Bolehkah Sesekali Saya Bermaksiat Kecil? – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Ibnu Katsir dalam tafsirnya tentang ayat ini menyebutkan sebuah riwayat yang dinukil dari Ibnu ʿAsākir, bahwa dia mencantumkan dalam biografi salah seorang perawi, dari Sulaiman bin al-Mughirah bahwa Sulaiman bin al-Mughirah ini pernah berbuat dosa lalu menganggapnya remeh, lalu dia melihat dalam mimpinya seseorang mendatanginya dan berkata kepadanya: “Jangan sekali-kali meremehkan dosa kecil, karena dosa kecil itu lambat laun bisa menjadi besar. Sungguh, dosa kecil, meskipun telah lama berlalu, di sisi Allah tetap tercatat dengan rinci, maka kendalikan nafsumu dari kebiasaan bermalas-malasan. Jangan menjadi orang yang sulit mengendalikan diri, dan bersungguh-sungguhlah dalam amal! Sesungguhnya orang yang sudah cinta kepada Tuhannya, maka hatinya akan terbang dan diilhami pemikiran yang mendalam, maka mohonlah hidayah kepada Allah dengan niat yang tulus, dan cukuplah Allah sebagai Pemberi Petunjuk dan Penolong.” ==== ذَكَرَ ابْنُ كَثِيرٍ عِنْدَ هَذِهِ الْآيَةِ عَنْ ابْنِ عَسَاكِرَ أَنَّهُ َذَكَرَ فِي تَرْجَمَةِ أَحَدِ الرُّوَاةِ عَنْ سُلَيمَانَ بْنِ الْمُغِيرَةِ أَنَّهُ هَذَا سُلَيمَانُ بْنُ الْمُغِيرَة عَمِلَ ذَنْبًا فَاسْتَصْغَرَهُ فَرَأَى فِي الْمَنَامِ آتِيًا يَأْتِيهِ وَيَقُولُ لَهُ لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الذُّنُوبِ صَغِيرًا إِنَّ الصَّغِيرَ غَدًا يَصِيرُ كَبِيرًا إِنَّ الصَّغِيرَ وَلَوْ تَقَادَمَ عَهْدُهُ عِنْدَ الْإِلَهِ مُسَطَّرٌ تَسْطِيرًا فَازْجُرْ هَوَاكَ عَنِ الْبِطَالَةِ لَا تَكُنْ صَعْبَ الْقِيَادِ وَ شَمِّرَنَّ تَشْمِيرًا إِنَّ الْمُحِبَّ إِذَا أَحَبَّ إِلَهَهُ طَارَ الْفُؤَادُ وَأُلْهِمَ التَّفْكِيرَ فَاسْأَلْ هِدَايَتَكَ الْإِلَهَ بِنِيَّةٍ فَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا

Bolehkah Sesekali Saya Bermaksiat Kecil? – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Ibnu Katsir dalam tafsirnya tentang ayat ini menyebutkan sebuah riwayat yang dinukil dari Ibnu ʿAsākir, bahwa dia mencantumkan dalam biografi salah seorang perawi, dari Sulaiman bin al-Mughirah bahwa Sulaiman bin al-Mughirah ini pernah berbuat dosa lalu menganggapnya remeh, lalu dia melihat dalam mimpinya seseorang mendatanginya dan berkata kepadanya: “Jangan sekali-kali meremehkan dosa kecil, karena dosa kecil itu lambat laun bisa menjadi besar. Sungguh, dosa kecil, meskipun telah lama berlalu, di sisi Allah tetap tercatat dengan rinci, maka kendalikan nafsumu dari kebiasaan bermalas-malasan. Jangan menjadi orang yang sulit mengendalikan diri, dan bersungguh-sungguhlah dalam amal! Sesungguhnya orang yang sudah cinta kepada Tuhannya, maka hatinya akan terbang dan diilhami pemikiran yang mendalam, maka mohonlah hidayah kepada Allah dengan niat yang tulus, dan cukuplah Allah sebagai Pemberi Petunjuk dan Penolong.” ==== ذَكَرَ ابْنُ كَثِيرٍ عِنْدَ هَذِهِ الْآيَةِ عَنْ ابْنِ عَسَاكِرَ أَنَّهُ َذَكَرَ فِي تَرْجَمَةِ أَحَدِ الرُّوَاةِ عَنْ سُلَيمَانَ بْنِ الْمُغِيرَةِ أَنَّهُ هَذَا سُلَيمَانُ بْنُ الْمُغِيرَة عَمِلَ ذَنْبًا فَاسْتَصْغَرَهُ فَرَأَى فِي الْمَنَامِ آتِيًا يَأْتِيهِ وَيَقُولُ لَهُ لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الذُّنُوبِ صَغِيرًا إِنَّ الصَّغِيرَ غَدًا يَصِيرُ كَبِيرًا إِنَّ الصَّغِيرَ وَلَوْ تَقَادَمَ عَهْدُهُ عِنْدَ الْإِلَهِ مُسَطَّرٌ تَسْطِيرًا فَازْجُرْ هَوَاكَ عَنِ الْبِطَالَةِ لَا تَكُنْ صَعْبَ الْقِيَادِ وَ شَمِّرَنَّ تَشْمِيرًا إِنَّ الْمُحِبَّ إِذَا أَحَبَّ إِلَهَهُ طَارَ الْفُؤَادُ وَأُلْهِمَ التَّفْكِيرَ فَاسْأَلْ هِدَايَتَكَ الْإِلَهَ بِنِيَّةٍ فَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا
Ibnu Katsir dalam tafsirnya tentang ayat ini menyebutkan sebuah riwayat yang dinukil dari Ibnu ʿAsākir, bahwa dia mencantumkan dalam biografi salah seorang perawi, dari Sulaiman bin al-Mughirah bahwa Sulaiman bin al-Mughirah ini pernah berbuat dosa lalu menganggapnya remeh, lalu dia melihat dalam mimpinya seseorang mendatanginya dan berkata kepadanya: “Jangan sekali-kali meremehkan dosa kecil, karena dosa kecil itu lambat laun bisa menjadi besar. Sungguh, dosa kecil, meskipun telah lama berlalu, di sisi Allah tetap tercatat dengan rinci, maka kendalikan nafsumu dari kebiasaan bermalas-malasan. Jangan menjadi orang yang sulit mengendalikan diri, dan bersungguh-sungguhlah dalam amal! Sesungguhnya orang yang sudah cinta kepada Tuhannya, maka hatinya akan terbang dan diilhami pemikiran yang mendalam, maka mohonlah hidayah kepada Allah dengan niat yang tulus, dan cukuplah Allah sebagai Pemberi Petunjuk dan Penolong.” ==== ذَكَرَ ابْنُ كَثِيرٍ عِنْدَ هَذِهِ الْآيَةِ عَنْ ابْنِ عَسَاكِرَ أَنَّهُ َذَكَرَ فِي تَرْجَمَةِ أَحَدِ الرُّوَاةِ عَنْ سُلَيمَانَ بْنِ الْمُغِيرَةِ أَنَّهُ هَذَا سُلَيمَانُ بْنُ الْمُغِيرَة عَمِلَ ذَنْبًا فَاسْتَصْغَرَهُ فَرَأَى فِي الْمَنَامِ آتِيًا يَأْتِيهِ وَيَقُولُ لَهُ لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الذُّنُوبِ صَغِيرًا إِنَّ الصَّغِيرَ غَدًا يَصِيرُ كَبِيرًا إِنَّ الصَّغِيرَ وَلَوْ تَقَادَمَ عَهْدُهُ عِنْدَ الْإِلَهِ مُسَطَّرٌ تَسْطِيرًا فَازْجُرْ هَوَاكَ عَنِ الْبِطَالَةِ لَا تَكُنْ صَعْبَ الْقِيَادِ وَ شَمِّرَنَّ تَشْمِيرًا إِنَّ الْمُحِبَّ إِذَا أَحَبَّ إِلَهَهُ طَارَ الْفُؤَادُ وَأُلْهِمَ التَّفْكِيرَ فَاسْأَلْ هِدَايَتَكَ الْإِلَهَ بِنِيَّةٍ فَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا


Ibnu Katsir dalam tafsirnya tentang ayat ini menyebutkan sebuah riwayat yang dinukil dari Ibnu ʿAsākir, bahwa dia mencantumkan dalam biografi salah seorang perawi, dari Sulaiman bin al-Mughirah bahwa Sulaiman bin al-Mughirah ini pernah berbuat dosa lalu menganggapnya remeh, lalu dia melihat dalam mimpinya seseorang mendatanginya dan berkata kepadanya: “Jangan sekali-kali meremehkan dosa kecil, karena dosa kecil itu lambat laun bisa menjadi besar. Sungguh, dosa kecil, meskipun telah lama berlalu, di sisi Allah tetap tercatat dengan rinci, maka kendalikan nafsumu dari kebiasaan bermalas-malasan. Jangan menjadi orang yang sulit mengendalikan diri, dan bersungguh-sungguhlah dalam amal! Sesungguhnya orang yang sudah cinta kepada Tuhannya, maka hatinya akan terbang dan diilhami pemikiran yang mendalam, maka mohonlah hidayah kepada Allah dengan niat yang tulus, dan cukuplah Allah sebagai Pemberi Petunjuk dan Penolong.” ==== ذَكَرَ ابْنُ كَثِيرٍ عِنْدَ هَذِهِ الْآيَةِ عَنْ ابْنِ عَسَاكِرَ أَنَّهُ َذَكَرَ فِي تَرْجَمَةِ أَحَدِ الرُّوَاةِ عَنْ سُلَيمَانَ بْنِ الْمُغِيرَةِ أَنَّهُ هَذَا سُلَيمَانُ بْنُ الْمُغِيرَة عَمِلَ ذَنْبًا فَاسْتَصْغَرَهُ فَرَأَى فِي الْمَنَامِ آتِيًا يَأْتِيهِ وَيَقُولُ لَهُ لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الذُّنُوبِ صَغِيرًا إِنَّ الصَّغِيرَ غَدًا يَصِيرُ كَبِيرًا إِنَّ الصَّغِيرَ وَلَوْ تَقَادَمَ عَهْدُهُ عِنْدَ الْإِلَهِ مُسَطَّرٌ تَسْطِيرًا فَازْجُرْ هَوَاكَ عَنِ الْبِطَالَةِ لَا تَكُنْ صَعْبَ الْقِيَادِ وَ شَمِّرَنَّ تَشْمِيرًا إِنَّ الْمُحِبَّ إِذَا أَحَبَّ إِلَهَهُ طَارَ الْفُؤَادُ وَأُلْهِمَ التَّفْكِيرَ فَاسْأَلْ هِدَايَتَكَ الْإِلَهَ بِنِيَّةٍ فَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا

Faedah Sirah Nabi: Surat Nabi kepada Para Raja, Strategi Dakwah yang Universal

Setelah Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai mengirim surat kepada para raja dan penguasa di berbagai wilayah. Surat-surat ini menjadi bukti bahwa Islam adalah risalah universal yang ditujukan untuk seluruh umat manusia. Melalui surat Nabi kepada para raja tersebut, terlihat bagaimana dakwah beliau dirancang dengan hikmah dan strategi yang mendalam. Para peneliti mengatakan bahwa para ahli sejarah berbeda pendapat tentang tanggal surat-surat tersebut sehingga tidak satu pun yang dapat memastikan tanggalnya. Kecuali hanya bahwa penulisan surat dan pengiriman utusan terjadi setelah perjanjian Hudaibiyah. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menulis surat, seseorang memberitahunya, “Mereka tidak akan membaca surat kecuali jika ada cap atau stempelnya.” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membuat cap dari perak bertuliskan “Muhammad Rasulullah.” Salah satu surat yang paling autentik adalah surat yang dikirimkan Rasulullah kepada Heraklius, yang teksnya tercatat dalam Shahih Al-Bukhari: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ مِنْ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ إِلَىٰ هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ، سَلَامٌ عَلَىٰ مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَىٰ. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الْإِسْلَامِ، أَسْلِمْ تَسْلَمْ، يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ، فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الْأَرِيسِيِّينَ. “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad bin Abdullah utusan Allah Untuk Heraklius, penguasa Romawi yang mulia Selamatlah bagi yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du. Aku mengajakmu dengan ajakan Islam. Masuklah ke dalam Islam, niscaya engkau akan selamat. Allah akan memberikan kepadamu dua pahala. Jika menolak, maka engkau akan menanggung semua dosa orang-orang Arisin (penduduk Romawi).” قُلْ يَٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ تَعَالَوْا۟ إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَآءٍۭ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا ٱللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِۦ شَيْـًٔا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِّن دُونِ ٱللَّهِ ۚ فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَقُولُوا۟ ٱشْهَدُوا۟ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ “Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.” (QS. Ali Imran: 64) Di dalamnya juga terdapat kisah Heraklius dengan Abu Sufyan ketika ia bertanya kepadanya tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah surat itu datang kepadanya yang dibawa oleh Dihyah Al-Kalbi. Namun, raja tersebut tidak menjawab ajakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan tidak membalas dengan balasan yang baik. Ia lebih memilih kerajaannya sehingga tidak mendapatkan hidayah dari Allah. Dalam Shahih Al-Bukhari, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim suratnya kepada Kisra yang dibawa oleh Abdullah bin Hudzaifah As-Sahmi. Beliau memerintahkan untuk menyerahkan kepada penguasa Bahrain lalu ia menyerahkan ke Kisra. Setelah membacanya, ia pun merobek-robeknya. Perawi berkata, “Aku menduga Ibnu Musayyib berkata, “Rasulullah mendoakan keburukan bagi mereka seraya berkata, “Mereka akan dicabik-cabik.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Hatib bin Abi Baltaah ke Mukauqis, penguasa Iskandariyah (Mesir). Kemudian ia pun menerima surat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, memuliakan Hatib, dan menyampaikan beberapa hadiah untuk Nab shallallahu ‘alaihi wa sallami. Apa yang dilakukan Mukauqis menunjukkan penghargaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana juga menunjukkan bahwa beliau tidak menerima ajakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena khawatir akan kekuasaannya. Kalau saja bukan karena kekuasaan, niscaya ia akan masuk Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyurati Raja Najasyi yang telah masuk Islam dan menshalatinya ketika ia meninggal dunia. Kemudian beliau juga menyurati Raja Najasi berikutnya yang memerintah dalam keadaan kafir. Dalam Shahih Muslim dikatakan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyurati raja Kaisar, Kisra, Najasy, dan semua penguasa mengajak mereka semua untuk beriman kepada Allah. Namun, bukan Najasy yang dishalatkan oleh beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Sulaith bin Amr ke Haudzah bin Ali, penguasa Al-Yamamah, tetapi ia tidak masuk Islam. Selain itu, mengutus Al-‘Ala bin Hadhrami ke Jaifar bin Jalandi dan Ammar bin Jalandi Al-Azdi, penguasa Omman. Beliau juga menyurati Al-Mundzir bin Sawi, penguasa Bahrain melalui Abul Ala Al-Hadhrami. Ia pun masuk Islam dan mengakui kekuasaan Nabi. Semua surat isinya mengajak kepada Islam dan masuk ke dalamnya.   PELAJARAN YANG BISA DIAMBIL Pertama: Korespondensi yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para raja dan penguasa menunjukkan bahwa risalah ini bersifat universal dan untuk seluruh umat manusia. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنِّى رَسُولُ ٱللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا “Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.” (QS. Al-A’raf: 158) وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا كَآفَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’: 28) Setelah perjanjian damai, maka hal tersebut merupakan kesempatan emas untuk memperluas wilayah dakwah dan menyerukan berbagai umat yang belum mendengar risalah serta melakukan korespondensi ke berbagai penjuru yang belum sempat disurati. Melalui keterangan teks-teks syariat dan aplikatif dalam sejarah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jelaslah bahwa dakwah ini bersifat universal dan sekaligus menyangga orang-orang yang mengatakan bahwa Muhammad hanya diutus untuk masyarakat Arab saja dan tidak untuk masyarakat dunia. Kedua: Penerimaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membuat cap atau stempel setelah diinformasikan bahwa orang-orang yang akan disurati tidak akan membaca, kecuali surat yang memiliki cap. Dari sini kita dapat melihat bagaimana beliau mampu beradaptasi dengan tradisi lain selama tidak bertentangan dengan agama. Ketiga: Korespondensi yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para raja dan penguasa menegaskan akan hak-hak para penguasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepada mereka dengan menyebutkan jabatan dan penghargaan kepadanya. Yaitu: “Penguasa Romawi yang mulia, penguasa Persia yang mulia, dan demikian seterusnya.” Keempat: Kita perhatikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara metode targhib wat tarhib (dorongan dan ancaman). Beliau berkata kepada penguasa Romawi, “Masuklah ke dalam Islam, niscaya engkau selamat dan Allah akan memberikan kepadamu dua pahala.” Ini adalah bentuk motivasi. Kemudian beliau berkata, “Jika engkau berpaling, maka engkau akan menanggung dosa seluruh rakyat Arisyin.” dan ini adalah bentuk intimidasi kepadanya apabila tidak menerima Islam. Kelima: Dari surat-surat tersebut tampak reaksi yang ditimbulkan oleh orang-orang yang disurati serta kejelian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menggunakan kata-kata yang sesuai sehingga dapat menggugah perasaan dan sikap empati. Oleh karena itu, mereka yang tidak masuk Islam, umumnya menolak dengan baik. Keenam: Sikap para pemimpin Nasrani yang disurati oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penolakan serta penghargaan mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun mereka tidak memenuhi ajakan beliau. Kita ingat firman Allah, ۞ لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ ٱلنَّاسِ عَدَٰوَةً لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱلْيَهُودَ وَٱلَّذِينَ أَشْرَكُوا۟ ۖ وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُم مَّوَدَّةً لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱلَّذِينَ قَالُوٓا۟ إِنَّا نَصَٰرَىٰ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya kami ini orang Nasrani”. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri.”  (QS. Al-Ma’idah: 82) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati dari Nasrani Habasyah sikap mau menolong dan melindungi orang-orang yang Hijrah ke Habasyah. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepada para raja dan penguasa berbagai bangsa, maka pemimpin Nasrani adalah yang paling baik dalam penolakannya. Heraklius, raja Romawi di wilayah Syam berusaha untuk meyakinkan rakyatnya agar menerima Islam tetapi gagal. Oleh karena itu, ia pun menolak dengan baik. Begitu pula Mukauqis, penguasa Qibthi, Mesir juga sangat baik penolakannya sekalipun tidak kalah baik kecenderungannya terhadap Islam. Bahkan ia mengirimkan hadiah yang sangat baik kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain itu, ketika Syam dan Mesir dibebaskan, penduduknya telah mengenal Islam dan segera masuk ke dalam Islam. Baca juga: Heraklius Bertanya tentang Ajaran Nabi   Referensi: Fiqh As-Sirah. Cetakan kesepuluh, Tahun 1437 H. Prof. Dr. Zaid bin ‘Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah. – Direvisi pada Jumat sore, 28 Jumadal Ula 1446 H, 29 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsberperang cap Rasulullah dakwah internasional Nabi dakwah Nabi Muhammad faedah sirah nabi Heraklius penguasa Romawi hudaibiyah jihad kisah dakwah Rasulullah peperangan di masa Rasulullah risalah Islam universal sejarah korespondensi Rasulullah sirah nabi stempel Nabi Muhammad strategi dakwah Islam surat autentik Rasulullah surat kepada Heraklius surat Nabi kepada raja-raja Surat Rasulullah

Faedah Sirah Nabi: Surat Nabi kepada Para Raja, Strategi Dakwah yang Universal

Setelah Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai mengirim surat kepada para raja dan penguasa di berbagai wilayah. Surat-surat ini menjadi bukti bahwa Islam adalah risalah universal yang ditujukan untuk seluruh umat manusia. Melalui surat Nabi kepada para raja tersebut, terlihat bagaimana dakwah beliau dirancang dengan hikmah dan strategi yang mendalam. Para peneliti mengatakan bahwa para ahli sejarah berbeda pendapat tentang tanggal surat-surat tersebut sehingga tidak satu pun yang dapat memastikan tanggalnya. Kecuali hanya bahwa penulisan surat dan pengiriman utusan terjadi setelah perjanjian Hudaibiyah. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menulis surat, seseorang memberitahunya, “Mereka tidak akan membaca surat kecuali jika ada cap atau stempelnya.” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membuat cap dari perak bertuliskan “Muhammad Rasulullah.” Salah satu surat yang paling autentik adalah surat yang dikirimkan Rasulullah kepada Heraklius, yang teksnya tercatat dalam Shahih Al-Bukhari: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ مِنْ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ إِلَىٰ هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ، سَلَامٌ عَلَىٰ مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَىٰ. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الْإِسْلَامِ، أَسْلِمْ تَسْلَمْ، يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ، فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الْأَرِيسِيِّينَ. “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad bin Abdullah utusan Allah Untuk Heraklius, penguasa Romawi yang mulia Selamatlah bagi yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du. Aku mengajakmu dengan ajakan Islam. Masuklah ke dalam Islam, niscaya engkau akan selamat. Allah akan memberikan kepadamu dua pahala. Jika menolak, maka engkau akan menanggung semua dosa orang-orang Arisin (penduduk Romawi).” قُلْ يَٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ تَعَالَوْا۟ إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَآءٍۭ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا ٱللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِۦ شَيْـًٔا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِّن دُونِ ٱللَّهِ ۚ فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَقُولُوا۟ ٱشْهَدُوا۟ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ “Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.” (QS. Ali Imran: 64) Di dalamnya juga terdapat kisah Heraklius dengan Abu Sufyan ketika ia bertanya kepadanya tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah surat itu datang kepadanya yang dibawa oleh Dihyah Al-Kalbi. Namun, raja tersebut tidak menjawab ajakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan tidak membalas dengan balasan yang baik. Ia lebih memilih kerajaannya sehingga tidak mendapatkan hidayah dari Allah. Dalam Shahih Al-Bukhari, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim suratnya kepada Kisra yang dibawa oleh Abdullah bin Hudzaifah As-Sahmi. Beliau memerintahkan untuk menyerahkan kepada penguasa Bahrain lalu ia menyerahkan ke Kisra. Setelah membacanya, ia pun merobek-robeknya. Perawi berkata, “Aku menduga Ibnu Musayyib berkata, “Rasulullah mendoakan keburukan bagi mereka seraya berkata, “Mereka akan dicabik-cabik.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Hatib bin Abi Baltaah ke Mukauqis, penguasa Iskandariyah (Mesir). Kemudian ia pun menerima surat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, memuliakan Hatib, dan menyampaikan beberapa hadiah untuk Nab shallallahu ‘alaihi wa sallami. Apa yang dilakukan Mukauqis menunjukkan penghargaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana juga menunjukkan bahwa beliau tidak menerima ajakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena khawatir akan kekuasaannya. Kalau saja bukan karena kekuasaan, niscaya ia akan masuk Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyurati Raja Najasyi yang telah masuk Islam dan menshalatinya ketika ia meninggal dunia. Kemudian beliau juga menyurati Raja Najasi berikutnya yang memerintah dalam keadaan kafir. Dalam Shahih Muslim dikatakan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyurati raja Kaisar, Kisra, Najasy, dan semua penguasa mengajak mereka semua untuk beriman kepada Allah. Namun, bukan Najasy yang dishalatkan oleh beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Sulaith bin Amr ke Haudzah bin Ali, penguasa Al-Yamamah, tetapi ia tidak masuk Islam. Selain itu, mengutus Al-‘Ala bin Hadhrami ke Jaifar bin Jalandi dan Ammar bin Jalandi Al-Azdi, penguasa Omman. Beliau juga menyurati Al-Mundzir bin Sawi, penguasa Bahrain melalui Abul Ala Al-Hadhrami. Ia pun masuk Islam dan mengakui kekuasaan Nabi. Semua surat isinya mengajak kepada Islam dan masuk ke dalamnya.   PELAJARAN YANG BISA DIAMBIL Pertama: Korespondensi yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para raja dan penguasa menunjukkan bahwa risalah ini bersifat universal dan untuk seluruh umat manusia. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنِّى رَسُولُ ٱللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا “Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.” (QS. Al-A’raf: 158) وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا كَآفَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’: 28) Setelah perjanjian damai, maka hal tersebut merupakan kesempatan emas untuk memperluas wilayah dakwah dan menyerukan berbagai umat yang belum mendengar risalah serta melakukan korespondensi ke berbagai penjuru yang belum sempat disurati. Melalui keterangan teks-teks syariat dan aplikatif dalam sejarah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jelaslah bahwa dakwah ini bersifat universal dan sekaligus menyangga orang-orang yang mengatakan bahwa Muhammad hanya diutus untuk masyarakat Arab saja dan tidak untuk masyarakat dunia. Kedua: Penerimaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membuat cap atau stempel setelah diinformasikan bahwa orang-orang yang akan disurati tidak akan membaca, kecuali surat yang memiliki cap. Dari sini kita dapat melihat bagaimana beliau mampu beradaptasi dengan tradisi lain selama tidak bertentangan dengan agama. Ketiga: Korespondensi yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para raja dan penguasa menegaskan akan hak-hak para penguasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepada mereka dengan menyebutkan jabatan dan penghargaan kepadanya. Yaitu: “Penguasa Romawi yang mulia, penguasa Persia yang mulia, dan demikian seterusnya.” Keempat: Kita perhatikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara metode targhib wat tarhib (dorongan dan ancaman). Beliau berkata kepada penguasa Romawi, “Masuklah ke dalam Islam, niscaya engkau selamat dan Allah akan memberikan kepadamu dua pahala.” Ini adalah bentuk motivasi. Kemudian beliau berkata, “Jika engkau berpaling, maka engkau akan menanggung dosa seluruh rakyat Arisyin.” dan ini adalah bentuk intimidasi kepadanya apabila tidak menerima Islam. Kelima: Dari surat-surat tersebut tampak reaksi yang ditimbulkan oleh orang-orang yang disurati serta kejelian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menggunakan kata-kata yang sesuai sehingga dapat menggugah perasaan dan sikap empati. Oleh karena itu, mereka yang tidak masuk Islam, umumnya menolak dengan baik. Keenam: Sikap para pemimpin Nasrani yang disurati oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penolakan serta penghargaan mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun mereka tidak memenuhi ajakan beliau. Kita ingat firman Allah, ۞ لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ ٱلنَّاسِ عَدَٰوَةً لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱلْيَهُودَ وَٱلَّذِينَ أَشْرَكُوا۟ ۖ وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُم مَّوَدَّةً لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱلَّذِينَ قَالُوٓا۟ إِنَّا نَصَٰرَىٰ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya kami ini orang Nasrani”. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri.”  (QS. Al-Ma’idah: 82) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati dari Nasrani Habasyah sikap mau menolong dan melindungi orang-orang yang Hijrah ke Habasyah. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepada para raja dan penguasa berbagai bangsa, maka pemimpin Nasrani adalah yang paling baik dalam penolakannya. Heraklius, raja Romawi di wilayah Syam berusaha untuk meyakinkan rakyatnya agar menerima Islam tetapi gagal. Oleh karena itu, ia pun menolak dengan baik. Begitu pula Mukauqis, penguasa Qibthi, Mesir juga sangat baik penolakannya sekalipun tidak kalah baik kecenderungannya terhadap Islam. Bahkan ia mengirimkan hadiah yang sangat baik kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain itu, ketika Syam dan Mesir dibebaskan, penduduknya telah mengenal Islam dan segera masuk ke dalam Islam. Baca juga: Heraklius Bertanya tentang Ajaran Nabi   Referensi: Fiqh As-Sirah. Cetakan kesepuluh, Tahun 1437 H. Prof. Dr. Zaid bin ‘Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah. – Direvisi pada Jumat sore, 28 Jumadal Ula 1446 H, 29 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsberperang cap Rasulullah dakwah internasional Nabi dakwah Nabi Muhammad faedah sirah nabi Heraklius penguasa Romawi hudaibiyah jihad kisah dakwah Rasulullah peperangan di masa Rasulullah risalah Islam universal sejarah korespondensi Rasulullah sirah nabi stempel Nabi Muhammad strategi dakwah Islam surat autentik Rasulullah surat kepada Heraklius surat Nabi kepada raja-raja Surat Rasulullah
Setelah Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai mengirim surat kepada para raja dan penguasa di berbagai wilayah. Surat-surat ini menjadi bukti bahwa Islam adalah risalah universal yang ditujukan untuk seluruh umat manusia. Melalui surat Nabi kepada para raja tersebut, terlihat bagaimana dakwah beliau dirancang dengan hikmah dan strategi yang mendalam. Para peneliti mengatakan bahwa para ahli sejarah berbeda pendapat tentang tanggal surat-surat tersebut sehingga tidak satu pun yang dapat memastikan tanggalnya. Kecuali hanya bahwa penulisan surat dan pengiriman utusan terjadi setelah perjanjian Hudaibiyah. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menulis surat, seseorang memberitahunya, “Mereka tidak akan membaca surat kecuali jika ada cap atau stempelnya.” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membuat cap dari perak bertuliskan “Muhammad Rasulullah.” Salah satu surat yang paling autentik adalah surat yang dikirimkan Rasulullah kepada Heraklius, yang teksnya tercatat dalam Shahih Al-Bukhari: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ مِنْ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ إِلَىٰ هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ، سَلَامٌ عَلَىٰ مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَىٰ. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الْإِسْلَامِ، أَسْلِمْ تَسْلَمْ، يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ، فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الْأَرِيسِيِّينَ. “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad bin Abdullah utusan Allah Untuk Heraklius, penguasa Romawi yang mulia Selamatlah bagi yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du. Aku mengajakmu dengan ajakan Islam. Masuklah ke dalam Islam, niscaya engkau akan selamat. Allah akan memberikan kepadamu dua pahala. Jika menolak, maka engkau akan menanggung semua dosa orang-orang Arisin (penduduk Romawi).” قُلْ يَٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ تَعَالَوْا۟ إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَآءٍۭ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا ٱللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِۦ شَيْـًٔا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِّن دُونِ ٱللَّهِ ۚ فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَقُولُوا۟ ٱشْهَدُوا۟ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ “Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.” (QS. Ali Imran: 64) Di dalamnya juga terdapat kisah Heraklius dengan Abu Sufyan ketika ia bertanya kepadanya tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah surat itu datang kepadanya yang dibawa oleh Dihyah Al-Kalbi. Namun, raja tersebut tidak menjawab ajakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan tidak membalas dengan balasan yang baik. Ia lebih memilih kerajaannya sehingga tidak mendapatkan hidayah dari Allah. Dalam Shahih Al-Bukhari, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim suratnya kepada Kisra yang dibawa oleh Abdullah bin Hudzaifah As-Sahmi. Beliau memerintahkan untuk menyerahkan kepada penguasa Bahrain lalu ia menyerahkan ke Kisra. Setelah membacanya, ia pun merobek-robeknya. Perawi berkata, “Aku menduga Ibnu Musayyib berkata, “Rasulullah mendoakan keburukan bagi mereka seraya berkata, “Mereka akan dicabik-cabik.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Hatib bin Abi Baltaah ke Mukauqis, penguasa Iskandariyah (Mesir). Kemudian ia pun menerima surat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, memuliakan Hatib, dan menyampaikan beberapa hadiah untuk Nab shallallahu ‘alaihi wa sallami. Apa yang dilakukan Mukauqis menunjukkan penghargaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana juga menunjukkan bahwa beliau tidak menerima ajakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena khawatir akan kekuasaannya. Kalau saja bukan karena kekuasaan, niscaya ia akan masuk Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyurati Raja Najasyi yang telah masuk Islam dan menshalatinya ketika ia meninggal dunia. Kemudian beliau juga menyurati Raja Najasi berikutnya yang memerintah dalam keadaan kafir. Dalam Shahih Muslim dikatakan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyurati raja Kaisar, Kisra, Najasy, dan semua penguasa mengajak mereka semua untuk beriman kepada Allah. Namun, bukan Najasy yang dishalatkan oleh beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Sulaith bin Amr ke Haudzah bin Ali, penguasa Al-Yamamah, tetapi ia tidak masuk Islam. Selain itu, mengutus Al-‘Ala bin Hadhrami ke Jaifar bin Jalandi dan Ammar bin Jalandi Al-Azdi, penguasa Omman. Beliau juga menyurati Al-Mundzir bin Sawi, penguasa Bahrain melalui Abul Ala Al-Hadhrami. Ia pun masuk Islam dan mengakui kekuasaan Nabi. Semua surat isinya mengajak kepada Islam dan masuk ke dalamnya.   PELAJARAN YANG BISA DIAMBIL Pertama: Korespondensi yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para raja dan penguasa menunjukkan bahwa risalah ini bersifat universal dan untuk seluruh umat manusia. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنِّى رَسُولُ ٱللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا “Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.” (QS. Al-A’raf: 158) وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا كَآفَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’: 28) Setelah perjanjian damai, maka hal tersebut merupakan kesempatan emas untuk memperluas wilayah dakwah dan menyerukan berbagai umat yang belum mendengar risalah serta melakukan korespondensi ke berbagai penjuru yang belum sempat disurati. Melalui keterangan teks-teks syariat dan aplikatif dalam sejarah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jelaslah bahwa dakwah ini bersifat universal dan sekaligus menyangga orang-orang yang mengatakan bahwa Muhammad hanya diutus untuk masyarakat Arab saja dan tidak untuk masyarakat dunia. Kedua: Penerimaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membuat cap atau stempel setelah diinformasikan bahwa orang-orang yang akan disurati tidak akan membaca, kecuali surat yang memiliki cap. Dari sini kita dapat melihat bagaimana beliau mampu beradaptasi dengan tradisi lain selama tidak bertentangan dengan agama. Ketiga: Korespondensi yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para raja dan penguasa menegaskan akan hak-hak para penguasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepada mereka dengan menyebutkan jabatan dan penghargaan kepadanya. Yaitu: “Penguasa Romawi yang mulia, penguasa Persia yang mulia, dan demikian seterusnya.” Keempat: Kita perhatikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara metode targhib wat tarhib (dorongan dan ancaman). Beliau berkata kepada penguasa Romawi, “Masuklah ke dalam Islam, niscaya engkau selamat dan Allah akan memberikan kepadamu dua pahala.” Ini adalah bentuk motivasi. Kemudian beliau berkata, “Jika engkau berpaling, maka engkau akan menanggung dosa seluruh rakyat Arisyin.” dan ini adalah bentuk intimidasi kepadanya apabila tidak menerima Islam. Kelima: Dari surat-surat tersebut tampak reaksi yang ditimbulkan oleh orang-orang yang disurati serta kejelian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menggunakan kata-kata yang sesuai sehingga dapat menggugah perasaan dan sikap empati. Oleh karena itu, mereka yang tidak masuk Islam, umumnya menolak dengan baik. Keenam: Sikap para pemimpin Nasrani yang disurati oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penolakan serta penghargaan mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun mereka tidak memenuhi ajakan beliau. Kita ingat firman Allah, ۞ لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ ٱلنَّاسِ عَدَٰوَةً لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱلْيَهُودَ وَٱلَّذِينَ أَشْرَكُوا۟ ۖ وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُم مَّوَدَّةً لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱلَّذِينَ قَالُوٓا۟ إِنَّا نَصَٰرَىٰ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya kami ini orang Nasrani”. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri.”  (QS. Al-Ma’idah: 82) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati dari Nasrani Habasyah sikap mau menolong dan melindungi orang-orang yang Hijrah ke Habasyah. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepada para raja dan penguasa berbagai bangsa, maka pemimpin Nasrani adalah yang paling baik dalam penolakannya. Heraklius, raja Romawi di wilayah Syam berusaha untuk meyakinkan rakyatnya agar menerima Islam tetapi gagal. Oleh karena itu, ia pun menolak dengan baik. Begitu pula Mukauqis, penguasa Qibthi, Mesir juga sangat baik penolakannya sekalipun tidak kalah baik kecenderungannya terhadap Islam. Bahkan ia mengirimkan hadiah yang sangat baik kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain itu, ketika Syam dan Mesir dibebaskan, penduduknya telah mengenal Islam dan segera masuk ke dalam Islam. Baca juga: Heraklius Bertanya tentang Ajaran Nabi   Referensi: Fiqh As-Sirah. Cetakan kesepuluh, Tahun 1437 H. Prof. Dr. Zaid bin ‘Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah. – Direvisi pada Jumat sore, 28 Jumadal Ula 1446 H, 29 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsberperang cap Rasulullah dakwah internasional Nabi dakwah Nabi Muhammad faedah sirah nabi Heraklius penguasa Romawi hudaibiyah jihad kisah dakwah Rasulullah peperangan di masa Rasulullah risalah Islam universal sejarah korespondensi Rasulullah sirah nabi stempel Nabi Muhammad strategi dakwah Islam surat autentik Rasulullah surat kepada Heraklius surat Nabi kepada raja-raja Surat Rasulullah


Setelah Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai mengirim surat kepada para raja dan penguasa di berbagai wilayah. Surat-surat ini menjadi bukti bahwa Islam adalah risalah universal yang ditujukan untuk seluruh umat manusia. Melalui surat Nabi kepada para raja tersebut, terlihat bagaimana dakwah beliau dirancang dengan hikmah dan strategi yang mendalam. Para peneliti mengatakan bahwa para ahli sejarah berbeda pendapat tentang tanggal surat-surat tersebut sehingga tidak satu pun yang dapat memastikan tanggalnya. Kecuali hanya bahwa penulisan surat dan pengiriman utusan terjadi setelah perjanjian Hudaibiyah. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menulis surat, seseorang memberitahunya, “Mereka tidak akan membaca surat kecuali jika ada cap atau stempelnya.” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membuat cap dari perak bertuliskan “Muhammad Rasulullah.” Salah satu surat yang paling autentik adalah surat yang dikirimkan Rasulullah kepada Heraklius, yang teksnya tercatat dalam Shahih Al-Bukhari: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ مِنْ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ إِلَىٰ هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ، سَلَامٌ عَلَىٰ مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَىٰ. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الْإِسْلَامِ، أَسْلِمْ تَسْلَمْ، يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ، فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الْأَرِيسِيِّينَ. “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad bin Abdullah utusan Allah Untuk Heraklius, penguasa Romawi yang mulia Selamatlah bagi yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du. Aku mengajakmu dengan ajakan Islam. Masuklah ke dalam Islam, niscaya engkau akan selamat. Allah akan memberikan kepadamu dua pahala. Jika menolak, maka engkau akan menanggung semua dosa orang-orang Arisin (penduduk Romawi).” قُلْ يَٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ تَعَالَوْا۟ إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَآءٍۭ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا ٱللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِۦ شَيْـًٔا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِّن دُونِ ٱللَّهِ ۚ فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَقُولُوا۟ ٱشْهَدُوا۟ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ “Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.” (QS. Ali Imran: 64) Di dalamnya juga terdapat kisah Heraklius dengan Abu Sufyan ketika ia bertanya kepadanya tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah surat itu datang kepadanya yang dibawa oleh Dihyah Al-Kalbi. Namun, raja tersebut tidak menjawab ajakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan tidak membalas dengan balasan yang baik. Ia lebih memilih kerajaannya sehingga tidak mendapatkan hidayah dari Allah. Dalam Shahih Al-Bukhari, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim suratnya kepada Kisra yang dibawa oleh Abdullah bin Hudzaifah As-Sahmi. Beliau memerintahkan untuk menyerahkan kepada penguasa Bahrain lalu ia menyerahkan ke Kisra. Setelah membacanya, ia pun merobek-robeknya. Perawi berkata, “Aku menduga Ibnu Musayyib berkata, “Rasulullah mendoakan keburukan bagi mereka seraya berkata, “Mereka akan dicabik-cabik.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Hatib bin Abi Baltaah ke Mukauqis, penguasa Iskandariyah (Mesir). Kemudian ia pun menerima surat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, memuliakan Hatib, dan menyampaikan beberapa hadiah untuk Nab shallallahu ‘alaihi wa sallami. Apa yang dilakukan Mukauqis menunjukkan penghargaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana juga menunjukkan bahwa beliau tidak menerima ajakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena khawatir akan kekuasaannya. Kalau saja bukan karena kekuasaan, niscaya ia akan masuk Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyurati Raja Najasyi yang telah masuk Islam dan menshalatinya ketika ia meninggal dunia. Kemudian beliau juga menyurati Raja Najasi berikutnya yang memerintah dalam keadaan kafir. Dalam Shahih Muslim dikatakan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyurati raja Kaisar, Kisra, Najasy, dan semua penguasa mengajak mereka semua untuk beriman kepada Allah. Namun, bukan Najasy yang dishalatkan oleh beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Sulaith bin Amr ke Haudzah bin Ali, penguasa Al-Yamamah, tetapi ia tidak masuk Islam. Selain itu, mengutus Al-‘Ala bin Hadhrami ke Jaifar bin Jalandi dan Ammar bin Jalandi Al-Azdi, penguasa Omman. Beliau juga menyurati Al-Mundzir bin Sawi, penguasa Bahrain melalui Abul Ala Al-Hadhrami. Ia pun masuk Islam dan mengakui kekuasaan Nabi. Semua surat isinya mengajak kepada Islam dan masuk ke dalamnya.   PELAJARAN YANG BISA DIAMBIL Pertama: Korespondensi yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para raja dan penguasa menunjukkan bahwa risalah ini bersifat universal dan untuk seluruh umat manusia. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنِّى رَسُولُ ٱللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا “Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.” (QS. Al-A’raf: 158) وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا كَآفَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’: 28) Setelah perjanjian damai, maka hal tersebut merupakan kesempatan emas untuk memperluas wilayah dakwah dan menyerukan berbagai umat yang belum mendengar risalah serta melakukan korespondensi ke berbagai penjuru yang belum sempat disurati. Melalui keterangan teks-teks syariat dan aplikatif dalam sejarah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jelaslah bahwa dakwah ini bersifat universal dan sekaligus menyangga orang-orang yang mengatakan bahwa Muhammad hanya diutus untuk masyarakat Arab saja dan tidak untuk masyarakat dunia. Kedua: Penerimaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membuat cap atau stempel setelah diinformasikan bahwa orang-orang yang akan disurati tidak akan membaca, kecuali surat yang memiliki cap. Dari sini kita dapat melihat bagaimana beliau mampu beradaptasi dengan tradisi lain selama tidak bertentangan dengan agama. Ketiga: Korespondensi yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para raja dan penguasa menegaskan akan hak-hak para penguasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepada mereka dengan menyebutkan jabatan dan penghargaan kepadanya. Yaitu: “Penguasa Romawi yang mulia, penguasa Persia yang mulia, dan demikian seterusnya.” Keempat: Kita perhatikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara metode targhib wat tarhib (dorongan dan ancaman). Beliau berkata kepada penguasa Romawi, “Masuklah ke dalam Islam, niscaya engkau selamat dan Allah akan memberikan kepadamu dua pahala.” Ini adalah bentuk motivasi. Kemudian beliau berkata, “Jika engkau berpaling, maka engkau akan menanggung dosa seluruh rakyat Arisyin.” dan ini adalah bentuk intimidasi kepadanya apabila tidak menerima Islam. Kelima: Dari surat-surat tersebut tampak reaksi yang ditimbulkan oleh orang-orang yang disurati serta kejelian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menggunakan kata-kata yang sesuai sehingga dapat menggugah perasaan dan sikap empati. Oleh karena itu, mereka yang tidak masuk Islam, umumnya menolak dengan baik. Keenam: Sikap para pemimpin Nasrani yang disurati oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penolakan serta penghargaan mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun mereka tidak memenuhi ajakan beliau. Kita ingat firman Allah, ۞ لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ ٱلنَّاسِ عَدَٰوَةً لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱلْيَهُودَ وَٱلَّذِينَ أَشْرَكُوا۟ ۖ وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُم مَّوَدَّةً لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱلَّذِينَ قَالُوٓا۟ إِنَّا نَصَٰرَىٰ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya kami ini orang Nasrani”. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri.”  (QS. Al-Ma’idah: 82) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati dari Nasrani Habasyah sikap mau menolong dan melindungi orang-orang yang Hijrah ke Habasyah. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepada para raja dan penguasa berbagai bangsa, maka pemimpin Nasrani adalah yang paling baik dalam penolakannya. Heraklius, raja Romawi di wilayah Syam berusaha untuk meyakinkan rakyatnya agar menerima Islam tetapi gagal. Oleh karena itu, ia pun menolak dengan baik. Begitu pula Mukauqis, penguasa Qibthi, Mesir juga sangat baik penolakannya sekalipun tidak kalah baik kecenderungannya terhadap Islam. Bahkan ia mengirimkan hadiah yang sangat baik kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain itu, ketika Syam dan Mesir dibebaskan, penduduknya telah mengenal Islam dan segera masuk ke dalam Islam. Baca juga: Heraklius Bertanya tentang Ajaran Nabi   Referensi: Fiqh As-Sirah. Cetakan kesepuluh, Tahun 1437 H. Prof. Dr. Zaid bin ‘Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah. – Direvisi pada Jumat sore, 28 Jumadal Ula 1446 H, 29 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsberperang cap Rasulullah dakwah internasional Nabi dakwah Nabi Muhammad faedah sirah nabi Heraklius penguasa Romawi hudaibiyah jihad kisah dakwah Rasulullah peperangan di masa Rasulullah risalah Islam universal sejarah korespondensi Rasulullah sirah nabi stempel Nabi Muhammad strategi dakwah Islam surat autentik Rasulullah surat kepada Heraklius surat Nabi kepada raja-raja Surat Rasulullah

Khutbah Jumat: Pegawai yang Amanah, Rezeki Berkah

Menjalankan pekerjaan dengan penuh amanah dan kompetensi bukan hanya tanggung jawab profesional, tetapi juga bagian dari ibadah yang mendatangkan keberkahan hidup. Khutbah Jumat kali ini mengingatkan kita pentingnya menjadi pegawai yang amanah, kuat dan terpercaya demi meraih rezeki yang berkah dan rida Allah.   Tonton Khutbah Jumat: 8 Poin Menjadi Pegawai yang Amanah   Daftar Isi tutup 1. Tonton Khutbah Jumat: 8 Poin Menjadi Pegawai yang Amanah 2. KHUTBAH PERTAMA 2.1. Pertama: Bekerja itu demi mencari nafkah dan berpahala 2.2. Kedua: Bekerja sebagai bentuk ihsan atau berbuat baik kepada keluarga 2.3. Ketiga: Bekerja itu dengan menunaikan amanah dengan baik 2.4. Keempat: Hindari malas bekerja yang nanti merugikan keluarga 2.5. Kelima: Mencari pekerjaan yang halal dan berkah 2.6. Keenam: Bekerja itu lebih mulia daripada mengemis 2.7. Ketujuh: Menjadi pekerja yang Al-Qawiy Al-Amin 2.8. Kedelapan: Pegawai dan pejabat negara dilarang menerima hadiah yang berkedok suap 3. KHUTBAH KEDUA KHUTBAH PERTAMA الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَي مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الكَرِيْمِ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا فَإِنَّ أَصْدَقَ الحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَأَفْضَلُ الهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ َوكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ Amma ba’du. Jama’ah shalat Jum’at yang semoga selalu diberkahi oleh Allah … Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, yang telah menciptakan manusia dengan tujuan mulia, memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya, dan menunaikan amanah dalam kehidupan sehari-hari. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, suri teladan dalam beribadah, bermuamalah, dan menunaikan amanah. Hadirin jama’ah shalat Jumat yang dirahmati Allah, Kami wasiatkan kepada diri kami dan kepada seluruh hadirin sekalian untuk senantiasa bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Takwa bukan hanya diwujudkan dalam shalat dan ibadah ritual lainnya, tetapi juga dalam menjalankan amanah dan tanggung jawab yang kita emban, termasuk dalam mengemban amanah sebagai pegawai atau pekerja. Tema khutbah kita hari ini, “Pegawai yang Amanah, Rezeki Berkah,” mengingatkan kita akan pentingnya menunaikan amanah sebagai jalan menuju keberkahan hidup dan rida Allah. Berikut delapan poin yang mesti diperhatikan setiap pekerja, pegawai, hingga pejabat negara.   Pertama: Bekerja itu demi mencari nafkah dan berpahala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan keutamaan nafkah keluarga. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ “Satu dinar yang kamu infakkan di jalan Allah, satu dinar yang digunakan untuk membebaskan seorang budak, dan satu dinar yang diberikan kepada orang miskin, tetap yang paling besar pahalanya adalah satu dinar yang kamu belanjakan untuk memenuhi kebutuhan keluargamu.” (HR. Muslim, no. 995). Hal ini menunjukkan bahwa mencari nafkah bukan hanya tugas, melainkan juga ibadah yang mendekatkan kita kepada Allah. Bekerja itu berpahala jika diniatkan karena ibadah, bukan hanya sudah jadi kebiasaan saja.   Kedua: Bekerja sebagai bentuk ihsan atau berbuat baik kepada keluarga Nafkah yang diberikan dengan ikhlas juga merupakan bentuk ihsan (kebaikan) kepada keluarga. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى “Yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi, no. 3895. Al-Hafizh Abu Thahir menilai hadits ini shahih). Hadits ini menunjukkan bahwa perhatian kepada keluarga adalah ciri utama seorang muslim yang baik.   Ketiga: Bekerja itu dengan menunaikan amanah dengan baik Menjalankan pekerjaan dengan sungguh-sungguh adalah penunaian amanah. Allah memerintahkan kita untuk menunaikan amanah kepada yang berhak. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kalian untuk menunaikan amanat kepada yang berhak.” (QS. An Nisaa’: 58) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ “Tunaikanlah amanat pada orang yang memberikan amanat padamu dan janganlah mengkhianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud, no. 3535; Tirmidzi, no. 1264; dan Ahmad 3:414, sahih). Bagi yang menjadi bendahara, memegang amanah, lantas ia bertanggung jawab dengan baik, jika uangnya digunakan dalam jalan kebaikan, ia juga mendapatkan pahala sedekah. Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْخَازِنُ الْمُسْلِمُ الأَمِينُ الَّذِى يُنْفِذُ – وَرُبَّمَا قَالَ يُعْطِى – مَا أُمِرَ بِهِ كَامِلاً مُوَفَّرًا طَيِّبٌ بِهِ نَفْسُهُ ، فَيَدْفَعُهُ إِلَى الَّذِى أُمِرَ لَهُ بِهِ ، أَحَدُ الْمُتَصَدِّقَيْنِ “Bendahara muslim yang diberi amanat ketika memberi sesuai yang diperintahkan untuknya secara sempurna dan berniat baik, lalu ia menyerahkan harta tersebut pada orang yang ia ditunjuk menyerahkannya, maka keduanya (pemilik harta dan bendahara yang amanat tadi) termasuk dalam orang yang bersedekah.” (HR. Bukhari, no. 1438 dan Muslim, no. 1023).   Keempat: Hindari malas bekerja yang nanti merugikan keluarga Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ “Seseorang cukup dikatakn berdosa jika ia melalaikan orang yang ia wajib beri nafkah.” (HR. Abu Daud, no. 1692. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)   Kelima: Mencari pekerjaan yang halal dan berkah Ada sahabat yang pernah bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, أَىُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ “Wahai Rasulullah, mata pencaharian (kasb) apakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (diberkahi).” (HR. Ahmad, 4:141, hasan lighoirihi) Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, وَالقَلِيْلُ مِنَ الحَلاَلِ يُبَارَكُ فِيْهِ وَالحَرَامُ الكَثِيْرُ يَذْهَبُ وَيَمْحَقُهُ اللهُ تَعَالَى “Rezeki halal walau sedikit, itu lebih berkah daripada rezeki haram yang banyak. Rezeki haram itu akan cepat hilang dan Allah akan menghancurkannya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:646)   Keenam: Bekerja itu lebih mulia daripada mengemis Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ “Jika seseorang meminta-minta (mengemis) pada manusia, ia akan datang pada hari kiamat tanpa memiliki sekerat daging di wajahnya.” (HR. Bukhari, no. 1474 dan Muslim, no. 1040) Dari Hubsyi bin Junadah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ “Barang siapa meminta-minta padahal dirinya tidaklah fakir, maka ia seakan-akan memakan bara api.” (HR. Ahmad, 4:165. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lain)   Ketujuh: Menjadi pekerja yang Al-Qawiy Al-Amin Dalam perjalanan, Nabi Musa ‘alaihis salam sampai di negeri Madyan dan bertemu dengan dua orang wanita yang sedang kesulitan memberi minum ternak mereka. Nabi Musa membantu mereka, kemudian salah seorang dari kedua wanita itu menyarankan kepada ayah mereka (yang dalam sebagian tafsir disebut Nabi Syu’aib ‘alaihis salam) untuk mempekerjakan Nabi Musa. Allah Ta’ala berfirman, قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS. Al-Qashshash: 26) Wanita itu memuji Nabi Musa sebagai sosok yang kuat (al-qawiy, punya kompetensi yang baik) dan amanah (al-amin, tanggung jawab), dua sifat yang ia lihat ketika Nabi Musa membantu mereka memberi minum ternak. Kisah ini mengandung pelajaran tentang pentingnya sifat kekuatan dan kejujuran dalam menjalankan tugas atau amanah. Contoh Nyata di Berbagai Profesi Guru: Menguasai materi yang diajarkan (kapabel) dan tidak menyepelekan tugas mendidik murid dengan teladan yang baik (amanah). Pekerja Proyek Konstruksi: Melakukan pekerjaan dengan presisi (kapabel) dan tidak mengurangi kualitas material demi keuntungan pribadi (amanah). Aparatur Negara: Memberikan pelayanan publik dengan profesional (kapabel) dan tidak menerima suap dari masyarakat (amanah).   Kedelapan: Pegawai dan pejabat negara dilarang menerima hadiah yang berkedok suap Penerimaan hadiah yang berkedok suap atau tips bagi pegawai, termasuk pejabat negara, adalah bentuk pengkhianatan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas melarang tindakan ini, karena setiap hadiah yang diperoleh secara tidak sah akan menjadi beban di akhirat kelak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ ، فَيَأْتِى يَقُولُ هَذَا لَكَ وَهَذَا لِى . فَهَلاَّ جَلَسَ فِى بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ ، “Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan, “Ini untukmu dan ini hadiah untukku!” Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan cermatilah, apakah ia menerima hadiah ataukah tidak?” (HR. Bukhari, no. 7174 dan Muslim, no. 1832) Semoga bermanfaat delapan poin yang mesti diperhatikan oleh setiap pekerja, pegawai, hingga pejabat negara yang mengabdi untuk rakyat. Semoga Allah memberkahi setiap rezeki kita.  أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا َوَاسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ إِنَّهُ هُوَ السَمِيْعُ العَلِيْمُ   KHUTBAH KEDUA اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ – Naskah Khutbah Jum’at pada 29 Jumadal Ula 1446 H (29 November  2024) Baca Juga: Pegawai yang Baik: Amanat dan Kapabel Pegawai yang Dikatakan Ikhlas dalam Bekerja @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal-qawiy al-amiin amanah amanah dalam bekerja bekerja dalam Islam bekerja halal bekerja sebagai ibadah doa rezeki berkah etika kerja Islam hadis tentang bekerja kapabilitas pegawai khutbah jumat khutbah pegawai amanah. khutbah rezeki berkah khutbah tentang pekerjaan mencari nafkah halal nafkah keluarga pegawai pegawai amanah pegawai amanat pegawai yang amanah pentingnya amanah rezeki berkah tanggung jawab pekerjaan

