Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 9): Fi’il Mudhari (2)

Ibnu Hisyam mengatakan, وَيُسَكَّنُ آخِرُهُ مَعَ نُوْنِ النِسْوَةِ “Huruf terakhir fi’il mudhari’ disukun, apabila bersambung dengan nun niswah.” Contohnya adalah: يَتَرَبَّصْنَ “Hendaklah mereka (perempuan) menahan diri.” (QS. Al-Baqarah: 228) إِلَّا أَنْ يَّعْفُوْنَ “Kecuali mereka memaafkan (membebaskan).” (QS. Al-Baqarah: 237) وَيُفْتَحُ مَعَ نُوْنِ التَّوْكِيْدِ المُبَاشِرَةِ لَفْظًا وَتَقْدِيْرًا “Huruf terakhir asli dari fi’il tersebut diberi harakat fathah jika bersambung dengan nun taukid yang mubasyirah lafzhan atau taqdiran.” Contohnya adalah: لَيُنْبَذَنَّ “Sungguh dia akan dilemparkan…” (QS. Al-Humazah: 4) وَيُعْرَبُ فِيْمَا عَدَا ذَالِكَ “Apabila fi’il mudhari’nya selain yang dua hal tersebut, (yaitu tidak bersambung nun niswah dan tidak bersambung dengan nun taukid), maka fi’il mudhari’ tersebut dii’rab atau bisa berubah.” Contohnya adalah: يَقُوْمُ زَيْدٌ “Zaid sedang berdiri.” Pada kata يَقُوْمُ , diberi harakat damah pada huruf terakhirnya. Contoh lainnya pada potongan firman Allah, وَلَا تَتَّبِعَآنِّ “Janganlah kalian berdua mengikuti.” (QS. Yunus: 89) لَتُبْلَوُنَّ “Kamu benar-benar akan diuji…” (QS. Ali-Imran: 186) فَإِمَّا تَرَيِنَّ “Kamu benar-benar akan melihatnya…” (QS. Maryam: 26) وَلَا يَصُدُّنَّكَ “Dan janganlah dia sampai menghalang-halangi kamu…” (QS. Al-Qashash: 87) Contoh-contoh di atas adalah pembahasan kedua dari fi’il mudhari’. Yaitu, pembahasan tentang hukum keadaan huruf terakhir dari fi’il mudhari’. Fi’il mudhari’ tersebut ada dua keadaan. Yaitu mabni dan mu’rab. Fi’il mudhari’ ini berbeda dengan fi’il madhi dan amr. Karena fi’il madhi dan fi’il amr tersebut selalu mabni. Fi’il mudhari’ mabni dengan dua keadaan: Pertama, bersambung dengan nun niswah, maka mabni dengan tanda sukun. Contohnya adalah: الْأُمَّهَاتُ الْعَاقَلَاتُ يُهَذِّبْنَ أَوْلَادَهُنَّ “Ibu-ibu yang cerdas akan mengajari anak-anak mereka.” Kata يُهَذِّبْنَ adalah  fi’il mudhari’ mabni dengan tanda sukun, yaitu tepatnya di huruf ب. Adapun nun inats tersebut adalah dhamir muttashil mabni dengan tanda fathah di tempat kedudukan rafa’ sebagai fa’il. Contohnya dalam firman Allah, وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ “Para istri yang diceraikan, wajib mereka menahan diri…” (QS. Al-Baqarah: 228) إِلَّا أَنْ يَّعْفُوْنَ “Kecuali mereka memaafkan (membebaskan)…” (QS  Al-Baqarah: 237) Maka, kata يَّعْفُوْنَ adalah  fi’il mudhari’ mabni dengan tanda sukun di tempat kedudukan manshub karena didahului huruf أَنْ, adapun nun inats tersebut adalah fa’il. Kedua, bersambung dengan nun taukid secara mubasyirah lafzhan atau taqdiran. Mubasyirah lafzhan maksudnya adalah ada pemisah antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid secara jelas atau konkret. Adapun taqdiran maksudnya adalah tidak ada pemisah antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid (secara tidak jelas atau abstrak(. Indikator fi’il mudhari’ tersebut mabni atau mu’rab adalah apabila fi’il mudhari’-nya tersebut marfu’ dengan tanda damah sebelum bersambung dengan nun taukid, nun taukid-nya tersebut dikatakan nun taukid mubasyirah. Oleh karena itu, fi’il mudhari’ tersebut tergolong  fi’il mudhari’ yang mabni. Akan tetapi, apabila fi’il mudhari’ tersebut marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) karena bersambung dengan alif yang menunjukkan ganda, wawu jama’ah yang menunjukkan banyak,  ya’ mukhathabah yang menunjukkan pelakunya 1 orang perempuan yang sedang diajak berbicara, nun taukid tersebut dikatakan nun taukid yang tidak bersambung secara langsung, maka fi’il mudhari’-nya tersebut tergolong  fi’il mudhari’ yang mu’rab. Contohnya adalah: أَسْمَعُ “Aku sedang mendengar.” Fi’il mudhari’ di atas marfu’ dengan tanda damah. Contoh apabila bersambung dengan nun taukid adalah: والله لَأَسْمَعَنَّ النَّصِيْحَةَ “Demi Allah, aku akan mendengarkan nasihat tersebut.” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il mudhari’ yang bersambung nun taukid mubasyirah atau tidak ada pemisah fi’il mudhari’ tersebut dengan nun taukid baik secara lafzhan atau taqdiran. Kata tersebut mabni dengan tanda fathah karena bersambung dengan nun taukid yang tidak ada pemisah di antara fi’il mudhari’ tersebut dengan nun taukid. Contoh dalam firman Allah, كَلَّا لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ “Sekali-kali tidak, sungguh dia akan dilemparkan dalam (neraka) Huthamah.” (QS. Al-Humazah: 4) Kata كَلَّا adalah huruf yang artinya menghalangi, yang bermaksud sekali-kali tidak. Adapun huruf lam (ل)  yang bersambung dengan fi’il mudhari’ di atas adalah sebagai penegas kalimat dan muncul sebagai jawab sumpah yang dihapus. Kemudian fi’il mudhari’ majhul يُنْبَذَنّ mabni dengan tanda fathah karena bersambung dengan nun taukid dan naibul fail-nya berupa dhamir mustatir هُوَ. Contoh fi’il mudhari’ yang marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) karena bersambung dengan alif yang menunjukkan ganda adalah: تُكْثَرَانِ Apabila nun taukid bersambung dengan fi’il di atas, contohnya adalah: لَا تُكْثِرَانِّ مِنَ الضَحِكِ “Janganlah kalian berdua banyak tertawa.” Maka, fi’il mudhari’ di atas tidak bersambung secara langsung dengan nun taukid karena di antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid tersebut terdapat pemisah, yaitu alif yang menunjukkan ganda. Pemisah tersebut disebut pemisah yang mubasyirah lafzhan (jelas atau konkrit). Contoh dari firman Allah adalah: وَلَا تَتَّبِعَآنِّ سَبِيْلَ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ “Janganlah kalian berdua mengikuti jalan-jalan orang yang tidak berilmu.” (QS. Yunus: 89) Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il mudhari’. Pada asalnya fi’il tersebut marfu’ dengan tanda nun muqaddarah (abstrak) karena adanya 3 huruf nun yang berturut-turut dan bersambung dengan alif yang menunjukkan ganda. Nun taukid di sana termasuk nun taukid ghair mubasyirah (yang tidak bersambung secara langsung dengan huruf asli fi’il mudhari’). Pemisah antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid tersebut adalah alif yang menunjukkan ganda. Oleh karena itu, fi’il mudhari’ tersebut termasuk fi’il mudhari’ yang mu’rab. Adapun huruf لاَ di sana adalah huruf nahiyah (menunjukkan melarang). Fi’il mudhari’ تَتَّبِعَآنِّ  tersebut majzum karena didahului huruf laa (لا) , majzum dengan tanda hazf nun (menghapus huruf nun) dikarenakan termasuk fi’il amstilatul khamsah (fi’il yang 5). Adapun huruf alif (ا) yang terletak setelah huruf ‘ain  (ع) pada fi’il tersebut adalah fa’il. Nun taukid tersebut mabni dengan tanda kasrah dan tidak mempunyai kedudukan di dalam kalimat. Kembali ke bagian 8: Fi’il Mudhari (1) Lanjut ke bagian 10: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 9): Fi’il Mudhari (2)

Ibnu Hisyam mengatakan, وَيُسَكَّنُ آخِرُهُ مَعَ نُوْنِ النِسْوَةِ “Huruf terakhir fi’il mudhari’ disukun, apabila bersambung dengan nun niswah.” Contohnya adalah: يَتَرَبَّصْنَ “Hendaklah mereka (perempuan) menahan diri.” (QS. Al-Baqarah: 228) إِلَّا أَنْ يَّعْفُوْنَ “Kecuali mereka memaafkan (membebaskan).” (QS. Al-Baqarah: 237) وَيُفْتَحُ مَعَ نُوْنِ التَّوْكِيْدِ المُبَاشِرَةِ لَفْظًا وَتَقْدِيْرًا “Huruf terakhir asli dari fi’il tersebut diberi harakat fathah jika bersambung dengan nun taukid yang mubasyirah lafzhan atau taqdiran.” Contohnya adalah: لَيُنْبَذَنَّ “Sungguh dia akan dilemparkan…” (QS. Al-Humazah: 4) وَيُعْرَبُ فِيْمَا عَدَا ذَالِكَ “Apabila fi’il mudhari’nya selain yang dua hal tersebut, (yaitu tidak bersambung nun niswah dan tidak bersambung dengan nun taukid), maka fi’il mudhari’ tersebut dii’rab atau bisa berubah.” Contohnya adalah: يَقُوْمُ زَيْدٌ “Zaid sedang berdiri.” Pada kata يَقُوْمُ , diberi harakat damah pada huruf terakhirnya. Contoh lainnya pada potongan firman Allah, وَلَا تَتَّبِعَآنِّ “Janganlah kalian berdua mengikuti.” (QS. Yunus: 89) لَتُبْلَوُنَّ “Kamu benar-benar akan diuji…” (QS. Ali-Imran: 186) فَإِمَّا تَرَيِنَّ “Kamu benar-benar akan melihatnya…” (QS. Maryam: 26) وَلَا يَصُدُّنَّكَ “Dan janganlah dia sampai menghalang-halangi kamu…” (QS. Al-Qashash: 87) Contoh-contoh di atas adalah pembahasan kedua dari fi’il mudhari’. Yaitu, pembahasan tentang hukum keadaan huruf terakhir dari fi’il mudhari’. Fi’il mudhari’ tersebut ada dua keadaan. Yaitu mabni dan mu’rab. Fi’il mudhari’ ini berbeda dengan fi’il madhi dan amr. Karena fi’il madhi dan fi’il amr tersebut selalu mabni. Fi’il mudhari’ mabni dengan dua keadaan: Pertama, bersambung dengan nun niswah, maka mabni dengan tanda sukun. Contohnya adalah: الْأُمَّهَاتُ الْعَاقَلَاتُ يُهَذِّبْنَ أَوْلَادَهُنَّ “Ibu-ibu yang cerdas akan mengajari anak-anak mereka.” Kata يُهَذِّبْنَ adalah  fi’il mudhari’ mabni dengan tanda sukun, yaitu tepatnya di huruf ب. Adapun nun inats tersebut adalah dhamir muttashil mabni dengan tanda fathah di tempat kedudukan rafa’ sebagai fa’il. Contohnya dalam firman Allah, وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ “Para istri yang diceraikan, wajib mereka menahan diri…” (QS. Al-Baqarah: 228) إِلَّا أَنْ يَّعْفُوْنَ “Kecuali mereka memaafkan (membebaskan)…” (QS  Al-Baqarah: 237) Maka, kata يَّعْفُوْنَ adalah  fi’il mudhari’ mabni dengan tanda sukun di tempat kedudukan manshub karena didahului huruf أَنْ, adapun nun inats tersebut adalah fa’il. Kedua, bersambung dengan nun taukid secara mubasyirah lafzhan atau taqdiran. Mubasyirah lafzhan maksudnya adalah ada pemisah antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid secara jelas atau konkret. Adapun taqdiran maksudnya adalah tidak ada pemisah antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid (secara tidak jelas atau abstrak(. Indikator fi’il mudhari’ tersebut mabni atau mu’rab adalah apabila fi’il mudhari’-nya tersebut marfu’ dengan tanda damah sebelum bersambung dengan nun taukid, nun taukid-nya tersebut dikatakan nun taukid mubasyirah. Oleh karena itu, fi’il mudhari’ tersebut tergolong  fi’il mudhari’ yang mabni. Akan tetapi, apabila fi’il mudhari’ tersebut marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) karena bersambung dengan alif yang menunjukkan ganda, wawu jama’ah yang menunjukkan banyak,  ya’ mukhathabah yang menunjukkan pelakunya 1 orang perempuan yang sedang diajak berbicara, nun taukid tersebut dikatakan nun taukid yang tidak bersambung secara langsung, maka fi’il mudhari’-nya tersebut tergolong  fi’il mudhari’ yang mu’rab. Contohnya adalah: أَسْمَعُ “Aku sedang mendengar.” Fi’il mudhari’ di atas marfu’ dengan tanda damah. Contoh apabila bersambung dengan nun taukid adalah: والله لَأَسْمَعَنَّ النَّصِيْحَةَ “Demi Allah, aku akan mendengarkan nasihat tersebut.” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il mudhari’ yang bersambung nun taukid mubasyirah atau tidak ada pemisah fi’il mudhari’ tersebut dengan nun taukid baik secara lafzhan atau taqdiran. Kata tersebut mabni dengan tanda fathah karena bersambung dengan nun taukid yang tidak ada pemisah di antara fi’il mudhari’ tersebut dengan nun taukid. Contoh dalam firman Allah, كَلَّا لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ “Sekali-kali tidak, sungguh dia akan dilemparkan dalam (neraka) Huthamah.” (QS. Al-Humazah: 4) Kata كَلَّا adalah huruf yang artinya menghalangi, yang bermaksud sekali-kali tidak. Adapun huruf lam (ل)  yang bersambung dengan fi’il mudhari’ di atas adalah sebagai penegas kalimat dan muncul sebagai jawab sumpah yang dihapus. Kemudian fi’il mudhari’ majhul يُنْبَذَنّ mabni dengan tanda fathah karena bersambung dengan nun taukid dan naibul fail-nya berupa dhamir mustatir هُوَ. Contoh fi’il mudhari’ yang marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) karena bersambung dengan alif yang menunjukkan ganda adalah: تُكْثَرَانِ Apabila nun taukid bersambung dengan fi’il di atas, contohnya adalah: لَا تُكْثِرَانِّ مِنَ الضَحِكِ “Janganlah kalian berdua banyak tertawa.” Maka, fi’il mudhari’ di atas tidak bersambung secara langsung dengan nun taukid karena di antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid tersebut terdapat pemisah, yaitu alif yang menunjukkan ganda. Pemisah tersebut disebut pemisah yang mubasyirah lafzhan (jelas atau konkrit). Contoh dari firman Allah adalah: وَلَا تَتَّبِعَآنِّ سَبِيْلَ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ “Janganlah kalian berdua mengikuti jalan-jalan orang yang tidak berilmu.” (QS. Yunus: 89) Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il mudhari’. Pada asalnya fi’il tersebut marfu’ dengan tanda nun muqaddarah (abstrak) karena adanya 3 huruf nun yang berturut-turut dan bersambung dengan alif yang menunjukkan ganda. Nun taukid di sana termasuk nun taukid ghair mubasyirah (yang tidak bersambung secara langsung dengan huruf asli fi’il mudhari’). Pemisah antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid tersebut adalah alif yang menunjukkan ganda. Oleh karena itu, fi’il mudhari’ tersebut termasuk fi’il mudhari’ yang mu’rab. Adapun huruf لاَ di sana adalah huruf nahiyah (menunjukkan melarang). Fi’il mudhari’ تَتَّبِعَآنِّ  tersebut majzum karena didahului huruf laa (لا) , majzum dengan tanda hazf nun (menghapus huruf nun) dikarenakan termasuk fi’il amstilatul khamsah (fi’il yang 5). Adapun huruf alif (ا) yang terletak setelah huruf ‘ain  (ع) pada fi’il tersebut adalah fa’il. Nun taukid tersebut mabni dengan tanda kasrah dan tidak mempunyai kedudukan di dalam kalimat. Kembali ke bagian 8: Fi’il Mudhari (1) Lanjut ke bagian 10: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada
Ibnu Hisyam mengatakan, وَيُسَكَّنُ آخِرُهُ مَعَ نُوْنِ النِسْوَةِ “Huruf terakhir fi’il mudhari’ disukun, apabila bersambung dengan nun niswah.” Contohnya adalah: يَتَرَبَّصْنَ “Hendaklah mereka (perempuan) menahan diri.” (QS. Al-Baqarah: 228) إِلَّا أَنْ يَّعْفُوْنَ “Kecuali mereka memaafkan (membebaskan).” (QS. Al-Baqarah: 237) وَيُفْتَحُ مَعَ نُوْنِ التَّوْكِيْدِ المُبَاشِرَةِ لَفْظًا وَتَقْدِيْرًا “Huruf terakhir asli dari fi’il tersebut diberi harakat fathah jika bersambung dengan nun taukid yang mubasyirah lafzhan atau taqdiran.” Contohnya adalah: لَيُنْبَذَنَّ “Sungguh dia akan dilemparkan…” (QS. Al-Humazah: 4) وَيُعْرَبُ فِيْمَا عَدَا ذَالِكَ “Apabila fi’il mudhari’nya selain yang dua hal tersebut, (yaitu tidak bersambung nun niswah dan tidak bersambung dengan nun taukid), maka fi’il mudhari’ tersebut dii’rab atau bisa berubah.” Contohnya adalah: يَقُوْمُ زَيْدٌ “Zaid sedang berdiri.” Pada kata يَقُوْمُ , diberi harakat damah pada huruf terakhirnya. Contoh lainnya pada potongan firman Allah, وَلَا تَتَّبِعَآنِّ “Janganlah kalian berdua mengikuti.” (QS. Yunus: 89) لَتُبْلَوُنَّ “Kamu benar-benar akan diuji…” (QS. Ali-Imran: 186) فَإِمَّا تَرَيِنَّ “Kamu benar-benar akan melihatnya…” (QS. Maryam: 26) وَلَا يَصُدُّنَّكَ “Dan janganlah dia sampai menghalang-halangi kamu…” (QS. Al-Qashash: 87) Contoh-contoh di atas adalah pembahasan kedua dari fi’il mudhari’. Yaitu, pembahasan tentang hukum keadaan huruf terakhir dari fi’il mudhari’. Fi’il mudhari’ tersebut ada dua keadaan. Yaitu mabni dan mu’rab. Fi’il mudhari’ ini berbeda dengan fi’il madhi dan amr. Karena fi’il madhi dan fi’il amr tersebut selalu mabni. Fi’il mudhari’ mabni dengan dua keadaan: Pertama, bersambung dengan nun niswah, maka mabni dengan tanda sukun. Contohnya adalah: الْأُمَّهَاتُ الْعَاقَلَاتُ يُهَذِّبْنَ أَوْلَادَهُنَّ “Ibu-ibu yang cerdas akan mengajari anak-anak mereka.” Kata يُهَذِّبْنَ adalah  fi’il mudhari’ mabni dengan tanda sukun, yaitu tepatnya di huruf ب. Adapun nun inats tersebut adalah dhamir muttashil mabni dengan tanda fathah di tempat kedudukan rafa’ sebagai fa’il. Contohnya dalam firman Allah, وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ “Para istri yang diceraikan, wajib mereka menahan diri…” (QS. Al-Baqarah: 228) إِلَّا أَنْ يَّعْفُوْنَ “Kecuali mereka memaafkan (membebaskan)…” (QS  Al-Baqarah: 237) Maka, kata يَّعْفُوْنَ adalah  fi’il mudhari’ mabni dengan tanda sukun di tempat kedudukan manshub karena didahului huruf أَنْ, adapun nun inats tersebut adalah fa’il. Kedua, bersambung dengan nun taukid secara mubasyirah lafzhan atau taqdiran. Mubasyirah lafzhan maksudnya adalah ada pemisah antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid secara jelas atau konkret. Adapun taqdiran maksudnya adalah tidak ada pemisah antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid (secara tidak jelas atau abstrak(. Indikator fi’il mudhari’ tersebut mabni atau mu’rab adalah apabila fi’il mudhari’-nya tersebut marfu’ dengan tanda damah sebelum bersambung dengan nun taukid, nun taukid-nya tersebut dikatakan nun taukid mubasyirah. Oleh karena itu, fi’il mudhari’ tersebut tergolong  fi’il mudhari’ yang mabni. Akan tetapi, apabila fi’il mudhari’ tersebut marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) karena bersambung dengan alif yang menunjukkan ganda, wawu jama’ah yang menunjukkan banyak,  ya’ mukhathabah yang menunjukkan pelakunya 1 orang perempuan yang sedang diajak berbicara, nun taukid tersebut dikatakan nun taukid yang tidak bersambung secara langsung, maka fi’il mudhari’-nya tersebut tergolong  fi’il mudhari’ yang mu’rab. Contohnya adalah: أَسْمَعُ “Aku sedang mendengar.” Fi’il mudhari’ di atas marfu’ dengan tanda damah. Contoh apabila bersambung dengan nun taukid adalah: والله لَأَسْمَعَنَّ النَّصِيْحَةَ “Demi Allah, aku akan mendengarkan nasihat tersebut.” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il mudhari’ yang bersambung nun taukid mubasyirah atau tidak ada pemisah fi’il mudhari’ tersebut dengan nun taukid baik secara lafzhan atau taqdiran. Kata tersebut mabni dengan tanda fathah karena bersambung dengan nun taukid yang tidak ada pemisah di antara fi’il mudhari’ tersebut dengan nun taukid. Contoh dalam firman Allah, كَلَّا لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ “Sekali-kali tidak, sungguh dia akan dilemparkan dalam (neraka) Huthamah.” (QS. Al-Humazah: 4) Kata كَلَّا adalah huruf yang artinya menghalangi, yang bermaksud sekali-kali tidak. Adapun huruf lam (ل)  yang bersambung dengan fi’il mudhari’ di atas adalah sebagai penegas kalimat dan muncul sebagai jawab sumpah yang dihapus. Kemudian fi’il mudhari’ majhul يُنْبَذَنّ mabni dengan tanda fathah karena bersambung dengan nun taukid dan naibul fail-nya berupa dhamir mustatir هُوَ. Contoh fi’il mudhari’ yang marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) karena bersambung dengan alif yang menunjukkan ganda adalah: تُكْثَرَانِ Apabila nun taukid bersambung dengan fi’il di atas, contohnya adalah: لَا تُكْثِرَانِّ مِنَ الضَحِكِ “Janganlah kalian berdua banyak tertawa.” Maka, fi’il mudhari’ di atas tidak bersambung secara langsung dengan nun taukid karena di antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid tersebut terdapat pemisah, yaitu alif yang menunjukkan ganda. Pemisah tersebut disebut pemisah yang mubasyirah lafzhan (jelas atau konkrit). Contoh dari firman Allah adalah: وَلَا تَتَّبِعَآنِّ سَبِيْلَ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ “Janganlah kalian berdua mengikuti jalan-jalan orang yang tidak berilmu.” (QS. Yunus: 89) Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il mudhari’. Pada asalnya fi’il tersebut marfu’ dengan tanda nun muqaddarah (abstrak) karena adanya 3 huruf nun yang berturut-turut dan bersambung dengan alif yang menunjukkan ganda. Nun taukid di sana termasuk nun taukid ghair mubasyirah (yang tidak bersambung secara langsung dengan huruf asli fi’il mudhari’). Pemisah antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid tersebut adalah alif yang menunjukkan ganda. Oleh karena itu, fi’il mudhari’ tersebut termasuk fi’il mudhari’ yang mu’rab. Adapun huruf لاَ di sana adalah huruf nahiyah (menunjukkan melarang). Fi’il mudhari’ تَتَّبِعَآنِّ  tersebut majzum karena didahului huruf laa (لا) , majzum dengan tanda hazf nun (menghapus huruf nun) dikarenakan termasuk fi’il amstilatul khamsah (fi’il yang 5). Adapun huruf alif (ا) yang terletak setelah huruf ‘ain  (ع) pada fi’il tersebut adalah fa’il. Nun taukid tersebut mabni dengan tanda kasrah dan tidak mempunyai kedudukan di dalam kalimat. Kembali ke bagian 8: Fi’il Mudhari (1) Lanjut ke bagian 10: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada


Ibnu Hisyam mengatakan, وَيُسَكَّنُ آخِرُهُ مَعَ نُوْنِ النِسْوَةِ “Huruf terakhir fi’il mudhari’ disukun, apabila bersambung dengan nun niswah.” Contohnya adalah: يَتَرَبَّصْنَ “Hendaklah mereka (perempuan) menahan diri.” (QS. Al-Baqarah: 228) إِلَّا أَنْ يَّعْفُوْنَ “Kecuali mereka memaafkan (membebaskan).” (QS. Al-Baqarah: 237) وَيُفْتَحُ مَعَ نُوْنِ التَّوْكِيْدِ المُبَاشِرَةِ لَفْظًا وَتَقْدِيْرًا “Huruf terakhir asli dari fi’il tersebut diberi harakat fathah jika bersambung dengan nun taukid yang mubasyirah lafzhan atau taqdiran.” Contohnya adalah: لَيُنْبَذَنَّ “Sungguh dia akan dilemparkan…” (QS. Al-Humazah: 4) وَيُعْرَبُ فِيْمَا عَدَا ذَالِكَ “Apabila fi’il mudhari’nya selain yang dua hal tersebut, (yaitu tidak bersambung nun niswah dan tidak bersambung dengan nun taukid), maka fi’il mudhari’ tersebut dii’rab atau bisa berubah.” Contohnya adalah: يَقُوْمُ زَيْدٌ “Zaid sedang berdiri.” Pada kata يَقُوْمُ , diberi harakat damah pada huruf terakhirnya. Contoh lainnya pada potongan firman Allah, وَلَا تَتَّبِعَآنِّ “Janganlah kalian berdua mengikuti.” (QS. Yunus: 89) لَتُبْلَوُنَّ “Kamu benar-benar akan diuji…” (QS. Ali-Imran: 186) فَإِمَّا تَرَيِنَّ “Kamu benar-benar akan melihatnya…” (QS. Maryam: 26) وَلَا يَصُدُّنَّكَ “Dan janganlah dia sampai menghalang-halangi kamu…” (QS. Al-Qashash: 87) Contoh-contoh di atas adalah pembahasan kedua dari fi’il mudhari’. Yaitu, pembahasan tentang hukum keadaan huruf terakhir dari fi’il mudhari’. Fi’il mudhari’ tersebut ada dua keadaan. Yaitu mabni dan mu’rab. Fi’il mudhari’ ini berbeda dengan fi’il madhi dan amr. Karena fi’il madhi dan fi’il amr tersebut selalu mabni. Fi’il mudhari’ mabni dengan dua keadaan: Pertama, bersambung dengan nun niswah, maka mabni dengan tanda sukun. Contohnya adalah: الْأُمَّهَاتُ الْعَاقَلَاتُ يُهَذِّبْنَ أَوْلَادَهُنَّ “Ibu-ibu yang cerdas akan mengajari anak-anak mereka.” Kata يُهَذِّبْنَ adalah  fi’il mudhari’ mabni dengan tanda sukun, yaitu tepatnya di huruf ب. Adapun nun inats tersebut adalah dhamir muttashil mabni dengan tanda fathah di tempat kedudukan rafa’ sebagai fa’il. Contohnya dalam firman Allah, وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ “Para istri yang diceraikan, wajib mereka menahan diri…” (QS. Al-Baqarah: 228) إِلَّا أَنْ يَّعْفُوْنَ “Kecuali mereka memaafkan (membebaskan)…” (QS  Al-Baqarah: 237) Maka, kata يَّعْفُوْنَ adalah  fi’il mudhari’ mabni dengan tanda sukun di tempat kedudukan manshub karena didahului huruf أَنْ, adapun nun inats tersebut adalah fa’il. Kedua, bersambung dengan nun taukid secara mubasyirah lafzhan atau taqdiran. Mubasyirah lafzhan maksudnya adalah ada pemisah antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid secara jelas atau konkret. Adapun taqdiran maksudnya adalah tidak ada pemisah antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid (secara tidak jelas atau abstrak(. Indikator fi’il mudhari’ tersebut mabni atau mu’rab adalah apabila fi’il mudhari’-nya tersebut marfu’ dengan tanda damah sebelum bersambung dengan nun taukid, nun taukid-nya tersebut dikatakan nun taukid mubasyirah. Oleh karena itu, fi’il mudhari’ tersebut tergolong  fi’il mudhari’ yang mabni. Akan tetapi, apabila fi’il mudhari’ tersebut marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) karena bersambung dengan alif yang menunjukkan ganda, wawu jama’ah yang menunjukkan banyak,  ya’ mukhathabah yang menunjukkan pelakunya 1 orang perempuan yang sedang diajak berbicara, nun taukid tersebut dikatakan nun taukid yang tidak bersambung secara langsung, maka fi’il mudhari’-nya tersebut tergolong  fi’il mudhari’ yang mu’rab. Contohnya adalah: أَسْمَعُ “Aku sedang mendengar.” Fi’il mudhari’ di atas marfu’ dengan tanda damah. Contoh apabila bersambung dengan nun taukid adalah: والله لَأَسْمَعَنَّ النَّصِيْحَةَ “Demi Allah, aku akan mendengarkan nasihat tersebut.” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il mudhari’ yang bersambung nun taukid mubasyirah atau tidak ada pemisah fi’il mudhari’ tersebut dengan nun taukid baik secara lafzhan atau taqdiran. Kata tersebut mabni dengan tanda fathah karena bersambung dengan nun taukid yang tidak ada pemisah di antara fi’il mudhari’ tersebut dengan nun taukid. Contoh dalam firman Allah, كَلَّا لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ “Sekali-kali tidak, sungguh dia akan dilemparkan dalam (neraka) Huthamah.” (QS. Al-Humazah: 4) Kata كَلَّا adalah huruf yang artinya menghalangi, yang bermaksud sekali-kali tidak. Adapun huruf lam (ل)  yang bersambung dengan fi’il mudhari’ di atas adalah sebagai penegas kalimat dan muncul sebagai jawab sumpah yang dihapus. Kemudian fi’il mudhari’ majhul يُنْبَذَنّ mabni dengan tanda fathah karena bersambung dengan nun taukid dan naibul fail-nya berupa dhamir mustatir هُوَ. Contoh fi’il mudhari’ yang marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) karena bersambung dengan alif yang menunjukkan ganda adalah: تُكْثَرَانِ Apabila nun taukid bersambung dengan fi’il di atas, contohnya adalah: لَا تُكْثِرَانِّ مِنَ الضَحِكِ “Janganlah kalian berdua banyak tertawa.” Maka, fi’il mudhari’ di atas tidak bersambung secara langsung dengan nun taukid karena di antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid tersebut terdapat pemisah, yaitu alif yang menunjukkan ganda. Pemisah tersebut disebut pemisah yang mubasyirah lafzhan (jelas atau konkrit). Contoh dari firman Allah adalah: وَلَا تَتَّبِعَآنِّ سَبِيْلَ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ “Janganlah kalian berdua mengikuti jalan-jalan orang yang tidak berilmu.” (QS. Yunus: 89) Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il mudhari’. Pada asalnya fi’il tersebut marfu’ dengan tanda nun muqaddarah (abstrak) karena adanya 3 huruf nun yang berturut-turut dan bersambung dengan alif yang menunjukkan ganda. Nun taukid di sana termasuk nun taukid ghair mubasyirah (yang tidak bersambung secara langsung dengan huruf asli fi’il mudhari’). Pemisah antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid tersebut adalah alif yang menunjukkan ganda. Oleh karena itu, fi’il mudhari’ tersebut termasuk fi’il mudhari’ yang mu’rab. Adapun huruf لاَ di sana adalah huruf nahiyah (menunjukkan melarang). Fi’il mudhari’ تَتَّبِعَآنِّ  tersebut majzum karena didahului huruf laa (لا) , majzum dengan tanda hazf nun (menghapus huruf nun) dikarenakan termasuk fi’il amstilatul khamsah (fi’il yang 5). Adapun huruf alif (ا) yang terletak setelah huruf ‘ain  (ع) pada fi’il tersebut adalah fa’il. Nun taukid tersebut mabni dengan tanda kasrah dan tidak mempunyai kedudukan di dalam kalimat. Kembali ke bagian 8: Fi’il Mudhari (1) Lanjut ke bagian 10: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada

Bolehkah Shalat di Rumah yang di Arah Kiblatnya Terdapat Kuburan?

Pertanyaan: Bolehkah seseorang shalat di rumah yang di arah kiblatnya terdapat kuburan? Karena kita mengetahui bahwa tidak boleh shalat di masjid yang terdapat kuburan. Mohon pencerahannya. Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Memang benar bahwa terdapat celaan keras bagi orang-orang yang shalat di tempat yang terdapat kuburan. Dari Aisyah dan juga Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: لَعْنَةُ اللَّهِ علَى اليَهُودِ والنَّصارَى؛ اتَّخَذُوا قُبُورَ أنْبِيائِهِمْ مَساجِدَ قالت عائشة رضي الله عنها يُحَذِّرُ ما صَنَعُوا “Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani, ketika mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai tempat ibadah”. Aisyah berkata: “Nabi melarang perbuatan demikian.” (HR. Bukhari no.1330, Muslim no.529). Adapun shalat di rumah yang terpisah dari kuburan, namun di arah kiblatnya terdapat kuburan, maka ini tidak mengapa. Karena bumi ini seluruhnya boleh digunakan untuk tempat shalat kecuali kamar mandi dan kuburan. Dalam hadis Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: الأرضُ كلُّها مسجدٌ إلا الحمامَ والمقبرةَ “Bumi ini semuanya boleh digunakan untuk tempat shalat, kecuali kamar mandi dan kuburan” (HR. Abu Daud no. 492, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud). Kami tanyakan langsung kasus ini kepada sebagian ulama dengan redaksi pertanyaan: “Semoga Allah melimpahkan kebaikan pada Anda wahai Syaikh. Seseorang di depan rumahnya ada kuburan atau pemakaman, dan itu terletak di arah kiblat. Apakah boleh bagi orang tersebut shalat di rumahnya, misalnya shalat sunnah?”. Syaikh Dr. Muhammad bin Ghaits Al-Ghaits, ulama Uni Emirat Arab, menjawab: يجوز بارك الله فيكم نافلة وفريضة “Hukumnya boleh, baarakallahu fiik, baik shalat sunnah ataupun shalat wajib”. Syaikh Ali Ridha Al-Madini, seorang ulama yang mengajar di Masjid an-Nabawi, beliau menjawab: يجوز نافلة أو فريضة إذا اقتضى الأمر “Boleh shalat di sana, baik shalat sunnah atau shalat wajib, jika dibutuhkan”. Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 568 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,017 QRIS donasi Yufid

Bolehkah Shalat di Rumah yang di Arah Kiblatnya Terdapat Kuburan?

Pertanyaan: Bolehkah seseorang shalat di rumah yang di arah kiblatnya terdapat kuburan? Karena kita mengetahui bahwa tidak boleh shalat di masjid yang terdapat kuburan. Mohon pencerahannya. Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Memang benar bahwa terdapat celaan keras bagi orang-orang yang shalat di tempat yang terdapat kuburan. Dari Aisyah dan juga Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: لَعْنَةُ اللَّهِ علَى اليَهُودِ والنَّصارَى؛ اتَّخَذُوا قُبُورَ أنْبِيائِهِمْ مَساجِدَ قالت عائشة رضي الله عنها يُحَذِّرُ ما صَنَعُوا “Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani, ketika mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai tempat ibadah”. Aisyah berkata: “Nabi melarang perbuatan demikian.” (HR. Bukhari no.1330, Muslim no.529). Adapun shalat di rumah yang terpisah dari kuburan, namun di arah kiblatnya terdapat kuburan, maka ini tidak mengapa. Karena bumi ini seluruhnya boleh digunakan untuk tempat shalat kecuali kamar mandi dan kuburan. Dalam hadis Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: الأرضُ كلُّها مسجدٌ إلا الحمامَ والمقبرةَ “Bumi ini semuanya boleh digunakan untuk tempat shalat, kecuali kamar mandi dan kuburan” (HR. Abu Daud no. 492, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud). Kami tanyakan langsung kasus ini kepada sebagian ulama dengan redaksi pertanyaan: “Semoga Allah melimpahkan kebaikan pada Anda wahai Syaikh. Seseorang di depan rumahnya ada kuburan atau pemakaman, dan itu terletak di arah kiblat. Apakah boleh bagi orang tersebut shalat di rumahnya, misalnya shalat sunnah?”. Syaikh Dr. Muhammad bin Ghaits Al-Ghaits, ulama Uni Emirat Arab, menjawab: يجوز بارك الله فيكم نافلة وفريضة “Hukumnya boleh, baarakallahu fiik, baik shalat sunnah ataupun shalat wajib”. Syaikh Ali Ridha Al-Madini, seorang ulama yang mengajar di Masjid an-Nabawi, beliau menjawab: يجوز نافلة أو فريضة إذا اقتضى الأمر “Boleh shalat di sana, baik shalat sunnah atau shalat wajib, jika dibutuhkan”. Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 568 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,017 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Bolehkah seseorang shalat di rumah yang di arah kiblatnya terdapat kuburan? Karena kita mengetahui bahwa tidak boleh shalat di masjid yang terdapat kuburan. Mohon pencerahannya. Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Memang benar bahwa terdapat celaan keras bagi orang-orang yang shalat di tempat yang terdapat kuburan. Dari Aisyah dan juga Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: لَعْنَةُ اللَّهِ علَى اليَهُودِ والنَّصارَى؛ اتَّخَذُوا قُبُورَ أنْبِيائِهِمْ مَساجِدَ قالت عائشة رضي الله عنها يُحَذِّرُ ما صَنَعُوا “Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani, ketika mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai tempat ibadah”. Aisyah berkata: “Nabi melarang perbuatan demikian.” (HR. Bukhari no.1330, Muslim no.529). Adapun shalat di rumah yang terpisah dari kuburan, namun di arah kiblatnya terdapat kuburan, maka ini tidak mengapa. Karena bumi ini seluruhnya boleh digunakan untuk tempat shalat kecuali kamar mandi dan kuburan. Dalam hadis Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: الأرضُ كلُّها مسجدٌ إلا الحمامَ والمقبرةَ “Bumi ini semuanya boleh digunakan untuk tempat shalat, kecuali kamar mandi dan kuburan” (HR. Abu Daud no. 492, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud). Kami tanyakan langsung kasus ini kepada sebagian ulama dengan redaksi pertanyaan: “Semoga Allah melimpahkan kebaikan pada Anda wahai Syaikh. Seseorang di depan rumahnya ada kuburan atau pemakaman, dan itu terletak di arah kiblat. Apakah boleh bagi orang tersebut shalat di rumahnya, misalnya shalat sunnah?”. Syaikh Dr. Muhammad bin Ghaits Al-Ghaits, ulama Uni Emirat Arab, menjawab: يجوز بارك الله فيكم نافلة وفريضة “Hukumnya boleh, baarakallahu fiik, baik shalat sunnah ataupun shalat wajib”. Syaikh Ali Ridha Al-Madini, seorang ulama yang mengajar di Masjid an-Nabawi, beliau menjawab: يجوز نافلة أو فريضة إذا اقتضى الأمر “Boleh shalat di sana, baik shalat sunnah atau shalat wajib, jika dibutuhkan”. Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 568 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,017 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Bolehkah seseorang shalat di rumah yang di arah kiblatnya terdapat kuburan? Karena kita mengetahui bahwa tidak boleh shalat di masjid yang terdapat kuburan. Mohon pencerahannya. Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Memang benar bahwa terdapat celaan keras bagi orang-orang yang shalat di tempat yang terdapat kuburan. Dari Aisyah dan juga Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: لَعْنَةُ اللَّهِ علَى اليَهُودِ والنَّصارَى؛ اتَّخَذُوا قُبُورَ أنْبِيائِهِمْ مَساجِدَ قالت عائشة رضي الله عنها يُحَذِّرُ ما صَنَعُوا “Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani, ketika mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai tempat ibadah”. Aisyah berkata: “Nabi melarang perbuatan demikian.” (HR. Bukhari no.1330, Muslim no.529). Adapun shalat di rumah yang terpisah dari kuburan, namun di arah kiblatnya terdapat kuburan, maka ini tidak mengapa. Karena bumi ini seluruhnya boleh digunakan untuk tempat shalat kecuali kamar mandi dan kuburan. Dalam hadis Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: الأرضُ كلُّها مسجدٌ إلا الحمامَ والمقبرةَ “Bumi ini semuanya boleh digunakan untuk tempat shalat, kecuali kamar mandi dan kuburan” (HR. Abu Daud no. 492, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud). Kami tanyakan langsung kasus ini kepada sebagian ulama dengan redaksi pertanyaan: “Semoga Allah melimpahkan kebaikan pada Anda wahai Syaikh. Seseorang di depan rumahnya ada kuburan atau pemakaman, dan itu terletak di arah kiblat. Apakah boleh bagi orang tersebut shalat di rumahnya, misalnya shalat sunnah?”. Syaikh Dr. Muhammad bin Ghaits Al-Ghaits, ulama Uni Emirat Arab, menjawab: يجوز بارك الله فيكم نافلة وفريضة “Hukumnya boleh, baarakallahu fiik, baik shalat sunnah ataupun shalat wajib”. Syaikh Ali Ridha Al-Madini, seorang ulama yang mengajar di Masjid an-Nabawi, beliau menjawab: يجوز نافلة أو فريضة إذا اقتضى الأمر “Boleh shalat di sana, baik shalat sunnah atau shalat wajib, jika dibutuhkan”. Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 568 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,017 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Mengikuti Jalan Salaf

Daftar Isi Toggle Keutamaan Para SahabatWajibnya Mengikuti Jalan Mereka Salaf saleh atau pendahulu yang baik merupakan sebutan bagi tiga generasi terbaik umat ini. Yaitu, para sahabat (Muhajirin dan Anshar), tabi’in (murid para sahabat), dan tabi’ut tabi’in (murid para tabi’in). Allah Ta’ala berfirman, وَٱلسَّـٰبِقُونَ ٱلْأَوَّلُونَ مِنَ ٱلْمُهَـٰجِرِينَ وَٱلْأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحْسَـٰنٍۢ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ “Dan orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama, yaitu kaum Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya.” (QS. At-Taubah: 100) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خيرُ الناسِ قرني ثم الذين يلونَهم ثم الذين يلونَهم “Sebaik-baik manusia adalah di zamanku. Kemudian orang-orang yang mengikuti mereka. Kemudian berikutnya yang mengikutinya sesudahnya.” (HR. Bukhari) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, فإنه من يعش منكم فسيرى اختلافا كثيرا ، فعليكم بسنتي ، وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجذ ، وإياكم ومحدثات الأمور ، فإن كل بدعة ضلالة “Barangsiapa yang hidup sepeninggalku, maka dia akan melihat banyak perselisihan. Oleh sebab itu, wajib atas kalian untuk mengikuti sunah/ajaranku dan sunah/ajaran Khulafa’ Ar-Rasyidin yang berpetunjuk. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian. Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan. Sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata, “Hadis hasan sahih.”) Keutamaan Para Sahabat Allah Ta’ala berfirman mengenai para sahabat dalam ayat-Nya, لَّقَدْ رَضِىَ ٱللَّهُ عَنِ ٱلْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ ٱلشَّجَرَةِ “Sungguh, Allah telah rida kepada orang-orang yang beriman, yaitu ketika mereka bersumpah setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon itu.” (QS. Al-Fath: 18) Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan di dalam tafsirnya bahwa jumlah para sahabat yang ikut serta dalam sumpah setia/bai’at di bawah pohon itu (yang dikenal dengan Bai’atur Ridhwan) adalah 1400 orang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak akan masuk neraka seorang pun di antara orang-orang (para sahabat) yang ikut berbai’at di bawah pohon itu.” (HR. Muslim) (Lihat Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 469.) Imam Bukhari membuat sebuah bab dalam Shahih-nya dengan judul, ‘Tanda Keimanan adalah Mencintai Kaum Anshar.’ (Lihat Fath Al-Bari, 1: 79.) Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, آيَةُ الإِيْمَانِ حُبُّ الأَنْصَارِ وَآيَــةُ النِّفَاقِ بُعْضُ الأَنْصَارِ “Tanda keimanan adalah mencintai Anshar, sedangkan tanda kemunafikan adalah membenci Anshar.” (HR. Bukhari) Dalam riwayat lain, dikatakan, “Tidaklah membenci Anshar seorang lelaki yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (HR. Muslim). Dalam riwayat lain lagi disebutkan, “Mencintai Anshar adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan.” (HR. Ahmad) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kalian mencela para sahabatku. Seandainya ada salah seorang dari kalian yang berinfak emas seberat gunung Uhud, maka tidak akan mengimbangi infak salah seorang di antara mereka, walaupun itu cuma satu mud/dua genggaman tangan, atau bahkan setengahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Adapun hadis yang populer, “Para sahabatku seperti bintang-bintang. Dengan siapa pun di antara mereka kamu meneladani, maka kalian akan mendapatkan petunjuk.” Ini merupakan hadis yang lemah. Al-Bazzar berkata, “Hadis ini tidak sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak pula terdapat dalam kitab-kitab hadis yang menjadi rujukan.” (lihat Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 468-469.) Imam Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahullah mengatakan, “Apabila kamu melihat ada seseorang yang menjelek-jelekkan salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang zindik. Hal itu dikarenakan menurut kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah membawa kebenaran. Demikian pula, Al-Qur’an yang beliau sampaikan adalah benar. Dan sesungguhnya yang menyampaikan kepada kita Al-Qur’an dan sunah-sunah ini adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan sesungguhnya mereka (para pencela sahabat) hanyalah bermaksud untuk menjatuhkan kedudukan para saksi kita demi membatalkan Al-Kitab dan As-Sunnah. Maka, mereka itu lebih pantas untuk dicela, dan mereka itu adalah orang-orang zindik.” (lihat Qathful Jana Ad-Daani Syarh Muqaddimah Ibnu Abi Zaid Al-Qairuwani, hal. 161) Baca juga: Apakah Menisbatkan Diri kepada Salafi Itu Tercela? Wajibnya Mengikuti Jalan Mereka Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka, mereka itu (sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in/salaf saleh, pent) adalah teladan bagi umat ini. Dan yang dimaksud manhaj mereka ialah jalan yang mereka berjalan di atasnya. Yaitu, dalam hal akidah mereka, dalam hal mu’amalah mereka, di dalam akhlak mereka, dan dalam segala urusan mereka. Itulah manhaj yang bersumber dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Karena begitu dekatnya mereka (salaf saleh) dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, dan karena kedekatan mereka dengan masa turunnya wahyu. Dan karena mereka mengambilnya langsung dari Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh sebab itu, mereka menjadi generasi yang terbaik, dan manhaj/jalan mereka adalah sebaik-baik jalan …” (Lihat Manhaj As-Salaf Ash-Shalih wa Hajatul Ummah Ilaih, hal. 2-3) Mengikuti jalan kaum salaf adalah wajib. Hal ini berdasarkan firman Allah, وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا “Barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan dia mengikuti selain jalan orang-orang beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami pun akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’: 115) Dan tidaklah diragukan bahwa jalan para sahabat dan tabi’in adalah jalan kaum beriman yang harus diikuti. (Lihat Al-Mukhtashar Al-Hatsits, hal. 21.) Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Pokok-pokok sunah menurut kami adalah berpegang teguh dengan ajaran para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berusaha meneladani mereka, dan meninggalkan bid’ah-bid’ah.” (Lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 47-48.) Imam Al-Ajurri rahimahullah berkata, “Ciri orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah adalah meniti jalan ini, Kitabullah dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta sunah para sahabatnya radhiyallahu ’anhum, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Dia mengikuti jalan para imam kaum muslimin yang ada di setiap negeri sampai para ulama yang terakhir di antara mereka; semisal Al-Auza’i, Sufyan Ats-Tsauri, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Al-Qasim bin Sallam, dan orang-orang yang berada di atas jalan yang mereka tempuh serta dengan menjauhi setiap mazhab/aliran yang dicela oleh para ulama tersebut.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 49.) Imam Al-Ajurri rahimahullah meriwayatkan dalam Asy-Syari’ah (hal. 127) dari Al-Walid bin Mazyad, dia berkata, Aku mendengar Al-Auza’i berkata, “Hendaklah kamu mengikuti jejak-jejam kaum salaf, meskipun orang-orang menolakmu. Dan jauhilah olehmu pendapat akal (ra’yu) manusia, meskipun mereka menghias-hiasinya dengan ucapan yang indah.” (Lihat Asy-Syari’ah, 1: 445) Baca juga: Potret Salaf dalam Semangat Mengamalkan Ilmu *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: Salaf

Mengikuti Jalan Salaf

Daftar Isi Toggle Keutamaan Para SahabatWajibnya Mengikuti Jalan Mereka Salaf saleh atau pendahulu yang baik merupakan sebutan bagi tiga generasi terbaik umat ini. Yaitu, para sahabat (Muhajirin dan Anshar), tabi’in (murid para sahabat), dan tabi’ut tabi’in (murid para tabi’in). Allah Ta’ala berfirman, وَٱلسَّـٰبِقُونَ ٱلْأَوَّلُونَ مِنَ ٱلْمُهَـٰجِرِينَ وَٱلْأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحْسَـٰنٍۢ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ “Dan orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama, yaitu kaum Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya.” (QS. At-Taubah: 100) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خيرُ الناسِ قرني ثم الذين يلونَهم ثم الذين يلونَهم “Sebaik-baik manusia adalah di zamanku. Kemudian orang-orang yang mengikuti mereka. Kemudian berikutnya yang mengikutinya sesudahnya.” (HR. Bukhari) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, فإنه من يعش منكم فسيرى اختلافا كثيرا ، فعليكم بسنتي ، وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجذ ، وإياكم ومحدثات الأمور ، فإن كل بدعة ضلالة “Barangsiapa yang hidup sepeninggalku, maka dia akan melihat banyak perselisihan. Oleh sebab itu, wajib atas kalian untuk mengikuti sunah/ajaranku dan sunah/ajaran Khulafa’ Ar-Rasyidin yang berpetunjuk. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian. Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan. Sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata, “Hadis hasan sahih.”) Keutamaan Para Sahabat Allah Ta’ala berfirman mengenai para sahabat dalam ayat-Nya, لَّقَدْ رَضِىَ ٱللَّهُ عَنِ ٱلْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ ٱلشَّجَرَةِ “Sungguh, Allah telah rida kepada orang-orang yang beriman, yaitu ketika mereka bersumpah setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon itu.” (QS. Al-Fath: 18) Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan di dalam tafsirnya bahwa jumlah para sahabat yang ikut serta dalam sumpah setia/bai’at di bawah pohon itu (yang dikenal dengan Bai’atur Ridhwan) adalah 1400 orang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak akan masuk neraka seorang pun di antara orang-orang (para sahabat) yang ikut berbai’at di bawah pohon itu.” (HR. Muslim) (Lihat Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 469.) Imam Bukhari membuat sebuah bab dalam Shahih-nya dengan judul, ‘Tanda Keimanan adalah Mencintai Kaum Anshar.’ (Lihat Fath Al-Bari, 1: 79.) Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, آيَةُ الإِيْمَانِ حُبُّ الأَنْصَارِ وَآيَــةُ النِّفَاقِ بُعْضُ الأَنْصَارِ “Tanda keimanan adalah mencintai Anshar, sedangkan tanda kemunafikan adalah membenci Anshar.” (HR. Bukhari) Dalam riwayat lain, dikatakan, “Tidaklah membenci Anshar seorang lelaki yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (HR. Muslim). Dalam riwayat lain lagi disebutkan, “Mencintai Anshar adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan.” (HR. Ahmad) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kalian mencela para sahabatku. Seandainya ada salah seorang dari kalian yang berinfak emas seberat gunung Uhud, maka tidak akan mengimbangi infak salah seorang di antara mereka, walaupun itu cuma satu mud/dua genggaman tangan, atau bahkan setengahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Adapun hadis yang populer, “Para sahabatku seperti bintang-bintang. Dengan siapa pun di antara mereka kamu meneladani, maka kalian akan mendapatkan petunjuk.” Ini merupakan hadis yang lemah. Al-Bazzar berkata, “Hadis ini tidak sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak pula terdapat dalam kitab-kitab hadis yang menjadi rujukan.” (lihat Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 468-469.) Imam Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahullah mengatakan, “Apabila kamu melihat ada seseorang yang menjelek-jelekkan salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang zindik. Hal itu dikarenakan menurut kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah membawa kebenaran. Demikian pula, Al-Qur’an yang beliau sampaikan adalah benar. Dan sesungguhnya yang menyampaikan kepada kita Al-Qur’an dan sunah-sunah ini adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan sesungguhnya mereka (para pencela sahabat) hanyalah bermaksud untuk menjatuhkan kedudukan para saksi kita demi membatalkan Al-Kitab dan As-Sunnah. Maka, mereka itu lebih pantas untuk dicela, dan mereka itu adalah orang-orang zindik.” (lihat Qathful Jana Ad-Daani Syarh Muqaddimah Ibnu Abi Zaid Al-Qairuwani, hal. 161) Baca juga: Apakah Menisbatkan Diri kepada Salafi Itu Tercela? Wajibnya Mengikuti Jalan Mereka Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka, mereka itu (sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in/salaf saleh, pent) adalah teladan bagi umat ini. Dan yang dimaksud manhaj mereka ialah jalan yang mereka berjalan di atasnya. Yaitu, dalam hal akidah mereka, dalam hal mu’amalah mereka, di dalam akhlak mereka, dan dalam segala urusan mereka. Itulah manhaj yang bersumber dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Karena begitu dekatnya mereka (salaf saleh) dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, dan karena kedekatan mereka dengan masa turunnya wahyu. Dan karena mereka mengambilnya langsung dari Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh sebab itu, mereka menjadi generasi yang terbaik, dan manhaj/jalan mereka adalah sebaik-baik jalan …” (Lihat Manhaj As-Salaf Ash-Shalih wa Hajatul Ummah Ilaih, hal. 2-3) Mengikuti jalan kaum salaf adalah wajib. Hal ini berdasarkan firman Allah, وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا “Barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan dia mengikuti selain jalan orang-orang beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami pun akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’: 115) Dan tidaklah diragukan bahwa jalan para sahabat dan tabi’in adalah jalan kaum beriman yang harus diikuti. (Lihat Al-Mukhtashar Al-Hatsits, hal. 21.) Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Pokok-pokok sunah menurut kami adalah berpegang teguh dengan ajaran para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berusaha meneladani mereka, dan meninggalkan bid’ah-bid’ah.” (Lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 47-48.) Imam Al-Ajurri rahimahullah berkata, “Ciri orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah adalah meniti jalan ini, Kitabullah dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta sunah para sahabatnya radhiyallahu ’anhum, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Dia mengikuti jalan para imam kaum muslimin yang ada di setiap negeri sampai para ulama yang terakhir di antara mereka; semisal Al-Auza’i, Sufyan Ats-Tsauri, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Al-Qasim bin Sallam, dan orang-orang yang berada di atas jalan yang mereka tempuh serta dengan menjauhi setiap mazhab/aliran yang dicela oleh para ulama tersebut.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 49.) Imam Al-Ajurri rahimahullah meriwayatkan dalam Asy-Syari’ah (hal. 127) dari Al-Walid bin Mazyad, dia berkata, Aku mendengar Al-Auza’i berkata, “Hendaklah kamu mengikuti jejak-jejam kaum salaf, meskipun orang-orang menolakmu. Dan jauhilah olehmu pendapat akal (ra’yu) manusia, meskipun mereka menghias-hiasinya dengan ucapan yang indah.” (Lihat Asy-Syari’ah, 1: 445) Baca juga: Potret Salaf dalam Semangat Mengamalkan Ilmu *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: Salaf
Daftar Isi Toggle Keutamaan Para SahabatWajibnya Mengikuti Jalan Mereka Salaf saleh atau pendahulu yang baik merupakan sebutan bagi tiga generasi terbaik umat ini. Yaitu, para sahabat (Muhajirin dan Anshar), tabi’in (murid para sahabat), dan tabi’ut tabi’in (murid para tabi’in). Allah Ta’ala berfirman, وَٱلسَّـٰبِقُونَ ٱلْأَوَّلُونَ مِنَ ٱلْمُهَـٰجِرِينَ وَٱلْأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحْسَـٰنٍۢ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ “Dan orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama, yaitu kaum Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya.” (QS. At-Taubah: 100) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خيرُ الناسِ قرني ثم الذين يلونَهم ثم الذين يلونَهم “Sebaik-baik manusia adalah di zamanku. Kemudian orang-orang yang mengikuti mereka. Kemudian berikutnya yang mengikutinya sesudahnya.” (HR. Bukhari) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, فإنه من يعش منكم فسيرى اختلافا كثيرا ، فعليكم بسنتي ، وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجذ ، وإياكم ومحدثات الأمور ، فإن كل بدعة ضلالة “Barangsiapa yang hidup sepeninggalku, maka dia akan melihat banyak perselisihan. Oleh sebab itu, wajib atas kalian untuk mengikuti sunah/ajaranku dan sunah/ajaran Khulafa’ Ar-Rasyidin yang berpetunjuk. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian. Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan. Sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata, “Hadis hasan sahih.”) Keutamaan Para Sahabat Allah Ta’ala berfirman mengenai para sahabat dalam ayat-Nya, لَّقَدْ رَضِىَ ٱللَّهُ عَنِ ٱلْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ ٱلشَّجَرَةِ “Sungguh, Allah telah rida kepada orang-orang yang beriman, yaitu ketika mereka bersumpah setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon itu.” (QS. Al-Fath: 18) Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan di dalam tafsirnya bahwa jumlah para sahabat yang ikut serta dalam sumpah setia/bai’at di bawah pohon itu (yang dikenal dengan Bai’atur Ridhwan) adalah 1400 orang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak akan masuk neraka seorang pun di antara orang-orang (para sahabat) yang ikut berbai’at di bawah pohon itu.” (HR. Muslim) (Lihat Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 469.) Imam Bukhari membuat sebuah bab dalam Shahih-nya dengan judul, ‘Tanda Keimanan adalah Mencintai Kaum Anshar.’ (Lihat Fath Al-Bari, 1: 79.) Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, آيَةُ الإِيْمَانِ حُبُّ الأَنْصَارِ وَآيَــةُ النِّفَاقِ بُعْضُ الأَنْصَارِ “Tanda keimanan adalah mencintai Anshar, sedangkan tanda kemunafikan adalah membenci Anshar.” (HR. Bukhari) Dalam riwayat lain, dikatakan, “Tidaklah membenci Anshar seorang lelaki yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (HR. Muslim). Dalam riwayat lain lagi disebutkan, “Mencintai Anshar adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan.” (HR. Ahmad) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kalian mencela para sahabatku. Seandainya ada salah seorang dari kalian yang berinfak emas seberat gunung Uhud, maka tidak akan mengimbangi infak salah seorang di antara mereka, walaupun itu cuma satu mud/dua genggaman tangan, atau bahkan setengahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Adapun hadis yang populer, “Para sahabatku seperti bintang-bintang. Dengan siapa pun di antara mereka kamu meneladani, maka kalian akan mendapatkan petunjuk.” Ini merupakan hadis yang lemah. Al-Bazzar berkata, “Hadis ini tidak sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak pula terdapat dalam kitab-kitab hadis yang menjadi rujukan.” (lihat Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 468-469.) Imam Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahullah mengatakan, “Apabila kamu melihat ada seseorang yang menjelek-jelekkan salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang zindik. Hal itu dikarenakan menurut kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah membawa kebenaran. Demikian pula, Al-Qur’an yang beliau sampaikan adalah benar. Dan sesungguhnya yang menyampaikan kepada kita Al-Qur’an dan sunah-sunah ini adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan sesungguhnya mereka (para pencela sahabat) hanyalah bermaksud untuk menjatuhkan kedudukan para saksi kita demi membatalkan Al-Kitab dan As-Sunnah. Maka, mereka itu lebih pantas untuk dicela, dan mereka itu adalah orang-orang zindik.” (lihat Qathful Jana Ad-Daani Syarh Muqaddimah Ibnu Abi Zaid Al-Qairuwani, hal. 161) Baca juga: Apakah Menisbatkan Diri kepada Salafi Itu Tercela? Wajibnya Mengikuti Jalan Mereka Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka, mereka itu (sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in/salaf saleh, pent) adalah teladan bagi umat ini. Dan yang dimaksud manhaj mereka ialah jalan yang mereka berjalan di atasnya. Yaitu, dalam hal akidah mereka, dalam hal mu’amalah mereka, di dalam akhlak mereka, dan dalam segala urusan mereka. Itulah manhaj yang bersumber dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Karena begitu dekatnya mereka (salaf saleh) dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, dan karena kedekatan mereka dengan masa turunnya wahyu. Dan karena mereka mengambilnya langsung dari Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh sebab itu, mereka menjadi generasi yang terbaik, dan manhaj/jalan mereka adalah sebaik-baik jalan …” (Lihat Manhaj As-Salaf Ash-Shalih wa Hajatul Ummah Ilaih, hal. 2-3) Mengikuti jalan kaum salaf adalah wajib. Hal ini berdasarkan firman Allah, وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا “Barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan dia mengikuti selain jalan orang-orang beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami pun akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’: 115) Dan tidaklah diragukan bahwa jalan para sahabat dan tabi’in adalah jalan kaum beriman yang harus diikuti. (Lihat Al-Mukhtashar Al-Hatsits, hal. 21.) Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Pokok-pokok sunah menurut kami adalah berpegang teguh dengan ajaran para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berusaha meneladani mereka, dan meninggalkan bid’ah-bid’ah.” (Lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 47-48.) Imam Al-Ajurri rahimahullah berkata, “Ciri orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah adalah meniti jalan ini, Kitabullah dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta sunah para sahabatnya radhiyallahu ’anhum, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Dia mengikuti jalan para imam kaum muslimin yang ada di setiap negeri sampai para ulama yang terakhir di antara mereka; semisal Al-Auza’i, Sufyan Ats-Tsauri, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Al-Qasim bin Sallam, dan orang-orang yang berada di atas jalan yang mereka tempuh serta dengan menjauhi setiap mazhab/aliran yang dicela oleh para ulama tersebut.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 49.) Imam Al-Ajurri rahimahullah meriwayatkan dalam Asy-Syari’ah (hal. 127) dari Al-Walid bin Mazyad, dia berkata, Aku mendengar Al-Auza’i berkata, “Hendaklah kamu mengikuti jejak-jejam kaum salaf, meskipun orang-orang menolakmu. Dan jauhilah olehmu pendapat akal (ra’yu) manusia, meskipun mereka menghias-hiasinya dengan ucapan yang indah.” (Lihat Asy-Syari’ah, 1: 445) Baca juga: Potret Salaf dalam Semangat Mengamalkan Ilmu *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: Salaf


