Bagian 4: Overdosis bergaul
Bismillah. Walhamdulillah.
Segala bentuk pujian dan syukur hanya berhak diperuntukkan untuk-Nya saja. Tuhan semesta alam yang telah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial. Hal ini ditandai dengan beragamnya etnis, suku, bangsa, budaya, bahasa, dan adat seluruh manusia, pun dengan watak dan sifat yang berbeda satu dengan lainnya.
Sifat sosial manusia dengan keberagaman yang ada menuntut manusia untuk selalu dapat berinteraksi, baik aktif maupun pasif, sebagai sebuah keniscayaan yang tidak terhindarkan. Bersosial, bergaul dengan orang-orang, berkumpul, bercengkerama, dan tertawa bersama, pada hakikatnya tidak pernah menjadi sesuatu yang tabu atau salah, bahkan itu hal yang diperlukan oleh manusia, siapa pun itu. Akan tetapi, hal itu bisa menjadi penyebab hati menjadi sakit. Kapan? Ketika berlebihan. Overdosis.
Biasanya, seseorang ketika penat dengan pekerjaan, atau capek dengan kesehariannya, ia akan berkumpul dengan teman-temannya, main, bercerita, jalan-jalan, atau semisalnya. Punya masalah hidup, curhat. Tersandung masalah dengan orang lain, mengadukan dan menceritakannya pada teman dekatnya. Tidak suka pada seseorang, jadilah dia membicarakan orang yang tidak disukainya itu dengan sesama orang yang tidak suka pula. Lihat, sesimpel itu bergaul dan bersosial menimbulkan negatif. Bagaimana jika dalam kasus yang lebih rumit dan kompleks, yang menyangkut dan terkait dengan banyak orang yang setiap harinya berbeda-beda? Pasti banyak pula masalah yang ditimbulkan.
Ibnu Al-Qayyim rahimahullah memberikan sebuah komentar tentang bergaul. Beliau berkata, “Betapa banyaknya dampak negatif dari bergaul dengan orang-orang, betapa banyaknya kenikmatan yang terhalang, betapa banyak pula cobaan yang diturunkan, betapa banyak anugerah yang jadi tertahan, dan betapa banyak musibah yang terjadi. Adakah musibah yang lebih besar daripada manusia itu sendiri? Apakah ada yang lebih berbahaya bagi Abu Thalib di saat sakratulmaut, selain teman-teman buruknya, yang senantiasa menghalanginya dari mengucapkan satu kalimat yang dapat menjamin kebahagiaan abadi baginya?” [1]
Allah Ta’ala berfirman, menggambarkan orang yang pergaulannya saat di dunia menjadi nestapa bagi dirinya di akhirat, bahkan Allah melabelinya dengan “orang yang zalim”,
وَيَوْمَ يَعَضُّ ٱلظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيْهِ يَقُولُ يَـٰلَيْتَنِى ٱتَّخَذْتُ مَعَ ٱلرَّسُولِ سَبِيلًۭا يَـٰوَيْلَتَىٰ لَيْتَنِى لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًۭا لَّقَدْ أَضَلَّنِى عَنِ ٱلذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَآءَنِى ۗ وَكَانَ ٱلشَّيْطَـٰنُ لِلْإِنسَـٰنِ خَذُولًۭا
“Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang zalim menggigit kedua tangannya, (menyesali perbuatannya) seraya berkata, ‘Wahai! Sekiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rasul. Wahai celaka aku! Sekiranya (dulu) aku tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku), sungguh, dia telah menyesatkan aku dari peringatan (Al-Qur’an) ketika (Al-Qur’an) itu telah datang kepadaku. Dan setan memang pengkhianat manusia.’” (QS. Al-Furqan: 27-29)
Merenungi pemaknaan ayat tersebut, tentu sudah saatnya kita selektif dalam memilih teman duduk kita, teman yang membersamai kita, circle. Karena tentunya setiap kita tidak mau menyesal ketika di akhirat kelak karena hal-hal seperti pergaulan dan pertemanan.
