Asas Dakwah dan Menghadapi Perselisihan (Bag. 4): Berlaku Adil dan Tidak Melupakan Jasa

Daftar Isi TogglePentingnya menyadari kelebihan orang lain dalam hubungan manusiaMelupakan kebaikan saat berselisih adalah akhlak Abu LahabMengingat kebaikan orang lain saat berselisih adalah akhlak orang salehSikap adil adalah memperinci suatu perkaraEratnya interaksi tidak menjamin masing-masing pihak selamat dari perselisihan dan pertengkaran. Justru seringnya interaksi berselarasan dengan meningkatnya potensi perselisihan. Hal ini mudah kita temukan dalam keseharian, yakni di pertemanan, bahkan yayasan atau kelembagaan dakwah. Sehingga pada akhirnya jasa di antara satu sama lain dilupakan. Padahal betapa besar hubungan timbal balik dan manfaat yang dihasilkan kedua belah pihak. Namun, karena satu permasalahan yang tidak disikapi dengan hikmah, akhirnya berdampak pada perpecahan.Sikap adil dan tidak melupakan jasa orang lain menjadi sangat penting dalam masa fitnah. Karena seringkali ketika terjadi perselisihan, yang banyak mempengaruhi keputusan bukanlah akal sehat, tetapi perasaan amarah. Maka, perlu bagi seorang untuk adil dalam menyikapi realita yang ada.Ahlus sunnah adalah orang yang terdepan dalam keadilan, sebagaimana perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah,وأهل السنة والإيمان يعلمون الحق، ويرحمون الخلق، ويتبعون الرسول فلا يبتدعون، ومن اجتهد فأخطأ خطأ يعذره فيه الرسول عذروه …. والله يحب الكلام بعلم وعدل، ويكره الكلام بجهل وظلم“Ahlus sunnah dan iman paling mengetahui kebenaran, menyayangi makhluk, dan mengikuti Rasul, sehingga mereka tidak melakukan bidah. Barangsiapa yang berijtihad dan melakukan kesalahan yang kemudian dimaafkan oleh Rasul, maka mereka pun memaafkannya. Dan Allah mencintai berbicara dengan ilmu dan keadilan, dan membenci berbicara dengan kebodohan dan kezaliman.” (Majmu’ Fatawa, 16: 96)Pentingnya menyadari kelebihan orang lain dalam hubungan manusiaSetelah seseorang memahami hakikat manusia pasti mengecewakan (tulisan bag. 3), nilai lain yang perlu diingat oleh seseorang adalah bahwa setiap manusia pasti memiliki kelebihan atau bahkan jasa pada dirinya, terlebih dalam interaksi yang lebih intim dan erat. Atas dasar itu, ia hendaknya mengingat kebaikan dan keutamaan orang lain tersebut agar amarah atau perasaan tidak sukanya hilang. Semisal dalam ayat dan hadis tentang hubungan suami-istri seorang mukmin.Allah ﷻ berfirman,وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا“Dan pergaulilah istrimu dengan (akhlak yang) baik. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allâh menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’: 19)Rasulullah ﷺ bersabda,لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ“Janganlah seorang mukmin benci kepada seorang wanita mukminah (istrinya). Jika ia membenci sebuah sikap (akhlak) istrinya, maka ia akan rida dengan sikapnya (akhlaknya) yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)Melihat kebaikan dan jasa seseorang adalah pondasi dalam interaksi yang erat, semisal suami-istri. Hubungan suami-istri adalah konteks hubungan yang sangat erat dan intim, tidak ada batasan di antara keduanya sama sekali. Tentu interaksinya melebihi dari rekan sekantor atau bahkan teman pengajian. Jika dalam hubungan seperti ini Allah dan Rasul-Nya mewasiatkan untuk melihat kebaikan satu sama lain sebagai solusi menjaga keharmonisan hubungan, apalagi dalam interaksi yang tidak lebih intim daripada itu.Melupakan kebaikan saat berselisih adalah akhlak Abu LahabTerdapat fenomena ketika terjadi perselisihan, maka gugurlah semua tali persaudaraan dan seluruh kenangan baik yang pernah dibuat bersama. Ungkapan cinta dan momen kebersamaan dalam ketaatan menjadi sirna dan berganti menjadi celaan, cacian, dan makian. Ketahuilah bahwa ini adalah sikap dari seorang yang berada di atas kesesatan seperti Abu Lahab.Abu Lahab adalah orang yang sangat membanggakan kelahiran Nabi ﷺ. Bahkan Abu Lahab sampai membebaskan budaknya, Tsuwayba [1], ketika mengabarkan ke orang-orang bahwa Muhammad telah lahir. Namun, tatkala terjadi perbedaan dalam masalah pokok keyakinannya, maka Abu Lahab menjadi pembenci Nabi ﷺ nomor satu. Semua pertalian kekeluargaan dan kebanggaan yang tersemat kepada keponakannya itu sirna sudah sebab kebencian pada substansi yang Nabi ﷺ bawa dalam dakwahnya, yaitu dakwah tauhid.Mengingat kebaikan orang lain saat berselisih adalah akhlak orang salehSebaliknya, Nabi ﷺ adalah orang yang paling adil dalam bersikap. Tatkala Abu Thalib wafat, Nabi ﷺ tetap berusaha untuk mendoakan kebaikan bagi paman terkasihnya itu. Padahal Abu Thalib mati dalam keadaan kafir, tetapi jasanya dalam dakwah Nabi ﷺ tidak begitu saja dilupakan. Bahkan Allah ﷻ menghargainya dengan diringankan azabnya. Ini adalah keteladanan bersikap adil; menengahkan rahmat, tanpa menggadaikan prinsip agama.Teladan lain adalah Imam Ahmad rahimahullah tatkala menghadapi fitnah “khalqil Qur’an”. Penguasa pada zaman tersebut memenjarakan semua ulama yang menyelisihinya dalam akidah “Al-Qur’an adalah makhluk”. Imam Ahmad tetap teguh dengan keyakinan Al-Qur’an Kalamullah dan meyakini bahwa keyakinan “Al-Qur’an adalah makhluk” adalah kekufuran. Namun, Imam Ahmad tidak mengkafirkan para khalifah yang berkeyakinan dan menghukumnya itu.Begitupula dengan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah tatkala menyikapi fitnah khalifah bengis Al-Hajjaj bin Yusuf. Beliau telah melihat kezaliman Al-Hajjaj saat itu, bahkan murid-murid Al-Hasan telah meminta beliau untuk menitahkan pemberontakan atau protes. Al-Hasan adalah ulama besar di zaman itu, andai beliau mau menitahkan pergerakan, maka akan banyak massa yang mengikuti. Namun, kebijaksanaan Al-Hasan menahan dirinya untuk menggerakkan massa, malah justru meminta jemaahnya bersabar.Teladan itu juga datang dari Ibnu Taimiyah yang sempat dipenjara oleh Sultan karena hasutan seorang ulama ahli bidah. Namun, ketika sang Sultan mengetahui bahwa ulama ahli bidah itu bermuka dua, justru Ibnu Taimiyah yang ditawarkan untuk memberikan fatwa memenjarakan ulama tersebut. Namun, Ibnu Taimiyah tidak melakukannya, justru memberi pemaafan atas ulama tersebut. [2]Begitupula, sebagaimana diriwayatkan Ibnul Qayyim rahimahullah, ketika wafatnya seorang ulama yang begitu keras menyelisihi Ibnu Taimiyah. Bukannya Ibnu Taimiyah bersyukur mendengar kabar yang disampaikan muridnya, justru beliau bergegas ke rumah ulama tersebut untuk memberikan jaminan kepada anak-anak ulama yang menyelisihinya itu. (Madarijus Salikin, 2: 329)Sikap adil adalah memperinci suatu perkaraSemua keteladanan dari Nabi ﷺ dan para Salafus Shalih adalah bentuk pengamalan dari bersikap adil. Karena yang dimaksudkan keadilan adalah merincikan permasalahan antara pembahasan hukum dan pembahasan pelakunya, sebagaimana yang dijelaskan Syaikh Fathi Al-Maushuli hafizhahullah,التفريق في الحكم بين المقالة وقائلها، وبين المخالفة والمخالف، فعند الحكم على المقالة فلابد من التأصيل، وعند الحكم على القائل لابد من التفصيل“Membedakan hukum antara perkataan dan yang mengatakan, dan antara pelanggaran dengan pelanggarnya. Termasuk ketika menetapkan hukum mengenai perkataan, hendaknya menetapkan hukum asalnya. Sedangkan ketika menetapkan hukum mengenai yang mengatakan, hendaknya menetapkan hukum perinciannya.” (Ushul Naqd Al-Mukhallif, hal. 15-18, dalam Adab Al-Ikhtilaf Bainas Sahabah, hal. 130)Termasuk yang dirincikan adalah bagaimana kedudukan permasalah tersebut? Mengenai pokok agama atau ranah ijtihad? Bagaimana konsekuensinya? Maka, ini adalah bentuk keadilan dari seorang ahlus sunnah. Dengan mengenali level permasalahannya, seseorang akan mengetahui sikap yang tepat dalam menyikapi permasalahan tersebut. (Mukhtashar Ushul Naqd Al-Mukhallif, hal. 12)Hal yang termasuk dirincikan adalah mengetahui kedudukan orang yang dikritisi tanpa meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Ini adalah kaidah yang disebutkan Ibnu Taimiyah,لكن دين الإسلام إنما يتم بأمرين: أحدهما: معرفة فضل الأئمة وحقوقهم ومقاديرهم، وترك كل ما يجر إلى ثلمهم. والثاني: النصيحة الله سبحانه ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم، وإبانة ما أنزل الله – سبحانه – من البينات والهدى“Akan tetapi, agama Islam itu sempurna dengan dua perkara. Pertama, mengenal keutamaan para imam (ulama) dan hak-hak mereka serta kedudukan mereka, dan meninggalkan segala sesuatu yang bisa mengurangi kehormatan mereka. Kedua, memberi nasihat karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin kaum Muslimin dan umat Islam secara umum, serta menjelaskan apa yang telah Allah turunkan berupa bukti-bukti yang nyata dan petunjuk.” (Al-Fatawa Al-Kubra, 6: 92)Hal ini diteladankan Nabi ﷺ saat menerangkan sifat Khawarij, yakni mereka memiliki kualitas zahir ibadah yang bagus, tetapi pemikirannya rusak. Nabi ﷺ memberikan pujian terbatas, tetapi beliau memberikan peringatan yang juga keras.Oleh karena itu, seorang muslim hendaknya mengedepankan nilai keadilan saat berdakwah dan berselisih. Dengan bersikap adil, seorang muslim akan menjadi bijak dalam memilih pembahasan dan cara bertutur sesuai dengan objek dakwahnya. Begitupula ketika berselisih, seorang muslim tidak mudah mengkafirkan, mengecap ahli bidah, atau mengeluarkan seseorang dari ahlus sunnah.Bukan pula sikap adil ini disebut sebagai manhaj bunglon. Akan tetapi, sikap adil seperti ini adalah sikap yang diambil para salafus shalih. Mereka melakukannya bukan dalam rangka ingin menyenangkan semua pihak, tetapi karena mereka sadar bahwa setiap perkataannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah ﷻ.Maka, ini jadi pertanyaan bagi kita, sudah benarkah niat kita dalam berdakwah dan menyampaikan Al-Haq?? Sudah benarkah metode yang kita gunakan dan siapkah kita mempertanggungjawabkannya? Sudahkah kita menjadi bagian penyeru kepada sunah ataukah justru kita membuat orang lari dari kecintaan pada sunah?Semoga Allah ﷻ senantiasa membimbing kita untuk beragama dengan manhaj yang benar dan diridai-Nya.[Bersambung]Kembali ke bagian 3 Lanjut ke bagian 5***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Referensi:أدب الاختلاف بين الصحابة وأثره على الواقع الإسلامي المعاصر karya Syaikh Saad bin Sayyid bin Quthb hafizhahullah.Al-Bahits Al-Hadits dari sunnah.oneMadarijus Salikin via islamweb.netAtsar Ibnu Taimiyah fi Mukhalifihi oleh Tim Salaf Center binaan Dr. Hamad bin Abdul Jalil Al-Baridi via salafcenter.orgUshul Naqd Al-Mukhalifihi, karya Syaikh Fathi Al-Maushuli hafizhahullah. Diringkas oleh Faris Al-Mishry hafizhahullahMajmu’ Fatawa, karya Ibnu Taimiyah rahimahullahAl-Fatawa Al-Kubro, karya Ibnu Taimiyah rahimahullah Catatan kaki:[1] Penukilan kisah Abu Lahab membebaskan Tsuwayba adalah untuk menunjukkan bahwa Abu Lahab sebagai seorang paman turut bahagia ketika Nabi Muhammad ﷺ lahir. Adapun status khabarnya adalah mursal perkataan Urwah rahimahullah yang diriwayatkan Al-Bukhari dengan no. 5101. Riwayat ini dinukilkan beberapa kitab sirah (sejarah), tetapi tidak dalam rangka menerangkan konsekuensi amal kebaikan seorang kafir. Para ulama menerangkan bahwa kebahagiaan Abu Lahab adalah kebahagiaan thabi’i atas kelahiran kerabatnya. Adapun Abu Lahab memerdekakan Tsuwayba karena rasa bahagia ini pun dikritisi para ulama sirah. Namun, Abu Lahab memang memberikan kesempatan kepada Tsuwayba untuk menyusui Nabi Muhammad ﷺ. Untuk pembahasan lebih lanjut silahkan mengecek artikel berikut: https://islamqa.info/ar/answers/139986/ dan https://majles.alukah.net/showthread.php?t=96622[2] Terdapat dua kisah semisal yakni dengan Ali bin Yakub Al-Bakri As-Sufi (referensi: https://saaid.org/Minute/m93.htm) dan kisah dipenjaranya Ibnu Taimiyah oleh Sultan Ibnu Qalawun atas fitnah sekelompok ulama sufi (referensi: Kitab Atsar Ibnu Taimiyah fi Mukhalifihi: https://salafcenter.org/9658/#_ftn8)

Asas Dakwah dan Menghadapi Perselisihan (Bag. 4): Berlaku Adil dan Tidak Melupakan Jasa

Daftar Isi TogglePentingnya menyadari kelebihan orang lain dalam hubungan manusiaMelupakan kebaikan saat berselisih adalah akhlak Abu LahabMengingat kebaikan orang lain saat berselisih adalah akhlak orang salehSikap adil adalah memperinci suatu perkaraEratnya interaksi tidak menjamin masing-masing pihak selamat dari perselisihan dan pertengkaran. Justru seringnya interaksi berselarasan dengan meningkatnya potensi perselisihan. Hal ini mudah kita temukan dalam keseharian, yakni di pertemanan, bahkan yayasan atau kelembagaan dakwah. Sehingga pada akhirnya jasa di antara satu sama lain dilupakan. Padahal betapa besar hubungan timbal balik dan manfaat yang dihasilkan kedua belah pihak. Namun, karena satu permasalahan yang tidak disikapi dengan hikmah, akhirnya berdampak pada perpecahan.Sikap adil dan tidak melupakan jasa orang lain menjadi sangat penting dalam masa fitnah. Karena seringkali ketika terjadi perselisihan, yang banyak mempengaruhi keputusan bukanlah akal sehat, tetapi perasaan amarah. Maka, perlu bagi seorang untuk adil dalam menyikapi realita yang ada.Ahlus sunnah adalah orang yang terdepan dalam keadilan, sebagaimana perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah,وأهل السنة والإيمان يعلمون الحق، ويرحمون الخلق، ويتبعون الرسول فلا يبتدعون، ومن اجتهد فأخطأ خطأ يعذره فيه الرسول عذروه …. والله يحب الكلام بعلم وعدل، ويكره الكلام بجهل وظلم“Ahlus sunnah dan iman paling mengetahui kebenaran, menyayangi makhluk, dan mengikuti Rasul, sehingga mereka tidak melakukan bidah. Barangsiapa yang berijtihad dan melakukan kesalahan yang kemudian dimaafkan oleh Rasul, maka mereka pun memaafkannya. Dan Allah mencintai berbicara dengan ilmu dan keadilan, dan membenci berbicara dengan kebodohan dan kezaliman.” (Majmu’ Fatawa, 16: 96)Pentingnya menyadari kelebihan orang lain dalam hubungan manusiaSetelah seseorang memahami hakikat manusia pasti mengecewakan (tulisan bag. 3), nilai lain yang perlu diingat oleh seseorang adalah bahwa setiap manusia pasti memiliki kelebihan atau bahkan jasa pada dirinya, terlebih dalam interaksi yang lebih intim dan erat. Atas dasar itu, ia hendaknya mengingat kebaikan dan keutamaan orang lain tersebut agar amarah atau perasaan tidak sukanya hilang. Semisal dalam ayat dan hadis tentang hubungan suami-istri seorang mukmin.Allah ﷻ berfirman,وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا“Dan pergaulilah istrimu dengan (akhlak yang) baik. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allâh menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’: 19)Rasulullah ﷺ bersabda,لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ“Janganlah seorang mukmin benci kepada seorang wanita mukminah (istrinya). Jika ia membenci sebuah sikap (akhlak) istrinya, maka ia akan rida dengan sikapnya (akhlaknya) yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)Melihat kebaikan dan jasa seseorang adalah pondasi dalam interaksi yang erat, semisal suami-istri. Hubungan suami-istri adalah konteks hubungan yang sangat erat dan intim, tidak ada batasan di antara keduanya sama sekali. Tentu interaksinya melebihi dari rekan sekantor atau bahkan teman pengajian. Jika dalam hubungan seperti ini Allah dan Rasul-Nya mewasiatkan untuk melihat kebaikan satu sama lain sebagai solusi menjaga keharmonisan hubungan, apalagi dalam interaksi yang tidak lebih intim daripada itu.Melupakan kebaikan saat berselisih adalah akhlak Abu LahabTerdapat fenomena ketika terjadi perselisihan, maka gugurlah semua tali persaudaraan dan seluruh kenangan baik yang pernah dibuat bersama. Ungkapan cinta dan momen kebersamaan dalam ketaatan menjadi sirna dan berganti menjadi celaan, cacian, dan makian. Ketahuilah bahwa ini adalah sikap dari seorang yang berada di atas kesesatan seperti Abu Lahab.Abu Lahab adalah orang yang sangat membanggakan kelahiran Nabi ﷺ. Bahkan Abu Lahab sampai membebaskan budaknya, Tsuwayba [1], ketika mengabarkan ke orang-orang bahwa Muhammad telah lahir. Namun, tatkala terjadi perbedaan dalam masalah pokok keyakinannya, maka Abu Lahab menjadi pembenci Nabi ﷺ nomor satu. Semua pertalian kekeluargaan dan kebanggaan yang tersemat kepada keponakannya itu sirna sudah sebab kebencian pada substansi yang Nabi ﷺ bawa dalam dakwahnya, yaitu dakwah tauhid.Mengingat kebaikan orang lain saat berselisih adalah akhlak orang salehSebaliknya, Nabi ﷺ adalah orang yang paling adil dalam bersikap. Tatkala Abu Thalib wafat, Nabi ﷺ tetap berusaha untuk mendoakan kebaikan bagi paman terkasihnya itu. Padahal Abu Thalib mati dalam keadaan kafir, tetapi jasanya dalam dakwah Nabi ﷺ tidak begitu saja dilupakan. Bahkan Allah ﷻ menghargainya dengan diringankan azabnya. Ini adalah keteladanan bersikap adil; menengahkan rahmat, tanpa menggadaikan prinsip agama.Teladan lain adalah Imam Ahmad rahimahullah tatkala menghadapi fitnah “khalqil Qur’an”. Penguasa pada zaman tersebut memenjarakan semua ulama yang menyelisihinya dalam akidah “Al-Qur’an adalah makhluk”. Imam Ahmad tetap teguh dengan keyakinan Al-Qur’an Kalamullah dan meyakini bahwa keyakinan “Al-Qur’an adalah makhluk” adalah kekufuran. Namun, Imam Ahmad tidak mengkafirkan para khalifah yang berkeyakinan dan menghukumnya itu.Begitupula dengan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah tatkala menyikapi fitnah khalifah bengis Al-Hajjaj bin Yusuf. Beliau telah melihat kezaliman Al-Hajjaj saat itu, bahkan murid-murid Al-Hasan telah meminta beliau untuk menitahkan pemberontakan atau protes. Al-Hasan adalah ulama besar di zaman itu, andai beliau mau menitahkan pergerakan, maka akan banyak massa yang mengikuti. Namun, kebijaksanaan Al-Hasan menahan dirinya untuk menggerakkan massa, malah justru meminta jemaahnya bersabar.Teladan itu juga datang dari Ibnu Taimiyah yang sempat dipenjara oleh Sultan karena hasutan seorang ulama ahli bidah. Namun, ketika sang Sultan mengetahui bahwa ulama ahli bidah itu bermuka dua, justru Ibnu Taimiyah yang ditawarkan untuk memberikan fatwa memenjarakan ulama tersebut. Namun, Ibnu Taimiyah tidak melakukannya, justru memberi pemaafan atas ulama tersebut. [2]Begitupula, sebagaimana diriwayatkan Ibnul Qayyim rahimahullah, ketika wafatnya seorang ulama yang begitu keras menyelisihi Ibnu Taimiyah. Bukannya Ibnu Taimiyah bersyukur mendengar kabar yang disampaikan muridnya, justru beliau bergegas ke rumah ulama tersebut untuk memberikan jaminan kepada anak-anak ulama yang menyelisihinya itu. (Madarijus Salikin, 2: 329)Sikap adil adalah memperinci suatu perkaraSemua keteladanan dari Nabi ﷺ dan para Salafus Shalih adalah bentuk pengamalan dari bersikap adil. Karena yang dimaksudkan keadilan adalah merincikan permasalahan antara pembahasan hukum dan pembahasan pelakunya, sebagaimana yang dijelaskan Syaikh Fathi Al-Maushuli hafizhahullah,التفريق في الحكم بين المقالة وقائلها، وبين المخالفة والمخالف، فعند الحكم على المقالة فلابد من التأصيل، وعند الحكم على القائل لابد من التفصيل“Membedakan hukum antara perkataan dan yang mengatakan, dan antara pelanggaran dengan pelanggarnya. Termasuk ketika menetapkan hukum mengenai perkataan, hendaknya menetapkan hukum asalnya. Sedangkan ketika menetapkan hukum mengenai yang mengatakan, hendaknya menetapkan hukum perinciannya.” (Ushul Naqd Al-Mukhallif, hal. 15-18, dalam Adab Al-Ikhtilaf Bainas Sahabah, hal. 130)Termasuk yang dirincikan adalah bagaimana kedudukan permasalah tersebut? Mengenai pokok agama atau ranah ijtihad? Bagaimana konsekuensinya? Maka, ini adalah bentuk keadilan dari seorang ahlus sunnah. Dengan mengenali level permasalahannya, seseorang akan mengetahui sikap yang tepat dalam menyikapi permasalahan tersebut. (Mukhtashar Ushul Naqd Al-Mukhallif, hal. 12)Hal yang termasuk dirincikan adalah mengetahui kedudukan orang yang dikritisi tanpa meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Ini adalah kaidah yang disebutkan Ibnu Taimiyah,لكن دين الإسلام إنما يتم بأمرين: أحدهما: معرفة فضل الأئمة وحقوقهم ومقاديرهم، وترك كل ما يجر إلى ثلمهم. والثاني: النصيحة الله سبحانه ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم، وإبانة ما أنزل الله – سبحانه – من البينات والهدى“Akan tetapi, agama Islam itu sempurna dengan dua perkara. Pertama, mengenal keutamaan para imam (ulama) dan hak-hak mereka serta kedudukan mereka, dan meninggalkan segala sesuatu yang bisa mengurangi kehormatan mereka. Kedua, memberi nasihat karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin kaum Muslimin dan umat Islam secara umum, serta menjelaskan apa yang telah Allah turunkan berupa bukti-bukti yang nyata dan petunjuk.” (Al-Fatawa Al-Kubra, 6: 92)Hal ini diteladankan Nabi ﷺ saat menerangkan sifat Khawarij, yakni mereka memiliki kualitas zahir ibadah yang bagus, tetapi pemikirannya rusak. Nabi ﷺ memberikan pujian terbatas, tetapi beliau memberikan peringatan yang juga keras.Oleh karena itu, seorang muslim hendaknya mengedepankan nilai keadilan saat berdakwah dan berselisih. Dengan bersikap adil, seorang muslim akan menjadi bijak dalam memilih pembahasan dan cara bertutur sesuai dengan objek dakwahnya. Begitupula ketika berselisih, seorang muslim tidak mudah mengkafirkan, mengecap ahli bidah, atau mengeluarkan seseorang dari ahlus sunnah.Bukan pula sikap adil ini disebut sebagai manhaj bunglon. Akan tetapi, sikap adil seperti ini adalah sikap yang diambil para salafus shalih. Mereka melakukannya bukan dalam rangka ingin menyenangkan semua pihak, tetapi karena mereka sadar bahwa setiap perkataannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah ﷻ.Maka, ini jadi pertanyaan bagi kita, sudah benarkah niat kita dalam berdakwah dan menyampaikan Al-Haq?? Sudah benarkah metode yang kita gunakan dan siapkah kita mempertanggungjawabkannya? Sudahkah kita menjadi bagian penyeru kepada sunah ataukah justru kita membuat orang lari dari kecintaan pada sunah?Semoga Allah ﷻ senantiasa membimbing kita untuk beragama dengan manhaj yang benar dan diridai-Nya.[Bersambung]Kembali ke bagian 3 Lanjut ke bagian 5***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Referensi:أدب الاختلاف بين الصحابة وأثره على الواقع الإسلامي المعاصر karya Syaikh Saad bin Sayyid bin Quthb hafizhahullah.Al-Bahits Al-Hadits dari sunnah.oneMadarijus Salikin via islamweb.netAtsar Ibnu Taimiyah fi Mukhalifihi oleh Tim Salaf Center binaan Dr. Hamad bin Abdul Jalil Al-Baridi via salafcenter.orgUshul Naqd Al-Mukhalifihi, karya Syaikh Fathi Al-Maushuli hafizhahullah. Diringkas oleh Faris Al-Mishry hafizhahullahMajmu’ Fatawa, karya Ibnu Taimiyah rahimahullahAl-Fatawa Al-Kubro, karya Ibnu Taimiyah rahimahullah Catatan kaki:[1] Penukilan kisah Abu Lahab membebaskan Tsuwayba adalah untuk menunjukkan bahwa Abu Lahab sebagai seorang paman turut bahagia ketika Nabi Muhammad ﷺ lahir. Adapun status khabarnya adalah mursal perkataan Urwah rahimahullah yang diriwayatkan Al-Bukhari dengan no. 5101. Riwayat ini dinukilkan beberapa kitab sirah (sejarah), tetapi tidak dalam rangka menerangkan konsekuensi amal kebaikan seorang kafir. Para ulama menerangkan bahwa kebahagiaan Abu Lahab adalah kebahagiaan thabi’i atas kelahiran kerabatnya. Adapun Abu Lahab memerdekakan Tsuwayba karena rasa bahagia ini pun dikritisi para ulama sirah. Namun, Abu Lahab memang memberikan kesempatan kepada Tsuwayba untuk menyusui Nabi Muhammad ﷺ. Untuk pembahasan lebih lanjut silahkan mengecek artikel berikut: https://islamqa.info/ar/answers/139986/ dan https://majles.alukah.net/showthread.php?t=96622[2] Terdapat dua kisah semisal yakni dengan Ali bin Yakub Al-Bakri As-Sufi (referensi: https://saaid.org/Minute/m93.htm) dan kisah dipenjaranya Ibnu Taimiyah oleh Sultan Ibnu Qalawun atas fitnah sekelompok ulama sufi (referensi: Kitab Atsar Ibnu Taimiyah fi Mukhalifihi: https://salafcenter.org/9658/#_ftn8)
Daftar Isi TogglePentingnya menyadari kelebihan orang lain dalam hubungan manusiaMelupakan kebaikan saat berselisih adalah akhlak Abu LahabMengingat kebaikan orang lain saat berselisih adalah akhlak orang salehSikap adil adalah memperinci suatu perkaraEratnya interaksi tidak menjamin masing-masing pihak selamat dari perselisihan dan pertengkaran. Justru seringnya interaksi berselarasan dengan meningkatnya potensi perselisihan. Hal ini mudah kita temukan dalam keseharian, yakni di pertemanan, bahkan yayasan atau kelembagaan dakwah. Sehingga pada akhirnya jasa di antara satu sama lain dilupakan. Padahal betapa besar hubungan timbal balik dan manfaat yang dihasilkan kedua belah pihak. Namun, karena satu permasalahan yang tidak disikapi dengan hikmah, akhirnya berdampak pada perpecahan.Sikap adil dan tidak melupakan jasa orang lain menjadi sangat penting dalam masa fitnah. Karena seringkali ketika terjadi perselisihan, yang banyak mempengaruhi keputusan bukanlah akal sehat, tetapi perasaan amarah. Maka, perlu bagi seorang untuk adil dalam menyikapi realita yang ada.Ahlus sunnah adalah orang yang terdepan dalam keadilan, sebagaimana perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah,وأهل السنة والإيمان يعلمون الحق، ويرحمون الخلق، ويتبعون الرسول فلا يبتدعون، ومن اجتهد فأخطأ خطأ يعذره فيه الرسول عذروه …. والله يحب الكلام بعلم وعدل، ويكره الكلام بجهل وظلم“Ahlus sunnah dan iman paling mengetahui kebenaran, menyayangi makhluk, dan mengikuti Rasul, sehingga mereka tidak melakukan bidah. Barangsiapa yang berijtihad dan melakukan kesalahan yang kemudian dimaafkan oleh Rasul, maka mereka pun memaafkannya. Dan Allah mencintai berbicara dengan ilmu dan keadilan, dan membenci berbicara dengan kebodohan dan kezaliman.” (Majmu’ Fatawa, 16: 96)Pentingnya menyadari kelebihan orang lain dalam hubungan manusiaSetelah seseorang memahami hakikat manusia pasti mengecewakan (tulisan bag. 3), nilai lain yang perlu diingat oleh seseorang adalah bahwa setiap manusia pasti memiliki kelebihan atau bahkan jasa pada dirinya, terlebih dalam interaksi yang lebih intim dan erat. Atas dasar itu, ia hendaknya mengingat kebaikan dan keutamaan orang lain tersebut agar amarah atau perasaan tidak sukanya hilang. Semisal dalam ayat dan hadis tentang hubungan suami-istri seorang mukmin.Allah ﷻ berfirman,وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا“Dan pergaulilah istrimu dengan (akhlak yang) baik. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allâh menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’: 19)Rasulullah ﷺ bersabda,لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ“Janganlah seorang mukmin benci kepada seorang wanita mukminah (istrinya). Jika ia membenci sebuah sikap (akhlak) istrinya, maka ia akan rida dengan sikapnya (akhlaknya) yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)Melihat kebaikan dan jasa seseorang adalah pondasi dalam interaksi yang erat, semisal suami-istri. Hubungan suami-istri adalah konteks hubungan yang sangat erat dan intim, tidak ada batasan di antara keduanya sama sekali. Tentu interaksinya melebihi dari rekan sekantor atau bahkan teman pengajian. Jika dalam hubungan seperti ini Allah dan Rasul-Nya mewasiatkan untuk melihat kebaikan satu sama lain sebagai solusi menjaga keharmonisan hubungan, apalagi dalam interaksi yang tidak lebih intim daripada itu.Melupakan kebaikan saat berselisih adalah akhlak Abu LahabTerdapat fenomena ketika terjadi perselisihan, maka gugurlah semua tali persaudaraan dan seluruh kenangan baik yang pernah dibuat bersama. Ungkapan cinta dan momen kebersamaan dalam ketaatan menjadi sirna dan berganti menjadi celaan, cacian, dan makian. Ketahuilah bahwa ini adalah sikap dari seorang yang berada di atas kesesatan seperti Abu Lahab.Abu Lahab adalah orang yang sangat membanggakan kelahiran Nabi ﷺ. Bahkan Abu Lahab sampai membebaskan budaknya, Tsuwayba [1], ketika mengabarkan ke orang-orang bahwa Muhammad telah lahir. Namun, tatkala terjadi perbedaan dalam masalah pokok keyakinannya, maka Abu Lahab menjadi pembenci Nabi ﷺ nomor satu. Semua pertalian kekeluargaan dan kebanggaan yang tersemat kepada keponakannya itu sirna sudah sebab kebencian pada substansi yang Nabi ﷺ bawa dalam dakwahnya, yaitu dakwah tauhid.Mengingat kebaikan orang lain saat berselisih adalah akhlak orang salehSebaliknya, Nabi ﷺ adalah orang yang paling adil dalam bersikap. Tatkala Abu Thalib wafat, Nabi ﷺ tetap berusaha untuk mendoakan kebaikan bagi paman terkasihnya itu. Padahal Abu Thalib mati dalam keadaan kafir, tetapi jasanya dalam dakwah Nabi ﷺ tidak begitu saja dilupakan. Bahkan Allah ﷻ menghargainya dengan diringankan azabnya. Ini adalah keteladanan bersikap adil; menengahkan rahmat, tanpa menggadaikan prinsip agama.Teladan lain adalah Imam Ahmad rahimahullah tatkala menghadapi fitnah “khalqil Qur’an”. Penguasa pada zaman tersebut memenjarakan semua ulama yang menyelisihinya dalam akidah “Al-Qur’an adalah makhluk”. Imam Ahmad tetap teguh dengan keyakinan Al-Qur’an Kalamullah dan meyakini bahwa keyakinan “Al-Qur’an adalah makhluk” adalah kekufuran. Namun, Imam Ahmad tidak mengkafirkan para khalifah yang berkeyakinan dan menghukumnya itu.Begitupula dengan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah tatkala menyikapi fitnah khalifah bengis Al-Hajjaj bin Yusuf. Beliau telah melihat kezaliman Al-Hajjaj saat itu, bahkan murid-murid Al-Hasan telah meminta beliau untuk menitahkan pemberontakan atau protes. Al-Hasan adalah ulama besar di zaman itu, andai beliau mau menitahkan pergerakan, maka akan banyak massa yang mengikuti. Namun, kebijaksanaan Al-Hasan menahan dirinya untuk menggerakkan massa, malah justru meminta jemaahnya bersabar.Teladan itu juga datang dari Ibnu Taimiyah yang sempat dipenjara oleh Sultan karena hasutan seorang ulama ahli bidah. Namun, ketika sang Sultan mengetahui bahwa ulama ahli bidah itu bermuka dua, justru Ibnu Taimiyah yang ditawarkan untuk memberikan fatwa memenjarakan ulama tersebut. Namun, Ibnu Taimiyah tidak melakukannya, justru memberi pemaafan atas ulama tersebut. [2]Begitupula, sebagaimana diriwayatkan Ibnul Qayyim rahimahullah, ketika wafatnya seorang ulama yang begitu keras menyelisihi Ibnu Taimiyah. Bukannya Ibnu Taimiyah bersyukur mendengar kabar yang disampaikan muridnya, justru beliau bergegas ke rumah ulama tersebut untuk memberikan jaminan kepada anak-anak ulama yang menyelisihinya itu. (Madarijus Salikin, 2: 329)Sikap adil adalah memperinci suatu perkaraSemua keteladanan dari Nabi ﷺ dan para Salafus Shalih adalah bentuk pengamalan dari bersikap adil. Karena yang dimaksudkan keadilan adalah merincikan permasalahan antara pembahasan hukum dan pembahasan pelakunya, sebagaimana yang dijelaskan Syaikh Fathi Al-Maushuli hafizhahullah,التفريق في الحكم بين المقالة وقائلها، وبين المخالفة والمخالف، فعند الحكم على المقالة فلابد من التأصيل، وعند الحكم على القائل لابد من التفصيل“Membedakan hukum antara perkataan dan yang mengatakan, dan antara pelanggaran dengan pelanggarnya. Termasuk ketika menetapkan hukum mengenai perkataan, hendaknya menetapkan hukum asalnya. Sedangkan ketika menetapkan hukum mengenai yang mengatakan, hendaknya menetapkan hukum perinciannya.” (Ushul Naqd Al-Mukhallif, hal. 15-18, dalam Adab Al-Ikhtilaf Bainas Sahabah, hal. 130)Termasuk yang dirincikan adalah bagaimana kedudukan permasalah tersebut? Mengenai pokok agama atau ranah ijtihad? Bagaimana konsekuensinya? Maka, ini adalah bentuk keadilan dari seorang ahlus sunnah. Dengan mengenali level permasalahannya, seseorang akan mengetahui sikap yang tepat dalam menyikapi permasalahan tersebut. (Mukhtashar Ushul Naqd Al-Mukhallif, hal. 12)Hal yang termasuk dirincikan adalah mengetahui kedudukan orang yang dikritisi tanpa meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Ini adalah kaidah yang disebutkan Ibnu Taimiyah,لكن دين الإسلام إنما يتم بأمرين: أحدهما: معرفة فضل الأئمة وحقوقهم ومقاديرهم، وترك كل ما يجر إلى ثلمهم. والثاني: النصيحة الله سبحانه ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم، وإبانة ما أنزل الله – سبحانه – من البينات والهدى“Akan tetapi, agama Islam itu sempurna dengan dua perkara. Pertama, mengenal keutamaan para imam (ulama) dan hak-hak mereka serta kedudukan mereka, dan meninggalkan segala sesuatu yang bisa mengurangi kehormatan mereka. Kedua, memberi nasihat karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin kaum Muslimin dan umat Islam secara umum, serta menjelaskan apa yang telah Allah turunkan berupa bukti-bukti yang nyata dan petunjuk.” (Al-Fatawa Al-Kubra, 6: 92)Hal ini diteladankan Nabi ﷺ saat menerangkan sifat Khawarij, yakni mereka memiliki kualitas zahir ibadah yang bagus, tetapi pemikirannya rusak. Nabi ﷺ memberikan pujian terbatas, tetapi beliau memberikan peringatan yang juga keras.Oleh karena itu, seorang muslim hendaknya mengedepankan nilai keadilan saat berdakwah dan berselisih. Dengan bersikap adil, seorang muslim akan menjadi bijak dalam memilih pembahasan dan cara bertutur sesuai dengan objek dakwahnya. Begitupula ketika berselisih, seorang muslim tidak mudah mengkafirkan, mengecap ahli bidah, atau mengeluarkan seseorang dari ahlus sunnah.Bukan pula sikap adil ini disebut sebagai manhaj bunglon. Akan tetapi, sikap adil seperti ini adalah sikap yang diambil para salafus shalih. Mereka melakukannya bukan dalam rangka ingin menyenangkan semua pihak, tetapi karena mereka sadar bahwa setiap perkataannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah ﷻ.Maka, ini jadi pertanyaan bagi kita, sudah benarkah niat kita dalam berdakwah dan menyampaikan Al-Haq?? Sudah benarkah metode yang kita gunakan dan siapkah kita mempertanggungjawabkannya? Sudahkah kita menjadi bagian penyeru kepada sunah ataukah justru kita membuat orang lari dari kecintaan pada sunah?Semoga Allah ﷻ senantiasa membimbing kita untuk beragama dengan manhaj yang benar dan diridai-Nya.[Bersambung]Kembali ke bagian 3 Lanjut ke bagian 5***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Referensi:أدب الاختلاف بين الصحابة وأثره على الواقع الإسلامي المعاصر karya Syaikh Saad bin Sayyid bin Quthb hafizhahullah.Al-Bahits Al-Hadits dari sunnah.oneMadarijus Salikin via islamweb.netAtsar Ibnu Taimiyah fi Mukhalifihi oleh Tim Salaf Center binaan Dr. Hamad bin Abdul Jalil Al-Baridi via salafcenter.orgUshul Naqd Al-Mukhalifihi, karya Syaikh Fathi Al-Maushuli hafizhahullah. Diringkas oleh Faris Al-Mishry hafizhahullahMajmu’ Fatawa, karya Ibnu Taimiyah rahimahullahAl-Fatawa Al-Kubro, karya Ibnu Taimiyah rahimahullah Catatan kaki:[1] Penukilan kisah Abu Lahab membebaskan Tsuwayba adalah untuk menunjukkan bahwa Abu Lahab sebagai seorang paman turut bahagia ketika Nabi Muhammad ﷺ lahir. Adapun status khabarnya adalah mursal perkataan Urwah rahimahullah yang diriwayatkan Al-Bukhari dengan no. 5101. Riwayat ini dinukilkan beberapa kitab sirah (sejarah), tetapi tidak dalam rangka menerangkan konsekuensi amal kebaikan seorang kafir. Para ulama menerangkan bahwa kebahagiaan Abu Lahab adalah kebahagiaan thabi’i atas kelahiran kerabatnya. Adapun Abu Lahab memerdekakan Tsuwayba karena rasa bahagia ini pun dikritisi para ulama sirah. Namun, Abu Lahab memang memberikan kesempatan kepada Tsuwayba untuk menyusui Nabi Muhammad ﷺ. Untuk pembahasan lebih lanjut silahkan mengecek artikel berikut: https://islamqa.info/ar/answers/139986/ dan https://majles.alukah.net/showthread.php?t=96622[2] Terdapat dua kisah semisal yakni dengan Ali bin Yakub Al-Bakri As-Sufi (referensi: https://saaid.org/Minute/m93.htm) dan kisah dipenjaranya Ibnu Taimiyah oleh Sultan Ibnu Qalawun atas fitnah sekelompok ulama sufi (referensi: Kitab Atsar Ibnu Taimiyah fi Mukhalifihi: https://salafcenter.org/9658/#_ftn8)


Daftar Isi TogglePentingnya menyadari kelebihan orang lain dalam hubungan manusiaMelupakan kebaikan saat berselisih adalah akhlak Abu LahabMengingat kebaikan orang lain saat berselisih adalah akhlak orang salehSikap adil adalah memperinci suatu perkaraEratnya interaksi tidak menjamin masing-masing pihak selamat dari perselisihan dan pertengkaran. Justru seringnya interaksi berselarasan dengan meningkatnya potensi perselisihan. Hal ini mudah kita temukan dalam keseharian, yakni di pertemanan, bahkan yayasan atau kelembagaan dakwah. Sehingga pada akhirnya jasa di antara satu sama lain dilupakan. Padahal betapa besar hubungan timbal balik dan manfaat yang dihasilkan kedua belah pihak. Namun, karena satu permasalahan yang tidak disikapi dengan hikmah, akhirnya berdampak pada perpecahan.Sikap adil dan tidak melupakan jasa orang lain menjadi sangat penting dalam masa fitnah. Karena seringkali ketika terjadi perselisihan, yang banyak mempengaruhi keputusan bukanlah akal sehat, tetapi perasaan amarah. Maka, perlu bagi seorang untuk adil dalam menyikapi realita yang ada.Ahlus sunnah adalah orang yang terdepan dalam keadilan, sebagaimana perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah,وأهل السنة والإيمان يعلمون الحق، ويرحمون الخلق، ويتبعون الرسول فلا يبتدعون، ومن اجتهد فأخطأ خطأ يعذره فيه الرسول عذروه …. والله يحب الكلام بعلم وعدل، ويكره الكلام بجهل وظلم“Ahlus sunnah dan iman paling mengetahui kebenaran, menyayangi makhluk, dan mengikuti Rasul, sehingga mereka tidak melakukan bidah. Barangsiapa yang berijtihad dan melakukan kesalahan yang kemudian dimaafkan oleh Rasul, maka mereka pun memaafkannya. Dan Allah mencintai berbicara dengan ilmu dan keadilan, dan membenci berbicara dengan kebodohan dan kezaliman.” (Majmu’ Fatawa, 16: 96)Pentingnya menyadari kelebihan orang lain dalam hubungan manusiaSetelah seseorang memahami hakikat manusia pasti mengecewakan (tulisan bag. 3), nilai lain yang perlu diingat oleh seseorang adalah bahwa setiap manusia pasti memiliki kelebihan atau bahkan jasa pada dirinya, terlebih dalam interaksi yang lebih intim dan erat. Atas dasar itu, ia hendaknya mengingat kebaikan dan keutamaan orang lain tersebut agar amarah atau perasaan tidak sukanya hilang. Semisal dalam ayat dan hadis tentang hubungan suami-istri seorang mukmin.Allah ﷻ berfirman,وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا“Dan pergaulilah istrimu dengan (akhlak yang) baik. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allâh menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’: 19)Rasulullah ﷺ bersabda,لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ“Janganlah seorang mukmin benci kepada seorang wanita mukminah (istrinya). Jika ia membenci sebuah sikap (akhlak) istrinya, maka ia akan rida dengan sikapnya (akhlaknya) yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)Melihat kebaikan dan jasa seseorang adalah pondasi dalam interaksi yang erat, semisal suami-istri. Hubungan suami-istri adalah konteks hubungan yang sangat erat dan intim, tidak ada batasan di antara keduanya sama sekali. Tentu interaksinya melebihi dari rekan sekantor atau bahkan teman pengajian. Jika dalam hubungan seperti ini Allah dan Rasul-Nya mewasiatkan untuk melihat kebaikan satu sama lain sebagai solusi menjaga keharmonisan hubungan, apalagi dalam interaksi yang tidak lebih intim daripada itu.Melupakan kebaikan saat berselisih adalah akhlak Abu LahabTerdapat fenomena ketika terjadi perselisihan, maka gugurlah semua tali persaudaraan dan seluruh kenangan baik yang pernah dibuat bersama. Ungkapan cinta dan momen kebersamaan dalam ketaatan menjadi sirna dan berganti menjadi celaan, cacian, dan makian. Ketahuilah bahwa ini adalah sikap dari seorang yang berada di atas kesesatan seperti Abu Lahab.Abu Lahab adalah orang yang sangat membanggakan kelahiran Nabi ﷺ. Bahkan Abu Lahab sampai membebaskan budaknya, Tsuwayba [1], ketika mengabarkan ke orang-orang bahwa Muhammad telah lahir. Namun, tatkala terjadi perbedaan dalam masalah pokok keyakinannya, maka Abu Lahab menjadi pembenci Nabi ﷺ nomor satu. Semua pertalian kekeluargaan dan kebanggaan yang tersemat kepada keponakannya itu sirna sudah sebab kebencian pada substansi yang Nabi ﷺ bawa dalam dakwahnya, yaitu dakwah tauhid.Mengingat kebaikan orang lain saat berselisih adalah akhlak orang salehSebaliknya, Nabi ﷺ adalah orang yang paling adil dalam bersikap. Tatkala Abu Thalib wafat, Nabi ﷺ tetap berusaha untuk mendoakan kebaikan bagi paman terkasihnya itu. Padahal Abu Thalib mati dalam keadaan kafir, tetapi jasanya dalam dakwah Nabi ﷺ tidak begitu saja dilupakan. Bahkan Allah ﷻ menghargainya dengan diringankan azabnya. Ini adalah keteladanan bersikap adil; menengahkan rahmat, tanpa menggadaikan prinsip agama.Teladan lain adalah Imam Ahmad rahimahullah tatkala menghadapi fitnah “khalqil Qur’an”. Penguasa pada zaman tersebut memenjarakan semua ulama yang menyelisihinya dalam akidah “Al-Qur’an adalah makhluk”. Imam Ahmad tetap teguh dengan keyakinan Al-Qur’an Kalamullah dan meyakini bahwa keyakinan “Al-Qur’an adalah makhluk” adalah kekufuran. Namun, Imam Ahmad tidak mengkafirkan para khalifah yang berkeyakinan dan menghukumnya itu.Begitupula dengan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah tatkala menyikapi fitnah khalifah bengis Al-Hajjaj bin Yusuf. Beliau telah melihat kezaliman Al-Hajjaj saat itu, bahkan murid-murid Al-Hasan telah meminta beliau untuk menitahkan pemberontakan atau protes. Al-Hasan adalah ulama besar di zaman itu, andai beliau mau menitahkan pergerakan, maka akan banyak massa yang mengikuti. Namun, kebijaksanaan Al-Hasan menahan dirinya untuk menggerakkan massa, malah justru meminta jemaahnya bersabar.Teladan itu juga datang dari Ibnu Taimiyah yang sempat dipenjara oleh Sultan karena hasutan seorang ulama ahli bidah. Namun, ketika sang Sultan mengetahui bahwa ulama ahli bidah itu bermuka dua, justru Ibnu Taimiyah yang ditawarkan untuk memberikan fatwa memenjarakan ulama tersebut. Namun, Ibnu Taimiyah tidak melakukannya, justru memberi pemaafan atas ulama tersebut. [2]Begitupula, sebagaimana diriwayatkan Ibnul Qayyim rahimahullah, ketika wafatnya seorang ulama yang begitu keras menyelisihi Ibnu Taimiyah. Bukannya Ibnu Taimiyah bersyukur mendengar kabar yang disampaikan muridnya, justru beliau bergegas ke rumah ulama tersebut untuk memberikan jaminan kepada anak-anak ulama yang menyelisihinya itu. (Madarijus Salikin, 2: 329)Sikap adil adalah memperinci suatu perkaraSemua keteladanan dari Nabi ﷺ dan para Salafus Shalih adalah bentuk pengamalan dari bersikap adil. Karena yang dimaksudkan keadilan adalah merincikan permasalahan antara pembahasan hukum dan pembahasan pelakunya, sebagaimana yang dijelaskan Syaikh Fathi Al-Maushuli hafizhahullah,التفريق في الحكم بين المقالة وقائلها، وبين المخالفة والمخالف، فعند الحكم على المقالة فلابد من التأصيل، وعند الحكم على القائل لابد من التفصيل“Membedakan hukum antara perkataan dan yang mengatakan, dan antara pelanggaran dengan pelanggarnya. Termasuk ketika menetapkan hukum mengenai perkataan, hendaknya menetapkan hukum asalnya. Sedangkan ketika menetapkan hukum mengenai yang mengatakan, hendaknya menetapkan hukum perinciannya.” (Ushul Naqd Al-Mukhallif, hal. 15-18, dalam Adab Al-Ikhtilaf Bainas Sahabah, hal. 130)Termasuk yang dirincikan adalah bagaimana kedudukan permasalah tersebut? Mengenai pokok agama atau ranah ijtihad? Bagaimana konsekuensinya? Maka, ini adalah bentuk keadilan dari seorang ahlus sunnah. Dengan mengenali level permasalahannya, seseorang akan mengetahui sikap yang tepat dalam menyikapi permasalahan tersebut. (Mukhtashar Ushul Naqd Al-Mukhallif, hal. 12)Hal yang termasuk dirincikan adalah mengetahui kedudukan orang yang dikritisi tanpa meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Ini adalah kaidah yang disebutkan Ibnu Taimiyah,لكن دين الإسلام إنما يتم بأمرين: أحدهما: معرفة فضل الأئمة وحقوقهم ومقاديرهم، وترك كل ما يجر إلى ثلمهم. والثاني: النصيحة الله سبحانه ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم، وإبانة ما أنزل الله – سبحانه – من البينات والهدى“Akan tetapi, agama Islam itu sempurna dengan dua perkara. Pertama, mengenal keutamaan para imam (ulama) dan hak-hak mereka serta kedudukan mereka, dan meninggalkan segala sesuatu yang bisa mengurangi kehormatan mereka. Kedua, memberi nasihat karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin kaum Muslimin dan umat Islam secara umum, serta menjelaskan apa yang telah Allah turunkan berupa bukti-bukti yang nyata dan petunjuk.” (Al-Fatawa Al-Kubra, 6: 92)Hal ini diteladankan Nabi ﷺ saat menerangkan sifat Khawarij, yakni mereka memiliki kualitas zahir ibadah yang bagus, tetapi pemikirannya rusak. Nabi ﷺ memberikan pujian terbatas, tetapi beliau memberikan peringatan yang juga keras.Oleh karena itu, seorang muslim hendaknya mengedepankan nilai keadilan saat berdakwah dan berselisih. Dengan bersikap adil, seorang muslim akan menjadi bijak dalam memilih pembahasan dan cara bertutur sesuai dengan objek dakwahnya. Begitupula ketika berselisih, seorang muslim tidak mudah mengkafirkan, mengecap ahli bidah, atau mengeluarkan seseorang dari ahlus sunnah.Bukan pula sikap adil ini disebut sebagai manhaj bunglon. Akan tetapi, sikap adil seperti ini adalah sikap yang diambil para salafus shalih. Mereka melakukannya bukan dalam rangka ingin menyenangkan semua pihak, tetapi karena mereka sadar bahwa setiap perkataannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah ﷻ.Maka, ini jadi pertanyaan bagi kita, sudah benarkah niat kita dalam berdakwah dan menyampaikan Al-Haq?? Sudah benarkah metode yang kita gunakan dan siapkah kita mempertanggungjawabkannya? Sudahkah kita menjadi bagian penyeru kepada sunah ataukah justru kita membuat orang lari dari kecintaan pada sunah?Semoga Allah ﷻ senantiasa membimbing kita untuk beragama dengan manhaj yang benar dan diridai-Nya.[Bersambung]Kembali ke bagian 3 Lanjut ke bagian 5***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Referensi:أدب الاختلاف بين الصحابة وأثره على الواقع الإسلامي المعاصر karya Syaikh Saad bin Sayyid bin Quthb hafizhahullah.Al-Bahits Al-Hadits dari sunnah.oneMadarijus Salikin via islamweb.netAtsar Ibnu Taimiyah fi Mukhalifihi oleh Tim Salaf Center binaan Dr. Hamad bin Abdul Jalil Al-Baridi via salafcenter.orgUshul Naqd Al-Mukhalifihi, karya Syaikh Fathi Al-Maushuli hafizhahullah. Diringkas oleh Faris Al-Mishry hafizhahullahMajmu’ Fatawa, karya Ibnu Taimiyah rahimahullahAl-Fatawa Al-Kubro, karya Ibnu Taimiyah rahimahullah Catatan kaki:[1] Penukilan kisah Abu Lahab membebaskan Tsuwayba adalah untuk menunjukkan bahwa Abu Lahab sebagai seorang paman turut bahagia ketika Nabi Muhammad ﷺ lahir. Adapun status khabarnya adalah mursal perkataan Urwah rahimahullah yang diriwayatkan Al-Bukhari dengan no. 5101. Riwayat ini dinukilkan beberapa kitab sirah (sejarah), tetapi tidak dalam rangka menerangkan konsekuensi amal kebaikan seorang kafir. Para ulama menerangkan bahwa kebahagiaan Abu Lahab adalah kebahagiaan thabi’i atas kelahiran kerabatnya. Adapun Abu Lahab memerdekakan Tsuwayba karena rasa bahagia ini pun dikritisi para ulama sirah. Namun, Abu Lahab memang memberikan kesempatan kepada Tsuwayba untuk menyusui Nabi Muhammad ﷺ. Untuk pembahasan lebih lanjut silahkan mengecek artikel berikut: https://islamqa.info/ar/answers/139986/ dan https://majles.alukah.net/showthread.php?t=96622[2] Terdapat dua kisah semisal yakni dengan Ali bin Yakub Al-Bakri As-Sufi (referensi: https://saaid.org/Minute/m93.htm) dan kisah dipenjaranya Ibnu Taimiyah oleh Sultan Ibnu Qalawun atas fitnah sekelompok ulama sufi (referensi: Kitab Atsar Ibnu Taimiyah fi Mukhalifihi: https://salafcenter.org/9658/#_ftn8)

Doa Perlindungan Anak Agar Tidak Kena ‘Ain – Syaikh Bin Baz #NasehatUlama

Bagaimana cara melindungi anak-anak dari penyakit ‘ain? Semoga Allah menjaga Anda. Dengan mendoakannya. Katakanlah kepada anak itu: U-’IIDZUKA BIKALIMAATILAAHIT TAAMMAATI MIN SYARRI MAA KHOLAQOAku melindungkan engkau dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari segala keburukan ciptaan-Nya. U-’IIDZUKA BIKALIMAATILAAHIT TAAMMAATI MIN SYARRI MAA KHOLAQ Ucapkan sebanyak tiga kali. Doa ini dapat dibacakan saat anak hendak tidur, di siang hari, atau kapan saja. Dengan doa ini, seseorang memohon perlindungan kepada Allah untuk anaknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dulu memohon perlindungan untuk cucunya: Hasan dan Husain, dengan mengucapkan: U-’IIDZUKUMAA BIKALIMAATILLAAHIT TAAMMAH MIN KULLI SYAITHOONIN WA HAAMMAH WA MIN KULLI ‘AININ LAAMMAH “Aku melindungkan kalian berdua dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari setiap setan dan binatang berbisa, serta dari pandangan mata yang membawa keburukan.” (HR. Abu Daud). Demikianlah doa yang dapat Anda bacakan kepada anak kecil:U-’IIDZUKA…Jika yang didoakan lebih dari satu anak, ucapkan: U-’IIDZUKUM BIKALIMAATILLAAHIT TAAMMAH MIN KULLI SYAITHOONIN WA HAAMMAH WA MIN KULLI ‘AININ LAAMMAH Semoga Allah menjaga Anda. ==== كَيْفَ نَقِيْ الْأَطْفَالَ مِنَ الْعَيْنِ حَفِظَكُمُ اللَّهُ بِالدُّعَاءِ تَقُولُ لِلطِّفْلِ أُعِيذُكَ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ أُعِيذُكَ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ عِنْدَ نَوْمِهِ أَوْ فِي النَّهَارِ أَوْ فِي أَيِّ وَقْتٍ الدُّعَاءُ تَعْوِيْذُهُ بِاللَّهِ كَانَ النَّبِيُّ يُعَوِّذُ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَقُولُ أُعِيْذُكُمَا بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ هَكَذَا أَنْ تَقُولَ تَقُولُ لِلطِّفْلِ أُعِيذُكَ وَإِذَا كَانُوا جَمَاعَةً: أُعِيذُكُمْ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ حَفِظَكُمْ اللَّهُ

Doa Perlindungan Anak Agar Tidak Kena ‘Ain – Syaikh Bin Baz #NasehatUlama

Bagaimana cara melindungi anak-anak dari penyakit ‘ain? Semoga Allah menjaga Anda. Dengan mendoakannya. Katakanlah kepada anak itu: U-’IIDZUKA BIKALIMAATILAAHIT TAAMMAATI MIN SYARRI MAA KHOLAQOAku melindungkan engkau dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari segala keburukan ciptaan-Nya. U-’IIDZUKA BIKALIMAATILAAHIT TAAMMAATI MIN SYARRI MAA KHOLAQ Ucapkan sebanyak tiga kali. Doa ini dapat dibacakan saat anak hendak tidur, di siang hari, atau kapan saja. Dengan doa ini, seseorang memohon perlindungan kepada Allah untuk anaknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dulu memohon perlindungan untuk cucunya: Hasan dan Husain, dengan mengucapkan: U-’IIDZUKUMAA BIKALIMAATILLAAHIT TAAMMAH MIN KULLI SYAITHOONIN WA HAAMMAH WA MIN KULLI ‘AININ LAAMMAH “Aku melindungkan kalian berdua dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari setiap setan dan binatang berbisa, serta dari pandangan mata yang membawa keburukan.” (HR. Abu Daud). Demikianlah doa yang dapat Anda bacakan kepada anak kecil:U-’IIDZUKA…Jika yang didoakan lebih dari satu anak, ucapkan: U-’IIDZUKUM BIKALIMAATILLAAHIT TAAMMAH MIN KULLI SYAITHOONIN WA HAAMMAH WA MIN KULLI ‘AININ LAAMMAH Semoga Allah menjaga Anda. ==== كَيْفَ نَقِيْ الْأَطْفَالَ مِنَ الْعَيْنِ حَفِظَكُمُ اللَّهُ بِالدُّعَاءِ تَقُولُ لِلطِّفْلِ أُعِيذُكَ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ أُعِيذُكَ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ عِنْدَ نَوْمِهِ أَوْ فِي النَّهَارِ أَوْ فِي أَيِّ وَقْتٍ الدُّعَاءُ تَعْوِيْذُهُ بِاللَّهِ كَانَ النَّبِيُّ يُعَوِّذُ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَقُولُ أُعِيْذُكُمَا بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ هَكَذَا أَنْ تَقُولَ تَقُولُ لِلطِّفْلِ أُعِيذُكَ وَإِذَا كَانُوا جَمَاعَةً: أُعِيذُكُمْ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ حَفِظَكُمْ اللَّهُ
Bagaimana cara melindungi anak-anak dari penyakit ‘ain? Semoga Allah menjaga Anda. Dengan mendoakannya. Katakanlah kepada anak itu: U-’IIDZUKA BIKALIMAATILAAHIT TAAMMAATI MIN SYARRI MAA KHOLAQOAku melindungkan engkau dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari segala keburukan ciptaan-Nya. U-’IIDZUKA BIKALIMAATILAAHIT TAAMMAATI MIN SYARRI MAA KHOLAQ Ucapkan sebanyak tiga kali. Doa ini dapat dibacakan saat anak hendak tidur, di siang hari, atau kapan saja. Dengan doa ini, seseorang memohon perlindungan kepada Allah untuk anaknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dulu memohon perlindungan untuk cucunya: Hasan dan Husain, dengan mengucapkan: U-’IIDZUKUMAA BIKALIMAATILLAAHIT TAAMMAH MIN KULLI SYAITHOONIN WA HAAMMAH WA MIN KULLI ‘AININ LAAMMAH “Aku melindungkan kalian berdua dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari setiap setan dan binatang berbisa, serta dari pandangan mata yang membawa keburukan.” (HR. Abu Daud). Demikianlah doa yang dapat Anda bacakan kepada anak kecil:U-’IIDZUKA…Jika yang didoakan lebih dari satu anak, ucapkan: U-’IIDZUKUM BIKALIMAATILLAAHIT TAAMMAH MIN KULLI SYAITHOONIN WA HAAMMAH WA MIN KULLI ‘AININ LAAMMAH Semoga Allah menjaga Anda. ==== كَيْفَ نَقِيْ الْأَطْفَالَ مِنَ الْعَيْنِ حَفِظَكُمُ اللَّهُ بِالدُّعَاءِ تَقُولُ لِلطِّفْلِ أُعِيذُكَ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ أُعِيذُكَ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ عِنْدَ نَوْمِهِ أَوْ فِي النَّهَارِ أَوْ فِي أَيِّ وَقْتٍ الدُّعَاءُ تَعْوِيْذُهُ بِاللَّهِ كَانَ النَّبِيُّ يُعَوِّذُ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَقُولُ أُعِيْذُكُمَا بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ هَكَذَا أَنْ تَقُولَ تَقُولُ لِلطِّفْلِ أُعِيذُكَ وَإِذَا كَانُوا جَمَاعَةً: أُعِيذُكُمْ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ حَفِظَكُمْ اللَّهُ


Bagaimana cara melindungi anak-anak dari penyakit ‘ain? Semoga Allah menjaga Anda. Dengan mendoakannya. Katakanlah kepada anak itu: U-’IIDZUKA BIKALIMAATILAAHIT TAAMMAATI MIN SYARRI MAA KHOLAQOAku melindungkan engkau dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari segala keburukan ciptaan-Nya. U-’IIDZUKA BIKALIMAATILAAHIT TAAMMAATI MIN SYARRI MAA KHOLAQ Ucapkan sebanyak tiga kali. Doa ini dapat dibacakan saat anak hendak tidur, di siang hari, atau kapan saja. Dengan doa ini, seseorang memohon perlindungan kepada Allah untuk anaknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dulu memohon perlindungan untuk cucunya: Hasan dan Husain, dengan mengucapkan: U-’IIDZUKUMAA BIKALIMAATILLAAHIT TAAMMAH MIN KULLI SYAITHOONIN WA HAAMMAH WA MIN KULLI ‘AININ LAAMMAH “Aku melindungkan kalian berdua dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari setiap setan dan binatang berbisa, serta dari pandangan mata yang membawa keburukan.” (HR. Abu Daud). Demikianlah doa yang dapat Anda bacakan kepada anak kecil:U-’IIDZUKA…Jika yang didoakan lebih dari satu anak, ucapkan: U-’IIDZUKUM BIKALIMAATILLAAHIT TAAMMAH MIN KULLI SYAITHOONIN WA HAAMMAH WA MIN KULLI ‘AININ LAAMMAH Semoga Allah menjaga Anda. ==== كَيْفَ نَقِيْ الْأَطْفَالَ مِنَ الْعَيْنِ حَفِظَكُمُ اللَّهُ بِالدُّعَاءِ تَقُولُ لِلطِّفْلِ أُعِيذُكَ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ أُعِيذُكَ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ عِنْدَ نَوْمِهِ أَوْ فِي النَّهَارِ أَوْ فِي أَيِّ وَقْتٍ الدُّعَاءُ تَعْوِيْذُهُ بِاللَّهِ كَانَ النَّبِيُّ يُعَوِّذُ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَقُولُ أُعِيْذُكُمَا بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ هَكَذَا أَنْ تَقُولَ تَقُولُ لِلطِّفْلِ أُعِيذُكَ وَإِذَا كَانُوا جَمَاعَةً: أُعِيذُكُمْ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ حَفِظَكُمْ اللَّهُ

Fikih Utang Piutang (Bag. 2)

Daftar Isi ToggleHukum utang piutangPertama, secara hukum taklifiSisi pemberi utangSisi pengutangKedua, secara hukum wadh’iKetika membahas suatu akad dalam muamalah, kita tentunya tidak bisa lepas dari ketentuan hukumnya. Sebelum lebih dalam mengetahui utang piutang secara detail, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu tentang hukum dari utang piutang itu sendiri.Hukum utang piutang Pembahasan tentang hukum utang piutang dapat dibagi menjadi dua pembahasan utama; secara hukum taklifi dan secara hukum wadh’i.Pertama, secara hukum taklifi Maksudnya adalah utang piutang dilihat dari hukum taklifi, yaitu hukum yang mengandung pembebanan kepada seorang mukallaf. Seperti hukum wajib, sunah, makruh, haram, dan mubah.Dalam hal ini, hukum taklifi terkait masalah utang piutang terbagi menjadi dua sisi:Sisi pemberi utangJika dilihat dari sisi pemberi utang, maka hukum asalnya adalah sunah. Artinya, memberi utang kepada orang yang membutuhkan adalah termasuk amalan yang dianjurkan. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dihasankan oleh Syekh Al-Albani, dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلَّا كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً“Tidaklah seorang Muslim memberi pinjaman kepada Muslim lain dua kali, kecuali seperti sedekahnya yang pertama.” (HR. Ibnu Majah)Pahala yang dijanjikan ketika membantu orang yang kesulitan dari segi finansial tentunya sangat besar. Karenanya, memberikan utang kepada orang yang membutuhkan termasuk amalan saleh dan termasuk dari amalan sunah. Siapa di antara kita yang tidak mau dimudahkan urusannya di dunia dan di akhirat?Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ اْلقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعَسِّرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِيْ الدُّنْيَا وَالآَخِرَةِ“Barangsiapa yang menghilangkan satu kesulitan seorang mukmin yang lain dari kesulitannya di dunia, niscaya Allah akan menghilangkan darinya satu kesulitan pada hari kiamat. Barangsiapa yang meringankan orang yang kesusahan (dalam utangnya), niscaya Allah akan meringankan baginya (urusannya) di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)Seringkali sifat bakhil (pelit) menghalangi seseorang untuk berbuat baik kepada sesama muslim. Kekayaan yang berada di tangannya seolah-olah hanya miliknya dan tidak boleh sedikitpun digunakan oleh orang lain, bahkan saudara atau keluarga yang notabene masih satu aliran darah.Ketika saudaranya datang meminjam uang dikarenakan kebutuhan yang sangat, finansial yang sedang kacau, dan sangat membutuhkan -sampai-sampai saudaranya tersebut rela untuk merendahkan diri di hadapannya agar bisa diberikan pinjaman yang nominalnya tidak seberapa baginya- alih-alih diberikan diberikan pinjaman, yang ada justru ia mengelabui saudaranya dengan berbagai macam alasan. Yang intinya adalah dia tidak mau meminjamkan.Tidakkah engkau ingin dibalas oleh Allah Ta’ala sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam janjikan di atas? Tidakkah engkau ingin senantiasa ditolong oleh Allah dikarenakan menolong saudaramu? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ“Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim)Jika engkau memiliki kekayaan dan Allah memberikan kelebihan atas hartamu, maka menjadi suatu keharusan untukmu membantu saudaramu yang membutuhkan dengan meminjamkan uang untuknya. Tentu hal ini lebih baik, dibanding ia meminta-minta kepada orang lain.Kembali soal hukum taklifi, sejatinya utang piutang dapat berubah hukumnya dari sisi pemberi utang sesuai dengan kondisi yang ada. Adakalanya bisa menjadi wajib, sunah, makruh, haram, dan mubah.Bisa menjadi wajib jika untuk menyelamatkan nyawa, seperti untuk pengobatan yang membutuhkan biaya yang mahal; untuk membeli makanan bagi orang yang kelaparan; atau ketika tidak ada pilihan lain. Seperti seseorang yang diancam untuk menyerahkan suatu harta; kalau tidak, maka akan dibunuh, dan lain sebagainya. Artinya, tidak ada jalan lain kecuali dengan cara meminjamkannya.Dalam kasus di atas, meminjamkan uang menjadi suatu kewajiban. Tentunya, kewajiban ini bagi pemilik harta yang lebih. Sehingga kategori yang mewajibkan seseorang untuk meminjamkan adalah seseorang yang jika ia pinjamkan hartanya kepada orang lain, maka tidak akan membuat si pemberi pinjaman atau keluarganya tersebut kekurangan harta atau jatuh ke dalam kesulitan yang sama atau bahkan lebih parah.Begitu pula bisa menjadi sesuatu yang makruh bahkan haram, jika meminjamkannya menimbulkan suatu ke-mudhorot-an yang lebih besar. Seperti meminjamkan untuk hal-hal yang haram, meminum khamr, bermain judi, berzina, dan lain sebagainya. Atau jika pemberi utang mengetahui kalau si peminjam tidak akan melunasi utang-utangnya, kabur, dan lain sebagainya. Ketika itu, hukumnya bisa menjadi makruh bahkan haram untuk meminjamkannya.Sisi pengutangJika dilihat dari sisi pengutang, maka hukum asalnya adalah mubah jika ia merasa mampu untuk membayarnya dengan perkiraan ia punya sekian harta ke depannya yang bisa diharapkan untuk membayar dan ia bertekad untuk membayar. Jika tidak demikian, maka tidak diperbolehkan untuk meminjam selama tidak darurat.Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu pernah bercerita,أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ الْمُتَوَفَّى عَلَيْهِ الدَّيْنُ فَيَسْأَلُ هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ فَضْلًا فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ لِدَيْنِهِ وَفَاءً صَلَّى وَإِلَّا قَالَ لِلْمُسْلِمِينَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ فَلَمَّا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْفُتُوحَ قَالَ أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّيَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ فَتَرَكَ دَيْنًا فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ“Pernah didatangkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang yang sudah meninggal dunia (jenazah) yang meninggalkan utang. Beliau bertanya, “Apakah dia meninggalkan harta untuk membayar utangnya?” Jika diceritakan bahwa jenazah tersebut meninggalkan sesuatu untuk melunasi utangnya, maka beliau mensalatinya. Jika tidak, maka beliau berkata kepada kaum Muslimin, “Salatilah saudara kalian ini!” Ketika Allah telah membukakan kemenangan kepada beliau di berbagai negeri, beliau bersabda, “Aku lebih utama menjamin untuk orang-orang beriman dibandingkan diri mereka sendiri. Maka siapa saja yang meninggal dunia dari kalangan kaum Mukminin, lalu meninggalkan utang, akulah yang wajib membayarnya. Dan siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya.” (Muttafaqun ‘alaih)Hadis ini menunjukkan pelajaran dari beliau shallallahu ‘alahi wa sallam agar tidak bermudah-mudah dalam berutang.Kedua, secara hukum wadh’iHukum wadh’i dari masalah utang piutang adalah sah hukumnya jika terpenuhi syarat-syaratnya. Jika tidak terpenuhi, maka tidak sah hukumnya.Demikian yang berkaitan dengan hukum utang piutang. Semoga bermanfaat Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3***Depok, 26 Muharam 1447/ 21 Juli 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud.Shahih Fiqh Sunnah (jilid 5), karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim.Al-Mukhtashor fil Mu’amalat, karya Prof. Dr. Khalid bin Ali Al-Musayqih.