Daftar Isi Toggle Keutamaan Para SahabatWajibnya Mengikuti Jalan Mereka Salaf saleh atau pendahulu yang baik merupakan sebutan bagi tiga generasi terbaik umat ini. Yaitu, para sahabat (Muhajirin dan Anshar), tabi’in (murid para sahabat), dan tabi’ut tabi’in (murid para tabi’in). Allah Ta’ala berfirman, وَٱلسَّـٰبِقُونَ ٱلْأَوَّلُونَ مِنَ ٱلْمُهَـٰجِرِينَ وَٱلْأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحْسَـٰنٍۢ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ “Dan orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama, yaitu kaum Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya.” (QS. At-Taubah: 100) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خيرُ الناسِ قرني ثم الذين يلونَهم ثم الذين يلونَهم “Sebaik-baik manusia adalah di zamanku. Kemudian orang-orang yang mengikuti mereka. Kemudian berikutnya yang mengikutinya sesudahnya.” (HR. Bukhari) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, فإنه من يعش منكم فسيرى اختلافا كثيرا ، فعليكم بسنتي ، وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجذ ، وإياكم ومحدثات الأمور ، فإن كل بدعة ضلالة “Barangsiapa yang hidup sepeninggalku, maka dia akan melihat banyak perselisihan. Oleh sebab itu, wajib atas kalian untuk mengikuti sunah/ajaranku dan sunah/ajaran Khulafa’ Ar-Rasyidin yang berpetunjuk. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian. Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan. Sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata, “Hadis hasan sahih.”) Keutamaan Para Sahabat Allah Ta’ala berfirman mengenai para sahabat dalam ayat-Nya, لَّقَدْ رَضِىَ ٱللَّهُ عَنِ ٱلْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ ٱلشَّجَرَةِ “Sungguh, Allah telah rida kepada orang-orang yang beriman, yaitu ketika mereka bersumpah setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon itu.” (QS. Al-Fath: 18) Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan di dalam tafsirnya bahwa jumlah para sahabat yang ikut serta dalam sumpah setia/bai’at di bawah pohon itu (yang dikenal dengan Bai’atur Ridhwan) adalah 1400 orang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak akan masuk neraka seorang pun di antara orang-orang (para sahabat) yang ikut berbai’at di bawah pohon itu.” (HR. Muslim) (Lihat Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 469.) Imam Bukhari membuat sebuah bab dalam Shahih-nya dengan judul, ‘Tanda Keimanan adalah Mencintai Kaum Anshar.’ (Lihat Fath Al-Bari, 1: 79.) Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, آيَةُ الإِيْمَانِ حُبُّ الأَنْصَارِ وَآيَــةُ النِّفَاقِ بُعْضُ الأَنْصَارِ “Tanda keimanan adalah mencintai Anshar, sedangkan tanda kemunafikan adalah membenci Anshar.” (HR. Bukhari) Dalam riwayat lain, dikatakan, “Tidaklah membenci Anshar seorang lelaki yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (HR. Muslim). Dalam riwayat lain lagi disebutkan, “Mencintai Anshar adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan.” (HR. Ahmad) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kalian mencela para sahabatku. Seandainya ada salah seorang dari kalian yang berinfak emas seberat gunung Uhud, maka tidak akan mengimbangi infak salah seorang di antara mereka, walaupun itu cuma satu mud/dua genggaman tangan, atau bahkan setengahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Adapun hadis yang populer, “Para sahabatku seperti bintang-bintang. Dengan siapa pun di antara mereka kamu meneladani, maka kalian akan mendapatkan petunjuk.” Ini merupakan hadis yang lemah. Al-Bazzar berkata, “Hadis ini tidak sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak pula terdapat dalam kitab-kitab hadis yang menjadi rujukan.” (lihat Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 468-469.) Imam Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahullah mengatakan, “Apabila kamu melihat ada seseorang yang menjelek-jelekkan salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang zindik. Hal itu dikarenakan menurut kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah membawa kebenaran. Demikian pula, Al-Qur’an yang beliau sampaikan adalah benar. Dan sesungguhnya yang menyampaikan kepada kita Al-Qur’an dan sunah-sunah ini adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan sesungguhnya mereka (para pencela sahabat) hanyalah bermaksud untuk menjatuhkan kedudukan para saksi kita demi membatalkan Al-Kitab dan As-Sunnah. Maka, mereka itu lebih pantas untuk dicela, dan mereka itu adalah orang-orang zindik.” (lihat Qathful Jana Ad-Daani Syarh Muqaddimah Ibnu Abi Zaid Al-Qairuwani, hal. 161) Baca juga: Apakah Menisbatkan Diri kepada Salafi Itu Tercela? Wajibnya Mengikuti Jalan Mereka Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka, mereka itu (sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in/salaf saleh, pent) adalah teladan bagi umat ini. Dan yang dimaksud manhaj mereka ialah jalan yang mereka berjalan di atasnya. Yaitu, dalam hal akidah mereka, dalam hal mu’amalah mereka, di dalam akhlak mereka, dan dalam segala urusan mereka. Itulah manhaj yang bersumber dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Karena begitu dekatnya mereka (salaf saleh) dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, dan karena kedekatan mereka dengan masa turunnya wahyu. Dan karena mereka mengambilnya langsung dari Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh sebab itu, mereka menjadi generasi yang terbaik, dan manhaj/jalan mereka adalah sebaik-baik jalan …” (Lihat Manhaj As-Salaf Ash-Shalih wa Hajatul Ummah Ilaih, hal. 2-3) Mengikuti jalan kaum salaf adalah wajib. Hal ini berdasarkan firman Allah, وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا “Barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan dia mengikuti selain jalan orang-orang beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami pun akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’: 115) Dan tidaklah diragukan bahwa jalan para sahabat dan tabi’in adalah jalan kaum beriman yang harus diikuti. (Lihat Al-Mukhtashar Al-Hatsits, hal. 21.) Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Pokok-pokok sunah menurut kami adalah berpegang teguh dengan ajaran para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berusaha meneladani mereka, dan meninggalkan bid’ah-bid’ah.” (Lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 47-48.) Imam Al-Ajurri rahimahullah berkata, “Ciri orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah adalah meniti jalan ini, Kitabullah dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta sunah para sahabatnya radhiyallahu ’anhum, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Dia mengikuti jalan para imam kaum muslimin yang ada di setiap negeri sampai para ulama yang terakhir di antara mereka; semisal Al-Auza’i, Sufyan Ats-Tsauri, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Al-Qasim bin Sallam, dan orang-orang yang berada di atas jalan yang mereka tempuh serta dengan menjauhi setiap mazhab/aliran yang dicela oleh para ulama tersebut.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 49.) Imam Al-Ajurri rahimahullah meriwayatkan dalam Asy-Syari’ah (hal. 127) dari Al-Walid bin Mazyad, dia berkata, Aku mendengar Al-Auza’i berkata, “Hendaklah kamu mengikuti jejak-jejam kaum salaf, meskipun orang-orang menolakmu. Dan jauhilah olehmu pendapat akal (ra’yu) manusia, meskipun mereka menghias-hiasinya dengan ucapan yang indah.” (Lihat Asy-Syari’ah, 1: 445) Baca juga: Potret Salaf dalam Semangat Mengamalkan Ilmu *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: Salaf

Indahnya Tadabbur Al-Quran

Allah Ta’ala telah mengabarkan bahwa Dia telah menurunkan Al-Quran agar bisa ditadaburi ayat-ayatnya. Allah Ta’ala berfirman, كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَك لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ  “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan keberkahan, supaya mereka memperhatikan (mentadaburi) ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai pikiran mendapatkan pelajaran.” (QS. Sad: 29) Terdapat banyak dalil yang sangat jelas tentang pentingnya memberikan perhatian terhadap Al-Quran dan bahwa Al-Quran merupakan perkara yang paling agung yang bisa memperbaiki kondisi hati. Lebih-lebih jika membaca Al-Quran bersamaan dengan tadabur dan perenungan serta kesungguhan untuk memahami makna-maknanya. Siapa saja yang mentadaburi ayat-ayat Al-Quran, niscaya dia akan lebih mengenal Rabbnya. Dia mengetahui besarnya nikmat dan anugerah yang Allah berikan kepada orang-orang yang beriman. Seseorang akan mengetahui ibadah yang diwajibkan kepadanya. Ia pun bersemangat melaksanakan kewajiban dan meninggalkan semua larangan Rabbnya. Siapa saja yang mempunyai karakter seperti ini ketika membaca Al-Quran dan ketika mendengarkannya dari orang lain, niscaya Al-Quran akan menjadi penyembuh baginya. Ia akan menjadi kaya tanpa harta dan menjadi mulia tanpa bersandar kepada manusia. Cita-citanya adalah bisa memahami firman Allah Ta’ala, terselamatkan dari ancaman, dan mengambil pelajaran dari bacaan Al-Quran. Hal ini karena membaca Al-Quran merupakan ibadah, dan ibadah tidak bisa dilakukan dengan hati yang lalai. Sedangkan Allah-lah yang memberikan taufik atas hal tersebut. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala senantiasa memerintahkan hamba-hamba-Nya dan mendorong mereka untuk mentadaburi isi (kandungan) Al-Quran. Allah Ta’ala berfirman, أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَۚ وَلَوۡ كَانَ مِنۡ عِندِ غَيۡرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ ٱخۡتِلَٰفا كَثِيرا  “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau sekiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisa’: 82) Allah Ta’ala kabarkan bahwa orang-orang yang tidak ingin mentadaburi Al-Quran itu hatinya telah terkunci, tidak bisa terbuka menerima petunjuk. Allah Ta’ala berfirman, أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَ أَمۡ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقۡفَالُهَآ  “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran, ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24) Allah Ta’ala menjelaskan bahwa lalai dari tadabur Al-Quran adalah sebab tidak adanya hidayah bagi orang-orang yang melenceng dari jalan yang lurus, juga karena kesombongan mereka dari mendengarkan Al-Quran. Allah Ta’ala berfirman, قَدۡ كَانَتۡ ءَايَٰتِي تُتۡلَىٰ عَلَيۡكُمۡ فَكُنتُمۡ عَلَىٰٓ أَعۡقَٰبِكُمۡ تَنكِصُونَ  ؛ مُسۡتَكۡبِرِينَ بِهِۦ سَٰمِرا تَهۡجُرُونَ  ؛ أَفَلَمۡ يَدَّبَّرُواْ ٱلۡقَوۡلَ أَمۡ جَآءَهُم مَّا لَمۡ يَأۡتِ ءَابَآءَهُمُ ٱلۡأَوَّلِينَ  “Sesungguhnya ayat-ayat-Ku (Al-Quran) selalu dibacakan kepada kamu sekalian, maka kamu selalu berpaling ke belakang, dengan menyombongkan diri terhadap Al-Quran itu dan mengucapkan perkataan-perkataan keji terhadapnya di waktu kamu bercakap-cakap di malam hari. Maka apakah mereka tidak memperhatikan perkataan (Kami), atau apakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek moyang mereka dahulu?” (QS. Al-Mu’minun: 66-68) Allah Ta’ala menceritakan tentang kondisi orang-orang saleh dari kalangan ahli kitab bahwasanya jika Al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka pun tersungkur di atas dahi mereka dalam kondisi bersujud dan menangis. Hal tersebut menambahkan kepada mereka kekhusyukan, iman, dan kepasrahan kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, قُلۡ ءَامِنُواْ بِهِۦٓ أَوۡ لَا تُؤۡمِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ مِن قَبۡلِهِۦٓ إِذَا يُتۡلَىٰ عَلَيۡهِمۡ يَخِرُّونَۤ لِلۡأَذۡقَانِۤ سُجَّداۤ  ؛ وَيَقُولُونَ سُبۡحَٰنَ رَبِّنَآ إِن كَانَ وَعۡدُ رَبِّنَا لَمَفۡعُولا  ؛ وَيَخِرُّونَ لِلۡأَذۡقَانِ يَبۡكُونَ وَيَزِيدُهُمۡ خُشُوعا  “Katakanlah, “Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila Al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur di atas muka mereka sambil bersujud. Mereka berkata, “Maha suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.” Dan mereka tersungkur di atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.” (QS. Al-Isra’: 107-109) Allah Ta’ala telah mensifati Al-Quran sebagai perkataan yang paling baik. Allah Ta’ala mengulang-ulang ayat di dalam Al-Quran dan menyampaikan firman-Nya berkali-kali agar ia bisa dipahami dengan baik. Kulit dari hamba-hamba-Nya yang baik akan bergetar karena takut kepada Allah. Kulit dan hati mereka pun menjadi tenang kembali di waktu mengingat Allah. Allah Ta’ala berfirman, ٱللَّهُ نَزَّلَ أَحۡسَنَ ٱلۡحَدِيثِ كِتَٰبا مُّتَشَٰبِها مَّثَانِيَ تَقۡشَعِرُّ مِنۡهُ جُلُودُ ٱلَّذِينَ يَخۡشَوۡنَ رَبَّهُمۡ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمۡ وَقُلُوبُهُمۡ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ هُدَى ٱللَّهِ يَهۡدِي بِهِۦ مَن يَشَآءُۚ وَمَن يُضۡلِلِ ٱللَّهُ فَمَا لَهُۥ مِنۡ هَادٍ  “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Quran, yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang. Gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tidak ada baginya seorang pemberi petunjuk.” (QS. Az-Zumar: 23). Allah Ta’ala pun mencela orang-orang beriman yang tidak khusyuk ketika mendengarkan Al-Quran dan memperingatkan mereka agar jangan menyerupai orang-orang kafir dalam hal ini. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمۡ يَأۡنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَن تَخۡشَعَ قُلُوبُهُمۡ لِذِكۡرِ ٱللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ ٱلۡحَقِّ وَلَا يَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلُ فَطَالَ عَلَيۡهِمُ ٱلۡأَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوبُهُمۡۖ وَكَثِير مِّنۡهُمۡ فَٰسِقُونَ  “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)? Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid: 16) Oleh karena itu, tadabbur Al-Quran merupakan perkara yang paling berguna bagi hati seroang hamba. Tadabbur Al-Quran merupakan kedudukan yang agung dari orang-orang yang berjalan menuju Allah. Tadabbur Al-Quran akan menyebabkan hidupnya hati, berupa timbulnya rasa cinta, kerinduan, takut, rasa harap, tobat, tawakal, rida, syukur, sabar, dan sifat-sifat lain yang mengindikasikan sempurnanya keadaan hatinya. Membaca dengan tadabur ini juga akan menjauhkan seseorang dari semua sifat dan perbuatan tercela yang merusak dan mencelakakan hati. Baca juga: Wajibnya Mempelajari dan Mentadabburi al-Qur’an Seandainya manusia tahu keutamaan membaca Al-Quran dengan tadabur, tentu mereka memanfaatkan dan mengejarnya, serta mengesampingkan perkara-perkara lainnya. Apabila dia membacanya dengan tadabbur, lalu melewati ayat yang kebetulan dia butuhkan untuk kesembuhan hatinya, ia mengulang-ulangnya meski sampai seratus kali, atau meski sepanjang malam. Membaca satu ayat dengan tadabbur itu lebih baik daripada mengkhatamkan Al-Quran tanpa tadabur dan tanpa pemahaman. Hal itu lebih bermanfaat bagi hati, lebih mendatangkan dan mengokohkan iman, serta lebih menghadirkan rasa yang manis dari Al-Quran. (Lihat Miftaah Daaris Sa’adah, 1: 187) Namun demikian, baiknya kondisi hati disebabkan membaca Al-Quran, tidaklah bisa diraih kecuali bagi orang-orang yang berupaya memahami, menerapkan, dan mengamalkannya. Tidak berlaku bagi yang membacanya dengan hanya membaca semata tanpa pemahaman atau tadabur. Oleh karena itu, pada hari kiamat kelak, akan ada banyak orang yang membaca Al-Quran, namun Al-Quran tersebut akan menjadi lawan dan musuh baginya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasalla bersabda, إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ “Sesungguhnya Allah akan memuliakan suatu kaum dengan kitab ini (Al-Quran) dan menghinakan yang lain.” (HR. Muslim no. 817) Juga diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, وَالقُرْاَنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ “Al-Quran bisa menjadi hujjah yang membelamu atau menjadi hujjah yang melawanmu.” (HR. Muslim no. 223) Al-Quran adalah pembelamu dan menjadi penambah imanmu, jika engkau mengamalkannya. Ia menjadi musuh bagimu dan melemahkan imanmu, jika engkau menyepelekannya dan melalaikan batasan-batasannya. Lalu, bagaimana tatacara mengambil manfaat dari Al-Quran secara sempurna? Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Jika engkau ingin mengambil manfaat dari Al-Quran, fokuskanlah hatimu ketika membaca dan mendengarnya. Pasang pendengaranmu. Hadirlah seperti orang yang sedang diajak berdialog langsung oleh siapa yang telah mewahyukan Al-Quran (yaitu Allah). Karena Al-Quran adalah pembicaraan dari Allah untukmu melalui lisan Rasul-Nya.” (Al-Fawaid, hal. 3) Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang gemar tadabbur Al-Quran dan mengamalkan isi kandungan Al-Quran. Baca juga: Waktu Terbaik Untuk Tadabbur Al-Qur’an *** “Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri.” @11 Dzulqa’dah 1445/ 20 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 13; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: Qur'antadabbur

Indahnya Tadabbur Al-Quran

Allah Ta’ala telah mengabarkan bahwa Dia telah menurunkan Al-Quran agar bisa ditadaburi ayat-ayatnya. Allah Ta’ala berfirman, كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَك لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ  “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan keberkahan, supaya mereka memperhatikan (mentadaburi) ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai pikiran mendapatkan pelajaran.” (QS. Sad: 29) Terdapat banyak dalil yang sangat jelas tentang pentingnya memberikan perhatian terhadap Al-Quran dan bahwa Al-Quran merupakan perkara yang paling agung yang bisa memperbaiki kondisi hati. Lebih-lebih jika membaca Al-Quran bersamaan dengan tadabur dan perenungan serta kesungguhan untuk memahami makna-maknanya. Siapa saja yang mentadaburi ayat-ayat Al-Quran, niscaya dia akan lebih mengenal Rabbnya. Dia mengetahui besarnya nikmat dan anugerah yang Allah berikan kepada orang-orang yang beriman. Seseorang akan mengetahui ibadah yang diwajibkan kepadanya. Ia pun bersemangat melaksanakan kewajiban dan meninggalkan semua larangan Rabbnya. Siapa saja yang mempunyai karakter seperti ini ketika membaca Al-Quran dan ketika mendengarkannya dari orang lain, niscaya Al-Quran akan menjadi penyembuh baginya. Ia akan menjadi kaya tanpa harta dan menjadi mulia tanpa bersandar kepada manusia. Cita-citanya adalah bisa memahami firman Allah Ta’ala, terselamatkan dari ancaman, dan mengambil pelajaran dari bacaan Al-Quran. Hal ini karena membaca Al-Quran merupakan ibadah, dan ibadah tidak bisa dilakukan dengan hati yang lalai. Sedangkan Allah-lah yang memberikan taufik atas hal tersebut. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala senantiasa memerintahkan hamba-hamba-Nya dan mendorong mereka untuk mentadaburi isi (kandungan) Al-Quran. Allah Ta’ala berfirman, أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَۚ وَلَوۡ كَانَ مِنۡ عِندِ غَيۡرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ ٱخۡتِلَٰفا كَثِيرا  “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau sekiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisa’: 82) Allah Ta’ala kabarkan bahwa orang-orang yang tidak ingin mentadaburi Al-Quran itu hatinya telah terkunci, tidak bisa terbuka menerima petunjuk. Allah Ta’ala berfirman, أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَ أَمۡ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقۡفَالُهَآ  “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran, ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24) Allah Ta’ala menjelaskan bahwa lalai dari tadabur Al-Quran adalah sebab tidak adanya hidayah bagi orang-orang yang melenceng dari jalan yang lurus, juga karena kesombongan mereka dari mendengarkan Al-Quran. Allah Ta’ala berfirman, قَدۡ كَانَتۡ ءَايَٰتِي تُتۡلَىٰ عَلَيۡكُمۡ فَكُنتُمۡ عَلَىٰٓ أَعۡقَٰبِكُمۡ تَنكِصُونَ  ؛ مُسۡتَكۡبِرِينَ بِهِۦ سَٰمِرا تَهۡجُرُونَ  ؛ أَفَلَمۡ يَدَّبَّرُواْ ٱلۡقَوۡلَ أَمۡ جَآءَهُم مَّا لَمۡ يَأۡتِ ءَابَآءَهُمُ ٱلۡأَوَّلِينَ  “Sesungguhnya ayat-ayat-Ku (Al-Quran) selalu dibacakan kepada kamu sekalian, maka kamu selalu berpaling ke belakang, dengan menyombongkan diri terhadap Al-Quran itu dan mengucapkan perkataan-perkataan keji terhadapnya di waktu kamu bercakap-cakap di malam hari. Maka apakah mereka tidak memperhatikan perkataan (Kami), atau apakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek moyang mereka dahulu?” (QS. Al-Mu’minun: 66-68) Allah Ta’ala menceritakan tentang kondisi orang-orang saleh dari kalangan ahli kitab bahwasanya jika Al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka pun tersungkur di atas dahi mereka dalam kondisi bersujud dan menangis. Hal tersebut menambahkan kepada mereka kekhusyukan, iman, dan kepasrahan kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, قُلۡ ءَامِنُواْ بِهِۦٓ أَوۡ لَا تُؤۡمِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ مِن قَبۡلِهِۦٓ إِذَا يُتۡلَىٰ عَلَيۡهِمۡ يَخِرُّونَۤ لِلۡأَذۡقَانِۤ سُجَّداۤ  ؛ وَيَقُولُونَ سُبۡحَٰنَ رَبِّنَآ إِن كَانَ وَعۡدُ رَبِّنَا لَمَفۡعُولا  ؛ وَيَخِرُّونَ لِلۡأَذۡقَانِ يَبۡكُونَ وَيَزِيدُهُمۡ خُشُوعا  “Katakanlah, “Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila Al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur di atas muka mereka sambil bersujud. Mereka berkata, “Maha suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.” Dan mereka tersungkur di atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.” (QS. Al-Isra’: 107-109) Allah Ta’ala telah mensifati Al-Quran sebagai perkataan yang paling baik. Allah Ta’ala mengulang-ulang ayat di dalam Al-Quran dan menyampaikan firman-Nya berkali-kali agar ia bisa dipahami dengan baik. Kulit dari hamba-hamba-Nya yang baik akan bergetar karena takut kepada Allah. Kulit dan hati mereka pun menjadi tenang kembali di waktu mengingat Allah. Allah Ta’ala berfirman, ٱللَّهُ نَزَّلَ أَحۡسَنَ ٱلۡحَدِيثِ كِتَٰبا مُّتَشَٰبِها مَّثَانِيَ تَقۡشَعِرُّ مِنۡهُ جُلُودُ ٱلَّذِينَ يَخۡشَوۡنَ رَبَّهُمۡ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمۡ وَقُلُوبُهُمۡ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ هُدَى ٱللَّهِ يَهۡدِي بِهِۦ مَن يَشَآءُۚ وَمَن يُضۡلِلِ ٱللَّهُ فَمَا لَهُۥ مِنۡ هَادٍ  “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Quran, yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang. Gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tidak ada baginya seorang pemberi petunjuk.” (QS. Az-Zumar: 23). Allah Ta’ala pun mencela orang-orang beriman yang tidak khusyuk ketika mendengarkan Al-Quran dan memperingatkan mereka agar jangan menyerupai orang-orang kafir dalam hal ini. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمۡ يَأۡنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَن تَخۡشَعَ قُلُوبُهُمۡ لِذِكۡرِ ٱللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ ٱلۡحَقِّ وَلَا يَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلُ فَطَالَ عَلَيۡهِمُ ٱلۡأَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوبُهُمۡۖ وَكَثِير مِّنۡهُمۡ فَٰسِقُونَ  “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)? Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid: 16) Oleh karena itu, tadabbur Al-Quran merupakan perkara yang paling berguna bagi hati seroang hamba. Tadabbur Al-Quran merupakan kedudukan yang agung dari orang-orang yang berjalan menuju Allah. Tadabbur Al-Quran akan menyebabkan hidupnya hati, berupa timbulnya rasa cinta, kerinduan, takut, rasa harap, tobat, tawakal, rida, syukur, sabar, dan sifat-sifat lain yang mengindikasikan sempurnanya keadaan hatinya. Membaca dengan tadabur ini juga akan menjauhkan seseorang dari semua sifat dan perbuatan tercela yang merusak dan mencelakakan hati. Baca juga: Wajibnya Mempelajari dan Mentadabburi al-Qur’an Seandainya manusia tahu keutamaan membaca Al-Quran dengan tadabur, tentu mereka memanfaatkan dan mengejarnya, serta mengesampingkan perkara-perkara lainnya. Apabila dia membacanya dengan tadabbur, lalu melewati ayat yang kebetulan dia butuhkan untuk kesembuhan hatinya, ia mengulang-ulangnya meski sampai seratus kali, atau meski sepanjang malam. Membaca satu ayat dengan tadabbur itu lebih baik daripada mengkhatamkan Al-Quran tanpa tadabur dan tanpa pemahaman. Hal itu lebih bermanfaat bagi hati, lebih mendatangkan dan mengokohkan iman, serta lebih menghadirkan rasa yang manis dari Al-Quran. (Lihat Miftaah Daaris Sa’adah, 1: 187) Namun demikian, baiknya kondisi hati disebabkan membaca Al-Quran, tidaklah bisa diraih kecuali bagi orang-orang yang berupaya memahami, menerapkan, dan mengamalkannya. Tidak berlaku bagi yang membacanya dengan hanya membaca semata tanpa pemahaman atau tadabur. Oleh karena itu, pada hari kiamat kelak, akan ada banyak orang yang membaca Al-Quran, namun Al-Quran tersebut akan menjadi lawan dan musuh baginya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasalla bersabda, إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ “Sesungguhnya Allah akan memuliakan suatu kaum dengan kitab ini (Al-Quran) dan menghinakan yang lain.” (HR. Muslim no. 817) Juga diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, وَالقُرْاَنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ “Al-Quran bisa menjadi hujjah yang membelamu atau menjadi hujjah yang melawanmu.” (HR. Muslim no. 223) Al-Quran adalah pembelamu dan menjadi penambah imanmu, jika engkau mengamalkannya. Ia menjadi musuh bagimu dan melemahkan imanmu, jika engkau menyepelekannya dan melalaikan batasan-batasannya. Lalu, bagaimana tatacara mengambil manfaat dari Al-Quran secara sempurna? Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Jika engkau ingin mengambil manfaat dari Al-Quran, fokuskanlah hatimu ketika membaca dan mendengarnya. Pasang pendengaranmu. Hadirlah seperti orang yang sedang diajak berdialog langsung oleh siapa yang telah mewahyukan Al-Quran (yaitu Allah). Karena Al-Quran adalah pembicaraan dari Allah untukmu melalui lisan Rasul-Nya.” (Al-Fawaid, hal. 3) Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang gemar tadabbur Al-Quran dan mengamalkan isi kandungan Al-Quran. Baca juga: Waktu Terbaik Untuk Tadabbur Al-Qur’an *** “Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri.” @11 Dzulqa’dah 1445/ 20 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 13; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: Qur'antadabbur
Allah Ta’ala telah mengabarkan bahwa Dia telah menurunkan Al-Quran agar bisa ditadaburi ayat-ayatnya. Allah Ta’ala berfirman, كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَك لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ  “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan keberkahan, supaya mereka memperhatikan (mentadaburi) ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai pikiran mendapatkan pelajaran.” (QS. Sad: 29) Terdapat banyak dalil yang sangat jelas tentang pentingnya memberikan perhatian terhadap Al-Quran dan bahwa Al-Quran merupakan perkara yang paling agung yang bisa memperbaiki kondisi hati. Lebih-lebih jika membaca Al-Quran bersamaan dengan tadabur dan perenungan serta kesungguhan untuk memahami makna-maknanya. Siapa saja yang mentadaburi ayat-ayat Al-Quran, niscaya dia akan lebih mengenal Rabbnya. Dia mengetahui besarnya nikmat dan anugerah yang Allah berikan kepada orang-orang yang beriman. Seseorang akan mengetahui ibadah yang diwajibkan kepadanya. Ia pun bersemangat melaksanakan kewajiban dan meninggalkan semua larangan Rabbnya. Siapa saja yang mempunyai karakter seperti ini ketika membaca Al-Quran dan ketika mendengarkannya dari orang lain, niscaya Al-Quran akan menjadi penyembuh baginya. Ia akan menjadi kaya tanpa harta dan menjadi mulia tanpa bersandar kepada manusia. Cita-citanya adalah bisa memahami firman Allah Ta’ala, terselamatkan dari ancaman, dan mengambil pelajaran dari bacaan Al-Quran. Hal ini karena membaca Al-Quran merupakan ibadah, dan ibadah tidak bisa dilakukan dengan hati yang lalai. Sedangkan Allah-lah yang memberikan taufik atas hal tersebut. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala senantiasa memerintahkan hamba-hamba-Nya dan mendorong mereka untuk mentadaburi isi (kandungan) Al-Quran. Allah Ta’ala berfirman, أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَۚ وَلَوۡ كَانَ مِنۡ عِندِ غَيۡرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ ٱخۡتِلَٰفا كَثِيرا  “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau sekiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisa’: 82) Allah Ta’ala kabarkan bahwa orang-orang yang tidak ingin mentadaburi Al-Quran itu hatinya telah terkunci, tidak bisa terbuka menerima petunjuk. Allah Ta’ala berfirman, أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَ أَمۡ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقۡفَالُهَآ  “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran, ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24) Allah Ta’ala menjelaskan bahwa lalai dari tadabur Al-Quran adalah sebab tidak adanya hidayah bagi orang-orang yang melenceng dari jalan yang lurus, juga karena kesombongan mereka dari mendengarkan Al-Quran. Allah Ta’ala berfirman, قَدۡ كَانَتۡ ءَايَٰتِي تُتۡلَىٰ عَلَيۡكُمۡ فَكُنتُمۡ عَلَىٰٓ أَعۡقَٰبِكُمۡ تَنكِصُونَ  ؛ مُسۡتَكۡبِرِينَ بِهِۦ سَٰمِرا تَهۡجُرُونَ  ؛ أَفَلَمۡ يَدَّبَّرُواْ ٱلۡقَوۡلَ أَمۡ جَآءَهُم مَّا لَمۡ يَأۡتِ ءَابَآءَهُمُ ٱلۡأَوَّلِينَ  “Sesungguhnya ayat-ayat-Ku (Al-Quran) selalu dibacakan kepada kamu sekalian, maka kamu selalu berpaling ke belakang, dengan menyombongkan diri terhadap Al-Quran itu dan mengucapkan perkataan-perkataan keji terhadapnya di waktu kamu bercakap-cakap di malam hari. Maka apakah mereka tidak memperhatikan perkataan (Kami), atau apakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek moyang mereka dahulu?” (QS. Al-Mu’minun: 66-68) Allah Ta’ala menceritakan tentang kondisi orang-orang saleh dari kalangan ahli kitab bahwasanya jika Al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka pun tersungkur di atas dahi mereka dalam kondisi bersujud dan menangis. Hal tersebut menambahkan kepada mereka kekhusyukan, iman, dan kepasrahan kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, قُلۡ ءَامِنُواْ بِهِۦٓ أَوۡ لَا تُؤۡمِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ مِن قَبۡلِهِۦٓ إِذَا يُتۡلَىٰ عَلَيۡهِمۡ يَخِرُّونَۤ لِلۡأَذۡقَانِۤ سُجَّداۤ  ؛ وَيَقُولُونَ سُبۡحَٰنَ رَبِّنَآ إِن كَانَ وَعۡدُ رَبِّنَا لَمَفۡعُولا  ؛ وَيَخِرُّونَ لِلۡأَذۡقَانِ يَبۡكُونَ وَيَزِيدُهُمۡ خُشُوعا  “Katakanlah, “Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila Al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur di atas muka mereka sambil bersujud. Mereka berkata, “Maha suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.” Dan mereka tersungkur di atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.” (QS. Al-Isra’: 107-109) Allah Ta’ala telah mensifati Al-Quran sebagai perkataan yang paling baik. Allah Ta’ala mengulang-ulang ayat di dalam Al-Quran dan menyampaikan firman-Nya berkali-kali agar ia bisa dipahami dengan baik. Kulit dari hamba-hamba-Nya yang baik akan bergetar karena takut kepada Allah. Kulit dan hati mereka pun menjadi tenang kembali di waktu mengingat Allah. Allah Ta’ala berfirman, ٱللَّهُ نَزَّلَ أَحۡسَنَ ٱلۡحَدِيثِ كِتَٰبا مُّتَشَٰبِها مَّثَانِيَ تَقۡشَعِرُّ مِنۡهُ جُلُودُ ٱلَّذِينَ يَخۡشَوۡنَ رَبَّهُمۡ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمۡ وَقُلُوبُهُمۡ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ هُدَى ٱللَّهِ يَهۡدِي بِهِۦ مَن يَشَآءُۚ وَمَن يُضۡلِلِ ٱللَّهُ فَمَا لَهُۥ مِنۡ هَادٍ  “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Quran, yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang. Gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tidak ada baginya seorang pemberi petunjuk.” (QS. Az-Zumar: 23). Allah Ta’ala pun mencela orang-orang beriman yang tidak khusyuk ketika mendengarkan Al-Quran dan memperingatkan mereka agar jangan menyerupai orang-orang kafir dalam hal ini. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمۡ يَأۡنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَن تَخۡشَعَ قُلُوبُهُمۡ لِذِكۡرِ ٱللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ ٱلۡحَقِّ وَلَا يَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلُ فَطَالَ عَلَيۡهِمُ ٱلۡأَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوبُهُمۡۖ وَكَثِير مِّنۡهُمۡ فَٰسِقُونَ  “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)? Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid: 16) Oleh karena itu, tadabbur Al-Quran merupakan perkara yang paling berguna bagi hati seroang hamba. Tadabbur Al-Quran merupakan kedudukan yang agung dari orang-orang yang berjalan menuju Allah. Tadabbur Al-Quran akan menyebabkan hidupnya hati, berupa timbulnya rasa cinta, kerinduan, takut, rasa harap, tobat, tawakal, rida, syukur, sabar, dan sifat-sifat lain yang mengindikasikan sempurnanya keadaan hatinya. Membaca dengan tadabur ini juga akan menjauhkan seseorang dari semua sifat dan perbuatan tercela yang merusak dan mencelakakan hati. Baca juga: Wajibnya Mempelajari dan Mentadabburi al-Qur’an Seandainya manusia tahu keutamaan membaca Al-Quran dengan tadabur, tentu mereka memanfaatkan dan mengejarnya, serta mengesampingkan perkara-perkara lainnya. Apabila dia membacanya dengan tadabbur, lalu melewati ayat yang kebetulan dia butuhkan untuk kesembuhan hatinya, ia mengulang-ulangnya meski sampai seratus kali, atau meski sepanjang malam. Membaca satu ayat dengan tadabbur itu lebih baik daripada mengkhatamkan Al-Quran tanpa tadabur dan tanpa pemahaman. Hal itu lebih bermanfaat bagi hati, lebih mendatangkan dan mengokohkan iman, serta lebih menghadirkan rasa yang manis dari Al-Quran. (Lihat Miftaah Daaris Sa’adah, 1: 187) Namun demikian, baiknya kondisi hati disebabkan membaca Al-Quran, tidaklah bisa diraih kecuali bagi orang-orang yang berupaya memahami, menerapkan, dan mengamalkannya. Tidak berlaku bagi yang membacanya dengan hanya membaca semata tanpa pemahaman atau tadabur. Oleh karena itu, pada hari kiamat kelak, akan ada banyak orang yang membaca Al-Quran, namun Al-Quran tersebut akan menjadi lawan dan musuh baginya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasalla bersabda, إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ “Sesungguhnya Allah akan memuliakan suatu kaum dengan kitab ini (Al-Quran) dan menghinakan yang lain.” (HR. Muslim no. 817) Juga diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, وَالقُرْاَنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ “Al-Quran bisa menjadi hujjah yang membelamu atau menjadi hujjah yang melawanmu.” (HR. Muslim no. 223) Al-Quran adalah pembelamu dan menjadi penambah imanmu, jika engkau mengamalkannya. Ia menjadi musuh bagimu dan melemahkan imanmu, jika engkau menyepelekannya dan melalaikan batasan-batasannya. Lalu, bagaimana tatacara mengambil manfaat dari Al-Quran secara sempurna? Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Jika engkau ingin mengambil manfaat dari Al-Quran, fokuskanlah hatimu ketika membaca dan mendengarnya. Pasang pendengaranmu. Hadirlah seperti orang yang sedang diajak berdialog langsung oleh siapa yang telah mewahyukan Al-Quran (yaitu Allah). Karena Al-Quran adalah pembicaraan dari Allah untukmu melalui lisan Rasul-Nya.” (Al-Fawaid, hal. 3) Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang gemar tadabbur Al-Quran dan mengamalkan isi kandungan Al-Quran. Baca juga: Waktu Terbaik Untuk Tadabbur Al-Qur’an *** “Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri.” @11 Dzulqa’dah 1445/ 20 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 13; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: Qur'antadabbur


Allah Ta’ala telah mengabarkan bahwa Dia telah menurunkan Al-Quran agar bisa ditadaburi ayat-ayatnya. Allah Ta’ala berfirman, كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَك لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ  “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan keberkahan, supaya mereka memperhatikan (mentadaburi) ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai pikiran mendapatkan pelajaran.” (QS. Sad: 29) Terdapat banyak dalil yang sangat jelas tentang pentingnya memberikan perhatian terhadap Al-Quran dan bahwa Al-Quran merupakan perkara yang paling agung yang bisa memperbaiki kondisi hati. Lebih-lebih jika membaca Al-Quran bersamaan dengan tadabur dan perenungan serta kesungguhan untuk memahami makna-maknanya. Siapa saja yang mentadaburi ayat-ayat Al-Quran, niscaya dia akan lebih mengenal Rabbnya. Dia mengetahui besarnya nikmat dan anugerah yang Allah berikan kepada orang-orang yang beriman. Seseorang akan mengetahui ibadah yang diwajibkan kepadanya. Ia pun bersemangat melaksanakan kewajiban dan meninggalkan semua larangan Rabbnya. Siapa saja yang mempunyai karakter seperti ini ketika membaca Al-Quran dan ketika mendengarkannya dari orang lain, niscaya Al-Quran akan menjadi penyembuh baginya. Ia akan menjadi kaya tanpa harta dan menjadi mulia tanpa bersandar kepada manusia. Cita-citanya adalah bisa memahami firman Allah Ta’ala, terselamatkan dari ancaman, dan mengambil pelajaran dari bacaan Al-Quran. Hal ini karena membaca Al-Quran merupakan ibadah, dan ibadah tidak bisa dilakukan dengan hati yang lalai. Sedangkan Allah-lah yang memberikan taufik atas hal tersebut. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala senantiasa memerintahkan hamba-hamba-Nya dan mendorong mereka untuk mentadaburi isi (kandungan) Al-Quran. Allah Ta’ala berfirman, أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَۚ وَلَوۡ كَانَ مِنۡ عِندِ غَيۡرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ ٱخۡتِلَٰفا كَثِيرا  “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau sekiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisa’: 82) Allah Ta’ala kabarkan bahwa orang-orang yang tidak ingin mentadaburi Al-Quran itu hatinya telah terkunci, tidak bisa terbuka menerima petunjuk. Allah Ta’ala berfirman, أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَ أَمۡ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقۡفَالُهَآ  “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran, ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24) Allah Ta’ala menjelaskan bahwa lalai dari tadabur Al-Quran adalah sebab tidak adanya hidayah bagi orang-orang yang melenceng dari jalan yang lurus, juga karena kesombongan mereka dari mendengarkan Al-Quran. Allah Ta’ala berfirman, قَدۡ كَانَتۡ ءَايَٰتِي تُتۡلَىٰ عَلَيۡكُمۡ فَكُنتُمۡ عَلَىٰٓ أَعۡقَٰبِكُمۡ تَنكِصُونَ  ؛ مُسۡتَكۡبِرِينَ بِهِۦ سَٰمِرا تَهۡجُرُونَ  ؛ أَفَلَمۡ يَدَّبَّرُواْ ٱلۡقَوۡلَ أَمۡ جَآءَهُم مَّا لَمۡ يَأۡتِ ءَابَآءَهُمُ ٱلۡأَوَّلِينَ  “Sesungguhnya ayat-ayat-Ku (Al-Quran) selalu dibacakan kepada kamu sekalian, maka kamu selalu berpaling ke belakang, dengan menyombongkan diri terhadap Al-Quran itu dan mengucapkan perkataan-perkataan keji terhadapnya di waktu kamu bercakap-cakap di malam hari. Maka apakah mereka tidak memperhatikan perkataan (Kami), atau apakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek moyang mereka dahulu?” (QS. Al-Mu’minun: 66-68) Allah Ta’ala menceritakan tentang kondisi orang-orang saleh dari kalangan ahli kitab bahwasanya jika Al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka pun tersungkur di atas dahi mereka dalam kondisi bersujud dan menangis. Hal tersebut menambahkan kepada mereka kekhusyukan, iman, dan kepasrahan kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, قُلۡ ءَامِنُواْ بِهِۦٓ أَوۡ لَا تُؤۡمِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ مِن قَبۡلِهِۦٓ إِذَا يُتۡلَىٰ عَلَيۡهِمۡ يَخِرُّونَۤ لِلۡأَذۡقَانِۤ سُجَّداۤ  ؛ وَيَقُولُونَ سُبۡحَٰنَ رَبِّنَآ إِن كَانَ وَعۡدُ رَبِّنَا لَمَفۡعُولا  ؛ وَيَخِرُّونَ لِلۡأَذۡقَانِ يَبۡكُونَ وَيَزِيدُهُمۡ خُشُوعا  “Katakanlah, “Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila Al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur di atas muka mereka sambil bersujud. Mereka berkata, “Maha suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.” Dan mereka tersungkur di atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.” (QS. Al-Isra’: 107-109) Allah Ta’ala telah mensifati Al-Quran sebagai perkataan yang paling baik. Allah Ta’ala mengulang-ulang ayat di dalam Al-Quran dan menyampaikan firman-Nya berkali-kali agar ia bisa dipahami dengan baik. Kulit dari hamba-hamba-Nya yang baik akan bergetar karena takut kepada Allah. Kulit dan hati mereka pun menjadi tenang kembali di waktu mengingat Allah. Allah Ta’ala berfirman, ٱللَّهُ نَزَّلَ أَحۡسَنَ ٱلۡحَدِيثِ كِتَٰبا مُّتَشَٰبِها مَّثَانِيَ تَقۡشَعِرُّ مِنۡهُ جُلُودُ ٱلَّذِينَ يَخۡشَوۡنَ رَبَّهُمۡ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمۡ وَقُلُوبُهُمۡ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ هُدَى ٱللَّهِ يَهۡدِي بِهِۦ مَن يَشَآءُۚ وَمَن يُضۡلِلِ ٱللَّهُ فَمَا لَهُۥ مِنۡ هَادٍ  “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Quran, yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang. Gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tidak ada baginya seorang pemberi petunjuk.” (QS. Az-Zumar: 23). Allah Ta’ala pun mencela orang-orang beriman yang tidak khusyuk ketika mendengarkan Al-Quran dan memperingatkan mereka agar jangan menyerupai orang-orang kafir dalam hal ini. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمۡ يَأۡنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَن تَخۡشَعَ قُلُوبُهُمۡ لِذِكۡرِ ٱللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ ٱلۡحَقِّ وَلَا يَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلُ فَطَالَ عَلَيۡهِمُ ٱلۡأَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوبُهُمۡۖ وَكَثِير مِّنۡهُمۡ فَٰسِقُونَ  “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)? Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid: 16) Oleh karena itu, tadabbur Al-Quran merupakan perkara yang paling berguna bagi hati seroang hamba. Tadabbur Al-Quran merupakan kedudukan yang agung dari orang-orang yang berjalan menuju Allah. Tadabbur Al-Quran akan menyebabkan hidupnya hati, berupa timbulnya rasa cinta, kerinduan, takut, rasa harap, tobat, tawakal, rida, syukur, sabar, dan sifat-sifat lain yang mengindikasikan sempurnanya keadaan hatinya. Membaca dengan tadabur ini juga akan menjauhkan seseorang dari semua sifat dan perbuatan tercela yang merusak dan mencelakakan hati. Baca juga: Wajibnya Mempelajari dan Mentadabburi al-Qur’an Seandainya manusia tahu keutamaan membaca Al-Quran dengan tadabur, tentu mereka memanfaatkan dan mengejarnya, serta mengesampingkan perkara-perkara lainnya. Apabila dia membacanya dengan tadabbur, lalu melewati ayat yang kebetulan dia butuhkan untuk kesembuhan hatinya, ia mengulang-ulangnya meski sampai seratus kali, atau meski sepanjang malam. Membaca satu ayat dengan tadabbur itu lebih baik daripada mengkhatamkan Al-Quran tanpa tadabur dan tanpa pemahaman. Hal itu lebih bermanfaat bagi hati, lebih mendatangkan dan mengokohkan iman, serta lebih menghadirkan rasa yang manis dari Al-Quran. (Lihat Miftaah Daaris Sa’adah, 1: 187) Namun demikian, baiknya kondisi hati disebabkan membaca Al-Quran, tidaklah bisa diraih kecuali bagi orang-orang yang berupaya memahami, menerapkan, dan mengamalkannya. Tidak berlaku bagi yang membacanya dengan hanya membaca semata tanpa pemahaman atau tadabur. Oleh karena itu, pada hari kiamat kelak, akan ada banyak orang yang membaca Al-Quran, namun Al-Quran tersebut akan menjadi lawan dan musuh baginya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasalla bersabda, إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ “Sesungguhnya Allah akan memuliakan suatu kaum dengan kitab ini (Al-Quran) dan menghinakan yang lain.” (HR. Muslim no. 817) Juga diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, وَالقُرْاَنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ “Al-Quran bisa menjadi hujjah yang membelamu atau menjadi hujjah yang melawanmu.” (HR. Muslim no. 223) Al-Quran adalah pembelamu dan menjadi penambah imanmu, jika engkau mengamalkannya. Ia menjadi musuh bagimu dan melemahkan imanmu, jika engkau menyepelekannya dan melalaikan batasan-batasannya. Lalu, bagaimana tatacara mengambil manfaat dari Al-Quran secara sempurna? Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Jika engkau ingin mengambil manfaat dari Al-Quran, fokuskanlah hatimu ketika membaca dan mendengarnya. Pasang pendengaranmu. Hadirlah seperti orang yang sedang diajak berdialog langsung oleh siapa yang telah mewahyukan Al-Quran (yaitu Allah). Karena Al-Quran adalah pembicaraan dari Allah untukmu melalui lisan Rasul-Nya.” (Al-Fawaid, hal. 3) Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang gemar tadabbur Al-Quran dan mengamalkan isi kandungan Al-Quran. Baca juga: Waktu Terbaik Untuk Tadabbur Al-Qur’an *** “Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri.” @11 Dzulqa’dah 1445/ 20 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 13; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: Qur'antadabbur

Apakah Mayit Mendengar Orang yang Hidup?