Untuk itu, perlu diketahui bahwa dalam bergaul dan berinteraksi, setidaknya ada 4 jenis dan kategori orang, di mana jika seseorang tidak bisa membedakan dan mengendalikan porsi bergaulnya dengan mereka, ia akan jatuh ke dalam keburukan-keburukan:
Pertama: Orang yang bergaul dengannya seperti sebuah kebutuhan pokok. Kita senantiasa membutuhkannya dalam keseharian kita. Itu pun tetap dengan seperlunya, yaitu sebatas kita mengambil dan mendapat kebermanfaatan juga faedah darinya. Mereka yang termasuk ke dalam jenis ini adalah para ulama dan orang-orang saleh. Dalam bergaul, mereka cenderung akan mengajak kepada kebaikan dan memberi nasihat, karena sejatinya yang dijadikan pedoman hidup mereka adalah petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya. Bergaul dengan jenis ini adalah sebenar-benarnya keberuntungan.
Kedua: Orang yang bergaul dengannya seperti obat saat sakit. Yaitu, hanya ketika dibutuhkan saja. Biasanya dalam perkara suatu urusan tertentu, atau urusan duniawi seperti transaksi, urusan pekerjaan, dan semislanya. Tidak perlu terlalu intens, hanya seperlunya dan secukupnya saja.
Ketiga: Orang yang bergaul dengannya ibarat sebuah penyakit, dengan tingkatan yang berbeda-beda. Ada yang seperti penyakit ringan, bahkan sampai seperti penyakit kronis. Yang mana pun itu, penyakit pada dasarnya tetap harus dijauhi, bukan?
Mereka adalah yang tidak bisa memberi kebermanfaatan sama sekali, entah itu ilmu, hikmah, ataupun nasihat. Bahkan, bergaul dengan mereka cenderung menimbulkan rasa tidak nyaman dan kebencian. Termasuk pula orang yang perkataannya buruk, tidak enak didengar, seringkali berkata kasar ataupun mengumpat. Orang seperti itu sepatutnya kita jauhi demi ketenangan jiwa dan kesehatan hati kita.
Sekalipun harus berurusan dengan orang-orang yang termasuk pada jenis ini, cukup berurusan sebatas kebutuhan, tidak lebih. Itu pun lebih baik secara lahir saja, dengan batin kita (hati) tetap mengingkari perbuatan dan keburukan mereka.
Keempat: Orang yang bergaul dengannya adalah sebuah kehancuran bagi diri, dan terutama hati kita. Kenelangsaan yang didapat, dan bahkan bergaul dengannya ibarat meminum racun, sangat berbahaya, terlebih jika tidak ada penawar yang ampuh.
Bergaul dengan orang jenis ini dapat membuat hati menjadi mati, atau paling tidak menjadi sakit, menimbulkan penyakit hati. Mereka adalah orang-orang yang berada dalam kesesatan dan bid’ah, entah itu sebagai pelaku nyata, apalagi gembongnya. Orang-orang yang bagi mereka sunah adalah bid’ah, dan bid’ah adalah sunah.
Orang beriman yang berakal tidak sepantasnya bergaul dengan mereka. Jika memang terpaksa harus dilakukan, haruslah dengan kondisi keimanannya yang sudah kuat dan tetap selalu menjaganya agar tidak teracuni. [2]
Selain menyesuaikan pergaulan dengan keempat jenis orang ini (meski jenis ke-3 dan ke-4 tidak layak bergaul dengannya, kecuali benar-benar terdesak oleh kebutuhan), perlu dipahami secara seksama, bergaul seperti apa yang masuk ke dalam kategori فضول المخالطة atau over-pergaulan?
Maka, jawabannya ada dua:
Pertama: Sebagaimana secara kontekstual, yaitu bergaul yang secara berlebihan, alias melebihi kadar cukup atau kebutuhan yang seharusnya. Terlebih lagi jika seseorang yang waktu dan harinya hanya dihabiskan untuk nongkrong, bermain bersama teman-temannya, yang mengakibatkan hilangnya waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk hal lain yang lebih bermanfaat, apalagi sampai melewatkan ibadah.
Kedua: Kembali pada komentar Ibnu Al-Qayyim yang dibawakan di awal, berarti overdosis dalam pergaulan itu adalah ketika pergaulan itu membawa efek samping seperti berbagai dampak negatif, rasa tidak nyaman, menghalangi dari kenikmatan, apalagi sampai membawa petaka dan musibah pada kita. Jika kita terlibat dalam pergaulan yang seperti ini, segera tinggalkan, atau sengsara dan menyesal kemudian!
