-Qur’an di bulan yang mulia ini, sebagaimana firman-Nya, شَهرُ رَمَضَانَ الَّذِى اُنزِلَ فِيهِ القُراٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَ بَيِّنٰتٍ مِّنَ الهُدٰى وَالفُرقَانِ فَمَن “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil).” [4] Namun, bagaimana hubungan kita dengan Al-Qur’an selama Ramadan ini? Apakah kita hanya membacanya untuk mengejar target khatam, atau benar-benar merenungi maknanya? Jika Ramadan ini belum menjadikan kita lebih dekat dengan Al-Qur’an, maka masih ada waktu untuk memperbaikinya. Jangan biarkan bulan ini berlalu tanpa menjadikan Al-Qur’an sebagai bagian dari hidup kita. Baca juga: Ramadan Menumbuhkan Empati Ramadan adalah bulan doa, jangan lewatkan waktu-waktu mustajab Salah satu keistimewaan Ramadan adalah banyaknya waktu mustajab untuk berdoa. Di antara waktu-waktu terbaik adalah menjelang berbuka, sepertiga malam terakhir, dan malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir. Rasulullah ﷺ bersabda, ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ “Tiga golongan yang doanya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan doa orang yang terzalimi.” [5] Dalam hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ “Ada tiga golongan yang doanya tidak ditolak: Pemimpin yang adil, orang yang berpuasa ketika dia berbuka, dan doa orang yang terzalimi.” [6] Namun, sudahkah kita berdoa dengan sungguh-sungguh? Ataukah kita hanya mengucapkan doa secara terburu-buru tanpa benar-benar merasakan maknanya? Jangan biarkan Ramadan berlalu tanpa meluangkan waktu khusus untuk berbicara dengan Allah, mencurahkan isi hati, dan memohon segala kebaikan dunia dan akhirat. Jangan biarkan waktu-waktu ini terlewat begitu saja. Berdoalah dengan penuh harapan. Mintalah kebaikan dunia dan akhirat, mintalah ampunan, mintalah surga, dan mintalah agar Allah tetap membimbing kita setelah Ramadan berlalu. Jangan lewatkan malam lailatul qadar Salah satu hadiah terbesar di bulan Ramadan adalah malam lailatul qadar. Malam yang lebih baik dari seribu bulan, ketika doa dikabulkan dan pahala dilipatgandakan. Allah berfirman, لَيْلَةُ ٱلْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ “Malam lailatul qadr itu lebih baik dari seribu bulan.” [7] Jika kita menyia-nyiakan sepuluh hari terakhir Ramadan dengan kesibukan dunia, kita bisa kehilangan kesempatan ini. Rasulullah ﷺ bersungguh-sungguh dalam ibadah pada malam-malam terakhir Ramadan lebih dari malam-malam lainnya. Beliau bersabda, تَحَرَّوْا ليلة القدرِ في الوِتْرِ، من العشرِ الأواخرِ من رمضانَ “Carilah oleh kalian keutamaan lailatul qadr (malam kemuliaan) pada malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir bulan Ramadan.” [8] Jangan biarkan diri kita melewatkan malam yang penuh keberkahan ini hanya karena kita terlalu sibuk atau terlalu lelah. Bangunlah, berdoalah, dan mintalah kebaikan kepada Allah. Ramadan akan pergi, tapi jangan biarkan kebaikannya pergi bersama Ramadan bukan hanya tentang meningkatkan ibadah selama sebulan, tetapi juga tentang membangun kebiasaan baik yang bisa kita lanjutkan sepanjang tahun. Jika selama Ramadan kita terbiasa salat tepat waktu, mengapa harus kembali menunda-nunda setelahnya? Jika kita bisa membaca Al-Qur’an setiap hari, mengapa harus berhenti setelah bulan ini berlalu? Jika kita bisa menahan diri dari dosa di bulan Ramadan, mengapa harus kembali melakukannya setelah Idulfitri? Rasulullah ﷺ bersabda, أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ ”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” [9] Namun, bagaimana jika kita justru menghabiskan malam-malam terakhir ini dengan tidur panjang, sibuk menyiapkan lebaran, atau malah tenggelam dalam media sosial? Jangan sampai kita menyesal karena melewatkan kesempatan mendapatkan pahala yang begitu besar. Jadikan Ramadan sebagai awal dari perubahan, bukan sekadar bulan singkat yang kita jalani tanpa makna. Manfaatkan waktu yang tersisa Ramadan adalah anugerah yang tidak semua orang mendapatkannya lagi tahun depan. Berapa banyak saudara kita yang tahun lalu masih bisa menjalani Ramadan, tetapi kini telah kembali kepada Allah? Kita masih diberi kesempatan. Kita masih memiliki waktu. Jangan biarkan Ramadan berlalu begitu saja tanpa meninggalkan bekas dalam hati dan amal kita. Masih ada waktu untuk memperbaiki niat, memperbanyak ibadah, dan memohon ampunan. Jangan sampai kita menjadi orang yang menyesal saat Ramadan telah pergi. Ya Allah, jangan biarkan kami menjadi hamba yang lalai. Jadikanlah Ramadan ini sebagai sarana untuk mendekat kepada-Mu, untuk memperbaiki diri, dan untuk mendapatkan ampunan-Mu. Jangan biarkan kami kembali pada kebiasaan buruk setelah bulan ini berakhir. Terimalah amal ibadah kami dan jadikan kami termasuk orang-orang yang mendapatkan keberkahan Ramadan. آمين. Baca juga: Berat Beramal di Bulan Ramadan? Lihat Kondisi Hatimu! *** Ditulis di Jember, 3 Ramadan 1446/3 Maret 2025 Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. Ahmad [2] HR. Ath-Thabraniy [3] HR. Bukhari dan Muslim [4] QS. Al Baqarah: 185 [5] HR. Ahmad [6] HR. Tirmidzi [7] QS. Al Qadr: 3 [8] HR. Bukhari dan Muslim [9] HR. Muslim

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 17): Isim Mutsanna

المُثَنّىَ كَالزَّيْدَانِ, فَيُرْفَعُ بِالْأَلِفِ, وَجَمْعُ الْمُذَكَّرِ السَّالِمِ كَالزَّيْدُوْنَ, فَيُرْفَعُ بِالْوَاوِ, وَيُجَرَّانِ وَيُنْصَبَانِ بِا لْيَاءِ Contoh dari isim mutsanna adalah الزَّيْدَانِ. Kata tersebut marfu’ dengan tanda alif. Sementara itu, contoh dari isim jama’ mudzakar salim adalah الزَّيدُونَ, lafadz tersebut marfu’ dengan huruf waw. Adapun dalam keadaan majrur dan manshub, kata tersebut memiliki tanda i’rab berupa huruf yaa. Pembahasan tentang isim mutsanna ini tidak termasuk dalam kategori isim yang dii’rab dengan i’rab pokok. Akan tetapi, isim mutsanna dii’rab dengan i’rab cabang. Isim mutsanna adalah kata benda yang menunjukkan jumlah dua dengan penambahan huruf tertentu di akhir lafadz mufradnya. Huruf tambahan tersebut dapat dihapus atau dapat juga di’atofkan seperti lafadz mufrad kepada lafadz mufrad lainnya. Contohnya, جَاءَ الطَّالِبَانِ “Telah datang dua siswa.” Dalam kalimat tersebut, kata الطَّالِبَانِ menunjukkan jumlah dua. Kata ini memiliki tambahan berupa huruf alif dan nun di akhir lafadznya. Huruf tambahan tersebut dapat dihapus, sehingga menjadi, جَاءَ الطَّالِبٌ “Telah datang seorang siswa.” Selain itu, kata tersebut juga dapat di’atofkan kepada lafadz lain yang serupa. Contohnya, جَاءَ الطَّالِبٌ وَ جَاءَ الطَّالِبٌ آخَرُ “Telah datang seorang murid dan seorang murid lainnya.” Adapun maksud dari maa dalla ‘ala itsnaini (menunjukkan atas jumlah dua) adalah definisi umum dari isim mutsanna. Namun, definisi ini masih kurang spesifik karena mencakup segala sesuatu yang berjumlah dua. Contohnya, الرَّجُلَيْنِ “Dua orang laki-laki” شَفْعٌ “Genap” اثْنَيْنِ “Dua” اثْنَيْنَتَيْنِ “Dua” كِلَا “Keduanya” كِلْتَا “Keduanya” Kata-kata tersebut menunjukkan jumlah dua. Namun, hanya berdasarkan jumlahnya saja belum cukup untuk menentukan apakah suatu kata termasuk dalam kategori isim mutsanna atau tidak. Maksud dari “bii ziyaadatin fii aakhirihi” (dengan menambahkan huruf pada akhir lafadz tersebut) adalah kriteria utama yang menentukan apakah sebuah lafadz dapat dikategorikan sebagai isim mutsanna. Selain menunjukkan jumlah dua, lafadz tersebut juga harus memiliki huruf tambahan. Jika tidak, maka lafadz tersebut tidak termasuk dalam kategori isim mutsanna. Misalnya, kata شَفْعٌ (genap), meskipun menunjukkan jumlah dua, tetapi tidak memiliki tambahan huruf sehingga tidak termasuk isim mutsanna. Adapun maksud dari shoolih litajridin (bisa dihapus) adalah syarat kedua dari isim mutsanna. Jika suatu lafadz menunjukkan jumlah dua, tetapi huruf tambahannya tidak dapat dihapus, maka lafadz tersebut bukan isim mutsanna. Contohnya adalah kata isnaani dalam kalimat, جَاءَ اثْنَانِ “Telah datang dua.” Pada kata tersebut, huruf alif dan nun tidak dapat dihapus. Contohnya اُثْنٌ Sementara itu, syarat ketiga dari isim mutsanna adalah adanya kemungkinan untuk meng’atofkan lafadz yang semisal kepada lafadz tersebut (atfun mislihi ‘alaihi). Jika suatu lafadz mirip dengan bentuk isim mutsanna, tetapi tidak dapat di’atofkan dengan lafadz yang serupa, maka lafadz tersebut tidak termasuk isim mutsanna. Contohnya adalah القَمَرَيْنِ (bulan dan matahari). Lafadz ini tidak dapat diganti dengan قَمَرٌ قَمَرٌ (bulan dan bulan), karena jika dikembalikan ke bentuk mufrad dan di’atofkan, maknanya akan berubah. Sebaliknya, contoh isim mutsanna yang dapat dikembalikan ke bentuk mufradnya dan di’atofkan adalah, جَاءَ الطَّالِبٌ وَ جَاءَ الطَّالِبٌ آخَرُ “Telah datang seorang murid tersebut dan murid yang lain.” Isim mutsanna dii’rab sebagai marfu’ dengan tanda alif sebagai pengganti dhammah. Contohnya, جَاءَ الطَّالِبَانِ “Telah datang dua orang siswa.” Dalam kalimat ini, kata الطَّالِبَانِ berkedudukan sebagai fa’il marfu’ dengan tanda alif sebagai pengganti dhammah, karena kata tersebut merupakan isim mutsanna. Dalam keadaan manshub, isim mutsanna ditandai dengan huruf yaa sebagai pengganti fathah. Contohnya, رَأَيْتُ الطَّالِبَيْنِ “Aku telah melihat dua orang siswa.” Kata الطَّالِبَيْنِ berfungsi sebagai maf’ul bih manshub dengan tanda yaa sebagai pengganti fathah, karena merupakan isim mutsanna. Dalam keadaan majrur, isim mutsanna juga memiliki tanda i’rab berupa huruf yaa sebagai pengganti kasrah. Contohnya, مَرَرْتُ بِاالطَّالِبَيْنِ “Aku telah melewati dua orang siswa.” Dalam kalimat ini, kata الطَّالِبَيْنِ berstatus sebagai isim majrur dengan tanda yaa sebagai pengganti kasrah. [Bersambung] Kembali ke bagian 16 *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel Muslim.or.id

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 17): Isim Mutsanna

المُثَنّىَ كَالزَّيْدَانِ, فَيُرْفَعُ بِالْأَلِفِ, وَجَمْعُ الْمُذَكَّرِ السَّالِمِ كَالزَّيْدُوْنَ, فَيُرْفَعُ بِالْوَاوِ, وَيُجَرَّانِ وَيُنْصَبَانِ بِا لْيَاءِ Contoh dari isim mutsanna adalah الزَّيْدَانِ. Kata tersebut marfu’ dengan tanda alif. Sementara itu, contoh dari isim jama’ mudzakar salim adalah الزَّيدُونَ, lafadz tersebut marfu’ dengan huruf waw. Adapun dalam keadaan majrur dan manshub, kata tersebut memiliki tanda i’rab berupa huruf yaa. Pembahasan tentang isim mutsanna ini tidak termasuk dalam kategori isim yang dii’rab dengan i’rab pokok. Akan tetapi, isim mutsanna dii’rab dengan i’rab cabang. Isim mutsanna adalah kata benda yang menunjukkan jumlah dua dengan penambahan huruf tertentu di akhir lafadz mufradnya. Huruf tambahan tersebut dapat dihapus atau dapat juga di’atofkan seperti lafadz mufrad kepada lafadz mufrad lainnya. Contohnya, جَاءَ الطَّالِبَانِ “Telah datang dua siswa.” Dalam kalimat tersebut, kata الطَّالِبَانِ menunjukkan jumlah dua. Kata ini memiliki tambahan berupa huruf alif dan nun di akhir lafadznya. Huruf tambahan tersebut dapat dihapus, sehingga menjadi, جَاءَ الطَّالِبٌ “Telah datang seorang siswa.” Selain itu, kata tersebut juga dapat di’atofkan kepada lafadz lain yang serupa. Contohnya, جَاءَ الطَّالِبٌ وَ جَاءَ الطَّالِبٌ آخَرُ “Telah datang seorang murid dan seorang murid lainnya.” Adapun maksud dari maa dalla ‘ala itsnaini (menunjukkan atas jumlah dua) adalah definisi umum dari isim mutsanna. Namun, definisi ini masih kurang spesifik karena mencakup segala sesuatu yang berjumlah dua. Contohnya, الرَّجُلَيْنِ “Dua orang laki-laki” شَفْعٌ “Genap” اثْنَيْنِ “Dua” اثْنَيْنَتَيْنِ “Dua” كِلَا “Keduanya” كِلْتَا “Keduanya” Kata-kata tersebut menunjukkan jumlah dua. Namun, hanya berdasarkan jumlahnya saja belum cukup untuk menentukan apakah suatu kata termasuk dalam kategori isim mutsanna atau tidak. Maksud dari “bii ziyaadatin fii aakhirihi” (dengan menambahkan huruf pada akhir lafadz tersebut) adalah kriteria utama yang menentukan apakah sebuah lafadz dapat dikategorikan sebagai isim mutsanna. Selain menunjukkan jumlah dua, lafadz tersebut juga harus memiliki huruf tambahan. Jika tidak, maka lafadz tersebut tidak termasuk dalam kategori isim mutsanna. Misalnya, kata شَفْعٌ (genap), meskipun menunjukkan jumlah dua, tetapi tidak memiliki tambahan huruf sehingga tidak termasuk isim mutsanna. Adapun maksud dari shoolih litajridin (bisa dihapus) adalah syarat kedua dari isim mutsanna. Jika suatu lafadz menunjukkan jumlah dua, tetapi huruf tambahannya tidak dapat dihapus, maka lafadz tersebut bukan isim mutsanna. Contohnya adalah kata isnaani dalam kalimat, جَاءَ اثْنَانِ “Telah datang dua.” Pada kata tersebut, huruf alif dan nun tidak dapat dihapus. Contohnya اُثْنٌ Sementara itu, syarat ketiga dari isim mutsanna adalah adanya kemungkinan untuk meng’atofkan lafadz yang semisal kepada lafadz tersebut (atfun mislihi ‘alaihi). Jika suatu lafadz mirip dengan bentuk isim mutsanna, tetapi tidak dapat di’atofkan dengan lafadz yang serupa, maka lafadz tersebut tidak termasuk isim mutsanna. Contohnya adalah القَمَرَيْنِ (bulan dan matahari). Lafadz ini tidak dapat diganti dengan قَمَرٌ قَمَرٌ (bulan dan bulan), karena jika dikembalikan ke bentuk mufrad dan di’atofkan, maknanya akan berubah. Sebaliknya, contoh isim mutsanna yang dapat dikembalikan ke bentuk mufradnya dan di’atofkan adalah, جَاءَ الطَّالِبٌ وَ جَاءَ الطَّالِبٌ آخَرُ “Telah datang seorang murid tersebut dan murid yang lain.” Isim mutsanna dii’rab sebagai marfu’ dengan tanda alif sebagai pengganti dhammah. Contohnya, جَاءَ الطَّالِبَانِ “Telah datang dua orang siswa.” Dalam kalimat ini, kata الطَّالِبَانِ berkedudukan sebagai fa’il marfu’ dengan tanda alif sebagai pengganti dhammah, karena kata tersebut merupakan isim mutsanna. Dalam keadaan manshub, isim mutsanna ditandai dengan huruf yaa sebagai pengganti fathah. Contohnya, رَأَيْتُ الطَّالِبَيْنِ “Aku telah melihat dua orang siswa.” Kata الطَّالِبَيْنِ berfungsi sebagai maf’ul bih manshub dengan tanda yaa sebagai pengganti fathah, karena merupakan isim mutsanna. Dalam keadaan majrur, isim mutsanna juga memiliki tanda i’rab berupa huruf yaa sebagai pengganti kasrah. Contohnya, مَرَرْتُ بِاالطَّالِبَيْنِ “Aku telah melewati dua orang siswa.” Dalam kalimat ini, kata الطَّالِبَيْنِ berstatus sebagai isim majrur dengan tanda yaa sebagai pengganti kasrah. [Bersambung] Kembali ke bagian 16 *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel Muslim.or.id
المُثَنّىَ كَالزَّيْدَانِ, فَيُرْفَعُ بِالْأَلِفِ, وَجَمْعُ الْمُذَكَّرِ السَّالِمِ كَالزَّيْدُوْنَ, فَيُرْفَعُ بِالْوَاوِ, وَيُجَرَّانِ وَيُنْصَبَانِ بِا لْيَاءِ Contoh dari isim mutsanna adalah الزَّيْدَانِ. Kata tersebut marfu’ dengan tanda alif. Sementara itu, contoh dari isim jama’ mudzakar salim adalah الزَّيدُونَ, lafadz tersebut marfu’ dengan huruf waw. Adapun dalam keadaan majrur dan manshub, kata tersebut memiliki tanda i’rab berupa huruf yaa. Pembahasan tentang isim mutsanna ini tidak termasuk dalam kategori isim yang dii’rab dengan i’rab pokok. Akan tetapi, isim mutsanna dii’rab dengan i’rab cabang. Isim mutsanna adalah kata benda yang menunjukkan jumlah dua dengan penambahan huruf tertentu di akhir lafadz mufradnya. Huruf tambahan tersebut dapat dihapus atau dapat juga di’atofkan seperti lafadz mufrad kepada lafadz mufrad lainnya. Contohnya, جَاءَ الطَّالِبَانِ “Telah datang dua siswa.” Dalam kalimat tersebut, kata الطَّالِبَانِ menunjukkan jumlah dua. Kata ini memiliki tambahan berupa huruf alif dan nun di akhir lafadznya. Huruf tambahan tersebut dapat dihapus, sehingga menjadi, جَاءَ الطَّالِبٌ “Telah datang seorang siswa.” Selain itu, kata tersebut juga dapat di’atofkan kepada lafadz lain yang serupa. Contohnya, جَاءَ الطَّالِبٌ وَ جَاءَ الطَّالِبٌ آخَرُ “Telah datang seorang murid dan seorang murid lainnya.” Adapun maksud dari maa dalla ‘ala itsnaini (menunjukkan atas jumlah dua) adalah definisi umum dari isim mutsanna. Namun, definisi ini masih kurang spesifik karena mencakup segala sesuatu yang berjumlah dua. Contohnya, الرَّجُلَيْنِ “Dua orang laki-laki” شَفْعٌ “Genap” اثْنَيْنِ “Dua” اثْنَيْنَتَيْنِ “Dua” كِلَا “Keduanya” كِلْتَا “Keduanya” Kata-kata tersebut menunjukkan jumlah dua. Namun, hanya berdasarkan jumlahnya saja belum cukup untuk menentukan apakah suatu kata termasuk dalam kategori isim mutsanna atau tidak. Maksud dari “bii ziyaadatin fii aakhirihi” (dengan menambahkan huruf pada akhir lafadz tersebut) adalah kriteria utama yang menentukan apakah sebuah lafadz dapat dikategorikan sebagai isim mutsanna. Selain menunjukkan jumlah dua, lafadz tersebut juga harus memiliki huruf tambahan. Jika tidak, maka lafadz tersebut tidak termasuk dalam kategori isim mutsanna. Misalnya, kata شَفْعٌ (genap), meskipun menunjukkan jumlah dua, tetapi tidak memiliki tambahan huruf sehingga tidak termasuk isim mutsanna. Adapun maksud dari shoolih litajridin (bisa dihapus) adalah syarat kedua dari isim mutsanna. Jika suatu lafadz menunjukkan jumlah dua, tetapi huruf tambahannya tidak dapat dihapus, maka lafadz tersebut bukan isim mutsanna. Contohnya adalah kata isnaani dalam kalimat, جَاءَ اثْنَانِ “Telah datang dua.” Pada kata tersebut, huruf alif dan nun tidak dapat dihapus. Contohnya اُثْنٌ Sementara itu, syarat ketiga dari isim mutsanna adalah adanya kemungkinan untuk meng’atofkan lafadz yang semisal kepada lafadz tersebut (atfun mislihi ‘alaihi). Jika suatu lafadz mirip dengan bentuk isim mutsanna, tetapi tidak dapat di’atofkan dengan lafadz yang serupa, maka lafadz tersebut tidak termasuk isim mutsanna. Contohnya adalah القَمَرَيْنِ (bulan dan matahari). Lafadz ini tidak dapat diganti dengan قَمَرٌ قَمَرٌ (bulan dan bulan), karena jika dikembalikan ke bentuk mufrad dan di’atofkan, maknanya akan berubah. Sebaliknya, contoh isim mutsanna yang dapat dikembalikan ke bentuk mufradnya dan di’atofkan adalah, جَاءَ الطَّالِبٌ وَ جَاءَ الطَّالِبٌ آخَرُ “Telah datang seorang murid tersebut dan murid yang lain.” Isim mutsanna dii’rab sebagai marfu’ dengan tanda alif sebagai pengganti dhammah. Contohnya, جَاءَ الطَّالِبَانِ “Telah datang dua orang siswa.” Dalam kalimat ini, kata الطَّالِبَانِ berkedudukan sebagai fa’il marfu’ dengan tanda alif sebagai pengganti dhammah, karena kata tersebut merupakan isim mutsanna. Dalam keadaan manshub, isim mutsanna ditandai dengan huruf yaa sebagai pengganti fathah. Contohnya, رَأَيْتُ الطَّالِبَيْنِ “Aku telah melihat dua orang siswa.” Kata الطَّالِبَيْنِ berfungsi sebagai maf’ul bih manshub dengan tanda yaa sebagai pengganti fathah, karena merupakan isim mutsanna. Dalam keadaan majrur, isim mutsanna juga memiliki tanda i’rab berupa huruf yaa sebagai pengganti kasrah. Contohnya, مَرَرْتُ بِاالطَّالِبَيْنِ “Aku telah melewati dua orang siswa.” Dalam kalimat ini, kata الطَّالِبَيْنِ berstatus sebagai isim majrur dengan tanda yaa sebagai pengganti kasrah. [Bersambung] Kembali ke bagian 16 *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel Muslim.or.id


المُثَنّىَ كَالزَّيْدَانِ, فَيُرْفَعُ بِالْأَلِفِ, وَجَمْعُ الْمُذَكَّرِ السَّالِمِ كَالزَّيْدُوْنَ, فَيُرْفَعُ بِالْوَاوِ, وَيُجَرَّانِ وَيُنْصَبَانِ بِا لْيَاءِ Contoh dari isim mutsanna adalah الزَّيْدَانِ. Kata tersebut marfu’ dengan tanda alif. Sementara itu, contoh dari isim jama’ mudzakar salim adalah الزَّيدُونَ, lafadz tersebut marfu’ dengan huruf waw. Adapun dalam keadaan majrur dan manshub, kata tersebut memiliki tanda i’rab berupa huruf yaa. Pembahasan tentang isim mutsanna ini tidak termasuk dalam kategori isim yang dii’rab dengan i’rab pokok. Akan tetapi, isim mutsanna dii’rab dengan i’rab cabang. Isim mutsanna adalah kata benda yang menunjukkan jumlah dua dengan penambahan huruf tertentu di akhir lafadz mufradnya. Huruf tambahan tersebut dapat dihapus atau dapat juga di’atofkan seperti lafadz mufrad kepada lafadz mufrad lainnya. Contohnya, جَاءَ الطَّالِبَانِ “Telah datang dua siswa.” Dalam kalimat tersebut, kata الطَّالِبَانِ menunjukkan jumlah dua. Kata ini memiliki tambahan berupa huruf alif dan nun di akhir lafadznya. Huruf tambahan tersebut dapat dihapus, sehingga menjadi, جَاءَ الطَّالِبٌ “Telah datang seorang siswa.” Selain itu, kata tersebut juga dapat di’atofkan kepada lafadz lain yang serupa. Contohnya, جَاءَ الطَّالِبٌ وَ جَاءَ الطَّالِبٌ آخَرُ “Telah datang seorang murid dan seorang murid lainnya.” Adapun maksud dari maa dalla ‘ala itsnaini (menunjukkan atas jumlah dua) adalah definisi umum dari isim mutsanna. Namun, definisi ini masih kurang spesifik karena mencakup segala sesuatu yang berjumlah dua. Contohnya, الرَّجُلَيْنِ “Dua orang laki-laki” شَفْعٌ “Genap” اثْنَيْنِ “Dua” اثْنَيْنَتَيْنِ “Dua” كِلَا “Keduanya” كِلْتَا “Keduanya” Kata-kata tersebut menunjukkan jumlah dua. Namun, hanya berdasarkan jumlahnya saja belum cukup untuk menentukan apakah suatu kata termasuk dalam kategori isim mutsanna atau tidak. Maksud dari “bii ziyaadatin fii aakhirihi” (dengan menambahkan huruf pada akhir lafadz tersebut) adalah kriteria utama yang menentukan apakah sebuah lafadz dapat dikategorikan sebagai isim mutsanna. Selain menunjukkan jumlah dua, lafadz tersebut juga harus memiliki huruf tambahan. Jika tidak, maka lafadz tersebut tidak termasuk dalam kategori isim mutsanna. Misalnya, kata شَفْعٌ (genap), meskipun menunjukkan jumlah dua, tetapi tidak memiliki tambahan huruf sehingga tidak termasuk isim mutsanna. Adapun maksud dari shoolih litajridin (bisa dihapus) adalah syarat kedua dari isim mutsanna. Jika suatu lafadz menunjukkan jumlah dua, tetapi huruf tambahannya tidak dapat dihapus, maka lafadz tersebut bukan isim mutsanna. Contohnya adalah kata isnaani dalam kalimat, جَاءَ اثْنَانِ “Telah datang dua.” Pada kata tersebut, huruf alif dan nun tidak dapat dihapus. Contohnya اُثْنٌ Sementara itu, syarat ketiga dari isim mutsanna adalah adanya kemungkinan untuk meng’atofkan lafadz yang semisal kepada lafadz tersebut (atfun mislihi ‘alaihi). Jika suatu lafadz mirip dengan bentuk isim mutsanna, tetapi tidak dapat di’atofkan dengan lafadz yang serupa, maka lafadz tersebut tidak termasuk isim mutsanna. Contohnya adalah القَمَرَيْنِ (bulan dan matahari). Lafadz ini tidak dapat diganti dengan قَمَرٌ قَمَرٌ (bulan dan bulan), karena jika dikembalikan ke bentuk mufrad dan di’atofkan, maknanya akan berubah. Sebaliknya, contoh isim mutsanna yang dapat dikembalikan ke bentuk mufradnya dan di’atofkan adalah, جَاءَ الطَّالِبٌ وَ جَاءَ الطَّالِبٌ آخَرُ “Telah datang seorang murid tersebut dan murid yang lain.” Isim mutsanna dii’rab sebagai marfu’ dengan tanda alif sebagai pengganti dhammah. Contohnya, جَاءَ الطَّالِبَانِ “Telah datang dua orang siswa.” Dalam kalimat ini, kata الطَّالِبَانِ berkedudukan sebagai fa’il marfu’ dengan tanda alif sebagai pengganti dhammah, karena kata tersebut merupakan isim mutsanna. Dalam keadaan manshub, isim mutsanna ditandai dengan huruf yaa sebagai pengganti fathah. Contohnya, رَأَيْتُ الطَّالِبَيْنِ “Aku telah melihat dua orang siswa.” Kata الطَّالِبَيْنِ berfungsi sebagai maf’ul bih manshub dengan tanda yaa sebagai pengganti fathah, karena merupakan isim mutsanna. Dalam keadaan majrur, isim mutsanna juga memiliki tanda i’rab berupa huruf yaa sebagai pengganti kasrah. Contohnya, مَرَرْتُ بِاالطَّالِبَيْنِ “Aku telah melewati dua orang siswa.” Dalam kalimat ini, kata الطَّالِبَيْنِ berstatus sebagai isim majrur dengan tanda yaa sebagai pengganti kasrah. [Bersambung] Kembali ke bagian 16 *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel Muslim.or.id

Apa Doa yang Dibaca sebelum Ujian? (Doa Agar Urusan Mudah) -Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Dalam pertanyaan ini, penanya berkata: “Adakah doa tertentu untuk dibaca saat akan ujian?” Ya, dianjurkan untuk mengucapkan doa: ALLAAHUMMA LAA SAHLA ILLAA MAA JA’ALTAHU SAHLAA WA ANTA TAJ-’ALUL HAZNA IDZAA SYI’TA SAHLAA(Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali apa yang Engkau mudahkan Dan Engkau jika berkehendak, mengubah kesulitan itu menjadi mudah). (HR. Ibnu Hibban). Doa ini diriwayatkan dalam hadis shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang muslim dianjurkan untuk membaca doa ini ketika menghadapi urusan yang sulit atau berat. Di antaranya adalah ketika akan menghadapi ujian atau situasi serupa yang menuntut kemudahan dari Allah. Maka dianjurkan baginya untuk mengucapkan doa ini: ALLAAHUMMA LAA SAHLA ILLAA MAA JA’ALTAHU SAHLAA WA ANTA TAJ-’ALUL HAZNA IDZAA SYI’TA SAHLAA(Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali apa yang Engkau mudahkan). (Dan Engkau jika berkehendak, mengubah kesulitan itu menjadi mudah). ==== هَذَا سُؤَالٌ يَقُولُ فِيهِ السَّائِلُ هَلْ هُنَاكَ دُعَاءٌ مُعَيَّنٌ يُقَالُ عِنْدَ الِاخْتِبَارِ؟ نَعَمْ يُشْرَعُ أَنْ يُقَالَ اللَّهُمَّ لَا سَهْلَ إِلَّا مَا جَعَلْتَهُ سَهْلًا وَأَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلًا فَإِنَّهُ قَدْ صَحَّ ذَلِكَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهَذَا يُشْرَعُ أَنْ يَقُولَهُ الْمُسْلِمُ عِنْدَ مُزَاوَلَةِ الْأَعْمَالِ الصَّعْبَةِ أَوِ الشَّاقَّةِ وَمِنْ ذَلِكَ أَنْ يَدْخُلَ الاِخْتِبَارَ وَنَحْوَ ذَلِكَ فَيُشْرَعُ أَنْ يَأْتِيَ بِهَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ لَا سَهْلَ إِلَّا مَا جَعَلْتَهُ سَهْلًا وَأَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلًا

Apa Doa yang Dibaca sebelum Ujian? (Doa Agar Urusan Mudah) -Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Dalam pertanyaan ini, penanya berkata: “Adakah doa tertentu untuk dibaca saat akan ujian?” Ya, dianjurkan untuk mengucapkan doa: ALLAAHUMMA LAA SAHLA ILLAA MAA JA’ALTAHU SAHLAA WA ANTA TAJ-’ALUL HAZNA IDZAA SYI’TA SAHLAA(Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali apa yang Engkau mudahkan Dan Engkau jika berkehendak, mengubah kesulitan itu menjadi mudah). (HR. Ibnu Hibban). Doa ini diriwayatkan dalam hadis shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang muslim dianjurkan untuk membaca doa ini ketika menghadapi urusan yang sulit atau berat. Di antaranya adalah ketika akan menghadapi ujian atau situasi serupa yang menuntut kemudahan dari Allah. Maka dianjurkan baginya untuk mengucapkan doa ini: ALLAAHUMMA LAA SAHLA ILLAA MAA JA’ALTAHU SAHLAA WA ANTA TAJ-’ALUL HAZNA IDZAA SYI’TA SAHLAA(Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali apa yang Engkau mudahkan). (Dan Engkau jika berkehendak, mengubah kesulitan itu menjadi mudah). ==== هَذَا سُؤَالٌ يَقُولُ فِيهِ السَّائِلُ هَلْ هُنَاكَ دُعَاءٌ مُعَيَّنٌ يُقَالُ عِنْدَ الِاخْتِبَارِ؟ نَعَمْ يُشْرَعُ أَنْ يُقَالَ اللَّهُمَّ لَا سَهْلَ إِلَّا مَا جَعَلْتَهُ سَهْلًا وَأَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلًا فَإِنَّهُ قَدْ صَحَّ ذَلِكَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهَذَا يُشْرَعُ أَنْ يَقُولَهُ الْمُسْلِمُ عِنْدَ مُزَاوَلَةِ الْأَعْمَالِ الصَّعْبَةِ أَوِ الشَّاقَّةِ وَمِنْ ذَلِكَ أَنْ يَدْخُلَ الاِخْتِبَارَ وَنَحْوَ ذَلِكَ فَيُشْرَعُ أَنْ يَأْتِيَ بِهَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ لَا سَهْلَ إِلَّا مَا جَعَلْتَهُ سَهْلًا وَأَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلًا
Dalam pertanyaan ini, penanya berkata: “Adakah doa tertentu untuk dibaca saat akan ujian?” Ya, dianjurkan untuk mengucapkan doa: ALLAAHUMMA LAA SAHLA ILLAA MAA JA’ALTAHU SAHLAA WA ANTA TAJ-’ALUL HAZNA IDZAA SYI’TA SAHLAA(Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali apa yang Engkau mudahkan Dan Engkau jika berkehendak, mengubah kesulitan itu menjadi mudah). (HR. Ibnu Hibban). Doa ini diriwayatkan dalam hadis shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang muslim dianjurkan untuk membaca doa ini ketika menghadapi urusan yang sulit atau berat. Di antaranya adalah ketika akan menghadapi ujian atau situasi serupa yang menuntut kemudahan dari Allah. Maka dianjurkan baginya untuk mengucapkan doa ini: ALLAAHUMMA LAA SAHLA ILLAA MAA JA’ALTAHU SAHLAA WA ANTA TAJ-’ALUL HAZNA IDZAA SYI’TA SAHLAA(Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali apa yang Engkau mudahkan). (Dan Engkau jika berkehendak, mengubah kesulitan itu menjadi mudah). ==== هَذَا سُؤَالٌ يَقُولُ فِيهِ السَّائِلُ هَلْ هُنَاكَ دُعَاءٌ مُعَيَّنٌ يُقَالُ عِنْدَ الِاخْتِبَارِ؟ نَعَمْ يُشْرَعُ أَنْ يُقَالَ اللَّهُمَّ لَا سَهْلَ إِلَّا مَا جَعَلْتَهُ سَهْلًا وَأَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلًا فَإِنَّهُ قَدْ صَحَّ ذَلِكَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهَذَا يُشْرَعُ أَنْ يَقُولَهُ الْمُسْلِمُ عِنْدَ مُزَاوَلَةِ الْأَعْمَالِ الصَّعْبَةِ أَوِ الشَّاقَّةِ وَمِنْ ذَلِكَ أَنْ يَدْخُلَ الاِخْتِبَارَ وَنَحْوَ ذَلِكَ فَيُشْرَعُ أَنْ يَأْتِيَ بِهَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ لَا سَهْلَ إِلَّا مَا جَعَلْتَهُ سَهْلًا وَأَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلًا


Dalam pertanyaan ini, penanya berkata: “Adakah doa tertentu untuk dibaca saat akan ujian?” Ya, dianjurkan untuk mengucapkan doa: ALLAAHUMMA LAA SAHLA ILLAA MAA JA’ALTAHU SAHLAA WA ANTA TAJ-’ALUL HAZNA IDZAA SYI’TA SAHLAA(Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali apa yang Engkau mudahkan Dan Engkau jika berkehendak, mengubah kesulitan itu menjadi mudah). (HR. Ibnu Hibban). Doa ini diriwayatkan dalam hadis shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang muslim dianjurkan untuk membaca doa ini ketika menghadapi urusan yang sulit atau berat. Di antaranya adalah ketika akan menghadapi ujian atau situasi serupa yang menuntut kemudahan dari Allah. Maka dianjurkan baginya untuk mengucapkan doa ini: ALLAAHUMMA LAA SAHLA ILLAA MAA JA’ALTAHU SAHLAA WA ANTA TAJ-’ALUL HAZNA IDZAA SYI’TA SAHLAA(Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali apa yang Engkau mudahkan). (Dan Engkau jika berkehendak, mengubah kesulitan itu menjadi mudah). ==== هَذَا سُؤَالٌ يَقُولُ فِيهِ السَّائِلُ هَلْ هُنَاكَ دُعَاءٌ مُعَيَّنٌ يُقَالُ عِنْدَ الِاخْتِبَارِ؟ نَعَمْ يُشْرَعُ أَنْ يُقَالَ اللَّهُمَّ لَا سَهْلَ إِلَّا مَا جَعَلْتَهُ سَهْلًا وَأَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلًا فَإِنَّهُ قَدْ صَحَّ ذَلِكَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهَذَا يُشْرَعُ أَنْ يَقُولَهُ الْمُسْلِمُ عِنْدَ مُزَاوَلَةِ الْأَعْمَالِ الصَّعْبَةِ أَوِ الشَّاقَّةِ وَمِنْ ذَلِكَ أَنْ يَدْخُلَ الاِخْتِبَارَ وَنَحْوَ ذَلِكَ فَيُشْرَعُ أَنْ يَأْتِيَ بِهَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ لَا سَهْلَ إِلَّا مَا جَعَلْتَهُ سَهْلًا وَأَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلًا

Jazirah Arab dalam Sejarah (Bag. 4): Dari Kerajaan Hīrah ke Mekah Sebelum Quraisy

Daftar Isi Toggle Kerajaan Hīrah: Sekutu Persia di perbatasan jazirah ArabDari Kekaisaran Persia ke raja-raja kecilKebangkitan kekaisaran Sasaniyah dan aliansi dengan HīrahAjaran Mazdak dan dampaknya terhadap kerajaan HīrahKonflik Dinasti Lakhmiyah dengan Persia hingga penaklukan IslamMekah sebelum Quraisy: Dinamika kepemimpinan dari Ismā’īl hingga Khuzā’ahMekah di bawah Ismā’īl dan JurhumMekah di bawah Khuzā’ah Pada tiga artikel sebelumnya, kita telah menjelajahi posisi strategis Jazirah Arab, mengenal tiga kelompok besar bangsa Arab, serta menelusuri jejak pemerintahan di Yaman dan Syām. Namun, sejarah kekuasaan di kawasan ini belum berakhir. Masih ada satu kerajaan penting yang belum kita bahas. Selain itu, kita juga akan menelusuri kepemimpinan di kalangan kabilah Arab yang turut membentuk dinamika sosial dan politik saat itu. Selamat menyimak! Kerajaan Hīrah: Sekutu Persia di perbatasan jazirah Arab Dari Kekaisaran Persia ke raja-raja kecil Irak telah lama dikuasai oleh Persia semenjak disatukan oleh Koresh Agung (Cyrus the Great) pada tahun 557-529 SM. Kerajaan Persia terus berkuasa hingga datangnya Alexander Agung pada tahun 326 SM yang berhasil mengalahkan raja Persia saat itu, Darius III dan menceraiberaikan kekuasaannya. Persia terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang diperintah oleh raja-raja kecil yang terus memerintah sampai tahun 230 M. Di masa ini, orang-orang Qahthān bermigrasi dan menetap di beberapa pedesaan Irak. Lalu disusul oleh orang-orang ‘Adnān yang menyebabkan persaingan dengan orang-orang Qahthān. Akhirnya orang-orang ‘Adnān menetap di daerah al-Jazīrah al-Furātiyyah (Mesopotamia Hulu). Kebangkitan kekaisaran Sasaniyah dan aliansi dengan Hīrah Kerajaan Persia kembali menguat di masa Ardashir I, pendiri Kekaisaran Sasaniyah pada tahun 226 M. Ardashir I berhasil menyatukan Persia dan menguasai kabilah Arab yang tinggal di perbatasan kerajaannya. Akibatnya, penduduk Hīrah dan Anbār tunduk pada Persia dan kabilah Qudhā’ah berpindah ke Syām. Kala itu, wilayah Hīrah dikuasai oleh Judzaimah al-Wadhdhah (جذيمة الوضاح). Menyadari bahwa mustahil untuk langsung menaklukkan kabilah Arab secara langsung, akhirnya Ardashir I menjadikan Kerajaan Judzaimah sebagai sekutu. Keuntungan lainnya adalah menjadikan Kerajaan Hīrah sebagai garda terdepan dalam menghadapi bangsa Arab yang berada di bawah kendali Kekaisaran Romawi yang menjadi ancaman Persia. Untuk membantu menghadapi ancaman Romawi, Ardashir I menempatkan satu batalion pasukan Persia di Hīrah. Judzaimah meninggal pada tahun 268 M. Setelah Judzaimah meninggal, kekuasaan Hīrah digantikan oleh ‘Amr bin Adi bin Lafr al-Lakhmi (عمرو بن عدي بن لفر اللخمي) yang menjadi raja pertama dari Bani Lakhm. Pergantian raja ini berlangsung pada masa pemerintahan Shapur I. Setelah itu, raja-raja dari Bani Lakhm bergantian memimpin Hīrah sampai masa pemerintahan Kavad I. Ajaran Mazdak dan dampaknya terhadap kerajaan Hīrah Di masa pemerintahan Kavad I, muncul seorang tokoh bernama Mazdak yang menyebarkan ajaran kehidupan bebas tanpa aturan moral. Kavad I mengikuti ajaran ini bersama dengan banyak rakyatnya. Kavad I mengirim utusan kepada Raja Hīrah saat itu, Mundzir bin Ma’ussama’ (المنذر بن ماء السماء) agar mengikuti ajaran ini. Mundzir menolaknya sehingga Kavad I menggantinya dengan Harits bin Amr bin Hajar al-Kindi (الحارث بن عمرو بن حجر الكندي) yang bersedia menerima ajaran tersebut. Setelah Kavad I, kekuasaan digantikan oleh Khosrow I yang dijuluki Anushirvan. Anushirvan sangat membenci ajaran Mazdak, lalu membunuh Mazdak dan para pengikutnya. Ia juga mengembalikan Mundzir menjadi penguasa Hīrah dan memerintahkan Hārits bin ‘Amr ditangkap, tapi ia lari ke kabilah Kalb sampai meninggal. Konflik Dinasti Lakhmiyah dengan Persia hingga penaklukan Islam Kekuasaan Bani Lakhm terus berlanjut. Pada masa kekuasaan Nu’man bin Mundzir (النعمان بن المنذر), terjadi konflik dengan Khosrow II saat itu lantara fitnah Zaid bin Adi al-‘Abbadi (زيد بن عدي العبادي) yang membuat Khosrow II murka kepada Nu’man. Akhirnya Khosrow II mengirim utusan untuk memanggilnya ke istana. Nu’man diam-diam menitipkan keluarga dan hartanya kepada Hani’ bin Mas’ud (هانئ بن مسعود), seorang tokoh dari Bani Syaibān. Kemudian ia menghadap kepada Khosrow dan Nu’mān ditahan sampai meninggal. Setelahnya, Hīrah digantikan oleh Iyas bin Qabishah ath-Tha-i (إياس بن قبيصة الطائي). Iyās mengutus utusan kepada Hāni’ bin Mas’ūd untuk menyerahkan barang-barang peninggalan Nu’mān. Hāni’ menolak dan mengumumkan perang dengan Persia. Kaisar Persia segera mengerahkan pasukan di bawah komando Iyās. Terjadilah pertempuran yang mengerikan antara Bani Syaibān dengan pasukan Iyās di Dzī Qār. Bani Syaibān memenangkan pertempuran yang menjadi sejarah pertama kalinya bangsa Arab mengalahkan bangsa non-Arab. Pertempuran itu terjadi tidak lama setelah kelahiran Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam di mana beliau lahir delapan bulan setelah pemerintahan Iyās bin Qabishāh di Hīrah. Setelah kekalahan itu, Kaisar Persia mengangkat gubernur Persia untuk memerintah Hīrah menggantikan Iyās. Pada tahun 632 M, kekuasaan kembali dipegang oleh Bani Lakhm dengan raja yang juga bernama Mundzir. Namun, kekuasaannya hanya bertahan selama delapan bulan lantaran kedatangan Khālid bin Walīd bersama pasukan kaum muslimin untuk menaklukkan wilayah tersebut. Dengan berakhirnya pembahasan tentang kerajaan-kerajaan yang berada di sekitar Jazirah Arab, kita beralih pada bentuk kepemimpinan lain yang juga berperan besar dalam sejarah kawasan ini. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, di Jazirah Arab terdapat para pemimpin yang meskipun bukan raja secara formal, tetapi memiliki kekuasaan dan pengaruh yang bahkan bisa melampaui seorang raja. Kita akan memulai pembahasan ini dari Mekah, pusat peradaban yang semakin berkembang setelah dibangunnya Baitullah, Ka’bah. Mekah sebelum Quraisy: Dinamika kepemimpinan dari Ismā’īl hingga Khuzā’ah Mekah di bawah Ismā’īl dan Jurhum Nabi Ismā’īl ‘alaihissalām memegang kepemimpinan di Mekah dan menjadi pengurus Ka’bah sepanjang hidupnya. Beliau wafat pada usia 137 tahun. Kemudian kepemimpinan diteruskan anak keturunannya, Nābat, kemudian Qaidār. Pendapat lain mengatakan bahwa urutan kepemimpinannya adalah kebalikannya. Setelah itu, kepemimpinan Mekah dipegang oleh kakek mereka, Mudhādh bin ‘Amr al-Jurhumi sehingga kekuasaan berpindah ke kabilah Jurhum. Keturunan Ismā’īl tetap memiliki kedudukan yang dihormati karena merupakan pendiri Ka’bah, meski tidak memiliki wewenang dalam pemerintahan. Ketika terjadi serangan Nebukadnezar II kepada bangsa Arab pada tahun 587 SM, keturunan ‘Adnān berpencar ke Yaman. Ada seorang Nabi yang membawa Ma’ad -yang merupakan salah satu anak ‘Adnān- ke Syam. Setelah situasi perang mereda, Ma’ad kembali ke Mekah dan hanya mendapati Jursyum bin Jilhamah (جرشم بن جلهمة) dari kabilah Jurhum. Ma’ad kemudian menikahi putrinya yang kelak lahir anak yang bernama Nizar (نزار). Seiring waktu, kabilah Jurhum mulai bertindak sewenang-wenang. Mereka menzalimi para pengunjung Mekah dan merampas harta benda yang diperuntukkan Ka’bah. Tindakan ini menimbulkan kemarahan kabilah ‘Adnān.  Melihat ketidakpuasan ini, kabilah Khuzā’ah yang saat itu tinggal di Mar azh-Zhahrān memanfaatkan kesempatan untuk mengajak Bani Bakr dari kabilah ‘Adnān agar bersama-sama mengusir Jurhum. Jurhum akhirnya berhasil diusir dan terpaksa meninggalkan Mekah menuju Yaman. Mekah di bawah Khuzā’ah Setelah pengusiran tersebut, kabilah Khuzā’ah mengambil alih kekuasaan di Mekah tanpa melibatkan Bani Bakr. Mereka menguasai Mekah sepenuhnya, sementara Bani ‘Adnān menyebar ke Najd, pinggiran Irak, Bahrain, dan pinggiran Mekah. Meskipun Khuzā’ah memegang kendali utama, beberapa tugas penting tetap dipercayakan kepada kabilah Mudhar. Mereka bertanggung jawab mengarahkan jemaah haji dari Arafah ke Muzdalifah dan dari Muzdalifah ke Mina, serta menetapkan kebijakan penundaan bulan haram. Kekuasaan kabilah Khuzā’ah di Mekah berlangsung selama 300 tahun, hingga akhirnya muncul seorang tokoh bernama Qushay bin Kilāb. Kedatangan Qushay ke Mekah membawa banyak perubahan besar dalam kepemimpinan di kota suci ini. Bagaimana peran Qushay dalam mengatur ulang pemerintahan di Mekah? Insyaallah, semua itu akan dibahas dalam artikel selanjutnya. [Bersambung] Kembali ke bagian 3 *** Penulis: Fajar Rianto Artikel Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari Kitab Ar-Rahīq Al-Makhtūm karya Syekh Shafiyurrahmān Al-Mubārakfūri dengan beberapa tambahan informasi.

