Fikih Badal Haji (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Fatwa-Fatwa Terkait Badal HajiWajib Dihajikan dari Harta yang Ditinggalkannya, Baik Ia Berwasiat atau TidakLebih Utama Anak Berhaji untuk Orang TuanyaMendahulukan Ibu daripada AyahTidak Wajib Berangkat Haji dari Kota Orang yang DiwakilkanTidak Disyaratkan Mengetahui NamanyaMewakilkan dalam Haji untuk Satu OrangPerempuan Boleh Berhaji untuk Laki-Laki, Sebagaimana Laki-Laki Boleh Berhaji untuk PerempuanHendaknya Memilih Orang yang Dipercaya dan Beragama untuk Diwakilkan Fatwa-Fatwa Terkait Badal Haji Kelompok pembahasan terakhir dalam artikel ini adalah fatwa-fatwa dari para ulama terkait dengan badal haji. Semoga Allah merahmati mereka dan membalas kebaikan mereka dengan balasan yang paling baik. Wajib Dihajikan dari Harta yang Ditinggalkannya, Baik Ia Berwasiat atau Tidak Jika seorang muslim meninggal dunia dan belum melaksanakan haji wajib, padahal telah memenuhi syarat-syarat kewajibannya, maka wajib dihajikan dari harta yang ditinggalkannya, baik ia berwasiat atau tidak. Dalam fatwanya, Lajnah Da’imah (11: 100) mengatakan, إذا مات المسلم ولم يقض فريضة الحج وهو مستكمل لشروط وجوب الحج وجب أن يحج عنه من ماله الذي خلفه سواء أوصى بذلك أم لم يوص “Jika seorang muslim meninggal dunia dan belum melaksanakan haji wajib, padahal telah memenuhi syarat-syarat kewajiban haji, maka wajib dihajikan dari harta yang ditinggalkannya, baik ia berwasiat atau tidak.” Kemudian, mereka melanjutkan, “Jika orang lain yang sah melaksanakan haji telah berhaji untuk dirinya sendiri, maka hajinya untuk orang yang meninggal tersebut sah dan menggugurkan kewajiban haji dari orang yang meninggal tersebut. Adapun mengenai nilai haji seseorang untuk orang lain, apakah sama dengan hajinya untuk dirinya sendiri, atau lebih rendah, atau lebih tinggi, hal itu dikembalikan kepada Allah Ta’ala. Tidak diragukan lagi bahwa yang wajib baginya adalah menyegerakan haji jika mampu sebelum meninggal dunia, berdasarkan dalil-dalil syar’i yang menunjukkan hal tersebut. Dan dikhawatirkan ia berdosa karena menunda-nunda.” [23] Lebih Utama Anak Berhaji untuk Orang Tuanya Anak berhaji untuk orang tuanya lebih utama daripada mewakilkan orang lain untuk berhaji. Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Ibu saya meninggal dunia ketika saya masih kecil, dan beliau telah menyewa seseorang yang terpercaya untuk berhaji untuknya. Ayah saya juga meninggal dunia dan saya tidak mengenal siapa pun dari mereka, namun saya mendengar bahwa salah seorang kerabat saya telah berhaji. Apakah boleh saya menyewa orang lain untuk berhaji untuk ibu saya, atau saya harus berhaji sendiri untuknya? Begitu juga dengan ayah saya, apakah saya harus berhaji untuknya padahal saya mendengar bahwa ia sudah berhaji? Mohon penjelasannya, terima kasih.” Beliau rahimahullah menjawab, إن حججت عنهما بنفسك، واجتهدت في إكمال. حجك على الوجه الشرعي فهو الأفضل، وإن استأجرت من يحج عنهما من أهل الدين والأمانة فلا بأس. والأفضل أن تؤدي عنهما حجا وعمرة، وهكذا من تستنيبه في ذلك، يشرع لك أن تأمره أن يحج عنهما ويعتمر، وهذا من برك لهما وإحسانك إليهما، تقبل الله منا ومنك. “Jika Anda berhaji sendiri untuk mereka dan berusaha menyempurnakan haji Anda sesuai dengan syariat, maka itu lebih utama. Namun, jika Anda menyewa orang lain yang beragama dan dapat dipercaya untuk berhaji untuk mereka, maka tidak mengapa. Lebih utama lagi jika Anda melaksanakan haji dan umrah untuk mereka. Begitu juga, dengan orang yang Anda wakilkan. Disyariatkan bagi Anda untuk memerintahkannya agar berhaji dan berumrah untuk mereka berdua. Ini merupakan bentuk kebaikan dan berbuat baik kepada mereka. Semoga Allah menerima dari kita dan dari Anda.” [24] Mendahulukan Ibu daripada Ayah Hal ini lebih utama karena hak ibu lebih besar Dalam kesempatan yang lain, Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Ayah saya meninggal dunia lima tahun yang lalu, dan dua tahun setelahnya ibu saya meninggal dunia, sebelum keduanya menunaikan ibadah haji. Saya ingin berhaji untuk mereka berdua sendiri, namun saya mendengar sebagian orang berkata, ‘Anda harus berhaji untuk ibu Anda terlebih dahulu karena haknya lebih besar daripada hak ayah.’ Sebagian lain berkata, ‘Berhajilah untuk ayah Anda terlebih dahulu karena ia meninggal sebelum ibu Anda.’ Saya bingung siapa yang harus saya dahulukan. Mohon penjelasannya. Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.” Jawaban beliau rahimahullah, “Haji Anda untuk keduanya adalah bentuk kebaikan yang disyariatkan oleh Allah ‘Azza Wajalla, bukan kewajiban bagi Anda, namun dianjurkan, disunahkan, dan ditekankan karena termasuk berbakti kepada keduanya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis sahih ketika ditanya oleh seorang laki-laki, “Apakah masih ada bentuk bakti kepada orang tua yang bisa saya lakukan untuk mereka?” Beliau menjawab, نعم الصلاة عليهما والاستغفار لهما وإنفاذ عهدهما من بعدهما وإكرام صديقهما وصلة الرحم التي لا توصل إلا بهما “Ya, mendoakan mereka, memohonkan ampun untuk mereka, menunaikan janji mereka setelah mereka tiada, memuliakan teman mereka, dan menyambung silaturahmi yang tidak tersambung kecuali karena mereka.” [25] Maksudnya, termasuk berbakti kepada keduanya setelah wafat adalah menunaikan haji untuk mereka. (… sampai beliau berkata,) فالمشروع لك يا أخي أن تحج عنهما جميعا وأن تعتمر عنهما جميعا، أما التقديم فلك أن تقدم من شئت، إن شئت قدمت الأم، وإن شئت قدمت الأب، والأفضل هو تقديم الأم؛ لأن حقها أكبر وأعظم ولو كانت متأخرة الموت وتقديمها أولى وأفضل؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم سئل فقيل له: يا رسول الله، من أبر؟ قال: أمك، قال: ثم من؟ قال: أمك، قال ثم من؟ قال: أمك، قال ثم من؟ قال: أباك ، فذكره في الرابعة. “Maka, dianjurkan bagi Anda, saudaraku, untuk berhaji dan berumrah untuk keduanya. Adapun mengenai mendahulukan, Anda boleh mendahulukan siapa saja yang Anda inginkan. Jika Anda mau, dahulukan ibu, atau jika Anda mau, dahulukan ayah. Namun, yang lebih utama adalah mendahulukan ibu karena haknya lebih besar, meskipun ia meninggal belakangan. Mendahulukan ibu lebih utama dan lebih baik karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya, ‘Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak saya berbakti?’ Beliau menjawab, “Ibumu.” Ditanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Ditanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Ditanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ayahmu.” [26] Beliau menyebutkan ayah pada urutan keempat.” [27] Tidak Wajib Berangkat Haji dari Kota Orang yang Diwakilkan Orang yang mewakilkan tidak wajib berangkat haji dari kota orang yang diwakilkan, melainkan dari miqat. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, ويجب قضاؤه عنه ‌من ‌الميقات لان الحج يجب ‌من ‌الميقات “Dan wajib mengqada haji untuknya dari miqat, karena haji wajib dimulai dari miqat.” [28] Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Jika orang yang mewakilkan untuk berhaji berada di kota lain selain kota orang yang diwakilkan, dan kota tersebut lebih dekat daripada kota orang yang diwakilkan, apakah ia wajib berangkat haji dari kota orang yang diwakilkan?” Beliau rahimahullah menjawab, “Tidak wajib baginya. Cukup baginya berihram dari miqat, meskipun ia berada di Makkah dan berihram dari sana untuk haji. Itu sudah mencukupi karena Makkah adalah miqat bagi penduduknya untuk haji.” [29] Tidak Disyaratkan Mengetahui Namanya Cukup bagi orang yang mewakilkan untuk berniat haji untuk orang yang diwakilkan, meskipun tidak menyebut namanya secara lisan. Jika ia lupa nama dan nasabnya, ia berniat untuk orang yang memberikan uang kepadanya untuk berhaji untuknya. [30] Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Ayah saya meninggal dunia dan belum menunaikan ibadah haji wajib. Saya memahami bahwa wajib bagi saya untuk berhaji untuknya. Saya telah sepakat dengan seseorang untuk berhaji untuknya, tetapi ketika ia menanyakan nama ayah saya dan nama ibu saya yang sudah meninggal, kami tidak tahu nama ibu saya. Apakah cukup hanya dengan nama almarhum tanpa nama ibunya?” Jawaban beliau, الحج عن الغير يكفي فيه النية عنه، ولا يلزم فيه تسمية المحجوج عنه، لا باسمه فقط ولا باسمه واسم أبيه أو أمه، وإن تلفظ باسمه عند بدء الإحرام أو أثناء التلبية أو عند ذبح دم التمتع إن كان متمتعا أو قارنا – فحسن “Dalam haji untuk orang lain, cukup dengan niat untuknya, dan tidak wajib menyebutkan nama orang yang dihajikan, baik hanya namanya saja, atau namanya beserta nama ayah atau ibunya. Namun, jika disebutkan namanya saat memulai ihram, atau saat talbiyah, atau saat menyembelih hewan dam tamattu’ jika ia melakukan haji tamattu’ atau qiran, maka itu lebih baik.” [31] Mewakilkan dalam Haji untuk Satu Orang Tidak boleh seseorang berhaji satu kali dan meniatkannya untuk dua orang. Lajnah Da’imah pernah mendapatkan pertanyaan, “Apakah boleh berhaji sebagai wakil untuk orang yang sudah meninggal dan yang masih hidup? Seorang teman saya, ayahnya meninggal dunia dan ia ingin berhaji untuknya sebagai wakil. Apakah hal itu diperbolehkan dan apakah keduanya mendapatkan pahala? Begitu juga dengan ibunya yang tidak bisa naik kendaraan, baik mobil maupun pesawat, namun tidak sakit. Apakah boleh ia berhaji satu kali dan dianggap berhaji untuk ayah dan ibunya sekaligus, atau harus berhaji untuk masing-masing dari mereka secara terpisah, atau tidak boleh sama sekali? Maksud saya, berhaji untuk mereka berdua.” Jawaban yang diberikan, تجوز النيابة في الحج عن الميت وعن الموجود الذي لا يستطيع الحج، ولا يجوز للشخص أن يحج مرة واحدة ويجعلها لشخصين، فالحج لا يجزئ إلا عن واحد، وكذلك العمرة، لكن لو حج عن شخص واعتمر عن آخر في سنة واحدة أجزأه إذا كان الحاج قد حج عن نفسه واعتمر عنها “Mewakilkan dalam haji diperbolehkan untuk orang yang sudah meninggal, dan untuk orang yang masih hidup, namun tidak mampu berhaji. Tidak boleh seseorang berhaji satu kali dan meniatkannya untuk dua orang. Haji hanya sah untuk satu orang, begitu juga dengan umrah. Namun, jika ia berhaji untuk satu orang dan berumrah untuk orang lain dalam satu tahun, maka hal itu sah jika orang yang berhaji tersebut telah berhaji dan berumrah untuk dirinya sendiri.” [32] Perempuan Boleh Berhaji untuk Laki-Laki, Sebagaimana Laki-Laki Boleh Berhaji untuk Perempuan Mewakilkan dalam haji diperbolehkan dengan syarat-syarat sebelumnya, baik yang mewakilkan adalah laki-laki maupun perempuan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. [33] Disebutkan dalam Fatwa Lajnah Da’imah no. 1265, فإن نيابة المرأة في الحج عن المرأة وعن الرجل جائزة؛ لورود الأدلة الثابتة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم في ذلك “Mewakilkan perempuan dalam haji, baik untuk perempuan maupun laki-laki, diperbolehkan, karena adanya dalil-dalil yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai hal tersebut.” Hendaknya Memilih Orang yang Dipercaya dan Beragama untuk Diwakilkan Masih dari pertanyaan yang sama, Lajnah Da’imah melanjutkan, لكن ينبغي لمن يريد أن ينيب في الحج أن يتحرى في من يستنيبه أن يكون من أهل الدين والأمانة؛ حتى يطمئن إلى قيامه بالواجب “Namun, bagi yang ingin mewakilkan dalam haji, hendaknya memilih orang yang dipercaya dan beragama agar yakin bahwa ia akan melaksanakan kewajiban tersebut dengan baik.” [34] Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah mencakup pembahasan-pembahsan paling penting tentang badal haji. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. [Selesai] Kembali ke bagian 1: Fikih Badal Haji (Bag. 1) *** 14 Zulhijah 1445 H, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M. Al-Fiqh Al-Muyassar fii Dhau’il Kitab was Sunnah, Tim Ulama Saudi, Darul Alamiyah – Mesir, cet. ke-2, 2016 M. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shafwah – Mesir, cet. ke-1, 1421. (Maktabah Syamilah) Fatawa Lajnah Da’imah Majmu’ah Ula, Lajnah Da’imah lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta, Idarah Ammah, Riyadh, 1431. (Maktabah Syamilah) Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah Ibn Baz, Abdul Aziz Bin Baz, Riasah Idarah Buhuts Ilmiyah wa Ifta, KSA, 1431. (Maktabah Syamilah)   Catatan kaki: [23] Fatawa Lajnah Daimah, 11: 100. [24] Majmu’ Fatawa Ibn Baz, 16: 407. [25] HR. Abu Dawud no. 5142. [26] HR. Ibnu Majah no. 3658. [27] Majmu’ Fatawa Ibn Baz, 16: 408. [28] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 7: 109. (Cetakan Al-Munirah) [29] Majmu’ Fatawa Ibn Baz, 16: 413. [30] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 42: 34. [31] Fatawa Lajnah Da’imah, 11: 81. Fatwa Nomor 2532. [32] Fatawa Lajnah Da’imah, 11: 57. Fatwa Nomor 2658. [33] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 42: 35. [34] Fatawa Lajnah Da’imah, 11: 52. Fatwa Nomor 1265. Tags: badal haji

Fikih Badal Haji (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Fatwa-Fatwa Terkait Badal HajiWajib Dihajikan dari Harta yang Ditinggalkannya, Baik Ia Berwasiat atau TidakLebih Utama Anak Berhaji untuk Orang TuanyaMendahulukan Ibu daripada AyahTidak Wajib Berangkat Haji dari Kota Orang yang DiwakilkanTidak Disyaratkan Mengetahui NamanyaMewakilkan dalam Haji untuk Satu OrangPerempuan Boleh Berhaji untuk Laki-Laki, Sebagaimana Laki-Laki Boleh Berhaji untuk PerempuanHendaknya Memilih Orang yang Dipercaya dan Beragama untuk Diwakilkan Fatwa-Fatwa Terkait Badal Haji Kelompok pembahasan terakhir dalam artikel ini adalah fatwa-fatwa dari para ulama terkait dengan badal haji. Semoga Allah merahmati mereka dan membalas kebaikan mereka dengan balasan yang paling baik. Wajib Dihajikan dari Harta yang Ditinggalkannya, Baik Ia Berwasiat atau Tidak Jika seorang muslim meninggal dunia dan belum melaksanakan haji wajib, padahal telah memenuhi syarat-syarat kewajibannya, maka wajib dihajikan dari harta yang ditinggalkannya, baik ia berwasiat atau tidak. Dalam fatwanya, Lajnah Da’imah (11: 100) mengatakan, إذا مات المسلم ولم يقض فريضة الحج وهو مستكمل لشروط وجوب الحج وجب أن يحج عنه من ماله الذي خلفه سواء أوصى بذلك أم لم يوص “Jika seorang muslim meninggal dunia dan belum melaksanakan haji wajib, padahal telah memenuhi syarat-syarat kewajiban haji, maka wajib dihajikan dari harta yang ditinggalkannya, baik ia berwasiat atau tidak.” Kemudian, mereka melanjutkan, “Jika orang lain yang sah melaksanakan haji telah berhaji untuk dirinya sendiri, maka hajinya untuk orang yang meninggal tersebut sah dan menggugurkan kewajiban haji dari orang yang meninggal tersebut. Adapun mengenai nilai haji seseorang untuk orang lain, apakah sama dengan hajinya untuk dirinya sendiri, atau lebih rendah, atau lebih tinggi, hal itu dikembalikan kepada Allah Ta’ala. Tidak diragukan lagi bahwa yang wajib baginya adalah menyegerakan haji jika mampu sebelum meninggal dunia, berdasarkan dalil-dalil syar’i yang menunjukkan hal tersebut. Dan dikhawatirkan ia berdosa karena menunda-nunda.” [23] Lebih Utama Anak Berhaji untuk Orang Tuanya Anak berhaji untuk orang tuanya lebih utama daripada mewakilkan orang lain untuk berhaji. Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Ibu saya meninggal dunia ketika saya masih kecil, dan beliau telah menyewa seseorang yang terpercaya untuk berhaji untuknya. Ayah saya juga meninggal dunia dan saya tidak mengenal siapa pun dari mereka, namun saya mendengar bahwa salah seorang kerabat saya telah berhaji. Apakah boleh saya menyewa orang lain untuk berhaji untuk ibu saya, atau saya harus berhaji sendiri untuknya? Begitu juga dengan ayah saya, apakah saya harus berhaji untuknya padahal saya mendengar bahwa ia sudah berhaji? Mohon penjelasannya, terima kasih.” Beliau rahimahullah menjawab, إن حججت عنهما بنفسك، واجتهدت في إكمال. حجك على الوجه الشرعي فهو الأفضل، وإن استأجرت من يحج عنهما من أهل الدين والأمانة فلا بأس. والأفضل أن تؤدي عنهما حجا وعمرة، وهكذا من تستنيبه في ذلك، يشرع لك أن تأمره أن يحج عنهما ويعتمر، وهذا من برك لهما وإحسانك إليهما، تقبل الله منا ومنك. “Jika Anda berhaji sendiri untuk mereka dan berusaha menyempurnakan haji Anda sesuai dengan syariat, maka itu lebih utama. Namun, jika Anda menyewa orang lain yang beragama dan dapat dipercaya untuk berhaji untuk mereka, maka tidak mengapa. Lebih utama lagi jika Anda melaksanakan haji dan umrah untuk mereka. Begitu juga, dengan orang yang Anda wakilkan. Disyariatkan bagi Anda untuk memerintahkannya agar berhaji dan berumrah untuk mereka berdua. Ini merupakan bentuk kebaikan dan berbuat baik kepada mereka. Semoga Allah menerima dari kita dan dari Anda.” [24] Mendahulukan Ibu daripada Ayah Hal ini lebih utama karena hak ibu lebih besar Dalam kesempatan yang lain, Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Ayah saya meninggal dunia lima tahun yang lalu, dan dua tahun setelahnya ibu saya meninggal dunia, sebelum keduanya menunaikan ibadah haji. Saya ingin berhaji untuk mereka berdua sendiri, namun saya mendengar sebagian orang berkata, ‘Anda harus berhaji untuk ibu Anda terlebih dahulu karena haknya lebih besar daripada hak ayah.’ Sebagian lain berkata, ‘Berhajilah untuk ayah Anda terlebih dahulu karena ia meninggal sebelum ibu Anda.’ Saya bingung siapa yang harus saya dahulukan. Mohon penjelasannya. Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.” Jawaban beliau rahimahullah, “Haji Anda untuk keduanya adalah bentuk kebaikan yang disyariatkan oleh Allah ‘Azza Wajalla, bukan kewajiban bagi Anda, namun dianjurkan, disunahkan, dan ditekankan karena termasuk berbakti kepada keduanya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis sahih ketika ditanya oleh seorang laki-laki, “Apakah masih ada bentuk bakti kepada orang tua yang bisa saya lakukan untuk mereka?” Beliau menjawab, نعم الصلاة عليهما والاستغفار لهما وإنفاذ عهدهما من بعدهما وإكرام صديقهما وصلة الرحم التي لا توصل إلا بهما “Ya, mendoakan mereka, memohonkan ampun untuk mereka, menunaikan janji mereka setelah mereka tiada, memuliakan teman mereka, dan menyambung silaturahmi yang tidak tersambung kecuali karena mereka.” [25] Maksudnya, termasuk berbakti kepada keduanya setelah wafat adalah menunaikan haji untuk mereka. (… sampai beliau berkata,) فالمشروع لك يا أخي أن تحج عنهما جميعا وأن تعتمر عنهما جميعا، أما التقديم فلك أن تقدم من شئت، إن شئت قدمت الأم، وإن شئت قدمت الأب، والأفضل هو تقديم الأم؛ لأن حقها أكبر وأعظم ولو كانت متأخرة الموت وتقديمها أولى وأفضل؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم سئل فقيل له: يا رسول الله، من أبر؟ قال: أمك، قال: ثم من؟ قال: أمك، قال ثم من؟ قال: أمك، قال ثم من؟ قال: أباك ، فذكره في الرابعة. “Maka, dianjurkan bagi Anda, saudaraku, untuk berhaji dan berumrah untuk keduanya. Adapun mengenai mendahulukan, Anda boleh mendahulukan siapa saja yang Anda inginkan. Jika Anda mau, dahulukan ibu, atau jika Anda mau, dahulukan ayah. Namun, yang lebih utama adalah mendahulukan ibu karena haknya lebih besar, meskipun ia meninggal belakangan. Mendahulukan ibu lebih utama dan lebih baik karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya, ‘Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak saya berbakti?’ Beliau menjawab, “Ibumu.” Ditanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Ditanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Ditanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ayahmu.” [26] Beliau menyebutkan ayah pada urutan keempat.” [27] Tidak Wajib Berangkat Haji dari Kota Orang yang Diwakilkan Orang yang mewakilkan tidak wajib berangkat haji dari kota orang yang diwakilkan, melainkan dari miqat. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, ويجب قضاؤه عنه ‌من ‌الميقات لان الحج يجب ‌من ‌الميقات “Dan wajib mengqada haji untuknya dari miqat, karena haji wajib dimulai dari miqat.” [28] Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Jika orang yang mewakilkan untuk berhaji berada di kota lain selain kota orang yang diwakilkan, dan kota tersebut lebih dekat daripada kota orang yang diwakilkan, apakah ia wajib berangkat haji dari kota orang yang diwakilkan?” Beliau rahimahullah menjawab, “Tidak wajib baginya. Cukup baginya berihram dari miqat, meskipun ia berada di Makkah dan berihram dari sana untuk haji. Itu sudah mencukupi karena Makkah adalah miqat bagi penduduknya untuk haji.” [29] Tidak Disyaratkan Mengetahui Namanya Cukup bagi orang yang mewakilkan untuk berniat haji untuk orang yang diwakilkan, meskipun tidak menyebut namanya secara lisan. Jika ia lupa nama dan nasabnya, ia berniat untuk orang yang memberikan uang kepadanya untuk berhaji untuknya. [30] Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Ayah saya meninggal dunia dan belum menunaikan ibadah haji wajib. Saya memahami bahwa wajib bagi saya untuk berhaji untuknya. Saya telah sepakat dengan seseorang untuk berhaji untuknya, tetapi ketika ia menanyakan nama ayah saya dan nama ibu saya yang sudah meninggal, kami tidak tahu nama ibu saya. Apakah cukup hanya dengan nama almarhum tanpa nama ibunya?” Jawaban beliau, الحج عن الغير يكفي فيه النية عنه، ولا يلزم فيه تسمية المحجوج عنه، لا باسمه فقط ولا باسمه واسم أبيه أو أمه، وإن تلفظ باسمه عند بدء الإحرام أو أثناء التلبية أو عند ذبح دم التمتع إن كان متمتعا أو قارنا – فحسن “Dalam haji untuk orang lain, cukup dengan niat untuknya, dan tidak wajib menyebutkan nama orang yang dihajikan, baik hanya namanya saja, atau namanya beserta nama ayah atau ibunya. Namun, jika disebutkan namanya saat memulai ihram, atau saat talbiyah, atau saat menyembelih hewan dam tamattu’ jika ia melakukan haji tamattu’ atau qiran, maka itu lebih baik.” [31] Mewakilkan dalam Haji untuk Satu Orang Tidak boleh seseorang berhaji satu kali dan meniatkannya untuk dua orang. Lajnah Da’imah pernah mendapatkan pertanyaan, “Apakah boleh berhaji sebagai wakil untuk orang yang sudah meninggal dan yang masih hidup? Seorang teman saya, ayahnya meninggal dunia dan ia ingin berhaji untuknya sebagai wakil. Apakah hal itu diperbolehkan dan apakah keduanya mendapatkan pahala? Begitu juga dengan ibunya yang tidak bisa naik kendaraan, baik mobil maupun pesawat, namun tidak sakit. Apakah boleh ia berhaji satu kali dan dianggap berhaji untuk ayah dan ibunya sekaligus, atau harus berhaji untuk masing-masing dari mereka secara terpisah, atau tidak boleh sama sekali? Maksud saya, berhaji untuk mereka berdua.” Jawaban yang diberikan, تجوز النيابة في الحج عن الميت وعن الموجود الذي لا يستطيع الحج، ولا يجوز للشخص أن يحج مرة واحدة ويجعلها لشخصين، فالحج لا يجزئ إلا عن واحد، وكذلك العمرة، لكن لو حج عن شخص واعتمر عن آخر في سنة واحدة أجزأه إذا كان الحاج قد حج عن نفسه واعتمر عنها “Mewakilkan dalam haji diperbolehkan untuk orang yang sudah meninggal, dan untuk orang yang masih hidup, namun tidak mampu berhaji. Tidak boleh seseorang berhaji satu kali dan meniatkannya untuk dua orang. Haji hanya sah untuk satu orang, begitu juga dengan umrah. Namun, jika ia berhaji untuk satu orang dan berumrah untuk orang lain dalam satu tahun, maka hal itu sah jika orang yang berhaji tersebut telah berhaji dan berumrah untuk dirinya sendiri.” [32] Perempuan Boleh Berhaji untuk Laki-Laki, Sebagaimana Laki-Laki Boleh Berhaji untuk Perempuan Mewakilkan dalam haji diperbolehkan dengan syarat-syarat sebelumnya, baik yang mewakilkan adalah laki-laki maupun perempuan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. [33] Disebutkan dalam Fatwa Lajnah Da’imah no. 1265, فإن نيابة المرأة في الحج عن المرأة وعن الرجل جائزة؛ لورود الأدلة الثابتة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم في ذلك “Mewakilkan perempuan dalam haji, baik untuk perempuan maupun laki-laki, diperbolehkan, karena adanya dalil-dalil yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai hal tersebut.” Hendaknya Memilih Orang yang Dipercaya dan Beragama untuk Diwakilkan Masih dari pertanyaan yang sama, Lajnah Da’imah melanjutkan, لكن ينبغي لمن يريد أن ينيب في الحج أن يتحرى في من يستنيبه أن يكون من أهل الدين والأمانة؛ حتى يطمئن إلى قيامه بالواجب “Namun, bagi yang ingin mewakilkan dalam haji, hendaknya memilih orang yang dipercaya dan beragama agar yakin bahwa ia akan melaksanakan kewajiban tersebut dengan baik.” [34] Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah mencakup pembahasan-pembahsan paling penting tentang badal haji. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. [Selesai] Kembali ke bagian 1: Fikih Badal Haji (Bag. 1) *** 14 Zulhijah 1445 H, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M. Al-Fiqh Al-Muyassar fii Dhau’il Kitab was Sunnah, Tim Ulama Saudi, Darul Alamiyah – Mesir, cet. ke-2, 2016 M. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shafwah – Mesir, cet. ke-1, 1421. (Maktabah Syamilah) Fatawa Lajnah Da’imah Majmu’ah Ula, Lajnah Da’imah lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta, Idarah Ammah, Riyadh, 1431. (Maktabah Syamilah) Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah Ibn Baz, Abdul Aziz Bin Baz, Riasah Idarah Buhuts Ilmiyah wa Ifta, KSA, 1431. (Maktabah Syamilah)   Catatan kaki: [23] Fatawa Lajnah Daimah, 11: 100. [24] Majmu’ Fatawa Ibn Baz, 16: 407. [25] HR. Abu Dawud no. 5142. [26] HR. Ibnu Majah no. 3658. [27] Majmu’ Fatawa Ibn Baz, 16: 408. [28] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 7: 109. (Cetakan Al-Munirah) [29] Majmu’ Fatawa Ibn Baz, 16: 413. [30] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 42: 34. [31] Fatawa Lajnah Da’imah, 11: 81. Fatwa Nomor 2532. [32] Fatawa Lajnah Da’imah, 11: 57. Fatwa Nomor 2658. [33] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 42: 35. [34] Fatawa Lajnah Da’imah, 11: 52. Fatwa Nomor 1265. Tags: badal haji
Daftar Isi Toggle Fatwa-Fatwa Terkait Badal HajiWajib Dihajikan dari Harta yang Ditinggalkannya, Baik Ia Berwasiat atau TidakLebih Utama Anak Berhaji untuk Orang TuanyaMendahulukan Ibu daripada AyahTidak Wajib Berangkat Haji dari Kota Orang yang DiwakilkanTidak Disyaratkan Mengetahui NamanyaMewakilkan dalam Haji untuk Satu OrangPerempuan Boleh Berhaji untuk Laki-Laki, Sebagaimana Laki-Laki Boleh Berhaji untuk PerempuanHendaknya Memilih Orang yang Dipercaya dan Beragama untuk Diwakilkan Fatwa-Fatwa Terkait Badal Haji Kelompok pembahasan terakhir dalam artikel ini adalah fatwa-fatwa dari para ulama terkait dengan badal haji. Semoga Allah merahmati mereka dan membalas kebaikan mereka dengan balasan yang paling baik. Wajib Dihajikan dari Harta yang Ditinggalkannya, Baik Ia Berwasiat atau Tidak Jika seorang muslim meninggal dunia dan belum melaksanakan haji wajib, padahal telah memenuhi syarat-syarat kewajibannya, maka wajib dihajikan dari harta yang ditinggalkannya, baik ia berwasiat atau tidak. Dalam fatwanya, Lajnah Da’imah (11: 100) mengatakan, إذا مات المسلم ولم يقض فريضة الحج وهو مستكمل لشروط وجوب الحج وجب أن يحج عنه من ماله الذي خلفه سواء أوصى بذلك أم لم يوص “Jika seorang muslim meninggal dunia dan belum melaksanakan haji wajib, padahal telah memenuhi syarat-syarat kewajiban haji, maka wajib dihajikan dari harta yang ditinggalkannya, baik ia berwasiat atau tidak.” Kemudian, mereka melanjutkan, “Jika orang lain yang sah melaksanakan haji telah berhaji untuk dirinya sendiri, maka hajinya untuk orang yang meninggal tersebut sah dan menggugurkan kewajiban haji dari orang yang meninggal tersebut. Adapun mengenai nilai haji seseorang untuk orang lain, apakah sama dengan hajinya untuk dirinya sendiri, atau lebih rendah, atau lebih tinggi, hal itu dikembalikan kepada Allah Ta’ala. Tidak diragukan lagi bahwa yang wajib baginya adalah menyegerakan haji jika mampu sebelum meninggal dunia, berdasarkan dalil-dalil syar’i yang menunjukkan hal tersebut. Dan dikhawatirkan ia berdosa karena menunda-nunda.” [23] Lebih Utama Anak Berhaji untuk Orang Tuanya Anak berhaji untuk orang tuanya lebih utama daripada mewakilkan orang lain untuk berhaji. Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Ibu saya meninggal dunia ketika saya masih kecil, dan beliau telah menyewa seseorang yang terpercaya untuk berhaji untuknya. Ayah saya juga meninggal dunia dan saya tidak mengenal siapa pun dari mereka, namun saya mendengar bahwa salah seorang kerabat saya telah berhaji. Apakah boleh saya menyewa orang lain untuk berhaji untuk ibu saya, atau saya harus berhaji sendiri untuknya? Begitu juga dengan ayah saya, apakah saya harus berhaji untuknya padahal saya mendengar bahwa ia sudah berhaji? Mohon penjelasannya, terima kasih.” Beliau rahimahullah menjawab, إن حججت عنهما بنفسك، واجتهدت في إكمال. حجك على الوجه الشرعي فهو الأفضل، وإن استأجرت من يحج عنهما من أهل الدين والأمانة فلا بأس. والأفضل أن تؤدي عنهما حجا وعمرة، وهكذا من تستنيبه في ذلك، يشرع لك أن تأمره أن يحج عنهما ويعتمر، وهذا من برك لهما وإحسانك إليهما، تقبل الله منا ومنك. “Jika Anda berhaji sendiri untuk mereka dan berusaha menyempurnakan haji Anda sesuai dengan syariat, maka itu lebih utama. Namun, jika Anda menyewa orang lain yang beragama dan dapat dipercaya untuk berhaji untuk mereka, maka tidak mengapa. Lebih utama lagi jika Anda melaksanakan haji dan umrah untuk mereka. Begitu juga, dengan orang yang Anda wakilkan. Disyariatkan bagi Anda untuk memerintahkannya agar berhaji dan berumrah untuk mereka berdua. Ini merupakan bentuk kebaikan dan berbuat baik kepada mereka. Semoga Allah menerima dari kita dan dari Anda.” [24] Mendahulukan Ibu daripada Ayah Hal ini lebih utama karena hak ibu lebih besar Dalam kesempatan yang lain, Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Ayah saya meninggal dunia lima tahun yang lalu, dan dua tahun setelahnya ibu saya meninggal dunia, sebelum keduanya menunaikan ibadah haji. Saya ingin berhaji untuk mereka berdua sendiri, namun saya mendengar sebagian orang berkata, ‘Anda harus berhaji untuk ibu Anda terlebih dahulu karena haknya lebih besar daripada hak ayah.’ Sebagian lain berkata, ‘Berhajilah untuk ayah Anda terlebih dahulu karena ia meninggal sebelum ibu Anda.’ Saya bingung siapa yang harus saya dahulukan. Mohon penjelasannya. Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.” Jawaban beliau rahimahullah, “Haji Anda untuk keduanya adalah bentuk kebaikan yang disyariatkan oleh Allah ‘Azza Wajalla, bukan kewajiban bagi Anda, namun dianjurkan, disunahkan, dan ditekankan karena termasuk berbakti kepada keduanya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis sahih ketika ditanya oleh seorang laki-laki, “Apakah masih ada bentuk bakti kepada orang tua yang bisa saya lakukan untuk mereka?” Beliau menjawab, نعم الصلاة عليهما والاستغفار لهما وإنفاذ عهدهما من بعدهما وإكرام صديقهما وصلة الرحم التي لا توصل إلا بهما “Ya, mendoakan mereka, memohonkan ampun untuk mereka, menunaikan janji mereka setelah mereka tiada, memuliakan teman mereka, dan menyambung silaturahmi yang tidak tersambung kecuali karena mereka.” [25] Maksudnya, termasuk berbakti kepada keduanya setelah wafat adalah menunaikan haji untuk mereka. (… sampai beliau berkata,) فالمشروع لك يا أخي أن تحج عنهما جميعا وأن تعتمر عنهما جميعا، أما التقديم فلك أن تقدم من شئت، إن شئت قدمت الأم، وإن شئت قدمت الأب، والأفضل هو تقديم الأم؛ لأن حقها أكبر وأعظم ولو كانت متأخرة الموت وتقديمها أولى وأفضل؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم سئل فقيل له: يا رسول الله، من أبر؟ قال: أمك، قال: ثم من؟ قال: أمك، قال ثم من؟ قال: أمك، قال ثم من؟ قال: أباك ، فذكره في الرابعة. “Maka, dianjurkan bagi Anda, saudaraku, untuk berhaji dan berumrah untuk keduanya. Adapun mengenai mendahulukan, Anda boleh mendahulukan siapa saja yang Anda inginkan. Jika Anda mau, dahulukan ibu, atau jika Anda mau, dahulukan ayah. Namun, yang lebih utama adalah mendahulukan ibu karena haknya lebih besar, meskipun ia meninggal belakangan. Mendahulukan ibu lebih utama dan lebih baik karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya, ‘Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak saya berbakti?’ Beliau menjawab, “Ibumu.” Ditanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Ditanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Ditanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ayahmu.” [26] Beliau menyebutkan ayah pada urutan keempat.” [27] Tidak Wajib Berangkat Haji dari Kota Orang yang Diwakilkan Orang yang mewakilkan tidak wajib berangkat haji dari kota orang yang diwakilkan, melainkan dari miqat. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, ويجب قضاؤه عنه ‌من ‌الميقات لان الحج يجب ‌من ‌الميقات “Dan wajib mengqada haji untuknya dari miqat, karena haji wajib dimulai dari miqat.” [28] Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Jika orang yang mewakilkan untuk berhaji berada di kota lain selain kota orang yang diwakilkan, dan kota tersebut lebih dekat daripada kota orang yang diwakilkan, apakah ia wajib berangkat haji dari kota orang yang diwakilkan?” Beliau rahimahullah menjawab, “Tidak wajib baginya. Cukup baginya berihram dari miqat, meskipun ia berada di Makkah dan berihram dari sana untuk haji. Itu sudah mencukupi karena Makkah adalah miqat bagi penduduknya untuk haji.” [29] Tidak Disyaratkan Mengetahui Namanya Cukup bagi orang yang mewakilkan untuk berniat haji untuk orang yang diwakilkan, meskipun tidak menyebut namanya secara lisan. Jika ia lupa nama dan nasabnya, ia berniat untuk orang yang memberikan uang kepadanya untuk berhaji untuknya. [30] Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Ayah saya meninggal dunia dan belum menunaikan ibadah haji wajib. Saya memahami bahwa wajib bagi saya untuk berhaji untuknya. Saya telah sepakat dengan seseorang untuk berhaji untuknya, tetapi ketika ia menanyakan nama ayah saya dan nama ibu saya yang sudah meninggal, kami tidak tahu nama ibu saya. Apakah cukup hanya dengan nama almarhum tanpa nama ibunya?” Jawaban beliau, الحج عن الغير يكفي فيه النية عنه، ولا يلزم فيه تسمية المحجوج عنه، لا باسمه فقط ولا باسمه واسم أبيه أو أمه، وإن تلفظ باسمه عند بدء الإحرام أو أثناء التلبية أو عند ذبح دم التمتع إن كان متمتعا أو قارنا – فحسن “Dalam haji untuk orang lain, cukup dengan niat untuknya, dan tidak wajib menyebutkan nama orang yang dihajikan, baik hanya namanya saja, atau namanya beserta nama ayah atau ibunya. Namun, jika disebutkan namanya saat memulai ihram, atau saat talbiyah, atau saat menyembelih hewan dam tamattu’ jika ia melakukan haji tamattu’ atau qiran, maka itu lebih baik.” [31] Mewakilkan dalam Haji untuk Satu Orang Tidak boleh seseorang berhaji satu kali dan meniatkannya untuk dua orang. Lajnah Da’imah pernah mendapatkan pertanyaan, “Apakah boleh berhaji sebagai wakil untuk orang yang sudah meninggal dan yang masih hidup? Seorang teman saya, ayahnya meninggal dunia dan ia ingin berhaji untuknya sebagai wakil. Apakah hal itu diperbolehkan dan apakah keduanya mendapatkan pahala? Begitu juga dengan ibunya yang tidak bisa naik kendaraan, baik mobil maupun pesawat, namun tidak sakit. Apakah boleh ia berhaji satu kali dan dianggap berhaji untuk ayah dan ibunya sekaligus, atau harus berhaji untuk masing-masing dari mereka secara terpisah, atau tidak boleh sama sekali? Maksud saya, berhaji untuk mereka berdua.” Jawaban yang diberikan, تجوز النيابة في الحج عن الميت وعن الموجود الذي لا يستطيع الحج، ولا يجوز للشخص أن يحج مرة واحدة ويجعلها لشخصين، فالحج لا يجزئ إلا عن واحد، وكذلك العمرة، لكن لو حج عن شخص واعتمر عن آخر في سنة واحدة أجزأه إذا كان الحاج قد حج عن نفسه واعتمر عنها “Mewakilkan dalam haji diperbolehkan untuk orang yang sudah meninggal, dan untuk orang yang masih hidup, namun tidak mampu berhaji. Tidak boleh seseorang berhaji satu kali dan meniatkannya untuk dua orang. Haji hanya sah untuk satu orang, begitu juga dengan umrah. Namun, jika ia berhaji untuk satu orang dan berumrah untuk orang lain dalam satu tahun, maka hal itu sah jika orang yang berhaji tersebut telah berhaji dan berumrah untuk dirinya sendiri.” [32] Perempuan Boleh Berhaji untuk Laki-Laki, Sebagaimana Laki-Laki Boleh Berhaji untuk Perempuan Mewakilkan dalam haji diperbolehkan dengan syarat-syarat sebelumnya, baik yang mewakilkan adalah laki-laki maupun perempuan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. [33] Disebutkan dalam Fatwa Lajnah Da’imah no. 1265, فإن نيابة المرأة في الحج عن المرأة وعن الرجل جائزة؛ لورود الأدلة الثابتة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم في ذلك “Mewakilkan perempuan dalam haji, baik untuk perempuan maupun laki-laki, diperbolehkan, karena adanya dalil-dalil yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai hal tersebut.” Hendaknya Memilih Orang yang Dipercaya dan Beragama untuk Diwakilkan Masih dari pertanyaan yang sama, Lajnah Da’imah melanjutkan, لكن ينبغي لمن يريد أن ينيب في الحج أن يتحرى في من يستنيبه أن يكون من أهل الدين والأمانة؛ حتى يطمئن إلى قيامه بالواجب “Namun, bagi yang ingin mewakilkan dalam haji, hendaknya memilih orang yang dipercaya dan beragama agar yakin bahwa ia akan melaksanakan kewajiban tersebut dengan baik.” [34] Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah mencakup pembahasan-pembahsan paling penting tentang badal haji. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. [Selesai] Kembali ke bagian 1: Fikih Badal Haji (Bag. 1) *** 14 Zulhijah 1445 H, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M. Al-Fiqh Al-Muyassar fii Dhau’il Kitab was Sunnah, Tim Ulama Saudi, Darul Alamiyah – Mesir, cet. ke-2, 2016 M. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shafwah – Mesir, cet. ke-1, 1421. (Maktabah Syamilah) Fatawa Lajnah Da’imah Majmu’ah Ula, Lajnah Da’imah lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta, Idarah Ammah, Riyadh, 1431. (Maktabah Syamilah) Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah Ibn Baz, Abdul Aziz Bin Baz, Riasah Idarah Buhuts Ilmiyah wa Ifta, KSA, 1431. (Maktabah Syamilah)   Catatan kaki: [23] Fatawa Lajnah Daimah, 11: 100. [24] Majmu’ Fatawa Ibn Baz, 16: 407. [25] HR. Abu Dawud no. 5142. [26] HR. Ibnu Majah no. 3658. [27] Majmu’ Fatawa Ibn Baz, 16: 408. [28] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 7: 109. (Cetakan Al-Munirah) [29] Majmu’ Fatawa Ibn Baz, 16: 413. [30] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 42: 34. [31] Fatawa Lajnah Da’imah, 11: 81. Fatwa Nomor 2532. [32] Fatawa Lajnah Da’imah, 11: 57. Fatwa Nomor 2658. [33] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 42: 35. [34] Fatawa Lajnah Da’imah, 11: 52. Fatwa Nomor 1265. Tags: badal haji