Kedua pemaknaan ini tidak terpisah satu sama lain, tetapi justru saling tersambung. Karena ketika seseorang bergaul dengan orang lain, dan pergaulannya itu melewati batas butuh, atau ia bergaul dengan orang yang buruk, maka hal itu akan merusak dirinya. Pertama, memengaruhi kesehariannya, membuatnya tidak bisa terlepas dari hal itu. Kemudian, ketika ada hal buruk yang dilakukan oleh teman sepergaulannya, ia akan tertular. Lantas, semakin lama ia bergaul, semakin waktunya banyak terbuang. Jika yang menyatukan pergaulannya adalah hal-hal negatif seperti gibah, pemborosan, judi, atau jenis dosa lainnya, hatinya akan terkotori.
Adapun jenis interaksi sosial atau pergaulan seperti berkumpul-kumpul dengan orang lain ada dua sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Al-Qayyim:
Pertama: Berkumpul untuk hiburan, bercanda, bersenda gurau, atau sekadar mengisi waktu luang. Jenis interaksi sosial ini cenderung memberi lebih banyak mudarat daripada manfaat, minimalnya membuat hati keruh dan membuang-buang waktu, sekalipun tidak ada pembicaraan yang mengarah kepada hal-hal haram yang dilarang syariat di dalamnya;
Kedua: Berkumpul yang di dalamnya ada saling membantu untuk meraih keselamatan dunia dan akhirat, dan saling bertukar nasihat atas kebaikan dan kesabaran. Inilah jenis bergaul yang paling baik dan paling bermanfaat.
Meski begitu, tetap saja jenis ini berpotensi menimbulkan bahaya karena tiga sebab:
Pertama: Kecenderungan memoles diri dengan kebaikan di hadapan yang lain,
Kedua: Berinteraksi melebihi batas kebutuhan dan wajarnya, serta
Ketiga :Terbiasa dan terlalu keasyikan dalam berkumpul sehingga melalaikan dari esensi berkumpul dan tujuan yang sebenarnya.[3]
Tidak heran, cukup banyak ulama, salaf, termasuk pula sahabat yang melontarkan kritik soal pergaulan, dan bahkan preferensinya condong pada menyendiri dan menjauh dari kehidupan orang lain, di antaranya:
Sahabat Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata,
خذوا بحظكم من العزلة
“Ambillah kesempatanmu untuk menjalani dari keterasingan (dari manusia).”
Sahabat Abu Darda radhiyallahu ‘anhu, bahkan lebih memilih berdiam diri di rumah karena itu lebih aman bagi hatinya. Beliau berkata,
نعم صومعة الرجل بيته؛ يكف بصره ولسانه
“Sebaik-baik tempat seseorang beribadah adalah rumahnya, di mana ia menahan dan menjaga pandangan dan lisannya.”
Diceritakan pula dalam sebuah riwayat, bahwa Ummu Darda radhiyallahu ‘anha pernah ditanya, “Apa amalan paling utama dari Abu Darda?” Beliau radhiyallahu ‘anha kemudian menjawab dengan jawaban yang singkat dan bermakna dalam,
التَّفَكُّرُ وَالِاعْتِبَارُ
“Bertafakur (merenung) dan mengambil pelajaran.”
Masruq rahimahullah menekankan agar setiap orang mempunyai saat di mana ia mengasingkan diri dengan tujuan beribadah, bertobat, dan meminta ampunan pada Allah atas dosa-dosanya. Beliau mengatakan,
إن المرء لحقيق أن يكون له مجالس يخلو فيها فيذكر فيها ذنوبه فيستغفر منها
“Sungguh, sudah menjadi sebuah kepantasan yang wajib bagi seseorang agar ia memiliki waktu-waktu dan tempat di mana ia menyendiri, di mana ia mengingat-ingat dosa-dosanya, lantas meminta pengampunan untuk itu dari Allah.”
