Doa Indah yang Mengubah Hidup: Makna dan Pelajaran Mendalam (Doa Ammar bin Yasir)

Doa memiliki kekuatan luar biasa untuk mengubah hati dan kehidupan seseorang, terutama jika dipahami maknanya dengan mendalam. Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah ﷺ kepada sahabatnya, Ammar bin Yasir, mengandung pelajaran tentang kepasrahan, keteguhan iman, dan kerinduan kepada Allah. Dengan meresapi doa ini, kita tidak hanya menghafalnya, tetapi juga menjadikannya sebagai panduan dalam menghadapi kehidupan.  Daftar Isi tutup 1. Pelajaran dari Doa Ini 2. Kesimpulan  Haditsnya,عن [السائب بن مالك] قال: صلى بنا عمار بن ياسر رضي الله عنه صلاة فأوجز فقال له بعض القوم: لقد خففت أو أوجزت الصلاة فقال: أما على ذلك فقد دعوت فيها بدعوات سمعتهن من رسول الله صلى الله عليه وسلم فلما قام تبعه رجل من القوم فسأله عن الدعاء؟ فقال: اللهمَّ بعِلْمِكَ الغيبَ وقُدْرَتِكَ عَلَى الخلَقِ ، أحْيِني ما علِمْتَ الحياةَ خيرًا لِي ، وتَوَفَّنِي إذا عَلِمْتَ الوفَاةَ خيرًا لي ، اللهمَّ إِنَّي أسألُكَ خشْيَتَكَ في الغيبِ والشهادَةِ ، و أسأَلُكَ كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الرِّضَا والغضَبِ ، وأسألُكَ القصدَ في الفقرِ والغِنَى ، وأسألُكَ نعيمًا لَا ينفَدُ ، و أسالُكَ قرَّةَ عينٍ لا تنقَطِعُ ، وأسألُكَ الرِّضَى بعدَ القضاءِ ، وأسألُكَ برْدَ العيشِ بعدَ الموْتِ ، وأسألُكَ لذَّةَ النظرِ إلى وجهِكَ ، والشوْقَ إلى لقائِكَ في غيرِ ضراءَ مُضِرَّةٍ ، ولا فتنةٍ مُضِلَّةٍ ، اللهم زيِّنَّا بزينَةِ الإيمانِ ، واجعلنا هُداةً مهتدينَDari [As-Sā`ib bin Mālik], ia berkata: “Ammār bin Yāsir radhiyallāhu ‘anhu mengimami kami dalam shalat, dan ia meringankannya (memendekkannya). Maka seseorang dari jamaah berkata kepadanya, ‘Sungguh, engkau telah meringankan atau memendekkan shalat.’”Ammār pun menjawab: “Ketahuilah bahwa di dalamnya aku telah berdoa dengan doa yang pernah kudengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”Setelah selesai shalat, seseorang dari jamaah mengikutinya dan bertanya tentang doa tersebut. Lalu Ammār menjawab:اللَّهُمَّ بِعِلْمِكَ الغَيْبَ وَقُدْرَتِكَ عَلَى الخَلْقِ، أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الحَيَاةَ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا عَلِمْتَ الوَفَاةَ خَيْرًا لِي، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِي الغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، وَأَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الحَقِّ فِي الرِّضَا وَالغَضَبِ، وَأَسْأَلُكَ القَصْدَ فِي الفَقْرِ وَالغِنَى، وَأَسْأَلُكَ نَعِيمًا لَا يَنفَدُ، وَأَسْأَلُكَ قُرَّةَ عَيْنٍ لَا تَنْقَطِعُ، وَأَسْأَلُكَ الرِّضَا بَعْدَ القَضَاءِ، وَأَسْأَلُكَ بَرْدَ العَيْشِ بَعْدَ المَوْتِ، وَأَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ، وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ فِي غَيْرِ ضَرَّاءِ مُضِرَّةٍ، وَلَا فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ، اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الإِيمَانِ، وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِينَ.ALLAHUMMA BI ‘ILMIKAL-GHAIBA WA QUDRATIKA ‘ALAL-KHALQI, AHYINI MAA ‘ALIMTAL-HAYAATA KHAYRAN LII, WA TAWAFFANII IDZAA ‘ALIMTAL-WAFAATA KHAYRAN LII.ALLAHUMMA INNII AS-ALUKA KHASYYATAKA FIL-GHAYBI WASY-SYAHAADAH, WA AS-ALUKA KALIMATAL-HAQQI FIR-RIDHAA WAL-GHADAB, WA AS-ALUKA AL-QASHDA FIL-FAQRI WAL-GHINAA, WA AS-ALUKA NA’IIMAN LAA YANFAD, WA AS-ALUKA QURRATA ‘AYNIN LAA TANQATI’, WA AS-ALUKA AR-RIDHAA BA’DAL-QADHAA’, WA AS-ALUKA BARDA AL-‘AYSYI BA’DAL-MAWT, WA AS-ALUKA LADZDZATAN-NAZHORI ILAA WAJHIKA, WASY-SYAWQA ILAA LIQAA’IKA FIY GHAYRI DHARRAA’IN MUDHIRRAH, WA LAA FITNATIN MUDHILLAH.ALLAHUMMA ZAYYINNAA BI ZIINATIL-IIMAAN, WAJ’ALNAA HUDAATAN MUHTADIIN.Artinya: Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang hal yang ghaib dan kekuasaan-Mu atas seluruh makhluk, hidupkanlah aku selama Engkau mengetahui bahwa kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa kematian lebih baik bagiku.Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan. Aku juga memohon kepada-Mu kalimat kebenaran dalam keadaan ridha maupun marah. Aku memohon kepada-Mu sikap tengah (pertengahan) dalam keadaan miskin maupun kaya. Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak akan pernah habis. Aku memohon kepada-Mu kebahagiaan yang tidak akan terputus.Aku memohon kepada-Mu keridhaan setelah qadha’ (takdir)-Mu. Aku memohon kepada-Mu kesejukan hidup setelah kematian. Aku memohon kepada-Mu kelezatan dalam memandang wajah-Mu, dan kerinduan untuk berjumpa dengan-Mu, tanpa penderitaan yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan.Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami orang-orang yang memberi petunjuk serta mendapat petunjuk.(HR. An-Nasa’i, no. 1305, dan Ahmad, no. 18351, dari sahabat Ammar bin Yasir, hadis ini disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Kalim At-Tayyib, no. 106) Pelajaran dari Doa Ini1. Kepasrahan kepada Takdir Allah“Allahumma bi ‘ilmikal-ghaiba wa qudratika ‘alal-khalqi, ahyini maa ‘alimtal-hayaata khayran lii, wa tawaffanii idzaa ‘alimtal-wafaata khayran lii.”Terjemahan:“Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang hal yang ghaib dan kekuasaan-Mu atas seluruh makhluk, hidupkanlah aku selama Engkau mengetahui bahwa kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa kematian lebih baik bagiku.”Pelajaran:Hidup dan mati bukan tentang keinginan kita, tetapi tentang apa yang terbaik menurut Allah.Kadang kita memohon panjang umur, padahal bisa jadi hidup lebih lama justru menjerumuskan kita.Kadang kita takut mati, padahal bisa jadi kematian adalah bentuk rahmat Allah yang menyelamatkan kita dari fitnah dunia.Doa ini mengajarkan kita untuk ridha dengan takdir-Nya, menerima apa pun keputusan Allah dengan lapang dada.2. Memohon Rasa Takut kepada Allah di Segala Keadaan“Allahumma innii as-aluka khasyyataka fil-ghaybi wasy-syahaadah.”Terjemahan:“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan.”Pelajaran:Takut kepada Allah adalah tanda hati yang hidup dan iman yang kuat.Jangan hanya terlihat shalih di depan orang lain, tetapi juga tetap takut kepada Allah ketika sendirian.Kejujuran iman terlihat dari bagaimana seseorang menjaga dirinya dari dosa saat tidak ada yang melihat.Rasa takut kepada Allah membuat kita selalu waspada terhadap perbuatan dosa, baik kecil maupun besar.3. Memohon Keberanian Berkata Benar“Wa as-aluka kalimatal-haqqi fir-ridhaa wal-ghadab.”Terjemahan:“Aku memohon kepada-Mu kalimat kebenaran dalam keadaan ridha maupun marah.”Pelajaran:Jangan biarkan emosi menguasai lisan kita.Saat senang, kita mudah melupakan kebenaran dan terlalu memuji sesuatu yang tidak layak.Saat marah, kita mudah berkata kasar dan zalim.Orang beriman harus mampu berkata jujur, adil, dan tidak berat sebelah dalam segala keadaan.4. Memohon Sifat Pertengahan dalam Harta“Wa as-aluka al-qashda fil-faqri wal-ghinaa.”Terjemahan:“Aku memohon kepada-Mu sikap pertengahan dalam keadaan miskin maupun kaya.”Pelajaran:Kaya bisa membuat sombong, miskin bisa membuat putus asa.Sikap pertengahan membuat kita tetap bersyukur saat kaya dan tetap sabar saat miskin.Keseimbangan ini menjaga hati dari cinta dunia yang berlebihan.5. Memohon Kenikmatan yang Abadi“Wa as-aluka na’iiman laa yanfad.”Terjemahan:“Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak akan habis.”Pelajaran:Dunia penuh dengan nikmat sementara yang cepat hilang.Kita meminta nikmat sejati, yaitu kenikmatan akhirat yang kekal.Surga adalah satu-satunya tempat di mana nikmat tidak akan pernah berakhir.6. Memohon Kebahagiaan yang Tidak Terputus“Wa as-aluka qurrata ‘aynin laa tanqati’.”Terjemahan:“Aku memohon kepada-Mu kebahagiaan yang tidak akan terputus.”Pelajaran:Dunia penuh kebahagiaan sesaat, tetapi kebahagiaan sejati ada di dekat Allah.Hanya kebahagiaan karena Allah yang tidak akan pernah hilang.Ketentraman hati datang dari keimanan yang kuat.7. Memohon Ridha Setelah Takdir Berlaku“Wa as-aluka ar-ridhaa ba’dal-qadhaa’.”Terjemahan:“Aku memohon kepada-Mu keridhaan setelah ketetapan-Mu terjadi.”Pelajaran:Takdir Allah selalu yang terbaik, meskipun sulit kita pahami.Ridha setelah takdir terjadi adalah tanda iman yang kuat.Hidup akan lebih tenang jika kita mampu menerima ketetapan Allah dengan lapang dada.8. Memohon Kesejukan Hidup Setelah Kematian“Wa as-aluka barda al-‘aysyi ba’dal-mawt.”Terjemahan:“Aku memohon kepada-Mu kesejukan hidup setelah kematian.”Pelajaran:Kematian bukan akhir, tetapi awal dari perjalanan panjang.Kita meminta ketenangan di alam barzakh dan kebahagiaan di akhirat.Orang yang beramal baik akan mendapatkan ketenangan setelah kematian.9. Memohon Kelezatan Memandang Wajah Allah dan Kerinduan Bertemu-Nya“Wa as-aluka ladzdzatan-nazhori ilaa wajhika, wasy-syawqa ilaa liqaa’ika fi ghayri dharraa’in mudhirrah, wa laa fitnatin mudhillah.”Terjemahan:“Aku memohon kepada-Mu kelezatan memandang wajah-Mu dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu, tanpa penderitaan yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan.”Pelajaran:Kenikmatan tertinggi di surga adalah melihat Allah secara langsung.Semakin kita dekat dengan Allah di dunia, semakin besar kerinduan kita untuk bertemu-Nya.Kita meminta kesempatan bertemu Allah dalam keadaan baik, tanpa penderitaan dan tanpa tergelincir dalam kesesatan.10. Memohon Perhiasan Iman dan Menjadi Petunjuk bagi Orang Lain“Allahumma zayyinnaa bi ziinatil-iimaan, waj’alnaa hudaatan muhtadiin.”Terjemahan:“Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami orang-orang yang memberi petunjuk serta mendapat petunjuk.”Pelajaran:Iman adalah perhiasan sejati yang lebih berharga daripada harta dunia.Kita tidak hanya ingin menjadi orang baik, tetapi juga ingin menjadi pembimbing kebaikan bagi orang lain.Menjadi petunjuk bagi orang lain adalah tugas mulia yang bisa mengantarkan kita pada keberkahan hidup.Baca juga: Doa Shalat Istikharah KesimpulanDoa ini bukan sekadar rangkaian kata, tetapi panduan hidup bagi orang beriman.Kita diajarkan untuk pasrah kepada Allah, bersikap adil, menjaga keseimbangan hidup, dan selalu merindukan pertemuan dengan-Nya.Doa ini adalah refleksi dari hati yang ingin lebih dekat dengan Allah dan hidup dengan penuh makna.Semoga dengan memahami maknanya, doa ini semakin masuk ke dalam hati kita dan menjadi bagian dari kehidupan kita. Aamiin.–Senin pagi, 3 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush SholihinDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel www.rumaysho.com Tagsdoa Ammar bin Yasir doa dan hikmah doa kebahagiaan doa ketenangan hati doa mendekatkan diri kepada Allah doa mustajab doa pasrah kepada Allah doa penuh makna doa Rasulullah doa sahabat Nabi kumpulan doa

Doa Indah yang Mengubah Hidup: Makna dan Pelajaran Mendalam (Doa Ammar bin Yasir)

Doa memiliki kekuatan luar biasa untuk mengubah hati dan kehidupan seseorang, terutama jika dipahami maknanya dengan mendalam. Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah ﷺ kepada sahabatnya, Ammar bin Yasir, mengandung pelajaran tentang kepasrahan, keteguhan iman, dan kerinduan kepada Allah. Dengan meresapi doa ini, kita tidak hanya menghafalnya, tetapi juga menjadikannya sebagai panduan dalam menghadapi kehidupan.  Daftar Isi tutup 1. Pelajaran dari Doa Ini 2. Kesimpulan  Haditsnya,عن [السائب بن مالك] قال: صلى بنا عمار بن ياسر رضي الله عنه صلاة فأوجز فقال له بعض القوم: لقد خففت أو أوجزت الصلاة فقال: أما على ذلك فقد دعوت فيها بدعوات سمعتهن من رسول الله صلى الله عليه وسلم فلما قام تبعه رجل من القوم فسأله عن الدعاء؟ فقال: اللهمَّ بعِلْمِكَ الغيبَ وقُدْرَتِكَ عَلَى الخلَقِ ، أحْيِني ما علِمْتَ الحياةَ خيرًا لِي ، وتَوَفَّنِي إذا عَلِمْتَ الوفَاةَ خيرًا لي ، اللهمَّ إِنَّي أسألُكَ خشْيَتَكَ في الغيبِ والشهادَةِ ، و أسأَلُكَ كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الرِّضَا والغضَبِ ، وأسألُكَ القصدَ في الفقرِ والغِنَى ، وأسألُكَ نعيمًا لَا ينفَدُ ، و أسالُكَ قرَّةَ عينٍ لا تنقَطِعُ ، وأسألُكَ الرِّضَى بعدَ القضاءِ ، وأسألُكَ برْدَ العيشِ بعدَ الموْتِ ، وأسألُكَ لذَّةَ النظرِ إلى وجهِكَ ، والشوْقَ إلى لقائِكَ في غيرِ ضراءَ مُضِرَّةٍ ، ولا فتنةٍ مُضِلَّةٍ ، اللهم زيِّنَّا بزينَةِ الإيمانِ ، واجعلنا هُداةً مهتدينَDari [As-Sā`ib bin Mālik], ia berkata: “Ammār bin Yāsir radhiyallāhu ‘anhu mengimami kami dalam shalat, dan ia meringankannya (memendekkannya). Maka seseorang dari jamaah berkata kepadanya, ‘Sungguh, engkau telah meringankan atau memendekkan shalat.’”Ammār pun menjawab: “Ketahuilah bahwa di dalamnya aku telah berdoa dengan doa yang pernah kudengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”Setelah selesai shalat, seseorang dari jamaah mengikutinya dan bertanya tentang doa tersebut. Lalu Ammār menjawab:اللَّهُمَّ بِعِلْمِكَ الغَيْبَ وَقُدْرَتِكَ عَلَى الخَلْقِ، أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الحَيَاةَ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا عَلِمْتَ الوَفَاةَ خَيْرًا لِي، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِي الغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، وَأَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الحَقِّ فِي الرِّضَا وَالغَضَبِ، وَأَسْأَلُكَ القَصْدَ فِي الفَقْرِ وَالغِنَى، وَأَسْأَلُكَ نَعِيمًا لَا يَنفَدُ، وَأَسْأَلُكَ قُرَّةَ عَيْنٍ لَا تَنْقَطِعُ، وَأَسْأَلُكَ الرِّضَا بَعْدَ القَضَاءِ، وَأَسْأَلُكَ بَرْدَ العَيْشِ بَعْدَ المَوْتِ، وَأَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ، وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ فِي غَيْرِ ضَرَّاءِ مُضِرَّةٍ، وَلَا فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ، اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الإِيمَانِ، وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِينَ.ALLAHUMMA BI ‘ILMIKAL-GHAIBA WA QUDRATIKA ‘ALAL-KHALQI, AHYINI MAA ‘ALIMTAL-HAYAATA KHAYRAN LII, WA TAWAFFANII IDZAA ‘ALIMTAL-WAFAATA KHAYRAN LII.ALLAHUMMA INNII AS-ALUKA KHASYYATAKA FIL-GHAYBI WASY-SYAHAADAH, WA AS-ALUKA KALIMATAL-HAQQI FIR-RIDHAA WAL-GHADAB, WA AS-ALUKA AL-QASHDA FIL-FAQRI WAL-GHINAA, WA AS-ALUKA NA’IIMAN LAA YANFAD, WA AS-ALUKA QURRATA ‘AYNIN LAA TANQATI’, WA AS-ALUKA AR-RIDHAA BA’DAL-QADHAA’, WA AS-ALUKA BARDA AL-‘AYSYI BA’DAL-MAWT, WA AS-ALUKA LADZDZATAN-NAZHORI ILAA WAJHIKA, WASY-SYAWQA ILAA LIQAA’IKA FIY GHAYRI DHARRAA’IN MUDHIRRAH, WA LAA FITNATIN MUDHILLAH.ALLAHUMMA ZAYYINNAA BI ZIINATIL-IIMAAN, WAJ’ALNAA HUDAATAN MUHTADIIN.Artinya: Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang hal yang ghaib dan kekuasaan-Mu atas seluruh makhluk, hidupkanlah aku selama Engkau mengetahui bahwa kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa kematian lebih baik bagiku.Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan. Aku juga memohon kepada-Mu kalimat kebenaran dalam keadaan ridha maupun marah. Aku memohon kepada-Mu sikap tengah (pertengahan) dalam keadaan miskin maupun kaya. Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak akan pernah habis. Aku memohon kepada-Mu kebahagiaan yang tidak akan terputus.Aku memohon kepada-Mu keridhaan setelah qadha’ (takdir)-Mu. Aku memohon kepada-Mu kesejukan hidup setelah kematian. Aku memohon kepada-Mu kelezatan dalam memandang wajah-Mu, dan kerinduan untuk berjumpa dengan-Mu, tanpa penderitaan yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan.Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami orang-orang yang memberi petunjuk serta mendapat petunjuk.(HR. An-Nasa’i, no. 1305, dan Ahmad, no. 18351, dari sahabat Ammar bin Yasir, hadis ini disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Kalim At-Tayyib, no. 106) Pelajaran dari Doa Ini1. Kepasrahan kepada Takdir Allah“Allahumma bi ‘ilmikal-ghaiba wa qudratika ‘alal-khalqi, ahyini maa ‘alimtal-hayaata khayran lii, wa tawaffanii idzaa ‘alimtal-wafaata khayran lii.”Terjemahan:“Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang hal yang ghaib dan kekuasaan-Mu atas seluruh makhluk, hidupkanlah aku selama Engkau mengetahui bahwa kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa kematian lebih baik bagiku.”Pelajaran:Hidup dan mati bukan tentang keinginan kita, tetapi tentang apa yang terbaik menurut Allah.Kadang kita memohon panjang umur, padahal bisa jadi hidup lebih lama justru menjerumuskan kita.Kadang kita takut mati, padahal bisa jadi kematian adalah bentuk rahmat Allah yang menyelamatkan kita dari fitnah dunia.Doa ini mengajarkan kita untuk ridha dengan takdir-Nya, menerima apa pun keputusan Allah dengan lapang dada.2. Memohon Rasa Takut kepada Allah di Segala Keadaan“Allahumma innii as-aluka khasyyataka fil-ghaybi wasy-syahaadah.”Terjemahan:“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan.”Pelajaran:Takut kepada Allah adalah tanda hati yang hidup dan iman yang kuat.Jangan hanya terlihat shalih di depan orang lain, tetapi juga tetap takut kepada Allah ketika sendirian.Kejujuran iman terlihat dari bagaimana seseorang menjaga dirinya dari dosa saat tidak ada yang melihat.Rasa takut kepada Allah membuat kita selalu waspada terhadap perbuatan dosa, baik kecil maupun besar.3. Memohon Keberanian Berkata Benar“Wa as-aluka kalimatal-haqqi fir-ridhaa wal-ghadab.”Terjemahan:“Aku memohon kepada-Mu kalimat kebenaran dalam keadaan ridha maupun marah.”Pelajaran:Jangan biarkan emosi menguasai lisan kita.Saat senang, kita mudah melupakan kebenaran dan terlalu memuji sesuatu yang tidak layak.Saat marah, kita mudah berkata kasar dan zalim.Orang beriman harus mampu berkata jujur, adil, dan tidak berat sebelah dalam segala keadaan.4. Memohon Sifat Pertengahan dalam Harta“Wa as-aluka al-qashda fil-faqri wal-ghinaa.”Terjemahan:“Aku memohon kepada-Mu sikap pertengahan dalam keadaan miskin maupun kaya.”Pelajaran:Kaya bisa membuat sombong, miskin bisa membuat putus asa.Sikap pertengahan membuat kita tetap bersyukur saat kaya dan tetap sabar saat miskin.Keseimbangan ini menjaga hati dari cinta dunia yang berlebihan.5. Memohon Kenikmatan yang Abadi“Wa as-aluka na’iiman laa yanfad.”Terjemahan:“Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak akan habis.”Pelajaran:Dunia penuh dengan nikmat sementara yang cepat hilang.Kita meminta nikmat sejati, yaitu kenikmatan akhirat yang kekal.Surga adalah satu-satunya tempat di mana nikmat tidak akan pernah berakhir.6. Memohon Kebahagiaan yang Tidak Terputus“Wa as-aluka qurrata ‘aynin laa tanqati’.”Terjemahan:“Aku memohon kepada-Mu kebahagiaan yang tidak akan terputus.”Pelajaran:Dunia penuh kebahagiaan sesaat, tetapi kebahagiaan sejati ada di dekat Allah.Hanya kebahagiaan karena Allah yang tidak akan pernah hilang.Ketentraman hati datang dari keimanan yang kuat.7. Memohon Ridha Setelah Takdir Berlaku“Wa as-aluka ar-ridhaa ba’dal-qadhaa’.”Terjemahan:“Aku memohon kepada-Mu keridhaan setelah ketetapan-Mu terjadi.”Pelajaran:Takdir Allah selalu yang terbaik, meskipun sulit kita pahami.Ridha setelah takdir terjadi adalah tanda iman yang kuat.Hidup akan lebih tenang jika kita mampu menerima ketetapan Allah dengan lapang dada.8. Memohon Kesejukan Hidup Setelah Kematian“Wa as-aluka barda al-‘aysyi ba’dal-mawt.”Terjemahan:“Aku memohon kepada-Mu kesejukan hidup setelah kematian.”Pelajaran:Kematian bukan akhir, tetapi awal dari perjalanan panjang.Kita meminta ketenangan di alam barzakh dan kebahagiaan di akhirat.Orang yang beramal baik akan mendapatkan ketenangan setelah kematian.9. Memohon Kelezatan Memandang Wajah Allah dan Kerinduan Bertemu-Nya“Wa as-aluka ladzdzatan-nazhori ilaa wajhika, wasy-syawqa ilaa liqaa’ika fi ghayri dharraa’in mudhirrah, wa laa fitnatin mudhillah.”Terjemahan:“Aku memohon kepada-Mu kelezatan memandang wajah-Mu dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu, tanpa penderitaan yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan.”Pelajaran:Kenikmatan tertinggi di surga adalah melihat Allah secara langsung.Semakin kita dekat dengan Allah di dunia, semakin besar kerinduan kita untuk bertemu-Nya.Kita meminta kesempatan bertemu Allah dalam keadaan baik, tanpa penderitaan dan tanpa tergelincir dalam kesesatan.10. Memohon Perhiasan Iman dan Menjadi Petunjuk bagi Orang Lain“Allahumma zayyinnaa bi ziinatil-iimaan, waj’alnaa hudaatan muhtadiin.”Terjemahan:“Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami orang-orang yang memberi petunjuk serta mendapat petunjuk.”Pelajaran:Iman adalah perhiasan sejati yang lebih berharga daripada harta dunia.Kita tidak hanya ingin menjadi orang baik, tetapi juga ingin menjadi pembimbing kebaikan bagi orang lain.Menjadi petunjuk bagi orang lain adalah tugas mulia yang bisa mengantarkan kita pada keberkahan hidup.Baca juga: Doa Shalat Istikharah KesimpulanDoa ini bukan sekadar rangkaian kata, tetapi panduan hidup bagi orang beriman.Kita diajarkan untuk pasrah kepada Allah, bersikap adil, menjaga keseimbangan hidup, dan selalu merindukan pertemuan dengan-Nya.Doa ini adalah refleksi dari hati yang ingin lebih dekat dengan Allah dan hidup dengan penuh makna.Semoga dengan memahami maknanya, doa ini semakin masuk ke dalam hati kita dan menjadi bagian dari kehidupan kita. Aamiin.–Senin pagi, 3 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush SholihinDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel www.rumaysho.com Tagsdoa Ammar bin Yasir doa dan hikmah doa kebahagiaan doa ketenangan hati doa mendekatkan diri kepada Allah doa mustajab doa pasrah kepada Allah doa penuh makna doa Rasulullah doa sahabat Nabi kumpulan doa
Doa memiliki kekuatan luar biasa untuk mengubah hati dan kehidupan seseorang, terutama jika dipahami maknanya dengan mendalam. Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah ﷺ kepada sahabatnya, Ammar bin Yasir, mengandung pelajaran tentang kepasrahan, keteguhan iman, dan kerinduan kepada Allah. Dengan meresapi doa ini, kita tidak hanya menghafalnya, tetapi juga menjadikannya sebagai panduan dalam menghadapi kehidupan.  Daftar Isi tutup 1. Pelajaran dari Doa Ini 2. Kesimpulan  Haditsnya,عن [السائب بن مالك] قال: صلى بنا عمار بن ياسر رضي الله عنه صلاة فأوجز فقال له بعض القوم: لقد خففت أو أوجزت الصلاة فقال: أما على ذلك فقد دعوت فيها بدعوات سمعتهن من رسول الله صلى الله عليه وسلم فلما قام تبعه رجل من القوم فسأله عن الدعاء؟ فقال: اللهمَّ بعِلْمِكَ الغيبَ وقُدْرَتِكَ عَلَى الخلَقِ ، أحْيِني ما علِمْتَ الحياةَ خيرًا لِي ، وتَوَفَّنِي إذا عَلِمْتَ الوفَاةَ خيرًا لي ، اللهمَّ إِنَّي أسألُكَ خشْيَتَكَ في الغيبِ والشهادَةِ ، و أسأَلُكَ كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الرِّضَا والغضَبِ ، وأسألُكَ القصدَ في الفقرِ والغِنَى ، وأسألُكَ نعيمًا لَا ينفَدُ ، و أسالُكَ قرَّةَ عينٍ لا تنقَطِعُ ، وأسألُكَ الرِّضَى بعدَ القضاءِ ، وأسألُكَ برْدَ العيشِ بعدَ الموْتِ ، وأسألُكَ لذَّةَ النظرِ إلى وجهِكَ ، والشوْقَ إلى لقائِكَ في غيرِ ضراءَ مُضِرَّةٍ ، ولا فتنةٍ مُضِلَّةٍ ، اللهم زيِّنَّا بزينَةِ الإيمانِ ، واجعلنا هُداةً مهتدينَDari [As-Sā`ib bin Mālik], ia berkata: “Ammār bin Yāsir radhiyallāhu ‘anhu mengimami kami dalam shalat, dan ia meringankannya (memendekkannya). Maka seseorang dari jamaah berkata kepadanya, ‘Sungguh, engkau telah meringankan atau memendekkan shalat.’”Ammār pun menjawab: “Ketahuilah bahwa di dalamnya aku telah berdoa dengan doa yang pernah kudengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”Setelah selesai shalat, seseorang dari jamaah mengikutinya dan bertanya tentang doa tersebut. Lalu Ammār menjawab:اللَّهُمَّ بِعِلْمِكَ الغَيْبَ وَقُدْرَتِكَ عَلَى الخَلْقِ، أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الحَيَاةَ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا عَلِمْتَ الوَفَاةَ خَيْرًا لِي، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِي الغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، وَأَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الحَقِّ فِي الرِّضَا وَالغَضَبِ، وَأَسْأَلُكَ القَصْدَ فِي الفَقْرِ وَالغِنَى، وَأَسْأَلُكَ نَعِيمًا لَا يَنفَدُ، وَأَسْأَلُكَ قُرَّةَ عَيْنٍ لَا تَنْقَطِعُ، وَأَسْأَلُكَ الرِّضَا بَعْدَ القَضَاءِ، وَأَسْأَلُكَ بَرْدَ العَيْشِ بَعْدَ المَوْتِ، وَأَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ، وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ فِي غَيْرِ ضَرَّاءِ مُضِرَّةٍ، وَلَا فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ، اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الإِيمَانِ، وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِينَ.ALLAHUMMA BI ‘ILMIKAL-GHAIBA WA QUDRATIKA ‘ALAL-KHALQI, AHYINI MAA ‘ALIMTAL-HAYAATA KHAYRAN LII, WA TAWAFFANII IDZAA ‘ALIMTAL-WAFAATA KHAYRAN LII.ALLAHUMMA INNII AS-ALUKA KHASYYATAKA FIL-GHAYBI WASY-SYAHAADAH, WA AS-ALUKA KALIMATAL-HAQQI FIR-RIDHAA WAL-GHADAB, WA AS-ALUKA AL-QASHDA FIL-FAQRI WAL-GHINAA, WA AS-ALUKA NA’IIMAN LAA YANFAD, WA AS-ALUKA QURRATA ‘AYNIN LAA TANQATI’, WA AS-ALUKA AR-RIDHAA BA’DAL-QADHAA’, WA AS-ALUKA BARDA AL-‘AYSYI BA’DAL-MAWT, WA AS-ALUKA LADZDZATAN-NAZHORI ILAA WAJHIKA, WASY-SYAWQA ILAA LIQAA’IKA FIY GHAYRI DHARRAA’IN MUDHIRRAH, WA LAA FITNATIN MUDHILLAH.ALLAHUMMA ZAYYINNAA BI ZIINATIL-IIMAAN, WAJ’ALNAA HUDAATAN MUHTADIIN.Artinya: Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang hal yang ghaib dan kekuasaan-Mu atas seluruh makhluk, hidupkanlah aku selama Engkau mengetahui bahwa kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa kematian lebih baik bagiku.Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan. Aku juga memohon kepada-Mu kalimat kebenaran dalam keadaan ridha maupun marah. Aku memohon kepada-Mu sikap tengah (pertengahan) dalam keadaan miskin maupun kaya. Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak akan pernah habis. Aku memohon kepada-Mu kebahagiaan yang tidak akan terputus.Aku memohon kepada-Mu keridhaan setelah qadha’ (takdir)-Mu. Aku memohon kepada-Mu kesejukan hidup setelah kematian. Aku memohon kepada-Mu kelezatan dalam memandang wajah-Mu, dan kerinduan untuk berjumpa dengan-Mu, tanpa penderitaan yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan.Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami orang-orang yang memberi petunjuk serta mendapat petunjuk.(HR. An-Nasa’i, no. 1305, dan Ahmad, no. 18351, dari sahabat Ammar bin Yasir, hadis ini disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Kalim At-Tayyib, no. 106) Pelajaran dari Doa Ini1. Kepasrahan kepada Takdir Allah“Allahumma bi ‘ilmikal-ghaiba wa qudratika ‘alal-khalqi, ahyini maa ‘alimtal-hayaata khayran lii, wa tawaffanii idzaa ‘alimtal-wafaata khayran lii.”Terjemahan:“Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang hal yang ghaib dan kekuasaan-Mu atas seluruh makhluk, hidupkanlah aku selama Engkau mengetahui bahwa kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa kematian lebih baik bagiku.”Pelajaran:Hidup dan mati bukan tentang keinginan kita, tetapi tentang apa yang terbaik menurut Allah.Kadang kita memohon panjang umur, padahal bisa jadi hidup lebih lama justru menjerumuskan kita.Kadang kita takut mati, padahal bisa jadi kematian adalah bentuk rahmat Allah yang menyelamatkan kita dari fitnah dunia.Doa ini mengajarkan kita untuk ridha dengan takdir-Nya, menerima apa pun keputusan Allah dengan lapang dada.2. Memohon Rasa Takut kepada Allah di Segala Keadaan“Allahumma innii as-aluka khasyyataka fil-ghaybi wasy-syahaadah.”Terjemahan:“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan.”Pelajaran:Takut kepada Allah adalah tanda hati yang hidup dan iman yang kuat.Jangan hanya terlihat shalih di depan orang lain, tetapi juga tetap takut kepada Allah ketika sendirian.Kejujuran iman terlihat dari bagaimana seseorang menjaga dirinya dari dosa saat tidak ada yang melihat.Rasa takut kepada Allah membuat kita selalu waspada terhadap perbuatan dosa, baik kecil maupun besar.3. Memohon Keberanian Berkata Benar“Wa as-aluka kalimatal-haqqi fir-ridhaa wal-ghadab.”Terjemahan:“Aku memohon kepada-Mu kalimat kebenaran dalam keadaan ridha maupun marah.”Pelajaran:Jangan biarkan emosi menguasai lisan kita.Saat senang, kita mudah melupakan kebenaran dan terlalu memuji sesuatu yang tidak layak.Saat marah, kita mudah berkata kasar dan zalim.Orang beriman harus mampu berkata jujur, adil, dan tidak berat sebelah dalam segala keadaan.4. Memohon Sifat Pertengahan dalam Harta“Wa as-aluka al-qashda fil-faqri wal-ghinaa.”Terjemahan:“Aku memohon kepada-Mu sikap pertengahan dalam keadaan miskin maupun kaya.”Pelajaran:Kaya bisa membuat sombong, miskin bisa membuat putus asa.Sikap pertengahan membuat kita tetap bersyukur saat kaya dan tetap sabar saat miskin.Keseimbangan ini menjaga hati dari cinta dunia yang berlebihan.5. Memohon Kenikmatan yang Abadi“Wa as-aluka na’iiman laa yanfad.”Terjemahan:“Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak akan habis.”Pelajaran:Dunia penuh dengan nikmat sementara yang cepat hilang.Kita meminta nikmat sejati, yaitu kenikmatan akhirat yang kekal.Surga adalah satu-satunya tempat di mana nikmat tidak akan pernah berakhir.6. Memohon Kebahagiaan yang Tidak Terputus“Wa as-aluka qurrata ‘aynin laa tanqati’.”Terjemahan:“Aku memohon kepada-Mu kebahagiaan yang tidak akan terputus.”Pelajaran:Dunia penuh kebahagiaan sesaat, tetapi kebahagiaan sejati ada di dekat Allah.Hanya kebahagiaan karena Allah yang tidak akan pernah hilang.Ketentraman hati datang dari keimanan yang kuat.7. Memohon Ridha Setelah Takdir Berlaku“Wa as-aluka ar-ridhaa ba’dal-qadhaa’.”Terjemahan:“Aku memohon kepada-Mu keridhaan setelah ketetapan-Mu terjadi.”Pelajaran:Takdir Allah selalu yang terbaik, meskipun sulit kita pahami.Ridha setelah takdir terjadi adalah tanda iman yang kuat.Hidup akan lebih tenang jika kita mampu menerima ketetapan Allah dengan lapang dada.8. Memohon Kesejukan Hidup Setelah Kematian“Wa as-aluka barda al-‘aysyi ba’dal-mawt.”Terjemahan:“Aku memohon kepada-Mu kesejukan hidup setelah kematian.”Pelajaran:Kematian bukan akhir, tetapi awal dari perjalanan panjang.Kita meminta ketenangan di alam barzakh dan kebahagiaan di akhirat.Orang yang beramal baik akan mendapatkan ketenangan setelah kematian.9. Memohon Kelezatan Memandang Wajah Allah dan Kerinduan Bertemu-Nya“Wa as-aluka ladzdzatan-nazhori ilaa wajhika, wasy-syawqa ilaa liqaa’ika fi ghayri dharraa’in mudhirrah, wa laa fitnatin mudhillah.”Terjemahan:“Aku memohon kepada-Mu kelezatan memandang wajah-Mu dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu, tanpa penderitaan yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan.”Pelajaran:Kenikmatan tertinggi di surga adalah melihat Allah secara langsung.Semakin kita dekat dengan Allah di dunia, semakin besar kerinduan kita untuk bertemu-Nya.Kita meminta kesempatan bertemu Allah dalam keadaan baik, tanpa penderitaan dan tanpa tergelincir dalam kesesatan.10. Memohon Perhiasan Iman dan Menjadi Petunjuk bagi Orang Lain“Allahumma zayyinnaa bi ziinatil-iimaan, waj’alnaa hudaatan muhtadiin.”Terjemahan:“Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami orang-orang yang memberi petunjuk serta mendapat petunjuk.”Pelajaran:Iman adalah perhiasan sejati yang lebih berharga daripada harta dunia.Kita tidak hanya ingin menjadi orang baik, tetapi juga ingin menjadi pembimbing kebaikan bagi orang lain.Menjadi petunjuk bagi orang lain adalah tugas mulia yang bisa mengantarkan kita pada keberkahan hidup.Baca juga: Doa Shalat Istikharah KesimpulanDoa ini bukan sekadar rangkaian kata, tetapi panduan hidup bagi orang beriman.Kita diajarkan untuk pasrah kepada Allah, bersikap adil, menjaga keseimbangan hidup, dan selalu merindukan pertemuan dengan-Nya.Doa ini adalah refleksi dari hati yang ingin lebih dekat dengan Allah dan hidup dengan penuh makna.Semoga dengan memahami maknanya, doa ini semakin masuk ke dalam hati kita dan menjadi bagian dari kehidupan kita. Aamiin.–Senin pagi, 3 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush SholihinDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel www.rumaysho.com Tagsdoa Ammar bin Yasir doa dan hikmah doa kebahagiaan doa ketenangan hati doa mendekatkan diri kepada Allah doa mustajab doa pasrah kepada Allah doa penuh makna doa Rasulullah doa sahabat Nabi kumpulan doa


Doa memiliki kekuatan luar biasa untuk mengubah hati dan kehidupan seseorang, terutama jika dipahami maknanya dengan mendalam. Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah ﷺ kepada sahabatnya, Ammar bin Yasir, mengandung pelajaran tentang kepasrahan, keteguhan iman, dan kerinduan kepada Allah. Dengan meresapi doa ini, kita tidak hanya menghafalnya, tetapi juga menjadikannya sebagai panduan dalam menghadapi kehidupan.  Daftar Isi tutup 1. Pelajaran dari Doa Ini 2. Kesimpulan  Haditsnya,عن [السائب بن مالك] قال: صلى بنا عمار بن ياسر رضي الله عنه صلاة فأوجز فقال له بعض القوم: لقد خففت أو أوجزت الصلاة فقال: أما على ذلك فقد دعوت فيها بدعوات سمعتهن من رسول الله صلى الله عليه وسلم فلما قام تبعه رجل من القوم فسأله عن الدعاء؟ فقال: اللهمَّ بعِلْمِكَ الغيبَ وقُدْرَتِكَ عَلَى الخلَقِ ، أحْيِني ما علِمْتَ الحياةَ خيرًا لِي ، وتَوَفَّنِي إذا عَلِمْتَ الوفَاةَ خيرًا لي ، اللهمَّ إِنَّي أسألُكَ خشْيَتَكَ في الغيبِ والشهادَةِ ، و أسأَلُكَ كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الرِّضَا والغضَبِ ، وأسألُكَ القصدَ في الفقرِ والغِنَى ، وأسألُكَ نعيمًا لَا ينفَدُ ، و أسالُكَ قرَّةَ عينٍ لا تنقَطِعُ ، وأسألُكَ الرِّضَى بعدَ القضاءِ ، وأسألُكَ برْدَ العيشِ بعدَ الموْتِ ، وأسألُكَ لذَّةَ النظرِ إلى وجهِكَ ، والشوْقَ إلى لقائِكَ في غيرِ ضراءَ مُضِرَّةٍ ، ولا فتنةٍ مُضِلَّةٍ ، اللهم زيِّنَّا بزينَةِ الإيمانِ ، واجعلنا هُداةً مهتدينَDari [As-Sā`ib bin Mālik], ia berkata: “Ammār bin Yāsir radhiyallāhu ‘anhu mengimami kami dalam shalat, dan ia meringankannya (memendekkannya). Maka seseorang dari jamaah berkata kepadanya, ‘Sungguh, engkau telah meringankan atau memendekkan shalat.’”Ammār pun menjawab: “Ketahuilah bahwa di dalamnya aku telah berdoa dengan doa yang pernah kudengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”Setelah selesai shalat, seseorang dari jamaah mengikutinya dan bertanya tentang doa tersebut. Lalu Ammār menjawab:اللَّهُمَّ بِعِلْمِكَ الغَيْبَ وَقُدْرَتِكَ عَلَى الخَلْقِ، أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الحَيَاةَ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا عَلِمْتَ الوَفَاةَ خَيْرًا لِي، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِي الغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، وَأَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الحَقِّ فِي الرِّضَا وَالغَضَبِ، وَأَسْأَلُكَ القَصْدَ فِي الفَقْرِ وَالغِنَى، وَأَسْأَلُكَ نَعِيمًا لَا يَنفَدُ، وَأَسْأَلُكَ قُرَّةَ عَيْنٍ لَا تَنْقَطِعُ، وَأَسْأَلُكَ الرِّضَا بَعْدَ القَضَاءِ، وَأَسْأَلُكَ بَرْدَ العَيْشِ بَعْدَ المَوْتِ، وَأَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ، وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ فِي غَيْرِ ضَرَّاءِ مُضِرَّةٍ، وَلَا فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ، اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الإِيمَانِ، وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِينَ.ALLAHUMMA BI ‘ILMIKAL-GHAIBA WA QUDRATIKA ‘ALAL-KHALQI, AHYINI MAA ‘ALIMTAL-HAYAATA KHAYRAN LII, WA TAWAFFANII IDZAA ‘ALIMTAL-WAFAATA KHAYRAN LII.ALLAHUMMA INNII AS-ALUKA KHASYYATAKA FIL-GHAYBI WASY-SYAHAADAH, WA AS-ALUKA KALIMATAL-HAQQI FIR-RIDHAA WAL-GHADAB, WA AS-ALUKA AL-QASHDA FIL-FAQRI WAL-GHINAA, WA AS-ALUKA NA’IIMAN LAA YANFAD, WA AS-ALUKA QURRATA ‘AYNIN LAA TANQATI’, WA AS-ALUKA AR-RIDHAA BA’DAL-QADHAA’, WA AS-ALUKA BARDA AL-‘AYSYI BA’DAL-MAWT, WA AS-ALUKA LADZDZATAN-NAZHORI ILAA WAJHIKA, WASY-SYAWQA ILAA LIQAA’IKA FIY GHAYRI DHARRAA’IN MUDHIRRAH, WA LAA FITNATIN MUDHILLAH.ALLAHUMMA ZAYYINNAA BI ZIINATIL-IIMAAN, WAJ’ALNAA HUDAATAN MUHTADIIN.Artinya: Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang hal yang ghaib dan kekuasaan-Mu atas seluruh makhluk, hidupkanlah aku selama Engkau mengetahui bahwa kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa kematian lebih baik bagiku.Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan. Aku juga memohon kepada-Mu kalimat kebenaran dalam keadaan ridha maupun marah. Aku memohon kepada-Mu sikap tengah (pertengahan) dalam keadaan miskin maupun kaya. Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak akan pernah habis. Aku memohon kepada-Mu kebahagiaan yang tidak akan terputus.Aku memohon kepada-Mu keridhaan setelah qadha’ (takdir)-Mu. Aku memohon kepada-Mu kesejukan hidup setelah kematian. Aku memohon kepada-Mu kelezatan dalam memandang wajah-Mu, dan kerinduan untuk berjumpa dengan-Mu, tanpa penderitaan yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan.Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami orang-orang yang memberi petunjuk serta mendapat petunjuk.(HR. An-Nasa’i, no. 1305, dan Ahmad, no. 18351, dari sahabat Ammar bin Yasir, hadis ini disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Kalim At-Tayyib, no. 106) Pelajaran dari Doa Ini1. Kepasrahan kepada Takdir Allah“Allahumma bi ‘ilmikal-ghaiba wa qudratika ‘alal-khalqi, ahyini maa ‘alimtal-hayaata khayran lii, wa tawaffanii idzaa ‘alimtal-wafaata khayran lii.”Terjemahan:“Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang hal yang ghaib dan kekuasaan-Mu atas seluruh makhluk, hidupkanlah aku selama Engkau mengetahui bahwa kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa kematian lebih baik bagiku.”Pelajaran:Hidup dan mati bukan tentang keinginan kita, tetapi tentang apa yang terbaik menurut Allah.Kadang kita memohon panjang umur, padahal bisa jadi hidup lebih lama justru menjerumuskan kita.Kadang kita takut mati, padahal bisa jadi kematian adalah bentuk rahmat Allah yang menyelamatkan kita dari fitnah dunia.Doa ini mengajarkan kita untuk ridha dengan takdir-Nya, menerima apa pun keputusan Allah dengan lapang dada.2. Memohon Rasa Takut kepada Allah di Segala Keadaan“Allahumma innii as-aluka khasyyataka fil-ghaybi wasy-syahaadah.”Terjemahan:“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan.”Pelajaran:Takut kepada Allah adalah tanda hati yang hidup dan iman yang kuat.Jangan hanya terlihat shalih di depan orang lain, tetapi juga tetap takut kepada Allah ketika sendirian.Kejujuran iman terlihat dari bagaimana seseorang menjaga dirinya dari dosa saat tidak ada yang melihat.Rasa takut kepada Allah membuat kita selalu waspada terhadap perbuatan dosa, baik kecil maupun besar.3. Memohon Keberanian Berkata Benar“Wa as-aluka kalimatal-haqqi fir-ridhaa wal-ghadab.”Terjemahan:“Aku memohon kepada-Mu kalimat kebenaran dalam keadaan ridha maupun marah.”Pelajaran:Jangan biarkan emosi menguasai lisan kita.Saat senang, kita mudah melupakan kebenaran dan terlalu memuji sesuatu yang tidak layak.Saat marah, kita mudah berkata kasar dan zalim.Orang beriman harus mampu berkata jujur, adil, dan tidak berat sebelah dalam segala keadaan.4. Memohon Sifat Pertengahan dalam Harta“Wa as-aluka al-qashda fil-faqri wal-ghinaa.”Terjemahan:“Aku memohon kepada-Mu sikap pertengahan dalam keadaan miskin maupun kaya.”Pelajaran:Kaya bisa membuat sombong, miskin bisa membuat putus asa.Sikap pertengahan membuat kita tetap bersyukur saat kaya dan tetap sabar saat miskin.Keseimbangan ini menjaga hati dari cinta dunia yang berlebihan.5. Memohon Kenikmatan yang Abadi“Wa as-aluka na’iiman laa yanfad.”Terjemahan:“Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak akan habis.”Pelajaran:Dunia penuh dengan nikmat sementara yang cepat hilang.Kita meminta nikmat sejati, yaitu kenikmatan akhirat yang kekal.Surga adalah satu-satunya tempat di mana nikmat tidak akan pernah berakhir.6. Memohon Kebahagiaan yang Tidak Terputus“Wa as-aluka qurrata ‘aynin laa tanqati’.”Terjemahan:“Aku memohon kepada-Mu kebahagiaan yang tidak akan terputus.”Pelajaran:Dunia penuh kebahagiaan sesaat, tetapi kebahagiaan sejati ada di dekat Allah.Hanya kebahagiaan karena Allah yang tidak akan pernah hilang.Ketentraman hati datang dari keimanan yang kuat.7. Memohon Ridha Setelah Takdir Berlaku“Wa as-aluka ar-ridhaa ba’dal-qadhaa’.”Terjemahan:“Aku memohon kepada-Mu keridhaan setelah ketetapan-Mu terjadi.”Pelajaran:Takdir Allah selalu yang terbaik, meskipun sulit kita pahami.Ridha setelah takdir terjadi adalah tanda iman yang kuat.Hidup akan lebih tenang jika kita mampu menerima ketetapan Allah dengan lapang dada.8. Memohon Kesejukan Hidup Setelah Kematian“Wa as-aluka barda al-‘aysyi ba’dal-mawt.”Terjemahan:“Aku memohon kepada-Mu kesejukan hidup setelah kematian.”Pelajaran:Kematian bukan akhir, tetapi awal dari perjalanan panjang.Kita meminta ketenangan di alam barzakh dan kebahagiaan di akhirat.Orang yang beramal baik akan mendapatkan ketenangan setelah kematian.9. Memohon Kelezatan Memandang Wajah Allah dan Kerinduan Bertemu-Nya“Wa as-aluka ladzdzatan-nazhori ilaa wajhika, wasy-syawqa ilaa liqaa’ika fi ghayri dharraa’in mudhirrah, wa laa fitnatin mudhillah.”Terjemahan:“Aku memohon kepada-Mu kelezatan memandang wajah-Mu dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu, tanpa penderitaan yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan.”Pelajaran:Kenikmatan tertinggi di surga adalah melihat Allah secara langsung.Semakin kita dekat dengan Allah di dunia, semakin besar kerinduan kita untuk bertemu-Nya.Kita meminta kesempatan bertemu Allah dalam keadaan baik, tanpa penderitaan dan tanpa tergelincir dalam kesesatan.10. Memohon Perhiasan Iman dan Menjadi Petunjuk bagi Orang Lain“Allahumma zayyinnaa bi ziinatil-iimaan, waj’alnaa hudaatan muhtadiin.”Terjemahan:“Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami orang-orang yang memberi petunjuk serta mendapat petunjuk.”Pelajaran:Iman adalah perhiasan sejati yang lebih berharga daripada harta dunia.Kita tidak hanya ingin menjadi orang baik, tetapi juga ingin menjadi pembimbing kebaikan bagi orang lain.Menjadi petunjuk bagi orang lain adalah tugas mulia yang bisa mengantarkan kita pada keberkahan hidup.Baca juga: Doa Shalat Istikharah KesimpulanDoa ini bukan sekadar rangkaian kata, tetapi panduan hidup bagi orang beriman.Kita diajarkan untuk pasrah kepada Allah, bersikap adil, menjaga keseimbangan hidup, dan selalu merindukan pertemuan dengan-Nya.Doa ini adalah refleksi dari hati yang ingin lebih dekat dengan Allah dan hidup dengan penuh makna.Semoga dengan memahami maknanya, doa ini semakin masuk ke dalam hati kita dan menjadi bagian dari kehidupan kita. Aamiin.–Senin pagi, 3 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush SholihinDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel www.rumaysho.com Tagsdoa Ammar bin Yasir doa dan hikmah doa kebahagiaan doa ketenangan hati doa mendekatkan diri kepada Allah doa mustajab doa pasrah kepada Allah doa penuh makna doa Rasulullah doa sahabat Nabi kumpulan doa

Doa Indah yang Mengubah Hidup: Makna dan Pelajaran Mendalam (Doa Ammar bin Yasir)

Doa memiliki kekuatan luar biasa untuk mengubah hati dan kehidupan seseorang, terutama jika dipahami maknanya dengan mendalam. Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah ﷺ kepada sahabatnya, Ammar bin Yasir, mengandung pelajaran tentang kepasrahan, keteguhan iman, dan kerinduan kepada Allah. Dengan meresapi doa ini, kita tidak hanya menghafalnya, tetapi juga menjadikannya sebagai panduan dalam menghadapi kehidupan.   Daftar Isi tutup 1. Pelajaran dari Doa Ini 2. Kesimpulan   Haditsnya, عن [السائب بن مالك] قال: صلى بنا عمار بن ياسر رضي الله عنه صلاة فأوجز فقال له بعض القوم: لقد خففت أو أوجزت الصلاة فقال: أما على ذلك فقد دعوت فيها بدعوات سمعتهن من رسول الله صلى الله عليه وسلم فلما قام تبعه رجل من القوم فسأله عن الدعاء؟ فقال: اللهمَّ بعِلْمِكَ الغيبَ وقُدْرَتِكَ عَلَى الخلَقِ ، أحْيِني ما علِمْتَ الحياةَ خيرًا لِي ، وتَوَفَّنِي إذا عَلِمْتَ الوفَاةَ خيرًا لي ، اللهمَّ إِنَّي أسألُكَ خشْيَتَكَ في الغيبِ والشهادَةِ ، و أسأَلُكَ كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الرِّضَا والغضَبِ ، وأسألُكَ القصدَ في الفقرِ والغِنَى ، وأسألُكَ نعيمًا لَا ينفَدُ ، و أسالُكَ قرَّةَ عينٍ لا تنقَطِعُ ، وأسألُكَ الرِّضَى بعدَ القضاءِ ، وأسألُكَ برْدَ العيشِ بعدَ الموْتِ ، وأسألُكَ لذَّةَ النظرِ إلى وجهِكَ ، والشوْقَ إلى لقائِكَ في غيرِ ضراءَ مُضِرَّةٍ ، ولا فتنةٍ مُضِلَّةٍ ، اللهم زيِّنَّا بزينَةِ الإيمانِ ، واجعلنا هُداةً مهتدينَ Dari [As-Sā`ib bin Mālik], ia berkata: “Ammār bin Yāsir radhiyallāhu ‘anhu mengimami kami dalam shalat, dan ia meringankannya (memendekkannya). Maka seseorang dari jamaah berkata kepadanya, ‘Sungguh, engkau telah meringankan atau memendekkan shalat.’” Ammār pun menjawab: “Ketahuilah bahwa di dalamnya aku telah berdoa dengan doa yang pernah kudengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Setelah selesai shalat, seseorang dari jamaah mengikutinya dan bertanya tentang doa tersebut. Lalu Ammār menjawab: اللَّهُمَّ بِعِلْمِكَ الغَيْبَ وَقُدْرَتِكَ عَلَى الخَلْقِ، أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الحَيَاةَ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا عَلِمْتَ الوَفَاةَ خَيْرًا لِي، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِي الغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، وَأَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الحَقِّ فِي الرِّضَا وَالغَضَبِ، وَأَسْأَلُكَ القَصْدَ فِي الفَقْرِ وَالغِنَى، وَأَسْأَلُكَ نَعِيمًا لَا يَنفَدُ، وَأَسْأَلُكَ قُرَّةَ عَيْنٍ لَا تَنْقَطِعُ، وَأَسْأَلُكَ الرِّضَا بَعْدَ القَضَاءِ، وَأَسْأَلُكَ بَرْدَ العَيْشِ بَعْدَ المَوْتِ، وَأَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ، وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ فِي غَيْرِ ضَرَّاءِ مُضِرَّةٍ، وَلَا فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ، اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الإِيمَانِ، وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِينَ. ALLAHUMMA BI ‘ILMIKAL-GHAIBA WA QUDRATIKA ‘ALAL-KHALQI, AHYINI MAA ‘ALIMTAL-HAYAATA KHAYRAN LII, WA TAWAFFANII IDZAA ‘ALIMTAL-WAFAATA KHAYRAN LII. ALLAHUMMA INNII AS-ALUKA KHASYYATAKA FIL-GHAYBI WASY-SYAHAADAH, WA AS-ALUKA KALIMATAL-HAQQI FIR-RIDHAA WAL-GHADAB, WA AS-ALUKA AL-QASHDA FIL-FAQRI WAL-GHINAA, WA AS-ALUKA NA’IIMAN LAA YANFAD, WA AS-ALUKA QURRATA ‘AYNIN LAA TANQATI’, WA AS-ALUKA AR-RIDHAA BA’DAL-QADHAA’, WA AS-ALUKA BARDA AL-‘AYSYI BA’DAL-MAWT, WA AS-ALUKA LADZDZATAN-NAZHORI ILAA WAJHIKA, WASY-SYAWQA ILAA LIQAA’IKA FIY GHAYRI DHARRAA’IN MUDHIRRAH, WA LAA FITNATIN MUDHILLAH. ALLAHUMMA ZAYYINNAA BI ZIINATIL-IIMAAN, WAJ’ALNAA HUDAATAN MUHTADIIN. Artinya: Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang hal yang ghaib dan kekuasaan-Mu atas seluruh makhluk, hidupkanlah aku selama Engkau mengetahui bahwa kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa kematian lebih baik bagiku. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan. Aku juga memohon kepada-Mu kalimat kebenaran dalam keadaan ridha maupun marah. Aku memohon kepada-Mu sikap tengah (pertengahan) dalam keadaan miskin maupun kaya. Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak akan pernah habis. Aku memohon kepada-Mu kebahagiaan yang tidak akan terputus. Aku memohon kepada-Mu keridhaan setelah qadha’ (takdir)-Mu. Aku memohon kepada-Mu kesejukan hidup setelah kematian. Aku memohon kepada-Mu kelezatan dalam memandang wajah-Mu, dan kerinduan untuk berjumpa dengan-Mu, tanpa penderitaan yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami orang-orang yang memberi petunjuk serta mendapat petunjuk. (HR. An-Nasa’i, no. 1305, dan Ahmad, no. 18351, dari sahabat Ammar bin Yasir, hadis ini disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Kalim At-Tayyib, no. 106)   Pelajaran dari Doa Ini 1. Kepasrahan kepada Takdir Allah “Allahumma bi ‘ilmikal-ghaiba wa qudratika ‘alal-khalqi, ahyini maa ‘alimtal-hayaata khayran lii, wa tawaffanii idzaa ‘alimtal-wafaata khayran lii.” Terjemahan: “Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang hal yang ghaib dan kekuasaan-Mu atas seluruh makhluk, hidupkanlah aku selama Engkau mengetahui bahwa kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa kematian lebih baik bagiku.” Pelajaran: Hidup dan mati bukan tentang keinginan kita, tetapi tentang apa yang terbaik menurut Allah. Kadang kita memohon panjang umur, padahal bisa jadi hidup lebih lama justru menjerumuskan kita. Kadang kita takut mati, padahal bisa jadi kematian adalah bentuk rahmat Allah yang menyelamatkan kita dari fitnah dunia. Doa ini mengajarkan kita untuk ridha dengan takdir-Nya, menerima apa pun keputusan Allah dengan lapang dada. 2. Memohon Rasa Takut kepada Allah di Segala Keadaan “Allahumma innii as-aluka khasyyataka fil-ghaybi wasy-syahaadah.” Terjemahan: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan.” Pelajaran: Takut kepada Allah adalah tanda hati yang hidup dan iman yang kuat. Jangan hanya terlihat shalih di depan orang lain, tetapi juga tetap takut kepada Allah ketika sendirian. Kejujuran iman terlihat dari bagaimana seseorang menjaga dirinya dari dosa saat tidak ada yang melihat. Rasa takut kepada Allah membuat kita selalu waspada terhadap perbuatan dosa, baik kecil maupun besar. 3. Memohon Keberanian Berkata Benar “Wa as-aluka kalimatal-haqqi fir-ridhaa wal-ghadab.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kalimat kebenaran dalam keadaan ridha maupun marah.” Pelajaran: Jangan biarkan emosi menguasai lisan kita. Saat senang, kita mudah melupakan kebenaran dan terlalu memuji sesuatu yang tidak layak. Saat marah, kita mudah berkata kasar dan zalim. Orang beriman harus mampu berkata jujur, adil, dan tidak berat sebelah dalam segala keadaan. 4. Memohon Sifat Pertengahan dalam Harta “Wa as-aluka al-qashda fil-faqri wal-ghinaa.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu sikap pertengahan dalam keadaan miskin maupun kaya.” Pelajaran: Kaya bisa membuat sombong, miskin bisa membuat putus asa. Sikap pertengahan membuat kita tetap bersyukur saat kaya dan tetap sabar saat miskin. Keseimbangan ini menjaga hati dari cinta dunia yang berlebihan. 5. Memohon Kenikmatan yang Abadi “Wa as-aluka na’iiman laa yanfad.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak akan habis.” Pelajaran: Dunia penuh dengan nikmat sementara yang cepat hilang. Kita meminta nikmat sejati, yaitu kenikmatan akhirat yang kekal. Surga adalah satu-satunya tempat di mana nikmat tidak akan pernah berakhir. 6. Memohon Kebahagiaan yang Tidak Terputus “Wa as-aluka qurrata ‘aynin laa tanqati’.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kebahagiaan yang tidak akan terputus.” Pelajaran: Dunia penuh kebahagiaan sesaat, tetapi kebahagiaan sejati ada di dekat Allah. Hanya kebahagiaan karena Allah yang tidak akan pernah hilang. Ketentraman hati datang dari keimanan yang kuat. 7. Memohon Ridha Setelah Takdir Berlaku “Wa as-aluka ar-ridhaa ba’dal-qadhaa’.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu keridhaan setelah ketetapan-Mu terjadi.” Pelajaran: Takdir Allah selalu yang terbaik, meskipun sulit kita pahami. Ridha setelah takdir terjadi adalah tanda iman yang kuat. Hidup akan lebih tenang jika kita mampu menerima ketetapan Allah dengan lapang dada. 8. Memohon Kesejukan Hidup Setelah Kematian “Wa as-aluka barda al-‘aysyi ba’dal-mawt.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kesejukan hidup setelah kematian.” Pelajaran: Kematian bukan akhir, tetapi awal dari perjalanan panjang. Kita meminta ketenangan di alam barzakh dan kebahagiaan di akhirat. Orang yang beramal baik akan mendapatkan ketenangan setelah kematian. 9. Memohon Kelezatan Memandang Wajah Allah dan Kerinduan Bertemu-Nya “Wa as-aluka ladzdzatan-nazhori ilaa wajhika, wasy-syawqa ilaa liqaa’ika fi ghayri dharraa’in mudhirrah, wa laa fitnatin mudhillah.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kelezatan memandang wajah-Mu dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu, tanpa penderitaan yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan.” Pelajaran: Kenikmatan tertinggi di surga adalah melihat Allah secara langsung. Semakin kita dekat dengan Allah di dunia, semakin besar kerinduan kita untuk bertemu-Nya. Kita meminta kesempatan bertemu Allah dalam keadaan baik, tanpa penderitaan dan tanpa tergelincir dalam kesesatan. 10. Memohon Perhiasan Iman dan Menjadi Petunjuk bagi Orang Lain “Allahumma zayyinnaa bi ziinatil-iimaan, waj’alnaa hudaatan muhtadiin.” Terjemahan: “Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami orang-orang yang memberi petunjuk serta mendapat petunjuk.” Pelajaran: Iman adalah perhiasan sejati yang lebih berharga daripada harta dunia. Kita tidak hanya ingin menjadi orang baik, tetapi juga ingin menjadi pembimbing kebaikan bagi orang lain. Menjadi petunjuk bagi orang lain adalah tugas mulia yang bisa mengantarkan kita pada keberkahan hidup. Baca juga: Doa Shalat Istikharah   Kesimpulan Doa ini bukan sekadar rangkaian kata, tetapi panduan hidup bagi orang beriman. Kita diajarkan untuk pasrah kepada Allah, bersikap adil, menjaga keseimbangan hidup, dan selalu merindukan pertemuan dengan-Nya. Doa ini adalah refleksi dari hati yang ingin lebih dekat dengan Allah dan hidup dengan penuh makna. Semoga dengan memahami maknanya, doa ini semakin masuk ke dalam hati kita dan menjadi bagian dari kehidupan kita. Aamiin. – Senin pagi, 3 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsdoa Ammar bin Yasir doa dan hikmah doa kebahagiaan doa ketenangan hati doa mendekatkan diri kepada Allah doa mustajab doa pasrah kepada Allah doa penuh makna doa Rasulullah doa sahabat Nabi kumpulan doa

Doa Indah yang Mengubah Hidup: Makna dan Pelajaran Mendalam (Doa Ammar bin Yasir)

Doa memiliki kekuatan luar biasa untuk mengubah hati dan kehidupan seseorang, terutama jika dipahami maknanya dengan mendalam. Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah ﷺ kepada sahabatnya, Ammar bin Yasir, mengandung pelajaran tentang kepasrahan, keteguhan iman, dan kerinduan kepada Allah. Dengan meresapi doa ini, kita tidak hanya menghafalnya, tetapi juga menjadikannya sebagai panduan dalam menghadapi kehidupan.   Daftar Isi tutup 1. Pelajaran dari Doa Ini 2. Kesimpulan   Haditsnya, عن [السائب بن مالك] قال: صلى بنا عمار بن ياسر رضي الله عنه صلاة فأوجز فقال له بعض القوم: لقد خففت أو أوجزت الصلاة فقال: أما على ذلك فقد دعوت فيها بدعوات سمعتهن من رسول الله صلى الله عليه وسلم فلما قام تبعه رجل من القوم فسأله عن الدعاء؟ فقال: اللهمَّ بعِلْمِكَ الغيبَ وقُدْرَتِكَ عَلَى الخلَقِ ، أحْيِني ما علِمْتَ الحياةَ خيرًا لِي ، وتَوَفَّنِي إذا عَلِمْتَ الوفَاةَ خيرًا لي ، اللهمَّ إِنَّي أسألُكَ خشْيَتَكَ في الغيبِ والشهادَةِ ، و أسأَلُكَ كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الرِّضَا والغضَبِ ، وأسألُكَ القصدَ في الفقرِ والغِنَى ، وأسألُكَ نعيمًا لَا ينفَدُ ، و أسالُكَ قرَّةَ عينٍ لا تنقَطِعُ ، وأسألُكَ الرِّضَى بعدَ القضاءِ ، وأسألُكَ برْدَ العيشِ بعدَ الموْتِ ، وأسألُكَ لذَّةَ النظرِ إلى وجهِكَ ، والشوْقَ إلى لقائِكَ في غيرِ ضراءَ مُضِرَّةٍ ، ولا فتنةٍ مُضِلَّةٍ ، اللهم زيِّنَّا بزينَةِ الإيمانِ ، واجعلنا هُداةً مهتدينَ Dari [As-Sā`ib bin Mālik], ia berkata: “Ammār bin Yāsir radhiyallāhu ‘anhu mengimami kami dalam shalat, dan ia meringankannya (memendekkannya). Maka seseorang dari jamaah berkata kepadanya, ‘Sungguh, engkau telah meringankan atau memendekkan shalat.’” Ammār pun menjawab: “Ketahuilah bahwa di dalamnya aku telah berdoa dengan doa yang pernah kudengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Setelah selesai shalat, seseorang dari jamaah mengikutinya dan bertanya tentang doa tersebut. Lalu Ammār menjawab: اللَّهُمَّ بِعِلْمِكَ الغَيْبَ وَقُدْرَتِكَ عَلَى الخَلْقِ، أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الحَيَاةَ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا عَلِمْتَ الوَفَاةَ خَيْرًا لِي، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِي الغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، وَأَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الحَقِّ فِي الرِّضَا وَالغَضَبِ، وَأَسْأَلُكَ القَصْدَ فِي الفَقْرِ وَالغِنَى، وَأَسْأَلُكَ نَعِيمًا لَا يَنفَدُ، وَأَسْأَلُكَ قُرَّةَ عَيْنٍ لَا تَنْقَطِعُ، وَأَسْأَلُكَ الرِّضَا بَعْدَ القَضَاءِ، وَأَسْأَلُكَ بَرْدَ العَيْشِ بَعْدَ المَوْتِ، وَأَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ، وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ فِي غَيْرِ ضَرَّاءِ مُضِرَّةٍ، وَلَا فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ، اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الإِيمَانِ، وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِينَ. ALLAHUMMA BI ‘ILMIKAL-GHAIBA WA QUDRATIKA ‘ALAL-KHALQI, AHYINI MAA ‘ALIMTAL-HAYAATA KHAYRAN LII, WA TAWAFFANII IDZAA ‘ALIMTAL-WAFAATA KHAYRAN LII. ALLAHUMMA INNII AS-ALUKA KHASYYATAKA FIL-GHAYBI WASY-SYAHAADAH, WA AS-ALUKA KALIMATAL-HAQQI FIR-RIDHAA WAL-GHADAB, WA AS-ALUKA AL-QASHDA FIL-FAQRI WAL-GHINAA, WA AS-ALUKA NA’IIMAN LAA YANFAD, WA AS-ALUKA QURRATA ‘AYNIN LAA TANQATI’, WA AS-ALUKA AR-RIDHAA BA’DAL-QADHAA’, WA AS-ALUKA BARDA AL-‘AYSYI BA’DAL-MAWT, WA AS-ALUKA LADZDZATAN-NAZHORI ILAA WAJHIKA, WASY-SYAWQA ILAA LIQAA’IKA FIY GHAYRI DHARRAA’IN MUDHIRRAH, WA LAA FITNATIN MUDHILLAH. ALLAHUMMA ZAYYINNAA BI ZIINATIL-IIMAAN, WAJ’ALNAA HUDAATAN MUHTADIIN. Artinya: Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang hal yang ghaib dan kekuasaan-Mu atas seluruh makhluk, hidupkanlah aku selama Engkau mengetahui bahwa kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa kematian lebih baik bagiku. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan. Aku juga memohon kepada-Mu kalimat kebenaran dalam keadaan ridha maupun marah. Aku memohon kepada-Mu sikap tengah (pertengahan) dalam keadaan miskin maupun kaya. Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak akan pernah habis. Aku memohon kepada-Mu kebahagiaan yang tidak akan terputus. Aku memohon kepada-Mu keridhaan setelah qadha’ (takdir)-Mu. Aku memohon kepada-Mu kesejukan hidup setelah kematian. Aku memohon kepada-Mu kelezatan dalam memandang wajah-Mu, dan kerinduan untuk berjumpa dengan-Mu, tanpa penderitaan yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami orang-orang yang memberi petunjuk serta mendapat petunjuk. (HR. An-Nasa’i, no. 1305, dan Ahmad, no. 18351, dari sahabat Ammar bin Yasir, hadis ini disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Kalim At-Tayyib, no. 106)   Pelajaran dari Doa Ini 1. Kepasrahan kepada Takdir Allah “Allahumma bi ‘ilmikal-ghaiba wa qudratika ‘alal-khalqi, ahyini maa ‘alimtal-hayaata khayran lii, wa tawaffanii idzaa ‘alimtal-wafaata khayran lii.” Terjemahan: “Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang hal yang ghaib dan kekuasaan-Mu atas seluruh makhluk, hidupkanlah aku selama Engkau mengetahui bahwa kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa kematian lebih baik bagiku.” Pelajaran: Hidup dan mati bukan tentang keinginan kita, tetapi tentang apa yang terbaik menurut Allah. Kadang kita memohon panjang umur, padahal bisa jadi hidup lebih lama justru menjerumuskan kita. Kadang kita takut mati, padahal bisa jadi kematian adalah bentuk rahmat Allah yang menyelamatkan kita dari fitnah dunia. Doa ini mengajarkan kita untuk ridha dengan takdir-Nya, menerima apa pun keputusan Allah dengan lapang dada. 2. Memohon Rasa Takut kepada Allah di Segala Keadaan “Allahumma innii as-aluka khasyyataka fil-ghaybi wasy-syahaadah.” Terjemahan: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan.” Pelajaran: Takut kepada Allah adalah tanda hati yang hidup dan iman yang kuat. Jangan hanya terlihat shalih di depan orang lain, tetapi juga tetap takut kepada Allah ketika sendirian. Kejujuran iman terlihat dari bagaimana seseorang menjaga dirinya dari dosa saat tidak ada yang melihat. Rasa takut kepada Allah membuat kita selalu waspada terhadap perbuatan dosa, baik kecil maupun besar. 3. Memohon Keberanian Berkata Benar “Wa as-aluka kalimatal-haqqi fir-ridhaa wal-ghadab.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kalimat kebenaran dalam keadaan ridha maupun marah.” Pelajaran: Jangan biarkan emosi menguasai lisan kita. Saat senang, kita mudah melupakan kebenaran dan terlalu memuji sesuatu yang tidak layak. Saat marah, kita mudah berkata kasar dan zalim. Orang beriman harus mampu berkata jujur, adil, dan tidak berat sebelah dalam segala keadaan. 4. Memohon Sifat Pertengahan dalam Harta “Wa as-aluka al-qashda fil-faqri wal-ghinaa.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu sikap pertengahan dalam keadaan miskin maupun kaya.” Pelajaran: Kaya bisa membuat sombong, miskin bisa membuat putus asa. Sikap pertengahan membuat kita tetap bersyukur saat kaya dan tetap sabar saat miskin. Keseimbangan ini menjaga hati dari cinta dunia yang berlebihan. 5. Memohon Kenikmatan yang Abadi “Wa as-aluka na’iiman laa yanfad.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak akan habis.” Pelajaran: Dunia penuh dengan nikmat sementara yang cepat hilang. Kita meminta nikmat sejati, yaitu kenikmatan akhirat yang kekal. Surga adalah satu-satunya tempat di mana nikmat tidak akan pernah berakhir. 6. Memohon Kebahagiaan yang Tidak Terputus “Wa as-aluka qurrata ‘aynin laa tanqati’.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kebahagiaan yang tidak akan terputus.” Pelajaran: Dunia penuh kebahagiaan sesaat, tetapi kebahagiaan sejati ada di dekat Allah. Hanya kebahagiaan karena Allah yang tidak akan pernah hilang. Ketentraman hati datang dari keimanan yang kuat. 7. Memohon Ridha Setelah Takdir Berlaku “Wa as-aluka ar-ridhaa ba’dal-qadhaa’.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu keridhaan setelah ketetapan-Mu terjadi.” Pelajaran: Takdir Allah selalu yang terbaik, meskipun sulit kita pahami. Ridha setelah takdir terjadi adalah tanda iman yang kuat. Hidup akan lebih tenang jika kita mampu menerima ketetapan Allah dengan lapang dada. 8. Memohon Kesejukan Hidup Setelah Kematian “Wa as-aluka barda al-‘aysyi ba’dal-mawt.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kesejukan hidup setelah kematian.” Pelajaran: Kematian bukan akhir, tetapi awal dari perjalanan panjang. Kita meminta ketenangan di alam barzakh dan kebahagiaan di akhirat. Orang yang beramal baik akan mendapatkan ketenangan setelah kematian. 9. Memohon Kelezatan Memandang Wajah Allah dan Kerinduan Bertemu-Nya “Wa as-aluka ladzdzatan-nazhori ilaa wajhika, wasy-syawqa ilaa liqaa’ika fi ghayri dharraa’in mudhirrah, wa laa fitnatin mudhillah.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kelezatan memandang wajah-Mu dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu, tanpa penderitaan yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan.” Pelajaran: Kenikmatan tertinggi di surga adalah melihat Allah secara langsung. Semakin kita dekat dengan Allah di dunia, semakin besar kerinduan kita untuk bertemu-Nya. Kita meminta kesempatan bertemu Allah dalam keadaan baik, tanpa penderitaan dan tanpa tergelincir dalam kesesatan. 10. Memohon Perhiasan Iman dan Menjadi Petunjuk bagi Orang Lain “Allahumma zayyinnaa bi ziinatil-iimaan, waj’alnaa hudaatan muhtadiin.” Terjemahan: “Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami orang-orang yang memberi petunjuk serta mendapat petunjuk.” Pelajaran: Iman adalah perhiasan sejati yang lebih berharga daripada harta dunia. Kita tidak hanya ingin menjadi orang baik, tetapi juga ingin menjadi pembimbing kebaikan bagi orang lain. Menjadi petunjuk bagi orang lain adalah tugas mulia yang bisa mengantarkan kita pada keberkahan hidup. Baca juga: Doa Shalat Istikharah   Kesimpulan Doa ini bukan sekadar rangkaian kata, tetapi panduan hidup bagi orang beriman. Kita diajarkan untuk pasrah kepada Allah, bersikap adil, menjaga keseimbangan hidup, dan selalu merindukan pertemuan dengan-Nya. Doa ini adalah refleksi dari hati yang ingin lebih dekat dengan Allah dan hidup dengan penuh makna. Semoga dengan memahami maknanya, doa ini semakin masuk ke dalam hati kita dan menjadi bagian dari kehidupan kita. Aamiin. – Senin pagi, 3 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsdoa Ammar bin Yasir doa dan hikmah doa kebahagiaan doa ketenangan hati doa mendekatkan diri kepada Allah doa mustajab doa pasrah kepada Allah doa penuh makna doa Rasulullah doa sahabat Nabi kumpulan doa
Doa memiliki kekuatan luar biasa untuk mengubah hati dan kehidupan seseorang, terutama jika dipahami maknanya dengan mendalam. Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah ﷺ kepada sahabatnya, Ammar bin Yasir, mengandung pelajaran tentang kepasrahan, keteguhan iman, dan kerinduan kepada Allah. Dengan meresapi doa ini, kita tidak hanya menghafalnya, tetapi juga menjadikannya sebagai panduan dalam menghadapi kehidupan.   Daftar Isi tutup 1. Pelajaran dari Doa Ini 2. Kesimpulan   Haditsnya, عن [السائب بن مالك] قال: صلى بنا عمار بن ياسر رضي الله عنه صلاة فأوجز فقال له بعض القوم: لقد خففت أو أوجزت الصلاة فقال: أما على ذلك فقد دعوت فيها بدعوات سمعتهن من رسول الله صلى الله عليه وسلم فلما قام تبعه رجل من القوم فسأله عن الدعاء؟ فقال: اللهمَّ بعِلْمِكَ الغيبَ وقُدْرَتِكَ عَلَى الخلَقِ ، أحْيِني ما علِمْتَ الحياةَ خيرًا لِي ، وتَوَفَّنِي إذا عَلِمْتَ الوفَاةَ خيرًا لي ، اللهمَّ إِنَّي أسألُكَ خشْيَتَكَ في الغيبِ والشهادَةِ ، و أسأَلُكَ كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الرِّضَا والغضَبِ ، وأسألُكَ القصدَ في الفقرِ والغِنَى ، وأسألُكَ نعيمًا لَا ينفَدُ ، و أسالُكَ قرَّةَ عينٍ لا تنقَطِعُ ، وأسألُكَ الرِّضَى بعدَ القضاءِ ، وأسألُكَ برْدَ العيشِ بعدَ الموْتِ ، وأسألُكَ لذَّةَ النظرِ إلى وجهِكَ ، والشوْقَ إلى لقائِكَ في غيرِ ضراءَ مُضِرَّةٍ ، ولا فتنةٍ مُضِلَّةٍ ، اللهم زيِّنَّا بزينَةِ الإيمانِ ، واجعلنا هُداةً مهتدينَ Dari [As-Sā`ib bin Mālik], ia berkata: “Ammār bin Yāsir radhiyallāhu ‘anhu mengimami kami dalam shalat, dan ia meringankannya (memendekkannya). Maka seseorang dari jamaah berkata kepadanya, ‘Sungguh, engkau telah meringankan atau memendekkan shalat.’” Ammār pun menjawab: “Ketahuilah bahwa di dalamnya aku telah berdoa dengan doa yang pernah kudengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Setelah selesai shalat, seseorang dari jamaah mengikutinya dan bertanya tentang doa tersebut. Lalu Ammār menjawab: اللَّهُمَّ بِعِلْمِكَ الغَيْبَ وَقُدْرَتِكَ عَلَى الخَلْقِ، أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الحَيَاةَ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا عَلِمْتَ الوَفَاةَ خَيْرًا لِي، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِي الغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، وَأَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الحَقِّ فِي الرِّضَا وَالغَضَبِ، وَأَسْأَلُكَ القَصْدَ فِي الفَقْرِ وَالغِنَى، وَأَسْأَلُكَ نَعِيمًا لَا يَنفَدُ، وَأَسْأَلُكَ قُرَّةَ عَيْنٍ لَا تَنْقَطِعُ، وَأَسْأَلُكَ الرِّضَا بَعْدَ القَضَاءِ، وَأَسْأَلُكَ بَرْدَ العَيْشِ بَعْدَ المَوْتِ، وَأَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ، وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ فِي غَيْرِ ضَرَّاءِ مُضِرَّةٍ، وَلَا فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ، اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الإِيمَانِ، وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِينَ. ALLAHUMMA BI ‘ILMIKAL-GHAIBA WA QUDRATIKA ‘ALAL-KHALQI, AHYINI MAA ‘ALIMTAL-HAYAATA KHAYRAN LII, WA TAWAFFANII IDZAA ‘ALIMTAL-WAFAATA KHAYRAN LII. ALLAHUMMA INNII AS-ALUKA KHASYYATAKA FIL-GHAYBI WASY-SYAHAADAH, WA AS-ALUKA KALIMATAL-HAQQI FIR-RIDHAA WAL-GHADAB, WA AS-ALUKA AL-QASHDA FIL-FAQRI WAL-GHINAA, WA AS-ALUKA NA’IIMAN LAA YANFAD, WA AS-ALUKA QURRATA ‘AYNIN LAA TANQATI’, WA AS-ALUKA AR-RIDHAA BA’DAL-QADHAA’, WA AS-ALUKA BARDA AL-‘AYSYI BA’DAL-MAWT, WA AS-ALUKA LADZDZATAN-NAZHORI ILAA WAJHIKA, WASY-SYAWQA ILAA LIQAA’IKA FIY GHAYRI DHARRAA’IN MUDHIRRAH, WA LAA FITNATIN MUDHILLAH. ALLAHUMMA ZAYYINNAA BI ZIINATIL-IIMAAN, WAJ’ALNAA HUDAATAN MUHTADIIN. Artinya: Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang hal yang ghaib dan kekuasaan-Mu atas seluruh makhluk, hidupkanlah aku selama Engkau mengetahui bahwa kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa kematian lebih baik bagiku. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan. Aku juga memohon kepada-Mu kalimat kebenaran dalam keadaan ridha maupun marah. Aku memohon kepada-Mu sikap tengah (pertengahan) dalam keadaan miskin maupun kaya. Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak akan pernah habis. Aku memohon kepada-Mu kebahagiaan yang tidak akan terputus. Aku memohon kepada-Mu keridhaan setelah qadha’ (takdir)-Mu. Aku memohon kepada-Mu kesejukan hidup setelah kematian. Aku memohon kepada-Mu kelezatan dalam memandang wajah-Mu, dan kerinduan untuk berjumpa dengan-Mu, tanpa penderitaan yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami orang-orang yang memberi petunjuk serta mendapat petunjuk. (HR. An-Nasa’i, no. 1305, dan Ahmad, no. 18351, dari sahabat Ammar bin Yasir, hadis ini disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Kalim At-Tayyib, no. 106)   Pelajaran dari Doa Ini 1. Kepasrahan kepada Takdir Allah “Allahumma bi ‘ilmikal-ghaiba wa qudratika ‘alal-khalqi, ahyini maa ‘alimtal-hayaata khayran lii, wa tawaffanii idzaa ‘alimtal-wafaata khayran lii.” Terjemahan: “Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang hal yang ghaib dan kekuasaan-Mu atas seluruh makhluk, hidupkanlah aku selama Engkau mengetahui bahwa kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa kematian lebih baik bagiku.” Pelajaran: Hidup dan mati bukan tentang keinginan kita, tetapi tentang apa yang terbaik menurut Allah. Kadang kita memohon panjang umur, padahal bisa jadi hidup lebih lama justru menjerumuskan kita. Kadang kita takut mati, padahal bisa jadi kematian adalah bentuk rahmat Allah yang menyelamatkan kita dari fitnah dunia. Doa ini mengajarkan kita untuk ridha dengan takdir-Nya, menerima apa pun keputusan Allah dengan lapang dada. 2. Memohon Rasa Takut kepada Allah di Segala Keadaan “Allahumma innii as-aluka khasyyataka fil-ghaybi wasy-syahaadah.” Terjemahan: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan.” Pelajaran: Takut kepada Allah adalah tanda hati yang hidup dan iman yang kuat. Jangan hanya terlihat shalih di depan orang lain, tetapi juga tetap takut kepada Allah ketika sendirian. Kejujuran iman terlihat dari bagaimana seseorang menjaga dirinya dari dosa saat tidak ada yang melihat. Rasa takut kepada Allah membuat kita selalu waspada terhadap perbuatan dosa, baik kecil maupun besar. 3. Memohon Keberanian Berkata Benar “Wa as-aluka kalimatal-haqqi fir-ridhaa wal-ghadab.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kalimat kebenaran dalam keadaan ridha maupun marah.” Pelajaran: Jangan biarkan emosi menguasai lisan kita. Saat senang, kita mudah melupakan kebenaran dan terlalu memuji sesuatu yang tidak layak. Saat marah, kita mudah berkata kasar dan zalim. Orang beriman harus mampu berkata jujur, adil, dan tidak berat sebelah dalam segala keadaan. 4. Memohon Sifat Pertengahan dalam Harta “Wa as-aluka al-qashda fil-faqri wal-ghinaa.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu sikap pertengahan dalam keadaan miskin maupun kaya.” Pelajaran: Kaya bisa membuat sombong, miskin bisa membuat putus asa. Sikap pertengahan membuat kita tetap bersyukur saat kaya dan tetap sabar saat miskin. Keseimbangan ini menjaga hati dari cinta dunia yang berlebihan. 5. Memohon Kenikmatan yang Abadi “Wa as-aluka na’iiman laa yanfad.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak akan habis.” Pelajaran: Dunia penuh dengan nikmat sementara yang cepat hilang. Kita meminta nikmat sejati, yaitu kenikmatan akhirat yang kekal. Surga adalah satu-satunya tempat di mana nikmat tidak akan pernah berakhir. 6. Memohon Kebahagiaan yang Tidak Terputus “Wa as-aluka qurrata ‘aynin laa tanqati’.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kebahagiaan yang tidak akan terputus.” Pelajaran: Dunia penuh kebahagiaan sesaat, tetapi kebahagiaan sejati ada di dekat Allah. Hanya kebahagiaan karena Allah yang tidak akan pernah hilang. Ketentraman hati datang dari keimanan yang kuat. 7. Memohon Ridha Setelah Takdir Berlaku “Wa as-aluka ar-ridhaa ba’dal-qadhaa’.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu keridhaan setelah ketetapan-Mu terjadi.” Pelajaran: Takdir Allah selalu yang terbaik, meskipun sulit kita pahami. Ridha setelah takdir terjadi adalah tanda iman yang kuat. Hidup akan lebih tenang jika kita mampu menerima ketetapan Allah dengan lapang dada. 8. Memohon Kesejukan Hidup Setelah Kematian “Wa as-aluka barda al-‘aysyi ba’dal-mawt.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kesejukan hidup setelah kematian.” Pelajaran: Kematian bukan akhir, tetapi awal dari perjalanan panjang. Kita meminta ketenangan di alam barzakh dan kebahagiaan di akhirat. Orang yang beramal baik akan mendapatkan ketenangan setelah kematian. 9. Memohon Kelezatan Memandang Wajah Allah dan Kerinduan Bertemu-Nya “Wa as-aluka ladzdzatan-nazhori ilaa wajhika, wasy-syawqa ilaa liqaa’ika fi ghayri dharraa’in mudhirrah, wa laa fitnatin mudhillah.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kelezatan memandang wajah-Mu dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu, tanpa penderitaan yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan.” Pelajaran: Kenikmatan tertinggi di surga adalah melihat Allah secara langsung. Semakin kita dekat dengan Allah di dunia, semakin besar kerinduan kita untuk bertemu-Nya. Kita meminta kesempatan bertemu Allah dalam keadaan baik, tanpa penderitaan dan tanpa tergelincir dalam kesesatan. 10. Memohon Perhiasan Iman dan Menjadi Petunjuk bagi Orang Lain “Allahumma zayyinnaa bi ziinatil-iimaan, waj’alnaa hudaatan muhtadiin.” Terjemahan: “Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami orang-orang yang memberi petunjuk serta mendapat petunjuk.” Pelajaran: Iman adalah perhiasan sejati yang lebih berharga daripada harta dunia. Kita tidak hanya ingin menjadi orang baik, tetapi juga ingin menjadi pembimbing kebaikan bagi orang lain. Menjadi petunjuk bagi orang lain adalah tugas mulia yang bisa mengantarkan kita pada keberkahan hidup. Baca juga: Doa Shalat Istikharah   Kesimpulan Doa ini bukan sekadar rangkaian kata, tetapi panduan hidup bagi orang beriman. Kita diajarkan untuk pasrah kepada Allah, bersikap adil, menjaga keseimbangan hidup, dan selalu merindukan pertemuan dengan-Nya. Doa ini adalah refleksi dari hati yang ingin lebih dekat dengan Allah dan hidup dengan penuh makna. Semoga dengan memahami maknanya, doa ini semakin masuk ke dalam hati kita dan menjadi bagian dari kehidupan kita. Aamiin. – Senin pagi, 3 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsdoa Ammar bin Yasir doa dan hikmah doa kebahagiaan doa ketenangan hati doa mendekatkan diri kepada Allah doa mustajab doa pasrah kepada Allah doa penuh makna doa Rasulullah doa sahabat Nabi kumpulan doa