Daftar Isi Toggle Fatwa-Fatwa Terkait Badal HajiWajib Dihajikan dari Harta yang Ditinggalkannya, Baik Ia Berwasiat atau TidakLebih Utama Anak Berhaji untuk Orang TuanyaMendahulukan Ibu daripada AyahTidak Wajib Berangkat Haji dari Kota Orang yang DiwakilkanTidak Disyaratkan Mengetahui NamanyaMewakilkan dalam Haji untuk Satu OrangPerempuan Boleh Berhaji untuk Laki-Laki, Sebagaimana Laki-Laki Boleh Berhaji untuk PerempuanHendaknya Memilih Orang yang Dipercaya dan Beragama untuk Diwakilkan Fatwa-Fatwa Terkait Badal Haji Kelompok pembahasan terakhir dalam artikel ini adalah fatwa-fatwa dari para ulama terkait dengan badal haji. Semoga Allah merahmati mereka dan membalas kebaikan mereka dengan balasan yang paling baik. Wajib Dihajikan dari Harta yang Ditinggalkannya, Baik Ia Berwasiat atau Tidak Jika seorang muslim meninggal dunia dan belum melaksanakan haji wajib, padahal telah memenuhi syarat-syarat kewajibannya, maka wajib dihajikan dari harta yang ditinggalkannya, baik ia berwasiat atau tidak. Dalam fatwanya, Lajnah Da’imah (11: 100) mengatakan, إذا مات المسلم ولم يقض فريضة الحج وهو مستكمل لشروط وجوب الحج وجب أن يحج عنه من ماله الذي خلفه سواء أوصى بذلك أم لم يوص “Jika seorang muslim meninggal dunia dan belum melaksanakan haji wajib, padahal telah memenuhi syarat-syarat kewajiban haji, maka wajib dihajikan dari harta yang ditinggalkannya, baik ia berwasiat atau tidak.” Kemudian, mereka melanjutkan, “Jika orang lain yang sah melaksanakan haji telah berhaji untuk dirinya sendiri, maka hajinya untuk orang yang meninggal tersebut sah dan menggugurkan kewajiban haji dari orang yang meninggal tersebut. Adapun mengenai nilai haji seseorang untuk orang lain, apakah sama dengan hajinya untuk dirinya sendiri, atau lebih rendah, atau lebih tinggi, hal itu dikembalikan kepada Allah Ta’ala. Tidak diragukan lagi bahwa yang wajib baginya adalah menyegerakan haji jika mampu sebelum meninggal dunia, berdasarkan dalil-dalil syar’i yang menunjukkan hal tersebut. Dan dikhawatirkan ia berdosa karena menunda-nunda.” [23] Lebih Utama Anak Berhaji untuk Orang Tuanya Anak berhaji untuk orang tuanya lebih utama daripada mewakilkan orang lain untuk berhaji. Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Ibu saya meninggal dunia ketika saya masih kecil, dan beliau telah menyewa seseorang yang terpercaya untuk berhaji untuknya. Ayah saya juga meninggal dunia dan saya tidak mengenal siapa pun dari mereka, namun saya mendengar bahwa salah seorang kerabat saya telah berhaji. Apakah boleh saya menyewa orang lain untuk berhaji untuk ibu saya, atau saya harus berhaji sendiri untuknya? Begitu juga dengan ayah saya, apakah saya harus berhaji untuknya padahal saya mendengar bahwa ia sudah berhaji? Mohon penjelasannya, terima kasih.” Beliau rahimahullah menjawab, إن حججت عنهما بنفسك، واجتهدت في إكمال. حجك على الوجه الشرعي فهو الأفضل، وإن استأجرت من يحج عنهما من أهل الدين والأمانة فلا بأس. والأفضل أن تؤدي عنهما حجا وعمرة، وهكذا من تستنيبه في ذلك، يشرع لك أن تأمره أن يحج عنهما ويعتمر، وهذا من برك لهما وإحسانك إليهما، تقبل الله منا ومنك. “Jika Anda berhaji sendiri untuk mereka dan berusaha menyempurnakan haji Anda sesuai dengan syariat, maka itu lebih utama. Namun, jika Anda menyewa orang lain yang beragama dan dapat dipercaya untuk berhaji untuk mereka, maka tidak mengapa. Lebih utama lagi jika Anda melaksanakan haji dan umrah untuk mereka. Begitu juga, dengan orang yang Anda wakilkan. Disyariatkan bagi Anda untuk memerintahkannya agar berhaji dan berumrah untuk mereka berdua. Ini merupakan bentuk kebaikan dan berbuat baik kepada mereka. Semoga Allah menerima dari kita dan dari Anda.” [24] Mendahulukan Ibu daripada Ayah Hal ini lebih utama karena hak ibu lebih besar Dalam kesempatan yang lain, Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Ayah saya meninggal dunia lima tahun yang lalu, dan dua tahun setelahnya ibu saya meninggal dunia, sebelum keduanya menunaikan ibadah haji. Saya ingin berhaji untuk mereka berdua sendiri, namun saya mendengar sebagian orang berkata, ‘Anda harus berhaji untuk ibu Anda terlebih dahulu karena haknya lebih besar daripada hak ayah.’ Sebagian lain berkata, ‘Berhajilah untuk ayah Anda terlebih dahulu karena ia meninggal sebelum ibu Anda.’ Saya bingung siapa yang harus saya dahulukan. Mohon penjelasannya. Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.” Jawaban beliau rahimahullah, “Haji Anda untuk keduanya adalah bentuk kebaikan yang disyariatkan oleh Allah ‘Azza Wajalla, bukan kewajiban bagi Anda, namun dianjurkan, disunahkan, dan ditekankan karena termasuk berbakti kepada keduanya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis sahih ketika ditanya oleh seorang laki-laki, “Apakah masih ada bentuk bakti kepada orang tua yang bisa saya lakukan untuk mereka?” Beliau menjawab, نعم الصلاة عليهما والاستغفار لهما وإنفاذ عهدهما من بعدهما وإكرام صديقهما وصلة الرحم التي لا توصل إلا بهما “Ya, mendoakan mereka, memohonkan ampun untuk mereka, menunaikan janji mereka setelah mereka tiada, memuliakan teman mereka, dan menyambung silaturahmi yang tidak tersambung kecuali karena mereka.” [25] Maksudnya, termasuk berbakti kepada keduanya setelah wafat adalah menunaikan haji untuk mereka. (… sampai beliau berkata,) فالمشروع لك يا أخي أن تحج عنهما جميعا وأن تعتمر عنهما جميعا، أما التقديم فلك أن تقدم من شئت، إن شئت قدمت الأم، وإن شئت قدمت الأب، والأفضل هو تقديم الأم؛ لأن حقها أكبر وأعظم ولو كانت متأخرة الموت وتقديمها أولى وأفضل؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم سئل فقيل له: يا رسول الله، من أبر؟ قال: أمك، قال: ثم من؟ قال: أمك، قال ثم من؟ قال: أمك، قال ثم من؟ قال: أباك ، فذكره في الرابعة. “Maka, dianjurkan bagi Anda, saudaraku, untuk berhaji dan berumrah untuk keduanya. Adapun mengenai mendahulukan, Anda boleh mendahulukan siapa saja yang Anda inginkan. Jika Anda mau, dahulukan ibu, atau jika Anda mau, dahulukan ayah. Namun, yang lebih utama adalah mendahulukan ibu karena haknya lebih besar, meskipun ia meninggal belakangan. Mendahulukan ibu lebih utama dan lebih baik karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya, ‘Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak saya berbakti?’ Beliau menjawab, “Ibumu.” Ditanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Ditanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Ditanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ayahmu.” [26] Beliau menyebutkan ayah pada urutan keempat.” [27] Tidak Wajib Berangkat Haji dari Kota Orang yang Diwakilkan Orang yang mewakilkan tidak wajib berangkat haji dari kota orang yang diwakilkan, melainkan dari miqat. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, ويجب قضاؤه عنه ‌من ‌الميقات لان الحج يجب ‌من ‌الميقات “Dan wajib mengqada haji untuknya dari miqat, karena haji wajib dimulai dari miqat.” [28] Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Jika orang yang mewakilkan untuk berhaji berada di kota lain selain kota orang yang diwakilkan, dan kota tersebut lebih dekat daripada kota orang yang diwakilkan, apakah ia wajib berangkat haji dari kota orang yang diwakilkan?” Beliau rahimahullah menjawab, “Tidak wajib baginya. Cukup baginya berihram dari miqat, meskipun ia berada di Makkah dan berihram dari sana untuk haji. Itu sudah mencukupi karena Makkah adalah miqat bagi penduduknya untuk haji.” [29] Tidak Disyaratkan Mengetahui Namanya Cukup bagi orang yang mewakilkan untuk berniat haji untuk orang yang diwakilkan, meskipun tidak menyebut namanya secara lisan. Jika ia lupa nama dan nasabnya, ia berniat untuk orang yang memberikan uang kepadanya untuk berhaji untuknya. [30] Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Ayah saya meninggal dunia dan belum menunaikan ibadah haji wajib. Saya memahami bahwa wajib bagi saya untuk berhaji untuknya. Saya telah sepakat dengan seseorang untuk berhaji untuknya, tetapi ketika ia menanyakan nama ayah saya dan nama ibu saya yang sudah meninggal, kami tidak tahu nama ibu saya. Apakah cukup hanya dengan nama almarhum tanpa nama ibunya?” Jawaban beliau, الحج عن الغير يكفي فيه النية عنه، ولا يلزم فيه تسمية المحجوج عنه، لا باسمه فقط ولا باسمه واسم أبيه أو أمه، وإن تلفظ باسمه عند بدء الإحرام أو أثناء التلبية أو عند ذبح دم التمتع إن كان متمتعا أو قارنا – فحسن “Dalam haji untuk orang lain, cukup dengan niat untuknya, dan tidak wajib menyebutkan nama orang yang dihajikan, baik hanya namanya saja, atau namanya beserta nama ayah atau ibunya. Namun, jika disebutkan namanya saat memulai ihram, atau saat talbiyah, atau saat menyembelih hewan dam tamattu’ jika ia melakukan haji tamattu’ atau qiran, maka itu lebih baik.” [31] Mewakilkan dalam Haji untuk Satu Orang Tidak boleh seseorang berhaji satu kali dan meniatkannya untuk dua orang. Lajnah Da’imah pernah mendapatkan pertanyaan, “Apakah boleh berhaji sebagai wakil untuk orang yang sudah meninggal dan yang masih hidup? Seorang teman saya, ayahnya meninggal dunia dan ia ingin berhaji untuknya sebagai wakil. Apakah hal itu diperbolehkan dan apakah keduanya mendapatkan pahala? Begitu juga dengan ibunya yang tidak bisa naik kendaraan, baik mobil maupun pesawat, namun tidak sakit. Apakah boleh ia berhaji satu kali dan dianggap berhaji untuk ayah dan ibunya sekaligus, atau harus berhaji untuk masing-masing dari mereka secara terpisah, atau tidak boleh sama sekali? Maksud saya, berhaji untuk mereka berdua.” Jawaban yang diberikan, تجوز النيابة في الحج عن الميت وعن الموجود الذي لا يستطيع الحج، ولا يجوز للشخص أن يحج مرة واحدة ويجعلها لشخصين، فالحج لا يجزئ إلا عن واحد، وكذلك العمرة، لكن لو حج عن شخص واعتمر عن آخر في سنة واحدة أجزأه إذا كان الحاج قد حج عن نفسه واعتمر عنها “Mewakilkan dalam haji diperbolehkan untuk orang yang sudah meninggal, dan untuk orang yang masih hidup, namun tidak mampu berhaji. Tidak boleh seseorang berhaji satu kali dan meniatkannya untuk dua orang. Haji hanya sah untuk satu orang, begitu juga dengan umrah. Namun, jika ia berhaji untuk satu orang dan berumrah untuk orang lain dalam satu tahun, maka hal itu sah jika orang yang berhaji tersebut telah berhaji dan berumrah untuk dirinya sendiri.” [32] Perempuan Boleh Berhaji untuk Laki-Laki, Sebagaimana Laki-Laki Boleh Berhaji untuk Perempuan Mewakilkan dalam haji diperbolehkan dengan syarat-syarat sebelumnya, baik yang mewakilkan adalah laki-laki maupun perempuan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. [33] Disebutkan dalam Fatwa Lajnah Da’imah no. 1265, فإن نيابة المرأة في الحج عن المرأة وعن الرجل جائزة؛ لورود الأدلة الثابتة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم في ذلك “Mewakilkan perempuan dalam haji, baik untuk perempuan maupun laki-laki, diperbolehkan, karena adanya dalil-dalil yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai hal tersebut.” Hendaknya Memilih Orang yang Dipercaya dan Beragama untuk Diwakilkan Masih dari pertanyaan yang sama, Lajnah Da’imah melanjutkan, لكن ينبغي لمن يريد أن ينيب في الحج أن يتحرى في من يستنيبه أن يكون من أهل الدين والأمانة؛ حتى يطمئن إلى قيامه بالواجب “Namun, bagi yang ingin mewakilkan dalam haji, hendaknya memilih orang yang dipercaya dan beragama agar yakin bahwa ia akan melaksanakan kewajiban tersebut dengan baik.” [34] Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah mencakup pembahasan-pembahsan paling penting tentang badal haji. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. [Selesai] Kembali ke bagian 1: Fikih Badal Haji (Bag. 1) *** 14 Zulhijah 1445 H, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M. Al-Fiqh Al-Muyassar fii Dhau’il Kitab was Sunnah, Tim Ulama Saudi, Darul Alamiyah – Mesir, cet. ke-2, 2016 M. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shafwah – Mesir, cet. ke-1, 1421. (Maktabah Syamilah) Fatawa Lajnah Da’imah Majmu’ah Ula, Lajnah Da’imah lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta, Idarah Ammah, Riyadh, 1431. (Maktabah Syamilah) Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah Ibn Baz, Abdul Aziz Bin Baz, Riasah Idarah Buhuts Ilmiyah wa Ifta, KSA, 1431. (Maktabah Syamilah)   Catatan kaki: [23] Fatawa Lajnah Daimah, 11: 100. [24] Majmu’ Fatawa Ibn Baz, 16: 407. [25] HR. Abu Dawud no. 5142. [26] HR. Ibnu Majah no. 3658. [27] Majmu’ Fatawa Ibn Baz, 16: 408. [28] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 7: 109. (Cetakan Al-Munirah) [29] Majmu’ Fatawa Ibn Baz, 16: 413. [30] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 42: 34. [31] Fatawa Lajnah Da’imah, 11: 81. Fatwa Nomor 2532. [32] Fatawa Lajnah Da’imah, 11: 57. Fatwa Nomor 2658. [33] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 42: 35. [34] Fatawa Lajnah Da’imah, 11: 52. Fatwa Nomor 1265. Tags: badal haji

Apa Definisi Futur?

Pertanyaan: Ustadz, jika seorang laki-laki dahulu tidak isbal namun sekarang isbal, apakah ini termasuk futur?  Jawaban: Alhamdulillaah, ash-shalaatu wassalaamu ‘ala Rasulillaah, wa ‘ala aalihi wa man waalaah, amma ba’du, Ya benar, itu termasuk futur. Karena walaupun ulama khilaf tentang isbal bukan karena sombong, namun mereka sepakat bahwa tidak isbal itu paling utama.  Maka orang yang dulu tidak isbal dan sekarang isbal, minimalnya ia berubah dari yang paling utama kepada yang kurang utama, menurut sebagian ulama. Bahkan yang rajih, isbal itu hukumnya haram baik dengan disertai kesombongan atau tidak.  Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: ما أَسْفَلَ مِنَ الكَعْبَيْنِ مِنَ الإزَارِ فَفِي النَّارِ “Kain yang panjangnya di bawah mata kaki tempatnya adalah neraka” (HR. Al-Bukhari no.5787) Dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: ثَلاثَةٌ لا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَومَ القِيامَةِ: المَنَّانُ الذي لا يُعْطِي شيئًا إلَّا مَنَّهُ، والْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بالحَلِفِ الفاجِرِ، والْمُسْبِلُ إزارَهُ “Ada tiga jenis manusia yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari Kiamat: Orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian, tidaklah ia memberikan sesuatu kecuali pasti akan mengungkitnya, orang yang melariskan barang dagangannya dengan sumpah palsu, dan orang yang isbal”. (HR. Muslim, no.106). Dalam hadis-hadis di atas, isbal dilarang secara mutlak tanpa dikaitkan dengan kesombongan. Sehingga orang yang dahulu tidak isbal namun sekarang menjadi isbal, ia berubah dari yang disyariatkan kepada yang haram.  Definisi Futur Istilah “futur” berasal dari kata al-fatroh. Disebutkan dalam kitab Lisanul Arab : الفَتْرَةُ: الانكسار والضعف “Al-fatroh artinya rusak dan lemah”. Oleh karena itu, futur didefinisikan oleh para ulama sebagai kelemahan setelah sebelumnya kuat. Dalam kitab Lisanul Arab juga disebutkan: يَفْتُر ويَفْتِر فُتُوراً وفُتاراً: سكن بعد حدّة ولانَ بعد شدة “yafturu – yaftiru – futuuron atau futaarron artinya: diam setelah aktif, lembek setelah kuat”.  Disebutkan dalam definisi lain: الفتور هو الكسل، والتراخي، والتباطؤ بعد الجد “Futur adalah malas, suka menunda, atau lambat dalam beramal, padahal sebelumnya semangat” (al-Futur Mazhahir Asbaab wa ‘Ilaj, hal. 22). Intinya, kata kunci dari futur adalah terjadi kelemahan dan kemunduran. Semisal orang yang sebelumnya rajin shalat malam, kemudian tidak rajin lagi, ini juga termasuk futur karena terdapat kemunduran. Yang sebelumnya sering bersedekah lalu menjadi jarang bersedekah, ini juga futur. Maka demikian juga yang dahulunya tidak isbal, lalu menjadi isbal, ini bentuk futur. Karena terjadi kemunduran. Apalagi, jika dahulu istiqomah belajar tentang sunnah-sunnah Nabi dan berusaha mengamalkannya, namun sekarang sudah tidak demikian lagi, ini juga jelas termasuk futur.  ‘Ala kulli haal, futur itu manusiawi. Namun ketika futur, upayakan jangan sampai terlalu jauh futurnya sehingga melewati batasan-batasan syariat. Dan terus berusaha bangkit kembali ke mode semangat. Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: لكلِّ عملٍ شِرَّةٌ ولكلِّ شِرَّةٍ فَترةٌ فمَن كانَت فترتُهُ إلى سنَّتي فقد اهتَدى ومَن كانَت فترتُهُ إلى غيرِ ذلكَ فقَد هلَكَ “Setiap amalan ada masa semangatnya, dan setiap masa semangat ada masa futurnya. Barang siapa yang futurnya di atas sunnahku, maka ia telah mendapatkan petunjuk. Barang siapa yang futurnya bukan di atas sunnahku, maka ia akan binasa” (HR. Ahmad no. 6764, dishahihkan Al-Albani dalam Takhrij Kitabus Sunnah hal.51). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 690 times, 2 visit(s) today Post Views: 1,079 QRIS donasi Yufid

Apa Definisi Futur?

Pertanyaan: Ustadz, jika seorang laki-laki dahulu tidak isbal namun sekarang isbal, apakah ini termasuk futur?  Jawaban: Alhamdulillaah, ash-shalaatu wassalaamu ‘ala Rasulillaah, wa ‘ala aalihi wa man waalaah, amma ba’du, Ya benar, itu termasuk futur. Karena walaupun ulama khilaf tentang isbal bukan karena sombong, namun mereka sepakat bahwa tidak isbal itu paling utama.  Maka orang yang dulu tidak isbal dan sekarang isbal, minimalnya ia berubah dari yang paling utama kepada yang kurang utama, menurut sebagian ulama. Bahkan yang rajih, isbal itu hukumnya haram baik dengan disertai kesombongan atau tidak.  Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: ما أَسْفَلَ مِنَ الكَعْبَيْنِ مِنَ الإزَارِ فَفِي النَّارِ “Kain yang panjangnya di bawah mata kaki tempatnya adalah neraka” (HR. Al-Bukhari no.5787) Dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: ثَلاثَةٌ لا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَومَ القِيامَةِ: المَنَّانُ الذي لا يُعْطِي شيئًا إلَّا مَنَّهُ، والْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بالحَلِفِ الفاجِرِ، والْمُسْبِلُ إزارَهُ “Ada tiga jenis manusia yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari Kiamat: Orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian, tidaklah ia memberikan sesuatu kecuali pasti akan mengungkitnya, orang yang melariskan barang dagangannya dengan sumpah palsu, dan orang yang isbal”. (HR. Muslim, no.106). Dalam hadis-hadis di atas, isbal dilarang secara mutlak tanpa dikaitkan dengan kesombongan. Sehingga orang yang dahulu tidak isbal namun sekarang menjadi isbal, ia berubah dari yang disyariatkan kepada yang haram.  Definisi Futur Istilah “futur” berasal dari kata al-fatroh. Disebutkan dalam kitab Lisanul Arab : الفَتْرَةُ: الانكسار والضعف “Al-fatroh artinya rusak dan lemah”. Oleh karena itu, futur didefinisikan oleh para ulama sebagai kelemahan setelah sebelumnya kuat. Dalam kitab Lisanul Arab juga disebutkan: يَفْتُر ويَفْتِر فُتُوراً وفُتاراً: سكن بعد حدّة ولانَ بعد شدة “yafturu – yaftiru – futuuron atau futaarron artinya: diam setelah aktif, lembek setelah kuat”.  Disebutkan dalam definisi lain: الفتور هو الكسل، والتراخي، والتباطؤ بعد الجد “Futur adalah malas, suka menunda, atau lambat dalam beramal, padahal sebelumnya semangat” (al-Futur Mazhahir Asbaab wa ‘Ilaj, hal. 22). Intinya, kata kunci dari futur adalah terjadi kelemahan dan kemunduran. Semisal orang yang sebelumnya rajin shalat malam, kemudian tidak rajin lagi, ini juga termasuk futur karena terdapat kemunduran. Yang sebelumnya sering bersedekah lalu menjadi jarang bersedekah, ini juga futur. Maka demikian juga yang dahulunya tidak isbal, lalu menjadi isbal, ini bentuk futur. Karena terjadi kemunduran. Apalagi, jika dahulu istiqomah belajar tentang sunnah-sunnah Nabi dan berusaha mengamalkannya, namun sekarang sudah tidak demikian lagi, ini juga jelas termasuk futur.  ‘Ala kulli haal, futur itu manusiawi. Namun ketika futur, upayakan jangan sampai terlalu jauh futurnya sehingga melewati batasan-batasan syariat. Dan terus berusaha bangkit kembali ke mode semangat. Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: لكلِّ عملٍ شِرَّةٌ ولكلِّ شِرَّةٍ فَترةٌ فمَن كانَت فترتُهُ إلى سنَّتي فقد اهتَدى ومَن كانَت فترتُهُ إلى غيرِ ذلكَ فقَد هلَكَ “Setiap amalan ada masa semangatnya, dan setiap masa semangat ada masa futurnya. Barang siapa yang futurnya di atas sunnahku, maka ia telah mendapatkan petunjuk. Barang siapa yang futurnya bukan di atas sunnahku, maka ia akan binasa” (HR. Ahmad no. 6764, dishahihkan Al-Albani dalam Takhrij Kitabus Sunnah hal.51). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 690 times, 2 visit(s) today Post Views: 1,079 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Ustadz, jika seorang laki-laki dahulu tidak isbal namun sekarang isbal, apakah ini termasuk futur?  Jawaban: Alhamdulillaah, ash-shalaatu wassalaamu ‘ala Rasulillaah, wa ‘ala aalihi wa man waalaah, amma ba’du, Ya benar, itu termasuk futur. Karena walaupun ulama khilaf tentang isbal bukan karena sombong, namun mereka sepakat bahwa tidak isbal itu paling utama.  Maka orang yang dulu tidak isbal dan sekarang isbal, minimalnya ia berubah dari yang paling utama kepada yang kurang utama, menurut sebagian ulama. Bahkan yang rajih, isbal itu hukumnya haram baik dengan disertai kesombongan atau tidak.  Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: ما أَسْفَلَ مِنَ الكَعْبَيْنِ مِنَ الإزَارِ فَفِي النَّارِ “Kain yang panjangnya di bawah mata kaki tempatnya adalah neraka” (HR. Al-Bukhari no.5787) Dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: ثَلاثَةٌ لا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَومَ القِيامَةِ: المَنَّانُ الذي لا يُعْطِي شيئًا إلَّا مَنَّهُ، والْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بالحَلِفِ الفاجِرِ، والْمُسْبِلُ إزارَهُ “Ada tiga jenis manusia yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari Kiamat: Orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian, tidaklah ia memberikan sesuatu kecuali pasti akan mengungkitnya, orang yang melariskan barang dagangannya dengan sumpah palsu, dan orang yang isbal”. (HR. Muslim, no.106). Dalam hadis-hadis di atas, isbal dilarang secara mutlak tanpa dikaitkan dengan kesombongan. Sehingga orang yang dahulu tidak isbal namun sekarang menjadi isbal, ia berubah dari yang disyariatkan kepada yang haram.  Definisi Futur Istilah “futur” berasal dari kata al-fatroh. Disebutkan dalam kitab Lisanul Arab : الفَتْرَةُ: الانكسار والضعف “Al-fatroh artinya rusak dan lemah”. Oleh karena itu, futur didefinisikan oleh para ulama sebagai kelemahan setelah sebelumnya kuat. Dalam kitab Lisanul Arab juga disebutkan: يَفْتُر ويَفْتِر فُتُوراً وفُتاراً: سكن بعد حدّة ولانَ بعد شدة “yafturu – yaftiru – futuuron atau futaarron artinya: diam setelah aktif, lembek setelah kuat”.  Disebutkan dalam definisi lain: الفتور هو الكسل، والتراخي، والتباطؤ بعد الجد “Futur adalah malas, suka menunda, atau lambat dalam beramal, padahal sebelumnya semangat” (al-Futur Mazhahir Asbaab wa ‘Ilaj, hal. 22). Intinya, kata kunci dari futur adalah terjadi kelemahan dan kemunduran. Semisal orang yang sebelumnya rajin shalat malam, kemudian tidak rajin lagi, ini juga termasuk futur karena terdapat kemunduran. Yang sebelumnya sering bersedekah lalu menjadi jarang bersedekah, ini juga futur. Maka demikian juga yang dahulunya tidak isbal, lalu menjadi isbal, ini bentuk futur. Karena terjadi kemunduran. Apalagi, jika dahulu istiqomah belajar tentang sunnah-sunnah Nabi dan berusaha mengamalkannya, namun sekarang sudah tidak demikian lagi, ini juga jelas termasuk futur.  ‘Ala kulli haal, futur itu manusiawi. Namun ketika futur, upayakan jangan sampai terlalu jauh futurnya sehingga melewati batasan-batasan syariat. Dan terus berusaha bangkit kembali ke mode semangat. Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: لكلِّ عملٍ شِرَّةٌ ولكلِّ شِرَّةٍ فَترةٌ فمَن كانَت فترتُهُ إلى سنَّتي فقد اهتَدى ومَن كانَت فترتُهُ إلى غيرِ ذلكَ فقَد هلَكَ “Setiap amalan ada masa semangatnya, dan setiap masa semangat ada masa futurnya. Barang siapa yang futurnya di atas sunnahku, maka ia telah mendapatkan petunjuk. Barang siapa yang futurnya bukan di atas sunnahku, maka ia akan binasa” (HR. Ahmad no. 6764, dishahihkan Al-Albani dalam Takhrij Kitabus Sunnah hal.51). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 690 times, 2 visit(s) today Post Views: 1,079 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Ustadz, jika seorang laki-laki dahulu tidak isbal namun sekarang isbal, apakah ini termasuk futur?  Jawaban: Alhamdulillaah, ash-shalaatu wassalaamu ‘ala Rasulillaah, wa ‘ala aalihi wa man waalaah, amma ba’du, Ya benar, itu termasuk futur. Karena walaupun ulama khilaf tentang isbal bukan karena sombong, namun mereka sepakat bahwa tidak isbal itu paling utama.  Maka orang yang dulu tidak isbal dan sekarang isbal, minimalnya ia berubah dari yang paling utama kepada yang kurang utama, menurut sebagian ulama. Bahkan yang rajih, isbal itu hukumnya haram baik dengan disertai kesombongan atau tidak.  Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: ما أَسْفَلَ مِنَ الكَعْبَيْنِ مِنَ الإزَارِ فَفِي النَّارِ “Kain yang panjangnya di bawah mata kaki tempatnya adalah neraka” (HR. Al-Bukhari no.5787) Dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: ثَلاثَةٌ لا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَومَ القِيامَةِ: المَنَّانُ الذي لا يُعْطِي شيئًا إلَّا مَنَّهُ، والْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بالحَلِفِ الفاجِرِ، والْمُسْبِلُ إزارَهُ “Ada tiga jenis manusia yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari Kiamat: Orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian, tidaklah ia memberikan sesuatu kecuali pasti akan mengungkitnya, orang yang melariskan barang dagangannya dengan sumpah palsu, dan orang yang isbal”. (HR. Muslim, no.106). Dalam hadis-hadis di atas, isbal dilarang secara mutlak tanpa dikaitkan dengan kesombongan. Sehingga orang yang dahulu tidak isbal namun sekarang menjadi isbal, ia berubah dari yang disyariatkan kepada yang haram.  Definisi Futur Istilah “futur” berasal dari kata al-fatroh. Disebutkan dalam kitab Lisanul Arab : الفَتْرَةُ: الانكسار والضعف “Al-fatroh artinya rusak dan lemah”. Oleh karena itu, futur didefinisikan oleh para ulama sebagai kelemahan setelah sebelumnya kuat. Dalam kitab Lisanul Arab juga disebutkan: يَفْتُر ويَفْتِر فُتُوراً وفُتاراً: سكن بعد حدّة ولانَ بعد شدة “yafturu – yaftiru – futuuron atau futaarron artinya: diam setelah aktif, lembek setelah kuat”.  Disebutkan dalam definisi lain: الفتور هو الكسل، والتراخي، والتباطؤ بعد الجد “Futur adalah malas, suka menunda, atau lambat dalam beramal, padahal sebelumnya semangat” (al-Futur Mazhahir Asbaab wa ‘Ilaj, hal. 22). Intinya, kata kunci dari futur adalah terjadi kelemahan dan kemunduran. Semisal orang yang sebelumnya rajin shalat malam, kemudian tidak rajin lagi, ini juga termasuk futur karena terdapat kemunduran. Yang sebelumnya sering bersedekah lalu menjadi jarang bersedekah, ini juga futur. Maka demikian juga yang dahulunya tidak isbal, lalu menjadi isbal, ini bentuk futur. Karena terjadi kemunduran. Apalagi, jika dahulu istiqomah belajar tentang sunnah-sunnah Nabi dan berusaha mengamalkannya, namun sekarang sudah tidak demikian lagi, ini juga jelas termasuk futur.  ‘Ala kulli haal, futur itu manusiawi. Namun ketika futur, upayakan jangan sampai terlalu jauh futurnya sehingga melewati batasan-batasan syariat. Dan terus berusaha bangkit kembali ke mode semangat. Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: لكلِّ عملٍ شِرَّةٌ ولكلِّ شِرَّةٍ فَترةٌ فمَن كانَت فترتُهُ إلى سنَّتي فقد اهتَدى ومَن كانَت فترتُهُ إلى غيرِ ذلكَ فقَد هلَكَ “Setiap amalan ada masa semangatnya, dan setiap masa semangat ada masa futurnya. Barang siapa yang futurnya di atas sunnahku, maka ia telah mendapatkan petunjuk. Barang siapa yang futurnya bukan di atas sunnahku, maka ia akan binasa” (HR. Ahmad no. 6764, dishahihkan Al-Albani dalam Takhrij Kitabus Sunnah hal.51). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 690 times, 2 visit(s) today Post Views: 1,079 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Jangan Bersedih dan Putus Asa karena Takdir Allah Pasti yang Terbaik

Saudaraku, apapun yang kita alami, berbaik sangkalah kepada Allah, jangan berburuk sangka kepada-Nya. Separah apapun rasa sakit dan perih yang kita alami, jangan berburuk sangka kepada Allah. Kita harus selalu meyakini bahwa yang terbaik adalah pilihan Allah Ta’ala. Mengapa demikian? Hal ini karena Allah-lah yang mengetahui masa depan dan hal yang gaib. Allah Ta’ala berfirman, وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya (pula). Dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (QS. Al-An’am: 59) Allah yang Maha mengetahui, sedangkan kita? Bahkan apa yang akan kita alami dalam waktu dekat ini saja kita tidak mengetahuinya. Oleh karena itu, saat kita tertimpa suatu hal yang menyakitkan, maka sebetulnya, yang membuat kita stres adalah karena kita sok tahu. Allah pun telah memperingatkan hal ini dalam firman-Nya, كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216) Jadi, ketika ada sesuatu yang kita tidak inginkan, namun terjadi pada diri kita, yakinlah bahwa itu yang terbaik untuk diri kita. Juga apabila kita memiliki ambisi tertentu dan gagal, maka yakinlah bahwa itu juga yang terbaik untuk diri kita. Apabila ambisi kita itu terwujud, justru itu adalah keburukan buat kita, namun kita tidak mengetahuinya. Dengan kata lain, kita harus meyakini adanya hikmah atas semua yang kita alami. Keyakinan seperti ini adalah di antara sifat hamba Allah yang beriman sebagaimana firman-Nya, الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 191) Orang mukmin meyakini bahwa tidak mungkin Allah menciptakan atau mentakdirkan sesuatu tanpa alasan, hikmah, atau pelajaran yang bisa diambil. Orang mukmin menyadari kebodohannya, sedangkan Allah-lah yang Maha mengetahui. Namun perlu diketahui bahwa hikmah atau pelajaran dari takdir tersebut tidak harus kita ketahui (tersingkap) pada saat kejadian. Kalau semua hikmah tersingkap pada saat musibah terjadi, maka tidak ada syariat yang memerintahkan kita untuk bersabar, kalau kita langsung mengetahui hikmahnya. Adanya nasihat dan arahan untuk bersabar saat menghadapi musibah itu menunjukkan bahwa mayoritas hikmah dari suatu musibah itu tidak kita ketahui pada saat musibah tersebut terjadi. Bisa jadi kita mengetahui hikmahnya satu bulan atau dua bulan yang akan datang, satu tahun atau lima tahun yang akan datang, dan seterusnya. Dan setelah kita mengetahui hikmahnya, kita pun bisa berpikir dan merenung, “Ternyata begini alur kehidupan saya.” Jadi, jangan menjadi manusia “sumbu pendek”, buru-buru protes terhadap takdir Allah, padahal kehidupan ini masih mengalir dan berjalan. Namun, lihat dulu dan sabar, sambil melihat apa yang sekiranya Allah Ta’ala tetapkan untuk kita ke depan, tentunya dengan terus berusaha dengan menempuh sarana-sarana dan mencari solusi yang mubah. Sekali lagi, sabar, tenang, jangan down. Kalau orang-orang non-muslim saja bisa optimis, mengapa kita yang beriman kepada Allah tidak bisa optimis? Belum lagi apabila kita mengingat pahala yang Allah Ta’ala sediakan untuk orang-orang yang sabar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَوَدُّ أَهْلُ العَافِيَةِ يَوْمَ القِيَامَةِ حِينَ يُعْطَى أَهْلُ البَلَاءِ الثَّوَابَ لَوْ أَنَّ جُلُودَهُمْ كَانَتْ قُرِضَتْ فِي الدُّنْيَا بِالمَقَارِيضِ “Pada hari kiamat, ketika orang-orang yang diuji diberi pahala, orang-orang ahlul ‘afiyah menginginkan seandainya kulit-kulit mereka di dunia dipotong-potong dengan gunting.” (HR. Tirmidzi no. 2402, dinilai hasan oleh Al-Albani) Orang-orang ahlul ‘afiyah adalah orang yang hidupnya lancar-lancar saja, kaya, tidak pernah sakit, tidak pernah jatuh, tidak pernah bangkrut, intinya tidak pernah terkena masalah dalam hidupnya. Pada hari kiamat kelak, ketika mereka melihat pahala yang diberikan kepada orang yang hidupnya tertimpa musibah ketika di dunia dan bisa bersabar, maka ahlul ‘afiyah pun berharap kepada Allah Ta’ala agar dia dikembalikan ke dunia, lalu tubuhnya digunting-gunting sehingga cacat dan hancur. Mereka berharap tersiksa di dunia, lalu mereka bisa bersabar, sehingga mereka bisa mendapatkan pahala sebagaimana orang-orang yang mereka lihat ketika di akhirat. Oleh karena itu, jangan berburuk sangka kepada Allah, apapun musibah dan ujian yang kita alami di dunia ini. Baca juga: Jangan Bersedih Jika Dakwah Anda Tidak Diterima *** Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari ceramah Ustadz Muhammad Nuzuk Dzikri hafizhahullah di tautan ini: https://www.youtube.com/watch?v=UooJEvO-iuo Tags: rencana Allahtakdir

Jangan Bersedih dan Putus Asa karena Takdir Allah Pasti yang Terbaik

Saudaraku, apapun yang kita alami, berbaik sangkalah kepada Allah, jangan berburuk sangka kepada-Nya. Separah apapun rasa sakit dan perih yang kita alami, jangan berburuk sangka kepada Allah. Kita harus selalu meyakini bahwa yang terbaik adalah pilihan Allah Ta’ala. Mengapa demikian? Hal ini karena Allah-lah yang mengetahui masa depan dan hal yang gaib. Allah Ta’ala berfirman, وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya (pula). Dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (QS. Al-An’am: 59) Allah yang Maha mengetahui, sedangkan kita? Bahkan apa yang akan kita alami dalam waktu dekat ini saja kita tidak mengetahuinya. Oleh karena itu, saat kita tertimpa suatu hal yang menyakitkan, maka sebetulnya, yang membuat kita stres adalah karena kita sok tahu. Allah pun telah memperingatkan hal ini dalam firman-Nya, كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216) Jadi, ketika ada sesuatu yang kita tidak inginkan, namun terjadi pada diri kita, yakinlah bahwa itu yang terbaik untuk diri kita. Juga apabila kita memiliki ambisi tertentu dan gagal, maka yakinlah bahwa itu juga yang terbaik untuk diri kita. Apabila ambisi kita itu terwujud, justru itu adalah keburukan buat kita, namun kita tidak mengetahuinya. Dengan kata lain, kita harus meyakini adanya hikmah atas semua yang kita alami. Keyakinan seperti ini adalah di antara sifat hamba Allah yang beriman sebagaimana firman-Nya, الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 191) Orang mukmin meyakini bahwa tidak mungkin Allah menciptakan atau mentakdirkan sesuatu tanpa alasan, hikmah, atau pelajaran yang bisa diambil. Orang mukmin menyadari kebodohannya, sedangkan Allah-lah yang Maha mengetahui. Namun perlu diketahui bahwa hikmah atau pelajaran dari takdir tersebut tidak harus kita ketahui (tersingkap) pada saat kejadian. Kalau semua hikmah tersingkap pada saat musibah terjadi, maka tidak ada syariat yang memerintahkan kita untuk bersabar, kalau kita langsung mengetahui hikmahnya. Adanya nasihat dan arahan untuk bersabar saat menghadapi musibah itu menunjukkan bahwa mayoritas hikmah dari suatu musibah itu tidak kita ketahui pada saat musibah tersebut terjadi. Bisa jadi kita mengetahui hikmahnya satu bulan atau dua bulan yang akan datang, satu tahun atau lima tahun yang akan datang, dan seterusnya. Dan setelah kita mengetahui hikmahnya, kita pun bisa berpikir dan merenung, “Ternyata begini alur kehidupan saya.” Jadi, jangan menjadi manusia “sumbu pendek”, buru-buru protes terhadap takdir Allah, padahal kehidupan ini masih mengalir dan berjalan. Namun, lihat dulu dan sabar, sambil melihat apa yang sekiranya Allah Ta’ala tetapkan untuk kita ke depan, tentunya dengan terus berusaha dengan menempuh sarana-sarana dan mencari solusi yang mubah. Sekali lagi, sabar, tenang, jangan down. Kalau orang-orang non-muslim saja bisa optimis, mengapa kita yang beriman kepada Allah tidak bisa optimis? Belum lagi apabila kita mengingat pahala yang Allah Ta’ala sediakan untuk orang-orang yang sabar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَوَدُّ أَهْلُ العَافِيَةِ يَوْمَ القِيَامَةِ حِينَ يُعْطَى أَهْلُ البَلَاءِ الثَّوَابَ لَوْ أَنَّ جُلُودَهُمْ كَانَتْ قُرِضَتْ فِي الدُّنْيَا بِالمَقَارِيضِ “Pada hari kiamat, ketika orang-orang yang diuji diberi pahala, orang-orang ahlul ‘afiyah menginginkan seandainya kulit-kulit mereka di dunia dipotong-potong dengan gunting.” (HR. Tirmidzi no. 2402, dinilai hasan oleh Al-Albani) Orang-orang ahlul ‘afiyah adalah orang yang hidupnya lancar-lancar saja, kaya, tidak pernah sakit, tidak pernah jatuh, tidak pernah bangkrut, intinya tidak pernah terkena masalah dalam hidupnya. Pada hari kiamat kelak, ketika mereka melihat pahala yang diberikan kepada orang yang hidupnya tertimpa musibah ketika di dunia dan bisa bersabar, maka ahlul ‘afiyah pun berharap kepada Allah Ta’ala agar dia dikembalikan ke dunia, lalu tubuhnya digunting-gunting sehingga cacat dan hancur. Mereka berharap tersiksa di dunia, lalu mereka bisa bersabar, sehingga mereka bisa mendapatkan pahala sebagaimana orang-orang yang mereka lihat ketika di akhirat. Oleh karena itu, jangan berburuk sangka kepada Allah, apapun musibah dan ujian yang kita alami di dunia ini. Baca juga: Jangan Bersedih Jika Dakwah Anda Tidak Diterima *** Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari ceramah Ustadz Muhammad Nuzuk Dzikri hafizhahullah di tautan ini: https://www.youtube.com/watch?v=UooJEvO-iuo Tags: rencana Allahtakdir
Saudaraku, apapun yang kita alami, berbaik sangkalah kepada Allah, jangan berburuk sangka kepada-Nya. Separah apapun rasa sakit dan perih yang kita alami, jangan berburuk sangka kepada Allah. Kita harus selalu meyakini bahwa yang terbaik adalah pilihan Allah Ta’ala. Mengapa demikian? Hal ini karena Allah-lah yang mengetahui masa depan dan hal yang gaib. Allah Ta’ala berfirman, وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya (pula). Dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (QS. Al-An’am: 59) Allah yang Maha mengetahui, sedangkan kita? Bahkan apa yang akan kita alami dalam waktu dekat ini saja kita tidak mengetahuinya. Oleh karena itu, saat kita tertimpa suatu hal yang menyakitkan, maka sebetulnya, yang membuat kita stres adalah karena kita sok tahu. Allah pun telah memperingatkan hal ini dalam firman-Nya, كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216) Jadi, ketika ada sesuatu yang kita tidak inginkan, namun terjadi pada diri kita, yakinlah bahwa itu yang terbaik untuk diri kita. Juga apabila kita memiliki ambisi tertentu dan gagal, maka yakinlah bahwa itu juga yang terbaik untuk diri kita. Apabila ambisi kita itu terwujud, justru itu adalah keburukan buat kita, namun kita tidak mengetahuinya. Dengan kata lain, kita harus meyakini adanya hikmah atas semua yang kita alami. Keyakinan seperti ini adalah di antara sifat hamba Allah yang beriman sebagaimana firman-Nya, الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 191) Orang mukmin meyakini bahwa tidak mungkin Allah menciptakan atau mentakdirkan sesuatu tanpa alasan, hikmah, atau pelajaran yang bisa diambil. Orang mukmin menyadari kebodohannya, sedangkan Allah-lah yang Maha mengetahui. Namun perlu diketahui bahwa hikmah atau pelajaran dari takdir tersebut tidak harus kita ketahui (tersingkap) pada saat kejadian. Kalau semua hikmah tersingkap pada saat musibah terjadi, maka tidak ada syariat yang memerintahkan kita untuk bersabar, kalau kita langsung mengetahui hikmahnya. Adanya nasihat dan arahan untuk bersabar saat menghadapi musibah itu menunjukkan bahwa mayoritas hikmah dari suatu musibah itu tidak kita ketahui pada saat musibah tersebut terjadi. Bisa jadi kita mengetahui hikmahnya satu bulan atau dua bulan yang akan datang, satu tahun atau lima tahun yang akan datang, dan seterusnya. Dan setelah kita mengetahui hikmahnya, kita pun bisa berpikir dan merenung, “Ternyata begini alur kehidupan saya.” Jadi, jangan menjadi manusia “sumbu pendek”, buru-buru protes terhadap takdir Allah, padahal kehidupan ini masih mengalir dan berjalan. Namun, lihat dulu dan sabar, sambil melihat apa yang sekiranya Allah Ta’ala tetapkan untuk kita ke depan, tentunya dengan terus berusaha dengan menempuh sarana-sarana dan mencari solusi yang mubah. Sekali lagi, sabar, tenang, jangan down. Kalau orang-orang non-muslim saja bisa optimis, mengapa kita yang beriman kepada Allah tidak bisa optimis? Belum lagi apabila kita mengingat pahala yang Allah Ta’ala sediakan untuk orang-orang yang sabar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَوَدُّ أَهْلُ العَافِيَةِ يَوْمَ القِيَامَةِ حِينَ يُعْطَى أَهْلُ البَلَاءِ الثَّوَابَ لَوْ أَنَّ جُلُودَهُمْ كَانَتْ قُرِضَتْ فِي الدُّنْيَا بِالمَقَارِيضِ “Pada hari kiamat, ketika orang-orang yang diuji diberi pahala, orang-orang ahlul ‘afiyah menginginkan seandainya kulit-kulit mereka di dunia dipotong-potong dengan gunting.” (HR. Tirmidzi no. 2402, dinilai hasan oleh Al-Albani) Orang-orang ahlul ‘afiyah adalah orang yang hidupnya lancar-lancar saja, kaya, tidak pernah sakit, tidak pernah jatuh, tidak pernah bangkrut, intinya tidak pernah terkena masalah dalam hidupnya. Pada hari kiamat kelak, ketika mereka melihat pahala yang diberikan kepada orang yang hidupnya tertimpa musibah ketika di dunia dan bisa bersabar, maka ahlul ‘afiyah pun berharap kepada Allah Ta’ala agar dia dikembalikan ke dunia, lalu tubuhnya digunting-gunting sehingga cacat dan hancur. Mereka berharap tersiksa di dunia, lalu mereka bisa bersabar, sehingga mereka bisa mendapatkan pahala sebagaimana orang-orang yang mereka lihat ketika di akhirat. Oleh karena itu, jangan berburuk sangka kepada Allah, apapun musibah dan ujian yang kita alami di dunia ini. Baca juga: Jangan Bersedih Jika Dakwah Anda Tidak Diterima *** Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari ceramah Ustadz Muhammad Nuzuk Dzikri hafizhahullah di tautan ini: https://www.youtube.com/watch?v=UooJEvO-iuo Tags: rencana Allahtakdir