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah mengatakan,
وأما اعتزال الناس في فضول المباحات وما لا ينفع – وذلك بالزهد فيه – فذلك مستحب
“Adapun menarik diri dan menyendiri dari pergaulan dalam hal-hal yang mubah dan tidak ada manfaatnya –yaitu dengan bersikap zuhud dalam hal itu– adalah sesuatu yang disunahkan.”
Dalam kesempatannya yang lain, beliau rahimahullah juga menekankan agar seseorang punya waktu untuk menyendiri yang ia gunakan untuk ibadah dan bermuhasabah, merenungi amalan dan dosa-dosanya,
لا بد للعبد من أوقات ينفرد بها بنفسه في دعائه وذكره وصلاته وتفكره ومحاسبة نفسه وإصلاح قلبه
“Sebuah keharusan bagi seorang hamba untuk memiliki waktu-waktu ia menyendiri dan mengasingkan diri dan menggunakannya untuk berdoa, berzikir, salat, merenung, dan muhasabah diri, dan memperbaiki hatinya.”
Sayyid Qutb rahimahullah pernah mewasiatkan,
ولا بد لأي روح يراد لها أن تؤثر في واقع الحياة البشرية فتحولها وجهة أخرى .. لا بد لهذه الروح من خلوة وعزلة لبعض الوقت، وانقطاع عن شواغل الأرض وضجة الحياة وهموم الناس الصغيرة التي تشغل الحياة
“Setiap jiwa yang ingin mengubah haluan kehidupannya menjadi lebih baik haruslah melewati fase-fase di mana ia menyendiri dan mengasingkan diri, menjauh dari kesibukan dunia, hiruk-pikuk kehidupan, dan mengabaikan hal-hal sepele dari pandangan orang lain yang kerap kali menyita kehidupannya.” [4]
Saat ini, tidak sedikit orang yang mengabaikan fakta bahwa kecenderungannya untuk selalu berinteraksi dan bergaul bisa menjadi penyakit yang berpotensi menimbulkan berbagai macam keburukan.
Berapa banyak kenikmatan yang telah hilang akibat pergaulan yang berlebihan, dan berapa banyak pula permusuhan yang timbul dari interaksi sosial yang tidak terkendali. Sebut saja perasaan iri, dengki, dan benci yang kerap muncul dari terlalu banyak bergaul, tertanam di hati, lantas mengotori dan meracuninya. Oleh karena itu, berlebihan dalam bergaul justru menimbulkan kerugian di dunia maupun akhirat.
Yang harus kita lakukan dalam bergaul simpel saja: bergaul dan berinteraksi, bersosial sewajarnya, sebatas sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan. Tidak lebih dari itu. Tidak sulit, yang sulit itu justru terus mengikuti alur kolektif orang lain.
Kita harus bijak dengan menggolongkan manusia dalam empat kategori, dan berhati-hati agar tidak mencampurkan satu kategori dengan yang lainnya, karena hal ini akan membawa dampak negatif dalam hidupnya.
Inilah satu dari empat racun yang dapat membuat hati menjadi sakit, dari ringan hingga kronis, bahkan dalam situasi terburuk sampai membunuhnya, empat overdosis: bicara, melihat, makan, dan bergaul. [5] Menjauhi dan menghindari keempat overdosis ini juga adalah salah satu bentuk menjaga diri dari bahaya setan yang bisa datang dari mana saja, kapan pun, dan di mana pun. [6]
Semoga Allah senantiasa menjaga kita dalam batasan-batasan aman syariat, sehingga kita tidak tergelincir pada suatu lubang di mana lubang itu bisa saja menjadi pintu neraka bagi kita.
Allahumma shalli wasallim ‘ala rasulillah.
Kembali ke bagian 3 Mulai dari bagian 1
***
Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad
Artikel: Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarij As-Salikin bayna Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, 1: 453.
[2] Ahmad Farid, Tazkiyatun Nufus, hal. 41-43.
[3] Umar Abdul Kafi, Syarhu Kitab Al-Fawaid, 4: 15.
[4] Manshur bin Muhammad Al-Muqrin, Al-Fudhul, hal. 54-57.
[5] Ahmad Farid, Tazkiyatun Nufus, hal. 31-43.
[6] Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr, Ahadis Ishlah Al-Qulub, hal. 634-643.