Jazirah Arab dalam Sejarah (Bag. 4): Dari Kerajaan Hīrah ke Mekah Sebelum Quraisy

Daftar Isi Toggle Kerajaan Hīrah: Sekutu Persia di perbatasan jazirah ArabDari Kekaisaran Persia ke raja-raja kecilKebangkitan kekaisaran Sasaniyah dan aliansi dengan HīrahAjaran Mazdak dan dampaknya terhadap kerajaan HīrahKonflik Dinasti Lakhmiyah dengan Persia hingga penaklukan IslamMekah sebelum Quraisy: Dinamika kepemimpinan dari Ismā’īl hingga Khuzā’ahMekah di bawah Ismā’īl dan JurhumMekah di bawah Khuzā’ah Pada tiga artikel sebelumnya, kita telah menjelajahi posisi strategis Jazirah Arab, mengenal tiga kelompok besar bangsa Arab, serta menelusuri jejak pemerintahan di Yaman dan Syām. Namun, sejarah kekuasaan di kawasan ini belum berakhir. Masih ada satu kerajaan penting yang belum kita bahas. Selain itu, kita juga akan menelusuri kepemimpinan di kalangan kabilah Arab yang turut membentuk dinamika sosial dan politik saat itu. Selamat menyimak! Kerajaan Hīrah: Sekutu Persia di perbatasan jazirah Arab Dari Kekaisaran Persia ke raja-raja kecil Irak telah lama dikuasai oleh Persia semenjak disatukan oleh Koresh Agung (Cyrus the Great) pada tahun 557-529 SM. Kerajaan Persia terus berkuasa hingga datangnya Alexander Agung pada tahun 326 SM yang berhasil mengalahkan raja Persia saat itu, Darius III dan menceraiberaikan kekuasaannya. Persia terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang diperintah oleh raja-raja kecil yang terus memerintah sampai tahun 230 M. Di masa ini, orang-orang Qahthān bermigrasi dan menetap di beberapa pedesaan Irak. Lalu disusul oleh orang-orang ‘Adnān yang menyebabkan persaingan dengan orang-orang Qahthān. Akhirnya orang-orang ‘Adnān menetap di daerah al-Jazīrah al-Furātiyyah (Mesopotamia Hulu). Kebangkitan kekaisaran Sasaniyah dan aliansi dengan Hīrah Kerajaan Persia kembali menguat di masa Ardashir I, pendiri Kekaisaran Sasaniyah pada tahun 226 M. Ardashir I berhasil menyatukan Persia dan menguasai kabilah Arab yang tinggal di perbatasan kerajaannya. Akibatnya, penduduk Hīrah dan Anbār tunduk pada Persia dan kabilah Qudhā’ah berpindah ke Syām. Kala itu, wilayah Hīrah dikuasai oleh Judzaimah al-Wadhdhah (جذيمة الوضاح). Menyadari bahwa mustahil untuk langsung menaklukkan kabilah Arab secara langsung, akhirnya Ardashir I menjadikan Kerajaan Judzaimah sebagai sekutu. Keuntungan lainnya adalah menjadikan Kerajaan Hīrah sebagai garda terdepan dalam menghadapi bangsa Arab yang berada di bawah kendali Kekaisaran Romawi yang menjadi ancaman Persia. Untuk membantu menghadapi ancaman Romawi, Ardashir I menempatkan satu batalion pasukan Persia di Hīrah. Judzaimah meninggal pada tahun 268 M. Setelah Judzaimah meninggal, kekuasaan Hīrah digantikan oleh ‘Amr bin Adi bin Lafr al-Lakhmi (عمرو بن عدي بن لفر اللخمي) yang menjadi raja pertama dari Bani Lakhm. Pergantian raja ini berlangsung pada masa pemerintahan Shapur I. Setelah itu, raja-raja dari Bani Lakhm bergantian memimpin Hīrah sampai masa pemerintahan Kavad I. Ajaran Mazdak dan dampaknya terhadap kerajaan Hīrah Di masa pemerintahan Kavad I, muncul seorang tokoh bernama Mazdak yang menyebarkan ajaran kehidupan bebas tanpa aturan moral. Kavad I mengikuti ajaran ini bersama dengan banyak rakyatnya. Kavad I mengirim utusan kepada Raja Hīrah saat itu, Mundzir bin Ma’ussama’ (المنذر بن ماء السماء) agar mengikuti ajaran ini. Mundzir menolaknya sehingga Kavad I menggantinya dengan Harits bin Amr bin Hajar al-Kindi (الحارث بن عمرو بن حجر الكندي) yang bersedia menerima ajaran tersebut. Setelah Kavad I, kekuasaan digantikan oleh Khosrow I yang dijuluki Anushirvan. Anushirvan sangat membenci ajaran Mazdak, lalu membunuh Mazdak dan para pengikutnya. Ia juga mengembalikan Mundzir menjadi penguasa Hīrah dan memerintahkan Hārits bin ‘Amr ditangkap, tapi ia lari ke kabilah Kalb sampai meninggal. Konflik Dinasti Lakhmiyah dengan Persia hingga penaklukan Islam Kekuasaan Bani Lakhm terus berlanjut. Pada masa kekuasaan Nu’man bin Mundzir (النعمان بن المنذر), terjadi konflik dengan Khosrow II saat itu lantara fitnah Zaid bin Adi al-‘Abbadi (زيد بن عدي العبادي) yang membuat Khosrow II murka kepada Nu’man. Akhirnya Khosrow II mengirim utusan untuk memanggilnya ke istana. Nu’man diam-diam menitipkan keluarga dan hartanya kepada Hani’ bin Mas’ud (هانئ بن مسعود), seorang tokoh dari Bani Syaibān. Kemudian ia menghadap kepada Khosrow dan Nu’mān ditahan sampai meninggal. Setelahnya, Hīrah digantikan oleh Iyas bin Qabishah ath-Tha-i (إياس بن قبيصة الطائي). Iyās mengutus utusan kepada Hāni’ bin Mas’ūd untuk menyerahkan barang-barang peninggalan Nu’mān. Hāni’ menolak dan mengumumkan perang dengan Persia. Kaisar Persia segera mengerahkan pasukan di bawah komando Iyās. Terjadilah pertempuran yang mengerikan antara Bani Syaibān dengan pasukan Iyās di Dzī Qār. Bani Syaibān memenangkan pertempuran yang menjadi sejarah pertama kalinya bangsa Arab mengalahkan bangsa non-Arab. Pertempuran itu terjadi tidak lama setelah kelahiran Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam di mana beliau lahir delapan bulan setelah pemerintahan Iyās bin Qabishāh di Hīrah. Setelah kekalahan itu, Kaisar Persia mengangkat gubernur Persia untuk memerintah Hīrah menggantikan Iyās. Pada tahun 632 M, kekuasaan kembali dipegang oleh Bani Lakhm dengan raja yang juga bernama Mundzir. Namun, kekuasaannya hanya bertahan selama delapan bulan lantaran kedatangan Khālid bin Walīd bersama pasukan kaum muslimin untuk menaklukkan wilayah tersebut. Dengan berakhirnya pembahasan tentang kerajaan-kerajaan yang berada di sekitar Jazirah Arab, kita beralih pada bentuk kepemimpinan lain yang juga berperan besar dalam sejarah kawasan ini. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, di Jazirah Arab terdapat para pemimpin yang meskipun bukan raja secara formal, tetapi memiliki kekuasaan dan pengaruh yang bahkan bisa melampaui seorang raja. Kita akan memulai pembahasan ini dari Mekah, pusat peradaban yang semakin berkembang setelah dibangunnya Baitullah, Ka’bah. Mekah sebelum Quraisy: Dinamika kepemimpinan dari Ismā’īl hingga Khuzā’ah Mekah di bawah Ismā’īl dan Jurhum Nabi Ismā’īl ‘alaihissalām memegang kepemimpinan di Mekah dan menjadi pengurus Ka’bah sepanjang hidupnya. Beliau wafat pada usia 137 tahun. Kemudian kepemimpinan diteruskan anak keturunannya, Nābat, kemudian Qaidār. Pendapat lain mengatakan bahwa urutan kepemimpinannya adalah kebalikannya. Setelah itu, kepemimpinan Mekah dipegang oleh kakek mereka, Mudhādh bin ‘Amr al-Jurhumi sehingga kekuasaan berpindah ke kabilah Jurhum. Keturunan Ismā’īl tetap memiliki kedudukan yang dihormati karena merupakan pendiri Ka’bah, meski tidak memiliki wewenang dalam pemerintahan. Ketika terjadi serangan Nebukadnezar II kepada bangsa Arab pada tahun 587 SM, keturunan ‘Adnān berpencar ke Yaman. Ada seorang Nabi yang membawa Ma’ad -yang merupakan salah satu anak ‘Adnān- ke Syam. Setelah situasi perang mereda, Ma’ad kembali ke Mekah dan hanya mendapati Jursyum bin Jilhamah (جرشم بن جلهمة) dari kabilah Jurhum. Ma’ad kemudian menikahi putrinya yang kelak lahir anak yang bernama Nizar (نزار). Seiring waktu, kabilah Jurhum mulai bertindak sewenang-wenang. Mereka menzalimi para pengunjung Mekah dan merampas harta benda yang diperuntukkan Ka’bah. Tindakan ini menimbulkan kemarahan kabilah ‘Adnān.  Melihat ketidakpuasan ini, kabilah Khuzā’ah yang saat itu tinggal di Mar azh-Zhahrān memanfaatkan kesempatan untuk mengajak Bani Bakr dari kabilah ‘Adnān agar bersama-sama mengusir Jurhum. Jurhum akhirnya berhasil diusir dan terpaksa meninggalkan Mekah menuju Yaman. Mekah di bawah Khuzā’ah Setelah pengusiran tersebut, kabilah Khuzā’ah mengambil alih kekuasaan di Mekah tanpa melibatkan Bani Bakr. Mereka menguasai Mekah sepenuhnya, sementara Bani ‘Adnān menyebar ke Najd, pinggiran Irak, Bahrain, dan pinggiran Mekah. Meskipun Khuzā’ah memegang kendali utama, beberapa tugas penting tetap dipercayakan kepada kabilah Mudhar. Mereka bertanggung jawab mengarahkan jemaah haji dari Arafah ke Muzdalifah dan dari Muzdalifah ke Mina, serta menetapkan kebijakan penundaan bulan haram. Kekuasaan kabilah Khuzā’ah di Mekah berlangsung selama 300 tahun, hingga akhirnya muncul seorang tokoh bernama Qushay bin Kilāb. Kedatangan Qushay ke Mekah membawa banyak perubahan besar dalam kepemimpinan di kota suci ini. Bagaimana peran Qushay dalam mengatur ulang pemerintahan di Mekah? Insyaallah, semua itu akan dibahas dalam artikel selanjutnya. [Bersambung] Kembali ke bagian 3 *** Penulis: Fajar Rianto Artikel Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari Kitab Ar-Rahīq Al-Makhtūm karya Syekh Shafiyurrahmān Al-Mubārakfūri dengan beberapa tambahan informasi.
Daftar Isi Toggle Kerajaan Hīrah: Sekutu Persia di perbatasan jazirah ArabDari Kekaisaran Persia ke raja-raja kecilKebangkitan kekaisaran Sasaniyah dan aliansi dengan HīrahAjaran Mazdak dan dampaknya terhadap kerajaan HīrahKonflik Dinasti Lakhmiyah dengan Persia hingga penaklukan IslamMekah sebelum Quraisy: Dinamika kepemimpinan dari Ismā’īl hingga Khuzā’ahMekah di bawah Ismā’īl dan JurhumMekah di bawah Khuzā’ah Pada tiga artikel sebelumnya, kita telah menjelajahi posisi strategis Jazirah Arab, mengenal tiga kelompok besar bangsa Arab, serta menelusuri jejak pemerintahan di Yaman dan Syām. Namun, sejarah kekuasaan di kawasan ini belum berakhir. Masih ada satu kerajaan penting yang belum kita bahas. Selain itu, kita juga akan menelusuri kepemimpinan di kalangan kabilah Arab yang turut membentuk dinamika sosial dan politik saat itu. Selamat menyimak! Kerajaan Hīrah: Sekutu Persia di perbatasan jazirah Arab Dari Kekaisaran Persia ke raja-raja kecil Irak telah lama dikuasai oleh Persia semenjak disatukan oleh Koresh Agung (Cyrus the Great) pada tahun 557-529 SM. Kerajaan Persia terus berkuasa hingga datangnya Alexander Agung pada tahun 326 SM yang berhasil mengalahkan raja Persia saat itu, Darius III dan menceraiberaikan kekuasaannya. Persia terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang diperintah oleh raja-raja kecil yang terus memerintah sampai tahun 230 M. Di masa ini, orang-orang Qahthān bermigrasi dan menetap di beberapa pedesaan Irak. Lalu disusul oleh orang-orang ‘Adnān yang menyebabkan persaingan dengan orang-orang Qahthān. Akhirnya orang-orang ‘Adnān menetap di daerah al-Jazīrah al-Furātiyyah (Mesopotamia Hulu). Kebangkitan kekaisaran Sasaniyah dan aliansi dengan Hīrah Kerajaan Persia kembali menguat di masa Ardashir I, pendiri Kekaisaran Sasaniyah pada tahun 226 M. Ardashir I berhasil menyatukan Persia dan menguasai kabilah Arab yang tinggal di perbatasan kerajaannya. Akibatnya, penduduk Hīrah dan Anbār tunduk pada Persia dan kabilah Qudhā’ah berpindah ke Syām. Kala itu, wilayah Hīrah dikuasai oleh Judzaimah al-Wadhdhah (جذيمة الوضاح). Menyadari bahwa mustahil untuk langsung menaklukkan kabilah Arab secara langsung, akhirnya Ardashir I menjadikan Kerajaan Judzaimah sebagai sekutu. Keuntungan lainnya adalah menjadikan Kerajaan Hīrah sebagai garda terdepan dalam menghadapi bangsa Arab yang berada di bawah kendali Kekaisaran Romawi yang menjadi ancaman Persia. Untuk membantu menghadapi ancaman Romawi, Ardashir I menempatkan satu batalion pasukan Persia di Hīrah. Judzaimah meninggal pada tahun 268 M. Setelah Judzaimah meninggal, kekuasaan Hīrah digantikan oleh ‘Amr bin Adi bin Lafr al-Lakhmi (عمرو بن عدي بن لفر اللخمي) yang menjadi raja pertama dari Bani Lakhm. Pergantian raja ini berlangsung pada masa pemerintahan Shapur I. Setelah itu, raja-raja dari Bani Lakhm bergantian memimpin Hīrah sampai masa pemerintahan Kavad I. Ajaran Mazdak dan dampaknya terhadap kerajaan Hīrah Di masa pemerintahan Kavad I, muncul seorang tokoh bernama Mazdak yang menyebarkan ajaran kehidupan bebas tanpa aturan moral. Kavad I mengikuti ajaran ini bersama dengan banyak rakyatnya. Kavad I mengirim utusan kepada Raja Hīrah saat itu, Mundzir bin Ma’ussama’ (المنذر بن ماء السماء) agar mengikuti ajaran ini. Mundzir menolaknya sehingga Kavad I menggantinya dengan Harits bin Amr bin Hajar al-Kindi (الحارث بن عمرو بن حجر الكندي) yang bersedia menerima ajaran tersebut. Setelah Kavad I, kekuasaan digantikan oleh Khosrow I yang dijuluki Anushirvan. Anushirvan sangat membenci ajaran Mazdak, lalu membunuh Mazdak dan para pengikutnya. Ia juga mengembalikan Mundzir menjadi penguasa Hīrah dan memerintahkan Hārits bin ‘Amr ditangkap, tapi ia lari ke kabilah Kalb sampai meninggal. Konflik Dinasti Lakhmiyah dengan Persia hingga penaklukan Islam Kekuasaan Bani Lakhm terus berlanjut. Pada masa kekuasaan Nu’man bin Mundzir (النعمان بن المنذر), terjadi konflik dengan Khosrow II saat itu lantara fitnah Zaid bin Adi al-‘Abbadi (زيد بن عدي العبادي) yang membuat Khosrow II murka kepada Nu’man. Akhirnya Khosrow II mengirim utusan untuk memanggilnya ke istana. Nu’man diam-diam menitipkan keluarga dan hartanya kepada Hani’ bin Mas’ud (هانئ بن مسعود), seorang tokoh dari Bani Syaibān. Kemudian ia menghadap kepada Khosrow dan Nu’mān ditahan sampai meninggal. Setelahnya, Hīrah digantikan oleh Iyas bin Qabishah ath-Tha-i (إياس بن قبيصة الطائي). Iyās mengutus utusan kepada Hāni’ bin Mas’ūd untuk menyerahkan barang-barang peninggalan Nu’mān. Hāni’ menolak dan mengumumkan perang dengan Persia. Kaisar Persia segera mengerahkan pasukan di bawah komando Iyās. Terjadilah pertempuran yang mengerikan antara Bani Syaibān dengan pasukan Iyās di Dzī Qār. Bani Syaibān memenangkan pertempuran yang menjadi sejarah pertama kalinya bangsa Arab mengalahkan bangsa non-Arab. Pertempuran itu terjadi tidak lama setelah kelahiran Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam di mana beliau lahir delapan bulan setelah pemerintahan Iyās bin Qabishāh di Hīrah. Setelah kekalahan itu, Kaisar Persia mengangkat gubernur Persia untuk memerintah Hīrah menggantikan Iyās. Pada tahun 632 M, kekuasaan kembali dipegang oleh Bani Lakhm dengan raja yang juga bernama Mundzir. Namun, kekuasaannya hanya bertahan selama delapan bulan lantaran kedatangan Khālid bin Walīd bersama pasukan kaum muslimin untuk menaklukkan wilayah tersebut. Dengan berakhirnya pembahasan tentang kerajaan-kerajaan yang berada di sekitar Jazirah Arab, kita beralih pada bentuk kepemimpinan lain yang juga berperan besar dalam sejarah kawasan ini. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, di Jazirah Arab terdapat para pemimpin yang meskipun bukan raja secara formal, tetapi memiliki kekuasaan dan pengaruh yang bahkan bisa melampaui seorang raja. Kita akan memulai pembahasan ini dari Mekah, pusat peradaban yang semakin berkembang setelah dibangunnya Baitullah, Ka’bah. Mekah sebelum Quraisy: Dinamika kepemimpinan dari Ismā’īl hingga Khuzā’ah Mekah di bawah Ismā’īl dan Jurhum Nabi Ismā’īl ‘alaihissalām memegang kepemimpinan di Mekah dan menjadi pengurus Ka’bah sepanjang hidupnya. Beliau wafat pada usia 137 tahun. Kemudian kepemimpinan diteruskan anak keturunannya, Nābat, kemudian Qaidār. Pendapat lain mengatakan bahwa urutan kepemimpinannya adalah kebalikannya. Setelah itu, kepemimpinan Mekah dipegang oleh kakek mereka, Mudhādh bin ‘Amr al-Jurhumi sehingga kekuasaan berpindah ke kabilah Jurhum. Keturunan Ismā’īl tetap memiliki kedudukan yang dihormati karena merupakan pendiri Ka’bah, meski tidak memiliki wewenang dalam pemerintahan. Ketika terjadi serangan Nebukadnezar II kepada bangsa Arab pada tahun 587 SM, keturunan ‘Adnān berpencar ke Yaman. Ada seorang Nabi yang membawa Ma’ad -yang merupakan salah satu anak ‘Adnān- ke Syam. Setelah situasi perang mereda, Ma’ad kembali ke Mekah dan hanya mendapati Jursyum bin Jilhamah (جرشم بن جلهمة) dari kabilah Jurhum. Ma’ad kemudian menikahi putrinya yang kelak lahir anak yang bernama Nizar (نزار). Seiring waktu, kabilah Jurhum mulai bertindak sewenang-wenang. Mereka menzalimi para pengunjung Mekah dan merampas harta benda yang diperuntukkan Ka’bah. Tindakan ini menimbulkan kemarahan kabilah ‘Adnān.  Melihat ketidakpuasan ini, kabilah Khuzā’ah yang saat itu tinggal di Mar azh-Zhahrān memanfaatkan kesempatan untuk mengajak Bani Bakr dari kabilah ‘Adnān agar bersama-sama mengusir Jurhum. Jurhum akhirnya berhasil diusir dan terpaksa meninggalkan Mekah menuju Yaman. Mekah di bawah Khuzā’ah Setelah pengusiran tersebut, kabilah Khuzā’ah mengambil alih kekuasaan di Mekah tanpa melibatkan Bani Bakr. Mereka menguasai Mekah sepenuhnya, sementara Bani ‘Adnān menyebar ke Najd, pinggiran Irak, Bahrain, dan pinggiran Mekah. Meskipun Khuzā’ah memegang kendali utama, beberapa tugas penting tetap dipercayakan kepada kabilah Mudhar. Mereka bertanggung jawab mengarahkan jemaah haji dari Arafah ke Muzdalifah dan dari Muzdalifah ke Mina, serta menetapkan kebijakan penundaan bulan haram. Kekuasaan kabilah Khuzā’ah di Mekah berlangsung selama 300 tahun, hingga akhirnya muncul seorang tokoh bernama Qushay bin Kilāb. Kedatangan Qushay ke Mekah membawa banyak perubahan besar dalam kepemimpinan di kota suci ini. Bagaimana peran Qushay dalam mengatur ulang pemerintahan di Mekah? Insyaallah, semua itu akan dibahas dalam artikel selanjutnya. [Bersambung] Kembali ke bagian 3 *** Penulis: Fajar Rianto Artikel Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari Kitab Ar-Rahīq Al-Makhtūm karya Syekh Shafiyurrahmān Al-Mubārakfūri dengan beberapa tambahan informasi.


Daftar Isi Toggle Kerajaan Hīrah: Sekutu Persia di perbatasan jazirah ArabDari Kekaisaran Persia ke raja-raja kecilKebangkitan kekaisaran Sasaniyah dan aliansi dengan HīrahAjaran Mazdak dan dampaknya terhadap kerajaan HīrahKonflik Dinasti Lakhmiyah dengan Persia hingga penaklukan IslamMekah sebelum Quraisy: Dinamika kepemimpinan dari Ismā’īl hingga Khuzā’ahMekah di bawah Ismā’īl dan JurhumMekah di bawah Khuzā’ah Pada tiga artikel sebelumnya, kita telah menjelajahi posisi strategis Jazirah Arab, mengenal tiga kelompok besar bangsa Arab, serta menelusuri jejak pemerintahan di Yaman dan Syām. Namun, sejarah kekuasaan di kawasan ini belum berakhir. Masih ada satu kerajaan penting yang belum kita bahas. Selain itu, kita juga akan menelusuri kepemimpinan di kalangan kabilah Arab yang turut membentuk dinamika sosial dan politik saat itu. Selamat menyimak! Kerajaan Hīrah: Sekutu Persia di perbatasan jazirah Arab Dari Kekaisaran Persia ke raja-raja kecil Irak telah lama dikuasai oleh Persia semenjak disatukan oleh Koresh Agung (Cyrus the Great) pada tahun 557-529 SM. Kerajaan Persia terus berkuasa hingga datangnya Alexander Agung pada tahun 326 SM yang berhasil mengalahkan raja Persia saat itu, Darius III dan menceraiberaikan kekuasaannya. Persia terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang diperintah oleh raja-raja kecil yang terus memerintah sampai tahun 230 M. Di masa ini, orang-orang Qahthān bermigrasi dan menetap di beberapa pedesaan Irak. Lalu disusul oleh orang-orang ‘Adnān yang menyebabkan persaingan dengan orang-orang Qahthān. Akhirnya orang-orang ‘Adnān menetap di daerah al-Jazīrah al-Furātiyyah (Mesopotamia Hulu). Kebangkitan kekaisaran Sasaniyah dan aliansi dengan Hīrah Kerajaan Persia kembali menguat di masa Ardashir I, pendiri Kekaisaran Sasaniyah pada tahun 226 M. Ardashir I berhasil menyatukan Persia dan menguasai kabilah Arab yang tinggal di perbatasan kerajaannya. Akibatnya, penduduk Hīrah dan Anbār tunduk pada Persia dan kabilah Qudhā’ah berpindah ke Syām. Kala itu, wilayah Hīrah dikuasai oleh Judzaimah al-Wadhdhah (جذيمة الوضاح). Menyadari bahwa mustahil untuk langsung menaklukkan kabilah Arab secara langsung, akhirnya Ardashir I menjadikan Kerajaan Judzaimah sebagai sekutu. Keuntungan lainnya adalah menjadikan Kerajaan Hīrah sebagai garda terdepan dalam menghadapi bangsa Arab yang berada di bawah kendali Kekaisaran Romawi yang menjadi ancaman Persia. Untuk membantu menghadapi ancaman Romawi, Ardashir I menempatkan satu batalion pasukan Persia di Hīrah. Judzaimah meninggal pada tahun 268 M. Setelah Judzaimah meninggal, kekuasaan Hīrah digantikan oleh ‘Amr bin Adi bin Lafr al-Lakhmi (عمرو بن عدي بن لفر اللخمي) yang menjadi raja pertama dari Bani Lakhm. Pergantian raja ini berlangsung pada masa pemerintahan Shapur I. Setelah itu, raja-raja dari Bani Lakhm bergantian memimpin Hīrah sampai masa pemerintahan Kavad I. Ajaran Mazdak dan dampaknya terhadap kerajaan Hīrah Di masa pemerintahan Kavad I, muncul seorang tokoh bernama Mazdak yang menyebarkan ajaran kehidupan bebas tanpa aturan moral. Kavad I mengikuti ajaran ini bersama dengan banyak rakyatnya. Kavad I mengirim utusan kepada Raja Hīrah saat itu, Mundzir bin Ma’ussama’ (المنذر بن ماء السماء) agar mengikuti ajaran ini. Mundzir menolaknya sehingga Kavad I menggantinya dengan Harits bin Amr bin Hajar al-Kindi (الحارث بن عمرو بن حجر الكندي) yang bersedia menerima ajaran tersebut. Setelah Kavad I, kekuasaan digantikan oleh Khosrow I yang dijuluki Anushirvan. Anushirvan sangat membenci ajaran Mazdak, lalu membunuh Mazdak dan para pengikutnya. Ia juga mengembalikan Mundzir menjadi penguasa Hīrah dan memerintahkan Hārits bin ‘Amr ditangkap, tapi ia lari ke kabilah Kalb sampai meninggal. Konflik Dinasti Lakhmiyah dengan Persia hingga penaklukan Islam Kekuasaan Bani Lakhm terus berlanjut. Pada masa kekuasaan Nu’man bin Mundzir (النعمان بن المنذر), terjadi konflik dengan Khosrow II saat itu lantara fitnah Zaid bin Adi al-‘Abbadi (زيد بن عدي العبادي) yang membuat Khosrow II murka kepada Nu’man. Akhirnya Khosrow II mengirim utusan untuk memanggilnya ke istana. Nu’man diam-diam menitipkan keluarga dan hartanya kepada Hani’ bin Mas’ud (هانئ بن مسعود), seorang tokoh dari Bani Syaibān. Kemudian ia menghadap kepada Khosrow dan Nu’mān ditahan sampai meninggal. Setelahnya, Hīrah digantikan oleh Iyas bin Qabishah ath-Tha-i (إياس بن قبيصة الطائي). Iyās mengutus utusan kepada Hāni’ bin Mas’ūd untuk menyerahkan barang-barang peninggalan Nu’mān. Hāni’ menolak dan mengumumkan perang dengan Persia. Kaisar Persia segera mengerahkan pasukan di bawah komando Iyās. Terjadilah pertempuran yang mengerikan antara Bani Syaibān dengan pasukan Iyās di Dzī Qār. Bani Syaibān memenangkan pertempuran yang menjadi sejarah pertama kalinya bangsa Arab mengalahkan bangsa non-Arab. Pertempuran itu terjadi tidak lama setelah kelahiran Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam di mana beliau lahir delapan bulan setelah pemerintahan Iyās bin Qabishāh di Hīrah. Setelah kekalahan itu, Kaisar Persia mengangkat gubernur Persia untuk memerintah Hīrah menggantikan Iyās. Pada tahun 632 M, kekuasaan kembali dipegang oleh Bani Lakhm dengan raja yang juga bernama Mundzir. Namun, kekuasaannya hanya bertahan selama delapan bulan lantaran kedatangan Khālid bin Walīd bersama pasukan kaum muslimin untuk menaklukkan wilayah tersebut. Dengan berakhirnya pembahasan tentang kerajaan-kerajaan yang berada di sekitar Jazirah Arab, kita beralih pada bentuk kepemimpinan lain yang juga berperan besar dalam sejarah kawasan ini. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, di Jazirah Arab terdapat para pemimpin yang meskipun bukan raja secara formal, tetapi memiliki kekuasaan dan pengaruh yang bahkan bisa melampaui seorang raja. Kita akan memulai pembahasan ini dari Mekah, pusat peradaban yang semakin berkembang setelah dibangunnya Baitullah, Ka’bah. Mekah sebelum Quraisy: Dinamika kepemimpinan dari Ismā’īl hingga Khuzā’ah Mekah di bawah Ismā’īl dan Jurhum Nabi Ismā’īl ‘alaihissalām memegang kepemimpinan di Mekah dan menjadi pengurus Ka’bah sepanjang hidupnya. Beliau wafat pada usia 137 tahun. Kemudian kepemimpinan diteruskan anak keturunannya, Nābat, kemudian Qaidār. Pendapat lain mengatakan bahwa urutan kepemimpinannya adalah kebalikannya. Setelah itu, kepemimpinan Mekah dipegang oleh kakek mereka, Mudhādh bin ‘Amr al-Jurhumi sehingga kekuasaan berpindah ke kabilah Jurhum. Keturunan Ismā’īl tetap memiliki kedudukan yang dihormati karena merupakan pendiri Ka’bah, meski tidak memiliki wewenang dalam pemerintahan. Ketika terjadi serangan Nebukadnezar II kepada bangsa Arab pada tahun 587 SM, keturunan ‘Adnān berpencar ke Yaman. Ada seorang Nabi yang membawa Ma’ad -yang merupakan salah satu anak ‘Adnān- ke Syam. Setelah situasi perang mereda, Ma’ad kembali ke Mekah dan hanya mendapati Jursyum bin Jilhamah (جرشم بن جلهمة) dari kabilah Jurhum. Ma’ad kemudian menikahi putrinya yang kelak lahir anak yang bernama Nizar (نزار). Seiring waktu, kabilah Jurhum mulai bertindak sewenang-wenang. Mereka menzalimi para pengunjung Mekah dan merampas harta benda yang diperuntukkan Ka’bah. Tindakan ini menimbulkan kemarahan kabilah ‘Adnān.  Melihat ketidakpuasan ini, kabilah Khuzā’ah yang saat itu tinggal di Mar azh-Zhahrān memanfaatkan kesempatan untuk mengajak Bani Bakr dari kabilah ‘Adnān agar bersama-sama mengusir Jurhum. Jurhum akhirnya berhasil diusir dan terpaksa meninggalkan Mekah menuju Yaman. Mekah di bawah Khuzā’ah Setelah pengusiran tersebut, kabilah Khuzā’ah mengambil alih kekuasaan di Mekah tanpa melibatkan Bani Bakr. Mereka menguasai Mekah sepenuhnya, sementara Bani ‘Adnān menyebar ke Najd, pinggiran Irak, Bahrain, dan pinggiran Mekah. Meskipun Khuzā’ah memegang kendali utama, beberapa tugas penting tetap dipercayakan kepada kabilah Mudhar. Mereka bertanggung jawab mengarahkan jemaah haji dari Arafah ke Muzdalifah dan dari Muzdalifah ke Mina, serta menetapkan kebijakan penundaan bulan haram. Kekuasaan kabilah Khuzā’ah di Mekah berlangsung selama 300 tahun, hingga akhirnya muncul seorang tokoh bernama Qushay bin Kilāb. Kedatangan Qushay ke Mekah membawa banyak perubahan besar dalam kepemimpinan di kota suci ini. Bagaimana peran Qushay dalam mengatur ulang pemerintahan di Mekah? Insyaallah, semua itu akan dibahas dalam artikel selanjutnya. [Bersambung] Kembali ke bagian 3 *** Penulis: Fajar Rianto Artikel Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari Kitab Ar-Rahīq Al-Makhtūm karya Syekh Shafiyurrahmān Al-Mubārakfūri dengan beberapa tambahan informasi.

3 Karunia Besar: Pendengaran, Penglihatan, dan Hati dalam Pandangan Islam

Pernahkah kita memperhatikan bahwa dalam Al-Qur’an, Allah sering menyebut tiga hal ini secara berurutan: pendengaran, penglihatan, dan hati?   Daftar Isi tutup 1. 1. Urutan yang Sesuai dengan Fitrah Manusia 2. 2. Cara Manusia Menerima Ilmu 3. 3. Alat yang Akan Dihisab 4. 4. Hati adalah Pusat Keimanan 5. Penutup Misalnya dalam Surah An-Nahl ayat 78, Allah berfirman, وَٱللَّهُ أَخْرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْـًٔا وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمْعَ وَٱلْأَبْصَٰرَ وَٱلْأَفْـِٔدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberikanmu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 78) Syaikh As-Sa’di rahimahullah mengatakan dalam kitab tafsirnya, خَصَّ هٰذِهِ ٱلْأَعْضَاءَ ٱلثَّلَاثَةَ لِشَرَفِهَا وَفَضْلِهَا، وَلِأَنَّهَا مِفْتَاحٌ لِكُلِّ عِلْمٍ؛ فَلَا يَصِلُ لِلْعَبْدِ عِلْمٌ إِلَّا مِنْ أَحَدِ هٰذِهِ ٱلْأَبْوَابِ ٱلثَّلَاثَةِ. “Allah menyebutkan secara khusus tiga anggota tubuh ini (pendengaran, penglihatan, dan hati) karena kemuliaan dan keutamaannya, serta karena ketiganya adalah kunci bagi setiap ilmu. Tidaklah ilmu bisa sampai kepada seorang hamba kecuali melalui salah satu dari tiga pintu ini.” (As-Sa’di, 2012, hlm. 467) Ibn Qayyim al-Jawziyyah (1433 H) menyatakan bahwa “kebahagiaan manusia adalah dengan baiknya tiga hal (yaitu pendengaran, penglihatan, dan hati). Kesengsaraan manusia adalah karena rusaknya tiga hal tersebut” (vol. 1, p. 354). Beliau juga mengatakan, “Keyakinan itu ada tiga tingkatan: (1) as-sam‘u (pendengaran), (2) al-‘ainu (penglihatan, mata), (3) hati” (Ibn Qayyim al-Jawziyyah, 1433 H, vol. 1, p. 352). Adapun kenikmatan ahli surga, menurut beliau, diraih dengan dua hal utama: “(1) melihat Allah, dan (2) mendengarkan kalamullah” (Ibn Qayyim al-Jawziyyah, 1433 H, vol. 1, p. 352). Tentu bukan tanpa alasan Allah menyebutkan urutan ini berulang kali. Ada hikmah besar di baliknya. Mari kita bahas satu per satu.   1. Urutan yang Sesuai dengan Fitrah Manusia Pendengaran disebut lebih dulu karena memang itulah yang pertama kali berfungsi dalam tubuh manusia. Bahkan sejak bayi masih di dalam kandungan, ia sudah bisa mendengar suara ibunya. Setelah lahir, barulah ia mulai melihat, lalu seiring waktu, memahami dan merasakan sesuatu dengan hati dan akalnya. Ilmu pengetahuan modern juga mendukung hal ini. Pendengaran aktif lebih awal, disusul penglihatan, dan terakhir, fungsi akal dan perasaan (hati) berkembang saat anak mulai berpikir.   2. Cara Manusia Menerima Ilmu Urutan ini juga menunjukkan bagaimana manusia menyerap ilmu: Pendengaran: Kita pertama-tama mendengar nasihat, bacaan, atau pelajaran. Penglihatan: Kemudian kita melihat dan mengamati hal-hal di sekitar kita. Hati: Lalu hati mengolah dan memahami apa yang kita dengar dan lihat. Hati inilah yang membuat kita bisa membedakan benar dan salah, lalu mengambil keputusan. 3. Alat yang Akan Dihisab Pendengaran, penglihatan, dan hati bukan sekadar anugerah, tetapi juga amanah. Semuanya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah, sebagaimana dalam ayat, وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًا “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36) Apa yang kita dengar, lihat, dan pikirkan akan ditanya satu per satu di akhirat kelak. Di dalam Al-Quran Tadabbur wa ‘Amal (hlm. 285) disebutkan, “Pendengaran, penglihatan, dan hati adalah karunia besar dari Allah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Sering kali kita tidak menyadari betapa berharganya nikmat ini, kecuali setelah kehilangannya. Maka selama masih diberi kesempatan, gunakanlah seluruhnya dalam ketaatan kepada-Nya.”   4. Hati adalah Pusat Keimanan Meskipun disebut terakhir, hati bukan berarti kurang penting. Justru sebaliknya, hati adalah pusat iman. Jika hati rusak, semua akan rusak. Ada orang yang punya mata dan telinga, tapi tetap tidak mau menerima kebenaran. Itu karena hatinya tertutup. Allah menyebut mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat, dalam Surah Al-A’raf ayat 179. وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ ٱلْجِنِّ وَٱلْإِنسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَآ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ كَٱلْأَنْعَٰمِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْغَٰفِلُونَ “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf: 179) Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُۥ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى ٱلسَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaaf: 37) Allah menyebut ayat-ayat-Nya (tanda kebesaran-Nya) melalui apa yang dibaca, didengar, dan dilihat, semua itu hanya bermanfaat pada orang yang punya hati, karena siapa saja yang tidak memiliki hati yang memahami penjelasan dan peringatan dari Allah, maka apa pun tanda kebesaran yang melintas di hadapannya tidak akan membawa guna, meski seluruhnya. Dalam hal ini, hati terbagi menjadi tiga jenis. hati yang selamat, sehat, dan bisa menerima. menghadirkan dan menyatukan hati, serta mencegahnya agar tidak berlarian dan berserakan. menggunakan pendengaran dan fokus untuk ingat. Ketiga hal ini disebutkan dalam ayat di atas. Ibnu ‘Athiyah berkata, “Hati yang dimaksud di sini mengungkapkan fungsi akal, sebab akal tempatnya di hati. Artinya, bagi orang yang hati sadar maka dia dapat memetik manfaat dengannya.” Baca juga: Lebih dari 100 Keutamaan Orang Berilmu (Bagian 02)   Penutup Penyebutan pendengaran, penglihatan, dan hati dalam Al-Qur’an bukanlah kebetulan. Di dalamnya ada pelajaran besar: Sesuai dengan perkembangan alami manusia. Menunjukkan urutan cara manusia memahami ilmu. Tiga hal ini adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan. Hati adalah pusat keimanan dan penentu baik-buruknya seseorang. Maka, mari kita jaga telinga kita dari mendengar yang sia-sia, jaga mata kita dari melihat yang haram, dan rawat hati kita agar selalu bersih dengan dzikir dan ilmu. Semoga kita termasuk orang-orang yang bersyukur, sebagaimana tujuan Allah menciptakan ketiga anugerah ini.   Referensi: As-Sa’di, A. b. N. (2012). Tafsir As-Sa’di (Taysir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir al-Kalam al-Mannan). Damaskus: Muassasah Ar-Risalah. Ibn Qayyim al-Jawziyyah. (1433 H). Miftah dar as-sa‘adah wa mansyur wilayah ahli al-‘ilm wa al-idarah (Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali al-Halabi al-Atsari, Takhrij). Riyadh: Dar Ibnul Qayyim & Dar Ibn ‘Affan. Markaz al-Minhaj li al-Isyraf wa al-Tadrib wa al-Tarbawi. (1442 H). Al-Qur’an tadabbur wa ‘amal (hlm. 285).   – 24 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsamanah pendengaran fungsi hati menurut islam hati dalam islam hikmah urutan indra karunia penglihatan pendengaran dalam alquran penglihatan dalam alquran

3 Karunia Besar: Pendengaran, Penglihatan, dan Hati dalam Pandangan Islam

Pernahkah kita memperhatikan bahwa dalam Al-Qur’an, Allah sering menyebut tiga hal ini secara berurutan: pendengaran, penglihatan, dan hati?   Daftar Isi tutup 1. 1. Urutan yang Sesuai dengan Fitrah Manusia 2. 2. Cara Manusia Menerima Ilmu 3. 3. Alat yang Akan Dihisab 4. 4. Hati adalah Pusat Keimanan 5. Penutup Misalnya dalam Surah An-Nahl ayat 78, Allah berfirman, وَٱللَّهُ أَخْرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْـًٔا وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمْعَ وَٱلْأَبْصَٰرَ وَٱلْأَفْـِٔدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberikanmu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 78) Syaikh As-Sa’di rahimahullah mengatakan dalam kitab tafsirnya, خَصَّ هٰذِهِ ٱلْأَعْضَاءَ ٱلثَّلَاثَةَ لِشَرَفِهَا وَفَضْلِهَا، وَلِأَنَّهَا مِفْتَاحٌ لِكُلِّ عِلْمٍ؛ فَلَا يَصِلُ لِلْعَبْدِ عِلْمٌ إِلَّا مِنْ أَحَدِ هٰذِهِ ٱلْأَبْوَابِ ٱلثَّلَاثَةِ. “Allah menyebutkan secara khusus tiga anggota tubuh ini (pendengaran, penglihatan, dan hati) karena kemuliaan dan keutamaannya, serta karena ketiganya adalah kunci bagi setiap ilmu. Tidaklah ilmu bisa sampai kepada seorang hamba kecuali melalui salah satu dari tiga pintu ini.” (As-Sa’di, 2012, hlm. 467) Ibn Qayyim al-Jawziyyah (1433 H) menyatakan bahwa “kebahagiaan manusia adalah dengan baiknya tiga hal (yaitu pendengaran, penglihatan, dan hati). Kesengsaraan manusia adalah karena rusaknya tiga hal tersebut” (vol. 1, p. 354). Beliau juga mengatakan, “Keyakinan itu ada tiga tingkatan: (1) as-sam‘u (pendengaran), (2) al-‘ainu (penglihatan, mata), (3) hati” (Ibn Qayyim al-Jawziyyah, 1433 H, vol. 1, p. 352). Adapun kenikmatan ahli surga, menurut beliau, diraih dengan dua hal utama: “(1) melihat Allah, dan (2) mendengarkan kalamullah” (Ibn Qayyim al-Jawziyyah, 1433 H, vol. 1, p. 352). Tentu bukan tanpa alasan Allah menyebutkan urutan ini berulang kali. Ada hikmah besar di baliknya. Mari kita bahas satu per satu.   1. Urutan yang Sesuai dengan Fitrah Manusia Pendengaran disebut lebih dulu karena memang itulah yang pertama kali berfungsi dalam tubuh manusia. Bahkan sejak bayi masih di dalam kandungan, ia sudah bisa mendengar suara ibunya. Setelah lahir, barulah ia mulai melihat, lalu seiring waktu, memahami dan merasakan sesuatu dengan hati dan akalnya. Ilmu pengetahuan modern juga mendukung hal ini. Pendengaran aktif lebih awal, disusul penglihatan, dan terakhir, fungsi akal dan perasaan (hati) berkembang saat anak mulai berpikir.   2. Cara Manusia Menerima Ilmu Urutan ini juga menunjukkan bagaimana manusia menyerap ilmu: Pendengaran: Kita pertama-tama mendengar nasihat, bacaan, atau pelajaran. Penglihatan: Kemudian kita melihat dan mengamati hal-hal di sekitar kita. Hati: Lalu hati mengolah dan memahami apa yang kita dengar dan lihat. Hati inilah yang membuat kita bisa membedakan benar dan salah, lalu mengambil keputusan. 3. Alat yang Akan Dihisab Pendengaran, penglihatan, dan hati bukan sekadar anugerah, tetapi juga amanah. Semuanya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah, sebagaimana dalam ayat, وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًا “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36) Apa yang kita dengar, lihat, dan pikirkan akan ditanya satu per satu di akhirat kelak. Di dalam Al-Quran Tadabbur wa ‘Amal (hlm. 285) disebutkan, “Pendengaran, penglihatan, dan hati adalah karunia besar dari Allah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Sering kali kita tidak menyadari betapa berharganya nikmat ini, kecuali setelah kehilangannya. Maka selama masih diberi kesempatan, gunakanlah seluruhnya dalam ketaatan kepada-Nya.”   4. Hati adalah Pusat Keimanan Meskipun disebut terakhir, hati bukan berarti kurang penting. Justru sebaliknya, hati adalah pusat iman. Jika hati rusak, semua akan rusak. Ada orang yang punya mata dan telinga, tapi tetap tidak mau menerima kebenaran. Itu karena hatinya tertutup. Allah menyebut mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat, dalam Surah Al-A’raf ayat 179. وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ ٱلْجِنِّ وَٱلْإِنسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَآ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ كَٱلْأَنْعَٰمِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْغَٰفِلُونَ “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf: 179) Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُۥ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى ٱلسَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaaf: 37) Allah menyebut ayat-ayat-Nya (tanda kebesaran-Nya) melalui apa yang dibaca, didengar, dan dilihat, semua itu hanya bermanfaat pada orang yang punya hati, karena siapa saja yang tidak memiliki hati yang memahami penjelasan dan peringatan dari Allah, maka apa pun tanda kebesaran yang melintas di hadapannya tidak akan membawa guna, meski seluruhnya. Dalam hal ini, hati terbagi menjadi tiga jenis. hati yang selamat, sehat, dan bisa menerima. menghadirkan dan menyatukan hati, serta mencegahnya agar tidak berlarian dan berserakan. menggunakan pendengaran dan fokus untuk ingat. Ketiga hal ini disebutkan dalam ayat di atas. Ibnu ‘Athiyah berkata, “Hati yang dimaksud di sini mengungkapkan fungsi akal, sebab akal tempatnya di hati. Artinya, bagi orang yang hati sadar maka dia dapat memetik manfaat dengannya.” Baca juga: Lebih dari 100 Keutamaan Orang Berilmu (Bagian 02)   Penutup Penyebutan pendengaran, penglihatan, dan hati dalam Al-Qur’an bukanlah kebetulan. Di dalamnya ada pelajaran besar: Sesuai dengan perkembangan alami manusia. Menunjukkan urutan cara manusia memahami ilmu. Tiga hal ini adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan. Hati adalah pusat keimanan dan penentu baik-buruknya seseorang. Maka, mari kita jaga telinga kita dari mendengar yang sia-sia, jaga mata kita dari melihat yang haram, dan rawat hati kita agar selalu bersih dengan dzikir dan ilmu. Semoga kita termasuk orang-orang yang bersyukur, sebagaimana tujuan Allah menciptakan ketiga anugerah ini.   Referensi: As-Sa’di, A. b. N. (2012). Tafsir As-Sa’di (Taysir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir al-Kalam al-Mannan). Damaskus: Muassasah Ar-Risalah. Ibn Qayyim al-Jawziyyah. (1433 H). Miftah dar as-sa‘adah wa mansyur wilayah ahli al-‘ilm wa al-idarah (Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali al-Halabi al-Atsari, Takhrij). Riyadh: Dar Ibnul Qayyim & Dar Ibn ‘Affan. Markaz al-Minhaj li al-Isyraf wa al-Tadrib wa al-Tarbawi. (1442 H). Al-Qur’an tadabbur wa ‘amal (hlm. 285).   – 24 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsamanah pendengaran fungsi hati menurut islam hati dalam islam hikmah urutan indra karunia penglihatan pendengaran dalam alquran penglihatan dalam alquran
Pernahkah kita memperhatikan bahwa dalam Al-Qur’an, Allah sering menyebut tiga hal ini secara berurutan: pendengaran, penglihatan, dan hati?   Daftar Isi tutup 1. 1. Urutan yang Sesuai dengan Fitrah Manusia 2. 2. Cara Manusia Menerima Ilmu 3. 3. Alat yang Akan Dihisab 4. 4. Hati adalah Pusat Keimanan 5. Penutup Misalnya dalam Surah An-Nahl ayat 78, Allah berfirman, وَٱللَّهُ أَخْرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْـًٔا وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمْعَ وَٱلْأَبْصَٰرَ وَٱلْأَفْـِٔدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberikanmu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 78) Syaikh As-Sa’di rahimahullah mengatakan dalam kitab tafsirnya, خَصَّ هٰذِهِ ٱلْأَعْضَاءَ ٱلثَّلَاثَةَ لِشَرَفِهَا وَفَضْلِهَا، وَلِأَنَّهَا مِفْتَاحٌ لِكُلِّ عِلْمٍ؛ فَلَا يَصِلُ لِلْعَبْدِ عِلْمٌ إِلَّا مِنْ أَحَدِ هٰذِهِ ٱلْأَبْوَابِ ٱلثَّلَاثَةِ. “Allah menyebutkan secara khusus tiga anggota tubuh ini (pendengaran, penglihatan, dan hati) karena kemuliaan dan keutamaannya, serta karena ketiganya adalah kunci bagi setiap ilmu. Tidaklah ilmu bisa sampai kepada seorang hamba kecuali melalui salah satu dari tiga pintu ini.” (As-Sa’di, 2012, hlm. 467) Ibn Qayyim al-Jawziyyah (1433 H) menyatakan bahwa “kebahagiaan manusia adalah dengan baiknya tiga hal (yaitu pendengaran, penglihatan, dan hati). Kesengsaraan manusia adalah karena rusaknya tiga hal tersebut” (vol. 1, p. 354). Beliau juga mengatakan, “Keyakinan itu ada tiga tingkatan: (1) as-sam‘u (pendengaran), (2) al-‘ainu (penglihatan, mata), (3) hati” (Ibn Qayyim al-Jawziyyah, 1433 H, vol. 1, p. 352). Adapun kenikmatan ahli surga, menurut beliau, diraih dengan dua hal utama: “(1) melihat Allah, dan (2) mendengarkan kalamullah” (Ibn Qayyim al-Jawziyyah, 1433 H, vol. 1, p. 352). Tentu bukan tanpa alasan Allah menyebutkan urutan ini berulang kali. Ada hikmah besar di baliknya. Mari kita bahas satu per satu.   1. Urutan yang Sesuai dengan Fitrah Manusia Pendengaran disebut lebih dulu karena memang itulah yang pertama kali berfungsi dalam tubuh manusia. Bahkan sejak bayi masih di dalam kandungan, ia sudah bisa mendengar suara ibunya. Setelah lahir, barulah ia mulai melihat, lalu seiring waktu, memahami dan merasakan sesuatu dengan hati dan akalnya. Ilmu pengetahuan modern juga mendukung hal ini. Pendengaran aktif lebih awal, disusul penglihatan, dan terakhir, fungsi akal dan perasaan (hati) berkembang saat anak mulai berpikir.   2. Cara Manusia Menerima Ilmu Urutan ini juga menunjukkan bagaimana manusia menyerap ilmu: Pendengaran: Kita pertama-tama mendengar nasihat, bacaan, atau pelajaran. Penglihatan: Kemudian kita melihat dan mengamati hal-hal di sekitar kita. Hati: Lalu hati mengolah dan memahami apa yang kita dengar dan lihat. Hati inilah yang membuat kita bisa membedakan benar dan salah, lalu mengambil keputusan. 3. Alat yang Akan Dihisab Pendengaran, penglihatan, dan hati bukan sekadar anugerah, tetapi juga amanah. Semuanya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah, sebagaimana dalam ayat, وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًا “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36) Apa yang kita dengar, lihat, dan pikirkan akan ditanya satu per satu di akhirat kelak. Di dalam Al-Quran Tadabbur wa ‘Amal (hlm. 285) disebutkan, “Pendengaran, penglihatan, dan hati adalah karunia besar dari Allah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Sering kali kita tidak menyadari betapa berharganya nikmat ini, kecuali setelah kehilangannya. Maka selama masih diberi kesempatan, gunakanlah seluruhnya dalam ketaatan kepada-Nya.”   4. Hati adalah Pusat Keimanan Meskipun disebut terakhir, hati bukan berarti kurang penting. Justru sebaliknya, hati adalah pusat iman. Jika hati rusak, semua akan rusak. Ada orang yang punya mata dan telinga, tapi tetap tidak mau menerima kebenaran. Itu karena hatinya tertutup. Allah menyebut mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat, dalam Surah Al-A’raf ayat 179. وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ ٱلْجِنِّ وَٱلْإِنسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَآ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ كَٱلْأَنْعَٰمِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْغَٰفِلُونَ “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf: 179) Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُۥ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى ٱلسَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaaf: 37) Allah menyebut ayat-ayat-Nya (tanda kebesaran-Nya) melalui apa yang dibaca, didengar, dan dilihat, semua itu hanya bermanfaat pada orang yang punya hati, karena siapa saja yang tidak memiliki hati yang memahami penjelasan dan peringatan dari Allah, maka apa pun tanda kebesaran yang melintas di hadapannya tidak akan membawa guna, meski seluruhnya. Dalam hal ini, hati terbagi menjadi tiga jenis. hati yang selamat, sehat, dan bisa menerima. menghadirkan dan menyatukan hati, serta mencegahnya agar tidak berlarian dan berserakan. menggunakan pendengaran dan fokus untuk ingat. Ketiga hal ini disebutkan dalam ayat di atas. Ibnu ‘Athiyah berkata, “Hati yang dimaksud di sini mengungkapkan fungsi akal, sebab akal tempatnya di hati. Artinya, bagi orang yang hati sadar maka dia dapat memetik manfaat dengannya.” Baca juga: Lebih dari 100 Keutamaan Orang Berilmu (Bagian 02)   Penutup Penyebutan pendengaran, penglihatan, dan hati dalam Al-Qur’an bukanlah kebetulan. Di dalamnya ada pelajaran besar: Sesuai dengan perkembangan alami manusia. Menunjukkan urutan cara manusia memahami ilmu. Tiga hal ini adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan. Hati adalah pusat keimanan dan penentu baik-buruknya seseorang. Maka, mari kita jaga telinga kita dari mendengar yang sia-sia, jaga mata kita dari melihat yang haram, dan rawat hati kita agar selalu bersih dengan dzikir dan ilmu. Semoga kita termasuk orang-orang yang bersyukur, sebagaimana tujuan Allah menciptakan ketiga anugerah ini.   Referensi: As-Sa’di, A. b. N. (2012). Tafsir As-Sa’di (Taysir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir al-Kalam al-Mannan). Damaskus: Muassasah Ar-Risalah. Ibn Qayyim al-Jawziyyah. (1433 H). Miftah dar as-sa‘adah wa mansyur wilayah ahli al-‘ilm wa al-idarah (Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali al-Halabi al-Atsari, Takhrij). Riyadh: Dar Ibnul Qayyim & Dar Ibn ‘Affan. Markaz al-Minhaj li al-Isyraf wa al-Tadrib wa al-Tarbawi. (1442 H). Al-Qur’an tadabbur wa ‘amal (hlm. 285).   – 24 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsamanah pendengaran fungsi hati menurut islam hati dalam islam hikmah urutan indra karunia penglihatan pendengaran dalam alquran penglihatan dalam alquran