Pertanyaan: Apakah orang yang sudah meninggal bisa mendengar ucapan orang yang berziarah kubur kepadanya? Karena saya sering melihat orang-orang yang berziarah kubur bicara kepada penghuni kubur yang diziarahi. Mohon pencerahannya ustadz. Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Pada asalnya kita wajib meyakini bahwa orang yang sudah mati tidak bisa beramal lagi, termasuk di dalamnya masalah pendengaran. Mereka tidak bisa lagi mendengar orang yang hidup. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Ketika seorang insan mati, terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya” (HR. Muslim no. 1631). Namun terdapat dalil-dalil yang menyebutkan bahwa orang yang meninggal bisa mendengar pada kondisi tertentu. Sehingga para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat: Pertama, ulama yang mengatakan bahwa orang mati tidak bisa mendengar sama sekali. Kedua, ulama yang mengatakan bahwa orang mati hanya bisa mendengar pada sebagian keadaan saja, tidak secara mutlak. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa orang mati bisa mendengar secara mutlak setiap saat, tidak diketahui ada ulama yang berpendapat demikian. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan:  لم أرَ مَن صرَّح بأن الميِّت يسمع سماعًا مطلقًا كما كان شأنه في حياته، ولا أظن عالمًا يقول به “Saya tidak mengetahui ada ulama yang berpendapat bahwa orang mati bisa mendengar secara mutlak sebagaimana ketika ia masih hidup. Setahu saya tidak ada ulama yang berpendapat demikian”. Pendapat Pertama Yaitu para ulama yang mengatakan orang mati tidak bisa mendengar sama sekali. Ini adalah pendapat sebagian sahabat, di antaranya Aisyah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, radhiyallahu’ahum. Ini juga merupakan pendapat jumhur ulama mazhab, dan dikuatkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Mereka berhujjah dengan banyak sekali dalil, di antaranya firman Allah ta’ala: إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati bisa mendengar” (QS. An-Naml: 80). Allah ta’ala juga berfirman: فَإِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى “Sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu dapat mendengar” (QS. Ar-Ruum: 52). Juga firman-Nya: وَمَا أَنتَ بِمُسْمِعٍ مَّن فِي الْقُبُورِ “Dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar” (QS. Fathir: 22). Juga firman-Nya: وَٱلَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِۦ مَا يَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ إِن تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا۟ دُعَآءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا۟ مَا ٱسْتَجَابُوا۟ لَكُمْ ۖ وَيَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ ۚ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ “Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan sekiranya mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu seperti yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui” (QS. Fathir: 13-14). Dan dalil dari As-Sunnah, di antaranya hadis dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: إنَّ للَّهِ ملائِكةً سيَّاحينَ في الأرضِ ، يُبلِّغوني من أُمَّتي السَّلامَ “Sesungguhnya Allah ta’ala memiliki Malaikat yang beterbangan di muka bumi untuk menyampaikan salam umatku kepadaku” (HR. An-Nasa’i no.1282, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih An-Nasa’i). Hadis ini menunjukkan bahwa beliau shallallahu’alaihi wa sallam tidak bisa mendengar salamnya kaum muslimin setelah Beliau meninggal. Andaikan Beliau bisa mendengar tentu tidak butuh adanya para Malaikat yang menyampaikan salam kepada Beliau. Jika Beliau shallallahu’alaihi wa sallam saja tidak bisa mendengar orang yang hidup, maka lebih lagi orang-orang selain Beliau. Dalam hadis lain, dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, أنَّ نبيَّ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أمَرَ ببِضْعةٍ وعِشرينَ رَجُلًا من صَناديدِ قُرَيشٍ، فأُلْقوا في طَوِيٍّ من أطواءِ بَدرٍ خَبيثٍ مُخْبِثٍ، قال: وكان إذا ظهَرَ على قومٍ أقامَ بالعَرْصةِ ثلاثَ ليالٍ، قال: فلمَّا ظهَرَ على أهلِ بَدرٍ أَقامَ ثلاثَ ليالٍ، حتى إذا كان اليومُ الثالثُ أمَرَ براحِلَتِه، فشُدَّتْ برَحلِها، ثُم مَشى واتَّبعَه أصحابُه، قالوا: فما نَراه ينطَلِقُ إلَّا لِيَقضيَ حاجتَه، قال: حتى قامَ على شَفَةِ الطَّوِيِّ، قال: فجعَلَ يُناديهم بأسمائِهم وأسماءِ آبائِهم: يا فُلانُ بنَ فُلانٍ، أسرَّكم أنَّكم أَطَعْتمُ اللهَ ورسولَه، هل وجَدْتم ما وعَدَ ربُّكم حقًّا؟ قال عمرُ: يا نبيَّ اللهِ، ما تُكلِّمُ من أجسادٍ لا أرواحَ فيها، قال: والذي نفْسُ محمَّدٍ بيَدِه، ما أنتم بأسمَعَ لِما أقولُ منهم “Bahwasanya Nabi Allah shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan para Sahabat ketika perang Badr untuk menguburkan dua puluh lebih mayat tokoh-tokoh kaum Quraisy. Kemudian mereka pun dilemparkan ke dalam sumur-sumur yang ada di Badr dalam keadaan busuk dan bau. Dan kebiasaan Beliau jika menampakkan diri pada suatu kaum maka Beliau bermalam di sebuah tanah lapang selama tiga malam. Dan ketika berada di Badr, di hari ketiga Beliau meminta untuk disiapkan kendaraannya. Lalu Beliau memacunya kemudian Beliau berjalan dan diikuti oleh para Sahabatnya dan mereka berkata: ‘Tidaklah kami berpendapat Beliau keluar melainkan untuk menunaikan kebutuhannya’. Sampai ketika Beliau berdiri di sisi sebuah sumur, kemudian mulailah Beliau memanggil nama-nama mereka dan nama-nama orang tua mereka: ‘Wahai Fulan bin Fulan, wahai Fulan bin Fulan! Apakah kalian suka seandainya kalian dulu taat kepada Allah dan Rasul-Nya? Apakah kalian mendapati apa yang dijanjikan Rabb kalian adalah benar? Maka ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Wahai Nabiyullah, mengapa Engkau berbicara kepada jasad yang sudah tidak memiliki ruh?”. Rasulullah menjawab: ‘Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah kalian lebih mendengar dari mereka atas apa yang aku katakan kepada mereka’” (HR. Ahmad no.12471, dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad). Dalam hadis ini, Umar mengatakan “Mengapa engkau berbicara kepada jasad yang sudah tidak memiliki ruh?”. Ini menunjukkan beliau memahami bahwa mayit tidak bisa lagi mendengar, dan Rasulullah tidak mengingkari pemahaman Umar tersebut. Pendapat Kedua Yaitu ulama yang mengatakan bahwa orang mati hanya bisa mendengar pada sebagian keadaan saja, tidak secara mutlak. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Jarir Ath-Thabari, Ibnu Qutaibah, Ibnul Qayyim, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dalil mereka di antaranya adalah hadis Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: العَبْدُ إذَا وُضِعَ في قَبْرِهِ، وتُوُلِّيَ وذَهَبَ أصْحَابُهُ حتَّى إنَّه لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ، أتَاهُ مَلَكَانِ “Ketika seorang hamba baru dikuburkan, dan orang-orang mulai pergi dari kuburnya, maka ia akan mendengar suara hentakan sandal mereka. Setelah itu akan datang dua Malaikat“ (HR. Al-Bukhari no.1338, Muslim no.2870). Hadis ini menyebutkan bahwa orang yang mati dapat mendengar suara hentakan kaki para pengantarnya. Ini menunjukkan bahwa ia tidak mendengar segala hal dan tidak bisa mendengar secara mutlak. Demikian juga hadis Qalib Badr, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, ia berkata: وقف النبي – صلى الله عليه وسلم – على قَليب بدرٍ فقال: ((هل وَجدتم ما وَعد ربُّكم حقًّا؟)) ثم قال: ((إنهم الآن يَسمعون ما أقولُ))، فذُكِر لعائشة فقالت: إنما قال النبي صلى الله عليه وسلم: ((إنهم الآن يعلمون أنَّ الذي كنتُ أقول لهم هو الحق)) ثم قرأت: {إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى} حتى قرأت الآية “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas sumur-sumur Badr (yang merupakan kuburan orang Quraisy), kemudian Beliau bersabda: “Bukankah kalian mendapati apa yang telah dijanjikan Rabb ternyata benar adanya?”. Kemudian Beliau bersabda lagi: “Sesungguhnya sekarang mereka mendengar apa yang aku katakan”. Hal ini dikabarkan kepada ‘Aisyah, lalu ia berkata: “Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam hanyalah bersabda: “Sesungguhnya mereka sekarang mengetahui apa yang dulu aku katakan kepada mereka adalah benar”. Kemudian ‘Aisyah membaca ayat : “Sesungguhnya kamu tidak mampu menjadikan orang-orang mati mampu mendengar” (QS. An-Naml: 80), sampai akhir ayat (HR. Al-Bukhari no.3980). Perkataan Nabi, “Sesungguhnya sekarang mereka mendengar apa yang aku katakan” menunjukkan bahwa mereka yang dikubur di Badr hanya mendengar perkataan Nabi saat itu saja. Adapun sebelum dan setelahnya, maka mereka tidak mendengar sama sekali. Ditegaskan lagi dengan pernyataan Aisyah yang menafsirkan sabda Nabi bahwa maksudnya para penghuni kubur itu mengetahui bukan mendengar, kemudian Aisyah membaca surat An-Naml ayat 80 tentang tidak bisa mendengarnya orang yang sudah mati.  Kesimpulannya, kedua pendapat di atas sebenarnya bisa dikompromikan. Yaitu dengan mengatakan bahwa orang yang mati tidak bisa mendengar apapun dari alam dunia ini, kecuali beberapa hal saja dan pada kesempatan yang terbatas. Semisal suara hentakan kaki para pengantarnya dan ucapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada mereka. Di luar kondisi khusus itu, kembali pada hukum asal bahwa orang mati tidak bisa mendengar sama sekali. Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan: إن الجمع بين حديث ابن عمر وعائشة بحمل حديث ابن عمر على أن مُخاطبة أهل القَليب وقعت وقت المسألة، وحينئذ كانت الرُّوح قد أعيدت إلى الجسد “Kompromi dari hadis Ibnu Umar dan hadis Aisyah adalah bahwa dalam hadis Ibnu Umar, perbincangan Nabi dengan penghuni kubur di Qalib hanya berlaku ketika itu saja. Dan pada saat itu ruh mereka dikembalikan ke jasad mereka” (Fathul Bari, 3/301). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: فهذه النصوص وأمثالها تُبيِّن أن الميت يسمع في الجملة كلام الحي، ولا يجب أن يكون السمع له دائمًا، بل قد يسمع في حال دون حال “Nash-nash ini dan semisalnya menjelaskan bahwa mayit bisa mendengar perkataan orang yang hidup secara global. Ini bukan berarti mereka terus-menerus bisa mendengar. Bahkan mereka mendengar pada suatu kondisi tertentu dan tidak bisa mendengar pada kondisi yang lain” (Majmu’ Al-Fatawa, 5/366). Dan yang paling penting, andaikan mereka bisa mendengar, maka mereka tidak bisa menjawab dan membantu permintaan orang yang hidup. Sehingga tetap tidak boleh meminta dan berdoa kepada orang mati. Allah ta’ala berfirman: وَلَوْ سَمِعُوا۟ مَا ٱسْتَجَابُوا۟ لَكُمْ ۖ وَيَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ “Dan andaikan mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kesyirikanmu” (QS. Fathir: 14). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 2,449 times, 7 visit(s) today Post Views: 1,228 QRIS donasi Yufid

Apakah Mayit Mendengar Orang yang Hidup?

Pertanyaan: Apakah orang yang sudah meninggal bisa mendengar ucapan orang yang berziarah kubur kepadanya? Karena saya sering melihat orang-orang yang berziarah kubur bicara kepada penghuni kubur yang diziarahi. Mohon pencerahannya ustadz. Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Pada asalnya kita wajib meyakini bahwa orang yang sudah mati tidak bisa beramal lagi, termasuk di dalamnya masalah pendengaran. Mereka tidak bisa lagi mendengar orang yang hidup. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Ketika seorang insan mati, terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya” (HR. Muslim no. 1631). Namun terdapat dalil-dalil yang menyebutkan bahwa orang yang meninggal bisa mendengar pada kondisi tertentu. Sehingga para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat: Pertama, ulama yang mengatakan bahwa orang mati tidak bisa mendengar sama sekali. Kedua, ulama yang mengatakan bahwa orang mati hanya bisa mendengar pada sebagian keadaan saja, tidak secara mutlak. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa orang mati bisa mendengar secara mutlak setiap saat, tidak diketahui ada ulama yang berpendapat demikian. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan:  لم أرَ مَن صرَّح بأن الميِّت يسمع سماعًا مطلقًا كما كان شأنه في حياته، ولا أظن عالمًا يقول به “Saya tidak mengetahui ada ulama yang berpendapat bahwa orang mati bisa mendengar secara mutlak sebagaimana ketika ia masih hidup. Setahu saya tidak ada ulama yang berpendapat demikian”. Pendapat Pertama Yaitu para ulama yang mengatakan orang mati tidak bisa mendengar sama sekali. Ini adalah pendapat sebagian sahabat, di antaranya Aisyah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, radhiyallahu’ahum. Ini juga merupakan pendapat jumhur ulama mazhab, dan dikuatkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Mereka berhujjah dengan banyak sekali dalil, di antaranya firman Allah ta’ala: إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati bisa mendengar” (QS. An-Naml: 80). Allah ta’ala juga berfirman: فَإِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى “Sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu dapat mendengar” (QS. Ar-Ruum: 52). Juga firman-Nya: وَمَا أَنتَ بِمُسْمِعٍ مَّن فِي الْقُبُورِ “Dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar” (QS. Fathir: 22). Juga firman-Nya: وَٱلَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِۦ مَا يَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ إِن تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا۟ دُعَآءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا۟ مَا ٱسْتَجَابُوا۟ لَكُمْ ۖ وَيَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ ۚ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ “Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan sekiranya mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu seperti yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui” (QS. Fathir: 13-14). Dan dalil dari As-Sunnah, di antaranya hadis dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: إنَّ للَّهِ ملائِكةً سيَّاحينَ في الأرضِ ، يُبلِّغوني من أُمَّتي السَّلامَ “Sesungguhnya Allah ta’ala memiliki Malaikat yang beterbangan di muka bumi untuk menyampaikan salam umatku kepadaku” (HR. An-Nasa’i no.1282, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih An-Nasa’i). Hadis ini menunjukkan bahwa beliau shallallahu’alaihi wa sallam tidak bisa mendengar salamnya kaum muslimin setelah Beliau meninggal. Andaikan Beliau bisa mendengar tentu tidak butuh adanya para Malaikat yang menyampaikan salam kepada Beliau. Jika Beliau shallallahu’alaihi wa sallam saja tidak bisa mendengar orang yang hidup, maka lebih lagi orang-orang selain Beliau. Dalam hadis lain, dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, أنَّ نبيَّ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أمَرَ ببِضْعةٍ وعِشرينَ رَجُلًا من صَناديدِ قُرَيشٍ، فأُلْقوا في طَوِيٍّ من أطواءِ بَدرٍ خَبيثٍ مُخْبِثٍ، قال: وكان إذا ظهَرَ على قومٍ أقامَ بالعَرْصةِ ثلاثَ ليالٍ، قال: فلمَّا ظهَرَ على أهلِ بَدرٍ أَقامَ ثلاثَ ليالٍ، حتى إذا كان اليومُ الثالثُ أمَرَ براحِلَتِه، فشُدَّتْ برَحلِها، ثُم مَشى واتَّبعَه أصحابُه، قالوا: فما نَراه ينطَلِقُ إلَّا لِيَقضيَ حاجتَه، قال: حتى قامَ على شَفَةِ الطَّوِيِّ، قال: فجعَلَ يُناديهم بأسمائِهم وأسماءِ آبائِهم: يا فُلانُ بنَ فُلانٍ، أسرَّكم أنَّكم أَطَعْتمُ اللهَ ورسولَه، هل وجَدْتم ما وعَدَ ربُّكم حقًّا؟ قال عمرُ: يا نبيَّ اللهِ، ما تُكلِّمُ من أجسادٍ لا أرواحَ فيها، قال: والذي نفْسُ محمَّدٍ بيَدِه، ما أنتم بأسمَعَ لِما أقولُ منهم “Bahwasanya Nabi Allah shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan para Sahabat ketika perang Badr untuk menguburkan dua puluh lebih mayat tokoh-tokoh kaum Quraisy. Kemudian mereka pun dilemparkan ke dalam sumur-sumur yang ada di Badr dalam keadaan busuk dan bau. Dan kebiasaan Beliau jika menampakkan diri pada suatu kaum maka Beliau bermalam di sebuah tanah lapang selama tiga malam. Dan ketika berada di Badr, di hari ketiga Beliau meminta untuk disiapkan kendaraannya. Lalu Beliau memacunya kemudian Beliau berjalan dan diikuti oleh para Sahabatnya dan mereka berkata: ‘Tidaklah kami berpendapat Beliau keluar melainkan untuk menunaikan kebutuhannya’. Sampai ketika Beliau berdiri di sisi sebuah sumur, kemudian mulailah Beliau memanggil nama-nama mereka dan nama-nama orang tua mereka: ‘Wahai Fulan bin Fulan, wahai Fulan bin Fulan! Apakah kalian suka seandainya kalian dulu taat kepada Allah dan Rasul-Nya? Apakah kalian mendapati apa yang dijanjikan Rabb kalian adalah benar? Maka ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Wahai Nabiyullah, mengapa Engkau berbicara kepada jasad yang sudah tidak memiliki ruh?”. Rasulullah menjawab: ‘Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah kalian lebih mendengar dari mereka atas apa yang aku katakan kepada mereka’” (HR. Ahmad no.12471, dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad). Dalam hadis ini, Umar mengatakan “Mengapa engkau berbicara kepada jasad yang sudah tidak memiliki ruh?”. Ini menunjukkan beliau memahami bahwa mayit tidak bisa lagi mendengar, dan Rasulullah tidak mengingkari pemahaman Umar tersebut. Pendapat Kedua Yaitu ulama yang mengatakan bahwa orang mati hanya bisa mendengar pada sebagian keadaan saja, tidak secara mutlak. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Jarir Ath-Thabari, Ibnu Qutaibah, Ibnul Qayyim, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dalil mereka di antaranya adalah hadis Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: العَبْدُ إذَا وُضِعَ في قَبْرِهِ، وتُوُلِّيَ وذَهَبَ أصْحَابُهُ حتَّى إنَّه لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ، أتَاهُ مَلَكَانِ “Ketika seorang hamba baru dikuburkan, dan orang-orang mulai pergi dari kuburnya, maka ia akan mendengar suara hentakan sandal mereka. Setelah itu akan datang dua Malaikat“ (HR. Al-Bukhari no.1338, Muslim no.2870). Hadis ini menyebutkan bahwa orang yang mati dapat mendengar suara hentakan kaki para pengantarnya. Ini menunjukkan bahwa ia tidak mendengar segala hal dan tidak bisa mendengar secara mutlak. Demikian juga hadis Qalib Badr, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, ia berkata: وقف النبي – صلى الله عليه وسلم – على قَليب بدرٍ فقال: ((هل وَجدتم ما وَعد ربُّكم حقًّا؟)) ثم قال: ((إنهم الآن يَسمعون ما أقولُ))، فذُكِر لعائشة فقالت: إنما قال النبي صلى الله عليه وسلم: ((إنهم الآن يعلمون أنَّ الذي كنتُ أقول لهم هو الحق)) ثم قرأت: {إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى} حتى قرأت الآية “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas sumur-sumur Badr (yang merupakan kuburan orang Quraisy), kemudian Beliau bersabda: “Bukankah kalian mendapati apa yang telah dijanjikan Rabb ternyata benar adanya?”. Kemudian Beliau bersabda lagi: “Sesungguhnya sekarang mereka mendengar apa yang aku katakan”. Hal ini dikabarkan kepada ‘Aisyah, lalu ia berkata: “Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam hanyalah bersabda: “Sesungguhnya mereka sekarang mengetahui apa yang dulu aku katakan kepada mereka adalah benar”. Kemudian ‘Aisyah membaca ayat : “Sesungguhnya kamu tidak mampu menjadikan orang-orang mati mampu mendengar” (QS. An-Naml: 80), sampai akhir ayat (HR. Al-Bukhari no.3980). Perkataan Nabi, “Sesungguhnya sekarang mereka mendengar apa yang aku katakan” menunjukkan bahwa mereka yang dikubur di Badr hanya mendengar perkataan Nabi saat itu saja. Adapun sebelum dan setelahnya, maka mereka tidak mendengar sama sekali. Ditegaskan lagi dengan pernyataan Aisyah yang menafsirkan sabda Nabi bahwa maksudnya para penghuni kubur itu mengetahui bukan mendengar, kemudian Aisyah membaca surat An-Naml ayat 80 tentang tidak bisa mendengarnya orang yang sudah mati.  Kesimpulannya, kedua pendapat di atas sebenarnya bisa dikompromikan. Yaitu dengan mengatakan bahwa orang yang mati tidak bisa mendengar apapun dari alam dunia ini, kecuali beberapa hal saja dan pada kesempatan yang terbatas. Semisal suara hentakan kaki para pengantarnya dan ucapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada mereka. Di luar kondisi khusus itu, kembali pada hukum asal bahwa orang mati tidak bisa mendengar sama sekali. Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan: إن الجمع بين حديث ابن عمر وعائشة بحمل حديث ابن عمر على أن مُخاطبة أهل القَليب وقعت وقت المسألة، وحينئذ كانت الرُّوح قد أعيدت إلى الجسد “Kompromi dari hadis Ibnu Umar dan hadis Aisyah adalah bahwa dalam hadis Ibnu Umar, perbincangan Nabi dengan penghuni kubur di Qalib hanya berlaku ketika itu saja. Dan pada saat itu ruh mereka dikembalikan ke jasad mereka” (Fathul Bari, 3/301). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: فهذه النصوص وأمثالها تُبيِّن أن الميت يسمع في الجملة كلام الحي، ولا يجب أن يكون السمع له دائمًا، بل قد يسمع في حال دون حال “Nash-nash ini dan semisalnya menjelaskan bahwa mayit bisa mendengar perkataan orang yang hidup secara global. Ini bukan berarti mereka terus-menerus bisa mendengar. Bahkan mereka mendengar pada suatu kondisi tertentu dan tidak bisa mendengar pada kondisi yang lain” (Majmu’ Al-Fatawa, 5/366). Dan yang paling penting, andaikan mereka bisa mendengar, maka mereka tidak bisa menjawab dan membantu permintaan orang yang hidup. Sehingga tetap tidak boleh meminta dan berdoa kepada orang mati. Allah ta’ala berfirman: وَلَوْ سَمِعُوا۟ مَا ٱسْتَجَابُوا۟ لَكُمْ ۖ وَيَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ “Dan andaikan mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kesyirikanmu” (QS. Fathir: 14). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 2,449 times, 7 visit(s) today Post Views: 1,228 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Apakah orang yang sudah meninggal bisa mendengar ucapan orang yang berziarah kubur kepadanya? Karena saya sering melihat orang-orang yang berziarah kubur bicara kepada penghuni kubur yang diziarahi. Mohon pencerahannya ustadz. Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Pada asalnya kita wajib meyakini bahwa orang yang sudah mati tidak bisa beramal lagi, termasuk di dalamnya masalah pendengaran. Mereka tidak bisa lagi mendengar orang yang hidup. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Ketika seorang insan mati, terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya” (HR. Muslim no. 1631). Namun terdapat dalil-dalil yang menyebutkan bahwa orang yang meninggal bisa mendengar pada kondisi tertentu. Sehingga para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat: Pertama, ulama yang mengatakan bahwa orang mati tidak bisa mendengar sama sekali. Kedua, ulama yang mengatakan bahwa orang mati hanya bisa mendengar pada sebagian keadaan saja, tidak secara mutlak. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa orang mati bisa mendengar secara mutlak setiap saat, tidak diketahui ada ulama yang berpendapat demikian. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan:  لم أرَ مَن صرَّح بأن الميِّت يسمع سماعًا مطلقًا كما كان شأنه في حياته، ولا أظن عالمًا يقول به “Saya tidak mengetahui ada ulama yang berpendapat bahwa orang mati bisa mendengar secara mutlak sebagaimana ketika ia masih hidup. Setahu saya tidak ada ulama yang berpendapat demikian”. Pendapat Pertama Yaitu para ulama yang mengatakan orang mati tidak bisa mendengar sama sekali. Ini adalah pendapat sebagian sahabat, di antaranya Aisyah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, radhiyallahu’ahum. Ini juga merupakan pendapat jumhur ulama mazhab, dan dikuatkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Mereka berhujjah dengan banyak sekali dalil, di antaranya firman Allah ta’ala: إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati bisa mendengar” (QS. An-Naml: 80). Allah ta’ala juga berfirman: فَإِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى “Sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu dapat mendengar” (QS. Ar-Ruum: 52). Juga firman-Nya: وَمَا أَنتَ بِمُسْمِعٍ مَّن فِي الْقُبُورِ “Dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar” (QS. Fathir: 22). Juga firman-Nya: وَٱلَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِۦ مَا يَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ إِن تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا۟ دُعَآءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا۟ مَا ٱسْتَجَابُوا۟ لَكُمْ ۖ وَيَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ ۚ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ “Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan sekiranya mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu seperti yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui” (QS. Fathir: 13-14). Dan dalil dari As-Sunnah, di antaranya hadis dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: إنَّ للَّهِ ملائِكةً سيَّاحينَ في الأرضِ ، يُبلِّغوني من أُمَّتي السَّلامَ “Sesungguhnya Allah ta’ala memiliki Malaikat yang beterbangan di muka bumi untuk menyampaikan salam umatku kepadaku” (HR. An-Nasa’i no.1282, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih An-Nasa’i). Hadis ini menunjukkan bahwa beliau shallallahu’alaihi wa sallam tidak bisa mendengar salamnya kaum muslimin setelah Beliau meninggal. Andaikan Beliau bisa mendengar tentu tidak butuh adanya para Malaikat yang menyampaikan salam kepada Beliau. Jika Beliau shallallahu’alaihi wa sallam saja tidak bisa mendengar orang yang hidup, maka lebih lagi orang-orang selain Beliau. Dalam hadis lain, dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, أنَّ نبيَّ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أمَرَ ببِضْعةٍ وعِشرينَ رَجُلًا من صَناديدِ قُرَيشٍ، فأُلْقوا في طَوِيٍّ من أطواءِ بَدرٍ خَبيثٍ مُخْبِثٍ، قال: وكان إذا ظهَرَ على قومٍ أقامَ بالعَرْصةِ ثلاثَ ليالٍ، قال: فلمَّا ظهَرَ على أهلِ بَدرٍ أَقامَ ثلاثَ ليالٍ، حتى إذا كان اليومُ الثالثُ أمَرَ براحِلَتِه، فشُدَّتْ برَحلِها، ثُم مَشى واتَّبعَه أصحابُه، قالوا: فما نَراه ينطَلِقُ إلَّا لِيَقضيَ حاجتَه، قال: حتى قامَ على شَفَةِ الطَّوِيِّ، قال: فجعَلَ يُناديهم بأسمائِهم وأسماءِ آبائِهم: يا فُلانُ بنَ فُلانٍ، أسرَّكم أنَّكم أَطَعْتمُ اللهَ ورسولَه، هل وجَدْتم ما وعَدَ ربُّكم حقًّا؟ قال عمرُ: يا نبيَّ اللهِ، ما تُكلِّمُ من أجسادٍ لا أرواحَ فيها، قال: والذي نفْسُ محمَّدٍ بيَدِه، ما أنتم بأسمَعَ لِما أقولُ منهم “Bahwasanya Nabi Allah shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan para Sahabat ketika perang Badr untuk menguburkan dua puluh lebih mayat tokoh-tokoh kaum Quraisy. Kemudian mereka pun dilemparkan ke dalam sumur-sumur yang ada di Badr dalam keadaan busuk dan bau. Dan kebiasaan Beliau jika menampakkan diri pada suatu kaum maka Beliau bermalam di sebuah tanah lapang selama tiga malam. Dan ketika berada di Badr, di hari ketiga Beliau meminta untuk disiapkan kendaraannya. Lalu Beliau memacunya kemudian Beliau berjalan dan diikuti oleh para Sahabatnya dan mereka berkata: ‘Tidaklah kami berpendapat Beliau keluar melainkan untuk menunaikan kebutuhannya’. Sampai ketika Beliau berdiri di sisi sebuah sumur, kemudian mulailah Beliau memanggil nama-nama mereka dan nama-nama orang tua mereka: ‘Wahai Fulan bin Fulan, wahai Fulan bin Fulan! Apakah kalian suka seandainya kalian dulu taat kepada Allah dan Rasul-Nya? Apakah kalian mendapati apa yang dijanjikan Rabb kalian adalah benar? Maka ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Wahai Nabiyullah, mengapa Engkau berbicara kepada jasad yang sudah tidak memiliki ruh?”. Rasulullah menjawab: ‘Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah kalian lebih mendengar dari mereka atas apa yang aku katakan kepada mereka’” (HR. Ahmad no.12471, dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad). Dalam hadis ini, Umar mengatakan “Mengapa engkau berbicara kepada jasad yang sudah tidak memiliki ruh?”. Ini menunjukkan beliau memahami bahwa mayit tidak bisa lagi mendengar, dan Rasulullah tidak mengingkari pemahaman Umar tersebut. Pendapat Kedua Yaitu ulama yang mengatakan bahwa orang mati hanya bisa mendengar pada sebagian keadaan saja, tidak secara mutlak. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Jarir Ath-Thabari, Ibnu Qutaibah, Ibnul Qayyim, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dalil mereka di antaranya adalah hadis Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: العَبْدُ إذَا وُضِعَ في قَبْرِهِ، وتُوُلِّيَ وذَهَبَ أصْحَابُهُ حتَّى إنَّه لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ، أتَاهُ مَلَكَانِ “Ketika seorang hamba baru dikuburkan, dan orang-orang mulai pergi dari kuburnya, maka ia akan mendengar suara hentakan sandal mereka. Setelah itu akan datang dua Malaikat“ (HR. Al-Bukhari no.1338, Muslim no.2870). Hadis ini menyebutkan bahwa orang yang mati dapat mendengar suara hentakan kaki para pengantarnya. Ini menunjukkan bahwa ia tidak mendengar segala hal dan tidak bisa mendengar secara mutlak. Demikian juga hadis Qalib Badr, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, ia berkata: وقف النبي – صلى الله عليه وسلم – على قَليب بدرٍ فقال: ((هل وَجدتم ما وَعد ربُّكم حقًّا؟)) ثم قال: ((إنهم الآن يَسمعون ما أقولُ))، فذُكِر لعائشة فقالت: إنما قال النبي صلى الله عليه وسلم: ((إنهم الآن يعلمون أنَّ الذي كنتُ أقول لهم هو الحق)) ثم قرأت: {إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى} حتى قرأت الآية “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas sumur-sumur Badr (yang merupakan kuburan orang Quraisy), kemudian Beliau bersabda: “Bukankah kalian mendapati apa yang telah dijanjikan Rabb ternyata benar adanya?”. Kemudian Beliau bersabda lagi: “Sesungguhnya sekarang mereka mendengar apa yang aku katakan”. Hal ini dikabarkan kepada ‘Aisyah, lalu ia berkata: “Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam hanyalah bersabda: “Sesungguhnya mereka sekarang mengetahui apa yang dulu aku katakan kepada mereka adalah benar”. Kemudian ‘Aisyah membaca ayat : “Sesungguhnya kamu tidak mampu menjadikan orang-orang mati mampu mendengar” (QS. An-Naml: 80), sampai akhir ayat (HR. Al-Bukhari no.3980). Perkataan Nabi, “Sesungguhnya sekarang mereka mendengar apa yang aku katakan” menunjukkan bahwa mereka yang dikubur di Badr hanya mendengar perkataan Nabi saat itu saja. Adapun sebelum dan setelahnya, maka mereka tidak mendengar sama sekali. Ditegaskan lagi dengan pernyataan Aisyah yang menafsirkan sabda Nabi bahwa maksudnya para penghuni kubur itu mengetahui bukan mendengar, kemudian Aisyah membaca surat An-Naml ayat 80 tentang tidak bisa mendengarnya orang yang sudah mati.  Kesimpulannya, kedua pendapat di atas sebenarnya bisa dikompromikan. Yaitu dengan mengatakan bahwa orang yang mati tidak bisa mendengar apapun dari alam dunia ini, kecuali beberapa hal saja dan pada kesempatan yang terbatas. Semisal suara hentakan kaki para pengantarnya dan ucapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada mereka. Di luar kondisi khusus itu, kembali pada hukum asal bahwa orang mati tidak bisa mendengar sama sekali. Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan: إن الجمع بين حديث ابن عمر وعائشة بحمل حديث ابن عمر على أن مُخاطبة أهل القَليب وقعت وقت المسألة، وحينئذ كانت الرُّوح قد أعيدت إلى الجسد “Kompromi dari hadis Ibnu Umar dan hadis Aisyah adalah bahwa dalam hadis Ibnu Umar, perbincangan Nabi dengan penghuni kubur di Qalib hanya berlaku ketika itu saja. Dan pada saat itu ruh mereka dikembalikan ke jasad mereka” (Fathul Bari, 3/301). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: فهذه النصوص وأمثالها تُبيِّن أن الميت يسمع في الجملة كلام الحي، ولا يجب أن يكون السمع له دائمًا، بل قد يسمع في حال دون حال “Nash-nash ini dan semisalnya menjelaskan bahwa mayit bisa mendengar perkataan orang yang hidup secara global. Ini bukan berarti mereka terus-menerus bisa mendengar. Bahkan mereka mendengar pada suatu kondisi tertentu dan tidak bisa mendengar pada kondisi yang lain” (Majmu’ Al-Fatawa, 5/366). Dan yang paling penting, andaikan mereka bisa mendengar, maka mereka tidak bisa menjawab dan membantu permintaan orang yang hidup. Sehingga tetap tidak boleh meminta dan berdoa kepada orang mati. Allah ta’ala berfirman: وَلَوْ سَمِعُوا۟ مَا ٱسْتَجَابُوا۟ لَكُمْ ۖ وَيَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ “Dan andaikan mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kesyirikanmu” (QS. Fathir: 14). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 2,449 times, 7 visit(s) today Post Views: 1,228 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Apakah orang yang sudah meninggal bisa mendengar ucapan orang yang berziarah kubur kepadanya? Karena saya sering melihat orang-orang yang berziarah kubur bicara kepada penghuni kubur yang diziarahi. Mohon pencerahannya ustadz. Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Pada asalnya kita wajib meyakini bahwa orang yang sudah mati tidak bisa beramal lagi, termasuk di dalamnya masalah pendengaran. Mereka tidak bisa lagi mendengar orang yang hidup. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Ketika seorang insan mati, terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya” (HR. Muslim no. 1631). Namun terdapat dalil-dalil yang menyebutkan bahwa orang yang meninggal bisa mendengar pada kondisi tertentu. Sehingga para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat: Pertama, ulama yang mengatakan bahwa orang mati tidak bisa mendengar sama sekali. Kedua, ulama yang mengatakan bahwa orang mati hanya bisa mendengar pada sebagian keadaan saja, tidak secara mutlak. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa orang mati bisa mendengar secara mutlak setiap saat, tidak diketahui ada ulama yang berpendapat demikian. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan:  لم أرَ مَن صرَّح بأن الميِّت يسمع سماعًا مطلقًا كما كان شأنه في حياته، ولا أظن عالمًا يقول به “Saya tidak mengetahui ada ulama yang berpendapat bahwa orang mati bisa mendengar secara mutlak sebagaimana ketika ia masih hidup. Setahu saya tidak ada ulama yang berpendapat demikian”. Pendapat Pertama Yaitu para ulama yang mengatakan orang mati tidak bisa mendengar sama sekali. Ini adalah pendapat sebagian sahabat, di antaranya Aisyah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, radhiyallahu’ahum. Ini juga merupakan pendapat jumhur ulama mazhab, dan dikuatkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Mereka berhujjah dengan banyak sekali dalil, di antaranya firman Allah ta’ala: إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati bisa mendengar” (QS. An-Naml: 80). Allah ta’ala juga berfirman: فَإِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى “Sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu dapat mendengar” (QS. Ar-Ruum: 52). Juga firman-Nya: وَمَا أَنتَ بِمُسْمِعٍ مَّن فِي الْقُبُورِ “Dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar” (QS. Fathir: 22). Juga firman-Nya: وَٱلَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِۦ مَا يَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ إِن تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا۟ دُعَآءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا۟ مَا ٱسْتَجَابُوا۟ لَكُمْ ۖ وَيَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ ۚ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ “Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan sekiranya mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu seperti yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui” (QS. Fathir: 13-14). Dan dalil dari As-Sunnah, di antaranya hadis dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: إنَّ للَّهِ ملائِكةً سيَّاحينَ في الأرضِ ، يُبلِّغوني من أُمَّتي السَّلامَ “Sesungguhnya Allah ta’ala memiliki Malaikat yang beterbangan di muka bumi untuk menyampaikan salam umatku kepadaku” (HR. An-Nasa’i no.1282, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih An-Nasa’i). Hadis ini menunjukkan bahwa beliau shallallahu’alaihi wa sallam tidak bisa mendengar salamnya kaum muslimin setelah Beliau meninggal. Andaikan Beliau bisa mendengar tentu tidak butuh adanya para Malaikat yang menyampaikan salam kepada Beliau. Jika Beliau shallallahu’alaihi wa sallam saja tidak bisa mendengar orang yang hidup, maka lebih lagi orang-orang selain Beliau. Dalam hadis lain, dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, أنَّ نبيَّ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أمَرَ ببِضْعةٍ وعِشرينَ رَجُلًا من صَناديدِ قُرَيشٍ، فأُلْقوا في طَوِيٍّ من أطواءِ بَدرٍ خَبيثٍ مُخْبِثٍ، قال: وكان إذا ظهَرَ على قومٍ أقامَ بالعَرْصةِ ثلاثَ ليالٍ، قال: فلمَّا ظهَرَ على أهلِ بَدرٍ أَقامَ ثلاثَ ليالٍ، حتى إذا كان اليومُ الثالثُ أمَرَ براحِلَتِه، فشُدَّتْ برَحلِها، ثُم مَشى واتَّبعَه أصحابُه، قالوا: فما نَراه ينطَلِقُ إلَّا لِيَقضيَ حاجتَه، قال: حتى قامَ على شَفَةِ الطَّوِيِّ، قال: فجعَلَ يُناديهم بأسمائِهم وأسماءِ آبائِهم: يا فُلانُ بنَ فُلانٍ، أسرَّكم أنَّكم أَطَعْتمُ اللهَ ورسولَه، هل وجَدْتم ما وعَدَ ربُّكم حقًّا؟ قال عمرُ: يا نبيَّ اللهِ، ما تُكلِّمُ من أجسادٍ لا أرواحَ فيها، قال: والذي نفْسُ محمَّدٍ بيَدِه، ما أنتم بأسمَعَ لِما أقولُ منهم “Bahwasanya Nabi Allah shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan para Sahabat ketika perang Badr untuk menguburkan dua puluh lebih mayat tokoh-tokoh kaum Quraisy. Kemudian mereka pun dilemparkan ke dalam sumur-sumur yang ada di Badr dalam keadaan busuk dan bau. Dan kebiasaan Beliau jika menampakkan diri pada suatu kaum maka Beliau bermalam di sebuah tanah lapang selama tiga malam. Dan ketika berada di Badr, di hari ketiga Beliau meminta untuk disiapkan kendaraannya. Lalu Beliau memacunya kemudian Beliau berjalan dan diikuti oleh para Sahabatnya dan mereka berkata: ‘Tidaklah kami berpendapat Beliau keluar melainkan untuk menunaikan kebutuhannya’. Sampai ketika Beliau berdiri di sisi sebuah sumur, kemudian mulailah Beliau memanggil nama-nama mereka dan nama-nama orang tua mereka: ‘Wahai Fulan bin Fulan, wahai Fulan bin Fulan! Apakah kalian suka seandainya kalian dulu taat kepada Allah dan Rasul-Nya? Apakah kalian mendapati apa yang dijanjikan Rabb kalian adalah benar? Maka ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Wahai Nabiyullah, mengapa Engkau berbicara kepada jasad yang sudah tidak memiliki ruh?”. Rasulullah menjawab: ‘Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah kalian lebih mendengar dari mereka atas apa yang aku katakan kepada mereka’” (HR. Ahmad no.12471, dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad). Dalam hadis ini, Umar mengatakan “Mengapa engkau berbicara kepada jasad yang sudah tidak memiliki ruh?”. Ini menunjukkan beliau memahami bahwa mayit tidak bisa lagi mendengar, dan Rasulullah tidak mengingkari pemahaman Umar tersebut. Pendapat Kedua Yaitu ulama yang mengatakan bahwa orang mati hanya bisa mendengar pada sebagian keadaan saja, tidak secara mutlak. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Jarir Ath-Thabari, Ibnu Qutaibah, Ibnul Qayyim, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dalil mereka di antaranya adalah hadis Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: العَبْدُ إذَا وُضِعَ في قَبْرِهِ، وتُوُلِّيَ وذَهَبَ أصْحَابُهُ حتَّى إنَّه لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ، أتَاهُ مَلَكَانِ “Ketika seorang hamba baru dikuburkan, dan orang-orang mulai pergi dari kuburnya, maka ia akan mendengar suara hentakan sandal mereka. Setelah itu akan datang dua Malaikat“ (HR. Al-Bukhari no.1338, Muslim no.2870). Hadis ini menyebutkan bahwa orang yang mati dapat mendengar suara hentakan kaki para pengantarnya. Ini menunjukkan bahwa ia tidak mendengar segala hal dan tidak bisa mendengar secara mutlak. Demikian juga hadis Qalib Badr, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, ia berkata: وقف النبي – صلى الله عليه وسلم – على قَليب بدرٍ فقال: ((هل وَجدتم ما وَعد ربُّكم حقًّا؟)) ثم قال: ((إنهم الآن يَسمعون ما أقولُ))، فذُكِر لعائشة فقالت: إنما قال النبي صلى الله عليه وسلم: ((إنهم الآن يعلمون أنَّ الذي كنتُ أقول لهم هو الحق)) ثم قرأت: {إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى} حتى قرأت الآية “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas sumur-sumur Badr (yang merupakan kuburan orang Quraisy), kemudian Beliau bersabda: “Bukankah kalian mendapati apa yang telah dijanjikan Rabb ternyata benar adanya?”. Kemudian Beliau bersabda lagi: “Sesungguhnya sekarang mereka mendengar apa yang aku katakan”. Hal ini dikabarkan kepada ‘Aisyah, lalu ia berkata: “Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam hanyalah bersabda: “Sesungguhnya mereka sekarang mengetahui apa yang dulu aku katakan kepada mereka adalah benar”. Kemudian ‘Aisyah membaca ayat : “Sesungguhnya kamu tidak mampu menjadikan orang-orang mati mampu mendengar” (QS. An-Naml: 80), sampai akhir ayat (HR. Al-Bukhari no.3980). Perkataan Nabi, “Sesungguhnya sekarang mereka mendengar apa yang aku katakan” menunjukkan bahwa mereka yang dikubur di Badr hanya mendengar perkataan Nabi saat itu saja. Adapun sebelum dan setelahnya, maka mereka tidak mendengar sama sekali. Ditegaskan lagi dengan pernyataan Aisyah yang menafsirkan sabda Nabi bahwa maksudnya para penghuni kubur itu mengetahui bukan mendengar, kemudian Aisyah membaca surat An-Naml ayat 80 tentang tidak bisa mendengarnya orang yang sudah mati.  Kesimpulannya, kedua pendapat di atas sebenarnya bisa dikompromikan. Yaitu dengan mengatakan bahwa orang yang mati tidak bisa mendengar apapun dari alam dunia ini, kecuali beberapa hal saja dan pada kesempatan yang terbatas. Semisal suara hentakan kaki para pengantarnya dan ucapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada mereka. Di luar kondisi khusus itu, kembali pada hukum asal bahwa orang mati tidak bisa mendengar sama sekali. Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan: إن الجمع بين حديث ابن عمر وعائشة بحمل حديث ابن عمر على أن مُخاطبة أهل القَليب وقعت وقت المسألة، وحينئذ كانت الرُّوح قد أعيدت إلى الجسد “Kompromi dari hadis Ibnu Umar dan hadis Aisyah adalah bahwa dalam hadis Ibnu Umar, perbincangan Nabi dengan penghuni kubur di Qalib hanya berlaku ketika itu saja. Dan pada saat itu ruh mereka dikembalikan ke jasad mereka” (Fathul Bari, 3/301). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: فهذه النصوص وأمثالها تُبيِّن أن الميت يسمع في الجملة كلام الحي، ولا يجب أن يكون السمع له دائمًا، بل قد يسمع في حال دون حال “Nash-nash ini dan semisalnya menjelaskan bahwa mayit bisa mendengar perkataan orang yang hidup secara global. Ini bukan berarti mereka terus-menerus bisa mendengar. Bahkan mereka mendengar pada suatu kondisi tertentu dan tidak bisa mendengar pada kondisi yang lain” (Majmu’ Al-Fatawa, 5/366). Dan yang paling penting, andaikan mereka bisa mendengar, maka mereka tidak bisa menjawab dan membantu permintaan orang yang hidup. Sehingga tetap tidak boleh meminta dan berdoa kepada orang mati. Allah ta’ala berfirman: وَلَوْ سَمِعُوا۟ مَا ٱسْتَجَابُوا۟ لَكُمْ ۖ وَيَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ “Dan andaikan mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kesyirikanmu” (QS. Fathir: 14). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 2,449 times, 7 visit(s) today Post Views: 1,228 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Kiat Berdoa: Mintalah dengan Menyebutkan Keadaan Diri yang Sangat Butuh kepada Allah

Cara doa yang manjur adalah menyebutkan keadaan diri yang sangat butuh kepada Allah. Doa ini dikenal dengan doa menyebut keadaan (haal).   Doa dengan Menyebutkan Keadaan Diri yang Sangat Butuh kepada Allah Allah Ta’ala berfirman, فَسَقَىٰ لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّىٰٓ إِلَى ٱلظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّى لِمَآ أَنزَلْتَ إِلَىَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ “Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: “Ya Rabbku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku”.” (QS. Al-Qashash: 24) Ayat sebelumnya menerangkan tentang dua putri Nabi Syu’aib yang ditolong oleh Nabi Musa ‘alaihis salam. وَلَمَّا وَرَدَ مَآءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِّنَ ٱلنَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِن دُونِهِمُ ٱمْرَأَتَيْنِ تَذُودَانِ ۖ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا ۖ قَالَتَا لَا نَسْقِى حَتَّىٰ يُصْدِرَ ٱلرِّعَآءُ ۖ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ “Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”.” (QS. Al-Qashash: 23) Dalam Tafsir Al-Mukhtashar (di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid, Imam Masjidil Haram) disebutkan tafsiran Surah Al-Qashash ayat 24 di atas: “Maka Musa -‘alaihissalām- merasa kasihan kepada keduanya dan mengambilkan air untuk kambing mereka, kemudian dia menuju tempat teduh untuk beristirahat dan berdoa kepada Rabbnya dengan mengeluhkan kebutuhannya, “Wahai Rabbku! Sesungguhnya aku membutuhkan kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah (pakar tafsir abad 14 H) menjelaskan dalam kitab tafsirnya: Maka Musa merasa iba dan kasihan kepada mereka berdua, “maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya,” tanpa minta imbalan upah kepada keduanya dan tidak juga mempunyai niat lain selain keridhaan Allah. Setelah dia berhasil meminumkan ternak milik kedua gadis itu, yang mana pada saat itu cuaca sangat panas sekali di tengah siang hari, hal ini terbukti dengan Firman-Nya, “Kemudian dia kembali ke tempat yang teduh,” untuk beristirahat di tempat teduh itu setelah kelelahan, “lalu berkata” pada kondisi seperti itu seraya memohon karunia kepada Rabbnya, “Ya Rabbku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku,” maksudnya, sesungguhnya aku sangat membutuhkan kebaikan yang Engkau bawakan kepadaku dan Engkau memudahkannya untukku. Ini adalah permohonan Musa melalui ungkapan kondisinya. Dia memohon kepada Allah dengan (bertawasul) dengan kondisi (lisaanul haal) itu lebih mantap daripada memohon dengan ungkapan lisan (lisaanul maqaal) saja. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid hafizhahullah menyebutkan, فهذا منه عليه السلام سؤال بالحال، واكتفاء بإظهار حاله من الفقر والحاجة بين يدي ربه، عن التصريح بالسؤال. وهذا كقول أيوب عليه السلام: أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ. وقول يونس عليه السلام: لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ  “Ini adalah doa dari Nabi Musa ‘alaihis salam dalam meminta dengan menyebutkan haal (keadaan), yaitu dengan menyebutkan keadaan yang penuh kefakiran dan benar-benar butuh di hadapan Allah. Permintaan dengan menyebutkan keadaan ini lebih baik daripada permintaan dengan menyebutkan persoalan semata.” Hal ini sebagaimana doa Nabi Ayyub ‘alaihis salam, أَنِّى مَسَّنِىَ ٱلضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ “(Ya Rabbku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang“.” (QS. Al-Anbiya’: 83) Juga hal ini dapat dilihat dari ucapan Nabi Yunus ‘alaihis salam, لَّآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنتَ سُبْحَٰنَكَ إِنِّى كُنتُ مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ “Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Engkau, MahaSuci Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berbuat kezaliman.” (QS. Al-Anbiya’: 87)  (Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab no. 245013) Adam dan Hawa mengakui kemaksiatan yang telah mereka lakukan, kemudian mereka menundukkan diri dan bermunajat kepada Allah dengan berdoa, رَبَّنَا ظَلَمْنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ “Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Araf: 23) Bisa juga semacam ini dilihat dari doa yang diajarkan pada sahabat yang mulia, Abu Bakar. Dari Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, عَلِّمْنِى دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِى صَلاَتِى . قَالَ « قُلِ  :اللَّهُمَّ إِنِّى ظَلَمْتُ نَفْسِى ظُلْمًا كَثِيرًا وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ ، فَاغْفِرْ لِى مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ ، وَارْحَمْنِى إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ » “Ajarkanlah aku suatu doa yang bisa aku panjatkan saat shalat!” Maka Beliau pun berkata, “Bacalah: ‘ALLAHUMMA INNII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIIRAN WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA FAGHFIRLII MAGHFIRATAN MIN ‘INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHOFUURUR RAHIIM (artinya: Ya Allah, sungguh aku telah menzhalimi diriku sendiri dengan kezhaliman yang banyak, sedangkan tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Maka itu ampunilah aku dengan suatu pengampunan dari sisi-Mu, dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) ‘.” (HR. Bukhari no. 834 dan Muslim no. 2705) Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata, “Doa yang mulia ini tergabung di dalamnya dua hal, yaitu (1) penyebutan keadaan diri dan (2) tawasul kepada Allah dengan menyebutkan bahwa Allah itu Maha Mengampuni dosa. Setelah bertawasul dengan dua hal ini, barulah meminta hajat. Inilah adab berdoa dan bentuk penghambaan kepada Allah.” (Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 109800) Baca juga: Doa Meminta Ampunan Versi Abu Bakar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, وَصْفُ الْحَاجَةِ وَالِافْتِقَارِ: هُوَ سُؤَالٌ بِالْحَالِ، وَهُوَ أَبْلَغُ مِنْ جِهَةِ الْعِلْمِ وَالْبَيَانِ. وَذَلِكَ [أي: السؤال بالمقال] أَظْهَرُ مِنْ جِهَةِ الْقَصْدِ وَالْإِرَادَةِ. “Penyebutan kebutuhan dan perasaan butuh kepada Allah dalam doa adalah bentuk permintaan dengan menyampaikan keadaan diri. Doa dengan menyebutkan kondisi diri yang merasa butuh kepada Allah lebih kuat dari segi ilmu dan penjelasan. Sedangkan doa dengan ucapan lisan lebih jelas dari segi maksud dan keinginan.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:246). Baca juga: Doa dengan Merengek-Rengek (Ilhaah fid Du’aa’)   Tawasul yang Disyariatkan Seperti diketahui bersama bahwa tawasul yang disyariatkan adalah: Tawasul kepada Allah dengan menyebut nama dan sifat Allah, seperti menyebut Allah dengan Ar-Rahman ketika meminta rahmat, menyebut Allah dengan Al-Ghafuur ketika meminta ampunan kepada Allah. Tawasul kepada Allah dengan penyebutan iman dan tauhid. Seperti doa dalam ayat, رَبَّنَآ ءَامَنَّا بِمَآ أَنزَلْتَ وَٱتَّبَعْنَا ٱلرَّسُولَ فَٱكْتُبْنَا مَعَ ٱلشَّٰهِدِينَ “Ya Rabb kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah).” (QS. Ali Imran: 53) 3. Tawasul kepada Allah dengan menyebut amal saleh seperti kisah tiga orang yang tertutup dalam goa dan menyebutkan amal saleh masing-masing. Berdoa kepada Allah dengan menyebutkan keadaan diri yang sangat butuh kepada Allah masuk juga dalam tawasul yang ketiga ini. 4. Tawasul kepada Allah dengan perantaraan doa orang saleh yang masih hidup. Bentuk ini seperti perkataan ‘Umar bin Al-Khattab kepada Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal dunia, اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا “Ya Allah, sesungguhnya kami bertawassul kepada-Mu lewat perantaraan Nabi-Mu, maka turunkanlah hujan pada kami. Dan sekarang kami bertawassul kepada-Mu lewat perantaraan paman Nabi kami, maka turunkanlah pula hujan pada kami.” (HR. Bukhari, no. 1010). Baca juga: Tawasul yang Disepakati Bolehnya Semoga Allah mengijabahi setiap doa-doa kita.    Baca juga: Pasti Ada Jalan Keluar, Husnuzhanlah kepada Allah   –   Ditulis @ Makkah Al-Mukarramah, 18 Dzulhijjah 1445 H (24 Juni 2024) Oleh: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa berdoa cara berdoa cara doa husnuzhan husnuzhan kepada Allah solusi masalah hidup

Kiat Berdoa: Mintalah dengan Menyebutkan Keadaan Diri yang Sangat Butuh kepada Allah