Bagian 4: Overdosis bergaul
Bismillah. Walhamdulillah.
Segala bentuk pujian dan syukur hanya berhak diperuntukkan untuk-Nya saja. Tuhan semesta alam yang telah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial. Hal ini ditandai dengan beragamnya etnis, suku, bangsa, budaya, bahasa, dan adat seluruh manusia, pun dengan watak dan sifat yang berbeda satu dengan lainnya.
Sifat sosial manusia dengan keberagaman yang ada menuntut manusia untuk selalu dapat berinteraksi, baik aktif maupun pasif, sebagai sebuah keniscayaan yang tidak terhindarkan. Bersosial, bergaul dengan orang-orang, berkumpul, bercengkerama, dan tertawa bersama, pada hakikatnya tidak pernah menjadi sesuatu yang tabu atau salah, bahkan itu hal yang diperlukan oleh manusia, siapa pun itu. Akan tetapi, hal itu bisa menjadi penyebab hati menjadi sakit. Kapan? Ketika berlebihan. Overdosis.
Biasanya, seseorang ketika penat dengan pekerjaan, atau capek dengan kesehariannya, ia akan berkumpul dengan teman-temannya, main, bercerita, jalan-jalan, atau semisalnya. Punya masalah hidup, curhat. Tersandung masalah dengan orang lain, mengadukan dan menceritakannya pada teman dekatnya. Tidak suka pada seseorang, jadilah dia membicarakan orang yang tidak disukainya itu dengan sesama orang yang tidak suka pula. Lihat, sesimpel itu bergaul dan bersosial menimbulkan negatif. Bagaimana jika dalam kasus yang lebih rumit dan kompleks, yang menyangkut dan terkait dengan banyak orang yang setiap harinya berbeda-beda? Pasti banyak pula masalah yang ditimbulkan.
Ibnu Al-Qayyim rahimahullah memberikan sebuah komentar tentang bergaul. Beliau berkata, “Betapa banyaknya dampak negatif dari bergaul dengan orang-orang, betapa banyaknya kenikmatan yang terhalang, betapa banyak pula cobaan yang diturunkan, betapa banyak anugerah yang jadi tertahan, dan betapa banyak musibah yang terjadi. Adakah musibah yang lebih besar daripada manusia itu sendiri? Apakah ada yang lebih berbahaya bagi Abu Thalib di saat sakratulmaut, selain teman-teman buruknya, yang senantiasa menghalanginya dari mengucapkan satu kalimat yang dapat menjamin kebahagiaan abadi baginya?” [1]
Allah Ta’ala berfirman, menggambarkan orang yang pergaulannya saat di dunia menjadi nestapa bagi dirinya di akhirat, bahkan Allah melabelinya dengan “orang yang zalim”,
وَيَوْمَ يَعَضُّ ٱلظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيْهِ يَقُولُ يَـٰلَيْتَنِى ٱتَّخَذْتُ مَعَ ٱلرَّسُولِ سَبِيلًۭا يَـٰوَيْلَتَىٰ لَيْتَنِى لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًۭا لَّقَدْ أَضَلَّنِى عَنِ ٱلذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَآءَنِى ۗ وَكَانَ ٱلشَّيْطَـٰنُ لِلْإِنسَـٰنِ خَذُولًۭا
“Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang zalim menggigit kedua tangannya, (menyesali perbuatannya) seraya berkata, ‘Wahai! Sekiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rasul. Wahai celaka aku! Sekiranya (dulu) aku tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku), sungguh, dia telah menyesatkan aku dari peringatan (Al-Qur’an) ketika (Al-Qur’an) itu telah datang kepadaku. Dan setan memang pengkhianat manusia.’” (QS. Al-Furqan: 27-29)
Merenungi pemaknaan ayat tersebut, tentu sudah saatnya kita selektif dalam memilih teman duduk kita, teman yang membersamai kita, circle. Karena tentunya setiap kita tidak mau menyesal ketika di akhirat kelak karena hal-hal seperti pergaulan dan pertemanan.