Fikih Utang Piutang (Bag. 2)

Daftar Isi ToggleHukum utang piutangPertama, secara hukum taklifiSisi pemberi utangSisi pengutangKedua, secara hukum wadh’iKetika membahas suatu akad dalam muamalah, kita tentunya tidak bisa lepas dari ketentuan hukumnya. Sebelum lebih dalam mengetahui utang piutang secara detail, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu tentang hukum dari utang piutang itu sendiri.Hukum utang piutang Pembahasan tentang hukum utang piutang dapat dibagi menjadi dua pembahasan utama; secara hukum taklifi dan secara hukum wadh’i.Pertama, secara hukum taklifi Maksudnya adalah utang piutang dilihat dari hukum taklifi, yaitu hukum yang mengandung pembebanan kepada seorang mukallaf. Seperti hukum wajib, sunah, makruh, haram, dan mubah.Dalam hal ini, hukum taklifi terkait masalah utang piutang terbagi menjadi dua sisi:Sisi pemberi utangJika dilihat dari sisi pemberi utang, maka hukum asalnya adalah sunah. Artinya, memberi utang kepada orang yang membutuhkan adalah termasuk amalan yang dianjurkan. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dihasankan oleh Syekh Al-Albani, dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلَّا كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً“Tidaklah seorang Muslim memberi pinjaman kepada Muslim lain dua kali, kecuali seperti sedekahnya yang pertama.” (HR. Ibnu Majah)Pahala yang dijanjikan ketika membantu orang yang kesulitan dari segi finansial tentunya sangat besar. Karenanya, memberikan utang kepada orang yang membutuhkan termasuk amalan saleh dan termasuk dari amalan sunah. Siapa di antara kita yang tidak mau dimudahkan urusannya di dunia dan di akhirat?Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ اْلقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعَسِّرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِيْ الدُّنْيَا وَالآَخِرَةِ“Barangsiapa yang menghilangkan satu kesulitan seorang mukmin yang lain dari kesulitannya di dunia, niscaya Allah akan menghilangkan darinya satu kesulitan pada hari kiamat. Barangsiapa yang meringankan orang yang kesusahan (dalam utangnya), niscaya Allah akan meringankan baginya (urusannya) di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)Seringkali sifat bakhil (pelit) menghalangi seseorang untuk berbuat baik kepada sesama muslim. Kekayaan yang berada di tangannya seolah-olah hanya miliknya dan tidak boleh sedikitpun digunakan oleh orang lain, bahkan saudara atau keluarga yang notabene masih satu aliran darah.Ketika saudaranya datang meminjam uang dikarenakan kebutuhan yang sangat, finansial yang sedang kacau, dan sangat membutuhkan -sampai-sampai saudaranya tersebut rela untuk merendahkan diri di hadapannya agar bisa diberikan pinjaman yang nominalnya tidak seberapa baginya- alih-alih diberikan diberikan pinjaman, yang ada justru ia mengelabui saudaranya dengan berbagai macam alasan. Yang intinya adalah dia tidak mau meminjamkan.Tidakkah engkau ingin dibalas oleh Allah Ta’ala sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam janjikan di atas? Tidakkah engkau ingin senantiasa ditolong oleh Allah dikarenakan menolong saudaramu? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ“Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim)Jika engkau memiliki kekayaan dan Allah memberikan kelebihan atas hartamu, maka menjadi suatu keharusan untukmu membantu saudaramu yang membutuhkan dengan meminjamkan uang untuknya. Tentu hal ini lebih baik, dibanding ia meminta-minta kepada orang lain.Kembali soal hukum taklifi, sejatinya utang piutang dapat berubah hukumnya dari sisi pemberi utang sesuai dengan kondisi yang ada. Adakalanya bisa menjadi wajib, sunah, makruh, haram, dan mubah.Bisa menjadi wajib jika untuk menyelamatkan nyawa, seperti untuk pengobatan yang membutuhkan biaya yang mahal; untuk membeli makanan bagi orang yang kelaparan; atau ketika tidak ada pilihan lain. Seperti seseorang yang diancam untuk menyerahkan suatu harta; kalau tidak, maka akan dibunuh, dan lain sebagainya. Artinya, tidak ada jalan lain kecuali dengan cara meminjamkannya.Dalam kasus di atas, meminjamkan uang menjadi suatu kewajiban. Tentunya, kewajiban ini bagi pemilik harta yang lebih. Sehingga kategori yang mewajibkan seseorang untuk meminjamkan adalah seseorang yang jika ia pinjamkan hartanya kepada orang lain, maka tidak akan membuat si pemberi pinjaman atau keluarganya tersebut kekurangan harta atau jatuh ke dalam kesulitan yang sama atau bahkan lebih parah.Begitu pula bisa menjadi sesuatu yang makruh bahkan haram, jika meminjamkannya menimbulkan suatu ke-mudhorot-an yang lebih besar. Seperti meminjamkan untuk hal-hal yang haram, meminum khamr, bermain judi, berzina, dan lain sebagainya. Atau jika pemberi utang mengetahui kalau si peminjam tidak akan melunasi utang-utangnya, kabur, dan lain sebagainya. Ketika itu, hukumnya bisa menjadi makruh bahkan haram untuk meminjamkannya.Sisi pengutangJika dilihat dari sisi pengutang, maka hukum asalnya adalah mubah jika ia merasa mampu untuk membayarnya dengan perkiraan ia punya sekian harta ke depannya yang bisa diharapkan untuk membayar dan ia bertekad untuk membayar. Jika tidak demikian, maka tidak diperbolehkan untuk meminjam selama tidak darurat.Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu pernah bercerita,أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ الْمُتَوَفَّى عَلَيْهِ الدَّيْنُ فَيَسْأَلُ هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ فَضْلًا فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ لِدَيْنِهِ وَفَاءً صَلَّى وَإِلَّا قَالَ لِلْمُسْلِمِينَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ فَلَمَّا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْفُتُوحَ قَالَ أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّيَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ فَتَرَكَ دَيْنًا فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ“Pernah didatangkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang yang sudah meninggal dunia (jenazah) yang meninggalkan utang. Beliau bertanya, “Apakah dia meninggalkan harta untuk membayar utangnya?” Jika diceritakan bahwa jenazah tersebut meninggalkan sesuatu untuk melunasi utangnya, maka beliau mensalatinya. Jika tidak, maka beliau berkata kepada kaum Muslimin, “Salatilah saudara kalian ini!” Ketika Allah telah membukakan kemenangan kepada beliau di berbagai negeri, beliau bersabda, “Aku lebih utama menjamin untuk orang-orang beriman dibandingkan diri mereka sendiri. Maka siapa saja yang meninggal dunia dari kalangan kaum Mukminin, lalu meninggalkan utang, akulah yang wajib membayarnya. Dan siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya.” (Muttafaqun ‘alaih)Hadis ini menunjukkan pelajaran dari beliau shallallahu ‘alahi wa sallam agar tidak bermudah-mudah dalam berutang.Kedua, secara hukum wadh’iHukum wadh’i dari masalah utang piutang adalah sah hukumnya jika terpenuhi syarat-syaratnya. Jika tidak terpenuhi, maka tidak sah hukumnya.Demikian yang berkaitan dengan hukum utang piutang. Semoga bermanfaat Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3***Depok, 26 Muharam 1447/ 21 Juli 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud.Shahih Fiqh Sunnah (jilid 5), karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim.Al-Mukhtashor fil Mu’amalat, karya Prof. Dr. Khalid bin Ali Al-Musayqih.
Daftar Isi ToggleHukum utang piutangPertama, secara hukum taklifiSisi pemberi utangSisi pengutangKedua, secara hukum wadh’iKetika membahas suatu akad dalam muamalah, kita tentunya tidak bisa lepas dari ketentuan hukumnya. Sebelum lebih dalam mengetahui utang piutang secara detail, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu tentang hukum dari utang piutang itu sendiri.Hukum utang piutang Pembahasan tentang hukum utang piutang dapat dibagi menjadi dua pembahasan utama; secara hukum taklifi dan secara hukum wadh’i.Pertama, secara hukum taklifi Maksudnya adalah utang piutang dilihat dari hukum taklifi, yaitu hukum yang mengandung pembebanan kepada seorang mukallaf. Seperti hukum wajib, sunah, makruh, haram, dan mubah.Dalam hal ini, hukum taklifi terkait masalah utang piutang terbagi menjadi dua sisi:Sisi pemberi utangJika dilihat dari sisi pemberi utang, maka hukum asalnya adalah sunah. Artinya, memberi utang kepada orang yang membutuhkan adalah termasuk amalan yang dianjurkan. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dihasankan oleh Syekh Al-Albani, dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلَّا كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً“Tidaklah seorang Muslim memberi pinjaman kepada Muslim lain dua kali, kecuali seperti sedekahnya yang pertama.” (HR. Ibnu Majah)Pahala yang dijanjikan ketika membantu orang yang kesulitan dari segi finansial tentunya sangat besar. Karenanya, memberikan utang kepada orang yang membutuhkan termasuk amalan saleh dan termasuk dari amalan sunah. Siapa di antara kita yang tidak mau dimudahkan urusannya di dunia dan di akhirat?Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ اْلقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعَسِّرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِيْ الدُّنْيَا وَالآَخِرَةِ“Barangsiapa yang menghilangkan satu kesulitan seorang mukmin yang lain dari kesulitannya di dunia, niscaya Allah akan menghilangkan darinya satu kesulitan pada hari kiamat. Barangsiapa yang meringankan orang yang kesusahan (dalam utangnya), niscaya Allah akan meringankan baginya (urusannya) di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)Seringkali sifat bakhil (pelit) menghalangi seseorang untuk berbuat baik kepada sesama muslim. Kekayaan yang berada di tangannya seolah-olah hanya miliknya dan tidak boleh sedikitpun digunakan oleh orang lain, bahkan saudara atau keluarga yang notabene masih satu aliran darah.Ketika saudaranya datang meminjam uang dikarenakan kebutuhan yang sangat, finansial yang sedang kacau, dan sangat membutuhkan -sampai-sampai saudaranya tersebut rela untuk merendahkan diri di hadapannya agar bisa diberikan pinjaman yang nominalnya tidak seberapa baginya- alih-alih diberikan diberikan pinjaman, yang ada justru ia mengelabui saudaranya dengan berbagai macam alasan. Yang intinya adalah dia tidak mau meminjamkan.Tidakkah engkau ingin dibalas oleh Allah Ta’ala sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam janjikan di atas? Tidakkah engkau ingin senantiasa ditolong oleh Allah dikarenakan menolong saudaramu? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ“Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim)Jika engkau memiliki kekayaan dan Allah memberikan kelebihan atas hartamu, maka menjadi suatu keharusan untukmu membantu saudaramu yang membutuhkan dengan meminjamkan uang untuknya. Tentu hal ini lebih baik, dibanding ia meminta-minta kepada orang lain.Kembali soal hukum taklifi, sejatinya utang piutang dapat berubah hukumnya dari sisi pemberi utang sesuai dengan kondisi yang ada. Adakalanya bisa menjadi wajib, sunah, makruh, haram, dan mubah.Bisa menjadi wajib jika untuk menyelamatkan nyawa, seperti untuk pengobatan yang membutuhkan biaya yang mahal; untuk membeli makanan bagi orang yang kelaparan; atau ketika tidak ada pilihan lain. Seperti seseorang yang diancam untuk menyerahkan suatu harta; kalau tidak, maka akan dibunuh, dan lain sebagainya. Artinya, tidak ada jalan lain kecuali dengan cara meminjamkannya.Dalam kasus di atas, meminjamkan uang menjadi suatu kewajiban. Tentunya, kewajiban ini bagi pemilik harta yang lebih. Sehingga kategori yang mewajibkan seseorang untuk meminjamkan adalah seseorang yang jika ia pinjamkan hartanya kepada orang lain, maka tidak akan membuat si pemberi pinjaman atau keluarganya tersebut kekurangan harta atau jatuh ke dalam kesulitan yang sama atau bahkan lebih parah.Begitu pula bisa menjadi sesuatu yang makruh bahkan haram, jika meminjamkannya menimbulkan suatu ke-mudhorot-an yang lebih besar. Seperti meminjamkan untuk hal-hal yang haram, meminum khamr, bermain judi, berzina, dan lain sebagainya. Atau jika pemberi utang mengetahui kalau si peminjam tidak akan melunasi utang-utangnya, kabur, dan lain sebagainya. Ketika itu, hukumnya bisa menjadi makruh bahkan haram untuk meminjamkannya.Sisi pengutangJika dilihat dari sisi pengutang, maka hukum asalnya adalah mubah jika ia merasa mampu untuk membayarnya dengan perkiraan ia punya sekian harta ke depannya yang bisa diharapkan untuk membayar dan ia bertekad untuk membayar. Jika tidak demikian, maka tidak diperbolehkan untuk meminjam selama tidak darurat.Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu pernah bercerita,أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ الْمُتَوَفَّى عَلَيْهِ الدَّيْنُ فَيَسْأَلُ هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ فَضْلًا فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ لِدَيْنِهِ وَفَاءً صَلَّى وَإِلَّا قَالَ لِلْمُسْلِمِينَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ فَلَمَّا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْفُتُوحَ قَالَ أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّيَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ فَتَرَكَ دَيْنًا فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ“Pernah didatangkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang yang sudah meninggal dunia (jenazah) yang meninggalkan utang. Beliau bertanya, “Apakah dia meninggalkan harta untuk membayar utangnya?” Jika diceritakan bahwa jenazah tersebut meninggalkan sesuatu untuk melunasi utangnya, maka beliau mensalatinya. Jika tidak, maka beliau berkata kepada kaum Muslimin, “Salatilah saudara kalian ini!” Ketika Allah telah membukakan kemenangan kepada beliau di berbagai negeri, beliau bersabda, “Aku lebih utama menjamin untuk orang-orang beriman dibandingkan diri mereka sendiri. Maka siapa saja yang meninggal dunia dari kalangan kaum Mukminin, lalu meninggalkan utang, akulah yang wajib membayarnya. Dan siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya.” (Muttafaqun ‘alaih)Hadis ini menunjukkan pelajaran dari beliau shallallahu ‘alahi wa sallam agar tidak bermudah-mudah dalam berutang.Kedua, secara hukum wadh’iHukum wadh’i dari masalah utang piutang adalah sah hukumnya jika terpenuhi syarat-syaratnya. Jika tidak terpenuhi, maka tidak sah hukumnya.Demikian yang berkaitan dengan hukum utang piutang. Semoga bermanfaat Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3***Depok, 26 Muharam 1447/ 21 Juli 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud.Shahih Fiqh Sunnah (jilid 5), karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim.Al-Mukhtashor fil Mu’amalat, karya Prof. Dr. Khalid bin Ali Al-Musayqih.


Daftar Isi ToggleHukum utang piutangPertama, secara hukum taklifiSisi pemberi utangSisi pengutangKedua, secara hukum wadh’iKetika membahas suatu akad dalam muamalah, kita tentunya tidak bisa lepas dari ketentuan hukumnya. Sebelum lebih dalam mengetahui utang piutang secara detail, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu tentang hukum dari utang piutang itu sendiri.Hukum utang piutang Pembahasan tentang hukum utang piutang dapat dibagi menjadi dua pembahasan utama; secara hukum taklifi dan secara hukum wadh’i.Pertama, secara hukum taklifi Maksudnya adalah utang piutang dilihat dari hukum taklifi, yaitu hukum yang mengandung pembebanan kepada seorang mukallaf. Seperti hukum wajib, sunah, makruh, haram, dan mubah.Dalam hal ini, hukum taklifi terkait masalah utang piutang terbagi menjadi dua sisi:Sisi pemberi utangJika dilihat dari sisi pemberi utang, maka hukum asalnya adalah sunah. Artinya, memberi utang kepada orang yang membutuhkan adalah termasuk amalan yang dianjurkan. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dihasankan oleh Syekh Al-Albani, dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلَّا كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً“Tidaklah seorang Muslim memberi pinjaman kepada Muslim lain dua kali, kecuali seperti sedekahnya yang pertama.” (HR. Ibnu Majah)Pahala yang dijanjikan ketika membantu orang yang kesulitan dari segi finansial tentunya sangat besar. Karenanya, memberikan utang kepada orang yang membutuhkan termasuk amalan saleh dan termasuk dari amalan sunah. Siapa di antara kita yang tidak mau dimudahkan urusannya di dunia dan di akhirat?Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ اْلقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعَسِّرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِيْ الدُّنْيَا وَالآَخِرَةِ“Barangsiapa yang menghilangkan satu kesulitan seorang mukmin yang lain dari kesulitannya di dunia, niscaya Allah akan menghilangkan darinya satu kesulitan pada hari kiamat. Barangsiapa yang meringankan orang yang kesusahan (dalam utangnya), niscaya Allah akan meringankan baginya (urusannya) di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)Seringkali sifat bakhil (pelit) menghalangi seseorang untuk berbuat baik kepada sesama muslim. Kekayaan yang berada di tangannya seolah-olah hanya miliknya dan tidak boleh sedikitpun digunakan oleh orang lain, bahkan saudara atau keluarga yang notabene masih satu aliran darah.Ketika saudaranya datang meminjam uang dikarenakan kebutuhan yang sangat, finansial yang sedang kacau, dan sangat membutuhkan -sampai-sampai saudaranya tersebut rela untuk merendahkan diri di hadapannya agar bisa diberikan pinjaman yang nominalnya tidak seberapa baginya- alih-alih diberikan diberikan pinjaman, yang ada justru ia mengelabui saudaranya dengan berbagai macam alasan. Yang intinya adalah dia tidak mau meminjamkan.Tidakkah engkau ingin dibalas oleh Allah Ta’ala sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam janjikan di atas? Tidakkah engkau ingin senantiasa ditolong oleh Allah dikarenakan menolong saudaramu? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ“Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim)Jika engkau memiliki kekayaan dan Allah memberikan kelebihan atas hartamu, maka menjadi suatu keharusan untukmu membantu saudaramu yang membutuhkan dengan meminjamkan uang untuknya. Tentu hal ini lebih baik, dibanding ia meminta-minta kepada orang lain.Kembali soal hukum taklifi, sejatinya utang piutang dapat berubah hukumnya dari sisi pemberi utang sesuai dengan kondisi yang ada. Adakalanya bisa menjadi wajib, sunah, makruh, haram, dan mubah.Bisa menjadi wajib jika untuk menyelamatkan nyawa, seperti untuk pengobatan yang membutuhkan biaya yang mahal; untuk membeli makanan bagi orang yang kelaparan; atau ketika tidak ada pilihan lain. Seperti seseorang yang diancam untuk menyerahkan suatu harta; kalau tidak, maka akan dibunuh, dan lain sebagainya. Artinya, tidak ada jalan lain kecuali dengan cara meminjamkannya.Dalam kasus di atas, meminjamkan uang menjadi suatu kewajiban. Tentunya, kewajiban ini bagi pemilik harta yang lebih. Sehingga kategori yang mewajibkan seseorang untuk meminjamkan adalah seseorang yang jika ia pinjamkan hartanya kepada orang lain, maka tidak akan membuat si pemberi pinjaman atau keluarganya tersebut kekurangan harta atau jatuh ke dalam kesulitan yang sama atau bahkan lebih parah.Begitu pula bisa menjadi sesuatu yang makruh bahkan haram, jika meminjamkannya menimbulkan suatu ke-mudhorot-an yang lebih besar. Seperti meminjamkan untuk hal-hal yang haram, meminum khamr, bermain judi, berzina, dan lain sebagainya. Atau jika pemberi utang mengetahui kalau si peminjam tidak akan melunasi utang-utangnya, kabur, dan lain sebagainya. Ketika itu, hukumnya bisa menjadi makruh bahkan haram untuk meminjamkannya.Sisi pengutangJika dilihat dari sisi pengutang, maka hukum asalnya adalah mubah jika ia merasa mampu untuk membayarnya dengan perkiraan ia punya sekian harta ke depannya yang bisa diharapkan untuk membayar dan ia bertekad untuk membayar. Jika tidak demikian, maka tidak diperbolehkan untuk meminjam selama tidak darurat.Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu pernah bercerita,أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ الْمُتَوَفَّى عَلَيْهِ الدَّيْنُ فَيَسْأَلُ هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ فَضْلًا فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ لِدَيْنِهِ وَفَاءً صَلَّى وَإِلَّا قَالَ لِلْمُسْلِمِينَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ فَلَمَّا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْفُتُوحَ قَالَ أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّيَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ فَتَرَكَ دَيْنًا فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ“Pernah didatangkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang yang sudah meninggal dunia (jenazah) yang meninggalkan utang. Beliau bertanya, “Apakah dia meninggalkan harta untuk membayar utangnya?” Jika diceritakan bahwa jenazah tersebut meninggalkan sesuatu untuk melunasi utangnya, maka beliau mensalatinya. Jika tidak, maka beliau berkata kepada kaum Muslimin, “Salatilah saudara kalian ini!” Ketika Allah telah membukakan kemenangan kepada beliau di berbagai negeri, beliau bersabda, “Aku lebih utama menjamin untuk orang-orang beriman dibandingkan diri mereka sendiri. Maka siapa saja yang meninggal dunia dari kalangan kaum Mukminin, lalu meninggalkan utang, akulah yang wajib membayarnya. Dan siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya.” (Muttafaqun ‘alaih)Hadis ini menunjukkan pelajaran dari beliau shallallahu ‘alahi wa sallam agar tidak bermudah-mudah dalam berutang.Kedua, secara hukum wadh’iHukum wadh’i dari masalah utang piutang adalah sah hukumnya jika terpenuhi syarat-syaratnya. Jika tidak terpenuhi, maka tidak sah hukumnya.Demikian yang berkaitan dengan hukum utang piutang. Semoga bermanfaat Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3***Depok, 26 Muharam 1447/ 21 Juli 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud.Shahih Fiqh Sunnah (jilid 5), karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim.Al-Mukhtashor fil Mu’amalat, karya Prof. Dr. Khalid bin Ali Al-Musayqih.

Mengenal Nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”

Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Nama “al-Khāliq” (Maha Pencipta) dan “al-Khallāq”Nama “al-Bāri’” (Maha Mengadakan)Nama “al-Muṣawwir” (Maha Membentuk rupa)Kandungan makna nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Makna bahasa dari Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-MuṣawwirAl-KhāliqAl-KhallāqAl-Bāri’Al-MuṣawwirMakna Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir” bagi hambaBeriman bahwa nama-nama tersebut merupakan nama AllahDiharamkannya menggambar makhluk bernyawaKewajiban beribadah hanya kepada AllahMengenal nama-nama Allah merupakan jalan utama untuk merealisasikan tauhid ulūhiyyah — mentauhidkan Allah dalam ibadah. Sebab siapa saja yang mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-Nya, ia akan mencintai-Nya, tunduk kepada-Nya, dan hanya menyembah-Nya. Inilah tujuan penciptaan manusia: untuk beribadah kepada Allah semata, bukan kepada selain-Nya.Nama-nama seperti Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir menunjukkan bahwa hanya Allah yang menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan, menyusun bentuk dan rupa makhluk dengan hikmah dan keindahan. Maka hanya kepada-Nya pulalah pantas dipanjatkan doa, harap, takut, dan cinta — bukan kepada makhluk yang juga diciptakan oleh-Nya.Dalam tulisan ini, kita akan menelaah dalil empat nama agung ini dalam Al-Qur’an, makna yang dikandungnya, serta konsekuensinya bagi seorang hamba: yaitu kewajiban untuk hanya tunduk dan beribadah kepada Allah semata.Semoga menjadi sebab tegaknya tauhid ulūhiyyah dalam hati dan bertambahnya cinta kepada Rabbul Ālamīn.Dalil nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Nama-nama al-Khāliq, al-Bāri’, dan al-Muṣawwir disebutkan bersamaan dalam firman Allah Ta‘ala,هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ“Dialah Allah, al-Khāliq (Maha Pencipta), al-Bāri’ (Maha Mengadakan), al-Muṣawwir (Maha Membentuk Rupa).” (QS. Al-Hasyr: 24) Nama “al-Khāliq” (Maha Pencipta) dan “al-Khallāq”Nama al-Khāliq disebut dalam Al-Qur’an sebanyak sebelas kali, di antaranya:Dalam QS. Al-Hasyr: 24 (sudah disebutkan di atas).Firman Allah,فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ“Maka Mahasuci Allah, sebaik-baik pencipta.” (QS. Al-Mu’minūn: 14)Firman-Nya,أَفَرَأَيْتُم مَّا تُمْنُونَ – أَأَنتُمْ تَخْلُقُونَهُ أَمْ نَحْنُ الْخَالِقُونَ“Apakah kalian memperhatikan apa yang kalian pancarkan? Apakah kalian yang menciptakannya, atau Kami yang menciptakannya?” (QS. Al-Wāqi‘ah: 58–59)Dan masih banyak ayat lainnya.Nama ini juga datang dalam bentuk mubālaghah (penegasan makna secara lebih kuat) sebanyak dua kali,إِنَّ رَبَّكَ هُوَ الْخَلاَّقُ الْعَلِيمُ“Sesungguhnya Rabbmu, Dialah al-Khallāq lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Ḥijr: 86), dan:بلى وهو الخلاق العليم“Benar, dan Dia adalah al-Khallāq lagi Maha Mengetahui.” (QS. Yāsīn: 81) Nama “al-Bāri’” (Maha Mengadakan)Nama al-Bāri’ disebutkan tiga kali dalam Al-Qur’an, yaitu:Sekali dalam QS. Al-Hasyr: 24, telah berlalu penyebutannya.Dan dua kali dalam QS. Al-Baqarah: 54,فَتُوبُواْ إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ عِندَ بَارِئِكُمْ …“Maka bertobatlah kepada Yang Mengadakan kalian (al-Bāri’), lalu bunuhlah diri kalian sendiri. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian di sisi Yang Mengadakan kalian (al-Bāri’).” Nama “al-Muṣawwir” (Maha Membentuk rupa)Nama al-Muṣawwir disebutkan secara eksplisit satu kali, yaitu dalam QS. Al-Hasyr: 24, sebagaimana telah berlalu penyebutannya.Namun bentuk fi’il (kata kerja) dari nama ini disebutkan beberapa kali, di antaranya:هُوَ الَّذِي يُصَوِّرُكُمْ فِي الأَرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ“Dialah yang membentuk kalian dalam rahim sesuai dengan yang Dia kehendaki.” (QS. Āli ‘Imrān: 6)وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ“Dan sungguh Kami telah menciptakan kalian, kemudian Kami bentuk kalian …” (QS. Al-A‘rāf: 11) [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-MuṣawwirAl-KhāliqAl-Khāliq ( الْخَالِقُ ) adalah isim fā‘il (kata pelaku) dari kata kerja khalaqa – yakhluqu – khalqan (menciptakan). [2]Kata al-khalq dalam bahasa Arab memiliki dua makna: (1) penciptaan dalam bentuk baru, yang tidak ada sebelumnya, yaitu mengadakan sesuatu dari ketiadaan; dan (2) penetapan ukuran dan perancangan. [3]Ibnu Faris mengatakan,(‌خلق) الْخَاءُ وَاللَّامُ وَالْقَافُ أَصْلَانِ: أَحَدُهُمَا تَقْدِيرُ الشَّيْءِ، وَالْآخَرُ مَلَاسَةُ الشَّيْءِ“Kata (‌ خلق ) kha-lam-qa memiliki dua akar makna: pertama, penetapan ukuran atau perancangan sesuatu; kedua, kelicinan sesuatu.” [4]Al-Fuyyumiy mengatakan,وَأَصْلُ الْخَلْقِ التَّقْدِيرُ“Asal makna al-khalq adalah penetapan ukuran.” [5]Al-KhallāqAl-Khallāq ( الْخَلاَّقُ ) adalah bentuk mubālaghah (penegasan makna yang lebih kuat) dari khalaqa. [6]Bentuk mubālaghah (penekanan makna) dengan pola faʿʿāl ( فعّال ) menunjukkan makna banyak: yaitu banyaknya ciptaan Allah dan pengadaan-Nya, baik dari sisi jumlah maupun ragam bentuknya. [7]Al-Bāri’Al-Bāri’ ( الْبَارِئُ ) adalah isim fā‘il dari kata bara’a. [8]Ibnu Faris rahimahullah menyebutkan,(‌برأ) فَأَمَّا الْبَاءُ وَالرَّاءُ وَالْهَمْزَةُ فَأَصْلَانِ إِلَيْهِمَا تَرْجِعُ فُرُوعُ الْبَابِأَحَدُهُمَا الْخَلْقُ، يُقَالُ: ‌بَرَأَ اللَّهُ الْخَلْقَ يَبْرَؤُهُمْ بَرْءًاوَالْأَصْلُ الْآخَرُ: التَّبَاعُدُ مِنَ الشَّيْءِ وَمُزَايَلَتُهُ، مِنْ ذَلِكَ الْبُرْءُ وَهُوَ السَّلَامَةُ مِنَ السُّقْمِ“Kata (‌برأ) ba-ra-hamzah memiliki dua akar makna utama:(1) Penciptaan, seperti dalam kalimat, ‘Allah menciptakan makhluk’, (dan dari sinilah nama al-Bāri’ berasal) …(2) Pemisahan atau berlepas dari sesuatu, seperti dalam kata al-bur’, yang berarti kesembuhan dari penyakit.” [9]Al-Fuyyumiy mengatakan tentang makna kata ba – ra – ya:(ب ر ي) … وَبَرَأَ اللَّهُ تَعَالَى الْخَلِيقَةَ يَبْرَؤُهَا بِفَتْحَتَيْنِ خَلَقَهَا فَهُوَ الْبَارِئُ“Allah menciptakan makhluk, artinya: Dia mengadakan mereka, maka Dia adalah al-Bāri’.” [10]Al-MuṣawwirAl-Muṣawwir ( الْمُصَوِّرُ ) adalah isim fā‘il dari kata ṣawwara. [11]Ibnu Faris rahimahullah menyebutkan tentang makna ( صور ):الصَّادُ وَالْوَاوُ وَالرَّاءُ كَلِمَاتٌ كَثِيرَةٌ مُتَبَايِنَةُ الْأُصُولِ. وَلَيْسَ هَذَا الْبَابُ بِبَابِ قِيَاسٍ وَلَا اشْتِقَاقٍ. … مِنْ ذَلِكَ الصُّورَةُ صُورَةُ كُلِّ مَخْلُوقٍ، وَالْجَمْعُ صُوَرٌ، وَهِيَ هَيْئَةُ خِلْقَتِهِ. وَاللَّهُ تَعَالَى الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ.“(ṣad-waw-ra) memiliki banyak makna yang tidak satu akar, sehingga tidak masuk dalam kaidah analogi atau derivasi biasa. … Di antara maknanya adalah ṣūrah (rupa), yaitu bentuk ciptaan suatu makhluk. … Dan Allah Ta‘ala adalah al-Bāri’ dan al-Muṣawwir.” [12]Makna Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir dalam konteks AllahIbnu Jarir Ath-Thabari menyebutkan tentang firman Allah (Dia-lah Allah al-Khāliq, al-Bāri’, al-Muṣawwir… ) – [QS. Al-Ḥasyr: 24]:هو المعبودُ ‌الخالقُ، الذي لا معبودَ تصلُحُ له العبادةُ غيرُه، ولا خالقَ سِواه، البارئُ الذي بَرَأ الخلْقَ، فأوجَدهم بقدرتِه، المصوِّرُ خَلْقَه كيف شاء، وكيف يشاءُ.“Maknanya, ‘Dia-lah Dzat yang berhak disembah, Sang Pencipta. Tidak ada sesembahan yang pantas selain Dia, dan tidak ada Pencipta selain Dia. Al-Bāri’: yang menciptakan makhluk dan mengadakan mereka dengan kuasa-Nya. Al-Muṣawwir: yang membentuk makhluk-Nya sebagaimana Dia kehendaki.’” [13]Sedangkan tentang Al-Khallāq, beliau menyebutkan tentang firman Allah (yang artinya): (Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah al-Khallāq, al-‘Alīm) – [QS. Al-Ḥijr: 86],يقولُ تعالى ذكرُه: إن ربَّك هو الذي خلَقهم وخلَق كلَّ شيءٍ، وهو عالمٌ بهم وبتدبيرِهم، وما يَأْتون مِن الأفعالِ“Maknanya, ‘Sesungguhnya Rabbmu adalah yang menciptakan mereka dan menciptakan segala sesuatu, serta Maha Mengetahui tentang mereka dan apa yang mereka lakukan.’” [14]Ibnu Katsir rahimahullah ketika mentafsirkan surah al-Hasyr ayat 24, beliau mengatakan,وَقَوْلُهُ: {هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ} الْخَلْقُ: التَّقْدِيرُ، والبَراء: هُوَ الْفَرْيُ، وَهُوَ التَّنْفِيذُ وَإِبْرَازُ مَا قَدَّرَهُ وَقَرَّرَهُ إِلَى الْوُجُودِ، … {الْمُصَوِّرُ} أَيِ: الَّذِي يُنَفِّذُ مَا يُرِيدُ إِيجَادَهُ عَلَى الصِّفَةِ التي يريدها“Al-Khāliq (Yang Maha Mencipta), maknanya adalah tāqdīr (penetapan ukuran). Al-Bāri’ (Yang Maha Membuat), adalah al-fary, yaitu pelaksanaan dan penampakan dari apa yang telah ditakdirkan dan ditetapkan ke dalam wujud nyata. … Al-Muṣawwir (Yang Maha Membentuk), yaitu yang melaksanakan apa yang ingin Dia wujudkan dalam bentuk rupa yang Dia kehendaki.” [15]Syekh Abdurrahman bin Nashi As-Si’diy menjelaskan,“‌الخالق، البارئ، المصور” الذي خلق جميع الموجودات وبرأها وسواها بحكمته، وصورها بحمده وحكمته، وهو لم يزل ولا يزال على هذا الوصف العظيم“Al-Khāliq, Al-Bāri’, Al-Muṣawwir” adalah (Allah) yang menciptakan (mengukur) seluruh makhluk yang ada, lalu menjadikannya nyata, dan menyempurnakannya dengan hikmah-Nya. Dia membentuknya dengan pujian dan kebijaksanaan-Nya. Dan Dia senantiasa bersifat dengan sifat agung ini, sejak dahulu dan selamanya.” [16]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Wahhab”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir” bagi hambaPenetapan nama Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa nama-nama tersebut merupakan nama AllahBahwa Allah adalah satu-satunya Al-Khāliq (Pencipta), sedangkan selain-Nya adalah makhluk. Allah Ta‘ala berfirman,قُلِ اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ“Katakanlah: Allah adalah Pencipta segala sesuatu, dan Dia-lah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.” (QS. ar-Ra‘d: 16)Dan firman-Nya,هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ“Adakah pencipta selain Allah?” (QS. Fāṭir: 3)Maka segala sesuatu selain Allah adalah makhluk dan sesuatu yang baru (muhdats), yang sebelumnya tidak ada kemudian diciptakan. Seluruh makhluk didahului oleh ketiadaan, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,هَلْ أَتَى عَلَى الإِنسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْئًا مَذْكُورًا“Bukankah telah datang kepada manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang disebut?” (QS. al-Insān: 1) [17] Diharamkannya menggambar makhluk bernyawaAllah mengharamkan hamba-hamba-Nya untuk membuat gambar makhluk bernyawa, karena hal itu merupakan bentuk penyerupaan terhadap ciptaan Allah—yakni meniru apa yang Allah ciptakan dan bentuk dari makhluk bernyawa. Sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Muslim,الذين يشبهون بخلق الله“Orang-orang yang meniru ciptaan Allah…”Telah datang banyak hadis yang mengancam para pembuat gambar dengan azab paling keras. Seperti sabda Nabi ﷺ,إن أشد الناس عذابًا عند الله يوم القيامة المصورون“Sesungguhnya orang yang paling keras azabnya di sisi Allah pada hari kiamat adalah para pembuat gambar.” (Muttafaq ‘alaih)Dan sabda beliau ﷺ,إن الذين يصنعون هذه الصور يعذبون يوم القيامة، يقال لهم أحيوا ما خلقتم“Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar ini akan diazab pada hari kiamat, dan akan dikatakan kepada mereka, ‘Hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan!’” (Muttafaq ‘alaih)Perintah ini tentu mustahil dilaksanakan. Pelajaran dari hadis ini adalah bahwa azab terhadap pembuat gambar adalah dengan ditugaskan untuk meniupkan ruh ke gambar tersebut—dan mereka tidak mampu melakukannya—sehingga siksaan itu berlangsung terus menerus. [18] Kewajiban beribadah hanya kepada AllahKita harus menyadari bahwa Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā tidak menciptakan makhluk yang agung ini sia-sia atau main-main, dan bukan pula tanpa tujuan. Allah menciptakan makhluk dengan tujuan yang agung. Sebagaimana firman-Nya,أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ“Apakah kalian mengira bahwa Kami menciptakan kalian secara sia-sia, dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. al-Mu’minūn: 115)Maksudnya, apakah kalian menyangka bahwa kalian diciptakan secara sia-sia, tanpa maksud dan hikmah dari Kami terhadap kalian? Maha Suci Allah dari hal tersebut.Allah juga menjelaskan tujuan agung penciptaan ini dalam firman-Nya,وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ والإنس إلا لِيَعْبُدُونِ“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (QS. adz-Dzāriyāt: 56) [19]Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mengesakan-Nya dalam peribadahan; dan memberikan taufik-Nya kepada kita untuk senantiasa takut, berharap, dan cinta kepada-Nya, serta menjauhkan kita dari segala bentuk syirik dan kesombongan. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Khabiir”***Rumdin PPIA Sragen, 18 Muharam 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444. Catatan kaki:[1] Disarikan dari An-Nahj al-Asmā’, hal. 112-118.[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548.[3] an-Nahj al-Asma, hal. 112.[4] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 268.[5] Al-Miṣbāḥ al-Munīr, 1: 180.[6] Al-Bayan, hal. 445.[7] At-Ta‘liq al-Asna, hal. 79.[8] Al-Bayan, hal. 548.[9] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 88.[10] Al-Miṣbāḥ al-Munīr, 1: 46.[11] Al-Bayan, hal. 548.[12] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 497.[13] Tafsīr Ṭabarī, 22: 555.[14] Ibid, 14: 106.[15] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80.[16] Tafsir as-Sa’di, hal. 947.  Lihat juga Fiqh al-Asma’, hal. 110.[17] Disarikan dari an-Nahj al-Asma, hal. 119.[18] Ibid, hal. 121.[19] Ibid, hal. 123.

Mengenal Nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”

Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Nama “al-Khāliq” (Maha Pencipta) dan “al-Khallāq”Nama “al-Bāri’” (Maha Mengadakan)Nama “al-Muṣawwir” (Maha Membentuk rupa)Kandungan makna nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Makna bahasa dari Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-MuṣawwirAl-KhāliqAl-KhallāqAl-Bāri’Al-MuṣawwirMakna Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir” bagi hambaBeriman bahwa nama-nama tersebut merupakan nama AllahDiharamkannya menggambar makhluk bernyawaKewajiban beribadah hanya kepada AllahMengenal nama-nama Allah merupakan jalan utama untuk merealisasikan tauhid ulūhiyyah — mentauhidkan Allah dalam ibadah. Sebab siapa saja yang mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-Nya, ia akan mencintai-Nya, tunduk kepada-Nya, dan hanya menyembah-Nya. Inilah tujuan penciptaan manusia: untuk beribadah kepada Allah semata, bukan kepada selain-Nya.Nama-nama seperti Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir menunjukkan bahwa hanya Allah yang menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan, menyusun bentuk dan rupa makhluk dengan hikmah dan keindahan. Maka hanya kepada-Nya pulalah pantas dipanjatkan doa, harap, takut, dan cinta — bukan kepada makhluk yang juga diciptakan oleh-Nya.Dalam tulisan ini, kita akan menelaah dalil empat nama agung ini dalam Al-Qur’an, makna yang dikandungnya, serta konsekuensinya bagi seorang hamba: yaitu kewajiban untuk hanya tunduk dan beribadah kepada Allah semata.Semoga menjadi sebab tegaknya tauhid ulūhiyyah dalam hati dan bertambahnya cinta kepada Rabbul Ālamīn.Dalil nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Nama-nama al-Khāliq, al-Bāri’, dan al-Muṣawwir disebutkan bersamaan dalam firman Allah Ta‘ala,هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ“Dialah Allah, al-Khāliq (Maha Pencipta), al-Bāri’ (Maha Mengadakan), al-Muṣawwir (Maha Membentuk Rupa).” (QS. Al-Hasyr: 24) Nama “al-Khāliq” (Maha Pencipta) dan “al-Khallāq”Nama al-Khāliq disebut dalam Al-Qur’an sebanyak sebelas kali, di antaranya:Dalam QS. Al-Hasyr: 24 (sudah disebutkan di atas).Firman Allah,فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ“Maka Mahasuci Allah, sebaik-baik pencipta.” (QS. Al-Mu’minūn: 14)Firman-Nya,أَفَرَأَيْتُم مَّا تُمْنُونَ – أَأَنتُمْ تَخْلُقُونَهُ أَمْ نَحْنُ الْخَالِقُونَ“Apakah kalian memperhatikan apa yang kalian pancarkan? Apakah kalian yang menciptakannya, atau Kami yang menciptakannya?” (QS. Al-Wāqi‘ah: 58–59)Dan masih banyak ayat lainnya.Nama ini juga datang dalam bentuk mubālaghah (penegasan makna secara lebih kuat) sebanyak dua kali,إِنَّ رَبَّكَ هُوَ الْخَلاَّقُ الْعَلِيمُ“Sesungguhnya Rabbmu, Dialah al-Khallāq lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Ḥijr: 86), dan:بلى وهو الخلاق العليم“Benar, dan Dia adalah al-Khallāq lagi Maha Mengetahui.” (QS. Yāsīn: 81) Nama “al-Bāri’” (Maha Mengadakan)Nama al-Bāri’ disebutkan tiga kali dalam Al-Qur’an, yaitu:Sekali dalam QS. Al-Hasyr: 24, telah berlalu penyebutannya.Dan dua kali dalam QS. Al-Baqarah: 54,فَتُوبُواْ إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ عِندَ بَارِئِكُمْ …“Maka bertobatlah kepada Yang Mengadakan kalian (al-Bāri’), lalu bunuhlah diri kalian sendiri. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian di sisi Yang Mengadakan kalian (al-Bāri’).” Nama “al-Muṣawwir” (Maha Membentuk rupa)Nama al-Muṣawwir disebutkan secara eksplisit satu kali, yaitu dalam QS. Al-Hasyr: 24, sebagaimana telah berlalu penyebutannya.Namun bentuk fi’il (kata kerja) dari nama ini disebutkan beberapa kali, di antaranya:هُوَ الَّذِي يُصَوِّرُكُمْ فِي الأَرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ“Dialah yang membentuk kalian dalam rahim sesuai dengan yang Dia kehendaki.” (QS. Āli ‘Imrān: 6)وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ“Dan sungguh Kami telah menciptakan kalian, kemudian Kami bentuk kalian …” (QS. Al-A‘rāf: 11) [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-MuṣawwirAl-KhāliqAl-Khāliq ( الْخَالِقُ ) adalah isim fā‘il (kata pelaku) dari kata kerja khalaqa – yakhluqu – khalqan (menciptakan). [2]Kata al-khalq dalam bahasa Arab memiliki dua makna: (1) penciptaan dalam bentuk baru, yang tidak ada sebelumnya, yaitu mengadakan sesuatu dari ketiadaan; dan (2) penetapan ukuran dan perancangan. [3]Ibnu Faris mengatakan,(‌خلق) الْخَاءُ وَاللَّامُ وَالْقَافُ أَصْلَانِ: أَحَدُهُمَا تَقْدِيرُ الشَّيْءِ، وَالْآخَرُ مَلَاسَةُ الشَّيْءِ“Kata (‌ خلق ) kha-lam-qa memiliki dua akar makna: pertama, penetapan ukuran atau perancangan sesuatu; kedua, kelicinan sesuatu.” [4]Al-Fuyyumiy mengatakan,وَأَصْلُ الْخَلْقِ التَّقْدِيرُ“Asal makna al-khalq adalah penetapan ukuran.” [5]Al-KhallāqAl-Khallāq ( الْخَلاَّقُ ) adalah bentuk mubālaghah (penegasan makna yang lebih kuat) dari khalaqa. [6]Bentuk mubālaghah (penekanan makna) dengan pola faʿʿāl ( فعّال ) menunjukkan makna banyak: yaitu banyaknya ciptaan Allah dan pengadaan-Nya, baik dari sisi jumlah maupun ragam bentuknya. [7]Al-Bāri’Al-Bāri’ ( الْبَارِئُ ) adalah isim fā‘il dari kata bara’a. [8]Ibnu Faris rahimahullah menyebutkan,(‌برأ) فَأَمَّا الْبَاءُ وَالرَّاءُ وَالْهَمْزَةُ فَأَصْلَانِ إِلَيْهِمَا تَرْجِعُ فُرُوعُ الْبَابِأَحَدُهُمَا الْخَلْقُ، يُقَالُ: ‌بَرَأَ اللَّهُ الْخَلْقَ يَبْرَؤُهُمْ بَرْءًاوَالْأَصْلُ الْآخَرُ: التَّبَاعُدُ مِنَ الشَّيْءِ وَمُزَايَلَتُهُ، مِنْ ذَلِكَ الْبُرْءُ وَهُوَ السَّلَامَةُ مِنَ السُّقْمِ“Kata (‌برأ) ba-ra-hamzah memiliki dua akar makna utama:(1) Penciptaan, seperti dalam kalimat, ‘Allah menciptakan makhluk’, (dan dari sinilah nama al-Bāri’ berasal) …(2) Pemisahan atau berlepas dari sesuatu, seperti dalam kata al-bur’, yang berarti kesembuhan dari penyakit.” [9]Al-Fuyyumiy mengatakan tentang makna kata ba – ra – ya:(ب ر ي) … وَبَرَأَ اللَّهُ تَعَالَى الْخَلِيقَةَ يَبْرَؤُهَا بِفَتْحَتَيْنِ خَلَقَهَا فَهُوَ الْبَارِئُ“Allah menciptakan makhluk, artinya: Dia mengadakan mereka, maka Dia adalah al-Bāri’.” [10]Al-MuṣawwirAl-Muṣawwir ( الْمُصَوِّرُ ) adalah isim fā‘il dari kata ṣawwara. [11]Ibnu Faris rahimahullah menyebutkan tentang makna ( صور ):الصَّادُ وَالْوَاوُ وَالرَّاءُ كَلِمَاتٌ كَثِيرَةٌ مُتَبَايِنَةُ الْأُصُولِ. وَلَيْسَ هَذَا الْبَابُ بِبَابِ قِيَاسٍ وَلَا اشْتِقَاقٍ. … مِنْ ذَلِكَ الصُّورَةُ صُورَةُ كُلِّ مَخْلُوقٍ، وَالْجَمْعُ صُوَرٌ، وَهِيَ هَيْئَةُ خِلْقَتِهِ. وَاللَّهُ تَعَالَى الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ.“(ṣad-waw-ra) memiliki banyak makna yang tidak satu akar, sehingga tidak masuk dalam kaidah analogi atau derivasi biasa. … Di antara maknanya adalah ṣūrah (rupa), yaitu bentuk ciptaan suatu makhluk. … Dan Allah Ta‘ala adalah al-Bāri’ dan al-Muṣawwir.” [12]Makna Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir dalam konteks AllahIbnu Jarir Ath-Thabari menyebutkan tentang firman Allah (Dia-lah Allah al-Khāliq, al-Bāri’, al-Muṣawwir… ) – [QS. Al-Ḥasyr: 24]:هو المعبودُ ‌الخالقُ، الذي لا معبودَ تصلُحُ له العبادةُ غيرُه، ولا خالقَ سِواه، البارئُ الذي بَرَأ الخلْقَ، فأوجَدهم بقدرتِه، المصوِّرُ خَلْقَه كيف شاء، وكيف يشاءُ.“Maknanya, ‘Dia-lah Dzat yang berhak disembah, Sang Pencipta. Tidak ada sesembahan yang pantas selain Dia, dan tidak ada Pencipta selain Dia. Al-Bāri’: yang menciptakan makhluk dan mengadakan mereka dengan kuasa-Nya. Al-Muṣawwir: yang membentuk makhluk-Nya sebagaimana Dia kehendaki.’” [13]Sedangkan tentang Al-Khallāq, beliau menyebutkan tentang firman Allah (yang artinya): (Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah al-Khallāq, al-‘Alīm) – [QS. Al-Ḥijr: 86],يقولُ تعالى ذكرُه: إن ربَّك هو الذي خلَقهم وخلَق كلَّ شيءٍ، وهو عالمٌ بهم وبتدبيرِهم، وما يَأْتون مِن الأفعالِ“Maknanya, ‘Sesungguhnya Rabbmu adalah yang menciptakan mereka dan menciptakan segala sesuatu, serta Maha Mengetahui tentang mereka dan apa yang mereka lakukan.’” [14]Ibnu Katsir rahimahullah ketika mentafsirkan surah al-Hasyr ayat 24, beliau mengatakan,وَقَوْلُهُ: {هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ} الْخَلْقُ: التَّقْدِيرُ، والبَراء: هُوَ الْفَرْيُ، وَهُوَ التَّنْفِيذُ وَإِبْرَازُ مَا قَدَّرَهُ وَقَرَّرَهُ إِلَى الْوُجُودِ، … {الْمُصَوِّرُ} أَيِ: الَّذِي يُنَفِّذُ مَا يُرِيدُ إِيجَادَهُ عَلَى الصِّفَةِ التي يريدها“Al-Khāliq (Yang Maha Mencipta), maknanya adalah tāqdīr (penetapan ukuran). Al-Bāri’ (Yang Maha Membuat), adalah al-fary, yaitu pelaksanaan dan penampakan dari apa yang telah ditakdirkan dan ditetapkan ke dalam wujud nyata. … Al-Muṣawwir (Yang Maha Membentuk), yaitu yang melaksanakan apa yang ingin Dia wujudkan dalam bentuk rupa yang Dia kehendaki.” [15]Syekh Abdurrahman bin Nashi As-Si’diy menjelaskan,“‌الخالق، البارئ، المصور” الذي خلق جميع الموجودات وبرأها وسواها بحكمته، وصورها بحمده وحكمته، وهو لم يزل ولا يزال على هذا الوصف العظيم“Al-Khāliq, Al-Bāri’, Al-Muṣawwir” adalah (Allah) yang menciptakan (mengukur) seluruh makhluk yang ada, lalu menjadikannya nyata, dan menyempurnakannya dengan hikmah-Nya. Dia membentuknya dengan pujian dan kebijaksanaan-Nya. Dan Dia senantiasa bersifat dengan sifat agung ini, sejak dahulu dan selamanya.” [16]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Wahhab”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir” bagi hambaPenetapan nama Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa nama-nama tersebut merupakan nama AllahBahwa Allah adalah satu-satunya Al-Khāliq (Pencipta), sedangkan selain-Nya adalah makhluk. Allah Ta‘ala berfirman,قُلِ اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ“Katakanlah: Allah adalah Pencipta segala sesuatu, dan Dia-lah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.” (QS. ar-Ra‘d: 16)Dan firman-Nya,هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ“Adakah pencipta selain Allah?” (QS. Fāṭir: 3)Maka segala sesuatu selain Allah adalah makhluk dan sesuatu yang baru (muhdats), yang sebelumnya tidak ada kemudian diciptakan. Seluruh makhluk didahului oleh ketiadaan, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,هَلْ أَتَى عَلَى الإِنسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْئًا مَذْكُورًا“Bukankah telah datang kepada manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang disebut?” (QS. al-Insān: 1) [17] Diharamkannya menggambar makhluk bernyawaAllah mengharamkan hamba-hamba-Nya untuk membuat gambar makhluk bernyawa, karena hal itu merupakan bentuk penyerupaan terhadap ciptaan Allah—yakni meniru apa yang Allah ciptakan dan bentuk dari makhluk bernyawa. Sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Muslim,الذين يشبهون بخلق الله“Orang-orang yang meniru ciptaan Allah…”Telah datang banyak hadis yang mengancam para pembuat gambar dengan azab paling keras. Seperti sabda Nabi ﷺ,إن أشد الناس عذابًا عند الله يوم القيامة المصورون“Sesungguhnya orang yang paling keras azabnya di sisi Allah pada hari kiamat adalah para pembuat gambar.” (Muttafaq ‘alaih)Dan sabda beliau ﷺ,إن الذين يصنعون هذه الصور يعذبون يوم القيامة، يقال لهم أحيوا ما خلقتم“Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar ini akan diazab pada hari kiamat, dan akan dikatakan kepada mereka, ‘Hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan!’” (Muttafaq ‘alaih)Perintah ini tentu mustahil dilaksanakan. Pelajaran dari hadis ini adalah bahwa azab terhadap pembuat gambar adalah dengan ditugaskan untuk meniupkan ruh ke gambar tersebut—dan mereka tidak mampu melakukannya—sehingga siksaan itu berlangsung terus menerus. [18] Kewajiban beribadah hanya kepada AllahKita harus menyadari bahwa Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā tidak menciptakan makhluk yang agung ini sia-sia atau main-main, dan bukan pula tanpa tujuan. Allah menciptakan makhluk dengan tujuan yang agung. Sebagaimana firman-Nya,أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ“Apakah kalian mengira bahwa Kami menciptakan kalian secara sia-sia, dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. al-Mu’minūn: 115)Maksudnya, apakah kalian menyangka bahwa kalian diciptakan secara sia-sia, tanpa maksud dan hikmah dari Kami terhadap kalian? Maha Suci Allah dari hal tersebut.Allah juga menjelaskan tujuan agung penciptaan ini dalam firman-Nya,وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ والإنس إلا لِيَعْبُدُونِ“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (QS. adz-Dzāriyāt: 56) [19]Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mengesakan-Nya dalam peribadahan; dan memberikan taufik-Nya kepada kita untuk senantiasa takut, berharap, dan cinta kepada-Nya, serta menjauhkan kita dari segala bentuk syirik dan kesombongan. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Khabiir”***Rumdin PPIA Sragen, 18 Muharam 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444. Catatan kaki:[1] Disarikan dari An-Nahj al-Asmā’, hal. 112-118.[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548.[3] an-Nahj al-Asma, hal. 112.[4] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 268.[5] Al-Miṣbāḥ al-Munīr, 1: 180.[6] Al-Bayan, hal. 445.[7] At-Ta‘liq al-Asna, hal. 79.[8] Al-Bayan, hal. 548.[9] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 88.[10] Al-Miṣbāḥ al-Munīr, 1: 46.[11] Al-Bayan, hal. 548.[12] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 497.[13] Tafsīr Ṭabarī, 22: 555.[14] Ibid, 14: 106.[15] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80.[16] Tafsir as-Sa’di, hal. 947.  Lihat juga Fiqh al-Asma’, hal. 110.[17] Disarikan dari an-Nahj al-Asma, hal. 119.[18] Ibid, hal. 121.[19] Ibid, hal. 123.
Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Nama “al-Khāliq” (Maha Pencipta) dan “al-Khallāq”Nama “al-Bāri’” (Maha Mengadakan)Nama “al-Muṣawwir” (Maha Membentuk rupa)Kandungan makna nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Makna bahasa dari Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-MuṣawwirAl-KhāliqAl-KhallāqAl-Bāri’Al-MuṣawwirMakna Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir” bagi hambaBeriman bahwa nama-nama tersebut merupakan nama AllahDiharamkannya menggambar makhluk bernyawaKewajiban beribadah hanya kepada AllahMengenal nama-nama Allah merupakan jalan utama untuk merealisasikan tauhid ulūhiyyah — mentauhidkan Allah dalam ibadah. Sebab siapa saja yang mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-Nya, ia akan mencintai-Nya, tunduk kepada-Nya, dan hanya menyembah-Nya. Inilah tujuan penciptaan manusia: untuk beribadah kepada Allah semata, bukan kepada selain-Nya.Nama-nama seperti Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir menunjukkan bahwa hanya Allah yang menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan, menyusun bentuk dan rupa makhluk dengan hikmah dan keindahan. Maka hanya kepada-Nya pulalah pantas dipanjatkan doa, harap, takut, dan cinta — bukan kepada makhluk yang juga diciptakan oleh-Nya.Dalam tulisan ini, kita akan menelaah dalil empat nama agung ini dalam Al-Qur’an, makna yang dikandungnya, serta konsekuensinya bagi seorang hamba: yaitu kewajiban untuk hanya tunduk dan beribadah kepada Allah semata.Semoga menjadi sebab tegaknya tauhid ulūhiyyah dalam hati dan bertambahnya cinta kepada Rabbul Ālamīn.Dalil nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Nama-nama al-Khāliq, al-Bāri’, dan al-Muṣawwir disebutkan bersamaan dalam firman Allah Ta‘ala,هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ“Dialah Allah, al-Khāliq (Maha Pencipta), al-Bāri’ (Maha Mengadakan), al-Muṣawwir (Maha Membentuk Rupa).” (QS. Al-Hasyr: 24) Nama “al-Khāliq” (Maha Pencipta) dan “al-Khallāq”Nama al-Khāliq disebut dalam Al-Qur’an sebanyak sebelas kali, di antaranya:Dalam QS. Al-Hasyr: 24 (sudah disebutkan di atas).Firman Allah,فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ“Maka Mahasuci Allah, sebaik-baik pencipta.” (QS. Al-Mu’minūn: 14)Firman-Nya,أَفَرَأَيْتُم مَّا تُمْنُونَ – أَأَنتُمْ تَخْلُقُونَهُ أَمْ نَحْنُ الْخَالِقُونَ“Apakah kalian memperhatikan apa yang kalian pancarkan? Apakah kalian yang menciptakannya, atau Kami yang menciptakannya?” (QS. Al-Wāqi‘ah: 58–59)Dan masih banyak ayat lainnya.Nama ini juga datang dalam bentuk mubālaghah (penegasan makna secara lebih kuat) sebanyak dua kali,إِنَّ رَبَّكَ هُوَ الْخَلاَّقُ الْعَلِيمُ“Sesungguhnya Rabbmu, Dialah al-Khallāq lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Ḥijr: 86), dan:بلى وهو الخلاق العليم“Benar, dan Dia adalah al-Khallāq lagi Maha Mengetahui.” (QS. Yāsīn: 81) Nama “al-Bāri’” (Maha Mengadakan)Nama al-Bāri’ disebutkan tiga kali dalam Al-Qur’an, yaitu:Sekali dalam QS. Al-Hasyr: 24, telah berlalu penyebutannya.Dan dua kali dalam QS. Al-Baqarah: 54,فَتُوبُواْ إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ عِندَ بَارِئِكُمْ …“Maka bertobatlah kepada Yang Mengadakan kalian (al-Bāri’), lalu bunuhlah diri kalian sendiri. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian di sisi Yang Mengadakan kalian (al-Bāri’).” Nama “al-Muṣawwir” (Maha Membentuk rupa)Nama al-Muṣawwir disebutkan secara eksplisit satu kali, yaitu dalam QS. Al-Hasyr: 24, sebagaimana telah berlalu penyebutannya.Namun bentuk fi’il (kata kerja) dari nama ini disebutkan beberapa kali, di antaranya:هُوَ الَّذِي يُصَوِّرُكُمْ فِي الأَرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ“Dialah yang membentuk kalian dalam rahim sesuai dengan yang Dia kehendaki.” (QS. Āli ‘Imrān: 6)وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ“Dan sungguh Kami telah menciptakan kalian, kemudian Kami bentuk kalian …” (QS. Al-A‘rāf: 11) [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-MuṣawwirAl-KhāliqAl-Khāliq ( الْخَالِقُ ) adalah isim fā‘il (kata pelaku) dari kata kerja khalaqa – yakhluqu – khalqan (menciptakan). [2]Kata al-khalq dalam bahasa Arab memiliki dua makna: (1) penciptaan dalam bentuk baru, yang tidak ada sebelumnya, yaitu mengadakan sesuatu dari ketiadaan; dan (2) penetapan ukuran dan perancangan. [3]Ibnu Faris mengatakan,(‌خلق) الْخَاءُ وَاللَّامُ وَالْقَافُ أَصْلَانِ: أَحَدُهُمَا تَقْدِيرُ الشَّيْءِ، وَالْآخَرُ مَلَاسَةُ الشَّيْءِ“Kata (‌ خلق ) kha-lam-qa memiliki dua akar makna: pertama, penetapan ukuran atau perancangan sesuatu; kedua, kelicinan sesuatu.” [4]Al-Fuyyumiy mengatakan,وَأَصْلُ الْخَلْقِ التَّقْدِيرُ“Asal makna al-khalq adalah penetapan ukuran.” [5]Al-KhallāqAl-Khallāq ( الْخَلاَّقُ ) adalah bentuk mubālaghah (penegasan makna yang lebih kuat) dari khalaqa. [6]Bentuk mubālaghah (penekanan makna) dengan pola faʿʿāl ( فعّال ) menunjukkan makna banyak: yaitu banyaknya ciptaan Allah dan pengadaan-Nya, baik dari sisi jumlah maupun ragam bentuknya. [7]Al-Bāri’Al-Bāri’ ( الْبَارِئُ ) adalah isim fā‘il dari kata bara’a. [8]Ibnu Faris rahimahullah menyebutkan,(‌برأ) فَأَمَّا الْبَاءُ وَالرَّاءُ وَالْهَمْزَةُ فَأَصْلَانِ إِلَيْهِمَا تَرْجِعُ فُرُوعُ الْبَابِأَحَدُهُمَا الْخَلْقُ، يُقَالُ: ‌بَرَأَ اللَّهُ الْخَلْقَ يَبْرَؤُهُمْ بَرْءًاوَالْأَصْلُ الْآخَرُ: التَّبَاعُدُ مِنَ الشَّيْءِ وَمُزَايَلَتُهُ، مِنْ ذَلِكَ الْبُرْءُ وَهُوَ السَّلَامَةُ مِنَ السُّقْمِ“Kata (‌برأ) ba-ra-hamzah memiliki dua akar makna utama:(1) Penciptaan, seperti dalam kalimat, ‘Allah menciptakan makhluk’, (dan dari sinilah nama al-Bāri’ berasal) …(2) Pemisahan atau berlepas dari sesuatu, seperti dalam kata al-bur’, yang berarti kesembuhan dari penyakit.” [9]Al-Fuyyumiy mengatakan tentang makna kata ba – ra – ya:(ب ر ي) … وَبَرَأَ اللَّهُ تَعَالَى الْخَلِيقَةَ يَبْرَؤُهَا بِفَتْحَتَيْنِ خَلَقَهَا فَهُوَ الْبَارِئُ“Allah menciptakan makhluk, artinya: Dia mengadakan mereka, maka Dia adalah al-Bāri’.” [10]Al-MuṣawwirAl-Muṣawwir ( الْمُصَوِّرُ ) adalah isim fā‘il dari kata ṣawwara. [11]Ibnu Faris rahimahullah menyebutkan tentang makna ( صور ):الصَّادُ وَالْوَاوُ وَالرَّاءُ كَلِمَاتٌ كَثِيرَةٌ مُتَبَايِنَةُ الْأُصُولِ. وَلَيْسَ هَذَا الْبَابُ بِبَابِ قِيَاسٍ وَلَا اشْتِقَاقٍ. … مِنْ ذَلِكَ الصُّورَةُ صُورَةُ كُلِّ مَخْلُوقٍ، وَالْجَمْعُ صُوَرٌ، وَهِيَ هَيْئَةُ خِلْقَتِهِ. وَاللَّهُ تَعَالَى الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ.“(ṣad-waw-ra) memiliki banyak makna yang tidak satu akar, sehingga tidak masuk dalam kaidah analogi atau derivasi biasa. … Di antara maknanya adalah ṣūrah (rupa), yaitu bentuk ciptaan suatu makhluk. … Dan Allah Ta‘ala adalah al-Bāri’ dan al-Muṣawwir.” [12]Makna Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir dalam konteks AllahIbnu Jarir Ath-Thabari menyebutkan tentang firman Allah (Dia-lah Allah al-Khāliq, al-Bāri’, al-Muṣawwir… ) – [QS. Al-Ḥasyr: 24]:هو المعبودُ ‌الخالقُ، الذي لا معبودَ تصلُحُ له العبادةُ غيرُه، ولا خالقَ سِواه، البارئُ الذي بَرَأ الخلْقَ، فأوجَدهم بقدرتِه، المصوِّرُ خَلْقَه كيف شاء، وكيف يشاءُ.“Maknanya, ‘Dia-lah Dzat yang berhak disembah, Sang Pencipta. Tidak ada sesembahan yang pantas selain Dia, dan tidak ada Pencipta selain Dia. Al-Bāri’: yang menciptakan makhluk dan mengadakan mereka dengan kuasa-Nya. Al-Muṣawwir: yang membentuk makhluk-Nya sebagaimana Dia kehendaki.’” [13]Sedangkan tentang Al-Khallāq, beliau menyebutkan tentang firman Allah (yang artinya): (Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah al-Khallāq, al-‘Alīm) – [QS. Al-Ḥijr: 86],يقولُ تعالى ذكرُه: إن ربَّك هو الذي خلَقهم وخلَق كلَّ شيءٍ، وهو عالمٌ بهم وبتدبيرِهم، وما يَأْتون مِن الأفعالِ“Maknanya, ‘Sesungguhnya Rabbmu adalah yang menciptakan mereka dan menciptakan segala sesuatu, serta Maha Mengetahui tentang mereka dan apa yang mereka lakukan.’” [14]Ibnu Katsir rahimahullah ketika mentafsirkan surah al-Hasyr ayat 24, beliau mengatakan,وَقَوْلُهُ: {هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ} الْخَلْقُ: التَّقْدِيرُ، والبَراء: هُوَ الْفَرْيُ، وَهُوَ التَّنْفِيذُ وَإِبْرَازُ مَا قَدَّرَهُ وَقَرَّرَهُ إِلَى الْوُجُودِ، … {الْمُصَوِّرُ} أَيِ: الَّذِي يُنَفِّذُ مَا يُرِيدُ إِيجَادَهُ عَلَى الصِّفَةِ التي يريدها“Al-Khāliq (Yang Maha Mencipta), maknanya adalah tāqdīr (penetapan ukuran). Al-Bāri’ (Yang Maha Membuat), adalah al-fary, yaitu pelaksanaan dan penampakan dari apa yang telah ditakdirkan dan ditetapkan ke dalam wujud nyata. … Al-Muṣawwir (Yang Maha Membentuk), yaitu yang melaksanakan apa yang ingin Dia wujudkan dalam bentuk rupa yang Dia kehendaki.” [15]Syekh Abdurrahman bin Nashi As-Si’diy menjelaskan,“‌الخالق، البارئ، المصور” الذي خلق جميع الموجودات وبرأها وسواها بحكمته، وصورها بحمده وحكمته، وهو لم يزل ولا يزال على هذا الوصف العظيم“Al-Khāliq, Al-Bāri’, Al-Muṣawwir” adalah (Allah) yang menciptakan (mengukur) seluruh makhluk yang ada, lalu menjadikannya nyata, dan menyempurnakannya dengan hikmah-Nya. Dia membentuknya dengan pujian dan kebijaksanaan-Nya. Dan Dia senantiasa bersifat dengan sifat agung ini, sejak dahulu dan selamanya.” [16]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Wahhab”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir” bagi hambaPenetapan nama Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa nama-nama tersebut merupakan nama AllahBahwa Allah adalah satu-satunya Al-Khāliq (Pencipta), sedangkan selain-Nya adalah makhluk. Allah Ta‘ala berfirman,قُلِ اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ“Katakanlah: Allah adalah Pencipta segala sesuatu, dan Dia-lah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.” (QS. ar-Ra‘d: 16)Dan firman-Nya,هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ“Adakah pencipta selain Allah?” (QS. Fāṭir: 3)Maka segala sesuatu selain Allah adalah makhluk dan sesuatu yang baru (muhdats), yang sebelumnya tidak ada kemudian diciptakan. Seluruh makhluk didahului oleh ketiadaan, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,هَلْ أَتَى عَلَى الإِنسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْئًا مَذْكُورًا“Bukankah telah datang kepada manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang disebut?” (QS. al-Insān: 1) [17] Diharamkannya menggambar makhluk bernyawaAllah mengharamkan hamba-hamba-Nya untuk membuat gambar makhluk bernyawa, karena hal itu merupakan bentuk penyerupaan terhadap ciptaan Allah—yakni meniru apa yang Allah ciptakan dan bentuk dari makhluk bernyawa. Sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Muslim,الذين يشبهون بخلق الله“Orang-orang yang meniru ciptaan Allah…”Telah datang banyak hadis yang mengancam para pembuat gambar dengan azab paling keras. Seperti sabda Nabi ﷺ,إن أشد الناس عذابًا عند الله يوم القيامة المصورون“Sesungguhnya orang yang paling keras azabnya di sisi Allah pada hari kiamat adalah para pembuat gambar.” (Muttafaq ‘alaih)Dan sabda beliau ﷺ,إن الذين يصنعون هذه الصور يعذبون يوم القيامة، يقال لهم أحيوا ما خلقتم“Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar ini akan diazab pada hari kiamat, dan akan dikatakan kepada mereka, ‘Hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan!’” (Muttafaq ‘alaih)Perintah ini tentu mustahil dilaksanakan. Pelajaran dari hadis ini adalah bahwa azab terhadap pembuat gambar adalah dengan ditugaskan untuk meniupkan ruh ke gambar tersebut—dan mereka tidak mampu melakukannya—sehingga siksaan itu berlangsung terus menerus. [18] Kewajiban beribadah hanya kepada AllahKita harus menyadari bahwa Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā tidak menciptakan makhluk yang agung ini sia-sia atau main-main, dan bukan pula tanpa tujuan. Allah menciptakan makhluk dengan tujuan yang agung. Sebagaimana firman-Nya,أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ“Apakah kalian mengira bahwa Kami menciptakan kalian secara sia-sia, dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. al-Mu’minūn: 115)Maksudnya, apakah kalian menyangka bahwa kalian diciptakan secara sia-sia, tanpa maksud dan hikmah dari Kami terhadap kalian? Maha Suci Allah dari hal tersebut.Allah juga menjelaskan tujuan agung penciptaan ini dalam firman-Nya,وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ والإنس إلا لِيَعْبُدُونِ“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (QS. adz-Dzāriyāt: 56) [19]Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mengesakan-Nya dalam peribadahan; dan memberikan taufik-Nya kepada kita untuk senantiasa takut, berharap, dan cinta kepada-Nya, serta menjauhkan kita dari segala bentuk syirik dan kesombongan. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Khabiir”***Rumdin PPIA Sragen, 18 Muharam 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444. Catatan kaki:[1] Disarikan dari An-Nahj al-Asmā’, hal. 112-118.[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548.[3] an-Nahj al-Asma, hal. 112.[4] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 268.[5] Al-Miṣbāḥ al-Munīr, 1: 180.[6] Al-Bayan, hal. 445.[7] At-Ta‘liq al-Asna, hal. 79.[8] Al-Bayan, hal. 548.[9] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 88.[10] Al-Miṣbāḥ al-Munīr, 1: 46.[11] Al-Bayan, hal. 548.[12] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 497.[13] Tafsīr Ṭabarī, 22: 555.[14] Ibid, 14: 106.[15] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80.[16] Tafsir as-Sa’di, hal. 947.  Lihat juga Fiqh al-Asma’, hal. 110.[17] Disarikan dari an-Nahj al-Asma, hal. 119.[18] Ibid, hal. 121.[19] Ibid, hal. 123.


Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Nama “al-Khāliq” (Maha Pencipta) dan “al-Khallāq”Nama “al-Bāri’” (Maha Mengadakan)Nama “al-Muṣawwir” (Maha Membentuk rupa)Kandungan makna nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Makna bahasa dari Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-MuṣawwirAl-KhāliqAl-KhallāqAl-Bāri’Al-MuṣawwirMakna Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir” bagi hambaBeriman bahwa nama-nama tersebut merupakan nama AllahDiharamkannya menggambar makhluk bernyawaKewajiban beribadah hanya kepada AllahMengenal nama-nama Allah merupakan jalan utama untuk merealisasikan tauhid ulūhiyyah — mentauhidkan Allah dalam ibadah. Sebab siapa saja yang mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-Nya, ia akan mencintai-Nya, tunduk kepada-Nya, dan hanya menyembah-Nya. Inilah tujuan penciptaan manusia: untuk beribadah kepada Allah semata, bukan kepada selain-Nya.Nama-nama seperti Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir menunjukkan bahwa hanya Allah yang menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan, menyusun bentuk dan rupa makhluk dengan hikmah dan keindahan. Maka hanya kepada-Nya pulalah pantas dipanjatkan doa, harap, takut, dan cinta — bukan kepada makhluk yang juga diciptakan oleh-Nya.Dalam tulisan ini, kita akan menelaah dalil empat nama agung ini dalam Al-Qur’an, makna yang dikandungnya, serta konsekuensinya bagi seorang hamba: yaitu kewajiban untuk hanya tunduk dan beribadah kepada Allah semata.Semoga menjadi sebab tegaknya tauhid ulūhiyyah dalam hati dan bertambahnya cinta kepada Rabbul Ālamīn.Dalil nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Nama-nama al-Khāliq, al-Bāri’, dan al-Muṣawwir disebutkan bersamaan dalam firman Allah Ta‘ala,هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ“Dialah Allah, al-Khāliq (Maha Pencipta), al-Bāri’ (Maha Mengadakan), al-Muṣawwir (Maha Membentuk Rupa).” (QS. Al-Hasyr: 24) Nama “al-Khāliq” (Maha Pencipta) dan “al-Khallāq”Nama al-Khāliq disebut dalam Al-Qur’an sebanyak sebelas kali, di antaranya:Dalam QS. Al-Hasyr: 24 (sudah disebutkan di atas).Firman Allah,فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ“Maka Mahasuci Allah, sebaik-baik pencipta.” (QS. Al-Mu’minūn: 14)Firman-Nya,أَفَرَأَيْتُم مَّا تُمْنُونَ – أَأَنتُمْ تَخْلُقُونَهُ أَمْ نَحْنُ الْخَالِقُونَ“Apakah kalian memperhatikan apa yang kalian pancarkan? Apakah kalian yang menciptakannya, atau Kami yang menciptakannya?” (QS. Al-Wāqi‘ah: 58–59)Dan masih banyak ayat lainnya.Nama ini juga datang dalam bentuk mubālaghah (penegasan makna secara lebih kuat) sebanyak dua kali,إِنَّ رَبَّكَ هُوَ الْخَلاَّقُ الْعَلِيمُ“Sesungguhnya Rabbmu, Dialah al-Khallāq lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Ḥijr: 86), dan:بلى وهو الخلاق العليم“Benar, dan Dia adalah al-Khallāq lagi Maha Mengetahui.” (QS. Yāsīn: 81) Nama “al-Bāri’” (Maha Mengadakan)Nama al-Bāri’ disebutkan tiga kali dalam Al-Qur’an, yaitu:Sekali dalam QS. Al-Hasyr: 24, telah berlalu penyebutannya.Dan dua kali dalam QS. Al-Baqarah: 54,فَتُوبُواْ إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ عِندَ بَارِئِكُمْ …“Maka bertobatlah kepada Yang Mengadakan kalian (al-Bāri’), lalu bunuhlah diri kalian sendiri. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian di sisi Yang Mengadakan kalian (al-Bāri’).” Nama “al-Muṣawwir” (Maha Membentuk rupa)Nama al-Muṣawwir disebutkan secara eksplisit satu kali, yaitu dalam QS. Al-Hasyr: 24, sebagaimana telah berlalu penyebutannya.Namun bentuk fi’il (kata kerja) dari nama ini disebutkan beberapa kali, di antaranya:هُوَ الَّذِي يُصَوِّرُكُمْ فِي الأَرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ“Dialah yang membentuk kalian dalam rahim sesuai dengan yang Dia kehendaki.” (QS. Āli ‘Imrān: 6)وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ“Dan sungguh Kami telah menciptakan kalian, kemudian Kami bentuk kalian …” (QS. Al-A‘rāf: 11) [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-MuṣawwirAl-KhāliqAl-Khāliq ( الْخَالِقُ ) adalah isim fā‘il (kata pelaku) dari kata kerja khalaqa – yakhluqu – khalqan (menciptakan). [2]Kata al-khalq dalam bahasa Arab memiliki dua makna: (1) penciptaan dalam bentuk baru, yang tidak ada sebelumnya, yaitu mengadakan sesuatu dari ketiadaan; dan (2) penetapan ukuran dan perancangan. [3]Ibnu Faris mengatakan,(‌خلق) الْخَاءُ وَاللَّامُ وَالْقَافُ أَصْلَانِ: أَحَدُهُمَا تَقْدِيرُ الشَّيْءِ، وَالْآخَرُ مَلَاسَةُ الشَّيْءِ“Kata (‌ خلق ) kha-lam-qa memiliki dua akar makna: pertama, penetapan ukuran atau perancangan sesuatu; kedua, kelicinan sesuatu.” [4]Al-Fuyyumiy mengatakan,وَأَصْلُ الْخَلْقِ التَّقْدِيرُ“Asal makna al-khalq adalah penetapan ukuran.” [5]Al-KhallāqAl-Khallāq ( الْخَلاَّقُ ) adalah bentuk mubālaghah (penegasan makna yang lebih kuat) dari khalaqa. [6]Bentuk mubālaghah (penekanan makna) dengan pola faʿʿāl ( فعّال ) menunjukkan makna banyak: yaitu banyaknya ciptaan Allah dan pengadaan-Nya, baik dari sisi jumlah maupun ragam bentuknya. [7]Al-Bāri’Al-Bāri’ ( الْبَارِئُ ) adalah isim fā‘il dari kata bara’a. [8]Ibnu Faris rahimahullah menyebutkan,(‌برأ) فَأَمَّا الْبَاءُ وَالرَّاءُ وَالْهَمْزَةُ فَأَصْلَانِ إِلَيْهِمَا تَرْجِعُ فُرُوعُ الْبَابِأَحَدُهُمَا الْخَلْقُ، يُقَالُ: ‌بَرَأَ اللَّهُ الْخَلْقَ يَبْرَؤُهُمْ بَرْءًاوَالْأَصْلُ الْآخَرُ: التَّبَاعُدُ مِنَ الشَّيْءِ وَمُزَايَلَتُهُ، مِنْ ذَلِكَ الْبُرْءُ وَهُوَ السَّلَامَةُ مِنَ السُّقْمِ“Kata (‌برأ) ba-ra-hamzah memiliki dua akar makna utama:(1) Penciptaan, seperti dalam kalimat, ‘Allah menciptakan makhluk’, (dan dari sinilah nama al-Bāri’ berasal) …(2) Pemisahan atau berlepas dari sesuatu, seperti dalam kata al-bur’, yang berarti kesembuhan dari penyakit.” [9]Al-Fuyyumiy mengatakan tentang makna kata ba – ra – ya:(ب ر ي) … وَبَرَأَ اللَّهُ تَعَالَى الْخَلِيقَةَ يَبْرَؤُهَا بِفَتْحَتَيْنِ خَلَقَهَا فَهُوَ الْبَارِئُ“Allah menciptakan makhluk, artinya: Dia mengadakan mereka, maka Dia adalah al-Bāri’.” [10]Al-MuṣawwirAl-Muṣawwir ( الْمُصَوِّرُ ) adalah isim fā‘il dari kata ṣawwara. [11]Ibnu Faris rahimahullah menyebutkan tentang makna ( صور ):الصَّادُ وَالْوَاوُ وَالرَّاءُ كَلِمَاتٌ كَثِيرَةٌ مُتَبَايِنَةُ الْأُصُولِ. وَلَيْسَ هَذَا الْبَابُ بِبَابِ قِيَاسٍ وَلَا اشْتِقَاقٍ. … مِنْ ذَلِكَ الصُّورَةُ صُورَةُ كُلِّ مَخْلُوقٍ، وَالْجَمْعُ صُوَرٌ، وَهِيَ هَيْئَةُ خِلْقَتِهِ. وَاللَّهُ تَعَالَى الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ.“(ṣad-waw-ra) memiliki banyak makna yang tidak satu akar, sehingga tidak masuk dalam kaidah analogi atau derivasi biasa. … Di antara maknanya adalah ṣūrah (rupa), yaitu bentuk ciptaan suatu makhluk. … Dan Allah Ta‘ala adalah al-Bāri’ dan al-Muṣawwir.” [12]Makna Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir dalam konteks AllahIbnu Jarir Ath-Thabari menyebutkan tentang firman Allah (Dia-lah Allah al-Khāliq, al-Bāri’, al-Muṣawwir… ) – [QS. Al-Ḥasyr: 24]:هو المعبودُ ‌الخالقُ، الذي لا معبودَ تصلُحُ له العبادةُ غيرُه، ولا خالقَ سِواه، البارئُ الذي بَرَأ الخلْقَ، فأوجَدهم بقدرتِه، المصوِّرُ خَلْقَه كيف شاء، وكيف يشاءُ.“Maknanya, ‘Dia-lah Dzat yang berhak disembah, Sang Pencipta. Tidak ada sesembahan yang pantas selain Dia, dan tidak ada Pencipta selain Dia. Al-Bāri’: yang menciptakan makhluk dan mengadakan mereka dengan kuasa-Nya. Al-Muṣawwir: yang membentuk makhluk-Nya sebagaimana Dia kehendaki.’” [13]Sedangkan tentang Al-Khallāq, beliau menyebutkan tentang firman Allah (yang artinya): (Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah al-Khallāq, al-‘Alīm) – [QS. Al-Ḥijr: 86],يقولُ تعالى ذكرُه: إن ربَّك هو الذي خلَقهم وخلَق كلَّ شيءٍ، وهو عالمٌ بهم وبتدبيرِهم، وما يَأْتون مِن الأفعالِ“Maknanya, ‘Sesungguhnya Rabbmu adalah yang menciptakan mereka dan menciptakan segala sesuatu, serta Maha Mengetahui tentang mereka dan apa yang mereka lakukan.’” [14]Ibnu Katsir rahimahullah ketika mentafsirkan surah al-Hasyr ayat 24, beliau mengatakan,وَقَوْلُهُ: {هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ} الْخَلْقُ: التَّقْدِيرُ، والبَراء: هُوَ الْفَرْيُ، وَهُوَ التَّنْفِيذُ وَإِبْرَازُ مَا قَدَّرَهُ وَقَرَّرَهُ إِلَى الْوُجُودِ، … {الْمُصَوِّرُ} أَيِ: الَّذِي يُنَفِّذُ مَا يُرِيدُ إِيجَادَهُ عَلَى الصِّفَةِ التي يريدها“Al-Khāliq (Yang Maha Mencipta), maknanya adalah tāqdīr (penetapan ukuran). Al-Bāri’ (Yang Maha Membuat), adalah al-fary, yaitu pelaksanaan dan penampakan dari apa yang telah ditakdirkan dan ditetapkan ke dalam wujud nyata. … Al-Muṣawwir (Yang Maha Membentuk), yaitu yang melaksanakan apa yang ingin Dia wujudkan dalam bentuk rupa yang Dia kehendaki.” [15]Syekh Abdurrahman bin Nashi As-Si’diy menjelaskan,“‌الخالق، البارئ، المصور” الذي خلق جميع الموجودات وبرأها وسواها بحكمته، وصورها بحمده وحكمته، وهو لم يزل ولا يزال على هذا الوصف العظيم“Al-Khāliq, Al-Bāri’, Al-Muṣawwir” adalah (Allah) yang menciptakan (mengukur) seluruh makhluk yang ada, lalu menjadikannya nyata, dan menyempurnakannya dengan hikmah-Nya. Dia membentuknya dengan pujian dan kebijaksanaan-Nya. Dan Dia senantiasa bersifat dengan sifat agung ini, sejak dahulu dan selamanya.” [16]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Wahhab”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir” bagi hambaPenetapan nama Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa nama-nama tersebut merupakan nama AllahBahwa Allah adalah satu-satunya Al-Khāliq (Pencipta), sedangkan selain-Nya adalah makhluk. Allah Ta‘ala berfirman,قُلِ اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ“Katakanlah: Allah adalah Pencipta segala sesuatu, dan Dia-lah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.” (QS. ar-Ra‘d: 16)Dan firman-Nya,هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ“Adakah pencipta selain Allah?” (QS. Fāṭir: 3)Maka segala sesuatu selain Allah adalah makhluk dan sesuatu yang baru (muhdats), yang sebelumnya tidak ada kemudian diciptakan. Seluruh makhluk didahului oleh ketiadaan, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,هَلْ أَتَى عَلَى الإِنسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْئًا مَذْكُورًا“Bukankah telah datang kepada manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang disebut?” (QS. al-Insān: 1) [17] Diharamkannya menggambar makhluk bernyawaAllah mengharamkan hamba-hamba-Nya untuk membuat gambar makhluk bernyawa, karena hal itu merupakan bentuk penyerupaan terhadap ciptaan Allah—yakni meniru apa yang Allah ciptakan dan bentuk dari makhluk bernyawa. Sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Muslim,الذين يشبهون بخلق الله“Orang-orang yang meniru ciptaan Allah…”Telah datang banyak hadis yang mengancam para pembuat gambar dengan azab paling keras. Seperti sabda Nabi ﷺ,إن أشد الناس عذابًا عند الله يوم القيامة المصورون“Sesungguhnya orang yang paling keras azabnya di sisi Allah pada hari kiamat adalah para pembuat gambar.” (Muttafaq ‘alaih)Dan sabda beliau ﷺ,إن الذين يصنعون هذه الصور يعذبون يوم القيامة، يقال لهم أحيوا ما خلقتم“Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar ini akan diazab pada hari kiamat, dan akan dikatakan kepada mereka, ‘Hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan!’” (Muttafaq ‘alaih)Perintah ini tentu mustahil dilaksanakan. Pelajaran dari hadis ini adalah bahwa azab terhadap pembuat gambar adalah dengan ditugaskan untuk meniupkan ruh ke gambar tersebut—dan mereka tidak mampu melakukannya—sehingga siksaan itu berlangsung terus menerus. [18] Kewajiban beribadah hanya kepada AllahKita harus menyadari bahwa Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā tidak menciptakan makhluk yang agung ini sia-sia atau main-main, dan bukan pula tanpa tujuan. Allah menciptakan makhluk dengan tujuan yang agung. Sebagaimana firman-Nya,أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ“Apakah kalian mengira bahwa Kami menciptakan kalian secara sia-sia, dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. al-Mu’minūn: 115)Maksudnya, apakah kalian menyangka bahwa kalian diciptakan secara sia-sia, tanpa maksud dan hikmah dari Kami terhadap kalian? Maha Suci Allah dari hal tersebut.Allah juga menjelaskan tujuan agung penciptaan ini dalam firman-Nya,وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ والإنس إلا لِيَعْبُدُونِ“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (QS. adz-Dzāriyāt: 56) [19]Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mengesakan-Nya dalam peribadahan; dan memberikan taufik-Nya kepada kita untuk senantiasa takut, berharap, dan cinta kepada-Nya, serta menjauhkan kita dari segala bentuk syirik dan kesombongan. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Khabiir”***Rumdin PPIA Sragen, 18 Muharam 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444. Catatan kaki:[1] Disarikan dari An-Nahj al-Asmā’, hal. 112-118.[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548.[3] an-Nahj al-Asma, hal. 112.[4] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 268.[5] Al-Miṣbāḥ al-Munīr, 1: 180.[6] Al-Bayan, hal. 445.[7] At-Ta‘liq al-Asna, hal. 79.[8] Al-Bayan, hal. 548.[9] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 88.[10] Al-Miṣbāḥ al-Munīr, 1: 46.[11] Al-Bayan, hal. 548.[12] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 497.[13] Tafsīr Ṭabarī, 22: 555.[14] Ibid, 14: 106.[15] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80.[16] Tafsir as-Sa’di, hal. 947.  Lihat juga Fiqh al-Asma’, hal. 110.[17] Disarikan dari an-Nahj al-Asma, hal. 119.[18] Ibid, hal. 121.[19] Ibid, hal. 123.

Allah Sesuai Prasangkamu – Kamu Mau Apa? Syaikh Shalih Alu asy-Syaikh #NasehatUlama

Kita wajib berbaik sangka kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Karena derajat pertama dari ketenangan adalah berbaik sangka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam menyifati orang-orang munafik: “…mereka berprasangka yang tidak benar terhadap Allah, seperti prasangka Jahiliyah…” (QS. Ali Imran: 154) Mereka berprasangka yang keliru terhadap Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab At-Tauhid dan dinukil dari kitab-kitab tafsir para ulama, yakni mereka berprasangka bahwa Allah tidak akan menolong agama-Nya, dan membiarkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kaum Mukminin mengalami kehancuran dan kekalahan. Itulah prasangka jahiliyah. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “…mereka berprasangka tidak benar terhadap Allah…” Yakni, mereka menyangka bahwa Allah tidak akan menolong Rasul-Nya, serta tidak menolong agama dan Kitab-Nya. Inilah prasangka jahiliyah, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an. Hal ini berpengaruh pada kesempurnaan tauhid seseorang. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam hadis sahih: “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku. Maka hendaklah ia berprasangka tentang-Ku sekehendaknya.” (HR. Ibnu Hibban dan Ahmad). Jadi, langkah awal untuk mengatasi rasa takut ini adalah dengan berkata: “Sangkaanku kepada Allah Jalla wa ‘Ala, bahwa Allah tidak akan meninggalkan umat ini tanpa memenangkan kebenaran di tengah-tengah mereka.” Karena serangan terhadap Islam di dunia saat ini sangat masif. Di mana pun, Islam sedang diserang: Serangan terhadap Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al-Qur’an, pengaburan terhadap kebenaran ajaran Islam, dan upaya membuat manusia membenci akidah Islam. Bahkan penyebaran atheisme dan pengingkaran iman terhadap Allah Jalla wa ‘Ala. Hendaknya kita berbaik sangka kepada Allah. Kita memberi sangkaan terbaik kepada Allah. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku. Maka hendaklah ia berprasangka tentang-Ku sekehendaknya.” (HR. Ibnu Hibban dan Ahmad). Artinya: Aku sesuai dengan keyakinan hamba-Ku terhadap-Ku. Silakan berprasangka apa pun terhadap Allah Jalla wa ‘Ala, tetapi hendaknya kita meyakini bahwa Allah akan menolong agama dan kitab-Nya, serta menjadikan kebenaran selalu menang. Umat ini pun tidak akan punah. Juga agama umat ini, keimanan mereka kepada Nabi-nya, kemenangan agama ini, dan para ulama yang membelanya. Semua ini tidak akan pernah sirna dari umat ini. ==== يَجِبُ عَلَيْنَا أَنْ نُحْسِنَ الظَّنَّ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَإِنَّ أَوَّلَ دَرَجَاتِ الطُّمَأْنِينَةِ حُسْنُ الظَّنِّ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى قَالَ جَلَّ وَعَلَا فِي وَصْفِ الْمُنَافِقِيْنَ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ يَعْنِي أَنَّ اللَّهَ كَمَا جَاءَ فِي كِتَابِ التَّوْحِيدِ وَنَقَلَهُ عَنْ كُتُبِ الْمُفَسِّرِيْنَ يَظُنُّونَ أَنَّ اللَّهَ لَا يَنْصُرُ دَيْنَهُ وَأَنَّهُ يَتْرُكُ رَسُولَهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَالْمُؤْمِنِينَ لِلْإِبَادَةِ وَالْهَزِيمَةِ هَذَا ظَنُّ الْجَاهِلِيَّةِ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ يَعْنِي هَذَا الظَّنُّ أَنَّ اللَّهَ لَا يَنْصُرُ رَسُولَهُ وَلَا يَنْصُرُ دِيْنَهُ وَلَا يَنْصُرُ كِتَابَهُ هَذَا ظَنُّ الْجَاهِلِيَّةِ بِنَصِّ الْقُرْآنِ وَهُوَ مُؤَثِّرٌ فِي كَمَالِ التَّوْحِيْدِ يَقُولُ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا كَمَا فِي الصَّحِيحِ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ فَإِذًا أَوَّلَ انْفِرَاجِهِ مِنْ هَذَا الْخَوْفِ أَنْ تَقُولَ ظَنِّي بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا أَلَّا يَتْرُكَ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِدُونِ ظُهُورٍ لِلْحَقِّ فِيهَا لِأَنَّ الْيَوْمَ الْهَجْمَةُ فِي الْعَالَمِ عَلَى الْإِسْلَامِ كَبِيرَةٌ فِي كُلِّ مَكَانٍ فِي الْعَالَمِ الْهَجْمَةُ عَلَى الْإِسْلَامِ عَلَى رَسُولِنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْقُرْآنِ عَلَى تَغْيِيبِ الْحَقَائِقِ الدِّينِيَّةِ عَلَى تَكْرِيْهِ النَّاسِ لِلْعَقِيدَةِ بَلْ عَلَى بَثِّ الْإِلْحَادِ وَعَدَمِ الْإِيمَانِ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا نَظُنُّ بِاللَّهِ الْخَيْرَ وَنَظُنُّ بِاللَّهِ أَحْسَنَ الظَّنِّ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ يَعْنِي أَنَا عِنْدَ اعْتِقَادِ عَبْدِي بِي أَنْ تَعْتَقِدَ فِي اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا مَا تَشَاءُ فَنَعتَقِدُ أَنَّ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا سَيَنْصُرُ دِيْنَهُ وَسَيَنْصُرُ كِتَابَهُ وَسَيَجْعَلُ كَلِمَةَ الْحَقِّ دَائِمَةً وَأَنَّهُ لَنْ تَخْبُوَ هَذِهِ الْأُمَّةُ وَدِيْنُ هَذِهِ الْأُمَّةِ وَإِيْمَانُهَا بِنَبِيِّهَا وَظُهُورُ هَذِهِ الْمِلَّةِ وَظُهُورُ أَهْلِ الْعِلْمِ لَنْ يَخْبُوَ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ

Allah Sesuai Prasangkamu – Kamu Mau Apa? Syaikh Shalih Alu asy-Syaikh #NasehatUlama

Kita wajib berbaik sangka kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Karena derajat pertama dari ketenangan adalah berbaik sangka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam menyifati orang-orang munafik: “…mereka berprasangka yang tidak benar terhadap Allah, seperti prasangka Jahiliyah…” (QS. Ali Imran: 154) Mereka berprasangka yang keliru terhadap Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab At-Tauhid dan dinukil dari kitab-kitab tafsir para ulama, yakni mereka berprasangka bahwa Allah tidak akan menolong agama-Nya, dan membiarkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kaum Mukminin mengalami kehancuran dan kekalahan. Itulah prasangka jahiliyah. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “…mereka berprasangka tidak benar terhadap Allah…” Yakni, mereka menyangka bahwa Allah tidak akan menolong Rasul-Nya, serta tidak menolong agama dan Kitab-Nya. Inilah prasangka jahiliyah, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an. Hal ini berpengaruh pada kesempurnaan tauhid seseorang. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam hadis sahih: “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku. Maka hendaklah ia berprasangka tentang-Ku sekehendaknya.” (HR. Ibnu Hibban dan Ahmad). Jadi, langkah awal untuk mengatasi rasa takut ini adalah dengan berkata: “Sangkaanku kepada Allah Jalla wa ‘Ala, bahwa Allah tidak akan meninggalkan umat ini tanpa memenangkan kebenaran di tengah-tengah mereka.” Karena serangan terhadap Islam di dunia saat ini sangat masif. Di mana pun, Islam sedang diserang: Serangan terhadap Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al-Qur’an, pengaburan terhadap kebenaran ajaran Islam, dan upaya membuat manusia membenci akidah Islam. Bahkan penyebaran atheisme dan pengingkaran iman terhadap Allah Jalla wa ‘Ala. Hendaknya kita berbaik sangka kepada Allah. Kita memberi sangkaan terbaik kepada Allah. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku. Maka hendaklah ia berprasangka tentang-Ku sekehendaknya.” (HR. Ibnu Hibban dan Ahmad). Artinya: Aku sesuai dengan keyakinan hamba-Ku terhadap-Ku. Silakan berprasangka apa pun terhadap Allah Jalla wa ‘Ala, tetapi hendaknya kita meyakini bahwa Allah akan menolong agama dan kitab-Nya, serta menjadikan kebenaran selalu menang. Umat ini pun tidak akan punah. Juga agama umat ini, keimanan mereka kepada Nabi-nya, kemenangan agama ini, dan para ulama yang membelanya. Semua ini tidak akan pernah sirna dari umat ini. ==== يَجِبُ عَلَيْنَا أَنْ نُحْسِنَ الظَّنَّ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَإِنَّ أَوَّلَ دَرَجَاتِ الطُّمَأْنِينَةِ حُسْنُ الظَّنِّ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى قَالَ جَلَّ وَعَلَا فِي وَصْفِ الْمُنَافِقِيْنَ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ يَعْنِي أَنَّ اللَّهَ كَمَا جَاءَ فِي كِتَابِ التَّوْحِيدِ وَنَقَلَهُ عَنْ كُتُبِ الْمُفَسِّرِيْنَ يَظُنُّونَ أَنَّ اللَّهَ لَا يَنْصُرُ دَيْنَهُ وَأَنَّهُ يَتْرُكُ رَسُولَهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَالْمُؤْمِنِينَ لِلْإِبَادَةِ وَالْهَزِيمَةِ هَذَا ظَنُّ الْجَاهِلِيَّةِ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ يَعْنِي هَذَا الظَّنُّ أَنَّ اللَّهَ لَا يَنْصُرُ رَسُولَهُ وَلَا يَنْصُرُ دِيْنَهُ وَلَا يَنْصُرُ كِتَابَهُ هَذَا ظَنُّ الْجَاهِلِيَّةِ بِنَصِّ الْقُرْآنِ وَهُوَ مُؤَثِّرٌ فِي كَمَالِ التَّوْحِيْدِ يَقُولُ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا كَمَا فِي الصَّحِيحِ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ فَإِذًا أَوَّلَ انْفِرَاجِهِ مِنْ هَذَا الْخَوْفِ أَنْ تَقُولَ ظَنِّي بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا أَلَّا يَتْرُكَ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِدُونِ ظُهُورٍ لِلْحَقِّ فِيهَا لِأَنَّ الْيَوْمَ الْهَجْمَةُ فِي الْعَالَمِ عَلَى الْإِسْلَامِ كَبِيرَةٌ فِي كُلِّ مَكَانٍ فِي الْعَالَمِ الْهَجْمَةُ عَلَى الْإِسْلَامِ عَلَى رَسُولِنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْقُرْآنِ عَلَى تَغْيِيبِ الْحَقَائِقِ الدِّينِيَّةِ عَلَى تَكْرِيْهِ النَّاسِ لِلْعَقِيدَةِ بَلْ عَلَى بَثِّ الْإِلْحَادِ وَعَدَمِ الْإِيمَانِ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا نَظُنُّ بِاللَّهِ الْخَيْرَ وَنَظُنُّ بِاللَّهِ أَحْسَنَ الظَّنِّ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ يَعْنِي أَنَا عِنْدَ اعْتِقَادِ عَبْدِي بِي أَنْ تَعْتَقِدَ فِي اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا مَا تَشَاءُ فَنَعتَقِدُ أَنَّ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا سَيَنْصُرُ دِيْنَهُ وَسَيَنْصُرُ كِتَابَهُ وَسَيَجْعَلُ كَلِمَةَ الْحَقِّ دَائِمَةً وَأَنَّهُ لَنْ تَخْبُوَ هَذِهِ الْأُمَّةُ وَدِيْنُ هَذِهِ الْأُمَّةِ وَإِيْمَانُهَا بِنَبِيِّهَا وَظُهُورُ هَذِهِ الْمِلَّةِ وَظُهُورُ أَهْلِ الْعِلْمِ لَنْ يَخْبُوَ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ
Kita wajib berbaik sangka kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Karena derajat pertama dari ketenangan adalah berbaik sangka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam menyifati orang-orang munafik: “…mereka berprasangka yang tidak benar terhadap Allah, seperti prasangka Jahiliyah…” (QS. Ali Imran: 154) Mereka berprasangka yang keliru terhadap Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab At-Tauhid dan dinukil dari kitab-kitab tafsir para ulama, yakni mereka berprasangka bahwa Allah tidak akan menolong agama-Nya, dan membiarkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kaum Mukminin mengalami kehancuran dan kekalahan. Itulah prasangka jahiliyah. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “…mereka berprasangka tidak benar terhadap Allah…” Yakni, mereka menyangka bahwa Allah tidak akan menolong Rasul-Nya, serta tidak menolong agama dan Kitab-Nya. Inilah prasangka jahiliyah, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an. Hal ini berpengaruh pada kesempurnaan tauhid seseorang. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam hadis sahih: “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku. Maka hendaklah ia berprasangka tentang-Ku sekehendaknya.” (HR. Ibnu Hibban dan Ahmad). Jadi, langkah awal untuk mengatasi rasa takut ini adalah dengan berkata: “Sangkaanku kepada Allah Jalla wa ‘Ala, bahwa Allah tidak akan meninggalkan umat ini tanpa memenangkan kebenaran di tengah-tengah mereka.” Karena serangan terhadap Islam di dunia saat ini sangat masif. Di mana pun, Islam sedang diserang: Serangan terhadap Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al-Qur’an, pengaburan terhadap kebenaran ajaran Islam, dan upaya membuat manusia membenci akidah Islam. Bahkan penyebaran atheisme dan pengingkaran iman terhadap Allah Jalla wa ‘Ala. Hendaknya kita berbaik sangka kepada Allah. Kita memberi sangkaan terbaik kepada Allah. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku. Maka hendaklah ia berprasangka tentang-Ku sekehendaknya.” (HR. Ibnu Hibban dan Ahmad). Artinya: Aku sesuai dengan keyakinan hamba-Ku terhadap-Ku. Silakan berprasangka apa pun terhadap Allah Jalla wa ‘Ala, tetapi hendaknya kita meyakini bahwa Allah akan menolong agama dan kitab-Nya, serta menjadikan kebenaran selalu menang. Umat ini pun tidak akan punah. Juga agama umat ini, keimanan mereka kepada Nabi-nya, kemenangan agama ini, dan para ulama yang membelanya. Semua ini tidak akan pernah sirna dari umat ini. ==== يَجِبُ عَلَيْنَا أَنْ نُحْسِنَ الظَّنَّ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَإِنَّ أَوَّلَ دَرَجَاتِ الطُّمَأْنِينَةِ حُسْنُ الظَّنِّ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى قَالَ جَلَّ وَعَلَا فِي وَصْفِ الْمُنَافِقِيْنَ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ يَعْنِي أَنَّ اللَّهَ كَمَا جَاءَ فِي كِتَابِ التَّوْحِيدِ وَنَقَلَهُ عَنْ كُتُبِ الْمُفَسِّرِيْنَ يَظُنُّونَ أَنَّ اللَّهَ لَا يَنْصُرُ دَيْنَهُ وَأَنَّهُ يَتْرُكُ رَسُولَهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَالْمُؤْمِنِينَ لِلْإِبَادَةِ وَالْهَزِيمَةِ هَذَا ظَنُّ الْجَاهِلِيَّةِ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ يَعْنِي هَذَا الظَّنُّ أَنَّ اللَّهَ لَا يَنْصُرُ رَسُولَهُ وَلَا يَنْصُرُ دِيْنَهُ وَلَا يَنْصُرُ كِتَابَهُ هَذَا ظَنُّ الْجَاهِلِيَّةِ بِنَصِّ الْقُرْآنِ وَهُوَ مُؤَثِّرٌ فِي كَمَالِ التَّوْحِيْدِ يَقُولُ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا كَمَا فِي الصَّحِيحِ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ فَإِذًا أَوَّلَ انْفِرَاجِهِ مِنْ هَذَا الْخَوْفِ أَنْ تَقُولَ ظَنِّي بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا أَلَّا يَتْرُكَ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِدُونِ ظُهُورٍ لِلْحَقِّ فِيهَا لِأَنَّ الْيَوْمَ الْهَجْمَةُ فِي الْعَالَمِ عَلَى الْإِسْلَامِ كَبِيرَةٌ فِي كُلِّ مَكَانٍ فِي الْعَالَمِ الْهَجْمَةُ عَلَى الْإِسْلَامِ عَلَى رَسُولِنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْقُرْآنِ عَلَى تَغْيِيبِ الْحَقَائِقِ الدِّينِيَّةِ عَلَى تَكْرِيْهِ النَّاسِ لِلْعَقِيدَةِ بَلْ عَلَى بَثِّ الْإِلْحَادِ وَعَدَمِ الْإِيمَانِ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا نَظُنُّ بِاللَّهِ الْخَيْرَ وَنَظُنُّ بِاللَّهِ أَحْسَنَ الظَّنِّ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ يَعْنِي أَنَا عِنْدَ اعْتِقَادِ عَبْدِي بِي أَنْ تَعْتَقِدَ فِي اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا مَا تَشَاءُ فَنَعتَقِدُ أَنَّ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا سَيَنْصُرُ دِيْنَهُ وَسَيَنْصُرُ كِتَابَهُ وَسَيَجْعَلُ كَلِمَةَ الْحَقِّ دَائِمَةً وَأَنَّهُ لَنْ تَخْبُوَ هَذِهِ الْأُمَّةُ وَدِيْنُ هَذِهِ الْأُمَّةِ وَإِيْمَانُهَا بِنَبِيِّهَا وَظُهُورُ هَذِهِ الْمِلَّةِ وَظُهُورُ أَهْلِ الْعِلْمِ لَنْ يَخْبُوَ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ


Kita wajib berbaik sangka kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Karena derajat pertama dari ketenangan adalah berbaik sangka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam menyifati orang-orang munafik: “…mereka berprasangka yang tidak benar terhadap Allah, seperti prasangka Jahiliyah…” (QS. Ali Imran: 154) Mereka berprasangka yang keliru terhadap Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab At-Tauhid dan dinukil dari kitab-kitab tafsir para ulama, yakni mereka berprasangka bahwa Allah tidak akan menolong agama-Nya, dan membiarkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kaum Mukminin mengalami kehancuran dan kekalahan. Itulah prasangka jahiliyah. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “…mereka berprasangka tidak benar terhadap Allah…” Yakni, mereka menyangka bahwa Allah tidak akan menolong Rasul-Nya, serta tidak menolong agama dan Kitab-Nya. Inilah prasangka jahiliyah, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an. Hal ini berpengaruh pada kesempurnaan tauhid seseorang. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam hadis sahih: “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku. Maka hendaklah ia berprasangka tentang-Ku sekehendaknya.” (HR. Ibnu Hibban dan Ahmad). Jadi, langkah awal untuk mengatasi rasa takut ini adalah dengan berkata: “Sangkaanku kepada Allah Jalla wa ‘Ala, bahwa Allah tidak akan meninggalkan umat ini tanpa memenangkan kebenaran di tengah-tengah mereka.” Karena serangan terhadap Islam di dunia saat ini sangat masif. Di mana pun, Islam sedang diserang: Serangan terhadap Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al-Qur’an, pengaburan terhadap kebenaran ajaran Islam, dan upaya membuat manusia membenci akidah Islam. Bahkan penyebaran atheisme dan pengingkaran iman terhadap Allah Jalla wa ‘Ala. Hendaknya kita berbaik sangka kepada Allah. Kita memberi sangkaan terbaik kepada Allah. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku. Maka hendaklah ia berprasangka tentang-Ku sekehendaknya.” (HR. Ibnu Hibban dan Ahmad). Artinya: Aku sesuai dengan keyakinan hamba-Ku terhadap-Ku. Silakan berprasangka apa pun terhadap Allah Jalla wa ‘Ala, tetapi hendaknya kita meyakini bahwa Allah akan menolong agama dan kitab-Nya, serta menjadikan kebenaran selalu menang. Umat ini pun tidak akan punah. Juga agama umat ini, keimanan mereka kepada Nabi-nya, kemenangan agama ini, dan para ulama yang membelanya. Semua ini tidak akan pernah sirna dari umat ini. ==== يَجِبُ عَلَيْنَا أَنْ نُحْسِنَ الظَّنَّ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَإِنَّ أَوَّلَ دَرَجَاتِ الطُّمَأْنِينَةِ حُسْنُ الظَّنِّ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى قَالَ جَلَّ وَعَلَا فِي وَصْفِ الْمُنَافِقِيْنَ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ يَعْنِي أَنَّ اللَّهَ كَمَا جَاءَ فِي كِتَابِ التَّوْحِيدِ وَنَقَلَهُ عَنْ كُتُبِ الْمُفَسِّرِيْنَ يَظُنُّونَ أَنَّ اللَّهَ لَا يَنْصُرُ دَيْنَهُ وَأَنَّهُ يَتْرُكُ رَسُولَهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَالْمُؤْمِنِينَ لِلْإِبَادَةِ وَالْهَزِيمَةِ هَذَا ظَنُّ الْجَاهِلِيَّةِ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ يَعْنِي هَذَا الظَّنُّ أَنَّ اللَّهَ لَا يَنْصُرُ رَسُولَهُ وَلَا يَنْصُرُ دِيْنَهُ وَلَا يَنْصُرُ كِتَابَهُ هَذَا ظَنُّ الْجَاهِلِيَّةِ بِنَصِّ الْقُرْآنِ وَهُوَ مُؤَثِّرٌ فِي كَمَالِ التَّوْحِيْدِ يَقُولُ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا كَمَا فِي الصَّحِيحِ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ فَإِذًا أَوَّلَ انْفِرَاجِهِ مِنْ هَذَا الْخَوْفِ أَنْ تَقُولَ ظَنِّي بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا أَلَّا يَتْرُكَ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِدُونِ ظُهُورٍ لِلْحَقِّ فِيهَا لِأَنَّ الْيَوْمَ الْهَجْمَةُ فِي الْعَالَمِ عَلَى الْإِسْلَامِ كَبِيرَةٌ فِي كُلِّ مَكَانٍ فِي الْعَالَمِ الْهَجْمَةُ عَلَى الْإِسْلَامِ عَلَى رَسُولِنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْقُرْآنِ عَلَى تَغْيِيبِ الْحَقَائِقِ الدِّينِيَّةِ عَلَى تَكْرِيْهِ النَّاسِ لِلْعَقِيدَةِ بَلْ عَلَى بَثِّ الْإِلْحَادِ وَعَدَمِ الْإِيمَانِ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا نَظُنُّ بِاللَّهِ الْخَيْرَ وَنَظُنُّ بِاللَّهِ أَحْسَنَ الظَّنِّ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ يَعْنِي أَنَا عِنْدَ اعْتِقَادِ عَبْدِي بِي أَنْ تَعْتَقِدَ فِي اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا مَا تَشَاءُ فَنَعتَقِدُ أَنَّ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا سَيَنْصُرُ دِيْنَهُ وَسَيَنْصُرُ كِتَابَهُ وَسَيَجْعَلُ كَلِمَةَ الْحَقِّ دَائِمَةً وَأَنَّهُ لَنْ تَخْبُوَ هَذِهِ الْأُمَّةُ وَدِيْنُ هَذِهِ الْأُمَّةِ وَإِيْمَانُهَا بِنَبِيِّهَا وَظُهُورُ هَذِهِ الْمِلَّةِ وَظُهُورُ أَهْلِ الْعِلْمِ لَنْ يَخْبُوَ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ

Takut yang Bikin Bahagia – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Bab yang pertama adalah bab tentang rasa takut kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Ini adalah bab yang sangat penting. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyoroti tentang ini. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman, “Dan bagi orang yang takut akan kebesaran Tuhannya, ada dua surga.” (QS. Ar-Rahman: 46). Bukankah Allah Yang Maha Perkasa dan Mulia telah berfirman: “Adapun orang yang takut akan kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka sungguh surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at: 40–41) Ada banyak sekali nash lain yang menunjukkan eratnya hubungan hati dengan rasa takut kepada Rabb Yang Maha Perkasa dan Mulia. Semua itu menunjukkan bahwa masuk surga bisa diraih dengan rasa takut kepada Rabb Yang Maha Perkasa dan Mulia. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman: “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti melalui para pengikutnya karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar orang beriman.” (QS. Ali Imran: 175) “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti melalui para pengikutnya…” yakni: menakut-nakuti kalian melalui para pengikutnya (dari kalangan orang musyrik). Maka Allah memerintahkan kalian untuk mengkhususkan rasa takut hanya kepada-Nya, Maha Suci dan Maha Tinggi Dia. Berapa banyak rasa takut yang bersarang dalam hatimu? Apakah kalian takut kepada negara-negara besar atau tidak? Kalian takut kepada Iran dan negara lainnya atau tidak? Kalian takut kepada pencuri atau tidak? Kalian takut kepada hewan-hewan buas atau tidak? Jadi, kalian memang takut? Mengapa kalian takut? Apakah mungkin engkau melakukan sesuatu di alam semesta ini yang tidak dikehendaki oleh Allah? Berarti, kita mengalami kekurangan dalam menumbuhkan rasa takut kepada Allah. Janganlah takut kepada serigala ataupun singa. Namun takutlah kepada Allah yang mampu menjadikanmu diserang oleh binatang-binatang itu. Karena, demi Allah! Sekali lagi, demi Allah! Engkau tidak akan keluar dari takdir Allah, walau hanya seruas jari! Karena itu, janganlah takut kecuali hanya kepada Allah. Tidakkah engkau mendengar firman Allah ‘Azza wa Jalla: “(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah dan mereka takut hanya kepada-Nya dan mereka tidak takut kepada siapa pun selain kepada Allah.” (QS. Al-Ahzab: 39). “…dan mereka tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah…” Maka janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian adalah orang-orang yang beriman. Berapa tingkatan rasa takut kepada Allah yang telah kalian capai? Sungguh, kekurangannya besar. Sangat besar! Kita takut kepada makhluk, dan kita lupa bahwa Allah Sang Pencipta adalah satu-satunya yang mengaturnya. Maka takutlah kepada Allah, dan jangan takut kepada makhluk. Sekiranya para hamba takut kepada Allah, demi Allah, niscaya keberkahan yang banyak akan turun kepada mereka, dan keadaan mereka akan menjadi baik. Keadilan akan menggantikan kezaliman, dan kebaikan akan menggantikan keburukan. Sekiranya seorang suami takut kepada Allah dalam memperlakukan istrinya, apakah dia akan menzalimi istrinya? Apakah suami akan mengurangi hak-hak istrinya? Sekiranya seorang istri takut kepada Allah, apakah dia akan berani menyelisihi perintah dan syariat Allah dalam memenuhi hak suaminya? Jadi, kita memiliki masalah besar dalam hal ini, yaitu lemahnya rasa takut kepada Tuhan Yang Maha Perkasa dan Maha Mulia. Mengapa kita harus takut kepada Allah? Bukankah Allah-lah yang mengatur seluruh alam semesta? Beberapa hari yang lalu kalian merasakan hawa panas. Berapa derajat suhu ketika itu? Berapa derajat suhu tertingginya? Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Mulia mampu menjadikannya 70, 80, 100, 150, bahkan 1000 derajat! Apakah Allah mampu atau tidak? Lantas, mengapa kalian tidak takut jika Allah menimpakan panas itu kepada kalian? Padahal Allah telah menimpakannya kepada kaum Nabi Syu’aib. “Kemudian mereka mendustakan Syu’aib, lalu mereka ditimpa azab pada hari mereka dinaungi awan…” (QS. Asy-Syu’ara: 189) Apa maksud azab di hari ketika mereka dinaungi awan itu? Mereka didatangi hawa yang sangat panas. Kemudian Allah mengirimkan awan kepada mereka. Lalu mereka berkumpul di bawah awan itu, untuk mendapat naungan. Maka Allah mengirim suara yang sangat keras, sehingga mereka mati dalam satu waktu. Apakah kalian merasa aman jika Allah menimpakan azab semacam itu kepada kalian? Bagaimana menurut kalian? Apakah kalian merasa aman tidak mengalami hal seperti para pasien di rumah sakit, yang hanya bisa menggerakkan matanya, sementara tubuhnya tak mampu digerakkan? Allah bisa saja mengirimkan mikroba yang hanya terlihat melalui mikroskop, dan mikroba itu dapat melumpuhkan seluruh tubuhmu dalam sekejap. Allah bisa menjatuhkanmu di tangga masjid hingga kamu mengalami kelumpuhan total. Apakah Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mampu? Demi Allah, tidak ada yang sulit bagi-Nya. Allah Maha Kuasa atas segalanya. Bagaimana mungkin kita tidak takut kepada Allah, padahal kita tahu bahwa sebentar lagi kita akan berdiri di hadapan-Nya, dan Allah akan bertanya kepada kita tentang seluruh amal kita, baik yang sedikit maupun yang banyak. Tidak seorang pun dari kalian kecuali akan diajak berbicara langsung oleh Tuhannya, tanpa ada penerjemah. Lalu ia melihat ke arah kanannya, dan ia tidak melihat kecuali amalnya. Ia melihat ke arah kirinya, dan tidak melihat kecuali amalnya. Ia melihat ke arah depan, dan tidak melihat kecuali neraka. Maka jagalah diri kalian dari neraka, meskipun hanya dengan menyedekahkan sepotong kurma. Apakah salah seorang dari kalian sanggup duduk di bawah terik matahari selama satu jam setelah Salat Zuhur? Padahal matahari itu sangat jauh. Mengapa kalian merasa kasihan pada diri sendiri untuk sekadar duduk di bawah terik matahari, tetapi kalian tidak merasa kasihan pada diri sendiri jika harus masuk ke dalam neraka Jahannam? Takutlah kepada Allah, agar Allah tidak memasukkanmu ke dalam neraka Jahannam. Takutlah kepada Allah, agar Allah tidak memasukkanmu ke dalam neraka Jahannam karena perbuatanmu. Rasa takut kepada Allah adalah kedudukan yang sangat agung dan mengandung pahala yang besar. Bagaimana mungkin engkau tidak takut kepada Allah, padahal Allah selalu mengawasimu? Apakah Allah mengawasi kalian atau tidak? “Sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik di bumi maupun di langit.” (QS. Ali Imran: 5) Allah menyebutkan sifat-Nya dengan berfirman: “Allah mengetahui (pandangan) mata yang khianat, dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Al-Mu’min: 19) Apa yang ada di hatimu, janganlah pernah menyangka bahwa Allah tidak mengetahuinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala, “…mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi.” (QS. Thaha: 7) Karena itu, takutlah kepada Allah. Selain itu, Allah juga menugaskan malaikat untuk mencatat amalmu, baik yang sedikit maupun yang banyak. “Sesungguhnya bagi kalian ada malaikat-malaikat yang mengawasi yang mulia dan mencatat amal perbuatan mereka mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Infithar: 10–12). Jadi, ini merupakan kedudukan yang agung, yaitu kedudukan rasa takut kepada Allah. Di akhir surat Al-Bayyinah, ketika Allah menyebutkan balasan bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh: “…surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya Untuk siapa balasan ini? Yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS. Al-Bayyinah: 8). Yaitu orang yang takut kepada Allah. ==== أَوَّلُ هَذِهِ الْأَبْوَابِ بَابُ الْخَوْفِ مِنَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا بَابٌ مُهِمٌّ رَكَّزَتْ عَلَيْهِ الْآيَاتُ الْقُرْآنِيَّةُ أَلَمْ يَقُلِ اللَّهُ تَعَالَى وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ وَأَلَمْ يَقُلْ رَبُّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ فِيهِ نُصُوصٌ كَثِيرَةٌ تَدُلُّ عَلَى رَبْطِ أَمْرِ الْقَلْبِ بِمَخَافَةِ رَبِّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ دُخُولَ الْجِنَانِ يَكُونُ بِخَوْفِ رَبِّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ يَقُولُ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ يَعْنِي يُخَوِّفُكُم مِنْ أَوْلِيَائِهِ فَأَمَرَكُمُ اللَّهُ أَنْ تَحْصُرُوا الْخَوْفَ بِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى كَمْ عِنْدَكَ مِنَ الْمَخَاوِفِ فِي قَلْبِكَ ؟ تَخَافُ مِنَ الدُّوَلِ الكُبْرَى وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ تَخَافُونَ مِنْ إِيْرَانَ وَغَيْرِ إِيْرَانَ وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ تَخَافُونَ مِنَ السُّرَّاقِ وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ تَخَافُونَ مِنَ الْحَيَوَانَاتِ الْمُفْتَرِسَةِ وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ إِذَنْ تَخَافُونَ ؟ لِمَاذَا تَخَافُون ؟ هَلْ يُمْكِنُ أَنْ تَفْعَلَ فِي الْكَوْنِ شَيْئاً لَمْ يُرِدْهُ اللَّهُ وَبِالتَّالِي عِنْدَنَا نَقْصٌ فِي مَقَامِ الْخَوْفِ مِنَ اللَّهِ لَا تَخَفْ مِنَ الذِّئْبِ وَلَا مِنَ الْأَسَدِ وَإِنَّمَا خِفْ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُسَلِّطَ عَلَيْكَ هَذِهِ الْحَيَوَانَاتِ فَإِنَّهَا وَاللَّهِ ثُمَّ وَاللَّهِ لَنْ تَخْرُجَ عَنْ قَدْرِ اللَّهِ مِقْدَارَ أُنْمُلَةٍ بِالتَّالِي لَا تَخَفْ إِلَّا مِنَ اللَّهِ أَلَمْ تَسْتَمِعْ لِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالَاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ كَمْ حَصَّلْتُمْ مِنْ دَرَجَةٍ فِي مَقَامِ الْخَوْفِ ؟ نَقْصٌ كَبِيرٌ نَقْصٌ كَبِيرٌ نَخَافُ مِنَ الْمَخْلُوقِ وَنَنْسَى أَنَّ الْخَالِقَ سُبْحَانَهُ هُوَ الَّذِي يُصَرِّفُهُ فَخَفْ مِنَ اللَّهِ وَلَا تَخَفْ مِنَ الْمَخْلُوقِ لَوْ قَدَّرْنَا أَنَّ الْعِبَادَ يَخَافُونَ مِنَ اللَّهِ وَاللَّهِ لَتَنْزِلَنَّ عَلَيْهِمُ الْبَرَكَاتُ وَلَتَصْلُحَنَّ أَحْوَالُهُمْ سَيَكُونُ الْعَدْلُ مَقَامَ الظُّلْمِ وَسَيَكُونُ الْخَيْرُ مَقَامَ الشَّرِّ لَوْ قُدِّرَ أَنَّ الزَّوْجَ يَخَافُ اللَّهَ فِي زَوْجَتِهِ يَظْلِمُهَا ؟ يَبْخَسُهَا حُقُوقَهَا لَوْ قُدِّرَ أَنَّ الزَّوْجَةَ تَخَافُ اللَّهَ هَلْ سَتُخَالِفُ أَمْرَ اللَّهِ وَشَرْعَهُ فِي حُقُوقِ زَوْجِهَا ؟ إِذاً عِنْدَنَا إِشْكَالِيَّةٌ كَبِيرَةٌ فِي هَذَا الْمَقَامِ مَقَامِ مَخَافَةِ رَبِّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ لِمَاذَا نَخَافُ اللَّه ؟ أَلَيْسَ اللَّهُ هُوَ الْمُتَصَرِّفُ فِي الْكَوْنِ ؟ جَاءَكُمُ الْحَرُّ قَبْلَ اْلأَيَّامِ كَمْ وَصَلَتِ الْحَرَارَةُ ؟ أَقْصَى مَا وَصَلَتْ ؟ يَقْدِرُ رَبُّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ يَجْعَلُهَا سَبْعِينَ وَثَمَانِينَ وَمِئَةً وَمِئَةً وَخَمْسِينَ وَأَلْفاً يَقْدِرُ وَلَا مَا يَقْدِرُ ؟ كَيْفَ لَا تَخَافُونَ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُسَلِّطَ عَلَيْكُمُ الْحَرَّ ؟ وَقَد سَلَّطَهُ عَلَى قَوْمِ شُعَيْبٍ فَكَذَّبُوهُ فَأَخَذَهُمْ عَذَابُ يَوْمِ الظُّلَّةِ أَيْش عَذَابُ يَوْمِ الظُّلَّةِ؟ جَاءَهُمْ حَرٌّ شَدِيدٌ ثُمَّ أَرْسَلَ اللَّهُ لَهُمْ سَحَابَةً فَاجْتَمَعُوا عِنْدَهَا يَبْحَثُونَ عَنِ الظِّلِّ فَأَرْسَلَ اللَّهُ عَلَيْهِمُ الصَّيْحَةَ فَمَاتُوا فِي مَقَامٍ وَاحِدٍ هَلْ أَنْتُمْ بِمَأْمَنٍ أَنْ يُسَلِّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ مِثْلَ هَذَا الْعَذَابِ ؟ وَيْش تَقُولُونَ ؟ هَلْ أَنْتَ بِمَأْمَنٍ أَنْ تَكُونَ مِثْلَ هَؤُلَاءِ الْمَرْضَى الَّذِينَ فِي الْمُسْتَشْفَى يُحَرِّكُوْنَ أَعْيُنَهُمْ وَلَا يَسْتَطِيعُونَ أَنْ يُحَرِّكُوا أَبْدَانَهُمْ يُرْسِلُ لَكَ مِيكْرُوبَ مَا شَافَ إِلَّا بِالتِّلِسْكُوْبِ الدَّقِيقِ وَيُشِلَّ أَعْضَاءَكَ كُلَّهَا فِي لَحْظَةٍ يُطَيِّحُكُم مَعَ دَرَجَةِ الْمَسْجِدِ وَيَجِيْئُكَ شَلَلٌ رُبَاعِيٌّ يَعْجِزُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَاللَّهِ لَا يُعْجِزُهُ شَيْءٌ عَلَى كُلِّ شيءٍ قَدِيرٌ كَيْفَ لَا نَخَافُ مِنَ اللَّهِ وَنَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّنَا سَنَقِفُ بَيْنَ يَدَيْهِ عَمَّا قَرِيبٌ وَسَيَسْأَلُنَا عَنْ أَعْمَالِنَا قَلِيلِهَا وَكَثِيرِهَا مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا سَيُكَلِّمُهُ رَبُّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تَرْجُمَانٌ فَيَنْظُرُ أَيْمَنَ مِنْهُ فَلَا يَرَى إِلَّا مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ شَمَالَ مِنْهُ فَلَا يَرَى إِلاَّ مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ فَلَا يَرَى إِلاَّ النَّارَ فَاتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ يَسْتَطِيعُ وَاحِدٌ مِنْكُمْ يَجْلِسُ فِي الشَّمْسِ عُقْبَ صَلَاةِ الظُّهْرِ سَاعَةً ؟ الشَّمْسُ بَعِيْدَةٌ فَكَيْفَ تَنْعَى بِنَفْسِكَ عَنِ الْجُلُوْسِ فِي الشَّمْسِ وَلَا تَنْعَى بِنَفْسِكَ عَنْ دُخُولِ نَارِ جَهَنَّمَ خَفْ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُدْخِلَكَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَفْ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُدْخِلَكَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ بِفِعْلِكَ مَقَامُ الْخَوْفِ مَقَامٌ عَظِيمٌ فِيهِ أَجْرٌ كَبِيرٌ كَيْفَ لَا تَخَافُ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ يُرَاقِبُكَ يُرَاقِبُكُمْ وَلَا مَا يُرَاقِبُكُمْ؟إِنَّ اللَّهَ لَا يَخْفَىٰ عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ يَصِفُ نَفْسَهُ فَيَقُولُ يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُالَّذِي فِي صَدْرِكَ مَا تَحْسِبُ أَنَّ اللَّهَ مَا مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَبِالتَّالِي خَفْ مِنَ اللَّهِ ثُمَّ حَطَّ عَلَيْك مَنْ يُسَجِّلُ أَعْمَالَكَ قَلِيلَهَا وَكَثِيرَهَا وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِيْنَ كِرَامًا كَاتِبِينَ يَعْلَمُوْنَ مَا تَفْعَلُونَ إِذاً هَذَا مَقَامٌ عَظِيمٌ مَقَامُ الْخَوْفِ مِنَ اللَّهِ فِي آخِرِ سُورَةِ الْبَيِّنَةِ لَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ جَزَاءَ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ لِمَن ؟ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ يَعْنِي خَافَ مِنَ اللَّهِ