Saudaraku, apapun yang kita alami, berbaik sangkalah kepada Allah, jangan berburuk sangka kepada-Nya. Separah apapun rasa sakit dan perih yang kita alami, jangan berburuk sangka kepada Allah. Kita harus selalu meyakini bahwa yang terbaik adalah pilihan Allah Ta’ala. Mengapa demikian? Hal ini karena Allah-lah yang mengetahui masa depan dan hal yang gaib. Allah Ta’ala berfirman, وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya (pula). Dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (QS. Al-An’am: 59) Allah yang Maha mengetahui, sedangkan kita? Bahkan apa yang akan kita alami dalam waktu dekat ini saja kita tidak mengetahuinya. Oleh karena itu, saat kita tertimpa suatu hal yang menyakitkan, maka sebetulnya, yang membuat kita stres adalah karena kita sok tahu. Allah pun telah memperingatkan hal ini dalam firman-Nya, كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216) Jadi, ketika ada sesuatu yang kita tidak inginkan, namun terjadi pada diri kita, yakinlah bahwa itu yang terbaik untuk diri kita. Juga apabila kita memiliki ambisi tertentu dan gagal, maka yakinlah bahwa itu juga yang terbaik untuk diri kita. Apabila ambisi kita itu terwujud, justru itu adalah keburukan buat kita, namun kita tidak mengetahuinya. Dengan kata lain, kita harus meyakini adanya hikmah atas semua yang kita alami. Keyakinan seperti ini adalah di antara sifat hamba Allah yang beriman sebagaimana firman-Nya, الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 191) Orang mukmin meyakini bahwa tidak mungkin Allah menciptakan atau mentakdirkan sesuatu tanpa alasan, hikmah, atau pelajaran yang bisa diambil. Orang mukmin menyadari kebodohannya, sedangkan Allah-lah yang Maha mengetahui. Namun perlu diketahui bahwa hikmah atau pelajaran dari takdir tersebut tidak harus kita ketahui (tersingkap) pada saat kejadian. Kalau semua hikmah tersingkap pada saat musibah terjadi, maka tidak ada syariat yang memerintahkan kita untuk bersabar, kalau kita langsung mengetahui hikmahnya. Adanya nasihat dan arahan untuk bersabar saat menghadapi musibah itu menunjukkan bahwa mayoritas hikmah dari suatu musibah itu tidak kita ketahui pada saat musibah tersebut terjadi. Bisa jadi kita mengetahui hikmahnya satu bulan atau dua bulan yang akan datang, satu tahun atau lima tahun yang akan datang, dan seterusnya. Dan setelah kita mengetahui hikmahnya, kita pun bisa berpikir dan merenung, “Ternyata begini alur kehidupan saya.” Jadi, jangan menjadi manusia “sumbu pendek”, buru-buru protes terhadap takdir Allah, padahal kehidupan ini masih mengalir dan berjalan. Namun, lihat dulu dan sabar, sambil melihat apa yang sekiranya Allah Ta’ala tetapkan untuk kita ke depan, tentunya dengan terus berusaha dengan menempuh sarana-sarana dan mencari solusi yang mubah. Sekali lagi, sabar, tenang, jangan down. Kalau orang-orang non-muslim saja bisa optimis, mengapa kita yang beriman kepada Allah tidak bisa optimis? Belum lagi apabila kita mengingat pahala yang Allah Ta’ala sediakan untuk orang-orang yang sabar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَوَدُّ أَهْلُ العَافِيَةِ يَوْمَ القِيَامَةِ حِينَ يُعْطَى أَهْلُ البَلَاءِ الثَّوَابَ لَوْ أَنَّ جُلُودَهُمْ كَانَتْ قُرِضَتْ فِي الدُّنْيَا بِالمَقَارِيضِ “Pada hari kiamat, ketika orang-orang yang diuji diberi pahala, orang-orang ahlul ‘afiyah menginginkan seandainya kulit-kulit mereka di dunia dipotong-potong dengan gunting.” (HR. Tirmidzi no. 2402, dinilai hasan oleh Al-Albani) Orang-orang ahlul ‘afiyah adalah orang yang hidupnya lancar-lancar saja, kaya, tidak pernah sakit, tidak pernah jatuh, tidak pernah bangkrut, intinya tidak pernah terkena masalah dalam hidupnya. Pada hari kiamat kelak, ketika mereka melihat pahala yang diberikan kepada orang yang hidupnya tertimpa musibah ketika di dunia dan bisa bersabar, maka ahlul ‘afiyah pun berharap kepada Allah Ta’ala agar dia dikembalikan ke dunia, lalu tubuhnya digunting-gunting sehingga cacat dan hancur. Mereka berharap tersiksa di dunia, lalu mereka bisa bersabar, sehingga mereka bisa mendapatkan pahala sebagaimana orang-orang yang mereka lihat ketika di akhirat. Oleh karena itu, jangan berburuk sangka kepada Allah, apapun musibah dan ujian yang kita alami di dunia ini. Baca juga: Jangan Bersedih Jika Dakwah Anda Tidak Diterima *** Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari ceramah Ustadz Muhammad Nuzuk Dzikri hafizhahullah di tautan ini: https://www.youtube.com/watch?v=UooJEvO-iuo Tags: rencana Allahtakdir

“Jin Khadam” dalam Syariat Islam

Daftar Isi Toggle Beda Jin Khadam dengan Jin QarinHukum Mencari dan Mempunyai KhadamNabi  shallallahu ‘alaihi wasallam Saja Tidak Punya KhadamPertama, manusia yang berhak mengendalikan jin hanya Nabi SulaimanKedua, ketika perang, Nabi tidak pernah menggunakan bantuan jin atau ilmu kebal Khadam dalam bahasa Arab berasal dari kata khadim  ‘خادم’ yang bermakna pembantu atau pelayan. Sedangkan istilah khadam untuk bangsa Jin, yaitu makhluk gaib (jin) yang bertugas melindungi dan membantu orang tertentu. (Lihat Fatawa Al-‘Ulama’ fi ‘Ilaj Al-Sihr wa Al-Massi wa Al-‘Ayn wa Al-Janni, hal. 112) Beda Jin Khadam dengan Jin Qarin Jin Qarin adalah jin yang diutus untuk mendampingi manusia sejak ia dilahirkan ke muka bumi. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَقَدْ وُكِّلَ بِهِ قَرِينُهُ مِنَ الْجِنِّ، وَقَرِينُهُ مِنَ الْمَلَائِكَةِ “Setiap kalian (manusia) ada Qarin (pendamping) dari bangsa jin, dan juga Qarin dari bangsa malaikat.” (HR. Ahmad, no. 3648) Dari hadis di atas dapat kita ketahui bahwa setiap manusia mempunyai dua qarin dari kalangan malaikat dan jin. Qarin dari bangsa malaikat senantiasa mengajak kepada kebaikan, sedangkan Qarin dari bangsa jin menjerumuskan kepada kesesatan dan keburukan. (Lihat Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 19:447 dan Al-Bidayah wa Al-Nihayah, 1:52) Begitu pula, Nabi  shalallahu ‘alaihi wasallam juga memiliki Qarin sebagaimana sabda beliau, مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ، إِلَّا وَقَدْ وُكِّلَ بِهِ قَرِينُهُ مِنَ الْجِنِّ. قَالُوا: وَإِيَّاكَ؟ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: وَإِيَّايَ، إِلَّا أَنَّ اللهَ أَعَانَنِي عَلَيْهِ فَأَسْلَمَ، فَلَا يَأْمُرُنِي إِلَّا بِخَيْرٍ “Tidaklah salah seorang dari kalian, kecuali didampingi Qarinnya dari bangsa jin.” Para sahabat bertanya, “Termasuk Engkau, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ya, termasuk aku. Hanya Allah telah menolongku atasnya sehingga dia tunduk dan dia tidak memerintahku, kecuali kebaikan.” (HR. Muslim, no. 2814) Hukum Mencari dan Mempunyai Khadam Dalam syariat Islam, tidak diperbolehkan seorang muslim meminta bantuan atau perlindungan dari golongan jin, meskipun dengan alasan kebaikan. Allah Ta’ala berfirman, وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. Al Jin: 6) Dalam ayat yang lain, وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَٰمَعْشَرَ ٱلْجِنِّ قَدِ ٱسْتَكْثَرْتُم مِّنَ ٱلْإِنسِ ۖ وَقَالَ أَوْلِيَآؤُهُم مِّنَ ٱلْإِنسِ رَبَّنَا ٱسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَآ أَجَلَنَا ٱلَّذِىٓ أَجَّلْتَ لَنَا ۚ قَالَ ٱلنَّارُ مَثْوَىٰكُمْ خَٰلِدِينَ فِيهَآ إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُ ۗ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ “Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya (dan Allah berfirman), “Hai golongan jin, sesungguhnya kamu telah banyak menyesatkan manusia.” Lalu, berkatalah kawan-kawan meraka dari golongan manusia, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya sebagian daripada kami telah dapat kesenangan dari sebagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami.” Allah berfirman, “Neraka itulah tempat diam kamu, sedang kamu kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain).” Sesungguhnya Tuhanmu Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 128) Dari ayat tersebut, jin dan manusia dapat saling memberi kesenangan (manfaat). Jin menyenangkan manusia, maksudnya ia dapat membantu menjaga dan memenuhi keperluan manusia. Sebaliknya, manusia menyenangkan jin maksudnya manusia akan tunduk terhadap persyaratan, bahkan penghambaan kepada jin agar terpenuhi hajatnya. Itulah kesesatan yang menyebabkan mereka masuk ke dalam neraka. Baca juga: Takut Mati adalah Gangguan Jin? Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam Saja Tidak Punya Khadam Pertama, manusia yang berhak mengendalikan jin hanya Nabi Sulaiman Nabi Sulaiman ‘alaihissalam pernah berdoa, قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kekuasaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun sesudahku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemberi (anugerah).” (QS. Shad: 35) Oleh karenanya, tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengimami salat, beliau melakukan gerakan yang berbeda di luar kebiasaannya. Pagi harinya, beliau menceritakan, إِنَّ عِفْرِيتًا مِنَ الجِنِّ تَفَلَّتَ عَلَيَّ البَارِحَةَ لِيَقْطَعَ عَلَيَّ الصَّلاَةَ، فَأَمْكَنَنِي اللَّهُ مِنْهُ، فَأَرَدْتُ أَنْ أَرْبِطَهُ إِلَى سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي المَسْجِدِ حَتَّى تُصْبِحُوا وَتَنْظُرُوا إِلَيْهِ كُلُّكُمْ، فَذَكَرْتُ قَوْلَ أَخِي سُلَيْمَانَ: رَبِّ هَبْ لِي مُلْكًا لاَ يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي فَرَدَّهُ خَاسِئًا “Sesungguhnya jin ifrit menampakkan diri kepadaku tadi malam, untuk mengganggu salatku. Kemudian Allah memberikan kemampuan kepadaku untuk memegangnya. Aku ingin untuk mengikatnya di salah satu tiang masjid, sehingga pagi harinya kalian semua bisa melihatnya.” Namun, saya teringat doa saudaraku Sulaiman, ‘Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kekuasaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun sesudahku.’ Kemudian beliau melepaskan jin itu dalam keadaan terhina.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua, ketika perang, Nabi tidak pernah menggunakan bantuan jin atau ilmu kebal Jikalau bersekutu dan meminta bantuan jin dengan ilmu kebal itu diperbolehkan, lantas mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya saat perang tidak pernah menggunakan ilmu kebal? Bahkan, banyak sahabat yang terluka dan mati syahid, sampai-sampai Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam pernah terluka dan tanggal (copot) gigi geraham beliau terkena senjata lawan. Semoga kita terhindar dari segala macam bentuk kesyirikan yang merupakan puncak dari segala dosa. Baca juga: Jin Ifrit adalah Jin yang Buruk lagi Keji *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id Tags: jinkhadam

“Jin Khadam” dalam Syariat Islam

Daftar Isi Toggle Beda Jin Khadam dengan Jin QarinHukum Mencari dan Mempunyai KhadamNabi  shallallahu ‘alaihi wasallam Saja Tidak Punya KhadamPertama, manusia yang berhak mengendalikan jin hanya Nabi SulaimanKedua, ketika perang, Nabi tidak pernah menggunakan bantuan jin atau ilmu kebal Khadam dalam bahasa Arab berasal dari kata khadim  ‘خادم’ yang bermakna pembantu atau pelayan. Sedangkan istilah khadam untuk bangsa Jin, yaitu makhluk gaib (jin) yang bertugas melindungi dan membantu orang tertentu. (Lihat Fatawa Al-‘Ulama’ fi ‘Ilaj Al-Sihr wa Al-Massi wa Al-‘Ayn wa Al-Janni, hal. 112) Beda Jin Khadam dengan Jin Qarin Jin Qarin adalah jin yang diutus untuk mendampingi manusia sejak ia dilahirkan ke muka bumi. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَقَدْ وُكِّلَ بِهِ قَرِينُهُ مِنَ الْجِنِّ، وَقَرِينُهُ مِنَ الْمَلَائِكَةِ “Setiap kalian (manusia) ada Qarin (pendamping) dari bangsa jin, dan juga Qarin dari bangsa malaikat.” (HR. Ahmad, no. 3648) Dari hadis di atas dapat kita ketahui bahwa setiap manusia mempunyai dua qarin dari kalangan malaikat dan jin. Qarin dari bangsa malaikat senantiasa mengajak kepada kebaikan, sedangkan Qarin dari bangsa jin menjerumuskan kepada kesesatan dan keburukan. (Lihat Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 19:447 dan Al-Bidayah wa Al-Nihayah, 1:52) Begitu pula, Nabi  shalallahu ‘alaihi wasallam juga memiliki Qarin sebagaimana sabda beliau, مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ، إِلَّا وَقَدْ وُكِّلَ بِهِ قَرِينُهُ مِنَ الْجِنِّ. قَالُوا: وَإِيَّاكَ؟ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: وَإِيَّايَ، إِلَّا أَنَّ اللهَ أَعَانَنِي عَلَيْهِ فَأَسْلَمَ، فَلَا يَأْمُرُنِي إِلَّا بِخَيْرٍ “Tidaklah salah seorang dari kalian, kecuali didampingi Qarinnya dari bangsa jin.” Para sahabat bertanya, “Termasuk Engkau, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ya, termasuk aku. Hanya Allah telah menolongku atasnya sehingga dia tunduk dan dia tidak memerintahku, kecuali kebaikan.” (HR. Muslim, no. 2814) Hukum Mencari dan Mempunyai Khadam Dalam syariat Islam, tidak diperbolehkan seorang muslim meminta bantuan atau perlindungan dari golongan jin, meskipun dengan alasan kebaikan. Allah Ta’ala berfirman, وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. Al Jin: 6) Dalam ayat yang lain, وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَٰمَعْشَرَ ٱلْجِنِّ قَدِ ٱسْتَكْثَرْتُم مِّنَ ٱلْإِنسِ ۖ وَقَالَ أَوْلِيَآؤُهُم مِّنَ ٱلْإِنسِ رَبَّنَا ٱسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَآ أَجَلَنَا ٱلَّذِىٓ أَجَّلْتَ لَنَا ۚ قَالَ ٱلنَّارُ مَثْوَىٰكُمْ خَٰلِدِينَ فِيهَآ إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُ ۗ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ “Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya (dan Allah berfirman), “Hai golongan jin, sesungguhnya kamu telah banyak menyesatkan manusia.” Lalu, berkatalah kawan-kawan meraka dari golongan manusia, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya sebagian daripada kami telah dapat kesenangan dari sebagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami.” Allah berfirman, “Neraka itulah tempat diam kamu, sedang kamu kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain).” Sesungguhnya Tuhanmu Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 128) Dari ayat tersebut, jin dan manusia dapat saling memberi kesenangan (manfaat). Jin menyenangkan manusia, maksudnya ia dapat membantu menjaga dan memenuhi keperluan manusia. Sebaliknya, manusia menyenangkan jin maksudnya manusia akan tunduk terhadap persyaratan, bahkan penghambaan kepada jin agar terpenuhi hajatnya. Itulah kesesatan yang menyebabkan mereka masuk ke dalam neraka. Baca juga: Takut Mati adalah Gangguan Jin? Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam Saja Tidak Punya Khadam Pertama, manusia yang berhak mengendalikan jin hanya Nabi Sulaiman Nabi Sulaiman ‘alaihissalam pernah berdoa, قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kekuasaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun sesudahku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemberi (anugerah).” (QS. Shad: 35) Oleh karenanya, tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengimami salat, beliau melakukan gerakan yang berbeda di luar kebiasaannya. Pagi harinya, beliau menceritakan, إِنَّ عِفْرِيتًا مِنَ الجِنِّ تَفَلَّتَ عَلَيَّ البَارِحَةَ لِيَقْطَعَ عَلَيَّ الصَّلاَةَ، فَأَمْكَنَنِي اللَّهُ مِنْهُ، فَأَرَدْتُ أَنْ أَرْبِطَهُ إِلَى سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي المَسْجِدِ حَتَّى تُصْبِحُوا وَتَنْظُرُوا إِلَيْهِ كُلُّكُمْ، فَذَكَرْتُ قَوْلَ أَخِي سُلَيْمَانَ: رَبِّ هَبْ لِي مُلْكًا لاَ يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي فَرَدَّهُ خَاسِئًا “Sesungguhnya jin ifrit menampakkan diri kepadaku tadi malam, untuk mengganggu salatku. Kemudian Allah memberikan kemampuan kepadaku untuk memegangnya. Aku ingin untuk mengikatnya di salah satu tiang masjid, sehingga pagi harinya kalian semua bisa melihatnya.” Namun, saya teringat doa saudaraku Sulaiman, ‘Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kekuasaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun sesudahku.’ Kemudian beliau melepaskan jin itu dalam keadaan terhina.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua, ketika perang, Nabi tidak pernah menggunakan bantuan jin atau ilmu kebal Jikalau bersekutu dan meminta bantuan jin dengan ilmu kebal itu diperbolehkan, lantas mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya saat perang tidak pernah menggunakan ilmu kebal? Bahkan, banyak sahabat yang terluka dan mati syahid, sampai-sampai Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam pernah terluka dan tanggal (copot) gigi geraham beliau terkena senjata lawan. Semoga kita terhindar dari segala macam bentuk kesyirikan yang merupakan puncak dari segala dosa. Baca juga: Jin Ifrit adalah Jin yang Buruk lagi Keji *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id Tags: jinkhadam
Daftar Isi Toggle Beda Jin Khadam dengan Jin QarinHukum Mencari dan Mempunyai KhadamNabi  shallallahu ‘alaihi wasallam Saja Tidak Punya KhadamPertama, manusia yang berhak mengendalikan jin hanya Nabi SulaimanKedua, ketika perang, Nabi tidak pernah menggunakan bantuan jin atau ilmu kebal Khadam dalam bahasa Arab berasal dari kata khadim  ‘خادم’ yang bermakna pembantu atau pelayan. Sedangkan istilah khadam untuk bangsa Jin, yaitu makhluk gaib (jin) yang bertugas melindungi dan membantu orang tertentu. (Lihat Fatawa Al-‘Ulama’ fi ‘Ilaj Al-Sihr wa Al-Massi wa Al-‘Ayn wa Al-Janni, hal. 112) Beda Jin Khadam dengan Jin Qarin Jin Qarin adalah jin yang diutus untuk mendampingi manusia sejak ia dilahirkan ke muka bumi. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَقَدْ وُكِّلَ بِهِ قَرِينُهُ مِنَ الْجِنِّ، وَقَرِينُهُ مِنَ الْمَلَائِكَةِ “Setiap kalian (manusia) ada Qarin (pendamping) dari bangsa jin, dan juga Qarin dari bangsa malaikat.” (HR. Ahmad, no. 3648) Dari hadis di atas dapat kita ketahui bahwa setiap manusia mempunyai dua qarin dari kalangan malaikat dan jin. Qarin dari bangsa malaikat senantiasa mengajak kepada kebaikan, sedangkan Qarin dari bangsa jin menjerumuskan kepada kesesatan dan keburukan. (Lihat Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 19:447 dan Al-Bidayah wa Al-Nihayah, 1:52) Begitu pula, Nabi  shalallahu ‘alaihi wasallam juga memiliki Qarin sebagaimana sabda beliau, مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ، إِلَّا وَقَدْ وُكِّلَ بِهِ قَرِينُهُ مِنَ الْجِنِّ. قَالُوا: وَإِيَّاكَ؟ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: وَإِيَّايَ، إِلَّا أَنَّ اللهَ أَعَانَنِي عَلَيْهِ فَأَسْلَمَ، فَلَا يَأْمُرُنِي إِلَّا بِخَيْرٍ “Tidaklah salah seorang dari kalian, kecuali didampingi Qarinnya dari bangsa jin.” Para sahabat bertanya, “Termasuk Engkau, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ya, termasuk aku. Hanya Allah telah menolongku atasnya sehingga dia tunduk dan dia tidak memerintahku, kecuali kebaikan.” (HR. Muslim, no. 2814) Hukum Mencari dan Mempunyai Khadam Dalam syariat Islam, tidak diperbolehkan seorang muslim meminta bantuan atau perlindungan dari golongan jin, meskipun dengan alasan kebaikan. Allah Ta’ala berfirman, وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. Al Jin: 6) Dalam ayat yang lain, وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَٰمَعْشَرَ ٱلْجِنِّ قَدِ ٱسْتَكْثَرْتُم مِّنَ ٱلْإِنسِ ۖ وَقَالَ أَوْلِيَآؤُهُم مِّنَ ٱلْإِنسِ رَبَّنَا ٱسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَآ أَجَلَنَا ٱلَّذِىٓ أَجَّلْتَ لَنَا ۚ قَالَ ٱلنَّارُ مَثْوَىٰكُمْ خَٰلِدِينَ فِيهَآ إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُ ۗ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ “Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya (dan Allah berfirman), “Hai golongan jin, sesungguhnya kamu telah banyak menyesatkan manusia.” Lalu, berkatalah kawan-kawan meraka dari golongan manusia, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya sebagian daripada kami telah dapat kesenangan dari sebagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami.” Allah berfirman, “Neraka itulah tempat diam kamu, sedang kamu kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain).” Sesungguhnya Tuhanmu Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 128) Dari ayat tersebut, jin dan manusia dapat saling memberi kesenangan (manfaat). Jin menyenangkan manusia, maksudnya ia dapat membantu menjaga dan memenuhi keperluan manusia. Sebaliknya, manusia menyenangkan jin maksudnya manusia akan tunduk terhadap persyaratan, bahkan penghambaan kepada jin agar terpenuhi hajatnya. Itulah kesesatan yang menyebabkan mereka masuk ke dalam neraka. Baca juga: Takut Mati adalah Gangguan Jin? Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam Saja Tidak Punya Khadam Pertama, manusia yang berhak mengendalikan jin hanya Nabi Sulaiman Nabi Sulaiman ‘alaihissalam pernah berdoa, قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kekuasaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun sesudahku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemberi (anugerah).” (QS. Shad: 35) Oleh karenanya, tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengimami salat, beliau melakukan gerakan yang berbeda di luar kebiasaannya. Pagi harinya, beliau menceritakan, إِنَّ عِفْرِيتًا مِنَ الجِنِّ تَفَلَّتَ عَلَيَّ البَارِحَةَ لِيَقْطَعَ عَلَيَّ الصَّلاَةَ، فَأَمْكَنَنِي اللَّهُ مِنْهُ، فَأَرَدْتُ أَنْ أَرْبِطَهُ إِلَى سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي المَسْجِدِ حَتَّى تُصْبِحُوا وَتَنْظُرُوا إِلَيْهِ كُلُّكُمْ، فَذَكَرْتُ قَوْلَ أَخِي سُلَيْمَانَ: رَبِّ هَبْ لِي مُلْكًا لاَ يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي فَرَدَّهُ خَاسِئًا “Sesungguhnya jin ifrit menampakkan diri kepadaku tadi malam, untuk mengganggu salatku. Kemudian Allah memberikan kemampuan kepadaku untuk memegangnya. Aku ingin untuk mengikatnya di salah satu tiang masjid, sehingga pagi harinya kalian semua bisa melihatnya.” Namun, saya teringat doa saudaraku Sulaiman, ‘Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kekuasaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun sesudahku.’ Kemudian beliau melepaskan jin itu dalam keadaan terhina.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua, ketika perang, Nabi tidak pernah menggunakan bantuan jin atau ilmu kebal Jikalau bersekutu dan meminta bantuan jin dengan ilmu kebal itu diperbolehkan, lantas mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya saat perang tidak pernah menggunakan ilmu kebal? Bahkan, banyak sahabat yang terluka dan mati syahid, sampai-sampai Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam pernah terluka dan tanggal (copot) gigi geraham beliau terkena senjata lawan. Semoga kita terhindar dari segala macam bentuk kesyirikan yang merupakan puncak dari segala dosa. Baca juga: Jin Ifrit adalah Jin yang Buruk lagi Keji *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id Tags: jinkhadam


Daftar Isi Toggle Beda Jin Khadam dengan Jin QarinHukum Mencari dan Mempunyai KhadamNabi  shallallahu ‘alaihi wasallam Saja Tidak Punya KhadamPertama, manusia yang berhak mengendalikan jin hanya Nabi SulaimanKedua, ketika perang, Nabi tidak pernah menggunakan bantuan jin atau ilmu kebal Khadam dalam bahasa Arab berasal dari kata khadim  ‘خادم’ yang bermakna pembantu atau pelayan. Sedangkan istilah khadam untuk bangsa Jin, yaitu makhluk gaib (jin) yang bertugas melindungi dan membantu orang tertentu. (Lihat Fatawa Al-‘Ulama’ fi ‘Ilaj Al-Sihr wa Al-Massi wa Al-‘Ayn wa Al-Janni, hal. 112) Beda Jin Khadam dengan Jin Qarin Jin Qarin adalah jin yang diutus untuk mendampingi manusia sejak ia dilahirkan ke muka bumi. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَقَدْ وُكِّلَ بِهِ قَرِينُهُ مِنَ الْجِنِّ، وَقَرِينُهُ مِنَ الْمَلَائِكَةِ “Setiap kalian (manusia) ada Qarin (pendamping) dari bangsa jin, dan juga Qarin dari bangsa malaikat.” (HR. Ahmad, no. 3648) Dari hadis di atas dapat kita ketahui bahwa setiap manusia mempunyai dua qarin dari kalangan malaikat dan jin. Qarin dari bangsa malaikat senantiasa mengajak kepada kebaikan, sedangkan Qarin dari bangsa jin menjerumuskan kepada kesesatan dan keburukan. (Lihat Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 19:447 dan Al-Bidayah wa Al-Nihayah, 1:52) Begitu pula, Nabi  shalallahu ‘alaihi wasallam juga memiliki Qarin sebagaimana sabda beliau, مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ، إِلَّا وَقَدْ وُكِّلَ بِهِ قَرِينُهُ مِنَ الْجِنِّ. قَالُوا: وَإِيَّاكَ؟ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: وَإِيَّايَ، إِلَّا أَنَّ اللهَ أَعَانَنِي عَلَيْهِ فَأَسْلَمَ، فَلَا يَأْمُرُنِي إِلَّا بِخَيْرٍ “Tidaklah salah seorang dari kalian, kecuali didampingi Qarinnya dari bangsa jin.” Para sahabat bertanya, “Termasuk Engkau, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ya, termasuk aku. Hanya Allah telah menolongku atasnya sehingga dia tunduk dan dia tidak memerintahku, kecuali kebaikan.” (HR. Muslim, no. 2814) Hukum Mencari dan Mempunyai Khadam Dalam syariat Islam, tidak diperbolehkan seorang muslim meminta bantuan atau perlindungan dari golongan jin, meskipun dengan alasan kebaikan. Allah Ta’ala berfirman, وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. Al Jin: 6) Dalam ayat yang lain, وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَٰمَعْشَرَ ٱلْجِنِّ قَدِ ٱسْتَكْثَرْتُم مِّنَ ٱلْإِنسِ ۖ وَقَالَ أَوْلِيَآؤُهُم مِّنَ ٱلْإِنسِ رَبَّنَا ٱسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَآ أَجَلَنَا ٱلَّذِىٓ أَجَّلْتَ لَنَا ۚ قَالَ ٱلنَّارُ مَثْوَىٰكُمْ خَٰلِدِينَ فِيهَآ إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُ ۗ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ “Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya (dan Allah berfirman), “Hai golongan jin, sesungguhnya kamu telah banyak menyesatkan manusia.” Lalu, berkatalah kawan-kawan meraka dari golongan manusia, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya sebagian daripada kami telah dapat kesenangan dari sebagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami.” Allah berfirman, “Neraka itulah tempat diam kamu, sedang kamu kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain).” Sesungguhnya Tuhanmu Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 128) Dari ayat tersebut, jin dan manusia dapat saling memberi kesenangan (manfaat). Jin menyenangkan manusia, maksudnya ia dapat membantu menjaga dan memenuhi keperluan manusia. Sebaliknya, manusia menyenangkan jin maksudnya manusia akan tunduk terhadap persyaratan, bahkan penghambaan kepada jin agar terpenuhi hajatnya. Itulah kesesatan yang menyebabkan mereka masuk ke dalam neraka. Baca juga: Takut Mati adalah Gangguan Jin? Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam Saja Tidak Punya Khadam Pertama, manusia yang berhak mengendalikan jin hanya Nabi Sulaiman Nabi Sulaiman ‘alaihissalam pernah berdoa, قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kekuasaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun sesudahku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemberi (anugerah).” (QS. Shad: 35) Oleh karenanya, tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengimami salat, beliau melakukan gerakan yang berbeda di luar kebiasaannya. Pagi harinya, beliau menceritakan, إِنَّ عِفْرِيتًا مِنَ الجِنِّ تَفَلَّتَ عَلَيَّ البَارِحَةَ لِيَقْطَعَ عَلَيَّ الصَّلاَةَ، فَأَمْكَنَنِي اللَّهُ مِنْهُ، فَأَرَدْتُ أَنْ أَرْبِطَهُ إِلَى سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي المَسْجِدِ حَتَّى تُصْبِحُوا وَتَنْظُرُوا إِلَيْهِ كُلُّكُمْ، فَذَكَرْتُ قَوْلَ أَخِي سُلَيْمَانَ: رَبِّ هَبْ لِي مُلْكًا لاَ يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي فَرَدَّهُ خَاسِئًا “Sesungguhnya jin ifrit menampakkan diri kepadaku tadi malam, untuk mengganggu salatku. Kemudian Allah memberikan kemampuan kepadaku untuk memegangnya. Aku ingin untuk mengikatnya di salah satu tiang masjid, sehingga pagi harinya kalian semua bisa melihatnya.” Namun, saya teringat doa saudaraku Sulaiman, ‘Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kekuasaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun sesudahku.’ Kemudian beliau melepaskan jin itu dalam keadaan terhina.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua, ketika perang, Nabi tidak pernah menggunakan bantuan jin atau ilmu kebal Jikalau bersekutu dan meminta bantuan jin dengan ilmu kebal itu diperbolehkan, lantas mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya saat perang tidak pernah menggunakan ilmu kebal? Bahkan, banyak sahabat yang terluka dan mati syahid, sampai-sampai Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam pernah terluka dan tanggal (copot) gigi geraham beliau terkena senjata lawan. Semoga kita terhindar dari segala macam bentuk kesyirikan yang merupakan puncak dari segala dosa. Baca juga: Jin Ifrit adalah Jin yang Buruk lagi Keji *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id Tags: jinkhadam

Mengapa Syirik adalah Dosa Terbesar?

Daftar Isi Toggle Syirik adalah bentuk pengkhianatan hamba kepada AllahSyirik menegasikan tujuan hidup manusiaSyirik adalah sikap narsistik dan penyembahan diri sendiriDampak yang sangat merugikan di akhiratKesimpulan Pada situasi masyarakat yang kurang mengenal ilmu agama, standar yang digunakan untuk menentukan baik buruknya sesuatu tidak begitu pasti dan masih samar. Sebagian masyarakat menggunakan prinsip moral relativism, yaitu apa yang dikatakan kebanyakan orang, maka itulah yang benar. Sebagian lainnya, seperti masyakarat sekuler-liberal, berpandangan bahwa kebaikan dan keburukan ditentukan berasaskan harm principle, yaitu anggapan bahwa baik buruknya sesuatu ditentukan oleh besarnya gangguan atau kerugian yang disebabkan keburukan tersebut. Semakin rugi seseorang akibat suatu tindakan, semakin buruk perbuatan tersebut dipandang. Sebagai contoh, perbuatan mencuri adalah perbuatan yang dipandang tidak bermoral karena mencuri menyebabkan kerugian pada orang lain. Contoh lainnya adalah perbuatan zina adalah perbuatan yang sangat buruk dan tabu, karena merusak kehormatan dan nama baik keluarga. Lantas, bagaimana jika ternyata ada suatu perbuatan yang di sisi Allah Ta‘āla, perbuatan tersebut adalah perbuatan paling tidak bermoral, paling merugikan, paling buruk dampaknya, dan paling merusak kehormatan dan nama baik pelakunya di hadapan Allah. Perbuatan tersebut adalah perbuatan menyekutukan Allah atau syirik. Dalilnya adalah hadis berikut. Dari Abdullāh bin Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu ia berkata, سَأَلْتُ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: أيُّ الذَّنْبِ أعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ؟ قالَ: أنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وهو خَلَقَكَ “Aku bertanya kepada Nabi ﷺ, “Dosa apa yang paling besar di sisi Allah?” Beliau menjawab, “Engkau menjadikan tandingan bagi Allah, padahal Dia yang telah menciptakanmu … ” (HR. Bukhāri no.4477) Alhamdulillah, berkat taufik dari Allah, kemudian berkat kegigihan para ustaz dalam mendakwahkan tauhid dan sunah, pengetahuan bahwa syirik merupakan dosa terbesar pun semakin tersebar dan diketahui masyarakat luas. Status syirik sebagai dosa terbesar dikarenakan beberapa alasan berikut. Syirik adalah bentuk pengkhianatan hamba kepada Allah Akar muara dari perbuatan syirik adalah khianat. Khianat terhadap tujuan terbesar manusia hidup di dunia. Khianat terhadap nikmat yang telah Allah berikan dengan menolak untuk menyatakan rasa syukur dan perendahan diri kepada Sang Pencipta subḥānahu wata‘ālā. Dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) [1], berkhianat terhadap negara dalam bentuk makar pembunuhan presiden atau mengadakan tindak separatisme adalah salah satu tindakan kriminal paling besar yang terancam hukuman mati. Alasannya adalah negara telah memberikan pelayanan kepada warga negara dalam bentuk perlindungan dan berbagai fasilitas dengan imbalan loyalitas dari penduduknya. Mengadakan makar atau memberontak kepada negara berarti seseorang telah mengkhianati negara tersebut. Demikian pula perbuatan syirik. Memberikan penyembahan, penghinaan diri, doa, dan bentuk ibadah lainnya kepada sesuatu selain Allah adalah bentuk pengkhianatan dan kriminalitas terbesar yang dapat dilakukan seorang hamba. Bagaimana tidak, Allah yang telah menciptakan manusia dari ketiadaan, kemudian memberikannya nikmat kehidupan, lantas manusia malah menyembah kepada selain Allah yang tidak bisa menghidupkan maupun mematikan. Ini adalah perbuatan khianat yang luar biasa. Jika label tindak kejahatan luar biasa dan pemberian hukuman mati saja dianggap pantas bagi orang yang membelot dan berkhianat kepada negara, maka orang yang berkhianat kepada Allah dalam bentuk berbuat syirik juga pantas dianggap sebagai dosa terbesar dan dihukum dengan hukuman terberat, yaitu kekal di neraka. Sebab, Allah bukan hanya telah memberikannya perlindungan dan fasilitas, bahkan Allah telah memberikannya kehidupan. Dialah yang telah memberikannya telinga untuk mendengar, mata untuk melihat, dan akal untuk berpikir agar digunakan untuk mencari kebenaran dan memberikan penyembahan kepada yang berhak disembah, Allah ‘azza wa jalla. Allah Ta‘ālā berfirman, يَـٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَـٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلْكَرِيمِ  ٱلَّذِى خَلَقَكَ فَسَوَّىٰكَ فَعَدَلَكَ  فِىٓ أَىِّ صُورَةٍۢ مَّا شَآءَ رَكَّبَكَ “Wahai manusia! Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakanmu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang. Dalam bentuk apa saja yang dikehendaki, Dia menyusun tubuhmu.” (QS. An-Nāzi‘āt: 6-8) Baca juga: Cinta, Sumber Terjadinya Syirik Syirik menegasikan tujuan hidup manusia Manusia diciptakan Allah dengan satu tujuan universal, yaitu agar mengesakan Allah dalam peribadahan atau disebut juga dengan tauhid. Oleh karena tauhid merupakan tujuan terbesar diciptakannya manusia, maka syirik otomatis menjadi penegasi terbesar tujuan hidup manusia. Ibnu Al-Qayyim rahimahullah menerangkan ketika menjawab mengapa syirik merupakan dosa terbesar yang paling dibenci Allah? Salah satu jawabannya adalah ketika seseorang melakukan kesyirikan, maka dia, خرج عما خلق له وصار إلى ضد ما هيئ لها “telah keluar dari tujuan ia diciptakan dan melakukan sesuatu yang berkebalikan dengan fitrahnya.” [2] Syirik adalah sikap narsistik dan penyembahan diri sendiri Orang yang enggan menyembah Allah atau menyembah Allah bersama dengan tuhan-tuhan kecil lainnya, hakikatnya ia adalah orang yang egois, narsis, dan penyembah hawa nafsunya sendiri. Sebab, tuhan-tuhan yang disembah selain Allah sebenarnya hanyalah hasil ciptaan manusia itu sendiri. Artinya, manusialah yang menciptakan tuhan-tuhan mereka sendiri lalu ia sembah. Tidak ada sikap yang lebih egois dan sombong dibandingkan berani menciptakan bentuk peribadatan sendiri yang berasal dari hasil karangan imajinasinya sendiri, lantas kemudian ia sembah. Allah Ta‘āla berfirman, إِنَّمَا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَوْثَـٰنًۭا وَتَخْلُقُونَ إِفْكًا ۚ “Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah hanyalah berhala-berhala, dan kamu membuat kebohongan.” (QS. Al-‘Ankabūt: 17) Pada ayat di atas, Allah menyifati orang yang berbuat syirik sebagai pembohong. Artinya, mereka pun mengetahui bahwa tuhan-tuhan selain Allah yang mereka sembah hanyalah karangan mereka sendiri. Meski begitu, karena egoisme dan rasa sombong, mereka tetap menyembahnya sehingga hakikatnya mereka menyembah diri mereka sendiri. Allah Ta‘ālā berfirman, أَرَءَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَـٰهَهُۥ هَوَىٰهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا “Sudahkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya? Apakah engkau akan menjadi pelindungnya?” (QS. Al-Furqān: 43) Dampak yang sangat merugikan di akhirat Apabila kita ingin menggunakan prinsip harm principle atau lā ḍarara wa lā ḍirār, yaitu perbuatan yang dianggap buruk adalah perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi seseorang, maka tidak ada perbuatan yang lebih merugikan seseorang dibandingkan perbuatan syirik. Perlu dipahami, bahwasanya orang yang berbuat syirik mungkin tidak merasakan dampak buruknya di dunia ini sebagaimana maksiat lainnya, seperti mencuri dan berzina yang tampak jelas kerugiannya. Akan tetapi, di akhirat nanti, orang yang berbuat syirik akan merasakan efek dari perbuatan syiriknya, yaitu seluruh amalnya hangus dan kekal di neraka. Allah berfirman, وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَـٰسِرِينَ “Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Sungguh jika engkau menyekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi.” (QS. Az-Zumar: 65) Kejahatan syirik memang tidak menyakiti atau merugikan orang lain, tetapi sangat merugikan pelakunya sehingga perbuatan ini hakikatnya adalah bentuk menyakiti dan menzalimi diri sendiri. Kesimpulan Dengan keempat alasan tersebut, yaitu syirik adalah pengkhianatan, penegasi tujuan hidup, sikap egois, dan berdampak buruk di akhirat, menjadikan perbuatan syirik adalah dosa terbesar di sisi Allah subḥānahu wa ta‘āla. Semoga Allah senantiasa melindungi kita dari berbuat syirik kepada-Nya. Āmīn Baca juga: Mengenal Tauhid dan Syirik Lebih Dekat *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari https://yaqeeninstitute.org/read/paper/why-is-shirk-the-greatest-sin-of-all dengan beberapa tambahan dan pengurangan.   Catatan kaki: [1] https://www.hukumonline.com/berita/a/kejahatan-yang-bisa-dijatuhi-hukuman-mati-lt6400afc47c6b1/ [2] Ṭarīq As-Sa‘ādatain, hlm. 524. Dār ‘ālam Al-Fawā’id. Tags: syirik

Mengapa Syirik adalah Dosa Terbesar?