Pernahkah kita memperhatikan bahwa dalam Al-Qur’an, Allah sering menyebut tiga hal ini secara berurutan: pendengaran, penglihatan, dan hati?   Daftar Isi tutup 1. 1. Urutan yang Sesuai dengan Fitrah Manusia 2. 2. Cara Manusia Menerima Ilmu 3. 3. Alat yang Akan Dihisab 4. 4. Hati adalah Pusat Keimanan 5. Penutup Misalnya dalam Surah An-Nahl ayat 78, Allah berfirman, وَٱللَّهُ أَخْرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْـًٔا وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمْعَ وَٱلْأَبْصَٰرَ وَٱلْأَفْـِٔدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberikanmu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 78) Syaikh As-Sa’di rahimahullah mengatakan dalam kitab tafsirnya, خَصَّ هٰذِهِ ٱلْأَعْضَاءَ ٱلثَّلَاثَةَ لِشَرَفِهَا وَفَضْلِهَا، وَلِأَنَّهَا مِفْتَاحٌ لِكُلِّ عِلْمٍ؛ فَلَا يَصِلُ لِلْعَبْدِ عِلْمٌ إِلَّا مِنْ أَحَدِ هٰذِهِ ٱلْأَبْوَابِ ٱلثَّلَاثَةِ. “Allah menyebutkan secara khusus tiga anggota tubuh ini (pendengaran, penglihatan, dan hati) karena kemuliaan dan keutamaannya, serta karena ketiganya adalah kunci bagi setiap ilmu. Tidaklah ilmu bisa sampai kepada seorang hamba kecuali melalui salah satu dari tiga pintu ini.” (As-Sa’di, 2012, hlm. 467) Ibn Qayyim al-Jawziyyah (1433 H) menyatakan bahwa “kebahagiaan manusia adalah dengan baiknya tiga hal (yaitu pendengaran, penglihatan, dan hati). Kesengsaraan manusia adalah karena rusaknya tiga hal tersebut” (vol. 1, p. 354). Beliau juga mengatakan, “Keyakinan itu ada tiga tingkatan: (1) as-sam‘u (pendengaran), (2) al-‘ainu (penglihatan, mata), (3) hati” (Ibn Qayyim al-Jawziyyah, 1433 H, vol. 1, p. 352). Adapun kenikmatan ahli surga, menurut beliau, diraih dengan dua hal utama: “(1) melihat Allah, dan (2) mendengarkan kalamullah” (Ibn Qayyim al-Jawziyyah, 1433 H, vol. 1, p. 352). Tentu bukan tanpa alasan Allah menyebutkan urutan ini berulang kali. Ada hikmah besar di baliknya. Mari kita bahas satu per satu.   1. Urutan yang Sesuai dengan Fitrah Manusia Pendengaran disebut lebih dulu karena memang itulah yang pertama kali berfungsi dalam tubuh manusia. Bahkan sejak bayi masih di dalam kandungan, ia sudah bisa mendengar suara ibunya. Setelah lahir, barulah ia mulai melihat, lalu seiring waktu, memahami dan merasakan sesuatu dengan hati dan akalnya. Ilmu pengetahuan modern juga mendukung hal ini. Pendengaran aktif lebih awal, disusul penglihatan, dan terakhir, fungsi akal dan perasaan (hati) berkembang saat anak mulai berpikir.   2. Cara Manusia Menerima Ilmu Urutan ini juga menunjukkan bagaimana manusia menyerap ilmu: Pendengaran: Kita pertama-tama mendengar nasihat, bacaan, atau pelajaran. Penglihatan: Kemudian kita melihat dan mengamati hal-hal di sekitar kita. Hati: Lalu hati mengolah dan memahami apa yang kita dengar dan lihat. Hati inilah yang membuat kita bisa membedakan benar dan salah, lalu mengambil keputusan. 3. Alat yang Akan Dihisab Pendengaran, penglihatan, dan hati bukan sekadar anugerah, tetapi juga amanah. Semuanya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah, sebagaimana dalam ayat, وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًا “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36) Apa yang kita dengar, lihat, dan pikirkan akan ditanya satu per satu di akhirat kelak. Di dalam Al-Quran Tadabbur wa ‘Amal (hlm. 285) disebutkan, “Pendengaran, penglihatan, dan hati adalah karunia besar dari Allah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Sering kali kita tidak menyadari betapa berharganya nikmat ini, kecuali setelah kehilangannya. Maka selama masih diberi kesempatan, gunakanlah seluruhnya dalam ketaatan kepada-Nya.”   4. Hati adalah Pusat Keimanan Meskipun disebut terakhir, hati bukan berarti kurang penting. Justru sebaliknya, hati adalah pusat iman. Jika hati rusak, semua akan rusak. Ada orang yang punya mata dan telinga, tapi tetap tidak mau menerima kebenaran. Itu karena hatinya tertutup. Allah menyebut mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat, dalam Surah Al-A’raf ayat 179. وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ ٱلْجِنِّ وَٱلْإِنسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَآ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ كَٱلْأَنْعَٰمِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْغَٰفِلُونَ “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf: 179) Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُۥ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى ٱلسَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaaf: 37) Allah menyebut ayat-ayat-Nya (tanda kebesaran-Nya) melalui apa yang dibaca, didengar, dan dilihat, semua itu hanya bermanfaat pada orang yang punya hati, karena siapa saja yang tidak memiliki hati yang memahami penjelasan dan peringatan dari Allah, maka apa pun tanda kebesaran yang melintas di hadapannya tidak akan membawa guna, meski seluruhnya. Dalam hal ini, hati terbagi menjadi tiga jenis. hati yang selamat, sehat, dan bisa menerima. menghadirkan dan menyatukan hati, serta mencegahnya agar tidak berlarian dan berserakan. menggunakan pendengaran dan fokus untuk ingat. Ketiga hal ini disebutkan dalam ayat di atas. Ibnu ‘Athiyah berkata, “Hati yang dimaksud di sini mengungkapkan fungsi akal, sebab akal tempatnya di hati. Artinya, bagi orang yang hati sadar maka dia dapat memetik manfaat dengannya.” Baca juga: Lebih dari 100 Keutamaan Orang Berilmu (Bagian 02)   Penutup Penyebutan pendengaran, penglihatan, dan hati dalam Al-Qur’an bukanlah kebetulan. Di dalamnya ada pelajaran besar: Sesuai dengan perkembangan alami manusia. Menunjukkan urutan cara manusia memahami ilmu. Tiga hal ini adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan. Hati adalah pusat keimanan dan penentu baik-buruknya seseorang. Maka, mari kita jaga telinga kita dari mendengar yang sia-sia, jaga mata kita dari melihat yang haram, dan rawat hati kita agar selalu bersih dengan dzikir dan ilmu. Semoga kita termasuk orang-orang yang bersyukur, sebagaimana tujuan Allah menciptakan ketiga anugerah ini.   Referensi: As-Sa’di, A. b. N. (2012). Tafsir As-Sa’di (Taysir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir al-Kalam al-Mannan). Damaskus: Muassasah Ar-Risalah. Ibn Qayyim al-Jawziyyah. (1433 H). Miftah dar as-sa‘adah wa mansyur wilayah ahli al-‘ilm wa al-idarah (Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali al-Halabi al-Atsari, Takhrij). Riyadh: Dar Ibnul Qayyim & Dar Ibn ‘Affan. Markaz al-Minhaj li al-Isyraf wa al-Tadrib wa al-Tarbawi. (1442 H). Al-Qur’an tadabbur wa ‘amal (hlm. 285).   – 24 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsamanah pendengaran fungsi hati menurut islam hati dalam islam hikmah urutan indra karunia penglihatan pendengaran dalam alquran penglihatan dalam alquran

Menjual Ayat Allah dengan Harga Murah, Apa Maksudnya?

Apakah benar ada orang yang menjual ayat Allah? Bagaimana mungkin ayat suci bisa ditukar dengan keuntungan dunia yang sepele? Apakah boleh mengadakan seminar agama, dauroh keislaman, sekolah atau kuliah dengan menarik biaya, bisa jadi dengan biaya mahal karena adanya fasilitas yang mendukung dan demi kenyamanan?   Daftar Isi tutup 1. Larangan Menukar Ayat Allah dengan Harga Murah 2. Tafsir Ulama: Apa Maksud “Menjual Ayat Allah”? 3. Empat Tafsiran Tentang Menjual Ayat Allah 4. Apakah Berarti Tidak Boleh Mengambil Upah dari Ilmu Agama? 5. Apakah Seminar Agama Boleh Dikenakan Biaya? 6. Gaji untuk Guru Agama: Upah atau Menjual Ayat? 6.1. Apa Batasannya? Ini Bedanya yang Dilarang dan yang Dibenarkan 7. Apakah Guru Agama yang Digaji Pasti Tidak Ikhlas? Larangan Menukar Ayat Allah dengan Harga Murah Allah Ta’ala berulang kali mengingatkan dalam Al-Qur’an agar tidak memperjualbelikan ayat-ayat-Nya demi kepentingan duniawi yang murah nilainya. Perbuatan ini telah dilakukan oleh sebagian ahli kitab di masa lalu, dan bisa saja terjadi kembali oleh siapa pun yang mengikuti jejak mereka. 1. Larangan kepada Bani Israil Allah Ta’ala berfirman: وَآمِنُوا۟ بِمَآ أَنزَلْتُ مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَكُمْ وَلَا تَكُونُوٓا۟ أَوَّلَ كَافِرٍۭ بِهِۦ ۖ وَلَا تَشْتَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِى ثَمَنًا قَلِيلًا ۖ وَإِيَّٰىَ فَٱتَّقُونِ “Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al-Qur’an) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.“(QS. Al-Baqarah: 41) 2. Celaka Bagi yang Memalsukan Wahyu فَوَيْلٌ لِّلَّذِينَ يَكْتُبُونَ ٱلْكِتَٰبَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَٰذَا مِنْ عِندِ ٱللَّهِ لِيَشْتَرُوا۟ بِهِۦ ثَمَنًا قَلِيلًا ۖ فَوَيْلٌ لَّهُم مِّمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَّهُم مِّمَّا يَكْسِبُونَ “Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: ‘Ini dari Allah’, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka celakalah mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan celakalah mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 79) 3. Balasan Bagi yang Menyembunyikan Kebenaran إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلْكِتَٰبِ وَيَشْتَرُونَ بِهِۦ ثَمَنًا قَلِيلًا ۙ أُو۟لَٰٓئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِى بُطُونِهِمْ إِلَّا ٱلنَّارَ ۖ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ ٱللَّهُ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit, mereka itu sebenarnya tidak memakan ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka, dan bagi mereka siksa yang amat pedih.” (QS. Al-Baqarah: 174)   Tafsir Ulama: Apa Maksud “Menjual Ayat Allah”? Dalam Tafsir Al-Qurthubi, disebutkan berbagai makna dari larangan menjual ayat Allah dengan harga murah: قوله تعالى: وَلَا تَشْتَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِى ثَمَنًا قَلِيلًا “Dan janganlah kalian menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.” Dalam ayat ini terdapat empat pembahasan: Pertama: Firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah kalian menukar…” adalah sambungan dari firman-Nya sebelumnya: “Dan janganlah kalian menjadi yang pertama kafir…” Allah melarang mereka menjadi orang pertama yang kafir dan melarang mereka mengambil imbalan atas ayat-ayat Allah, yakni menukar keterangan tentang sifat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan suap. Para rahib dahulu melakukan hal itu, maka mereka pun dilarang melakukannya. Ini adalah pendapat sekelompok ahli tafsir, seperti Al-Hasan dan lainnya. Dikatakan pula bahwa mereka dulu mendapat jatah makan dari mengajarkan ilmu, semacam gaji tetap. Maka mereka pun dilarang dari itu. Ada juga yang mengatakan bahwa para pendeta mengajarkan agama mereka dengan bayaran, dan mereka dilarang dari hal itu. Dalam kitab mereka tertulis, يَا ٱبْنَ آدَمَ، عَلِّمْ مَجَّانًا كَمَا عَلِمْتَ مَجَّانًا “Wahai anak Adam, ajarkanlah secara cuma-cuma sebagaimana engkau diajari secara cuma-cuma,” yakni secara gratis tanpa meminta upah. Ini adalah pendapat Abu Al-‘Aliyah. Pendapat lainnya: maksud dari larangan menukar ayat-ayat Allah dengan harga murah adalah agar mereka tidak menjadikan perintah, larangan, dan ayat-ayat Allah sebagai alat tukar untuk mendapatkan dunia dan kesenangannya yang singkat, serta kehidupan yang rendah nilainya. Maka apa yang mereka tukar itulah yang disebut “harga,” meskipun sejatinya bukan harga, karena mereka menjadikannya sebagai ganti dari kebenaran. Oleh karena itu disebut “harga.” Makna ini juga disebutkan dalam syair: “Jika engkau memang berniat melakukan dosa atau telah berhasil melakukannya, maka engkau tidak memperoleh pengganti dari meninggalkan haji.” Aku (Al-Qurthubi) katakan: Meskipun ayat ini secara khusus ditujukan kepada Bani Israil, namun ia juga mencakup siapa saja yang melakukan perbuatan serupa. Siapa yang menerima suap untuk mengubah atau membatalkan kebenaran, atau menolak mengajarkan apa yang wajib ia ajarkan, atau tidak menyampaikan ilmu yang sudah menjadi kewajibannya kecuali dengan bayaran, maka ia termasuk dalam kandungan ayat ini. Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَىٰ بِهِ وَجْهُ ٱللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِّنَ ٱلدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ ٱلْجَنَّةِ يَوْمَ ٱلْقِيَامَةِ، يَعْنِي رِيحَهَا. “Barang siapa mempelajari suatu ilmu yang seharusnya ditujukan untuk meraih wajah Allah, namun ia tidak mempelajarinya kecuali untuk meraih bagian dunia, maka ia tidak akan mencium aroma surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud)   Empat Tafsiran Tentang Menjual Ayat Allah 1. Menukar kebenaran dengan suap Tafsir pertama menyebut bahwa sebagian ahli kitab mengubah sifat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kitab mereka demi suap dari orang-orang kafir. Mereka menukar kebenaran yang mereka tahu demi keuntungan duniawi. Contoh: Seorang ulama atau tokoh agama yang mengubah isi kebenaran Al-Qur’an demi diterima penguasa atau masyarakat luas. 2. Mengandalkan penghasilan tetap dari agama Ada pendapat bahwa mereka terbiasa mendapatkan jatah makan (gaji) hanya karena status keulamaan mereka, bukan karena pengajaran aktif. Lalu mereka malas mengajar bila tidak dibayar. Contoh: Seorang guru agama hanya menyampaikan ilmu jika diberi bayaran, dan menolak mengajarkannya jika tidak diberi honor. 3. Mengajar agama hanya dengan bayaran Menurut Abu Al-‘Aliyah, larangan ini juga mencakup mereka yang menjadikan ajaran agama sebagai ladang komersial. Dalam kitab terdahulu disebut: “Wahai anak Adam, ajarkanlah ilmu secara gratis sebagaimana engkau diajarkan secara gratis.” Contoh: Menjual fatwa, ceramah, atau pengajaran agama layaknya barang dagangan, bukan karena kewajiban atau keikhlasan. Aspek Tafsir KEDUA Tafsir KETIGA (Abu Al-‘Aliyah) Fokus utama Ilmu dijadikan sumber nafkah tetap Ilmu dijadikan alat jasa berbayar Masalah utama Gaji rutin tanpa pengajaran aktif Menyampaikan ilmu hanya jika dibayar Dampak Menurunkan semangat menyebar ilmu Menyembunyikan ilmu jika tak dibayar Sifat pelanggaran Kebiasaan hidup duniawi Menjual ilmu sebagai komoditas 4. Menukar perintah Allah demi dunia yang sedikit Pendapat lain menyatakan bahwa “harga murah” maksudnya adalah dunia dengan segala kesenangan yang sebentar dan remeh. Mereka menukar perintah dan larangan Allah demi dunia tersebut. Contoh: Menolak menerapkan hukum Allah atau menyampaikan kebenaran karena takut kehilangan jabatan atau harta.   Apakah Berarti Tidak Boleh Mengambil Upah dari Ilmu Agama? Jawabannya: Boleh, asalkan tujuannya tetap ikhlas karena Allah, dan imbalan itu bukan syarat untuk menyampaikan ilmu. Dalil 1: Upah atas Al-Qur’an adalah yang paling layak Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ “Sesungguhnya yang paling layak kalian ambil upah darinya adalah Kitabullah.” (HR. Bukhari no. 5737) Artinya, mengambil imbalan dari pengajaran Al-Qur’an adalah hal yang diperbolehkan selama tidak menjadikan upah sebagai tujuan utama. Dalil 2: Hafalan Al-Qur’an Sah Menjadi Mahar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan seorang sahabat dengan mahar berupa hafalan Al-Qur’an, قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ “Aku telah menikahkanmu dengannya dengan (mahar) apa yang kau hafal dari Al-Qur’an.” (HR. Bukhari no. 5029) Jika hafalan Al-Qur’an dapat menjadi mahar, maka pemanfaatan ilmu Al-Qur’an dalam bentuk lainnya—seperti karya tulis, pengajaran, atau ceramah—juga layak diberi apresiasi materi. Yang dilarang adalah menjadikan ayat Allah sebagai alat komersial murni, atau menyembunyikan kebenaran demi keuntungan dunia. Namun jika seseorang mengajarkan Al-Qur’an atau ilmu agama dengan niat lillāh, lalu mendapat imbalan, itu bukanlah bagian dari “menjual ayat Allah.” Baca juga: Upah Mengajarkan Al-Qur’an, Halalkah?   Apakah Seminar Agama Boleh Dikenakan Biaya? Jawaban: Boleh selama syarat-syaratnya terpenuhi. Menarik biaya besar atau mahal untuk seminar, dauroh, atau sekolah agama diperbolehkan jika: Memang ada biaya operasional besar (hotel, konsumsi, pembicara dari luar, media, alat bantu, dll). Ada nilai tambah dari segi kenyamanan, fasilitas, intensitas, atau kualitas layanan. Peserta tetap diberi pilihan (misal: versi gratis, beasiswa, atau akses terbatas terbuka). Yang tidak boleh: Menjadikan ilmu agama eksklusif untuk yang mampu bayar saja, tanpa memberi alternatif atau menjadikannya ajang bisnis murni yang menyingkirkan niat dakwah. Jadi, tidak termasuk “menjual ayat Allah dengan harga murah”, karena konteksnya berbeda: bukan menyembunyikan, mengubah, atau menyalahgunakan wahyu, tetapi mendukung proses dakwah dan pendidikan.   Gaji untuk Guru Agama: Upah atau Menjual Ayat? Jawabannya: Upah itu boleh, bahkan disepakati ulama. Imam Ibn Rusyd—seorang faqih besar dari kalangan Malikiyyah—menyatakan bahwa para ahli hukum di Madinah sepakat membolehkan mengambil upah atas pengajaran Al-Qur’an dan agama. Ini menunjukkan bahwa praktik tersebut telah dikenal sejak masa awal Islam dan dianggap wajar selama dilakukan dengan niat yang benar. Beliau juga menekankan bahwa jika pada masa lalu hal ini dibolehkan, maka pada masa sekarang hal itu lebih layak untuk dibenarkan, mengingat kebutuhan hidup yang semakin kompleks dan biaya pendidikan yang juga meningkat. Maka, pengajaran agama dengan menerima imbalan bukanlah bentuk menjual atau menukar ayat Allah, melainkan justru upaya untuk menyebarluaskan wahyu dan mengokohkan pemahaman syariat kepada umat. Upah dalam konteks ini adalah bentuk penghargaan terhadap ilmu dan dakwah, bukan komersialisasi ayat-ayat Allah.   Apa Batasannya? Ini Bedanya yang Dilarang dan yang Dibenarkan Yang Dilarang Yang Diperbolehkan Mengubah kebenaran demi harta atau jabatan Mengajarkan Al-Qur’an dengan ikhlas meskipun mendapat imbalan Menyembunyikan ilmu karena tidak dibayar Menulis, mengajar, atau berdakwah dan diberi penghargaan Menyampaikan agama semata demi dunia Menyampaikan agama karena Allah, lalu menerima kompensasi   Apakah Guru Agama yang Digaji Pasti Tidak Ikhlas? Tidak. Menerima gaji tidak otomatis berarti tidak ikhlas. Ikhlas adalah urusan niat dalam hati—mengajar karena mengharap ridha Allah. Gaji atau imbalan adalah urusan duniawi yang sah, sebagai penghargaan atas waktu, tenaga, dan kebutuhan hidup guru agama. Jadi, bisa saja seseorang tulus lillah (karena Allah), lalu menerima imbalan sebagai bentuk penghargaan. Yang salah adalah mengajar agama demi uang, bukan mengajar agama lalu diberi uang. Fakta Penjelasan Mengajar agama lalu mendapat gaji Boleh, asal niat tetap karena Allah Mengajar agama hanya demi uang Tercela, termasuk menjual ayat Menolak menyampaikan ilmu wajib kecuali dibayar Termasuk dosa dan menyembunyikan ilmu Ikhlas itu di hati. Bukan berarti harus miskin. Para guru agama tetap berhak hidup layak, dan masyarakat wajib menghargai perjuangan mereka secara lahir dan batin. Semoga manfaat. – 24 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsadab guru agama dai profesional dakwah dan dunia fiqih dakwah hukum mengambil gaji ilmu agama jual agama jual ayat Allah keikhlasan dalam dakwah komersialisasi agama menjual ayat Allah pendidikan Islam pengajar Al-Qur’an seminar agama berbayar tafsir al-qurthubi upah guru ngaji upah halal

Menjual Ayat Allah dengan Harga Murah, Apa Maksudnya?

Apakah benar ada orang yang menjual ayat Allah? Bagaimana mungkin ayat suci bisa ditukar dengan keuntungan dunia yang sepele? Apakah boleh mengadakan seminar agama, dauroh keislaman, sekolah atau kuliah dengan menarik biaya, bisa jadi dengan biaya mahal karena adanya fasilitas yang mendukung dan demi kenyamanan?   Daftar Isi tutup 1. Larangan Menukar Ayat Allah dengan Harga Murah 2. Tafsir Ulama: Apa Maksud “Menjual Ayat Allah”? 3. Empat Tafsiran Tentang Menjual Ayat Allah 4. Apakah Berarti Tidak Boleh Mengambil Upah dari Ilmu Agama? 5. Apakah Seminar Agama Boleh Dikenakan Biaya? 6. Gaji untuk Guru Agama: Upah atau Menjual Ayat? 6.1. Apa Batasannya? Ini Bedanya yang Dilarang dan yang Dibenarkan 7. Apakah Guru Agama yang Digaji Pasti Tidak Ikhlas? Larangan Menukar Ayat Allah dengan Harga Murah Allah Ta’ala berulang kali mengingatkan dalam Al-Qur’an agar tidak memperjualbelikan ayat-ayat-Nya demi kepentingan duniawi yang murah nilainya. Perbuatan ini telah dilakukan oleh sebagian ahli kitab di masa lalu, dan bisa saja terjadi kembali oleh siapa pun yang mengikuti jejak mereka. 1. Larangan kepada Bani Israil Allah Ta’ala berfirman: وَآمِنُوا۟ بِمَآ أَنزَلْتُ مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَكُمْ وَلَا تَكُونُوٓا۟ أَوَّلَ كَافِرٍۭ بِهِۦ ۖ وَلَا تَشْتَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِى ثَمَنًا قَلِيلًا ۖ وَإِيَّٰىَ فَٱتَّقُونِ “Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al-Qur’an) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.“(QS. Al-Baqarah: 41) 2. Celaka Bagi yang Memalsukan Wahyu فَوَيْلٌ لِّلَّذِينَ يَكْتُبُونَ ٱلْكِتَٰبَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَٰذَا مِنْ عِندِ ٱللَّهِ لِيَشْتَرُوا۟ بِهِۦ ثَمَنًا قَلِيلًا ۖ فَوَيْلٌ لَّهُم مِّمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَّهُم مِّمَّا يَكْسِبُونَ “Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: ‘Ini dari Allah’, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka celakalah mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan celakalah mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 79) 3. Balasan Bagi yang Menyembunyikan Kebenaran إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلْكِتَٰبِ وَيَشْتَرُونَ بِهِۦ ثَمَنًا قَلِيلًا ۙ أُو۟لَٰٓئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِى بُطُونِهِمْ إِلَّا ٱلنَّارَ ۖ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ ٱللَّهُ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit, mereka itu sebenarnya tidak memakan ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka, dan bagi mereka siksa yang amat pedih.” (QS. Al-Baqarah: 174)   Tafsir Ulama: Apa Maksud “Menjual Ayat Allah”? Dalam Tafsir Al-Qurthubi, disebutkan berbagai makna dari larangan menjual ayat Allah dengan harga murah: قوله تعالى: وَلَا تَشْتَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِى ثَمَنًا قَلِيلًا “Dan janganlah kalian menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.” Dalam ayat ini terdapat empat pembahasan: Pertama: Firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah kalian menukar…” adalah sambungan dari firman-Nya sebelumnya: “Dan janganlah kalian menjadi yang pertama kafir…” Allah melarang mereka menjadi orang pertama yang kafir dan melarang mereka mengambil imbalan atas ayat-ayat Allah, yakni menukar keterangan tentang sifat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan suap. Para rahib dahulu melakukan hal itu, maka mereka pun dilarang melakukannya. Ini adalah pendapat sekelompok ahli tafsir, seperti Al-Hasan dan lainnya. Dikatakan pula bahwa mereka dulu mendapat jatah makan dari mengajarkan ilmu, semacam gaji tetap. Maka mereka pun dilarang dari itu. Ada juga yang mengatakan bahwa para pendeta mengajarkan agama mereka dengan bayaran, dan mereka dilarang dari hal itu. Dalam kitab mereka tertulis, يَا ٱبْنَ آدَمَ، عَلِّمْ مَجَّانًا كَمَا عَلِمْتَ مَجَّانًا “Wahai anak Adam, ajarkanlah secara cuma-cuma sebagaimana engkau diajari secara cuma-cuma,” yakni secara gratis tanpa meminta upah. Ini adalah pendapat Abu Al-‘Aliyah. Pendapat lainnya: maksud dari larangan menukar ayat-ayat Allah dengan harga murah adalah agar mereka tidak menjadikan perintah, larangan, dan ayat-ayat Allah sebagai alat tukar untuk mendapatkan dunia dan kesenangannya yang singkat, serta kehidupan yang rendah nilainya. Maka apa yang mereka tukar itulah yang disebut “harga,” meskipun sejatinya bukan harga, karena mereka menjadikannya sebagai ganti dari kebenaran. Oleh karena itu disebut “harga.” Makna ini juga disebutkan dalam syair: “Jika engkau memang berniat melakukan dosa atau telah berhasil melakukannya, maka engkau tidak memperoleh pengganti dari meninggalkan haji.” Aku (Al-Qurthubi) katakan: Meskipun ayat ini secara khusus ditujukan kepada Bani Israil, namun ia juga mencakup siapa saja yang melakukan perbuatan serupa. Siapa yang menerima suap untuk mengubah atau membatalkan kebenaran, atau menolak mengajarkan apa yang wajib ia ajarkan, atau tidak menyampaikan ilmu yang sudah menjadi kewajibannya kecuali dengan bayaran, maka ia termasuk dalam kandungan ayat ini. Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَىٰ بِهِ وَجْهُ ٱللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِّنَ ٱلدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ ٱلْجَنَّةِ يَوْمَ ٱلْقِيَامَةِ، يَعْنِي رِيحَهَا. “Barang siapa mempelajari suatu ilmu yang seharusnya ditujukan untuk meraih wajah Allah, namun ia tidak mempelajarinya kecuali untuk meraih bagian dunia, maka ia tidak akan mencium aroma surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud)   Empat Tafsiran Tentang Menjual Ayat Allah 1. Menukar kebenaran dengan suap Tafsir pertama menyebut bahwa sebagian ahli kitab mengubah sifat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kitab mereka demi suap dari orang-orang kafir. Mereka menukar kebenaran yang mereka tahu demi keuntungan duniawi. Contoh: Seorang ulama atau tokoh agama yang mengubah isi kebenaran Al-Qur’an demi diterima penguasa atau masyarakat luas. 2. Mengandalkan penghasilan tetap dari agama Ada pendapat bahwa mereka terbiasa mendapatkan jatah makan (gaji) hanya karena status keulamaan mereka, bukan karena pengajaran aktif. Lalu mereka malas mengajar bila tidak dibayar. Contoh: Seorang guru agama hanya menyampaikan ilmu jika diberi bayaran, dan menolak mengajarkannya jika tidak diberi honor. 3. Mengajar agama hanya dengan bayaran Menurut Abu Al-‘Aliyah, larangan ini juga mencakup mereka yang menjadikan ajaran agama sebagai ladang komersial. Dalam kitab terdahulu disebut: “Wahai anak Adam, ajarkanlah ilmu secara gratis sebagaimana engkau diajarkan secara gratis.” Contoh: Menjual fatwa, ceramah, atau pengajaran agama layaknya barang dagangan, bukan karena kewajiban atau keikhlasan. Aspek Tafsir KEDUA Tafsir KETIGA (Abu Al-‘Aliyah) Fokus utama Ilmu dijadikan sumber nafkah tetap Ilmu dijadikan alat jasa berbayar Masalah utama Gaji rutin tanpa pengajaran aktif Menyampaikan ilmu hanya jika dibayar Dampak Menurunkan semangat menyebar ilmu Menyembunyikan ilmu jika tak dibayar Sifat pelanggaran Kebiasaan hidup duniawi Menjual ilmu sebagai komoditas 4. Menukar perintah Allah demi dunia yang sedikit Pendapat lain menyatakan bahwa “harga murah” maksudnya adalah dunia dengan segala kesenangan yang sebentar dan remeh. Mereka menukar perintah dan larangan Allah demi dunia tersebut. Contoh: Menolak menerapkan hukum Allah atau menyampaikan kebenaran karena takut kehilangan jabatan atau harta.   Apakah Berarti Tidak Boleh Mengambil Upah dari Ilmu Agama? Jawabannya: Boleh, asalkan tujuannya tetap ikhlas karena Allah, dan imbalan itu bukan syarat untuk menyampaikan ilmu. Dalil 1: Upah atas Al-Qur’an adalah yang paling layak Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ “Sesungguhnya yang paling layak kalian ambil upah darinya adalah Kitabullah.” (HR. Bukhari no. 5737) Artinya, mengambil imbalan dari pengajaran Al-Qur’an adalah hal yang diperbolehkan selama tidak menjadikan upah sebagai tujuan utama. Dalil 2: Hafalan Al-Qur’an Sah Menjadi Mahar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan seorang sahabat dengan mahar berupa hafalan Al-Qur’an, قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ “Aku telah menikahkanmu dengannya dengan (mahar) apa yang kau hafal dari Al-Qur’an.” (HR. Bukhari no. 5029) Jika hafalan Al-Qur’an dapat menjadi mahar, maka pemanfaatan ilmu Al-Qur’an dalam bentuk lainnya—seperti karya tulis, pengajaran, atau ceramah—juga layak diberi apresiasi materi. Yang dilarang adalah menjadikan ayat Allah sebagai alat komersial murni, atau menyembunyikan kebenaran demi keuntungan dunia. Namun jika seseorang mengajarkan Al-Qur’an atau ilmu agama dengan niat lillāh, lalu mendapat imbalan, itu bukanlah bagian dari “menjual ayat Allah.” Baca juga: Upah Mengajarkan Al-Qur’an, Halalkah?   Apakah Seminar Agama Boleh Dikenakan Biaya? Jawaban: Boleh selama syarat-syaratnya terpenuhi. Menarik biaya besar atau mahal untuk seminar, dauroh, atau sekolah agama diperbolehkan jika: Memang ada biaya operasional besar (hotel, konsumsi, pembicara dari luar, media, alat bantu, dll). Ada nilai tambah dari segi kenyamanan, fasilitas, intensitas, atau kualitas layanan. Peserta tetap diberi pilihan (misal: versi gratis, beasiswa, atau akses terbatas terbuka). Yang tidak boleh: Menjadikan ilmu agama eksklusif untuk yang mampu bayar saja, tanpa memberi alternatif atau menjadikannya ajang bisnis murni yang menyingkirkan niat dakwah. Jadi, tidak termasuk “menjual ayat Allah dengan harga murah”, karena konteksnya berbeda: bukan menyembunyikan, mengubah, atau menyalahgunakan wahyu, tetapi mendukung proses dakwah dan pendidikan.   Gaji untuk Guru Agama: Upah atau Menjual Ayat? Jawabannya: Upah itu boleh, bahkan disepakati ulama. Imam Ibn Rusyd—seorang faqih besar dari kalangan Malikiyyah—menyatakan bahwa para ahli hukum di Madinah sepakat membolehkan mengambil upah atas pengajaran Al-Qur’an dan agama. Ini menunjukkan bahwa praktik tersebut telah dikenal sejak masa awal Islam dan dianggap wajar selama dilakukan dengan niat yang benar. Beliau juga menekankan bahwa jika pada masa lalu hal ini dibolehkan, maka pada masa sekarang hal itu lebih layak untuk dibenarkan, mengingat kebutuhan hidup yang semakin kompleks dan biaya pendidikan yang juga meningkat. Maka, pengajaran agama dengan menerima imbalan bukanlah bentuk menjual atau menukar ayat Allah, melainkan justru upaya untuk menyebarluaskan wahyu dan mengokohkan pemahaman syariat kepada umat. Upah dalam konteks ini adalah bentuk penghargaan terhadap ilmu dan dakwah, bukan komersialisasi ayat-ayat Allah.   Apa Batasannya? Ini Bedanya yang Dilarang dan yang Dibenarkan Yang Dilarang Yang Diperbolehkan Mengubah kebenaran demi harta atau jabatan Mengajarkan Al-Qur’an dengan ikhlas meskipun mendapat imbalan Menyembunyikan ilmu karena tidak dibayar Menulis, mengajar, atau berdakwah dan diberi penghargaan Menyampaikan agama semata demi dunia Menyampaikan agama karena Allah, lalu menerima kompensasi   Apakah Guru Agama yang Digaji Pasti Tidak Ikhlas? Tidak. Menerima gaji tidak otomatis berarti tidak ikhlas. Ikhlas adalah urusan niat dalam hati—mengajar karena mengharap ridha Allah. Gaji atau imbalan adalah urusan duniawi yang sah, sebagai penghargaan atas waktu, tenaga, dan kebutuhan hidup guru agama. Jadi, bisa saja seseorang tulus lillah (karena Allah), lalu menerima imbalan sebagai bentuk penghargaan. Yang salah adalah mengajar agama demi uang, bukan mengajar agama lalu diberi uang. Fakta Penjelasan Mengajar agama lalu mendapat gaji Boleh, asal niat tetap karena Allah Mengajar agama hanya demi uang Tercela, termasuk menjual ayat Menolak menyampaikan ilmu wajib kecuali dibayar Termasuk dosa dan menyembunyikan ilmu Ikhlas itu di hati. Bukan berarti harus miskin. Para guru agama tetap berhak hidup layak, dan masyarakat wajib menghargai perjuangan mereka secara lahir dan batin. Semoga manfaat. – 24 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsadab guru agama dai profesional dakwah dan dunia fiqih dakwah hukum mengambil gaji ilmu agama jual agama jual ayat Allah keikhlasan dalam dakwah komersialisasi agama menjual ayat Allah pendidikan Islam pengajar Al-Qur’an seminar agama berbayar tafsir al-qurthubi upah guru ngaji upah halal
Apakah benar ada orang yang menjual ayat Allah? Bagaimana mungkin ayat suci bisa ditukar dengan keuntungan dunia yang sepele? Apakah boleh mengadakan seminar agama, dauroh keislaman, sekolah atau kuliah dengan menarik biaya, bisa jadi dengan biaya mahal karena adanya fasilitas yang mendukung dan demi kenyamanan?   Daftar Isi tutup 1. Larangan Menukar Ayat Allah dengan Harga Murah 2. Tafsir Ulama: Apa Maksud “Menjual Ayat Allah”? 3. Empat Tafsiran Tentang Menjual Ayat Allah 4. Apakah Berarti Tidak Boleh Mengambil Upah dari Ilmu Agama? 5. Apakah Seminar Agama Boleh Dikenakan Biaya? 6. Gaji untuk Guru Agama: Upah atau Menjual Ayat? 6.1. Apa Batasannya? Ini Bedanya yang Dilarang dan yang Dibenarkan 7. Apakah Guru Agama yang Digaji Pasti Tidak Ikhlas? Larangan Menukar Ayat Allah dengan Harga Murah Allah Ta’ala berulang kali mengingatkan dalam Al-Qur’an agar tidak memperjualbelikan ayat-ayat-Nya demi kepentingan duniawi yang murah nilainya. Perbuatan ini telah dilakukan oleh sebagian ahli kitab di masa lalu, dan bisa saja terjadi kembali oleh siapa pun yang mengikuti jejak mereka. 1. Larangan kepada Bani Israil Allah Ta’ala berfirman: وَآمِنُوا۟ بِمَآ أَنزَلْتُ مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَكُمْ وَلَا تَكُونُوٓا۟ أَوَّلَ كَافِرٍۭ بِهِۦ ۖ وَلَا تَشْتَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِى ثَمَنًا قَلِيلًا ۖ وَإِيَّٰىَ فَٱتَّقُونِ “Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al-Qur’an) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.“(QS. Al-Baqarah: 41) 2. Celaka Bagi yang Memalsukan Wahyu فَوَيْلٌ لِّلَّذِينَ يَكْتُبُونَ ٱلْكِتَٰبَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَٰذَا مِنْ عِندِ ٱللَّهِ لِيَشْتَرُوا۟ بِهِۦ ثَمَنًا قَلِيلًا ۖ فَوَيْلٌ لَّهُم مِّمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَّهُم مِّمَّا يَكْسِبُونَ “Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: ‘Ini dari Allah’, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka celakalah mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan celakalah mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 79) 3. Balasan Bagi yang Menyembunyikan Kebenaran إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلْكِتَٰبِ وَيَشْتَرُونَ بِهِۦ ثَمَنًا قَلِيلًا ۙ أُو۟لَٰٓئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِى بُطُونِهِمْ إِلَّا ٱلنَّارَ ۖ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ ٱللَّهُ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit, mereka itu sebenarnya tidak memakan ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka, dan bagi mereka siksa yang amat pedih.” (QS. Al-Baqarah: 174)   Tafsir Ulama: Apa Maksud “Menjual Ayat Allah”? Dalam Tafsir Al-Qurthubi, disebutkan berbagai makna dari larangan menjual ayat Allah dengan harga murah: قوله تعالى: وَلَا تَشْتَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِى ثَمَنًا قَلِيلًا “Dan janganlah kalian menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.” Dalam ayat ini terdapat empat pembahasan: Pertama: Firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah kalian menukar…” adalah sambungan dari firman-Nya sebelumnya: “Dan janganlah kalian menjadi yang pertama kafir…” Allah melarang mereka menjadi orang pertama yang kafir dan melarang mereka mengambil imbalan atas ayat-ayat Allah, yakni menukar keterangan tentang sifat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan suap. Para rahib dahulu melakukan hal itu, maka mereka pun dilarang melakukannya. Ini adalah pendapat sekelompok ahli tafsir, seperti Al-Hasan dan lainnya. Dikatakan pula bahwa mereka dulu mendapat jatah makan dari mengajarkan ilmu, semacam gaji tetap. Maka mereka pun dilarang dari itu. Ada juga yang mengatakan bahwa para pendeta mengajarkan agama mereka dengan bayaran, dan mereka dilarang dari hal itu. Dalam kitab mereka tertulis, يَا ٱبْنَ آدَمَ، عَلِّمْ مَجَّانًا كَمَا عَلِمْتَ مَجَّانًا “Wahai anak Adam, ajarkanlah secara cuma-cuma sebagaimana engkau diajari secara cuma-cuma,” yakni secara gratis tanpa meminta upah. Ini adalah pendapat Abu Al-‘Aliyah. Pendapat lainnya: maksud dari larangan menukar ayat-ayat Allah dengan harga murah adalah agar mereka tidak menjadikan perintah, larangan, dan ayat-ayat Allah sebagai alat tukar untuk mendapatkan dunia dan kesenangannya yang singkat, serta kehidupan yang rendah nilainya. Maka apa yang mereka tukar itulah yang disebut “harga,” meskipun sejatinya bukan harga, karena mereka menjadikannya sebagai ganti dari kebenaran. Oleh karena itu disebut “harga.” Makna ini juga disebutkan dalam syair: “Jika engkau memang berniat melakukan dosa atau telah berhasil melakukannya, maka engkau tidak memperoleh pengganti dari meninggalkan haji.” Aku (Al-Qurthubi) katakan: Meskipun ayat ini secara khusus ditujukan kepada Bani Israil, namun ia juga mencakup siapa saja yang melakukan perbuatan serupa. Siapa yang menerima suap untuk mengubah atau membatalkan kebenaran, atau menolak mengajarkan apa yang wajib ia ajarkan, atau tidak menyampaikan ilmu yang sudah menjadi kewajibannya kecuali dengan bayaran, maka ia termasuk dalam kandungan ayat ini. Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَىٰ بِهِ وَجْهُ ٱللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِّنَ ٱلدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ ٱلْجَنَّةِ يَوْمَ ٱلْقِيَامَةِ، يَعْنِي رِيحَهَا. “Barang siapa mempelajari suatu ilmu yang seharusnya ditujukan untuk meraih wajah Allah, namun ia tidak mempelajarinya kecuali untuk meraih bagian dunia, maka ia tidak akan mencium aroma surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud)   Empat Tafsiran Tentang Menjual Ayat Allah 1. Menukar kebenaran dengan suap Tafsir pertama menyebut bahwa sebagian ahli kitab mengubah sifat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kitab mereka demi suap dari orang-orang kafir. Mereka menukar kebenaran yang mereka tahu demi keuntungan duniawi. Contoh: Seorang ulama atau tokoh agama yang mengubah isi kebenaran Al-Qur’an demi diterima penguasa atau masyarakat luas. 2. Mengandalkan penghasilan tetap dari agama Ada pendapat bahwa mereka terbiasa mendapatkan jatah makan (gaji) hanya karena status keulamaan mereka, bukan karena pengajaran aktif. Lalu mereka malas mengajar bila tidak dibayar. Contoh: Seorang guru agama hanya menyampaikan ilmu jika diberi bayaran, dan menolak mengajarkannya jika tidak diberi honor. 3. Mengajar agama hanya dengan bayaran Menurut Abu Al-‘Aliyah, larangan ini juga mencakup mereka yang menjadikan ajaran agama sebagai ladang komersial. Dalam kitab terdahulu disebut: “Wahai anak Adam, ajarkanlah ilmu secara gratis sebagaimana engkau diajarkan secara gratis.” Contoh: Menjual fatwa, ceramah, atau pengajaran agama layaknya barang dagangan, bukan karena kewajiban atau keikhlasan. Aspek Tafsir KEDUA Tafsir KETIGA (Abu Al-‘Aliyah) Fokus utama Ilmu dijadikan sumber nafkah tetap Ilmu dijadikan alat jasa berbayar Masalah utama Gaji rutin tanpa pengajaran aktif Menyampaikan ilmu hanya jika dibayar Dampak Menurunkan semangat menyebar ilmu Menyembunyikan ilmu jika tak dibayar Sifat pelanggaran Kebiasaan hidup duniawi Menjual ilmu sebagai komoditas 4. Menukar perintah Allah demi dunia yang sedikit Pendapat lain menyatakan bahwa “harga murah” maksudnya adalah dunia dengan segala kesenangan yang sebentar dan remeh. Mereka menukar perintah dan larangan Allah demi dunia tersebut. Contoh: Menolak menerapkan hukum Allah atau menyampaikan kebenaran karena takut kehilangan jabatan atau harta.   Apakah Berarti Tidak Boleh Mengambil Upah dari Ilmu Agama? Jawabannya: Boleh, asalkan tujuannya tetap ikhlas karena Allah, dan imbalan itu bukan syarat untuk menyampaikan ilmu. Dalil 1: Upah atas Al-Qur’an adalah yang paling layak Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ “Sesungguhnya yang paling layak kalian ambil upah darinya adalah Kitabullah.” (HR. Bukhari no. 5737) Artinya, mengambil imbalan dari pengajaran Al-Qur’an adalah hal yang diperbolehkan selama tidak menjadikan upah sebagai tujuan utama. Dalil 2: Hafalan Al-Qur’an Sah Menjadi Mahar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan seorang sahabat dengan mahar berupa hafalan Al-Qur’an, قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ “Aku telah menikahkanmu dengannya dengan (mahar) apa yang kau hafal dari Al-Qur’an.” (HR. Bukhari no. 5029) Jika hafalan Al-Qur’an dapat menjadi mahar, maka pemanfaatan ilmu Al-Qur’an dalam bentuk lainnya—seperti karya tulis, pengajaran, atau ceramah—juga layak diberi apresiasi materi. Yang dilarang adalah menjadikan ayat Allah sebagai alat komersial murni, atau menyembunyikan kebenaran demi keuntungan dunia. Namun jika seseorang mengajarkan Al-Qur’an atau ilmu agama dengan niat lillāh, lalu mendapat imbalan, itu bukanlah bagian dari “menjual ayat Allah.” Baca juga: Upah Mengajarkan Al-Qur’an, Halalkah?   Apakah Seminar Agama Boleh Dikenakan Biaya? Jawaban: Boleh selama syarat-syaratnya terpenuhi. Menarik biaya besar atau mahal untuk seminar, dauroh, atau sekolah agama diperbolehkan jika: Memang ada biaya operasional besar (hotel, konsumsi, pembicara dari luar, media, alat bantu, dll). Ada nilai tambah dari segi kenyamanan, fasilitas, intensitas, atau kualitas layanan. Peserta tetap diberi pilihan (misal: versi gratis, beasiswa, atau akses terbatas terbuka). Yang tidak boleh: Menjadikan ilmu agama eksklusif untuk yang mampu bayar saja, tanpa memberi alternatif atau menjadikannya ajang bisnis murni yang menyingkirkan niat dakwah. Jadi, tidak termasuk “menjual ayat Allah dengan harga murah”, karena konteksnya berbeda: bukan menyembunyikan, mengubah, atau menyalahgunakan wahyu, tetapi mendukung proses dakwah dan pendidikan.   Gaji untuk Guru Agama: Upah atau Menjual Ayat? Jawabannya: Upah itu boleh, bahkan disepakati ulama. Imam Ibn Rusyd—seorang faqih besar dari kalangan Malikiyyah—menyatakan bahwa para ahli hukum di Madinah sepakat membolehkan mengambil upah atas pengajaran Al-Qur’an dan agama. Ini menunjukkan bahwa praktik tersebut telah dikenal sejak masa awal Islam dan dianggap wajar selama dilakukan dengan niat yang benar. Beliau juga menekankan bahwa jika pada masa lalu hal ini dibolehkan, maka pada masa sekarang hal itu lebih layak untuk dibenarkan, mengingat kebutuhan hidup yang semakin kompleks dan biaya pendidikan yang juga meningkat. Maka, pengajaran agama dengan menerima imbalan bukanlah bentuk menjual atau menukar ayat Allah, melainkan justru upaya untuk menyebarluaskan wahyu dan mengokohkan pemahaman syariat kepada umat. Upah dalam konteks ini adalah bentuk penghargaan terhadap ilmu dan dakwah, bukan komersialisasi ayat-ayat Allah.   Apa Batasannya? Ini Bedanya yang Dilarang dan yang Dibenarkan Yang Dilarang Yang Diperbolehkan Mengubah kebenaran demi harta atau jabatan Mengajarkan Al-Qur’an dengan ikhlas meskipun mendapat imbalan Menyembunyikan ilmu karena tidak dibayar Menulis, mengajar, atau berdakwah dan diberi penghargaan Menyampaikan agama semata demi dunia Menyampaikan agama karena Allah, lalu menerima kompensasi   Apakah Guru Agama yang Digaji Pasti Tidak Ikhlas? Tidak. Menerima gaji tidak otomatis berarti tidak ikhlas. Ikhlas adalah urusan niat dalam hati—mengajar karena mengharap ridha Allah. Gaji atau imbalan adalah urusan duniawi yang sah, sebagai penghargaan atas waktu, tenaga, dan kebutuhan hidup guru agama. Jadi, bisa saja seseorang tulus lillah (karena Allah), lalu menerima imbalan sebagai bentuk penghargaan. Yang salah adalah mengajar agama demi uang, bukan mengajar agama lalu diberi uang. Fakta Penjelasan Mengajar agama lalu mendapat gaji Boleh, asal niat tetap karena Allah Mengajar agama hanya demi uang Tercela, termasuk menjual ayat Menolak menyampaikan ilmu wajib kecuali dibayar Termasuk dosa dan menyembunyikan ilmu Ikhlas itu di hati. Bukan berarti harus miskin. Para guru agama tetap berhak hidup layak, dan masyarakat wajib menghargai perjuangan mereka secara lahir dan batin. Semoga manfaat. – 24 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsadab guru agama dai profesional dakwah dan dunia fiqih dakwah hukum mengambil gaji ilmu agama jual agama jual ayat Allah keikhlasan dalam dakwah komersialisasi agama menjual ayat Allah pendidikan Islam pengajar Al-Qur’an seminar agama berbayar tafsir al-qurthubi upah guru ngaji upah halal