Takut yang Bikin Bahagia – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Bab yang pertama adalah bab tentang rasa takut kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Ini adalah bab yang sangat penting. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyoroti tentang ini. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman, “Dan bagi orang yang takut akan kebesaran Tuhannya, ada dua surga.” (QS. Ar-Rahman: 46). Bukankah Allah Yang Maha Perkasa dan Mulia telah berfirman: “Adapun orang yang takut akan kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka sungguh surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at: 40–41) Ada banyak sekali nash lain yang menunjukkan eratnya hubungan hati dengan rasa takut kepada Rabb Yang Maha Perkasa dan Mulia. Semua itu menunjukkan bahwa masuk surga bisa diraih dengan rasa takut kepada Rabb Yang Maha Perkasa dan Mulia. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman: “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti melalui para pengikutnya karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar orang beriman.” (QS. Ali Imran: 175) “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti melalui para pengikutnya…” yakni: menakut-nakuti kalian melalui para pengikutnya (dari kalangan orang musyrik). Maka Allah memerintahkan kalian untuk mengkhususkan rasa takut hanya kepada-Nya, Maha Suci dan Maha Tinggi Dia. Berapa banyak rasa takut yang bersarang dalam hatimu? Apakah kalian takut kepada negara-negara besar atau tidak? Kalian takut kepada Iran dan negara lainnya atau tidak? Kalian takut kepada pencuri atau tidak? Kalian takut kepada hewan-hewan buas atau tidak? Jadi, kalian memang takut? Mengapa kalian takut? Apakah mungkin engkau melakukan sesuatu di alam semesta ini yang tidak dikehendaki oleh Allah? Berarti, kita mengalami kekurangan dalam menumbuhkan rasa takut kepada Allah. Janganlah takut kepada serigala ataupun singa. Namun takutlah kepada Allah yang mampu menjadikanmu diserang oleh binatang-binatang itu. Karena, demi Allah! Sekali lagi, demi Allah! Engkau tidak akan keluar dari takdir Allah, walau hanya seruas jari! Karena itu, janganlah takut kecuali hanya kepada Allah. Tidakkah engkau mendengar firman Allah ‘Azza wa Jalla: “(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah dan mereka takut hanya kepada-Nya dan mereka tidak takut kepada siapa pun selain kepada Allah.” (QS. Al-Ahzab: 39). “…dan mereka tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah…” Maka janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian adalah orang-orang yang beriman. Berapa tingkatan rasa takut kepada Allah yang telah kalian capai? Sungguh, kekurangannya besar. Sangat besar! Kita takut kepada makhluk, dan kita lupa bahwa Allah Sang Pencipta adalah satu-satunya yang mengaturnya. Maka takutlah kepada Allah, dan jangan takut kepada makhluk. Sekiranya para hamba takut kepada Allah, demi Allah, niscaya keberkahan yang banyak akan turun kepada mereka, dan keadaan mereka akan menjadi baik. Keadilan akan menggantikan kezaliman, dan kebaikan akan menggantikan keburukan. Sekiranya seorang suami takut kepada Allah dalam memperlakukan istrinya, apakah dia akan menzalimi istrinya? Apakah suami akan mengurangi hak-hak istrinya? Sekiranya seorang istri takut kepada Allah, apakah dia akan berani menyelisihi perintah dan syariat Allah dalam memenuhi hak suaminya? Jadi, kita memiliki masalah besar dalam hal ini, yaitu lemahnya rasa takut kepada Tuhan Yang Maha Perkasa dan Maha Mulia. Mengapa kita harus takut kepada Allah? Bukankah Allah-lah yang mengatur seluruh alam semesta? Beberapa hari yang lalu kalian merasakan hawa panas. Berapa derajat suhu ketika itu? Berapa derajat suhu tertingginya? Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Mulia mampu menjadikannya 70, 80, 100, 150, bahkan 1000 derajat! Apakah Allah mampu atau tidak? Lantas, mengapa kalian tidak takut jika Allah menimpakan panas itu kepada kalian? Padahal Allah telah menimpakannya kepada kaum Nabi Syu’aib. “Kemudian mereka mendustakan Syu’aib, lalu mereka ditimpa azab pada hari mereka dinaungi awan…” (QS. Asy-Syu’ara: 189) Apa maksud azab di hari ketika mereka dinaungi awan itu? Mereka didatangi hawa yang sangat panas. Kemudian Allah mengirimkan awan kepada mereka. Lalu mereka berkumpul di bawah awan itu, untuk mendapat naungan. Maka Allah mengirim suara yang sangat keras, sehingga mereka mati dalam satu waktu. Apakah kalian merasa aman jika Allah menimpakan azab semacam itu kepada kalian? Bagaimana menurut kalian? Apakah kalian merasa aman tidak mengalami hal seperti para pasien di rumah sakit, yang hanya bisa menggerakkan matanya, sementara tubuhnya tak mampu digerakkan? Allah bisa saja mengirimkan mikroba yang hanya terlihat melalui mikroskop, dan mikroba itu dapat melumpuhkan seluruh tubuhmu dalam sekejap. Allah bisa menjatuhkanmu di tangga masjid hingga kamu mengalami kelumpuhan total. Apakah Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mampu? Demi Allah, tidak ada yang sulit bagi-Nya. Allah Maha Kuasa atas segalanya. Bagaimana mungkin kita tidak takut kepada Allah, padahal kita tahu bahwa sebentar lagi kita akan berdiri di hadapan-Nya, dan Allah akan bertanya kepada kita tentang seluruh amal kita, baik yang sedikit maupun yang banyak. Tidak seorang pun dari kalian kecuali akan diajak berbicara langsung oleh Tuhannya, tanpa ada penerjemah. Lalu ia melihat ke arah kanannya, dan ia tidak melihat kecuali amalnya. Ia melihat ke arah kirinya, dan tidak melihat kecuali amalnya. Ia melihat ke arah depan, dan tidak melihat kecuali neraka. Maka jagalah diri kalian dari neraka, meskipun hanya dengan menyedekahkan sepotong kurma. Apakah salah seorang dari kalian sanggup duduk di bawah terik matahari selama satu jam setelah Salat Zuhur? Padahal matahari itu sangat jauh. Mengapa kalian merasa kasihan pada diri sendiri untuk sekadar duduk di bawah terik matahari, tetapi kalian tidak merasa kasihan pada diri sendiri jika harus masuk ke dalam neraka Jahannam? Takutlah kepada Allah, agar Allah tidak memasukkanmu ke dalam neraka Jahannam. Takutlah kepada Allah, agar Allah tidak memasukkanmu ke dalam neraka Jahannam karena perbuatanmu. Rasa takut kepada Allah adalah kedudukan yang sangat agung dan mengandung pahala yang besar. Bagaimana mungkin engkau tidak takut kepada Allah, padahal Allah selalu mengawasimu? Apakah Allah mengawasi kalian atau tidak? “Sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik di bumi maupun di langit.” (QS. Ali Imran: 5) Allah menyebutkan sifat-Nya dengan berfirman: “Allah mengetahui (pandangan) mata yang khianat, dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Al-Mu’min: 19) Apa yang ada di hatimu, janganlah pernah menyangka bahwa Allah tidak mengetahuinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala, “…mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi.” (QS. Thaha: 7) Karena itu, takutlah kepada Allah. Selain itu, Allah juga menugaskan malaikat untuk mencatat amalmu, baik yang sedikit maupun yang banyak. “Sesungguhnya bagi kalian ada malaikat-malaikat yang mengawasi yang mulia dan mencatat amal perbuatan mereka mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Infithar: 10–12). Jadi, ini merupakan kedudukan yang agung, yaitu kedudukan rasa takut kepada Allah. Di akhir surat Al-Bayyinah, ketika Allah menyebutkan balasan bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh: “…surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya Untuk siapa balasan ini? Yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS. Al-Bayyinah: 8). Yaitu orang yang takut kepada Allah. ==== أَوَّلُ هَذِهِ الْأَبْوَابِ بَابُ الْخَوْفِ مِنَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا بَابٌ مُهِمٌّ رَكَّزَتْ عَلَيْهِ الْآيَاتُ الْقُرْآنِيَّةُ أَلَمْ يَقُلِ اللَّهُ تَعَالَى وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ وَأَلَمْ يَقُلْ رَبُّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ فِيهِ نُصُوصٌ كَثِيرَةٌ تَدُلُّ عَلَى رَبْطِ أَمْرِ الْقَلْبِ بِمَخَافَةِ رَبِّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ دُخُولَ الْجِنَانِ يَكُونُ بِخَوْفِ رَبِّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ يَقُولُ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ يَعْنِي يُخَوِّفُكُم مِنْ أَوْلِيَائِهِ فَأَمَرَكُمُ اللَّهُ أَنْ تَحْصُرُوا الْخَوْفَ بِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى كَمْ عِنْدَكَ مِنَ الْمَخَاوِفِ فِي قَلْبِكَ ؟ تَخَافُ مِنَ الدُّوَلِ الكُبْرَى وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ تَخَافُونَ مِنْ إِيْرَانَ وَغَيْرِ إِيْرَانَ وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ تَخَافُونَ مِنَ السُّرَّاقِ وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ تَخَافُونَ مِنَ الْحَيَوَانَاتِ الْمُفْتَرِسَةِ وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ إِذَنْ تَخَافُونَ ؟ لِمَاذَا تَخَافُون ؟ هَلْ يُمْكِنُ أَنْ تَفْعَلَ فِي الْكَوْنِ شَيْئاً لَمْ يُرِدْهُ اللَّهُ وَبِالتَّالِي عِنْدَنَا نَقْصٌ فِي مَقَامِ الْخَوْفِ مِنَ اللَّهِ لَا تَخَفْ مِنَ الذِّئْبِ وَلَا مِنَ الْأَسَدِ وَإِنَّمَا خِفْ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُسَلِّطَ عَلَيْكَ هَذِهِ الْحَيَوَانَاتِ فَإِنَّهَا وَاللَّهِ ثُمَّ وَاللَّهِ لَنْ تَخْرُجَ عَنْ قَدْرِ اللَّهِ مِقْدَارَ أُنْمُلَةٍ بِالتَّالِي لَا تَخَفْ إِلَّا مِنَ اللَّهِ أَلَمْ تَسْتَمِعْ لِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالَاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ كَمْ حَصَّلْتُمْ مِنْ دَرَجَةٍ فِي مَقَامِ الْخَوْفِ ؟ نَقْصٌ كَبِيرٌ نَقْصٌ كَبِيرٌ نَخَافُ مِنَ الْمَخْلُوقِ وَنَنْسَى أَنَّ الْخَالِقَ سُبْحَانَهُ هُوَ الَّذِي يُصَرِّفُهُ فَخَفْ مِنَ اللَّهِ وَلَا تَخَفْ مِنَ الْمَخْلُوقِ لَوْ قَدَّرْنَا أَنَّ الْعِبَادَ يَخَافُونَ مِنَ اللَّهِ وَاللَّهِ لَتَنْزِلَنَّ عَلَيْهِمُ الْبَرَكَاتُ وَلَتَصْلُحَنَّ أَحْوَالُهُمْ سَيَكُونُ الْعَدْلُ مَقَامَ الظُّلْمِ وَسَيَكُونُ الْخَيْرُ مَقَامَ الشَّرِّ لَوْ قُدِّرَ أَنَّ الزَّوْجَ يَخَافُ اللَّهَ فِي زَوْجَتِهِ يَظْلِمُهَا ؟ يَبْخَسُهَا حُقُوقَهَا لَوْ قُدِّرَ أَنَّ الزَّوْجَةَ تَخَافُ اللَّهَ هَلْ سَتُخَالِفُ أَمْرَ اللَّهِ وَشَرْعَهُ فِي حُقُوقِ زَوْجِهَا ؟ إِذاً عِنْدَنَا إِشْكَالِيَّةٌ كَبِيرَةٌ فِي هَذَا الْمَقَامِ مَقَامِ مَخَافَةِ رَبِّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ لِمَاذَا نَخَافُ اللَّه ؟ أَلَيْسَ اللَّهُ هُوَ الْمُتَصَرِّفُ فِي الْكَوْنِ ؟ جَاءَكُمُ الْحَرُّ قَبْلَ اْلأَيَّامِ كَمْ وَصَلَتِ الْحَرَارَةُ ؟ أَقْصَى مَا وَصَلَتْ ؟ يَقْدِرُ رَبُّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ يَجْعَلُهَا سَبْعِينَ وَثَمَانِينَ وَمِئَةً وَمِئَةً وَخَمْسِينَ وَأَلْفاً يَقْدِرُ وَلَا مَا يَقْدِرُ ؟ كَيْفَ لَا تَخَافُونَ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُسَلِّطَ عَلَيْكُمُ الْحَرَّ ؟ وَقَد سَلَّطَهُ عَلَى قَوْمِ شُعَيْبٍ فَكَذَّبُوهُ فَأَخَذَهُمْ عَذَابُ يَوْمِ الظُّلَّةِ أَيْش عَذَابُ يَوْمِ الظُّلَّةِ؟ جَاءَهُمْ حَرٌّ شَدِيدٌ ثُمَّ أَرْسَلَ اللَّهُ لَهُمْ سَحَابَةً فَاجْتَمَعُوا عِنْدَهَا يَبْحَثُونَ عَنِ الظِّلِّ فَأَرْسَلَ اللَّهُ عَلَيْهِمُ الصَّيْحَةَ فَمَاتُوا فِي مَقَامٍ وَاحِدٍ هَلْ أَنْتُمْ بِمَأْمَنٍ أَنْ يُسَلِّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ مِثْلَ هَذَا الْعَذَابِ ؟ وَيْش تَقُولُونَ ؟ هَلْ أَنْتَ بِمَأْمَنٍ أَنْ تَكُونَ مِثْلَ هَؤُلَاءِ الْمَرْضَى الَّذِينَ فِي الْمُسْتَشْفَى يُحَرِّكُوْنَ أَعْيُنَهُمْ وَلَا يَسْتَطِيعُونَ أَنْ يُحَرِّكُوا أَبْدَانَهُمْ يُرْسِلُ لَكَ مِيكْرُوبَ مَا شَافَ إِلَّا بِالتِّلِسْكُوْبِ الدَّقِيقِ وَيُشِلَّ أَعْضَاءَكَ كُلَّهَا فِي لَحْظَةٍ يُطَيِّحُكُم مَعَ دَرَجَةِ الْمَسْجِدِ وَيَجِيْئُكَ شَلَلٌ رُبَاعِيٌّ يَعْجِزُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَاللَّهِ لَا يُعْجِزُهُ شَيْءٌ عَلَى كُلِّ شيءٍ قَدِيرٌ كَيْفَ لَا نَخَافُ مِنَ اللَّهِ وَنَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّنَا سَنَقِفُ بَيْنَ يَدَيْهِ عَمَّا قَرِيبٌ وَسَيَسْأَلُنَا عَنْ أَعْمَالِنَا قَلِيلِهَا وَكَثِيرِهَا مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا سَيُكَلِّمُهُ رَبُّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تَرْجُمَانٌ فَيَنْظُرُ أَيْمَنَ مِنْهُ فَلَا يَرَى إِلَّا مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ شَمَالَ مِنْهُ فَلَا يَرَى إِلاَّ مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ فَلَا يَرَى إِلاَّ النَّارَ فَاتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ يَسْتَطِيعُ وَاحِدٌ مِنْكُمْ يَجْلِسُ فِي الشَّمْسِ عُقْبَ صَلَاةِ الظُّهْرِ سَاعَةً ؟ الشَّمْسُ بَعِيْدَةٌ فَكَيْفَ تَنْعَى بِنَفْسِكَ عَنِ الْجُلُوْسِ فِي الشَّمْسِ وَلَا تَنْعَى بِنَفْسِكَ عَنْ دُخُولِ نَارِ جَهَنَّمَ خَفْ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُدْخِلَكَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَفْ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُدْخِلَكَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ بِفِعْلِكَ مَقَامُ الْخَوْفِ مَقَامٌ عَظِيمٌ فِيهِ أَجْرٌ كَبِيرٌ كَيْفَ لَا تَخَافُ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ يُرَاقِبُكَ يُرَاقِبُكُمْ وَلَا مَا يُرَاقِبُكُمْ؟إِنَّ اللَّهَ لَا يَخْفَىٰ عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ يَصِفُ نَفْسَهُ فَيَقُولُ يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُالَّذِي فِي صَدْرِكَ مَا تَحْسِبُ أَنَّ اللَّهَ مَا مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَبِالتَّالِي خَفْ مِنَ اللَّهِ ثُمَّ حَطَّ عَلَيْك مَنْ يُسَجِّلُ أَعْمَالَكَ قَلِيلَهَا وَكَثِيرَهَا وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِيْنَ كِرَامًا كَاتِبِينَ يَعْلَمُوْنَ مَا تَفْعَلُونَ إِذاً هَذَا مَقَامٌ عَظِيمٌ مَقَامُ الْخَوْفِ مِنَ اللَّهِ فِي آخِرِ سُورَةِ الْبَيِّنَةِ لَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ جَزَاءَ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ لِمَن ؟ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ يَعْنِي خَافَ مِنَ اللَّهِ
Bab yang pertama adalah bab tentang rasa takut kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Ini adalah bab yang sangat penting. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyoroti tentang ini. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman, “Dan bagi orang yang takut akan kebesaran Tuhannya, ada dua surga.” (QS. Ar-Rahman: 46). Bukankah Allah Yang Maha Perkasa dan Mulia telah berfirman: “Adapun orang yang takut akan kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka sungguh surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at: 40–41) Ada banyak sekali nash lain yang menunjukkan eratnya hubungan hati dengan rasa takut kepada Rabb Yang Maha Perkasa dan Mulia. Semua itu menunjukkan bahwa masuk surga bisa diraih dengan rasa takut kepada Rabb Yang Maha Perkasa dan Mulia. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman: “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti melalui para pengikutnya karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar orang beriman.” (QS. Ali Imran: 175) “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti melalui para pengikutnya…” yakni: menakut-nakuti kalian melalui para pengikutnya (dari kalangan orang musyrik). Maka Allah memerintahkan kalian untuk mengkhususkan rasa takut hanya kepada-Nya, Maha Suci dan Maha Tinggi Dia. Berapa banyak rasa takut yang bersarang dalam hatimu? Apakah kalian takut kepada negara-negara besar atau tidak? Kalian takut kepada Iran dan negara lainnya atau tidak? Kalian takut kepada pencuri atau tidak? Kalian takut kepada hewan-hewan buas atau tidak? Jadi, kalian memang takut? Mengapa kalian takut? Apakah mungkin engkau melakukan sesuatu di alam semesta ini yang tidak dikehendaki oleh Allah? Berarti, kita mengalami kekurangan dalam menumbuhkan rasa takut kepada Allah. Janganlah takut kepada serigala ataupun singa. Namun takutlah kepada Allah yang mampu menjadikanmu diserang oleh binatang-binatang itu. Karena, demi Allah! Sekali lagi, demi Allah! Engkau tidak akan keluar dari takdir Allah, walau hanya seruas jari! Karena itu, janganlah takut kecuali hanya kepada Allah. Tidakkah engkau mendengar firman Allah ‘Azza wa Jalla: “(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah dan mereka takut hanya kepada-Nya dan mereka tidak takut kepada siapa pun selain kepada Allah.” (QS. Al-Ahzab: 39). “…dan mereka tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah…” Maka janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian adalah orang-orang yang beriman. Berapa tingkatan rasa takut kepada Allah yang telah kalian capai? Sungguh, kekurangannya besar. Sangat besar! Kita takut kepada makhluk, dan kita lupa bahwa Allah Sang Pencipta adalah satu-satunya yang mengaturnya. Maka takutlah kepada Allah, dan jangan takut kepada makhluk. Sekiranya para hamba takut kepada Allah, demi Allah, niscaya keberkahan yang banyak akan turun kepada mereka, dan keadaan mereka akan menjadi baik. Keadilan akan menggantikan kezaliman, dan kebaikan akan menggantikan keburukan. Sekiranya seorang suami takut kepada Allah dalam memperlakukan istrinya, apakah dia akan menzalimi istrinya? Apakah suami akan mengurangi hak-hak istrinya? Sekiranya seorang istri takut kepada Allah, apakah dia akan berani menyelisihi perintah dan syariat Allah dalam memenuhi hak suaminya? Jadi, kita memiliki masalah besar dalam hal ini, yaitu lemahnya rasa takut kepada Tuhan Yang Maha Perkasa dan Maha Mulia. Mengapa kita harus takut kepada Allah? Bukankah Allah-lah yang mengatur seluruh alam semesta? Beberapa hari yang lalu kalian merasakan hawa panas. Berapa derajat suhu ketika itu? Berapa derajat suhu tertingginya? Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Mulia mampu menjadikannya 70, 80, 100, 150, bahkan 1000 derajat! Apakah Allah mampu atau tidak? Lantas, mengapa kalian tidak takut jika Allah menimpakan panas itu kepada kalian? Padahal Allah telah menimpakannya kepada kaum Nabi Syu’aib. “Kemudian mereka mendustakan Syu’aib, lalu mereka ditimpa azab pada hari mereka dinaungi awan…” (QS. Asy-Syu’ara: 189) Apa maksud azab di hari ketika mereka dinaungi awan itu? Mereka didatangi hawa yang sangat panas. Kemudian Allah mengirimkan awan kepada mereka. Lalu mereka berkumpul di bawah awan itu, untuk mendapat naungan. Maka Allah mengirim suara yang sangat keras, sehingga mereka mati dalam satu waktu. Apakah kalian merasa aman jika Allah menimpakan azab semacam itu kepada kalian? Bagaimana menurut kalian? Apakah kalian merasa aman tidak mengalami hal seperti para pasien di rumah sakit, yang hanya bisa menggerakkan matanya, sementara tubuhnya tak mampu digerakkan? Allah bisa saja mengirimkan mikroba yang hanya terlihat melalui mikroskop, dan mikroba itu dapat melumpuhkan seluruh tubuhmu dalam sekejap. Allah bisa menjatuhkanmu di tangga masjid hingga kamu mengalami kelumpuhan total. Apakah Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mampu? Demi Allah, tidak ada yang sulit bagi-Nya. Allah Maha Kuasa atas segalanya. Bagaimana mungkin kita tidak takut kepada Allah, padahal kita tahu bahwa sebentar lagi kita akan berdiri di hadapan-Nya, dan Allah akan bertanya kepada kita tentang seluruh amal kita, baik yang sedikit maupun yang banyak. Tidak seorang pun dari kalian kecuali akan diajak berbicara langsung oleh Tuhannya, tanpa ada penerjemah. Lalu ia melihat ke arah kanannya, dan ia tidak melihat kecuali amalnya. Ia melihat ke arah kirinya, dan tidak melihat kecuali amalnya. Ia melihat ke arah depan, dan tidak melihat kecuali neraka. Maka jagalah diri kalian dari neraka, meskipun hanya dengan menyedekahkan sepotong kurma. Apakah salah seorang dari kalian sanggup duduk di bawah terik matahari selama satu jam setelah Salat Zuhur? Padahal matahari itu sangat jauh. Mengapa kalian merasa kasihan pada diri sendiri untuk sekadar duduk di bawah terik matahari, tetapi kalian tidak merasa kasihan pada diri sendiri jika harus masuk ke dalam neraka Jahannam? Takutlah kepada Allah, agar Allah tidak memasukkanmu ke dalam neraka Jahannam. Takutlah kepada Allah, agar Allah tidak memasukkanmu ke dalam neraka Jahannam karena perbuatanmu. Rasa takut kepada Allah adalah kedudukan yang sangat agung dan mengandung pahala yang besar. Bagaimana mungkin engkau tidak takut kepada Allah, padahal Allah selalu mengawasimu? Apakah Allah mengawasi kalian atau tidak? “Sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik di bumi maupun di langit.” (QS. Ali Imran: 5) Allah menyebutkan sifat-Nya dengan berfirman: “Allah mengetahui (pandangan) mata yang khianat, dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Al-Mu’min: 19) Apa yang ada di hatimu, janganlah pernah menyangka bahwa Allah tidak mengetahuinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala, “…mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi.” (QS. Thaha: 7) Karena itu, takutlah kepada Allah. Selain itu, Allah juga menugaskan malaikat untuk mencatat amalmu, baik yang sedikit maupun yang banyak. “Sesungguhnya bagi kalian ada malaikat-malaikat yang mengawasi yang mulia dan mencatat amal perbuatan mereka mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Infithar: 10–12). Jadi, ini merupakan kedudukan yang agung, yaitu kedudukan rasa takut kepada Allah. Di akhir surat Al-Bayyinah, ketika Allah menyebutkan balasan bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh: “…surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya Untuk siapa balasan ini? Yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS. Al-Bayyinah: 8). Yaitu orang yang takut kepada Allah. ==== أَوَّلُ هَذِهِ الْأَبْوَابِ بَابُ الْخَوْفِ مِنَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا بَابٌ مُهِمٌّ رَكَّزَتْ عَلَيْهِ الْآيَاتُ الْقُرْآنِيَّةُ أَلَمْ يَقُلِ اللَّهُ تَعَالَى وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ وَأَلَمْ يَقُلْ رَبُّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ فِيهِ نُصُوصٌ كَثِيرَةٌ تَدُلُّ عَلَى رَبْطِ أَمْرِ الْقَلْبِ بِمَخَافَةِ رَبِّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ دُخُولَ الْجِنَانِ يَكُونُ بِخَوْفِ رَبِّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ يَقُولُ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ يَعْنِي يُخَوِّفُكُم مِنْ أَوْلِيَائِهِ فَأَمَرَكُمُ اللَّهُ أَنْ تَحْصُرُوا الْخَوْفَ بِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى كَمْ عِنْدَكَ مِنَ الْمَخَاوِفِ فِي قَلْبِكَ ؟ تَخَافُ مِنَ الدُّوَلِ الكُبْرَى وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ تَخَافُونَ مِنْ إِيْرَانَ وَغَيْرِ إِيْرَانَ وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ تَخَافُونَ مِنَ السُّرَّاقِ وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ تَخَافُونَ مِنَ الْحَيَوَانَاتِ الْمُفْتَرِسَةِ وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ إِذَنْ تَخَافُونَ ؟ لِمَاذَا تَخَافُون ؟ هَلْ يُمْكِنُ أَنْ تَفْعَلَ فِي الْكَوْنِ شَيْئاً لَمْ يُرِدْهُ اللَّهُ وَبِالتَّالِي عِنْدَنَا نَقْصٌ فِي مَقَامِ الْخَوْفِ مِنَ اللَّهِ لَا تَخَفْ مِنَ الذِّئْبِ وَلَا مِنَ الْأَسَدِ وَإِنَّمَا خِفْ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُسَلِّطَ عَلَيْكَ هَذِهِ الْحَيَوَانَاتِ فَإِنَّهَا وَاللَّهِ ثُمَّ وَاللَّهِ لَنْ تَخْرُجَ عَنْ قَدْرِ اللَّهِ مِقْدَارَ أُنْمُلَةٍ بِالتَّالِي لَا تَخَفْ إِلَّا مِنَ اللَّهِ أَلَمْ تَسْتَمِعْ لِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالَاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ كَمْ حَصَّلْتُمْ مِنْ دَرَجَةٍ فِي مَقَامِ الْخَوْفِ ؟ نَقْصٌ كَبِيرٌ نَقْصٌ كَبِيرٌ نَخَافُ مِنَ الْمَخْلُوقِ وَنَنْسَى أَنَّ الْخَالِقَ سُبْحَانَهُ هُوَ الَّذِي يُصَرِّفُهُ فَخَفْ مِنَ اللَّهِ وَلَا تَخَفْ مِنَ الْمَخْلُوقِ لَوْ قَدَّرْنَا أَنَّ الْعِبَادَ يَخَافُونَ مِنَ اللَّهِ وَاللَّهِ لَتَنْزِلَنَّ عَلَيْهِمُ الْبَرَكَاتُ وَلَتَصْلُحَنَّ أَحْوَالُهُمْ سَيَكُونُ الْعَدْلُ مَقَامَ الظُّلْمِ وَسَيَكُونُ الْخَيْرُ مَقَامَ الشَّرِّ لَوْ قُدِّرَ أَنَّ الزَّوْجَ يَخَافُ اللَّهَ فِي زَوْجَتِهِ يَظْلِمُهَا ؟ يَبْخَسُهَا حُقُوقَهَا لَوْ قُدِّرَ أَنَّ الزَّوْجَةَ تَخَافُ اللَّهَ هَلْ سَتُخَالِفُ أَمْرَ اللَّهِ وَشَرْعَهُ فِي حُقُوقِ زَوْجِهَا ؟ إِذاً عِنْدَنَا إِشْكَالِيَّةٌ كَبِيرَةٌ فِي هَذَا الْمَقَامِ مَقَامِ مَخَافَةِ رَبِّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ لِمَاذَا نَخَافُ اللَّه ؟ أَلَيْسَ اللَّهُ هُوَ الْمُتَصَرِّفُ فِي الْكَوْنِ ؟ جَاءَكُمُ الْحَرُّ قَبْلَ اْلأَيَّامِ كَمْ وَصَلَتِ الْحَرَارَةُ ؟ أَقْصَى مَا وَصَلَتْ ؟ يَقْدِرُ رَبُّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ يَجْعَلُهَا سَبْعِينَ وَثَمَانِينَ وَمِئَةً وَمِئَةً وَخَمْسِينَ وَأَلْفاً يَقْدِرُ وَلَا مَا يَقْدِرُ ؟ كَيْفَ لَا تَخَافُونَ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُسَلِّطَ عَلَيْكُمُ الْحَرَّ ؟ وَقَد سَلَّطَهُ عَلَى قَوْمِ شُعَيْبٍ فَكَذَّبُوهُ فَأَخَذَهُمْ عَذَابُ يَوْمِ الظُّلَّةِ أَيْش عَذَابُ يَوْمِ الظُّلَّةِ؟ جَاءَهُمْ حَرٌّ شَدِيدٌ ثُمَّ أَرْسَلَ اللَّهُ لَهُمْ سَحَابَةً فَاجْتَمَعُوا عِنْدَهَا يَبْحَثُونَ عَنِ الظِّلِّ فَأَرْسَلَ اللَّهُ عَلَيْهِمُ الصَّيْحَةَ فَمَاتُوا فِي مَقَامٍ وَاحِدٍ هَلْ أَنْتُمْ بِمَأْمَنٍ أَنْ يُسَلِّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ مِثْلَ هَذَا الْعَذَابِ ؟ وَيْش تَقُولُونَ ؟ هَلْ أَنْتَ بِمَأْمَنٍ أَنْ تَكُونَ مِثْلَ هَؤُلَاءِ الْمَرْضَى الَّذِينَ فِي الْمُسْتَشْفَى يُحَرِّكُوْنَ أَعْيُنَهُمْ وَلَا يَسْتَطِيعُونَ أَنْ يُحَرِّكُوا أَبْدَانَهُمْ يُرْسِلُ لَكَ مِيكْرُوبَ مَا شَافَ إِلَّا بِالتِّلِسْكُوْبِ الدَّقِيقِ وَيُشِلَّ أَعْضَاءَكَ كُلَّهَا فِي لَحْظَةٍ يُطَيِّحُكُم مَعَ دَرَجَةِ الْمَسْجِدِ وَيَجِيْئُكَ شَلَلٌ رُبَاعِيٌّ يَعْجِزُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَاللَّهِ لَا يُعْجِزُهُ شَيْءٌ عَلَى كُلِّ شيءٍ قَدِيرٌ كَيْفَ لَا نَخَافُ مِنَ اللَّهِ وَنَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّنَا سَنَقِفُ بَيْنَ يَدَيْهِ عَمَّا قَرِيبٌ وَسَيَسْأَلُنَا عَنْ أَعْمَالِنَا قَلِيلِهَا وَكَثِيرِهَا مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا سَيُكَلِّمُهُ رَبُّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تَرْجُمَانٌ فَيَنْظُرُ أَيْمَنَ مِنْهُ فَلَا يَرَى إِلَّا مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ شَمَالَ مِنْهُ فَلَا يَرَى إِلاَّ مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ فَلَا يَرَى إِلاَّ النَّارَ فَاتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ يَسْتَطِيعُ وَاحِدٌ مِنْكُمْ يَجْلِسُ فِي الشَّمْسِ عُقْبَ صَلَاةِ الظُّهْرِ سَاعَةً ؟ الشَّمْسُ بَعِيْدَةٌ فَكَيْفَ تَنْعَى بِنَفْسِكَ عَنِ الْجُلُوْسِ فِي الشَّمْسِ وَلَا تَنْعَى بِنَفْسِكَ عَنْ دُخُولِ نَارِ جَهَنَّمَ خَفْ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُدْخِلَكَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَفْ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُدْخِلَكَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ بِفِعْلِكَ مَقَامُ الْخَوْفِ مَقَامٌ عَظِيمٌ فِيهِ أَجْرٌ كَبِيرٌ كَيْفَ لَا تَخَافُ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ يُرَاقِبُكَ يُرَاقِبُكُمْ وَلَا مَا يُرَاقِبُكُمْ؟إِنَّ اللَّهَ لَا يَخْفَىٰ عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ يَصِفُ نَفْسَهُ فَيَقُولُ يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُالَّذِي فِي صَدْرِكَ مَا تَحْسِبُ أَنَّ اللَّهَ مَا مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَبِالتَّالِي خَفْ مِنَ اللَّهِ ثُمَّ حَطَّ عَلَيْك مَنْ يُسَجِّلُ أَعْمَالَكَ قَلِيلَهَا وَكَثِيرَهَا وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِيْنَ كِرَامًا كَاتِبِينَ يَعْلَمُوْنَ مَا تَفْعَلُونَ إِذاً هَذَا مَقَامٌ عَظِيمٌ مَقَامُ الْخَوْفِ مِنَ اللَّهِ فِي آخِرِ سُورَةِ الْبَيِّنَةِ لَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ جَزَاءَ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ لِمَن ؟ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ يَعْنِي خَافَ مِنَ اللَّهِ


Bab yang pertama adalah bab tentang rasa takut kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Ini adalah bab yang sangat penting. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyoroti tentang ini. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman, “Dan bagi orang yang takut akan kebesaran Tuhannya, ada dua surga.” (QS. Ar-Rahman: 46). Bukankah Allah Yang Maha Perkasa dan Mulia telah berfirman: “Adapun orang yang takut akan kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka sungguh surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at: 40–41) Ada banyak sekali nash lain yang menunjukkan eratnya hubungan hati dengan rasa takut kepada Rabb Yang Maha Perkasa dan Mulia. Semua itu menunjukkan bahwa masuk surga bisa diraih dengan rasa takut kepada Rabb Yang Maha Perkasa dan Mulia. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman: “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti melalui para pengikutnya karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar orang beriman.” (QS. Ali Imran: 175) “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti melalui para pengikutnya…” yakni: menakut-nakuti kalian melalui para pengikutnya (dari kalangan orang musyrik). Maka Allah memerintahkan kalian untuk mengkhususkan rasa takut hanya kepada-Nya, Maha Suci dan Maha Tinggi Dia. Berapa banyak rasa takut yang bersarang dalam hatimu? Apakah kalian takut kepada negara-negara besar atau tidak? Kalian takut kepada Iran dan negara lainnya atau tidak? Kalian takut kepada pencuri atau tidak? Kalian takut kepada hewan-hewan buas atau tidak? Jadi, kalian memang takut? Mengapa kalian takut? Apakah mungkin engkau melakukan sesuatu di alam semesta ini yang tidak dikehendaki oleh Allah? Berarti, kita mengalami kekurangan dalam menumbuhkan rasa takut kepada Allah. Janganlah takut kepada serigala ataupun singa. Namun takutlah kepada Allah yang mampu menjadikanmu diserang oleh binatang-binatang itu. Karena, demi Allah! Sekali lagi, demi Allah! Engkau tidak akan keluar dari takdir Allah, walau hanya seruas jari! Karena itu, janganlah takut kecuali hanya kepada Allah. Tidakkah engkau mendengar firman Allah ‘Azza wa Jalla: “(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah dan mereka takut hanya kepada-Nya dan mereka tidak takut kepada siapa pun selain kepada Allah.” (QS. Al-Ahzab: 39). “…dan mereka tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah…” Maka janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian adalah orang-orang yang beriman. Berapa tingkatan rasa takut kepada Allah yang telah kalian capai? Sungguh, kekurangannya besar. Sangat besar! Kita takut kepada makhluk, dan kita lupa bahwa Allah Sang Pencipta adalah satu-satunya yang mengaturnya. Maka takutlah kepada Allah, dan jangan takut kepada makhluk. Sekiranya para hamba takut kepada Allah, demi Allah, niscaya keberkahan yang banyak akan turun kepada mereka, dan keadaan mereka akan menjadi baik. Keadilan akan menggantikan kezaliman, dan kebaikan akan menggantikan keburukan. Sekiranya seorang suami takut kepada Allah dalam memperlakukan istrinya, apakah dia akan menzalimi istrinya? Apakah suami akan mengurangi hak-hak istrinya? Sekiranya seorang istri takut kepada Allah, apakah dia akan berani menyelisihi perintah dan syariat Allah dalam memenuhi hak suaminya? Jadi, kita memiliki masalah besar dalam hal ini, yaitu lemahnya rasa takut kepada Tuhan Yang Maha Perkasa dan Maha Mulia. Mengapa kita harus takut kepada Allah? Bukankah Allah-lah yang mengatur seluruh alam semesta? Beberapa hari yang lalu kalian merasakan hawa panas. Berapa derajat suhu ketika itu? Berapa derajat suhu tertingginya? Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Mulia mampu menjadikannya 70, 80, 100, 150, bahkan 1000 derajat! Apakah Allah mampu atau tidak? Lantas, mengapa kalian tidak takut jika Allah menimpakan panas itu kepada kalian? Padahal Allah telah menimpakannya kepada kaum Nabi Syu’aib. “Kemudian mereka mendustakan Syu’aib, lalu mereka ditimpa azab pada hari mereka dinaungi awan…” (QS. Asy-Syu’ara: 189) Apa maksud azab di hari ketika mereka dinaungi awan itu? Mereka didatangi hawa yang sangat panas. Kemudian Allah mengirimkan awan kepada mereka. Lalu mereka berkumpul di bawah awan itu, untuk mendapat naungan. Maka Allah mengirim suara yang sangat keras, sehingga mereka mati dalam satu waktu. Apakah kalian merasa aman jika Allah menimpakan azab semacam itu kepada kalian? Bagaimana menurut kalian? Apakah kalian merasa aman tidak mengalami hal seperti para pasien di rumah sakit, yang hanya bisa menggerakkan matanya, sementara tubuhnya tak mampu digerakkan? Allah bisa saja mengirimkan mikroba yang hanya terlihat melalui mikroskop, dan mikroba itu dapat melumpuhkan seluruh tubuhmu dalam sekejap. Allah bisa menjatuhkanmu di tangga masjid hingga kamu mengalami kelumpuhan total. Apakah Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mampu? Demi Allah, tidak ada yang sulit bagi-Nya. Allah Maha Kuasa atas segalanya. Bagaimana mungkin kita tidak takut kepada Allah, padahal kita tahu bahwa sebentar lagi kita akan berdiri di hadapan-Nya, dan Allah akan bertanya kepada kita tentang seluruh amal kita, baik yang sedikit maupun yang banyak. Tidak seorang pun dari kalian kecuali akan diajak berbicara langsung oleh Tuhannya, tanpa ada penerjemah. Lalu ia melihat ke arah kanannya, dan ia tidak melihat kecuali amalnya. Ia melihat ke arah kirinya, dan tidak melihat kecuali amalnya. Ia melihat ke arah depan, dan tidak melihat kecuali neraka. Maka jagalah diri kalian dari neraka, meskipun hanya dengan menyedekahkan sepotong kurma. Apakah salah seorang dari kalian sanggup duduk di bawah terik matahari selama satu jam setelah Salat Zuhur? Padahal matahari itu sangat jauh. Mengapa kalian merasa kasihan pada diri sendiri untuk sekadar duduk di bawah terik matahari, tetapi kalian tidak merasa kasihan pada diri sendiri jika harus masuk ke dalam neraka Jahannam? Takutlah kepada Allah, agar Allah tidak memasukkanmu ke dalam neraka Jahannam. Takutlah kepada Allah, agar Allah tidak memasukkanmu ke dalam neraka Jahannam karena perbuatanmu. Rasa takut kepada Allah adalah kedudukan yang sangat agung dan mengandung pahala yang besar. Bagaimana mungkin engkau tidak takut kepada Allah, padahal Allah selalu mengawasimu? Apakah Allah mengawasi kalian atau tidak? “Sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik di bumi maupun di langit.” (QS. Ali Imran: 5) Allah menyebutkan sifat-Nya dengan berfirman: “Allah mengetahui (pandangan) mata yang khianat, dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Al-Mu’min: 19) Apa yang ada di hatimu, janganlah pernah menyangka bahwa Allah tidak mengetahuinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala, “…mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi.” (QS. Thaha: 7) Karena itu, takutlah kepada Allah. Selain itu, Allah juga menugaskan malaikat untuk mencatat amalmu, baik yang sedikit maupun yang banyak. “Sesungguhnya bagi kalian ada malaikat-malaikat yang mengawasi yang mulia dan mencatat amal perbuatan mereka mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Infithar: 10–12). Jadi, ini merupakan kedudukan yang agung, yaitu kedudukan rasa takut kepada Allah. Di akhir surat Al-Bayyinah, ketika Allah menyebutkan balasan bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh: “…surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya Untuk siapa balasan ini? Yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS. Al-Bayyinah: 8). Yaitu orang yang takut kepada Allah. ==== أَوَّلُ هَذِهِ الْأَبْوَابِ بَابُ الْخَوْفِ مِنَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا بَابٌ مُهِمٌّ رَكَّزَتْ عَلَيْهِ الْآيَاتُ الْقُرْآنِيَّةُ أَلَمْ يَقُلِ اللَّهُ تَعَالَى وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ وَأَلَمْ يَقُلْ رَبُّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ فِيهِ نُصُوصٌ كَثِيرَةٌ تَدُلُّ عَلَى رَبْطِ أَمْرِ الْقَلْبِ بِمَخَافَةِ رَبِّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ دُخُولَ الْجِنَانِ يَكُونُ بِخَوْفِ رَبِّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ يَقُولُ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ يَعْنِي يُخَوِّفُكُم مِنْ أَوْلِيَائِهِ فَأَمَرَكُمُ اللَّهُ أَنْ تَحْصُرُوا الْخَوْفَ بِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى كَمْ عِنْدَكَ مِنَ الْمَخَاوِفِ فِي قَلْبِكَ ؟ تَخَافُ مِنَ الدُّوَلِ الكُبْرَى وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ تَخَافُونَ مِنْ إِيْرَانَ وَغَيْرِ إِيْرَانَ وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ تَخَافُونَ مِنَ السُّرَّاقِ وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ تَخَافُونَ مِنَ الْحَيَوَانَاتِ الْمُفْتَرِسَةِ وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ إِذَنْ تَخَافُونَ ؟ لِمَاذَا تَخَافُون ؟ هَلْ يُمْكِنُ أَنْ تَفْعَلَ فِي الْكَوْنِ شَيْئاً لَمْ يُرِدْهُ اللَّهُ وَبِالتَّالِي عِنْدَنَا نَقْصٌ فِي مَقَامِ الْخَوْفِ مِنَ اللَّهِ لَا تَخَفْ مِنَ الذِّئْبِ وَلَا مِنَ الْأَسَدِ وَإِنَّمَا خِفْ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُسَلِّطَ عَلَيْكَ هَذِهِ الْحَيَوَانَاتِ فَإِنَّهَا وَاللَّهِ ثُمَّ وَاللَّهِ لَنْ تَخْرُجَ عَنْ قَدْرِ اللَّهِ مِقْدَارَ أُنْمُلَةٍ بِالتَّالِي لَا تَخَفْ إِلَّا مِنَ اللَّهِ أَلَمْ تَسْتَمِعْ لِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالَاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ كَمْ حَصَّلْتُمْ مِنْ دَرَجَةٍ فِي مَقَامِ الْخَوْفِ ؟ نَقْصٌ كَبِيرٌ نَقْصٌ كَبِيرٌ نَخَافُ مِنَ الْمَخْلُوقِ وَنَنْسَى أَنَّ الْخَالِقَ سُبْحَانَهُ هُوَ الَّذِي يُصَرِّفُهُ فَخَفْ مِنَ اللَّهِ وَلَا تَخَفْ مِنَ الْمَخْلُوقِ لَوْ قَدَّرْنَا أَنَّ الْعِبَادَ يَخَافُونَ مِنَ اللَّهِ وَاللَّهِ لَتَنْزِلَنَّ عَلَيْهِمُ الْبَرَكَاتُ وَلَتَصْلُحَنَّ أَحْوَالُهُمْ سَيَكُونُ الْعَدْلُ مَقَامَ الظُّلْمِ وَسَيَكُونُ الْخَيْرُ مَقَامَ الشَّرِّ لَوْ قُدِّرَ أَنَّ الزَّوْجَ يَخَافُ اللَّهَ فِي زَوْجَتِهِ يَظْلِمُهَا ؟ يَبْخَسُهَا حُقُوقَهَا لَوْ قُدِّرَ أَنَّ الزَّوْجَةَ تَخَافُ اللَّهَ هَلْ سَتُخَالِفُ أَمْرَ اللَّهِ وَشَرْعَهُ فِي حُقُوقِ زَوْجِهَا ؟ إِذاً عِنْدَنَا إِشْكَالِيَّةٌ كَبِيرَةٌ فِي هَذَا الْمَقَامِ مَقَامِ مَخَافَةِ رَبِّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ لِمَاذَا نَخَافُ اللَّه ؟ أَلَيْسَ اللَّهُ هُوَ الْمُتَصَرِّفُ فِي الْكَوْنِ ؟ جَاءَكُمُ الْحَرُّ قَبْلَ اْلأَيَّامِ كَمْ وَصَلَتِ الْحَرَارَةُ ؟ أَقْصَى مَا وَصَلَتْ ؟ يَقْدِرُ رَبُّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ يَجْعَلُهَا سَبْعِينَ وَثَمَانِينَ وَمِئَةً وَمِئَةً وَخَمْسِينَ وَأَلْفاً يَقْدِرُ وَلَا مَا يَقْدِرُ ؟ كَيْفَ لَا تَخَافُونَ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُسَلِّطَ عَلَيْكُمُ الْحَرَّ ؟ وَقَد سَلَّطَهُ عَلَى قَوْمِ شُعَيْبٍ فَكَذَّبُوهُ فَأَخَذَهُمْ عَذَابُ يَوْمِ الظُّلَّةِ أَيْش عَذَابُ يَوْمِ الظُّلَّةِ؟ جَاءَهُمْ حَرٌّ شَدِيدٌ ثُمَّ أَرْسَلَ اللَّهُ لَهُمْ سَحَابَةً فَاجْتَمَعُوا عِنْدَهَا يَبْحَثُونَ عَنِ الظِّلِّ فَأَرْسَلَ اللَّهُ عَلَيْهِمُ الصَّيْحَةَ فَمَاتُوا فِي مَقَامٍ وَاحِدٍ هَلْ أَنْتُمْ بِمَأْمَنٍ أَنْ يُسَلِّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ مِثْلَ هَذَا الْعَذَابِ ؟ وَيْش تَقُولُونَ ؟ هَلْ أَنْتَ بِمَأْمَنٍ أَنْ تَكُونَ مِثْلَ هَؤُلَاءِ الْمَرْضَى الَّذِينَ فِي الْمُسْتَشْفَى يُحَرِّكُوْنَ أَعْيُنَهُمْ وَلَا يَسْتَطِيعُونَ أَنْ يُحَرِّكُوا أَبْدَانَهُمْ يُرْسِلُ لَكَ مِيكْرُوبَ مَا شَافَ إِلَّا بِالتِّلِسْكُوْبِ الدَّقِيقِ وَيُشِلَّ أَعْضَاءَكَ كُلَّهَا فِي لَحْظَةٍ يُطَيِّحُكُم مَعَ دَرَجَةِ الْمَسْجِدِ وَيَجِيْئُكَ شَلَلٌ رُبَاعِيٌّ يَعْجِزُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَاللَّهِ لَا يُعْجِزُهُ شَيْءٌ عَلَى كُلِّ شيءٍ قَدِيرٌ كَيْفَ لَا نَخَافُ مِنَ اللَّهِ وَنَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّنَا سَنَقِفُ بَيْنَ يَدَيْهِ عَمَّا قَرِيبٌ وَسَيَسْأَلُنَا عَنْ أَعْمَالِنَا قَلِيلِهَا وَكَثِيرِهَا مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا سَيُكَلِّمُهُ رَبُّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تَرْجُمَانٌ فَيَنْظُرُ أَيْمَنَ مِنْهُ فَلَا يَرَى إِلَّا مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ شَمَالَ مِنْهُ فَلَا يَرَى إِلاَّ مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ فَلَا يَرَى إِلاَّ النَّارَ فَاتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ يَسْتَطِيعُ وَاحِدٌ مِنْكُمْ يَجْلِسُ فِي الشَّمْسِ عُقْبَ صَلَاةِ الظُّهْرِ سَاعَةً ؟ الشَّمْسُ بَعِيْدَةٌ فَكَيْفَ تَنْعَى بِنَفْسِكَ عَنِ الْجُلُوْسِ فِي الشَّمْسِ وَلَا تَنْعَى بِنَفْسِكَ عَنْ دُخُولِ نَارِ جَهَنَّمَ خَفْ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُدْخِلَكَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَفْ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُدْخِلَكَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ بِفِعْلِكَ مَقَامُ الْخَوْفِ مَقَامٌ عَظِيمٌ فِيهِ أَجْرٌ كَبِيرٌ كَيْفَ لَا تَخَافُ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ يُرَاقِبُكَ يُرَاقِبُكُمْ وَلَا مَا يُرَاقِبُكُمْ؟إِنَّ اللَّهَ لَا يَخْفَىٰ عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ يَصِفُ نَفْسَهُ فَيَقُولُ يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُالَّذِي فِي صَدْرِكَ مَا تَحْسِبُ أَنَّ اللَّهَ مَا مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَبِالتَّالِي خَفْ مِنَ اللَّهِ ثُمَّ حَطَّ عَلَيْك مَنْ يُسَجِّلُ أَعْمَالَكَ قَلِيلَهَا وَكَثِيرَهَا وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِيْنَ كِرَامًا كَاتِبِينَ يَعْلَمُوْنَ مَا تَفْعَلُونَ إِذاً هَذَا مَقَامٌ عَظِيمٌ مَقَامُ الْخَوْفِ مِنَ اللَّهِ فِي آخِرِ سُورَةِ الْبَيِّنَةِ لَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ جَزَاءَ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ لِمَن ؟ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ يَعْنِي خَافَ مِنَ اللَّهِ

Petunjuk Nabi dalam Menyikapi Orang yang Berbuat Dosa (Bag. 4)

Daftar Isi TogglePertama: Tidak mengorek aib pendosaKedua: Menutupi aib pendosa adalah sunah Nabi ﷺKetiga: At-tatsabbut dan at-tabayyun untuk dapat membebaskan atau meringankan dari hukuman haddKeempat: Penegakan hukum hadd adalah jalan terakhirKelima: Bencilah perbuatannya dan jangan membenci orangnyaSebelumnya sudah disebutkan kisah Maiz radhiyallahu ‘anhu dalam bagian pertama seri ini. Namun, masih banyak faidah yang dapat disarikan dari kisah Maiz radhiyallahu ‘anhu, khususnya dalam menyikapi perbuatan dosa seorang hamba. Beberapa faidah tersebut di antaranya:Pertama: Tidak mengorek aib pendosaTatkala mendapatkan pengakuan Maiz, Rasulullah ﷺ tidak langsung menghukumi, meskipun Rasul sudah memiliki dugaan kuat bahwa Maiz telah melakukan sebuah dosa yang sangat besar. Hal ini terlihat dari beberapa indikasi:1) Berulang kalinya Maiz menyampaikan permintaan kepada Nabi ﷺ, “Sucikan aku!”2) Wajah yang gelisah;3) Suaranya yang menunjukkan kekhawatiran.Namun, berulang kali Nabi ﷺ menyuruhnya pulang dan bertobat kepada Allah ﷻ. Nabi ﷺ tidak bertanya apa yang terjadi kecuali karena sudah berulang kali Maiz meminta hal tersebut. Ini adalah petunjuk Nabi ﷺ agar seseorang itu tidak membongkar aibnya dan cukuplah bertobat kepada Allah ﷻ atas dosa yang Allah tutupi. Juga ini menjadi teladan untuk tidak bersemangat membongkar aib kaum muslimin, meskipun ada celah untuk melakukannya.Hal ini jelas menyelisihi sikap sebagian orang yang kepo dengan urusan dosa manusia tanpa ada kepentingan. Dia bukanlah seorang hakim atau penyidik yang berkewajiban untuk melakukan penelaahan kasus, tetapi sibuk mendetailkan dosa dan aib manusia. Mungkin sebagian kita pernah menjadi tempat curhat orang lain yang terkadang menyingkap aibnya. Maka, dalam rangka meneladani Nabi ﷺ, janganlah kita menambah singkapan itu sehingga terbukalah semua keburukannya. Jika ada satu pintu yang terbuka, jangan membuka pintu lainnya. Bahkan yang terbaik adalah berusaha menutupinya.Kedua: Menutupi aib pendosa adalah sunah Nabi ﷺNabi ﷺ meneladankan sikap ini secara langsung kepada sahabat Hazzal Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu. Dalam sebagian riwayat, Hazzal radhiyallahu ‘anhu dijelaskan sebagai orang yang mendorong Maiz untuk mengakui perbuatan zinanya kepada Nabi ﷺ. Mengetahui hal ini, Nabi ﷺ pun memberikan nasihat yang indah kepada Hazzal radhiyallahu ‘anhu,وَاللهِ! يَا ‏هَزَّالُ لَوْ كُنْتَ سَتَرْتَهُ بِثَوْبِكَ كَانَ خَيْرًا مِمَّا صَنَعْتَ بِهِ“Demi Allah, wahai Hazzal, andai kau menutupinya dengan bajumu, tentu lebih baik dari apa yang kau perbuat terhadapnya.” (HR. Abu Dawud no. 4377 dan Ahmad no. 21945, dinilai shahih sanadnya oleh Syuaib Al-Arnauth)Hazzal sebetulnya berniat baik ketika menyuruh Maiz menemui Nabi ﷺ dan mengakui dosa zinanya. Tujuan Hazzal adalah agar Maiz mendapatkan jalan keluar dari dosanya, sebagaimana yang dinukilkan Nuaim bin Hazzal saat meriwayatkan kisah ini,ائْتِ رسولَ اللهِ ﷺ فأخبِرْه بما صَنَعتَ؛ لعلَّه يَستغفِرُ لك، وإنَّما يُريدُ بذلك رَجاءَ أنْ يَكونَ له مَخرجٌ“Pergilah kepada Rasulullah ﷺ dan katakan kepadanya apa yang telah kamu lakukan; mungkin dia akan memohonkan ampunan untukmu. Dia (Hazzal) hanya ingin melakukan itu dengan harapan akan ada jalan keluar baginya.” (HR. Abu Dawud no. 4419)Namun, tujuan baik tersebut ternyata kurang bersesuaian dengan sunah Nabi ﷺ. Justru sebaliknya, mendorong seorang untuk menutupi aibnya adalah hal yang disunahkan. Perintah Nabi ﷺ kepada Hazzal tersebut justru menunjukkan bahwa menutupi aib adalah perkara yang lebih utama,فقالَ له رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ هذا القَولَ مُبَيِّنًا له أنَّ سَترَه علَيه كان أَفْضَلَ وأَولى به، وإذا كان سَترُ المُسلِمِ على المُسلِمِ مَنْدوبًا إليه مَرْغوبًا فيه فسَتْرُ المَرْءِ على نَفْسِه أَولى به، وعلَيه التَّوبةُ ممَّا وَقَعَ فيهNabi ﷺ berkata demikian untuk menjelaskan bahwa menutupi aib lebih afdhal dan lebih utama. Jika menutupi aib sesama muslim dianjurkan dan dimotivasi, maka menutupi aib pribadi lebih utama lagi dan hendaknya ia bertaubat dengannya. (https://dorar.net/hadith/sharh/150118)Ketiga: At-tatsabbut dan at-tabayyun untuk dapat membebaskan atau meringankan dari hukuman haddDalam kisah Maiz, Nabi ﷺ berkali-kali berpaling dari Maiz sampai empat kali. Hal ini menunjukkan Nabi ﷺ melakukan tatsabbut. Nabi ﷺ juga mengkonfirmasi pernyataan ini dengan beberapa pertanyaan semisal:1) Apakah Maiz sadar?2) Apakah Maiz pikirannya terganggu?3) Apakah Maiz minum khamr?Pertanyaan ini dilontarkan kepada orang-orang yang mengenal Maiz di saat itu untuk mengkonfirmasi atas keadaan Maiz. Nabi ﷺ juga melakukan konfirmasi lainnya, yakni terbebasnya syubhat dari Maiz. Jangan-jangan hanya mencium, memegang, atau memandang. Hal ini ditanyakan karena terdapat hadits Nabi ﷺ,إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ ‏آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ؛ فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ المَنْطِقُ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ“Sesungguhnya manusia itu telah ditentukan nasib perzinaannya yang tidak mustahil dan pasti akan dijalaninya. Zina kedua mata adalah melihat, zina lidah adalah berbicara, dan jiwa berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan semua itu akan ditindak lanjuti atau ditolak oleh kemaluan.” (HR. Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657)Nabi ﷺ dan para sahabat khawatir Maiz salah paham dengan hadis ini. Karena perzinaan yang dimaksudkan dalam hadis ini tidaklah dihukum hadd, kecuali yang berlaku timba masuk ke dalam sumur. Namun, semua pertanyaan ini dijawab dengan kenyataan bahwa ia benar-benar berzina dan sadar melakukannya.Tidak sampai disitu, setelah terbukti bahwa Maiz berzina, Nabi ﷺ mencari celah agar Maiz dapat ringan hukumannya. Yakni Nabi ﷺ bertanya apakah Maiz perjaka ataukah sudah menikah. Namun, jawabannya adalah Maiz sudah menikah. Maka, hukuman hadd itu mau tak mau pun dilakukan.Keempat: Penegakan hukum hadd adalah jalan terakhirDari sikap yang ditunjukkan Nabi ﷺ, maka hukum hadd adalah jalan terakhir bagi seorang muslim. Hendaknya seseorang bertobat dan menyimpan aibnya bagi dirinya sendiri. Begitu pula dengan orang lain yang mengetahui bahwa telah terjadi dosa, maka diserukanlah untuk bertobat kepada pelakunya dan jagalah aibnya. Namun, bukan berarti sebagai umat Islam kita melalaikan penegakan hukum hadd karena terdapat hikmah besar dalam penegakannya. Semoga Allah ﷻ memberikan kejayaan bagi kaum muslimin dengan tegaknya di sisi kita.Kelima: Bencilah perbuatannya dan jangan membenci orangnyaSelama beberapa hari setelah hukum rajam ditegakkan kepada Maiz, para sahabat memperbincangkan hal ini. Ada yang berpendapat bahwa Maiz wafat dan terhapus dosanya karena menjalani hadd dengan ikhlas dan ada yang berpendapat Maiz sudah bertobat dengan tobat yang luar biasa. Kurang lebih selama tiga hari orang-orang membahasnya. Atas keramaian ini, Rasulullah ﷺ datang dan memintakan ampunan atas Maiz.لَقَدْ تَابَ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ أُمَّةٍ لَوَسِعَتْهُمْ“Ia bertobat dengan tobat yang jika dibagi antara suatu kaum, maka itu sudah cukup bagi mereka.” (HR. Muslim no. 1695)Prof. Dr. Raghib As-Sirjani menjelaskan,إنه مع كراهيته الشديدة للفعل، ومع تهيه المستمر للناس أن يفعلوا مثلما فعل ماعز، ومع تحذيره من تكرار الأمر، مع كل ذلك لا يتردد رسول الله ﷺ أن يُعلن أمام الناس جميعا أن الله عز وجل قد غفر الماعز خطيئته !“Beliau sangat membenci perbuatan itu dan selalu melarang orang melakukan apa yang dilakukan Ma’iz. Meskipun demikian, beliau tak ragu mengumumkan kepada seluruh manusia bahwa Allah Ta’ala telah mengampuni dosa Maiz.” (Ar-Rahmah fi Hayatir Rasul, hal. 125)Terlihat bahwasanya dalam menyikapi perbuatan dosa orang, Nabi ﷺ tidak didorong oleh hawa nafsunya untuk menghakimi. Inilah keindahan akhlak Nabi ﷺ yang dilahirkan dari sikap rahmatnya kepada sesama manusia. Dan benarlah Allah ﷻ telah menjadikan kesempurnaan teladan ada pada sisi Nabi ﷺ. Hendaknya kita mengambil jalan dari akhlak yang telah diteladankan Nabi ﷺ kepada kita semua. Wallahu Ta’ala a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 3***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Referensi:Ar-Rahmah fi Hayatir Rasulillah, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani.Nabi Sang Penyayang, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, terj. Mohd. Suri Sudahri, S.Pd.I. dan Rony Nugroho, Pustaka Al-Kautsar.