Daftar Isi Toggle Syirik adalah bentuk pengkhianatan hamba kepada AllahSyirik menegasikan tujuan hidup manusiaSyirik adalah sikap narsistik dan penyembahan diri sendiriDampak yang sangat merugikan di akhiratKesimpulan Pada situasi masyarakat yang kurang mengenal ilmu agama, standar yang digunakan untuk menentukan baik buruknya sesuatu tidak begitu pasti dan masih samar. Sebagian masyarakat menggunakan prinsip moral relativism, yaitu apa yang dikatakan kebanyakan orang, maka itulah yang benar. Sebagian lainnya, seperti masyakarat sekuler-liberal, berpandangan bahwa kebaikan dan keburukan ditentukan berasaskan harm principle, yaitu anggapan bahwa baik buruknya sesuatu ditentukan oleh besarnya gangguan atau kerugian yang disebabkan keburukan tersebut. Semakin rugi seseorang akibat suatu tindakan, semakin buruk perbuatan tersebut dipandang. Sebagai contoh, perbuatan mencuri adalah perbuatan yang dipandang tidak bermoral karena mencuri menyebabkan kerugian pada orang lain. Contoh lainnya adalah perbuatan zina adalah perbuatan yang sangat buruk dan tabu, karena merusak kehormatan dan nama baik keluarga. Lantas, bagaimana jika ternyata ada suatu perbuatan yang di sisi Allah Ta‘āla, perbuatan tersebut adalah perbuatan paling tidak bermoral, paling merugikan, paling buruk dampaknya, dan paling merusak kehormatan dan nama baik pelakunya di hadapan Allah. Perbuatan tersebut adalah perbuatan menyekutukan Allah atau syirik. Dalilnya adalah hadis berikut. Dari Abdullāh bin Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu ia berkata, سَأَلْتُ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: أيُّ الذَّنْبِ أعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ؟ قالَ: أنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وهو خَلَقَكَ “Aku bertanya kepada Nabi ﷺ, “Dosa apa yang paling besar di sisi Allah?” Beliau menjawab, “Engkau menjadikan tandingan bagi Allah, padahal Dia yang telah menciptakanmu … ” (HR. Bukhāri no.4477) Alhamdulillah, berkat taufik dari Allah, kemudian berkat kegigihan para ustaz dalam mendakwahkan tauhid dan sunah, pengetahuan bahwa syirik merupakan dosa terbesar pun semakin tersebar dan diketahui masyarakat luas. Status syirik sebagai dosa terbesar dikarenakan beberapa alasan berikut. Syirik adalah bentuk pengkhianatan hamba kepada Allah Akar muara dari perbuatan syirik adalah khianat. Khianat terhadap tujuan terbesar manusia hidup di dunia. Khianat terhadap nikmat yang telah Allah berikan dengan menolak untuk menyatakan rasa syukur dan perendahan diri kepada Sang Pencipta subḥānahu wata‘ālā. Dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) [1], berkhianat terhadap negara dalam bentuk makar pembunuhan presiden atau mengadakan tindak separatisme adalah salah satu tindakan kriminal paling besar yang terancam hukuman mati. Alasannya adalah negara telah memberikan pelayanan kepada warga negara dalam bentuk perlindungan dan berbagai fasilitas dengan imbalan loyalitas dari penduduknya. Mengadakan makar atau memberontak kepada negara berarti seseorang telah mengkhianati negara tersebut. Demikian pula perbuatan syirik. Memberikan penyembahan, penghinaan diri, doa, dan bentuk ibadah lainnya kepada sesuatu selain Allah adalah bentuk pengkhianatan dan kriminalitas terbesar yang dapat dilakukan seorang hamba. Bagaimana tidak, Allah yang telah menciptakan manusia dari ketiadaan, kemudian memberikannya nikmat kehidupan, lantas manusia malah menyembah kepada selain Allah yang tidak bisa menghidupkan maupun mematikan. Ini adalah perbuatan khianat yang luar biasa. Jika label tindak kejahatan luar biasa dan pemberian hukuman mati saja dianggap pantas bagi orang yang membelot dan berkhianat kepada negara, maka orang yang berkhianat kepada Allah dalam bentuk berbuat syirik juga pantas dianggap sebagai dosa terbesar dan dihukum dengan hukuman terberat, yaitu kekal di neraka. Sebab, Allah bukan hanya telah memberikannya perlindungan dan fasilitas, bahkan Allah telah memberikannya kehidupan. Dialah yang telah memberikannya telinga untuk mendengar, mata untuk melihat, dan akal untuk berpikir agar digunakan untuk mencari kebenaran dan memberikan penyembahan kepada yang berhak disembah, Allah ‘azza wa jalla. Allah Ta‘ālā berfirman, يَـٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَـٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلْكَرِيمِ  ٱلَّذِى خَلَقَكَ فَسَوَّىٰكَ فَعَدَلَكَ  فِىٓ أَىِّ صُورَةٍۢ مَّا شَآءَ رَكَّبَكَ “Wahai manusia! Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakanmu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang. Dalam bentuk apa saja yang dikehendaki, Dia menyusun tubuhmu.” (QS. An-Nāzi‘āt: 6-8) Baca juga: Cinta, Sumber Terjadinya Syirik Syirik menegasikan tujuan hidup manusia Manusia diciptakan Allah dengan satu tujuan universal, yaitu agar mengesakan Allah dalam peribadahan atau disebut juga dengan tauhid. Oleh karena tauhid merupakan tujuan terbesar diciptakannya manusia, maka syirik otomatis menjadi penegasi terbesar tujuan hidup manusia. Ibnu Al-Qayyim rahimahullah menerangkan ketika menjawab mengapa syirik merupakan dosa terbesar yang paling dibenci Allah? Salah satu jawabannya adalah ketika seseorang melakukan kesyirikan, maka dia, خرج عما خلق له وصار إلى ضد ما هيئ لها “telah keluar dari tujuan ia diciptakan dan melakukan sesuatu yang berkebalikan dengan fitrahnya.” [2] Syirik adalah sikap narsistik dan penyembahan diri sendiri Orang yang enggan menyembah Allah atau menyembah Allah bersama dengan tuhan-tuhan kecil lainnya, hakikatnya ia adalah orang yang egois, narsis, dan penyembah hawa nafsunya sendiri. Sebab, tuhan-tuhan yang disembah selain Allah sebenarnya hanyalah hasil ciptaan manusia itu sendiri. Artinya, manusialah yang menciptakan tuhan-tuhan mereka sendiri lalu ia sembah. Tidak ada sikap yang lebih egois dan sombong dibandingkan berani menciptakan bentuk peribadatan sendiri yang berasal dari hasil karangan imajinasinya sendiri, lantas kemudian ia sembah. Allah Ta‘āla berfirman, إِنَّمَا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَوْثَـٰنًۭا وَتَخْلُقُونَ إِفْكًا ۚ “Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah hanyalah berhala-berhala, dan kamu membuat kebohongan.” (QS. Al-‘Ankabūt: 17) Pada ayat di atas, Allah menyifati orang yang berbuat syirik sebagai pembohong. Artinya, mereka pun mengetahui bahwa tuhan-tuhan selain Allah yang mereka sembah hanyalah karangan mereka sendiri. Meski begitu, karena egoisme dan rasa sombong, mereka tetap menyembahnya sehingga hakikatnya mereka menyembah diri mereka sendiri. Allah Ta‘ālā berfirman, أَرَءَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَـٰهَهُۥ هَوَىٰهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا “Sudahkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya? Apakah engkau akan menjadi pelindungnya?” (QS. Al-Furqān: 43) Dampak yang sangat merugikan di akhirat Apabila kita ingin menggunakan prinsip harm principle atau lā ḍarara wa lā ḍirār, yaitu perbuatan yang dianggap buruk adalah perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi seseorang, maka tidak ada perbuatan yang lebih merugikan seseorang dibandingkan perbuatan syirik. Perlu dipahami, bahwasanya orang yang berbuat syirik mungkin tidak merasakan dampak buruknya di dunia ini sebagaimana maksiat lainnya, seperti mencuri dan berzina yang tampak jelas kerugiannya. Akan tetapi, di akhirat nanti, orang yang berbuat syirik akan merasakan efek dari perbuatan syiriknya, yaitu seluruh amalnya hangus dan kekal di neraka. Allah berfirman, وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَـٰسِرِينَ “Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Sungguh jika engkau menyekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi.” (QS. Az-Zumar: 65) Kejahatan syirik memang tidak menyakiti atau merugikan orang lain, tetapi sangat merugikan pelakunya sehingga perbuatan ini hakikatnya adalah bentuk menyakiti dan menzalimi diri sendiri. Kesimpulan Dengan keempat alasan tersebut, yaitu syirik adalah pengkhianatan, penegasi tujuan hidup, sikap egois, dan berdampak buruk di akhirat, menjadikan perbuatan syirik adalah dosa terbesar di sisi Allah subḥānahu wa ta‘āla. Semoga Allah senantiasa melindungi kita dari berbuat syirik kepada-Nya. Āmīn Baca juga: Mengenal Tauhid dan Syirik Lebih Dekat *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari https://yaqeeninstitute.org/read/paper/why-is-shirk-the-greatest-sin-of-all dengan beberapa tambahan dan pengurangan.   Catatan kaki: [1] https://www.hukumonline.com/berita/a/kejahatan-yang-bisa-dijatuhi-hukuman-mati-lt6400afc47c6b1/ [2] Ṭarīq As-Sa‘ādatain, hlm. 524. Dār ‘ālam Al-Fawā’id. Tags: syirik
Daftar Isi Toggle Syirik adalah bentuk pengkhianatan hamba kepada AllahSyirik menegasikan tujuan hidup manusiaSyirik adalah sikap narsistik dan penyembahan diri sendiriDampak yang sangat merugikan di akhiratKesimpulan Pada situasi masyarakat yang kurang mengenal ilmu agama, standar yang digunakan untuk menentukan baik buruknya sesuatu tidak begitu pasti dan masih samar. Sebagian masyarakat menggunakan prinsip moral relativism, yaitu apa yang dikatakan kebanyakan orang, maka itulah yang benar. Sebagian lainnya, seperti masyakarat sekuler-liberal, berpandangan bahwa kebaikan dan keburukan ditentukan berasaskan harm principle, yaitu anggapan bahwa baik buruknya sesuatu ditentukan oleh besarnya gangguan atau kerugian yang disebabkan keburukan tersebut. Semakin rugi seseorang akibat suatu tindakan, semakin buruk perbuatan tersebut dipandang. Sebagai contoh, perbuatan mencuri adalah perbuatan yang dipandang tidak bermoral karena mencuri menyebabkan kerugian pada orang lain. Contoh lainnya adalah perbuatan zina adalah perbuatan yang sangat buruk dan tabu, karena merusak kehormatan dan nama baik keluarga. Lantas, bagaimana jika ternyata ada suatu perbuatan yang di sisi Allah Ta‘āla, perbuatan tersebut adalah perbuatan paling tidak bermoral, paling merugikan, paling buruk dampaknya, dan paling merusak kehormatan dan nama baik pelakunya di hadapan Allah. Perbuatan tersebut adalah perbuatan menyekutukan Allah atau syirik. Dalilnya adalah hadis berikut. Dari Abdullāh bin Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu ia berkata, سَأَلْتُ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: أيُّ الذَّنْبِ أعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ؟ قالَ: أنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وهو خَلَقَكَ “Aku bertanya kepada Nabi ﷺ, “Dosa apa yang paling besar di sisi Allah?” Beliau menjawab, “Engkau menjadikan tandingan bagi Allah, padahal Dia yang telah menciptakanmu … ” (HR. Bukhāri no.4477) Alhamdulillah, berkat taufik dari Allah, kemudian berkat kegigihan para ustaz dalam mendakwahkan tauhid dan sunah, pengetahuan bahwa syirik merupakan dosa terbesar pun semakin tersebar dan diketahui masyarakat luas. Status syirik sebagai dosa terbesar dikarenakan beberapa alasan berikut. Syirik adalah bentuk pengkhianatan hamba kepada Allah Akar muara dari perbuatan syirik adalah khianat. Khianat terhadap tujuan terbesar manusia hidup di dunia. Khianat terhadap nikmat yang telah Allah berikan dengan menolak untuk menyatakan rasa syukur dan perendahan diri kepada Sang Pencipta subḥānahu wata‘ālā. Dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) [1], berkhianat terhadap negara dalam bentuk makar pembunuhan presiden atau mengadakan tindak separatisme adalah salah satu tindakan kriminal paling besar yang terancam hukuman mati. Alasannya adalah negara telah memberikan pelayanan kepada warga negara dalam bentuk perlindungan dan berbagai fasilitas dengan imbalan loyalitas dari penduduknya. Mengadakan makar atau memberontak kepada negara berarti seseorang telah mengkhianati negara tersebut. Demikian pula perbuatan syirik. Memberikan penyembahan, penghinaan diri, doa, dan bentuk ibadah lainnya kepada sesuatu selain Allah adalah bentuk pengkhianatan dan kriminalitas terbesar yang dapat dilakukan seorang hamba. Bagaimana tidak, Allah yang telah menciptakan manusia dari ketiadaan, kemudian memberikannya nikmat kehidupan, lantas manusia malah menyembah kepada selain Allah yang tidak bisa menghidupkan maupun mematikan. Ini adalah perbuatan khianat yang luar biasa. Jika label tindak kejahatan luar biasa dan pemberian hukuman mati saja dianggap pantas bagi orang yang membelot dan berkhianat kepada negara, maka orang yang berkhianat kepada Allah dalam bentuk berbuat syirik juga pantas dianggap sebagai dosa terbesar dan dihukum dengan hukuman terberat, yaitu kekal di neraka. Sebab, Allah bukan hanya telah memberikannya perlindungan dan fasilitas, bahkan Allah telah memberikannya kehidupan. Dialah yang telah memberikannya telinga untuk mendengar, mata untuk melihat, dan akal untuk berpikir agar digunakan untuk mencari kebenaran dan memberikan penyembahan kepada yang berhak disembah, Allah ‘azza wa jalla. Allah Ta‘ālā berfirman, يَـٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَـٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلْكَرِيمِ  ٱلَّذِى خَلَقَكَ فَسَوَّىٰكَ فَعَدَلَكَ  فِىٓ أَىِّ صُورَةٍۢ مَّا شَآءَ رَكَّبَكَ “Wahai manusia! Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakanmu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang. Dalam bentuk apa saja yang dikehendaki, Dia menyusun tubuhmu.” (QS. An-Nāzi‘āt: 6-8) Baca juga: Cinta, Sumber Terjadinya Syirik Syirik menegasikan tujuan hidup manusia Manusia diciptakan Allah dengan satu tujuan universal, yaitu agar mengesakan Allah dalam peribadahan atau disebut juga dengan tauhid. Oleh karena tauhid merupakan tujuan terbesar diciptakannya manusia, maka syirik otomatis menjadi penegasi terbesar tujuan hidup manusia. Ibnu Al-Qayyim rahimahullah menerangkan ketika menjawab mengapa syirik merupakan dosa terbesar yang paling dibenci Allah? Salah satu jawabannya adalah ketika seseorang melakukan kesyirikan, maka dia, خرج عما خلق له وصار إلى ضد ما هيئ لها “telah keluar dari tujuan ia diciptakan dan melakukan sesuatu yang berkebalikan dengan fitrahnya.” [2] Syirik adalah sikap narsistik dan penyembahan diri sendiri Orang yang enggan menyembah Allah atau menyembah Allah bersama dengan tuhan-tuhan kecil lainnya, hakikatnya ia adalah orang yang egois, narsis, dan penyembah hawa nafsunya sendiri. Sebab, tuhan-tuhan yang disembah selain Allah sebenarnya hanyalah hasil ciptaan manusia itu sendiri. Artinya, manusialah yang menciptakan tuhan-tuhan mereka sendiri lalu ia sembah. Tidak ada sikap yang lebih egois dan sombong dibandingkan berani menciptakan bentuk peribadatan sendiri yang berasal dari hasil karangan imajinasinya sendiri, lantas kemudian ia sembah. Allah Ta‘āla berfirman, إِنَّمَا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَوْثَـٰنًۭا وَتَخْلُقُونَ إِفْكًا ۚ “Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah hanyalah berhala-berhala, dan kamu membuat kebohongan.” (QS. Al-‘Ankabūt: 17) Pada ayat di atas, Allah menyifati orang yang berbuat syirik sebagai pembohong. Artinya, mereka pun mengetahui bahwa tuhan-tuhan selain Allah yang mereka sembah hanyalah karangan mereka sendiri. Meski begitu, karena egoisme dan rasa sombong, mereka tetap menyembahnya sehingga hakikatnya mereka menyembah diri mereka sendiri. Allah Ta‘ālā berfirman, أَرَءَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَـٰهَهُۥ هَوَىٰهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا “Sudahkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya? Apakah engkau akan menjadi pelindungnya?” (QS. Al-Furqān: 43) Dampak yang sangat merugikan di akhirat Apabila kita ingin menggunakan prinsip harm principle atau lā ḍarara wa lā ḍirār, yaitu perbuatan yang dianggap buruk adalah perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi seseorang, maka tidak ada perbuatan yang lebih merugikan seseorang dibandingkan perbuatan syirik. Perlu dipahami, bahwasanya orang yang berbuat syirik mungkin tidak merasakan dampak buruknya di dunia ini sebagaimana maksiat lainnya, seperti mencuri dan berzina yang tampak jelas kerugiannya. Akan tetapi, di akhirat nanti, orang yang berbuat syirik akan merasakan efek dari perbuatan syiriknya, yaitu seluruh amalnya hangus dan kekal di neraka. Allah berfirman, وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَـٰسِرِينَ “Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Sungguh jika engkau menyekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi.” (QS. Az-Zumar: 65) Kejahatan syirik memang tidak menyakiti atau merugikan orang lain, tetapi sangat merugikan pelakunya sehingga perbuatan ini hakikatnya adalah bentuk menyakiti dan menzalimi diri sendiri. Kesimpulan Dengan keempat alasan tersebut, yaitu syirik adalah pengkhianatan, penegasi tujuan hidup, sikap egois, dan berdampak buruk di akhirat, menjadikan perbuatan syirik adalah dosa terbesar di sisi Allah subḥānahu wa ta‘āla. Semoga Allah senantiasa melindungi kita dari berbuat syirik kepada-Nya. Āmīn Baca juga: Mengenal Tauhid dan Syirik Lebih Dekat *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari https://yaqeeninstitute.org/read/paper/why-is-shirk-the-greatest-sin-of-all dengan beberapa tambahan dan pengurangan.   Catatan kaki: [1] https://www.hukumonline.com/berita/a/kejahatan-yang-bisa-dijatuhi-hukuman-mati-lt6400afc47c6b1/ [2] Ṭarīq As-Sa‘ādatain, hlm. 524. Dār ‘ālam Al-Fawā’id. Tags: syirik


Daftar Isi Toggle Syirik adalah bentuk pengkhianatan hamba kepada AllahSyirik menegasikan tujuan hidup manusiaSyirik adalah sikap narsistik dan penyembahan diri sendiriDampak yang sangat merugikan di akhiratKesimpulan Pada situasi masyarakat yang kurang mengenal ilmu agama, standar yang digunakan untuk menentukan baik buruknya sesuatu tidak begitu pasti dan masih samar. Sebagian masyarakat menggunakan prinsip moral relativism, yaitu apa yang dikatakan kebanyakan orang, maka itulah yang benar. Sebagian lainnya, seperti masyakarat sekuler-liberal, berpandangan bahwa kebaikan dan keburukan ditentukan berasaskan harm principle, yaitu anggapan bahwa baik buruknya sesuatu ditentukan oleh besarnya gangguan atau kerugian yang disebabkan keburukan tersebut. Semakin rugi seseorang akibat suatu tindakan, semakin buruk perbuatan tersebut dipandang. Sebagai contoh, perbuatan mencuri adalah perbuatan yang dipandang tidak bermoral karena mencuri menyebabkan kerugian pada orang lain. Contoh lainnya adalah perbuatan zina adalah perbuatan yang sangat buruk dan tabu, karena merusak kehormatan dan nama baik keluarga. Lantas, bagaimana jika ternyata ada suatu perbuatan yang di sisi Allah Ta‘āla, perbuatan tersebut adalah perbuatan paling tidak bermoral, paling merugikan, paling buruk dampaknya, dan paling merusak kehormatan dan nama baik pelakunya di hadapan Allah. Perbuatan tersebut adalah perbuatan menyekutukan Allah atau syirik. Dalilnya adalah hadis berikut. Dari Abdullāh bin Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu ia berkata, سَأَلْتُ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: أيُّ الذَّنْبِ أعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ؟ قالَ: أنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وهو خَلَقَكَ “Aku bertanya kepada Nabi ﷺ, “Dosa apa yang paling besar di sisi Allah?” Beliau menjawab, “Engkau menjadikan tandingan bagi Allah, padahal Dia yang telah menciptakanmu … ” (HR. Bukhāri no.4477) Alhamdulillah, berkat taufik dari Allah, kemudian berkat kegigihan para ustaz dalam mendakwahkan tauhid dan sunah, pengetahuan bahwa syirik merupakan dosa terbesar pun semakin tersebar dan diketahui masyarakat luas. Status syirik sebagai dosa terbesar dikarenakan beberapa alasan berikut. Syirik adalah bentuk pengkhianatan hamba kepada Allah Akar muara dari perbuatan syirik adalah khianat. Khianat terhadap tujuan terbesar manusia hidup di dunia. Khianat terhadap nikmat yang telah Allah berikan dengan menolak untuk menyatakan rasa syukur dan perendahan diri kepada Sang Pencipta subḥānahu wata‘ālā. Dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) [1], berkhianat terhadap negara dalam bentuk makar pembunuhan presiden atau mengadakan tindak separatisme adalah salah satu tindakan kriminal paling besar yang terancam hukuman mati. Alasannya adalah negara telah memberikan pelayanan kepada warga negara dalam bentuk perlindungan dan berbagai fasilitas dengan imbalan loyalitas dari penduduknya. Mengadakan makar atau memberontak kepada negara berarti seseorang telah mengkhianati negara tersebut. Demikian pula perbuatan syirik. Memberikan penyembahan, penghinaan diri, doa, dan bentuk ibadah lainnya kepada sesuatu selain Allah adalah bentuk pengkhianatan dan kriminalitas terbesar yang dapat dilakukan seorang hamba. Bagaimana tidak, Allah yang telah menciptakan manusia dari ketiadaan, kemudian memberikannya nikmat kehidupan, lantas manusia malah menyembah kepada selain Allah yang tidak bisa menghidupkan maupun mematikan. Ini adalah perbuatan khianat yang luar biasa. Jika label tindak kejahatan luar biasa dan pemberian hukuman mati saja dianggap pantas bagi orang yang membelot dan berkhianat kepada negara, maka orang yang berkhianat kepada Allah dalam bentuk berbuat syirik juga pantas dianggap sebagai dosa terbesar dan dihukum dengan hukuman terberat, yaitu kekal di neraka. Sebab, Allah bukan hanya telah memberikannya perlindungan dan fasilitas, bahkan Allah telah memberikannya kehidupan. Dialah yang telah memberikannya telinga untuk mendengar, mata untuk melihat, dan akal untuk berpikir agar digunakan untuk mencari kebenaran dan memberikan penyembahan kepada yang berhak disembah, Allah ‘azza wa jalla. Allah Ta‘ālā berfirman, يَـٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَـٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلْكَرِيمِ  ٱلَّذِى خَلَقَكَ فَسَوَّىٰكَ فَعَدَلَكَ  فِىٓ أَىِّ صُورَةٍۢ مَّا شَآءَ رَكَّبَكَ “Wahai manusia! Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakanmu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang. Dalam bentuk apa saja yang dikehendaki, Dia menyusun tubuhmu.” (QS. An-Nāzi‘āt: 6-8) Baca juga: Cinta, Sumber Terjadinya Syirik Syirik menegasikan tujuan hidup manusia Manusia diciptakan Allah dengan satu tujuan universal, yaitu agar mengesakan Allah dalam peribadahan atau disebut juga dengan tauhid. Oleh karena tauhid merupakan tujuan terbesar diciptakannya manusia, maka syirik otomatis menjadi penegasi terbesar tujuan hidup manusia. Ibnu Al-Qayyim rahimahullah menerangkan ketika menjawab mengapa syirik merupakan dosa terbesar yang paling dibenci Allah? Salah satu jawabannya adalah ketika seseorang melakukan kesyirikan, maka dia, خرج عما خلق له وصار إلى ضد ما هيئ لها “telah keluar dari tujuan ia diciptakan dan melakukan sesuatu yang berkebalikan dengan fitrahnya.” [2] Syirik adalah sikap narsistik dan penyembahan diri sendiri Orang yang enggan menyembah Allah atau menyembah Allah bersama dengan tuhan-tuhan kecil lainnya, hakikatnya ia adalah orang yang egois, narsis, dan penyembah hawa nafsunya sendiri. Sebab, tuhan-tuhan yang disembah selain Allah sebenarnya hanyalah hasil ciptaan manusia itu sendiri. Artinya, manusialah yang menciptakan tuhan-tuhan mereka sendiri lalu ia sembah. Tidak ada sikap yang lebih egois dan sombong dibandingkan berani menciptakan bentuk peribadatan sendiri yang berasal dari hasil karangan imajinasinya sendiri, lantas kemudian ia sembah. Allah Ta‘āla berfirman, إِنَّمَا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَوْثَـٰنًۭا وَتَخْلُقُونَ إِفْكًا ۚ “Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah hanyalah berhala-berhala, dan kamu membuat kebohongan.” (QS. Al-‘Ankabūt: 17) Pada ayat di atas, Allah menyifati orang yang berbuat syirik sebagai pembohong. Artinya, mereka pun mengetahui bahwa tuhan-tuhan selain Allah yang mereka sembah hanyalah karangan mereka sendiri. Meski begitu, karena egoisme dan rasa sombong, mereka tetap menyembahnya sehingga hakikatnya mereka menyembah diri mereka sendiri. Allah Ta‘ālā berfirman, أَرَءَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَـٰهَهُۥ هَوَىٰهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا “Sudahkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya? Apakah engkau akan menjadi pelindungnya?” (QS. Al-Furqān: 43) Dampak yang sangat merugikan di akhirat Apabila kita ingin menggunakan prinsip harm principle atau lā ḍarara wa lā ḍirār, yaitu perbuatan yang dianggap buruk adalah perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi seseorang, maka tidak ada perbuatan yang lebih merugikan seseorang dibandingkan perbuatan syirik. Perlu dipahami, bahwasanya orang yang berbuat syirik mungkin tidak merasakan dampak buruknya di dunia ini sebagaimana maksiat lainnya, seperti mencuri dan berzina yang tampak jelas kerugiannya. Akan tetapi, di akhirat nanti, orang yang berbuat syirik akan merasakan efek dari perbuatan syiriknya, yaitu seluruh amalnya hangus dan kekal di neraka. Allah berfirman, وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَـٰسِرِينَ “Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Sungguh jika engkau menyekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi.” (QS. Az-Zumar: 65) Kejahatan syirik memang tidak menyakiti atau merugikan orang lain, tetapi sangat merugikan pelakunya sehingga perbuatan ini hakikatnya adalah bentuk menyakiti dan menzalimi diri sendiri. Kesimpulan Dengan keempat alasan tersebut, yaitu syirik adalah pengkhianatan, penegasi tujuan hidup, sikap egois, dan berdampak buruk di akhirat, menjadikan perbuatan syirik adalah dosa terbesar di sisi Allah subḥānahu wa ta‘āla. Semoga Allah senantiasa melindungi kita dari berbuat syirik kepada-Nya. Āmīn Baca juga: Mengenal Tauhid dan Syirik Lebih Dekat *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari https://yaqeeninstitute.org/read/paper/why-is-shirk-the-greatest-sin-of-all dengan beberapa tambahan dan pengurangan.   Catatan kaki: [1] https://www.hukumonline.com/berita/a/kejahatan-yang-bisa-dijatuhi-hukuman-mati-lt6400afc47c6b1/ [2] Ṭarīq As-Sa‘ādatain, hlm. 524. Dār ‘ālam Al-Fawā’id. Tags: syirik

Pendapat Syadz di Dalam Fikih

Syadz secara istilah berarti bersendirian dari yang banyak atau jemaah. Sedangkan istilah syadz di dalam ilmu hadis yaitu yang diriwayatkan oleh perawi yang maqbul (diterima) yang menyelisihi yang lain yang lebih utama. [1] Adapun syadz di sisi para ulama fikih memiliki beberapa pengertian. Istilah syadz ini bisa diartikan menyelisihi pendapat jumhur atau mayoritas ulama, dan bisa diartikan menyelisihi  ijma’ atau bertentangan dengan dalil-dalil syar’i. [2] Muhammad Rawas Qal’aji di dalam bukunya Mu’jamu Lughati Al Fuqaha` menyebutkan, “Syadz adalah sesuatu yang menyelisihi kaidah, qiyas, atau kebiasaan. Adapun pendapat syadz adalah pendapat yang pemiliknya menyelisihi atau tidak sepakat dengan pendapat kebanyakan ulama fikih lainnya.” [3] Adapun batasan syadz yaitu yang menyelisihi al-haq (kebenaran). Setiap orang yang menyelisihi kebenaran di dalam masalah apa pun, maka masalah tersebut terkandung di dalamnya syadz. [4] Pendapat inilah yang dikuatkan Ibnu Hazm rahimahullah setelah beliau menyebutkan definisi batasan syadz menurut para ulama dan membantahnya. Sebab menyendirinya pendapat dari semua atau kebanyakan ulama ada yang berdasarkan dalil, ada yang tidak. Sehingga, apabila pendapatnya tersebut dibangun di atas dalil syar’i kemudian teryata benar dan sesuai al-haq, maka ia tidak disebut syadz, meskipun ia menyendiri. Karena barangsiapa yang pendapat dan argumennya berasal dari Al Qur’an atau As-Sunnah, kuat pendalilannya, dan sesuai dengan al-haq, maka itulah pondasi tegaknya langit dan bumi. Hal ini berdasarkan firman Alla Ta’ala, وَمَا خَلَقْنَا السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلاَّ بِالْحَقِّ “Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan benar (al haq).” Adapun jika menyendirinya dari jemaah ulama fikih di dalam al-haq dan menyelisihinya, maka itulah syadz yang menyelisihi kebenaran dan ia termasuk kebatilan. Karena tidak akan ada kebenaran bercampur dengan kebatilan, melainkan yang al-haq jelas dan yang batil jelas. Sehingga, syadz yang jelas menyelisihi al-haq, maka ia masuk ke dalam kebatilan. Oleh karenanya, tidak disebut syadz, pendapat yang datang dari minoritas ulama fikih, bahkan dari seorang ulama fikih, selama al-haq tetap ada pada dirinya dan ia berpegang teguh dengannya. Dan tidak pula bisa dibatalkan oleh jemaah atau sebagian ulama lainnya. Sungguh hanya Abu Bakar dan Khadijah radhiyallahu ‘anhum saja yang beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di awal Islam, meski demikian mereka tetap disebut jemaah. Sedangkan ketika seluruh manusia di bumi adalah orang-orang yang menyimpang dan terpecah-belah, maka mereka bisa disebut syadz dan batil, sekalipun mereka berjemaah atau mayoritas. Wallahu a’lam. Baca juga: Tidak Semua Pendapat Dalam Khilafiyah Ditoleransi *** Penulis: Junaidi, S.H., M.H. Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] https://rumaysho.com/11484-hadits-mahfuzh-dan-hadits-syadz.html [2] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/349918 [3] Mu’jamu Lughati Al Fuqaha’ oleh Mu’jamu Lughati al Fuqaha, hal. 255. [4] Al Ihkam fi Ushulil Fiqh oleh Ibnu Hazm, 5: 863. Tags: fikihsyadz

Pendapat Syadz di Dalam Fikih

Syadz secara istilah berarti bersendirian dari yang banyak atau jemaah. Sedangkan istilah syadz di dalam ilmu hadis yaitu yang diriwayatkan oleh perawi yang maqbul (diterima) yang menyelisihi yang lain yang lebih utama. [1] Adapun syadz di sisi para ulama fikih memiliki beberapa pengertian. Istilah syadz ini bisa diartikan menyelisihi pendapat jumhur atau mayoritas ulama, dan bisa diartikan menyelisihi  ijma’ atau bertentangan dengan dalil-dalil syar’i. [2] Muhammad Rawas Qal’aji di dalam bukunya Mu’jamu Lughati Al Fuqaha` menyebutkan, “Syadz adalah sesuatu yang menyelisihi kaidah, qiyas, atau kebiasaan. Adapun pendapat syadz adalah pendapat yang pemiliknya menyelisihi atau tidak sepakat dengan pendapat kebanyakan ulama fikih lainnya.” [3] Adapun batasan syadz yaitu yang menyelisihi al-haq (kebenaran). Setiap orang yang menyelisihi kebenaran di dalam masalah apa pun, maka masalah tersebut terkandung di dalamnya syadz. [4] Pendapat inilah yang dikuatkan Ibnu Hazm rahimahullah setelah beliau menyebutkan definisi batasan syadz menurut para ulama dan membantahnya. Sebab menyendirinya pendapat dari semua atau kebanyakan ulama ada yang berdasarkan dalil, ada yang tidak. Sehingga, apabila pendapatnya tersebut dibangun di atas dalil syar’i kemudian teryata benar dan sesuai al-haq, maka ia tidak disebut syadz, meskipun ia menyendiri. Karena barangsiapa yang pendapat dan argumennya berasal dari Al Qur’an atau As-Sunnah, kuat pendalilannya, dan sesuai dengan al-haq, maka itulah pondasi tegaknya langit dan bumi. Hal ini berdasarkan firman Alla Ta’ala, وَمَا خَلَقْنَا السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلاَّ بِالْحَقِّ “Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan benar (al haq).” Adapun jika menyendirinya dari jemaah ulama fikih di dalam al-haq dan menyelisihinya, maka itulah syadz yang menyelisihi kebenaran dan ia termasuk kebatilan. Karena tidak akan ada kebenaran bercampur dengan kebatilan, melainkan yang al-haq jelas dan yang batil jelas. Sehingga, syadz yang jelas menyelisihi al-haq, maka ia masuk ke dalam kebatilan. Oleh karenanya, tidak disebut syadz, pendapat yang datang dari minoritas ulama fikih, bahkan dari seorang ulama fikih, selama al-haq tetap ada pada dirinya dan ia berpegang teguh dengannya. Dan tidak pula bisa dibatalkan oleh jemaah atau sebagian ulama lainnya. Sungguh hanya Abu Bakar dan Khadijah radhiyallahu ‘anhum saja yang beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di awal Islam, meski demikian mereka tetap disebut jemaah. Sedangkan ketika seluruh manusia di bumi adalah orang-orang yang menyimpang dan terpecah-belah, maka mereka bisa disebut syadz dan batil, sekalipun mereka berjemaah atau mayoritas. Wallahu a’lam. Baca juga: Tidak Semua Pendapat Dalam Khilafiyah Ditoleransi *** Penulis: Junaidi, S.H., M.H. Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] https://rumaysho.com/11484-hadits-mahfuzh-dan-hadits-syadz.html [2] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/349918 [3] Mu’jamu Lughati Al Fuqaha’ oleh Mu’jamu Lughati al Fuqaha, hal. 255. [4] Al Ihkam fi Ushulil Fiqh oleh Ibnu Hazm, 5: 863. Tags: fikihsyadz
Syadz secara istilah berarti bersendirian dari yang banyak atau jemaah. Sedangkan istilah syadz di dalam ilmu hadis yaitu yang diriwayatkan oleh perawi yang maqbul (diterima) yang menyelisihi yang lain yang lebih utama. [1] Adapun syadz di sisi para ulama fikih memiliki beberapa pengertian. Istilah syadz ini bisa diartikan menyelisihi pendapat jumhur atau mayoritas ulama, dan bisa diartikan menyelisihi  ijma’ atau bertentangan dengan dalil-dalil syar’i. [2] Muhammad Rawas Qal’aji di dalam bukunya Mu’jamu Lughati Al Fuqaha` menyebutkan, “Syadz adalah sesuatu yang menyelisihi kaidah, qiyas, atau kebiasaan. Adapun pendapat syadz adalah pendapat yang pemiliknya menyelisihi atau tidak sepakat dengan pendapat kebanyakan ulama fikih lainnya.” [3] Adapun batasan syadz yaitu yang menyelisihi al-haq (kebenaran). Setiap orang yang menyelisihi kebenaran di dalam masalah apa pun, maka masalah tersebut terkandung di dalamnya syadz. [4] Pendapat inilah yang dikuatkan Ibnu Hazm rahimahullah setelah beliau menyebutkan definisi batasan syadz menurut para ulama dan membantahnya. Sebab menyendirinya pendapat dari semua atau kebanyakan ulama ada yang berdasarkan dalil, ada yang tidak. Sehingga, apabila pendapatnya tersebut dibangun di atas dalil syar’i kemudian teryata benar dan sesuai al-haq, maka ia tidak disebut syadz, meskipun ia menyendiri. Karena barangsiapa yang pendapat dan argumennya berasal dari Al Qur’an atau As-Sunnah, kuat pendalilannya, dan sesuai dengan al-haq, maka itulah pondasi tegaknya langit dan bumi. Hal ini berdasarkan firman Alla Ta’ala, وَمَا خَلَقْنَا السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلاَّ بِالْحَقِّ “Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan benar (al haq).” Adapun jika menyendirinya dari jemaah ulama fikih di dalam al-haq dan menyelisihinya, maka itulah syadz yang menyelisihi kebenaran dan ia termasuk kebatilan. Karena tidak akan ada kebenaran bercampur dengan kebatilan, melainkan yang al-haq jelas dan yang batil jelas. Sehingga, syadz yang jelas menyelisihi al-haq, maka ia masuk ke dalam kebatilan. Oleh karenanya, tidak disebut syadz, pendapat yang datang dari minoritas ulama fikih, bahkan dari seorang ulama fikih, selama al-haq tetap ada pada dirinya dan ia berpegang teguh dengannya. Dan tidak pula bisa dibatalkan oleh jemaah atau sebagian ulama lainnya. Sungguh hanya Abu Bakar dan Khadijah radhiyallahu ‘anhum saja yang beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di awal Islam, meski demikian mereka tetap disebut jemaah. Sedangkan ketika seluruh manusia di bumi adalah orang-orang yang menyimpang dan terpecah-belah, maka mereka bisa disebut syadz dan batil, sekalipun mereka berjemaah atau mayoritas. Wallahu a’lam. Baca juga: Tidak Semua Pendapat Dalam Khilafiyah Ditoleransi *** Penulis: Junaidi, S.H., M.H. Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] https://rumaysho.com/11484-hadits-mahfuzh-dan-hadits-syadz.html [2] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/349918 [3] Mu’jamu Lughati Al Fuqaha’ oleh Mu’jamu Lughati al Fuqaha, hal. 255. [4] Al Ihkam fi Ushulil Fiqh oleh Ibnu Hazm, 5: 863. Tags: fikihsyadz


Syadz secara istilah berarti bersendirian dari yang banyak atau jemaah. Sedangkan istilah syadz di dalam ilmu hadis yaitu yang diriwayatkan oleh perawi yang maqbul (diterima) yang menyelisihi yang lain yang lebih utama. [1] Adapun syadz di sisi para ulama fikih memiliki beberapa pengertian. Istilah syadz ini bisa diartikan menyelisihi pendapat jumhur atau mayoritas ulama, dan bisa diartikan menyelisihi  ijma’ atau bertentangan dengan dalil-dalil syar’i. [2] Muhammad Rawas Qal’aji di dalam bukunya Mu’jamu Lughati Al Fuqaha` menyebutkan, “Syadz adalah sesuatu yang menyelisihi kaidah, qiyas, atau kebiasaan. Adapun pendapat syadz adalah pendapat yang pemiliknya menyelisihi atau tidak sepakat dengan pendapat kebanyakan ulama fikih lainnya.” [3] Adapun batasan syadz yaitu yang menyelisihi al-haq (kebenaran). Setiap orang yang menyelisihi kebenaran di dalam masalah apa pun, maka masalah tersebut terkandung di dalamnya syadz. [4] Pendapat inilah yang dikuatkan Ibnu Hazm rahimahullah setelah beliau menyebutkan definisi batasan syadz menurut para ulama dan membantahnya. Sebab menyendirinya pendapat dari semua atau kebanyakan ulama ada yang berdasarkan dalil, ada yang tidak. Sehingga, apabila pendapatnya tersebut dibangun di atas dalil syar’i kemudian teryata benar dan sesuai al-haq, maka ia tidak disebut syadz, meskipun ia menyendiri. Karena barangsiapa yang pendapat dan argumennya berasal dari Al Qur’an atau As-Sunnah, kuat pendalilannya, dan sesuai dengan al-haq, maka itulah pondasi tegaknya langit dan bumi. Hal ini berdasarkan firman Alla Ta’ala, وَمَا خَلَقْنَا السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلاَّ بِالْحَقِّ “Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan benar (al haq).” Adapun jika menyendirinya dari jemaah ulama fikih di dalam al-haq dan menyelisihinya, maka itulah syadz yang menyelisihi kebenaran dan ia termasuk kebatilan. Karena tidak akan ada kebenaran bercampur dengan kebatilan, melainkan yang al-haq jelas dan yang batil jelas. Sehingga, syadz yang jelas menyelisihi al-haq, maka ia masuk ke dalam kebatilan. Oleh karenanya, tidak disebut syadz, pendapat yang datang dari minoritas ulama fikih, bahkan dari seorang ulama fikih, selama al-haq tetap ada pada dirinya dan ia berpegang teguh dengannya. Dan tidak pula bisa dibatalkan oleh jemaah atau sebagian ulama lainnya. Sungguh hanya Abu Bakar dan Khadijah radhiyallahu ‘anhum saja yang beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di awal Islam, meski demikian mereka tetap disebut jemaah. Sedangkan ketika seluruh manusia di bumi adalah orang-orang yang menyimpang dan terpecah-belah, maka mereka bisa disebut syadz dan batil, sekalipun mereka berjemaah atau mayoritas. Wallahu a’lam. Baca juga: Tidak Semua Pendapat Dalam Khilafiyah Ditoleransi *** Penulis: Junaidi, S.H., M.H. Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] https://rumaysho.com/11484-hadits-mahfuzh-dan-hadits-syadz.html [2] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/349918 [3] Mu’jamu Lughati Al Fuqaha’ oleh Mu’jamu Lughati al Fuqaha, hal. 255. [4] Al Ihkam fi Ushulil Fiqh oleh Ibnu Hazm, 5: 863. Tags: fikihsyadz

Hadis: Disyariatkannya Nazhor ketika Hendak Menikah (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Kandungan Hadis (Lanjutan)Kandungan kelima: kapan waktu pelaksanaan nazhor?Kandungan keenam: tatacara nazhorKandungan ketujuh: ketentuan-ketentuan dalam nazhorKandungan kedelapan, apakah diperbolehkan wanita menazhor laki-laki? Kandungan Hadis (Lanjutan) Kandungan kelima: kapan waktu pelaksanaan nazhor? Hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah nazhor itu berbeda-beda dalam menunjukkan kapan waktu pelaksanaan nazhor, apakah sebelum atau sesudah khitbah (lamaran). Dalam sebagian riwayat hadis, nazhor tersebut dilakukan sebelum khitbah. Sebagaimana dalam hadis Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu, إِذَا أَلْقَى اللَّهُ فِي قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ، فَلَا بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا “Jika Allah telah memantapkan pada hati seseorang untuk meminang (seorang wanita), maka tidak apa-apa jika dia melihatnya.” (HR. Ibnu Majah no. 1864. Dinilai sahih oleh Al-Albani.) Sedangkan dalam riwayat hadis yang lain, nazhor ini dilakukan setelah khitbah, sebagaimana dalam hadis dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ “Apabila salah seorang di antara kalian (telah) meminang seorang wanita, jika ia mampu untuk melihat sesuatu yang mendorongannya untuk menikahinya, hendaknya ia melakukannya.” Karena terdapat beberapa riwayat dalam masalah ini, para ulama pun berbeda pendapat tentang kapan nazhor dilakukan, apakah sebelum atau sesudah khitbah. Wallahu Ta’ala a’lam, yang lebih mendekati adalah mengamalkan semua hadis-hadis terbut, sesuai dengan kondisi masing-masing orang. Jika memungkinkan, maka seorang laki-laki menazhor seorang wanita sebelum memutuskan untuk khitbah. Jika tidak memungkinkan, maka nazhor tersebut dilakukan setelah khitbah. Kandungan keenam: tatacara nazhor Adapun tatacara nazhor adalah seorang laki-laki pergi ke rumah si wanita, dan bertemu dengannya dibersamai oleh ayah, saudara kandung laki-laki, atau mahram si wanita yang lain. Kemudian si laki-laki melihat yang bisa memantapkan hati untuk menikahi sang wanita, sebagaimana si wanita juga melihat laki-laki tersebut. Adapun yang dilakukan oleh beberapa orang jaman sekarang, yaitu si laki-laki secara sembunyi-sembunyi melihat si wanita, maka hal itu tidak bisa mewujudkan tujuan nazhor. Meskipun dengan cara tersebut memang ada maslahat, namun sekali lagi, tidak bisa mewujudkan tujuan nazhor dengan baik. Karena dengan cara seperti ini, si wanita tidak bisa melihat laki-laki tersebut. Lalu, bagaimana dengan nazhor dengan perantaraan foto? Yang lebih hati-hati adalah perbuatan tersebut terlarang, dengan beberapa alasan berikut ini: Pertama, pendapat yang membolehkan hal ini dibangun di atas dasar bolehnya foto (tashwir). Kedua, foto dinilai tidak bisa menggantikan nazhor secara langsung. Ketiga, foto terkadang bisa diedit atau dimanipulasi, sehingga tampak menonjolkan kecantikan si wanita, namun dengan menyembunyikan aibnya, sehingga hal itu bisa menipu si laki-laki. Keempat, hal itu bisa disalahgunakan atau untuk main-main, si laki-laki bermudah-mudahan melihat foto si wanita, padahal dia hanya main-main saja. Apakah boleh berbicara (bercakap-cakap) ketika nazhor? Jika berbicara tersebut dilakukan saat nazhor, maka tidak masalah. Hal ini agar si laki-laki mengetahui suara si wanita, dan juga bagaimana karakter ketika dia berbicara, juga untuk mengetahui apakah ada kecacatan dalam berbicara ataukah tidak. Adapun lebih dari itu, misalnya dengan dilanjutkan ngobrol melalui telepon, maka hendaknya dijauhi. Apalagi jika tanpa sepengetahuan keluarga pihak wanita, seperti ayah atau ibunya. Karena perbuatan ini hanya akan membangkitkan syahwat dan menyeret kepada perkara-perkara yang dilarang. Baca juga: Menikah adalah Sunah Nabi Kandungan ketujuh: ketentuan-ketentuan dalam nazhor Nazhor memiliki beberapa ketentuan yang hendaknya diperhatikan, di antaranya: Pertama, laki-laki tersebut memang betul-betul memiliki tekad dan keinginan untuk menikah. Hal ini karena nazhor diperbolehkan hanya bagi laki-laki yang memang sudah memiliki tekad atau rencana matang untuk menikah. Jika tidak, maka pada asalnya diharamkan. Kedua, ada kemungkinan besar dalam benaknya bahwa dia menerima wanita tersebut. Jika tidak ada, maka nazhor tidak diperbolehkan. Ini dalam rangka kehati-hatian dan juga dengan pertimbangan ketika nazhor tersebut dilakukan sebelum khitbah. Juga pada sebagian besar keadaan, nazhor itu tidak dilakukan kecuali setelah si laki-laki merasa cocok dengan si wanita. Ketiga, nazhor tersebut bukan dalam rangka melampiaskan syahwat, karena yang seperti ini hanya khusus untuk suami-istri. Sedangkan laki-laki yang melakukan nazhor, statusnya masih laki-laki ajnabi (laki-laki yang bukan mahram), sehingga tidak diperbolehkan jika maksudnya untuk mengumbar atau memperturutkan syahwat. Namun, jika kemudian muncul syahwat karena nazhor, maka hal itu tidak mengapa karena memang sesuatu yang tidak mungkin untuk dicegah. Keempat, nazhor tersebut dilakukan sekedar sesuai kebutuhan saja, karena pada asalnya haram. Akan tetapi, si laki-laki boleh menazhor sampai dia merasa sudah mewujudkan maksud dan tujuannya, yaitu mengetahui sifat-sifat dari wanita yang hendak dinikahinya. Kelima, tidak diperbolehkan untuk berdua-duaan atau bahkan safar dengan alasan sedang ta’aruf, karena terdapat kerusakan yang besar dari perbuatan tersebut. Keenam, tidak boleh bersalaman atau menyentuh bagian tubuh lainnya, karena status wanita tersebut masih wanita ajnabiyah (wanita yang bukan mahram). Ketujuh, apakah dipersyaratkan bahwa si wanita mengetahui bahwa dia dinazhor? Dalam masalah ini, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa hal itu tidak dipersyaratkan. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menisbatkan pendapat ini kepada jumhur ulama. Hal ini berdasarkan satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Humaid atau Humaidah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً، فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَةٍ ، وَإِنْ كَانَتْ لَا تَعْلَمُ “Jika kalian meminang wanita, maka tidak mengapa jika kalian melihatnya jika dia melihatnya untuk meminangnya, meskipun si wanita tidak mengetahuinya.” (HR. Ahmad 39: 15, sanadnya sahih.) Syekh Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Adapun pendapat yang tampak lebih mendekati menurutku adalah dirinci. Jika ada sangkaan kuat bahwa laki-laki tersebut diterima, maka nazhor dilakukan dengan sepengetahuan si wanita. Akan tetapi, jika ada sangkaan kuat bahwa laki-laki tersebut ditolak (lamarannya), karena adanya indikasi-indikasi tertentu, maka tidak masalah jika nazhor dilakukan tanpa sepengetahuan si wanita. Hal ini supaya tidak menimbulkan perasan yang tidak enak di hati.” (Minhatul ‘Allam, 7: 204) Kedelapan, hendaknya si laki-laki menyembunyikan aib dari si wanita yang dilihatnya dan tidak menyebarluaskannya, lebih-lebih ketika dia kemudian tidak jadi melanjutkan ke akad nikah. Kandungan kedelapan, apakah diperbolehkan wanita menazhor laki-laki? Adapun wanita yang menazhor laki-laki, maka tidak terdapat dalil khusus dalam masalah ini. Hanya saja, terdapat dalil umum, yaitu perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا “Karena hal itu akan lebih melanggengkan perkawinan kalian berdua.” Inilah pendapat yang disampaikan oleh sejumlah ulama. Karena jika nazhor diperbolehkan untuk laki-laki, maka lebih-lebih lagi diperbolehkan untuk wanita. Sebagaimana laki-laki ingin melihat yang bisa menarik dan memantapkan hatinya untuk menikahi wanita, hal yang sama juga berlaku untuk wanita yang ingin menikah dengan seorang laki-laki. Bahkan, memilih pasangan itu lebih sulit bagi wanita daripada laki-laki. Jika setelah menikah, seorang suami melihat ada yang tidak dia sukai dari istri, maka dia bisa menceraikannya. Sedangkan wanita hanya bisa menggugat cerai sang suami dalam kondisi tertentu saja. Selain itu, dalil-dalil syariat juga pada umumnya menyebutkan laki-laki saja, padahal berlaku baik untuk laki-laki maupun wanita. Dalil syariat tidak secara khusus menujukan kepada wanita dalam masalah nazhor, karena laki-laki itu lebih mudah untuk ditemui dan dijumpai. Memungkinkan bagi wanita untuk melihat laki-laki dengan mudah, sehingga maksud dan tujuan nazhor tersebut telah tercapai. Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Kembali ke bagian 1: Hadis: Disyariatkannya Nazhor ketika Hendak Menikah (Bag. 1) *** @23 Zulkaidah 1445/ 1 Juni 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 197-204). Tags: menikahnazhor