Apakah benar ada orang yang menjual ayat Allah? Bagaimana mungkin ayat suci bisa ditukar dengan keuntungan dunia yang sepele? Apakah boleh mengadakan seminar agama, dauroh keislaman, sekolah atau kuliah dengan menarik biaya, bisa jadi dengan biaya mahal karena adanya fasilitas yang mendukung dan demi kenyamanan?   Daftar Isi tutup 1. Larangan Menukar Ayat Allah dengan Harga Murah 2. Tafsir Ulama: Apa Maksud “Menjual Ayat Allah”? 3. Empat Tafsiran Tentang Menjual Ayat Allah 4. Apakah Berarti Tidak Boleh Mengambil Upah dari Ilmu Agama? 5. Apakah Seminar Agama Boleh Dikenakan Biaya? 6. Gaji untuk Guru Agama: Upah atau Menjual Ayat? 6.1. Apa Batasannya? Ini Bedanya yang Dilarang dan yang Dibenarkan 7. Apakah Guru Agama yang Digaji Pasti Tidak Ikhlas? Larangan Menukar Ayat Allah dengan Harga Murah Allah Ta’ala berulang kali mengingatkan dalam Al-Qur’an agar tidak memperjualbelikan ayat-ayat-Nya demi kepentingan duniawi yang murah nilainya. Perbuatan ini telah dilakukan oleh sebagian ahli kitab di masa lalu, dan bisa saja terjadi kembali oleh siapa pun yang mengikuti jejak mereka. 1. Larangan kepada Bani Israil Allah Ta’ala berfirman: وَآمِنُوا۟ بِمَآ أَنزَلْتُ مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَكُمْ وَلَا تَكُونُوٓا۟ أَوَّلَ كَافِرٍۭ بِهِۦ ۖ وَلَا تَشْتَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِى ثَمَنًا قَلِيلًا ۖ وَإِيَّٰىَ فَٱتَّقُونِ “Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al-Qur’an) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.“(QS. Al-Baqarah: 41) 2. Celaka Bagi yang Memalsukan Wahyu فَوَيْلٌ لِّلَّذِينَ يَكْتُبُونَ ٱلْكِتَٰبَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَٰذَا مِنْ عِندِ ٱللَّهِ لِيَشْتَرُوا۟ بِهِۦ ثَمَنًا قَلِيلًا ۖ فَوَيْلٌ لَّهُم مِّمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَّهُم مِّمَّا يَكْسِبُونَ “Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: ‘Ini dari Allah’, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka celakalah mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan celakalah mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 79) 3. Balasan Bagi yang Menyembunyikan Kebenaran إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلْكِتَٰبِ وَيَشْتَرُونَ بِهِۦ ثَمَنًا قَلِيلًا ۙ أُو۟لَٰٓئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِى بُطُونِهِمْ إِلَّا ٱلنَّارَ ۖ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ ٱللَّهُ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit, mereka itu sebenarnya tidak memakan ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka, dan bagi mereka siksa yang amat pedih.” (QS. Al-Baqarah: 174)   Tafsir Ulama: Apa Maksud “Menjual Ayat Allah”? Dalam Tafsir Al-Qurthubi, disebutkan berbagai makna dari larangan menjual ayat Allah dengan harga murah: قوله تعالى: وَلَا تَشْتَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِى ثَمَنًا قَلِيلًا “Dan janganlah kalian menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.” Dalam ayat ini terdapat empat pembahasan: Pertama: Firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah kalian menukar…” adalah sambungan dari firman-Nya sebelumnya: “Dan janganlah kalian menjadi yang pertama kafir…” Allah melarang mereka menjadi orang pertama yang kafir dan melarang mereka mengambil imbalan atas ayat-ayat Allah, yakni menukar keterangan tentang sifat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan suap. Para rahib dahulu melakukan hal itu, maka mereka pun dilarang melakukannya. Ini adalah pendapat sekelompok ahli tafsir, seperti Al-Hasan dan lainnya. Dikatakan pula bahwa mereka dulu mendapat jatah makan dari mengajarkan ilmu, semacam gaji tetap. Maka mereka pun dilarang dari itu. Ada juga yang mengatakan bahwa para pendeta mengajarkan agama mereka dengan bayaran, dan mereka dilarang dari hal itu. Dalam kitab mereka tertulis, يَا ٱبْنَ آدَمَ، عَلِّمْ مَجَّانًا كَمَا عَلِمْتَ مَجَّانًا “Wahai anak Adam, ajarkanlah secara cuma-cuma sebagaimana engkau diajari secara cuma-cuma,” yakni secara gratis tanpa meminta upah. Ini adalah pendapat Abu Al-‘Aliyah. Pendapat lainnya: maksud dari larangan menukar ayat-ayat Allah dengan harga murah adalah agar mereka tidak menjadikan perintah, larangan, dan ayat-ayat Allah sebagai alat tukar untuk mendapatkan dunia dan kesenangannya yang singkat, serta kehidupan yang rendah nilainya. Maka apa yang mereka tukar itulah yang disebut “harga,” meskipun sejatinya bukan harga, karena mereka menjadikannya sebagai ganti dari kebenaran. Oleh karena itu disebut “harga.” Makna ini juga disebutkan dalam syair: “Jika engkau memang berniat melakukan dosa atau telah berhasil melakukannya, maka engkau tidak memperoleh pengganti dari meninggalkan haji.” Aku (Al-Qurthubi) katakan: Meskipun ayat ini secara khusus ditujukan kepada Bani Israil, namun ia juga mencakup siapa saja yang melakukan perbuatan serupa. Siapa yang menerima suap untuk mengubah atau membatalkan kebenaran, atau menolak mengajarkan apa yang wajib ia ajarkan, atau tidak menyampaikan ilmu yang sudah menjadi kewajibannya kecuali dengan bayaran, maka ia termasuk dalam kandungan ayat ini. Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَىٰ بِهِ وَجْهُ ٱللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِّنَ ٱلدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ ٱلْجَنَّةِ يَوْمَ ٱلْقِيَامَةِ، يَعْنِي رِيحَهَا. “Barang siapa mempelajari suatu ilmu yang seharusnya ditujukan untuk meraih wajah Allah, namun ia tidak mempelajarinya kecuali untuk meraih bagian dunia, maka ia tidak akan mencium aroma surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud)   Empat Tafsiran Tentang Menjual Ayat Allah 1. Menukar kebenaran dengan suap Tafsir pertama menyebut bahwa sebagian ahli kitab mengubah sifat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kitab mereka demi suap dari orang-orang kafir. Mereka menukar kebenaran yang mereka tahu demi keuntungan duniawi. Contoh: Seorang ulama atau tokoh agama yang mengubah isi kebenaran Al-Qur’an demi diterima penguasa atau masyarakat luas. 2. Mengandalkan penghasilan tetap dari agama Ada pendapat bahwa mereka terbiasa mendapatkan jatah makan (gaji) hanya karena status keulamaan mereka, bukan karena pengajaran aktif. Lalu mereka malas mengajar bila tidak dibayar. Contoh: Seorang guru agama hanya menyampaikan ilmu jika diberi bayaran, dan menolak mengajarkannya jika tidak diberi honor. 3. Mengajar agama hanya dengan bayaran Menurut Abu Al-‘Aliyah, larangan ini juga mencakup mereka yang menjadikan ajaran agama sebagai ladang komersial. Dalam kitab terdahulu disebut: “Wahai anak Adam, ajarkanlah ilmu secara gratis sebagaimana engkau diajarkan secara gratis.” Contoh: Menjual fatwa, ceramah, atau pengajaran agama layaknya barang dagangan, bukan karena kewajiban atau keikhlasan. Aspek Tafsir KEDUA Tafsir KETIGA (Abu Al-‘Aliyah) Fokus utama Ilmu dijadikan sumber nafkah tetap Ilmu dijadikan alat jasa berbayar Masalah utama Gaji rutin tanpa pengajaran aktif Menyampaikan ilmu hanya jika dibayar Dampak Menurunkan semangat menyebar ilmu Menyembunyikan ilmu jika tak dibayar Sifat pelanggaran Kebiasaan hidup duniawi Menjual ilmu sebagai komoditas 4. Menukar perintah Allah demi dunia yang sedikit Pendapat lain menyatakan bahwa “harga murah” maksudnya adalah dunia dengan segala kesenangan yang sebentar dan remeh. Mereka menukar perintah dan larangan Allah demi dunia tersebut. Contoh: Menolak menerapkan hukum Allah atau menyampaikan kebenaran karena takut kehilangan jabatan atau harta.   Apakah Berarti Tidak Boleh Mengambil Upah dari Ilmu Agama? Jawabannya: Boleh, asalkan tujuannya tetap ikhlas karena Allah, dan imbalan itu bukan syarat untuk menyampaikan ilmu. Dalil 1: Upah atas Al-Qur’an adalah yang paling layak Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ “Sesungguhnya yang paling layak kalian ambil upah darinya adalah Kitabullah.” (HR. Bukhari no. 5737) Artinya, mengambil imbalan dari pengajaran Al-Qur’an adalah hal yang diperbolehkan selama tidak menjadikan upah sebagai tujuan utama. Dalil 2: Hafalan Al-Qur’an Sah Menjadi Mahar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan seorang sahabat dengan mahar berupa hafalan Al-Qur’an, قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ “Aku telah menikahkanmu dengannya dengan (mahar) apa yang kau hafal dari Al-Qur’an.” (HR. Bukhari no. 5029) Jika hafalan Al-Qur’an dapat menjadi mahar, maka pemanfaatan ilmu Al-Qur’an dalam bentuk lainnya—seperti karya tulis, pengajaran, atau ceramah—juga layak diberi apresiasi materi. Yang dilarang adalah menjadikan ayat Allah sebagai alat komersial murni, atau menyembunyikan kebenaran demi keuntungan dunia. Namun jika seseorang mengajarkan Al-Qur’an atau ilmu agama dengan niat lillāh, lalu mendapat imbalan, itu bukanlah bagian dari “menjual ayat Allah.” Baca juga: Upah Mengajarkan Al-Qur’an, Halalkah?   Apakah Seminar Agama Boleh Dikenakan Biaya? Jawaban: Boleh selama syarat-syaratnya terpenuhi. Menarik biaya besar atau mahal untuk seminar, dauroh, atau sekolah agama diperbolehkan jika: Memang ada biaya operasional besar (hotel, konsumsi, pembicara dari luar, media, alat bantu, dll). Ada nilai tambah dari segi kenyamanan, fasilitas, intensitas, atau kualitas layanan. Peserta tetap diberi pilihan (misal: versi gratis, beasiswa, atau akses terbatas terbuka). Yang tidak boleh: Menjadikan ilmu agama eksklusif untuk yang mampu bayar saja, tanpa memberi alternatif atau menjadikannya ajang bisnis murni yang menyingkirkan niat dakwah. Jadi, tidak termasuk “menjual ayat Allah dengan harga murah”, karena konteksnya berbeda: bukan menyembunyikan, mengubah, atau menyalahgunakan wahyu, tetapi mendukung proses dakwah dan pendidikan.   Gaji untuk Guru Agama: Upah atau Menjual Ayat? Jawabannya: Upah itu boleh, bahkan disepakati ulama. Imam Ibn Rusyd—seorang faqih besar dari kalangan Malikiyyah—menyatakan bahwa para ahli hukum di Madinah sepakat membolehkan mengambil upah atas pengajaran Al-Qur’an dan agama. Ini menunjukkan bahwa praktik tersebut telah dikenal sejak masa awal Islam dan dianggap wajar selama dilakukan dengan niat yang benar. Beliau juga menekankan bahwa jika pada masa lalu hal ini dibolehkan, maka pada masa sekarang hal itu lebih layak untuk dibenarkan, mengingat kebutuhan hidup yang semakin kompleks dan biaya pendidikan yang juga meningkat. Maka, pengajaran agama dengan menerima imbalan bukanlah bentuk menjual atau menukar ayat Allah, melainkan justru upaya untuk menyebarluaskan wahyu dan mengokohkan pemahaman syariat kepada umat. Upah dalam konteks ini adalah bentuk penghargaan terhadap ilmu dan dakwah, bukan komersialisasi ayat-ayat Allah.   Apa Batasannya? Ini Bedanya yang Dilarang dan yang Dibenarkan Yang Dilarang Yang Diperbolehkan Mengubah kebenaran demi harta atau jabatan Mengajarkan Al-Qur’an dengan ikhlas meskipun mendapat imbalan Menyembunyikan ilmu karena tidak dibayar Menulis, mengajar, atau berdakwah dan diberi penghargaan Menyampaikan agama semata demi dunia Menyampaikan agama karena Allah, lalu menerima kompensasi   Apakah Guru Agama yang Digaji Pasti Tidak Ikhlas? Tidak. Menerima gaji tidak otomatis berarti tidak ikhlas. Ikhlas adalah urusan niat dalam hati—mengajar karena mengharap ridha Allah. Gaji atau imbalan adalah urusan duniawi yang sah, sebagai penghargaan atas waktu, tenaga, dan kebutuhan hidup guru agama. Jadi, bisa saja seseorang tulus lillah (karena Allah), lalu menerima imbalan sebagai bentuk penghargaan. Yang salah adalah mengajar agama demi uang, bukan mengajar agama lalu diberi uang. Fakta Penjelasan Mengajar agama lalu mendapat gaji Boleh, asal niat tetap karena Allah Mengajar agama hanya demi uang Tercela, termasuk menjual ayat Menolak menyampaikan ilmu wajib kecuali dibayar Termasuk dosa dan menyembunyikan ilmu Ikhlas itu di hati. Bukan berarti harus miskin. Para guru agama tetap berhak hidup layak, dan masyarakat wajib menghargai perjuangan mereka secara lahir dan batin. Semoga manfaat. – 24 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsadab guru agama dai profesional dakwah dan dunia fiqih dakwah hukum mengambil gaji ilmu agama jual agama jual ayat Allah keikhlasan dalam dakwah komersialisasi agama menjual ayat Allah pendidikan Islam pengajar Al-Qur’an seminar agama berbayar tafsir al-qurthubi upah guru ngaji upah halal

Inilah 10 Penyebab Doa Tidak Dikabulkan Menurut Ibrahim bin Adham

Banyak orang mengeluhkan doa-doa mereka belum juga terkabul. Padahal mereka merasa sudah bersungguh-sungguh dalam berdoa, mengangkat tangan, merendahkan hati, bahkan meneteskan air mata. Namun, hasil yang diharapkan belum juga datang. Pertanyaannya, mengapa doa kita tidak dikabulkan? Pertanyaan ini pernah ditanyakan kepada seorang ulama besar dari kalangan tabi’in, yaitu Ibrahim bin Adham rahimahullah, seorang ahli zuhud yang dikenal karena ketakwaannya, ketajaman hatinya, dan nasihat-nasihatnya yang menyentuh jiwa.   Kisah yang Menggugah di Pasar Bashrah Dikisahkan bahwa suatu hari, Ibrahim bin Adham melewati pasar di kota Bashrah. Maka datanglah orang-orang kepadanya dan bertanya: يَا أَبَا إِسْحَاقَ، إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُولُ: وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ، فَنَحْنُ نَدْعُوهُ مُنْذُ زَمَانٍ طَوِيلٍ فَلَا يُسْتَجَابُ لَنَا، فَمَا السَّبَبُ؟ “Wahai Abu Ishaq, Allah Ta’ala berfirman: ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan kalian’ (QS. Ghafir: 60). Kami telah lama berdoa kepada-Nya, namun doa-doa kami tidak dikabulkan. Apa sebabnya?” Lalu beliau menjawab dengan penuh hikmah: لِأَنَّ قُلُوبَكُمْ مَاتَتْ بِعَشْرَةِ أَشْيَاءَ “Karena hati kalian telah mati oleh sepuluh perkara.”   Inilah 10 Penyebab Doa Tidak Dikabulkan: 1. عَرَفْتُمُ اللهَ وَلَمْ تُؤَدُّوا حَقَّهُ Kalian mengenal Allah, namun tidak menunaikan hak-Nya. Kita tahu Allah adalah Tuhan yang Maha Esa, namun tidak menunaikan hak-Nya berupa tauhid, ketaatan, dan rasa takut serta cinta kepada-Nya. 2. وَقَرَأْتُمُ الْقُرْآنَ وَلَمْ تَعْمَلُوا بِهِ Kalian membaca Al-Qur’an, namun tidak mengamalkannya. Al-Qur’an dibaca, dihafal, bahkan dilombakan. Tapi isinya tidak dijadikan panduan hidup. 3. وَزَعَمْتُمْ حُبَّ نَبِيِّكُمْ وَتَرَكْتُمْ سُنَّتَهُ Kalian mengaku cinta Nabi kalian, namun meninggalkan sunnahnya. Cinta Nabi bukan sekadar slogan, tapi dibuktikan dengan mengikuti sunnah beliau dalam ibadah, akhlak, dan seluruh aspek kehidupan. 4. وَقُلْتُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ وَوَافَقْتُمُوهُ Kalian mengatakan bahwa setan adalah musuh, namun kalian malah menaatinya. Kita tahu setan menyesatkan manusia, tapi kita ikuti godaannya, menuruti hawa nafsu, dan berpaling dari jalan kebenaran. 5. وَقُلْتُمْ إِنَّكُمْ مُشْتَاقُونَ إِلَى الْجَنَّةِ وَلَمْ تَعْمَلُوا لَهَا Kalian mengaku rindu surga, namun tidak beramal untuk meraihnya. Surga tidak diraih dengan angan-angan. Harus ada amal, perjuangan, dan ketaatan. 6. وَقُلْتُمْ إِنَّكُمْ تَخَافُونَ النَّارَ وَلَمْ تَهْرُبُوا مِنْهَا Kalian mengaku takut neraka, namun tidak menjauhi sebab-sebabnya. Takut neraka tapi masih lalai dari shalat, suka ghibah, malas taubat, dan banyak maksiat. 7. وَقُلْتُمْ إِنَّ الْمَوْتَ حَقٌّ وَلَمْ تَسْتَعِدُّوا لَهُ Kalian meyakini kematian itu pasti, namun tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Padahal kematian bisa datang kapan saja, namun kita masih sibuk menumpuk dunia dan melalaikan akhirat. 8. وَاشْتَغَلْتُمْ بِعُيُوبِ النَّاسِ وَتَرَكْتُمْ عُيُوبَكُمْ Kalian sibuk mencari-cari aib orang lain, dan melupakan aib diri sendiri. Padahal keselamatan diri lebih utama. Namun banyak orang lupa introspeksi, malah sibuk mengomentari orang lain. 9. وَأَكَلْتُمْ نِعَمَ اللهِ وَلَمْ تُؤَدُّوا شُكْرَهَا Kalian menikmati nikmat Allah, namun tidak bersyukur. Nikmat lidah, tangan, waktu, uang, kesehatan, semua digunakan untuk maksiat, bukan ketaatan. 10. وَدَفَنْتُمْ مَوْتَاكُمْ وَلَمْ تَعْتَبِرُوا بِهِمْ Kalian menguburkan orang-orang mati, namun tidak mengambil pelajaran dari mereka. Setiap jenazah yang dikuburkan adalah pengingat bahwa kita pun akan menyusul. Tapi hati kita tetap keras.   Penutup: Mari Kita Muhasabah Kisah dan nasihat ini diriwayatkan oleh Abu Nu‘aim dalam Hilyatul Auliya’, dan juga disebut oleh Al-Qurthubi dalam tafsirnya, serta oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin. Maka kisah ini memiliki asal dari kalangan ulama salaf. Semoga kita bisa menjadikan nasihat ini sebagai bahan muhasabah diri, agar doa-doa kita lebih layak untuk dikabulkan, dan hati kita kembali hidup dengan iman dan amal salih. إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ ۗ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)   – 24 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsadab berdoa adab doa amal saleh amalan doa cara doa cinta nabi doa doa tidak dikabulkan hati yang mati ibrahim bin adham introspeksi diri kematian makna doa maksiat muhasabah nasihat salaf quran dan sunnah sebab doa tertolak shalat surga dan neraka syukur taubat ulama salaf zuhud

Inilah 10 Penyebab Doa Tidak Dikabulkan Menurut Ibrahim bin Adham

Banyak orang mengeluhkan doa-doa mereka belum juga terkabul. Padahal mereka merasa sudah bersungguh-sungguh dalam berdoa, mengangkat tangan, merendahkan hati, bahkan meneteskan air mata. Namun, hasil yang diharapkan belum juga datang. Pertanyaannya, mengapa doa kita tidak dikabulkan? Pertanyaan ini pernah ditanyakan kepada seorang ulama besar dari kalangan tabi’in, yaitu Ibrahim bin Adham rahimahullah, seorang ahli zuhud yang dikenal karena ketakwaannya, ketajaman hatinya, dan nasihat-nasihatnya yang menyentuh jiwa.   Kisah yang Menggugah di Pasar Bashrah Dikisahkan bahwa suatu hari, Ibrahim bin Adham melewati pasar di kota Bashrah. Maka datanglah orang-orang kepadanya dan bertanya: يَا أَبَا إِسْحَاقَ، إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُولُ: وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ، فَنَحْنُ نَدْعُوهُ مُنْذُ زَمَانٍ طَوِيلٍ فَلَا يُسْتَجَابُ لَنَا، فَمَا السَّبَبُ؟ “Wahai Abu Ishaq, Allah Ta’ala berfirman: ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan kalian’ (QS. Ghafir: 60). Kami telah lama berdoa kepada-Nya, namun doa-doa kami tidak dikabulkan. Apa sebabnya?” Lalu beliau menjawab dengan penuh hikmah: لِأَنَّ قُلُوبَكُمْ مَاتَتْ بِعَشْرَةِ أَشْيَاءَ “Karena hati kalian telah mati oleh sepuluh perkara.”   Inilah 10 Penyebab Doa Tidak Dikabulkan: 1. عَرَفْتُمُ اللهَ وَلَمْ تُؤَدُّوا حَقَّهُ Kalian mengenal Allah, namun tidak menunaikan hak-Nya. Kita tahu Allah adalah Tuhan yang Maha Esa, namun tidak menunaikan hak-Nya berupa tauhid, ketaatan, dan rasa takut serta cinta kepada-Nya. 2. وَقَرَأْتُمُ الْقُرْآنَ وَلَمْ تَعْمَلُوا بِهِ Kalian membaca Al-Qur’an, namun tidak mengamalkannya. Al-Qur’an dibaca, dihafal, bahkan dilombakan. Tapi isinya tidak dijadikan panduan hidup. 3. وَزَعَمْتُمْ حُبَّ نَبِيِّكُمْ وَتَرَكْتُمْ سُنَّتَهُ Kalian mengaku cinta Nabi kalian, namun meninggalkan sunnahnya. Cinta Nabi bukan sekadar slogan, tapi dibuktikan dengan mengikuti sunnah beliau dalam ibadah, akhlak, dan seluruh aspek kehidupan. 4. وَقُلْتُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ وَوَافَقْتُمُوهُ Kalian mengatakan bahwa setan adalah musuh, namun kalian malah menaatinya. Kita tahu setan menyesatkan manusia, tapi kita ikuti godaannya, menuruti hawa nafsu, dan berpaling dari jalan kebenaran. 5. وَقُلْتُمْ إِنَّكُمْ مُشْتَاقُونَ إِلَى الْجَنَّةِ وَلَمْ تَعْمَلُوا لَهَا Kalian mengaku rindu surga, namun tidak beramal untuk meraihnya. Surga tidak diraih dengan angan-angan. Harus ada amal, perjuangan, dan ketaatan. 6. وَقُلْتُمْ إِنَّكُمْ تَخَافُونَ النَّارَ وَلَمْ تَهْرُبُوا مِنْهَا Kalian mengaku takut neraka, namun tidak menjauhi sebab-sebabnya. Takut neraka tapi masih lalai dari shalat, suka ghibah, malas taubat, dan banyak maksiat. 7. وَقُلْتُمْ إِنَّ الْمَوْتَ حَقٌّ وَلَمْ تَسْتَعِدُّوا لَهُ Kalian meyakini kematian itu pasti, namun tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Padahal kematian bisa datang kapan saja, namun kita masih sibuk menumpuk dunia dan melalaikan akhirat. 8. وَاشْتَغَلْتُمْ بِعُيُوبِ النَّاسِ وَتَرَكْتُمْ عُيُوبَكُمْ Kalian sibuk mencari-cari aib orang lain, dan melupakan aib diri sendiri. Padahal keselamatan diri lebih utama. Namun banyak orang lupa introspeksi, malah sibuk mengomentari orang lain. 9. وَأَكَلْتُمْ نِعَمَ اللهِ وَلَمْ تُؤَدُّوا شُكْرَهَا Kalian menikmati nikmat Allah, namun tidak bersyukur. Nikmat lidah, tangan, waktu, uang, kesehatan, semua digunakan untuk maksiat, bukan ketaatan. 10. وَدَفَنْتُمْ مَوْتَاكُمْ وَلَمْ تَعْتَبِرُوا بِهِمْ Kalian menguburkan orang-orang mati, namun tidak mengambil pelajaran dari mereka. Setiap jenazah yang dikuburkan adalah pengingat bahwa kita pun akan menyusul. Tapi hati kita tetap keras.   Penutup: Mari Kita Muhasabah Kisah dan nasihat ini diriwayatkan oleh Abu Nu‘aim dalam Hilyatul Auliya’, dan juga disebut oleh Al-Qurthubi dalam tafsirnya, serta oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin. Maka kisah ini memiliki asal dari kalangan ulama salaf. Semoga kita bisa menjadikan nasihat ini sebagai bahan muhasabah diri, agar doa-doa kita lebih layak untuk dikabulkan, dan hati kita kembali hidup dengan iman dan amal salih. إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ ۗ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)   – 24 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsadab berdoa adab doa amal saleh amalan doa cara doa cinta nabi doa doa tidak dikabulkan hati yang mati ibrahim bin adham introspeksi diri kematian makna doa maksiat muhasabah nasihat salaf quran dan sunnah sebab doa tertolak shalat surga dan neraka syukur taubat ulama salaf zuhud
Banyak orang mengeluhkan doa-doa mereka belum juga terkabul. Padahal mereka merasa sudah bersungguh-sungguh dalam berdoa, mengangkat tangan, merendahkan hati, bahkan meneteskan air mata. Namun, hasil yang diharapkan belum juga datang. Pertanyaannya, mengapa doa kita tidak dikabulkan? Pertanyaan ini pernah ditanyakan kepada seorang ulama besar dari kalangan tabi’in, yaitu Ibrahim bin Adham rahimahullah, seorang ahli zuhud yang dikenal karena ketakwaannya, ketajaman hatinya, dan nasihat-nasihatnya yang menyentuh jiwa.   Kisah yang Menggugah di Pasar Bashrah Dikisahkan bahwa suatu hari, Ibrahim bin Adham melewati pasar di kota Bashrah. Maka datanglah orang-orang kepadanya dan bertanya: يَا أَبَا إِسْحَاقَ، إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُولُ: وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ، فَنَحْنُ نَدْعُوهُ مُنْذُ زَمَانٍ طَوِيلٍ فَلَا يُسْتَجَابُ لَنَا، فَمَا السَّبَبُ؟ “Wahai Abu Ishaq, Allah Ta’ala berfirman: ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan kalian’ (QS. Ghafir: 60). Kami telah lama berdoa kepada-Nya, namun doa-doa kami tidak dikabulkan. Apa sebabnya?” Lalu beliau menjawab dengan penuh hikmah: لِأَنَّ قُلُوبَكُمْ مَاتَتْ بِعَشْرَةِ أَشْيَاءَ “Karena hati kalian telah mati oleh sepuluh perkara.”   Inilah 10 Penyebab Doa Tidak Dikabulkan: 1. عَرَفْتُمُ اللهَ وَلَمْ تُؤَدُّوا حَقَّهُ Kalian mengenal Allah, namun tidak menunaikan hak-Nya. Kita tahu Allah adalah Tuhan yang Maha Esa, namun tidak menunaikan hak-Nya berupa tauhid, ketaatan, dan rasa takut serta cinta kepada-Nya. 2. وَقَرَأْتُمُ الْقُرْآنَ وَلَمْ تَعْمَلُوا بِهِ Kalian membaca Al-Qur’an, namun tidak mengamalkannya. Al-Qur’an dibaca, dihafal, bahkan dilombakan. Tapi isinya tidak dijadikan panduan hidup. 3. وَزَعَمْتُمْ حُبَّ نَبِيِّكُمْ وَتَرَكْتُمْ سُنَّتَهُ Kalian mengaku cinta Nabi kalian, namun meninggalkan sunnahnya. Cinta Nabi bukan sekadar slogan, tapi dibuktikan dengan mengikuti sunnah beliau dalam ibadah, akhlak, dan seluruh aspek kehidupan. 4. وَقُلْتُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ وَوَافَقْتُمُوهُ Kalian mengatakan bahwa setan adalah musuh, namun kalian malah menaatinya. Kita tahu setan menyesatkan manusia, tapi kita ikuti godaannya, menuruti hawa nafsu, dan berpaling dari jalan kebenaran. 5. وَقُلْتُمْ إِنَّكُمْ مُشْتَاقُونَ إِلَى الْجَنَّةِ وَلَمْ تَعْمَلُوا لَهَا Kalian mengaku rindu surga, namun tidak beramal untuk meraihnya. Surga tidak diraih dengan angan-angan. Harus ada amal, perjuangan, dan ketaatan. 6. وَقُلْتُمْ إِنَّكُمْ تَخَافُونَ النَّارَ وَلَمْ تَهْرُبُوا مِنْهَا Kalian mengaku takut neraka, namun tidak menjauhi sebab-sebabnya. Takut neraka tapi masih lalai dari shalat, suka ghibah, malas taubat, dan banyak maksiat. 7. وَقُلْتُمْ إِنَّ الْمَوْتَ حَقٌّ وَلَمْ تَسْتَعِدُّوا لَهُ Kalian meyakini kematian itu pasti, namun tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Padahal kematian bisa datang kapan saja, namun kita masih sibuk menumpuk dunia dan melalaikan akhirat. 8. وَاشْتَغَلْتُمْ بِعُيُوبِ النَّاسِ وَتَرَكْتُمْ عُيُوبَكُمْ Kalian sibuk mencari-cari aib orang lain, dan melupakan aib diri sendiri. Padahal keselamatan diri lebih utama. Namun banyak orang lupa introspeksi, malah sibuk mengomentari orang lain. 9. وَأَكَلْتُمْ نِعَمَ اللهِ وَلَمْ تُؤَدُّوا شُكْرَهَا Kalian menikmati nikmat Allah, namun tidak bersyukur. Nikmat lidah, tangan, waktu, uang, kesehatan, semua digunakan untuk maksiat, bukan ketaatan. 10. وَدَفَنْتُمْ مَوْتَاكُمْ وَلَمْ تَعْتَبِرُوا بِهِمْ Kalian menguburkan orang-orang mati, namun tidak mengambil pelajaran dari mereka. Setiap jenazah yang dikuburkan adalah pengingat bahwa kita pun akan menyusul. Tapi hati kita tetap keras.   Penutup: Mari Kita Muhasabah Kisah dan nasihat ini diriwayatkan oleh Abu Nu‘aim dalam Hilyatul Auliya’, dan juga disebut oleh Al-Qurthubi dalam tafsirnya, serta oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin. Maka kisah ini memiliki asal dari kalangan ulama salaf. Semoga kita bisa menjadikan nasihat ini sebagai bahan muhasabah diri, agar doa-doa kita lebih layak untuk dikabulkan, dan hati kita kembali hidup dengan iman dan amal salih. إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ ۗ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)   – 24 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsadab berdoa adab doa amal saleh amalan doa cara doa cinta nabi doa doa tidak dikabulkan hati yang mati ibrahim bin adham introspeksi diri kematian makna doa maksiat muhasabah nasihat salaf quran dan sunnah sebab doa tertolak shalat surga dan neraka syukur taubat ulama salaf zuhud


Banyak orang mengeluhkan doa-doa mereka belum juga terkabul. Padahal mereka merasa sudah bersungguh-sungguh dalam berdoa, mengangkat tangan, merendahkan hati, bahkan meneteskan air mata. Namun, hasil yang diharapkan belum juga datang. Pertanyaannya, mengapa doa kita tidak dikabulkan? Pertanyaan ini pernah ditanyakan kepada seorang ulama besar dari kalangan tabi’in, yaitu Ibrahim bin Adham rahimahullah, seorang ahli zuhud yang dikenal karena ketakwaannya, ketajaman hatinya, dan nasihat-nasihatnya yang menyentuh jiwa.   Kisah yang Menggugah di Pasar Bashrah Dikisahkan bahwa suatu hari, Ibrahim bin Adham melewati pasar di kota Bashrah. Maka datanglah orang-orang kepadanya dan bertanya: يَا أَبَا إِسْحَاقَ، إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُولُ: وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ، فَنَحْنُ نَدْعُوهُ مُنْذُ زَمَانٍ طَوِيلٍ فَلَا يُسْتَجَابُ لَنَا، فَمَا السَّبَبُ؟ “Wahai Abu Ishaq, Allah Ta’ala berfirman: ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan kalian’ (QS. Ghafir: 60). Kami telah lama berdoa kepada-Nya, namun doa-doa kami tidak dikabulkan. Apa sebabnya?” Lalu beliau menjawab dengan penuh hikmah: لِأَنَّ قُلُوبَكُمْ مَاتَتْ بِعَشْرَةِ أَشْيَاءَ “Karena hati kalian telah mati oleh sepuluh perkara.”   Inilah 10 Penyebab Doa Tidak Dikabulkan: 1. عَرَفْتُمُ اللهَ وَلَمْ تُؤَدُّوا حَقَّهُ Kalian mengenal Allah, namun tidak menunaikan hak-Nya. Kita tahu Allah adalah Tuhan yang Maha Esa, namun tidak menunaikan hak-Nya berupa tauhid, ketaatan, dan rasa takut serta cinta kepada-Nya. 2. وَقَرَأْتُمُ الْقُرْآنَ وَلَمْ تَعْمَلُوا بِهِ Kalian membaca Al-Qur’an, namun tidak mengamalkannya. Al-Qur’an dibaca, dihafal, bahkan dilombakan. Tapi isinya tidak dijadikan panduan hidup. 3. وَزَعَمْتُمْ حُبَّ نَبِيِّكُمْ وَتَرَكْتُمْ سُنَّتَهُ Kalian mengaku cinta Nabi kalian, namun meninggalkan sunnahnya. Cinta Nabi bukan sekadar slogan, tapi dibuktikan dengan mengikuti sunnah beliau dalam ibadah, akhlak, dan seluruh aspek kehidupan. 4. وَقُلْتُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ وَوَافَقْتُمُوهُ Kalian mengatakan bahwa setan adalah musuh, namun kalian malah menaatinya. Kita tahu setan menyesatkan manusia, tapi kita ikuti godaannya, menuruti hawa nafsu, dan berpaling dari jalan kebenaran. 5. وَقُلْتُمْ إِنَّكُمْ مُشْتَاقُونَ إِلَى الْجَنَّةِ وَلَمْ تَعْمَلُوا لَهَا Kalian mengaku rindu surga, namun tidak beramal untuk meraihnya. Surga tidak diraih dengan angan-angan. Harus ada amal, perjuangan, dan ketaatan. 6. وَقُلْتُمْ إِنَّكُمْ تَخَافُونَ النَّارَ وَلَمْ تَهْرُبُوا مِنْهَا Kalian mengaku takut neraka, namun tidak menjauhi sebab-sebabnya. Takut neraka tapi masih lalai dari shalat, suka ghibah, malas taubat, dan banyak maksiat. 7. وَقُلْتُمْ إِنَّ الْمَوْتَ حَقٌّ وَلَمْ تَسْتَعِدُّوا لَهُ Kalian meyakini kematian itu pasti, namun tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Padahal kematian bisa datang kapan saja, namun kita masih sibuk menumpuk dunia dan melalaikan akhirat. 8. وَاشْتَغَلْتُمْ بِعُيُوبِ النَّاسِ وَتَرَكْتُمْ عُيُوبَكُمْ Kalian sibuk mencari-cari aib orang lain, dan melupakan aib diri sendiri. Padahal keselamatan diri lebih utama. Namun banyak orang lupa introspeksi, malah sibuk mengomentari orang lain. 9. وَأَكَلْتُمْ نِعَمَ اللهِ وَلَمْ تُؤَدُّوا شُكْرَهَا Kalian menikmati nikmat Allah, namun tidak bersyukur. Nikmat lidah, tangan, waktu, uang, kesehatan, semua digunakan untuk maksiat, bukan ketaatan. 10. وَدَفَنْتُمْ مَوْتَاكُمْ وَلَمْ تَعْتَبِرُوا بِهِمْ Kalian menguburkan orang-orang mati, namun tidak mengambil pelajaran dari mereka. Setiap jenazah yang dikuburkan adalah pengingat bahwa kita pun akan menyusul. Tapi hati kita tetap keras.   Penutup: Mari Kita Muhasabah Kisah dan nasihat ini diriwayatkan oleh Abu Nu‘aim dalam Hilyatul Auliya’, dan juga disebut oleh Al-Qurthubi dalam tafsirnya, serta oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin. Maka kisah ini memiliki asal dari kalangan ulama salaf. Semoga kita bisa menjadikan nasihat ini sebagai bahan muhasabah diri, agar doa-doa kita lebih layak untuk dikabulkan, dan hati kita kembali hidup dengan iman dan amal salih. إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ ۗ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)   – 24 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsadab berdoa adab doa amal saleh amalan doa cara doa cinta nabi doa doa tidak dikabulkan hati yang mati ibrahim bin adham introspeksi diri kematian makna doa maksiat muhasabah nasihat salaf quran dan sunnah sebab doa tertolak shalat surga dan neraka syukur taubat ulama salaf zuhud

Tafsir Surat Ath-Thariq: Yang Datang pada Waktu Malam, Penciptaan Manusia, dan Kuasa Allah

Berikut adalah penjelasan dari surah Ath-Thariq. Surah Ath-Thariq membicarakan tentang apa yang ada di malam hari, penciptaan manusia, dan kuasa Allah.   Daftar Isi tutup 1. Makna Ath-Thariq 1.1. Quran Surah Ath-Thariq ayat 1 1.2. Quran Surah Ath-Thariq ayat 2 1.3. Quran Surah Ath-Thariq ayat 3 1.4. Quran Surah Ath-Thariq ayat 4 2. Penciptaan Manusia 2.1. Quran Surah Ath-Thariq ayat 5 2.2. Quran Surah Ath-Thariq ayat 6 2.3. Quran Surah Ath-Thariq ayat 7 2.4. Quran Surah Ath-Thariq ayat 8 2.5. Quran Surah Ath-Thariq ayat 9 2.6. Quran Surah Ath-Thariq ayat 10 2.7. Quran Surah Ath-Thariq ayat 11 2.8. Quran Surah Ath-Thariq ayat 12 2.9. Quran Surah Ath-Thariq ayat 13 2.10. Quran Surah Ath-Thariq ayat 14 2.11. Quran Surah Ath-Thariq ayat 15 2.12. Quran Surah Ath-Thariq ayat 16 2.13. Quran Surah Ath-Thariq ayat 17 Makna Ath-Thariq Quran Surah Ath-Thariq ayat 1 وَٱلسَّمَآءِ وَٱلطَّارِقِ Arab-Latin: Was-samā`i waṭ-ṭāriq “Demi langit dan yang datang pada malam hari.” (QS. Ath-Thariq: 1)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 2 وَمَآ أَدْرَىٰكَ مَا ٱلطَّارِقُ Arab-Latin: wa mā adrāka maṭ-ṭāriq “tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?” (QS. Ath-Thariq: 2)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 3 ٱلنَّجْمُ ٱلثَّاقِبُ Arab-Latin: an-najmuṡ-ṡāqib “(yaitu) bintang yang cahayanya menembus.” (QS. Ath-Thariq: 3)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 4 إِن كُلُّ نَفْسٍ لَّمَّا عَلَيْهَا حَافِظٌ Arab-Latin: ing kullu nafsil lammā ‘alaihā ḥāfiẓ “tidak ada suatu jiwapun (diri) melainkan ada penjaganya.” (QS. Ath-Thariq: 4) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: Allah berfirman, “Demi langit dan yang datang pada malam hari,” kemudian yang datang di malam hari dijelaskan dengan FirmanNya, “(Yaitu) bintang yang cahayanya menembus,” yakni yang bercahaya yang cahayanya menembus dan membakar langit hingga tembus dan terlihat dari bumi. Yang benar, bintang yang cahayanya menembus adalah kata umum yang mencakup seluruh bintang yang cahayanya menembus. Ada yang menafsirkannya dengan bintang saturnus yang memecah ketujuh langit dan menembusnya hingga dapat terlihat darinya. Disebut ath-Thariq karena bintang tersebut datang di waktu malam. Obyek sumpahnya adalah Firman Allah, “Tidak ada suatu jiwa pun (diri) melainkan ada penjaganya,” yang menjaga amal perbuatannya, baik dan buruknya, dan amal yang dijaganya akan dibalas.   Penciptaan Manusia Quran Surah Ath-Thariq ayat 5 فَلْيَنظُرِ ٱلْإِنسَٰنُ مِمَّ خُلِقَ Arab-Latin: falyanẓuril-insānu mimma khuliq “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?” (QS. Ath-Thariq: 5)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 6 خُلِقَ مِن مَّآءٍ دَافِقٍ Arab-Latin: khuliqa mim mā`in dāfiq “Dia diciptakan dari air yang dipancarkan.” (QS. Ath-Thariq: 6)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 7 يَخْرُجُ مِنۢ بَيْنِ ٱلصُّلْبِ وَٱلتَّرَآئِبِ Arab-Latin: yakhruju mim bainiṣ-ṣulbi wat-tarā`ib “yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.” (QS. Ath-Thariq: 7) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?” Yakni, hendaklah manusia merenungkan penciptaan dan permulaannya, dia adalah makhluk (yang tercipta) “dari air yang terpancar,” yaitu air mani yang “keluar di antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.” Kemungkinan yang dimaksud adalah tulang belakang lelaki dan tulang dada perempuan dan kemungkinan yang dimaksud adalah air mani yang memancar, yaitu air mani lelaki, karena air mani keluar di antara tulang punggung dan tulang dada. Dan sepertinya inilah yang lebih utama, karena sifat air yang memancar yang bisa dilihat dan dirasakan pancarannya adalah air mani lelaki. Di samping itu, kata tara’ib juga dipakai untuk kaum lelaki yang bagi kaum wanita adalah tulang dada. Andai yang dimaksudkan adalah wanita, tentu yang disebutkan adalah tulang sulbi dan tulang dada perempuan. Wallahu a’lam   Quran Surah Ath-Thariq ayat 8 إِنَّهُۥ عَلَىٰ رَجْعِهِۦ لَقَادِرٌ Arab-Latin: innahụ ‘alā raj’ihī laqādir “Sesungguhnya Allah benar-benar kuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati).”  (QS. Ath-Thariq: 8)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 9 يَوْمَ تُبْلَى ٱلسَّرَآئِرُ Arab-Latin: yauma tublas-sarā`ir “Pada hari ditampakkan segala rahasia.” (QS. Ath-Thariq: 9) Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan … وفي التعبير عن الأعمال بالسر لطيفة: وهو أن الأعمال نتائج السرائر الباطنة، فمن كانت سريرته صالحة كان عمله صالحاً، فتبدو سريرته على وجهه نوراً وإشراقاً وحياء، ومن كانت سريرته فاسدة كان عمله تابعاً لسريرته، لا اعتبار بصورته، فتبدو سريرته على وجهه سواداً وظلمة وشيناً، وإن كان الذي يبدو عليه في الدنيا إنما هو عمله لا سريرته، فيوم القيامة تبدو عليه سريرته، ويكون الحكم والظهور لها. “Dalam penyebutan amal perbuatan dengan kata ‘rahasia’ (al-sirr), terdapat makna yang halus dan mendalam, yaitu: Amal perbuatan seseorang merupakan cerminan dari apa yang tersembunyi dalam batinnya. Jika batinnya baik, maka amalnya pun akan baik. Batin yang baik itu akan tampak di wajahnya dalam bentuk cahaya, pancaran kebaikan, dan rasa malu (yang positif). Sebaliknya, jika batinnya rusak, maka amalnya pun akan mengikuti kerusakan tersebut—tanpa melihat bagus atau tidaknya tampilan lahiriah. Batin yang rusak itu akan tampak di wajahnya sebagai kegelapan, kesuraman, dan keburukan. Meskipun di dunia yang tampak hanyalah amal lahiriah, bukan isi batin, maka di hari kiamat nanti yang akan tampak dan menjadi penentu adalah isi batin seseorang. Di saat itu, penilaian dan penampakan yang sesungguhnya akan bergantung pada kondisi batin.” Imam Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan … أي: تخرج مخبآتها وتظهر؛ وهو كل ما كان استسره الإنسان من خير أو شر وأضمره من إيمان أو كفر… قال ابن عمر رضي الله عنهما: يبدي الله يوم القيامة كل سر خفي فيكون زيناً في الوجوه وشيناً في الوجوه. “Yakni: segala yang tersembunyi akan dikeluarkan dan ditampakkan. Itu mencakup semua yang disembunyikan oleh seseorang, baik berupa kebaikan maupun keburukan, serta apa pun yang ia simpan dalam hatinya, apakah iman atau kekufuran… Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: ‘Allah akan menampakkan pada hari kiamat setiap rahasia yang tersembunyi. Maka ia akan menjadi perhiasan di wajah-wajah (orang beriman) atau menjadi aib dan cela di wajah-wajah (orang kafir dan munafik).'” Quran Surah Ath-Thariq ayat 10 فَمَا لَهُۥ مِن قُوَّةٍ وَلَا نَاصِرٍ Arab-Latin: fa mā lahụ ming quwwatiw wa lā nāṣir “maka sekali-kali tidak ada bagi manusia itu suatu kekuatanpun dan tidak (pula) seorang penolong.”  (QS. Ath-Thariq: 10) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: Dzat yang menciptakan manusia dari air yang memancar yang keluar dari tempat yang sulit, tentu mampu untuk mengembalikannya di akhirat dan untuk membangkitkan, mengumpulkan, dan memberi balasan. Ada yang menafsirkan bahwa maknanya adalah, sesungguhnya Allah kuasa untuk mengembalikan air mani yang terpancar ke dalam tulang sulbi kembali. Karena itu Allah berfirman setelahnya, “Pada hari dinampakkan segala rahasia,” yaitu rahasia-rahasia dada ditampakkan dan segala kebaikan dan keburukan yang ada di hati terlihat pada rona muka. Seperti difirmankan Allah, “Pada hari wajah-wajah memutih dan wajah-wajah menghitam.” (Ali Imran: 106). Di dalam dunia, banyak hal yang bisa disembunyikan yang tidak tampak oleh mata manusia, tapi di Hari Kiamat, kebaikan orang-orang baik dan dosa orang-orang yang berdosa pasti nampak. Semua hal menjadi terang dan jelas. Allah berfirman, “Maka sekali-kali tidak ada bagi manusia itu suatu kekuatan pun,” yakni dari dirinya yang bisa menangkal , “dan tidak (pula) seorang penolong” dari luar yang menolongnya. Ini adalah sumpah terhadap orang-orang yang berbuat pada saat mereka melakukannya dan pada saat mereka diberi balasan. Quran Surah Ath-Thariq ayat 11 وَٱلسَّمَآءِ ذَاتِ ٱلرَّجْعِ Arab-Latin: was-samā`i żātir-raj’ “Demi langit yang mengandung hujan.”  (QS. Ath-Thariq: 11)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 12 وَٱلْأَرْضِ ذَاتِ ٱلصَّدْعِ Arab-Latin: wal-arḍi żātiṣ-ṣad’ “dan bumi yang mempunyai tumbuh-tumbuhan.” (QS. Ath-Thariq: 12)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 13 إِنَّهُۥ لَقَوْلٌ فَصْلٌ Arab-Latin: innahụ laqaulun faṣl “sesungguhnya Al Quran itu benar-benar firman yang memisahkan antara yang hak dan yang batil.”  (QS. Ath-Thariq: 13)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 14 وَمَا هُوَ بِٱلْهَزْلِ Arab-Latin: wa mā huwa bil-hazl “dan sekali-kali bukanlah dia senda gurau.” (QS. Ath-Thariq: 14) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: Kemudian Allah membagi golongan selanjutnya berdasar keabsahan al-Qur’an seraya berfirman, “Demi langit yang mengandung hujan, dan bumi yang mempunyai tumbuh-tumbuhan,” yakni langit membawa hujan setiap tahunnya dan bumi mengembalikannya berupa tumbuh-tumbuhan sehingga manusia dan binatang bisa hidup dengannya. Langit juga membawa takdir dan urusan-urusan ilahi di setiap waktu sedangkan bumi menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. “Sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar Firman yang memisahkan antara yang haq dan yang batil,” yaitu benar, jujur, jelas, dan terang, “dan sekali-kali bukanlah ia senda gurau,” yakni serius, bukan senda gurau. Al-Qur’an adalah Firman yang membedakan antara berbagai golongan dan berbagai perkataan, serta memutuskan berbagai sengketa.   Quran Surah Ath-Thariq ayat 15 إِنَّهُمْ يَكِيدُونَ كَيْدًا Arab-Latin: innahum yakīdụna kaidā “Sesungguhnya orang kafir itu merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya.”  (QS. Ath-Thariq: 15)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 16 وَأَكِيدُ كَيْدًا Arab-Latin: wa akīdu kaidā “Dan Akupun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya.”  (QS. Ath-Thariq: 16)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 17 فَمَهِّلِ ٱلْكَٰفِرِينَ أَمْهِلْهُمْ رُوَيْدًۢا Arab-Latin: fa mahhilil-kāfirīna am-hil-hum ruwaidā “Karena itu beri tangguhlah orang-orang kafir itu yaitu beri tangguhlah mereka itu barang sebentar.”  (QS. Ath-Thariq: 17) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: “Sesungguhnya orang kafir itu,” yaitu orang-orang yang mendustakan Rasulullah dan al-Qur’an, “merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya,” agar dengan tipu daya mereka dapat menolak kebenaran dan menguatkan kebatilan. “Dan Aku pun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya,” untuk menampakkan kebenaran meski orang-orang kafir benci dan untuk menangkal kebatilan yang mereka bawa. Dengan demikian akan diketahui siapakah yang menang. Manusia sangatlah lemah dan hina untuk bisa mengalahkan Allah yang Mahakuat lagi Maha Mengetahui dalam rencana pembalasan terhadap tipu daya. “Karena itu beri tangguhlah orang-orang kafir itu, yaitu beri tangguhlah mereka itu barang sebentar,” yakni sementara waktu, dan mereka akan mengetahui resiko sikap mereka pada saat siksaan menimpa.   – Disempurnakan pada 26 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsath thariq renungan renungan ayat renungan quran tafsir juz amma

Tafsir Surat Ath-Thariq: Yang Datang pada Waktu Malam, Penciptaan Manusia, dan Kuasa Allah