Cara doa yang manjur adalah menyebutkan keadaan diri yang sangat butuh kepada Allah. Doa ini dikenal dengan doa menyebut keadaan (haal).   Doa dengan Menyebutkan Keadaan Diri yang Sangat Butuh kepada Allah Allah Ta’ala berfirman, فَسَقَىٰ لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّىٰٓ إِلَى ٱلظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّى لِمَآ أَنزَلْتَ إِلَىَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ “Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: “Ya Rabbku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku”.” (QS. Al-Qashash: 24) Ayat sebelumnya menerangkan tentang dua putri Nabi Syu’aib yang ditolong oleh Nabi Musa ‘alaihis salam. وَلَمَّا وَرَدَ مَآءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِّنَ ٱلنَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِن دُونِهِمُ ٱمْرَأَتَيْنِ تَذُودَانِ ۖ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا ۖ قَالَتَا لَا نَسْقِى حَتَّىٰ يُصْدِرَ ٱلرِّعَآءُ ۖ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ “Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”.” (QS. Al-Qashash: 23) Dalam Tafsir Al-Mukhtashar (di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid, Imam Masjidil Haram) disebutkan tafsiran Surah Al-Qashash ayat 24 di atas: “Maka Musa -‘alaihissalām- merasa kasihan kepada keduanya dan mengambilkan air untuk kambing mereka, kemudian dia menuju tempat teduh untuk beristirahat dan berdoa kepada Rabbnya dengan mengeluhkan kebutuhannya, “Wahai Rabbku! Sesungguhnya aku membutuhkan kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah (pakar tafsir abad 14 H) menjelaskan dalam kitab tafsirnya: Maka Musa merasa iba dan kasihan kepada mereka berdua, “maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya,” tanpa minta imbalan upah kepada keduanya dan tidak juga mempunyai niat lain selain keridhaan Allah. Setelah dia berhasil meminumkan ternak milik kedua gadis itu, yang mana pada saat itu cuaca sangat panas sekali di tengah siang hari, hal ini terbukti dengan Firman-Nya, “Kemudian dia kembali ke tempat yang teduh,” untuk beristirahat di tempat teduh itu setelah kelelahan, “lalu berkata” pada kondisi seperti itu seraya memohon karunia kepada Rabbnya, “Ya Rabbku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku,” maksudnya, sesungguhnya aku sangat membutuhkan kebaikan yang Engkau bawakan kepadaku dan Engkau memudahkannya untukku. Ini adalah permohonan Musa melalui ungkapan kondisinya. Dia memohon kepada Allah dengan (bertawasul) dengan kondisi (lisaanul haal) itu lebih mantap daripada memohon dengan ungkapan lisan (lisaanul maqaal) saja. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid hafizhahullah menyebutkan, فهذا منه عليه السلام سؤال بالحال، واكتفاء بإظهار حاله من الفقر والحاجة بين يدي ربه، عن التصريح بالسؤال. وهذا كقول أيوب عليه السلام: أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ. وقول يونس عليه السلام: لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ  “Ini adalah doa dari Nabi Musa ‘alaihis salam dalam meminta dengan menyebutkan haal (keadaan), yaitu dengan menyebutkan keadaan yang penuh kefakiran dan benar-benar butuh di hadapan Allah. Permintaan dengan menyebutkan keadaan ini lebih baik daripada permintaan dengan menyebutkan persoalan semata.” Hal ini sebagaimana doa Nabi Ayyub ‘alaihis salam, أَنِّى مَسَّنِىَ ٱلضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ “(Ya Rabbku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang“.” (QS. Al-Anbiya’: 83) Juga hal ini dapat dilihat dari ucapan Nabi Yunus ‘alaihis salam, لَّآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنتَ سُبْحَٰنَكَ إِنِّى كُنتُ مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ “Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Engkau, MahaSuci Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berbuat kezaliman.” (QS. Al-Anbiya’: 87)  (Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab no. 245013) Adam dan Hawa mengakui kemaksiatan yang telah mereka lakukan, kemudian mereka menundukkan diri dan bermunajat kepada Allah dengan berdoa, رَبَّنَا ظَلَمْنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ “Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Araf: 23) Bisa juga semacam ini dilihat dari doa yang diajarkan pada sahabat yang mulia, Abu Bakar. Dari Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, عَلِّمْنِى دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِى صَلاَتِى . قَالَ « قُلِ  :اللَّهُمَّ إِنِّى ظَلَمْتُ نَفْسِى ظُلْمًا كَثِيرًا وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ ، فَاغْفِرْ لِى مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ ، وَارْحَمْنِى إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ » “Ajarkanlah aku suatu doa yang bisa aku panjatkan saat shalat!” Maka Beliau pun berkata, “Bacalah: ‘ALLAHUMMA INNII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIIRAN WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA FAGHFIRLII MAGHFIRATAN MIN ‘INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHOFUURUR RAHIIM (artinya: Ya Allah, sungguh aku telah menzhalimi diriku sendiri dengan kezhaliman yang banyak, sedangkan tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Maka itu ampunilah aku dengan suatu pengampunan dari sisi-Mu, dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) ‘.” (HR. Bukhari no. 834 dan Muslim no. 2705) Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata, “Doa yang mulia ini tergabung di dalamnya dua hal, yaitu (1) penyebutan keadaan diri dan (2) tawasul kepada Allah dengan menyebutkan bahwa Allah itu Maha Mengampuni dosa. Setelah bertawasul dengan dua hal ini, barulah meminta hajat. Inilah adab berdoa dan bentuk penghambaan kepada Allah.” (Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 109800) Baca juga: Doa Meminta Ampunan Versi Abu Bakar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, وَصْفُ الْحَاجَةِ وَالِافْتِقَارِ: هُوَ سُؤَالٌ بِالْحَالِ، وَهُوَ أَبْلَغُ مِنْ جِهَةِ الْعِلْمِ وَالْبَيَانِ. وَذَلِكَ [أي: السؤال بالمقال] أَظْهَرُ مِنْ جِهَةِ الْقَصْدِ وَالْإِرَادَةِ. “Penyebutan kebutuhan dan perasaan butuh kepada Allah dalam doa adalah bentuk permintaan dengan menyampaikan keadaan diri. Doa dengan menyebutkan kondisi diri yang merasa butuh kepada Allah lebih kuat dari segi ilmu dan penjelasan. Sedangkan doa dengan ucapan lisan lebih jelas dari segi maksud dan keinginan.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:246). Baca juga: Doa dengan Merengek-Rengek (Ilhaah fid Du’aa’)   Tawasul yang Disyariatkan Seperti diketahui bersama bahwa tawasul yang disyariatkan adalah: Tawasul kepada Allah dengan menyebut nama dan sifat Allah, seperti menyebut Allah dengan Ar-Rahman ketika meminta rahmat, menyebut Allah dengan Al-Ghafuur ketika meminta ampunan kepada Allah. Tawasul kepada Allah dengan penyebutan iman dan tauhid. Seperti doa dalam ayat, رَبَّنَآ ءَامَنَّا بِمَآ أَنزَلْتَ وَٱتَّبَعْنَا ٱلرَّسُولَ فَٱكْتُبْنَا مَعَ ٱلشَّٰهِدِينَ “Ya Rabb kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah).” (QS. Ali Imran: 53) 3. Tawasul kepada Allah dengan menyebut amal saleh seperti kisah tiga orang yang tertutup dalam goa dan menyebutkan amal saleh masing-masing. Berdoa kepada Allah dengan menyebutkan keadaan diri yang sangat butuh kepada Allah masuk juga dalam tawasul yang ketiga ini. 4. Tawasul kepada Allah dengan perantaraan doa orang saleh yang masih hidup. Bentuk ini seperti perkataan ‘Umar bin Al-Khattab kepada Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal dunia, اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا “Ya Allah, sesungguhnya kami bertawassul kepada-Mu lewat perantaraan Nabi-Mu, maka turunkanlah hujan pada kami. Dan sekarang kami bertawassul kepada-Mu lewat perantaraan paman Nabi kami, maka turunkanlah pula hujan pada kami.” (HR. Bukhari, no. 1010). Baca juga: Tawasul yang Disepakati Bolehnya Semoga Allah mengijabahi setiap doa-doa kita.    Baca juga: Pasti Ada Jalan Keluar, Husnuzhanlah kepada Allah   –   Ditulis @ Makkah Al-Mukarramah, 18 Dzulhijjah 1445 H (24 Juni 2024) Oleh: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa berdoa cara berdoa cara doa husnuzhan husnuzhan kepada Allah solusi masalah hidup
Cara doa yang manjur adalah menyebutkan keadaan diri yang sangat butuh kepada Allah. Doa ini dikenal dengan doa menyebut keadaan (haal).   Doa dengan Menyebutkan Keadaan Diri yang Sangat Butuh kepada Allah Allah Ta’ala berfirman, فَسَقَىٰ لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّىٰٓ إِلَى ٱلظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّى لِمَآ أَنزَلْتَ إِلَىَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ “Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: “Ya Rabbku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku”.” (QS. Al-Qashash: 24) Ayat sebelumnya menerangkan tentang dua putri Nabi Syu’aib yang ditolong oleh Nabi Musa ‘alaihis salam. وَلَمَّا وَرَدَ مَآءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِّنَ ٱلنَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِن دُونِهِمُ ٱمْرَأَتَيْنِ تَذُودَانِ ۖ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا ۖ قَالَتَا لَا نَسْقِى حَتَّىٰ يُصْدِرَ ٱلرِّعَآءُ ۖ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ “Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”.” (QS. Al-Qashash: 23) Dalam Tafsir Al-Mukhtashar (di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid, Imam Masjidil Haram) disebutkan tafsiran Surah Al-Qashash ayat 24 di atas: “Maka Musa -‘alaihissalām- merasa kasihan kepada keduanya dan mengambilkan air untuk kambing mereka, kemudian dia menuju tempat teduh untuk beristirahat dan berdoa kepada Rabbnya dengan mengeluhkan kebutuhannya, “Wahai Rabbku! Sesungguhnya aku membutuhkan kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah (pakar tafsir abad 14 H) menjelaskan dalam kitab tafsirnya: Maka Musa merasa iba dan kasihan kepada mereka berdua, “maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya,” tanpa minta imbalan upah kepada keduanya dan tidak juga mempunyai niat lain selain keridhaan Allah. Setelah dia berhasil meminumkan ternak milik kedua gadis itu, yang mana pada saat itu cuaca sangat panas sekali di tengah siang hari, hal ini terbukti dengan Firman-Nya, “Kemudian dia kembali ke tempat yang teduh,” untuk beristirahat di tempat teduh itu setelah kelelahan, “lalu berkata” pada kondisi seperti itu seraya memohon karunia kepada Rabbnya, “Ya Rabbku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku,” maksudnya, sesungguhnya aku sangat membutuhkan kebaikan yang Engkau bawakan kepadaku dan Engkau memudahkannya untukku. Ini adalah permohonan Musa melalui ungkapan kondisinya. Dia memohon kepada Allah dengan (bertawasul) dengan kondisi (lisaanul haal) itu lebih mantap daripada memohon dengan ungkapan lisan (lisaanul maqaal) saja. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid hafizhahullah menyebutkan, فهذا منه عليه السلام سؤال بالحال، واكتفاء بإظهار حاله من الفقر والحاجة بين يدي ربه، عن التصريح بالسؤال. وهذا كقول أيوب عليه السلام: أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ. وقول يونس عليه السلام: لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ  “Ini adalah doa dari Nabi Musa ‘alaihis salam dalam meminta dengan menyebutkan haal (keadaan), yaitu dengan menyebutkan keadaan yang penuh kefakiran dan benar-benar butuh di hadapan Allah. Permintaan dengan menyebutkan keadaan ini lebih baik daripada permintaan dengan menyebutkan persoalan semata.” Hal ini sebagaimana doa Nabi Ayyub ‘alaihis salam, أَنِّى مَسَّنِىَ ٱلضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ “(Ya Rabbku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang“.” (QS. Al-Anbiya’: 83) Juga hal ini dapat dilihat dari ucapan Nabi Yunus ‘alaihis salam, لَّآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنتَ سُبْحَٰنَكَ إِنِّى كُنتُ مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ “Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Engkau, MahaSuci Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berbuat kezaliman.” (QS. Al-Anbiya’: 87)  (Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab no. 245013) Adam dan Hawa mengakui kemaksiatan yang telah mereka lakukan, kemudian mereka menundukkan diri dan bermunajat kepada Allah dengan berdoa, رَبَّنَا ظَلَمْنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ “Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Araf: 23) Bisa juga semacam ini dilihat dari doa yang diajarkan pada sahabat yang mulia, Abu Bakar. Dari Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, عَلِّمْنِى دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِى صَلاَتِى . قَالَ « قُلِ  :اللَّهُمَّ إِنِّى ظَلَمْتُ نَفْسِى ظُلْمًا كَثِيرًا وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ ، فَاغْفِرْ لِى مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ ، وَارْحَمْنِى إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ » “Ajarkanlah aku suatu doa yang bisa aku panjatkan saat shalat!” Maka Beliau pun berkata, “Bacalah: ‘ALLAHUMMA INNII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIIRAN WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA FAGHFIRLII MAGHFIRATAN MIN ‘INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHOFUURUR RAHIIM (artinya: Ya Allah, sungguh aku telah menzhalimi diriku sendiri dengan kezhaliman yang banyak, sedangkan tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Maka itu ampunilah aku dengan suatu pengampunan dari sisi-Mu, dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) ‘.” (HR. Bukhari no. 834 dan Muslim no. 2705) Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata, “Doa yang mulia ini tergabung di dalamnya dua hal, yaitu (1) penyebutan keadaan diri dan (2) tawasul kepada Allah dengan menyebutkan bahwa Allah itu Maha Mengampuni dosa. Setelah bertawasul dengan dua hal ini, barulah meminta hajat. Inilah adab berdoa dan bentuk penghambaan kepada Allah.” (Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 109800) Baca juga: Doa Meminta Ampunan Versi Abu Bakar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, وَصْفُ الْحَاجَةِ وَالِافْتِقَارِ: هُوَ سُؤَالٌ بِالْحَالِ، وَهُوَ أَبْلَغُ مِنْ جِهَةِ الْعِلْمِ وَالْبَيَانِ. وَذَلِكَ [أي: السؤال بالمقال] أَظْهَرُ مِنْ جِهَةِ الْقَصْدِ وَالْإِرَادَةِ. “Penyebutan kebutuhan dan perasaan butuh kepada Allah dalam doa adalah bentuk permintaan dengan menyampaikan keadaan diri. Doa dengan menyebutkan kondisi diri yang merasa butuh kepada Allah lebih kuat dari segi ilmu dan penjelasan. Sedangkan doa dengan ucapan lisan lebih jelas dari segi maksud dan keinginan.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:246). Baca juga: Doa dengan Merengek-Rengek (Ilhaah fid Du’aa’)   Tawasul yang Disyariatkan Seperti diketahui bersama bahwa tawasul yang disyariatkan adalah: Tawasul kepada Allah dengan menyebut nama dan sifat Allah, seperti menyebut Allah dengan Ar-Rahman ketika meminta rahmat, menyebut Allah dengan Al-Ghafuur ketika meminta ampunan kepada Allah. Tawasul kepada Allah dengan penyebutan iman dan tauhid. Seperti doa dalam ayat, رَبَّنَآ ءَامَنَّا بِمَآ أَنزَلْتَ وَٱتَّبَعْنَا ٱلرَّسُولَ فَٱكْتُبْنَا مَعَ ٱلشَّٰهِدِينَ “Ya Rabb kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah).” (QS. Ali Imran: 53) 3. Tawasul kepada Allah dengan menyebut amal saleh seperti kisah tiga orang yang tertutup dalam goa dan menyebutkan amal saleh masing-masing. Berdoa kepada Allah dengan menyebutkan keadaan diri yang sangat butuh kepada Allah masuk juga dalam tawasul yang ketiga ini. 4. Tawasul kepada Allah dengan perantaraan doa orang saleh yang masih hidup. Bentuk ini seperti perkataan ‘Umar bin Al-Khattab kepada Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal dunia, اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا “Ya Allah, sesungguhnya kami bertawassul kepada-Mu lewat perantaraan Nabi-Mu, maka turunkanlah hujan pada kami. Dan sekarang kami bertawassul kepada-Mu lewat perantaraan paman Nabi kami, maka turunkanlah pula hujan pada kami.” (HR. Bukhari, no. 1010). Baca juga: Tawasul yang Disepakati Bolehnya Semoga Allah mengijabahi setiap doa-doa kita.    Baca juga: Pasti Ada Jalan Keluar, Husnuzhanlah kepada Allah   –   Ditulis @ Makkah Al-Mukarramah, 18 Dzulhijjah 1445 H (24 Juni 2024) Oleh: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa berdoa cara berdoa cara doa husnuzhan husnuzhan kepada Allah solusi masalah hidup


Cara doa yang manjur adalah menyebutkan keadaan diri yang sangat butuh kepada Allah. Doa ini dikenal dengan doa menyebut keadaan (haal).   Doa dengan Menyebutkan Keadaan Diri yang Sangat Butuh kepada Allah Allah Ta’ala berfirman, فَسَقَىٰ لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّىٰٓ إِلَى ٱلظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّى لِمَآ أَنزَلْتَ إِلَىَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ “Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: “Ya Rabbku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku”.” (QS. Al-Qashash: 24) Ayat sebelumnya menerangkan tentang dua putri Nabi Syu’aib yang ditolong oleh Nabi Musa ‘alaihis salam. وَلَمَّا وَرَدَ مَآءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِّنَ ٱلنَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِن دُونِهِمُ ٱمْرَأَتَيْنِ تَذُودَانِ ۖ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا ۖ قَالَتَا لَا نَسْقِى حَتَّىٰ يُصْدِرَ ٱلرِّعَآءُ ۖ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ “Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”.” (QS. Al-Qashash: 23) Dalam Tafsir Al-Mukhtashar (di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid, Imam Masjidil Haram) disebutkan tafsiran Surah Al-Qashash ayat 24 di atas: “Maka Musa -‘alaihissalām- merasa kasihan kepada keduanya dan mengambilkan air untuk kambing mereka, kemudian dia menuju tempat teduh untuk beristirahat dan berdoa kepada Rabbnya dengan mengeluhkan kebutuhannya, “Wahai Rabbku! Sesungguhnya aku membutuhkan kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah (pakar tafsir abad 14 H) menjelaskan dalam kitab tafsirnya: Maka Musa merasa iba dan kasihan kepada mereka berdua, “maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya,” tanpa minta imbalan upah kepada keduanya dan tidak juga mempunyai niat lain selain keridhaan Allah. Setelah dia berhasil meminumkan ternak milik kedua gadis itu, yang mana pada saat itu cuaca sangat panas sekali di tengah siang hari, hal ini terbukti dengan Firman-Nya, “Kemudian dia kembali ke tempat yang teduh,” untuk beristirahat di tempat teduh itu setelah kelelahan, “lalu berkata” pada kondisi seperti itu seraya memohon karunia kepada Rabbnya, “Ya Rabbku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku,” maksudnya, sesungguhnya aku sangat membutuhkan kebaikan yang Engkau bawakan kepadaku dan Engkau memudahkannya untukku. Ini adalah permohonan Musa melalui ungkapan kondisinya. Dia memohon kepada Allah dengan (bertawasul) dengan kondisi (lisaanul haal) itu lebih mantap daripada memohon dengan ungkapan lisan (lisaanul maqaal) saja. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid hafizhahullah menyebutkan, فهذا منه عليه السلام سؤال بالحال، واكتفاء بإظهار حاله من الفقر والحاجة بين يدي ربه، عن التصريح بالسؤال. وهذا كقول أيوب عليه السلام: أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ. وقول يونس عليه السلام: لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ  “Ini adalah doa dari Nabi Musa ‘alaihis salam dalam meminta dengan menyebutkan haal (keadaan), yaitu dengan menyebutkan keadaan yang penuh kefakiran dan benar-benar butuh di hadapan Allah. Permintaan dengan menyebutkan keadaan ini lebih baik daripada permintaan dengan menyebutkan persoalan semata.” Hal ini sebagaimana doa Nabi Ayyub ‘alaihis salam, أَنِّى مَسَّنِىَ ٱلضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ “(Ya Rabbku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang“.” (QS. Al-Anbiya’: 83) Juga hal ini dapat dilihat dari ucapan Nabi Yunus ‘alaihis salam, لَّآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنتَ سُبْحَٰنَكَ إِنِّى كُنتُ مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ “Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Engkau, MahaSuci Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berbuat kezaliman.” (QS. Al-Anbiya’: 87)  (Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab no. 245013) Adam dan Hawa mengakui kemaksiatan yang telah mereka lakukan, kemudian mereka menundukkan diri dan bermunajat kepada Allah dengan berdoa, رَبَّنَا ظَلَمْنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ “Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Araf: 23) Bisa juga semacam ini dilihat dari doa yang diajarkan pada sahabat yang mulia, Abu Bakar. Dari Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, عَلِّمْنِى دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِى صَلاَتِى . قَالَ « قُلِ  :اللَّهُمَّ إِنِّى ظَلَمْتُ نَفْسِى ظُلْمًا كَثِيرًا وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ ، فَاغْفِرْ لِى مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ ، وَارْحَمْنِى إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ » “Ajarkanlah aku suatu doa yang bisa aku panjatkan saat shalat!” Maka Beliau pun berkata, “Bacalah: ‘ALLAHUMMA INNII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIIRAN WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA FAGHFIRLII MAGHFIRATAN MIN ‘INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHOFUURUR RAHIIM (artinya: Ya Allah, sungguh aku telah menzhalimi diriku sendiri dengan kezhaliman yang banyak, sedangkan tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Maka itu ampunilah aku dengan suatu pengampunan dari sisi-Mu, dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) ‘.” (HR. Bukhari no. 834 dan Muslim no. 2705) Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata, “Doa yang mulia ini tergabung di dalamnya dua hal, yaitu (1) penyebutan keadaan diri dan (2) tawasul kepada Allah dengan menyebutkan bahwa Allah itu Maha Mengampuni dosa. Setelah bertawasul dengan dua hal ini, barulah meminta hajat. Inilah adab berdoa dan bentuk penghambaan kepada Allah.” (Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 109800) Baca juga: Doa Meminta Ampunan Versi Abu Bakar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, وَصْفُ الْحَاجَةِ وَالِافْتِقَارِ: هُوَ سُؤَالٌ بِالْحَالِ، وَهُوَ أَبْلَغُ مِنْ جِهَةِ الْعِلْمِ وَالْبَيَانِ. وَذَلِكَ [أي: السؤال بالمقال] أَظْهَرُ مِنْ جِهَةِ الْقَصْدِ وَالْإِرَادَةِ. “Penyebutan kebutuhan dan perasaan butuh kepada Allah dalam doa adalah bentuk permintaan dengan menyampaikan keadaan diri. Doa dengan menyebutkan kondisi diri yang merasa butuh kepada Allah lebih kuat dari segi ilmu dan penjelasan. Sedangkan doa dengan ucapan lisan lebih jelas dari segi maksud dan keinginan.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:246). Baca juga: Doa dengan Merengek-Rengek (Ilhaah fid Du’aa’)   Tawasul yang Disyariatkan Seperti diketahui bersama bahwa tawasul yang disyariatkan adalah: Tawasul kepada Allah dengan menyebut nama dan sifat Allah, seperti menyebut Allah dengan Ar-Rahman ketika meminta rahmat, menyebut Allah dengan Al-Ghafuur ketika meminta ampunan kepada Allah. Tawasul kepada Allah dengan penyebutan iman dan tauhid. Seperti doa dalam ayat, رَبَّنَآ ءَامَنَّا بِمَآ أَنزَلْتَ وَٱتَّبَعْنَا ٱلرَّسُولَ فَٱكْتُبْنَا مَعَ ٱلشَّٰهِدِينَ “Ya Rabb kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah).” (QS. Ali Imran: 53) 3. Tawasul kepada Allah dengan menyebut amal saleh seperti kisah tiga orang yang tertutup dalam goa dan menyebutkan amal saleh masing-masing. Berdoa kepada Allah dengan menyebutkan keadaan diri yang sangat butuh kepada Allah masuk juga dalam tawasul yang ketiga ini. 4. Tawasul kepada Allah dengan perantaraan doa orang saleh yang masih hidup. Bentuk ini seperti perkataan ‘Umar bin Al-Khattab kepada Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal dunia, اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا “Ya Allah, sesungguhnya kami bertawassul kepada-Mu lewat perantaraan Nabi-Mu, maka turunkanlah hujan pada kami. Dan sekarang kami bertawassul kepada-Mu lewat perantaraan paman Nabi kami, maka turunkanlah pula hujan pada kami.” (HR. Bukhari, no. 1010). Baca juga: Tawasul yang Disepakati Bolehnya Semoga Allah mengijabahi setiap doa-doa kita.    Baca juga: Pasti Ada Jalan Keluar, Husnuzhanlah kepada Allah   –   Ditulis @ Makkah Al-Mukarramah, 18 Dzulhijjah 1445 H (24 Juni 2024) Oleh: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa berdoa cara berdoa cara doa husnuzhan husnuzhan kepada Allah solusi masalah hidup

Dua Macam Larangan yang Terkena Dam yang Sering Dilakukan Jamaah Haji

Inilah dua macam larangan yang terkena dam yang sering dilakukan oleh jamaah haji. Perhatikan penjelasan berikut ini.   Dengan istilah dari ulama Syafiiyah, dam itu ada yang:   1. Tartib dan Taqdir (Harus Berurutan dan Sudah Ditentukan) Yakni menyembelih seekor kambing. Jika tidak mampu atau tidak menemukan kambing untuk disembelih, bisa digantikan dengan berpuasa 10 hari, dengan ketentuan 3 hari dilaksanakan selama pelaksanaan ibadah haji dan 7 hari sisanya dilaksanakan di kampung halaman. Jika tidak sanggup untuk berpuasa, baik dengan alasan sakit atau alasan syar’i yang lain, maka bisa digantikan dengan membayar 1 mud/hari (1 mud= 675 gr/0.7 liter) seharga makanan pokok. Dam kategori pertama ini diperuntukkan bagi jamaah haji yang melakukan haji tamattu’, haji qiran, dan beberapa pelanggaran wajib haji seperti: tidak berniat (ihram) dari miqat makani, tidak mabit di Muzdalifah tanpa alasan syar’i, tidak mabit di Mina tanpa alasan syar’i, tidak melontar jumrah dan tidak melaksanakan thawaf wada. Dalil dam ini adalah ayat, فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ “Maka siapa yang mengerjakan umrah sebelum haji (tamatu’), dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat. Akan tetapi, jika tidak mendapatkannya, dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (masa) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali.”  (QS. Al-Baqarah: 196) Frasa ayat menunjukkan bahwa siapa saja yang melakukan ibadah haji dan umrah secara tamattu’, yaitu ihram umrah dulu kemudian baru ihram haji tanpa keluar dahulu ke miqat, maka ia wajib membayar dam tersebut karena ia meninggalkan wajib haji berupa ihram dari miqat. Ayat di atas hanya menjelaskan dam tamattu’. Adapun dam lainnya, yaitu dam qiran, dam fawat, dam karena meninggalkan ibadah yang telah dinazarkan, dam karena tidak mabit di muzdalifah dan di mina, dam karena tidak melempar jumrah, dan tidak melakukan thawaf wada’, oleh para ulama diqiyaskan padanya. Baca juga: Rincian Wajib Haji   2. Takhyir dan Taqdir (Boleh Memilih dan Sudah Ditentukan) Yakni pelanggaran berupa membuang/mencabut/menggunting rambut atau bulu dari anggota tubuh; memakai pakaian yang dilarang dalam ihram (pakaian yang berjahit, topi dan beberapa pakaian dilarang lain); atau mengecat/memotong kuku dan memakai wangi-wangian. Baca juga: Larangan Saat Ihram Adapun denda kedua ini juga diperbolehkan memilih salah satu dari denda berikut: menyembelih seekor kambing; atau bersedekah kepada 6 orang fakir miskin (tiap orang 2 mud); atau berpuasa 3 hari. Dalil dam ini adalah ayat, وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ “Dan jangan mencukur (rambut) kepalamu sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepala (lalu dia bercukur), dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah, atau berkurban.” (QS. Al-Baqarah: 196) Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang sakit secara umum atau sakit kepala (gatal karena kutu dan semisalnya), lalu mencukur rambut kepalanya, maka wajib menunaikan dam seperti dalam ayat. Memang yang disebutkan oleh ayat hanya mencukur rambut karena sakit. Namun demikian, orang yang mencukur rambut tanpa uzur sakit disamakan dengannya. Cukur rambut karena sakit saja kena dam, apalagi hanya iseng-iseng belaka, tentu lebih layak diwajibkan dam kepadanya. Demikian pula orang yang melakukan taraffuh (mengambil kenyamanan) seperti memakai wewangian, minyak rambut dan semisalnya, baik karena uzur atau tidak, maka sama seperti itu, wajib membayar dam secara opsional, memilih antara puasa (3 hari), sedekah (makanan pokok 3 mud), atau menyembelih kambing. (As-Suyuthi, Tafsirul Jalalain, juz I, halaman 38). Tiga opsi dam ini juga dijelaskan dalam hadits riwayat Ka’ab bin ’Ujrah yang menjadi penyebab turunnya ayat di atas. وَعَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ ( قَالَ: { حُمِلْتُ إِلَى رَسُولِ اَللَّهِ ( وَالْقَمْلُ يَتَنَاثَرُ عَلَى وَجْهِي, فَقَالَ: ” مَا كُنْتُ أَرَى اَلْوَجَعَ بَلَغَ بِكَ مَا أَرَى, تَجِدُ شَاةً ? قُلْتُ: لَا. قَالَ: ” فَصُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ, أَوْ أَطْعِمْ سِتَّةَ مَسَاكِينَ, لِكُلِّ مِسْكِينٍ نِصْفُ صَاعٍ ” } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ Dari Ka’ab bin ‘Ujrah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku dihadapkan ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kutu-kutu bertaburan di mukaku. Lalu beliau bersabda, ‘Aku tidak mengira penyakitmu separah yang kulihat, apakah engkau mampu menyembelih seekor kambing?’ Aku menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Berpuasalah tiga hari, atau berilah makan enam orang miskin masing-masing setengah sha’.’” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 1816 dan Muslim, no. 1201, 85) Baca juga: Dalil Dam Jika Melakukan Larangan Ihram   Baca juga: Memahami Fidyah dan Dam dalam Haji Inilah Pakaian yang Dilarang bagi Pria Saat Ihram   –   Ditulis @ Makkah Al-Mukarramah, 18 Dzulhijjah 1445 H (24 Juni 2024) Oleh: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan haji dam larangan ihram fidyah larangan ihram fikih haji larangan ihram panduan haji

Dua Macam Larangan yang Terkena Dam yang Sering Dilakukan Jamaah Haji

Inilah dua macam larangan yang terkena dam yang sering dilakukan oleh jamaah haji. Perhatikan penjelasan berikut ini.   Dengan istilah dari ulama Syafiiyah, dam itu ada yang:   1. Tartib dan Taqdir (Harus Berurutan dan Sudah Ditentukan) Yakni menyembelih seekor kambing. Jika tidak mampu atau tidak menemukan kambing untuk disembelih, bisa digantikan dengan berpuasa 10 hari, dengan ketentuan 3 hari dilaksanakan selama pelaksanaan ibadah haji dan 7 hari sisanya dilaksanakan di kampung halaman. Jika tidak sanggup untuk berpuasa, baik dengan alasan sakit atau alasan syar’i yang lain, maka bisa digantikan dengan membayar 1 mud/hari (1 mud= 675 gr/0.7 liter) seharga makanan pokok. Dam kategori pertama ini diperuntukkan bagi jamaah haji yang melakukan haji tamattu’, haji qiran, dan beberapa pelanggaran wajib haji seperti: tidak berniat (ihram) dari miqat makani, tidak mabit di Muzdalifah tanpa alasan syar’i, tidak mabit di Mina tanpa alasan syar’i, tidak melontar jumrah dan tidak melaksanakan thawaf wada. Dalil dam ini adalah ayat, فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ “Maka siapa yang mengerjakan umrah sebelum haji (tamatu’), dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat. Akan tetapi, jika tidak mendapatkannya, dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (masa) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali.”  (QS. Al-Baqarah: 196) Frasa ayat menunjukkan bahwa siapa saja yang melakukan ibadah haji dan umrah secara tamattu’, yaitu ihram umrah dulu kemudian baru ihram haji tanpa keluar dahulu ke miqat, maka ia wajib membayar dam tersebut karena ia meninggalkan wajib haji berupa ihram dari miqat. Ayat di atas hanya menjelaskan dam tamattu’. Adapun dam lainnya, yaitu dam qiran, dam fawat, dam karena meninggalkan ibadah yang telah dinazarkan, dam karena tidak mabit di muzdalifah dan di mina, dam karena tidak melempar jumrah, dan tidak melakukan thawaf wada’, oleh para ulama diqiyaskan padanya. Baca juga: Rincian Wajib Haji   2. Takhyir dan Taqdir (Boleh Memilih dan Sudah Ditentukan) Yakni pelanggaran berupa membuang/mencabut/menggunting rambut atau bulu dari anggota tubuh; memakai pakaian yang dilarang dalam ihram (pakaian yang berjahit, topi dan beberapa pakaian dilarang lain); atau mengecat/memotong kuku dan memakai wangi-wangian. Baca juga: Larangan Saat Ihram Adapun denda kedua ini juga diperbolehkan memilih salah satu dari denda berikut: menyembelih seekor kambing; atau bersedekah kepada 6 orang fakir miskin (tiap orang 2 mud); atau berpuasa 3 hari. Dalil dam ini adalah ayat, وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ “Dan jangan mencukur (rambut) kepalamu sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepala (lalu dia bercukur), dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah, atau berkurban.” (QS. Al-Baqarah: 196) Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang sakit secara umum atau sakit kepala (gatal karena kutu dan semisalnya), lalu mencukur rambut kepalanya, maka wajib menunaikan dam seperti dalam ayat. Memang yang disebutkan oleh ayat hanya mencukur rambut karena sakit. Namun demikian, orang yang mencukur rambut tanpa uzur sakit disamakan dengannya. Cukur rambut karena sakit saja kena dam, apalagi hanya iseng-iseng belaka, tentu lebih layak diwajibkan dam kepadanya. Demikian pula orang yang melakukan taraffuh (mengambil kenyamanan) seperti memakai wewangian, minyak rambut dan semisalnya, baik karena uzur atau tidak, maka sama seperti itu, wajib membayar dam secara opsional, memilih antara puasa (3 hari), sedekah (makanan pokok 3 mud), atau menyembelih kambing. (As-Suyuthi, Tafsirul Jalalain, juz I, halaman 38). Tiga opsi dam ini juga dijelaskan dalam hadits riwayat Ka’ab bin ’Ujrah yang menjadi penyebab turunnya ayat di atas. وَعَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ ( قَالَ: { حُمِلْتُ إِلَى رَسُولِ اَللَّهِ ( وَالْقَمْلُ يَتَنَاثَرُ عَلَى وَجْهِي, فَقَالَ: ” مَا كُنْتُ أَرَى اَلْوَجَعَ بَلَغَ بِكَ مَا أَرَى, تَجِدُ شَاةً ? قُلْتُ: لَا. قَالَ: ” فَصُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ, أَوْ أَطْعِمْ سِتَّةَ مَسَاكِينَ, لِكُلِّ مِسْكِينٍ نِصْفُ صَاعٍ ” } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ Dari Ka’ab bin ‘Ujrah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku dihadapkan ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kutu-kutu bertaburan di mukaku. Lalu beliau bersabda, ‘Aku tidak mengira penyakitmu separah yang kulihat, apakah engkau mampu menyembelih seekor kambing?’ Aku menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Berpuasalah tiga hari, atau berilah makan enam orang miskin masing-masing setengah sha’.’” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 1816 dan Muslim, no. 1201, 85) Baca juga: Dalil Dam Jika Melakukan Larangan Ihram   Baca juga: Memahami Fidyah dan Dam dalam Haji Inilah Pakaian yang Dilarang bagi Pria Saat Ihram   –   Ditulis @ Makkah Al-Mukarramah, 18 Dzulhijjah 1445 H (24 Juni 2024) Oleh: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan haji dam larangan ihram fidyah larangan ihram fikih haji larangan ihram panduan haji
Inilah dua macam larangan yang terkena dam yang sering dilakukan oleh jamaah haji. Perhatikan penjelasan berikut ini.   Dengan istilah dari ulama Syafiiyah, dam itu ada yang:   1. Tartib dan Taqdir (Harus Berurutan dan Sudah Ditentukan) Yakni menyembelih seekor kambing. Jika tidak mampu atau tidak menemukan kambing untuk disembelih, bisa digantikan dengan berpuasa 10 hari, dengan ketentuan 3 hari dilaksanakan selama pelaksanaan ibadah haji dan 7 hari sisanya dilaksanakan di kampung halaman. Jika tidak sanggup untuk berpuasa, baik dengan alasan sakit atau alasan syar’i yang lain, maka bisa digantikan dengan membayar 1 mud/hari (1 mud= 675 gr/0.7 liter) seharga makanan pokok. Dam kategori pertama ini diperuntukkan bagi jamaah haji yang melakukan haji tamattu’, haji qiran, dan beberapa pelanggaran wajib haji seperti: tidak berniat (ihram) dari miqat makani, tidak mabit di Muzdalifah tanpa alasan syar’i, tidak mabit di Mina tanpa alasan syar’i, tidak melontar jumrah dan tidak melaksanakan thawaf wada. Dalil dam ini adalah ayat, فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ “Maka siapa yang mengerjakan umrah sebelum haji (tamatu’), dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat. Akan tetapi, jika tidak mendapatkannya, dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (masa) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali.”  (QS. Al-Baqarah: 196) Frasa ayat menunjukkan bahwa siapa saja yang melakukan ibadah haji dan umrah secara tamattu’, yaitu ihram umrah dulu kemudian baru ihram haji tanpa keluar dahulu ke miqat, maka ia wajib membayar dam tersebut karena ia meninggalkan wajib haji berupa ihram dari miqat. Ayat di atas hanya menjelaskan dam tamattu’. Adapun dam lainnya, yaitu dam qiran, dam fawat, dam karena meninggalkan ibadah yang telah dinazarkan, dam karena tidak mabit di muzdalifah dan di mina, dam karena tidak melempar jumrah, dan tidak melakukan thawaf wada’, oleh para ulama diqiyaskan padanya. Baca juga: Rincian Wajib Haji   2. Takhyir dan Taqdir (Boleh Memilih dan Sudah Ditentukan) Yakni pelanggaran berupa membuang/mencabut/menggunting rambut atau bulu dari anggota tubuh; memakai pakaian yang dilarang dalam ihram (pakaian yang berjahit, topi dan beberapa pakaian dilarang lain); atau mengecat/memotong kuku dan memakai wangi-wangian. Baca juga: Larangan Saat Ihram Adapun denda kedua ini juga diperbolehkan memilih salah satu dari denda berikut: menyembelih seekor kambing; atau bersedekah kepada 6 orang fakir miskin (tiap orang 2 mud); atau berpuasa 3 hari. Dalil dam ini adalah ayat, وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ “Dan jangan mencukur (rambut) kepalamu sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepala (lalu dia bercukur), dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah, atau berkurban.” (QS. Al-Baqarah: 196) Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang sakit secara umum atau sakit kepala (gatal karena kutu dan semisalnya), lalu mencukur rambut kepalanya, maka wajib menunaikan dam seperti dalam ayat. Memang yang disebutkan oleh ayat hanya mencukur rambut karena sakit. Namun demikian, orang yang mencukur rambut tanpa uzur sakit disamakan dengannya. Cukur rambut karena sakit saja kena dam, apalagi hanya iseng-iseng belaka, tentu lebih layak diwajibkan dam kepadanya. Demikian pula orang yang melakukan taraffuh (mengambil kenyamanan) seperti memakai wewangian, minyak rambut dan semisalnya, baik karena uzur atau tidak, maka sama seperti itu, wajib membayar dam secara opsional, memilih antara puasa (3 hari), sedekah (makanan pokok 3 mud), atau menyembelih kambing. (As-Suyuthi, Tafsirul Jalalain, juz I, halaman 38). Tiga opsi dam ini juga dijelaskan dalam hadits riwayat Ka’ab bin ’Ujrah yang menjadi penyebab turunnya ayat di atas. وَعَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ ( قَالَ: { حُمِلْتُ إِلَى رَسُولِ اَللَّهِ ( وَالْقَمْلُ يَتَنَاثَرُ عَلَى وَجْهِي, فَقَالَ: ” مَا كُنْتُ أَرَى اَلْوَجَعَ بَلَغَ بِكَ مَا أَرَى, تَجِدُ شَاةً ? قُلْتُ: لَا. قَالَ: ” فَصُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ, أَوْ أَطْعِمْ سِتَّةَ مَسَاكِينَ, لِكُلِّ مِسْكِينٍ نِصْفُ صَاعٍ ” } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ Dari Ka’ab bin ‘Ujrah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku dihadapkan ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kutu-kutu bertaburan di mukaku. Lalu beliau bersabda, ‘Aku tidak mengira penyakitmu separah yang kulihat, apakah engkau mampu menyembelih seekor kambing?’ Aku menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Berpuasalah tiga hari, atau berilah makan enam orang miskin masing-masing setengah sha’.’” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 1816 dan Muslim, no. 1201, 85) Baca juga: Dalil Dam Jika Melakukan Larangan Ihram   Baca juga: Memahami Fidyah dan Dam dalam Haji Inilah Pakaian yang Dilarang bagi Pria Saat Ihram   –   Ditulis @ Makkah Al-Mukarramah, 18 Dzulhijjah 1445 H (24 Juni 2024) Oleh: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan haji dam larangan ihram fidyah larangan ihram fikih haji larangan ihram panduan haji


Inilah dua macam larangan yang terkena dam yang sering dilakukan oleh jamaah haji. Perhatikan penjelasan berikut ini.   Dengan istilah dari ulama Syafiiyah, dam itu ada yang:   1. Tartib dan Taqdir (Harus Berurutan dan Sudah Ditentukan) Yakni menyembelih seekor kambing. Jika tidak mampu atau tidak menemukan kambing untuk disembelih, bisa digantikan dengan berpuasa 10 hari, dengan ketentuan 3 hari dilaksanakan selama pelaksanaan ibadah haji dan 7 hari sisanya dilaksanakan di kampung halaman. Jika tidak sanggup untuk berpuasa, baik dengan alasan sakit atau alasan syar’i yang lain, maka bisa digantikan dengan membayar 1 mud/hari (1 mud= 675 gr/0.7 liter) seharga makanan pokok. Dam kategori pertama ini diperuntukkan bagi jamaah haji yang melakukan haji tamattu’, haji qiran, dan beberapa pelanggaran wajib haji seperti: tidak berniat (ihram) dari miqat makani, tidak mabit di Muzdalifah tanpa alasan syar’i, tidak mabit di Mina tanpa alasan syar’i, tidak melontar jumrah dan tidak melaksanakan thawaf wada. Dalil dam ini adalah ayat, فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ “Maka siapa yang mengerjakan umrah sebelum haji (tamatu’), dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat. Akan tetapi, jika tidak mendapatkannya, dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (masa) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali.”  (QS. Al-Baqarah: 196) Frasa ayat menunjukkan bahwa siapa saja yang melakukan ibadah haji dan umrah secara tamattu’, yaitu ihram umrah dulu kemudian baru ihram haji tanpa keluar dahulu ke miqat, maka ia wajib membayar dam tersebut karena ia meninggalkan wajib haji berupa ihram dari miqat. Ayat di atas hanya menjelaskan dam tamattu’. Adapun dam lainnya, yaitu dam qiran, dam fawat, dam karena meninggalkan ibadah yang telah dinazarkan, dam karena tidak mabit di muzdalifah dan di mina, dam karena tidak melempar jumrah, dan tidak melakukan thawaf wada’, oleh para ulama diqiyaskan padanya. Baca juga: Rincian Wajib Haji   2. Takhyir dan Taqdir (Boleh Memilih dan Sudah Ditentukan) Yakni pelanggaran berupa membuang/mencabut/menggunting rambut atau bulu dari anggota tubuh; memakai pakaian yang dilarang dalam ihram (pakaian yang berjahit, topi dan beberapa pakaian dilarang lain); atau mengecat/memotong kuku dan memakai wangi-wangian. Baca juga: Larangan Saat Ihram Adapun denda kedua ini juga diperbolehkan memilih salah satu dari denda berikut: menyembelih seekor kambing; atau bersedekah kepada 6 orang fakir miskin (tiap orang 2 mud); atau berpuasa 3 hari. Dalil dam ini adalah ayat, وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ “Dan jangan mencukur (rambut) kepalamu sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepala (lalu dia bercukur), dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah, atau berkurban.” (QS. Al-Baqarah: 196) Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang sakit secara umum atau sakit kepala (gatal karena kutu dan semisalnya), lalu mencukur rambut kepalanya, maka wajib menunaikan dam seperti dalam ayat. Memang yang disebutkan oleh ayat hanya mencukur rambut karena sakit. Namun demikian, orang yang mencukur rambut tanpa uzur sakit disamakan dengannya. Cukur rambut karena sakit saja kena dam, apalagi hanya iseng-iseng belaka, tentu lebih layak diwajibkan dam kepadanya. Demikian pula orang yang melakukan taraffuh (mengambil kenyamanan) seperti memakai wewangian, minyak rambut dan semisalnya, baik karena uzur atau tidak, maka sama seperti itu, wajib membayar dam secara opsional, memilih antara puasa (3 hari), sedekah (makanan pokok 3 mud), atau menyembelih kambing. (As-Suyuthi, Tafsirul Jalalain, juz I, halaman 38). Tiga opsi dam ini juga dijelaskan dalam hadits riwayat Ka’ab bin ’Ujrah yang menjadi penyebab turunnya ayat di atas. وَعَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ ( قَالَ: { حُمِلْتُ إِلَى رَسُولِ اَللَّهِ ( وَالْقَمْلُ يَتَنَاثَرُ عَلَى وَجْهِي, فَقَالَ: ” مَا كُنْتُ أَرَى اَلْوَجَعَ بَلَغَ بِكَ مَا أَرَى, تَجِدُ شَاةً ? قُلْتُ: لَا. قَالَ: ” فَصُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ, أَوْ أَطْعِمْ سِتَّةَ مَسَاكِينَ, لِكُلِّ مِسْكِينٍ نِصْفُ صَاعٍ ” } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ Dari Ka’ab bin ‘Ujrah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku dihadapkan ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kutu-kutu bertaburan di mukaku. Lalu beliau bersabda, ‘Aku tidak mengira penyakitmu separah yang kulihat, apakah engkau mampu menyembelih seekor kambing?’ Aku menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Berpuasalah tiga hari, atau berilah makan enam orang miskin masing-masing setengah sha’.’” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 1816 dan Muslim, no. 1201, 85) Baca juga: Dalil Dam Jika Melakukan Larangan Ihram   Baca juga: Memahami Fidyah dan Dam dalam Haji Inilah Pakaian yang Dilarang bagi Pria Saat Ihram   –   Ditulis @ Makkah Al-Mukarramah, 18 Dzulhijjah 1445 H (24 Juni 2024) Oleh: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan haji dam larangan ihram fidyah larangan ihram fikih haji larangan ihram panduan haji

Nasihat kepada yang Sedang Sedih: Pasti Ada Jalan Keluar, Husnuzhanlah kepada Allah

Renungan bagi yang sekarang dalam keadaan sedih … Ingatlah seandainya engkau seperti Nabi Yusuf ketika ia dibuang saudaranya dalam sumur, suatu saat nanti pasti ada musafir yang tak terduga akan menyelamatkanmu.  Jalan keluar itu pasti ada. Fa inna ma’al ‘usri yusroo, inna ma’al ‘usri yusroo, ingatlah bersama kesulitan akan datang kemudahan, ingatlah bersama kesulitan pasti akan datang kemudahan. Berhusnuzhanlah kepada Allah. فَمَا ظَنّكم بِرَبّ العَالمِين “Maka apakah anggapanmu terhadap Rabb semesta alam?”‏ (QS. As-Saffat: 87) Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,  قسما بالله ما ظن أحد بالله ظنا إلا أعطاه ما يظن ، لأن الفضل كله بيد الله سبحانه وتعالى . “Sumpah, demi Allah. Allah pasti akan memberi apa yang jadi sangkaan baik dari seorang hamba. Karena seluruh karunia itu di tangan Allah subhanahu wa ta’ala.” Dalam hadits qudsi, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman, أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي “Aku sesuai persangkaan hamba-Ku.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 6970 dan Muslim, no. 2675) Baca juga: Aku Sesuai Persangkaan Hamba-Ku Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أُدْعُو اللهَ وَأَنْتُمْ مُوْقِنُوْنَ بِالاِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ “Berdoalah kepada Allah dengan keyakinan doa kalian terkabul. Ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai dan tidak serius.” (HR. Tirmidzi, no. 3479. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan) Baca juga: Doa itu Senjata Orang Mukmin, Jangan Berdoa dengan Hati yang Lalai Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, فإن المحسن حسن الظن بربه أن يجازيه على إحسانه “Orang muhsin atau yang berbuat baik ia pasti akan berhusnuzhan kepada Rabbnya, lalu Allah akan membalas perbuatan baiknya tersebut.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata pula, وأعظم الذنوب عند اللّه تعالى إساءة الظن به “Dosa yang paling besar di sisi Allah adalah berprasangka jelek kepada Allah.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘) Ingatlah tak perlu sedih, jangan sampai putus asa. Ingatlah, masih ada Allah yang akan memberikan jalan keluar bagi yang mau bertakwa. { وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ } “Barang siapa bertakwa kepada Allah,niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3). Baca juga: Jalan Keluar bagi Orang yang Bertakwa   –   Ditulis @ Makkah Al-Mukarramah, 18 Dzulhijjah 1445 H (24 Juni 2024) Oleh: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa berprasangka baik kepada Allah faedah dari Ibnul Qayyim husnuzhan husnuzhan kepada Allah solusi masalah hidup

Nasihat kepada yang Sedang Sedih: Pasti Ada Jalan Keluar, Husnuzhanlah kepada Allah

Renungan bagi yang sekarang dalam keadaan sedih … Ingatlah seandainya engkau seperti Nabi Yusuf ketika ia dibuang saudaranya dalam sumur, suatu saat nanti pasti ada musafir yang tak terduga akan menyelamatkanmu.  Jalan keluar itu pasti ada. Fa inna ma’al ‘usri yusroo, inna ma’al ‘usri yusroo, ingatlah bersama kesulitan akan datang kemudahan, ingatlah bersama kesulitan pasti akan datang kemudahan. Berhusnuzhanlah kepada Allah. فَمَا ظَنّكم بِرَبّ العَالمِين “Maka apakah anggapanmu terhadap Rabb semesta alam?”‏ (QS. As-Saffat: 87) Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,  قسما بالله ما ظن أحد بالله ظنا إلا أعطاه ما يظن ، لأن الفضل كله بيد الله سبحانه وتعالى . “Sumpah, demi Allah. Allah pasti akan memberi apa yang jadi sangkaan baik dari seorang hamba. Karena seluruh karunia itu di tangan Allah subhanahu wa ta’ala.” Dalam hadits qudsi, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman, أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي “Aku sesuai persangkaan hamba-Ku.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 6970 dan Muslim, no. 2675) Baca juga: Aku Sesuai Persangkaan Hamba-Ku Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أُدْعُو اللهَ وَأَنْتُمْ مُوْقِنُوْنَ بِالاِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ “Berdoalah kepada Allah dengan keyakinan doa kalian terkabul. Ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai dan tidak serius.” (HR. Tirmidzi, no. 3479. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan) Baca juga: Doa itu Senjata Orang Mukmin, Jangan Berdoa dengan Hati yang Lalai Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, فإن المحسن حسن الظن بربه أن يجازيه على إحسانه “Orang muhsin atau yang berbuat baik ia pasti akan berhusnuzhan kepada Rabbnya, lalu Allah akan membalas perbuatan baiknya tersebut.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata pula, وأعظم الذنوب عند اللّه تعالى إساءة الظن به “Dosa yang paling besar di sisi Allah adalah berprasangka jelek kepada Allah.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘) Ingatlah tak perlu sedih, jangan sampai putus asa. Ingatlah, masih ada Allah yang akan memberikan jalan keluar bagi yang mau bertakwa. { وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ } “Barang siapa bertakwa kepada Allah,niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3). Baca juga: Jalan Keluar bagi Orang yang Bertakwa   –   Ditulis @ Makkah Al-Mukarramah, 18 Dzulhijjah 1445 H (24 Juni 2024) Oleh: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa berprasangka baik kepada Allah faedah dari Ibnul Qayyim husnuzhan husnuzhan kepada Allah solusi masalah hidup
Renungan bagi yang sekarang dalam keadaan sedih … Ingatlah seandainya engkau seperti Nabi Yusuf ketika ia dibuang saudaranya dalam sumur, suatu saat nanti pasti ada musafir yang tak terduga akan menyelamatkanmu.  Jalan keluar itu pasti ada. Fa inna ma’al ‘usri yusroo, inna ma’al ‘usri yusroo, ingatlah bersama kesulitan akan datang kemudahan, ingatlah bersama kesulitan pasti akan datang kemudahan. Berhusnuzhanlah kepada Allah. فَمَا ظَنّكم بِرَبّ العَالمِين “Maka apakah anggapanmu terhadap Rabb semesta alam?”‏ (QS. As-Saffat: 87) Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,  قسما بالله ما ظن أحد بالله ظنا إلا أعطاه ما يظن ، لأن الفضل كله بيد الله سبحانه وتعالى . “Sumpah, demi Allah. Allah pasti akan memberi apa yang jadi sangkaan baik dari seorang hamba. Karena seluruh karunia itu di tangan Allah subhanahu wa ta’ala.” Dalam hadits qudsi, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman, أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي “Aku sesuai persangkaan hamba-Ku.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 6970 dan Muslim, no. 2675) Baca juga: Aku Sesuai Persangkaan Hamba-Ku Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أُدْعُو اللهَ وَأَنْتُمْ مُوْقِنُوْنَ بِالاِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ “Berdoalah kepada Allah dengan keyakinan doa kalian terkabul. Ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai dan tidak serius.” (HR. Tirmidzi, no. 3479. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan) Baca juga: Doa itu Senjata Orang Mukmin, Jangan Berdoa dengan Hati yang Lalai Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, فإن المحسن حسن الظن بربه أن يجازيه على إحسانه “Orang muhsin atau yang berbuat baik ia pasti akan berhusnuzhan kepada Rabbnya, lalu Allah akan membalas perbuatan baiknya tersebut.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata pula, وأعظم الذنوب عند اللّه تعالى إساءة الظن به “Dosa yang paling besar di sisi Allah adalah berprasangka jelek kepada Allah.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘) Ingatlah tak perlu sedih, jangan sampai putus asa. Ingatlah, masih ada Allah yang akan memberikan jalan keluar bagi yang mau bertakwa. { وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ } “Barang siapa bertakwa kepada Allah,niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3). Baca juga: Jalan Keluar bagi Orang yang Bertakwa   –   Ditulis @ Makkah Al-Mukarramah, 18 Dzulhijjah 1445 H (24 Juni 2024) Oleh: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa berprasangka baik kepada Allah faedah dari Ibnul Qayyim husnuzhan husnuzhan kepada Allah solusi masalah hidup


Renungan bagi yang sekarang dalam keadaan sedih … Ingatlah seandainya engkau seperti Nabi Yusuf ketika ia dibuang saudaranya dalam sumur, suatu saat nanti pasti ada musafir yang tak terduga akan menyelamatkanmu.  Jalan keluar itu pasti ada. Fa inna ma’al ‘usri yusroo, inna ma’al ‘usri yusroo, ingatlah bersama kesulitan akan datang kemudahan, ingatlah bersama kesulitan pasti akan datang kemudahan. Berhusnuzhanlah kepada Allah. فَمَا ظَنّكم بِرَبّ العَالمِين “Maka apakah anggapanmu terhadap Rabb semesta alam?”‏ (QS. As-Saffat: 87) Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,  قسما بالله ما ظن أحد بالله ظنا إلا أعطاه ما يظن ، لأن الفضل كله بيد الله سبحانه وتعالى . “Sumpah, demi Allah. Allah pasti akan memberi apa yang jadi sangkaan baik dari seorang hamba. Karena seluruh karunia itu di tangan Allah subhanahu wa ta’ala.” Dalam hadits qudsi, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman, أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي “Aku sesuai persangkaan hamba-Ku.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 6970 dan Muslim, no. 2675) Baca juga: Aku Sesuai Persangkaan Hamba-Ku Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أُدْعُو اللهَ وَأَنْتُمْ مُوْقِنُوْنَ بِالاِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ “Berdoalah kepada Allah dengan keyakinan doa kalian terkabul. Ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai dan tidak serius.” (HR. Tirmidzi, no. 3479. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan) Baca juga: Doa itu Senjata Orang Mukmin, Jangan Berdoa dengan Hati yang Lalai Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, فإن المحسن حسن الظن بربه أن يجازيه على إحسانه “Orang muhsin atau yang berbuat baik ia pasti akan berhusnuzhan kepada Rabbnya, lalu Allah akan membalas perbuatan baiknya tersebut.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata pula, وأعظم الذنوب عند اللّه تعالى إساءة الظن به “Dosa yang paling besar di sisi Allah adalah berprasangka jelek kepada Allah.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘) Ingatlah tak perlu sedih, jangan sampai putus asa. Ingatlah, masih ada Allah yang akan memberikan jalan keluar bagi yang mau bertakwa. { وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ } “Barang siapa bertakwa kepada Allah,niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3). Baca juga: Jalan Keluar bagi Orang yang Bertakwa   –   Ditulis @ Makkah Al-Mukarramah, 18 Dzulhijjah 1445 H (24 Juni 2024) Oleh: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa berprasangka baik kepada Allah faedah dari Ibnul Qayyim husnuzhan husnuzhan kepada Allah solusi masalah hidup

Pentingnya Kedudukan Khusyuk dalam Salat

Daftar Isi Toggle Kedudukan KhusyukKiat agar Lebih Khusyuk dalam Salat Salat adalah kewajiban pertama seorang muslim setelah syahadat. Sebuah ibadah yang Allah wajibkan langsung dari atas langit kepada Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebuah ibadah yang menjadi indikator kebaikan dan keislaman seseorang. Sayangnya, banyak di antara kaum muslimin yang masih berat untuk melakukannya tepat waktu dan berjemaah di masjid. Tidak jarang sebagian dari mereka harus dipaksa terlebih dahulu dan tidak melaksanakannya dengan hati yang lapang dan penuh penerimaan. Allah Ta’ala berfirman, وَٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى ٱلْخَٰشِعِينَ “Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 45) Saudaraku, di dalam ayat tersebut Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menjadikan salat dan kesabaran sebagai penolong diri kita. Allah Ta’ala juga menyebutkan bahwa kewajiban salat ini tidak akan terasa berat dan menjadi ringan bagi seseorang apabila ia khusyuk di dalam melaksanakannya. Khusyuk menimbulkan kecintaan seorang hamba terhadap salatnya. Ia akan menyesal apabila terlewat dari melaksanakannya tepat waktu, membuatnya merasa sedih apabila tidak melakukannya secara berjemaah. Sepanjang apa pun durasinya, apabila seorang hamba benar-benar khusyuk, maka ia akan merasa ringan dan tidak akan merasakan kelelahan. Lalu, apakah yang dimaksud dengan khusyuk tersebut? Yang dengannya seseorang hamba akan merasa ringan dan tidak berat untuk melaksanakan salatnya tersebut? Di ayat selanjutnya, Allah Ta’ala menyebutkan siapakah dari hamba-Nya yang khusyuk di dalam salatnya. Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلَٰقُوا۟ رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ “(Yaitu), orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 46) Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah, pakar tafsir abad 14 Hijriah, tatkala menafsirkan ayat ini, beliau mengatakan, “Yaitu orang-orang yang meyakini, ”yakni yang yakin serta percaya, ”bahwa mereka akan menemui Rabbnya”, lalu Dia akan membalas perbuatan-perbuatan mereka, ”dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” Inilah yang meringankan mereka dalam beribadah, yang mewajibkan bagi mereka untuk berhibur diri dalam segala musibah, berlapang dada dalam segala kesulitan, dan mencegah mereka dari berbuat keburukan. Maka, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan kenikmatan yang abadi dalam ruangan-ruangan yang tinggi. Adapun orang yang tidak beriman kepada pertemuan dengan Rabbnya, maka salat dan ibadah-ibadah lainnya adalah suatu hal yang paling sulit bagi mereka.” Dari sini, dapat kita tarik kesimpulan bahwa khusyuk dalam salat adalah apabila seorang hamba menjalankan kewajiban salat dan hatinya merasa bahwa dirinya sedang menghadap Allah Ta’ala, beribadah kepada-Nya dengan keyakinan penuh bahwa kelak ia pasti akan berjumpa dengan-Nya di akhirat serta yakin bahwa dirinya akan diberikan balasan atas segala perbuatan yang dilakukannya. Kedudukan Khusyuk Dalam hal salat, kekhusyukan adalah roh dan jiwa bagi salat tersebut. Manusia bertingkat-tingkat di dalam mendapatkan pahala salatnya, tergantung sejauh mana kekhusyukan dan kehadiran jiwanya di dalam melaksanakan salat tersebut. Dalam sebuah hadis yang sahih, disebutkan, إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلَّا عُشْرُ صَلَاتِهِ، تُسُعُهَا، ثُمُنُهَا، سُبُعُهَا، سُدُسُهَا، خُمُسُهَا، رُبُعُهَا، ثُلُثُهَا، نِصْفُهَا “Sesungguhnya ada seseorang yang benar-benar mengerjakan salat, namun pahala salat yang tercatat baginya hanyalah sepersepuluh (dari) salatnya, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga, dan seperduanya saja.”  (Sunan Abu Dawud, no. 796) Seorang mukmin hendaknya merasa takut dan khawatir akan salat yang dilakukannya, dan hendaknya ia memiliki perasaan takut bahwa Allah Ta’ala bisa saja tidak menerima amal ibadahnya, kecuali hanya sepersekian persen saja. Perasaan ini hendaknya ia hadirkan dalam salatnya, sehingga salatnya tersebut tidak hanya berisi gerakan dan ucapan tanpa makna, namun mengandung kekhusyukan dan ketundukan kepada Allah Ta’ala. Baca juga: Kesalahan dalam Membaca Al-Fatihah yang Menyebabkan Salat Tidak Sah Kiat agar Lebih Khusyuk dalam Salat Dalam rangka mewujudkan kekhusyukan di dalam salat kita, ada beberapa hal yang apabila kita amalkan, maka insyaAllah akan membantu kita untuk lebih khusyuk: Pertama: Hendaknya seorang mukmin bersiap-siap dengan baik dan benar untuk melaksanakan salat. Berwudu dengan baik dan benar dari rumahnya. Bergegas menuju masjid dan duduk berdiam diri di dalamnya untuk menunggu waktu salat. Berdoa di antara azan dan ikamah, melaksanakan salat sunah rawatib, menjalankan sunah siwak sebelum salat, merapatkan barisan, serta tenang di dalam melaksanakan semua hal tersebut. Kedua: Di antara sebab terbesar meraih kekhusyukan di dalam salat adalah dengan meninggalkan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala dan bertobat kepada-Nya. Ada korelasi yang jelas antara kualitas salat seorang hamba dengan bersihnya dirinya dari kemaksiatan kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ “Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut: 45) Semakin jauh seorang hamba dari kemaksiatan kepada Allah Ta’ala, maka semakin khusyuk salat yang dilakukannya dan semakin sempurna salatnya tersebut. Ketiga: Sebab mendapatkan kekhusyukan yang lainnya adalah dengan memulai salat dalam kondisi pikiran kita telah bersih dari hal-hal yang menyibukkan lagi melenakan. Jika merasa bahwa ada 1 atau 2 hal yang akan mengganggu konsentrasi kita di dalam salat, maka tuntaskanlah dan lakukanlah hal tersebut sebelum salat. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لا صَلَاةَ بحَضْرَةِ الطَّعَامِ، ولَا هو يُدَافِعُهُ الأخْبَثَانِ “Tidak ada salat ketika makanan sudah terhidangkan, dan menahan dua hal yang paling busuk (menahan buang air besar dan kencing).” (HR. Muslim no. 560) Diperkuat juga dengan hadis, إِذَا وُضِعَ عَشَاءُ أحَدِكُمْ وأُقِيمَتِ الصَّلَاةُ، فَابْدَؤُوا بالعَشَاءِ ولَا يَعْجَلْ حتَّى يَفْرُغَ منه وكانَ ابنُ عُمَرَ: يُوضَعُ له الطَّعَامُ، وتُقَامُ الصَّلَاةُ، فلا يَأْتِيهَا حتَّى يَفْرُغَ، وإنَّه لَيَسْمَعُ قِرَاءَةَ الإمَامِ. “Jika telah dihidangkan makan malam, dan waktu salat telah datang, maka mulailah makan malam dan jangan tergesa-gesa sampai selesai.”  Ibnu Umar pernah dihidangkan makan dan salat tengah didirikan, namun dia tidak mengerjakannya sampai dia menyelesaikan makannya, dan dia benar-benar mendengar bacaan Imam.” (HR. Bukhari no. 673 dan Muslim no. 559) Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadis-hadis ini menunjukkan kemakruhan melaksanakan salat ketika makanan yang diinginkan telah tersedia, karena hal itu akan membuat hatinya terganggu, dan hilangnya kesempurnaan khusyuk, dan juga dimakruhkan melaksanakan salat ketika menahan dua hal yang paling busuk, yaitu kencing dan buang air besar.  Karena hal ini mencakup makna menyibukkan hati dan hilangnya kesempurnaan khusyuk.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2: 321) Keempat: Yang terakhir adalah berdoa dan memohon kepada Allah Ta’ala untuk memberikan kita keikhlasan dan kekhusyukan dalam salat. Karena sejatinya Allah-lah satu-satunya yang Maha membolak-balikkan hati kita. Di antara doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk kita amalkan adalah, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, kekikiran, ketuaan -kepikunan-, dan siksa kubur. Ya Allah, datangkanlah pada jiwaku ini ketakwaannya dan bersihkanlah ia. Engkaulah sebaik-baik yang dapat membersihkannya, Engkaulah Pelindungnya dan Rabbnya. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyuk, nafsu yang tidak pernah puas, dan doa yang tidak dikabulkan.” (HR. Muslim no. 2722) Semoga Allah Ta’ala berikan kita keistikamahan untuk menjalankan perintah-perintah Allah, termasuk di dalamnya adalah menjalankan salat lima waktu. Semoga Allah berikan kita kekhusyukan di dalam salat dan bermunajat kepada-Nya serta menghindarkan diri kita dari hal-hal yang dapat merusak kekhusyukan salat kita. Baca juga: Andai ini Salat Terakhirku *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: khusyuksalat