Hadis: Disyariatkannya Nazhor ketika Hendak Menikah (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Kandungan Hadis (Lanjutan)Kandungan kelima: kapan waktu pelaksanaan nazhor?Kandungan keenam: tatacara nazhorKandungan ketujuh: ketentuan-ketentuan dalam nazhorKandungan kedelapan, apakah diperbolehkan wanita menazhor laki-laki? Kandungan Hadis (Lanjutan) Kandungan kelima: kapan waktu pelaksanaan nazhor? Hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah nazhor itu berbeda-beda dalam menunjukkan kapan waktu pelaksanaan nazhor, apakah sebelum atau sesudah khitbah (lamaran). Dalam sebagian riwayat hadis, nazhor tersebut dilakukan sebelum khitbah. Sebagaimana dalam hadis Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu, إِذَا أَلْقَى اللَّهُ فِي قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ، فَلَا بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا “Jika Allah telah memantapkan pada hati seseorang untuk meminang (seorang wanita), maka tidak apa-apa jika dia melihatnya.” (HR. Ibnu Majah no. 1864. Dinilai sahih oleh Al-Albani.) Sedangkan dalam riwayat hadis yang lain, nazhor ini dilakukan setelah khitbah, sebagaimana dalam hadis dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ “Apabila salah seorang di antara kalian (telah) meminang seorang wanita, jika ia mampu untuk melihat sesuatu yang mendorongannya untuk menikahinya, hendaknya ia melakukannya.” Karena terdapat beberapa riwayat dalam masalah ini, para ulama pun berbeda pendapat tentang kapan nazhor dilakukan, apakah sebelum atau sesudah khitbah. Wallahu Ta’ala a’lam, yang lebih mendekati adalah mengamalkan semua hadis-hadis terbut, sesuai dengan kondisi masing-masing orang. Jika memungkinkan, maka seorang laki-laki menazhor seorang wanita sebelum memutuskan untuk khitbah. Jika tidak memungkinkan, maka nazhor tersebut dilakukan setelah khitbah. Kandungan keenam: tatacara nazhor Adapun tatacara nazhor adalah seorang laki-laki pergi ke rumah si wanita, dan bertemu dengannya dibersamai oleh ayah, saudara kandung laki-laki, atau mahram si wanita yang lain. Kemudian si laki-laki melihat yang bisa memantapkan hati untuk menikahi sang wanita, sebagaimana si wanita juga melihat laki-laki tersebut. Adapun yang dilakukan oleh beberapa orang jaman sekarang, yaitu si laki-laki secara sembunyi-sembunyi melihat si wanita, maka hal itu tidak bisa mewujudkan tujuan nazhor. Meskipun dengan cara tersebut memang ada maslahat, namun sekali lagi, tidak bisa mewujudkan tujuan nazhor dengan baik. Karena dengan cara seperti ini, si wanita tidak bisa melihat laki-laki tersebut. Lalu, bagaimana dengan nazhor dengan perantaraan foto? Yang lebih hati-hati adalah perbuatan tersebut terlarang, dengan beberapa alasan berikut ini: Pertama, pendapat yang membolehkan hal ini dibangun di atas dasar bolehnya foto (tashwir). Kedua, foto dinilai tidak bisa menggantikan nazhor secara langsung. Ketiga, foto terkadang bisa diedit atau dimanipulasi, sehingga tampak menonjolkan kecantikan si wanita, namun dengan menyembunyikan aibnya, sehingga hal itu bisa menipu si laki-laki. Keempat, hal itu bisa disalahgunakan atau untuk main-main, si laki-laki bermudah-mudahan melihat foto si wanita, padahal dia hanya main-main saja. Apakah boleh berbicara (bercakap-cakap) ketika nazhor? Jika berbicara tersebut dilakukan saat nazhor, maka tidak masalah. Hal ini agar si laki-laki mengetahui suara si wanita, dan juga bagaimana karakter ketika dia berbicara, juga untuk mengetahui apakah ada kecacatan dalam berbicara ataukah tidak. Adapun lebih dari itu, misalnya dengan dilanjutkan ngobrol melalui telepon, maka hendaknya dijauhi. Apalagi jika tanpa sepengetahuan keluarga pihak wanita, seperti ayah atau ibunya. Karena perbuatan ini hanya akan membangkitkan syahwat dan menyeret kepada perkara-perkara yang dilarang. Baca juga: Menikah adalah Sunah Nabi Kandungan ketujuh: ketentuan-ketentuan dalam nazhor Nazhor memiliki beberapa ketentuan yang hendaknya diperhatikan, di antaranya: Pertama, laki-laki tersebut memang betul-betul memiliki tekad dan keinginan untuk menikah. Hal ini karena nazhor diperbolehkan hanya bagi laki-laki yang memang sudah memiliki tekad atau rencana matang untuk menikah. Jika tidak, maka pada asalnya diharamkan. Kedua, ada kemungkinan besar dalam benaknya bahwa dia menerima wanita tersebut. Jika tidak ada, maka nazhor tidak diperbolehkan. Ini dalam rangka kehati-hatian dan juga dengan pertimbangan ketika nazhor tersebut dilakukan sebelum khitbah. Juga pada sebagian besar keadaan, nazhor itu tidak dilakukan kecuali setelah si laki-laki merasa cocok dengan si wanita. Ketiga, nazhor tersebut bukan dalam rangka melampiaskan syahwat, karena yang seperti ini hanya khusus untuk suami-istri. Sedangkan laki-laki yang melakukan nazhor, statusnya masih laki-laki ajnabi (laki-laki yang bukan mahram), sehingga tidak diperbolehkan jika maksudnya untuk mengumbar atau memperturutkan syahwat. Namun, jika kemudian muncul syahwat karena nazhor, maka hal itu tidak mengapa karena memang sesuatu yang tidak mungkin untuk dicegah. Keempat, nazhor tersebut dilakukan sekedar sesuai kebutuhan saja, karena pada asalnya haram. Akan tetapi, si laki-laki boleh menazhor sampai dia merasa sudah mewujudkan maksud dan tujuannya, yaitu mengetahui sifat-sifat dari wanita yang hendak dinikahinya. Kelima, tidak diperbolehkan untuk berdua-duaan atau bahkan safar dengan alasan sedang ta’aruf, karena terdapat kerusakan yang besar dari perbuatan tersebut. Keenam, tidak boleh bersalaman atau menyentuh bagian tubuh lainnya, karena status wanita tersebut masih wanita ajnabiyah (wanita yang bukan mahram). Ketujuh, apakah dipersyaratkan bahwa si wanita mengetahui bahwa dia dinazhor? Dalam masalah ini, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa hal itu tidak dipersyaratkan. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menisbatkan pendapat ini kepada jumhur ulama. Hal ini berdasarkan satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Humaid atau Humaidah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً، فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَةٍ ، وَإِنْ كَانَتْ لَا تَعْلَمُ “Jika kalian meminang wanita, maka tidak mengapa jika kalian melihatnya jika dia melihatnya untuk meminangnya, meskipun si wanita tidak mengetahuinya.” (HR. Ahmad 39: 15, sanadnya sahih.) Syekh Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Adapun pendapat yang tampak lebih mendekati menurutku adalah dirinci. Jika ada sangkaan kuat bahwa laki-laki tersebut diterima, maka nazhor dilakukan dengan sepengetahuan si wanita. Akan tetapi, jika ada sangkaan kuat bahwa laki-laki tersebut ditolak (lamarannya), karena adanya indikasi-indikasi tertentu, maka tidak masalah jika nazhor dilakukan tanpa sepengetahuan si wanita. Hal ini supaya tidak menimbulkan perasan yang tidak enak di hati.” (Minhatul ‘Allam, 7: 204) Kedelapan, hendaknya si laki-laki menyembunyikan aib dari si wanita yang dilihatnya dan tidak menyebarluaskannya, lebih-lebih ketika dia kemudian tidak jadi melanjutkan ke akad nikah. Kandungan kedelapan, apakah diperbolehkan wanita menazhor laki-laki? Adapun wanita yang menazhor laki-laki, maka tidak terdapat dalil khusus dalam masalah ini. Hanya saja, terdapat dalil umum, yaitu perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا “Karena hal itu akan lebih melanggengkan perkawinan kalian berdua.” Inilah pendapat yang disampaikan oleh sejumlah ulama. Karena jika nazhor diperbolehkan untuk laki-laki, maka lebih-lebih lagi diperbolehkan untuk wanita. Sebagaimana laki-laki ingin melihat yang bisa menarik dan memantapkan hatinya untuk menikahi wanita, hal yang sama juga berlaku untuk wanita yang ingin menikah dengan seorang laki-laki. Bahkan, memilih pasangan itu lebih sulit bagi wanita daripada laki-laki. Jika setelah menikah, seorang suami melihat ada yang tidak dia sukai dari istri, maka dia bisa menceraikannya. Sedangkan wanita hanya bisa menggugat cerai sang suami dalam kondisi tertentu saja. Selain itu, dalil-dalil syariat juga pada umumnya menyebutkan laki-laki saja, padahal berlaku baik untuk laki-laki maupun wanita. Dalil syariat tidak secara khusus menujukan kepada wanita dalam masalah nazhor, karena laki-laki itu lebih mudah untuk ditemui dan dijumpai. Memungkinkan bagi wanita untuk melihat laki-laki dengan mudah, sehingga maksud dan tujuan nazhor tersebut telah tercapai. Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Kembali ke bagian 1: Hadis: Disyariatkannya Nazhor ketika Hendak Menikah (Bag. 1) *** @23 Zulkaidah 1445/ 1 Juni 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 197-204). Tags: menikahnazhor
Daftar Isi Toggle Kandungan Hadis (Lanjutan)Kandungan kelima: kapan waktu pelaksanaan nazhor?Kandungan keenam: tatacara nazhorKandungan ketujuh: ketentuan-ketentuan dalam nazhorKandungan kedelapan, apakah diperbolehkan wanita menazhor laki-laki? Kandungan Hadis (Lanjutan) Kandungan kelima: kapan waktu pelaksanaan nazhor? Hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah nazhor itu berbeda-beda dalam menunjukkan kapan waktu pelaksanaan nazhor, apakah sebelum atau sesudah khitbah (lamaran). Dalam sebagian riwayat hadis, nazhor tersebut dilakukan sebelum khitbah. Sebagaimana dalam hadis Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu, إِذَا أَلْقَى اللَّهُ فِي قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ، فَلَا بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا “Jika Allah telah memantapkan pada hati seseorang untuk meminang (seorang wanita), maka tidak apa-apa jika dia melihatnya.” (HR. Ibnu Majah no. 1864. Dinilai sahih oleh Al-Albani.) Sedangkan dalam riwayat hadis yang lain, nazhor ini dilakukan setelah khitbah, sebagaimana dalam hadis dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ “Apabila salah seorang di antara kalian (telah) meminang seorang wanita, jika ia mampu untuk melihat sesuatu yang mendorongannya untuk menikahinya, hendaknya ia melakukannya.” Karena terdapat beberapa riwayat dalam masalah ini, para ulama pun berbeda pendapat tentang kapan nazhor dilakukan, apakah sebelum atau sesudah khitbah. Wallahu Ta’ala a’lam, yang lebih mendekati adalah mengamalkan semua hadis-hadis terbut, sesuai dengan kondisi masing-masing orang. Jika memungkinkan, maka seorang laki-laki menazhor seorang wanita sebelum memutuskan untuk khitbah. Jika tidak memungkinkan, maka nazhor tersebut dilakukan setelah khitbah. Kandungan keenam: tatacara nazhor Adapun tatacara nazhor adalah seorang laki-laki pergi ke rumah si wanita, dan bertemu dengannya dibersamai oleh ayah, saudara kandung laki-laki, atau mahram si wanita yang lain. Kemudian si laki-laki melihat yang bisa memantapkan hati untuk menikahi sang wanita, sebagaimana si wanita juga melihat laki-laki tersebut. Adapun yang dilakukan oleh beberapa orang jaman sekarang, yaitu si laki-laki secara sembunyi-sembunyi melihat si wanita, maka hal itu tidak bisa mewujudkan tujuan nazhor. Meskipun dengan cara tersebut memang ada maslahat, namun sekali lagi, tidak bisa mewujudkan tujuan nazhor dengan baik. Karena dengan cara seperti ini, si wanita tidak bisa melihat laki-laki tersebut. Lalu, bagaimana dengan nazhor dengan perantaraan foto? Yang lebih hati-hati adalah perbuatan tersebut terlarang, dengan beberapa alasan berikut ini: Pertama, pendapat yang membolehkan hal ini dibangun di atas dasar bolehnya foto (tashwir). Kedua, foto dinilai tidak bisa menggantikan nazhor secara langsung. Ketiga, foto terkadang bisa diedit atau dimanipulasi, sehingga tampak menonjolkan kecantikan si wanita, namun dengan menyembunyikan aibnya, sehingga hal itu bisa menipu si laki-laki. Keempat, hal itu bisa disalahgunakan atau untuk main-main, si laki-laki bermudah-mudahan melihat foto si wanita, padahal dia hanya main-main saja. Apakah boleh berbicara (bercakap-cakap) ketika nazhor? Jika berbicara tersebut dilakukan saat nazhor, maka tidak masalah. Hal ini agar si laki-laki mengetahui suara si wanita, dan juga bagaimana karakter ketika dia berbicara, juga untuk mengetahui apakah ada kecacatan dalam berbicara ataukah tidak. Adapun lebih dari itu, misalnya dengan dilanjutkan ngobrol melalui telepon, maka hendaknya dijauhi. Apalagi jika tanpa sepengetahuan keluarga pihak wanita, seperti ayah atau ibunya. Karena perbuatan ini hanya akan membangkitkan syahwat dan menyeret kepada perkara-perkara yang dilarang. Baca juga: Menikah adalah Sunah Nabi Kandungan ketujuh: ketentuan-ketentuan dalam nazhor Nazhor memiliki beberapa ketentuan yang hendaknya diperhatikan, di antaranya: Pertama, laki-laki tersebut memang betul-betul memiliki tekad dan keinginan untuk menikah. Hal ini karena nazhor diperbolehkan hanya bagi laki-laki yang memang sudah memiliki tekad atau rencana matang untuk menikah. Jika tidak, maka pada asalnya diharamkan. Kedua, ada kemungkinan besar dalam benaknya bahwa dia menerima wanita tersebut. Jika tidak ada, maka nazhor tidak diperbolehkan. Ini dalam rangka kehati-hatian dan juga dengan pertimbangan ketika nazhor tersebut dilakukan sebelum khitbah. Juga pada sebagian besar keadaan, nazhor itu tidak dilakukan kecuali setelah si laki-laki merasa cocok dengan si wanita. Ketiga, nazhor tersebut bukan dalam rangka melampiaskan syahwat, karena yang seperti ini hanya khusus untuk suami-istri. Sedangkan laki-laki yang melakukan nazhor, statusnya masih laki-laki ajnabi (laki-laki yang bukan mahram), sehingga tidak diperbolehkan jika maksudnya untuk mengumbar atau memperturutkan syahwat. Namun, jika kemudian muncul syahwat karena nazhor, maka hal itu tidak mengapa karena memang sesuatu yang tidak mungkin untuk dicegah. Keempat, nazhor tersebut dilakukan sekedar sesuai kebutuhan saja, karena pada asalnya haram. Akan tetapi, si laki-laki boleh menazhor sampai dia merasa sudah mewujudkan maksud dan tujuannya, yaitu mengetahui sifat-sifat dari wanita yang hendak dinikahinya. Kelima, tidak diperbolehkan untuk berdua-duaan atau bahkan safar dengan alasan sedang ta’aruf, karena terdapat kerusakan yang besar dari perbuatan tersebut. Keenam, tidak boleh bersalaman atau menyentuh bagian tubuh lainnya, karena status wanita tersebut masih wanita ajnabiyah (wanita yang bukan mahram). Ketujuh, apakah dipersyaratkan bahwa si wanita mengetahui bahwa dia dinazhor? Dalam masalah ini, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa hal itu tidak dipersyaratkan. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menisbatkan pendapat ini kepada jumhur ulama. Hal ini berdasarkan satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Humaid atau Humaidah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً، فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَةٍ ، وَإِنْ كَانَتْ لَا تَعْلَمُ “Jika kalian meminang wanita, maka tidak mengapa jika kalian melihatnya jika dia melihatnya untuk meminangnya, meskipun si wanita tidak mengetahuinya.” (HR. Ahmad 39: 15, sanadnya sahih.) Syekh Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Adapun pendapat yang tampak lebih mendekati menurutku adalah dirinci. Jika ada sangkaan kuat bahwa laki-laki tersebut diterima, maka nazhor dilakukan dengan sepengetahuan si wanita. Akan tetapi, jika ada sangkaan kuat bahwa laki-laki tersebut ditolak (lamarannya), karena adanya indikasi-indikasi tertentu, maka tidak masalah jika nazhor dilakukan tanpa sepengetahuan si wanita. Hal ini supaya tidak menimbulkan perasan yang tidak enak di hati.” (Minhatul ‘Allam, 7: 204) Kedelapan, hendaknya si laki-laki menyembunyikan aib dari si wanita yang dilihatnya dan tidak menyebarluaskannya, lebih-lebih ketika dia kemudian tidak jadi melanjutkan ke akad nikah. Kandungan kedelapan, apakah diperbolehkan wanita menazhor laki-laki? Adapun wanita yang menazhor laki-laki, maka tidak terdapat dalil khusus dalam masalah ini. Hanya saja, terdapat dalil umum, yaitu perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا “Karena hal itu akan lebih melanggengkan perkawinan kalian berdua.” Inilah pendapat yang disampaikan oleh sejumlah ulama. Karena jika nazhor diperbolehkan untuk laki-laki, maka lebih-lebih lagi diperbolehkan untuk wanita. Sebagaimana laki-laki ingin melihat yang bisa menarik dan memantapkan hatinya untuk menikahi wanita, hal yang sama juga berlaku untuk wanita yang ingin menikah dengan seorang laki-laki. Bahkan, memilih pasangan itu lebih sulit bagi wanita daripada laki-laki. Jika setelah menikah, seorang suami melihat ada yang tidak dia sukai dari istri, maka dia bisa menceraikannya. Sedangkan wanita hanya bisa menggugat cerai sang suami dalam kondisi tertentu saja. Selain itu, dalil-dalil syariat juga pada umumnya menyebutkan laki-laki saja, padahal berlaku baik untuk laki-laki maupun wanita. Dalil syariat tidak secara khusus menujukan kepada wanita dalam masalah nazhor, karena laki-laki itu lebih mudah untuk ditemui dan dijumpai. Memungkinkan bagi wanita untuk melihat laki-laki dengan mudah, sehingga maksud dan tujuan nazhor tersebut telah tercapai. Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Kembali ke bagian 1: Hadis: Disyariatkannya Nazhor ketika Hendak Menikah (Bag. 1) *** @23 Zulkaidah 1445/ 1 Juni 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 197-204). Tags: menikahnazhor


Daftar Isi Toggle Kandungan Hadis (Lanjutan)Kandungan kelima: kapan waktu pelaksanaan nazhor?Kandungan keenam: tatacara nazhorKandungan ketujuh: ketentuan-ketentuan dalam nazhorKandungan kedelapan, apakah diperbolehkan wanita menazhor laki-laki? Kandungan Hadis (Lanjutan) Kandungan kelima: kapan waktu pelaksanaan nazhor? Hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah nazhor itu berbeda-beda dalam menunjukkan kapan waktu pelaksanaan nazhor, apakah sebelum atau sesudah khitbah (lamaran). Dalam sebagian riwayat hadis, nazhor tersebut dilakukan sebelum khitbah. Sebagaimana dalam hadis Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu, إِذَا أَلْقَى اللَّهُ فِي قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ، فَلَا بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا “Jika Allah telah memantapkan pada hati seseorang untuk meminang (seorang wanita), maka tidak apa-apa jika dia melihatnya.” (HR. Ibnu Majah no. 1864. Dinilai sahih oleh Al-Albani.) Sedangkan dalam riwayat hadis yang lain, nazhor ini dilakukan setelah khitbah, sebagaimana dalam hadis dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ “Apabila salah seorang di antara kalian (telah) meminang seorang wanita, jika ia mampu untuk melihat sesuatu yang mendorongannya untuk menikahinya, hendaknya ia melakukannya.” Karena terdapat beberapa riwayat dalam masalah ini, para ulama pun berbeda pendapat tentang kapan nazhor dilakukan, apakah sebelum atau sesudah khitbah. Wallahu Ta’ala a’lam, yang lebih mendekati adalah mengamalkan semua hadis-hadis terbut, sesuai dengan kondisi masing-masing orang. Jika memungkinkan, maka seorang laki-laki menazhor seorang wanita sebelum memutuskan untuk khitbah. Jika tidak memungkinkan, maka nazhor tersebut dilakukan setelah khitbah. Kandungan keenam: tatacara nazhor Adapun tatacara nazhor adalah seorang laki-laki pergi ke rumah si wanita, dan bertemu dengannya dibersamai oleh ayah, saudara kandung laki-laki, atau mahram si wanita yang lain. Kemudian si laki-laki melihat yang bisa memantapkan hati untuk menikahi sang wanita, sebagaimana si wanita juga melihat laki-laki tersebut. Adapun yang dilakukan oleh beberapa orang jaman sekarang, yaitu si laki-laki secara sembunyi-sembunyi melihat si wanita, maka hal itu tidak bisa mewujudkan tujuan nazhor. Meskipun dengan cara tersebut memang ada maslahat, namun sekali lagi, tidak bisa mewujudkan tujuan nazhor dengan baik. Karena dengan cara seperti ini, si wanita tidak bisa melihat laki-laki tersebut. Lalu, bagaimana dengan nazhor dengan perantaraan foto? Yang lebih hati-hati adalah perbuatan tersebut terlarang, dengan beberapa alasan berikut ini: Pertama, pendapat yang membolehkan hal ini dibangun di atas dasar bolehnya foto (tashwir). Kedua, foto dinilai tidak bisa menggantikan nazhor secara langsung. Ketiga, foto terkadang bisa diedit atau dimanipulasi, sehingga tampak menonjolkan kecantikan si wanita, namun dengan menyembunyikan aibnya, sehingga hal itu bisa menipu si laki-laki. Keempat, hal itu bisa disalahgunakan atau untuk main-main, si laki-laki bermudah-mudahan melihat foto si wanita, padahal dia hanya main-main saja. Apakah boleh berbicara (bercakap-cakap) ketika nazhor? Jika berbicara tersebut dilakukan saat nazhor, maka tidak masalah. Hal ini agar si laki-laki mengetahui suara si wanita, dan juga bagaimana karakter ketika dia berbicara, juga untuk mengetahui apakah ada kecacatan dalam berbicara ataukah tidak. Adapun lebih dari itu, misalnya dengan dilanjutkan ngobrol melalui telepon, maka hendaknya dijauhi. Apalagi jika tanpa sepengetahuan keluarga pihak wanita, seperti ayah atau ibunya. Karena perbuatan ini hanya akan membangkitkan syahwat dan menyeret kepada perkara-perkara yang dilarang. Baca juga: Menikah adalah Sunah Nabi Kandungan ketujuh: ketentuan-ketentuan dalam nazhor Nazhor memiliki beberapa ketentuan yang hendaknya diperhatikan, di antaranya: Pertama, laki-laki tersebut memang betul-betul memiliki tekad dan keinginan untuk menikah. Hal ini karena nazhor diperbolehkan hanya bagi laki-laki yang memang sudah memiliki tekad atau rencana matang untuk menikah. Jika tidak, maka pada asalnya diharamkan. Kedua, ada kemungkinan besar dalam benaknya bahwa dia menerima wanita tersebut. Jika tidak ada, maka nazhor tidak diperbolehkan. Ini dalam rangka kehati-hatian dan juga dengan pertimbangan ketika nazhor tersebut dilakukan sebelum khitbah. Juga pada sebagian besar keadaan, nazhor itu tidak dilakukan kecuali setelah si laki-laki merasa cocok dengan si wanita. Ketiga, nazhor tersebut bukan dalam rangka melampiaskan syahwat, karena yang seperti ini hanya khusus untuk suami-istri. Sedangkan laki-laki yang melakukan nazhor, statusnya masih laki-laki ajnabi (laki-laki yang bukan mahram), sehingga tidak diperbolehkan jika maksudnya untuk mengumbar atau memperturutkan syahwat. Namun, jika kemudian muncul syahwat karena nazhor, maka hal itu tidak mengapa karena memang sesuatu yang tidak mungkin untuk dicegah. Keempat, nazhor tersebut dilakukan sekedar sesuai kebutuhan saja, karena pada asalnya haram. Akan tetapi, si laki-laki boleh menazhor sampai dia merasa sudah mewujudkan maksud dan tujuannya, yaitu mengetahui sifat-sifat dari wanita yang hendak dinikahinya. Kelima, tidak diperbolehkan untuk berdua-duaan atau bahkan safar dengan alasan sedang ta’aruf, karena terdapat kerusakan yang besar dari perbuatan tersebut. Keenam, tidak boleh bersalaman atau menyentuh bagian tubuh lainnya, karena status wanita tersebut masih wanita ajnabiyah (wanita yang bukan mahram). Ketujuh, apakah dipersyaratkan bahwa si wanita mengetahui bahwa dia dinazhor? Dalam masalah ini, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa hal itu tidak dipersyaratkan. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menisbatkan pendapat ini kepada jumhur ulama. Hal ini berdasarkan satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Humaid atau Humaidah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً، فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَةٍ ، وَإِنْ كَانَتْ لَا تَعْلَمُ “Jika kalian meminang wanita, maka tidak mengapa jika kalian melihatnya jika dia melihatnya untuk meminangnya, meskipun si wanita tidak mengetahuinya.” (HR. Ahmad 39: 15, sanadnya sahih.) Syekh Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Adapun pendapat yang tampak lebih mendekati menurutku adalah dirinci. Jika ada sangkaan kuat bahwa laki-laki tersebut diterima, maka nazhor dilakukan dengan sepengetahuan si wanita. Akan tetapi, jika ada sangkaan kuat bahwa laki-laki tersebut ditolak (lamarannya), karena adanya indikasi-indikasi tertentu, maka tidak masalah jika nazhor dilakukan tanpa sepengetahuan si wanita. Hal ini supaya tidak menimbulkan perasan yang tidak enak di hati.” (Minhatul ‘Allam, 7: 204) Kedelapan, hendaknya si laki-laki menyembunyikan aib dari si wanita yang dilihatnya dan tidak menyebarluaskannya, lebih-lebih ketika dia kemudian tidak jadi melanjutkan ke akad nikah. Kandungan kedelapan, apakah diperbolehkan wanita menazhor laki-laki? Adapun wanita yang menazhor laki-laki, maka tidak terdapat dalil khusus dalam masalah ini. Hanya saja, terdapat dalil umum, yaitu perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا “Karena hal itu akan lebih melanggengkan perkawinan kalian berdua.” Inilah pendapat yang disampaikan oleh sejumlah ulama. Karena jika nazhor diperbolehkan untuk laki-laki, maka lebih-lebih lagi diperbolehkan untuk wanita. Sebagaimana laki-laki ingin melihat yang bisa menarik dan memantapkan hatinya untuk menikahi wanita, hal yang sama juga berlaku untuk wanita yang ingin menikah dengan seorang laki-laki. Bahkan, memilih pasangan itu lebih sulit bagi wanita daripada laki-laki. Jika setelah menikah, seorang suami melihat ada yang tidak dia sukai dari istri, maka dia bisa menceraikannya. Sedangkan wanita hanya bisa menggugat cerai sang suami dalam kondisi tertentu saja. Selain itu, dalil-dalil syariat juga pada umumnya menyebutkan laki-laki saja, padahal berlaku baik untuk laki-laki maupun wanita. Dalil syariat tidak secara khusus menujukan kepada wanita dalam masalah nazhor, karena laki-laki itu lebih mudah untuk ditemui dan dijumpai. Memungkinkan bagi wanita untuk melihat laki-laki dengan mudah, sehingga maksud dan tujuan nazhor tersebut telah tercapai. Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Kembali ke bagian 1: Hadis: Disyariatkannya Nazhor ketika Hendak Menikah (Bag. 1) *** @23 Zulkaidah 1445/ 1 Juni 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 197-204). Tags: menikahnazhor

6 Tips agar Berwawasan Luas

6 Tips agar Berwawasan Luas سعة الأفق Oleh: Ahmad bin Abdurrahman ash-Shuyan أحمد بن عبد الرحمن الصويان من نعمة الله تعالى على العبد أن يرزقه سعة في الأفق، وعمقاً في النظر، فيتسع فكره، وينطلق في آفاق رحبة واسعة، ويؤتيه الله بصيرة نافذة تجعله ينفذ إلى أعماق الحقائق وأبعادها، فيقدرها بقدرها، ويضعها في مواضعها. Di antara kenikmatan dari Allah Ta’ala yang dikaruniakan kepada seorang hamba adalah keluasan wawasan dan kematangan pandangan; sehingga pikirannya luas dan dapat mengarungi ufuk yang luas. Allah memberinya pemikiran cerdas yang membuatnya dapat menyelam ke dalam berbagai realita dan dimensi; sehingga dia dapat mempertimbangkannya dengan pertimbangan yang tepat dan mendudukkannya di tempat yang seharusnya. ومما يعين الإنسان على سعة الأفق: أولا: حرصه على طلب العلم والجدّ فيه، وأخذه من أهله الأثبات الراسخين، والصبر على تتبع مسائله في مظانها المختلفة، وحرصه في بدء الطلب على أن يأخذ من كل فن أصوله وقواعده لكي تتكامل معارفه وتتآلف علومه، والعلم هو الركيزة الأساس التي تبني عقل الإنسان وتجعله يستقيم على الجادة؛ ألم ترَ أن الجاهل يعيش في ظلمة فلا يبصر طريقه، فإذا عرض له عارض صار يتخبط ويضطرب؟ بينما ترى صاحب العلم والفهم حاذقاً فطناً يفتح الله عليه من أبواب العلوم ما يجعله قادراً على رؤية أبعاد واسعة لا يراها من هو دونه. Beberapa hal yang dapat menjadikan seseorang memiliki wawasan yang luas Pertama: Bersungguh-sungguh dalam belajar, menuntut ilmu dari para ulama yang terpercaya dan kuat ilmunya, bersabar dalam meneliti berbagai permasalahan dari sumber-sumber yang beraneka ragam; dan hendaknya pada awal belajar dia mempelajari asas-asas dan kaidah-kaidah pokok dalam setiap bidang ilmu, agar pengetahuannya dapat diraih secara utuh dan ilmu-ilmunya saling melengkapi.  Ilmu adalah pilar utama yang dapat membangun akal seseorang dan menjadikannya dapat konsisten di atas jalan yang benar. Tidakkah kamu melihat orang yang bodoh itu hidup dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat melihat jalannya, dan jika ada sesuatu yang menghalangi jalannya, dia menjadi sempoyongan dan terhuyung-huyung?! Sedangkan di sisi lain, kamu dapat melihat orang yang berilmu dan memiliki pemahaman itu menjadi orang yang cerdas dan cermat; Allah Ta’ala membukakan pintu-pintu ilmu baginya, sehingga menjadikannya mampu melihat dimensi-dimensi yang luas, yang tidak dapat dilihat oleh orang lain yang ilmunya lebih rendah darinya. ثانيا: تنوع ثقافاته، وتعدد قراءاته في مختلف أنواع المعرفة العلمية، فالمتخصص في الدراسات الشرعية مثلاً لا ينحصر في هذا التخصص، بل تمتد عنايته واطلاعه إلى الدراسات الأدبية والفكرية والإنسانية الأخرى؛ فهو يتنقل في حقول العلم والفكر، ويمتص رحيق الأزهار بألوانها وأشكالها المتنوعة، وهكذا بقية المتخصصين في فروع أخرى من العلم. Kedua: Menganekaragamkan berbagai pengetahuan dan memperbanyak bahan bacaan di berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, seorang spesialis dalam bidang ilmu-ilmu syariat hendaknya tidak hanya membatasi diri dalam spesialisasi itu. Namun, hendaknya dia memperluas perhatian dan bacaannya dalam ilmu-ilmu sastra, filsafat, dan ilmu-ilmu humaniora lainnya; sehingga dia dapat berpindah-pindah di berbagai taman-taman ilmu dan pemikiran, dan menghirup berbagai sari bunga dengan warna dan bentuk yang berbeda-beda. Demikian juga dengan para spesialis lainnya bersikap terhadap cabang-cabang ilmu lainnya. ثالثا: كثرة محاورته ومجالسته لأهل العلم والرأي؛ فبالحوار العلمي الجاد تتسع مدارك الإنسان، ويقف على أشياء قد لا تخطر بباله على الإطلاق، وقديماً قال عمر بن عبد العزيز – رحمه الله -: “إني وجدتُ لقاء الرجال تلقيحاً لألبابهم”. وقال الزهري: “العلم خزائن ومفاتيحها السؤال”. وقال أيوب السختياني: “إنّك لا تعرف خطأ معلمك حتى تجالس غيره”. ولهذا كان السلف يحثّون طالب العلم على الرحلة والسفر لملاقاة العلماء واكتساب مختلف أنواع العلوم والمعارف، وفي هذا يقول ابن خلدون: “على كثرة الشيوخ يكون حصول الملكات ورسوخها”. Ketiga: Banyak berdiskusi dan berinteraksi dengan para ilmuwan dan pemikir. Dengan diskusi ilmiah yang serius, pengetahuan seseorang akan semakin luas; dan dia akan mendapatkan hal-hal yang sebelumnya tidak terpikir olehnya sama sekali. Umar bin Abdul Aziz rahimahullah pernah berkata, “Sungguh aku mendapati pertemuan dengan tokoh-tokoh besar sebagai penyerapan akal-akal mereka.” Sedangkan az-Zuhri berkata, “Ilmu adalah harta-harta yang tersimpan, sedangkan kunci-kuncinya adalah pertanyaan.” Adapun Ayyub as-Sikhtiyani berkata, “Sungguh kamu tidak akan mengetahui kesalahan gurumu, hingga kamu belajar dari guru yang lain.”  Oleh sebab itu, para ulama salaf dulu sangat mengajurkan para penuntut ilmu untuk melakukan perjalanan dan safar demi bertemu para ulama dan mencari berbagai bidang ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun berkata, “Sesuai dengan banyaknya guru, sekadar itulah ilmu yang didapatkan dan dikuasai.” رابعا: حرصه على التأمل والنظر والتفكر، وشحذ الذهن وتنشيطه في دراسة المباحث والمسائل، والفكر الحي المعطاء هو الفكر المتّقد الذي ينبض بحيوية ونشاط، فلا يكسل ولا يعجز ولا تصيبه السآمة والملل، وكثرة التفكر تنمي المَلَكة، فـ(كثرة المزاولات تعطي الملكات، فتبقى للنفس هيئة راسخة وملكة ثابتة) كما ذكر ابن القيم رحمه الله تعالى، كما أنّ الفكر المنظم المدروس هو الذي يبني العقل ويجعله يستقيم على الطريق، وأما العشوائية والارتجالية في التفكير فإنها تشتت الذهن وتفرّق الهم. من الأدواء الفكرية المنتشرة عند كثير من الناس: ضيق الأفق، والنظر إلى المسائل المختلفة بسطحية مفرطة. أما الإنسان الذي لا يفكر، أو يفكر بطريقة راتبة أو عشوائية، فإنه بالضرورة إنسان عاجز لا يقوى على إعطاء التصور الصحيح للمسائل، بل قد يقوده تفكيره أحياناً إلى التخبط والاضطراب. Keempat: Memberi perhatian besar pada pengamatan, penelitian, dan olah pikir, serta melatih dan merangsang otak dalam mempelajari berbagai pembahasan dan permasalahan. Pikiran yang hidup dan dapat berkontribusi adalah pikiran yang berdetak dengan penuh energi dan semangat; tidak malas, lemah, atau merasa bosan dan jemu.  Banyak berpikir akan meningkatkan kemampuan; karena banyaknya latihan akan menghasilkan kemampuan, sehingga diri seseorang akan berada pada bentuk yang kokoh dan kemampuan yang teguh. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullahu Ta’ala, “Pikiran yang terstruktur dan terprogram akan membentuk akal dan menjadikannya dapat konsisten di atas jalan yang benar. Adapun acak-acakan dan spontan dalam berpikir hanya akan mencerai-berai akal dan membuat pikiran berserakan. Sedangkan orang yang tidak berpikir, atau berpikir dengan cara yang telah terbawa rutinitas atau acak-acakan, maka pasti dia adalah orang yang lemah dan tidak mampu memberi gambaran yang benar terhadap berbagai permasalahan. Bahkan, terkadang pikirannya menjerumuskannya ke dalam kekacauan dan ketidakberaturan. خامسا: اطّلاعه على التجارب والخبرات البشرية في القديم والحديث محاولاً قدر الطاقة اختزانها في عقله لكي يستطيع توظيفها التوظيف الأمثل إذا دعت الحاجة إلى ذلك، والحكمة ضالة المؤمن أنى وجدها فهو أحق بها. سادسا: تحرره من التقليد الأعمى بكل صوره وأشكاله، فهو يستفيد من أشياخه وأقرانه وأصحابه وغيرهم، ثم ينطلق بفكره الحرّ يتلمّس مختلف السبل بعقلية ناضجة مستقلة؛ وليس كل الناس يقوى على ذلك؛ فأصحاب الفكر هم المعادن الكريمة النادرة، وهم القادرون على توجيه الأمة، وأما عامة الناس فأتباع مقلدون، وبين هؤلاء وأولئك فئام من الناس أخذوا من كل فريق بطرف. Kelima: Menelaah riset-riset dan percobaan-percobaan manusia di masa lalu dan masa kini, disertai dengan usaha sekuat tenaga untuk mengingatnya di dalam akalnya, agar dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Hikmah kebijaksanaan adalah barang yang hilang dari seorang Mukmin, di manapun dia menemukannya, maka dialah yang paling berhak untuk mengambilnya. Keenam: Membebaskan diri dari taklid buta dengan segala bentuk dan macamnya. Seseorang harus menimba manfaat dari para guru, teman, sahabat, dan orang lainnya; lalu beranjak dengan pikirannya yang merdeka untuk mencari titik temu dari berbagai pendapat yang berbeda dengan akal yang matang dan merdeka. Namun, tidak semua orang mampu melakukan itu, karena orang-orang yang cerdas bagaikan logam-logam mulia yang langka; dan merekalah orang-orang yang mampu mengarahkan umat ini. Adapun orang awam, maka mereka cukup menjadi pengikut. Lalu di antara dua golongan ini terdapat segolongan manusia yang memiliki sebagian sifat dari tiap-tiap golongan tersebut. ضيق الأفق: من الأدواء الفكرية المنتشرة عند كثير من الناس: ضيق الأفق، والنظر إلى المسائل المختلفة بسطحية مفرطة؛ فكم ينقبض صدر المرء حينما يرى من بعض الناس أن القضايا المصيرية العظيمة في مسيرة الأمة تؤخذ بعين الغفلة والسذاجة وقلة الفهم والبصيرة!. ومن أبرز أسباب ضيق الأفق: أولا: الجهل وقلَّة البضاعة فكم جرَّ الجهل على أصحابه من المهالك والمفاسد! والجهل دركات بعضها أسوأ من بعض، وكلما ازداد المرء جهلاً ازداد تهالكاً وانحرافاً، وهل رأيت جاهلاً يقوى على إدراك حقائق الأشياء ومقاصدها، أو يقدر على قراءة الواقع واستشراف المستقبل؟! Wawasan yang Sempit Di antara penyakit-penyakit pikiran yang tersebar pada banyak orang adalah sempitnya wawasan, dan memandang berbagai permasalahan dengan cara pandang yang dangkal sekali. Betapa banyak orang yang sempit dadanya ketika melihat sebagian orang memandang masalah-masalah krusial dan besar dalam menentukan nasib umat ini dengan pandangan yang lalai dan polos, serta dengan pemahaman yang dangkal. Di antara hal-hal paling penting yang menyebabkan sempitnya wawasan adalah: Pertama: Kebodohan dan sedikitnya bekal ilmu. Betapa sering kebodohan itu menyeret pelakunya kepada kebinasaan dan kerusakan! Kebodohan memiliki tingkatan-tingkatan, sebagian tingkatan lebih buruk daripada sebagian lainnya. Semakin bodoh seseorang, maka semakin bertambah pula kedekatannya dengan kebinasaan dan penyimpangan. Apakah kamu pernah melihat orang jahil yang mampu memahami hakikat dan maksud dari banyak hal, atau mampu membaca realita dan memproyeksikan masa depan?! ثانيا: قلة الفهم والوعي؛ وهما أمران زائدان على مجرَّد الجهل، فرُبَّ صاحب علْم لا يفيده علمه كبيرَ فائدةٍ بسبب ضعف فهمه وعسر إدراكه؛ لأنّه وقف عند حروف الألفاظ، ولم ينفذ إلى معانيها ومراميها، والفهم بضاعة نادرة لا يؤتاها إلا أصحاب العقل الراسخ والبصر النافذ، وصاحب الفهم يفتح الله عليه من إدراك النصوص والوقائع ما لا يخطر على بال غيره، قال ابن القيم رحمه الله: “ربّ شخص يفهم من النص حكماً أو حكمَيْن، ويفهم منه الآخر مائة أو مائتين”. Kedua: Rendahnya pemahaman dan kesadaran. Dua hal ini adalah tambahan daripada sekedar bodoh. Bisa jadi orang yang berilmu tidak mendapatkan manfaat yang besar dari ilmunya, akibat kelemahannya dalam memahami dan kesulitannya dalam menyadari; karena dia hanya terhenti pada kalimat-kalimat secara tekstual, dan tidak masuk ke dalam makna-makna dan tujuan-tujuannya. Pemahaman adalah barang langka, yang tidak diberikan kecuali kepada orang-orang yang memiliki akal yang kokoh dan pandangan yang tajam. Orang yang memiliki pemahaman akan dibukakan Allah baginya pemahaman terhadap teks-teks dan kejadian-kejadian yang tidak pernah terlintas di pikiran orang lain. Ibnu al-Qayyim rahimahullah berkata, “Bisa jadi seseorang memahami satu atau dua hukum dari satu nash, tapi orang lain memahami darinya seratus atau dua ratus hukum.” ثالثا: الرتابة في التفكير ورؤية المسائل، والاعتماد على المألوف المعتاد فقط، وهذا بالتأكيد يجعل الإنسان أسيراً في بيت مغلق، كما يجعله في عزلة فكرية يحبس فيها عقله، فلا يقوى على النظر والإبداع والتجديد. رابعا: التربية التقليدية الهزيلة التي تنتشر في كثير من المحاضن التربوية، وتشكل عقول الناس تشكيلاً يقتل معظم ملكات الإبداع والتفكير. Ketiga: Monoton dalam berpikir dan memandang berbagai permasalahan, serta hanya bersandar dengan kebiasaan saja. Hal ini tentu saja menjadikan seseorang tertawan di dalam ruangan tertutup, seakan-akan dia menjadikan dirinya berada dalam ruang isolasi pemikiran, dia mengurung akalnya di dalam ruangan tersebut, sehingga tidak mampu melakukan pencermatan, kreatifitas, dan pembaharuan. Keempat: Metode pendidikan konvensional yang lemah yang tersebar di banyak pusat Pendidikan. Ia membentuk akal manusia ke dalam bentuk yang membunuh mayoritas kemampuan berkreasi dan berpikir. خامسا: التقليد الأعمى الذي يسد منافذ التفكير، ويجعل المرء مجرد تابع لغيره، فلا يستطيع أن يبني رأيه وفكره بناءً صحياً متجرداً؛ ولهذا تجد أنّ المقلد لشيخ أو لمذهب أو لطائفة من أكثر الناس ضيقاً في الأفق؛ وذلك لأنه لم ينظر إلا من نافذة واحدة، ولم يفكر إلا من زاوية محدودة، وتراه يتنقل بين سراديب ضيقة تنتهي به أخيراً إلى بلادة ذهنية تعصف بتفكيره وتجعله أحياناً يقتنع بالشيء ونقيضه في آن واحد! Kelima: Taklid buta yang menutup jendela berpikir. Ia membuat seseorang hanya sekedar menjadi pengikut bagi orang lain, sehingga dia tidak mampu untuk membangun logika dan pikirannya dengan cara yang benar dan objektif. Oleh sebab itu, kamu akan mendapati orang yang taklid buta kepada Syaikh, mazhab, atau golongan tertentu adalah orang yang paling sempit wawasannya. Hal ini karena dia tidak memandang kecuali dari satu jendela saja, dan tidak berpikir kecuali dari satu sudut pandang saja. Kamu akan melihatnya berpindah-pindah di antara lubang sempit yang pada akhirnya mengantarkannya kepada ketumpulan akal yang menerjang pola pikirnya; dan terkadang keadaan itu menjadikannya puas dengan suatu hal dan kebalikannya sekaligus dalam waktu yang sama!  سادسا: الاكتفاء بالنظر إلى ظواهر الأمور المجردة، والتعلق بقشورها القريبة، دون النفاذ إلى أعماقها، أو النظر إلى أبعادها ومقاصدها، ويؤدي ذلك إلى الاغترار بالشكل والبهرج على حساب الحقائق والمضامين؛ مما يحجب الرؤية بغمامة معتمة تطغى على البصيرة، وكم من الأشياء من حولنا نراها في مظهرها الخارجي رؤية معينة، ولكننا إذا تجاوزنا ذلك إلى دواخلها، وأزلنا القشرة الرقيقة التي تحيط بها تبينت لنا صورة أخرى مختلفة وبعيدة كل البعد عن الصورة الأولى. وانظر إلى صفة المنافقين في القرآن: {وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ} [المنافقون من الآية:4]، فهل تكفي هذه الصفة الظاهرية لأجسامهم وأقوالهم في إعطاء تصور صحيح متكامل عن هؤلاء القوم؟! بالتأكيد لا تكفي؛ فالقرآن يوضح حقيقة هذا المظهر: {هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ} [المنافقون من الآية:4]. ونظير ذلك أيضاً: الاغترار بالكم على حساب الكيف، وانظر مثلاً إلى قول الله تعالى :{وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئاً} [التوبة: من الآية25] ، ثم قارن ذلك بقوله تعالى: {إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ} [الأنفال: من الآية65]، ويتضح من ذلك أن معاني الأمور ومقاصدها الصحيحة تتجلى في حقائقها ومعادنها الأصيلة. وليس المقصود هنا أن الشكل الظاهري أو الكم مرفوضان كلية؛ ولكن المقصود التحذير من الاكتفاء بهما، أو الوقوف عند حدودهما فحسب. Keenam: Mencukupkan diri dengan memandang kepada penampakan luar saja, terpaut dengan kulit dangkalnya saja, tanpa menyelam ke dalam kandungannya atau mencermati dimensi-dimensi dan maksud-maksud lainnya. Hal ini menyebabkan seseorang terlena dengan bentuk dan penampilan luar saja, dan mengesampingkan hakikat dan kandungannya, yang menyebabkan pandangan menjadi tertutup oleh awan gelap yang menyelimuti pikiran. Betapa banyak hal di sekitar kita yang kita lihat penampilan luarnya dengan perspektif tertentu; tapi seandainya kita melihatnya lebih dalam lagi dan kita singkap kulit luar tipis yang menyelimutinya, niscaya akan tampak bagi kita bentuk lain yang jauh berbeda daripada dengan perspektif kita sebelumnya. Perhatikanlah sifat orang-orang munafik yang ada dalam al-Quran: وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata, kamu mendengarkan perkataan mereka …” (QS. Al-Munafiqun: 4) Namun, apakah cukup sifat yang tampak dari tubuh dan ucapan mereka dalam memberi prespektif yang benar yang menyeluruh tentang mereka? Tentu tidak cukup, karena al-Quran menjelaskan hakikat dari penampilan ini: هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ “… Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS. Al-Munafiqun: 4) Semisal dengan hal ini adalah tertipu dengan jumlah (kuantitas) dan mengesampingkan kualitas. Sebagai contoh, firman Allah Ta’ala: وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئاً “… dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu pada waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun …” (QS. At-Taubah: 25). Lalu bandingkanlah dengan firman Allah Ta’ala: إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ “Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh …” (QS. Al-Anfal: 65) Hal ini menjelaskan bahwa makna-makna dan tujuan-tujuan yang benar dapat tampak di dalam hakikat dan intisarinya. Namun, yang dimaksud di sini bukanlah penampilan luar dan jumlah harus ditolak sepenuhnya, tapi yang dimaksud adalah peringatan dari mencukupkan diri dengan dua hal itu atau hanya berhenti pada batas dua hal itu saja. سابعا: النظرة الجزئية الضيقة التي تختزل المسائل الكبيرة إلى إطار محدود صغير؛ مما يؤدي بالتأكيد إلى تكوُّن تصور هزيل مبتور لا يمثل إلا جزءاً يسيراً من الحقيقة، بل قد يؤدي هذا التصور إلى تشويه الحقيقة بسبب نقصها وافتقارها للنظرة الشمولية المتكاملة. ثامنا: الخلط في تقدير المصالح والمفاسد، والجهل في ترتيب الأولويات؛ مما قد يؤدي إلى التعلق بالمصلحة القريبة العاجلة، وإن ترتب عليها مفاسد كبيرة في العاجل والآجل، أو يؤدي إلى تقديم المصالح المفضولة على حساب المصالح الفاضلة. (نسأل الله الكريم أن ينور بصائرنا ويلهمنا الرشد والسداد في القول والعمل، وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله محمد وآله وصحبه أجمعين). Ketujuh: Pandangan parsial dan sempit yang dapat mengasingkan masalah-masalah besar ke dalam lingkup yang kecil dan terbatas. Hal ini tentu menyebabkan terbentuknya perspektif yang lemah dan cacat, yang hanya mewakili bagian kecil dari hakikat. Bahkan, terkadang perspektif ini menyebabkan penyelewengan hakikat, akibat kurang dan lemahnya pandangan yang menyeluruh dan kompleks. Kedelapan: Kerancuan dalam mengukur kebaikan dan keburukan, dan ketidaktahuan dalam menyusun prioritas. Hal ini terkadang menyebabkan ketergantungan kepada kemaslahatan yang instan, meskipun itu mengakibatkan kerusakan besar pada waktu dekat atau nanti suatu saat, atau mengakibatkan pengutamaan maslahat yang tidak utama sehingga mengesampingkan maslahat yang utama. Kita mohon kepada Allah Yang Maha Pemurah agar menyinari hati kita dan mengilhamkan kepada kita petunjuk dan kebenaran dalam ucapan dan perbuatan. Selawat, salam, dan keberkahan semoga tercurah kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad; dan kepada keluarga dan para sahabat beliau seluruhnya. *) Diterjemahkan oleh tim penerjemah Yufid dari website IslamWeb.net Sumber:  https://www.islamweb.net/ar/article/221527/سعة-الأفق PDF sumber artikel. 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 511 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,035 QRIS donasi Yufid