Doa memiliki kekuatan luar biasa untuk mengubah hati dan kehidupan seseorang, terutama jika dipahami maknanya dengan mendalam. Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah ﷺ kepada sahabatnya, Ammar bin Yasir, mengandung pelajaran tentang kepasrahan, keteguhan iman, dan kerinduan kepada Allah. Dengan meresapi doa ini, kita tidak hanya menghafalnya, tetapi juga menjadikannya sebagai panduan dalam menghadapi kehidupan.   Daftar Isi tutup 1. Pelajaran dari Doa Ini 2. Kesimpulan   Haditsnya, عن [السائب بن مالك] قال: صلى بنا عمار بن ياسر رضي الله عنه صلاة فأوجز فقال له بعض القوم: لقد خففت أو أوجزت الصلاة فقال: أما على ذلك فقد دعوت فيها بدعوات سمعتهن من رسول الله صلى الله عليه وسلم فلما قام تبعه رجل من القوم فسأله عن الدعاء؟ فقال: اللهمَّ بعِلْمِكَ الغيبَ وقُدْرَتِكَ عَلَى الخلَقِ ، أحْيِني ما علِمْتَ الحياةَ خيرًا لِي ، وتَوَفَّنِي إذا عَلِمْتَ الوفَاةَ خيرًا لي ، اللهمَّ إِنَّي أسألُكَ خشْيَتَكَ في الغيبِ والشهادَةِ ، و أسأَلُكَ كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الرِّضَا والغضَبِ ، وأسألُكَ القصدَ في الفقرِ والغِنَى ، وأسألُكَ نعيمًا لَا ينفَدُ ، و أسالُكَ قرَّةَ عينٍ لا تنقَطِعُ ، وأسألُكَ الرِّضَى بعدَ القضاءِ ، وأسألُكَ برْدَ العيشِ بعدَ الموْتِ ، وأسألُكَ لذَّةَ النظرِ إلى وجهِكَ ، والشوْقَ إلى لقائِكَ في غيرِ ضراءَ مُضِرَّةٍ ، ولا فتنةٍ مُضِلَّةٍ ، اللهم زيِّنَّا بزينَةِ الإيمانِ ، واجعلنا هُداةً مهتدينَ Dari [As-Sā`ib bin Mālik], ia berkata: “Ammār bin Yāsir radhiyallāhu ‘anhu mengimami kami dalam shalat, dan ia meringankannya (memendekkannya). Maka seseorang dari jamaah berkata kepadanya, ‘Sungguh, engkau telah meringankan atau memendekkan shalat.’” Ammār pun menjawab: “Ketahuilah bahwa di dalamnya aku telah berdoa dengan doa yang pernah kudengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Setelah selesai shalat, seseorang dari jamaah mengikutinya dan bertanya tentang doa tersebut. Lalu Ammār menjawab: اللَّهُمَّ بِعِلْمِكَ الغَيْبَ وَقُدْرَتِكَ عَلَى الخَلْقِ، أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الحَيَاةَ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا عَلِمْتَ الوَفَاةَ خَيْرًا لِي، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِي الغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، وَأَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الحَقِّ فِي الرِّضَا وَالغَضَبِ، وَأَسْأَلُكَ القَصْدَ فِي الفَقْرِ وَالغِنَى، وَأَسْأَلُكَ نَعِيمًا لَا يَنفَدُ، وَأَسْأَلُكَ قُرَّةَ عَيْنٍ لَا تَنْقَطِعُ، وَأَسْأَلُكَ الرِّضَا بَعْدَ القَضَاءِ، وَأَسْأَلُكَ بَرْدَ العَيْشِ بَعْدَ المَوْتِ، وَأَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ، وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ فِي غَيْرِ ضَرَّاءِ مُضِرَّةٍ، وَلَا فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ، اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الإِيمَانِ، وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِينَ. ALLAHUMMA BI ‘ILMIKAL-GHAIBA WA QUDRATIKA ‘ALAL-KHALQI, AHYINI MAA ‘ALIMTAL-HAYAATA KHAYRAN LII, WA TAWAFFANII IDZAA ‘ALIMTAL-WAFAATA KHAYRAN LII. ALLAHUMMA INNII AS-ALUKA KHASYYATAKA FIL-GHAYBI WASY-SYAHAADAH, WA AS-ALUKA KALIMATAL-HAQQI FIR-RIDHAA WAL-GHADAB, WA AS-ALUKA AL-QASHDA FIL-FAQRI WAL-GHINAA, WA AS-ALUKA NA’IIMAN LAA YANFAD, WA AS-ALUKA QURRATA ‘AYNIN LAA TANQATI’, WA AS-ALUKA AR-RIDHAA BA’DAL-QADHAA’, WA AS-ALUKA BARDA AL-‘AYSYI BA’DAL-MAWT, WA AS-ALUKA LADZDZATAN-NAZHORI ILAA WAJHIKA, WASY-SYAWQA ILAA LIQAA’IKA FIY GHAYRI DHARRAA’IN MUDHIRRAH, WA LAA FITNATIN MUDHILLAH. ALLAHUMMA ZAYYINNAA BI ZIINATIL-IIMAAN, WAJ’ALNAA HUDAATAN MUHTADIIN. Artinya: Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang hal yang ghaib dan kekuasaan-Mu atas seluruh makhluk, hidupkanlah aku selama Engkau mengetahui bahwa kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa kematian lebih baik bagiku. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan. Aku juga memohon kepada-Mu kalimat kebenaran dalam keadaan ridha maupun marah. Aku memohon kepada-Mu sikap tengah (pertengahan) dalam keadaan miskin maupun kaya. Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak akan pernah habis. Aku memohon kepada-Mu kebahagiaan yang tidak akan terputus. Aku memohon kepada-Mu keridhaan setelah qadha’ (takdir)-Mu. Aku memohon kepada-Mu kesejukan hidup setelah kematian. Aku memohon kepada-Mu kelezatan dalam memandang wajah-Mu, dan kerinduan untuk berjumpa dengan-Mu, tanpa penderitaan yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami orang-orang yang memberi petunjuk serta mendapat petunjuk. (HR. An-Nasa’i, no. 1305, dan Ahmad, no. 18351, dari sahabat Ammar bin Yasir, hadis ini disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Kalim At-Tayyib, no. 106)   Pelajaran dari Doa Ini 1. Kepasrahan kepada Takdir Allah “Allahumma bi ‘ilmikal-ghaiba wa qudratika ‘alal-khalqi, ahyini maa ‘alimtal-hayaata khayran lii, wa tawaffanii idzaa ‘alimtal-wafaata khayran lii.” Terjemahan: “Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang hal yang ghaib dan kekuasaan-Mu atas seluruh makhluk, hidupkanlah aku selama Engkau mengetahui bahwa kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa kematian lebih baik bagiku.” Pelajaran: Hidup dan mati bukan tentang keinginan kita, tetapi tentang apa yang terbaik menurut Allah. Kadang kita memohon panjang umur, padahal bisa jadi hidup lebih lama justru menjerumuskan kita. Kadang kita takut mati, padahal bisa jadi kematian adalah bentuk rahmat Allah yang menyelamatkan kita dari fitnah dunia. Doa ini mengajarkan kita untuk ridha dengan takdir-Nya, menerima apa pun keputusan Allah dengan lapang dada. 2. Memohon Rasa Takut kepada Allah di Segala Keadaan “Allahumma innii as-aluka khasyyataka fil-ghaybi wasy-syahaadah.” Terjemahan: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan.” Pelajaran: Takut kepada Allah adalah tanda hati yang hidup dan iman yang kuat. Jangan hanya terlihat shalih di depan orang lain, tetapi juga tetap takut kepada Allah ketika sendirian. Kejujuran iman terlihat dari bagaimana seseorang menjaga dirinya dari dosa saat tidak ada yang melihat. Rasa takut kepada Allah membuat kita selalu waspada terhadap perbuatan dosa, baik kecil maupun besar. 3. Memohon Keberanian Berkata Benar “Wa as-aluka kalimatal-haqqi fir-ridhaa wal-ghadab.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kalimat kebenaran dalam keadaan ridha maupun marah.” Pelajaran: Jangan biarkan emosi menguasai lisan kita. Saat senang, kita mudah melupakan kebenaran dan terlalu memuji sesuatu yang tidak layak. Saat marah, kita mudah berkata kasar dan zalim. Orang beriman harus mampu berkata jujur, adil, dan tidak berat sebelah dalam segala keadaan. 4. Memohon Sifat Pertengahan dalam Harta “Wa as-aluka al-qashda fil-faqri wal-ghinaa.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu sikap pertengahan dalam keadaan miskin maupun kaya.” Pelajaran: Kaya bisa membuat sombong, miskin bisa membuat putus asa. Sikap pertengahan membuat kita tetap bersyukur saat kaya dan tetap sabar saat miskin. Keseimbangan ini menjaga hati dari cinta dunia yang berlebihan. 5. Memohon Kenikmatan yang Abadi “Wa as-aluka na’iiman laa yanfad.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak akan habis.” Pelajaran: Dunia penuh dengan nikmat sementara yang cepat hilang. Kita meminta nikmat sejati, yaitu kenikmatan akhirat yang kekal. Surga adalah satu-satunya tempat di mana nikmat tidak akan pernah berakhir. 6. Memohon Kebahagiaan yang Tidak Terputus “Wa as-aluka qurrata ‘aynin laa tanqati’.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kebahagiaan yang tidak akan terputus.” Pelajaran: Dunia penuh kebahagiaan sesaat, tetapi kebahagiaan sejati ada di dekat Allah. Hanya kebahagiaan karena Allah yang tidak akan pernah hilang. Ketentraman hati datang dari keimanan yang kuat. 7. Memohon Ridha Setelah Takdir Berlaku “Wa as-aluka ar-ridhaa ba’dal-qadhaa’.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu keridhaan setelah ketetapan-Mu terjadi.” Pelajaran: Takdir Allah selalu yang terbaik, meskipun sulit kita pahami. Ridha setelah takdir terjadi adalah tanda iman yang kuat. Hidup akan lebih tenang jika kita mampu menerima ketetapan Allah dengan lapang dada. 8. Memohon Kesejukan Hidup Setelah Kematian “Wa as-aluka barda al-‘aysyi ba’dal-mawt.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kesejukan hidup setelah kematian.” Pelajaran: Kematian bukan akhir, tetapi awal dari perjalanan panjang. Kita meminta ketenangan di alam barzakh dan kebahagiaan di akhirat. Orang yang beramal baik akan mendapatkan ketenangan setelah kematian. 9. Memohon Kelezatan Memandang Wajah Allah dan Kerinduan Bertemu-Nya “Wa as-aluka ladzdzatan-nazhori ilaa wajhika, wasy-syawqa ilaa liqaa’ika fi ghayri dharraa’in mudhirrah, wa laa fitnatin mudhillah.” Terjemahan: “Aku memohon kepada-Mu kelezatan memandang wajah-Mu dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu, tanpa penderitaan yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan.” Pelajaran: Kenikmatan tertinggi di surga adalah melihat Allah secara langsung. Semakin kita dekat dengan Allah di dunia, semakin besar kerinduan kita untuk bertemu-Nya. Kita meminta kesempatan bertemu Allah dalam keadaan baik, tanpa penderitaan dan tanpa tergelincir dalam kesesatan. 10. Memohon Perhiasan Iman dan Menjadi Petunjuk bagi Orang Lain “Allahumma zayyinnaa bi ziinatil-iimaan, waj’alnaa hudaatan muhtadiin.” Terjemahan: “Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami orang-orang yang memberi petunjuk serta mendapat petunjuk.” Pelajaran: Iman adalah perhiasan sejati yang lebih berharga daripada harta dunia. Kita tidak hanya ingin menjadi orang baik, tetapi juga ingin menjadi pembimbing kebaikan bagi orang lain. Menjadi petunjuk bagi orang lain adalah tugas mulia yang bisa mengantarkan kita pada keberkahan hidup. Baca juga: Doa Shalat Istikharah   Kesimpulan Doa ini bukan sekadar rangkaian kata, tetapi panduan hidup bagi orang beriman. Kita diajarkan untuk pasrah kepada Allah, bersikap adil, menjaga keseimbangan hidup, dan selalu merindukan pertemuan dengan-Nya. Doa ini adalah refleksi dari hati yang ingin lebih dekat dengan Allah dan hidup dengan penuh makna. Semoga dengan memahami maknanya, doa ini semakin masuk ke dalam hati kita dan menjadi bagian dari kehidupan kita. Aamiin. – Senin pagi, 3 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsdoa Ammar bin Yasir doa dan hikmah doa kebahagiaan doa ketenangan hati doa mendekatkan diri kepada Allah doa mustajab doa pasrah kepada Allah doa penuh makna doa Rasulullah doa sahabat Nabi kumpulan doa

Fikih Salat Tobat

Daftar Isi Toggle Hadis-hadis tentang salat tobatKeutamaan salat tobatPertama: Mendapatkan ampunan dari AllahKedua: Mengamalkan sunah RasulullahKetiga: Menghidupkan sunah yang terlupakanTata cara salat tobatPertama: Dilakukan ketika bertekad untuk bertobatKedua: Berwudu, melaksanakan salat dua rakaat, kemudian beristigfarKetiga: Salat tobat dilakukan kapan pun, walaupun pada waktu terlarangApa yang dibaca dalam salat tobat? Setiap muslim hendaknya senantiasa bertakwa kepada Allah Ta’ala, merasa diawasi oleh-Nya, serta selalu menjauhi perbuatan maksiat. Namun, sebagai manusia, tentu tidak terlepas dari kesalahan dan dosa. Islam memberikan jalan kembali bagi hamba-Nya melalui tobat yang tulus. Salah satu bentuk ibadah yang disyariatkan dalam proses tobat adalah salat tobat. Dalam artikel ini, kita akan membahas berbagai aspek penting terkait salat tobat, mulai dari hadis-hadis yang menjadi dasarnya, keutamaannya, tata cara pelaksanaannya, hingga doa dan zikir yang dianjurkan setelahnya. Dengan memahami hal ini, semoga kita dapat mengamalkan salat tobat sebagai bagian dari sunah Nabi Muhammad ﷺ dan mendekatkan diri kepada Allah dengan penuh kesadaran. Hadis-hadis tentang salat tobat Terdapat banyak hadis yang membahas tentang salat tobat. Di antara yang terpenting adalah sebagai berikut: Pertama: Hadis dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, مَا مِنْ رَجُلٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَقُومُ فَيَتَطَهَّرُ، ثُمَّ يُصَلِّي ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ لَهُ ‘Tidaklah seseorang melakukan dosa, kemudian ia bangkit dan bersuci (berwudu), lalu melaksanakan salat, kemudian memohon ampun kepada Allah, kecuali Allah akan mengampuninya.’ Lalu, beliau membaca ayat berikut,  وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ  ‘Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri mereka sendiri, mereka segera mengingat Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka. Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak terus-menerus melakukan dosa itu, sedang mereka mengetahui.’ (QS. Ali ‘Imran: 135)” Hadis ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Sahih Sunan At-Tirmidzi, 1: 128. [1] Kedua: Hadis dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Bahwa dia mendengar Rasulullah bersabda, مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ أَوْ أَرْبَعًا (شك أحد الرواة) يُحْسِنُ فِيهِمَا الذِّكْرَ وَالْخُشُوعَ، ثُمَّ اسْتَغْفَرَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ، غَفَرَ لَهُ ‘Barangsiapa berwudu dengan sempurna, lalu bangkit melaksanakan salat dua rakaat atau empat rakaat (salah seorang perawi ragu dalam jumlah rakaatnya), dengan menyempurnakan zikir dan kekhusyukan di dalamnya, lalu memohon ampun kepada Allah ‘Azza Wajalla, maka Allah akan mengampuninya.’ “ (HR. Ahmad no. 26998) Para peneliti Musnad Imam Ahmad menyatakan bahwa sanad hadis ini hasan. Hadis ini juga disebutkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits As-Sahihah, no. 3398. Keutamaan salat tobat Hadis-hadis sebelumnya telah menjelaskan adanya dalil yang menetapkan salat tobat. Salat ini memiliki berbagai keutamaan, di antaranya: Pertama: Mendapatkan ampunan dari Allah Nabi ﷺ bersabda, إِلَّا غَفَرَ لَهُ “… kecuali Allah akan mengampuninya.” (HR. Tirmidzi, Sahih Sunan At-Tirmidzi, 1: 128) Artinya, siapa saja yang melakukan semua yang disebutkan dalam hadis (yaitu: berwudu, melaksanakan salat, dan beristigfar), maka ia berhak mendapatkan pahala yang dijanjikan, yaitu ampunan dari Allah. Kedua: Mengamalkan sunah Rasulullah Salat ini juga disepakati sebagai amalan yang dianjurkan (mustahab) menurut keempat mazhab fikih. [2] Hendaklah seorang hamba semangat dalam mempraktikkan sunah beliau, sehingga mendapatkan kecintaan Allah Ta’ala. Ketiga: Menghidupkan sunah yang terlupakan Saat ini, salat tobat telah menjadi salah satu sunah yang jarang diamalkan. [3] Siapa saja yang mengamalkan sunah ini, dan diikuti oleh orang lain, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Rasulullah ﷺ bersabda, من أحيا سنة من سنتي قد أميتت بعدي، فإن له من الأجر مثل من عمل بها، من غير أن ينقص من أجورهم شيئا “Barangsiapa menghidupkan satu sunah dari sunahku yang telah ditinggalkan setelahku, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. At-Tirmidzi no. 2677, dinilai hasan) [4] Baca juga: Apakah Tobatnya Pembunuh Diterima oleh Allah? Tata cara salat tobat Pertama: Dilakukan ketika bertekad untuk bertobat Salat tobat dianjurkan untuk dilakukan ketika seorang muslim bertekad untuk bertobat dari dosa yang telah ia perbuat, baik itu segera setelah melakukan maksiat maupun beberapa waktu setelahnya. Syekh Nawawi Al-Jawi mengatakan, “Di antara salat sunah adalah salat tobat, yaitu dua rakaat sebelum bertobat dengan niat salat sunah tobat. Salat ini juga tetap sah jika dilakukan setelah tobat. Tobat wajib dilakukan segera, meskipun dari dosa kecil. Menunda tobat adalah dosa yang juga wajib ditobati. Namun, menunda tobat dengan melaksanakan dua rakaat ini tidak dianggap menunda tobat, karena keduanya termasuk bagian dari sarana tobat.” [5] Kedua: Berwudu, melaksanakan salat dua rakaat, kemudian beristigfar Hal ini sebagaimana terdapat dalam nash hadis-hadis yang telah disebutkan di atas. Al-Buhutiy rahimahullah mengatakan, تسن (صلاة التوبة إذا أذنب ذنبًا، يتطهر ثم يصلي ركعتين، ثم يستغفر الله تعالى) “Disunahkan melaksanakan salat tobat ketika seseorang melakukan dosa. Ia berwudu, kemudian melaksanakan dua rakaat, lalu memohon ampun kepada Allah Ta’ala.” Kemudian beliau menyebutkan dalil hadis riwayat At-Tirmizdi di atas. [6] Ketiga: Salat tobat dilakukan kapan pun, walaupun pada waktu terlarang Mengenai pelaksanaan salat tobat pada waktu-waktu yang terlarang, para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa salat yang memiliki sebab (termasuk salat tobat) tetap boleh dilakukan pada waktu-waktu terlarang. Pendapat ini merupakan mazhab Imam Asy-Syafi’i, salah satu riwayat dari Imam Ahmad yang dipilih oleh Abu Al-Khattab dan sebagian ulama Hanbali, serta didukung oleh Ibnu Taimiyah. Mereka berargumen bahwa aturan umum mengenai salat yang memiliki sebab tetap berlaku dan tidak dikecualikan dari waktu terlarang. Sebaliknya, larangan umum tentang salat pada waktu-waktu tertentu telah dikecualikan dalam beberapa kasus, sehingga statusnya tidak sekuat aturan tentang salat yang memiliki sebab.[7] Apa yang dibaca dalam salat tobat? Tidak terdapat riwayat dari Nabi ﷺ yang menunjukkan anjuran untuk membaca surat tertentu dalam dua rakaat salat tobat. Oleh karena itu, seseorang dapat membaca ayat atau surat apa pun yang ia kehendaki. Wallaahu a’lam. [8] Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa bertakwa kepada-Nya kapan dan di mana pun kita berada, dan untuk segera bertobat dari dosa yang telah kita lakukan. Amin. Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? *** Rumdin PPIA Sragen, 18 Sya’ban 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 H (Maktabah Syamilah). https://islamqa.info/ar/98030   Catatan kaki: [1] Terdapat hadis dengan makna serupa juga diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1521 dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Sahih Abi Dawud. Lihat Bughyah Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tathawwu’, hal. 96. [2] Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 164. Lihat juga https://dorar.net/feqhia/1272 [3] https://isla.mw/aoza2s [4] https://dorar.net/hadith/sharh/87030 [5] Nihayatuz Zain, hal. 106. [6] Kasyaf Al-Qina’, 3: 109. [7] http://iswy.co/e2edhu [8] Lihat https://islamqa.info/ar/98030 dan https://isla.mw/abiho2

Fikih Salat Tobat

Daftar Isi Toggle Hadis-hadis tentang salat tobatKeutamaan salat tobatPertama: Mendapatkan ampunan dari AllahKedua: Mengamalkan sunah RasulullahKetiga: Menghidupkan sunah yang terlupakanTata cara salat tobatPertama: Dilakukan ketika bertekad untuk bertobatKedua: Berwudu, melaksanakan salat dua rakaat, kemudian beristigfarKetiga: Salat tobat dilakukan kapan pun, walaupun pada waktu terlarangApa yang dibaca dalam salat tobat? Setiap muslim hendaknya senantiasa bertakwa kepada Allah Ta’ala, merasa diawasi oleh-Nya, serta selalu menjauhi perbuatan maksiat. Namun, sebagai manusia, tentu tidak terlepas dari kesalahan dan dosa. Islam memberikan jalan kembali bagi hamba-Nya melalui tobat yang tulus. Salah satu bentuk ibadah yang disyariatkan dalam proses tobat adalah salat tobat. Dalam artikel ini, kita akan membahas berbagai aspek penting terkait salat tobat, mulai dari hadis-hadis yang menjadi dasarnya, keutamaannya, tata cara pelaksanaannya, hingga doa dan zikir yang dianjurkan setelahnya. Dengan memahami hal ini, semoga kita dapat mengamalkan salat tobat sebagai bagian dari sunah Nabi Muhammad ﷺ dan mendekatkan diri kepada Allah dengan penuh kesadaran. Hadis-hadis tentang salat tobat Terdapat banyak hadis yang membahas tentang salat tobat. Di antara yang terpenting adalah sebagai berikut: Pertama: Hadis dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, مَا مِنْ رَجُلٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَقُومُ فَيَتَطَهَّرُ، ثُمَّ يُصَلِّي ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ لَهُ ‘Tidaklah seseorang melakukan dosa, kemudian ia bangkit dan bersuci (berwudu), lalu melaksanakan salat, kemudian memohon ampun kepada Allah, kecuali Allah akan mengampuninya.’ Lalu, beliau membaca ayat berikut,  وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ  ‘Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri mereka sendiri, mereka segera mengingat Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka. Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak terus-menerus melakukan dosa itu, sedang mereka mengetahui.’ (QS. Ali ‘Imran: 135)” Hadis ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Sahih Sunan At-Tirmidzi, 1: 128. [1] Kedua: Hadis dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Bahwa dia mendengar Rasulullah bersabda, مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ أَوْ أَرْبَعًا (شك أحد الرواة) يُحْسِنُ فِيهِمَا الذِّكْرَ وَالْخُشُوعَ، ثُمَّ اسْتَغْفَرَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ، غَفَرَ لَهُ ‘Barangsiapa berwudu dengan sempurna, lalu bangkit melaksanakan salat dua rakaat atau empat rakaat (salah seorang perawi ragu dalam jumlah rakaatnya), dengan menyempurnakan zikir dan kekhusyukan di dalamnya, lalu memohon ampun kepada Allah ‘Azza Wajalla, maka Allah akan mengampuninya.’ “ (HR. Ahmad no. 26998) Para peneliti Musnad Imam Ahmad menyatakan bahwa sanad hadis ini hasan. Hadis ini juga disebutkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits As-Sahihah, no. 3398. Keutamaan salat tobat Hadis-hadis sebelumnya telah menjelaskan adanya dalil yang menetapkan salat tobat. Salat ini memiliki berbagai keutamaan, di antaranya: Pertama: Mendapatkan ampunan dari Allah Nabi ﷺ bersabda, إِلَّا غَفَرَ لَهُ “… kecuali Allah akan mengampuninya.” (HR. Tirmidzi, Sahih Sunan At-Tirmidzi, 1: 128) Artinya, siapa saja yang melakukan semua yang disebutkan dalam hadis (yaitu: berwudu, melaksanakan salat, dan beristigfar), maka ia berhak mendapatkan pahala yang dijanjikan, yaitu ampunan dari Allah. Kedua: Mengamalkan sunah Rasulullah Salat ini juga disepakati sebagai amalan yang dianjurkan (mustahab) menurut keempat mazhab fikih. [2] Hendaklah seorang hamba semangat dalam mempraktikkan sunah beliau, sehingga mendapatkan kecintaan Allah Ta’ala. Ketiga: Menghidupkan sunah yang terlupakan Saat ini, salat tobat telah menjadi salah satu sunah yang jarang diamalkan. [3] Siapa saja yang mengamalkan sunah ini, dan diikuti oleh orang lain, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Rasulullah ﷺ bersabda, من أحيا سنة من سنتي قد أميتت بعدي، فإن له من الأجر مثل من عمل بها، من غير أن ينقص من أجورهم شيئا “Barangsiapa menghidupkan satu sunah dari sunahku yang telah ditinggalkan setelahku, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. At-Tirmidzi no. 2677, dinilai hasan) [4] Baca juga: Apakah Tobatnya Pembunuh Diterima oleh Allah? Tata cara salat tobat Pertama: Dilakukan ketika bertekad untuk bertobat Salat tobat dianjurkan untuk dilakukan ketika seorang muslim bertekad untuk bertobat dari dosa yang telah ia perbuat, baik itu segera setelah melakukan maksiat maupun beberapa waktu setelahnya. Syekh Nawawi Al-Jawi mengatakan, “Di antara salat sunah adalah salat tobat, yaitu dua rakaat sebelum bertobat dengan niat salat sunah tobat. Salat ini juga tetap sah jika dilakukan setelah tobat. Tobat wajib dilakukan segera, meskipun dari dosa kecil. Menunda tobat adalah dosa yang juga wajib ditobati. Namun, menunda tobat dengan melaksanakan dua rakaat ini tidak dianggap menunda tobat, karena keduanya termasuk bagian dari sarana tobat.” [5] Kedua: Berwudu, melaksanakan salat dua rakaat, kemudian beristigfar Hal ini sebagaimana terdapat dalam nash hadis-hadis yang telah disebutkan di atas. Al-Buhutiy rahimahullah mengatakan, تسن (صلاة التوبة إذا أذنب ذنبًا، يتطهر ثم يصلي ركعتين، ثم يستغفر الله تعالى) “Disunahkan melaksanakan salat tobat ketika seseorang melakukan dosa. Ia berwudu, kemudian melaksanakan dua rakaat, lalu memohon ampun kepada Allah Ta’ala.” Kemudian beliau menyebutkan dalil hadis riwayat At-Tirmizdi di atas. [6] Ketiga: Salat tobat dilakukan kapan pun, walaupun pada waktu terlarang Mengenai pelaksanaan salat tobat pada waktu-waktu yang terlarang, para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa salat yang memiliki sebab (termasuk salat tobat) tetap boleh dilakukan pada waktu-waktu terlarang. Pendapat ini merupakan mazhab Imam Asy-Syafi’i, salah satu riwayat dari Imam Ahmad yang dipilih oleh Abu Al-Khattab dan sebagian ulama Hanbali, serta didukung oleh Ibnu Taimiyah. Mereka berargumen bahwa aturan umum mengenai salat yang memiliki sebab tetap berlaku dan tidak dikecualikan dari waktu terlarang. Sebaliknya, larangan umum tentang salat pada waktu-waktu tertentu telah dikecualikan dalam beberapa kasus, sehingga statusnya tidak sekuat aturan tentang salat yang memiliki sebab.[7] Apa yang dibaca dalam salat tobat? Tidak terdapat riwayat dari Nabi ﷺ yang menunjukkan anjuran untuk membaca surat tertentu dalam dua rakaat salat tobat. Oleh karena itu, seseorang dapat membaca ayat atau surat apa pun yang ia kehendaki. Wallaahu a’lam. [8] Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa bertakwa kepada-Nya kapan dan di mana pun kita berada, dan untuk segera bertobat dari dosa yang telah kita lakukan. Amin. Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? *** Rumdin PPIA Sragen, 18 Sya’ban 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 H (Maktabah Syamilah). https://islamqa.info/ar/98030   Catatan kaki: [1] Terdapat hadis dengan makna serupa juga diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1521 dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Sahih Abi Dawud. Lihat Bughyah Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tathawwu’, hal. 96. [2] Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 164. Lihat juga https://dorar.net/feqhia/1272 [3] https://isla.mw/aoza2s [4] https://dorar.net/hadith/sharh/87030 [5] Nihayatuz Zain, hal. 106. [6] Kasyaf Al-Qina’, 3: 109. [7] http://iswy.co/e2edhu [8] Lihat https://islamqa.info/ar/98030 dan https://isla.mw/abiho2
Daftar Isi Toggle Hadis-hadis tentang salat tobatKeutamaan salat tobatPertama: Mendapatkan ampunan dari AllahKedua: Mengamalkan sunah RasulullahKetiga: Menghidupkan sunah yang terlupakanTata cara salat tobatPertama: Dilakukan ketika bertekad untuk bertobatKedua: Berwudu, melaksanakan salat dua rakaat, kemudian beristigfarKetiga: Salat tobat dilakukan kapan pun, walaupun pada waktu terlarangApa yang dibaca dalam salat tobat? Setiap muslim hendaknya senantiasa bertakwa kepada Allah Ta’ala, merasa diawasi oleh-Nya, serta selalu menjauhi perbuatan maksiat. Namun, sebagai manusia, tentu tidak terlepas dari kesalahan dan dosa. Islam memberikan jalan kembali bagi hamba-Nya melalui tobat yang tulus. Salah satu bentuk ibadah yang disyariatkan dalam proses tobat adalah salat tobat. Dalam artikel ini, kita akan membahas berbagai aspek penting terkait salat tobat, mulai dari hadis-hadis yang menjadi dasarnya, keutamaannya, tata cara pelaksanaannya, hingga doa dan zikir yang dianjurkan setelahnya. Dengan memahami hal ini, semoga kita dapat mengamalkan salat tobat sebagai bagian dari sunah Nabi Muhammad ﷺ dan mendekatkan diri kepada Allah dengan penuh kesadaran. Hadis-hadis tentang salat tobat Terdapat banyak hadis yang membahas tentang salat tobat. Di antara yang terpenting adalah sebagai berikut: Pertama: Hadis dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, مَا مِنْ رَجُلٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَقُومُ فَيَتَطَهَّرُ، ثُمَّ يُصَلِّي ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ لَهُ ‘Tidaklah seseorang melakukan dosa, kemudian ia bangkit dan bersuci (berwudu), lalu melaksanakan salat, kemudian memohon ampun kepada Allah, kecuali Allah akan mengampuninya.’ Lalu, beliau membaca ayat berikut,  وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ  ‘Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri mereka sendiri, mereka segera mengingat Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka. Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak terus-menerus melakukan dosa itu, sedang mereka mengetahui.’ (QS. Ali ‘Imran: 135)” Hadis ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Sahih Sunan At-Tirmidzi, 1: 128. [1] Kedua: Hadis dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Bahwa dia mendengar Rasulullah bersabda, مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ أَوْ أَرْبَعًا (شك أحد الرواة) يُحْسِنُ فِيهِمَا الذِّكْرَ وَالْخُشُوعَ، ثُمَّ اسْتَغْفَرَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ، غَفَرَ لَهُ ‘Barangsiapa berwudu dengan sempurna, lalu bangkit melaksanakan salat dua rakaat atau empat rakaat (salah seorang perawi ragu dalam jumlah rakaatnya), dengan menyempurnakan zikir dan kekhusyukan di dalamnya, lalu memohon ampun kepada Allah ‘Azza Wajalla, maka Allah akan mengampuninya.’ “ (HR. Ahmad no. 26998) Para peneliti Musnad Imam Ahmad menyatakan bahwa sanad hadis ini hasan. Hadis ini juga disebutkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits As-Sahihah, no. 3398. Keutamaan salat tobat Hadis-hadis sebelumnya telah menjelaskan adanya dalil yang menetapkan salat tobat. Salat ini memiliki berbagai keutamaan, di antaranya: Pertama: Mendapatkan ampunan dari Allah Nabi ﷺ bersabda, إِلَّا غَفَرَ لَهُ “… kecuali Allah akan mengampuninya.” (HR. Tirmidzi, Sahih Sunan At-Tirmidzi, 1: 128) Artinya, siapa saja yang melakukan semua yang disebutkan dalam hadis (yaitu: berwudu, melaksanakan salat, dan beristigfar), maka ia berhak mendapatkan pahala yang dijanjikan, yaitu ampunan dari Allah. Kedua: Mengamalkan sunah Rasulullah Salat ini juga disepakati sebagai amalan yang dianjurkan (mustahab) menurut keempat mazhab fikih. [2] Hendaklah seorang hamba semangat dalam mempraktikkan sunah beliau, sehingga mendapatkan kecintaan Allah Ta’ala. Ketiga: Menghidupkan sunah yang terlupakan Saat ini, salat tobat telah menjadi salah satu sunah yang jarang diamalkan. [3] Siapa saja yang mengamalkan sunah ini, dan diikuti oleh orang lain, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Rasulullah ﷺ bersabda, من أحيا سنة من سنتي قد أميتت بعدي، فإن له من الأجر مثل من عمل بها، من غير أن ينقص من أجورهم شيئا “Barangsiapa menghidupkan satu sunah dari sunahku yang telah ditinggalkan setelahku, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. At-Tirmidzi no. 2677, dinilai hasan) [4] Baca juga: Apakah Tobatnya Pembunuh Diterima oleh Allah? Tata cara salat tobat Pertama: Dilakukan ketika bertekad untuk bertobat Salat tobat dianjurkan untuk dilakukan ketika seorang muslim bertekad untuk bertobat dari dosa yang telah ia perbuat, baik itu segera setelah melakukan maksiat maupun beberapa waktu setelahnya. Syekh Nawawi Al-Jawi mengatakan, “Di antara salat sunah adalah salat tobat, yaitu dua rakaat sebelum bertobat dengan niat salat sunah tobat. Salat ini juga tetap sah jika dilakukan setelah tobat. Tobat wajib dilakukan segera, meskipun dari dosa kecil. Menunda tobat adalah dosa yang juga wajib ditobati. Namun, menunda tobat dengan melaksanakan dua rakaat ini tidak dianggap menunda tobat, karena keduanya termasuk bagian dari sarana tobat.” [5] Kedua: Berwudu, melaksanakan salat dua rakaat, kemudian beristigfar Hal ini sebagaimana terdapat dalam nash hadis-hadis yang telah disebutkan di atas. Al-Buhutiy rahimahullah mengatakan, تسن (صلاة التوبة إذا أذنب ذنبًا، يتطهر ثم يصلي ركعتين، ثم يستغفر الله تعالى) “Disunahkan melaksanakan salat tobat ketika seseorang melakukan dosa. Ia berwudu, kemudian melaksanakan dua rakaat, lalu memohon ampun kepada Allah Ta’ala.” Kemudian beliau menyebutkan dalil hadis riwayat At-Tirmizdi di atas. [6] Ketiga: Salat tobat dilakukan kapan pun, walaupun pada waktu terlarang Mengenai pelaksanaan salat tobat pada waktu-waktu yang terlarang, para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa salat yang memiliki sebab (termasuk salat tobat) tetap boleh dilakukan pada waktu-waktu terlarang. Pendapat ini merupakan mazhab Imam Asy-Syafi’i, salah satu riwayat dari Imam Ahmad yang dipilih oleh Abu Al-Khattab dan sebagian ulama Hanbali, serta didukung oleh Ibnu Taimiyah. Mereka berargumen bahwa aturan umum mengenai salat yang memiliki sebab tetap berlaku dan tidak dikecualikan dari waktu terlarang. Sebaliknya, larangan umum tentang salat pada waktu-waktu tertentu telah dikecualikan dalam beberapa kasus, sehingga statusnya tidak sekuat aturan tentang salat yang memiliki sebab.[7] Apa yang dibaca dalam salat tobat? Tidak terdapat riwayat dari Nabi ﷺ yang menunjukkan anjuran untuk membaca surat tertentu dalam dua rakaat salat tobat. Oleh karena itu, seseorang dapat membaca ayat atau surat apa pun yang ia kehendaki. Wallaahu a’lam. [8] Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa bertakwa kepada-Nya kapan dan di mana pun kita berada, dan untuk segera bertobat dari dosa yang telah kita lakukan. Amin. Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? *** Rumdin PPIA Sragen, 18 Sya’ban 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 H (Maktabah Syamilah). https://islamqa.info/ar/98030   Catatan kaki: [1] Terdapat hadis dengan makna serupa juga diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1521 dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Sahih Abi Dawud. Lihat Bughyah Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tathawwu’, hal. 96. [2] Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 164. Lihat juga https://dorar.net/feqhia/1272 [3] https://isla.mw/aoza2s [4] https://dorar.net/hadith/sharh/87030 [5] Nihayatuz Zain, hal. 106. [6] Kasyaf Al-Qina’, 3: 109. [7] http://iswy.co/e2edhu [8] Lihat https://islamqa.info/ar/98030 dan https://isla.mw/abiho2


Daftar Isi Toggle Hadis-hadis tentang salat tobatKeutamaan salat tobatPertama: Mendapatkan ampunan dari AllahKedua: Mengamalkan sunah RasulullahKetiga: Menghidupkan sunah yang terlupakanTata cara salat tobatPertama: Dilakukan ketika bertekad untuk bertobatKedua: Berwudu, melaksanakan salat dua rakaat, kemudian beristigfarKetiga: Salat tobat dilakukan kapan pun, walaupun pada waktu terlarangApa yang dibaca dalam salat tobat? Setiap muslim hendaknya senantiasa bertakwa kepada Allah Ta’ala, merasa diawasi oleh-Nya, serta selalu menjauhi perbuatan maksiat. Namun, sebagai manusia, tentu tidak terlepas dari kesalahan dan dosa. Islam memberikan jalan kembali bagi hamba-Nya melalui tobat yang tulus. Salah satu bentuk ibadah yang disyariatkan dalam proses tobat adalah salat tobat. Dalam artikel ini, kita akan membahas berbagai aspek penting terkait salat tobat, mulai dari hadis-hadis yang menjadi dasarnya, keutamaannya, tata cara pelaksanaannya, hingga doa dan zikir yang dianjurkan setelahnya. Dengan memahami hal ini, semoga kita dapat mengamalkan salat tobat sebagai bagian dari sunah Nabi Muhammad ﷺ dan mendekatkan diri kepada Allah dengan penuh kesadaran. Hadis-hadis tentang salat tobat Terdapat banyak hadis yang membahas tentang salat tobat. Di antara yang terpenting adalah sebagai berikut: Pertama: Hadis dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, مَا مِنْ رَجُلٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَقُومُ فَيَتَطَهَّرُ، ثُمَّ يُصَلِّي ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ لَهُ ‘Tidaklah seseorang melakukan dosa, kemudian ia bangkit dan bersuci (berwudu), lalu melaksanakan salat, kemudian memohon ampun kepada Allah, kecuali Allah akan mengampuninya.’ Lalu, beliau membaca ayat berikut,  وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ  ‘Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri mereka sendiri, mereka segera mengingat Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka. Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak terus-menerus melakukan dosa itu, sedang mereka mengetahui.’ (QS. Ali ‘Imran: 135)” Hadis ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Sahih Sunan At-Tirmidzi, 1: 128. [1] Kedua: Hadis dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Bahwa dia mendengar Rasulullah bersabda, مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ أَوْ أَرْبَعًا (شك أحد الرواة) يُحْسِنُ فِيهِمَا الذِّكْرَ وَالْخُشُوعَ، ثُمَّ اسْتَغْفَرَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ، غَفَرَ لَهُ ‘Barangsiapa berwudu dengan sempurna, lalu bangkit melaksanakan salat dua rakaat atau empat rakaat (salah seorang perawi ragu dalam jumlah rakaatnya), dengan menyempurnakan zikir dan kekhusyukan di dalamnya, lalu memohon ampun kepada Allah ‘Azza Wajalla, maka Allah akan mengampuninya.’ “ (HR. Ahmad no. 26998) Para peneliti Musnad Imam Ahmad menyatakan bahwa sanad hadis ini hasan. Hadis ini juga disebutkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits As-Sahihah, no. 3398. Keutamaan salat tobat Hadis-hadis sebelumnya telah menjelaskan adanya dalil yang menetapkan salat tobat. Salat ini memiliki berbagai keutamaan, di antaranya: Pertama: Mendapatkan ampunan dari Allah Nabi ﷺ bersabda, إِلَّا غَفَرَ لَهُ “… kecuali Allah akan mengampuninya.” (HR. Tirmidzi, Sahih Sunan At-Tirmidzi, 1: 128) Artinya, siapa saja yang melakukan semua yang disebutkan dalam hadis (yaitu: berwudu, melaksanakan salat, dan beristigfar), maka ia berhak mendapatkan pahala yang dijanjikan, yaitu ampunan dari Allah. Kedua: Mengamalkan sunah Rasulullah Salat ini juga disepakati sebagai amalan yang dianjurkan (mustahab) menurut keempat mazhab fikih. [2] Hendaklah seorang hamba semangat dalam mempraktikkan sunah beliau, sehingga mendapatkan kecintaan Allah Ta’ala. Ketiga: Menghidupkan sunah yang terlupakan Saat ini, salat tobat telah menjadi salah satu sunah yang jarang diamalkan. [3] Siapa saja yang mengamalkan sunah ini, dan diikuti oleh orang lain, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Rasulullah ﷺ bersabda, من أحيا سنة من سنتي قد أميتت بعدي، فإن له من الأجر مثل من عمل بها، من غير أن ينقص من أجورهم شيئا “Barangsiapa menghidupkan satu sunah dari sunahku yang telah ditinggalkan setelahku, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. At-Tirmidzi no. 2677, dinilai hasan) [4] Baca juga: Apakah Tobatnya Pembunuh Diterima oleh Allah? Tata cara salat tobat Pertama: Dilakukan ketika bertekad untuk bertobat Salat tobat dianjurkan untuk dilakukan ketika seorang muslim bertekad untuk bertobat dari dosa yang telah ia perbuat, baik itu segera setelah melakukan maksiat maupun beberapa waktu setelahnya. Syekh Nawawi Al-Jawi mengatakan, “Di antara salat sunah adalah salat tobat, yaitu dua rakaat sebelum bertobat dengan niat salat sunah tobat. Salat ini juga tetap sah jika dilakukan setelah tobat. Tobat wajib dilakukan segera, meskipun dari dosa kecil. Menunda tobat adalah dosa yang juga wajib ditobati. Namun, menunda tobat dengan melaksanakan dua rakaat ini tidak dianggap menunda tobat, karena keduanya termasuk bagian dari sarana tobat.” [5] Kedua: Berwudu, melaksanakan salat dua rakaat, kemudian beristigfar Hal ini sebagaimana terdapat dalam nash hadis-hadis yang telah disebutkan di atas. Al-Buhutiy rahimahullah mengatakan, تسن (صلاة التوبة إذا أذنب ذنبًا، يتطهر ثم يصلي ركعتين، ثم يستغفر الله تعالى) “Disunahkan melaksanakan salat tobat ketika seseorang melakukan dosa. Ia berwudu, kemudian melaksanakan dua rakaat, lalu memohon ampun kepada Allah Ta’ala.” Kemudian beliau menyebutkan dalil hadis riwayat At-Tirmizdi di atas. [6] Ketiga: Salat tobat dilakukan kapan pun, walaupun pada waktu terlarang Mengenai pelaksanaan salat tobat pada waktu-waktu yang terlarang, para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa salat yang memiliki sebab (termasuk salat tobat) tetap boleh dilakukan pada waktu-waktu terlarang. Pendapat ini merupakan mazhab Imam Asy-Syafi’i, salah satu riwayat dari Imam Ahmad yang dipilih oleh Abu Al-Khattab dan sebagian ulama Hanbali, serta didukung oleh Ibnu Taimiyah. Mereka berargumen bahwa aturan umum mengenai salat yang memiliki sebab tetap berlaku dan tidak dikecualikan dari waktu terlarang. Sebaliknya, larangan umum tentang salat pada waktu-waktu tertentu telah dikecualikan dalam beberapa kasus, sehingga statusnya tidak sekuat aturan tentang salat yang memiliki sebab.[7] Apa yang dibaca dalam salat tobat? Tidak terdapat riwayat dari Nabi ﷺ yang menunjukkan anjuran untuk membaca surat tertentu dalam dua rakaat salat tobat. Oleh karena itu, seseorang dapat membaca ayat atau surat apa pun yang ia kehendaki. Wallaahu a’lam. [8] Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa bertakwa kepada-Nya kapan dan di mana pun kita berada, dan untuk segera bertobat dari dosa yang telah kita lakukan. Amin. Baca juga: Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah? *** Rumdin PPIA Sragen, 18 Sya’ban 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 H (Maktabah Syamilah). https://islamqa.info/ar/98030   Catatan kaki: [1] Terdapat hadis dengan makna serupa juga diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1521 dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Sahih Abi Dawud. Lihat Bughyah Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tathawwu’, hal. 96. [2] Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 164. Lihat juga https://dorar.net/feqhia/1272 [3] https://isla.mw/aoza2s [4] https://dorar.net/hadith/sharh/87030 [5] Nihayatuz Zain, hal. 106. [6] Kasyaf Al-Qina’, 3: 109. [7] http://iswy.co/e2edhu [8] Lihat https://islamqa.info/ar/98030 dan https://isla.mw/abiho2

Hafalkan! Doa Ini Berisi 23 Permintaan Penting – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Doa yang agung ini terdapat dalam hadis riwayat Ibnu Abbas, Ini doa yang biasa dibaca oleh Nabi kita ʿAlaihiṣ Ṣalātu was Salām, mencakup lebih dari 20 permintaan. Doa ini mencakup lebih dari 20, mungkin 22, atau 23 permintaan. Doa ini mengandung lebih dari 20 permintaan. Permintaan yang semuanya agung! Agung sekali! Oleh karena itu, doa ini layak bagi seorang muslim dan penuntut ilmu untuk menjadikannya salah satu dari doa-doanya. Hendaklah ia menghafalnya dan memasukkannya dalam rangkaian doanya. Karena doa ini mencakup banyak permintaan-permintaan yang sangat agung. Di antaranya adalah permintaan mulia ini, yaitu agar hati diberi petunjuk. “Berilah hidayah (petunjuk) kepada hatiku…” Al-Bazzar Abu Hafsh dalam biografi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Raẖimahullāh mengatakan bahwa doa ini merupakan doa yang paling sering dibaca oleh Ibnu Taimiyah Raẖimahullāh. Doa ini merupakan doa yang paling sering dibaca oleh Ibnu Taimiyah. Karena beliau Raẖimahullāh sering kali membaca doa ini. Ini menunjukkan kedalaman pemahaman beliau. Karena, ketika Anda merenungkan doa ini, Anda akan dapati lebih dari 20 permintaan tersebut, yang semuanya agung dan penting dalam kehidupan dan kesalehan seorang muslim. Pembahasan kita dari doa ini adalah: “Berilah hidayah (petunjuk) kepada hatiku…” “…dan hilangkan kedengkian dalam dadaku…” “Berilah hidayah kepada hatiku…” artinya penuhilah hatiku dengan petunjuk, kesalehan, dan kesucian. “Hilangkan kedengkian dari dadaku…” yakni keluarkan dari dadaku dan dari hatiku segala kedengkian dan kotoran-kotoran batin. Sucikan aku, sucikan hatiku, dan sucikan dadaku dari semua itu. ==== هَذَا الدُّعَاءُ الْعَظِيمُ فِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ الدُّعَاءُ الَّذِي كَانَ يَدْعُو بِهِ نَبِيُّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ اشْتَمَلَ عَلَى أَكْثَرَ مِنْ عِشْرِينَ مَطْلَبًا اشْتَمَلَ عَلَى أَكْثَرَ مِنْ عِشْرِينَ مَطْلَبًا إِمَّا اثْنَينِ وَعِشْرِينَ أَوْ ثَلَاثَة وَعِشْرِينَ اشْتَمَلَ عَلَى أَكْثَرَ مِنْ عِشْرِينَ مَطْلَبًا مَطَالِبُ كُلُّهَا عَظِيمَةٌ عَظِيمَةٌ جِدًّا وَلِهَذَا هَذَا الدُّعَاءُ جَدِيرٌ بِالْمُسْلِمِ وَطَالِبِ الْعِلْمِ أَنْ يَجْعَلَهُ مِنْ جُمْلَةِ أَدْعِيَتِهِ يَحْفَظُهُ وَيَجْعَلُهُ مِنْ جُمْلَةِ أَدْعِيَتِهِ لِأَنَّهُ مُشْتَمِلٌ عَلَى مَطَالِبَ عَظِيمَةٍ لِلْغَايَةِ وَمِنْهَا هَذَا الْمَطْلَبُ الْجَلِيلُ الَّذِي هُوَ هِدَايَةُ الْقَلْبِ اهْدِ قَلْبِي وَقَدْ ذَكَرَ الْبَزَّارُ أَبُو حَفْصٍ فِي تَرْجَمَةِ شَيْخِ الْإِسْلَامِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى أَنَّ هَذَا الدُّعَاءَ كَانَ أَكْثَرَ أَدْعِيَةِ ابْنِ تَيمِيَّةَ رَحِمَهُ اللهُ أَنَّ هَذَا الدُّعَاءَ كَانَ أَكْثَرَ أَدْعِيَةِ ابْنِ تَيمِيَّةَ لِكَثِيرٍ مَا كَانَ رَحِمُهُ اللهُ يَدْعُو بِهَذَا الدُّعَاءِ وَهَذَا مِنْ فِقْهِهِ الْعَظِيمِ لِأَنَّ لَمَّا تَنْظُرُ فِي هَذَا الدُّعَاءِ تَجِدُ هَذِهِ الْمَطَالِبَ الَّتِي تَزِيدُ عَلَى عِشْرِينَ مَطْلَبًا كُلُّهَا عَظِيمَةٌ وَمُهِمَّةٌ فِي حَيَاةِ الْمُسْلِمِ وَصَلَاحِهِ وَالشَّاهِدُ مِنْ هَذَا الدُّعَاءِ: وَاهْدِ قَلْبِي واسْلُلْ سَخِيمَةَ صَدْرِي اهْدِ قَلْبِي يَعْنِي اعْمُرْ قَلْبِي بِالْهِدَايَةِ وَالصَّلَاحِ وَالزَّكَاةِ وَاسْلُلْ سَخِيمَةَ صَدْرِي أَيْ أَخْرِجْ مَا فِي صَدْرِي وَمَا فِي قَلْبِي مِنَ السَّخَائِمِ وَالْأَوْسَاخِ نَقِّنِي… نَقِّ قَلْبِي مِنْ ذَلِكَ وَنَقِّ صَدْرِي مِنْ ذَلِكَ

Hafalkan! Doa Ini Berisi 23 Permintaan Penting – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Doa yang agung ini terdapat dalam hadis riwayat Ibnu Abbas, Ini doa yang biasa dibaca oleh Nabi kita ʿAlaihiṣ Ṣalātu was Salām, mencakup lebih dari 20 permintaan. Doa ini mencakup lebih dari 20, mungkin 22, atau 23 permintaan. Doa ini mengandung lebih dari 20 permintaan. Permintaan yang semuanya agung! Agung sekali! Oleh karena itu, doa ini layak bagi seorang muslim dan penuntut ilmu untuk menjadikannya salah satu dari doa-doanya. Hendaklah ia menghafalnya dan memasukkannya dalam rangkaian doanya. Karena doa ini mencakup banyak permintaan-permintaan yang sangat agung. Di antaranya adalah permintaan mulia ini, yaitu agar hati diberi petunjuk. “Berilah hidayah (petunjuk) kepada hatiku…” Al-Bazzar Abu Hafsh dalam biografi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Raẖimahullāh mengatakan bahwa doa ini merupakan doa yang paling sering dibaca oleh Ibnu Taimiyah Raẖimahullāh. Doa ini merupakan doa yang paling sering dibaca oleh Ibnu Taimiyah. Karena beliau Raẖimahullāh sering kali membaca doa ini. Ini menunjukkan kedalaman pemahaman beliau. Karena, ketika Anda merenungkan doa ini, Anda akan dapati lebih dari 20 permintaan tersebut, yang semuanya agung dan penting dalam kehidupan dan kesalehan seorang muslim. Pembahasan kita dari doa ini adalah: “Berilah hidayah (petunjuk) kepada hatiku…” “…dan hilangkan kedengkian dalam dadaku…” “Berilah hidayah kepada hatiku…” artinya penuhilah hatiku dengan petunjuk, kesalehan, dan kesucian. “Hilangkan kedengkian dari dadaku…” yakni keluarkan dari dadaku dan dari hatiku segala kedengkian dan kotoran-kotoran batin. Sucikan aku, sucikan hatiku, dan sucikan dadaku dari semua itu. ==== هَذَا الدُّعَاءُ الْعَظِيمُ فِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ الدُّعَاءُ الَّذِي كَانَ يَدْعُو بِهِ نَبِيُّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ اشْتَمَلَ عَلَى أَكْثَرَ مِنْ عِشْرِينَ مَطْلَبًا اشْتَمَلَ عَلَى أَكْثَرَ مِنْ عِشْرِينَ مَطْلَبًا إِمَّا اثْنَينِ وَعِشْرِينَ أَوْ ثَلَاثَة وَعِشْرِينَ اشْتَمَلَ عَلَى أَكْثَرَ مِنْ عِشْرِينَ مَطْلَبًا مَطَالِبُ كُلُّهَا عَظِيمَةٌ عَظِيمَةٌ جِدًّا وَلِهَذَا هَذَا الدُّعَاءُ جَدِيرٌ بِالْمُسْلِمِ وَطَالِبِ الْعِلْمِ أَنْ يَجْعَلَهُ مِنْ جُمْلَةِ أَدْعِيَتِهِ يَحْفَظُهُ وَيَجْعَلُهُ مِنْ جُمْلَةِ أَدْعِيَتِهِ لِأَنَّهُ مُشْتَمِلٌ عَلَى مَطَالِبَ عَظِيمَةٍ لِلْغَايَةِ وَمِنْهَا هَذَا الْمَطْلَبُ الْجَلِيلُ الَّذِي هُوَ هِدَايَةُ الْقَلْبِ اهْدِ قَلْبِي وَقَدْ ذَكَرَ الْبَزَّارُ أَبُو حَفْصٍ فِي تَرْجَمَةِ شَيْخِ الْإِسْلَامِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى أَنَّ هَذَا الدُّعَاءَ كَانَ أَكْثَرَ أَدْعِيَةِ ابْنِ تَيمِيَّةَ رَحِمَهُ اللهُ أَنَّ هَذَا الدُّعَاءَ كَانَ أَكْثَرَ أَدْعِيَةِ ابْنِ تَيمِيَّةَ لِكَثِيرٍ مَا كَانَ رَحِمُهُ اللهُ يَدْعُو بِهَذَا الدُّعَاءِ وَهَذَا مِنْ فِقْهِهِ الْعَظِيمِ لِأَنَّ لَمَّا تَنْظُرُ فِي هَذَا الدُّعَاءِ تَجِدُ هَذِهِ الْمَطَالِبَ الَّتِي تَزِيدُ عَلَى عِشْرِينَ مَطْلَبًا كُلُّهَا عَظِيمَةٌ وَمُهِمَّةٌ فِي حَيَاةِ الْمُسْلِمِ وَصَلَاحِهِ وَالشَّاهِدُ مِنْ هَذَا الدُّعَاءِ: وَاهْدِ قَلْبِي واسْلُلْ سَخِيمَةَ صَدْرِي اهْدِ قَلْبِي يَعْنِي اعْمُرْ قَلْبِي بِالْهِدَايَةِ وَالصَّلَاحِ وَالزَّكَاةِ وَاسْلُلْ سَخِيمَةَ صَدْرِي أَيْ أَخْرِجْ مَا فِي صَدْرِي وَمَا فِي قَلْبِي مِنَ السَّخَائِمِ وَالْأَوْسَاخِ نَقِّنِي… نَقِّ قَلْبِي مِنْ ذَلِكَ وَنَقِّ صَدْرِي مِنْ ذَلِكَ
Doa yang agung ini terdapat dalam hadis riwayat Ibnu Abbas, Ini doa yang biasa dibaca oleh Nabi kita ʿAlaihiṣ Ṣalātu was Salām, mencakup lebih dari 20 permintaan. Doa ini mencakup lebih dari 20, mungkin 22, atau 23 permintaan. Doa ini mengandung lebih dari 20 permintaan. Permintaan yang semuanya agung! Agung sekali! Oleh karena itu, doa ini layak bagi seorang muslim dan penuntut ilmu untuk menjadikannya salah satu dari doa-doanya. Hendaklah ia menghafalnya dan memasukkannya dalam rangkaian doanya. Karena doa ini mencakup banyak permintaan-permintaan yang sangat agung. Di antaranya adalah permintaan mulia ini, yaitu agar hati diberi petunjuk. “Berilah hidayah (petunjuk) kepada hatiku…” Al-Bazzar Abu Hafsh dalam biografi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Raẖimahullāh mengatakan bahwa doa ini merupakan doa yang paling sering dibaca oleh Ibnu Taimiyah Raẖimahullāh. Doa ini merupakan doa yang paling sering dibaca oleh Ibnu Taimiyah. Karena beliau Raẖimahullāh sering kali membaca doa ini. Ini menunjukkan kedalaman pemahaman beliau. Karena, ketika Anda merenungkan doa ini, Anda akan dapati lebih dari 20 permintaan tersebut, yang semuanya agung dan penting dalam kehidupan dan kesalehan seorang muslim. Pembahasan kita dari doa ini adalah: “Berilah hidayah (petunjuk) kepada hatiku…” “…dan hilangkan kedengkian dalam dadaku…” “Berilah hidayah kepada hatiku…” artinya penuhilah hatiku dengan petunjuk, kesalehan, dan kesucian. “Hilangkan kedengkian dari dadaku…” yakni keluarkan dari dadaku dan dari hatiku segala kedengkian dan kotoran-kotoran batin. Sucikan aku, sucikan hatiku, dan sucikan dadaku dari semua itu. ==== هَذَا الدُّعَاءُ الْعَظِيمُ فِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ الدُّعَاءُ الَّذِي كَانَ يَدْعُو بِهِ نَبِيُّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ اشْتَمَلَ عَلَى أَكْثَرَ مِنْ عِشْرِينَ مَطْلَبًا اشْتَمَلَ عَلَى أَكْثَرَ مِنْ عِشْرِينَ مَطْلَبًا إِمَّا اثْنَينِ وَعِشْرِينَ أَوْ ثَلَاثَة وَعِشْرِينَ اشْتَمَلَ عَلَى أَكْثَرَ مِنْ عِشْرِينَ مَطْلَبًا مَطَالِبُ كُلُّهَا عَظِيمَةٌ عَظِيمَةٌ جِدًّا وَلِهَذَا هَذَا الدُّعَاءُ جَدِيرٌ بِالْمُسْلِمِ وَطَالِبِ الْعِلْمِ أَنْ يَجْعَلَهُ مِنْ جُمْلَةِ أَدْعِيَتِهِ يَحْفَظُهُ وَيَجْعَلُهُ مِنْ جُمْلَةِ أَدْعِيَتِهِ لِأَنَّهُ مُشْتَمِلٌ عَلَى مَطَالِبَ عَظِيمَةٍ لِلْغَايَةِ وَمِنْهَا هَذَا الْمَطْلَبُ الْجَلِيلُ الَّذِي هُوَ هِدَايَةُ الْقَلْبِ اهْدِ قَلْبِي وَقَدْ ذَكَرَ الْبَزَّارُ أَبُو حَفْصٍ فِي تَرْجَمَةِ شَيْخِ الْإِسْلَامِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى أَنَّ هَذَا الدُّعَاءَ كَانَ أَكْثَرَ أَدْعِيَةِ ابْنِ تَيمِيَّةَ رَحِمَهُ اللهُ أَنَّ هَذَا الدُّعَاءَ كَانَ أَكْثَرَ أَدْعِيَةِ ابْنِ تَيمِيَّةَ لِكَثِيرٍ مَا كَانَ رَحِمُهُ اللهُ يَدْعُو بِهَذَا الدُّعَاءِ وَهَذَا مِنْ فِقْهِهِ الْعَظِيمِ لِأَنَّ لَمَّا تَنْظُرُ فِي هَذَا الدُّعَاءِ تَجِدُ هَذِهِ الْمَطَالِبَ الَّتِي تَزِيدُ عَلَى عِشْرِينَ مَطْلَبًا كُلُّهَا عَظِيمَةٌ وَمُهِمَّةٌ فِي حَيَاةِ الْمُسْلِمِ وَصَلَاحِهِ وَالشَّاهِدُ مِنْ هَذَا الدُّعَاءِ: وَاهْدِ قَلْبِي واسْلُلْ سَخِيمَةَ صَدْرِي اهْدِ قَلْبِي يَعْنِي اعْمُرْ قَلْبِي بِالْهِدَايَةِ وَالصَّلَاحِ وَالزَّكَاةِ وَاسْلُلْ سَخِيمَةَ صَدْرِي أَيْ أَخْرِجْ مَا فِي صَدْرِي وَمَا فِي قَلْبِي مِنَ السَّخَائِمِ وَالْأَوْسَاخِ نَقِّنِي… نَقِّ قَلْبِي مِنْ ذَلِكَ وَنَقِّ صَدْرِي مِنْ ذَلِكَ


Doa yang agung ini terdapat dalam hadis riwayat Ibnu Abbas, Ini doa yang biasa dibaca oleh Nabi kita ʿAlaihiṣ Ṣalātu was Salām, mencakup lebih dari 20 permintaan. Doa ini mencakup lebih dari 20, mungkin 22, atau 23 permintaan. Doa ini mengandung lebih dari 20 permintaan. Permintaan yang semuanya agung! Agung sekali! Oleh karena itu, doa ini layak bagi seorang muslim dan penuntut ilmu untuk menjadikannya salah satu dari doa-doanya. Hendaklah ia menghafalnya dan memasukkannya dalam rangkaian doanya. Karena doa ini mencakup banyak permintaan-permintaan yang sangat agung. Di antaranya adalah permintaan mulia ini, yaitu agar hati diberi petunjuk. “Berilah hidayah (petunjuk) kepada hatiku…” Al-Bazzar Abu Hafsh dalam biografi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Raẖimahullāh mengatakan bahwa doa ini merupakan doa yang paling sering dibaca oleh Ibnu Taimiyah Raẖimahullāh. Doa ini merupakan doa yang paling sering dibaca oleh Ibnu Taimiyah. Karena beliau Raẖimahullāh sering kali membaca doa ini. Ini menunjukkan kedalaman pemahaman beliau. Karena, ketika Anda merenungkan doa ini, Anda akan dapati lebih dari 20 permintaan tersebut, yang semuanya agung dan penting dalam kehidupan dan kesalehan seorang muslim. Pembahasan kita dari doa ini adalah: “Berilah hidayah (petunjuk) kepada hatiku…” “…dan hilangkan kedengkian dalam dadaku…” “Berilah hidayah kepada hatiku…” artinya penuhilah hatiku dengan petunjuk, kesalehan, dan kesucian. “Hilangkan kedengkian dari dadaku…” yakni keluarkan dari dadaku dan dari hatiku segala kedengkian dan kotoran-kotoran batin. Sucikan aku, sucikan hatiku, dan sucikan dadaku dari semua itu. ==== هَذَا الدُّعَاءُ الْعَظِيمُ فِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ الدُّعَاءُ الَّذِي كَانَ يَدْعُو بِهِ نَبِيُّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ اشْتَمَلَ عَلَى أَكْثَرَ مِنْ عِشْرِينَ مَطْلَبًا اشْتَمَلَ عَلَى أَكْثَرَ مِنْ عِشْرِينَ مَطْلَبًا إِمَّا اثْنَينِ وَعِشْرِينَ أَوْ ثَلَاثَة وَعِشْرِينَ اشْتَمَلَ عَلَى أَكْثَرَ مِنْ عِشْرِينَ مَطْلَبًا مَطَالِبُ كُلُّهَا عَظِيمَةٌ عَظِيمَةٌ جِدًّا وَلِهَذَا هَذَا الدُّعَاءُ جَدِيرٌ بِالْمُسْلِمِ وَطَالِبِ الْعِلْمِ أَنْ يَجْعَلَهُ مِنْ جُمْلَةِ أَدْعِيَتِهِ يَحْفَظُهُ وَيَجْعَلُهُ مِنْ جُمْلَةِ أَدْعِيَتِهِ لِأَنَّهُ مُشْتَمِلٌ عَلَى مَطَالِبَ عَظِيمَةٍ لِلْغَايَةِ وَمِنْهَا هَذَا الْمَطْلَبُ الْجَلِيلُ الَّذِي هُوَ هِدَايَةُ الْقَلْبِ اهْدِ قَلْبِي وَقَدْ ذَكَرَ الْبَزَّارُ أَبُو حَفْصٍ فِي تَرْجَمَةِ شَيْخِ الْإِسْلَامِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى أَنَّ هَذَا الدُّعَاءَ كَانَ أَكْثَرَ أَدْعِيَةِ ابْنِ تَيمِيَّةَ رَحِمَهُ اللهُ أَنَّ هَذَا الدُّعَاءَ كَانَ أَكْثَرَ أَدْعِيَةِ ابْنِ تَيمِيَّةَ لِكَثِيرٍ مَا كَانَ رَحِمُهُ اللهُ يَدْعُو بِهَذَا الدُّعَاءِ وَهَذَا مِنْ فِقْهِهِ الْعَظِيمِ لِأَنَّ لَمَّا تَنْظُرُ فِي هَذَا الدُّعَاءِ تَجِدُ هَذِهِ الْمَطَالِبَ الَّتِي تَزِيدُ عَلَى عِشْرِينَ مَطْلَبًا كُلُّهَا عَظِيمَةٌ وَمُهِمَّةٌ فِي حَيَاةِ الْمُسْلِمِ وَصَلَاحِهِ وَالشَّاهِدُ مِنْ هَذَا الدُّعَاءِ: وَاهْدِ قَلْبِي واسْلُلْ سَخِيمَةَ صَدْرِي اهْدِ قَلْبِي يَعْنِي اعْمُرْ قَلْبِي بِالْهِدَايَةِ وَالصَّلَاحِ وَالزَّكَاةِ وَاسْلُلْ سَخِيمَةَ صَدْرِي أَيْ أَخْرِجْ مَا فِي صَدْرِي وَمَا فِي قَلْبِي مِنَ السَّخَائِمِ وَالْأَوْسَاخِ نَقِّنِي… نَقِّ قَلْبِي مِنْ ذَلِكَ وَنَقِّ صَدْرِي مِنْ ذَلِكَ