Petunjuk Nabi dalam Menyikapi Orang yang Berbuat Dosa (Bag. 4)

Daftar Isi TogglePertama: Tidak mengorek aib pendosaKedua: Menutupi aib pendosa adalah sunah Nabi ﷺKetiga: At-tatsabbut dan at-tabayyun untuk dapat membebaskan atau meringankan dari hukuman haddKeempat: Penegakan hukum hadd adalah jalan terakhirKelima: Bencilah perbuatannya dan jangan membenci orangnyaSebelumnya sudah disebutkan kisah Maiz radhiyallahu ‘anhu dalam bagian pertama seri ini. Namun, masih banyak faidah yang dapat disarikan dari kisah Maiz radhiyallahu ‘anhu, khususnya dalam menyikapi perbuatan dosa seorang hamba. Beberapa faidah tersebut di antaranya:Pertama: Tidak mengorek aib pendosaTatkala mendapatkan pengakuan Maiz, Rasulullah ﷺ tidak langsung menghukumi, meskipun Rasul sudah memiliki dugaan kuat bahwa Maiz telah melakukan sebuah dosa yang sangat besar. Hal ini terlihat dari beberapa indikasi:1) Berulang kalinya Maiz menyampaikan permintaan kepada Nabi ﷺ, “Sucikan aku!”2) Wajah yang gelisah;3) Suaranya yang menunjukkan kekhawatiran.Namun, berulang kali Nabi ﷺ menyuruhnya pulang dan bertobat kepada Allah ﷻ. Nabi ﷺ tidak bertanya apa yang terjadi kecuali karena sudah berulang kali Maiz meminta hal tersebut. Ini adalah petunjuk Nabi ﷺ agar seseorang itu tidak membongkar aibnya dan cukuplah bertobat kepada Allah ﷻ atas dosa yang Allah tutupi. Juga ini menjadi teladan untuk tidak bersemangat membongkar aib kaum muslimin, meskipun ada celah untuk melakukannya.Hal ini jelas menyelisihi sikap sebagian orang yang kepo dengan urusan dosa manusia tanpa ada kepentingan. Dia bukanlah seorang hakim atau penyidik yang berkewajiban untuk melakukan penelaahan kasus, tetapi sibuk mendetailkan dosa dan aib manusia. Mungkin sebagian kita pernah menjadi tempat curhat orang lain yang terkadang menyingkap aibnya. Maka, dalam rangka meneladani Nabi ﷺ, janganlah kita menambah singkapan itu sehingga terbukalah semua keburukannya. Jika ada satu pintu yang terbuka, jangan membuka pintu lainnya. Bahkan yang terbaik adalah berusaha menutupinya.Kedua: Menutupi aib pendosa adalah sunah Nabi ﷺNabi ﷺ meneladankan sikap ini secara langsung kepada sahabat Hazzal Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu. Dalam sebagian riwayat, Hazzal radhiyallahu ‘anhu dijelaskan sebagai orang yang mendorong Maiz untuk mengakui perbuatan zinanya kepada Nabi ﷺ. Mengetahui hal ini, Nabi ﷺ pun memberikan nasihat yang indah kepada Hazzal radhiyallahu ‘anhu,وَاللهِ! يَا ‏هَزَّالُ لَوْ كُنْتَ سَتَرْتَهُ بِثَوْبِكَ كَانَ خَيْرًا مِمَّا صَنَعْتَ بِهِ“Demi Allah, wahai Hazzal, andai kau menutupinya dengan bajumu, tentu lebih baik dari apa yang kau perbuat terhadapnya.” (HR. Abu Dawud no. 4377 dan Ahmad no. 21945, dinilai shahih sanadnya oleh Syuaib Al-Arnauth)Hazzal sebetulnya berniat baik ketika menyuruh Maiz menemui Nabi ﷺ dan mengakui dosa zinanya. Tujuan Hazzal adalah agar Maiz mendapatkan jalan keluar dari dosanya, sebagaimana yang dinukilkan Nuaim bin Hazzal saat meriwayatkan kisah ini,ائْتِ رسولَ اللهِ ﷺ فأخبِرْه بما صَنَعتَ؛ لعلَّه يَستغفِرُ لك، وإنَّما يُريدُ بذلك رَجاءَ أنْ يَكونَ له مَخرجٌ“Pergilah kepada Rasulullah ﷺ dan katakan kepadanya apa yang telah kamu lakukan; mungkin dia akan memohonkan ampunan untukmu. Dia (Hazzal) hanya ingin melakukan itu dengan harapan akan ada jalan keluar baginya.” (HR. Abu Dawud no. 4419)Namun, tujuan baik tersebut ternyata kurang bersesuaian dengan sunah Nabi ﷺ. Justru sebaliknya, mendorong seorang untuk menutupi aibnya adalah hal yang disunahkan. Perintah Nabi ﷺ kepada Hazzal tersebut justru menunjukkan bahwa menutupi aib adalah perkara yang lebih utama,فقالَ له رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ هذا القَولَ مُبَيِّنًا له أنَّ سَترَه علَيه كان أَفْضَلَ وأَولى به، وإذا كان سَترُ المُسلِمِ على المُسلِمِ مَنْدوبًا إليه مَرْغوبًا فيه فسَتْرُ المَرْءِ على نَفْسِه أَولى به، وعلَيه التَّوبةُ ممَّا وَقَعَ فيهNabi ﷺ berkata demikian untuk menjelaskan bahwa menutupi aib lebih afdhal dan lebih utama. Jika menutupi aib sesama muslim dianjurkan dan dimotivasi, maka menutupi aib pribadi lebih utama lagi dan hendaknya ia bertaubat dengannya. (https://dorar.net/hadith/sharh/150118)Ketiga: At-tatsabbut dan at-tabayyun untuk dapat membebaskan atau meringankan dari hukuman haddDalam kisah Maiz, Nabi ﷺ berkali-kali berpaling dari Maiz sampai empat kali. Hal ini menunjukkan Nabi ﷺ melakukan tatsabbut. Nabi ﷺ juga mengkonfirmasi pernyataan ini dengan beberapa pertanyaan semisal:1) Apakah Maiz sadar?2) Apakah Maiz pikirannya terganggu?3) Apakah Maiz minum khamr?Pertanyaan ini dilontarkan kepada orang-orang yang mengenal Maiz di saat itu untuk mengkonfirmasi atas keadaan Maiz. Nabi ﷺ juga melakukan konfirmasi lainnya, yakni terbebasnya syubhat dari Maiz. Jangan-jangan hanya mencium, memegang, atau memandang. Hal ini ditanyakan karena terdapat hadits Nabi ﷺ,إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ ‏آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ؛ فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ المَنْطِقُ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ“Sesungguhnya manusia itu telah ditentukan nasib perzinaannya yang tidak mustahil dan pasti akan dijalaninya. Zina kedua mata adalah melihat, zina lidah adalah berbicara, dan jiwa berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan semua itu akan ditindak lanjuti atau ditolak oleh kemaluan.” (HR. Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657)Nabi ﷺ dan para sahabat khawatir Maiz salah paham dengan hadis ini. Karena perzinaan yang dimaksudkan dalam hadis ini tidaklah dihukum hadd, kecuali yang berlaku timba masuk ke dalam sumur. Namun, semua pertanyaan ini dijawab dengan kenyataan bahwa ia benar-benar berzina dan sadar melakukannya.Tidak sampai disitu, setelah terbukti bahwa Maiz berzina, Nabi ﷺ mencari celah agar Maiz dapat ringan hukumannya. Yakni Nabi ﷺ bertanya apakah Maiz perjaka ataukah sudah menikah. Namun, jawabannya adalah Maiz sudah menikah. Maka, hukuman hadd itu mau tak mau pun dilakukan.Keempat: Penegakan hukum hadd adalah jalan terakhirDari sikap yang ditunjukkan Nabi ﷺ, maka hukum hadd adalah jalan terakhir bagi seorang muslim. Hendaknya seseorang bertobat dan menyimpan aibnya bagi dirinya sendiri. Begitu pula dengan orang lain yang mengetahui bahwa telah terjadi dosa, maka diserukanlah untuk bertobat kepada pelakunya dan jagalah aibnya. Namun, bukan berarti sebagai umat Islam kita melalaikan penegakan hukum hadd karena terdapat hikmah besar dalam penegakannya. Semoga Allah ﷻ memberikan kejayaan bagi kaum muslimin dengan tegaknya di sisi kita.Kelima: Bencilah perbuatannya dan jangan membenci orangnyaSelama beberapa hari setelah hukum rajam ditegakkan kepada Maiz, para sahabat memperbincangkan hal ini. Ada yang berpendapat bahwa Maiz wafat dan terhapus dosanya karena menjalani hadd dengan ikhlas dan ada yang berpendapat Maiz sudah bertobat dengan tobat yang luar biasa. Kurang lebih selama tiga hari orang-orang membahasnya. Atas keramaian ini, Rasulullah ﷺ datang dan memintakan ampunan atas Maiz.لَقَدْ تَابَ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ أُمَّةٍ لَوَسِعَتْهُمْ“Ia bertobat dengan tobat yang jika dibagi antara suatu kaum, maka itu sudah cukup bagi mereka.” (HR. Muslim no. 1695)Prof. Dr. Raghib As-Sirjani menjelaskan,إنه مع كراهيته الشديدة للفعل، ومع تهيه المستمر للناس أن يفعلوا مثلما فعل ماعز، ومع تحذيره من تكرار الأمر، مع كل ذلك لا يتردد رسول الله ﷺ أن يُعلن أمام الناس جميعا أن الله عز وجل قد غفر الماعز خطيئته !“Beliau sangat membenci perbuatan itu dan selalu melarang orang melakukan apa yang dilakukan Ma’iz. Meskipun demikian, beliau tak ragu mengumumkan kepada seluruh manusia bahwa Allah Ta’ala telah mengampuni dosa Maiz.” (Ar-Rahmah fi Hayatir Rasul, hal. 125)Terlihat bahwasanya dalam menyikapi perbuatan dosa orang, Nabi ﷺ tidak didorong oleh hawa nafsunya untuk menghakimi. Inilah keindahan akhlak Nabi ﷺ yang dilahirkan dari sikap rahmatnya kepada sesama manusia. Dan benarlah Allah ﷻ telah menjadikan kesempurnaan teladan ada pada sisi Nabi ﷺ. Hendaknya kita mengambil jalan dari akhlak yang telah diteladankan Nabi ﷺ kepada kita semua. Wallahu Ta’ala a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 3***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Referensi:Ar-Rahmah fi Hayatir Rasulillah, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani.Nabi Sang Penyayang, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, terj. Mohd. Suri Sudahri, S.Pd.I. dan Rony Nugroho, Pustaka Al-Kautsar.
Daftar Isi TogglePertama: Tidak mengorek aib pendosaKedua: Menutupi aib pendosa adalah sunah Nabi ﷺKetiga: At-tatsabbut dan at-tabayyun untuk dapat membebaskan atau meringankan dari hukuman haddKeempat: Penegakan hukum hadd adalah jalan terakhirKelima: Bencilah perbuatannya dan jangan membenci orangnyaSebelumnya sudah disebutkan kisah Maiz radhiyallahu ‘anhu dalam bagian pertama seri ini. Namun, masih banyak faidah yang dapat disarikan dari kisah Maiz radhiyallahu ‘anhu, khususnya dalam menyikapi perbuatan dosa seorang hamba. Beberapa faidah tersebut di antaranya:Pertama: Tidak mengorek aib pendosaTatkala mendapatkan pengakuan Maiz, Rasulullah ﷺ tidak langsung menghukumi, meskipun Rasul sudah memiliki dugaan kuat bahwa Maiz telah melakukan sebuah dosa yang sangat besar. Hal ini terlihat dari beberapa indikasi:1) Berulang kalinya Maiz menyampaikan permintaan kepada Nabi ﷺ, “Sucikan aku!”2) Wajah yang gelisah;3) Suaranya yang menunjukkan kekhawatiran.Namun, berulang kali Nabi ﷺ menyuruhnya pulang dan bertobat kepada Allah ﷻ. Nabi ﷺ tidak bertanya apa yang terjadi kecuali karena sudah berulang kali Maiz meminta hal tersebut. Ini adalah petunjuk Nabi ﷺ agar seseorang itu tidak membongkar aibnya dan cukuplah bertobat kepada Allah ﷻ atas dosa yang Allah tutupi. Juga ini menjadi teladan untuk tidak bersemangat membongkar aib kaum muslimin, meskipun ada celah untuk melakukannya.Hal ini jelas menyelisihi sikap sebagian orang yang kepo dengan urusan dosa manusia tanpa ada kepentingan. Dia bukanlah seorang hakim atau penyidik yang berkewajiban untuk melakukan penelaahan kasus, tetapi sibuk mendetailkan dosa dan aib manusia. Mungkin sebagian kita pernah menjadi tempat curhat orang lain yang terkadang menyingkap aibnya. Maka, dalam rangka meneladani Nabi ﷺ, janganlah kita menambah singkapan itu sehingga terbukalah semua keburukannya. Jika ada satu pintu yang terbuka, jangan membuka pintu lainnya. Bahkan yang terbaik adalah berusaha menutupinya.Kedua: Menutupi aib pendosa adalah sunah Nabi ﷺNabi ﷺ meneladankan sikap ini secara langsung kepada sahabat Hazzal Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu. Dalam sebagian riwayat, Hazzal radhiyallahu ‘anhu dijelaskan sebagai orang yang mendorong Maiz untuk mengakui perbuatan zinanya kepada Nabi ﷺ. Mengetahui hal ini, Nabi ﷺ pun memberikan nasihat yang indah kepada Hazzal radhiyallahu ‘anhu,وَاللهِ! يَا ‏هَزَّالُ لَوْ كُنْتَ سَتَرْتَهُ بِثَوْبِكَ كَانَ خَيْرًا مِمَّا صَنَعْتَ بِهِ“Demi Allah, wahai Hazzal, andai kau menutupinya dengan bajumu, tentu lebih baik dari apa yang kau perbuat terhadapnya.” (HR. Abu Dawud no. 4377 dan Ahmad no. 21945, dinilai shahih sanadnya oleh Syuaib Al-Arnauth)Hazzal sebetulnya berniat baik ketika menyuruh Maiz menemui Nabi ﷺ dan mengakui dosa zinanya. Tujuan Hazzal adalah agar Maiz mendapatkan jalan keluar dari dosanya, sebagaimana yang dinukilkan Nuaim bin Hazzal saat meriwayatkan kisah ini,ائْتِ رسولَ اللهِ ﷺ فأخبِرْه بما صَنَعتَ؛ لعلَّه يَستغفِرُ لك، وإنَّما يُريدُ بذلك رَجاءَ أنْ يَكونَ له مَخرجٌ“Pergilah kepada Rasulullah ﷺ dan katakan kepadanya apa yang telah kamu lakukan; mungkin dia akan memohonkan ampunan untukmu. Dia (Hazzal) hanya ingin melakukan itu dengan harapan akan ada jalan keluar baginya.” (HR. Abu Dawud no. 4419)Namun, tujuan baik tersebut ternyata kurang bersesuaian dengan sunah Nabi ﷺ. Justru sebaliknya, mendorong seorang untuk menutupi aibnya adalah hal yang disunahkan. Perintah Nabi ﷺ kepada Hazzal tersebut justru menunjukkan bahwa menutupi aib adalah perkara yang lebih utama,فقالَ له رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ هذا القَولَ مُبَيِّنًا له أنَّ سَترَه علَيه كان أَفْضَلَ وأَولى به، وإذا كان سَترُ المُسلِمِ على المُسلِمِ مَنْدوبًا إليه مَرْغوبًا فيه فسَتْرُ المَرْءِ على نَفْسِه أَولى به، وعلَيه التَّوبةُ ممَّا وَقَعَ فيهNabi ﷺ berkata demikian untuk menjelaskan bahwa menutupi aib lebih afdhal dan lebih utama. Jika menutupi aib sesama muslim dianjurkan dan dimotivasi, maka menutupi aib pribadi lebih utama lagi dan hendaknya ia bertaubat dengannya. (https://dorar.net/hadith/sharh/150118)Ketiga: At-tatsabbut dan at-tabayyun untuk dapat membebaskan atau meringankan dari hukuman haddDalam kisah Maiz, Nabi ﷺ berkali-kali berpaling dari Maiz sampai empat kali. Hal ini menunjukkan Nabi ﷺ melakukan tatsabbut. Nabi ﷺ juga mengkonfirmasi pernyataan ini dengan beberapa pertanyaan semisal:1) Apakah Maiz sadar?2) Apakah Maiz pikirannya terganggu?3) Apakah Maiz minum khamr?Pertanyaan ini dilontarkan kepada orang-orang yang mengenal Maiz di saat itu untuk mengkonfirmasi atas keadaan Maiz. Nabi ﷺ juga melakukan konfirmasi lainnya, yakni terbebasnya syubhat dari Maiz. Jangan-jangan hanya mencium, memegang, atau memandang. Hal ini ditanyakan karena terdapat hadits Nabi ﷺ,إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ ‏آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ؛ فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ المَنْطِقُ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ“Sesungguhnya manusia itu telah ditentukan nasib perzinaannya yang tidak mustahil dan pasti akan dijalaninya. Zina kedua mata adalah melihat, zina lidah adalah berbicara, dan jiwa berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan semua itu akan ditindak lanjuti atau ditolak oleh kemaluan.” (HR. Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657)Nabi ﷺ dan para sahabat khawatir Maiz salah paham dengan hadis ini. Karena perzinaan yang dimaksudkan dalam hadis ini tidaklah dihukum hadd, kecuali yang berlaku timba masuk ke dalam sumur. Namun, semua pertanyaan ini dijawab dengan kenyataan bahwa ia benar-benar berzina dan sadar melakukannya.Tidak sampai disitu, setelah terbukti bahwa Maiz berzina, Nabi ﷺ mencari celah agar Maiz dapat ringan hukumannya. Yakni Nabi ﷺ bertanya apakah Maiz perjaka ataukah sudah menikah. Namun, jawabannya adalah Maiz sudah menikah. Maka, hukuman hadd itu mau tak mau pun dilakukan.Keempat: Penegakan hukum hadd adalah jalan terakhirDari sikap yang ditunjukkan Nabi ﷺ, maka hukum hadd adalah jalan terakhir bagi seorang muslim. Hendaknya seseorang bertobat dan menyimpan aibnya bagi dirinya sendiri. Begitu pula dengan orang lain yang mengetahui bahwa telah terjadi dosa, maka diserukanlah untuk bertobat kepada pelakunya dan jagalah aibnya. Namun, bukan berarti sebagai umat Islam kita melalaikan penegakan hukum hadd karena terdapat hikmah besar dalam penegakannya. Semoga Allah ﷻ memberikan kejayaan bagi kaum muslimin dengan tegaknya di sisi kita.Kelima: Bencilah perbuatannya dan jangan membenci orangnyaSelama beberapa hari setelah hukum rajam ditegakkan kepada Maiz, para sahabat memperbincangkan hal ini. Ada yang berpendapat bahwa Maiz wafat dan terhapus dosanya karena menjalani hadd dengan ikhlas dan ada yang berpendapat Maiz sudah bertobat dengan tobat yang luar biasa. Kurang lebih selama tiga hari orang-orang membahasnya. Atas keramaian ini, Rasulullah ﷺ datang dan memintakan ampunan atas Maiz.لَقَدْ تَابَ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ أُمَّةٍ لَوَسِعَتْهُمْ“Ia bertobat dengan tobat yang jika dibagi antara suatu kaum, maka itu sudah cukup bagi mereka.” (HR. Muslim no. 1695)Prof. Dr. Raghib As-Sirjani menjelaskan,إنه مع كراهيته الشديدة للفعل، ومع تهيه المستمر للناس أن يفعلوا مثلما فعل ماعز، ومع تحذيره من تكرار الأمر، مع كل ذلك لا يتردد رسول الله ﷺ أن يُعلن أمام الناس جميعا أن الله عز وجل قد غفر الماعز خطيئته !“Beliau sangat membenci perbuatan itu dan selalu melarang orang melakukan apa yang dilakukan Ma’iz. Meskipun demikian, beliau tak ragu mengumumkan kepada seluruh manusia bahwa Allah Ta’ala telah mengampuni dosa Maiz.” (Ar-Rahmah fi Hayatir Rasul, hal. 125)Terlihat bahwasanya dalam menyikapi perbuatan dosa orang, Nabi ﷺ tidak didorong oleh hawa nafsunya untuk menghakimi. Inilah keindahan akhlak Nabi ﷺ yang dilahirkan dari sikap rahmatnya kepada sesama manusia. Dan benarlah Allah ﷻ telah menjadikan kesempurnaan teladan ada pada sisi Nabi ﷺ. Hendaknya kita mengambil jalan dari akhlak yang telah diteladankan Nabi ﷺ kepada kita semua. Wallahu Ta’ala a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 3***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Referensi:Ar-Rahmah fi Hayatir Rasulillah, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani.Nabi Sang Penyayang, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, terj. Mohd. Suri Sudahri, S.Pd.I. dan Rony Nugroho, Pustaka Al-Kautsar.


Daftar Isi TogglePertama: Tidak mengorek aib pendosaKedua: Menutupi aib pendosa adalah sunah Nabi ﷺKetiga: At-tatsabbut dan at-tabayyun untuk dapat membebaskan atau meringankan dari hukuman haddKeempat: Penegakan hukum hadd adalah jalan terakhirKelima: Bencilah perbuatannya dan jangan membenci orangnyaSebelumnya sudah disebutkan kisah Maiz radhiyallahu ‘anhu dalam bagian pertama seri ini. Namun, masih banyak faidah yang dapat disarikan dari kisah Maiz radhiyallahu ‘anhu, khususnya dalam menyikapi perbuatan dosa seorang hamba. Beberapa faidah tersebut di antaranya:Pertama: Tidak mengorek aib pendosaTatkala mendapatkan pengakuan Maiz, Rasulullah ﷺ tidak langsung menghukumi, meskipun Rasul sudah memiliki dugaan kuat bahwa Maiz telah melakukan sebuah dosa yang sangat besar. Hal ini terlihat dari beberapa indikasi:1) Berulang kalinya Maiz menyampaikan permintaan kepada Nabi ﷺ, “Sucikan aku!”2) Wajah yang gelisah;3) Suaranya yang menunjukkan kekhawatiran.Namun, berulang kali Nabi ﷺ menyuruhnya pulang dan bertobat kepada Allah ﷻ. Nabi ﷺ tidak bertanya apa yang terjadi kecuali karena sudah berulang kali Maiz meminta hal tersebut. Ini adalah petunjuk Nabi ﷺ agar seseorang itu tidak membongkar aibnya dan cukuplah bertobat kepada Allah ﷻ atas dosa yang Allah tutupi. Juga ini menjadi teladan untuk tidak bersemangat membongkar aib kaum muslimin, meskipun ada celah untuk melakukannya.Hal ini jelas menyelisihi sikap sebagian orang yang kepo dengan urusan dosa manusia tanpa ada kepentingan. Dia bukanlah seorang hakim atau penyidik yang berkewajiban untuk melakukan penelaahan kasus, tetapi sibuk mendetailkan dosa dan aib manusia. Mungkin sebagian kita pernah menjadi tempat curhat orang lain yang terkadang menyingkap aibnya. Maka, dalam rangka meneladani Nabi ﷺ, janganlah kita menambah singkapan itu sehingga terbukalah semua keburukannya. Jika ada satu pintu yang terbuka, jangan membuka pintu lainnya. Bahkan yang terbaik adalah berusaha menutupinya.Kedua: Menutupi aib pendosa adalah sunah Nabi ﷺNabi ﷺ meneladankan sikap ini secara langsung kepada sahabat Hazzal Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu. Dalam sebagian riwayat, Hazzal radhiyallahu ‘anhu dijelaskan sebagai orang yang mendorong Maiz untuk mengakui perbuatan zinanya kepada Nabi ﷺ. Mengetahui hal ini, Nabi ﷺ pun memberikan nasihat yang indah kepada Hazzal radhiyallahu ‘anhu,وَاللهِ! يَا ‏هَزَّالُ لَوْ كُنْتَ سَتَرْتَهُ بِثَوْبِكَ كَانَ خَيْرًا مِمَّا صَنَعْتَ بِهِ“Demi Allah, wahai Hazzal, andai kau menutupinya dengan bajumu, tentu lebih baik dari apa yang kau perbuat terhadapnya.” (HR. Abu Dawud no. 4377 dan Ahmad no. 21945, dinilai shahih sanadnya oleh Syuaib Al-Arnauth)Hazzal sebetulnya berniat baik ketika menyuruh Maiz menemui Nabi ﷺ dan mengakui dosa zinanya. Tujuan Hazzal adalah agar Maiz mendapatkan jalan keluar dari dosanya, sebagaimana yang dinukilkan Nuaim bin Hazzal saat meriwayatkan kisah ini,ائْتِ رسولَ اللهِ ﷺ فأخبِرْه بما صَنَعتَ؛ لعلَّه يَستغفِرُ لك، وإنَّما يُريدُ بذلك رَجاءَ أنْ يَكونَ له مَخرجٌ“Pergilah kepada Rasulullah ﷺ dan katakan kepadanya apa yang telah kamu lakukan; mungkin dia akan memohonkan ampunan untukmu. Dia (Hazzal) hanya ingin melakukan itu dengan harapan akan ada jalan keluar baginya.” (HR. Abu Dawud no. 4419)Namun, tujuan baik tersebut ternyata kurang bersesuaian dengan sunah Nabi ﷺ. Justru sebaliknya, mendorong seorang untuk menutupi aibnya adalah hal yang disunahkan. Perintah Nabi ﷺ kepada Hazzal tersebut justru menunjukkan bahwa menutupi aib adalah perkara yang lebih utama,فقالَ له رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ هذا القَولَ مُبَيِّنًا له أنَّ سَترَه علَيه كان أَفْضَلَ وأَولى به، وإذا كان سَترُ المُسلِمِ على المُسلِمِ مَنْدوبًا إليه مَرْغوبًا فيه فسَتْرُ المَرْءِ على نَفْسِه أَولى به، وعلَيه التَّوبةُ ممَّا وَقَعَ فيهNabi ﷺ berkata demikian untuk menjelaskan bahwa menutupi aib lebih afdhal dan lebih utama. Jika menutupi aib sesama muslim dianjurkan dan dimotivasi, maka menutupi aib pribadi lebih utama lagi dan hendaknya ia bertaubat dengannya. (https://dorar.net/hadith/sharh/150118)Ketiga: At-tatsabbut dan at-tabayyun untuk dapat membebaskan atau meringankan dari hukuman haddDalam kisah Maiz, Nabi ﷺ berkali-kali berpaling dari Maiz sampai empat kali. Hal ini menunjukkan Nabi ﷺ melakukan tatsabbut. Nabi ﷺ juga mengkonfirmasi pernyataan ini dengan beberapa pertanyaan semisal:1) Apakah Maiz sadar?2) Apakah Maiz pikirannya terganggu?3) Apakah Maiz minum khamr?Pertanyaan ini dilontarkan kepada orang-orang yang mengenal Maiz di saat itu untuk mengkonfirmasi atas keadaan Maiz. Nabi ﷺ juga melakukan konfirmasi lainnya, yakni terbebasnya syubhat dari Maiz. Jangan-jangan hanya mencium, memegang, atau memandang. Hal ini ditanyakan karena terdapat hadits Nabi ﷺ,إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ ‏آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ؛ فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ المَنْطِقُ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ“Sesungguhnya manusia itu telah ditentukan nasib perzinaannya yang tidak mustahil dan pasti akan dijalaninya. Zina kedua mata adalah melihat, zina lidah adalah berbicara, dan jiwa berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan semua itu akan ditindak lanjuti atau ditolak oleh kemaluan.” (HR. Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657)Nabi ﷺ dan para sahabat khawatir Maiz salah paham dengan hadis ini. Karena perzinaan yang dimaksudkan dalam hadis ini tidaklah dihukum hadd, kecuali yang berlaku timba masuk ke dalam sumur. Namun, semua pertanyaan ini dijawab dengan kenyataan bahwa ia benar-benar berzina dan sadar melakukannya.Tidak sampai disitu, setelah terbukti bahwa Maiz berzina, Nabi ﷺ mencari celah agar Maiz dapat ringan hukumannya. Yakni Nabi ﷺ bertanya apakah Maiz perjaka ataukah sudah menikah. Namun, jawabannya adalah Maiz sudah menikah. Maka, hukuman hadd itu mau tak mau pun dilakukan.Keempat: Penegakan hukum hadd adalah jalan terakhirDari sikap yang ditunjukkan Nabi ﷺ, maka hukum hadd adalah jalan terakhir bagi seorang muslim. Hendaknya seseorang bertobat dan menyimpan aibnya bagi dirinya sendiri. Begitu pula dengan orang lain yang mengetahui bahwa telah terjadi dosa, maka diserukanlah untuk bertobat kepada pelakunya dan jagalah aibnya. Namun, bukan berarti sebagai umat Islam kita melalaikan penegakan hukum hadd karena terdapat hikmah besar dalam penegakannya. Semoga Allah ﷻ memberikan kejayaan bagi kaum muslimin dengan tegaknya di sisi kita.Kelima: Bencilah perbuatannya dan jangan membenci orangnyaSelama beberapa hari setelah hukum rajam ditegakkan kepada Maiz, para sahabat memperbincangkan hal ini. Ada yang berpendapat bahwa Maiz wafat dan terhapus dosanya karena menjalani hadd dengan ikhlas dan ada yang berpendapat Maiz sudah bertobat dengan tobat yang luar biasa. Kurang lebih selama tiga hari orang-orang membahasnya. Atas keramaian ini, Rasulullah ﷺ datang dan memintakan ampunan atas Maiz.لَقَدْ تَابَ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ أُمَّةٍ لَوَسِعَتْهُمْ“Ia bertobat dengan tobat yang jika dibagi antara suatu kaum, maka itu sudah cukup bagi mereka.” (HR. Muslim no. 1695)Prof. Dr. Raghib As-Sirjani menjelaskan,إنه مع كراهيته الشديدة للفعل، ومع تهيه المستمر للناس أن يفعلوا مثلما فعل ماعز، ومع تحذيره من تكرار الأمر، مع كل ذلك لا يتردد رسول الله ﷺ أن يُعلن أمام الناس جميعا أن الله عز وجل قد غفر الماعز خطيئته !“Beliau sangat membenci perbuatan itu dan selalu melarang orang melakukan apa yang dilakukan Ma’iz. Meskipun demikian, beliau tak ragu mengumumkan kepada seluruh manusia bahwa Allah Ta’ala telah mengampuni dosa Maiz.” (Ar-Rahmah fi Hayatir Rasul, hal. 125)Terlihat bahwasanya dalam menyikapi perbuatan dosa orang, Nabi ﷺ tidak didorong oleh hawa nafsunya untuk menghakimi. Inilah keindahan akhlak Nabi ﷺ yang dilahirkan dari sikap rahmatnya kepada sesama manusia. Dan benarlah Allah ﷻ telah menjadikan kesempurnaan teladan ada pada sisi Nabi ﷺ. Hendaknya kita mengambil jalan dari akhlak yang telah diteladankan Nabi ﷺ kepada kita semua. Wallahu Ta’ala a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 3***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Referensi:Ar-Rahmah fi Hayatir Rasulillah, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani.Nabi Sang Penyayang, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, terj. Mohd. Suri Sudahri, S.Pd.I. dan Rony Nugroho, Pustaka Al-Kautsar.

Mengenal Nama Allah “Al-Khabiir”

Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Khabiir”Kandungan makna nama Allah “Al-Khabiir”Makna bahasa dari “Al-Khabiir”Makna “Al-Khabiir” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Khabiir” bagi hambaBeriman bahwa al-Khabīr adalah salah satu dari Asmaul HusnaBertakwa kepada Allah dan mengamalkan apa yang Dia cintaiPeringatan agar tidak bermaksiat kepada-NyaMenaati Allah dan Rasul-NyaMengenal nama-nama Allah merupakan salah satu perkara pokok yang dapat menguatkan keimanan dan ketakwaan. Semakin dalam seorang hamba mengenal sifat-sifat Rabb-nya, semakin takut ia bermaksiat, semakin ikhlas ia beramal, dan semakin besar harapannya kepada rahmat Allah. Di antara nama-Nya yang agung adalah Al-Khabīr — Dzat Yang Maha Mengetahui secara mendalam setiap urusan makhluk-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.Dalam artikel ini, kita akan mengulas tiga hal utama: dalil-dalil dari Al-Qur’an yang menyebut nama Al-Khabīr, penjelasan kandungan maknanya menurut para ulama, serta konsekuensi penting yang harus ditanamkan dalam diri setiap hamba — yaitu kesadaran akan pengawasan Allah, peningkatan takwa dalam setiap keadaan, dan keikhlasan dalam beramal meski tidak dilihat manusia.Dalil nama Allah “Al-Khabiir”Nama al-Khabīr disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 45 kali, di antaranya:Firman Allah Ta‘ala,ولِلّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ“Dan kepunyaan Allah-lah warisan (segala) yang ada di langit dan di bumi, dan Allah Maha Mengetahui segala yang kamu kerjakan.” (QS. Ali ‘Imran: 180)Firman-Nya,عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ“(Dialah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana, Maha Mengetahui secara mendalam.” (QS. Al-An‘ām: 73)Firman-Nya,إِنَّ اللَّهَ بِعِبَادِهِ لَخَبِيرٌ بَصِيرٌ“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Fāṭir: 31)Firman-Nya,إِنَّ رَبَّهُم بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيرٌ“Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka.” (QS. Al-‘Ādiyāt: 11) [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Khabiir”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Khabiir” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Khabiir”Kata al-Khabīr ( الخَبير ) adalah bentuk ṣifah musyabbahah (sifat yang menunjukkan makna tetap atau menetap) dari kata kerja khabara – yakhburu ( خَبَرَ – يخبُر ) yang berarti mengetahui. [2]Ibnu Faris rahimahullah mengatakan,الْخَاءُ وَالْبَاءُ وَالرَّاءُ أَصْلَانِ: فَالْأَوَّلُ الْعِلْمُ، وَالثَّانِي يَدُلُّ عَلَى لِينٍ وَرَخَاوَةٍ وَغُزْرٍ“khā’, bā’, dan rā’. Kata ini memiliki dua akar makna: (1) ilmu (pengetahuan); dan (2) kelembutan, keluwesan, dan keluasan.” [3]Makna “Al-Khabiir” dalam konteks AllahIbnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah saat menafsirkan firman Allah, ( نَبَّأني العَلِيمُ الخَبير ), beliau mengatakan,العليم بسرائر عباده؛ وضَمائر قلوبهم، الخبير بأمورهم؛ الذي لا يَخفى عنه شيء“Yakni, Allah yang Maha Mengetahui rahasia hamba-hamba-Nya dan isi hati mereka, Maha Mengetahui keadaan mereka, dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya.” [4]Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,وَقَوْلُهُ: {مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ} أَيْ: مِنْ عِنْدِ اللَّهِ الْحَكِيمِ فِي أَقْوَالِهِ، وَأَحْكَامِهِ، ‌الْخَبِيرِ بِعَوَاقِبِ الْأُمُورِ“Firman Allah (yang artinya), ‘Dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui (al-Ḥakīm al-Khabīr)’, maksudnya: ‘Dari sisi Allah, Dzat Yang bijaksana dalam firman dan hukum-Nya, serta Maha Mengetahui akibat dari segala urusan.’” [5]Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa‘dī rahimahullah mengatakan,العليم، ‌الخبير: وهو الذي أحاط علمه بالظواهر والبواطن، والأسرار والإعلان، وبالواجبات والمستحيلات والممكنات، وبالعالم العلوي والسفلي، وبالماضي والحاضر والمستقبل، فلا يخفى عليه شيء من الأشياء“al-‘Alīm, al-Khabīr adalah Dzat yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu yang tampak dan tersembunyi, yang rahasia maupun terang-terangan, yang wajib, mustahil, dan mungkin, mencakup alam atas dan bawah, masa lalu, sekarang, dan yang akan datang — tidak ada yang luput dari-Nya sedikit pun.” [6]Syekh ‘Abdur Razzāq al-Badr mengatakan, “al-Khabīr bermakna: Dzat yang mengetahui secara mendalam rahasia-rahasia batin, memahami isi hati yang tersembunyi, mengetahui biji-bijian yang tersembunyi di tanah, urusan-urusan yang sangat lembut dan halus, serta partikel yang sangat kecil. Maka nama ini mencakup ilmu tentang hal-hal yang sangat tersembunyi dan sangat kecil, dan tentu lebih-lebih lagi terhadap hal yang tampak dan besar.” [7]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Malik”, “Al-Maalik”, dan “Al-Maliik”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Khabiir” bagi hambaPenetapan nama “Al-Khabiir” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa al-Khabīr adalah salah satu dari Asmaul HusnaYaitu bahwa Allah Maha Mengetahui segala urusan yang tersembunyi dan yang tidak tampak, Maha Mengetahui apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi, tidak ada sedikit pun yang luput dari ilmu-Nya, meskipun sangat kecil dan halus. Sifat ini hanya milik Allah semata, tidak ada satu pun makhluk-Nya yang menyamai-Nya. [8] Bertakwa kepada Allah dan mengamalkan apa yang Dia cintaiSesungguhnya Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā adalah al-Khabīr, yang Maha Mengetahui amal perbuatan dan ucapan hamba-hamba-Nya, serta apa yang bergejolak dalam hati mereka — baik berupa kebaikan maupun keburukan. Allah Ta’ala berfirman,وَكَفَى بِرَبِّكَ بِذُنُوبِ عِبَادِهِ خَبِيرَاً بَصِيراً“Dan cukuplah Tuhanmu sebagai Dzat yang Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-Nya dan Maha Melihat.” (QS. Al-Isrā’: 17)Oleh karena itu, Allah memerintahkan kita agar bertakwa kepada-Nya, mengerjakan yang Dia cintai, dan menjauhi segala sesuatu yang membuat-Nya murka. Allah Ta’ala berfirman,وَإِن تُحْسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً“Jika kalian berbuat baik dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. An-Nisā’: 128)Dan firman-Nya,وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ“Bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Ḥasyr: 18) [9] Peringatan agar tidak bermaksiat kepada-NyaFirman Allah,وَإِن تَلْوُواْ أَوْ تُعْرِضُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً“Dan jika kalian memutarbalikkan (kesaksian) atau berpaling (tidak memberikan kesaksian), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. An-Nisā’: 135)Ayat ini adalah peringatan dari maksiat, khususnya dalam konteks tidak menegakkan kesaksian secara adil, yang disebut dengan ‘memutarbalikkan (kesaksian)’, atau menyembunyikannya padahal dibutuhkan, yang disebut dengan ‘berpaling (tidak memberikan kesaksian)’. Kemudian datanglah peringatan dengan firman-Nya,فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan”, maksudnya: Allah mengetahui ketika kalian tidak menegakkan kesaksian, memutarbalikkan kebenaran, atau berpaling darinya dengan menyembunyikan, dan semuanya dicatat oleh Allah untuk dibalas di hari pembalasan. Maka bertakwalah kepada Rabb kalian dalam urusan ini. [10] Menaati Allah dan Rasul-NyaDi antara buah dari beriman terhadap nama Allah Al-Khabiir adalah seorang hamba hendaknya menaati Allah dan Rasul-Nya, dan ini merupakan puncak ibadah. Allah berfirman,… فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ ‌خَبِيرٌ ‌بِمَا ‌تَعْمَلُونَ“… Maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. An-Nūr: 56) [11]Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita, untuk senantiasa menjaga amal dan niat, karena tiada satu pun yang tersembunyi dari ilmu-Nya. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Wahhab”***Rumdin PPIA Sragen, 18 Muharam 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444. Catatan kaki:[1] an-Nahj al-Asma, hal. 187[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 560; dan al-Miṣbāḥ al-Munīr, 1: 162.[3] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 278.[4] Tafsīr ath-Thabarī, 23: 92.[5] Tafsīr Ibn Katsīr, 4: 303.[6] Taisīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 945.[7] Fiqh al-Asma’ al-Ḥusnā, hal. 161.[8] an-Nahj al-Asma, hal. 188.[9] Disarikan dari an-Nahj al-Asma, hal. 188-189.[10] an-Nahj al-Asma, hal. 189.[11] At-Ta‘liq al-Asna, hal. 198.

Mengenal Nama Allah “Al-Khabiir”

Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Khabiir”Kandungan makna nama Allah “Al-Khabiir”Makna bahasa dari “Al-Khabiir”Makna “Al-Khabiir” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Khabiir” bagi hambaBeriman bahwa al-Khabīr adalah salah satu dari Asmaul HusnaBertakwa kepada Allah dan mengamalkan apa yang Dia cintaiPeringatan agar tidak bermaksiat kepada-NyaMenaati Allah dan Rasul-NyaMengenal nama-nama Allah merupakan salah satu perkara pokok yang dapat menguatkan keimanan dan ketakwaan. Semakin dalam seorang hamba mengenal sifat-sifat Rabb-nya, semakin takut ia bermaksiat, semakin ikhlas ia beramal, dan semakin besar harapannya kepada rahmat Allah. Di antara nama-Nya yang agung adalah Al-Khabīr — Dzat Yang Maha Mengetahui secara mendalam setiap urusan makhluk-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.Dalam artikel ini, kita akan mengulas tiga hal utama: dalil-dalil dari Al-Qur’an yang menyebut nama Al-Khabīr, penjelasan kandungan maknanya menurut para ulama, serta konsekuensi penting yang harus ditanamkan dalam diri setiap hamba — yaitu kesadaran akan pengawasan Allah, peningkatan takwa dalam setiap keadaan, dan keikhlasan dalam beramal meski tidak dilihat manusia.Dalil nama Allah “Al-Khabiir”Nama al-Khabīr disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 45 kali, di antaranya:Firman Allah Ta‘ala,ولِلّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ“Dan kepunyaan Allah-lah warisan (segala) yang ada di langit dan di bumi, dan Allah Maha Mengetahui segala yang kamu kerjakan.” (QS. Ali ‘Imran: 180)Firman-Nya,عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ“(Dialah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana, Maha Mengetahui secara mendalam.” (QS. Al-An‘ām: 73)Firman-Nya,إِنَّ اللَّهَ بِعِبَادِهِ لَخَبِيرٌ بَصِيرٌ“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Fāṭir: 31)Firman-Nya,إِنَّ رَبَّهُم بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيرٌ“Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka.” (QS. Al-‘Ādiyāt: 11) [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Khabiir”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Khabiir” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Khabiir”Kata al-Khabīr ( الخَبير ) adalah bentuk ṣifah musyabbahah (sifat yang menunjukkan makna tetap atau menetap) dari kata kerja khabara – yakhburu ( خَبَرَ – يخبُر ) yang berarti mengetahui. [2]Ibnu Faris rahimahullah mengatakan,الْخَاءُ وَالْبَاءُ وَالرَّاءُ أَصْلَانِ: فَالْأَوَّلُ الْعِلْمُ، وَالثَّانِي يَدُلُّ عَلَى لِينٍ وَرَخَاوَةٍ وَغُزْرٍ“khā’, bā’, dan rā’. Kata ini memiliki dua akar makna: (1) ilmu (pengetahuan); dan (2) kelembutan, keluwesan, dan keluasan.” [3]Makna “Al-Khabiir” dalam konteks AllahIbnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah saat menafsirkan firman Allah, ( نَبَّأني العَلِيمُ الخَبير ), beliau mengatakan,العليم بسرائر عباده؛ وضَمائر قلوبهم، الخبير بأمورهم؛ الذي لا يَخفى عنه شيء“Yakni, Allah yang Maha Mengetahui rahasia hamba-hamba-Nya dan isi hati mereka, Maha Mengetahui keadaan mereka, dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya.” [4]Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,وَقَوْلُهُ: {مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ} أَيْ: مِنْ عِنْدِ اللَّهِ الْحَكِيمِ فِي أَقْوَالِهِ، وَأَحْكَامِهِ، ‌الْخَبِيرِ بِعَوَاقِبِ الْأُمُورِ“Firman Allah (yang artinya), ‘Dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui (al-Ḥakīm al-Khabīr)’, maksudnya: ‘Dari sisi Allah, Dzat Yang bijaksana dalam firman dan hukum-Nya, serta Maha Mengetahui akibat dari segala urusan.’” [5]Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa‘dī rahimahullah mengatakan,العليم، ‌الخبير: وهو الذي أحاط علمه بالظواهر والبواطن، والأسرار والإعلان، وبالواجبات والمستحيلات والممكنات، وبالعالم العلوي والسفلي، وبالماضي والحاضر والمستقبل، فلا يخفى عليه شيء من الأشياء“al-‘Alīm, al-Khabīr adalah Dzat yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu yang tampak dan tersembunyi, yang rahasia maupun terang-terangan, yang wajib, mustahil, dan mungkin, mencakup alam atas dan bawah, masa lalu, sekarang, dan yang akan datang — tidak ada yang luput dari-Nya sedikit pun.” [6]Syekh ‘Abdur Razzāq al-Badr mengatakan, “al-Khabīr bermakna: Dzat yang mengetahui secara mendalam rahasia-rahasia batin, memahami isi hati yang tersembunyi, mengetahui biji-bijian yang tersembunyi di tanah, urusan-urusan yang sangat lembut dan halus, serta partikel yang sangat kecil. Maka nama ini mencakup ilmu tentang hal-hal yang sangat tersembunyi dan sangat kecil, dan tentu lebih-lebih lagi terhadap hal yang tampak dan besar.” [7]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Malik”, “Al-Maalik”, dan “Al-Maliik”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Khabiir” bagi hambaPenetapan nama “Al-Khabiir” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa al-Khabīr adalah salah satu dari Asmaul HusnaYaitu bahwa Allah Maha Mengetahui segala urusan yang tersembunyi dan yang tidak tampak, Maha Mengetahui apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi, tidak ada sedikit pun yang luput dari ilmu-Nya, meskipun sangat kecil dan halus. Sifat ini hanya milik Allah semata, tidak ada satu pun makhluk-Nya yang menyamai-Nya. [8] Bertakwa kepada Allah dan mengamalkan apa yang Dia cintaiSesungguhnya Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā adalah al-Khabīr, yang Maha Mengetahui amal perbuatan dan ucapan hamba-hamba-Nya, serta apa yang bergejolak dalam hati mereka — baik berupa kebaikan maupun keburukan. Allah Ta’ala berfirman,وَكَفَى بِرَبِّكَ بِذُنُوبِ عِبَادِهِ خَبِيرَاً بَصِيراً“Dan cukuplah Tuhanmu sebagai Dzat yang Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-Nya dan Maha Melihat.” (QS. Al-Isrā’: 17)Oleh karena itu, Allah memerintahkan kita agar bertakwa kepada-Nya, mengerjakan yang Dia cintai, dan menjauhi segala sesuatu yang membuat-Nya murka. Allah Ta’ala berfirman,وَإِن تُحْسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً“Jika kalian berbuat baik dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. An-Nisā’: 128)Dan firman-Nya,وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ“Bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Ḥasyr: 18) [9] Peringatan agar tidak bermaksiat kepada-NyaFirman Allah,وَإِن تَلْوُواْ أَوْ تُعْرِضُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً“Dan jika kalian memutarbalikkan (kesaksian) atau berpaling (tidak memberikan kesaksian), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. An-Nisā’: 135)Ayat ini adalah peringatan dari maksiat, khususnya dalam konteks tidak menegakkan kesaksian secara adil, yang disebut dengan ‘memutarbalikkan (kesaksian)’, atau menyembunyikannya padahal dibutuhkan, yang disebut dengan ‘berpaling (tidak memberikan kesaksian)’. Kemudian datanglah peringatan dengan firman-Nya,فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan”, maksudnya: Allah mengetahui ketika kalian tidak menegakkan kesaksian, memutarbalikkan kebenaran, atau berpaling darinya dengan menyembunyikan, dan semuanya dicatat oleh Allah untuk dibalas di hari pembalasan. Maka bertakwalah kepada Rabb kalian dalam urusan ini. [10] Menaati Allah dan Rasul-NyaDi antara buah dari beriman terhadap nama Allah Al-Khabiir adalah seorang hamba hendaknya menaati Allah dan Rasul-Nya, dan ini merupakan puncak ibadah. Allah berfirman,… فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ ‌خَبِيرٌ ‌بِمَا ‌تَعْمَلُونَ“… Maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. An-Nūr: 56) [11]Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita, untuk senantiasa menjaga amal dan niat, karena tiada satu pun yang tersembunyi dari ilmu-Nya. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Wahhab”***Rumdin PPIA Sragen, 18 Muharam 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444. Catatan kaki:[1] an-Nahj al-Asma, hal. 187[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 560; dan al-Miṣbāḥ al-Munīr, 1: 162.[3] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 278.[4] Tafsīr ath-Thabarī, 23: 92.[5] Tafsīr Ibn Katsīr, 4: 303.[6] Taisīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 945.[7] Fiqh al-Asma’ al-Ḥusnā, hal. 161.[8] an-Nahj al-Asma, hal. 188.[9] Disarikan dari an-Nahj al-Asma, hal. 188-189.[10] an-Nahj al-Asma, hal. 189.[11] At-Ta‘liq al-Asna, hal. 198.
Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Khabiir”Kandungan makna nama Allah “Al-Khabiir”Makna bahasa dari “Al-Khabiir”Makna “Al-Khabiir” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Khabiir” bagi hambaBeriman bahwa al-Khabīr adalah salah satu dari Asmaul HusnaBertakwa kepada Allah dan mengamalkan apa yang Dia cintaiPeringatan agar tidak bermaksiat kepada-NyaMenaati Allah dan Rasul-NyaMengenal nama-nama Allah merupakan salah satu perkara pokok yang dapat menguatkan keimanan dan ketakwaan. Semakin dalam seorang hamba mengenal sifat-sifat Rabb-nya, semakin takut ia bermaksiat, semakin ikhlas ia beramal, dan semakin besar harapannya kepada rahmat Allah. Di antara nama-Nya yang agung adalah Al-Khabīr — Dzat Yang Maha Mengetahui secara mendalam setiap urusan makhluk-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.Dalam artikel ini, kita akan mengulas tiga hal utama: dalil-dalil dari Al-Qur’an yang menyebut nama Al-Khabīr, penjelasan kandungan maknanya menurut para ulama, serta konsekuensi penting yang harus ditanamkan dalam diri setiap hamba — yaitu kesadaran akan pengawasan Allah, peningkatan takwa dalam setiap keadaan, dan keikhlasan dalam beramal meski tidak dilihat manusia.Dalil nama Allah “Al-Khabiir”Nama al-Khabīr disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 45 kali, di antaranya:Firman Allah Ta‘ala,ولِلّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ“Dan kepunyaan Allah-lah warisan (segala) yang ada di langit dan di bumi, dan Allah Maha Mengetahui segala yang kamu kerjakan.” (QS. Ali ‘Imran: 180)Firman-Nya,عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ“(Dialah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana, Maha Mengetahui secara mendalam.” (QS. Al-An‘ām: 73)Firman-Nya,إِنَّ اللَّهَ بِعِبَادِهِ لَخَبِيرٌ بَصِيرٌ“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Fāṭir: 31)Firman-Nya,إِنَّ رَبَّهُم بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيرٌ“Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka.” (QS. Al-‘Ādiyāt: 11) [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Khabiir”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Khabiir” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Khabiir”Kata al-Khabīr ( الخَبير ) adalah bentuk ṣifah musyabbahah (sifat yang menunjukkan makna tetap atau menetap) dari kata kerja khabara – yakhburu ( خَبَرَ – يخبُر ) yang berarti mengetahui. [2]Ibnu Faris rahimahullah mengatakan,الْخَاءُ وَالْبَاءُ وَالرَّاءُ أَصْلَانِ: فَالْأَوَّلُ الْعِلْمُ، وَالثَّانِي يَدُلُّ عَلَى لِينٍ وَرَخَاوَةٍ وَغُزْرٍ“khā’, bā’, dan rā’. Kata ini memiliki dua akar makna: (1) ilmu (pengetahuan); dan (2) kelembutan, keluwesan, dan keluasan.” [3]Makna “Al-Khabiir” dalam konteks AllahIbnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah saat menafsirkan firman Allah, ( نَبَّأني العَلِيمُ الخَبير ), beliau mengatakan,العليم بسرائر عباده؛ وضَمائر قلوبهم، الخبير بأمورهم؛ الذي لا يَخفى عنه شيء“Yakni, Allah yang Maha Mengetahui rahasia hamba-hamba-Nya dan isi hati mereka, Maha Mengetahui keadaan mereka, dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya.” [4]Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,وَقَوْلُهُ: {مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ} أَيْ: مِنْ عِنْدِ اللَّهِ الْحَكِيمِ فِي أَقْوَالِهِ، وَأَحْكَامِهِ، ‌الْخَبِيرِ بِعَوَاقِبِ الْأُمُورِ“Firman Allah (yang artinya), ‘Dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui (al-Ḥakīm al-Khabīr)’, maksudnya: ‘Dari sisi Allah, Dzat Yang bijaksana dalam firman dan hukum-Nya, serta Maha Mengetahui akibat dari segala urusan.’” [5]Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa‘dī rahimahullah mengatakan,العليم، ‌الخبير: وهو الذي أحاط علمه بالظواهر والبواطن، والأسرار والإعلان، وبالواجبات والمستحيلات والممكنات، وبالعالم العلوي والسفلي، وبالماضي والحاضر والمستقبل، فلا يخفى عليه شيء من الأشياء“al-‘Alīm, al-Khabīr adalah Dzat yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu yang tampak dan tersembunyi, yang rahasia maupun terang-terangan, yang wajib, mustahil, dan mungkin, mencakup alam atas dan bawah, masa lalu, sekarang, dan yang akan datang — tidak ada yang luput dari-Nya sedikit pun.” [6]Syekh ‘Abdur Razzāq al-Badr mengatakan, “al-Khabīr bermakna: Dzat yang mengetahui secara mendalam rahasia-rahasia batin, memahami isi hati yang tersembunyi, mengetahui biji-bijian yang tersembunyi di tanah, urusan-urusan yang sangat lembut dan halus, serta partikel yang sangat kecil. Maka nama ini mencakup ilmu tentang hal-hal yang sangat tersembunyi dan sangat kecil, dan tentu lebih-lebih lagi terhadap hal yang tampak dan besar.” [7]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Malik”, “Al-Maalik”, dan “Al-Maliik”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Khabiir” bagi hambaPenetapan nama “Al-Khabiir” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa al-Khabīr adalah salah satu dari Asmaul HusnaYaitu bahwa Allah Maha Mengetahui segala urusan yang tersembunyi dan yang tidak tampak, Maha Mengetahui apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi, tidak ada sedikit pun yang luput dari ilmu-Nya, meskipun sangat kecil dan halus. Sifat ini hanya milik Allah semata, tidak ada satu pun makhluk-Nya yang menyamai-Nya. [8] Bertakwa kepada Allah dan mengamalkan apa yang Dia cintaiSesungguhnya Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā adalah al-Khabīr, yang Maha Mengetahui amal perbuatan dan ucapan hamba-hamba-Nya, serta apa yang bergejolak dalam hati mereka — baik berupa kebaikan maupun keburukan. Allah Ta’ala berfirman,وَكَفَى بِرَبِّكَ بِذُنُوبِ عِبَادِهِ خَبِيرَاً بَصِيراً“Dan cukuplah Tuhanmu sebagai Dzat yang Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-Nya dan Maha Melihat.” (QS. Al-Isrā’: 17)Oleh karena itu, Allah memerintahkan kita agar bertakwa kepada-Nya, mengerjakan yang Dia cintai, dan menjauhi segala sesuatu yang membuat-Nya murka. Allah Ta’ala berfirman,وَإِن تُحْسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً“Jika kalian berbuat baik dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. An-Nisā’: 128)Dan firman-Nya,وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ“Bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Ḥasyr: 18) [9] Peringatan agar tidak bermaksiat kepada-NyaFirman Allah,وَإِن تَلْوُواْ أَوْ تُعْرِضُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً“Dan jika kalian memutarbalikkan (kesaksian) atau berpaling (tidak memberikan kesaksian), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. An-Nisā’: 135)Ayat ini adalah peringatan dari maksiat, khususnya dalam konteks tidak menegakkan kesaksian secara adil, yang disebut dengan ‘memutarbalikkan (kesaksian)’, atau menyembunyikannya padahal dibutuhkan, yang disebut dengan ‘berpaling (tidak memberikan kesaksian)’. Kemudian datanglah peringatan dengan firman-Nya,فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan”, maksudnya: Allah mengetahui ketika kalian tidak menegakkan kesaksian, memutarbalikkan kebenaran, atau berpaling darinya dengan menyembunyikan, dan semuanya dicatat oleh Allah untuk dibalas di hari pembalasan. Maka bertakwalah kepada Rabb kalian dalam urusan ini. [10] Menaati Allah dan Rasul-NyaDi antara buah dari beriman terhadap nama Allah Al-Khabiir adalah seorang hamba hendaknya menaati Allah dan Rasul-Nya, dan ini merupakan puncak ibadah. Allah berfirman,… فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ ‌خَبِيرٌ ‌بِمَا ‌تَعْمَلُونَ“… Maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. An-Nūr: 56) [11]Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita, untuk senantiasa menjaga amal dan niat, karena tiada satu pun yang tersembunyi dari ilmu-Nya. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Wahhab”***Rumdin PPIA Sragen, 18 Muharam 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444. Catatan kaki:[1] an-Nahj al-Asma, hal. 187[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 560; dan al-Miṣbāḥ al-Munīr, 1: 162.[3] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 278.[4] Tafsīr ath-Thabarī, 23: 92.[5] Tafsīr Ibn Katsīr, 4: 303.[6] Taisīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 945.[7] Fiqh al-Asma’ al-Ḥusnā, hal. 161.[8] an-Nahj al-Asma, hal. 188.[9] Disarikan dari an-Nahj al-Asma, hal. 188-189.[10] an-Nahj al-Asma, hal. 189.[11] At-Ta‘liq al-Asna, hal. 198.


Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Khabiir”Kandungan makna nama Allah “Al-Khabiir”Makna bahasa dari “Al-Khabiir”Makna “Al-Khabiir” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Khabiir” bagi hambaBeriman bahwa al-Khabīr adalah salah satu dari Asmaul HusnaBertakwa kepada Allah dan mengamalkan apa yang Dia cintaiPeringatan agar tidak bermaksiat kepada-NyaMenaati Allah dan Rasul-NyaMengenal nama-nama Allah merupakan salah satu perkara pokok yang dapat menguatkan keimanan dan ketakwaan. Semakin dalam seorang hamba mengenal sifat-sifat Rabb-nya, semakin takut ia bermaksiat, semakin ikhlas ia beramal, dan semakin besar harapannya kepada rahmat Allah. Di antara nama-Nya yang agung adalah Al-Khabīr — Dzat Yang Maha Mengetahui secara mendalam setiap urusan makhluk-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.Dalam artikel ini, kita akan mengulas tiga hal utama: dalil-dalil dari Al-Qur’an yang menyebut nama Al-Khabīr, penjelasan kandungan maknanya menurut para ulama, serta konsekuensi penting yang harus ditanamkan dalam diri setiap hamba — yaitu kesadaran akan pengawasan Allah, peningkatan takwa dalam setiap keadaan, dan keikhlasan dalam beramal meski tidak dilihat manusia.Dalil nama Allah “Al-Khabiir”Nama al-Khabīr disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 45 kali, di antaranya:Firman Allah Ta‘ala,ولِلّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ“Dan kepunyaan Allah-lah warisan (segala) yang ada di langit dan di bumi, dan Allah Maha Mengetahui segala yang kamu kerjakan.” (QS. Ali ‘Imran: 180)Firman-Nya,عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ“(Dialah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana, Maha Mengetahui secara mendalam.” (QS. Al-An‘ām: 73)Firman-Nya,إِنَّ اللَّهَ بِعِبَادِهِ لَخَبِيرٌ بَصِيرٌ“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Fāṭir: 31)Firman-Nya,إِنَّ رَبَّهُم بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيرٌ“Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka.” (QS. Al-‘Ādiyāt: 11) [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Khabiir”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Khabiir” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Khabiir”Kata al-Khabīr ( الخَبير ) adalah bentuk ṣifah musyabbahah (sifat yang menunjukkan makna tetap atau menetap) dari kata kerja khabara – yakhburu ( خَبَرَ – يخبُر ) yang berarti mengetahui. [2]Ibnu Faris rahimahullah mengatakan,الْخَاءُ وَالْبَاءُ وَالرَّاءُ أَصْلَانِ: فَالْأَوَّلُ الْعِلْمُ، وَالثَّانِي يَدُلُّ عَلَى لِينٍ وَرَخَاوَةٍ وَغُزْرٍ“khā’, bā’, dan rā’. Kata ini memiliki dua akar makna: (1) ilmu (pengetahuan); dan (2) kelembutan, keluwesan, dan keluasan.” [3]Makna “Al-Khabiir” dalam konteks AllahIbnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah saat menafsirkan firman Allah, ( نَبَّأني العَلِيمُ الخَبير ), beliau mengatakan,العليم بسرائر عباده؛ وضَمائر قلوبهم، الخبير بأمورهم؛ الذي لا يَخفى عنه شيء“Yakni, Allah yang Maha Mengetahui rahasia hamba-hamba-Nya dan isi hati mereka, Maha Mengetahui keadaan mereka, dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya.” [4]Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,وَقَوْلُهُ: {مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ} أَيْ: مِنْ عِنْدِ اللَّهِ الْحَكِيمِ فِي أَقْوَالِهِ، وَأَحْكَامِهِ، ‌الْخَبِيرِ بِعَوَاقِبِ الْأُمُورِ“Firman Allah (yang artinya), ‘Dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui (al-Ḥakīm al-Khabīr)’, maksudnya: ‘Dari sisi Allah, Dzat Yang bijaksana dalam firman dan hukum-Nya, serta Maha Mengetahui akibat dari segala urusan.’” [5]Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa‘dī rahimahullah mengatakan,العليم، ‌الخبير: وهو الذي أحاط علمه بالظواهر والبواطن، والأسرار والإعلان، وبالواجبات والمستحيلات والممكنات، وبالعالم العلوي والسفلي، وبالماضي والحاضر والمستقبل، فلا يخفى عليه شيء من الأشياء“al-‘Alīm, al-Khabīr adalah Dzat yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu yang tampak dan tersembunyi, yang rahasia maupun terang-terangan, yang wajib, mustahil, dan mungkin, mencakup alam atas dan bawah, masa lalu, sekarang, dan yang akan datang — tidak ada yang luput dari-Nya sedikit pun.” [6]Syekh ‘Abdur Razzāq al-Badr mengatakan, “al-Khabīr bermakna: Dzat yang mengetahui secara mendalam rahasia-rahasia batin, memahami isi hati yang tersembunyi, mengetahui biji-bijian yang tersembunyi di tanah, urusan-urusan yang sangat lembut dan halus, serta partikel yang sangat kecil. Maka nama ini mencakup ilmu tentang hal-hal yang sangat tersembunyi dan sangat kecil, dan tentu lebih-lebih lagi terhadap hal yang tampak dan besar.” [7]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Malik”, “Al-Maalik”, dan “Al-Maliik”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Khabiir” bagi hambaPenetapan nama “Al-Khabiir” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa al-Khabīr adalah salah satu dari Asmaul HusnaYaitu bahwa Allah Maha Mengetahui segala urusan yang tersembunyi dan yang tidak tampak, Maha Mengetahui apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi, tidak ada sedikit pun yang luput dari ilmu-Nya, meskipun sangat kecil dan halus. Sifat ini hanya milik Allah semata, tidak ada satu pun makhluk-Nya yang menyamai-Nya. [8] Bertakwa kepada Allah dan mengamalkan apa yang Dia cintaiSesungguhnya Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā adalah al-Khabīr, yang Maha Mengetahui amal perbuatan dan ucapan hamba-hamba-Nya, serta apa yang bergejolak dalam hati mereka — baik berupa kebaikan maupun keburukan. Allah Ta’ala berfirman,وَكَفَى بِرَبِّكَ بِذُنُوبِ عِبَادِهِ خَبِيرَاً بَصِيراً“Dan cukuplah Tuhanmu sebagai Dzat yang Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-Nya dan Maha Melihat.” (QS. Al-Isrā’: 17)Oleh karena itu, Allah memerintahkan kita agar bertakwa kepada-Nya, mengerjakan yang Dia cintai, dan menjauhi segala sesuatu yang membuat-Nya murka. Allah Ta’ala berfirman,وَإِن تُحْسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً“Jika kalian berbuat baik dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. An-Nisā’: 128)Dan firman-Nya,وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ“Bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Ḥasyr: 18) [9] Peringatan agar tidak bermaksiat kepada-NyaFirman Allah,وَإِن تَلْوُواْ أَوْ تُعْرِضُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً“Dan jika kalian memutarbalikkan (kesaksian) atau berpaling (tidak memberikan kesaksian), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. An-Nisā’: 135)Ayat ini adalah peringatan dari maksiat, khususnya dalam konteks tidak menegakkan kesaksian secara adil, yang disebut dengan ‘memutarbalikkan (kesaksian)’, atau menyembunyikannya padahal dibutuhkan, yang disebut dengan ‘berpaling (tidak memberikan kesaksian)’. Kemudian datanglah peringatan dengan firman-Nya,فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan”, maksudnya: Allah mengetahui ketika kalian tidak menegakkan kesaksian, memutarbalikkan kebenaran, atau berpaling darinya dengan menyembunyikan, dan semuanya dicatat oleh Allah untuk dibalas di hari pembalasan. Maka bertakwalah kepada Rabb kalian dalam urusan ini. [10] Menaati Allah dan Rasul-NyaDi antara buah dari beriman terhadap nama Allah Al-Khabiir adalah seorang hamba hendaknya menaati Allah dan Rasul-Nya, dan ini merupakan puncak ibadah. Allah berfirman,… فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ ‌خَبِيرٌ ‌بِمَا ‌تَعْمَلُونَ“… Maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. An-Nūr: 56) [11]Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita, untuk senantiasa menjaga amal dan niat, karena tiada satu pun yang tersembunyi dari ilmu-Nya. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Wahhab”***Rumdin PPIA Sragen, 18 Muharam 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444. Catatan kaki:[1] an-Nahj al-Asma, hal. 187[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 560; dan al-Miṣbāḥ al-Munīr, 1: 162.[3] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 278.[4] Tafsīr ath-Thabarī, 23: 92.[5] Tafsīr Ibn Katsīr, 4: 303.[6] Taisīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 945.[7] Fiqh al-Asma’ al-Ḥusnā, hal. 161.[8] an-Nahj al-Asma, hal. 188.[9] Disarikan dari an-Nahj al-Asma, hal. 188-189.[10] an-Nahj al-Asma, hal. 189.[11] At-Ta‘liq al-Asna, hal. 198.

Hadis: Bolehkah Membatalkan Pernikahan karena Adanya Aib (Cacat) pada Pasangan? (Bag. 2)

Daftar Isi ToggleKandungan hadis (lanjutan)Kandungan keempatKandungan kelimaKandungan keenamKandungan ketujuhKandungan kedelapanKandungan hadis (lanjutan)Kandungan keempatHadis ini menjadi dalil bahwa apabila seorang suami menemukan cacat pada istrinya setelah menikah dan telah menemui (berduaan dengan) istrinya, maka istri tetap berhak mendapatkan mahar yang telah diberikan secara penuh, baik telah terjadi hubungan suami istri maupun hanya khalwah (berduaan) saja—menurut salah satu pendapat ulama dalam hal ini.Hal ini didasarkan pada riwayat Malik dari Sa’id bin al-Musayyib bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah memutuskan dalam kasus seorang lelaki yang menikahi seorang wanita,إِذَا أُرْخِيَتِ السُّتُورُ فَقَدْ وَجَبَ الصَّدَاقُ“Apabila tirai telah diturunkan (yakni telah berada berdua dalam satu tempat tertutup, pent.), maka mahar menjadi wajib.” Riwayat ini bersifat mauquf, namun derajatnya sahih sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya [1], dan hal serupa juga diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. [2]Sementara itu, Ibnu Abbas, Ibnu Hazm, dan sekelompok ulama lainnya berpendapat bahwa wanita tersebut hanya berhak mendapatkan setengah mahar (apabila berduaan saja, namun belum terjadi hubungan badan). Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,إِذَا دَخَلَتْ عَلَيْهِ ٱمْرَأَتُهُ، ثُمَّ طَلَّقَهَا، فَزَعَمَ أَنَّهُ لَمْ يَمَسَّهَا، قَالَ: عَلَيْهِ نِصْفُ ٱلصَّدَاقِ“Apabila seorang lelaki telah didatangi istrinya, lalu menceraikannya, namun mengaku tidak menyentuhnya, maka tetap wajib baginya membayar setengah mahar.” [3]Pendapat ini didukung oleh firman Allah Ta’ala,وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ“Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka, padahal kamu telah menentukan mahar untuk mereka, maka (bayarlah) setengah dari mahar yang telah kamu tentukan itu.” (QS. Al-Baqarah: 237)Yang dimaksud dengan “menyentuh” dalam ayat ini adalah jima’ (hubungan suami istri).Adapun jika pembatalan pernikahan (fasakh) terjadi sebelum suami berduaan (khalwah) dengan istri, maka wanita tersebut tidak berhak mendapatkan mahar, baik pembatalan itu berasal dari pihak wanita maupun pria. Jika dari pihak wanita, berarti perpisahan terjadi atas kehendaknya sendiri. Jika dari pihak pria, maka pembatalan terjadi karena ada cacat (aib) pada wanita yang sebelumnya disembunyikannya.Kandungan kelimaHak untuk bercerai (tidak meneruskan pernikahan) antara suami dan istri tetap berlaku apabila ditemukan cacat (aib), menurut mazhab Hanafi dan Hanbali. Hak tersebut tidak hilang (gugur) hanya karena sikap diam saja (baca: belum menentukan sikap) dari salah satu pihak; karena “diam” bisa jadi berasal dari sikap menunggu atau berharap adanya kesembuhan. Hak itu hanya hilang atau gugur jika ada tanda yang jelas menunjukkan persetujuan (artinya, rida dengan adanya cacat tersebut, pent.), baik disampaikan secara tegas atau tersirat, misalnya dengan mengatakan, “Saya rida,” atau “Saya gugurkan hak saya,” atau dengan menyetujui adanya pernikahan itu sendiri.Sedangkan menurut mazhab Syafi’i dan Maliki, hak untuk bercerai langsung berlaku apabila ditemukan cacat (aib). Jika pemilik hak tersebut diam sampai lewat batas waktu yang cukup untuk mengajukan perkara ke hakim, namun dia tidak mengajukannya, maka dia dianggap rida (menerima adanya cacat tersebut).Pendapat pertama (mazhab Hanafi dan Hanbali) dianggap lebih tepat, karena sisi pendalilannya yang lebih kuat [4]. Namun dikatakan bahwa perkara ini juga bergantung pada ijtihad hakim, dan tidaklah mustahil bagi hakim untuk memilih salah satu pendapat sesuai dengan kemaslahatan suami istri tersebut.Kandungan keenamPara ulama berbeda pendapat mengenai apakah suami yang tertipu karena adanya cacat (aib) pada istrinya dan terjadi pembatalan (fasakh) setelah melakukan hubungan suami istri, apakah ia boleh meminta kembali maharnya, dan kepada siapa mahar itu harus dikembalikan. Ada dua pendapat dalam masalah ini:Pendapat pertama: Suami berhak menuntut kembali mahar dari pihak yang menipu, yaitu wali atau wakil, karena hal ini merupakan kerugian (ghurm) yang menimpa suami akibat adanya penipuan dari pihak tersebut. Pendapat ini dianut oleh Imam Malik, sebagian ulama Syafi’i, dan merupakan pendapat yang paling sahih dari dua riwayat Ahmad. [5] Mereka berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu,وَهُوَ لَهُ عَلَىٰ مَن غَرَّهُ مِنْهَا“Mahar itu menjadi haknya suami kepada orang yang menipunya.”Namun syaratnya, wali atau wakil tersebut harus mengetahui cacat itu sebelumnya. Jika ia tidak mengetahui, maka tidak ada kewajiban mengembalikan mahar, karena ucapan “kepada orang yang menipunya” menunjukkan bahwa penipuan harus dilakukan dengan pengetahuan.Pendapat kedua: Suami tidak dapat menuntut kembali mahar dari siapa pun, karena mahar telah menjadi miliknya setelah istrinya diserahkan kepadanya, sama seperti barang cacat yang sudah dipakai dan kemudian diketahui cacatnya. Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah, Syafi’i dalam pandangan barunya (qaul jadid), dan ada riwayat dari Ahmad, meskipun Ahmad kemudian meninggalkan pendapat ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah [6] dan setelahnya oleh az-Zarkasyi [7]. Karena itu, kebanyakan ulama Hanbali berpegang pada pendapat pertama. [8]Dan asy-Syaukani memilih pendapat ini berdasarkan bahwa perkataan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu tidak dapat dijadikan dalil karena itu adalah ucapan seorang sahabat, dan menjatuhkan kewajiban kepada pihak lain tanpa dalil tidak diperbolehkan. [9] Namun, pendapat yang membolehkan suami untuk menuntut kembali mahar juga memiliki kekuatan, dengan mengambil dasar dari perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu, serta karena pendapat ini dapat mencegah terjadinya penipuan. Karena jika pihak wali atau yang lainnya mengetahui bahwa suami dapat menuntut mahar kembali, maka dia mungkin akan berpikir ulang sebelum melakukan penipuan tersebut.Kandungan ketujuhHadis ini menjadi dalil bahwa ‘unnah (impotensi yang parah) adalah cacat yang membatalkan pernikahan setelah terbukti kebenarannya. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama. Namun, pembatalan itu ditunda selama satu tahun sejak diajukan ke hakim, kecuali jika ada halangan seperti sakit atau ihram, agar melewati empat musim (satu tahun). Jika suami bisa melakukan hubungan suami istri selama masa tersebut, maka jelas bahwa dia tidak impoten. Jika tidak, maka istri diberi pilihan antara tetap tinggal bersama suami atau berpisah, sesuai dengan keputusan Umar dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma. Mereka juga berlandaskan pada firman Allah Ta’ala,فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ“(Yakni) menahan (tidak cerai) dengan cara yang baik atau membiarkan (cerai) dengan cara yang baik pula.” (QS. Al-Baqarah: 229)Termasuk dalam “menahan dengan cara yang baik” adalah melakukan hubungan suami istri.Dalam hal ini, ilmu kedokteran modern juga dapat digunakan untuk memahami persoalan impotensi. Jika menurut ilmu kedokteran (pemeriksaan medis terpercaya) bahwa impotensi tersebut tidak dapat diobati, maka tidak ada faidahnya menunda selama satu tahun. Dalam kasus ini, pernikahan boleh langsung dibatalkan jika salah satu pihak menginginkannya. Terdapat riwayat dari Utsman, Mu’awiyah, dan Samurah radhiyallahu ‘anhum tentang membatalkan pernikahan karena impotensi secara langsung tanpa perlu menunda satu tahun. [10]Kandungan kedelapanDi antara cacat dalam pernikahan adalah kemandulan, yaitu tidak dapat menghasilkan keturunan, baik masalahnya di pihak suami atau di pihak istri. Pendapat yang lebih kuat di kalangan para ulama adalah bahwa hal itu termasuk cacat yang memberikan hak memilih (antara memilih untuk bertahan atau meminta cerai) bagi istri apabila ternyata suaminya diketahui mandul. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, muridnya Ibnul Qayyim, dan juga Syekh Muhammad bin Ibrahim. Hal ini karena mendapatkan keturunan termasuk salah satu tujuan terpenting dari pernikahan. [11]Adapun jika istri yang mandul, maka sebagian ulama mengatakan bahwa itu bukan termasuk cacat, karena suami bisa menikah lagi dengan wanita lain dan tetap mempertahankan istrinya yang mandul karena rasa cinta kepadanya. Bahkan, Al-Qurthubi rahimahullah menukil adanya ijmak (kesepakatan ulama) bahwa istri yang mandul dan tidak bisa melahirkan tidak bisa dijadikan alasan untuk pembatalan pernikahan. [12] Ini juga merupakan pendapat yang secara lahiriyah dipilih oleh Syekh Ibnu Ibrahim. Adapun Syekhul Islam Ibnu Taimiyah tidak membahas tentang kemandulan istri. Mungkin beliau berpendapat bahwa laki-laki yang menginginkan keturunan masih bisa menikah lagi, berbeda dengan perempuan yang tidak memiliki opsi tersebut, sehingga diberikan kepadanya hak untuk membatalkan pernikahan apabila suaminya mandul.Diriwayatkan dari Umar bin Al-Khattab radhiyallāhu ‘anhu bahwa beliau pernah mengutus seorang laki-laki untuk mengurusi urusan zakat. Laki-laki itu kemudian menikahi seorang wanita, namun ternyata laki-laki itu mandul. Ketika ia kembali kepada Umar, ia menceritakan hal tersebut. Maka Umar berkata,هَلْ أَعْلَمْتَهَا أَنَّكَ عَقِيمٌ؟“Apakah engkau telah memberitahunya bahwa engkau mandul?”Ia menjawab, “Tidak.”Maka Umar berkata,فَانْطَلِقْ فَأَعْلِمْهَا، ثُمَّ خَيِّرْهَا“Pergilah dan beritahukan kepadanya, kemudian berikan kepadanya pilihan (untuk tetap bersamamu atau berpisah).” [13]Saat ini, pemeriksaan medis sebelum pernikahan telah menjadi bagian dari prosedur yang termasuk dalam akad nikah di bawah naungan Kementerian Kehakiman di Kerajaan Arab Saudi. Hal ini dilakukan karena mengandung banyak kemaslahatan, sebab pemeriksaan sebelum pernikahan dapat mengungkap kemampuan pasangan suami istri untuk memiliki keturunan. Pemeriksaan ini juga dapat mendeteksi penyakit keturunan dan penyakit menular yang berbahaya, yang bisa berdampak pada kelumpuhan dan pengobatannya mungkin sulit atau tidak memungkinkan. Hal seperti ini tidak bertentangan dengan syariat Islam, dan juga tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan pernikahan.  [14] Wallahu Ta’ala a’lam. [15][Selesai]Kembali ke bagian 1***@Unayzah, KSA; 20 Muharam 1447/ 15 Juli 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Al-Muwatha’, 2: 528; diriwayatkan pula oleh Sa’id bin Manshur, 1: 201.[2] Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, 1: 201; Al-Baihaqi, 7: 255; dengan sanad yang sahih.[3] Diriwayatkan oleh Sa’id (1: 204), dalam sanadnya terdapat Laits bin Abi Sulaym, yang sanadnya lemah dan bercampur, namun hadis ini memiliki pendukung (syahid) pada riwayat al-Baihaqi (7: 254) dari jalur Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas dengan makna serupa. Riwayat Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas tersebut memiliki sedikit perbedaan, namun tetap dapat digunakan untuk memperkuat jalur Laits bin Abi Sulaym. Lihat Ahkam an-Nikah, hal. 141.[4] Al-Furqatu baina Az-Zaujain, hal. 124.[5] Al-Mughni, 10: 64.[6] Al-Mughni, 10: 64.[7] Al-Mughni, 5: 250.[8] Al-Kafi, 2: 687; Al-Mubdi’, 7: 111.[9] Nailul Authar, 6: 178.[10] Lihat Zadul Ma’ad, 5: 181; Asy-Syarhul Mumti’, 12: 207.[11] Al-Ikhtiyarat, hal. 222; Zadul Ma’ad, 5: 181-182; Fatawa Ibnu Ibrahim, 10: 165; Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 19: 11-12, 396.[12] Tafsir Al-Qurthubi, 3: 94.[13] Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazaq, 6: 162; Sa’id, 2: 55; perawinya adalah perawi yang tsiqah (terpercaya).[14] Lihat Diraasaat Fiqhiyyah fii Qadhaaya Thibbiyyah Mu‘aashirah, 1: 333; Mustajaddāt fii Qadhaaya az-Zawaaj wa ath-Thalaaq, hal. 83; A‘maal wa Buḥuuts ad-Dawrah as-Saabi‘ah ‘Asharah lil-Majma‘ al-Fiqhi fi Makkah, 4: 301; Masaa’il Fiqhiyyah Mu‘aashirah, 1: 7; Manhaj al-Islaam fii Salaamat ad-Dzurriyyah min al-Amraadh al-Wiraatsiyyah, hal. 39.[15] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 308-320). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Hadis: Bolehkah Membatalkan Pernikahan karena Adanya Aib (Cacat) pada Pasangan? (Bag. 2)

Daftar Isi ToggleKandungan hadis (lanjutan)Kandungan keempatKandungan kelimaKandungan keenamKandungan ketujuhKandungan kedelapanKandungan hadis (lanjutan)Kandungan keempatHadis ini menjadi dalil bahwa apabila seorang suami menemukan cacat pada istrinya setelah menikah dan telah menemui (berduaan dengan) istrinya, maka istri tetap berhak mendapatkan mahar yang telah diberikan secara penuh, baik telah terjadi hubungan suami istri maupun hanya khalwah (berduaan) saja—menurut salah satu pendapat ulama dalam hal ini.Hal ini didasarkan pada riwayat Malik dari Sa’id bin al-Musayyib bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah memutuskan dalam kasus seorang lelaki yang menikahi seorang wanita,إِذَا أُرْخِيَتِ السُّتُورُ فَقَدْ وَجَبَ الصَّدَاقُ“Apabila tirai telah diturunkan (yakni telah berada berdua dalam satu tempat tertutup, pent.), maka mahar menjadi wajib.” Riwayat ini bersifat mauquf, namun derajatnya sahih sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya [1], dan hal serupa juga diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. [2]Sementara itu, Ibnu Abbas, Ibnu Hazm, dan sekelompok ulama lainnya berpendapat bahwa wanita tersebut hanya berhak mendapatkan setengah mahar (apabila berduaan saja, namun belum terjadi hubungan badan). Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,إِذَا دَخَلَتْ عَلَيْهِ ٱمْرَأَتُهُ، ثُمَّ طَلَّقَهَا، فَزَعَمَ أَنَّهُ لَمْ يَمَسَّهَا، قَالَ: عَلَيْهِ نِصْفُ ٱلصَّدَاقِ“Apabila seorang lelaki telah didatangi istrinya, lalu menceraikannya, namun mengaku tidak menyentuhnya, maka tetap wajib baginya membayar setengah mahar.” [3]Pendapat ini didukung oleh firman Allah Ta’ala,وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ“Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka, padahal kamu telah menentukan mahar untuk mereka, maka (bayarlah) setengah dari mahar yang telah kamu tentukan itu.” (QS. Al-Baqarah: 237)Yang dimaksud dengan “menyentuh” dalam ayat ini adalah jima’ (hubungan suami istri).Adapun jika pembatalan pernikahan (fasakh) terjadi sebelum suami berduaan (khalwah) dengan istri, maka wanita tersebut tidak berhak mendapatkan mahar, baik pembatalan itu berasal dari pihak wanita maupun pria. Jika dari pihak wanita, berarti perpisahan terjadi atas kehendaknya sendiri. Jika dari pihak pria, maka pembatalan terjadi karena ada cacat (aib) pada wanita yang sebelumnya disembunyikannya.Kandungan kelimaHak untuk bercerai (tidak meneruskan pernikahan) antara suami dan istri tetap berlaku apabila ditemukan cacat (aib), menurut mazhab Hanafi dan Hanbali. Hak tersebut tidak hilang (gugur) hanya karena sikap diam saja (baca: belum menentukan sikap) dari salah satu pihak; karena “diam” bisa jadi berasal dari sikap menunggu atau berharap adanya kesembuhan. Hak itu hanya hilang atau gugur jika ada tanda yang jelas menunjukkan persetujuan (artinya, rida dengan adanya cacat tersebut, pent.), baik disampaikan secara tegas atau tersirat, misalnya dengan mengatakan, “Saya rida,” atau “Saya gugurkan hak saya,” atau dengan menyetujui adanya pernikahan itu sendiri.Sedangkan menurut mazhab Syafi’i dan Maliki, hak untuk bercerai langsung berlaku apabila ditemukan cacat (aib). Jika pemilik hak tersebut diam sampai lewat batas waktu yang cukup untuk mengajukan perkara ke hakim, namun dia tidak mengajukannya, maka dia dianggap rida (menerima adanya cacat tersebut).Pendapat pertama (mazhab Hanafi dan Hanbali) dianggap lebih tepat, karena sisi pendalilannya yang lebih kuat [4]. Namun dikatakan bahwa perkara ini juga bergantung pada ijtihad hakim, dan tidaklah mustahil bagi hakim untuk memilih salah satu pendapat sesuai dengan kemaslahatan suami istri tersebut.Kandungan keenamPara ulama berbeda pendapat mengenai apakah suami yang tertipu karena adanya cacat (aib) pada istrinya dan terjadi pembatalan (fasakh) setelah melakukan hubungan suami istri, apakah ia boleh meminta kembali maharnya, dan kepada siapa mahar itu harus dikembalikan. Ada dua pendapat dalam masalah ini:Pendapat pertama: Suami berhak menuntut kembali mahar dari pihak yang menipu, yaitu wali atau wakil, karena hal ini merupakan kerugian (ghurm) yang menimpa suami akibat adanya penipuan dari pihak tersebut. Pendapat ini dianut oleh Imam Malik, sebagian ulama Syafi’i, dan merupakan pendapat yang paling sahih dari dua riwayat Ahmad. [5] Mereka berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu,وَهُوَ لَهُ عَلَىٰ مَن غَرَّهُ مِنْهَا“Mahar itu menjadi haknya suami kepada orang yang menipunya.”Namun syaratnya, wali atau wakil tersebut harus mengetahui cacat itu sebelumnya. Jika ia tidak mengetahui, maka tidak ada kewajiban mengembalikan mahar, karena ucapan “kepada orang yang menipunya” menunjukkan bahwa penipuan harus dilakukan dengan pengetahuan.Pendapat kedua: Suami tidak dapat menuntut kembali mahar dari siapa pun, karena mahar telah menjadi miliknya setelah istrinya diserahkan kepadanya, sama seperti barang cacat yang sudah dipakai dan kemudian diketahui cacatnya. Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah, Syafi’i dalam pandangan barunya (qaul jadid), dan ada riwayat dari Ahmad, meskipun Ahmad kemudian meninggalkan pendapat ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah [6] dan setelahnya oleh az-Zarkasyi [7]. Karena itu, kebanyakan ulama Hanbali berpegang pada pendapat pertama. [8]Dan asy-Syaukani memilih pendapat ini berdasarkan bahwa perkataan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu tidak dapat dijadikan dalil karena itu adalah ucapan seorang sahabat, dan menjatuhkan kewajiban kepada pihak lain tanpa dalil tidak diperbolehkan. [9] Namun, pendapat yang membolehkan suami untuk menuntut kembali mahar juga memiliki kekuatan, dengan mengambil dasar dari perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu, serta karena pendapat ini dapat mencegah terjadinya penipuan. Karena jika pihak wali atau yang lainnya mengetahui bahwa suami dapat menuntut mahar kembali, maka dia mungkin akan berpikir ulang sebelum melakukan penipuan tersebut.Kandungan ketujuhHadis ini menjadi dalil bahwa ‘unnah (impotensi yang parah) adalah cacat yang membatalkan pernikahan setelah terbukti kebenarannya. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama. Namun, pembatalan itu ditunda selama satu tahun sejak diajukan ke hakim, kecuali jika ada halangan seperti sakit atau ihram, agar melewati empat musim (satu tahun). Jika suami bisa melakukan hubungan suami istri selama masa tersebut, maka jelas bahwa dia tidak impoten. Jika tidak, maka istri diberi pilihan antara tetap tinggal bersama suami atau berpisah, sesuai dengan keputusan Umar dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma. Mereka juga berlandaskan pada firman Allah Ta’ala,فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ“(Yakni) menahan (tidak cerai) dengan cara yang baik atau membiarkan (cerai) dengan cara yang baik pula.” (QS. Al-Baqarah: 229)Termasuk dalam “menahan dengan cara yang baik” adalah melakukan hubungan suami istri.Dalam hal ini, ilmu kedokteran modern juga dapat digunakan untuk memahami persoalan impotensi. Jika menurut ilmu kedokteran (pemeriksaan medis terpercaya) bahwa impotensi tersebut tidak dapat diobati, maka tidak ada faidahnya menunda selama satu tahun. Dalam kasus ini, pernikahan boleh langsung dibatalkan jika salah satu pihak menginginkannya. Terdapat riwayat dari Utsman, Mu’awiyah, dan Samurah radhiyallahu ‘anhum tentang membatalkan pernikahan karena impotensi secara langsung tanpa perlu menunda satu tahun. [10]Kandungan kedelapanDi antara cacat dalam pernikahan adalah kemandulan, yaitu tidak dapat menghasilkan keturunan, baik masalahnya di pihak suami atau di pihak istri. Pendapat yang lebih kuat di kalangan para ulama adalah bahwa hal itu termasuk cacat yang memberikan hak memilih (antara memilih untuk bertahan atau meminta cerai) bagi istri apabila ternyata suaminya diketahui mandul. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, muridnya Ibnul Qayyim, dan juga Syekh Muhammad bin Ibrahim. Hal ini karena mendapatkan keturunan termasuk salah satu tujuan terpenting dari pernikahan. [11]Adapun jika istri yang mandul, maka sebagian ulama mengatakan bahwa itu bukan termasuk cacat, karena suami bisa menikah lagi dengan wanita lain dan tetap mempertahankan istrinya yang mandul karena rasa cinta kepadanya. Bahkan, Al-Qurthubi rahimahullah menukil adanya ijmak (kesepakatan ulama) bahwa istri yang mandul dan tidak bisa melahirkan tidak bisa dijadikan alasan untuk pembatalan pernikahan. [12] Ini juga merupakan pendapat yang secara lahiriyah dipilih oleh Syekh Ibnu Ibrahim. Adapun Syekhul Islam Ibnu Taimiyah tidak membahas tentang kemandulan istri. Mungkin beliau berpendapat bahwa laki-laki yang menginginkan keturunan masih bisa menikah lagi, berbeda dengan perempuan yang tidak memiliki opsi tersebut, sehingga diberikan kepadanya hak untuk membatalkan pernikahan apabila suaminya mandul.Diriwayatkan dari Umar bin Al-Khattab radhiyallāhu ‘anhu bahwa beliau pernah mengutus seorang laki-laki untuk mengurusi urusan zakat. Laki-laki itu kemudian menikahi seorang wanita, namun ternyata laki-laki itu mandul. Ketika ia kembali kepada Umar, ia menceritakan hal tersebut. Maka Umar berkata,هَلْ أَعْلَمْتَهَا أَنَّكَ عَقِيمٌ؟“Apakah engkau telah memberitahunya bahwa engkau mandul?”Ia menjawab, “Tidak.”Maka Umar berkata,فَانْطَلِقْ فَأَعْلِمْهَا، ثُمَّ خَيِّرْهَا“Pergilah dan beritahukan kepadanya, kemudian berikan kepadanya pilihan (untuk tetap bersamamu atau berpisah).” [13]Saat ini, pemeriksaan medis sebelum pernikahan telah menjadi bagian dari prosedur yang termasuk dalam akad nikah di bawah naungan Kementerian Kehakiman di Kerajaan Arab Saudi. Hal ini dilakukan karena mengandung banyak kemaslahatan, sebab pemeriksaan sebelum pernikahan dapat mengungkap kemampuan pasangan suami istri untuk memiliki keturunan. Pemeriksaan ini juga dapat mendeteksi penyakit keturunan dan penyakit menular yang berbahaya, yang bisa berdampak pada kelumpuhan dan pengobatannya mungkin sulit atau tidak memungkinkan. Hal seperti ini tidak bertentangan dengan syariat Islam, dan juga tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan pernikahan.  [14] Wallahu Ta’ala a’lam. [15][Selesai]Kembali ke bagian 1***@Unayzah, KSA; 20 Muharam 1447/ 15 Juli 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Al-Muwatha’, 2: 528; diriwayatkan pula oleh Sa’id bin Manshur, 1: 201.[2] Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, 1: 201; Al-Baihaqi, 7: 255; dengan sanad yang sahih.[3] Diriwayatkan oleh Sa’id (1: 204), dalam sanadnya terdapat Laits bin Abi Sulaym, yang sanadnya lemah dan bercampur, namun hadis ini memiliki pendukung (syahid) pada riwayat al-Baihaqi (7: 254) dari jalur Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas dengan makna serupa. Riwayat Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas tersebut memiliki sedikit perbedaan, namun tetap dapat digunakan untuk memperkuat jalur Laits bin Abi Sulaym. Lihat Ahkam an-Nikah, hal. 141.[4] Al-Furqatu baina Az-Zaujain, hal. 124.[5] Al-Mughni, 10: 64.[6] Al-Mughni, 10: 64.[7] Al-Mughni, 5: 250.[8] Al-Kafi, 2: 687; Al-Mubdi’, 7: 111.[9] Nailul Authar, 6: 178.[10] Lihat Zadul Ma’ad, 5: 181; Asy-Syarhul Mumti’, 12: 207.[11] Al-Ikhtiyarat, hal. 222; Zadul Ma’ad, 5: 181-182; Fatawa Ibnu Ibrahim, 10: 165; Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 19: 11-12, 396.[12] Tafsir Al-Qurthubi, 3: 94.[13] Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazaq, 6: 162; Sa’id, 2: 55; perawinya adalah perawi yang tsiqah (terpercaya).[14] Lihat Diraasaat Fiqhiyyah fii Qadhaaya Thibbiyyah Mu‘aashirah, 1: 333; Mustajaddāt fii Qadhaaya az-Zawaaj wa ath-Thalaaq, hal. 83; A‘maal wa Buḥuuts ad-Dawrah as-Saabi‘ah ‘Asharah lil-Majma‘ al-Fiqhi fi Makkah, 4: 301; Masaa’il Fiqhiyyah Mu‘aashirah, 1: 7; Manhaj al-Islaam fii Salaamat ad-Dzurriyyah min al-Amraadh al-Wiraatsiyyah, hal. 39.[15] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 308-320). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Daftar Isi ToggleKandungan hadis (lanjutan)Kandungan keempatKandungan kelimaKandungan keenamKandungan ketujuhKandungan kedelapanKandungan hadis (lanjutan)Kandungan keempatHadis ini menjadi dalil bahwa apabila seorang suami menemukan cacat pada istrinya setelah menikah dan telah menemui (berduaan dengan) istrinya, maka istri tetap berhak mendapatkan mahar yang telah diberikan secara penuh, baik telah terjadi hubungan suami istri maupun hanya khalwah (berduaan) saja—menurut salah satu pendapat ulama dalam hal ini.Hal ini didasarkan pada riwayat Malik dari Sa’id bin al-Musayyib bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah memutuskan dalam kasus seorang lelaki yang menikahi seorang wanita,إِذَا أُرْخِيَتِ السُّتُورُ فَقَدْ وَجَبَ الصَّدَاقُ“Apabila tirai telah diturunkan (yakni telah berada berdua dalam satu tempat tertutup, pent.), maka mahar menjadi wajib.” Riwayat ini bersifat mauquf, namun derajatnya sahih sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya [1], dan hal serupa juga diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. [2]Sementara itu, Ibnu Abbas, Ibnu Hazm, dan sekelompok ulama lainnya berpendapat bahwa wanita tersebut hanya berhak mendapatkan setengah mahar (apabila berduaan saja, namun belum terjadi hubungan badan). Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,إِذَا دَخَلَتْ عَلَيْهِ ٱمْرَأَتُهُ، ثُمَّ طَلَّقَهَا، فَزَعَمَ أَنَّهُ لَمْ يَمَسَّهَا، قَالَ: عَلَيْهِ نِصْفُ ٱلصَّدَاقِ“Apabila seorang lelaki telah didatangi istrinya, lalu menceraikannya, namun mengaku tidak menyentuhnya, maka tetap wajib baginya membayar setengah mahar.” [3]Pendapat ini didukung oleh firman Allah Ta’ala,وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ“Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka, padahal kamu telah menentukan mahar untuk mereka, maka (bayarlah) setengah dari mahar yang telah kamu tentukan itu.” (QS. Al-Baqarah: 237)Yang dimaksud dengan “menyentuh” dalam ayat ini adalah jima’ (hubungan suami istri).Adapun jika pembatalan pernikahan (fasakh) terjadi sebelum suami berduaan (khalwah) dengan istri, maka wanita tersebut tidak berhak mendapatkan mahar, baik pembatalan itu berasal dari pihak wanita maupun pria. Jika dari pihak wanita, berarti perpisahan terjadi atas kehendaknya sendiri. Jika dari pihak pria, maka pembatalan terjadi karena ada cacat (aib) pada wanita yang sebelumnya disembunyikannya.Kandungan kelimaHak untuk bercerai (tidak meneruskan pernikahan) antara suami dan istri tetap berlaku apabila ditemukan cacat (aib), menurut mazhab Hanafi dan Hanbali. Hak tersebut tidak hilang (gugur) hanya karena sikap diam saja (baca: belum menentukan sikap) dari salah satu pihak; karena “diam” bisa jadi berasal dari sikap menunggu atau berharap adanya kesembuhan. Hak itu hanya hilang atau gugur jika ada tanda yang jelas menunjukkan persetujuan (artinya, rida dengan adanya cacat tersebut, pent.), baik disampaikan secara tegas atau tersirat, misalnya dengan mengatakan, “Saya rida,” atau “Saya gugurkan hak saya,” atau dengan menyetujui adanya pernikahan itu sendiri.Sedangkan menurut mazhab Syafi’i dan Maliki, hak untuk bercerai langsung berlaku apabila ditemukan cacat (aib). Jika pemilik hak tersebut diam sampai lewat batas waktu yang cukup untuk mengajukan perkara ke hakim, namun dia tidak mengajukannya, maka dia dianggap rida (menerima adanya cacat tersebut).Pendapat pertama (mazhab Hanafi dan Hanbali) dianggap lebih tepat, karena sisi pendalilannya yang lebih kuat [4]. Namun dikatakan bahwa perkara ini juga bergantung pada ijtihad hakim, dan tidaklah mustahil bagi hakim untuk memilih salah satu pendapat sesuai dengan kemaslahatan suami istri tersebut.Kandungan keenamPara ulama berbeda pendapat mengenai apakah suami yang tertipu karena adanya cacat (aib) pada istrinya dan terjadi pembatalan (fasakh) setelah melakukan hubungan suami istri, apakah ia boleh meminta kembali maharnya, dan kepada siapa mahar itu harus dikembalikan. Ada dua pendapat dalam masalah ini:Pendapat pertama: Suami berhak menuntut kembali mahar dari pihak yang menipu, yaitu wali atau wakil, karena hal ini merupakan kerugian (ghurm) yang menimpa suami akibat adanya penipuan dari pihak tersebut. Pendapat ini dianut oleh Imam Malik, sebagian ulama Syafi’i, dan merupakan pendapat yang paling sahih dari dua riwayat Ahmad. [5] Mereka berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu,وَهُوَ لَهُ عَلَىٰ مَن غَرَّهُ مِنْهَا“Mahar itu menjadi haknya suami kepada orang yang menipunya.”Namun syaratnya, wali atau wakil tersebut harus mengetahui cacat itu sebelumnya. Jika ia tidak mengetahui, maka tidak ada kewajiban mengembalikan mahar, karena ucapan “kepada orang yang menipunya” menunjukkan bahwa penipuan harus dilakukan dengan pengetahuan.Pendapat kedua: Suami tidak dapat menuntut kembali mahar dari siapa pun, karena mahar telah menjadi miliknya setelah istrinya diserahkan kepadanya, sama seperti barang cacat yang sudah dipakai dan kemudian diketahui cacatnya. Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah, Syafi’i dalam pandangan barunya (qaul jadid), dan ada riwayat dari Ahmad, meskipun Ahmad kemudian meninggalkan pendapat ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah [6] dan setelahnya oleh az-Zarkasyi [7]. Karena itu, kebanyakan ulama Hanbali berpegang pada pendapat pertama. [8]Dan asy-Syaukani memilih pendapat ini berdasarkan bahwa perkataan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu tidak dapat dijadikan dalil karena itu adalah ucapan seorang sahabat, dan menjatuhkan kewajiban kepada pihak lain tanpa dalil tidak diperbolehkan. [9] Namun, pendapat yang membolehkan suami untuk menuntut kembali mahar juga memiliki kekuatan, dengan mengambil dasar dari perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu, serta karena pendapat ini dapat mencegah terjadinya penipuan. Karena jika pihak wali atau yang lainnya mengetahui bahwa suami dapat menuntut mahar kembali, maka dia mungkin akan berpikir ulang sebelum melakukan penipuan tersebut.Kandungan ketujuhHadis ini menjadi dalil bahwa ‘unnah (impotensi yang parah) adalah cacat yang membatalkan pernikahan setelah terbukti kebenarannya. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama. Namun, pembatalan itu ditunda selama satu tahun sejak diajukan ke hakim, kecuali jika ada halangan seperti sakit atau ihram, agar melewati empat musim (satu tahun). Jika suami bisa melakukan hubungan suami istri selama masa tersebut, maka jelas bahwa dia tidak impoten. Jika tidak, maka istri diberi pilihan antara tetap tinggal bersama suami atau berpisah, sesuai dengan keputusan Umar dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma. Mereka juga berlandaskan pada firman Allah Ta’ala,فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ“(Yakni) menahan (tidak cerai) dengan cara yang baik atau membiarkan (cerai) dengan cara yang baik pula.” (QS. Al-Baqarah: 229)Termasuk dalam “menahan dengan cara yang baik” adalah melakukan hubungan suami istri.Dalam hal ini, ilmu kedokteran modern juga dapat digunakan untuk memahami persoalan impotensi. Jika menurut ilmu kedokteran (pemeriksaan medis terpercaya) bahwa impotensi tersebut tidak dapat diobati, maka tidak ada faidahnya menunda selama satu tahun. Dalam kasus ini, pernikahan boleh langsung dibatalkan jika salah satu pihak menginginkannya. Terdapat riwayat dari Utsman, Mu’awiyah, dan Samurah radhiyallahu ‘anhum tentang membatalkan pernikahan karena impotensi secara langsung tanpa perlu menunda satu tahun. [10]Kandungan kedelapanDi antara cacat dalam pernikahan adalah kemandulan, yaitu tidak dapat menghasilkan keturunan, baik masalahnya di pihak suami atau di pihak istri. Pendapat yang lebih kuat di kalangan para ulama adalah bahwa hal itu termasuk cacat yang memberikan hak memilih (antara memilih untuk bertahan atau meminta cerai) bagi istri apabila ternyata suaminya diketahui mandul. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, muridnya Ibnul Qayyim, dan juga Syekh Muhammad bin Ibrahim. Hal ini karena mendapatkan keturunan termasuk salah satu tujuan terpenting dari pernikahan. [11]Adapun jika istri yang mandul, maka sebagian ulama mengatakan bahwa itu bukan termasuk cacat, karena suami bisa menikah lagi dengan wanita lain dan tetap mempertahankan istrinya yang mandul karena rasa cinta kepadanya. Bahkan, Al-Qurthubi rahimahullah menukil adanya ijmak (kesepakatan ulama) bahwa istri yang mandul dan tidak bisa melahirkan tidak bisa dijadikan alasan untuk pembatalan pernikahan. [12] Ini juga merupakan pendapat yang secara lahiriyah dipilih oleh Syekh Ibnu Ibrahim. Adapun Syekhul Islam Ibnu Taimiyah tidak membahas tentang kemandulan istri. Mungkin beliau berpendapat bahwa laki-laki yang menginginkan keturunan masih bisa menikah lagi, berbeda dengan perempuan yang tidak memiliki opsi tersebut, sehingga diberikan kepadanya hak untuk membatalkan pernikahan apabila suaminya mandul.Diriwayatkan dari Umar bin Al-Khattab radhiyallāhu ‘anhu bahwa beliau pernah mengutus seorang laki-laki untuk mengurusi urusan zakat. Laki-laki itu kemudian menikahi seorang wanita, namun ternyata laki-laki itu mandul. Ketika ia kembali kepada Umar, ia menceritakan hal tersebut. Maka Umar berkata,هَلْ أَعْلَمْتَهَا أَنَّكَ عَقِيمٌ؟“Apakah engkau telah memberitahunya bahwa engkau mandul?”Ia menjawab, “Tidak.”Maka Umar berkata,فَانْطَلِقْ فَأَعْلِمْهَا، ثُمَّ خَيِّرْهَا“Pergilah dan beritahukan kepadanya, kemudian berikan kepadanya pilihan (untuk tetap bersamamu atau berpisah).” [13]Saat ini, pemeriksaan medis sebelum pernikahan telah menjadi bagian dari prosedur yang termasuk dalam akad nikah di bawah naungan Kementerian Kehakiman di Kerajaan Arab Saudi. Hal ini dilakukan karena mengandung banyak kemaslahatan, sebab pemeriksaan sebelum pernikahan dapat mengungkap kemampuan pasangan suami istri untuk memiliki keturunan. Pemeriksaan ini juga dapat mendeteksi penyakit keturunan dan penyakit menular yang berbahaya, yang bisa berdampak pada kelumpuhan dan pengobatannya mungkin sulit atau tidak memungkinkan. Hal seperti ini tidak bertentangan dengan syariat Islam, dan juga tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan pernikahan.  [14] Wallahu Ta’ala a’lam. [15][Selesai]Kembali ke bagian 1***@Unayzah, KSA; 20 Muharam 1447/ 15 Juli 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Al-Muwatha’, 2: 528; diriwayatkan pula oleh Sa’id bin Manshur, 1: 201.[2] Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, 1: 201; Al-Baihaqi, 7: 255; dengan sanad yang sahih.[3] Diriwayatkan oleh Sa’id (1: 204), dalam sanadnya terdapat Laits bin Abi Sulaym, yang sanadnya lemah dan bercampur, namun hadis ini memiliki pendukung (syahid) pada riwayat al-Baihaqi (7: 254) dari jalur Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas dengan makna serupa. Riwayat Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas tersebut memiliki sedikit perbedaan, namun tetap dapat digunakan untuk memperkuat jalur Laits bin Abi Sulaym. Lihat Ahkam an-Nikah, hal. 141.[4] Al-Furqatu baina Az-Zaujain, hal. 124.[5] Al-Mughni, 10: 64.[6] Al-Mughni, 10: 64.[7] Al-Mughni, 5: 250.[8] Al-Kafi, 2: 687; Al-Mubdi’, 7: 111.[9] Nailul Authar, 6: 178.[10] Lihat Zadul Ma’ad, 5: 181; Asy-Syarhul Mumti’, 12: 207.[11] Al-Ikhtiyarat, hal. 222; Zadul Ma’ad, 5: 181-182; Fatawa Ibnu Ibrahim, 10: 165; Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 19: 11-12, 396.[12] Tafsir Al-Qurthubi, 3: 94.[13] Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazaq, 6: 162; Sa’id, 2: 55; perawinya adalah perawi yang tsiqah (terpercaya).[14] Lihat Diraasaat Fiqhiyyah fii Qadhaaya Thibbiyyah Mu‘aashirah, 1: 333; Mustajaddāt fii Qadhaaya az-Zawaaj wa ath-Thalaaq, hal. 83; A‘maal wa Buḥuuts ad-Dawrah as-Saabi‘ah ‘Asharah lil-Majma‘ al-Fiqhi fi Makkah, 4: 301; Masaa’il Fiqhiyyah Mu‘aashirah, 1: 7; Manhaj al-Islaam fii Salaamat ad-Dzurriyyah min al-Amraadh al-Wiraatsiyyah, hal. 39.[15] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 308-320). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.


Daftar Isi ToggleKandungan hadis (lanjutan)Kandungan keempatKandungan kelimaKandungan keenamKandungan ketujuhKandungan kedelapanKandungan hadis (lanjutan)Kandungan keempatHadis ini menjadi dalil bahwa apabila seorang suami menemukan cacat pada istrinya setelah menikah dan telah menemui (berduaan dengan) istrinya, maka istri tetap berhak mendapatkan mahar yang telah diberikan secara penuh, baik telah terjadi hubungan suami istri maupun hanya khalwah (berduaan) saja—menurut salah satu pendapat ulama dalam hal ini.Hal ini didasarkan pada riwayat Malik dari Sa’id bin al-Musayyib bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah memutuskan dalam kasus seorang lelaki yang menikahi seorang wanita,إِذَا أُرْخِيَتِ السُّتُورُ فَقَدْ وَجَبَ الصَّدَاقُ“Apabila tirai telah diturunkan (yakni telah berada berdua dalam satu tempat tertutup, pent.), maka mahar menjadi wajib.” Riwayat ini bersifat mauquf, namun derajatnya sahih sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya [1], dan hal serupa juga diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. [2]Sementara itu, Ibnu Abbas, Ibnu Hazm, dan sekelompok ulama lainnya berpendapat bahwa wanita tersebut hanya berhak mendapatkan setengah mahar (apabila berduaan saja, namun belum terjadi hubungan badan). Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,إِذَا دَخَلَتْ عَلَيْهِ ٱمْرَأَتُهُ، ثُمَّ طَلَّقَهَا، فَزَعَمَ أَنَّهُ لَمْ يَمَسَّهَا، قَالَ: عَلَيْهِ نِصْفُ ٱلصَّدَاقِ“Apabila seorang lelaki telah didatangi istrinya, lalu menceraikannya, namun mengaku tidak menyentuhnya, maka tetap wajib baginya membayar setengah mahar.” [3]Pendapat ini didukung oleh firman Allah Ta’ala,وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ“Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka, padahal kamu telah menentukan mahar untuk mereka, maka (bayarlah) setengah dari mahar yang telah kamu tentukan itu.” (QS. Al-Baqarah: 237)Yang dimaksud dengan “menyentuh” dalam ayat ini adalah jima’ (hubungan suami istri).Adapun jika pembatalan pernikahan (fasakh) terjadi sebelum suami berduaan (khalwah) dengan istri, maka wanita tersebut tidak berhak mendapatkan mahar, baik pembatalan itu berasal dari pihak wanita maupun pria. Jika dari pihak wanita, berarti perpisahan terjadi atas kehendaknya sendiri. Jika dari pihak pria, maka pembatalan terjadi karena ada cacat (aib) pada wanita yang sebelumnya disembunyikannya.Kandungan kelimaHak untuk bercerai (tidak meneruskan pernikahan) antara suami dan istri tetap berlaku apabila ditemukan cacat (aib), menurut mazhab Hanafi dan Hanbali. Hak tersebut tidak hilang (gugur) hanya karena sikap diam saja (baca: belum menentukan sikap) dari salah satu pihak; karena “diam” bisa jadi berasal dari sikap menunggu atau berharap adanya kesembuhan. Hak itu hanya hilang atau gugur jika ada tanda yang jelas menunjukkan persetujuan (artinya, rida dengan adanya cacat tersebut, pent.), baik disampaikan secara tegas atau tersirat, misalnya dengan mengatakan, “Saya rida,” atau “Saya gugurkan hak saya,” atau dengan menyetujui adanya pernikahan itu sendiri.Sedangkan menurut mazhab Syafi’i dan Maliki, hak untuk bercerai langsung berlaku apabila ditemukan cacat (aib). Jika pemilik hak tersebut diam sampai lewat batas waktu yang cukup untuk mengajukan perkara ke hakim, namun dia tidak mengajukannya, maka dia dianggap rida (menerima adanya cacat tersebut).Pendapat pertama (mazhab Hanafi dan Hanbali) dianggap lebih tepat, karena sisi pendalilannya yang lebih kuat [4]. Namun dikatakan bahwa perkara ini juga bergantung pada ijtihad hakim, dan tidaklah mustahil bagi hakim untuk memilih salah satu pendapat sesuai dengan kemaslahatan suami istri tersebut.Kandungan keenamPara ulama berbeda pendapat mengenai apakah suami yang tertipu karena adanya cacat (aib) pada istrinya dan terjadi pembatalan (fasakh) setelah melakukan hubungan suami istri, apakah ia boleh meminta kembali maharnya, dan kepada siapa mahar itu harus dikembalikan. Ada dua pendapat dalam masalah ini:Pendapat pertama: Suami berhak menuntut kembali mahar dari pihak yang menipu, yaitu wali atau wakil, karena hal ini merupakan kerugian (ghurm) yang menimpa suami akibat adanya penipuan dari pihak tersebut. Pendapat ini dianut oleh Imam Malik, sebagian ulama Syafi’i, dan merupakan pendapat yang paling sahih dari dua riwayat Ahmad. [5] Mereka berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu,وَهُوَ لَهُ عَلَىٰ مَن غَرَّهُ مِنْهَا“Mahar itu menjadi haknya suami kepada orang yang menipunya.”Namun syaratnya, wali atau wakil tersebut harus mengetahui cacat itu sebelumnya. Jika ia tidak mengetahui, maka tidak ada kewajiban mengembalikan mahar, karena ucapan “kepada orang yang menipunya” menunjukkan bahwa penipuan harus dilakukan dengan pengetahuan.Pendapat kedua: Suami tidak dapat menuntut kembali mahar dari siapa pun, karena mahar telah menjadi miliknya setelah istrinya diserahkan kepadanya, sama seperti barang cacat yang sudah dipakai dan kemudian diketahui cacatnya. Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah, Syafi’i dalam pandangan barunya (qaul jadid), dan ada riwayat dari Ahmad, meskipun Ahmad kemudian meninggalkan pendapat ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah [6] dan setelahnya oleh az-Zarkasyi [7]. Karena itu, kebanyakan ulama Hanbali berpegang pada pendapat pertama. [8]Dan asy-Syaukani memilih pendapat ini berdasarkan bahwa perkataan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu tidak dapat dijadikan dalil karena itu adalah ucapan seorang sahabat, dan menjatuhkan kewajiban kepada pihak lain tanpa dalil tidak diperbolehkan. [9] Namun, pendapat yang membolehkan suami untuk menuntut kembali mahar juga memiliki kekuatan, dengan mengambil dasar dari perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu, serta karena pendapat ini dapat mencegah terjadinya penipuan. Karena jika pihak wali atau yang lainnya mengetahui bahwa suami dapat menuntut mahar kembali, maka dia mungkin akan berpikir ulang sebelum melakukan penipuan tersebut.Kandungan ketujuhHadis ini menjadi dalil bahwa ‘unnah (impotensi yang parah) adalah cacat yang membatalkan pernikahan setelah terbukti kebenarannya. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama. Namun, pembatalan itu ditunda selama satu tahun sejak diajukan ke hakim, kecuali jika ada halangan seperti sakit atau ihram, agar melewati empat musim (satu tahun). Jika suami bisa melakukan hubungan suami istri selama masa tersebut, maka jelas bahwa dia tidak impoten. Jika tidak, maka istri diberi pilihan antara tetap tinggal bersama suami atau berpisah, sesuai dengan keputusan Umar dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma. Mereka juga berlandaskan pada firman Allah Ta’ala,فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ“(Yakni) menahan (tidak cerai) dengan cara yang baik atau membiarkan (cerai) dengan cara yang baik pula.” (QS. Al-Baqarah: 229)Termasuk dalam “menahan dengan cara yang baik” adalah melakukan hubungan suami istri.Dalam hal ini, ilmu kedokteran modern juga dapat digunakan untuk memahami persoalan impotensi. Jika menurut ilmu kedokteran (pemeriksaan medis terpercaya) bahwa impotensi tersebut tidak dapat diobati, maka tidak ada faidahnya menunda selama satu tahun. Dalam kasus ini, pernikahan boleh langsung dibatalkan jika salah satu pihak menginginkannya. Terdapat riwayat dari Utsman, Mu’awiyah, dan Samurah radhiyallahu ‘anhum tentang membatalkan pernikahan karena impotensi secara langsung tanpa perlu menunda satu tahun. [10]Kandungan kedelapanDi antara cacat dalam pernikahan adalah kemandulan, yaitu tidak dapat menghasilkan keturunan, baik masalahnya di pihak suami atau di pihak istri. Pendapat yang lebih kuat di kalangan para ulama adalah bahwa hal itu termasuk cacat yang memberikan hak memilih (antara memilih untuk bertahan atau meminta cerai) bagi istri apabila ternyata suaminya diketahui mandul. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, muridnya Ibnul Qayyim, dan juga Syekh Muhammad bin Ibrahim. Hal ini karena mendapatkan keturunan termasuk salah satu tujuan terpenting dari pernikahan. [11]Adapun jika istri yang mandul, maka sebagian ulama mengatakan bahwa itu bukan termasuk cacat, karena suami bisa menikah lagi dengan wanita lain dan tetap mempertahankan istrinya yang mandul karena rasa cinta kepadanya. Bahkan, Al-Qurthubi rahimahullah menukil adanya ijmak (kesepakatan ulama) bahwa istri yang mandul dan tidak bisa melahirkan tidak bisa dijadikan alasan untuk pembatalan pernikahan. [12] Ini juga merupakan pendapat yang secara lahiriyah dipilih oleh Syekh Ibnu Ibrahim. Adapun Syekhul Islam Ibnu Taimiyah tidak membahas tentang kemandulan istri. Mungkin beliau berpendapat bahwa laki-laki yang menginginkan keturunan masih bisa menikah lagi, berbeda dengan perempuan yang tidak memiliki opsi tersebut, sehingga diberikan kepadanya hak untuk membatalkan pernikahan apabila suaminya mandul.Diriwayatkan dari Umar bin Al-Khattab radhiyallāhu ‘anhu bahwa beliau pernah mengutus seorang laki-laki untuk mengurusi urusan zakat. Laki-laki itu kemudian menikahi seorang wanita, namun ternyata laki-laki itu mandul. Ketika ia kembali kepada Umar, ia menceritakan hal tersebut. Maka Umar berkata,هَلْ أَعْلَمْتَهَا أَنَّكَ عَقِيمٌ؟“Apakah engkau telah memberitahunya bahwa engkau mandul?”Ia menjawab, “Tidak.”Maka Umar berkata,فَانْطَلِقْ فَأَعْلِمْهَا، ثُمَّ خَيِّرْهَا“Pergilah dan beritahukan kepadanya, kemudian berikan kepadanya pilihan (untuk tetap bersamamu atau berpisah).” [13]Saat ini, pemeriksaan medis sebelum pernikahan telah menjadi bagian dari prosedur yang termasuk dalam akad nikah di bawah naungan Kementerian Kehakiman di Kerajaan Arab Saudi. Hal ini dilakukan karena mengandung banyak kemaslahatan, sebab pemeriksaan sebelum pernikahan dapat mengungkap kemampuan pasangan suami istri untuk memiliki keturunan. Pemeriksaan ini juga dapat mendeteksi penyakit keturunan dan penyakit menular yang berbahaya, yang bisa berdampak pada kelumpuhan dan pengobatannya mungkin sulit atau tidak memungkinkan. Hal seperti ini tidak bertentangan dengan syariat Islam, dan juga tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan pernikahan.  [14] Wallahu Ta’ala a’lam. [15][Selesai]Kembali ke bagian 1***@Unayzah, KSA; 20 Muharam 1447/ 15 Juli 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Al-Muwatha’, 2: 528; diriwayatkan pula oleh Sa’id bin Manshur, 1: 201.[2] Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, 1: 201; Al-Baihaqi, 7: 255; dengan sanad yang sahih.[3] Diriwayatkan oleh Sa’id (1: 204), dalam sanadnya terdapat Laits bin Abi Sulaym, yang sanadnya lemah dan bercampur, namun hadis ini memiliki pendukung (syahid) pada riwayat al-Baihaqi (7: 254) dari jalur Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas dengan makna serupa. Riwayat Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas tersebut memiliki sedikit perbedaan, namun tetap dapat digunakan untuk memperkuat jalur Laits bin Abi Sulaym. Lihat Ahkam an-Nikah, hal. 141.[4] Al-Furqatu baina Az-Zaujain, hal. 124.[5] Al-Mughni, 10: 64.[6] Al-Mughni, 10: 64.[7] Al-Mughni, 5: 250.[8] Al-Kafi, 2: 687; Al-Mubdi’, 7: 111.[9] Nailul Authar, 6: 178.[10] Lihat Zadul Ma’ad, 5: 181; Asy-Syarhul Mumti’, 12: 207.[11] Al-Ikhtiyarat, hal. 222; Zadul Ma’ad, 5: 181-182; Fatawa Ibnu Ibrahim, 10: 165; Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 19: 11-12, 396.[12] Tafsir Al-Qurthubi, 3: 94.[13] Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazaq, 6: 162; Sa’id, 2: 55; perawinya adalah perawi yang tsiqah (terpercaya).[14] Lihat Diraasaat Fiqhiyyah fii Qadhaaya Thibbiyyah Mu‘aashirah, 1: 333; Mustajaddāt fii Qadhaaya az-Zawaaj wa ath-Thalaaq, hal. 83; A‘maal wa Buḥuuts ad-Dawrah as-Saabi‘ah ‘Asharah lil-Majma‘ al-Fiqhi fi Makkah, 4: 301; Masaa’il Fiqhiyyah Mu‘aashirah, 1: 7; Manhaj al-Islaam fii Salaamat ad-Dzurriyyah min al-Amraadh al-Wiraatsiyyah, hal. 39.[15] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 308-320). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Harta dan Anak Bukan Segalanya! Ini yang Allah Sebut Lebih Baik – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Allah Ta’ala berfirman, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia sedangkan amal kebajikan yang kekal, lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu, dan lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 46) Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa harta dan anak-anak adalah perhiasan, mereka adalah bunga dan perhiasan kehidupan dunia. Harta memang dicintai oleh jiwa manusia. “Dan kalian mencintai harta dengan kecintaan yang amat besar.” (QS. Al-Fajr: 20) Begitu juga anak-anak. “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia…” Kemudian Allah berfirman, “…sedangkan amal kebajikan yang kekal…” Yang dimaksud adalah amal-amal saleh yang kekal pahalanya. Kalimat “Al-Baqiyat Ash-Shalihat” mencakup makna yang tersirat, yakni amal-amal yang dilakukan. “Amal kebajikan yang kekal,” maksudnya adalah amal saleh yang pahalanya abadi. “Lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu, dan lebih baik untuk menjadi harapan.” Artinya, amal saleh lebih baik balasannya daripada harta, anak-anak, atau kenikmatan dunia lainnya. Dan balasan atas amal saleh itu adalah surga yang seluas langit dan bumi. Di surga terdapat kenikmatan yang belum pernah dilihat mata, didengar telinga, dan tidak terlintas dalam hati manusia. “dan lebih baik untuk menjadi harapan,” maksudnya: hal terbaik yang bisa diharapkan manusia adalah amal saleh yang kekal ini. Ia adalah harta simpanan sejati yang seharusnya diupayakan oleh setiap muslim. Tidak layak merasa iri kepada siapa pun kecuali karena amal salehnya. Karena amal salehlah yang benar-benar kekal abadi. Amal saleh lebih baik pahalanya, dan lebih baik untuk diharapkan. Ketika kamu merenungkan kembali perjalanan hidupmu yang telah berlalu, apa yang sekarang paling kamu harapkan untuk kamu perbanyak dan kamu jadikan bekal? Tak ada selain amal saleh. Adapun selainnya, telah lenyap bagai fatamorgana. Justru saat ini kamu berharap, sekiranya di umurmu yang telah berlalu itu, kamu bisa lebih saleh dan lebih istiqamah, dan sekiranya kamu bisa mengumpulkan lebih banyak bekal amal saleh. Jika ini adalah harapanmu sekarang, sedangkan kamu masih berada di dunia sebagai tempat beramal, lantas bagaimana keadaanmu setelah meninggal dunia?! Oleh sebab itu, saudara-saudara! Kita sekarang di dunia ini, berada di tempat yang didambakan oleh orang-orang yang telah mati. Kita masih berada di tempat untuk beramal, dan pintu amal masih terbuka lebar. Pintu tobat juga masih terbuka lebar. Serta kesempatan untuk memperbaiki diri masih tersedia. Maka, kita harus segera memperbaiki apa yang tersisa dari umur kita, dengan menyiapkan bekal berupa amal kebajikan yang kekal abadi. ==== يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا فَبَيَّنَ رَبُّنَا سُبْحَانَهُ أَنَّ الْمَالَ وَأَنَّ الْبَنِيْنَ أَنَّهَا زِينَةٌ فَهِي زَهْرَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَزِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْمَالُ مَحْبُوبٌ لِلنُّفُوسِ وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا وَكَذَلِكَ أَيْضًا الْبَنِيْنَ الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ قَالَ سُبْحَانَهُ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ يَعْنِي وَالْأَعْمَالُ الصَّالِحَاتُ الْبَاقِيَاتُ وَهُوَ عَلَى تَقْدِيرِ مَحْذُوفٍ وَتَقْدِيْرُهُ الْأَعْمَالُ وَالصَّالِحَاتُ الْبَاقِيَاتُ يَعْنِي الْأَعْمَالُ الصَّالِحَاتُ الْبَاقِيَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا يَعْنِي أَنَّ الْأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ خَيْرٌ ثَوَابًا مِنَ الْمَالِ وَمِنَ الْبَنِينَ وَمِنْ غَيْرِهَا مِنْ مَتَاعِ الدُّنْيَا وَثَوَابُهَا الْجَنَّةُ جَنَّةٌ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ فِيهَا مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ وَخَيْرٌ أَمَلًا يَعْنِي خَيْرُ مَا يُؤَمِّلُ عَلَيْهِ الْإِنْسَانُ هُوَ هَذِهِ الْأَعْمَالُ الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ فَهِي الْكَنْزُ الَّذِي يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُ يَنْبَغِي أَلَّا يُغْبَطَ أَحَدٌ إِلَّا عَلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ فَالْعَمَلُ الصَّالِحُ هُوَ الْبَاقِي وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ خَيْرٌ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا وَأَنْتَ عِنْدَمَا تَتَأَمَّلُ مَا مَضَى مِنْ حَيَاتِكَ مَا الَّذِي تَتَمَنَّى الْآنَ أَنَّكَ أَكْثَرْتَ مِنْهُ وَتَزَوَّدْتَ مِنْهُ لَا شَيْءَ سِوَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ وَأَمَّا مَا عَدَاهُ فَقَدْ ذَهَبَ كَالسَّرَابِ لَكِنَّ الْآنَ تَتَمَنَّى أَنَّكَ فِيمَا مَضَى مِنْ عُمُرِكَ كُنْتَ أَكْثَرَ صَلَاحًا وَكُنْتَ أَكْثَرَ اسْتِقَامَةً وَأَنَّكَ تَزَوَّدْتَ بِالْمَزِيدِ مِنَ الأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ إِذَا كَانَتْ هَذِهِ أُمْنِيَّاتُكَ وَأَنْتَ فِي دَارِ الْعَمَلِ وَأَنْتَ فِي الدُّنْيَا فَكَيْفَ بِحَالِكَ بَعْدَ الْمَمَاتِ؟ وَلِهَذَا نَحْنُ الْآنَ أَيُّهَا الإِخْوَةُ نَحْنُ فِي هَذِهِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي دَارٍ يَتَمَنَّاهَا الْأَمْوَاتُ نَحْنُ فِي دَارِ الْعَمَلِ لَا زَالَ بَابُ الْعَمَلِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بَابُ التَّوْبَةِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بِالْإِمْكَانِ التَّدَارُكُ فَيَنْبَغِي أَنْ نَتَدَارَكَ مَا تَبَقَّى مِنْ أَعْمَارِنَا فِي التَّزَوُّدِ بِالْأَعْمَالِ الْبَاقِيَاتِ الصَّالِحَاتِ