Khutbah Jumat: Pegawai yang Amanah, Rezeki Berkah

Menjalankan pekerjaan dengan penuh amanah dan kompetensi bukan hanya tanggung jawab profesional, tetapi juga bagian dari ibadah yang mendatangkan keberkahan hidup. Khutbah Jumat kali ini mengingatkan kita pentingnya menjadi pegawai yang amanah, kuat dan terpercaya demi meraih rezeki yang berkah dan rida Allah.   Tonton Khutbah Jumat: 8 Poin Menjadi Pegawai yang Amanah   Daftar Isi tutup 1. Tonton Khutbah Jumat: 8 Poin Menjadi Pegawai yang Amanah 2. KHUTBAH PERTAMA 2.1. Pertama: Bekerja itu demi mencari nafkah dan berpahala 2.2. Kedua: Bekerja sebagai bentuk ihsan atau berbuat baik kepada keluarga 2.3. Ketiga: Bekerja itu dengan menunaikan amanah dengan baik 2.4. Keempat: Hindari malas bekerja yang nanti merugikan keluarga 2.5. Kelima: Mencari pekerjaan yang halal dan berkah 2.6. Keenam: Bekerja itu lebih mulia daripada mengemis 2.7. Ketujuh: Menjadi pekerja yang Al-Qawiy Al-Amin 2.8. Kedelapan: Pegawai dan pejabat negara dilarang menerima hadiah yang berkedok suap 3. KHUTBAH KEDUA KHUTBAH PERTAMA الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَي مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الكَرِيْمِ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا فَإِنَّ أَصْدَقَ الحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَأَفْضَلُ الهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ َوكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ Amma ba’du. Jama’ah shalat Jum’at yang semoga selalu diberkahi oleh Allah … Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, yang telah menciptakan manusia dengan tujuan mulia, memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya, dan menunaikan amanah dalam kehidupan sehari-hari. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, suri teladan dalam beribadah, bermuamalah, dan menunaikan amanah. Hadirin jama’ah shalat Jumat yang dirahmati Allah, Kami wasiatkan kepada diri kami dan kepada seluruh hadirin sekalian untuk senantiasa bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Takwa bukan hanya diwujudkan dalam shalat dan ibadah ritual lainnya, tetapi juga dalam menjalankan amanah dan tanggung jawab yang kita emban, termasuk dalam mengemban amanah sebagai pegawai atau pekerja. Tema khutbah kita hari ini, “Pegawai yang Amanah, Rezeki Berkah,” mengingatkan kita akan pentingnya menunaikan amanah sebagai jalan menuju keberkahan hidup dan rida Allah. Berikut delapan poin yang mesti diperhatikan setiap pekerja, pegawai, hingga pejabat negara.   Pertama: Bekerja itu demi mencari nafkah dan berpahala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan keutamaan nafkah keluarga. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ “Satu dinar yang kamu infakkan di jalan Allah, satu dinar yang digunakan untuk membebaskan seorang budak, dan satu dinar yang diberikan kepada orang miskin, tetap yang paling besar pahalanya adalah satu dinar yang kamu belanjakan untuk memenuhi kebutuhan keluargamu.” (HR. Muslim, no. 995). Hal ini menunjukkan bahwa mencari nafkah bukan hanya tugas, melainkan juga ibadah yang mendekatkan kita kepada Allah. Bekerja itu berpahala jika diniatkan karena ibadah, bukan hanya sudah jadi kebiasaan saja.   Kedua: Bekerja sebagai bentuk ihsan atau berbuat baik kepada keluarga Nafkah yang diberikan dengan ikhlas juga merupakan bentuk ihsan (kebaikan) kepada keluarga. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى “Yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi, no. 3895. Al-Hafizh Abu Thahir menilai hadits ini shahih). Hadits ini menunjukkan bahwa perhatian kepada keluarga adalah ciri utama seorang muslim yang baik.   Ketiga: Bekerja itu dengan menunaikan amanah dengan baik Menjalankan pekerjaan dengan sungguh-sungguh adalah penunaian amanah. Allah memerintahkan kita untuk menunaikan amanah kepada yang berhak. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kalian untuk menunaikan amanat kepada yang berhak.” (QS. An Nisaa’: 58) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ “Tunaikanlah amanat pada orang yang memberikan amanat padamu dan janganlah mengkhianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud, no. 3535; Tirmidzi, no. 1264; dan Ahmad 3:414, sahih). Bagi yang menjadi bendahara, memegang amanah, lantas ia bertanggung jawab dengan baik, jika uangnya digunakan dalam jalan kebaikan, ia juga mendapatkan pahala sedekah. Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْخَازِنُ الْمُسْلِمُ الأَمِينُ الَّذِى يُنْفِذُ – وَرُبَّمَا قَالَ يُعْطِى – مَا أُمِرَ بِهِ كَامِلاً مُوَفَّرًا طَيِّبٌ بِهِ نَفْسُهُ ، فَيَدْفَعُهُ إِلَى الَّذِى أُمِرَ لَهُ بِهِ ، أَحَدُ الْمُتَصَدِّقَيْنِ “Bendahara muslim yang diberi amanat ketika memberi sesuai yang diperintahkan untuknya secara sempurna dan berniat baik, lalu ia menyerahkan harta tersebut pada orang yang ia ditunjuk menyerahkannya, maka keduanya (pemilik harta dan bendahara yang amanat tadi) termasuk dalam orang yang bersedekah.” (HR. Bukhari, no. 1438 dan Muslim, no. 1023).   Keempat: Hindari malas bekerja yang nanti merugikan keluarga Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ “Seseorang cukup dikatakn berdosa jika ia melalaikan orang yang ia wajib beri nafkah.” (HR. Abu Daud, no. 1692. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)   Kelima: Mencari pekerjaan yang halal dan berkah Ada sahabat yang pernah bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, أَىُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ “Wahai Rasulullah, mata pencaharian (kasb) apakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (diberkahi).” (HR. Ahmad, 4:141, hasan lighoirihi) Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, وَالقَلِيْلُ مِنَ الحَلاَلِ يُبَارَكُ فِيْهِ وَالحَرَامُ الكَثِيْرُ يَذْهَبُ وَيَمْحَقُهُ اللهُ تَعَالَى “Rezeki halal walau sedikit, itu lebih berkah daripada rezeki haram yang banyak. Rezeki haram itu akan cepat hilang dan Allah akan menghancurkannya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:646)   Keenam: Bekerja itu lebih mulia daripada mengemis Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ “Jika seseorang meminta-minta (mengemis) pada manusia, ia akan datang pada hari kiamat tanpa memiliki sekerat daging di wajahnya.” (HR. Bukhari, no. 1474 dan Muslim, no. 1040) Dari Hubsyi bin Junadah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ “Barang siapa meminta-minta padahal dirinya tidaklah fakir, maka ia seakan-akan memakan bara api.” (HR. Ahmad, 4:165. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lain)   Ketujuh: Menjadi pekerja yang Al-Qawiy Al-Amin Dalam perjalanan, Nabi Musa ‘alaihis salam sampai di negeri Madyan dan bertemu dengan dua orang wanita yang sedang kesulitan memberi minum ternak mereka. Nabi Musa membantu mereka, kemudian salah seorang dari kedua wanita itu menyarankan kepada ayah mereka (yang dalam sebagian tafsir disebut Nabi Syu’aib ‘alaihis salam) untuk mempekerjakan Nabi Musa. Allah Ta’ala berfirman, قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS. Al-Qashshash: 26) Wanita itu memuji Nabi Musa sebagai sosok yang kuat (al-qawiy, punya kompetensi yang baik) dan amanah (al-amin, tanggung jawab), dua sifat yang ia lihat ketika Nabi Musa membantu mereka memberi minum ternak. Kisah ini mengandung pelajaran tentang pentingnya sifat kekuatan dan kejujuran dalam menjalankan tugas atau amanah. Contoh Nyata di Berbagai Profesi Guru: Menguasai materi yang diajarkan (kapabel) dan tidak menyepelekan tugas mendidik murid dengan teladan yang baik (amanah). Pekerja Proyek Konstruksi: Melakukan pekerjaan dengan presisi (kapabel) dan tidak mengurangi kualitas material demi keuntungan pribadi (amanah). Aparatur Negara: Memberikan pelayanan publik dengan profesional (kapabel) dan tidak menerima suap dari masyarakat (amanah).   Kedelapan: Pegawai dan pejabat negara dilarang menerima hadiah yang berkedok suap Penerimaan hadiah yang berkedok suap atau tips bagi pegawai, termasuk pejabat negara, adalah bentuk pengkhianatan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas melarang tindakan ini, karena setiap hadiah yang diperoleh secara tidak sah akan menjadi beban di akhirat kelak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ ، فَيَأْتِى يَقُولُ هَذَا لَكَ وَهَذَا لِى . فَهَلاَّ جَلَسَ فِى بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ ، “Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan, “Ini untukmu dan ini hadiah untukku!” Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan cermatilah, apakah ia menerima hadiah ataukah tidak?” (HR. Bukhari, no. 7174 dan Muslim, no. 1832) Semoga bermanfaat delapan poin yang mesti diperhatikan oleh setiap pekerja, pegawai, hingga pejabat negara yang mengabdi untuk rakyat. Semoga Allah memberkahi setiap rezeki kita.  أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا َوَاسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ إِنَّهُ هُوَ السَمِيْعُ العَلِيْمُ   KHUTBAH KEDUA اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ – Naskah Khutbah Jum’at pada 29 Jumadal Ula 1446 H (29 November  2024) Baca Juga: Pegawai yang Baik: Amanat dan Kapabel Pegawai yang Dikatakan Ikhlas dalam Bekerja @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal-qawiy al-amiin amanah amanah dalam bekerja bekerja dalam Islam bekerja halal bekerja sebagai ibadah doa rezeki berkah etika kerja Islam hadis tentang bekerja kapabilitas pegawai khutbah jumat khutbah pegawai amanah. khutbah rezeki berkah khutbah tentang pekerjaan mencari nafkah halal nafkah keluarga pegawai pegawai amanah pegawai amanat pegawai yang amanah pentingnya amanah rezeki berkah tanggung jawab pekerjaan
Menjalankan pekerjaan dengan penuh amanah dan kompetensi bukan hanya tanggung jawab profesional, tetapi juga bagian dari ibadah yang mendatangkan keberkahan hidup. Khutbah Jumat kali ini mengingatkan kita pentingnya menjadi pegawai yang amanah, kuat dan terpercaya demi meraih rezeki yang berkah dan rida Allah.   Tonton Khutbah Jumat: 8 Poin Menjadi Pegawai yang Amanah   Daftar Isi tutup 1. Tonton Khutbah Jumat: 8 Poin Menjadi Pegawai yang Amanah 2. KHUTBAH PERTAMA 2.1. Pertama: Bekerja itu demi mencari nafkah dan berpahala 2.2. Kedua: Bekerja sebagai bentuk ihsan atau berbuat baik kepada keluarga 2.3. Ketiga: Bekerja itu dengan menunaikan amanah dengan baik 2.4. Keempat: Hindari malas bekerja yang nanti merugikan keluarga 2.5. Kelima: Mencari pekerjaan yang halal dan berkah 2.6. Keenam: Bekerja itu lebih mulia daripada mengemis 2.7. Ketujuh: Menjadi pekerja yang Al-Qawiy Al-Amin 2.8. Kedelapan: Pegawai dan pejabat negara dilarang menerima hadiah yang berkedok suap 3. KHUTBAH KEDUA KHUTBAH PERTAMA الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَي مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الكَرِيْمِ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا فَإِنَّ أَصْدَقَ الحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَأَفْضَلُ الهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ َوكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ Amma ba’du. Jama’ah shalat Jum’at yang semoga selalu diberkahi oleh Allah … Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, yang telah menciptakan manusia dengan tujuan mulia, memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya, dan menunaikan amanah dalam kehidupan sehari-hari. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, suri teladan dalam beribadah, bermuamalah, dan menunaikan amanah. Hadirin jama’ah shalat Jumat yang dirahmati Allah, Kami wasiatkan kepada diri kami dan kepada seluruh hadirin sekalian untuk senantiasa bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Takwa bukan hanya diwujudkan dalam shalat dan ibadah ritual lainnya, tetapi juga dalam menjalankan amanah dan tanggung jawab yang kita emban, termasuk dalam mengemban amanah sebagai pegawai atau pekerja. Tema khutbah kita hari ini, “Pegawai yang Amanah, Rezeki Berkah,” mengingatkan kita akan pentingnya menunaikan amanah sebagai jalan menuju keberkahan hidup dan rida Allah. Berikut delapan poin yang mesti diperhatikan setiap pekerja, pegawai, hingga pejabat negara.   Pertama: Bekerja itu demi mencari nafkah dan berpahala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan keutamaan nafkah keluarga. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ “Satu dinar yang kamu infakkan di jalan Allah, satu dinar yang digunakan untuk membebaskan seorang budak, dan satu dinar yang diberikan kepada orang miskin, tetap yang paling besar pahalanya adalah satu dinar yang kamu belanjakan untuk memenuhi kebutuhan keluargamu.” (HR. Muslim, no. 995). Hal ini menunjukkan bahwa mencari nafkah bukan hanya tugas, melainkan juga ibadah yang mendekatkan kita kepada Allah. Bekerja itu berpahala jika diniatkan karena ibadah, bukan hanya sudah jadi kebiasaan saja.   Kedua: Bekerja sebagai bentuk ihsan atau berbuat baik kepada keluarga Nafkah yang diberikan dengan ikhlas juga merupakan bentuk ihsan (kebaikan) kepada keluarga. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى “Yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi, no. 3895. Al-Hafizh Abu Thahir menilai hadits ini shahih). Hadits ini menunjukkan bahwa perhatian kepada keluarga adalah ciri utama seorang muslim yang baik.   Ketiga: Bekerja itu dengan menunaikan amanah dengan baik Menjalankan pekerjaan dengan sungguh-sungguh adalah penunaian amanah. Allah memerintahkan kita untuk menunaikan amanah kepada yang berhak. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kalian untuk menunaikan amanat kepada yang berhak.” (QS. An Nisaa’: 58) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ “Tunaikanlah amanat pada orang yang memberikan amanat padamu dan janganlah mengkhianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud, no. 3535; Tirmidzi, no. 1264; dan Ahmad 3:414, sahih). Bagi yang menjadi bendahara, memegang amanah, lantas ia bertanggung jawab dengan baik, jika uangnya digunakan dalam jalan kebaikan, ia juga mendapatkan pahala sedekah. Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْخَازِنُ الْمُسْلِمُ الأَمِينُ الَّذِى يُنْفِذُ – وَرُبَّمَا قَالَ يُعْطِى – مَا أُمِرَ بِهِ كَامِلاً مُوَفَّرًا طَيِّبٌ بِهِ نَفْسُهُ ، فَيَدْفَعُهُ إِلَى الَّذِى أُمِرَ لَهُ بِهِ ، أَحَدُ الْمُتَصَدِّقَيْنِ “Bendahara muslim yang diberi amanat ketika memberi sesuai yang diperintahkan untuknya secara sempurna dan berniat baik, lalu ia menyerahkan harta tersebut pada orang yang ia ditunjuk menyerahkannya, maka keduanya (pemilik harta dan bendahara yang amanat tadi) termasuk dalam orang yang bersedekah.” (HR. Bukhari, no. 1438 dan Muslim, no. 1023).   Keempat: Hindari malas bekerja yang nanti merugikan keluarga Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ “Seseorang cukup dikatakn berdosa jika ia melalaikan orang yang ia wajib beri nafkah.” (HR. Abu Daud, no. 1692. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)   Kelima: Mencari pekerjaan yang halal dan berkah Ada sahabat yang pernah bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, أَىُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ “Wahai Rasulullah, mata pencaharian (kasb) apakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (diberkahi).” (HR. Ahmad, 4:141, hasan lighoirihi) Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, وَالقَلِيْلُ مِنَ الحَلاَلِ يُبَارَكُ فِيْهِ وَالحَرَامُ الكَثِيْرُ يَذْهَبُ وَيَمْحَقُهُ اللهُ تَعَالَى “Rezeki halal walau sedikit, itu lebih berkah daripada rezeki haram yang banyak. Rezeki haram itu akan cepat hilang dan Allah akan menghancurkannya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:646)   Keenam: Bekerja itu lebih mulia daripada mengemis Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ “Jika seseorang meminta-minta (mengemis) pada manusia, ia akan datang pada hari kiamat tanpa memiliki sekerat daging di wajahnya.” (HR. Bukhari, no. 1474 dan Muslim, no. 1040) Dari Hubsyi bin Junadah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ “Barang siapa meminta-minta padahal dirinya tidaklah fakir, maka ia seakan-akan memakan bara api.” (HR. Ahmad, 4:165. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lain)   Ketujuh: Menjadi pekerja yang Al-Qawiy Al-Amin Dalam perjalanan, Nabi Musa ‘alaihis salam sampai di negeri Madyan dan bertemu dengan dua orang wanita yang sedang kesulitan memberi minum ternak mereka. Nabi Musa membantu mereka, kemudian salah seorang dari kedua wanita itu menyarankan kepada ayah mereka (yang dalam sebagian tafsir disebut Nabi Syu’aib ‘alaihis salam) untuk mempekerjakan Nabi Musa. Allah Ta’ala berfirman, قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS. Al-Qashshash: 26) Wanita itu memuji Nabi Musa sebagai sosok yang kuat (al-qawiy, punya kompetensi yang baik) dan amanah (al-amin, tanggung jawab), dua sifat yang ia lihat ketika Nabi Musa membantu mereka memberi minum ternak. Kisah ini mengandung pelajaran tentang pentingnya sifat kekuatan dan kejujuran dalam menjalankan tugas atau amanah. Contoh Nyata di Berbagai Profesi Guru: Menguasai materi yang diajarkan (kapabel) dan tidak menyepelekan tugas mendidik murid dengan teladan yang baik (amanah). Pekerja Proyek Konstruksi: Melakukan pekerjaan dengan presisi (kapabel) dan tidak mengurangi kualitas material demi keuntungan pribadi (amanah). Aparatur Negara: Memberikan pelayanan publik dengan profesional (kapabel) dan tidak menerima suap dari masyarakat (amanah).   Kedelapan: Pegawai dan pejabat negara dilarang menerima hadiah yang berkedok suap Penerimaan hadiah yang berkedok suap atau tips bagi pegawai, termasuk pejabat negara, adalah bentuk pengkhianatan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas melarang tindakan ini, karena setiap hadiah yang diperoleh secara tidak sah akan menjadi beban di akhirat kelak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ ، فَيَأْتِى يَقُولُ هَذَا لَكَ وَهَذَا لِى . فَهَلاَّ جَلَسَ فِى بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ ، “Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan, “Ini untukmu dan ini hadiah untukku!” Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan cermatilah, apakah ia menerima hadiah ataukah tidak?” (HR. Bukhari, no. 7174 dan Muslim, no. 1832) Semoga bermanfaat delapan poin yang mesti diperhatikan oleh setiap pekerja, pegawai, hingga pejabat negara yang mengabdi untuk rakyat. Semoga Allah memberkahi setiap rezeki kita.  أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا َوَاسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ إِنَّهُ هُوَ السَمِيْعُ العَلِيْمُ   KHUTBAH KEDUA اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ – Naskah Khutbah Jum’at pada 29 Jumadal Ula 1446 H (29 November  2024) Baca Juga: Pegawai yang Baik: Amanat dan Kapabel Pegawai yang Dikatakan Ikhlas dalam Bekerja @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal-qawiy al-amiin amanah amanah dalam bekerja bekerja dalam Islam bekerja halal bekerja sebagai ibadah doa rezeki berkah etika kerja Islam hadis tentang bekerja kapabilitas pegawai khutbah jumat khutbah pegawai amanah. khutbah rezeki berkah khutbah tentang pekerjaan mencari nafkah halal nafkah keluarga pegawai pegawai amanah pegawai amanat pegawai yang amanah pentingnya amanah rezeki berkah tanggung jawab pekerjaan


Menjalankan pekerjaan dengan penuh amanah dan kompetensi bukan hanya tanggung jawab profesional, tetapi juga bagian dari ibadah yang mendatangkan keberkahan hidup. Khutbah Jumat kali ini mengingatkan kita pentingnya menjadi pegawai yang amanah, kuat dan terpercaya demi meraih rezeki yang berkah dan rida Allah.   Tonton Khutbah Jumat: 8 Poin Menjadi Pegawai yang Amanah   Daftar Isi tutup 1. Tonton Khutbah Jumat: 8 Poin Menjadi Pegawai yang Amanah 2. KHUTBAH PERTAMA 2.1. Pertama: Bekerja itu demi mencari nafkah dan berpahala 2.2. Kedua: Bekerja sebagai bentuk ihsan atau berbuat baik kepada keluarga 2.3. Ketiga: Bekerja itu dengan menunaikan amanah dengan baik 2.4. Keempat: Hindari malas bekerja yang nanti merugikan keluarga 2.5. Kelima: Mencari pekerjaan yang halal dan berkah 2.6. Keenam: Bekerja itu lebih mulia daripada mengemis 2.7. Ketujuh: Menjadi pekerja yang Al-Qawiy Al-Amin 2.8. Kedelapan: Pegawai dan pejabat negara dilarang menerima hadiah yang berkedok suap 3. KHUTBAH KEDUA KHUTBAH PERTAMA الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَي مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الكَرِيْمِ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا فَإِنَّ أَصْدَقَ الحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَأَفْضَلُ الهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ َوكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ Amma ba’du. Jama’ah shalat Jum’at yang semoga selalu diberkahi oleh Allah … Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, yang telah menciptakan manusia dengan tujuan mulia, memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya, dan menunaikan amanah dalam kehidupan sehari-hari. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, suri teladan dalam beribadah, bermuamalah, dan menunaikan amanah. Hadirin jama’ah shalat Jumat yang dirahmati Allah, Kami wasiatkan kepada diri kami dan kepada seluruh hadirin sekalian untuk senantiasa bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Takwa bukan hanya diwujudkan dalam shalat dan ibadah ritual lainnya, tetapi juga dalam menjalankan amanah dan tanggung jawab yang kita emban, termasuk dalam mengemban amanah sebagai pegawai atau pekerja. Tema khutbah kita hari ini, “Pegawai yang Amanah, Rezeki Berkah,” mengingatkan kita akan pentingnya menunaikan amanah sebagai jalan menuju keberkahan hidup dan rida Allah. Berikut delapan poin yang mesti diperhatikan setiap pekerja, pegawai, hingga pejabat negara.   Pertama: Bekerja itu demi mencari nafkah dan berpahala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan keutamaan nafkah keluarga. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ “Satu dinar yang kamu infakkan di jalan Allah, satu dinar yang digunakan untuk membebaskan seorang budak, dan satu dinar yang diberikan kepada orang miskin, tetap yang paling besar pahalanya adalah satu dinar yang kamu belanjakan untuk memenuhi kebutuhan keluargamu.” (HR. Muslim, no. 995). Hal ini menunjukkan bahwa mencari nafkah bukan hanya tugas, melainkan juga ibadah yang mendekatkan kita kepada Allah. Bekerja itu berpahala jika diniatkan karena ibadah, bukan hanya sudah jadi kebiasaan saja.   Kedua: Bekerja sebagai bentuk ihsan atau berbuat baik kepada keluarga Nafkah yang diberikan dengan ikhlas juga merupakan bentuk ihsan (kebaikan) kepada keluarga. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى “Yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi, no. 3895. Al-Hafizh Abu Thahir menilai hadits ini shahih). Hadits ini menunjukkan bahwa perhatian kepada keluarga adalah ciri utama seorang muslim yang baik.   Ketiga: Bekerja itu dengan menunaikan amanah dengan baik Menjalankan pekerjaan dengan sungguh-sungguh adalah penunaian amanah. Allah memerintahkan kita untuk menunaikan amanah kepada yang berhak. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kalian untuk menunaikan amanat kepada yang berhak.” (QS. An Nisaa’: 58) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ “Tunaikanlah amanat pada orang yang memberikan amanat padamu dan janganlah mengkhianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud, no. 3535; Tirmidzi, no. 1264; dan Ahmad 3:414, sahih). Bagi yang menjadi bendahara, memegang amanah, lantas ia bertanggung jawab dengan baik, jika uangnya digunakan dalam jalan kebaikan, ia juga mendapatkan pahala sedekah. Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْخَازِنُ الْمُسْلِمُ الأَمِينُ الَّذِى يُنْفِذُ – وَرُبَّمَا قَالَ يُعْطِى – مَا أُمِرَ بِهِ كَامِلاً مُوَفَّرًا طَيِّبٌ بِهِ نَفْسُهُ ، فَيَدْفَعُهُ إِلَى الَّذِى أُمِرَ لَهُ بِهِ ، أَحَدُ الْمُتَصَدِّقَيْنِ “Bendahara muslim yang diberi amanat ketika memberi sesuai yang diperintahkan untuknya secara sempurna dan berniat baik, lalu ia menyerahkan harta tersebut pada orang yang ia ditunjuk menyerahkannya, maka keduanya (pemilik harta dan bendahara yang amanat tadi) termasuk dalam orang yang bersedekah.” (HR. Bukhari, no. 1438 dan Muslim, no. 1023).   Keempat: Hindari malas bekerja yang nanti merugikan keluarga Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ “Seseorang cukup dikatakn berdosa jika ia melalaikan orang yang ia wajib beri nafkah.” (HR. Abu Daud, no. 1692. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)   Kelima: Mencari pekerjaan yang halal dan berkah Ada sahabat yang pernah bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, أَىُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ “Wahai Rasulullah, mata pencaharian (kasb) apakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (diberkahi).” (HR. Ahmad, 4:141, hasan lighoirihi) Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, وَالقَلِيْلُ مِنَ الحَلاَلِ يُبَارَكُ فِيْهِ وَالحَرَامُ الكَثِيْرُ يَذْهَبُ وَيَمْحَقُهُ اللهُ تَعَالَى “Rezeki halal walau sedikit, itu lebih berkah daripada rezeki haram yang banyak. Rezeki haram itu akan cepat hilang dan Allah akan menghancurkannya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:646)   Keenam: Bekerja itu lebih mulia daripada mengemis Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ “Jika seseorang meminta-minta (mengemis) pada manusia, ia akan datang pada hari kiamat tanpa memiliki sekerat daging di wajahnya.” (HR. Bukhari, no. 1474 dan Muslim, no. 1040) Dari Hubsyi bin Junadah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ “Barang siapa meminta-minta padahal dirinya tidaklah fakir, maka ia seakan-akan memakan bara api.” (HR. Ahmad, 4:165. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lain)   Ketujuh: Menjadi pekerja yang Al-Qawiy Al-Amin Dalam perjalanan, Nabi Musa ‘alaihis salam sampai di negeri Madyan dan bertemu dengan dua orang wanita yang sedang kesulitan memberi minum ternak mereka. Nabi Musa membantu mereka, kemudian salah seorang dari kedua wanita itu menyarankan kepada ayah mereka (yang dalam sebagian tafsir disebut Nabi Syu’aib ‘alaihis salam) untuk mempekerjakan Nabi Musa. Allah Ta’ala berfirman, قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS. Al-Qashshash: 26) Wanita itu memuji Nabi Musa sebagai sosok yang kuat (al-qawiy, punya kompetensi yang baik) dan amanah (al-amin, tanggung jawab), dua sifat yang ia lihat ketika Nabi Musa membantu mereka memberi minum ternak. Kisah ini mengandung pelajaran tentang pentingnya sifat kekuatan dan kejujuran dalam menjalankan tugas atau amanah. Contoh Nyata di Berbagai Profesi Guru: Menguasai materi yang diajarkan (kapabel) dan tidak menyepelekan tugas mendidik murid dengan teladan yang baik (amanah). Pekerja Proyek Konstruksi: Melakukan pekerjaan dengan presisi (kapabel) dan tidak mengurangi kualitas material demi keuntungan pribadi (amanah). Aparatur Negara: Memberikan pelayanan publik dengan profesional (kapabel) dan tidak menerima suap dari masyarakat (amanah).   Kedelapan: Pegawai dan pejabat negara dilarang menerima hadiah yang berkedok suap Penerimaan hadiah yang berkedok suap atau tips bagi pegawai, termasuk pejabat negara, adalah bentuk pengkhianatan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas melarang tindakan ini, karena setiap hadiah yang diperoleh secara tidak sah akan menjadi beban di akhirat kelak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ ، فَيَأْتِى يَقُولُ هَذَا لَكَ وَهَذَا لِى . فَهَلاَّ جَلَسَ فِى بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ ، “Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan, “Ini untukmu dan ini hadiah untukku!” Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan cermatilah, apakah ia menerima hadiah ataukah tidak?” (HR. Bukhari, no. 7174 dan Muslim, no. 1832) Semoga bermanfaat delapan poin yang mesti diperhatikan oleh setiap pekerja, pegawai, hingga pejabat negara yang mengabdi untuk rakyat. Semoga Allah memberkahi setiap rezeki kita.  أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا َوَاسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ إِنَّهُ هُوَ السَمِيْعُ العَلِيْمُ   KHUTBAH KEDUA اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ – Naskah Khutbah Jum’at pada 29 Jumadal Ula 1446 H (29 November  2024) Baca Juga: Pegawai yang Baik: Amanat dan Kapabel Pegawai yang Dikatakan Ikhlas dalam Bekerja @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal-qawiy al-amiin amanah amanah dalam bekerja bekerja dalam Islam bekerja halal bekerja sebagai ibadah doa rezeki berkah etika kerja Islam hadis tentang bekerja kapabilitas pegawai khutbah jumat khutbah pegawai amanah. khutbah rezeki berkah khutbah tentang pekerjaan mencari nafkah halal nafkah keluarga pegawai pegawai amanah pegawai amanat pegawai yang amanah pentingnya amanah rezeki berkah tanggung jawab pekerjaan

Apakah Menutup Kepala Saat Shalat dan Keluar Rumah Termasuk Sunnah?

Menutup kepala adalah bagian dari tradisi berpakaian yang berbeda di setiap masyarakat. Artikel ini membahas apakah menutup kepala saat shalat atau keluar rumah termasuk sunnah berdasarkan dalil-dalil yang sahih, kebiasaan Nabi Muhammad ﷺ, dan pandangan ulama. Temukan penjelasannya untuk memahami hukum dan konteksnya dalam Islam. Berikut adalah fatwa yang kami terjemahkan dari aliftaa.jo.   Pertanyaan: Apakah disunnahkan menutup kepala saat shalat atau ketika keluar rumah? Jawaban: Tidak terdapat dalil yang sahih yang menetapkan sunnahnya menutup kepala—baik saat shalat maupun ketika keluar rumah. Namun, menutup kepala dianggap sebagai perhiasan (bagian dari tata krama berpakaian) di sebagian negara dan masyarakat, bahkan masih berlaku demikian hingga saat ini. Dalam sejarah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diketahui mengenakan sorban dan berhias dengannya. Jika menutup kepala dianggap sebagai perhiasan dan kebiasaan yang baik di suatu daerah, maka mengenakannya saat keluar rumah—terutama untuk shalat di masjid—, hukumnya sunnah menurut syariat. Hal ini sesuai dengan perintah Allah kepada hamba-Nya untuk berhias ketika mendatangi masjid, sebagaimana firman Allah Ta’ala, يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ خُذُوا۟ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ “Wahai anak-anak Adam, pakailah pakaian kalian yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (QS. Al-A’raf: 31). Dengan demikian, hukum menutup kepala bergantung pada adat istiadat dan cara berpakaian masyarakat setempat. Jika di suatu daerah atau pada zaman tertentu menutup kepala bagi pria dianggap sebagai bentuk perhiasan, maka dianjurkan untuk melakukannya. Namun, jika hal tersebut tidak lagi dianggap sebagai bentuk perhiasan, maka tetap kembali pada hukum asalnya, yaitu mubah. Tidak ada sunnah khusus dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait hal ini yang memberikan pahala tertentu. Adapun kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenakan sorban dan membawa tongkat merupakan tindakan kebiasaan yang mengikuti tradisi Arab pada masa itu. Tindakan ini bukanlah bentuk ibadah yang menunjukkan kesunnahan atau patut dijadikan teladan secara hukum syari. Imam Asy-Syathibi rahimahullah dalam kitabnya Al-Muwafaqat (2:489) mengatakan, “Kebiasaan yang berlaku terbagi menjadi dua jenis: Pertama, kebiasaan syar’i yang ditetapkan atau ditiadakan oleh dalil syar’i. Kedua, kebiasaan yang berlaku di antara manusia tanpa ada dalil syar’i yang menetapkan atau meniadakannya… Di antaranya adalah hal yang berubah dalam kebiasaan, dari baik menjadi buruk atau sebaliknya, seperti menutup kepala. Dalam praktiknya, hal ini berbeda sesuai wilayah. Di negara-negara Timur, membuka kepala dianggap buruk bagi orang yang bermartabat, sedangkan di negara-negara Barat, hal ini tidak dianggap buruk. Oleh karena itu, hukum syari berbeda sesuai dengan perbedaan tersebut. Di negara Timur, membuka kepala dianggap mencederai kehormatan, sementara di negara Barat tidak demikian.” Sebagian ulama fikih menyebutkan kesunnahan menutup kepala saat shalat secara mutlak. Sebagaimana disebutkan dalam Hasyiyah I’anah Ath-Thalibin (1/226) dari mazhab Syafi’i, كُرِهَ كَشْفُ رَأْسٍ؛ لِأَنَّ السُّنَّةَ التَّجَمُّلَ فِي صَلَاتِهِ بِتَغْطِيَةِ رَأْسِهِ وَبَدَنِهِ “Dimakruhkan membuka kepala, karena sunnahnya adalah berhias dalam shalat dengan menutup kepala dan tubuh.” Namun, pendapat yang kami sampaikan di awal, berdasarkan pandangan Asy-Syathibi rahimahullah, lebih sesuai dengan perubahan zaman dan tempat. Hanya Allah Ta’ala yang Maha Mengetahui. Fatwa secara lengkap kami lampirkan berikut ini. السؤال: هل يسن تغطية الرأس في الصلاة أو عند الخروج من البيت؟ الجواب: لم يثبت استحباب تغطية الرأس ـ في الصلاة أو عند الخروج من المنزل ـ في الأحاديث الصحيحة، ولكن كانت تغطية الرأس زينة في بعض البلاد والمجتمعات، وما زالت كذلك، وقد ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم لبس العمامة وتزين بها. فإن كانت تغطية الرأس زينة وعادة مستحبة في بلد، كان لبسها عند الخروج – وخاصة للصلاة في المسجد – مستحبا شرعا؛ لأمر الله تعالى عباده بأخذ الزينة عند الذهاب للصلاة، قال تعالى: (يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ) الأعراف/31. فالحكم يرجع إلى اختلاف عادات الناس وطريقة لباسهم؛ فإذا كان أهل بلد أو أهل زمان يعدون تغطية الرأس للرجال زينة صار المستحب فعل ذلك، وإلا بقي على حكم الإباحة الأصلية، فليس فيه سنة خاصة عن النبي صلى الله عليه وسلم يترتب عليها أجر خاص. وأما لبس النبي صلى الله عليه وسلم العمامة وحمله العصا فهو فعل عادي وقع على عادة العرب ذلك الزمن، وليس فعلا تشريعيا يدل على الاستحباب ولا يتأسى به الناس. يقول الإمام الشاطبي رحمه الله في كتابه “الموافقات” (2/ 489): “العوائد المستمرة ضربان: أحدهما: العوائد الشرعية التي أقرها الدليل الشرعي أو نفاها…، والضرب الثاني: هي العوائد الجارية بين الخلق بما ليس في نفيه ولا إثباته دليل شرعي…ومنها: ما يكون متبدلا في العادة من حسن إلى قبح، وبالعكس، مثل كشف الرأس، فإنه يختلف بحسب البقاع في الواقع، فهو لذوي المروءات قبيح في البلاد المشرقية، وغير قبيح في البلاد المغربية، فالحكم الشرعي يختلف باختلاف ذلك، فيكون عند أهل المشرق قادحا في العدالة، وعند أهل المغرب غير قادح”. وقد ذكر بعض الفقهاء استحباب ستر الرأس في الصلاة مطلقا، كما جاء في “حاشية إعانة الطالبين” (1/ 226) من كتب الشافعية: “كره كشف رأس؛ لأن السنة التجمل في صلاته بتغطية رأسه وبدنه”. ولكن ما ذكرناه أولا عن الشاطبي رحمه الله أوفق وأنسب لتغير الزمان والمكان. والله تعالى أعلم. Kesimpulan Rumaysho.Com: Hukum menutup kepala saat shalat atau keluar rumah bergantung pada adat istiadat setempat. Tidak ada sunnah khusus yang mewajibkan atau memberikan pahala khusus untuk menutup kepala. Namun, kami sendiri lebih memilih memakai penutup kepala saat shalat dan menganggap tidak memakainya dihukumi makruh sebagaimana pendapat ulama Syafiiyah.   –   Ditulis pada Senin pagi, 23 Jumadal Ula 1446 H, 25 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berpakaian adab pakaian cara shalat menutup aurat menutup kepala pakaian pakaian shalat

Apakah Menutup Kepala Saat Shalat dan Keluar Rumah Termasuk Sunnah?

Menutup kepala adalah bagian dari tradisi berpakaian yang berbeda di setiap masyarakat. Artikel ini membahas apakah menutup kepala saat shalat atau keluar rumah termasuk sunnah berdasarkan dalil-dalil yang sahih, kebiasaan Nabi Muhammad ﷺ, dan pandangan ulama. Temukan penjelasannya untuk memahami hukum dan konteksnya dalam Islam. Berikut adalah fatwa yang kami terjemahkan dari aliftaa.jo.   Pertanyaan: Apakah disunnahkan menutup kepala saat shalat atau ketika keluar rumah? Jawaban: Tidak terdapat dalil yang sahih yang menetapkan sunnahnya menutup kepala—baik saat shalat maupun ketika keluar rumah. Namun, menutup kepala dianggap sebagai perhiasan (bagian dari tata krama berpakaian) di sebagian negara dan masyarakat, bahkan masih berlaku demikian hingga saat ini. Dalam sejarah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diketahui mengenakan sorban dan berhias dengannya. Jika menutup kepala dianggap sebagai perhiasan dan kebiasaan yang baik di suatu daerah, maka mengenakannya saat keluar rumah—terutama untuk shalat di masjid—, hukumnya sunnah menurut syariat. Hal ini sesuai dengan perintah Allah kepada hamba-Nya untuk berhias ketika mendatangi masjid, sebagaimana firman Allah Ta’ala, يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ خُذُوا۟ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ “Wahai anak-anak Adam, pakailah pakaian kalian yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (QS. Al-A’raf: 31). Dengan demikian, hukum menutup kepala bergantung pada adat istiadat dan cara berpakaian masyarakat setempat. Jika di suatu daerah atau pada zaman tertentu menutup kepala bagi pria dianggap sebagai bentuk perhiasan, maka dianjurkan untuk melakukannya. Namun, jika hal tersebut tidak lagi dianggap sebagai bentuk perhiasan, maka tetap kembali pada hukum asalnya, yaitu mubah. Tidak ada sunnah khusus dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait hal ini yang memberikan pahala tertentu. Adapun kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenakan sorban dan membawa tongkat merupakan tindakan kebiasaan yang mengikuti tradisi Arab pada masa itu. Tindakan ini bukanlah bentuk ibadah yang menunjukkan kesunnahan atau patut dijadikan teladan secara hukum syari. Imam Asy-Syathibi rahimahullah dalam kitabnya Al-Muwafaqat (2:489) mengatakan, “Kebiasaan yang berlaku terbagi menjadi dua jenis: Pertama, kebiasaan syar’i yang ditetapkan atau ditiadakan oleh dalil syar’i. Kedua, kebiasaan yang berlaku di antara manusia tanpa ada dalil syar’i yang menetapkan atau meniadakannya… Di antaranya adalah hal yang berubah dalam kebiasaan, dari baik menjadi buruk atau sebaliknya, seperti menutup kepala. Dalam praktiknya, hal ini berbeda sesuai wilayah. Di negara-negara Timur, membuka kepala dianggap buruk bagi orang yang bermartabat, sedangkan di negara-negara Barat, hal ini tidak dianggap buruk. Oleh karena itu, hukum syari berbeda sesuai dengan perbedaan tersebut. Di negara Timur, membuka kepala dianggap mencederai kehormatan, sementara di negara Barat tidak demikian.” Sebagian ulama fikih menyebutkan kesunnahan menutup kepala saat shalat secara mutlak. Sebagaimana disebutkan dalam Hasyiyah I’anah Ath-Thalibin (1/226) dari mazhab Syafi’i, كُرِهَ كَشْفُ رَأْسٍ؛ لِأَنَّ السُّنَّةَ التَّجَمُّلَ فِي صَلَاتِهِ بِتَغْطِيَةِ رَأْسِهِ وَبَدَنِهِ “Dimakruhkan membuka kepala, karena sunnahnya adalah berhias dalam shalat dengan menutup kepala dan tubuh.” Namun, pendapat yang kami sampaikan di awal, berdasarkan pandangan Asy-Syathibi rahimahullah, lebih sesuai dengan perubahan zaman dan tempat. Hanya Allah Ta’ala yang Maha Mengetahui. Fatwa secara lengkap kami lampirkan berikut ini. السؤال: هل يسن تغطية الرأس في الصلاة أو عند الخروج من البيت؟ الجواب: لم يثبت استحباب تغطية الرأس ـ في الصلاة أو عند الخروج من المنزل ـ في الأحاديث الصحيحة، ولكن كانت تغطية الرأس زينة في بعض البلاد والمجتمعات، وما زالت كذلك، وقد ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم لبس العمامة وتزين بها. فإن كانت تغطية الرأس زينة وعادة مستحبة في بلد، كان لبسها عند الخروج – وخاصة للصلاة في المسجد – مستحبا شرعا؛ لأمر الله تعالى عباده بأخذ الزينة عند الذهاب للصلاة، قال تعالى: (يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ) الأعراف/31. فالحكم يرجع إلى اختلاف عادات الناس وطريقة لباسهم؛ فإذا كان أهل بلد أو أهل زمان يعدون تغطية الرأس للرجال زينة صار المستحب فعل ذلك، وإلا بقي على حكم الإباحة الأصلية، فليس فيه سنة خاصة عن النبي صلى الله عليه وسلم يترتب عليها أجر خاص. وأما لبس النبي صلى الله عليه وسلم العمامة وحمله العصا فهو فعل عادي وقع على عادة العرب ذلك الزمن، وليس فعلا تشريعيا يدل على الاستحباب ولا يتأسى به الناس. يقول الإمام الشاطبي رحمه الله في كتابه “الموافقات” (2/ 489): “العوائد المستمرة ضربان: أحدهما: العوائد الشرعية التي أقرها الدليل الشرعي أو نفاها…، والضرب الثاني: هي العوائد الجارية بين الخلق بما ليس في نفيه ولا إثباته دليل شرعي…ومنها: ما يكون متبدلا في العادة من حسن إلى قبح، وبالعكس، مثل كشف الرأس، فإنه يختلف بحسب البقاع في الواقع، فهو لذوي المروءات قبيح في البلاد المشرقية، وغير قبيح في البلاد المغربية، فالحكم الشرعي يختلف باختلاف ذلك، فيكون عند أهل المشرق قادحا في العدالة، وعند أهل المغرب غير قادح”. وقد ذكر بعض الفقهاء استحباب ستر الرأس في الصلاة مطلقا، كما جاء في “حاشية إعانة الطالبين” (1/ 226) من كتب الشافعية: “كره كشف رأس؛ لأن السنة التجمل في صلاته بتغطية رأسه وبدنه”. ولكن ما ذكرناه أولا عن الشاطبي رحمه الله أوفق وأنسب لتغير الزمان والمكان. والله تعالى أعلم. Kesimpulan Rumaysho.Com: Hukum menutup kepala saat shalat atau keluar rumah bergantung pada adat istiadat setempat. Tidak ada sunnah khusus yang mewajibkan atau memberikan pahala khusus untuk menutup kepala. Namun, kami sendiri lebih memilih memakai penutup kepala saat shalat dan menganggap tidak memakainya dihukumi makruh sebagaimana pendapat ulama Syafiiyah.   –   Ditulis pada Senin pagi, 23 Jumadal Ula 1446 H, 25 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berpakaian adab pakaian cara shalat menutup aurat menutup kepala pakaian pakaian shalat
Menutup kepala adalah bagian dari tradisi berpakaian yang berbeda di setiap masyarakat. Artikel ini membahas apakah menutup kepala saat shalat atau keluar rumah termasuk sunnah berdasarkan dalil-dalil yang sahih, kebiasaan Nabi Muhammad ﷺ, dan pandangan ulama. Temukan penjelasannya untuk memahami hukum dan konteksnya dalam Islam. Berikut adalah fatwa yang kami terjemahkan dari aliftaa.jo.   Pertanyaan: Apakah disunnahkan menutup kepala saat shalat atau ketika keluar rumah? Jawaban: Tidak terdapat dalil yang sahih yang menetapkan sunnahnya menutup kepala—baik saat shalat maupun ketika keluar rumah. Namun, menutup kepala dianggap sebagai perhiasan (bagian dari tata krama berpakaian) di sebagian negara dan masyarakat, bahkan masih berlaku demikian hingga saat ini. Dalam sejarah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diketahui mengenakan sorban dan berhias dengannya. Jika menutup kepala dianggap sebagai perhiasan dan kebiasaan yang baik di suatu daerah, maka mengenakannya saat keluar rumah—terutama untuk shalat di masjid—, hukumnya sunnah menurut syariat. Hal ini sesuai dengan perintah Allah kepada hamba-Nya untuk berhias ketika mendatangi masjid, sebagaimana firman Allah Ta’ala, يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ خُذُوا۟ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ “Wahai anak-anak Adam, pakailah pakaian kalian yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (QS. Al-A’raf: 31). Dengan demikian, hukum menutup kepala bergantung pada adat istiadat dan cara berpakaian masyarakat setempat. Jika di suatu daerah atau pada zaman tertentu menutup kepala bagi pria dianggap sebagai bentuk perhiasan, maka dianjurkan untuk melakukannya. Namun, jika hal tersebut tidak lagi dianggap sebagai bentuk perhiasan, maka tetap kembali pada hukum asalnya, yaitu mubah. Tidak ada sunnah khusus dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait hal ini yang memberikan pahala tertentu. Adapun kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenakan sorban dan membawa tongkat merupakan tindakan kebiasaan yang mengikuti tradisi Arab pada masa itu. Tindakan ini bukanlah bentuk ibadah yang menunjukkan kesunnahan atau patut dijadikan teladan secara hukum syari. Imam Asy-Syathibi rahimahullah dalam kitabnya Al-Muwafaqat (2:489) mengatakan, “Kebiasaan yang berlaku terbagi menjadi dua jenis: Pertama, kebiasaan syar’i yang ditetapkan atau ditiadakan oleh dalil syar’i. Kedua, kebiasaan yang berlaku di antara manusia tanpa ada dalil syar’i yang menetapkan atau meniadakannya… Di antaranya adalah hal yang berubah dalam kebiasaan, dari baik menjadi buruk atau sebaliknya, seperti menutup kepala. Dalam praktiknya, hal ini berbeda sesuai wilayah. Di negara-negara Timur, membuka kepala dianggap buruk bagi orang yang bermartabat, sedangkan di negara-negara Barat, hal ini tidak dianggap buruk. Oleh karena itu, hukum syari berbeda sesuai dengan perbedaan tersebut. Di negara Timur, membuka kepala dianggap mencederai kehormatan, sementara di negara Barat tidak demikian.” Sebagian ulama fikih menyebutkan kesunnahan menutup kepala saat shalat secara mutlak. Sebagaimana disebutkan dalam Hasyiyah I’anah Ath-Thalibin (1/226) dari mazhab Syafi’i, كُرِهَ كَشْفُ رَأْسٍ؛ لِأَنَّ السُّنَّةَ التَّجَمُّلَ فِي صَلَاتِهِ بِتَغْطِيَةِ رَأْسِهِ وَبَدَنِهِ “Dimakruhkan membuka kepala, karena sunnahnya adalah berhias dalam shalat dengan menutup kepala dan tubuh.” Namun, pendapat yang kami sampaikan di awal, berdasarkan pandangan Asy-Syathibi rahimahullah, lebih sesuai dengan perubahan zaman dan tempat. Hanya Allah Ta’ala yang Maha Mengetahui. Fatwa secara lengkap kami lampirkan berikut ini. السؤال: هل يسن تغطية الرأس في الصلاة أو عند الخروج من البيت؟ الجواب: لم يثبت استحباب تغطية الرأس ـ في الصلاة أو عند الخروج من المنزل ـ في الأحاديث الصحيحة، ولكن كانت تغطية الرأس زينة في بعض البلاد والمجتمعات، وما زالت كذلك، وقد ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم لبس العمامة وتزين بها. فإن كانت تغطية الرأس زينة وعادة مستحبة في بلد، كان لبسها عند الخروج – وخاصة للصلاة في المسجد – مستحبا شرعا؛ لأمر الله تعالى عباده بأخذ الزينة عند الذهاب للصلاة، قال تعالى: (يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ) الأعراف/31. فالحكم يرجع إلى اختلاف عادات الناس وطريقة لباسهم؛ فإذا كان أهل بلد أو أهل زمان يعدون تغطية الرأس للرجال زينة صار المستحب فعل ذلك، وإلا بقي على حكم الإباحة الأصلية، فليس فيه سنة خاصة عن النبي صلى الله عليه وسلم يترتب عليها أجر خاص. وأما لبس النبي صلى الله عليه وسلم العمامة وحمله العصا فهو فعل عادي وقع على عادة العرب ذلك الزمن، وليس فعلا تشريعيا يدل على الاستحباب ولا يتأسى به الناس. يقول الإمام الشاطبي رحمه الله في كتابه “الموافقات” (2/ 489): “العوائد المستمرة ضربان: أحدهما: العوائد الشرعية التي أقرها الدليل الشرعي أو نفاها…، والضرب الثاني: هي العوائد الجارية بين الخلق بما ليس في نفيه ولا إثباته دليل شرعي…ومنها: ما يكون متبدلا في العادة من حسن إلى قبح، وبالعكس، مثل كشف الرأس، فإنه يختلف بحسب البقاع في الواقع، فهو لذوي المروءات قبيح في البلاد المشرقية، وغير قبيح في البلاد المغربية، فالحكم الشرعي يختلف باختلاف ذلك، فيكون عند أهل المشرق قادحا في العدالة، وعند أهل المغرب غير قادح”. وقد ذكر بعض الفقهاء استحباب ستر الرأس في الصلاة مطلقا، كما جاء في “حاشية إعانة الطالبين” (1/ 226) من كتب الشافعية: “كره كشف رأس؛ لأن السنة التجمل في صلاته بتغطية رأسه وبدنه”. ولكن ما ذكرناه أولا عن الشاطبي رحمه الله أوفق وأنسب لتغير الزمان والمكان. والله تعالى أعلم. Kesimpulan Rumaysho.Com: Hukum menutup kepala saat shalat atau keluar rumah bergantung pada adat istiadat setempat. Tidak ada sunnah khusus yang mewajibkan atau memberikan pahala khusus untuk menutup kepala. Namun, kami sendiri lebih memilih memakai penutup kepala saat shalat dan menganggap tidak memakainya dihukumi makruh sebagaimana pendapat ulama Syafiiyah.   –   Ditulis pada Senin pagi, 23 Jumadal Ula 1446 H, 25 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berpakaian adab pakaian cara shalat menutup aurat menutup kepala pakaian pakaian shalat


Menutup kepala adalah bagian dari tradisi berpakaian yang berbeda di setiap masyarakat. Artikel ini membahas apakah menutup kepala saat shalat atau keluar rumah termasuk sunnah berdasarkan dalil-dalil yang sahih, kebiasaan Nabi Muhammad ﷺ, dan pandangan ulama. Temukan penjelasannya untuk memahami hukum dan konteksnya dalam Islam. Berikut adalah fatwa yang kami terjemahkan dari aliftaa.jo.   Pertanyaan: Apakah disunnahkan menutup kepala saat shalat atau ketika keluar rumah? Jawaban: Tidak terdapat dalil yang sahih yang menetapkan sunnahnya menutup kepala—baik saat shalat maupun ketika keluar rumah. Namun, menutup kepala dianggap sebagai perhiasan (bagian dari tata krama berpakaian) di sebagian negara dan masyarakat, bahkan masih berlaku demikian hingga saat ini. Dalam sejarah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diketahui mengenakan sorban dan berhias dengannya. Jika menutup kepala dianggap sebagai perhiasan dan kebiasaan yang baik di suatu daerah, maka mengenakannya saat keluar rumah—terutama untuk shalat di masjid—, hukumnya sunnah menurut syariat. Hal ini sesuai dengan perintah Allah kepada hamba-Nya untuk berhias ketika mendatangi masjid, sebagaimana firman Allah Ta’ala, يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ خُذُوا۟ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ “Wahai anak-anak Adam, pakailah pakaian kalian yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (QS. Al-A’raf: 31). Dengan demikian, hukum menutup kepala bergantung pada adat istiadat dan cara berpakaian masyarakat setempat. Jika di suatu daerah atau pada zaman tertentu menutup kepala bagi pria dianggap sebagai bentuk perhiasan, maka dianjurkan untuk melakukannya. Namun, jika hal tersebut tidak lagi dianggap sebagai bentuk perhiasan, maka tetap kembali pada hukum asalnya, yaitu mubah. Tidak ada sunnah khusus dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait hal ini yang memberikan pahala tertentu. Adapun kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenakan sorban dan membawa tongkat merupakan tindakan kebiasaan yang mengikuti tradisi Arab pada masa itu. Tindakan ini bukanlah bentuk ibadah yang menunjukkan kesunnahan atau patut dijadikan teladan secara hukum syari. Imam Asy-Syathibi rahimahullah dalam kitabnya Al-Muwafaqat (2:489) mengatakan, “Kebiasaan yang berlaku terbagi menjadi dua jenis: Pertama, kebiasaan syar’i yang ditetapkan atau ditiadakan oleh dalil syar’i. Kedua, kebiasaan yang berlaku di antara manusia tanpa ada dalil syar’i yang menetapkan atau meniadakannya… Di antaranya adalah hal yang berubah dalam kebiasaan, dari baik menjadi buruk atau sebaliknya, seperti menutup kepala. Dalam praktiknya, hal ini berbeda sesuai wilayah. Di negara-negara Timur, membuka kepala dianggap buruk bagi orang yang bermartabat, sedangkan di negara-negara Barat, hal ini tidak dianggap buruk. Oleh karena itu, hukum syari berbeda sesuai dengan perbedaan tersebut. Di negara Timur, membuka kepala dianggap mencederai kehormatan, sementara di negara Barat tidak demikian.” Sebagian ulama fikih menyebutkan kesunnahan menutup kepala saat shalat secara mutlak. Sebagaimana disebutkan dalam Hasyiyah I’anah Ath-Thalibin (1/226) dari mazhab Syafi’i, كُرِهَ كَشْفُ رَأْسٍ؛ لِأَنَّ السُّنَّةَ التَّجَمُّلَ فِي صَلَاتِهِ بِتَغْطِيَةِ رَأْسِهِ وَبَدَنِهِ “Dimakruhkan membuka kepala, karena sunnahnya adalah berhias dalam shalat dengan menutup kepala dan tubuh.” Namun, pendapat yang kami sampaikan di awal, berdasarkan pandangan Asy-Syathibi rahimahullah, lebih sesuai dengan perubahan zaman dan tempat. Hanya Allah Ta’ala yang Maha Mengetahui. Fatwa secara lengkap kami lampirkan berikut ini. السؤال: هل يسن تغطية الرأس في الصلاة أو عند الخروج من البيت؟ الجواب: لم يثبت استحباب تغطية الرأس ـ في الصلاة أو عند الخروج من المنزل ـ في الأحاديث الصحيحة، ولكن كانت تغطية الرأس زينة في بعض البلاد والمجتمعات، وما زالت كذلك، وقد ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم لبس العمامة وتزين بها. فإن كانت تغطية الرأس زينة وعادة مستحبة في بلد، كان لبسها عند الخروج – وخاصة للصلاة في المسجد – مستحبا شرعا؛ لأمر الله تعالى عباده بأخذ الزينة عند الذهاب للصلاة، قال تعالى: (يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ) الأعراف/31. فالحكم يرجع إلى اختلاف عادات الناس وطريقة لباسهم؛ فإذا كان أهل بلد أو أهل زمان يعدون تغطية الرأس للرجال زينة صار المستحب فعل ذلك، وإلا بقي على حكم الإباحة الأصلية، فليس فيه سنة خاصة عن النبي صلى الله عليه وسلم يترتب عليها أجر خاص. وأما لبس النبي صلى الله عليه وسلم العمامة وحمله العصا فهو فعل عادي وقع على عادة العرب ذلك الزمن، وليس فعلا تشريعيا يدل على الاستحباب ولا يتأسى به الناس. يقول الإمام الشاطبي رحمه الله في كتابه “الموافقات” (2/ 489): “العوائد المستمرة ضربان: أحدهما: العوائد الشرعية التي أقرها الدليل الشرعي أو نفاها…، والضرب الثاني: هي العوائد الجارية بين الخلق بما ليس في نفيه ولا إثباته دليل شرعي…ومنها: ما يكون متبدلا في العادة من حسن إلى قبح، وبالعكس، مثل كشف الرأس، فإنه يختلف بحسب البقاع في الواقع، فهو لذوي المروءات قبيح في البلاد المشرقية، وغير قبيح في البلاد المغربية، فالحكم الشرعي يختلف باختلاف ذلك، فيكون عند أهل المشرق قادحا في العدالة، وعند أهل المغرب غير قادح”. وقد ذكر بعض الفقهاء استحباب ستر الرأس في الصلاة مطلقا، كما جاء في “حاشية إعانة الطالبين” (1/ 226) من كتب الشافعية: “كره كشف رأس؛ لأن السنة التجمل في صلاته بتغطية رأسه وبدنه”. ولكن ما ذكرناه أولا عن الشاطبي رحمه الله أوفق وأنسب لتغير الزمان والمكان. والله تعالى أعلم. Kesimpulan Rumaysho.Com: Hukum menutup kepala saat shalat atau keluar rumah bergantung pada adat istiadat setempat. Tidak ada sunnah khusus yang mewajibkan atau memberikan pahala khusus untuk menutup kepala. Namun, kami sendiri lebih memilih memakai penutup kepala saat shalat dan menganggap tidak memakainya dihukumi makruh sebagaimana pendapat ulama Syafiiyah.   –   Ditulis pada Senin pagi, 23 Jumadal Ula 1446 H, 25 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berpakaian adab pakaian cara shalat menutup aurat menutup kepala pakaian pakaian shalat

Apakah Wajib Menyambung Silaturahim dengan Sepupu? – Syaikh Sa’ad asy-Syatstri #NasehatUlama

Pertanyaan: Wahai Syaikh! Abu Abid bertanya tentang hukum menyambung silaturahmi dengan para sepupu dari jalur ayah dan ibu. Apakah itu wajib, atau sekadar silaturahmi yang sunah? Jawaban: Allah Ta’ala berfirman, “…dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah Maha Mengawasi kalian.” (QS. an-Nisa: 1). Allah Ta’ala juga berfirman, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua dan karib kerabat…” (QS. an-Nisa: 36). Dalam banyak ayat, Allah Jalla wa ‘Ala memerintahkan untuk menyambung silaturahmi dengan para kerabat. Adapun sepupu, meskipun jauh tetaplah termasuk kerabat. Namun, menyambung silaturahmi dengan kerabat tergantung tingkat kedekatan mereka. Kerabat dekat harus kamu beri nafkah, kerabat jauh harus kamu bantu, dan kerabat yang lebih jauh lagi harus kamu hibur, dan lain sebagainya. Jadi, setiap tingkatan ada hukumnya sendiri. Dengan demikian, para sepupu termasuk kerabat dekat, maka seseorang harus mendekatkan diri kepada Allah dengan mencukupi kebutuhan mereka dan menjadikan mereka berada pada keadaan yang terbaik. ==== أَبُو عَابِدٍ شَيْخَنَا يَسْأَلُ عَنْ صِلَةِ أَبْنَاءِ الْأَعْمَامِ وَأَبْنَاءِ الْأَخْوَالِ هَلْ هِيَ وَاجِبَةٌ أَوْ أَنَّهَا صِلَةٌ مُسْتَحَبَّةٌ؟ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا وَقَالَ تَعَالَى وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى فِي نُصُوصٍ كَثِيرَةٍ يَأْمُرُ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا بِهَا بِصِلَةِ ذَوِي الْقُرْبَى وَابْنُ الْعَمِّ حَتَّى وَلَوْ بَعُدَ مِنْ ذَوِي الْقُرْبَى وَلَكِنْ تَخْتَلِفُ صِلَةُ ذَوِي الْقُرْبَى بِحَسَبِ دَرَجَاتِ قُرْبِهِمْ فَالْقَرِيْبُ تُنْفِقُ عَلَيْهِ بَعِيدٌ تُشَارِكُهُ وَمَنْ كَانَ أَبْعَدَ تُسَلِّيْهِ وَنَحْوُ ذَلِكَ فَلِكُلٍّ حُكْمُهُ بِالتَّالِي أَبْنَاءُ الْعَمِّ يُعْتَبَرُونَ مِنْ ذَوِي الْأَرْحَامِ مِنَ الْأَرْحَامِ وَعَلَى الْإِنْسَانِ أَنْ يَتَقَرَّبَ إِلَى اللَّهِ بِتَفَقُّدِ حَوَائِجِهِمْ وَبِجَعْلِهِمْ يُسِيرُونَ عَلَى أَفْضَلِ الْأَحْوَالِ وَأَحْسَنِهَا