Amalan dan Hukum Seputar Ramadhan

Bulan Ramadhan hampir tiba. Kaum Muslimin pun menyambutnya dengan penuh harap dan kebahagiaan. Bagaimana tidak? Bulan yang penuh berkah dan keutamaan ini adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an, yang menjadi petunjuk bagi manusia menuju kebahagiaan dan keselamatan di dunia serta akhirat. Maka tak heran jika kaum Muslimin menyambutnya dengan suka cita. Demikianlah Allah memberikan keutamaan kepada bulan ini yang tidak dimiliki oleh bulan-bulan lainnya. 1. Keutamaan Bulan Ramadhan Keutamaan bulan Ramadhan sangat jelas dibandingkan bulan lainnya. Namun, kiranya masih perlu dipaparkan secara ringkas untuk menjadi motivasi bagi kaum Muslimin dalam beramal saleh. Di antara keutamaan tersebut adalah: a. Bulan Ramadhan adalah bulan Al-Qur’an Al-Qur’an diturunkan pada bulan ini, sebagaimana firman Allah: شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia serta penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, hendaklah dia berpuasa.” (QS. Al-Baqarah: 185) Dalam ayat ini, bulan Ramadhan disebut sebagai bulan turunnya Al-Qur’an. Kemudian, pernyataan tersebut diikuti dengan perintah yang diawali dengan huruf fa (فَ) dalam firman-Nya: فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ (Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir di bulan itu, hendaklah dia berpuasa). Huruf ini berfungsi menunjukkan makna sebab dan alasan. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu sebab utama diwajibkannya puasa di bulan Ramadhan adalah karena bulan ini merupakan waktu turunnya Al-Qur’an. b. Setan dibelenggu, pintu neraka ditutup, dan pintu surga dibuka Dalam bulan ini, Allah membelenggu para setan, menutup pintu-pintu neraka, serta membuka pintu-pintu surga. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: إِذَا جَاءَ رَمَضانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النِيْرَانِ، وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ “Jika datang bulan Ramadhan, dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka, serta dibelenggu para setan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Oleh karena itu, kita dapati bahwa dalam bulan ini kejahatan dan kerusakan di bumi berkurang. Hal ini disebabkan oleh kesibukan kaum Muslimin dalam berpuasa, membaca Al-Qur’an, serta melaksanakan berbagai ibadah lainnya, serta karena para setan dibelenggu sehingga tidak sebebas bulan-bulan lainnya dalam menyesatkan manusia. c. Terdapat malam yang lebih baik daripada seribu bulan Di dalam bulan Ramadhan terdapat satu malam yang dinamakan Lailatul Qadar, yaitu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah: إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.” (QS. Al-Qadr: 1–3) Melihat berbagai keutamaan ini, sudah selayaknya seorang Muslim lebih bersemangat dalam menyambut bulan Ramadhan dengan mempersiapkan diri sebaik mungkin agar dapat meraih keberkahannya. (Diringkas dari Sifat Shaum an-Nabi karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali dan Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid, cetakan keenam tahun 1417 H / 1997 M, penerbit Al-Maktabah Al-Islamiyah, Amman, Yordania, hal. 18–20). *** 2. Persiapan Menghadapi Ramadhan Di antara hal yang harus dipersiapkan seorang Muslim dalam menyambut bulan yang mulia ini adalah: a. Menghitung Bulan Sya’ban Salah satu bentuk persiapan menyambut Ramadhan adalah memperhatikan hitungan bulan Sya’ban. Dalam kalender Islam, satu bulan terdiri dari 29 atau 30 hari. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ لَيْلَةً، فَلا َتَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ “Satu bulan itu 29 malam. Maka janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal). Jika kalian terhalang (dari melihatnya), maka genapkanlah 30 hari.” (HR. Al-Bukhari) Dari hadits ini, jelas bahwa puasa Ramadhan tidak boleh dimulai kecuali setelah melihat hilal. Oleh karena itu, mengetahui hitungan bulan Sya’ban menjadi penting untuk memastikan kapan Ramadhan dimulai. b. Melihat Hilal Ramadhan (Ru’yah) Islam menetapkan bahwa permulaan bulan Ramadhan ditentukan dengan ru’yah (melihat hilal). Ini adalah satu-satunya cara yang disyariatkan dalam agama, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama. Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ (6/289-290) dan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (3/27) menjelaskan bahwa metode ini adalah ketetapan dalam syariat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Kita sudah mengetahui secara pasti bahwa Islam menetapkan amal berdasarkan ru’yah hilal, baik dalam puasa, haji, masa iddah, atau hukum-hukum lain yang berkaitan dengan hilal. Adapun bersandar pada perhitungan astronomi (hisab), baik seseorang melihat hilal atau tidak, maka hal itu tidak diperbolehkan.”(Majmu’ Al-Fatawa, 25/132) Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah juga menyatakan: “Tidak boleh bersandar kepada hisab dalam menentukan awal Ramadhan.” (Ihkamul Ahkam dalam Al-I’lam bi Fawa’id Umdatul Ahkam, 5/179) Pernyataan ini telah menjadi kesepakatan para ulama terdahulu. Adapun munculnya pendapat yang membolehkan hisab baru terjadi setelah tahun 300 Hijriyah. Sebagian ulama belakangan berpendapat bahwa jika langit tertutup mendung, seseorang yang ahli dalam ilmu hisab boleh menggunakannya untuk dirinya sendiri. Namun, pendapat ini tetap tidak berlaku secara umum bagi umat Islam. (Majmu’ Al-Fatawa, 25/133). Dalil-Dalil Tentang Ru’yah Hilal Banyak hadits yang menegaskan bahwa penentuan awal Ramadhan harus berdasarkan ru’yah hilal, di antaranya: 1. Hadits Ibnu Umar Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Rasulullah ﷺ bersabda: “Satu bulan itu 29 malam. Maka janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya), maka genapkanlah 30 hari.” (HR. Al-Bukhari) 2. Hadits Abu Hurairah Rasulullah ﷺ bersabda: صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ “Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah (Idul Fitri) karena melihatnya. Jika (hilal) tertutup mendung, maka sempurnakanlah hitungan Sya’ban menjadi 30 hari.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) 3. Hadits ‘Adi bin Hatim Rasulullah ﷺ bersabda: إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فَصُوْمُوْا ثَلاَثِيْنَ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا الْهِلاَلَ قَبْلَ ذَلِكَ “Jika telah datang bulan Ramadhan, maka berpuasalah 30 hari, kecuali kalian telah melihat hilal sebelumnya.” (HR. Ath-Thahawi dan Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, 17/171, dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil, no. 901) Persaksian Seorang Muslim yang Adil Penentuan awal Ramadhan dapat ditetapkan berdasarkan kesaksian seorang Muslim yang adil. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma: تَرَاءَى النَّاسُ اْلِهلاَلَ فأَخْبَرْتُ النَّبي أَنِّيْ رَأَيْتُهُ فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ “Manusia sedang mencari hilal, lalu aku memberitahu Nabi bahwa aku telah melihatnya. Maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.” (HR. Abu Dawud, Ad-Darimi, Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi) *** 3. Amalan di Bulan Ramadhan Setelah terlihat hilal atau sempurna bulan Sya’ban, maka masuk dan datanglah bulan Ramadhan. Kaum Muslimin mulai melakukan berbagai amal shalih di malam dan siang Ramadhan. Di antara amalan yang dilakukan seorang Muslim adalah: 1. Qiyam Ramadhan (Shalat Tarawih) Shalat tarawih disyariatkan pada malam-malam bulan Ramadhan, baik dilakukan secara berjamaah maupun sendiri. Selain itu, ibadah ini memiliki keutamaan besar yang dapat memotivasi seorang Muslim untuk melaksanakannya. 1.1. Keutamaannya Qiyam Ramadhan adalah menegakkan malam-malam Ramadhan dengan ibadah shalat. Amalan ini memiliki beberapa keutamaan bagi pelakunya, yaitu: a. Mendapat pengampunan dari Allah Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “Barang siapa yang menegakkan (malam-malam) bulan Ramadhan dengan keimanan dan mengharap ridha Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Lalu Rasulullah ﷺ meninggal dunia dalam keadaan perintah tersebut (shalat Tarawih berjamaah) masih berlaku. Demikian pula pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan pertengahan kekhalifahan Umar bin Khattab, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Muslim. b. Mendapat keutamaan shiddiqin dan syuhada Sebagaimana hadits dari ‘Amr bin Murrah yang berbunyi: جَاءَ رَجُلٌ مِنْ قُضَاعَةَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ ﷺ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ شَهِدْتُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنَّكَ رَسُوْلُ اللهِ وَصَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ وَصُمْتُ الشَّهْرَ وَقُمْتُ رَمَضَانَ وَآتَيْتُ الزَّكَاةَ؟ فَقاَلَ النَّبِيُّ ﷺ: مَنْ مَاتَ عَلَى هَذَا كَانَ مِنَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ “Datang kepada Rasulullah ﷺ seorang laki-laki dari Bani Qudha’ah, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku telah bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa engkau adalah utusan-Nya, aku mendirikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menegakkan malam-malam Ramadhan, dan aku menunaikan zakat?’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Barang siapa yang meninggal dalam keadaan seperti ini, dia termasuk dalam (golongan) shiddiqin dan orang-orang yang syahid.’” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih keduanya, serta selainnya, dengan sanad yang sahih). 1.2. Pensyariatan Qiyam Ramadhan (Shalat Tarawih) dengan Berjamaah Disyariatkan melaksanakan qiyam Ramadhan secara berjamaah. Bahkan, berjamaah lebih utama dibandingkan melakukannya sendirian, karena Rasulullah ﷺ telah melaksanakannya dan menjelaskan keutamaannya. Sebagaimana dalam hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu: صُمْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنَ الشَّهْرِ حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ، فَلَمَّا كَانَتِ السَّادِسَةُ لَمْ يَقُمْ بِنَا، فَلَمَّا كَانَتِ الْخَامِسَةُ قَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، لَوْ نَفَّلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ اللَّيْلَةِ، فَقَالَ: «إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ»، فَلَمَّا كَانَتِ الرَّابِعَةُ لَمْ يَقُمْ، فَلَمَّا كَانَتِ الثَّالِثَةُ جَمَعَ أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ وَالنَّاسَ، فَقَامَ بِنَا حَتَّى خَشِينَا أَنْ يَفُوتَنَا الْفَلَاحُ. قَالَ: قُلْتُ: مَا الْفَلَاحُ؟ قَالَ: السَّحُورُ، ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بَقِيَّةَ الشَّهْرِ. “Kami berpuasa bersama Rasulullah ﷺ di bulan Ramadhan. Beliau tidak melaksanakan qiyam (shalat tarawih) bersama kami sepanjang bulan itu, kecuali ketika tersisa tujuh hari. Saat itu, beliau berdiri (shalat tarawih) bersama kami hingga berlalu sepertiga malam. Pada malam keenam (tanggal 24), beliau tidak shalat bersama kami. Kemudian pada malam kelima (tanggal 25), beliau kembali shalat bersama kami hingga berlalu setengah malam. Aku berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, seandainya engkau menambah shalat pada malam ini.’ Maka beliau menjawab, ‘Sesungguhnya jika seseorang shalat bersama imamnya hingga selesai, maka dicatat baginya pahala qiyamul lail sepanjang malam.’ Pada malam keempat (tanggal 26), beliau tidak shalat bersama kami. Pada malam ketiga (tanggal 27), beliau mengumpulkan keluarga, istri-istri, serta orang-orang, lalu menegakkan shalat bersama kami hingga kami khawatir kehilangan kemenangan.’ Aku bertanya, ‘Apa kemenangan itu?’ Abu Dzar menjawab, ‘Sahur.’ Kemudian beliau tidak menegakkannya lagi setelah itu.” (HR. Ash-habus Sunan) Namun, Rasulullah ﷺ tidak terus-menerus melaksanakannya secara berjamaah karena khawatir hal itu akan diwajibkan atas kaum Muslimin sehingga mereka tidak mampu mengerjakannya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang diriwayatkan dalam Shahihain: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ خَرَجَ لَيْلَةً فِيْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِيْ الْمَسْجِدِ وَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلاَتِهِ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوْا، فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّى فَصَلَّوْا مَعَهُ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوْا، فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ، فَخَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ، فَلَمَّا كَانَتِ الَّليْلَةُ الرَّاِبِعَةُ عَجِزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ، حَتَّى خَرَجَ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ، فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ: “أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ، وَلَكِنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوْا عَنْهَا”. فَتُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ وَالأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ. “Bahwasanya Rasulullah ﷺ keluar pada suatu malam di pertengahan malam, lalu beliau shalat di masjid. Beberapa orang pun ikut shalat dengan beliau. Keesokan paginya, orang-orang membicarakan hal itu, maka semakin banyak yang berkumpul pada malam berikutnya. Rasulullah ﷺ kembali shalat, dan mereka ikut shalat bersamanya. Kemudian keesokan harinya, pembicaraan tentang itu semakin meluas, sehingga pada malam ketiga jumlah orang yang hadir semakin banyak. Rasulullah ﷺ keluar dan shalat bersama mereka. Namun, pada malam keempat, masjid tidak mampu menampung jamaahnya hingga beliau keluar untuk shalat Subuh. Setelah menyelesaikan shalat Subuh, beliau menghadap manusia, lalu bertasyahud dan bersabda, ‘Amma ba’du, sungguh aku mengetahui keberadaan kalian. Namun, aku khawatir jika shalat ini diwajibkan atas kalian, lalu kalian tidak mampu melaksanakannya.’ Lalu Rasulullah ﷺ wafat dan perkara tersebut tetap dalam keadaan tidak berjamaah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Sebab tidak dilaksanakannya qiyam Ramadhan (shalat Tarawih) secara berjamaah ini hilang setelah wafatnya Rasulullah ﷺ, karena dengan wafatnya beliau, agama ini telah sempurna. Oleh karena itu, amalan ini tetap disyariatkan meskipun tidak dikerjakan secara berjamaah oleh Rasulullah ﷺ karena kekhawatiran beliau. Kemudian, amalan ini dihidupkan kembali oleh Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pada masa kekhalifahannya. Pensyariatan shalat tarawih berjamaah ini juga berlaku bagi wanita. Bahkan, diperbolehkan bagi mereka untuk memiliki imam khusus, sebagaimana dilakukan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengangkat Ubay bin Ka’b sebagai imam bagi laki-laki dan Sulaiman bin Abu Hatsmah sebagai imam bagi wanita. Demikian pula Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang memerintahkan kaum Muslimin untuk shalat tarawih berjamaah dan mengangkat seorang imam bagi laki-laki serta Urfuzah ats-Tsaqafi sebagai imam bagi wanita. (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi). 1.3. Jumlah Rakaatnya Jumlah rakaat shalat Tarawih yang lebih rajih (kuat) adalah 11 rakaat, insyaallah. Namun, boleh juga kurang atau lebih dari itu, karena Rasulullah ﷺ tidak membatasi jumlah rakaatnya maupun panjang bacaannya secara khusus. 1.4. Waktunya Waktu pelaksanaan shalat Tarawih dimulai setelah shalat Isya hingga terbit fajar Subuh. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ: إِنَّ اللَّهَ زَادَكُمْ صَلاَةً، وَهِيَ الْوِتْرُ، فَصَلُّوْهَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ “Sesungguhnya Allah telah menambahkan bagi kalian satu shalat, yaitu Witir. Maka, kerjakanlah shalat itu di antara shalat Isya hingga shalat Fajar.” (HR. Ahmad dari Abu Bashrah, dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Qiyam Ramadhan hal. 26). Shalat malam yang dilakukan di akhir malam lebih utama, bagi siapa saja yang mampu bangun pada waktu tersebut. Rasulullah ﷺ bersabda: مَنْ خَافَ أَنْ لَا يَقُوْمَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوْتِرْ أَوَّلَهُ، وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُوْمَ آخِرَهُ فَلْيُوْتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ، فَإِنَّ صَلاَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُوْدَةٌ، وَذَلِكَ أَفْضَلُ “Barang siapa khawatir tidak bisa bangun di akhir malam, maka hendaklah ia berwitir di awal malam. Namun, barang siapa berharap dapat bangun di akhir malam, maka hendaklah ia berwitir di akhir malam. Karena shalat di akhir malam itu disaksikan (oleh malaikat), dan itulah yang lebih utama.” (HR. Muslim). Namun, jika ada shalat Tarawih berjamaah di awal malam, maka lebih utama mengikuti shalat berjamaah dibandingkan shalat sendirian di akhir malam. 1.5. Rincian Rakaat Shalat Tarawih Adapun shalat Tarawih yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ memiliki beberapa rincian sebagai berikut: 13 rakaat dengan perincian: shalat 2 rakaat-2 rakaat, lalu ditutup dengan 1 rakaat witir. 13 rakaat dengan perincian: 8 rakaat dengan salam pada setiap dua rakaat, lalu ditambah 5 rakaat witir yang dilakukan tanpa duduk dan salam, kecuali di rakaat kelima. 11 rakaat dengan perincian: shalat 2 rakaat-2 rakaat, lalu ditutup dengan 1 rakaat witir. 11 rakaat dengan perincian: shalat 8 rakaat tanpa duduk kecuali di rakaat kedelapan, lalu bertasyahud dan bershalawat, kemudian berdiri tanpa salam. Setelah itu, dilanjutkan dengan 1 rakaat witir dan salam, lalu ditambah 2 rakaat dalam posisi duduk. 9 rakaat dengan perincian: shalat 6 rakaat tanpa duduk kecuali di rakaat keenam, lalu bertasyahud dan bershalawat tanpa salam. Kemudian, berdiri untuk shalat witir 1 rakaat dan salam, lalu ditambah 2 rakaat dalam posisi duduk. 1.6. Qunut Setelah selesai membaca surat dan sebelum rukuk, Rasulullah ﷺ kadang-kadang berqunut. Namun, boleh juga dilakukan setelah rukuk. 1.7. Bacaan Setelah Witir Apabila telah selesai dari shalat witir, hendaklah membaca: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ Pada bacaan yang ketiga, dianjurkan untuk memanjangkan suara dan meninggikannya. *** 2. Puasa Setelah melaksanakan shalat Tarawih di malam hari, seorang muslim bersiap menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. 2.1. Definisi Puasa 2.1.1. Definisi Secara Bahasa Ash-Shiyām (الصِّيَامُ) dalam bahasa Arab bermakna ‘menahan diri’, sebagaimana firman Allah: إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا “Aku telah bernazar kepada Tuhan Yang Maha Pengasih untuk berpuasa (menahan diri dari berbicara).” (QS. Maryam: 26) 2.1.2. Definisi Secara Istilah Syariat Secara istilah syariat, puasa adalah “Menahan diri dengan niat ibadah dari hal-hal yang membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari.” (Lihat Taisīr Al-Fiqh karya Dr. Shalih bin Ghanim as-Sadlân, cetakan kedua, 1417 H/1997 M, tanpa penerbit, hlm. 79) 2.2. Kewajiban Puasa di Bulan Ramadhan Puasa Ramadhan adalah ibadah yang diwajibkan oleh Allah atas kaum mukminin dan merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Kewajibannya telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak kaum muslimin. a. Dalil dari Al-Qur’an Allah berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183) b. Dalil dari As-Sunnah 1. Dari Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَىٰ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَائِرَ الرَّأْسِ، فَقَالَ: أَخْبِرْنِي بِمَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنَ الصِّيَامِ؟ فَقَالَ: رَمَضَانَ إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا “Seorang Arab pedalaman datang kepada Rasulullah ﷺ dalam keadaan kusut rambutnya, lalu ia berkata, ‘Beritahukan kepadaku, puasa apa yang diwajibkan atas diriku?’ Rasulullah ﷺ menjawab, ‘Puasa Ramadhan, kecuali jika engkau ingin menambah (puasa sunnah).’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) 2. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda: بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَىٰ خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللَّهِ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ “Islam dibangun di atas lima perkara: syahadat bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah, dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) c. Dalil dari Ijmak Kaum Muslimin Kaum muslimin telah sepakat sejak dahulu hingga sekarang bahwa puasa Ramadhan adalah kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat. *** 2.3. Keutamaan Puasa Puasa adalah salah satu ibadah yang mendekatkan seorang hamba kepada Allah. Di dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah ﷺ, banyak disebutkan keutamaan puasa, di antaranya: a. Puasa Termasuk Amalan yang Mendapat Ampunan dan Pahala Besar Allah ﷻ berfirman: إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35) Allah ﷻ juga berfirman: وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ “Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 184) b. Puasa Adalah Perisai dari Syahwat dan Neraka Rasulullah ﷺ bersabda: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang telah memiliki kemampuan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah, karena pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Namun, barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu adalah benteng baginya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas‘ud) Hadits ini menunjukkan bahwa puasa dapat mengekang syahwat dan memperlemahnya. Oleh karena itu, puasa menjadi perisai seorang muslim dari hawa nafsu dan syahwat yang dapat menyeretnya ke neraka. Rasulullah ﷺ juga bersabda: مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا بَاعَدَ اللَّهُ بِذَٰلِكَ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا “Tidaklah seorang hamba berpuasa satu hari di jalan Allah, melainkan Allah akan menjauhkan wajahnya dari api neraka sejauh perjalanan tujuh puluh tahun.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa‘id Al-Khudri) c. Puasa Mengantarkan ke Surga Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah ﷺ, ‘Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku satu amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga.’” Maka beliau menjawab: عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ، لَا مِثْلَ لَهُ “Hendaklah engkau berpuasa, karena tidak ada amalan yang sebanding dengannya.” (HR. An-Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, sanadnya sahih) d. Orang yang Berpuasa Mendapatkan Dua Kebahagiaan Rasulullah ﷺ bersabda: قَالَ اللَّهُ: كُلُّ عَمَلِ بَنِي آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ، وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ، لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا: إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ، وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ “Allah berfirman, ‘Setiap amal anak Adam untuknya, kecuali puasa, karena itu adalah untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.’ Puasa itu perisai. Jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah ia berkata kotor dan jangan pula bertengkar. Jika ada seseorang yang mencacinya atau mengajaknya berkelahi, hendaklah ia mengatakan, ‘Aku sedang berpuasa.’ Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada wangi misik. Orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabbnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Dalam hadits ini juga terdapat dua keutamaan lainnya: 1. Pahala orang yang berpuasa dilipatgandakan. 2. Bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada wangi misik. e. Orang yang Berpuasa Memiliki Pintu Khusus di Surga. Rasulullah ﷺ bersabda: إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ: الرَّيَّانُ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ، فَلَمْ يَدْخُلْ أَحَدٌ مِنْهُ “Sesungguhnya di dalam surga terdapat satu pintu yang disebut Ar-Rayyan. Pada hari kiamat, hanya orang-orang yang berpuasa yang masuk melalui pintu itu. Tidak ada seorang pun selain mereka yang boleh memasukinya. Jika mereka telah masuk, pintu itu ditutup, sehingga tidak ada lagi yang dapat masuk melaluinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa‘id Al-Khudri) (Diringkas dari Sifat Saum An-Nabi Hal 11-17). *** 1.4. Amalan-Amalan yang Berhubungan dengan Puasa 1. Niat Ketika bulan Ramadhan telah tiba, setiap muslim wajib berniat untuk berpuasa pada malam harinya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ: مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ “Barang siapa yang tidak berniat puasa sebelum fajar, maka tiada baginya puasa itu.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan Al-Baihaqi dari Hafshah binti Umar) Niat tempatnya di hati, sementara melafalkannya termasuk dalam perbuatan bid’ah. Kewajiban berniat pada malam hari ini berlaku khusus untuk puasa wajib, seperti puasa Ramadhan dan puasa nazar. 2. Waktu Puasa Waktu berpuasa dimulai dari terbit fajar subuh hingga terbenam matahari. Hal ini sebagaimana firman Allah ﷻ: وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ “Dan makan dan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah: 186) Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa terdapat dua jenis fajar: a. Fajar Kazib (Fajar Palsu) Cahaya putih yang menjulang secara vertikal di langit seperti ekor serigala. Pada saat ini, masih diperbolehkan makan, minum, dan tidak boleh melaksanakan salat Subuh. b. Fajar Shadiq (Fajar Sejati) Cahaya kemerahan yang menyebar secara horizontal di ufuk. Saat ini, makan dan minum harus dihentikan, dan salat Subuh sudah dapat dilakukan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah ﷺ: الفَجْرُ فَجْرَانِ: فَأَمَّا الأَوَّلُ فَإِنَّهُ لاَ يَحْرُمُ الطَّعَامُ وَلاَ يَحِلُّ الصَّلاَة، وَأَمَّا الثَّانِي فَإِنَّهُ يَحْرُمُ الطَّعَامُ وَيَحِلُّ الصَّلاَةَ “Fajar itu ada dua. Adapun yang pertama, maka masih boleh makan dan tidak boleh melaksanakan salat. Sedangkan yang kedua, maka makanan diharamkan dan salat diperbolehkan.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Al-Hakim, Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi dengan sanad sahih) Untuk mengenali perbedaannya, fajar pertama berbentuk cahaya putih yang menjulang ke atas, sedangkan fajar kedua berwarna kemerahan dan menyebar ke ufuk timur, menerangi gunung, lembah, dan bangunan. Ketika fajar shadiq telah tampak, maka makan, minum, dan hubungan suami istri harus dihentikan. 3. Kesalahan dalam Menentukan Waktu Imsak Di beberapa tempat, terdapat kebiasaan mengadakan waktu imsak sekitar 10–15 menit sebelum waktu fajar dengan anggapan sebagai langkah kehati-hatian. Namun, kebiasaan ini tidak ada tuntunannya dalam syariat dan bertentangan dengan sunnah Rasulullah ﷺ. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata: “Termasuk bid’ah mungkar adalah mengadakan azan kedua sekitar sepertiga jam sebelum fajar di bulan Ramadhan, lalu mematikan lampu-lampu sebagai tanda untuk menghentikan makan dan minum, dengan persangkaan bahwa hal itu adalah bentuk kehati-hatian. Padahal, hal itu tidak diketahui kecuali dari segelintir orang saja. Hal ini justru menyebabkan mereka mengakhirkan berbuka puasa dan mempercepat sahur, yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah ﷺ. Akibatnya, sedikit sekali kebaikan mereka dan lebih banyak keburukan yang menimpa mereka.” (Fathul Bari, 4/199) Oleh karena itu, yang benar adalah tetap makan dan minum hingga fajar shadiq benar-benar muncul. 4. Waktu Berbuka Puasa Puasa berakhir saat matahari terbenam. Rasulullah ﷺ bersabda: إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَهُنَا، وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَهُنَا، وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ “Jika malam telah datang dari arah sini, siang telah pergi dari arah sana, dan matahari telah terbenam, maka orang yang berpuasa telah berbuka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Tanda masuknya waktu berbuka adalah: 1. Matahari benar-benar telah tenggelam di ufuk barat dan tidak ada lagi bagian bulatannya yang tampak. 2. Mulainya kegelapan dari arah timur, yang dapat dilihat dengan mata telanjang tanpa perlu alat bantu seperti teleskop. *** 3. Sahur 3.1. Hikmah Sahur Setelah mewajibkan puasa dengan hukum dan waktu yang sama seperti yang berlaku bagi umat-umat sebelumnya, Allah mensyariatkan sahur bagi kaum Muslimin sebagai pembeda antara puasa mereka dan puasa umat terdahulu. Rasulullah ﷺ bersabda: فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحُوْرِ “Yang membedakan antara puasa kita dengan puasa Ahli Kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim) 3.2. Keutamaan Sahur Di antara keutamaan sahur adalah sebagai berikut: 1. Sahur Mengandung Berkah Rasulullah ﷺ bersabda: إِنَّهَا بَرَكَةٌ أَعْطَاكُمُ الله إِيَّاهَا فَلاَ تَدَعُوْهُ “Sesungguhnya sahur adalah berkah yang diberikan Allah kepada kalian, maka janganlah kalian meninggalkannya.” (HR. An-Nasa’i dan Ahmad, dengan sanad yang sahih) Berkahnya sahur dapat dilihat dari beberapa aspek, di antaranya: • Menjalankan sunnah Rasulullah ﷺ. • Menguatkan fisik dalam menjalankan ibadah puasa. • Menambah semangat dalam beribadah. • Mengandung unsur menyelisihi kebiasaan Ahli Kitab. 2. Orang yang Bersahur Mendapat Salawat dari Allah dan Malaikat Dalam hadits Abu Sa‘id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda: السَحُوْرُ أَكْلَةُ اْلْبَرَكَةِ، فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنَ الْمَاءِ، فَإِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ “Sahur adalah makanan yang penuh berkah, maka janganlah kalian tinggalkan, walaupun salah seorang dari kalian hanya meneguk seteguk air. Karena sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat atas orang-orang yang bersahur.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Ahmad) 3.3. Sunnah Mengakhirkan Sahur Disunnahkan untuk mengakhirkan sahur hingga mendekati waktu fajar, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ، قُلْتُ: كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسُّحُوْرِ؟ قَالَ: قَدْرُ خَمْسِيْنَ آيَةً “Kami bersahur bersama Rasulullah ﷺ, kemudian beliau berdiri untuk melaksanakan salat. Aku bertanya, ‘Berapa lama jarak antara azan dan sahur?’ Beliau menjawab, ‘Sekitar 50 ayat (bacaan Al-Qur’an).’” (HR. Bukhari dan Muslim) 3.4. Hukum Sahur Sahur merupakan sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) berdasarkan dalil-dalil berikut: a. Perintah Rasulullah ﷺ untuk Bersahur Di antara perintah beliau ﷺ adalah sabda berikut: تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِيْ السَّحُوْرِ بَرَكَةً “Bersahurlah, karena dalam sahur terdapat berkah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadits ini menunjukkan anjuran kuat dari Rasulullah ﷺ untuk makan sahur, karena mengandung keberkahan bagi yang melaksanakannya. b. Larangan Rasulullah ﷺ untuk Meninggalkan Sahur Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Sa‘id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu yang telah dikutip sebelumnya, Rasulullah ﷺ melarang meninggalkan sahur. Oleh karena itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fath Al-Bari (3/139) menyebutkan adanya ijmak (kesepakatan ulama) atas kesunnahan sahur. *** 4. Perkara-Perkara yang Membatalkan Puasa Dalam puasa, terdapat beberapa perkara yang dapat merusaknya. Seorang yang berpuasa wajib menjauhi hal-hal berikut selama siang hari: a. Makan dan minum dengan sengaja Sebagaimana firman Allah: وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ “Dan makanlah serta minumlah kalian hingga jelas bagi kalian benang putih siang dari benang hitam malam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah: 186) b. Muntah dengan sengaja c. Haid dan nifas d. Injeksi yang mengandung zat makanan (infus) e. Bersetubuh Selain perkara yang membatalkan puasa, ada pula hal-hal yang harus dihindari oleh orang yang berpuasa, di antaranya: 1. Berkata Bohong Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda: مَنْ لَمْ َيدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَ الْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ أَنْ َيدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dengannya, maka Allah tidak butuh dengan usahanya meninggalkan makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari) 2. Berbuat Sia-Sia dan Kejahatan Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda: لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّراَبِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، فَإِنْ سَابَكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ إِنِّيْ صَائِمٌ إِنِّيْ صَائِمٌ “Puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga dari perkataan sia-sia dan perbuatan keji. Jika seseorang mencacimu atau berbuat buruk kepadamu, katakanlah: ‘Saya sedang berpuasa, saya sedang berpuasa.’” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim) *** 5. Perkara-Perkara yang Dibolehkan Terdapat beberapa perkara yang sering dianggap membatalkan puasa, padahal sebenarnya diperbolehkan, di antaranya: a. Orang yang Junub hingga Waktu Fajar Sebagaimana disebutkan dalam hadis Aisyah dan Ummu Salamah, keduanya berkata: كَانَ رَسُولُ اللهِ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ اغْتَسَلَ وَيَصُوْمُ “Sesungguhnya Nabi ﷺ mendapati fajar (waktu subuh) dalam keadaan junub dari keluarganya, kemudian beliau mandi dan tetap berpuasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) b. Bersiwak c. Berkumur dan Memasukkan Air ke Hidung saat Bersuci d. Bersentuhan dan Berciuman bagi Orang yang Berpuasa Hal ini diperbolehkan, namun dimakruhkan bagi orang yang masih berusia muda karena dikhawatirkan menjerumuskan kepada hal yang membatalkan puasa. e. Injeksi yang Tidak Mengandung Zat Makanan f. Berbekam g. Mencicipi Makanan Selama tidak sampai masuk ke tenggorokan, mencicipi makanan diperbolehkan. h. Memakai Celak dan Tetes Mata i. Menyiram Kepala dengan Air Dingin dan Mandi *** 6. Orang-Orang yang Dibolehkan Tidak Berpuasa Sesungguhnya Islam adalah agama yang penuh kemudahan. Oleh karena itu, syariat memberikan keringanan bagi orang-orang tertentu yang mengalami kesulitan atau tidak mampu berpuasa. Mereka adalah: 1. Musafir (Orang yang Bepergian) Musafir diperkenankan untuk memilih antara tetap berpuasa atau berbuka sebagai bentuk rahmat dari Allah. Sebagaimana firman-Nya: وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185) Demikian pula Rasulullah ﷺ pernah ditanya tentang puasa bagi musafir, sebagaimana dalam hadis Hamzah bin Amru Al-Aslami: أَنَّ حَمْزَةَ بْنَ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيَّ قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَأَصُومُ فِي السَّفَرِ وَكَانَ كَثِيرَ الصِّيَامِ فَقَالَ إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ “Sesungguhnya Hamzah bin Amru Al-Aslami bertanya kepada Rasulullah ﷺ, ‘Apakah saya berpuasa dalam perjalanan?’ Hamzah adalah seorang yang banyak berpuasa. Lalu Rasulullah ﷺ menjawab, ‘Jika kamu mau, berpuasalah. Jika kamu mau, berbukalah.’” (Muttafaqun ’alaih) 2. Orang yang Sakit Dibolehkan bagi orang sakit untuk berbuka sebagai bentuk rahmat dari Allah. Namun, dengan ketentuan bahwa sakitnya akan bertambah parah, membahayakan dirinya, atau memperlambat kesembuhannya jika tetap berpuasa. (Lihat Sifat Shaum Nabi karya Syaikh Salim dan Ali Hasan, hlm. 59) 3. Wanita yang Haid atau Nifas Para ulama telah bersepakat (ijma’) bahwa wanita yang sedang haid atau nifas dilarang berpuasa. Namun, mereka wajib mengqadha puasanya di hari lain setelah suci. 4. Orang Lanjut Usia yang Lemah Orang yang sudah tua dan tidak lagi mampu berpuasa diperbolehkan berbuka. Sebagai gantinya, mereka wajib memberi makan satu orang miskin setiap hari. Sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Abbas: “Orang yang sudah tua, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak mampu berpuasa maka keduanya harus memberi makan seorang miskin setiap harinya.” (HR. Al-Bukhari, no. 4505) 5. Wanita Hamil atau Menyusui Wanita hamil atau menyusui juga diberikan keringanan untuk tidak berpuasa jika mereka khawatir akan kesehatan diri mereka atau bayinya. *** 7. Berbuka Puasa 7.1. Waktu Berbuka Waktu berbuka puasa adalah saat matahari terbenam. Hal ini telah dijelaskan dalam pembahasan tentang waktu puasa sebelumnya. Rasulullah ﷺ berbuka sebelum melaksanakan salat Magrib, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. 7.2. Mempercepat Berbuka Puasa Termasuk dalam sunnah puasa adalah menyegerakan berbuka. Hal ini dilakukan dalam rangka meneladani Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya. Amr bin Maimun Al-Audi berkata: “Para sahabat Muhammad ﷺ adalah orang-orang yang paling cepat berbuka dan paling lambat makan sahur.” (HR. Abdurrazzaq dalam Al-Musannaf, no. 7591, dengan sanad yang disahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 4/199) Adapun manfaat dari menyegerakan berbuka puasa adalah sebagai berikut: 1. Mendapatkan Kebaikan Sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’d, Rasulullah ﷺ bersabda: لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ “Manusia akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) 2. Menjalankan Sunnah Nabi ﷺ Mempercepat berbuka merupakan bagian dari tuntunan Rasulullah ﷺ yang senantiasa beliau lakukan dan ajarkan kepada umatnya. 3. Menyelisihi Ahli Kitab Sebagaimana disebutkan dalam hadis Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda: لَا يَزَالُ الدِّينُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ، لِأَنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُونَهُ “Agama ini akan senantiasa menang selama kaum Muslimin menyegerakan berbuka puasa, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mengakhirkannya.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban dengan sanad hasan) Berbuka puasa dilakukan sebelum salat Magrib, karena demikianlah akhlak para nabi. Rasulullah ﷺ menganjurkan berbuka dengan kurma, dan jika tidak ada kurma, maka cukup dengan air. Hal ini menunjukkan kasih sayang dan perhatian beliau terhadap umatnya. Setelah berbuka, beliau langsung melaksanakan salat Magrib. 7.3. Makanan untuk Berbuka Tidak ada ketentuan khusus mengenai jenis makanan yang harus dikonsumsi saat berbuka puasa. Namun, Rasulullah ﷺ memiliki kebiasaan mendahulukan ruthab (kurma basah) ketika berbuka, sebagaimana dikisahkan oleh Anas bin Malik: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَتَمَرَاتٌ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَمَرَاتٌ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ “Nabi ﷺ berbuka sebelum salat dengan ruthab (kurma basah), jika tidak ada maka dengan tamr (kurma kering), dan jika tidak ada, beliau minum seteguk air.” (HR. Ahmad 3/163, Abu Dawud 2/306, dan At-Tirmidzi 3/70) 7.4. Doa Berbuka Puasa Disyariatkan bagi orang yang berpuasa untuk membaca doa ketika berbuka, sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash: “Sesungguhnya orang yang berpuasa memiliki doa yang tidak tertolak ketika berbuka.” (HR. Ibnu Majah 1753, Al-Hakim 1/422, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib 2/148) Adapun doa berbuka puasa yang ma’tsur dari Rasulullah ﷺ adalah: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ “Nabi ﷺ apabila berbuka, beliau membaca: ‘ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ.’” (HR. Abu Dawud 2/306 dengan sanad hasan) *** 8. Adab Orang yang Berpuasa Disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk beradab dengan adab-adab yang syar’i, di antaranya: 1. Memperlambat sahur (telah dijelaskan sebelumnya). 2. Mempercepat berbuka puasa (telah dijelaskan sebelumnya). 3. Berdoa ketika berpuasa dan saat berbuka (telah dijelaskan sebelumnya). 4. Menahan diri dari perkara-perkara yang merusak puasa (telah dijelaskan sebelumnya). 5. Bersiwak. 6. Berderma dan tadarus Al-Qur’an. 7. Bersungguh-sungguh dalam beribadah, khususnya pada sepuluh hari terakhir. *** 9. I’tikaf 9.1. Makna I’tikaf I’tikaf berasal dari bahasa Arab yang berarti berdiam diri pada sesuatu. Kata ini digunakan dalam konteks ibadah dengan makna tinggal dan menetap di masjid untuk beribadah serta mendekatkan diri kepada Allah. Orang yang melakukan i’tikaf disebut mu’takif atau ‘aakif. 9.2. Hikmah I’tikaf Ibnul Qayyim berkata: “Ketika perbaikan dan keistiqamahan hati dalam berjalan menuju Allah bergantung pada konsentrasinya terhadap Allah dan kesatuan kekuatannya dalam menghadap-Nya secara penuh, maka jika hati terpecah, ia tidak dapat disatukan kecuali dengan menghadapkan diri kepada Allah. Padahal, kelebihan makan dan minum, terlalu banyak bergaul dengan manusia, banyak bicara, dan tidur yang berlebihan justru akan membuat hati berantakan, memporak-porandakannya, serta memutus, melemahkan, atau mengganggu perjalanan hati menuju Allah.” “Karena itu, rahmat Allah kepada hamba-Nya menetapkan syariat puasa, yang dapat menghilangkan kelebihan makan dan minum serta mengosongkan hati dari berbagai syahwat yang menghalangi perjalanan menuju-Nya. Allah mensyariatkan puasa sesuai dengan kemaslahatan yang bermanfaat bagi hamba, baik di dunia maupun di akhirat, tanpa mengganggu urusan duniawinya.” “Kemudian, Allah juga mensyariatkan i’tikaf, yang tujuan dan intinya adalah agar hati seseorang benar-benar menghadap Allah, menyatukan fokusnya, berkhulwah dengan-Nya, serta menghilangkan kesibukan dengan makhluk sehingga hanya sibuk menghadap Allah semata.” 9.3. Pensyariatannya I’tikaf disyariatkan dalam firman Allah: أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالْئَانَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, serta makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam, tetapi janganlah kamu mencampuri mereka ketika kamu sedang beri’tikaf di masjid. Itulah batasan-batasan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 187) Selain dalam Al-Qur’an, pensyariatan i’tikaf juga dijelaskan dalam hadis-hadis Nabi ﷺ. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ’anha: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ “Nabi ﷺ beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat. Kemudian, istri-istri beliau beri’tikaf setelahnya.” (HR. Al-Bukhari No. 1886) I’tikaf adalah ibadah yang disunnahkan, baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan, dengan atau tanpa didahului puasa. Namun, yang paling utama adalah i’tikaf di bulan Ramadhan, terutama pada sepuluh hari terakhir, sebagaimana disebutkan dalam hadis berikut: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوْسَطِ مِنْ رَمَضَانَ فَاعْتَكَفَ عَامًا حَتَّى إِذَا كَانَ لَيْلَةَ إِحْدَى وَعِشْرِينَ وَهِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي يَخْرُجُ مِنْ صَبِيحَتِهَا مِنْ اعْتِكَافِهِ قَالَ مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفْ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ dahulu beri’tikaf pada sepuluh hari pertengahan Ramadhan, kemudian beliau beri’tikaf di tahun tersebut hingga malam ke-21. Pada malam itu, beliau keluar dari i’tikafnya dan bersabda: ‘Barang siapa yang beri’tikaf bersamaku, hendaklah ia beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir.’” (HR. Al-Bukhari No. 1887) Selain itu, i’tikaf juga disyariatkan melalui perintah Nabi ﷺ kepada Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu dalam hadis berikut: عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْفِ بِنَذْرِكَ فَاعْتَكَفَ لَيْلَةً “Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu, ia berkata: ‘Wahai Rasulullah, dahulu pada masa jahiliyah aku pernah bernazar untuk beri’tikaf satu malam di Masjidil Haram.’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Tunaikan nazarmu.’ Lalu Umar pun beri’tikaf satu malam.” (HR. Al-Bukhari No. 2042, Muslim No. 1656) 9.4. Syarat dan Tempatnya I’tikaf hanya boleh dilakukan di masjid dan tidak boleh dilakukan di tempat selainnya. Seorang yang beri’tikaf juga tidak boleh keluar dari masjid kecuali karena keperluan mendesak atau darurat, seperti buang hajat, makan jika tidak ada yang mengantarkan makanan, atau keadaan darurat lainnya. Dalilnya adalah firman Allah: وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ “Janganlah kamu mencampuri mereka (istri-istrimu) ketika kamu sedang beri’tikaf di masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187) 9.5. Hal-hal yang Diperbolehkan dalam I’tikaf 1. Boleh keluar dari masjid karena hajat dan boleh juga mengeluarkan kepala dari masjid untuk dicuci atau disisir. Aisyah radhiyallahu ’anha berkata: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اعْتَكَفَ يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ “Nabi ﷺ jika beri’tikaf mengeluarkan kepalanya kepada saya, lalu saya sisir. Dan beliau tidak keluar kecuali untuk hajat (keperluan).” (HR. Muslim) 2. Dibolehkan berwudu di dalam masjid. 3. Boleh membuat kemah kecil atau bilik dari kain di bagian belakang masjid sebagai tempat i’tikaf, sebagaimana Aisyah radhiyallahu ’anha membuat kemah kecil untuk Nabi ﷺ saat beliau beri’tikaf. 4. Dibolehkan meletakkan kasur atau dipan dalam i’tikaf, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma: “Dari Nabi ﷺ, bahwa beliau jika beri’tikaf disiapkan atau diletakkan kasur atau dipan di belakang tiang Taubah.” (Hadis ini sanadnya hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Zawaaid Sunannya). 5. Boleh mengantar istri yang mengunjungi ke masjid sampai ke pintu masjid, sebagaimana dalam hadis: أَنَّ صَفِيَّةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَهَا يَقْلِبُهَا حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ بَابَ الْمَسْجِدِ عِنْدَ بَابِ أُمِّ سَلَمَةَ مَرَّ رَجُلَانِ مِنْ الْأَنْصَارِ فَسَلَّمَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّمَا هِيَ صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ فَقَالَا سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَبُرَ عَلَيْهِمَا Dari Shafiyyah radhiyallahu ’anha, beliau berkata bahwa ia datang mengunjungi Nabi ﷺ ketika beliau sedang beri’tikaf di sepuluh akhir Ramadhan. Lalu ia berbincang-bincang dengan beliau beberapa saat, kemudian ia bangkit untuk pulang. Rasulullah ﷺ pun bangkit bersamanya mengantarnya. Ketika sampai di pintu masjid, dekat pintu rumah Ummu Salamah, lewatlah dua orang dari kaum Anshar. Mereka mengucapkan salam kepada Rasulullah ﷺ, lalu beliau berkata kepada mereka, ‘Perlahan, sesungguhnya ini adalah Shafiyyah binti Huyaiy.’ Mereka pun berkata, ‘Subhanallah, wahai Rasulullah!’ dan merasa sangat terkejut.” (HR. Bukhari) 6. Wanita diperbolehkan beri’tikaf di masjid selama aman dari fitnah, sebagaimana dalam hadis: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ “Nabi ﷺ beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga beliau wafat. Kemudian istri-istri beliau pun beri’tikaf setelahnya.” (HR. Bukhari No. 1886) *** 10. Malam Qadar (Lailatul Qadr) 10.1. Sebab Penamaannya Para ulama berselisih pendapat tentang sebab penamaan Lailatul Qadr dalam dua pendapat: 1. Pendapat pertama: Dinamakan Lailatul Qadr karena keagungan dan kemuliaannya. Keistimewaan ini disebabkan karena pada malam tersebut, Al-Qur’an diturunkan seluruhnya ke langit dunia, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Qadr. 2. Pendapat kedua: Dinamakan Lailatul Qadr karena pada malam tersebut, Allah menetapkan seluruh takdir, rezeki, dan ajal bagi setiap makhluk untuk tahun tersebut, kemudian disampaikan kepada para malaikat. Sebagaimana firman Allah: فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ “Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (QS. Ad-Dukhan: 4) (Lihat Al-I’lam bi Fawa’id ’Umdatil Ahkam karya Ibnu Al-Mulaqqin, 5/391-392). 10.2. Keutamaannya Cukuplah keutamaan Lailatul Qadr ditunjukkan dengan dua hal utama: 1. Malam yang lebih baik dari seribu bulan. Allah ﷻ berfirman: إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ۝ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ ۝ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ۝ “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al-Qadr: 1-3) 2. Malam ditetapkannya takdir tahunan. Pada malam tersebut, Allah menetapkan seluruh takdir, rezeki, dan ajal bagi setiap makhluk selama satu tahun, lalu disampaikan kepada para malaikat. Sebagaimana firman-Nya: إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ ۝ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ ۝ أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ ۝ رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ۝ “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi. Sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kamilah yang mengutus para rasul, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ad-Dukhan: 3-6) 10.3. Waktunya Para ulama sepakat bahwa Lailatul Qadr terjadi setiap tahun hingga hari Kiamat. (Lihat: I’lam bi Fawa’id Umdat al-Ahkam, 5/397). Namun, mereka berbeda pendapat dalam menentukan kapan tepatnya malam tersebut terjadi, hingga mencapai lima belas pendapat. (Lihat: I’lam bi Fawa’id Umdat al-Ahkam, 5/398-404). Pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah bahwa Lailatul Qadr terjadi pada malam-malam ganjil dalam sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. 10.4. Tanda-tandanya Rasulullah ﷺ memberikan beberapa tanda Lailatul Qadr agar umatnya dapat mengenali malam yang penuh kemuliaan ini. Di antara tanda-tandanya adalah: 1. Matahari Terbit Tidak Terik di Pagi Harinya Pada pagi harinya, matahari terbit dalam keadaan redup, tidak menyilaukan hingga meninggi. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Razi bin Hubaisy, yang bertanya kepada Ubai bin Ka‘ab: قُلْتُ بِأَيِّ شَيْءٍ تَقُولُ ذَلِكَ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ؟ قَالَ: بِالْعَلَامَةِ أَوْ بِالْآيَةِ الَّتِي أَخْبَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: أَنَّهَا تَطْلُعُ يَوْمَئِذٍ لَا شُعَاعَ لَهَا “Aku bertanya, ‘Apa dalilnya engkau menegaskan hal tersebut, wahai Abul Mundzir?’ Beliau menjawab, ‘Dengan tanda yang Rasulullah ﷺ kabarkan, yaitu matahari terbit pada pagi hari tersebut tanpa sinar yang terik.’” (HR. Muslim No. 1999) Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan: تُصْبِحُ الشَّمْسُ صَبِيحَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةِ مِثْلَ الطَّسْتِ لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ حَتَّى تَرْتَفِعَ “Matahari di pagi harinya (setelah Lailatul Qadr) seperti bejana besar, tidak memiliki cahaya yang terik hingga meninggi.” (HR. Abu Dawud No. 1170) 2. Malamnya Cerah dan Tenang Malam Lailatul Qadr dipenuhi ketenangan, tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلِقَةٌ لاَ حَارَّةَ وَلاَ بَارِدَةَ، تُصْبِحُ الشَّمْسُ صَبِيحَتِهَا ضَعِيْفَةً حَمْرَاءَ “Lailatul Qadr adalah malam yang cerah dan terang, tidak panas dan tidak pula dingin. Pagi harinya matahari terbit dalam keadaan redup kemerahan.” (HR. Ath-Thayalisi No. 349, Ibnu Khuzaimah 3/331, dan Al-Bazzar dengan sanad yang hasan. Lihat: Sifat Shaum Nabi, hal. 90) Sedangkan dalam riwayat Ibnu Khuzaimah disebutkan tanpa tambahan kata سَمْحَةٌ dan صَبِيْحَتِهَا, serta diganti dengan يوْمِهَا. (Lihat: Shahih Ibnu Khuzaimah 3/331-332). 10.5. Hikmah Disembunyikannya Waktu Lailatul Qadr Allah ﷻ merahasiakan waktu pasti terjadinya Lailatul Qadr agar manusia bersungguh-sungguh mencarinya dan memperbanyak ibadah di malam-malam terakhir bulan Ramadhan, dengan harapan dapat menjumpainya. Hal ini serupa dengan disembunyikannya waktu terjadinya kiamat dan kematian, agar manusia selalu berada dalam keadaan bersiap diri dengan amal kebaikan. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-I‘lam (5/407): “Hikmah disembunyikannya waktu malam ini adalah agar manusia bersungguh-sungguh mencarinya dengan harapan dapat menjumpainya. Hal ini seperti waktu terjadinya kiamat dan kematian.” *** 11. Zakat Fitrah Zakat Fitrah merupakan zakat yang disyariatkan dalam Islam berupa satu sha‘ (sekitar 2,5–3 kg) dari makanan pokok yang dikeluarkan oleh seorang muslim di akhir Ramadhan. Tujuan utama zakat ini adalah sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat berbuka setelah sebulan berpuasa serta sebagai penyempurna ibadah Ramadhan. Oleh karena itu, zakat ini dinamakan shadaqatul fitr atau Zakat Fitrah. (Fatawa Ramadhan, 2/901). 11.1. Hukumnya Zakat Fitrah adalah salah satu kewajiban yang dibebankan kepada setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, kecil atau besar, budak ataupun orang merdeka. Dalil-dalil yang mewajibkan Zakat Fitrah: 1. Hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ، وَأَمَرَ بِهَا قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ “Rasulullah ﷺ mewajibkan Zakat Fitrah sebanyak satu sha‘ dari kurma atau satu sha‘ dari gandum atas hamba sahaya, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil, maupun orang dewasa dari kaum muslimin. Dan beliau memerintahkan agar Zakat Fitrah ini ditunaikan sebelum orang-orang keluar untuk shalat (Idulfitri).”(HR. Al-Bukhari dan Muslim) 2. Hadits Abu Sa‘id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu: كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَانِ النَّبِيِّ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ “Dahulu, di zaman Nabi ﷺ, kami menunaikan Zakat Fitrah sebanyak satu sha‘ dari makanan, satu sha‘ dari kurma, satu sha‘ dari gandum, atau satu sha‘ dari kismis (anggur kering).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) 3. Penafsiran ayat dalam Surah Al-A‘la ayat 14 قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى “Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan dirinya.” (QS. Al-A‘la: 14) Sa‘id bin Al-Musayyib dan Umar bin Abdul Aziz menafsirkan ayat ini sebagai kewajiban Zakat Fitrah. 4. Ijma‘ Ulama Ibnu Qudamah rahimahullah menukil dari Ibnul Mundzir rahimahullah bahwa telah terjadi ijma‘ (kesepakatan) di kalangan para ulama mengenai kewajiban Zakat Fitrah. “Para ahli ilmu telah sepakat bahwa Zakat Fitrah adalah wajib.” (Al-Mughni, 3/80) 11.2. Hikmah Zakat Fitrah Zakat Fitrah memiliki banyak hikmah dan manfaat, baik secara spiritual maupun sosial. Di antara hikmah tersebut adalah: 1. Sebagai zakat bagi tubuh Zakat Fitrah merupakan bentuk syukur atas nikmat kehidupan yang Allah berikan selama satu tahun. 2. Memberikan kemudahan bagi seluruh kaum muslimin Zakat Fitrah tidak hanya bermanfaat bagi yang miskin, tetapi juga memberikan kemudahan bagi yang kaya, karena dapat menyucikan hartanya dan mendatangkan keberkahan. 3. Sebagai ungkapan rasa syukur Menunaikan Zakat Fitrah merupakan wujud syukur atas nikmat Allah, terutama setelah menjalani ibadah puasa selama bulan Ramadhan. 4. Menyempurnakan kebahagiaan di hari raya Dengan adanya Zakat Fitrah, kebahagiaan hari Idulfitri dapat dirasakan oleh seluruh umat Islam, termasuk kaum fakir miskin, sehingga tidak ada yang merasa kekurangan pada hari kemenangan tersebut. 5. Sebagai makanan bagi fakir miskin dan penyucian bagi orang yang berpuasa Zakat Fitrah membantu meringankan beban orang-orang miskin serta menyucikan orang yang berpuasa dari kekurangan atau dosa kecil yang mungkin dilakukan selama Ramadhan. Dalilnya adalah sabda Rasulullah ﷺ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللَّهِ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِيْنَ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنَ “Rasulullah ﷺ mewajibkan Zakat Fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perkataan sia-sia dan perbuatan keji, serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi. Hadis ini dinilai hasan oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (6/126), Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (3/50), dan Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil (3/333)). 11.3. Jenis yang Boleh Dikeluarkan untuk Zakat Fitrah dan Penerimanya 1. Jenis yang Boleh Dikeluarkan Zakat Fitrah harus dikeluarkan dalam bentuk makanan pokok yang biasa dikonsumsi oleh penduduk setempat, sesuai dengan pendapat yang lebih kuat dan disepakati oleh para ulama berdasarkan hadis-hadis yang ada. Sebagaimana disebutkan dalam Fatawa Ramadhan (2/914), jenis makanan yang boleh dikeluarkan antara lain: • Kurma • Gandum • Beras • Sagu • Jagung • Makanan pokok lain yang biasa dikonsumsi oleh penduduk negeri tersebut Para ulama melarang mengganti Zakat Fitrah dengan uang, daging, atau barang lain yang bukan makanan pokok. (Fatawa Ramadhan 2/916-927). Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa Zakat Fitrah harus berupa makanan, karena zakat ini bertujuan untuk memberikan kecukupan kepada fakir miskin pada hari raya. Allah berfirman: مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ أَهْلِيْكُمْ “Dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu.” (QS. Al-Ma’idah: 89) Nabi ﷺ juga telah mewajibkan Zakat Fitrah sebanyak satu sha’ dari kurma atau gandum, karena itulah makanan pokok penduduk Madinah. Jika makanan pokok mereka berbeda, maka Nabi ﷺ tidak membebani mereka untuk mengeluarkan sesuatu yang bukan makanan pokok mereka. Zakat Fitrah memiliki kesamaan dengan kafarat (denda) yang juga berhubungan dengan badan, sehingga wajib dikeluarkan dalam bentuk makanan, bukan dalam bentuk uang seperti zakat harta. 2. Penerima Zakat Fitrah Penerima Zakat Fitrah adalah fakir dan miskin saja, sebagaimana dalil dari sabda Rasulullah ﷺ: فَرَضَ رَسُوْلُ الله زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِيْنَ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنَ “Rasulullah ﷺ mewajibkan Zakat Fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perkataan sia-sia dan perbuatan keji, serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi). 11.4. Ukuran Zakat Fitrah Ukuran Zakat Fitrah yang harus dikeluarkan adalah satu sha’ sebagaimana yang disebutkan dalam hadis-hadis sebelumnya. Satu sha’ ini memiliki takaran yang berbeda menurut perhitungan para ulama: • Syaikh Ibnu Baz: ± 3 kg beras (Fatawa Ramadhan 2/915, 2/926). • Sebagian ulama: 2,275 kg. • Syaikh Ibnu Utsaimin: 2,45 kg. • Di Indonesia: Umumnya digunakan 2,5 kg. Mengambil takaran yang lebih besar lebih baik, agar lebih meyakinkan dalam menunaikan kewajiban ini dan memberi manfaat lebih bagi fakir miskin. 11.5. Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah Waktu terbaik untuk mengeluarkan Zakat Fitrah adalah sebelum shalat Idulfitri, sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Ibnu Abbas: فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ فَزَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَصَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَةِ “Barang siapa yang menunaikannya sebelum manusia keluar untuk shalat, maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barang siapa yang menunaikannya setelah shalat, maka itu hanya sedekah biasa.” (HR. Abu Dawud). • Waktu utama: Sebelum shalat Idulfitri. • Boleh dikeluarkan lebih awal: 1-2 hari sebelum Idulfitri, sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Umar. • Tidak boleh setelah shalat Id: Jika diberikan setelah shalat, maka hanya dianggap sebagai sedekah biasa, bukan sebagai Zakat Fitrah. Namun, jika ada udzur seperti lupa atau keterlambatan yang tidak disengaja, Zakat Fitrah tetap harus dikeluarkan walaupun setelah shalat Idulfitri. (Fatawa Ramadhan 2/931-935). Hukum mengeluarkan Zakat Fitrah di awal Ramadhan Menurut pendapat yang lebih kuat, Zakat Fitrah tidak boleh dikeluarkan di awal bulan Ramadhan. Hal ini ditegaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (Fatawa Ramadhan 2/935). Penutup Demikianlah pembahasan mengenai Zakat Fitrah. Semoga bermanfaat bagi kita semua dalam menunaikan kewajiban ini dengan benar sesuai tuntunan syariat. Ma’had Ibnu Abbas, Beku, Kliwonan, Masaran 14 Sya’ban 1446 H Penulis: Kholid bin Syamhudi 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 933 times, 1 visit(s) today Post Views: 689 QRIS donasi Yufid