Pentingnya Kedudukan Khusyuk dalam Salat

Daftar Isi Toggle Kedudukan KhusyukKiat agar Lebih Khusyuk dalam Salat Salat adalah kewajiban pertama seorang muslim setelah syahadat. Sebuah ibadah yang Allah wajibkan langsung dari atas langit kepada Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebuah ibadah yang menjadi indikator kebaikan dan keislaman seseorang. Sayangnya, banyak di antara kaum muslimin yang masih berat untuk melakukannya tepat waktu dan berjemaah di masjid. Tidak jarang sebagian dari mereka harus dipaksa terlebih dahulu dan tidak melaksanakannya dengan hati yang lapang dan penuh penerimaan. Allah Ta’ala berfirman, وَٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى ٱلْخَٰشِعِينَ “Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 45) Saudaraku, di dalam ayat tersebut Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menjadikan salat dan kesabaran sebagai penolong diri kita. Allah Ta’ala juga menyebutkan bahwa kewajiban salat ini tidak akan terasa berat dan menjadi ringan bagi seseorang apabila ia khusyuk di dalam melaksanakannya. Khusyuk menimbulkan kecintaan seorang hamba terhadap salatnya. Ia akan menyesal apabila terlewat dari melaksanakannya tepat waktu, membuatnya merasa sedih apabila tidak melakukannya secara berjemaah. Sepanjang apa pun durasinya, apabila seorang hamba benar-benar khusyuk, maka ia akan merasa ringan dan tidak akan merasakan kelelahan. Lalu, apakah yang dimaksud dengan khusyuk tersebut? Yang dengannya seseorang hamba akan merasa ringan dan tidak berat untuk melaksanakan salatnya tersebut? Di ayat selanjutnya, Allah Ta’ala menyebutkan siapakah dari hamba-Nya yang khusyuk di dalam salatnya. Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلَٰقُوا۟ رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ “(Yaitu), orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 46) Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah, pakar tafsir abad 14 Hijriah, tatkala menafsirkan ayat ini, beliau mengatakan, “Yaitu orang-orang yang meyakini, ”yakni yang yakin serta percaya, ”bahwa mereka akan menemui Rabbnya”, lalu Dia akan membalas perbuatan-perbuatan mereka, ”dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” Inilah yang meringankan mereka dalam beribadah, yang mewajibkan bagi mereka untuk berhibur diri dalam segala musibah, berlapang dada dalam segala kesulitan, dan mencegah mereka dari berbuat keburukan. Maka, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan kenikmatan yang abadi dalam ruangan-ruangan yang tinggi. Adapun orang yang tidak beriman kepada pertemuan dengan Rabbnya, maka salat dan ibadah-ibadah lainnya adalah suatu hal yang paling sulit bagi mereka.” Dari sini, dapat kita tarik kesimpulan bahwa khusyuk dalam salat adalah apabila seorang hamba menjalankan kewajiban salat dan hatinya merasa bahwa dirinya sedang menghadap Allah Ta’ala, beribadah kepada-Nya dengan keyakinan penuh bahwa kelak ia pasti akan berjumpa dengan-Nya di akhirat serta yakin bahwa dirinya akan diberikan balasan atas segala perbuatan yang dilakukannya. Kedudukan Khusyuk Dalam hal salat, kekhusyukan adalah roh dan jiwa bagi salat tersebut. Manusia bertingkat-tingkat di dalam mendapatkan pahala salatnya, tergantung sejauh mana kekhusyukan dan kehadiran jiwanya di dalam melaksanakan salat tersebut. Dalam sebuah hadis yang sahih, disebutkan, إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلَّا عُشْرُ صَلَاتِهِ، تُسُعُهَا، ثُمُنُهَا، سُبُعُهَا، سُدُسُهَا، خُمُسُهَا، رُبُعُهَا، ثُلُثُهَا، نِصْفُهَا “Sesungguhnya ada seseorang yang benar-benar mengerjakan salat, namun pahala salat yang tercatat baginya hanyalah sepersepuluh (dari) salatnya, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga, dan seperduanya saja.”  (Sunan Abu Dawud, no. 796) Seorang mukmin hendaknya merasa takut dan khawatir akan salat yang dilakukannya, dan hendaknya ia memiliki perasaan takut bahwa Allah Ta’ala bisa saja tidak menerima amal ibadahnya, kecuali hanya sepersekian persen saja. Perasaan ini hendaknya ia hadirkan dalam salatnya, sehingga salatnya tersebut tidak hanya berisi gerakan dan ucapan tanpa makna, namun mengandung kekhusyukan dan ketundukan kepada Allah Ta’ala. Baca juga: Kesalahan dalam Membaca Al-Fatihah yang Menyebabkan Salat Tidak Sah Kiat agar Lebih Khusyuk dalam Salat Dalam rangka mewujudkan kekhusyukan di dalam salat kita, ada beberapa hal yang apabila kita amalkan, maka insyaAllah akan membantu kita untuk lebih khusyuk: Pertama: Hendaknya seorang mukmin bersiap-siap dengan baik dan benar untuk melaksanakan salat. Berwudu dengan baik dan benar dari rumahnya. Bergegas menuju masjid dan duduk berdiam diri di dalamnya untuk menunggu waktu salat. Berdoa di antara azan dan ikamah, melaksanakan salat sunah rawatib, menjalankan sunah siwak sebelum salat, merapatkan barisan, serta tenang di dalam melaksanakan semua hal tersebut. Kedua: Di antara sebab terbesar meraih kekhusyukan di dalam salat adalah dengan meninggalkan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala dan bertobat kepada-Nya. Ada korelasi yang jelas antara kualitas salat seorang hamba dengan bersihnya dirinya dari kemaksiatan kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ “Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut: 45) Semakin jauh seorang hamba dari kemaksiatan kepada Allah Ta’ala, maka semakin khusyuk salat yang dilakukannya dan semakin sempurna salatnya tersebut. Ketiga: Sebab mendapatkan kekhusyukan yang lainnya adalah dengan memulai salat dalam kondisi pikiran kita telah bersih dari hal-hal yang menyibukkan lagi melenakan. Jika merasa bahwa ada 1 atau 2 hal yang akan mengganggu konsentrasi kita di dalam salat, maka tuntaskanlah dan lakukanlah hal tersebut sebelum salat. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لا صَلَاةَ بحَضْرَةِ الطَّعَامِ، ولَا هو يُدَافِعُهُ الأخْبَثَانِ “Tidak ada salat ketika makanan sudah terhidangkan, dan menahan dua hal yang paling busuk (menahan buang air besar dan kencing).” (HR. Muslim no. 560) Diperkuat juga dengan hadis, إِذَا وُضِعَ عَشَاءُ أحَدِكُمْ وأُقِيمَتِ الصَّلَاةُ، فَابْدَؤُوا بالعَشَاءِ ولَا يَعْجَلْ حتَّى يَفْرُغَ منه وكانَ ابنُ عُمَرَ: يُوضَعُ له الطَّعَامُ، وتُقَامُ الصَّلَاةُ، فلا يَأْتِيهَا حتَّى يَفْرُغَ، وإنَّه لَيَسْمَعُ قِرَاءَةَ الإمَامِ. “Jika telah dihidangkan makan malam, dan waktu salat telah datang, maka mulailah makan malam dan jangan tergesa-gesa sampai selesai.”  Ibnu Umar pernah dihidangkan makan dan salat tengah didirikan, namun dia tidak mengerjakannya sampai dia menyelesaikan makannya, dan dia benar-benar mendengar bacaan Imam.” (HR. Bukhari no. 673 dan Muslim no. 559) Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadis-hadis ini menunjukkan kemakruhan melaksanakan salat ketika makanan yang diinginkan telah tersedia, karena hal itu akan membuat hatinya terganggu, dan hilangnya kesempurnaan khusyuk, dan juga dimakruhkan melaksanakan salat ketika menahan dua hal yang paling busuk, yaitu kencing dan buang air besar.  Karena hal ini mencakup makna menyibukkan hati dan hilangnya kesempurnaan khusyuk.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2: 321) Keempat: Yang terakhir adalah berdoa dan memohon kepada Allah Ta’ala untuk memberikan kita keikhlasan dan kekhusyukan dalam salat. Karena sejatinya Allah-lah satu-satunya yang Maha membolak-balikkan hati kita. Di antara doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk kita amalkan adalah, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, kekikiran, ketuaan -kepikunan-, dan siksa kubur. Ya Allah, datangkanlah pada jiwaku ini ketakwaannya dan bersihkanlah ia. Engkaulah sebaik-baik yang dapat membersihkannya, Engkaulah Pelindungnya dan Rabbnya. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyuk, nafsu yang tidak pernah puas, dan doa yang tidak dikabulkan.” (HR. Muslim no. 2722) Semoga Allah Ta’ala berikan kita keistikamahan untuk menjalankan perintah-perintah Allah, termasuk di dalamnya adalah menjalankan salat lima waktu. Semoga Allah berikan kita kekhusyukan di dalam salat dan bermunajat kepada-Nya serta menghindarkan diri kita dari hal-hal yang dapat merusak kekhusyukan salat kita. Baca juga: Andai ini Salat Terakhirku *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: khusyuksalat
Daftar Isi Toggle Kedudukan KhusyukKiat agar Lebih Khusyuk dalam Salat Salat adalah kewajiban pertama seorang muslim setelah syahadat. Sebuah ibadah yang Allah wajibkan langsung dari atas langit kepada Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebuah ibadah yang menjadi indikator kebaikan dan keislaman seseorang. Sayangnya, banyak di antara kaum muslimin yang masih berat untuk melakukannya tepat waktu dan berjemaah di masjid. Tidak jarang sebagian dari mereka harus dipaksa terlebih dahulu dan tidak melaksanakannya dengan hati yang lapang dan penuh penerimaan. Allah Ta’ala berfirman, وَٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى ٱلْخَٰشِعِينَ “Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 45) Saudaraku, di dalam ayat tersebut Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menjadikan salat dan kesabaran sebagai penolong diri kita. Allah Ta’ala juga menyebutkan bahwa kewajiban salat ini tidak akan terasa berat dan menjadi ringan bagi seseorang apabila ia khusyuk di dalam melaksanakannya. Khusyuk menimbulkan kecintaan seorang hamba terhadap salatnya. Ia akan menyesal apabila terlewat dari melaksanakannya tepat waktu, membuatnya merasa sedih apabila tidak melakukannya secara berjemaah. Sepanjang apa pun durasinya, apabila seorang hamba benar-benar khusyuk, maka ia akan merasa ringan dan tidak akan merasakan kelelahan. Lalu, apakah yang dimaksud dengan khusyuk tersebut? Yang dengannya seseorang hamba akan merasa ringan dan tidak berat untuk melaksanakan salatnya tersebut? Di ayat selanjutnya, Allah Ta’ala menyebutkan siapakah dari hamba-Nya yang khusyuk di dalam salatnya. Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلَٰقُوا۟ رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ “(Yaitu), orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 46) Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah, pakar tafsir abad 14 Hijriah, tatkala menafsirkan ayat ini, beliau mengatakan, “Yaitu orang-orang yang meyakini, ”yakni yang yakin serta percaya, ”bahwa mereka akan menemui Rabbnya”, lalu Dia akan membalas perbuatan-perbuatan mereka, ”dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” Inilah yang meringankan mereka dalam beribadah, yang mewajibkan bagi mereka untuk berhibur diri dalam segala musibah, berlapang dada dalam segala kesulitan, dan mencegah mereka dari berbuat keburukan. Maka, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan kenikmatan yang abadi dalam ruangan-ruangan yang tinggi. Adapun orang yang tidak beriman kepada pertemuan dengan Rabbnya, maka salat dan ibadah-ibadah lainnya adalah suatu hal yang paling sulit bagi mereka.” Dari sini, dapat kita tarik kesimpulan bahwa khusyuk dalam salat adalah apabila seorang hamba menjalankan kewajiban salat dan hatinya merasa bahwa dirinya sedang menghadap Allah Ta’ala, beribadah kepada-Nya dengan keyakinan penuh bahwa kelak ia pasti akan berjumpa dengan-Nya di akhirat serta yakin bahwa dirinya akan diberikan balasan atas segala perbuatan yang dilakukannya. Kedudukan Khusyuk Dalam hal salat, kekhusyukan adalah roh dan jiwa bagi salat tersebut. Manusia bertingkat-tingkat di dalam mendapatkan pahala salatnya, tergantung sejauh mana kekhusyukan dan kehadiran jiwanya di dalam melaksanakan salat tersebut. Dalam sebuah hadis yang sahih, disebutkan, إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلَّا عُشْرُ صَلَاتِهِ، تُسُعُهَا، ثُمُنُهَا، سُبُعُهَا، سُدُسُهَا، خُمُسُهَا، رُبُعُهَا، ثُلُثُهَا، نِصْفُهَا “Sesungguhnya ada seseorang yang benar-benar mengerjakan salat, namun pahala salat yang tercatat baginya hanyalah sepersepuluh (dari) salatnya, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga, dan seperduanya saja.”  (Sunan Abu Dawud, no. 796) Seorang mukmin hendaknya merasa takut dan khawatir akan salat yang dilakukannya, dan hendaknya ia memiliki perasaan takut bahwa Allah Ta’ala bisa saja tidak menerima amal ibadahnya, kecuali hanya sepersekian persen saja. Perasaan ini hendaknya ia hadirkan dalam salatnya, sehingga salatnya tersebut tidak hanya berisi gerakan dan ucapan tanpa makna, namun mengandung kekhusyukan dan ketundukan kepada Allah Ta’ala. Baca juga: Kesalahan dalam Membaca Al-Fatihah yang Menyebabkan Salat Tidak Sah Kiat agar Lebih Khusyuk dalam Salat Dalam rangka mewujudkan kekhusyukan di dalam salat kita, ada beberapa hal yang apabila kita amalkan, maka insyaAllah akan membantu kita untuk lebih khusyuk: Pertama: Hendaknya seorang mukmin bersiap-siap dengan baik dan benar untuk melaksanakan salat. Berwudu dengan baik dan benar dari rumahnya. Bergegas menuju masjid dan duduk berdiam diri di dalamnya untuk menunggu waktu salat. Berdoa di antara azan dan ikamah, melaksanakan salat sunah rawatib, menjalankan sunah siwak sebelum salat, merapatkan barisan, serta tenang di dalam melaksanakan semua hal tersebut. Kedua: Di antara sebab terbesar meraih kekhusyukan di dalam salat adalah dengan meninggalkan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala dan bertobat kepada-Nya. Ada korelasi yang jelas antara kualitas salat seorang hamba dengan bersihnya dirinya dari kemaksiatan kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ “Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut: 45) Semakin jauh seorang hamba dari kemaksiatan kepada Allah Ta’ala, maka semakin khusyuk salat yang dilakukannya dan semakin sempurna salatnya tersebut. Ketiga: Sebab mendapatkan kekhusyukan yang lainnya adalah dengan memulai salat dalam kondisi pikiran kita telah bersih dari hal-hal yang menyibukkan lagi melenakan. Jika merasa bahwa ada 1 atau 2 hal yang akan mengganggu konsentrasi kita di dalam salat, maka tuntaskanlah dan lakukanlah hal tersebut sebelum salat. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لا صَلَاةَ بحَضْرَةِ الطَّعَامِ، ولَا هو يُدَافِعُهُ الأخْبَثَانِ “Tidak ada salat ketika makanan sudah terhidangkan, dan menahan dua hal yang paling busuk (menahan buang air besar dan kencing).” (HR. Muslim no. 560) Diperkuat juga dengan hadis, إِذَا وُضِعَ عَشَاءُ أحَدِكُمْ وأُقِيمَتِ الصَّلَاةُ، فَابْدَؤُوا بالعَشَاءِ ولَا يَعْجَلْ حتَّى يَفْرُغَ منه وكانَ ابنُ عُمَرَ: يُوضَعُ له الطَّعَامُ، وتُقَامُ الصَّلَاةُ، فلا يَأْتِيهَا حتَّى يَفْرُغَ، وإنَّه لَيَسْمَعُ قِرَاءَةَ الإمَامِ. “Jika telah dihidangkan makan malam, dan waktu salat telah datang, maka mulailah makan malam dan jangan tergesa-gesa sampai selesai.”  Ibnu Umar pernah dihidangkan makan dan salat tengah didirikan, namun dia tidak mengerjakannya sampai dia menyelesaikan makannya, dan dia benar-benar mendengar bacaan Imam.” (HR. Bukhari no. 673 dan Muslim no. 559) Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadis-hadis ini menunjukkan kemakruhan melaksanakan salat ketika makanan yang diinginkan telah tersedia, karena hal itu akan membuat hatinya terganggu, dan hilangnya kesempurnaan khusyuk, dan juga dimakruhkan melaksanakan salat ketika menahan dua hal yang paling busuk, yaitu kencing dan buang air besar.  Karena hal ini mencakup makna menyibukkan hati dan hilangnya kesempurnaan khusyuk.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2: 321) Keempat: Yang terakhir adalah berdoa dan memohon kepada Allah Ta’ala untuk memberikan kita keikhlasan dan kekhusyukan dalam salat. Karena sejatinya Allah-lah satu-satunya yang Maha membolak-balikkan hati kita. Di antara doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk kita amalkan adalah, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, kekikiran, ketuaan -kepikunan-, dan siksa kubur. Ya Allah, datangkanlah pada jiwaku ini ketakwaannya dan bersihkanlah ia. Engkaulah sebaik-baik yang dapat membersihkannya, Engkaulah Pelindungnya dan Rabbnya. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyuk, nafsu yang tidak pernah puas, dan doa yang tidak dikabulkan.” (HR. Muslim no. 2722) Semoga Allah Ta’ala berikan kita keistikamahan untuk menjalankan perintah-perintah Allah, termasuk di dalamnya adalah menjalankan salat lima waktu. Semoga Allah berikan kita kekhusyukan di dalam salat dan bermunajat kepada-Nya serta menghindarkan diri kita dari hal-hal yang dapat merusak kekhusyukan salat kita. Baca juga: Andai ini Salat Terakhirku *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: khusyuksalat


Daftar Isi Toggle Kedudukan KhusyukKiat agar Lebih Khusyuk dalam Salat Salat adalah kewajiban pertama seorang muslim setelah syahadat. Sebuah ibadah yang Allah wajibkan langsung dari atas langit kepada Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebuah ibadah yang menjadi indikator kebaikan dan keislaman seseorang. Sayangnya, banyak di antara kaum muslimin yang masih berat untuk melakukannya tepat waktu dan berjemaah di masjid. Tidak jarang sebagian dari mereka harus dipaksa terlebih dahulu dan tidak melaksanakannya dengan hati yang lapang dan penuh penerimaan. Allah Ta’ala berfirman, وَٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى ٱلْخَٰشِعِينَ “Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 45) Saudaraku, di dalam ayat tersebut Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menjadikan salat dan kesabaran sebagai penolong diri kita. Allah Ta’ala juga menyebutkan bahwa kewajiban salat ini tidak akan terasa berat dan menjadi ringan bagi seseorang apabila ia khusyuk di dalam melaksanakannya. Khusyuk menimbulkan kecintaan seorang hamba terhadap salatnya. Ia akan menyesal apabila terlewat dari melaksanakannya tepat waktu, membuatnya merasa sedih apabila tidak melakukannya secara berjemaah. Sepanjang apa pun durasinya, apabila seorang hamba benar-benar khusyuk, maka ia akan merasa ringan dan tidak akan merasakan kelelahan. Lalu, apakah yang dimaksud dengan khusyuk tersebut? Yang dengannya seseorang hamba akan merasa ringan dan tidak berat untuk melaksanakan salatnya tersebut? Di ayat selanjutnya, Allah Ta’ala menyebutkan siapakah dari hamba-Nya yang khusyuk di dalam salatnya. Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلَٰقُوا۟ رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ “(Yaitu), orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 46) Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah, pakar tafsir abad 14 Hijriah, tatkala menafsirkan ayat ini, beliau mengatakan, “Yaitu orang-orang yang meyakini, ”yakni yang yakin serta percaya, ”bahwa mereka akan menemui Rabbnya”, lalu Dia akan membalas perbuatan-perbuatan mereka, ”dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” Inilah yang meringankan mereka dalam beribadah, yang mewajibkan bagi mereka untuk berhibur diri dalam segala musibah, berlapang dada dalam segala kesulitan, dan mencegah mereka dari berbuat keburukan. Maka, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan kenikmatan yang abadi dalam ruangan-ruangan yang tinggi. Adapun orang yang tidak beriman kepada pertemuan dengan Rabbnya, maka salat dan ibadah-ibadah lainnya adalah suatu hal yang paling sulit bagi mereka.” Dari sini, dapat kita tarik kesimpulan bahwa khusyuk dalam salat adalah apabila seorang hamba menjalankan kewajiban salat dan hatinya merasa bahwa dirinya sedang menghadap Allah Ta’ala, beribadah kepada-Nya dengan keyakinan penuh bahwa kelak ia pasti akan berjumpa dengan-Nya di akhirat serta yakin bahwa dirinya akan diberikan balasan atas segala perbuatan yang dilakukannya. Kedudukan Khusyuk Dalam hal salat, kekhusyukan adalah roh dan jiwa bagi salat tersebut. Manusia bertingkat-tingkat di dalam mendapatkan pahala salatnya, tergantung sejauh mana kekhusyukan dan kehadiran jiwanya di dalam melaksanakan salat tersebut. Dalam sebuah hadis yang sahih, disebutkan, إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلَّا عُشْرُ صَلَاتِهِ، تُسُعُهَا، ثُمُنُهَا، سُبُعُهَا، سُدُسُهَا، خُمُسُهَا، رُبُعُهَا، ثُلُثُهَا، نِصْفُهَا “Sesungguhnya ada seseorang yang benar-benar mengerjakan salat, namun pahala salat yang tercatat baginya hanyalah sepersepuluh (dari) salatnya, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga, dan seperduanya saja.”  (Sunan Abu Dawud, no. 796) Seorang mukmin hendaknya merasa takut dan khawatir akan salat yang dilakukannya, dan hendaknya ia memiliki perasaan takut bahwa Allah Ta’ala bisa saja tidak menerima amal ibadahnya, kecuali hanya sepersekian persen saja. Perasaan ini hendaknya ia hadirkan dalam salatnya, sehingga salatnya tersebut tidak hanya berisi gerakan dan ucapan tanpa makna, namun mengandung kekhusyukan dan ketundukan kepada Allah Ta’ala. Baca juga: Kesalahan dalam Membaca Al-Fatihah yang Menyebabkan Salat Tidak Sah Kiat agar Lebih Khusyuk dalam Salat Dalam rangka mewujudkan kekhusyukan di dalam salat kita, ada beberapa hal yang apabila kita amalkan, maka insyaAllah akan membantu kita untuk lebih khusyuk: Pertama: Hendaknya seorang mukmin bersiap-siap dengan baik dan benar untuk melaksanakan salat. Berwudu dengan baik dan benar dari rumahnya. Bergegas menuju masjid dan duduk berdiam diri di dalamnya untuk menunggu waktu salat. Berdoa di antara azan dan ikamah, melaksanakan salat sunah rawatib, menjalankan sunah siwak sebelum salat, merapatkan barisan, serta tenang di dalam melaksanakan semua hal tersebut. Kedua: Di antara sebab terbesar meraih kekhusyukan di dalam salat adalah dengan meninggalkan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala dan bertobat kepada-Nya. Ada korelasi yang jelas antara kualitas salat seorang hamba dengan bersihnya dirinya dari kemaksiatan kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ “Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut: 45) Semakin jauh seorang hamba dari kemaksiatan kepada Allah Ta’ala, maka semakin khusyuk salat yang dilakukannya dan semakin sempurna salatnya tersebut. Ketiga: Sebab mendapatkan kekhusyukan yang lainnya adalah dengan memulai salat dalam kondisi pikiran kita telah bersih dari hal-hal yang menyibukkan lagi melenakan. Jika merasa bahwa ada 1 atau 2 hal yang akan mengganggu konsentrasi kita di dalam salat, maka tuntaskanlah dan lakukanlah hal tersebut sebelum salat. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لا صَلَاةَ بحَضْرَةِ الطَّعَامِ، ولَا هو يُدَافِعُهُ الأخْبَثَانِ “Tidak ada salat ketika makanan sudah terhidangkan, dan menahan dua hal yang paling busuk (menahan buang air besar dan kencing).” (HR. Muslim no. 560) Diperkuat juga dengan hadis, إِذَا وُضِعَ عَشَاءُ أحَدِكُمْ وأُقِيمَتِ الصَّلَاةُ، فَابْدَؤُوا بالعَشَاءِ ولَا يَعْجَلْ حتَّى يَفْرُغَ منه وكانَ ابنُ عُمَرَ: يُوضَعُ له الطَّعَامُ، وتُقَامُ الصَّلَاةُ، فلا يَأْتِيهَا حتَّى يَفْرُغَ، وإنَّه لَيَسْمَعُ قِرَاءَةَ الإمَامِ. “Jika telah dihidangkan makan malam, dan waktu salat telah datang, maka mulailah makan malam dan jangan tergesa-gesa sampai selesai.”  Ibnu Umar pernah dihidangkan makan dan salat tengah didirikan, namun dia tidak mengerjakannya sampai dia menyelesaikan makannya, dan dia benar-benar mendengar bacaan Imam.” (HR. Bukhari no. 673 dan Muslim no. 559) Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadis-hadis ini menunjukkan kemakruhan melaksanakan salat ketika makanan yang diinginkan telah tersedia, karena hal itu akan membuat hatinya terganggu, dan hilangnya kesempurnaan khusyuk, dan juga dimakruhkan melaksanakan salat ketika menahan dua hal yang paling busuk, yaitu kencing dan buang air besar.  Karena hal ini mencakup makna menyibukkan hati dan hilangnya kesempurnaan khusyuk.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2: 321) Keempat: Yang terakhir adalah berdoa dan memohon kepada Allah Ta’ala untuk memberikan kita keikhlasan dan kekhusyukan dalam salat. Karena sejatinya Allah-lah satu-satunya yang Maha membolak-balikkan hati kita. Di antara doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk kita amalkan adalah, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, kekikiran, ketuaan -kepikunan-, dan siksa kubur. Ya Allah, datangkanlah pada jiwaku ini ketakwaannya dan bersihkanlah ia. Engkaulah sebaik-baik yang dapat membersihkannya, Engkaulah Pelindungnya dan Rabbnya. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyuk, nafsu yang tidak pernah puas, dan doa yang tidak dikabulkan.” (HR. Muslim no. 2722) Semoga Allah Ta’ala berikan kita keistikamahan untuk menjalankan perintah-perintah Allah, termasuk di dalamnya adalah menjalankan salat lima waktu. Semoga Allah berikan kita kekhusyukan di dalam salat dan bermunajat kepada-Nya serta menghindarkan diri kita dari hal-hal yang dapat merusak kekhusyukan salat kita. Baca juga: Andai ini Salat Terakhirku *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: khusyuksalat

Tata Cara Shalat Jenazah, Lengkap dengan Aturan dan Bacaannya

Bagaimana tata cara pelaksanaan shalat jenazah? Hal ini sering ditanyakan oleh sebagian orang, apalagi ketika berada di tanah suci saat melaksanakan shalat jenazah di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Hampir setiap bakda shalat lima waktu dilanjutkan dengan shalat jenazah. Berikut penjelasan singkatnya dari sisi rukun, sunnah, dan cara, lalu disebutkan keutamaan shalat jenazah serta aturan dalam shalat jenazah.   Daftar Isi tutup 1. Rukun Shalat Jenazah 2. Sunnah Shalat Jenazah 3. Cara Shalat Jenazah 3.1. Doa kebaikan kepada jenazah setelah takbir ketiga 3.2. Doa khusus untuk jenazah anak kecil 3.3. Doa shalat jenazah setelah takbir keempat 4. Keutamaan Shalat Jenazah 5. Aturan Shalat Jenazah Rukun Shalat Jenazah niat, empat kali takbir, berdiri bagi yang mampu, membaca Al-Fatihah, membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah takbir kedua, mendoakan mayat setelah takbir ketiga, dan salam ke kanan.   Sunnah Shalat Jenazah Setiap takbir dianjurkan mengangkat tangan. Bacaannya sirr (lirih) baik di siang atau di malam hari. Membaca ta’awudz sebelum basmalah. Meninggalkan doa iftitah.   Cara Shalat Jenazah Berniat di dalam hati. Mengangkat kedua tangan bersamaan dengan takbiratul ihram, yaitu mengucapkan ALLAHU AKBAR. Membaca ta’awudz: A’UDZU BILLAHI MINASY SYAITHONI ROJIIM. Membaca surah Al-Fatihah sebanyak tujuh ayat secara lengkap. Bertakbir kedua sambil mengangkat tangan. Membaca shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah takbir kedua, minimalnya adalah: ALLOHUMMA SHOLLI ‘ALA MUHAMMAD. Lengkapnya adalah shalawat Ibrahimiyyah: ALLAHUMMA SHOLLI ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA AALI MUHAMMAD KAMAA SHOLLAITA ‘ALA IBROOHIM WA ‘ALA AALI IBROHIM, INNAKA HAMIDUN MAJIID. ALLAHUMMA BAARIK ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA AALI MUHAMMAD KAMAA BAAROKTA ‘ALA IBROHIM WA ‘ALA AALI IBROHIMM INNAKA HAMIDUN MAJIID. Bertakbir ketiga sambil mengangkat tangan. Membaca doa kebaikan untuk jenazah setelah takbir ketiga, minimalnya adalah: ALLOHUMMAR-HAMHU (HAA). Bertakbir keempat sambil mengangkat tangan. Membaca doa setelah takbir keempat: ALLAHUMMA LAA TAHRIMNAA AJROHU (HAA) WA LAA TAFTINNA BA’DAHU (HAA) WAGHFIRLANAA WA LAHU (HAA). Mengucapkan ke kanan dan ke kiri dengan ucapan: AS-SALAAMU ‘ALAIKUM WA ROHMATULLAH WA BARAKATUH.   Doa kebaikan kepada jenazah setelah takbir ketiga Di antara yang bisa dibaca pada doa setelah takbir ketiga jika jenazah adalah laki-laki: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ اْلأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ Allahummaghfirla-hu warham-hu wa ‘aafi-hi wa’fu ‘an-hu wa akrim nuzula-hu, wa wassi’ madkhola-hu, waghsil-hu bil maa-i wats tsalji wal barod wa naqqi-hi minal khothoyaa kamaa naqqoitats tsaubal abyadho minad danaas, wa abdil-hu daaron khoirom min daari-hi, wa ahlan khoirom min ahli-hi, wa zawjan khoirom min zawji-hi, wa ad-khil-hul jannata, wa a’idz-hu min ‘adzabil qobri wa ‘adzabin naar. “Ya Allah! Ampunilah dia (jenazah) berilah rahmat kepadanya, selamatkanlah dia (dari beberapa hal yang tidak disukai), maafkanlah dia dan tempatkanlah di tempat yang mulia (Surga), luaskan kuburannya, mandikan dia dengan air salju dan air es. Bersihkan dia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju yang putih dari kotoran, berilah rumah yang lebih baik dari rumahnya (di dunia), berilah keluarga (atau istri di Surga) yang lebih baik daripada keluarganya (di dunia), istri (atau suami) yang lebih baik daripada istrinya (atau suaminya), dan masukkan dia ke Surga, jagalah dia dari siksa kubur dan Neraka.” (HR. Muslim no. 963) Catatan: Jika jenazah adalah perempuan: Allahummaghfirla-haa warham-haa wa ‘aafi-haa wa’fu ‘an-haa wa akrim nuzula-haa, wa wassi’ madkhola-haa, waghsil-haa bil maa-i wats tsalji wal barod wa naqqi-haa minal khothoyaa kamaa naqqoitats tsaubal abyadho minad danaas, wa abdil-haa daaron khoirom min daari-haa, wa ahlan khoirom min ahli-haa, wa zawjan khoirom min zawji-haa, wa ad-khil-hal jannata, wa a’idz-haa min ‘adzabil qobri wa ‘adzabin naar. Jika jenazah jumlahnya banyak: Allahummaghfirla-hum warham-hum wa ‘aafi-him wa’fu ‘an-hum wa akrim nuzula-hum, wa wassi’ madkhola-hum, waghsil-hum bil maa-i wats tsalji wal barod wa naqqi-him minal khothoyaa kamaa naqqoitats tsaubal abyadho minad danaas, wa abdil-hum daaron khoirom min daari-him, wa ahlan khoirom min ahli-him, wa zawjan khoirom min zawji-him, wa ad-khil-humul jannata, wa a’idz-hum min ‘adzabil qobri wa ‘adzabin naar.   Doa khusus untuk jenazah anak kecil اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ لَنَا فَرَطًا وَسَلَفًا وَأَجْرًا Allahummaj’ahu lanaa farothon wa salafan wa ajron “Ya Allah! Jadikan kematian anak ini sebagai simpanan pahala dan amal baik serta pahala buat kami”. (HR. Bukhari secara mu’allaq -tanpa sanad- dalam Kitab Al-Janaiz, 65 bab Membaca Fatihatul Kitab Atas Jenazah 2: 113)   Doa shalat jenazah setelah takbir keempat اللَّهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلاَ تَفْتِنَّ بَعْدَهُ وَاغْفِرْلَناَ وَلَهُ Allahumma laa tahrimnaa ajro-hu wa laa taftinnaa ba’da-hu waghfir lanaa wa la-hu “Ya Allah! Jangan menghalangi kami untuk tidak memperoleh pahalanya dan jangan sesatkan kami sepeninggalnya, ampunilah kami dan ampunilah dia”. Catatan: Jika jenazah adalah perempuan: Allahumma laa tahrimnaa ajro-haa wa laa taftinnaa ba’da-haa waghfir lanaa wa la-haa. Jika jenazah jumlahnya banyak: Allahumma laa tahrimnaa ajro-hum wa laa taftinnaa ba’da-hum waghfir lanaa wa la-hum.   Keutamaan Shalat Jenazah Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلِّىَ عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ ، وَمَنْ شَهِدَ حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ  . قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ  مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ “Barang siapa yang menghadiri prosesi jenazah sampai ia menyolatkannya, maka baginya satu qiroth. Lalu barang siapa yang menghadiri prosesi jenazah hingga dimakamkan, maka baginya dua qiroth.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud dua qiroth?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Dua qiroth itu semisal dua gunung yang besar.” (HR. Bukhari, no. 1325 dan Muslim, no. 945) Dalam riwayat Muslim disebutkan, مَنْ صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ وَلَمْ يَتْبَعْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ فَإِنْ تَبِعَهَا فَلَهُ قِيرَاطَانِ. قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ « أَصْغَرُهُمَا مِثْلُ أُحُدٍ. “Barang siapa shalat jenazah dan tidak ikut mengiringi jenazahnya, maka baginya (pahala) satu qiroth. Jika ia sampai mengikuti jenazahnya, maka baginya (pahala) dua qiroth.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud dua qiroth?” “Ukuran paling kecil dari dua qiroth adalah semisal gunung Uhud”, jawab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Muslim, no. 945)   Aturan Shalat Jenazah Tidak boleh menyolatkan jenazah kafir. Siapa saja yang mati bunuh diri selama dia itu muslim, maka tetap dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan di pekuburan kaum muslimin. Dia itu tetap muslim, walau berdosa dan bukanlah kafir. Shalat jenazah boleh dilakukan secara berjamaah, boleh juga sendirian, baik jamaah laki-laki maupun perempuan. Makmum masbuk (yang telat) untuk shalat jenazah: (a) jika masuk di takbir ketiga (misalnya), berarti ia dianggap berada di takbir pertama, tetap membaca surah Al-Fatihah, (b) jika imam salam, ia tinggal menyempurnakan yang kurang.   Baca juga: Fikih Pengurusan Jenazah Pahala Menghadiri Shalat Jenazah Menghadiri Prosesi Jenazah Ringkasan Pengurusan Jenazah   Demikianlah penjelasan tentang “Tata Cara Shalat Jenazah” ini mencakup berbagai rukun dan sunnah yang penting untuk dipahami agar kita bisa melaksanakan ibadah ini dengan sempurna. Dengan memahami niat, takbir, bacaan doa, dan keutamaan shalat jenazah, semoga setiap muslim dapat melaksanakannya dengan benar dan khusyuk. Semoga artikel ini bermanfaat sebagai panduan dalam menjalankan shalat jenazah.     Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fi Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar.   – Ditulis @ Makkah Al-Mukarramah, 16 Dzulhijjah 1445 H (22 Juni 2024) Oleh: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscara shalat jenazah jenazah keutamaan shalat jenazah menghadiri shalat jenazah pahala shalat jenazah shalat jenazah

Tata Cara Shalat Jenazah, Lengkap dengan Aturan dan Bacaannya

Bagaimana tata cara pelaksanaan shalat jenazah? Hal ini sering ditanyakan oleh sebagian orang, apalagi ketika berada di tanah suci saat melaksanakan shalat jenazah di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Hampir setiap bakda shalat lima waktu dilanjutkan dengan shalat jenazah. Berikut penjelasan singkatnya dari sisi rukun, sunnah, dan cara, lalu disebutkan keutamaan shalat jenazah serta aturan dalam shalat jenazah.   Daftar Isi tutup 1. Rukun Shalat Jenazah 2. Sunnah Shalat Jenazah 3. Cara Shalat Jenazah 3.1. Doa kebaikan kepada jenazah setelah takbir ketiga 3.2. Doa khusus untuk jenazah anak kecil 3.3. Doa shalat jenazah setelah takbir keempat 4. Keutamaan Shalat Jenazah 5. Aturan Shalat Jenazah Rukun Shalat Jenazah niat, empat kali takbir, berdiri bagi yang mampu, membaca Al-Fatihah, membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah takbir kedua, mendoakan mayat setelah takbir ketiga, dan salam ke kanan.   Sunnah Shalat Jenazah Setiap takbir dianjurkan mengangkat tangan. Bacaannya sirr (lirih) baik di siang atau di malam hari. Membaca ta’awudz sebelum basmalah. Meninggalkan doa iftitah.   Cara Shalat Jenazah Berniat di dalam hati. Mengangkat kedua tangan bersamaan dengan takbiratul ihram, yaitu mengucapkan ALLAHU AKBAR. Membaca ta’awudz: A’UDZU BILLAHI MINASY SYAITHONI ROJIIM. Membaca surah Al-Fatihah sebanyak tujuh ayat secara lengkap. Bertakbir kedua sambil mengangkat tangan. Membaca shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah takbir kedua, minimalnya adalah: ALLOHUMMA SHOLLI ‘ALA MUHAMMAD. Lengkapnya adalah shalawat Ibrahimiyyah: ALLAHUMMA SHOLLI ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA AALI MUHAMMAD KAMAA SHOLLAITA ‘ALA IBROOHIM WA ‘ALA AALI IBROHIM, INNAKA HAMIDUN MAJIID. ALLAHUMMA BAARIK ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA AALI MUHAMMAD KAMAA BAAROKTA ‘ALA IBROHIM WA ‘ALA AALI IBROHIMM INNAKA HAMIDUN MAJIID. Bertakbir ketiga sambil mengangkat tangan. Membaca doa kebaikan untuk jenazah setelah takbir ketiga, minimalnya adalah: ALLOHUMMAR-HAMHU (HAA). Bertakbir keempat sambil mengangkat tangan. Membaca doa setelah takbir keempat: ALLAHUMMA LAA TAHRIMNAA AJROHU (HAA) WA LAA TAFTINNA BA’DAHU (HAA) WAGHFIRLANAA WA LAHU (HAA). Mengucapkan ke kanan dan ke kiri dengan ucapan: AS-SALAAMU ‘ALAIKUM WA ROHMATULLAH WA BARAKATUH.   Doa kebaikan kepada jenazah setelah takbir ketiga Di antara yang bisa dibaca pada doa setelah takbir ketiga jika jenazah adalah laki-laki: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ اْلأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ Allahummaghfirla-hu warham-hu wa ‘aafi-hi wa’fu ‘an-hu wa akrim nuzula-hu, wa wassi’ madkhola-hu, waghsil-hu bil maa-i wats tsalji wal barod wa naqqi-hi minal khothoyaa kamaa naqqoitats tsaubal abyadho minad danaas, wa abdil-hu daaron khoirom min daari-hi, wa ahlan khoirom min ahli-hi, wa zawjan khoirom min zawji-hi, wa ad-khil-hul jannata, wa a’idz-hu min ‘adzabil qobri wa ‘adzabin naar. “Ya Allah! Ampunilah dia (jenazah) berilah rahmat kepadanya, selamatkanlah dia (dari beberapa hal yang tidak disukai), maafkanlah dia dan tempatkanlah di tempat yang mulia (Surga), luaskan kuburannya, mandikan dia dengan air salju dan air es. Bersihkan dia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju yang putih dari kotoran, berilah rumah yang lebih baik dari rumahnya (di dunia), berilah keluarga (atau istri di Surga) yang lebih baik daripada keluarganya (di dunia), istri (atau suami) yang lebih baik daripada istrinya (atau suaminya), dan masukkan dia ke Surga, jagalah dia dari siksa kubur dan Neraka.” (HR. Muslim no. 963) Catatan: Jika jenazah adalah perempuan: Allahummaghfirla-haa warham-haa wa ‘aafi-haa wa’fu ‘an-haa wa akrim nuzula-haa, wa wassi’ madkhola-haa, waghsil-haa bil maa-i wats tsalji wal barod wa naqqi-haa minal khothoyaa kamaa naqqoitats tsaubal abyadho minad danaas, wa abdil-haa daaron khoirom min daari-haa, wa ahlan khoirom min ahli-haa, wa zawjan khoirom min zawji-haa, wa ad-khil-hal jannata, wa a’idz-haa min ‘adzabil qobri wa ‘adzabin naar. Jika jenazah jumlahnya banyak: Allahummaghfirla-hum warham-hum wa ‘aafi-him wa’fu ‘an-hum wa akrim nuzula-hum, wa wassi’ madkhola-hum, waghsil-hum bil maa-i wats tsalji wal barod wa naqqi-him minal khothoyaa kamaa naqqoitats tsaubal abyadho minad danaas, wa abdil-hum daaron khoirom min daari-him, wa ahlan khoirom min ahli-him, wa zawjan khoirom min zawji-him, wa ad-khil-humul jannata, wa a’idz-hum min ‘adzabil qobri wa ‘adzabin naar.   Doa khusus untuk jenazah anak kecil اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ لَنَا فَرَطًا وَسَلَفًا وَأَجْرًا Allahummaj’ahu lanaa farothon wa salafan wa ajron “Ya Allah! Jadikan kematian anak ini sebagai simpanan pahala dan amal baik serta pahala buat kami”. (HR. Bukhari secara mu’allaq -tanpa sanad- dalam Kitab Al-Janaiz, 65 bab Membaca Fatihatul Kitab Atas Jenazah 2: 113)   Doa shalat jenazah setelah takbir keempat اللَّهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلاَ تَفْتِنَّ بَعْدَهُ وَاغْفِرْلَناَ وَلَهُ Allahumma laa tahrimnaa ajro-hu wa laa taftinnaa ba’da-hu waghfir lanaa wa la-hu “Ya Allah! Jangan menghalangi kami untuk tidak memperoleh pahalanya dan jangan sesatkan kami sepeninggalnya, ampunilah kami dan ampunilah dia”. Catatan: Jika jenazah adalah perempuan: Allahumma laa tahrimnaa ajro-haa wa laa taftinnaa ba’da-haa waghfir lanaa wa la-haa. Jika jenazah jumlahnya banyak: Allahumma laa tahrimnaa ajro-hum wa laa taftinnaa ba’da-hum waghfir lanaa wa la-hum.   Keutamaan Shalat Jenazah Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلِّىَ عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ ، وَمَنْ شَهِدَ حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ  . قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ  مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ “Barang siapa yang menghadiri prosesi jenazah sampai ia menyolatkannya, maka baginya satu qiroth. Lalu barang siapa yang menghadiri prosesi jenazah hingga dimakamkan, maka baginya dua qiroth.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud dua qiroth?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Dua qiroth itu semisal dua gunung yang besar.” (HR. Bukhari, no. 1325 dan Muslim, no. 945) Dalam riwayat Muslim disebutkan, مَنْ صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ وَلَمْ يَتْبَعْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ فَإِنْ تَبِعَهَا فَلَهُ قِيرَاطَانِ. قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ « أَصْغَرُهُمَا مِثْلُ أُحُدٍ. “Barang siapa shalat jenazah dan tidak ikut mengiringi jenazahnya, maka baginya (pahala) satu qiroth. Jika ia sampai mengikuti jenazahnya, maka baginya (pahala) dua qiroth.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud dua qiroth?” “Ukuran paling kecil dari dua qiroth adalah semisal gunung Uhud”, jawab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Muslim, no. 945)   Aturan Shalat Jenazah Tidak boleh menyolatkan jenazah kafir. Siapa saja yang mati bunuh diri selama dia itu muslim, maka tetap dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan di pekuburan kaum muslimin. Dia itu tetap muslim, walau berdosa dan bukanlah kafir. Shalat jenazah boleh dilakukan secara berjamaah, boleh juga sendirian, baik jamaah laki-laki maupun perempuan. Makmum masbuk (yang telat) untuk shalat jenazah: (a) jika masuk di takbir ketiga (misalnya), berarti ia dianggap berada di takbir pertama, tetap membaca surah Al-Fatihah, (b) jika imam salam, ia tinggal menyempurnakan yang kurang.   Baca juga: Fikih Pengurusan Jenazah Pahala Menghadiri Shalat Jenazah Menghadiri Prosesi Jenazah Ringkasan Pengurusan Jenazah   Demikianlah penjelasan tentang “Tata Cara Shalat Jenazah” ini mencakup berbagai rukun dan sunnah yang penting untuk dipahami agar kita bisa melaksanakan ibadah ini dengan sempurna. Dengan memahami niat, takbir, bacaan doa, dan keutamaan shalat jenazah, semoga setiap muslim dapat melaksanakannya dengan benar dan khusyuk. Semoga artikel ini bermanfaat sebagai panduan dalam menjalankan shalat jenazah.     Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fi Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar.   – Ditulis @ Makkah Al-Mukarramah, 16 Dzulhijjah 1445 H (22 Juni 2024) Oleh: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscara shalat jenazah jenazah keutamaan shalat jenazah menghadiri shalat jenazah pahala shalat jenazah shalat jenazah
Bagaimana tata cara pelaksanaan shalat jenazah? Hal ini sering ditanyakan oleh sebagian orang, apalagi ketika berada di tanah suci saat melaksanakan shalat jenazah di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Hampir setiap bakda shalat lima waktu dilanjutkan dengan shalat jenazah. Berikut penjelasan singkatnya dari sisi rukun, sunnah, dan cara, lalu disebutkan keutamaan shalat jenazah serta aturan dalam shalat jenazah.   Daftar Isi tutup 1. Rukun Shalat Jenazah 2. Sunnah Shalat Jenazah 3. Cara Shalat Jenazah 3.1. Doa kebaikan kepada jenazah setelah takbir ketiga 3.2. Doa khusus untuk jenazah anak kecil 3.3. Doa shalat jenazah setelah takbir keempat 4. Keutamaan Shalat Jenazah 5. Aturan Shalat Jenazah Rukun Shalat Jenazah niat, empat kali takbir, berdiri bagi yang mampu, membaca Al-Fatihah, membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah takbir kedua, mendoakan mayat setelah takbir ketiga, dan salam ke kanan.   Sunnah Shalat Jenazah Setiap takbir dianjurkan mengangkat tangan. Bacaannya sirr (lirih) baik di siang atau di malam hari. Membaca ta’awudz sebelum basmalah. Meninggalkan doa iftitah.   Cara Shalat Jenazah Berniat di dalam hati. Mengangkat kedua tangan bersamaan dengan takbiratul ihram, yaitu mengucapkan ALLAHU AKBAR. Membaca ta’awudz: A’UDZU BILLAHI MINASY SYAITHONI ROJIIM. Membaca surah Al-Fatihah sebanyak tujuh ayat secara lengkap. Bertakbir kedua sambil mengangkat tangan. Membaca shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah takbir kedua, minimalnya adalah: ALLOHUMMA SHOLLI ‘ALA MUHAMMAD. Lengkapnya adalah shalawat Ibrahimiyyah: ALLAHUMMA SHOLLI ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA AALI MUHAMMAD KAMAA SHOLLAITA ‘ALA IBROOHIM WA ‘ALA AALI IBROHIM, INNAKA HAMIDUN MAJIID. ALLAHUMMA BAARIK ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA AALI MUHAMMAD KAMAA BAAROKTA ‘ALA IBROHIM WA ‘ALA AALI IBROHIMM INNAKA HAMIDUN MAJIID. Bertakbir ketiga sambil mengangkat tangan. Membaca doa kebaikan untuk jenazah setelah takbir ketiga, minimalnya adalah: ALLOHUMMAR-HAMHU (HAA). Bertakbir keempat sambil mengangkat tangan. Membaca doa setelah takbir keempat: ALLAHUMMA LAA TAHRIMNAA AJROHU (HAA) WA LAA TAFTINNA BA’DAHU (HAA) WAGHFIRLANAA WA LAHU (HAA). Mengucapkan ke kanan dan ke kiri dengan ucapan: AS-SALAAMU ‘ALAIKUM WA ROHMATULLAH WA BARAKATUH.   Doa kebaikan kepada jenazah setelah takbir ketiga Di antara yang bisa dibaca pada doa setelah takbir ketiga jika jenazah adalah laki-laki: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ اْلأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ Allahummaghfirla-hu warham-hu wa ‘aafi-hi wa’fu ‘an-hu wa akrim nuzula-hu, wa wassi’ madkhola-hu, waghsil-hu bil maa-i wats tsalji wal barod wa naqqi-hi minal khothoyaa kamaa naqqoitats tsaubal abyadho minad danaas, wa abdil-hu daaron khoirom min daari-hi, wa ahlan khoirom min ahli-hi, wa zawjan khoirom min zawji-hi, wa ad-khil-hul jannata, wa a’idz-hu min ‘adzabil qobri wa ‘adzabin naar. “Ya Allah! Ampunilah dia (jenazah) berilah rahmat kepadanya, selamatkanlah dia (dari beberapa hal yang tidak disukai), maafkanlah dia dan tempatkanlah di tempat yang mulia (Surga), luaskan kuburannya, mandikan dia dengan air salju dan air es. Bersihkan dia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju yang putih dari kotoran, berilah rumah yang lebih baik dari rumahnya (di dunia), berilah keluarga (atau istri di Surga) yang lebih baik daripada keluarganya (di dunia), istri (atau suami) yang lebih baik daripada istrinya (atau suaminya), dan masukkan dia ke Surga, jagalah dia dari siksa kubur dan Neraka.” (HR. Muslim no. 963) Catatan: Jika jenazah adalah perempuan: Allahummaghfirla-haa warham-haa wa ‘aafi-haa wa’fu ‘an-haa wa akrim nuzula-haa, wa wassi’ madkhola-haa, waghsil-haa bil maa-i wats tsalji wal barod wa naqqi-haa minal khothoyaa kamaa naqqoitats tsaubal abyadho minad danaas, wa abdil-haa daaron khoirom min daari-haa, wa ahlan khoirom min ahli-haa, wa zawjan khoirom min zawji-haa, wa ad-khil-hal jannata, wa a’idz-haa min ‘adzabil qobri wa ‘adzabin naar. Jika jenazah jumlahnya banyak: Allahummaghfirla-hum warham-hum wa ‘aafi-him wa’fu ‘an-hum wa akrim nuzula-hum, wa wassi’ madkhola-hum, waghsil-hum bil maa-i wats tsalji wal barod wa naqqi-him minal khothoyaa kamaa naqqoitats tsaubal abyadho minad danaas, wa abdil-hum daaron khoirom min daari-him, wa ahlan khoirom min ahli-him, wa zawjan khoirom min zawji-him, wa ad-khil-humul jannata, wa a’idz-hum min ‘adzabil qobri wa ‘adzabin naar.   Doa khusus untuk jenazah anak kecil اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ لَنَا فَرَطًا وَسَلَفًا وَأَجْرًا Allahummaj’ahu lanaa farothon wa salafan wa ajron “Ya Allah! Jadikan kematian anak ini sebagai simpanan pahala dan amal baik serta pahala buat kami”. (HR. Bukhari secara mu’allaq -tanpa sanad- dalam Kitab Al-Janaiz, 65 bab Membaca Fatihatul Kitab Atas Jenazah 2: 113)   Doa shalat jenazah setelah takbir keempat اللَّهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلاَ تَفْتِنَّ بَعْدَهُ وَاغْفِرْلَناَ وَلَهُ Allahumma laa tahrimnaa ajro-hu wa laa taftinnaa ba’da-hu waghfir lanaa wa la-hu “Ya Allah! Jangan menghalangi kami untuk tidak memperoleh pahalanya dan jangan sesatkan kami sepeninggalnya, ampunilah kami dan ampunilah dia”. Catatan: Jika jenazah adalah perempuan: Allahumma laa tahrimnaa ajro-haa wa laa taftinnaa ba’da-haa waghfir lanaa wa la-haa. Jika jenazah jumlahnya banyak: Allahumma laa tahrimnaa ajro-hum wa laa taftinnaa ba’da-hum waghfir lanaa wa la-hum.   Keutamaan Shalat Jenazah Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلِّىَ عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ ، وَمَنْ شَهِدَ حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ  . قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ  مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ “Barang siapa yang menghadiri prosesi jenazah sampai ia menyolatkannya, maka baginya satu qiroth. Lalu barang siapa yang menghadiri prosesi jenazah hingga dimakamkan, maka baginya dua qiroth.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud dua qiroth?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Dua qiroth itu semisal dua gunung yang besar.” (HR. Bukhari, no. 1325 dan Muslim, no. 945) Dalam riwayat Muslim disebutkan, مَنْ صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ وَلَمْ يَتْبَعْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ فَإِنْ تَبِعَهَا فَلَهُ قِيرَاطَانِ. قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ « أَصْغَرُهُمَا مِثْلُ أُحُدٍ. “Barang siapa shalat jenazah dan tidak ikut mengiringi jenazahnya, maka baginya (pahala) satu qiroth. Jika ia sampai mengikuti jenazahnya, maka baginya (pahala) dua qiroth.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud dua qiroth?” “Ukuran paling kecil dari dua qiroth adalah semisal gunung Uhud”, jawab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Muslim, no. 945)   Aturan Shalat Jenazah Tidak boleh menyolatkan jenazah kafir. Siapa saja yang mati bunuh diri selama dia itu muslim, maka tetap dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan di pekuburan kaum muslimin. Dia itu tetap muslim, walau berdosa dan bukanlah kafir. Shalat jenazah boleh dilakukan secara berjamaah, boleh juga sendirian, baik jamaah laki-laki maupun perempuan. Makmum masbuk (yang telat) untuk shalat jenazah: (a) jika masuk di takbir ketiga (misalnya), berarti ia dianggap berada di takbir pertama, tetap membaca surah Al-Fatihah, (b) jika imam salam, ia tinggal menyempurnakan yang kurang.   Baca juga: Fikih Pengurusan Jenazah Pahala Menghadiri Shalat Jenazah Menghadiri Prosesi Jenazah Ringkasan Pengurusan Jenazah   Demikianlah penjelasan tentang “Tata Cara Shalat Jenazah” ini mencakup berbagai rukun dan sunnah yang penting untuk dipahami agar kita bisa melaksanakan ibadah ini dengan sempurna. Dengan memahami niat, takbir, bacaan doa, dan keutamaan shalat jenazah, semoga setiap muslim dapat melaksanakannya dengan benar dan khusyuk. Semoga artikel ini bermanfaat sebagai panduan dalam menjalankan shalat jenazah.     Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fi Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar.   – Ditulis @ Makkah Al-Mukarramah, 16 Dzulhijjah 1445 H (22 Juni 2024) Oleh: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscara shalat jenazah jenazah keutamaan shalat jenazah menghadiri shalat jenazah pahala shalat jenazah shalat jenazah