Apakah Wajib Menyambung Silaturahim dengan Sepupu? – Syaikh Sa’ad asy-Syatstri #NasehatUlama

Pertanyaan: Wahai Syaikh! Abu Abid bertanya tentang hukum menyambung silaturahmi dengan para sepupu dari jalur ayah dan ibu. Apakah itu wajib, atau sekadar silaturahmi yang sunah? Jawaban: Allah Ta’ala berfirman, “…dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah Maha Mengawasi kalian.” (QS. an-Nisa: 1). Allah Ta’ala juga berfirman, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua dan karib kerabat…” (QS. an-Nisa: 36). Dalam banyak ayat, Allah Jalla wa ‘Ala memerintahkan untuk menyambung silaturahmi dengan para kerabat. Adapun sepupu, meskipun jauh tetaplah termasuk kerabat. Namun, menyambung silaturahmi dengan kerabat tergantung tingkat kedekatan mereka. Kerabat dekat harus kamu beri nafkah, kerabat jauh harus kamu bantu, dan kerabat yang lebih jauh lagi harus kamu hibur, dan lain sebagainya. Jadi, setiap tingkatan ada hukumnya sendiri. Dengan demikian, para sepupu termasuk kerabat dekat, maka seseorang harus mendekatkan diri kepada Allah dengan mencukupi kebutuhan mereka dan menjadikan mereka berada pada keadaan yang terbaik. ==== أَبُو عَابِدٍ شَيْخَنَا يَسْأَلُ عَنْ صِلَةِ أَبْنَاءِ الْأَعْمَامِ وَأَبْنَاءِ الْأَخْوَالِ هَلْ هِيَ وَاجِبَةٌ أَوْ أَنَّهَا صِلَةٌ مُسْتَحَبَّةٌ؟ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا وَقَالَ تَعَالَى وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى فِي نُصُوصٍ كَثِيرَةٍ يَأْمُرُ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا بِهَا بِصِلَةِ ذَوِي الْقُرْبَى وَابْنُ الْعَمِّ حَتَّى وَلَوْ بَعُدَ مِنْ ذَوِي الْقُرْبَى وَلَكِنْ تَخْتَلِفُ صِلَةُ ذَوِي الْقُرْبَى بِحَسَبِ دَرَجَاتِ قُرْبِهِمْ فَالْقَرِيْبُ تُنْفِقُ عَلَيْهِ بَعِيدٌ تُشَارِكُهُ وَمَنْ كَانَ أَبْعَدَ تُسَلِّيْهِ وَنَحْوُ ذَلِكَ فَلِكُلٍّ حُكْمُهُ بِالتَّالِي أَبْنَاءُ الْعَمِّ يُعْتَبَرُونَ مِنْ ذَوِي الْأَرْحَامِ مِنَ الْأَرْحَامِ وَعَلَى الْإِنْسَانِ أَنْ يَتَقَرَّبَ إِلَى اللَّهِ بِتَفَقُّدِ حَوَائِجِهِمْ وَبِجَعْلِهِمْ يُسِيرُونَ عَلَى أَفْضَلِ الْأَحْوَالِ وَأَحْسَنِهَا
Pertanyaan: Wahai Syaikh! Abu Abid bertanya tentang hukum menyambung silaturahmi dengan para sepupu dari jalur ayah dan ibu. Apakah itu wajib, atau sekadar silaturahmi yang sunah? Jawaban: Allah Ta’ala berfirman, “…dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah Maha Mengawasi kalian.” (QS. an-Nisa: 1). Allah Ta’ala juga berfirman, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua dan karib kerabat…” (QS. an-Nisa: 36). Dalam banyak ayat, Allah Jalla wa ‘Ala memerintahkan untuk menyambung silaturahmi dengan para kerabat. Adapun sepupu, meskipun jauh tetaplah termasuk kerabat. Namun, menyambung silaturahmi dengan kerabat tergantung tingkat kedekatan mereka. Kerabat dekat harus kamu beri nafkah, kerabat jauh harus kamu bantu, dan kerabat yang lebih jauh lagi harus kamu hibur, dan lain sebagainya. Jadi, setiap tingkatan ada hukumnya sendiri. Dengan demikian, para sepupu termasuk kerabat dekat, maka seseorang harus mendekatkan diri kepada Allah dengan mencukupi kebutuhan mereka dan menjadikan mereka berada pada keadaan yang terbaik. ==== أَبُو عَابِدٍ شَيْخَنَا يَسْأَلُ عَنْ صِلَةِ أَبْنَاءِ الْأَعْمَامِ وَأَبْنَاءِ الْأَخْوَالِ هَلْ هِيَ وَاجِبَةٌ أَوْ أَنَّهَا صِلَةٌ مُسْتَحَبَّةٌ؟ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا وَقَالَ تَعَالَى وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى فِي نُصُوصٍ كَثِيرَةٍ يَأْمُرُ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا بِهَا بِصِلَةِ ذَوِي الْقُرْبَى وَابْنُ الْعَمِّ حَتَّى وَلَوْ بَعُدَ مِنْ ذَوِي الْقُرْبَى وَلَكِنْ تَخْتَلِفُ صِلَةُ ذَوِي الْقُرْبَى بِحَسَبِ دَرَجَاتِ قُرْبِهِمْ فَالْقَرِيْبُ تُنْفِقُ عَلَيْهِ بَعِيدٌ تُشَارِكُهُ وَمَنْ كَانَ أَبْعَدَ تُسَلِّيْهِ وَنَحْوُ ذَلِكَ فَلِكُلٍّ حُكْمُهُ بِالتَّالِي أَبْنَاءُ الْعَمِّ يُعْتَبَرُونَ مِنْ ذَوِي الْأَرْحَامِ مِنَ الْأَرْحَامِ وَعَلَى الْإِنْسَانِ أَنْ يَتَقَرَّبَ إِلَى اللَّهِ بِتَفَقُّدِ حَوَائِجِهِمْ وَبِجَعْلِهِمْ يُسِيرُونَ عَلَى أَفْضَلِ الْأَحْوَالِ وَأَحْسَنِهَا


Pertanyaan: Wahai Syaikh! Abu Abid bertanya tentang hukum menyambung silaturahmi dengan para sepupu dari jalur ayah dan ibu. Apakah itu wajib, atau sekadar silaturahmi yang sunah? Jawaban: Allah Ta’ala berfirman, “…dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah Maha Mengawasi kalian.” (QS. an-Nisa: 1). Allah Ta’ala juga berfirman, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua dan karib kerabat…” (QS. an-Nisa: 36). Dalam banyak ayat, Allah Jalla wa ‘Ala memerintahkan untuk menyambung silaturahmi dengan para kerabat. Adapun sepupu, meskipun jauh tetaplah termasuk kerabat. Namun, menyambung silaturahmi dengan kerabat tergantung tingkat kedekatan mereka. Kerabat dekat harus kamu beri nafkah, kerabat jauh harus kamu bantu, dan kerabat yang lebih jauh lagi harus kamu hibur, dan lain sebagainya. Jadi, setiap tingkatan ada hukumnya sendiri. Dengan demikian, para sepupu termasuk kerabat dekat, maka seseorang harus mendekatkan diri kepada Allah dengan mencukupi kebutuhan mereka dan menjadikan mereka berada pada keadaan yang terbaik. ==== أَبُو عَابِدٍ شَيْخَنَا يَسْأَلُ عَنْ صِلَةِ أَبْنَاءِ الْأَعْمَامِ وَأَبْنَاءِ الْأَخْوَالِ هَلْ هِيَ وَاجِبَةٌ أَوْ أَنَّهَا صِلَةٌ مُسْتَحَبَّةٌ؟ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا وَقَالَ تَعَالَى وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى فِي نُصُوصٍ كَثِيرَةٍ يَأْمُرُ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا بِهَا بِصِلَةِ ذَوِي الْقُرْبَى وَابْنُ الْعَمِّ حَتَّى وَلَوْ بَعُدَ مِنْ ذَوِي الْقُرْبَى وَلَكِنْ تَخْتَلِفُ صِلَةُ ذَوِي الْقُرْبَى بِحَسَبِ دَرَجَاتِ قُرْبِهِمْ فَالْقَرِيْبُ تُنْفِقُ عَلَيْهِ بَعِيدٌ تُشَارِكُهُ وَمَنْ كَانَ أَبْعَدَ تُسَلِّيْهِ وَنَحْوُ ذَلِكَ فَلِكُلٍّ حُكْمُهُ بِالتَّالِي أَبْنَاءُ الْعَمِّ يُعْتَبَرُونَ مِنْ ذَوِي الْأَرْحَامِ مِنَ الْأَرْحَامِ وَعَلَى الْإِنْسَانِ أَنْ يَتَقَرَّبَ إِلَى اللَّهِ بِتَفَقُّدِ حَوَائِجِهِمْ وَبِجَعْلِهِمْ يُسِيرُونَ عَلَى أَفْضَلِ الْأَحْوَالِ وَأَحْسَنِهَا

Biografi Imam Ahmad bin Hanbal

Daftar Isi Toggle Nama dan kunyahKelahiranIstri dan anakCiri fisikPerjalanan menuntut ilmuBerjalan di atas akidah ahlusunah waljamaahUlama yang teguh di atas kebenaranKarya-karya Imam AhmadWafat Nama dan kunyah Dia adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris Al-Shaybani, salah satu imam besar. Kunyah-nya adalah Abu Abdillah. Kelahiran Ahmad bin Hanbal lahir pada bulan Rabiulawal di Baghdad pada tahun 164 H. Ayahnya meninggal ketika masih muda, sekitar usia tiga puluh tahun, sehingga Ahmad tumbuh sebagai anak yatim. Ibunya yang mengasuh dan mendidiknya dengan penuh perhatian. Istri dan anak Ahmad bin Hanbal baru menikah setelah usia empat puluh tahun. Ia pertama kali menikah dengan seorang wanita bernama ‘Abasa binti Al-Fadl, yang melahirkan putranya yang bernama Shalih. Mereka hidup bersama selama dua puluh tahun sebelum Abasa meninggal. Setelah itu, ia menikah lagi dengan Rayhana, yang melahirkan putranya Abdullah, namun Rayhana juga meninggal setelah tujuh tahun bersama Ahmad. Setelah kematian ibu Abdullah, Ahmad membeli seorang budak perempuan bernama Husn, yang melahirkan putranya Ali, Zainab, dan pasangan kembar Hasan dan Husain. Namun, Hasan dan Husain meninggal tidak lama setelah kelahiran mereka. Kemudian, Husn melahirkan Hasan dan Muhammad, yang keduanya hidup sekitar empat puluh hari sebelum meninggal. Setelah itu, Husn melahirkan Sa’id sebelum kematian Imam Ahmad lima puluh hari kemudian. Sa’id tumbuh besar, mendalami ilmu, dan meninggal sebelum saudara kandungnya, Abdullah. Ciri fisik Imam Ahmad bin Hanbal memiliki penampilan yang baik dan penuh wibawa. Ia bertubuh tinggi dan besar, dengan postur yang gagah. Wajahnya tampan dan matanya bercahaya. Dikenal pula bahwa ia sangat sederhana dalam berpakaian dan penampilannya, tidak memikirkan kemewahan atau kesombongan dalam berpenampilan. Pakaian yang dikenakannya sederhana, mencerminkan sifat zuhudnya yang besar. Perjalanan menuntut ilmu Ketika Imam Ahmad mencapai usia lima belas tahun, ia mulai aktif dalam mencari ilmu dan hadis. Perjalanan-perjalanannya ke berbagai penjuru dunia Islam untuk mencari hadis dari para ahli hadis terkenal, sangat membantu dalam memperluas ilmunya. Salah satu perjalanan penting yang dilakukannya adalah ke Basrah sebanyak lima kali, di mana ia berguru kepada berbagai ulama dan memperbanyak jumlah gurunya di sana. Di antara perjalanan penting lainnya adalah ke Hijaz, di mana ia bertemu dengan para ulama besar seperti Imam Syafi’i, yang sangat mengaguminya. Dari Imam Syafi’i, ia mempelajari dasar-dasar hadis, fikih, dan ilmu tentang nasikh dan mansukh (yang menghapus dan yang dihapus). Selain itu, ia juga bertemu dengan Syekh Ibn Uyainah di Baghdad, yang saat itu merupakan ahli hadis terkemuka di Hijaz, dan mengambil banyak manfaat darinya. Imam Ahmad juga melakukan perjalanan ke Kufah untuk mencari ilmu, serta ke Sana’a di Yaman, di mana ia belajar hadis dari Abdul Razzaq bin Hammam. Ia bertahan di Sana’a selama dua tahun, dengan bersabar pada kehidupan yang keras dan bekerja keras untuk mencukupi kebutuhannya, bahkan menyewakan diri untuk mengangkut barang dan bekerja menenun tikar agar dapat makan dari hasil tangannya. Jumlah gurunya lebih dari tiga ratus orang. Dalam kitab Musnad-nya, Adz-Dzahabi mencatat bahwa Imam Ahmad meriwayatkan hadis dari lebih dari dua ratus delapan puluh orang. Di antara guru-guru besar yang mengajarnya adalah Hushaym bin Bashir, yang sangat ia hormati dan ia pelajari banyak hal darinya di Baghdad selama empat tahun. Selain itu, ia juga belajar dari Sufyan bin Uyainah, Basyar bin Al-Mufaddal, Al-Nadr bin Ismail Al-Bajali, Al-Walid bin Muslim, Yazid bin Harun, Waki’, dan banyak lainnya, termasuk Al-Hafizh Abu Nu’aim. Sedangkan di antara para ulama yang meriwayatkan hadis darinya adalah Imam Al-Bukhari, muridnya Imam Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, At-Tirmidzi, Ibn Majah, serta anak-anaknya, Salih dan Abdullah. Selain itu, terdapat juga nama-nama besar seperti Yahya bin Ma’in, Abu Zur’ah, Ibrahim Al-Harbi, dan lainnya. Berjalan di atas akidah ahlusunah waljamaah Imam Ahmad merupakan salah satu imam mazhab dan berpegang teguh di atas akidah ahlusunah waljamaah. Hal ini dibuktikan dari karya-karyanya di bidang akidah. Salah satu kitab yang menunjukkan akidah beliau adalah kitab Ushulussunnah. Kitab ini berisikan prinsip-prinsip dasar akidah ahlusunah waljamaah yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Imam Ahmad menyampaikan tentang prinsip-prinsip akidah ahlusunah waljamaah. Selain itu, Imam Ahmad juga menuliskan sebuah risalah yang berjudul Ar-Radd ‘ala Al-Jahmiyah. Kitab ini beliau tulis untuk membantah akidah kelompok yang menyimpang dari akidah ahlu sunah. Ulama yang teguh di atas kebenaran Imam Ahmad adalah imamnya para ulama ahlusunah waljamaah. Dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla, Imam Ahmad tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip akidah ahlusunah waljamaah tatkala menyebarnya fitnah Kholqul Qur’an (Fitnah Al-Qur’an adalah makhluk) pada masanya. Fitnah ini merupakan fitnah yang paling berat pada masa itu dan tidak ada ulama selain Imam Ahmad yang kuat untuk menghadapi fitnah ini. Pemahaman ini dianut oleh kelompok Mu’tazilah. Pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid, tidak ada tokoh Mu’tazilah yang berani menyebarkan akidah mereka karena ketegasan Harun Ar-Rasyid. Setelah wafatnya Khalifah Harun Ar-Rasyid dan naiknya Al-Ma’mun menjadi khalifah, barulah para tokoh Mu’tazilah berani menyebarkan akidah mereka dan bahkan mempengaruhi akidah Al-Ma’mun. Akidah Mu’tazilah semakin menyebar kala itu dan para imam ahlusunah waljamaah ditangkap dan disiksa. Fitnah ini berlangsung selama tiga kekhalifahan, yaitu: Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiq. Selama itu, Imam Ahmad menerima banyak sekali ujian seperti disiksa, dicambuk, dipenjara, dan diancam untuk dibunuh. Namun, Imam Ahmad tetap teguh atas keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah. Hal ini yang membuat kagum seluruh ulama dan orang awam ketika itu. Dan pada akhirnya, di masa kekhalifahan Al-Mutawakkil, fitnah ini usai dan Imam Ahmad mendapatkan kedudukannya kembali. Karya-karya Imam Ahmad Kitab Al-‘Ilal Kitab Al-Naskh wal-Mansukh Kitab Al-Zuhd Kitab Al-Masa’il Kitab Al-Fada’il Kitab El-Fara’id Kitab Al-Manasik Kitab Al-Iman Kitab Al-Ashribah Kitab Ta’at Al-Rasul Kitab Al-Radd ‘ala Al-Jahmiyyah Al-Musnad. Kitab ini adalah kitab yang paling fenomenal yang ditulis oleh Imam Ahmad. Dan masih banyak lagi Wafat Shalih bin Ahmad berkata, “Pada awal bulan Rabiulawal, ayahku terkena demam pada malam Rabu dan tidur dalam keadaan demam, bernapas dengan nafas yang sangat berat. Aku telah mengetahui penyakitnya dan aku merawatnya setiap kali ia sakit.” Al-Marwazi berkata, “Abu Abdillah (Imam Ahmad) sakit pada malam Rabu dua malam sebelum awal bulan Rabiulawal, dan ia sakit selama sembilan hari. Orang-orang mendengar kabar sakitnya, lalu datang beramai-ramai untuk menjenguknya. Kadang-kadang ia memberi izin untuk orang-orang masuk. Mereka masuk dalam kelompok-kelompok dan memberikan salam kepadanya. Ia membalas dengan tangan. Ketika ia sakit, ia mendengar dari Thawus bahwa ia tidak suka mendengar keluhan orang sakit, maka ia pun menahan diri dari mengeluh, hingga pada malam yang ia wafat, ketika rasa sakitnya semakin parah, ia akhirnya mengeluh.” Yang paling baik dalam keadaan beliau saat sakit adalah ketika ia memberi isyarat kepada keluarganya untuk membantunya berwudu. Mereka membantunya berwudu, dan ia memberi isyarat agar jari-jarinya dibersihkan dengan baik, sambil terus berzikir mengingat Allah sepanjang waktu itu. Setelah wudu selesai, beliau pun wafat – semoga Allah merahmatinya. Bertepatan pada hari Jumat, tanggal 12 Rabiulawal, tahun 241 Hijriah, dan beliau berusia 77 tahun. Baca juga: Biografi Sufyan Ats-Tsauriy *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web: https://www.alukah.net/culture/0/99045/إمام-أهل-السنة-أحمد-بن-حنبل/

Biografi Imam Ahmad bin Hanbal

Daftar Isi Toggle Nama dan kunyahKelahiranIstri dan anakCiri fisikPerjalanan menuntut ilmuBerjalan di atas akidah ahlusunah waljamaahUlama yang teguh di atas kebenaranKarya-karya Imam AhmadWafat Nama dan kunyah Dia adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris Al-Shaybani, salah satu imam besar. Kunyah-nya adalah Abu Abdillah. Kelahiran Ahmad bin Hanbal lahir pada bulan Rabiulawal di Baghdad pada tahun 164 H. Ayahnya meninggal ketika masih muda, sekitar usia tiga puluh tahun, sehingga Ahmad tumbuh sebagai anak yatim. Ibunya yang mengasuh dan mendidiknya dengan penuh perhatian. Istri dan anak Ahmad bin Hanbal baru menikah setelah usia empat puluh tahun. Ia pertama kali menikah dengan seorang wanita bernama ‘Abasa binti Al-Fadl, yang melahirkan putranya yang bernama Shalih. Mereka hidup bersama selama dua puluh tahun sebelum Abasa meninggal. Setelah itu, ia menikah lagi dengan Rayhana, yang melahirkan putranya Abdullah, namun Rayhana juga meninggal setelah tujuh tahun bersama Ahmad. Setelah kematian ibu Abdullah, Ahmad membeli seorang budak perempuan bernama Husn, yang melahirkan putranya Ali, Zainab, dan pasangan kembar Hasan dan Husain. Namun, Hasan dan Husain meninggal tidak lama setelah kelahiran mereka. Kemudian, Husn melahirkan Hasan dan Muhammad, yang keduanya hidup sekitar empat puluh hari sebelum meninggal. Setelah itu, Husn melahirkan Sa’id sebelum kematian Imam Ahmad lima puluh hari kemudian. Sa’id tumbuh besar, mendalami ilmu, dan meninggal sebelum saudara kandungnya, Abdullah. Ciri fisik Imam Ahmad bin Hanbal memiliki penampilan yang baik dan penuh wibawa. Ia bertubuh tinggi dan besar, dengan postur yang gagah. Wajahnya tampan dan matanya bercahaya. Dikenal pula bahwa ia sangat sederhana dalam berpakaian dan penampilannya, tidak memikirkan kemewahan atau kesombongan dalam berpenampilan. Pakaian yang dikenakannya sederhana, mencerminkan sifat zuhudnya yang besar. Perjalanan menuntut ilmu Ketika Imam Ahmad mencapai usia lima belas tahun, ia mulai aktif dalam mencari ilmu dan hadis. Perjalanan-perjalanannya ke berbagai penjuru dunia Islam untuk mencari hadis dari para ahli hadis terkenal, sangat membantu dalam memperluas ilmunya. Salah satu perjalanan penting yang dilakukannya adalah ke Basrah sebanyak lima kali, di mana ia berguru kepada berbagai ulama dan memperbanyak jumlah gurunya di sana. Di antara perjalanan penting lainnya adalah ke Hijaz, di mana ia bertemu dengan para ulama besar seperti Imam Syafi’i, yang sangat mengaguminya. Dari Imam Syafi’i, ia mempelajari dasar-dasar hadis, fikih, dan ilmu tentang nasikh dan mansukh (yang menghapus dan yang dihapus). Selain itu, ia juga bertemu dengan Syekh Ibn Uyainah di Baghdad, yang saat itu merupakan ahli hadis terkemuka di Hijaz, dan mengambil banyak manfaat darinya. Imam Ahmad juga melakukan perjalanan ke Kufah untuk mencari ilmu, serta ke Sana’a di Yaman, di mana ia belajar hadis dari Abdul Razzaq bin Hammam. Ia bertahan di Sana’a selama dua tahun, dengan bersabar pada kehidupan yang keras dan bekerja keras untuk mencukupi kebutuhannya, bahkan menyewakan diri untuk mengangkut barang dan bekerja menenun tikar agar dapat makan dari hasil tangannya. Jumlah gurunya lebih dari tiga ratus orang. Dalam kitab Musnad-nya, Adz-Dzahabi mencatat bahwa Imam Ahmad meriwayatkan hadis dari lebih dari dua ratus delapan puluh orang. Di antara guru-guru besar yang mengajarnya adalah Hushaym bin Bashir, yang sangat ia hormati dan ia pelajari banyak hal darinya di Baghdad selama empat tahun. Selain itu, ia juga belajar dari Sufyan bin Uyainah, Basyar bin Al-Mufaddal, Al-Nadr bin Ismail Al-Bajali, Al-Walid bin Muslim, Yazid bin Harun, Waki’, dan banyak lainnya, termasuk Al-Hafizh Abu Nu’aim. Sedangkan di antara para ulama yang meriwayatkan hadis darinya adalah Imam Al-Bukhari, muridnya Imam Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, At-Tirmidzi, Ibn Majah, serta anak-anaknya, Salih dan Abdullah. Selain itu, terdapat juga nama-nama besar seperti Yahya bin Ma’in, Abu Zur’ah, Ibrahim Al-Harbi, dan lainnya. Berjalan di atas akidah ahlusunah waljamaah Imam Ahmad merupakan salah satu imam mazhab dan berpegang teguh di atas akidah ahlusunah waljamaah. Hal ini dibuktikan dari karya-karyanya di bidang akidah. Salah satu kitab yang menunjukkan akidah beliau adalah kitab Ushulussunnah. Kitab ini berisikan prinsip-prinsip dasar akidah ahlusunah waljamaah yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Imam Ahmad menyampaikan tentang prinsip-prinsip akidah ahlusunah waljamaah. Selain itu, Imam Ahmad juga menuliskan sebuah risalah yang berjudul Ar-Radd ‘ala Al-Jahmiyah. Kitab ini beliau tulis untuk membantah akidah kelompok yang menyimpang dari akidah ahlu sunah. Ulama yang teguh di atas kebenaran Imam Ahmad adalah imamnya para ulama ahlusunah waljamaah. Dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla, Imam Ahmad tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip akidah ahlusunah waljamaah tatkala menyebarnya fitnah Kholqul Qur’an (Fitnah Al-Qur’an adalah makhluk) pada masanya. Fitnah ini merupakan fitnah yang paling berat pada masa itu dan tidak ada ulama selain Imam Ahmad yang kuat untuk menghadapi fitnah ini. Pemahaman ini dianut oleh kelompok Mu’tazilah. Pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid, tidak ada tokoh Mu’tazilah yang berani menyebarkan akidah mereka karena ketegasan Harun Ar-Rasyid. Setelah wafatnya Khalifah Harun Ar-Rasyid dan naiknya Al-Ma’mun menjadi khalifah, barulah para tokoh Mu’tazilah berani menyebarkan akidah mereka dan bahkan mempengaruhi akidah Al-Ma’mun. Akidah Mu’tazilah semakin menyebar kala itu dan para imam ahlusunah waljamaah ditangkap dan disiksa. Fitnah ini berlangsung selama tiga kekhalifahan, yaitu: Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiq. Selama itu, Imam Ahmad menerima banyak sekali ujian seperti disiksa, dicambuk, dipenjara, dan diancam untuk dibunuh. Namun, Imam Ahmad tetap teguh atas keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah. Hal ini yang membuat kagum seluruh ulama dan orang awam ketika itu. Dan pada akhirnya, di masa kekhalifahan Al-Mutawakkil, fitnah ini usai dan Imam Ahmad mendapatkan kedudukannya kembali. Karya-karya Imam Ahmad Kitab Al-‘Ilal Kitab Al-Naskh wal-Mansukh Kitab Al-Zuhd Kitab Al-Masa’il Kitab Al-Fada’il Kitab El-Fara’id Kitab Al-Manasik Kitab Al-Iman Kitab Al-Ashribah Kitab Ta’at Al-Rasul Kitab Al-Radd ‘ala Al-Jahmiyyah Al-Musnad. Kitab ini adalah kitab yang paling fenomenal yang ditulis oleh Imam Ahmad. Dan masih banyak lagi Wafat Shalih bin Ahmad berkata, “Pada awal bulan Rabiulawal, ayahku terkena demam pada malam Rabu dan tidur dalam keadaan demam, bernapas dengan nafas yang sangat berat. Aku telah mengetahui penyakitnya dan aku merawatnya setiap kali ia sakit.” Al-Marwazi berkata, “Abu Abdillah (Imam Ahmad) sakit pada malam Rabu dua malam sebelum awal bulan Rabiulawal, dan ia sakit selama sembilan hari. Orang-orang mendengar kabar sakitnya, lalu datang beramai-ramai untuk menjenguknya. Kadang-kadang ia memberi izin untuk orang-orang masuk. Mereka masuk dalam kelompok-kelompok dan memberikan salam kepadanya. Ia membalas dengan tangan. Ketika ia sakit, ia mendengar dari Thawus bahwa ia tidak suka mendengar keluhan orang sakit, maka ia pun menahan diri dari mengeluh, hingga pada malam yang ia wafat, ketika rasa sakitnya semakin parah, ia akhirnya mengeluh.” Yang paling baik dalam keadaan beliau saat sakit adalah ketika ia memberi isyarat kepada keluarganya untuk membantunya berwudu. Mereka membantunya berwudu, dan ia memberi isyarat agar jari-jarinya dibersihkan dengan baik, sambil terus berzikir mengingat Allah sepanjang waktu itu. Setelah wudu selesai, beliau pun wafat – semoga Allah merahmatinya. Bertepatan pada hari Jumat, tanggal 12 Rabiulawal, tahun 241 Hijriah, dan beliau berusia 77 tahun. Baca juga: Biografi Sufyan Ats-Tsauriy *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web: https://www.alukah.net/culture/0/99045/إمام-أهل-السنة-أحمد-بن-حنبل/
Daftar Isi Toggle Nama dan kunyahKelahiranIstri dan anakCiri fisikPerjalanan menuntut ilmuBerjalan di atas akidah ahlusunah waljamaahUlama yang teguh di atas kebenaranKarya-karya Imam AhmadWafat Nama dan kunyah Dia adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris Al-Shaybani, salah satu imam besar. Kunyah-nya adalah Abu Abdillah. Kelahiran Ahmad bin Hanbal lahir pada bulan Rabiulawal di Baghdad pada tahun 164 H. Ayahnya meninggal ketika masih muda, sekitar usia tiga puluh tahun, sehingga Ahmad tumbuh sebagai anak yatim. Ibunya yang mengasuh dan mendidiknya dengan penuh perhatian. Istri dan anak Ahmad bin Hanbal baru menikah setelah usia empat puluh tahun. Ia pertama kali menikah dengan seorang wanita bernama ‘Abasa binti Al-Fadl, yang melahirkan putranya yang bernama Shalih. Mereka hidup bersama selama dua puluh tahun sebelum Abasa meninggal. Setelah itu, ia menikah lagi dengan Rayhana, yang melahirkan putranya Abdullah, namun Rayhana juga meninggal setelah tujuh tahun bersama Ahmad. Setelah kematian ibu Abdullah, Ahmad membeli seorang budak perempuan bernama Husn, yang melahirkan putranya Ali, Zainab, dan pasangan kembar Hasan dan Husain. Namun, Hasan dan Husain meninggal tidak lama setelah kelahiran mereka. Kemudian, Husn melahirkan Hasan dan Muhammad, yang keduanya hidup sekitar empat puluh hari sebelum meninggal. Setelah itu, Husn melahirkan Sa’id sebelum kematian Imam Ahmad lima puluh hari kemudian. Sa’id tumbuh besar, mendalami ilmu, dan meninggal sebelum saudara kandungnya, Abdullah. Ciri fisik Imam Ahmad bin Hanbal memiliki penampilan yang baik dan penuh wibawa. Ia bertubuh tinggi dan besar, dengan postur yang gagah. Wajahnya tampan dan matanya bercahaya. Dikenal pula bahwa ia sangat sederhana dalam berpakaian dan penampilannya, tidak memikirkan kemewahan atau kesombongan dalam berpenampilan. Pakaian yang dikenakannya sederhana, mencerminkan sifat zuhudnya yang besar. Perjalanan menuntut ilmu Ketika Imam Ahmad mencapai usia lima belas tahun, ia mulai aktif dalam mencari ilmu dan hadis. Perjalanan-perjalanannya ke berbagai penjuru dunia Islam untuk mencari hadis dari para ahli hadis terkenal, sangat membantu dalam memperluas ilmunya. Salah satu perjalanan penting yang dilakukannya adalah ke Basrah sebanyak lima kali, di mana ia berguru kepada berbagai ulama dan memperbanyak jumlah gurunya di sana. Di antara perjalanan penting lainnya adalah ke Hijaz, di mana ia bertemu dengan para ulama besar seperti Imam Syafi’i, yang sangat mengaguminya. Dari Imam Syafi’i, ia mempelajari dasar-dasar hadis, fikih, dan ilmu tentang nasikh dan mansukh (yang menghapus dan yang dihapus). Selain itu, ia juga bertemu dengan Syekh Ibn Uyainah di Baghdad, yang saat itu merupakan ahli hadis terkemuka di Hijaz, dan mengambil banyak manfaat darinya. Imam Ahmad juga melakukan perjalanan ke Kufah untuk mencari ilmu, serta ke Sana’a di Yaman, di mana ia belajar hadis dari Abdul Razzaq bin Hammam. Ia bertahan di Sana’a selama dua tahun, dengan bersabar pada kehidupan yang keras dan bekerja keras untuk mencukupi kebutuhannya, bahkan menyewakan diri untuk mengangkut barang dan bekerja menenun tikar agar dapat makan dari hasil tangannya. Jumlah gurunya lebih dari tiga ratus orang. Dalam kitab Musnad-nya, Adz-Dzahabi mencatat bahwa Imam Ahmad meriwayatkan hadis dari lebih dari dua ratus delapan puluh orang. Di antara guru-guru besar yang mengajarnya adalah Hushaym bin Bashir, yang sangat ia hormati dan ia pelajari banyak hal darinya di Baghdad selama empat tahun. Selain itu, ia juga belajar dari Sufyan bin Uyainah, Basyar bin Al-Mufaddal, Al-Nadr bin Ismail Al-Bajali, Al-Walid bin Muslim, Yazid bin Harun, Waki’, dan banyak lainnya, termasuk Al-Hafizh Abu Nu’aim. Sedangkan di antara para ulama yang meriwayatkan hadis darinya adalah Imam Al-Bukhari, muridnya Imam Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, At-Tirmidzi, Ibn Majah, serta anak-anaknya, Salih dan Abdullah. Selain itu, terdapat juga nama-nama besar seperti Yahya bin Ma’in, Abu Zur’ah, Ibrahim Al-Harbi, dan lainnya. Berjalan di atas akidah ahlusunah waljamaah Imam Ahmad merupakan salah satu imam mazhab dan berpegang teguh di atas akidah ahlusunah waljamaah. Hal ini dibuktikan dari karya-karyanya di bidang akidah. Salah satu kitab yang menunjukkan akidah beliau adalah kitab Ushulussunnah. Kitab ini berisikan prinsip-prinsip dasar akidah ahlusunah waljamaah yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Imam Ahmad menyampaikan tentang prinsip-prinsip akidah ahlusunah waljamaah. Selain itu, Imam Ahmad juga menuliskan sebuah risalah yang berjudul Ar-Radd ‘ala Al-Jahmiyah. Kitab ini beliau tulis untuk membantah akidah kelompok yang menyimpang dari akidah ahlu sunah. Ulama yang teguh di atas kebenaran Imam Ahmad adalah imamnya para ulama ahlusunah waljamaah. Dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla, Imam Ahmad tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip akidah ahlusunah waljamaah tatkala menyebarnya fitnah Kholqul Qur’an (Fitnah Al-Qur’an adalah makhluk) pada masanya. Fitnah ini merupakan fitnah yang paling berat pada masa itu dan tidak ada ulama selain Imam Ahmad yang kuat untuk menghadapi fitnah ini. Pemahaman ini dianut oleh kelompok Mu’tazilah. Pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid, tidak ada tokoh Mu’tazilah yang berani menyebarkan akidah mereka karena ketegasan Harun Ar-Rasyid. Setelah wafatnya Khalifah Harun Ar-Rasyid dan naiknya Al-Ma’mun menjadi khalifah, barulah para tokoh Mu’tazilah berani menyebarkan akidah mereka dan bahkan mempengaruhi akidah Al-Ma’mun. Akidah Mu’tazilah semakin menyebar kala itu dan para imam ahlusunah waljamaah ditangkap dan disiksa. Fitnah ini berlangsung selama tiga kekhalifahan, yaitu: Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiq. Selama itu, Imam Ahmad menerima banyak sekali ujian seperti disiksa, dicambuk, dipenjara, dan diancam untuk dibunuh. Namun, Imam Ahmad tetap teguh atas keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah. Hal ini yang membuat kagum seluruh ulama dan orang awam ketika itu. Dan pada akhirnya, di masa kekhalifahan Al-Mutawakkil, fitnah ini usai dan Imam Ahmad mendapatkan kedudukannya kembali. Karya-karya Imam Ahmad Kitab Al-‘Ilal Kitab Al-Naskh wal-Mansukh Kitab Al-Zuhd Kitab Al-Masa’il Kitab Al-Fada’il Kitab El-Fara’id Kitab Al-Manasik Kitab Al-Iman Kitab Al-Ashribah Kitab Ta’at Al-Rasul Kitab Al-Radd ‘ala Al-Jahmiyyah Al-Musnad. Kitab ini adalah kitab yang paling fenomenal yang ditulis oleh Imam Ahmad. Dan masih banyak lagi Wafat Shalih bin Ahmad berkata, “Pada awal bulan Rabiulawal, ayahku terkena demam pada malam Rabu dan tidur dalam keadaan demam, bernapas dengan nafas yang sangat berat. Aku telah mengetahui penyakitnya dan aku merawatnya setiap kali ia sakit.” Al-Marwazi berkata, “Abu Abdillah (Imam Ahmad) sakit pada malam Rabu dua malam sebelum awal bulan Rabiulawal, dan ia sakit selama sembilan hari. Orang-orang mendengar kabar sakitnya, lalu datang beramai-ramai untuk menjenguknya. Kadang-kadang ia memberi izin untuk orang-orang masuk. Mereka masuk dalam kelompok-kelompok dan memberikan salam kepadanya. Ia membalas dengan tangan. Ketika ia sakit, ia mendengar dari Thawus bahwa ia tidak suka mendengar keluhan orang sakit, maka ia pun menahan diri dari mengeluh, hingga pada malam yang ia wafat, ketika rasa sakitnya semakin parah, ia akhirnya mengeluh.” Yang paling baik dalam keadaan beliau saat sakit adalah ketika ia memberi isyarat kepada keluarganya untuk membantunya berwudu. Mereka membantunya berwudu, dan ia memberi isyarat agar jari-jarinya dibersihkan dengan baik, sambil terus berzikir mengingat Allah sepanjang waktu itu. Setelah wudu selesai, beliau pun wafat – semoga Allah merahmatinya. Bertepatan pada hari Jumat, tanggal 12 Rabiulawal, tahun 241 Hijriah, dan beliau berusia 77 tahun. Baca juga: Biografi Sufyan Ats-Tsauriy *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web: https://www.alukah.net/culture/0/99045/إمام-أهل-السنة-أحمد-بن-حنبل/


Daftar Isi Toggle Nama dan kunyahKelahiranIstri dan anakCiri fisikPerjalanan menuntut ilmuBerjalan di atas akidah ahlusunah waljamaahUlama yang teguh di atas kebenaranKarya-karya Imam AhmadWafat Nama dan kunyah Dia adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris Al-Shaybani, salah satu imam besar. Kunyah-nya adalah Abu Abdillah. Kelahiran Ahmad bin Hanbal lahir pada bulan Rabiulawal di Baghdad pada tahun 164 H. Ayahnya meninggal ketika masih muda, sekitar usia tiga puluh tahun, sehingga Ahmad tumbuh sebagai anak yatim. Ibunya yang mengasuh dan mendidiknya dengan penuh perhatian. Istri dan anak Ahmad bin Hanbal baru menikah setelah usia empat puluh tahun. Ia pertama kali menikah dengan seorang wanita bernama ‘Abasa binti Al-Fadl, yang melahirkan putranya yang bernama Shalih. Mereka hidup bersama selama dua puluh tahun sebelum Abasa meninggal. Setelah itu, ia menikah lagi dengan Rayhana, yang melahirkan putranya Abdullah, namun Rayhana juga meninggal setelah tujuh tahun bersama Ahmad. Setelah kematian ibu Abdullah, Ahmad membeli seorang budak perempuan bernama Husn, yang melahirkan putranya Ali, Zainab, dan pasangan kembar Hasan dan Husain. Namun, Hasan dan Husain meninggal tidak lama setelah kelahiran mereka. Kemudian, Husn melahirkan Hasan dan Muhammad, yang keduanya hidup sekitar empat puluh hari sebelum meninggal. Setelah itu, Husn melahirkan Sa’id sebelum kematian Imam Ahmad lima puluh hari kemudian. Sa’id tumbuh besar, mendalami ilmu, dan meninggal sebelum saudara kandungnya, Abdullah. Ciri fisik Imam Ahmad bin Hanbal memiliki penampilan yang baik dan penuh wibawa. Ia bertubuh tinggi dan besar, dengan postur yang gagah. Wajahnya tampan dan matanya bercahaya. Dikenal pula bahwa ia sangat sederhana dalam berpakaian dan penampilannya, tidak memikirkan kemewahan atau kesombongan dalam berpenampilan. Pakaian yang dikenakannya sederhana, mencerminkan sifat zuhudnya yang besar. Perjalanan menuntut ilmu Ketika Imam Ahmad mencapai usia lima belas tahun, ia mulai aktif dalam mencari ilmu dan hadis. Perjalanan-perjalanannya ke berbagai penjuru dunia Islam untuk mencari hadis dari para ahli hadis terkenal, sangat membantu dalam memperluas ilmunya. Salah satu perjalanan penting yang dilakukannya adalah ke Basrah sebanyak lima kali, di mana ia berguru kepada berbagai ulama dan memperbanyak jumlah gurunya di sana. Di antara perjalanan penting lainnya adalah ke Hijaz, di mana ia bertemu dengan para ulama besar seperti Imam Syafi’i, yang sangat mengaguminya. Dari Imam Syafi’i, ia mempelajari dasar-dasar hadis, fikih, dan ilmu tentang nasikh dan mansukh (yang menghapus dan yang dihapus). Selain itu, ia juga bertemu dengan Syekh Ibn Uyainah di Baghdad, yang saat itu merupakan ahli hadis terkemuka di Hijaz, dan mengambil banyak manfaat darinya. Imam Ahmad juga melakukan perjalanan ke Kufah untuk mencari ilmu, serta ke Sana’a di Yaman, di mana ia belajar hadis dari Abdul Razzaq bin Hammam. Ia bertahan di Sana’a selama dua tahun, dengan bersabar pada kehidupan yang keras dan bekerja keras untuk mencukupi kebutuhannya, bahkan menyewakan diri untuk mengangkut barang dan bekerja menenun tikar agar dapat makan dari hasil tangannya. Jumlah gurunya lebih dari tiga ratus orang. Dalam kitab Musnad-nya, Adz-Dzahabi mencatat bahwa Imam Ahmad meriwayatkan hadis dari lebih dari dua ratus delapan puluh orang. Di antara guru-guru besar yang mengajarnya adalah Hushaym bin Bashir, yang sangat ia hormati dan ia pelajari banyak hal darinya di Baghdad selama empat tahun. Selain itu, ia juga belajar dari Sufyan bin Uyainah, Basyar bin Al-Mufaddal, Al-Nadr bin Ismail Al-Bajali, Al-Walid bin Muslim, Yazid bin Harun, Waki’, dan banyak lainnya, termasuk Al-Hafizh Abu Nu’aim. Sedangkan di antara para ulama yang meriwayatkan hadis darinya adalah Imam Al-Bukhari, muridnya Imam Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, At-Tirmidzi, Ibn Majah, serta anak-anaknya, Salih dan Abdullah. Selain itu, terdapat juga nama-nama besar seperti Yahya bin Ma’in, Abu Zur’ah, Ibrahim Al-Harbi, dan lainnya. Berjalan di atas akidah ahlusunah waljamaah Imam Ahmad merupakan salah satu imam mazhab dan berpegang teguh di atas akidah ahlusunah waljamaah. Hal ini dibuktikan dari karya-karyanya di bidang akidah. Salah satu kitab yang menunjukkan akidah beliau adalah kitab Ushulussunnah. Kitab ini berisikan prinsip-prinsip dasar akidah ahlusunah waljamaah yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Imam Ahmad menyampaikan tentang prinsip-prinsip akidah ahlusunah waljamaah. Selain itu, Imam Ahmad juga menuliskan sebuah risalah yang berjudul Ar-Radd ‘ala Al-Jahmiyah. Kitab ini beliau tulis untuk membantah akidah kelompok yang menyimpang dari akidah ahlu sunah. Ulama yang teguh di atas kebenaran Imam Ahmad adalah imamnya para ulama ahlusunah waljamaah. Dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla, Imam Ahmad tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip akidah ahlusunah waljamaah tatkala menyebarnya fitnah Kholqul Qur’an (Fitnah Al-Qur’an adalah makhluk) pada masanya. Fitnah ini merupakan fitnah yang paling berat pada masa itu dan tidak ada ulama selain Imam Ahmad yang kuat untuk menghadapi fitnah ini. Pemahaman ini dianut oleh kelompok Mu’tazilah. Pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid, tidak ada tokoh Mu’tazilah yang berani menyebarkan akidah mereka karena ketegasan Harun Ar-Rasyid. Setelah wafatnya Khalifah Harun Ar-Rasyid dan naiknya Al-Ma’mun menjadi khalifah, barulah para tokoh Mu’tazilah berani menyebarkan akidah mereka dan bahkan mempengaruhi akidah Al-Ma’mun. Akidah Mu’tazilah semakin menyebar kala itu dan para imam ahlusunah waljamaah ditangkap dan disiksa. Fitnah ini berlangsung selama tiga kekhalifahan, yaitu: Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiq. Selama itu, Imam Ahmad menerima banyak sekali ujian seperti disiksa, dicambuk, dipenjara, dan diancam untuk dibunuh. Namun, Imam Ahmad tetap teguh atas keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah. Hal ini yang membuat kagum seluruh ulama dan orang awam ketika itu. Dan pada akhirnya, di masa kekhalifahan Al-Mutawakkil, fitnah ini usai dan Imam Ahmad mendapatkan kedudukannya kembali. Karya-karya Imam Ahmad Kitab Al-‘Ilal Kitab Al-Naskh wal-Mansukh Kitab Al-Zuhd Kitab Al-Masa’il Kitab Al-Fada’il Kitab El-Fara’id Kitab Al-Manasik Kitab Al-Iman Kitab Al-Ashribah Kitab Ta’at Al-Rasul Kitab Al-Radd ‘ala Al-Jahmiyyah Al-Musnad. Kitab ini adalah kitab yang paling fenomenal yang ditulis oleh Imam Ahmad. Dan masih banyak lagi Wafat Shalih bin Ahmad berkata, “Pada awal bulan Rabiulawal, ayahku terkena demam pada malam Rabu dan tidur dalam keadaan demam, bernapas dengan nafas yang sangat berat. Aku telah mengetahui penyakitnya dan aku merawatnya setiap kali ia sakit.” Al-Marwazi berkata, “Abu Abdillah (Imam Ahmad) sakit pada malam Rabu dua malam sebelum awal bulan Rabiulawal, dan ia sakit selama sembilan hari. Orang-orang mendengar kabar sakitnya, lalu datang beramai-ramai untuk menjenguknya. Kadang-kadang ia memberi izin untuk orang-orang masuk. Mereka masuk dalam kelompok-kelompok dan memberikan salam kepadanya. Ia membalas dengan tangan. Ketika ia sakit, ia mendengar dari Thawus bahwa ia tidak suka mendengar keluhan orang sakit, maka ia pun menahan diri dari mengeluh, hingga pada malam yang ia wafat, ketika rasa sakitnya semakin parah, ia akhirnya mengeluh.” Yang paling baik dalam keadaan beliau saat sakit adalah ketika ia memberi isyarat kepada keluarganya untuk membantunya berwudu. Mereka membantunya berwudu, dan ia memberi isyarat agar jari-jarinya dibersihkan dengan baik, sambil terus berzikir mengingat Allah sepanjang waktu itu. Setelah wudu selesai, beliau pun wafat – semoga Allah merahmatinya. Bertepatan pada hari Jumat, tanggal 12 Rabiulawal, tahun 241 Hijriah, dan beliau berusia 77 tahun. Baca juga: Biografi Sufyan Ats-Tsauriy *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web: https://www.alukah.net/culture/0/99045/إمام-أهل-السنة-أحمد-بن-حنبل/

Menanam Pohon, Memanen Pahala

Daftar Isi Toggle Pertama, berpahala sedekahKedua, mendapat pahala jariyahKetiga, jumlah pahala seukuran jumlah buah di pohonAnjuran Nabi untuk merawat bumi dengan menanam Menanam pohon adalah salah satu amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam, karena menanam bukan hanya sekadar kegiatan fisik, tetapi juga memiliki dimensi spiritual yang mendalam. Aktivitas ini tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan, tetapi juga memberikan ganjaran pahala yang besar bagi siapa saja yang melakukannya, bahkan bisa menjadi ladang amal jariyah yang pahalanya akan terus mengalir walaupun penanamnya telah wafat. Hal ini karena banyak sekali manfaat dari pohon atau tanaman bagi kehidupan di sekitarnya. Jika pohon itu berbuah, maka manusia dan hewan yang makan dan menikmatinya terhitung sedekah. Jika ia digunakan untuk berteduh manusia ataupun binatang, maka bisa bernilai pahala untuk penanamnya. Adakalanya pohon tersebut juga dimanfaatkan burung untuk membuat sarang, diambil bunga dan daunnya oleh manusia untuk dimasak, dipungut batang atau rantingnya untuk kayu bakar, dan manfaat lainnya. Berikut hadis-hadis terkait dengan keutamaan menanam pohon: Pertama, berpahala sedekah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ “Tidaklah seorang muslim pun yang bercocok tanam atau menanam satu tanaman, lalu tanaman itu dimakan oleh burung, atau manusia, atau hewan, melainkan itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari) Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلَّا كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَمَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ مِنْهُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَتْ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَلَا يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلَّا كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ “Tidaklah seorang muslim yang bercocok tanam, kecuali setiap tanamannya yang dimakannya bernilai sedekah baginya, apa yang dicuri orang darinya menjadi sedekah baginya, apa yang dimakan binatang liar menjadi sedekah baginya, apa yang dimakan burung menjadi sedekah baginya, dan tidaklah seseorang mengambil darinya, melainkan ia menjadi sedekah baginya.” (HR. Muslim) Kedua, mendapat pahala jariyah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ بَنَى بُنْيَانًا فِى غَيْرِ ظُلْمٍ وَلَا اعْتِدَاءٍ أَوْ غَرَسَ غَرْسًا فِى غَيْرِ ظُلْمٍ وَلَا اعْتِدَاءٍ كَانَ لَهُ أَجْرٌ جَارِيًا مَا انْتَفَعَ بِهِ مِنْ خَلْقِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ “Siapa saja yang mendirikan bangunan atau menanam pohon tanpa kezaliman dan melewati batas, niscaya itu akan bernilai pahala yang mengalir selama bermanfaat bagi makhluk Allah yang Maha Pengasih.” (HR. Ahmad, no. 4739) Dalam sabda beliau yang lain, سَبْعٌ يَجْرِى لِلْعَبْدِ أَجْرُهُنَّ وَهُوَ فِي قَبْرِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ أَوْ غَرَسَ نَخْلاً: “Ada tujuh yang pahalanya mengalir terus kepada seseorang di alam kuburnya: (salah satunya) orang yang menanam pohon kurma…” (HR. Al-Bazzar no. 7289; Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin 2: 181; dan Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al- Iman no. 3449. Lihat Sahih Al-Targhib no. 73) Hadis di atas menunjukkan bahwa setiap tanaman yang kita tanam dan hasilnya dimanfaatkan oleh makhluk hidup akan menjadi amal jariyah bagi kita. Pahalanya terus mengalir, meskipun kita sudah meninggal, asalkan tanaman itu tetap memberi manfaat. Ketiga, jumlah pahala seukuran jumlah buah di pohon Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ رَجُلٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلَّا كَتَبَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ قَدْرَ مَا يَخْرُجُ مِنْ ثَمَرِ ذَلِكَ الْغَرْسِ “Tidaklah seseorang menanam tanaman, kecuali Allah ‘Azza Wajalla mencatat pahala untuknya seukuran buah yang dikeluarkan oleh tanaman itu.” (HR. Ahmad no. 22420 dan 22424. Hadis dha’if. Lihat Al-Jami’ Al-Saghir no. 8016) Anjuran Nabi untuk merawat bumi dengan menanam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إن قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا تَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا “Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya, maka tanamlah.” (HR. Bukhari dan Ahmad) Senada dengan hadis Nabi di atas, Umar bin Khattab pernah berkata kepada seseorang tua renta dalam riwayat berikut, عن عمارة بن خزيمة بن ثابت قال : سمعت عمر بن الخطاب يقول لأبي : ما يمنعك أن تغرس أرضك ؟ فقال له أبي : أنا شيخ كبير أموت غدا ، فقال له عمر : أعزم عليك لتغرسنها. فلقد رأيت عمر بن الخطاب يغرسها بيده مع أبي Dari Amarah bin Khuzaimah berkata, “Aku mendengar Umar bin Khattab berkata kepada bapakku, ‘Apa yang menghalangimu untuk menanami lahanmu?’ Bapakku berkata, ‘Aku tua renta yang akan mati besok.’ Umar berkata, ‘Kuyakinkan kau harus menanamnya.’ Maka, sungguh aku melihat Umar bin Khattab menanaminya bersama bapakku.” (Lihat Al-Jami’ Al-Kabir karya As-Suyuthi dan As-Silsilah As-Shahihah) Berdasarkan hadis tersebut serta riwayat dari Umar bin Khattab, menunjukkan bahwa sesungguhnya Islam mengajarkan kepada umatnya agar menjaga kelestarian alam dan merawat bumi. Pohon memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan alam, terutama dalam penyediaan oksigen, penyerapan karbon dioksida, serta dapat mencegah banjir, longsor, dan erosi tanah. Oleh karena itu, menanam pohon adalah bentuk tanggung jawab kita terhadap kelestarian bumi dan lingkungan sekitar serta upaya kita dalam menjaga keseimbangan ekosistem yang akan memberi manfaat tidak hanya kepada diri kita, tetapi juga kepada generasi mendatang. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada kita untuk menanam pohon sebagai wujud mengamalkan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kecintaan kita terhadap lingkungan, dan untuk mendapatkan pahala yang berkelanjutan. Dengan menanam pohon, kita tidak hanya memberikan kehidupan bagi bumi, tetapi juga memberikan kehidupan bagi amal kita setelah mati. Baca juga: Bagaimanakah agar Bekerja Berbuah Pahala? *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id