Amalan dan Hukum Seputar Ramadhan

Bulan Ramadhan hampir tiba. Kaum Muslimin pun menyambutnya dengan penuh harap dan kebahagiaan. Bagaimana tidak? Bulan yang penuh berkah dan keutamaan ini adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an, yang menjadi petunjuk bagi manusia menuju kebahagiaan dan keselamatan di dunia serta akhirat. Maka tak heran jika kaum Muslimin menyambutnya dengan suka cita. Demikianlah Allah memberikan keutamaan kepada bulan ini yang tidak dimiliki oleh bulan-bulan lainnya. 1. Keutamaan Bulan Ramadhan Keutamaan bulan Ramadhan sangat jelas dibandingkan bulan lainnya. Namun, kiranya masih perlu dipaparkan secara ringkas untuk menjadi motivasi bagi kaum Muslimin dalam beramal saleh. Di antara keutamaan tersebut adalah: a. Bulan Ramadhan adalah bulan Al-Qur’an Al-Qur’an diturunkan pada bulan ini, sebagaimana firman Allah: شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia serta penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, hendaklah dia berpuasa.” (QS. Al-Baqarah: 185) Dalam ayat ini, bulan Ramadhan disebut sebagai bulan turunnya Al-Qur’an. Kemudian, pernyataan tersebut diikuti dengan perintah yang diawali dengan huruf fa (فَ) dalam firman-Nya: فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ (Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir di bulan itu, hendaklah dia berpuasa). Huruf ini berfungsi menunjukkan makna sebab dan alasan. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu sebab utama diwajibkannya puasa di bulan Ramadhan adalah karena bulan ini merupakan waktu turunnya Al-Qur’an. b. Setan dibelenggu, pintu neraka ditutup, dan pintu surga dibuka Dalam bulan ini, Allah membelenggu para setan, menutup pintu-pintu neraka, serta membuka pintu-pintu surga. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: إِذَا جَاءَ رَمَضانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النِيْرَانِ، وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ “Jika datang bulan Ramadhan, dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka, serta dibelenggu para setan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Oleh karena itu, kita dapati bahwa dalam bulan ini kejahatan dan kerusakan di bumi berkurang. Hal ini disebabkan oleh kesibukan kaum Muslimin dalam berpuasa, membaca Al-Qur’an, serta melaksanakan berbagai ibadah lainnya, serta karena para setan dibelenggu sehingga tidak sebebas bulan-bulan lainnya dalam menyesatkan manusia. c. Terdapat malam yang lebih baik daripada seribu bulan Di dalam bulan Ramadhan terdapat satu malam yang dinamakan Lailatul Qadar, yaitu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah: إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.” (QS. Al-Qadr: 1–3) Melihat berbagai keutamaan ini, sudah selayaknya seorang Muslim lebih bersemangat dalam menyambut bulan Ramadhan dengan mempersiapkan diri sebaik mungkin agar dapat meraih keberkahannya. (Diringkas dari Sifat Shaum an-Nabi karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali dan Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid, cetakan keenam tahun 1417 H / 1997 M, penerbit Al-Maktabah Al-Islamiyah, Amman, Yordania, hal. 18–20). *** 2. Persiapan Menghadapi Ramadhan Di antara hal yang harus dipersiapkan seorang Muslim dalam menyambut bulan yang mulia ini adalah: a. Menghitung Bulan Sya’ban Salah satu bentuk persiapan menyambut Ramadhan adalah memperhatikan hitungan bulan Sya’ban. Dalam kalender Islam, satu bulan terdiri dari 29 atau 30 hari. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ لَيْلَةً، فَلا َتَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ “Satu bulan itu 29 malam. Maka janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal). Jika kalian terhalang (dari melihatnya), maka genapkanlah 30 hari.” (HR. Al-Bukhari) Dari hadits ini, jelas bahwa puasa Ramadhan tidak boleh dimulai kecuali setelah melihat hilal. Oleh karena itu, mengetahui hitungan bulan Sya’ban menjadi penting untuk memastikan kapan Ramadhan dimulai. b. Melihat Hilal Ramadhan (Ru’yah) Islam menetapkan bahwa permulaan bulan Ramadhan ditentukan dengan ru’yah (melihat hilal). Ini adalah satu-satunya cara yang disyariatkan dalam agama, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama. Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ (6/289-290) dan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (3/27) menjelaskan bahwa metode ini adalah ketetapan dalam syariat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Kita sudah mengetahui secara pasti bahwa Islam menetapkan amal berdasarkan ru’yah hilal, baik dalam puasa, haji, masa iddah, atau hukum-hukum lain yang berkaitan dengan hilal. Adapun bersandar pada perhitungan astronomi (hisab), baik seseorang melihat hilal atau tidak, maka hal itu tidak diperbolehkan.”(Majmu’ Al-Fatawa, 25/132) Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah juga menyatakan: “Tidak boleh bersandar kepada hisab dalam menentukan awal Ramadhan.” (Ihkamul Ahkam dalam Al-I’lam bi Fawa’id Umdatul Ahkam, 5/179) Pernyataan ini telah menjadi kesepakatan para ulama terdahulu. Adapun munculnya pendapat yang membolehkan hisab baru terjadi setelah tahun 300 Hijriyah. Sebagian ulama belakangan berpendapat bahwa jika langit tertutup mendung, seseorang yang ahli dalam ilmu hisab boleh menggunakannya untuk dirinya sendiri. Namun, pendapat ini tetap tidak berlaku secara umum bagi umat Islam. (Majmu’ Al-Fatawa, 25/133). Dalil-Dalil Tentang Ru’yah Hilal Banyak hadits yang menegaskan bahwa penentuan awal Ramadhan harus berdasarkan ru’yah hilal, di antaranya: 1. Hadits Ibnu Umar Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Rasulullah ﷺ bersabda: “Satu bulan itu 29 malam. Maka janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya), maka genapkanlah 30 hari.” (HR. Al-Bukhari) 2. Hadits Abu Hurairah Rasulullah ﷺ bersabda: صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ “Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah (Idul Fitri) karena melihatnya. Jika (hilal) tertutup mendung, maka sempurnakanlah hitungan Sya’ban menjadi 30 hari.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) 3. Hadits ‘Adi bin Hatim Rasulullah ﷺ bersabda: إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فَصُوْمُوْا ثَلاَثِيْنَ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا الْهِلاَلَ قَبْلَ ذَلِكَ “Jika telah datang bulan Ramadhan, maka berpuasalah 30 hari, kecuali kalian telah melihat hilal sebelumnya.” (HR. Ath-Thahawi dan Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, 17/171, dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil, no. 901) Persaksian Seorang Muslim yang Adil Penentuan awal Ramadhan dapat ditetapkan berdasarkan kesaksian seorang Muslim yang adil. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma: تَرَاءَى النَّاسُ اْلِهلاَلَ فأَخْبَرْتُ النَّبي أَنِّيْ رَأَيْتُهُ فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ “Manusia sedang mencari hilal, lalu aku memberitahu Nabi bahwa aku telah melihatnya. Maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.” (HR. Abu Dawud, Ad-Darimi, Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi) *** 3. Amalan di Bulan Ramadhan Setelah terlihat hilal atau sempurna bulan Sya’ban, maka masuk dan datanglah bulan Ramadhan. Kaum Muslimin mulai melakukan berbagai amal shalih di malam dan siang Ramadhan. Di antara amalan yang dilakukan seorang Muslim adalah: 1. Qiyam Ramadhan (Shalat Tarawih) Shalat tarawih disyariatkan pada malam-malam bulan Ramadhan, baik dilakukan secara berjamaah maupun sendiri. Selain itu, ibadah ini memiliki keutamaan besar yang dapat memotivasi seorang Muslim untuk melaksanakannya. 1.1. Keutamaannya Qiyam Ramadhan adalah menegakkan malam-malam Ramadhan dengan ibadah shalat. Amalan ini memiliki beberapa keutamaan bagi pelakunya, yaitu: a. Mendapat pengampunan dari Allah Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “Barang siapa yang menegakkan (malam-malam) bulan Ramadhan dengan keimanan dan mengharap ridha Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Lalu Rasulullah ﷺ meninggal dunia dalam keadaan perintah tersebut (shalat Tarawih berjamaah) masih berlaku. Demikian pula pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan pertengahan kekhalifahan Umar bin Khattab, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Muslim. b. Mendapat keutamaan shiddiqin dan syuhada Sebagaimana hadits dari ‘Amr bin Murrah yang berbunyi: جَاءَ رَجُلٌ مِنْ قُضَاعَةَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ ﷺ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ شَهِدْتُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنَّكَ رَسُوْلُ اللهِ وَصَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ وَصُمْتُ الشَّهْرَ وَقُمْتُ رَمَضَانَ وَآتَيْتُ الزَّكَاةَ؟ فَقاَلَ النَّبِيُّ ﷺ: مَنْ مَاتَ عَلَى هَذَا كَانَ مِنَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ “Datang kepada Rasulullah ﷺ seorang laki-laki dari Bani Qudha’ah, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku telah bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa engkau adalah utusan-Nya, aku mendirikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menegakkan malam-malam Ramadhan, dan aku menunaikan zakat?’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Barang siapa yang meninggal dalam keadaan seperti ini, dia termasuk dalam (golongan) shiddiqin dan orang-orang yang syahid.’” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih keduanya, serta selainnya, dengan sanad yang sahih). 1.2. Pensyariatan Qiyam Ramadhan (Shalat Tarawih) dengan Berjamaah Disyariatkan melaksanakan qiyam Ramadhan secara berjamaah. Bahkan, berjamaah lebih utama dibandingkan melakukannya sendirian, karena Rasulullah ﷺ telah melaksanakannya dan menjelaskan keutamaannya. Sebagaimana dalam hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu: صُمْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنَ الشَّهْرِ حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ، فَلَمَّا كَانَتِ السَّادِسَةُ لَمْ يَقُمْ بِنَا، فَلَمَّا كَانَتِ الْخَامِسَةُ قَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، لَوْ نَفَّلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ اللَّيْلَةِ، فَقَالَ: «إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ»، فَلَمَّا كَانَتِ الرَّابِعَةُ لَمْ يَقُمْ، فَلَمَّا كَانَتِ الثَّالِثَةُ جَمَعَ أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ وَالنَّاسَ، فَقَامَ بِنَا حَتَّى خَشِينَا أَنْ يَفُوتَنَا الْفَلَاحُ. قَالَ: قُلْتُ: مَا الْفَلَاحُ؟ قَالَ: السَّحُورُ، ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بَقِيَّةَ الشَّهْرِ. “Kami berpuasa bersama Rasulullah ﷺ di bulan Ramadhan. Beliau tidak melaksanakan qiyam (shalat tarawih) bersama kami sepanjang bulan itu, kecuali ketika tersisa tujuh hari. Saat itu, beliau berdiri (shalat tarawih) bersama kami hingga berlalu sepertiga malam. Pada malam keenam (tanggal 24), beliau tidak shalat bersama kami. Kemudian pada malam kelima (tanggal 25), beliau kembali shalat bersama kami hingga berlalu setengah malam. Aku berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, seandainya engkau menambah shalat pada malam ini.’ Maka beliau menjawab, ‘Sesungguhnya jika seseorang shalat bersama imamnya hingga selesai, maka dicatat baginya pahala qiyamul lail sepanjang malam.’ Pada malam keempat (tanggal 26), beliau tidak shalat bersama kami. Pada malam ketiga (tanggal 27), beliau mengumpulkan keluarga, istri-istri, serta orang-orang, lalu menegakkan shalat bersama kami hingga kami khawatir kehilangan kemenangan.’ Aku bertanya, ‘Apa kemenangan itu?’ Abu Dzar menjawab, ‘Sahur.’ Kemudian beliau tidak menegakkannya lagi setelah itu.” (HR. Ash-habus Sunan) Namun, Rasulullah ﷺ tidak terus-menerus melaksanakannya secara berjamaah karena khawatir hal itu akan diwajibkan atas kaum Muslimin sehingga mereka tidak mampu mengerjakannya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang diriwayatkan dalam Shahihain: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ خَرَجَ لَيْلَةً فِيْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِيْ الْمَسْجِدِ وَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلاَتِهِ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوْا، فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّى فَصَلَّوْا مَعَهُ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوْا، فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ، فَخَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ، فَلَمَّا كَانَتِ الَّليْلَةُ الرَّاِبِعَةُ عَجِزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ، حَتَّى خَرَجَ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ، فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ: “أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ، وَلَكِنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوْا عَنْهَا”. فَتُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ وَالأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ. “Bahwasanya Rasulullah ﷺ keluar pada suatu malam di pertengahan malam, lalu beliau shalat di masjid. Beberapa orang pun ikut shalat dengan beliau. Keesokan paginya, orang-orang membicarakan hal itu, maka semakin banyak yang berkumpul pada malam berikutnya. Rasulullah ﷺ kembali shalat, dan mereka ikut shalat bersamanya. Kemudian keesokan harinya, pembicaraan tentang itu semakin meluas, sehingga pada malam ketiga jumlah orang yang hadir semakin banyak. Rasulullah ﷺ keluar dan shalat bersama mereka. Namun, pada malam keempat, masjid tidak mampu menampung jamaahnya hingga beliau keluar untuk shalat Subuh. Setelah menyelesaikan shalat Subuh, beliau menghadap manusia, lalu bertasyahud dan bersabda, ‘Amma ba’du, sungguh aku mengetahui keberadaan kalian. Namun, aku khawatir jika shalat ini diwajibkan atas kalian, lalu kalian tidak mampu melaksanakannya.’ Lalu Rasulullah ﷺ wafat dan perkara tersebut tetap dalam keadaan tidak berjamaah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Sebab tidak dilaksanakannya qiyam Ramadhan (shalat Tarawih) secara berjamaah ini hilang setelah wafatnya Rasulullah ﷺ, karena dengan wafatnya beliau, agama ini telah sempurna. Oleh karena itu, amalan ini tetap disyariatkan meskipun tidak dikerjakan secara berjamaah oleh Rasulullah ﷺ karena kekhawatiran beliau. Kemudian, amalan ini dihidupkan kembali oleh Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pada masa kekhalifahannya. Pensyariatan shalat tarawih berjamaah ini juga berlaku bagi wanita. Bahkan, diperbolehkan bagi mereka untuk memiliki imam khusus, sebagaimana dilakukan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengangkat Ubay bin Ka’b sebagai imam bagi laki-laki dan Sulaiman bin Abu Hatsmah sebagai imam bagi wanita. Demikian pula Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang memerintahkan kaum Muslimin untuk shalat tarawih berjamaah dan mengangkat seorang imam bagi laki-laki serta Urfuzah ats-Tsaqafi sebagai imam bagi wanita. (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi). 1.3. Jumlah Rakaatnya Jumlah rakaat shalat Tarawih yang lebih rajih (kuat) adalah 11 rakaat, insyaallah. Namun, boleh juga kurang atau lebih dari itu, karena Rasulullah ﷺ tidak membatasi jumlah rakaatnya maupun panjang bacaannya secara khusus. 1.4. Waktunya Waktu pelaksanaan shalat Tarawih dimulai setelah shalat Isya hingga terbit fajar Subuh. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ: إِنَّ اللَّهَ زَادَكُمْ صَلاَةً، وَهِيَ الْوِتْرُ، فَصَلُّوْهَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ “Sesungguhnya Allah telah menambahkan bagi kalian satu shalat, yaitu Witir. Maka, kerjakanlah shalat itu di antara shalat Isya hingga shalat Fajar.” (HR. Ahmad dari Abu Bashrah, dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Qiyam Ramadhan hal. 26). Shalat malam yang dilakukan di akhir malam lebih utama, bagi siapa saja yang mampu bangun pada waktu tersebut. Rasulullah ﷺ bersabda: مَنْ خَافَ أَنْ لَا يَقُوْمَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوْتِرْ أَوَّلَهُ، وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُوْمَ آخِرَهُ فَلْيُوْتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ، فَإِنَّ صَلاَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُوْدَةٌ، وَذَلِكَ أَفْضَلُ “Barang siapa khawatir tidak bisa bangun di akhir malam, maka hendaklah ia berwitir di awal malam. Namun, barang siapa berharap dapat bangun di akhir malam, maka hendaklah ia berwitir di akhir malam. Karena shalat di akhir malam itu disaksikan (oleh malaikat), dan itulah yang lebih utama.” (HR. Muslim). Namun, jika ada shalat Tarawih berjamaah di awal malam, maka lebih utama mengikuti shalat berjamaah dibandingkan shalat sendirian di akhir malam. 1.5. Rincian Rakaat Shalat Tarawih Adapun shalat Tarawih yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ memiliki beberapa rincian sebagai berikut: 13 rakaat dengan perincian: shalat 2 rakaat-2 rakaat, lalu ditutup dengan 1 rakaat witir. 13 rakaat dengan perincian: 8 rakaat dengan salam pada setiap dua rakaat, lalu ditambah 5 rakaat witir yang dilakukan tanpa duduk dan salam, kecuali di rakaat kelima. 11 rakaat dengan perincian: shalat 2 rakaat-2 rakaat, lalu ditutup dengan 1 rakaat witir. 11 rakaat dengan perincian: shalat 8 rakaat tanpa duduk kecuali di rakaat kedelapan, lalu bertasyahud dan bershalawat, kemudian berdiri tanpa salam. Setelah itu, dilanjutkan dengan 1 rakaat witir dan salam, lalu ditambah 2 rakaat dalam posisi duduk. 9 rakaat dengan perincian: shalat 6 rakaat tanpa duduk kecuali di rakaat keenam, lalu bertasyahud dan bershalawat tanpa salam. Kemudian, berdiri untuk shalat witir 1 rakaat dan salam, lalu ditambah 2 rakaat dalam posisi duduk. 1.6. Qunut Setelah selesai membaca surat dan sebelum rukuk, Rasulullah ﷺ kadang-kadang berqunut. Namun, boleh juga dilakukan setelah rukuk. 1.7. Bacaan Setelah Witir Apabila telah selesai dari shalat witir, hendaklah membaca: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ Pada bacaan yang ketiga, dianjurkan untuk memanjangkan suara dan meninggikannya. *** 2. Puasa Setelah melaksanakan shalat Tarawih di malam hari, seorang muslim bersiap menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. 2.1. Definisi Puasa 2.1.1. Definisi Secara Bahasa Ash-Shiyām (الصِّيَامُ) dalam bahasa Arab bermakna ‘menahan diri’, sebagaimana firman Allah: إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا “Aku telah bernazar kepada Tuhan Yang Maha Pengasih untuk berpuasa (menahan diri dari berbicara).” (QS. Maryam: 26) 2.1.2. Definisi Secara Istilah Syariat Secara istilah syariat, puasa adalah “Menahan diri dengan niat ibadah dari hal-hal yang membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari.” (Lihat Taisīr Al-Fiqh karya Dr. Shalih bin Ghanim as-Sadlân, cetakan kedua, 1417 H/1997 M, tanpa penerbit, hlm. 79) 2.2. Kewajiban Puasa di Bulan Ramadhan Puasa Ramadhan adalah ibadah yang diwajibkan oleh Allah atas kaum mukminin dan merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Kewajibannya telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak kaum muslimin. a. Dalil dari Al-Qur’an Allah berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183) b. Dalil dari As-Sunnah 1. Dari Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَىٰ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَائِرَ الرَّأْسِ، فَقَالَ: أَخْبِرْنِي بِمَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنَ الصِّيَامِ؟ فَقَالَ: رَمَضَانَ إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا “Seorang Arab pedalaman datang kepada Rasulullah ﷺ dalam keadaan kusut rambutnya, lalu ia berkata, ‘Beritahukan kepadaku, puasa apa yang diwajibkan atas diriku?’ Rasulullah ﷺ menjawab, ‘Puasa Ramadhan, kecuali jika engkau ingin menambah (puasa sunnah).’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) 2. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda: بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَىٰ خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللَّهِ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ “Islam dibangun di atas lima perkara: syahadat bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah, dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) c. Dalil dari Ijmak Kaum Muslimin Kaum muslimin telah sepakat sejak dahulu hingga sekarang bahwa puasa Ramadhan adalah kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat. *** 2.3. Keutamaan Puasa Puasa adalah salah satu ibadah yang mendekatkan seorang hamba kepada Allah. Di dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah ﷺ, banyak disebutkan keutamaan puasa, di antaranya: a. Puasa Termasuk Amalan yang Mendapat Ampunan dan Pahala Besar Allah ﷻ berfirman: إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35) Allah ﷻ juga berfirman: وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ “Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 184) b. Puasa Adalah Perisai dari Syahwat dan Neraka Rasulullah ﷺ bersabda: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang telah memiliki kemampuan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah, karena pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Namun, barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu adalah benteng baginya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas‘ud) Hadits ini menunjukkan bahwa puasa dapat mengekang syahwat dan memperlemahnya. Oleh karena itu, puasa menjadi perisai seorang muslim dari hawa nafsu dan syahwat yang dapat menyeretnya ke neraka. Rasulullah ﷺ juga bersabda: مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا بَاعَدَ اللَّهُ بِذَٰلِكَ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا “Tidaklah seorang hamba berpuasa satu hari di jalan Allah, melainkan Allah akan menjauhkan wajahnya dari api neraka sejauh perjalanan tujuh puluh tahun.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa‘id Al-Khudri) c. Puasa Mengantarkan ke Surga Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah ﷺ, ‘Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku satu amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga.’” Maka beliau menjawab: عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ، لَا مِثْلَ لَهُ “Hendaklah engkau berpuasa, karena tidak ada amalan yang sebanding dengannya.” (HR. An-Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, sanadnya sahih) d. Orang yang Berpuasa Mendapatkan Dua Kebahagiaan Rasulullah ﷺ bersabda: قَالَ اللَّهُ: كُلُّ عَمَلِ بَنِي آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ، وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ، لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا: إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ، وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ “Allah berfirman, ‘Setiap amal anak Adam untuknya, kecuali puasa, karena itu adalah untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.’ Puasa itu perisai. Jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah ia berkata kotor dan jangan pula bertengkar. Jika ada seseorang yang mencacinya atau mengajaknya berkelahi, hendaklah ia mengatakan, ‘Aku sedang berpuasa.’ Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada wangi misik. Orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabbnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Dalam hadits ini juga terdapat dua keutamaan lainnya: 1. Pahala orang yang berpuasa dilipatgandakan. 2. Bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada wangi misik. e. Orang yang Berpuasa Memiliki Pintu Khusus di Surga. Rasulullah ﷺ bersabda: إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ: الرَّيَّانُ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ، فَلَمْ يَدْخُلْ أَحَدٌ مِنْهُ “Sesungguhnya di dalam surga terdapat satu pintu yang disebut Ar-Rayyan. Pada hari kiamat, hanya orang-orang yang berpuasa yang masuk melalui pintu itu. Tidak ada seorang pun selain mereka yang boleh memasukinya. Jika mereka telah masuk, pintu itu ditutup, sehingga tidak ada lagi yang dapat masuk melaluinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa‘id Al-Khudri) (Diringkas dari Sifat Saum An-Nabi Hal 11-17). *** 1.4. Amalan-Amalan yang Berhubungan dengan Puasa 1. Niat Ketika bulan Ramadhan telah tiba, setiap muslim wajib berniat untuk berpuasa pada malam harinya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ: مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ “Barang siapa yang tidak berniat puasa sebelum fajar, maka tiada baginya puasa itu.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan Al-Baihaqi dari Hafshah binti Umar) Niat tempatnya di hati, sementara melafalkannya termasuk dalam perbuatan bid’ah. Kewajiban berniat pada malam hari ini berlaku khusus untuk puasa wajib, seperti puasa Ramadhan dan puasa nazar. 2. Waktu Puasa Waktu berpuasa dimulai dari terbit fajar subuh hingga terbenam matahari. Hal ini sebagaimana firman Allah ﷻ: وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ “Dan makan dan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah: 186) Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa terdapat dua jenis fajar: a. Fajar Kazib (Fajar Palsu) Cahaya putih yang menjulang secara vertikal di langit seperti ekor serigala. Pada saat ini, masih diperbolehkan makan, minum, dan tidak boleh melaksanakan salat Subuh. b. Fajar Shadiq (Fajar Sejati) Cahaya kemerahan yang menyebar secara horizontal di ufuk. Saat ini, makan dan minum harus dihentikan, dan salat Subuh sudah dapat dilakukan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah ﷺ: الفَجْرُ فَجْرَانِ: فَأَمَّا الأَوَّلُ فَإِنَّهُ لاَ يَحْرُمُ الطَّعَامُ وَلاَ يَحِلُّ الصَّلاَة، وَأَمَّا الثَّانِي فَإِنَّهُ يَحْرُمُ الطَّعَامُ وَيَحِلُّ الصَّلاَةَ “Fajar itu ada dua. Adapun yang pertama, maka masih boleh makan dan tidak boleh melaksanakan salat. Sedangkan yang kedua, maka makanan diharamkan dan salat diperbolehkan.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Al-Hakim, Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi dengan sanad sahih) Untuk mengenali perbedaannya, fajar pertama berbentuk cahaya putih yang menjulang ke atas, sedangkan fajar kedua berwarna kemerahan dan menyebar ke ufuk timur, menerangi gunung, lembah, dan bangunan. Ketika fajar shadiq telah tampak, maka makan, minum, dan hubungan suami istri harus dihentikan. 3. Kesalahan dalam Menentukan Waktu Imsak Di beberapa tempat, terdapat kebiasaan mengadakan waktu imsak sekitar 10–15 menit sebelum waktu fajar dengan anggapan sebagai langkah kehati-hatian. Namun, kebiasaan ini tidak ada tuntunannya dalam syariat dan bertentangan dengan sunnah Rasulullah ﷺ. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata: “Termasuk bid’ah mungkar adalah mengadakan azan kedua sekitar sepertiga jam sebelum fajar di bulan Ramadhan, lalu mematikan lampu-lampu sebagai tanda untuk menghentikan makan dan minum, dengan persangkaan bahwa hal itu adalah bentuk kehati-hatian. Padahal, hal itu tidak diketahui kecuali dari segelintir orang saja. Hal ini justru menyebabkan mereka mengakhirkan berbuka puasa dan mempercepat sahur, yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah ﷺ. Akibatnya, sedikit sekali kebaikan mereka dan lebih banyak keburukan yang menimpa mereka.” (Fathul Bari, 4/199) Oleh karena itu, yang benar adalah tetap makan dan minum hingga fajar shadiq benar-benar muncul. 4. Waktu Berbuka Puasa Puasa berakhir saat matahari terbenam. Rasulullah ﷺ bersabda: إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَهُنَا، وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَهُنَا، وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ “Jika malam telah datang dari arah sini, siang telah pergi dari arah sana, dan matahari telah terbenam, maka orang yang berpuasa telah berbuka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Tanda masuknya waktu berbuka adalah: 1. Matahari benar-benar telah tenggelam di ufuk barat dan tidak ada lagi bagian bulatannya yang tampak. 2. Mulainya kegelapan dari arah timur, yang dapat dilihat dengan mata telanjang tanpa perlu alat bantu seperti teleskop. *** 3. Sahur 3.1. Hikmah Sahur Setelah mewajibkan puasa dengan hukum dan waktu yang sama seperti yang berlaku bagi umat-umat sebelumnya, Allah mensyariatkan sahur bagi kaum Muslimin sebagai pembeda antara puasa mereka dan puasa umat terdahulu. Rasulullah ﷺ bersabda: فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحُوْرِ “Yang membedakan antara puasa kita dengan puasa Ahli Kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim) 3.2. Keutamaan Sahur Di antara keutamaan sahur adalah sebagai berikut: 1. Sahur Mengandung Berkah Rasulullah ﷺ bersabda: إِنَّهَا بَرَكَةٌ أَعْطَاكُمُ الله إِيَّاهَا فَلاَ تَدَعُوْهُ “Sesungguhnya sahur adalah berkah yang diberikan Allah kepada kalian, maka janganlah kalian meninggalkannya.” (HR. An-Nasa’i dan Ahmad, dengan sanad yang sahih) Berkahnya sahur dapat dilihat dari beberapa aspek, di antaranya: • Menjalankan sunnah Rasulullah ﷺ. • Menguatkan fisik dalam menjalankan ibadah puasa. • Menambah semangat dalam beribadah. • Mengandung unsur menyelisihi kebiasaan Ahli Kitab. 2. Orang yang Bersahur Mendapat Salawat dari Allah dan Malaikat Dalam hadits Abu Sa‘id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda: السَحُوْرُ أَكْلَةُ اْلْبَرَكَةِ، فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنَ الْمَاءِ، فَإِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ “Sahur adalah makanan yang penuh berkah, maka janganlah kalian tinggalkan, walaupun salah seorang dari kalian hanya meneguk seteguk air. Karena sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat atas orang-orang yang bersahur.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Ahmad) 3.3. Sunnah Mengakhirkan Sahur Disunnahkan untuk mengakhirkan sahur hingga mendekati waktu fajar, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ، قُلْتُ: كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسُّحُوْرِ؟ قَالَ: قَدْرُ خَمْسِيْنَ آيَةً “Kami bersahur bersama Rasulullah ﷺ, kemudian beliau berdiri untuk melaksanakan salat. Aku bertanya, ‘Berapa lama jarak antara azan dan sahur?’ Beliau menjawab, ‘Sekitar 50 ayat (bacaan Al-Qur’an).’” (HR. Bukhari dan Muslim) 3.4. Hukum Sahur Sahur merupakan sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) berdasarkan dalil-dalil berikut: a. Perintah Rasulullah ﷺ untuk Bersahur Di antara perintah beliau ﷺ adalah sabda berikut: تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِيْ السَّحُوْرِ بَرَكَةً “Bersahurlah, karena dalam sahur terdapat berkah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadits ini menunjukkan anjuran kuat dari Rasulullah ﷺ untuk makan sahur, karena mengandung keberkahan bagi yang melaksanakannya. b. Larangan Rasulullah ﷺ untuk Meninggalkan Sahur Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Sa‘id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu yang telah dikutip sebelumnya, Rasulullah ﷺ melarang meninggalkan sahur. Oleh karena itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fath Al-Bari (3/139) menyebutkan adanya ijmak (kesepakatan ulama) atas kesunnahan sahur. *** 4. Perkara-Perkara yang Membatalkan Puasa Dalam puasa, terdapat beberapa perkara yang dapat merusaknya. Seorang yang berpuasa wajib menjauhi hal-hal berikut selama siang hari: a. Makan dan minum dengan sengaja Sebagaimana firman Allah: وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ “Dan makanlah serta minumlah kalian hingga jelas bagi kalian benang putih siang dari benang hitam malam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah: 186) b. Muntah dengan sengaja c. Haid dan nifas d. Injeksi yang mengandung zat makanan (infus) e. Bersetubuh Selain perkara yang membatalkan puasa, ada pula hal-hal yang harus dihindari oleh orang yang berpuasa, di antaranya: 1. Berkata Bohong Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda: مَنْ لَمْ َيدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَ الْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ أَنْ َيدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dengannya, maka Allah tidak butuh dengan usahanya meninggalkan makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari) 2. Berbuat Sia-Sia dan Kejahatan Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda: لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّراَبِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، فَإِنْ سَابَكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ إِنِّيْ صَائِمٌ إِنِّيْ صَائِمٌ “Puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga dari perkataan sia-sia dan perbuatan keji. Jika seseorang mencacimu atau berbuat buruk kepadamu, katakanlah: ‘Saya sedang berpuasa, saya sedang berpuasa.’” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim) *** 5. Perkara-Perkara yang Dibolehkan Terdapat beberapa perkara yang sering dianggap membatalkan puasa, padahal sebenarnya diperbolehkan, di antaranya: a. Orang yang Junub hingga Waktu Fajar Sebagaimana disebutkan dalam hadis Aisyah dan Ummu Salamah, keduanya berkata: كَانَ رَسُولُ اللهِ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ اغْتَسَلَ وَيَصُوْمُ “Sesungguhnya Nabi ﷺ mendapati fajar (waktu subuh) dalam keadaan junub dari keluarganya, kemudian beliau mandi dan tetap berpuasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) b. Bersiwak c. Berkumur dan Memasukkan Air ke Hidung saat Bersuci d. Bersentuhan dan Berciuman bagi Orang yang Berpuasa Hal ini diperbolehkan, namun dimakruhkan bagi orang yang masih berusia muda karena dikhawatirkan menjerumuskan kepada hal yang membatalkan puasa. e. Injeksi yang Tidak Mengandung Zat Makanan f. Berbekam g. Mencicipi Makanan Selama tidak sampai masuk ke tenggorokan, mencicipi makanan diperbolehkan. h. Memakai Celak dan Tetes Mata i. Menyiram Kepala dengan Air Dingin dan Mandi *** 6. Orang-Orang yang Dibolehkan Tidak Berpuasa Sesungguhnya Islam adalah agama yang penuh kemudahan. Oleh karena itu, syariat memberikan keringanan bagi orang-orang tertentu yang mengalami kesulitan atau tidak mampu berpuasa. Mereka adalah: 1. Musafir (Orang yang Bepergian) Musafir diperkenankan untuk memilih antara tetap berpuasa atau berbuka sebagai bentuk rahmat dari Allah. Sebagaimana firman-Nya: وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185) Demikian pula Rasulullah ﷺ pernah ditanya tentang puasa bagi musafir, sebagaimana dalam hadis Hamzah bin Amru Al-Aslami: أَنَّ حَمْزَةَ بْنَ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيَّ قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَأَصُومُ فِي السَّفَرِ وَكَانَ كَثِيرَ الصِّيَامِ فَقَالَ إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ “Sesungguhnya Hamzah bin Amru Al-Aslami bertanya kepada Rasulullah ﷺ, ‘Apakah saya berpuasa dalam perjalanan?’ Hamzah adalah seorang yang banyak berpuasa. Lalu Rasulullah ﷺ menjawab, ‘Jika kamu mau, berpuasalah. Jika kamu mau, berbukalah.’” (Muttafaqun ’alaih) 2. Orang yang Sakit Dibolehkan bagi orang sakit untuk berbuka sebagai bentuk rahmat dari Allah. Namun, dengan ketentuan bahwa sakitnya akan bertambah parah, membahayakan dirinya, atau memperlambat kesembuhannya jika tetap berpuasa. (Lihat Sifat Shaum Nabi karya Syaikh Salim dan Ali Hasan, hlm. 59) 3. Wanita yang Haid atau Nifas Para ulama telah bersepakat (ijma’) bahwa wanita yang sedang haid atau nifas dilarang berpuasa. Namun, mereka wajib mengqadha puasanya di hari lain setelah suci. 4. Orang Lanjut Usia yang Lemah Orang yang sudah tua dan tidak lagi mampu berpuasa diperbolehkan berbuka. Sebagai gantinya, mereka wajib memberi makan satu orang miskin setiap hari. Sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Abbas: “Orang yang sudah tua, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak mampu berpuasa maka keduanya harus memberi makan seorang miskin setiap harinya.” (HR. Al-Bukhari, no. 4505) 5. Wanita Hamil atau Menyusui Wanita hamil atau menyusui juga diberikan keringanan untuk tidak berpuasa jika mereka khawatir akan kesehatan diri mereka atau bayinya. *** 7. Berbuka Puasa 7.1. Waktu Berbuka Waktu berbuka puasa adalah saat matahari terbenam. Hal ini telah dijelaskan dalam pembahasan tentang waktu puasa sebelumnya. Rasulullah ﷺ berbuka sebelum melaksanakan salat Magrib, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. 7.2. Mempercepat Berbuka Puasa Termasuk dalam sunnah puasa adalah menyegerakan berbuka. Hal ini dilakukan dalam rangka meneladani Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya. Amr bin Maimun Al-Audi berkata: “Para sahabat Muhammad ﷺ adalah orang-orang yang paling cepat berbuka dan paling lambat makan sahur.” (HR. Abdurrazzaq dalam Al-Musannaf, no. 7591, dengan sanad yang disahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 4/199) Adapun manfaat dari menyegerakan berbuka puasa adalah sebagai berikut: 1. Mendapatkan Kebaikan Sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’d, Rasulullah ﷺ bersabda: لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ “Manusia akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) 2. Menjalankan Sunnah Nabi ﷺ Mempercepat berbuka merupakan bagian dari tuntunan Rasulullah ﷺ yang senantiasa beliau lakukan dan ajarkan kepada umatnya. 3. Menyelisihi Ahli Kitab Sebagaimana disebutkan dalam hadis Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda: لَا يَزَالُ الدِّينُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ، لِأَنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُونَهُ “Agama ini akan senantiasa menang selama kaum Muslimin menyegerakan berbuka puasa, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mengakhirkannya.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban dengan sanad hasan) Berbuka puasa dilakukan sebelum salat Magrib, karena demikianlah akhlak para nabi. Rasulullah ﷺ menganjurkan berbuka dengan kurma, dan jika tidak ada kurma, maka cukup dengan air. Hal ini menunjukkan kasih sayang dan perhatian beliau terhadap umatnya. Setelah berbuka, beliau langsung melaksanakan salat Magrib. 7.3. Makanan untuk Berbuka Tidak ada ketentuan khusus mengenai jenis makanan yang harus dikonsumsi saat berbuka puasa. Namun, Rasulullah ﷺ memiliki kebiasaan mendahulukan ruthab (kurma basah) ketika berbuka, sebagaimana dikisahkan oleh Anas bin Malik: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَتَمَرَاتٌ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَمَرَاتٌ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ “Nabi ﷺ berbuka sebelum salat dengan ruthab (kurma basah), jika tidak ada maka dengan tamr (kurma kering), dan jika tidak ada, beliau minum seteguk air.” (HR. Ahmad 3/163, Abu Dawud 2/306, dan At-Tirmidzi 3/70) 7.4. Doa Berbuka Puasa Disyariatkan bagi orang yang berpuasa untuk membaca doa ketika berbuka, sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash: “Sesungguhnya orang yang berpuasa memiliki doa yang tidak tertolak ketika berbuka.” (HR. Ibnu Majah 1753, Al-Hakim 1/422, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib 2/148) Adapun doa berbuka puasa yang ma’tsur dari Rasulullah ﷺ adalah: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ “Nabi ﷺ apabila berbuka, beliau membaca: ‘ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ.’” (HR. Abu Dawud 2/306 dengan sanad hasan) *** 8. Adab Orang yang Berpuasa Disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk beradab dengan adab-adab yang syar’i, di antaranya: 1. Memperlambat sahur (telah dijelaskan sebelumnya). 2. Mempercepat berbuka puasa (telah dijelaskan sebelumnya). 3. Berdoa ketika berpuasa dan saat berbuka (telah dijelaskan sebelumnya). 4. Menahan diri dari perkara-perkara yang merusak puasa (telah dijelaskan sebelumnya). 5. Bersiwak. 6. Berderma dan tadarus Al-Qur’an. 7. Bersungguh-sungguh dalam beribadah, khususnya pada sepuluh hari terakhir. *** 9. I’tikaf 9.1. Makna I’tikaf I’tikaf berasal dari bahasa Arab yang berarti berdiam diri pada sesuatu. Kata ini digunakan dalam konteks ibadah dengan makna tinggal dan menetap di masjid untuk beribadah serta mendekatkan diri kepada Allah. Orang yang melakukan i’tikaf disebut mu’takif atau ‘aakif. 9.2. Hikmah I’tikaf Ibnul Qayyim berkata: “Ketika perbaikan dan keistiqamahan hati dalam berjalan menuju Allah bergantung pada konsentrasinya terhadap Allah dan kesatuan kekuatannya dalam menghadap-Nya secara penuh, maka jika hati terpecah, ia tidak dapat disatukan kecuali dengan menghadapkan diri kepada Allah. Padahal, kelebihan makan dan minum, terlalu banyak bergaul dengan manusia, banyak bicara, dan tidur yang berlebihan justru akan membuat hati berantakan, memporak-porandakannya, serta memutus, melemahkan, atau mengganggu perjalanan hati menuju Allah.” “Karena itu, rahmat Allah kepada hamba-Nya menetapkan syariat puasa, yang dapat menghilangkan kelebihan makan dan minum serta mengosongkan hati dari berbagai syahwat yang menghalangi perjalanan menuju-Nya. Allah mensyariatkan puasa sesuai dengan kemaslahatan yang bermanfaat bagi hamba, baik di dunia maupun di akhirat, tanpa mengganggu urusan duniawinya.” “Kemudian, Allah juga mensyariatkan i’tikaf, yang tujuan dan intinya adalah agar hati seseorang benar-benar menghadap Allah, menyatukan fokusnya, berkhulwah dengan-Nya, serta menghilangkan kesibukan dengan makhluk sehingga hanya sibuk menghadap Allah semata.” 9.3. Pensyariatannya I’tikaf disyariatkan dalam firman Allah: أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالْئَانَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, serta makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam, tetapi janganlah kamu mencampuri mereka ketika kamu sedang beri’tikaf di masjid. Itulah batasan-batasan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 187) Selain dalam Al-Qur’an, pensyariatan i’tikaf juga dijelaskan dalam hadis-hadis Nabi ﷺ. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ’anha: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ “Nabi ﷺ beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat. Kemudian, istri-istri beliau beri’tikaf setelahnya.” (HR. Al-Bukhari No. 1886) I’tikaf adalah ibadah yang disunnahkan, baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan, dengan atau tanpa didahului puasa. Namun, yang paling utama adalah i’tikaf di bulan Ramadhan, terutama pada sepuluh hari terakhir, sebagaimana disebutkan dalam hadis berikut: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوْسَطِ مِنْ رَمَضَانَ فَاعْتَكَفَ عَامًا حَتَّى إِذَا كَانَ لَيْلَةَ إِحْدَى وَعِشْرِينَ وَهِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي يَخْرُجُ مِنْ صَبِيحَتِهَا مِنْ اعْتِكَافِهِ قَالَ مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفْ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ dahulu beri’tikaf pada sepuluh hari pertengahan Ramadhan, kemudian beliau beri’tikaf di tahun tersebut hingga malam ke-21. Pada malam itu, beliau keluar dari i’tikafnya dan bersabda: ‘Barang siapa yang beri’tikaf bersamaku, hendaklah ia beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir.’” (HR. Al-Bukhari No. 1887) Selain itu, i’tikaf juga disyariatkan melalui perintah Nabi ﷺ kepada Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu dalam hadis berikut: عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْفِ بِنَذْرِكَ فَاعْتَكَفَ لَيْلَةً “Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu, ia berkata: ‘Wahai Rasulullah, dahulu pada masa jahiliyah aku pernah bernazar untuk beri’tikaf satu malam di Masjidil Haram.’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Tunaikan nazarmu.’ Lalu Umar pun beri’tikaf satu malam.” (HR. Al-Bukhari No. 2042, Muslim No. 1656) 9.4. Syarat dan Tempatnya I’tikaf hanya boleh dilakukan di masjid dan tidak boleh dilakukan di tempat selainnya. Seorang yang beri’tikaf juga tidak boleh keluar dari masjid kecuali karena keperluan mendesak atau darurat, seperti buang hajat, makan jika tidak ada yang mengantarkan makanan, atau keadaan darurat lainnya. Dalilnya adalah firman Allah: وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ “Janganlah kamu mencampuri mereka (istri-istrimu) ketika kamu sedang beri’tikaf di masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187) 9.5. Hal-hal yang Diperbolehkan dalam I’tikaf 1. Boleh keluar dari masjid karena hajat dan boleh juga mengeluarkan kepala dari masjid untuk dicuci atau disisir. Aisyah radhiyallahu ’anha berkata: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اعْتَكَفَ يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ “Nabi ﷺ jika beri’tikaf mengeluarkan kepalanya kepada saya, lalu saya sisir. Dan beliau tidak keluar kecuali untuk hajat (keperluan).” (HR. Muslim) 2. Dibolehkan berwudu di dalam masjid. 3. Boleh membuat kemah kecil atau bilik dari kain di bagian belakang masjid sebagai tempat i’tikaf, sebagaimana Aisyah radhiyallahu ’anha membuat kemah kecil untuk Nabi ﷺ saat beliau beri’tikaf. 4. Dibolehkan meletakkan kasur atau dipan dalam i’tikaf, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma: “Dari Nabi ﷺ, bahwa beliau jika beri’tikaf disiapkan atau diletakkan kasur atau dipan di belakang tiang Taubah.” (Hadis ini sanadnya hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Zawaaid Sunannya). 5. Boleh mengantar istri yang mengunjungi ke masjid sampai ke pintu masjid, sebagaimana dalam hadis: أَنَّ صَفِيَّةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَهَا يَقْلِبُهَا حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ بَابَ الْمَسْجِدِ عِنْدَ بَابِ أُمِّ سَلَمَةَ مَرَّ رَجُلَانِ مِنْ الْأَنْصَارِ فَسَلَّمَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّمَا هِيَ صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ فَقَالَا سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَبُرَ عَلَيْهِمَا Dari Shafiyyah radhiyallahu ’anha, beliau berkata bahwa ia datang mengunjungi Nabi ﷺ ketika beliau sedang beri’tikaf di sepuluh akhir Ramadhan. Lalu ia berbincang-bincang dengan beliau beberapa saat, kemudian ia bangkit untuk pulang. Rasulullah ﷺ pun bangkit bersamanya mengantarnya. Ketika sampai di pintu masjid, dekat pintu rumah Ummu Salamah, lewatlah dua orang dari kaum Anshar. Mereka mengucapkan salam kepada Rasulullah ﷺ, lalu beliau berkata kepada mereka, ‘Perlahan, sesungguhnya ini adalah Shafiyyah binti Huyaiy.’ Mereka pun berkata, ‘Subhanallah, wahai Rasulullah!’ dan merasa sangat terkejut.” (HR. Bukhari) 6. Wanita diperbolehkan beri’tikaf di masjid selama aman dari fitnah, sebagaimana dalam hadis: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ “Nabi ﷺ beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga beliau wafat. Kemudian istri-istri beliau pun beri’tikaf setelahnya.” (HR. Bukhari No. 1886) *** 10. Malam Qadar (Lailatul Qadr) 10.1. Sebab Penamaannya Para ulama berselisih pendapat tentang sebab penamaan Lailatul Qadr dalam dua pendapat: 1. Pendapat pertama: Dinamakan Lailatul Qadr karena keagungan dan kemuliaannya. Keistimewaan ini disebabkan karena pada malam tersebut, Al-Qur’an diturunkan seluruhnya ke langit dunia, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Qadr. 2. Pendapat kedua: Dinamakan Lailatul Qadr karena pada malam tersebut, Allah menetapkan seluruh takdir, rezeki, dan ajal bagi setiap makhluk untuk tahun tersebut, kemudian disampaikan kepada para malaikat. Sebagaimana firman Allah: فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ “Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (QS. Ad-Dukhan: 4) (Lihat Al-I’lam bi Fawa’id ’Umdatil Ahkam karya Ibnu Al-Mulaqqin, 5/391-392). 10.2. Keutamaannya Cukuplah keutamaan Lailatul Qadr ditunjukkan dengan dua hal utama: 1. Malam yang lebih baik dari seribu bulan. Allah ﷻ berfirman: إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ۝ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ ۝ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ۝ “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al-Qadr: 1-3) 2. Malam ditetapkannya takdir tahunan. Pada malam tersebut, Allah menetapkan seluruh takdir, rezeki, dan ajal bagi setiap makhluk selama satu tahun, lalu disampaikan kepada para malaikat. Sebagaimana firman-Nya: إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ ۝ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ ۝ أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ ۝ رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ۝ “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi. Sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kamilah yang mengutus para rasul, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ad-Dukhan: 3-6) 10.3. Waktunya Para ulama sepakat bahwa Lailatul Qadr terjadi setiap tahun hingga hari Kiamat. (Lihat: I’lam bi Fawa’id Umdat al-Ahkam, 5/397). Namun, mereka berbeda pendapat dalam menentukan kapan tepatnya malam tersebut terjadi, hingga mencapai lima belas pendapat. (Lihat: I’lam bi Fawa’id Umdat al-Ahkam, 5/398-404). Pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah bahwa Lailatul Qadr terjadi pada malam-malam ganjil dalam sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. 10.4. Tanda-tandanya Rasulullah ﷺ memberikan beberapa tanda Lailatul Qadr agar umatnya dapat mengenali malam yang penuh kemuliaan ini. Di antara tanda-tandanya adalah: 1. Matahari Terbit Tidak Terik di Pagi Harinya Pada pagi harinya, matahari terbit dalam keadaan redup, tidak menyilaukan hingga meninggi. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Razi bin Hubaisy, yang bertanya kepada Ubai bin Ka‘ab: قُلْتُ بِأَيِّ شَيْءٍ تَقُولُ ذَلِكَ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ؟ قَالَ: بِالْعَلَامَةِ أَوْ بِالْآيَةِ الَّتِي أَخْبَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: أَنَّهَا تَطْلُعُ يَوْمَئِذٍ لَا شُعَاعَ لَهَا “Aku bertanya, ‘Apa dalilnya engkau menegaskan hal tersebut, wahai Abul Mundzir?’ Beliau menjawab, ‘Dengan tanda yang Rasulullah ﷺ kabarkan, yaitu matahari terbit pada pagi hari tersebut tanpa sinar yang terik.’” (HR. Muslim No. 1999) Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan: تُصْبِحُ الشَّمْسُ صَبِيحَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةِ مِثْلَ الطَّسْتِ لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ حَتَّى تَرْتَفِعَ “Matahari di pagi harinya (setelah Lailatul Qadr) seperti bejana besar, tidak memiliki cahaya yang terik hingga meninggi.” (HR. Abu Dawud No. 1170) 2. Malamnya Cerah dan Tenang Malam Lailatul Qadr dipenuhi ketenangan, tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلِقَةٌ لاَ حَارَّةَ وَلاَ بَارِدَةَ، تُصْبِحُ الشَّمْسُ صَبِيحَتِهَا ضَعِيْفَةً حَمْرَاءَ “Lailatul Qadr adalah malam yang cerah dan terang, tidak panas dan tidak pula dingin. Pagi harinya matahari terbit dalam keadaan redup kemerahan.” (HR. Ath-Thayalisi No. 349, Ibnu Khuzaimah 3/331, dan Al-Bazzar dengan sanad yang hasan. Lihat: Sifat Shaum Nabi, hal. 90) Sedangkan dalam riwayat Ibnu Khuzaimah disebutkan tanpa tambahan kata سَمْحَةٌ dan صَبِيْحَتِهَا, serta diganti dengan يوْمِهَا. (Lihat: Shahih Ibnu Khuzaimah 3/331-332). 10.5. Hikmah Disembunyikannya Waktu Lailatul Qadr Allah ﷻ merahasiakan waktu pasti terjadinya Lailatul Qadr agar manusia bersungguh-sungguh mencarinya dan memperbanyak ibadah di malam-malam terakhir bulan Ramadhan, dengan harapan dapat menjumpainya. Hal ini serupa dengan disembunyikannya waktu terjadinya kiamat dan kematian, agar manusia selalu berada dalam keadaan bersiap diri dengan amal kebaikan. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-I‘lam (5/407): “Hikmah disembunyikannya waktu malam ini adalah agar manusia bersungguh-sungguh mencarinya dengan harapan dapat menjumpainya. Hal ini seperti waktu terjadinya kiamat dan kematian.” *** 11. Zakat Fitrah Zakat Fitrah merupakan zakat yang disyariatkan dalam Islam berupa satu sha‘ (sekitar 2,5–3 kg) dari makanan pokok yang dikeluarkan oleh seorang muslim di akhir Ramadhan. Tujuan utama zakat ini adalah sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat berbuka setelah sebulan berpuasa serta sebagai penyempurna ibadah Ramadhan. Oleh karena itu, zakat ini dinamakan shadaqatul fitr atau Zakat Fitrah. (Fatawa Ramadhan, 2/901). 11.1. Hukumnya Zakat Fitrah adalah salah satu kewajiban yang dibebankan kepada setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, kecil atau besar, budak ataupun orang merdeka. Dalil-dalil yang mewajibkan Zakat Fitrah: 1. Hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ، وَأَمَرَ بِهَا قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ “Rasulullah ﷺ mewajibkan Zakat Fitrah sebanyak satu sha‘ dari kurma atau satu sha‘ dari gandum atas hamba sahaya, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil, maupun orang dewasa dari kaum muslimin. Dan beliau memerintahkan agar Zakat Fitrah ini ditunaikan sebelum orang-orang keluar untuk shalat (Idulfitri).”(HR. Al-Bukhari dan Muslim) 2. Hadits Abu Sa‘id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu: كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَانِ النَّبِيِّ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ “Dahulu, di zaman Nabi ﷺ, kami menunaikan Zakat Fitrah sebanyak satu sha‘ dari makanan, satu sha‘ dari kurma, satu sha‘ dari gandum, atau satu sha‘ dari kismis (anggur kering).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) 3. Penafsiran ayat dalam Surah Al-A‘la ayat 14 قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى “Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan dirinya.” (QS. Al-A‘la: 14) Sa‘id bin Al-Musayyib dan Umar bin Abdul Aziz menafsirkan ayat ini sebagai kewajiban Zakat Fitrah. 4. Ijma‘ Ulama Ibnu Qudamah rahimahullah menukil dari Ibnul Mundzir rahimahullah bahwa telah terjadi ijma‘ (kesepakatan) di kalangan para ulama mengenai kewajiban Zakat Fitrah. “Para ahli ilmu telah sepakat bahwa Zakat Fitrah adalah wajib.” (Al-Mughni, 3/80) 11.2. Hikmah Zakat Fitrah Zakat Fitrah memiliki banyak hikmah dan manfaat, baik secara spiritual maupun sosial. Di antara hikmah tersebut adalah: 1. Sebagai zakat bagi tubuh Zakat Fitrah merupakan bentuk syukur atas nikmat kehidupan yang Allah berikan selama satu tahun. 2. Memberikan kemudahan bagi seluruh kaum muslimin Zakat Fitrah tidak hanya bermanfaat bagi yang miskin, tetapi juga memberikan kemudahan bagi yang kaya, karena dapat menyucikan hartanya dan mendatangkan keberkahan. 3. Sebagai ungkapan rasa syukur Menunaikan Zakat Fitrah merupakan wujud syukur atas nikmat Allah, terutama setelah menjalani ibadah puasa selama bulan Ramadhan. 4. Menyempurnakan kebahagiaan di hari raya Dengan adanya Zakat Fitrah, kebahagiaan hari Idulfitri dapat dirasakan oleh seluruh umat Islam, termasuk kaum fakir miskin, sehingga tidak ada yang merasa kekurangan pada hari kemenangan tersebut. 5. Sebagai makanan bagi fakir miskin dan penyucian bagi orang yang berpuasa Zakat Fitrah membantu meringankan beban orang-orang miskin serta menyucikan orang yang berpuasa dari kekurangan atau dosa kecil yang mungkin dilakukan selama Ramadhan. Dalilnya adalah sabda Rasulullah ﷺ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللَّهِ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِيْنَ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنَ “Rasulullah ﷺ mewajibkan Zakat Fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perkataan sia-sia dan perbuatan keji, serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi. Hadis ini dinilai hasan oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (6/126), Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (3/50), dan Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil (3/333)). 11.3. Jenis yang Boleh Dikeluarkan untuk Zakat Fitrah dan Penerimanya 1. Jenis yang Boleh Dikeluarkan Zakat Fitrah harus dikeluarkan dalam bentuk makanan pokok yang biasa dikonsumsi oleh penduduk setempat, sesuai dengan pendapat yang lebih kuat dan disepakati oleh para ulama berdasarkan hadis-hadis yang ada. Sebagaimana disebutkan dalam Fatawa Ramadhan (2/914), jenis makanan yang boleh dikeluarkan antara lain: • Kurma • Gandum • Beras • Sagu • Jagung • Makanan pokok lain yang biasa dikonsumsi oleh penduduk negeri tersebut Para ulama melarang mengganti Zakat Fitrah dengan uang, daging, atau barang lain yang bukan makanan pokok. (Fatawa Ramadhan 2/916-927). Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa Zakat Fitrah harus berupa makanan, karena zakat ini bertujuan untuk memberikan kecukupan kepada fakir miskin pada hari raya. Allah berfirman: مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ أَهْلِيْكُمْ “Dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu.” (QS. Al-Ma’idah: 89) Nabi ﷺ juga telah mewajibkan Zakat Fitrah sebanyak satu sha’ dari kurma atau gandum, karena itulah makanan pokok penduduk Madinah. Jika makanan pokok mereka berbeda, maka Nabi ﷺ tidak membebani mereka untuk mengeluarkan sesuatu yang bukan makanan pokok mereka. Zakat Fitrah memiliki kesamaan dengan kafarat (denda) yang juga berhubungan dengan badan, sehingga wajib dikeluarkan dalam bentuk makanan, bukan dalam bentuk uang seperti zakat harta. 2. Penerima Zakat Fitrah Penerima Zakat Fitrah adalah fakir dan miskin saja, sebagaimana dalil dari sabda Rasulullah ﷺ: فَرَضَ رَسُوْلُ الله زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِيْنَ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنَ “Rasulullah ﷺ mewajibkan Zakat Fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perkataan sia-sia dan perbuatan keji, serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi). 11.4. Ukuran Zakat Fitrah Ukuran Zakat Fitrah yang harus dikeluarkan adalah satu sha’ sebagaimana yang disebutkan dalam hadis-hadis sebelumnya. Satu sha’ ini memiliki takaran yang berbeda menurut perhitungan para ulama: • Syaikh Ibnu Baz: ± 3 kg beras (Fatawa Ramadhan 2/915, 2/926). • Sebagian ulama: 2,275 kg. • Syaikh Ibnu Utsaimin: 2,45 kg. • Di Indonesia: Umumnya digunakan 2,5 kg. Mengambil takaran yang lebih besar lebih baik, agar lebih meyakinkan dalam menunaikan kewajiban ini dan memberi manfaat lebih bagi fakir miskin. 11.5. Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah Waktu terbaik untuk mengeluarkan Zakat Fitrah adalah sebelum shalat Idulfitri, sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Ibnu Abbas: فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ فَزَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَصَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَةِ “Barang siapa yang menunaikannya sebelum manusia keluar untuk shalat, maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barang siapa yang menunaikannya setelah shalat, maka itu hanya sedekah biasa.” (HR. Abu Dawud). • Waktu utama: Sebelum shalat Idulfitri. • Boleh dikeluarkan lebih awal: 1-2 hari sebelum Idulfitri, sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Umar. • Tidak boleh setelah shalat Id: Jika diberikan setelah shalat, maka hanya dianggap sebagai sedekah biasa, bukan sebagai Zakat Fitrah. Namun, jika ada udzur seperti lupa atau keterlambatan yang tidak disengaja, Zakat Fitrah tetap harus dikeluarkan walaupun setelah shalat Idulfitri. (Fatawa Ramadhan 2/931-935). Hukum mengeluarkan Zakat Fitrah di awal Ramadhan Menurut pendapat yang lebih kuat, Zakat Fitrah tidak boleh dikeluarkan di awal bulan Ramadhan. Hal ini ditegaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (Fatawa Ramadhan 2/935). Penutup Demikianlah pembahasan mengenai Zakat Fitrah. Semoga bermanfaat bagi kita semua dalam menunaikan kewajiban ini dengan benar sesuai tuntunan syariat. Ma’had Ibnu Abbas, Beku, Kliwonan, Masaran 14 Sya’ban 1446 H Penulis: Kholid bin Syamhudi 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 933 times, 1 visit(s) today Post Views: 689 QRIS donasi Yufid
Bulan Ramadhan hampir tiba. Kaum Muslimin pun menyambutnya dengan penuh harap dan kebahagiaan. Bagaimana tidak? Bulan yang penuh berkah dan keutamaan ini adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an, yang menjadi petunjuk bagi manusia menuju kebahagiaan dan keselamatan di dunia serta akhirat. Maka tak heran jika kaum Muslimin menyambutnya dengan suka cita. Demikianlah Allah memberikan keutamaan kepada bulan ini yang tidak dimiliki oleh bulan-bulan lainnya. 1. Keutamaan Bulan Ramadhan Keutamaan bulan Ramadhan sangat jelas dibandingkan bulan lainnya. Namun, kiranya masih perlu dipaparkan secara ringkas untuk menjadi motivasi bagi kaum Muslimin dalam beramal saleh. Di antara keutamaan tersebut adalah: a. Bulan Ramadhan adalah bulan Al-Qur’an Al-Qur’an diturunkan pada bulan ini, sebagaimana firman Allah: شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia serta penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, hendaklah dia berpuasa.” (QS. Al-Baqarah: 185) Dalam ayat ini, bulan Ramadhan disebut sebagai bulan turunnya Al-Qur’an. Kemudian, pernyataan tersebut diikuti dengan perintah yang diawali dengan huruf fa (فَ) dalam firman-Nya: فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ (Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir di bulan itu, hendaklah dia berpuasa). Huruf ini berfungsi menunjukkan makna sebab dan alasan. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu sebab utama diwajibkannya puasa di bulan Ramadhan adalah karena bulan ini merupakan waktu turunnya Al-Qur’an. b. Setan dibelenggu, pintu neraka ditutup, dan pintu surga dibuka Dalam bulan ini, Allah membelenggu para setan, menutup pintu-pintu neraka, serta membuka pintu-pintu surga. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: إِذَا جَاءَ رَمَضانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النِيْرَانِ، وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ “Jika datang bulan Ramadhan, dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka, serta dibelenggu para setan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Oleh karena itu, kita dapati bahwa dalam bulan ini kejahatan dan kerusakan di bumi berkurang. Hal ini disebabkan oleh kesibukan kaum Muslimin dalam berpuasa, membaca Al-Qur’an, serta melaksanakan berbagai ibadah lainnya, serta karena para setan dibelenggu sehingga tidak sebebas bulan-bulan lainnya dalam menyesatkan manusia. c. Terdapat malam yang lebih baik daripada seribu bulan Di dalam bulan Ramadhan terdapat satu malam yang dinamakan Lailatul Qadar, yaitu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah: إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.” (QS. Al-Qadr: 1–3) Melihat berbagai keutamaan ini, sudah selayaknya seorang Muslim lebih bersemangat dalam menyambut bulan Ramadhan dengan mempersiapkan diri sebaik mungkin agar dapat meraih keberkahannya. (Diringkas dari Sifat Shaum an-Nabi karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali dan Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid, cetakan keenam tahun 1417 H / 1997 M, penerbit Al-Maktabah Al-Islamiyah, Amman, Yordania, hal. 18–20). *** 2. Persiapan Menghadapi Ramadhan Di antara hal yang harus dipersiapkan seorang Muslim dalam menyambut bulan yang mulia ini adalah: a. Menghitung Bulan Sya’ban Salah satu bentuk persiapan menyambut Ramadhan adalah memperhatikan hitungan bulan Sya’ban. Dalam kalender Islam, satu bulan terdiri dari 29 atau 30 hari. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ لَيْلَةً، فَلا َتَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ “Satu bulan itu 29 malam. Maka janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal). Jika kalian terhalang (dari melihatnya), maka genapkanlah 30 hari.” (HR. Al-Bukhari) Dari hadits ini, jelas bahwa puasa Ramadhan tidak boleh dimulai kecuali setelah melihat hilal. Oleh karena itu, mengetahui hitungan bulan Sya’ban menjadi penting untuk memastikan kapan Ramadhan dimulai. b. Melihat Hilal Ramadhan (Ru’yah) Islam menetapkan bahwa permulaan bulan Ramadhan ditentukan dengan ru’yah (melihat hilal). Ini adalah satu-satunya cara yang disyariatkan dalam agama, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama. Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ (6/289-290) dan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (3/27) menjelaskan bahwa metode ini adalah ketetapan dalam syariat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Kita sudah mengetahui secara pasti bahwa Islam menetapkan amal berdasarkan ru’yah hilal, baik dalam puasa, haji, masa iddah, atau hukum-hukum lain yang berkaitan dengan hilal. Adapun bersandar pada perhitungan astronomi (hisab), baik seseorang melihat hilal atau tidak, maka hal itu tidak diperbolehkan.”(Majmu’ Al-Fatawa, 25/132) Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah juga menyatakan: “Tidak boleh bersandar kepada hisab dalam menentukan awal Ramadhan.” (Ihkamul Ahkam dalam Al-I’lam bi Fawa’id Umdatul Ahkam, 5/179) Pernyataan ini telah menjadi kesepakatan para ulama terdahulu. Adapun munculnya pendapat yang membolehkan hisab baru terjadi setelah tahun 300 Hijriyah. Sebagian ulama belakangan berpendapat bahwa jika langit tertutup mendung, seseorang yang ahli dalam ilmu hisab boleh menggunakannya untuk dirinya sendiri. Namun, pendapat ini tetap tidak berlaku secara umum bagi umat Islam. (Majmu’ Al-Fatawa, 25/133). Dalil-Dalil Tentang Ru’yah Hilal Banyak hadits yang menegaskan bahwa penentuan awal Ramadhan harus berdasarkan ru’yah hilal, di antaranya: 1. Hadits Ibnu Umar Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Rasulullah ﷺ bersabda: “Satu bulan itu 29 malam. Maka janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya), maka genapkanlah 30 hari.” (HR. Al-Bukhari) 2. Hadits Abu Hurairah Rasulullah ﷺ bersabda: صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ “Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah (Idul Fitri) karena melihatnya. Jika (hilal) tertutup mendung, maka sempurnakanlah hitungan Sya’ban menjadi 30 hari.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) 3. Hadits ‘Adi bin Hatim Rasulullah ﷺ bersabda: إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فَصُوْمُوْا ثَلاَثِيْنَ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا الْهِلاَلَ قَبْلَ ذَلِكَ “Jika telah datang bulan Ramadhan, maka berpuasalah 30 hari, kecuali kalian telah melihat hilal sebelumnya.” (HR. Ath-Thahawi dan Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, 17/171, dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil, no. 901) Persaksian Seorang Muslim yang Adil Penentuan awal Ramadhan dapat ditetapkan berdasarkan kesaksian seorang Muslim yang adil. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma: تَرَاءَى النَّاسُ اْلِهلاَلَ فأَخْبَرْتُ النَّبي أَنِّيْ رَأَيْتُهُ فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ “Manusia sedang mencari hilal, lalu aku memberitahu Nabi bahwa aku telah melihatnya. Maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.” (HR. Abu Dawud, Ad-Darimi, Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi) *** 3. Amalan di Bulan Ramadhan Setelah terlihat hilal atau sempurna bulan Sya’ban, maka masuk dan datanglah bulan Ramadhan. Kaum Muslimin mulai melakukan berbagai amal shalih di malam dan siang Ramadhan. Di antara amalan yang dilakukan seorang Muslim adalah: 1. Qiyam Ramadhan (Shalat Tarawih) Shalat tarawih disyariatkan pada malam-malam bulan Ramadhan, baik dilakukan secara berjamaah maupun sendiri. Selain itu, ibadah ini memiliki keutamaan besar yang dapat memotivasi seorang Muslim untuk melaksanakannya. 1.1. Keutamaannya Qiyam Ramadhan adalah menegakkan malam-malam Ramadhan dengan ibadah shalat. Amalan ini memiliki beberapa keutamaan bagi pelakunya, yaitu: a. Mendapat pengampunan dari Allah Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “Barang siapa yang menegakkan (malam-malam) bulan Ramadhan dengan keimanan dan mengharap ridha Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Lalu Rasulullah ﷺ meninggal dunia dalam keadaan perintah tersebut (shalat Tarawih berjamaah) masih berlaku. Demikian pula pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan pertengahan kekhalifahan Umar bin Khattab, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Muslim. b. Mendapat keutamaan shiddiqin dan syuhada Sebagaimana hadits dari ‘Amr bin Murrah yang berbunyi: جَاءَ رَجُلٌ مِنْ قُضَاعَةَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ ﷺ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ شَهِدْتُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنَّكَ رَسُوْلُ اللهِ وَصَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ وَصُمْتُ الشَّهْرَ وَقُمْتُ رَمَضَانَ وَآتَيْتُ الزَّكَاةَ؟ فَقاَلَ النَّبِيُّ ﷺ: مَنْ مَاتَ عَلَى هَذَا كَانَ مِنَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ “Datang kepada Rasulullah ﷺ seorang laki-laki dari Bani Qudha’ah, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku telah bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa engkau adalah utusan-Nya, aku mendirikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menegakkan malam-malam Ramadhan, dan aku menunaikan zakat?’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Barang siapa yang meninggal dalam keadaan seperti ini, dia termasuk dalam (golongan) shiddiqin dan orang-orang yang syahid.’” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih keduanya, serta selainnya, dengan sanad yang sahih). 1.2. Pensyariatan Qiyam Ramadhan (Shalat Tarawih) dengan Berjamaah Disyariatkan melaksanakan qiyam Ramadhan secara berjamaah. Bahkan, berjamaah lebih utama dibandingkan melakukannya sendirian, karena Rasulullah ﷺ telah melaksanakannya dan menjelaskan keutamaannya. Sebagaimana dalam hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu: صُمْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنَ الشَّهْرِ حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ، فَلَمَّا كَانَتِ السَّادِسَةُ لَمْ يَقُمْ بِنَا، فَلَمَّا كَانَتِ الْخَامِسَةُ قَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، لَوْ نَفَّلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ اللَّيْلَةِ، فَقَالَ: «إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ»، فَلَمَّا كَانَتِ الرَّابِعَةُ لَمْ يَقُمْ، فَلَمَّا كَانَتِ الثَّالِثَةُ جَمَعَ أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ وَالنَّاسَ، فَقَامَ بِنَا حَتَّى خَشِينَا أَنْ يَفُوتَنَا الْفَلَاحُ. قَالَ: قُلْتُ: مَا الْفَلَاحُ؟ قَالَ: السَّحُورُ، ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بَقِيَّةَ الشَّهْرِ. “Kami berpuasa bersama Rasulullah ﷺ di bulan Ramadhan. Beliau tidak melaksanakan qiyam (shalat tarawih) bersama kami sepanjang bulan itu, kecuali ketika tersisa tujuh hari. Saat itu, beliau berdiri (shalat tarawih) bersama kami hingga berlalu sepertiga malam. Pada malam keenam (tanggal 24), beliau tidak shalat bersama kami. Kemudian pada malam kelima (tanggal 25), beliau kembali shalat bersama kami hingga berlalu setengah malam. Aku berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, seandainya engkau menambah shalat pada malam ini.’ Maka beliau menjawab, ‘Sesungguhnya jika seseorang shalat bersama imamnya hingga selesai, maka dicatat baginya pahala qiyamul lail sepanjang malam.’ Pada malam keempat (tanggal 26), beliau tidak shalat bersama kami. Pada malam ketiga (tanggal 27), beliau mengumpulkan keluarga, istri-istri, serta orang-orang, lalu menegakkan shalat bersama kami hingga kami khawatir kehilangan kemenangan.’ Aku bertanya, ‘Apa kemenangan itu?’ Abu Dzar menjawab, ‘Sahur.’ Kemudian beliau tidak menegakkannya lagi setelah itu.” (HR. Ash-habus Sunan) Namun, Rasulullah ﷺ tidak terus-menerus melaksanakannya secara berjamaah karena khawatir hal itu akan diwajibkan atas kaum Muslimin sehingga mereka tidak mampu mengerjakannya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang diriwayatkan dalam Shahihain: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ خَرَجَ لَيْلَةً فِيْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِيْ الْمَسْجِدِ وَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلاَتِهِ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوْا، فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّى فَصَلَّوْا مَعَهُ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوْا، فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ، فَخَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ، فَلَمَّا كَانَتِ الَّليْلَةُ الرَّاِبِعَةُ عَجِزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ، حَتَّى خَرَجَ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ، فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ: “أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ، وَلَكِنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوْا عَنْهَا”. فَتُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ وَالأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ. “Bahwasanya Rasulullah ﷺ keluar pada suatu malam di pertengahan malam, lalu beliau shalat di masjid. Beberapa orang pun ikut shalat dengan beliau. Keesokan paginya, orang-orang membicarakan hal itu, maka semakin banyak yang berkumpul pada malam berikutnya. Rasulullah ﷺ kembali shalat, dan mereka ikut shalat bersamanya. Kemudian keesokan harinya, pembicaraan tentang itu semakin meluas, sehingga pada malam ketiga jumlah orang yang hadir semakin banyak. Rasulullah ﷺ keluar dan shalat bersama mereka. Namun, pada malam keempat, masjid tidak mampu menampung jamaahnya hingga beliau keluar untuk shalat Subuh. Setelah menyelesaikan shalat Subuh, beliau menghadap manusia, lalu bertasyahud dan bersabda, ‘Amma ba’du, sungguh aku mengetahui keberadaan kalian. Namun, aku khawatir jika shalat ini diwajibkan atas kalian, lalu kalian tidak mampu melaksanakannya.’ Lalu Rasulullah ﷺ wafat dan perkara tersebut tetap dalam keadaan tidak berjamaah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Sebab tidak dilaksanakannya qiyam Ramadhan (shalat Tarawih) secara berjamaah ini hilang setelah wafatnya Rasulullah ﷺ, karena dengan wafatnya beliau, agama ini telah sempurna. Oleh karena itu, amalan ini tetap disyariatkan meskipun tidak dikerjakan secara berjamaah oleh Rasulullah ﷺ karena kekhawatiran beliau. Kemudian, amalan ini dihidupkan kembali oleh Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pada masa kekhalifahannya. Pensyariatan shalat tarawih berjamaah ini juga berlaku bagi wanita. Bahkan, diperbolehkan bagi mereka untuk memiliki imam khusus, sebagaimana dilakukan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengangkat Ubay bin Ka’b sebagai imam bagi laki-laki dan Sulaiman bin Abu Hatsmah sebagai imam bagi wanita. Demikian pula Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang memerintahkan kaum Muslimin untuk shalat tarawih berjamaah dan mengangkat seorang imam bagi laki-laki serta Urfuzah ats-Tsaqafi sebagai imam bagi wanita. (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi). 1.3. Jumlah Rakaatnya Jumlah rakaat shalat Tarawih yang lebih rajih (kuat) adalah 11 rakaat, insyaallah. Namun, boleh juga kurang atau lebih dari itu, karena Rasulullah ﷺ tidak membatasi jumlah rakaatnya maupun panjang bacaannya secara khusus. 1.4. Waktunya Waktu pelaksanaan shalat Tarawih dimulai setelah shalat Isya hingga terbit fajar Subuh. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ: إِنَّ اللَّهَ زَادَكُمْ صَلاَةً، وَهِيَ الْوِتْرُ، فَصَلُّوْهَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ “Sesungguhnya Allah telah menambahkan bagi kalian satu shalat, yaitu Witir. Maka, kerjakanlah shalat itu di antara shalat Isya hingga shalat Fajar.” (HR. Ahmad dari Abu Bashrah, dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Qiyam Ramadhan hal. 26). Shalat malam yang dilakukan di akhir malam lebih utama, bagi siapa saja yang mampu bangun pada waktu tersebut. Rasulullah ﷺ bersabda: مَنْ خَافَ أَنْ لَا يَقُوْمَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوْتِرْ أَوَّلَهُ، وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُوْمَ آخِرَهُ فَلْيُوْتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ، فَإِنَّ صَلاَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُوْدَةٌ، وَذَلِكَ أَفْضَلُ “Barang siapa khawatir tidak bisa bangun di akhir malam, maka hendaklah ia berwitir di awal malam. Namun, barang siapa berharap dapat bangun di akhir malam, maka hendaklah ia berwitir di akhir malam. Karena shalat di akhir malam itu disaksikan (oleh malaikat), dan itulah yang lebih utama.” (HR. Muslim). Namun, jika ada shalat Tarawih berjamaah di awal malam, maka lebih utama mengikuti shalat berjamaah dibandingkan shalat sendirian di akhir malam. 1.5. Rincian Rakaat Shalat Tarawih Adapun shalat Tarawih yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ memiliki beberapa rincian sebagai berikut: 13 rakaat dengan perincian: shalat 2 rakaat-2 rakaat, lalu ditutup dengan 1 rakaat witir. 13 rakaat dengan perincian: 8 rakaat dengan salam pada setiap dua rakaat, lalu ditambah 5 rakaat witir yang dilakukan tanpa duduk dan salam, kecuali di rakaat kelima. 11 rakaat dengan perincian: shalat 2 rakaat-2 rakaat, lalu ditutup dengan 1 rakaat witir. 11 rakaat dengan perincian: shalat 8 rakaat tanpa duduk kecuali di rakaat kedelapan, lalu bertasyahud dan bershalawat, kemudian berdiri tanpa salam. Setelah itu, dilanjutkan dengan 1 rakaat witir dan salam, lalu ditambah 2 rakaat dalam posisi duduk. 9 rakaat dengan perincian: shalat 6 rakaat tanpa duduk kecuali di rakaat keenam, lalu bertasyahud dan bershalawat tanpa salam. Kemudian, berdiri untuk shalat witir 1 rakaat dan salam, lalu ditambah 2 rakaat dalam posisi duduk. 1.6. Qunut Setelah selesai membaca surat dan sebelum rukuk, Rasulullah ﷺ kadang-kadang berqunut. Namun, boleh juga dilakukan setelah rukuk. 1.7. Bacaan Setelah Witir Apabila telah selesai dari shalat witir, hendaklah membaca: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ Pada bacaan yang ketiga, dianjurkan untuk memanjangkan suara dan meninggikannya. *** 2. Puasa Setelah melaksanakan shalat Tarawih di malam hari, seorang muslim bersiap menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. 2.1. Definisi Puasa 2.1.1. Definisi Secara Bahasa Ash-Shiyām (الصِّيَامُ) dalam bahasa Arab bermakna ‘menahan diri’, sebagaimana firman Allah: إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا “Aku telah bernazar kepada Tuhan Yang Maha Pengasih untuk berpuasa (menahan diri dari berbicara).” (QS. Maryam: 26) 2.1.2. Definisi Secara Istilah Syariat Secara istilah syariat, puasa adalah “Menahan diri dengan niat ibadah dari hal-hal yang membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari.” (Lihat Taisīr Al-Fiqh karya Dr. Shalih bin Ghanim as-Sadlân, cetakan kedua, 1417 H/1997 M, tanpa penerbit, hlm. 79) 2.2. Kewajiban Puasa di Bulan Ramadhan Puasa Ramadhan adalah ibadah yang diwajibkan oleh Allah atas kaum mukminin dan merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Kewajibannya telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak kaum muslimin. a. Dalil dari Al-Qur’an Allah berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183) b. Dalil dari As-Sunnah 1. Dari Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَىٰ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَائِرَ الرَّأْسِ، فَقَالَ: أَخْبِرْنِي بِمَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنَ الصِّيَامِ؟ فَقَالَ: رَمَضَانَ إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا “Seorang Arab pedalaman datang kepada Rasulullah ﷺ dalam keadaan kusut rambutnya, lalu ia berkata, ‘Beritahukan kepadaku, puasa apa yang diwajibkan atas diriku?’ Rasulullah ﷺ menjawab, ‘Puasa Ramadhan, kecuali jika engkau ingin menambah (puasa sunnah).’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) 2. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda: بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَىٰ خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللَّهِ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ “Islam dibangun di atas lima perkara: syahadat bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah, dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) c. Dalil dari Ijmak Kaum Muslimin Kaum muslimin telah sepakat sejak dahulu hingga sekarang bahwa puasa Ramadhan adalah kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat. *** 2.3. Keutamaan Puasa Puasa adalah salah satu ibadah yang mendekatkan seorang hamba kepada Allah. Di dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah ﷺ, banyak disebutkan keutamaan puasa, di antaranya: a. Puasa Termasuk Amalan yang Mendapat Ampunan dan Pahala Besar Allah ﷻ berfirman: إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35) Allah ﷻ juga berfirman: وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ “Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 184) b. Puasa Adalah Perisai dari Syahwat dan Neraka Rasulullah ﷺ bersabda: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang telah memiliki kemampuan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah, karena pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Namun, barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu adalah benteng baginya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas‘ud) Hadits ini menunjukkan bahwa puasa dapat mengekang syahwat dan memperlemahnya. Oleh karena itu, puasa menjadi perisai seorang muslim dari hawa nafsu dan syahwat yang dapat menyeretnya ke neraka. Rasulullah ﷺ juga bersabda: مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا بَاعَدَ اللَّهُ بِذَٰلِكَ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا “Tidaklah seorang hamba berpuasa satu hari di jalan Allah, melainkan Allah akan menjauhkan wajahnya dari api neraka sejauh perjalanan tujuh puluh tahun.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa‘id Al-Khudri) c. Puasa Mengantarkan ke Surga Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah ﷺ, ‘Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku satu amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga.’” Maka beliau menjawab: عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ، لَا مِثْلَ لَهُ “Hendaklah engkau berpuasa, karena tidak ada amalan yang sebanding dengannya.” (HR. An-Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, sanadnya sahih) d. Orang yang Berpuasa Mendapatkan Dua Kebahagiaan Rasulullah ﷺ bersabda: قَالَ اللَّهُ: كُلُّ عَمَلِ بَنِي آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ، وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ، لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا: إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ، وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ “Allah berfirman, ‘Setiap amal anak Adam untuknya, kecuali puasa, karena itu adalah untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.’ Puasa itu perisai. Jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah ia berkata kotor dan jangan pula bertengkar. Jika ada seseorang yang mencacinya atau mengajaknya berkelahi, hendaklah ia mengatakan, ‘Aku sedang berpuasa.’ Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada wangi misik. Orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabbnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Dalam hadits ini juga terdapat dua keutamaan lainnya: 1. Pahala orang yang berpuasa dilipatgandakan. 2. Bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada wangi misik. e. Orang yang Berpuasa Memiliki Pintu Khusus di Surga. Rasulullah ﷺ bersabda: إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ: الرَّيَّانُ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ، فَلَمْ يَدْخُلْ أَحَدٌ مِنْهُ “Sesungguhnya di dalam surga terdapat satu pintu yang disebut Ar-Rayyan. Pada hari kiamat, hanya orang-orang yang berpuasa yang masuk melalui pintu itu. Tidak ada seorang pun selain mereka yang boleh memasukinya. Jika mereka telah masuk, pintu itu ditutup, sehingga tidak ada lagi yang dapat masuk melaluinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa‘id Al-Khudri) (Diringkas dari Sifat Saum An-Nabi Hal 11-17). *** 1.4. Amalan-Amalan yang Berhubungan dengan Puasa 1. Niat Ketika bulan Ramadhan telah tiba, setiap muslim wajib berniat untuk berpuasa pada malam harinya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ: مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ “Barang siapa yang tidak berniat puasa sebelum fajar, maka tiada baginya puasa itu.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan Al-Baihaqi dari Hafshah binti Umar) Niat tempatnya di hati, sementara melafalkannya termasuk dalam perbuatan bid’ah. Kewajiban berniat pada malam hari ini berlaku khusus untuk puasa wajib, seperti puasa Ramadhan dan puasa nazar. 2. Waktu Puasa Waktu berpuasa dimulai dari terbit fajar subuh hingga terbenam matahari. Hal ini sebagaimana firman Allah ﷻ: وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ “Dan makan dan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah: 186) Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa terdapat dua jenis fajar: a. Fajar Kazib (Fajar Palsu) Cahaya putih yang menjulang secara vertikal di langit seperti ekor serigala. Pada saat ini, masih diperbolehkan makan, minum, dan tidak boleh melaksanakan salat Subuh. b. Fajar Shadiq (Fajar Sejati) Cahaya kemerahan yang menyebar secara horizontal di ufuk. Saat ini, makan dan minum harus dihentikan, dan salat Subuh sudah dapat dilakukan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah ﷺ: الفَجْرُ فَجْرَانِ: فَأَمَّا الأَوَّلُ فَإِنَّهُ لاَ يَحْرُمُ الطَّعَامُ وَلاَ يَحِلُّ الصَّلاَة، وَأَمَّا الثَّانِي فَإِنَّهُ يَحْرُمُ الطَّعَامُ وَيَحِلُّ الصَّلاَةَ “Fajar itu ada dua. Adapun yang pertama, maka masih boleh makan dan tidak boleh melaksanakan salat. Sedangkan yang kedua, maka makanan diharamkan dan salat diperbolehkan.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Al-Hakim, Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi dengan sanad sahih) Untuk mengenali perbedaannya, fajar pertama berbentuk cahaya putih yang menjulang ke atas, sedangkan fajar kedua berwarna kemerahan dan menyebar ke ufuk timur, menerangi gunung, lembah, dan bangunan. Ketika fajar shadiq telah tampak, maka makan, minum, dan hubungan suami istri harus dihentikan. 3. Kesalahan dalam Menentukan Waktu Imsak Di beberapa tempat, terdapat kebiasaan mengadakan waktu imsak sekitar 10–15 menit sebelum waktu fajar dengan anggapan sebagai langkah kehati-hatian. Namun, kebiasaan ini tidak ada tuntunannya dalam syariat dan bertentangan dengan sunnah Rasulullah ﷺ. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata: “Termasuk bid’ah mungkar adalah mengadakan azan kedua sekitar sepertiga jam sebelum fajar di bulan Ramadhan, lalu mematikan lampu-lampu sebagai tanda untuk menghentikan makan dan minum, dengan persangkaan bahwa hal itu adalah bentuk kehati-hatian. Padahal, hal itu tidak diketahui kecuali dari segelintir orang saja. Hal ini justru menyebabkan mereka mengakhirkan berbuka puasa dan mempercepat sahur, yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah ﷺ. Akibatnya, sedikit sekali kebaikan mereka dan lebih banyak keburukan yang menimpa mereka.” (Fathul Bari, 4/199) Oleh karena itu, yang benar adalah tetap makan dan minum hingga fajar shadiq benar-benar muncul. 4. Waktu Berbuka Puasa Puasa berakhir saat matahari terbenam. Rasulullah ﷺ bersabda: إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَهُنَا، وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَهُنَا، وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ “Jika malam telah datang dari arah sini, siang telah pergi dari arah sana, dan matahari telah terbenam, maka orang yang berpuasa telah berbuka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Tanda masuknya waktu berbuka adalah: 1. Matahari benar-benar telah tenggelam di ufuk barat dan tidak ada lagi bagian bulatannya yang tampak. 2. Mulainya kegelapan dari arah timur, yang dapat dilihat dengan mata telanjang tanpa perlu alat bantu seperti teleskop. *** 3. Sahur 3.1. Hikmah Sahur Setelah mewajibkan puasa dengan hukum dan waktu yang sama seperti yang berlaku bagi umat-umat sebelumnya, Allah mensyariatkan sahur bagi kaum Muslimin sebagai pembeda antara puasa mereka dan puasa umat terdahulu. Rasulullah ﷺ bersabda: فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحُوْرِ “Yang membedakan antara puasa kita dengan puasa Ahli Kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim) 3.2. Keutamaan Sahur Di antara keutamaan sahur adalah sebagai berikut: 1. Sahur Mengandung Berkah Rasulullah ﷺ bersabda: إِنَّهَا بَرَكَةٌ أَعْطَاكُمُ الله إِيَّاهَا فَلاَ تَدَعُوْهُ “Sesungguhnya sahur adalah berkah yang diberikan Allah kepada kalian, maka janganlah kalian meninggalkannya.” (HR. An-Nasa’i dan Ahmad, dengan sanad yang sahih) Berkahnya sahur dapat dilihat dari beberapa aspek, di antaranya: • Menjalankan sunnah Rasulullah ﷺ. • Menguatkan fisik dalam menjalankan ibadah puasa. • Menambah semangat dalam beribadah. • Mengandung unsur menyelisihi kebiasaan Ahli Kitab. 2. Orang yang Bersahur Mendapat Salawat dari Allah dan Malaikat Dalam hadits Abu Sa‘id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda: السَحُوْرُ أَكْلَةُ اْلْبَرَكَةِ، فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنَ الْمَاءِ، فَإِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ “Sahur adalah makanan yang penuh berkah, maka janganlah kalian tinggalkan, walaupun salah seorang dari kalian hanya meneguk seteguk air. Karena sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat atas orang-orang yang bersahur.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Ahmad) 3.3. Sunnah Mengakhirkan Sahur Disunnahkan untuk mengakhirkan sahur hingga mendekati waktu fajar, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ، قُلْتُ: كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسُّحُوْرِ؟ قَالَ: قَدْرُ خَمْسِيْنَ آيَةً “Kami bersahur bersama Rasulullah ﷺ, kemudian beliau berdiri untuk melaksanakan salat. Aku bertanya, ‘Berapa lama jarak antara azan dan sahur?’ Beliau menjawab, ‘Sekitar 50 ayat (bacaan Al-Qur’an).’” (HR. Bukhari dan Muslim) 3.4. Hukum Sahur Sahur merupakan sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) berdasarkan dalil-dalil berikut: a. Perintah Rasulullah ﷺ untuk Bersahur Di antara perintah beliau ﷺ adalah sabda berikut: تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِيْ السَّحُوْرِ بَرَكَةً “Bersahurlah, karena dalam sahur terdapat berkah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadits ini menunjukkan anjuran kuat dari Rasulullah ﷺ untuk makan sahur, karena mengandung keberkahan bagi yang melaksanakannya. b. Larangan Rasulullah ﷺ untuk Meninggalkan Sahur Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Sa‘id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu yang telah dikutip sebelumnya, Rasulullah ﷺ melarang meninggalkan sahur. Oleh karena itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fath Al-Bari (3/139) menyebutkan adanya ijmak (kesepakatan ulama) atas kesunnahan sahur. *** 4. Perkara-Perkara yang Membatalkan Puasa Dalam puasa, terdapat beberapa perkara yang dapat merusaknya. Seorang yang berpuasa wajib menjauhi hal-hal berikut selama siang hari: a. Makan dan minum dengan sengaja Sebagaimana firman Allah: وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ “Dan makanlah serta minumlah kalian hingga jelas bagi kalian benang putih siang dari benang hitam malam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah: 186) b. Muntah dengan sengaja c. Haid dan nifas d. Injeksi yang mengandung zat makanan (infus) e. Bersetubuh Selain perkara yang membatalkan puasa, ada pula hal-hal yang harus dihindari oleh orang yang berpuasa, di antaranya: 1. Berkata Bohong Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda: مَنْ لَمْ َيدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَ الْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ أَنْ َيدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dengannya, maka Allah tidak butuh dengan usahanya meninggalkan makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari) 2. Berbuat Sia-Sia dan Kejahatan Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda: لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّراَبِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، فَإِنْ سَابَكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ إِنِّيْ صَائِمٌ إِنِّيْ صَائِمٌ “Puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga dari perkataan sia-sia dan perbuatan keji. Jika seseorang mencacimu atau berbuat buruk kepadamu, katakanlah: ‘Saya sedang berpuasa, saya sedang berpuasa.’” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim) *** 5. Perkara-Perkara yang Dibolehkan Terdapat beberapa perkara yang sering dianggap membatalkan puasa, padahal sebenarnya diperbolehkan, di antaranya: a. Orang yang Junub hingga Waktu Fajar Sebagaimana disebutkan dalam hadis Aisyah dan Ummu Salamah, keduanya berkata: كَانَ رَسُولُ اللهِ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ اغْتَسَلَ وَيَصُوْمُ “Sesungguhnya Nabi ﷺ mendapati fajar (waktu subuh) dalam keadaan junub dari keluarganya, kemudian beliau mandi dan tetap berpuasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) b. Bersiwak c. Berkumur dan Memasukkan Air ke Hidung saat Bersuci d. Bersentuhan dan Berciuman bagi Orang yang Berpuasa Hal ini diperbolehkan, namun dimakruhkan bagi orang yang masih berusia muda karena dikhawatirkan menjerumuskan kepada hal yang membatalkan puasa. e. Injeksi yang Tidak Mengandung Zat Makanan f. Berbekam g. Mencicipi Makanan Selama tidak sampai masuk ke tenggorokan, mencicipi makanan diperbolehkan. h. Memakai Celak dan Tetes Mata i. Menyiram Kepala dengan Air Dingin dan Mandi *** 6. Orang-Orang yang Dibolehkan Tidak Berpuasa Sesungguhnya Islam adalah agama yang penuh kemudahan. Oleh karena itu, syariat memberikan keringanan bagi orang-orang tertentu yang mengalami kesulitan atau tidak mampu berpuasa. Mereka adalah: 1. Musafir (Orang yang Bepergian) Musafir diperkenankan untuk memilih antara tetap berpuasa atau berbuka sebagai bentuk rahmat dari Allah. Sebagaimana firman-Nya: وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185) Demikian pula Rasulullah ﷺ pernah ditanya tentang puasa bagi musafir, sebagaimana dalam hadis Hamzah bin Amru Al-Aslami: أَنَّ حَمْزَةَ بْنَ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيَّ قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَأَصُومُ فِي السَّفَرِ وَكَانَ كَثِيرَ الصِّيَامِ فَقَالَ إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ “Sesungguhnya Hamzah bin Amru Al-Aslami bertanya kepada Rasulullah ﷺ, ‘Apakah saya berpuasa dalam perjalanan?’ Hamzah adalah seorang yang banyak berpuasa. Lalu Rasulullah ﷺ menjawab, ‘Jika kamu mau, berpuasalah. Jika kamu mau, berbukalah.’” (Muttafaqun ’alaih) 2. Orang yang Sakit Dibolehkan bagi orang sakit untuk berbuka sebagai bentuk rahmat dari Allah. Namun, dengan ketentuan bahwa sakitnya akan bertambah parah, membahayakan dirinya, atau memperlambat kesembuhannya jika tetap berpuasa. (Lihat Sifat Shaum Nabi karya Syaikh Salim dan Ali Hasan, hlm. 59) 3. Wanita yang Haid atau Nifas Para ulama telah bersepakat (ijma’) bahwa wanita yang sedang haid atau nifas dilarang berpuasa. Namun, mereka wajib mengqadha puasanya di hari lain setelah suci. 4. Orang Lanjut Usia yang Lemah Orang yang sudah tua dan tidak lagi mampu berpuasa diperbolehkan berbuka. Sebagai gantinya, mereka wajib memberi makan satu orang miskin setiap hari. Sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Abbas: “Orang yang sudah tua, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak mampu berpuasa maka keduanya harus memberi makan seorang miskin setiap harinya.” (HR. Al-Bukhari, no. 4505) 5. Wanita Hamil atau Menyusui Wanita hamil atau menyusui juga diberikan keringanan untuk tidak berpuasa jika mereka khawatir akan kesehatan diri mereka atau bayinya. *** 7. Berbuka Puasa 7.1. Waktu Berbuka Waktu berbuka puasa adalah saat matahari terbenam. Hal ini telah dijelaskan dalam pembahasan tentang waktu puasa sebelumnya. Rasulullah ﷺ berbuka sebelum melaksanakan salat Magrib, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. 7.2. Mempercepat Berbuka Puasa Termasuk dalam sunnah puasa adalah menyegerakan berbuka. Hal ini dilakukan dalam rangka meneladani Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya. Amr bin Maimun Al-Audi berkata: “Para sahabat Muhammad ﷺ adalah orang-orang yang paling cepat berbuka dan paling lambat makan sahur.” (HR. Abdurrazzaq dalam Al-Musannaf, no. 7591, dengan sanad yang disahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 4/199) Adapun manfaat dari menyegerakan berbuka puasa adalah sebagai berikut: 1. Mendapatkan Kebaikan Sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’d, Rasulullah ﷺ bersabda: لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ “Manusia akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) 2. Menjalankan Sunnah Nabi ﷺ Mempercepat berbuka merupakan bagian dari tuntunan Rasulullah ﷺ yang senantiasa beliau lakukan dan ajarkan kepada umatnya. 3. Menyelisihi Ahli Kitab Sebagaimana disebutkan dalam hadis Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda: لَا يَزَالُ الدِّينُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ، لِأَنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُونَهُ “Agama ini akan senantiasa menang selama kaum Muslimin menyegerakan berbuka puasa, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mengakhirkannya.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban dengan sanad hasan) Berbuka puasa dilakukan sebelum salat Magrib, karena demikianlah akhlak para nabi. Rasulullah ﷺ menganjurkan berbuka dengan kurma, dan jika tidak ada kurma, maka cukup dengan air. Hal ini menunjukkan kasih sayang dan perhatian beliau terhadap umatnya. Setelah berbuka, beliau langsung melaksanakan salat Magrib. 7.3. Makanan untuk Berbuka Tidak ada ketentuan khusus mengenai jenis makanan yang harus dikonsumsi saat berbuka puasa. Namun, Rasulullah ﷺ memiliki kebiasaan mendahulukan ruthab (kurma basah) ketika berbuka, sebagaimana dikisahkan oleh Anas bin Malik: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَتَمَرَاتٌ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَمَرَاتٌ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ “Nabi ﷺ berbuka sebelum salat dengan ruthab (kurma basah), jika tidak ada maka dengan tamr (kurma kering), dan jika tidak ada, beliau minum seteguk air.” (HR. Ahmad 3/163, Abu Dawud 2/306, dan At-Tirmidzi 3/70) 7.4. Doa Berbuka Puasa Disyariatkan bagi orang yang berpuasa untuk membaca doa ketika berbuka, sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash: “Sesungguhnya orang yang berpuasa memiliki doa yang tidak tertolak ketika berbuka.” (HR. Ibnu Majah 1753, Al-Hakim 1/422, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib 2/148) Adapun doa berbuka puasa yang ma’tsur dari Rasulullah ﷺ adalah: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ “Nabi ﷺ apabila berbuka, beliau membaca: ‘ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ.’” (HR. Abu Dawud 2/306 dengan sanad hasan) *** 8. Adab Orang yang Berpuasa Disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk beradab dengan adab-adab yang syar’i, di antaranya: 1. Memperlambat sahur (telah dijelaskan sebelumnya). 2. Mempercepat berbuka puasa (telah dijelaskan sebelumnya). 3. Berdoa ketika berpuasa dan saat berbuka (telah dijelaskan sebelumnya). 4. Menahan diri dari perkara-perkara yang merusak puasa (telah dijelaskan sebelumnya). 5. Bersiwak. 6. Berderma dan tadarus Al-Qur’an. 7. Bersungguh-sungguh dalam beribadah, khususnya pada sepuluh hari terakhir. *** 9. I’tikaf 9.1. Makna I’tikaf I’tikaf berasal dari bahasa Arab yang berarti berdiam diri pada sesuatu. Kata ini digunakan dalam konteks ibadah dengan makna tinggal dan menetap di masjid untuk beribadah serta mendekatkan diri kepada Allah. Orang yang melakukan i’tikaf disebut mu’takif atau ‘aakif. 9.2. Hikmah I’tikaf Ibnul Qayyim berkata: “Ketika perbaikan dan keistiqamahan hati dalam berjalan menuju Allah bergantung pada konsentrasinya terhadap Allah dan kesatuan kekuatannya dalam menghadap-Nya secara penuh, maka jika hati terpecah, ia tidak dapat disatukan kecuali dengan menghadapkan diri kepada Allah. Padahal, kelebihan makan dan minum, terlalu banyak bergaul dengan manusia, banyak bicara, dan tidur yang berlebihan justru akan membuat hati berantakan, memporak-porandakannya, serta memutus, melemahkan, atau mengganggu perjalanan hati menuju Allah.” “Karena itu, rahmat Allah kepada hamba-Nya menetapkan syariat puasa, yang dapat menghilangkan kelebihan makan dan minum serta mengosongkan hati dari berbagai syahwat yang menghalangi perjalanan menuju-Nya. Allah mensyariatkan puasa sesuai dengan kemaslahatan yang bermanfaat bagi hamba, baik di dunia maupun di akhirat, tanpa mengganggu urusan duniawinya.” “Kemudian, Allah juga mensyariatkan i’tikaf, yang tujuan dan intinya adalah agar hati seseorang benar-benar menghadap Allah, menyatukan fokusnya, berkhulwah dengan-Nya, serta menghilangkan kesibukan dengan makhluk sehingga hanya sibuk menghadap Allah semata.” 9.3. Pensyariatannya I’tikaf disyariatkan dalam firman Allah: أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالْئَانَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, serta makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam, tetapi janganlah kamu mencampuri mereka ketika kamu sedang beri’tikaf di masjid. Itulah batasan-batasan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 187) Selain dalam Al-Qur’an, pensyariatan i’tikaf juga dijelaskan dalam hadis-hadis Nabi ﷺ. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ’anha: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ “Nabi ﷺ beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat. Kemudian, istri-istri beliau beri’tikaf setelahnya.” (HR. Al-Bukhari No. 1886) I’tikaf adalah ibadah yang disunnahkan, baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan, dengan atau tanpa didahului puasa. Namun, yang paling utama adalah i’tikaf di bulan Ramadhan, terutama pada sepuluh hari terakhir, sebagaimana disebutkan dalam hadis berikut: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوْسَطِ مِنْ رَمَضَانَ فَاعْتَكَفَ عَامًا حَتَّى إِذَا كَانَ لَيْلَةَ إِحْدَى وَعِشْرِينَ وَهِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي يَخْرُجُ مِنْ صَبِيحَتِهَا مِنْ اعْتِكَافِهِ قَالَ مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفْ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ dahulu beri’tikaf pada sepuluh hari pertengahan Ramadhan, kemudian beliau beri’tikaf di tahun tersebut hingga malam ke-21. Pada malam itu, beliau keluar dari i’tikafnya dan bersabda: ‘Barang siapa yang beri’tikaf bersamaku, hendaklah ia beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir.’” (HR. Al-Bukhari No. 1887) Selain itu, i’tikaf juga disyariatkan melalui perintah Nabi ﷺ kepada Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu dalam hadis berikut: عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْفِ بِنَذْرِكَ فَاعْتَكَفَ لَيْلَةً “Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu, ia berkata: ‘Wahai Rasulullah, dahulu pada masa jahiliyah aku pernah bernazar untuk beri’tikaf satu malam di Masjidil Haram.’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Tunaikan nazarmu.’ Lalu Umar pun beri’tikaf satu malam.” (HR. Al-Bukhari No. 2042, Muslim No. 1656) 9.4. Syarat dan Tempatnya I’tikaf hanya boleh dilakukan di masjid dan tidak boleh dilakukan di tempat selainnya. Seorang yang beri’tikaf juga tidak boleh keluar dari masjid kecuali karena keperluan mendesak atau darurat, seperti buang hajat, makan jika tidak ada yang mengantarkan makanan, atau keadaan darurat lainnya. Dalilnya adalah firman Allah: وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ “Janganlah kamu mencampuri mereka (istri-istrimu) ketika kamu sedang beri’tikaf di masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187) 9.5. Hal-hal yang Diperbolehkan dalam I’tikaf 1. Boleh keluar dari masjid karena hajat dan boleh juga mengeluarkan kepala dari masjid untuk dicuci atau disisir. Aisyah radhiyallahu ’anha berkata: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اعْتَكَفَ يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ “Nabi ﷺ jika beri’tikaf mengeluarkan kepalanya kepada saya, lalu saya sisir. Dan beliau tidak keluar kecuali untuk hajat (keperluan).” (HR. Muslim) 2. Dibolehkan berwudu di dalam masjid. 3. Boleh membuat kemah kecil atau bilik dari kain di bagian belakang masjid sebagai tempat i’tikaf, sebagaimana Aisyah radhiyallahu ’anha membuat kemah kecil untuk Nabi ﷺ saat beliau beri’tikaf. 4. Dibolehkan meletakkan kasur atau dipan dalam i’tikaf, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma: “Dari Nabi ﷺ, bahwa beliau jika beri’tikaf disiapkan atau diletakkan kasur atau dipan di belakang tiang Taubah.” (Hadis ini sanadnya hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Zawaaid Sunannya). 5. Boleh mengantar istri yang mengunjungi ke masjid sampai ke pintu masjid, sebagaimana dalam hadis: أَنَّ صَفِيَّةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَهَا يَقْلِبُهَا حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ بَابَ الْمَسْجِدِ عِنْدَ بَابِ أُمِّ سَلَمَةَ مَرَّ رَجُلَانِ مِنْ الْأَنْصَارِ فَسَلَّمَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّمَا هِيَ صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ فَقَالَا سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَبُرَ عَلَيْهِمَا Dari Shafiyyah radhiyallahu ’anha, beliau berkata bahwa ia datang mengunjungi Nabi ﷺ ketika beliau sedang beri’tikaf di sepuluh akhir Ramadhan. Lalu ia berbincang-bincang dengan beliau beberapa saat, kemudian ia bangkit untuk pulang. Rasulullah ﷺ pun bangkit bersamanya mengantarnya. Ketika sampai di pintu masjid, dekat pintu rumah Ummu Salamah, lewatlah dua orang dari kaum Anshar. Mereka mengucapkan salam kepada Rasulullah ﷺ, lalu beliau berkata kepada mereka, ‘Perlahan, sesungguhnya ini adalah Shafiyyah binti Huyaiy.’ Mereka pun berkata, ‘Subhanallah, wahai Rasulullah!’ dan merasa sangat terkejut.” (HR. Bukhari) 6. Wanita diperbolehkan beri’tikaf di masjid selama aman dari fitnah, sebagaimana dalam hadis: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ “Nabi ﷺ beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga beliau wafat. Kemudian istri-istri beliau pun beri’tikaf setelahnya.” (HR. Bukhari No. 1886) *** 10. Malam Qadar (Lailatul Qadr) 10.1. Sebab Penamaannya Para ulama berselisih pendapat tentang sebab penamaan Lailatul Qadr dalam dua pendapat: 1. Pendapat pertama: Dinamakan Lailatul Qadr karena keagungan dan kemuliaannya. Keistimewaan ini disebabkan karena pada malam tersebut, Al-Qur’an diturunkan seluruhnya ke langit dunia, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Qadr. 2. Pendapat kedua: Dinamakan Lailatul Qadr karena pada malam tersebut, Allah menetapkan seluruh takdir, rezeki, dan ajal bagi setiap makhluk untuk tahun tersebut, kemudian disampaikan kepada para malaikat. Sebagaimana firman Allah: فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ “Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (QS. Ad-Dukhan: 4) (Lihat Al-I’lam bi Fawa’id ’Umdatil Ahkam karya Ibnu Al-Mulaqqin, 5/391-392). 10.2. Keutamaannya Cukuplah keutamaan Lailatul Qadr ditunjukkan dengan dua hal utama: 1. Malam yang lebih baik dari seribu bulan. Allah ﷻ berfirman: إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ۝ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ ۝ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ۝ “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al-Qadr: 1-3) 2. Malam ditetapkannya takdir tahunan. Pada malam tersebut, Allah menetapkan seluruh takdir, rezeki, dan ajal bagi setiap makhluk selama satu tahun, lalu disampaikan kepada para malaikat. Sebagaimana firman-Nya: إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ ۝ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ ۝ أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ ۝ رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ۝ “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi. Sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kamilah yang mengutus para rasul, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ad-Dukhan: 3-6) 10.3. Waktunya Para ulama sepakat bahwa Lailatul Qadr terjadi setiap tahun hingga hari Kiamat. (Lihat: I’lam bi Fawa’id Umdat al-Ahkam, 5/397). Namun, mereka berbeda pendapat dalam menentukan kapan tepatnya malam tersebut terjadi, hingga mencapai lima belas pendapat. (Lihat: I’lam bi Fawa’id Umdat al-Ahkam, 5/398-404). Pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah bahwa Lailatul Qadr terjadi pada malam-malam ganjil dalam sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. 10.4. Tanda-tandanya Rasulullah ﷺ memberikan beberapa tanda Lailatul Qadr agar umatnya dapat mengenali malam yang penuh kemuliaan ini. Di antara tanda-tandanya adalah: 1. Matahari Terbit Tidak Terik di Pagi Harinya Pada pagi harinya, matahari terbit dalam keadaan redup, tidak menyilaukan hingga meninggi. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Razi bin Hubaisy, yang bertanya kepada Ubai bin Ka‘ab: قُلْتُ بِأَيِّ شَيْءٍ تَقُولُ ذَلِكَ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ؟ قَالَ: بِالْعَلَامَةِ أَوْ بِالْآيَةِ الَّتِي أَخْبَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: أَنَّهَا تَطْلُعُ يَوْمَئِذٍ لَا شُعَاعَ لَهَا “Aku bertanya, ‘Apa dalilnya engkau menegaskan hal tersebut, wahai Abul Mundzir?’ Beliau menjawab, ‘Dengan tanda yang Rasulullah ﷺ kabarkan, yaitu matahari terbit pada pagi hari tersebut tanpa sinar yang terik.’” (HR. Muslim No. 1999) Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan: تُصْبِحُ الشَّمْسُ صَبِيحَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةِ مِثْلَ الطَّسْتِ لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ حَتَّى تَرْتَفِعَ “Matahari di pagi harinya (setelah Lailatul Qadr) seperti bejana besar, tidak memiliki cahaya yang terik hingga meninggi.” (HR. Abu Dawud No. 1170) 2. Malamnya Cerah dan Tenang Malam Lailatul Qadr dipenuhi ketenangan, tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلِقَةٌ لاَ حَارَّةَ وَلاَ بَارِدَةَ، تُصْبِحُ الشَّمْسُ صَبِيحَتِهَا ضَعِيْفَةً حَمْرَاءَ “Lailatul Qadr adalah malam yang cerah dan terang, tidak panas dan tidak pula dingin. Pagi harinya matahari terbit dalam keadaan redup kemerahan.” (HR. Ath-Thayalisi No. 349, Ibnu Khuzaimah 3/331, dan Al-Bazzar dengan sanad yang hasan. Lihat: Sifat Shaum Nabi, hal. 90) Sedangkan dalam riwayat Ibnu Khuzaimah disebutkan tanpa tambahan kata سَمْحَةٌ dan صَبِيْحَتِهَا, serta diganti dengan يوْمِهَا. (Lihat: Shahih Ibnu Khuzaimah 3/331-332). 10.5. Hikmah Disembunyikannya Waktu Lailatul Qadr Allah ﷻ merahasiakan waktu pasti terjadinya Lailatul Qadr agar manusia bersungguh-sungguh mencarinya dan memperbanyak ibadah di malam-malam terakhir bulan Ramadhan, dengan harapan dapat menjumpainya. Hal ini serupa dengan disembunyikannya waktu terjadinya kiamat dan kematian, agar manusia selalu berada dalam keadaan bersiap diri dengan amal kebaikan. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-I‘lam (5/407): “Hikmah disembunyikannya waktu malam ini adalah agar manusia bersungguh-sungguh mencarinya dengan harapan dapat menjumpainya. Hal ini seperti waktu terjadinya kiamat dan kematian.” *** 11. Zakat Fitrah Zakat Fitrah merupakan zakat yang disyariatkan dalam Islam berupa satu sha‘ (sekitar 2,5–3 kg) dari makanan pokok yang dikeluarkan oleh seorang muslim di akhir Ramadhan. Tujuan utama zakat ini adalah sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat berbuka setelah sebulan berpuasa serta sebagai penyempurna ibadah Ramadhan. Oleh karena itu, zakat ini dinamakan shadaqatul fitr atau Zakat Fitrah. (Fatawa Ramadhan, 2/901). 11.1. Hukumnya Zakat Fitrah adalah salah satu kewajiban yang dibebankan kepada setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, kecil atau besar, budak ataupun orang merdeka. Dalil-dalil yang mewajibkan Zakat Fitrah: 1. Hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ، وَأَمَرَ بِهَا قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ “Rasulullah ﷺ mewajibkan Zakat Fitrah sebanyak satu sha‘ dari kurma atau satu sha‘ dari gandum atas hamba sahaya, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil, maupun orang dewasa dari kaum muslimin. Dan beliau memerintahkan agar Zakat Fitrah ini ditunaikan sebelum orang-orang keluar untuk shalat (Idulfitri).”(HR. Al-Bukhari dan Muslim) 2. Hadits Abu Sa‘id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu: كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَانِ النَّبِيِّ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ “Dahulu, di zaman Nabi ﷺ, kami menunaikan Zakat Fitrah sebanyak satu sha‘ dari makanan, satu sha‘ dari kurma, satu sha‘ dari gandum, atau satu sha‘ dari kismis (anggur kering).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) 3. Penafsiran ayat dalam Surah Al-A‘la ayat 14 قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى “Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan dirinya.” (QS. Al-A‘la: 14) Sa‘id bin Al-Musayyib dan Umar bin Abdul Aziz menafsirkan ayat ini sebagai kewajiban Zakat Fitrah. 4. Ijma‘ Ulama Ibnu Qudamah rahimahullah menukil dari Ibnul Mundzir rahimahullah bahwa telah terjadi ijma‘ (kesepakatan) di kalangan para ulama mengenai kewajiban Zakat Fitrah. “Para ahli ilmu telah sepakat bahwa Zakat Fitrah adalah wajib.” (Al-Mughni, 3/80) 11.2. Hikmah Zakat Fitrah Zakat Fitrah memiliki banyak hikmah dan manfaat, baik secara spiritual maupun sosial. Di antara hikmah tersebut adalah: 1. Sebagai zakat bagi tubuh Zakat Fitrah merupakan bentuk syukur atas nikmat kehidupan yang Allah berikan selama satu tahun. 2. Memberikan kemudahan bagi seluruh kaum muslimin Zakat Fitrah tidak hanya bermanfaat bagi yang miskin, tetapi juga memberikan kemudahan bagi yang kaya, karena dapat menyucikan hartanya dan mendatangkan keberkahan. 3. Sebagai ungkapan rasa syukur Menunaikan Zakat Fitrah merupakan wujud syukur atas nikmat Allah, terutama setelah menjalani ibadah puasa selama bulan Ramadhan. 4. Menyempurnakan kebahagiaan di hari raya Dengan adanya Zakat Fitrah, kebahagiaan hari Idulfitri dapat dirasakan oleh seluruh umat Islam, termasuk kaum fakir miskin, sehingga tidak ada yang merasa kekurangan pada hari kemenangan tersebut. 5. Sebagai makanan bagi fakir miskin dan penyucian bagi orang yang berpuasa Zakat Fitrah membantu meringankan beban orang-orang miskin serta menyucikan orang yang berpuasa dari kekurangan atau dosa kecil yang mungkin dilakukan selama Ramadhan. Dalilnya adalah sabda Rasulullah ﷺ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللَّهِ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِيْنَ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنَ “Rasulullah ﷺ mewajibkan Zakat Fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perkataan sia-sia dan perbuatan keji, serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi. Hadis ini dinilai hasan oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (6/126), Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (3/50), dan Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil (3/333)). 11.3. Jenis yang Boleh Dikeluarkan untuk Zakat Fitrah dan Penerimanya 1. Jenis yang Boleh Dikeluarkan Zakat Fitrah harus dikeluarkan dalam bentuk makanan pokok yang biasa dikonsumsi oleh penduduk setempat, sesuai dengan pendapat yang lebih kuat dan disepakati oleh para ulama berdasarkan hadis-hadis yang ada. Sebagaimana disebutkan dalam Fatawa Ramadhan (2/914), jenis makanan yang boleh dikeluarkan antara lain: • Kurma • Gandum • Beras • Sagu • Jagung • Makanan pokok lain yang biasa dikonsumsi oleh penduduk negeri tersebut Para ulama melarang mengganti Zakat Fitrah dengan uang, daging, atau barang lain yang bukan makanan pokok. (Fatawa Ramadhan 2/916-927). Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa Zakat Fitrah harus berupa makanan, karena zakat ini bertujuan untuk memberikan kecukupan kepada fakir miskin pada hari raya. Allah berfirman: مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ أَهْلِيْكُمْ “Dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu.” (QS. Al-Ma’idah: 89) Nabi ﷺ juga telah mewajibkan Zakat Fitrah sebanyak satu sha’ dari kurma atau gandum, karena itulah makanan pokok penduduk Madinah. Jika makanan pokok mereka berbeda, maka Nabi ﷺ tidak membebani mereka untuk mengeluarkan sesuatu yang bukan makanan pokok mereka. Zakat Fitrah memiliki kesamaan dengan kafarat (denda) yang juga berhubungan dengan badan, sehingga wajib dikeluarkan dalam bentuk makanan, bukan dalam bentuk uang seperti zakat harta. 2. Penerima Zakat Fitrah Penerima Zakat Fitrah adalah fakir dan miskin saja, sebagaimana dalil dari sabda Rasulullah ﷺ: فَرَضَ رَسُوْلُ الله زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِيْنَ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنَ “Rasulullah ﷺ mewajibkan Zakat Fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perkataan sia-sia dan perbuatan keji, serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi). 11.4. Ukuran Zakat Fitrah Ukuran Zakat Fitrah yang harus dikeluarkan adalah satu sha’ sebagaimana yang disebutkan dalam hadis-hadis sebelumnya. Satu sha’ ini memiliki takaran yang berbeda menurut perhitungan para ulama: • Syaikh Ibnu Baz: ± 3 kg beras (Fatawa Ramadhan 2/915, 2/926). • Sebagian ulama: 2,275 kg. • Syaikh Ibnu Utsaimin: 2,45 kg. • Di Indonesia: Umumnya digunakan 2,5 kg. Mengambil takaran yang lebih besar lebih baik, agar lebih meyakinkan dalam menunaikan kewajiban ini dan memberi manfaat lebih bagi fakir miskin. 11.5. Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah Waktu terbaik untuk mengeluarkan Zakat Fitrah adalah sebelum shalat Idulfitri, sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Ibnu Abbas: فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ فَزَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَصَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَةِ “Barang siapa yang menunaikannya sebelum manusia keluar untuk shalat, maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barang siapa yang menunaikannya setelah shalat, maka itu hanya sedekah biasa.” (HR. Abu Dawud). • Waktu utama: Sebelum shalat Idulfitri. • Boleh dikeluarkan lebih awal: 1-2 hari sebelum Idulfitri, sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Umar. • Tidak boleh setelah shalat Id: Jika diberikan setelah shalat, maka hanya dianggap sebagai sedekah biasa, bukan sebagai Zakat Fitrah. Namun, jika ada udzur seperti lupa atau keterlambatan yang tidak disengaja, Zakat Fitrah tetap harus dikeluarkan walaupun setelah shalat Idulfitri. (Fatawa Ramadhan 2/931-935). Hukum mengeluarkan Zakat Fitrah di awal Ramadhan Menurut pendapat yang lebih kuat, Zakat Fitrah tidak boleh dikeluarkan di awal bulan Ramadhan. Hal ini ditegaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (Fatawa Ramadhan 2/935). Penutup Demikianlah pembahasan mengenai Zakat Fitrah. Semoga bermanfaat bagi kita semua dalam menunaikan kewajiban ini dengan benar sesuai tuntunan syariat. Ma’had Ibnu Abbas, Beku, Kliwonan, Masaran 14 Sya’ban 1446 H Penulis: Kholid bin Syamhudi 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 933 times, 1 visit(s) today Post Views: 689 QRIS donasi Yufid