6 Tips agar Berwawasan Luas

6 Tips agar Berwawasan Luas سعة الأفق Oleh: Ahmad bin Abdurrahman ash-Shuyan أحمد بن عبد الرحمن الصويان من نعمة الله تعالى على العبد أن يرزقه سعة في الأفق، وعمقاً في النظر، فيتسع فكره، وينطلق في آفاق رحبة واسعة، ويؤتيه الله بصيرة نافذة تجعله ينفذ إلى أعماق الحقائق وأبعادها، فيقدرها بقدرها، ويضعها في مواضعها. Di antara kenikmatan dari Allah Ta’ala yang dikaruniakan kepada seorang hamba adalah keluasan wawasan dan kematangan pandangan; sehingga pikirannya luas dan dapat mengarungi ufuk yang luas. Allah memberinya pemikiran cerdas yang membuatnya dapat menyelam ke dalam berbagai realita dan dimensi; sehingga dia dapat mempertimbangkannya dengan pertimbangan yang tepat dan mendudukkannya di tempat yang seharusnya. ومما يعين الإنسان على سعة الأفق: أولا: حرصه على طلب العلم والجدّ فيه، وأخذه من أهله الأثبات الراسخين، والصبر على تتبع مسائله في مظانها المختلفة، وحرصه في بدء الطلب على أن يأخذ من كل فن أصوله وقواعده لكي تتكامل معارفه وتتآلف علومه، والعلم هو الركيزة الأساس التي تبني عقل الإنسان وتجعله يستقيم على الجادة؛ ألم ترَ أن الجاهل يعيش في ظلمة فلا يبصر طريقه، فإذا عرض له عارض صار يتخبط ويضطرب؟ بينما ترى صاحب العلم والفهم حاذقاً فطناً يفتح الله عليه من أبواب العلوم ما يجعله قادراً على رؤية أبعاد واسعة لا يراها من هو دونه. Beberapa hal yang dapat menjadikan seseorang memiliki wawasan yang luas Pertama: Bersungguh-sungguh dalam belajar, menuntut ilmu dari para ulama yang terpercaya dan kuat ilmunya, bersabar dalam meneliti berbagai permasalahan dari sumber-sumber yang beraneka ragam; dan hendaknya pada awal belajar dia mempelajari asas-asas dan kaidah-kaidah pokok dalam setiap bidang ilmu, agar pengetahuannya dapat diraih secara utuh dan ilmu-ilmunya saling melengkapi.  Ilmu adalah pilar utama yang dapat membangun akal seseorang dan menjadikannya dapat konsisten di atas jalan yang benar. Tidakkah kamu melihat orang yang bodoh itu hidup dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat melihat jalannya, dan jika ada sesuatu yang menghalangi jalannya, dia menjadi sempoyongan dan terhuyung-huyung?! Sedangkan di sisi lain, kamu dapat melihat orang yang berilmu dan memiliki pemahaman itu menjadi orang yang cerdas dan cermat; Allah Ta’ala membukakan pintu-pintu ilmu baginya, sehingga menjadikannya mampu melihat dimensi-dimensi yang luas, yang tidak dapat dilihat oleh orang lain yang ilmunya lebih rendah darinya. ثانيا: تنوع ثقافاته، وتعدد قراءاته في مختلف أنواع المعرفة العلمية، فالمتخصص في الدراسات الشرعية مثلاً لا ينحصر في هذا التخصص، بل تمتد عنايته واطلاعه إلى الدراسات الأدبية والفكرية والإنسانية الأخرى؛ فهو يتنقل في حقول العلم والفكر، ويمتص رحيق الأزهار بألوانها وأشكالها المتنوعة، وهكذا بقية المتخصصين في فروع أخرى من العلم. Kedua: Menganekaragamkan berbagai pengetahuan dan memperbanyak bahan bacaan di berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, seorang spesialis dalam bidang ilmu-ilmu syariat hendaknya tidak hanya membatasi diri dalam spesialisasi itu. Namun, hendaknya dia memperluas perhatian dan bacaannya dalam ilmu-ilmu sastra, filsafat, dan ilmu-ilmu humaniora lainnya; sehingga dia dapat berpindah-pindah di berbagai taman-taman ilmu dan pemikiran, dan menghirup berbagai sari bunga dengan warna dan bentuk yang berbeda-beda. Demikian juga dengan para spesialis lainnya bersikap terhadap cabang-cabang ilmu lainnya. ثالثا: كثرة محاورته ومجالسته لأهل العلم والرأي؛ فبالحوار العلمي الجاد تتسع مدارك الإنسان، ويقف على أشياء قد لا تخطر بباله على الإطلاق، وقديماً قال عمر بن عبد العزيز – رحمه الله -: “إني وجدتُ لقاء الرجال تلقيحاً لألبابهم”. وقال الزهري: “العلم خزائن ومفاتيحها السؤال”. وقال أيوب السختياني: “إنّك لا تعرف خطأ معلمك حتى تجالس غيره”. ولهذا كان السلف يحثّون طالب العلم على الرحلة والسفر لملاقاة العلماء واكتساب مختلف أنواع العلوم والمعارف، وفي هذا يقول ابن خلدون: “على كثرة الشيوخ يكون حصول الملكات ورسوخها”. Ketiga: Banyak berdiskusi dan berinteraksi dengan para ilmuwan dan pemikir. Dengan diskusi ilmiah yang serius, pengetahuan seseorang akan semakin luas; dan dia akan mendapatkan hal-hal yang sebelumnya tidak terpikir olehnya sama sekali. Umar bin Abdul Aziz rahimahullah pernah berkata, “Sungguh aku mendapati pertemuan dengan tokoh-tokoh besar sebagai penyerapan akal-akal mereka.” Sedangkan az-Zuhri berkata, “Ilmu adalah harta-harta yang tersimpan, sedangkan kunci-kuncinya adalah pertanyaan.” Adapun Ayyub as-Sikhtiyani berkata, “Sungguh kamu tidak akan mengetahui kesalahan gurumu, hingga kamu belajar dari guru yang lain.”  Oleh sebab itu, para ulama salaf dulu sangat mengajurkan para penuntut ilmu untuk melakukan perjalanan dan safar demi bertemu para ulama dan mencari berbagai bidang ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun berkata, “Sesuai dengan banyaknya guru, sekadar itulah ilmu yang didapatkan dan dikuasai.” رابعا: حرصه على التأمل والنظر والتفكر، وشحذ الذهن وتنشيطه في دراسة المباحث والمسائل، والفكر الحي المعطاء هو الفكر المتّقد الذي ينبض بحيوية ونشاط، فلا يكسل ولا يعجز ولا تصيبه السآمة والملل، وكثرة التفكر تنمي المَلَكة، فـ(كثرة المزاولات تعطي الملكات، فتبقى للنفس هيئة راسخة وملكة ثابتة) كما ذكر ابن القيم رحمه الله تعالى، كما أنّ الفكر المنظم المدروس هو الذي يبني العقل ويجعله يستقيم على الطريق، وأما العشوائية والارتجالية في التفكير فإنها تشتت الذهن وتفرّق الهم. من الأدواء الفكرية المنتشرة عند كثير من الناس: ضيق الأفق، والنظر إلى المسائل المختلفة بسطحية مفرطة. أما الإنسان الذي لا يفكر، أو يفكر بطريقة راتبة أو عشوائية، فإنه بالضرورة إنسان عاجز لا يقوى على إعطاء التصور الصحيح للمسائل، بل قد يقوده تفكيره أحياناً إلى التخبط والاضطراب. Keempat: Memberi perhatian besar pada pengamatan, penelitian, dan olah pikir, serta melatih dan merangsang otak dalam mempelajari berbagai pembahasan dan permasalahan. Pikiran yang hidup dan dapat berkontribusi adalah pikiran yang berdetak dengan penuh energi dan semangat; tidak malas, lemah, atau merasa bosan dan jemu.  Banyak berpikir akan meningkatkan kemampuan; karena banyaknya latihan akan menghasilkan kemampuan, sehingga diri seseorang akan berada pada bentuk yang kokoh dan kemampuan yang teguh. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullahu Ta’ala, “Pikiran yang terstruktur dan terprogram akan membentuk akal dan menjadikannya dapat konsisten di atas jalan yang benar. Adapun acak-acakan dan spontan dalam berpikir hanya akan mencerai-berai akal dan membuat pikiran berserakan. Sedangkan orang yang tidak berpikir, atau berpikir dengan cara yang telah terbawa rutinitas atau acak-acakan, maka pasti dia adalah orang yang lemah dan tidak mampu memberi gambaran yang benar terhadap berbagai permasalahan. Bahkan, terkadang pikirannya menjerumuskannya ke dalam kekacauan dan ketidakberaturan. خامسا: اطّلاعه على التجارب والخبرات البشرية في القديم والحديث محاولاً قدر الطاقة اختزانها في عقله لكي يستطيع توظيفها التوظيف الأمثل إذا دعت الحاجة إلى ذلك، والحكمة ضالة المؤمن أنى وجدها فهو أحق بها. سادسا: تحرره من التقليد الأعمى بكل صوره وأشكاله، فهو يستفيد من أشياخه وأقرانه وأصحابه وغيرهم، ثم ينطلق بفكره الحرّ يتلمّس مختلف السبل بعقلية ناضجة مستقلة؛ وليس كل الناس يقوى على ذلك؛ فأصحاب الفكر هم المعادن الكريمة النادرة، وهم القادرون على توجيه الأمة، وأما عامة الناس فأتباع مقلدون، وبين هؤلاء وأولئك فئام من الناس أخذوا من كل فريق بطرف. Kelima: Menelaah riset-riset dan percobaan-percobaan manusia di masa lalu dan masa kini, disertai dengan usaha sekuat tenaga untuk mengingatnya di dalam akalnya, agar dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Hikmah kebijaksanaan adalah barang yang hilang dari seorang Mukmin, di manapun dia menemukannya, maka dialah yang paling berhak untuk mengambilnya. Keenam: Membebaskan diri dari taklid buta dengan segala bentuk dan macamnya. Seseorang harus menimba manfaat dari para guru, teman, sahabat, dan orang lainnya; lalu beranjak dengan pikirannya yang merdeka untuk mencari titik temu dari berbagai pendapat yang berbeda dengan akal yang matang dan merdeka. Namun, tidak semua orang mampu melakukan itu, karena orang-orang yang cerdas bagaikan logam-logam mulia yang langka; dan merekalah orang-orang yang mampu mengarahkan umat ini. Adapun orang awam, maka mereka cukup menjadi pengikut. Lalu di antara dua golongan ini terdapat segolongan manusia yang memiliki sebagian sifat dari tiap-tiap golongan tersebut. ضيق الأفق: من الأدواء الفكرية المنتشرة عند كثير من الناس: ضيق الأفق، والنظر إلى المسائل المختلفة بسطحية مفرطة؛ فكم ينقبض صدر المرء حينما يرى من بعض الناس أن القضايا المصيرية العظيمة في مسيرة الأمة تؤخذ بعين الغفلة والسذاجة وقلة الفهم والبصيرة!. ومن أبرز أسباب ضيق الأفق: أولا: الجهل وقلَّة البضاعة فكم جرَّ الجهل على أصحابه من المهالك والمفاسد! والجهل دركات بعضها أسوأ من بعض، وكلما ازداد المرء جهلاً ازداد تهالكاً وانحرافاً، وهل رأيت جاهلاً يقوى على إدراك حقائق الأشياء ومقاصدها، أو يقدر على قراءة الواقع واستشراف المستقبل؟! Wawasan yang Sempit Di antara penyakit-penyakit pikiran yang tersebar pada banyak orang adalah sempitnya wawasan, dan memandang berbagai permasalahan dengan cara pandang yang dangkal sekali. Betapa banyak orang yang sempit dadanya ketika melihat sebagian orang memandang masalah-masalah krusial dan besar dalam menentukan nasib umat ini dengan pandangan yang lalai dan polos, serta dengan pemahaman yang dangkal. Di antara hal-hal paling penting yang menyebabkan sempitnya wawasan adalah: Pertama: Kebodohan dan sedikitnya bekal ilmu. Betapa sering kebodohan itu menyeret pelakunya kepada kebinasaan dan kerusakan! Kebodohan memiliki tingkatan-tingkatan, sebagian tingkatan lebih buruk daripada sebagian lainnya. Semakin bodoh seseorang, maka semakin bertambah pula kedekatannya dengan kebinasaan dan penyimpangan. Apakah kamu pernah melihat orang jahil yang mampu memahami hakikat dan maksud dari banyak hal, atau mampu membaca realita dan memproyeksikan masa depan?! ثانيا: قلة الفهم والوعي؛ وهما أمران زائدان على مجرَّد الجهل، فرُبَّ صاحب علْم لا يفيده علمه كبيرَ فائدةٍ بسبب ضعف فهمه وعسر إدراكه؛ لأنّه وقف عند حروف الألفاظ، ولم ينفذ إلى معانيها ومراميها، والفهم بضاعة نادرة لا يؤتاها إلا أصحاب العقل الراسخ والبصر النافذ، وصاحب الفهم يفتح الله عليه من إدراك النصوص والوقائع ما لا يخطر على بال غيره، قال ابن القيم رحمه الله: “ربّ شخص يفهم من النص حكماً أو حكمَيْن، ويفهم منه الآخر مائة أو مائتين”. Kedua: Rendahnya pemahaman dan kesadaran. Dua hal ini adalah tambahan daripada sekedar bodoh. Bisa jadi orang yang berilmu tidak mendapatkan manfaat yang besar dari ilmunya, akibat kelemahannya dalam memahami dan kesulitannya dalam menyadari; karena dia hanya terhenti pada kalimat-kalimat secara tekstual, dan tidak masuk ke dalam makna-makna dan tujuan-tujuannya. Pemahaman adalah barang langka, yang tidak diberikan kecuali kepada orang-orang yang memiliki akal yang kokoh dan pandangan yang tajam. Orang yang memiliki pemahaman akan dibukakan Allah baginya pemahaman terhadap teks-teks dan kejadian-kejadian yang tidak pernah terlintas di pikiran orang lain. Ibnu al-Qayyim rahimahullah berkata, “Bisa jadi seseorang memahami satu atau dua hukum dari satu nash, tapi orang lain memahami darinya seratus atau dua ratus hukum.” ثالثا: الرتابة في التفكير ورؤية المسائل، والاعتماد على المألوف المعتاد فقط، وهذا بالتأكيد يجعل الإنسان أسيراً في بيت مغلق، كما يجعله في عزلة فكرية يحبس فيها عقله، فلا يقوى على النظر والإبداع والتجديد. رابعا: التربية التقليدية الهزيلة التي تنتشر في كثير من المحاضن التربوية، وتشكل عقول الناس تشكيلاً يقتل معظم ملكات الإبداع والتفكير. Ketiga: Monoton dalam berpikir dan memandang berbagai permasalahan, serta hanya bersandar dengan kebiasaan saja. Hal ini tentu saja menjadikan seseorang tertawan di dalam ruangan tertutup, seakan-akan dia menjadikan dirinya berada dalam ruang isolasi pemikiran, dia mengurung akalnya di dalam ruangan tersebut, sehingga tidak mampu melakukan pencermatan, kreatifitas, dan pembaharuan. Keempat: Metode pendidikan konvensional yang lemah yang tersebar di banyak pusat Pendidikan. Ia membentuk akal manusia ke dalam bentuk yang membunuh mayoritas kemampuan berkreasi dan berpikir. خامسا: التقليد الأعمى الذي يسد منافذ التفكير، ويجعل المرء مجرد تابع لغيره، فلا يستطيع أن يبني رأيه وفكره بناءً صحياً متجرداً؛ ولهذا تجد أنّ المقلد لشيخ أو لمذهب أو لطائفة من أكثر الناس ضيقاً في الأفق؛ وذلك لأنه لم ينظر إلا من نافذة واحدة، ولم يفكر إلا من زاوية محدودة، وتراه يتنقل بين سراديب ضيقة تنتهي به أخيراً إلى بلادة ذهنية تعصف بتفكيره وتجعله أحياناً يقتنع بالشيء ونقيضه في آن واحد! Kelima: Taklid buta yang menutup jendela berpikir. Ia membuat seseorang hanya sekedar menjadi pengikut bagi orang lain, sehingga dia tidak mampu untuk membangun logika dan pikirannya dengan cara yang benar dan objektif. Oleh sebab itu, kamu akan mendapati orang yang taklid buta kepada Syaikh, mazhab, atau golongan tertentu adalah orang yang paling sempit wawasannya. Hal ini karena dia tidak memandang kecuali dari satu jendela saja, dan tidak berpikir kecuali dari satu sudut pandang saja. Kamu akan melihatnya berpindah-pindah di antara lubang sempit yang pada akhirnya mengantarkannya kepada ketumpulan akal yang menerjang pola pikirnya; dan terkadang keadaan itu menjadikannya puas dengan suatu hal dan kebalikannya sekaligus dalam waktu yang sama!  سادسا: الاكتفاء بالنظر إلى ظواهر الأمور المجردة، والتعلق بقشورها القريبة، دون النفاذ إلى أعماقها، أو النظر إلى أبعادها ومقاصدها، ويؤدي ذلك إلى الاغترار بالشكل والبهرج على حساب الحقائق والمضامين؛ مما يحجب الرؤية بغمامة معتمة تطغى على البصيرة، وكم من الأشياء من حولنا نراها في مظهرها الخارجي رؤية معينة، ولكننا إذا تجاوزنا ذلك إلى دواخلها، وأزلنا القشرة الرقيقة التي تحيط بها تبينت لنا صورة أخرى مختلفة وبعيدة كل البعد عن الصورة الأولى. وانظر إلى صفة المنافقين في القرآن: {وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ} [المنافقون من الآية:4]، فهل تكفي هذه الصفة الظاهرية لأجسامهم وأقوالهم في إعطاء تصور صحيح متكامل عن هؤلاء القوم؟! بالتأكيد لا تكفي؛ فالقرآن يوضح حقيقة هذا المظهر: {هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ} [المنافقون من الآية:4]. ونظير ذلك أيضاً: الاغترار بالكم على حساب الكيف، وانظر مثلاً إلى قول الله تعالى :{وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئاً} [التوبة: من الآية25] ، ثم قارن ذلك بقوله تعالى: {إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ} [الأنفال: من الآية65]، ويتضح من ذلك أن معاني الأمور ومقاصدها الصحيحة تتجلى في حقائقها ومعادنها الأصيلة. وليس المقصود هنا أن الشكل الظاهري أو الكم مرفوضان كلية؛ ولكن المقصود التحذير من الاكتفاء بهما، أو الوقوف عند حدودهما فحسب. Keenam: Mencukupkan diri dengan memandang kepada penampakan luar saja, terpaut dengan kulit dangkalnya saja, tanpa menyelam ke dalam kandungannya atau mencermati dimensi-dimensi dan maksud-maksud lainnya. Hal ini menyebabkan seseorang terlena dengan bentuk dan penampilan luar saja, dan mengesampingkan hakikat dan kandungannya, yang menyebabkan pandangan menjadi tertutup oleh awan gelap yang menyelimuti pikiran. Betapa banyak hal di sekitar kita yang kita lihat penampilan luarnya dengan perspektif tertentu; tapi seandainya kita melihatnya lebih dalam lagi dan kita singkap kulit luar tipis yang menyelimutinya, niscaya akan tampak bagi kita bentuk lain yang jauh berbeda daripada dengan perspektif kita sebelumnya. Perhatikanlah sifat orang-orang munafik yang ada dalam al-Quran: وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata, kamu mendengarkan perkataan mereka …” (QS. Al-Munafiqun: 4) Namun, apakah cukup sifat yang tampak dari tubuh dan ucapan mereka dalam memberi prespektif yang benar yang menyeluruh tentang mereka? Tentu tidak cukup, karena al-Quran menjelaskan hakikat dari penampilan ini: هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ “… Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS. Al-Munafiqun: 4) Semisal dengan hal ini adalah tertipu dengan jumlah (kuantitas) dan mengesampingkan kualitas. Sebagai contoh, firman Allah Ta’ala: وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئاً “… dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu pada waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun …” (QS. At-Taubah: 25). Lalu bandingkanlah dengan firman Allah Ta’ala: إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ “Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh …” (QS. Al-Anfal: 65) Hal ini menjelaskan bahwa makna-makna dan tujuan-tujuan yang benar dapat tampak di dalam hakikat dan intisarinya. Namun, yang dimaksud di sini bukanlah penampilan luar dan jumlah harus ditolak sepenuhnya, tapi yang dimaksud adalah peringatan dari mencukupkan diri dengan dua hal itu atau hanya berhenti pada batas dua hal itu saja. سابعا: النظرة الجزئية الضيقة التي تختزل المسائل الكبيرة إلى إطار محدود صغير؛ مما يؤدي بالتأكيد إلى تكوُّن تصور هزيل مبتور لا يمثل إلا جزءاً يسيراً من الحقيقة، بل قد يؤدي هذا التصور إلى تشويه الحقيقة بسبب نقصها وافتقارها للنظرة الشمولية المتكاملة. ثامنا: الخلط في تقدير المصالح والمفاسد، والجهل في ترتيب الأولويات؛ مما قد يؤدي إلى التعلق بالمصلحة القريبة العاجلة، وإن ترتب عليها مفاسد كبيرة في العاجل والآجل، أو يؤدي إلى تقديم المصالح المفضولة على حساب المصالح الفاضلة. (نسأل الله الكريم أن ينور بصائرنا ويلهمنا الرشد والسداد في القول والعمل، وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله محمد وآله وصحبه أجمعين). Ketujuh: Pandangan parsial dan sempit yang dapat mengasingkan masalah-masalah besar ke dalam lingkup yang kecil dan terbatas. Hal ini tentu menyebabkan terbentuknya perspektif yang lemah dan cacat, yang hanya mewakili bagian kecil dari hakikat. Bahkan, terkadang perspektif ini menyebabkan penyelewengan hakikat, akibat kurang dan lemahnya pandangan yang menyeluruh dan kompleks. Kedelapan: Kerancuan dalam mengukur kebaikan dan keburukan, dan ketidaktahuan dalam menyusun prioritas. Hal ini terkadang menyebabkan ketergantungan kepada kemaslahatan yang instan, meskipun itu mengakibatkan kerusakan besar pada waktu dekat atau nanti suatu saat, atau mengakibatkan pengutamaan maslahat yang tidak utama sehingga mengesampingkan maslahat yang utama. Kita mohon kepada Allah Yang Maha Pemurah agar menyinari hati kita dan mengilhamkan kepada kita petunjuk dan kebenaran dalam ucapan dan perbuatan. Selawat, salam, dan keberkahan semoga tercurah kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad; dan kepada keluarga dan para sahabat beliau seluruhnya. *) Diterjemahkan oleh tim penerjemah Yufid dari website IslamWeb.net Sumber:  https://www.islamweb.net/ar/article/221527/سعة-الأفق PDF sumber artikel. 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 511 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,035 QRIS donasi Yufid
6 Tips agar Berwawasan Luas سعة الأفق Oleh: Ahmad bin Abdurrahman ash-Shuyan أحمد بن عبد الرحمن الصويان من نعمة الله تعالى على العبد أن يرزقه سعة في الأفق، وعمقاً في النظر، فيتسع فكره، وينطلق في آفاق رحبة واسعة، ويؤتيه الله بصيرة نافذة تجعله ينفذ إلى أعماق الحقائق وأبعادها، فيقدرها بقدرها، ويضعها في مواضعها. Di antara kenikmatan dari Allah Ta’ala yang dikaruniakan kepada seorang hamba adalah keluasan wawasan dan kematangan pandangan; sehingga pikirannya luas dan dapat mengarungi ufuk yang luas. Allah memberinya pemikiran cerdas yang membuatnya dapat menyelam ke dalam berbagai realita dan dimensi; sehingga dia dapat mempertimbangkannya dengan pertimbangan yang tepat dan mendudukkannya di tempat yang seharusnya. ومما يعين الإنسان على سعة الأفق: أولا: حرصه على طلب العلم والجدّ فيه، وأخذه من أهله الأثبات الراسخين، والصبر على تتبع مسائله في مظانها المختلفة، وحرصه في بدء الطلب على أن يأخذ من كل فن أصوله وقواعده لكي تتكامل معارفه وتتآلف علومه، والعلم هو الركيزة الأساس التي تبني عقل الإنسان وتجعله يستقيم على الجادة؛ ألم ترَ أن الجاهل يعيش في ظلمة فلا يبصر طريقه، فإذا عرض له عارض صار يتخبط ويضطرب؟ بينما ترى صاحب العلم والفهم حاذقاً فطناً يفتح الله عليه من أبواب العلوم ما يجعله قادراً على رؤية أبعاد واسعة لا يراها من هو دونه. Beberapa hal yang dapat menjadikan seseorang memiliki wawasan yang luas Pertama: Bersungguh-sungguh dalam belajar, menuntut ilmu dari para ulama yang terpercaya dan kuat ilmunya, bersabar dalam meneliti berbagai permasalahan dari sumber-sumber yang beraneka ragam; dan hendaknya pada awal belajar dia mempelajari asas-asas dan kaidah-kaidah pokok dalam setiap bidang ilmu, agar pengetahuannya dapat diraih secara utuh dan ilmu-ilmunya saling melengkapi.  Ilmu adalah pilar utama yang dapat membangun akal seseorang dan menjadikannya dapat konsisten di atas jalan yang benar. Tidakkah kamu melihat orang yang bodoh itu hidup dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat melihat jalannya, dan jika ada sesuatu yang menghalangi jalannya, dia menjadi sempoyongan dan terhuyung-huyung?! Sedangkan di sisi lain, kamu dapat melihat orang yang berilmu dan memiliki pemahaman itu menjadi orang yang cerdas dan cermat; Allah Ta’ala membukakan pintu-pintu ilmu baginya, sehingga menjadikannya mampu melihat dimensi-dimensi yang luas, yang tidak dapat dilihat oleh orang lain yang ilmunya lebih rendah darinya. ثانيا: تنوع ثقافاته، وتعدد قراءاته في مختلف أنواع المعرفة العلمية، فالمتخصص في الدراسات الشرعية مثلاً لا ينحصر في هذا التخصص، بل تمتد عنايته واطلاعه إلى الدراسات الأدبية والفكرية والإنسانية الأخرى؛ فهو يتنقل في حقول العلم والفكر، ويمتص رحيق الأزهار بألوانها وأشكالها المتنوعة، وهكذا بقية المتخصصين في فروع أخرى من العلم. Kedua: Menganekaragamkan berbagai pengetahuan dan memperbanyak bahan bacaan di berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, seorang spesialis dalam bidang ilmu-ilmu syariat hendaknya tidak hanya membatasi diri dalam spesialisasi itu. Namun, hendaknya dia memperluas perhatian dan bacaannya dalam ilmu-ilmu sastra, filsafat, dan ilmu-ilmu humaniora lainnya; sehingga dia dapat berpindah-pindah di berbagai taman-taman ilmu dan pemikiran, dan menghirup berbagai sari bunga dengan warna dan bentuk yang berbeda-beda. Demikian juga dengan para spesialis lainnya bersikap terhadap cabang-cabang ilmu lainnya. ثالثا: كثرة محاورته ومجالسته لأهل العلم والرأي؛ فبالحوار العلمي الجاد تتسع مدارك الإنسان، ويقف على أشياء قد لا تخطر بباله على الإطلاق، وقديماً قال عمر بن عبد العزيز – رحمه الله -: “إني وجدتُ لقاء الرجال تلقيحاً لألبابهم”. وقال الزهري: “العلم خزائن ومفاتيحها السؤال”. وقال أيوب السختياني: “إنّك لا تعرف خطأ معلمك حتى تجالس غيره”. ولهذا كان السلف يحثّون طالب العلم على الرحلة والسفر لملاقاة العلماء واكتساب مختلف أنواع العلوم والمعارف، وفي هذا يقول ابن خلدون: “على كثرة الشيوخ يكون حصول الملكات ورسوخها”. Ketiga: Banyak berdiskusi dan berinteraksi dengan para ilmuwan dan pemikir. Dengan diskusi ilmiah yang serius, pengetahuan seseorang akan semakin luas; dan dia akan mendapatkan hal-hal yang sebelumnya tidak terpikir olehnya sama sekali. Umar bin Abdul Aziz rahimahullah pernah berkata, “Sungguh aku mendapati pertemuan dengan tokoh-tokoh besar sebagai penyerapan akal-akal mereka.” Sedangkan az-Zuhri berkata, “Ilmu adalah harta-harta yang tersimpan, sedangkan kunci-kuncinya adalah pertanyaan.” Adapun Ayyub as-Sikhtiyani berkata, “Sungguh kamu tidak akan mengetahui kesalahan gurumu, hingga kamu belajar dari guru yang lain.”  Oleh sebab itu, para ulama salaf dulu sangat mengajurkan para penuntut ilmu untuk melakukan perjalanan dan safar demi bertemu para ulama dan mencari berbagai bidang ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun berkata, “Sesuai dengan banyaknya guru, sekadar itulah ilmu yang didapatkan dan dikuasai.” رابعا: حرصه على التأمل والنظر والتفكر، وشحذ الذهن وتنشيطه في دراسة المباحث والمسائل، والفكر الحي المعطاء هو الفكر المتّقد الذي ينبض بحيوية ونشاط، فلا يكسل ولا يعجز ولا تصيبه السآمة والملل، وكثرة التفكر تنمي المَلَكة، فـ(كثرة المزاولات تعطي الملكات، فتبقى للنفس هيئة راسخة وملكة ثابتة) كما ذكر ابن القيم رحمه الله تعالى، كما أنّ الفكر المنظم المدروس هو الذي يبني العقل ويجعله يستقيم على الطريق، وأما العشوائية والارتجالية في التفكير فإنها تشتت الذهن وتفرّق الهم. من الأدواء الفكرية المنتشرة عند كثير من الناس: ضيق الأفق، والنظر إلى المسائل المختلفة بسطحية مفرطة. أما الإنسان الذي لا يفكر، أو يفكر بطريقة راتبة أو عشوائية، فإنه بالضرورة إنسان عاجز لا يقوى على إعطاء التصور الصحيح للمسائل، بل قد يقوده تفكيره أحياناً إلى التخبط والاضطراب. Keempat: Memberi perhatian besar pada pengamatan, penelitian, dan olah pikir, serta melatih dan merangsang otak dalam mempelajari berbagai pembahasan dan permasalahan. Pikiran yang hidup dan dapat berkontribusi adalah pikiran yang berdetak dengan penuh energi dan semangat; tidak malas, lemah, atau merasa bosan dan jemu.  Banyak berpikir akan meningkatkan kemampuan; karena banyaknya latihan akan menghasilkan kemampuan, sehingga diri seseorang akan berada pada bentuk yang kokoh dan kemampuan yang teguh. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullahu Ta’ala, “Pikiran yang terstruktur dan terprogram akan membentuk akal dan menjadikannya dapat konsisten di atas jalan yang benar. Adapun acak-acakan dan spontan dalam berpikir hanya akan mencerai-berai akal dan membuat pikiran berserakan. Sedangkan orang yang tidak berpikir, atau berpikir dengan cara yang telah terbawa rutinitas atau acak-acakan, maka pasti dia adalah orang yang lemah dan tidak mampu memberi gambaran yang benar terhadap berbagai permasalahan. Bahkan, terkadang pikirannya menjerumuskannya ke dalam kekacauan dan ketidakberaturan. خامسا: اطّلاعه على التجارب والخبرات البشرية في القديم والحديث محاولاً قدر الطاقة اختزانها في عقله لكي يستطيع توظيفها التوظيف الأمثل إذا دعت الحاجة إلى ذلك، والحكمة ضالة المؤمن أنى وجدها فهو أحق بها. سادسا: تحرره من التقليد الأعمى بكل صوره وأشكاله، فهو يستفيد من أشياخه وأقرانه وأصحابه وغيرهم، ثم ينطلق بفكره الحرّ يتلمّس مختلف السبل بعقلية ناضجة مستقلة؛ وليس كل الناس يقوى على ذلك؛ فأصحاب الفكر هم المعادن الكريمة النادرة، وهم القادرون على توجيه الأمة، وأما عامة الناس فأتباع مقلدون، وبين هؤلاء وأولئك فئام من الناس أخذوا من كل فريق بطرف. Kelima: Menelaah riset-riset dan percobaan-percobaan manusia di masa lalu dan masa kini, disertai dengan usaha sekuat tenaga untuk mengingatnya di dalam akalnya, agar dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Hikmah kebijaksanaan adalah barang yang hilang dari seorang Mukmin, di manapun dia menemukannya, maka dialah yang paling berhak untuk mengambilnya. Keenam: Membebaskan diri dari taklid buta dengan segala bentuk dan macamnya. Seseorang harus menimba manfaat dari para guru, teman, sahabat, dan orang lainnya; lalu beranjak dengan pikirannya yang merdeka untuk mencari titik temu dari berbagai pendapat yang berbeda dengan akal yang matang dan merdeka. Namun, tidak semua orang mampu melakukan itu, karena orang-orang yang cerdas bagaikan logam-logam mulia yang langka; dan merekalah orang-orang yang mampu mengarahkan umat ini. Adapun orang awam, maka mereka cukup menjadi pengikut. Lalu di antara dua golongan ini terdapat segolongan manusia yang memiliki sebagian sifat dari tiap-tiap golongan tersebut. ضيق الأفق: من الأدواء الفكرية المنتشرة عند كثير من الناس: ضيق الأفق، والنظر إلى المسائل المختلفة بسطحية مفرطة؛ فكم ينقبض صدر المرء حينما يرى من بعض الناس أن القضايا المصيرية العظيمة في مسيرة الأمة تؤخذ بعين الغفلة والسذاجة وقلة الفهم والبصيرة!. ومن أبرز أسباب ضيق الأفق: أولا: الجهل وقلَّة البضاعة فكم جرَّ الجهل على أصحابه من المهالك والمفاسد! والجهل دركات بعضها أسوأ من بعض، وكلما ازداد المرء جهلاً ازداد تهالكاً وانحرافاً، وهل رأيت جاهلاً يقوى على إدراك حقائق الأشياء ومقاصدها، أو يقدر على قراءة الواقع واستشراف المستقبل؟! Wawasan yang Sempit Di antara penyakit-penyakit pikiran yang tersebar pada banyak orang adalah sempitnya wawasan, dan memandang berbagai permasalahan dengan cara pandang yang dangkal sekali. Betapa banyak orang yang sempit dadanya ketika melihat sebagian orang memandang masalah-masalah krusial dan besar dalam menentukan nasib umat ini dengan pandangan yang lalai dan polos, serta dengan pemahaman yang dangkal. Di antara hal-hal paling penting yang menyebabkan sempitnya wawasan adalah: Pertama: Kebodohan dan sedikitnya bekal ilmu. Betapa sering kebodohan itu menyeret pelakunya kepada kebinasaan dan kerusakan! Kebodohan memiliki tingkatan-tingkatan, sebagian tingkatan lebih buruk daripada sebagian lainnya. Semakin bodoh seseorang, maka semakin bertambah pula kedekatannya dengan kebinasaan dan penyimpangan. Apakah kamu pernah melihat orang jahil yang mampu memahami hakikat dan maksud dari banyak hal, atau mampu membaca realita dan memproyeksikan masa depan?! ثانيا: قلة الفهم والوعي؛ وهما أمران زائدان على مجرَّد الجهل، فرُبَّ صاحب علْم لا يفيده علمه كبيرَ فائدةٍ بسبب ضعف فهمه وعسر إدراكه؛ لأنّه وقف عند حروف الألفاظ، ولم ينفذ إلى معانيها ومراميها، والفهم بضاعة نادرة لا يؤتاها إلا أصحاب العقل الراسخ والبصر النافذ، وصاحب الفهم يفتح الله عليه من إدراك النصوص والوقائع ما لا يخطر على بال غيره، قال ابن القيم رحمه الله: “ربّ شخص يفهم من النص حكماً أو حكمَيْن، ويفهم منه الآخر مائة أو مائتين”. Kedua: Rendahnya pemahaman dan kesadaran. Dua hal ini adalah tambahan daripada sekedar bodoh. Bisa jadi orang yang berilmu tidak mendapatkan manfaat yang besar dari ilmunya, akibat kelemahannya dalam memahami dan kesulitannya dalam menyadari; karena dia hanya terhenti pada kalimat-kalimat secara tekstual, dan tidak masuk ke dalam makna-makna dan tujuan-tujuannya. Pemahaman adalah barang langka, yang tidak diberikan kecuali kepada orang-orang yang memiliki akal yang kokoh dan pandangan yang tajam. Orang yang memiliki pemahaman akan dibukakan Allah baginya pemahaman terhadap teks-teks dan kejadian-kejadian yang tidak pernah terlintas di pikiran orang lain. Ibnu al-Qayyim rahimahullah berkata, “Bisa jadi seseorang memahami satu atau dua hukum dari satu nash, tapi orang lain memahami darinya seratus atau dua ratus hukum.” ثالثا: الرتابة في التفكير ورؤية المسائل، والاعتماد على المألوف المعتاد فقط، وهذا بالتأكيد يجعل الإنسان أسيراً في بيت مغلق، كما يجعله في عزلة فكرية يحبس فيها عقله، فلا يقوى على النظر والإبداع والتجديد. رابعا: التربية التقليدية الهزيلة التي تنتشر في كثير من المحاضن التربوية، وتشكل عقول الناس تشكيلاً يقتل معظم ملكات الإبداع والتفكير. Ketiga: Monoton dalam berpikir dan memandang berbagai permasalahan, serta hanya bersandar dengan kebiasaan saja. Hal ini tentu saja menjadikan seseorang tertawan di dalam ruangan tertutup, seakan-akan dia menjadikan dirinya berada dalam ruang isolasi pemikiran, dia mengurung akalnya di dalam ruangan tersebut, sehingga tidak mampu melakukan pencermatan, kreatifitas, dan pembaharuan. Keempat: Metode pendidikan konvensional yang lemah yang tersebar di banyak pusat Pendidikan. Ia membentuk akal manusia ke dalam bentuk yang membunuh mayoritas kemampuan berkreasi dan berpikir. خامسا: التقليد الأعمى الذي يسد منافذ التفكير، ويجعل المرء مجرد تابع لغيره، فلا يستطيع أن يبني رأيه وفكره بناءً صحياً متجرداً؛ ولهذا تجد أنّ المقلد لشيخ أو لمذهب أو لطائفة من أكثر الناس ضيقاً في الأفق؛ وذلك لأنه لم ينظر إلا من نافذة واحدة، ولم يفكر إلا من زاوية محدودة، وتراه يتنقل بين سراديب ضيقة تنتهي به أخيراً إلى بلادة ذهنية تعصف بتفكيره وتجعله أحياناً يقتنع بالشيء ونقيضه في آن واحد! Kelima: Taklid buta yang menutup jendela berpikir. Ia membuat seseorang hanya sekedar menjadi pengikut bagi orang lain, sehingga dia tidak mampu untuk membangun logika dan pikirannya dengan cara yang benar dan objektif. Oleh sebab itu, kamu akan mendapati orang yang taklid buta kepada Syaikh, mazhab, atau golongan tertentu adalah orang yang paling sempit wawasannya. Hal ini karena dia tidak memandang kecuali dari satu jendela saja, dan tidak berpikir kecuali dari satu sudut pandang saja. Kamu akan melihatnya berpindah-pindah di antara lubang sempit yang pada akhirnya mengantarkannya kepada ketumpulan akal yang menerjang pola pikirnya; dan terkadang keadaan itu menjadikannya puas dengan suatu hal dan kebalikannya sekaligus dalam waktu yang sama!  سادسا: الاكتفاء بالنظر إلى ظواهر الأمور المجردة، والتعلق بقشورها القريبة، دون النفاذ إلى أعماقها، أو النظر إلى أبعادها ومقاصدها، ويؤدي ذلك إلى الاغترار بالشكل والبهرج على حساب الحقائق والمضامين؛ مما يحجب الرؤية بغمامة معتمة تطغى على البصيرة، وكم من الأشياء من حولنا نراها في مظهرها الخارجي رؤية معينة، ولكننا إذا تجاوزنا ذلك إلى دواخلها، وأزلنا القشرة الرقيقة التي تحيط بها تبينت لنا صورة أخرى مختلفة وبعيدة كل البعد عن الصورة الأولى. وانظر إلى صفة المنافقين في القرآن: {وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ} [المنافقون من الآية:4]، فهل تكفي هذه الصفة الظاهرية لأجسامهم وأقوالهم في إعطاء تصور صحيح متكامل عن هؤلاء القوم؟! بالتأكيد لا تكفي؛ فالقرآن يوضح حقيقة هذا المظهر: {هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ} [المنافقون من الآية:4]. ونظير ذلك أيضاً: الاغترار بالكم على حساب الكيف، وانظر مثلاً إلى قول الله تعالى :{وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئاً} [التوبة: من الآية25] ، ثم قارن ذلك بقوله تعالى: {إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ} [الأنفال: من الآية65]، ويتضح من ذلك أن معاني الأمور ومقاصدها الصحيحة تتجلى في حقائقها ومعادنها الأصيلة. وليس المقصود هنا أن الشكل الظاهري أو الكم مرفوضان كلية؛ ولكن المقصود التحذير من الاكتفاء بهما، أو الوقوف عند حدودهما فحسب. Keenam: Mencukupkan diri dengan memandang kepada penampakan luar saja, terpaut dengan kulit dangkalnya saja, tanpa menyelam ke dalam kandungannya atau mencermati dimensi-dimensi dan maksud-maksud lainnya. Hal ini menyebabkan seseorang terlena dengan bentuk dan penampilan luar saja, dan mengesampingkan hakikat dan kandungannya, yang menyebabkan pandangan menjadi tertutup oleh awan gelap yang menyelimuti pikiran. Betapa banyak hal di sekitar kita yang kita lihat penampilan luarnya dengan perspektif tertentu; tapi seandainya kita melihatnya lebih dalam lagi dan kita singkap kulit luar tipis yang menyelimutinya, niscaya akan tampak bagi kita bentuk lain yang jauh berbeda daripada dengan perspektif kita sebelumnya. Perhatikanlah sifat orang-orang munafik yang ada dalam al-Quran: وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata, kamu mendengarkan perkataan mereka …” (QS. Al-Munafiqun: 4) Namun, apakah cukup sifat yang tampak dari tubuh dan ucapan mereka dalam memberi prespektif yang benar yang menyeluruh tentang mereka? Tentu tidak cukup, karena al-Quran menjelaskan hakikat dari penampilan ini: هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ “… Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS. Al-Munafiqun: 4) Semisal dengan hal ini adalah tertipu dengan jumlah (kuantitas) dan mengesampingkan kualitas. Sebagai contoh, firman Allah Ta’ala: وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئاً “… dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu pada waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun …” (QS. At-Taubah: 25). Lalu bandingkanlah dengan firman Allah Ta’ala: إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ “Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh …” (QS. Al-Anfal: 65) Hal ini menjelaskan bahwa makna-makna dan tujuan-tujuan yang benar dapat tampak di dalam hakikat dan intisarinya. Namun, yang dimaksud di sini bukanlah penampilan luar dan jumlah harus ditolak sepenuhnya, tapi yang dimaksud adalah peringatan dari mencukupkan diri dengan dua hal itu atau hanya berhenti pada batas dua hal itu saja. سابعا: النظرة الجزئية الضيقة التي تختزل المسائل الكبيرة إلى إطار محدود صغير؛ مما يؤدي بالتأكيد إلى تكوُّن تصور هزيل مبتور لا يمثل إلا جزءاً يسيراً من الحقيقة، بل قد يؤدي هذا التصور إلى تشويه الحقيقة بسبب نقصها وافتقارها للنظرة الشمولية المتكاملة. ثامنا: الخلط في تقدير المصالح والمفاسد، والجهل في ترتيب الأولويات؛ مما قد يؤدي إلى التعلق بالمصلحة القريبة العاجلة، وإن ترتب عليها مفاسد كبيرة في العاجل والآجل، أو يؤدي إلى تقديم المصالح المفضولة على حساب المصالح الفاضلة. (نسأل الله الكريم أن ينور بصائرنا ويلهمنا الرشد والسداد في القول والعمل، وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله محمد وآله وصحبه أجمعين). Ketujuh: Pandangan parsial dan sempit yang dapat mengasingkan masalah-masalah besar ke dalam lingkup yang kecil dan terbatas. Hal ini tentu menyebabkan terbentuknya perspektif yang lemah dan cacat, yang hanya mewakili bagian kecil dari hakikat. Bahkan, terkadang perspektif ini menyebabkan penyelewengan hakikat, akibat kurang dan lemahnya pandangan yang menyeluruh dan kompleks. Kedelapan: Kerancuan dalam mengukur kebaikan dan keburukan, dan ketidaktahuan dalam menyusun prioritas. Hal ini terkadang menyebabkan ketergantungan kepada kemaslahatan yang instan, meskipun itu mengakibatkan kerusakan besar pada waktu dekat atau nanti suatu saat, atau mengakibatkan pengutamaan maslahat yang tidak utama sehingga mengesampingkan maslahat yang utama. Kita mohon kepada Allah Yang Maha Pemurah agar menyinari hati kita dan mengilhamkan kepada kita petunjuk dan kebenaran dalam ucapan dan perbuatan. Selawat, salam, dan keberkahan semoga tercurah kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad; dan kepada keluarga dan para sahabat beliau seluruhnya. *) Diterjemahkan oleh tim penerjemah Yufid dari website IslamWeb.net Sumber:  https://www.islamweb.net/ar/article/221527/سعة-الأفق PDF sumber artikel. 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 511 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,035 QRIS donasi Yufid