Bagaimana tata cara pelaksanaan shalat jenazah? Hal ini sering ditanyakan oleh sebagian orang, apalagi ketika berada di tanah suci saat melaksanakan shalat jenazah di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Hampir setiap bakda shalat lima waktu dilanjutkan dengan shalat jenazah. Berikut penjelasan singkatnya dari sisi rukun, sunnah, dan cara, lalu disebutkan keutamaan shalat jenazah serta aturan dalam shalat jenazah.   Daftar Isi tutup 1. Rukun Shalat Jenazah 2. Sunnah Shalat Jenazah 3. Cara Shalat Jenazah 3.1. Doa kebaikan kepada jenazah setelah takbir ketiga 3.2. Doa khusus untuk jenazah anak kecil 3.3. Doa shalat jenazah setelah takbir keempat 4. Keutamaan Shalat Jenazah 5. Aturan Shalat Jenazah Rukun Shalat Jenazah niat, empat kali takbir, berdiri bagi yang mampu, membaca Al-Fatihah, membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah takbir kedua, mendoakan mayat setelah takbir ketiga, dan salam ke kanan.   Sunnah Shalat Jenazah Setiap takbir dianjurkan mengangkat tangan. Bacaannya sirr (lirih) baik di siang atau di malam hari. Membaca ta’awudz sebelum basmalah. Meninggalkan doa iftitah.   Cara Shalat Jenazah Berniat di dalam hati. Mengangkat kedua tangan bersamaan dengan takbiratul ihram, yaitu mengucapkan ALLAHU AKBAR. Membaca ta’awudz: A’UDZU BILLAHI MINASY SYAITHONI ROJIIM. Membaca surah Al-Fatihah sebanyak tujuh ayat secara lengkap. Bertakbir kedua sambil mengangkat tangan. Membaca shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah takbir kedua, minimalnya adalah: ALLOHUMMA SHOLLI ‘ALA MUHAMMAD. Lengkapnya adalah shalawat Ibrahimiyyah: ALLAHUMMA SHOLLI ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA AALI MUHAMMAD KAMAA SHOLLAITA ‘ALA IBROOHIM WA ‘ALA AALI IBROHIM, INNAKA HAMIDUN MAJIID. ALLAHUMMA BAARIK ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA AALI MUHAMMAD KAMAA BAAROKTA ‘ALA IBROHIM WA ‘ALA AALI IBROHIMM INNAKA HAMIDUN MAJIID. Bertakbir ketiga sambil mengangkat tangan. Membaca doa kebaikan untuk jenazah setelah takbir ketiga, minimalnya adalah: ALLOHUMMAR-HAMHU (HAA). Bertakbir keempat sambil mengangkat tangan. Membaca doa setelah takbir keempat: ALLAHUMMA LAA TAHRIMNAA AJROHU (HAA) WA LAA TAFTINNA BA’DAHU (HAA) WAGHFIRLANAA WA LAHU (HAA). Mengucapkan ke kanan dan ke kiri dengan ucapan: AS-SALAAMU ‘ALAIKUM WA ROHMATULLAH WA BARAKATUH.   Doa kebaikan kepada jenazah setelah takbir ketiga Di antara yang bisa dibaca pada doa setelah takbir ketiga jika jenazah adalah laki-laki: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ اْلأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ Allahummaghfirla-hu warham-hu wa ‘aafi-hi wa’fu ‘an-hu wa akrim nuzula-hu, wa wassi’ madkhola-hu, waghsil-hu bil maa-i wats tsalji wal barod wa naqqi-hi minal khothoyaa kamaa naqqoitats tsaubal abyadho minad danaas, wa abdil-hu daaron khoirom min daari-hi, wa ahlan khoirom min ahli-hi, wa zawjan khoirom min zawji-hi, wa ad-khil-hul jannata, wa a’idz-hu min ‘adzabil qobri wa ‘adzabin naar. “Ya Allah! Ampunilah dia (jenazah) berilah rahmat kepadanya, selamatkanlah dia (dari beberapa hal yang tidak disukai), maafkanlah dia dan tempatkanlah di tempat yang mulia (Surga), luaskan kuburannya, mandikan dia dengan air salju dan air es. Bersihkan dia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju yang putih dari kotoran, berilah rumah yang lebih baik dari rumahnya (di dunia), berilah keluarga (atau istri di Surga) yang lebih baik daripada keluarganya (di dunia), istri (atau suami) yang lebih baik daripada istrinya (atau suaminya), dan masukkan dia ke Surga, jagalah dia dari siksa kubur dan Neraka.” (HR. Muslim no. 963) Catatan: Jika jenazah adalah perempuan: Allahummaghfirla-haa warham-haa wa ‘aafi-haa wa’fu ‘an-haa wa akrim nuzula-haa, wa wassi’ madkhola-haa, waghsil-haa bil maa-i wats tsalji wal barod wa naqqi-haa minal khothoyaa kamaa naqqoitats tsaubal abyadho minad danaas, wa abdil-haa daaron khoirom min daari-haa, wa ahlan khoirom min ahli-haa, wa zawjan khoirom min zawji-haa, wa ad-khil-hal jannata, wa a’idz-haa min ‘adzabil qobri wa ‘adzabin naar. Jika jenazah jumlahnya banyak: Allahummaghfirla-hum warham-hum wa ‘aafi-him wa’fu ‘an-hum wa akrim nuzula-hum, wa wassi’ madkhola-hum, waghsil-hum bil maa-i wats tsalji wal barod wa naqqi-him minal khothoyaa kamaa naqqoitats tsaubal abyadho minad danaas, wa abdil-hum daaron khoirom min daari-him, wa ahlan khoirom min ahli-him, wa zawjan khoirom min zawji-him, wa ad-khil-humul jannata, wa a’idz-hum min ‘adzabil qobri wa ‘adzabin naar.   Doa khusus untuk jenazah anak kecil اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ لَنَا فَرَطًا وَسَلَفًا وَأَجْرًا Allahummaj’ahu lanaa farothon wa salafan wa ajron “Ya Allah! Jadikan kematian anak ini sebagai simpanan pahala dan amal baik serta pahala buat kami”. (HR. Bukhari secara mu’allaq -tanpa sanad- dalam Kitab Al-Janaiz, 65 bab Membaca Fatihatul Kitab Atas Jenazah 2: 113)   Doa shalat jenazah setelah takbir keempat اللَّهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلاَ تَفْتِنَّ بَعْدَهُ وَاغْفِرْلَناَ وَلَهُ Allahumma laa tahrimnaa ajro-hu wa laa taftinnaa ba’da-hu waghfir lanaa wa la-hu “Ya Allah! Jangan menghalangi kami untuk tidak memperoleh pahalanya dan jangan sesatkan kami sepeninggalnya, ampunilah kami dan ampunilah dia”. Catatan: Jika jenazah adalah perempuan: Allahumma laa tahrimnaa ajro-haa wa laa taftinnaa ba’da-haa waghfir lanaa wa la-haa. Jika jenazah jumlahnya banyak: Allahumma laa tahrimnaa ajro-hum wa laa taftinnaa ba’da-hum waghfir lanaa wa la-hum.   Keutamaan Shalat Jenazah Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلِّىَ عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ ، وَمَنْ شَهِدَ حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ  . قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ  مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ “Barang siapa yang menghadiri prosesi jenazah sampai ia menyolatkannya, maka baginya satu qiroth. Lalu barang siapa yang menghadiri prosesi jenazah hingga dimakamkan, maka baginya dua qiroth.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud dua qiroth?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Dua qiroth itu semisal dua gunung yang besar.” (HR. Bukhari, no. 1325 dan Muslim, no. 945) Dalam riwayat Muslim disebutkan, مَنْ صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ وَلَمْ يَتْبَعْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ فَإِنْ تَبِعَهَا فَلَهُ قِيرَاطَانِ. قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ « أَصْغَرُهُمَا مِثْلُ أُحُدٍ. “Barang siapa shalat jenazah dan tidak ikut mengiringi jenazahnya, maka baginya (pahala) satu qiroth. Jika ia sampai mengikuti jenazahnya, maka baginya (pahala) dua qiroth.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud dua qiroth?” “Ukuran paling kecil dari dua qiroth adalah semisal gunung Uhud”, jawab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Muslim, no. 945)   Aturan Shalat Jenazah Tidak boleh menyolatkan jenazah kafir. Siapa saja yang mati bunuh diri selama dia itu muslim, maka tetap dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan di pekuburan kaum muslimin. Dia itu tetap muslim, walau berdosa dan bukanlah kafir. Shalat jenazah boleh dilakukan secara berjamaah, boleh juga sendirian, baik jamaah laki-laki maupun perempuan. Makmum masbuk (yang telat) untuk shalat jenazah: (a) jika masuk di takbir ketiga (misalnya), berarti ia dianggap berada di takbir pertama, tetap membaca surah Al-Fatihah, (b) jika imam salam, ia tinggal menyempurnakan yang kurang.   Baca juga: Fikih Pengurusan Jenazah Pahala Menghadiri Shalat Jenazah Menghadiri Prosesi Jenazah Ringkasan Pengurusan Jenazah   Demikianlah penjelasan tentang “Tata Cara Shalat Jenazah” ini mencakup berbagai rukun dan sunnah yang penting untuk dipahami agar kita bisa melaksanakan ibadah ini dengan sempurna. Dengan memahami niat, takbir, bacaan doa, dan keutamaan shalat jenazah, semoga setiap muslim dapat melaksanakannya dengan benar dan khusyuk. Semoga artikel ini bermanfaat sebagai panduan dalam menjalankan shalat jenazah.     Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fi Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar.   – Ditulis @ Makkah Al-Mukarramah, 16 Dzulhijjah 1445 H (22 Juni 2024) Oleh: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscara shalat jenazah jenazah keutamaan shalat jenazah menghadiri shalat jenazah pahala shalat jenazah shalat jenazah

Solusi Bagi yang Belum Membayar Zakat Mal Bertahun-Tahun

Daftar Isi Toggle Kewajiban Zakat dan KedudukannyaKewajiban Mengeluarkan Zakat dengan SegeraZakat: Ibadah kepada Allah dan Hak bagi Penerima ZakatSolusi bagi yang Tidak Mengeluarkan Zakat Selama Beberapa Tahun “Seseorang lalai dalam mengeluarkan zakat selama beberapa tahun, dan sekarang dia bertobat. Apakah tobat menggugurkan kewajiban mengeluarkan zakat? Jika tidak, apa solusinya?” Pertanyaan tersebut, atau yang semisalnya, mungkin sering terlintas di benak kaum muslimin kalangan menengah ke atas, khususnya di negara yang pengelolaan zakat mal dikembalikan ke masing-masing warganya. Di sisi lain, alhamdulillah, banyak dari mereka yang bertobat dan berhijrah ke arah yang lebih baik, setelah sebelumnya terjerumus dalam salah satu dosa besar, yaitu tidak menunaikan zakat mal. Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tuntas, berikut ini kami sampaikan beberapa poin pembahasan. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, amin. Kewajiban Zakat dan Kedudukannya Zakat (mal) [1] merupakan salah satu rukun Islam yang agung, sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah Ta’ala telah menyandingkan zakat dengan salat dalam Al-Qur’an sebanyak 82 kali, menunjukkan betapa pentingnya zakat dan eratnya hubungan antara zakat dan salat. Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan berkata, لأقاتلن من فرق بين الصلاة والزكاة “Aku akan memerangi orang yang memisahkan antara salat dan zakat.” [2] Allah Ta’ala berfirman, وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا ‌الزَّكَاةَ “Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat.” [3] وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا ‌الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ “Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan biarkanlah mereka (yang kafir) menempuh jalannya.” [4] Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدًا رسول الله، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة  “Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat …” [5] Umat Islam sepakat mengenai kewajiban zakat sebagai rukun Islam ketiga, serta kekafiran orang yang mengingkari kewajiban zakat, dan diperanginya orang yang menolak mengeluarkan zakat. Zakat diwajibkan pada tahun kedua Hijriah, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus para sahabat untuk mengumpulkan dan menyalurkannya kepada yang berhak. Praktik ini dilanjutkan oleh para khalifah dan umat Islam setelahnya. Zakat mengandung kebaikan bagi manusia, membersihkan harta dari kotoran, melindunginya dari keburukan, dan merupakan bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka! Dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Zakat juga membersihkan jiwa dari sifat kikir dan merupakan ujian bagi orang kaya untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan mengeluarkan sebagian hartanya yang dicintai. [6] Kewajiban Mengeluarkan Zakat dengan Segera Allah Ta’ala berfirman, وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ “Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rasul, supaya kamu diberi rahmat.” [7] Mayoritas ulama (Syafi’iyah, Hanabilah, dan pendapat yang diikuti oleh Hanafiyah) berpendapat bahwa zakat harus segera dikeluarkan setelah waktu wajibnya tiba, jika mampu dan tidak ada kekhawatiran akan bahaya. Mereka berargumen bahwa Allah Ta’ala memerintahkan untuk menunaikan zakat, dan ketika kewajiban zakat telah tiba, maka perintah tersebut berlaku bagi yang dikenai zakat. Perintah mutlak ini menuntut untuk segera dilaksanakan menurut mereka. Jika penundaan dibolehkan, maka penundaan tanpa batas juga boleh, sehingga menghilangkan hukuman bagi yang tidak menunaikan zakat. Kebutuhan fakir miskin mendesak, dan hak mereka atas zakat telah ditetapkan, sehingga menunda zakat berarti menghalangi hak mereka pada waktunya. Imam Ahmad rahimahullah ditanya, “Jika seseorang mulai mengeluarkan zakat secara bertahap?” Beliau menjawab, لَا، بَل يُخْرِجُهَا كُلُّهَا إِذَا حَال الْحَوْل “Tidak, keluarkanlah semuanya sekaligus ketika haul telah berlalu.” Beliau juga mengatakan, لَا يُجْرِي عَلَى أَقَارِبِهِ مِنَ الزَّكَاةِ كُل شَهْرٍ “Janganlah memberi zakat kepada kerabatnya setiap bulan,” yang berarti dengan penundaan. [8] Baca juga: Sengaja Mengeluarkan Zakat Mal Di Bulan Ramadan Zakat: Ibadah kepada Allah dan Hak bagi Penerima Zakat Di antara poin penting yang menunjukkan kewajiban segera mengeluarkan zakat, yaitu adanya hak bagi penerima zakat. Tidak diragukan lagi bahwa fakir miskin memiliki hak atas harta orang kaya, dan hak pertama mereka adalah zakat. Zakat adalah hak yang Allah Ta’ala wajibkan secara tegas dalam Al-Qur’an bagi fakir miskin atas orang kaya. Dalam hadis Ibnu Abbas, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Muadz ke Yaman dan menyampaikan pesan, أَنَّ اللَّهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ، تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ، فَتُرَدُّ فِي فُقَرَائِهِمْ “Bahwasanya Allah telah mewajibkan zakat atas harta mereka, diambil dari orang kaya dan dikembalikan kepada fakir miskin di antara mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) [9] Solusi bagi yang Tidak Mengeluarkan Zakat Selama Beberapa Tahun Zakat adalah ibadah kepada Allah Ta’ala dan hak bagi penerima zakat. Jika seorang muslim menahan zakatnya dari orang lain, ia telah melanggar dua hak: hak Allah dan hak penerima zakat. Jika ia bertobat, maka hak Allah gugur karena Allah Maha Penerima Tobat dan menyukai tobat hamba-Nya. Namun, hak penerima zakat harus tetap ditunaikan karena itu adalah hak mereka, dan menahannya dari mereka adalah kezaliman, yang merupakan dosa besar. [10] Secara ringkas, solusi bagi yang tidak mengeluarkan zakat selama beberapa tahun adalah: Pertama: Bertobat kepada Allah. Kedua: Menghitung dengan cermat jumlah zakat yang harus dikeluarkan Ketiga: Segera mengeluarkan zakat untuk semua tahun yang terlewat. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Seorang penanya berkata, ‘Saya tidak mengeluarkan zakat selama bertahun-tahun, kemudian saya bertobat kepada Allah Ta’ala. Saya tidak tahu persis berapa tahunnya, dan saya memiliki banyak harta dan properti. Bagaimana cara saya mengeluarkan zakat yang terlewat? Bagaimana cara saya bertobat dengan benar? Semoga Allah membalas kebaikan Anda.'” Beliau rahimahullah menjawab, الطريق إلى التوبة الندم على الماضي، والعزم ألَاّ تعود فيه، والإقلاع من ذلك، والمبادرة بإخراج الزكاة عمّا مضى، تتحرى الماضي، وتخرج الزكاة عما مضى، تتحرى وتجتهد، إذا كنت تظنُّها خمسًا زَكِّ خمسًا، تظنها ستًّا زَكِّ ستًّا “Cara untuk bertobat adalah menyesali masa lalu, bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, berhenti dari perbuatan tersebut, dan segera mengeluarkan zakat untuk tahun-tahun yang terlewat. Selidiki masa lalu Anda dan keluarkan zakat yang terlewat, selidiki dan berusaha sebaik mungkin. Jika Anda memperkirakan lima tahun, keluarkan zakat untuk lima tahun. Jika Anda memperkirakan enam tahun, keluarkan zakat untuk enam tahun.” [11] Pertanyaan semisal juga pernah ditanyakan kepada Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah, “Seseorang lalai dalam mengeluarkan zakat selama lima tahun, dan sekarang dia bertobat. Apakah tobat menggugurkan kewajiban mengeluarkan zakat? Jika tidak, apa solusinya? Hartanya lebih dari sepuluh ribu (riyal), dan dia tidak tahu jumlah pastinya sekarang.” Beliau rahimahullah menjawab, “Zakat adalah ibadah kepada Allah Ta’ala, dan hak bagi penerima zakat. Jika seseorang menahannya, dia melanggar dua hak: hak Allah Ta’ala dan hak penerima zakat. [Bertobat kepada Allah] Jika dia bertobat setelah lima tahun seperti yang disebutkan dalam pertanyaan, maka hak Allah Ta’ala gugur karena Allah Ta’ala berfirman, وَهُوَ الَّذِى يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُواْ عَنِ السَّيِّئَاتِ وَيَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ ‘Dan Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ [Segera Mengeluarkan Zakat untuk Semua Tahun yang Terlewat] Hak kedua yang tersisa adalah hak orang yang berhak menerima zakat, seperti fakir miskin dan lainnya. Dia harus menyerahkan zakat kepada mereka, dan mungkin dia akan mendapatkan pahala zakat dengan tobatnya yang sah, karena karunia Allah sangat luas. [Menghitung dengan Cermat Jumlah Zakat] Untuk memperkirakan jumlah zakat, dia harus menyelidiki sebaik mungkin sesuai kemampuannya, dan Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya. Misalnya, zakat untuk sepuluh ribu (riyal) dalam setahun adalah dua ratus lima puluh (riyal). Jika jumlah zakatnya dua ratus lima puluh (riyal), maka keluarkanlah dua ratus lima puluh (riyal) untuk setiap tahun yang terlewat, kecuali jika pada tahun-tahun tertentu hartanya melebihi sepuluh ribu (riyal), maka keluarkanlah jumlah kelebihannya. Jika pada tahun-tahun tertentu hartanya kurang dari sepuluh ribu (riyal), maka zakat untuk kekurangan tersebut gugur.” [12] Demikian penjelasan ringkas tentang solusi bagi yang belum membayar zakat mal bertahun-tahun. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Syarat Wajib dan Cara Mengeluarkan Zakat Mal *** 3 Zulhijah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Mulakhkhash Al-Fiqhiy, Syekh Shalih Fauzan Al-Fauzan, Darul Aqidah – Mesir, 2009 M. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shafwah – Mesir, cet. ke-1, 1421. (Maktabah Syamilah)   Catatan kaki: [1] Zakat yang merupakan salah satu rukun Islam adalah zakat mal. Lihat https://islamqa.info/ar/49632 [2] Imam Bukhari meriwayatkannya di kitab Shahih-nya no. 1339. [3] QS. Al-Baqarah: 43. [4] QS. At-Taubah: 5. [5] HR. Bukhari no. 8. [6] Al-Mulakhkhash Al-Fiqhiy, 1: 319-320. [7] QS. At-Taubah: 56. [8] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 23: 295. [9] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/161979 [10] Mausu’atul Fiqhil Islamiy – At-Tuwaijiriy,  3: 69. [11] Fatwa Nur ‘ala Darb li Ibn Baz – Asy-Syuwi’r, 15: 17. [12] Majmu’ Fatawa wa Rasail Al-Utsaimin, 18: 302. Tags: zakat mal

Solusi Bagi yang Belum Membayar Zakat Mal Bertahun-Tahun

Daftar Isi Toggle Kewajiban Zakat dan KedudukannyaKewajiban Mengeluarkan Zakat dengan SegeraZakat: Ibadah kepada Allah dan Hak bagi Penerima ZakatSolusi bagi yang Tidak Mengeluarkan Zakat Selama Beberapa Tahun “Seseorang lalai dalam mengeluarkan zakat selama beberapa tahun, dan sekarang dia bertobat. Apakah tobat menggugurkan kewajiban mengeluarkan zakat? Jika tidak, apa solusinya?” Pertanyaan tersebut, atau yang semisalnya, mungkin sering terlintas di benak kaum muslimin kalangan menengah ke atas, khususnya di negara yang pengelolaan zakat mal dikembalikan ke masing-masing warganya. Di sisi lain, alhamdulillah, banyak dari mereka yang bertobat dan berhijrah ke arah yang lebih baik, setelah sebelumnya terjerumus dalam salah satu dosa besar, yaitu tidak menunaikan zakat mal. Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tuntas, berikut ini kami sampaikan beberapa poin pembahasan. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, amin. Kewajiban Zakat dan Kedudukannya Zakat (mal) [1] merupakan salah satu rukun Islam yang agung, sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah Ta’ala telah menyandingkan zakat dengan salat dalam Al-Qur’an sebanyak 82 kali, menunjukkan betapa pentingnya zakat dan eratnya hubungan antara zakat dan salat. Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan berkata, لأقاتلن من فرق بين الصلاة والزكاة “Aku akan memerangi orang yang memisahkan antara salat dan zakat.” [2] Allah Ta’ala berfirman, وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا ‌الزَّكَاةَ “Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat.” [3] وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا ‌الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ “Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan biarkanlah mereka (yang kafir) menempuh jalannya.” [4] Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدًا رسول الله، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة  “Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat …” [5] Umat Islam sepakat mengenai kewajiban zakat sebagai rukun Islam ketiga, serta kekafiran orang yang mengingkari kewajiban zakat, dan diperanginya orang yang menolak mengeluarkan zakat. Zakat diwajibkan pada tahun kedua Hijriah, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus para sahabat untuk mengumpulkan dan menyalurkannya kepada yang berhak. Praktik ini dilanjutkan oleh para khalifah dan umat Islam setelahnya. Zakat mengandung kebaikan bagi manusia, membersihkan harta dari kotoran, melindunginya dari keburukan, dan merupakan bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka! Dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Zakat juga membersihkan jiwa dari sifat kikir dan merupakan ujian bagi orang kaya untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan mengeluarkan sebagian hartanya yang dicintai. [6] Kewajiban Mengeluarkan Zakat dengan Segera Allah Ta’ala berfirman, وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ “Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rasul, supaya kamu diberi rahmat.” [7] Mayoritas ulama (Syafi’iyah, Hanabilah, dan pendapat yang diikuti oleh Hanafiyah) berpendapat bahwa zakat harus segera dikeluarkan setelah waktu wajibnya tiba, jika mampu dan tidak ada kekhawatiran akan bahaya. Mereka berargumen bahwa Allah Ta’ala memerintahkan untuk menunaikan zakat, dan ketika kewajiban zakat telah tiba, maka perintah tersebut berlaku bagi yang dikenai zakat. Perintah mutlak ini menuntut untuk segera dilaksanakan menurut mereka. Jika penundaan dibolehkan, maka penundaan tanpa batas juga boleh, sehingga menghilangkan hukuman bagi yang tidak menunaikan zakat. Kebutuhan fakir miskin mendesak, dan hak mereka atas zakat telah ditetapkan, sehingga menunda zakat berarti menghalangi hak mereka pada waktunya. Imam Ahmad rahimahullah ditanya, “Jika seseorang mulai mengeluarkan zakat secara bertahap?” Beliau menjawab, لَا، بَل يُخْرِجُهَا كُلُّهَا إِذَا حَال الْحَوْل “Tidak, keluarkanlah semuanya sekaligus ketika haul telah berlalu.” Beliau juga mengatakan, لَا يُجْرِي عَلَى أَقَارِبِهِ مِنَ الزَّكَاةِ كُل شَهْرٍ “Janganlah memberi zakat kepada kerabatnya setiap bulan,” yang berarti dengan penundaan. [8] Baca juga: Sengaja Mengeluarkan Zakat Mal Di Bulan Ramadan Zakat: Ibadah kepada Allah dan Hak bagi Penerima Zakat Di antara poin penting yang menunjukkan kewajiban segera mengeluarkan zakat, yaitu adanya hak bagi penerima zakat. Tidak diragukan lagi bahwa fakir miskin memiliki hak atas harta orang kaya, dan hak pertama mereka adalah zakat. Zakat adalah hak yang Allah Ta’ala wajibkan secara tegas dalam Al-Qur’an bagi fakir miskin atas orang kaya. Dalam hadis Ibnu Abbas, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Muadz ke Yaman dan menyampaikan pesan, أَنَّ اللَّهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ، تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ، فَتُرَدُّ فِي فُقَرَائِهِمْ “Bahwasanya Allah telah mewajibkan zakat atas harta mereka, diambil dari orang kaya dan dikembalikan kepada fakir miskin di antara mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) [9] Solusi bagi yang Tidak Mengeluarkan Zakat Selama Beberapa Tahun Zakat adalah ibadah kepada Allah Ta’ala dan hak bagi penerima zakat. Jika seorang muslim menahan zakatnya dari orang lain, ia telah melanggar dua hak: hak Allah dan hak penerima zakat. Jika ia bertobat, maka hak Allah gugur karena Allah Maha Penerima Tobat dan menyukai tobat hamba-Nya. Namun, hak penerima zakat harus tetap ditunaikan karena itu adalah hak mereka, dan menahannya dari mereka adalah kezaliman, yang merupakan dosa besar. [10] Secara ringkas, solusi bagi yang tidak mengeluarkan zakat selama beberapa tahun adalah: Pertama: Bertobat kepada Allah. Kedua: Menghitung dengan cermat jumlah zakat yang harus dikeluarkan Ketiga: Segera mengeluarkan zakat untuk semua tahun yang terlewat. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Seorang penanya berkata, ‘Saya tidak mengeluarkan zakat selama bertahun-tahun, kemudian saya bertobat kepada Allah Ta’ala. Saya tidak tahu persis berapa tahunnya, dan saya memiliki banyak harta dan properti. Bagaimana cara saya mengeluarkan zakat yang terlewat? Bagaimana cara saya bertobat dengan benar? Semoga Allah membalas kebaikan Anda.'” Beliau rahimahullah menjawab, الطريق إلى التوبة الندم على الماضي، والعزم ألَاّ تعود فيه، والإقلاع من ذلك، والمبادرة بإخراج الزكاة عمّا مضى، تتحرى الماضي، وتخرج الزكاة عما مضى، تتحرى وتجتهد، إذا كنت تظنُّها خمسًا زَكِّ خمسًا، تظنها ستًّا زَكِّ ستًّا “Cara untuk bertobat adalah menyesali masa lalu, bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, berhenti dari perbuatan tersebut, dan segera mengeluarkan zakat untuk tahun-tahun yang terlewat. Selidiki masa lalu Anda dan keluarkan zakat yang terlewat, selidiki dan berusaha sebaik mungkin. Jika Anda memperkirakan lima tahun, keluarkan zakat untuk lima tahun. Jika Anda memperkirakan enam tahun, keluarkan zakat untuk enam tahun.” [11] Pertanyaan semisal juga pernah ditanyakan kepada Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah, “Seseorang lalai dalam mengeluarkan zakat selama lima tahun, dan sekarang dia bertobat. Apakah tobat menggugurkan kewajiban mengeluarkan zakat? Jika tidak, apa solusinya? Hartanya lebih dari sepuluh ribu (riyal), dan dia tidak tahu jumlah pastinya sekarang.” Beliau rahimahullah menjawab, “Zakat adalah ibadah kepada Allah Ta’ala, dan hak bagi penerima zakat. Jika seseorang menahannya, dia melanggar dua hak: hak Allah Ta’ala dan hak penerima zakat. [Bertobat kepada Allah] Jika dia bertobat setelah lima tahun seperti yang disebutkan dalam pertanyaan, maka hak Allah Ta’ala gugur karena Allah Ta’ala berfirman, وَهُوَ الَّذِى يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُواْ عَنِ السَّيِّئَاتِ وَيَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ ‘Dan Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ [Segera Mengeluarkan Zakat untuk Semua Tahun yang Terlewat] Hak kedua yang tersisa adalah hak orang yang berhak menerima zakat, seperti fakir miskin dan lainnya. Dia harus menyerahkan zakat kepada mereka, dan mungkin dia akan mendapatkan pahala zakat dengan tobatnya yang sah, karena karunia Allah sangat luas. [Menghitung dengan Cermat Jumlah Zakat] Untuk memperkirakan jumlah zakat, dia harus menyelidiki sebaik mungkin sesuai kemampuannya, dan Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya. Misalnya, zakat untuk sepuluh ribu (riyal) dalam setahun adalah dua ratus lima puluh (riyal). Jika jumlah zakatnya dua ratus lima puluh (riyal), maka keluarkanlah dua ratus lima puluh (riyal) untuk setiap tahun yang terlewat, kecuali jika pada tahun-tahun tertentu hartanya melebihi sepuluh ribu (riyal), maka keluarkanlah jumlah kelebihannya. Jika pada tahun-tahun tertentu hartanya kurang dari sepuluh ribu (riyal), maka zakat untuk kekurangan tersebut gugur.” [12] Demikian penjelasan ringkas tentang solusi bagi yang belum membayar zakat mal bertahun-tahun. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Syarat Wajib dan Cara Mengeluarkan Zakat Mal *** 3 Zulhijah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Mulakhkhash Al-Fiqhiy, Syekh Shalih Fauzan Al-Fauzan, Darul Aqidah – Mesir, 2009 M. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shafwah – Mesir, cet. ke-1, 1421. (Maktabah Syamilah)   Catatan kaki: [1] Zakat yang merupakan salah satu rukun Islam adalah zakat mal. Lihat https://islamqa.info/ar/49632 [2] Imam Bukhari meriwayatkannya di kitab Shahih-nya no. 1339. [3] QS. Al-Baqarah: 43. [4] QS. At-Taubah: 5. [5] HR. Bukhari no. 8. [6] Al-Mulakhkhash Al-Fiqhiy, 1: 319-320. [7] QS. At-Taubah: 56. [8] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 23: 295. [9] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/161979 [10] Mausu’atul Fiqhil Islamiy – At-Tuwaijiriy,  3: 69. [11] Fatwa Nur ‘ala Darb li Ibn Baz – Asy-Syuwi’r, 15: 17. [12] Majmu’ Fatawa wa Rasail Al-Utsaimin, 18: 302. Tags: zakat mal
Daftar Isi Toggle Kewajiban Zakat dan KedudukannyaKewajiban Mengeluarkan Zakat dengan SegeraZakat: Ibadah kepada Allah dan Hak bagi Penerima ZakatSolusi bagi yang Tidak Mengeluarkan Zakat Selama Beberapa Tahun “Seseorang lalai dalam mengeluarkan zakat selama beberapa tahun, dan sekarang dia bertobat. Apakah tobat menggugurkan kewajiban mengeluarkan zakat? Jika tidak, apa solusinya?” Pertanyaan tersebut, atau yang semisalnya, mungkin sering terlintas di benak kaum muslimin kalangan menengah ke atas, khususnya di negara yang pengelolaan zakat mal dikembalikan ke masing-masing warganya. Di sisi lain, alhamdulillah, banyak dari mereka yang bertobat dan berhijrah ke arah yang lebih baik, setelah sebelumnya terjerumus dalam salah satu dosa besar, yaitu tidak menunaikan zakat mal. Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tuntas, berikut ini kami sampaikan beberapa poin pembahasan. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, amin. Kewajiban Zakat dan Kedudukannya Zakat (mal) [1] merupakan salah satu rukun Islam yang agung, sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah Ta’ala telah menyandingkan zakat dengan salat dalam Al-Qur’an sebanyak 82 kali, menunjukkan betapa pentingnya zakat dan eratnya hubungan antara zakat dan salat. Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan berkata, لأقاتلن من فرق بين الصلاة والزكاة “Aku akan memerangi orang yang memisahkan antara salat dan zakat.” [2] Allah Ta’ala berfirman, وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا ‌الزَّكَاةَ “Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat.” [3] وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا ‌الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ “Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan biarkanlah mereka (yang kafir) menempuh jalannya.” [4] Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدًا رسول الله، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة  “Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat …” [5] Umat Islam sepakat mengenai kewajiban zakat sebagai rukun Islam ketiga, serta kekafiran orang yang mengingkari kewajiban zakat, dan diperanginya orang yang menolak mengeluarkan zakat. Zakat diwajibkan pada tahun kedua Hijriah, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus para sahabat untuk mengumpulkan dan menyalurkannya kepada yang berhak. Praktik ini dilanjutkan oleh para khalifah dan umat Islam setelahnya. Zakat mengandung kebaikan bagi manusia, membersihkan harta dari kotoran, melindunginya dari keburukan, dan merupakan bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka! Dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Zakat juga membersihkan jiwa dari sifat kikir dan merupakan ujian bagi orang kaya untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan mengeluarkan sebagian hartanya yang dicintai. [6] Kewajiban Mengeluarkan Zakat dengan Segera Allah Ta’ala berfirman, وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ “Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rasul, supaya kamu diberi rahmat.” [7] Mayoritas ulama (Syafi’iyah, Hanabilah, dan pendapat yang diikuti oleh Hanafiyah) berpendapat bahwa zakat harus segera dikeluarkan setelah waktu wajibnya tiba, jika mampu dan tidak ada kekhawatiran akan bahaya. Mereka berargumen bahwa Allah Ta’ala memerintahkan untuk menunaikan zakat, dan ketika kewajiban zakat telah tiba, maka perintah tersebut berlaku bagi yang dikenai zakat. Perintah mutlak ini menuntut untuk segera dilaksanakan menurut mereka. Jika penundaan dibolehkan, maka penundaan tanpa batas juga boleh, sehingga menghilangkan hukuman bagi yang tidak menunaikan zakat. Kebutuhan fakir miskin mendesak, dan hak mereka atas zakat telah ditetapkan, sehingga menunda zakat berarti menghalangi hak mereka pada waktunya. Imam Ahmad rahimahullah ditanya, “Jika seseorang mulai mengeluarkan zakat secara bertahap?” Beliau menjawab, لَا، بَل يُخْرِجُهَا كُلُّهَا إِذَا حَال الْحَوْل “Tidak, keluarkanlah semuanya sekaligus ketika haul telah berlalu.” Beliau juga mengatakan, لَا يُجْرِي عَلَى أَقَارِبِهِ مِنَ الزَّكَاةِ كُل شَهْرٍ “Janganlah memberi zakat kepada kerabatnya setiap bulan,” yang berarti dengan penundaan. [8] Baca juga: Sengaja Mengeluarkan Zakat Mal Di Bulan Ramadan Zakat: Ibadah kepada Allah dan Hak bagi Penerima Zakat Di antara poin penting yang menunjukkan kewajiban segera mengeluarkan zakat, yaitu adanya hak bagi penerima zakat. Tidak diragukan lagi bahwa fakir miskin memiliki hak atas harta orang kaya, dan hak pertama mereka adalah zakat. Zakat adalah hak yang Allah Ta’ala wajibkan secara tegas dalam Al-Qur’an bagi fakir miskin atas orang kaya. Dalam hadis Ibnu Abbas, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Muadz ke Yaman dan menyampaikan pesan, أَنَّ اللَّهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ، تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ، فَتُرَدُّ فِي فُقَرَائِهِمْ “Bahwasanya Allah telah mewajibkan zakat atas harta mereka, diambil dari orang kaya dan dikembalikan kepada fakir miskin di antara mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) [9] Solusi bagi yang Tidak Mengeluarkan Zakat Selama Beberapa Tahun Zakat adalah ibadah kepada Allah Ta’ala dan hak bagi penerima zakat. Jika seorang muslim menahan zakatnya dari orang lain, ia telah melanggar dua hak: hak Allah dan hak penerima zakat. Jika ia bertobat, maka hak Allah gugur karena Allah Maha Penerima Tobat dan menyukai tobat hamba-Nya. Namun, hak penerima zakat harus tetap ditunaikan karena itu adalah hak mereka, dan menahannya dari mereka adalah kezaliman, yang merupakan dosa besar. [10] Secara ringkas, solusi bagi yang tidak mengeluarkan zakat selama beberapa tahun adalah: Pertama: Bertobat kepada Allah. Kedua: Menghitung dengan cermat jumlah zakat yang harus dikeluarkan Ketiga: Segera mengeluarkan zakat untuk semua tahun yang terlewat. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Seorang penanya berkata, ‘Saya tidak mengeluarkan zakat selama bertahun-tahun, kemudian saya bertobat kepada Allah Ta’ala. Saya tidak tahu persis berapa tahunnya, dan saya memiliki banyak harta dan properti. Bagaimana cara saya mengeluarkan zakat yang terlewat? Bagaimana cara saya bertobat dengan benar? Semoga Allah membalas kebaikan Anda.'” Beliau rahimahullah menjawab, الطريق إلى التوبة الندم على الماضي، والعزم ألَاّ تعود فيه، والإقلاع من ذلك، والمبادرة بإخراج الزكاة عمّا مضى، تتحرى الماضي، وتخرج الزكاة عما مضى، تتحرى وتجتهد، إذا كنت تظنُّها خمسًا زَكِّ خمسًا، تظنها ستًّا زَكِّ ستًّا “Cara untuk bertobat adalah menyesali masa lalu, bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, berhenti dari perbuatan tersebut, dan segera mengeluarkan zakat untuk tahun-tahun yang terlewat. Selidiki masa lalu Anda dan keluarkan zakat yang terlewat, selidiki dan berusaha sebaik mungkin. Jika Anda memperkirakan lima tahun, keluarkan zakat untuk lima tahun. Jika Anda memperkirakan enam tahun, keluarkan zakat untuk enam tahun.” [11] Pertanyaan semisal juga pernah ditanyakan kepada Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah, “Seseorang lalai dalam mengeluarkan zakat selama lima tahun, dan sekarang dia bertobat. Apakah tobat menggugurkan kewajiban mengeluarkan zakat? Jika tidak, apa solusinya? Hartanya lebih dari sepuluh ribu (riyal), dan dia tidak tahu jumlah pastinya sekarang.” Beliau rahimahullah menjawab, “Zakat adalah ibadah kepada Allah Ta’ala, dan hak bagi penerima zakat. Jika seseorang menahannya, dia melanggar dua hak: hak Allah Ta’ala dan hak penerima zakat. [Bertobat kepada Allah] Jika dia bertobat setelah lima tahun seperti yang disebutkan dalam pertanyaan, maka hak Allah Ta’ala gugur karena Allah Ta’ala berfirman, وَهُوَ الَّذِى يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُواْ عَنِ السَّيِّئَاتِ وَيَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ ‘Dan Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ [Segera Mengeluarkan Zakat untuk Semua Tahun yang Terlewat] Hak kedua yang tersisa adalah hak orang yang berhak menerima zakat, seperti fakir miskin dan lainnya. Dia harus menyerahkan zakat kepada mereka, dan mungkin dia akan mendapatkan pahala zakat dengan tobatnya yang sah, karena karunia Allah sangat luas. [Menghitung dengan Cermat Jumlah Zakat] Untuk memperkirakan jumlah zakat, dia harus menyelidiki sebaik mungkin sesuai kemampuannya, dan Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya. Misalnya, zakat untuk sepuluh ribu (riyal) dalam setahun adalah dua ratus lima puluh (riyal). Jika jumlah zakatnya dua ratus lima puluh (riyal), maka keluarkanlah dua ratus lima puluh (riyal) untuk setiap tahun yang terlewat, kecuali jika pada tahun-tahun tertentu hartanya melebihi sepuluh ribu (riyal), maka keluarkanlah jumlah kelebihannya. Jika pada tahun-tahun tertentu hartanya kurang dari sepuluh ribu (riyal), maka zakat untuk kekurangan tersebut gugur.” [12] Demikian penjelasan ringkas tentang solusi bagi yang belum membayar zakat mal bertahun-tahun. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Syarat Wajib dan Cara Mengeluarkan Zakat Mal *** 3 Zulhijah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Mulakhkhash Al-Fiqhiy, Syekh Shalih Fauzan Al-Fauzan, Darul Aqidah – Mesir, 2009 M. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shafwah – Mesir, cet. ke-1, 1421. (Maktabah Syamilah)   Catatan kaki: [1] Zakat yang merupakan salah satu rukun Islam adalah zakat mal. Lihat https://islamqa.info/ar/49632 [2] Imam Bukhari meriwayatkannya di kitab Shahih-nya no. 1339. [3] QS. Al-Baqarah: 43. [4] QS. At-Taubah: 5. [5] HR. Bukhari no. 8. [6] Al-Mulakhkhash Al-Fiqhiy, 1: 319-320. [7] QS. At-Taubah: 56. [8] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 23: 295. [9] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/161979 [10] Mausu’atul Fiqhil Islamiy – At-Tuwaijiriy,  3: 69. [11] Fatwa Nur ‘ala Darb li Ibn Baz – Asy-Syuwi’r, 15: 17. [12] Majmu’ Fatawa wa Rasail Al-Utsaimin, 18: 302. Tags: zakat mal


Daftar Isi Toggle Kewajiban Zakat dan KedudukannyaKewajiban Mengeluarkan Zakat dengan SegeraZakat: Ibadah kepada Allah dan Hak bagi Penerima ZakatSolusi bagi yang Tidak Mengeluarkan Zakat Selama Beberapa Tahun “Seseorang lalai dalam mengeluarkan zakat selama beberapa tahun, dan sekarang dia bertobat. Apakah tobat menggugurkan kewajiban mengeluarkan zakat? Jika tidak, apa solusinya?” Pertanyaan tersebut, atau yang semisalnya, mungkin sering terlintas di benak kaum muslimin kalangan menengah ke atas, khususnya di negara yang pengelolaan zakat mal dikembalikan ke masing-masing warganya. Di sisi lain, alhamdulillah, banyak dari mereka yang bertobat dan berhijrah ke arah yang lebih baik, setelah sebelumnya terjerumus dalam salah satu dosa besar, yaitu tidak menunaikan zakat mal. Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tuntas, berikut ini kami sampaikan beberapa poin pembahasan. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, amin. Kewajiban Zakat dan Kedudukannya Zakat (mal) [1] merupakan salah satu rukun Islam yang agung, sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah Ta’ala telah menyandingkan zakat dengan salat dalam Al-Qur’an sebanyak 82 kali, menunjukkan betapa pentingnya zakat dan eratnya hubungan antara zakat dan salat. Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan berkata, لأقاتلن من فرق بين الصلاة والزكاة “Aku akan memerangi orang yang memisahkan antara salat dan zakat.” [2] Allah Ta’ala berfirman, وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا ‌الزَّكَاةَ “Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat.” [3] وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا ‌الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ “Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan biarkanlah mereka (yang kafir) menempuh jalannya.” [4] Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدًا رسول الله، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة  “Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat …” [5] Umat Islam sepakat mengenai kewajiban zakat sebagai rukun Islam ketiga, serta kekafiran orang yang mengingkari kewajiban zakat, dan diperanginya orang yang menolak mengeluarkan zakat. Zakat diwajibkan pada tahun kedua Hijriah, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus para sahabat untuk mengumpulkan dan menyalurkannya kepada yang berhak. Praktik ini dilanjutkan oleh para khalifah dan umat Islam setelahnya. Zakat mengandung kebaikan bagi manusia, membersihkan harta dari kotoran, melindunginya dari keburukan, dan merupakan bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka! Dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Zakat juga membersihkan jiwa dari sifat kikir dan merupakan ujian bagi orang kaya untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan mengeluarkan sebagian hartanya yang dicintai. [6] Kewajiban Mengeluarkan Zakat dengan Segera Allah Ta’ala berfirman, وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ “Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rasul, supaya kamu diberi rahmat.” [7] Mayoritas ulama (Syafi’iyah, Hanabilah, dan pendapat yang diikuti oleh Hanafiyah) berpendapat bahwa zakat harus segera dikeluarkan setelah waktu wajibnya tiba, jika mampu dan tidak ada kekhawatiran akan bahaya. Mereka berargumen bahwa Allah Ta’ala memerintahkan untuk menunaikan zakat, dan ketika kewajiban zakat telah tiba, maka perintah tersebut berlaku bagi yang dikenai zakat. Perintah mutlak ini menuntut untuk segera dilaksanakan menurut mereka. Jika penundaan dibolehkan, maka penundaan tanpa batas juga boleh, sehingga menghilangkan hukuman bagi yang tidak menunaikan zakat. Kebutuhan fakir miskin mendesak, dan hak mereka atas zakat telah ditetapkan, sehingga menunda zakat berarti menghalangi hak mereka pada waktunya. Imam Ahmad rahimahullah ditanya, “Jika seseorang mulai mengeluarkan zakat secara bertahap?” Beliau menjawab, لَا، بَل يُخْرِجُهَا كُلُّهَا إِذَا حَال الْحَوْل “Tidak, keluarkanlah semuanya sekaligus ketika haul telah berlalu.” Beliau juga mengatakan, لَا يُجْرِي عَلَى أَقَارِبِهِ مِنَ الزَّكَاةِ كُل شَهْرٍ “Janganlah memberi zakat kepada kerabatnya setiap bulan,” yang berarti dengan penundaan. [8] Baca juga: Sengaja Mengeluarkan Zakat Mal Di Bulan Ramadan Zakat: Ibadah kepada Allah dan Hak bagi Penerima Zakat Di antara poin penting yang menunjukkan kewajiban segera mengeluarkan zakat, yaitu adanya hak bagi penerima zakat. Tidak diragukan lagi bahwa fakir miskin memiliki hak atas harta orang kaya, dan hak pertama mereka adalah zakat. Zakat adalah hak yang Allah Ta’ala wajibkan secara tegas dalam Al-Qur’an bagi fakir miskin atas orang kaya. Dalam hadis Ibnu Abbas, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Muadz ke Yaman dan menyampaikan pesan, أَنَّ اللَّهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ، تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ، فَتُرَدُّ فِي فُقَرَائِهِمْ “Bahwasanya Allah telah mewajibkan zakat atas harta mereka, diambil dari orang kaya dan dikembalikan kepada fakir miskin di antara mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) [9] Solusi bagi yang Tidak Mengeluarkan Zakat Selama Beberapa Tahun Zakat adalah ibadah kepada Allah Ta’ala dan hak bagi penerima zakat. Jika seorang muslim menahan zakatnya dari orang lain, ia telah melanggar dua hak: hak Allah dan hak penerima zakat. Jika ia bertobat, maka hak Allah gugur karena Allah Maha Penerima Tobat dan menyukai tobat hamba-Nya. Namun, hak penerima zakat harus tetap ditunaikan karena itu adalah hak mereka, dan menahannya dari mereka adalah kezaliman, yang merupakan dosa besar. [10] Secara ringkas, solusi bagi yang tidak mengeluarkan zakat selama beberapa tahun adalah: Pertama: Bertobat kepada Allah. Kedua: Menghitung dengan cermat jumlah zakat yang harus dikeluarkan Ketiga: Segera mengeluarkan zakat untuk semua tahun yang terlewat. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Seorang penanya berkata, ‘Saya tidak mengeluarkan zakat selama bertahun-tahun, kemudian saya bertobat kepada Allah Ta’ala. Saya tidak tahu persis berapa tahunnya, dan saya memiliki banyak harta dan properti. Bagaimana cara saya mengeluarkan zakat yang terlewat? Bagaimana cara saya bertobat dengan benar? Semoga Allah membalas kebaikan Anda.'” Beliau rahimahullah menjawab, الطريق إلى التوبة الندم على الماضي، والعزم ألَاّ تعود فيه، والإقلاع من ذلك، والمبادرة بإخراج الزكاة عمّا مضى، تتحرى الماضي، وتخرج الزكاة عما مضى، تتحرى وتجتهد، إذا كنت تظنُّها خمسًا زَكِّ خمسًا، تظنها ستًّا زَكِّ ستًّا “Cara untuk bertobat adalah menyesali masa lalu, bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, berhenti dari perbuatan tersebut, dan segera mengeluarkan zakat untuk tahun-tahun yang terlewat. Selidiki masa lalu Anda dan keluarkan zakat yang terlewat, selidiki dan berusaha sebaik mungkin. Jika Anda memperkirakan lima tahun, keluarkan zakat untuk lima tahun. Jika Anda memperkirakan enam tahun, keluarkan zakat untuk enam tahun.” [11] Pertanyaan semisal juga pernah ditanyakan kepada Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah, “Seseorang lalai dalam mengeluarkan zakat selama lima tahun, dan sekarang dia bertobat. Apakah tobat menggugurkan kewajiban mengeluarkan zakat? Jika tidak, apa solusinya? Hartanya lebih dari sepuluh ribu (riyal), dan dia tidak tahu jumlah pastinya sekarang.” Beliau rahimahullah menjawab, “Zakat adalah ibadah kepada Allah Ta’ala, dan hak bagi penerima zakat. Jika seseorang menahannya, dia melanggar dua hak: hak Allah Ta’ala dan hak penerima zakat. [Bertobat kepada Allah] Jika dia bertobat setelah lima tahun seperti yang disebutkan dalam pertanyaan, maka hak Allah Ta’ala gugur karena Allah Ta’ala berfirman, وَهُوَ الَّذِى يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُواْ عَنِ السَّيِّئَاتِ وَيَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ ‘Dan Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ [Segera Mengeluarkan Zakat untuk Semua Tahun yang Terlewat] Hak kedua yang tersisa adalah hak orang yang berhak menerima zakat, seperti fakir miskin dan lainnya. Dia harus menyerahkan zakat kepada mereka, dan mungkin dia akan mendapatkan pahala zakat dengan tobatnya yang sah, karena karunia Allah sangat luas. [Menghitung dengan Cermat Jumlah Zakat] Untuk memperkirakan jumlah zakat, dia harus menyelidiki sebaik mungkin sesuai kemampuannya, dan Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya. Misalnya, zakat untuk sepuluh ribu (riyal) dalam setahun adalah dua ratus lima puluh (riyal). Jika jumlah zakatnya dua ratus lima puluh (riyal), maka keluarkanlah dua ratus lima puluh (riyal) untuk setiap tahun yang terlewat, kecuali jika pada tahun-tahun tertentu hartanya melebihi sepuluh ribu (riyal), maka keluarkanlah jumlah kelebihannya. Jika pada tahun-tahun tertentu hartanya kurang dari sepuluh ribu (riyal), maka zakat untuk kekurangan tersebut gugur.” [12] Demikian penjelasan ringkas tentang solusi bagi yang belum membayar zakat mal bertahun-tahun. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Syarat Wajib dan Cara Mengeluarkan Zakat Mal *** 3 Zulhijah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Mulakhkhash Al-Fiqhiy, Syekh Shalih Fauzan Al-Fauzan, Darul Aqidah – Mesir, 2009 M. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shafwah – Mesir, cet. ke-1, 1421. (Maktabah Syamilah)   Catatan kaki: [1] Zakat yang merupakan salah satu rukun Islam adalah zakat mal. Lihat https://islamqa.info/ar/49632 [2] Imam Bukhari meriwayatkannya di kitab Shahih-nya no. 1339. [3] QS. Al-Baqarah: 43. [4] QS. At-Taubah: 5. [5] HR. Bukhari no. 8. [6] Al-Mulakhkhash Al-Fiqhiy, 1: 319-320. [7] QS. At-Taubah: 56. [8] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 23: 295. [9] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/161979 [10] Mausu’atul Fiqhil Islamiy – At-Tuwaijiriy,  3: 69. [11] Fatwa Nur ‘ala Darb li Ibn Baz – Asy-Syuwi’r, 15: 17. [12] Majmu’ Fatawa wa Rasail Al-Utsaimin, 18: 302. Tags: zakat mal