Bulan Ramadhan hampir tiba. Kaum Muslimin pun menyambutnya dengan penuh harap dan kebahagiaan. Bagaimana tidak? Bulan yang penuh berkah dan keutamaan ini adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an, yang menjadi petunjuk bagi manusia menuju kebahagiaan dan keselamatan di dunia serta akhirat. Maka tak heran jika kaum Muslimin menyambutnya dengan suka cita. Demikianlah Allah memberikan keutamaan kepada bulan ini yang tidak dimiliki oleh bulan-bulan lainnya. 1. Keutamaan Bulan Ramadhan Keutamaan bulan Ramadhan sangat jelas dibandingkan bulan lainnya. Namun, kiranya masih perlu dipaparkan secara ringkas untuk menjadi motivasi bagi kaum Muslimin dalam beramal saleh. Di antara keutamaan tersebut adalah: a. Bulan Ramadhan adalah bulan Al-Qur’an Al-Qur’an diturunkan pada bulan ini, sebagaimana firman Allah: شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia serta penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, hendaklah dia berpuasa.” (QS. Al-Baqarah: 185) Dalam ayat ini, bulan Ramadhan disebut sebagai bulan turunnya Al-Qur’an. Kemudian, pernyataan tersebut diikuti dengan perintah yang diawali dengan huruf fa (فَ) dalam firman-Nya: فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ (Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir di bulan itu, hendaklah dia berpuasa). Huruf ini berfungsi menunjukkan makna sebab dan alasan. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu sebab utama diwajibkannya puasa di bulan Ramadhan adalah karena bulan ini merupakan waktu turunnya Al-Qur’an. b. Setan dibelenggu, pintu neraka ditutup, dan pintu surga dibuka Dalam bulan ini, Allah membelenggu para setan, menutup pintu-pintu neraka, serta membuka pintu-pintu surga. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: إِذَا جَاءَ رَمَضانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النِيْرَانِ، وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ “Jika datang bulan Ramadhan, dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka, serta dibelenggu para setan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Oleh karena itu, kita dapati bahwa dalam bulan ini kejahatan dan kerusakan di bumi berkurang. Hal ini disebabkan oleh kesibukan kaum Muslimin dalam berpuasa, membaca Al-Qur’an, serta melaksanakan berbagai ibadah lainnya, serta karena para setan dibelenggu sehingga tidak sebebas bulan-bulan lainnya dalam menyesatkan manusia. c. Terdapat malam yang lebih baik daripada seribu bulan Di dalam bulan Ramadhan terdapat satu malam yang dinamakan Lailatul Qadar, yaitu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah: إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.” (QS. Al-Qadr: 1–3) Melihat berbagai keutamaan ini, sudah selayaknya seorang Muslim lebih bersemangat dalam menyambut bulan Ramadhan dengan mempersiapkan diri sebaik mungkin agar dapat meraih keberkahannya. (Diringkas dari Sifat Shaum an-Nabi karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali dan Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid, cetakan keenam tahun 1417 H / 1997 M, penerbit Al-Maktabah Al-Islamiyah, Amman, Yordania, hal. 18–20). *** 2. Persiapan Menghadapi Ramadhan Di antara hal yang harus dipersiapkan seorang Muslim dalam menyambut bulan yang mulia ini adalah: a. Menghitung Bulan Sya’ban Salah satu bentuk persiapan menyambut Ramadhan adalah memperhatikan hitungan bulan Sya’ban. Dalam kalender Islam, satu bulan terdiri dari 29 atau 30 hari. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ لَيْلَةً، فَلا َتَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ “Satu bulan itu 29 malam. Maka janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal). Jika kalian terhalang (dari melihatnya), maka genapkanlah 30 hari.” (HR. Al-Bukhari) Dari hadits ini, jelas bahwa puasa Ramadhan tidak boleh dimulai kecuali setelah melihat hilal. Oleh karena itu, mengetahui hitungan bulan Sya’ban menjadi penting untuk memastikan kapan Ramadhan dimulai. b. Melihat Hilal Ramadhan (Ru’yah) Islam menetapkan bahwa permulaan bulan Ramadhan ditentukan dengan ru’yah (melihat hilal). Ini adalah satu-satunya cara yang disyariatkan dalam agama, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama. Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ (6/289-290) dan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (3/27) menjelaskan bahwa metode ini adalah ketetapan dalam syariat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Kita sudah mengetahui secara pasti bahwa Islam menetapkan amal berdasarkan ru’yah hilal, baik dalam puasa, haji, masa iddah, atau hukum-hukum lain yang berkaitan dengan hilal. Adapun bersandar pada perhitungan astronomi (hisab), baik seseorang melihat hilal atau tidak, maka hal itu tidak diperbolehkan.”(Majmu’ Al-Fatawa, 25/132) Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah juga menyatakan: “Tidak boleh bersandar kepada hisab dalam menentukan awal Ramadhan.” (Ihkamul Ahkam dalam Al-I’lam bi Fawa’id Umdatul Ahkam, 5/179) Pernyataan ini telah menjadi kesepakatan para ulama terdahulu. Adapun munculnya pendapat yang membolehkan hisab baru terjadi setelah tahun 300 Hijriyah. Sebagian ulama belakangan berpendapat bahwa jika langit tertutup mendung, seseorang yang ahli dalam ilmu hisab boleh menggunakannya untuk dirinya sendiri. Namun, pendapat ini tetap tidak berlaku secara umum bagi umat Islam. (Majmu’ Al-Fatawa, 25/133). Dalil-Dalil Tentang Ru’yah Hilal Banyak hadits yang menegaskan bahwa penentuan awal Ramadhan harus berdasarkan ru’yah hilal, di antaranya: 1. Hadits Ibnu Umar Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Rasulullah ﷺ bersabda: “Satu bulan itu 29 malam. Maka janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya), maka genapkanlah 30 hari.” (HR. Al-Bukhari) 2. Hadits Abu Hurairah Rasulullah ﷺ bersabda: صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ “Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah (Idul Fitri) karena melihatnya. Jika (hilal) tertutup mendung, maka sempurnakanlah hitungan Sya’ban menjadi 30 hari.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) 3. Hadits ‘Adi bin Hatim Rasulullah ﷺ bersabda: إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فَصُوْمُوْا ثَلاَثِيْنَ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا الْهِلاَلَ قَبْلَ ذَلِكَ “Jika telah datang bulan Ramadhan, maka berpuasalah 30 hari, kecuali kalian telah melihat hilal sebelumnya.” (HR. Ath-Thahawi dan Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, 17/171, dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil, no. 901) Persaksian Seorang Muslim yang Adil Penentuan awal Ramadhan dapat ditetapkan berdasarkan kesaksian seorang Muslim yang adil. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma: تَرَاءَى النَّاسُ اْلِهلاَلَ فأَخْبَرْتُ النَّبي أَنِّيْ رَأَيْتُهُ فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ “Manusia sedang mencari hilal, lalu aku memberitahu Nabi bahwa aku telah melihatnya. Maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.” (HR. Abu Dawud, Ad-Darimi, Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi) *** 3. Amalan di Bulan Ramadhan Setelah terlihat hilal atau sempurna bulan Sya’ban, maka masuk dan datanglah bulan Ramadhan. Kaum Muslimin mulai melakukan berbagai amal shalih di malam dan siang Ramadhan. Di antara amalan yang dilakukan seorang Muslim adalah: 1. Qiyam Ramadhan (Shalat Tarawih) Shalat tarawih disyariatkan pada malam-malam bulan Ramadhan, baik dilakukan secara berjamaah maupun sendiri. Selain itu, ibadah ini memiliki keutamaan besar yang dapat memotivasi seorang Muslim untuk melaksanakannya. 1.1. Keutamaannya Qiyam Ramadhan adalah menegakkan malam-malam Ramadhan dengan ibadah shalat. Amalan ini memiliki beberapa keutamaan bagi pelakunya, yaitu: a. Mendapat pengampunan dari Allah Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “Barang siapa yang menegakkan (malam-malam) bulan Ramadhan dengan keimanan dan mengharap ridha Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Lalu Rasulullah ﷺ meninggal dunia dalam keadaan perintah tersebut (shalat Tarawih berjamaah) masih berlaku. Demikian pula pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan pertengahan kekhalifahan Umar bin Khattab, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Muslim. b. Mendapat keutamaan shiddiqin dan syuhada Sebagaimana hadits dari ‘Amr bin Murrah yang berbunyi: جَاءَ رَجُلٌ مِنْ قُضَاعَةَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ ﷺ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ شَهِدْتُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنَّكَ رَسُوْلُ اللهِ وَصَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ وَصُمْتُ الشَّهْرَ وَقُمْتُ رَمَضَانَ وَآتَيْتُ الزَّكَاةَ؟ فَقاَلَ النَّبِيُّ ﷺ: مَنْ مَاتَ عَلَى هَذَا كَانَ مِنَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ “Datang kepada Rasulullah ﷺ seorang laki-laki dari Bani Qudha’ah, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku telah bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa engkau adalah utusan-Nya, aku mendirikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menegakkan malam-malam Ramadhan, dan aku menunaikan zakat?’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Barang siapa yang meninggal dalam keadaan seperti ini, dia termasuk dalam (golongan) shiddiqin dan orang-orang yang syahid.’” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih keduanya, serta selainnya, dengan sanad yang sahih). 1.2. Pensyariatan Qiyam Ramadhan (Shalat Tarawih) dengan Berjamaah Disyariatkan melaksanakan qiyam Ramadhan secara berjamaah. Bahkan, berjamaah lebih utama dibandingkan melakukannya sendirian, karena Rasulullah ﷺ telah melaksanakannya dan menjelaskan keutamaannya. Sebagaimana dalam hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu: صُمْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنَ الشَّهْرِ حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ، فَلَمَّا كَانَتِ السَّادِسَةُ لَمْ يَقُمْ بِنَا، فَلَمَّا كَانَتِ الْخَامِسَةُ قَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، لَوْ نَفَّلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ اللَّيْلَةِ، فَقَالَ: «إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ»، فَلَمَّا كَانَتِ الرَّابِعَةُ لَمْ يَقُمْ، فَلَمَّا كَانَتِ الثَّالِثَةُ جَمَعَ أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ وَالنَّاسَ، فَقَامَ بِنَا حَتَّى خَشِينَا أَنْ يَفُوتَنَا الْفَلَاحُ. قَالَ: قُلْتُ: مَا الْفَلَاحُ؟ قَالَ: السَّحُورُ، ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بَقِيَّةَ الشَّهْرِ. “Kami berpuasa bersama Rasulullah ﷺ di bulan Ramadhan. Beliau tidak melaksanakan qiyam (shalat tarawih) bersama kami sepanjang bulan itu, kecuali ketika tersisa tujuh hari. Saat itu, beliau berdiri (shalat tarawih) bersama kami hingga berlalu sepertiga malam. Pada malam keenam (tanggal 24), beliau tidak shalat bersama kami. Kemudian pada malam kelima (tanggal 25), beliau kembali shalat bersama kami hingga berlalu setengah malam. Aku berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, seandainya engkau menambah shalat pada malam ini.’ Maka beliau menjawab, ‘Sesungguhnya jika seseorang shalat bersama imamnya hingga selesai, maka dicatat baginya pahala qiyamul lail sepanjang malam.’ Pada malam keempat (tanggal 26), beliau tidak shalat bersama kami. Pada malam ketiga (tanggal 27), beliau mengumpulkan keluarga, istri-istri, serta orang-orang, lalu menegakkan shalat bersama kami hingga kami khawatir kehilangan kemenangan.’ Aku bertanya, ‘Apa kemenangan itu?’ Abu Dzar menjawab, ‘Sahur.’ Kemudian beliau tidak menegakkannya lagi setelah itu.” (HR. Ash-habus Sunan) Namun, Rasulullah ﷺ tidak terus-menerus melaksanakannya secara berjamaah karena khawatir hal itu akan diwajibkan atas kaum Muslimin sehingga mereka tidak mampu mengerjakannya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang diriwayatkan dalam Shahihain: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ خَرَجَ لَيْلَةً فِيْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِيْ الْمَسْجِدِ وَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلاَتِهِ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوْا، فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّى فَصَلَّوْا مَعَهُ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوْا، فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ، فَخَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ، فَلَمَّا كَانَتِ الَّليْلَةُ الرَّاِبِعَةُ عَجِزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ، حَتَّى خَرَجَ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ، فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ: “أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ، وَلَكِنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوْا عَنْهَا”. فَتُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ وَالأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ. “Bahwasanya Rasulullah ﷺ keluar pada suatu malam di pertengahan malam, lalu beliau shalat di masjid. Beberapa orang pun ikut shalat dengan beliau. Keesokan paginya, orang-orang membicarakan hal itu, maka semakin banyak yang berkumpul pada malam berikutnya. Rasulullah ﷺ kembali shalat, dan mereka ikut shalat bersamanya. Kemudian keesokan harinya, pembicaraan tentang itu semakin meluas, sehingga pada malam ketiga jumlah orang yang hadir semakin banyak. Rasulullah ﷺ keluar dan shalat bersama mereka. Namun, pada malam keempat, masjid tidak mampu menampung jamaahnya hingga beliau keluar untuk shalat Subuh. Setelah menyelesaikan shalat Subuh, beliau menghadap manusia, lalu bertasyahud dan bersabda, ‘Amma ba’du, sungguh aku mengetahui keberadaan kalian. Namun, aku khawatir jika shalat ini diwajibkan atas kalian, lalu kalian tidak mampu melaksanakannya.’ Lalu Rasulullah ﷺ wafat dan perkara tersebut tetap dalam keadaan tidak berjamaah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Sebab tidak dilaksanakannya qiyam Ramadhan (shalat Tarawih) secara berjamaah ini hilang setelah wafatnya Rasulullah ﷺ, karena dengan wafatnya beliau, agama ini telah sempurna. Oleh karena itu, amalan ini tetap disyariatkan meskipun tidak dikerjakan secara berjamaah oleh Rasulullah ﷺ karena kekhawatiran beliau. Kemudian, amalan ini dihidupkan kembali oleh Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pada masa kekhalifahannya. Pensyariatan shalat tarawih berjamaah ini juga berlaku bagi wanita. Bahkan, diperbolehkan bagi mereka untuk memiliki imam khusus, sebagaimana dilakukan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengangkat Ubay bin Ka’b sebagai imam bagi laki-laki dan Sulaiman bin Abu Hatsmah sebagai imam bagi wanita. Demikian pula Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang memerintahkan kaum Muslimin untuk shalat tarawih berjamaah dan mengangkat seorang imam bagi laki-laki serta Urfuzah ats-Tsaqafi sebagai imam bagi wanita. (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi). 1.3. Jumlah Rakaatnya Jumlah rakaat shalat Tarawih yang lebih rajih (kuat) adalah 11 rakaat, insyaallah. Namun, boleh juga kurang atau lebih dari itu, karena Rasulullah ﷺ tidak membatasi jumlah rakaatnya maupun panjang bacaannya secara khusus. 1.4. Waktunya Waktu pelaksanaan shalat Tarawih dimulai setelah shalat Isya hingga terbit fajar Subuh. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ: إِنَّ اللَّهَ زَادَكُمْ صَلاَةً، وَهِيَ الْوِتْرُ، فَصَلُّوْهَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ “Sesungguhnya Allah telah menambahkan bagi kalian satu shalat, yaitu Witir. Maka, kerjakanlah shalat itu di antara shalat Isya hingga shalat Fajar.” (HR. Ahmad dari Abu Bashrah, dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Qiyam Ramadhan hal. 26). Shalat malam yang dilakukan di akhir malam lebih utama, bagi siapa saja yang mampu bangun pada waktu tersebut. Rasulullah ﷺ bersabda: مَنْ خَافَ أَنْ لَا يَقُوْمَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوْتِرْ أَوَّلَهُ، وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُوْمَ آخِرَهُ فَلْيُوْتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ، فَإِنَّ صَلاَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُوْدَةٌ، وَذَلِكَ أَفْضَلُ “Barang siapa khawatir tidak bisa bangun di akhir malam, maka hendaklah ia berwitir di awal malam. Namun, barang siapa berharap dapat bangun di akhir malam, maka hendaklah ia berwitir di akhir malam. Karena shalat di akhir malam itu disaksikan (oleh malaikat), dan itulah yang lebih utama.” (HR. Muslim). Namun, jika ada shalat Tarawih berjamaah di awal malam, maka lebih utama mengikuti shalat berjamaah dibandingkan shalat sendirian di akhir malam. 1.5. Rincian Rakaat Shalat Tarawih Adapun shalat Tarawih yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ memiliki beberapa rincian sebagai berikut: 13 rakaat dengan perincian: shalat 2 rakaat-2 rakaat, lalu ditutup dengan 1 rakaat witir. 13 rakaat dengan perincian: 8 rakaat dengan salam pada setiap dua rakaat, lalu ditambah 5 rakaat witir yang dilakukan tanpa duduk dan salam, kecuali di rakaat kelima. 11 rakaat dengan perincian: shalat 2 rakaat-2 rakaat, lalu ditutup dengan 1 rakaat witir. 11 rakaat dengan perincian: shalat 8 rakaat tanpa duduk kecuali di rakaat kedelapan, lalu bertasyahud dan bershalawat, kemudian berdiri tanpa salam. Setelah itu, dilanjutkan dengan 1 rakaat witir dan salam, lalu ditambah 2 rakaat dalam posisi duduk. 9 rakaat dengan perincian: shalat 6 rakaat tanpa duduk kecuali di rakaat keenam, lalu bertasyahud dan bershalawat tanpa salam. Kemudian, berdiri untuk shalat witir 1 rakaat dan salam, lalu ditambah 2 rakaat dalam posisi duduk. 1.6. Qunut Setelah selesai membaca surat dan sebelum rukuk, Rasulullah ﷺ kadang-kadang berqunut. Namun, boleh juga dilakukan setelah rukuk. 1.7. Bacaan Setelah Witir Apabila telah selesai dari shalat witir, hendaklah membaca: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ Pada bacaan yang ketiga, dianjurkan untuk memanjangkan suara dan meninggikannya. *** 2. Puasa Setelah melaksanakan shalat Tarawih di malam hari, seorang muslim bersiap menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. 2.1. Definisi Puasa 2.1.1. Definisi Secara Bahasa Ash-Shiyām (الصِّيَامُ) dalam bahasa Arab bermakna ‘menahan diri’, sebagaimana firman Allah: إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا “Aku telah bernazar kepada Tuhan Yang Maha Pengasih untuk berpuasa (menahan diri dari berbicara).” (QS. Maryam: 26) 2.1.2. Definisi Secara Istilah Syariat Secara istilah syariat, puasa adalah “Menahan diri dengan niat ibadah dari hal-hal yang membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari.” (Lihat Taisīr Al-Fiqh karya Dr. Shalih bin Ghanim as-Sadlân, cetakan kedua, 1417 H/1997 M, tanpa penerbit, hlm. 79) 2.2. Kewajiban Puasa di Bulan Ramadhan Puasa Ramadhan adalah ibadah yang diwajibkan oleh Allah atas kaum mukminin dan merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Kewajibannya telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak kaum muslimin. a. Dalil dari Al-Qur’an Allah berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183) b. Dalil dari As-Sunnah 1. Dari Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَىٰ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَائِرَ الرَّأْسِ، فَقَالَ: أَخْبِرْنِي بِمَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنَ الصِّيَامِ؟ فَقَالَ: رَمَضَانَ إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا “Seorang Arab pedalaman datang kepada Rasulullah ﷺ dalam keadaan kusut rambutnya, lalu ia berkata, ‘Beritahukan kepadaku, puasa apa yang diwajibkan atas diriku?’ Rasulullah ﷺ menjawab, ‘Puasa Ramadhan, kecuali jika engkau ingin menambah (puasa sunnah).’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) 2. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda: بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَىٰ خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللَّهِ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ “Islam dibangun di atas lima perkara: syahadat bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah, dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) c. Dalil dari Ijmak Kaum Muslimin Kaum muslimin telah sepakat sejak dahulu hingga sekarang bahwa puasa Ramadhan adalah kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat. *** 2.3. Keutamaan Puasa Puasa adalah salah satu ibadah yang mendekatkan seorang hamba kepada Allah. Di dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah ﷺ, banyak disebutkan keutamaan puasa, di antaranya: a. Puasa Termasuk Amalan yang Mendapat Ampunan dan Pahala Besar Allah ﷻ berfirman: إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35) Allah ﷻ juga berfirman: وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ “Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 184) b. Puasa Adalah Perisai dari Syahwat dan Neraka Rasulullah ﷺ bersabda: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang telah memiliki kemampuan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah, karena pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Namun, barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu adalah benteng baginya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas‘ud) Hadits ini menunjukkan bahwa puasa dapat mengekang syahwat dan memperlemahnya. Oleh karena itu, puasa menjadi perisai seorang muslim dari hawa nafsu dan syahwat yang dapat menyeretnya ke neraka. Rasulullah ﷺ juga bersabda: مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا بَاعَدَ اللَّهُ بِذَٰلِكَ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا “Tidaklah seorang hamba berpuasa satu hari di jalan Allah, melainkan Allah akan menjauhkan wajahnya dari api neraka sejauh perjalanan tujuh puluh tahun.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa‘id Al-Khudri) c. Puasa Mengantarkan ke Surga Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah ﷺ, ‘Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku satu amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga.’” Maka beliau menjawab: عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ، لَا مِثْلَ لَهُ “Hendaklah engkau berpuasa, karena tidak ada amalan yang sebanding dengannya.” (HR. An-Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, sanadnya sahih) d. Orang yang Berpuasa Mendapatkan Dua Kebahagiaan Rasulullah ﷺ bersabda: قَالَ اللَّهُ: كُلُّ عَمَلِ بَنِي آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ، وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ، لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا: إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ، وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ “Allah berfirman, ‘Setiap amal anak Adam untuknya, kecuali puasa, karena itu adalah untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.’ Puasa itu perisai. Jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah ia berkata kotor dan jangan pula bertengkar. Jika ada seseorang yang mencacinya atau mengajaknya berkelahi, hendaklah ia mengatakan, ‘Aku sedang berpuasa.’ Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada wangi misik. Orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabbnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Dalam hadits ini juga terdapat dua keutamaan lainnya: 1. Pahala orang yang berpuasa dilipatgandakan. 2. Bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada wangi misik. e. Orang yang Berpuasa Memiliki Pintu Khusus di Surga. Rasulullah ﷺ bersabda: إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ: الرَّيَّانُ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ، فَلَمْ يَدْخُلْ أَحَدٌ مِنْهُ “Sesungguhnya di dalam surga terdapat satu pintu yang disebut Ar-Rayyan. Pada hari kiamat, hanya orang-orang yang berpuasa yang masuk melalui pintu itu. Tidak ada seorang pun selain mereka yang boleh memasukinya. Jika mereka telah masuk, pintu itu ditutup, sehingga tidak ada lagi yang dapat masuk melaluinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa‘id Al-Khudri) (Diringkas dari Sifat Saum An-Nabi Hal 11-17). *** 1.4. Amalan-Amalan yang Berhubungan dengan Puasa 1. Niat Ketika bulan Ramadhan telah tiba, setiap muslim wajib berniat untuk berpuasa pada malam harinya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ: مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ “Barang siapa yang tidak berniat puasa sebelum fajar, maka tiada baginya puasa itu.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan Al-Baihaqi dari Hafshah binti Umar) Niat tempatnya di hati, sementara melafalkannya termasuk dalam perbuatan bid’ah. Kewajiban berniat pada malam hari ini berlaku khusus untuk puasa wajib, seperti puasa Ramadhan dan puasa nazar. 2. Waktu Puasa Waktu berpuasa dimulai dari terbit fajar subuh hingga terbenam matahari. Hal ini sebagaimana firman Allah ﷻ: وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ “Dan makan dan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah: 186) Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa terdapat dua jenis fajar: a. Fajar Kazib (Fajar Palsu) Cahaya putih yang menjulang secara vertikal di langit seperti ekor serigala. Pada saat ini, masih diperbolehkan makan, minum, dan tidak boleh melaksanakan salat Subuh. b. Fajar Shadiq (Fajar Sejati) Cahaya kemerahan yang menyebar secara horizontal di ufuk. Saat ini, makan dan minum harus dihentikan, dan salat Subuh sudah dapat dilakukan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah ﷺ: الفَجْرُ فَجْرَانِ: فَأَمَّا الأَوَّلُ فَإِنَّهُ لاَ يَحْرُمُ الطَّعَامُ وَلاَ يَحِلُّ الصَّلاَة، وَأَمَّا الثَّانِي فَإِنَّهُ يَحْرُمُ الطَّعَامُ وَيَحِلُّ الصَّلاَةَ “Fajar itu ada dua. Adapun yang pertama, maka masih boleh makan dan tidak boleh melaksanakan salat. Sedangkan yang kedua, maka makanan diharamkan dan salat diperbolehkan.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Al-Hakim, Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi dengan sanad sahih) Untuk mengenali perbedaannya, fajar pertama berbentuk cahaya putih yang menjulang ke atas, sedangkan fajar kedua berwarna kemerahan dan menyebar ke ufuk timur, menerangi gunung, lembah, dan bangunan. Ketika fajar shadiq telah tampak, maka makan, minum, dan hubungan suami istri harus dihentikan. 3. Kesalahan dalam Menentukan Waktu Imsak Di beberapa tempat, terdapat kebiasaan mengadakan waktu imsak sekitar 10–15 menit sebelum waktu fajar dengan anggapan sebagai langkah kehati-hatian. Namun, kebiasaan ini tidak ada tuntunannya dalam syariat dan bertentangan dengan sunnah Rasulullah ﷺ. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata: “Termasuk bid’ah mungkar adalah mengadakan azan kedua sekitar sepertiga jam sebelum fajar di bulan Ramadhan, lalu mematikan lampu-lampu sebagai tanda untuk menghentikan makan dan minum, dengan persangkaan bahwa hal itu adalah bentuk kehati-hatian. Padahal, hal itu tidak diketahui kecuali dari segelintir orang saja. Hal ini justru menyebabkan mereka mengakhirkan berbuka puasa dan mempercepat sahur, yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah ﷺ. Akibatnya, sedikit sekali kebaikan mereka dan lebih banyak keburukan yang menimpa mereka.” (Fathul Bari, 4/199) Oleh karena itu, yang benar adalah tetap makan dan minum hingga fajar shadiq benar-benar muncul. 4. Waktu Berbuka Puasa Puasa berakhir saat matahari terbenam. Rasulullah ﷺ bersabda: إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَهُنَا، وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَهُنَا، وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ “Jika malam telah datang dari arah sini, siang telah pergi dari arah sana, dan matahari telah terbenam, maka orang yang berpuasa telah berbuka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Tanda masuknya waktu berbuka adalah: 1. Matahari benar-benar telah tenggelam di ufuk barat dan tidak ada lagi bagian bulatannya yang tampak. 2. Mulainya kegelapan dari arah timur, yang dapat dilihat dengan mata telanjang tanpa perlu alat bantu seperti teleskop. *** 3. Sahur 3.1. Hikmah Sahur Setelah mewajibkan puasa dengan hukum dan waktu yang sama seperti yang berlaku bagi umat-umat sebelumnya, Allah mensyariatkan sahur bagi kaum Muslimin sebagai pembeda antara puasa mereka dan puasa umat terdahulu. Rasulullah ﷺ bersabda: فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحُوْرِ “Yang membedakan antara puasa kita dengan puasa Ahli Kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim) 3.2. Keutamaan Sahur Di antara keutamaan sahur adalah sebagai berikut: 1. Sahur Mengandung Berkah Rasulullah ﷺ bersabda: إِنَّهَا بَرَكَةٌ أَعْطَاكُمُ الله إِيَّاهَا فَلاَ تَدَعُوْهُ “Sesungguhnya sahur adalah berkah yang diberikan Allah kepada kalian, maka janganlah kalian meninggalkannya.” (HR. An-Nasa’i dan Ahmad, dengan sanad yang sahih) Berkahnya sahur dapat dilihat dari beberapa aspek, di antaranya: • Menjalankan sunnah Rasulullah ﷺ. • Menguatkan fisik dalam menjalankan ibadah puasa. • Menambah semangat dalam beribadah. • Mengandung unsur menyelisihi kebiasaan Ahli Kitab. 2. Orang yang Bersahur Mendapat Salawat dari Allah dan Malaikat Dalam hadits Abu Sa‘id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda: السَحُوْرُ أَكْلَةُ اْلْبَرَكَةِ، فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنَ الْمَاءِ، فَإِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ “Sahur adalah makanan yang penuh berkah, maka janganlah kalian tinggalkan, walaupun salah seorang dari kalian hanya meneguk seteguk air. Karena sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat atas orang-orang yang bersahur.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Ahmad) 3.3. Sunnah Mengakhirkan Sahur Disunnahkan untuk mengakhirkan sahur hingga mendekati waktu fajar, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ، قُلْتُ: كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسُّحُوْرِ؟ قَالَ: قَدْرُ خَمْسِيْنَ آيَةً “Kami bersahur bersama Rasulullah ﷺ, kemudian beliau berdiri untuk melaksanakan salat. Aku bertanya, ‘Berapa lama jarak antara azan dan sahur?’ Beliau menjawab, ‘Sekitar 50 ayat (bacaan Al-Qur’an).’” (HR. Bukhari dan Muslim) 3.4. Hukum Sahur Sahur merupakan sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) berdasarkan dalil-dalil berikut: a. Perintah Rasulullah ﷺ untuk Bersahur Di antara perintah beliau ﷺ adalah sabda berikut: تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِيْ السَّحُوْرِ بَرَكَةً “Bersahurlah, karena dalam sahur terdapat berkah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadits ini menunjukkan anjuran kuat dari Rasulullah ﷺ untuk makan sahur, karena mengandung keberkahan bagi yang melaksanakannya. b. Larangan Rasulullah ﷺ untuk Meninggalkan Sahur Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Sa‘id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu yang telah dikutip sebelumnya, Rasulullah ﷺ melarang meninggalkan sahur. Oleh karena itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fath Al-Bari (3/139) menyebutkan adanya ijmak (kesepakatan ulama) atas kesunnahan sahur. *** 4. Perkara-Perkara yang Membatalkan Puasa Dalam puasa, terdapat beberapa perkara yang dapat merusaknya. Seorang yang berpuasa wajib menjauhi hal-hal berikut selama siang hari: a. Makan dan minum dengan sengaja Sebagaimana firman Allah: وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ “Dan makanlah serta minumlah kalian hingga jelas bagi kalian benang putih siang dari benang hitam malam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah: 186) b. Muntah dengan sengaja c. Haid dan nifas d. Injeksi yang mengandung zat makanan (infus) e. Bersetubuh Selain perkara yang membatalkan puasa, ada pula hal-hal yang harus dihindari oleh orang yang berpuasa, di antaranya: 1. Berkata Bohong Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda: مَنْ لَمْ َيدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَ الْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ أَنْ َيدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dengannya, maka Allah tidak butuh dengan usahanya meninggalkan makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari) 2. Berbuat Sia-Sia dan Kejahatan Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda: لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّراَبِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، فَإِنْ سَابَكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ إِنِّيْ صَائِمٌ إِنِّيْ صَائِمٌ “Puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga dari perkataan sia-sia dan perbuatan keji. Jika seseorang mencacimu atau berbuat buruk kepadamu, katakanlah: ‘Saya sedang berpuasa, saya sedang berpuasa.’” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim) *** 5. Perkara-Perkara yang Dibolehkan Terdapat beberapa perkara yang sering dianggap membatalkan puasa, padahal sebenarnya diperbolehkan, di antaranya: a. Orang yang Junub hingga Waktu Fajar Sebagaimana disebutkan dalam hadis Aisyah dan Ummu Salamah, keduanya berkata: كَانَ رَسُولُ اللهِ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ اغْتَسَلَ وَيَصُوْمُ “Sesungguhnya Nabi ﷺ mendapati fajar (waktu subuh) dalam keadaan junub dari keluarganya, kemudian beliau mandi dan tetap berpuasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) b. Bersiwak c. Berkumur dan Memasukkan Air ke Hidung saat Bersuci d. Bersentuhan dan Berciuman bagi Orang yang Berpuasa Hal ini diperbolehkan, namun dimakruhkan bagi orang yang masih berusia muda karena dikhawatirkan menjerumuskan kepada hal yang membatalkan puasa. e. Injeksi yang Tidak Mengandung Zat Makanan f. Berbekam g. Mencicipi Makanan Selama tidak sampai masuk ke tenggorokan, mencicipi makanan diperbolehkan. h. Memakai Celak dan Tetes Mata i. Menyiram Kepala dengan Air Dingin dan Mandi *** 6. Orang-Orang yang Dibolehkan Tidak Berpuasa Sesungguhnya Islam adalah agama yang penuh kemudahan. Oleh karena itu, syariat memberikan keringanan bagi orang-orang tertentu yang mengalami kesulitan atau tidak mampu berpuasa. Mereka adalah: 1. Musafir (Orang yang Bepergian) Musafir diperkenankan untuk memilih antara tetap berpuasa atau berbuka sebagai bentuk rahmat dari Allah. Sebagaimana firman-Nya: وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185) Demikian pula Rasulullah ﷺ pernah ditanya tentang puasa bagi musafir, sebagaimana dalam hadis Hamzah bin Amru Al-Aslami: أَنَّ حَمْزَةَ بْنَ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيَّ قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَأَصُومُ فِي السَّفَرِ وَكَانَ كَثِيرَ الصِّيَامِ فَقَالَ إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ “Sesungguhnya Hamzah bin Amru Al-Aslami bertanya kepada Rasulullah ﷺ, ‘Apakah saya berpuasa dalam perjalanan?’ Hamzah adalah seorang yang banyak berpuasa. Lalu Rasulullah ﷺ menjawab, ‘Jika kamu mau, berpuasalah. Jika kamu mau, berbukalah.’” (Muttafaqun ’alaih) 2. Orang yang Sakit Dibolehkan bagi orang sakit untuk berbuka sebagai bentuk rahmat dari Allah. Namun, dengan ketentuan bahwa sakitnya akan bertambah parah, membahayakan dirinya, atau memperlambat kesembuhannya jika tetap berpuasa. (Lihat Sifat Shaum Nabi karya Syaikh Salim dan Ali Hasan, hlm. 59) 3. Wanita yang Haid atau Nifas Para ulama telah bersepakat (ijma’) bahwa wanita yang sedang haid atau nifas dilarang berpuasa. Namun, mereka wajib mengqadha puasanya di hari lain setelah suci. 4. Orang Lanjut Usia yang Lemah Orang yang sudah tua dan tidak lagi mampu berpuasa diperbolehkan berbuka. Sebagai gantinya, mereka wajib memberi makan satu orang miskin setiap hari. Sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Abbas: “Orang yang sudah tua, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak mampu berpuasa maka keduanya harus memberi makan seorang miskin setiap harinya.” (HR. Al-Bukhari, no. 4505) 5. Wanita Hamil atau Menyusui Wanita hamil atau menyusui juga diberikan keringanan untuk tidak berpuasa jika mereka khawatir akan kesehatan diri mereka atau bayinya. *** 7. Berbuka Puasa 7.1. Waktu Berbuka Waktu berbuka puasa adalah saat matahari terbenam. Hal ini telah dijelaskan dalam pembahasan tentang waktu puasa sebelumnya. Rasulullah ﷺ berbuka sebelum melaksanakan salat Magrib, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. 7.2. Mempercepat Berbuka Puasa Termasuk dalam sunnah puasa adalah menyegerakan berbuka. Hal ini dilakukan dalam rangka meneladani Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya. Amr bin Maimun Al-Audi berkata: “Para sahabat Muhammad ﷺ adalah orang-orang yang paling cepat berbuka dan paling lambat makan sahur.” (HR. Abdurrazzaq dalam Al-Musannaf, no. 7591, dengan sanad yang disahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 4/199) Adapun manfaat dari menyegerakan berbuka puasa adalah sebagai berikut: 1. Mendapatkan Kebaikan Sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’d, Rasulullah ﷺ bersabda: لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ “Manusia akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) 2. Menjalankan Sunnah Nabi ﷺ Mempercepat berbuka merupakan bagian dari tuntunan Rasulullah ﷺ yang senantiasa beliau lakukan dan ajarkan kepada umatnya. 3. Menyelisihi Ahli Kitab Sebagaimana disebutkan dalam hadis Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda: لَا يَزَالُ الدِّينُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ، لِأَنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُونَهُ “Agama ini akan senantiasa menang selama kaum Muslimin menyegerakan berbuka puasa, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mengakhirkannya.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban dengan sanad hasan) Berbuka puasa dilakukan sebelum salat Magrib, karena demikianlah akhlak para nabi. Rasulullah ﷺ menganjurkan berbuka dengan kurma, dan jika tidak ada kurma, maka cukup dengan air. Hal ini menunjukkan kasih sayang dan perhatian beliau terhadap umatnya. Setelah berbuka, beliau langsung melaksanakan salat Magrib. 7.3. Makanan untuk Berbuka Tidak ada ketentuan khusus mengenai jenis makanan yang harus dikonsumsi saat berbuka puasa. Namun, Rasulullah ﷺ memiliki kebiasaan mendahulukan ruthab (kurma basah) ketika berbuka, sebagaimana dikisahkan oleh Anas bin Malik: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَتَمَرَاتٌ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَمَرَاتٌ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ “Nabi ﷺ berbuka sebelum salat dengan ruthab (kurma basah), jika tidak ada maka dengan tamr (kurma kering), dan jika tidak ada, beliau minum seteguk air.” (HR. Ahmad 3/163, Abu Dawud 2/306, dan At-Tirmidzi 3/70) 7.4. Doa Berbuka Puasa Disyariatkan bagi orang yang berpuasa untuk membaca doa ketika berbuka, sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash: “Sesungguhnya orang yang berpuasa memiliki doa yang tidak tertolak ketika berbuka.” (HR. Ibnu Majah 1753, Al-Hakim 1/422, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib 2/148) Adapun doa berbuka puasa yang ma’tsur dari Rasulullah ﷺ adalah: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ “Nabi ﷺ apabila berbuka, beliau membaca: ‘ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ.’” (HR. Abu Dawud 2/306 dengan sanad hasan) *** 8. Adab Orang yang Berpuasa Disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk beradab dengan adab-adab yang syar’i, di antaranya: 1. Memperlambat sahur (telah dijelaskan sebelumnya). 2. Mempercepat berbuka puasa (telah dijelaskan sebelumnya). 3. Berdoa ketika berpuasa dan saat berbuka (telah dijelaskan sebelumnya). 4. Menahan diri dari perkara-perkara yang merusak puasa (telah dijelaskan sebelumnya). 5. Bersiwak. 6. Berderma dan tadarus Al-Qur’an. 7. Bersungguh-sungguh dalam beribadah, khususnya pada sepuluh hari terakhir. *** 9. I’tikaf 9.1. Makna I’tikaf I’tikaf berasal dari bahasa Arab yang berarti berdiam diri pada sesuatu. Kata ini digunakan dalam konteks ibadah dengan makna tinggal dan menetap di masjid untuk beribadah serta mendekatkan diri kepada Allah. Orang yang melakukan i’tikaf disebut mu’takif atau ‘aakif. 9.2. Hikmah I’tikaf Ibnul Qayyim berkata: “Ketika perbaikan dan keistiqamahan hati dalam berjalan menuju Allah bergantung pada konsentrasinya terhadap Allah dan kesatuan kekuatannya dalam menghadap-Nya secara penuh, maka jika hati terpecah, ia tidak dapat disatukan kecuali dengan menghadapkan diri kepada Allah. Padahal, kelebihan makan dan minum, terlalu banyak bergaul dengan manusia, banyak bicara, dan tidur yang berlebihan justru akan membuat hati berantakan, memporak-porandakannya, serta memutus, melemahkan, atau mengganggu perjalanan hati menuju Allah.” “Karena itu, rahmat Allah kepada hamba-Nya menetapkan syariat puasa, yang dapat menghilangkan kelebihan makan dan minum serta mengosongkan hati dari berbagai syahwat yang menghalangi perjalanan menuju-Nya. Allah mensyariatkan puasa sesuai dengan kemaslahatan yang bermanfaat bagi hamba, baik di dunia maupun di akhirat, tanpa mengganggu urusan duniawinya.” “Kemudian, Allah juga mensyariatkan i’tikaf, yang tujuan dan intinya adalah agar hati seseorang benar-benar menghadap Allah, menyatukan fokusnya, berkhulwah dengan-Nya, serta menghilangkan kesibukan dengan makhluk sehingga hanya sibuk menghadap Allah semata.” 9.3. Pensyariatannya I’tikaf disyariatkan dalam firman Allah: أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالْئَانَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, serta makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam, tetapi janganlah kamu mencampuri mereka ketika kamu sedang beri’tikaf di masjid. Itulah batasan-batasan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 187) Selain dalam Al-Qur’an, pensyariatan i’tikaf juga dijelaskan dalam hadis-hadis Nabi ﷺ. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ’anha: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ “Nabi ﷺ beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat. Kemudian, istri-istri beliau beri’tikaf setelahnya.” (HR. Al-Bukhari No. 1886) I’tikaf adalah ibadah yang disunnahkan, baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan, dengan atau tanpa didahului puasa. Namun, yang paling utama adalah i’tikaf di bulan Ramadhan, terutama pada sepuluh hari terakhir, sebagaimana disebutkan dalam hadis berikut: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوْسَطِ مِنْ رَمَضَانَ فَاعْتَكَفَ عَامًا حَتَّى إِذَا كَانَ لَيْلَةَ إِحْدَى وَعِشْرِينَ وَهِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي يَخْرُجُ مِنْ صَبِيحَتِهَا مِنْ اعْتِكَافِهِ قَالَ مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفْ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ dahulu beri’tikaf pada sepuluh hari pertengahan Ramadhan, kemudian beliau beri’tikaf di tahun tersebut hingga malam ke-21. Pada malam itu, beliau keluar dari i’tikafnya dan bersabda: ‘Barang siapa yang beri’tikaf bersamaku, hendaklah ia beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir.’” (HR. Al-Bukhari No. 1887) Selain itu, i’tikaf juga disyariatkan melalui perintah Nabi ﷺ kepada Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu dalam hadis berikut: عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْفِ بِنَذْرِكَ فَاعْتَكَفَ لَيْلَةً “Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu, ia berkata: ‘Wahai Rasulullah, dahulu pada masa jahiliyah aku pernah bernazar untuk beri’tikaf satu malam di Masjidil Haram.’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Tunaikan nazarmu.’ Lalu Umar pun beri’tikaf satu malam.” (HR. Al-Bukhari No. 2042, Muslim No. 1656) 9.4. Syarat dan Tempatnya I’tikaf hanya boleh dilakukan di masjid dan tidak boleh dilakukan di tempat selainnya. Seorang yang beri’tikaf juga tidak boleh keluar dari masjid kecuali karena keperluan mendesak atau darurat, seperti buang hajat, makan jika tidak ada yang mengantarkan makanan, atau keadaan darurat lainnya. Dalilnya adalah firman Allah: وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ “Janganlah kamu mencampuri mereka (istri-istrimu) ketika kamu sedang beri’tikaf di masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187) 9.5. Hal-hal yang Diperbolehkan dalam I’tikaf 1. Boleh keluar dari masjid karena hajat dan boleh juga mengeluarkan kepala dari masjid untuk dicuci atau disisir. Aisyah radhiyallahu ’anha berkata: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اعْتَكَفَ يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ “Nabi ﷺ jika beri’tikaf mengeluarkan kepalanya kepada saya, lalu saya sisir. Dan beliau tidak keluar kecuali untuk hajat (keperluan).” (HR. Muslim) 2. Dibolehkan berwudu di dalam masjid. 3. Boleh membuat kemah kecil atau bilik dari kain di bagian belakang masjid sebagai tempat i’tikaf, sebagaimana Aisyah radhiyallahu ’anha membuat kemah kecil untuk Nabi ﷺ saat beliau beri’tikaf. 4. Dibolehkan meletakkan kasur atau dipan dalam i’tikaf, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma: “Dari Nabi ﷺ, bahwa beliau jika beri’tikaf disiapkan atau diletakkan kasur atau dipan di belakang tiang Taubah.” (Hadis ini sanadnya hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Zawaaid Sunannya). 5. Boleh mengantar istri yang mengunjungi ke masjid sampai ke pintu masjid, sebagaimana dalam hadis: أَنَّ صَفِيَّةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَهَا يَقْلِبُهَا حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ بَابَ الْمَسْجِدِ عِنْدَ بَابِ أُمِّ سَلَمَةَ مَرَّ رَجُلَانِ مِنْ الْأَنْصَارِ فَسَلَّمَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّمَا هِيَ صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ فَقَالَا سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَبُرَ عَلَيْهِمَا Dari Shafiyyah radhiyallahu ’anha, beliau berkata bahwa ia datang mengunjungi Nabi ﷺ ketika beliau sedang beri’tikaf di sepuluh akhir Ramadhan. Lalu ia berbincang-bincang dengan beliau beberapa saat, kemudian ia bangkit untuk pulang. Rasulullah ﷺ pun bangkit bersamanya mengantarnya. Ketika sampai di pintu masjid, dekat pintu rumah Ummu Salamah, lewatlah dua orang dari kaum Anshar. Mereka mengucapkan salam kepada Rasulullah ﷺ, lalu beliau berkata kepada mereka, ‘Perlahan, sesungguhnya ini adalah Shafiyyah binti Huyaiy.’ Mereka pun berkata, ‘Subhanallah, wahai Rasulullah!’ dan merasa sangat terkejut.” (HR. Bukhari) 6. Wanita diperbolehkan beri’tikaf di masjid selama aman dari fitnah, sebagaimana dalam hadis: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ “Nabi ﷺ beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga beliau wafat. Kemudian istri-istri beliau pun beri’tikaf setelahnya.” (HR. Bukhari No. 1886) *** 10. Malam Qadar (Lailatul Qadr) 10.1. Sebab Penamaannya Para ulama berselisih pendapat tentang sebab penamaan Lailatul Qadr dalam dua pendapat: 1. Pendapat pertama: Dinamakan Lailatul Qadr karena keagungan dan kemuliaannya. Keistimewaan ini disebabkan karena pada malam tersebut, Al-Qur’an diturunkan seluruhnya ke langit dunia, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Qadr. 2. Pendapat kedua: Dinamakan Lailatul Qadr karena pada malam tersebut, Allah menetapkan seluruh takdir, rezeki, dan ajal bagi setiap makhluk untuk tahun tersebut, kemudian disampaikan kepada para malaikat. Sebagaimana firman Allah: فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ “Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (QS. Ad-Dukhan: 4) (Lihat Al-I’lam bi Fawa’id ’Umdatil Ahkam karya Ibnu Al-Mulaqqin, 5/391-392). 10.2. Keutamaannya Cukuplah keutamaan Lailatul Qadr ditunjukkan dengan dua hal utama: 1. Malam yang lebih baik dari seribu bulan. Allah ﷻ berfirman: إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ۝ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ ۝ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ۝ “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al-Qadr: 1-3) 2. Malam ditetapkannya takdir tahunan. Pada malam tersebut, Allah menetapkan seluruh takdir, rezeki, dan ajal bagi setiap makhluk selama satu tahun, lalu disampaikan kepada para malaikat. Sebagaimana firman-Nya: إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ ۝ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ ۝ أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ ۝ رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ۝ “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi. Sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kamilah yang mengutus para rasul, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ad-Dukhan: 3-6) 10.3. Waktunya Para ulama sepakat bahwa Lailatul Qadr terjadi setiap tahun hingga hari Kiamat. (Lihat: I’lam bi Fawa’id Umdat al-Ahkam, 5/397). Namun, mereka berbeda pendapat dalam menentukan kapan tepatnya malam tersebut terjadi, hingga mencapai lima belas pendapat. (Lihat: I’lam bi Fawa’id Umdat al-Ahkam, 5/398-404). Pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah bahwa Lailatul Qadr terjadi pada malam-malam ganjil dalam sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. 10.4. Tanda-tandanya Rasulullah ﷺ memberikan beberapa tanda Lailatul Qadr agar umatnya dapat mengenali malam yang penuh kemuliaan ini. Di antara tanda-tandanya adalah: 1. Matahari Terbit Tidak Terik di Pagi Harinya Pada pagi harinya, matahari terbit dalam keadaan redup, tidak menyilaukan hingga meninggi. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Razi bin Hubaisy, yang bertanya kepada Ubai bin Ka‘ab: قُلْتُ بِأَيِّ شَيْءٍ تَقُولُ ذَلِكَ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ؟ قَالَ: بِالْعَلَامَةِ أَوْ بِالْآيَةِ الَّتِي أَخْبَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: أَنَّهَا تَطْلُعُ يَوْمَئِذٍ لَا شُعَاعَ لَهَا “Aku bertanya, ‘Apa dalilnya engkau menegaskan hal tersebut, wahai Abul Mundzir?’ Beliau menjawab, ‘Dengan tanda yang Rasulullah ﷺ kabarkan, yaitu matahari terbit pada pagi hari tersebut tanpa sinar yang terik.’” (HR. Muslim No. 1999) Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan: تُصْبِحُ الشَّمْسُ صَبِيحَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةِ مِثْلَ الطَّسْتِ لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ حَتَّى تَرْتَفِعَ “Matahari di pagi harinya (setelah Lailatul Qadr) seperti bejana besar, tidak memiliki cahaya yang terik hingga meninggi.” (HR. Abu Dawud No. 1170) 2. Malamnya Cerah dan Tenang Malam Lailatul Qadr dipenuhi ketenangan, tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلِقَةٌ لاَ حَارَّةَ وَلاَ بَارِدَةَ، تُصْبِحُ الشَّمْسُ صَبِيحَتِهَا ضَعِيْفَةً حَمْرَاءَ “Lailatul Qadr adalah malam yang cerah dan terang, tidak panas dan tidak pula dingin. Pagi harinya matahari terbit dalam keadaan redup kemerahan.” (HR. Ath-Thayalisi No. 349, Ibnu Khuzaimah 3/331, dan Al-Bazzar dengan sanad yang hasan. Lihat: Sifat Shaum Nabi, hal. 90) Sedangkan dalam riwayat Ibnu Khuzaimah disebutkan tanpa tambahan kata سَمْحَةٌ dan صَبِيْحَتِهَا, serta diganti dengan يوْمِهَا. (Lihat: Shahih Ibnu Khuzaimah 3/331-332). 10.5. Hikmah Disembunyikannya Waktu Lailatul Qadr Allah ﷻ merahasiakan waktu pasti terjadinya Lailatul Qadr agar manusia bersungguh-sungguh mencarinya dan memperbanyak ibadah di malam-malam terakhir bulan Ramadhan, dengan harapan dapat menjumpainya. Hal ini serupa dengan disembunyikannya waktu terjadinya kiamat dan kematian, agar manusia selalu berada dalam keadaan bersiap diri dengan amal kebaikan. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-I‘lam (5/407): “Hikmah disembunyikannya waktu malam ini adalah agar manusia bersungguh-sungguh mencarinya dengan harapan dapat menjumpainya. Hal ini seperti waktu terjadinya kiamat dan kematian.” *** 11. Zakat Fitrah Zakat Fitrah merupakan zakat yang disyariatkan dalam Islam berupa satu sha‘ (sekitar 2,5–3 kg) dari makanan pokok yang dikeluarkan oleh seorang muslim di akhir Ramadhan. Tujuan utama zakat ini adalah sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat berbuka setelah sebulan berpuasa serta sebagai penyempurna ibadah Ramadhan. Oleh karena itu, zakat ini dinamakan shadaqatul fitr atau Zakat Fitrah. (Fatawa Ramadhan, 2/901). 11.1. Hukumnya Zakat Fitrah adalah salah satu kewajiban yang dibebankan kepada setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, kecil atau besar, budak ataupun orang merdeka. Dalil-dalil yang mewajibkan Zakat Fitrah: 1. Hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ، وَأَمَرَ بِهَا قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ “Rasulullah ﷺ mewajibkan Zakat Fitrah sebanyak satu sha‘ dari kurma atau satu sha‘ dari gandum atas hamba sahaya, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil, maupun orang dewasa dari kaum muslimin. Dan beliau memerintahkan agar Zakat Fitrah ini ditunaikan sebelum orang-orang keluar untuk shalat (Idulfitri).”(HR. Al-Bukhari dan Muslim) 2. Hadits Abu Sa‘id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu: كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَانِ النَّبِيِّ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ “Dahulu, di zaman Nabi ﷺ, kami menunaikan Zakat Fitrah sebanyak satu sha‘ dari makanan, satu sha‘ dari kurma, satu sha‘ dari gandum, atau satu sha‘ dari kismis (anggur kering).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) 3. Penafsiran ayat dalam Surah Al-A‘la ayat 14 قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى “Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan dirinya.” (QS. Al-A‘la: 14) Sa‘id bin Al-Musayyib dan Umar bin Abdul Aziz menafsirkan ayat ini sebagai kewajiban Zakat Fitrah. 4. Ijma‘ Ulama Ibnu Qudamah rahimahullah menukil dari Ibnul Mundzir rahimahullah bahwa telah terjadi ijma‘ (kesepakatan) di kalangan para ulama mengenai kewajiban Zakat Fitrah. “Para ahli ilmu telah sepakat bahwa Zakat Fitrah adalah wajib.” (Al-Mughni, 3/80) 11.2. Hikmah Zakat Fitrah Zakat Fitrah memiliki banyak hikmah dan manfaat, baik secara spiritual maupun sosial. Di antara hikmah tersebut adalah: 1. Sebagai zakat bagi tubuh Zakat Fitrah merupakan bentuk syukur atas nikmat kehidupan yang Allah berikan selama satu tahun. 2. Memberikan kemudahan bagi seluruh kaum muslimin Zakat Fitrah tidak hanya bermanfaat bagi yang miskin, tetapi juga memberikan kemudahan bagi yang kaya, karena dapat menyucikan hartanya dan mendatangkan keberkahan. 3. Sebagai ungkapan rasa syukur Menunaikan Zakat Fitrah merupakan wujud syukur atas nikmat Allah, terutama setelah menjalani ibadah puasa selama bulan Ramadhan. 4. Menyempurnakan kebahagiaan di hari raya Dengan adanya Zakat Fitrah, kebahagiaan hari Idulfitri dapat dirasakan oleh seluruh umat Islam, termasuk kaum fakir miskin, sehingga tidak ada yang merasa kekurangan pada hari kemenangan tersebut. 5. Sebagai makanan bagi fakir miskin dan penyucian bagi orang yang berpuasa Zakat Fitrah membantu meringankan beban orang-orang miskin serta menyucikan orang yang berpuasa dari kekurangan atau dosa kecil yang mungkin dilakukan selama Ramadhan. Dalilnya adalah sabda Rasulullah ﷺ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللَّهِ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِيْنَ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنَ “Rasulullah ﷺ mewajibkan Zakat Fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perkataan sia-sia dan perbuatan keji, serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi. Hadis ini dinilai hasan oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (6/126), Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (3/50), dan Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil (3/333)). 11.3. Jenis yang Boleh Dikeluarkan untuk Zakat Fitrah dan Penerimanya 1. Jenis yang Boleh Dikeluarkan Zakat Fitrah harus dikeluarkan dalam bentuk makanan pokok yang biasa dikonsumsi oleh penduduk setempat, sesuai dengan pendapat yang lebih kuat dan disepakati oleh para ulama berdasarkan hadis-hadis yang ada. Sebagaimana disebutkan dalam Fatawa Ramadhan (2/914), jenis makanan yang boleh dikeluarkan antara lain: • Kurma • Gandum • Beras • Sagu • Jagung • Makanan pokok lain yang biasa dikonsumsi oleh penduduk negeri tersebut Para ulama melarang mengganti Zakat Fitrah dengan uang, daging, atau barang lain yang bukan makanan pokok. (Fatawa Ramadhan 2/916-927). Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa Zakat Fitrah harus berupa makanan, karena zakat ini bertujuan untuk memberikan kecukupan kepada fakir miskin pada hari raya. Allah berfirman: مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ أَهْلِيْكُمْ “Dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu.” (QS. Al-Ma’idah: 89) Nabi ﷺ juga telah mewajibkan Zakat Fitrah sebanyak satu sha’ dari kurma atau gandum, karena itulah makanan pokok penduduk Madinah. Jika makanan pokok mereka berbeda, maka Nabi ﷺ tidak membebani mereka untuk mengeluarkan sesuatu yang bukan makanan pokok mereka. Zakat Fitrah memiliki kesamaan dengan kafarat (denda) yang juga berhubungan dengan badan, sehingga wajib dikeluarkan dalam bentuk makanan, bukan dalam bentuk uang seperti zakat harta. 2. Penerima Zakat Fitrah Penerima Zakat Fitrah adalah fakir dan miskin saja, sebagaimana dalil dari sabda Rasulullah ﷺ: فَرَضَ رَسُوْلُ الله زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِيْنَ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنَ “Rasulullah ﷺ mewajibkan Zakat Fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perkataan sia-sia dan perbuatan keji, serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi). 11.4. Ukuran Zakat Fitrah Ukuran Zakat Fitrah yang harus dikeluarkan adalah satu sha’ sebagaimana yang disebutkan dalam hadis-hadis sebelumnya. Satu sha’ ini memiliki takaran yang berbeda menurut perhitungan para ulama: • Syaikh Ibnu Baz: ± 3 kg beras (Fatawa Ramadhan 2/915, 2/926). • Sebagian ulama: 2,275 kg. • Syaikh Ibnu Utsaimin: 2,45 kg. • Di Indonesia: Umumnya digunakan 2,5 kg. Mengambil takaran yang lebih besar lebih baik, agar lebih meyakinkan dalam menunaikan kewajiban ini dan memberi manfaat lebih bagi fakir miskin. 11.5. Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah Waktu terbaik untuk mengeluarkan Zakat Fitrah adalah sebelum shalat Idulfitri, sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Ibnu Abbas: فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ فَزَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَصَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَةِ “Barang siapa yang menunaikannya sebelum manusia keluar untuk shalat, maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barang siapa yang menunaikannya setelah shalat, maka itu hanya sedekah biasa.” (HR. Abu Dawud). • Waktu utama: Sebelum shalat Idulfitri. • Boleh dikeluarkan lebih awal: 1-2 hari sebelum Idulfitri, sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Umar. • Tidak boleh setelah shalat Id: Jika diberikan setelah shalat, maka hanya dianggap sebagai sedekah biasa, bukan sebagai Zakat Fitrah. Namun, jika ada udzur seperti lupa atau keterlambatan yang tidak disengaja, Zakat Fitrah tetap harus dikeluarkan walaupun setelah shalat Idulfitri. (Fatawa Ramadhan 2/931-935). Hukum mengeluarkan Zakat Fitrah di awal Ramadhan Menurut pendapat yang lebih kuat, Zakat Fitrah tidak boleh dikeluarkan di awal bulan Ramadhan. Hal ini ditegaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (Fatawa Ramadhan 2/935). Penutup Demikianlah pembahasan mengenai Zakat Fitrah. Semoga bermanfaat bagi kita semua dalam menunaikan kewajiban ini dengan benar sesuai tuntunan syariat. Ma’had Ibnu Abbas, Beku, Kliwonan, Masaran 14 Sya’ban 1446 H Penulis: Kholid bin Syamhudi 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 933 times, 1 visit(s) today Post Views: 689 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Apakah Bekam Membatalkan Puasa?

Daftar Isi Toggle Perbedaan pendapat para ulamaPendapat yang lebih kuat dan alasannyaPertama: Hadis sahih yang jelasKedua: Lemahnya hadis berbekamnya Rasulullah ketika beliau sedang berpuasaFatwa Lajnah Da’imah – Bekam dan Fashd bagi orang yang berpuasa Bekam merupakan salah satu metode pengobatan yang telah dikenal sejak zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Secara istilah, bekam adalah “suatu metode pengobatan dan perawatan dengan menggunakan alat bekam (mihjam).” [1] Syekh Muhammad Ath-Thayyar ketika mendefinisikan bekam, beliau mengatakan, الحجامة: هي شرط ظاهر الجلد المتصل قصدًا لإخراج الدم من الجسد دون العروق. “Bekam adalah membuat sayatan pada permukaan kulit secara sengaja untuk mengeluarkan darah dari tubuh tanpa mengenai pembuluh darah.” [2] Terkait dengan puasa, sering muncul pertanyaan apakah bekam membatalkan puasa atau tidak. Masalah ini telah menjadi bahan diskusi di kalangan ulama sejak dahulu dan memiliki berbagai pendapat berdasarkan dalil yang berbeda-beda. Artikel ini akan mengulas pendapat para ulama mengenai bekam dan pengaruhnya terhadap keabsahan puasa, serta membahas pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan ini. Perbedaan pendapat para ulama Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hukum bekam saat berpuasa. Jumhur ulama, dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, berpendapat bahwa bekam tidak membatalkan puasa, baik bagi orang yang membekam (hajim) maupun orang yang dibekam (mahjum), tetapi mereka umumnya memakruhkannya. Sedangkan Hanabilah berpendapat bahwasanya bekam membatalkan puasa. [3] Ibnu Qudamah Al-Hambali rahimahullah mengatakan, أنَّ الحِجَامَةَ يُفْطِرُ بها الحاجِمُ والمَحْجُومُ “Bekam membatalkan puasa bagi orang yang membekam (hajim) dan orang yang dibekam (mahjum).” Kemudian, beliau menyebutkan para ulama yang sependapat dengan beliau dalam masalah ini. Setelah itu, beliau mengatakan, وقال مالِكٌ، والثَّوْرِيُّ، وأبو حنيفةَ، والشَّافِعِيُّ: يجوزُ لِلصَّائِمِ أن يَحْتَجِمَ، ولا يُفْطرُ؛ لما رَوَى البُخَارِيُّ، عن ابنِ عَبَّاسٍ، أنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم احْتَجَمَ وهو صَائِمٌ. ولأنَّه دَمٌ خَارِجٌ من البَدَنِ، أشْبَهَ الفَصْدَ. “Malik, Ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi’i berpendapat bahwa orang yang berpuasa boleh melakukan bekam dan puasanya tetap sah. Mereka berdalil dengan riwayat Bukhari, dari Ibnu Abbas, ‘Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berbekam dalam keadaan berpuasa.’ Selain itu, mereka berdalil bahwa bekam mengeluarkan darah dari tubuh, sehingga serupa dengan fashd.“ [4] Baca juga: Bisa Batal Puasa Karena Niat? Pendapat yang lebih kuat dan alasannya Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa bekam membatalkan puasa. Di antara alasan kuat terpilihnya pendapat ini adalah: Pertama: Hadis sahih yang jelas Dalam sebuah hadis yang sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَفْطَرَ الحَاجِمُ وَالمَحْجُومُ “Orang yang membekam dan yang dibekam telah berbuka (batal puasanya).” (HR. Ahmad dalam Musnad no. 8413, Abu Dawud no. 2020, At-Tirmidzi no. 705, dan Ibnu Majah no. 1669. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani.) [5] Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan, رَوَاهُ عن النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أحَدَ عَشَرَ نَفْسًا، قال أحمدُ: حَدِيثُ شَدَّادِ بن أوْسٍ مِن أصَحِّ حَدِيثٍ يُرْوَى في هذا البابِ “Hadis ini diriwayatkan oleh sebelas orang sahabat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Imam Ahmad berkata, ‘Hadis dari Syaddad bin Aus adalah salah satu hadis paling sahih dalam bab ini.’ ” [6] Hadis sahih ini menunjukkan dengan jelas bahwa berbekam dikategorikan sebagai pembatal puasa. [7] Kedua: Lemahnya hadis berbekamnya Rasulullah ketika beliau sedang berpuasa Mereka berdalil dengan hadis dari Ibnu Abbas yang menyatakan, احتجم رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو صائم “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam dalam keadaan berpuasa.” Namun, hadis ini diperselisihkan keabsahannya. Hadis ini dilemahkan oleh Imam Ahmad, Yahya Al-Qaththan, dan ulama lainnya. Alasan kelemahannya adalah karena para perawi terpercaya dari Ibnu Abbas, yaitu Atha’, Thawus, dan Said bin Jubair, meriwayatkannya dengan lafaz, احتجم رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو محرم “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam dalam keadaan berihram.” Meskipun dalam riwayat Ayyub dari Ikrimah dari Ibnu Abbas disebutkan bahwa Nabi berbekam dalam keadaan berpuasa, namun riwayat ini dikoreksi oleh perawi lain seperti Khalid Al-Hadza’, Hisyam bin Hassan, dan Hilal, yang semuanya meriwayatkan dengan lafaz, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dalam keadaan berihram.” Selain itu, terdapat jalur riwayat lain yang menyebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam dalam keadaan berpuasa, tetapi tidak sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. [8] Fatwa Lajnah Da’imah – Bekam dan Fashd bagi orang yang berpuasa Pertanyaan: Apakah orang yang membekam (hajim) dan yang dibekam (mahjum) di siang hari bulan Ramadan batal puasanya? Jika batal, apakah mereka harus mengganti puasanya? Mohon penjelasan. Jawaban: يفطر الحاجم والمحجوم، وعليهما الإمساك والقضاء؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: «أفطر الحاجم والمحجوم » “Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya, dan mereka wajib menahan diri (imsak) selama sisa hari tersebut serta mengganti (qada) puasanya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Orang yang membekam dan yang dibekam telah berbuka (batal puasanya).’ ” [9] Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua. Amin. Baca juga: Ketika Berubah Pendapat Terkait Pembatal Puasa, Wajibkah Mengganti Puasa? *** Rumdin PPIA Sragen, 15 Sya’ban 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad. Al-Fiqh Al-Muyassar: Qism Al-‘Ibadat. Edisi keempat. Riyadh: Madarul Wathan, 1439 H/2018 M. Halawah, Muhammad bin Ali. Al-Jāmi‘ Al-‘Ām fī Fiqh As-Siyām (Dirāsah Fiqhiyyah Hadītsiyyah Muqāranah). Edisi kedua. Diterbitkan oleh Mustafa bin Al-‘Adawi. Al-Sharqiyyah, Mesir: Maktabah Al-‘Ulūm wa Al-Hikam, 1433 H/2013 M. 585 halaman. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (17 Ramadan 1445 H), sesuai nomor cetakan. Ibn Qudāmah Al-Maqdisī, Muwaffaq Ad-Dīn Abū Muḥammad ‘Abdullāh bin Aḥmad bin Muḥammad. Al-Mughnī. Tahqiq: Dr. ‘Abdullāh bin ‘Abd Al-Muḥsin At-Turkī dan Dr. ‘Abd Al-Fattāḥ Muḥammad Al-Ḥulū. Edisi ketiga. Riyadh: Dār ‘Ālam Al-Kutub, 1417 H/1997 M. 15 jilid (jilid terakhir berisi indeks). Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (21 Dzulhijjah 1441 H), sesuai nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] At-Ta‘rifat Al-Fiqhiyyah, hal. 76. [2] Al-Fiqh Al-Muyassar, 3: 55. [3] Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 17: 15-16; Al-Fiqh Al-Muyassar, 3: 55. [4] Lihat Al-Mughni, 4: 350-351. [5] Irwa’ Al-Ghalil, jilid 4, no. 931. [6] Al-Mughni, 4: 351. [7] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 3: 57; dan Jalsat Ramadhaniyyah, karya Syekh Al-‘Utsaimin, 15: 12. [8] Lihat Al-Jami’ Al-‘Am fi Fiqh As-Siyam, hal. 164. [9] Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah – Al-Majmu’ah Al-Ula, 10: 261, Fatwa no. 11917.

Apakah Bekam Membatalkan Puasa?

Daftar Isi Toggle Perbedaan pendapat para ulamaPendapat yang lebih kuat dan alasannyaPertama: Hadis sahih yang jelasKedua: Lemahnya hadis berbekamnya Rasulullah ketika beliau sedang berpuasaFatwa Lajnah Da’imah – Bekam dan Fashd bagi orang yang berpuasa Bekam merupakan salah satu metode pengobatan yang telah dikenal sejak zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Secara istilah, bekam adalah “suatu metode pengobatan dan perawatan dengan menggunakan alat bekam (mihjam).” [1] Syekh Muhammad Ath-Thayyar ketika mendefinisikan bekam, beliau mengatakan, الحجامة: هي شرط ظاهر الجلد المتصل قصدًا لإخراج الدم من الجسد دون العروق. “Bekam adalah membuat sayatan pada permukaan kulit secara sengaja untuk mengeluarkan darah dari tubuh tanpa mengenai pembuluh darah.” [2] Terkait dengan puasa, sering muncul pertanyaan apakah bekam membatalkan puasa atau tidak. Masalah ini telah menjadi bahan diskusi di kalangan ulama sejak dahulu dan memiliki berbagai pendapat berdasarkan dalil yang berbeda-beda. Artikel ini akan mengulas pendapat para ulama mengenai bekam dan pengaruhnya terhadap keabsahan puasa, serta membahas pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan ini. Perbedaan pendapat para ulama Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hukum bekam saat berpuasa. Jumhur ulama, dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, berpendapat bahwa bekam tidak membatalkan puasa, baik bagi orang yang membekam (hajim) maupun orang yang dibekam (mahjum), tetapi mereka umumnya memakruhkannya. Sedangkan Hanabilah berpendapat bahwasanya bekam membatalkan puasa. [3] Ibnu Qudamah Al-Hambali rahimahullah mengatakan, أنَّ الحِجَامَةَ يُفْطِرُ بها الحاجِمُ والمَحْجُومُ “Bekam membatalkan puasa bagi orang yang membekam (hajim) dan orang yang dibekam (mahjum).” Kemudian, beliau menyebutkan para ulama yang sependapat dengan beliau dalam masalah ini. Setelah itu, beliau mengatakan, وقال مالِكٌ، والثَّوْرِيُّ، وأبو حنيفةَ، والشَّافِعِيُّ: يجوزُ لِلصَّائِمِ أن يَحْتَجِمَ، ولا يُفْطرُ؛ لما رَوَى البُخَارِيُّ، عن ابنِ عَبَّاسٍ، أنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم احْتَجَمَ وهو صَائِمٌ. ولأنَّه دَمٌ خَارِجٌ من البَدَنِ، أشْبَهَ الفَصْدَ. “Malik, Ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi’i berpendapat bahwa orang yang berpuasa boleh melakukan bekam dan puasanya tetap sah. Mereka berdalil dengan riwayat Bukhari, dari Ibnu Abbas, ‘Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berbekam dalam keadaan berpuasa.’ Selain itu, mereka berdalil bahwa bekam mengeluarkan darah dari tubuh, sehingga serupa dengan fashd.“ [4] Baca juga: Bisa Batal Puasa Karena Niat? Pendapat yang lebih kuat dan alasannya Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa bekam membatalkan puasa. Di antara alasan kuat terpilihnya pendapat ini adalah: Pertama: Hadis sahih yang jelas Dalam sebuah hadis yang sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَفْطَرَ الحَاجِمُ وَالمَحْجُومُ “Orang yang membekam dan yang dibekam telah berbuka (batal puasanya).” (HR. Ahmad dalam Musnad no. 8413, Abu Dawud no. 2020, At-Tirmidzi no. 705, dan Ibnu Majah no. 1669. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani.) [5] Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan, رَوَاهُ عن النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أحَدَ عَشَرَ نَفْسًا، قال أحمدُ: حَدِيثُ شَدَّادِ بن أوْسٍ مِن أصَحِّ حَدِيثٍ يُرْوَى في هذا البابِ “Hadis ini diriwayatkan oleh sebelas orang sahabat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Imam Ahmad berkata, ‘Hadis dari Syaddad bin Aus adalah salah satu hadis paling sahih dalam bab ini.’ ” [6] Hadis sahih ini menunjukkan dengan jelas bahwa berbekam dikategorikan sebagai pembatal puasa. [7] Kedua: Lemahnya hadis berbekamnya Rasulullah ketika beliau sedang berpuasa Mereka berdalil dengan hadis dari Ibnu Abbas yang menyatakan, احتجم رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو صائم “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam dalam keadaan berpuasa.” Namun, hadis ini diperselisihkan keabsahannya. Hadis ini dilemahkan oleh Imam Ahmad, Yahya Al-Qaththan, dan ulama lainnya. Alasan kelemahannya adalah karena para perawi terpercaya dari Ibnu Abbas, yaitu Atha’, Thawus, dan Said bin Jubair, meriwayatkannya dengan lafaz, احتجم رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو محرم “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam dalam keadaan berihram.” Meskipun dalam riwayat Ayyub dari Ikrimah dari Ibnu Abbas disebutkan bahwa Nabi berbekam dalam keadaan berpuasa, namun riwayat ini dikoreksi oleh perawi lain seperti Khalid Al-Hadza’, Hisyam bin Hassan, dan Hilal, yang semuanya meriwayatkan dengan lafaz, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dalam keadaan berihram.” Selain itu, terdapat jalur riwayat lain yang menyebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam dalam keadaan berpuasa, tetapi tidak sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. [8] Fatwa Lajnah Da’imah – Bekam dan Fashd bagi orang yang berpuasa Pertanyaan: Apakah orang yang membekam (hajim) dan yang dibekam (mahjum) di siang hari bulan Ramadan batal puasanya? Jika batal, apakah mereka harus mengganti puasanya? Mohon penjelasan. Jawaban: يفطر الحاجم والمحجوم، وعليهما الإمساك والقضاء؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: «أفطر الحاجم والمحجوم » “Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya, dan mereka wajib menahan diri (imsak) selama sisa hari tersebut serta mengganti (qada) puasanya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Orang yang membekam dan yang dibekam telah berbuka (batal puasanya).’ ” [9] Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua. Amin. Baca juga: Ketika Berubah Pendapat Terkait Pembatal Puasa, Wajibkah Mengganti Puasa? *** Rumdin PPIA Sragen, 15 Sya’ban 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad. Al-Fiqh Al-Muyassar: Qism Al-‘Ibadat. Edisi keempat. Riyadh: Madarul Wathan, 1439 H/2018 M. Halawah, Muhammad bin Ali. Al-Jāmi‘ Al-‘Ām fī Fiqh As-Siyām (Dirāsah Fiqhiyyah Hadītsiyyah Muqāranah). Edisi kedua. Diterbitkan oleh Mustafa bin Al-‘Adawi. Al-Sharqiyyah, Mesir: Maktabah Al-‘Ulūm wa Al-Hikam, 1433 H/2013 M. 585 halaman. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (17 Ramadan 1445 H), sesuai nomor cetakan. Ibn Qudāmah Al-Maqdisī, Muwaffaq Ad-Dīn Abū Muḥammad ‘Abdullāh bin Aḥmad bin Muḥammad. Al-Mughnī. Tahqiq: Dr. ‘Abdullāh bin ‘Abd Al-Muḥsin At-Turkī dan Dr. ‘Abd Al-Fattāḥ Muḥammad Al-Ḥulū. Edisi ketiga. Riyadh: Dār ‘Ālam Al-Kutub, 1417 H/1997 M. 15 jilid (jilid terakhir berisi indeks). Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (21 Dzulhijjah 1441 H), sesuai nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] At-Ta‘rifat Al-Fiqhiyyah, hal. 76. [2] Al-Fiqh Al-Muyassar, 3: 55. [3] Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 17: 15-16; Al-Fiqh Al-Muyassar, 3: 55. [4] Lihat Al-Mughni, 4: 350-351. [5] Irwa’ Al-Ghalil, jilid 4, no. 931. [6] Al-Mughni, 4: 351. [7] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 3: 57; dan Jalsat Ramadhaniyyah, karya Syekh Al-‘Utsaimin, 15: 12. [8] Lihat Al-Jami’ Al-‘Am fi Fiqh As-Siyam, hal. 164. [9] Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah – Al-Majmu’ah Al-Ula, 10: 261, Fatwa no. 11917.
Daftar Isi Toggle Perbedaan pendapat para ulamaPendapat yang lebih kuat dan alasannyaPertama: Hadis sahih yang jelasKedua: Lemahnya hadis berbekamnya Rasulullah ketika beliau sedang berpuasaFatwa Lajnah Da’imah – Bekam dan Fashd bagi orang yang berpuasa Bekam merupakan salah satu metode pengobatan yang telah dikenal sejak zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Secara istilah, bekam adalah “suatu metode pengobatan dan perawatan dengan menggunakan alat bekam (mihjam).” [1] Syekh Muhammad Ath-Thayyar ketika mendefinisikan bekam, beliau mengatakan, الحجامة: هي شرط ظاهر الجلد المتصل قصدًا لإخراج الدم من الجسد دون العروق. “Bekam adalah membuat sayatan pada permukaan kulit secara sengaja untuk mengeluarkan darah dari tubuh tanpa mengenai pembuluh darah.” [2] Terkait dengan puasa, sering muncul pertanyaan apakah bekam membatalkan puasa atau tidak. Masalah ini telah menjadi bahan diskusi di kalangan ulama sejak dahulu dan memiliki berbagai pendapat berdasarkan dalil yang berbeda-beda. Artikel ini akan mengulas pendapat para ulama mengenai bekam dan pengaruhnya terhadap keabsahan puasa, serta membahas pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan ini. Perbedaan pendapat para ulama Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hukum bekam saat berpuasa. Jumhur ulama, dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, berpendapat bahwa bekam tidak membatalkan puasa, baik bagi orang yang membekam (hajim) maupun orang yang dibekam (mahjum), tetapi mereka umumnya memakruhkannya. Sedangkan Hanabilah berpendapat bahwasanya bekam membatalkan puasa. [3] Ibnu Qudamah Al-Hambali rahimahullah mengatakan, أنَّ الحِجَامَةَ يُفْطِرُ بها الحاجِمُ والمَحْجُومُ “Bekam membatalkan puasa bagi orang yang membekam (hajim) dan orang yang dibekam (mahjum).” Kemudian, beliau menyebutkan para ulama yang sependapat dengan beliau dalam masalah ini. Setelah itu, beliau mengatakan, وقال مالِكٌ، والثَّوْرِيُّ، وأبو حنيفةَ، والشَّافِعِيُّ: يجوزُ لِلصَّائِمِ أن يَحْتَجِمَ، ولا يُفْطرُ؛ لما رَوَى البُخَارِيُّ، عن ابنِ عَبَّاسٍ، أنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم احْتَجَمَ وهو صَائِمٌ. ولأنَّه دَمٌ خَارِجٌ من البَدَنِ، أشْبَهَ الفَصْدَ. “Malik, Ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi’i berpendapat bahwa orang yang berpuasa boleh melakukan bekam dan puasanya tetap sah. Mereka berdalil dengan riwayat Bukhari, dari Ibnu Abbas, ‘Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berbekam dalam keadaan berpuasa.’ Selain itu, mereka berdalil bahwa bekam mengeluarkan darah dari tubuh, sehingga serupa dengan fashd.“ [4] Baca juga: Bisa Batal Puasa Karena Niat? Pendapat yang lebih kuat dan alasannya Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa bekam membatalkan puasa. Di antara alasan kuat terpilihnya pendapat ini adalah: Pertama: Hadis sahih yang jelas Dalam sebuah hadis yang sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَفْطَرَ الحَاجِمُ وَالمَحْجُومُ “Orang yang membekam dan yang dibekam telah berbuka (batal puasanya).” (HR. Ahmad dalam Musnad no. 8413, Abu Dawud no. 2020, At-Tirmidzi no. 705, dan Ibnu Majah no. 1669. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani.) [5] Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan, رَوَاهُ عن النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أحَدَ عَشَرَ نَفْسًا، قال أحمدُ: حَدِيثُ شَدَّادِ بن أوْسٍ مِن أصَحِّ حَدِيثٍ يُرْوَى في هذا البابِ “Hadis ini diriwayatkan oleh sebelas orang sahabat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Imam Ahmad berkata, ‘Hadis dari Syaddad bin Aus adalah salah satu hadis paling sahih dalam bab ini.’ ” [6] Hadis sahih ini menunjukkan dengan jelas bahwa berbekam dikategorikan sebagai pembatal puasa. [7] Kedua: Lemahnya hadis berbekamnya Rasulullah ketika beliau sedang berpuasa Mereka berdalil dengan hadis dari Ibnu Abbas yang menyatakan, احتجم رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو صائم “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam dalam keadaan berpuasa.” Namun, hadis ini diperselisihkan keabsahannya. Hadis ini dilemahkan oleh Imam Ahmad, Yahya Al-Qaththan, dan ulama lainnya. Alasan kelemahannya adalah karena para perawi terpercaya dari Ibnu Abbas, yaitu Atha’, Thawus, dan Said bin Jubair, meriwayatkannya dengan lafaz, احتجم رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو محرم “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam dalam keadaan berihram.” Meskipun dalam riwayat Ayyub dari Ikrimah dari Ibnu Abbas disebutkan bahwa Nabi berbekam dalam keadaan berpuasa, namun riwayat ini dikoreksi oleh perawi lain seperti Khalid Al-Hadza’, Hisyam bin Hassan, dan Hilal, yang semuanya meriwayatkan dengan lafaz, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dalam keadaan berihram.” Selain itu, terdapat jalur riwayat lain yang menyebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam dalam keadaan berpuasa, tetapi tidak sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. [8] Fatwa Lajnah Da’imah – Bekam dan Fashd bagi orang yang berpuasa Pertanyaan: Apakah orang yang membekam (hajim) dan yang dibekam (mahjum) di siang hari bulan Ramadan batal puasanya? Jika batal, apakah mereka harus mengganti puasanya? Mohon penjelasan. Jawaban: يفطر الحاجم والمحجوم، وعليهما الإمساك والقضاء؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: «أفطر الحاجم والمحجوم » “Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya, dan mereka wajib menahan diri (imsak) selama sisa hari tersebut serta mengganti (qada) puasanya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Orang yang membekam dan yang dibekam telah berbuka (batal puasanya).’ ” [9] Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua. Amin. Baca juga: Ketika Berubah Pendapat Terkait Pembatal Puasa, Wajibkah Mengganti Puasa? *** Rumdin PPIA Sragen, 15 Sya’ban 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad. Al-Fiqh Al-Muyassar: Qism Al-‘Ibadat. Edisi keempat. Riyadh: Madarul Wathan, 1439 H/2018 M. Halawah, Muhammad bin Ali. Al-Jāmi‘ Al-‘Ām fī Fiqh As-Siyām (Dirāsah Fiqhiyyah Hadītsiyyah Muqāranah). Edisi kedua. Diterbitkan oleh Mustafa bin Al-‘Adawi. Al-Sharqiyyah, Mesir: Maktabah Al-‘Ulūm wa Al-Hikam, 1433 H/2013 M. 585 halaman. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (17 Ramadan 1445 H), sesuai nomor cetakan. Ibn Qudāmah Al-Maqdisī, Muwaffaq Ad-Dīn Abū Muḥammad ‘Abdullāh bin Aḥmad bin Muḥammad. Al-Mughnī. Tahqiq: Dr. ‘Abdullāh bin ‘Abd Al-Muḥsin At-Turkī dan Dr. ‘Abd Al-Fattāḥ Muḥammad Al-Ḥulū. Edisi ketiga. Riyadh: Dār ‘Ālam Al-Kutub, 1417 H/1997 M. 15 jilid (jilid terakhir berisi indeks). Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (21 Dzulhijjah 1441 H), sesuai nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] At-Ta‘rifat Al-Fiqhiyyah, hal. 76. [2] Al-Fiqh Al-Muyassar, 3: 55. [3] Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 17: 15-16; Al-Fiqh Al-Muyassar, 3: 55. [4] Lihat Al-Mughni, 4: 350-351. [5] Irwa’ Al-Ghalil, jilid 4, no. 931. [6] Al-Mughni, 4: 351. [7] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 3: 57; dan Jalsat Ramadhaniyyah, karya Syekh Al-‘Utsaimin, 15: 12. [8] Lihat Al-Jami’ Al-‘Am fi Fiqh As-Siyam, hal. 164. [9] Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah – Al-Majmu’ah Al-Ula, 10: 261, Fatwa no. 11917.