Menanam Pohon, Memanen Pahala

Daftar Isi Toggle Pertama, berpahala sedekahKedua, mendapat pahala jariyahKetiga, jumlah pahala seukuran jumlah buah di pohonAnjuran Nabi untuk merawat bumi dengan menanam Menanam pohon adalah salah satu amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam, karena menanam bukan hanya sekadar kegiatan fisik, tetapi juga memiliki dimensi spiritual yang mendalam. Aktivitas ini tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan, tetapi juga memberikan ganjaran pahala yang besar bagi siapa saja yang melakukannya, bahkan bisa menjadi ladang amal jariyah yang pahalanya akan terus mengalir walaupun penanamnya telah wafat. Hal ini karena banyak sekali manfaat dari pohon atau tanaman bagi kehidupan di sekitarnya. Jika pohon itu berbuah, maka manusia dan hewan yang makan dan menikmatinya terhitung sedekah. Jika ia digunakan untuk berteduh manusia ataupun binatang, maka bisa bernilai pahala untuk penanamnya. Adakalanya pohon tersebut juga dimanfaatkan burung untuk membuat sarang, diambil bunga dan daunnya oleh manusia untuk dimasak, dipungut batang atau rantingnya untuk kayu bakar, dan manfaat lainnya. Berikut hadis-hadis terkait dengan keutamaan menanam pohon: Pertama, berpahala sedekah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ “Tidaklah seorang muslim pun yang bercocok tanam atau menanam satu tanaman, lalu tanaman itu dimakan oleh burung, atau manusia, atau hewan, melainkan itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari) Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلَّا كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَمَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ مِنْهُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَتْ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَلَا يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلَّا كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ “Tidaklah seorang muslim yang bercocok tanam, kecuali setiap tanamannya yang dimakannya bernilai sedekah baginya, apa yang dicuri orang darinya menjadi sedekah baginya, apa yang dimakan binatang liar menjadi sedekah baginya, apa yang dimakan burung menjadi sedekah baginya, dan tidaklah seseorang mengambil darinya, melainkan ia menjadi sedekah baginya.” (HR. Muslim) Kedua, mendapat pahala jariyah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ بَنَى بُنْيَانًا فِى غَيْرِ ظُلْمٍ وَلَا اعْتِدَاءٍ أَوْ غَرَسَ غَرْسًا فِى غَيْرِ ظُلْمٍ وَلَا اعْتِدَاءٍ كَانَ لَهُ أَجْرٌ جَارِيًا مَا انْتَفَعَ بِهِ مِنْ خَلْقِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ “Siapa saja yang mendirikan bangunan atau menanam pohon tanpa kezaliman dan melewati batas, niscaya itu akan bernilai pahala yang mengalir selama bermanfaat bagi makhluk Allah yang Maha Pengasih.” (HR. Ahmad, no. 4739) Dalam sabda beliau yang lain, سَبْعٌ يَجْرِى لِلْعَبْدِ أَجْرُهُنَّ وَهُوَ فِي قَبْرِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ أَوْ غَرَسَ نَخْلاً: “Ada tujuh yang pahalanya mengalir terus kepada seseorang di alam kuburnya: (salah satunya) orang yang menanam pohon kurma…” (HR. Al-Bazzar no. 7289; Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin 2: 181; dan Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al- Iman no. 3449. Lihat Sahih Al-Targhib no. 73) Hadis di atas menunjukkan bahwa setiap tanaman yang kita tanam dan hasilnya dimanfaatkan oleh makhluk hidup akan menjadi amal jariyah bagi kita. Pahalanya terus mengalir, meskipun kita sudah meninggal, asalkan tanaman itu tetap memberi manfaat. Ketiga, jumlah pahala seukuran jumlah buah di pohon Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ رَجُلٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلَّا كَتَبَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ قَدْرَ مَا يَخْرُجُ مِنْ ثَمَرِ ذَلِكَ الْغَرْسِ “Tidaklah seseorang menanam tanaman, kecuali Allah ‘Azza Wajalla mencatat pahala untuknya seukuran buah yang dikeluarkan oleh tanaman itu.” (HR. Ahmad no. 22420 dan 22424. Hadis dha’if. Lihat Al-Jami’ Al-Saghir no. 8016) Anjuran Nabi untuk merawat bumi dengan menanam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إن قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا تَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا “Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya, maka tanamlah.” (HR. Bukhari dan Ahmad) Senada dengan hadis Nabi di atas, Umar bin Khattab pernah berkata kepada seseorang tua renta dalam riwayat berikut, عن عمارة بن خزيمة بن ثابت قال : سمعت عمر بن الخطاب يقول لأبي : ما يمنعك أن تغرس أرضك ؟ فقال له أبي : أنا شيخ كبير أموت غدا ، فقال له عمر : أعزم عليك لتغرسنها. فلقد رأيت عمر بن الخطاب يغرسها بيده مع أبي Dari Amarah bin Khuzaimah berkata, “Aku mendengar Umar bin Khattab berkata kepada bapakku, ‘Apa yang menghalangimu untuk menanami lahanmu?’ Bapakku berkata, ‘Aku tua renta yang akan mati besok.’ Umar berkata, ‘Kuyakinkan kau harus menanamnya.’ Maka, sungguh aku melihat Umar bin Khattab menanaminya bersama bapakku.” (Lihat Al-Jami’ Al-Kabir karya As-Suyuthi dan As-Silsilah As-Shahihah) Berdasarkan hadis tersebut serta riwayat dari Umar bin Khattab, menunjukkan bahwa sesungguhnya Islam mengajarkan kepada umatnya agar menjaga kelestarian alam dan merawat bumi. Pohon memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan alam, terutama dalam penyediaan oksigen, penyerapan karbon dioksida, serta dapat mencegah banjir, longsor, dan erosi tanah. Oleh karena itu, menanam pohon adalah bentuk tanggung jawab kita terhadap kelestarian bumi dan lingkungan sekitar serta upaya kita dalam menjaga keseimbangan ekosistem yang akan memberi manfaat tidak hanya kepada diri kita, tetapi juga kepada generasi mendatang. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada kita untuk menanam pohon sebagai wujud mengamalkan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kecintaan kita terhadap lingkungan, dan untuk mendapatkan pahala yang berkelanjutan. Dengan menanam pohon, kita tidak hanya memberikan kehidupan bagi bumi, tetapi juga memberikan kehidupan bagi amal kita setelah mati. Baca juga: Bagaimanakah agar Bekerja Berbuah Pahala? *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Pertama, berpahala sedekahKedua, mendapat pahala jariyahKetiga, jumlah pahala seukuran jumlah buah di pohonAnjuran Nabi untuk merawat bumi dengan menanam Menanam pohon adalah salah satu amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam, karena menanam bukan hanya sekadar kegiatan fisik, tetapi juga memiliki dimensi spiritual yang mendalam. Aktivitas ini tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan, tetapi juga memberikan ganjaran pahala yang besar bagi siapa saja yang melakukannya, bahkan bisa menjadi ladang amal jariyah yang pahalanya akan terus mengalir walaupun penanamnya telah wafat. Hal ini karena banyak sekali manfaat dari pohon atau tanaman bagi kehidupan di sekitarnya. Jika pohon itu berbuah, maka manusia dan hewan yang makan dan menikmatinya terhitung sedekah. Jika ia digunakan untuk berteduh manusia ataupun binatang, maka bisa bernilai pahala untuk penanamnya. Adakalanya pohon tersebut juga dimanfaatkan burung untuk membuat sarang, diambil bunga dan daunnya oleh manusia untuk dimasak, dipungut batang atau rantingnya untuk kayu bakar, dan manfaat lainnya. Berikut hadis-hadis terkait dengan keutamaan menanam pohon: Pertama, berpahala sedekah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ “Tidaklah seorang muslim pun yang bercocok tanam atau menanam satu tanaman, lalu tanaman itu dimakan oleh burung, atau manusia, atau hewan, melainkan itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari) Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلَّا كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَمَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ مِنْهُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَتْ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَلَا يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلَّا كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ “Tidaklah seorang muslim yang bercocok tanam, kecuali setiap tanamannya yang dimakannya bernilai sedekah baginya, apa yang dicuri orang darinya menjadi sedekah baginya, apa yang dimakan binatang liar menjadi sedekah baginya, apa yang dimakan burung menjadi sedekah baginya, dan tidaklah seseorang mengambil darinya, melainkan ia menjadi sedekah baginya.” (HR. Muslim) Kedua, mendapat pahala jariyah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ بَنَى بُنْيَانًا فِى غَيْرِ ظُلْمٍ وَلَا اعْتِدَاءٍ أَوْ غَرَسَ غَرْسًا فِى غَيْرِ ظُلْمٍ وَلَا اعْتِدَاءٍ كَانَ لَهُ أَجْرٌ جَارِيًا مَا انْتَفَعَ بِهِ مِنْ خَلْقِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ “Siapa saja yang mendirikan bangunan atau menanam pohon tanpa kezaliman dan melewati batas, niscaya itu akan bernilai pahala yang mengalir selama bermanfaat bagi makhluk Allah yang Maha Pengasih.” (HR. Ahmad, no. 4739) Dalam sabda beliau yang lain, سَبْعٌ يَجْرِى لِلْعَبْدِ أَجْرُهُنَّ وَهُوَ فِي قَبْرِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ أَوْ غَرَسَ نَخْلاً: “Ada tujuh yang pahalanya mengalir terus kepada seseorang di alam kuburnya: (salah satunya) orang yang menanam pohon kurma…” (HR. Al-Bazzar no. 7289; Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin 2: 181; dan Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al- Iman no. 3449. Lihat Sahih Al-Targhib no. 73) Hadis di atas menunjukkan bahwa setiap tanaman yang kita tanam dan hasilnya dimanfaatkan oleh makhluk hidup akan menjadi amal jariyah bagi kita. Pahalanya terus mengalir, meskipun kita sudah meninggal, asalkan tanaman itu tetap memberi manfaat. Ketiga, jumlah pahala seukuran jumlah buah di pohon Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ رَجُلٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلَّا كَتَبَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ قَدْرَ مَا يَخْرُجُ مِنْ ثَمَرِ ذَلِكَ الْغَرْسِ “Tidaklah seseorang menanam tanaman, kecuali Allah ‘Azza Wajalla mencatat pahala untuknya seukuran buah yang dikeluarkan oleh tanaman itu.” (HR. Ahmad no. 22420 dan 22424. Hadis dha’if. Lihat Al-Jami’ Al-Saghir no. 8016) Anjuran Nabi untuk merawat bumi dengan menanam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إن قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا تَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا “Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya, maka tanamlah.” (HR. Bukhari dan Ahmad) Senada dengan hadis Nabi di atas, Umar bin Khattab pernah berkata kepada seseorang tua renta dalam riwayat berikut, عن عمارة بن خزيمة بن ثابت قال : سمعت عمر بن الخطاب يقول لأبي : ما يمنعك أن تغرس أرضك ؟ فقال له أبي : أنا شيخ كبير أموت غدا ، فقال له عمر : أعزم عليك لتغرسنها. فلقد رأيت عمر بن الخطاب يغرسها بيده مع أبي Dari Amarah bin Khuzaimah berkata, “Aku mendengar Umar bin Khattab berkata kepada bapakku, ‘Apa yang menghalangimu untuk menanami lahanmu?’ Bapakku berkata, ‘Aku tua renta yang akan mati besok.’ Umar berkata, ‘Kuyakinkan kau harus menanamnya.’ Maka, sungguh aku melihat Umar bin Khattab menanaminya bersama bapakku.” (Lihat Al-Jami’ Al-Kabir karya As-Suyuthi dan As-Silsilah As-Shahihah) Berdasarkan hadis tersebut serta riwayat dari Umar bin Khattab, menunjukkan bahwa sesungguhnya Islam mengajarkan kepada umatnya agar menjaga kelestarian alam dan merawat bumi. Pohon memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan alam, terutama dalam penyediaan oksigen, penyerapan karbon dioksida, serta dapat mencegah banjir, longsor, dan erosi tanah. Oleh karena itu, menanam pohon adalah bentuk tanggung jawab kita terhadap kelestarian bumi dan lingkungan sekitar serta upaya kita dalam menjaga keseimbangan ekosistem yang akan memberi manfaat tidak hanya kepada diri kita, tetapi juga kepada generasi mendatang. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada kita untuk menanam pohon sebagai wujud mengamalkan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kecintaan kita terhadap lingkungan, dan untuk mendapatkan pahala yang berkelanjutan. Dengan menanam pohon, kita tidak hanya memberikan kehidupan bagi bumi, tetapi juga memberikan kehidupan bagi amal kita setelah mati. Baca juga: Bagaimanakah agar Bekerja Berbuah Pahala? *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Pertama, berpahala sedekahKedua, mendapat pahala jariyahKetiga, jumlah pahala seukuran jumlah buah di pohonAnjuran Nabi untuk merawat bumi dengan menanam Menanam pohon adalah salah satu amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam, karena menanam bukan hanya sekadar kegiatan fisik, tetapi juga memiliki dimensi spiritual yang mendalam. Aktivitas ini tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan, tetapi juga memberikan ganjaran pahala yang besar bagi siapa saja yang melakukannya, bahkan bisa menjadi ladang amal jariyah yang pahalanya akan terus mengalir walaupun penanamnya telah wafat. Hal ini karena banyak sekali manfaat dari pohon atau tanaman bagi kehidupan di sekitarnya. Jika pohon itu berbuah, maka manusia dan hewan yang makan dan menikmatinya terhitung sedekah. Jika ia digunakan untuk berteduh manusia ataupun binatang, maka bisa bernilai pahala untuk penanamnya. Adakalanya pohon tersebut juga dimanfaatkan burung untuk membuat sarang, diambil bunga dan daunnya oleh manusia untuk dimasak, dipungut batang atau rantingnya untuk kayu bakar, dan manfaat lainnya. Berikut hadis-hadis terkait dengan keutamaan menanam pohon: Pertama, berpahala sedekah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ “Tidaklah seorang muslim pun yang bercocok tanam atau menanam satu tanaman, lalu tanaman itu dimakan oleh burung, atau manusia, atau hewan, melainkan itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari) Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلَّا كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَمَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ مِنْهُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَتْ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَلَا يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلَّا كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ “Tidaklah seorang muslim yang bercocok tanam, kecuali setiap tanamannya yang dimakannya bernilai sedekah baginya, apa yang dicuri orang darinya menjadi sedekah baginya, apa yang dimakan binatang liar menjadi sedekah baginya, apa yang dimakan burung menjadi sedekah baginya, dan tidaklah seseorang mengambil darinya, melainkan ia menjadi sedekah baginya.” (HR. Muslim) Kedua, mendapat pahala jariyah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ بَنَى بُنْيَانًا فِى غَيْرِ ظُلْمٍ وَلَا اعْتِدَاءٍ أَوْ غَرَسَ غَرْسًا فِى غَيْرِ ظُلْمٍ وَلَا اعْتِدَاءٍ كَانَ لَهُ أَجْرٌ جَارِيًا مَا انْتَفَعَ بِهِ مِنْ خَلْقِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ “Siapa saja yang mendirikan bangunan atau menanam pohon tanpa kezaliman dan melewati batas, niscaya itu akan bernilai pahala yang mengalir selama bermanfaat bagi makhluk Allah yang Maha Pengasih.” (HR. Ahmad, no. 4739) Dalam sabda beliau yang lain, سَبْعٌ يَجْرِى لِلْعَبْدِ أَجْرُهُنَّ وَهُوَ فِي قَبْرِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ أَوْ غَرَسَ نَخْلاً: “Ada tujuh yang pahalanya mengalir terus kepada seseorang di alam kuburnya: (salah satunya) orang yang menanam pohon kurma…” (HR. Al-Bazzar no. 7289; Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin 2: 181; dan Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al- Iman no. 3449. Lihat Sahih Al-Targhib no. 73) Hadis di atas menunjukkan bahwa setiap tanaman yang kita tanam dan hasilnya dimanfaatkan oleh makhluk hidup akan menjadi amal jariyah bagi kita. Pahalanya terus mengalir, meskipun kita sudah meninggal, asalkan tanaman itu tetap memberi manfaat. Ketiga, jumlah pahala seukuran jumlah buah di pohon Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ رَجُلٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلَّا كَتَبَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ قَدْرَ مَا يَخْرُجُ مِنْ ثَمَرِ ذَلِكَ الْغَرْسِ “Tidaklah seseorang menanam tanaman, kecuali Allah ‘Azza Wajalla mencatat pahala untuknya seukuran buah yang dikeluarkan oleh tanaman itu.” (HR. Ahmad no. 22420 dan 22424. Hadis dha’if. Lihat Al-Jami’ Al-Saghir no. 8016) Anjuran Nabi untuk merawat bumi dengan menanam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إن قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا تَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا “Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya, maka tanamlah.” (HR. Bukhari dan Ahmad) Senada dengan hadis Nabi di atas, Umar bin Khattab pernah berkata kepada seseorang tua renta dalam riwayat berikut, عن عمارة بن خزيمة بن ثابت قال : سمعت عمر بن الخطاب يقول لأبي : ما يمنعك أن تغرس أرضك ؟ فقال له أبي : أنا شيخ كبير أموت غدا ، فقال له عمر : أعزم عليك لتغرسنها. فلقد رأيت عمر بن الخطاب يغرسها بيده مع أبي Dari Amarah bin Khuzaimah berkata, “Aku mendengar Umar bin Khattab berkata kepada bapakku, ‘Apa yang menghalangimu untuk menanami lahanmu?’ Bapakku berkata, ‘Aku tua renta yang akan mati besok.’ Umar berkata, ‘Kuyakinkan kau harus menanamnya.’ Maka, sungguh aku melihat Umar bin Khattab menanaminya bersama bapakku.” (Lihat Al-Jami’ Al-Kabir karya As-Suyuthi dan As-Silsilah As-Shahihah) Berdasarkan hadis tersebut serta riwayat dari Umar bin Khattab, menunjukkan bahwa sesungguhnya Islam mengajarkan kepada umatnya agar menjaga kelestarian alam dan merawat bumi. Pohon memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan alam, terutama dalam penyediaan oksigen, penyerapan karbon dioksida, serta dapat mencegah banjir, longsor, dan erosi tanah. Oleh karena itu, menanam pohon adalah bentuk tanggung jawab kita terhadap kelestarian bumi dan lingkungan sekitar serta upaya kita dalam menjaga keseimbangan ekosistem yang akan memberi manfaat tidak hanya kepada diri kita, tetapi juga kepada generasi mendatang. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada kita untuk menanam pohon sebagai wujud mengamalkan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kecintaan kita terhadap lingkungan, dan untuk mendapatkan pahala yang berkelanjutan. Dengan menanam pohon, kita tidak hanya memberikan kehidupan bagi bumi, tetapi juga memberikan kehidupan bagi amal kita setelah mati. Baca juga: Bagaimanakah agar Bekerja Berbuah Pahala? *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id

Empat Overdosis Penyebab Hati Keracunan (Bag. 4)

Bagian 4: Overdosis bergaul Bismillah. Walhamdulillah. Segala bentuk pujian dan syukur hanya berhak diperuntukkan untuk-Nya saja. Tuhan semesta alam yang telah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial. Hal ini ditandai dengan beragamnya etnis, suku, bangsa, budaya, bahasa, dan adat seluruh manusia, pun dengan watak dan sifat yang berbeda satu dengan lainnya. Sifat sosial manusia dengan keberagaman yang ada menuntut manusia untuk selalu dapat berinteraksi, baik aktif maupun pasif, sebagai sebuah keniscayaan yang tidak terhindarkan. Bersosial, bergaul dengan orang-orang, berkumpul, bercengkerama, dan tertawa bersama, pada hakikatnya tidak pernah menjadi sesuatu yang tabu atau salah, bahkan itu hal yang diperlukan oleh manusia, siapa pun itu. Akan tetapi, hal itu bisa menjadi penyebab hati menjadi sakit. Kapan? Ketika berlebihan. Overdosis. Biasanya, seseorang ketika penat dengan pekerjaan, atau capek dengan kesehariannya, ia akan berkumpul dengan teman-temannya, main, bercerita, jalan-jalan, atau semisalnya. Punya masalah hidup, curhat. Tersandung masalah dengan orang lain, mengadukan dan menceritakannya pada teman dekatnya. Tidak suka pada seseorang, jadilah dia membicarakan orang yang tidak disukainya itu dengan sesama orang yang tidak suka pula. Lihat, sesimpel itu bergaul dan bersosial menimbulkan negatif. Bagaimana jika dalam kasus yang lebih rumit dan kompleks, yang menyangkut dan terkait dengan banyak orang yang setiap harinya berbeda-beda? Pasti banyak pula masalah yang ditimbulkan. Ibnu Al-Qayyim rahimahullah memberikan sebuah komentar tentang bergaul. Beliau berkata, “Betapa banyaknya dampak negatif dari bergaul dengan orang-orang, betapa banyaknya kenikmatan yang terhalang, betapa banyak pula cobaan yang diturunkan, betapa banyak anugerah yang jadi tertahan, dan betapa banyak musibah yang terjadi. Adakah musibah yang lebih besar daripada manusia itu sendiri? Apakah ada yang lebih berbahaya bagi Abu Thalib di saat sakratulmaut, selain teman-teman buruknya, yang senantiasa menghalanginya dari mengucapkan satu kalimat yang dapat menjamin kebahagiaan abadi baginya?” [1] Allah Ta’ala berfirman, menggambarkan orang yang pergaulannya saat di dunia menjadi nestapa bagi dirinya di akhirat, bahkan Allah melabelinya dengan “orang yang zalim”, وَيَوْمَ يَعَضُّ ٱلظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيْهِ يَقُولُ يَـٰلَيْتَنِى ٱتَّخَذْتُ مَعَ ٱلرَّسُولِ سَبِيلًۭا يَـٰوَيْلَتَىٰ لَيْتَنِى لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًۭا لَّقَدْ أَضَلَّنِى عَنِ ٱلذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَآءَنِى ۗ وَكَانَ ٱلشَّيْطَـٰنُ لِلْإِنسَـٰنِ خَذُولًۭا “Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang zalim menggigit kedua tangannya, (menyesali perbuatannya) seraya berkata, ‘Wahai! Sekiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rasul. Wahai celaka aku! Sekiranya (dulu) aku tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku), sungguh, dia telah menyesatkan aku dari peringatan (Al-Qur’an) ketika (Al-Qur’an) itu telah datang kepadaku. Dan setan memang pengkhianat manusia.’” (QS. Al-Furqan: 27-29) Merenungi pemaknaan ayat tersebut, tentu sudah saatnya kita selektif dalam memilih teman duduk kita, teman yang membersamai kita, circle. Karena tentunya setiap kita tidak mau menyesal ketika di akhirat kelak karena hal-hal seperti pergaulan dan pertemanan. Untuk itu, perlu diketahui bahwa dalam bergaul dan berinteraksi, setidaknya ada 4 jenis dan kategori orang, di mana jika seseorang tidak bisa membedakan dan mengendalikan porsi bergaulnya dengan mereka, ia akan jatuh ke dalam keburukan-keburukan: Pertama: Orang yang bergaul dengannya seperti sebuah kebutuhan pokok. Kita senantiasa membutuhkannya dalam keseharian kita. Itu pun tetap dengan seperlunya, yaitu sebatas kita mengambil dan mendapat kebermanfaatan juga faedah darinya. Mereka yang termasuk ke dalam jenis ini adalah para ulama dan orang-orang saleh. Dalam bergaul, mereka cenderung akan mengajak kepada kebaikan dan memberi nasihat, karena sejatinya yang dijadikan pedoman hidup mereka adalah petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya. Bergaul dengan jenis ini adalah sebenar-benarnya keberuntungan. Kedua: Orang yang bergaul dengannya seperti obat saat sakit. Yaitu, hanya ketika dibutuhkan saja. Biasanya dalam perkara suatu urusan tertentu, atau urusan duniawi seperti transaksi, urusan pekerjaan, dan semislanya. Tidak perlu terlalu intens, hanya seperlunya dan secukupnya saja. Ketiga: Orang yang bergaul dengannya ibarat sebuah penyakit, dengan tingkatan yang berbeda-beda. Ada yang seperti penyakit ringan, bahkan sampai seperti penyakit kronis. Yang mana pun itu, penyakit pada dasarnya tetap harus dijauhi, bukan? Mereka adalah yang tidak bisa memberi kebermanfaatan sama sekali, entah itu ilmu, hikmah, ataupun nasihat. Bahkan, bergaul dengan mereka cenderung menimbulkan rasa tidak nyaman dan kebencian. Termasuk pula orang yang perkataannya buruk, tidak enak didengar, seringkali berkata kasar ataupun mengumpat. Orang seperti itu sepatutnya kita jauhi demi ketenangan jiwa dan kesehatan hati kita. Sekalipun harus berurusan dengan orang-orang yang termasuk pada jenis ini, cukup berurusan sebatas kebutuhan, tidak lebih. Itu pun lebih baik secara lahir saja, dengan batin kita (hati) tetap mengingkari perbuatan dan keburukan mereka. Keempat: Orang yang bergaul dengannya adalah sebuah kehancuran bagi diri, dan terutama hati kita. Kenelangsaan yang didapat, dan bahkan bergaul dengannya ibarat meminum racun, sangat berbahaya, terlebih jika tidak ada penawar yang ampuh. Bergaul dengan orang jenis ini dapat membuat hati menjadi mati, atau paling tidak menjadi sakit, menimbulkan penyakit hati. Mereka adalah orang-orang yang berada dalam kesesatan dan bid’ah, entah itu sebagai pelaku nyata, apalagi gembongnya. Orang-orang yang bagi mereka sunah adalah bid’ah, dan bid’ah adalah sunah. Orang beriman yang berakal tidak sepantasnya bergaul dengan mereka. Jika memang terpaksa harus dilakukan, haruslah dengan kondisi keimanannya yang sudah kuat dan tetap selalu menjaganya agar tidak teracuni. [2] Selain menyesuaikan pergaulan dengan keempat jenis orang ini (meski jenis ke-3 dan ke-4 tidak layak bergaul dengannya, kecuali benar-benar terdesak oleh kebutuhan), perlu dipahami secara seksama, bergaul seperti apa yang masuk ke dalam kategori  فضول المخالطة atau over-pergaulan? Maka, jawabannya ada dua: Pertama: Sebagaimana secara kontekstual, yaitu bergaul yang secara berlebihan, alias melebihi kadar cukup atau kebutuhan yang seharusnya. Terlebih lagi jika seseorang yang waktu dan harinya hanya dihabiskan untuk nongkrong, bermain bersama teman-temannya, yang mengakibatkan hilangnya waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk hal lain yang lebih bermanfaat, apalagi sampai melewatkan ibadah. Kedua: Kembali pada komentar Ibnu Al-Qayyim yang dibawakan di awal, berarti overdosis dalam pergaulan itu adalah ketika pergaulan itu membawa efek samping seperti berbagai dampak negatif, rasa tidak nyaman, menghalangi dari kenikmatan, apalagi sampai membawa petaka dan musibah pada kita. Jika kita terlibat dalam pergaulan yang seperti ini, segera tinggalkan, atau sengsara dan menyesal kemudian! Kedua pemaknaan ini tidak terpisah satu sama lain, tetapi justru saling tersambung. Karena ketika seseorang bergaul dengan orang lain, dan pergaulannya itu melewati batas butuh, atau ia bergaul dengan orang yang buruk, maka hal itu akan merusak dirinya. Pertama, memengaruhi kesehariannya, membuatnya tidak bisa terlepas dari hal itu. Kemudian, ketika ada hal buruk yang dilakukan oleh teman sepergaulannya, ia akan tertular. Lantas, semakin lama ia bergaul, semakin waktunya banyak terbuang. Jika yang menyatukan pergaulannya adalah hal-hal negatif seperti gibah, pemborosan, judi, atau jenis dosa lainnya, hatinya akan terkotori. Adapun jenis interaksi sosial atau pergaulan seperti berkumpul-kumpul dengan orang lain ada dua sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Al-Qayyim: Pertama: Berkumpul untuk hiburan, bercanda, bersenda gurau, atau sekadar mengisi waktu luang. Jenis interaksi sosial ini cenderung memberi lebih banyak mudarat daripada manfaat, minimalnya membuat hati keruh dan membuang-buang waktu, sekalipun tidak ada pembicaraan yang mengarah kepada hal-hal haram yang dilarang syariat di dalamnya; Kedua: Berkumpul yang di dalamnya ada saling membantu untuk meraih keselamatan dunia dan akhirat, dan saling bertukar nasihat atas kebaikan dan kesabaran. Inilah jenis bergaul yang paling baik dan paling bermanfaat. Meski begitu, tetap saja jenis ini berpotensi menimbulkan bahaya karena tiga sebab: Pertama: Kecenderungan memoles diri dengan kebaikan di hadapan yang lain, Kedua: Berinteraksi melebihi batas kebutuhan dan wajarnya, serta Ketiga :Terbiasa dan terlalu keasyikan dalam berkumpul sehingga melalaikan dari esensi berkumpul dan tujuan yang sebenarnya.[3] Tidak heran, cukup banyak ulama, salaf, termasuk pula sahabat yang melontarkan kritik soal pergaulan, dan bahkan preferensinya condong pada menyendiri dan menjauh dari kehidupan orang lain, di antaranya: Sahabat Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, خذوا بحظكم من العزلة “Ambillah kesempatanmu untuk menjalani dari keterasingan (dari manusia).” Sahabat Abu Darda radhiyallahu ‘anhu, bahkan lebih memilih berdiam diri di rumah karena itu lebih aman bagi hatinya. Beliau berkata, نعم صومعة الرجل بيته؛ يكف بصره ولسانه “Sebaik-baik tempat seseorang beribadah adalah rumahnya, di mana ia menahan dan menjaga pandangan dan lisannya.” Diceritakan pula dalam sebuah riwayat, bahwa Ummu Darda radhiyallahu ‘anha pernah ditanya, “Apa amalan paling utama dari Abu Darda?” Beliau radhiyallahu ‘anha kemudian menjawab dengan jawaban yang singkat dan bermakna dalam, التَّفَكُّرُ وَالِاعْتِبَارُ “Bertafakur (merenung) dan mengambil pelajaran.” Masruq rahimahullah menekankan agar setiap orang mempunyai saat di mana ia mengasingkan diri dengan tujuan beribadah, bertobat, dan meminta ampunan pada Allah atas dosa-dosanya. Beliau mengatakan, إن المرء لحقيق أن يكون له مجالس يخلو فيها فيذكر فيها ذنوبه فيستغفر منها “Sungguh, sudah menjadi sebuah kepantasan yang wajib bagi seseorang agar ia memiliki waktu-waktu dan tempat di mana ia menyendiri, di mana ia mengingat-ingat dosa-dosanya, lantas meminta pengampunan untuk itu dari Allah.” Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah mengatakan, وأما اعتزال الناس في فضول المباحات وما لا ينفع – وذلك بالزهد فيه – فذلك مستحب “Adapun menarik diri dan menyendiri dari pergaulan dalam hal-hal yang mubah dan tidak ada manfaatnya –yaitu dengan bersikap zuhud dalam hal itu– adalah sesuatu yang disunahkan.” Dalam kesempatannya yang lain, beliau rahimahullah juga menekankan agar seseorang punya waktu untuk menyendiri yang ia gunakan untuk ibadah dan bermuhasabah, merenungi amalan dan dosa-dosanya, لا بد للعبد من أوقات ينفرد بها بنفسه في دعائه وذكره وصلاته وتفكره ومحاسبة نفسه وإصلاح قلبه “Sebuah keharusan bagi seorang hamba untuk memiliki waktu-waktu ia menyendiri dan mengasingkan diri dan menggunakannya untuk berdoa, berzikir, salat, merenung, dan muhasabah diri, dan memperbaiki hatinya.” Sayyid Qutb rahimahullah pernah mewasiatkan, ولا بد لأي روح يراد لها أن تؤثر في واقع الحياة البشرية فتحولها وجهة أخرى .. لا بد لهذه الروح من خلوة وعزلة لبعض الوقت، وانقطاع عن شواغل الأرض وضجة الحياة وهموم الناس الصغيرة التي تشغل الحياة “Setiap jiwa yang ingin mengubah haluan kehidupannya menjadi lebih baik haruslah melewati fase-fase di mana ia menyendiri dan mengasingkan diri, menjauh dari kesibukan dunia, hiruk-pikuk kehidupan, dan mengabaikan hal-hal sepele dari pandangan orang lain yang kerap kali menyita kehidupannya.” [4] Saat ini, tidak sedikit orang yang mengabaikan fakta bahwa kecenderungannya untuk selalu berinteraksi dan bergaul bisa menjadi penyakit yang berpotensi menimbulkan berbagai macam keburukan. Berapa banyak kenikmatan yang telah hilang akibat pergaulan yang berlebihan, dan berapa banyak pula permusuhan yang timbul dari interaksi sosial yang tidak terkendali. Sebut saja perasaan iri, dengki, dan benci yang kerap muncul dari terlalu banyak bergaul, tertanam di hati, lantas mengotori dan meracuninya. Oleh karena itu, berlebihan dalam bergaul justru menimbulkan kerugian di dunia maupun akhirat. Yang harus kita lakukan dalam bergaul simpel saja: bergaul dan berinteraksi, bersosial sewajarnya, sebatas sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan. Tidak lebih dari itu. Tidak sulit, yang sulit itu justru terus mengikuti alur kolektif orang lain. Kita harus bijak dengan menggolongkan manusia dalam empat kategori, dan berhati-hati agar tidak mencampurkan satu kategori dengan yang lainnya, karena hal ini akan membawa dampak negatif dalam hidupnya. Inilah satu dari empat racun yang dapat membuat hati menjadi sakit, dari ringan hingga kronis, bahkan dalam situasi terburuk sampai membunuhnya, empat overdosis: bicara, melihat, makan, dan bergaul. [5] Menjauhi dan menghindari keempat overdosis ini juga adalah salah satu bentuk menjaga diri dari bahaya setan yang bisa datang dari mana saja, kapan pun, dan di mana pun. [6] Semoga Allah senantiasa menjaga kita dalam batasan-batasan aman syariat, sehingga kita tidak tergelincir pada suatu lubang di mana lubang itu bisa saja menjadi pintu neraka bagi kita. Allahumma shalli wasallim ‘ala rasulillah. Kembali ke bagian 3 Mulai dari bagian 1 *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarij As-Salikin bayna Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, 1: 453. [2] Ahmad Farid, Tazkiyatun Nufus, hal. 41-43. [3] Umar Abdul Kafi, Syarhu Kitab Al-Fawaid, 4: 15. [4] Manshur bin Muhammad Al-Muqrin, Al-Fudhul, hal. 54-57. [5] Ahmad Farid, Tazkiyatun Nufus, hal. 31-43. [6] Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr, Ahadis Ishlah Al-Qulub, hal. 634-643.

Empat Overdosis Penyebab Hati Keracunan (Bag. 4)

Bagian 4: Overdosis bergaul Bismillah. Walhamdulillah. Segala bentuk pujian dan syukur hanya berhak diperuntukkan untuk-Nya saja. Tuhan semesta alam yang telah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial. Hal ini ditandai dengan beragamnya etnis, suku, bangsa, budaya, bahasa, dan adat seluruh manusia, pun dengan watak dan sifat yang berbeda satu dengan lainnya. Sifat sosial manusia dengan keberagaman yang ada menuntut manusia untuk selalu dapat berinteraksi, baik aktif maupun pasif, sebagai sebuah keniscayaan yang tidak terhindarkan. Bersosial, bergaul dengan orang-orang, berkumpul, bercengkerama, dan tertawa bersama, pada hakikatnya tidak pernah menjadi sesuatu yang tabu atau salah, bahkan itu hal yang diperlukan oleh manusia, siapa pun itu. Akan tetapi, hal itu bisa menjadi penyebab hati menjadi sakit. Kapan? Ketika berlebihan. Overdosis. Biasanya, seseorang ketika penat dengan pekerjaan, atau capek dengan kesehariannya, ia akan berkumpul dengan teman-temannya, main, bercerita, jalan-jalan, atau semisalnya. Punya masalah hidup, curhat. Tersandung masalah dengan orang lain, mengadukan dan menceritakannya pada teman dekatnya. Tidak suka pada seseorang, jadilah dia membicarakan orang yang tidak disukainya itu dengan sesama orang yang tidak suka pula. Lihat, sesimpel itu bergaul dan bersosial menimbulkan negatif. Bagaimana jika dalam kasus yang lebih rumit dan kompleks, yang menyangkut dan terkait dengan banyak orang yang setiap harinya berbeda-beda? Pasti banyak pula masalah yang ditimbulkan. Ibnu Al-Qayyim rahimahullah memberikan sebuah komentar tentang bergaul. Beliau berkata, “Betapa banyaknya dampak negatif dari bergaul dengan orang-orang, betapa banyaknya kenikmatan yang terhalang, betapa banyak pula cobaan yang diturunkan, betapa banyak anugerah yang jadi tertahan, dan betapa banyak musibah yang terjadi. Adakah musibah yang lebih besar daripada manusia itu sendiri? Apakah ada yang lebih berbahaya bagi Abu Thalib di saat sakratulmaut, selain teman-teman buruknya, yang senantiasa menghalanginya dari mengucapkan satu kalimat yang dapat menjamin kebahagiaan abadi baginya?” [1] Allah Ta’ala berfirman, menggambarkan orang yang pergaulannya saat di dunia menjadi nestapa bagi dirinya di akhirat, bahkan Allah melabelinya dengan “orang yang zalim”, وَيَوْمَ يَعَضُّ ٱلظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيْهِ يَقُولُ يَـٰلَيْتَنِى ٱتَّخَذْتُ مَعَ ٱلرَّسُولِ سَبِيلًۭا يَـٰوَيْلَتَىٰ لَيْتَنِى لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًۭا لَّقَدْ أَضَلَّنِى عَنِ ٱلذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَآءَنِى ۗ وَكَانَ ٱلشَّيْطَـٰنُ لِلْإِنسَـٰنِ خَذُولًۭا “Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang zalim menggigit kedua tangannya, (menyesali perbuatannya) seraya berkata, ‘Wahai! Sekiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rasul. Wahai celaka aku! Sekiranya (dulu) aku tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku), sungguh, dia telah menyesatkan aku dari peringatan (Al-Qur’an) ketika (Al-Qur’an) itu telah datang kepadaku. Dan setan memang pengkhianat manusia.’” (QS. Al-Furqan: 27-29) Merenungi pemaknaan ayat tersebut, tentu sudah saatnya kita selektif dalam memilih teman duduk kita, teman yang membersamai kita, circle. Karena tentunya setiap kita tidak mau menyesal ketika di akhirat kelak karena hal-hal seperti pergaulan dan pertemanan. Untuk itu, perlu diketahui bahwa dalam bergaul dan berinteraksi, setidaknya ada 4 jenis dan kategori orang, di mana jika seseorang tidak bisa membedakan dan mengendalikan porsi bergaulnya dengan mereka, ia akan jatuh ke dalam keburukan-keburukan: Pertama: Orang yang bergaul dengannya seperti sebuah kebutuhan pokok. Kita senantiasa membutuhkannya dalam keseharian kita. Itu pun tetap dengan seperlunya, yaitu sebatas kita mengambil dan mendapat kebermanfaatan juga faedah darinya. Mereka yang termasuk ke dalam jenis ini adalah para ulama dan orang-orang saleh. Dalam bergaul, mereka cenderung akan mengajak kepada kebaikan dan memberi nasihat, karena sejatinya yang dijadikan pedoman hidup mereka adalah petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya. Bergaul dengan jenis ini adalah sebenar-benarnya keberuntungan. Kedua: Orang yang bergaul dengannya seperti obat saat sakit. Yaitu, hanya ketika dibutuhkan saja. Biasanya dalam perkara suatu urusan tertentu, atau urusan duniawi seperti transaksi, urusan pekerjaan, dan semislanya. Tidak perlu terlalu intens, hanya seperlunya dan secukupnya saja. Ketiga: Orang yang bergaul dengannya ibarat sebuah penyakit, dengan tingkatan yang berbeda-beda. Ada yang seperti penyakit ringan, bahkan sampai seperti penyakit kronis. Yang mana pun itu, penyakit pada dasarnya tetap harus dijauhi, bukan? Mereka adalah yang tidak bisa memberi kebermanfaatan sama sekali, entah itu ilmu, hikmah, ataupun nasihat. Bahkan, bergaul dengan mereka cenderung menimbulkan rasa tidak nyaman dan kebencian. Termasuk pula orang yang perkataannya buruk, tidak enak didengar, seringkali berkata kasar ataupun mengumpat. Orang seperti itu sepatutnya kita jauhi demi ketenangan jiwa dan kesehatan hati kita. Sekalipun harus berurusan dengan orang-orang yang termasuk pada jenis ini, cukup berurusan sebatas kebutuhan, tidak lebih. Itu pun lebih baik secara lahir saja, dengan batin kita (hati) tetap mengingkari perbuatan dan keburukan mereka. Keempat: Orang yang bergaul dengannya adalah sebuah kehancuran bagi diri, dan terutama hati kita. Kenelangsaan yang didapat, dan bahkan bergaul dengannya ibarat meminum racun, sangat berbahaya, terlebih jika tidak ada penawar yang ampuh. Bergaul dengan orang jenis ini dapat membuat hati menjadi mati, atau paling tidak menjadi sakit, menimbulkan penyakit hati. Mereka adalah orang-orang yang berada dalam kesesatan dan bid’ah, entah itu sebagai pelaku nyata, apalagi gembongnya. Orang-orang yang bagi mereka sunah adalah bid’ah, dan bid’ah adalah sunah. Orang beriman yang berakal tidak sepantasnya bergaul dengan mereka. Jika memang terpaksa harus dilakukan, haruslah dengan kondisi keimanannya yang sudah kuat dan tetap selalu menjaganya agar tidak teracuni. [2] Selain menyesuaikan pergaulan dengan keempat jenis orang ini (meski jenis ke-3 dan ke-4 tidak layak bergaul dengannya, kecuali benar-benar terdesak oleh kebutuhan), perlu dipahami secara seksama, bergaul seperti apa yang masuk ke dalam kategori  فضول المخالطة atau over-pergaulan? Maka, jawabannya ada dua: Pertama: Sebagaimana secara kontekstual, yaitu bergaul yang secara berlebihan, alias melebihi kadar cukup atau kebutuhan yang seharusnya. Terlebih lagi jika seseorang yang waktu dan harinya hanya dihabiskan untuk nongkrong, bermain bersama teman-temannya, yang mengakibatkan hilangnya waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk hal lain yang lebih bermanfaat, apalagi sampai melewatkan ibadah. Kedua: Kembali pada komentar Ibnu Al-Qayyim yang dibawakan di awal, berarti overdosis dalam pergaulan itu adalah ketika pergaulan itu membawa efek samping seperti berbagai dampak negatif, rasa tidak nyaman, menghalangi dari kenikmatan, apalagi sampai membawa petaka dan musibah pada kita. Jika kita terlibat dalam pergaulan yang seperti ini, segera tinggalkan, atau sengsara dan menyesal kemudian! Kedua pemaknaan ini tidak terpisah satu sama lain, tetapi justru saling tersambung. Karena ketika seseorang bergaul dengan orang lain, dan pergaulannya itu melewati batas butuh, atau ia bergaul dengan orang yang buruk, maka hal itu akan merusak dirinya. Pertama, memengaruhi kesehariannya, membuatnya tidak bisa terlepas dari hal itu. Kemudian, ketika ada hal buruk yang dilakukan oleh teman sepergaulannya, ia akan tertular. Lantas, semakin lama ia bergaul, semakin waktunya banyak terbuang. Jika yang menyatukan pergaulannya adalah hal-hal negatif seperti gibah, pemborosan, judi, atau jenis dosa lainnya, hatinya akan terkotori. Adapun jenis interaksi sosial atau pergaulan seperti berkumpul-kumpul dengan orang lain ada dua sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Al-Qayyim: Pertama: Berkumpul untuk hiburan, bercanda, bersenda gurau, atau sekadar mengisi waktu luang. Jenis interaksi sosial ini cenderung memberi lebih banyak mudarat daripada manfaat, minimalnya membuat hati keruh dan membuang-buang waktu, sekalipun tidak ada pembicaraan yang mengarah kepada hal-hal haram yang dilarang syariat di dalamnya; Kedua: Berkumpul yang di dalamnya ada saling membantu untuk meraih keselamatan dunia dan akhirat, dan saling bertukar nasihat atas kebaikan dan kesabaran. Inilah jenis bergaul yang paling baik dan paling bermanfaat. Meski begitu, tetap saja jenis ini berpotensi menimbulkan bahaya karena tiga sebab: Pertama: Kecenderungan memoles diri dengan kebaikan di hadapan yang lain, Kedua: Berinteraksi melebihi batas kebutuhan dan wajarnya, serta Ketiga :Terbiasa dan terlalu keasyikan dalam berkumpul sehingga melalaikan dari esensi berkumpul dan tujuan yang sebenarnya.[3] Tidak heran, cukup banyak ulama, salaf, termasuk pula sahabat yang melontarkan kritik soal pergaulan, dan bahkan preferensinya condong pada menyendiri dan menjauh dari kehidupan orang lain, di antaranya: Sahabat Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, خذوا بحظكم من العزلة “Ambillah kesempatanmu untuk menjalani dari keterasingan (dari manusia).” Sahabat Abu Darda radhiyallahu ‘anhu, bahkan lebih memilih berdiam diri di rumah karena itu lebih aman bagi hatinya. Beliau berkata, نعم صومعة الرجل بيته؛ يكف بصره ولسانه “Sebaik-baik tempat seseorang beribadah adalah rumahnya, di mana ia menahan dan menjaga pandangan dan lisannya.” Diceritakan pula dalam sebuah riwayat, bahwa Ummu Darda radhiyallahu ‘anha pernah ditanya, “Apa amalan paling utama dari Abu Darda?” Beliau radhiyallahu ‘anha kemudian menjawab dengan jawaban yang singkat dan bermakna dalam, التَّفَكُّرُ وَالِاعْتِبَارُ “Bertafakur (merenung) dan mengambil pelajaran.” Masruq rahimahullah menekankan agar setiap orang mempunyai saat di mana ia mengasingkan diri dengan tujuan beribadah, bertobat, dan meminta ampunan pada Allah atas dosa-dosanya. Beliau mengatakan, إن المرء لحقيق أن يكون له مجالس يخلو فيها فيذكر فيها ذنوبه فيستغفر منها “Sungguh, sudah menjadi sebuah kepantasan yang wajib bagi seseorang agar ia memiliki waktu-waktu dan tempat di mana ia menyendiri, di mana ia mengingat-ingat dosa-dosanya, lantas meminta pengampunan untuk itu dari Allah.” Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah mengatakan, وأما اعتزال الناس في فضول المباحات وما لا ينفع – وذلك بالزهد فيه – فذلك مستحب “Adapun menarik diri dan menyendiri dari pergaulan dalam hal-hal yang mubah dan tidak ada manfaatnya –yaitu dengan bersikap zuhud dalam hal itu– adalah sesuatu yang disunahkan.” Dalam kesempatannya yang lain, beliau rahimahullah juga menekankan agar seseorang punya waktu untuk menyendiri yang ia gunakan untuk ibadah dan bermuhasabah, merenungi amalan dan dosa-dosanya, لا بد للعبد من أوقات ينفرد بها بنفسه في دعائه وذكره وصلاته وتفكره ومحاسبة نفسه وإصلاح قلبه “Sebuah keharusan bagi seorang hamba untuk memiliki waktu-waktu ia menyendiri dan mengasingkan diri dan menggunakannya untuk berdoa, berzikir, salat, merenung, dan muhasabah diri, dan memperbaiki hatinya.” Sayyid Qutb rahimahullah pernah mewasiatkan, ولا بد لأي روح يراد لها أن تؤثر في واقع الحياة البشرية فتحولها وجهة أخرى .. لا بد لهذه الروح من خلوة وعزلة لبعض الوقت، وانقطاع عن شواغل الأرض وضجة الحياة وهموم الناس الصغيرة التي تشغل الحياة “Setiap jiwa yang ingin mengubah haluan kehidupannya menjadi lebih baik haruslah melewati fase-fase di mana ia menyendiri dan mengasingkan diri, menjauh dari kesibukan dunia, hiruk-pikuk kehidupan, dan mengabaikan hal-hal sepele dari pandangan orang lain yang kerap kali menyita kehidupannya.” [4] Saat ini, tidak sedikit orang yang mengabaikan fakta bahwa kecenderungannya untuk selalu berinteraksi dan bergaul bisa menjadi penyakit yang berpotensi menimbulkan berbagai macam keburukan. Berapa banyak kenikmatan yang telah hilang akibat pergaulan yang berlebihan, dan berapa banyak pula permusuhan yang timbul dari interaksi sosial yang tidak terkendali. Sebut saja perasaan iri, dengki, dan benci yang kerap muncul dari terlalu banyak bergaul, tertanam di hati, lantas mengotori dan meracuninya. Oleh karena itu, berlebihan dalam bergaul justru menimbulkan kerugian di dunia maupun akhirat. Yang harus kita lakukan dalam bergaul simpel saja: bergaul dan berinteraksi, bersosial sewajarnya, sebatas sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan. Tidak lebih dari itu. Tidak sulit, yang sulit itu justru terus mengikuti alur kolektif orang lain. Kita harus bijak dengan menggolongkan manusia dalam empat kategori, dan berhati-hati agar tidak mencampurkan satu kategori dengan yang lainnya, karena hal ini akan membawa dampak negatif dalam hidupnya. Inilah satu dari empat racun yang dapat membuat hati menjadi sakit, dari ringan hingga kronis, bahkan dalam situasi terburuk sampai membunuhnya, empat overdosis: bicara, melihat, makan, dan bergaul. [5] Menjauhi dan menghindari keempat overdosis ini juga adalah salah satu bentuk menjaga diri dari bahaya setan yang bisa datang dari mana saja, kapan pun, dan di mana pun. [6] Semoga Allah senantiasa menjaga kita dalam batasan-batasan aman syariat, sehingga kita tidak tergelincir pada suatu lubang di mana lubang itu bisa saja menjadi pintu neraka bagi kita. Allahumma shalli wasallim ‘ala rasulillah. Kembali ke bagian 3 Mulai dari bagian 1 *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarij As-Salikin bayna Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, 1: 453. [2] Ahmad Farid, Tazkiyatun Nufus, hal. 41-43. [3] Umar Abdul Kafi, Syarhu Kitab Al-Fawaid, 4: 15. [4] Manshur bin Muhammad Al-Muqrin, Al-Fudhul, hal. 54-57. [5] Ahmad Farid, Tazkiyatun Nufus, hal. 31-43. [6] Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr, Ahadis Ishlah Al-Qulub, hal. 634-643.
Bagian 4: Overdosis bergaul Bismillah. Walhamdulillah. Segala bentuk pujian dan syukur hanya berhak diperuntukkan untuk-Nya saja. Tuhan semesta alam yang telah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial. Hal ini ditandai dengan beragamnya etnis, suku, bangsa, budaya, bahasa, dan adat seluruh manusia, pun dengan watak dan sifat yang berbeda satu dengan lainnya. Sifat sosial manusia dengan keberagaman yang ada menuntut manusia untuk selalu dapat berinteraksi, baik aktif maupun pasif, sebagai sebuah keniscayaan yang tidak terhindarkan. Bersosial, bergaul dengan orang-orang, berkumpul, bercengkerama, dan tertawa bersama, pada hakikatnya tidak pernah menjadi sesuatu yang tabu atau salah, bahkan itu hal yang diperlukan oleh manusia, siapa pun itu. Akan tetapi, hal itu bisa menjadi penyebab hati menjadi sakit. Kapan? Ketika berlebihan. Overdosis. Biasanya, seseorang ketika penat dengan pekerjaan, atau capek dengan kesehariannya, ia akan berkumpul dengan teman-temannya, main, bercerita, jalan-jalan, atau semisalnya. Punya masalah hidup, curhat. Tersandung masalah dengan orang lain, mengadukan dan menceritakannya pada teman dekatnya. Tidak suka pada seseorang, jadilah dia membicarakan orang yang tidak disukainya itu dengan sesama orang yang tidak suka pula. Lihat, sesimpel itu bergaul dan bersosial menimbulkan negatif. Bagaimana jika dalam kasus yang lebih rumit dan kompleks, yang menyangkut dan terkait dengan banyak orang yang setiap harinya berbeda-beda? Pasti banyak pula masalah yang ditimbulkan. Ibnu Al-Qayyim rahimahullah memberikan sebuah komentar tentang bergaul. Beliau berkata, “Betapa banyaknya dampak negatif dari bergaul dengan orang-orang, betapa banyaknya kenikmatan yang terhalang, betapa banyak pula cobaan yang diturunkan, betapa banyak anugerah yang jadi tertahan, dan betapa banyak musibah yang terjadi. Adakah musibah yang lebih besar daripada manusia itu sendiri? Apakah ada yang lebih berbahaya bagi Abu Thalib di saat sakratulmaut, selain teman-teman buruknya, yang senantiasa menghalanginya dari mengucapkan satu kalimat yang dapat menjamin kebahagiaan abadi baginya?” [1] Allah Ta’ala berfirman, menggambarkan orang yang pergaulannya saat di dunia menjadi nestapa bagi dirinya di akhirat, bahkan Allah melabelinya dengan “orang yang zalim”, وَيَوْمَ يَعَضُّ ٱلظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيْهِ يَقُولُ يَـٰلَيْتَنِى ٱتَّخَذْتُ مَعَ ٱلرَّسُولِ سَبِيلًۭا يَـٰوَيْلَتَىٰ لَيْتَنِى لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًۭا لَّقَدْ أَضَلَّنِى عَنِ ٱلذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَآءَنِى ۗ وَكَانَ ٱلشَّيْطَـٰنُ لِلْإِنسَـٰنِ خَذُولًۭا “Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang zalim menggigit kedua tangannya, (menyesali perbuatannya) seraya berkata, ‘Wahai! Sekiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rasul. Wahai celaka aku! Sekiranya (dulu) aku tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku), sungguh, dia telah menyesatkan aku dari peringatan (Al-Qur’an) ketika (Al-Qur’an) itu telah datang kepadaku. Dan setan memang pengkhianat manusia.’” (QS. Al-Furqan: 27-29) Merenungi pemaknaan ayat tersebut, tentu sudah saatnya kita selektif dalam memilih teman duduk kita, teman yang membersamai kita, circle. Karena tentunya setiap kita tidak mau menyesal ketika di akhirat kelak karena hal-hal seperti pergaulan dan pertemanan. Untuk itu, perlu diketahui bahwa dalam bergaul dan berinteraksi, setidaknya ada 4 jenis dan kategori orang, di mana jika seseorang tidak bisa membedakan dan mengendalikan porsi bergaulnya dengan mereka, ia akan jatuh ke dalam keburukan-keburukan: Pertama: Orang yang bergaul dengannya seperti sebuah kebutuhan pokok. Kita senantiasa membutuhkannya dalam keseharian kita. Itu pun tetap dengan seperlunya, yaitu sebatas kita mengambil dan mendapat kebermanfaatan juga faedah darinya. Mereka yang termasuk ke dalam jenis ini adalah para ulama dan orang-orang saleh. Dalam bergaul, mereka cenderung akan mengajak kepada kebaikan dan memberi nasihat, karena sejatinya yang dijadikan pedoman hidup mereka adalah petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya. Bergaul dengan jenis ini adalah sebenar-benarnya keberuntungan. Kedua: Orang yang bergaul dengannya seperti obat saat sakit. Yaitu, hanya ketika dibutuhkan saja. Biasanya dalam perkara suatu urusan tertentu, atau urusan duniawi seperti transaksi, urusan pekerjaan, dan semislanya. Tidak perlu terlalu intens, hanya seperlunya dan secukupnya saja. Ketiga: Orang yang bergaul dengannya ibarat sebuah penyakit, dengan tingkatan yang berbeda-beda. Ada yang seperti penyakit ringan, bahkan sampai seperti penyakit kronis. Yang mana pun itu, penyakit pada dasarnya tetap harus dijauhi, bukan? Mereka adalah yang tidak bisa memberi kebermanfaatan sama sekali, entah itu ilmu, hikmah, ataupun nasihat. Bahkan, bergaul dengan mereka cenderung menimbulkan rasa tidak nyaman dan kebencian. Termasuk pula orang yang perkataannya buruk, tidak enak didengar, seringkali berkata kasar ataupun mengumpat. Orang seperti itu sepatutnya kita jauhi demi ketenangan jiwa dan kesehatan hati kita. Sekalipun harus berurusan dengan orang-orang yang termasuk pada jenis ini, cukup berurusan sebatas kebutuhan, tidak lebih. Itu pun lebih baik secara lahir saja, dengan batin kita (hati) tetap mengingkari perbuatan dan keburukan mereka. Keempat: Orang yang bergaul dengannya adalah sebuah kehancuran bagi diri, dan terutama hati kita. Kenelangsaan yang didapat, dan bahkan bergaul dengannya ibarat meminum racun, sangat berbahaya, terlebih jika tidak ada penawar yang ampuh. Bergaul dengan orang jenis ini dapat membuat hati menjadi mati, atau paling tidak menjadi sakit, menimbulkan penyakit hati. Mereka adalah orang-orang yang berada dalam kesesatan dan bid’ah, entah itu sebagai pelaku nyata, apalagi gembongnya. Orang-orang yang bagi mereka sunah adalah bid’ah, dan bid’ah adalah sunah. Orang beriman yang berakal tidak sepantasnya bergaul dengan mereka. Jika memang terpaksa harus dilakukan, haruslah dengan kondisi keimanannya yang sudah kuat dan tetap selalu menjaganya agar tidak teracuni. [2] Selain menyesuaikan pergaulan dengan keempat jenis orang ini (meski jenis ke-3 dan ke-4 tidak layak bergaul dengannya, kecuali benar-benar terdesak oleh kebutuhan), perlu dipahami secara seksama, bergaul seperti apa yang masuk ke dalam kategori  فضول المخالطة atau over-pergaulan? Maka, jawabannya ada dua: Pertama: Sebagaimana secara kontekstual, yaitu bergaul yang secara berlebihan, alias melebihi kadar cukup atau kebutuhan yang seharusnya. Terlebih lagi jika seseorang yang waktu dan harinya hanya dihabiskan untuk nongkrong, bermain bersama teman-temannya, yang mengakibatkan hilangnya waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk hal lain yang lebih bermanfaat, apalagi sampai melewatkan ibadah. Kedua: Kembali pada komentar Ibnu Al-Qayyim yang dibawakan di awal, berarti overdosis dalam pergaulan itu adalah ketika pergaulan itu membawa efek samping seperti berbagai dampak negatif, rasa tidak nyaman, menghalangi dari kenikmatan, apalagi sampai membawa petaka dan musibah pada kita. Jika kita terlibat dalam pergaulan yang seperti ini, segera tinggalkan, atau sengsara dan menyesal kemudian! Kedua pemaknaan ini tidak terpisah satu sama lain, tetapi justru saling tersambung. Karena ketika seseorang bergaul dengan orang lain, dan pergaulannya itu melewati batas butuh, atau ia bergaul dengan orang yang buruk, maka hal itu akan merusak dirinya. Pertama, memengaruhi kesehariannya, membuatnya tidak bisa terlepas dari hal itu. Kemudian, ketika ada hal buruk yang dilakukan oleh teman sepergaulannya, ia akan tertular. Lantas, semakin lama ia bergaul, semakin waktunya banyak terbuang. Jika yang menyatukan pergaulannya adalah hal-hal negatif seperti gibah, pemborosan, judi, atau jenis dosa lainnya, hatinya akan terkotori. Adapun jenis interaksi sosial atau pergaulan seperti berkumpul-kumpul dengan orang lain ada dua sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Al-Qayyim: Pertama: Berkumpul untuk hiburan, bercanda, bersenda gurau, atau sekadar mengisi waktu luang. Jenis interaksi sosial ini cenderung memberi lebih banyak mudarat daripada manfaat, minimalnya membuat hati keruh dan membuang-buang waktu, sekalipun tidak ada pembicaraan yang mengarah kepada hal-hal haram yang dilarang syariat di dalamnya; Kedua: Berkumpul yang di dalamnya ada saling membantu untuk meraih keselamatan dunia dan akhirat, dan saling bertukar nasihat atas kebaikan dan kesabaran. Inilah jenis bergaul yang paling baik dan paling bermanfaat. Meski begitu, tetap saja jenis ini berpotensi menimbulkan bahaya karena tiga sebab: Pertama: Kecenderungan memoles diri dengan kebaikan di hadapan yang lain, Kedua: Berinteraksi melebihi batas kebutuhan dan wajarnya, serta Ketiga :Terbiasa dan terlalu keasyikan dalam berkumpul sehingga melalaikan dari esensi berkumpul dan tujuan yang sebenarnya.[3] Tidak heran, cukup banyak ulama, salaf, termasuk pula sahabat yang melontarkan kritik soal pergaulan, dan bahkan preferensinya condong pada menyendiri dan menjauh dari kehidupan orang lain, di antaranya: Sahabat Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, خذوا بحظكم من العزلة “Ambillah kesempatanmu untuk menjalani dari keterasingan (dari manusia).” Sahabat Abu Darda radhiyallahu ‘anhu, bahkan lebih memilih berdiam diri di rumah karena itu lebih aman bagi hatinya. Beliau berkata, نعم صومعة الرجل بيته؛ يكف بصره ولسانه “Sebaik-baik tempat seseorang beribadah adalah rumahnya, di mana ia menahan dan menjaga pandangan dan lisannya.” Diceritakan pula dalam sebuah riwayat, bahwa Ummu Darda radhiyallahu ‘anha pernah ditanya, “Apa amalan paling utama dari Abu Darda?” Beliau radhiyallahu ‘anha kemudian menjawab dengan jawaban yang singkat dan bermakna dalam, التَّفَكُّرُ وَالِاعْتِبَارُ “Bertafakur (merenung) dan mengambil pelajaran.” Masruq rahimahullah menekankan agar setiap orang mempunyai saat di mana ia mengasingkan diri dengan tujuan beribadah, bertobat, dan meminta ampunan pada Allah atas dosa-dosanya. Beliau mengatakan, إن المرء لحقيق أن يكون له مجالس يخلو فيها فيذكر فيها ذنوبه فيستغفر منها “Sungguh, sudah menjadi sebuah kepantasan yang wajib bagi seseorang agar ia memiliki waktu-waktu dan tempat di mana ia menyendiri, di mana ia mengingat-ingat dosa-dosanya, lantas meminta pengampunan untuk itu dari Allah.” Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah mengatakan, وأما اعتزال الناس في فضول المباحات وما لا ينفع – وذلك بالزهد فيه – فذلك مستحب “Adapun menarik diri dan menyendiri dari pergaulan dalam hal-hal yang mubah dan tidak ada manfaatnya –yaitu dengan bersikap zuhud dalam hal itu– adalah sesuatu yang disunahkan.” Dalam kesempatannya yang lain, beliau rahimahullah juga menekankan agar seseorang punya waktu untuk menyendiri yang ia gunakan untuk ibadah dan bermuhasabah, merenungi amalan dan dosa-dosanya, لا بد للعبد من أوقات ينفرد بها بنفسه في دعائه وذكره وصلاته وتفكره ومحاسبة نفسه وإصلاح قلبه “Sebuah keharusan bagi seorang hamba untuk memiliki waktu-waktu ia menyendiri dan mengasingkan diri dan menggunakannya untuk berdoa, berzikir, salat, merenung, dan muhasabah diri, dan memperbaiki hatinya.” Sayyid Qutb rahimahullah pernah mewasiatkan, ولا بد لأي روح يراد لها أن تؤثر في واقع الحياة البشرية فتحولها وجهة أخرى .. لا بد لهذه الروح من خلوة وعزلة لبعض الوقت، وانقطاع عن شواغل الأرض وضجة الحياة وهموم الناس الصغيرة التي تشغل الحياة “Setiap jiwa yang ingin mengubah haluan kehidupannya menjadi lebih baik haruslah melewati fase-fase di mana ia menyendiri dan mengasingkan diri, menjauh dari kesibukan dunia, hiruk-pikuk kehidupan, dan mengabaikan hal-hal sepele dari pandangan orang lain yang kerap kali menyita kehidupannya.” [4] Saat ini, tidak sedikit orang yang mengabaikan fakta bahwa kecenderungannya untuk selalu berinteraksi dan bergaul bisa menjadi penyakit yang berpotensi menimbulkan berbagai macam keburukan. Berapa banyak kenikmatan yang telah hilang akibat pergaulan yang berlebihan, dan berapa banyak pula permusuhan yang timbul dari interaksi sosial yang tidak terkendali. Sebut saja perasaan iri, dengki, dan benci yang kerap muncul dari terlalu banyak bergaul, tertanam di hati, lantas mengotori dan meracuninya. Oleh karena itu, berlebihan dalam bergaul justru menimbulkan kerugian di dunia maupun akhirat. Yang harus kita lakukan dalam bergaul simpel saja: bergaul dan berinteraksi, bersosial sewajarnya, sebatas sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan. Tidak lebih dari itu. Tidak sulit, yang sulit itu justru terus mengikuti alur kolektif orang lain. Kita harus bijak dengan menggolongkan manusia dalam empat kategori, dan berhati-hati agar tidak mencampurkan satu kategori dengan yang lainnya, karena hal ini akan membawa dampak negatif dalam hidupnya. Inilah satu dari empat racun yang dapat membuat hati menjadi sakit, dari ringan hingga kronis, bahkan dalam situasi terburuk sampai membunuhnya, empat overdosis: bicara, melihat, makan, dan bergaul. [5] Menjauhi dan menghindari keempat overdosis ini juga adalah salah satu bentuk menjaga diri dari bahaya setan yang bisa datang dari mana saja, kapan pun, dan di mana pun. [6] Semoga Allah senantiasa menjaga kita dalam batasan-batasan aman syariat, sehingga kita tidak tergelincir pada suatu lubang di mana lubang itu bisa saja menjadi pintu neraka bagi kita. Allahumma shalli wasallim ‘ala rasulillah. Kembali ke bagian 3 Mulai dari bagian 1 *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarij As-Salikin bayna Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, 1: 453. [2] Ahmad Farid, Tazkiyatun Nufus, hal. 41-43. [3] Umar Abdul Kafi, Syarhu Kitab Al-Fawaid, 4: 15. [4] Manshur bin Muhammad Al-Muqrin, Al-Fudhul, hal. 54-57. [5] Ahmad Farid, Tazkiyatun Nufus, hal. 31-43. [6] Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr, Ahadis Ishlah Al-Qulub, hal. 634-643.