Teks Khotbah Jumat: Peleburan Dosa

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaPertama: Amalan pelebur dosa yang pertama dan terbesar adalah tobatKedua: Amalan pelebur dosa yang kedua adalah istigfarKhotbah keduaKetiga: Amalan pelebur dosa yang ketiga adalah amal salehKeempat: Pelebur dosa yang keempat adalah musibah Khotbah pertama الحمد لله الكريم المنان، ذي الفضل والإحسان الذي هدانا للإيمان، وفضّل ديننا على سائر الأديان، أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أنْ محمداً عبدُه ورسوله، المبعوث إلى الثقلين الإنس والجان، صلى الله وسلم عليه وعلى آله وأصحابه، والتابعين لهم بإحسان. ‘Ibadallah, iitaqullah, marilah kita bertakwa kepada Allah, karena Allah Ta’ala berfirman, يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا الله حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar ketakwaan. Dan janganlah sekali-kali kalian meninggal, kecuali dalam keadaan kalian beragama Islam.” Takwa kepada Allah adalah, عملٌ بطاعة الله على نورٍ من الله رجاء ثواب الله ، وتركٌ لمعصية الله على نورٍ من الله خيفة عذاب الله “Amal ketaatan kepada Allah di atas cahaya petunjuk dari Allah, mengharap pahala Allah, serta meninggalkan bermaksiat kepada Allah di atas cahaya petunjuk dari Allah, takut akan azab Allah.” Ma’asyiral muslimin rahimani warahimakumullah. Dalam sebuah hadis yang sahih, diriwayatkan Imam At-Tirmidzi rahimahullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كلُّ بني آدمَ خطَّاءٌ، وخَيرُ الخطَّائين التوَّابونَ “Setiap manusia keturunan Nabi Adam ‘alaihis salam banyak melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang melakukan banyak kesalahan adalah orang yang banyak bertobat.” Hadis yang agung ini menunjukkan bahwa setiap umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pasti memiliki dosa. Padahal, tidak akan masuk surga, kecuali orang-orang yang telah bersih dari dosa. Allah Ta’ala berfirman, وَسِيْقَ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ اِلَى الْجَنَّةِ زُمَرًا ۗحَتّٰىٓ اِذَا جَاۤءُوْهَا وَفُتِحَتْ اَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلٰمٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوْهَا خٰلِدِيْنَ “Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya diantar ke dalam surga secara berombongan. Sehingga apabila mereka sampai kepadanya (surga) dan pintu-pintunya telah dibukakan, penjaga-penjaganya berkata kepada mereka, ‘Kesejahteraan (dilimpahkan) atas kalian, telah bersih kalian (dari dosa)! Maka, masuklah, kalian kekal di dalamnya.’” (QS. Az-Zumar: 73) Allah sebutkan di ayat yang mulia ini bahwa seluruh ahlul jannah masuk surga dalam keadaan telah bersih dari dosa-dosanya. Sehingga barangsiapa yang ingin masuk surga, maka hendaklah mengambil sebab-sebab peleburan dosanya yang dilakukan sewaktu di dunia. Ma’asyiral muslimin rahimani warahimakumullah. Dosa adalah sesuatu yang menyelisihi perintah syar’i dengan meninggalkan kewajiban atau melakukan keharaman. Sedangkan peleburan dosa, yaitu Allah mengampuni dosa, memaafkan hamba-Nya yang berdosa sehingga tidak menyiksanya. Ibnu Rajab rahimahullah menyatakan bahwa dosa tidak bisa terhapus dari catatan amal, meski dengan tobat atau selainnya dari pelebur dosa, pasti akan ditunjukkan dan dibaca oleh pelakunya. (Hal ini berdasarkan surah Al-Kahfi ayat 49 dan surah Az-Zalzalah ayat 7 dan 8.) Namun, akan tercatat pula tobatnya atau pelebur dosa lainnya. Jadi, dosanya tercatat dan pelebur dosanya juga tercatat di catatan amal. Ma’asyiral muslimin rahimani warahimakumullah Ada empat peleburan dosa di dunia yang sangat perlu kita ketahui: Pertama: Amalan pelebur dosa yang pertama dan terbesar adalah tobat Dosa apa pun, apabila seorang bertobat darinya dengan memenuhi syarat-syarat diterimanya tobat, maka akan diampuni oleh Allah Ta’ala, sebagaimana dalam surah Az-Zumar ayat 53, surah An-Nur ayat 3, juga berdasarkan surah Al-Furqan ayat 68-70. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا ۗاِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ “Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.'” (QS. Az-Zumar: 53) وَتُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ جَمِيْعًا اَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ “Dan bertobatlah kalian semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung.” (QS. An-Nur: 31) Kedua: Amalan pelebur dosa yang kedua adalah istigfar Yaitu, doa memohon ampunan kepada Allah semata. Karena istigfar itu doa, maka bisa dikabulkan sehingga diampuni, bisa juga tidak. Akan tetapi, kalau istigfar itu diiringi dengan tobat yang memenuhi syarat diterimanya tobat, maka pasti dosa itu diampuni. Istigfar itu amalan pelebur dosa, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala, وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا “Dan barangsiapa berbuat kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampunan kepada Allah, niscaya dia akan mendapatkan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’: 110) أقول هذا القول وأستغفر الله لي ولكم ولسائر المسلمين من كل ذنب فاستغفروه يغفر لكم إنه هو الغفور الرحيم Baca juga: Dosa Besar dan Dosa Kecil Khotbah kedua الحمد لله الذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله وكفى بالله شهيدا ، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، إقرارا به وتوحيدا ، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله ، صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وسلم تسليما مزيدا ، أما بعد :  أيها المؤمنون عباد الله : اتقوا الله تعالى ؛ فإن تقوى الله جل وعلا خير زاد ، قال الله تبارك وتعالى: {وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ} Ma’asyiral muslimin rahimani warahimakumullah Ketiga: Amalan pelebur dosa yang ketiga adalah amal saleh Terkait amal saleh sebagai pelebur dosa, pendapat ulama terkuat adalah pada asalnya amal saleh itu melebur dosa kecil saja. Namun, sebagian amalan saleh yang berkualitas itu bisa melebur dosa besar. Hanya saja, tentu berat melakukan amalan saleh berkualitas itu, kecuali Allah mudahkan. Dalil amal saleh sebagai pelebur dosa adalah surah Hud ayat 114. Allah Ta’ala berfirman, وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ الَّيْلِ ۗاِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّاٰتِۗ ذٰلِكَ ذِكْرٰى لِلذّٰكِرِيْنَ “Dan laksanakanlah salat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah).” Keempat: Pelebur dosa yang keempat adalah musibah Musibah akan melebur dosa kecil saja, meskipun tanpa diiringi kesabaran. Sedangkan jika musibah itu diiringi dengan sabar, maka akan terlebur dosa ditambah dengan mendapatkan pahala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ مُصِيبَةٍ تُصِيبُ الْمُسْلِمَ إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا “Tidaklah suatu musibah apa pun yang menimpa seorang muslim, bahkan duri yang melukainya sekalipun, melainkan Allah akan menghapus dosanya.” (Shahih Bukhari rahimahullah) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu keletihan dan penyakit, kekhawatiran, dan kesedihan, dan tidak juga gangguan dan kesedihan yang sangat, bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus dari dosa-dosanya.” (Shahih Bukhari rahimahullah) Ma’asyiral muslimin rahimani warahimakumullah. Mari kita tutup khotbah ini dengan berdoa kepada Allah semata. Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, Allahumma shalli wasallim ‘ala Rasulika, رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِين رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ رَبَّنَا هَب لنا مِن أزواجنا وذرياتنا قُرَّةَ أعيُنٍ واجعلنا للمُتقينَ إمَامًا اللهم إنا نسألك حبّك وحب من يحبّك وحب كل عملٍ يقربني إلى حبّك اللهم إنا نسألك الجنة، وما قرب إليها من قول أو عمل، ونعوذ بك من النار وما قرب إليها من قول أو عمل. اللهم أرنا الحق حقاً، وارزقنا اتباعه، وأرنا الباطل باطلاً، وارزقنا اجتنابه اللهم أعز الإسلام والمسلمين، وأذلَّ الشِّرك والمشركين، ودمِّر أعداء الدين، اللهم آمنا في أوطاننا، وأصلح أئمتنا وولاة أمورنا واحفظ بلدنا هذا و بارك فيه لنا و للمسلمين و المسلمات رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله نبينا محمد و آخر دعوانا أن الحمد لله ربّ العالمين Baca juga: Bahaya Dosa dan Kemaksiatan yang Wajib Diwaspadai *** Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah Artikel: Muslim.or.id Tags: dosa

Teks Khotbah Jumat: Peleburan Dosa

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaPertama: Amalan pelebur dosa yang pertama dan terbesar adalah tobatKedua: Amalan pelebur dosa yang kedua adalah istigfarKhotbah keduaKetiga: Amalan pelebur dosa yang ketiga adalah amal salehKeempat: Pelebur dosa yang keempat adalah musibah Khotbah pertama الحمد لله الكريم المنان، ذي الفضل والإحسان الذي هدانا للإيمان، وفضّل ديننا على سائر الأديان، أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أنْ محمداً عبدُه ورسوله، المبعوث إلى الثقلين الإنس والجان، صلى الله وسلم عليه وعلى آله وأصحابه، والتابعين لهم بإحسان. ‘Ibadallah, iitaqullah, marilah kita bertakwa kepada Allah, karena Allah Ta’ala berfirman, يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا الله حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar ketakwaan. Dan janganlah sekali-kali kalian meninggal, kecuali dalam keadaan kalian beragama Islam.” Takwa kepada Allah adalah, عملٌ بطاعة الله على نورٍ من الله رجاء ثواب الله ، وتركٌ لمعصية الله على نورٍ من الله خيفة عذاب الله “Amal ketaatan kepada Allah di atas cahaya petunjuk dari Allah, mengharap pahala Allah, serta meninggalkan bermaksiat kepada Allah di atas cahaya petunjuk dari Allah, takut akan azab Allah.” Ma’asyiral muslimin rahimani warahimakumullah. Dalam sebuah hadis yang sahih, diriwayatkan Imam At-Tirmidzi rahimahullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كلُّ بني آدمَ خطَّاءٌ، وخَيرُ الخطَّائين التوَّابونَ “Setiap manusia keturunan Nabi Adam ‘alaihis salam banyak melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang melakukan banyak kesalahan adalah orang yang banyak bertobat.” Hadis yang agung ini menunjukkan bahwa setiap umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pasti memiliki dosa. Padahal, tidak akan masuk surga, kecuali orang-orang yang telah bersih dari dosa. Allah Ta’ala berfirman, وَسِيْقَ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ اِلَى الْجَنَّةِ زُمَرًا ۗحَتّٰىٓ اِذَا جَاۤءُوْهَا وَفُتِحَتْ اَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلٰمٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوْهَا خٰلِدِيْنَ “Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya diantar ke dalam surga secara berombongan. Sehingga apabila mereka sampai kepadanya (surga) dan pintu-pintunya telah dibukakan, penjaga-penjaganya berkata kepada mereka, ‘Kesejahteraan (dilimpahkan) atas kalian, telah bersih kalian (dari dosa)! Maka, masuklah, kalian kekal di dalamnya.’” (QS. Az-Zumar: 73) Allah sebutkan di ayat yang mulia ini bahwa seluruh ahlul jannah masuk surga dalam keadaan telah bersih dari dosa-dosanya. Sehingga barangsiapa yang ingin masuk surga, maka hendaklah mengambil sebab-sebab peleburan dosanya yang dilakukan sewaktu di dunia. Ma’asyiral muslimin rahimani warahimakumullah. Dosa adalah sesuatu yang menyelisihi perintah syar’i dengan meninggalkan kewajiban atau melakukan keharaman. Sedangkan peleburan dosa, yaitu Allah mengampuni dosa, memaafkan hamba-Nya yang berdosa sehingga tidak menyiksanya. Ibnu Rajab rahimahullah menyatakan bahwa dosa tidak bisa terhapus dari catatan amal, meski dengan tobat atau selainnya dari pelebur dosa, pasti akan ditunjukkan dan dibaca oleh pelakunya. (Hal ini berdasarkan surah Al-Kahfi ayat 49 dan surah Az-Zalzalah ayat 7 dan 8.) Namun, akan tercatat pula tobatnya atau pelebur dosa lainnya. Jadi, dosanya tercatat dan pelebur dosanya juga tercatat di catatan amal. Ma’asyiral muslimin rahimani warahimakumullah Ada empat peleburan dosa di dunia yang sangat perlu kita ketahui: Pertama: Amalan pelebur dosa yang pertama dan terbesar adalah tobat Dosa apa pun, apabila seorang bertobat darinya dengan memenuhi syarat-syarat diterimanya tobat, maka akan diampuni oleh Allah Ta’ala, sebagaimana dalam surah Az-Zumar ayat 53, surah An-Nur ayat 3, juga berdasarkan surah Al-Furqan ayat 68-70. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا ۗاِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ “Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.'” (QS. Az-Zumar: 53) وَتُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ جَمِيْعًا اَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ “Dan bertobatlah kalian semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung.” (QS. An-Nur: 31) Kedua: Amalan pelebur dosa yang kedua adalah istigfar Yaitu, doa memohon ampunan kepada Allah semata. Karena istigfar itu doa, maka bisa dikabulkan sehingga diampuni, bisa juga tidak. Akan tetapi, kalau istigfar itu diiringi dengan tobat yang memenuhi syarat diterimanya tobat, maka pasti dosa itu diampuni. Istigfar itu amalan pelebur dosa, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala, وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا “Dan barangsiapa berbuat kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampunan kepada Allah, niscaya dia akan mendapatkan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’: 110) أقول هذا القول وأستغفر الله لي ولكم ولسائر المسلمين من كل ذنب فاستغفروه يغفر لكم إنه هو الغفور الرحيم Baca juga: Dosa Besar dan Dosa Kecil Khotbah kedua الحمد لله الذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله وكفى بالله شهيدا ، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، إقرارا به وتوحيدا ، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله ، صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وسلم تسليما مزيدا ، أما بعد :  أيها المؤمنون عباد الله : اتقوا الله تعالى ؛ فإن تقوى الله جل وعلا خير زاد ، قال الله تبارك وتعالى: {وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ} Ma’asyiral muslimin rahimani warahimakumullah Ketiga: Amalan pelebur dosa yang ketiga adalah amal saleh Terkait amal saleh sebagai pelebur dosa, pendapat ulama terkuat adalah pada asalnya amal saleh itu melebur dosa kecil saja. Namun, sebagian amalan saleh yang berkualitas itu bisa melebur dosa besar. Hanya saja, tentu berat melakukan amalan saleh berkualitas itu, kecuali Allah mudahkan. Dalil amal saleh sebagai pelebur dosa adalah surah Hud ayat 114. Allah Ta’ala berfirman, وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ الَّيْلِ ۗاِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّاٰتِۗ ذٰلِكَ ذِكْرٰى لِلذّٰكِرِيْنَ “Dan laksanakanlah salat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah).” Keempat: Pelebur dosa yang keempat adalah musibah Musibah akan melebur dosa kecil saja, meskipun tanpa diiringi kesabaran. Sedangkan jika musibah itu diiringi dengan sabar, maka akan terlebur dosa ditambah dengan mendapatkan pahala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ مُصِيبَةٍ تُصِيبُ الْمُسْلِمَ إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا “Tidaklah suatu musibah apa pun yang menimpa seorang muslim, bahkan duri yang melukainya sekalipun, melainkan Allah akan menghapus dosanya.” (Shahih Bukhari rahimahullah) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu keletihan dan penyakit, kekhawatiran, dan kesedihan, dan tidak juga gangguan dan kesedihan yang sangat, bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus dari dosa-dosanya.” (Shahih Bukhari rahimahullah) Ma’asyiral muslimin rahimani warahimakumullah. Mari kita tutup khotbah ini dengan berdoa kepada Allah semata. Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, Allahumma shalli wasallim ‘ala Rasulika, رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِين رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ رَبَّنَا هَب لنا مِن أزواجنا وذرياتنا قُرَّةَ أعيُنٍ واجعلنا للمُتقينَ إمَامًا اللهم إنا نسألك حبّك وحب من يحبّك وحب كل عملٍ يقربني إلى حبّك اللهم إنا نسألك الجنة، وما قرب إليها من قول أو عمل، ونعوذ بك من النار وما قرب إليها من قول أو عمل. اللهم أرنا الحق حقاً، وارزقنا اتباعه، وأرنا الباطل باطلاً، وارزقنا اجتنابه اللهم أعز الإسلام والمسلمين، وأذلَّ الشِّرك والمشركين، ودمِّر أعداء الدين، اللهم آمنا في أوطاننا، وأصلح أئمتنا وولاة أمورنا واحفظ بلدنا هذا و بارك فيه لنا و للمسلمين و المسلمات رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله نبينا محمد و آخر دعوانا أن الحمد لله ربّ العالمين Baca juga: Bahaya Dosa dan Kemaksiatan yang Wajib Diwaspadai *** Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah Artikel: Muslim.or.id Tags: dosa
Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaPertama: Amalan pelebur dosa yang pertama dan terbesar adalah tobatKedua: Amalan pelebur dosa yang kedua adalah istigfarKhotbah keduaKetiga: Amalan pelebur dosa yang ketiga adalah amal salehKeempat: Pelebur dosa yang keempat adalah musibah Khotbah pertama الحمد لله الكريم المنان، ذي الفضل والإحسان الذي هدانا للإيمان، وفضّل ديننا على سائر الأديان، أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أنْ محمداً عبدُه ورسوله، المبعوث إلى الثقلين الإنس والجان، صلى الله وسلم عليه وعلى آله وأصحابه، والتابعين لهم بإحسان. ‘Ibadallah, iitaqullah, marilah kita bertakwa kepada Allah, karena Allah Ta’ala berfirman, يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا الله حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar ketakwaan. Dan janganlah sekali-kali kalian meninggal, kecuali dalam keadaan kalian beragama Islam.” Takwa kepada Allah adalah, عملٌ بطاعة الله على نورٍ من الله رجاء ثواب الله ، وتركٌ لمعصية الله على نورٍ من الله خيفة عذاب الله “Amal ketaatan kepada Allah di atas cahaya petunjuk dari Allah, mengharap pahala Allah, serta meninggalkan bermaksiat kepada Allah di atas cahaya petunjuk dari Allah, takut akan azab Allah.” Ma’asyiral muslimin rahimani warahimakumullah. Dalam sebuah hadis yang sahih, diriwayatkan Imam At-Tirmidzi rahimahullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كلُّ بني آدمَ خطَّاءٌ، وخَيرُ الخطَّائين التوَّابونَ “Setiap manusia keturunan Nabi Adam ‘alaihis salam banyak melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang melakukan banyak kesalahan adalah orang yang banyak bertobat.” Hadis yang agung ini menunjukkan bahwa setiap umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pasti memiliki dosa. Padahal, tidak akan masuk surga, kecuali orang-orang yang telah bersih dari dosa. Allah Ta’ala berfirman, وَسِيْقَ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ اِلَى الْجَنَّةِ زُمَرًا ۗحَتّٰىٓ اِذَا جَاۤءُوْهَا وَفُتِحَتْ اَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلٰمٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوْهَا خٰلِدِيْنَ “Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya diantar ke dalam surga secara berombongan. Sehingga apabila mereka sampai kepadanya (surga) dan pintu-pintunya telah dibukakan, penjaga-penjaganya berkata kepada mereka, ‘Kesejahteraan (dilimpahkan) atas kalian, telah bersih kalian (dari dosa)! Maka, masuklah, kalian kekal di dalamnya.’” (QS. Az-Zumar: 73) Allah sebutkan di ayat yang mulia ini bahwa seluruh ahlul jannah masuk surga dalam keadaan telah bersih dari dosa-dosanya. Sehingga barangsiapa yang ingin masuk surga, maka hendaklah mengambil sebab-sebab peleburan dosanya yang dilakukan sewaktu di dunia. Ma’asyiral muslimin rahimani warahimakumullah. Dosa adalah sesuatu yang menyelisihi perintah syar’i dengan meninggalkan kewajiban atau melakukan keharaman. Sedangkan peleburan dosa, yaitu Allah mengampuni dosa, memaafkan hamba-Nya yang berdosa sehingga tidak menyiksanya. Ibnu Rajab rahimahullah menyatakan bahwa dosa tidak bisa terhapus dari catatan amal, meski dengan tobat atau selainnya dari pelebur dosa, pasti akan ditunjukkan dan dibaca oleh pelakunya. (Hal ini berdasarkan surah Al-Kahfi ayat 49 dan surah Az-Zalzalah ayat 7 dan 8.) Namun, akan tercatat pula tobatnya atau pelebur dosa lainnya. Jadi, dosanya tercatat dan pelebur dosanya juga tercatat di catatan amal. Ma’asyiral muslimin rahimani warahimakumullah Ada empat peleburan dosa di dunia yang sangat perlu kita ketahui: Pertama: Amalan pelebur dosa yang pertama dan terbesar adalah tobat Dosa apa pun, apabila seorang bertobat darinya dengan memenuhi syarat-syarat diterimanya tobat, maka akan diampuni oleh Allah Ta’ala, sebagaimana dalam surah Az-Zumar ayat 53, surah An-Nur ayat 3, juga berdasarkan surah Al-Furqan ayat 68-70. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا ۗاِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ “Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.'” (QS. Az-Zumar: 53) وَتُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ جَمِيْعًا اَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ “Dan bertobatlah kalian semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung.” (QS. An-Nur: 31) Kedua: Amalan pelebur dosa yang kedua adalah istigfar Yaitu, doa memohon ampunan kepada Allah semata. Karena istigfar itu doa, maka bisa dikabulkan sehingga diampuni, bisa juga tidak. Akan tetapi, kalau istigfar itu diiringi dengan tobat yang memenuhi syarat diterimanya tobat, maka pasti dosa itu diampuni. Istigfar itu amalan pelebur dosa, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala, وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا “Dan barangsiapa berbuat kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampunan kepada Allah, niscaya dia akan mendapatkan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’: 110) أقول هذا القول وأستغفر الله لي ولكم ولسائر المسلمين من كل ذنب فاستغفروه يغفر لكم إنه هو الغفور الرحيم Baca juga: Dosa Besar dan Dosa Kecil Khotbah kedua الحمد لله الذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله وكفى بالله شهيدا ، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، إقرارا به وتوحيدا ، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله ، صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وسلم تسليما مزيدا ، أما بعد :  أيها المؤمنون عباد الله : اتقوا الله تعالى ؛ فإن تقوى الله جل وعلا خير زاد ، قال الله تبارك وتعالى: {وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ} Ma’asyiral muslimin rahimani warahimakumullah Ketiga: Amalan pelebur dosa yang ketiga adalah amal saleh Terkait amal saleh sebagai pelebur dosa, pendapat ulama terkuat adalah pada asalnya amal saleh itu melebur dosa kecil saja. Namun, sebagian amalan saleh yang berkualitas itu bisa melebur dosa besar. Hanya saja, tentu berat melakukan amalan saleh berkualitas itu, kecuali Allah mudahkan. Dalil amal saleh sebagai pelebur dosa adalah surah Hud ayat 114. Allah Ta’ala berfirman, وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ الَّيْلِ ۗاِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّاٰتِۗ ذٰلِكَ ذِكْرٰى لِلذّٰكِرِيْنَ “Dan laksanakanlah salat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah).” Keempat: Pelebur dosa yang keempat adalah musibah Musibah akan melebur dosa kecil saja, meskipun tanpa diiringi kesabaran. Sedangkan jika musibah itu diiringi dengan sabar, maka akan terlebur dosa ditambah dengan mendapatkan pahala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ مُصِيبَةٍ تُصِيبُ الْمُسْلِمَ إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا “Tidaklah suatu musibah apa pun yang menimpa seorang muslim, bahkan duri yang melukainya sekalipun, melainkan Allah akan menghapus dosanya.” (Shahih Bukhari rahimahullah) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu keletihan dan penyakit, kekhawatiran, dan kesedihan, dan tidak juga gangguan dan kesedihan yang sangat, bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus dari dosa-dosanya.” (Shahih Bukhari rahimahullah) Ma’asyiral muslimin rahimani warahimakumullah. Mari kita tutup khotbah ini dengan berdoa kepada Allah semata. Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, Allahumma shalli wasallim ‘ala Rasulika, رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِين رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ رَبَّنَا هَب لنا مِن أزواجنا وذرياتنا قُرَّةَ أعيُنٍ واجعلنا للمُتقينَ إمَامًا اللهم إنا نسألك حبّك وحب من يحبّك وحب كل عملٍ يقربني إلى حبّك اللهم إنا نسألك الجنة، وما قرب إليها من قول أو عمل، ونعوذ بك من النار وما قرب إليها من قول أو عمل. اللهم أرنا الحق حقاً، وارزقنا اتباعه، وأرنا الباطل باطلاً، وارزقنا اجتنابه اللهم أعز الإسلام والمسلمين، وأذلَّ الشِّرك والمشركين، ودمِّر أعداء الدين، اللهم آمنا في أوطاننا، وأصلح أئمتنا وولاة أمورنا واحفظ بلدنا هذا و بارك فيه لنا و للمسلمين و المسلمات رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله نبينا محمد و آخر دعوانا أن الحمد لله ربّ العالمين Baca juga: Bahaya Dosa dan Kemaksiatan yang Wajib Diwaspadai *** Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah Artikel: Muslim.or.id Tags: dosa


Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaPertama: Amalan pelebur dosa yang pertama dan terbesar adalah tobatKedua: Amalan pelebur dosa yang kedua adalah istigfarKhotbah keduaKetiga: Amalan pelebur dosa yang ketiga adalah amal salehKeempat: Pelebur dosa yang keempat adalah musibah Khotbah pertama الحمد لله الكريم المنان، ذي الفضل والإحسان الذي هدانا للإيمان، وفضّل ديننا على سائر الأديان، أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أنْ محمداً عبدُه ورسوله، المبعوث إلى الثقلين الإنس والجان، صلى الله وسلم عليه وعلى آله وأصحابه، والتابعين لهم بإحسان. ‘Ibadallah, iitaqullah, marilah kita bertakwa kepada Allah, karena Allah Ta’ala berfirman, يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا الله حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar ketakwaan. Dan janganlah sekali-kali kalian meninggal, kecuali dalam keadaan kalian beragama Islam.” Takwa kepada Allah adalah, عملٌ بطاعة الله على نورٍ من الله رجاء ثواب الله ، وتركٌ لمعصية الله على نورٍ من الله خيفة عذاب الله “Amal ketaatan kepada Allah di atas cahaya petunjuk dari Allah, mengharap pahala Allah, serta meninggalkan bermaksiat kepada Allah di atas cahaya petunjuk dari Allah, takut akan azab Allah.” Ma’asyiral muslimin rahimani warahimakumullah. Dalam sebuah hadis yang sahih, diriwayatkan Imam At-Tirmidzi rahimahullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كلُّ بني آدمَ خطَّاءٌ، وخَيرُ الخطَّائين التوَّابونَ “Setiap manusia keturunan Nabi Adam ‘alaihis salam banyak melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang melakukan banyak kesalahan adalah orang yang banyak bertobat.” Hadis yang agung ini menunjukkan bahwa setiap umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pasti memiliki dosa. Padahal, tidak akan masuk surga, kecuali orang-orang yang telah bersih dari dosa. Allah Ta’ala berfirman, وَسِيْقَ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ اِلَى الْجَنَّةِ زُمَرًا ۗحَتّٰىٓ اِذَا جَاۤءُوْهَا وَفُتِحَتْ اَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلٰمٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوْهَا خٰلِدِيْنَ “Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya diantar ke dalam surga secara berombongan. Sehingga apabila mereka sampai kepadanya (surga) dan pintu-pintunya telah dibukakan, penjaga-penjaganya berkata kepada mereka, ‘Kesejahteraan (dilimpahkan) atas kalian, telah bersih kalian (dari dosa)! Maka, masuklah, kalian kekal di dalamnya.’” (QS. Az-Zumar: 73) Allah sebutkan di ayat yang mulia ini bahwa seluruh ahlul jannah masuk surga dalam keadaan telah bersih dari dosa-dosanya. Sehingga barangsiapa yang ingin masuk surga, maka hendaklah mengambil sebab-sebab peleburan dosanya yang dilakukan sewaktu di dunia. Ma’asyiral muslimin rahimani warahimakumullah. Dosa adalah sesuatu yang menyelisihi perintah syar’i dengan meninggalkan kewajiban atau melakukan keharaman. Sedangkan peleburan dosa, yaitu Allah mengampuni dosa, memaafkan hamba-Nya yang berdosa sehingga tidak menyiksanya. Ibnu Rajab rahimahullah menyatakan bahwa dosa tidak bisa terhapus dari catatan amal, meski dengan tobat atau selainnya dari pelebur dosa, pasti akan ditunjukkan dan dibaca oleh pelakunya. (Hal ini berdasarkan surah Al-Kahfi ayat 49 dan surah Az-Zalzalah ayat 7 dan 8.) Namun, akan tercatat pula tobatnya atau pelebur dosa lainnya. Jadi, dosanya tercatat dan pelebur dosanya juga tercatat di catatan amal. Ma’asyiral muslimin rahimani warahimakumullah Ada empat peleburan dosa di dunia yang sangat perlu kita ketahui: Pertama: Amalan pelebur dosa yang pertama dan terbesar adalah tobat Dosa apa pun, apabila seorang bertobat darinya dengan memenuhi syarat-syarat diterimanya tobat, maka akan diampuni oleh Allah Ta’ala, sebagaimana dalam surah Az-Zumar ayat 53, surah An-Nur ayat 3, juga berdasarkan surah Al-Furqan ayat 68-70. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا ۗاِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ “Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.'” (QS. Az-Zumar: 53) وَتُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ جَمِيْعًا اَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ “Dan bertobatlah kalian semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung.” (QS. An-Nur: 31) Kedua: Amalan pelebur dosa yang kedua adalah istigfar Yaitu, doa memohon ampunan kepada Allah semata. Karena istigfar itu doa, maka bisa dikabulkan sehingga diampuni, bisa juga tidak. Akan tetapi, kalau istigfar itu diiringi dengan tobat yang memenuhi syarat diterimanya tobat, maka pasti dosa itu diampuni. Istigfar itu amalan pelebur dosa, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala, وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا “Dan barangsiapa berbuat kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampunan kepada Allah, niscaya dia akan mendapatkan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’: 110) أقول هذا القول وأستغفر الله لي ولكم ولسائر المسلمين من كل ذنب فاستغفروه يغفر لكم إنه هو الغفور الرحيم Baca juga: Dosa Besar dan Dosa Kecil Khotbah kedua الحمد لله الذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله وكفى بالله شهيدا ، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، إقرارا به وتوحيدا ، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله ، صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وسلم تسليما مزيدا ، أما بعد :  أيها المؤمنون عباد الله : اتقوا الله تعالى ؛ فإن تقوى الله جل وعلا خير زاد ، قال الله تبارك وتعالى: {وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ} Ma’asyiral muslimin rahimani warahimakumullah Ketiga: Amalan pelebur dosa yang ketiga adalah amal saleh Terkait amal saleh sebagai pelebur dosa, pendapat ulama terkuat adalah pada asalnya amal saleh itu melebur dosa kecil saja. Namun, sebagian amalan saleh yang berkualitas itu bisa melebur dosa besar. Hanya saja, tentu berat melakukan amalan saleh berkualitas itu, kecuali Allah mudahkan. Dalil amal saleh sebagai pelebur dosa adalah surah Hud ayat 114. Allah Ta’ala berfirman, وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ الَّيْلِ ۗاِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّاٰتِۗ ذٰلِكَ ذِكْرٰى لِلذّٰكِرِيْنَ “Dan laksanakanlah salat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah).” Keempat: Pelebur dosa yang keempat adalah musibah Musibah akan melebur dosa kecil saja, meskipun tanpa diiringi kesabaran. Sedangkan jika musibah itu diiringi dengan sabar, maka akan terlebur dosa ditambah dengan mendapatkan pahala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ مُصِيبَةٍ تُصِيبُ الْمُسْلِمَ إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا “Tidaklah suatu musibah apa pun yang menimpa seorang muslim, bahkan duri yang melukainya sekalipun, melainkan Allah akan menghapus dosanya.” (Shahih Bukhari rahimahullah) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu keletihan dan penyakit, kekhawatiran, dan kesedihan, dan tidak juga gangguan dan kesedihan yang sangat, bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus dari dosa-dosanya.” (Shahih Bukhari rahimahullah) Ma’asyiral muslimin rahimani warahimakumullah. Mari kita tutup khotbah ini dengan berdoa kepada Allah semata. Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, Allahumma shalli wasallim ‘ala Rasulika, رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِين رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ رَبَّنَا هَب لنا مِن أزواجنا وذرياتنا قُرَّةَ أعيُنٍ واجعلنا للمُتقينَ إمَامًا اللهم إنا نسألك حبّك وحب من يحبّك وحب كل عملٍ يقربني إلى حبّك اللهم إنا نسألك الجنة، وما قرب إليها من قول أو عمل، ونعوذ بك من النار وما قرب إليها من قول أو عمل. اللهم أرنا الحق حقاً، وارزقنا اتباعه، وأرنا الباطل باطلاً، وارزقنا اجتنابه اللهم أعز الإسلام والمسلمين، وأذلَّ الشِّرك والمشركين، ودمِّر أعداء الدين، اللهم آمنا في أوطاننا، وأصلح أئمتنا وولاة أمورنا واحفظ بلدنا هذا و بارك فيه لنا و للمسلمين و المسلمات رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله نبينا محمد و آخر دعوانا أن الحمد لله ربّ العالمين Baca juga: Bahaya Dosa dan Kemaksiatan yang Wajib Diwaspadai *** Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah Artikel: Muslim.or.id Tags: dosa

Doa Saat Semua Terasa Sulit

Di antara tujuan besar ketika Allah menakdirkan kesulitan dan kesusahan adalah agar kita kembali kepada Allah Ta’ala, agar kita merintih, merengek, dan bersimpuh di hadapan Allah Ta’ala. Hal ini sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan dalam surah Al-An’am ayat 42, وَلَقَدْ أَرْسَلنَا إِلَى أُمَمٍ مِّن قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاء وَالضَّرَّاء لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan (kesulitan) dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri.” Dalam ayat tersebut, Allah jelaskan bahwa tujuan Allah menimpakan kesulitan kepada seorang hamba adalah agar hamba tersebut merendahkan diri di hadapan Allah, agar mereka memperbanyak sujud dan rukuk, agar mereka memanjatkan doa memohon ampun kepada Allah. Juga agar lisan seorang hamba mengucapkan, “Ya Allah, tolonglah aku; Ya Allah, tolonglah aku.” Karena dia tahu bahwa tidak ada penolong dari musibah yang saat ini menimpanya kecuali dengan kembali menuju kepada Allah Ta’ala. Mereka yakin bahwa tidak ada jalan keluar, tidak ada secercah harapan, kecuali hanya dengan kembali kepada Allah. وَظَنُّواْ أَن لاَّ مَلْجَأَ مِنَ اللّهِ إِلاَّ إِلَيْهِ “Serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja.” (QS. At-Taubah: 118) Oleh karena itu, kita harus memperbanyak doa di hari-hari itu, hari ketika kita merasa hidup terasa sempit, hari ketika musibah dan kesulitan datang silih berganti. Karena inilah yang membuat Allah Ta’ala mengangkat segala kepiluan yang ada. Jangan sampai justru kita berkeluh kesah kepada manusia, dan kita turunkan marwah kita sebagai seorang hamba Allah Ta’ala. Yang harus kita lakukan adalah bergantung hanya kepada Allah Ta’ala saja. Dan simbol hati kita telah bergantung kepada Allah Ta’ala saja adalah meminta kepada Allah, Rabbul ‘alamin. Allah telah menjanjikan, وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ “Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” Dan Allah marah dan ancam kita di ayat yang sama kalau kita enggan dan sombong, tidak mau berdoa kepada-Nya, إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ “Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku, akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS. Al-Mu’min: 60) Oleh karena itu, kita yang saat ini sedang susah, atau usaha kita yang sedang berat, atau kita kehilangan pekerjaan, hendaknya kita memperbanyak doa, sebagaimana kita memperbanyak usaha untuk keluar dari musibah dan masalah yang sedang kita hadapi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita sebuah doa, yang hendaknya dibaca oleh orang yang sedang susah atau sedang ditimpa musibah, اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو، فَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ “ALLAHUMMA RAHMATAKA ARJUU, FALAA TAKILNII ILA NAFSII THARFATHA ‘AININ, WA ASHLIH LII SYA’NII KULLAHU, LAA ILAAHA ILLA ANTA.” (Artinya: Ya Allah, aku hanya memohon rahmat-Mu, maka jangan Engkau biarkan aku bertumpu kepada diriku sendiri walaupun sekejap mata, perbaikilah urusanku semuanya, dan tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Engkau.) (HR. Abu Dawud no. 5090, dinilai hasan oleh Al-Albani) Namun, doa tidak akan memiliki peran yang besar, kalau hanya dibaca di lisan saja, tanpa merenungi dan memahami maknanya. Bukankah Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan, وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ “Ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479, dinilai hasan oleh Al-Albani) Begitu juga dengan doa ini. Bagaimana mungkin Allah akan kabulkan kalau kita sendiri tidak memahami makna doa yang kita panjatkan? “Ya Allah, aku hanya memohon rahmat-Mu”, di sini kita hanya memohon rahmat dan pertolongan dari Allah Ta’ala, kita tidak berharap kepada siapapun dari makhluk-Nya. Hati kita tidak berharap kepada iba dan belas kasihan manusia. Tidak berharap kepada uluran tangan orang. Sesulit apapun, seberat apapun, yang diharapkan hanyalah rahmat Allah Ta’ala. Kita tetap berusaha, namun hati kita tidak boleh bergantung kepada usaha yang kita lakukan. “Maka jangan Engkau biarkan aku bertumpu kepada diriku sendiri walaupun sekejap mata”, karena diri ini harus bertumpu dan bergantung kepada Allah. Karena tawakal adalah kunci dari solusi dan jalan keluar. Allah Ta’ala berfirman, وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3) وَعَلَى اللّهِ فَتَوَكَّلُواْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Al-Maidah: 23) Dalam ayat tersebut, Allah tegaskan bahwa kriteria mutlak orang yang beriman adalah bertawakal hanya kepada Allah. Dan ketahuilah bahwa perubahan kondisi kita saat ini, merupakan ujian bagi orang-orang yang beriman. Yang selama ini bisnisnya lancar, kemudian Allah buat seret. Ketika selama ini grafik penjualan konsisten naik, tiba-tiba ambruk. Usaha harus tutup. Untuk apa itu semua? Karena Allah ingin buktikan, siapa di antara hamba-Nya yang benar-benar beriman kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَتِلْكَ الأيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللّهُ الَّذِينَ آمَنُواْ وَيَتَّخِذَ مِنكُمْ شُهَدَاء وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ الظَّالِمِينَ “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran). Dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir), supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Ali Imran: 140) Oleh karena itu, jangan sekali-kali kita mengatakan, “Kita pasti bisa menghadapi semua ini”, dalam kondisi hati kita bergantung kepada diri kita sendiri. Namun yang benar, kita pasti bisa jika Allah tolong dan Allah bantu kita untuk keluar dari masalah yang kita hadapi. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَداً إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu, “Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi”, kecuali (dengan menyebut), “Insya Allah” (jika Allah menghendaki).” (QS. Al-Kahfi: 23-24) “Perbaikilah urusanku semuanya”, kalimat ini menunjukkan betapa butuhnya seseorang kepada Allah Ta’ala. Bahwa dia benar-benar membutuhkan Rabbnya, walaupun dalam durasi sesingkat apapun. Dan yang bisa memperbaiki urusan kita hanyalah Allah Ta’ala. Allah-lah yang telah membuat kita tetap hidup walaupun kita tidak punya uang. Hanya Allah yang bisa mengubah kondisi ini. Dan itu harus kita ucapkan dengan penuh keyakinan. “Laa ilaaha illa anta”, kita pun tutup doa ini dengan kalimat tauhid. Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah. Kita pun evaluasi iman kita kepada Allah. Sudahkah kita hanya beribadah kepada Allah? Sudahkah selama ini kita mencintai Allah dengan penuh kehinaan dan ketundukan? Demikian, semoga bermanfaat. Baca juga: Benarkah Pahala Itu Sebanding dengan Tingkat Kesulitan Sebuah Amal? *** @11 Dzulhijan 1445/ 18 Juni 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Diketik ulang dari ceramah Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri hafizhahullah di link berikut: https://www.youtube.com/watch?v=Im86JKXj0ZQ Tags: kesulitan

Doa Saat Semua Terasa Sulit

Di antara tujuan besar ketika Allah menakdirkan kesulitan dan kesusahan adalah agar kita kembali kepada Allah Ta’ala, agar kita merintih, merengek, dan bersimpuh di hadapan Allah Ta’ala. Hal ini sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan dalam surah Al-An’am ayat 42, وَلَقَدْ أَرْسَلنَا إِلَى أُمَمٍ مِّن قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاء وَالضَّرَّاء لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan (kesulitan) dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri.” Dalam ayat tersebut, Allah jelaskan bahwa tujuan Allah menimpakan kesulitan kepada seorang hamba adalah agar hamba tersebut merendahkan diri di hadapan Allah, agar mereka memperbanyak sujud dan rukuk, agar mereka memanjatkan doa memohon ampun kepada Allah. Juga agar lisan seorang hamba mengucapkan, “Ya Allah, tolonglah aku; Ya Allah, tolonglah aku.” Karena dia tahu bahwa tidak ada penolong dari musibah yang saat ini menimpanya kecuali dengan kembali menuju kepada Allah Ta’ala. Mereka yakin bahwa tidak ada jalan keluar, tidak ada secercah harapan, kecuali hanya dengan kembali kepada Allah. وَظَنُّواْ أَن لاَّ مَلْجَأَ مِنَ اللّهِ إِلاَّ إِلَيْهِ “Serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja.” (QS. At-Taubah: 118) Oleh karena itu, kita harus memperbanyak doa di hari-hari itu, hari ketika kita merasa hidup terasa sempit, hari ketika musibah dan kesulitan datang silih berganti. Karena inilah yang membuat Allah Ta’ala mengangkat segala kepiluan yang ada. Jangan sampai justru kita berkeluh kesah kepada manusia, dan kita turunkan marwah kita sebagai seorang hamba Allah Ta’ala. Yang harus kita lakukan adalah bergantung hanya kepada Allah Ta’ala saja. Dan simbol hati kita telah bergantung kepada Allah Ta’ala saja adalah meminta kepada Allah, Rabbul ‘alamin. Allah telah menjanjikan, وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ “Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” Dan Allah marah dan ancam kita di ayat yang sama kalau kita enggan dan sombong, tidak mau berdoa kepada-Nya, إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ “Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku, akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS. Al-Mu’min: 60) Oleh karena itu, kita yang saat ini sedang susah, atau usaha kita yang sedang berat, atau kita kehilangan pekerjaan, hendaknya kita memperbanyak doa, sebagaimana kita memperbanyak usaha untuk keluar dari musibah dan masalah yang sedang kita hadapi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita sebuah doa, yang hendaknya dibaca oleh orang yang sedang susah atau sedang ditimpa musibah, اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو، فَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ “ALLAHUMMA RAHMATAKA ARJUU, FALAA TAKILNII ILA NAFSII THARFATHA ‘AININ, WA ASHLIH LII SYA’NII KULLAHU, LAA ILAAHA ILLA ANTA.” (Artinya: Ya Allah, aku hanya memohon rahmat-Mu, maka jangan Engkau biarkan aku bertumpu kepada diriku sendiri walaupun sekejap mata, perbaikilah urusanku semuanya, dan tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Engkau.) (HR. Abu Dawud no. 5090, dinilai hasan oleh Al-Albani) Namun, doa tidak akan memiliki peran yang besar, kalau hanya dibaca di lisan saja, tanpa merenungi dan memahami maknanya. Bukankah Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan, وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ “Ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479, dinilai hasan oleh Al-Albani) Begitu juga dengan doa ini. Bagaimana mungkin Allah akan kabulkan kalau kita sendiri tidak memahami makna doa yang kita panjatkan? “Ya Allah, aku hanya memohon rahmat-Mu”, di sini kita hanya memohon rahmat dan pertolongan dari Allah Ta’ala, kita tidak berharap kepada siapapun dari makhluk-Nya. Hati kita tidak berharap kepada iba dan belas kasihan manusia. Tidak berharap kepada uluran tangan orang. Sesulit apapun, seberat apapun, yang diharapkan hanyalah rahmat Allah Ta’ala. Kita tetap berusaha, namun hati kita tidak boleh bergantung kepada usaha yang kita lakukan. “Maka jangan Engkau biarkan aku bertumpu kepada diriku sendiri walaupun sekejap mata”, karena diri ini harus bertumpu dan bergantung kepada Allah. Karena tawakal adalah kunci dari solusi dan jalan keluar. Allah Ta’ala berfirman, وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3) وَعَلَى اللّهِ فَتَوَكَّلُواْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Al-Maidah: 23) Dalam ayat tersebut, Allah tegaskan bahwa kriteria mutlak orang yang beriman adalah bertawakal hanya kepada Allah. Dan ketahuilah bahwa perubahan kondisi kita saat ini, merupakan ujian bagi orang-orang yang beriman. Yang selama ini bisnisnya lancar, kemudian Allah buat seret. Ketika selama ini grafik penjualan konsisten naik, tiba-tiba ambruk. Usaha harus tutup. Untuk apa itu semua? Karena Allah ingin buktikan, siapa di antara hamba-Nya yang benar-benar beriman kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَتِلْكَ الأيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللّهُ الَّذِينَ آمَنُواْ وَيَتَّخِذَ مِنكُمْ شُهَدَاء وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ الظَّالِمِينَ “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran). Dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir), supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Ali Imran: 140) Oleh karena itu, jangan sekali-kali kita mengatakan, “Kita pasti bisa menghadapi semua ini”, dalam kondisi hati kita bergantung kepada diri kita sendiri. Namun yang benar, kita pasti bisa jika Allah tolong dan Allah bantu kita untuk keluar dari masalah yang kita hadapi. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَداً إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu, “Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi”, kecuali (dengan menyebut), “Insya Allah” (jika Allah menghendaki).” (QS. Al-Kahfi: 23-24) “Perbaikilah urusanku semuanya”, kalimat ini menunjukkan betapa butuhnya seseorang kepada Allah Ta’ala. Bahwa dia benar-benar membutuhkan Rabbnya, walaupun dalam durasi sesingkat apapun. Dan yang bisa memperbaiki urusan kita hanyalah Allah Ta’ala. Allah-lah yang telah membuat kita tetap hidup walaupun kita tidak punya uang. Hanya Allah yang bisa mengubah kondisi ini. Dan itu harus kita ucapkan dengan penuh keyakinan. “Laa ilaaha illa anta”, kita pun tutup doa ini dengan kalimat tauhid. Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah. Kita pun evaluasi iman kita kepada Allah. Sudahkah kita hanya beribadah kepada Allah? Sudahkah selama ini kita mencintai Allah dengan penuh kehinaan dan ketundukan? Demikian, semoga bermanfaat. Baca juga: Benarkah Pahala Itu Sebanding dengan Tingkat Kesulitan Sebuah Amal? *** @11 Dzulhijan 1445/ 18 Juni 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Diketik ulang dari ceramah Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri hafizhahullah di link berikut: https://www.youtube.com/watch?v=Im86JKXj0ZQ Tags: kesulitan
Di antara tujuan besar ketika Allah menakdirkan kesulitan dan kesusahan adalah agar kita kembali kepada Allah Ta’ala, agar kita merintih, merengek, dan bersimpuh di hadapan Allah Ta’ala. Hal ini sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan dalam surah Al-An’am ayat 42, وَلَقَدْ أَرْسَلنَا إِلَى أُمَمٍ مِّن قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاء وَالضَّرَّاء لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan (kesulitan) dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri.” Dalam ayat tersebut, Allah jelaskan bahwa tujuan Allah menimpakan kesulitan kepada seorang hamba adalah agar hamba tersebut merendahkan diri di hadapan Allah, agar mereka memperbanyak sujud dan rukuk, agar mereka memanjatkan doa memohon ampun kepada Allah. Juga agar lisan seorang hamba mengucapkan, “Ya Allah, tolonglah aku; Ya Allah, tolonglah aku.” Karena dia tahu bahwa tidak ada penolong dari musibah yang saat ini menimpanya kecuali dengan kembali menuju kepada Allah Ta’ala. Mereka yakin bahwa tidak ada jalan keluar, tidak ada secercah harapan, kecuali hanya dengan kembali kepada Allah. وَظَنُّواْ أَن لاَّ مَلْجَأَ مِنَ اللّهِ إِلاَّ إِلَيْهِ “Serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja.” (QS. At-Taubah: 118) Oleh karena itu, kita harus memperbanyak doa di hari-hari itu, hari ketika kita merasa hidup terasa sempit, hari ketika musibah dan kesulitan datang silih berganti. Karena inilah yang membuat Allah Ta’ala mengangkat segala kepiluan yang ada. Jangan sampai justru kita berkeluh kesah kepada manusia, dan kita turunkan marwah kita sebagai seorang hamba Allah Ta’ala. Yang harus kita lakukan adalah bergantung hanya kepada Allah Ta’ala saja. Dan simbol hati kita telah bergantung kepada Allah Ta’ala saja adalah meminta kepada Allah, Rabbul ‘alamin. Allah telah menjanjikan, وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ “Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” Dan Allah marah dan ancam kita di ayat yang sama kalau kita enggan dan sombong, tidak mau berdoa kepada-Nya, إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ “Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku, akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS. Al-Mu’min: 60) Oleh karena itu, kita yang saat ini sedang susah, atau usaha kita yang sedang berat, atau kita kehilangan pekerjaan, hendaknya kita memperbanyak doa, sebagaimana kita memperbanyak usaha untuk keluar dari musibah dan masalah yang sedang kita hadapi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita sebuah doa, yang hendaknya dibaca oleh orang yang sedang susah atau sedang ditimpa musibah, اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو، فَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ “ALLAHUMMA RAHMATAKA ARJUU, FALAA TAKILNII ILA NAFSII THARFATHA ‘AININ, WA ASHLIH LII SYA’NII KULLAHU, LAA ILAAHA ILLA ANTA.” (Artinya: Ya Allah, aku hanya memohon rahmat-Mu, maka jangan Engkau biarkan aku bertumpu kepada diriku sendiri walaupun sekejap mata, perbaikilah urusanku semuanya, dan tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Engkau.) (HR. Abu Dawud no. 5090, dinilai hasan oleh Al-Albani) Namun, doa tidak akan memiliki peran yang besar, kalau hanya dibaca di lisan saja, tanpa merenungi dan memahami maknanya. Bukankah Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan, وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ “Ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479, dinilai hasan oleh Al-Albani) Begitu juga dengan doa ini. Bagaimana mungkin Allah akan kabulkan kalau kita sendiri tidak memahami makna doa yang kita panjatkan? “Ya Allah, aku hanya memohon rahmat-Mu”, di sini kita hanya memohon rahmat dan pertolongan dari Allah Ta’ala, kita tidak berharap kepada siapapun dari makhluk-Nya. Hati kita tidak berharap kepada iba dan belas kasihan manusia. Tidak berharap kepada uluran tangan orang. Sesulit apapun, seberat apapun, yang diharapkan hanyalah rahmat Allah Ta’ala. Kita tetap berusaha, namun hati kita tidak boleh bergantung kepada usaha yang kita lakukan. “Maka jangan Engkau biarkan aku bertumpu kepada diriku sendiri walaupun sekejap mata”, karena diri ini harus bertumpu dan bergantung kepada Allah. Karena tawakal adalah kunci dari solusi dan jalan keluar. Allah Ta’ala berfirman, وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3) وَعَلَى اللّهِ فَتَوَكَّلُواْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Al-Maidah: 23) Dalam ayat tersebut, Allah tegaskan bahwa kriteria mutlak orang yang beriman adalah bertawakal hanya kepada Allah. Dan ketahuilah bahwa perubahan kondisi kita saat ini, merupakan ujian bagi orang-orang yang beriman. Yang selama ini bisnisnya lancar, kemudian Allah buat seret. Ketika selama ini grafik penjualan konsisten naik, tiba-tiba ambruk. Usaha harus tutup. Untuk apa itu semua? Karena Allah ingin buktikan, siapa di antara hamba-Nya yang benar-benar beriman kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَتِلْكَ الأيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللّهُ الَّذِينَ آمَنُواْ وَيَتَّخِذَ مِنكُمْ شُهَدَاء وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ الظَّالِمِينَ “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran). Dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir), supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Ali Imran: 140) Oleh karena itu, jangan sekali-kali kita mengatakan, “Kita pasti bisa menghadapi semua ini”, dalam kondisi hati kita bergantung kepada diri kita sendiri. Namun yang benar, kita pasti bisa jika Allah tolong dan Allah bantu kita untuk keluar dari masalah yang kita hadapi. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَداً إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu, “Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi”, kecuali (dengan menyebut), “Insya Allah” (jika Allah menghendaki).” (QS. Al-Kahfi: 23-24) “Perbaikilah urusanku semuanya”, kalimat ini menunjukkan betapa butuhnya seseorang kepada Allah Ta’ala. Bahwa dia benar-benar membutuhkan Rabbnya, walaupun dalam durasi sesingkat apapun. Dan yang bisa memperbaiki urusan kita hanyalah Allah Ta’ala. Allah-lah yang telah membuat kita tetap hidup walaupun kita tidak punya uang. Hanya Allah yang bisa mengubah kondisi ini. Dan itu harus kita ucapkan dengan penuh keyakinan. “Laa ilaaha illa anta”, kita pun tutup doa ini dengan kalimat tauhid. Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah. Kita pun evaluasi iman kita kepada Allah. Sudahkah kita hanya beribadah kepada Allah? Sudahkah selama ini kita mencintai Allah dengan penuh kehinaan dan ketundukan? Demikian, semoga bermanfaat. Baca juga: Benarkah Pahala Itu Sebanding dengan Tingkat Kesulitan Sebuah Amal? *** @11 Dzulhijan 1445/ 18 Juni 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Diketik ulang dari ceramah Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri hafizhahullah di link berikut: https://www.youtube.com/watch?v=Im86JKXj0ZQ Tags: kesulitan


Di antara tujuan besar ketika Allah menakdirkan kesulitan dan kesusahan adalah agar kita kembali kepada Allah Ta’ala, agar kita merintih, merengek, dan bersimpuh di hadapan Allah Ta’ala. Hal ini sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan dalam surah Al-An’am ayat 42, وَلَقَدْ أَرْسَلنَا إِلَى أُمَمٍ مِّن قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاء وَالضَّرَّاء لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan (kesulitan) dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri.” Dalam ayat tersebut, Allah jelaskan bahwa tujuan Allah menimpakan kesulitan kepada seorang hamba adalah agar hamba tersebut merendahkan diri di hadapan Allah, agar mereka memperbanyak sujud dan rukuk, agar mereka memanjatkan doa memohon ampun kepada Allah. Juga agar lisan seorang hamba mengucapkan, “Ya Allah, tolonglah aku; Ya Allah, tolonglah aku.” Karena dia tahu bahwa tidak ada penolong dari musibah yang saat ini menimpanya kecuali dengan kembali menuju kepada Allah Ta’ala. Mereka yakin bahwa tidak ada jalan keluar, tidak ada secercah harapan, kecuali hanya dengan kembali kepada Allah. وَظَنُّواْ أَن لاَّ مَلْجَأَ مِنَ اللّهِ إِلاَّ إِلَيْهِ “Serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja.” (QS. At-Taubah: 118) Oleh karena itu, kita harus memperbanyak doa di hari-hari itu, hari ketika kita merasa hidup terasa sempit, hari ketika musibah dan kesulitan datang silih berganti. Karena inilah yang membuat Allah Ta’ala mengangkat segala kepiluan yang ada. Jangan sampai justru kita berkeluh kesah kepada manusia, dan kita turunkan marwah kita sebagai seorang hamba Allah Ta’ala. Yang harus kita lakukan adalah bergantung hanya kepada Allah Ta’ala saja. Dan simbol hati kita telah bergantung kepada Allah Ta’ala saja adalah meminta kepada Allah, Rabbul ‘alamin. Allah telah menjanjikan, وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ “Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” Dan Allah marah dan ancam kita di ayat yang sama kalau kita enggan dan sombong, tidak mau berdoa kepada-Nya, إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ “Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku, akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS. Al-Mu’min: 60) Oleh karena itu, kita yang saat ini sedang susah, atau usaha kita yang sedang berat, atau kita kehilangan pekerjaan, hendaknya kita memperbanyak doa, sebagaimana kita memperbanyak usaha untuk keluar dari musibah dan masalah yang sedang kita hadapi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita sebuah doa, yang hendaknya dibaca oleh orang yang sedang susah atau sedang ditimpa musibah, اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو، فَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ “ALLAHUMMA RAHMATAKA ARJUU, FALAA TAKILNII ILA NAFSII THARFATHA ‘AININ, WA ASHLIH LII SYA’NII KULLAHU, LAA ILAAHA ILLA ANTA.” (Artinya: Ya Allah, aku hanya memohon rahmat-Mu, maka jangan Engkau biarkan aku bertumpu kepada diriku sendiri walaupun sekejap mata, perbaikilah urusanku semuanya, dan tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Engkau.) (HR. Abu Dawud no. 5090, dinilai hasan oleh Al-Albani) Namun, doa tidak akan memiliki peran yang besar, kalau hanya dibaca di lisan saja, tanpa merenungi dan memahami maknanya. Bukankah Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan, وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ “Ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479, dinilai hasan oleh Al-Albani) Begitu juga dengan doa ini. Bagaimana mungkin Allah akan kabulkan kalau kita sendiri tidak memahami makna doa yang kita panjatkan? “Ya Allah, aku hanya memohon rahmat-Mu”, di sini kita hanya memohon rahmat dan pertolongan dari Allah Ta’ala, kita tidak berharap kepada siapapun dari makhluk-Nya. Hati kita tidak berharap kepada iba dan belas kasihan manusia. Tidak berharap kepada uluran tangan orang. Sesulit apapun, seberat apapun, yang diharapkan hanyalah rahmat Allah Ta’ala. Kita tetap berusaha, namun hati kita tidak boleh bergantung kepada usaha yang kita lakukan. “Maka jangan Engkau biarkan aku bertumpu kepada diriku sendiri walaupun sekejap mata”, karena diri ini harus bertumpu dan bergantung kepada Allah. Karena tawakal adalah kunci dari solusi dan jalan keluar. Allah Ta’ala berfirman, وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3) وَعَلَى اللّهِ فَتَوَكَّلُواْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Al-Maidah: 23) Dalam ayat tersebut, Allah tegaskan bahwa kriteria mutlak orang yang beriman adalah bertawakal hanya kepada Allah. Dan ketahuilah bahwa perubahan kondisi kita saat ini, merupakan ujian bagi orang-orang yang beriman. Yang selama ini bisnisnya lancar, kemudian Allah buat seret. Ketika selama ini grafik penjualan konsisten naik, tiba-tiba ambruk. Usaha harus tutup. Untuk apa itu semua? Karena Allah ingin buktikan, siapa di antara hamba-Nya yang benar-benar beriman kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَتِلْكَ الأيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللّهُ الَّذِينَ آمَنُواْ وَيَتَّخِذَ مِنكُمْ شُهَدَاء وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ الظَّالِمِينَ “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran). Dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir), supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Ali Imran: 140) Oleh karena itu, jangan sekali-kali kita mengatakan, “Kita pasti bisa menghadapi semua ini”, dalam kondisi hati kita bergantung kepada diri kita sendiri. Namun yang benar, kita pasti bisa jika Allah tolong dan Allah bantu kita untuk keluar dari masalah yang kita hadapi. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَداً إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu, “Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi”, kecuali (dengan menyebut), “Insya Allah” (jika Allah menghendaki).” (QS. Al-Kahfi: 23-24) “Perbaikilah urusanku semuanya”, kalimat ini menunjukkan betapa butuhnya seseorang kepada Allah Ta’ala. Bahwa dia benar-benar membutuhkan Rabbnya, walaupun dalam durasi sesingkat apapun. Dan yang bisa memperbaiki urusan kita hanyalah Allah Ta’ala. Allah-lah yang telah membuat kita tetap hidup walaupun kita tidak punya uang. Hanya Allah yang bisa mengubah kondisi ini. Dan itu harus kita ucapkan dengan penuh keyakinan. “Laa ilaaha illa anta”, kita pun tutup doa ini dengan kalimat tauhid. Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah. Kita pun evaluasi iman kita kepada Allah. Sudahkah kita hanya beribadah kepada Allah? Sudahkah selama ini kita mencintai Allah dengan penuh kehinaan dan ketundukan? Demikian, semoga bermanfaat. Baca juga: Benarkah Pahala Itu Sebanding dengan Tingkat Kesulitan Sebuah Amal? *** @11 Dzulhijan 1445/ 18 Juni 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Diketik ulang dari ceramah Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri hafizhahullah di link berikut: https://www.youtube.com/watch?v=Im86JKXj0ZQ Tags: kesulitan