Daftar Isi Toggle Perbedaan pendapat para ulamaPendapat yang lebih kuat dan alasannyaPertama: Hadis sahih yang jelasKedua: Lemahnya hadis berbekamnya Rasulullah ketika beliau sedang berpuasaFatwa Lajnah Da’imah – Bekam dan Fashd bagi orang yang berpuasa Bekam merupakan salah satu metode pengobatan yang telah dikenal sejak zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Secara istilah, bekam adalah “suatu metode pengobatan dan perawatan dengan menggunakan alat bekam (mihjam).” [1] Syekh Muhammad Ath-Thayyar ketika mendefinisikan bekam, beliau mengatakan, الحجامة: هي شرط ظاهر الجلد المتصل قصدًا لإخراج الدم من الجسد دون العروق. “Bekam adalah membuat sayatan pada permukaan kulit secara sengaja untuk mengeluarkan darah dari tubuh tanpa mengenai pembuluh darah.” [2] Terkait dengan puasa, sering muncul pertanyaan apakah bekam membatalkan puasa atau tidak. Masalah ini telah menjadi bahan diskusi di kalangan ulama sejak dahulu dan memiliki berbagai pendapat berdasarkan dalil yang berbeda-beda. Artikel ini akan mengulas pendapat para ulama mengenai bekam dan pengaruhnya terhadap keabsahan puasa, serta membahas pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan ini. Perbedaan pendapat para ulama Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hukum bekam saat berpuasa. Jumhur ulama, dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, berpendapat bahwa bekam tidak membatalkan puasa, baik bagi orang yang membekam (hajim) maupun orang yang dibekam (mahjum), tetapi mereka umumnya memakruhkannya. Sedangkan Hanabilah berpendapat bahwasanya bekam membatalkan puasa. [3] Ibnu Qudamah Al-Hambali rahimahullah mengatakan, أنَّ الحِجَامَةَ يُفْطِرُ بها الحاجِمُ والمَحْجُومُ “Bekam membatalkan puasa bagi orang yang membekam (hajim) dan orang yang dibekam (mahjum).” Kemudian, beliau menyebutkan para ulama yang sependapat dengan beliau dalam masalah ini. Setelah itu, beliau mengatakan, وقال مالِكٌ، والثَّوْرِيُّ، وأبو حنيفةَ، والشَّافِعِيُّ: يجوزُ لِلصَّائِمِ أن يَحْتَجِمَ، ولا يُفْطرُ؛ لما رَوَى البُخَارِيُّ، عن ابنِ عَبَّاسٍ، أنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم احْتَجَمَ وهو صَائِمٌ. ولأنَّه دَمٌ خَارِجٌ من البَدَنِ، أشْبَهَ الفَصْدَ. “Malik, Ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi’i berpendapat bahwa orang yang berpuasa boleh melakukan bekam dan puasanya tetap sah. Mereka berdalil dengan riwayat Bukhari, dari Ibnu Abbas, ‘Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berbekam dalam keadaan berpuasa.’ Selain itu, mereka berdalil bahwa bekam mengeluarkan darah dari tubuh, sehingga serupa dengan fashd.“ [4] Baca juga: Bisa Batal Puasa Karena Niat? Pendapat yang lebih kuat dan alasannya Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa bekam membatalkan puasa. Di antara alasan kuat terpilihnya pendapat ini adalah: Pertama: Hadis sahih yang jelas Dalam sebuah hadis yang sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَفْطَرَ الحَاجِمُ وَالمَحْجُومُ “Orang yang membekam dan yang dibekam telah berbuka (batal puasanya).” (HR. Ahmad dalam Musnad no. 8413, Abu Dawud no. 2020, At-Tirmidzi no. 705, dan Ibnu Majah no. 1669. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani.) [5] Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan, رَوَاهُ عن النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أحَدَ عَشَرَ نَفْسًا، قال أحمدُ: حَدِيثُ شَدَّادِ بن أوْسٍ مِن أصَحِّ حَدِيثٍ يُرْوَى في هذا البابِ “Hadis ini diriwayatkan oleh sebelas orang sahabat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Imam Ahmad berkata, ‘Hadis dari Syaddad bin Aus adalah salah satu hadis paling sahih dalam bab ini.’ ” [6] Hadis sahih ini menunjukkan dengan jelas bahwa berbekam dikategorikan sebagai pembatal puasa. [7] Kedua: Lemahnya hadis berbekamnya Rasulullah ketika beliau sedang berpuasa Mereka berdalil dengan hadis dari Ibnu Abbas yang menyatakan, احتجم رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو صائم “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam dalam keadaan berpuasa.” Namun, hadis ini diperselisihkan keabsahannya. Hadis ini dilemahkan oleh Imam Ahmad, Yahya Al-Qaththan, dan ulama lainnya. Alasan kelemahannya adalah karena para perawi terpercaya dari Ibnu Abbas, yaitu Atha’, Thawus, dan Said bin Jubair, meriwayatkannya dengan lafaz, احتجم رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو محرم “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam dalam keadaan berihram.” Meskipun dalam riwayat Ayyub dari Ikrimah dari Ibnu Abbas disebutkan bahwa Nabi berbekam dalam keadaan berpuasa, namun riwayat ini dikoreksi oleh perawi lain seperti Khalid Al-Hadza’, Hisyam bin Hassan, dan Hilal, yang semuanya meriwayatkan dengan lafaz, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dalam keadaan berihram.” Selain itu, terdapat jalur riwayat lain yang menyebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam dalam keadaan berpuasa, tetapi tidak sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. [8] Fatwa Lajnah Da’imah – Bekam dan Fashd bagi orang yang berpuasa Pertanyaan: Apakah orang yang membekam (hajim) dan yang dibekam (mahjum) di siang hari bulan Ramadan batal puasanya? Jika batal, apakah mereka harus mengganti puasanya? Mohon penjelasan. Jawaban: يفطر الحاجم والمحجوم، وعليهما الإمساك والقضاء؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: «أفطر الحاجم والمحجوم » “Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya, dan mereka wajib menahan diri (imsak) selama sisa hari tersebut serta mengganti (qada) puasanya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Orang yang membekam dan yang dibekam telah berbuka (batal puasanya).’ ” [9] Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua. Amin. Baca juga: Ketika Berubah Pendapat Terkait Pembatal Puasa, Wajibkah Mengganti Puasa? *** Rumdin PPIA Sragen, 15 Sya’ban 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad. Al-Fiqh Al-Muyassar: Qism Al-‘Ibadat. Edisi keempat. Riyadh: Madarul Wathan, 1439 H/2018 M. Halawah, Muhammad bin Ali. Al-Jāmi‘ Al-‘Ām fī Fiqh As-Siyām (Dirāsah Fiqhiyyah Hadītsiyyah Muqāranah). Edisi kedua. Diterbitkan oleh Mustafa bin Al-‘Adawi. Al-Sharqiyyah, Mesir: Maktabah Al-‘Ulūm wa Al-Hikam, 1433 H/2013 M. 585 halaman. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (17 Ramadan 1445 H), sesuai nomor cetakan. Ibn Qudāmah Al-Maqdisī, Muwaffaq Ad-Dīn Abū Muḥammad ‘Abdullāh bin Aḥmad bin Muḥammad. Al-Mughnī. Tahqiq: Dr. ‘Abdullāh bin ‘Abd Al-Muḥsin At-Turkī dan Dr. ‘Abd Al-Fattāḥ Muḥammad Al-Ḥulū. Edisi ketiga. Riyadh: Dār ‘Ālam Al-Kutub, 1417 H/1997 M. 15 jilid (jilid terakhir berisi indeks). Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (21 Dzulhijjah 1441 H), sesuai nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] At-Ta‘rifat Al-Fiqhiyyah, hal. 76. [2] Al-Fiqh Al-Muyassar, 3: 55. [3] Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 17: 15-16; Al-Fiqh Al-Muyassar, 3: 55. [4] Lihat Al-Mughni, 4: 350-351. [5] Irwa’ Al-Ghalil, jilid 4, no. 931. [6] Al-Mughni, 4: 351. [7] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 3: 57; dan Jalsat Ramadhaniyyah, karya Syekh Al-‘Utsaimin, 15: 12. [8] Lihat Al-Jami’ Al-‘Am fi Fiqh As-Siyam, hal. 164. [9] Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah – Al-Majmu’ah Al-Ula, 10: 261, Fatwa no. 11917.

Menemukan Rumus Bahagia

Daftar Isi Toggle Tiga resep bahagiaTaat kepada RasulMembersihkan akidah dari syirik Bismillah. Di antara keunikan dan keistimewaan kitab para ulama salaf adalah kalimat dan nasihat yang mereka berikan tersimpan berbagai kunci dan rumus kebahagiaan. Hal itu tidak lain karena mereka senantiasa kembali kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Hal itu bisa kita ambil contoh dari karya Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah seorang ulama pembaharu Islam (wafat 1206 H). Melalui karya-karya beliau dalam ilmu tauhid dan akidah Islam, kita diperkenalkan tentang pedoman dan kaidah untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan yang hakiki di dunia dan di akhirat. Tiga resep bahagia Misalnya, dalam mukadimah risalah Al-Qawa’id Al-Arba’ (Empat Kaidah Utama), beliau menyebutkan tiga tanda kebahagiaan: apabila diberi nikmat, bersyukur; apabila diberi cobaan/musibah, bersabar; dan apabila berbuat dosa, segera beristigfar. Penjelasan serupa telah diungkapkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat 751 H) pada bagian awal kitabnya Al-Wabil Ash-Shayyib. Banyak ucapan para ulama yang senada dengan penjelasan beliau. Di antaranya, Yazid bin Maisarah rahimahullah berkata, “Tidaklah berbahaya suatu nikmat, jika ia dibarengi dengan syukur. Tidaklah berbahaya musibah, jika ia dibarengi dengan sabar. Sungguh, musibah yang menimpa pada saat melakukan ketaatan kepada Allah itu jauh lebih baik daripada nikmat yang dirasakan ketika berbuat maksiat kepada Allah.” (Lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 164) Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Seorang hamba senantiasa berada di antara kenikmatan dari Allah yang mengharuskan syukur atau dosa yang mengharuskan istigfar. Kedua hal ini adalah perkara yang selalu dialami setiap hamba. Sebab dia senantiasa berada di dalam curahan nikmat dan karunia Allah dan senantiasa membutuhkan tobat dan istigfar.” (Lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 87) Taat kepada Rasul Contoh yang lain, dalam risalah Tsalatsah Ushul (Tiga Landasan Utama), Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah juga menjelaskan wajibnya untuk taat kepada Rasul, karena Allah yang menciptakan kita dan memberikan rezeki kepada kita, Allah tidak membiarkan kita dalam keadaan terlunta-lunta. Akan tetapi, Allah telah mengutus kepada kita seorang rasul. Barangsiapa yang taat kepadanya, masuk surga. Dan barangsiapa yang durhaka kepadanya, maka dia masuk neraka. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang merenungkan keadaan alam semesta dan berbagai keburukan yang terjadi padanya, niscaya dia akan menyimpulkan bahwa segala keburukan di alam semesta ini sebabnya adalah menyelisihi Rasul dan keluar dari ketaatan kepadanya. Demikian pula, segala kebaikan yang ada di dunia ini sebabnya adalah ketaatan kepada Rasul.” (Lihat Adh-Dhau’ Al-Munir ‘ala At-Tafsir, 2: 236-237) Baca juga: Kesehatan Mental: Mengasah Rasa untuk Bahagia Membersihkan akidah dari syirik Di dalam kitab Tauhid, Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah juga menjelaskan bahwa tauhid yang bersih dari syirik merupakan sebab untuk meraih keamanan dan hidayah. Ini merupakan keutamaan tauhid yang sangat besar. Beliau berkata, وقول الله تعالى: الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ “Allah berfirman, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang diberikan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk.’ (QS. Al-An’am: 82) Kezaliman yang dimaksud oleh ayat ini telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah syirik. Karena orang yang berbuat syirik menujukan ibadah kepada selain Allah, sesuatu yang tidak berhak menerima ibadah. Orang yang bertauhid dan bersih dari syirik, maka dia akan mendapatkan keamanan di akhirat sehingga selamat dari kekalnya neraka kemudian masuk ke dalam surga selama-lamanya. Orang yang bertauhid dan bersih dari syirik juga akan mendapatkan bimbingan di dunia sehingga bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan beramal saleh hingga diberi taufik untuk meninggal dalam keadaan beriman. Imam Bukhari menuturkan, Qutaibah bin Sa’id menuturkan kepada kami, dia berkata, Jarir menuturkan hadis kepada kami dari Al-A’masy dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari Abdullah (yaitu, Ibnu Mas’ud) bahwa beliau berkata, “Ketika turun ayat ini, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman…’ (QS. Al-An’am: 82), maka hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka mengatakan, ‘Siapakah di antara kita ini yang tidak mencampuri imannya dengan kezaliman?!’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menanggapi, ‘Sesungguhnya bukan itu yang dimaksudkan. Tidakkah kalian pernah mendengar ucapan Luqman (yang artinya), ‘Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.’ ” (HR. Bukhari no. 6444, lihat dalam Minhatul Malik Al-Jalil, 12: 389) Apabila demikian, maka tauhid adalah sebab utama kebahagiaan insan. Tidak ada kebahagiaan baginya tanpa tauhid dan iman. Dengan tauhid inilah, seorang muslim akan bisa merasakan lezatnya keimanan dan manisnya penghambaan kepada Ar-Rahman. Malik bin Dinar rahimahullah berkata kepada para sahabatnya, “Orang-orang yang malang dari kalangan penduduk dunia. Mereka telah keluar dari dunia dalam keadaan belum menikmati sesuatu yang paling indah di dalamnya.” Mereka pun bertanya, “Wahai Abu Yahya, apakah itu sesuatu yang paling indah di dunia?” Beliau menjawab, “Yaitu, mengenal Allah ‘Azza Wajalla, mencintai-Nya dan tenang dengan zikir kepada-Nya.” Baca juga: Apakah Inti Kebahagiaan Itu? *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id

Menemukan Rumus Bahagia

Daftar Isi Toggle Tiga resep bahagiaTaat kepada RasulMembersihkan akidah dari syirik Bismillah. Di antara keunikan dan keistimewaan kitab para ulama salaf adalah kalimat dan nasihat yang mereka berikan tersimpan berbagai kunci dan rumus kebahagiaan. Hal itu tidak lain karena mereka senantiasa kembali kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Hal itu bisa kita ambil contoh dari karya Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah seorang ulama pembaharu Islam (wafat 1206 H). Melalui karya-karya beliau dalam ilmu tauhid dan akidah Islam, kita diperkenalkan tentang pedoman dan kaidah untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan yang hakiki di dunia dan di akhirat. Tiga resep bahagia Misalnya, dalam mukadimah risalah Al-Qawa’id Al-Arba’ (Empat Kaidah Utama), beliau menyebutkan tiga tanda kebahagiaan: apabila diberi nikmat, bersyukur; apabila diberi cobaan/musibah, bersabar; dan apabila berbuat dosa, segera beristigfar. Penjelasan serupa telah diungkapkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat 751 H) pada bagian awal kitabnya Al-Wabil Ash-Shayyib. Banyak ucapan para ulama yang senada dengan penjelasan beliau. Di antaranya, Yazid bin Maisarah rahimahullah berkata, “Tidaklah berbahaya suatu nikmat, jika ia dibarengi dengan syukur. Tidaklah berbahaya musibah, jika ia dibarengi dengan sabar. Sungguh, musibah yang menimpa pada saat melakukan ketaatan kepada Allah itu jauh lebih baik daripada nikmat yang dirasakan ketika berbuat maksiat kepada Allah.” (Lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 164) Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Seorang hamba senantiasa berada di antara kenikmatan dari Allah yang mengharuskan syukur atau dosa yang mengharuskan istigfar. Kedua hal ini adalah perkara yang selalu dialami setiap hamba. Sebab dia senantiasa berada di dalam curahan nikmat dan karunia Allah dan senantiasa membutuhkan tobat dan istigfar.” (Lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 87) Taat kepada Rasul Contoh yang lain, dalam risalah Tsalatsah Ushul (Tiga Landasan Utama), Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah juga menjelaskan wajibnya untuk taat kepada Rasul, karena Allah yang menciptakan kita dan memberikan rezeki kepada kita, Allah tidak membiarkan kita dalam keadaan terlunta-lunta. Akan tetapi, Allah telah mengutus kepada kita seorang rasul. Barangsiapa yang taat kepadanya, masuk surga. Dan barangsiapa yang durhaka kepadanya, maka dia masuk neraka. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang merenungkan keadaan alam semesta dan berbagai keburukan yang terjadi padanya, niscaya dia akan menyimpulkan bahwa segala keburukan di alam semesta ini sebabnya adalah menyelisihi Rasul dan keluar dari ketaatan kepadanya. Demikian pula, segala kebaikan yang ada di dunia ini sebabnya adalah ketaatan kepada Rasul.” (Lihat Adh-Dhau’ Al-Munir ‘ala At-Tafsir, 2: 236-237) Baca juga: Kesehatan Mental: Mengasah Rasa untuk Bahagia Membersihkan akidah dari syirik Di dalam kitab Tauhid, Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah juga menjelaskan bahwa tauhid yang bersih dari syirik merupakan sebab untuk meraih keamanan dan hidayah. Ini merupakan keutamaan tauhid yang sangat besar. Beliau berkata, وقول الله تعالى: الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ “Allah berfirman, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang diberikan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk.’ (QS. Al-An’am: 82) Kezaliman yang dimaksud oleh ayat ini telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah syirik. Karena orang yang berbuat syirik menujukan ibadah kepada selain Allah, sesuatu yang tidak berhak menerima ibadah. Orang yang bertauhid dan bersih dari syirik, maka dia akan mendapatkan keamanan di akhirat sehingga selamat dari kekalnya neraka kemudian masuk ke dalam surga selama-lamanya. Orang yang bertauhid dan bersih dari syirik juga akan mendapatkan bimbingan di dunia sehingga bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan beramal saleh hingga diberi taufik untuk meninggal dalam keadaan beriman. Imam Bukhari menuturkan, Qutaibah bin Sa’id menuturkan kepada kami, dia berkata, Jarir menuturkan hadis kepada kami dari Al-A’masy dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari Abdullah (yaitu, Ibnu Mas’ud) bahwa beliau berkata, “Ketika turun ayat ini, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman…’ (QS. Al-An’am: 82), maka hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka mengatakan, ‘Siapakah di antara kita ini yang tidak mencampuri imannya dengan kezaliman?!’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menanggapi, ‘Sesungguhnya bukan itu yang dimaksudkan. Tidakkah kalian pernah mendengar ucapan Luqman (yang artinya), ‘Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.’ ” (HR. Bukhari no. 6444, lihat dalam Minhatul Malik Al-Jalil, 12: 389) Apabila demikian, maka tauhid adalah sebab utama kebahagiaan insan. Tidak ada kebahagiaan baginya tanpa tauhid dan iman. Dengan tauhid inilah, seorang muslim akan bisa merasakan lezatnya keimanan dan manisnya penghambaan kepada Ar-Rahman. Malik bin Dinar rahimahullah berkata kepada para sahabatnya, “Orang-orang yang malang dari kalangan penduduk dunia. Mereka telah keluar dari dunia dalam keadaan belum menikmati sesuatu yang paling indah di dalamnya.” Mereka pun bertanya, “Wahai Abu Yahya, apakah itu sesuatu yang paling indah di dunia?” Beliau menjawab, “Yaitu, mengenal Allah ‘Azza Wajalla, mencintai-Nya dan tenang dengan zikir kepada-Nya.” Baca juga: Apakah Inti Kebahagiaan Itu? *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Tiga resep bahagiaTaat kepada RasulMembersihkan akidah dari syirik Bismillah. Di antara keunikan dan keistimewaan kitab para ulama salaf adalah kalimat dan nasihat yang mereka berikan tersimpan berbagai kunci dan rumus kebahagiaan. Hal itu tidak lain karena mereka senantiasa kembali kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Hal itu bisa kita ambil contoh dari karya Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah seorang ulama pembaharu Islam (wafat 1206 H). Melalui karya-karya beliau dalam ilmu tauhid dan akidah Islam, kita diperkenalkan tentang pedoman dan kaidah untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan yang hakiki di dunia dan di akhirat. Tiga resep bahagia Misalnya, dalam mukadimah risalah Al-Qawa’id Al-Arba’ (Empat Kaidah Utama), beliau menyebutkan tiga tanda kebahagiaan: apabila diberi nikmat, bersyukur; apabila diberi cobaan/musibah, bersabar; dan apabila berbuat dosa, segera beristigfar. Penjelasan serupa telah diungkapkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat 751 H) pada bagian awal kitabnya Al-Wabil Ash-Shayyib. Banyak ucapan para ulama yang senada dengan penjelasan beliau. Di antaranya, Yazid bin Maisarah rahimahullah berkata, “Tidaklah berbahaya suatu nikmat, jika ia dibarengi dengan syukur. Tidaklah berbahaya musibah, jika ia dibarengi dengan sabar. Sungguh, musibah yang menimpa pada saat melakukan ketaatan kepada Allah itu jauh lebih baik daripada nikmat yang dirasakan ketika berbuat maksiat kepada Allah.” (Lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 164) Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Seorang hamba senantiasa berada di antara kenikmatan dari Allah yang mengharuskan syukur atau dosa yang mengharuskan istigfar. Kedua hal ini adalah perkara yang selalu dialami setiap hamba. Sebab dia senantiasa berada di dalam curahan nikmat dan karunia Allah dan senantiasa membutuhkan tobat dan istigfar.” (Lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 87) Taat kepada Rasul Contoh yang lain, dalam risalah Tsalatsah Ushul (Tiga Landasan Utama), Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah juga menjelaskan wajibnya untuk taat kepada Rasul, karena Allah yang menciptakan kita dan memberikan rezeki kepada kita, Allah tidak membiarkan kita dalam keadaan terlunta-lunta. Akan tetapi, Allah telah mengutus kepada kita seorang rasul. Barangsiapa yang taat kepadanya, masuk surga. Dan barangsiapa yang durhaka kepadanya, maka dia masuk neraka. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang merenungkan keadaan alam semesta dan berbagai keburukan yang terjadi padanya, niscaya dia akan menyimpulkan bahwa segala keburukan di alam semesta ini sebabnya adalah menyelisihi Rasul dan keluar dari ketaatan kepadanya. Demikian pula, segala kebaikan yang ada di dunia ini sebabnya adalah ketaatan kepada Rasul.” (Lihat Adh-Dhau’ Al-Munir ‘ala At-Tafsir, 2: 236-237) Baca juga: Kesehatan Mental: Mengasah Rasa untuk Bahagia Membersihkan akidah dari syirik Di dalam kitab Tauhid, Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah juga menjelaskan bahwa tauhid yang bersih dari syirik merupakan sebab untuk meraih keamanan dan hidayah. Ini merupakan keutamaan tauhid yang sangat besar. Beliau berkata, وقول الله تعالى: الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ “Allah berfirman, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang diberikan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk.’ (QS. Al-An’am: 82) Kezaliman yang dimaksud oleh ayat ini telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah syirik. Karena orang yang berbuat syirik menujukan ibadah kepada selain Allah, sesuatu yang tidak berhak menerima ibadah. Orang yang bertauhid dan bersih dari syirik, maka dia akan mendapatkan keamanan di akhirat sehingga selamat dari kekalnya neraka kemudian masuk ke dalam surga selama-lamanya. Orang yang bertauhid dan bersih dari syirik juga akan mendapatkan bimbingan di dunia sehingga bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan beramal saleh hingga diberi taufik untuk meninggal dalam keadaan beriman. Imam Bukhari menuturkan, Qutaibah bin Sa’id menuturkan kepada kami, dia berkata, Jarir menuturkan hadis kepada kami dari Al-A’masy dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari Abdullah (yaitu, Ibnu Mas’ud) bahwa beliau berkata, “Ketika turun ayat ini, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman…’ (QS. Al-An’am: 82), maka hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka mengatakan, ‘Siapakah di antara kita ini yang tidak mencampuri imannya dengan kezaliman?!’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menanggapi, ‘Sesungguhnya bukan itu yang dimaksudkan. Tidakkah kalian pernah mendengar ucapan Luqman (yang artinya), ‘Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.’ ” (HR. Bukhari no. 6444, lihat dalam Minhatul Malik Al-Jalil, 12: 389) Apabila demikian, maka tauhid adalah sebab utama kebahagiaan insan. Tidak ada kebahagiaan baginya tanpa tauhid dan iman. Dengan tauhid inilah, seorang muslim akan bisa merasakan lezatnya keimanan dan manisnya penghambaan kepada Ar-Rahman. Malik bin Dinar rahimahullah berkata kepada para sahabatnya, “Orang-orang yang malang dari kalangan penduduk dunia. Mereka telah keluar dari dunia dalam keadaan belum menikmati sesuatu yang paling indah di dalamnya.” Mereka pun bertanya, “Wahai Abu Yahya, apakah itu sesuatu yang paling indah di dunia?” Beliau menjawab, “Yaitu, mengenal Allah ‘Azza Wajalla, mencintai-Nya dan tenang dengan zikir kepada-Nya.” Baca juga: Apakah Inti Kebahagiaan Itu? *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Tiga resep bahagiaTaat kepada RasulMembersihkan akidah dari syirik Bismillah. Di antara keunikan dan keistimewaan kitab para ulama salaf adalah kalimat dan nasihat yang mereka berikan tersimpan berbagai kunci dan rumus kebahagiaan. Hal itu tidak lain karena mereka senantiasa kembali kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Hal itu bisa kita ambil contoh dari karya Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah seorang ulama pembaharu Islam (wafat 1206 H). Melalui karya-karya beliau dalam ilmu tauhid dan akidah Islam, kita diperkenalkan tentang pedoman dan kaidah untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan yang hakiki di dunia dan di akhirat. Tiga resep bahagia Misalnya, dalam mukadimah risalah Al-Qawa’id Al-Arba’ (Empat Kaidah Utama), beliau menyebutkan tiga tanda kebahagiaan: apabila diberi nikmat, bersyukur; apabila diberi cobaan/musibah, bersabar; dan apabila berbuat dosa, segera beristigfar. Penjelasan serupa telah diungkapkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat 751 H) pada bagian awal kitabnya Al-Wabil Ash-Shayyib. Banyak ucapan para ulama yang senada dengan penjelasan beliau. Di antaranya, Yazid bin Maisarah rahimahullah berkata, “Tidaklah berbahaya suatu nikmat, jika ia dibarengi dengan syukur. Tidaklah berbahaya musibah, jika ia dibarengi dengan sabar. Sungguh, musibah yang menimpa pada saat melakukan ketaatan kepada Allah itu jauh lebih baik daripada nikmat yang dirasakan ketika berbuat maksiat kepada Allah.” (Lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 164) Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Seorang hamba senantiasa berada di antara kenikmatan dari Allah yang mengharuskan syukur atau dosa yang mengharuskan istigfar. Kedua hal ini adalah perkara yang selalu dialami setiap hamba. Sebab dia senantiasa berada di dalam curahan nikmat dan karunia Allah dan senantiasa membutuhkan tobat dan istigfar.” (Lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 87) Taat kepada Rasul Contoh yang lain, dalam risalah Tsalatsah Ushul (Tiga Landasan Utama), Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah juga menjelaskan wajibnya untuk taat kepada Rasul, karena Allah yang menciptakan kita dan memberikan rezeki kepada kita, Allah tidak membiarkan kita dalam keadaan terlunta-lunta. Akan tetapi, Allah telah mengutus kepada kita seorang rasul. Barangsiapa yang taat kepadanya, masuk surga. Dan barangsiapa yang durhaka kepadanya, maka dia masuk neraka. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang merenungkan keadaan alam semesta dan berbagai keburukan yang terjadi padanya, niscaya dia akan menyimpulkan bahwa segala keburukan di alam semesta ini sebabnya adalah menyelisihi Rasul dan keluar dari ketaatan kepadanya. Demikian pula, segala kebaikan yang ada di dunia ini sebabnya adalah ketaatan kepada Rasul.” (Lihat Adh-Dhau’ Al-Munir ‘ala At-Tafsir, 2: 236-237) Baca juga: Kesehatan Mental: Mengasah Rasa untuk Bahagia Membersihkan akidah dari syirik Di dalam kitab Tauhid, Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah juga menjelaskan bahwa tauhid yang bersih dari syirik merupakan sebab untuk meraih keamanan dan hidayah. Ini merupakan keutamaan tauhid yang sangat besar. Beliau berkata, وقول الله تعالى: الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ “Allah berfirman, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang diberikan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk.’ (QS. Al-An’am: 82) Kezaliman yang dimaksud oleh ayat ini telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah syirik. Karena orang yang berbuat syirik menujukan ibadah kepada selain Allah, sesuatu yang tidak berhak menerima ibadah. Orang yang bertauhid dan bersih dari syirik, maka dia akan mendapatkan keamanan di akhirat sehingga selamat dari kekalnya neraka kemudian masuk ke dalam surga selama-lamanya. Orang yang bertauhid dan bersih dari syirik juga akan mendapatkan bimbingan di dunia sehingga bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan beramal saleh hingga diberi taufik untuk meninggal dalam keadaan beriman. Imam Bukhari menuturkan, Qutaibah bin Sa’id menuturkan kepada kami, dia berkata, Jarir menuturkan hadis kepada kami dari Al-A’masy dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari Abdullah (yaitu, Ibnu Mas’ud) bahwa beliau berkata, “Ketika turun ayat ini, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman…’ (QS. Al-An’am: 82), maka hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka mengatakan, ‘Siapakah di antara kita ini yang tidak mencampuri imannya dengan kezaliman?!’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menanggapi, ‘Sesungguhnya bukan itu yang dimaksudkan. Tidakkah kalian pernah mendengar ucapan Luqman (yang artinya), ‘Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.’ ” (HR. Bukhari no. 6444, lihat dalam Minhatul Malik Al-Jalil, 12: 389) Apabila demikian, maka tauhid adalah sebab utama kebahagiaan insan. Tidak ada kebahagiaan baginya tanpa tauhid dan iman. Dengan tauhid inilah, seorang muslim akan bisa merasakan lezatnya keimanan dan manisnya penghambaan kepada Ar-Rahman. Malik bin Dinar rahimahullah berkata kepada para sahabatnya, “Orang-orang yang malang dari kalangan penduduk dunia. Mereka telah keluar dari dunia dalam keadaan belum menikmati sesuatu yang paling indah di dalamnya.” Mereka pun bertanya, “Wahai Abu Yahya, apakah itu sesuatu yang paling indah di dunia?” Beliau menjawab, “Yaitu, mengenal Allah ‘Azza Wajalla, mencintai-Nya dan tenang dengan zikir kepada-Nya.” Baca juga: Apakah Inti Kebahagiaan Itu? *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id

Kisah Kaum Tsamud: Peradaban yang Hilang Karena Azab Allah

Kaum Tsamud adalah salah satu peradaban besar yang disebut dalam Al-Qur’an, tetapi akhirnya dibinasakan oleh Allah karena kedurhakaan mereka. Kisah mereka menjadi pelajaran berharga tentang akibat menolak kebenaran dan melanggar perintah Allah. Artikel ini mengulas sejarah, mukjizat, dan azab yang menimpa kaum Tsamud berdasarkan Al-Qur’an dan tafsir ulama.   Daftar Isi tutup 1. 1. Kaum Tsamud dalam Al-Qur’an 2. 2. Nabi Saleh dan Seruan Kebenaran 3. 3. Mukjizat Unta Nabi Saleh 4. 4. Azab yang Menimpa Kaum Tsamud 5. 5. Pelajaran dari Kisah Kaum Tsamud 6. 6. Kesimpulan 7. Kisah tentang kaum Tsamud di Surah Hud 8. Kisah Kaum Tsamud yang Disebutkan dalam Surah Asy-Syams 9. Dosa adalah Penyebab Berbagai Bencana di Muka Bumi   1. Kaum Tsamud dalam Al-Qur’an Allah menyebut kaum Tsamud dalam firman-Nya: وَثَمُودَ ٱلَّذِينَ جَابُوا۟ ٱلصَّخْرَ بِٱلْوَادِ “Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah.” (QS. Al-Fajr: 9) Kaum Tsamud adalah bangsa yang tinggal di Lembah Hijr atau Mada’in Saleh, terletak di utara Arab Saudi. Mereka membangun rumah dengan memahat batu besar dan memiliki peradaban maju, tetapi akhirnya dibinasakan oleh Allah karena kedurhakaan mereka.   2. Nabi Saleh dan Seruan Kebenaran Allah mengutus Nabi Saleh ‘alaihissalam kepada kaum Tsamud untuk menyeru mereka beribadah kepada Allah. Allah berfirman: وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَٰلِحًا ۗ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥ ۖ “Dan kepada kaum Tsamud, Kami utus saudara mereka, Saleh. Ia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.'” (QS. Al-A’raf: 73) Kaum Tsamud menolak seruan Nabi Saleh dengan penuh kesombongan. Mereka bahkan menuntut bukti kenabiannya dengan meminta mukjizat.   3. Mukjizat Unta Nabi Saleh Allah mengabulkan doa Nabi Saleh dan mengeluarkan seekor unta betina dari batu sebagai tanda kebesaran-Nya. Unta ini minum dari sumber air mereka sehari penuh, sedangkan keesokan harinya giliran mereka mengambil air. Allah berfirman: هَٰذِهِۦ نَاقَةُ ٱللَّهِ لَكُمْ ءَايَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِىٓ أَرْضِ ٱللَّهِ “Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah.” (QS. Al-A’raf: 73) Namun, kaum Tsamud justru membunuh unta itu, yang akhirnya membawa kebinasaan bagi mereka.   4. Azab yang Menimpa Kaum Tsamud Setelah membunuh unta mukjizat, Nabi Saleh memperingatkan mereka bahwa azab akan datang dalam tiga hari. Azab yang menimpa kaum Tsamud terdiri dari: a. Suara Dahsyat (Ash-Sha’iqah) Allah mengirim suara mengguntur yang menghancurkan mereka seketika. فَأَخَذَتْهُمُ ٱلصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ “Lalu mereka ditimpa suara yang mengguntur, sehingga mereka mati bergelimpangan di dalam rumah mereka.” (QS. Al-A’raf: 78) b. Gempa Dahsyat (Ar-Rajfah) Gempa bumi mengguncang tanah mereka hingga membuat mereka mati dalam keadaan berserakan. فَأَخَذَتْهُمُ ٱلرَّجْفَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ “Maka mereka ditimpa gempa, sehingga jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka.” (QS. Al-A’raf: 91) c. Petir yang Membakar (Ash-Sha’iqah) Sebagian ulama menyebut bahwa kaum Tsamud dihancurkan dengan petir atau api dari langit. وَأَمَّا ثَمُودُ فَأُهْلِكُوا۟ بِٱلطَّاغِيَةِ “Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah dibinasakan dengan suara yang sangat keras (menggelegar).” (QS. Al-Haqqah: 5)   5. Pelajaran dari Kisah Kaum Tsamud Kehancuran kaum Tsamud menjadi pelajaran bagi manusia agar tidak menentang perintah Allah. Rasulullah ﷺ pernah melarang para sahabat memasuki tempat tinggal kaum Tsamud tanpa menangis, karena tempat itu telah ditimpa azab. Dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَا تَدْخُلُوا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ الْمُعَذَّبِينَ إِلَّا أَنْ تَكُونُوا بَاكِينَ، فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا بَاكِينَ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ أَنْ يُصِيبَكُمْ مِثْلُ مَا أَصَابَهُمْ “Janganlah kalian memasuki tempat orang-orang yang diazab, kecuali jika kalian menangis. Jika kalian tidak menangis, maka janganlah kalian memasukinya, agar tidak menimpa kalian seperti yang menimpa mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadis ini mengajarkan bahwa ketika mengunjungi tempat-tempat seperti Madain Saleh, umat Islam harus melakukannya dengan rasa takut dan khusyuk, mengingat azab Allah yang pernah terjadi di sana. Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula dalam Islam  Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa dosa dan maksiat dapat mengundang bencana, seperti gempa bumi dan hilangnya keberkahan di muka bumi.   6. Kesimpulan Kaum Tsamud binasa karena kesombongan dan kedurhakaan mereka terhadap Allah serta penolakan terhadap Nabi Saleh. Kisah mereka menjadi peringatan bagi manusia agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dan tetap berada di jalan yang benar.   Kisah tentang kaum Tsamud di Surah Hud وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَٰلِحًا ۚ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥ ۖ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ وَٱسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَٱسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوٓا۟ إِلَيْهِ ۚ إِنَّ رَبِّى قَرِيبٌ مُّجِيبٌ “Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)”.” (QS. Hud: 61) قَالُوا۟ يَٰصَٰلِحُ قَدْ كُنتَ فِينَا مَرْجُوًّا قَبْلَ هَٰذَآ ۖ أَتَنْهَىٰنَآ أَن نَّعْبُدَ مَا يَعْبُدُ ءَابَآؤُنَا وَإِنَّنَا لَفِى شَكٍّ مِّمَّا تَدْعُونَآ إِلَيْهِ مُرِيبٍ “Kaum Tsamud berkata: “Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami”.” (QS. Hud: 62) قَالَ يَٰقَوْمِ أَرَءَيْتُمْ إِن كُنتُ عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّى وَءَاتَىٰنِى مِنْهُ رَحْمَةً فَمَن يَنصُرُنِى مِنَ ٱللَّهِ إِنْ عَصَيْتُهُۥ ۖ فَمَا تَزِيدُونَنِى غَيْرَ تَخْسِيرٍ “Shaleh berkata: “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan diberi-Nya aku rahmat (kenabian) dari-Nya, maka siapakah yang akan menolong aku dari (azab) Allah jika aku mendurhakai-Nya. Sebab itu kamu tidak menambah apapun kepadaku selain daripada kerugian.” (QS. Hud: 63) وَيَٰقَوْمِ هَٰذِهِۦ نَاقَةُ ٱللَّهِ لَكُمْ ءَايَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِىٓ أَرْضِ ٱللَّهِ وَلَا تَمَسُّوهَا بِسُوٓءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ قَرِيبٌ “Hai kaumku, inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu, sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun yang akan menyebabkan kamu ditimpa azab yang dekat”. (QS. Hud: 64) فَعَقَرُوهَا فَقَالَ تَمَتَّعُوا۟ فِى دَارِكُمْ ثَلَٰثَةَ أَيَّامٍ ۖ ذَٰلِكَ وَعْدٌ غَيْرُ مَكْذُوبٍ “Mereka membunuh unta itu, maka berkata Shaleh: “Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah janji yang tidak dapat didustakan”.” (QS. Hud: 65) فَلَمَّا جَآءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا صَٰلِحًا وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ بِرَحْمَةٍ مِّنَّا وَمِنْ خِزْىِ يَوْمِئِذٍ ۗ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ ٱلْقَوِىُّ ٱلْعَزِيزُ “Maka tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Shaleh beserta orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami dan dari kehinaan di hari itu. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-Lah yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Hud: 66) وَأَخَذَ ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ ٱلصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ “Dan satu suara keras yang mengguntur menimpa orang-orang yang zalim itu, lalu mereka mati bergelimpangan di rumahnya.” (QS. Hud: 67) كَأَن لَّمْ يَغْنَوْا۟ فِيهَآ ۗ أَلَآ إِنَّ ثَمُودَا۟ كَفَرُوا۟ رَبَّهُمْ ۗ أَلَا بُعْدًا لِّثَمُودَ “Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, sesungguhnya kaum Tsamud mengingkari Tuhan mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum Tsamud.” (QS. Hud: 68)   Kisah Kaum Tsamud yang Disebutkan dalam Surah Asy-Syams كَذَّبَتْ ثَمُودُ بِطَغْوَىٰهَآ “(Kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena mereka melampaui batas.” (QS. Asy-Syams: 11) إِذِ ٱنۢبَعَثَ أَشْقَىٰهَا “Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka.” (QS. Asy-Syams: 12) Syaikh As-Sa’di mengatatakan bahwa orang yang paling celaka di antara mereka adalah Qudar bin Salif yang diperintahkan oleh kaumnya untuk membunuh unta Allah. Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, dan Syaikh Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz Al-‘Awaji menyebutkan nama yang sama mengenai penyembelih unta Allah tersebut. Padahal unta betina ini adalah mukjizat Allah yang diberikan pada Nabi Saleh ‘alaihis salam atas permintaan kaumnya yang meminta unta tersebut keluar dari batu. Dalam Tafsir Ibnu Katsri disebutkan: Laki-laki itu adalah orang yang perkasa dan dimuliakan di antara mereka, mempunyai kemuliaan di antara kaumnya, terhormat dan menjadi pemimpin yang ditaati. فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ ٱللَّهِ نَاقَةَ ٱللَّهِ وَسُقْيَٰهَا “Lalu Rasul Allah (Saleh) berkata kepada mereka: (“Biarkanlah) unta betina Allah dan minumannya”.” Kaum Tsamud mendustakan Nabi Shalih, maka beliau menampakkan mukjizat unta betina dan memperingatkan mereka agar tidak mengganggu unta itu dan menghalanginya dari meminum air di hari yang telah ditetapkan baginya; hal ini setelah kesepakatan Nabi Shalih dengan kaum mereka untuk memberi satu hari bagi unta betina itu untuk minum, dan di hari setelahnya giliran unta kaumnya. Akan tetapi mereka menyelisihi kesepakatan dengan nabi mereka, dan tidak mempedulikan peringatannya berupa azab dan kebinasaan. فَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُم بِذَنۢبِهِمْ فَسَوَّىٰهَا “Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu, maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah menyama-ratakan mereka (dengan tanah),” وَلَا يَخَافُ عُقْبَٰهَا “Dan Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu.” Maksudnya: Allah Maha Perkasa, tidak ada yang dapat menentang ketetapan-Nya. Azab yang menimpa orang-orang kafir itu tidak dapat ditolak seorangpun dan tidak ada yang mampu membalas-Nya.   Dosa adalah Penyebab Berbagai Bencana di Muka Bumi Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ تَأْثِيرِ مَعَاصِي اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَا يَحِلُّ بِهَا مِنَ الْخَسْفِ وَالزَّلَازِلِ، وَيَمْحَقُ بَرَكَتَهَا، وَقَدْ «مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى دِيَارِ ثَمُودَ، فَمَنَعَهُمْ مِنْ دُخُولِ دِيَارِهِمْ إِلَّا وَهُمْ بَاكُونَ، وَمِنْ شُرْبِ مِيَاهِهِمْ، وَمِنَ الِاسْتِسْقَاءِ مِنْ آبَارِهِمْ، حَتَّى أَمَرَ أَنْ لَا يُعْلَفَ الْعَجِينُ الَّذِي عُجِنَ بِمِيَاهِهِمْ لِلنَّوَاضِحِ، لِتَأْثِيرِ شُؤْمِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْمَاءِ،» وَكَذَلِكَ شُؤْمِ تَأْثِيرِ الذُّنُوبِ فِي نَقْصِ الثِّمَارِ وَمَا تَرَى بِهِ مِنَ الْآفَاتِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ قَالَ: وُجِدَتْ فِي خَزَائِنَ بَعْضِ بَنِي أُمَيَّةَ، حِنْطَةٌ، الْحَبَّةُ بِقَدْرِ نَوَاةِ التَّمْرَةِ، وَهِيَ فِي صُرَّةٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا: كَانَ هَذَا يَنْبُتُ فِي زَمَنٍ مِنَ الْعَدْلِ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ أَحْدَثَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا أَحْدَثَ الْعِبَادُ مِنَ الذُّنُوبِ. وَأَخْبَرَنِي جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِ الصَّحْرَاءِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْهَدُونَ الثِّمَارَ أَكْبَرَ مِمَّا هِيَ الْآنَ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ الَّتِي تُصِيبُهَا لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَهَا، وَإِنَّمَا حَدَثَتْ مِنْ قُرْبٍ. “Di antara dampak dari maksiat yang dilakukan manusia adalah terjadinya bencana di bumi, seperti tanah longsor dan gempa bumi, serta berkurangnya keberkahan. Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ melewati perkampungan kaum Tsamud, lalu beliau melarang para sahabat untuk memasuki tempat tinggal mereka kecuali dalam keadaan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum air dari sumur-sumur mereka atau menggunakan air itu untuk meminta hujan. Bahkan, beliau memerintahkan agar adonan yang telah dicampur dengan air mereka tidak diberikan kepada hewan ternak, karena air tersebut telah terkena dampak buruk akibat maksiat yang dilakukan oleh penduduknya. Begitu pula dampak buruk dosa terhadap hasil panen dan buah-buahan, yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama. Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa di salah satu perbendaharaan milik Bani Umayyah ditemukan sebutir gandum sebesar biji kurma. Gandum tersebut disimpan dalam sebuah kantong yang bertuliskan: “Dahulu, gandum sebesar ini tumbuh di zaman yang penuh dengan keadilan.” Banyak penyakit dan hama yang muncul akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia. Beberapa ulama dari daerah padang pasir mengisahkan bahwa mereka pernah melihat buah-buahan berukuran lebih besar daripada yang ada sekarang, serta tidak mengenal banyak hama dan penyakit yang kini menyerang tanaman. Semua itu baru terjadi belakangan akibat banyaknya dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.” Baca juga: Dampak Buruk Maksiat – Pelajaran dari Ibnul Qayyim   –   1 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com TagsAkibat Kemaksiatan Azab Allah Dakwah Nabi gempa bumi Hukuman Allah Islam dan Sejarah Kaum Tsamud Kehancuran Bangsa Kisah dalam Al-Qur'an Lembah Hijr Madain Saleh Mukjizat Unta Nabi Saleh pelajaran islam Peradaban Arab Kuno Peradaban Kuno Petir dari Langit sejarah Islam Suara Dahsyat tafsir al-qur’an

Kisah Kaum Tsamud: Peradaban yang Hilang Karena Azab Allah

Kaum Tsamud adalah salah satu peradaban besar yang disebut dalam Al-Qur’an, tetapi akhirnya dibinasakan oleh Allah karena kedurhakaan mereka. Kisah mereka menjadi pelajaran berharga tentang akibat menolak kebenaran dan melanggar perintah Allah. Artikel ini mengulas sejarah, mukjizat, dan azab yang menimpa kaum Tsamud berdasarkan Al-Qur’an dan tafsir ulama.   Daftar Isi tutup 1. 1. Kaum Tsamud dalam Al-Qur’an 2. 2. Nabi Saleh dan Seruan Kebenaran 3. 3. Mukjizat Unta Nabi Saleh 4. 4. Azab yang Menimpa Kaum Tsamud 5. 5. Pelajaran dari Kisah Kaum Tsamud 6. 6. Kesimpulan 7. Kisah tentang kaum Tsamud di Surah Hud 8. Kisah Kaum Tsamud yang Disebutkan dalam Surah Asy-Syams 9. Dosa adalah Penyebab Berbagai Bencana di Muka Bumi   1. Kaum Tsamud dalam Al-Qur’an Allah menyebut kaum Tsamud dalam firman-Nya: وَثَمُودَ ٱلَّذِينَ جَابُوا۟ ٱلصَّخْرَ بِٱلْوَادِ “Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah.” (QS. Al-Fajr: 9) Kaum Tsamud adalah bangsa yang tinggal di Lembah Hijr atau Mada’in Saleh, terletak di utara Arab Saudi. Mereka membangun rumah dengan memahat batu besar dan memiliki peradaban maju, tetapi akhirnya dibinasakan oleh Allah karena kedurhakaan mereka.   2. Nabi Saleh dan Seruan Kebenaran Allah mengutus Nabi Saleh ‘alaihissalam kepada kaum Tsamud untuk menyeru mereka beribadah kepada Allah. Allah berfirman: وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَٰلِحًا ۗ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥ ۖ “Dan kepada kaum Tsamud, Kami utus saudara mereka, Saleh. Ia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.'” (QS. Al-A’raf: 73) Kaum Tsamud menolak seruan Nabi Saleh dengan penuh kesombongan. Mereka bahkan menuntut bukti kenabiannya dengan meminta mukjizat.   3. Mukjizat Unta Nabi Saleh Allah mengabulkan doa Nabi Saleh dan mengeluarkan seekor unta betina dari batu sebagai tanda kebesaran-Nya. Unta ini minum dari sumber air mereka sehari penuh, sedangkan keesokan harinya giliran mereka mengambil air. Allah berfirman: هَٰذِهِۦ نَاقَةُ ٱللَّهِ لَكُمْ ءَايَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِىٓ أَرْضِ ٱللَّهِ “Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah.” (QS. Al-A’raf: 73) Namun, kaum Tsamud justru membunuh unta itu, yang akhirnya membawa kebinasaan bagi mereka.   4. Azab yang Menimpa Kaum Tsamud Setelah membunuh unta mukjizat, Nabi Saleh memperingatkan mereka bahwa azab akan datang dalam tiga hari. Azab yang menimpa kaum Tsamud terdiri dari: a. Suara Dahsyat (Ash-Sha’iqah) Allah mengirim suara mengguntur yang menghancurkan mereka seketika. فَأَخَذَتْهُمُ ٱلصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ “Lalu mereka ditimpa suara yang mengguntur, sehingga mereka mati bergelimpangan di dalam rumah mereka.” (QS. Al-A’raf: 78) b. Gempa Dahsyat (Ar-Rajfah) Gempa bumi mengguncang tanah mereka hingga membuat mereka mati dalam keadaan berserakan. فَأَخَذَتْهُمُ ٱلرَّجْفَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ “Maka mereka ditimpa gempa, sehingga jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka.” (QS. Al-A’raf: 91) c. Petir yang Membakar (Ash-Sha’iqah) Sebagian ulama menyebut bahwa kaum Tsamud dihancurkan dengan petir atau api dari langit. وَأَمَّا ثَمُودُ فَأُهْلِكُوا۟ بِٱلطَّاغِيَةِ “Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah dibinasakan dengan suara yang sangat keras (menggelegar).” (QS. Al-Haqqah: 5)   5. Pelajaran dari Kisah Kaum Tsamud Kehancuran kaum Tsamud menjadi pelajaran bagi manusia agar tidak menentang perintah Allah. Rasulullah ﷺ pernah melarang para sahabat memasuki tempat tinggal kaum Tsamud tanpa menangis, karena tempat itu telah ditimpa azab. Dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَا تَدْخُلُوا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ الْمُعَذَّبِينَ إِلَّا أَنْ تَكُونُوا بَاكِينَ، فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا بَاكِينَ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ أَنْ يُصِيبَكُمْ مِثْلُ مَا أَصَابَهُمْ “Janganlah kalian memasuki tempat orang-orang yang diazab, kecuali jika kalian menangis. Jika kalian tidak menangis, maka janganlah kalian memasukinya, agar tidak menimpa kalian seperti yang menimpa mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadis ini mengajarkan bahwa ketika mengunjungi tempat-tempat seperti Madain Saleh, umat Islam harus melakukannya dengan rasa takut dan khusyuk, mengingat azab Allah yang pernah terjadi di sana. Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula dalam Islam  Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa dosa dan maksiat dapat mengundang bencana, seperti gempa bumi dan hilangnya keberkahan di muka bumi.   6. Kesimpulan Kaum Tsamud binasa karena kesombongan dan kedurhakaan mereka terhadap Allah serta penolakan terhadap Nabi Saleh. Kisah mereka menjadi peringatan bagi manusia agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dan tetap berada di jalan yang benar.   Kisah tentang kaum Tsamud di Surah Hud وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَٰلِحًا ۚ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥ ۖ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ وَٱسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَٱسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوٓا۟ إِلَيْهِ ۚ إِنَّ رَبِّى قَرِيبٌ مُّجِيبٌ “Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)”.” (QS. Hud: 61) قَالُوا۟ يَٰصَٰلِحُ قَدْ كُنتَ فِينَا مَرْجُوًّا قَبْلَ هَٰذَآ ۖ أَتَنْهَىٰنَآ أَن نَّعْبُدَ مَا يَعْبُدُ ءَابَآؤُنَا وَإِنَّنَا لَفِى شَكٍّ مِّمَّا تَدْعُونَآ إِلَيْهِ مُرِيبٍ “Kaum Tsamud berkata: “Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami”.” (QS. Hud: 62) قَالَ يَٰقَوْمِ أَرَءَيْتُمْ إِن كُنتُ عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّى وَءَاتَىٰنِى مِنْهُ رَحْمَةً فَمَن يَنصُرُنِى مِنَ ٱللَّهِ إِنْ عَصَيْتُهُۥ ۖ فَمَا تَزِيدُونَنِى غَيْرَ تَخْسِيرٍ “Shaleh berkata: “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan diberi-Nya aku rahmat (kenabian) dari-Nya, maka siapakah yang akan menolong aku dari (azab) Allah jika aku mendurhakai-Nya. Sebab itu kamu tidak menambah apapun kepadaku selain daripada kerugian.” (QS. Hud: 63) وَيَٰقَوْمِ هَٰذِهِۦ نَاقَةُ ٱللَّهِ لَكُمْ ءَايَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِىٓ أَرْضِ ٱللَّهِ وَلَا تَمَسُّوهَا بِسُوٓءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ قَرِيبٌ “Hai kaumku, inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu, sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun yang akan menyebabkan kamu ditimpa azab yang dekat”. (QS. Hud: 64) فَعَقَرُوهَا فَقَالَ تَمَتَّعُوا۟ فِى دَارِكُمْ ثَلَٰثَةَ أَيَّامٍ ۖ ذَٰلِكَ وَعْدٌ غَيْرُ مَكْذُوبٍ “Mereka membunuh unta itu, maka berkata Shaleh: “Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah janji yang tidak dapat didustakan”.” (QS. Hud: 65) فَلَمَّا جَآءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا صَٰلِحًا وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ بِرَحْمَةٍ مِّنَّا وَمِنْ خِزْىِ يَوْمِئِذٍ ۗ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ ٱلْقَوِىُّ ٱلْعَزِيزُ “Maka tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Shaleh beserta orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami dan dari kehinaan di hari itu. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-Lah yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Hud: 66) وَأَخَذَ ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ ٱلصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ “Dan satu suara keras yang mengguntur menimpa orang-orang yang zalim itu, lalu mereka mati bergelimpangan di rumahnya.” (QS. Hud: 67) كَأَن لَّمْ يَغْنَوْا۟ فِيهَآ ۗ أَلَآ إِنَّ ثَمُودَا۟ كَفَرُوا۟ رَبَّهُمْ ۗ أَلَا بُعْدًا لِّثَمُودَ “Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, sesungguhnya kaum Tsamud mengingkari Tuhan mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum Tsamud.” (QS. Hud: 68)   Kisah Kaum Tsamud yang Disebutkan dalam Surah Asy-Syams كَذَّبَتْ ثَمُودُ بِطَغْوَىٰهَآ “(Kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena mereka melampaui batas.” (QS. Asy-Syams: 11) إِذِ ٱنۢبَعَثَ أَشْقَىٰهَا “Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka.” (QS. Asy-Syams: 12) Syaikh As-Sa’di mengatatakan bahwa orang yang paling celaka di antara mereka adalah Qudar bin Salif yang diperintahkan oleh kaumnya untuk membunuh unta Allah. Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, dan Syaikh Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz Al-‘Awaji menyebutkan nama yang sama mengenai penyembelih unta Allah tersebut. Padahal unta betina ini adalah mukjizat Allah yang diberikan pada Nabi Saleh ‘alaihis salam atas permintaan kaumnya yang meminta unta tersebut keluar dari batu. Dalam Tafsir Ibnu Katsri disebutkan: Laki-laki itu adalah orang yang perkasa dan dimuliakan di antara mereka, mempunyai kemuliaan di antara kaumnya, terhormat dan menjadi pemimpin yang ditaati. فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ ٱللَّهِ نَاقَةَ ٱللَّهِ وَسُقْيَٰهَا “Lalu Rasul Allah (Saleh) berkata kepada mereka: (“Biarkanlah) unta betina Allah dan minumannya”.” Kaum Tsamud mendustakan Nabi Shalih, maka beliau menampakkan mukjizat unta betina dan memperingatkan mereka agar tidak mengganggu unta itu dan menghalanginya dari meminum air di hari yang telah ditetapkan baginya; hal ini setelah kesepakatan Nabi Shalih dengan kaum mereka untuk memberi satu hari bagi unta betina itu untuk minum, dan di hari setelahnya giliran unta kaumnya. Akan tetapi mereka menyelisihi kesepakatan dengan nabi mereka, dan tidak mempedulikan peringatannya berupa azab dan kebinasaan. فَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُم بِذَنۢبِهِمْ فَسَوَّىٰهَا “Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu, maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah menyama-ratakan mereka (dengan tanah),” وَلَا يَخَافُ عُقْبَٰهَا “Dan Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu.” Maksudnya: Allah Maha Perkasa, tidak ada yang dapat menentang ketetapan-Nya. Azab yang menimpa orang-orang kafir itu tidak dapat ditolak seorangpun dan tidak ada yang mampu membalas-Nya.   Dosa adalah Penyebab Berbagai Bencana di Muka Bumi Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ تَأْثِيرِ مَعَاصِي اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَا يَحِلُّ بِهَا مِنَ الْخَسْفِ وَالزَّلَازِلِ، وَيَمْحَقُ بَرَكَتَهَا، وَقَدْ «مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى دِيَارِ ثَمُودَ، فَمَنَعَهُمْ مِنْ دُخُولِ دِيَارِهِمْ إِلَّا وَهُمْ بَاكُونَ، وَمِنْ شُرْبِ مِيَاهِهِمْ، وَمِنَ الِاسْتِسْقَاءِ مِنْ آبَارِهِمْ، حَتَّى أَمَرَ أَنْ لَا يُعْلَفَ الْعَجِينُ الَّذِي عُجِنَ بِمِيَاهِهِمْ لِلنَّوَاضِحِ، لِتَأْثِيرِ شُؤْمِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْمَاءِ،» وَكَذَلِكَ شُؤْمِ تَأْثِيرِ الذُّنُوبِ فِي نَقْصِ الثِّمَارِ وَمَا تَرَى بِهِ مِنَ الْآفَاتِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ قَالَ: وُجِدَتْ فِي خَزَائِنَ بَعْضِ بَنِي أُمَيَّةَ، حِنْطَةٌ، الْحَبَّةُ بِقَدْرِ نَوَاةِ التَّمْرَةِ، وَهِيَ فِي صُرَّةٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا: كَانَ هَذَا يَنْبُتُ فِي زَمَنٍ مِنَ الْعَدْلِ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ أَحْدَثَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا أَحْدَثَ الْعِبَادُ مِنَ الذُّنُوبِ. وَأَخْبَرَنِي جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِ الصَّحْرَاءِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْهَدُونَ الثِّمَارَ أَكْبَرَ مِمَّا هِيَ الْآنَ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ الَّتِي تُصِيبُهَا لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَهَا، وَإِنَّمَا حَدَثَتْ مِنْ قُرْبٍ. “Di antara dampak dari maksiat yang dilakukan manusia adalah terjadinya bencana di bumi, seperti tanah longsor dan gempa bumi, serta berkurangnya keberkahan. Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ melewati perkampungan kaum Tsamud, lalu beliau melarang para sahabat untuk memasuki tempat tinggal mereka kecuali dalam keadaan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum air dari sumur-sumur mereka atau menggunakan air itu untuk meminta hujan. Bahkan, beliau memerintahkan agar adonan yang telah dicampur dengan air mereka tidak diberikan kepada hewan ternak, karena air tersebut telah terkena dampak buruk akibat maksiat yang dilakukan oleh penduduknya. Begitu pula dampak buruk dosa terhadap hasil panen dan buah-buahan, yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama. Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa di salah satu perbendaharaan milik Bani Umayyah ditemukan sebutir gandum sebesar biji kurma. Gandum tersebut disimpan dalam sebuah kantong yang bertuliskan: “Dahulu, gandum sebesar ini tumbuh di zaman yang penuh dengan keadilan.” Banyak penyakit dan hama yang muncul akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia. Beberapa ulama dari daerah padang pasir mengisahkan bahwa mereka pernah melihat buah-buahan berukuran lebih besar daripada yang ada sekarang, serta tidak mengenal banyak hama dan penyakit yang kini menyerang tanaman. Semua itu baru terjadi belakangan akibat banyaknya dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.” Baca juga: Dampak Buruk Maksiat – Pelajaran dari Ibnul Qayyim   –   1 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com TagsAkibat Kemaksiatan Azab Allah Dakwah Nabi gempa bumi Hukuman Allah Islam dan Sejarah Kaum Tsamud Kehancuran Bangsa Kisah dalam Al-Qur'an Lembah Hijr Madain Saleh Mukjizat Unta Nabi Saleh pelajaran islam Peradaban Arab Kuno Peradaban Kuno Petir dari Langit sejarah Islam Suara Dahsyat tafsir al-qur’an
Kaum Tsamud adalah salah satu peradaban besar yang disebut dalam Al-Qur’an, tetapi akhirnya dibinasakan oleh Allah karena kedurhakaan mereka. Kisah mereka menjadi pelajaran berharga tentang akibat menolak kebenaran dan melanggar perintah Allah. Artikel ini mengulas sejarah, mukjizat, dan azab yang menimpa kaum Tsamud berdasarkan Al-Qur’an dan tafsir ulama.   Daftar Isi tutup 1. 1. Kaum Tsamud dalam Al-Qur’an 2. 2. Nabi Saleh dan Seruan Kebenaran 3. 3. Mukjizat Unta Nabi Saleh 4. 4. Azab yang Menimpa Kaum Tsamud 5. 5. Pelajaran dari Kisah Kaum Tsamud 6. 6. Kesimpulan 7. Kisah tentang kaum Tsamud di Surah Hud 8. Kisah Kaum Tsamud yang Disebutkan dalam Surah Asy-Syams 9. Dosa adalah Penyebab Berbagai Bencana di Muka Bumi   1. Kaum Tsamud dalam Al-Qur’an Allah menyebut kaum Tsamud dalam firman-Nya: وَثَمُودَ ٱلَّذِينَ جَابُوا۟ ٱلصَّخْرَ بِٱلْوَادِ “Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah.” (QS. Al-Fajr: 9) Kaum Tsamud adalah bangsa yang tinggal di Lembah Hijr atau Mada’in Saleh, terletak di utara Arab Saudi. Mereka membangun rumah dengan memahat batu besar dan memiliki peradaban maju, tetapi akhirnya dibinasakan oleh Allah karena kedurhakaan mereka.   2. Nabi Saleh dan Seruan Kebenaran Allah mengutus Nabi Saleh ‘alaihissalam kepada kaum Tsamud untuk menyeru mereka beribadah kepada Allah. Allah berfirman: وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَٰلِحًا ۗ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥ ۖ “Dan kepada kaum Tsamud, Kami utus saudara mereka, Saleh. Ia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.'” (QS. Al-A’raf: 73) Kaum Tsamud menolak seruan Nabi Saleh dengan penuh kesombongan. Mereka bahkan menuntut bukti kenabiannya dengan meminta mukjizat.   3. Mukjizat Unta Nabi Saleh Allah mengabulkan doa Nabi Saleh dan mengeluarkan seekor unta betina dari batu sebagai tanda kebesaran-Nya. Unta ini minum dari sumber air mereka sehari penuh, sedangkan keesokan harinya giliran mereka mengambil air. Allah berfirman: هَٰذِهِۦ نَاقَةُ ٱللَّهِ لَكُمْ ءَايَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِىٓ أَرْضِ ٱللَّهِ “Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah.” (QS. Al-A’raf: 73) Namun, kaum Tsamud justru membunuh unta itu, yang akhirnya membawa kebinasaan bagi mereka.   4. Azab yang Menimpa Kaum Tsamud Setelah membunuh unta mukjizat, Nabi Saleh memperingatkan mereka bahwa azab akan datang dalam tiga hari. Azab yang menimpa kaum Tsamud terdiri dari: a. Suara Dahsyat (Ash-Sha’iqah) Allah mengirim suara mengguntur yang menghancurkan mereka seketika. فَأَخَذَتْهُمُ ٱلصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ “Lalu mereka ditimpa suara yang mengguntur, sehingga mereka mati bergelimpangan di dalam rumah mereka.” (QS. Al-A’raf: 78) b. Gempa Dahsyat (Ar-Rajfah) Gempa bumi mengguncang tanah mereka hingga membuat mereka mati dalam keadaan berserakan. فَأَخَذَتْهُمُ ٱلرَّجْفَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ “Maka mereka ditimpa gempa, sehingga jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka.” (QS. Al-A’raf: 91) c. Petir yang Membakar (Ash-Sha’iqah) Sebagian ulama menyebut bahwa kaum Tsamud dihancurkan dengan petir atau api dari langit. وَأَمَّا ثَمُودُ فَأُهْلِكُوا۟ بِٱلطَّاغِيَةِ “Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah dibinasakan dengan suara yang sangat keras (menggelegar).” (QS. Al-Haqqah: 5)   5. Pelajaran dari Kisah Kaum Tsamud Kehancuran kaum Tsamud menjadi pelajaran bagi manusia agar tidak menentang perintah Allah. Rasulullah ﷺ pernah melarang para sahabat memasuki tempat tinggal kaum Tsamud tanpa menangis, karena tempat itu telah ditimpa azab. Dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَا تَدْخُلُوا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ الْمُعَذَّبِينَ إِلَّا أَنْ تَكُونُوا بَاكِينَ، فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا بَاكِينَ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ أَنْ يُصِيبَكُمْ مِثْلُ مَا أَصَابَهُمْ “Janganlah kalian memasuki tempat orang-orang yang diazab, kecuali jika kalian menangis. Jika kalian tidak menangis, maka janganlah kalian memasukinya, agar tidak menimpa kalian seperti yang menimpa mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadis ini mengajarkan bahwa ketika mengunjungi tempat-tempat seperti Madain Saleh, umat Islam harus melakukannya dengan rasa takut dan khusyuk, mengingat azab Allah yang pernah terjadi di sana. Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula dalam Islam  Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa dosa dan maksiat dapat mengundang bencana, seperti gempa bumi dan hilangnya keberkahan di muka bumi.   6. Kesimpulan Kaum Tsamud binasa karena kesombongan dan kedurhakaan mereka terhadap Allah serta penolakan terhadap Nabi Saleh. Kisah mereka menjadi peringatan bagi manusia agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dan tetap berada di jalan yang benar.   Kisah tentang kaum Tsamud di Surah Hud وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَٰلِحًا ۚ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥ ۖ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ وَٱسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَٱسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوٓا۟ إِلَيْهِ ۚ إِنَّ رَبِّى قَرِيبٌ مُّجِيبٌ “Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)”.” (QS. Hud: 61) قَالُوا۟ يَٰصَٰلِحُ قَدْ كُنتَ فِينَا مَرْجُوًّا قَبْلَ هَٰذَآ ۖ أَتَنْهَىٰنَآ أَن نَّعْبُدَ مَا يَعْبُدُ ءَابَآؤُنَا وَإِنَّنَا لَفِى شَكٍّ مِّمَّا تَدْعُونَآ إِلَيْهِ مُرِيبٍ “Kaum Tsamud berkata: “Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami”.” (QS. Hud: 62) قَالَ يَٰقَوْمِ أَرَءَيْتُمْ إِن كُنتُ عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّى وَءَاتَىٰنِى مِنْهُ رَحْمَةً فَمَن يَنصُرُنِى مِنَ ٱللَّهِ إِنْ عَصَيْتُهُۥ ۖ فَمَا تَزِيدُونَنِى غَيْرَ تَخْسِيرٍ “Shaleh berkata: “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan diberi-Nya aku rahmat (kenabian) dari-Nya, maka siapakah yang akan menolong aku dari (azab) Allah jika aku mendurhakai-Nya. Sebab itu kamu tidak menambah apapun kepadaku selain daripada kerugian.” (QS. Hud: 63) وَيَٰقَوْمِ هَٰذِهِۦ نَاقَةُ ٱللَّهِ لَكُمْ ءَايَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِىٓ أَرْضِ ٱللَّهِ وَلَا تَمَسُّوهَا بِسُوٓءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ قَرِيبٌ “Hai kaumku, inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu, sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun yang akan menyebabkan kamu ditimpa azab yang dekat”. (QS. Hud: 64) فَعَقَرُوهَا فَقَالَ تَمَتَّعُوا۟ فِى دَارِكُمْ ثَلَٰثَةَ أَيَّامٍ ۖ ذَٰلِكَ وَعْدٌ غَيْرُ مَكْذُوبٍ “Mereka membunuh unta itu, maka berkata Shaleh: “Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah janji yang tidak dapat didustakan”.” (QS. Hud: 65) فَلَمَّا جَآءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا صَٰلِحًا وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ بِرَحْمَةٍ مِّنَّا وَمِنْ خِزْىِ يَوْمِئِذٍ ۗ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ ٱلْقَوِىُّ ٱلْعَزِيزُ “Maka tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Shaleh beserta orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami dan dari kehinaan di hari itu. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-Lah yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Hud: 66) وَأَخَذَ ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ ٱلصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ “Dan satu suara keras yang mengguntur menimpa orang-orang yang zalim itu, lalu mereka mati bergelimpangan di rumahnya.” (QS. Hud: 67) كَأَن لَّمْ يَغْنَوْا۟ فِيهَآ ۗ أَلَآ إِنَّ ثَمُودَا۟ كَفَرُوا۟ رَبَّهُمْ ۗ أَلَا بُعْدًا لِّثَمُودَ “Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, sesungguhnya kaum Tsamud mengingkari Tuhan mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum Tsamud.” (QS. Hud: 68)   Kisah Kaum Tsamud yang Disebutkan dalam Surah Asy-Syams كَذَّبَتْ ثَمُودُ بِطَغْوَىٰهَآ “(Kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena mereka melampaui batas.” (QS. Asy-Syams: 11) إِذِ ٱنۢبَعَثَ أَشْقَىٰهَا “Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka.” (QS. Asy-Syams: 12) Syaikh As-Sa’di mengatatakan bahwa orang yang paling celaka di antara mereka adalah Qudar bin Salif yang diperintahkan oleh kaumnya untuk membunuh unta Allah. Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, dan Syaikh Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz Al-‘Awaji menyebutkan nama yang sama mengenai penyembelih unta Allah tersebut. Padahal unta betina ini adalah mukjizat Allah yang diberikan pada Nabi Saleh ‘alaihis salam atas permintaan kaumnya yang meminta unta tersebut keluar dari batu. Dalam Tafsir Ibnu Katsri disebutkan: Laki-laki itu adalah orang yang perkasa dan dimuliakan di antara mereka, mempunyai kemuliaan di antara kaumnya, terhormat dan menjadi pemimpin yang ditaati. فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ ٱللَّهِ نَاقَةَ ٱللَّهِ وَسُقْيَٰهَا “Lalu Rasul Allah (Saleh) berkata kepada mereka: (“Biarkanlah) unta betina Allah dan minumannya”.” Kaum Tsamud mendustakan Nabi Shalih, maka beliau menampakkan mukjizat unta betina dan memperingatkan mereka agar tidak mengganggu unta itu dan menghalanginya dari meminum air di hari yang telah ditetapkan baginya; hal ini setelah kesepakatan Nabi Shalih dengan kaum mereka untuk memberi satu hari bagi unta betina itu untuk minum, dan di hari setelahnya giliran unta kaumnya. Akan tetapi mereka menyelisihi kesepakatan dengan nabi mereka, dan tidak mempedulikan peringatannya berupa azab dan kebinasaan. فَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُم بِذَنۢبِهِمْ فَسَوَّىٰهَا “Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu, maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah menyama-ratakan mereka (dengan tanah),” وَلَا يَخَافُ عُقْبَٰهَا “Dan Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu.” Maksudnya: Allah Maha Perkasa, tidak ada yang dapat menentang ketetapan-Nya. Azab yang menimpa orang-orang kafir itu tidak dapat ditolak seorangpun dan tidak ada yang mampu membalas-Nya.   Dosa adalah Penyebab Berbagai Bencana di Muka Bumi Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ تَأْثِيرِ مَعَاصِي اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَا يَحِلُّ بِهَا مِنَ الْخَسْفِ وَالزَّلَازِلِ، وَيَمْحَقُ بَرَكَتَهَا، وَقَدْ «مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى دِيَارِ ثَمُودَ، فَمَنَعَهُمْ مِنْ دُخُولِ دِيَارِهِمْ إِلَّا وَهُمْ بَاكُونَ، وَمِنْ شُرْبِ مِيَاهِهِمْ، وَمِنَ الِاسْتِسْقَاءِ مِنْ آبَارِهِمْ، حَتَّى أَمَرَ أَنْ لَا يُعْلَفَ الْعَجِينُ الَّذِي عُجِنَ بِمِيَاهِهِمْ لِلنَّوَاضِحِ، لِتَأْثِيرِ شُؤْمِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْمَاءِ،» وَكَذَلِكَ شُؤْمِ تَأْثِيرِ الذُّنُوبِ فِي نَقْصِ الثِّمَارِ وَمَا تَرَى بِهِ مِنَ الْآفَاتِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ قَالَ: وُجِدَتْ فِي خَزَائِنَ بَعْضِ بَنِي أُمَيَّةَ، حِنْطَةٌ، الْحَبَّةُ بِقَدْرِ نَوَاةِ التَّمْرَةِ، وَهِيَ فِي صُرَّةٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا: كَانَ هَذَا يَنْبُتُ فِي زَمَنٍ مِنَ الْعَدْلِ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ أَحْدَثَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا أَحْدَثَ الْعِبَادُ مِنَ الذُّنُوبِ. وَأَخْبَرَنِي جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِ الصَّحْرَاءِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْهَدُونَ الثِّمَارَ أَكْبَرَ مِمَّا هِيَ الْآنَ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ الَّتِي تُصِيبُهَا لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَهَا، وَإِنَّمَا حَدَثَتْ مِنْ قُرْبٍ. “Di antara dampak dari maksiat yang dilakukan manusia adalah terjadinya bencana di bumi, seperti tanah longsor dan gempa bumi, serta berkurangnya keberkahan. Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ melewati perkampungan kaum Tsamud, lalu beliau melarang para sahabat untuk memasuki tempat tinggal mereka kecuali dalam keadaan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum air dari sumur-sumur mereka atau menggunakan air itu untuk meminta hujan. Bahkan, beliau memerintahkan agar adonan yang telah dicampur dengan air mereka tidak diberikan kepada hewan ternak, karena air tersebut telah terkena dampak buruk akibat maksiat yang dilakukan oleh penduduknya. Begitu pula dampak buruk dosa terhadap hasil panen dan buah-buahan, yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama. Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa di salah satu perbendaharaan milik Bani Umayyah ditemukan sebutir gandum sebesar biji kurma. Gandum tersebut disimpan dalam sebuah kantong yang bertuliskan: “Dahulu, gandum sebesar ini tumbuh di zaman yang penuh dengan keadilan.” Banyak penyakit dan hama yang muncul akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia. Beberapa ulama dari daerah padang pasir mengisahkan bahwa mereka pernah melihat buah-buahan berukuran lebih besar daripada yang ada sekarang, serta tidak mengenal banyak hama dan penyakit yang kini menyerang tanaman. Semua itu baru terjadi belakangan akibat banyaknya dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.” Baca juga: Dampak Buruk Maksiat – Pelajaran dari Ibnul Qayyim   –   1 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com TagsAkibat Kemaksiatan Azab Allah Dakwah Nabi gempa bumi Hukuman Allah Islam dan Sejarah Kaum Tsamud Kehancuran Bangsa Kisah dalam Al-Qur'an Lembah Hijr Madain Saleh Mukjizat Unta Nabi Saleh pelajaran islam Peradaban Arab Kuno Peradaban Kuno Petir dari Langit sejarah Islam Suara Dahsyat tafsir al-qur’an