Berikut adalah penjelasan dari surah Ath-Thariq. Surah Ath-Thariq membicarakan tentang apa yang ada di malam hari, penciptaan manusia, dan kuasa Allah.   Daftar Isi tutup 1. Makna Ath-Thariq 1.1. Quran Surah Ath-Thariq ayat 1 1.2. Quran Surah Ath-Thariq ayat 2 1.3. Quran Surah Ath-Thariq ayat 3 1.4. Quran Surah Ath-Thariq ayat 4 2. Penciptaan Manusia 2.1. Quran Surah Ath-Thariq ayat 5 2.2. Quran Surah Ath-Thariq ayat 6 2.3. Quran Surah Ath-Thariq ayat 7 2.4. Quran Surah Ath-Thariq ayat 8 2.5. Quran Surah Ath-Thariq ayat 9 2.6. Quran Surah Ath-Thariq ayat 10 2.7. Quran Surah Ath-Thariq ayat 11 2.8. Quran Surah Ath-Thariq ayat 12 2.9. Quran Surah Ath-Thariq ayat 13 2.10. Quran Surah Ath-Thariq ayat 14 2.11. Quran Surah Ath-Thariq ayat 15 2.12. Quran Surah Ath-Thariq ayat 16 2.13. Quran Surah Ath-Thariq ayat 17 Makna Ath-Thariq Quran Surah Ath-Thariq ayat 1 وَٱلسَّمَآءِ وَٱلطَّارِقِ Arab-Latin: Was-samā`i waṭ-ṭāriq “Demi langit dan yang datang pada malam hari.” (QS. Ath-Thariq: 1)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 2 وَمَآ أَدْرَىٰكَ مَا ٱلطَّارِقُ Arab-Latin: wa mā adrāka maṭ-ṭāriq “tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?” (QS. Ath-Thariq: 2)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 3 ٱلنَّجْمُ ٱلثَّاقِبُ Arab-Latin: an-najmuṡ-ṡāqib “(yaitu) bintang yang cahayanya menembus.” (QS. Ath-Thariq: 3)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 4 إِن كُلُّ نَفْسٍ لَّمَّا عَلَيْهَا حَافِظٌ Arab-Latin: ing kullu nafsil lammā ‘alaihā ḥāfiẓ “tidak ada suatu jiwapun (diri) melainkan ada penjaganya.” (QS. Ath-Thariq: 4) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: Allah berfirman, “Demi langit dan yang datang pada malam hari,” kemudian yang datang di malam hari dijelaskan dengan FirmanNya, “(Yaitu) bintang yang cahayanya menembus,” yakni yang bercahaya yang cahayanya menembus dan membakar langit hingga tembus dan terlihat dari bumi. Yang benar, bintang yang cahayanya menembus adalah kata umum yang mencakup seluruh bintang yang cahayanya menembus. Ada yang menafsirkannya dengan bintang saturnus yang memecah ketujuh langit dan menembusnya hingga dapat terlihat darinya. Disebut ath-Thariq karena bintang tersebut datang di waktu malam. Obyek sumpahnya adalah Firman Allah, “Tidak ada suatu jiwa pun (diri) melainkan ada penjaganya,” yang menjaga amal perbuatannya, baik dan buruknya, dan amal yang dijaganya akan dibalas.   Penciptaan Manusia Quran Surah Ath-Thariq ayat 5 فَلْيَنظُرِ ٱلْإِنسَٰنُ مِمَّ خُلِقَ Arab-Latin: falyanẓuril-insānu mimma khuliq “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?” (QS. Ath-Thariq: 5)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 6 خُلِقَ مِن مَّآءٍ دَافِقٍ Arab-Latin: khuliqa mim mā`in dāfiq “Dia diciptakan dari air yang dipancarkan.” (QS. Ath-Thariq: 6)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 7 يَخْرُجُ مِنۢ بَيْنِ ٱلصُّلْبِ وَٱلتَّرَآئِبِ Arab-Latin: yakhruju mim bainiṣ-ṣulbi wat-tarā`ib “yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.” (QS. Ath-Thariq: 7) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?” Yakni, hendaklah manusia merenungkan penciptaan dan permulaannya, dia adalah makhluk (yang tercipta) “dari air yang terpancar,” yaitu air mani yang “keluar di antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.” Kemungkinan yang dimaksud adalah tulang belakang lelaki dan tulang dada perempuan dan kemungkinan yang dimaksud adalah air mani yang memancar, yaitu air mani lelaki, karena air mani keluar di antara tulang punggung dan tulang dada. Dan sepertinya inilah yang lebih utama, karena sifat air yang memancar yang bisa dilihat dan dirasakan pancarannya adalah air mani lelaki. Di samping itu, kata tara’ib juga dipakai untuk kaum lelaki yang bagi kaum wanita adalah tulang dada. Andai yang dimaksudkan adalah wanita, tentu yang disebutkan adalah tulang sulbi dan tulang dada perempuan. Wallahu a’lam   Quran Surah Ath-Thariq ayat 8 إِنَّهُۥ عَلَىٰ رَجْعِهِۦ لَقَادِرٌ Arab-Latin: innahụ ‘alā raj’ihī laqādir “Sesungguhnya Allah benar-benar kuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati).”  (QS. Ath-Thariq: 8)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 9 يَوْمَ تُبْلَى ٱلسَّرَآئِرُ Arab-Latin: yauma tublas-sarā`ir “Pada hari ditampakkan segala rahasia.” (QS. Ath-Thariq: 9) Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan … وفي التعبير عن الأعمال بالسر لطيفة: وهو أن الأعمال نتائج السرائر الباطنة، فمن كانت سريرته صالحة كان عمله صالحاً، فتبدو سريرته على وجهه نوراً وإشراقاً وحياء، ومن كانت سريرته فاسدة كان عمله تابعاً لسريرته، لا اعتبار بصورته، فتبدو سريرته على وجهه سواداً وظلمة وشيناً، وإن كان الذي يبدو عليه في الدنيا إنما هو عمله لا سريرته، فيوم القيامة تبدو عليه سريرته، ويكون الحكم والظهور لها. “Dalam penyebutan amal perbuatan dengan kata ‘rahasia’ (al-sirr), terdapat makna yang halus dan mendalam, yaitu: Amal perbuatan seseorang merupakan cerminan dari apa yang tersembunyi dalam batinnya. Jika batinnya baik, maka amalnya pun akan baik. Batin yang baik itu akan tampak di wajahnya dalam bentuk cahaya, pancaran kebaikan, dan rasa malu (yang positif). Sebaliknya, jika batinnya rusak, maka amalnya pun akan mengikuti kerusakan tersebut—tanpa melihat bagus atau tidaknya tampilan lahiriah. Batin yang rusak itu akan tampak di wajahnya sebagai kegelapan, kesuraman, dan keburukan. Meskipun di dunia yang tampak hanyalah amal lahiriah, bukan isi batin, maka di hari kiamat nanti yang akan tampak dan menjadi penentu adalah isi batin seseorang. Di saat itu, penilaian dan penampakan yang sesungguhnya akan bergantung pada kondisi batin.” Imam Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan … أي: تخرج مخبآتها وتظهر؛ وهو كل ما كان استسره الإنسان من خير أو شر وأضمره من إيمان أو كفر… قال ابن عمر رضي الله عنهما: يبدي الله يوم القيامة كل سر خفي فيكون زيناً في الوجوه وشيناً في الوجوه. “Yakni: segala yang tersembunyi akan dikeluarkan dan ditampakkan. Itu mencakup semua yang disembunyikan oleh seseorang, baik berupa kebaikan maupun keburukan, serta apa pun yang ia simpan dalam hatinya, apakah iman atau kekufuran… Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: ‘Allah akan menampakkan pada hari kiamat setiap rahasia yang tersembunyi. Maka ia akan menjadi perhiasan di wajah-wajah (orang beriman) atau menjadi aib dan cela di wajah-wajah (orang kafir dan munafik).'” Quran Surah Ath-Thariq ayat 10 فَمَا لَهُۥ مِن قُوَّةٍ وَلَا نَاصِرٍ Arab-Latin: fa mā lahụ ming quwwatiw wa lā nāṣir “maka sekali-kali tidak ada bagi manusia itu suatu kekuatanpun dan tidak (pula) seorang penolong.”  (QS. Ath-Thariq: 10) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: Dzat yang menciptakan manusia dari air yang memancar yang keluar dari tempat yang sulit, tentu mampu untuk mengembalikannya di akhirat dan untuk membangkitkan, mengumpulkan, dan memberi balasan. Ada yang menafsirkan bahwa maknanya adalah, sesungguhnya Allah kuasa untuk mengembalikan air mani yang terpancar ke dalam tulang sulbi kembali. Karena itu Allah berfirman setelahnya, “Pada hari dinampakkan segala rahasia,” yaitu rahasia-rahasia dada ditampakkan dan segala kebaikan dan keburukan yang ada di hati terlihat pada rona muka. Seperti difirmankan Allah, “Pada hari wajah-wajah memutih dan wajah-wajah menghitam.” (Ali Imran: 106). Di dalam dunia, banyak hal yang bisa disembunyikan yang tidak tampak oleh mata manusia, tapi di Hari Kiamat, kebaikan orang-orang baik dan dosa orang-orang yang berdosa pasti nampak. Semua hal menjadi terang dan jelas. Allah berfirman, “Maka sekali-kali tidak ada bagi manusia itu suatu kekuatan pun,” yakni dari dirinya yang bisa menangkal , “dan tidak (pula) seorang penolong” dari luar yang menolongnya. Ini adalah sumpah terhadap orang-orang yang berbuat pada saat mereka melakukannya dan pada saat mereka diberi balasan. Quran Surah Ath-Thariq ayat 11 وَٱلسَّمَآءِ ذَاتِ ٱلرَّجْعِ Arab-Latin: was-samā`i żātir-raj’ “Demi langit yang mengandung hujan.”  (QS. Ath-Thariq: 11)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 12 وَٱلْأَرْضِ ذَاتِ ٱلصَّدْعِ Arab-Latin: wal-arḍi żātiṣ-ṣad’ “dan bumi yang mempunyai tumbuh-tumbuhan.” (QS. Ath-Thariq: 12)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 13 إِنَّهُۥ لَقَوْلٌ فَصْلٌ Arab-Latin: innahụ laqaulun faṣl “sesungguhnya Al Quran itu benar-benar firman yang memisahkan antara yang hak dan yang batil.”  (QS. Ath-Thariq: 13)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 14 وَمَا هُوَ بِٱلْهَزْلِ Arab-Latin: wa mā huwa bil-hazl “dan sekali-kali bukanlah dia senda gurau.” (QS. Ath-Thariq: 14) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: Kemudian Allah membagi golongan selanjutnya berdasar keabsahan al-Qur’an seraya berfirman, “Demi langit yang mengandung hujan, dan bumi yang mempunyai tumbuh-tumbuhan,” yakni langit membawa hujan setiap tahunnya dan bumi mengembalikannya berupa tumbuh-tumbuhan sehingga manusia dan binatang bisa hidup dengannya. Langit juga membawa takdir dan urusan-urusan ilahi di setiap waktu sedangkan bumi menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. “Sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar Firman yang memisahkan antara yang haq dan yang batil,” yaitu benar, jujur, jelas, dan terang, “dan sekali-kali bukanlah ia senda gurau,” yakni serius, bukan senda gurau. Al-Qur’an adalah Firman yang membedakan antara berbagai golongan dan berbagai perkataan, serta memutuskan berbagai sengketa.   Quran Surah Ath-Thariq ayat 15 إِنَّهُمْ يَكِيدُونَ كَيْدًا Arab-Latin: innahum yakīdụna kaidā “Sesungguhnya orang kafir itu merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya.”  (QS. Ath-Thariq: 15)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 16 وَأَكِيدُ كَيْدًا Arab-Latin: wa akīdu kaidā “Dan Akupun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya.”  (QS. Ath-Thariq: 16)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 17 فَمَهِّلِ ٱلْكَٰفِرِينَ أَمْهِلْهُمْ رُوَيْدًۢا Arab-Latin: fa mahhilil-kāfirīna am-hil-hum ruwaidā “Karena itu beri tangguhlah orang-orang kafir itu yaitu beri tangguhlah mereka itu barang sebentar.”  (QS. Ath-Thariq: 17) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: “Sesungguhnya orang kafir itu,” yaitu orang-orang yang mendustakan Rasulullah dan al-Qur’an, “merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya,” agar dengan tipu daya mereka dapat menolak kebenaran dan menguatkan kebatilan. “Dan Aku pun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya,” untuk menampakkan kebenaran meski orang-orang kafir benci dan untuk menangkal kebatilan yang mereka bawa. Dengan demikian akan diketahui siapakah yang menang. Manusia sangatlah lemah dan hina untuk bisa mengalahkan Allah yang Mahakuat lagi Maha Mengetahui dalam rencana pembalasan terhadap tipu daya. “Karena itu beri tangguhlah orang-orang kafir itu, yaitu beri tangguhlah mereka itu barang sebentar,” yakni sementara waktu, dan mereka akan mengetahui resiko sikap mereka pada saat siksaan menimpa.   – Disempurnakan pada 26 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsath thariq renungan renungan ayat renungan quran tafsir juz amma
Berikut adalah penjelasan dari surah Ath-Thariq. Surah Ath-Thariq membicarakan tentang apa yang ada di malam hari, penciptaan manusia, dan kuasa Allah.   Daftar Isi tutup 1. Makna Ath-Thariq 1.1. Quran Surah Ath-Thariq ayat 1 1.2. Quran Surah Ath-Thariq ayat 2 1.3. Quran Surah Ath-Thariq ayat 3 1.4. Quran Surah Ath-Thariq ayat 4 2. Penciptaan Manusia 2.1. Quran Surah Ath-Thariq ayat 5 2.2. Quran Surah Ath-Thariq ayat 6 2.3. Quran Surah Ath-Thariq ayat 7 2.4. Quran Surah Ath-Thariq ayat 8 2.5. Quran Surah Ath-Thariq ayat 9 2.6. Quran Surah Ath-Thariq ayat 10 2.7. Quran Surah Ath-Thariq ayat 11 2.8. Quran Surah Ath-Thariq ayat 12 2.9. Quran Surah Ath-Thariq ayat 13 2.10. Quran Surah Ath-Thariq ayat 14 2.11. Quran Surah Ath-Thariq ayat 15 2.12. Quran Surah Ath-Thariq ayat 16 2.13. Quran Surah Ath-Thariq ayat 17 Makna Ath-Thariq Quran Surah Ath-Thariq ayat 1 وَٱلسَّمَآءِ وَٱلطَّارِقِ Arab-Latin: Was-samā`i waṭ-ṭāriq “Demi langit dan yang datang pada malam hari.” (QS. Ath-Thariq: 1)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 2 وَمَآ أَدْرَىٰكَ مَا ٱلطَّارِقُ Arab-Latin: wa mā adrāka maṭ-ṭāriq “tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?” (QS. Ath-Thariq: 2)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 3 ٱلنَّجْمُ ٱلثَّاقِبُ Arab-Latin: an-najmuṡ-ṡāqib “(yaitu) bintang yang cahayanya menembus.” (QS. Ath-Thariq: 3)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 4 إِن كُلُّ نَفْسٍ لَّمَّا عَلَيْهَا حَافِظٌ Arab-Latin: ing kullu nafsil lammā ‘alaihā ḥāfiẓ “tidak ada suatu jiwapun (diri) melainkan ada penjaganya.” (QS. Ath-Thariq: 4) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: Allah berfirman, “Demi langit dan yang datang pada malam hari,” kemudian yang datang di malam hari dijelaskan dengan FirmanNya, “(Yaitu) bintang yang cahayanya menembus,” yakni yang bercahaya yang cahayanya menembus dan membakar langit hingga tembus dan terlihat dari bumi. Yang benar, bintang yang cahayanya menembus adalah kata umum yang mencakup seluruh bintang yang cahayanya menembus. Ada yang menafsirkannya dengan bintang saturnus yang memecah ketujuh langit dan menembusnya hingga dapat terlihat darinya. Disebut ath-Thariq karena bintang tersebut datang di waktu malam. Obyek sumpahnya adalah Firman Allah, “Tidak ada suatu jiwa pun (diri) melainkan ada penjaganya,” yang menjaga amal perbuatannya, baik dan buruknya, dan amal yang dijaganya akan dibalas.   Penciptaan Manusia Quran Surah Ath-Thariq ayat 5 فَلْيَنظُرِ ٱلْإِنسَٰنُ مِمَّ خُلِقَ Arab-Latin: falyanẓuril-insānu mimma khuliq “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?” (QS. Ath-Thariq: 5)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 6 خُلِقَ مِن مَّآءٍ دَافِقٍ Arab-Latin: khuliqa mim mā`in dāfiq “Dia diciptakan dari air yang dipancarkan.” (QS. Ath-Thariq: 6)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 7 يَخْرُجُ مِنۢ بَيْنِ ٱلصُّلْبِ وَٱلتَّرَآئِبِ Arab-Latin: yakhruju mim bainiṣ-ṣulbi wat-tarā`ib “yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.” (QS. Ath-Thariq: 7) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?” Yakni, hendaklah manusia merenungkan penciptaan dan permulaannya, dia adalah makhluk (yang tercipta) “dari air yang terpancar,” yaitu air mani yang “keluar di antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.” Kemungkinan yang dimaksud adalah tulang belakang lelaki dan tulang dada perempuan dan kemungkinan yang dimaksud adalah air mani yang memancar, yaitu air mani lelaki, karena air mani keluar di antara tulang punggung dan tulang dada. Dan sepertinya inilah yang lebih utama, karena sifat air yang memancar yang bisa dilihat dan dirasakan pancarannya adalah air mani lelaki. Di samping itu, kata tara’ib juga dipakai untuk kaum lelaki yang bagi kaum wanita adalah tulang dada. Andai yang dimaksudkan adalah wanita, tentu yang disebutkan adalah tulang sulbi dan tulang dada perempuan. Wallahu a’lam   Quran Surah Ath-Thariq ayat 8 إِنَّهُۥ عَلَىٰ رَجْعِهِۦ لَقَادِرٌ Arab-Latin: innahụ ‘alā raj’ihī laqādir “Sesungguhnya Allah benar-benar kuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati).”  (QS. Ath-Thariq: 8)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 9 يَوْمَ تُبْلَى ٱلسَّرَآئِرُ Arab-Latin: yauma tublas-sarā`ir “Pada hari ditampakkan segala rahasia.” (QS. Ath-Thariq: 9) Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan … وفي التعبير عن الأعمال بالسر لطيفة: وهو أن الأعمال نتائج السرائر الباطنة، فمن كانت سريرته صالحة كان عمله صالحاً، فتبدو سريرته على وجهه نوراً وإشراقاً وحياء، ومن كانت سريرته فاسدة كان عمله تابعاً لسريرته، لا اعتبار بصورته، فتبدو سريرته على وجهه سواداً وظلمة وشيناً، وإن كان الذي يبدو عليه في الدنيا إنما هو عمله لا سريرته، فيوم القيامة تبدو عليه سريرته، ويكون الحكم والظهور لها. “Dalam penyebutan amal perbuatan dengan kata ‘rahasia’ (al-sirr), terdapat makna yang halus dan mendalam, yaitu: Amal perbuatan seseorang merupakan cerminan dari apa yang tersembunyi dalam batinnya. Jika batinnya baik, maka amalnya pun akan baik. Batin yang baik itu akan tampak di wajahnya dalam bentuk cahaya, pancaran kebaikan, dan rasa malu (yang positif). Sebaliknya, jika batinnya rusak, maka amalnya pun akan mengikuti kerusakan tersebut—tanpa melihat bagus atau tidaknya tampilan lahiriah. Batin yang rusak itu akan tampak di wajahnya sebagai kegelapan, kesuraman, dan keburukan. Meskipun di dunia yang tampak hanyalah amal lahiriah, bukan isi batin, maka di hari kiamat nanti yang akan tampak dan menjadi penentu adalah isi batin seseorang. Di saat itu, penilaian dan penampakan yang sesungguhnya akan bergantung pada kondisi batin.” Imam Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan … أي: تخرج مخبآتها وتظهر؛ وهو كل ما كان استسره الإنسان من خير أو شر وأضمره من إيمان أو كفر… قال ابن عمر رضي الله عنهما: يبدي الله يوم القيامة كل سر خفي فيكون زيناً في الوجوه وشيناً في الوجوه. “Yakni: segala yang tersembunyi akan dikeluarkan dan ditampakkan. Itu mencakup semua yang disembunyikan oleh seseorang, baik berupa kebaikan maupun keburukan, serta apa pun yang ia simpan dalam hatinya, apakah iman atau kekufuran… Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: ‘Allah akan menampakkan pada hari kiamat setiap rahasia yang tersembunyi. Maka ia akan menjadi perhiasan di wajah-wajah (orang beriman) atau menjadi aib dan cela di wajah-wajah (orang kafir dan munafik).'” Quran Surah Ath-Thariq ayat 10 فَمَا لَهُۥ مِن قُوَّةٍ وَلَا نَاصِرٍ Arab-Latin: fa mā lahụ ming quwwatiw wa lā nāṣir “maka sekali-kali tidak ada bagi manusia itu suatu kekuatanpun dan tidak (pula) seorang penolong.”  (QS. Ath-Thariq: 10) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: Dzat yang menciptakan manusia dari air yang memancar yang keluar dari tempat yang sulit, tentu mampu untuk mengembalikannya di akhirat dan untuk membangkitkan, mengumpulkan, dan memberi balasan. Ada yang menafsirkan bahwa maknanya adalah, sesungguhnya Allah kuasa untuk mengembalikan air mani yang terpancar ke dalam tulang sulbi kembali. Karena itu Allah berfirman setelahnya, “Pada hari dinampakkan segala rahasia,” yaitu rahasia-rahasia dada ditampakkan dan segala kebaikan dan keburukan yang ada di hati terlihat pada rona muka. Seperti difirmankan Allah, “Pada hari wajah-wajah memutih dan wajah-wajah menghitam.” (Ali Imran: 106). Di dalam dunia, banyak hal yang bisa disembunyikan yang tidak tampak oleh mata manusia, tapi di Hari Kiamat, kebaikan orang-orang baik dan dosa orang-orang yang berdosa pasti nampak. Semua hal menjadi terang dan jelas. Allah berfirman, “Maka sekali-kali tidak ada bagi manusia itu suatu kekuatan pun,” yakni dari dirinya yang bisa menangkal , “dan tidak (pula) seorang penolong” dari luar yang menolongnya. Ini adalah sumpah terhadap orang-orang yang berbuat pada saat mereka melakukannya dan pada saat mereka diberi balasan. Quran Surah Ath-Thariq ayat 11 وَٱلسَّمَآءِ ذَاتِ ٱلرَّجْعِ Arab-Latin: was-samā`i żātir-raj’ “Demi langit yang mengandung hujan.”  (QS. Ath-Thariq: 11)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 12 وَٱلْأَرْضِ ذَاتِ ٱلصَّدْعِ Arab-Latin: wal-arḍi żātiṣ-ṣad’ “dan bumi yang mempunyai tumbuh-tumbuhan.” (QS. Ath-Thariq: 12)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 13 إِنَّهُۥ لَقَوْلٌ فَصْلٌ Arab-Latin: innahụ laqaulun faṣl “sesungguhnya Al Quran itu benar-benar firman yang memisahkan antara yang hak dan yang batil.”  (QS. Ath-Thariq: 13)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 14 وَمَا هُوَ بِٱلْهَزْلِ Arab-Latin: wa mā huwa bil-hazl “dan sekali-kali bukanlah dia senda gurau.” (QS. Ath-Thariq: 14) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: Kemudian Allah membagi golongan selanjutnya berdasar keabsahan al-Qur’an seraya berfirman, “Demi langit yang mengandung hujan, dan bumi yang mempunyai tumbuh-tumbuhan,” yakni langit membawa hujan setiap tahunnya dan bumi mengembalikannya berupa tumbuh-tumbuhan sehingga manusia dan binatang bisa hidup dengannya. Langit juga membawa takdir dan urusan-urusan ilahi di setiap waktu sedangkan bumi menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. “Sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar Firman yang memisahkan antara yang haq dan yang batil,” yaitu benar, jujur, jelas, dan terang, “dan sekali-kali bukanlah ia senda gurau,” yakni serius, bukan senda gurau. Al-Qur’an adalah Firman yang membedakan antara berbagai golongan dan berbagai perkataan, serta memutuskan berbagai sengketa.   Quran Surah Ath-Thariq ayat 15 إِنَّهُمْ يَكِيدُونَ كَيْدًا Arab-Latin: innahum yakīdụna kaidā “Sesungguhnya orang kafir itu merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya.”  (QS. Ath-Thariq: 15)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 16 وَأَكِيدُ كَيْدًا Arab-Latin: wa akīdu kaidā “Dan Akupun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya.”  (QS. Ath-Thariq: 16)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 17 فَمَهِّلِ ٱلْكَٰفِرِينَ أَمْهِلْهُمْ رُوَيْدًۢا Arab-Latin: fa mahhilil-kāfirīna am-hil-hum ruwaidā “Karena itu beri tangguhlah orang-orang kafir itu yaitu beri tangguhlah mereka itu barang sebentar.”  (QS. Ath-Thariq: 17) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: “Sesungguhnya orang kafir itu,” yaitu orang-orang yang mendustakan Rasulullah dan al-Qur’an, “merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya,” agar dengan tipu daya mereka dapat menolak kebenaran dan menguatkan kebatilan. “Dan Aku pun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya,” untuk menampakkan kebenaran meski orang-orang kafir benci dan untuk menangkal kebatilan yang mereka bawa. Dengan demikian akan diketahui siapakah yang menang. Manusia sangatlah lemah dan hina untuk bisa mengalahkan Allah yang Mahakuat lagi Maha Mengetahui dalam rencana pembalasan terhadap tipu daya. “Karena itu beri tangguhlah orang-orang kafir itu, yaitu beri tangguhlah mereka itu barang sebentar,” yakni sementara waktu, dan mereka akan mengetahui resiko sikap mereka pada saat siksaan menimpa.   – Disempurnakan pada 26 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsath thariq renungan renungan ayat renungan quran tafsir juz amma


Berikut adalah penjelasan dari surah Ath-Thariq. Surah Ath-Thariq membicarakan tentang apa yang ada di malam hari, penciptaan manusia, dan kuasa Allah.   Daftar Isi tutup 1. Makna Ath-Thariq 1.1. Quran Surah Ath-Thariq ayat 1 1.2. Quran Surah Ath-Thariq ayat 2 1.3. Quran Surah Ath-Thariq ayat 3 1.4. Quran Surah Ath-Thariq ayat 4 2. Penciptaan Manusia 2.1. Quran Surah Ath-Thariq ayat 5 2.2. Quran Surah Ath-Thariq ayat 6 2.3. Quran Surah Ath-Thariq ayat 7 2.4. Quran Surah Ath-Thariq ayat 8 2.5. Quran Surah Ath-Thariq ayat 9 2.6. Quran Surah Ath-Thariq ayat 10 2.7. Quran Surah Ath-Thariq ayat 11 2.8. Quran Surah Ath-Thariq ayat 12 2.9. Quran Surah Ath-Thariq ayat 13 2.10. Quran Surah Ath-Thariq ayat 14 2.11. Quran Surah Ath-Thariq ayat 15 2.12. Quran Surah Ath-Thariq ayat 16 2.13. Quran Surah Ath-Thariq ayat 17 Makna Ath-Thariq Quran Surah Ath-Thariq ayat 1 وَٱلسَّمَآءِ وَٱلطَّارِقِ Arab-Latin: Was-samā`i waṭ-ṭāriq “Demi langit dan yang datang pada malam hari.” (QS. Ath-Thariq: 1)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 2 وَمَآ أَدْرَىٰكَ مَا ٱلطَّارِقُ Arab-Latin: wa mā adrāka maṭ-ṭāriq “tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?” (QS. Ath-Thariq: 2)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 3 ٱلنَّجْمُ ٱلثَّاقِبُ Arab-Latin: an-najmuṡ-ṡāqib “(yaitu) bintang yang cahayanya menembus.” (QS. Ath-Thariq: 3)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 4 إِن كُلُّ نَفْسٍ لَّمَّا عَلَيْهَا حَافِظٌ Arab-Latin: ing kullu nafsil lammā ‘alaihā ḥāfiẓ “tidak ada suatu jiwapun (diri) melainkan ada penjaganya.” (QS. Ath-Thariq: 4) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: Allah berfirman, “Demi langit dan yang datang pada malam hari,” kemudian yang datang di malam hari dijelaskan dengan FirmanNya, “(Yaitu) bintang yang cahayanya menembus,” yakni yang bercahaya yang cahayanya menembus dan membakar langit hingga tembus dan terlihat dari bumi. Yang benar, bintang yang cahayanya menembus adalah kata umum yang mencakup seluruh bintang yang cahayanya menembus. Ada yang menafsirkannya dengan bintang saturnus yang memecah ketujuh langit dan menembusnya hingga dapat terlihat darinya. Disebut ath-Thariq karena bintang tersebut datang di waktu malam. Obyek sumpahnya adalah Firman Allah, “Tidak ada suatu jiwa pun (diri) melainkan ada penjaganya,” yang menjaga amal perbuatannya, baik dan buruknya, dan amal yang dijaganya akan dibalas.   Penciptaan Manusia Quran Surah Ath-Thariq ayat 5 فَلْيَنظُرِ ٱلْإِنسَٰنُ مِمَّ خُلِقَ Arab-Latin: falyanẓuril-insānu mimma khuliq “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?” (QS. Ath-Thariq: 5)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 6 خُلِقَ مِن مَّآءٍ دَافِقٍ Arab-Latin: khuliqa mim mā`in dāfiq “Dia diciptakan dari air yang dipancarkan.” (QS. Ath-Thariq: 6)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 7 يَخْرُجُ مِنۢ بَيْنِ ٱلصُّلْبِ وَٱلتَّرَآئِبِ Arab-Latin: yakhruju mim bainiṣ-ṣulbi wat-tarā`ib “yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.” (QS. Ath-Thariq: 7) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?” Yakni, hendaklah manusia merenungkan penciptaan dan permulaannya, dia adalah makhluk (yang tercipta) “dari air yang terpancar,” yaitu air mani yang “keluar di antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.” Kemungkinan yang dimaksud adalah tulang belakang lelaki dan tulang dada perempuan dan kemungkinan yang dimaksud adalah air mani yang memancar, yaitu air mani lelaki, karena air mani keluar di antara tulang punggung dan tulang dada. Dan sepertinya inilah yang lebih utama, karena sifat air yang memancar yang bisa dilihat dan dirasakan pancarannya adalah air mani lelaki. Di samping itu, kata tara’ib juga dipakai untuk kaum lelaki yang bagi kaum wanita adalah tulang dada. Andai yang dimaksudkan adalah wanita, tentu yang disebutkan adalah tulang sulbi dan tulang dada perempuan. Wallahu a’lam   Quran Surah Ath-Thariq ayat 8 إِنَّهُۥ عَلَىٰ رَجْعِهِۦ لَقَادِرٌ Arab-Latin: innahụ ‘alā raj’ihī laqādir “Sesungguhnya Allah benar-benar kuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati).”  (QS. Ath-Thariq: 8)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 9 يَوْمَ تُبْلَى ٱلسَّرَآئِرُ Arab-Latin: yauma tublas-sarā`ir “Pada hari ditampakkan segala rahasia.” (QS. Ath-Thariq: 9) Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan … وفي التعبير عن الأعمال بالسر لطيفة: وهو أن الأعمال نتائج السرائر الباطنة، فمن كانت سريرته صالحة كان عمله صالحاً، فتبدو سريرته على وجهه نوراً وإشراقاً وحياء، ومن كانت سريرته فاسدة كان عمله تابعاً لسريرته، لا اعتبار بصورته، فتبدو سريرته على وجهه سواداً وظلمة وشيناً، وإن كان الذي يبدو عليه في الدنيا إنما هو عمله لا سريرته، فيوم القيامة تبدو عليه سريرته، ويكون الحكم والظهور لها. “Dalam penyebutan amal perbuatan dengan kata ‘rahasia’ (al-sirr), terdapat makna yang halus dan mendalam, yaitu: Amal perbuatan seseorang merupakan cerminan dari apa yang tersembunyi dalam batinnya. Jika batinnya baik, maka amalnya pun akan baik. Batin yang baik itu akan tampak di wajahnya dalam bentuk cahaya, pancaran kebaikan, dan rasa malu (yang positif). Sebaliknya, jika batinnya rusak, maka amalnya pun akan mengikuti kerusakan tersebut—tanpa melihat bagus atau tidaknya tampilan lahiriah. Batin yang rusak itu akan tampak di wajahnya sebagai kegelapan, kesuraman, dan keburukan. Meskipun di dunia yang tampak hanyalah amal lahiriah, bukan isi batin, maka di hari kiamat nanti yang akan tampak dan menjadi penentu adalah isi batin seseorang. Di saat itu, penilaian dan penampakan yang sesungguhnya akan bergantung pada kondisi batin.” Imam Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan … أي: تخرج مخبآتها وتظهر؛ وهو كل ما كان استسره الإنسان من خير أو شر وأضمره من إيمان أو كفر… قال ابن عمر رضي الله عنهما: يبدي الله يوم القيامة كل سر خفي فيكون زيناً في الوجوه وشيناً في الوجوه. “Yakni: segala yang tersembunyi akan dikeluarkan dan ditampakkan. Itu mencakup semua yang disembunyikan oleh seseorang, baik berupa kebaikan maupun keburukan, serta apa pun yang ia simpan dalam hatinya, apakah iman atau kekufuran… Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: ‘Allah akan menampakkan pada hari kiamat setiap rahasia yang tersembunyi. Maka ia akan menjadi perhiasan di wajah-wajah (orang beriman) atau menjadi aib dan cela di wajah-wajah (orang kafir dan munafik).'” Quran Surah Ath-Thariq ayat 10 فَمَا لَهُۥ مِن قُوَّةٍ وَلَا نَاصِرٍ Arab-Latin: fa mā lahụ ming quwwatiw wa lā nāṣir “maka sekali-kali tidak ada bagi manusia itu suatu kekuatanpun dan tidak (pula) seorang penolong.”  (QS. Ath-Thariq: 10) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: Dzat yang menciptakan manusia dari air yang memancar yang keluar dari tempat yang sulit, tentu mampu untuk mengembalikannya di akhirat dan untuk membangkitkan, mengumpulkan, dan memberi balasan. Ada yang menafsirkan bahwa maknanya adalah, sesungguhnya Allah kuasa untuk mengembalikan air mani yang terpancar ke dalam tulang sulbi kembali. Karena itu Allah berfirman setelahnya, “Pada hari dinampakkan segala rahasia,” yaitu rahasia-rahasia dada ditampakkan dan segala kebaikan dan keburukan yang ada di hati terlihat pada rona muka. Seperti difirmankan Allah, “Pada hari wajah-wajah memutih dan wajah-wajah menghitam.” (Ali Imran: 106). Di dalam dunia, banyak hal yang bisa disembunyikan yang tidak tampak oleh mata manusia, tapi di Hari Kiamat, kebaikan orang-orang baik dan dosa orang-orang yang berdosa pasti nampak. Semua hal menjadi terang dan jelas. Allah berfirman, “Maka sekali-kali tidak ada bagi manusia itu suatu kekuatan pun,” yakni dari dirinya yang bisa menangkal , “dan tidak (pula) seorang penolong” dari luar yang menolongnya. Ini adalah sumpah terhadap orang-orang yang berbuat pada saat mereka melakukannya dan pada saat mereka diberi balasan. Quran Surah Ath-Thariq ayat 11 وَٱلسَّمَآءِ ذَاتِ ٱلرَّجْعِ Arab-Latin: was-samā`i żātir-raj’ “Demi langit yang mengandung hujan.”  (QS. Ath-Thariq: 11)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 12 وَٱلْأَرْضِ ذَاتِ ٱلصَّدْعِ Arab-Latin: wal-arḍi żātiṣ-ṣad’ “dan bumi yang mempunyai tumbuh-tumbuhan.” (QS. Ath-Thariq: 12)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 13 إِنَّهُۥ لَقَوْلٌ فَصْلٌ Arab-Latin: innahụ laqaulun faṣl “sesungguhnya Al Quran itu benar-benar firman yang memisahkan antara yang hak dan yang batil.”  (QS. Ath-Thariq: 13)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 14 وَمَا هُوَ بِٱلْهَزْلِ Arab-Latin: wa mā huwa bil-hazl “dan sekali-kali bukanlah dia senda gurau.” (QS. Ath-Thariq: 14) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: Kemudian Allah membagi golongan selanjutnya berdasar keabsahan al-Qur’an seraya berfirman, “Demi langit yang mengandung hujan, dan bumi yang mempunyai tumbuh-tumbuhan,” yakni langit membawa hujan setiap tahunnya dan bumi mengembalikannya berupa tumbuh-tumbuhan sehingga manusia dan binatang bisa hidup dengannya. Langit juga membawa takdir dan urusan-urusan ilahi di setiap waktu sedangkan bumi menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. “Sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar Firman yang memisahkan antara yang haq dan yang batil,” yaitu benar, jujur, jelas, dan terang, “dan sekali-kali bukanlah ia senda gurau,” yakni serius, bukan senda gurau. Al-Qur’an adalah Firman yang membedakan antara berbagai golongan dan berbagai perkataan, serta memutuskan berbagai sengketa.   Quran Surah Ath-Thariq ayat 15 إِنَّهُمْ يَكِيدُونَ كَيْدًا Arab-Latin: innahum yakīdụna kaidā “Sesungguhnya orang kafir itu merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya.”  (QS. Ath-Thariq: 15)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 16 وَأَكِيدُ كَيْدًا Arab-Latin: wa akīdu kaidā “Dan Akupun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya.”  (QS. Ath-Thariq: 16)   Quran Surah Ath-Thariq ayat 17 فَمَهِّلِ ٱلْكَٰفِرِينَ أَمْهِلْهُمْ رُوَيْدًۢا Arab-Latin: fa mahhilil-kāfirīna am-hil-hum ruwaidā “Karena itu beri tangguhlah orang-orang kafir itu yaitu beri tangguhlah mereka itu barang sebentar.”  (QS. Ath-Thariq: 17) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: “Sesungguhnya orang kafir itu,” yaitu orang-orang yang mendustakan Rasulullah dan al-Qur’an, “merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya,” agar dengan tipu daya mereka dapat menolak kebenaran dan menguatkan kebatilan. “Dan Aku pun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya,” untuk menampakkan kebenaran meski orang-orang kafir benci dan untuk menangkal kebatilan yang mereka bawa. Dengan demikian akan diketahui siapakah yang menang. Manusia sangatlah lemah dan hina untuk bisa mengalahkan Allah yang Mahakuat lagi Maha Mengetahui dalam rencana pembalasan terhadap tipu daya. “Karena itu beri tangguhlah orang-orang kafir itu, yaitu beri tangguhlah mereka itu barang sebentar,” yakni sementara waktu, dan mereka akan mengetahui resiko sikap mereka pada saat siksaan menimpa.   – Disempurnakan pada 26 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsath thariq renungan renungan ayat renungan quran tafsir juz amma

Mengejar Pujian, Menuai Penyesalan! Rugi! – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim disebutkan: “Barang siapa memperdengarkan (amalnya kepada manusia), maka Allah akan memperdengarkan (aibnya kepada manusia). Dan barang siapa berbuat riya, maka Allah akan mempermalukannya karena riya itu.” (HR. Muslim). Maksudnya, siapa saja yang sengaja menceritakan amalnya kepada manusia atau berbuat riya di hadapan mereka, maka Allah akan membuka aibnya. Allah akan menampakkan hakikat dirinya, dan membuka keburukannya, serta menyingkap apa yang tersembunyi di dalam hatinya. Artinya, orang itu akan diketahui sebagai seseorang yang melakukan sesuatu hanya demi pujian manusia–Laa haula wa laa quwwata illaa billaah! Oleh karena itu, seseorang harus selalu berusaha menjaga keikhlasan. Salah satu caranya adalah dengan menyembunyikan amal, sebagaimana telah disebutkan. Selain itu, dengan berdoa. Di antara doa yang dibaca oleh Umar bin Khattab—yang semoga bisa kalian hafalkan. Hafalkanlah! ALLAAHUMMAJ-’AL ‘AMALII KULLAHU SHOOLIHAN WAJ-’ALHU LIWAJHIKA KHOOLISHOO(Ya Allah, jadikanlah seluruh amal perbuatanku sebagai amal saleh dan jadikanlah ia ikhlas hanya untuk mengharap wajah-Mu). Syaikh Ibnu Baz sering berdoa dengan doa: ROBBI ZIDNII ‘ILMAN WARZUQNIIL BASHIIROTA FIDDIIN, WAL IKHLAASHO FIL QAULI WAL ‘AMAL(Ya Rabb, tambahkanlah ilmuku, karuniakanlah kepadaku pemahaman agama, serta keikhlasan dalam ucapan dan perbuatan). Karuniakanlah kepadaku pemahaman agama, serta keikhlasan dalam ucapan. Jika seseorang diberi taufik oleh Allah untuk ikhlas—masya Allah—maka Allah akan memberinya pertolongan dan taufik, amalannya akan terus bertambah, tanpa ia menceritakannya pada orang lain. Namun, jika ia mengotori amalannya dengan riya dan hal-hal yang semisalnya, maka–laa haula wa laa quwwata illaa billaah–ia beramal tetapi tidak memperoleh keuntungan. Wahai saudara-saudaraku, orang yang berbuat riya sebenarnya tidak memiliki akal sehat. Mengapa demikian? Karena ia tidak mendapatkan balasan apa pun dari amalnya. Lalu, apa yang ia peroleh? Hanya mendapat satu atau dua kata pujian dari sebagian orang. Kemudian, jika suatu saat aibnya terbongkar dan rahasianya tersingkap, maka pujian yang dulu ia terima akan berubah menjadi celaan. ==== وَفِي الْحَدِيثِ الْمُخَرَّجِ فِي مُسْلِمٍ مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ يَعْنِي مَنْ سَمَّعَ النَّاسَ وَرَاءَى النَّاسَ كَشَفَ اللَّهُ سِتْرَهُ وَأَظْهَرَ خَبَرَهُ وَفَضَحَهُ وَأَظْهَرَ مَا فِي سَرِيرَتِهِ يَعْنِي يُعْلَمُ الشَّخْصُ الَّذِي يَعْنِي يَقْصِدُ النَّاسَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ لِهَذَا يَنْبَغِي لِلْإِنْسَانِ دَائِمًا أَنْ يَحْرِصَ عَلَى أَسْبَابِ الْإِخْلَاصِ كَإِخْفَاءِ الْعَمَلِ كَمَا ذُكِرَ وَالدُّعَاءُ يَا إِخْوَة وَكَانَ مِنْ دُعَاءِ عُمَرَ دَعْوَةٌ لَعَلَّكُمْ تَحْفَظُونَ وَاحْفَظُوهَا اللَّهُمَّ اجْعَلْ عَمَلِي كُلَّهُ صَالِحًا وَاجْعَلْهُ لِوَجْهِكَ خَالِصًا كَانَ الشَّيْخُ ابْنُ بَازٍ يُكْثِرُ مِن الدَّعْوَةِ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا وَارْزُقْنِي الْبَصِيرَةَ فِي الدِّيْنِ وَالْإِخْلَاصَ فِي الْقَولِ وَالْعَمَلِ وَارْزُقْنِي الْبَصِيرَةَ فِي الدِّيْنِ وَالْإِخْلَاصَ فِي الْقَولِ إِذَا وُفِّقَ الْإِنْسَانُ لِلْإِخْلَاصِ مَا شَاءَ اللَّهُ أَعَانَهُ اللهُ وَوَفَّقَهُ وَنَمَى عَمَلُهُ وَسَكَتَ أَمَّا إِذَا شَابَ عَمَلَهُ مَا شَابَهُ مِنَ الرِّيَاءِ وَمَا أَشْبَهَهُ فَإِنَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ يَعْمَلُ وَلَا يَرْبَحُ وَالْمُرَائِي يَا إِخْوَانُ لَا عَقْلَ لَهُ لِمَاذَا؟ مَا يَأْخُذُ عَلَى عَمَلِهِ ثَمَنَهُ مَاذَا يَأْخُذُ؟ كَلِمَةً وَكَلِمَتَيْنِ يَقُولُهَا بَعْضُ النَّاسِ ثُمَّ إِذَا فُضِحَ وَظَهَرَ أَمْرُهُ انْقَلَبَ مَدْحُ النَّاسِ لَهُ مَاذَا يَا إِخْوَانُ ذَمَّهُ

Mengejar Pujian, Menuai Penyesalan! Rugi! – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim disebutkan: “Barang siapa memperdengarkan (amalnya kepada manusia), maka Allah akan memperdengarkan (aibnya kepada manusia). Dan barang siapa berbuat riya, maka Allah akan mempermalukannya karena riya itu.” (HR. Muslim). Maksudnya, siapa saja yang sengaja menceritakan amalnya kepada manusia atau berbuat riya di hadapan mereka, maka Allah akan membuka aibnya. Allah akan menampakkan hakikat dirinya, dan membuka keburukannya, serta menyingkap apa yang tersembunyi di dalam hatinya. Artinya, orang itu akan diketahui sebagai seseorang yang melakukan sesuatu hanya demi pujian manusia–Laa haula wa laa quwwata illaa billaah! Oleh karena itu, seseorang harus selalu berusaha menjaga keikhlasan. Salah satu caranya adalah dengan menyembunyikan amal, sebagaimana telah disebutkan. Selain itu, dengan berdoa. Di antara doa yang dibaca oleh Umar bin Khattab—yang semoga bisa kalian hafalkan. Hafalkanlah! ALLAAHUMMAJ-’AL ‘AMALII KULLAHU SHOOLIHAN WAJ-’ALHU LIWAJHIKA KHOOLISHOO(Ya Allah, jadikanlah seluruh amal perbuatanku sebagai amal saleh dan jadikanlah ia ikhlas hanya untuk mengharap wajah-Mu). Syaikh Ibnu Baz sering berdoa dengan doa: ROBBI ZIDNII ‘ILMAN WARZUQNIIL BASHIIROTA FIDDIIN, WAL IKHLAASHO FIL QAULI WAL ‘AMAL(Ya Rabb, tambahkanlah ilmuku, karuniakanlah kepadaku pemahaman agama, serta keikhlasan dalam ucapan dan perbuatan). Karuniakanlah kepadaku pemahaman agama, serta keikhlasan dalam ucapan. Jika seseorang diberi taufik oleh Allah untuk ikhlas—masya Allah—maka Allah akan memberinya pertolongan dan taufik, amalannya akan terus bertambah, tanpa ia menceritakannya pada orang lain. Namun, jika ia mengotori amalannya dengan riya dan hal-hal yang semisalnya, maka–laa haula wa laa quwwata illaa billaah–ia beramal tetapi tidak memperoleh keuntungan. Wahai saudara-saudaraku, orang yang berbuat riya sebenarnya tidak memiliki akal sehat. Mengapa demikian? Karena ia tidak mendapatkan balasan apa pun dari amalnya. Lalu, apa yang ia peroleh? Hanya mendapat satu atau dua kata pujian dari sebagian orang. Kemudian, jika suatu saat aibnya terbongkar dan rahasianya tersingkap, maka pujian yang dulu ia terima akan berubah menjadi celaan. ==== وَفِي الْحَدِيثِ الْمُخَرَّجِ فِي مُسْلِمٍ مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ يَعْنِي مَنْ سَمَّعَ النَّاسَ وَرَاءَى النَّاسَ كَشَفَ اللَّهُ سِتْرَهُ وَأَظْهَرَ خَبَرَهُ وَفَضَحَهُ وَأَظْهَرَ مَا فِي سَرِيرَتِهِ يَعْنِي يُعْلَمُ الشَّخْصُ الَّذِي يَعْنِي يَقْصِدُ النَّاسَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ لِهَذَا يَنْبَغِي لِلْإِنْسَانِ دَائِمًا أَنْ يَحْرِصَ عَلَى أَسْبَابِ الْإِخْلَاصِ كَإِخْفَاءِ الْعَمَلِ كَمَا ذُكِرَ وَالدُّعَاءُ يَا إِخْوَة وَكَانَ مِنْ دُعَاءِ عُمَرَ دَعْوَةٌ لَعَلَّكُمْ تَحْفَظُونَ وَاحْفَظُوهَا اللَّهُمَّ اجْعَلْ عَمَلِي كُلَّهُ صَالِحًا وَاجْعَلْهُ لِوَجْهِكَ خَالِصًا كَانَ الشَّيْخُ ابْنُ بَازٍ يُكْثِرُ مِن الدَّعْوَةِ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا وَارْزُقْنِي الْبَصِيرَةَ فِي الدِّيْنِ وَالْإِخْلَاصَ فِي الْقَولِ وَالْعَمَلِ وَارْزُقْنِي الْبَصِيرَةَ فِي الدِّيْنِ وَالْإِخْلَاصَ فِي الْقَولِ إِذَا وُفِّقَ الْإِنْسَانُ لِلْإِخْلَاصِ مَا شَاءَ اللَّهُ أَعَانَهُ اللهُ وَوَفَّقَهُ وَنَمَى عَمَلُهُ وَسَكَتَ أَمَّا إِذَا شَابَ عَمَلَهُ مَا شَابَهُ مِنَ الرِّيَاءِ وَمَا أَشْبَهَهُ فَإِنَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ يَعْمَلُ وَلَا يَرْبَحُ وَالْمُرَائِي يَا إِخْوَانُ لَا عَقْلَ لَهُ لِمَاذَا؟ مَا يَأْخُذُ عَلَى عَمَلِهِ ثَمَنَهُ مَاذَا يَأْخُذُ؟ كَلِمَةً وَكَلِمَتَيْنِ يَقُولُهَا بَعْضُ النَّاسِ ثُمَّ إِذَا فُضِحَ وَظَهَرَ أَمْرُهُ انْقَلَبَ مَدْحُ النَّاسِ لَهُ مَاذَا يَا إِخْوَانُ ذَمَّهُ
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim disebutkan: “Barang siapa memperdengarkan (amalnya kepada manusia), maka Allah akan memperdengarkan (aibnya kepada manusia). Dan barang siapa berbuat riya, maka Allah akan mempermalukannya karena riya itu.” (HR. Muslim). Maksudnya, siapa saja yang sengaja menceritakan amalnya kepada manusia atau berbuat riya di hadapan mereka, maka Allah akan membuka aibnya. Allah akan menampakkan hakikat dirinya, dan membuka keburukannya, serta menyingkap apa yang tersembunyi di dalam hatinya. Artinya, orang itu akan diketahui sebagai seseorang yang melakukan sesuatu hanya demi pujian manusia–Laa haula wa laa quwwata illaa billaah! Oleh karena itu, seseorang harus selalu berusaha menjaga keikhlasan. Salah satu caranya adalah dengan menyembunyikan amal, sebagaimana telah disebutkan. Selain itu, dengan berdoa. Di antara doa yang dibaca oleh Umar bin Khattab—yang semoga bisa kalian hafalkan. Hafalkanlah! ALLAAHUMMAJ-’AL ‘AMALII KULLAHU SHOOLIHAN WAJ-’ALHU LIWAJHIKA KHOOLISHOO(Ya Allah, jadikanlah seluruh amal perbuatanku sebagai amal saleh dan jadikanlah ia ikhlas hanya untuk mengharap wajah-Mu). Syaikh Ibnu Baz sering berdoa dengan doa: ROBBI ZIDNII ‘ILMAN WARZUQNIIL BASHIIROTA FIDDIIN, WAL IKHLAASHO FIL QAULI WAL ‘AMAL(Ya Rabb, tambahkanlah ilmuku, karuniakanlah kepadaku pemahaman agama, serta keikhlasan dalam ucapan dan perbuatan). Karuniakanlah kepadaku pemahaman agama, serta keikhlasan dalam ucapan. Jika seseorang diberi taufik oleh Allah untuk ikhlas—masya Allah—maka Allah akan memberinya pertolongan dan taufik, amalannya akan terus bertambah, tanpa ia menceritakannya pada orang lain. Namun, jika ia mengotori amalannya dengan riya dan hal-hal yang semisalnya, maka–laa haula wa laa quwwata illaa billaah–ia beramal tetapi tidak memperoleh keuntungan. Wahai saudara-saudaraku, orang yang berbuat riya sebenarnya tidak memiliki akal sehat. Mengapa demikian? Karena ia tidak mendapatkan balasan apa pun dari amalnya. Lalu, apa yang ia peroleh? Hanya mendapat satu atau dua kata pujian dari sebagian orang. Kemudian, jika suatu saat aibnya terbongkar dan rahasianya tersingkap, maka pujian yang dulu ia terima akan berubah menjadi celaan. ==== وَفِي الْحَدِيثِ الْمُخَرَّجِ فِي مُسْلِمٍ مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ يَعْنِي مَنْ سَمَّعَ النَّاسَ وَرَاءَى النَّاسَ كَشَفَ اللَّهُ سِتْرَهُ وَأَظْهَرَ خَبَرَهُ وَفَضَحَهُ وَأَظْهَرَ مَا فِي سَرِيرَتِهِ يَعْنِي يُعْلَمُ الشَّخْصُ الَّذِي يَعْنِي يَقْصِدُ النَّاسَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ لِهَذَا يَنْبَغِي لِلْإِنْسَانِ دَائِمًا أَنْ يَحْرِصَ عَلَى أَسْبَابِ الْإِخْلَاصِ كَإِخْفَاءِ الْعَمَلِ كَمَا ذُكِرَ وَالدُّعَاءُ يَا إِخْوَة وَكَانَ مِنْ دُعَاءِ عُمَرَ دَعْوَةٌ لَعَلَّكُمْ تَحْفَظُونَ وَاحْفَظُوهَا اللَّهُمَّ اجْعَلْ عَمَلِي كُلَّهُ صَالِحًا وَاجْعَلْهُ لِوَجْهِكَ خَالِصًا كَانَ الشَّيْخُ ابْنُ بَازٍ يُكْثِرُ مِن الدَّعْوَةِ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا وَارْزُقْنِي الْبَصِيرَةَ فِي الدِّيْنِ وَالْإِخْلَاصَ فِي الْقَولِ وَالْعَمَلِ وَارْزُقْنِي الْبَصِيرَةَ فِي الدِّيْنِ وَالْإِخْلَاصَ فِي الْقَولِ إِذَا وُفِّقَ الْإِنْسَانُ لِلْإِخْلَاصِ مَا شَاءَ اللَّهُ أَعَانَهُ اللهُ وَوَفَّقَهُ وَنَمَى عَمَلُهُ وَسَكَتَ أَمَّا إِذَا شَابَ عَمَلَهُ مَا شَابَهُ مِنَ الرِّيَاءِ وَمَا أَشْبَهَهُ فَإِنَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ يَعْمَلُ وَلَا يَرْبَحُ وَالْمُرَائِي يَا إِخْوَانُ لَا عَقْلَ لَهُ لِمَاذَا؟ مَا يَأْخُذُ عَلَى عَمَلِهِ ثَمَنَهُ مَاذَا يَأْخُذُ؟ كَلِمَةً وَكَلِمَتَيْنِ يَقُولُهَا بَعْضُ النَّاسِ ثُمَّ إِذَا فُضِحَ وَظَهَرَ أَمْرُهُ انْقَلَبَ مَدْحُ النَّاسِ لَهُ مَاذَا يَا إِخْوَانُ ذَمَّهُ


Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim disebutkan: “Barang siapa memperdengarkan (amalnya kepada manusia), maka Allah akan memperdengarkan (aibnya kepada manusia). Dan barang siapa berbuat riya, maka Allah akan mempermalukannya karena riya itu.” (HR. Muslim). Maksudnya, siapa saja yang sengaja menceritakan amalnya kepada manusia atau berbuat riya di hadapan mereka, maka Allah akan membuka aibnya. Allah akan menampakkan hakikat dirinya, dan membuka keburukannya, serta menyingkap apa yang tersembunyi di dalam hatinya. Artinya, orang itu akan diketahui sebagai seseorang yang melakukan sesuatu hanya demi pujian manusia–Laa haula wa laa quwwata illaa billaah! Oleh karena itu, seseorang harus selalu berusaha menjaga keikhlasan. Salah satu caranya adalah dengan menyembunyikan amal, sebagaimana telah disebutkan. Selain itu, dengan berdoa. Di antara doa yang dibaca oleh Umar bin Khattab—yang semoga bisa kalian hafalkan. Hafalkanlah! ALLAAHUMMAJ-’AL ‘AMALII KULLAHU SHOOLIHAN WAJ-’ALHU LIWAJHIKA KHOOLISHOO(Ya Allah, jadikanlah seluruh amal perbuatanku sebagai amal saleh dan jadikanlah ia ikhlas hanya untuk mengharap wajah-Mu). Syaikh Ibnu Baz sering berdoa dengan doa: ROBBI ZIDNII ‘ILMAN WARZUQNIIL BASHIIROTA FIDDIIN, WAL IKHLAASHO FIL QAULI WAL ‘AMAL(Ya Rabb, tambahkanlah ilmuku, karuniakanlah kepadaku pemahaman agama, serta keikhlasan dalam ucapan dan perbuatan). Karuniakanlah kepadaku pemahaman agama, serta keikhlasan dalam ucapan. Jika seseorang diberi taufik oleh Allah untuk ikhlas—masya Allah—maka Allah akan memberinya pertolongan dan taufik, amalannya akan terus bertambah, tanpa ia menceritakannya pada orang lain. Namun, jika ia mengotori amalannya dengan riya dan hal-hal yang semisalnya, maka–laa haula wa laa quwwata illaa billaah–ia beramal tetapi tidak memperoleh keuntungan. Wahai saudara-saudaraku, orang yang berbuat riya sebenarnya tidak memiliki akal sehat. Mengapa demikian? Karena ia tidak mendapatkan balasan apa pun dari amalnya. Lalu, apa yang ia peroleh? Hanya mendapat satu atau dua kata pujian dari sebagian orang. Kemudian, jika suatu saat aibnya terbongkar dan rahasianya tersingkap, maka pujian yang dulu ia terima akan berubah menjadi celaan. ==== وَفِي الْحَدِيثِ الْمُخَرَّجِ فِي مُسْلِمٍ مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ يَعْنِي مَنْ سَمَّعَ النَّاسَ وَرَاءَى النَّاسَ كَشَفَ اللَّهُ سِتْرَهُ وَأَظْهَرَ خَبَرَهُ وَفَضَحَهُ وَأَظْهَرَ مَا فِي سَرِيرَتِهِ يَعْنِي يُعْلَمُ الشَّخْصُ الَّذِي يَعْنِي يَقْصِدُ النَّاسَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ لِهَذَا يَنْبَغِي لِلْإِنْسَانِ دَائِمًا أَنْ يَحْرِصَ عَلَى أَسْبَابِ الْإِخْلَاصِ كَإِخْفَاءِ الْعَمَلِ كَمَا ذُكِرَ وَالدُّعَاءُ يَا إِخْوَة وَكَانَ مِنْ دُعَاءِ عُمَرَ دَعْوَةٌ لَعَلَّكُمْ تَحْفَظُونَ وَاحْفَظُوهَا اللَّهُمَّ اجْعَلْ عَمَلِي كُلَّهُ صَالِحًا وَاجْعَلْهُ لِوَجْهِكَ خَالِصًا كَانَ الشَّيْخُ ابْنُ بَازٍ يُكْثِرُ مِن الدَّعْوَةِ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا وَارْزُقْنِي الْبَصِيرَةَ فِي الدِّيْنِ وَالْإِخْلَاصَ فِي الْقَولِ وَالْعَمَلِ وَارْزُقْنِي الْبَصِيرَةَ فِي الدِّيْنِ وَالْإِخْلَاصَ فِي الْقَولِ إِذَا وُفِّقَ الْإِنْسَانُ لِلْإِخْلَاصِ مَا شَاءَ اللَّهُ أَعَانَهُ اللهُ وَوَفَّقَهُ وَنَمَى عَمَلُهُ وَسَكَتَ أَمَّا إِذَا شَابَ عَمَلَهُ مَا شَابَهُ مِنَ الرِّيَاءِ وَمَا أَشْبَهَهُ فَإِنَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ يَعْمَلُ وَلَا يَرْبَحُ وَالْمُرَائِي يَا إِخْوَانُ لَا عَقْلَ لَهُ لِمَاذَا؟ مَا يَأْخُذُ عَلَى عَمَلِهِ ثَمَنَهُ مَاذَا يَأْخُذُ؟ كَلِمَةً وَكَلِمَتَيْنِ يَقُولُهَا بَعْضُ النَّاسِ ثُمَّ إِذَا فُضِحَ وَظَهَرَ أَمْرُهُ انْقَلَبَ مَدْحُ النَّاسِ لَهُ مَاذَا يَا إِخْوَانُ ذَمَّهُ

Teks Khotbah Idul Fitri: Apakah Kita Sudah Menjadi Hamba yang Bersyukur?

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِىَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ چالَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا أما بعد، فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخير الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وكل ضلالة في النار اَللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر، لآاِلَهَ اِلاَّ اللَّهُ واللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر وَلِلَهِ الْحَمْدُ Ma’asyiral muslimin rahimakumullah. Jemaah salat Idulfitri yang semoga senantiasa dirahmati dan dilindungi oleh Allah Ta’ala. Di hari raya Idulfitri yang berbahagia ini, yang pertama dan yang paling utama untuk senantiasa kita ingatkan adalah untuk selalu meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Karena ketakwaan merupakan sebab seorang hamba mendapatkan kemuliaan di sisi Allah Ta’ala. Allah berfirman, إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurat: 13) Sungguh, manusia yang paling mulia di muka bumi ini bukanlah mereka yang memiliki harta yang mewah, bukan juga mereka yang memiliki kedudukan dan jabatan yang tinggi. Akan tetapi, mereka yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa kepada-Nya. Yaitu, mereka yang senantiasa menunaikan segala kewajiban yang telah diperintahkan dan menjauhi segala kemaksiatan yang dilarang. Selawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi mulia, suri teladan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga, dan para sahabatnya. اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala. Di masa-masa sekarang, kehidupan sering kali dikaitkan dengan kesulitan dan kesempitan; baik itu kesulitan di dalam mencari rezeki, susahnya mencari pekerjaan, tingginya harga-harga di pasaran, kecurangan demi kecurangan, dan berbagai macam masalah ekonomi dan sosial lainnya yang sering diangkat dalam berbagai media. Kesemuanya itu seringkali menjadi sebab putus asanya seorang muslim kepada Allah Ta’ala, dia merasa bahwa rahmat Allah dan rezeki-Nya kepadanya sangatlah sedikit. Tidak jarang pada akhirnya perkara-perkara tersebut menjadikan seorang muslim berburuk sangka kepada Allah Ta’ala. Wal iyyadhu billah. Sejatinya dirinya lupa bahwa rezeki yang Allah berikan kepada manusia tidak hanya berupa uang ataupun hal-hal yang bersifat materi duniawi saja, ia lupa bahwa kesehatan yang masih ia rasakan, nafas segar yang masih ia hirup setiap harinya, serta kesempatan untuk dapat melangkahkan kakinya, baik menuju rumah-rumah Allah ataupun menuju tanah lapang dan mushalla ini, kesemuanya juga merupakan nikmat dan karunia Allah kepadanya. Saudaraku sekalian, jangan sampai kesulitan-kesulitan yang sedang kita hadapi, permasalahan-permasalahan yang kita rasakan, pada akhirnya menjadikan kita seorang hamba yang lupa untuk bersyukur kepada Allah Ta’ala. Jangan sampai kita menjadi salah satu hamba-Nya yang tidak mengindahkan perintah Allah Ta’ala di dalam firman-Nya, فَاذْكُرُوْنِيْٓ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ “Maka, ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.”  (QS. Al-Baqarah: 152) Allahu akbar… Allahu akbar… Laa ilaaha illallahu wallahu akbar… Allahu akbar walillahil hamd… Bersyukur, wahai jemaah sekalian, merupakan salah satu sifat yang Allah sematkan kepada para Nabi-Nya dan bahkan Allah sematkan kepada diri-Nya sendiri. Allah Ta’ala berfirman, وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ “Dan Allah itu Syakur (“Maha Pembalas Jasa”) lagi Haliim (“Maha Penyantun”).” (QS. At-Taghabun: 17). Ibnu Katsir menafsirkan “As-Syakur” dalam ayat ini, “Maksudnya adalah membalas kebaikan yang sedikit dengan ganjaran yang banyak.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 8: 141) Allah Ta’ala berfirman menceritakan sifat Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, إِنَّ إِبْرَٰهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِّلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ * شَاكِرًا لِّأَنْعُمِهِ ۚ ٱجْتَبَىٰهُ وَهَدَىٰهُ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan berhati lurus. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik. Dan ia senantiasa mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.” (QS. An-Nahl: 120-121) Ibunda kita Aisyah radhiyallahu ‘anha juga menceritakan kepada kita akan betapa besarnya rasa syukur yang ditampakkan oleh baginda kita Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada Rabbnya, كانَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، إذَا صَلَّى قَامَ حتَّى تَفَطَّرَ رِجْلَاهُ، قالَتْ عَائِشَةُ: يا رَسولَ اللهِ، أَتَصْنَعُ هذا، وَقَدْ غُفِرَ لكَ ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِكَ وَما تَأَخَّرَ، فَقالَ: يا عَائِشَةُ أَفلا أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا. “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam biasanya jika beliau salat, beliau berdiri sangat lama hingga kakinya mengeras kulitnya. ‘Aisyah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau sampai demikian? Bukankan dosa-dosamu telah diampuni, baik yang telah lalu maupun yang akan datang? Rasulullah besabda, ‘Wahai Aisyah, bukankah semestinya aku menjadi hamba yang bersyukur?’” (HR. Bukhari no. 4837 dan Muslim no. 2820) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Nabi kita adalah contoh terbaik dan teladan paling tepat dalam hal bersyukur ini. Beliau mencontohkan kepada kita bahwa mensyukuri nikmat Allah Ta’ala tidak hanya dengan lintasan pada batin kita dan tidak cukup juga dengan ucapan “Alhamdulillah” dari lisan kita, akan tetapi harus diiringi juga dengan ketaatan-ketaatan kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan mengerjakan apa-apa yang diperintahkan dan disenangi oleh Allah Ta’ala ataupun dengan meninggalkan perkara-perkara yang dilarang dan dibenci oleh-Nya. Allah Ta’ala berfirman mengenai hal ini di dalam surat Ali Imran, فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ “Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya.” (QS. Ali Imran: 123) Baca juga: Tugas Kita Setelah Ramadan Pergi Allahu akbar… Allahu akbar… Laa ilaaha illallahu wallahu akbar… Allahu akbar walillahil hamd… Jemaah yang dirahmati Allah, Jangan sampai ketaatan dan ibadah yang kita lakukan di bulan Ramadan berhenti dan usai dengan selesainya bulan Ramadan. Salat malam yang kita laksanakan di dalamnya tidak pernah lagi kita laksanakan di bulan-bulan lainnya. Al-Quran yang selama bulan Ramadan ini senantiasa kita baca, tidak pernah lagi kita sentuh di kemudian hari. Padahal kita semua mengetahui bahwa nikmat dan karunia Allah tidak hanya terdapat di bulan Ramadan saja, namun tetap ada sepanjang kehidupan kita. Jangan sampai pula, dengan berlalunya bulan Ramadan, kemaksiatan-kemaksiatan yang sebelumnya kita tinggalkan kita lakukan kembali. Ketahuilah wahai jemaah salat Id sekalian, dosa dan kemaksiatan merupakan bentuk tidak adanya rasa syukur kita kepada Allah Ta’ala. Di dalam kitab Madarij As-Salikin (1: 337), Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ المَعَاصِي كُلَّهَا مِنْ نَوْعِ الكُفْرِ الأَصْغَرِ فَإِنَّهَا ضِدُّ الشُّكْرِ الَّذِي هُوَ العَمَلُ بِالطَّاعَةِ “Seluruh maksiat termasuk dalam kufur kecil. Maksiat ini bertolak belakang dengan sikap syukur. Karena bentuk syukur adalah dengan melakukan amal ketaatan.” Saudaraku sekalian, bulan Ramadan sejatinya mengajarkan kepada kita akan makna keistikamahan di dalam beribadah dan bersyukur kepada Allah Ta’ala, bahwa apa yang kita lakukan tersebut hendaknya terus kita lakukan hingga ajal menjemput kita, tidak berakhir dengan berakhirnya bulan Ramadan saja. Ummu Salamah pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لأَكْثَرِ دُعَائِكَ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ “Wahai Rasulullah kenapa engkau lebih sering berdo’a dengan do’a, ’Ya muqollibal quluub, tsabbit qolbii ‘ala diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu)’.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِىٌّ إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ “Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada di antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya.” Setelah itu, Mu’adz bin Mu’adz (yang meriwayatkan hadis ini) membacakan ayat, رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami.” (QS. Ali Imran: 8) (HR. Tirmidzi no. 3522 dan Ahmad no. 26679). Allahu akbar… Allahu akbar… Laa ilaaha illallahu wallahu akbar… Allahu akbar walillahil hamd… Jemaah salat Idulfitri yang dirahmati Allah Ta’ala, Di antara sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berkhotbah Idulfitri adalah memberikan nasihat khusus untuk kaum muslimah. Maka pada kesempatan ini, izinkan kami untuk menyampaikan nasihat kepada ibu-ibu dan wanita muslimah semuanya agar senantiasa bertakwa dan bersyukur kepada Allah Ta’ala. Senantiasalah selalu dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dan jangan pernah lupa juga untuk bersyukur dan berterimakasih kepada orang-orang yang melalui perantaranya kita mendapatkan rezeki dan karunia Allah Ta’ala. Hal inilah yang juga dinasihatkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam salah satu khotbah Idnya. Beliau bersabda, يا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فإنِّي أُرِيتُكُنَّ أكْثَرَ أهْلِ النَّارِ فَقُلْنَ: وبِمَ يا رَسولَ اللَّهِ؟ قالَ: تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ، وتَكْفُرْنَ العَشِيرَ “Wahai para wanita, bersedekahlah, karena aku sungguh melihat bahwa kalian itu yang paling banyak menghuni neraka.” Para wanita bertanya, “Kenapa bisa seperti itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Karena kalian banyak melaknat dan seringnya mendurhakai suami.” Para ulama’ juga menjelaskan bahwa makna mendurhakai suami di sini adalah, “Mereka tidak berterima kasih kepada suami mereka, dan tidak mengakui kebaikan mereka.” (HR. Bukhari no. 340 dan Muslim no. 80) Di hadis yang lain, Nabi shallallahu alaihi wasallam juga mengatakan, أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ قِيلَ أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ قَالَ يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَيَكْفُرْنَ الْإِحْسَانَ لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ “Aku diperlihatkan neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita. Karena mereka sering mengingkari. Ditanyakan, “Apakah mereka mengingkari Allah?” Beliau bersabda, “Mereka mengingkari pemberian suami, mengingkari kebaikannya. Seandainya kamu berbuat baik terhadap seseorang dari mereka sepanjang masa, lalu dia melihat satu saja kejelekan darimu, maka dia akan berkata, ‘Aku belum pernah melihat kebaikan sedikit pun darimu.’” (HR. Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907) Wahai jemaah sekalian, terutama kepada kaum wanita, tunjukkanlah rasa syukurmu kepada Allah dengan berterima kasih kepada orang-orang yang berjasa kepada dirimu, berterima kasihlah kepada mereka yang melalui perantaranya diri kita mendapatkan limpahan rezeki dari Allah Ta’ala. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah menyampaikan, لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ “Tidaklah bersyukur kepada Allah, orang yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia.” (HR. Abu Dawud no. 4811 dan Ahmad no. 7939) Allahu akbar… Allahu akbar… Laa ilaaha illallahu wallahu akbar… Allahu akbar walillahil hamd… Akhir kata, kita berdoa kepada Allah Ta’ala agar senantiasa menjadi hamba-hamba-Nya yang bersyukur kepada-Nya, baik di kala lapang maupun sempit, baik di bulan Ramadan ataupun di bulan-bulan lainnya. Kita juga memohon kepada-Nya keistikamahan dan konsistensi di dalam beramal dan melakukan ketaatan. Semoga Allah Ta’ala memberikan kesabaran dan kemudahan bagi kaum muslimin Indonesia secara khusus dan kaum muslimin di segala penjuru dunia secara umum dalam setiap kesulitan dan ujian yang menimpa, berikanlah kepada kita semua jalan keluar terbaik dalam menghadapi setiap permasalahan yang ada. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْإِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِلَّذِيْنَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ اَللَّهُمَّ آمِنَّا فِيْ أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْ مَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ وَفِّقْ وَلِيَّ أَمْرِنَا لِهُدَاكَ وَاجْعَلْ عَمَلَهُ فِيْ رِضَاكَ، وَارْزُقْهُ الْبِطَانَةَ الصَّالِحَةَ النَاصِحَةَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُولُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ ، وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا ، وَمَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا ، وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا ، وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا ، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا ، وَلا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا ، وَلا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلا مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لا يَرْحَمُنَا رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم Baca juga: Menggali Mutiara dari Idul Fitri *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel Muslim.or.id

Teks Khotbah Idul Fitri: Apakah Kita Sudah Menjadi Hamba yang Bersyukur?

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِىَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ چالَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا أما بعد، فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخير الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وكل ضلالة في النار اَللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر، لآاِلَهَ اِلاَّ اللَّهُ واللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر وَلِلَهِ الْحَمْدُ Ma’asyiral muslimin rahimakumullah. Jemaah salat Idulfitri yang semoga senantiasa dirahmati dan dilindungi oleh Allah Ta’ala. Di hari raya Idulfitri yang berbahagia ini, yang pertama dan yang paling utama untuk senantiasa kita ingatkan adalah untuk selalu meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Karena ketakwaan merupakan sebab seorang hamba mendapatkan kemuliaan di sisi Allah Ta’ala. Allah berfirman, إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurat: 13) Sungguh, manusia yang paling mulia di muka bumi ini bukanlah mereka yang memiliki harta yang mewah, bukan juga mereka yang memiliki kedudukan dan jabatan yang tinggi. Akan tetapi, mereka yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa kepada-Nya. Yaitu, mereka yang senantiasa menunaikan segala kewajiban yang telah diperintahkan dan menjauhi segala kemaksiatan yang dilarang. Selawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi mulia, suri teladan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga, dan para sahabatnya. اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala. Di masa-masa sekarang, kehidupan sering kali dikaitkan dengan kesulitan dan kesempitan; baik itu kesulitan di dalam mencari rezeki, susahnya mencari pekerjaan, tingginya harga-harga di pasaran, kecurangan demi kecurangan, dan berbagai macam masalah ekonomi dan sosial lainnya yang sering diangkat dalam berbagai media. Kesemuanya itu seringkali menjadi sebab putus asanya seorang muslim kepada Allah Ta’ala, dia merasa bahwa rahmat Allah dan rezeki-Nya kepadanya sangatlah sedikit. Tidak jarang pada akhirnya perkara-perkara tersebut menjadikan seorang muslim berburuk sangka kepada Allah Ta’ala. Wal iyyadhu billah. Sejatinya dirinya lupa bahwa rezeki yang Allah berikan kepada manusia tidak hanya berupa uang ataupun hal-hal yang bersifat materi duniawi saja, ia lupa bahwa kesehatan yang masih ia rasakan, nafas segar yang masih ia hirup setiap harinya, serta kesempatan untuk dapat melangkahkan kakinya, baik menuju rumah-rumah Allah ataupun menuju tanah lapang dan mushalla ini, kesemuanya juga merupakan nikmat dan karunia Allah kepadanya. Saudaraku sekalian, jangan sampai kesulitan-kesulitan yang sedang kita hadapi, permasalahan-permasalahan yang kita rasakan, pada akhirnya menjadikan kita seorang hamba yang lupa untuk bersyukur kepada Allah Ta’ala. Jangan sampai kita menjadi salah satu hamba-Nya yang tidak mengindahkan perintah Allah Ta’ala di dalam firman-Nya, فَاذْكُرُوْنِيْٓ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ “Maka, ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.”  (QS. Al-Baqarah: 152) Allahu akbar… Allahu akbar… Laa ilaaha illallahu wallahu akbar… Allahu akbar walillahil hamd… Bersyukur, wahai jemaah sekalian, merupakan salah satu sifat yang Allah sematkan kepada para Nabi-Nya dan bahkan Allah sematkan kepada diri-Nya sendiri. Allah Ta’ala berfirman, وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ “Dan Allah itu Syakur (“Maha Pembalas Jasa”) lagi Haliim (“Maha Penyantun”).” (QS. At-Taghabun: 17). Ibnu Katsir menafsirkan “As-Syakur” dalam ayat ini, “Maksudnya adalah membalas kebaikan yang sedikit dengan ganjaran yang banyak.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 8: 141) Allah Ta’ala berfirman menceritakan sifat Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, إِنَّ إِبْرَٰهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِّلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ * شَاكِرًا لِّأَنْعُمِهِ ۚ ٱجْتَبَىٰهُ وَهَدَىٰهُ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan berhati lurus. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik. Dan ia senantiasa mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.” (QS. An-Nahl: 120-121) Ibunda kita Aisyah radhiyallahu ‘anha juga menceritakan kepada kita akan betapa besarnya rasa syukur yang ditampakkan oleh baginda kita Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada Rabbnya, كانَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، إذَا صَلَّى قَامَ حتَّى تَفَطَّرَ رِجْلَاهُ، قالَتْ عَائِشَةُ: يا رَسولَ اللهِ، أَتَصْنَعُ هذا، وَقَدْ غُفِرَ لكَ ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِكَ وَما تَأَخَّرَ، فَقالَ: يا عَائِشَةُ أَفلا أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا. “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam biasanya jika beliau salat, beliau berdiri sangat lama hingga kakinya mengeras kulitnya. ‘Aisyah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau sampai demikian? Bukankan dosa-dosamu telah diampuni, baik yang telah lalu maupun yang akan datang? Rasulullah besabda, ‘Wahai Aisyah, bukankah semestinya aku menjadi hamba yang bersyukur?’” (HR. Bukhari no. 4837 dan Muslim no. 2820) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Nabi kita adalah contoh terbaik dan teladan paling tepat dalam hal bersyukur ini. Beliau mencontohkan kepada kita bahwa mensyukuri nikmat Allah Ta’ala tidak hanya dengan lintasan pada batin kita dan tidak cukup juga dengan ucapan “Alhamdulillah” dari lisan kita, akan tetapi harus diiringi juga dengan ketaatan-ketaatan kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan mengerjakan apa-apa yang diperintahkan dan disenangi oleh Allah Ta’ala ataupun dengan meninggalkan perkara-perkara yang dilarang dan dibenci oleh-Nya. Allah Ta’ala berfirman mengenai hal ini di dalam surat Ali Imran, فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ “Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya.” (QS. Ali Imran: 123) Baca juga: Tugas Kita Setelah Ramadan Pergi Allahu akbar… Allahu akbar… Laa ilaaha illallahu wallahu akbar… Allahu akbar walillahil hamd… Jemaah yang dirahmati Allah, Jangan sampai ketaatan dan ibadah yang kita lakukan di bulan Ramadan berhenti dan usai dengan selesainya bulan Ramadan. Salat malam yang kita laksanakan di dalamnya tidak pernah lagi kita laksanakan di bulan-bulan lainnya. Al-Quran yang selama bulan Ramadan ini senantiasa kita baca, tidak pernah lagi kita sentuh di kemudian hari. Padahal kita semua mengetahui bahwa nikmat dan karunia Allah tidak hanya terdapat di bulan Ramadan saja, namun tetap ada sepanjang kehidupan kita. Jangan sampai pula, dengan berlalunya bulan Ramadan, kemaksiatan-kemaksiatan yang sebelumnya kita tinggalkan kita lakukan kembali. Ketahuilah wahai jemaah salat Id sekalian, dosa dan kemaksiatan merupakan bentuk tidak adanya rasa syukur kita kepada Allah Ta’ala. Di dalam kitab Madarij As-Salikin (1: 337), Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ المَعَاصِي كُلَّهَا مِنْ نَوْعِ الكُفْرِ الأَصْغَرِ فَإِنَّهَا ضِدُّ الشُّكْرِ الَّذِي هُوَ العَمَلُ بِالطَّاعَةِ “Seluruh maksiat termasuk dalam kufur kecil. Maksiat ini bertolak belakang dengan sikap syukur. Karena bentuk syukur adalah dengan melakukan amal ketaatan.” Saudaraku sekalian, bulan Ramadan sejatinya mengajarkan kepada kita akan makna keistikamahan di dalam beribadah dan bersyukur kepada Allah Ta’ala, bahwa apa yang kita lakukan tersebut hendaknya terus kita lakukan hingga ajal menjemput kita, tidak berakhir dengan berakhirnya bulan Ramadan saja. Ummu Salamah pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لأَكْثَرِ دُعَائِكَ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ “Wahai Rasulullah kenapa engkau lebih sering berdo’a dengan do’a, ’Ya muqollibal quluub, tsabbit qolbii ‘ala diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu)’.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِىٌّ إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ “Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada di antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya.” Setelah itu, Mu’adz bin Mu’adz (yang meriwayatkan hadis ini) membacakan ayat, رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami.” (QS. Ali Imran: 8) (HR. Tirmidzi no. 3522 dan Ahmad no. 26679). Allahu akbar… Allahu akbar… Laa ilaaha illallahu wallahu akbar… Allahu akbar walillahil hamd… Jemaah salat Idulfitri yang dirahmati Allah Ta’ala, Di antara sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berkhotbah Idulfitri adalah memberikan nasihat khusus untuk kaum muslimah. Maka pada kesempatan ini, izinkan kami untuk menyampaikan nasihat kepada ibu-ibu dan wanita muslimah semuanya agar senantiasa bertakwa dan bersyukur kepada Allah Ta’ala. Senantiasalah selalu dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dan jangan pernah lupa juga untuk bersyukur dan berterimakasih kepada orang-orang yang melalui perantaranya kita mendapatkan rezeki dan karunia Allah Ta’ala. Hal inilah yang juga dinasihatkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam salah satu khotbah Idnya. Beliau bersabda, يا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فإنِّي أُرِيتُكُنَّ أكْثَرَ أهْلِ النَّارِ فَقُلْنَ: وبِمَ يا رَسولَ اللَّهِ؟ قالَ: تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ، وتَكْفُرْنَ العَشِيرَ “Wahai para wanita, bersedekahlah, karena aku sungguh melihat bahwa kalian itu yang paling banyak menghuni neraka.” Para wanita bertanya, “Kenapa bisa seperti itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Karena kalian banyak melaknat dan seringnya mendurhakai suami.” Para ulama’ juga menjelaskan bahwa makna mendurhakai suami di sini adalah, “Mereka tidak berterima kasih kepada suami mereka, dan tidak mengakui kebaikan mereka.” (HR. Bukhari no. 340 dan Muslim no. 80) Di hadis yang lain, Nabi shallallahu alaihi wasallam juga mengatakan, أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ قِيلَ أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ قَالَ يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَيَكْفُرْنَ الْإِحْسَانَ لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ “Aku diperlihatkan neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita. Karena mereka sering mengingkari. Ditanyakan, “Apakah mereka mengingkari Allah?” Beliau bersabda, “Mereka mengingkari pemberian suami, mengingkari kebaikannya. Seandainya kamu berbuat baik terhadap seseorang dari mereka sepanjang masa, lalu dia melihat satu saja kejelekan darimu, maka dia akan berkata, ‘Aku belum pernah melihat kebaikan sedikit pun darimu.’” (HR. Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907) Wahai jemaah sekalian, terutama kepada kaum wanita, tunjukkanlah rasa syukurmu kepada Allah dengan berterima kasih kepada orang-orang yang berjasa kepada dirimu, berterima kasihlah kepada mereka yang melalui perantaranya diri kita mendapatkan limpahan rezeki dari Allah Ta’ala. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah menyampaikan, لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ “Tidaklah bersyukur kepada Allah, orang yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia.” (HR. Abu Dawud no. 4811 dan Ahmad no. 7939) Allahu akbar… Allahu akbar… Laa ilaaha illallahu wallahu akbar… Allahu akbar walillahil hamd… Akhir kata, kita berdoa kepada Allah Ta’ala agar senantiasa menjadi hamba-hamba-Nya yang bersyukur kepada-Nya, baik di kala lapang maupun sempit, baik di bulan Ramadan ataupun di bulan-bulan lainnya. Kita juga memohon kepada-Nya keistikamahan dan konsistensi di dalam beramal dan melakukan ketaatan. Semoga Allah Ta’ala memberikan kesabaran dan kemudahan bagi kaum muslimin Indonesia secara khusus dan kaum muslimin di segala penjuru dunia secara umum dalam setiap kesulitan dan ujian yang menimpa, berikanlah kepada kita semua jalan keluar terbaik dalam menghadapi setiap permasalahan yang ada. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْإِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِلَّذِيْنَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ اَللَّهُمَّ آمِنَّا فِيْ أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْ مَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ وَفِّقْ وَلِيَّ أَمْرِنَا لِهُدَاكَ وَاجْعَلْ عَمَلَهُ فِيْ رِضَاكَ، وَارْزُقْهُ الْبِطَانَةَ الصَّالِحَةَ النَاصِحَةَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُولُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ ، وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا ، وَمَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا ، وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا ، وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا ، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا ، وَلا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا ، وَلا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلا مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لا يَرْحَمُنَا رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم Baca juga: Menggali Mutiara dari Idul Fitri *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel Muslim.or.id
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِىَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ چالَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا أما بعد، فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخير الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وكل ضلالة في النار اَللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر، لآاِلَهَ اِلاَّ اللَّهُ واللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر وَلِلَهِ الْحَمْدُ Ma’asyiral muslimin rahimakumullah. Jemaah salat Idulfitri yang semoga senantiasa dirahmati dan dilindungi oleh Allah Ta’ala. Di hari raya Idulfitri yang berbahagia ini, yang pertama dan yang paling utama untuk senantiasa kita ingatkan adalah untuk selalu meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Karena ketakwaan merupakan sebab seorang hamba mendapatkan kemuliaan di sisi Allah Ta’ala. Allah berfirman, إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurat: 13) Sungguh, manusia yang paling mulia di muka bumi ini bukanlah mereka yang memiliki harta yang mewah, bukan juga mereka yang memiliki kedudukan dan jabatan yang tinggi. Akan tetapi, mereka yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa kepada-Nya. Yaitu, mereka yang senantiasa menunaikan segala kewajiban yang telah diperintahkan dan menjauhi segala kemaksiatan yang dilarang. Selawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi mulia, suri teladan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga, dan para sahabatnya. اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala. Di masa-masa sekarang, kehidupan sering kali dikaitkan dengan kesulitan dan kesempitan; baik itu kesulitan di dalam mencari rezeki, susahnya mencari pekerjaan, tingginya harga-harga di pasaran, kecurangan demi kecurangan, dan berbagai macam masalah ekonomi dan sosial lainnya yang sering diangkat dalam berbagai media. Kesemuanya itu seringkali menjadi sebab putus asanya seorang muslim kepada Allah Ta’ala, dia merasa bahwa rahmat Allah dan rezeki-Nya kepadanya sangatlah sedikit. Tidak jarang pada akhirnya perkara-perkara tersebut menjadikan seorang muslim berburuk sangka kepada Allah Ta’ala. Wal iyyadhu billah. Sejatinya dirinya lupa bahwa rezeki yang Allah berikan kepada manusia tidak hanya berupa uang ataupun hal-hal yang bersifat materi duniawi saja, ia lupa bahwa kesehatan yang masih ia rasakan, nafas segar yang masih ia hirup setiap harinya, serta kesempatan untuk dapat melangkahkan kakinya, baik menuju rumah-rumah Allah ataupun menuju tanah lapang dan mushalla ini, kesemuanya juga merupakan nikmat dan karunia Allah kepadanya. Saudaraku sekalian, jangan sampai kesulitan-kesulitan yang sedang kita hadapi, permasalahan-permasalahan yang kita rasakan, pada akhirnya menjadikan kita seorang hamba yang lupa untuk bersyukur kepada Allah Ta’ala. Jangan sampai kita menjadi salah satu hamba-Nya yang tidak mengindahkan perintah Allah Ta’ala di dalam firman-Nya, فَاذْكُرُوْنِيْٓ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ “Maka, ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.”  (QS. Al-Baqarah: 152) Allahu akbar… Allahu akbar… Laa ilaaha illallahu wallahu akbar… Allahu akbar walillahil hamd… Bersyukur, wahai jemaah sekalian, merupakan salah satu sifat yang Allah sematkan kepada para Nabi-Nya dan bahkan Allah sematkan kepada diri-Nya sendiri. Allah Ta’ala berfirman, وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ “Dan Allah itu Syakur (“Maha Pembalas Jasa”) lagi Haliim (“Maha Penyantun”).” (QS. At-Taghabun: 17). Ibnu Katsir menafsirkan “As-Syakur” dalam ayat ini, “Maksudnya adalah membalas kebaikan yang sedikit dengan ganjaran yang banyak.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 8: 141) Allah Ta’ala berfirman menceritakan sifat Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, إِنَّ إِبْرَٰهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِّلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ * شَاكِرًا لِّأَنْعُمِهِ ۚ ٱجْتَبَىٰهُ وَهَدَىٰهُ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan berhati lurus. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik. Dan ia senantiasa mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.” (QS. An-Nahl: 120-121) Ibunda kita Aisyah radhiyallahu ‘anha juga menceritakan kepada kita akan betapa besarnya rasa syukur yang ditampakkan oleh baginda kita Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada Rabbnya, كانَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، إذَا صَلَّى قَامَ حتَّى تَفَطَّرَ رِجْلَاهُ، قالَتْ عَائِشَةُ: يا رَسولَ اللهِ، أَتَصْنَعُ هذا، وَقَدْ غُفِرَ لكَ ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِكَ وَما تَأَخَّرَ، فَقالَ: يا عَائِشَةُ أَفلا أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا. “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam biasanya jika beliau salat, beliau berdiri sangat lama hingga kakinya mengeras kulitnya. ‘Aisyah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau sampai demikian? Bukankan dosa-dosamu telah diampuni, baik yang telah lalu maupun yang akan datang? Rasulullah besabda, ‘Wahai Aisyah, bukankah semestinya aku menjadi hamba yang bersyukur?’” (HR. Bukhari no. 4837 dan Muslim no. 2820) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Nabi kita adalah contoh terbaik dan teladan paling tepat dalam hal bersyukur ini. Beliau mencontohkan kepada kita bahwa mensyukuri nikmat Allah Ta’ala tidak hanya dengan lintasan pada batin kita dan tidak cukup juga dengan ucapan “Alhamdulillah” dari lisan kita, akan tetapi harus diiringi juga dengan ketaatan-ketaatan kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan mengerjakan apa-apa yang diperintahkan dan disenangi oleh Allah Ta’ala ataupun dengan meninggalkan perkara-perkara yang dilarang dan dibenci oleh-Nya. Allah Ta’ala berfirman mengenai hal ini di dalam surat Ali Imran, فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ “Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya.” (QS. Ali Imran: 123) Baca juga: Tugas Kita Setelah Ramadan Pergi Allahu akbar… Allahu akbar… Laa ilaaha illallahu wallahu akbar… Allahu akbar walillahil hamd… Jemaah yang dirahmati Allah, Jangan sampai ketaatan dan ibadah yang kita lakukan di bulan Ramadan berhenti dan usai dengan selesainya bulan Ramadan. Salat malam yang kita laksanakan di dalamnya tidak pernah lagi kita laksanakan di bulan-bulan lainnya. Al-Quran yang selama bulan Ramadan ini senantiasa kita baca, tidak pernah lagi kita sentuh di kemudian hari. Padahal kita semua mengetahui bahwa nikmat dan karunia Allah tidak hanya terdapat di bulan Ramadan saja, namun tetap ada sepanjang kehidupan kita. Jangan sampai pula, dengan berlalunya bulan Ramadan, kemaksiatan-kemaksiatan yang sebelumnya kita tinggalkan kita lakukan kembali. Ketahuilah wahai jemaah salat Id sekalian, dosa dan kemaksiatan merupakan bentuk tidak adanya rasa syukur kita kepada Allah Ta’ala. Di dalam kitab Madarij As-Salikin (1: 337), Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ المَعَاصِي كُلَّهَا مِنْ نَوْعِ الكُفْرِ الأَصْغَرِ فَإِنَّهَا ضِدُّ الشُّكْرِ الَّذِي هُوَ العَمَلُ بِالطَّاعَةِ “Seluruh maksiat termasuk dalam kufur kecil. Maksiat ini bertolak belakang dengan sikap syukur. Karena bentuk syukur adalah dengan melakukan amal ketaatan.” Saudaraku sekalian, bulan Ramadan sejatinya mengajarkan kepada kita akan makna keistikamahan di dalam beribadah dan bersyukur kepada Allah Ta’ala, bahwa apa yang kita lakukan tersebut hendaknya terus kita lakukan hingga ajal menjemput kita, tidak berakhir dengan berakhirnya bulan Ramadan saja. Ummu Salamah pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لأَكْثَرِ دُعَائِكَ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ “Wahai Rasulullah kenapa engkau lebih sering berdo’a dengan do’a, ’Ya muqollibal quluub, tsabbit qolbii ‘ala diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu)’.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِىٌّ إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ “Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada di antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya.” Setelah itu, Mu’adz bin Mu’adz (yang meriwayatkan hadis ini) membacakan ayat, رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami.” (QS. Ali Imran: 8) (HR. Tirmidzi no. 3522 dan Ahmad no. 26679). Allahu akbar… Allahu akbar… Laa ilaaha illallahu wallahu akbar… Allahu akbar walillahil hamd… Jemaah salat Idulfitri yang dirahmati Allah Ta’ala, Di antara sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berkhotbah Idulfitri adalah memberikan nasihat khusus untuk kaum muslimah. Maka pada kesempatan ini, izinkan kami untuk menyampaikan nasihat kepada ibu-ibu dan wanita muslimah semuanya agar senantiasa bertakwa dan bersyukur kepada Allah Ta’ala. Senantiasalah selalu dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dan jangan pernah lupa juga untuk bersyukur dan berterimakasih kepada orang-orang yang melalui perantaranya kita mendapatkan rezeki dan karunia Allah Ta’ala. Hal inilah yang juga dinasihatkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam salah satu khotbah Idnya. Beliau bersabda, يا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فإنِّي أُرِيتُكُنَّ أكْثَرَ أهْلِ النَّارِ فَقُلْنَ: وبِمَ يا رَسولَ اللَّهِ؟ قالَ: تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ، وتَكْفُرْنَ العَشِيرَ “Wahai para wanita, bersedekahlah, karena aku sungguh melihat bahwa kalian itu yang paling banyak menghuni neraka.” Para wanita bertanya, “Kenapa bisa seperti itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Karena kalian banyak melaknat dan seringnya mendurhakai suami.” Para ulama’ juga menjelaskan bahwa makna mendurhakai suami di sini adalah, “Mereka tidak berterima kasih kepada suami mereka, dan tidak mengakui kebaikan mereka.” (HR. Bukhari no. 340 dan Muslim no. 80) Di hadis yang lain, Nabi shallallahu alaihi wasallam juga mengatakan, أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ قِيلَ أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ قَالَ يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَيَكْفُرْنَ الْإِحْسَانَ لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ “Aku diperlihatkan neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita. Karena mereka sering mengingkari. Ditanyakan, “Apakah mereka mengingkari Allah?” Beliau bersabda, “Mereka mengingkari pemberian suami, mengingkari kebaikannya. Seandainya kamu berbuat baik terhadap seseorang dari mereka sepanjang masa, lalu dia melihat satu saja kejelekan darimu, maka dia akan berkata, ‘Aku belum pernah melihat kebaikan sedikit pun darimu.’” (HR. Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907) Wahai jemaah sekalian, terutama kepada kaum wanita, tunjukkanlah rasa syukurmu kepada Allah dengan berterima kasih kepada orang-orang yang berjasa kepada dirimu, berterima kasihlah kepada mereka yang melalui perantaranya diri kita mendapatkan limpahan rezeki dari Allah Ta’ala. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah menyampaikan, لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ “Tidaklah bersyukur kepada Allah, orang yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia.” (HR. Abu Dawud no. 4811 dan Ahmad no. 7939) Allahu akbar… Allahu akbar… Laa ilaaha illallahu wallahu akbar… Allahu akbar walillahil hamd… Akhir kata, kita berdoa kepada Allah Ta’ala agar senantiasa menjadi hamba-hamba-Nya yang bersyukur kepada-Nya, baik di kala lapang maupun sempit, baik di bulan Ramadan ataupun di bulan-bulan lainnya. Kita juga memohon kepada-Nya keistikamahan dan konsistensi di dalam beramal dan melakukan ketaatan. Semoga Allah Ta’ala memberikan kesabaran dan kemudahan bagi kaum muslimin Indonesia secara khusus dan kaum muslimin di segala penjuru dunia secara umum dalam setiap kesulitan dan ujian yang menimpa, berikanlah kepada kita semua jalan keluar terbaik dalam menghadapi setiap permasalahan yang ada. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْإِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِلَّذِيْنَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ اَللَّهُمَّ آمِنَّا فِيْ أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْ مَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ وَفِّقْ وَلِيَّ أَمْرِنَا لِهُدَاكَ وَاجْعَلْ عَمَلَهُ فِيْ رِضَاكَ، وَارْزُقْهُ الْبِطَانَةَ الصَّالِحَةَ النَاصِحَةَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُولُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ ، وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا ، وَمَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا ، وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا ، وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا ، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا ، وَلا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا ، وَلا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلا مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لا يَرْحَمُنَا رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم Baca juga: Menggali Mutiara dari Idul Fitri *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel Muslim.or.id


إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِىَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ چالَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا أما بعد، فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخير الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وكل ضلالة في النار اَللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر، لآاِلَهَ اِلاَّ اللَّهُ واللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر وَلِلَهِ الْحَمْدُ Ma’asyiral muslimin rahimakumullah. Jemaah salat Idulfitri yang semoga senantiasa dirahmati dan dilindungi oleh Allah Ta’ala. Di hari raya Idulfitri yang berbahagia ini, yang pertama dan yang paling utama untuk senantiasa kita ingatkan adalah untuk selalu meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Karena ketakwaan merupakan sebab seorang hamba mendapatkan kemuliaan di sisi Allah Ta’ala. Allah berfirman, إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurat: 13) Sungguh, manusia yang paling mulia di muka bumi ini bukanlah mereka yang memiliki harta yang mewah, bukan juga mereka yang memiliki kedudukan dan jabatan yang tinggi. Akan tetapi, mereka yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa kepada-Nya. Yaitu, mereka yang senantiasa menunaikan segala kewajiban yang telah diperintahkan dan menjauhi segala kemaksiatan yang dilarang. Selawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi mulia, suri teladan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga, dan para sahabatnya. اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala. Di masa-masa sekarang, kehidupan sering kali dikaitkan dengan kesulitan dan kesempitan; baik itu kesulitan di dalam mencari rezeki, susahnya mencari pekerjaan, tingginya harga-harga di pasaran, kecurangan demi kecurangan, dan berbagai macam masalah ekonomi dan sosial lainnya yang sering diangkat dalam berbagai media. Kesemuanya itu seringkali menjadi sebab putus asanya seorang muslim kepada Allah Ta’ala, dia merasa bahwa rahmat Allah dan rezeki-Nya kepadanya sangatlah sedikit. Tidak jarang pada akhirnya perkara-perkara tersebut menjadikan seorang muslim berburuk sangka kepada Allah Ta’ala. Wal iyyadhu billah. Sejatinya dirinya lupa bahwa rezeki yang Allah berikan kepada manusia tidak hanya berupa uang ataupun hal-hal yang bersifat materi duniawi saja, ia lupa bahwa kesehatan yang masih ia rasakan, nafas segar yang masih ia hirup setiap harinya, serta kesempatan untuk dapat melangkahkan kakinya, baik menuju rumah-rumah Allah ataupun menuju tanah lapang dan mushalla ini, kesemuanya juga merupakan nikmat dan karunia Allah kepadanya. Saudaraku sekalian, jangan sampai kesulitan-kesulitan yang sedang kita hadapi, permasalahan-permasalahan yang kita rasakan, pada akhirnya menjadikan kita seorang hamba yang lupa untuk bersyukur kepada Allah Ta’ala. Jangan sampai kita menjadi salah satu hamba-Nya yang tidak mengindahkan perintah Allah Ta’ala di dalam firman-Nya, فَاذْكُرُوْنِيْٓ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ “Maka, ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.”  (QS. Al-Baqarah: 152) Allahu akbar… Allahu akbar… Laa ilaaha illallahu wallahu akbar… Allahu akbar walillahil hamd… Bersyukur, wahai jemaah sekalian, merupakan salah satu sifat yang Allah sematkan kepada para Nabi-Nya dan bahkan Allah sematkan kepada diri-Nya sendiri. Allah Ta’ala berfirman, وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ “Dan Allah itu Syakur (“Maha Pembalas Jasa”) lagi Haliim (“Maha Penyantun”).” (QS. At-Taghabun: 17). Ibnu Katsir menafsirkan “As-Syakur” dalam ayat ini, “Maksudnya adalah membalas kebaikan yang sedikit dengan ganjaran yang banyak.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 8: 141) Allah Ta’ala berfirman menceritakan sifat Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, إِنَّ إِبْرَٰهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِّلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ * شَاكِرًا لِّأَنْعُمِهِ ۚ ٱجْتَبَىٰهُ وَهَدَىٰهُ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan berhati lurus. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik. Dan ia senantiasa mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.” (QS. An-Nahl: 120-121) Ibunda kita Aisyah radhiyallahu ‘anha juga menceritakan kepada kita akan betapa besarnya rasa syukur yang ditampakkan oleh baginda kita Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada Rabbnya, كانَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، إذَا صَلَّى قَامَ حتَّى تَفَطَّرَ رِجْلَاهُ، قالَتْ عَائِشَةُ: يا رَسولَ اللهِ، أَتَصْنَعُ هذا، وَقَدْ غُفِرَ لكَ ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِكَ وَما تَأَخَّرَ، فَقالَ: يا عَائِشَةُ أَفلا أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا. “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam biasanya jika beliau salat, beliau berdiri sangat lama hingga kakinya mengeras kulitnya. ‘Aisyah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau sampai demikian? Bukankan dosa-dosamu telah diampuni, baik yang telah lalu maupun yang akan datang? Rasulullah besabda, ‘Wahai Aisyah, bukankah semestinya aku menjadi hamba yang bersyukur?’” (HR. Bukhari no. 4837 dan Muslim no. 2820) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Nabi kita adalah contoh terbaik dan teladan paling tepat dalam hal bersyukur ini. Beliau mencontohkan kepada kita bahwa mensyukuri nikmat Allah Ta’ala tidak hanya dengan lintasan pada batin kita dan tidak cukup juga dengan ucapan “Alhamdulillah” dari lisan kita, akan tetapi harus diiringi juga dengan ketaatan-ketaatan kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan mengerjakan apa-apa yang diperintahkan dan disenangi oleh Allah Ta’ala ataupun dengan meninggalkan perkara-perkara yang dilarang dan dibenci oleh-Nya. Allah Ta’ala berfirman mengenai hal ini di dalam surat Ali Imran, فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ “Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya.” (QS. Ali Imran: 123) Baca juga: Tugas Kita Setelah Ramadan Pergi Allahu akbar… Allahu akbar… Laa ilaaha illallahu wallahu akbar… Allahu akbar walillahil hamd… Jemaah yang dirahmati Allah, Jangan sampai ketaatan dan ibadah yang kita lakukan di bulan Ramadan berhenti dan usai dengan selesainya bulan Ramadan. Salat malam yang kita laksanakan di dalamnya tidak pernah lagi kita laksanakan di bulan-bulan lainnya. Al-Quran yang selama bulan Ramadan ini senantiasa kita baca, tidak pernah lagi kita sentuh di kemudian hari. Padahal kita semua mengetahui bahwa nikmat dan karunia Allah tidak hanya terdapat di bulan Ramadan saja, namun tetap ada sepanjang kehidupan kita. Jangan sampai pula, dengan berlalunya bulan Ramadan, kemaksiatan-kemaksiatan yang sebelumnya kita tinggalkan kita lakukan kembali. Ketahuilah wahai jemaah salat Id sekalian, dosa dan kemaksiatan merupakan bentuk tidak adanya rasa syukur kita kepada Allah Ta’ala. Di dalam kitab Madarij As-Salikin (1: 337), Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ المَعَاصِي كُلَّهَا مِنْ نَوْعِ الكُفْرِ الأَصْغَرِ فَإِنَّهَا ضِدُّ الشُّكْرِ الَّذِي هُوَ العَمَلُ بِالطَّاعَةِ “Seluruh maksiat termasuk dalam kufur kecil. Maksiat ini bertolak belakang dengan sikap syukur. Karena bentuk syukur adalah dengan melakukan amal ketaatan.” Saudaraku sekalian, bulan Ramadan sejatinya mengajarkan kepada kita akan makna keistikamahan di dalam beribadah dan bersyukur kepada Allah Ta’ala, bahwa apa yang kita lakukan tersebut hendaknya terus kita lakukan hingga ajal menjemput kita, tidak berakhir dengan berakhirnya bulan Ramadan saja. Ummu Salamah pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لأَكْثَرِ دُعَائِكَ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ “Wahai Rasulullah kenapa engkau lebih sering berdo’a dengan do’a, ’Ya muqollibal quluub, tsabbit qolbii ‘ala diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu)’.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِىٌّ إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ “Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada di antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya.” Setelah itu, Mu’adz bin Mu’adz (yang meriwayatkan hadis ini) membacakan ayat, رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami.” (QS. Ali Imran: 8) (HR. Tirmidzi no. 3522 dan Ahmad no. 26679). Allahu akbar… Allahu akbar… Laa ilaaha illallahu wallahu akbar… Allahu akbar walillahil hamd… Jemaah salat Idulfitri yang dirahmati Allah Ta’ala, Di antara sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berkhotbah Idulfitri adalah memberikan nasihat khusus untuk kaum muslimah. Maka pada kesempatan ini, izinkan kami untuk menyampaikan nasihat kepada ibu-ibu dan wanita muslimah semuanya agar senantiasa bertakwa dan bersyukur kepada Allah Ta’ala. Senantiasalah selalu dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dan jangan pernah lupa juga untuk bersyukur dan berterimakasih kepada orang-orang yang melalui perantaranya kita mendapatkan rezeki dan karunia Allah Ta’ala. Hal inilah yang juga dinasihatkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam salah satu khotbah Idnya. Beliau bersabda, يا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فإنِّي أُرِيتُكُنَّ أكْثَرَ أهْلِ النَّارِ فَقُلْنَ: وبِمَ يا رَسولَ اللَّهِ؟ قالَ: تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ، وتَكْفُرْنَ العَشِيرَ “Wahai para wanita, bersedekahlah, karena aku sungguh melihat bahwa kalian itu yang paling banyak menghuni neraka.” Para wanita bertanya, “Kenapa bisa seperti itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Karena kalian banyak melaknat dan seringnya mendurhakai suami.” Para ulama’ juga menjelaskan bahwa makna mendurhakai suami di sini adalah, “Mereka tidak berterima kasih kepada suami mereka, dan tidak mengakui kebaikan mereka.” (HR. Bukhari no. 340 dan Muslim no. 80) Di hadis yang lain, Nabi shallallahu alaihi wasallam juga mengatakan, أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ قِيلَ أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ قَالَ يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَيَكْفُرْنَ الْإِحْسَانَ لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ “Aku diperlihatkan neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita. Karena mereka sering mengingkari. Ditanyakan, “Apakah mereka mengingkari Allah?” Beliau bersabda, “Mereka mengingkari pemberian suami, mengingkari kebaikannya. Seandainya kamu berbuat baik terhadap seseorang dari mereka sepanjang masa, lalu dia melihat satu saja kejelekan darimu, maka dia akan berkata, ‘Aku belum pernah melihat kebaikan sedikit pun darimu.’” (HR. Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907) Wahai jemaah sekalian, terutama kepada kaum wanita, tunjukkanlah rasa syukurmu kepada Allah dengan berterima kasih kepada orang-orang yang berjasa kepada dirimu, berterima kasihlah kepada mereka yang melalui perantaranya diri kita mendapatkan limpahan rezeki dari Allah Ta’ala. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah menyampaikan, لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ “Tidaklah bersyukur kepada Allah, orang yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia.” (HR. Abu Dawud no. 4811 dan Ahmad no. 7939) Allahu akbar… Allahu akbar… Laa ilaaha illallahu wallahu akbar… Allahu akbar walillahil hamd… Akhir kata, kita berdoa kepada Allah Ta’ala agar senantiasa menjadi hamba-hamba-Nya yang bersyukur kepada-Nya, baik di kala lapang maupun sempit, baik di bulan Ramadan ataupun di bulan-bulan lainnya. Kita juga memohon kepada-Nya keistikamahan dan konsistensi di dalam beramal dan melakukan ketaatan. Semoga Allah Ta’ala memberikan kesabaran dan kemudahan bagi kaum muslimin Indonesia secara khusus dan kaum muslimin di segala penjuru dunia secara umum dalam setiap kesulitan dan ujian yang menimpa, berikanlah kepada kita semua jalan keluar terbaik dalam menghadapi setiap permasalahan yang ada. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْإِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِلَّذِيْنَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ اَللَّهُمَّ آمِنَّا فِيْ أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْ مَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ وَفِّقْ وَلِيَّ أَمْرِنَا لِهُدَاكَ وَاجْعَلْ عَمَلَهُ فِيْ رِضَاكَ، وَارْزُقْهُ الْبِطَانَةَ الصَّالِحَةَ النَاصِحَةَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُولُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ ، وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا ، وَمَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا ، وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا ، وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا ، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا ، وَلا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا ، وَلا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلا مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لا يَرْحَمُنَا رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم Baca juga: Menggali Mutiara dari Idul Fitri *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel Muslim.or.id

Berbuka Puasa Bersama Menumbuhkan Empati

Daftar Isi Toggle Berbuka bersama sebagai latihan empati dan solidaritasDampak sosial berbuka puasa bersamaBerbuka bersama dan kebahagiaan orang berpuasaJadikan Ramadan sebagai bulan empati Bulan Ramadan adalah bulan yang penuh dengan keberkahan, di mana berbagai amal ibadah mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Salah satu bentuk amal yang sangat dianjurkan di bulan suci ini adalah memberi makanan kepada orang yang berpuasa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis Rasulullah ﷺ, من فطَّر صائمًا كان له مثلُ أجره، غير أنه لا ينقصُ من أجر الصائمِ شيئًا “Barangsiapa memberikan menu buka puasa kepada saudaranya, ia akan mendapatkan pahala puasa tanpa mengurangi puasa orang tersebut.” (HR. Tirmidzi no. 807, dinilai hasan sahih) Hadis ini sering dijadikan motivasi bagi kaum muslimin untuk berbagi makanan berbuka. Namun, ulama besar seperti Ibnu Rajab memberikan perspektif yang lebih luas. Menurutnya, bukan hanya sekadar memberikan menu berbuka, orang yang memberi menu buka juga dianjurkan untuk ikut berbuka bersama dengan menu yang sama. Sebab dengan perbuatan tersebut, akan memasukkan lebih banyak lagi kebahagiaan kepada kaum muslimin yang menikmati menu berbuka tersebut. Dan agar dia termasuk dalam golongan orang-orang yang menyedekahkan harta yang disukainya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92) Ayat ini menegaskan bahwa berbagi dari sesuatu yang kita cintai adalah bukti kesempurnaan iman dan bentuk tertinggi dari kebajikan. Dengan ikut berbuka bersama orang-orang yang kita beri makanan, kita tidak hanya memberikan makanan, tetapi juga memberikan perhatian, kebersamaan, dan cinta kepada sesama muslim. Dalam hadis lain, Rasulullah ﷺ bersabda, لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ “Tidaklah kalian beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45) Ibnu Rajab menekankan pentingnya tidak hanya berbagi, tetapi juga merasakan langsung apa yang dirasakan oleh saudara seiman. Jika kita menyukai makanan yang enak dan lezat untuk diri kita, maka hendaknya kita juga memberikan makanan terbaik kepada saudara kita. Tidak cukup hanya memberi, tetapi kita dianjurkan untuk berbagi kebahagiaan dan merasakan langsung kebersamaan itu. Berbuka bersama sebagai latihan empati dan solidaritas Bulan Ramadan bukan hanya bulan ibadah personal, tetapi juga bulan tarbiyah sosial. Salah satu pelajaran penting dalam Ramadan adalah menumbuhkan empati, yaitu kemampuan untuk memahami dan merasakan perasaan orang lain. Ketika seseorang berpuasa, ia merasakan langsung bagaimana rasanya menahan lapar dan dahaga. Ini adalah pengalaman yang sangat berharga karena membantu kita memahami kesulitan yang dialami oleh saudara-saudara kita yang kurang mampu. Namun, empati ini tidak cukup hanya dirasakan, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata, salah satunya dengan berbuka bersama dan berbagi makanan dengan mereka yang membutuhkan. Dengan berbuka bersama, kita turut merasakan perjuangan orang lain. Kita tidak hanya melihat mereka sebagai penerima bantuan, tetapi sebagai saudara yang kita hormati dan bahagiakan. Ini adalah bentuk nyata dari kasih sayang dan ukhuwah Islamiyah. Dampak sosial berbuka puasa bersama Berbuka puasa bersama memiliki dampak sosial yang besar, baik kepada individu maupun masyarakat luas. Beberapa manfaatnya di antaranya adalah: Mempererat tali silaturahmi. Dengan berkumpul dan berbuka bersama, hubungan antar sesama muslim semakin erat. Di tengah kesibukan kehidupan modern, momen berbuka puasa bersama menjadi kesempatan untuk saling bertemu, berbagi cerita, dan memperkuat ukhuwah. Meningkatkan kesadaran sosial. Ketika berbuka bersama dengan orang-orang yang kurang mampu, kita akan lebih sadar akan kondisi mereka. Ini bisa menjadi pemicu untuk lebih peduli terhadap nasib sesama, bukan hanya di bulan Ramadan, tetapi juga di luar Ramadan. Baca juga: Sunnah-Sunnah Ketika Berbuka Puasa Berbuka bersama dan kebahagiaan orang berpuasa Rasulullah ﷺ bersabda, لِلصّائِمِ فَرْحَتانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فيه أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِن رِيحِ المِسْكِ. “Bagi orang yang melaksanakan puasa ada dua kebahagiaan; kebahagiaan ketika berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabbnya.” (HR. Bukhari no. 7492 dan Muslim no. 1151) Hadis ini menunjukkan bahwa berbuka puasa adalah salah satu momen paling membahagiakan bagi seorang muslim. Bayangkan, jika kita bisa menjadi sebab kebahagiaan bagi orang lain di saat berbuka, betapa besarnya pahala yang bisa kita dapatkan. Nabi ﷺ bersabda, أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ “Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia.” (HR. Thabrani no. 6026, dinilai hasan lighairih oleh Al-Albani) Suapan makanan yang kita berikan mungkin terlihat sederhana, tetapi bisa menjadi penopang kekuatan seseorang untuk menjalankan ibadah tarawih, membaca Al-Qur’an, atau memperbanyak doa di malam hari. Bahkan, bisa jadi menu berbuka yang kita berikan adalah satu-satunya makanan yang mereka miliki hari itu. Sehingga menu berbuka tersebut telah menghilangkan kegundahan seorang yang berpuasa tentang dengan apa ia berbuka di hari tersebut. Dengan niat ikhlas, semua ini bisa menjadi amal jariyah yang tak terputus. Jadikan Ramadan sebagai bulan empati Ramadan bukan sekadar bulan menahan lapar dan dahaga, tetapi juga bulan latihan empati dan solidaritas sosial. Salah satu bentuk nyata dari empati ini adalah berbuka puasa bersama dan berbagi makanan dengan saudara-saudara kita. Dengan memahami konsep berbuka puasa bersama seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Rajab, kita tidak hanya sekadar memberi, tetapi juga benar-benar hadir dalam kebahagiaan orang lain. Ini adalah cara terbaik untuk menumbuhkan rasa kasih sayang, memperkuat persaudaraan, dan meningkatkan kualitas ibadah kita. Maka, marilah kita manfaatkan bulan Ramadan ini dengan memperbanyak berbagi, bukan hanya dengan tangan, tetapi juga dengan hati. Tidak hanya sekadar berbagi, tetapi juga melandasi perbuatan tersebut karena Allah ﷻ dan meneladani Nabi ﷺ. Sebagaimana Imam Syafi’i rahimahullah berkata, أحب للرجل الزيادة في الجود في شهر رمضان اقتداء برسول الله صلى الله عليه وسلم ولحاجة الناس فيه إلى مصالحهم ولتشاغل كثير منهم بالصوم والصلاة عن مكاسبهم “Aku menyukai seseorang untuk meningkatkan kedermawanannya di bulan Ramadan, meneladani Rasulullah ﷺ serta karena kebutuhan banyak orang terhadap berbagai kepentingan mereka, sementara banyak dari mereka sibuk dengan puasa dan salat sehingga tidak sempat mencari penghidupan.” (Lathaiful Ma’arif, hal. 169; oleh Ibnu Rajab rahimahullah via maktabah syamilah) Semoga Allah menerima amal ibadah kita dan menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang penuh kasih sayang. Aamiin. Baca juga: Berbuka Puasa di Pesawat Terbang *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel Muslim.or.id

Berbuka Puasa Bersama Menumbuhkan Empati

Daftar Isi Toggle Berbuka bersama sebagai latihan empati dan solidaritasDampak sosial berbuka puasa bersamaBerbuka bersama dan kebahagiaan orang berpuasaJadikan Ramadan sebagai bulan empati Bulan Ramadan adalah bulan yang penuh dengan keberkahan, di mana berbagai amal ibadah mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Salah satu bentuk amal yang sangat dianjurkan di bulan suci ini adalah memberi makanan kepada orang yang berpuasa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis Rasulullah ﷺ, من فطَّر صائمًا كان له مثلُ أجره، غير أنه لا ينقصُ من أجر الصائمِ شيئًا “Barangsiapa memberikan menu buka puasa kepada saudaranya, ia akan mendapatkan pahala puasa tanpa mengurangi puasa orang tersebut.” (HR. Tirmidzi no. 807, dinilai hasan sahih) Hadis ini sering dijadikan motivasi bagi kaum muslimin untuk berbagi makanan berbuka. Namun, ulama besar seperti Ibnu Rajab memberikan perspektif yang lebih luas. Menurutnya, bukan hanya sekadar memberikan menu berbuka, orang yang memberi menu buka juga dianjurkan untuk ikut berbuka bersama dengan menu yang sama. Sebab dengan perbuatan tersebut, akan memasukkan lebih banyak lagi kebahagiaan kepada kaum muslimin yang menikmati menu berbuka tersebut. Dan agar dia termasuk dalam golongan orang-orang yang menyedekahkan harta yang disukainya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92) Ayat ini menegaskan bahwa berbagi dari sesuatu yang kita cintai adalah bukti kesempurnaan iman dan bentuk tertinggi dari kebajikan. Dengan ikut berbuka bersama orang-orang yang kita beri makanan, kita tidak hanya memberikan makanan, tetapi juga memberikan perhatian, kebersamaan, dan cinta kepada sesama muslim. Dalam hadis lain, Rasulullah ﷺ bersabda, لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ “Tidaklah kalian beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45) Ibnu Rajab menekankan pentingnya tidak hanya berbagi, tetapi juga merasakan langsung apa yang dirasakan oleh saudara seiman. Jika kita menyukai makanan yang enak dan lezat untuk diri kita, maka hendaknya kita juga memberikan makanan terbaik kepada saudara kita. Tidak cukup hanya memberi, tetapi kita dianjurkan untuk berbagi kebahagiaan dan merasakan langsung kebersamaan itu. Berbuka bersama sebagai latihan empati dan solidaritas Bulan Ramadan bukan hanya bulan ibadah personal, tetapi juga bulan tarbiyah sosial. Salah satu pelajaran penting dalam Ramadan adalah menumbuhkan empati, yaitu kemampuan untuk memahami dan merasakan perasaan orang lain. Ketika seseorang berpuasa, ia merasakan langsung bagaimana rasanya menahan lapar dan dahaga. Ini adalah pengalaman yang sangat berharga karena membantu kita memahami kesulitan yang dialami oleh saudara-saudara kita yang kurang mampu. Namun, empati ini tidak cukup hanya dirasakan, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata, salah satunya dengan berbuka bersama dan berbagi makanan dengan mereka yang membutuhkan. Dengan berbuka bersama, kita turut merasakan perjuangan orang lain. Kita tidak hanya melihat mereka sebagai penerima bantuan, tetapi sebagai saudara yang kita hormati dan bahagiakan. Ini adalah bentuk nyata dari kasih sayang dan ukhuwah Islamiyah. Dampak sosial berbuka puasa bersama Berbuka puasa bersama memiliki dampak sosial yang besar, baik kepada individu maupun masyarakat luas. Beberapa manfaatnya di antaranya adalah: Mempererat tali silaturahmi. Dengan berkumpul dan berbuka bersama, hubungan antar sesama muslim semakin erat. Di tengah kesibukan kehidupan modern, momen berbuka puasa bersama menjadi kesempatan untuk saling bertemu, berbagi cerita, dan memperkuat ukhuwah. Meningkatkan kesadaran sosial. Ketika berbuka bersama dengan orang-orang yang kurang mampu, kita akan lebih sadar akan kondisi mereka. Ini bisa menjadi pemicu untuk lebih peduli terhadap nasib sesama, bukan hanya di bulan Ramadan, tetapi juga di luar Ramadan. Baca juga: Sunnah-Sunnah Ketika Berbuka Puasa Berbuka bersama dan kebahagiaan orang berpuasa Rasulullah ﷺ bersabda, لِلصّائِمِ فَرْحَتانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فيه أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِن رِيحِ المِسْكِ. “Bagi orang yang melaksanakan puasa ada dua kebahagiaan; kebahagiaan ketika berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabbnya.” (HR. Bukhari no. 7492 dan Muslim no. 1151) Hadis ini menunjukkan bahwa berbuka puasa adalah salah satu momen paling membahagiakan bagi seorang muslim. Bayangkan, jika kita bisa menjadi sebab kebahagiaan bagi orang lain di saat berbuka, betapa besarnya pahala yang bisa kita dapatkan. Nabi ﷺ bersabda, أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ “Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia.” (HR. Thabrani no. 6026, dinilai hasan lighairih oleh Al-Albani) Suapan makanan yang kita berikan mungkin terlihat sederhana, tetapi bisa menjadi penopang kekuatan seseorang untuk menjalankan ibadah tarawih, membaca Al-Qur’an, atau memperbanyak doa di malam hari. Bahkan, bisa jadi menu berbuka yang kita berikan adalah satu-satunya makanan yang mereka miliki hari itu. Sehingga menu berbuka tersebut telah menghilangkan kegundahan seorang yang berpuasa tentang dengan apa ia berbuka di hari tersebut. Dengan niat ikhlas, semua ini bisa menjadi amal jariyah yang tak terputus. Jadikan Ramadan sebagai bulan empati Ramadan bukan sekadar bulan menahan lapar dan dahaga, tetapi juga bulan latihan empati dan solidaritas sosial. Salah satu bentuk nyata dari empati ini adalah berbuka puasa bersama dan berbagi makanan dengan saudara-saudara kita. Dengan memahami konsep berbuka puasa bersama seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Rajab, kita tidak hanya sekadar memberi, tetapi juga benar-benar hadir dalam kebahagiaan orang lain. Ini adalah cara terbaik untuk menumbuhkan rasa kasih sayang, memperkuat persaudaraan, dan meningkatkan kualitas ibadah kita. Maka, marilah kita manfaatkan bulan Ramadan ini dengan memperbanyak berbagi, bukan hanya dengan tangan, tetapi juga dengan hati. Tidak hanya sekadar berbagi, tetapi juga melandasi perbuatan tersebut karena Allah ﷻ dan meneladani Nabi ﷺ. Sebagaimana Imam Syafi’i rahimahullah berkata, أحب للرجل الزيادة في الجود في شهر رمضان اقتداء برسول الله صلى الله عليه وسلم ولحاجة الناس فيه إلى مصالحهم ولتشاغل كثير منهم بالصوم والصلاة عن مكاسبهم “Aku menyukai seseorang untuk meningkatkan kedermawanannya di bulan Ramadan, meneladani Rasulullah ﷺ serta karena kebutuhan banyak orang terhadap berbagai kepentingan mereka, sementara banyak dari mereka sibuk dengan puasa dan salat sehingga tidak sempat mencari penghidupan.” (Lathaiful Ma’arif, hal. 169; oleh Ibnu Rajab rahimahullah via maktabah syamilah) Semoga Allah menerima amal ibadah kita dan menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang penuh kasih sayang. Aamiin. Baca juga: Berbuka Puasa di Pesawat Terbang *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Berbuka bersama sebagai latihan empati dan solidaritasDampak sosial berbuka puasa bersamaBerbuka bersama dan kebahagiaan orang berpuasaJadikan Ramadan sebagai bulan empati Bulan Ramadan adalah bulan yang penuh dengan keberkahan, di mana berbagai amal ibadah mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Salah satu bentuk amal yang sangat dianjurkan di bulan suci ini adalah memberi makanan kepada orang yang berpuasa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis Rasulullah ﷺ, من فطَّر صائمًا كان له مثلُ أجره، غير أنه لا ينقصُ من أجر الصائمِ شيئًا “Barangsiapa memberikan menu buka puasa kepada saudaranya, ia akan mendapatkan pahala puasa tanpa mengurangi puasa orang tersebut.” (HR. Tirmidzi no. 807, dinilai hasan sahih) Hadis ini sering dijadikan motivasi bagi kaum muslimin untuk berbagi makanan berbuka. Namun, ulama besar seperti Ibnu Rajab memberikan perspektif yang lebih luas. Menurutnya, bukan hanya sekadar memberikan menu berbuka, orang yang memberi menu buka juga dianjurkan untuk ikut berbuka bersama dengan menu yang sama. Sebab dengan perbuatan tersebut, akan memasukkan lebih banyak lagi kebahagiaan kepada kaum muslimin yang menikmati menu berbuka tersebut. Dan agar dia termasuk dalam golongan orang-orang yang menyedekahkan harta yang disukainya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92) Ayat ini menegaskan bahwa berbagi dari sesuatu yang kita cintai adalah bukti kesempurnaan iman dan bentuk tertinggi dari kebajikan. Dengan ikut berbuka bersama orang-orang yang kita beri makanan, kita tidak hanya memberikan makanan, tetapi juga memberikan perhatian, kebersamaan, dan cinta kepada sesama muslim. Dalam hadis lain, Rasulullah ﷺ bersabda, لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ “Tidaklah kalian beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45) Ibnu Rajab menekankan pentingnya tidak hanya berbagi, tetapi juga merasakan langsung apa yang dirasakan oleh saudara seiman. Jika kita menyukai makanan yang enak dan lezat untuk diri kita, maka hendaknya kita juga memberikan makanan terbaik kepada saudara kita. Tidak cukup hanya memberi, tetapi kita dianjurkan untuk berbagi kebahagiaan dan merasakan langsung kebersamaan itu. Berbuka bersama sebagai latihan empati dan solidaritas Bulan Ramadan bukan hanya bulan ibadah personal, tetapi juga bulan tarbiyah sosial. Salah satu pelajaran penting dalam Ramadan adalah menumbuhkan empati, yaitu kemampuan untuk memahami dan merasakan perasaan orang lain. Ketika seseorang berpuasa, ia merasakan langsung bagaimana rasanya menahan lapar dan dahaga. Ini adalah pengalaman yang sangat berharga karena membantu kita memahami kesulitan yang dialami oleh saudara-saudara kita yang kurang mampu. Namun, empati ini tidak cukup hanya dirasakan, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata, salah satunya dengan berbuka bersama dan berbagi makanan dengan mereka yang membutuhkan. Dengan berbuka bersama, kita turut merasakan perjuangan orang lain. Kita tidak hanya melihat mereka sebagai penerima bantuan, tetapi sebagai saudara yang kita hormati dan bahagiakan. Ini adalah bentuk nyata dari kasih sayang dan ukhuwah Islamiyah. Dampak sosial berbuka puasa bersama Berbuka puasa bersama memiliki dampak sosial yang besar, baik kepada individu maupun masyarakat luas. Beberapa manfaatnya di antaranya adalah: Mempererat tali silaturahmi. Dengan berkumpul dan berbuka bersama, hubungan antar sesama muslim semakin erat. Di tengah kesibukan kehidupan modern, momen berbuka puasa bersama menjadi kesempatan untuk saling bertemu, berbagi cerita, dan memperkuat ukhuwah. Meningkatkan kesadaran sosial. Ketika berbuka bersama dengan orang-orang yang kurang mampu, kita akan lebih sadar akan kondisi mereka. Ini bisa menjadi pemicu untuk lebih peduli terhadap nasib sesama, bukan hanya di bulan Ramadan, tetapi juga di luar Ramadan. Baca juga: Sunnah-Sunnah Ketika Berbuka Puasa Berbuka bersama dan kebahagiaan orang berpuasa Rasulullah ﷺ bersabda, لِلصّائِمِ فَرْحَتانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فيه أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِن رِيحِ المِسْكِ. “Bagi orang yang melaksanakan puasa ada dua kebahagiaan; kebahagiaan ketika berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabbnya.” (HR. Bukhari no. 7492 dan Muslim no. 1151) Hadis ini menunjukkan bahwa berbuka puasa adalah salah satu momen paling membahagiakan bagi seorang muslim. Bayangkan, jika kita bisa menjadi sebab kebahagiaan bagi orang lain di saat berbuka, betapa besarnya pahala yang bisa kita dapatkan. Nabi ﷺ bersabda, أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ “Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia.” (HR. Thabrani no. 6026, dinilai hasan lighairih oleh Al-Albani) Suapan makanan yang kita berikan mungkin terlihat sederhana, tetapi bisa menjadi penopang kekuatan seseorang untuk menjalankan ibadah tarawih, membaca Al-Qur’an, atau memperbanyak doa di malam hari. Bahkan, bisa jadi menu berbuka yang kita berikan adalah satu-satunya makanan yang mereka miliki hari itu. Sehingga menu berbuka tersebut telah menghilangkan kegundahan seorang yang berpuasa tentang dengan apa ia berbuka di hari tersebut. Dengan niat ikhlas, semua ini bisa menjadi amal jariyah yang tak terputus. Jadikan Ramadan sebagai bulan empati Ramadan bukan sekadar bulan menahan lapar dan dahaga, tetapi juga bulan latihan empati dan solidaritas sosial. Salah satu bentuk nyata dari empati ini adalah berbuka puasa bersama dan berbagi makanan dengan saudara-saudara kita. Dengan memahami konsep berbuka puasa bersama seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Rajab, kita tidak hanya sekadar memberi, tetapi juga benar-benar hadir dalam kebahagiaan orang lain. Ini adalah cara terbaik untuk menumbuhkan rasa kasih sayang, memperkuat persaudaraan, dan meningkatkan kualitas ibadah kita. Maka, marilah kita manfaatkan bulan Ramadan ini dengan memperbanyak berbagi, bukan hanya dengan tangan, tetapi juga dengan hati. Tidak hanya sekadar berbagi, tetapi juga melandasi perbuatan tersebut karena Allah ﷻ dan meneladani Nabi ﷺ. Sebagaimana Imam Syafi’i rahimahullah berkata, أحب للرجل الزيادة في الجود في شهر رمضان اقتداء برسول الله صلى الله عليه وسلم ولحاجة الناس فيه إلى مصالحهم ولتشاغل كثير منهم بالصوم والصلاة عن مكاسبهم “Aku menyukai seseorang untuk meningkatkan kedermawanannya di bulan Ramadan, meneladani Rasulullah ﷺ serta karena kebutuhan banyak orang terhadap berbagai kepentingan mereka, sementara banyak dari mereka sibuk dengan puasa dan salat sehingga tidak sempat mencari penghidupan.” (Lathaiful Ma’arif, hal. 169; oleh Ibnu Rajab rahimahullah via maktabah syamilah) Semoga Allah menerima amal ibadah kita dan menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang penuh kasih sayang. Aamiin. Baca juga: Berbuka Puasa di Pesawat Terbang *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Berbuka bersama sebagai latihan empati dan solidaritasDampak sosial berbuka puasa bersamaBerbuka bersama dan kebahagiaan orang berpuasaJadikan Ramadan sebagai bulan empati Bulan Ramadan adalah bulan yang penuh dengan keberkahan, di mana berbagai amal ibadah mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Salah satu bentuk amal yang sangat dianjurkan di bulan suci ini adalah memberi makanan kepada orang yang berpuasa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis Rasulullah ﷺ, من فطَّر صائمًا كان له مثلُ أجره، غير أنه لا ينقصُ من أجر الصائمِ شيئًا “Barangsiapa memberikan menu buka puasa kepada saudaranya, ia akan mendapatkan pahala puasa tanpa mengurangi puasa orang tersebut.” (HR. Tirmidzi no. 807, dinilai hasan sahih) Hadis ini sering dijadikan motivasi bagi kaum muslimin untuk berbagi makanan berbuka. Namun, ulama besar seperti Ibnu Rajab memberikan perspektif yang lebih luas. Menurutnya, bukan hanya sekadar memberikan menu berbuka, orang yang memberi menu buka juga dianjurkan untuk ikut berbuka bersama dengan menu yang sama. Sebab dengan perbuatan tersebut, akan memasukkan lebih banyak lagi kebahagiaan kepada kaum muslimin yang menikmati menu berbuka tersebut. Dan agar dia termasuk dalam golongan orang-orang yang menyedekahkan harta yang disukainya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92) Ayat ini menegaskan bahwa berbagi dari sesuatu yang kita cintai adalah bukti kesempurnaan iman dan bentuk tertinggi dari kebajikan. Dengan ikut berbuka bersama orang-orang yang kita beri makanan, kita tidak hanya memberikan makanan, tetapi juga memberikan perhatian, kebersamaan, dan cinta kepada sesama muslim. Dalam hadis lain, Rasulullah ﷺ bersabda, لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ “Tidaklah kalian beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45) Ibnu Rajab menekankan pentingnya tidak hanya berbagi, tetapi juga merasakan langsung apa yang dirasakan oleh saudara seiman. Jika kita menyukai makanan yang enak dan lezat untuk diri kita, maka hendaknya kita juga memberikan makanan terbaik kepada saudara kita. Tidak cukup hanya memberi, tetapi kita dianjurkan untuk berbagi kebahagiaan dan merasakan langsung kebersamaan itu. Berbuka bersama sebagai latihan empati dan solidaritas Bulan Ramadan bukan hanya bulan ibadah personal, tetapi juga bulan tarbiyah sosial. Salah satu pelajaran penting dalam Ramadan adalah menumbuhkan empati, yaitu kemampuan untuk memahami dan merasakan perasaan orang lain. Ketika seseorang berpuasa, ia merasakan langsung bagaimana rasanya menahan lapar dan dahaga. Ini adalah pengalaman yang sangat berharga karena membantu kita memahami kesulitan yang dialami oleh saudara-saudara kita yang kurang mampu. Namun, empati ini tidak cukup hanya dirasakan, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata, salah satunya dengan berbuka bersama dan berbagi makanan dengan mereka yang membutuhkan. Dengan berbuka bersama, kita turut merasakan perjuangan orang lain. Kita tidak hanya melihat mereka sebagai penerima bantuan, tetapi sebagai saudara yang kita hormati dan bahagiakan. Ini adalah bentuk nyata dari kasih sayang dan ukhuwah Islamiyah. Dampak sosial berbuka puasa bersama Berbuka puasa bersama memiliki dampak sosial yang besar, baik kepada individu maupun masyarakat luas. Beberapa manfaatnya di antaranya adalah: Mempererat tali silaturahmi. Dengan berkumpul dan berbuka bersama, hubungan antar sesama muslim semakin erat. Di tengah kesibukan kehidupan modern, momen berbuka puasa bersama menjadi kesempatan untuk saling bertemu, berbagi cerita, dan memperkuat ukhuwah. Meningkatkan kesadaran sosial. Ketika berbuka bersama dengan orang-orang yang kurang mampu, kita akan lebih sadar akan kondisi mereka. Ini bisa menjadi pemicu untuk lebih peduli terhadap nasib sesama, bukan hanya di bulan Ramadan, tetapi juga di luar Ramadan. Baca juga: Sunnah-Sunnah Ketika Berbuka Puasa Berbuka bersama dan kebahagiaan orang berpuasa Rasulullah ﷺ bersabda, لِلصّائِمِ فَرْحَتانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فيه أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِن رِيحِ المِسْكِ. “Bagi orang yang melaksanakan puasa ada dua kebahagiaan; kebahagiaan ketika berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabbnya.” (HR. Bukhari no. 7492 dan Muslim no. 1151) Hadis ini menunjukkan bahwa berbuka puasa adalah salah satu momen paling membahagiakan bagi seorang muslim. Bayangkan, jika kita bisa menjadi sebab kebahagiaan bagi orang lain di saat berbuka, betapa besarnya pahala yang bisa kita dapatkan. Nabi ﷺ bersabda, أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ “Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia.” (HR. Thabrani no. 6026, dinilai hasan lighairih oleh Al-Albani) Suapan makanan yang kita berikan mungkin terlihat sederhana, tetapi bisa menjadi penopang kekuatan seseorang untuk menjalankan ibadah tarawih, membaca Al-Qur’an, atau memperbanyak doa di malam hari. Bahkan, bisa jadi menu berbuka yang kita berikan adalah satu-satunya makanan yang mereka miliki hari itu. Sehingga menu berbuka tersebut telah menghilangkan kegundahan seorang yang berpuasa tentang dengan apa ia berbuka di hari tersebut. Dengan niat ikhlas, semua ini bisa menjadi amal jariyah yang tak terputus. Jadikan Ramadan sebagai bulan empati Ramadan bukan sekadar bulan menahan lapar dan dahaga, tetapi juga bulan latihan empati dan solidaritas sosial. Salah satu bentuk nyata dari empati ini adalah berbuka puasa bersama dan berbagi makanan dengan saudara-saudara kita. Dengan memahami konsep berbuka puasa bersama seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Rajab, kita tidak hanya sekadar memberi, tetapi juga benar-benar hadir dalam kebahagiaan orang lain. Ini adalah cara terbaik untuk menumbuhkan rasa kasih sayang, memperkuat persaudaraan, dan meningkatkan kualitas ibadah kita. Maka, marilah kita manfaatkan bulan Ramadan ini dengan memperbanyak berbagi, bukan hanya dengan tangan, tetapi juga dengan hati. Tidak hanya sekadar berbagi, tetapi juga melandasi perbuatan tersebut karena Allah ﷻ dan meneladani Nabi ﷺ. Sebagaimana Imam Syafi’i rahimahullah berkata, أحب للرجل الزيادة في الجود في شهر رمضان اقتداء برسول الله صلى الله عليه وسلم ولحاجة الناس فيه إلى مصالحهم ولتشاغل كثير منهم بالصوم والصلاة عن مكاسبهم “Aku menyukai seseorang untuk meningkatkan kedermawanannya di bulan Ramadan, meneladani Rasulullah ﷺ serta karena kebutuhan banyak orang terhadap berbagai kepentingan mereka, sementara banyak dari mereka sibuk dengan puasa dan salat sehingga tidak sempat mencari penghidupan.” (Lathaiful Ma’arif, hal. 169; oleh Ibnu Rajab rahimahullah via maktabah syamilah) Semoga Allah menerima amal ibadah kita dan menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang penuh kasih sayang. Aamiin. Baca juga: Berbuka Puasa di Pesawat Terbang *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel Muslim.or.id

1 Menit Paham! Kapan Waktu Terbaik Membayar Zakat Fitrah? – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Zakat Fitrah dapat dikeluarkan sejak matahari terbenam pada malam Idul Fitri hingga sebelum pelaksanaan Salat Id. Sampai sebelum pelaksanaan Salat Id. Waktu terbaik untuk mengeluarkannya adalah sebelum Salat Id. Diperbolehkan juga untuk menunaikan Zakat Fitrah sehari atau dua hari sebelum Idul Fitri, yaitu pada hari ke-28, ke-29, atau ke-30 Ramadan. Boleh membayar Zakat Fitrah dalam rentang waktu tersebut. Namun, tidak boleh menunda membayar Zakat Fitrah setelah Salat Id. Jika seseorang sengaja menundanya, maka ia berdosa, dan ia tetap wajib mengeluarkannya, tetapi statusnya sebagai qadha (penggantian). ===== وَقْتُ إِخْرَاجِ زَكَاةُ الْفِطْرِ مِنْ غُرُوبِ الشَّمْسِ لَيْلَةَ الْعِيدِ إِلَى مَا قَبْلَ الصَّلَاةِ إِلَى مَا قَبْلَ صَلَاةِ الْعِيدِ وَأَفْضَلُ مَا يَكُونُ قَبْلَ الصَّلَاةِ وَيَجُوزُ إِخْرَاجُهَا قَبْلَ الْعِيدِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ الثَّامِنَ وَالعِشْرِينَ التَّاسِعَ وَالعِشْرِينَ الثَّلَاثِينَ يَجُوزُ إِخْرَاجُهَا تَعْجِيلُ إِخْرَاجِهَا فِي هَذَا الْوَقْتِ وَلَا يَجُوزُ تَأْخِيرُهَا عَنْ صَلَاةِ الْعِيدِ وَإِنْ أَخَّرَهَا عَمْدًا أَثِمَ وَيَلْزَمُهُ أَنْ يُخْرِجَهَا وَتَكُونُ قَضَاءً

1 Menit Paham! Kapan Waktu Terbaik Membayar Zakat Fitrah? – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Zakat Fitrah dapat dikeluarkan sejak matahari terbenam pada malam Idul Fitri hingga sebelum pelaksanaan Salat Id. Sampai sebelum pelaksanaan Salat Id. Waktu terbaik untuk mengeluarkannya adalah sebelum Salat Id. Diperbolehkan juga untuk menunaikan Zakat Fitrah sehari atau dua hari sebelum Idul Fitri, yaitu pada hari ke-28, ke-29, atau ke-30 Ramadan. Boleh membayar Zakat Fitrah dalam rentang waktu tersebut. Namun, tidak boleh menunda membayar Zakat Fitrah setelah Salat Id. Jika seseorang sengaja menundanya, maka ia berdosa, dan ia tetap wajib mengeluarkannya, tetapi statusnya sebagai qadha (penggantian). ===== وَقْتُ إِخْرَاجِ زَكَاةُ الْفِطْرِ مِنْ غُرُوبِ الشَّمْسِ لَيْلَةَ الْعِيدِ إِلَى مَا قَبْلَ الصَّلَاةِ إِلَى مَا قَبْلَ صَلَاةِ الْعِيدِ وَأَفْضَلُ مَا يَكُونُ قَبْلَ الصَّلَاةِ وَيَجُوزُ إِخْرَاجُهَا قَبْلَ الْعِيدِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ الثَّامِنَ وَالعِشْرِينَ التَّاسِعَ وَالعِشْرِينَ الثَّلَاثِينَ يَجُوزُ إِخْرَاجُهَا تَعْجِيلُ إِخْرَاجِهَا فِي هَذَا الْوَقْتِ وَلَا يَجُوزُ تَأْخِيرُهَا عَنْ صَلَاةِ الْعِيدِ وَإِنْ أَخَّرَهَا عَمْدًا أَثِمَ وَيَلْزَمُهُ أَنْ يُخْرِجَهَا وَتَكُونُ قَضَاءً
Zakat Fitrah dapat dikeluarkan sejak matahari terbenam pada malam Idul Fitri hingga sebelum pelaksanaan Salat Id. Sampai sebelum pelaksanaan Salat Id. Waktu terbaik untuk mengeluarkannya adalah sebelum Salat Id. Diperbolehkan juga untuk menunaikan Zakat Fitrah sehari atau dua hari sebelum Idul Fitri, yaitu pada hari ke-28, ke-29, atau ke-30 Ramadan. Boleh membayar Zakat Fitrah dalam rentang waktu tersebut. Namun, tidak boleh menunda membayar Zakat Fitrah setelah Salat Id. Jika seseorang sengaja menundanya, maka ia berdosa, dan ia tetap wajib mengeluarkannya, tetapi statusnya sebagai qadha (penggantian). ===== وَقْتُ إِخْرَاجِ زَكَاةُ الْفِطْرِ مِنْ غُرُوبِ الشَّمْسِ لَيْلَةَ الْعِيدِ إِلَى مَا قَبْلَ الصَّلَاةِ إِلَى مَا قَبْلَ صَلَاةِ الْعِيدِ وَأَفْضَلُ مَا يَكُونُ قَبْلَ الصَّلَاةِ وَيَجُوزُ إِخْرَاجُهَا قَبْلَ الْعِيدِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ الثَّامِنَ وَالعِشْرِينَ التَّاسِعَ وَالعِشْرِينَ الثَّلَاثِينَ يَجُوزُ إِخْرَاجُهَا تَعْجِيلُ إِخْرَاجِهَا فِي هَذَا الْوَقْتِ وَلَا يَجُوزُ تَأْخِيرُهَا عَنْ صَلَاةِ الْعِيدِ وَإِنْ أَخَّرَهَا عَمْدًا أَثِمَ وَيَلْزَمُهُ أَنْ يُخْرِجَهَا وَتَكُونُ قَضَاءً


Zakat Fitrah dapat dikeluarkan sejak matahari terbenam pada malam Idul Fitri hingga sebelum pelaksanaan Salat Id. Sampai sebelum pelaksanaan Salat Id. Waktu terbaik untuk mengeluarkannya adalah sebelum Salat Id. Diperbolehkan juga untuk menunaikan Zakat Fitrah sehari atau dua hari sebelum Idul Fitri, yaitu pada hari ke-28, ke-29, atau ke-30 Ramadan. Boleh membayar Zakat Fitrah dalam rentang waktu tersebut. Namun, tidak boleh menunda membayar Zakat Fitrah setelah Salat Id. Jika seseorang sengaja menundanya, maka ia berdosa, dan ia tetap wajib mengeluarkannya, tetapi statusnya sebagai qadha (penggantian). ===== وَقْتُ إِخْرَاجِ زَكَاةُ الْفِطْرِ مِنْ غُرُوبِ الشَّمْسِ لَيْلَةَ الْعِيدِ إِلَى مَا قَبْلَ الصَّلَاةِ إِلَى مَا قَبْلَ صَلَاةِ الْعِيدِ وَأَفْضَلُ مَا يَكُونُ قَبْلَ الصَّلَاةِ وَيَجُوزُ إِخْرَاجُهَا قَبْلَ الْعِيدِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ الثَّامِنَ وَالعِشْرِينَ التَّاسِعَ وَالعِشْرِينَ الثَّلَاثِينَ يَجُوزُ إِخْرَاجُهَا تَعْجِيلُ إِخْرَاجِهَا فِي هَذَا الْوَقْتِ وَلَا يَجُوزُ تَأْخِيرُهَا عَنْ صَلَاةِ الْعِيدِ وَإِنْ أَخَّرَهَا عَمْدًا أَثِمَ وَيَلْزَمُهُ أَنْ يُخْرِجَهَا وَتَكُونُ قَضَاءً

Hanya 1 Menit! Pahami Takbir Idul Fitri dengan Benar – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Adapun takbir, ia adalah ibadah yang disyariatkan ketika telah menyempurnakan hitungan puasa, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan hendaklah kalian menyempurnakan bilangan (puasa) dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian supaya kalian bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185) Jadi, ibadah ini (takbir) disyariatkan saat menyempurnakan hitungan puasa, yaitu setelah matahari terbenam pada malam Idul Fitri. Setelah matahari terbenam di malam Idul Fitri, disyariatkan untuk bertakbir. Adapun lafaz takbir yang diriwayatkan dari para sahabat adalah sebagai berikut: ALLAAHU AKBAR ALLAAHU AKBAR(Allah Maha Besar, Allah Maha Besar). LAA ILAAHA ILLALLAAH ALLAAHU AKBAR(Tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah, Allah Maha Besar). WALIL-LAAHIL-HAMD(dan hanya bagi-Nya segala pujian). Inilah yang diriwayatkan dari pada Sahabat radhiyallāhu ʿanhum, bahwa para Sahabat mengucapkannya pada malam Idul Fitri dan pada hari Idul Fitri sebelum Shalat Id hingga waktu shalat tiba. Maka, Anda disyariatkan untuk bertakbir dengan mengeraskan suara saat bertakbir. Sementara para wanita bertakbir dengan suara pelan. ==== وَأَمَّا التَّكْبِيرُ فَهِيَ عِبَادَةٌ تُشْرَعُ عِنْدَ إِتْمَامِ عِدَّةِ الصِّيَامِ كَمَا قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ فَالْعِبَادَةُ تُشْرَعُ فِي إِتْمَامِ عِدَّةِ الصِّيَامِ بَعْدَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ مِنْ لَيلَةِ الْعِيدِ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ مِنْ لَيلَةِ الْعِيدِ يُشْرَعُ التَّكْبِيرُ وَصِفَةُ التَّكْبِيرِ فِي الْمَأْثُورِ عَنِ الصَحَابَةِ أَنْ تَقُولَ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلهِ الْحَمْدُ هَذَا هُوَ الَّذِي أُثِرَ عَنِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهَ عَنْهُمْ أَنَّهُمْ يَقُولُونَهُ فِي لَيلَةِ الْعِيدِ وَيَوْمَ الْعِيدِ قَبْلَ الصَّلَاةِ إِلَى وَقْتِ الصَّلَاةِ فَيُشْرَعُ لَكَ أَنْ تُكَبِّرَ وَأَنْ تَرْفَعَ صَوْتَكَ بِالتَّكْبِيرِ وَالنِّسَاءُ يُكَبِّرْنَ سِرًّا

Hanya 1 Menit! Pahami Takbir Idul Fitri dengan Benar – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Adapun takbir, ia adalah ibadah yang disyariatkan ketika telah menyempurnakan hitungan puasa, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan hendaklah kalian menyempurnakan bilangan (puasa) dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian supaya kalian bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185) Jadi, ibadah ini (takbir) disyariatkan saat menyempurnakan hitungan puasa, yaitu setelah matahari terbenam pada malam Idul Fitri. Setelah matahari terbenam di malam Idul Fitri, disyariatkan untuk bertakbir. Adapun lafaz takbir yang diriwayatkan dari para sahabat adalah sebagai berikut: ALLAAHU AKBAR ALLAAHU AKBAR(Allah Maha Besar, Allah Maha Besar). LAA ILAAHA ILLALLAAH ALLAAHU AKBAR(Tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah, Allah Maha Besar). WALIL-LAAHIL-HAMD(dan hanya bagi-Nya segala pujian). Inilah yang diriwayatkan dari pada Sahabat radhiyallāhu ʿanhum, bahwa para Sahabat mengucapkannya pada malam Idul Fitri dan pada hari Idul Fitri sebelum Shalat Id hingga waktu shalat tiba. Maka, Anda disyariatkan untuk bertakbir dengan mengeraskan suara saat bertakbir. Sementara para wanita bertakbir dengan suara pelan. ==== وَأَمَّا التَّكْبِيرُ فَهِيَ عِبَادَةٌ تُشْرَعُ عِنْدَ إِتْمَامِ عِدَّةِ الصِّيَامِ كَمَا قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ فَالْعِبَادَةُ تُشْرَعُ فِي إِتْمَامِ عِدَّةِ الصِّيَامِ بَعْدَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ مِنْ لَيلَةِ الْعِيدِ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ مِنْ لَيلَةِ الْعِيدِ يُشْرَعُ التَّكْبِيرُ وَصِفَةُ التَّكْبِيرِ فِي الْمَأْثُورِ عَنِ الصَحَابَةِ أَنْ تَقُولَ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلهِ الْحَمْدُ هَذَا هُوَ الَّذِي أُثِرَ عَنِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهَ عَنْهُمْ أَنَّهُمْ يَقُولُونَهُ فِي لَيلَةِ الْعِيدِ وَيَوْمَ الْعِيدِ قَبْلَ الصَّلَاةِ إِلَى وَقْتِ الصَّلَاةِ فَيُشْرَعُ لَكَ أَنْ تُكَبِّرَ وَأَنْ تَرْفَعَ صَوْتَكَ بِالتَّكْبِيرِ وَالنِّسَاءُ يُكَبِّرْنَ سِرًّا
Adapun takbir, ia adalah ibadah yang disyariatkan ketika telah menyempurnakan hitungan puasa, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan hendaklah kalian menyempurnakan bilangan (puasa) dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian supaya kalian bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185) Jadi, ibadah ini (takbir) disyariatkan saat menyempurnakan hitungan puasa, yaitu setelah matahari terbenam pada malam Idul Fitri. Setelah matahari terbenam di malam Idul Fitri, disyariatkan untuk bertakbir. Adapun lafaz takbir yang diriwayatkan dari para sahabat adalah sebagai berikut: ALLAAHU AKBAR ALLAAHU AKBAR(Allah Maha Besar, Allah Maha Besar). LAA ILAAHA ILLALLAAH ALLAAHU AKBAR(Tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah, Allah Maha Besar). WALIL-LAAHIL-HAMD(dan hanya bagi-Nya segala pujian). Inilah yang diriwayatkan dari pada Sahabat radhiyallāhu ʿanhum, bahwa para Sahabat mengucapkannya pada malam Idul Fitri dan pada hari Idul Fitri sebelum Shalat Id hingga waktu shalat tiba. Maka, Anda disyariatkan untuk bertakbir dengan mengeraskan suara saat bertakbir. Sementara para wanita bertakbir dengan suara pelan. ==== وَأَمَّا التَّكْبِيرُ فَهِيَ عِبَادَةٌ تُشْرَعُ عِنْدَ إِتْمَامِ عِدَّةِ الصِّيَامِ كَمَا قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ فَالْعِبَادَةُ تُشْرَعُ فِي إِتْمَامِ عِدَّةِ الصِّيَامِ بَعْدَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ مِنْ لَيلَةِ الْعِيدِ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ مِنْ لَيلَةِ الْعِيدِ يُشْرَعُ التَّكْبِيرُ وَصِفَةُ التَّكْبِيرِ فِي الْمَأْثُورِ عَنِ الصَحَابَةِ أَنْ تَقُولَ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلهِ الْحَمْدُ هَذَا هُوَ الَّذِي أُثِرَ عَنِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهَ عَنْهُمْ أَنَّهُمْ يَقُولُونَهُ فِي لَيلَةِ الْعِيدِ وَيَوْمَ الْعِيدِ قَبْلَ الصَّلَاةِ إِلَى وَقْتِ الصَّلَاةِ فَيُشْرَعُ لَكَ أَنْ تُكَبِّرَ وَأَنْ تَرْفَعَ صَوْتَكَ بِالتَّكْبِيرِ وَالنِّسَاءُ يُكَبِّرْنَ سِرًّا


Adapun takbir, ia adalah ibadah yang disyariatkan ketika telah menyempurnakan hitungan puasa, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan hendaklah kalian menyempurnakan bilangan (puasa) dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian supaya kalian bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185) Jadi, ibadah ini (takbir) disyariatkan saat menyempurnakan hitungan puasa, yaitu setelah matahari terbenam pada malam Idul Fitri. Setelah matahari terbenam di malam Idul Fitri, disyariatkan untuk bertakbir. Adapun lafaz takbir yang diriwayatkan dari para sahabat adalah sebagai berikut: ALLAAHU AKBAR ALLAAHU AKBAR(Allah Maha Besar, Allah Maha Besar). LAA ILAAHA ILLALLAAH ALLAAHU AKBAR(Tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah, Allah Maha Besar). WALIL-LAAHIL-HAMD(dan hanya bagi-Nya segala pujian). Inilah yang diriwayatkan dari pada Sahabat radhiyallāhu ʿanhum, bahwa para Sahabat mengucapkannya pada malam Idul Fitri dan pada hari Idul Fitri sebelum Shalat Id hingga waktu shalat tiba. Maka, Anda disyariatkan untuk bertakbir dengan mengeraskan suara saat bertakbir. Sementara para wanita bertakbir dengan suara pelan. ==== وَأَمَّا التَّكْبِيرُ فَهِيَ عِبَادَةٌ تُشْرَعُ عِنْدَ إِتْمَامِ عِدَّةِ الصِّيَامِ كَمَا قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ فَالْعِبَادَةُ تُشْرَعُ فِي إِتْمَامِ عِدَّةِ الصِّيَامِ بَعْدَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ مِنْ لَيلَةِ الْعِيدِ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ مِنْ لَيلَةِ الْعِيدِ يُشْرَعُ التَّكْبِيرُ وَصِفَةُ التَّكْبِيرِ فِي الْمَأْثُورِ عَنِ الصَحَابَةِ أَنْ تَقُولَ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلهِ الْحَمْدُ هَذَا هُوَ الَّذِي أُثِرَ عَنِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهَ عَنْهُمْ أَنَّهُمْ يَقُولُونَهُ فِي لَيلَةِ الْعِيدِ وَيَوْمَ الْعِيدِ قَبْلَ الصَّلَاةِ إِلَى وَقْتِ الصَّلَاةِ فَيُشْرَعُ لَكَ أَنْ تُكَبِّرَ وَأَنْ تَرْفَعَ صَوْتَكَ بِالتَّكْبِيرِ وَالنِّسَاءُ يُكَبِّرْنَ سِرًّا

Apakah Memakai Obat Kumur Membatalkan Puasa?