Untuk itu, perlu diketahui bahwa dalam bergaul dan berinteraksi, setidaknya ada 4 jenis dan kategori orang, di mana jika seseorang tidak bisa membedakan dan mengendalikan porsi bergaulnya dengan mereka, ia akan jatuh ke dalam keburukan-keburukan:
Pertama: Orang yang bergaul dengannya seperti sebuah kebutuhan pokok. Kita senantiasa membutuhkannya dalam keseharian kita. Itu pun tetap dengan seperlunya, yaitu sebatas kita mengambil dan mendapat kebermanfaatan juga faedah darinya. Mereka yang termasuk ke dalam jenis ini adalah para ulama dan orang-orang saleh. Dalam bergaul, mereka cenderung akan mengajak kepada kebaikan dan memberi nasihat, karena sejatinya yang dijadikan pedoman hidup mereka adalah petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya. Bergaul dengan jenis ini adalah sebenar-benarnya keberuntungan.
Kedua: Orang yang bergaul dengannya seperti obat saat sakit. Yaitu, hanya ketika dibutuhkan saja. Biasanya dalam perkara suatu urusan tertentu, atau urusan duniawi seperti transaksi, urusan pekerjaan, dan semislanya. Tidak perlu terlalu intens, hanya seperlunya dan secukupnya saja.
Ketiga: Orang yang bergaul dengannya ibarat sebuah penyakit, dengan tingkatan yang berbeda-beda. Ada yang seperti penyakit ringan, bahkan sampai seperti penyakit kronis. Yang mana pun itu, penyakit pada dasarnya tetap harus dijauhi, bukan?
Mereka adalah yang tidak bisa memberi kebermanfaatan sama sekali, entah itu ilmu, hikmah, ataupun nasihat. Bahkan, bergaul dengan mereka cenderung menimbulkan rasa tidak nyaman dan kebencian. Termasuk pula orang yang perkataannya buruk, tidak enak didengar, seringkali berkata kasar ataupun mengumpat. Orang seperti itu sepatutnya kita jauhi demi ketenangan jiwa dan kesehatan hati kita.
Sekalipun harus berurusan dengan orang-orang yang termasuk pada jenis ini, cukup berurusan sebatas kebutuhan, tidak lebih. Itu pun lebih baik secara lahir saja, dengan batin kita (hati) tetap mengingkari perbuatan dan keburukan mereka.
Keempat: Orang yang bergaul dengannya adalah sebuah kehancuran bagi diri, dan terutama hati kita. Kenelangsaan yang didapat, dan bahkan bergaul dengannya ibarat meminum racun, sangat berbahaya, terlebih jika tidak ada penawar yang ampuh.
Bergaul dengan orang jenis ini dapat membuat hati menjadi mati, atau paling tidak menjadi sakit, menimbulkan penyakit hati. Mereka adalah orang-orang yang berada dalam kesesatan dan bid’ah, entah itu sebagai pelaku nyata, apalagi gembongnya. Orang-orang yang bagi mereka sunah adalah bid’ah, dan bid’ah adalah sunah.
Orang beriman yang berakal tidak sepantasnya bergaul dengan mereka. Jika memang terpaksa harus dilakukan, haruslah dengan kondisi keimanannya yang sudah kuat dan tetap selalu menjaganya agar tidak teracuni. [2]
Selain menyesuaikan pergaulan dengan keempat jenis orang ini (meski jenis ke-3 dan ke-4 tidak layak bergaul dengannya, kecuali benar-benar terdesak oleh kebutuhan), perlu dipahami secara seksama, bergaul seperti apa yang masuk ke dalam kategori فضول المخالطة atau over-pergaulan?
Maka, jawabannya ada dua:
Pertama: Sebagaimana secara kontekstual, yaitu bergaul yang secara berlebihan, alias melebihi kadar cukup atau kebutuhan yang seharusnya. Terlebih lagi jika seseorang yang waktu dan harinya hanya dihabiskan untuk nongkrong, bermain bersama teman-temannya, yang mengakibatkan hilangnya waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk hal lain yang lebih bermanfaat, apalagi sampai melewatkan ibadah.
Kedua: Kembali pada komentar Ibnu Al-Qayyim yang dibawakan di awal, berarti overdosis dalam pergaulan itu adalah ketika pergaulan itu membawa efek samping seperti berbagai dampak negatif, rasa tidak nyaman, menghalangi dari kenikmatan, apalagi sampai membawa petaka dan musibah pada kita. Jika kita terlibat dalam pergaulan yang seperti ini, segera tinggalkan, atau sengsara dan menyesal kemudian!