Kaum Tsamud adalah salah satu peradaban besar yang disebut dalam Al-Qur’an, tetapi akhirnya dibinasakan oleh Allah karena kedurhakaan mereka. Kisah mereka menjadi pelajaran berharga tentang akibat menolak kebenaran dan melanggar perintah Allah. Artikel ini mengulas sejarah, mukjizat, dan azab yang menimpa kaum Tsamud berdasarkan Al-Qur’an dan tafsir ulama.   Daftar Isi tutup 1. 1. Kaum Tsamud dalam Al-Qur’an 2. 2. Nabi Saleh dan Seruan Kebenaran 3. 3. Mukjizat Unta Nabi Saleh 4. 4. Azab yang Menimpa Kaum Tsamud 5. 5. Pelajaran dari Kisah Kaum Tsamud 6. 6. Kesimpulan 7. Kisah tentang kaum Tsamud di Surah Hud 8. Kisah Kaum Tsamud yang Disebutkan dalam Surah Asy-Syams 9. Dosa adalah Penyebab Berbagai Bencana di Muka Bumi   1. Kaum Tsamud dalam Al-Qur’an Allah menyebut kaum Tsamud dalam firman-Nya: وَثَمُودَ ٱلَّذِينَ جَابُوا۟ ٱلصَّخْرَ بِٱلْوَادِ “Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah.” (QS. Al-Fajr: 9) Kaum Tsamud adalah bangsa yang tinggal di Lembah Hijr atau Mada’in Saleh, terletak di utara Arab Saudi. Mereka membangun rumah dengan memahat batu besar dan memiliki peradaban maju, tetapi akhirnya dibinasakan oleh Allah karena kedurhakaan mereka.   2. Nabi Saleh dan Seruan Kebenaran Allah mengutus Nabi Saleh ‘alaihissalam kepada kaum Tsamud untuk menyeru mereka beribadah kepada Allah. Allah berfirman: وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَٰلِحًا ۗ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥ ۖ “Dan kepada kaum Tsamud, Kami utus saudara mereka, Saleh. Ia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.'” (QS. Al-A’raf: 73) Kaum Tsamud menolak seruan Nabi Saleh dengan penuh kesombongan. Mereka bahkan menuntut bukti kenabiannya dengan meminta mukjizat.   3. Mukjizat Unta Nabi Saleh Allah mengabulkan doa Nabi Saleh dan mengeluarkan seekor unta betina dari batu sebagai tanda kebesaran-Nya. Unta ini minum dari sumber air mereka sehari penuh, sedangkan keesokan harinya giliran mereka mengambil air. Allah berfirman: هَٰذِهِۦ نَاقَةُ ٱللَّهِ لَكُمْ ءَايَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِىٓ أَرْضِ ٱللَّهِ “Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah.” (QS. Al-A’raf: 73) Namun, kaum Tsamud justru membunuh unta itu, yang akhirnya membawa kebinasaan bagi mereka.   4. Azab yang Menimpa Kaum Tsamud Setelah membunuh unta mukjizat, Nabi Saleh memperingatkan mereka bahwa azab akan datang dalam tiga hari. Azab yang menimpa kaum Tsamud terdiri dari: a. Suara Dahsyat (Ash-Sha’iqah) Allah mengirim suara mengguntur yang menghancurkan mereka seketika. فَأَخَذَتْهُمُ ٱلصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ “Lalu mereka ditimpa suara yang mengguntur, sehingga mereka mati bergelimpangan di dalam rumah mereka.” (QS. Al-A’raf: 78) b. Gempa Dahsyat (Ar-Rajfah) Gempa bumi mengguncang tanah mereka hingga membuat mereka mati dalam keadaan berserakan. فَأَخَذَتْهُمُ ٱلرَّجْفَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ “Maka mereka ditimpa gempa, sehingga jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka.” (QS. Al-A’raf: 91) c. Petir yang Membakar (Ash-Sha’iqah) Sebagian ulama menyebut bahwa kaum Tsamud dihancurkan dengan petir atau api dari langit. وَأَمَّا ثَمُودُ فَأُهْلِكُوا۟ بِٱلطَّاغِيَةِ “Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah dibinasakan dengan suara yang sangat keras (menggelegar).” (QS. Al-Haqqah: 5)   5. Pelajaran dari Kisah Kaum Tsamud Kehancuran kaum Tsamud menjadi pelajaran bagi manusia agar tidak menentang perintah Allah. Rasulullah ﷺ pernah melarang para sahabat memasuki tempat tinggal kaum Tsamud tanpa menangis, karena tempat itu telah ditimpa azab. Dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَا تَدْخُلُوا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ الْمُعَذَّبِينَ إِلَّا أَنْ تَكُونُوا بَاكِينَ، فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا بَاكِينَ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ أَنْ يُصِيبَكُمْ مِثْلُ مَا أَصَابَهُمْ “Janganlah kalian memasuki tempat orang-orang yang diazab, kecuali jika kalian menangis. Jika kalian tidak menangis, maka janganlah kalian memasukinya, agar tidak menimpa kalian seperti yang menimpa mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadis ini mengajarkan bahwa ketika mengunjungi tempat-tempat seperti Madain Saleh, umat Islam harus melakukannya dengan rasa takut dan khusyuk, mengingat azab Allah yang pernah terjadi di sana. Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula dalam Islam  Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa dosa dan maksiat dapat mengundang bencana, seperti gempa bumi dan hilangnya keberkahan di muka bumi.   6. Kesimpulan Kaum Tsamud binasa karena kesombongan dan kedurhakaan mereka terhadap Allah serta penolakan terhadap Nabi Saleh. Kisah mereka menjadi peringatan bagi manusia agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dan tetap berada di jalan yang benar.   Kisah tentang kaum Tsamud di Surah Hud وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَٰلِحًا ۚ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥ ۖ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ وَٱسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَٱسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوٓا۟ إِلَيْهِ ۚ إِنَّ رَبِّى قَرِيبٌ مُّجِيبٌ “Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)”.” (QS. Hud: 61) قَالُوا۟ يَٰصَٰلِحُ قَدْ كُنتَ فِينَا مَرْجُوًّا قَبْلَ هَٰذَآ ۖ أَتَنْهَىٰنَآ أَن نَّعْبُدَ مَا يَعْبُدُ ءَابَآؤُنَا وَإِنَّنَا لَفِى شَكٍّ مِّمَّا تَدْعُونَآ إِلَيْهِ مُرِيبٍ “Kaum Tsamud berkata: “Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami”.” (QS. Hud: 62) قَالَ يَٰقَوْمِ أَرَءَيْتُمْ إِن كُنتُ عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّى وَءَاتَىٰنِى مِنْهُ رَحْمَةً فَمَن يَنصُرُنِى مِنَ ٱللَّهِ إِنْ عَصَيْتُهُۥ ۖ فَمَا تَزِيدُونَنِى غَيْرَ تَخْسِيرٍ “Shaleh berkata: “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan diberi-Nya aku rahmat (kenabian) dari-Nya, maka siapakah yang akan menolong aku dari (azab) Allah jika aku mendurhakai-Nya. Sebab itu kamu tidak menambah apapun kepadaku selain daripada kerugian.” (QS. Hud: 63) وَيَٰقَوْمِ هَٰذِهِۦ نَاقَةُ ٱللَّهِ لَكُمْ ءَايَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِىٓ أَرْضِ ٱللَّهِ وَلَا تَمَسُّوهَا بِسُوٓءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ قَرِيبٌ “Hai kaumku, inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu, sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun yang akan menyebabkan kamu ditimpa azab yang dekat”. (QS. Hud: 64) فَعَقَرُوهَا فَقَالَ تَمَتَّعُوا۟ فِى دَارِكُمْ ثَلَٰثَةَ أَيَّامٍ ۖ ذَٰلِكَ وَعْدٌ غَيْرُ مَكْذُوبٍ “Mereka membunuh unta itu, maka berkata Shaleh: “Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah janji yang tidak dapat didustakan”.” (QS. Hud: 65) فَلَمَّا جَآءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا صَٰلِحًا وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ بِرَحْمَةٍ مِّنَّا وَمِنْ خِزْىِ يَوْمِئِذٍ ۗ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ ٱلْقَوِىُّ ٱلْعَزِيزُ “Maka tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Shaleh beserta orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami dan dari kehinaan di hari itu. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-Lah yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Hud: 66) وَأَخَذَ ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ ٱلصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ “Dan satu suara keras yang mengguntur menimpa orang-orang yang zalim itu, lalu mereka mati bergelimpangan di rumahnya.” (QS. Hud: 67) كَأَن لَّمْ يَغْنَوْا۟ فِيهَآ ۗ أَلَآ إِنَّ ثَمُودَا۟ كَفَرُوا۟ رَبَّهُمْ ۗ أَلَا بُعْدًا لِّثَمُودَ “Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, sesungguhnya kaum Tsamud mengingkari Tuhan mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum Tsamud.” (QS. Hud: 68)   Kisah Kaum Tsamud yang Disebutkan dalam Surah Asy-Syams كَذَّبَتْ ثَمُودُ بِطَغْوَىٰهَآ “(Kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena mereka melampaui batas.” (QS. Asy-Syams: 11) إِذِ ٱنۢبَعَثَ أَشْقَىٰهَا “Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka.” (QS. Asy-Syams: 12) Syaikh As-Sa’di mengatatakan bahwa orang yang paling celaka di antara mereka adalah Qudar bin Salif yang diperintahkan oleh kaumnya untuk membunuh unta Allah. Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, dan Syaikh Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz Al-‘Awaji menyebutkan nama yang sama mengenai penyembelih unta Allah tersebut. Padahal unta betina ini adalah mukjizat Allah yang diberikan pada Nabi Saleh ‘alaihis salam atas permintaan kaumnya yang meminta unta tersebut keluar dari batu. Dalam Tafsir Ibnu Katsri disebutkan: Laki-laki itu adalah orang yang perkasa dan dimuliakan di antara mereka, mempunyai kemuliaan di antara kaumnya, terhormat dan menjadi pemimpin yang ditaati. فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ ٱللَّهِ نَاقَةَ ٱللَّهِ وَسُقْيَٰهَا “Lalu Rasul Allah (Saleh) berkata kepada mereka: (“Biarkanlah) unta betina Allah dan minumannya”.” Kaum Tsamud mendustakan Nabi Shalih, maka beliau menampakkan mukjizat unta betina dan memperingatkan mereka agar tidak mengganggu unta itu dan menghalanginya dari meminum air di hari yang telah ditetapkan baginya; hal ini setelah kesepakatan Nabi Shalih dengan kaum mereka untuk memberi satu hari bagi unta betina itu untuk minum, dan di hari setelahnya giliran unta kaumnya. Akan tetapi mereka menyelisihi kesepakatan dengan nabi mereka, dan tidak mempedulikan peringatannya berupa azab dan kebinasaan. فَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُم بِذَنۢبِهِمْ فَسَوَّىٰهَا “Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu, maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah menyama-ratakan mereka (dengan tanah),” وَلَا يَخَافُ عُقْبَٰهَا “Dan Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu.” Maksudnya: Allah Maha Perkasa, tidak ada yang dapat menentang ketetapan-Nya. Azab yang menimpa orang-orang kafir itu tidak dapat ditolak seorangpun dan tidak ada yang mampu membalas-Nya.   Dosa adalah Penyebab Berbagai Bencana di Muka Bumi Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ تَأْثِيرِ مَعَاصِي اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَا يَحِلُّ بِهَا مِنَ الْخَسْفِ وَالزَّلَازِلِ، وَيَمْحَقُ بَرَكَتَهَا، وَقَدْ «مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى دِيَارِ ثَمُودَ، فَمَنَعَهُمْ مِنْ دُخُولِ دِيَارِهِمْ إِلَّا وَهُمْ بَاكُونَ، وَمِنْ شُرْبِ مِيَاهِهِمْ، وَمِنَ الِاسْتِسْقَاءِ مِنْ آبَارِهِمْ، حَتَّى أَمَرَ أَنْ لَا يُعْلَفَ الْعَجِينُ الَّذِي عُجِنَ بِمِيَاهِهِمْ لِلنَّوَاضِحِ، لِتَأْثِيرِ شُؤْمِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْمَاءِ،» وَكَذَلِكَ شُؤْمِ تَأْثِيرِ الذُّنُوبِ فِي نَقْصِ الثِّمَارِ وَمَا تَرَى بِهِ مِنَ الْآفَاتِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ قَالَ: وُجِدَتْ فِي خَزَائِنَ بَعْضِ بَنِي أُمَيَّةَ، حِنْطَةٌ، الْحَبَّةُ بِقَدْرِ نَوَاةِ التَّمْرَةِ، وَهِيَ فِي صُرَّةٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا: كَانَ هَذَا يَنْبُتُ فِي زَمَنٍ مِنَ الْعَدْلِ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ أَحْدَثَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا أَحْدَثَ الْعِبَادُ مِنَ الذُّنُوبِ. وَأَخْبَرَنِي جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِ الصَّحْرَاءِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْهَدُونَ الثِّمَارَ أَكْبَرَ مِمَّا هِيَ الْآنَ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ الَّتِي تُصِيبُهَا لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَهَا، وَإِنَّمَا حَدَثَتْ مِنْ قُرْبٍ. “Di antara dampak dari maksiat yang dilakukan manusia adalah terjadinya bencana di bumi, seperti tanah longsor dan gempa bumi, serta berkurangnya keberkahan. Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ melewati perkampungan kaum Tsamud, lalu beliau melarang para sahabat untuk memasuki tempat tinggal mereka kecuali dalam keadaan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum air dari sumur-sumur mereka atau menggunakan air itu untuk meminta hujan. Bahkan, beliau memerintahkan agar adonan yang telah dicampur dengan air mereka tidak diberikan kepada hewan ternak, karena air tersebut telah terkena dampak buruk akibat maksiat yang dilakukan oleh penduduknya. Begitu pula dampak buruk dosa terhadap hasil panen dan buah-buahan, yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama. Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa di salah satu perbendaharaan milik Bani Umayyah ditemukan sebutir gandum sebesar biji kurma. Gandum tersebut disimpan dalam sebuah kantong yang bertuliskan: “Dahulu, gandum sebesar ini tumbuh di zaman yang penuh dengan keadilan.” Banyak penyakit dan hama yang muncul akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia. Beberapa ulama dari daerah padang pasir mengisahkan bahwa mereka pernah melihat buah-buahan berukuran lebih besar daripada yang ada sekarang, serta tidak mengenal banyak hama dan penyakit yang kini menyerang tanaman. Semua itu baru terjadi belakangan akibat banyaknya dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.” Baca juga: Dampak Buruk Maksiat – Pelajaran dari Ibnul Qayyim   –   1 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com TagsAkibat Kemaksiatan Azab Allah Dakwah Nabi gempa bumi Hukuman Allah Islam dan Sejarah Kaum Tsamud Kehancuran Bangsa Kisah dalam Al-Qur'an Lembah Hijr Madain Saleh Mukjizat Unta Nabi Saleh pelajaran islam Peradaban Arab Kuno Peradaban Kuno Petir dari Langit sejarah Islam Suara Dahsyat tafsir al-qur’an

Kisah Kaum Tsamud: Peradaban yang Hilang Karena Azab Allah

Kaum Tsamud adalah salah satu peradaban besar yang disebut dalam Al-Qur’an, tetapi akhirnya dibinasakan oleh Allah karena kedurhakaan mereka. Kisah mereka menjadi pelajaran berharga tentang akibat menolak kebenaran dan melanggar perintah Allah. Artikel ini mengulas sejarah, mukjizat, dan azab yang menimpa kaum Tsamud berdasarkan Al-Qur’an dan tafsir ulama.  Daftar Isi tutup 1. 1. Kaum Tsamud dalam Al-Qur’an 2. 2. Nabi Saleh dan Seruan Kebenaran 3. 3. Mukjizat Unta Nabi Saleh 4. 4. Azab yang Menimpa Kaum Tsamud 5. 5. Pelajaran dari Kisah Kaum Tsamud 6. 6. Kesimpulan 7. Kisah tentang kaum Tsamud di Surah Hud 8. Kisah Kaum Tsamud yang Disebutkan dalam Surah Asy-Syams 9. Dosa adalah Penyebab Berbagai Bencana di Muka Bumi  1. Kaum Tsamud dalam Al-Qur’anAllah menyebut kaum Tsamud dalam firman-Nya:وَثَمُودَ ٱلَّذِينَ جَابُوا۟ ٱلصَّخْرَ بِٱلْوَادِ“Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah.” (QS. Al-Fajr: 9)Kaum Tsamud adalah bangsa yang tinggal di Lembah Hijr atau Mada’in Saleh, terletak di utara Arab Saudi. Mereka membangun rumah dengan memahat batu besar dan memiliki peradaban maju, tetapi akhirnya dibinasakan oleh Allah karena kedurhakaan mereka. 2. Nabi Saleh dan Seruan KebenaranAllah mengutus Nabi Saleh ‘alaihissalam kepada kaum Tsamud untuk menyeru mereka beribadah kepada Allah. Allah berfirman:وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَٰلِحًا ۗ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥ ۖ“Dan kepada kaum Tsamud, Kami utus saudara mereka, Saleh. Ia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.'” (QS. Al-A’raf: 73)Kaum Tsamud menolak seruan Nabi Saleh dengan penuh kesombongan. Mereka bahkan menuntut bukti kenabiannya dengan meminta mukjizat. 3. Mukjizat Unta Nabi SalehAllah mengabulkan doa Nabi Saleh dan mengeluarkan seekor unta betina dari batu sebagai tanda kebesaran-Nya. Unta ini minum dari sumber air mereka sehari penuh, sedangkan keesokan harinya giliran mereka mengambil air. Allah berfirman:هَٰذِهِۦ نَاقَةُ ٱللَّهِ لَكُمْ ءَايَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِىٓ أَرْضِ ٱللَّهِ“Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah.” (QS. Al-A’raf: 73)Namun, kaum Tsamud justru membunuh unta itu, yang akhirnya membawa kebinasaan bagi mereka. 4. Azab yang Menimpa Kaum TsamudSetelah membunuh unta mukjizat, Nabi Saleh memperingatkan mereka bahwa azab akan datang dalam tiga hari. Azab yang menimpa kaum Tsamud terdiri dari:a. Suara Dahsyat (Ash-Sha’iqah)Allah mengirim suara mengguntur yang menghancurkan mereka seketika.فَأَخَذَتْهُمُ ٱلصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ“Lalu mereka ditimpa suara yang mengguntur, sehingga mereka mati bergelimpangan di dalam rumah mereka.” (QS. Al-A’raf: 78)b. Gempa Dahsyat (Ar-Rajfah)Gempa bumi mengguncang tanah mereka hingga membuat mereka mati dalam keadaan berserakan.فَأَخَذَتْهُمُ ٱلرَّجْفَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ“Maka mereka ditimpa gempa, sehingga jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka.” (QS. Al-A’raf: 91)c. Petir yang Membakar (Ash-Sha’iqah)Sebagian ulama menyebut bahwa kaum Tsamud dihancurkan dengan petir atau api dari langit.وَأَمَّا ثَمُودُ فَأُهْلِكُوا۟ بِٱلطَّاغِيَةِ“Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah dibinasakan dengan suara yang sangat keras (menggelegar).” (QS. Al-Haqqah: 5) 5. Pelajaran dari Kisah Kaum TsamudKehancuran kaum Tsamud menjadi pelajaran bagi manusia agar tidak menentang perintah Allah. Rasulullah ﷺ pernah melarang para sahabat memasuki tempat tinggal kaum Tsamud tanpa menangis, karena tempat itu telah ditimpa azab.Dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَا تَدْخُلُوا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ الْمُعَذَّبِينَ إِلَّا أَنْ تَكُونُوا بَاكِينَ، فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا بَاكِينَ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ أَنْ يُصِيبَكُمْ مِثْلُ مَا أَصَابَهُمْ“Janganlah kalian memasuki tempat orang-orang yang diazab, kecuali jika kalian menangis. Jika kalian tidak menangis, maka janganlah kalian memasukinya, agar tidak menimpa kalian seperti yang menimpa mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)Hadis ini mengajarkan bahwa ketika mengunjungi tempat-tempat seperti Madain Saleh, umat Islam harus melakukannya dengan rasa takut dan khusyuk, mengingat azab Allah yang pernah terjadi di sana.Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula dalam Islam Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa dosa dan maksiat dapat mengundang bencana, seperti gempa bumi dan hilangnya keberkahan di muka bumi. 6. KesimpulanKaum Tsamud binasa karena kesombongan dan kedurhakaan mereka terhadap Allah serta penolakan terhadap Nabi Saleh. Kisah mereka menjadi peringatan bagi manusia agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dan tetap berada di jalan yang benar. Kisah tentang kaum Tsamud di Surah Hudوَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَٰلِحًا ۚ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥ ۖ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ وَٱسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَٱسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوٓا۟ إِلَيْهِ ۚ إِنَّ رَبِّى قَرِيبٌ مُّجِيبٌ“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)”.” (QS. Hud: 61)قَالُوا۟ يَٰصَٰلِحُ قَدْ كُنتَ فِينَا مَرْجُوًّا قَبْلَ هَٰذَآ ۖ أَتَنْهَىٰنَآ أَن نَّعْبُدَ مَا يَعْبُدُ ءَابَآؤُنَا وَإِنَّنَا لَفِى شَكٍّ مِّمَّا تَدْعُونَآ إِلَيْهِ مُرِيبٍ“Kaum Tsamud berkata: “Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami”.” (QS. Hud: 62)قَالَ يَٰقَوْمِ أَرَءَيْتُمْ إِن كُنتُ عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّى وَءَاتَىٰنِى مِنْهُ رَحْمَةً فَمَن يَنصُرُنِى مِنَ ٱللَّهِ إِنْ عَصَيْتُهُۥ ۖ فَمَا تَزِيدُونَنِى غَيْرَ تَخْسِيرٍ“Shaleh berkata: “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan diberi-Nya aku rahmat (kenabian) dari-Nya, maka siapakah yang akan menolong aku dari (azab) Allah jika aku mendurhakai-Nya. Sebab itu kamu tidak menambah apapun kepadaku selain daripada kerugian.” (QS. Hud: 63)وَيَٰقَوْمِ هَٰذِهِۦ نَاقَةُ ٱللَّهِ لَكُمْ ءَايَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِىٓ أَرْضِ ٱللَّهِ وَلَا تَمَسُّوهَا بِسُوٓءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ قَرِيبٌ“Hai kaumku, inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu, sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun yang akan menyebabkan kamu ditimpa azab yang dekat”. (QS. Hud: 64)فَعَقَرُوهَا فَقَالَ تَمَتَّعُوا۟ فِى دَارِكُمْ ثَلَٰثَةَ أَيَّامٍ ۖ ذَٰلِكَ وَعْدٌ غَيْرُ مَكْذُوبٍ“Mereka membunuh unta itu, maka berkata Shaleh: “Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah janji yang tidak dapat didustakan”.” (QS. Hud: 65)فَلَمَّا جَآءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا صَٰلِحًا وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ بِرَحْمَةٍ مِّنَّا وَمِنْ خِزْىِ يَوْمِئِذٍ ۗ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ ٱلْقَوِىُّ ٱلْعَزِيزُ“Maka tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Shaleh beserta orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami dan dari kehinaan di hari itu. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-Lah yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Hud: 66)وَأَخَذَ ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ ٱلصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ“Dan satu suara keras yang mengguntur menimpa orang-orang yang zalim itu, lalu mereka mati bergelimpangan di rumahnya.” (QS. Hud: 67)كَأَن لَّمْ يَغْنَوْا۟ فِيهَآ ۗ أَلَآ إِنَّ ثَمُودَا۟ كَفَرُوا۟ رَبَّهُمْ ۗ أَلَا بُعْدًا لِّثَمُودَ“Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, sesungguhnya kaum Tsamud mengingkari Tuhan mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum Tsamud.” (QS. Hud: 68) Kisah Kaum Tsamud yang Disebutkan dalam Surah Asy-Syamsكَذَّبَتْ ثَمُودُ بِطَغْوَىٰهَآ“(Kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena mereka melampaui batas.” (QS. Asy-Syams: 11)إِذِ ٱنۢبَعَثَ أَشْقَىٰهَا“Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka.” (QS. Asy-Syams: 12)Syaikh As-Sa’di mengatatakan bahwa orang yang paling celaka di antara mereka adalah Qudar bin Salif yang diperintahkan oleh kaumnya untuk membunuh unta Allah. Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, dan Syaikh Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz Al-‘Awaji menyebutkan nama yang sama mengenai penyembelih unta Allah tersebut. Padahal unta betina ini adalah mukjizat Allah yang diberikan pada Nabi Saleh ‘alaihis salam atas permintaan kaumnya yang meminta unta tersebut keluar dari batu.Dalam Tafsir Ibnu Katsri disebutkan:Laki-laki itu adalah orang yang perkasa dan dimuliakan di antara mereka, mempunyai kemuliaan di antara kaumnya, terhormat dan menjadi pemimpin yang ditaati.فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ ٱللَّهِ نَاقَةَ ٱللَّهِ وَسُقْيَٰهَا“Lalu Rasul Allah (Saleh) berkata kepada mereka: (“Biarkanlah) unta betina Allah dan minumannya”.”Kaum Tsamud mendustakan Nabi Shalih, maka beliau menampakkan mukjizat unta betina dan memperingatkan mereka agar tidak mengganggu unta itu dan menghalanginya dari meminum air di hari yang telah ditetapkan baginya; hal ini setelah kesepakatan Nabi Shalih dengan kaum mereka untuk memberi satu hari bagi unta betina itu untuk minum, dan di hari setelahnya giliran unta kaumnya. Akan tetapi mereka menyelisihi kesepakatan dengan nabi mereka, dan tidak mempedulikan peringatannya berupa azab dan kebinasaan.فَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُم بِذَنۢبِهِمْ فَسَوَّىٰهَا“Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu, maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah menyama-ratakan mereka (dengan tanah),”وَلَا يَخَافُ عُقْبَٰهَا“Dan Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu.”Maksudnya: Allah Maha Perkasa, tidak ada yang dapat menentang ketetapan-Nya. Azab yang menimpa orang-orang kafir itu tidak dapat ditolak seorangpun dan tidak ada yang mampu membalas-Nya. Dosa adalah Penyebab Berbagai Bencana di Muka BumiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ تَأْثِيرِ مَعَاصِي اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَا يَحِلُّ بِهَا مِنَ الْخَسْفِ وَالزَّلَازِلِ، وَيَمْحَقُ بَرَكَتَهَا، وَقَدْ «مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى دِيَارِ ثَمُودَ، فَمَنَعَهُمْ مِنْ دُخُولِ دِيَارِهِمْ إِلَّا وَهُمْ بَاكُونَ، وَمِنْ شُرْبِ مِيَاهِهِمْ، وَمِنَ الِاسْتِسْقَاءِ مِنْ آبَارِهِمْ، حَتَّى أَمَرَ أَنْ لَا يُعْلَفَ الْعَجِينُ الَّذِي عُجِنَ بِمِيَاهِهِمْ لِلنَّوَاضِحِ، لِتَأْثِيرِ شُؤْمِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْمَاءِ،» وَكَذَلِكَ شُؤْمِ تَأْثِيرِ الذُّنُوبِ فِي نَقْصِ الثِّمَارِ وَمَا تَرَى بِهِ مِنَ الْآفَاتِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ قَالَ: وُجِدَتْ فِي خَزَائِنَ بَعْضِ بَنِي أُمَيَّةَ، حِنْطَةٌ، الْحَبَّةُ بِقَدْرِ نَوَاةِ التَّمْرَةِ، وَهِيَ فِي صُرَّةٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا: كَانَ هَذَا يَنْبُتُ فِي زَمَنٍ مِنَ الْعَدْلِ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ أَحْدَثَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا أَحْدَثَ الْعِبَادُ مِنَ الذُّنُوبِ. وَأَخْبَرَنِي جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِ الصَّحْرَاءِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْهَدُونَ الثِّمَارَ أَكْبَرَ مِمَّا هِيَ الْآنَ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ الَّتِي تُصِيبُهَا لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَهَا، وَإِنَّمَا حَدَثَتْ مِنْ قُرْبٍ.“Di antara dampak dari maksiat yang dilakukan manusia adalah terjadinya bencana di bumi, seperti tanah longsor dan gempa bumi, serta berkurangnya keberkahan.Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ melewati perkampungan kaum Tsamud, lalu beliau melarang para sahabat untuk memasuki tempat tinggal mereka kecuali dalam keadaan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum air dari sumur-sumur mereka atau menggunakan air itu untuk meminta hujan. Bahkan, beliau memerintahkan agar adonan yang telah dicampur dengan air mereka tidak diberikan kepada hewan ternak, karena air tersebut telah terkena dampak buruk akibat maksiat yang dilakukan oleh penduduknya.Begitu pula dampak buruk dosa terhadap hasil panen dan buah-buahan, yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama.Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa di salah satu perbendaharaan milik Bani Umayyah ditemukan sebutir gandum sebesar biji kurma. Gandum tersebut disimpan dalam sebuah kantong yang bertuliskan: “Dahulu, gandum sebesar ini tumbuh di zaman yang penuh dengan keadilan.” Banyak penyakit dan hama yang muncul akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia.Beberapa ulama dari daerah padang pasir mengisahkan bahwa mereka pernah melihat buah-buahan berukuran lebih besar daripada yang ada sekarang, serta tidak mengenal banyak hama dan penyakit yang kini menyerang tanaman. Semua itu baru terjadi belakangan akibat banyaknya dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.”Baca juga: Dampak Buruk Maksiat – Pelajaran dari Ibnul Qayyim – 1 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush SholihinDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel www.rumaysho.com TagsAkibat Kemaksiatan Azab Allah Dakwah Nabi gempa bumi Hukuman Allah Islam dan Sejarah Kaum Tsamud Kehancuran Bangsa Kisah dalam Al-Qur'an Lembah Hijr Madain Saleh Mukjizat Unta Nabi Saleh pelajaran islam Peradaban Arab Kuno Peradaban Kuno Petir dari Langit sejarah Islam Suara Dahsyat tafsir al-qur’an

Kisah Kaum Tsamud: Peradaban yang Hilang Karena Azab Allah

Kaum Tsamud adalah salah satu peradaban besar yang disebut dalam Al-Qur’an, tetapi akhirnya dibinasakan oleh Allah karena kedurhakaan mereka. Kisah mereka menjadi pelajaran berharga tentang akibat menolak kebenaran dan melanggar perintah Allah. Artikel ini mengulas sejarah, mukjizat, dan azab yang menimpa kaum Tsamud berdasarkan Al-Qur’an dan tafsir ulama.  Daftar Isi tutup 1. 1. Kaum Tsamud dalam Al-Qur’an 2. 2. Nabi Saleh dan Seruan Kebenaran 3. 3. Mukjizat Unta Nabi Saleh 4. 4. Azab yang Menimpa Kaum Tsamud 5. 5. Pelajaran dari Kisah Kaum Tsamud 6. 6. Kesimpulan 7. Kisah tentang kaum Tsamud di Surah Hud 8. Kisah Kaum Tsamud yang Disebutkan dalam Surah Asy-Syams 9. Dosa adalah Penyebab Berbagai Bencana di Muka Bumi  1. Kaum Tsamud dalam Al-Qur’anAllah menyebut kaum Tsamud dalam firman-Nya:وَثَمُودَ ٱلَّذِينَ جَابُوا۟ ٱلصَّخْرَ بِٱلْوَادِ“Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah.” (QS. Al-Fajr: 9)Kaum Tsamud adalah bangsa yang tinggal di Lembah Hijr atau Mada’in Saleh, terletak di utara Arab Saudi. Mereka membangun rumah dengan memahat batu besar dan memiliki peradaban maju, tetapi akhirnya dibinasakan oleh Allah karena kedurhakaan mereka. 2. Nabi Saleh dan Seruan KebenaranAllah mengutus Nabi Saleh ‘alaihissalam kepada kaum Tsamud untuk menyeru mereka beribadah kepada Allah. Allah berfirman:وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَٰلِحًا ۗ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥ ۖ“Dan kepada kaum Tsamud, Kami utus saudara mereka, Saleh. Ia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.'” (QS. Al-A’raf: 73)Kaum Tsamud menolak seruan Nabi Saleh dengan penuh kesombongan. Mereka bahkan menuntut bukti kenabiannya dengan meminta mukjizat. 3. Mukjizat Unta Nabi SalehAllah mengabulkan doa Nabi Saleh dan mengeluarkan seekor unta betina dari batu sebagai tanda kebesaran-Nya. Unta ini minum dari sumber air mereka sehari penuh, sedangkan keesokan harinya giliran mereka mengambil air. Allah berfirman:هَٰذِهِۦ نَاقَةُ ٱللَّهِ لَكُمْ ءَايَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِىٓ أَرْضِ ٱللَّهِ“Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah.” (QS. Al-A’raf: 73)Namun, kaum Tsamud justru membunuh unta itu, yang akhirnya membawa kebinasaan bagi mereka. 4. Azab yang Menimpa Kaum TsamudSetelah membunuh unta mukjizat, Nabi Saleh memperingatkan mereka bahwa azab akan datang dalam tiga hari. Azab yang menimpa kaum Tsamud terdiri dari:a. Suara Dahsyat (Ash-Sha’iqah)Allah mengirim suara mengguntur yang menghancurkan mereka seketika.فَأَخَذَتْهُمُ ٱلصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ“Lalu mereka ditimpa suara yang mengguntur, sehingga mereka mati bergelimpangan di dalam rumah mereka.” (QS. Al-A’raf: 78)b. Gempa Dahsyat (Ar-Rajfah)Gempa bumi mengguncang tanah mereka hingga membuat mereka mati dalam keadaan berserakan.فَأَخَذَتْهُمُ ٱلرَّجْفَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ“Maka mereka ditimpa gempa, sehingga jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka.” (QS. Al-A’raf: 91)c. Petir yang Membakar (Ash-Sha’iqah)Sebagian ulama menyebut bahwa kaum Tsamud dihancurkan dengan petir atau api dari langit.وَأَمَّا ثَمُودُ فَأُهْلِكُوا۟ بِٱلطَّاغِيَةِ“Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah dibinasakan dengan suara yang sangat keras (menggelegar).” (QS. Al-Haqqah: 5) 5. Pelajaran dari Kisah Kaum TsamudKehancuran kaum Tsamud menjadi pelajaran bagi manusia agar tidak menentang perintah Allah. Rasulullah ﷺ pernah melarang para sahabat memasuki tempat tinggal kaum Tsamud tanpa menangis, karena tempat itu telah ditimpa azab.Dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَا تَدْخُلُوا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ الْمُعَذَّبِينَ إِلَّا أَنْ تَكُونُوا بَاكِينَ، فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا بَاكِينَ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ أَنْ يُصِيبَكُمْ مِثْلُ مَا أَصَابَهُمْ“Janganlah kalian memasuki tempat orang-orang yang diazab, kecuali jika kalian menangis. Jika kalian tidak menangis, maka janganlah kalian memasukinya, agar tidak menimpa kalian seperti yang menimpa mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)Hadis ini mengajarkan bahwa ketika mengunjungi tempat-tempat seperti Madain Saleh, umat Islam harus melakukannya dengan rasa takut dan khusyuk, mengingat azab Allah yang pernah terjadi di sana.Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula dalam Islam Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa dosa dan maksiat dapat mengundang bencana, seperti gempa bumi dan hilangnya keberkahan di muka bumi. 6. KesimpulanKaum Tsamud binasa karena kesombongan dan kedurhakaan mereka terhadap Allah serta penolakan terhadap Nabi Saleh. Kisah mereka menjadi peringatan bagi manusia agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dan tetap berada di jalan yang benar. Kisah tentang kaum Tsamud di Surah Hudوَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَٰلِحًا ۚ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥ ۖ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ وَٱسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَٱسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوٓا۟ إِلَيْهِ ۚ إِنَّ رَبِّى قَرِيبٌ مُّجِيبٌ“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)”.” (QS. Hud: 61)قَالُوا۟ يَٰصَٰلِحُ قَدْ كُنتَ فِينَا مَرْجُوًّا قَبْلَ هَٰذَآ ۖ أَتَنْهَىٰنَآ أَن نَّعْبُدَ مَا يَعْبُدُ ءَابَآؤُنَا وَإِنَّنَا لَفِى شَكٍّ مِّمَّا تَدْعُونَآ إِلَيْهِ مُرِيبٍ“Kaum Tsamud berkata: “Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami”.” (QS. Hud: 62)قَالَ يَٰقَوْمِ أَرَءَيْتُمْ إِن كُنتُ عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّى وَءَاتَىٰنِى مِنْهُ رَحْمَةً فَمَن يَنصُرُنِى مِنَ ٱللَّهِ إِنْ عَصَيْتُهُۥ ۖ فَمَا تَزِيدُونَنِى غَيْرَ تَخْسِيرٍ“Shaleh berkata: “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan diberi-Nya aku rahmat (kenabian) dari-Nya, maka siapakah yang akan menolong aku dari (azab) Allah jika aku mendurhakai-Nya. Sebab itu kamu tidak menambah apapun kepadaku selain daripada kerugian.” (QS. Hud: 63)وَيَٰقَوْمِ هَٰذِهِۦ نَاقَةُ ٱللَّهِ لَكُمْ ءَايَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِىٓ أَرْضِ ٱللَّهِ وَلَا تَمَسُّوهَا بِسُوٓءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ قَرِيبٌ“Hai kaumku, inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu, sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun yang akan menyebabkan kamu ditimpa azab yang dekat”. (QS. Hud: 64)فَعَقَرُوهَا فَقَالَ تَمَتَّعُوا۟ فِى دَارِكُمْ ثَلَٰثَةَ أَيَّامٍ ۖ ذَٰلِكَ وَعْدٌ غَيْرُ مَكْذُوبٍ“Mereka membunuh unta itu, maka berkata Shaleh: “Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah janji yang tidak dapat didustakan”.” (QS. Hud: 65)فَلَمَّا جَآءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا صَٰلِحًا وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ بِرَحْمَةٍ مِّنَّا وَمِنْ خِزْىِ يَوْمِئِذٍ ۗ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ ٱلْقَوِىُّ ٱلْعَزِيزُ“Maka tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Shaleh beserta orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami dan dari kehinaan di hari itu. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-Lah yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Hud: 66)وَأَخَذَ ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ ٱلصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ“Dan satu suara keras yang mengguntur menimpa orang-orang yang zalim itu, lalu mereka mati bergelimpangan di rumahnya.” (QS. Hud: 67)كَأَن لَّمْ يَغْنَوْا۟ فِيهَآ ۗ أَلَآ إِنَّ ثَمُودَا۟ كَفَرُوا۟ رَبَّهُمْ ۗ أَلَا بُعْدًا لِّثَمُودَ“Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, sesungguhnya kaum Tsamud mengingkari Tuhan mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum Tsamud.” (QS. Hud: 68) Kisah Kaum Tsamud yang Disebutkan dalam Surah Asy-Syamsكَذَّبَتْ ثَمُودُ بِطَغْوَىٰهَآ“(Kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena mereka melampaui batas.” (QS. Asy-Syams: 11)إِذِ ٱنۢبَعَثَ أَشْقَىٰهَا“Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka.” (QS. Asy-Syams: 12)Syaikh As-Sa’di mengatatakan bahwa orang yang paling celaka di antara mereka adalah Qudar bin Salif yang diperintahkan oleh kaumnya untuk membunuh unta Allah. Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, dan Syaikh Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz Al-‘Awaji menyebutkan nama yang sama mengenai penyembelih unta Allah tersebut. Padahal unta betina ini adalah mukjizat Allah yang diberikan pada Nabi Saleh ‘alaihis salam atas permintaan kaumnya yang meminta unta tersebut keluar dari batu.Dalam Tafsir Ibnu Katsri disebutkan:Laki-laki itu adalah orang yang perkasa dan dimuliakan di antara mereka, mempunyai kemuliaan di antara kaumnya, terhormat dan menjadi pemimpin yang ditaati.فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ ٱللَّهِ نَاقَةَ ٱللَّهِ وَسُقْيَٰهَا“Lalu Rasul Allah (Saleh) berkata kepada mereka: (“Biarkanlah) unta betina Allah dan minumannya”.”Kaum Tsamud mendustakan Nabi Shalih, maka beliau menampakkan mukjizat unta betina dan memperingatkan mereka agar tidak mengganggu unta itu dan menghalanginya dari meminum air di hari yang telah ditetapkan baginya; hal ini setelah kesepakatan Nabi Shalih dengan kaum mereka untuk memberi satu hari bagi unta betina itu untuk minum, dan di hari setelahnya giliran unta kaumnya. Akan tetapi mereka menyelisihi kesepakatan dengan nabi mereka, dan tidak mempedulikan peringatannya berupa azab dan kebinasaan.فَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُم بِذَنۢبِهِمْ فَسَوَّىٰهَا“Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu, maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah menyama-ratakan mereka (dengan tanah),”وَلَا يَخَافُ عُقْبَٰهَا“Dan Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu.”Maksudnya: Allah Maha Perkasa, tidak ada yang dapat menentang ketetapan-Nya. Azab yang menimpa orang-orang kafir itu tidak dapat ditolak seorangpun dan tidak ada yang mampu membalas-Nya. Dosa adalah Penyebab Berbagai Bencana di Muka BumiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ تَأْثِيرِ مَعَاصِي اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَا يَحِلُّ بِهَا مِنَ الْخَسْفِ وَالزَّلَازِلِ، وَيَمْحَقُ بَرَكَتَهَا، وَقَدْ «مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى دِيَارِ ثَمُودَ، فَمَنَعَهُمْ مِنْ دُخُولِ دِيَارِهِمْ إِلَّا وَهُمْ بَاكُونَ، وَمِنْ شُرْبِ مِيَاهِهِمْ، وَمِنَ الِاسْتِسْقَاءِ مِنْ آبَارِهِمْ، حَتَّى أَمَرَ أَنْ لَا يُعْلَفَ الْعَجِينُ الَّذِي عُجِنَ بِمِيَاهِهِمْ لِلنَّوَاضِحِ، لِتَأْثِيرِ شُؤْمِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْمَاءِ،» وَكَذَلِكَ شُؤْمِ تَأْثِيرِ الذُّنُوبِ فِي نَقْصِ الثِّمَارِ وَمَا تَرَى بِهِ مِنَ الْآفَاتِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ قَالَ: وُجِدَتْ فِي خَزَائِنَ بَعْضِ بَنِي أُمَيَّةَ، حِنْطَةٌ، الْحَبَّةُ بِقَدْرِ نَوَاةِ التَّمْرَةِ، وَهِيَ فِي صُرَّةٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا: كَانَ هَذَا يَنْبُتُ فِي زَمَنٍ مِنَ الْعَدْلِ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ أَحْدَثَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا أَحْدَثَ الْعِبَادُ مِنَ الذُّنُوبِ. وَأَخْبَرَنِي جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِ الصَّحْرَاءِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْهَدُونَ الثِّمَارَ أَكْبَرَ مِمَّا هِيَ الْآنَ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ الَّتِي تُصِيبُهَا لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَهَا، وَإِنَّمَا حَدَثَتْ مِنْ قُرْبٍ.“Di antara dampak dari maksiat yang dilakukan manusia adalah terjadinya bencana di bumi, seperti tanah longsor dan gempa bumi, serta berkurangnya keberkahan.Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ melewati perkampungan kaum Tsamud, lalu beliau melarang para sahabat untuk memasuki tempat tinggal mereka kecuali dalam keadaan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum air dari sumur-sumur mereka atau menggunakan air itu untuk meminta hujan. Bahkan, beliau memerintahkan agar adonan yang telah dicampur dengan air mereka tidak diberikan kepada hewan ternak, karena air tersebut telah terkena dampak buruk akibat maksiat yang dilakukan oleh penduduknya.Begitu pula dampak buruk dosa terhadap hasil panen dan buah-buahan, yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama.Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa di salah satu perbendaharaan milik Bani Umayyah ditemukan sebutir gandum sebesar biji kurma. Gandum tersebut disimpan dalam sebuah kantong yang bertuliskan: “Dahulu, gandum sebesar ini tumbuh di zaman yang penuh dengan keadilan.” Banyak penyakit dan hama yang muncul akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia.Beberapa ulama dari daerah padang pasir mengisahkan bahwa mereka pernah melihat buah-buahan berukuran lebih besar daripada yang ada sekarang, serta tidak mengenal banyak hama dan penyakit yang kini menyerang tanaman. Semua itu baru terjadi belakangan akibat banyaknya dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.”Baca juga: Dampak Buruk Maksiat – Pelajaran dari Ibnul Qayyim – 1 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush SholihinDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel www.rumaysho.com TagsAkibat Kemaksiatan Azab Allah Dakwah Nabi gempa bumi Hukuman Allah Islam dan Sejarah Kaum Tsamud Kehancuran Bangsa Kisah dalam Al-Qur'an Lembah Hijr Madain Saleh Mukjizat Unta Nabi Saleh pelajaran islam Peradaban Arab Kuno Peradaban Kuno Petir dari Langit sejarah Islam Suara Dahsyat tafsir al-qur’an
Kaum Tsamud adalah salah satu peradaban besar yang disebut dalam Al-Qur’an, tetapi akhirnya dibinasakan oleh Allah karena kedurhakaan mereka. Kisah mereka menjadi pelajaran berharga tentang akibat menolak kebenaran dan melanggar perintah Allah. Artikel ini mengulas sejarah, mukjizat, dan azab yang menimpa kaum Tsamud berdasarkan Al-Qur’an dan tafsir ulama.  Daftar Isi tutup 1. 1. Kaum Tsamud dalam Al-Qur’an 2. 2. Nabi Saleh dan Seruan Kebenaran 3. 3. Mukjizat Unta Nabi Saleh 4. 4. Azab yang Menimpa Kaum Tsamud 5. 5. Pelajaran dari Kisah Kaum Tsamud 6. 6. Kesimpulan 7. Kisah tentang kaum Tsamud di Surah Hud 8. Kisah Kaum Tsamud yang Disebutkan dalam Surah Asy-Syams 9. Dosa adalah Penyebab Berbagai Bencana di Muka Bumi  1. Kaum Tsamud dalam Al-Qur’anAllah menyebut kaum Tsamud dalam firman-Nya:وَثَمُودَ ٱلَّذِينَ جَابُوا۟ ٱلصَّخْرَ بِٱلْوَادِ“Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah.” (QS. Al-Fajr: 9)Kaum Tsamud adalah bangsa yang tinggal di Lembah Hijr atau Mada’in Saleh, terletak di utara Arab Saudi. Mereka membangun rumah dengan memahat batu besar dan memiliki peradaban maju, tetapi akhirnya dibinasakan oleh Allah karena kedurhakaan mereka. 2. Nabi Saleh dan Seruan KebenaranAllah mengutus Nabi Saleh ‘alaihissalam kepada kaum Tsamud untuk menyeru mereka beribadah kepada Allah. Allah berfirman:وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَٰلِحًا ۗ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥ ۖ“Dan kepada kaum Tsamud, Kami utus saudara mereka, Saleh. Ia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.'” (QS. Al-A’raf: 73)Kaum Tsamud menolak seruan Nabi Saleh dengan penuh kesombongan. Mereka bahkan menuntut bukti kenabiannya dengan meminta mukjizat. 3. Mukjizat Unta Nabi SalehAllah mengabulkan doa Nabi Saleh dan mengeluarkan seekor unta betina dari batu sebagai tanda kebesaran-Nya. Unta ini minum dari sumber air mereka sehari penuh, sedangkan keesokan harinya giliran mereka mengambil air. Allah berfirman:هَٰذِهِۦ نَاقَةُ ٱللَّهِ لَكُمْ ءَايَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِىٓ أَرْضِ ٱللَّهِ“Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah.” (QS. Al-A’raf: 73)Namun, kaum Tsamud justru membunuh unta itu, yang akhirnya membawa kebinasaan bagi mereka. 4. Azab yang Menimpa Kaum TsamudSetelah membunuh unta mukjizat, Nabi Saleh memperingatkan mereka bahwa azab akan datang dalam tiga hari. Azab yang menimpa kaum Tsamud terdiri dari:a. Suara Dahsyat (Ash-Sha’iqah)Allah mengirim suara mengguntur yang menghancurkan mereka seketika.فَأَخَذَتْهُمُ ٱلصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ“Lalu mereka ditimpa suara yang mengguntur, sehingga mereka mati bergelimpangan di dalam rumah mereka.” (QS. Al-A’raf: 78)b. Gempa Dahsyat (Ar-Rajfah)Gempa bumi mengguncang tanah mereka hingga membuat mereka mati dalam keadaan berserakan.فَأَخَذَتْهُمُ ٱلرَّجْفَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ“Maka mereka ditimpa gempa, sehingga jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka.” (QS. Al-A’raf: 91)c. Petir yang Membakar (Ash-Sha’iqah)Sebagian ulama menyebut bahwa kaum Tsamud dihancurkan dengan petir atau api dari langit.وَأَمَّا ثَمُودُ فَأُهْلِكُوا۟ بِٱلطَّاغِيَةِ“Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah dibinasakan dengan suara yang sangat keras (menggelegar).” (QS. Al-Haqqah: 5) 5. Pelajaran dari Kisah Kaum TsamudKehancuran kaum Tsamud menjadi pelajaran bagi manusia agar tidak menentang perintah Allah. Rasulullah ﷺ pernah melarang para sahabat memasuki tempat tinggal kaum Tsamud tanpa menangis, karena tempat itu telah ditimpa azab.Dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَا تَدْخُلُوا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ الْمُعَذَّبِينَ إِلَّا أَنْ تَكُونُوا بَاكِينَ، فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا بَاكِينَ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ أَنْ يُصِيبَكُمْ مِثْلُ مَا أَصَابَهُمْ“Janganlah kalian memasuki tempat orang-orang yang diazab, kecuali jika kalian menangis. Jika kalian tidak menangis, maka janganlah kalian memasukinya, agar tidak menimpa kalian seperti yang menimpa mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)Hadis ini mengajarkan bahwa ketika mengunjungi tempat-tempat seperti Madain Saleh, umat Islam harus melakukannya dengan rasa takut dan khusyuk, mengingat azab Allah yang pernah terjadi di sana.Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula dalam Islam Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa dosa dan maksiat dapat mengundang bencana, seperti gempa bumi dan hilangnya keberkahan di muka bumi. 6. KesimpulanKaum Tsamud binasa karena kesombongan dan kedurhakaan mereka terhadap Allah serta penolakan terhadap Nabi Saleh. Kisah mereka menjadi peringatan bagi manusia agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dan tetap berada di jalan yang benar. Kisah tentang kaum Tsamud di Surah Hudوَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَٰلِحًا ۚ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥ ۖ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ وَٱسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَٱسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوٓا۟ إِلَيْهِ ۚ إِنَّ رَبِّى قَرِيبٌ مُّجِيبٌ“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)”.” (QS. Hud: 61)قَالُوا۟ يَٰصَٰلِحُ قَدْ كُنتَ فِينَا مَرْجُوًّا قَبْلَ هَٰذَآ ۖ أَتَنْهَىٰنَآ أَن نَّعْبُدَ مَا يَعْبُدُ ءَابَآؤُنَا وَإِنَّنَا لَفِى شَكٍّ مِّمَّا تَدْعُونَآ إِلَيْهِ مُرِيبٍ“Kaum Tsamud berkata: “Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami”.” (QS. Hud: 62)قَالَ يَٰقَوْمِ أَرَءَيْتُمْ إِن كُنتُ عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّى وَءَاتَىٰنِى مِنْهُ رَحْمَةً فَمَن يَنصُرُنِى مِنَ ٱللَّهِ إِنْ عَصَيْتُهُۥ ۖ فَمَا تَزِيدُونَنِى غَيْرَ تَخْسِيرٍ“Shaleh berkata: “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan diberi-Nya aku rahmat (kenabian) dari-Nya, maka siapakah yang akan menolong aku dari (azab) Allah jika aku mendurhakai-Nya. Sebab itu kamu tidak menambah apapun kepadaku selain daripada kerugian.” (QS. Hud: 63)وَيَٰقَوْمِ هَٰذِهِۦ نَاقَةُ ٱللَّهِ لَكُمْ ءَايَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِىٓ أَرْضِ ٱللَّهِ وَلَا تَمَسُّوهَا بِسُوٓءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ قَرِيبٌ“Hai kaumku, inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu, sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun yang akan menyebabkan kamu ditimpa azab yang dekat”. (QS. Hud: 64)فَعَقَرُوهَا فَقَالَ تَمَتَّعُوا۟ فِى دَارِكُمْ ثَلَٰثَةَ أَيَّامٍ ۖ ذَٰلِكَ وَعْدٌ غَيْرُ مَكْذُوبٍ“Mereka membunuh unta itu, maka berkata Shaleh: “Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah janji yang tidak dapat didustakan”.” (QS. Hud: 65)فَلَمَّا جَآءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا صَٰلِحًا وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ بِرَحْمَةٍ مِّنَّا وَمِنْ خِزْىِ يَوْمِئِذٍ ۗ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ ٱلْقَوِىُّ ٱلْعَزِيزُ“Maka tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Shaleh beserta orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami dan dari kehinaan di hari itu. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-Lah yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Hud: 66)وَأَخَذَ ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ ٱلصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ“Dan satu suara keras yang mengguntur menimpa orang-orang yang zalim itu, lalu mereka mati bergelimpangan di rumahnya.” (QS. Hud: 67)كَأَن لَّمْ يَغْنَوْا۟ فِيهَآ ۗ أَلَآ إِنَّ ثَمُودَا۟ كَفَرُوا۟ رَبَّهُمْ ۗ أَلَا بُعْدًا لِّثَمُودَ“Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, sesungguhnya kaum Tsamud mengingkari Tuhan mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum Tsamud.” (QS. Hud: 68) Kisah Kaum Tsamud yang Disebutkan dalam Surah Asy-Syamsكَذَّبَتْ ثَمُودُ بِطَغْوَىٰهَآ“(Kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena mereka melampaui batas.” (QS. Asy-Syams: 11)إِذِ ٱنۢبَعَثَ أَشْقَىٰهَا“Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka.” (QS. Asy-Syams: 12)Syaikh As-Sa’di mengatatakan bahwa orang yang paling celaka di antara mereka adalah Qudar bin Salif yang diperintahkan oleh kaumnya untuk membunuh unta Allah. Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, dan Syaikh Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz Al-‘Awaji menyebutkan nama yang sama mengenai penyembelih unta Allah tersebut. Padahal unta betina ini adalah mukjizat Allah yang diberikan pada Nabi Saleh ‘alaihis salam atas permintaan kaumnya yang meminta unta tersebut keluar dari batu.Dalam Tafsir Ibnu Katsri disebutkan:Laki-laki itu adalah orang yang perkasa dan dimuliakan di antara mereka, mempunyai kemuliaan di antara kaumnya, terhormat dan menjadi pemimpin yang ditaati.فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ ٱللَّهِ نَاقَةَ ٱللَّهِ وَسُقْيَٰهَا“Lalu Rasul Allah (Saleh) berkata kepada mereka: (“Biarkanlah) unta betina Allah dan minumannya”.”Kaum Tsamud mendustakan Nabi Shalih, maka beliau menampakkan mukjizat unta betina dan memperingatkan mereka agar tidak mengganggu unta itu dan menghalanginya dari meminum air di hari yang telah ditetapkan baginya; hal ini setelah kesepakatan Nabi Shalih dengan kaum mereka untuk memberi satu hari bagi unta betina itu untuk minum, dan di hari setelahnya giliran unta kaumnya. Akan tetapi mereka menyelisihi kesepakatan dengan nabi mereka, dan tidak mempedulikan peringatannya berupa azab dan kebinasaan.فَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُم بِذَنۢبِهِمْ فَسَوَّىٰهَا“Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu, maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah menyama-ratakan mereka (dengan tanah),”وَلَا يَخَافُ عُقْبَٰهَا“Dan Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu.”Maksudnya: Allah Maha Perkasa, tidak ada yang dapat menentang ketetapan-Nya. Azab yang menimpa orang-orang kafir itu tidak dapat ditolak seorangpun dan tidak ada yang mampu membalas-Nya. Dosa adalah Penyebab Berbagai Bencana di Muka BumiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ تَأْثِيرِ مَعَاصِي اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَا يَحِلُّ بِهَا مِنَ الْخَسْفِ وَالزَّلَازِلِ، وَيَمْحَقُ بَرَكَتَهَا، وَقَدْ «مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى دِيَارِ ثَمُودَ، فَمَنَعَهُمْ مِنْ دُخُولِ دِيَارِهِمْ إِلَّا وَهُمْ بَاكُونَ، وَمِنْ شُرْبِ مِيَاهِهِمْ، وَمِنَ الِاسْتِسْقَاءِ مِنْ آبَارِهِمْ، حَتَّى أَمَرَ أَنْ لَا يُعْلَفَ الْعَجِينُ الَّذِي عُجِنَ بِمِيَاهِهِمْ لِلنَّوَاضِحِ، لِتَأْثِيرِ شُؤْمِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْمَاءِ،» وَكَذَلِكَ شُؤْمِ تَأْثِيرِ الذُّنُوبِ فِي نَقْصِ الثِّمَارِ وَمَا تَرَى بِهِ مِنَ الْآفَاتِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ قَالَ: وُجِدَتْ فِي خَزَائِنَ بَعْضِ بَنِي أُمَيَّةَ، حِنْطَةٌ، الْحَبَّةُ بِقَدْرِ نَوَاةِ التَّمْرَةِ، وَهِيَ فِي صُرَّةٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا: كَانَ هَذَا يَنْبُتُ فِي زَمَنٍ مِنَ الْعَدْلِ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ أَحْدَثَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا أَحْدَثَ الْعِبَادُ مِنَ الذُّنُوبِ. وَأَخْبَرَنِي جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِ الصَّحْرَاءِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْهَدُونَ الثِّمَارَ أَكْبَرَ مِمَّا هِيَ الْآنَ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ الَّتِي تُصِيبُهَا لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَهَا، وَإِنَّمَا حَدَثَتْ مِنْ قُرْبٍ.“Di antara dampak dari maksiat yang dilakukan manusia adalah terjadinya bencana di bumi, seperti tanah longsor dan gempa bumi, serta berkurangnya keberkahan.Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ melewati perkampungan kaum Tsamud, lalu beliau melarang para sahabat untuk memasuki tempat tinggal mereka kecuali dalam keadaan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum air dari sumur-sumur mereka atau menggunakan air itu untuk meminta hujan. Bahkan, beliau memerintahkan agar adonan yang telah dicampur dengan air mereka tidak diberikan kepada hewan ternak, karena air tersebut telah terkena dampak buruk akibat maksiat yang dilakukan oleh penduduknya.Begitu pula dampak buruk dosa terhadap hasil panen dan buah-buahan, yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama.Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa di salah satu perbendaharaan milik Bani Umayyah ditemukan sebutir gandum sebesar biji kurma. Gandum tersebut disimpan dalam sebuah kantong yang bertuliskan: “Dahulu, gandum sebesar ini tumbuh di zaman yang penuh dengan keadilan.” Banyak penyakit dan hama yang muncul akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia.Beberapa ulama dari daerah padang pasir mengisahkan bahwa mereka pernah melihat buah-buahan berukuran lebih besar daripada yang ada sekarang, serta tidak mengenal banyak hama dan penyakit yang kini menyerang tanaman. Semua itu baru terjadi belakangan akibat banyaknya dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.”Baca juga: Dampak Buruk Maksiat – Pelajaran dari Ibnul Qayyim – 1 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush SholihinDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel www.rumaysho.com TagsAkibat Kemaksiatan Azab Allah Dakwah Nabi gempa bumi Hukuman Allah Islam dan Sejarah Kaum Tsamud Kehancuran Bangsa Kisah dalam Al-Qur'an Lembah Hijr Madain Saleh Mukjizat Unta Nabi Saleh pelajaran islam Peradaban Arab Kuno Peradaban Kuno Petir dari Langit sejarah Islam Suara Dahsyat tafsir al-qur’an


Kaum Tsamud adalah salah satu peradaban besar yang disebut dalam Al-Qur’an, tetapi akhirnya dibinasakan oleh Allah karena kedurhakaan mereka. Kisah mereka menjadi pelajaran berharga tentang akibat menolak kebenaran dan melanggar perintah Allah. Artikel ini mengulas sejarah, mukjizat, dan azab yang menimpa kaum Tsamud berdasarkan Al-Qur’an dan tafsir ulama.  Daftar Isi tutup 1. 1. Kaum Tsamud dalam Al-Qur’an 2. 2. Nabi Saleh dan Seruan Kebenaran 3. 3. Mukjizat Unta Nabi Saleh 4. 4. Azab yang Menimpa Kaum Tsamud 5. 5. Pelajaran dari Kisah Kaum Tsamud 6. 6. Kesimpulan 7. Kisah tentang kaum Tsamud di Surah Hud 8. Kisah Kaum Tsamud yang Disebutkan dalam Surah Asy-Syams 9. Dosa adalah Penyebab Berbagai Bencana di Muka Bumi  1. Kaum Tsamud dalam Al-Qur’anAllah menyebut kaum Tsamud dalam firman-Nya:وَثَمُودَ ٱلَّذِينَ جَابُوا۟ ٱلصَّخْرَ بِٱلْوَادِ“Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah.” (QS. Al-Fajr: 9)Kaum Tsamud adalah bangsa yang tinggal di Lembah Hijr atau Mada’in Saleh, terletak di utara Arab Saudi. Mereka membangun rumah dengan memahat batu besar dan memiliki peradaban maju, tetapi akhirnya dibinasakan oleh Allah karena kedurhakaan mereka. 2. Nabi Saleh dan Seruan KebenaranAllah mengutus Nabi Saleh ‘alaihissalam kepada kaum Tsamud untuk menyeru mereka beribadah kepada Allah. Allah berfirman:وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَٰلِحًا ۗ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥ ۖ“Dan kepada kaum Tsamud, Kami utus saudara mereka, Saleh. Ia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.'” (QS. Al-A’raf: 73)Kaum Tsamud menolak seruan Nabi Saleh dengan penuh kesombongan. Mereka bahkan menuntut bukti kenabiannya dengan meminta mukjizat. 3. Mukjizat Unta Nabi SalehAllah mengabulkan doa Nabi Saleh dan mengeluarkan seekor unta betina dari batu sebagai tanda kebesaran-Nya. Unta ini minum dari sumber air mereka sehari penuh, sedangkan keesokan harinya giliran mereka mengambil air. Allah berfirman:هَٰذِهِۦ نَاقَةُ ٱللَّهِ لَكُمْ ءَايَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِىٓ أَرْضِ ٱللَّهِ“Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah.” (QS. Al-A’raf: 73)Namun, kaum Tsamud justru membunuh unta itu, yang akhirnya membawa kebinasaan bagi mereka. 4. Azab yang Menimpa Kaum TsamudSetelah membunuh unta mukjizat, Nabi Saleh memperingatkan mereka bahwa azab akan datang dalam tiga hari. Azab yang menimpa kaum Tsamud terdiri dari:a. Suara Dahsyat (Ash-Sha’iqah)Allah mengirim suara mengguntur yang menghancurkan mereka seketika.فَأَخَذَتْهُمُ ٱلصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ“Lalu mereka ditimpa suara yang mengguntur, sehingga mereka mati bergelimpangan di dalam rumah mereka.” (QS. Al-A’raf: 78)b. Gempa Dahsyat (Ar-Rajfah)Gempa bumi mengguncang tanah mereka hingga membuat mereka mati dalam keadaan berserakan.فَأَخَذَتْهُمُ ٱلرَّجْفَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ“Maka mereka ditimpa gempa, sehingga jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka.” (QS. Al-A’raf: 91)c. Petir yang Membakar (Ash-Sha’iqah)Sebagian ulama menyebut bahwa kaum Tsamud dihancurkan dengan petir atau api dari langit.وَأَمَّا ثَمُودُ فَأُهْلِكُوا۟ بِٱلطَّاغِيَةِ“Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah dibinasakan dengan suara yang sangat keras (menggelegar).” (QS. Al-Haqqah: 5) 5. Pelajaran dari Kisah Kaum TsamudKehancuran kaum Tsamud menjadi pelajaran bagi manusia agar tidak menentang perintah Allah. Rasulullah ﷺ pernah melarang para sahabat memasuki tempat tinggal kaum Tsamud tanpa menangis, karena tempat itu telah ditimpa azab.Dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَا تَدْخُلُوا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ الْمُعَذَّبِينَ إِلَّا أَنْ تَكُونُوا بَاكِينَ، فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا بَاكِينَ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ أَنْ يُصِيبَكُمْ مِثْلُ مَا أَصَابَهُمْ“Janganlah kalian memasuki tempat orang-orang yang diazab, kecuali jika kalian menangis. Jika kalian tidak menangis, maka janganlah kalian memasukinya, agar tidak menimpa kalian seperti yang menimpa mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)Hadis ini mengajarkan bahwa ketika mengunjungi tempat-tempat seperti Madain Saleh, umat Islam harus melakukannya dengan rasa takut dan khusyuk, mengingat azab Allah yang pernah terjadi di sana.Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula dalam Islam Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa dosa dan maksiat dapat mengundang bencana, seperti gempa bumi dan hilangnya keberkahan di muka bumi. 6. KesimpulanKaum Tsamud binasa karena kesombongan dan kedurhakaan mereka terhadap Allah serta penolakan terhadap Nabi Saleh. Kisah mereka menjadi peringatan bagi manusia agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dan tetap berada di jalan yang benar. Kisah tentang kaum Tsamud di Surah Hudوَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَٰلِحًا ۚ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥ ۖ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ وَٱسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَٱسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوٓا۟ إِلَيْهِ ۚ إِنَّ رَبِّى قَرِيبٌ مُّجِيبٌ“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)”.” (QS. Hud: 61)قَالُوا۟ يَٰصَٰلِحُ قَدْ كُنتَ فِينَا مَرْجُوًّا قَبْلَ هَٰذَآ ۖ أَتَنْهَىٰنَآ أَن نَّعْبُدَ مَا يَعْبُدُ ءَابَآؤُنَا وَإِنَّنَا لَفِى شَكٍّ مِّمَّا تَدْعُونَآ إِلَيْهِ مُرِيبٍ“Kaum Tsamud berkata: “Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami”.” (QS. Hud: 62)قَالَ يَٰقَوْمِ أَرَءَيْتُمْ إِن كُنتُ عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّى وَءَاتَىٰنِى مِنْهُ رَحْمَةً فَمَن يَنصُرُنِى مِنَ ٱللَّهِ إِنْ عَصَيْتُهُۥ ۖ فَمَا تَزِيدُونَنِى غَيْرَ تَخْسِيرٍ“Shaleh berkata: “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan diberi-Nya aku rahmat (kenabian) dari-Nya, maka siapakah yang akan menolong aku dari (azab) Allah jika aku mendurhakai-Nya. Sebab itu kamu tidak menambah apapun kepadaku selain daripada kerugian.” (QS. Hud: 63)وَيَٰقَوْمِ هَٰذِهِۦ نَاقَةُ ٱللَّهِ لَكُمْ ءَايَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِىٓ أَرْضِ ٱللَّهِ وَلَا تَمَسُّوهَا بِسُوٓءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ قَرِيبٌ“Hai kaumku, inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu, sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun yang akan menyebabkan kamu ditimpa azab yang dekat”. (QS. Hud: 64)فَعَقَرُوهَا فَقَالَ تَمَتَّعُوا۟ فِى دَارِكُمْ ثَلَٰثَةَ أَيَّامٍ ۖ ذَٰلِكَ وَعْدٌ غَيْرُ مَكْذُوبٍ“Mereka membunuh unta itu, maka berkata Shaleh: “Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah janji yang tidak dapat didustakan”.” (QS. Hud: 65)فَلَمَّا جَآءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا صَٰلِحًا وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ بِرَحْمَةٍ مِّنَّا وَمِنْ خِزْىِ يَوْمِئِذٍ ۗ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ ٱلْقَوِىُّ ٱلْعَزِيزُ“Maka tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Shaleh beserta orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami dan dari kehinaan di hari itu. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-Lah yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Hud: 66)وَأَخَذَ ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ ٱلصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ“Dan satu suara keras yang mengguntur menimpa orang-orang yang zalim itu, lalu mereka mati bergelimpangan di rumahnya.” (QS. Hud: 67)كَأَن لَّمْ يَغْنَوْا۟ فِيهَآ ۗ أَلَآ إِنَّ ثَمُودَا۟ كَفَرُوا۟ رَبَّهُمْ ۗ أَلَا بُعْدًا لِّثَمُودَ“Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, sesungguhnya kaum Tsamud mengingkari Tuhan mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum Tsamud.” (QS. Hud: 68) Kisah Kaum Tsamud yang Disebutkan dalam Surah Asy-Syamsكَذَّبَتْ ثَمُودُ بِطَغْوَىٰهَآ“(Kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena mereka melampaui batas.” (QS. Asy-Syams: 11)إِذِ ٱنۢبَعَثَ أَشْقَىٰهَا“Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka.” (QS. Asy-Syams: 12)Syaikh As-Sa’di mengatatakan bahwa orang yang paling celaka di antara mereka adalah Qudar bin Salif yang diperintahkan oleh kaumnya untuk membunuh unta Allah. Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, dan Syaikh Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz Al-‘Awaji menyebutkan nama yang sama mengenai penyembelih unta Allah tersebut. Padahal unta betina ini adalah mukjizat Allah yang diberikan pada Nabi Saleh ‘alaihis salam atas permintaan kaumnya yang meminta unta tersebut keluar dari batu.Dalam Tafsir Ibnu Katsri disebutkan:Laki-laki itu adalah orang yang perkasa dan dimuliakan di antara mereka, mempunyai kemuliaan di antara kaumnya, terhormat dan menjadi pemimpin yang ditaati.فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ ٱللَّهِ نَاقَةَ ٱللَّهِ وَسُقْيَٰهَا“Lalu Rasul Allah (Saleh) berkata kepada mereka: (“Biarkanlah) unta betina Allah dan minumannya”.”Kaum Tsamud mendustakan Nabi Shalih, maka beliau menampakkan mukjizat unta betina dan memperingatkan mereka agar tidak mengganggu unta itu dan menghalanginya dari meminum air di hari yang telah ditetapkan baginya; hal ini setelah kesepakatan Nabi Shalih dengan kaum mereka untuk memberi satu hari bagi unta betina itu untuk minum, dan di hari setelahnya giliran unta kaumnya. Akan tetapi mereka menyelisihi kesepakatan dengan nabi mereka, dan tidak mempedulikan peringatannya berupa azab dan kebinasaan.فَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُم بِذَنۢبِهِمْ فَسَوَّىٰهَا“Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu, maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah menyama-ratakan mereka (dengan tanah),”وَلَا يَخَافُ عُقْبَٰهَا“Dan Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu.”Maksudnya: Allah Maha Perkasa, tidak ada yang dapat menentang ketetapan-Nya. Azab yang menimpa orang-orang kafir itu tidak dapat ditolak seorangpun dan tidak ada yang mampu membalas-Nya. Dosa adalah Penyebab Berbagai Bencana di Muka BumiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ تَأْثِيرِ مَعَاصِي اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَا يَحِلُّ بِهَا مِنَ الْخَسْفِ وَالزَّلَازِلِ، وَيَمْحَقُ بَرَكَتَهَا، وَقَدْ «مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى دِيَارِ ثَمُودَ، فَمَنَعَهُمْ مِنْ دُخُولِ دِيَارِهِمْ إِلَّا وَهُمْ بَاكُونَ، وَمِنْ شُرْبِ مِيَاهِهِمْ، وَمِنَ الِاسْتِسْقَاءِ مِنْ آبَارِهِمْ، حَتَّى أَمَرَ أَنْ لَا يُعْلَفَ الْعَجِينُ الَّذِي عُجِنَ بِمِيَاهِهِمْ لِلنَّوَاضِحِ، لِتَأْثِيرِ شُؤْمِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْمَاءِ،» وَكَذَلِكَ شُؤْمِ تَأْثِيرِ الذُّنُوبِ فِي نَقْصِ الثِّمَارِ وَمَا تَرَى بِهِ مِنَ الْآفَاتِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ قَالَ: وُجِدَتْ فِي خَزَائِنَ بَعْضِ بَنِي أُمَيَّةَ، حِنْطَةٌ، الْحَبَّةُ بِقَدْرِ نَوَاةِ التَّمْرَةِ، وَهِيَ فِي صُرَّةٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا: كَانَ هَذَا يَنْبُتُ فِي زَمَنٍ مِنَ الْعَدْلِ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ أَحْدَثَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا أَحْدَثَ الْعِبَادُ مِنَ الذُّنُوبِ. وَأَخْبَرَنِي جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِ الصَّحْرَاءِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْهَدُونَ الثِّمَارَ أَكْبَرَ مِمَّا هِيَ الْآنَ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ الَّتِي تُصِيبُهَا لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَهَا، وَإِنَّمَا حَدَثَتْ مِنْ قُرْبٍ.“Di antara dampak dari maksiat yang dilakukan manusia adalah terjadinya bencana di bumi, seperti tanah longsor dan gempa bumi, serta berkurangnya keberkahan.Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ melewati perkampungan kaum Tsamud, lalu beliau melarang para sahabat untuk memasuki tempat tinggal mereka kecuali dalam keadaan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum air dari sumur-sumur mereka atau menggunakan air itu untuk meminta hujan. Bahkan, beliau memerintahkan agar adonan yang telah dicampur dengan air mereka tidak diberikan kepada hewan ternak, karena air tersebut telah terkena dampak buruk akibat maksiat yang dilakukan oleh penduduknya.Begitu pula dampak buruk dosa terhadap hasil panen dan buah-buahan, yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama.Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa di salah satu perbendaharaan milik Bani Umayyah ditemukan sebutir gandum sebesar biji kurma. Gandum tersebut disimpan dalam sebuah kantong yang bertuliskan: “Dahulu, gandum sebesar ini tumbuh di zaman yang penuh dengan keadilan.” Banyak penyakit dan hama yang muncul akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia.Beberapa ulama dari daerah padang pasir mengisahkan bahwa mereka pernah melihat buah-buahan berukuran lebih besar daripada yang ada sekarang, serta tidak mengenal banyak hama dan penyakit yang kini menyerang tanaman. Semua itu baru terjadi belakangan akibat banyaknya dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.”Baca juga: Dampak Buruk Maksiat – Pelajaran dari Ibnul Qayyim – 1 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush SholihinDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel www.rumaysho.com TagsAkibat Kemaksiatan Azab Allah Dakwah Nabi gempa bumi Hukuman Allah Islam dan Sejarah Kaum Tsamud Kehancuran Bangsa Kisah dalam Al-Qur'an Lembah Hijr Madain Saleh Mukjizat Unta Nabi Saleh pelajaran islam Peradaban Arab Kuno Peradaban Kuno Petir dari Langit sejarah Islam Suara Dahsyat tafsir al-qur’an

Jangan Lupa Baca Doa Ini Saat Ramadhan Tiba – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Jangan lupa, ketika Ramadan tiba dan hilalnya terlihat, untuk berdoa dengan doa yang disyariatkan bagi Anda setiap bulan: ALLAAHUMMA AHILLAHU ‘ALAINAA BIL AMNI WAL IIMAANI “Ya Allah, tampakkanlah hilal (bulan sabit) ini kepada kami dengan keamanan, keimanan, WAS SALAAMATI WAL ISLAAMkeselamatan, dan keislaman.” (HR. Ibnu Hibban, al-Baihaqi, dan lainnya). Jangan lupa membaca doa ini! Disyariatkan bagi seorang Muslim untuk mengucapkannya setiap kali melihat hilal di awal setiap bulan, hendaknya ia membaca doa tersebut. Bersungguh-sungguhlah membacanya di awal setiap bulan, khususnya di bulan Ramadan. Anda berdoa kepada Allah ʿAzza wa Jalla agar Dia memperkenankan Anda untuk menyambut datangnya bulan Ramadan yang agung ini dan musim yang mulia ini dengan keamanan, keimanan, keselamatan, dan keislaman. ==== لَا تَنْسَ إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ وَهَلَّ هِلَالُهُ أَنْ تَدْعُوَ بِالدَّعْوَةِ الْمَشْرُوعَةِ لَكَ فِي كُلِّ شَهْرٍ اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْأَمْنِ وَالْإِيمَانِ وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ لَا تَنْسَ هَذِهِ الدَّعْوَةَ يُشْرَعُ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَقُولَهَا كُلَّمَا رَأَى الْهِلَالَ مِنْ أَوَّلِ كُلِّ شَهْرٍ يَدْعُو بِهَذَا الدُّعَاءِ فَاحْرِصْ عَلَيْهَا فِي كُلِّ شَهْرٍ وَفِي رَمَضَانَ خَاصَّةً تَدْعُو اللهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُهِلَّ عَلَيْكَ هَذَا الشَّهْرَ الْعَظِيمَ وَالْمَوْسِمَ الْكَرِيْمَ بِالْأَمْنِ وَالْإِيمَانِ وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ

Jangan Lupa Baca Doa Ini Saat Ramadhan Tiba – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Jangan lupa, ketika Ramadan tiba dan hilalnya terlihat, untuk berdoa dengan doa yang disyariatkan bagi Anda setiap bulan: ALLAAHUMMA AHILLAHU ‘ALAINAA BIL AMNI WAL IIMAANI “Ya Allah, tampakkanlah hilal (bulan sabit) ini kepada kami dengan keamanan, keimanan, WAS SALAAMATI WAL ISLAAMkeselamatan, dan keislaman.” (HR. Ibnu Hibban, al-Baihaqi, dan lainnya). Jangan lupa membaca doa ini! Disyariatkan bagi seorang Muslim untuk mengucapkannya setiap kali melihat hilal di awal setiap bulan, hendaknya ia membaca doa tersebut. Bersungguh-sungguhlah membacanya di awal setiap bulan, khususnya di bulan Ramadan. Anda berdoa kepada Allah ʿAzza wa Jalla agar Dia memperkenankan Anda untuk menyambut datangnya bulan Ramadan yang agung ini dan musim yang mulia ini dengan keamanan, keimanan, keselamatan, dan keislaman. ==== لَا تَنْسَ إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ وَهَلَّ هِلَالُهُ أَنْ تَدْعُوَ بِالدَّعْوَةِ الْمَشْرُوعَةِ لَكَ فِي كُلِّ شَهْرٍ اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْأَمْنِ وَالْإِيمَانِ وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ لَا تَنْسَ هَذِهِ الدَّعْوَةَ يُشْرَعُ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَقُولَهَا كُلَّمَا رَأَى الْهِلَالَ مِنْ أَوَّلِ كُلِّ شَهْرٍ يَدْعُو بِهَذَا الدُّعَاءِ فَاحْرِصْ عَلَيْهَا فِي كُلِّ شَهْرٍ وَفِي رَمَضَانَ خَاصَّةً تَدْعُو اللهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُهِلَّ عَلَيْكَ هَذَا الشَّهْرَ الْعَظِيمَ وَالْمَوْسِمَ الْكَرِيْمَ بِالْأَمْنِ وَالْإِيمَانِ وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ
Jangan lupa, ketika Ramadan tiba dan hilalnya terlihat, untuk berdoa dengan doa yang disyariatkan bagi Anda setiap bulan: ALLAAHUMMA AHILLAHU ‘ALAINAA BIL AMNI WAL IIMAANI “Ya Allah, tampakkanlah hilal (bulan sabit) ini kepada kami dengan keamanan, keimanan, WAS SALAAMATI WAL ISLAAMkeselamatan, dan keislaman.” (HR. Ibnu Hibban, al-Baihaqi, dan lainnya). Jangan lupa membaca doa ini! Disyariatkan bagi seorang Muslim untuk mengucapkannya setiap kali melihat hilal di awal setiap bulan, hendaknya ia membaca doa tersebut. Bersungguh-sungguhlah membacanya di awal setiap bulan, khususnya di bulan Ramadan. Anda berdoa kepada Allah ʿAzza wa Jalla agar Dia memperkenankan Anda untuk menyambut datangnya bulan Ramadan yang agung ini dan musim yang mulia ini dengan keamanan, keimanan, keselamatan, dan keislaman. ==== لَا تَنْسَ إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ وَهَلَّ هِلَالُهُ أَنْ تَدْعُوَ بِالدَّعْوَةِ الْمَشْرُوعَةِ لَكَ فِي كُلِّ شَهْرٍ اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْأَمْنِ وَالْإِيمَانِ وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ لَا تَنْسَ هَذِهِ الدَّعْوَةَ يُشْرَعُ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَقُولَهَا كُلَّمَا رَأَى الْهِلَالَ مِنْ أَوَّلِ كُلِّ شَهْرٍ يَدْعُو بِهَذَا الدُّعَاءِ فَاحْرِصْ عَلَيْهَا فِي كُلِّ شَهْرٍ وَفِي رَمَضَانَ خَاصَّةً تَدْعُو اللهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُهِلَّ عَلَيْكَ هَذَا الشَّهْرَ الْعَظِيمَ وَالْمَوْسِمَ الْكَرِيْمَ بِالْأَمْنِ وَالْإِيمَانِ وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ


Jangan lupa, ketika Ramadan tiba dan hilalnya terlihat, untuk berdoa dengan doa yang disyariatkan bagi Anda setiap bulan: ALLAAHUMMA AHILLAHU ‘ALAINAA BIL AMNI WAL IIMAANI “Ya Allah, tampakkanlah hilal (bulan sabit) ini kepada kami dengan keamanan, keimanan, WAS SALAAMATI WAL ISLAAMkeselamatan, dan keislaman.” (HR. Ibnu Hibban, al-Baihaqi, dan lainnya). Jangan lupa membaca doa ini! Disyariatkan bagi seorang Muslim untuk mengucapkannya setiap kali melihat hilal di awal setiap bulan, hendaknya ia membaca doa tersebut. Bersungguh-sungguhlah membacanya di awal setiap bulan, khususnya di bulan Ramadan. Anda berdoa kepada Allah ʿAzza wa Jalla agar Dia memperkenankan Anda untuk menyambut datangnya bulan Ramadan yang agung ini dan musim yang mulia ini dengan keamanan, keimanan, keselamatan, dan keislaman. ==== لَا تَنْسَ إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ وَهَلَّ هِلَالُهُ أَنْ تَدْعُوَ بِالدَّعْوَةِ الْمَشْرُوعَةِ لَكَ فِي كُلِّ شَهْرٍ اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْأَمْنِ وَالْإِيمَانِ وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ لَا تَنْسَ هَذِهِ الدَّعْوَةَ يُشْرَعُ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَقُولَهَا كُلَّمَا رَأَى الْهِلَالَ مِنْ أَوَّلِ كُلِّ شَهْرٍ يَدْعُو بِهَذَا الدُّعَاءِ فَاحْرِصْ عَلَيْهَا فِي كُلِّ شَهْرٍ وَفِي رَمَضَانَ خَاصَّةً تَدْعُو اللهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُهِلَّ عَلَيْكَ هَذَا الشَّهْرَ الْعَظِيمَ وَالْمَوْسِمَ الْكَرِيْمَ بِالْأَمْنِ وَالْإِيمَانِ وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ

Selamat Datang Ramadhan! – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Sebagaimana diketahui semuanya, Ramadan telah di ambang pintu. Hari-harinya telah dekat dan malam-malamnya pun segera tiba. Itulah bulan yang agung, yang Allah Tabāraka wa Taʿālā telah berikan kekhususan yang agung dan keistimewaan yang mulia padanya. Allah Jalla wa ʿAlā Memuliakannya dan Mengistimewakannya daripada bulan-bulan lainnya. “Dan Tuhanmu Menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Memilih.” (QS Al-Qashash: 68) Allah ʿAzza wa Jalla menjadikan bulan yang diberkahi ini sebagai bulan terbaik dan paling afdal, yang paling agung kedudukannya dan paling tinggi derajatnya. Di bulan ini, Allah menurunkan wahyu-Nya yang penuh hikmah dan peringatan-Nya yang agung, yaitu Al-Quran yang mulia. “Bulan Ramadan adalah bulan diturunkan Al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS Al-Baqarah: 185) ==== كَمَا يَعْلَمُ الْجَمِيعُ رَمَضَانُ عَلَى مَشَارِفِ الدُّخُولِ دَنَتْ أَيَّامُهُ وَقَرُبَتْ لَيَالِيهِ ذَلِكُمُ الشَّهْرُ الْعَظِيمُ الَّذِي خَصَّهُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى بِخَصَائِصَ عَظِيمَةٍ وَمَيِّزَاتٍ كَرِيمَةٍ شَرَّفَهُ جَلَّ وَعَلَا وَمَيَّزَهُ عَنْ غَيْرِهِ مِنَ الشُّهُورِ وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُ وَيَخْتَارُ فَاللهُ عَزَّ وَجَلَّ جَعَلَ هَذَا الشَّهْرَ الْمُبَارَكَ خَيْرَ الشُّهُورِ وَأَفْضَلَهَا وَأَعْظَمَهَا شَأْنًا وَأَعْلَاهَا مَكَانَةً أَنْزَلَ فِيهِ وَحْيَهُ الْحَكِيمَ وَذِكْرَهُ الْعَظِيمَ الْقُرْآنَ الْكَرِيمَ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ

Selamat Datang Ramadhan! – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Sebagaimana diketahui semuanya, Ramadan telah di ambang pintu. Hari-harinya telah dekat dan malam-malamnya pun segera tiba. Itulah bulan yang agung, yang Allah Tabāraka wa Taʿālā telah berikan kekhususan yang agung dan keistimewaan yang mulia padanya. Allah Jalla wa ʿAlā Memuliakannya dan Mengistimewakannya daripada bulan-bulan lainnya. “Dan Tuhanmu Menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Memilih.” (QS Al-Qashash: 68) Allah ʿAzza wa Jalla menjadikan bulan yang diberkahi ini sebagai bulan terbaik dan paling afdal, yang paling agung kedudukannya dan paling tinggi derajatnya. Di bulan ini, Allah menurunkan wahyu-Nya yang penuh hikmah dan peringatan-Nya yang agung, yaitu Al-Quran yang mulia. “Bulan Ramadan adalah bulan diturunkan Al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS Al-Baqarah: 185) ==== كَمَا يَعْلَمُ الْجَمِيعُ رَمَضَانُ عَلَى مَشَارِفِ الدُّخُولِ دَنَتْ أَيَّامُهُ وَقَرُبَتْ لَيَالِيهِ ذَلِكُمُ الشَّهْرُ الْعَظِيمُ الَّذِي خَصَّهُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى بِخَصَائِصَ عَظِيمَةٍ وَمَيِّزَاتٍ كَرِيمَةٍ شَرَّفَهُ جَلَّ وَعَلَا وَمَيَّزَهُ عَنْ غَيْرِهِ مِنَ الشُّهُورِ وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُ وَيَخْتَارُ فَاللهُ عَزَّ وَجَلَّ جَعَلَ هَذَا الشَّهْرَ الْمُبَارَكَ خَيْرَ الشُّهُورِ وَأَفْضَلَهَا وَأَعْظَمَهَا شَأْنًا وَأَعْلَاهَا مَكَانَةً أَنْزَلَ فِيهِ وَحْيَهُ الْحَكِيمَ وَذِكْرَهُ الْعَظِيمَ الْقُرْآنَ الْكَرِيمَ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ
Sebagaimana diketahui semuanya, Ramadan telah di ambang pintu. Hari-harinya telah dekat dan malam-malamnya pun segera tiba. Itulah bulan yang agung, yang Allah Tabāraka wa Taʿālā telah berikan kekhususan yang agung dan keistimewaan yang mulia padanya. Allah Jalla wa ʿAlā Memuliakannya dan Mengistimewakannya daripada bulan-bulan lainnya. “Dan Tuhanmu Menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Memilih.” (QS Al-Qashash: 68) Allah ʿAzza wa Jalla menjadikan bulan yang diberkahi ini sebagai bulan terbaik dan paling afdal, yang paling agung kedudukannya dan paling tinggi derajatnya. Di bulan ini, Allah menurunkan wahyu-Nya yang penuh hikmah dan peringatan-Nya yang agung, yaitu Al-Quran yang mulia. “Bulan Ramadan adalah bulan diturunkan Al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS Al-Baqarah: 185) ==== كَمَا يَعْلَمُ الْجَمِيعُ رَمَضَانُ عَلَى مَشَارِفِ الدُّخُولِ دَنَتْ أَيَّامُهُ وَقَرُبَتْ لَيَالِيهِ ذَلِكُمُ الشَّهْرُ الْعَظِيمُ الَّذِي خَصَّهُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى بِخَصَائِصَ عَظِيمَةٍ وَمَيِّزَاتٍ كَرِيمَةٍ شَرَّفَهُ جَلَّ وَعَلَا وَمَيَّزَهُ عَنْ غَيْرِهِ مِنَ الشُّهُورِ وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُ وَيَخْتَارُ فَاللهُ عَزَّ وَجَلَّ جَعَلَ هَذَا الشَّهْرَ الْمُبَارَكَ خَيْرَ الشُّهُورِ وَأَفْضَلَهَا وَأَعْظَمَهَا شَأْنًا وَأَعْلَاهَا مَكَانَةً أَنْزَلَ فِيهِ وَحْيَهُ الْحَكِيمَ وَذِكْرَهُ الْعَظِيمَ الْقُرْآنَ الْكَرِيمَ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ


Sebagaimana diketahui semuanya, Ramadan telah di ambang pintu. Hari-harinya telah dekat dan malam-malamnya pun segera tiba. Itulah bulan yang agung, yang Allah Tabāraka wa Taʿālā telah berikan kekhususan yang agung dan keistimewaan yang mulia padanya. Allah Jalla wa ʿAlā Memuliakannya dan Mengistimewakannya daripada bulan-bulan lainnya. “Dan Tuhanmu Menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Memilih.” (QS Al-Qashash: 68) Allah ʿAzza wa Jalla menjadikan bulan yang diberkahi ini sebagai bulan terbaik dan paling afdal, yang paling agung kedudukannya dan paling tinggi derajatnya. Di bulan ini, Allah menurunkan wahyu-Nya yang penuh hikmah dan peringatan-Nya yang agung, yaitu Al-Quran yang mulia. “Bulan Ramadan adalah bulan diturunkan Al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS Al-Baqarah: 185) ==== كَمَا يَعْلَمُ الْجَمِيعُ رَمَضَانُ عَلَى مَشَارِفِ الدُّخُولِ دَنَتْ أَيَّامُهُ وَقَرُبَتْ لَيَالِيهِ ذَلِكُمُ الشَّهْرُ الْعَظِيمُ الَّذِي خَصَّهُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى بِخَصَائِصَ عَظِيمَةٍ وَمَيِّزَاتٍ كَرِيمَةٍ شَرَّفَهُ جَلَّ وَعَلَا وَمَيَّزَهُ عَنْ غَيْرِهِ مِنَ الشُّهُورِ وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُ وَيَخْتَارُ فَاللهُ عَزَّ وَجَلَّ جَعَلَ هَذَا الشَّهْرَ الْمُبَارَكَ خَيْرَ الشُّهُورِ وَأَفْضَلَهَا وَأَعْظَمَهَا شَأْنًا وَأَعْلَاهَا مَكَانَةً أَنْزَلَ فِيهِ وَحْيَهُ الْحَكِيمَ وَذِكْرَهُ الْعَظِيمَ الْقُرْآنَ الْكَرِيمَ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ

Bunuh Diri Bukan Solusi

Daftar Isi Toggle Pokok permasalahan bunuh diriBertahanlah! Hingga datang pertolongan!Orang beriman anti bunuh diri?Untuk Anda yang berteman dengan penyintas bunuh diri Akhir-akhir ini, terjadi eskalasi jumlah kasus bunuh diri. Mulai dari orang dewasa, remaja, hingga anak kecil pun menjadi korban dalam kasus bunuh diri yang terjadi. Selama 5 tahun terakhir, dilansir dari data Pusat Informasi Kriminal Nasional, terjadi peningkatan jumlah kasus bunuh diri sebanyak 60% dengan rataan lebih dari 1000 kasus setiap tahunnya. Banyak dari kasus tersebut terjadi pada kalangan muda di masa awal produktifnya. Hal ini menjadi perhatian, mengapa anak muda rentan sekali dengan bunuh diri? Beberapa pernyataan yang dikeluarkan oleh pihak terkait menyimpulkan bahwa isu kesehatan mental menjadi sangat penting di zaman ini. Himpitan masalah sosial, ekonomi, juga akademik, menjadi faktor yang diduga melatarbelakangi banyak kasus bunuh diri yang terjadi. Pokok permasalahan bunuh diri Permasalahan yang dihadapi oleh korban bunuh diri dirasa menjadi momok yang teramat besar, seakan tak bisa diatasi sama sekali. Sehingga tidak terpikirkan solusi lain selain menyelesaikan riwayat kehidupannya. Mungkin anda pun sedang berada di posisi yang sama, sedang menghadapi kerasnya kehidupan dunia. Seakan tugas-tugas kuliah yang menumpuk tak ada habisnya. Anda pun merasa sendirian dalam menghadapinya, sedangkan kehidupan orang-orang terasa baik-baik saja. Namun, sejatinya bunuh diri bukanlah solusi. Justru, dengan bunuh diri, masalah yang dihadapi semakin pelik. Pikirkan saja, ketika anda memutuskan mengakhiri hidup, masalah yang anda hadapi tidak selesai begitu saja. Utang yang melilit tidak akan lepas, permasalahan sosial yang dihadapi tidak akan usai. Akan tetapi, masalah itu kini berpindah kepada orang lain. Keluarga anda, teman-teman anda, dan semua orang yang menyayangi anda, justru akan menanggung semuanya! Setiap orang pasti di dalam hatinya berkeinginan untuk dikenang sebagai orang baik… Sekarang mari renungkan, ketika anda mengakhiri hidup dengan bunuh diri serta meninggalkan berbagai masalah yang terlimpahkan kepada orang lain, bagaimana anda ingin dikenang oleh orang-orang? Bertahanlah! Hingga datang pertolongan! Ketahuilah, dengan anda tetap bertahan hidup, anda setidaknya tidak memperburuk masalah yang ada. Hanya anda yang menanggungnya, sedangkan orang lain tidak mendapatkan dampak buruknya. Dan bisa jadi, anda justru mampu menyelesaikan masalahnya, karena Allah berjanji, فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا “Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan,” إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا “Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” Dalam konsep Islam, Allah telah berjanji, ketika Ia menetapkan kesulitan bagi seseorang, pasti Ia juga menetapkan kemudahan bersamanya. Bersama, bukan setelahnya. Sehingga Islam terus menawarkan optimisme. Ibnu Katsir berkata dalam Tafsir-nya, “Bila hati dipenuhi oleh (1) rasa putus asa, (2) dada yang luas menjadi terasa sempit, (3) banyak hal yang tidak disukai sedang menimpa, serta (4) banyak musibah yang dialami, sehingga (5) ia tidak melihat adanya celah untuk melepaskan diri dari bahaya yang sedang menimpa diri, dan (6) tiada gunanya lagi semua upaya untuk menanggulanginya. Maka, akan datang kepadamu pertolongan bila hatimu berserah kepada-Nya, yaitu pertolongan dari Tuhan Yang Mahalembut lagi Maha Memperkenankan doa. Semua musibah apabila telah mencapai puncaknya, pasti akan segera bertemu jalan keluarnya.” Maka, apalagi yang anda khawatirkan jika ada Zat yang Mahakuat menjamin permasalahan anda akan terselesaikan?! Jika ada seorang jenderal atau hakim agung yang menjamin permasalahan hukum anda terselesaikan, apakah anda masih mengkhawatirkannya? Falillahi matsalul a’la… Allah lebih berkuasa dari itu. Dan janji Allah tidak pernah dusta. Maka, berserahlah kepada Allah agar anda dapat ditolong oleh-Nya. Bersabarlah sejenak, hingga jalan keluar terbuka lebar. Allah tidak sedang bermain-main dengan hamba-Nya, Ia menjalankan garis takdir yang terbaik untuk anda. Alasan jalan keluar anda hadir ketika masalah sedang memuncak, agar semakin indah kisah perjuangan anda. Tidak ada tokoh utama dalam sebuah kisah yang menjalankan cerita yang biasa-biasa saja. Tentu ada banyak adegan heroik yang dilakukan. Dan anda adalah pemeran utama dalam cerita hidup anda. Anda hanya perlu menjalankan takdir heroik yang telah Allah gariskan. Dan yakinlah, ada akhir kisah yang indah jika anda terus bersabar, dan menjalankannya dengan aksi-aksi heroik, yakni dengan tunduk patuh pada apa yang Dia perintahkan. Dan masa depan yang buruk tidak lebih pasti daripada masa depan yang cerah. Karena Allah, Yang Mahakuasa, dan yang tidak pernah dusta, telah menjanjikan bagi mereka yang taat kepada-Nya, Allah pastikan baginya akhir yang indah. Baca juga: Bunuh Diri dalam Paradigma Islam (Bag. 1) Orang beriman anti bunuh diri? Mungkin muncul pertanyaan di diri anda, “Emangnya hanya dengan beriman kepada-Nya akan menyelesaikan masalah?” Jawabannya, tidak. Jika anda hanya yakin saja kepada Allah, tanpa tahu bahwa Allah sebegitu hebatnya, dan tanpa memasrahkan diri pada-Nya dengan taat beribadah, maka itu hanya akan sia-sia. Mungkin anda juga akan bertanya, “Berarti, apakah beragama menyelesaikan masalah?” Jawabannya, tidak juga. Kalau anda merujuk kepada penelitian yang dilakukan Ryan Lawrence dan Timnya, peneliti psikologi Amerika Serikat, maka korelasi agama terhadap pencegahan bunuh diri tidak sesederhana itu. Ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan untuk menyimpulkan bahwa agama mencegah munculnya ide bunuh diri. Namun, timnya bersepakat, bahwa agama mampu mencegah praktik bunuh diri. Karena agama dapat menghambat seseorang untuk bertindak berdasarkan ide bunuh diri dengan cara: menyediakan akses terhadap komunitas yang mendukung, membentuk keyakinan seseorang tentang bunuh diri, menyediakan sumber harapan, dan menyediakan cara untuk menafsirkan penderitaan. Untuk Anda yang berteman dengan penyintas bunuh diri Teruslah mengajaknya mendekat kepada agama. Banyak penelitian menunjukkan bahwa afiliasi keagamaan bersifat protektif terhadap upaya bunuh diri. Ajaklah ia terus beribadah, karena hal tersebut dapat membantunya untuk mencegah melakukan bunuh diri. Kita tidak bisa mengatur keadaan lingkungan yang kita hadapi, tetapi setidaknya kita bisa mengatur diri kita sendiri untuk merespons keadaan lingkungan yang ada. Apakah perkataan buruk itu perlu kita dengarkan? Apakah niatan jahat itu perlu kita balas? Apakah tindakan membenci itu perlu kita tanggapi? Semuanya bisa anda kuasai. Dua tangan anda tidak cukup untuk menutup mulut setiap orang, tetapi ia cukup untuk menutup telinga ataupun menutup mata anda sendiri. Berjuanglah! Baca juga: Jangan Bunuh Diri: Sebuah Panggilan untuk Menemukan Kembali Harapan dalam Islam *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7310534

Bunuh Diri Bukan Solusi

Daftar Isi Toggle Pokok permasalahan bunuh diriBertahanlah! Hingga datang pertolongan!Orang beriman anti bunuh diri?Untuk Anda yang berteman dengan penyintas bunuh diri Akhir-akhir ini, terjadi eskalasi jumlah kasus bunuh diri. Mulai dari orang dewasa, remaja, hingga anak kecil pun menjadi korban dalam kasus bunuh diri yang terjadi. Selama 5 tahun terakhir, dilansir dari data Pusat Informasi Kriminal Nasional, terjadi peningkatan jumlah kasus bunuh diri sebanyak 60% dengan rataan lebih dari 1000 kasus setiap tahunnya. Banyak dari kasus tersebut terjadi pada kalangan muda di masa awal produktifnya. Hal ini menjadi perhatian, mengapa anak muda rentan sekali dengan bunuh diri? Beberapa pernyataan yang dikeluarkan oleh pihak terkait menyimpulkan bahwa isu kesehatan mental menjadi sangat penting di zaman ini. Himpitan masalah sosial, ekonomi, juga akademik, menjadi faktor yang diduga melatarbelakangi banyak kasus bunuh diri yang terjadi. Pokok permasalahan bunuh diri Permasalahan yang dihadapi oleh korban bunuh diri dirasa menjadi momok yang teramat besar, seakan tak bisa diatasi sama sekali. Sehingga tidak terpikirkan solusi lain selain menyelesaikan riwayat kehidupannya. Mungkin anda pun sedang berada di posisi yang sama, sedang menghadapi kerasnya kehidupan dunia. Seakan tugas-tugas kuliah yang menumpuk tak ada habisnya. Anda pun merasa sendirian dalam menghadapinya, sedangkan kehidupan orang-orang terasa baik-baik saja. Namun, sejatinya bunuh diri bukanlah solusi. Justru, dengan bunuh diri, masalah yang dihadapi semakin pelik. Pikirkan saja, ketika anda memutuskan mengakhiri hidup, masalah yang anda hadapi tidak selesai begitu saja. Utang yang melilit tidak akan lepas, permasalahan sosial yang dihadapi tidak akan usai. Akan tetapi, masalah itu kini berpindah kepada orang lain. Keluarga anda, teman-teman anda, dan semua orang yang menyayangi anda, justru akan menanggung semuanya! Setiap orang pasti di dalam hatinya berkeinginan untuk dikenang sebagai orang baik… Sekarang mari renungkan, ketika anda mengakhiri hidup dengan bunuh diri serta meninggalkan berbagai masalah yang terlimpahkan kepada orang lain, bagaimana anda ingin dikenang oleh orang-orang? Bertahanlah! Hingga datang pertolongan! Ketahuilah, dengan anda tetap bertahan hidup, anda setidaknya tidak memperburuk masalah yang ada. Hanya anda yang menanggungnya, sedangkan orang lain tidak mendapatkan dampak buruknya. Dan bisa jadi, anda justru mampu menyelesaikan masalahnya, karena Allah berjanji, فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا “Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan,” إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا “Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” Dalam konsep Islam, Allah telah berjanji, ketika Ia menetapkan kesulitan bagi seseorang, pasti Ia juga menetapkan kemudahan bersamanya. Bersama, bukan setelahnya. Sehingga Islam terus menawarkan optimisme. Ibnu Katsir berkata dalam Tafsir-nya, “Bila hati dipenuhi oleh (1) rasa putus asa, (2) dada yang luas menjadi terasa sempit, (3) banyak hal yang tidak disukai sedang menimpa, serta (4) banyak musibah yang dialami, sehingga (5) ia tidak melihat adanya celah untuk melepaskan diri dari bahaya yang sedang menimpa diri, dan (6) tiada gunanya lagi semua upaya untuk menanggulanginya. Maka, akan datang kepadamu pertolongan bila hatimu berserah kepada-Nya, yaitu pertolongan dari Tuhan Yang Mahalembut lagi Maha Memperkenankan doa. Semua musibah apabila telah mencapai puncaknya, pasti akan segera bertemu jalan keluarnya.” Maka, apalagi yang anda khawatirkan jika ada Zat yang Mahakuat menjamin permasalahan anda akan terselesaikan?! Jika ada seorang jenderal atau hakim agung yang menjamin permasalahan hukum anda terselesaikan, apakah anda masih mengkhawatirkannya? Falillahi matsalul a’la… Allah lebih berkuasa dari itu. Dan janji Allah tidak pernah dusta. Maka, berserahlah kepada Allah agar anda dapat ditolong oleh-Nya. Bersabarlah sejenak, hingga jalan keluar terbuka lebar. Allah tidak sedang bermain-main dengan hamba-Nya, Ia menjalankan garis takdir yang terbaik untuk anda. Alasan jalan keluar anda hadir ketika masalah sedang memuncak, agar semakin indah kisah perjuangan anda. Tidak ada tokoh utama dalam sebuah kisah yang menjalankan cerita yang biasa-biasa saja. Tentu ada banyak adegan heroik yang dilakukan. Dan anda adalah pemeran utama dalam cerita hidup anda. Anda hanya perlu menjalankan takdir heroik yang telah Allah gariskan. Dan yakinlah, ada akhir kisah yang indah jika anda terus bersabar, dan menjalankannya dengan aksi-aksi heroik, yakni dengan tunduk patuh pada apa yang Dia perintahkan. Dan masa depan yang buruk tidak lebih pasti daripada masa depan yang cerah. Karena Allah, Yang Mahakuasa, dan yang tidak pernah dusta, telah menjanjikan bagi mereka yang taat kepada-Nya, Allah pastikan baginya akhir yang indah. Baca juga: Bunuh Diri dalam Paradigma Islam (Bag. 1) Orang beriman anti bunuh diri? Mungkin muncul pertanyaan di diri anda, “Emangnya hanya dengan beriman kepada-Nya akan menyelesaikan masalah?” Jawabannya, tidak. Jika anda hanya yakin saja kepada Allah, tanpa tahu bahwa Allah sebegitu hebatnya, dan tanpa memasrahkan diri pada-Nya dengan taat beribadah, maka itu hanya akan sia-sia. Mungkin anda juga akan bertanya, “Berarti, apakah beragama menyelesaikan masalah?” Jawabannya, tidak juga. Kalau anda merujuk kepada penelitian yang dilakukan Ryan Lawrence dan Timnya, peneliti psikologi Amerika Serikat, maka korelasi agama terhadap pencegahan bunuh diri tidak sesederhana itu. Ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan untuk menyimpulkan bahwa agama mencegah munculnya ide bunuh diri. Namun, timnya bersepakat, bahwa agama mampu mencegah praktik bunuh diri. Karena agama dapat menghambat seseorang untuk bertindak berdasarkan ide bunuh diri dengan cara: menyediakan akses terhadap komunitas yang mendukung, membentuk keyakinan seseorang tentang bunuh diri, menyediakan sumber harapan, dan menyediakan cara untuk menafsirkan penderitaan. Untuk Anda yang berteman dengan penyintas bunuh diri Teruslah mengajaknya mendekat kepada agama. Banyak penelitian menunjukkan bahwa afiliasi keagamaan bersifat protektif terhadap upaya bunuh diri. Ajaklah ia terus beribadah, karena hal tersebut dapat membantunya untuk mencegah melakukan bunuh diri. Kita tidak bisa mengatur keadaan lingkungan yang kita hadapi, tetapi setidaknya kita bisa mengatur diri kita sendiri untuk merespons keadaan lingkungan yang ada. Apakah perkataan buruk itu perlu kita dengarkan? Apakah niatan jahat itu perlu kita balas? Apakah tindakan membenci itu perlu kita tanggapi? Semuanya bisa anda kuasai. Dua tangan anda tidak cukup untuk menutup mulut setiap orang, tetapi ia cukup untuk menutup telinga ataupun menutup mata anda sendiri. Berjuanglah! Baca juga: Jangan Bunuh Diri: Sebuah Panggilan untuk Menemukan Kembali Harapan dalam Islam *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7310534
Daftar Isi Toggle Pokok permasalahan bunuh diriBertahanlah! Hingga datang pertolongan!Orang beriman anti bunuh diri?Untuk Anda yang berteman dengan penyintas bunuh diri Akhir-akhir ini, terjadi eskalasi jumlah kasus bunuh diri. Mulai dari orang dewasa, remaja, hingga anak kecil pun menjadi korban dalam kasus bunuh diri yang terjadi. Selama 5 tahun terakhir, dilansir dari data Pusat Informasi Kriminal Nasional, terjadi peningkatan jumlah kasus bunuh diri sebanyak 60% dengan rataan lebih dari 1000 kasus setiap tahunnya. Banyak dari kasus tersebut terjadi pada kalangan muda di masa awal produktifnya. Hal ini menjadi perhatian, mengapa anak muda rentan sekali dengan bunuh diri? Beberapa pernyataan yang dikeluarkan oleh pihak terkait menyimpulkan bahwa isu kesehatan mental menjadi sangat penting di zaman ini. Himpitan masalah sosial, ekonomi, juga akademik, menjadi faktor yang diduga melatarbelakangi banyak kasus bunuh diri yang terjadi. Pokok permasalahan bunuh diri Permasalahan yang dihadapi oleh korban bunuh diri dirasa menjadi momok yang teramat besar, seakan tak bisa diatasi sama sekali. Sehingga tidak terpikirkan solusi lain selain menyelesaikan riwayat kehidupannya. Mungkin anda pun sedang berada di posisi yang sama, sedang menghadapi kerasnya kehidupan dunia. Seakan tugas-tugas kuliah yang menumpuk tak ada habisnya. Anda pun merasa sendirian dalam menghadapinya, sedangkan kehidupan orang-orang terasa baik-baik saja. Namun, sejatinya bunuh diri bukanlah solusi. Justru, dengan bunuh diri, masalah yang dihadapi semakin pelik. Pikirkan saja, ketika anda memutuskan mengakhiri hidup, masalah yang anda hadapi tidak selesai begitu saja. Utang yang melilit tidak akan lepas, permasalahan sosial yang dihadapi tidak akan usai. Akan tetapi, masalah itu kini berpindah kepada orang lain. Keluarga anda, teman-teman anda, dan semua orang yang menyayangi anda, justru akan menanggung semuanya! Setiap orang pasti di dalam hatinya berkeinginan untuk dikenang sebagai orang baik… Sekarang mari renungkan, ketika anda mengakhiri hidup dengan bunuh diri serta meninggalkan berbagai masalah yang terlimpahkan kepada orang lain, bagaimana anda ingin dikenang oleh orang-orang? Bertahanlah! Hingga datang pertolongan! Ketahuilah, dengan anda tetap bertahan hidup, anda setidaknya tidak memperburuk masalah yang ada. Hanya anda yang menanggungnya, sedangkan orang lain tidak mendapatkan dampak buruknya. Dan bisa jadi, anda justru mampu menyelesaikan masalahnya, karena Allah berjanji, فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا “Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan,” إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا “Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” Dalam konsep Islam, Allah telah berjanji, ketika Ia menetapkan kesulitan bagi seseorang, pasti Ia juga menetapkan kemudahan bersamanya. Bersama, bukan setelahnya. Sehingga Islam terus menawarkan optimisme. Ibnu Katsir berkata dalam Tafsir-nya, “Bila hati dipenuhi oleh (1) rasa putus asa, (2) dada yang luas menjadi terasa sempit, (3) banyak hal yang tidak disukai sedang menimpa, serta (4) banyak musibah yang dialami, sehingga (5) ia tidak melihat adanya celah untuk melepaskan diri dari bahaya yang sedang menimpa diri, dan (6) tiada gunanya lagi semua upaya untuk menanggulanginya. Maka, akan datang kepadamu pertolongan bila hatimu berserah kepada-Nya, yaitu pertolongan dari Tuhan Yang Mahalembut lagi Maha Memperkenankan doa. Semua musibah apabila telah mencapai puncaknya, pasti akan segera bertemu jalan keluarnya.” Maka, apalagi yang anda khawatirkan jika ada Zat yang Mahakuat menjamin permasalahan anda akan terselesaikan?! Jika ada seorang jenderal atau hakim agung yang menjamin permasalahan hukum anda terselesaikan, apakah anda masih mengkhawatirkannya? Falillahi matsalul a’la… Allah lebih berkuasa dari itu. Dan janji Allah tidak pernah dusta. Maka, berserahlah kepada Allah agar anda dapat ditolong oleh-Nya. Bersabarlah sejenak, hingga jalan keluar terbuka lebar. Allah tidak sedang bermain-main dengan hamba-Nya, Ia menjalankan garis takdir yang terbaik untuk anda. Alasan jalan keluar anda hadir ketika masalah sedang memuncak, agar semakin indah kisah perjuangan anda. Tidak ada tokoh utama dalam sebuah kisah yang menjalankan cerita yang biasa-biasa saja. Tentu ada banyak adegan heroik yang dilakukan. Dan anda adalah pemeran utama dalam cerita hidup anda. Anda hanya perlu menjalankan takdir heroik yang telah Allah gariskan. Dan yakinlah, ada akhir kisah yang indah jika anda terus bersabar, dan menjalankannya dengan aksi-aksi heroik, yakni dengan tunduk patuh pada apa yang Dia perintahkan. Dan masa depan yang buruk tidak lebih pasti daripada masa depan yang cerah. Karena Allah, Yang Mahakuasa, dan yang tidak pernah dusta, telah menjanjikan bagi mereka yang taat kepada-Nya, Allah pastikan baginya akhir yang indah. Baca juga: Bunuh Diri dalam Paradigma Islam (Bag. 1) Orang beriman anti bunuh diri? Mungkin muncul pertanyaan di diri anda, “Emangnya hanya dengan beriman kepada-Nya akan menyelesaikan masalah?” Jawabannya, tidak. Jika anda hanya yakin saja kepada Allah, tanpa tahu bahwa Allah sebegitu hebatnya, dan tanpa memasrahkan diri pada-Nya dengan taat beribadah, maka itu hanya akan sia-sia. Mungkin anda juga akan bertanya, “Berarti, apakah beragama menyelesaikan masalah?” Jawabannya, tidak juga. Kalau anda merujuk kepada penelitian yang dilakukan Ryan Lawrence dan Timnya, peneliti psikologi Amerika Serikat, maka korelasi agama terhadap pencegahan bunuh diri tidak sesederhana itu. Ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan untuk menyimpulkan bahwa agama mencegah munculnya ide bunuh diri. Namun, timnya bersepakat, bahwa agama mampu mencegah praktik bunuh diri. Karena agama dapat menghambat seseorang untuk bertindak berdasarkan ide bunuh diri dengan cara: menyediakan akses terhadap komunitas yang mendukung, membentuk keyakinan seseorang tentang bunuh diri, menyediakan sumber harapan, dan menyediakan cara untuk menafsirkan penderitaan. Untuk Anda yang berteman dengan penyintas bunuh diri Teruslah mengajaknya mendekat kepada agama. Banyak penelitian menunjukkan bahwa afiliasi keagamaan bersifat protektif terhadap upaya bunuh diri. Ajaklah ia terus beribadah, karena hal tersebut dapat membantunya untuk mencegah melakukan bunuh diri. Kita tidak bisa mengatur keadaan lingkungan yang kita hadapi, tetapi setidaknya kita bisa mengatur diri kita sendiri untuk merespons keadaan lingkungan yang ada. Apakah perkataan buruk itu perlu kita dengarkan? Apakah niatan jahat itu perlu kita balas? Apakah tindakan membenci itu perlu kita tanggapi? Semuanya bisa anda kuasai. Dua tangan anda tidak cukup untuk menutup mulut setiap orang, tetapi ia cukup untuk menutup telinga ataupun menutup mata anda sendiri. Berjuanglah! Baca juga: Jangan Bunuh Diri: Sebuah Panggilan untuk Menemukan Kembali Harapan dalam Islam *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7310534


Daftar Isi Toggle Pokok permasalahan bunuh diriBertahanlah! Hingga datang pertolongan!Orang beriman anti bunuh diri?Untuk Anda yang berteman dengan penyintas bunuh diri Akhir-akhir ini, terjadi eskalasi jumlah kasus bunuh diri. Mulai dari orang dewasa, remaja, hingga anak kecil pun menjadi korban dalam kasus bunuh diri yang terjadi. Selama 5 tahun terakhir, dilansir dari data Pusat Informasi Kriminal Nasional, terjadi peningkatan jumlah kasus bunuh diri sebanyak 60% dengan rataan lebih dari 1000 kasus setiap tahunnya. Banyak dari kasus tersebut terjadi pada kalangan muda di masa awal produktifnya. Hal ini menjadi perhatian, mengapa anak muda rentan sekali dengan bunuh diri? Beberapa pernyataan yang dikeluarkan oleh pihak terkait menyimpulkan bahwa isu kesehatan mental menjadi sangat penting di zaman ini. Himpitan masalah sosial, ekonomi, juga akademik, menjadi faktor yang diduga melatarbelakangi banyak kasus bunuh diri yang terjadi. Pokok permasalahan bunuh diri Permasalahan yang dihadapi oleh korban bunuh diri dirasa menjadi momok yang teramat besar, seakan tak bisa diatasi sama sekali. Sehingga tidak terpikirkan solusi lain selain menyelesaikan riwayat kehidupannya. Mungkin anda pun sedang berada di posisi yang sama, sedang menghadapi kerasnya kehidupan dunia. Seakan tugas-tugas kuliah yang menumpuk tak ada habisnya. Anda pun merasa sendirian dalam menghadapinya, sedangkan kehidupan orang-orang terasa baik-baik saja. Namun, sejatinya bunuh diri bukanlah solusi. Justru, dengan bunuh diri, masalah yang dihadapi semakin pelik. Pikirkan saja, ketika anda memutuskan mengakhiri hidup, masalah yang anda hadapi tidak selesai begitu saja. Utang yang melilit tidak akan lepas, permasalahan sosial yang dihadapi tidak akan usai. Akan tetapi, masalah itu kini berpindah kepada orang lain. Keluarga anda, teman-teman anda, dan semua orang yang menyayangi anda, justru akan menanggung semuanya! Setiap orang pasti di dalam hatinya berkeinginan untuk dikenang sebagai orang baik… Sekarang mari renungkan, ketika anda mengakhiri hidup dengan bunuh diri serta meninggalkan berbagai masalah yang terlimpahkan kepada orang lain, bagaimana anda ingin dikenang oleh orang-orang? Bertahanlah! Hingga datang pertolongan! Ketahuilah, dengan anda tetap bertahan hidup, anda setidaknya tidak memperburuk masalah yang ada. Hanya anda yang menanggungnya, sedangkan orang lain tidak mendapatkan dampak buruknya. Dan bisa jadi, anda justru mampu menyelesaikan masalahnya, karena Allah berjanji, فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا “Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan,” إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا “Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” Dalam konsep Islam, Allah telah berjanji, ketika Ia menetapkan kesulitan bagi seseorang, pasti Ia juga menetapkan kemudahan bersamanya. Bersama, bukan setelahnya. Sehingga Islam terus menawarkan optimisme. Ibnu Katsir berkata dalam Tafsir-nya, “Bila hati dipenuhi oleh (1) rasa putus asa, (2) dada yang luas menjadi terasa sempit, (3) banyak hal yang tidak disukai sedang menimpa, serta (4) banyak musibah yang dialami, sehingga (5) ia tidak melihat adanya celah untuk melepaskan diri dari bahaya yang sedang menimpa diri, dan (6) tiada gunanya lagi semua upaya untuk menanggulanginya. Maka, akan datang kepadamu pertolongan bila hatimu berserah kepada-Nya, yaitu pertolongan dari Tuhan Yang Mahalembut lagi Maha Memperkenankan doa. Semua musibah apabila telah mencapai puncaknya, pasti akan segera bertemu jalan keluarnya.” Maka, apalagi yang anda khawatirkan jika ada Zat yang Mahakuat menjamin permasalahan anda akan terselesaikan?! Jika ada seorang jenderal atau hakim agung yang menjamin permasalahan hukum anda terselesaikan, apakah anda masih mengkhawatirkannya? Falillahi matsalul a’la… Allah lebih berkuasa dari itu. Dan janji Allah tidak pernah dusta. Maka, berserahlah kepada Allah agar anda dapat ditolong oleh-Nya. Bersabarlah sejenak, hingga jalan keluar terbuka lebar. Allah tidak sedang bermain-main dengan hamba-Nya, Ia menjalankan garis takdir yang terbaik untuk anda. Alasan jalan keluar anda hadir ketika masalah sedang memuncak, agar semakin indah kisah perjuangan anda. Tidak ada tokoh utama dalam sebuah kisah yang menjalankan cerita yang biasa-biasa saja. Tentu ada banyak adegan heroik yang dilakukan. Dan anda adalah pemeran utama dalam cerita hidup anda. Anda hanya perlu menjalankan takdir heroik yang telah Allah gariskan. Dan yakinlah, ada akhir kisah yang indah jika anda terus bersabar, dan menjalankannya dengan aksi-aksi heroik, yakni dengan tunduk patuh pada apa yang Dia perintahkan. Dan masa depan yang buruk tidak lebih pasti daripada masa depan yang cerah. Karena Allah, Yang Mahakuasa, dan yang tidak pernah dusta, telah menjanjikan bagi mereka yang taat kepada-Nya, Allah pastikan baginya akhir yang indah. Baca juga: Bunuh Diri dalam Paradigma Islam (Bag. 1) Orang beriman anti bunuh diri? Mungkin muncul pertanyaan di diri anda, “Emangnya hanya dengan beriman kepada-Nya akan menyelesaikan masalah?” Jawabannya, tidak. Jika anda hanya yakin saja kepada Allah, tanpa tahu bahwa Allah sebegitu hebatnya, dan tanpa memasrahkan diri pada-Nya dengan taat beribadah, maka itu hanya akan sia-sia. Mungkin anda juga akan bertanya, “Berarti, apakah beragama menyelesaikan masalah?” Jawabannya, tidak juga. Kalau anda merujuk kepada penelitian yang dilakukan Ryan Lawrence dan Timnya, peneliti psikologi Amerika Serikat, maka korelasi agama terhadap pencegahan bunuh diri tidak sesederhana itu. Ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan untuk menyimpulkan bahwa agama mencegah munculnya ide bunuh diri. Namun, timnya bersepakat, bahwa agama mampu mencegah praktik bunuh diri. Karena agama dapat menghambat seseorang untuk bertindak berdasarkan ide bunuh diri dengan cara: menyediakan akses terhadap komunitas yang mendukung, membentuk keyakinan seseorang tentang bunuh diri, menyediakan sumber harapan, dan menyediakan cara untuk menafsirkan penderitaan. Untuk Anda yang berteman dengan penyintas bunuh diri Teruslah mengajaknya mendekat kepada agama. Banyak penelitian menunjukkan bahwa afiliasi keagamaan bersifat protektif terhadap upaya bunuh diri. Ajaklah ia terus beribadah, karena hal tersebut dapat membantunya untuk mencegah melakukan bunuh diri. Kita tidak bisa mengatur keadaan lingkungan yang kita hadapi, tetapi setidaknya kita bisa mengatur diri kita sendiri untuk merespons keadaan lingkungan yang ada. Apakah perkataan buruk itu perlu kita dengarkan? Apakah niatan jahat itu perlu kita balas? Apakah tindakan membenci itu perlu kita tanggapi? Semuanya bisa anda kuasai. Dua tangan anda tidak cukup untuk menutup mulut setiap orang, tetapi ia cukup untuk menutup telinga ataupun menutup mata anda sendiri. Berjuanglah! Baca juga: Jangan Bunuh Diri: Sebuah Panggilan untuk Menemukan Kembali Harapan dalam Islam *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7310534

Yuk, Kita Bersiap-siap Membersamai Al-Quran di Bulan Al-Quran – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr

Jika Ramadan adalah bulan Al-Quran, lantas apa yang telah Anda siapkan untuk membersamai Al-Quran? Perhatikan ini baik-baik! Apa yang telah Anda siapkan untuk membersamai Al-Quran (Kalamullah)? “Bulan Ramadan adalah bulan diturunkannya Al-Quran.” (QS Al-Baqarah: 185) Dahulu Jibril mendatangi Nabi kita ʿAlaihiṣ ṣalātu was salām di bulan Ramadan untuk mempelajari Al-Quran bersama beliau. Apa yang telah Anda siapkan untuk mempelajari Al-Quran, membaca, dan menadaburinya? Oleh karena itu, jika Ramadan tiba, hadirkan dalam diri Anda keistimewaan agung bulan Ramadan bersama Al-Quran. Dahulu, ada seorang Salaf yang ketika Ramadan tiba, ia memfokuskan diri dengan Al-Quran, dan berkata: “Ini adalah bulan khusus untuk memberi makan dan membaca Al-Quran.” Kebersamaan para Salaf dengan Al-Quran sangatlah menakjubkan, dan siapa saja yang membaca sejarah hidup mereka, niscaya akan mengetahuinya. === وَإِذَا كَانَ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرَ الْقُرْآنِ فَمَاذَا أَعْدَدتَّ لِنَفْسِكَ مَعَ الْقُرْآنِ؟ وَانْتَبِهْ لِهَذَا جَيِّدًا مَاذَا أَعْدَدتَّ لِنَفْسِكَ مَعَ الْقُرْآنِ كَلَامِ اللهِ؟ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ وَكَانَ جِبْرِيلُ يَأْتِي نَبِيَّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلامُ فِي رَمَضَانَ يُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَمَاذَا أَعْدَدتَّ لِنَفْسِكَ مِنْ مُدَارَسَةِ الْقُرْآنِ وَتِلَاوَتِهِ وَتَدَبُّرِهِ؟ وَلِهَذَا إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ اسْتَحْضِرْ مَا لِرَمَضَانَ مِنْ خُصُوصِيَّةٍ عَظِيمَةٍ مَعَ الْقُرْآنِ وَكَانَ بَعْضُ السَّلَفِ إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ أَقْبَلَ عَلَى الْقُرْآنِ وَقَالَ إِنَّمَا هُوَ إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَوْ وَتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ وَشَأْنُ السَّلَفِ مَعَ الْقُرْآنِ شَأْنٌ عَجِيبٌ وَمَنْ يَقْرَأُ سِيَرَهُمْ يَعْلَمُ ذَلِكَ

Yuk, Kita Bersiap-siap Membersamai Al-Quran di Bulan Al-Quran – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr

Jika Ramadan adalah bulan Al-Quran, lantas apa yang telah Anda siapkan untuk membersamai Al-Quran? Perhatikan ini baik-baik! Apa yang telah Anda siapkan untuk membersamai Al-Quran (Kalamullah)? “Bulan Ramadan adalah bulan diturunkannya Al-Quran.” (QS Al-Baqarah: 185) Dahulu Jibril mendatangi Nabi kita ʿAlaihiṣ ṣalātu was salām di bulan Ramadan untuk mempelajari Al-Quran bersama beliau. Apa yang telah Anda siapkan untuk mempelajari Al-Quran, membaca, dan menadaburinya? Oleh karena itu, jika Ramadan tiba, hadirkan dalam diri Anda keistimewaan agung bulan Ramadan bersama Al-Quran. Dahulu, ada seorang Salaf yang ketika Ramadan tiba, ia memfokuskan diri dengan Al-Quran, dan berkata: “Ini adalah bulan khusus untuk memberi makan dan membaca Al-Quran.” Kebersamaan para Salaf dengan Al-Quran sangatlah menakjubkan, dan siapa saja yang membaca sejarah hidup mereka, niscaya akan mengetahuinya. === وَإِذَا كَانَ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرَ الْقُرْآنِ فَمَاذَا أَعْدَدتَّ لِنَفْسِكَ مَعَ الْقُرْآنِ؟ وَانْتَبِهْ لِهَذَا جَيِّدًا مَاذَا أَعْدَدتَّ لِنَفْسِكَ مَعَ الْقُرْآنِ كَلَامِ اللهِ؟ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ وَكَانَ جِبْرِيلُ يَأْتِي نَبِيَّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلامُ فِي رَمَضَانَ يُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَمَاذَا أَعْدَدتَّ لِنَفْسِكَ مِنْ مُدَارَسَةِ الْقُرْآنِ وَتِلَاوَتِهِ وَتَدَبُّرِهِ؟ وَلِهَذَا إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ اسْتَحْضِرْ مَا لِرَمَضَانَ مِنْ خُصُوصِيَّةٍ عَظِيمَةٍ مَعَ الْقُرْآنِ وَكَانَ بَعْضُ السَّلَفِ إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ أَقْبَلَ عَلَى الْقُرْآنِ وَقَالَ إِنَّمَا هُوَ إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَوْ وَتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ وَشَأْنُ السَّلَفِ مَعَ الْقُرْآنِ شَأْنٌ عَجِيبٌ وَمَنْ يَقْرَأُ سِيَرَهُمْ يَعْلَمُ ذَلِكَ
Jika Ramadan adalah bulan Al-Quran, lantas apa yang telah Anda siapkan untuk membersamai Al-Quran? Perhatikan ini baik-baik! Apa yang telah Anda siapkan untuk membersamai Al-Quran (Kalamullah)? “Bulan Ramadan adalah bulan diturunkannya Al-Quran.” (QS Al-Baqarah: 185) Dahulu Jibril mendatangi Nabi kita ʿAlaihiṣ ṣalātu was salām di bulan Ramadan untuk mempelajari Al-Quran bersama beliau. Apa yang telah Anda siapkan untuk mempelajari Al-Quran, membaca, dan menadaburinya? Oleh karena itu, jika Ramadan tiba, hadirkan dalam diri Anda keistimewaan agung bulan Ramadan bersama Al-Quran. Dahulu, ada seorang Salaf yang ketika Ramadan tiba, ia memfokuskan diri dengan Al-Quran, dan berkata: “Ini adalah bulan khusus untuk memberi makan dan membaca Al-Quran.” Kebersamaan para Salaf dengan Al-Quran sangatlah menakjubkan, dan siapa saja yang membaca sejarah hidup mereka, niscaya akan mengetahuinya. === وَإِذَا كَانَ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرَ الْقُرْآنِ فَمَاذَا أَعْدَدتَّ لِنَفْسِكَ مَعَ الْقُرْآنِ؟ وَانْتَبِهْ لِهَذَا جَيِّدًا مَاذَا أَعْدَدتَّ لِنَفْسِكَ مَعَ الْقُرْآنِ كَلَامِ اللهِ؟ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ وَكَانَ جِبْرِيلُ يَأْتِي نَبِيَّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلامُ فِي رَمَضَانَ يُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَمَاذَا أَعْدَدتَّ لِنَفْسِكَ مِنْ مُدَارَسَةِ الْقُرْآنِ وَتِلَاوَتِهِ وَتَدَبُّرِهِ؟ وَلِهَذَا إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ اسْتَحْضِرْ مَا لِرَمَضَانَ مِنْ خُصُوصِيَّةٍ عَظِيمَةٍ مَعَ الْقُرْآنِ وَكَانَ بَعْضُ السَّلَفِ إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ أَقْبَلَ عَلَى الْقُرْآنِ وَقَالَ إِنَّمَا هُوَ إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَوْ وَتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ وَشَأْنُ السَّلَفِ مَعَ الْقُرْآنِ شَأْنٌ عَجِيبٌ وَمَنْ يَقْرَأُ سِيَرَهُمْ يَعْلَمُ ذَلِكَ


Jika Ramadan adalah bulan Al-Quran, lantas apa yang telah Anda siapkan untuk membersamai Al-Quran? Perhatikan ini baik-baik! Apa yang telah Anda siapkan untuk membersamai Al-Quran (Kalamullah)? “Bulan Ramadan adalah bulan diturunkannya Al-Quran.” (QS Al-Baqarah: 185) Dahulu Jibril mendatangi Nabi kita ʿAlaihiṣ ṣalātu was salām di bulan Ramadan untuk mempelajari Al-Quran bersama beliau. Apa yang telah Anda siapkan untuk mempelajari Al-Quran, membaca, dan menadaburinya? Oleh karena itu, jika Ramadan tiba, hadirkan dalam diri Anda keistimewaan agung bulan Ramadan bersama Al-Quran. Dahulu, ada seorang Salaf yang ketika Ramadan tiba, ia memfokuskan diri dengan Al-Quran, dan berkata: “Ini adalah bulan khusus untuk memberi makan dan membaca Al-Quran.” Kebersamaan para Salaf dengan Al-Quran sangatlah menakjubkan, dan siapa saja yang membaca sejarah hidup mereka, niscaya akan mengetahuinya. === وَإِذَا كَانَ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرَ الْقُرْآنِ فَمَاذَا أَعْدَدتَّ لِنَفْسِكَ مَعَ الْقُرْآنِ؟ وَانْتَبِهْ لِهَذَا جَيِّدًا مَاذَا أَعْدَدتَّ لِنَفْسِكَ مَعَ الْقُرْآنِ كَلَامِ اللهِ؟ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ وَكَانَ جِبْرِيلُ يَأْتِي نَبِيَّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلامُ فِي رَمَضَانَ يُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَمَاذَا أَعْدَدتَّ لِنَفْسِكَ مِنْ مُدَارَسَةِ الْقُرْآنِ وَتِلَاوَتِهِ وَتَدَبُّرِهِ؟ وَلِهَذَا إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ اسْتَحْضِرْ مَا لِرَمَضَانَ مِنْ خُصُوصِيَّةٍ عَظِيمَةٍ مَعَ الْقُرْآنِ وَكَانَ بَعْضُ السَّلَفِ إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ أَقْبَلَ عَلَى الْقُرْآنِ وَقَالَ إِنَّمَا هُوَ إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَوْ وَتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ وَشَأْنُ السَّلَفِ مَعَ الْقُرْآنِ شَأْنٌ عَجِيبٌ وَمَنْ يَقْرَأُ سِيَرَهُمْ يَعْلَمُ ذَلِكَ

Jazirah Arab dalam Sejarah (Bag. 3): Pemerintahan dan Kekuasaan sebelum Islam

Daftar Isi Toggle Kerajaan Yaman dan jejak peradaban Arab tertuaSebelum tahun 650 SMTahun 650 SM – 115 SMTahun 115 SM – 300 MTahun 300 M – Masuknya Islam ke YamanDinamika kekuasaan Arab di Syam Bagaimana sistem pemerintahan di Jazirah Arab sebelum datangnya Islam? Apakah wilayah ini benar-benar tanpa kepemimpinan, atau justru memiliki kerajaan dan penguasa yang berkontribusi besar dalam sejarah? Pada artikel sebelumnya, kita telah membahas posisi dan penduduk Jazirah Arab. Kini, kita akan menelusuri bagaimana pemerintahan dan kepemimpinan Arab berkembang sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Memahami sejarah ini, akan membantu kita melihat bagaimana situasi politik dan sosial saat Islam datang. Dalam artikel ini, kita akan membahas berbagai kerajaan di Jazirah Arab dan sekitarnya yang memiliki pengaruh besar terhadap kondisi wilayah tersebut. Kerajaan Yaman dan jejak peradaban Arab tertua Salah satu bangsa tertua yang dikenal di Yaman berasal dari Arab ‘āribah adalah kaum Saba’. Peradaban mereka mencapai puncak kejayaan, pengaruh, dan kekuatan politiknya sekitar 11 abad sebelum masehi. Sejarah mereka dapat dibagi menjadi beberapa periode: sebelum tahun 650 SM, tahun 650 SM-115 SM, tahun 115 SM-300 M, dan tahun 300 M sampai masuknya Islam ke Yaman. Sebelum tahun 650 SM Pada masa tersebut, para raja mereka digelari dengan Mukarrib Saba’ dan beribu kota di Shirwah (صرواح). Pada masa tersebut, pembangunan bendungan Ma’rib dimulai. Pembangunan bendungan tersebut menjadi bagian penting dalam sejarah Yaman. Tahun 650 SM – 115 SM Pada masa ini, gelar Mukarrib sudah tidak digunakan dan penguasa Saba’ dikenal dengan Mulūk Saba’ (Raja Saba’). Pada periode ini, ibu kota berpindah dari Shirwah ke Ma’rib (مأرب). Tahun 115 SM – 300 M Kabilah Himyar mengambil alih kekuasaan dari Kerajaan Saba’ dan memindahkan ibu kota dari Ma’rib ke Raidan (ريدان). Setelah itu, Raidan berganti nama menjadi Zhafar (ظفار). Pada masa ini, mulai terjadi kemunduran. Penyebabnya adalah pengaruh Nabatea yang menguasai jalur perdagangan di utara Hijaz; dominasi Romawi atas perdagangan laut setelah mengusai Mesir, Suriah, dan utara Hijaz; dan persaingan antar kabilah mereka. Hal ini juga menyebabkan perpecahan suku-suku dari Qahthān dan mendorong mereka bermigrasi ke berbagai wilayah yang lebih luas. Tahun 300 M – Masuknya Islam ke Yaman Pada masa ini, Yaman mengalami berbagai kekacauan dan pergolakan, diikuti oleh kudeta dan perang saudara yang menjadikannya rentan diintervensi bangsa asing dan kehilangan kemerdekaan. Pada tahun 340 M, Romawi memasuki kota Aden (عدن). Habasyah juga berhasil menduduki Yaman untuk pertama kalinya atas bantuan Romawi. Mereka memanfaatkan sibuknya suku Hamdān dan Himyar dengan persaingan. Pendudukan Habasyah ini terus berlangsung hingga tahun 376 M. Setelah itu, Yaman mendapatkan kemerdekaannya. Namun, setelah merdeka, bendungan Ma’rib mulai retak sampai akhirnya jebol dan terjadi banjir besar yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai sail al-‘arim (سيل العرم) [1] pada tahun 450 M atau 451 M. Bencana besar tersebut menghancurkan peradaban dan menyebabkan penduduk Yaman bermigrasi secara besar-besaran. Pada tahun 523 M, seorang raja Yahudi, Dzu Nuwas (ذو نواس) memimpin serangan kejam terhadap penduduk Nasrani Najran (نجران). Ia berusaha memaksa mereka untuk meninggalkan agama Nasrani, tetapi mereka menolak. Sebagai hukuman, Dzu Nuwas menggali parit besar lalu melemparkan penduduk Nasrani tersebut ke dalam parit yang dipenuhi dengan nyala api. Inilah yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Burūj, قُتِلَ اَصۡحٰبُ الۡاُخۡدُوۡدِۙ‏ “Binasalah orang-orang yang membuat parit.” (QS. Al-Buruj: 4) Peristiwa kejam tersebut memicu kemarahan besar di kalangan umat Nasrani, terutama di bawah pengaruh Kekaisaran Romawi. Hal ini menyebabkan Romawi memprovokasi pasukan Habasyah untuk menyerang Yaman. Atas dukungan Romawi, Habasyah menyiapkan armada laut dan mengirimkan 70.000 pasukan. Akhirnya Habasyah berhasil menduduki Yaman untuk kedua kalinya di bawah kepemimpinan Aryath (أرياط) pada tahun 525 M. Aryath menjadi gubernur Yaman atas nama Raja Habasyah. Akan tetapi, ia kemudian dibunuh oleh Abrahah, salah satu panglimanya sendiri. Setelah pembunuhan tersebut, Abrahah mengambil alih pemerintahan Yaman setelah mendapatkan restu dari Raja Habasyah. Abrahah inilah yang mengerahkan pasukan untuk menghancurkan Ka’bah. Abrahah dan pasukan ini kemudian dikenal dengan ashhābul fīl (أصحاب الفيل) yang berarti ‘pasukan gajah’. Setelah peristiwa pasukah gajah, penduduk Yaman meminta bantuan kepada bangsa Persia untuk membebaskan negeri mereka dari pendudukan Habasyah. Kekaisaran Persia akhirnya membantu mereka mengusir pasukan Habasyah dari Yaman dan Yaman berhasil memperoleh kemerdekaan di bawah kepemimpinan Ma’dikarib bin Saif Dzu Yazan Al-Himyari (معد يكرب بن سيف ذو يزن الحميري) pada tahun 575 M. Setelah itu, penduduk Yaman menjadikan Ma’dikarib sebagai raja Yaman. Namun, setelah menjadi raja, ia tetap mempertahankan sejumlah pasukan Habasyah sebagai pelayan dan pengawal pribadinya. Sayangnya, mereka berkhianat dan membunuh Ma’dikarib. Hal ini menyebabkan berakhirnya kekuasaan dinasti Dzu Yazan di Yaman. Setelah kematian Ma’dikarib, Kaisar Persia Kisra menunjuk seorang gubernur Persia untuk memerintah Yaman dan menjadikannya sebagai provinsi di bawah kekuasaan Kekaisaran Persia. Para gubernur Persia memerintah Yaman secara bergantian, sampai akhirnya gubernur terakhir mereka Badzan (باذان) memeluk Islam pada tahun 638 M. Dengan masuk Islamnya Badzan, pengaruh Persia di Yaman berakhir, dan wilayah tersebut menjadi bagian dari kekuasaan Islam. Selain di Yaman, ada kerajaan lain yang memiliki keterkaitan erat dengan kekuatan dunia saat itu, yaitu di wilayah Syam. Dinamika kekuasaan Arab di Syam Pada periode migrasi besar-besaran kabilah Arab ke berbagai wilayah, beberapa cabang kabilah Qudhā’ah bermigrasi ke perbatasan Syām dan menetap di sana. Di antaranya adalah Bani Sulaih bin Hulwan (بني سليح بن حلوان) yang kemudian melahirkan Bani Dhaj’am bin Sulaih (بنو ضجعم بن سليح) yang dikenal dengan Ad-Dhaja’imah (الضجاعمة). Bangsa Romawi menjadikan kabilah Dhajā’imah sebagai sekutu mereka dengan tujuan menahan serangan bangsa Arab badui dan menjadi perisai melawan Persia. Sebagai bentuk dukungan, Romawi mengangkat raja dari suku ini dan mereka memegang kekuasaan selama bertahun-tahun. Di antara raja terkenal mereka adalah Ziyad bin Al-Hubulah (زياد بن الهبولة). Masa pemerintahan mereka diperkirakan berlangsung dari awal sampai akhir abad ke-2 M. Kekuasaan mereka berakhir setelah datangnya Bani Ghassan (غسان) yang berhasil mengalahkan Dhajā’imah dan merebut kekuasaan mereka. Romawi kemudian mengangkat mereka sebagai raja Arab di Syam menggantikan Dhajā’imah. Dengan demikian, Bani Ghassān menjadi penguasa di Syam sebagai perwakilan Romawi sampai akhirnya terjadi Perang Yarmuk pada tahun 13 H yang berujung kekalahan besar Romawi. Setelah kekalahan tersebut, raja terakhir Bani Ghassān, Jabalah bin Aiham (جبلة بن الأيهم) tunduk kepada Islam pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallāhu ‘anhu. Sejarah pemerintahan Jazirah Arab belum berakhir di sini. Masih ada satu kerajaan penting yang berperan dalam membentuk kondisi Arab sebelum datangnya Islam. Selain itu, para pemimpin kabilah memainkan peran penting meski tidak bergelar raja. Apa peran mereka dalam membentuk sejarah Arab? Temukan jawabannya insyaallah di bagian selanjutnya! [Bersambung] Kembali ke bagian 2 *** Penulis: Fajar Rianto Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari kitab Ar-Rahīq Al-Makhtūm, karya Syekh Shafiyurrahmān Al-Mubārakfūri dengan sedikit penambahan.   Catatan kaki: [1] QS. Saba’: 16

Jazirah Arab dalam Sejarah (Bag. 3): Pemerintahan dan Kekuasaan sebelum Islam

Daftar Isi Toggle Kerajaan Yaman dan jejak peradaban Arab tertuaSebelum tahun 650 SMTahun 650 SM – 115 SMTahun 115 SM – 300 MTahun 300 M – Masuknya Islam ke YamanDinamika kekuasaan Arab di Syam Bagaimana sistem pemerintahan di Jazirah Arab sebelum datangnya Islam? Apakah wilayah ini benar-benar tanpa kepemimpinan, atau justru memiliki kerajaan dan penguasa yang berkontribusi besar dalam sejarah? Pada artikel sebelumnya, kita telah membahas posisi dan penduduk Jazirah Arab. Kini, kita akan menelusuri bagaimana pemerintahan dan kepemimpinan Arab berkembang sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Memahami sejarah ini, akan membantu kita melihat bagaimana situasi politik dan sosial saat Islam datang. Dalam artikel ini, kita akan membahas berbagai kerajaan di Jazirah Arab dan sekitarnya yang memiliki pengaruh besar terhadap kondisi wilayah tersebut. Kerajaan Yaman dan jejak peradaban Arab tertua Salah satu bangsa tertua yang dikenal di Yaman berasal dari Arab ‘āribah adalah kaum Saba’. Peradaban mereka mencapai puncak kejayaan, pengaruh, dan kekuatan politiknya sekitar 11 abad sebelum masehi. Sejarah mereka dapat dibagi menjadi beberapa periode: sebelum tahun 650 SM, tahun 650 SM-115 SM, tahun 115 SM-300 M, dan tahun 300 M sampai masuknya Islam ke Yaman. Sebelum tahun 650 SM Pada masa tersebut, para raja mereka digelari dengan Mukarrib Saba’ dan beribu kota di Shirwah (صرواح). Pada masa tersebut, pembangunan bendungan Ma’rib dimulai. Pembangunan bendungan tersebut menjadi bagian penting dalam sejarah Yaman. Tahun 650 SM – 115 SM Pada masa ini, gelar Mukarrib sudah tidak digunakan dan penguasa Saba’ dikenal dengan Mulūk Saba’ (Raja Saba’). Pada periode ini, ibu kota berpindah dari Shirwah ke Ma’rib (مأرب). Tahun 115 SM – 300 M Kabilah Himyar mengambil alih kekuasaan dari Kerajaan Saba’ dan memindahkan ibu kota dari Ma’rib ke Raidan (ريدان). Setelah itu, Raidan berganti nama menjadi Zhafar (ظفار). Pada masa ini, mulai terjadi kemunduran. Penyebabnya adalah pengaruh Nabatea yang menguasai jalur perdagangan di utara Hijaz; dominasi Romawi atas perdagangan laut setelah mengusai Mesir, Suriah, dan utara Hijaz; dan persaingan antar kabilah mereka. Hal ini juga menyebabkan perpecahan suku-suku dari Qahthān dan mendorong mereka bermigrasi ke berbagai wilayah yang lebih luas. Tahun 300 M – Masuknya Islam ke Yaman Pada masa ini, Yaman mengalami berbagai kekacauan dan pergolakan, diikuti oleh kudeta dan perang saudara yang menjadikannya rentan diintervensi bangsa asing dan kehilangan kemerdekaan. Pada tahun 340 M, Romawi memasuki kota Aden (عدن). Habasyah juga berhasil menduduki Yaman untuk pertama kalinya atas bantuan Romawi. Mereka memanfaatkan sibuknya suku Hamdān dan Himyar dengan persaingan. Pendudukan Habasyah ini terus berlangsung hingga tahun 376 M. Setelah itu, Yaman mendapatkan kemerdekaannya. Namun, setelah merdeka, bendungan Ma’rib mulai retak sampai akhirnya jebol dan terjadi banjir besar yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai sail al-‘arim (سيل العرم) [1] pada tahun 450 M atau 451 M. Bencana besar tersebut menghancurkan peradaban dan menyebabkan penduduk Yaman bermigrasi secara besar-besaran. Pada tahun 523 M, seorang raja Yahudi, Dzu Nuwas (ذو نواس) memimpin serangan kejam terhadap penduduk Nasrani Najran (نجران). Ia berusaha memaksa mereka untuk meninggalkan agama Nasrani, tetapi mereka menolak. Sebagai hukuman, Dzu Nuwas menggali parit besar lalu melemparkan penduduk Nasrani tersebut ke dalam parit yang dipenuhi dengan nyala api. Inilah yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Burūj, قُتِلَ اَصۡحٰبُ الۡاُخۡدُوۡدِۙ‏ “Binasalah orang-orang yang membuat parit.” (QS. Al-Buruj: 4) Peristiwa kejam tersebut memicu kemarahan besar di kalangan umat Nasrani, terutama di bawah pengaruh Kekaisaran Romawi. Hal ini menyebabkan Romawi memprovokasi pasukan Habasyah untuk menyerang Yaman. Atas dukungan Romawi, Habasyah menyiapkan armada laut dan mengirimkan 70.000 pasukan. Akhirnya Habasyah berhasil menduduki Yaman untuk kedua kalinya di bawah kepemimpinan Aryath (أرياط) pada tahun 525 M. Aryath menjadi gubernur Yaman atas nama Raja Habasyah. Akan tetapi, ia kemudian dibunuh oleh Abrahah, salah satu panglimanya sendiri. Setelah pembunuhan tersebut, Abrahah mengambil alih pemerintahan Yaman setelah mendapatkan restu dari Raja Habasyah. Abrahah inilah yang mengerahkan pasukan untuk menghancurkan Ka’bah. Abrahah dan pasukan ini kemudian dikenal dengan ashhābul fīl (أصحاب الفيل) yang berarti ‘pasukan gajah’. Setelah peristiwa pasukah gajah, penduduk Yaman meminta bantuan kepada bangsa Persia untuk membebaskan negeri mereka dari pendudukan Habasyah. Kekaisaran Persia akhirnya membantu mereka mengusir pasukan Habasyah dari Yaman dan Yaman berhasil memperoleh kemerdekaan di bawah kepemimpinan Ma’dikarib bin Saif Dzu Yazan Al-Himyari (معد يكرب بن سيف ذو يزن الحميري) pada tahun 575 M. Setelah itu, penduduk Yaman menjadikan Ma’dikarib sebagai raja Yaman. Namun, setelah menjadi raja, ia tetap mempertahankan sejumlah pasukan Habasyah sebagai pelayan dan pengawal pribadinya. Sayangnya, mereka berkhianat dan membunuh Ma’dikarib. Hal ini menyebabkan berakhirnya kekuasaan dinasti Dzu Yazan di Yaman. Setelah kematian Ma’dikarib, Kaisar Persia Kisra menunjuk seorang gubernur Persia untuk memerintah Yaman dan menjadikannya sebagai provinsi di bawah kekuasaan Kekaisaran Persia. Para gubernur Persia memerintah Yaman secara bergantian, sampai akhirnya gubernur terakhir mereka Badzan (باذان) memeluk Islam pada tahun 638 M. Dengan masuk Islamnya Badzan, pengaruh Persia di Yaman berakhir, dan wilayah tersebut menjadi bagian dari kekuasaan Islam. Selain di Yaman, ada kerajaan lain yang memiliki keterkaitan erat dengan kekuatan dunia saat itu, yaitu di wilayah Syam. Dinamika kekuasaan Arab di Syam Pada periode migrasi besar-besaran kabilah Arab ke berbagai wilayah, beberapa cabang kabilah Qudhā’ah bermigrasi ke perbatasan Syām dan menetap di sana. Di antaranya adalah Bani Sulaih bin Hulwan (بني سليح بن حلوان) yang kemudian melahirkan Bani Dhaj’am bin Sulaih (بنو ضجعم بن سليح) yang dikenal dengan Ad-Dhaja’imah (الضجاعمة). Bangsa Romawi menjadikan kabilah Dhajā’imah sebagai sekutu mereka dengan tujuan menahan serangan bangsa Arab badui dan menjadi perisai melawan Persia. Sebagai bentuk dukungan, Romawi mengangkat raja dari suku ini dan mereka memegang kekuasaan selama bertahun-tahun. Di antara raja terkenal mereka adalah Ziyad bin Al-Hubulah (زياد بن الهبولة). Masa pemerintahan mereka diperkirakan berlangsung dari awal sampai akhir abad ke-2 M. Kekuasaan mereka berakhir setelah datangnya Bani Ghassan (غسان) yang berhasil mengalahkan Dhajā’imah dan merebut kekuasaan mereka. Romawi kemudian mengangkat mereka sebagai raja Arab di Syam menggantikan Dhajā’imah. Dengan demikian, Bani Ghassān menjadi penguasa di Syam sebagai perwakilan Romawi sampai akhirnya terjadi Perang Yarmuk pada tahun 13 H yang berujung kekalahan besar Romawi. Setelah kekalahan tersebut, raja terakhir Bani Ghassān, Jabalah bin Aiham (جبلة بن الأيهم) tunduk kepada Islam pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallāhu ‘anhu. Sejarah pemerintahan Jazirah Arab belum berakhir di sini. Masih ada satu kerajaan penting yang berperan dalam membentuk kondisi Arab sebelum datangnya Islam. Selain itu, para pemimpin kabilah memainkan peran penting meski tidak bergelar raja. Apa peran mereka dalam membentuk sejarah Arab? Temukan jawabannya insyaallah di bagian selanjutnya! [Bersambung] Kembali ke bagian 2 *** Penulis: Fajar Rianto Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari kitab Ar-Rahīq Al-Makhtūm, karya Syekh Shafiyurrahmān Al-Mubārakfūri dengan sedikit penambahan.   Catatan kaki: [1] QS. Saba’: 16
Daftar Isi Toggle Kerajaan Yaman dan jejak peradaban Arab tertuaSebelum tahun 650 SMTahun 650 SM – 115 SMTahun 115 SM – 300 MTahun 300 M – Masuknya Islam ke YamanDinamika kekuasaan Arab di Syam Bagaimana sistem pemerintahan di Jazirah Arab sebelum datangnya Islam? Apakah wilayah ini benar-benar tanpa kepemimpinan, atau justru memiliki kerajaan dan penguasa yang berkontribusi besar dalam sejarah? Pada artikel sebelumnya, kita telah membahas posisi dan penduduk Jazirah Arab. Kini, kita akan menelusuri bagaimana pemerintahan dan kepemimpinan Arab berkembang sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Memahami sejarah ini, akan membantu kita melihat bagaimana situasi politik dan sosial saat Islam datang. Dalam artikel ini, kita akan membahas berbagai kerajaan di Jazirah Arab dan sekitarnya yang memiliki pengaruh besar terhadap kondisi wilayah tersebut. Kerajaan Yaman dan jejak peradaban Arab tertua Salah satu bangsa tertua yang dikenal di Yaman berasal dari Arab ‘āribah adalah kaum Saba’. Peradaban mereka mencapai puncak kejayaan, pengaruh, dan kekuatan politiknya sekitar 11 abad sebelum masehi. Sejarah mereka dapat dibagi menjadi beberapa periode: sebelum tahun 650 SM, tahun 650 SM-115 SM, tahun 115 SM-300 M, dan tahun 300 M sampai masuknya Islam ke Yaman. Sebelum tahun 650 SM Pada masa tersebut, para raja mereka digelari dengan Mukarrib Saba’ dan beribu kota di Shirwah (صرواح). Pada masa tersebut, pembangunan bendungan Ma’rib dimulai. Pembangunan bendungan tersebut menjadi bagian penting dalam sejarah Yaman. Tahun 650 SM – 115 SM Pada masa ini, gelar Mukarrib sudah tidak digunakan dan penguasa Saba’ dikenal dengan Mulūk Saba’ (Raja Saba’). Pada periode ini, ibu kota berpindah dari Shirwah ke Ma’rib (مأرب). Tahun 115 SM – 300 M Kabilah Himyar mengambil alih kekuasaan dari Kerajaan Saba’ dan memindahkan ibu kota dari Ma’rib ke Raidan (ريدان). Setelah itu, Raidan berganti nama menjadi Zhafar (ظفار). Pada masa ini, mulai terjadi kemunduran. Penyebabnya adalah pengaruh Nabatea yang menguasai jalur perdagangan di utara Hijaz; dominasi Romawi atas perdagangan laut setelah mengusai Mesir, Suriah, dan utara Hijaz; dan persaingan antar kabilah mereka. Hal ini juga menyebabkan perpecahan suku-suku dari Qahthān dan mendorong mereka bermigrasi ke berbagai wilayah yang lebih luas. Tahun 300 M – Masuknya Islam ke Yaman Pada masa ini, Yaman mengalami berbagai kekacauan dan pergolakan, diikuti oleh kudeta dan perang saudara yang menjadikannya rentan diintervensi bangsa asing dan kehilangan kemerdekaan. Pada tahun 340 M, Romawi memasuki kota Aden (عدن). Habasyah juga berhasil menduduki Yaman untuk pertama kalinya atas bantuan Romawi. Mereka memanfaatkan sibuknya suku Hamdān dan Himyar dengan persaingan. Pendudukan Habasyah ini terus berlangsung hingga tahun 376 M. Setelah itu, Yaman mendapatkan kemerdekaannya. Namun, setelah merdeka, bendungan Ma’rib mulai retak sampai akhirnya jebol dan terjadi banjir besar yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai sail al-‘arim (سيل العرم) [1] pada tahun 450 M atau 451 M. Bencana besar tersebut menghancurkan peradaban dan menyebabkan penduduk Yaman bermigrasi secara besar-besaran. Pada tahun 523 M, seorang raja Yahudi, Dzu Nuwas (ذو نواس) memimpin serangan kejam terhadap penduduk Nasrani Najran (نجران). Ia berusaha memaksa mereka untuk meninggalkan agama Nasrani, tetapi mereka menolak. Sebagai hukuman, Dzu Nuwas menggali parit besar lalu melemparkan penduduk Nasrani tersebut ke dalam parit yang dipenuhi dengan nyala api. Inilah yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Burūj, قُتِلَ اَصۡحٰبُ الۡاُخۡدُوۡدِۙ‏ “Binasalah orang-orang yang membuat parit.” (QS. Al-Buruj: 4) Peristiwa kejam tersebut memicu kemarahan besar di kalangan umat Nasrani, terutama di bawah pengaruh Kekaisaran Romawi. Hal ini menyebabkan Romawi memprovokasi pasukan Habasyah untuk menyerang Yaman. Atas dukungan Romawi, Habasyah menyiapkan armada laut dan mengirimkan 70.000 pasukan. Akhirnya Habasyah berhasil menduduki Yaman untuk kedua kalinya di bawah kepemimpinan Aryath (أرياط) pada tahun 525 M. Aryath menjadi gubernur Yaman atas nama Raja Habasyah. Akan tetapi, ia kemudian dibunuh oleh Abrahah, salah satu panglimanya sendiri. Setelah pembunuhan tersebut, Abrahah mengambil alih pemerintahan Yaman setelah mendapatkan restu dari Raja Habasyah. Abrahah inilah yang mengerahkan pasukan untuk menghancurkan Ka’bah. Abrahah dan pasukan ini kemudian dikenal dengan ashhābul fīl (أصحاب الفيل) yang berarti ‘pasukan gajah’. Setelah peristiwa pasukah gajah, penduduk Yaman meminta bantuan kepada bangsa Persia untuk membebaskan negeri mereka dari pendudukan Habasyah. Kekaisaran Persia akhirnya membantu mereka mengusir pasukan Habasyah dari Yaman dan Yaman berhasil memperoleh kemerdekaan di bawah kepemimpinan Ma’dikarib bin Saif Dzu Yazan Al-Himyari (معد يكرب بن سيف ذو يزن الحميري) pada tahun 575 M. Setelah itu, penduduk Yaman menjadikan Ma’dikarib sebagai raja Yaman. Namun, setelah menjadi raja, ia tetap mempertahankan sejumlah pasukan Habasyah sebagai pelayan dan pengawal pribadinya. Sayangnya, mereka berkhianat dan membunuh Ma’dikarib. Hal ini menyebabkan berakhirnya kekuasaan dinasti Dzu Yazan di Yaman. Setelah kematian Ma’dikarib, Kaisar Persia Kisra menunjuk seorang gubernur Persia untuk memerintah Yaman dan menjadikannya sebagai provinsi di bawah kekuasaan Kekaisaran Persia. Para gubernur Persia memerintah Yaman secara bergantian, sampai akhirnya gubernur terakhir mereka Badzan (باذان) memeluk Islam pada tahun 638 M. Dengan masuk Islamnya Badzan, pengaruh Persia di Yaman berakhir, dan wilayah tersebut menjadi bagian dari kekuasaan Islam. Selain di Yaman, ada kerajaan lain yang memiliki keterkaitan erat dengan kekuatan dunia saat itu, yaitu di wilayah Syam. Dinamika kekuasaan Arab di Syam Pada periode migrasi besar-besaran kabilah Arab ke berbagai wilayah, beberapa cabang kabilah Qudhā’ah bermigrasi ke perbatasan Syām dan menetap di sana. Di antaranya adalah Bani Sulaih bin Hulwan (بني سليح بن حلوان) yang kemudian melahirkan Bani Dhaj’am bin Sulaih (بنو ضجعم بن سليح) yang dikenal dengan Ad-Dhaja’imah (الضجاعمة). Bangsa Romawi menjadikan kabilah Dhajā’imah sebagai sekutu mereka dengan tujuan menahan serangan bangsa Arab badui dan menjadi perisai melawan Persia. Sebagai bentuk dukungan, Romawi mengangkat raja dari suku ini dan mereka memegang kekuasaan selama bertahun-tahun. Di antara raja terkenal mereka adalah Ziyad bin Al-Hubulah (زياد بن الهبولة). Masa pemerintahan mereka diperkirakan berlangsung dari awal sampai akhir abad ke-2 M. Kekuasaan mereka berakhir setelah datangnya Bani Ghassan (غسان) yang berhasil mengalahkan Dhajā’imah dan merebut kekuasaan mereka. Romawi kemudian mengangkat mereka sebagai raja Arab di Syam menggantikan Dhajā’imah. Dengan demikian, Bani Ghassān menjadi penguasa di Syam sebagai perwakilan Romawi sampai akhirnya terjadi Perang Yarmuk pada tahun 13 H yang berujung kekalahan besar Romawi. Setelah kekalahan tersebut, raja terakhir Bani Ghassān, Jabalah bin Aiham (جبلة بن الأيهم) tunduk kepada Islam pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallāhu ‘anhu. Sejarah pemerintahan Jazirah Arab belum berakhir di sini. Masih ada satu kerajaan penting yang berperan dalam membentuk kondisi Arab sebelum datangnya Islam. Selain itu, para pemimpin kabilah memainkan peran penting meski tidak bergelar raja. Apa peran mereka dalam membentuk sejarah Arab? Temukan jawabannya insyaallah di bagian selanjutnya! [Bersambung] Kembali ke bagian 2 *** Penulis: Fajar Rianto Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari kitab Ar-Rahīq Al-Makhtūm, karya Syekh Shafiyurrahmān Al-Mubārakfūri dengan sedikit penambahan.   Catatan kaki: [1] QS. Saba’: 16


Daftar Isi Toggle Kerajaan Yaman dan jejak peradaban Arab tertuaSebelum tahun 650 SMTahun 650 SM – 115 SMTahun 115 SM – 300 MTahun 300 M – Masuknya Islam ke YamanDinamika kekuasaan Arab di Syam Bagaimana sistem pemerintahan di Jazirah Arab sebelum datangnya Islam? Apakah wilayah ini benar-benar tanpa kepemimpinan, atau justru memiliki kerajaan dan penguasa yang berkontribusi besar dalam sejarah? Pada artikel sebelumnya, kita telah membahas posisi dan penduduk Jazirah Arab. Kini, kita akan menelusuri bagaimana pemerintahan dan kepemimpinan Arab berkembang sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Memahami sejarah ini, akan membantu kita melihat bagaimana situasi politik dan sosial saat Islam datang. Dalam artikel ini, kita akan membahas berbagai kerajaan di Jazirah Arab dan sekitarnya yang memiliki pengaruh besar terhadap kondisi wilayah tersebut. Kerajaan Yaman dan jejak peradaban Arab tertua Salah satu bangsa tertua yang dikenal di Yaman berasal dari Arab ‘āribah adalah kaum Saba’. Peradaban mereka mencapai puncak kejayaan, pengaruh, dan kekuatan politiknya sekitar 11 abad sebelum masehi. Sejarah mereka dapat dibagi menjadi beberapa periode: sebelum tahun 650 SM, tahun 650 SM-115 SM, tahun 115 SM-300 M, dan tahun 300 M sampai masuknya Islam ke Yaman. Sebelum tahun 650 SM Pada masa tersebut, para raja mereka digelari dengan Mukarrib Saba’ dan beribu kota di Shirwah (صرواح). Pada masa tersebut, pembangunan bendungan Ma’rib dimulai. Pembangunan bendungan tersebut menjadi bagian penting dalam sejarah Yaman. Tahun 650 SM – 115 SM Pada masa ini, gelar Mukarrib sudah tidak digunakan dan penguasa Saba’ dikenal dengan Mulūk Saba’ (Raja Saba’). Pada periode ini, ibu kota berpindah dari Shirwah ke Ma’rib (مأرب). Tahun 115 SM – 300 M Kabilah Himyar mengambil alih kekuasaan dari Kerajaan Saba’ dan memindahkan ibu kota dari Ma’rib ke Raidan (ريدان). Setelah itu, Raidan berganti nama menjadi Zhafar (ظفار). Pada masa ini, mulai terjadi kemunduran. Penyebabnya adalah pengaruh Nabatea yang menguasai jalur perdagangan di utara Hijaz; dominasi Romawi atas perdagangan laut setelah mengusai Mesir, Suriah, dan utara Hijaz; dan persaingan antar kabilah mereka. Hal ini juga menyebabkan perpecahan suku-suku dari Qahthān dan mendorong mereka bermigrasi ke berbagai wilayah yang lebih luas. Tahun 300 M – Masuknya Islam ke Yaman Pada masa ini, Yaman mengalami berbagai kekacauan dan pergolakan, diikuti oleh kudeta dan perang saudara yang menjadikannya rentan diintervensi bangsa asing dan kehilangan kemerdekaan. Pada tahun 340 M, Romawi memasuki kota Aden (عدن). Habasyah juga berhasil menduduki Yaman untuk pertama kalinya atas bantuan Romawi. Mereka memanfaatkan sibuknya suku Hamdān dan Himyar dengan persaingan. Pendudukan Habasyah ini terus berlangsung hingga tahun 376 M. Setelah itu, Yaman mendapatkan kemerdekaannya. Namun, setelah merdeka, bendungan Ma’rib mulai retak sampai akhirnya jebol dan terjadi banjir besar yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai sail al-‘arim (سيل العرم) [1] pada tahun 450 M atau 451 M. Bencana besar tersebut menghancurkan peradaban dan menyebabkan penduduk Yaman bermigrasi secara besar-besaran. Pada tahun 523 M, seorang raja Yahudi, Dzu Nuwas (ذو نواس) memimpin serangan kejam terhadap penduduk Nasrani Najran (نجران). Ia berusaha memaksa mereka untuk meninggalkan agama Nasrani, tetapi mereka menolak. Sebagai hukuman, Dzu Nuwas menggali parit besar lalu melemparkan penduduk Nasrani tersebut ke dalam parit yang dipenuhi dengan nyala api. Inilah yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Burūj, قُتِلَ اَصۡحٰبُ الۡاُخۡدُوۡدِۙ‏ “Binasalah orang-orang yang membuat parit.” (QS. Al-Buruj: 4) Peristiwa kejam tersebut memicu kemarahan besar di kalangan umat Nasrani, terutama di bawah pengaruh Kekaisaran Romawi. Hal ini menyebabkan Romawi memprovokasi pasukan Habasyah untuk menyerang Yaman. Atas dukungan Romawi, Habasyah menyiapkan armada laut dan mengirimkan 70.000 pasukan. Akhirnya Habasyah berhasil menduduki Yaman untuk kedua kalinya di bawah kepemimpinan Aryath (أرياط) pada tahun 525 M. Aryath menjadi gubernur Yaman atas nama Raja Habasyah. Akan tetapi, ia kemudian dibunuh oleh Abrahah, salah satu panglimanya sendiri. Setelah pembunuhan tersebut, Abrahah mengambil alih pemerintahan Yaman setelah mendapatkan restu dari Raja Habasyah. Abrahah inilah yang mengerahkan pasukan untuk menghancurkan Ka’bah. Abrahah dan pasukan ini kemudian dikenal dengan ashhābul fīl (أصحاب الفيل) yang berarti ‘pasukan gajah’. Setelah peristiwa pasukah gajah, penduduk Yaman meminta bantuan kepada bangsa Persia untuk membebaskan negeri mereka dari pendudukan Habasyah. Kekaisaran Persia akhirnya membantu mereka mengusir pasukan Habasyah dari Yaman dan Yaman berhasil memperoleh kemerdekaan di bawah kepemimpinan Ma’dikarib bin Saif Dzu Yazan Al-Himyari (معد يكرب بن سيف ذو يزن الحميري) pada tahun 575 M. Setelah itu, penduduk Yaman menjadikan Ma’dikarib sebagai raja Yaman. Namun, setelah menjadi raja, ia tetap mempertahankan sejumlah pasukan Habasyah sebagai pelayan dan pengawal pribadinya. Sayangnya, mereka berkhianat dan membunuh Ma’dikarib. Hal ini menyebabkan berakhirnya kekuasaan dinasti Dzu Yazan di Yaman. Setelah kematian Ma’dikarib, Kaisar Persia Kisra menunjuk seorang gubernur Persia untuk memerintah Yaman dan menjadikannya sebagai provinsi di bawah kekuasaan Kekaisaran Persia. Para gubernur Persia memerintah Yaman secara bergantian, sampai akhirnya gubernur terakhir mereka Badzan (باذان) memeluk Islam pada tahun 638 M. Dengan masuk Islamnya Badzan, pengaruh Persia di Yaman berakhir, dan wilayah tersebut menjadi bagian dari kekuasaan Islam. Selain di Yaman, ada kerajaan lain yang memiliki keterkaitan erat dengan kekuatan dunia saat itu, yaitu di wilayah Syam. Dinamika kekuasaan Arab di Syam Pada periode migrasi besar-besaran kabilah Arab ke berbagai wilayah, beberapa cabang kabilah Qudhā’ah bermigrasi ke perbatasan Syām dan menetap di sana. Di antaranya adalah Bani Sulaih bin Hulwan (بني سليح بن حلوان) yang kemudian melahirkan Bani Dhaj’am bin Sulaih (بنو ضجعم بن سليح) yang dikenal dengan Ad-Dhaja’imah (الضجاعمة). Bangsa Romawi menjadikan kabilah Dhajā’imah sebagai sekutu mereka dengan tujuan menahan serangan bangsa Arab badui dan menjadi perisai melawan Persia. Sebagai bentuk dukungan, Romawi mengangkat raja dari suku ini dan mereka memegang kekuasaan selama bertahun-tahun. Di antara raja terkenal mereka adalah Ziyad bin Al-Hubulah (زياد بن الهبولة). Masa pemerintahan mereka diperkirakan berlangsung dari awal sampai akhir abad ke-2 M. Kekuasaan mereka berakhir setelah datangnya Bani Ghassan (غسان) yang berhasil mengalahkan Dhajā’imah dan merebut kekuasaan mereka. Romawi kemudian mengangkat mereka sebagai raja Arab di Syam menggantikan Dhajā’imah. Dengan demikian, Bani Ghassān menjadi penguasa di Syam sebagai perwakilan Romawi sampai akhirnya terjadi Perang Yarmuk pada tahun 13 H yang berujung kekalahan besar Romawi. Setelah kekalahan tersebut, raja terakhir Bani Ghassān, Jabalah bin Aiham (جبلة بن الأيهم) tunduk kepada Islam pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallāhu ‘anhu. Sejarah pemerintahan Jazirah Arab belum berakhir di sini. Masih ada satu kerajaan penting yang berperan dalam membentuk kondisi Arab sebelum datangnya Islam. Selain itu, para pemimpin kabilah memainkan peran penting meski tidak bergelar raja. Apa peran mereka dalam membentuk sejarah Arab? Temukan jawabannya insyaallah di bagian selanjutnya! [Bersambung] Kembali ke bagian 2 *** Penulis: Fajar Rianto Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari kitab Ar-Rahīq Al-Makhtūm, karya Syekh Shafiyurrahmān Al-Mubārakfūri dengan sedikit penambahan.   Catatan kaki: [1] QS. Saba’: 16
Prev     Next