Beberapa Faedah Seputar Jin 

Pertanyaan: Ustadz, sebenarnya makhluk yang disebut jin itu bagaimana?  Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, 1. Jin Terkena Beban Syariat Jin adalah salah satu makhluk Allah yang terkena beban syariat sebagaimana kita. Allah ta’ala berfirman: وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Ad-Dzariyat: 56). Sehingga para jin wajib menjalankan perintah agama, menjauhkan diri dari larangan agama, mereka wajib beribadah, dan terkena hukum halal dan haram. Jika mereka beramal saleh, maka akan mendapatkan pahala dan masuk surga. Jika mereka beramal keburukan, maka akan mendapatkan dosa dan masuk neraka.  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ” فهم مأمورون بالأصول والفروع بحسبهم ، فإنهم ليسوا مماثلين الإنس في الحد والحقيقة ، فلا يكون ما أمروا به ونهوا عنه مساوياً لما على الإنس في الحد ، لكنهم مشاركون الإنس في جنس التكليف ، بالأمر والنهي ، والتحليل والتحريم ، وهذا ما لم أعلم فيه نزاعا بين المسلمين ” انتهى . “Mereka para jin diperintahkan untuk menjalani ushul (akidah) dan furu’ (fikih) yang sesuai dengan mereka. Karena sifat mereka tidak serupa dengan manusia dalam batasan kemampuan dan hakekatnya. Sehingga apa yang diperintahkan kepada mereka tidak sama dengan apa yang diperintahkan kepada manusia dalam batasannya. Namun mereka sama seperti manusia dalam jenis pembebanan syariat. Mereka terkena perintah dan larangan serta halal-haram. Ini perkara yang tidak ada perselisihan di antara ulama” (Majmu’ Al-Fatawa, 4/233). 2. Perbedaan Setan dan Jin Sebagian ulama mengatakan bahwa setan adalah satu golongan dari jin. Jin ada yang saleh dan ada yang sesat. Jin yang sesat itulah setan. Syaikh Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar rahimahullah menjelaskan: هذه مسألة ليس فيها نص، فآدم أبو البشر كما هو منصوص عليه، أما أن الشيطان أصل الجن أو هو واحد من الجن ولهم أصل غيره فالله أعلم، وقول الله {إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ} [الكهف:٥٠] هذه الآية محتملة أن يكون واحداً من الجن أو أن يكون أصلهم، وابن تيمية يرى أنه أصل الجن كما أن آدم أصل البشر “Dalam masalah ini tidak ada nash yang tegas. Nabi Adam adalah bapak moyangnya manusia sebagaimana ditegaskan oleh nash. Adapun apakah setan itu bapak moyang jin ataukah setan itu salah satu golongan jin, dan setan punya bapak moyang tersendiri, wallahu a’lam. Adapun firman Allah ta’ala (yang artinya) “… kecuali iblis, dahulu ia bagian dari jin” (QS. Al-Kahfi: 50), ayat ini bisa bermakna setan itu satu golongan dari jin dan bisa juga bermakna setan itu bapak moyang jin. Sedangkan Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa setan adalah bapak moyang jin sebagaimana Adam adalah bapak moyang manusia” (Durus Syaikh Umar Al-Asyqar, 2/15). 3. Jin Ada yang Saleh, Ada yang Sesat Sebagaimana manusia, jin juga ada yang saleh dan ada yang sesat. Allah ‘azza wa jalla berfirman tentang jin: وَأَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُونَ وَمِنَّا الْقَاسِطُونَ فَمَنْ أَسْلَمَ فَأُولَئِكَ تَحَرَّوْا رَشَدًا .  وَأَمَّا الْقَاسِطُونَ فَكَانُوا لِجَهَنَّمَ حَطَبًا “Jin berkata: Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barang siapa yang yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus. Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam.” (QS. Jin: 14-15) Bahkan yang saleh di antara mereka berbeda-beda tingkat kesalehan dan ketaatannya. Allah ta’ala berfirman di surat yang sama: وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُونَ وَمِنَّا دُونَ ذَلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا “Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang bermacam-macam.” (QS. Jin: 11) Di kalangan jin juga terdapat firqah-firqah menyimpang. Al-A’masy (wafat 148H) rahimahullah berkata: تروح إلينا جني-أي: جاء يزورني -فقلت لهم: ما أحب الطعام إليكم؟ قال: الأرز، قال: فأتيناهم به فجعلت أرى اللقم ترفع ولا أرى أحداً، فقلت: فيكم من هذه الأهواء التي فينا، أي: هل عندكم من هذه الفرق المختلفة مثل الرافضة والخوارج وما أشبه ذلك؟ قال: نعم، قلت: فما الرافضة فيكم؟ قالوا: شر “Datang ke rumahku sekelompok jin. Maka aku bertanya kepada mereka: makanan apa yang paling kalian sukai. Mereka menjawab: nasi. Maka aku pun menghidangkan nasi kepada mereka. Lalu aku pun melihat suapan nasi melayang dan aku tidak melihat sosok siapapun. Kemudian aku bertanya: apakah di antara kalian ada ahlul ahwa‘ (ahlul bid’ah) sebagaimana yang ada pada kami (manusia)? Maksudnya, apakah di antara kalian ada kelompok semisal Rafidhah, Khawarij dan semisalnya? Mereka berkata: Iya, ada. Aku bertanya lagi: Bagaimana Rafidhah di tengah kalian? Mereka berkata: Mereka (Rafidhah) adalah yang terburuk” (Durus Syaikh Umar Al-Asyqar, 2/13). 4. Jin Tidak Terlihat oleh Manusia Jin berada di alam gaib yang tidak terlihat oleh manusia. Allah ta’ala berfirman: اِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ “Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka” (QS. Al-A’raf: 27). Sehingga manusia tidak boleh mengaku bisa melihat jin secara terus-menerus. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: عَنِ الرَّبِيعِ: سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ يَقُولُ: مَنْ زَعَمَ أَنَّهُ يَرَى الْجِنَّ أَبْطَلْنَا شَهَادَتُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ نَبِيًّا “Dari ar Rabi’ ia berkata: aku mendengar Asy-Syafi’i pernah berkata: orang yang mengaku bisa melihat jin, maka kami menganggap batal persaksiannya kecuali kalau dia seorang Nabi” (Dinukil dari Tafsir Al-Manar, 7/438). Maksudnya, orang yang mengaku melihat jin, menurut Imam Asy-Syafi’i dia adalah pendusta berat. Namun terkadang manusia bisa melihat jin jika jin menampakkan dirinya. Syaikh Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar mengatakan: فالجن لا نراهم ولكن هناك بعض الأحياء يرون الجن كما قال الرسول صلى الله عليه وسلم: (إذا سمعتم نباح الكلاب ونهيق الحمير بالليل فتعوذوا بالله من الشيطان، فإنهم يرون ما لا ترون)  “Maka jin itu tidak bisa kita lihat. Namun dalam beberapa keadaan, terkadang manusia bisa melihat jin. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam: “Jika kalian mendengar lolongan anjing dan ringkikan keledai di malam hari, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari setan. Karena mereka telah melihat apa yang kalian tidak lihat”” (Durus Syaikh Umar Al-Asyqar, 2/13). 5. Ada Tiga Golongan Jin Dalam hadis dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: الجن ثلاثة أصناف : صنف لهم أجنحة يطيرون في الهواء وصنف حيات وكلاب وصنف يحلون ويظعنون “Jin ada tiga golongan; satu golongan mempunyai sayap dan terbang di udara. Ada golongan lain berupa ular dan anjing. Dan ada golongan yang menempati suatu tempat dan sering berpindah-pindah.” (HR. Ath-Thahawi dalam Musykilatul Atsar, 4/95, dishahihkan Al-Albani dalam Tahqiq Misykatul Mashabih, 2/1206). 6. Tempat Tinggal Jin Syaikh Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar rahimahullah menjelaskan: الجن يسكنون هذه الأرض التي نعيش فوقها ويكثر تواجدهم في الخراب و الفلوات ومواقع النجاسات كالحمامات والحشوش والمزابل والمقابر “Jin tinggal di bumi yang sama yang kita tinggali ini. Dan mereka banyak berkumpul di bangunan-bangunan rusak, tempat-tempat yang lapang dan sepi, tempat-tempat yang banyak najis seperti toilet, kamar mandi, saluran air, dan kuburan” (Al-Madkhal ila Dirasatil Aqidah Al-Islamiyah, 209) 7. Jin Bisa Diperangi Dari Tsabit (bin Aslam) dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah, ia berkata: كَانَ عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ يَقُولُ: قَدْ قَاتَلْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ. فَقِيلَ: هَذَا الْإِنْسُ قَدْ قَاتَلْتَ. فَكَيْفَ قَاتَلْتَ الْجِنَّ قَالَ: بَعَثَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسلم إِلَى بِئْرٍ أَسْتَقِي مِنْهَا، فَلَقِيتُ الشَّيْطَانَ فِي صُورَتِهِ، حَتَّى قَاتَلَنِي فَصَرَعْتُهُ، ثُمَّ جَعَلْتُ أُدْمِي أَنْفَهُ بِفِهْرٍ مَعِي، أَوْ حَجَرٍ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ عَمَّارًا لَقِيَ الشَّيْطَانَ عِنْدَ بِئْرٍ فَقَاتَلَهُ، فَلَمَّا رَجَعْتُ سَأَلَنِي، فَأَخْبَرْتُهُ بِالْأَمْرِ. فَقَالَ: ذَاكَ شَيْطَانٌ “Ammar bin Yasir berkata: aku pernah memerangi jin dan manusia bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Lalu ada yang bertanya: jika engkau pernah memerangi manusia (dalam peperangan) itu wajar, namun bagaimana maksudnya engkau memerangi jin? Ammar mengatakan: suatu hari aku diutus oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk pergi ke sumur mengambil persediaan air minum darinya. Lalu aku melihat setan dalam bentuknya. Lalu setan itu menyerangku dan aku pun bergulat dengannya. Lalu aku lempar hidungnya dengan batu yang aku pegang. Di saat bersamaan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda bahwa Ammar bertemu setan di sumur dan membunuhnya. Ketika aku kembali, Rasulullah bertanya kepadaku, kemudian aku kabarkan semua itu kepada Rasulullah, dan beliau bersabda: itu adalah setan”. (HR. Al-Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwwah [7/124] dengan sanad yang shahih). 8. Tidak Ada Makhluk yang Bisa Menundukkan Jin setelah Nabi Sulaiman Setelah Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, tidak ada makhluk yang bisa menundukkan bangsa jin. Yang ada adalah mereka bekerja sama dengan jin. Jin membantu manusia, dan manusia memberikan timbal-balik kepada jin.  Allah ta’ala berfirman: قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَهَبْ لِيْ مُلْكًا لَّا يَنْۢبَغِيْ لِاَحَدٍ مِّنْۢ بَعْدِيْۚ اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ فَسَخَّرْنَا لَهُ الرِّيْحَ تَجْرِيْ بِاَمْرِهٖ رُخَاۤءً حَيْثُ اَصَابَۙ وَالشَّيٰطِيْنَ كُلَّ بَنَّاۤءٍ وَّغَوَّاصٍۙ وَّاٰخَرِيْنَ مُقَرَّنِيْنَ فِى الْاَصْفَادِ “Sulaiman berkata, “Wahai Rabb-ku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak patut (dimiliki) oleh seorang pun sesudahku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi”. Maka, Kami menundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut perintahnya ke mana saja yang ia kehendaki. (Kami menundukkan pula kepadanya) setan-setan, semuanya ahli membangun bangunan dan penyelam. (Begitu juga setan-setan) lain yang terikat dalam belenggu” (QS. Shad : 35-38). Dari Abud Darda’ radhiallahu’anhu, ia berkata: قَامَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ فَسَمِعْنَاهُ يقولُ: أعُوذُ باللَّهِ مِنْكَ، ثُمَّ قالَ ألْعَنُكَ بلَعْنَةِ اللهِ ثَلَاثًا، وبَسَطَ يَدَهُ كَأنَّهُ يَتَنَاوَلُ شيئًا، فَلَمَّا فَرَغَ مِنَ الصَّلَاةِ قُلْنَا: يا رَسولَ اللهِ، قدْ سَمِعْنَاكَ تَقُولُ في الصَّلَاةِ شيئًا لَمْ نَسْمَعْكَ تَقُولُهُ قَبْلَ ذلكَ، ورَأَيْنَاكَ بَسَطْتَ يَدَكَ، قالَ: إنَّ عَدُوَّ اللهِ إبْلِيسَ، جَاءَ بشِهَابٍ مِن نَارٍ لِيَجْعَلَهُ في وجْهِي، فَقُلتُ: أعُوذُ باللَّهِ مِنْكَ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ قُلتُ: ألْعَنُكَ بلَعْنَةِ اللهِ التَّامَّةِ، فَلَمْ يَسْتَأْخِرْ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ أرَدْتُ أخْذَهُ، واللَّهِ لَوْلَا دَعْوَةُ أخِينَا سُلَيْمَانَ لأَصْبَحَ مُوثَقًا يَلْعَبُ به وِلْدَانُ أهْلِ المَدِينَةِ “Suatu hari ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam shalat, tiba-tiba kami mendengar Rasulullah mengatakan: “Aku berlindung kepada Allah darimu!”. Kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga berkata: “Allah telah melaknatmu!” sebanyak tiga kali. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lalu menghamparkan tangannya seolah-olah beliau sedang menerima sesuatu. Ketika beliau selesai shalat, kami bertanya: “Wahai Rasulullah, kami mendengar engkau mengatakan sesuatu yang belum pernah kami dengar sebelumnya. Kami juga melihat engkau membukakan kedua tanganmu”. Rasulullah menjawab: “Barusan Iblis, musuh Allah, datang membawa anak panah api untuk ditancapkan di mukaku, lalu aku berkata: “Aku berlindung kepada Allah darimu” sebanyak tiga kali. Kemudian aku juga berkata: “Allah telah melaknatmu dengan laknat yang sempurna” sebanyak tiga kali, namun setan itu tidak juga mundur. Kemudian aku bermaksud untuk menangkapnya. Seandainya aku tidak ingat doa saudara kami, Nabi Sulaiman, tentu aku akan mengikatnya sehingga menjadi mainan anak-anak penduduk Madinah” (HR. Muslim no.542). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 356 times, 4 visit(s) today Post Views: 1,138 QRIS donasi Yufid

Beberapa Faedah Seputar Jin 

Pertanyaan: Ustadz, sebenarnya makhluk yang disebut jin itu bagaimana?  Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, 1. Jin Terkena Beban Syariat Jin adalah salah satu makhluk Allah yang terkena beban syariat sebagaimana kita. Allah ta’ala berfirman: وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Ad-Dzariyat: 56). Sehingga para jin wajib menjalankan perintah agama, menjauhkan diri dari larangan agama, mereka wajib beribadah, dan terkena hukum halal dan haram. Jika mereka beramal saleh, maka akan mendapatkan pahala dan masuk surga. Jika mereka beramal keburukan, maka akan mendapatkan dosa dan masuk neraka.  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ” فهم مأمورون بالأصول والفروع بحسبهم ، فإنهم ليسوا مماثلين الإنس في الحد والحقيقة ، فلا يكون ما أمروا به ونهوا عنه مساوياً لما على الإنس في الحد ، لكنهم مشاركون الإنس في جنس التكليف ، بالأمر والنهي ، والتحليل والتحريم ، وهذا ما لم أعلم فيه نزاعا بين المسلمين ” انتهى . “Mereka para jin diperintahkan untuk menjalani ushul (akidah) dan furu’ (fikih) yang sesuai dengan mereka. Karena sifat mereka tidak serupa dengan manusia dalam batasan kemampuan dan hakekatnya. Sehingga apa yang diperintahkan kepada mereka tidak sama dengan apa yang diperintahkan kepada manusia dalam batasannya. Namun mereka sama seperti manusia dalam jenis pembebanan syariat. Mereka terkena perintah dan larangan serta halal-haram. Ini perkara yang tidak ada perselisihan di antara ulama” (Majmu’ Al-Fatawa, 4/233). 2. Perbedaan Setan dan Jin Sebagian ulama mengatakan bahwa setan adalah satu golongan dari jin. Jin ada yang saleh dan ada yang sesat. Jin yang sesat itulah setan. Syaikh Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar rahimahullah menjelaskan: هذه مسألة ليس فيها نص، فآدم أبو البشر كما هو منصوص عليه، أما أن الشيطان أصل الجن أو هو واحد من الجن ولهم أصل غيره فالله أعلم، وقول الله {إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ} [الكهف:٥٠] هذه الآية محتملة أن يكون واحداً من الجن أو أن يكون أصلهم، وابن تيمية يرى أنه أصل الجن كما أن آدم أصل البشر “Dalam masalah ini tidak ada nash yang tegas. Nabi Adam adalah bapak moyangnya manusia sebagaimana ditegaskan oleh nash. Adapun apakah setan itu bapak moyang jin ataukah setan itu salah satu golongan jin, dan setan punya bapak moyang tersendiri, wallahu a’lam. Adapun firman Allah ta’ala (yang artinya) “… kecuali iblis, dahulu ia bagian dari jin” (QS. Al-Kahfi: 50), ayat ini bisa bermakna setan itu satu golongan dari jin dan bisa juga bermakna setan itu bapak moyang jin. Sedangkan Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa setan adalah bapak moyang jin sebagaimana Adam adalah bapak moyang manusia” (Durus Syaikh Umar Al-Asyqar, 2/15). 3. Jin Ada yang Saleh, Ada yang Sesat Sebagaimana manusia, jin juga ada yang saleh dan ada yang sesat. Allah ‘azza wa jalla berfirman tentang jin: وَأَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُونَ وَمِنَّا الْقَاسِطُونَ فَمَنْ أَسْلَمَ فَأُولَئِكَ تَحَرَّوْا رَشَدًا .  وَأَمَّا الْقَاسِطُونَ فَكَانُوا لِجَهَنَّمَ حَطَبًا “Jin berkata: Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barang siapa yang yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus. Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam.” (QS. Jin: 14-15) Bahkan yang saleh di antara mereka berbeda-beda tingkat kesalehan dan ketaatannya. Allah ta’ala berfirman di surat yang sama: وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُونَ وَمِنَّا دُونَ ذَلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا “Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang bermacam-macam.” (QS. Jin: 11) Di kalangan jin juga terdapat firqah-firqah menyimpang. Al-A’masy (wafat 148H) rahimahullah berkata: تروح إلينا جني-أي: جاء يزورني -فقلت لهم: ما أحب الطعام إليكم؟ قال: الأرز، قال: فأتيناهم به فجعلت أرى اللقم ترفع ولا أرى أحداً، فقلت: فيكم من هذه الأهواء التي فينا، أي: هل عندكم من هذه الفرق المختلفة مثل الرافضة والخوارج وما أشبه ذلك؟ قال: نعم، قلت: فما الرافضة فيكم؟ قالوا: شر “Datang ke rumahku sekelompok jin. Maka aku bertanya kepada mereka: makanan apa yang paling kalian sukai. Mereka menjawab: nasi. Maka aku pun menghidangkan nasi kepada mereka. Lalu aku pun melihat suapan nasi melayang dan aku tidak melihat sosok siapapun. Kemudian aku bertanya: apakah di antara kalian ada ahlul ahwa‘ (ahlul bid’ah) sebagaimana yang ada pada kami (manusia)? Maksudnya, apakah di antara kalian ada kelompok semisal Rafidhah, Khawarij dan semisalnya? Mereka berkata: Iya, ada. Aku bertanya lagi: Bagaimana Rafidhah di tengah kalian? Mereka berkata: Mereka (Rafidhah) adalah yang terburuk” (Durus Syaikh Umar Al-Asyqar, 2/13). 4. Jin Tidak Terlihat oleh Manusia Jin berada di alam gaib yang tidak terlihat oleh manusia. Allah ta’ala berfirman: اِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ “Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka” (QS. Al-A’raf: 27). Sehingga manusia tidak boleh mengaku bisa melihat jin secara terus-menerus. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: عَنِ الرَّبِيعِ: سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ يَقُولُ: مَنْ زَعَمَ أَنَّهُ يَرَى الْجِنَّ أَبْطَلْنَا شَهَادَتُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ نَبِيًّا “Dari ar Rabi’ ia berkata: aku mendengar Asy-Syafi’i pernah berkata: orang yang mengaku bisa melihat jin, maka kami menganggap batal persaksiannya kecuali kalau dia seorang Nabi” (Dinukil dari Tafsir Al-Manar, 7/438). Maksudnya, orang yang mengaku melihat jin, menurut Imam Asy-Syafi’i dia adalah pendusta berat. Namun terkadang manusia bisa melihat jin jika jin menampakkan dirinya. Syaikh Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar mengatakan: فالجن لا نراهم ولكن هناك بعض الأحياء يرون الجن كما قال الرسول صلى الله عليه وسلم: (إذا سمعتم نباح الكلاب ونهيق الحمير بالليل فتعوذوا بالله من الشيطان، فإنهم يرون ما لا ترون)  “Maka jin itu tidak bisa kita lihat. Namun dalam beberapa keadaan, terkadang manusia bisa melihat jin. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam: “Jika kalian mendengar lolongan anjing dan ringkikan keledai di malam hari, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari setan. Karena mereka telah melihat apa yang kalian tidak lihat”” (Durus Syaikh Umar Al-Asyqar, 2/13). 5. Ada Tiga Golongan Jin Dalam hadis dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: الجن ثلاثة أصناف : صنف لهم أجنحة يطيرون في الهواء وصنف حيات وكلاب وصنف يحلون ويظعنون “Jin ada tiga golongan; satu golongan mempunyai sayap dan terbang di udara. Ada golongan lain berupa ular dan anjing. Dan ada golongan yang menempati suatu tempat dan sering berpindah-pindah.” (HR. Ath-Thahawi dalam Musykilatul Atsar, 4/95, dishahihkan Al-Albani dalam Tahqiq Misykatul Mashabih, 2/1206). 6. Tempat Tinggal Jin Syaikh Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar rahimahullah menjelaskan: الجن يسكنون هذه الأرض التي نعيش فوقها ويكثر تواجدهم في الخراب و الفلوات ومواقع النجاسات كالحمامات والحشوش والمزابل والمقابر “Jin tinggal di bumi yang sama yang kita tinggali ini. Dan mereka banyak berkumpul di bangunan-bangunan rusak, tempat-tempat yang lapang dan sepi, tempat-tempat yang banyak najis seperti toilet, kamar mandi, saluran air, dan kuburan” (Al-Madkhal ila Dirasatil Aqidah Al-Islamiyah, 209) 7. Jin Bisa Diperangi Dari Tsabit (bin Aslam) dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah, ia berkata: كَانَ عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ يَقُولُ: قَدْ قَاتَلْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ. فَقِيلَ: هَذَا الْإِنْسُ قَدْ قَاتَلْتَ. فَكَيْفَ قَاتَلْتَ الْجِنَّ قَالَ: بَعَثَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسلم إِلَى بِئْرٍ أَسْتَقِي مِنْهَا، فَلَقِيتُ الشَّيْطَانَ فِي صُورَتِهِ، حَتَّى قَاتَلَنِي فَصَرَعْتُهُ، ثُمَّ جَعَلْتُ أُدْمِي أَنْفَهُ بِفِهْرٍ مَعِي، أَوْ حَجَرٍ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ عَمَّارًا لَقِيَ الشَّيْطَانَ عِنْدَ بِئْرٍ فَقَاتَلَهُ، فَلَمَّا رَجَعْتُ سَأَلَنِي، فَأَخْبَرْتُهُ بِالْأَمْرِ. فَقَالَ: ذَاكَ شَيْطَانٌ “Ammar bin Yasir berkata: aku pernah memerangi jin dan manusia bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Lalu ada yang bertanya: jika engkau pernah memerangi manusia (dalam peperangan) itu wajar, namun bagaimana maksudnya engkau memerangi jin? Ammar mengatakan: suatu hari aku diutus oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk pergi ke sumur mengambil persediaan air minum darinya. Lalu aku melihat setan dalam bentuknya. Lalu setan itu menyerangku dan aku pun bergulat dengannya. Lalu aku lempar hidungnya dengan batu yang aku pegang. Di saat bersamaan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda bahwa Ammar bertemu setan di sumur dan membunuhnya. Ketika aku kembali, Rasulullah bertanya kepadaku, kemudian aku kabarkan semua itu kepada Rasulullah, dan beliau bersabda: itu adalah setan”. (HR. Al-Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwwah [7/124] dengan sanad yang shahih). 8. Tidak Ada Makhluk yang Bisa Menundukkan Jin setelah Nabi Sulaiman Setelah Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, tidak ada makhluk yang bisa menundukkan bangsa jin. Yang ada adalah mereka bekerja sama dengan jin. Jin membantu manusia, dan manusia memberikan timbal-balik kepada jin.  Allah ta’ala berfirman: قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَهَبْ لِيْ مُلْكًا لَّا يَنْۢبَغِيْ لِاَحَدٍ مِّنْۢ بَعْدِيْۚ اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ فَسَخَّرْنَا لَهُ الرِّيْحَ تَجْرِيْ بِاَمْرِهٖ رُخَاۤءً حَيْثُ اَصَابَۙ وَالشَّيٰطِيْنَ كُلَّ بَنَّاۤءٍ وَّغَوَّاصٍۙ وَّاٰخَرِيْنَ مُقَرَّنِيْنَ فِى الْاَصْفَادِ “Sulaiman berkata, “Wahai Rabb-ku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak patut (dimiliki) oleh seorang pun sesudahku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi”. Maka, Kami menundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut perintahnya ke mana saja yang ia kehendaki. (Kami menundukkan pula kepadanya) setan-setan, semuanya ahli membangun bangunan dan penyelam. (Begitu juga setan-setan) lain yang terikat dalam belenggu” (QS. Shad : 35-38). Dari Abud Darda’ radhiallahu’anhu, ia berkata: قَامَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ فَسَمِعْنَاهُ يقولُ: أعُوذُ باللَّهِ مِنْكَ، ثُمَّ قالَ ألْعَنُكَ بلَعْنَةِ اللهِ ثَلَاثًا، وبَسَطَ يَدَهُ كَأنَّهُ يَتَنَاوَلُ شيئًا، فَلَمَّا فَرَغَ مِنَ الصَّلَاةِ قُلْنَا: يا رَسولَ اللهِ، قدْ سَمِعْنَاكَ تَقُولُ في الصَّلَاةِ شيئًا لَمْ نَسْمَعْكَ تَقُولُهُ قَبْلَ ذلكَ، ورَأَيْنَاكَ بَسَطْتَ يَدَكَ، قالَ: إنَّ عَدُوَّ اللهِ إبْلِيسَ، جَاءَ بشِهَابٍ مِن نَارٍ لِيَجْعَلَهُ في وجْهِي، فَقُلتُ: أعُوذُ باللَّهِ مِنْكَ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ قُلتُ: ألْعَنُكَ بلَعْنَةِ اللهِ التَّامَّةِ، فَلَمْ يَسْتَأْخِرْ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ أرَدْتُ أخْذَهُ، واللَّهِ لَوْلَا دَعْوَةُ أخِينَا سُلَيْمَانَ لأَصْبَحَ مُوثَقًا يَلْعَبُ به وِلْدَانُ أهْلِ المَدِينَةِ “Suatu hari ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam shalat, tiba-tiba kami mendengar Rasulullah mengatakan: “Aku berlindung kepada Allah darimu!”. Kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga berkata: “Allah telah melaknatmu!” sebanyak tiga kali. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lalu menghamparkan tangannya seolah-olah beliau sedang menerima sesuatu. Ketika beliau selesai shalat, kami bertanya: “Wahai Rasulullah, kami mendengar engkau mengatakan sesuatu yang belum pernah kami dengar sebelumnya. Kami juga melihat engkau membukakan kedua tanganmu”. Rasulullah menjawab: “Barusan Iblis, musuh Allah, datang membawa anak panah api untuk ditancapkan di mukaku, lalu aku berkata: “Aku berlindung kepada Allah darimu” sebanyak tiga kali. Kemudian aku juga berkata: “Allah telah melaknatmu dengan laknat yang sempurna” sebanyak tiga kali, namun setan itu tidak juga mundur. Kemudian aku bermaksud untuk menangkapnya. Seandainya aku tidak ingat doa saudara kami, Nabi Sulaiman, tentu aku akan mengikatnya sehingga menjadi mainan anak-anak penduduk Madinah” (HR. Muslim no.542). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 356 times, 4 visit(s) today Post Views: 1,138 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Ustadz, sebenarnya makhluk yang disebut jin itu bagaimana?  Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, 1. Jin Terkena Beban Syariat Jin adalah salah satu makhluk Allah yang terkena beban syariat sebagaimana kita. Allah ta’ala berfirman: وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Ad-Dzariyat: 56). Sehingga para jin wajib menjalankan perintah agama, menjauhkan diri dari larangan agama, mereka wajib beribadah, dan terkena hukum halal dan haram. Jika mereka beramal saleh, maka akan mendapatkan pahala dan masuk surga. Jika mereka beramal keburukan, maka akan mendapatkan dosa dan masuk neraka.  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ” فهم مأمورون بالأصول والفروع بحسبهم ، فإنهم ليسوا مماثلين الإنس في الحد والحقيقة ، فلا يكون ما أمروا به ونهوا عنه مساوياً لما على الإنس في الحد ، لكنهم مشاركون الإنس في جنس التكليف ، بالأمر والنهي ، والتحليل والتحريم ، وهذا ما لم أعلم فيه نزاعا بين المسلمين ” انتهى . “Mereka para jin diperintahkan untuk menjalani ushul (akidah) dan furu’ (fikih) yang sesuai dengan mereka. Karena sifat mereka tidak serupa dengan manusia dalam batasan kemampuan dan hakekatnya. Sehingga apa yang diperintahkan kepada mereka tidak sama dengan apa yang diperintahkan kepada manusia dalam batasannya. Namun mereka sama seperti manusia dalam jenis pembebanan syariat. Mereka terkena perintah dan larangan serta halal-haram. Ini perkara yang tidak ada perselisihan di antara ulama” (Majmu’ Al-Fatawa, 4/233). 2. Perbedaan Setan dan Jin Sebagian ulama mengatakan bahwa setan adalah satu golongan dari jin. Jin ada yang saleh dan ada yang sesat. Jin yang sesat itulah setan. Syaikh Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar rahimahullah menjelaskan: هذه مسألة ليس فيها نص، فآدم أبو البشر كما هو منصوص عليه، أما أن الشيطان أصل الجن أو هو واحد من الجن ولهم أصل غيره فالله أعلم، وقول الله {إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ} [الكهف:٥٠] هذه الآية محتملة أن يكون واحداً من الجن أو أن يكون أصلهم، وابن تيمية يرى أنه أصل الجن كما أن آدم أصل البشر “Dalam masalah ini tidak ada nash yang tegas. Nabi Adam adalah bapak moyangnya manusia sebagaimana ditegaskan oleh nash. Adapun apakah setan itu bapak moyang jin ataukah setan itu salah satu golongan jin, dan setan punya bapak moyang tersendiri, wallahu a’lam. Adapun firman Allah ta’ala (yang artinya) “… kecuali iblis, dahulu ia bagian dari jin” (QS. Al-Kahfi: 50), ayat ini bisa bermakna setan itu satu golongan dari jin dan bisa juga bermakna setan itu bapak moyang jin. Sedangkan Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa setan adalah bapak moyang jin sebagaimana Adam adalah bapak moyang manusia” (Durus Syaikh Umar Al-Asyqar, 2/15). 3. Jin Ada yang Saleh, Ada yang Sesat Sebagaimana manusia, jin juga ada yang saleh dan ada yang sesat. Allah ‘azza wa jalla berfirman tentang jin: وَأَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُونَ وَمِنَّا الْقَاسِطُونَ فَمَنْ أَسْلَمَ فَأُولَئِكَ تَحَرَّوْا رَشَدًا .  وَأَمَّا الْقَاسِطُونَ فَكَانُوا لِجَهَنَّمَ حَطَبًا “Jin berkata: Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barang siapa yang yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus. Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam.” (QS. Jin: 14-15) Bahkan yang saleh di antara mereka berbeda-beda tingkat kesalehan dan ketaatannya. Allah ta’ala berfirman di surat yang sama: وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُونَ وَمِنَّا دُونَ ذَلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا “Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang bermacam-macam.” (QS. Jin: 11) Di kalangan jin juga terdapat firqah-firqah menyimpang. Al-A’masy (wafat 148H) rahimahullah berkata: تروح إلينا جني-أي: جاء يزورني -فقلت لهم: ما أحب الطعام إليكم؟ قال: الأرز، قال: فأتيناهم به فجعلت أرى اللقم ترفع ولا أرى أحداً، فقلت: فيكم من هذه الأهواء التي فينا، أي: هل عندكم من هذه الفرق المختلفة مثل الرافضة والخوارج وما أشبه ذلك؟ قال: نعم، قلت: فما الرافضة فيكم؟ قالوا: شر “Datang ke rumahku sekelompok jin. Maka aku bertanya kepada mereka: makanan apa yang paling kalian sukai. Mereka menjawab: nasi. Maka aku pun menghidangkan nasi kepada mereka. Lalu aku pun melihat suapan nasi melayang dan aku tidak melihat sosok siapapun. Kemudian aku bertanya: apakah di antara kalian ada ahlul ahwa‘ (ahlul bid’ah) sebagaimana yang ada pada kami (manusia)? Maksudnya, apakah di antara kalian ada kelompok semisal Rafidhah, Khawarij dan semisalnya? Mereka berkata: Iya, ada. Aku bertanya lagi: Bagaimana Rafidhah di tengah kalian? Mereka berkata: Mereka (Rafidhah) adalah yang terburuk” (Durus Syaikh Umar Al-Asyqar, 2/13). 4. Jin Tidak Terlihat oleh Manusia Jin berada di alam gaib yang tidak terlihat oleh manusia. Allah ta’ala berfirman: اِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ “Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka” (QS. Al-A’raf: 27). Sehingga manusia tidak boleh mengaku bisa melihat jin secara terus-menerus. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: عَنِ الرَّبِيعِ: سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ يَقُولُ: مَنْ زَعَمَ أَنَّهُ يَرَى الْجِنَّ أَبْطَلْنَا شَهَادَتُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ نَبِيًّا “Dari ar Rabi’ ia berkata: aku mendengar Asy-Syafi’i pernah berkata: orang yang mengaku bisa melihat jin, maka kami menganggap batal persaksiannya kecuali kalau dia seorang Nabi” (Dinukil dari Tafsir Al-Manar, 7/438). Maksudnya, orang yang mengaku melihat jin, menurut Imam Asy-Syafi’i dia adalah pendusta berat. Namun terkadang manusia bisa melihat jin jika jin menampakkan dirinya. Syaikh Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar mengatakan: فالجن لا نراهم ولكن هناك بعض الأحياء يرون الجن كما قال الرسول صلى الله عليه وسلم: (إذا سمعتم نباح الكلاب ونهيق الحمير بالليل فتعوذوا بالله من الشيطان، فإنهم يرون ما لا ترون)  “Maka jin itu tidak bisa kita lihat. Namun dalam beberapa keadaan, terkadang manusia bisa melihat jin. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam: “Jika kalian mendengar lolongan anjing dan ringkikan keledai di malam hari, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari setan. Karena mereka telah melihat apa yang kalian tidak lihat”” (Durus Syaikh Umar Al-Asyqar, 2/13). 5. Ada Tiga Golongan Jin Dalam hadis dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: الجن ثلاثة أصناف : صنف لهم أجنحة يطيرون في الهواء وصنف حيات وكلاب وصنف يحلون ويظعنون “Jin ada tiga golongan; satu golongan mempunyai sayap dan terbang di udara. Ada golongan lain berupa ular dan anjing. Dan ada golongan yang menempati suatu tempat dan sering berpindah-pindah.” (HR. Ath-Thahawi dalam Musykilatul Atsar, 4/95, dishahihkan Al-Albani dalam Tahqiq Misykatul Mashabih, 2/1206). 6. Tempat Tinggal Jin Syaikh Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar rahimahullah menjelaskan: الجن يسكنون هذه الأرض التي نعيش فوقها ويكثر تواجدهم في الخراب و الفلوات ومواقع النجاسات كالحمامات والحشوش والمزابل والمقابر “Jin tinggal di bumi yang sama yang kita tinggali ini. Dan mereka banyak berkumpul di bangunan-bangunan rusak, tempat-tempat yang lapang dan sepi, tempat-tempat yang banyak najis seperti toilet, kamar mandi, saluran air, dan kuburan” (Al-Madkhal ila Dirasatil Aqidah Al-Islamiyah, 209) 7. Jin Bisa Diperangi Dari Tsabit (bin Aslam) dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah, ia berkata: كَانَ عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ يَقُولُ: قَدْ قَاتَلْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ. فَقِيلَ: هَذَا الْإِنْسُ قَدْ قَاتَلْتَ. فَكَيْفَ قَاتَلْتَ الْجِنَّ قَالَ: بَعَثَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسلم إِلَى بِئْرٍ أَسْتَقِي مِنْهَا، فَلَقِيتُ الشَّيْطَانَ فِي صُورَتِهِ، حَتَّى قَاتَلَنِي فَصَرَعْتُهُ، ثُمَّ جَعَلْتُ أُدْمِي أَنْفَهُ بِفِهْرٍ مَعِي، أَوْ حَجَرٍ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ عَمَّارًا لَقِيَ الشَّيْطَانَ عِنْدَ بِئْرٍ فَقَاتَلَهُ، فَلَمَّا رَجَعْتُ سَأَلَنِي، فَأَخْبَرْتُهُ بِالْأَمْرِ. فَقَالَ: ذَاكَ شَيْطَانٌ “Ammar bin Yasir berkata: aku pernah memerangi jin dan manusia bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Lalu ada yang bertanya: jika engkau pernah memerangi manusia (dalam peperangan) itu wajar, namun bagaimana maksudnya engkau memerangi jin? Ammar mengatakan: suatu hari aku diutus oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk pergi ke sumur mengambil persediaan air minum darinya. Lalu aku melihat setan dalam bentuknya. Lalu setan itu menyerangku dan aku pun bergulat dengannya. Lalu aku lempar hidungnya dengan batu yang aku pegang. Di saat bersamaan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda bahwa Ammar bertemu setan di sumur dan membunuhnya. Ketika aku kembali, Rasulullah bertanya kepadaku, kemudian aku kabarkan semua itu kepada Rasulullah, dan beliau bersabda: itu adalah setan”. (HR. Al-Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwwah [7/124] dengan sanad yang shahih). 8. Tidak Ada Makhluk yang Bisa Menundukkan Jin setelah Nabi Sulaiman Setelah Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, tidak ada makhluk yang bisa menundukkan bangsa jin. Yang ada adalah mereka bekerja sama dengan jin. Jin membantu manusia, dan manusia memberikan timbal-balik kepada jin.  Allah ta’ala berfirman: قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَهَبْ لِيْ مُلْكًا لَّا يَنْۢبَغِيْ لِاَحَدٍ مِّنْۢ بَعْدِيْۚ اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ فَسَخَّرْنَا لَهُ الرِّيْحَ تَجْرِيْ بِاَمْرِهٖ رُخَاۤءً حَيْثُ اَصَابَۙ وَالشَّيٰطِيْنَ كُلَّ بَنَّاۤءٍ وَّغَوَّاصٍۙ وَّاٰخَرِيْنَ مُقَرَّنِيْنَ فِى الْاَصْفَادِ “Sulaiman berkata, “Wahai Rabb-ku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak patut (dimiliki) oleh seorang pun sesudahku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi”. Maka, Kami menundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut perintahnya ke mana saja yang ia kehendaki. (Kami menundukkan pula kepadanya) setan-setan, semuanya ahli membangun bangunan dan penyelam. (Begitu juga setan-setan) lain yang terikat dalam belenggu” (QS. Shad : 35-38). Dari Abud Darda’ radhiallahu’anhu, ia berkata: قَامَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ فَسَمِعْنَاهُ يقولُ: أعُوذُ باللَّهِ مِنْكَ، ثُمَّ قالَ ألْعَنُكَ بلَعْنَةِ اللهِ ثَلَاثًا، وبَسَطَ يَدَهُ كَأنَّهُ يَتَنَاوَلُ شيئًا، فَلَمَّا فَرَغَ مِنَ الصَّلَاةِ قُلْنَا: يا رَسولَ اللهِ، قدْ سَمِعْنَاكَ تَقُولُ في الصَّلَاةِ شيئًا لَمْ نَسْمَعْكَ تَقُولُهُ قَبْلَ ذلكَ، ورَأَيْنَاكَ بَسَطْتَ يَدَكَ، قالَ: إنَّ عَدُوَّ اللهِ إبْلِيسَ، جَاءَ بشِهَابٍ مِن نَارٍ لِيَجْعَلَهُ في وجْهِي، فَقُلتُ: أعُوذُ باللَّهِ مِنْكَ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ قُلتُ: ألْعَنُكَ بلَعْنَةِ اللهِ التَّامَّةِ، فَلَمْ يَسْتَأْخِرْ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ أرَدْتُ أخْذَهُ، واللَّهِ لَوْلَا دَعْوَةُ أخِينَا سُلَيْمَانَ لأَصْبَحَ مُوثَقًا يَلْعَبُ به وِلْدَانُ أهْلِ المَدِينَةِ “Suatu hari ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam shalat, tiba-tiba kami mendengar Rasulullah mengatakan: “Aku berlindung kepada Allah darimu!”. Kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga berkata: “Allah telah melaknatmu!” sebanyak tiga kali. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lalu menghamparkan tangannya seolah-olah beliau sedang menerima sesuatu. Ketika beliau selesai shalat, kami bertanya: “Wahai Rasulullah, kami mendengar engkau mengatakan sesuatu yang belum pernah kami dengar sebelumnya. Kami juga melihat engkau membukakan kedua tanganmu”. Rasulullah menjawab: “Barusan Iblis, musuh Allah, datang membawa anak panah api untuk ditancapkan di mukaku, lalu aku berkata: “Aku berlindung kepada Allah darimu” sebanyak tiga kali. Kemudian aku juga berkata: “Allah telah melaknatmu dengan laknat yang sempurna” sebanyak tiga kali, namun setan itu tidak juga mundur. Kemudian aku bermaksud untuk menangkapnya. Seandainya aku tidak ingat doa saudara kami, Nabi Sulaiman, tentu aku akan mengikatnya sehingga menjadi mainan anak-anak penduduk Madinah” (HR. Muslim no.542). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 356 times, 4 visit(s) today Post Views: 1,138 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Ustadz, sebenarnya makhluk yang disebut jin itu bagaimana?  Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, 1. Jin Terkena Beban Syariat Jin adalah salah satu makhluk Allah yang terkena beban syariat sebagaimana kita. Allah ta’ala berfirman: وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Ad-Dzariyat: 56). Sehingga para jin wajib menjalankan perintah agama, menjauhkan diri dari larangan agama, mereka wajib beribadah, dan terkena hukum halal dan haram. Jika mereka beramal saleh, maka akan mendapatkan pahala dan masuk surga. Jika mereka beramal keburukan, maka akan mendapatkan dosa dan masuk neraka.  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ” فهم مأمورون بالأصول والفروع بحسبهم ، فإنهم ليسوا مماثلين الإنس في الحد والحقيقة ، فلا يكون ما أمروا به ونهوا عنه مساوياً لما على الإنس في الحد ، لكنهم مشاركون الإنس في جنس التكليف ، بالأمر والنهي ، والتحليل والتحريم ، وهذا ما لم أعلم فيه نزاعا بين المسلمين ” انتهى . “Mereka para jin diperintahkan untuk menjalani ushul (akidah) dan furu’ (fikih) yang sesuai dengan mereka. Karena sifat mereka tidak serupa dengan manusia dalam batasan kemampuan dan hakekatnya. Sehingga apa yang diperintahkan kepada mereka tidak sama dengan apa yang diperintahkan kepada manusia dalam batasannya. Namun mereka sama seperti manusia dalam jenis pembebanan syariat. Mereka terkena perintah dan larangan serta halal-haram. Ini perkara yang tidak ada perselisihan di antara ulama” (Majmu’ Al-Fatawa, 4/233). 2. Perbedaan Setan dan Jin Sebagian ulama mengatakan bahwa setan adalah satu golongan dari jin. Jin ada yang saleh dan ada yang sesat. Jin yang sesat itulah setan. Syaikh Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar rahimahullah menjelaskan: هذه مسألة ليس فيها نص، فآدم أبو البشر كما هو منصوص عليه، أما أن الشيطان أصل الجن أو هو واحد من الجن ولهم أصل غيره فالله أعلم، وقول الله {إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ} [الكهف:٥٠] هذه الآية محتملة أن يكون واحداً من الجن أو أن يكون أصلهم، وابن تيمية يرى أنه أصل الجن كما أن آدم أصل البشر “Dalam masalah ini tidak ada nash yang tegas. Nabi Adam adalah bapak moyangnya manusia sebagaimana ditegaskan oleh nash. Adapun apakah setan itu bapak moyang jin ataukah setan itu salah satu golongan jin, dan setan punya bapak moyang tersendiri, wallahu a’lam. Adapun firman Allah ta’ala (yang artinya) “… kecuali iblis, dahulu ia bagian dari jin” (QS. Al-Kahfi: 50), ayat ini bisa bermakna setan itu satu golongan dari jin dan bisa juga bermakna setan itu bapak moyang jin. Sedangkan Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa setan adalah bapak moyang jin sebagaimana Adam adalah bapak moyang manusia” (Durus Syaikh Umar Al-Asyqar, 2/15). 3. Jin Ada yang Saleh, Ada yang Sesat Sebagaimana manusia, jin juga ada yang saleh dan ada yang sesat. Allah ‘azza wa jalla berfirman tentang jin: وَأَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُونَ وَمِنَّا الْقَاسِطُونَ فَمَنْ أَسْلَمَ فَأُولَئِكَ تَحَرَّوْا رَشَدًا .  وَأَمَّا الْقَاسِطُونَ فَكَانُوا لِجَهَنَّمَ حَطَبًا “Jin berkata: Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barang siapa yang yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus. Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam.” (QS. Jin: 14-15) Bahkan yang saleh di antara mereka berbeda-beda tingkat kesalehan dan ketaatannya. Allah ta’ala berfirman di surat yang sama: وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُونَ وَمِنَّا دُونَ ذَلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا “Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang bermacam-macam.” (QS. Jin: 11) Di kalangan jin juga terdapat firqah-firqah menyimpang. Al-A’masy (wafat 148H) rahimahullah berkata: تروح إلينا جني-أي: جاء يزورني -فقلت لهم: ما أحب الطعام إليكم؟ قال: الأرز، قال: فأتيناهم به فجعلت أرى اللقم ترفع ولا أرى أحداً، فقلت: فيكم من هذه الأهواء التي فينا، أي: هل عندكم من هذه الفرق المختلفة مثل الرافضة والخوارج وما أشبه ذلك؟ قال: نعم، قلت: فما الرافضة فيكم؟ قالوا: شر “Datang ke rumahku sekelompok jin. Maka aku bertanya kepada mereka: makanan apa yang paling kalian sukai. Mereka menjawab: nasi. Maka aku pun menghidangkan nasi kepada mereka. Lalu aku pun melihat suapan nasi melayang dan aku tidak melihat sosok siapapun. Kemudian aku bertanya: apakah di antara kalian ada ahlul ahwa‘ (ahlul bid’ah) sebagaimana yang ada pada kami (manusia)? Maksudnya, apakah di antara kalian ada kelompok semisal Rafidhah, Khawarij dan semisalnya? Mereka berkata: Iya, ada. Aku bertanya lagi: Bagaimana Rafidhah di tengah kalian? Mereka berkata: Mereka (Rafidhah) adalah yang terburuk” (Durus Syaikh Umar Al-Asyqar, 2/13). 4. Jin Tidak Terlihat oleh Manusia Jin berada di alam gaib yang tidak terlihat oleh manusia. Allah ta’ala berfirman: اِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ “Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka” (QS. Al-A’raf: 27). Sehingga manusia tidak boleh mengaku bisa melihat jin secara terus-menerus. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: عَنِ الرَّبِيعِ: سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ يَقُولُ: مَنْ زَعَمَ أَنَّهُ يَرَى الْجِنَّ أَبْطَلْنَا شَهَادَتُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ نَبِيًّا “Dari ar Rabi’ ia berkata: aku mendengar Asy-Syafi’i pernah berkata: orang yang mengaku bisa melihat jin, maka kami menganggap batal persaksiannya kecuali kalau dia seorang Nabi” (Dinukil dari Tafsir Al-Manar, 7/438). Maksudnya, orang yang mengaku melihat jin, menurut Imam Asy-Syafi’i dia adalah pendusta berat. Namun terkadang manusia bisa melihat jin jika jin menampakkan dirinya. Syaikh Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar mengatakan: فالجن لا نراهم ولكن هناك بعض الأحياء يرون الجن كما قال الرسول صلى الله عليه وسلم: (إذا سمعتم نباح الكلاب ونهيق الحمير بالليل فتعوذوا بالله من الشيطان، فإنهم يرون ما لا ترون)  “Maka jin itu tidak bisa kita lihat. Namun dalam beberapa keadaan, terkadang manusia bisa melihat jin. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam: “Jika kalian mendengar lolongan anjing dan ringkikan keledai di malam hari, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari setan. Karena mereka telah melihat apa yang kalian tidak lihat”” (Durus Syaikh Umar Al-Asyqar, 2/13). 5. Ada Tiga Golongan Jin Dalam hadis dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: الجن ثلاثة أصناف : صنف لهم أجنحة يطيرون في الهواء وصنف حيات وكلاب وصنف يحلون ويظعنون “Jin ada tiga golongan; satu golongan mempunyai sayap dan terbang di udara. Ada golongan lain berupa ular dan anjing. Dan ada golongan yang menempati suatu tempat dan sering berpindah-pindah.” (HR. Ath-Thahawi dalam Musykilatul Atsar, 4/95, dishahihkan Al-Albani dalam Tahqiq Misykatul Mashabih, 2/1206). 6. Tempat Tinggal Jin Syaikh Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar rahimahullah menjelaskan: الجن يسكنون هذه الأرض التي نعيش فوقها ويكثر تواجدهم في الخراب و الفلوات ومواقع النجاسات كالحمامات والحشوش والمزابل والمقابر “Jin tinggal di bumi yang sama yang kita tinggali ini. Dan mereka banyak berkumpul di bangunan-bangunan rusak, tempat-tempat yang lapang dan sepi, tempat-tempat yang banyak najis seperti toilet, kamar mandi, saluran air, dan kuburan” (Al-Madkhal ila Dirasatil Aqidah Al-Islamiyah, 209) 7. Jin Bisa Diperangi Dari Tsabit (bin Aslam) dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah, ia berkata: كَانَ عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ يَقُولُ: قَدْ قَاتَلْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ. فَقِيلَ: هَذَا الْإِنْسُ قَدْ قَاتَلْتَ. فَكَيْفَ قَاتَلْتَ الْجِنَّ قَالَ: بَعَثَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسلم إِلَى بِئْرٍ أَسْتَقِي مِنْهَا، فَلَقِيتُ الشَّيْطَانَ فِي صُورَتِهِ، حَتَّى قَاتَلَنِي فَصَرَعْتُهُ، ثُمَّ جَعَلْتُ أُدْمِي أَنْفَهُ بِفِهْرٍ مَعِي، أَوْ حَجَرٍ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ عَمَّارًا لَقِيَ الشَّيْطَانَ عِنْدَ بِئْرٍ فَقَاتَلَهُ، فَلَمَّا رَجَعْتُ سَأَلَنِي، فَأَخْبَرْتُهُ بِالْأَمْرِ. فَقَالَ: ذَاكَ شَيْطَانٌ “Ammar bin Yasir berkata: aku pernah memerangi jin dan manusia bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Lalu ada yang bertanya: jika engkau pernah memerangi manusia (dalam peperangan) itu wajar, namun bagaimana maksudnya engkau memerangi jin? Ammar mengatakan: suatu hari aku diutus oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk pergi ke sumur mengambil persediaan air minum darinya. Lalu aku melihat setan dalam bentuknya. Lalu setan itu menyerangku dan aku pun bergulat dengannya. Lalu aku lempar hidungnya dengan batu yang aku pegang. Di saat bersamaan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda bahwa Ammar bertemu setan di sumur dan membunuhnya. Ketika aku kembali, Rasulullah bertanya kepadaku, kemudian aku kabarkan semua itu kepada Rasulullah, dan beliau bersabda: itu adalah setan”. (HR. Al-Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwwah [7/124] dengan sanad yang shahih). 8. Tidak Ada Makhluk yang Bisa Menundukkan Jin setelah Nabi Sulaiman Setelah Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, tidak ada makhluk yang bisa menundukkan bangsa jin. Yang ada adalah mereka bekerja sama dengan jin. Jin membantu manusia, dan manusia memberikan timbal-balik kepada jin.  Allah ta’ala berfirman: قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَهَبْ لِيْ مُلْكًا لَّا يَنْۢبَغِيْ لِاَحَدٍ مِّنْۢ بَعْدِيْۚ اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ فَسَخَّرْنَا لَهُ الرِّيْحَ تَجْرِيْ بِاَمْرِهٖ رُخَاۤءً حَيْثُ اَصَابَۙ وَالشَّيٰطِيْنَ كُلَّ بَنَّاۤءٍ وَّغَوَّاصٍۙ وَّاٰخَرِيْنَ مُقَرَّنِيْنَ فِى الْاَصْفَادِ “Sulaiman berkata, “Wahai Rabb-ku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak patut (dimiliki) oleh seorang pun sesudahku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi”. Maka, Kami menundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut perintahnya ke mana saja yang ia kehendaki. (Kami menundukkan pula kepadanya) setan-setan, semuanya ahli membangun bangunan dan penyelam. (Begitu juga setan-setan) lain yang terikat dalam belenggu” (QS. Shad : 35-38). Dari Abud Darda’ radhiallahu’anhu, ia berkata: قَامَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ فَسَمِعْنَاهُ يقولُ: أعُوذُ باللَّهِ مِنْكَ، ثُمَّ قالَ ألْعَنُكَ بلَعْنَةِ اللهِ ثَلَاثًا، وبَسَطَ يَدَهُ كَأنَّهُ يَتَنَاوَلُ شيئًا، فَلَمَّا فَرَغَ مِنَ الصَّلَاةِ قُلْنَا: يا رَسولَ اللهِ، قدْ سَمِعْنَاكَ تَقُولُ في الصَّلَاةِ شيئًا لَمْ نَسْمَعْكَ تَقُولُهُ قَبْلَ ذلكَ، ورَأَيْنَاكَ بَسَطْتَ يَدَكَ، قالَ: إنَّ عَدُوَّ اللهِ إبْلِيسَ، جَاءَ بشِهَابٍ مِن نَارٍ لِيَجْعَلَهُ في وجْهِي، فَقُلتُ: أعُوذُ باللَّهِ مِنْكَ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ قُلتُ: ألْعَنُكَ بلَعْنَةِ اللهِ التَّامَّةِ، فَلَمْ يَسْتَأْخِرْ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ أرَدْتُ أخْذَهُ، واللَّهِ لَوْلَا دَعْوَةُ أخِينَا سُلَيْمَانَ لأَصْبَحَ مُوثَقًا يَلْعَبُ به وِلْدَانُ أهْلِ المَدِينَةِ “Suatu hari ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam shalat, tiba-tiba kami mendengar Rasulullah mengatakan: “Aku berlindung kepada Allah darimu!”. Kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga berkata: “Allah telah melaknatmu!” sebanyak tiga kali. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lalu menghamparkan tangannya seolah-olah beliau sedang menerima sesuatu. Ketika beliau selesai shalat, kami bertanya: “Wahai Rasulullah, kami mendengar engkau mengatakan sesuatu yang belum pernah kami dengar sebelumnya. Kami juga melihat engkau membukakan kedua tanganmu”. Rasulullah menjawab: “Barusan Iblis, musuh Allah, datang membawa anak panah api untuk ditancapkan di mukaku, lalu aku berkata: “Aku berlindung kepada Allah darimu” sebanyak tiga kali. Kemudian aku juga berkata: “Allah telah melaknatmu dengan laknat yang sempurna” sebanyak tiga kali, namun setan itu tidak juga mundur. Kemudian aku bermaksud untuk menangkapnya. Seandainya aku tidak ingat doa saudara kami, Nabi Sulaiman, tentu aku akan mengikatnya sehingga menjadi mainan anak-anak penduduk Madinah” (HR. Muslim no.542). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 356 times, 4 visit(s) today Post Views: 1,138 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />
Prev     Next