Kedua pemaknaan ini tidak terpisah satu sama lain, tetapi justru saling tersambung. Karena ketika seseorang bergaul dengan orang lain, dan pergaulannya itu melewati batas butuh, atau ia bergaul dengan orang yang buruk, maka hal itu akan merusak dirinya. Pertama, memengaruhi kesehariannya, membuatnya tidak bisa terlepas dari hal itu. Kemudian, ketika ada hal buruk yang dilakukan oleh teman sepergaulannya, ia akan tertular. Lantas, semakin lama ia bergaul, semakin waktunya banyak terbuang. Jika yang menyatukan pergaulannya adalah hal-hal negatif seperti gibah, pemborosan, judi, atau jenis dosa lainnya, hatinya akan terkotori.
Adapun jenis interaksi sosial atau pergaulan seperti berkumpul-kumpul dengan orang lain ada dua sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Al-Qayyim:
Pertama: Berkumpul untuk hiburan, bercanda, bersenda gurau, atau sekadar mengisi waktu luang. Jenis interaksi sosial ini cenderung memberi lebih banyak mudarat daripada manfaat, minimalnya membuat hati keruh dan membuang-buang waktu, sekalipun tidak ada pembicaraan yang mengarah kepada hal-hal haram yang dilarang syariat di dalamnya;
Kedua: Berkumpul yang di dalamnya ada saling membantu untuk meraih keselamatan dunia dan akhirat, dan saling bertukar nasihat atas kebaikan dan kesabaran. Inilah jenis bergaul yang paling baik dan paling bermanfaat.
Meski begitu, tetap saja jenis ini berpotensi menimbulkan bahaya karena tiga sebab:
Pertama: Kecenderungan memoles diri dengan kebaikan di hadapan yang lain,
Kedua: Berinteraksi melebihi batas kebutuhan dan wajarnya, serta
Ketiga :Terbiasa dan terlalu keasyikan dalam berkumpul sehingga melalaikan dari esensi berkumpul dan tujuan yang sebenarnya.[3]
Tidak heran, cukup banyak ulama, salaf, termasuk pula sahabat yang melontarkan kritik soal pergaulan, dan bahkan preferensinya condong pada menyendiri dan menjauh dari kehidupan orang lain, di antaranya:
Sahabat Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata,
خذوا بحظكم من العزلة
“Ambillah kesempatanmu untuk menjalani dari keterasingan (dari manusia).”
Sahabat Abu Darda radhiyallahu ‘anhu, bahkan lebih memilih berdiam diri di rumah karena itu lebih aman bagi hatinya. Beliau berkata,
نعم صومعة الرجل بيته؛ يكف بصره ولسانه
“Sebaik-baik tempat seseorang beribadah adalah rumahnya, di mana ia menahan dan menjaga pandangan dan lisannya.”
Diceritakan pula dalam sebuah riwayat, bahwa Ummu Darda radhiyallahu ‘anha pernah ditanya, “Apa amalan paling utama dari Abu Darda?” Beliau radhiyallahu ‘anha kemudian menjawab dengan jawaban yang singkat dan bermakna dalam,
التَّفَكُّرُ وَالِاعْتِبَارُ
“Bertafakur (merenung) dan mengambil pelajaran.”
Masruq rahimahullah menekankan agar setiap orang mempunyai saat di mana ia mengasingkan diri dengan tujuan beribadah, bertobat, dan meminta ampunan pada Allah atas dosa-dosanya. Beliau mengatakan,
إن المرء لحقيق أن يكون له مجالس يخلو فيها فيذكر فيها ذنوبه فيستغفر منها
“Sungguh, sudah menjadi sebuah kepantasan yang wajib bagi seseorang agar ia memiliki waktu-waktu dan tempat di mana ia menyendiri, di mana ia mengingat-ingat dosa-dosanya, lantas meminta pengampunan untuk itu dari Allah.”