Harta dan Anak Bukan Segalanya! Ini yang Allah Sebut Lebih Baik – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Allah Ta’ala berfirman, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia sedangkan amal kebajikan yang kekal, lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu, dan lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 46) Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa harta dan anak-anak adalah perhiasan, mereka adalah bunga dan perhiasan kehidupan dunia. Harta memang dicintai oleh jiwa manusia. “Dan kalian mencintai harta dengan kecintaan yang amat besar.” (QS. Al-Fajr: 20) Begitu juga anak-anak. “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia…” Kemudian Allah berfirman, “…sedangkan amal kebajikan yang kekal…” Yang dimaksud adalah amal-amal saleh yang kekal pahalanya. Kalimat “Al-Baqiyat Ash-Shalihat” mencakup makna yang tersirat, yakni amal-amal yang dilakukan. “Amal kebajikan yang kekal,” maksudnya adalah amal saleh yang pahalanya abadi. “Lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu, dan lebih baik untuk menjadi harapan.” Artinya, amal saleh lebih baik balasannya daripada harta, anak-anak, atau kenikmatan dunia lainnya. Dan balasan atas amal saleh itu adalah surga yang seluas langit dan bumi. Di surga terdapat kenikmatan yang belum pernah dilihat mata, didengar telinga, dan tidak terlintas dalam hati manusia. “dan lebih baik untuk menjadi harapan,” maksudnya: hal terbaik yang bisa diharapkan manusia adalah amal saleh yang kekal ini. Ia adalah harta simpanan sejati yang seharusnya diupayakan oleh setiap muslim. Tidak layak merasa iri kepada siapa pun kecuali karena amal salehnya. Karena amal salehlah yang benar-benar kekal abadi. Amal saleh lebih baik pahalanya, dan lebih baik untuk diharapkan. Ketika kamu merenungkan kembali perjalanan hidupmu yang telah berlalu, apa yang sekarang paling kamu harapkan untuk kamu perbanyak dan kamu jadikan bekal? Tak ada selain amal saleh. Adapun selainnya, telah lenyap bagai fatamorgana. Justru saat ini kamu berharap, sekiranya di umurmu yang telah berlalu itu, kamu bisa lebih saleh dan lebih istiqamah, dan sekiranya kamu bisa mengumpulkan lebih banyak bekal amal saleh. Jika ini adalah harapanmu sekarang, sedangkan kamu masih berada di dunia sebagai tempat beramal, lantas bagaimana keadaanmu setelah meninggal dunia?! Oleh sebab itu, saudara-saudara! Kita sekarang di dunia ini, berada di tempat yang didambakan oleh orang-orang yang telah mati. Kita masih berada di tempat untuk beramal, dan pintu amal masih terbuka lebar. Pintu tobat juga masih terbuka lebar. Serta kesempatan untuk memperbaiki diri masih tersedia. Maka, kita harus segera memperbaiki apa yang tersisa dari umur kita, dengan menyiapkan bekal berupa amal kebajikan yang kekal abadi. ==== يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا فَبَيَّنَ رَبُّنَا سُبْحَانَهُ أَنَّ الْمَالَ وَأَنَّ الْبَنِيْنَ أَنَّهَا زِينَةٌ فَهِي زَهْرَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَزِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْمَالُ مَحْبُوبٌ لِلنُّفُوسِ وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا وَكَذَلِكَ أَيْضًا الْبَنِيْنَ الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ قَالَ سُبْحَانَهُ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ يَعْنِي وَالْأَعْمَالُ الصَّالِحَاتُ الْبَاقِيَاتُ وَهُوَ عَلَى تَقْدِيرِ مَحْذُوفٍ وَتَقْدِيْرُهُ الْأَعْمَالُ وَالصَّالِحَاتُ الْبَاقِيَاتُ يَعْنِي الْأَعْمَالُ الصَّالِحَاتُ الْبَاقِيَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا يَعْنِي أَنَّ الْأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ خَيْرٌ ثَوَابًا مِنَ الْمَالِ وَمِنَ الْبَنِينَ وَمِنْ غَيْرِهَا مِنْ مَتَاعِ الدُّنْيَا وَثَوَابُهَا الْجَنَّةُ جَنَّةٌ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ فِيهَا مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ وَخَيْرٌ أَمَلًا يَعْنِي خَيْرُ مَا يُؤَمِّلُ عَلَيْهِ الْإِنْسَانُ هُوَ هَذِهِ الْأَعْمَالُ الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ فَهِي الْكَنْزُ الَّذِي يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُ يَنْبَغِي أَلَّا يُغْبَطَ أَحَدٌ إِلَّا عَلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ فَالْعَمَلُ الصَّالِحُ هُوَ الْبَاقِي وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ خَيْرٌ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا وَأَنْتَ عِنْدَمَا تَتَأَمَّلُ مَا مَضَى مِنْ حَيَاتِكَ مَا الَّذِي تَتَمَنَّى الْآنَ أَنَّكَ أَكْثَرْتَ مِنْهُ وَتَزَوَّدْتَ مِنْهُ لَا شَيْءَ سِوَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ وَأَمَّا مَا عَدَاهُ فَقَدْ ذَهَبَ كَالسَّرَابِ لَكِنَّ الْآنَ تَتَمَنَّى أَنَّكَ فِيمَا مَضَى مِنْ عُمُرِكَ كُنْتَ أَكْثَرَ صَلَاحًا وَكُنْتَ أَكْثَرَ اسْتِقَامَةً وَأَنَّكَ تَزَوَّدْتَ بِالْمَزِيدِ مِنَ الأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ إِذَا كَانَتْ هَذِهِ أُمْنِيَّاتُكَ وَأَنْتَ فِي دَارِ الْعَمَلِ وَأَنْتَ فِي الدُّنْيَا فَكَيْفَ بِحَالِكَ بَعْدَ الْمَمَاتِ؟ وَلِهَذَا نَحْنُ الْآنَ أَيُّهَا الإِخْوَةُ نَحْنُ فِي هَذِهِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي دَارٍ يَتَمَنَّاهَا الْأَمْوَاتُ نَحْنُ فِي دَارِ الْعَمَلِ لَا زَالَ بَابُ الْعَمَلِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بَابُ التَّوْبَةِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بِالْإِمْكَانِ التَّدَارُكُ فَيَنْبَغِي أَنْ نَتَدَارَكَ مَا تَبَقَّى مِنْ أَعْمَارِنَا فِي التَّزَوُّدِ بِالْأَعْمَالِ الْبَاقِيَاتِ الصَّالِحَاتِ
Allah Ta’ala berfirman, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia sedangkan amal kebajikan yang kekal, lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu, dan lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 46) Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa harta dan anak-anak adalah perhiasan, mereka adalah bunga dan perhiasan kehidupan dunia. Harta memang dicintai oleh jiwa manusia. “Dan kalian mencintai harta dengan kecintaan yang amat besar.” (QS. Al-Fajr: 20) Begitu juga anak-anak. “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia…” Kemudian Allah berfirman, “…sedangkan amal kebajikan yang kekal…” Yang dimaksud adalah amal-amal saleh yang kekal pahalanya. Kalimat “Al-Baqiyat Ash-Shalihat” mencakup makna yang tersirat, yakni amal-amal yang dilakukan. “Amal kebajikan yang kekal,” maksudnya adalah amal saleh yang pahalanya abadi. “Lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu, dan lebih baik untuk menjadi harapan.” Artinya, amal saleh lebih baik balasannya daripada harta, anak-anak, atau kenikmatan dunia lainnya. Dan balasan atas amal saleh itu adalah surga yang seluas langit dan bumi. Di surga terdapat kenikmatan yang belum pernah dilihat mata, didengar telinga, dan tidak terlintas dalam hati manusia. “dan lebih baik untuk menjadi harapan,” maksudnya: hal terbaik yang bisa diharapkan manusia adalah amal saleh yang kekal ini. Ia adalah harta simpanan sejati yang seharusnya diupayakan oleh setiap muslim. Tidak layak merasa iri kepada siapa pun kecuali karena amal salehnya. Karena amal salehlah yang benar-benar kekal abadi. Amal saleh lebih baik pahalanya, dan lebih baik untuk diharapkan. Ketika kamu merenungkan kembali perjalanan hidupmu yang telah berlalu, apa yang sekarang paling kamu harapkan untuk kamu perbanyak dan kamu jadikan bekal? Tak ada selain amal saleh. Adapun selainnya, telah lenyap bagai fatamorgana. Justru saat ini kamu berharap, sekiranya di umurmu yang telah berlalu itu, kamu bisa lebih saleh dan lebih istiqamah, dan sekiranya kamu bisa mengumpulkan lebih banyak bekal amal saleh. Jika ini adalah harapanmu sekarang, sedangkan kamu masih berada di dunia sebagai tempat beramal, lantas bagaimana keadaanmu setelah meninggal dunia?! Oleh sebab itu, saudara-saudara! Kita sekarang di dunia ini, berada di tempat yang didambakan oleh orang-orang yang telah mati. Kita masih berada di tempat untuk beramal, dan pintu amal masih terbuka lebar. Pintu tobat juga masih terbuka lebar. Serta kesempatan untuk memperbaiki diri masih tersedia. Maka, kita harus segera memperbaiki apa yang tersisa dari umur kita, dengan menyiapkan bekal berupa amal kebajikan yang kekal abadi. ==== يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا فَبَيَّنَ رَبُّنَا سُبْحَانَهُ أَنَّ الْمَالَ وَأَنَّ الْبَنِيْنَ أَنَّهَا زِينَةٌ فَهِي زَهْرَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَزِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْمَالُ مَحْبُوبٌ لِلنُّفُوسِ وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا وَكَذَلِكَ أَيْضًا الْبَنِيْنَ الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ قَالَ سُبْحَانَهُ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ يَعْنِي وَالْأَعْمَالُ الصَّالِحَاتُ الْبَاقِيَاتُ وَهُوَ عَلَى تَقْدِيرِ مَحْذُوفٍ وَتَقْدِيْرُهُ الْأَعْمَالُ وَالصَّالِحَاتُ الْبَاقِيَاتُ يَعْنِي الْأَعْمَالُ الصَّالِحَاتُ الْبَاقِيَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا يَعْنِي أَنَّ الْأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ خَيْرٌ ثَوَابًا مِنَ الْمَالِ وَمِنَ الْبَنِينَ وَمِنْ غَيْرِهَا مِنْ مَتَاعِ الدُّنْيَا وَثَوَابُهَا الْجَنَّةُ جَنَّةٌ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ فِيهَا مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ وَخَيْرٌ أَمَلًا يَعْنِي خَيْرُ مَا يُؤَمِّلُ عَلَيْهِ الْإِنْسَانُ هُوَ هَذِهِ الْأَعْمَالُ الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ فَهِي الْكَنْزُ الَّذِي يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُ يَنْبَغِي أَلَّا يُغْبَطَ أَحَدٌ إِلَّا عَلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ فَالْعَمَلُ الصَّالِحُ هُوَ الْبَاقِي وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ خَيْرٌ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا وَأَنْتَ عِنْدَمَا تَتَأَمَّلُ مَا مَضَى مِنْ حَيَاتِكَ مَا الَّذِي تَتَمَنَّى الْآنَ أَنَّكَ أَكْثَرْتَ مِنْهُ وَتَزَوَّدْتَ مِنْهُ لَا شَيْءَ سِوَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ وَأَمَّا مَا عَدَاهُ فَقَدْ ذَهَبَ كَالسَّرَابِ لَكِنَّ الْآنَ تَتَمَنَّى أَنَّكَ فِيمَا مَضَى مِنْ عُمُرِكَ كُنْتَ أَكْثَرَ صَلَاحًا وَكُنْتَ أَكْثَرَ اسْتِقَامَةً وَأَنَّكَ تَزَوَّدْتَ بِالْمَزِيدِ مِنَ الأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ إِذَا كَانَتْ هَذِهِ أُمْنِيَّاتُكَ وَأَنْتَ فِي دَارِ الْعَمَلِ وَأَنْتَ فِي الدُّنْيَا فَكَيْفَ بِحَالِكَ بَعْدَ الْمَمَاتِ؟ وَلِهَذَا نَحْنُ الْآنَ أَيُّهَا الإِخْوَةُ نَحْنُ فِي هَذِهِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي دَارٍ يَتَمَنَّاهَا الْأَمْوَاتُ نَحْنُ فِي دَارِ الْعَمَلِ لَا زَالَ بَابُ الْعَمَلِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بَابُ التَّوْبَةِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بِالْإِمْكَانِ التَّدَارُكُ فَيَنْبَغِي أَنْ نَتَدَارَكَ مَا تَبَقَّى مِنْ أَعْمَارِنَا فِي التَّزَوُّدِ بِالْأَعْمَالِ الْبَاقِيَاتِ الصَّالِحَاتِ


Allah Ta’ala berfirman, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia sedangkan amal kebajikan yang kekal, lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu, dan lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 46) Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa harta dan anak-anak adalah perhiasan, mereka adalah bunga dan perhiasan kehidupan dunia. Harta memang dicintai oleh jiwa manusia. “Dan kalian mencintai harta dengan kecintaan yang amat besar.” (QS. Al-Fajr: 20) Begitu juga anak-anak. “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia…” Kemudian Allah berfirman, “…sedangkan amal kebajikan yang kekal…” Yang dimaksud adalah amal-amal saleh yang kekal pahalanya. Kalimat “Al-Baqiyat Ash-Shalihat” mencakup makna yang tersirat, yakni amal-amal yang dilakukan. “Amal kebajikan yang kekal,” maksudnya adalah amal saleh yang pahalanya abadi. “Lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu, dan lebih baik untuk menjadi harapan.” Artinya, amal saleh lebih baik balasannya daripada harta, anak-anak, atau kenikmatan dunia lainnya. Dan balasan atas amal saleh itu adalah surga yang seluas langit dan bumi. Di surga terdapat kenikmatan yang belum pernah dilihat mata, didengar telinga, dan tidak terlintas dalam hati manusia. “dan lebih baik untuk menjadi harapan,” maksudnya: hal terbaik yang bisa diharapkan manusia adalah amal saleh yang kekal ini. Ia adalah harta simpanan sejati yang seharusnya diupayakan oleh setiap muslim. Tidak layak merasa iri kepada siapa pun kecuali karena amal salehnya. Karena amal salehlah yang benar-benar kekal abadi. Amal saleh lebih baik pahalanya, dan lebih baik untuk diharapkan. Ketika kamu merenungkan kembali perjalanan hidupmu yang telah berlalu, apa yang sekarang paling kamu harapkan untuk kamu perbanyak dan kamu jadikan bekal? Tak ada selain amal saleh. Adapun selainnya, telah lenyap bagai fatamorgana. Justru saat ini kamu berharap, sekiranya di umurmu yang telah berlalu itu, kamu bisa lebih saleh dan lebih istiqamah, dan sekiranya kamu bisa mengumpulkan lebih banyak bekal amal saleh. Jika ini adalah harapanmu sekarang, sedangkan kamu masih berada di dunia sebagai tempat beramal, lantas bagaimana keadaanmu setelah meninggal dunia?! Oleh sebab itu, saudara-saudara! Kita sekarang di dunia ini, berada di tempat yang didambakan oleh orang-orang yang telah mati. Kita masih berada di tempat untuk beramal, dan pintu amal masih terbuka lebar. Pintu tobat juga masih terbuka lebar. Serta kesempatan untuk memperbaiki diri masih tersedia. Maka, kita harus segera memperbaiki apa yang tersisa dari umur kita, dengan menyiapkan bekal berupa amal kebajikan yang kekal abadi. ==== يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا فَبَيَّنَ رَبُّنَا سُبْحَانَهُ أَنَّ الْمَالَ وَأَنَّ الْبَنِيْنَ أَنَّهَا زِينَةٌ فَهِي زَهْرَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَزِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْمَالُ مَحْبُوبٌ لِلنُّفُوسِ وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا وَكَذَلِكَ أَيْضًا الْبَنِيْنَ الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ قَالَ سُبْحَانَهُ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ يَعْنِي وَالْأَعْمَالُ الصَّالِحَاتُ الْبَاقِيَاتُ وَهُوَ عَلَى تَقْدِيرِ مَحْذُوفٍ وَتَقْدِيْرُهُ الْأَعْمَالُ وَالصَّالِحَاتُ الْبَاقِيَاتُ يَعْنِي الْأَعْمَالُ الصَّالِحَاتُ الْبَاقِيَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا يَعْنِي أَنَّ الْأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ خَيْرٌ ثَوَابًا مِنَ الْمَالِ وَمِنَ الْبَنِينَ وَمِنْ غَيْرِهَا مِنْ مَتَاعِ الدُّنْيَا وَثَوَابُهَا الْجَنَّةُ جَنَّةٌ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ فِيهَا مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ وَخَيْرٌ أَمَلًا يَعْنِي خَيْرُ مَا يُؤَمِّلُ عَلَيْهِ الْإِنْسَانُ هُوَ هَذِهِ الْأَعْمَالُ الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ فَهِي الْكَنْزُ الَّذِي يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُ يَنْبَغِي أَلَّا يُغْبَطَ أَحَدٌ إِلَّا عَلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ فَالْعَمَلُ الصَّالِحُ هُوَ الْبَاقِي وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ خَيْرٌ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا وَأَنْتَ عِنْدَمَا تَتَأَمَّلُ مَا مَضَى مِنْ حَيَاتِكَ مَا الَّذِي تَتَمَنَّى الْآنَ أَنَّكَ أَكْثَرْتَ مِنْهُ وَتَزَوَّدْتَ مِنْهُ لَا شَيْءَ سِوَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ وَأَمَّا مَا عَدَاهُ فَقَدْ ذَهَبَ كَالسَّرَابِ لَكِنَّ الْآنَ تَتَمَنَّى أَنَّكَ فِيمَا مَضَى مِنْ عُمُرِكَ كُنْتَ أَكْثَرَ صَلَاحًا وَكُنْتَ أَكْثَرَ اسْتِقَامَةً وَأَنَّكَ تَزَوَّدْتَ بِالْمَزِيدِ مِنَ الأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ إِذَا كَانَتْ هَذِهِ أُمْنِيَّاتُكَ وَأَنْتَ فِي دَارِ الْعَمَلِ وَأَنْتَ فِي الدُّنْيَا فَكَيْفَ بِحَالِكَ بَعْدَ الْمَمَاتِ؟ وَلِهَذَا نَحْنُ الْآنَ أَيُّهَا الإِخْوَةُ نَحْنُ فِي هَذِهِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي دَارٍ يَتَمَنَّاهَا الْأَمْوَاتُ نَحْنُ فِي دَارِ الْعَمَلِ لَا زَالَ بَابُ الْعَمَلِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بَابُ التَّوْبَةِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بِالْإِمْكَانِ التَّدَارُكُ فَيَنْبَغِي أَنْ نَتَدَارَكَ مَا تَبَقَّى مِنْ أَعْمَارِنَا فِي التَّزَوُّدِ بِالْأَعْمَالِ الْبَاقِيَاتِ الصَّالِحَاتِ

Sunnah yang Dilupakan Banyak Orang, Tapi Bisa Mengantarkan ke Surga – Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili

Ini adalah sunnah yang telah dilupakan oleh banyak orang. Saudara-saudara sekalian, disunnahkan bagi seorang Muslim untuk berwudhu setiap kali berhadas. Disunnahkan bagi seorang Muslim untuk berwudhu setiap kali berhadas. Setiap kali selesai berwudhu, disunnahkan untuk mendirikan shalat dua rakaat atau lebih. Ini adalah sunnah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkannya. Nabi juga menjelaskan bahwa amalan ini bisa menjadi sebab seseorang masuk ke dalam surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Bilal bin Rabah: “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku amalan yang paling engkau harapkan pahalanya sejak engkau memeluk Islam Karena aku mendengar derap langkah sandalmu di hadapanku di dalam surga.” Bilal menjawab, “Tidak ada amalan yang lebih aku harapkan selain kebiasaanku setiap kali selesai bersuci baik di siang hari maupun malam hari melainkan aku selalu melaksanakan shalat dengan wudhu tersebut, sejumlah rakaat yang ditakdirkan bagiku.” Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Bilal bin Rabah adalah sahabat Nabi yang mulia, muazin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat mimpi baik tentang Bilal bin Rabah. Lalu Nabi memberitahukan kabar gembira itu kepadanya. Beliau lalu menanyakan sebab yang melatarbelakangi hal tersebut, yakni apa yang membuatnya lebih dahulu menuju surga dan menjadi bagian rombongan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang telah saya jelaskan pada penjelasan kitab Shahih At-Targhib wa At-Tarhib. Hadis ini tidak menunjukkan bahwa Bilal mendahului Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk surga, tetapi menunjukkan bahwa Bilal termasuk rombongan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga. Sebagaimana diketahui, seorang tokoh besar apabila berjalan bersama rombongannya, sebagian dari mereka berjalan di depan, sebagian di kanan, dan sebagian lagi di kiri, untuk menunjukkan kedudukannya. Demikianlah posisi Bilal radhiyallahu ‘anhu. Ia tidak mendahului Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk surga, melainkan ia termasuk yang mengiringi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rombongan menuju surga. Bilal berkata, “Tidaklah aku mengamalkan suatu amalan yang lebih aku harapkan selain setiap kali aku selesai bersuci—yakni berwudu—baik di waktu malam maupun siang hari, melainkan aku pasti melaksanakan shalat dengan wudhu itu sejumlah rakaat yang ditakdirkan bagiku.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ini juga dikuatkan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidaklah seseorang berwudhu dan memperbagus wudhunya lalu mendirikan shalat dua rakaat seraya memusatkan hati dan wajahnya dalam dua rakaat itu melainkan wajib baginya masuk surga.” Diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab Ash-Shahih. Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa berwudhu dengan memperbagus wudhunya lalu mendirikan shalat dua rakaat tanpa lalai dalam dua rakaat itu maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” Diampuni dosanya yang telah lalu. Diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud. Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan shahih. Syaikh Al-Arnauth juga mengatakan bahwa hadis ini shahih li-ghairihi. Hadis ini dan hadis-hadis lain yang telah kita jelaskan dalam kitab Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, menjadi dalil bahwa disunnahkan bagi seorang Muslim, setiap kali selesai berwudhu, untuk mendirikan shalat. Mendirikan shalat dua rakaat, atau sebanyak yang Allah kehendaki baginya. ==== وَهَذِهِ سُنَّةٌ نَسِيَهَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ السُّنَّةُ لِلْمُسْلِمِ يَا إِخْوَةُ كُلَّمَا أَحْدَثَ أَنْ يَتَوَضَّـأَ السُّنَّةُ لِلْمُسْلِمِ كُلَّمَا أَحْدَثَ أَنْ يَتَوَضَّـأ وَكُلَّمَا تَوَضَّأَ أَنْ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ فَأَكْثَرَ وَهِيَ سُنَّةٌ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَثَّ عَلَيْهَا وَبَيَّنَ أَنَّ فِعْلَهَا يُدْخِلُ الْجَنَّةَ فَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِبِلَالِ بْنِ رَبَاحٍ يَا بِلَالُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الْإِسْلَامِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ فَقَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِيْ مِنْ أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُورًا فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ بِلَالُ بْنُ رَبَاحٍ هَذَا الصَّحَابِيُّ الْجَلِيلُ مُؤَذِّنُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى فِيهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الرُّؤْيَا الْحَسَنَةَ فَبَشَّرَهُ بِهَا وَسَأَلَهُ عَنِ السَّبَبِ الَّذِي جَعَلَهُ يَسْبِقُ إِلَى الْجَنَّةِ وَيَكُونُ رَفِيقًا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَمَا قُلْتُ لَكُمْ فِي صَحِيحِ التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ هَذَا لَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ بِلَالًا يَسْبِقُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجَنَّةِ وَإِنَّمَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ بِلَالًا يُرَافِقُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجَنَّةِ وَالْمَعْلُومُ أَنَّ الرَّجُلَ عَظِيمَ الشَّأْنِ إِذَا مَشَتْ مَعَهُ الرِّفْقَةُ فَإِنَّ بَعْضَهُمْ يَتَقَدَّمُ وَبَعْضَهُمْ يَكُونُ عَنْ يَمِينِهِ وَبَعْضَهُمْ يَكُونُ عَنْ شِمَالِهِ إِظْهَارًا لِمَنْزِلَتِهِ وَهَكَذَا كَانَ بِلَالٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمْ يَكُنْ مُتَقَدِّمًا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي دُخُولِ الْجَنَّةِ وَلَكِنَّهُ كَانَ مُمَاشِيًا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِي مِنْ أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُورًا أَيْ وُضُوءًا فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَلِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ الْوُضُوءَ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ يُقْبِلُ بِقَلْبِهِ وَوَجْهِهِ عَلَيْهِمَا إِلَّا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِى الصَّحِيحِ وَلِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَا يَسْهُو فِيهِمَا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَقَالَ الأَلبَانِيُّ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَالَ الْأَرْنَؤُوطُ صَحِيحٌ لِغَيْرِهِ فَهَذَا وَغَيْرُهُ مِنَ الْأَحَادِيثِ الَّتِي شَرَحْنَاهَا فِي صَحِيحِ التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ يُسَنُّ لِلْمُسْلِمِ أَنَّهُ كُلَّمَا تَوَضَّأَ أَنْ يُصَلِّيَ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ أَوْ مَا شَاءَ اللَّهُ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ

Sunnah yang Dilupakan Banyak Orang, Tapi Bisa Mengantarkan ke Surga – Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili

Ini adalah sunnah yang telah dilupakan oleh banyak orang. Saudara-saudara sekalian, disunnahkan bagi seorang Muslim untuk berwudhu setiap kali berhadas. Disunnahkan bagi seorang Muslim untuk berwudhu setiap kali berhadas. Setiap kali selesai berwudhu, disunnahkan untuk mendirikan shalat dua rakaat atau lebih. Ini adalah sunnah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkannya. Nabi juga menjelaskan bahwa amalan ini bisa menjadi sebab seseorang masuk ke dalam surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Bilal bin Rabah: “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku amalan yang paling engkau harapkan pahalanya sejak engkau memeluk Islam Karena aku mendengar derap langkah sandalmu di hadapanku di dalam surga.” Bilal menjawab, “Tidak ada amalan yang lebih aku harapkan selain kebiasaanku setiap kali selesai bersuci baik di siang hari maupun malam hari melainkan aku selalu melaksanakan shalat dengan wudhu tersebut, sejumlah rakaat yang ditakdirkan bagiku.” Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Bilal bin Rabah adalah sahabat Nabi yang mulia, muazin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat mimpi baik tentang Bilal bin Rabah. Lalu Nabi memberitahukan kabar gembira itu kepadanya. Beliau lalu menanyakan sebab yang melatarbelakangi hal tersebut, yakni apa yang membuatnya lebih dahulu menuju surga dan menjadi bagian rombongan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang telah saya jelaskan pada penjelasan kitab Shahih At-Targhib wa At-Tarhib. Hadis ini tidak menunjukkan bahwa Bilal mendahului Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk surga, tetapi menunjukkan bahwa Bilal termasuk rombongan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga. Sebagaimana diketahui, seorang tokoh besar apabila berjalan bersama rombongannya, sebagian dari mereka berjalan di depan, sebagian di kanan, dan sebagian lagi di kiri, untuk menunjukkan kedudukannya. Demikianlah posisi Bilal radhiyallahu ‘anhu. Ia tidak mendahului Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk surga, melainkan ia termasuk yang mengiringi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rombongan menuju surga. Bilal berkata, “Tidaklah aku mengamalkan suatu amalan yang lebih aku harapkan selain setiap kali aku selesai bersuci—yakni berwudu—baik di waktu malam maupun siang hari, melainkan aku pasti melaksanakan shalat dengan wudhu itu sejumlah rakaat yang ditakdirkan bagiku.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ini juga dikuatkan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidaklah seseorang berwudhu dan memperbagus wudhunya lalu mendirikan shalat dua rakaat seraya memusatkan hati dan wajahnya dalam dua rakaat itu melainkan wajib baginya masuk surga.” Diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab Ash-Shahih. Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa berwudhu dengan memperbagus wudhunya lalu mendirikan shalat dua rakaat tanpa lalai dalam dua rakaat itu maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” Diampuni dosanya yang telah lalu. Diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud. Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan shahih. Syaikh Al-Arnauth juga mengatakan bahwa hadis ini shahih li-ghairihi. Hadis ini dan hadis-hadis lain yang telah kita jelaskan dalam kitab Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, menjadi dalil bahwa disunnahkan bagi seorang Muslim, setiap kali selesai berwudhu, untuk mendirikan shalat. Mendirikan shalat dua rakaat, atau sebanyak yang Allah kehendaki baginya. ==== وَهَذِهِ سُنَّةٌ نَسِيَهَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ السُّنَّةُ لِلْمُسْلِمِ يَا إِخْوَةُ كُلَّمَا أَحْدَثَ أَنْ يَتَوَضَّـأَ السُّنَّةُ لِلْمُسْلِمِ كُلَّمَا أَحْدَثَ أَنْ يَتَوَضَّـأ وَكُلَّمَا تَوَضَّأَ أَنْ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ فَأَكْثَرَ وَهِيَ سُنَّةٌ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَثَّ عَلَيْهَا وَبَيَّنَ أَنَّ فِعْلَهَا يُدْخِلُ الْجَنَّةَ فَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِبِلَالِ بْنِ رَبَاحٍ يَا بِلَالُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الْإِسْلَامِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ فَقَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِيْ مِنْ أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُورًا فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ بِلَالُ بْنُ رَبَاحٍ هَذَا الصَّحَابِيُّ الْجَلِيلُ مُؤَذِّنُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى فِيهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الرُّؤْيَا الْحَسَنَةَ فَبَشَّرَهُ بِهَا وَسَأَلَهُ عَنِ السَّبَبِ الَّذِي جَعَلَهُ يَسْبِقُ إِلَى الْجَنَّةِ وَيَكُونُ رَفِيقًا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَمَا قُلْتُ لَكُمْ فِي صَحِيحِ التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ هَذَا لَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ بِلَالًا يَسْبِقُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجَنَّةِ وَإِنَّمَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ بِلَالًا يُرَافِقُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجَنَّةِ وَالْمَعْلُومُ أَنَّ الرَّجُلَ عَظِيمَ الشَّأْنِ إِذَا مَشَتْ مَعَهُ الرِّفْقَةُ فَإِنَّ بَعْضَهُمْ يَتَقَدَّمُ وَبَعْضَهُمْ يَكُونُ عَنْ يَمِينِهِ وَبَعْضَهُمْ يَكُونُ عَنْ شِمَالِهِ إِظْهَارًا لِمَنْزِلَتِهِ وَهَكَذَا كَانَ بِلَالٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمْ يَكُنْ مُتَقَدِّمًا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي دُخُولِ الْجَنَّةِ وَلَكِنَّهُ كَانَ مُمَاشِيًا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِي مِنْ أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُورًا أَيْ وُضُوءًا فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَلِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ الْوُضُوءَ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ يُقْبِلُ بِقَلْبِهِ وَوَجْهِهِ عَلَيْهِمَا إِلَّا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِى الصَّحِيحِ وَلِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَا يَسْهُو فِيهِمَا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَقَالَ الأَلبَانِيُّ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَالَ الْأَرْنَؤُوطُ صَحِيحٌ لِغَيْرِهِ فَهَذَا وَغَيْرُهُ مِنَ الْأَحَادِيثِ الَّتِي شَرَحْنَاهَا فِي صَحِيحِ التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ يُسَنُّ لِلْمُسْلِمِ أَنَّهُ كُلَّمَا تَوَضَّأَ أَنْ يُصَلِّيَ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ أَوْ مَا شَاءَ اللَّهُ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ
Ini adalah sunnah yang telah dilupakan oleh banyak orang. Saudara-saudara sekalian, disunnahkan bagi seorang Muslim untuk berwudhu setiap kali berhadas. Disunnahkan bagi seorang Muslim untuk berwudhu setiap kali berhadas. Setiap kali selesai berwudhu, disunnahkan untuk mendirikan shalat dua rakaat atau lebih. Ini adalah sunnah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkannya. Nabi juga menjelaskan bahwa amalan ini bisa menjadi sebab seseorang masuk ke dalam surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Bilal bin Rabah: “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku amalan yang paling engkau harapkan pahalanya sejak engkau memeluk Islam Karena aku mendengar derap langkah sandalmu di hadapanku di dalam surga.” Bilal menjawab, “Tidak ada amalan yang lebih aku harapkan selain kebiasaanku setiap kali selesai bersuci baik di siang hari maupun malam hari melainkan aku selalu melaksanakan shalat dengan wudhu tersebut, sejumlah rakaat yang ditakdirkan bagiku.” Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Bilal bin Rabah adalah sahabat Nabi yang mulia, muazin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat mimpi baik tentang Bilal bin Rabah. Lalu Nabi memberitahukan kabar gembira itu kepadanya. Beliau lalu menanyakan sebab yang melatarbelakangi hal tersebut, yakni apa yang membuatnya lebih dahulu menuju surga dan menjadi bagian rombongan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang telah saya jelaskan pada penjelasan kitab Shahih At-Targhib wa At-Tarhib. Hadis ini tidak menunjukkan bahwa Bilal mendahului Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk surga, tetapi menunjukkan bahwa Bilal termasuk rombongan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga. Sebagaimana diketahui, seorang tokoh besar apabila berjalan bersama rombongannya, sebagian dari mereka berjalan di depan, sebagian di kanan, dan sebagian lagi di kiri, untuk menunjukkan kedudukannya. Demikianlah posisi Bilal radhiyallahu ‘anhu. Ia tidak mendahului Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk surga, melainkan ia termasuk yang mengiringi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rombongan menuju surga. Bilal berkata, “Tidaklah aku mengamalkan suatu amalan yang lebih aku harapkan selain setiap kali aku selesai bersuci—yakni berwudu—baik di waktu malam maupun siang hari, melainkan aku pasti melaksanakan shalat dengan wudhu itu sejumlah rakaat yang ditakdirkan bagiku.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ini juga dikuatkan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidaklah seseorang berwudhu dan memperbagus wudhunya lalu mendirikan shalat dua rakaat seraya memusatkan hati dan wajahnya dalam dua rakaat itu melainkan wajib baginya masuk surga.” Diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab Ash-Shahih. Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa berwudhu dengan memperbagus wudhunya lalu mendirikan shalat dua rakaat tanpa lalai dalam dua rakaat itu maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” Diampuni dosanya yang telah lalu. Diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud. Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan shahih. Syaikh Al-Arnauth juga mengatakan bahwa hadis ini shahih li-ghairihi. Hadis ini dan hadis-hadis lain yang telah kita jelaskan dalam kitab Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, menjadi dalil bahwa disunnahkan bagi seorang Muslim, setiap kali selesai berwudhu, untuk mendirikan shalat. Mendirikan shalat dua rakaat, atau sebanyak yang Allah kehendaki baginya. ==== وَهَذِهِ سُنَّةٌ نَسِيَهَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ السُّنَّةُ لِلْمُسْلِمِ يَا إِخْوَةُ كُلَّمَا أَحْدَثَ أَنْ يَتَوَضَّـأَ السُّنَّةُ لِلْمُسْلِمِ كُلَّمَا أَحْدَثَ أَنْ يَتَوَضَّـأ وَكُلَّمَا تَوَضَّأَ أَنْ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ فَأَكْثَرَ وَهِيَ سُنَّةٌ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَثَّ عَلَيْهَا وَبَيَّنَ أَنَّ فِعْلَهَا يُدْخِلُ الْجَنَّةَ فَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِبِلَالِ بْنِ رَبَاحٍ يَا بِلَالُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الْإِسْلَامِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ فَقَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِيْ مِنْ أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُورًا فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ بِلَالُ بْنُ رَبَاحٍ هَذَا الصَّحَابِيُّ الْجَلِيلُ مُؤَذِّنُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى فِيهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الرُّؤْيَا الْحَسَنَةَ فَبَشَّرَهُ بِهَا وَسَأَلَهُ عَنِ السَّبَبِ الَّذِي جَعَلَهُ يَسْبِقُ إِلَى الْجَنَّةِ وَيَكُونُ رَفِيقًا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَمَا قُلْتُ لَكُمْ فِي صَحِيحِ التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ هَذَا لَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ بِلَالًا يَسْبِقُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجَنَّةِ وَإِنَّمَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ بِلَالًا يُرَافِقُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجَنَّةِ وَالْمَعْلُومُ أَنَّ الرَّجُلَ عَظِيمَ الشَّأْنِ إِذَا مَشَتْ مَعَهُ الرِّفْقَةُ فَإِنَّ بَعْضَهُمْ يَتَقَدَّمُ وَبَعْضَهُمْ يَكُونُ عَنْ يَمِينِهِ وَبَعْضَهُمْ يَكُونُ عَنْ شِمَالِهِ إِظْهَارًا لِمَنْزِلَتِهِ وَهَكَذَا كَانَ بِلَالٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمْ يَكُنْ مُتَقَدِّمًا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي دُخُولِ الْجَنَّةِ وَلَكِنَّهُ كَانَ مُمَاشِيًا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِي مِنْ أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُورًا أَيْ وُضُوءًا فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَلِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ الْوُضُوءَ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ يُقْبِلُ بِقَلْبِهِ وَوَجْهِهِ عَلَيْهِمَا إِلَّا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِى الصَّحِيحِ وَلِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَا يَسْهُو فِيهِمَا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَقَالَ الأَلبَانِيُّ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَالَ الْأَرْنَؤُوطُ صَحِيحٌ لِغَيْرِهِ فَهَذَا وَغَيْرُهُ مِنَ الْأَحَادِيثِ الَّتِي شَرَحْنَاهَا فِي صَحِيحِ التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ يُسَنُّ لِلْمُسْلِمِ أَنَّهُ كُلَّمَا تَوَضَّأَ أَنْ يُصَلِّيَ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ أَوْ مَا شَاءَ اللَّهُ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ


Ini adalah sunnah yang telah dilupakan oleh banyak orang. Saudara-saudara sekalian, disunnahkan bagi seorang Muslim untuk berwudhu setiap kali berhadas. Disunnahkan bagi seorang Muslim untuk berwudhu setiap kali berhadas. Setiap kali selesai berwudhu, disunnahkan untuk mendirikan shalat dua rakaat atau lebih. Ini adalah sunnah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkannya. Nabi juga menjelaskan bahwa amalan ini bisa menjadi sebab seseorang masuk ke dalam surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Bilal bin Rabah: “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku amalan yang paling engkau harapkan pahalanya sejak engkau memeluk Islam Karena aku mendengar derap langkah sandalmu di hadapanku di dalam surga.” Bilal menjawab, “Tidak ada amalan yang lebih aku harapkan selain kebiasaanku setiap kali selesai bersuci baik di siang hari maupun malam hari melainkan aku selalu melaksanakan shalat dengan wudhu tersebut, sejumlah rakaat yang ditakdirkan bagiku.” Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Bilal bin Rabah adalah sahabat Nabi yang mulia, muazin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat mimpi baik tentang Bilal bin Rabah. Lalu Nabi memberitahukan kabar gembira itu kepadanya. Beliau lalu menanyakan sebab yang melatarbelakangi hal tersebut, yakni apa yang membuatnya lebih dahulu menuju surga dan menjadi bagian rombongan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang telah saya jelaskan pada penjelasan kitab Shahih At-Targhib wa At-Tarhib. Hadis ini tidak menunjukkan bahwa Bilal mendahului Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk surga, tetapi menunjukkan bahwa Bilal termasuk rombongan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga. Sebagaimana diketahui, seorang tokoh besar apabila berjalan bersama rombongannya, sebagian dari mereka berjalan di depan, sebagian di kanan, dan sebagian lagi di kiri, untuk menunjukkan kedudukannya. Demikianlah posisi Bilal radhiyallahu ‘anhu. Ia tidak mendahului Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk surga, melainkan ia termasuk yang mengiringi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rombongan menuju surga. Bilal berkata, “Tidaklah aku mengamalkan suatu amalan yang lebih aku harapkan selain setiap kali aku selesai bersuci—yakni berwudu—baik di waktu malam maupun siang hari, melainkan aku pasti melaksanakan shalat dengan wudhu itu sejumlah rakaat yang ditakdirkan bagiku.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ini juga dikuatkan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidaklah seseorang berwudhu dan memperbagus wudhunya lalu mendirikan shalat dua rakaat seraya memusatkan hati dan wajahnya dalam dua rakaat itu melainkan wajib baginya masuk surga.” Diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab Ash-Shahih. Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa berwudhu dengan memperbagus wudhunya lalu mendirikan shalat dua rakaat tanpa lalai dalam dua rakaat itu maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” Diampuni dosanya yang telah lalu. Diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud. Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan shahih. Syaikh Al-Arnauth juga mengatakan bahwa hadis ini shahih li-ghairihi. Hadis ini dan hadis-hadis lain yang telah kita jelaskan dalam kitab Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, menjadi dalil bahwa disunnahkan bagi seorang Muslim, setiap kali selesai berwudhu, untuk mendirikan shalat. Mendirikan shalat dua rakaat, atau sebanyak yang Allah kehendaki baginya. ==== وَهَذِهِ سُنَّةٌ نَسِيَهَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ السُّنَّةُ لِلْمُسْلِمِ يَا إِخْوَةُ كُلَّمَا أَحْدَثَ أَنْ يَتَوَضَّـأَ السُّنَّةُ لِلْمُسْلِمِ كُلَّمَا أَحْدَثَ أَنْ يَتَوَضَّـأ وَكُلَّمَا تَوَضَّأَ أَنْ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ فَأَكْثَرَ وَهِيَ سُنَّةٌ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَثَّ عَلَيْهَا وَبَيَّنَ أَنَّ فِعْلَهَا يُدْخِلُ الْجَنَّةَ فَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِبِلَالِ بْنِ رَبَاحٍ يَا بِلَالُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الْإِسْلَامِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ فَقَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِيْ مِنْ أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُورًا فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ بِلَالُ بْنُ رَبَاحٍ هَذَا الصَّحَابِيُّ الْجَلِيلُ مُؤَذِّنُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى فِيهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الرُّؤْيَا الْحَسَنَةَ فَبَشَّرَهُ بِهَا وَسَأَلَهُ عَنِ السَّبَبِ الَّذِي جَعَلَهُ يَسْبِقُ إِلَى الْجَنَّةِ وَيَكُونُ رَفِيقًا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَمَا قُلْتُ لَكُمْ فِي صَحِيحِ التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ هَذَا لَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ بِلَالًا يَسْبِقُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجَنَّةِ وَإِنَّمَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ بِلَالًا يُرَافِقُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجَنَّةِ وَالْمَعْلُومُ أَنَّ الرَّجُلَ عَظِيمَ الشَّأْنِ إِذَا مَشَتْ مَعَهُ الرِّفْقَةُ فَإِنَّ بَعْضَهُمْ يَتَقَدَّمُ وَبَعْضَهُمْ يَكُونُ عَنْ يَمِينِهِ وَبَعْضَهُمْ يَكُونُ عَنْ شِمَالِهِ إِظْهَارًا لِمَنْزِلَتِهِ وَهَكَذَا كَانَ بِلَالٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمْ يَكُنْ مُتَقَدِّمًا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي دُخُولِ الْجَنَّةِ وَلَكِنَّهُ كَانَ مُمَاشِيًا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِي مِنْ أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُورًا أَيْ وُضُوءًا فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَلِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ الْوُضُوءَ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ يُقْبِلُ بِقَلْبِهِ وَوَجْهِهِ عَلَيْهِمَا إِلَّا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِى الصَّحِيحِ وَلِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَا يَسْهُو فِيهِمَا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَقَالَ الأَلبَانِيُّ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَالَ الْأَرْنَؤُوطُ صَحِيحٌ لِغَيْرِهِ فَهَذَا وَغَيْرُهُ مِنَ الْأَحَادِيثِ الَّتِي شَرَحْنَاهَا فِي صَحِيحِ التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ يُسَنُّ لِلْمُسْلِمِ أَنَّهُ كُلَّمَا تَوَضَّأَ أَنْ يُصَلِّيَ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ أَوْ مَا شَاءَ اللَّهُ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 21): Mulhaq Jama’ Mudzakkar Salim (Lanjutan)

Lanjutan pembahasan contoh-contoh mulhaq jama’ mudzakkar salimPada bagian ini, pembahasan akan dilanjutkan mengenai contoh-contoh isim yang tergolong mulhaq jama’ mudzakkar salim. Ibnu Hisyam memberikan beberapa contoh isim yang termasuk kategori ini.Pertama وَابَلُوْنَBentuk mufrad dari kata tersebut adalah وَابِلٌ. وَابِل berarti hujan deras. Kata ini termasuk mulhaq jama’ mudzakkar salim karena bukan ism ʿalam (kata benda nama diri), bukan juga sifah (sifat), meskipun memiliki bentuk mufrad dan kata ini juga merujuk pada sesuatu yang tidak berakal.Kedua, أَرَاضُونَBentuk mufrad dari kata ini adalah أَرْضٌ. Kata ini merupakan isim mu’annats majazi (kata feminin kiasan), bukan isim mudzakkar. Bentuk mufrad dan jama’ mengalami perubahan dalam huruf terakhirnya, yaitu pada bentuk mufrad huruf ر (rhaa) yang berharakat sukun; sedangkan pada bentuk jama’, huruf ر (rhaa) diberi harakat fathah.Secara kaidah, jama’ mudzakkar salim tidak boleh mengubah struktur lafadz mufradnya, baik dari segi harakat, penambahan, atau pengurangan huruf, kecuali penambahan huruf waw (و) dan nun (ن), atau yaa (ي) dan nun (ن) sesuai pola jama’ mudzakkar salim. Oleh karena itu, kata ini tidak termasuk kategori jama’ mudzakkar salim.Ketiga, سِنُونَBentuk mufrad dari kata terebut adalah سَنَةٌ. Kata ini bukan ism ʿalam, melainkan isim mu’annats yang berakhiran huruf taa marbuthah (ة), dan menunjuk pada sesuatu yang tidak berakal. Kata ini tidak memenuhi syarat sebagai jama’ mudzakkar salim, walaupun secara bentuk hampir menyerupai jama’ mudzakkar salim karena berakhiran huruf waw (و) dan nun (ن).Oleh karena itu, kata ini dikategorikan sebagai mulhaq jama’ mudzakkar salim. Pada bentuknya, kata سِنُونَ  marfu‘ dengan tanda waw, dan manshub serta majrur dengan tanda yaa (ي). Contohnya dalam kalimat:خَصِبَةٌ سِنُونٌ هٰذِهِ“Ini adalah tahun-tahun yang subur.”Pada kalimat tersebut, kata سِنُونٌ berstatus marfu‘ dan menjadi khabar dari هَذِهِ.Contoh lainya adalah:سِنِينَ عِنْدَهُ أَقَمْت“Saya tinggal bersamanya selama bertahun-tahun.”Pada kalimat di atas, kata سِنِينَ berfungsi sebagai maf‘ul fihi, yaitu keterangan waktu. Karena berfungsi sebagai maf‘ul fihi, maka kata tersebut berada dalam keadaan manshub (berharakat fathah atau tanda nasab), dan ditandai dengan yaa (ي) sebagai tanda nasab.Contoh lainya adalah:سِنِين خَمْسَ النَّحْو دَرَسْتُ“Saya belajar ilmu nahwu selama lima tahun.”Dalam kalimat di atas, kata سِنِينَ merupakan mudhaf ilaih dari angka خَمْس, yang berfungsi sebagai tamyiz dari kata خَمْس tersebut. Oleh karena itu, kata سِنِينَ  berkedudukan majrur tanda jar-nya juga berupa ya (ي).Ibnu Hisyam memberikan contoh yang masuk pada pembahasan yang sama dengan kata سِنِين. Kata yang termasuk dalam kelompok kata seperti سِنِينَ, yaitu kata-kata yang berasal dari isim tsulatsi yang huruf ketiganya (lam fi‘ilnya) dihilangkan. Contoh lainnya adalah:Pertama, سَنَةٌKata tersebut berasal dari bentuk dasar سَنَوٌ. Pada bentuk asli tersebut, huruf س adalah fa’ fi‘il, huruf ن adalah ‘ain fi‘il, dan huruf و adalah lam fi‘il. Namun, huruf و dihilangkan dan digantikan dengan huruf ة (ta’ ta’nis marbuthah), sehingga terbentuklah kata سَنَةٌ.Kata سَنَة tidak memiliki bentuk jama‘ taksir, melainkan di-jama’ taksir dengan pola jama‘ mudzakkar salim, yaitu سِنُونَ, meskipun kata ini tidak termasuk ‘aqil (berakal). Oleh karena itu, kata ini dikategorikan sebagai mulhaq jama‘ mudzakkar salim. Selain itu, kata tersebut juga dapat di-jama’ dengan jama‘ mu’annats salim, yaitu: سَنَوَاتٌ.Kedua, إِضَةٌBentuk jama’ dari kata ini adalah إِضُونَ. Secara makna, kata ini tersebut mempunya arti كَذِبٍ (kebohongan) atau اِفْتِرَاءٍ (sesuatu yang dibuat-buat). Bentuk asal kata إِضُون adalah عِوَضٌ yang merupakan isim tsulatsi dengan huruf lam fi‘il-nya dihilangkan, lalu digantikan dengan huruf ة (ta’ marbuthah). Sama seperti sebelumnya, kata ini tidak memiliki bentuk jama‘ taksir.Contoh penggunaan kata ini terdapat dalam Al-Qur’an, yaitu pada:Surah Al-Hijr ayat 91:الَّذِيۡنَ جَعَلُوا الۡـقُرۡاٰنَ عِضِيۡنَ‏“Orang-orang yang telah menjadikan Al-Qur’an itu terbagi-bagi.”Dalam ayat tersebut, bentuk jama’nya, yakni إِضِينَ, berfungsi sebagai maf‘ul tsani (kedua) dari fi‘il madhi جَعَل, dan kata ini berkedudukan manshub dengan tanda yaa (ي) karena termasuk dalam kategori mulhaq jama‘ mudzakkar salim. Makna yang dimaksud dari kata إِضِين adalah bahwa kaum musyrik jahiliyyah memiliki berbagai tuduhan terhadap Al-Qur’an, seperti menyebutnya sebagai sihir, perdukunan, atau dongeng-dongeng orang terdahulu.Ketiga, عِزَةٌKata tersebut bermaknaفِرْقَةٌ مِنَ النَّاسِ  (sekelompok orang). Bentuk jama’nya adalah عِزُون. Contoh penggunaannya terdapat dalam Al-Qur’an sebagai berikut:Surah Al-Ma‘arij ayat 37:عَنِ الْيَمِيْنِ وَعَنِ الشِّمَالِ عِزِيْنَ“Dari kanan dan dari kiri dengan berkelompok-kelompok.”Kata عِزِين dalam ayat tersebut berfungsi sebagai hal manshub dengan tanda yaa (ي) karena termasuk dalam kategori mulhaq jama‘ mudzakkar salim. Maknanya menunjukkan bahwa mereka (kaum kafir) terbagi menjadi kelompok-kelompok, sebagian di sebelah kanan Rasul dan sebagian lainnya di sebelah kiri.[Bersambung]Kembali ke bagian 20***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 21): Mulhaq Jama’ Mudzakkar Salim (Lanjutan)

Lanjutan pembahasan contoh-contoh mulhaq jama’ mudzakkar salimPada bagian ini, pembahasan akan dilanjutkan mengenai contoh-contoh isim yang tergolong mulhaq jama’ mudzakkar salim. Ibnu Hisyam memberikan beberapa contoh isim yang termasuk kategori ini.Pertama وَابَلُوْنَBentuk mufrad dari kata tersebut adalah وَابِلٌ. وَابِل berarti hujan deras. Kata ini termasuk mulhaq jama’ mudzakkar salim karena bukan ism ʿalam (kata benda nama diri), bukan juga sifah (sifat), meskipun memiliki bentuk mufrad dan kata ini juga merujuk pada sesuatu yang tidak berakal.Kedua, أَرَاضُونَBentuk mufrad dari kata ini adalah أَرْضٌ. Kata ini merupakan isim mu’annats majazi (kata feminin kiasan), bukan isim mudzakkar. Bentuk mufrad dan jama’ mengalami perubahan dalam huruf terakhirnya, yaitu pada bentuk mufrad huruf ر (rhaa) yang berharakat sukun; sedangkan pada bentuk jama’, huruf ر (rhaa) diberi harakat fathah.Secara kaidah, jama’ mudzakkar salim tidak boleh mengubah struktur lafadz mufradnya, baik dari segi harakat, penambahan, atau pengurangan huruf, kecuali penambahan huruf waw (و) dan nun (ن), atau yaa (ي) dan nun (ن) sesuai pola jama’ mudzakkar salim. Oleh karena itu, kata ini tidak termasuk kategori jama’ mudzakkar salim.Ketiga, سِنُونَBentuk mufrad dari kata terebut adalah سَنَةٌ. Kata ini bukan ism ʿalam, melainkan isim mu’annats yang berakhiran huruf taa marbuthah (ة), dan menunjuk pada sesuatu yang tidak berakal. Kata ini tidak memenuhi syarat sebagai jama’ mudzakkar salim, walaupun secara bentuk hampir menyerupai jama’ mudzakkar salim karena berakhiran huruf waw (و) dan nun (ن).Oleh karena itu, kata ini dikategorikan sebagai mulhaq jama’ mudzakkar salim. Pada bentuknya, kata سِنُونَ  marfu‘ dengan tanda waw, dan manshub serta majrur dengan tanda yaa (ي). Contohnya dalam kalimat:خَصِبَةٌ سِنُونٌ هٰذِهِ“Ini adalah tahun-tahun yang subur.”Pada kalimat tersebut, kata سِنُونٌ berstatus marfu‘ dan menjadi khabar dari هَذِهِ.Contoh lainya adalah:سِنِينَ عِنْدَهُ أَقَمْت“Saya tinggal bersamanya selama bertahun-tahun.”Pada kalimat di atas, kata سِنِينَ berfungsi sebagai maf‘ul fihi, yaitu keterangan waktu. Karena berfungsi sebagai maf‘ul fihi, maka kata tersebut berada dalam keadaan manshub (berharakat fathah atau tanda nasab), dan ditandai dengan yaa (ي) sebagai tanda nasab.Contoh lainya adalah:سِنِين خَمْسَ النَّحْو دَرَسْتُ“Saya belajar ilmu nahwu selama lima tahun.”Dalam kalimat di atas, kata سِنِينَ merupakan mudhaf ilaih dari angka خَمْس, yang berfungsi sebagai tamyiz dari kata خَمْس tersebut. Oleh karena itu, kata سِنِينَ  berkedudukan majrur tanda jar-nya juga berupa ya (ي).Ibnu Hisyam memberikan contoh yang masuk pada pembahasan yang sama dengan kata سِنِين. Kata yang termasuk dalam kelompok kata seperti سِنِينَ, yaitu kata-kata yang berasal dari isim tsulatsi yang huruf ketiganya (lam fi‘ilnya) dihilangkan. Contoh lainnya adalah:Pertama, سَنَةٌKata tersebut berasal dari bentuk dasar سَنَوٌ. Pada bentuk asli tersebut, huruf س adalah fa’ fi‘il, huruf ن adalah ‘ain fi‘il, dan huruf و adalah lam fi‘il. Namun, huruf و dihilangkan dan digantikan dengan huruf ة (ta’ ta’nis marbuthah), sehingga terbentuklah kata سَنَةٌ.Kata سَنَة tidak memiliki bentuk jama‘ taksir, melainkan di-jama’ taksir dengan pola jama‘ mudzakkar salim, yaitu سِنُونَ, meskipun kata ini tidak termasuk ‘aqil (berakal). Oleh karena itu, kata ini dikategorikan sebagai mulhaq jama‘ mudzakkar salim. Selain itu, kata tersebut juga dapat di-jama’ dengan jama‘ mu’annats salim, yaitu: سَنَوَاتٌ.Kedua, إِضَةٌBentuk jama’ dari kata ini adalah إِضُونَ. Secara makna, kata ini tersebut mempunya arti كَذِبٍ (kebohongan) atau اِفْتِرَاءٍ (sesuatu yang dibuat-buat). Bentuk asal kata إِضُون adalah عِوَضٌ yang merupakan isim tsulatsi dengan huruf lam fi‘il-nya dihilangkan, lalu digantikan dengan huruf ة (ta’ marbuthah). Sama seperti sebelumnya, kata ini tidak memiliki bentuk jama‘ taksir.Contoh penggunaan kata ini terdapat dalam Al-Qur’an, yaitu pada:Surah Al-Hijr ayat 91:الَّذِيۡنَ جَعَلُوا الۡـقُرۡاٰنَ عِضِيۡنَ‏“Orang-orang yang telah menjadikan Al-Qur’an itu terbagi-bagi.”Dalam ayat tersebut, bentuk jama’nya, yakni إِضِينَ, berfungsi sebagai maf‘ul tsani (kedua) dari fi‘il madhi جَعَل, dan kata ini berkedudukan manshub dengan tanda yaa (ي) karena termasuk dalam kategori mulhaq jama‘ mudzakkar salim. Makna yang dimaksud dari kata إِضِين adalah bahwa kaum musyrik jahiliyyah memiliki berbagai tuduhan terhadap Al-Qur’an, seperti menyebutnya sebagai sihir, perdukunan, atau dongeng-dongeng orang terdahulu.Ketiga, عِزَةٌKata tersebut bermaknaفِرْقَةٌ مِنَ النَّاسِ  (sekelompok orang). Bentuk jama’nya adalah عِزُون. Contoh penggunaannya terdapat dalam Al-Qur’an sebagai berikut:Surah Al-Ma‘arij ayat 37:عَنِ الْيَمِيْنِ وَعَنِ الشِّمَالِ عِزِيْنَ“Dari kanan dan dari kiri dengan berkelompok-kelompok.”Kata عِزِين dalam ayat tersebut berfungsi sebagai hal manshub dengan tanda yaa (ي) karena termasuk dalam kategori mulhaq jama‘ mudzakkar salim. Maknanya menunjukkan bahwa mereka (kaum kafir) terbagi menjadi kelompok-kelompok, sebagian di sebelah kanan Rasul dan sebagian lainnya di sebelah kiri.[Bersambung]Kembali ke bagian 20***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id
Lanjutan pembahasan contoh-contoh mulhaq jama’ mudzakkar salimPada bagian ini, pembahasan akan dilanjutkan mengenai contoh-contoh isim yang tergolong mulhaq jama’ mudzakkar salim. Ibnu Hisyam memberikan beberapa contoh isim yang termasuk kategori ini.Pertama وَابَلُوْنَBentuk mufrad dari kata tersebut adalah وَابِلٌ. وَابِل berarti hujan deras. Kata ini termasuk mulhaq jama’ mudzakkar salim karena bukan ism ʿalam (kata benda nama diri), bukan juga sifah (sifat), meskipun memiliki bentuk mufrad dan kata ini juga merujuk pada sesuatu yang tidak berakal.Kedua, أَرَاضُونَBentuk mufrad dari kata ini adalah أَرْضٌ. Kata ini merupakan isim mu’annats majazi (kata feminin kiasan), bukan isim mudzakkar. Bentuk mufrad dan jama’ mengalami perubahan dalam huruf terakhirnya, yaitu pada bentuk mufrad huruf ر (rhaa) yang berharakat sukun; sedangkan pada bentuk jama’, huruf ر (rhaa) diberi harakat fathah.Secara kaidah, jama’ mudzakkar salim tidak boleh mengubah struktur lafadz mufradnya, baik dari segi harakat, penambahan, atau pengurangan huruf, kecuali penambahan huruf waw (و) dan nun (ن), atau yaa (ي) dan nun (ن) sesuai pola jama’ mudzakkar salim. Oleh karena itu, kata ini tidak termasuk kategori jama’ mudzakkar salim.Ketiga, سِنُونَBentuk mufrad dari kata terebut adalah سَنَةٌ. Kata ini bukan ism ʿalam, melainkan isim mu’annats yang berakhiran huruf taa marbuthah (ة), dan menunjuk pada sesuatu yang tidak berakal. Kata ini tidak memenuhi syarat sebagai jama’ mudzakkar salim, walaupun secara bentuk hampir menyerupai jama’ mudzakkar salim karena berakhiran huruf waw (و) dan nun (ن).Oleh karena itu, kata ini dikategorikan sebagai mulhaq jama’ mudzakkar salim. Pada bentuknya, kata سِنُونَ  marfu‘ dengan tanda waw, dan manshub serta majrur dengan tanda yaa (ي). Contohnya dalam kalimat:خَصِبَةٌ سِنُونٌ هٰذِهِ“Ini adalah tahun-tahun yang subur.”Pada kalimat tersebut, kata سِنُونٌ berstatus marfu‘ dan menjadi khabar dari هَذِهِ.Contoh lainya adalah:سِنِينَ عِنْدَهُ أَقَمْت“Saya tinggal bersamanya selama bertahun-tahun.”Pada kalimat di atas, kata سِنِينَ berfungsi sebagai maf‘ul fihi, yaitu keterangan waktu. Karena berfungsi sebagai maf‘ul fihi, maka kata tersebut berada dalam keadaan manshub (berharakat fathah atau tanda nasab), dan ditandai dengan yaa (ي) sebagai tanda nasab.Contoh lainya adalah:سِنِين خَمْسَ النَّحْو دَرَسْتُ“Saya belajar ilmu nahwu selama lima tahun.”Dalam kalimat di atas, kata سِنِينَ merupakan mudhaf ilaih dari angka خَمْس, yang berfungsi sebagai tamyiz dari kata خَمْس tersebut. Oleh karena itu, kata سِنِينَ  berkedudukan majrur tanda jar-nya juga berupa ya (ي).Ibnu Hisyam memberikan contoh yang masuk pada pembahasan yang sama dengan kata سِنِين. Kata yang termasuk dalam kelompok kata seperti سِنِينَ, yaitu kata-kata yang berasal dari isim tsulatsi yang huruf ketiganya (lam fi‘ilnya) dihilangkan. Contoh lainnya adalah:Pertama, سَنَةٌKata tersebut berasal dari bentuk dasar سَنَوٌ. Pada bentuk asli tersebut, huruf س adalah fa’ fi‘il, huruf ن adalah ‘ain fi‘il, dan huruf و adalah lam fi‘il. Namun, huruf و dihilangkan dan digantikan dengan huruf ة (ta’ ta’nis marbuthah), sehingga terbentuklah kata سَنَةٌ.Kata سَنَة tidak memiliki bentuk jama‘ taksir, melainkan di-jama’ taksir dengan pola jama‘ mudzakkar salim, yaitu سِنُونَ, meskipun kata ini tidak termasuk ‘aqil (berakal). Oleh karena itu, kata ini dikategorikan sebagai mulhaq jama‘ mudzakkar salim. Selain itu, kata tersebut juga dapat di-jama’ dengan jama‘ mu’annats salim, yaitu: سَنَوَاتٌ.Kedua, إِضَةٌBentuk jama’ dari kata ini adalah إِضُونَ. Secara makna, kata ini tersebut mempunya arti كَذِبٍ (kebohongan) atau اِفْتِرَاءٍ (sesuatu yang dibuat-buat). Bentuk asal kata إِضُون adalah عِوَضٌ yang merupakan isim tsulatsi dengan huruf lam fi‘il-nya dihilangkan, lalu digantikan dengan huruf ة (ta’ marbuthah). Sama seperti sebelumnya, kata ini tidak memiliki bentuk jama‘ taksir.Contoh penggunaan kata ini terdapat dalam Al-Qur’an, yaitu pada:Surah Al-Hijr ayat 91:الَّذِيۡنَ جَعَلُوا الۡـقُرۡاٰنَ عِضِيۡنَ‏“Orang-orang yang telah menjadikan Al-Qur’an itu terbagi-bagi.”Dalam ayat tersebut, bentuk jama’nya, yakni إِضِينَ, berfungsi sebagai maf‘ul tsani (kedua) dari fi‘il madhi جَعَل, dan kata ini berkedudukan manshub dengan tanda yaa (ي) karena termasuk dalam kategori mulhaq jama‘ mudzakkar salim. Makna yang dimaksud dari kata إِضِين adalah bahwa kaum musyrik jahiliyyah memiliki berbagai tuduhan terhadap Al-Qur’an, seperti menyebutnya sebagai sihir, perdukunan, atau dongeng-dongeng orang terdahulu.Ketiga, عِزَةٌKata tersebut bermaknaفِرْقَةٌ مِنَ النَّاسِ  (sekelompok orang). Bentuk jama’nya adalah عِزُون. Contoh penggunaannya terdapat dalam Al-Qur’an sebagai berikut:Surah Al-Ma‘arij ayat 37:عَنِ الْيَمِيْنِ وَعَنِ الشِّمَالِ عِزِيْنَ“Dari kanan dan dari kiri dengan berkelompok-kelompok.”Kata عِزِين dalam ayat tersebut berfungsi sebagai hal manshub dengan tanda yaa (ي) karena termasuk dalam kategori mulhaq jama‘ mudzakkar salim. Maknanya menunjukkan bahwa mereka (kaum kafir) terbagi menjadi kelompok-kelompok, sebagian di sebelah kanan Rasul dan sebagian lainnya di sebelah kiri.[Bersambung]Kembali ke bagian 20***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id