Daftar Isi Toggle Hukum memakai obat kumur ketika berpuasaDi antara pokok pembatal puasa adalah makan dan minumMakna “jauf”Diharuskan adanya kesengajaanHukum-hukum terkait berkumur saat berpuasaApa itu obat kumur?Hukum memakai obat kumur ketika berpuasaFatwa ulama terkait pemakaian obat kumur ketika berpuasaFatwa Syekh Ibnu ‘UtsaiminFatwa Majma’ Fiqih Islamiy Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dijalankan oleh setiap muslim yang balig, berakal, dan mampu melaksanakannya. Selama berpuasa, seorang muslim diwajibkan menahan diri dari makan, minum, serta hal-hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Namun, dalam praktiknya, kadang seseorang perlu untuk memakai obat kumur di tenggorokan, baik untuk tujuan kebersihan, maupun untuk pengobatan. Dari hal tersebut, muncul pertanyaan, apakah obat kumur termasuk hal yang aman bagi orang yang berpuasa? Atau apakah itu termasuk perkara yang membatalkan puasa? Bagaimana pandangan para ulama mengenai hal ini? Dalam artikel ini, kita akan mengupas lebih dalam tentang hukum penggunaan obat kumur ketika berpuasa dengan mengacu pada pendapat para ulama dan referensi dari berbagai kitab fikih. Hukum memakai obat kumur ketika berpuasa Berikut ini adalah pembahasan-pembahasan terkait dengan hukum memakai obat kumur ketika seseorang sedang berpuasa Di antara pokok pembatal puasa adalah makan dan minum Salah satu hal yang membatalkan puasa yang disepakati oleh para ulama adalah makan dan minum, yaitu memasukkan makanan atau minuman ke jauf (rongga tubuh, atau perut), baik melalui mulut maupun hidung, apa pun jenis makanan dan minumannya. [1] Sebagaimana firman Allah, وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ “Makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam.” (QS. Al-Baqarah: 187) Allah Subhanahu wa Ta’ala mengizinkan makan dan minum hingga terbit fajar kedua, kemudian memerintahkan untuk menyempurnakan puasa hingga malam. Ini berarti, Allah memerintahkan untuk meninggalkan makan dan minum pada rentang waktu antara terbitnya fajar hingga malam. Dan termasuk dalam hal ini adalah penggunaan obat yang disedot melalui hidung, begitu pula dengan memasukkan segala sesuatu yang berupa cairan atau padat melalui hidung, mata, atau telinga, asalkan sampai ke jauf (perut). Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahulllah berkata dalam Majmu’ Fatawa [2], … ومعلوم أن النص والإجماع أثبتا الفطر بالأكل والشرب والجماع والحيض … “… Dan telah diketahui bahwa nash dan ijma’ (kesepakatan ulama) telah menetapkan bahwa puasa batal dengan makan, minum, hubungan suami istri, dan haid …”. [3] Makna “jauf” Batasan jauf (yang membatalkan puasa dengan masuknya sesuatu ke dalamnya) merupakan perkara yang diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian mereka berpendapat bahwa al-halq (tenggorokan) termasuk dalam jauf. Kemudian, mereka berbeda pendapat mengenai batas tenggorokan yang dzahir (luar) dan bathin (dalam). [4] Sebagian ulama berpendapat bahwa tenggorokan bukan bagian dari jauf. Dr. Ahmad bin Muhammad Al-Khalil mengatakan, “Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa jauf itu hanya perut, yaitu yang membatalkan puasa adalah apa yang masuk ke dalam perut, bukan bagian tubuh lainnya.” Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, وإن أوصل إلى جوفه شيئاً من أي موضع كان، أو إلى دماغه …  أفطر. “Jika seseorang memasukkan sesuatu ke jauf-nya dari bagian tubuh mana pun, atau sampai ke otaknya … maka ia batal puasanya.” [5] Maksudnya, para ulama madzhab Hambali menyebutkan bahwasanya dua jauf maksudnya adalah ma’idah (perut) dan otak. Wallaahu a’lam. [6] Diharuskan adanya kesengajaan Agar sesuatu yang masuk ke dalam tubuh dapat membatalkan puasa, harus memenuhi syarat adanya kesengajaan. Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ اللهَ تعالى وضع عن أُمَّتي الخطأَ ، و النسيانَ ، و ما اسْتُكرِهوا عليه ‘Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menghapuskan (tidak menghukum) bagi umatku kesalahan, kelupaan, dan apa yang mereka dipaksa untuk melakukannya.‘ (HR. Ibnu Majah no. 2045 dan selainnya; disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 1836). [7] Hukum-hukum terkait berkumur saat berpuasa Untuk memahami hukum memakai obat kumur ( ‌الغرغرة ) dengan baik, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu hukum-hukum terkait dengan berkumur ( المَضْمَضَةِ ) saat berpuasa, khususnya dalam keadaan berlebihan padanya. Keduanya memang berbeda, namun memiliki beberapa sisi kesamaan. Berikut ini beberapa poin ringkas yang kami ambil dari kitab Al-Mughni karya Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, Jika seseorang berkumur dalam wudu, dan air tersebut masuk ke tenggorokannya tanpa sengaja dan tanpa berlebihan, maka tidak ada masalah baginya. Adapun jika dia berlebihan (tanpa alasan), maka dia telah melakukan perbuatan yang dimakruhkan; karena dia berisiko membuat air masuk ke tenggorokan. Jika air sampai ke tenggorokan, maka menurut Imam Ahmad, dia harus mengulang puasanya. Apakah hal ini membatalkan puasa? Ada dua pendapat. Salah satunya adalah bahwa puasa batal, dan yang lainnya mengatakan tidak batal, karena air itu masuk tanpa sengaja, mirip dengan debu halus yang tertelan saat seseorang menaburkannya. Jika berkumur dilakukan karena suatu kebutuhan, seperti berkumur untuk membersihkan mulut saat diperlukan, maka hukumnya sama seperti berkumur (tanpa berlebihan) dalam wudu. Wallaahu a’lam. [8] Baca juga: Hukum Berenang Bagi Orang yang Berpuasa di Bulan Ramadan Apa itu obat kumur? Obat kumur biasa disebut juga obat gargle ( دواء ‌الغرغرة ). Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, “( الْغَرْغَرَةُ ) adalah seseorang yang menggerakkan air di tenggorokan tanpa menelannya, dan ( الْغَرُورُ ) adalah obat yang digunakan untuk berkumur.” [9] Obat kumur merupakan metode yang umum digunakan untuk membersihkan tenggorokan, yaitu dengan meletakkan air atau obat cair khusus di dalam mulut pasien, sambil memiringkan kepalanya ke belakang dan mengeluarkan nafas dari paru-parunya untuk menggerakkan cairan tersebut dan memutarnya di sekitar mulut dan tenggorokan, sehingga orang yang berkumur dapat menghindari menelan cairan yang dikumur, kecuali jika ada sebagian cairan yang masuk ke jauf-nya. [10] Hukum memakai obat kumur ketika berpuasa Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka diperbolehkan bagi orang yang membutuhkan pemakaian obat kumur, untuk memakainya dan ini tidak membatalkan puasanya. Bahkan, jika misalkan ada sedikit bagian dari obat tersebut yang tidak sengaja tertelan, hal ini juga tetap tidak membatalkan puasanya. Wallaahu a’lam. Syekh Muhammad Ath-Thayyar mengatakan, tentang hukum pemakaian obat kumur, استعمال الصائم لهذا الدواء في نهار رمضان لا يُبْطِلُ صومَه إذا لم يبتلعه، ولكن عليه ألا يتناوله إلا إذا دعت الحاجة إليه، ولا يفطر به إذا لم يدخل في جوفه شيء منه. “Penggunaan obat kumur oleh orang yang berpuasa di siang hari selama bulan Ramadan tidak membatalkan puasa jika ia tidak menelannya, tetapi ia sebaiknya hanya menggunakannya jika memang diperlukan, dan tidak membatalkan puasa jika tidak ada yang masuk ke dalam jauf-nya dari obat tersebut.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Begitu juga dengan obat yang digunakan untuk gigi atau gusi, selama tidak masuk ke dalam tubuh (jauf), maka tidak masalah untuk menggunakannya di siang hari bulan Ramadan dan tidak membatalkan puasa. Yang dilarang adalah jika obat tersebut sampai ke tenggorokan (bagian dalam) dan jauf.” [11] Fatwa ulama terkait pemakaian obat kumur ketika berpuasa Di antara fatwa-fatwa para ulama tentang permasalah ini adalah: Fatwa Syekh Ibnu ‘Utsaimin Ditanyakan kepada Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, “Apakah puasa batal jika memakai obat kumur?” Beliau menjawab, لا يبطل الصوم إذا لم يبتلعه، ولكن لا تفعله إلا إذا دعت الحاجة ولا تفطر به إذا لم يدخل جوفك شيء منه. “Puasa tidak batal jika tidak menelannya, namun sebaiknya dilakukan hanya jika benar-benar diperlukan; dan tidak membatalkan puasa jika tidak ada yang masuk ke dalam jauf-mu dari obat tersebut.” [12] Fatwa Majma’ Fiqih Islamiy Majelis Fiqih Islam Internasional dalam keputusan No. 93 (10/1) menyatakan bahwa penggunaan obat kumur tidak membatalkan puasa selama tidak menelan apa yang masuk ke tenggorokan. Disebutkan dalam poin ketujuh dari perkara-perkara yang tidak dianggap sebagai pembatal puasa, المضمضة، والغرغرة، وبخاخ العلاج الموضعي للفم إذ اجتنب ابتلاع ما نفذ إلى الحلق. “Berkumur, berkumur dengan obat kumur, dan semprotan pengobatan lokal untuk mulut, selama tidak menelan apa yang masuk ke tenggorokan.” [13] Demikian, semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, aaamiin. Baca juga: Apakah Bekam Membatalkan Puasa? *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Ramadan 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Ibnu Qudamah Al-Maqdisi. Al-Mughni. Cet. ke-3. Riyadh: Dar ‘Alam Al-Kutub, 1417 H/1997 M. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (21 Dzulhijjah 1441 H), sesuai nomor cetakan. Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad, Abdullah bin Muhammad Al-Mutlaq, dan Muhammad bin Ibrahim Al-Musa. Al-Fiqh al-Muyassar. Riyadh: Madar Al-Watan, Jilid 7, hal. 11-13; edisi pertama 1432 H/2011 M; edisi kedua untuk jilid lainnya 1433 H/2012 M. 13 jilid. Al-Mawsūʿah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah. Diterbitkan oleh Kementerian Awqaf dan Urusan Islam, Kuwait. Cet. 2 (jilid 1–23), Dar al-Safwah Press, Mesir; cet. 2 (jilid 39–45), Kuwait, 1404–1427 H. 45 jilid. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Dzulhijjah 1431 H), sesuai nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] Fushul fi as-Shiyam wa at-Tarawih wa az-Zakah, hal. 8. [2] Majmu’ Fatawa Syaikhul al-Islam Ibn Taimiyyah, 25: 244. [3] Lihat al-Fiqh al-Muyassar, 3: 54. [4] Lihat al-Ghurar al-Bahiyyah fi Sharh al-Bahjat al-Wardiyyah, 2: 212-213. [5] al-Kafi fi Fiqh al-Imam Ahmad, 1: 440. [6] Lihat https://www.alukah.net/spotlight/0/3352/ [7] Lihat penjelasan dari syarat ini dan syarat-syarat lainnya dalam Al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 28: 29-31. [8] Disarikan dari Al-Mughni, 4: 356-357. [9] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 31: 179. [10] https://www.dar-alifta.org/ar/fatwa/details/20217/ [11] Al-Fiqh al-Muyassar. Lihat juga: https://www.dar-alifta.org/ar/fatwa/details/20217/ dan https://almoslim.net/node/279550 [12] Majmu’ Fatawa wa Rasail, 19: 290. [13] Qararat wa Tawsiyat Majma’ al-Fiqh al-Islami al-Duwali, hal. 291-292.

Apakah Memakai Obat Kumur Membatalkan Puasa?

Daftar Isi Toggle Hukum memakai obat kumur ketika berpuasaDi antara pokok pembatal puasa adalah makan dan minumMakna “jauf”Diharuskan adanya kesengajaanHukum-hukum terkait berkumur saat berpuasaApa itu obat kumur?Hukum memakai obat kumur ketika berpuasaFatwa ulama terkait pemakaian obat kumur ketika berpuasaFatwa Syekh Ibnu ‘UtsaiminFatwa Majma’ Fiqih Islamiy Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dijalankan oleh setiap muslim yang balig, berakal, dan mampu melaksanakannya. Selama berpuasa, seorang muslim diwajibkan menahan diri dari makan, minum, serta hal-hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Namun, dalam praktiknya, kadang seseorang perlu untuk memakai obat kumur di tenggorokan, baik untuk tujuan kebersihan, maupun untuk pengobatan. Dari hal tersebut, muncul pertanyaan, apakah obat kumur termasuk hal yang aman bagi orang yang berpuasa? Atau apakah itu termasuk perkara yang membatalkan puasa? Bagaimana pandangan para ulama mengenai hal ini? Dalam artikel ini, kita akan mengupas lebih dalam tentang hukum penggunaan obat kumur ketika berpuasa dengan mengacu pada pendapat para ulama dan referensi dari berbagai kitab fikih. Hukum memakai obat kumur ketika berpuasa Berikut ini adalah pembahasan-pembahasan terkait dengan hukum memakai obat kumur ketika seseorang sedang berpuasa Di antara pokok pembatal puasa adalah makan dan minum Salah satu hal yang membatalkan puasa yang disepakati oleh para ulama adalah makan dan minum, yaitu memasukkan makanan atau minuman ke jauf (rongga tubuh, atau perut), baik melalui mulut maupun hidung, apa pun jenis makanan dan minumannya. [1] Sebagaimana firman Allah, وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ “Makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam.” (QS. Al-Baqarah: 187) Allah Subhanahu wa Ta’ala mengizinkan makan dan minum hingga terbit fajar kedua, kemudian memerintahkan untuk menyempurnakan puasa hingga malam. Ini berarti, Allah memerintahkan untuk meninggalkan makan dan minum pada rentang waktu antara terbitnya fajar hingga malam. Dan termasuk dalam hal ini adalah penggunaan obat yang disedot melalui hidung, begitu pula dengan memasukkan segala sesuatu yang berupa cairan atau padat melalui hidung, mata, atau telinga, asalkan sampai ke jauf (perut). Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahulllah berkata dalam Majmu’ Fatawa [2], … ومعلوم أن النص والإجماع أثبتا الفطر بالأكل والشرب والجماع والحيض … “… Dan telah diketahui bahwa nash dan ijma’ (kesepakatan ulama) telah menetapkan bahwa puasa batal dengan makan, minum, hubungan suami istri, dan haid …”. [3] Makna “jauf” Batasan jauf (yang membatalkan puasa dengan masuknya sesuatu ke dalamnya) merupakan perkara yang diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian mereka berpendapat bahwa al-halq (tenggorokan) termasuk dalam jauf. Kemudian, mereka berbeda pendapat mengenai batas tenggorokan yang dzahir (luar) dan bathin (dalam). [4] Sebagian ulama berpendapat bahwa tenggorokan bukan bagian dari jauf. Dr. Ahmad bin Muhammad Al-Khalil mengatakan, “Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa jauf itu hanya perut, yaitu yang membatalkan puasa adalah apa yang masuk ke dalam perut, bukan bagian tubuh lainnya.” Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, وإن أوصل إلى جوفه شيئاً من أي موضع كان، أو إلى دماغه …  أفطر. “Jika seseorang memasukkan sesuatu ke jauf-nya dari bagian tubuh mana pun, atau sampai ke otaknya … maka ia batal puasanya.” [5] Maksudnya, para ulama madzhab Hambali menyebutkan bahwasanya dua jauf maksudnya adalah ma’idah (perut) dan otak. Wallaahu a’lam. [6] Diharuskan adanya kesengajaan Agar sesuatu yang masuk ke dalam tubuh dapat membatalkan puasa, harus memenuhi syarat adanya kesengajaan. Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ اللهَ تعالى وضع عن أُمَّتي الخطأَ ، و النسيانَ ، و ما اسْتُكرِهوا عليه ‘Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menghapuskan (tidak menghukum) bagi umatku kesalahan, kelupaan, dan apa yang mereka dipaksa untuk melakukannya.‘ (HR. Ibnu Majah no. 2045 dan selainnya; disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 1836). [7] Hukum-hukum terkait berkumur saat berpuasa Untuk memahami hukum memakai obat kumur ( ‌الغرغرة ) dengan baik, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu hukum-hukum terkait dengan berkumur ( المَضْمَضَةِ ) saat berpuasa, khususnya dalam keadaan berlebihan padanya. Keduanya memang berbeda, namun memiliki beberapa sisi kesamaan. Berikut ini beberapa poin ringkas yang kami ambil dari kitab Al-Mughni karya Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, Jika seseorang berkumur dalam wudu, dan air tersebut masuk ke tenggorokannya tanpa sengaja dan tanpa berlebihan, maka tidak ada masalah baginya. Adapun jika dia berlebihan (tanpa alasan), maka dia telah melakukan perbuatan yang dimakruhkan; karena dia berisiko membuat air masuk ke tenggorokan. Jika air sampai ke tenggorokan, maka menurut Imam Ahmad, dia harus mengulang puasanya. Apakah hal ini membatalkan puasa? Ada dua pendapat. Salah satunya adalah bahwa puasa batal, dan yang lainnya mengatakan tidak batal, karena air itu masuk tanpa sengaja, mirip dengan debu halus yang tertelan saat seseorang menaburkannya. Jika berkumur dilakukan karena suatu kebutuhan, seperti berkumur untuk membersihkan mulut saat diperlukan, maka hukumnya sama seperti berkumur (tanpa berlebihan) dalam wudu. Wallaahu a’lam. [8] Baca juga: Hukum Berenang Bagi Orang yang Berpuasa di Bulan Ramadan Apa itu obat kumur? Obat kumur biasa disebut juga obat gargle ( دواء ‌الغرغرة ). Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, “( الْغَرْغَرَةُ ) adalah seseorang yang menggerakkan air di tenggorokan tanpa menelannya, dan ( الْغَرُورُ ) adalah obat yang digunakan untuk berkumur.” [9] Obat kumur merupakan metode yang umum digunakan untuk membersihkan tenggorokan, yaitu dengan meletakkan air atau obat cair khusus di dalam mulut pasien, sambil memiringkan kepalanya ke belakang dan mengeluarkan nafas dari paru-parunya untuk menggerakkan cairan tersebut dan memutarnya di sekitar mulut dan tenggorokan, sehingga orang yang berkumur dapat menghindari menelan cairan yang dikumur, kecuali jika ada sebagian cairan yang masuk ke jauf-nya. [10] Hukum memakai obat kumur ketika berpuasa Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka diperbolehkan bagi orang yang membutuhkan pemakaian obat kumur, untuk memakainya dan ini tidak membatalkan puasanya. Bahkan, jika misalkan ada sedikit bagian dari obat tersebut yang tidak sengaja tertelan, hal ini juga tetap tidak membatalkan puasanya. Wallaahu a’lam. Syekh Muhammad Ath-Thayyar mengatakan, tentang hukum pemakaian obat kumur, استعمال الصائم لهذا الدواء في نهار رمضان لا يُبْطِلُ صومَه إذا لم يبتلعه، ولكن عليه ألا يتناوله إلا إذا دعت الحاجة إليه، ولا يفطر به إذا لم يدخل في جوفه شيء منه. “Penggunaan obat kumur oleh orang yang berpuasa di siang hari selama bulan Ramadan tidak membatalkan puasa jika ia tidak menelannya, tetapi ia sebaiknya hanya menggunakannya jika memang diperlukan, dan tidak membatalkan puasa jika tidak ada yang masuk ke dalam jauf-nya dari obat tersebut.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Begitu juga dengan obat yang digunakan untuk gigi atau gusi, selama tidak masuk ke dalam tubuh (jauf), maka tidak masalah untuk menggunakannya di siang hari bulan Ramadan dan tidak membatalkan puasa. Yang dilarang adalah jika obat tersebut sampai ke tenggorokan (bagian dalam) dan jauf.” [11] Fatwa ulama terkait pemakaian obat kumur ketika berpuasa Di antara fatwa-fatwa para ulama tentang permasalah ini adalah: Fatwa Syekh Ibnu ‘Utsaimin Ditanyakan kepada Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, “Apakah puasa batal jika memakai obat kumur?” Beliau menjawab, لا يبطل الصوم إذا لم يبتلعه، ولكن لا تفعله إلا إذا دعت الحاجة ولا تفطر به إذا لم يدخل جوفك شيء منه. “Puasa tidak batal jika tidak menelannya, namun sebaiknya dilakukan hanya jika benar-benar diperlukan; dan tidak membatalkan puasa jika tidak ada yang masuk ke dalam jauf-mu dari obat tersebut.” [12] Fatwa Majma’ Fiqih Islamiy Majelis Fiqih Islam Internasional dalam keputusan No. 93 (10/1) menyatakan bahwa penggunaan obat kumur tidak membatalkan puasa selama tidak menelan apa yang masuk ke tenggorokan. Disebutkan dalam poin ketujuh dari perkara-perkara yang tidak dianggap sebagai pembatal puasa, المضمضة، والغرغرة، وبخاخ العلاج الموضعي للفم إذ اجتنب ابتلاع ما نفذ إلى الحلق. “Berkumur, berkumur dengan obat kumur, dan semprotan pengobatan lokal untuk mulut, selama tidak menelan apa yang masuk ke tenggorokan.” [13] Demikian, semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, aaamiin. Baca juga: Apakah Bekam Membatalkan Puasa? *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Ramadan 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Ibnu Qudamah Al-Maqdisi. Al-Mughni. Cet. ke-3. Riyadh: Dar ‘Alam Al-Kutub, 1417 H/1997 M. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (21 Dzulhijjah 1441 H), sesuai nomor cetakan. Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad, Abdullah bin Muhammad Al-Mutlaq, dan Muhammad bin Ibrahim Al-Musa. Al-Fiqh al-Muyassar. Riyadh: Madar Al-Watan, Jilid 7, hal. 11-13; edisi pertama 1432 H/2011 M; edisi kedua untuk jilid lainnya 1433 H/2012 M. 13 jilid. Al-Mawsūʿah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah. Diterbitkan oleh Kementerian Awqaf dan Urusan Islam, Kuwait. Cet. 2 (jilid 1–23), Dar al-Safwah Press, Mesir; cet. 2 (jilid 39–45), Kuwait, 1404–1427 H. 45 jilid. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Dzulhijjah 1431 H), sesuai nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] Fushul fi as-Shiyam wa at-Tarawih wa az-Zakah, hal. 8. [2] Majmu’ Fatawa Syaikhul al-Islam Ibn Taimiyyah, 25: 244. [3] Lihat al-Fiqh al-Muyassar, 3: 54. [4] Lihat al-Ghurar al-Bahiyyah fi Sharh al-Bahjat al-Wardiyyah, 2: 212-213. [5] al-Kafi fi Fiqh al-Imam Ahmad, 1: 440. [6] Lihat https://www.alukah.net/spotlight/0/3352/ [7] Lihat penjelasan dari syarat ini dan syarat-syarat lainnya dalam Al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 28: 29-31. [8] Disarikan dari Al-Mughni, 4: 356-357. [9] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 31: 179. [10] https://www.dar-alifta.org/ar/fatwa/details/20217/ [11] Al-Fiqh al-Muyassar. Lihat juga: https://www.dar-alifta.org/ar/fatwa/details/20217/ dan https://almoslim.net/node/279550 [12] Majmu’ Fatawa wa Rasail, 19: 290. [13] Qararat wa Tawsiyat Majma’ al-Fiqh al-Islami al-Duwali, hal. 291-292.
Daftar Isi Toggle Hukum memakai obat kumur ketika berpuasaDi antara pokok pembatal puasa adalah makan dan minumMakna “jauf”Diharuskan adanya kesengajaanHukum-hukum terkait berkumur saat berpuasaApa itu obat kumur?Hukum memakai obat kumur ketika berpuasaFatwa ulama terkait pemakaian obat kumur ketika berpuasaFatwa Syekh Ibnu ‘UtsaiminFatwa Majma’ Fiqih Islamiy Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dijalankan oleh setiap muslim yang balig, berakal, dan mampu melaksanakannya. Selama berpuasa, seorang muslim diwajibkan menahan diri dari makan, minum, serta hal-hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Namun, dalam praktiknya, kadang seseorang perlu untuk memakai obat kumur di tenggorokan, baik untuk tujuan kebersihan, maupun untuk pengobatan. Dari hal tersebut, muncul pertanyaan, apakah obat kumur termasuk hal yang aman bagi orang yang berpuasa? Atau apakah itu termasuk perkara yang membatalkan puasa? Bagaimana pandangan para ulama mengenai hal ini? Dalam artikel ini, kita akan mengupas lebih dalam tentang hukum penggunaan obat kumur ketika berpuasa dengan mengacu pada pendapat para ulama dan referensi dari berbagai kitab fikih. Hukum memakai obat kumur ketika berpuasa Berikut ini adalah pembahasan-pembahasan terkait dengan hukum memakai obat kumur ketika seseorang sedang berpuasa Di antara pokok pembatal puasa adalah makan dan minum Salah satu hal yang membatalkan puasa yang disepakati oleh para ulama adalah makan dan minum, yaitu memasukkan makanan atau minuman ke jauf (rongga tubuh, atau perut), baik melalui mulut maupun hidung, apa pun jenis makanan dan minumannya. [1] Sebagaimana firman Allah, وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ “Makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam.” (QS. Al-Baqarah: 187) Allah Subhanahu wa Ta’ala mengizinkan makan dan minum hingga terbit fajar kedua, kemudian memerintahkan untuk menyempurnakan puasa hingga malam. Ini berarti, Allah memerintahkan untuk meninggalkan makan dan minum pada rentang waktu antara terbitnya fajar hingga malam. Dan termasuk dalam hal ini adalah penggunaan obat yang disedot melalui hidung, begitu pula dengan memasukkan segala sesuatu yang berupa cairan atau padat melalui hidung, mata, atau telinga, asalkan sampai ke jauf (perut). Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahulllah berkata dalam Majmu’ Fatawa [2], … ومعلوم أن النص والإجماع أثبتا الفطر بالأكل والشرب والجماع والحيض … “… Dan telah diketahui bahwa nash dan ijma’ (kesepakatan ulama) telah menetapkan bahwa puasa batal dengan makan, minum, hubungan suami istri, dan haid …”. [3] Makna “jauf” Batasan jauf (yang membatalkan puasa dengan masuknya sesuatu ke dalamnya) merupakan perkara yang diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian mereka berpendapat bahwa al-halq (tenggorokan) termasuk dalam jauf. Kemudian, mereka berbeda pendapat mengenai batas tenggorokan yang dzahir (luar) dan bathin (dalam). [4] Sebagian ulama berpendapat bahwa tenggorokan bukan bagian dari jauf. Dr. Ahmad bin Muhammad Al-Khalil mengatakan, “Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa jauf itu hanya perut, yaitu yang membatalkan puasa adalah apa yang masuk ke dalam perut, bukan bagian tubuh lainnya.” Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, وإن أوصل إلى جوفه شيئاً من أي موضع كان، أو إلى دماغه …  أفطر. “Jika seseorang memasukkan sesuatu ke jauf-nya dari bagian tubuh mana pun, atau sampai ke otaknya … maka ia batal puasanya.” [5] Maksudnya, para ulama madzhab Hambali menyebutkan bahwasanya dua jauf maksudnya adalah ma’idah (perut) dan otak. Wallaahu a’lam. [6] Diharuskan adanya kesengajaan Agar sesuatu yang masuk ke dalam tubuh dapat membatalkan puasa, harus memenuhi syarat adanya kesengajaan. Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ اللهَ تعالى وضع عن أُمَّتي الخطأَ ، و النسيانَ ، و ما اسْتُكرِهوا عليه ‘Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menghapuskan (tidak menghukum) bagi umatku kesalahan, kelupaan, dan apa yang mereka dipaksa untuk melakukannya.‘ (HR. Ibnu Majah no. 2045 dan selainnya; disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 1836). [7] Hukum-hukum terkait berkumur saat berpuasa Untuk memahami hukum memakai obat kumur ( ‌الغرغرة ) dengan baik, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu hukum-hukum terkait dengan berkumur ( المَضْمَضَةِ ) saat berpuasa, khususnya dalam keadaan berlebihan padanya. Keduanya memang berbeda, namun memiliki beberapa sisi kesamaan. Berikut ini beberapa poin ringkas yang kami ambil dari kitab Al-Mughni karya Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, Jika seseorang berkumur dalam wudu, dan air tersebut masuk ke tenggorokannya tanpa sengaja dan tanpa berlebihan, maka tidak ada masalah baginya. Adapun jika dia berlebihan (tanpa alasan), maka dia telah melakukan perbuatan yang dimakruhkan; karena dia berisiko membuat air masuk ke tenggorokan. Jika air sampai ke tenggorokan, maka menurut Imam Ahmad, dia harus mengulang puasanya. Apakah hal ini membatalkan puasa? Ada dua pendapat. Salah satunya adalah bahwa puasa batal, dan yang lainnya mengatakan tidak batal, karena air itu masuk tanpa sengaja, mirip dengan debu halus yang tertelan saat seseorang menaburkannya. Jika berkumur dilakukan karena suatu kebutuhan, seperti berkumur untuk membersihkan mulut saat diperlukan, maka hukumnya sama seperti berkumur (tanpa berlebihan) dalam wudu. Wallaahu a’lam. [8] Baca juga: Hukum Berenang Bagi Orang yang Berpuasa di Bulan Ramadan Apa itu obat kumur? Obat kumur biasa disebut juga obat gargle ( دواء ‌الغرغرة ). Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, “( الْغَرْغَرَةُ ) adalah seseorang yang menggerakkan air di tenggorokan tanpa menelannya, dan ( الْغَرُورُ ) adalah obat yang digunakan untuk berkumur.” [9] Obat kumur merupakan metode yang umum digunakan untuk membersihkan tenggorokan, yaitu dengan meletakkan air atau obat cair khusus di dalam mulut pasien, sambil memiringkan kepalanya ke belakang dan mengeluarkan nafas dari paru-parunya untuk menggerakkan cairan tersebut dan memutarnya di sekitar mulut dan tenggorokan, sehingga orang yang berkumur dapat menghindari menelan cairan yang dikumur, kecuali jika ada sebagian cairan yang masuk ke jauf-nya. [10] Hukum memakai obat kumur ketika berpuasa Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka diperbolehkan bagi orang yang membutuhkan pemakaian obat kumur, untuk memakainya dan ini tidak membatalkan puasanya. Bahkan, jika misalkan ada sedikit bagian dari obat tersebut yang tidak sengaja tertelan, hal ini juga tetap tidak membatalkan puasanya. Wallaahu a’lam. Syekh Muhammad Ath-Thayyar mengatakan, tentang hukum pemakaian obat kumur, استعمال الصائم لهذا الدواء في نهار رمضان لا يُبْطِلُ صومَه إذا لم يبتلعه، ولكن عليه ألا يتناوله إلا إذا دعت الحاجة إليه، ولا يفطر به إذا لم يدخل في جوفه شيء منه. “Penggunaan obat kumur oleh orang yang berpuasa di siang hari selama bulan Ramadan tidak membatalkan puasa jika ia tidak menelannya, tetapi ia sebaiknya hanya menggunakannya jika memang diperlukan, dan tidak membatalkan puasa jika tidak ada yang masuk ke dalam jauf-nya dari obat tersebut.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Begitu juga dengan obat yang digunakan untuk gigi atau gusi, selama tidak masuk ke dalam tubuh (jauf), maka tidak masalah untuk menggunakannya di siang hari bulan Ramadan dan tidak membatalkan puasa. Yang dilarang adalah jika obat tersebut sampai ke tenggorokan (bagian dalam) dan jauf.” [11] Fatwa ulama terkait pemakaian obat kumur ketika berpuasa Di antara fatwa-fatwa para ulama tentang permasalah ini adalah: Fatwa Syekh Ibnu ‘Utsaimin Ditanyakan kepada Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, “Apakah puasa batal jika memakai obat kumur?” Beliau menjawab, لا يبطل الصوم إذا لم يبتلعه، ولكن لا تفعله إلا إذا دعت الحاجة ولا تفطر به إذا لم يدخل جوفك شيء منه. “Puasa tidak batal jika tidak menelannya, namun sebaiknya dilakukan hanya jika benar-benar diperlukan; dan tidak membatalkan puasa jika tidak ada yang masuk ke dalam jauf-mu dari obat tersebut.” [12] Fatwa Majma’ Fiqih Islamiy Majelis Fiqih Islam Internasional dalam keputusan No. 93 (10/1) menyatakan bahwa penggunaan obat kumur tidak membatalkan puasa selama tidak menelan apa yang masuk ke tenggorokan. Disebutkan dalam poin ketujuh dari perkara-perkara yang tidak dianggap sebagai pembatal puasa, المضمضة، والغرغرة، وبخاخ العلاج الموضعي للفم إذ اجتنب ابتلاع ما نفذ إلى الحلق. “Berkumur, berkumur dengan obat kumur, dan semprotan pengobatan lokal untuk mulut, selama tidak menelan apa yang masuk ke tenggorokan.” [13] Demikian, semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, aaamiin. Baca juga: Apakah Bekam Membatalkan Puasa? *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Ramadan 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Ibnu Qudamah Al-Maqdisi. Al-Mughni. Cet. ke-3. Riyadh: Dar ‘Alam Al-Kutub, 1417 H/1997 M. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (21 Dzulhijjah 1441 H), sesuai nomor cetakan. Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad, Abdullah bin Muhammad Al-Mutlaq, dan Muhammad bin Ibrahim Al-Musa. Al-Fiqh al-Muyassar. Riyadh: Madar Al-Watan, Jilid 7, hal. 11-13; edisi pertama 1432 H/2011 M; edisi kedua untuk jilid lainnya 1433 H/2012 M. 13 jilid. Al-Mawsūʿah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah. Diterbitkan oleh Kementerian Awqaf dan Urusan Islam, Kuwait. Cet. 2 (jilid 1–23), Dar al-Safwah Press, Mesir; cet. 2 (jilid 39–45), Kuwait, 1404–1427 H. 45 jilid. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Dzulhijjah 1431 H), sesuai nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] Fushul fi as-Shiyam wa at-Tarawih wa az-Zakah, hal. 8. [2] Majmu’ Fatawa Syaikhul al-Islam Ibn Taimiyyah, 25: 244. [3] Lihat al-Fiqh al-Muyassar, 3: 54. [4] Lihat al-Ghurar al-Bahiyyah fi Sharh al-Bahjat al-Wardiyyah, 2: 212-213. [5] al-Kafi fi Fiqh al-Imam Ahmad, 1: 440. [6] Lihat https://www.alukah.net/spotlight/0/3352/ [7] Lihat penjelasan dari syarat ini dan syarat-syarat lainnya dalam Al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 28: 29-31. [8] Disarikan dari Al-Mughni, 4: 356-357. [9] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 31: 179. [10] https://www.dar-alifta.org/ar/fatwa/details/20217/ [11] Al-Fiqh al-Muyassar. Lihat juga: https://www.dar-alifta.org/ar/fatwa/details/20217/ dan https://almoslim.net/node/279550 [12] Majmu’ Fatawa wa Rasail, 19: 290. [13] Qararat wa Tawsiyat Majma’ al-Fiqh al-Islami al-Duwali, hal. 291-292.


Daftar Isi Toggle Hukum memakai obat kumur ketika berpuasaDi antara pokok pembatal puasa adalah makan dan minumMakna “jauf”Diharuskan adanya kesengajaanHukum-hukum terkait berkumur saat berpuasaApa itu obat kumur?Hukum memakai obat kumur ketika berpuasaFatwa ulama terkait pemakaian obat kumur ketika berpuasaFatwa Syekh Ibnu ‘UtsaiminFatwa Majma’ Fiqih Islamiy Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dijalankan oleh setiap muslim yang balig, berakal, dan mampu melaksanakannya. Selama berpuasa, seorang muslim diwajibkan menahan diri dari makan, minum, serta hal-hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Namun, dalam praktiknya, kadang seseorang perlu untuk memakai obat kumur di tenggorokan, baik untuk tujuan kebersihan, maupun untuk pengobatan. Dari hal tersebut, muncul pertanyaan, apakah obat kumur termasuk hal yang aman bagi orang yang berpuasa? Atau apakah itu termasuk perkara yang membatalkan puasa? Bagaimana pandangan para ulama mengenai hal ini? Dalam artikel ini, kita akan mengupas lebih dalam tentang hukum penggunaan obat kumur ketika berpuasa dengan mengacu pada pendapat para ulama dan referensi dari berbagai kitab fikih. Hukum memakai obat kumur ketika berpuasa Berikut ini adalah pembahasan-pembahasan terkait dengan hukum memakai obat kumur ketika seseorang sedang berpuasa Di antara pokok pembatal puasa adalah makan dan minum Salah satu hal yang membatalkan puasa yang disepakati oleh para ulama adalah makan dan minum, yaitu memasukkan makanan atau minuman ke jauf (rongga tubuh, atau perut), baik melalui mulut maupun hidung, apa pun jenis makanan dan minumannya. [1] Sebagaimana firman Allah, وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ “Makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam.” (QS. Al-Baqarah: 187) Allah Subhanahu wa Ta’ala mengizinkan makan dan minum hingga terbit fajar kedua, kemudian memerintahkan untuk menyempurnakan puasa hingga malam. Ini berarti, Allah memerintahkan untuk meninggalkan makan dan minum pada rentang waktu antara terbitnya fajar hingga malam. Dan termasuk dalam hal ini adalah penggunaan obat yang disedot melalui hidung, begitu pula dengan memasukkan segala sesuatu yang berupa cairan atau padat melalui hidung, mata, atau telinga, asalkan sampai ke jauf (perut). Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahulllah berkata dalam Majmu’ Fatawa [2], … ومعلوم أن النص والإجماع أثبتا الفطر بالأكل والشرب والجماع والحيض … “… Dan telah diketahui bahwa nash dan ijma’ (kesepakatan ulama) telah menetapkan bahwa puasa batal dengan makan, minum, hubungan suami istri, dan haid …”. [3] Makna “jauf” Batasan jauf (yang membatalkan puasa dengan masuknya sesuatu ke dalamnya) merupakan perkara yang diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian mereka berpendapat bahwa al-halq (tenggorokan) termasuk dalam jauf. Kemudian, mereka berbeda pendapat mengenai batas tenggorokan yang dzahir (luar) dan bathin (dalam). [4] Sebagian ulama berpendapat bahwa tenggorokan bukan bagian dari jauf. Dr. Ahmad bin Muhammad Al-Khalil mengatakan, “Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa jauf itu hanya perut, yaitu yang membatalkan puasa adalah apa yang masuk ke dalam perut, bukan bagian tubuh lainnya.” Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, وإن أوصل إلى جوفه شيئاً من أي موضع كان، أو إلى دماغه …  أفطر. “Jika seseorang memasukkan sesuatu ke jauf-nya dari bagian tubuh mana pun, atau sampai ke otaknya … maka ia batal puasanya.” [5] Maksudnya, para ulama madzhab Hambali menyebutkan bahwasanya dua jauf maksudnya adalah ma’idah (perut) dan otak. Wallaahu a’lam. [6] Diharuskan adanya kesengajaan Agar sesuatu yang masuk ke dalam tubuh dapat membatalkan puasa, harus memenuhi syarat adanya kesengajaan. Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ اللهَ تعالى وضع عن أُمَّتي الخطأَ ، و النسيانَ ، و ما اسْتُكرِهوا عليه ‘Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menghapuskan (tidak menghukum) bagi umatku kesalahan, kelupaan, dan apa yang mereka dipaksa untuk melakukannya.‘ (HR. Ibnu Majah no. 2045 dan selainnya; disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 1836). [7] Hukum-hukum terkait berkumur saat berpuasa Untuk memahami hukum memakai obat kumur ( ‌الغرغرة ) dengan baik, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu hukum-hukum terkait dengan berkumur ( المَضْمَضَةِ ) saat berpuasa, khususnya dalam keadaan berlebihan padanya. Keduanya memang berbeda, namun memiliki beberapa sisi kesamaan. Berikut ini beberapa poin ringkas yang kami ambil dari kitab Al-Mughni karya Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, Jika seseorang berkumur dalam wudu, dan air tersebut masuk ke tenggorokannya tanpa sengaja dan tanpa berlebihan, maka tidak ada masalah baginya. Adapun jika dia berlebihan (tanpa alasan), maka dia telah melakukan perbuatan yang dimakruhkan; karena dia berisiko membuat air masuk ke tenggorokan. Jika air sampai ke tenggorokan, maka menurut Imam Ahmad, dia harus mengulang puasanya. Apakah hal ini membatalkan puasa? Ada dua pendapat. Salah satunya adalah bahwa puasa batal, dan yang lainnya mengatakan tidak batal, karena air itu masuk tanpa sengaja, mirip dengan debu halus yang tertelan saat seseorang menaburkannya. Jika berkumur dilakukan karena suatu kebutuhan, seperti berkumur untuk membersihkan mulut saat diperlukan, maka hukumnya sama seperti berkumur (tanpa berlebihan) dalam wudu. Wallaahu a’lam. [8] Baca juga: Hukum Berenang Bagi Orang yang Berpuasa di Bulan Ramadan Apa itu obat kumur? Obat kumur biasa disebut juga obat gargle ( دواء ‌الغرغرة ). Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, “( الْغَرْغَرَةُ ) adalah seseorang yang menggerakkan air di tenggorokan tanpa menelannya, dan ( الْغَرُورُ ) adalah obat yang digunakan untuk berkumur.” [9] Obat kumur merupakan metode yang umum digunakan untuk membersihkan tenggorokan, yaitu dengan meletakkan air atau obat cair khusus di dalam mulut pasien, sambil memiringkan kepalanya ke belakang dan mengeluarkan nafas dari paru-parunya untuk menggerakkan cairan tersebut dan memutarnya di sekitar mulut dan tenggorokan, sehingga orang yang berkumur dapat menghindari menelan cairan yang dikumur, kecuali jika ada sebagian cairan yang masuk ke jauf-nya. [10] Hukum memakai obat kumur ketika berpuasa Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka diperbolehkan bagi orang yang membutuhkan pemakaian obat kumur, untuk memakainya dan ini tidak membatalkan puasanya. Bahkan, jika misalkan ada sedikit bagian dari obat tersebut yang tidak sengaja tertelan, hal ini juga tetap tidak membatalkan puasanya. Wallaahu a’lam. Syekh Muhammad Ath-Thayyar mengatakan, tentang hukum pemakaian obat kumur, استعمال الصائم لهذا الدواء في نهار رمضان لا يُبْطِلُ صومَه إذا لم يبتلعه، ولكن عليه ألا يتناوله إلا إذا دعت الحاجة إليه، ولا يفطر به إذا لم يدخل في جوفه شيء منه. “Penggunaan obat kumur oleh orang yang berpuasa di siang hari selama bulan Ramadan tidak membatalkan puasa jika ia tidak menelannya, tetapi ia sebaiknya hanya menggunakannya jika memang diperlukan, dan tidak membatalkan puasa jika tidak ada yang masuk ke dalam jauf-nya dari obat tersebut.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Begitu juga dengan obat yang digunakan untuk gigi atau gusi, selama tidak masuk ke dalam tubuh (jauf), maka tidak masalah untuk menggunakannya di siang hari bulan Ramadan dan tidak membatalkan puasa. Yang dilarang adalah jika obat tersebut sampai ke tenggorokan (bagian dalam) dan jauf.” [11] Fatwa ulama terkait pemakaian obat kumur ketika berpuasa Di antara fatwa-fatwa para ulama tentang permasalah ini adalah: Fatwa Syekh Ibnu ‘Utsaimin Ditanyakan kepada Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, “Apakah puasa batal jika memakai obat kumur?” Beliau menjawab, لا يبطل الصوم إذا لم يبتلعه، ولكن لا تفعله إلا إذا دعت الحاجة ولا تفطر به إذا لم يدخل جوفك شيء منه. “Puasa tidak batal jika tidak menelannya, namun sebaiknya dilakukan hanya jika benar-benar diperlukan; dan tidak membatalkan puasa jika tidak ada yang masuk ke dalam jauf-mu dari obat tersebut.” [12] Fatwa Majma’ Fiqih Islamiy Majelis Fiqih Islam Internasional dalam keputusan No. 93 (10/1) menyatakan bahwa penggunaan obat kumur tidak membatalkan puasa selama tidak menelan apa yang masuk ke tenggorokan. Disebutkan dalam poin ketujuh dari perkara-perkara yang tidak dianggap sebagai pembatal puasa, المضمضة، والغرغرة، وبخاخ العلاج الموضعي للفم إذ اجتنب ابتلاع ما نفذ إلى الحلق. “Berkumur, berkumur dengan obat kumur, dan semprotan pengobatan lokal untuk mulut, selama tidak menelan apa yang masuk ke tenggorokan.” [13] Demikian, semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, aaamiin. Baca juga: Apakah Bekam Membatalkan Puasa? *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Ramadan 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Ibnu Qudamah Al-Maqdisi. Al-Mughni. Cet. ke-3. Riyadh: Dar ‘Alam Al-Kutub, 1417 H/1997 M. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (21 Dzulhijjah 1441 H), sesuai nomor cetakan. Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad, Abdullah bin Muhammad Al-Mutlaq, dan Muhammad bin Ibrahim Al-Musa. Al-Fiqh al-Muyassar. Riyadh: Madar Al-Watan, Jilid 7, hal. 11-13; edisi pertama 1432 H/2011 M; edisi kedua untuk jilid lainnya 1433 H/2012 M. 13 jilid. Al-Mawsūʿah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah. Diterbitkan oleh Kementerian Awqaf dan Urusan Islam, Kuwait. Cet. 2 (jilid 1–23), Dar al-Safwah Press, Mesir; cet. 2 (jilid 39–45), Kuwait, 1404–1427 H. 45 jilid. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Dzulhijjah 1431 H), sesuai nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] Fushul fi as-Shiyam wa at-Tarawih wa az-Zakah, hal. 8. [2] Majmu’ Fatawa Syaikhul al-Islam Ibn Taimiyyah, 25: 244. [3] Lihat al-Fiqh al-Muyassar, 3: 54. [4] Lihat al-Ghurar al-Bahiyyah fi Sharh al-Bahjat al-Wardiyyah, 2: 212-213. [5] al-Kafi fi Fiqh al-Imam Ahmad, 1: 440. [6] Lihat https://www.alukah.net/spotlight/0/3352/ [7] Lihat penjelasan dari syarat ini dan syarat-syarat lainnya dalam Al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 28: 29-31. [8] Disarikan dari Al-Mughni, 4: 356-357. [9] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 31: 179. [10] https://www.dar-alifta.org/ar/fatwa/details/20217/ [11] Al-Fiqh al-Muyassar. Lihat juga: https://www.dar-alifta.org/ar/fatwa/details/20217/ dan https://almoslim.net/node/279550 [12] Majmu’ Fatawa wa Rasail, 19: 290. [13] Qararat wa Tawsiyat Majma’ al-Fiqh al-Islami al-Duwali, hal. 291-292.
Prev     Next