Bagian 4: Overdosis bergaul Bismillah. Walhamdulillah. Segala bentuk pujian dan syukur hanya berhak diperuntukkan untuk-Nya saja. Tuhan semesta alam yang telah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial. Hal ini ditandai dengan beragamnya etnis, suku, bangsa, budaya, bahasa, dan adat seluruh manusia, pun dengan watak dan sifat yang berbeda satu dengan lainnya. Sifat sosial manusia dengan keberagaman yang ada menuntut manusia untuk selalu dapat berinteraksi, baik aktif maupun pasif, sebagai sebuah keniscayaan yang tidak terhindarkan. Bersosial, bergaul dengan orang-orang, berkumpul, bercengkerama, dan tertawa bersama, pada hakikatnya tidak pernah menjadi sesuatu yang tabu atau salah, bahkan itu hal yang diperlukan oleh manusia, siapa pun itu. Akan tetapi, hal itu bisa menjadi penyebab hati menjadi sakit. Kapan? Ketika berlebihan. Overdosis. Biasanya, seseorang ketika penat dengan pekerjaan, atau capek dengan kesehariannya, ia akan berkumpul dengan teman-temannya, main, bercerita, jalan-jalan, atau semisalnya. Punya masalah hidup, curhat. Tersandung masalah dengan orang lain, mengadukan dan menceritakannya pada teman dekatnya. Tidak suka pada seseorang, jadilah dia membicarakan orang yang tidak disukainya itu dengan sesama orang yang tidak suka pula. Lihat, sesimpel itu bergaul dan bersosial menimbulkan negatif. Bagaimana jika dalam kasus yang lebih rumit dan kompleks, yang menyangkut dan terkait dengan banyak orang yang setiap harinya berbeda-beda? Pasti banyak pula masalah yang ditimbulkan. Ibnu Al-Qayyim rahimahullah memberikan sebuah komentar tentang bergaul. Beliau berkata, “Betapa banyaknya dampak negatif dari bergaul dengan orang-orang, betapa banyaknya kenikmatan yang terhalang, betapa banyak pula cobaan yang diturunkan, betapa banyak anugerah yang jadi tertahan, dan betapa banyak musibah yang terjadi. Adakah musibah yang lebih besar daripada manusia itu sendiri? Apakah ada yang lebih berbahaya bagi Abu Thalib di saat sakratulmaut, selain teman-teman buruknya, yang senantiasa menghalanginya dari mengucapkan satu kalimat yang dapat menjamin kebahagiaan abadi baginya?” [1] Allah Ta’ala berfirman, menggambarkan orang yang pergaulannya saat di dunia menjadi nestapa bagi dirinya di akhirat, bahkan Allah melabelinya dengan “orang yang zalim”, وَيَوْمَ يَعَضُّ ٱلظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيْهِ يَقُولُ يَـٰلَيْتَنِى ٱتَّخَذْتُ مَعَ ٱلرَّسُولِ سَبِيلًۭا يَـٰوَيْلَتَىٰ لَيْتَنِى لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًۭا لَّقَدْ أَضَلَّنِى عَنِ ٱلذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَآءَنِى ۗ وَكَانَ ٱلشَّيْطَـٰنُ لِلْإِنسَـٰنِ خَذُولًۭا “Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang zalim menggigit kedua tangannya, (menyesali perbuatannya) seraya berkata, ‘Wahai! Sekiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rasul. Wahai celaka aku! Sekiranya (dulu) aku tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku), sungguh, dia telah menyesatkan aku dari peringatan (Al-Qur’an) ketika (Al-Qur’an) itu telah datang kepadaku. Dan setan memang pengkhianat manusia.’” (QS. Al-Furqan: 27-29) Merenungi pemaknaan ayat tersebut, tentu sudah saatnya kita selektif dalam memilih teman duduk kita, teman yang membersamai kita, circle. Karena tentunya setiap kita tidak mau menyesal ketika di akhirat kelak karena hal-hal seperti pergaulan dan pertemanan. Untuk itu, perlu diketahui bahwa dalam bergaul dan berinteraksi, setidaknya ada 4 jenis dan kategori orang, di mana jika seseorang tidak bisa membedakan dan mengendalikan porsi bergaulnya dengan mereka, ia akan jatuh ke dalam keburukan-keburukan: Pertama: Orang yang bergaul dengannya seperti sebuah kebutuhan pokok. Kita senantiasa membutuhkannya dalam keseharian kita. Itu pun tetap dengan seperlunya, yaitu sebatas kita mengambil dan mendapat kebermanfaatan juga faedah darinya. Mereka yang termasuk ke dalam jenis ini adalah para ulama dan orang-orang saleh. Dalam bergaul, mereka cenderung akan mengajak kepada kebaikan dan memberi nasihat, karena sejatinya yang dijadikan pedoman hidup mereka adalah petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya. Bergaul dengan jenis ini adalah sebenar-benarnya keberuntungan. Kedua: Orang yang bergaul dengannya seperti obat saat sakit. Yaitu, hanya ketika dibutuhkan saja. Biasanya dalam perkara suatu urusan tertentu, atau urusan duniawi seperti transaksi, urusan pekerjaan, dan semislanya. Tidak perlu terlalu intens, hanya seperlunya dan secukupnya saja. Ketiga: Orang yang bergaul dengannya ibarat sebuah penyakit, dengan tingkatan yang berbeda-beda. Ada yang seperti penyakit ringan, bahkan sampai seperti penyakit kronis. Yang mana pun itu, penyakit pada dasarnya tetap harus dijauhi, bukan? Mereka adalah yang tidak bisa memberi kebermanfaatan sama sekali, entah itu ilmu, hikmah, ataupun nasihat. Bahkan, bergaul dengan mereka cenderung menimbulkan rasa tidak nyaman dan kebencian. Termasuk pula orang yang perkataannya buruk, tidak enak didengar, seringkali berkata kasar ataupun mengumpat. Orang seperti itu sepatutnya kita jauhi demi ketenangan jiwa dan kesehatan hati kita. Sekalipun harus berurusan dengan orang-orang yang termasuk pada jenis ini, cukup berurusan sebatas kebutuhan, tidak lebih. Itu pun lebih baik secara lahir saja, dengan batin kita (hati) tetap mengingkari perbuatan dan keburukan mereka. Keempat: Orang yang bergaul dengannya adalah sebuah kehancuran bagi diri, dan terutama hati kita. Kenelangsaan yang didapat, dan bahkan bergaul dengannya ibarat meminum racun, sangat berbahaya, terlebih jika tidak ada penawar yang ampuh. Bergaul dengan orang jenis ini dapat membuat hati menjadi mati, atau paling tidak menjadi sakit, menimbulkan penyakit hati. Mereka adalah orang-orang yang berada dalam kesesatan dan bid’ah, entah itu sebagai pelaku nyata, apalagi gembongnya. Orang-orang yang bagi mereka sunah adalah bid’ah, dan bid’ah adalah sunah. Orang beriman yang berakal tidak sepantasnya bergaul dengan mereka. Jika memang terpaksa harus dilakukan, haruslah dengan kondisi keimanannya yang sudah kuat dan tetap selalu menjaganya agar tidak teracuni. [2] Selain menyesuaikan pergaulan dengan keempat jenis orang ini (meski jenis ke-3 dan ke-4 tidak layak bergaul dengannya, kecuali benar-benar terdesak oleh kebutuhan), perlu dipahami secara seksama, bergaul seperti apa yang masuk ke dalam kategori  فضول المخالطة atau over-pergaulan? Maka, jawabannya ada dua: Pertama: Sebagaimana secara kontekstual, yaitu bergaul yang secara berlebihan, alias melebihi kadar cukup atau kebutuhan yang seharusnya. Terlebih lagi jika seseorang yang waktu dan harinya hanya dihabiskan untuk nongkrong, bermain bersama teman-temannya, yang mengakibatkan hilangnya waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk hal lain yang lebih bermanfaat, apalagi sampai melewatkan ibadah. Kedua: Kembali pada komentar Ibnu Al-Qayyim yang dibawakan di awal, berarti overdosis dalam pergaulan itu adalah ketika pergaulan itu membawa efek samping seperti berbagai dampak negatif, rasa tidak nyaman, menghalangi dari kenikmatan, apalagi sampai membawa petaka dan musibah pada kita. Jika kita terlibat dalam pergaulan yang seperti ini, segera tinggalkan, atau sengsara dan menyesal kemudian! Kedua pemaknaan ini tidak terpisah satu sama lain, tetapi justru saling tersambung. Karena ketika seseorang bergaul dengan orang lain, dan pergaulannya itu melewati batas butuh, atau ia bergaul dengan orang yang buruk, maka hal itu akan merusak dirinya. Pertama, memengaruhi kesehariannya, membuatnya tidak bisa terlepas dari hal itu. Kemudian, ketika ada hal buruk yang dilakukan oleh teman sepergaulannya, ia akan tertular. Lantas, semakin lama ia bergaul, semakin waktunya banyak terbuang. Jika yang menyatukan pergaulannya adalah hal-hal negatif seperti gibah, pemborosan, judi, atau jenis dosa lainnya, hatinya akan terkotori. Adapun jenis interaksi sosial atau pergaulan seperti berkumpul-kumpul dengan orang lain ada dua sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Al-Qayyim: Pertama: Berkumpul untuk hiburan, bercanda, bersenda gurau, atau sekadar mengisi waktu luang. Jenis interaksi sosial ini cenderung memberi lebih banyak mudarat daripada manfaat, minimalnya membuat hati keruh dan membuang-buang waktu, sekalipun tidak ada pembicaraan yang mengarah kepada hal-hal haram yang dilarang syariat di dalamnya; Kedua: Berkumpul yang di dalamnya ada saling membantu untuk meraih keselamatan dunia dan akhirat, dan saling bertukar nasihat atas kebaikan dan kesabaran. Inilah jenis bergaul yang paling baik dan paling bermanfaat. Meski begitu, tetap saja jenis ini berpotensi menimbulkan bahaya karena tiga sebab: Pertama: Kecenderungan memoles diri dengan kebaikan di hadapan yang lain, Kedua: Berinteraksi melebihi batas kebutuhan dan wajarnya, serta Ketiga :Terbiasa dan terlalu keasyikan dalam berkumpul sehingga melalaikan dari esensi berkumpul dan tujuan yang sebenarnya.[3] Tidak heran, cukup banyak ulama, salaf, termasuk pula sahabat yang melontarkan kritik soal pergaulan, dan bahkan preferensinya condong pada menyendiri dan menjauh dari kehidupan orang lain, di antaranya: Sahabat Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, خذوا بحظكم من العزلة “Ambillah kesempatanmu untuk menjalani dari keterasingan (dari manusia).” Sahabat Abu Darda radhiyallahu ‘anhu, bahkan lebih memilih berdiam diri di rumah karena itu lebih aman bagi hatinya. Beliau berkata, نعم صومعة الرجل بيته؛ يكف بصره ولسانه “Sebaik-baik tempat seseorang beribadah adalah rumahnya, di mana ia menahan dan menjaga pandangan dan lisannya.” Diceritakan pula dalam sebuah riwayat, bahwa Ummu Darda radhiyallahu ‘anha pernah ditanya, “Apa amalan paling utama dari Abu Darda?” Beliau radhiyallahu ‘anha kemudian menjawab dengan jawaban yang singkat dan bermakna dalam, التَّفَكُّرُ وَالِاعْتِبَارُ “Bertafakur (merenung) dan mengambil pelajaran.” Masruq rahimahullah menekankan agar setiap orang mempunyai saat di mana ia mengasingkan diri dengan tujuan beribadah, bertobat, dan meminta ampunan pada Allah atas dosa-dosanya. Beliau mengatakan, إن المرء لحقيق أن يكون له مجالس يخلو فيها فيذكر فيها ذنوبه فيستغفر منها “Sungguh, sudah menjadi sebuah kepantasan yang wajib bagi seseorang agar ia memiliki waktu-waktu dan tempat di mana ia menyendiri, di mana ia mengingat-ingat dosa-dosanya, lantas meminta pengampunan untuk itu dari Allah.” Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah mengatakan, وأما اعتزال الناس في فضول المباحات وما لا ينفع – وذلك بالزهد فيه – فذلك مستحب “Adapun menarik diri dan menyendiri dari pergaulan dalam hal-hal yang mubah dan tidak ada manfaatnya –yaitu dengan bersikap zuhud dalam hal itu– adalah sesuatu yang disunahkan.” Dalam kesempatannya yang lain, beliau rahimahullah juga menekankan agar seseorang punya waktu untuk menyendiri yang ia gunakan untuk ibadah dan bermuhasabah, merenungi amalan dan dosa-dosanya, لا بد للعبد من أوقات ينفرد بها بنفسه في دعائه وذكره وصلاته وتفكره ومحاسبة نفسه وإصلاح قلبه “Sebuah keharusan bagi seorang hamba untuk memiliki waktu-waktu ia menyendiri dan mengasingkan diri dan menggunakannya untuk berdoa, berzikir, salat, merenung, dan muhasabah diri, dan memperbaiki hatinya.” Sayyid Qutb rahimahullah pernah mewasiatkan, ولا بد لأي روح يراد لها أن تؤثر في واقع الحياة البشرية فتحولها وجهة أخرى .. لا بد لهذه الروح من خلوة وعزلة لبعض الوقت، وانقطاع عن شواغل الأرض وضجة الحياة وهموم الناس الصغيرة التي تشغل الحياة “Setiap jiwa yang ingin mengubah haluan kehidupannya menjadi lebih baik haruslah melewati fase-fase di mana ia menyendiri dan mengasingkan diri, menjauh dari kesibukan dunia, hiruk-pikuk kehidupan, dan mengabaikan hal-hal sepele dari pandangan orang lain yang kerap kali menyita kehidupannya.” [4] Saat ini, tidak sedikit orang yang mengabaikan fakta bahwa kecenderungannya untuk selalu berinteraksi dan bergaul bisa menjadi penyakit yang berpotensi menimbulkan berbagai macam keburukan. Berapa banyak kenikmatan yang telah hilang akibat pergaulan yang berlebihan, dan berapa banyak pula permusuhan yang timbul dari interaksi sosial yang tidak terkendali. Sebut saja perasaan iri, dengki, dan benci yang kerap muncul dari terlalu banyak bergaul, tertanam di hati, lantas mengotori dan meracuninya. Oleh karena itu, berlebihan dalam bergaul justru menimbulkan kerugian di dunia maupun akhirat. Yang harus kita lakukan dalam bergaul simpel saja: bergaul dan berinteraksi, bersosial sewajarnya, sebatas sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan. Tidak lebih dari itu. Tidak sulit, yang sulit itu justru terus mengikuti alur kolektif orang lain. Kita harus bijak dengan menggolongkan manusia dalam empat kategori, dan berhati-hati agar tidak mencampurkan satu kategori dengan yang lainnya, karena hal ini akan membawa dampak negatif dalam hidupnya. Inilah satu dari empat racun yang dapat membuat hati menjadi sakit, dari ringan hingga kronis, bahkan dalam situasi terburuk sampai membunuhnya, empat overdosis: bicara, melihat, makan, dan bergaul. [5] Menjauhi dan menghindari keempat overdosis ini juga adalah salah satu bentuk menjaga diri dari bahaya setan yang bisa datang dari mana saja, kapan pun, dan di mana pun. [6] Semoga Allah senantiasa menjaga kita dalam batasan-batasan aman syariat, sehingga kita tidak tergelincir pada suatu lubang di mana lubang itu bisa saja menjadi pintu neraka bagi kita. Allahumma shalli wasallim ‘ala rasulillah. Kembali ke bagian 3 Mulai dari bagian 1 *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarij As-Salikin bayna Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, 1: 453. [2] Ahmad Farid, Tazkiyatun Nufus, hal. 41-43. [3] Umar Abdul Kafi, Syarhu Kitab Al-Fawaid, 4: 15. [4] Manshur bin Muhammad Al-Muqrin, Al-Fudhul, hal. 54-57. [5] Ahmad Farid, Tazkiyatun Nufus, hal. 31-43. [6] Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr, Ahadis Ishlah Al-Qulub, hal. 634-643.

Apakah Setiap Penyakit (Kerasnya) Hati Menunjukkan Tanda Kemunafikan?

Kemunafikan dan kekerasan hati adalah penyakit hati, tetapi keduanya tidak selalu saling terkait. Tidak semua orang yang hatinya keras adalah munafik, dan seseorang yang merasakan ada penyakit di hatinya tidak otomatis dianggap kurang ikhlas atau berbuat riya’. Sebagai contoh, dalam hadis yang diriwayatkan dalam Shahih Tirmizi, sahabat Hanzhalah dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma sempat merasa takut terjebak dalam kemunafikan. Berikut bunyi hadisnya, أنَّهُ مرَّ بأبي بَكْرٍ وَهوَ يَبكي ، فقالَ : ما لَكَ يا حَنظلةُ ؟ قالَ : نافَقَ حنظلةُ يا أبا بَكْرٍ ، نَكونُ عندَ رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ يذَكِّرُنا بالنَّارِ والجنَّةِ كأنَّا رأيَ عينٍ ، فإذا رجَعنا إلى الأزواجِ والضَّيعةُ نسينا كثيرًا قال فواللَّهِ إنَّا لكذلِكَ انطلِقْ بنا إلى رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليه و سلَّمَ فانطلقْنا فلما رآهُ فقالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ قالَ : ما لَكَ يا حنظلةُ ؟ قالَ : نافقَ حنظلةُ يا رسولَ اللَّهِ ، نَكونُ عندَكَ تُذَكِّرُنا بالنَّارِ والجنَّةِ كأنَّا رأيَ عينٍ ، رجَعنا عافَسنا الأزواجَ والضَّيعةَ ونسينا كثيرًا ، قالَ : فقالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ : لَو تدومونَ على الحالِ الَّتي تقومونَ بِها من عندي لصافحَتكمُ الملائِكَةُ في مجالسِكُم ، وفي طرقِكُم ، وعلى فُرُشِكُم ، ولَكِن يا حنظلةُ ساعةً وساعةً ساعةً وساعةً . Ketika Hanzhalah bertemu dengan Abu Bakar dalam keadaan menangis, ia berkata, “Apa yang terjadi padamu, wahai Hanzhalah?” Hanzhalah menjawab, “Hanzhalah telah menjadi munafik, wahai Abu Bakar. Ketika kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau mengingatkan kami tentang neraka dan surga seakan-akan kami melihatnya dengan mata kepala sendiri. Namun, ketika kami kembali kepada keluarga dan mengurusi hal-hal duniawi, kami melupakan banyak dari hal tersebut.” Abu Bakar berkata, “Demi Allah, kami pun merasakan hal yang sama. Mari kita pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Ketika mereka menemui beliau, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apa yang terjadi padamu, wahai Hanzhalah?” Hanzhalah menjawab, “Hanzhalah telah menjadi munafik, wahai Rasulullah. Ketika kami bersamamu, engkau mengingatkan kami tentang neraka dan surga hingga seakan-akan kami melihatnya dengan jelas. Namun, ketika kami kembali, kami tenggelam dengan urusan keluarga dan dunia, dan melupakan banyak hal.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kalian selalu berada dalam keadaan seperti ketika bersama saya, para malaikat akan menjabat tangan kalian di majelis-majelis kalian, di jalan-jalan, dan di tempat tidur kalian. Akan tetapi, wahai Hanzhalah, ada saatnya begini dan ada saatnya begitu.” (HR. At-Tirmidzi) Baca juga: 5 Penyakit Hati yang Harus Kita Hindari Mereka merasa adanya perbedaan keadaan hati ketika bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, yang mengingatkan mereka akan surga dan neraka seolah-olah mereka melihatnya dengan mata kepala. Namun, ketika mereka kembali ke keluarga dan kehidupan sehari-hari, hati mereka mengalami penurunan dalam hal kesungguhan beribadah. Hanzhalah berkata kepada Abu Bakar bahwa ia merasa munafik. Abu Bakar pun merasa demikian, sehingga mereka pergi menemui Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam untuk mengadukan perasaan tersebut. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam kemudian menjelaskan bahwa jika mereka bisa selalu dalam keadaan yang sama seperti ketika bersama beliau, malaikat pun akan menyalami mereka. Namun, beliau menegaskan bahwa kehidupan manusia memang membutuhkan waktu untuk serius beribadah dan waktu lain untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam berkata kepada Hanzhalah, “Wahai Hanzhalah, ada waktu (untuk ibadah) dan ada waktu (untuk dunia),” yang beliau ulangi hingga tiga kali. Artinya, seseorang tidak dianggap sebagai munafik hanya karena ada waktu di mana dia penuh kesungguhan dalam mendekatkan diri kepada Allah dengan beribadah, tadabur, dan menunaikan hak-hak-Nya. Sementara di waktu lain, ia mengalami penurunan semangat atau kesibukan dengan kebutuhan pribadinya, seperti berinteraksi dengan keluarga, anak-anak, harta, atau mengurus hal-hal duniawi. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam menjelaskan kepada mereka bahwa jika hati seseorang kadang sibuk atau keras karena kesibukan dengan urusan dunia, itu bukanlah tanda kemunafikan. Seorang muslim tidak dituntut untuk selalu berada dalam kondisi hati dan perasaan yang sama dengan saat mendengar nasihat. Jika seseorang bisa terus-menerus berada dalam keadaan hati yang penuh ketakwaan, bisa jadi ia bisa “melihat” para malaikat dan malaikat akan bersalaman dengannya di tempat tidur dan di jalan, seperti yang disampaikan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Namun, pada kenyataannya, manusia memang secara alami mengalami fluktuasi hati, antara semangat yang kuat dan saat-saat penurunan semangat. Intinya, memiliki waktu yang penuh semangat ibadah dan waktu lain yang terasa lebih biasa adalah bagian dari sifat manusia, bukan tanda kemunafikan. Maka, seorang muslim tidak dianggap munafik hanya karena kondisinya yang berfluktuasi antara waktu yang penuh kesungguhan dalam berzikir, tadabur Al-Qur’an, dan menjalankan hak-hak Allah; dan di waktu lain ia mengalami penurunan semangat untuk beribadah sehingga ia mengalihkan perhatian pada hal-hal mubah (dibolehkan) untuk kepentingan pribadinya. Namun, dalam semua keadaan tersebut, ia tidak melakukan hal yang diharamkan atau perbuatan dosa besar. Kewajiban seorang muslim adalah memanfaatkan masa-masa semangatnya untuk beribadah sebagai bekal bagi saat-saat ia mengalami penurunan semangat. Ketika berada dalam kondisi penurunan semangat, ia tidak boleh meninggalkan kewajiban atau jatuh dalam hal yang terlarang. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, إنَّ لكلِّ عملٍ شِرَّةٌ ولكلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ ، فمن كانت شِرَّتُه إلى سنَّتي فقد أفلح ، ومن كانت فَتْرَتُه إلى غيرِ ذلك فقد هلكَ “Setiap amal memiliki masa semangat, dan setiap semangat ada masa penurunannya. Barangsiapa yang pada masa penurunan semangatnya tetap mengikuti sunahku, maka ia telah beruntung. Dan barangsiapa yang pada masa itu, menyimpang darinya, maka ia akan binasa.” (HR. Ahmad dan Ibnu Khuzaimah) Hadis ini mengajarkan bahwa meskipun semangat beribadah dapat naik dan turun, selama seorang muslim berpegang teguh pada sunah, ia berada di jalan yang benar dan dalam perlindungan Allah Ta’ala. Ibn Al-Jauzi rahimahullah dalam bukunya Shayd Al-Khatir, pada bagian tentang mau’izhah (nasihat) dan para pendengarnya, menjelaskan bahwa terkadang hati seseorang terbangun ketika mendengar nasihat, namun setelah meninggalkan majelis tersebut, ia kembali pada kekerasan hati dan kelalaian. Setelah merenungkan hal ini, Ibn Al-Jauzi rahimahullah menyimpulkan bahwa fenomena ini terjadi karena dua hal: Pertama, nasihat itu seperti cambuk, yakni rasa sakitnya terasa hanya saat diterima, tetapi setelah itu efeknya berkurang. Kedua, ketika seseorang mendengarkan nasihat, hatinya dalam keadaan terbuka dan ia mengabaikan urusan dunia, fokusnya hanya pada nasihat yang didengar. Namun, begitu ia kembali ke kesibukan sehari-hari, gangguan dan distraksi dunia menariknya kembali ke keadaan lalai. Oleh karena itu, kondisi hati tidak akan sama antara saat mendengar nasihat dan setelahnya. Beliau melanjutkan bahwa kebanyakan orang mengalami hal ini, tetapi mereka yang memiliki kepekaan hati yang kuat tetap merasakan pengaruh nasihat dalam jangka waktu yang berbeda. Ada yang teguh dan langsung mengambil tindakan, bahkan merasa terganggu jika kondisi hati mereka berubah, seperti Hanzhalah yang merasa dirinya munafik ketika merasakan kelalaian. Ada juga yang keimanannya kadang menguat dan kadang melemah, mirip dengan tangkai gandum yang bergoyang oleh angin. Dan ada pula yang nasihat hanya berdampak sementara, seperti air yang menggelinding di atas batu tanpa meresap. Kesimpulannya, semua ini mengajarkan kita bahwa penurunan dalam intensitas keimanan bukanlah tanda kemunafikan, tetapi bagian dari sifat manusia. Kadang manusia memang ada waktunya untuk beribadah kepada Allah Ta’ala, menjalankan syariat-Nya, maka manfaatkanlah momen-momen tersebut dengan bersungguh-sungguh maksimal dalam ibadah. Dan ada pula waktu ketika selain ibadah yang bisa jadi ia pada kondisi futur, turun imannya, sibuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan, bercengkrama dengan keluarga, mencari harta, dan urusan-urusan dunia lainnya yang menyibukkan. Lalu, Nabi kita mengajarkan jika kita berada pada kondisi iman yang turun, maka tetap jalankanlah kewajiban-kewajiban, serta berpegang teguh pada sunahnya. Baca juga: Menyikapi Pergeseran Arti “Syirik” dan “Munafik” di Masyarakat *** Penulis: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id

Apakah Setiap Penyakit (Kerasnya) Hati Menunjukkan Tanda Kemunafikan?

Kemunafikan dan kekerasan hati adalah penyakit hati, tetapi keduanya tidak selalu saling terkait. Tidak semua orang yang hatinya keras adalah munafik, dan seseorang yang merasakan ada penyakit di hatinya tidak otomatis dianggap kurang ikhlas atau berbuat riya’. Sebagai contoh, dalam hadis yang diriwayatkan dalam Shahih Tirmizi, sahabat Hanzhalah dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma sempat merasa takut terjebak dalam kemunafikan. Berikut bunyi hadisnya, أنَّهُ مرَّ بأبي بَكْرٍ وَهوَ يَبكي ، فقالَ : ما لَكَ يا حَنظلةُ ؟ قالَ : نافَقَ حنظلةُ يا أبا بَكْرٍ ، نَكونُ عندَ رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ يذَكِّرُنا بالنَّارِ والجنَّةِ كأنَّا رأيَ عينٍ ، فإذا رجَعنا إلى الأزواجِ والضَّيعةُ نسينا كثيرًا قال فواللَّهِ إنَّا لكذلِكَ انطلِقْ بنا إلى رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليه و سلَّمَ فانطلقْنا فلما رآهُ فقالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ قالَ : ما لَكَ يا حنظلةُ ؟ قالَ : نافقَ حنظلةُ يا رسولَ اللَّهِ ، نَكونُ عندَكَ تُذَكِّرُنا بالنَّارِ والجنَّةِ كأنَّا رأيَ عينٍ ، رجَعنا عافَسنا الأزواجَ والضَّيعةَ ونسينا كثيرًا ، قالَ : فقالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ : لَو تدومونَ على الحالِ الَّتي تقومونَ بِها من عندي لصافحَتكمُ الملائِكَةُ في مجالسِكُم ، وفي طرقِكُم ، وعلى فُرُشِكُم ، ولَكِن يا حنظلةُ ساعةً وساعةً ساعةً وساعةً . Ketika Hanzhalah bertemu dengan Abu Bakar dalam keadaan menangis, ia berkata, “Apa yang terjadi padamu, wahai Hanzhalah?” Hanzhalah menjawab, “Hanzhalah telah menjadi munafik, wahai Abu Bakar. Ketika kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau mengingatkan kami tentang neraka dan surga seakan-akan kami melihatnya dengan mata kepala sendiri. Namun, ketika kami kembali kepada keluarga dan mengurusi hal-hal duniawi, kami melupakan banyak dari hal tersebut.” Abu Bakar berkata, “Demi Allah, kami pun merasakan hal yang sama. Mari kita pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Ketika mereka menemui beliau, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apa yang terjadi padamu, wahai Hanzhalah?” Hanzhalah menjawab, “Hanzhalah telah menjadi munafik, wahai Rasulullah. Ketika kami bersamamu, engkau mengingatkan kami tentang neraka dan surga hingga seakan-akan kami melihatnya dengan jelas. Namun, ketika kami kembali, kami tenggelam dengan urusan keluarga dan dunia, dan melupakan banyak hal.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kalian selalu berada dalam keadaan seperti ketika bersama saya, para malaikat akan menjabat tangan kalian di majelis-majelis kalian, di jalan-jalan, dan di tempat tidur kalian. Akan tetapi, wahai Hanzhalah, ada saatnya begini dan ada saatnya begitu.” (HR. At-Tirmidzi) Baca juga: 5 Penyakit Hati yang Harus Kita Hindari Mereka merasa adanya perbedaan keadaan hati ketika bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, yang mengingatkan mereka akan surga dan neraka seolah-olah mereka melihatnya dengan mata kepala. Namun, ketika mereka kembali ke keluarga dan kehidupan sehari-hari, hati mereka mengalami penurunan dalam hal kesungguhan beribadah. Hanzhalah berkata kepada Abu Bakar bahwa ia merasa munafik. Abu Bakar pun merasa demikian, sehingga mereka pergi menemui Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam untuk mengadukan perasaan tersebut. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam kemudian menjelaskan bahwa jika mereka bisa selalu dalam keadaan yang sama seperti ketika bersama beliau, malaikat pun akan menyalami mereka. Namun, beliau menegaskan bahwa kehidupan manusia memang membutuhkan waktu untuk serius beribadah dan waktu lain untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam berkata kepada Hanzhalah, “Wahai Hanzhalah, ada waktu (untuk ibadah) dan ada waktu (untuk dunia),” yang beliau ulangi hingga tiga kali. Artinya, seseorang tidak dianggap sebagai munafik hanya karena ada waktu di mana dia penuh kesungguhan dalam mendekatkan diri kepada Allah dengan beribadah, tadabur, dan menunaikan hak-hak-Nya. Sementara di waktu lain, ia mengalami penurunan semangat atau kesibukan dengan kebutuhan pribadinya, seperti berinteraksi dengan keluarga, anak-anak, harta, atau mengurus hal-hal duniawi. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam menjelaskan kepada mereka bahwa jika hati seseorang kadang sibuk atau keras karena kesibukan dengan urusan dunia, itu bukanlah tanda kemunafikan. Seorang muslim tidak dituntut untuk selalu berada dalam kondisi hati dan perasaan yang sama dengan saat mendengar nasihat. Jika seseorang bisa terus-menerus berada dalam keadaan hati yang penuh ketakwaan, bisa jadi ia bisa “melihat” para malaikat dan malaikat akan bersalaman dengannya di tempat tidur dan di jalan, seperti yang disampaikan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Namun, pada kenyataannya, manusia memang secara alami mengalami fluktuasi hati, antara semangat yang kuat dan saat-saat penurunan semangat. Intinya, memiliki waktu yang penuh semangat ibadah dan waktu lain yang terasa lebih biasa adalah bagian dari sifat manusia, bukan tanda kemunafikan. Maka, seorang muslim tidak dianggap munafik hanya karena kondisinya yang berfluktuasi antara waktu yang penuh kesungguhan dalam berzikir, tadabur Al-Qur’an, dan menjalankan hak-hak Allah; dan di waktu lain ia mengalami penurunan semangat untuk beribadah sehingga ia mengalihkan perhatian pada hal-hal mubah (dibolehkan) untuk kepentingan pribadinya. Namun, dalam semua keadaan tersebut, ia tidak melakukan hal yang diharamkan atau perbuatan dosa besar. Kewajiban seorang muslim adalah memanfaatkan masa-masa semangatnya untuk beribadah sebagai bekal bagi saat-saat ia mengalami penurunan semangat. Ketika berada dalam kondisi penurunan semangat, ia tidak boleh meninggalkan kewajiban atau jatuh dalam hal yang terlarang. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, إنَّ لكلِّ عملٍ شِرَّةٌ ولكلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ ، فمن كانت شِرَّتُه إلى سنَّتي فقد أفلح ، ومن كانت فَتْرَتُه إلى غيرِ ذلك فقد هلكَ “Setiap amal memiliki masa semangat, dan setiap semangat ada masa penurunannya. Barangsiapa yang pada masa penurunan semangatnya tetap mengikuti sunahku, maka ia telah beruntung. Dan barangsiapa yang pada masa itu, menyimpang darinya, maka ia akan binasa.” (HR. Ahmad dan Ibnu Khuzaimah) Hadis ini mengajarkan bahwa meskipun semangat beribadah dapat naik dan turun, selama seorang muslim berpegang teguh pada sunah, ia berada di jalan yang benar dan dalam perlindungan Allah Ta’ala. Ibn Al-Jauzi rahimahullah dalam bukunya Shayd Al-Khatir, pada bagian tentang mau’izhah (nasihat) dan para pendengarnya, menjelaskan bahwa terkadang hati seseorang terbangun ketika mendengar nasihat, namun setelah meninggalkan majelis tersebut, ia kembali pada kekerasan hati dan kelalaian. Setelah merenungkan hal ini, Ibn Al-Jauzi rahimahullah menyimpulkan bahwa fenomena ini terjadi karena dua hal: Pertama, nasihat itu seperti cambuk, yakni rasa sakitnya terasa hanya saat diterima, tetapi setelah itu efeknya berkurang. Kedua, ketika seseorang mendengarkan nasihat, hatinya dalam keadaan terbuka dan ia mengabaikan urusan dunia, fokusnya hanya pada nasihat yang didengar. Namun, begitu ia kembali ke kesibukan sehari-hari, gangguan dan distraksi dunia menariknya kembali ke keadaan lalai. Oleh karena itu, kondisi hati tidak akan sama antara saat mendengar nasihat dan setelahnya. Beliau melanjutkan bahwa kebanyakan orang mengalami hal ini, tetapi mereka yang memiliki kepekaan hati yang kuat tetap merasakan pengaruh nasihat dalam jangka waktu yang berbeda. Ada yang teguh dan langsung mengambil tindakan, bahkan merasa terganggu jika kondisi hati mereka berubah, seperti Hanzhalah yang merasa dirinya munafik ketika merasakan kelalaian. Ada juga yang keimanannya kadang menguat dan kadang melemah, mirip dengan tangkai gandum yang bergoyang oleh angin. Dan ada pula yang nasihat hanya berdampak sementara, seperti air yang menggelinding di atas batu tanpa meresap. Kesimpulannya, semua ini mengajarkan kita bahwa penurunan dalam intensitas keimanan bukanlah tanda kemunafikan, tetapi bagian dari sifat manusia. Kadang manusia memang ada waktunya untuk beribadah kepada Allah Ta’ala, menjalankan syariat-Nya, maka manfaatkanlah momen-momen tersebut dengan bersungguh-sungguh maksimal dalam ibadah. Dan ada pula waktu ketika selain ibadah yang bisa jadi ia pada kondisi futur, turun imannya, sibuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan, bercengkrama dengan keluarga, mencari harta, dan urusan-urusan dunia lainnya yang menyibukkan. Lalu, Nabi kita mengajarkan jika kita berada pada kondisi iman yang turun, maka tetap jalankanlah kewajiban-kewajiban, serta berpegang teguh pada sunahnya. Baca juga: Menyikapi Pergeseran Arti “Syirik” dan “Munafik” di Masyarakat *** Penulis: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id
Kemunafikan dan kekerasan hati adalah penyakit hati, tetapi keduanya tidak selalu saling terkait. Tidak semua orang yang hatinya keras adalah munafik, dan seseorang yang merasakan ada penyakit di hatinya tidak otomatis dianggap kurang ikhlas atau berbuat riya’. Sebagai contoh, dalam hadis yang diriwayatkan dalam Shahih Tirmizi, sahabat Hanzhalah dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma sempat merasa takut terjebak dalam kemunafikan. Berikut bunyi hadisnya, أنَّهُ مرَّ بأبي بَكْرٍ وَهوَ يَبكي ، فقالَ : ما لَكَ يا حَنظلةُ ؟ قالَ : نافَقَ حنظلةُ يا أبا بَكْرٍ ، نَكونُ عندَ رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ يذَكِّرُنا بالنَّارِ والجنَّةِ كأنَّا رأيَ عينٍ ، فإذا رجَعنا إلى الأزواجِ والضَّيعةُ نسينا كثيرًا قال فواللَّهِ إنَّا لكذلِكَ انطلِقْ بنا إلى رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليه و سلَّمَ فانطلقْنا فلما رآهُ فقالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ قالَ : ما لَكَ يا حنظلةُ ؟ قالَ : نافقَ حنظلةُ يا رسولَ اللَّهِ ، نَكونُ عندَكَ تُذَكِّرُنا بالنَّارِ والجنَّةِ كأنَّا رأيَ عينٍ ، رجَعنا عافَسنا الأزواجَ والضَّيعةَ ونسينا كثيرًا ، قالَ : فقالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ : لَو تدومونَ على الحالِ الَّتي تقومونَ بِها من عندي لصافحَتكمُ الملائِكَةُ في مجالسِكُم ، وفي طرقِكُم ، وعلى فُرُشِكُم ، ولَكِن يا حنظلةُ ساعةً وساعةً ساعةً وساعةً . Ketika Hanzhalah bertemu dengan Abu Bakar dalam keadaan menangis, ia berkata, “Apa yang terjadi padamu, wahai Hanzhalah?” Hanzhalah menjawab, “Hanzhalah telah menjadi munafik, wahai Abu Bakar. Ketika kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau mengingatkan kami tentang neraka dan surga seakan-akan kami melihatnya dengan mata kepala sendiri. Namun, ketika kami kembali kepada keluarga dan mengurusi hal-hal duniawi, kami melupakan banyak dari hal tersebut.” Abu Bakar berkata, “Demi Allah, kami pun merasakan hal yang sama. Mari kita pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Ketika mereka menemui beliau, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apa yang terjadi padamu, wahai Hanzhalah?” Hanzhalah menjawab, “Hanzhalah telah menjadi munafik, wahai Rasulullah. Ketika kami bersamamu, engkau mengingatkan kami tentang neraka dan surga hingga seakan-akan kami melihatnya dengan jelas. Namun, ketika kami kembali, kami tenggelam dengan urusan keluarga dan dunia, dan melupakan banyak hal.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kalian selalu berada dalam keadaan seperti ketika bersama saya, para malaikat akan menjabat tangan kalian di majelis-majelis kalian, di jalan-jalan, dan di tempat tidur kalian. Akan tetapi, wahai Hanzhalah, ada saatnya begini dan ada saatnya begitu.” (HR. At-Tirmidzi) Baca juga: 5 Penyakit Hati yang Harus Kita Hindari Mereka merasa adanya perbedaan keadaan hati ketika bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, yang mengingatkan mereka akan surga dan neraka seolah-olah mereka melihatnya dengan mata kepala. Namun, ketika mereka kembali ke keluarga dan kehidupan sehari-hari, hati mereka mengalami penurunan dalam hal kesungguhan beribadah. Hanzhalah berkata kepada Abu Bakar bahwa ia merasa munafik. Abu Bakar pun merasa demikian, sehingga mereka pergi menemui Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam untuk mengadukan perasaan tersebut. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam kemudian menjelaskan bahwa jika mereka bisa selalu dalam keadaan yang sama seperti ketika bersama beliau, malaikat pun akan menyalami mereka. Namun, beliau menegaskan bahwa kehidupan manusia memang membutuhkan waktu untuk serius beribadah dan waktu lain untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam berkata kepada Hanzhalah, “Wahai Hanzhalah, ada waktu (untuk ibadah) dan ada waktu (untuk dunia),” yang beliau ulangi hingga tiga kali. Artinya, seseorang tidak dianggap sebagai munafik hanya karena ada waktu di mana dia penuh kesungguhan dalam mendekatkan diri kepada Allah dengan beribadah, tadabur, dan menunaikan hak-hak-Nya. Sementara di waktu lain, ia mengalami penurunan semangat atau kesibukan dengan kebutuhan pribadinya, seperti berinteraksi dengan keluarga, anak-anak, harta, atau mengurus hal-hal duniawi. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam menjelaskan kepada mereka bahwa jika hati seseorang kadang sibuk atau keras karena kesibukan dengan urusan dunia, itu bukanlah tanda kemunafikan. Seorang muslim tidak dituntut untuk selalu berada dalam kondisi hati dan perasaan yang sama dengan saat mendengar nasihat. Jika seseorang bisa terus-menerus berada dalam keadaan hati yang penuh ketakwaan, bisa jadi ia bisa “melihat” para malaikat dan malaikat akan bersalaman dengannya di tempat tidur dan di jalan, seperti yang disampaikan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Namun, pada kenyataannya, manusia memang secara alami mengalami fluktuasi hati, antara semangat yang kuat dan saat-saat penurunan semangat. Intinya, memiliki waktu yang penuh semangat ibadah dan waktu lain yang terasa lebih biasa adalah bagian dari sifat manusia, bukan tanda kemunafikan. Maka, seorang muslim tidak dianggap munafik hanya karena kondisinya yang berfluktuasi antara waktu yang penuh kesungguhan dalam berzikir, tadabur Al-Qur’an, dan menjalankan hak-hak Allah; dan di waktu lain ia mengalami penurunan semangat untuk beribadah sehingga ia mengalihkan perhatian pada hal-hal mubah (dibolehkan) untuk kepentingan pribadinya. Namun, dalam semua keadaan tersebut, ia tidak melakukan hal yang diharamkan atau perbuatan dosa besar. Kewajiban seorang muslim adalah memanfaatkan masa-masa semangatnya untuk beribadah sebagai bekal bagi saat-saat ia mengalami penurunan semangat. Ketika berada dalam kondisi penurunan semangat, ia tidak boleh meninggalkan kewajiban atau jatuh dalam hal yang terlarang. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, إنَّ لكلِّ عملٍ شِرَّةٌ ولكلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ ، فمن كانت شِرَّتُه إلى سنَّتي فقد أفلح ، ومن كانت فَتْرَتُه إلى غيرِ ذلك فقد هلكَ “Setiap amal memiliki masa semangat, dan setiap semangat ada masa penurunannya. Barangsiapa yang pada masa penurunan semangatnya tetap mengikuti sunahku, maka ia telah beruntung. Dan barangsiapa yang pada masa itu, menyimpang darinya, maka ia akan binasa.” (HR. Ahmad dan Ibnu Khuzaimah) Hadis ini mengajarkan bahwa meskipun semangat beribadah dapat naik dan turun, selama seorang muslim berpegang teguh pada sunah, ia berada di jalan yang benar dan dalam perlindungan Allah Ta’ala. Ibn Al-Jauzi rahimahullah dalam bukunya Shayd Al-Khatir, pada bagian tentang mau’izhah (nasihat) dan para pendengarnya, menjelaskan bahwa terkadang hati seseorang terbangun ketika mendengar nasihat, namun setelah meninggalkan majelis tersebut, ia kembali pada kekerasan hati dan kelalaian. Setelah merenungkan hal ini, Ibn Al-Jauzi rahimahullah menyimpulkan bahwa fenomena ini terjadi karena dua hal: Pertama, nasihat itu seperti cambuk, yakni rasa sakitnya terasa hanya saat diterima, tetapi setelah itu efeknya berkurang. Kedua, ketika seseorang mendengarkan nasihat, hatinya dalam keadaan terbuka dan ia mengabaikan urusan dunia, fokusnya hanya pada nasihat yang didengar. Namun, begitu ia kembali ke kesibukan sehari-hari, gangguan dan distraksi dunia menariknya kembali ke keadaan lalai. Oleh karena itu, kondisi hati tidak akan sama antara saat mendengar nasihat dan setelahnya. Beliau melanjutkan bahwa kebanyakan orang mengalami hal ini, tetapi mereka yang memiliki kepekaan hati yang kuat tetap merasakan pengaruh nasihat dalam jangka waktu yang berbeda. Ada yang teguh dan langsung mengambil tindakan, bahkan merasa terganggu jika kondisi hati mereka berubah, seperti Hanzhalah yang merasa dirinya munafik ketika merasakan kelalaian. Ada juga yang keimanannya kadang menguat dan kadang melemah, mirip dengan tangkai gandum yang bergoyang oleh angin. Dan ada pula yang nasihat hanya berdampak sementara, seperti air yang menggelinding di atas batu tanpa meresap. Kesimpulannya, semua ini mengajarkan kita bahwa penurunan dalam intensitas keimanan bukanlah tanda kemunafikan, tetapi bagian dari sifat manusia. Kadang manusia memang ada waktunya untuk beribadah kepada Allah Ta’ala, menjalankan syariat-Nya, maka manfaatkanlah momen-momen tersebut dengan bersungguh-sungguh maksimal dalam ibadah. Dan ada pula waktu ketika selain ibadah yang bisa jadi ia pada kondisi futur, turun imannya, sibuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan, bercengkrama dengan keluarga, mencari harta, dan urusan-urusan dunia lainnya yang menyibukkan. Lalu, Nabi kita mengajarkan jika kita berada pada kondisi iman yang turun, maka tetap jalankanlah kewajiban-kewajiban, serta berpegang teguh pada sunahnya. Baca juga: Menyikapi Pergeseran Arti “Syirik” dan “Munafik” di Masyarakat *** Penulis: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id


Kemunafikan dan kekerasan hati adalah penyakit hati, tetapi keduanya tidak selalu saling terkait. Tidak semua orang yang hatinya keras adalah munafik, dan seseorang yang merasakan ada penyakit di hatinya tidak otomatis dianggap kurang ikhlas atau berbuat riya’. Sebagai contoh, dalam hadis yang diriwayatkan dalam Shahih Tirmizi, sahabat Hanzhalah dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma sempat merasa takut terjebak dalam kemunafikan. Berikut bunyi hadisnya, أنَّهُ مرَّ بأبي بَكْرٍ وَهوَ يَبكي ، فقالَ : ما لَكَ يا حَنظلةُ ؟ قالَ : نافَقَ حنظلةُ يا أبا بَكْرٍ ، نَكونُ عندَ رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ يذَكِّرُنا بالنَّارِ والجنَّةِ كأنَّا رأيَ عينٍ ، فإذا رجَعنا إلى الأزواجِ والضَّيعةُ نسينا كثيرًا قال فواللَّهِ إنَّا لكذلِكَ انطلِقْ بنا إلى رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليه و سلَّمَ فانطلقْنا فلما رآهُ فقالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ قالَ : ما لَكَ يا حنظلةُ ؟ قالَ : نافقَ حنظلةُ يا رسولَ اللَّهِ ، نَكونُ عندَكَ تُذَكِّرُنا بالنَّارِ والجنَّةِ كأنَّا رأيَ عينٍ ، رجَعنا عافَسنا الأزواجَ والضَّيعةَ ونسينا كثيرًا ، قالَ : فقالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ : لَو تدومونَ على الحالِ الَّتي تقومونَ بِها من عندي لصافحَتكمُ الملائِكَةُ في مجالسِكُم ، وفي طرقِكُم ، وعلى فُرُشِكُم ، ولَكِن يا حنظلةُ ساعةً وساعةً ساعةً وساعةً . Ketika Hanzhalah bertemu dengan Abu Bakar dalam keadaan menangis, ia berkata, “Apa yang terjadi padamu, wahai Hanzhalah?” Hanzhalah menjawab, “Hanzhalah telah menjadi munafik, wahai Abu Bakar. Ketika kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau mengingatkan kami tentang neraka dan surga seakan-akan kami melihatnya dengan mata kepala sendiri. Namun, ketika kami kembali kepada keluarga dan mengurusi hal-hal duniawi, kami melupakan banyak dari hal tersebut.” Abu Bakar berkata, “Demi Allah, kami pun merasakan hal yang sama. Mari kita pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Ketika mereka menemui beliau, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apa yang terjadi padamu, wahai Hanzhalah?” Hanzhalah menjawab, “Hanzhalah telah menjadi munafik, wahai Rasulullah. Ketika kami bersamamu, engkau mengingatkan kami tentang neraka dan surga hingga seakan-akan kami melihatnya dengan jelas. Namun, ketika kami kembali, kami tenggelam dengan urusan keluarga dan dunia, dan melupakan banyak hal.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kalian selalu berada dalam keadaan seperti ketika bersama saya, para malaikat akan menjabat tangan kalian di majelis-majelis kalian, di jalan-jalan, dan di tempat tidur kalian. Akan tetapi, wahai Hanzhalah, ada saatnya begini dan ada saatnya begitu.” (HR. At-Tirmidzi) Baca juga: 5 Penyakit Hati yang Harus Kita Hindari Mereka merasa adanya perbedaan keadaan hati ketika bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, yang mengingatkan mereka akan surga dan neraka seolah-olah mereka melihatnya dengan mata kepala. Namun, ketika mereka kembali ke keluarga dan kehidupan sehari-hari, hati mereka mengalami penurunan dalam hal kesungguhan beribadah. Hanzhalah berkata kepada Abu Bakar bahwa ia merasa munafik. Abu Bakar pun merasa demikian, sehingga mereka pergi menemui Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam untuk mengadukan perasaan tersebut. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam kemudian menjelaskan bahwa jika mereka bisa selalu dalam keadaan yang sama seperti ketika bersama beliau, malaikat pun akan menyalami mereka. Namun, beliau menegaskan bahwa kehidupan manusia memang membutuhkan waktu untuk serius beribadah dan waktu lain untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam berkata kepada Hanzhalah, “Wahai Hanzhalah, ada waktu (untuk ibadah) dan ada waktu (untuk dunia),” yang beliau ulangi hingga tiga kali. Artinya, seseorang tidak dianggap sebagai munafik hanya karena ada waktu di mana dia penuh kesungguhan dalam mendekatkan diri kepada Allah dengan beribadah, tadabur, dan menunaikan hak-hak-Nya. Sementara di waktu lain, ia mengalami penurunan semangat atau kesibukan dengan kebutuhan pribadinya, seperti berinteraksi dengan keluarga, anak-anak, harta, atau mengurus hal-hal duniawi. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam menjelaskan kepada mereka bahwa jika hati seseorang kadang sibuk atau keras karena kesibukan dengan urusan dunia, itu bukanlah tanda kemunafikan. Seorang muslim tidak dituntut untuk selalu berada dalam kondisi hati dan perasaan yang sama dengan saat mendengar nasihat. Jika seseorang bisa terus-menerus berada dalam keadaan hati yang penuh ketakwaan, bisa jadi ia bisa “melihat” para malaikat dan malaikat akan bersalaman dengannya di tempat tidur dan di jalan, seperti yang disampaikan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Namun, pada kenyataannya, manusia memang secara alami mengalami fluktuasi hati, antara semangat yang kuat dan saat-saat penurunan semangat. Intinya, memiliki waktu yang penuh semangat ibadah dan waktu lain yang terasa lebih biasa adalah bagian dari sifat manusia, bukan tanda kemunafikan. Maka, seorang muslim tidak dianggap munafik hanya karena kondisinya yang berfluktuasi antara waktu yang penuh kesungguhan dalam berzikir, tadabur Al-Qur’an, dan menjalankan hak-hak Allah; dan di waktu lain ia mengalami penurunan semangat untuk beribadah sehingga ia mengalihkan perhatian pada hal-hal mubah (dibolehkan) untuk kepentingan pribadinya. Namun, dalam semua keadaan tersebut, ia tidak melakukan hal yang diharamkan atau perbuatan dosa besar. Kewajiban seorang muslim adalah memanfaatkan masa-masa semangatnya untuk beribadah sebagai bekal bagi saat-saat ia mengalami penurunan semangat. Ketika berada dalam kondisi penurunan semangat, ia tidak boleh meninggalkan kewajiban atau jatuh dalam hal yang terlarang. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, إنَّ لكلِّ عملٍ شِرَّةٌ ولكلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ ، فمن كانت شِرَّتُه إلى سنَّتي فقد أفلح ، ومن كانت فَتْرَتُه إلى غيرِ ذلك فقد هلكَ “Setiap amal memiliki masa semangat, dan setiap semangat ada masa penurunannya. Barangsiapa yang pada masa penurunan semangatnya tetap mengikuti sunahku, maka ia telah beruntung. Dan barangsiapa yang pada masa itu, menyimpang darinya, maka ia akan binasa.” (HR. Ahmad dan Ibnu Khuzaimah) Hadis ini mengajarkan bahwa meskipun semangat beribadah dapat naik dan turun, selama seorang muslim berpegang teguh pada sunah, ia berada di jalan yang benar dan dalam perlindungan Allah Ta’ala. Ibn Al-Jauzi rahimahullah dalam bukunya Shayd Al-Khatir, pada bagian tentang mau’izhah (nasihat) dan para pendengarnya, menjelaskan bahwa terkadang hati seseorang terbangun ketika mendengar nasihat, namun setelah meninggalkan majelis tersebut, ia kembali pada kekerasan hati dan kelalaian. Setelah merenungkan hal ini, Ibn Al-Jauzi rahimahullah menyimpulkan bahwa fenomena ini terjadi karena dua hal: Pertama, nasihat itu seperti cambuk, yakni rasa sakitnya terasa hanya saat diterima, tetapi setelah itu efeknya berkurang. Kedua, ketika seseorang mendengarkan nasihat, hatinya dalam keadaan terbuka dan ia mengabaikan urusan dunia, fokusnya hanya pada nasihat yang didengar. Namun, begitu ia kembali ke kesibukan sehari-hari, gangguan dan distraksi dunia menariknya kembali ke keadaan lalai. Oleh karena itu, kondisi hati tidak akan sama antara saat mendengar nasihat dan setelahnya. Beliau melanjutkan bahwa kebanyakan orang mengalami hal ini, tetapi mereka yang memiliki kepekaan hati yang kuat tetap merasakan pengaruh nasihat dalam jangka waktu yang berbeda. Ada yang teguh dan langsung mengambil tindakan, bahkan merasa terganggu jika kondisi hati mereka berubah, seperti Hanzhalah yang merasa dirinya munafik ketika merasakan kelalaian. Ada juga yang keimanannya kadang menguat dan kadang melemah, mirip dengan tangkai gandum yang bergoyang oleh angin. Dan ada pula yang nasihat hanya berdampak sementara, seperti air yang menggelinding di atas batu tanpa meresap. Kesimpulannya, semua ini mengajarkan kita bahwa penurunan dalam intensitas keimanan bukanlah tanda kemunafikan, tetapi bagian dari sifat manusia. Kadang manusia memang ada waktunya untuk beribadah kepada Allah Ta’ala, menjalankan syariat-Nya, maka manfaatkanlah momen-momen tersebut dengan bersungguh-sungguh maksimal dalam ibadah. Dan ada pula waktu ketika selain ibadah yang bisa jadi ia pada kondisi futur, turun imannya, sibuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan, bercengkrama dengan keluarga, mencari harta, dan urusan-urusan dunia lainnya yang menyibukkan. Lalu, Nabi kita mengajarkan jika kita berada pada kondisi iman yang turun, maka tetap jalankanlah kewajiban-kewajiban, serta berpegang teguh pada sunahnya. Baca juga: Menyikapi Pergeseran Arti “Syirik” dan “Munafik” di Masyarakat *** Penulis: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id

Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 3)

Daftar Isi Toggle Hukum sewa menyewa benda atau asetPertama, sewa menyewa dilihat dari hukum benda atau asetnyaBenda atau aset yang boleh disewakanBenda atau aset yang tidak boleh untuk disewakanBenda atau aset yang ketika diambil atau digunakan manfaatnya pasti akan habis atau hilang bendanyaBenda atau aset yang haram untuk diperjualbelikanKedua, sewa menyewa dilihat dari tujuan penggunaan benda Masih dalam pembahasan fikih transaksi ijarah (sewa menyewa). Salah satu transaksi yang sering kali dilakukan, tak terkecuali kaum muslimin. Tentunya, ada ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Islam tentang transaksi ini yang harus diketahui ketika ingin melakukan transaksi tersebut. Pada tulisan sebelumnya, sempat disinggung tentang bentuk sewa menyewa. Setidaknya ada dua hal: Pertama, sewa menyewa dalam bentuk benda atau aset. Kedua, sewa menyewa dalam bentuk pekerjaan atau sewa jasa. Dan pada pembahasan kali ini, lebih mengerucut kepada pembahasan sewa menyewa dalam bentuk benda atau aset. Hukum sewa menyewa benda atau aset Dalam pembahasan ini, ringkasnya sewa menyewa benda atau aset secara hukum terbagi menjadi dua pembahasan, Pertama, sewa menyewa dilihat dari hukum benda atau asetnya Benda atau aset yang boleh disewakan Yaitu, setiap benda atau aset yang boleh untuk digunakan manfaatnya secara mubah; atau bisa juga dikatakan benda yang boleh diperjualbelikan, maka boleh juga untuk disewakan. Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan, “Benda tersebut tetap berada pada hukum asalnya, yaitu mubah.” [1] Dan kaidah dalam hal ini, yaitu: الأصل في الأشياء الإباحة “Hukum asal segala sesuatu adalah mubah.” Tentunya sangat banyak contohnya terkait dengan hal ini. Di antaranya: tanah, rumah, hewan tunggangan, kendaraan, pakaian, dan lain sebagainya. Dan terdapat beberapa keadaan yang boleh padanya menyewakan benda atau aset yang dimiliki. Hal ini disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni. Di antaranya: 1) Boleh menyewakan pohon atau batang pohon untuk menjemur baju atau untuk bernaung padanya. 2) Boleh menyewa binatang untuk memadatkan tanah atau ladang persawahan. 3) Boleh menyewa dinding atau tembok untuk meletakkan kayu-kayu padanya, dalam waktu tertentu. 4) Boleh menyewa rumah untuk dijadikan sebagai masjid yang digunakan untuk melaksanakan salat. 5) Boleh menyewa sumur untuk diambil airnya dalam kurun waktu yang ditentukan. [2] Dan masih banyak lagi keadaan-keadaan yang boleh padanya benda atau aset disewakan. Sehingga pada poin ini telah jelas benda atau aset apa saja yang boleh disewakan. Benda atau aset yang tidak boleh untuk disewakan Hal ini terbagi menjadi beberapa bagian: Benda atau aset yang ketika diambil atau digunakan manfaatnya pasti akan habis atau hilang bendanya Seperti: makanan, minuman, lilin, dan lainnya. Benda-benda seperti ini ketika disewa tidak akan tersisa bendanya dan hilang manfaat kegunaannya. Maka, tidak boleh yang seperti ini untuk disewakan. Beda halnya jika dijual. Adapun dijual, tidak ada hak untuk dikembalikan benda tersebut karena sudah menjadi milik pembeli. Masuk dalam hal ini juga, menyewa kuda pejantan atau yang sejenisnya untuk diambil spermanya yang kemudian dimasukkan ke betina. Abdullah bin ‘Umar radiyallahu ‘anhu berkata, أَنّّ النَّبِيَ نَهَى عَنْ عَسْبِ الفَحْلِ “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alahi wasallam melarang dari mengambil anak dari kuda pejantan.” (Muttafaqun ‘alaih) Karena yang dijadikan tujuan sejatinya adalah air mani yang dimiliki oleh si pejantan tersebut, sedangkan hal itu masih tidak jelas keberadaannya. Atas dasar ini, sewa menyewa dalam bentuk seperti ini tidak diperbolehkan. Sama halnya seperti menyewa kambing betina untuk diperah susunya. [3]  Benda atau aset yang haram untuk diperjualbelikan Hal ini seperti khamar, hewan yang haram untuk diperjualbelikan, seperti anjing dan babi, tidak boleh juga menyewakan benda atau aset yang dimiliki orang lain tanpa seizinnya, dan lain sebagainya yang haram untuk diperjualbelikan, maka haram juga untuk disewakan. Termasuk dalam hal ini juga, menyewakan benda atau aset yang tidak mungkin bisa diterima manfaatnya, baik itu boleh untuk diperjualbelikan atau tidak. Terjadi perbedaan pendapat pada mushaf Al-Qur’an. Apakah boleh disewakan atau tidak. Abu Hanifah berpendapat bahwa mushaf Al-Qur’an tidak boleh untuk disewakan, dalam rangka memuliakan firman Allah Ta’ala. Adapun jumhur berpendapat boleh untuk disewakan sebagaimana buku-buku yang lain, sebagaimana boleh diperjualbelikan, maka boleh disewakan. Kedua, sewa menyewa dilihat dari tujuan penggunaan benda Dalam hal ini, tentunya pemberi sewa harus melihat kegunaan benda yang disewakan. Jika benda atau aset yang disewa untuk suatu hal yang halal sesuai dengan kegunaannya, maka boleh untuk disewakan. Kaidahnya, لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَار “Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan orang lain.” Para ulama mewanti-wanti terkait hal ini dalam kitab-kitab mereka dan sangat banyak contoh realita dari hal ini. Di antaranya, 1) Seperti seorang muslim yang menyewakan rumahnya untuk peribadatan agama selain Islam, untuk gereja atau yang sejenisnya. 2) Seseorang menyewakan kendaraannya untuk melakukan tindak kejahatan. 3) Seorang menyewakan gedung, kos-kosan, kontrakan, hotel, apartemen miliknya untuk dipakai pada hal-hal yang Allah Ta’ala dan Rasul-Nya haramkan. Seperti, pesta, mabuk, zina, judi, dan lain sebagainya. Yang seperti ini hendaknya seorang muslim hati-hati dan betul-betul melihat untuk apa barang sewaannya tersebut digunakan. Jangan karena nominal dari uang hasil sewa tersebut, ia berani untuk menerjang apa saja yang Allah dan Rasul-Nya telah melarangnya. Ingatlah! Bahwa semuanya akan Allah Ta’ala tanya di akhirat kelak. Jangan sampai harta yang dimiliki di dunia justru akan menjadi pengantarnya masuk ke dalam neraka. Wal’iyadzu billah… Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq.  [Bersambung] Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4 *** Depok, 7 Jumadilawal 1446/ 9 November 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih. Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah rahimahullah.   Catatn kaki: [1] Al-Mughni, 9: 113. [2] Al-Mughni, 9: 113-116. [3] Al-Mughni, 9: 117.

Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 3)

Daftar Isi Toggle Hukum sewa menyewa benda atau asetPertama, sewa menyewa dilihat dari hukum benda atau asetnyaBenda atau aset yang boleh disewakanBenda atau aset yang tidak boleh untuk disewakanBenda atau aset yang ketika diambil atau digunakan manfaatnya pasti akan habis atau hilang bendanyaBenda atau aset yang haram untuk diperjualbelikanKedua, sewa menyewa dilihat dari tujuan penggunaan benda Masih dalam pembahasan fikih transaksi ijarah (sewa menyewa). Salah satu transaksi yang sering kali dilakukan, tak terkecuali kaum muslimin. Tentunya, ada ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Islam tentang transaksi ini yang harus diketahui ketika ingin melakukan transaksi tersebut. Pada tulisan sebelumnya, sempat disinggung tentang bentuk sewa menyewa. Setidaknya ada dua hal: Pertama, sewa menyewa dalam bentuk benda atau aset. Kedua, sewa menyewa dalam bentuk pekerjaan atau sewa jasa. Dan pada pembahasan kali ini, lebih mengerucut kepada pembahasan sewa menyewa dalam bentuk benda atau aset. Hukum sewa menyewa benda atau aset Dalam pembahasan ini, ringkasnya sewa menyewa benda atau aset secara hukum terbagi menjadi dua pembahasan, Pertama, sewa menyewa dilihat dari hukum benda atau asetnya Benda atau aset yang boleh disewakan Yaitu, setiap benda atau aset yang boleh untuk digunakan manfaatnya secara mubah; atau bisa juga dikatakan benda yang boleh diperjualbelikan, maka boleh juga untuk disewakan. Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan, “Benda tersebut tetap berada pada hukum asalnya, yaitu mubah.” [1] Dan kaidah dalam hal ini, yaitu: الأصل في الأشياء الإباحة “Hukum asal segala sesuatu adalah mubah.” Tentunya sangat banyak contohnya terkait dengan hal ini. Di antaranya: tanah, rumah, hewan tunggangan, kendaraan, pakaian, dan lain sebagainya. Dan terdapat beberapa keadaan yang boleh padanya menyewakan benda atau aset yang dimiliki. Hal ini disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni. Di antaranya: 1) Boleh menyewakan pohon atau batang pohon untuk menjemur baju atau untuk bernaung padanya. 2) Boleh menyewa binatang untuk memadatkan tanah atau ladang persawahan. 3) Boleh menyewa dinding atau tembok untuk meletakkan kayu-kayu padanya, dalam waktu tertentu. 4) Boleh menyewa rumah untuk dijadikan sebagai masjid yang digunakan untuk melaksanakan salat. 5) Boleh menyewa sumur untuk diambil airnya dalam kurun waktu yang ditentukan. [2] Dan masih banyak lagi keadaan-keadaan yang boleh padanya benda atau aset disewakan. Sehingga pada poin ini telah jelas benda atau aset apa saja yang boleh disewakan. Benda atau aset yang tidak boleh untuk disewakan Hal ini terbagi menjadi beberapa bagian: Benda atau aset yang ketika diambil atau digunakan manfaatnya pasti akan habis atau hilang bendanya Seperti: makanan, minuman, lilin, dan lainnya. Benda-benda seperti ini ketika disewa tidak akan tersisa bendanya dan hilang manfaat kegunaannya. Maka, tidak boleh yang seperti ini untuk disewakan. Beda halnya jika dijual. Adapun dijual, tidak ada hak untuk dikembalikan benda tersebut karena sudah menjadi milik pembeli. Masuk dalam hal ini juga, menyewa kuda pejantan atau yang sejenisnya untuk diambil spermanya yang kemudian dimasukkan ke betina. Abdullah bin ‘Umar radiyallahu ‘anhu berkata, أَنّّ النَّبِيَ نَهَى عَنْ عَسْبِ الفَحْلِ “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alahi wasallam melarang dari mengambil anak dari kuda pejantan.” (Muttafaqun ‘alaih) Karena yang dijadikan tujuan sejatinya adalah air mani yang dimiliki oleh si pejantan tersebut, sedangkan hal itu masih tidak jelas keberadaannya. Atas dasar ini, sewa menyewa dalam bentuk seperti ini tidak diperbolehkan. Sama halnya seperti menyewa kambing betina untuk diperah susunya. [3]  Benda atau aset yang haram untuk diperjualbelikan Hal ini seperti khamar, hewan yang haram untuk diperjualbelikan, seperti anjing dan babi, tidak boleh juga menyewakan benda atau aset yang dimiliki orang lain tanpa seizinnya, dan lain sebagainya yang haram untuk diperjualbelikan, maka haram juga untuk disewakan. Termasuk dalam hal ini juga, menyewakan benda atau aset yang tidak mungkin bisa diterima manfaatnya, baik itu boleh untuk diperjualbelikan atau tidak. Terjadi perbedaan pendapat pada mushaf Al-Qur’an. Apakah boleh disewakan atau tidak. Abu Hanifah berpendapat bahwa mushaf Al-Qur’an tidak boleh untuk disewakan, dalam rangka memuliakan firman Allah Ta’ala. Adapun jumhur berpendapat boleh untuk disewakan sebagaimana buku-buku yang lain, sebagaimana boleh diperjualbelikan, maka boleh disewakan. Kedua, sewa menyewa dilihat dari tujuan penggunaan benda Dalam hal ini, tentunya pemberi sewa harus melihat kegunaan benda yang disewakan. Jika benda atau aset yang disewa untuk suatu hal yang halal sesuai dengan kegunaannya, maka boleh untuk disewakan. Kaidahnya, لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَار “Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan orang lain.” Para ulama mewanti-wanti terkait hal ini dalam kitab-kitab mereka dan sangat banyak contoh realita dari hal ini. Di antaranya, 1) Seperti seorang muslim yang menyewakan rumahnya untuk peribadatan agama selain Islam, untuk gereja atau yang sejenisnya. 2) Seseorang menyewakan kendaraannya untuk melakukan tindak kejahatan. 3) Seorang menyewakan gedung, kos-kosan, kontrakan, hotel, apartemen miliknya untuk dipakai pada hal-hal yang Allah Ta’ala dan Rasul-Nya haramkan. Seperti, pesta, mabuk, zina, judi, dan lain sebagainya. Yang seperti ini hendaknya seorang muslim hati-hati dan betul-betul melihat untuk apa barang sewaannya tersebut digunakan. Jangan karena nominal dari uang hasil sewa tersebut, ia berani untuk menerjang apa saja yang Allah dan Rasul-Nya telah melarangnya. Ingatlah! Bahwa semuanya akan Allah Ta’ala tanya di akhirat kelak. Jangan sampai harta yang dimiliki di dunia justru akan menjadi pengantarnya masuk ke dalam neraka. Wal’iyadzu billah… Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq.  [Bersambung] Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4 *** Depok, 7 Jumadilawal 1446/ 9 November 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih. Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah rahimahullah.   Catatn kaki: [1] Al-Mughni, 9: 113. [2] Al-Mughni, 9: 113-116. [3] Al-Mughni, 9: 117.
Daftar Isi Toggle Hukum sewa menyewa benda atau asetPertama, sewa menyewa dilihat dari hukum benda atau asetnyaBenda atau aset yang boleh disewakanBenda atau aset yang tidak boleh untuk disewakanBenda atau aset yang ketika diambil atau digunakan manfaatnya pasti akan habis atau hilang bendanyaBenda atau aset yang haram untuk diperjualbelikanKedua, sewa menyewa dilihat dari tujuan penggunaan benda Masih dalam pembahasan fikih transaksi ijarah (sewa menyewa). Salah satu transaksi yang sering kali dilakukan, tak terkecuali kaum muslimin. Tentunya, ada ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Islam tentang transaksi ini yang harus diketahui ketika ingin melakukan transaksi tersebut. Pada tulisan sebelumnya, sempat disinggung tentang bentuk sewa menyewa. Setidaknya ada dua hal: Pertama, sewa menyewa dalam bentuk benda atau aset. Kedua, sewa menyewa dalam bentuk pekerjaan atau sewa jasa. Dan pada pembahasan kali ini, lebih mengerucut kepada pembahasan sewa menyewa dalam bentuk benda atau aset. Hukum sewa menyewa benda atau aset Dalam pembahasan ini, ringkasnya sewa menyewa benda atau aset secara hukum terbagi menjadi dua pembahasan, Pertama, sewa menyewa dilihat dari hukum benda atau asetnya Benda atau aset yang boleh disewakan Yaitu, setiap benda atau aset yang boleh untuk digunakan manfaatnya secara mubah; atau bisa juga dikatakan benda yang boleh diperjualbelikan, maka boleh juga untuk disewakan. Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan, “Benda tersebut tetap berada pada hukum asalnya, yaitu mubah.” [1] Dan kaidah dalam hal ini, yaitu: الأصل في الأشياء الإباحة “Hukum asal segala sesuatu adalah mubah.” Tentunya sangat banyak contohnya terkait dengan hal ini. Di antaranya: tanah, rumah, hewan tunggangan, kendaraan, pakaian, dan lain sebagainya. Dan terdapat beberapa keadaan yang boleh padanya menyewakan benda atau aset yang dimiliki. Hal ini disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni. Di antaranya: 1) Boleh menyewakan pohon atau batang pohon untuk menjemur baju atau untuk bernaung padanya. 2) Boleh menyewa binatang untuk memadatkan tanah atau ladang persawahan. 3) Boleh menyewa dinding atau tembok untuk meletakkan kayu-kayu padanya, dalam waktu tertentu. 4) Boleh menyewa rumah untuk dijadikan sebagai masjid yang digunakan untuk melaksanakan salat. 5) Boleh menyewa sumur untuk diambil airnya dalam kurun waktu yang ditentukan. [2] Dan masih banyak lagi keadaan-keadaan yang boleh padanya benda atau aset disewakan. Sehingga pada poin ini telah jelas benda atau aset apa saja yang boleh disewakan. Benda atau aset yang tidak boleh untuk disewakan Hal ini terbagi menjadi beberapa bagian: Benda atau aset yang ketika diambil atau digunakan manfaatnya pasti akan habis atau hilang bendanya Seperti: makanan, minuman, lilin, dan lainnya. Benda-benda seperti ini ketika disewa tidak akan tersisa bendanya dan hilang manfaat kegunaannya. Maka, tidak boleh yang seperti ini untuk disewakan. Beda halnya jika dijual. Adapun dijual, tidak ada hak untuk dikembalikan benda tersebut karena sudah menjadi milik pembeli. Masuk dalam hal ini juga, menyewa kuda pejantan atau yang sejenisnya untuk diambil spermanya yang kemudian dimasukkan ke betina. Abdullah bin ‘Umar radiyallahu ‘anhu berkata, أَنّّ النَّبِيَ نَهَى عَنْ عَسْبِ الفَحْلِ “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alahi wasallam melarang dari mengambil anak dari kuda pejantan.” (Muttafaqun ‘alaih) Karena yang dijadikan tujuan sejatinya adalah air mani yang dimiliki oleh si pejantan tersebut, sedangkan hal itu masih tidak jelas keberadaannya. Atas dasar ini, sewa menyewa dalam bentuk seperti ini tidak diperbolehkan. Sama halnya seperti menyewa kambing betina untuk diperah susunya. [3]  Benda atau aset yang haram untuk diperjualbelikan Hal ini seperti khamar, hewan yang haram untuk diperjualbelikan, seperti anjing dan babi, tidak boleh juga menyewakan benda atau aset yang dimiliki orang lain tanpa seizinnya, dan lain sebagainya yang haram untuk diperjualbelikan, maka haram juga untuk disewakan. Termasuk dalam hal ini juga, menyewakan benda atau aset yang tidak mungkin bisa diterima manfaatnya, baik itu boleh untuk diperjualbelikan atau tidak. Terjadi perbedaan pendapat pada mushaf Al-Qur’an. Apakah boleh disewakan atau tidak. Abu Hanifah berpendapat bahwa mushaf Al-Qur’an tidak boleh untuk disewakan, dalam rangka memuliakan firman Allah Ta’ala. Adapun jumhur berpendapat boleh untuk disewakan sebagaimana buku-buku yang lain, sebagaimana boleh diperjualbelikan, maka boleh disewakan. Kedua, sewa menyewa dilihat dari tujuan penggunaan benda Dalam hal ini, tentunya pemberi sewa harus melihat kegunaan benda yang disewakan. Jika benda atau aset yang disewa untuk suatu hal yang halal sesuai dengan kegunaannya, maka boleh untuk disewakan. Kaidahnya, لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَار “Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan orang lain.” Para ulama mewanti-wanti terkait hal ini dalam kitab-kitab mereka dan sangat banyak contoh realita dari hal ini. Di antaranya, 1) Seperti seorang muslim yang menyewakan rumahnya untuk peribadatan agama selain Islam, untuk gereja atau yang sejenisnya. 2) Seseorang menyewakan kendaraannya untuk melakukan tindak kejahatan. 3) Seorang menyewakan gedung, kos-kosan, kontrakan, hotel, apartemen miliknya untuk dipakai pada hal-hal yang Allah Ta’ala dan Rasul-Nya haramkan. Seperti, pesta, mabuk, zina, judi, dan lain sebagainya. Yang seperti ini hendaknya seorang muslim hati-hati dan betul-betul melihat untuk apa barang sewaannya tersebut digunakan. Jangan karena nominal dari uang hasil sewa tersebut, ia berani untuk menerjang apa saja yang Allah dan Rasul-Nya telah melarangnya. Ingatlah! Bahwa semuanya akan Allah Ta’ala tanya di akhirat kelak. Jangan sampai harta yang dimiliki di dunia justru akan menjadi pengantarnya masuk ke dalam neraka. Wal’iyadzu billah… Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq.  [Bersambung] Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4 *** Depok, 7 Jumadilawal 1446/ 9 November 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih. Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah rahimahullah.   Catatn kaki: [1] Al-Mughni, 9: 113. [2] Al-Mughni, 9: 113-116. [3] Al-Mughni, 9: 117.


Daftar Isi Toggle Hukum sewa menyewa benda atau asetPertama, sewa menyewa dilihat dari hukum benda atau asetnyaBenda atau aset yang boleh disewakanBenda atau aset yang tidak boleh untuk disewakanBenda atau aset yang ketika diambil atau digunakan manfaatnya pasti akan habis atau hilang bendanyaBenda atau aset yang haram untuk diperjualbelikanKedua, sewa menyewa dilihat dari tujuan penggunaan benda Masih dalam pembahasan fikih transaksi ijarah (sewa menyewa). Salah satu transaksi yang sering kali dilakukan, tak terkecuali kaum muslimin. Tentunya, ada ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Islam tentang transaksi ini yang harus diketahui ketika ingin melakukan transaksi tersebut. Pada tulisan sebelumnya, sempat disinggung tentang bentuk sewa menyewa. Setidaknya ada dua hal: Pertama, sewa menyewa dalam bentuk benda atau aset. Kedua, sewa menyewa dalam bentuk pekerjaan atau sewa jasa. Dan pada pembahasan kali ini, lebih mengerucut kepada pembahasan sewa menyewa dalam bentuk benda atau aset. Hukum sewa menyewa benda atau aset Dalam pembahasan ini, ringkasnya sewa menyewa benda atau aset secara hukum terbagi menjadi dua pembahasan, Pertama, sewa menyewa dilihat dari hukum benda atau asetnya Benda atau aset yang boleh disewakan Yaitu, setiap benda atau aset yang boleh untuk digunakan manfaatnya secara mubah; atau bisa juga dikatakan benda yang boleh diperjualbelikan, maka boleh juga untuk disewakan. Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan, “Benda tersebut tetap berada pada hukum asalnya, yaitu mubah.” [1] Dan kaidah dalam hal ini, yaitu: الأصل في الأشياء الإباحة “Hukum asal segala sesuatu adalah mubah.” Tentunya sangat banyak contohnya terkait dengan hal ini. Di antaranya: tanah, rumah, hewan tunggangan, kendaraan, pakaian, dan lain sebagainya. Dan terdapat beberapa keadaan yang boleh padanya menyewakan benda atau aset yang dimiliki. Hal ini disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni. Di antaranya: 1) Boleh menyewakan pohon atau batang pohon untuk menjemur baju atau untuk bernaung padanya. 2) Boleh menyewa binatang untuk memadatkan tanah atau ladang persawahan. 3) Boleh menyewa dinding atau tembok untuk meletakkan kayu-kayu padanya, dalam waktu tertentu. 4) Boleh menyewa rumah untuk dijadikan sebagai masjid yang digunakan untuk melaksanakan salat. 5) Boleh menyewa sumur untuk diambil airnya dalam kurun waktu yang ditentukan. [2] Dan masih banyak lagi keadaan-keadaan yang boleh padanya benda atau aset disewakan. Sehingga pada poin ini telah jelas benda atau aset apa saja yang boleh disewakan. Benda atau aset yang tidak boleh untuk disewakan Hal ini terbagi menjadi beberapa bagian: Benda atau aset yang ketika diambil atau digunakan manfaatnya pasti akan habis atau hilang bendanya Seperti: makanan, minuman, lilin, dan lainnya. Benda-benda seperti ini ketika disewa tidak akan tersisa bendanya dan hilang manfaat kegunaannya. Maka, tidak boleh yang seperti ini untuk disewakan. Beda halnya jika dijual. Adapun dijual, tidak ada hak untuk dikembalikan benda tersebut karena sudah menjadi milik pembeli. Masuk dalam hal ini juga, menyewa kuda pejantan atau yang sejenisnya untuk diambil spermanya yang kemudian dimasukkan ke betina. Abdullah bin ‘Umar radiyallahu ‘anhu berkata, أَنّّ النَّبِيَ نَهَى عَنْ عَسْبِ الفَحْلِ “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alahi wasallam melarang dari mengambil anak dari kuda pejantan.” (Muttafaqun ‘alaih) Karena yang dijadikan tujuan sejatinya adalah air mani yang dimiliki oleh si pejantan tersebut, sedangkan hal itu masih tidak jelas keberadaannya. Atas dasar ini, sewa menyewa dalam bentuk seperti ini tidak diperbolehkan. Sama halnya seperti menyewa kambing betina untuk diperah susunya. [3]  Benda atau aset yang haram untuk diperjualbelikan Hal ini seperti khamar, hewan yang haram untuk diperjualbelikan, seperti anjing dan babi, tidak boleh juga menyewakan benda atau aset yang dimiliki orang lain tanpa seizinnya, dan lain sebagainya yang haram untuk diperjualbelikan, maka haram juga untuk disewakan. Termasuk dalam hal ini juga, menyewakan benda atau aset yang tidak mungkin bisa diterima manfaatnya, baik itu boleh untuk diperjualbelikan atau tidak. Terjadi perbedaan pendapat pada mushaf Al-Qur’an. Apakah boleh disewakan atau tidak. Abu Hanifah berpendapat bahwa mushaf Al-Qur’an tidak boleh untuk disewakan, dalam rangka memuliakan firman Allah Ta’ala. Adapun jumhur berpendapat boleh untuk disewakan sebagaimana buku-buku yang lain, sebagaimana boleh diperjualbelikan, maka boleh disewakan. Kedua, sewa menyewa dilihat dari tujuan penggunaan benda Dalam hal ini, tentunya pemberi sewa harus melihat kegunaan benda yang disewakan. Jika benda atau aset yang disewa untuk suatu hal yang halal sesuai dengan kegunaannya, maka boleh untuk disewakan. Kaidahnya, لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَار “Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan orang lain.” Para ulama mewanti-wanti terkait hal ini dalam kitab-kitab mereka dan sangat banyak contoh realita dari hal ini. Di antaranya, 1) Seperti seorang muslim yang menyewakan rumahnya untuk peribadatan agama selain Islam, untuk gereja atau yang sejenisnya. 2) Seseorang menyewakan kendaraannya untuk melakukan tindak kejahatan. 3) Seorang menyewakan gedung, kos-kosan, kontrakan, hotel, apartemen miliknya untuk dipakai pada hal-hal yang Allah Ta’ala dan Rasul-Nya haramkan. Seperti, pesta, mabuk, zina, judi, dan lain sebagainya. Yang seperti ini hendaknya seorang muslim hati-hati dan betul-betul melihat untuk apa barang sewaannya tersebut digunakan. Jangan karena nominal dari uang hasil sewa tersebut, ia berani untuk menerjang apa saja yang Allah dan Rasul-Nya telah melarangnya. Ingatlah! Bahwa semuanya akan Allah Ta’ala tanya di akhirat kelak. Jangan sampai harta yang dimiliki di dunia justru akan menjadi pengantarnya masuk ke dalam neraka. Wal’iyadzu billah… Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq.  [Bersambung] Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4 *** Depok, 7 Jumadilawal 1446/ 9 November 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih. Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah rahimahullah.   Catatn kaki: [1] Al-Mughni, 9: 113. [2] Al-Mughni, 9: 113-116. [3] Al-Mughni, 9: 117.

Kadar Hujan yang Membolehkan Menjamak Shalat – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Pertanyaan kedua berkaitan dengan menjamak shalat. Dia menyebutkan suatu kasus, tapi pertanyaannya adalah tentang cara menentukan kebutuhan untuk menjamak shalat disebabkan kesulitan, dst. Apakah keputusannya kembali kepada imam? Karena memang terkadang para jemaah di masjid menekan imam agar menjamak shalat. Menjamak shalat dalam keadaan mukim ketika hujan, harus disertai adanya kesulitan (yang ditimbulkan hujan tersebut), dan harus disertai adanya kesusahan bagi para jemaah shalat. Sebagian orang awam mengira bahwa menjamak shalat karena hujan, hukumnya seperti mengqashar shalat saat safar. Mereka berkata, “Ini keringanan!” Oleh sebab itu, jika turun hujan, mereka merasa senang dan langsung berkata, “Mari kita menjamak shalat!”, tanpa mempertimbangkan ada tidaknya kesulitan. Sehingga mereka menekan imam (untuk menjamak). Jika sang imam tidak kuat pendiriannya, bisa jadi akan menuruti mereka. Maka dari itu, tanggung jawab ini ada di pundak imam. Dialah yang mempertimbangkan: “Apakah ada kesulitan yang menjadikan jamak shalat dibolehkan atau tidak?” Ada beberapa tanda yang mungkin bisa jadi bahan pertimbangan bagi imam mengenai adanya kesulitan yang timbul: Yaitu jika turunnya hujan mempengaruhi aktivitas duniawi manusia. Karena dalam aktivitas duniawi, manusia akan bersikap apa adanya. Maka, jika hujan mempengaruhi aktivitas duniawi manusia, seperti sebagian orang jadi menetap dalam rumah karena hujan, beberapa tempat ditutup karena hujan, dan pergerakan lalu lintas terganggu karena hujan, maka artinya terdapat kesulitan akibat hujan, sehingga dibolehkan menjamak shalat. Adapun jika pergerakan manusia biasa saja, tidak terpengaruh sedikit pun. Atau bahkan, jika hujan turun – terlebih lagi saat musim panas – orang-orang merasa senang dan pergi ke tempat-tempat bersantai, pergi ke tempat-tempat rekreasi, dan bergembira ria. Yakni tidak ada sedikit pun kesulitan yang tidak biasa. Maka ketika itu tidak boleh menjamak shalat. Sedangkan menjamak shalat tanpa ada uzur termasuk dosa besar. Apabila sang imam ragu apakah harus menjamak shalat atau tidak, maka kembali ke hukum asalnya. Hukum asalnya adalah tidak dijamak. Hukum asalnya tidak dijamak; setiap shalat harus dilakukan pada waktunya. Sehingga harus ada sangkaan kuat tentang adanya kesulitan yang menjadikan jamak shalat dibolehkan. Waktunya habis; tapi sebagaimana disebutkan penanya, menurut perhitungan imam, keadaannya tidak mengharuskan dilakukan jamak, tapi dia menuruti permintaan jemaah masjid. Ia bertanya, “Apakah harus mengulang shalatnya atau tidak?” Ini masalah ijtihad. Selagi dia telah berijtihad bersama para jemaah masjid, dan mereka menganggap bahwa turunnya hujan menimbulkan kesulitan, maka saya berharap shalat mereka sah. Terima kasih, ya Syaikh! Terima kasih juga kepada kalian dan para pemirsa. Terima kasih juga, saudara-saudari atas perhatiannya. Terima kasih juga kepada rekan kami, Hasan al-Hilafi yang telah menyiarkan sesi ini dengan bahasa isyarat. Kita jumpa lagi hari Ahad, insya Allah. Aku titipkan kalian kepada Allah. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. ==== السُّؤَالُ الثَّانِي فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالْجَمْعِ هُوَ ذَكَرَ حَادِثَةً مُعَيَّنَةً لَكِن السُّؤَالُ تَقْدِيْرُ الْحَاجَةِ لِلْجَمْعِ وَالْمَشَقَّةِ وَإِلَى آخِرِهِ هَلْ يَعُودُ هَلْ يَعُودُ لِلْإِمَامِ؟ لِأَنَّ أَحْيَانًا فِعْلًا جَمَاعَةُ الْمَسْجِدِ قَدْ يَضْغَطُوْنَ عَلَى الْإِمَامِ لِكَيْ يَأْتِي بِالصَّلَاةِ أَوْ يَأْتِي بِالْجَمْعِ الْجَمْعُ فِي الْحَضَرِ لِأَجْلِ الْمَطَرِ لَا بُدَّ مِنْ وُجُودِ حَرَجٍ وَلَا بُدَّ مِنْ وُجُودِ مَشَقَّةٍ عَلَى الْمُصَلِّيْنَ بَعْضُ الْعَامَّةِ يَعْتَقِدُ أَنَّ الْجَمْعَ لِأَجْلِ الْمَطَرِ هُو كَالْقَصْرِ فِي السَّفَرِ فَيَقُولُونَ هَذِهِ رُخْصَةٌ لِذَلِكَ إِذَا أَتَى الْمَطَرُ يَسْتَبْشِرُونَ يَقُولُ نَجْمَعُ مُبَاشَرَةً وَلَا يَنْظُرُونَ لِمَسْأَلَةِ الْحَرَجِ فَيَضْغَطُوْنَ عَلَى الْإِمَامِ فَإِذَا لَمْ يَكُن الْإِمَامُ قَوِيَّ الشَّخْصِيَّةِ رُبَّمَا يَخْضَعُ لَهُمْ وَلِذَلِكَ فَالْمَسْئُولِيَّةُ تَقَعُ عَلَى الْإِمَامِ الْإِمَامُ هُوَ الَّذِي يُقَدِّرُ هَلْ فِيهِ حَرَجٌ يَسْتَوْجِبُ الجَمْعَ أَمْ لَا وَهُنَاكَ قَرَائِنُ مُمْكِنٌ يُسْتَدَلُّ بِهَا إِمَامُ الْمَسْجِدِ بِوُجُودِ الْحَرَجِ وَهِيَ إِذَا أَثَّرَ نُزُولُ الْمَطَرِ عَلَى تَعَامُلَاتِ النَّاسِ الدُّنْيَوِيَّةِ النَّاسُ فِي أُمُورِهِمُ الدُّنْيَوِيَّةِ يَصْدُقُونَ فَإِذَا أَثَّرَ عَلَى تَعَامُلَاتِ النَّاسِ الدُّنْيَوِيَّةِ يَعْنِي لَازَمَ مَثَلًا بَعْضُ النَّاسِ بُيُوتَهُمْ لِأَجْلِ الْمَطَرِ أُغْلِقَتْ بَعْضُ الْمَحَلَّاتِ لِأَجْلِ الْمَطَرِ كَذَلِكَ حَرَكَةُ السَّيْرِ تَأَثَّرَتْ لِأَجْلِ الْمَطَرِ فَمَعْنَى ذَلِكَ أَنَّ الْحَرَجَ مَوْجُوْدٌ وَقَائِمٌ فَلَهُ الْجَمْعُ أَمَّا إِذَا كَانَتْ حَرَكَةُ النَّاسِ مُعْتَادَةً تَمَامًا بَلْ رُبَّمَا إِذَا نَزَلَ الْمَطَرُ وَخَاصَّةً فِي الصَّيْفِ يَفْرَحُ النَّاسُ وَيَذْهَبُوْنَ لِاسْتِرَاحَاتٍ وَيَذْهَبُوْنَ لِمُنْتَزَهَاتٍ وَيَتَفَسَّحُوْنَ يَعْنِي لَا تُوجَدُ أَدْنَى دَرَجَاتِ الْحَرَجِ غَيْرِ الْمُعْتَادِ هُنَا لَا يَجُوزُ الْجَمْعُ وَجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ مَعْدُودٌ مِنَ الْكَبَائِرِ وَإِذَا أَشْكَلَ عَلَى الْإِمَامِ هَلْ يَجْمَعُ أَوْ لَا يَجْمَعُ؟ فَنَرْجِعُ لِلْأَصْلِ وَالْأَصْلُ عَدَمُ الْجَمْعِ الْأَصْلُ عَدَمُ الْجَمْعِ أَنَّ كُلَّ صَلَاةٍ تُصَلَّى فِي وَقْتِهَا فَلَا بُدَّ مِنْ غَلَبَةِ الظَّنِّ بِوُجُودِ الْحَرَجِ الْمُوجِبِ لِلْجَمْعِ انْتَهَى الْوَقْتُ لَكِنْ فِيهِ كَمَا ذَكَرَ تَقْدِيرُ الْإِمَامِ أَنَّ الْأَمْرَ لَا يَسْتَدْعِيهِ الْجَمْعُ لَكِنَّهُ اسْتَجَابَ لِجَمَاعَةِ الْمَسْجِدِ يَقُولُ هَلْ يُعِيدُ الصَّلَاةَ أَوْ لَا؟ هَذِهِ مَسْأَلَةٌ اجْتِهَادِيَّةٌ مَا دَامَ أَنَّهَا قَدْ اجْتِهَدَ مَعَ جَمَاعَةِ الْمَسْجِدِ وَقَدَّرُوا أَنَّ نُزُولَ الْمَطَرِ يَعْنِي فِيهِ حَرَجٌ أَرْجُو أَنْ تَكُونَ صَلَاتُهُمْ صَحِيحَةً شَاكِرِيْنَ مُقَدِّرِيْنَ فَضِيلَةَ الشَّيْخِ وَشُكْرًا لَكُمْ وَالْإِخْوَةِ الْمُشَاهِدِيْنَ شُكْرًا كَذَلِكَ لَكُمْ أَنْتُمْ أَيُّهَا الإِخْوَةُ وَالأَخَوَاتُ عَلَى حُسْنِ مُشَاهَدَتِكُمْ وَمُتَابَعَتِكُم وَنَشْكُرُ زَمِيْلَنَا حَسَنًا الْحِلَافِي الَّذِي نَقَلَ هَذِهِ الْحَلَقَةَ بِلُغَةِ الْإِشَارَةِ مَوْعِدُنَا مَعَكُمْ يَوْمَ الْأَحَدِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ أَسْتَوْدِعُكُمُ اللَّهَ السَّلَامَ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Kadar Hujan yang Membolehkan Menjamak Shalat – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Pertanyaan kedua berkaitan dengan menjamak shalat. Dia menyebutkan suatu kasus, tapi pertanyaannya adalah tentang cara menentukan kebutuhan untuk menjamak shalat disebabkan kesulitan, dst. Apakah keputusannya kembali kepada imam? Karena memang terkadang para jemaah di masjid menekan imam agar menjamak shalat. Menjamak shalat dalam keadaan mukim ketika hujan, harus disertai adanya kesulitan (yang ditimbulkan hujan tersebut), dan harus disertai adanya kesusahan bagi para jemaah shalat. Sebagian orang awam mengira bahwa menjamak shalat karena hujan, hukumnya seperti mengqashar shalat saat safar. Mereka berkata, “Ini keringanan!” Oleh sebab itu, jika turun hujan, mereka merasa senang dan langsung berkata, “Mari kita menjamak shalat!”, tanpa mempertimbangkan ada tidaknya kesulitan. Sehingga mereka menekan imam (untuk menjamak). Jika sang imam tidak kuat pendiriannya, bisa jadi akan menuruti mereka. Maka dari itu, tanggung jawab ini ada di pundak imam. Dialah yang mempertimbangkan: “Apakah ada kesulitan yang menjadikan jamak shalat dibolehkan atau tidak?” Ada beberapa tanda yang mungkin bisa jadi bahan pertimbangan bagi imam mengenai adanya kesulitan yang timbul: Yaitu jika turunnya hujan mempengaruhi aktivitas duniawi manusia. Karena dalam aktivitas duniawi, manusia akan bersikap apa adanya. Maka, jika hujan mempengaruhi aktivitas duniawi manusia, seperti sebagian orang jadi menetap dalam rumah karena hujan, beberapa tempat ditutup karena hujan, dan pergerakan lalu lintas terganggu karena hujan, maka artinya terdapat kesulitan akibat hujan, sehingga dibolehkan menjamak shalat. Adapun jika pergerakan manusia biasa saja, tidak terpengaruh sedikit pun. Atau bahkan, jika hujan turun – terlebih lagi saat musim panas – orang-orang merasa senang dan pergi ke tempat-tempat bersantai, pergi ke tempat-tempat rekreasi, dan bergembira ria. Yakni tidak ada sedikit pun kesulitan yang tidak biasa. Maka ketika itu tidak boleh menjamak shalat. Sedangkan menjamak shalat tanpa ada uzur termasuk dosa besar. Apabila sang imam ragu apakah harus menjamak shalat atau tidak, maka kembali ke hukum asalnya. Hukum asalnya adalah tidak dijamak. Hukum asalnya tidak dijamak; setiap shalat harus dilakukan pada waktunya. Sehingga harus ada sangkaan kuat tentang adanya kesulitan yang menjadikan jamak shalat dibolehkan. Waktunya habis; tapi sebagaimana disebutkan penanya, menurut perhitungan imam, keadaannya tidak mengharuskan dilakukan jamak, tapi dia menuruti permintaan jemaah masjid. Ia bertanya, “Apakah harus mengulang shalatnya atau tidak?” Ini masalah ijtihad. Selagi dia telah berijtihad bersama para jemaah masjid, dan mereka menganggap bahwa turunnya hujan menimbulkan kesulitan, maka saya berharap shalat mereka sah. Terima kasih, ya Syaikh! Terima kasih juga kepada kalian dan para pemirsa. Terima kasih juga, saudara-saudari atas perhatiannya. Terima kasih juga kepada rekan kami, Hasan al-Hilafi yang telah menyiarkan sesi ini dengan bahasa isyarat. Kita jumpa lagi hari Ahad, insya Allah. Aku titipkan kalian kepada Allah. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. ==== السُّؤَالُ الثَّانِي فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالْجَمْعِ هُوَ ذَكَرَ حَادِثَةً مُعَيَّنَةً لَكِن السُّؤَالُ تَقْدِيْرُ الْحَاجَةِ لِلْجَمْعِ وَالْمَشَقَّةِ وَإِلَى آخِرِهِ هَلْ يَعُودُ هَلْ يَعُودُ لِلْإِمَامِ؟ لِأَنَّ أَحْيَانًا فِعْلًا جَمَاعَةُ الْمَسْجِدِ قَدْ يَضْغَطُوْنَ عَلَى الْإِمَامِ لِكَيْ يَأْتِي بِالصَّلَاةِ أَوْ يَأْتِي بِالْجَمْعِ الْجَمْعُ فِي الْحَضَرِ لِأَجْلِ الْمَطَرِ لَا بُدَّ مِنْ وُجُودِ حَرَجٍ وَلَا بُدَّ مِنْ وُجُودِ مَشَقَّةٍ عَلَى الْمُصَلِّيْنَ بَعْضُ الْعَامَّةِ يَعْتَقِدُ أَنَّ الْجَمْعَ لِأَجْلِ الْمَطَرِ هُو كَالْقَصْرِ فِي السَّفَرِ فَيَقُولُونَ هَذِهِ رُخْصَةٌ لِذَلِكَ إِذَا أَتَى الْمَطَرُ يَسْتَبْشِرُونَ يَقُولُ نَجْمَعُ مُبَاشَرَةً وَلَا يَنْظُرُونَ لِمَسْأَلَةِ الْحَرَجِ فَيَضْغَطُوْنَ عَلَى الْإِمَامِ فَإِذَا لَمْ يَكُن الْإِمَامُ قَوِيَّ الشَّخْصِيَّةِ رُبَّمَا يَخْضَعُ لَهُمْ وَلِذَلِكَ فَالْمَسْئُولِيَّةُ تَقَعُ عَلَى الْإِمَامِ الْإِمَامُ هُوَ الَّذِي يُقَدِّرُ هَلْ فِيهِ حَرَجٌ يَسْتَوْجِبُ الجَمْعَ أَمْ لَا وَهُنَاكَ قَرَائِنُ مُمْكِنٌ يُسْتَدَلُّ بِهَا إِمَامُ الْمَسْجِدِ بِوُجُودِ الْحَرَجِ وَهِيَ إِذَا أَثَّرَ نُزُولُ الْمَطَرِ عَلَى تَعَامُلَاتِ النَّاسِ الدُّنْيَوِيَّةِ النَّاسُ فِي أُمُورِهِمُ الدُّنْيَوِيَّةِ يَصْدُقُونَ فَإِذَا أَثَّرَ عَلَى تَعَامُلَاتِ النَّاسِ الدُّنْيَوِيَّةِ يَعْنِي لَازَمَ مَثَلًا بَعْضُ النَّاسِ بُيُوتَهُمْ لِأَجْلِ الْمَطَرِ أُغْلِقَتْ بَعْضُ الْمَحَلَّاتِ لِأَجْلِ الْمَطَرِ كَذَلِكَ حَرَكَةُ السَّيْرِ تَأَثَّرَتْ لِأَجْلِ الْمَطَرِ فَمَعْنَى ذَلِكَ أَنَّ الْحَرَجَ مَوْجُوْدٌ وَقَائِمٌ فَلَهُ الْجَمْعُ أَمَّا إِذَا كَانَتْ حَرَكَةُ النَّاسِ مُعْتَادَةً تَمَامًا بَلْ رُبَّمَا إِذَا نَزَلَ الْمَطَرُ وَخَاصَّةً فِي الصَّيْفِ يَفْرَحُ النَّاسُ وَيَذْهَبُوْنَ لِاسْتِرَاحَاتٍ وَيَذْهَبُوْنَ لِمُنْتَزَهَاتٍ وَيَتَفَسَّحُوْنَ يَعْنِي لَا تُوجَدُ أَدْنَى دَرَجَاتِ الْحَرَجِ غَيْرِ الْمُعْتَادِ هُنَا لَا يَجُوزُ الْجَمْعُ وَجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ مَعْدُودٌ مِنَ الْكَبَائِرِ وَإِذَا أَشْكَلَ عَلَى الْإِمَامِ هَلْ يَجْمَعُ أَوْ لَا يَجْمَعُ؟ فَنَرْجِعُ لِلْأَصْلِ وَالْأَصْلُ عَدَمُ الْجَمْعِ الْأَصْلُ عَدَمُ الْجَمْعِ أَنَّ كُلَّ صَلَاةٍ تُصَلَّى فِي وَقْتِهَا فَلَا بُدَّ مِنْ غَلَبَةِ الظَّنِّ بِوُجُودِ الْحَرَجِ الْمُوجِبِ لِلْجَمْعِ انْتَهَى الْوَقْتُ لَكِنْ فِيهِ كَمَا ذَكَرَ تَقْدِيرُ الْإِمَامِ أَنَّ الْأَمْرَ لَا يَسْتَدْعِيهِ الْجَمْعُ لَكِنَّهُ اسْتَجَابَ لِجَمَاعَةِ الْمَسْجِدِ يَقُولُ هَلْ يُعِيدُ الصَّلَاةَ أَوْ لَا؟ هَذِهِ مَسْأَلَةٌ اجْتِهَادِيَّةٌ مَا دَامَ أَنَّهَا قَدْ اجْتِهَدَ مَعَ جَمَاعَةِ الْمَسْجِدِ وَقَدَّرُوا أَنَّ نُزُولَ الْمَطَرِ يَعْنِي فِيهِ حَرَجٌ أَرْجُو أَنْ تَكُونَ صَلَاتُهُمْ صَحِيحَةً شَاكِرِيْنَ مُقَدِّرِيْنَ فَضِيلَةَ الشَّيْخِ وَشُكْرًا لَكُمْ وَالْإِخْوَةِ الْمُشَاهِدِيْنَ شُكْرًا كَذَلِكَ لَكُمْ أَنْتُمْ أَيُّهَا الإِخْوَةُ وَالأَخَوَاتُ عَلَى حُسْنِ مُشَاهَدَتِكُمْ وَمُتَابَعَتِكُم وَنَشْكُرُ زَمِيْلَنَا حَسَنًا الْحِلَافِي الَّذِي نَقَلَ هَذِهِ الْحَلَقَةَ بِلُغَةِ الْإِشَارَةِ مَوْعِدُنَا مَعَكُمْ يَوْمَ الْأَحَدِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ أَسْتَوْدِعُكُمُ اللَّهَ السَّلَامَ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Pertanyaan kedua berkaitan dengan menjamak shalat. Dia menyebutkan suatu kasus, tapi pertanyaannya adalah tentang cara menentukan kebutuhan untuk menjamak shalat disebabkan kesulitan, dst. Apakah keputusannya kembali kepada imam? Karena memang terkadang para jemaah di masjid menekan imam agar menjamak shalat. Menjamak shalat dalam keadaan mukim ketika hujan, harus disertai adanya kesulitan (yang ditimbulkan hujan tersebut), dan harus disertai adanya kesusahan bagi para jemaah shalat. Sebagian orang awam mengira bahwa menjamak shalat karena hujan, hukumnya seperti mengqashar shalat saat safar. Mereka berkata, “Ini keringanan!” Oleh sebab itu, jika turun hujan, mereka merasa senang dan langsung berkata, “Mari kita menjamak shalat!”, tanpa mempertimbangkan ada tidaknya kesulitan. Sehingga mereka menekan imam (untuk menjamak). Jika sang imam tidak kuat pendiriannya, bisa jadi akan menuruti mereka. Maka dari itu, tanggung jawab ini ada di pundak imam. Dialah yang mempertimbangkan: “Apakah ada kesulitan yang menjadikan jamak shalat dibolehkan atau tidak?” Ada beberapa tanda yang mungkin bisa jadi bahan pertimbangan bagi imam mengenai adanya kesulitan yang timbul: Yaitu jika turunnya hujan mempengaruhi aktivitas duniawi manusia. Karena dalam aktivitas duniawi, manusia akan bersikap apa adanya. Maka, jika hujan mempengaruhi aktivitas duniawi manusia, seperti sebagian orang jadi menetap dalam rumah karena hujan, beberapa tempat ditutup karena hujan, dan pergerakan lalu lintas terganggu karena hujan, maka artinya terdapat kesulitan akibat hujan, sehingga dibolehkan menjamak shalat. Adapun jika pergerakan manusia biasa saja, tidak terpengaruh sedikit pun. Atau bahkan, jika hujan turun – terlebih lagi saat musim panas – orang-orang merasa senang dan pergi ke tempat-tempat bersantai, pergi ke tempat-tempat rekreasi, dan bergembira ria. Yakni tidak ada sedikit pun kesulitan yang tidak biasa. Maka ketika itu tidak boleh menjamak shalat. Sedangkan menjamak shalat tanpa ada uzur termasuk dosa besar. Apabila sang imam ragu apakah harus menjamak shalat atau tidak, maka kembali ke hukum asalnya. Hukum asalnya adalah tidak dijamak. Hukum asalnya tidak dijamak; setiap shalat harus dilakukan pada waktunya. Sehingga harus ada sangkaan kuat tentang adanya kesulitan yang menjadikan jamak shalat dibolehkan. Waktunya habis; tapi sebagaimana disebutkan penanya, menurut perhitungan imam, keadaannya tidak mengharuskan dilakukan jamak, tapi dia menuruti permintaan jemaah masjid. Ia bertanya, “Apakah harus mengulang shalatnya atau tidak?” Ini masalah ijtihad. Selagi dia telah berijtihad bersama para jemaah masjid, dan mereka menganggap bahwa turunnya hujan menimbulkan kesulitan, maka saya berharap shalat mereka sah. Terima kasih, ya Syaikh! Terima kasih juga kepada kalian dan para pemirsa. Terima kasih juga, saudara-saudari atas perhatiannya. Terima kasih juga kepada rekan kami, Hasan al-Hilafi yang telah menyiarkan sesi ini dengan bahasa isyarat. Kita jumpa lagi hari Ahad, insya Allah. Aku titipkan kalian kepada Allah. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. ==== السُّؤَالُ الثَّانِي فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالْجَمْعِ هُوَ ذَكَرَ حَادِثَةً مُعَيَّنَةً لَكِن السُّؤَالُ تَقْدِيْرُ الْحَاجَةِ لِلْجَمْعِ وَالْمَشَقَّةِ وَإِلَى آخِرِهِ هَلْ يَعُودُ هَلْ يَعُودُ لِلْإِمَامِ؟ لِأَنَّ أَحْيَانًا فِعْلًا جَمَاعَةُ الْمَسْجِدِ قَدْ يَضْغَطُوْنَ عَلَى الْإِمَامِ لِكَيْ يَأْتِي بِالصَّلَاةِ أَوْ يَأْتِي بِالْجَمْعِ الْجَمْعُ فِي الْحَضَرِ لِأَجْلِ الْمَطَرِ لَا بُدَّ مِنْ وُجُودِ حَرَجٍ وَلَا بُدَّ مِنْ وُجُودِ مَشَقَّةٍ عَلَى الْمُصَلِّيْنَ بَعْضُ الْعَامَّةِ يَعْتَقِدُ أَنَّ الْجَمْعَ لِأَجْلِ الْمَطَرِ هُو كَالْقَصْرِ فِي السَّفَرِ فَيَقُولُونَ هَذِهِ رُخْصَةٌ لِذَلِكَ إِذَا أَتَى الْمَطَرُ يَسْتَبْشِرُونَ يَقُولُ نَجْمَعُ مُبَاشَرَةً وَلَا يَنْظُرُونَ لِمَسْأَلَةِ الْحَرَجِ فَيَضْغَطُوْنَ عَلَى الْإِمَامِ فَإِذَا لَمْ يَكُن الْإِمَامُ قَوِيَّ الشَّخْصِيَّةِ رُبَّمَا يَخْضَعُ لَهُمْ وَلِذَلِكَ فَالْمَسْئُولِيَّةُ تَقَعُ عَلَى الْإِمَامِ الْإِمَامُ هُوَ الَّذِي يُقَدِّرُ هَلْ فِيهِ حَرَجٌ يَسْتَوْجِبُ الجَمْعَ أَمْ لَا وَهُنَاكَ قَرَائِنُ مُمْكِنٌ يُسْتَدَلُّ بِهَا إِمَامُ الْمَسْجِدِ بِوُجُودِ الْحَرَجِ وَهِيَ إِذَا أَثَّرَ نُزُولُ الْمَطَرِ عَلَى تَعَامُلَاتِ النَّاسِ الدُّنْيَوِيَّةِ النَّاسُ فِي أُمُورِهِمُ الدُّنْيَوِيَّةِ يَصْدُقُونَ فَإِذَا أَثَّرَ عَلَى تَعَامُلَاتِ النَّاسِ الدُّنْيَوِيَّةِ يَعْنِي لَازَمَ مَثَلًا بَعْضُ النَّاسِ بُيُوتَهُمْ لِأَجْلِ الْمَطَرِ أُغْلِقَتْ بَعْضُ الْمَحَلَّاتِ لِأَجْلِ الْمَطَرِ كَذَلِكَ حَرَكَةُ السَّيْرِ تَأَثَّرَتْ لِأَجْلِ الْمَطَرِ فَمَعْنَى ذَلِكَ أَنَّ الْحَرَجَ مَوْجُوْدٌ وَقَائِمٌ فَلَهُ الْجَمْعُ أَمَّا إِذَا كَانَتْ حَرَكَةُ النَّاسِ مُعْتَادَةً تَمَامًا بَلْ رُبَّمَا إِذَا نَزَلَ الْمَطَرُ وَخَاصَّةً فِي الصَّيْفِ يَفْرَحُ النَّاسُ وَيَذْهَبُوْنَ لِاسْتِرَاحَاتٍ وَيَذْهَبُوْنَ لِمُنْتَزَهَاتٍ وَيَتَفَسَّحُوْنَ يَعْنِي لَا تُوجَدُ أَدْنَى دَرَجَاتِ الْحَرَجِ غَيْرِ الْمُعْتَادِ هُنَا لَا يَجُوزُ الْجَمْعُ وَجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ مَعْدُودٌ مِنَ الْكَبَائِرِ وَإِذَا أَشْكَلَ عَلَى الْإِمَامِ هَلْ يَجْمَعُ أَوْ لَا يَجْمَعُ؟ فَنَرْجِعُ لِلْأَصْلِ وَالْأَصْلُ عَدَمُ الْجَمْعِ الْأَصْلُ عَدَمُ الْجَمْعِ أَنَّ كُلَّ صَلَاةٍ تُصَلَّى فِي وَقْتِهَا فَلَا بُدَّ مِنْ غَلَبَةِ الظَّنِّ بِوُجُودِ الْحَرَجِ الْمُوجِبِ لِلْجَمْعِ انْتَهَى الْوَقْتُ لَكِنْ فِيهِ كَمَا ذَكَرَ تَقْدِيرُ الْإِمَامِ أَنَّ الْأَمْرَ لَا يَسْتَدْعِيهِ الْجَمْعُ لَكِنَّهُ اسْتَجَابَ لِجَمَاعَةِ الْمَسْجِدِ يَقُولُ هَلْ يُعِيدُ الصَّلَاةَ أَوْ لَا؟ هَذِهِ مَسْأَلَةٌ اجْتِهَادِيَّةٌ مَا دَامَ أَنَّهَا قَدْ اجْتِهَدَ مَعَ جَمَاعَةِ الْمَسْجِدِ وَقَدَّرُوا أَنَّ نُزُولَ الْمَطَرِ يَعْنِي فِيهِ حَرَجٌ أَرْجُو أَنْ تَكُونَ صَلَاتُهُمْ صَحِيحَةً شَاكِرِيْنَ مُقَدِّرِيْنَ فَضِيلَةَ الشَّيْخِ وَشُكْرًا لَكُمْ وَالْإِخْوَةِ الْمُشَاهِدِيْنَ شُكْرًا كَذَلِكَ لَكُمْ أَنْتُمْ أَيُّهَا الإِخْوَةُ وَالأَخَوَاتُ عَلَى حُسْنِ مُشَاهَدَتِكُمْ وَمُتَابَعَتِكُم وَنَشْكُرُ زَمِيْلَنَا حَسَنًا الْحِلَافِي الَّذِي نَقَلَ هَذِهِ الْحَلَقَةَ بِلُغَةِ الْإِشَارَةِ مَوْعِدُنَا مَعَكُمْ يَوْمَ الْأَحَدِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ أَسْتَوْدِعُكُمُ اللَّهَ السَّلَامَ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ


Pertanyaan kedua berkaitan dengan menjamak shalat. Dia menyebutkan suatu kasus, tapi pertanyaannya adalah tentang cara menentukan kebutuhan untuk menjamak shalat disebabkan kesulitan, dst. Apakah keputusannya kembali kepada imam? Karena memang terkadang para jemaah di masjid menekan imam agar menjamak shalat. Menjamak shalat dalam keadaan mukim ketika hujan, harus disertai adanya kesulitan (yang ditimbulkan hujan tersebut), dan harus disertai adanya kesusahan bagi para jemaah shalat. Sebagian orang awam mengira bahwa menjamak shalat karena hujan, hukumnya seperti mengqashar shalat saat safar. Mereka berkata, “Ini keringanan!” Oleh sebab itu, jika turun hujan, mereka merasa senang dan langsung berkata, “Mari kita menjamak shalat!”, tanpa mempertimbangkan ada tidaknya kesulitan. Sehingga mereka menekan imam (untuk menjamak). Jika sang imam tidak kuat pendiriannya, bisa jadi akan menuruti mereka. Maka dari itu, tanggung jawab ini ada di pundak imam. Dialah yang mempertimbangkan: “Apakah ada kesulitan yang menjadikan jamak shalat dibolehkan atau tidak?” Ada beberapa tanda yang mungkin bisa jadi bahan pertimbangan bagi imam mengenai adanya kesulitan yang timbul: Yaitu jika turunnya hujan mempengaruhi aktivitas duniawi manusia. Karena dalam aktivitas duniawi, manusia akan bersikap apa adanya. Maka, jika hujan mempengaruhi aktivitas duniawi manusia, seperti sebagian orang jadi menetap dalam rumah karena hujan, beberapa tempat ditutup karena hujan, dan pergerakan lalu lintas terganggu karena hujan, maka artinya terdapat kesulitan akibat hujan, sehingga dibolehkan menjamak shalat. Adapun jika pergerakan manusia biasa saja, tidak terpengaruh sedikit pun. Atau bahkan, jika hujan turun – terlebih lagi saat musim panas – orang-orang merasa senang dan pergi ke tempat-tempat bersantai, pergi ke tempat-tempat rekreasi, dan bergembira ria. Yakni tidak ada sedikit pun kesulitan yang tidak biasa. Maka ketika itu tidak boleh menjamak shalat. Sedangkan menjamak shalat tanpa ada uzur termasuk dosa besar. Apabila sang imam ragu apakah harus menjamak shalat atau tidak, maka kembali ke hukum asalnya. Hukum asalnya adalah tidak dijamak. Hukum asalnya tidak dijamak; setiap shalat harus dilakukan pada waktunya. Sehingga harus ada sangkaan kuat tentang adanya kesulitan yang menjadikan jamak shalat dibolehkan. Waktunya habis; tapi sebagaimana disebutkan penanya, menurut perhitungan imam, keadaannya tidak mengharuskan dilakukan jamak, tapi dia menuruti permintaan jemaah masjid. Ia bertanya, “Apakah harus mengulang shalatnya atau tidak?” Ini masalah ijtihad. Selagi dia telah berijtihad bersama para jemaah masjid, dan mereka menganggap bahwa turunnya hujan menimbulkan kesulitan, maka saya berharap shalat mereka sah. Terima kasih, ya Syaikh! Terima kasih juga kepada kalian dan para pemirsa. Terima kasih juga, saudara-saudari atas perhatiannya. Terima kasih juga kepada rekan kami, Hasan al-Hilafi yang telah menyiarkan sesi ini dengan bahasa isyarat. Kita jumpa lagi hari Ahad, insya Allah. Aku titipkan kalian kepada Allah. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. ==== السُّؤَالُ الثَّانِي فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالْجَمْعِ هُوَ ذَكَرَ حَادِثَةً مُعَيَّنَةً لَكِن السُّؤَالُ تَقْدِيْرُ الْحَاجَةِ لِلْجَمْعِ وَالْمَشَقَّةِ وَإِلَى آخِرِهِ هَلْ يَعُودُ هَلْ يَعُودُ لِلْإِمَامِ؟ لِأَنَّ أَحْيَانًا فِعْلًا جَمَاعَةُ الْمَسْجِدِ قَدْ يَضْغَطُوْنَ عَلَى الْإِمَامِ لِكَيْ يَأْتِي بِالصَّلَاةِ أَوْ يَأْتِي بِالْجَمْعِ الْجَمْعُ فِي الْحَضَرِ لِأَجْلِ الْمَطَرِ لَا بُدَّ مِنْ وُجُودِ حَرَجٍ وَلَا بُدَّ مِنْ وُجُودِ مَشَقَّةٍ عَلَى الْمُصَلِّيْنَ بَعْضُ الْعَامَّةِ يَعْتَقِدُ أَنَّ الْجَمْعَ لِأَجْلِ الْمَطَرِ هُو كَالْقَصْرِ فِي السَّفَرِ فَيَقُولُونَ هَذِهِ رُخْصَةٌ لِذَلِكَ إِذَا أَتَى الْمَطَرُ يَسْتَبْشِرُونَ يَقُولُ نَجْمَعُ مُبَاشَرَةً وَلَا يَنْظُرُونَ لِمَسْأَلَةِ الْحَرَجِ فَيَضْغَطُوْنَ عَلَى الْإِمَامِ فَإِذَا لَمْ يَكُن الْإِمَامُ قَوِيَّ الشَّخْصِيَّةِ رُبَّمَا يَخْضَعُ لَهُمْ وَلِذَلِكَ فَالْمَسْئُولِيَّةُ تَقَعُ عَلَى الْإِمَامِ الْإِمَامُ هُوَ الَّذِي يُقَدِّرُ هَلْ فِيهِ حَرَجٌ يَسْتَوْجِبُ الجَمْعَ أَمْ لَا وَهُنَاكَ قَرَائِنُ مُمْكِنٌ يُسْتَدَلُّ بِهَا إِمَامُ الْمَسْجِدِ بِوُجُودِ الْحَرَجِ وَهِيَ إِذَا أَثَّرَ نُزُولُ الْمَطَرِ عَلَى تَعَامُلَاتِ النَّاسِ الدُّنْيَوِيَّةِ النَّاسُ فِي أُمُورِهِمُ الدُّنْيَوِيَّةِ يَصْدُقُونَ فَإِذَا أَثَّرَ عَلَى تَعَامُلَاتِ النَّاسِ الدُّنْيَوِيَّةِ يَعْنِي لَازَمَ مَثَلًا بَعْضُ النَّاسِ بُيُوتَهُمْ لِأَجْلِ الْمَطَرِ أُغْلِقَتْ بَعْضُ الْمَحَلَّاتِ لِأَجْلِ الْمَطَرِ كَذَلِكَ حَرَكَةُ السَّيْرِ تَأَثَّرَتْ لِأَجْلِ الْمَطَرِ فَمَعْنَى ذَلِكَ أَنَّ الْحَرَجَ مَوْجُوْدٌ وَقَائِمٌ فَلَهُ الْجَمْعُ أَمَّا إِذَا كَانَتْ حَرَكَةُ النَّاسِ مُعْتَادَةً تَمَامًا بَلْ رُبَّمَا إِذَا نَزَلَ الْمَطَرُ وَخَاصَّةً فِي الصَّيْفِ يَفْرَحُ النَّاسُ وَيَذْهَبُوْنَ لِاسْتِرَاحَاتٍ وَيَذْهَبُوْنَ لِمُنْتَزَهَاتٍ وَيَتَفَسَّحُوْنَ يَعْنِي لَا تُوجَدُ أَدْنَى دَرَجَاتِ الْحَرَجِ غَيْرِ الْمُعْتَادِ هُنَا لَا يَجُوزُ الْجَمْعُ وَجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ مَعْدُودٌ مِنَ الْكَبَائِرِ وَإِذَا أَشْكَلَ عَلَى الْإِمَامِ هَلْ يَجْمَعُ أَوْ لَا يَجْمَعُ؟ فَنَرْجِعُ لِلْأَصْلِ وَالْأَصْلُ عَدَمُ الْجَمْعِ الْأَصْلُ عَدَمُ الْجَمْعِ أَنَّ كُلَّ صَلَاةٍ تُصَلَّى فِي وَقْتِهَا فَلَا بُدَّ مِنْ غَلَبَةِ الظَّنِّ بِوُجُودِ الْحَرَجِ الْمُوجِبِ لِلْجَمْعِ انْتَهَى الْوَقْتُ لَكِنْ فِيهِ كَمَا ذَكَرَ تَقْدِيرُ الْإِمَامِ أَنَّ الْأَمْرَ لَا يَسْتَدْعِيهِ الْجَمْعُ لَكِنَّهُ اسْتَجَابَ لِجَمَاعَةِ الْمَسْجِدِ يَقُولُ هَلْ يُعِيدُ الصَّلَاةَ أَوْ لَا؟ هَذِهِ مَسْأَلَةٌ اجْتِهَادِيَّةٌ مَا دَامَ أَنَّهَا قَدْ اجْتِهَدَ مَعَ جَمَاعَةِ الْمَسْجِدِ وَقَدَّرُوا أَنَّ نُزُولَ الْمَطَرِ يَعْنِي فِيهِ حَرَجٌ أَرْجُو أَنْ تَكُونَ صَلَاتُهُمْ صَحِيحَةً شَاكِرِيْنَ مُقَدِّرِيْنَ فَضِيلَةَ الشَّيْخِ وَشُكْرًا لَكُمْ وَالْإِخْوَةِ الْمُشَاهِدِيْنَ شُكْرًا كَذَلِكَ لَكُمْ أَنْتُمْ أَيُّهَا الإِخْوَةُ وَالأَخَوَاتُ عَلَى حُسْنِ مُشَاهَدَتِكُمْ وَمُتَابَعَتِكُم وَنَشْكُرُ زَمِيْلَنَا حَسَنًا الْحِلَافِي الَّذِي نَقَلَ هَذِهِ الْحَلَقَةَ بِلُغَةِ الْإِشَارَةِ مَوْعِدُنَا مَعَكُمْ يَوْمَ الْأَحَدِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ أَسْتَوْدِعُكُمُ اللَّهَ السَّلَامَ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 4)

Daftar Isi Toggle Ketentuan-ketentuan sewa menyewa benda atau asetJelasnya benda atau asetPenentuan durasi sewaManfaat yang dapat diperolehPenentuan biaya sewaKewajiban memelihara barangPengembalian barang dalam keadaan baik Masih dalam pembahasan terkait dengan sewa menyewa benda, aset, atau yang berkaitan dengan properti. Hal ini tentunya diperbolehkan di dalam Islam, kendati ada sebagian ulama yang tidak memperbolehkan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, وَهُوَ أَنَّ المُسْتَحَق بِعَقْدِ الإِجارةِ إِنَّمَا هُوَ المَنَافِعُ لَا الأَعْيَان، وَهَذَا الأَصْلُ لَمْ يَدُلّ عَلَيْهِ كتابٌ وَلَا سُنَّةٌ وَلَا إجماعٌ وَلَا قِيَاسٌ صَحِيْحٌ، بَلْ الذِي دَلَّتْ عَليهِ الأُصُوْلُ أن الأعيانَ التي تَحدُثُ شَيْئًا فَشَيْئًا مَعَ بَقَاءِ أَصْلِهَا حُكْمُهَا حُكْمُ المَنَافِعِ “(Para ulama yang berpendapat) akad sewa menyewa hanya sebatas pada manfaat (atau jasa-pent) saja tidak pada benda atau aset (ini pendapat yang kurang tepat). Dan pendapat ini tidak sesuai dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan qiyas yang sahih. Namun, pendapat yang sesuai dengan dalil-dalil adalah penyewaan benda tetap ada manfaat yang bisa diperoleh bersamaan dengan tetapnya fisik benda tersebut. Hukumnya sama dengan hukum sewa menyewa manfaat atau jasa.” [1] Mengingat banyak sekali bisnis-bisnis yang ada di tengah masyarakat terikat dengan hal ini. Tentunya pembahasan ini menjadi sangat penting untuk diketahui. Ketentuan-ketentuan sewa menyewa benda atau aset Bagi penyewa dan yang menyewakan hendaknya mengetahui beberapa ketentuan-ketentuan sewa menyewa berikut ini, agar sewa menyewa tidak berujung merugikan di antara kedua belah pihak. Jelasnya benda atau aset Barang yang disewakan harus jelas bentuk dan jenisnya. Tentunya, benda tersebut bisa diambil manfaatnya tanpa merusak zat bendanya sebagaimana penjelasan yang telah berlalu. Dalam hal ini terdapat kaidah, كُلُّ مَا يَنْتَفِعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ تَجُوْزُ إِجَارَتُهُ وَمَا لَا فَلَا “Setiap benda yang ketika diambil manfaatnya bentuk fisiknya tetap ada, maka boleh untuk disewakan. Adapun yang ketika diambil manfaatnya bentuk fisiknya hilang, maka tidak boleh disewakan.” [2] Sehingga benda atau aset yang tidak jelas, dirahasiakan, atau tidak diketahui keberadaan dan bagaimana bentuknya, benda yang seperti ini tidak boleh disewakan. Contoh: Sewa rumah, maka harus jelas rumah yang disewakan. Bentuknya seperti apa, nomor rumahnya, alamatnya, dan lainnya. Terlebih saat ini banyak yang mengiklankan sewa rumah atau yang sejenisnya melalui platform sosial media atau via online. Sehingga kondisi rumah harus jelas tergambarkan via foto yang diunggah ke media tersebut. Dan silahkan di-qiyas-kan hal ini kepada benda atau aset yang lain. Seperti kendaraan, tanah, barang elektronik, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, Ibnu Rusyd rahimahullah mengatakan, وَالذِي فِي العَيْنِ مِنْ شَرْطِهِ الرُّؤْيَةُ أَوْ الصِّفَةُ عِنْدَهُ كَالْحَالِ فِي المَبِيْعَاتِ. وَمِنْ شَرْطِ الصِّفَة عِنْدَهُ: ذِكْرُ الجِنْسِ وَالنَّوْعِ، وَذَلِكَ فِي الشَّيْءِ الذِي تُسْتَوْفَى مَنَافِعُهُ “Dan yang berkaitan dengan benda yang disewakan, di antara syarat atau ketentuannya adalah dapat dilihat dan dapat dijelaskan sifat bendanya. Seperti benda-benda yang dijual. Di antara ketentuannya pula adalah menyebutkan jenis benda tersebut. Hal ini berlaku pada benda-benda yang manfaatnya dapat digunakan secara sempurna (tidak hilang manfaat bendanya).” [3] Penentuan durasi sewa Dalam sewa menyewa, ditekankan tentunya antara kedua belah pihak untuk menentukan durasi waktu sewa. Bahkan, para ulama sepakat dalam hal ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, أنَّ الإِجَارَةَ إذا وَقَعَتْ على مُدَّةٍ يَجِبُ أن تكونَ مَعْلُومةً، كشَهْرٍ وسَنَةٍ. ولا خِلَافَ في هذا نَعْلَمُه. “Sewa menyewa jika dalam bentuk waktu, hendaknya ditentukan dalam waktu yang jelas. Seperti sebulan atau satu tahun. Tidak ada perbedaan pendapat yang kami ketahui tentang hal ini.” [4] Ibnu Qudamah menjelaskan, terkait dengan waktu, maka dihitung dengan penanggalan hijriah dan ini yang lebih afdal. Walaupun jika dihitung dengan penanggalan masehi, diperbolehkan. Contoh: Sewa rumah selama 1 tahun yang dimulai akadnya pada 20 Rabiulawal 1445, maka habisnya pada 20 Rabiulawal 1446. Sebagian ulama ada yang membatasi bahwa sewa menyewa hanya satu tahun saja, sebagian ada yang berpendapat dibatasi selama tiga puluh tahun. Namun, jumhur berpendapat boleh lebih dari satu tahun dan inilah pendapat yang benar. Karena menghukumi satu tahun atau tiga puluh tahun tidak ada dalil yang menjelaskan hal tersebut. [5] Intinya, kedua belah pihak tidak boleh merugikan satu sama lain dalam hal ini. Seperti melampaui batas waktu sewa atau mengubah batas waktu sewa secara tiba-tiba. Karena pada hal tersebut terdapat kezaliman. Manfaat yang dapat diperoleh Tentunya dalam sewa menyewa harus ada manfaat yang diperoleh. Sebagaimana yang telah dijelaskan. Jika tidak ada manfaat yang diperoleh, maka tidak diperbolehkan. Contoh: Orang yang menyewakan mobil yang rusak dan tidak bisa jalan, menyewakan hewan kendaraan yang sedang hilang, dan lain sebagainya. Tentunya hal seperti itu merugikan pihak penyewa. Maka, boleh bagi pihak penyewa untuk menuntut haknya. Seperti diperbaiki terlebih dahulu atau menukar dengan barang yang lain atau di-faskh akadnya. Penentuan biaya sewa Tentang hal ini, harus disebutkan dan dijelaskan sebelum akad berlangsung. Berapa biaya sewa yang harus dibayarkan. Apakah cash atau utang, berapa nominalnya. Jangan sampai terjadi perselisihan di masa yang akan datang disebabkan karena adanya perubahan biaya sewa dari pihak yang menyewakan. Karena akad sewa menyewa ini tak ubahnya seperti akad jual beli, Imam Syafi’i rahimahullah berpendapat, وَالِإجَارَاتُ صِنْفٌ مِنَ البُيُوْعِ “Akad sewa menyewa termasuk jenis akad jual beli.” [6] Contoh: Pada akad awal sewa, suatu rumah disewakan dengan harga 20 juta per tahun. Kemudian pihak penyewa dan yang menyewakan telah menyepakati. Maka, tidak diperkenankan di kemudian hari pihak penyewa hanya membayar 15 juta karena mungkin melihat kekurangan yang ada pada rumah tersebut. Karena akad di awal sudah jelas nominal dan jenis bendanya. Tidak diperkenankan pula pihak yang menyewakan untuk menaikkan harga di kemudian hari sebelum akad yang sebelumnya selesai. Jika akad yang sebelumnya selesai, maka pihak yang menyewakan bisa untuk menaikkan harga sewa yang tentunya penyewa bisa memilih antara lanjut atau tidak. Kewajiban memelihara barang Hak ini yang harus ditunaikan oleh penyewa. Penyewa harus menjaga barang sewaannya. Tidak boleh dirusak dan tidak boleh dihilangkan, apalagi digunakan dalam bentuk penyalahgunaan barang sewaan tersebut. Tentu ini adalah kezaliman. Contoh: Kendaraan yang disewakan selama 1 bulan misalnya. Maka, kendaraan tersebut harus dijaga, tidak boleh digunakan secara kasar atau berlebihan atau digunakan untuk tindak kejahatan seperti mencuri, membunuh orang, dan lain sebagainya. Tentunya segala kerusakan yang terjadi akibat penyewa, penyewa diharuskan untuk mengganti rugi barang sewaan tersebut. Pengembalian barang dalam keadaan baik Hal ini berkaitan dengan poin sebelumnya. Tentunya ini adalah hak yang menyewakan. Barang tersebut harus dikembalikan dalam keadaan baik. Jika terdapat kerusakan, maka yang menyewakan berhak untuk meminta perbaikan kepada penyewa. Demikianlah ketentuan-ketentuan dalam sewa menyewa yang berkaitan dengan benda atau aset. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu A’lam [Bersambung] Kembali ke bagian 3 *** Depok, 12 Jumadilawal 1446 / 14 November 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] ‘Ilamul Muwaqqi’in, 3: 215. [2] Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, 5: 3805. [3] Bidayatul Mujtahid, 4: 13. [4] Al-Mughni, 9: 7, pada masalah 891 poin ke-2. [5] Al-Mughni, 9: 9-10. [6] Al-Umm, 4: 26.   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih. Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah rahimahullah. Bidayatul Mujtahid, karya Ibnu Rusyd rahimahullah. Al-Umm, karya Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah. ‘Ilamul Muwaqqi’in, karya Ibnul Qayyim rahimahullah. Maktabah Syamilah versi terbaru

Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 4)

Daftar Isi Toggle Ketentuan-ketentuan sewa menyewa benda atau asetJelasnya benda atau asetPenentuan durasi sewaManfaat yang dapat diperolehPenentuan biaya sewaKewajiban memelihara barangPengembalian barang dalam keadaan baik Masih dalam pembahasan terkait dengan sewa menyewa benda, aset, atau yang berkaitan dengan properti. Hal ini tentunya diperbolehkan di dalam Islam, kendati ada sebagian ulama yang tidak memperbolehkan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, وَهُوَ أَنَّ المُسْتَحَق بِعَقْدِ الإِجارةِ إِنَّمَا هُوَ المَنَافِعُ لَا الأَعْيَان، وَهَذَا الأَصْلُ لَمْ يَدُلّ عَلَيْهِ كتابٌ وَلَا سُنَّةٌ وَلَا إجماعٌ وَلَا قِيَاسٌ صَحِيْحٌ، بَلْ الذِي دَلَّتْ عَليهِ الأُصُوْلُ أن الأعيانَ التي تَحدُثُ شَيْئًا فَشَيْئًا مَعَ بَقَاءِ أَصْلِهَا حُكْمُهَا حُكْمُ المَنَافِعِ “(Para ulama yang berpendapat) akad sewa menyewa hanya sebatas pada manfaat (atau jasa-pent) saja tidak pada benda atau aset (ini pendapat yang kurang tepat). Dan pendapat ini tidak sesuai dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan qiyas yang sahih. Namun, pendapat yang sesuai dengan dalil-dalil adalah penyewaan benda tetap ada manfaat yang bisa diperoleh bersamaan dengan tetapnya fisik benda tersebut. Hukumnya sama dengan hukum sewa menyewa manfaat atau jasa.” [1] Mengingat banyak sekali bisnis-bisnis yang ada di tengah masyarakat terikat dengan hal ini. Tentunya pembahasan ini menjadi sangat penting untuk diketahui. Ketentuan-ketentuan sewa menyewa benda atau aset Bagi penyewa dan yang menyewakan hendaknya mengetahui beberapa ketentuan-ketentuan sewa menyewa berikut ini, agar sewa menyewa tidak berujung merugikan di antara kedua belah pihak. Jelasnya benda atau aset Barang yang disewakan harus jelas bentuk dan jenisnya. Tentunya, benda tersebut bisa diambil manfaatnya tanpa merusak zat bendanya sebagaimana penjelasan yang telah berlalu. Dalam hal ini terdapat kaidah, كُلُّ مَا يَنْتَفِعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ تَجُوْزُ إِجَارَتُهُ وَمَا لَا فَلَا “Setiap benda yang ketika diambil manfaatnya bentuk fisiknya tetap ada, maka boleh untuk disewakan. Adapun yang ketika diambil manfaatnya bentuk fisiknya hilang, maka tidak boleh disewakan.” [2] Sehingga benda atau aset yang tidak jelas, dirahasiakan, atau tidak diketahui keberadaan dan bagaimana bentuknya, benda yang seperti ini tidak boleh disewakan. Contoh: Sewa rumah, maka harus jelas rumah yang disewakan. Bentuknya seperti apa, nomor rumahnya, alamatnya, dan lainnya. Terlebih saat ini banyak yang mengiklankan sewa rumah atau yang sejenisnya melalui platform sosial media atau via online. Sehingga kondisi rumah harus jelas tergambarkan via foto yang diunggah ke media tersebut. Dan silahkan di-qiyas-kan hal ini kepada benda atau aset yang lain. Seperti kendaraan, tanah, barang elektronik, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, Ibnu Rusyd rahimahullah mengatakan, وَالذِي فِي العَيْنِ مِنْ شَرْطِهِ الرُّؤْيَةُ أَوْ الصِّفَةُ عِنْدَهُ كَالْحَالِ فِي المَبِيْعَاتِ. وَمِنْ شَرْطِ الصِّفَة عِنْدَهُ: ذِكْرُ الجِنْسِ وَالنَّوْعِ، وَذَلِكَ فِي الشَّيْءِ الذِي تُسْتَوْفَى مَنَافِعُهُ “Dan yang berkaitan dengan benda yang disewakan, di antara syarat atau ketentuannya adalah dapat dilihat dan dapat dijelaskan sifat bendanya. Seperti benda-benda yang dijual. Di antara ketentuannya pula adalah menyebutkan jenis benda tersebut. Hal ini berlaku pada benda-benda yang manfaatnya dapat digunakan secara sempurna (tidak hilang manfaat bendanya).” [3] Penentuan durasi sewa Dalam sewa menyewa, ditekankan tentunya antara kedua belah pihak untuk menentukan durasi waktu sewa. Bahkan, para ulama sepakat dalam hal ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, أنَّ الإِجَارَةَ إذا وَقَعَتْ على مُدَّةٍ يَجِبُ أن تكونَ مَعْلُومةً، كشَهْرٍ وسَنَةٍ. ولا خِلَافَ في هذا نَعْلَمُه. “Sewa menyewa jika dalam bentuk waktu, hendaknya ditentukan dalam waktu yang jelas. Seperti sebulan atau satu tahun. Tidak ada perbedaan pendapat yang kami ketahui tentang hal ini.” [4] Ibnu Qudamah menjelaskan, terkait dengan waktu, maka dihitung dengan penanggalan hijriah dan ini yang lebih afdal. Walaupun jika dihitung dengan penanggalan masehi, diperbolehkan. Contoh: Sewa rumah selama 1 tahun yang dimulai akadnya pada 20 Rabiulawal 1445, maka habisnya pada 20 Rabiulawal 1446. Sebagian ulama ada yang membatasi bahwa sewa menyewa hanya satu tahun saja, sebagian ada yang berpendapat dibatasi selama tiga puluh tahun. Namun, jumhur berpendapat boleh lebih dari satu tahun dan inilah pendapat yang benar. Karena menghukumi satu tahun atau tiga puluh tahun tidak ada dalil yang menjelaskan hal tersebut. [5] Intinya, kedua belah pihak tidak boleh merugikan satu sama lain dalam hal ini. Seperti melampaui batas waktu sewa atau mengubah batas waktu sewa secara tiba-tiba. Karena pada hal tersebut terdapat kezaliman. Manfaat yang dapat diperoleh Tentunya dalam sewa menyewa harus ada manfaat yang diperoleh. Sebagaimana yang telah dijelaskan. Jika tidak ada manfaat yang diperoleh, maka tidak diperbolehkan. Contoh: Orang yang menyewakan mobil yang rusak dan tidak bisa jalan, menyewakan hewan kendaraan yang sedang hilang, dan lain sebagainya. Tentunya hal seperti itu merugikan pihak penyewa. Maka, boleh bagi pihak penyewa untuk menuntut haknya. Seperti diperbaiki terlebih dahulu atau menukar dengan barang yang lain atau di-faskh akadnya. Penentuan biaya sewa Tentang hal ini, harus disebutkan dan dijelaskan sebelum akad berlangsung. Berapa biaya sewa yang harus dibayarkan. Apakah cash atau utang, berapa nominalnya. Jangan sampai terjadi perselisihan di masa yang akan datang disebabkan karena adanya perubahan biaya sewa dari pihak yang menyewakan. Karena akad sewa menyewa ini tak ubahnya seperti akad jual beli, Imam Syafi’i rahimahullah berpendapat, وَالِإجَارَاتُ صِنْفٌ مِنَ البُيُوْعِ “Akad sewa menyewa termasuk jenis akad jual beli.” [6] Contoh: Pada akad awal sewa, suatu rumah disewakan dengan harga 20 juta per tahun. Kemudian pihak penyewa dan yang menyewakan telah menyepakati. Maka, tidak diperkenankan di kemudian hari pihak penyewa hanya membayar 15 juta karena mungkin melihat kekurangan yang ada pada rumah tersebut. Karena akad di awal sudah jelas nominal dan jenis bendanya. Tidak diperkenankan pula pihak yang menyewakan untuk menaikkan harga di kemudian hari sebelum akad yang sebelumnya selesai. Jika akad yang sebelumnya selesai, maka pihak yang menyewakan bisa untuk menaikkan harga sewa yang tentunya penyewa bisa memilih antara lanjut atau tidak. Kewajiban memelihara barang Hak ini yang harus ditunaikan oleh penyewa. Penyewa harus menjaga barang sewaannya. Tidak boleh dirusak dan tidak boleh dihilangkan, apalagi digunakan dalam bentuk penyalahgunaan barang sewaan tersebut. Tentu ini adalah kezaliman. Contoh: Kendaraan yang disewakan selama 1 bulan misalnya. Maka, kendaraan tersebut harus dijaga, tidak boleh digunakan secara kasar atau berlebihan atau digunakan untuk tindak kejahatan seperti mencuri, membunuh orang, dan lain sebagainya. Tentunya segala kerusakan yang terjadi akibat penyewa, penyewa diharuskan untuk mengganti rugi barang sewaan tersebut. Pengembalian barang dalam keadaan baik Hal ini berkaitan dengan poin sebelumnya. Tentunya ini adalah hak yang menyewakan. Barang tersebut harus dikembalikan dalam keadaan baik. Jika terdapat kerusakan, maka yang menyewakan berhak untuk meminta perbaikan kepada penyewa. Demikianlah ketentuan-ketentuan dalam sewa menyewa yang berkaitan dengan benda atau aset. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu A’lam [Bersambung] Kembali ke bagian 3 *** Depok, 12 Jumadilawal 1446 / 14 November 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] ‘Ilamul Muwaqqi’in, 3: 215. [2] Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, 5: 3805. [3] Bidayatul Mujtahid, 4: 13. [4] Al-Mughni, 9: 7, pada masalah 891 poin ke-2. [5] Al-Mughni, 9: 9-10. [6] Al-Umm, 4: 26.   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih. Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah rahimahullah. Bidayatul Mujtahid, karya Ibnu Rusyd rahimahullah. Al-Umm, karya Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah. ‘Ilamul Muwaqqi’in, karya Ibnul Qayyim rahimahullah. Maktabah Syamilah versi terbaru
Daftar Isi Toggle Ketentuan-ketentuan sewa menyewa benda atau asetJelasnya benda atau asetPenentuan durasi sewaManfaat yang dapat diperolehPenentuan biaya sewaKewajiban memelihara barangPengembalian barang dalam keadaan baik Masih dalam pembahasan terkait dengan sewa menyewa benda, aset, atau yang berkaitan dengan properti. Hal ini tentunya diperbolehkan di dalam Islam, kendati ada sebagian ulama yang tidak memperbolehkan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, وَهُوَ أَنَّ المُسْتَحَق بِعَقْدِ الإِجارةِ إِنَّمَا هُوَ المَنَافِعُ لَا الأَعْيَان، وَهَذَا الأَصْلُ لَمْ يَدُلّ عَلَيْهِ كتابٌ وَلَا سُنَّةٌ وَلَا إجماعٌ وَلَا قِيَاسٌ صَحِيْحٌ، بَلْ الذِي دَلَّتْ عَليهِ الأُصُوْلُ أن الأعيانَ التي تَحدُثُ شَيْئًا فَشَيْئًا مَعَ بَقَاءِ أَصْلِهَا حُكْمُهَا حُكْمُ المَنَافِعِ “(Para ulama yang berpendapat) akad sewa menyewa hanya sebatas pada manfaat (atau jasa-pent) saja tidak pada benda atau aset (ini pendapat yang kurang tepat). Dan pendapat ini tidak sesuai dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan qiyas yang sahih. Namun, pendapat yang sesuai dengan dalil-dalil adalah penyewaan benda tetap ada manfaat yang bisa diperoleh bersamaan dengan tetapnya fisik benda tersebut. Hukumnya sama dengan hukum sewa menyewa manfaat atau jasa.” [1] Mengingat banyak sekali bisnis-bisnis yang ada di tengah masyarakat terikat dengan hal ini. Tentunya pembahasan ini menjadi sangat penting untuk diketahui. Ketentuan-ketentuan sewa menyewa benda atau aset Bagi penyewa dan yang menyewakan hendaknya mengetahui beberapa ketentuan-ketentuan sewa menyewa berikut ini, agar sewa menyewa tidak berujung merugikan di antara kedua belah pihak. Jelasnya benda atau aset Barang yang disewakan harus jelas bentuk dan jenisnya. Tentunya, benda tersebut bisa diambil manfaatnya tanpa merusak zat bendanya sebagaimana penjelasan yang telah berlalu. Dalam hal ini terdapat kaidah, كُلُّ مَا يَنْتَفِعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ تَجُوْزُ إِجَارَتُهُ وَمَا لَا فَلَا “Setiap benda yang ketika diambil manfaatnya bentuk fisiknya tetap ada, maka boleh untuk disewakan. Adapun yang ketika diambil manfaatnya bentuk fisiknya hilang, maka tidak boleh disewakan.” [2] Sehingga benda atau aset yang tidak jelas, dirahasiakan, atau tidak diketahui keberadaan dan bagaimana bentuknya, benda yang seperti ini tidak boleh disewakan. Contoh: Sewa rumah, maka harus jelas rumah yang disewakan. Bentuknya seperti apa, nomor rumahnya, alamatnya, dan lainnya. Terlebih saat ini banyak yang mengiklankan sewa rumah atau yang sejenisnya melalui platform sosial media atau via online. Sehingga kondisi rumah harus jelas tergambarkan via foto yang diunggah ke media tersebut. Dan silahkan di-qiyas-kan hal ini kepada benda atau aset yang lain. Seperti kendaraan, tanah, barang elektronik, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, Ibnu Rusyd rahimahullah mengatakan, وَالذِي فِي العَيْنِ مِنْ شَرْطِهِ الرُّؤْيَةُ أَوْ الصِّفَةُ عِنْدَهُ كَالْحَالِ فِي المَبِيْعَاتِ. وَمِنْ شَرْطِ الصِّفَة عِنْدَهُ: ذِكْرُ الجِنْسِ وَالنَّوْعِ، وَذَلِكَ فِي الشَّيْءِ الذِي تُسْتَوْفَى مَنَافِعُهُ “Dan yang berkaitan dengan benda yang disewakan, di antara syarat atau ketentuannya adalah dapat dilihat dan dapat dijelaskan sifat bendanya. Seperti benda-benda yang dijual. Di antara ketentuannya pula adalah menyebutkan jenis benda tersebut. Hal ini berlaku pada benda-benda yang manfaatnya dapat digunakan secara sempurna (tidak hilang manfaat bendanya).” [3] Penentuan durasi sewa Dalam sewa menyewa, ditekankan tentunya antara kedua belah pihak untuk menentukan durasi waktu sewa. Bahkan, para ulama sepakat dalam hal ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, أنَّ الإِجَارَةَ إذا وَقَعَتْ على مُدَّةٍ يَجِبُ أن تكونَ مَعْلُومةً، كشَهْرٍ وسَنَةٍ. ولا خِلَافَ في هذا نَعْلَمُه. “Sewa menyewa jika dalam bentuk waktu, hendaknya ditentukan dalam waktu yang jelas. Seperti sebulan atau satu tahun. Tidak ada perbedaan pendapat yang kami ketahui tentang hal ini.” [4] Ibnu Qudamah menjelaskan, terkait dengan waktu, maka dihitung dengan penanggalan hijriah dan ini yang lebih afdal. Walaupun jika dihitung dengan penanggalan masehi, diperbolehkan. Contoh: Sewa rumah selama 1 tahun yang dimulai akadnya pada 20 Rabiulawal 1445, maka habisnya pada 20 Rabiulawal 1446. Sebagian ulama ada yang membatasi bahwa sewa menyewa hanya satu tahun saja, sebagian ada yang berpendapat dibatasi selama tiga puluh tahun. Namun, jumhur berpendapat boleh lebih dari satu tahun dan inilah pendapat yang benar. Karena menghukumi satu tahun atau tiga puluh tahun tidak ada dalil yang menjelaskan hal tersebut. [5] Intinya, kedua belah pihak tidak boleh merugikan satu sama lain dalam hal ini. Seperti melampaui batas waktu sewa atau mengubah batas waktu sewa secara tiba-tiba. Karena pada hal tersebut terdapat kezaliman. Manfaat yang dapat diperoleh Tentunya dalam sewa menyewa harus ada manfaat yang diperoleh. Sebagaimana yang telah dijelaskan. Jika tidak ada manfaat yang diperoleh, maka tidak diperbolehkan. Contoh: Orang yang menyewakan mobil yang rusak dan tidak bisa jalan, menyewakan hewan kendaraan yang sedang hilang, dan lain sebagainya. Tentunya hal seperti itu merugikan pihak penyewa. Maka, boleh bagi pihak penyewa untuk menuntut haknya. Seperti diperbaiki terlebih dahulu atau menukar dengan barang yang lain atau di-faskh akadnya. Penentuan biaya sewa Tentang hal ini, harus disebutkan dan dijelaskan sebelum akad berlangsung. Berapa biaya sewa yang harus dibayarkan. Apakah cash atau utang, berapa nominalnya. Jangan sampai terjadi perselisihan di masa yang akan datang disebabkan karena adanya perubahan biaya sewa dari pihak yang menyewakan. Karena akad sewa menyewa ini tak ubahnya seperti akad jual beli, Imam Syafi’i rahimahullah berpendapat, وَالِإجَارَاتُ صِنْفٌ مِنَ البُيُوْعِ “Akad sewa menyewa termasuk jenis akad jual beli.” [6] Contoh: Pada akad awal sewa, suatu rumah disewakan dengan harga 20 juta per tahun. Kemudian pihak penyewa dan yang menyewakan telah menyepakati. Maka, tidak diperkenankan di kemudian hari pihak penyewa hanya membayar 15 juta karena mungkin melihat kekurangan yang ada pada rumah tersebut. Karena akad di awal sudah jelas nominal dan jenis bendanya. Tidak diperkenankan pula pihak yang menyewakan untuk menaikkan harga di kemudian hari sebelum akad yang sebelumnya selesai. Jika akad yang sebelumnya selesai, maka pihak yang menyewakan bisa untuk menaikkan harga sewa yang tentunya penyewa bisa memilih antara lanjut atau tidak. Kewajiban memelihara barang Hak ini yang harus ditunaikan oleh penyewa. Penyewa harus menjaga barang sewaannya. Tidak boleh dirusak dan tidak boleh dihilangkan, apalagi digunakan dalam bentuk penyalahgunaan barang sewaan tersebut. Tentu ini adalah kezaliman. Contoh: Kendaraan yang disewakan selama 1 bulan misalnya. Maka, kendaraan tersebut harus dijaga, tidak boleh digunakan secara kasar atau berlebihan atau digunakan untuk tindak kejahatan seperti mencuri, membunuh orang, dan lain sebagainya. Tentunya segala kerusakan yang terjadi akibat penyewa, penyewa diharuskan untuk mengganti rugi barang sewaan tersebut. Pengembalian barang dalam keadaan baik Hal ini berkaitan dengan poin sebelumnya. Tentunya ini adalah hak yang menyewakan. Barang tersebut harus dikembalikan dalam keadaan baik. Jika terdapat kerusakan, maka yang menyewakan berhak untuk meminta perbaikan kepada penyewa. Demikianlah ketentuan-ketentuan dalam sewa menyewa yang berkaitan dengan benda atau aset. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu A’lam [Bersambung] Kembali ke bagian 3 *** Depok, 12 Jumadilawal 1446 / 14 November 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] ‘Ilamul Muwaqqi’in, 3: 215. [2] Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, 5: 3805. [3] Bidayatul Mujtahid, 4: 13. [4] Al-Mughni, 9: 7, pada masalah 891 poin ke-2. [5] Al-Mughni, 9: 9-10. [6] Al-Umm, 4: 26.   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih. Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah rahimahullah. Bidayatul Mujtahid, karya Ibnu Rusyd rahimahullah. Al-Umm, karya Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah. ‘Ilamul Muwaqqi’in, karya Ibnul Qayyim rahimahullah. Maktabah Syamilah versi terbaru


Daftar Isi Toggle Ketentuan-ketentuan sewa menyewa benda atau asetJelasnya benda atau asetPenentuan durasi sewaManfaat yang dapat diperolehPenentuan biaya sewaKewajiban memelihara barangPengembalian barang dalam keadaan baik Masih dalam pembahasan terkait dengan sewa menyewa benda, aset, atau yang berkaitan dengan properti. Hal ini tentunya diperbolehkan di dalam Islam, kendati ada sebagian ulama yang tidak memperbolehkan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, وَهُوَ أَنَّ المُسْتَحَق بِعَقْدِ الإِجارةِ إِنَّمَا هُوَ المَنَافِعُ لَا الأَعْيَان، وَهَذَا الأَصْلُ لَمْ يَدُلّ عَلَيْهِ كتابٌ وَلَا سُنَّةٌ وَلَا إجماعٌ وَلَا قِيَاسٌ صَحِيْحٌ، بَلْ الذِي دَلَّتْ عَليهِ الأُصُوْلُ أن الأعيانَ التي تَحدُثُ شَيْئًا فَشَيْئًا مَعَ بَقَاءِ أَصْلِهَا حُكْمُهَا حُكْمُ المَنَافِعِ “(Para ulama yang berpendapat) akad sewa menyewa hanya sebatas pada manfaat (atau jasa-pent) saja tidak pada benda atau aset (ini pendapat yang kurang tepat). Dan pendapat ini tidak sesuai dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan qiyas yang sahih. Namun, pendapat yang sesuai dengan dalil-dalil adalah penyewaan benda tetap ada manfaat yang bisa diperoleh bersamaan dengan tetapnya fisik benda tersebut. Hukumnya sama dengan hukum sewa menyewa manfaat atau jasa.” [1] Mengingat banyak sekali bisnis-bisnis yang ada di tengah masyarakat terikat dengan hal ini. Tentunya pembahasan ini menjadi sangat penting untuk diketahui. Ketentuan-ketentuan sewa menyewa benda atau aset Bagi penyewa dan yang menyewakan hendaknya mengetahui beberapa ketentuan-ketentuan sewa menyewa berikut ini, agar sewa menyewa tidak berujung merugikan di antara kedua belah pihak. Jelasnya benda atau aset Barang yang disewakan harus jelas bentuk dan jenisnya. Tentunya, benda tersebut bisa diambil manfaatnya tanpa merusak zat bendanya sebagaimana penjelasan yang telah berlalu. Dalam hal ini terdapat kaidah, كُلُّ مَا يَنْتَفِعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ تَجُوْزُ إِجَارَتُهُ وَمَا لَا فَلَا “Setiap benda yang ketika diambil manfaatnya bentuk fisiknya tetap ada, maka boleh untuk disewakan. Adapun yang ketika diambil manfaatnya bentuk fisiknya hilang, maka tidak boleh disewakan.” [2] Sehingga benda atau aset yang tidak jelas, dirahasiakan, atau tidak diketahui keberadaan dan bagaimana bentuknya, benda yang seperti ini tidak boleh disewakan. Contoh: Sewa rumah, maka harus jelas rumah yang disewakan. Bentuknya seperti apa, nomor rumahnya, alamatnya, dan lainnya. Terlebih saat ini banyak yang mengiklankan sewa rumah atau yang sejenisnya melalui platform sosial media atau via online. Sehingga kondisi rumah harus jelas tergambarkan via foto yang diunggah ke media tersebut. Dan silahkan di-qiyas-kan hal ini kepada benda atau aset yang lain. Seperti kendaraan, tanah, barang elektronik, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, Ibnu Rusyd rahimahullah mengatakan, وَالذِي فِي العَيْنِ مِنْ شَرْطِهِ الرُّؤْيَةُ أَوْ الصِّفَةُ عِنْدَهُ كَالْحَالِ فِي المَبِيْعَاتِ. وَمِنْ شَرْطِ الصِّفَة عِنْدَهُ: ذِكْرُ الجِنْسِ وَالنَّوْعِ، وَذَلِكَ فِي الشَّيْءِ الذِي تُسْتَوْفَى مَنَافِعُهُ “Dan yang berkaitan dengan benda yang disewakan, di antara syarat atau ketentuannya adalah dapat dilihat dan dapat dijelaskan sifat bendanya. Seperti benda-benda yang dijual. Di antara ketentuannya pula adalah menyebutkan jenis benda tersebut. Hal ini berlaku pada benda-benda yang manfaatnya dapat digunakan secara sempurna (tidak hilang manfaat bendanya).” [3] Penentuan durasi sewa Dalam sewa menyewa, ditekankan tentunya antara kedua belah pihak untuk menentukan durasi waktu sewa. Bahkan, para ulama sepakat dalam hal ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, أنَّ الإِجَارَةَ إذا وَقَعَتْ على مُدَّةٍ يَجِبُ أن تكونَ مَعْلُومةً، كشَهْرٍ وسَنَةٍ. ولا خِلَافَ في هذا نَعْلَمُه. “Sewa menyewa jika dalam bentuk waktu, hendaknya ditentukan dalam waktu yang jelas. Seperti sebulan atau satu tahun. Tidak ada perbedaan pendapat yang kami ketahui tentang hal ini.” [4] Ibnu Qudamah menjelaskan, terkait dengan waktu, maka dihitung dengan penanggalan hijriah dan ini yang lebih afdal. Walaupun jika dihitung dengan penanggalan masehi, diperbolehkan. Contoh: Sewa rumah selama 1 tahun yang dimulai akadnya pada 20 Rabiulawal 1445, maka habisnya pada 20 Rabiulawal 1446. Sebagian ulama ada yang membatasi bahwa sewa menyewa hanya satu tahun saja, sebagian ada yang berpendapat dibatasi selama tiga puluh tahun. Namun, jumhur berpendapat boleh lebih dari satu tahun dan inilah pendapat yang benar. Karena menghukumi satu tahun atau tiga puluh tahun tidak ada dalil yang menjelaskan hal tersebut. [5] Intinya, kedua belah pihak tidak boleh merugikan satu sama lain dalam hal ini. Seperti melampaui batas waktu sewa atau mengubah batas waktu sewa secara tiba-tiba. Karena pada hal tersebut terdapat kezaliman. Manfaat yang dapat diperoleh Tentunya dalam sewa menyewa harus ada manfaat yang diperoleh. Sebagaimana yang telah dijelaskan. Jika tidak ada manfaat yang diperoleh, maka tidak diperbolehkan. Contoh: Orang yang menyewakan mobil yang rusak dan tidak bisa jalan, menyewakan hewan kendaraan yang sedang hilang, dan lain sebagainya. Tentunya hal seperti itu merugikan pihak penyewa. Maka, boleh bagi pihak penyewa untuk menuntut haknya. Seperti diperbaiki terlebih dahulu atau menukar dengan barang yang lain atau di-faskh akadnya. Penentuan biaya sewa Tentang hal ini, harus disebutkan dan dijelaskan sebelum akad berlangsung. Berapa biaya sewa yang harus dibayarkan. Apakah cash atau utang, berapa nominalnya. Jangan sampai terjadi perselisihan di masa yang akan datang disebabkan karena adanya perubahan biaya sewa dari pihak yang menyewakan. Karena akad sewa menyewa ini tak ubahnya seperti akad jual beli, Imam Syafi’i rahimahullah berpendapat, وَالِإجَارَاتُ صِنْفٌ مِنَ البُيُوْعِ “Akad sewa menyewa termasuk jenis akad jual beli.” [6] Contoh: Pada akad awal sewa, suatu rumah disewakan dengan harga 20 juta per tahun. Kemudian pihak penyewa dan yang menyewakan telah menyepakati. Maka, tidak diperkenankan di kemudian hari pihak penyewa hanya membayar 15 juta karena mungkin melihat kekurangan yang ada pada rumah tersebut. Karena akad di awal sudah jelas nominal dan jenis bendanya. Tidak diperkenankan pula pihak yang menyewakan untuk menaikkan harga di kemudian hari sebelum akad yang sebelumnya selesai. Jika akad yang sebelumnya selesai, maka pihak yang menyewakan bisa untuk menaikkan harga sewa yang tentunya penyewa bisa memilih antara lanjut atau tidak. Kewajiban memelihara barang Hak ini yang harus ditunaikan oleh penyewa. Penyewa harus menjaga barang sewaannya. Tidak boleh dirusak dan tidak boleh dihilangkan, apalagi digunakan dalam bentuk penyalahgunaan barang sewaan tersebut. Tentu ini adalah kezaliman. Contoh: Kendaraan yang disewakan selama 1 bulan misalnya. Maka, kendaraan tersebut harus dijaga, tidak boleh digunakan secara kasar atau berlebihan atau digunakan untuk tindak kejahatan seperti mencuri, membunuh orang, dan lain sebagainya. Tentunya segala kerusakan yang terjadi akibat penyewa, penyewa diharuskan untuk mengganti rugi barang sewaan tersebut. Pengembalian barang dalam keadaan baik Hal ini berkaitan dengan poin sebelumnya. Tentunya ini adalah hak yang menyewakan. Barang tersebut harus dikembalikan dalam keadaan baik. Jika terdapat kerusakan, maka yang menyewakan berhak untuk meminta perbaikan kepada penyewa. Demikianlah ketentuan-ketentuan dalam sewa menyewa yang berkaitan dengan benda atau aset. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu A’lam [Bersambung] Kembali ke bagian 3 *** Depok, 12 Jumadilawal 1446 / 14 November 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] ‘Ilamul Muwaqqi’in, 3: 215. [2] Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, 5: 3805. [3] Bidayatul Mujtahid, 4: 13. [4] Al-Mughni, 9: 7, pada masalah 891 poin ke-2. [5] Al-Mughni, 9: 9-10. [6] Al-Umm, 4: 26.   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih. Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah rahimahullah. Bidayatul Mujtahid, karya Ibnu Rusyd rahimahullah. Al-Umm, karya Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah. ‘Ilamul Muwaqqi’in, karya Ibnul Qayyim rahimahullah. Maktabah Syamilah versi terbaru

Rumah Tangga Tidak Mesti dengan Cinta

Idealnya di antara yang menyertai rumah tangga adalah rasa cinta antara suami dan istri. Sehingga hal itu di antara faktor yang bisa menghadirkan ketenangan, kenyamanan, kasih sayang, serta keharmonisan dalam rumah tangga. Tetapi meski demikian, cinta bukanlah faktor utama dan terkuat untuk langgengnya dan hadirnya kebaikan-kebaikan dalam rumah tangga. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu saat menjadi khalifah pernah ditanya seorang perempuan, يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ نَشَدَنِي فَتَحَرَّجْتُ أَنْ أَكْذِبَ، فأكذب يا أمير المؤمنين؟ قال: نعم فاكذبنا، وَإِنْ كَانَتْ إِحْدَاكُنّ لَا تُحِبُّ أَحَدَنَا فَلَا تُحَدِّثْهُ بِذَلِكَ فَإِنَّهُ أَقَلُّ الْبُيُوتِ الَّذِي بُنِيَ عَلَى الْحُبِّ، وَلَكِنَّ النَّاسَ يَتَعَاشَرُونَ بِالْإِسْلَامِ وَالْأَنْسَابِ وَالْإِحْسَانِ “Wahai Amirul Mukminin, suamiku telah menyumpahku agar aku tidak berbohong, sehingga aku merasa bersalah jika berbohong, apakah aku masih boleh berbohong, wahai Amirul Mukminin?” Maka, sahabat Umar pun menjawab, “Ya, silakan berbohong kepada kita (sebagai suami). Jika salah seorang dari kalian (para istri) tidak suka kepada seseorang dari kami, maka jangan katakan itu kepadanya! Karena rumah tangga yang dibangun di atas rasa cinta itu sangat sedikit. Namun, manusia biasanya menjalin hubungan itu karena Islam, hubungan nasab, dan berbuat baik.” [1] Rumah tangga yang berhasil tidak selalu dibangun di atas cinta sejati sebagaimana yang digambarkan oleh para penyair, penyanyi, para penulis novel, atau yang ada di film-film. Kebanyakan rumah tangga tidak dibangun di atas cinta saja, tetapi karena Islam, anak-anak, ingin berbuat baik kepada sang wanita, ingin berbuat baik kepada kerabat, karena nasab, dan seterusnya. Di dalam mengarungi rumah tangga, pasti tidak lepas yang namanya permasalahan, bahkan rumah tangga percontohan terbaik, yaitu rumah tangga Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam pun ada permasalahan bersama istri-istrinya. Oleh karenanya, Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat, لا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ “Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (istrinya), karena jika dia membenci salah satu perangainya, dia pasti masih suka perangainya yang lain.” [2] Demikianlah, rumah tangga tidak mesti berjalan di atas cinta, terkadang ada yang suami benci dari istrinya, maka janganlah hanya fokus dengan kekurangannya, tetapi ingatlah juga kebaikan-kebaikannya. Istrinyalah yang telah menemaninya saat hidupnya masih susah, tidak punya apa-apa. Dialah yang mengandung dan merawat anak-anaknya. Dialah yang bisa menyalurkan hasrat dengan halal. Dialah yang merawat ketika sedang sakit dan masih banyak kebaikan-kebaikannya yang perlu direnungkan sehingga bisa dilupakan kekurangan-kekurangannya. Maka, begitu pula istri, dia pasti akan mendapati kekurangan pada suami, bahkan tidak ada rasa cinta kepadanya, maka perlu dan mengingat-ingat kebaikan-kebaikan suami yang lain dan alasan-alasan untuk melanjutkan dan membangun rumah tangga agar langgeng. Karena sebagaimana kata Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, rumah tangga yang dibangun di atas rasa cinta itu sangat sedikit, tetapi bisa karena Islam, hubungan nasab, dan ingin berbuat baik. Semoga bermanfaat. Baca juga: Nasihat ketika Konflik Rumah Tangga di Ujung Tanduk *** Penulis: Junaidi, S.H., M.H. Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Ma’rifah wat Tarikh, oleh Al Fasawi, 1: 392. [2] HR. Muslim no. 1469.