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah mengatakan,
وأما اعتزال الناس في فضول المباحات وما لا ينفع – وذلك بالزهد فيه – فذلك مستحب
“Adapun menarik diri dan menyendiri dari pergaulan dalam hal-hal yang mubah dan tidak ada manfaatnya –yaitu dengan bersikap zuhud dalam hal itu– adalah sesuatu yang disunahkan.”
Dalam kesempatannya yang lain, beliau rahimahullah juga menekankan agar seseorang punya waktu untuk menyendiri yang ia gunakan untuk ibadah dan bermuhasabah, merenungi amalan dan dosa-dosanya,
لا بد للعبد من أوقات ينفرد بها بنفسه في دعائه وذكره وصلاته وتفكره ومحاسبة نفسه وإصلاح قلبه
“Sebuah keharusan bagi seorang hamba untuk memiliki waktu-waktu ia menyendiri dan mengasingkan diri dan menggunakannya untuk berdoa, berzikir, salat, merenung, dan muhasabah diri, dan memperbaiki hatinya.”
Sayyid Qutb rahimahullah pernah mewasiatkan,
ولا بد لأي روح يراد لها أن تؤثر في واقع الحياة البشرية فتحولها وجهة أخرى .. لا بد لهذه الروح من خلوة وعزلة لبعض الوقت، وانقطاع عن شواغل الأرض وضجة الحياة وهموم الناس الصغيرة التي تشغل الحياة
“Setiap jiwa yang ingin mengubah haluan kehidupannya menjadi lebih baik haruslah melewati fase-fase di mana ia menyendiri dan mengasingkan diri, menjauh dari kesibukan dunia, hiruk-pikuk kehidupan, dan mengabaikan hal-hal sepele dari pandangan orang lain yang kerap kali menyita kehidupannya.” [4]
Saat ini, tidak sedikit orang yang mengabaikan fakta bahwa kecenderungannya untuk selalu berinteraksi dan bergaul bisa menjadi penyakit yang berpotensi menimbulkan berbagai macam keburukan.
Berapa banyak kenikmatan yang telah hilang akibat pergaulan yang berlebihan, dan berapa banyak pula permusuhan yang timbul dari interaksi sosial yang tidak terkendali. Sebut saja perasaan iri, dengki, dan benci yang kerap muncul dari terlalu banyak bergaul, tertanam di hati, lantas mengotori dan meracuninya. Oleh karena itu, berlebihan dalam bergaul justru menimbulkan kerugian di dunia maupun akhirat.
Yang harus kita lakukan dalam bergaul simpel saja: bergaul dan berinteraksi, bersosial sewajarnya, sebatas sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan. Tidak lebih dari itu. Tidak sulit, yang sulit itu justru terus mengikuti alur kolektif orang lain.
Kita harus bijak dengan menggolongkan manusia dalam empat kategori, dan berhati-hati agar tidak mencampurkan satu kategori dengan yang lainnya, karena hal ini akan membawa dampak negatif dalam hidupnya.
Inilah satu dari empat racun yang dapat membuat hati menjadi sakit, dari ringan hingga kronis, bahkan dalam situasi terburuk sampai membunuhnya, empat overdosis: bicara, melihat, makan, dan bergaul. [5] Menjauhi dan menghindari keempat overdosis ini juga adalah salah satu bentuk menjaga diri dari bahaya setan yang bisa datang dari mana saja, kapan pun, dan di mana pun. [6]
Semoga Allah senantiasa menjaga kita dalam batasan-batasan aman syariat, sehingga kita tidak tergelincir pada suatu lubang di mana lubang itu bisa saja menjadi pintu neraka bagi kita.
Allahumma shalli wasallim ‘ala rasulillah.
Kembali ke bagian 3 Mulai dari bagian 1
***
Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad
Artikel: Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarij As-Salikin bayna Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, 1: 453.
[2] Ahmad Farid, Tazkiyatun Nufus, hal. 41-43.
[3] Umar Abdul Kafi, Syarhu Kitab Al-Fawaid, 4: 15.
[4] Manshur bin Muhammad Al-Muqrin, Al-Fudhul, hal. 54-57.
[5] Ahmad Farid, Tazkiyatun Nufus, hal. 31-43.
[6] Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr, Ahadis Ishlah Al-Qulub, hal. 634-643.