Lanjutan pembahasan contoh-contoh mulhaq jama’ mudzakkar salimPada bagian ini, pembahasan akan dilanjutkan mengenai contoh-contoh isim yang tergolong mulhaq jama’ mudzakkar salim. Ibnu Hisyam memberikan beberapa contoh isim yang termasuk kategori ini.Pertama وَابَلُوْنَBentuk mufrad dari kata tersebut adalah وَابِلٌ. وَابِل berarti hujan deras. Kata ini termasuk mulhaq jama’ mudzakkar salim karena bukan ism ʿalam (kata benda nama diri), bukan juga sifah (sifat), meskipun memiliki bentuk mufrad dan kata ini juga merujuk pada sesuatu yang tidak berakal.Kedua, أَرَاضُونَBentuk mufrad dari kata ini adalah أَرْضٌ. Kata ini merupakan isim mu’annats majazi (kata feminin kiasan), bukan isim mudzakkar. Bentuk mufrad dan jama’ mengalami perubahan dalam huruf terakhirnya, yaitu pada bentuk mufrad huruf ر (rhaa) yang berharakat sukun; sedangkan pada bentuk jama’, huruf ر (rhaa) diberi harakat fathah.Secara kaidah, jama’ mudzakkar salim tidak boleh mengubah struktur lafadz mufradnya, baik dari segi harakat, penambahan, atau pengurangan huruf, kecuali penambahan huruf waw (و) dan nun (ن), atau yaa (ي) dan nun (ن) sesuai pola jama’ mudzakkar salim. Oleh karena itu, kata ini tidak termasuk kategori jama’ mudzakkar salim.Ketiga, سِنُونَBentuk mufrad dari kata terebut adalah سَنَةٌ. Kata ini bukan ism ʿalam, melainkan isim mu’annats yang berakhiran huruf taa marbuthah (ة), dan menunjuk pada sesuatu yang tidak berakal. Kata ini tidak memenuhi syarat sebagai jama’ mudzakkar salim, walaupun secara bentuk hampir menyerupai jama’ mudzakkar salim karena berakhiran huruf waw (و) dan nun (ن).Oleh karena itu, kata ini dikategorikan sebagai mulhaq jama’ mudzakkar salim. Pada bentuknya, kata سِنُونَ  marfu‘ dengan tanda waw, dan manshub serta majrur dengan tanda yaa (ي). Contohnya dalam kalimat:خَصِبَةٌ سِنُونٌ هٰذِهِ“Ini adalah tahun-tahun yang subur.”Pada kalimat tersebut, kata سِنُونٌ berstatus marfu‘ dan menjadi khabar dari هَذِهِ.Contoh lainya adalah:سِنِينَ عِنْدَهُ أَقَمْت“Saya tinggal bersamanya selama bertahun-tahun.”Pada kalimat di atas, kata سِنِينَ berfungsi sebagai maf‘ul fihi, yaitu keterangan waktu. Karena berfungsi sebagai maf‘ul fihi, maka kata tersebut berada dalam keadaan manshub (berharakat fathah atau tanda nasab), dan ditandai dengan yaa (ي) sebagai tanda nasab.Contoh lainya adalah:سِنِين خَمْسَ النَّحْو دَرَسْتُ“Saya belajar ilmu nahwu selama lima tahun.”Dalam kalimat di atas, kata سِنِينَ merupakan mudhaf ilaih dari angka خَمْس, yang berfungsi sebagai tamyiz dari kata خَمْس tersebut. Oleh karena itu, kata سِنِينَ  berkedudukan majrur tanda jar-nya juga berupa ya (ي).Ibnu Hisyam memberikan contoh yang masuk pada pembahasan yang sama dengan kata سِنِين. Kata yang termasuk dalam kelompok kata seperti سِنِينَ, yaitu kata-kata yang berasal dari isim tsulatsi yang huruf ketiganya (lam fi‘ilnya) dihilangkan. Contoh lainnya adalah:Pertama, سَنَةٌKata tersebut berasal dari bentuk dasar سَنَوٌ. Pada bentuk asli tersebut, huruf س adalah fa’ fi‘il, huruf ن adalah ‘ain fi‘il, dan huruf و adalah lam fi‘il. Namun, huruf و dihilangkan dan digantikan dengan huruf ة (ta’ ta’nis marbuthah), sehingga terbentuklah kata سَنَةٌ.Kata سَنَة tidak memiliki bentuk jama‘ taksir, melainkan di-jama’ taksir dengan pola jama‘ mudzakkar salim, yaitu سِنُونَ, meskipun kata ini tidak termasuk ‘aqil (berakal). Oleh karena itu, kata ini dikategorikan sebagai mulhaq jama‘ mudzakkar salim. Selain itu, kata tersebut juga dapat di-jama’ dengan jama‘ mu’annats salim, yaitu: سَنَوَاتٌ.Kedua, إِضَةٌBentuk jama’ dari kata ini adalah إِضُونَ. Secara makna, kata ini tersebut mempunya arti كَذِبٍ (kebohongan) atau اِفْتِرَاءٍ (sesuatu yang dibuat-buat). Bentuk asal kata إِضُون adalah عِوَضٌ yang merupakan isim tsulatsi dengan huruf lam fi‘il-nya dihilangkan, lalu digantikan dengan huruf ة (ta’ marbuthah). Sama seperti sebelumnya, kata ini tidak memiliki bentuk jama‘ taksir.Contoh penggunaan kata ini terdapat dalam Al-Qur’an, yaitu pada:Surah Al-Hijr ayat 91:الَّذِيۡنَ جَعَلُوا الۡـقُرۡاٰنَ عِضِيۡنَ‏“Orang-orang yang telah menjadikan Al-Qur’an itu terbagi-bagi.”Dalam ayat tersebut, bentuk jama’nya, yakni إِضِينَ, berfungsi sebagai maf‘ul tsani (kedua) dari fi‘il madhi جَعَل, dan kata ini berkedudukan manshub dengan tanda yaa (ي) karena termasuk dalam kategori mulhaq jama‘ mudzakkar salim. Makna yang dimaksud dari kata إِضِين adalah bahwa kaum musyrik jahiliyyah memiliki berbagai tuduhan terhadap Al-Qur’an, seperti menyebutnya sebagai sihir, perdukunan, atau dongeng-dongeng orang terdahulu.Ketiga, عِزَةٌKata tersebut bermaknaفِرْقَةٌ مِنَ النَّاسِ  (sekelompok orang). Bentuk jama’nya adalah عِزُون. Contoh penggunaannya terdapat dalam Al-Qur’an sebagai berikut:Surah Al-Ma‘arij ayat 37:عَنِ الْيَمِيْنِ وَعَنِ الشِّمَالِ عِزِيْنَ“Dari kanan dan dari kiri dengan berkelompok-kelompok.”Kata عِزِين dalam ayat tersebut berfungsi sebagai hal manshub dengan tanda yaa (ي) karena termasuk dalam kategori mulhaq jama‘ mudzakkar salim. Maknanya menunjukkan bahwa mereka (kaum kafir) terbagi menjadi kelompok-kelompok, sebagian di sebelah kanan Rasul dan sebagian lainnya di sebelah kiri.[Bersambung]Kembali ke bagian 20***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id

Tidak Setiap yang Dibenci Itu Buruk

Daftar Isi ToggleBoleh jadi kita membenci sesuatu, padahal itu baik bagi kitaAda hikmah di balik lukaKisah nyata kebijaksanaan Allah terhadap para hamba-NyaBoleh jadi kita membenci sesuatu, padahal itu baik bagi kitaHidup di dunia ini tak selalu dihiasi dengan keindahan. Ada kalanya kita harus menapaki jalan yang terjal dan beban yang terasa berat untuk ditanggung. Kita pernah gagal dalam rencana yang kita susun rapi. Pernah berharap, tapi tak kunjung tercapai. Pernah mencintai, lalu kehilangan. Pernah mencoba bertahan, tapi tetap dihimpit oleh kesulitan yang tak kunjung reda.Naluri manusia akan tergesa-gesa menyimpulkan: “Ini buruk. Ini tidak adil.” Karena manusia memang ingin segalanya berjalan mulus, indah, dan sesuai harapan. Namun, Allah -dengan cinta dan hikmah-Nya yang tak terbatas- melihat segalanya dari sudut pandang yang lebih luas.Allah Ta’ala berfirman,وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ“Tetapi boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu; dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)Ayat ini turun terkait perintah jihad dan saat itu para sahabat berat untuk melaksanakannya karena akan menimbulkan keletihan, kehilangan harta, bahkan nyawa mereka. Meskipun demikian, jihad itu “murni kebaikan” yang mengandung pahala besar, kematian yang syahid, perlindungan dari penindasan, kemerdekaan, dan hasil duniawi (ghanimah). (Lihat Tafsir As-Sa’di, hal. 87)Dalam ayat yang lainnya Allah Ta’ala berfirman,فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا“Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19)Ayat kedua ini turun berkaitan dengan hubungan dalam rumah tangga. Tatkala ada seorang suami yang tidak suka dengan istrinya dalam salah satu atau beberapa sifat dan kebiasaan istrinya (kurang cantik, kurang menjaga kebersihan, kurang rajin, dan semisalnya), akan tetapi bisa jadi Allah akan limpahkan karunia yang banyak dari istrinya. Bisa jadi dari rahimnya akan lahir anak-anak saleh yang menjadi kebanggaan baginya di dunia dan akhirat.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ“Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (istri). Jika si pria tidak menyukai satu akhlak pada si wanita, hendaklah ia melihat sisi lain yang ia ridai.” (HR. Muslim, no. 1469)Jika seseorang mendapati pada istrinya hal yang tidak ia sukai dan ia benci, selama ia tidak melakukan perbuatan fahisyah (zina) dan nusyuz (pembangkangan), bersabarlah terhadap gangguannya dan tetaplah berbuat adil kepadanya karena bisa jadi seperti itu lebih baik baginya. (Lihat Ahkam Al-Qur’an, 1: 487)Al-Ghazali rahimahullah berkata,الصَّبْرُ عَلَى لِسَانِ النِّسَاءِ مِمَّا يُمْتَحَنُ بِهِ الأَوْلِيَاءُ“Bersabar dari kata-kata (menyakitkan) yang keluar dari mulut para istri adalah salah satu cobaan para wali.” (Ihya’ Ulum Ad-Diin, 2: 38)Ada hikmah di balik lukaDua ayat di atas (QS. Al-Baqarah: 216 dan QS. An-Nisa: 19) menggambarkan dua aspek kehidupan yang sangat berbeda, namun sama-sama mengandung ujian: ayat pertama berbicara tentang jihad di jalan Allah, sementara ayat kedua menyentuh tentang hubungan suami istri dalam rumah tangga.Dalam jihad, yang terasa berat adalah ujian fisik (rasa sakit, luka, bahkan kematian). Sedangkan dalam rumah tangga, yang menyakitkan sering kali bersifat batiniah (perasaan kecewa dan ekspektasi yang tidak terpenuhi). Namun, Allah mengingatkan bahwa bisa jadi sesuatu yang kita benci justru menyimpan kebaikan yang belum kita pahami.Kedua ayat tersebut mengajarkan kita bahwa di balik rasa sakit fisik maupun luka emosional, ada pelajaran yang mematangkan jiwa, ada hikmah yang memperindah hidup, dan ada mahabbah Allah yang senantiasa menyertai setiap langkah hamba-Nya yang bersabar.Allah yang Maha Mengetahui hendak menyampaikan pesan yang sama dalam kedua firman-Nya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu.” Kadang, yang pahit di awal adalah jalan menuju manisnya akhir. Kadang, air mata hari ini menjadi alasan senyum di masa depan.Baca juga: Cinta dan Benci Dalam IslamKisah nyata kebijaksanaan Allah terhadap para hamba-NyaSalah satu kisah nyata tentang kebijaksanaan Allah yang agung terhadap hamba-Nya adalah kisah Ibu Nabi Musa, yang hidup di masa kekuasaan Fir’aun. Saking takutnya Fir’aun akan kehilangan kekuasaannya, ia memerintahkan bala tentaranya agar setiap bayi laki-laki yang lahir untuk disembelih.Karena Ibu Nabi Musa takut dan khawatir akan nasib putranya, maka Allah ilhamkan kepadanya agar ia menghanyutkan Nabi Musa ke sungai. Bukankah yang paling ditakutkan Ibu Nabi Musa putranya jatuh ke tangan Fir’aun? Tetapi itulah yang terjadi, putranya terdampar di istana Fir’aun dan ia dirawat penuh kasih oleh istri Fir’aun.Tatkala dicarikan dan diadakan sayembara menyusui Nabi Musa, tidak ada satu pun yang dipilih (disukai) Nabi Musa kecuali Ibunya sendiri. Maka akhirnya Ibunya tinggal bersama Nabi Musa dalam keadaan aman dalam istana Fir’aun.Allah mengembalikan sang anak ke pangkuan ibunya dengan cara yang tak pernah terbayangkan, yang awalnya menjadi tempat paling berbahaya dan ditakuti, justru menjadi tempat yang paling aman.Lihatlah bagaimana ketika Allah menakdirkan sesuatu yang awalnya terlihat tidak disukai manusia, tetapi ada kebaikan besar di baliknya. Allah Ta’ala berfirman,وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ“Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa, “Susuilah dia; dan apabila kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (QS. Al-Qashash: 7)Tak semua yang menyakitkan itu buruk dan tak semua yang indah itu baik. Ukuran terbaik adalah apa yang Allah pilihkan dan tetapkan.Apa yang kita anggap musibah, bisa jadi adalah penjagaan dari keburukan. Apa yang terasa menyakitkan, bisa jadi adalah jalan menuju kebaikan yang lebih besar. Karena Allah, dengan segala kelembutan-Nya, tidak pernah keliru dalam menakar.Semoga tulisan singkat ini menjadi pengingat untuk kita semua.اللهم اجعلنا من الصابرين، وارضنا بما قسمت لنا، وبارك لنا في كل حال“Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang sabar, rida dengan segala ketetapan-Mu, dan berkahilah kami dalam setiap keadaan.”Baca juga: Musibah untuk Muhasabah***Penulis: Arif Muhammad NurwijayaArtikel Muslim.or.id Referensi:Qawaa’id Qur’aniyyah, karya Syekh Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil.

Tidak Setiap yang Dibenci Itu Buruk

Daftar Isi ToggleBoleh jadi kita membenci sesuatu, padahal itu baik bagi kitaAda hikmah di balik lukaKisah nyata kebijaksanaan Allah terhadap para hamba-NyaBoleh jadi kita membenci sesuatu, padahal itu baik bagi kitaHidup di dunia ini tak selalu dihiasi dengan keindahan. Ada kalanya kita harus menapaki jalan yang terjal dan beban yang terasa berat untuk ditanggung. Kita pernah gagal dalam rencana yang kita susun rapi. Pernah berharap, tapi tak kunjung tercapai. Pernah mencintai, lalu kehilangan. Pernah mencoba bertahan, tapi tetap dihimpit oleh kesulitan yang tak kunjung reda.Naluri manusia akan tergesa-gesa menyimpulkan: “Ini buruk. Ini tidak adil.” Karena manusia memang ingin segalanya berjalan mulus, indah, dan sesuai harapan. Namun, Allah -dengan cinta dan hikmah-Nya yang tak terbatas- melihat segalanya dari sudut pandang yang lebih luas.Allah Ta’ala berfirman,وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ“Tetapi boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu; dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)Ayat ini turun terkait perintah jihad dan saat itu para sahabat berat untuk melaksanakannya karena akan menimbulkan keletihan, kehilangan harta, bahkan nyawa mereka. Meskipun demikian, jihad itu “murni kebaikan” yang mengandung pahala besar, kematian yang syahid, perlindungan dari penindasan, kemerdekaan, dan hasil duniawi (ghanimah). (Lihat Tafsir As-Sa’di, hal. 87)Dalam ayat yang lainnya Allah Ta’ala berfirman,فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا“Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19)Ayat kedua ini turun berkaitan dengan hubungan dalam rumah tangga. Tatkala ada seorang suami yang tidak suka dengan istrinya dalam salah satu atau beberapa sifat dan kebiasaan istrinya (kurang cantik, kurang menjaga kebersihan, kurang rajin, dan semisalnya), akan tetapi bisa jadi Allah akan limpahkan karunia yang banyak dari istrinya. Bisa jadi dari rahimnya akan lahir anak-anak saleh yang menjadi kebanggaan baginya di dunia dan akhirat.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ“Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (istri). Jika si pria tidak menyukai satu akhlak pada si wanita, hendaklah ia melihat sisi lain yang ia ridai.” (HR. Muslim, no. 1469)Jika seseorang mendapati pada istrinya hal yang tidak ia sukai dan ia benci, selama ia tidak melakukan perbuatan fahisyah (zina) dan nusyuz (pembangkangan), bersabarlah terhadap gangguannya dan tetaplah berbuat adil kepadanya karena bisa jadi seperti itu lebih baik baginya. (Lihat Ahkam Al-Qur’an, 1: 487)Al-Ghazali rahimahullah berkata,الصَّبْرُ عَلَى لِسَانِ النِّسَاءِ مِمَّا يُمْتَحَنُ بِهِ الأَوْلِيَاءُ“Bersabar dari kata-kata (menyakitkan) yang keluar dari mulut para istri adalah salah satu cobaan para wali.” (Ihya’ Ulum Ad-Diin, 2: 38)Ada hikmah di balik lukaDua ayat di atas (QS. Al-Baqarah: 216 dan QS. An-Nisa: 19) menggambarkan dua aspek kehidupan yang sangat berbeda, namun sama-sama mengandung ujian: ayat pertama berbicara tentang jihad di jalan Allah, sementara ayat kedua menyentuh tentang hubungan suami istri dalam rumah tangga.Dalam jihad, yang terasa berat adalah ujian fisik (rasa sakit, luka, bahkan kematian). Sedangkan dalam rumah tangga, yang menyakitkan sering kali bersifat batiniah (perasaan kecewa dan ekspektasi yang tidak terpenuhi). Namun, Allah mengingatkan bahwa bisa jadi sesuatu yang kita benci justru menyimpan kebaikan yang belum kita pahami.Kedua ayat tersebut mengajarkan kita bahwa di balik rasa sakit fisik maupun luka emosional, ada pelajaran yang mematangkan jiwa, ada hikmah yang memperindah hidup, dan ada mahabbah Allah yang senantiasa menyertai setiap langkah hamba-Nya yang bersabar.Allah yang Maha Mengetahui hendak menyampaikan pesan yang sama dalam kedua firman-Nya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu.” Kadang, yang pahit di awal adalah jalan menuju manisnya akhir. Kadang, air mata hari ini menjadi alasan senyum di masa depan.Baca juga: Cinta dan Benci Dalam IslamKisah nyata kebijaksanaan Allah terhadap para hamba-NyaSalah satu kisah nyata tentang kebijaksanaan Allah yang agung terhadap hamba-Nya adalah kisah Ibu Nabi Musa, yang hidup di masa kekuasaan Fir’aun. Saking takutnya Fir’aun akan kehilangan kekuasaannya, ia memerintahkan bala tentaranya agar setiap bayi laki-laki yang lahir untuk disembelih.Karena Ibu Nabi Musa takut dan khawatir akan nasib putranya, maka Allah ilhamkan kepadanya agar ia menghanyutkan Nabi Musa ke sungai. Bukankah yang paling ditakutkan Ibu Nabi Musa putranya jatuh ke tangan Fir’aun? Tetapi itulah yang terjadi, putranya terdampar di istana Fir’aun dan ia dirawat penuh kasih oleh istri Fir’aun.Tatkala dicarikan dan diadakan sayembara menyusui Nabi Musa, tidak ada satu pun yang dipilih (disukai) Nabi Musa kecuali Ibunya sendiri. Maka akhirnya Ibunya tinggal bersama Nabi Musa dalam keadaan aman dalam istana Fir’aun.Allah mengembalikan sang anak ke pangkuan ibunya dengan cara yang tak pernah terbayangkan, yang awalnya menjadi tempat paling berbahaya dan ditakuti, justru menjadi tempat yang paling aman.Lihatlah bagaimana ketika Allah menakdirkan sesuatu yang awalnya terlihat tidak disukai manusia, tetapi ada kebaikan besar di baliknya. Allah Ta’ala berfirman,وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ“Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa, “Susuilah dia; dan apabila kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (QS. Al-Qashash: 7)Tak semua yang menyakitkan itu buruk dan tak semua yang indah itu baik. Ukuran terbaik adalah apa yang Allah pilihkan dan tetapkan.Apa yang kita anggap musibah, bisa jadi adalah penjagaan dari keburukan. Apa yang terasa menyakitkan, bisa jadi adalah jalan menuju kebaikan yang lebih besar. Karena Allah, dengan segala kelembutan-Nya, tidak pernah keliru dalam menakar.Semoga tulisan singkat ini menjadi pengingat untuk kita semua.اللهم اجعلنا من الصابرين، وارضنا بما قسمت لنا، وبارك لنا في كل حال“Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang sabar, rida dengan segala ketetapan-Mu, dan berkahilah kami dalam setiap keadaan.”Baca juga: Musibah untuk Muhasabah***Penulis: Arif Muhammad NurwijayaArtikel Muslim.or.id Referensi:Qawaa’id Qur’aniyyah, karya Syekh Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil.
Daftar Isi ToggleBoleh jadi kita membenci sesuatu, padahal itu baik bagi kitaAda hikmah di balik lukaKisah nyata kebijaksanaan Allah terhadap para hamba-NyaBoleh jadi kita membenci sesuatu, padahal itu baik bagi kitaHidup di dunia ini tak selalu dihiasi dengan keindahan. Ada kalanya kita harus menapaki jalan yang terjal dan beban yang terasa berat untuk ditanggung. Kita pernah gagal dalam rencana yang kita susun rapi. Pernah berharap, tapi tak kunjung tercapai. Pernah mencintai, lalu kehilangan. Pernah mencoba bertahan, tapi tetap dihimpit oleh kesulitan yang tak kunjung reda.Naluri manusia akan tergesa-gesa menyimpulkan: “Ini buruk. Ini tidak adil.” Karena manusia memang ingin segalanya berjalan mulus, indah, dan sesuai harapan. Namun, Allah -dengan cinta dan hikmah-Nya yang tak terbatas- melihat segalanya dari sudut pandang yang lebih luas.Allah Ta’ala berfirman,وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ“Tetapi boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu; dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)Ayat ini turun terkait perintah jihad dan saat itu para sahabat berat untuk melaksanakannya karena akan menimbulkan keletihan, kehilangan harta, bahkan nyawa mereka. Meskipun demikian, jihad itu “murni kebaikan” yang mengandung pahala besar, kematian yang syahid, perlindungan dari penindasan, kemerdekaan, dan hasil duniawi (ghanimah). (Lihat Tafsir As-Sa’di, hal. 87)Dalam ayat yang lainnya Allah Ta’ala berfirman,فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا“Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19)Ayat kedua ini turun berkaitan dengan hubungan dalam rumah tangga. Tatkala ada seorang suami yang tidak suka dengan istrinya dalam salah satu atau beberapa sifat dan kebiasaan istrinya (kurang cantik, kurang menjaga kebersihan, kurang rajin, dan semisalnya), akan tetapi bisa jadi Allah akan limpahkan karunia yang banyak dari istrinya. Bisa jadi dari rahimnya akan lahir anak-anak saleh yang menjadi kebanggaan baginya di dunia dan akhirat.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ“Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (istri). Jika si pria tidak menyukai satu akhlak pada si wanita, hendaklah ia melihat sisi lain yang ia ridai.” (HR. Muslim, no. 1469)Jika seseorang mendapati pada istrinya hal yang tidak ia sukai dan ia benci, selama ia tidak melakukan perbuatan fahisyah (zina) dan nusyuz (pembangkangan), bersabarlah terhadap gangguannya dan tetaplah berbuat adil kepadanya karena bisa jadi seperti itu lebih baik baginya. (Lihat Ahkam Al-Qur’an, 1: 487)Al-Ghazali rahimahullah berkata,الصَّبْرُ عَلَى لِسَانِ النِّسَاءِ مِمَّا يُمْتَحَنُ بِهِ الأَوْلِيَاءُ“Bersabar dari kata-kata (menyakitkan) yang keluar dari mulut para istri adalah salah satu cobaan para wali.” (Ihya’ Ulum Ad-Diin, 2: 38)Ada hikmah di balik lukaDua ayat di atas (QS. Al-Baqarah: 216 dan QS. An-Nisa: 19) menggambarkan dua aspek kehidupan yang sangat berbeda, namun sama-sama mengandung ujian: ayat pertama berbicara tentang jihad di jalan Allah, sementara ayat kedua menyentuh tentang hubungan suami istri dalam rumah tangga.Dalam jihad, yang terasa berat adalah ujian fisik (rasa sakit, luka, bahkan kematian). Sedangkan dalam rumah tangga, yang menyakitkan sering kali bersifat batiniah (perasaan kecewa dan ekspektasi yang tidak terpenuhi). Namun, Allah mengingatkan bahwa bisa jadi sesuatu yang kita benci justru menyimpan kebaikan yang belum kita pahami.Kedua ayat tersebut mengajarkan kita bahwa di balik rasa sakit fisik maupun luka emosional, ada pelajaran yang mematangkan jiwa, ada hikmah yang memperindah hidup, dan ada mahabbah Allah yang senantiasa menyertai setiap langkah hamba-Nya yang bersabar.Allah yang Maha Mengetahui hendak menyampaikan pesan yang sama dalam kedua firman-Nya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu.” Kadang, yang pahit di awal adalah jalan menuju manisnya akhir. Kadang, air mata hari ini menjadi alasan senyum di masa depan.Baca juga: Cinta dan Benci Dalam IslamKisah nyata kebijaksanaan Allah terhadap para hamba-NyaSalah satu kisah nyata tentang kebijaksanaan Allah yang agung terhadap hamba-Nya adalah kisah Ibu Nabi Musa, yang hidup di masa kekuasaan Fir’aun. Saking takutnya Fir’aun akan kehilangan kekuasaannya, ia memerintahkan bala tentaranya agar setiap bayi laki-laki yang lahir untuk disembelih.Karena Ibu Nabi Musa takut dan khawatir akan nasib putranya, maka Allah ilhamkan kepadanya agar ia menghanyutkan Nabi Musa ke sungai. Bukankah yang paling ditakutkan Ibu Nabi Musa putranya jatuh ke tangan Fir’aun? Tetapi itulah yang terjadi, putranya terdampar di istana Fir’aun dan ia dirawat penuh kasih oleh istri Fir’aun.Tatkala dicarikan dan diadakan sayembara menyusui Nabi Musa, tidak ada satu pun yang dipilih (disukai) Nabi Musa kecuali Ibunya sendiri. Maka akhirnya Ibunya tinggal bersama Nabi Musa dalam keadaan aman dalam istana Fir’aun.Allah mengembalikan sang anak ke pangkuan ibunya dengan cara yang tak pernah terbayangkan, yang awalnya menjadi tempat paling berbahaya dan ditakuti, justru menjadi tempat yang paling aman.Lihatlah bagaimana ketika Allah menakdirkan sesuatu yang awalnya terlihat tidak disukai manusia, tetapi ada kebaikan besar di baliknya. Allah Ta’ala berfirman,وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ“Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa, “Susuilah dia; dan apabila kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (QS. Al-Qashash: 7)Tak semua yang menyakitkan itu buruk dan tak semua yang indah itu baik. Ukuran terbaik adalah apa yang Allah pilihkan dan tetapkan.Apa yang kita anggap musibah, bisa jadi adalah penjagaan dari keburukan. Apa yang terasa menyakitkan, bisa jadi adalah jalan menuju kebaikan yang lebih besar. Karena Allah, dengan segala kelembutan-Nya, tidak pernah keliru dalam menakar.Semoga tulisan singkat ini menjadi pengingat untuk kita semua.اللهم اجعلنا من الصابرين، وارضنا بما قسمت لنا، وبارك لنا في كل حال“Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang sabar, rida dengan segala ketetapan-Mu, dan berkahilah kami dalam setiap keadaan.”Baca juga: Musibah untuk Muhasabah***Penulis: Arif Muhammad NurwijayaArtikel Muslim.or.id Referensi:Qawaa’id Qur’aniyyah, karya Syekh Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil.


Daftar Isi ToggleBoleh jadi kita membenci sesuatu, padahal itu baik bagi kitaAda hikmah di balik lukaKisah nyata kebijaksanaan Allah terhadap para hamba-NyaBoleh jadi kita membenci sesuatu, padahal itu baik bagi kitaHidup di dunia ini tak selalu dihiasi dengan keindahan. Ada kalanya kita harus menapaki jalan yang terjal dan beban yang terasa berat untuk ditanggung. Kita pernah gagal dalam rencana yang kita susun rapi. Pernah berharap, tapi tak kunjung tercapai. Pernah mencintai, lalu kehilangan. Pernah mencoba bertahan, tapi tetap dihimpit oleh kesulitan yang tak kunjung reda.Naluri manusia akan tergesa-gesa menyimpulkan: “Ini buruk. Ini tidak adil.” Karena manusia memang ingin segalanya berjalan mulus, indah, dan sesuai harapan. Namun, Allah -dengan cinta dan hikmah-Nya yang tak terbatas- melihat segalanya dari sudut pandang yang lebih luas.Allah Ta’ala berfirman,وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ“Tetapi boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu; dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)Ayat ini turun terkait perintah jihad dan saat itu para sahabat berat untuk melaksanakannya karena akan menimbulkan keletihan, kehilangan harta, bahkan nyawa mereka. Meskipun demikian, jihad itu “murni kebaikan” yang mengandung pahala besar, kematian yang syahid, perlindungan dari penindasan, kemerdekaan, dan hasil duniawi (ghanimah). (Lihat Tafsir As-Sa’di, hal. 87)Dalam ayat yang lainnya Allah Ta’ala berfirman,فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا“Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19)Ayat kedua ini turun berkaitan dengan hubungan dalam rumah tangga. Tatkala ada seorang suami yang tidak suka dengan istrinya dalam salah satu atau beberapa sifat dan kebiasaan istrinya (kurang cantik, kurang menjaga kebersihan, kurang rajin, dan semisalnya), akan tetapi bisa jadi Allah akan limpahkan karunia yang banyak dari istrinya. Bisa jadi dari rahimnya akan lahir anak-anak saleh yang menjadi kebanggaan baginya di dunia dan akhirat.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ“Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (istri). Jika si pria tidak menyukai satu akhlak pada si wanita, hendaklah ia melihat sisi lain yang ia ridai.” (HR. Muslim, no. 1469)Jika seseorang mendapati pada istrinya hal yang tidak ia sukai dan ia benci, selama ia tidak melakukan perbuatan fahisyah (zina) dan nusyuz (pembangkangan), bersabarlah terhadap gangguannya dan tetaplah berbuat adil kepadanya karena bisa jadi seperti itu lebih baik baginya. (Lihat Ahkam Al-Qur’an, 1: 487)Al-Ghazali rahimahullah berkata,الصَّبْرُ عَلَى لِسَانِ النِّسَاءِ مِمَّا يُمْتَحَنُ بِهِ الأَوْلِيَاءُ“Bersabar dari kata-kata (menyakitkan) yang keluar dari mulut para istri adalah salah satu cobaan para wali.” (Ihya’ Ulum Ad-Diin, 2: 38)Ada hikmah di balik lukaDua ayat di atas (QS. Al-Baqarah: 216 dan QS. An-Nisa: 19) menggambarkan dua aspek kehidupan yang sangat berbeda, namun sama-sama mengandung ujian: ayat pertama berbicara tentang jihad di jalan Allah, sementara ayat kedua menyentuh tentang hubungan suami istri dalam rumah tangga.Dalam jihad, yang terasa berat adalah ujian fisik (rasa sakit, luka, bahkan kematian). Sedangkan dalam rumah tangga, yang menyakitkan sering kali bersifat batiniah (perasaan kecewa dan ekspektasi yang tidak terpenuhi). Namun, Allah mengingatkan bahwa bisa jadi sesuatu yang kita benci justru menyimpan kebaikan yang belum kita pahami.Kedua ayat tersebut mengajarkan kita bahwa di balik rasa sakit fisik maupun luka emosional, ada pelajaran yang mematangkan jiwa, ada hikmah yang memperindah hidup, dan ada mahabbah Allah yang senantiasa menyertai setiap langkah hamba-Nya yang bersabar.Allah yang Maha Mengetahui hendak menyampaikan pesan yang sama dalam kedua firman-Nya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu.” Kadang, yang pahit di awal adalah jalan menuju manisnya akhir. Kadang, air mata hari ini menjadi alasan senyum di masa depan.Baca juga: Cinta dan Benci Dalam IslamKisah nyata kebijaksanaan Allah terhadap para hamba-NyaSalah satu kisah nyata tentang kebijaksanaan Allah yang agung terhadap hamba-Nya adalah kisah Ibu Nabi Musa, yang hidup di masa kekuasaan Fir’aun. Saking takutnya Fir’aun akan kehilangan kekuasaannya, ia memerintahkan bala tentaranya agar setiap bayi laki-laki yang lahir untuk disembelih.Karena Ibu Nabi Musa takut dan khawatir akan nasib putranya, maka Allah ilhamkan kepadanya agar ia menghanyutkan Nabi Musa ke sungai. Bukankah yang paling ditakutkan Ibu Nabi Musa putranya jatuh ke tangan Fir’aun? Tetapi itulah yang terjadi, putranya terdampar di istana Fir’aun dan ia dirawat penuh kasih oleh istri Fir’aun.Tatkala dicarikan dan diadakan sayembara menyusui Nabi Musa, tidak ada satu pun yang dipilih (disukai) Nabi Musa kecuali Ibunya sendiri. Maka akhirnya Ibunya tinggal bersama Nabi Musa dalam keadaan aman dalam istana Fir’aun.Allah mengembalikan sang anak ke pangkuan ibunya dengan cara yang tak pernah terbayangkan, yang awalnya menjadi tempat paling berbahaya dan ditakuti, justru menjadi tempat yang paling aman.Lihatlah bagaimana ketika Allah menakdirkan sesuatu yang awalnya terlihat tidak disukai manusia, tetapi ada kebaikan besar di baliknya. Allah Ta’ala berfirman,وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ“Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa, “Susuilah dia; dan apabila kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (QS. Al-Qashash: 7)Tak semua yang menyakitkan itu buruk dan tak semua yang indah itu baik. Ukuran terbaik adalah apa yang Allah pilihkan dan tetapkan.Apa yang kita anggap musibah, bisa jadi adalah penjagaan dari keburukan. Apa yang terasa menyakitkan, bisa jadi adalah jalan menuju kebaikan yang lebih besar. Karena Allah, dengan segala kelembutan-Nya, tidak pernah keliru dalam menakar.Semoga tulisan singkat ini menjadi pengingat untuk kita semua.اللهم اجعلنا من الصابرين، وارضنا بما قسمت لنا، وبارك لنا في كل حال“Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang sabar, rida dengan segala ketetapan-Mu, dan berkahilah kami dalam setiap keadaan.”Baca juga: Musibah untuk Muhasabah***Penulis: Arif Muhammad NurwijayaArtikel Muslim.or.id Referensi:Qawaa’id Qur’aniyyah, karya Syekh Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil.

Doa Mustajab Penghapus Dosa: Dibaca di Sujud atau Sebelum Salam – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dari Abdullah bin Amr radhiyallāhu ‘anhumā, bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallāhu ‘anhu berkata: Aku pernah berkata, “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku doa yang dapat aku baca dalam shalatku.” Lalu Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Ucapkanlah: ALLAAHUMMA INNII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIRON WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA FAGHFIR LII MAGHFIROTAN MIN ‘INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHOFUURUR ROHIIMYa Allah, wahai Tuhanku! Sungguh aku telah banyak menzalimi diriku sendiri, dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau,Maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu,dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Doa ini adalah wasiat Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallāhu ‘anhu, juga merupakan wasiat bagi seluruh umat Islam. Oleh karena itu, wahai saudaraku Muslim dan Muslimah, apabila kamu sedang shalat, ketika tasyahud akhir, dan telah membaca bacaan tasyahud, lalu kamu bershalawat kepada Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam, lalu kamu berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla memohon kebaikan dunia dan akhirat. Sebagaimana disebutkan dalam hadis: “…lalu hendaklah ia memilih doa yang paling disukainya.” Adapun di antara doa paling agung yang seharusnya dijaga oleh seorang Muslim, dalam setiap shalat yang ia kerjakan—baik shalat wajib maupun shalat sunnah—adalah doa ini. Kamu ucapkan: ALLAAHUMMA INNII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIRON WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA FAGHFIR LII MAGHFIROTAN MIN ‘INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHOFUURUR ROHIIMYa Allah, wahai Tuhanku! Sungguh aku telah banyak menzalimi diriku sendiri, dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, Maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu,dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Doa ini diawali dengan pengakuan seorang hamba atas kezaliman yang ia lakukan terhadap dirinya sendiri. Yaitu dengan maksiat-maksiat yang dia kerjakan. Karena dengan melakukan maksiat, seseorang telah menzalimi dirinya sendiri. Sebab dia telah mengedepankan syahwatnya yang sedang bergejolak, di sisi lain, dia melewatkan banyak kemaslahatan bagi dirinya dan menjerumuskan dirinya ke dalam ancaman siksa. Dengan demikian, dia telah menzalimi dirinya sendiri. “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah banyak menzalimi diriku,” artinya: aku telah terjatuh dalam banyak dosa. “Tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.” Ini merupakan pengakuan dari seorang hamba bahwa hanya Allah ‘Azza wa Jalla yang dapat mengampuni dosa-dosa. Sebagaimana firman Allah Subhānahu wa Ta‘ālā: “Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka segera mengingat Allah…” “…lalu memohon ampun atas dosa-dosanya, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah?” “Dan mereka tidak terus-menerus mengerjakan dosa itu, padahal mereka mengetahui.” (QS. Āli ‘Imrān: 135) Maka dalam doa ini kamu mengucapkan: “Tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.” “Maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu.” Kamu memohon ampunan kepada Allah. Ampunan itu kamu minta agar datang langsung dari sisi-Nya. Maksudnya: ampunan yang besar dan luas, karena datang dari Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta‘ālā adalah Al-Ghafūr dan Al-Ghaffār (Maha Pengampun), serta Maha Luas ampunan-Nya. “Rahmatilah aku.” Kamu memohon kepada Allah agar Dia menganugerahkan rahmat-Nya kepadamu, serta mengaruniakan kasih sayang dari sisi-Nya kepadamu. “Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Ini adalah doa agung yang hendaknya senantiasa dibaca oleh seorang Muslim dalam setiap shalat yang dia kerjakan, baik itu shalat fardhu maupun shalat sunnah. ===== جَاءَ فِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلِّمْنِي دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِي صَلَاتِي فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ هَذَا الدُّعَاءُ أَوْصَى بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهِيَ وَصِيَّةٌ لِلْأُمَّةِ جَمِيعًا فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمَ وَأُخْتِي الْمُسْلِمَةَ إِذَا كُنْتَ فِي صَلَاتِكَ فِي التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ أَتَيْتَ بِالتَّشَهُّدِ ثُمَّ أَتَيْتَ بِالصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ تَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِمَا يَحْضُرُكَ مِنْ خَيْرَي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ ثُمَّ لِيَتَخَيَّر مِنَ الدُّعَاءِ مَا أَعْجَبَهُ وَمِنْ أَعْظَمِ الْأَدْعِيَةِ الَّتِي يَنْبَغِي أَنْ يُحَافِظَ عَلَيْهَا الْمُسْلِمُ فِي كُلِّ صَلَاةٍ يُصَلِّيهَا فَرِيضَةً كَانَتْ أَوْ نَافِلَةً هَذَا الدُّعَاءُ الْعَظِيمُ وَهُوَ أَنْ تَقُولَ اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ فَهَذَا الدُّعَاءُ يَبْتَدِئُ أَوَّلًا بِأَنْ يُظْهِرَ الْعَبْدُ ظُلْمَهُ لِنَفْسِهِ وَذَلِكَ بِارْتِكَابِ الْمَعَاصِي فَإِنَّ الْإِنْسَانَ بِارْتِكَابِهِ الْمَعْصِيَةَ يَكُونَ قَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لِكَوْنِهِ قَدْ قَدَّمَ لَهَا شَهْوَةً حَاضِرَةً مُقَابِلَ تَفْوِيتِهَا مَصَالِحَ عَظِيمَةً وَمُقَابِلَ تَعْرِيضِهَا لِلْعُقُوبَةِ فَهُوَ بِهَذَا يَكُونُ قَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا يَعْنِي وَقَعْتُ فِي ذُنُوبٍ كَثِيرَةٍ وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ هَذَا إِقْرَارٌ مِنَ الْعَبْدِ بِأَنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ كَمَا قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ فَتَقُولُ وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ تَسْأَلُ اللَّهَ الْمَغْفِرَةَ وَهَذِهِ الْمَغْفِرَةُ تَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تَكُونَ مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِهِ يَعْنِي مَغْفِرَةً عَظِيمَةً وَاسِعَةً لِأَنَّهَا مَغْفِرَةٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاللَّهُ تَعَالَى هُوَ الْغَفُورُ الْغَفَّارُ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ وَارْحَمْنِي تَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى أَنْ يَرْحَمَكَ وَأَنْ يَهَبَ لَكَ رَحْمَةً مِنْ لَدُنْهُ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ فَهَذَا الدُّعَاءُ دُعَاءٌ عَظِيمٌ يَنْبَغِي أَنْ يُحَافِظَ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُ فِي كُلِّ صَلَاةٍ يُصَلِّيهَا فَرِيضَةً كَانَتْ أَوْ نَافِلَةً

Doa Mustajab Penghapus Dosa: Dibaca di Sujud atau Sebelum Salam – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dari Abdullah bin Amr radhiyallāhu ‘anhumā, bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallāhu ‘anhu berkata: Aku pernah berkata, “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku doa yang dapat aku baca dalam shalatku.” Lalu Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Ucapkanlah: ALLAAHUMMA INNII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIRON WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA FAGHFIR LII MAGHFIROTAN MIN ‘INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHOFUURUR ROHIIMYa Allah, wahai Tuhanku! Sungguh aku telah banyak menzalimi diriku sendiri, dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau,Maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu,dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Doa ini adalah wasiat Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallāhu ‘anhu, juga merupakan wasiat bagi seluruh umat Islam. Oleh karena itu, wahai saudaraku Muslim dan Muslimah, apabila kamu sedang shalat, ketika tasyahud akhir, dan telah membaca bacaan tasyahud, lalu kamu bershalawat kepada Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam, lalu kamu berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla memohon kebaikan dunia dan akhirat. Sebagaimana disebutkan dalam hadis: “…lalu hendaklah ia memilih doa yang paling disukainya.” Adapun di antara doa paling agung yang seharusnya dijaga oleh seorang Muslim, dalam setiap shalat yang ia kerjakan—baik shalat wajib maupun shalat sunnah—adalah doa ini. Kamu ucapkan: ALLAAHUMMA INNII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIRON WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA FAGHFIR LII MAGHFIROTAN MIN ‘INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHOFUURUR ROHIIMYa Allah, wahai Tuhanku! Sungguh aku telah banyak menzalimi diriku sendiri, dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, Maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu,dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Doa ini diawali dengan pengakuan seorang hamba atas kezaliman yang ia lakukan terhadap dirinya sendiri. Yaitu dengan maksiat-maksiat yang dia kerjakan. Karena dengan melakukan maksiat, seseorang telah menzalimi dirinya sendiri. Sebab dia telah mengedepankan syahwatnya yang sedang bergejolak, di sisi lain, dia melewatkan banyak kemaslahatan bagi dirinya dan menjerumuskan dirinya ke dalam ancaman siksa. Dengan demikian, dia telah menzalimi dirinya sendiri. “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah banyak menzalimi diriku,” artinya: aku telah terjatuh dalam banyak dosa. “Tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.” Ini merupakan pengakuan dari seorang hamba bahwa hanya Allah ‘Azza wa Jalla yang dapat mengampuni dosa-dosa. Sebagaimana firman Allah Subhānahu wa Ta‘ālā: “Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka segera mengingat Allah…” “…lalu memohon ampun atas dosa-dosanya, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah?” “Dan mereka tidak terus-menerus mengerjakan dosa itu, padahal mereka mengetahui.” (QS. Āli ‘Imrān: 135) Maka dalam doa ini kamu mengucapkan: “Tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.” “Maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu.” Kamu memohon ampunan kepada Allah. Ampunan itu kamu minta agar datang langsung dari sisi-Nya. Maksudnya: ampunan yang besar dan luas, karena datang dari Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta‘ālā adalah Al-Ghafūr dan Al-Ghaffār (Maha Pengampun), serta Maha Luas ampunan-Nya. “Rahmatilah aku.” Kamu memohon kepada Allah agar Dia menganugerahkan rahmat-Nya kepadamu, serta mengaruniakan kasih sayang dari sisi-Nya kepadamu. “Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Ini adalah doa agung yang hendaknya senantiasa dibaca oleh seorang Muslim dalam setiap shalat yang dia kerjakan, baik itu shalat fardhu maupun shalat sunnah. ===== جَاءَ فِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلِّمْنِي دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِي صَلَاتِي فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ هَذَا الدُّعَاءُ أَوْصَى بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهِيَ وَصِيَّةٌ لِلْأُمَّةِ جَمِيعًا فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمَ وَأُخْتِي الْمُسْلِمَةَ إِذَا كُنْتَ فِي صَلَاتِكَ فِي التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ أَتَيْتَ بِالتَّشَهُّدِ ثُمَّ أَتَيْتَ بِالصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ تَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِمَا يَحْضُرُكَ مِنْ خَيْرَي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ ثُمَّ لِيَتَخَيَّر مِنَ الدُّعَاءِ مَا أَعْجَبَهُ وَمِنْ أَعْظَمِ الْأَدْعِيَةِ الَّتِي يَنْبَغِي أَنْ يُحَافِظَ عَلَيْهَا الْمُسْلِمُ فِي كُلِّ صَلَاةٍ يُصَلِّيهَا فَرِيضَةً كَانَتْ أَوْ نَافِلَةً هَذَا الدُّعَاءُ الْعَظِيمُ وَهُوَ أَنْ تَقُولَ اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ فَهَذَا الدُّعَاءُ يَبْتَدِئُ أَوَّلًا بِأَنْ يُظْهِرَ الْعَبْدُ ظُلْمَهُ لِنَفْسِهِ وَذَلِكَ بِارْتِكَابِ الْمَعَاصِي فَإِنَّ الْإِنْسَانَ بِارْتِكَابِهِ الْمَعْصِيَةَ يَكُونَ قَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لِكَوْنِهِ قَدْ قَدَّمَ لَهَا شَهْوَةً حَاضِرَةً مُقَابِلَ تَفْوِيتِهَا مَصَالِحَ عَظِيمَةً وَمُقَابِلَ تَعْرِيضِهَا لِلْعُقُوبَةِ فَهُوَ بِهَذَا يَكُونُ قَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا يَعْنِي وَقَعْتُ فِي ذُنُوبٍ كَثِيرَةٍ وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ هَذَا إِقْرَارٌ مِنَ الْعَبْدِ بِأَنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ كَمَا قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ فَتَقُولُ وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ تَسْأَلُ اللَّهَ الْمَغْفِرَةَ وَهَذِهِ الْمَغْفِرَةُ تَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تَكُونَ مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِهِ يَعْنِي مَغْفِرَةً عَظِيمَةً وَاسِعَةً لِأَنَّهَا مَغْفِرَةٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاللَّهُ تَعَالَى هُوَ الْغَفُورُ الْغَفَّارُ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ وَارْحَمْنِي تَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى أَنْ يَرْحَمَكَ وَأَنْ يَهَبَ لَكَ رَحْمَةً مِنْ لَدُنْهُ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ فَهَذَا الدُّعَاءُ دُعَاءٌ عَظِيمٌ يَنْبَغِي أَنْ يُحَافِظَ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُ فِي كُلِّ صَلَاةٍ يُصَلِّيهَا فَرِيضَةً كَانَتْ أَوْ نَافِلَةً
Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dari Abdullah bin Amr radhiyallāhu ‘anhumā, bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallāhu ‘anhu berkata: Aku pernah berkata, “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku doa yang dapat aku baca dalam shalatku.” Lalu Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Ucapkanlah: ALLAAHUMMA INNII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIRON WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA FAGHFIR LII MAGHFIROTAN MIN ‘INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHOFUURUR ROHIIMYa Allah, wahai Tuhanku! Sungguh aku telah banyak menzalimi diriku sendiri, dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau,Maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu,dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Doa ini adalah wasiat Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallāhu ‘anhu, juga merupakan wasiat bagi seluruh umat Islam. Oleh karena itu, wahai saudaraku Muslim dan Muslimah, apabila kamu sedang shalat, ketika tasyahud akhir, dan telah membaca bacaan tasyahud, lalu kamu bershalawat kepada Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam, lalu kamu berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla memohon kebaikan dunia dan akhirat. Sebagaimana disebutkan dalam hadis: “…lalu hendaklah ia memilih doa yang paling disukainya.” Adapun di antara doa paling agung yang seharusnya dijaga oleh seorang Muslim, dalam setiap shalat yang ia kerjakan—baik shalat wajib maupun shalat sunnah—adalah doa ini. Kamu ucapkan: ALLAAHUMMA INNII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIRON WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA FAGHFIR LII MAGHFIROTAN MIN ‘INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHOFUURUR ROHIIMYa Allah, wahai Tuhanku! Sungguh aku telah banyak menzalimi diriku sendiri, dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, Maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu,dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Doa ini diawali dengan pengakuan seorang hamba atas kezaliman yang ia lakukan terhadap dirinya sendiri. Yaitu dengan maksiat-maksiat yang dia kerjakan. Karena dengan melakukan maksiat, seseorang telah menzalimi dirinya sendiri. Sebab dia telah mengedepankan syahwatnya yang sedang bergejolak, di sisi lain, dia melewatkan banyak kemaslahatan bagi dirinya dan menjerumuskan dirinya ke dalam ancaman siksa. Dengan demikian, dia telah menzalimi dirinya sendiri. “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah banyak menzalimi diriku,” artinya: aku telah terjatuh dalam banyak dosa. “Tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.” Ini merupakan pengakuan dari seorang hamba bahwa hanya Allah ‘Azza wa Jalla yang dapat mengampuni dosa-dosa. Sebagaimana firman Allah Subhānahu wa Ta‘ālā: “Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka segera mengingat Allah…” “…lalu memohon ampun atas dosa-dosanya, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah?” “Dan mereka tidak terus-menerus mengerjakan dosa itu, padahal mereka mengetahui.” (QS. Āli ‘Imrān: 135) Maka dalam doa ini kamu mengucapkan: “Tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.” “Maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu.” Kamu memohon ampunan kepada Allah. Ampunan itu kamu minta agar datang langsung dari sisi-Nya. Maksudnya: ampunan yang besar dan luas, karena datang dari Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta‘ālā adalah Al-Ghafūr dan Al-Ghaffār (Maha Pengampun), serta Maha Luas ampunan-Nya. “Rahmatilah aku.” Kamu memohon kepada Allah agar Dia menganugerahkan rahmat-Nya kepadamu, serta mengaruniakan kasih sayang dari sisi-Nya kepadamu. “Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Ini adalah doa agung yang hendaknya senantiasa dibaca oleh seorang Muslim dalam setiap shalat yang dia kerjakan, baik itu shalat fardhu maupun shalat sunnah. ===== جَاءَ فِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلِّمْنِي دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِي صَلَاتِي فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ هَذَا الدُّعَاءُ أَوْصَى بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهِيَ وَصِيَّةٌ لِلْأُمَّةِ جَمِيعًا فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمَ وَأُخْتِي الْمُسْلِمَةَ إِذَا كُنْتَ فِي صَلَاتِكَ فِي التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ أَتَيْتَ بِالتَّشَهُّدِ ثُمَّ أَتَيْتَ بِالصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ تَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِمَا يَحْضُرُكَ مِنْ خَيْرَي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ ثُمَّ لِيَتَخَيَّر مِنَ الدُّعَاءِ مَا أَعْجَبَهُ وَمِنْ أَعْظَمِ الْأَدْعِيَةِ الَّتِي يَنْبَغِي أَنْ يُحَافِظَ عَلَيْهَا الْمُسْلِمُ فِي كُلِّ صَلَاةٍ يُصَلِّيهَا فَرِيضَةً كَانَتْ أَوْ نَافِلَةً هَذَا الدُّعَاءُ الْعَظِيمُ وَهُوَ أَنْ تَقُولَ اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ فَهَذَا الدُّعَاءُ يَبْتَدِئُ أَوَّلًا بِأَنْ يُظْهِرَ الْعَبْدُ ظُلْمَهُ لِنَفْسِهِ وَذَلِكَ بِارْتِكَابِ الْمَعَاصِي فَإِنَّ الْإِنْسَانَ بِارْتِكَابِهِ الْمَعْصِيَةَ يَكُونَ قَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لِكَوْنِهِ قَدْ قَدَّمَ لَهَا شَهْوَةً حَاضِرَةً مُقَابِلَ تَفْوِيتِهَا مَصَالِحَ عَظِيمَةً وَمُقَابِلَ تَعْرِيضِهَا لِلْعُقُوبَةِ فَهُوَ بِهَذَا يَكُونُ قَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا يَعْنِي وَقَعْتُ فِي ذُنُوبٍ كَثِيرَةٍ وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ هَذَا إِقْرَارٌ مِنَ الْعَبْدِ بِأَنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ كَمَا قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ فَتَقُولُ وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ تَسْأَلُ اللَّهَ الْمَغْفِرَةَ وَهَذِهِ الْمَغْفِرَةُ تَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تَكُونَ مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِهِ يَعْنِي مَغْفِرَةً عَظِيمَةً وَاسِعَةً لِأَنَّهَا مَغْفِرَةٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاللَّهُ تَعَالَى هُوَ الْغَفُورُ الْغَفَّارُ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ وَارْحَمْنِي تَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى أَنْ يَرْحَمَكَ وَأَنْ يَهَبَ لَكَ رَحْمَةً مِنْ لَدُنْهُ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ فَهَذَا الدُّعَاءُ دُعَاءٌ عَظِيمٌ يَنْبَغِي أَنْ يُحَافِظَ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُ فِي كُلِّ صَلَاةٍ يُصَلِّيهَا فَرِيضَةً كَانَتْ أَوْ نَافِلَةً


Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dari Abdullah bin Amr radhiyallāhu ‘anhumā, bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallāhu ‘anhu berkata: Aku pernah berkata, “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku doa yang dapat aku baca dalam shalatku.” Lalu Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Ucapkanlah: ALLAAHUMMA INNII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIRON WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA FAGHFIR LII MAGHFIROTAN MIN ‘INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHOFUURUR ROHIIMYa Allah, wahai Tuhanku! Sungguh aku telah banyak menzalimi diriku sendiri, dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau,Maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu,dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Doa ini adalah wasiat Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallāhu ‘anhu, juga merupakan wasiat bagi seluruh umat Islam. Oleh karena itu, wahai saudaraku Muslim dan Muslimah, apabila kamu sedang shalat, ketika tasyahud akhir, dan telah membaca bacaan tasyahud, lalu kamu bershalawat kepada Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam, lalu kamu berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla memohon kebaikan dunia dan akhirat. Sebagaimana disebutkan dalam hadis: “…lalu hendaklah ia memilih doa yang paling disukainya.” Adapun di antara doa paling agung yang seharusnya dijaga oleh seorang Muslim, dalam setiap shalat yang ia kerjakan—baik shalat wajib maupun shalat sunnah—adalah doa ini. Kamu ucapkan: ALLAAHUMMA INNII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIRON WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA FAGHFIR LII MAGHFIROTAN MIN ‘INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHOFUURUR ROHIIMYa Allah, wahai Tuhanku! Sungguh aku telah banyak menzalimi diriku sendiri, dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, Maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu,dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Doa ini diawali dengan pengakuan seorang hamba atas kezaliman yang ia lakukan terhadap dirinya sendiri. Yaitu dengan maksiat-maksiat yang dia kerjakan. Karena dengan melakukan maksiat, seseorang telah menzalimi dirinya sendiri. Sebab dia telah mengedepankan syahwatnya yang sedang bergejolak, di sisi lain, dia melewatkan banyak kemaslahatan bagi dirinya dan menjerumuskan dirinya ke dalam ancaman siksa. Dengan demikian, dia telah menzalimi dirinya sendiri. “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah banyak menzalimi diriku,” artinya: aku telah terjatuh dalam banyak dosa. “Tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.” Ini merupakan pengakuan dari seorang hamba bahwa hanya Allah ‘Azza wa Jalla yang dapat mengampuni dosa-dosa. Sebagaimana firman Allah Subhānahu wa Ta‘ālā: “Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka segera mengingat Allah…” “…lalu memohon ampun atas dosa-dosanya, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah?” “Dan mereka tidak terus-menerus mengerjakan dosa itu, padahal mereka mengetahui.” (QS. Āli ‘Imrān: 135) Maka dalam doa ini kamu mengucapkan: “Tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.” “Maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu.” Kamu memohon ampunan kepada Allah. Ampunan itu kamu minta agar datang langsung dari sisi-Nya. Maksudnya: ampunan yang besar dan luas, karena datang dari Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta‘ālā adalah Al-Ghafūr dan Al-Ghaffār (Maha Pengampun), serta Maha Luas ampunan-Nya. “Rahmatilah aku.” Kamu memohon kepada Allah agar Dia menganugerahkan rahmat-Nya kepadamu, serta mengaruniakan kasih sayang dari sisi-Nya kepadamu. “Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Ini adalah doa agung yang hendaknya senantiasa dibaca oleh seorang Muslim dalam setiap shalat yang dia kerjakan, baik itu shalat fardhu maupun shalat sunnah. ===== جَاءَ فِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلِّمْنِي دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِي صَلَاتِي فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ هَذَا الدُّعَاءُ أَوْصَى بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهِيَ وَصِيَّةٌ لِلْأُمَّةِ جَمِيعًا فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمَ وَأُخْتِي الْمُسْلِمَةَ إِذَا كُنْتَ فِي صَلَاتِكَ فِي التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ أَتَيْتَ بِالتَّشَهُّدِ ثُمَّ أَتَيْتَ بِالصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ تَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِمَا يَحْضُرُكَ مِنْ خَيْرَي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ ثُمَّ لِيَتَخَيَّر مِنَ الدُّعَاءِ مَا أَعْجَبَهُ وَمِنْ أَعْظَمِ الْأَدْعِيَةِ الَّتِي يَنْبَغِي أَنْ يُحَافِظَ عَلَيْهَا الْمُسْلِمُ فِي كُلِّ صَلَاةٍ يُصَلِّيهَا فَرِيضَةً كَانَتْ أَوْ نَافِلَةً هَذَا الدُّعَاءُ الْعَظِيمُ وَهُوَ أَنْ تَقُولَ اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ فَهَذَا الدُّعَاءُ يَبْتَدِئُ أَوَّلًا بِأَنْ يُظْهِرَ الْعَبْدُ ظُلْمَهُ لِنَفْسِهِ وَذَلِكَ بِارْتِكَابِ الْمَعَاصِي فَإِنَّ الْإِنْسَانَ بِارْتِكَابِهِ الْمَعْصِيَةَ يَكُونَ قَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لِكَوْنِهِ قَدْ قَدَّمَ لَهَا شَهْوَةً حَاضِرَةً مُقَابِلَ تَفْوِيتِهَا مَصَالِحَ عَظِيمَةً وَمُقَابِلَ تَعْرِيضِهَا لِلْعُقُوبَةِ فَهُوَ بِهَذَا يَكُونُ قَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا يَعْنِي وَقَعْتُ فِي ذُنُوبٍ كَثِيرَةٍ وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ هَذَا إِقْرَارٌ مِنَ الْعَبْدِ بِأَنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ كَمَا قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ فَتَقُولُ وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ تَسْأَلُ اللَّهَ الْمَغْفِرَةَ وَهَذِهِ الْمَغْفِرَةُ تَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تَكُونَ مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِهِ يَعْنِي مَغْفِرَةً عَظِيمَةً وَاسِعَةً لِأَنَّهَا مَغْفِرَةٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاللَّهُ تَعَالَى هُوَ الْغَفُورُ الْغَفَّارُ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ وَارْحَمْنِي تَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى أَنْ يَرْحَمَكَ وَأَنْ يَهَبَ لَكَ رَحْمَةً مِنْ لَدُنْهُ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ فَهَذَا الدُّعَاءُ دُعَاءٌ عَظِيمٌ يَنْبَغِي أَنْ يُحَافِظَ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُ فِي كُلِّ صَلَاةٍ يُصَلِّيهَا فَرِيضَةً كَانَتْ أَوْ نَافِلَةً
Prev     Next