Rumah Tangga Tidak Mesti dengan Cinta

Idealnya di antara yang menyertai rumah tangga adalah rasa cinta antara suami dan istri. Sehingga hal itu di antara faktor yang bisa menghadirkan ketenangan, kenyamanan, kasih sayang, serta keharmonisan dalam rumah tangga. Tetapi meski demikian, cinta bukanlah faktor utama dan terkuat untuk langgengnya dan hadirnya kebaikan-kebaikan dalam rumah tangga. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu saat menjadi khalifah pernah ditanya seorang perempuan, يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ نَشَدَنِي فَتَحَرَّجْتُ أَنْ أَكْذِبَ، فأكذب يا أمير المؤمنين؟ قال: نعم فاكذبنا، وَإِنْ كَانَتْ إِحْدَاكُنّ لَا تُحِبُّ أَحَدَنَا فَلَا تُحَدِّثْهُ بِذَلِكَ فَإِنَّهُ أَقَلُّ الْبُيُوتِ الَّذِي بُنِيَ عَلَى الْحُبِّ، وَلَكِنَّ النَّاسَ يَتَعَاشَرُونَ بِالْإِسْلَامِ وَالْأَنْسَابِ وَالْإِحْسَانِ “Wahai Amirul Mukminin, suamiku telah menyumpahku agar aku tidak berbohong, sehingga aku merasa bersalah jika berbohong, apakah aku masih boleh berbohong, wahai Amirul Mukminin?” Maka, sahabat Umar pun menjawab, “Ya, silakan berbohong kepada kita (sebagai suami). Jika salah seorang dari kalian (para istri) tidak suka kepada seseorang dari kami, maka jangan katakan itu kepadanya! Karena rumah tangga yang dibangun di atas rasa cinta itu sangat sedikit. Namun, manusia biasanya menjalin hubungan itu karena Islam, hubungan nasab, dan berbuat baik.” [1] Rumah tangga yang berhasil tidak selalu dibangun di atas cinta sejati sebagaimana yang digambarkan oleh para penyair, penyanyi, para penulis novel, atau yang ada di film-film. Kebanyakan rumah tangga tidak dibangun di atas cinta saja, tetapi karena Islam, anak-anak, ingin berbuat baik kepada sang wanita, ingin berbuat baik kepada kerabat, karena nasab, dan seterusnya. Di dalam mengarungi rumah tangga, pasti tidak lepas yang namanya permasalahan, bahkan rumah tangga percontohan terbaik, yaitu rumah tangga Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam pun ada permasalahan bersama istri-istrinya. Oleh karenanya, Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat, لا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ “Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (istrinya), karena jika dia membenci salah satu perangainya, dia pasti masih suka perangainya yang lain.” [2] Demikianlah, rumah tangga tidak mesti berjalan di atas cinta, terkadang ada yang suami benci dari istrinya, maka janganlah hanya fokus dengan kekurangannya, tetapi ingatlah juga kebaikan-kebaikannya. Istrinyalah yang telah menemaninya saat hidupnya masih susah, tidak punya apa-apa. Dialah yang mengandung dan merawat anak-anaknya. Dialah yang bisa menyalurkan hasrat dengan halal. Dialah yang merawat ketika sedang sakit dan masih banyak kebaikan-kebaikannya yang perlu direnungkan sehingga bisa dilupakan kekurangan-kekurangannya. Maka, begitu pula istri, dia pasti akan mendapati kekurangan pada suami, bahkan tidak ada rasa cinta kepadanya, maka perlu dan mengingat-ingat kebaikan-kebaikan suami yang lain dan alasan-alasan untuk melanjutkan dan membangun rumah tangga agar langgeng. Karena sebagaimana kata Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, rumah tangga yang dibangun di atas rasa cinta itu sangat sedikit, tetapi bisa karena Islam, hubungan nasab, dan ingin berbuat baik. Semoga bermanfaat. Baca juga: Nasihat ketika Konflik Rumah Tangga di Ujung Tanduk *** Penulis: Junaidi, S.H., M.H. Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Ma’rifah wat Tarikh, oleh Al Fasawi, 1: 392. [2] HR. Muslim no. 1469.
Idealnya di antara yang menyertai rumah tangga adalah rasa cinta antara suami dan istri. Sehingga hal itu di antara faktor yang bisa menghadirkan ketenangan, kenyamanan, kasih sayang, serta keharmonisan dalam rumah tangga. Tetapi meski demikian, cinta bukanlah faktor utama dan terkuat untuk langgengnya dan hadirnya kebaikan-kebaikan dalam rumah tangga. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu saat menjadi khalifah pernah ditanya seorang perempuan, يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ نَشَدَنِي فَتَحَرَّجْتُ أَنْ أَكْذِبَ، فأكذب يا أمير المؤمنين؟ قال: نعم فاكذبنا، وَإِنْ كَانَتْ إِحْدَاكُنّ لَا تُحِبُّ أَحَدَنَا فَلَا تُحَدِّثْهُ بِذَلِكَ فَإِنَّهُ أَقَلُّ الْبُيُوتِ الَّذِي بُنِيَ عَلَى الْحُبِّ، وَلَكِنَّ النَّاسَ يَتَعَاشَرُونَ بِالْإِسْلَامِ وَالْأَنْسَابِ وَالْإِحْسَانِ “Wahai Amirul Mukminin, suamiku telah menyumpahku agar aku tidak berbohong, sehingga aku merasa bersalah jika berbohong, apakah aku masih boleh berbohong, wahai Amirul Mukminin?” Maka, sahabat Umar pun menjawab, “Ya, silakan berbohong kepada kita (sebagai suami). Jika salah seorang dari kalian (para istri) tidak suka kepada seseorang dari kami, maka jangan katakan itu kepadanya! Karena rumah tangga yang dibangun di atas rasa cinta itu sangat sedikit. Namun, manusia biasanya menjalin hubungan itu karena Islam, hubungan nasab, dan berbuat baik.” [1] Rumah tangga yang berhasil tidak selalu dibangun di atas cinta sejati sebagaimana yang digambarkan oleh para penyair, penyanyi, para penulis novel, atau yang ada di film-film. Kebanyakan rumah tangga tidak dibangun di atas cinta saja, tetapi karena Islam, anak-anak, ingin berbuat baik kepada sang wanita, ingin berbuat baik kepada kerabat, karena nasab, dan seterusnya. Di dalam mengarungi rumah tangga, pasti tidak lepas yang namanya permasalahan, bahkan rumah tangga percontohan terbaik, yaitu rumah tangga Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam pun ada permasalahan bersama istri-istrinya. Oleh karenanya, Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat, لا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ “Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (istrinya), karena jika dia membenci salah satu perangainya, dia pasti masih suka perangainya yang lain.” [2] Demikianlah, rumah tangga tidak mesti berjalan di atas cinta, terkadang ada yang suami benci dari istrinya, maka janganlah hanya fokus dengan kekurangannya, tetapi ingatlah juga kebaikan-kebaikannya. Istrinyalah yang telah menemaninya saat hidupnya masih susah, tidak punya apa-apa. Dialah yang mengandung dan merawat anak-anaknya. Dialah yang bisa menyalurkan hasrat dengan halal. Dialah yang merawat ketika sedang sakit dan masih banyak kebaikan-kebaikannya yang perlu direnungkan sehingga bisa dilupakan kekurangan-kekurangannya. Maka, begitu pula istri, dia pasti akan mendapati kekurangan pada suami, bahkan tidak ada rasa cinta kepadanya, maka perlu dan mengingat-ingat kebaikan-kebaikan suami yang lain dan alasan-alasan untuk melanjutkan dan membangun rumah tangga agar langgeng. Karena sebagaimana kata Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, rumah tangga yang dibangun di atas rasa cinta itu sangat sedikit, tetapi bisa karena Islam, hubungan nasab, dan ingin berbuat baik. Semoga bermanfaat. Baca juga: Nasihat ketika Konflik Rumah Tangga di Ujung Tanduk *** Penulis: Junaidi, S.H., M.H. Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Ma’rifah wat Tarikh, oleh Al Fasawi, 1: 392. [2] HR. Muslim no. 1469.


Idealnya di antara yang menyertai rumah tangga adalah rasa cinta antara suami dan istri. Sehingga hal itu di antara faktor yang bisa menghadirkan ketenangan, kenyamanan, kasih sayang, serta keharmonisan dalam rumah tangga. Tetapi meski demikian, cinta bukanlah faktor utama dan terkuat untuk langgengnya dan hadirnya kebaikan-kebaikan dalam rumah tangga. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu saat menjadi khalifah pernah ditanya seorang perempuan, يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ نَشَدَنِي فَتَحَرَّجْتُ أَنْ أَكْذِبَ، فأكذب يا أمير المؤمنين؟ قال: نعم فاكذبنا، وَإِنْ كَانَتْ إِحْدَاكُنّ لَا تُحِبُّ أَحَدَنَا فَلَا تُحَدِّثْهُ بِذَلِكَ فَإِنَّهُ أَقَلُّ الْبُيُوتِ الَّذِي بُنِيَ عَلَى الْحُبِّ، وَلَكِنَّ النَّاسَ يَتَعَاشَرُونَ بِالْإِسْلَامِ وَالْأَنْسَابِ وَالْإِحْسَانِ “Wahai Amirul Mukminin, suamiku telah menyumpahku agar aku tidak berbohong, sehingga aku merasa bersalah jika berbohong, apakah aku masih boleh berbohong, wahai Amirul Mukminin?” Maka, sahabat Umar pun menjawab, “Ya, silakan berbohong kepada kita (sebagai suami). Jika salah seorang dari kalian (para istri) tidak suka kepada seseorang dari kami, maka jangan katakan itu kepadanya! Karena rumah tangga yang dibangun di atas rasa cinta itu sangat sedikit. Namun, manusia biasanya menjalin hubungan itu karena Islam, hubungan nasab, dan berbuat baik.” [1] Rumah tangga yang berhasil tidak selalu dibangun di atas cinta sejati sebagaimana yang digambarkan oleh para penyair, penyanyi, para penulis novel, atau yang ada di film-film. Kebanyakan rumah tangga tidak dibangun di atas cinta saja, tetapi karena Islam, anak-anak, ingin berbuat baik kepada sang wanita, ingin berbuat baik kepada kerabat, karena nasab, dan seterusnya. Di dalam mengarungi rumah tangga, pasti tidak lepas yang namanya permasalahan, bahkan rumah tangga percontohan terbaik, yaitu rumah tangga Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam pun ada permasalahan bersama istri-istrinya. Oleh karenanya, Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat, لا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ “Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (istrinya), karena jika dia membenci salah satu perangainya, dia pasti masih suka perangainya yang lain.” [2] Demikianlah, rumah tangga tidak mesti berjalan di atas cinta, terkadang ada yang suami benci dari istrinya, maka janganlah hanya fokus dengan kekurangannya, tetapi ingatlah juga kebaikan-kebaikannya. Istrinyalah yang telah menemaninya saat hidupnya masih susah, tidak punya apa-apa. Dialah yang mengandung dan merawat anak-anaknya. Dialah yang bisa menyalurkan hasrat dengan halal. Dialah yang merawat ketika sedang sakit dan masih banyak kebaikan-kebaikannya yang perlu direnungkan sehingga bisa dilupakan kekurangan-kekurangannya. Maka, begitu pula istri, dia pasti akan mendapati kekurangan pada suami, bahkan tidak ada rasa cinta kepadanya, maka perlu dan mengingat-ingat kebaikan-kebaikan suami yang lain dan alasan-alasan untuk melanjutkan dan membangun rumah tangga agar langgeng. Karena sebagaimana kata Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, rumah tangga yang dibangun di atas rasa cinta itu sangat sedikit, tetapi bisa karena Islam, hubungan nasab, dan ingin berbuat baik. Semoga bermanfaat. Baca juga: Nasihat ketika Konflik Rumah Tangga di Ujung Tanduk *** Penulis: Junaidi, S.H., M.H. Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Ma’rifah wat Tarikh, oleh Al Fasawi, 1: 392. [2] HR. Muslim no. 1469.

Hukum-Hukum terkait Walimah (Pesta Pernikahan) (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Pengertian WalimahTeks Hadis PertamaKandungan Hadis PertamaKandungan pertama: Hukum mengadakan walimahKandungan kedua: Pihak yang mengadakan walimahKandungan ketiga: Batasan hidangan dalam walimahKandungan keempat: Kapan waktu pelaksanaan walimah? Pengertian Walimah Asal kata “walimah” bermakna “kesempurnaan” dan “pertemuan”. Dikatakan, أولم الرجل “Aulama ar-rajulu’, ketika akal dan budi pekerti seseorang bersatu. Lalu makna ini diadaptasi untuk menyebut hidangan (jamuan) makanan dalam pesta pernikahan karena adanya pertemuan antara mempelai laki-laki dan perempuan, atau pertemuan para wanita di dalamnya, atau karena adanya kumpulan berbagai jenis makanan. Yang dimaksud dengan istilah “walimah” di sini adalah khusus untuk hidangan dalam pesta pernikahan. Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah menukil dari Tsa’lab dan lainnya dari ahli bahasa bahwa “walimah” adalah istilah khusus untuk makanan dalam pesta pernikahan dan tidak digunakan untuk selainnya. [1] Beberapa ahli fikih berpendapat bahwa “walimah” mencakup semua jenis makanan yang disiapkan untuk merayakan kebahagiaan dan kegembiraan, seperti menyambut orang yang datang dari safar (perjalanan jauh), atau makanan untuk akikah, namun penggunaan istilah “walimah”  ini lebih sering merujuk pada hidangan makanan pesta pernikahan. Ibnu Muflih al-Hanbali rahimahullah berkata, وقول أهل اللغة أَوْلى؛ لأنهم أهل اللسان، وأعرف بموضوعات اللغة “Pendapat ahli bahasa lebih utama, karena mereka adalah ahli dalam bahasa dan lebih memahami makna-makna bahasa.” [2] Oleh karena itu, penggunaan umum istilah “walimah” merujuk pada pesta pernikahan atau walimatul urs. Jika digunakan untuk acara (maksud) lain, harus ada keterangan tambahan, seperti “walimah khitan” (pesta sunatan) atau “walimah kedatangan dari perjalanan”, dan sejenisnya yang dikenal oleh orang Arab. Sehingga jika disebut “walimah” saja tanpa ada tambahan keterangan lain, maka maksudnya adalah walimatul urs. Dalam walimah terdapat banyak manfaat dan faedah, berupa pengumuman pernikahan dengan berkumpulnya orang-orang, serta terdapat pula unsur silaturahmi dengan keluarga, kerabat, dan tetangga, memberi makan kepada fakir miskin, serta memberikan kebahagiaan kepada istri, keluarga, dan kerabat-kerabatnya. Dalam serial tulisan ini, penulis akan membahas hukum-hukum fikih terkait walimah, yang diambil dari hadis-hadis yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah di kitab Bulughul Maram. Adapun syarah (penjelasan) hadis-hadis tersebut, kami sarikan dari penjelasan Syekh Abdullah Al-Fauzan di kitab beliau, Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram. Teks Hadis Pertama Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَنَّ النَّبِيّ – صلى الله عليه وسلم – رَأَى عَلَى عَبْدِ الرّحْمنِ بنِ عَوْفٍ أثَرَ صُفْرَةٍ فَقَال:  مَا هذَا؟ ، قَال: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي تَزَوّجْتُ امْرَأَةً عَلَى وَزْنِ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبِ، قَال:  فَبَارَكَ اللهُ لَكَ، أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat tanda kuning pada ‘Abdurrahman bin ‘Auf, lalu beliau bertanya, ‘Apa ini?’ ‘Abdurrahman menjawab, ‘Wahai Rasulullah, saya baru saja menikahi seorang wanita dengan mahar berupa emas seberat biji kurma.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Semoga Allah memberkahimu. Adakanlah walimah, meskipun hanya dengan seekor kambing.'” (HR. Bukhari no. 5155 dan Muslim no. 1427) Kandungan Hadis Pertama Kandungan pertama: Hukum mengadakan walimah Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama tentang disyariatkannya mengadakan walimah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan dan menganjurkannya. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukum wajibnya mengadakan walimah menjadi dua pendapat: Pendapat pertama: Hukum mengadakan walimah itu dianjurkan (sunah), dan ini adalah pendapat mayoritas (jumhur) ulama. Mereka berpendapat demikian karena walimah adalah hidangan (jamuan) yang diadakan untuk merayakan sebuah kebahagiaan, sehingga menyerupai hidangan lainnya, seperti makanan untuk menyambut kedatangan dari safar (perjalanan jauh) dan sejenisnya. Selain itu, tidak ada dalil yang secara tegas mewajibkannya. Hadis dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu ini tidak menunjukkan kewajiban secara jelas, karena Rasulullah hanya memerintahkan untuk menyembelih seekor kambing, yang menurut kesepakatan ulama tidak wajib. Maka, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, أَوْلِمْ “Adakanlah walimah’; dipahami sebagai perintah anjuran (sunah). Pendapat kedua: Hukum mengadakan walimah itu wajib. Ini adalah pendapat madzhab Zhahiriyah, dan juga merupakan salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’i. Penulis kitab Al-Inshaf menyebutkan dari Imam Ahmad rahimahullah bahwa beliau berkata, تجب ولو بشاة “(Mengadakan walimah) itu wajib, meskipun hanya dengan seekor kambing”; karena adanya perintah. Hal ini juga dikatakan oleh Ibnu ‘Aqil rahimahullah. [3] Mereka berdalil dengan beberapa argumentasi berikut ini: Argumentasi pertama: Hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu untuk mengadakan walimah, dan perintah tersebut menunjukkan hukum wajib (sebagaimana dalam kaidah ushul fikih). Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan sahabat ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu untuk tetap mengadakan walimah meskipun telah menyetubuhi istrinya. Argumentasi kedua: Hadis Buraidah radhiyallahu ‘anhu yang berkata bahwa ketika ‘Ali melamar Fathimah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنه لا بد للعرس -وفي رواية: للعروس- من وليمة “Harus diadakan walimatul urs.” [4] Pendapat yang lebih kuat: Pendapat yang menyatakan bahwa hukum mengadakan walimah itu wajib (pendapat kedua) adalah pendapat yang kuat. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkannya kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf dan tidak ada indikator yang memalingkannya dari hukum wajib; dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkannya, meskipun dengan hidangan yang mudah didapat (sederhana). Oleh karena itu, yang lebih hati-hati bagi yang mampu adalah tidak meninggalkan walimah sebagai bentuk ketaatan kepada perintah, meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan untuk memperoleh manfaat dan faedah besar yang telah disebutkan sebelumnya. Ulama yang menyatakan tidak wajib beralasan bahwa tidak ada batasan kadar (hidangan atau makanan) tertentu untuk walimah yang ditetapkan oleh syariat, sehingga hal ini menunjukkan bahwa mengadakan walimah itu tidak wajib. Anggapan ini bisa dibantah bahwa hal itu tidak berarti bahwa tidak ada kewajiban mengadakan walimah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah dengan daging, dengan roti, dan juga memerintahkan untuk menyembelih kambing, yang menunjukkan bahwa ada kelonggaran dalam pelaksanaan walimah. Sebagaimana terdapat kewajiban bagi suami untuk memberikan nafkah, dan syariat tidak memberikan batasan tertentu kadar nafkah tersebut, namun dikembalikan kepada norma dan kebiasaan masyarakat (‘urf) setempat dan kebutuhan masing-masing keluarga. Demikian pula walimah. Baca juga: Bila Di Undang Ke Walimah Nikah Kandungan kedua: Pihak yang mengadakan walimah Hadis ini menunjukkan bahwa walimah itu disyariatkan, dan itu berasal dari pihak suami, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada ‘Abdurrahman ‘Auf, أَوْلِمْ “Adakanlah walimah”; dan beliau tidak memerintahkan pihak keluarga istri. Hal ini karena nikmat bagi suami lebih besar daripada bagi istri, karena biasanya pihak laki-laki yang menginginkan pernikahan. Adapun jika walimah tersebut diadakan oleh pihak keluarga istri, maka tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut. Kandungan ketiga: Batasan hidangan dalam walimah Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah menyebutkan adanya ijmak (kesepakatan ulama) bahwa tidak ada batasan tertentu untuk jumlah dan jenis makanan yang dihidangkan dalam walimah [5]. Walimah sudah dianggap sah (baca: sehingga dapat menggugurkan kewajiban) dengan makanan apa pun yang disajikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah untuk pernikahan beliau dengan Shafiyyah radhiyallahu ‘anha dengan menyajikan aqith (keju kering), lemak, dan kurma [6], serta walimah untuk pernikahan beliau dengan Zainab radhiyallahu ‘anha dengan menyajikan roti dan daging [7]. Pendapat yang lebih tepat, wallahu Ta’ala a’lam, bahwa jumlah (dan jenis) makanan dalam walimah itu disesuaikan dengan ‘urf (kebiasaan) masyarakat setempat. Hal ini karena walimah termasuk dalam kategori nafkah yang dapat bervariasi berdasarkan waktu dan tempat. Maka, tidak ada batasan hidangan tertentu dalam walimah, dan walimah dapat berbeda-beda tergantung kondisi ekonomi suami. Namun, syaratnya adalah tidak boleh sampai derajat berlebih-lebihan atau untuk bermegah-megahan, seperti yang lazim terjadi di zaman sekarang. Bagi yang mampu, boleh mengadakan walimah dengan dua atau tiga ekor kambing sebagai bentuk kesempurnaan. Sementara bagi yang kurang mampu, cukup dengan makanan dan minuman yang mudah didapatkan dan sederhana, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah untuk Shafiyyah radhiyallahu ‘anha tanpa menyajikan daging. Karena pada saat itu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah saat kondisi safar. Kandungan keempat: Kapan waktu pelaksanaan walimah? Para ulama berbeda pendapat mengenai waktu pelaksanaan walimah. Kebanyakan riwayat menunjukkan bahwa walimah diadakan setelah suami menggauli istrinya. Hal ini sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu untuk mengadakan walimah setelah menggauli istrinya. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, أصبح النبي – صلى الله عليه وسلم – عروسًا بزينب فدعا القوم فأصابوا من الطعام “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, pada pagi hari bersama Zainab sebagai pengantin baru, beliau mengundang orang-orang dan mereka menikmati makanan.” [8] Pendapat kedua menyatakan bahwa walimah diadakan saat akad nikah. Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa waktu pelaksanaan walimah bersifat fleksibel, mulai dari akad nikah hingga setelah suami menggauli istrinya, karena terdapat riwayat yang sahih dalam kedua hal ini. Selain itu, hari-hari tersebut merupakan hari kebahagiaan dan kegembiraan. Adat dan kebiasaan masyarakat juga memiliki kaitan dalam hal ini. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, واستحب بعض المالكية أن تكون عند البناء ويقع الدخول عقبها، وعليه عمل الناس اليوم “Sebagian ulama Malikiyah menganjurkan agar walimah diadakan pada saat pasangan bersama, dan suami menggauli istrinya setelahnya, dan inilah yang menjadi kebiasaan masyarakat saat ini.” [9] Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. [10] [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** @Fall, 25 Rabiul akhir 1446/ 28 Oktober 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] At-Tamhiid, 10: 182. [2] Al-Muthli’, hal. 328. [3] Lihat Al-Muhalla, 9: 450; Al-Muhadzab, 2: 82; Al-Inshaf, 8: 317. [4] Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad (38: 142-143). Al-Hafizh (Ibnu Hajar) dalam Fath al-Bari (9: 230) mengatakan, “Sanadnya tidak bermasalah.” Dalam sanad tersebut terdapat ‘Abdul Karim bin Salit, yang hanya diriwayatkan oleh dua orang. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitab Ats-Tsiqat (7: 131), dan Al-Hafizh (Ibnu Hajar) menyatakan, “Dia (perawi) yang maqbul (diterima hadisnya).” [5] Ikmalul Mu’lim, 4: 588. [6] HR. Bukhari no. 5085 dan Muslim, 2: 1044. [7] HR. Bukhari no. 5163, 5171, dan Muslim no. 1428. [8] HR. Bukhari no. 5166. [9] Fathul Baari, 9: 230. [10] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 406-412). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Hukum-Hukum terkait Walimah (Pesta Pernikahan) (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Pengertian WalimahTeks Hadis PertamaKandungan Hadis PertamaKandungan pertama: Hukum mengadakan walimahKandungan kedua: Pihak yang mengadakan walimahKandungan ketiga: Batasan hidangan dalam walimahKandungan keempat: Kapan waktu pelaksanaan walimah? Pengertian Walimah Asal kata “walimah” bermakna “kesempurnaan” dan “pertemuan”. Dikatakan, أولم الرجل “Aulama ar-rajulu’, ketika akal dan budi pekerti seseorang bersatu. Lalu makna ini diadaptasi untuk menyebut hidangan (jamuan) makanan dalam pesta pernikahan karena adanya pertemuan antara mempelai laki-laki dan perempuan, atau pertemuan para wanita di dalamnya, atau karena adanya kumpulan berbagai jenis makanan. Yang dimaksud dengan istilah “walimah” di sini adalah khusus untuk hidangan dalam pesta pernikahan. Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah menukil dari Tsa’lab dan lainnya dari ahli bahasa bahwa “walimah” adalah istilah khusus untuk makanan dalam pesta pernikahan dan tidak digunakan untuk selainnya. [1] Beberapa ahli fikih berpendapat bahwa “walimah” mencakup semua jenis makanan yang disiapkan untuk merayakan kebahagiaan dan kegembiraan, seperti menyambut orang yang datang dari safar (perjalanan jauh), atau makanan untuk akikah, namun penggunaan istilah “walimah”  ini lebih sering merujuk pada hidangan makanan pesta pernikahan. Ibnu Muflih al-Hanbali rahimahullah berkata, وقول أهل اللغة أَوْلى؛ لأنهم أهل اللسان، وأعرف بموضوعات اللغة “Pendapat ahli bahasa lebih utama, karena mereka adalah ahli dalam bahasa dan lebih memahami makna-makna bahasa.” [2] Oleh karena itu, penggunaan umum istilah “walimah” merujuk pada pesta pernikahan atau walimatul urs. Jika digunakan untuk acara (maksud) lain, harus ada keterangan tambahan, seperti “walimah khitan” (pesta sunatan) atau “walimah kedatangan dari perjalanan”, dan sejenisnya yang dikenal oleh orang Arab. Sehingga jika disebut “walimah” saja tanpa ada tambahan keterangan lain, maka maksudnya adalah walimatul urs. Dalam walimah terdapat banyak manfaat dan faedah, berupa pengumuman pernikahan dengan berkumpulnya orang-orang, serta terdapat pula unsur silaturahmi dengan keluarga, kerabat, dan tetangga, memberi makan kepada fakir miskin, serta memberikan kebahagiaan kepada istri, keluarga, dan kerabat-kerabatnya. Dalam serial tulisan ini, penulis akan membahas hukum-hukum fikih terkait walimah, yang diambil dari hadis-hadis yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah di kitab Bulughul Maram. Adapun syarah (penjelasan) hadis-hadis tersebut, kami sarikan dari penjelasan Syekh Abdullah Al-Fauzan di kitab beliau, Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram. Teks Hadis Pertama Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَنَّ النَّبِيّ – صلى الله عليه وسلم – رَأَى عَلَى عَبْدِ الرّحْمنِ بنِ عَوْفٍ أثَرَ صُفْرَةٍ فَقَال:  مَا هذَا؟ ، قَال: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي تَزَوّجْتُ امْرَأَةً عَلَى وَزْنِ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبِ، قَال:  فَبَارَكَ اللهُ لَكَ، أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat tanda kuning pada ‘Abdurrahman bin ‘Auf, lalu beliau bertanya, ‘Apa ini?’ ‘Abdurrahman menjawab, ‘Wahai Rasulullah, saya baru saja menikahi seorang wanita dengan mahar berupa emas seberat biji kurma.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Semoga Allah memberkahimu. Adakanlah walimah, meskipun hanya dengan seekor kambing.'” (HR. Bukhari no. 5155 dan Muslim no. 1427) Kandungan Hadis Pertama Kandungan pertama: Hukum mengadakan walimah Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama tentang disyariatkannya mengadakan walimah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan dan menganjurkannya. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukum wajibnya mengadakan walimah menjadi dua pendapat: Pendapat pertama: Hukum mengadakan walimah itu dianjurkan (sunah), dan ini adalah pendapat mayoritas (jumhur) ulama. Mereka berpendapat demikian karena walimah adalah hidangan (jamuan) yang diadakan untuk merayakan sebuah kebahagiaan, sehingga menyerupai hidangan lainnya, seperti makanan untuk menyambut kedatangan dari safar (perjalanan jauh) dan sejenisnya. Selain itu, tidak ada dalil yang secara tegas mewajibkannya. Hadis dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu ini tidak menunjukkan kewajiban secara jelas, karena Rasulullah hanya memerintahkan untuk menyembelih seekor kambing, yang menurut kesepakatan ulama tidak wajib. Maka, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, أَوْلِمْ “Adakanlah walimah’; dipahami sebagai perintah anjuran (sunah). Pendapat kedua: Hukum mengadakan walimah itu wajib. Ini adalah pendapat madzhab Zhahiriyah, dan juga merupakan salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’i. Penulis kitab Al-Inshaf menyebutkan dari Imam Ahmad rahimahullah bahwa beliau berkata, تجب ولو بشاة “(Mengadakan walimah) itu wajib, meskipun hanya dengan seekor kambing”; karena adanya perintah. Hal ini juga dikatakan oleh Ibnu ‘Aqil rahimahullah. [3] Mereka berdalil dengan beberapa argumentasi berikut ini: Argumentasi pertama: Hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu untuk mengadakan walimah, dan perintah tersebut menunjukkan hukum wajib (sebagaimana dalam kaidah ushul fikih). Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan sahabat ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu untuk tetap mengadakan walimah meskipun telah menyetubuhi istrinya. Argumentasi kedua: Hadis Buraidah radhiyallahu ‘anhu yang berkata bahwa ketika ‘Ali melamar Fathimah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنه لا بد للعرس -وفي رواية: للعروس- من وليمة “Harus diadakan walimatul urs.” [4] Pendapat yang lebih kuat: Pendapat yang menyatakan bahwa hukum mengadakan walimah itu wajib (pendapat kedua) adalah pendapat yang kuat. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkannya kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf dan tidak ada indikator yang memalingkannya dari hukum wajib; dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkannya, meskipun dengan hidangan yang mudah didapat (sederhana). Oleh karena itu, yang lebih hati-hati bagi yang mampu adalah tidak meninggalkan walimah sebagai bentuk ketaatan kepada perintah, meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan untuk memperoleh manfaat dan faedah besar yang telah disebutkan sebelumnya. Ulama yang menyatakan tidak wajib beralasan bahwa tidak ada batasan kadar (hidangan atau makanan) tertentu untuk walimah yang ditetapkan oleh syariat, sehingga hal ini menunjukkan bahwa mengadakan walimah itu tidak wajib. Anggapan ini bisa dibantah bahwa hal itu tidak berarti bahwa tidak ada kewajiban mengadakan walimah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah dengan daging, dengan roti, dan juga memerintahkan untuk menyembelih kambing, yang menunjukkan bahwa ada kelonggaran dalam pelaksanaan walimah. Sebagaimana terdapat kewajiban bagi suami untuk memberikan nafkah, dan syariat tidak memberikan batasan tertentu kadar nafkah tersebut, namun dikembalikan kepada norma dan kebiasaan masyarakat (‘urf) setempat dan kebutuhan masing-masing keluarga. Demikian pula walimah. Baca juga: Bila Di Undang Ke Walimah Nikah Kandungan kedua: Pihak yang mengadakan walimah Hadis ini menunjukkan bahwa walimah itu disyariatkan, dan itu berasal dari pihak suami, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada ‘Abdurrahman ‘Auf, أَوْلِمْ “Adakanlah walimah”; dan beliau tidak memerintahkan pihak keluarga istri. Hal ini karena nikmat bagi suami lebih besar daripada bagi istri, karena biasanya pihak laki-laki yang menginginkan pernikahan. Adapun jika walimah tersebut diadakan oleh pihak keluarga istri, maka tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut. Kandungan ketiga: Batasan hidangan dalam walimah Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah menyebutkan adanya ijmak (kesepakatan ulama) bahwa tidak ada batasan tertentu untuk jumlah dan jenis makanan yang dihidangkan dalam walimah [5]. Walimah sudah dianggap sah (baca: sehingga dapat menggugurkan kewajiban) dengan makanan apa pun yang disajikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah untuk pernikahan beliau dengan Shafiyyah radhiyallahu ‘anha dengan menyajikan aqith (keju kering), lemak, dan kurma [6], serta walimah untuk pernikahan beliau dengan Zainab radhiyallahu ‘anha dengan menyajikan roti dan daging [7]. Pendapat yang lebih tepat, wallahu Ta’ala a’lam, bahwa jumlah (dan jenis) makanan dalam walimah itu disesuaikan dengan ‘urf (kebiasaan) masyarakat setempat. Hal ini karena walimah termasuk dalam kategori nafkah yang dapat bervariasi berdasarkan waktu dan tempat. Maka, tidak ada batasan hidangan tertentu dalam walimah, dan walimah dapat berbeda-beda tergantung kondisi ekonomi suami. Namun, syaratnya adalah tidak boleh sampai derajat berlebih-lebihan atau untuk bermegah-megahan, seperti yang lazim terjadi di zaman sekarang. Bagi yang mampu, boleh mengadakan walimah dengan dua atau tiga ekor kambing sebagai bentuk kesempurnaan. Sementara bagi yang kurang mampu, cukup dengan makanan dan minuman yang mudah didapatkan dan sederhana, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah untuk Shafiyyah radhiyallahu ‘anha tanpa menyajikan daging. Karena pada saat itu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah saat kondisi safar. Kandungan keempat: Kapan waktu pelaksanaan walimah? Para ulama berbeda pendapat mengenai waktu pelaksanaan walimah. Kebanyakan riwayat menunjukkan bahwa walimah diadakan setelah suami menggauli istrinya. Hal ini sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu untuk mengadakan walimah setelah menggauli istrinya. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, أصبح النبي – صلى الله عليه وسلم – عروسًا بزينب فدعا القوم فأصابوا من الطعام “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, pada pagi hari bersama Zainab sebagai pengantin baru, beliau mengundang orang-orang dan mereka menikmati makanan.” [8] Pendapat kedua menyatakan bahwa walimah diadakan saat akad nikah. Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa waktu pelaksanaan walimah bersifat fleksibel, mulai dari akad nikah hingga setelah suami menggauli istrinya, karena terdapat riwayat yang sahih dalam kedua hal ini. Selain itu, hari-hari tersebut merupakan hari kebahagiaan dan kegembiraan. Adat dan kebiasaan masyarakat juga memiliki kaitan dalam hal ini. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, واستحب بعض المالكية أن تكون عند البناء ويقع الدخول عقبها، وعليه عمل الناس اليوم “Sebagian ulama Malikiyah menganjurkan agar walimah diadakan pada saat pasangan bersama, dan suami menggauli istrinya setelahnya, dan inilah yang menjadi kebiasaan masyarakat saat ini.” [9] Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. [10] [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** @Fall, 25 Rabiul akhir 1446/ 28 Oktober 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] At-Tamhiid, 10: 182. [2] Al-Muthli’, hal. 328. [3] Lihat Al-Muhalla, 9: 450; Al-Muhadzab, 2: 82; Al-Inshaf, 8: 317. [4] Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad (38: 142-143). Al-Hafizh (Ibnu Hajar) dalam Fath al-Bari (9: 230) mengatakan, “Sanadnya tidak bermasalah.” Dalam sanad tersebut terdapat ‘Abdul Karim bin Salit, yang hanya diriwayatkan oleh dua orang. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitab Ats-Tsiqat (7: 131), dan Al-Hafizh (Ibnu Hajar) menyatakan, “Dia (perawi) yang maqbul (diterima hadisnya).” [5] Ikmalul Mu’lim, 4: 588. [6] HR. Bukhari no. 5085 dan Muslim, 2: 1044. [7] HR. Bukhari no. 5163, 5171, dan Muslim no. 1428. [8] HR. Bukhari no. 5166. [9] Fathul Baari, 9: 230. [10] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 406-412). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Daftar Isi Toggle Pengertian WalimahTeks Hadis PertamaKandungan Hadis PertamaKandungan pertama: Hukum mengadakan walimahKandungan kedua: Pihak yang mengadakan walimahKandungan ketiga: Batasan hidangan dalam walimahKandungan keempat: Kapan waktu pelaksanaan walimah? Pengertian Walimah Asal kata “walimah” bermakna “kesempurnaan” dan “pertemuan”. Dikatakan, أولم الرجل “Aulama ar-rajulu’, ketika akal dan budi pekerti seseorang bersatu. Lalu makna ini diadaptasi untuk menyebut hidangan (jamuan) makanan dalam pesta pernikahan karena adanya pertemuan antara mempelai laki-laki dan perempuan, atau pertemuan para wanita di dalamnya, atau karena adanya kumpulan berbagai jenis makanan. Yang dimaksud dengan istilah “walimah” di sini adalah khusus untuk hidangan dalam pesta pernikahan. Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah menukil dari Tsa’lab dan lainnya dari ahli bahasa bahwa “walimah” adalah istilah khusus untuk makanan dalam pesta pernikahan dan tidak digunakan untuk selainnya. [1] Beberapa ahli fikih berpendapat bahwa “walimah” mencakup semua jenis makanan yang disiapkan untuk merayakan kebahagiaan dan kegembiraan, seperti menyambut orang yang datang dari safar (perjalanan jauh), atau makanan untuk akikah, namun penggunaan istilah “walimah”  ini lebih sering merujuk pada hidangan makanan pesta pernikahan. Ibnu Muflih al-Hanbali rahimahullah berkata, وقول أهل اللغة أَوْلى؛ لأنهم أهل اللسان، وأعرف بموضوعات اللغة “Pendapat ahli bahasa lebih utama, karena mereka adalah ahli dalam bahasa dan lebih memahami makna-makna bahasa.” [2] Oleh karena itu, penggunaan umum istilah “walimah” merujuk pada pesta pernikahan atau walimatul urs. Jika digunakan untuk acara (maksud) lain, harus ada keterangan tambahan, seperti “walimah khitan” (pesta sunatan) atau “walimah kedatangan dari perjalanan”, dan sejenisnya yang dikenal oleh orang Arab. Sehingga jika disebut “walimah” saja tanpa ada tambahan keterangan lain, maka maksudnya adalah walimatul urs. Dalam walimah terdapat banyak manfaat dan faedah, berupa pengumuman pernikahan dengan berkumpulnya orang-orang, serta terdapat pula unsur silaturahmi dengan keluarga, kerabat, dan tetangga, memberi makan kepada fakir miskin, serta memberikan kebahagiaan kepada istri, keluarga, dan kerabat-kerabatnya. Dalam serial tulisan ini, penulis akan membahas hukum-hukum fikih terkait walimah, yang diambil dari hadis-hadis yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah di kitab Bulughul Maram. Adapun syarah (penjelasan) hadis-hadis tersebut, kami sarikan dari penjelasan Syekh Abdullah Al-Fauzan di kitab beliau, Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram. Teks Hadis Pertama Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَنَّ النَّبِيّ – صلى الله عليه وسلم – رَأَى عَلَى عَبْدِ الرّحْمنِ بنِ عَوْفٍ أثَرَ صُفْرَةٍ فَقَال:  مَا هذَا؟ ، قَال: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي تَزَوّجْتُ امْرَأَةً عَلَى وَزْنِ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبِ، قَال:  فَبَارَكَ اللهُ لَكَ، أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat tanda kuning pada ‘Abdurrahman bin ‘Auf, lalu beliau bertanya, ‘Apa ini?’ ‘Abdurrahman menjawab, ‘Wahai Rasulullah, saya baru saja menikahi seorang wanita dengan mahar berupa emas seberat biji kurma.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Semoga Allah memberkahimu. Adakanlah walimah, meskipun hanya dengan seekor kambing.'” (HR. Bukhari no. 5155 dan Muslim no. 1427) Kandungan Hadis Pertama Kandungan pertama: Hukum mengadakan walimah Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama tentang disyariatkannya mengadakan walimah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan dan menganjurkannya. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukum wajibnya mengadakan walimah menjadi dua pendapat: Pendapat pertama: Hukum mengadakan walimah itu dianjurkan (sunah), dan ini adalah pendapat mayoritas (jumhur) ulama. Mereka berpendapat demikian karena walimah adalah hidangan (jamuan) yang diadakan untuk merayakan sebuah kebahagiaan, sehingga menyerupai hidangan lainnya, seperti makanan untuk menyambut kedatangan dari safar (perjalanan jauh) dan sejenisnya. Selain itu, tidak ada dalil yang secara tegas mewajibkannya. Hadis dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu ini tidak menunjukkan kewajiban secara jelas, karena Rasulullah hanya memerintahkan untuk menyembelih seekor kambing, yang menurut kesepakatan ulama tidak wajib. Maka, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, أَوْلِمْ “Adakanlah walimah’; dipahami sebagai perintah anjuran (sunah). Pendapat kedua: Hukum mengadakan walimah itu wajib. Ini adalah pendapat madzhab Zhahiriyah, dan juga merupakan salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’i. Penulis kitab Al-Inshaf menyebutkan dari Imam Ahmad rahimahullah bahwa beliau berkata, تجب ولو بشاة “(Mengadakan walimah) itu wajib, meskipun hanya dengan seekor kambing”; karena adanya perintah. Hal ini juga dikatakan oleh Ibnu ‘Aqil rahimahullah. [3] Mereka berdalil dengan beberapa argumentasi berikut ini: Argumentasi pertama: Hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu untuk mengadakan walimah, dan perintah tersebut menunjukkan hukum wajib (sebagaimana dalam kaidah ushul fikih). Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan sahabat ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu untuk tetap mengadakan walimah meskipun telah menyetubuhi istrinya. Argumentasi kedua: Hadis Buraidah radhiyallahu ‘anhu yang berkata bahwa ketika ‘Ali melamar Fathimah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنه لا بد للعرس -وفي رواية: للعروس- من وليمة “Harus diadakan walimatul urs.” [4] Pendapat yang lebih kuat: Pendapat yang menyatakan bahwa hukum mengadakan walimah itu wajib (pendapat kedua) adalah pendapat yang kuat. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkannya kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf dan tidak ada indikator yang memalingkannya dari hukum wajib; dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkannya, meskipun dengan hidangan yang mudah didapat (sederhana). Oleh karena itu, yang lebih hati-hati bagi yang mampu adalah tidak meninggalkan walimah sebagai bentuk ketaatan kepada perintah, meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan untuk memperoleh manfaat dan faedah besar yang telah disebutkan sebelumnya. Ulama yang menyatakan tidak wajib beralasan bahwa tidak ada batasan kadar (hidangan atau makanan) tertentu untuk walimah yang ditetapkan oleh syariat, sehingga hal ini menunjukkan bahwa mengadakan walimah itu tidak wajib. Anggapan ini bisa dibantah bahwa hal itu tidak berarti bahwa tidak ada kewajiban mengadakan walimah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah dengan daging, dengan roti, dan juga memerintahkan untuk menyembelih kambing, yang menunjukkan bahwa ada kelonggaran dalam pelaksanaan walimah. Sebagaimana terdapat kewajiban bagi suami untuk memberikan nafkah, dan syariat tidak memberikan batasan tertentu kadar nafkah tersebut, namun dikembalikan kepada norma dan kebiasaan masyarakat (‘urf) setempat dan kebutuhan masing-masing keluarga. Demikian pula walimah. Baca juga: Bila Di Undang Ke Walimah Nikah Kandungan kedua: Pihak yang mengadakan walimah Hadis ini menunjukkan bahwa walimah itu disyariatkan, dan itu berasal dari pihak suami, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada ‘Abdurrahman ‘Auf, أَوْلِمْ “Adakanlah walimah”; dan beliau tidak memerintahkan pihak keluarga istri. Hal ini karena nikmat bagi suami lebih besar daripada bagi istri, karena biasanya pihak laki-laki yang menginginkan pernikahan. Adapun jika walimah tersebut diadakan oleh pihak keluarga istri, maka tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut. Kandungan ketiga: Batasan hidangan dalam walimah Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah menyebutkan adanya ijmak (kesepakatan ulama) bahwa tidak ada batasan tertentu untuk jumlah dan jenis makanan yang dihidangkan dalam walimah [5]. Walimah sudah dianggap sah (baca: sehingga dapat menggugurkan kewajiban) dengan makanan apa pun yang disajikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah untuk pernikahan beliau dengan Shafiyyah radhiyallahu ‘anha dengan menyajikan aqith (keju kering), lemak, dan kurma [6], serta walimah untuk pernikahan beliau dengan Zainab radhiyallahu ‘anha dengan menyajikan roti dan daging [7]. Pendapat yang lebih tepat, wallahu Ta’ala a’lam, bahwa jumlah (dan jenis) makanan dalam walimah itu disesuaikan dengan ‘urf (kebiasaan) masyarakat setempat. Hal ini karena walimah termasuk dalam kategori nafkah yang dapat bervariasi berdasarkan waktu dan tempat. Maka, tidak ada batasan hidangan tertentu dalam walimah, dan walimah dapat berbeda-beda tergantung kondisi ekonomi suami. Namun, syaratnya adalah tidak boleh sampai derajat berlebih-lebihan atau untuk bermegah-megahan, seperti yang lazim terjadi di zaman sekarang. Bagi yang mampu, boleh mengadakan walimah dengan dua atau tiga ekor kambing sebagai bentuk kesempurnaan. Sementara bagi yang kurang mampu, cukup dengan makanan dan minuman yang mudah didapatkan dan sederhana, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah untuk Shafiyyah radhiyallahu ‘anha tanpa menyajikan daging. Karena pada saat itu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah saat kondisi safar. Kandungan keempat: Kapan waktu pelaksanaan walimah? Para ulama berbeda pendapat mengenai waktu pelaksanaan walimah. Kebanyakan riwayat menunjukkan bahwa walimah diadakan setelah suami menggauli istrinya. Hal ini sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu untuk mengadakan walimah setelah menggauli istrinya. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, أصبح النبي – صلى الله عليه وسلم – عروسًا بزينب فدعا القوم فأصابوا من الطعام “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, pada pagi hari bersama Zainab sebagai pengantin baru, beliau mengundang orang-orang dan mereka menikmati makanan.” [8] Pendapat kedua menyatakan bahwa walimah diadakan saat akad nikah. Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa waktu pelaksanaan walimah bersifat fleksibel, mulai dari akad nikah hingga setelah suami menggauli istrinya, karena terdapat riwayat yang sahih dalam kedua hal ini. Selain itu, hari-hari tersebut merupakan hari kebahagiaan dan kegembiraan. Adat dan kebiasaan masyarakat juga memiliki kaitan dalam hal ini. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, واستحب بعض المالكية أن تكون عند البناء ويقع الدخول عقبها، وعليه عمل الناس اليوم “Sebagian ulama Malikiyah menganjurkan agar walimah diadakan pada saat pasangan bersama, dan suami menggauli istrinya setelahnya, dan inilah yang menjadi kebiasaan masyarakat saat ini.” [9] Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. [10] [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** @Fall, 25 Rabiul akhir 1446/ 28 Oktober 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] At-Tamhiid, 10: 182. [2] Al-Muthli’, hal. 328. [3] Lihat Al-Muhalla, 9: 450; Al-Muhadzab, 2: 82; Al-Inshaf, 8: 317. [4] Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad (38: 142-143). Al-Hafizh (Ibnu Hajar) dalam Fath al-Bari (9: 230) mengatakan, “Sanadnya tidak bermasalah.” Dalam sanad tersebut terdapat ‘Abdul Karim bin Salit, yang hanya diriwayatkan oleh dua orang. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitab Ats-Tsiqat (7: 131), dan Al-Hafizh (Ibnu Hajar) menyatakan, “Dia (perawi) yang maqbul (diterima hadisnya).” [5] Ikmalul Mu’lim, 4: 588. [6] HR. Bukhari no. 5085 dan Muslim, 2: 1044. [7] HR. Bukhari no. 5163, 5171, dan Muslim no. 1428. [8] HR. Bukhari no. 5166. [9] Fathul Baari, 9: 230. [10] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 406-412). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.


Daftar Isi Toggle Pengertian WalimahTeks Hadis PertamaKandungan Hadis PertamaKandungan pertama: Hukum mengadakan walimahKandungan kedua: Pihak yang mengadakan walimahKandungan ketiga: Batasan hidangan dalam walimahKandungan keempat: Kapan waktu pelaksanaan walimah? Pengertian Walimah Asal kata “walimah” bermakna “kesempurnaan” dan “pertemuan”. Dikatakan, أولم الرجل “Aulama ar-rajulu’, ketika akal dan budi pekerti seseorang bersatu. Lalu makna ini diadaptasi untuk menyebut hidangan (jamuan) makanan dalam pesta pernikahan karena adanya pertemuan antara mempelai laki-laki dan perempuan, atau pertemuan para wanita di dalamnya, atau karena adanya kumpulan berbagai jenis makanan. Yang dimaksud dengan istilah “walimah” di sini adalah khusus untuk hidangan dalam pesta pernikahan. Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah menukil dari Tsa’lab dan lainnya dari ahli bahasa bahwa “walimah” adalah istilah khusus untuk makanan dalam pesta pernikahan dan tidak digunakan untuk selainnya. [1] Beberapa ahli fikih berpendapat bahwa “walimah” mencakup semua jenis makanan yang disiapkan untuk merayakan kebahagiaan dan kegembiraan, seperti menyambut orang yang datang dari safar (perjalanan jauh), atau makanan untuk akikah, namun penggunaan istilah “walimah”  ini lebih sering merujuk pada hidangan makanan pesta pernikahan. Ibnu Muflih al-Hanbali rahimahullah berkata, وقول أهل اللغة أَوْلى؛ لأنهم أهل اللسان، وأعرف بموضوعات اللغة “Pendapat ahli bahasa lebih utama, karena mereka adalah ahli dalam bahasa dan lebih memahami makna-makna bahasa.” [2] Oleh karena itu, penggunaan umum istilah “walimah” merujuk pada pesta pernikahan atau walimatul urs. Jika digunakan untuk acara (maksud) lain, harus ada keterangan tambahan, seperti “walimah khitan” (pesta sunatan) atau “walimah kedatangan dari perjalanan”, dan sejenisnya yang dikenal oleh orang Arab. Sehingga jika disebut “walimah” saja tanpa ada tambahan keterangan lain, maka maksudnya adalah walimatul urs. Dalam walimah terdapat banyak manfaat dan faedah, berupa pengumuman pernikahan dengan berkumpulnya orang-orang, serta terdapat pula unsur silaturahmi dengan keluarga, kerabat, dan tetangga, memberi makan kepada fakir miskin, serta memberikan kebahagiaan kepada istri, keluarga, dan kerabat-kerabatnya. Dalam serial tulisan ini, penulis akan membahas hukum-hukum fikih terkait walimah, yang diambil dari hadis-hadis yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah di kitab Bulughul Maram. Adapun syarah (penjelasan) hadis-hadis tersebut, kami sarikan dari penjelasan Syekh Abdullah Al-Fauzan di kitab beliau, Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram. Teks Hadis Pertama Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَنَّ النَّبِيّ – صلى الله عليه وسلم – رَأَى عَلَى عَبْدِ الرّحْمنِ بنِ عَوْفٍ أثَرَ صُفْرَةٍ فَقَال:  مَا هذَا؟ ، قَال: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي تَزَوّجْتُ امْرَأَةً عَلَى وَزْنِ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبِ، قَال:  فَبَارَكَ اللهُ لَكَ، أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat tanda kuning pada ‘Abdurrahman bin ‘Auf, lalu beliau bertanya, ‘Apa ini?’ ‘Abdurrahman menjawab, ‘Wahai Rasulullah, saya baru saja menikahi seorang wanita dengan mahar berupa emas seberat biji kurma.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Semoga Allah memberkahimu. Adakanlah walimah, meskipun hanya dengan seekor kambing.'” (HR. Bukhari no. 5155 dan Muslim no. 1427) Kandungan Hadis Pertama Kandungan pertama: Hukum mengadakan walimah Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama tentang disyariatkannya mengadakan walimah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan dan menganjurkannya. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukum wajibnya mengadakan walimah menjadi dua pendapat: Pendapat pertama: Hukum mengadakan walimah itu dianjurkan (sunah), dan ini adalah pendapat mayoritas (jumhur) ulama. Mereka berpendapat demikian karena walimah adalah hidangan (jamuan) yang diadakan untuk merayakan sebuah kebahagiaan, sehingga menyerupai hidangan lainnya, seperti makanan untuk menyambut kedatangan dari safar (perjalanan jauh) dan sejenisnya. Selain itu, tidak ada dalil yang secara tegas mewajibkannya. Hadis dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu ini tidak menunjukkan kewajiban secara jelas, karena Rasulullah hanya memerintahkan untuk menyembelih seekor kambing, yang menurut kesepakatan ulama tidak wajib. Maka, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, أَوْلِمْ “Adakanlah walimah’; dipahami sebagai perintah anjuran (sunah). Pendapat kedua: Hukum mengadakan walimah itu wajib. Ini adalah pendapat madzhab Zhahiriyah, dan juga merupakan salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’i. Penulis kitab Al-Inshaf menyebutkan dari Imam Ahmad rahimahullah bahwa beliau berkata, تجب ولو بشاة “(Mengadakan walimah) itu wajib, meskipun hanya dengan seekor kambing”; karena adanya perintah. Hal ini juga dikatakan oleh Ibnu ‘Aqil rahimahullah. [3] Mereka berdalil dengan beberapa argumentasi berikut ini: Argumentasi pertama: Hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu untuk mengadakan walimah, dan perintah tersebut menunjukkan hukum wajib (sebagaimana dalam kaidah ushul fikih). Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan sahabat ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu untuk tetap mengadakan walimah meskipun telah menyetubuhi istrinya. Argumentasi kedua: Hadis Buraidah radhiyallahu ‘anhu yang berkata bahwa ketika ‘Ali melamar Fathimah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنه لا بد للعرس -وفي رواية: للعروس- من وليمة “Harus diadakan walimatul urs.” [4] Pendapat yang lebih kuat: Pendapat yang menyatakan bahwa hukum mengadakan walimah itu wajib (pendapat kedua) adalah pendapat yang kuat. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkannya kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf dan tidak ada indikator yang memalingkannya dari hukum wajib; dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkannya, meskipun dengan hidangan yang mudah didapat (sederhana). Oleh karena itu, yang lebih hati-hati bagi yang mampu adalah tidak meninggalkan walimah sebagai bentuk ketaatan kepada perintah, meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan untuk memperoleh manfaat dan faedah besar yang telah disebutkan sebelumnya. Ulama yang menyatakan tidak wajib beralasan bahwa tidak ada batasan kadar (hidangan atau makanan) tertentu untuk walimah yang ditetapkan oleh syariat, sehingga hal ini menunjukkan bahwa mengadakan walimah itu tidak wajib. Anggapan ini bisa dibantah bahwa hal itu tidak berarti bahwa tidak ada kewajiban mengadakan walimah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah dengan daging, dengan roti, dan juga memerintahkan untuk menyembelih kambing, yang menunjukkan bahwa ada kelonggaran dalam pelaksanaan walimah. Sebagaimana terdapat kewajiban bagi suami untuk memberikan nafkah, dan syariat tidak memberikan batasan tertentu kadar nafkah tersebut, namun dikembalikan kepada norma dan kebiasaan masyarakat (‘urf) setempat dan kebutuhan masing-masing keluarga. Demikian pula walimah. Baca juga: Bila Di Undang Ke Walimah Nikah Kandungan kedua: Pihak yang mengadakan walimah Hadis ini menunjukkan bahwa walimah itu disyariatkan, dan itu berasal dari pihak suami, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada ‘Abdurrahman ‘Auf, أَوْلِمْ “Adakanlah walimah”; dan beliau tidak memerintahkan pihak keluarga istri. Hal ini karena nikmat bagi suami lebih besar daripada bagi istri, karena biasanya pihak laki-laki yang menginginkan pernikahan. Adapun jika walimah tersebut diadakan oleh pihak keluarga istri, maka tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut. Kandungan ketiga: Batasan hidangan dalam walimah Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah menyebutkan adanya ijmak (kesepakatan ulama) bahwa tidak ada batasan tertentu untuk jumlah dan jenis makanan yang dihidangkan dalam walimah [5]. Walimah sudah dianggap sah (baca: sehingga dapat menggugurkan kewajiban) dengan makanan apa pun yang disajikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah untuk pernikahan beliau dengan Shafiyyah radhiyallahu ‘anha dengan menyajikan aqith (keju kering), lemak, dan kurma [6], serta walimah untuk pernikahan beliau dengan Zainab radhiyallahu ‘anha dengan menyajikan roti dan daging [7]. Pendapat yang lebih tepat, wallahu Ta’ala a’lam, bahwa jumlah (dan jenis) makanan dalam walimah itu disesuaikan dengan ‘urf (kebiasaan) masyarakat setempat. Hal ini karena walimah termasuk dalam kategori nafkah yang dapat bervariasi berdasarkan waktu dan tempat. Maka, tidak ada batasan hidangan tertentu dalam walimah, dan walimah dapat berbeda-beda tergantung kondisi ekonomi suami. Namun, syaratnya adalah tidak boleh sampai derajat berlebih-lebihan atau untuk bermegah-megahan, seperti yang lazim terjadi di zaman sekarang. Bagi yang mampu, boleh mengadakan walimah dengan dua atau tiga ekor kambing sebagai bentuk kesempurnaan. Sementara bagi yang kurang mampu, cukup dengan makanan dan minuman yang mudah didapatkan dan sederhana, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah untuk Shafiyyah radhiyallahu ‘anha tanpa menyajikan daging. Karena pada saat itu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah saat kondisi safar. Kandungan keempat: Kapan waktu pelaksanaan walimah? Para ulama berbeda pendapat mengenai waktu pelaksanaan walimah. Kebanyakan riwayat menunjukkan bahwa walimah diadakan setelah suami menggauli istrinya. Hal ini sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu untuk mengadakan walimah setelah menggauli istrinya. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, أصبح النبي – صلى الله عليه وسلم – عروسًا بزينب فدعا القوم فأصابوا من الطعام “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, pada pagi hari bersama Zainab sebagai pengantin baru, beliau mengundang orang-orang dan mereka menikmati makanan.” [8] Pendapat kedua menyatakan bahwa walimah diadakan saat akad nikah. Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa waktu pelaksanaan walimah bersifat fleksibel, mulai dari akad nikah hingga setelah suami menggauli istrinya, karena terdapat riwayat yang sahih dalam kedua hal ini. Selain itu, hari-hari tersebut merupakan hari kebahagiaan dan kegembiraan. Adat dan kebiasaan masyarakat juga memiliki kaitan dalam hal ini. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, واستحب بعض المالكية أن تكون عند البناء ويقع الدخول عقبها، وعليه عمل الناس اليوم “Sebagian ulama Malikiyah menganjurkan agar walimah diadakan pada saat pasangan bersama, dan suami menggauli istrinya setelahnya, dan inilah yang menjadi kebiasaan masyarakat saat ini.” [9] Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. [10] [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** @Fall, 25 Rabiul akhir 1446/ 28 Oktober 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] At-Tamhiid, 10: 182. [2] Al-Muthli’, hal. 328. [3] Lihat Al-Muhalla, 9: 450; Al-Muhadzab, 2: 82; Al-Inshaf, 8: 317. [4] Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad (38: 142-143). Al-Hafizh (Ibnu Hajar) dalam Fath al-Bari (9: 230) mengatakan, “Sanadnya tidak bermasalah.” Dalam sanad tersebut terdapat ‘Abdul Karim bin Salit, yang hanya diriwayatkan oleh dua orang. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitab Ats-Tsiqat (7: 131), dan Al-Hafizh (Ibnu Hajar) menyatakan, “Dia (perawi) yang maqbul (diterima hadisnya).” [5] Ikmalul Mu’lim, 4: 588. [6] HR. Bukhari no. 5085 dan Muslim, 2: 1044. [7] HR. Bukhari no. 5163, 5171, dan Muslim no. 1428. [8] HR. Bukhari no. 5166. [9] Fathul Baari, 9: 230. [10] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 406-412). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Prev     Next