6 Tips agar Berwawasan Luas سعة الأفق Oleh: Ahmad bin Abdurrahman ash-Shuyan أحمد بن عبد الرحمن الصويان من نعمة الله تعالى على العبد أن يرزقه سعة في الأفق، وعمقاً في النظر، فيتسع فكره، وينطلق في آفاق رحبة واسعة، ويؤتيه الله بصيرة نافذة تجعله ينفذ إلى أعماق الحقائق وأبعادها، فيقدرها بقدرها، ويضعها في مواضعها. Di antara kenikmatan dari Allah Ta’ala yang dikaruniakan kepada seorang hamba adalah keluasan wawasan dan kematangan pandangan; sehingga pikirannya luas dan dapat mengarungi ufuk yang luas. Allah memberinya pemikiran cerdas yang membuatnya dapat menyelam ke dalam berbagai realita dan dimensi; sehingga dia dapat mempertimbangkannya dengan pertimbangan yang tepat dan mendudukkannya di tempat yang seharusnya. ومما يعين الإنسان على سعة الأفق: أولا: حرصه على طلب العلم والجدّ فيه، وأخذه من أهله الأثبات الراسخين، والصبر على تتبع مسائله في مظانها المختلفة، وحرصه في بدء الطلب على أن يأخذ من كل فن أصوله وقواعده لكي تتكامل معارفه وتتآلف علومه، والعلم هو الركيزة الأساس التي تبني عقل الإنسان وتجعله يستقيم على الجادة؛ ألم ترَ أن الجاهل يعيش في ظلمة فلا يبصر طريقه، فإذا عرض له عارض صار يتخبط ويضطرب؟ بينما ترى صاحب العلم والفهم حاذقاً فطناً يفتح الله عليه من أبواب العلوم ما يجعله قادراً على رؤية أبعاد واسعة لا يراها من هو دونه. Beberapa hal yang dapat menjadikan seseorang memiliki wawasan yang luas Pertama: Bersungguh-sungguh dalam belajar, menuntut ilmu dari para ulama yang terpercaya dan kuat ilmunya, bersabar dalam meneliti berbagai permasalahan dari sumber-sumber yang beraneka ragam; dan hendaknya pada awal belajar dia mempelajari asas-asas dan kaidah-kaidah pokok dalam setiap bidang ilmu, agar pengetahuannya dapat diraih secara utuh dan ilmu-ilmunya saling melengkapi.  Ilmu adalah pilar utama yang dapat membangun akal seseorang dan menjadikannya dapat konsisten di atas jalan yang benar. Tidakkah kamu melihat orang yang bodoh itu hidup dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat melihat jalannya, dan jika ada sesuatu yang menghalangi jalannya, dia menjadi sempoyongan dan terhuyung-huyung?! Sedangkan di sisi lain, kamu dapat melihat orang yang berilmu dan memiliki pemahaman itu menjadi orang yang cerdas dan cermat; Allah Ta’ala membukakan pintu-pintu ilmu baginya, sehingga menjadikannya mampu melihat dimensi-dimensi yang luas, yang tidak dapat dilihat oleh orang lain yang ilmunya lebih rendah darinya. ثانيا: تنوع ثقافاته، وتعدد قراءاته في مختلف أنواع المعرفة العلمية، فالمتخصص في الدراسات الشرعية مثلاً لا ينحصر في هذا التخصص، بل تمتد عنايته واطلاعه إلى الدراسات الأدبية والفكرية والإنسانية الأخرى؛ فهو يتنقل في حقول العلم والفكر، ويمتص رحيق الأزهار بألوانها وأشكالها المتنوعة، وهكذا بقية المتخصصين في فروع أخرى من العلم. Kedua: Menganekaragamkan berbagai pengetahuan dan memperbanyak bahan bacaan di berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, seorang spesialis dalam bidang ilmu-ilmu syariat hendaknya tidak hanya membatasi diri dalam spesialisasi itu. Namun, hendaknya dia memperluas perhatian dan bacaannya dalam ilmu-ilmu sastra, filsafat, dan ilmu-ilmu humaniora lainnya; sehingga dia dapat berpindah-pindah di berbagai taman-taman ilmu dan pemikiran, dan menghirup berbagai sari bunga dengan warna dan bentuk yang berbeda-beda. Demikian juga dengan para spesialis lainnya bersikap terhadap cabang-cabang ilmu lainnya. ثالثا: كثرة محاورته ومجالسته لأهل العلم والرأي؛ فبالحوار العلمي الجاد تتسع مدارك الإنسان، ويقف على أشياء قد لا تخطر بباله على الإطلاق، وقديماً قال عمر بن عبد العزيز – رحمه الله -: “إني وجدتُ لقاء الرجال تلقيحاً لألبابهم”. وقال الزهري: “العلم خزائن ومفاتيحها السؤال”. وقال أيوب السختياني: “إنّك لا تعرف خطأ معلمك حتى تجالس غيره”. ولهذا كان السلف يحثّون طالب العلم على الرحلة والسفر لملاقاة العلماء واكتساب مختلف أنواع العلوم والمعارف، وفي هذا يقول ابن خلدون: “على كثرة الشيوخ يكون حصول الملكات ورسوخها”. Ketiga: Banyak berdiskusi dan berinteraksi dengan para ilmuwan dan pemikir. Dengan diskusi ilmiah yang serius, pengetahuan seseorang akan semakin luas; dan dia akan mendapatkan hal-hal yang sebelumnya tidak terpikir olehnya sama sekali. Umar bin Abdul Aziz rahimahullah pernah berkata, “Sungguh aku mendapati pertemuan dengan tokoh-tokoh besar sebagai penyerapan akal-akal mereka.” Sedangkan az-Zuhri berkata, “Ilmu adalah harta-harta yang tersimpan, sedangkan kunci-kuncinya adalah pertanyaan.” Adapun Ayyub as-Sikhtiyani berkata, “Sungguh kamu tidak akan mengetahui kesalahan gurumu, hingga kamu belajar dari guru yang lain.”  Oleh sebab itu, para ulama salaf dulu sangat mengajurkan para penuntut ilmu untuk melakukan perjalanan dan safar demi bertemu para ulama dan mencari berbagai bidang ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun berkata, “Sesuai dengan banyaknya guru, sekadar itulah ilmu yang didapatkan dan dikuasai.” رابعا: حرصه على التأمل والنظر والتفكر، وشحذ الذهن وتنشيطه في دراسة المباحث والمسائل، والفكر الحي المعطاء هو الفكر المتّقد الذي ينبض بحيوية ونشاط، فلا يكسل ولا يعجز ولا تصيبه السآمة والملل، وكثرة التفكر تنمي المَلَكة، فـ(كثرة المزاولات تعطي الملكات، فتبقى للنفس هيئة راسخة وملكة ثابتة) كما ذكر ابن القيم رحمه الله تعالى، كما أنّ الفكر المنظم المدروس هو الذي يبني العقل ويجعله يستقيم على الطريق، وأما العشوائية والارتجالية في التفكير فإنها تشتت الذهن وتفرّق الهم. من الأدواء الفكرية المنتشرة عند كثير من الناس: ضيق الأفق، والنظر إلى المسائل المختلفة بسطحية مفرطة. أما الإنسان الذي لا يفكر، أو يفكر بطريقة راتبة أو عشوائية، فإنه بالضرورة إنسان عاجز لا يقوى على إعطاء التصور الصحيح للمسائل، بل قد يقوده تفكيره أحياناً إلى التخبط والاضطراب. Keempat: Memberi perhatian besar pada pengamatan, penelitian, dan olah pikir, serta melatih dan merangsang otak dalam mempelajari berbagai pembahasan dan permasalahan. Pikiran yang hidup dan dapat berkontribusi adalah pikiran yang berdetak dengan penuh energi dan semangat; tidak malas, lemah, atau merasa bosan dan jemu.  Banyak berpikir akan meningkatkan kemampuan; karena banyaknya latihan akan menghasilkan kemampuan, sehingga diri seseorang akan berada pada bentuk yang kokoh dan kemampuan yang teguh. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullahu Ta’ala, “Pikiran yang terstruktur dan terprogram akan membentuk akal dan menjadikannya dapat konsisten di atas jalan yang benar. Adapun acak-acakan dan spontan dalam berpikir hanya akan mencerai-berai akal dan membuat pikiran berserakan. Sedangkan orang yang tidak berpikir, atau berpikir dengan cara yang telah terbawa rutinitas atau acak-acakan, maka pasti dia adalah orang yang lemah dan tidak mampu memberi gambaran yang benar terhadap berbagai permasalahan. Bahkan, terkadang pikirannya menjerumuskannya ke dalam kekacauan dan ketidakberaturan. خامسا: اطّلاعه على التجارب والخبرات البشرية في القديم والحديث محاولاً قدر الطاقة اختزانها في عقله لكي يستطيع توظيفها التوظيف الأمثل إذا دعت الحاجة إلى ذلك، والحكمة ضالة المؤمن أنى وجدها فهو أحق بها. سادسا: تحرره من التقليد الأعمى بكل صوره وأشكاله، فهو يستفيد من أشياخه وأقرانه وأصحابه وغيرهم، ثم ينطلق بفكره الحرّ يتلمّس مختلف السبل بعقلية ناضجة مستقلة؛ وليس كل الناس يقوى على ذلك؛ فأصحاب الفكر هم المعادن الكريمة النادرة، وهم القادرون على توجيه الأمة، وأما عامة الناس فأتباع مقلدون، وبين هؤلاء وأولئك فئام من الناس أخذوا من كل فريق بطرف. Kelima: Menelaah riset-riset dan percobaan-percobaan manusia di masa lalu dan masa kini, disertai dengan usaha sekuat tenaga untuk mengingatnya di dalam akalnya, agar dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Hikmah kebijaksanaan adalah barang yang hilang dari seorang Mukmin, di manapun dia menemukannya, maka dialah yang paling berhak untuk mengambilnya. Keenam: Membebaskan diri dari taklid buta dengan segala bentuk dan macamnya. Seseorang harus menimba manfaat dari para guru, teman, sahabat, dan orang lainnya; lalu beranjak dengan pikirannya yang merdeka untuk mencari titik temu dari berbagai pendapat yang berbeda dengan akal yang matang dan merdeka. Namun, tidak semua orang mampu melakukan itu, karena orang-orang yang cerdas bagaikan logam-logam mulia yang langka; dan merekalah orang-orang yang mampu mengarahkan umat ini. Adapun orang awam, maka mereka cukup menjadi pengikut. Lalu di antara dua golongan ini terdapat segolongan manusia yang memiliki sebagian sifat dari tiap-tiap golongan tersebut. ضيق الأفق: من الأدواء الفكرية المنتشرة عند كثير من الناس: ضيق الأفق، والنظر إلى المسائل المختلفة بسطحية مفرطة؛ فكم ينقبض صدر المرء حينما يرى من بعض الناس أن القضايا المصيرية العظيمة في مسيرة الأمة تؤخذ بعين الغفلة والسذاجة وقلة الفهم والبصيرة!. ومن أبرز أسباب ضيق الأفق: أولا: الجهل وقلَّة البضاعة فكم جرَّ الجهل على أصحابه من المهالك والمفاسد! والجهل دركات بعضها أسوأ من بعض، وكلما ازداد المرء جهلاً ازداد تهالكاً وانحرافاً، وهل رأيت جاهلاً يقوى على إدراك حقائق الأشياء ومقاصدها، أو يقدر على قراءة الواقع واستشراف المستقبل؟! Wawasan yang Sempit Di antara penyakit-penyakit pikiran yang tersebar pada banyak orang adalah sempitnya wawasan, dan memandang berbagai permasalahan dengan cara pandang yang dangkal sekali. Betapa banyak orang yang sempit dadanya ketika melihat sebagian orang memandang masalah-masalah krusial dan besar dalam menentukan nasib umat ini dengan pandangan yang lalai dan polos, serta dengan pemahaman yang dangkal. Di antara hal-hal paling penting yang menyebabkan sempitnya wawasan adalah: Pertama: Kebodohan dan sedikitnya bekal ilmu. Betapa sering kebodohan itu menyeret pelakunya kepada kebinasaan dan kerusakan! Kebodohan memiliki tingkatan-tingkatan, sebagian tingkatan lebih buruk daripada sebagian lainnya. Semakin bodoh seseorang, maka semakin bertambah pula kedekatannya dengan kebinasaan dan penyimpangan. Apakah kamu pernah melihat orang jahil yang mampu memahami hakikat dan maksud dari banyak hal, atau mampu membaca realita dan memproyeksikan masa depan?! ثانيا: قلة الفهم والوعي؛ وهما أمران زائدان على مجرَّد الجهل، فرُبَّ صاحب علْم لا يفيده علمه كبيرَ فائدةٍ بسبب ضعف فهمه وعسر إدراكه؛ لأنّه وقف عند حروف الألفاظ، ولم ينفذ إلى معانيها ومراميها، والفهم بضاعة نادرة لا يؤتاها إلا أصحاب العقل الراسخ والبصر النافذ، وصاحب الفهم يفتح الله عليه من إدراك النصوص والوقائع ما لا يخطر على بال غيره، قال ابن القيم رحمه الله: “ربّ شخص يفهم من النص حكماً أو حكمَيْن، ويفهم منه الآخر مائة أو مائتين”. Kedua: Rendahnya pemahaman dan kesadaran. Dua hal ini adalah tambahan daripada sekedar bodoh. Bisa jadi orang yang berilmu tidak mendapatkan manfaat yang besar dari ilmunya, akibat kelemahannya dalam memahami dan kesulitannya dalam menyadari; karena dia hanya terhenti pada kalimat-kalimat secara tekstual, dan tidak masuk ke dalam makna-makna dan tujuan-tujuannya. Pemahaman adalah barang langka, yang tidak diberikan kecuali kepada orang-orang yang memiliki akal yang kokoh dan pandangan yang tajam. Orang yang memiliki pemahaman akan dibukakan Allah baginya pemahaman terhadap teks-teks dan kejadian-kejadian yang tidak pernah terlintas di pikiran orang lain. Ibnu al-Qayyim rahimahullah berkata, “Bisa jadi seseorang memahami satu atau dua hukum dari satu nash, tapi orang lain memahami darinya seratus atau dua ratus hukum.” ثالثا: الرتابة في التفكير ورؤية المسائل، والاعتماد على المألوف المعتاد فقط، وهذا بالتأكيد يجعل الإنسان أسيراً في بيت مغلق، كما يجعله في عزلة فكرية يحبس فيها عقله، فلا يقوى على النظر والإبداع والتجديد. رابعا: التربية التقليدية الهزيلة التي تنتشر في كثير من المحاضن التربوية، وتشكل عقول الناس تشكيلاً يقتل معظم ملكات الإبداع والتفكير. Ketiga: Monoton dalam berpikir dan memandang berbagai permasalahan, serta hanya bersandar dengan kebiasaan saja. Hal ini tentu saja menjadikan seseorang tertawan di dalam ruangan tertutup, seakan-akan dia menjadikan dirinya berada dalam ruang isolasi pemikiran, dia mengurung akalnya di dalam ruangan tersebut, sehingga tidak mampu melakukan pencermatan, kreatifitas, dan pembaharuan. Keempat: Metode pendidikan konvensional yang lemah yang tersebar di banyak pusat Pendidikan. Ia membentuk akal manusia ke dalam bentuk yang membunuh mayoritas kemampuan berkreasi dan berpikir. خامسا: التقليد الأعمى الذي يسد منافذ التفكير، ويجعل المرء مجرد تابع لغيره، فلا يستطيع أن يبني رأيه وفكره بناءً صحياً متجرداً؛ ولهذا تجد أنّ المقلد لشيخ أو لمذهب أو لطائفة من أكثر الناس ضيقاً في الأفق؛ وذلك لأنه لم ينظر إلا من نافذة واحدة، ولم يفكر إلا من زاوية محدودة، وتراه يتنقل بين سراديب ضيقة تنتهي به أخيراً إلى بلادة ذهنية تعصف بتفكيره وتجعله أحياناً يقتنع بالشيء ونقيضه في آن واحد! Kelima: Taklid buta yang menutup jendela berpikir. Ia membuat seseorang hanya sekedar menjadi pengikut bagi orang lain, sehingga dia tidak mampu untuk membangun logika dan pikirannya dengan cara yang benar dan objektif. Oleh sebab itu, kamu akan mendapati orang yang taklid buta kepada Syaikh, mazhab, atau golongan tertentu adalah orang yang paling sempit wawasannya. Hal ini karena dia tidak memandang kecuali dari satu jendela saja, dan tidak berpikir kecuali dari satu sudut pandang saja. Kamu akan melihatnya berpindah-pindah di antara lubang sempit yang pada akhirnya mengantarkannya kepada ketumpulan akal yang menerjang pola pikirnya; dan terkadang keadaan itu menjadikannya puas dengan suatu hal dan kebalikannya sekaligus dalam waktu yang sama!  سادسا: الاكتفاء بالنظر إلى ظواهر الأمور المجردة، والتعلق بقشورها القريبة، دون النفاذ إلى أعماقها، أو النظر إلى أبعادها ومقاصدها، ويؤدي ذلك إلى الاغترار بالشكل والبهرج على حساب الحقائق والمضامين؛ مما يحجب الرؤية بغمامة معتمة تطغى على البصيرة، وكم من الأشياء من حولنا نراها في مظهرها الخارجي رؤية معينة، ولكننا إذا تجاوزنا ذلك إلى دواخلها، وأزلنا القشرة الرقيقة التي تحيط بها تبينت لنا صورة أخرى مختلفة وبعيدة كل البعد عن الصورة الأولى. وانظر إلى صفة المنافقين في القرآن: {وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ} [المنافقون من الآية:4]، فهل تكفي هذه الصفة الظاهرية لأجسامهم وأقوالهم في إعطاء تصور صحيح متكامل عن هؤلاء القوم؟! بالتأكيد لا تكفي؛ فالقرآن يوضح حقيقة هذا المظهر: {هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ} [المنافقون من الآية:4]. ونظير ذلك أيضاً: الاغترار بالكم على حساب الكيف، وانظر مثلاً إلى قول الله تعالى :{وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئاً} [التوبة: من الآية25] ، ثم قارن ذلك بقوله تعالى: {إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ} [الأنفال: من الآية65]، ويتضح من ذلك أن معاني الأمور ومقاصدها الصحيحة تتجلى في حقائقها ومعادنها الأصيلة. وليس المقصود هنا أن الشكل الظاهري أو الكم مرفوضان كلية؛ ولكن المقصود التحذير من الاكتفاء بهما، أو الوقوف عند حدودهما فحسب. Keenam: Mencukupkan diri dengan memandang kepada penampakan luar saja, terpaut dengan kulit dangkalnya saja, tanpa menyelam ke dalam kandungannya atau mencermati dimensi-dimensi dan maksud-maksud lainnya. Hal ini menyebabkan seseorang terlena dengan bentuk dan penampilan luar saja, dan mengesampingkan hakikat dan kandungannya, yang menyebabkan pandangan menjadi tertutup oleh awan gelap yang menyelimuti pikiran. Betapa banyak hal di sekitar kita yang kita lihat penampilan luarnya dengan perspektif tertentu; tapi seandainya kita melihatnya lebih dalam lagi dan kita singkap kulit luar tipis yang menyelimutinya, niscaya akan tampak bagi kita bentuk lain yang jauh berbeda daripada dengan perspektif kita sebelumnya. Perhatikanlah sifat orang-orang munafik yang ada dalam al-Quran: وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata, kamu mendengarkan perkataan mereka …” (QS. Al-Munafiqun: 4) Namun, apakah cukup sifat yang tampak dari tubuh dan ucapan mereka dalam memberi prespektif yang benar yang menyeluruh tentang mereka? Tentu tidak cukup, karena al-Quran menjelaskan hakikat dari penampilan ini: هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ “… Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS. Al-Munafiqun: 4) Semisal dengan hal ini adalah tertipu dengan jumlah (kuantitas) dan mengesampingkan kualitas. Sebagai contoh, firman Allah Ta’ala: وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئاً “… dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu pada waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun …” (QS. At-Taubah: 25). Lalu bandingkanlah dengan firman Allah Ta’ala: إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ “Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh …” (QS. Al-Anfal: 65) Hal ini menjelaskan bahwa makna-makna dan tujuan-tujuan yang benar dapat tampak di dalam hakikat dan intisarinya. Namun, yang dimaksud di sini bukanlah penampilan luar dan jumlah harus ditolak sepenuhnya, tapi yang dimaksud adalah peringatan dari mencukupkan diri dengan dua hal itu atau hanya berhenti pada batas dua hal itu saja. سابعا: النظرة الجزئية الضيقة التي تختزل المسائل الكبيرة إلى إطار محدود صغير؛ مما يؤدي بالتأكيد إلى تكوُّن تصور هزيل مبتور لا يمثل إلا جزءاً يسيراً من الحقيقة، بل قد يؤدي هذا التصور إلى تشويه الحقيقة بسبب نقصها وافتقارها للنظرة الشمولية المتكاملة. ثامنا: الخلط في تقدير المصالح والمفاسد، والجهل في ترتيب الأولويات؛ مما قد يؤدي إلى التعلق بالمصلحة القريبة العاجلة، وإن ترتب عليها مفاسد كبيرة في العاجل والآجل، أو يؤدي إلى تقديم المصالح المفضولة على حساب المصالح الفاضلة. (نسأل الله الكريم أن ينور بصائرنا ويلهمنا الرشد والسداد في القول والعمل، وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله محمد وآله وصحبه أجمعين). Ketujuh: Pandangan parsial dan sempit yang dapat mengasingkan masalah-masalah besar ke dalam lingkup yang kecil dan terbatas. Hal ini tentu menyebabkan terbentuknya perspektif yang lemah dan cacat, yang hanya mewakili bagian kecil dari hakikat. Bahkan, terkadang perspektif ini menyebabkan penyelewengan hakikat, akibat kurang dan lemahnya pandangan yang menyeluruh dan kompleks. Kedelapan: Kerancuan dalam mengukur kebaikan dan keburukan, dan ketidaktahuan dalam menyusun prioritas. Hal ini terkadang menyebabkan ketergantungan kepada kemaslahatan yang instan, meskipun itu mengakibatkan kerusakan besar pada waktu dekat atau nanti suatu saat, atau mengakibatkan pengutamaan maslahat yang tidak utama sehingga mengesampingkan maslahat yang utama. Kita mohon kepada Allah Yang Maha Pemurah agar menyinari hati kita dan mengilhamkan kepada kita petunjuk dan kebenaran dalam ucapan dan perbuatan. Selawat, salam, dan keberkahan semoga tercurah kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad; dan kepada keluarga dan para sahabat beliau seluruhnya. *) Diterjemahkan oleh tim penerjemah Yufid dari website IslamWeb.net Sumber:  https://www.islamweb.net/ar/article/221527/سعة-الأفق PDF sumber artikel. 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 511 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,035 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Bergantung kepada Ketetapan Allah di Tengah Himpitan Ekonomi

Daftar Isi Toggle Dampak Krisis EkonomiSebuah Doa MuliaKetergantungan kepada AllahMenghadapi Tantangan dengan Iman dan Kesabaran Krisis ekonomi global telah membawa dampak yang cukup berat bagi sebagian manusia, tidak terkecuali kita di Indonesia. Tidak jarang, kini kita melihat orang-orang yang dulunya diberi kenikmatan kekayaan dari Allah Ta’ala, tetapi kini sedang berjuang menghadapi ujian kekurangan dan kemiskinan. Baik disebabkan oleh kehilangan pekerjaan, kesulitan finansial, maupun ketidakpastian ekonomi. Kondisi demikian menuntut kita sebagai seorang mukmin untuk menyikapi ujian tersebut dengan bijak. Tentu saja, kebijaksanaan di sini adalah mengetahui bagaimana seharusnya kita memaksimalkan ketergantungan dan tawakal kita kepada Allah Ta’ala kemudian mencari petunjuk dalam Al-Qur’an, hadis, dan contoh dari para salaf saleh dalam menyikapi berbagai ujian kehidupan. Dampak Krisis Ekonomi Krisis ekonomi seringkali membawa dampak yang luas dan beragam, mulai dari meningkatnya angka pengangguran hingga berkurangnya pendapatan keluarga. Dampak ini dirasakan oleh semua kalangan, dari pekerja harian hingga profesional di berbagai bidang. Ketidakstabilan ini tidak hanya mempengaruhi kondisi finansial, tetapi juga kesehatan mental dan emosional. Banyak yang merasa cemas dan tertekan, menghadapi ketidakpastian yang seakan tiada ujung. Tidak sedikit pula yang mengambil keputusan untuk berpisah dari istri, lari dari kenyataan hidup yang pahit, hingga mengakhiri hidupnya sendiri sebab tidak kuasa menahan cobaan tersebut. Wal-‘iyadzubillah. Padahal, telah jelas bahwa setiap ujian dan cobaan yang kita alami sudah ditetapkan oleh Allah dan sesuai dengan kadar kemampuan kita.  Allah Ta’ala berfirman, لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ “Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286) Kita pun semestinya mengetahui bahwa ujian, cobaan, dan tantangan kehidupan dengan segala jenisnya merupakan keniscayaan dan sunatullah untuk kita hadapi dengan sebijaksana mungkin sebagai seorang mukmin. Perhatikan firman Allah Ta’ala, وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155) Saudaraku, yakinlah bahwa cobaan adalah bagian dari kehidupan yang harus dihadapi dengan sabar dan tawakal. Ketika kita menghadapi kesulitan ekonomi, hal pertama yang harus kita lakukan adalah menguatkan iman dan tawakal kepada Allah, serta mencari pertolongan-Nya dengan ikhtiar. Sebuah Doa Mulia Salah satu doa yang sangat dianjurkan untuk dibaca dalam menghadapi kesulitan adalah doa “يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ” (Ya Hayyu Ya Qayyum, birahmatika astaghits). Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “ما يمنعُكِ أن تسمَعي ما أُوصيكِ به ؟ أن تقولي إذا أصبحْتِ و إذا أمسَيتِ : يا حيُّ يا قيُّومُ برحمتِك أستغيثُ ، أَصلِحْ لي شأني كلَّه ، و لا تَكِلْني إلى نفسي طرفةَ عَيْنٍ” “Apa yang menghalangimu untuk mendengar apa yang aku wasiatkan kepadamu? Yaitu, katakanlah ketika pagi dan petang, ‘Ya Hayyu Ya Qayyum, birahmatika astaghits. Ashlihliy sya’ni kullah, walaa takilniy ila nafsiy tharfata ‘ain.’ (Wahai Yang Mahahidup dan Yang Maha Berdiri Sendiri, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan. Perbaikilah seluruh urusanku dan janganlah Engkau menyerahkanku kepada diriku sendiri walau sekejap mata).” (HR. An-Nasa’i dalam “As-Sunan Al-Kubra” no. 10405, Al-Bazzar no. 6368, dan Ibn As-Sunni dalam “‘Amal Al-Yaum Wal-Lailah” no. 48.) Dalam riwayat lain, juga disebutkan bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapi kesulitan, beliau membaca doa tersebut. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, كان إذا حَزَبَه أمْرٌ قال: يا حَيُّ يا قيُّومُ بِرَحْمتِك أسْتَغيثُ. “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapi kesulitan, beliau berkata, ‘Ya Hayyu Ya Qayyum, birahmatika astaghits.’” (HR. At-Tirmidzi no. 3524 dengan lafaz ini, dan Ibn As-Sunni dalam “‘Amal Al-Yaum wal-Lailah” no. 337.) Lihatlah, seorang manusia mulia yang telah maksum dan dijamin surga untuknya pun mengucapkan kalimat ini. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga diberikan berbagai ujian dan cobaan, bahkan 2 kali lipat lebih banyak dari umatnya. Sa’ad bin Abi Waqqas radhiyallahu ‘anhu berkata, يا رسولَ اللَّهِ أيُّ النَّاسِ أشدُّ بلاءً قالَ : الأنبياءُ ثمَّ الصَّالحونَ ثمَّ الأمثَلُ فالأمثَلُ منَ النَّاسِ يُبتَلى الرَّجلُ على حَسبِ دينِهِ فإن كانَ في دينِهِ صلابةٌ زيدَ في بلائِهِ وإن كانَ في دينِهِ رقَّةٌ خُفِّفَ عنهُ وما يزالُ البلاءُ بالعَبدِ حتَّى يمشيَ على ظَهْرِ الأرضِ ليسَ عليهِ خطيئةٌ “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya?” Beliau menjawab, “Para nabi, kemudian orang-orang saleh, kemudian yang sebanding dan seterusnya. Seseorang diuji sesuai dengan kadar agamanya. Jika dalam agamanya terdapat kekuatan, maka ujiannya ditambah. Dan jika dalam agamanya terdapat kelemahan, maka ujiannya diringankan. Dan ujian akan terus menimpa seorang hamba hingga dia berjalan di muka bumi tanpa dosa.”[1] Maka, kabar gembira pula bagi siapa pun yang diberikan ujian dan cobaan dari Allah Ta’ala. Karena beratnya cobaan tersebut berbanding lurus dengan level keimanan seseorang. Jika kita merasakan kesulitan dalam menghadapi tantangan kehidupan, maka itu pertanda bahwa Allah Ta’ala sedang menguji keimanan kita. Maka, Rasulullah mengajarkan kita doa terbaik ketika menghadapi ujian. Renungkanlah doa tersebut. Permohonan seorang hamba kepada Rabbnya dengan rahmat-Nya yang luas. Khususnya dalam kondisi krisis ekonomi. Kita mengucapkan dan memohon kepada Allah dengan doa ini di waktu-waktu mustajab berdoa sebagai wujud dari ketergantungan kita kepada Allah Ta’ala bukan pada kemampuan kita sendiri. Baca juga: Indahnya Sistem Perekonomian Islam Ketergantungan kepada Allah Selain hadis tentang doa di atas, banyak dalil yang mengajarkan kita untuk bergantung pada Allah dalam segala urusan. Ingatlah bahwa ketakwaan dan ketergantungan kita hanya kepada Allah akan membawa kita pada jalan keluar dari segala kesulitan. Allah Ta’ala berfirman, وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًا “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS. At-Talaq: 2) Begitu juga dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, انظُروا إلى مَن هوَ أسفَلَ منكُم ولا تَنظُروا إلى من هوَ فوقَكم فإنَّهُ أجدَرُ أن لا تزدَروا نِعمةَ اللَّهِ “Lihatlah orang yang berada di bawahmu (dalam urusan dunia), dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, agar kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu.”[2] Oleh karenanya, kita membutuhkan suatu kebiasaan (habit) untuk selalu bersyukur atas nikmat yang Allah berikan dan tidak terlalu fokus pada kekurangan kita. Syukur akan menjadikan kita merasa lebih tenang dan mampu melihat jalan keluar dari berbagai masalah kehidupan yang dihadapi. Menghadapi Tantangan dengan Iman dan Kesabaran Krisis ekonomi bukan hanya ujian finansial tetapi juga ujian yang merupakan bagian dari rencana Allah untuk menguatkan iman kita. Setiap kesulitan yang kita hadapi adalah kesempatan untuk menunjukkan kesabaran dan keimanan kita kepada Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya, أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al-Ankabut: 2) Sikap terbaik dalam menghadapi berbagai ujian kehidupan adalah dengan berpegang teguh pada ajaran Islam sesuai dengan pemahaman salaf saleh, menghindari perbuatan yang dilarang Allah (sebab kemaksiatan bisa mendatangkan murka dan malapetaka), dan terus berdoa kepada Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّ ةِ “Ingatlah Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengingatmu di waktu susah.” (HR. At-Tirmidzi no. 2516) Saudaraku, krisis ekonomi dan kesulitan pekerjaan adalah ujian yang berat, namun dengan ketergantungan yang kuat pada Allah Ta’ala, maka insyaAllah kita akan menemukan kekuatan dan solusi. Doa “يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ” adalah salah satu cara untuk menguatkan hubungan kita dengan Allah dan memohon bantuan-Nya dalam menghadapi segala bentuk kesulitan. Semoga Allah selalu memberikan kita kekuatan, kesabaran, dan jalan keluar dari setiap masalah yang kita hadapi. Mari kita jadikan doa ini sebagai bagian dari keseharian kita, terutama di saat-saat sulit, agar kita selalu ingat bahwa hanya Allahlah tempat kita bergantung dan memohon pertolongan. Mudah-mudahan dengan demikian, kita akan merasakan ketenangan dan kekuatan yang datang dari-Nya, meskipun menghadapi tantangan sebesar apa pun. Wallahu a’lam bish-shawab. Baca juga: Mengapa Terjadi Krisis Ekonomi? *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Sahih. Lihat Kitab Takhrij Al-Musnad lil-Shakir, 3: 45 [2] Sahih. Lihat Kitab Sahih Ibnu Majah, hal. 3358. Tags: ketetapan Allahtakdir

Bergantung kepada Ketetapan Allah di Tengah Himpitan Ekonomi

Daftar Isi Toggle Dampak Krisis EkonomiSebuah Doa MuliaKetergantungan kepada AllahMenghadapi Tantangan dengan Iman dan Kesabaran Krisis ekonomi global telah membawa dampak yang cukup berat bagi sebagian manusia, tidak terkecuali kita di Indonesia. Tidak jarang, kini kita melihat orang-orang yang dulunya diberi kenikmatan kekayaan dari Allah Ta’ala, tetapi kini sedang berjuang menghadapi ujian kekurangan dan kemiskinan. Baik disebabkan oleh kehilangan pekerjaan, kesulitan finansial, maupun ketidakpastian ekonomi. Kondisi demikian menuntut kita sebagai seorang mukmin untuk menyikapi ujian tersebut dengan bijak. Tentu saja, kebijaksanaan di sini adalah mengetahui bagaimana seharusnya kita memaksimalkan ketergantungan dan tawakal kita kepada Allah Ta’ala kemudian mencari petunjuk dalam Al-Qur’an, hadis, dan contoh dari para salaf saleh dalam menyikapi berbagai ujian kehidupan. Dampak Krisis Ekonomi Krisis ekonomi seringkali membawa dampak yang luas dan beragam, mulai dari meningkatnya angka pengangguran hingga berkurangnya pendapatan keluarga. Dampak ini dirasakan oleh semua kalangan, dari pekerja harian hingga profesional di berbagai bidang. Ketidakstabilan ini tidak hanya mempengaruhi kondisi finansial, tetapi juga kesehatan mental dan emosional. Banyak yang merasa cemas dan tertekan, menghadapi ketidakpastian yang seakan tiada ujung. Tidak sedikit pula yang mengambil keputusan untuk berpisah dari istri, lari dari kenyataan hidup yang pahit, hingga mengakhiri hidupnya sendiri sebab tidak kuasa menahan cobaan tersebut. Wal-‘iyadzubillah. Padahal, telah jelas bahwa setiap ujian dan cobaan yang kita alami sudah ditetapkan oleh Allah dan sesuai dengan kadar kemampuan kita.  Allah Ta’ala berfirman, لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ “Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286) Kita pun semestinya mengetahui bahwa ujian, cobaan, dan tantangan kehidupan dengan segala jenisnya merupakan keniscayaan dan sunatullah untuk kita hadapi dengan sebijaksana mungkin sebagai seorang mukmin. Perhatikan firman Allah Ta’ala, وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155) Saudaraku, yakinlah bahwa cobaan adalah bagian dari kehidupan yang harus dihadapi dengan sabar dan tawakal. Ketika kita menghadapi kesulitan ekonomi, hal pertama yang harus kita lakukan adalah menguatkan iman dan tawakal kepada Allah, serta mencari pertolongan-Nya dengan ikhtiar. Sebuah Doa Mulia Salah satu doa yang sangat dianjurkan untuk dibaca dalam menghadapi kesulitan adalah doa “يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ” (Ya Hayyu Ya Qayyum, birahmatika astaghits). Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “ما يمنعُكِ أن تسمَعي ما أُوصيكِ به ؟ أن تقولي إذا أصبحْتِ و إذا أمسَيتِ : يا حيُّ يا قيُّومُ برحمتِك أستغيثُ ، أَصلِحْ لي شأني كلَّه ، و لا تَكِلْني إلى نفسي طرفةَ عَيْنٍ” “Apa yang menghalangimu untuk mendengar apa yang aku wasiatkan kepadamu? Yaitu, katakanlah ketika pagi dan petang, ‘Ya Hayyu Ya Qayyum, birahmatika astaghits. Ashlihliy sya’ni kullah, walaa takilniy ila nafsiy tharfata ‘ain.’ (Wahai Yang Mahahidup dan Yang Maha Berdiri Sendiri, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan. Perbaikilah seluruh urusanku dan janganlah Engkau menyerahkanku kepada diriku sendiri walau sekejap mata).” (HR. An-Nasa’i dalam “As-Sunan Al-Kubra” no. 10405, Al-Bazzar no. 6368, dan Ibn As-Sunni dalam “‘Amal Al-Yaum Wal-Lailah” no. 48.) Dalam riwayat lain, juga disebutkan bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapi kesulitan, beliau membaca doa tersebut. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, كان إذا حَزَبَه أمْرٌ قال: يا حَيُّ يا قيُّومُ بِرَحْمتِك أسْتَغيثُ. “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapi kesulitan, beliau berkata, ‘Ya Hayyu Ya Qayyum, birahmatika astaghits.’” (HR. At-Tirmidzi no. 3524 dengan lafaz ini, dan Ibn As-Sunni dalam “‘Amal Al-Yaum wal-Lailah” no. 337.) Lihatlah, seorang manusia mulia yang telah maksum dan dijamin surga untuknya pun mengucapkan kalimat ini. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga diberikan berbagai ujian dan cobaan, bahkan 2 kali lipat lebih banyak dari umatnya. Sa’ad bin Abi Waqqas radhiyallahu ‘anhu berkata, يا رسولَ اللَّهِ أيُّ النَّاسِ أشدُّ بلاءً قالَ : الأنبياءُ ثمَّ الصَّالحونَ ثمَّ الأمثَلُ فالأمثَلُ منَ النَّاسِ يُبتَلى الرَّجلُ على حَسبِ دينِهِ فإن كانَ في دينِهِ صلابةٌ زيدَ في بلائِهِ وإن كانَ في دينِهِ رقَّةٌ خُفِّفَ عنهُ وما يزالُ البلاءُ بالعَبدِ حتَّى يمشيَ على ظَهْرِ الأرضِ ليسَ عليهِ خطيئةٌ “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya?” Beliau menjawab, “Para nabi, kemudian orang-orang saleh, kemudian yang sebanding dan seterusnya. Seseorang diuji sesuai dengan kadar agamanya. Jika dalam agamanya terdapat kekuatan, maka ujiannya ditambah. Dan jika dalam agamanya terdapat kelemahan, maka ujiannya diringankan. Dan ujian akan terus menimpa seorang hamba hingga dia berjalan di muka bumi tanpa dosa.”[1] Maka, kabar gembira pula bagi siapa pun yang diberikan ujian dan cobaan dari Allah Ta’ala. Karena beratnya cobaan tersebut berbanding lurus dengan level keimanan seseorang. Jika kita merasakan kesulitan dalam menghadapi tantangan kehidupan, maka itu pertanda bahwa Allah Ta’ala sedang menguji keimanan kita. Maka, Rasulullah mengajarkan kita doa terbaik ketika menghadapi ujian. Renungkanlah doa tersebut. Permohonan seorang hamba kepada Rabbnya dengan rahmat-Nya yang luas. Khususnya dalam kondisi krisis ekonomi. Kita mengucapkan dan memohon kepada Allah dengan doa ini di waktu-waktu mustajab berdoa sebagai wujud dari ketergantungan kita kepada Allah Ta’ala bukan pada kemampuan kita sendiri. Baca juga: Indahnya Sistem Perekonomian Islam Ketergantungan kepada Allah Selain hadis tentang doa di atas, banyak dalil yang mengajarkan kita untuk bergantung pada Allah dalam segala urusan. Ingatlah bahwa ketakwaan dan ketergantungan kita hanya kepada Allah akan membawa kita pada jalan keluar dari segala kesulitan. Allah Ta’ala berfirman, وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًا “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS. At-Talaq: 2) Begitu juga dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, انظُروا إلى مَن هوَ أسفَلَ منكُم ولا تَنظُروا إلى من هوَ فوقَكم فإنَّهُ أجدَرُ أن لا تزدَروا نِعمةَ اللَّهِ “Lihatlah orang yang berada di bawahmu (dalam urusan dunia), dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, agar kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu.”[2] Oleh karenanya, kita membutuhkan suatu kebiasaan (habit) untuk selalu bersyukur atas nikmat yang Allah berikan dan tidak terlalu fokus pada kekurangan kita. Syukur akan menjadikan kita merasa lebih tenang dan mampu melihat jalan keluar dari berbagai masalah kehidupan yang dihadapi. Menghadapi Tantangan dengan Iman dan Kesabaran Krisis ekonomi bukan hanya ujian finansial tetapi juga ujian yang merupakan bagian dari rencana Allah untuk menguatkan iman kita. Setiap kesulitan yang kita hadapi adalah kesempatan untuk menunjukkan kesabaran dan keimanan kita kepada Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya, أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al-Ankabut: 2) Sikap terbaik dalam menghadapi berbagai ujian kehidupan adalah dengan berpegang teguh pada ajaran Islam sesuai dengan pemahaman salaf saleh, menghindari perbuatan yang dilarang Allah (sebab kemaksiatan bisa mendatangkan murka dan malapetaka), dan terus berdoa kepada Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّ ةِ “Ingatlah Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengingatmu di waktu susah.” (HR. At-Tirmidzi no. 2516) Saudaraku, krisis ekonomi dan kesulitan pekerjaan adalah ujian yang berat, namun dengan ketergantungan yang kuat pada Allah Ta’ala, maka insyaAllah kita akan menemukan kekuatan dan solusi. Doa “يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ” adalah salah satu cara untuk menguatkan hubungan kita dengan Allah dan memohon bantuan-Nya dalam menghadapi segala bentuk kesulitan. Semoga Allah selalu memberikan kita kekuatan, kesabaran, dan jalan keluar dari setiap masalah yang kita hadapi. Mari kita jadikan doa ini sebagai bagian dari keseharian kita, terutama di saat-saat sulit, agar kita selalu ingat bahwa hanya Allahlah tempat kita bergantung dan memohon pertolongan. Mudah-mudahan dengan demikian, kita akan merasakan ketenangan dan kekuatan yang datang dari-Nya, meskipun menghadapi tantangan sebesar apa pun. Wallahu a’lam bish-shawab. Baca juga: Mengapa Terjadi Krisis Ekonomi? *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Sahih. Lihat Kitab Takhrij Al-Musnad lil-Shakir, 3: 45 [2] Sahih. Lihat Kitab Sahih Ibnu Majah, hal. 3358. Tags: ketetapan Allahtakdir
Daftar Isi Toggle Dampak Krisis EkonomiSebuah Doa MuliaKetergantungan kepada AllahMenghadapi Tantangan dengan Iman dan Kesabaran Krisis ekonomi global telah membawa dampak yang cukup berat bagi sebagian manusia, tidak terkecuali kita di Indonesia. Tidak jarang, kini kita melihat orang-orang yang dulunya diberi kenikmatan kekayaan dari Allah Ta’ala, tetapi kini sedang berjuang menghadapi ujian kekurangan dan kemiskinan. Baik disebabkan oleh kehilangan pekerjaan, kesulitan finansial, maupun ketidakpastian ekonomi. Kondisi demikian menuntut kita sebagai seorang mukmin untuk menyikapi ujian tersebut dengan bijak. Tentu saja, kebijaksanaan di sini adalah mengetahui bagaimana seharusnya kita memaksimalkan ketergantungan dan tawakal kita kepada Allah Ta’ala kemudian mencari petunjuk dalam Al-Qur’an, hadis, dan contoh dari para salaf saleh dalam menyikapi berbagai ujian kehidupan. Dampak Krisis Ekonomi Krisis ekonomi seringkali membawa dampak yang luas dan beragam, mulai dari meningkatnya angka pengangguran hingga berkurangnya pendapatan keluarga. Dampak ini dirasakan oleh semua kalangan, dari pekerja harian hingga profesional di berbagai bidang. Ketidakstabilan ini tidak hanya mempengaruhi kondisi finansial, tetapi juga kesehatan mental dan emosional. Banyak yang merasa cemas dan tertekan, menghadapi ketidakpastian yang seakan tiada ujung. Tidak sedikit pula yang mengambil keputusan untuk berpisah dari istri, lari dari kenyataan hidup yang pahit, hingga mengakhiri hidupnya sendiri sebab tidak kuasa menahan cobaan tersebut. Wal-‘iyadzubillah. Padahal, telah jelas bahwa setiap ujian dan cobaan yang kita alami sudah ditetapkan oleh Allah dan sesuai dengan kadar kemampuan kita.  Allah Ta’ala berfirman, لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ “Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286) Kita pun semestinya mengetahui bahwa ujian, cobaan, dan tantangan kehidupan dengan segala jenisnya merupakan keniscayaan dan sunatullah untuk kita hadapi dengan sebijaksana mungkin sebagai seorang mukmin. Perhatikan firman Allah Ta’ala, وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155) Saudaraku, yakinlah bahwa cobaan adalah bagian dari kehidupan yang harus dihadapi dengan sabar dan tawakal. Ketika kita menghadapi kesulitan ekonomi, hal pertama yang harus kita lakukan adalah menguatkan iman dan tawakal kepada Allah, serta mencari pertolongan-Nya dengan ikhtiar. Sebuah Doa Mulia Salah satu doa yang sangat dianjurkan untuk dibaca dalam menghadapi kesulitan adalah doa “يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ” (Ya Hayyu Ya Qayyum, birahmatika astaghits). Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “ما يمنعُكِ أن تسمَعي ما أُوصيكِ به ؟ أن تقولي إذا أصبحْتِ و إذا أمسَيتِ : يا حيُّ يا قيُّومُ برحمتِك أستغيثُ ، أَصلِحْ لي شأني كلَّه ، و لا تَكِلْني إلى نفسي طرفةَ عَيْنٍ” “Apa yang menghalangimu untuk mendengar apa yang aku wasiatkan kepadamu? Yaitu, katakanlah ketika pagi dan petang, ‘Ya Hayyu Ya Qayyum, birahmatika astaghits. Ashlihliy sya’ni kullah, walaa takilniy ila nafsiy tharfata ‘ain.’ (Wahai Yang Mahahidup dan Yang Maha Berdiri Sendiri, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan. Perbaikilah seluruh urusanku dan janganlah Engkau menyerahkanku kepada diriku sendiri walau sekejap mata).” (HR. An-Nasa’i dalam “As-Sunan Al-Kubra” no. 10405, Al-Bazzar no. 6368, dan Ibn As-Sunni dalam “‘Amal Al-Yaum Wal-Lailah” no. 48.) Dalam riwayat lain, juga disebutkan bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapi kesulitan, beliau membaca doa tersebut. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, كان إذا حَزَبَه أمْرٌ قال: يا حَيُّ يا قيُّومُ بِرَحْمتِك أسْتَغيثُ. “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapi kesulitan, beliau berkata, ‘Ya Hayyu Ya Qayyum, birahmatika astaghits.’” (HR. At-Tirmidzi no. 3524 dengan lafaz ini, dan Ibn As-Sunni dalam “‘Amal Al-Yaum wal-Lailah” no. 337.) Lihatlah, seorang manusia mulia yang telah maksum dan dijamin surga untuknya pun mengucapkan kalimat ini. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga diberikan berbagai ujian dan cobaan, bahkan 2 kali lipat lebih banyak dari umatnya. Sa’ad bin Abi Waqqas radhiyallahu ‘anhu berkata, يا رسولَ اللَّهِ أيُّ النَّاسِ أشدُّ بلاءً قالَ : الأنبياءُ ثمَّ الصَّالحونَ ثمَّ الأمثَلُ فالأمثَلُ منَ النَّاسِ يُبتَلى الرَّجلُ على حَسبِ دينِهِ فإن كانَ في دينِهِ صلابةٌ زيدَ في بلائِهِ وإن كانَ في دينِهِ رقَّةٌ خُفِّفَ عنهُ وما يزالُ البلاءُ بالعَبدِ حتَّى يمشيَ على ظَهْرِ الأرضِ ليسَ عليهِ خطيئةٌ “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya?” Beliau menjawab, “Para nabi, kemudian orang-orang saleh, kemudian yang sebanding dan seterusnya. Seseorang diuji sesuai dengan kadar agamanya. Jika dalam agamanya terdapat kekuatan, maka ujiannya ditambah. Dan jika dalam agamanya terdapat kelemahan, maka ujiannya diringankan. Dan ujian akan terus menimpa seorang hamba hingga dia berjalan di muka bumi tanpa dosa.”[1] Maka, kabar gembira pula bagi siapa pun yang diberikan ujian dan cobaan dari Allah Ta’ala. Karena beratnya cobaan tersebut berbanding lurus dengan level keimanan seseorang. Jika kita merasakan kesulitan dalam menghadapi tantangan kehidupan, maka itu pertanda bahwa Allah Ta’ala sedang menguji keimanan kita. Maka, Rasulullah mengajarkan kita doa terbaik ketika menghadapi ujian. Renungkanlah doa tersebut. Permohonan seorang hamba kepada Rabbnya dengan rahmat-Nya yang luas. Khususnya dalam kondisi krisis ekonomi. Kita mengucapkan dan memohon kepada Allah dengan doa ini di waktu-waktu mustajab berdoa sebagai wujud dari ketergantungan kita kepada Allah Ta’ala bukan pada kemampuan kita sendiri. Baca juga: Indahnya Sistem Perekonomian Islam Ketergantungan kepada Allah Selain hadis tentang doa di atas, banyak dalil yang mengajarkan kita untuk bergantung pada Allah dalam segala urusan. Ingatlah bahwa ketakwaan dan ketergantungan kita hanya kepada Allah akan membawa kita pada jalan keluar dari segala kesulitan. Allah Ta’ala berfirman, وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًا “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS. At-Talaq: 2) Begitu juga dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, انظُروا إلى مَن هوَ أسفَلَ منكُم ولا تَنظُروا إلى من هوَ فوقَكم فإنَّهُ أجدَرُ أن لا تزدَروا نِعمةَ اللَّهِ “Lihatlah orang yang berada di bawahmu (dalam urusan dunia), dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, agar kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu.”[2] Oleh karenanya, kita membutuhkan suatu kebiasaan (habit) untuk selalu bersyukur atas nikmat yang Allah berikan dan tidak terlalu fokus pada kekurangan kita. Syukur akan menjadikan kita merasa lebih tenang dan mampu melihat jalan keluar dari berbagai masalah kehidupan yang dihadapi. Menghadapi Tantangan dengan Iman dan Kesabaran Krisis ekonomi bukan hanya ujian finansial tetapi juga ujian yang merupakan bagian dari rencana Allah untuk menguatkan iman kita. Setiap kesulitan yang kita hadapi adalah kesempatan untuk menunjukkan kesabaran dan keimanan kita kepada Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya, أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al-Ankabut: 2) Sikap terbaik dalam menghadapi berbagai ujian kehidupan adalah dengan berpegang teguh pada ajaran Islam sesuai dengan pemahaman salaf saleh, menghindari perbuatan yang dilarang Allah (sebab kemaksiatan bisa mendatangkan murka dan malapetaka), dan terus berdoa kepada Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّ ةِ “Ingatlah Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengingatmu di waktu susah.” (HR. At-Tirmidzi no. 2516) Saudaraku, krisis ekonomi dan kesulitan pekerjaan adalah ujian yang berat, namun dengan ketergantungan yang kuat pada Allah Ta’ala, maka insyaAllah kita akan menemukan kekuatan dan solusi. Doa “يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ” adalah salah satu cara untuk menguatkan hubungan kita dengan Allah dan memohon bantuan-Nya dalam menghadapi segala bentuk kesulitan. Semoga Allah selalu memberikan kita kekuatan, kesabaran, dan jalan keluar dari setiap masalah yang kita hadapi. Mari kita jadikan doa ini sebagai bagian dari keseharian kita, terutama di saat-saat sulit, agar kita selalu ingat bahwa hanya Allahlah tempat kita bergantung dan memohon pertolongan. Mudah-mudahan dengan demikian, kita akan merasakan ketenangan dan kekuatan yang datang dari-Nya, meskipun menghadapi tantangan sebesar apa pun. Wallahu a’lam bish-shawab. Baca juga: Mengapa Terjadi Krisis Ekonomi? *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Sahih. Lihat Kitab Takhrij Al-Musnad lil-Shakir, 3: 45 [2] Sahih. Lihat Kitab Sahih Ibnu Majah, hal. 3358. Tags: ketetapan Allahtakdir


Daftar Isi Toggle Dampak Krisis EkonomiSebuah Doa MuliaKetergantungan kepada AllahMenghadapi Tantangan dengan Iman dan Kesabaran Krisis ekonomi global telah membawa dampak yang cukup berat bagi sebagian manusia, tidak terkecuali kita di Indonesia. Tidak jarang, kini kita melihat orang-orang yang dulunya diberi kenikmatan kekayaan dari Allah Ta’ala, tetapi kini sedang berjuang menghadapi ujian kekurangan dan kemiskinan. Baik disebabkan oleh kehilangan pekerjaan, kesulitan finansial, maupun ketidakpastian ekonomi. Kondisi demikian menuntut kita sebagai seorang mukmin untuk menyikapi ujian tersebut dengan bijak. Tentu saja, kebijaksanaan di sini adalah mengetahui bagaimana seharusnya kita memaksimalkan ketergantungan dan tawakal kita kepada Allah Ta’ala kemudian mencari petunjuk dalam Al-Qur’an, hadis, dan contoh dari para salaf saleh dalam menyikapi berbagai ujian kehidupan. Dampak Krisis Ekonomi Krisis ekonomi seringkali membawa dampak yang luas dan beragam, mulai dari meningkatnya angka pengangguran hingga berkurangnya pendapatan keluarga. Dampak ini dirasakan oleh semua kalangan, dari pekerja harian hingga profesional di berbagai bidang. Ketidakstabilan ini tidak hanya mempengaruhi kondisi finansial, tetapi juga kesehatan mental dan emosional. Banyak yang merasa cemas dan tertekan, menghadapi ketidakpastian yang seakan tiada ujung. Tidak sedikit pula yang mengambil keputusan untuk berpisah dari istri, lari dari kenyataan hidup yang pahit, hingga mengakhiri hidupnya sendiri sebab tidak kuasa menahan cobaan tersebut. Wal-‘iyadzubillah. Padahal, telah jelas bahwa setiap ujian dan cobaan yang kita alami sudah ditetapkan oleh Allah dan sesuai dengan kadar kemampuan kita.  Allah Ta’ala berfirman, لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ “Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286) Kita pun semestinya mengetahui bahwa ujian, cobaan, dan tantangan kehidupan dengan segala jenisnya merupakan keniscayaan dan sunatullah untuk kita hadapi dengan sebijaksana mungkin sebagai seorang mukmin. Perhatikan firman Allah Ta’ala, وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155) Saudaraku, yakinlah bahwa cobaan adalah bagian dari kehidupan yang harus dihadapi dengan sabar dan tawakal. Ketika kita menghadapi kesulitan ekonomi, hal pertama yang harus kita lakukan adalah menguatkan iman dan tawakal kepada Allah, serta mencari pertolongan-Nya dengan ikhtiar. Sebuah Doa Mulia Salah satu doa yang sangat dianjurkan untuk dibaca dalam menghadapi kesulitan adalah doa “يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ” (Ya Hayyu Ya Qayyum, birahmatika astaghits). Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “ما يمنعُكِ أن تسمَعي ما أُوصيكِ به ؟ أن تقولي إذا أصبحْتِ و إذا أمسَيتِ : يا حيُّ يا قيُّومُ برحمتِك أستغيثُ ، أَصلِحْ لي شأني كلَّه ، و لا تَكِلْني إلى نفسي طرفةَ عَيْنٍ” “Apa yang menghalangimu untuk mendengar apa yang aku wasiatkan kepadamu? Yaitu, katakanlah ketika pagi dan petang, ‘Ya Hayyu Ya Qayyum, birahmatika astaghits. Ashlihliy sya’ni kullah, walaa takilniy ila nafsiy tharfata ‘ain.’ (Wahai Yang Mahahidup dan Yang Maha Berdiri Sendiri, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan. Perbaikilah seluruh urusanku dan janganlah Engkau menyerahkanku kepada diriku sendiri walau sekejap mata).” (HR. An-Nasa’i dalam “As-Sunan Al-Kubra” no. 10405, Al-Bazzar no. 6368, dan Ibn As-Sunni dalam “‘Amal Al-Yaum Wal-Lailah” no. 48.) Dalam riwayat lain, juga disebutkan bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapi kesulitan, beliau membaca doa tersebut. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, كان إذا حَزَبَه أمْرٌ قال: يا حَيُّ يا قيُّومُ بِرَحْمتِك أسْتَغيثُ. “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapi kesulitan, beliau berkata, ‘Ya Hayyu Ya Qayyum, birahmatika astaghits.’” (HR. At-Tirmidzi no. 3524 dengan lafaz ini, dan Ibn As-Sunni dalam “‘Amal Al-Yaum wal-Lailah” no. 337.) Lihatlah, seorang manusia mulia yang telah maksum dan dijamin surga untuknya pun mengucapkan kalimat ini. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga diberikan berbagai ujian dan cobaan, bahkan 2 kali lipat lebih banyak dari umatnya. Sa’ad bin Abi Waqqas radhiyallahu ‘anhu berkata, يا رسولَ اللَّهِ أيُّ النَّاسِ أشدُّ بلاءً قالَ : الأنبياءُ ثمَّ الصَّالحونَ ثمَّ الأمثَلُ فالأمثَلُ منَ النَّاسِ يُبتَلى الرَّجلُ على حَسبِ دينِهِ فإن كانَ في دينِهِ صلابةٌ زيدَ في بلائِهِ وإن كانَ في دينِهِ رقَّةٌ خُفِّفَ عنهُ وما يزالُ البلاءُ بالعَبدِ حتَّى يمشيَ على ظَهْرِ الأرضِ ليسَ عليهِ خطيئةٌ “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya?” Beliau menjawab, “Para nabi, kemudian orang-orang saleh, kemudian yang sebanding dan seterusnya. Seseorang diuji sesuai dengan kadar agamanya. Jika dalam agamanya terdapat kekuatan, maka ujiannya ditambah. Dan jika dalam agamanya terdapat kelemahan, maka ujiannya diringankan. Dan ujian akan terus menimpa seorang hamba hingga dia berjalan di muka bumi tanpa dosa.”[1] Maka, kabar gembira pula bagi siapa pun yang diberikan ujian dan cobaan dari Allah Ta’ala. Karena beratnya cobaan tersebut berbanding lurus dengan level keimanan seseorang. Jika kita merasakan kesulitan dalam menghadapi tantangan kehidupan, maka itu pertanda bahwa Allah Ta’ala sedang menguji keimanan kita. Maka, Rasulullah mengajarkan kita doa terbaik ketika menghadapi ujian. Renungkanlah doa tersebut. Permohonan seorang hamba kepada Rabbnya dengan rahmat-Nya yang luas. Khususnya dalam kondisi krisis ekonomi. Kita mengucapkan dan memohon kepada Allah dengan doa ini di waktu-waktu mustajab berdoa sebagai wujud dari ketergantungan kita kepada Allah Ta’ala bukan pada kemampuan kita sendiri. Baca juga: Indahnya Sistem Perekonomian Islam Ketergantungan kepada Allah Selain hadis tentang doa di atas, banyak dalil yang mengajarkan kita untuk bergantung pada Allah dalam segala urusan. Ingatlah bahwa ketakwaan dan ketergantungan kita hanya kepada Allah akan membawa kita pada jalan keluar dari segala kesulitan. Allah Ta’ala berfirman, وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًا “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS. At-Talaq: 2) Begitu juga dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, انظُروا إلى مَن هوَ أسفَلَ منكُم ولا تَنظُروا إلى من هوَ فوقَكم فإنَّهُ أجدَرُ أن لا تزدَروا نِعمةَ اللَّهِ “Lihatlah orang yang berada di bawahmu (dalam urusan dunia), dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, agar kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu.”[2] Oleh karenanya, kita membutuhkan suatu kebiasaan (habit) untuk selalu bersyukur atas nikmat yang Allah berikan dan tidak terlalu fokus pada kekurangan kita. Syukur akan menjadikan kita merasa lebih tenang dan mampu melihat jalan keluar dari berbagai masalah kehidupan yang dihadapi. Menghadapi Tantangan dengan Iman dan Kesabaran Krisis ekonomi bukan hanya ujian finansial tetapi juga ujian yang merupakan bagian dari rencana Allah untuk menguatkan iman kita. Setiap kesulitan yang kita hadapi adalah kesempatan untuk menunjukkan kesabaran dan keimanan kita kepada Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya, أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al-Ankabut: 2) Sikap terbaik dalam menghadapi berbagai ujian kehidupan adalah dengan berpegang teguh pada ajaran Islam sesuai dengan pemahaman salaf saleh, menghindari perbuatan yang dilarang Allah (sebab kemaksiatan bisa mendatangkan murka dan malapetaka), dan terus berdoa kepada Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّ ةِ “Ingatlah Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengingatmu di waktu susah.” (HR. At-Tirmidzi no. 2516) Saudaraku, krisis ekonomi dan kesulitan pekerjaan adalah ujian yang berat, namun dengan ketergantungan yang kuat pada Allah Ta’ala, maka insyaAllah kita akan menemukan kekuatan dan solusi. Doa “يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ” adalah salah satu cara untuk menguatkan hubungan kita dengan Allah dan memohon bantuan-Nya dalam menghadapi segala bentuk kesulitan. Semoga Allah selalu memberikan kita kekuatan, kesabaran, dan jalan keluar dari setiap masalah yang kita hadapi. Mari kita jadikan doa ini sebagai bagian dari keseharian kita, terutama di saat-saat sulit, agar kita selalu ingat bahwa hanya Allahlah tempat kita bergantung dan memohon pertolongan. Mudah-mudahan dengan demikian, kita akan merasakan ketenangan dan kekuatan yang datang dari-Nya, meskipun menghadapi tantangan sebesar apa pun. Wallahu a’lam bish-shawab. Baca juga: Mengapa Terjadi Krisis Ekonomi? *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Sahih. Lihat Kitab Takhrij Al-Musnad lil-Shakir, 3: 45 [2] Sahih. Lihat Kitab Sahih Ibnu Majah, hal. 3358. Tags: ketetapan Allahtakdir

Cerita Ketika Syaikh Abdurrazzaq Ditendang di Masjid Nabawi – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Sebelum aku tutup, aku ingin menyampaikan satu cerita yang aku alami sebelum Salat Asar tadi. Aku ingin menceritakannya dengan harapan bahwa cerita ini berfaedah. Aku sedang salat sunah, dan ketika duduk di antara dua sujud, ada seseorang yang ingin lewat di depanku, maka aku julurkan tanganku (untuk menghalanginya), dalam rangka mengamalkan sunah. Aku julurkan tanganku—dan semoga Allah Membalasnya dengan kebaikan dan Berlaku baik kepadanya— lalu dia menangkis tanganku dengan kakinya kuat-kuat sambil jalan. Dia menangkis tanganku dengan kakinya kuat-kuat sambil berjalan di depanku, dan di belakangnya juga ada seseorang yang berjalan di belakang bersamanya. Aku ingin menyampaikan kepada kalian tentang apa yang aku lakukan dengan niat tolong-menolong dalam kebajikan dan ketakwaan. Lalu aku bersujud dan mendoakan kebaikan untuknya. Aku sujud dan mendoakan kebaikan untuknya. Aku katakan bahwa dalam keadaan seperti ini, wahai saudara-saudara, harus ada welas asih dalam hati, karena tidak semua yang salah harus Anda marahi. Tidak semua yang salah harus Anda doakan keburukan. Artinya, carilah alasan untuk memaklumi saudara Anda. Anda tidak tahu, mungkin saja dia terpaksa. Bisa jadi dia tak tahu hukumnya yang telah Anda ketahui. Mungkin dia mendapat fatwa bahwa di Masjid Nabawi boleh lewat (di depan orang salat). Karena pernah juga aku salat lalu menahan seseorang (lewat), dan dia menangkisku sambil berkata, “Boleh, di Masjid Nabawi!” Dia berkata padahal aku sedang salat. Sebagian mereka mungkin mendapatkan fatwa itu, maka aku katakan bahwa sikap welas asih dan lembut, itulah yang akan membuahkan hasil. Adapun marah, mendoakan jelek, dan kesal, semua ini tidak bermanfaat dan tidak membuahkan apa pun.Jadi, doakan! Doakan yang baik untuk saudara Anda. Sekarang, orang yang salah, saudara muslim Anda yang salah, dia keliru karena jahil. Dia salah karena tidak mengetahui, maka kewajiban Anda—jika mampu—adalah mengajarinya dengan lembut. Ajari semampu Anda, dan berdoalah kepada Allah agar Membimbingnya, Memberinya taufik, dan Menunjukkan kebenaran dan yang hak kepadanya. Jangan sampai Anda mendoakan keburukan kepadanya! Jangan sampai Anda mendoakan keburukan kepada saudara Anda dan kesal kepadanya. Sekarang, berkaitan dengan hal ini, Syekh Bin Baz Raẖimahullahu pernah menuturkan satu kalimat penting, “Zaman kita ini adalah zaman kelembutan.” Artinya bahwa jika Anda tidak bersikap lembut dengan orang-orang, Anda tidak akan berhasil, baik dalam dakwah, menasihati, atau apa pun. Orang-orang takkan mengambil faedah dari Anda. Harus ada kelembutan dan welas asih yang dominan kepada orang-orang, agar manfaatnya terwujud. Juga, aku ulangi untuk berkata kepada dua orang tadi, semoga Allah Membalas mereka dengan kebaikan, karena telah menjadi sebab adanya faedah ini, yang semoga Allah Menyebarkan manfaatnya dengan karunia dan kedermawanan-Nya. ==== قَبْلَ أَنْ أَخْتِمَ أُرِيدُ أَنْ أُشِيرَ إِلَى قِصَّةٍ حَصَلَتْ لِي قَبْلَ صَلَاةِ الْعَصْرِ أُرِيدُ أَنْ أُشِيرَ إِلَيْهَا لِفَائِدَةٍ أَرْجُو بِإِشَارَةٍ إِلَيْهَا كُنْتُ أُصَلِّي النَّافِلَةَ وَفِي الْجَلْسَةِ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ أَرَادَ شَخْصٌ أَنْ يَمُرَّ مِنْ أَمَامِي فَوَضَعْتُ يَدِي عَمَلًا بِالسُّنَّةِ وَضَعْتُ يَدِي فَجَزَاهُ اللهُ خَيْرًا وَأَحْسَنَ اللهُ إِلَيْهِ دَفَعَ يَدِي بِرِجْلِهِ بِقُوَّةٍ وَهُوَ مَرَّ دَفَعَ يَدِي بِرِجْلِهِ بِقُوَّةٍ وَهُوَ مَرَّ مِنْ أَمَامِي وَمَعَهُ خَلْفَهُ وَاحِدٌ أَيْضًا يَمْشِي مَعَهُ فَأُرِيدُ أَقُولُ لَكُمْ مَا فَعَلْتُ حَتَّى يَكُونَ التَّعَاوُنَ عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى سَجَدْتُ سَجْدَةً وَدَعَوتُهُ لَهُ سَجَدْتُ وَدَعَوتُهُ لَهُ أَنَا أَقُولُ يَعْنِي فِي مِثْلِ هَذِهِ الْأُمُورِ يَنْبَغِي يَا إِخْوَانُ أَنْ يَكُونَ فِي الْقُلُوبِ رَحْمَةٌ لِأَنَّ لَيْسَ كُلُّ مَنْ يُخْطِئُ تَغْضَبُ عَلَيْهِ وَلَيْسَ كُلُّ مَنْ يُخْطِئُ تَدْعُو عَلَيْهِ يَعْنِي الْتَمِسْ مَعَاذِيرَ لِأِخْوَانِكَ يَعْنِي قَدْ يَكُونُ هَذَا مُضْطَرٌّ مَا تَدْرِي وَقَدْ يَكُونُ مَا يَعْرِفُ الْحُكْمَ الَّذِي أَنْتَ تَعْرِفُهُ أَوْ قَدْ يَكُونُ أُفْتِيَ أَنَّ فِي الْمَسْجِدِ النَّبَوِيِّ يَجُوزُ الْمُرُورَ لِأَنَّ أَيْضًا مَرَّةً وَأَنَا أُصَلِّي مَنَعْتُ الْوَاحِدَ فَدَفَعَنِي وَقَالَ: يَجُوزُ فِي الْمَسْجِدِ النَّبَوِيِّ وَأَنَا أُصَلِّي يُخْبِرُنِي فَبَعْضُهُمْ قَدْ يَكُونُ أُفْتِيَ بِذَلِكَ فَأَنَا أَقُولُ: يَعْنِي التَّعَامُلُ بِالرَّحْمَةِ وَالرِّفْقِ هُوَ الَّذِي يُعْطِي النَّتَائِجَ أَمَّا الْغَضَبُ وَالدُّعَاءُ وَالتَّسَخُّطُ هَذَا مَا يُفِيدُ وَلَا يُقَدِّمُ شَيْئًا فَالدُّعَاءُ وَالدُّعَاءُ لِأِخْوَانِكَ الْمُخْطِئُ الْآنَ الْمُخْطِئُ مِنْ إِخْوَانِكَ الْمُسْلِمِينَ يَعْنِي أَخْطَأَ عَنْ جَهْلٍ أَخْطَأَ عَنْ جَهْلٍ فَحَقُّهُ عَلَيْكَ إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُعَلِّمَهُ بِالرِّفْقِ عَلِّمْهُ مَا اسْتَطَعْتتَ وَادْعُ اللهَ أَنْ يَهْدِيَهِ وَأَنْ يُوَفِّقَهُ وَأَنْ يَدُلَّهُ لِلْحَقِّ وَالصَّوَابِ احْذَرْ أَنْ تَدْعُوَ عَلَيهِ احْذَرْ أَنْ تَدْعُوَ عَلَى أَخِيكَ الْمُسْلِمِ أَوْ تَتَسَخَّطَ هَذِهِ الْآنَ يَعْنِي الشَّيْخُ ابْنُ بَازٍ رَحِمَهُ اللهُ لَهُ كَلِمَةٌ مُهِمَّةٌ يَقُولُ: زَمَانُنَا هَذَا زَمَانُ الرِّفْقِ يَعْنِي إِذَا مَا تَتَعَامَلُ مَعَ النَّاسِ بِرِفْقٍ لَنْ تُفْلِحَ لَا فِي دَعْوَةٍ وَلَا فِي نُصْحٍ وَلَا وَلَا يَسْتَفِيدُونَ النَّاسُ مِنْكَ لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ هُنَاكَ رِفْقٌ وَرَحْمَةٌ عَظِيمَةٌ بِالنَّاسِ حَتَّى يَحْصُلَ الْاِنْتِفَاعُ وَأُعِيدُ أَيْضًا أَنْ أَقُولَ عَنِ الشَّخْصَيْنِ جَزَاهُمَا اللهُ خَيْرًا أَنْ كَانَا سَبَبًا أَيْضًا فِي هَذِهِ الْفَائِدَةِ الَّتِي نَرْجُو اللهَ أَنْ يَعُمَّ بِهَا النَّفْعَ بِمَنِّهِ وَكَرَمِهِ

Cerita Ketika Syaikh Abdurrazzaq Ditendang di Masjid Nabawi – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Sebelum aku tutup, aku ingin menyampaikan satu cerita yang aku alami sebelum Salat Asar tadi. Aku ingin menceritakannya dengan harapan bahwa cerita ini berfaedah. Aku sedang salat sunah, dan ketika duduk di antara dua sujud, ada seseorang yang ingin lewat di depanku, maka aku julurkan tanganku (untuk menghalanginya), dalam rangka mengamalkan sunah. Aku julurkan tanganku—dan semoga Allah Membalasnya dengan kebaikan dan Berlaku baik kepadanya— lalu dia menangkis tanganku dengan kakinya kuat-kuat sambil jalan. Dia menangkis tanganku dengan kakinya kuat-kuat sambil berjalan di depanku, dan di belakangnya juga ada seseorang yang berjalan di belakang bersamanya. Aku ingin menyampaikan kepada kalian tentang apa yang aku lakukan dengan niat tolong-menolong dalam kebajikan dan ketakwaan. Lalu aku bersujud dan mendoakan kebaikan untuknya. Aku sujud dan mendoakan kebaikan untuknya. Aku katakan bahwa dalam keadaan seperti ini, wahai saudara-saudara, harus ada welas asih dalam hati, karena tidak semua yang salah harus Anda marahi. Tidak semua yang salah harus Anda doakan keburukan. Artinya, carilah alasan untuk memaklumi saudara Anda. Anda tidak tahu, mungkin saja dia terpaksa. Bisa jadi dia tak tahu hukumnya yang telah Anda ketahui. Mungkin dia mendapat fatwa bahwa di Masjid Nabawi boleh lewat (di depan orang salat). Karena pernah juga aku salat lalu menahan seseorang (lewat), dan dia menangkisku sambil berkata, “Boleh, di Masjid Nabawi!” Dia berkata padahal aku sedang salat. Sebagian mereka mungkin mendapatkan fatwa itu, maka aku katakan bahwa sikap welas asih dan lembut, itulah yang akan membuahkan hasil. Adapun marah, mendoakan jelek, dan kesal, semua ini tidak bermanfaat dan tidak membuahkan apa pun.Jadi, doakan! Doakan yang baik untuk saudara Anda. Sekarang, orang yang salah, saudara muslim Anda yang salah, dia keliru karena jahil. Dia salah karena tidak mengetahui, maka kewajiban Anda—jika mampu—adalah mengajarinya dengan lembut. Ajari semampu Anda, dan berdoalah kepada Allah agar Membimbingnya, Memberinya taufik, dan Menunjukkan kebenaran dan yang hak kepadanya. Jangan sampai Anda mendoakan keburukan kepadanya! Jangan sampai Anda mendoakan keburukan kepada saudara Anda dan kesal kepadanya. Sekarang, berkaitan dengan hal ini, Syekh Bin Baz Raẖimahullahu pernah menuturkan satu kalimat penting, “Zaman kita ini adalah zaman kelembutan.” Artinya bahwa jika Anda tidak bersikap lembut dengan orang-orang, Anda tidak akan berhasil, baik dalam dakwah, menasihati, atau apa pun. Orang-orang takkan mengambil faedah dari Anda. Harus ada kelembutan dan welas asih yang dominan kepada orang-orang, agar manfaatnya terwujud. Juga, aku ulangi untuk berkata kepada dua orang tadi, semoga Allah Membalas mereka dengan kebaikan, karena telah menjadi sebab adanya faedah ini, yang semoga Allah Menyebarkan manfaatnya dengan karunia dan kedermawanan-Nya. ==== قَبْلَ أَنْ أَخْتِمَ أُرِيدُ أَنْ أُشِيرَ إِلَى قِصَّةٍ حَصَلَتْ لِي قَبْلَ صَلَاةِ الْعَصْرِ أُرِيدُ أَنْ أُشِيرَ إِلَيْهَا لِفَائِدَةٍ أَرْجُو بِإِشَارَةٍ إِلَيْهَا كُنْتُ أُصَلِّي النَّافِلَةَ وَفِي الْجَلْسَةِ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ أَرَادَ شَخْصٌ أَنْ يَمُرَّ مِنْ أَمَامِي فَوَضَعْتُ يَدِي عَمَلًا بِالسُّنَّةِ وَضَعْتُ يَدِي فَجَزَاهُ اللهُ خَيْرًا وَأَحْسَنَ اللهُ إِلَيْهِ دَفَعَ يَدِي بِرِجْلِهِ بِقُوَّةٍ وَهُوَ مَرَّ دَفَعَ يَدِي بِرِجْلِهِ بِقُوَّةٍ وَهُوَ مَرَّ مِنْ أَمَامِي وَمَعَهُ خَلْفَهُ وَاحِدٌ أَيْضًا يَمْشِي مَعَهُ فَأُرِيدُ أَقُولُ لَكُمْ مَا فَعَلْتُ حَتَّى يَكُونَ التَّعَاوُنَ عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى سَجَدْتُ سَجْدَةً وَدَعَوتُهُ لَهُ سَجَدْتُ وَدَعَوتُهُ لَهُ أَنَا أَقُولُ يَعْنِي فِي مِثْلِ هَذِهِ الْأُمُورِ يَنْبَغِي يَا إِخْوَانُ أَنْ يَكُونَ فِي الْقُلُوبِ رَحْمَةٌ لِأَنَّ لَيْسَ كُلُّ مَنْ يُخْطِئُ تَغْضَبُ عَلَيْهِ وَلَيْسَ كُلُّ مَنْ يُخْطِئُ تَدْعُو عَلَيْهِ يَعْنِي الْتَمِسْ مَعَاذِيرَ لِأِخْوَانِكَ يَعْنِي قَدْ يَكُونُ هَذَا مُضْطَرٌّ مَا تَدْرِي وَقَدْ يَكُونُ مَا يَعْرِفُ الْحُكْمَ الَّذِي أَنْتَ تَعْرِفُهُ أَوْ قَدْ يَكُونُ أُفْتِيَ أَنَّ فِي الْمَسْجِدِ النَّبَوِيِّ يَجُوزُ الْمُرُورَ لِأَنَّ أَيْضًا مَرَّةً وَأَنَا أُصَلِّي مَنَعْتُ الْوَاحِدَ فَدَفَعَنِي وَقَالَ: يَجُوزُ فِي الْمَسْجِدِ النَّبَوِيِّ وَأَنَا أُصَلِّي يُخْبِرُنِي فَبَعْضُهُمْ قَدْ يَكُونُ أُفْتِيَ بِذَلِكَ فَأَنَا أَقُولُ: يَعْنِي التَّعَامُلُ بِالرَّحْمَةِ وَالرِّفْقِ هُوَ الَّذِي يُعْطِي النَّتَائِجَ أَمَّا الْغَضَبُ وَالدُّعَاءُ وَالتَّسَخُّطُ هَذَا مَا يُفِيدُ وَلَا يُقَدِّمُ شَيْئًا فَالدُّعَاءُ وَالدُّعَاءُ لِأِخْوَانِكَ الْمُخْطِئُ الْآنَ الْمُخْطِئُ مِنْ إِخْوَانِكَ الْمُسْلِمِينَ يَعْنِي أَخْطَأَ عَنْ جَهْلٍ أَخْطَأَ عَنْ جَهْلٍ فَحَقُّهُ عَلَيْكَ إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُعَلِّمَهُ بِالرِّفْقِ عَلِّمْهُ مَا اسْتَطَعْتتَ وَادْعُ اللهَ أَنْ يَهْدِيَهِ وَأَنْ يُوَفِّقَهُ وَأَنْ يَدُلَّهُ لِلْحَقِّ وَالصَّوَابِ احْذَرْ أَنْ تَدْعُوَ عَلَيهِ احْذَرْ أَنْ تَدْعُوَ عَلَى أَخِيكَ الْمُسْلِمِ أَوْ تَتَسَخَّطَ هَذِهِ الْآنَ يَعْنِي الشَّيْخُ ابْنُ بَازٍ رَحِمَهُ اللهُ لَهُ كَلِمَةٌ مُهِمَّةٌ يَقُولُ: زَمَانُنَا هَذَا زَمَانُ الرِّفْقِ يَعْنِي إِذَا مَا تَتَعَامَلُ مَعَ النَّاسِ بِرِفْقٍ لَنْ تُفْلِحَ لَا فِي دَعْوَةٍ وَلَا فِي نُصْحٍ وَلَا وَلَا يَسْتَفِيدُونَ النَّاسُ مِنْكَ لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ هُنَاكَ رِفْقٌ وَرَحْمَةٌ عَظِيمَةٌ بِالنَّاسِ حَتَّى يَحْصُلَ الْاِنْتِفَاعُ وَأُعِيدُ أَيْضًا أَنْ أَقُولَ عَنِ الشَّخْصَيْنِ جَزَاهُمَا اللهُ خَيْرًا أَنْ كَانَا سَبَبًا أَيْضًا فِي هَذِهِ الْفَائِدَةِ الَّتِي نَرْجُو اللهَ أَنْ يَعُمَّ بِهَا النَّفْعَ بِمَنِّهِ وَكَرَمِهِ
Sebelum aku tutup, aku ingin menyampaikan satu cerita yang aku alami sebelum Salat Asar tadi. Aku ingin menceritakannya dengan harapan bahwa cerita ini berfaedah. Aku sedang salat sunah, dan ketika duduk di antara dua sujud, ada seseorang yang ingin lewat di depanku, maka aku julurkan tanganku (untuk menghalanginya), dalam rangka mengamalkan sunah. Aku julurkan tanganku—dan semoga Allah Membalasnya dengan kebaikan dan Berlaku baik kepadanya— lalu dia menangkis tanganku dengan kakinya kuat-kuat sambil jalan. Dia menangkis tanganku dengan kakinya kuat-kuat sambil berjalan di depanku, dan di belakangnya juga ada seseorang yang berjalan di belakang bersamanya. Aku ingin menyampaikan kepada kalian tentang apa yang aku lakukan dengan niat tolong-menolong dalam kebajikan dan ketakwaan. Lalu aku bersujud dan mendoakan kebaikan untuknya. Aku sujud dan mendoakan kebaikan untuknya. Aku katakan bahwa dalam keadaan seperti ini, wahai saudara-saudara, harus ada welas asih dalam hati, karena tidak semua yang salah harus Anda marahi. Tidak semua yang salah harus Anda doakan keburukan. Artinya, carilah alasan untuk memaklumi saudara Anda. Anda tidak tahu, mungkin saja dia terpaksa. Bisa jadi dia tak tahu hukumnya yang telah Anda ketahui. Mungkin dia mendapat fatwa bahwa di Masjid Nabawi boleh lewat (di depan orang salat). Karena pernah juga aku salat lalu menahan seseorang (lewat), dan dia menangkisku sambil berkata, “Boleh, di Masjid Nabawi!” Dia berkata padahal aku sedang salat. Sebagian mereka mungkin mendapatkan fatwa itu, maka aku katakan bahwa sikap welas asih dan lembut, itulah yang akan membuahkan hasil. Adapun marah, mendoakan jelek, dan kesal, semua ini tidak bermanfaat dan tidak membuahkan apa pun.Jadi, doakan! Doakan yang baik untuk saudara Anda. Sekarang, orang yang salah, saudara muslim Anda yang salah, dia keliru karena jahil. Dia salah karena tidak mengetahui, maka kewajiban Anda—jika mampu—adalah mengajarinya dengan lembut. Ajari semampu Anda, dan berdoalah kepada Allah agar Membimbingnya, Memberinya taufik, dan Menunjukkan kebenaran dan yang hak kepadanya. Jangan sampai Anda mendoakan keburukan kepadanya! Jangan sampai Anda mendoakan keburukan kepada saudara Anda dan kesal kepadanya. Sekarang, berkaitan dengan hal ini, Syekh Bin Baz Raẖimahullahu pernah menuturkan satu kalimat penting, “Zaman kita ini adalah zaman kelembutan.” Artinya bahwa jika Anda tidak bersikap lembut dengan orang-orang, Anda tidak akan berhasil, baik dalam dakwah, menasihati, atau apa pun. Orang-orang takkan mengambil faedah dari Anda. Harus ada kelembutan dan welas asih yang dominan kepada orang-orang, agar manfaatnya terwujud. Juga, aku ulangi untuk berkata kepada dua orang tadi, semoga Allah Membalas mereka dengan kebaikan, karena telah menjadi sebab adanya faedah ini, yang semoga Allah Menyebarkan manfaatnya dengan karunia dan kedermawanan-Nya. ==== قَبْلَ أَنْ أَخْتِمَ أُرِيدُ أَنْ أُشِيرَ إِلَى قِصَّةٍ حَصَلَتْ لِي قَبْلَ صَلَاةِ الْعَصْرِ أُرِيدُ أَنْ أُشِيرَ إِلَيْهَا لِفَائِدَةٍ أَرْجُو بِإِشَارَةٍ إِلَيْهَا كُنْتُ أُصَلِّي النَّافِلَةَ وَفِي الْجَلْسَةِ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ أَرَادَ شَخْصٌ أَنْ يَمُرَّ مِنْ أَمَامِي فَوَضَعْتُ يَدِي عَمَلًا بِالسُّنَّةِ وَضَعْتُ يَدِي فَجَزَاهُ اللهُ خَيْرًا وَأَحْسَنَ اللهُ إِلَيْهِ دَفَعَ يَدِي بِرِجْلِهِ بِقُوَّةٍ وَهُوَ مَرَّ دَفَعَ يَدِي بِرِجْلِهِ بِقُوَّةٍ وَهُوَ مَرَّ مِنْ أَمَامِي وَمَعَهُ خَلْفَهُ وَاحِدٌ أَيْضًا يَمْشِي مَعَهُ فَأُرِيدُ أَقُولُ لَكُمْ مَا فَعَلْتُ حَتَّى يَكُونَ التَّعَاوُنَ عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى سَجَدْتُ سَجْدَةً وَدَعَوتُهُ لَهُ سَجَدْتُ وَدَعَوتُهُ لَهُ أَنَا أَقُولُ يَعْنِي فِي مِثْلِ هَذِهِ الْأُمُورِ يَنْبَغِي يَا إِخْوَانُ أَنْ يَكُونَ فِي الْقُلُوبِ رَحْمَةٌ لِأَنَّ لَيْسَ كُلُّ مَنْ يُخْطِئُ تَغْضَبُ عَلَيْهِ وَلَيْسَ كُلُّ مَنْ يُخْطِئُ تَدْعُو عَلَيْهِ يَعْنِي الْتَمِسْ مَعَاذِيرَ لِأِخْوَانِكَ يَعْنِي قَدْ يَكُونُ هَذَا مُضْطَرٌّ مَا تَدْرِي وَقَدْ يَكُونُ مَا يَعْرِفُ الْحُكْمَ الَّذِي أَنْتَ تَعْرِفُهُ أَوْ قَدْ يَكُونُ أُفْتِيَ أَنَّ فِي الْمَسْجِدِ النَّبَوِيِّ يَجُوزُ الْمُرُورَ لِأَنَّ أَيْضًا مَرَّةً وَأَنَا أُصَلِّي مَنَعْتُ الْوَاحِدَ فَدَفَعَنِي وَقَالَ: يَجُوزُ فِي الْمَسْجِدِ النَّبَوِيِّ وَأَنَا أُصَلِّي يُخْبِرُنِي فَبَعْضُهُمْ قَدْ يَكُونُ أُفْتِيَ بِذَلِكَ فَأَنَا أَقُولُ: يَعْنِي التَّعَامُلُ بِالرَّحْمَةِ وَالرِّفْقِ هُوَ الَّذِي يُعْطِي النَّتَائِجَ أَمَّا الْغَضَبُ وَالدُّعَاءُ وَالتَّسَخُّطُ هَذَا مَا يُفِيدُ وَلَا يُقَدِّمُ شَيْئًا فَالدُّعَاءُ وَالدُّعَاءُ لِأِخْوَانِكَ الْمُخْطِئُ الْآنَ الْمُخْطِئُ مِنْ إِخْوَانِكَ الْمُسْلِمِينَ يَعْنِي أَخْطَأَ عَنْ جَهْلٍ أَخْطَأَ عَنْ جَهْلٍ فَحَقُّهُ عَلَيْكَ إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُعَلِّمَهُ بِالرِّفْقِ عَلِّمْهُ مَا اسْتَطَعْتتَ وَادْعُ اللهَ أَنْ يَهْدِيَهِ وَأَنْ يُوَفِّقَهُ وَأَنْ يَدُلَّهُ لِلْحَقِّ وَالصَّوَابِ احْذَرْ أَنْ تَدْعُوَ عَلَيهِ احْذَرْ أَنْ تَدْعُوَ عَلَى أَخِيكَ الْمُسْلِمِ أَوْ تَتَسَخَّطَ هَذِهِ الْآنَ يَعْنِي الشَّيْخُ ابْنُ بَازٍ رَحِمَهُ اللهُ لَهُ كَلِمَةٌ مُهِمَّةٌ يَقُولُ: زَمَانُنَا هَذَا زَمَانُ الرِّفْقِ يَعْنِي إِذَا مَا تَتَعَامَلُ مَعَ النَّاسِ بِرِفْقٍ لَنْ تُفْلِحَ لَا فِي دَعْوَةٍ وَلَا فِي نُصْحٍ وَلَا وَلَا يَسْتَفِيدُونَ النَّاسُ مِنْكَ لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ هُنَاكَ رِفْقٌ وَرَحْمَةٌ عَظِيمَةٌ بِالنَّاسِ حَتَّى يَحْصُلَ الْاِنْتِفَاعُ وَأُعِيدُ أَيْضًا أَنْ أَقُولَ عَنِ الشَّخْصَيْنِ جَزَاهُمَا اللهُ خَيْرًا أَنْ كَانَا سَبَبًا أَيْضًا فِي هَذِهِ الْفَائِدَةِ الَّتِي نَرْجُو اللهَ أَنْ يَعُمَّ بِهَا النَّفْعَ بِمَنِّهِ وَكَرَمِهِ


Sebelum aku tutup, aku ingin menyampaikan satu cerita yang aku alami sebelum Salat Asar tadi. Aku ingin menceritakannya dengan harapan bahwa cerita ini berfaedah. Aku sedang salat sunah, dan ketika duduk di antara dua sujud, ada seseorang yang ingin lewat di depanku, maka aku julurkan tanganku (untuk menghalanginya), dalam rangka mengamalkan sunah. Aku julurkan tanganku—dan semoga Allah Membalasnya dengan kebaikan dan Berlaku baik kepadanya— lalu dia menangkis tanganku dengan kakinya kuat-kuat sambil jalan. Dia menangkis tanganku dengan kakinya kuat-kuat sambil berjalan di depanku, dan di belakangnya juga ada seseorang yang berjalan di belakang bersamanya. Aku ingin menyampaikan kepada kalian tentang apa yang aku lakukan dengan niat tolong-menolong dalam kebajikan dan ketakwaan. Lalu aku bersujud dan mendoakan kebaikan untuknya. Aku sujud dan mendoakan kebaikan untuknya. Aku katakan bahwa dalam keadaan seperti ini, wahai saudara-saudara, harus ada welas asih dalam hati, karena tidak semua yang salah harus Anda marahi. Tidak semua yang salah harus Anda doakan keburukan. Artinya, carilah alasan untuk memaklumi saudara Anda. Anda tidak tahu, mungkin saja dia terpaksa. Bisa jadi dia tak tahu hukumnya yang telah Anda ketahui. Mungkin dia mendapat fatwa bahwa di Masjid Nabawi boleh lewat (di depan orang salat). Karena pernah juga aku salat lalu menahan seseorang (lewat), dan dia menangkisku sambil berkata, “Boleh, di Masjid Nabawi!” Dia berkata padahal aku sedang salat. Sebagian mereka mungkin mendapatkan fatwa itu, maka aku katakan bahwa sikap welas asih dan lembut, itulah yang akan membuahkan hasil. Adapun marah, mendoakan jelek, dan kesal, semua ini tidak bermanfaat dan tidak membuahkan apa pun.Jadi, doakan! Doakan yang baik untuk saudara Anda. Sekarang, orang yang salah, saudara muslim Anda yang salah, dia keliru karena jahil. Dia salah karena tidak mengetahui, maka kewajiban Anda—jika mampu—adalah mengajarinya dengan lembut. Ajari semampu Anda, dan berdoalah kepada Allah agar Membimbingnya, Memberinya taufik, dan Menunjukkan kebenaran dan yang hak kepadanya. Jangan sampai Anda mendoakan keburukan kepadanya! Jangan sampai Anda mendoakan keburukan kepada saudara Anda dan kesal kepadanya. Sekarang, berkaitan dengan hal ini, Syekh Bin Baz Raẖimahullahu pernah menuturkan satu kalimat penting, “Zaman kita ini adalah zaman kelembutan.” Artinya bahwa jika Anda tidak bersikap lembut dengan orang-orang, Anda tidak akan berhasil, baik dalam dakwah, menasihati, atau apa pun. Orang-orang takkan mengambil faedah dari Anda. Harus ada kelembutan dan welas asih yang dominan kepada orang-orang, agar manfaatnya terwujud. Juga, aku ulangi untuk berkata kepada dua orang tadi, semoga Allah Membalas mereka dengan kebaikan, karena telah menjadi sebab adanya faedah ini, yang semoga Allah Menyebarkan manfaatnya dengan karunia dan kedermawanan-Nya. ==== قَبْلَ أَنْ أَخْتِمَ أُرِيدُ أَنْ أُشِيرَ إِلَى قِصَّةٍ حَصَلَتْ لِي قَبْلَ صَلَاةِ الْعَصْرِ أُرِيدُ أَنْ أُشِيرَ إِلَيْهَا لِفَائِدَةٍ أَرْجُو بِإِشَارَةٍ إِلَيْهَا كُنْتُ أُصَلِّي النَّافِلَةَ وَفِي الْجَلْسَةِ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ أَرَادَ شَخْصٌ أَنْ يَمُرَّ مِنْ أَمَامِي فَوَضَعْتُ يَدِي عَمَلًا بِالسُّنَّةِ وَضَعْتُ يَدِي فَجَزَاهُ اللهُ خَيْرًا وَأَحْسَنَ اللهُ إِلَيْهِ دَفَعَ يَدِي بِرِجْلِهِ بِقُوَّةٍ وَهُوَ مَرَّ دَفَعَ يَدِي بِرِجْلِهِ بِقُوَّةٍ وَهُوَ مَرَّ مِنْ أَمَامِي وَمَعَهُ خَلْفَهُ وَاحِدٌ أَيْضًا يَمْشِي مَعَهُ فَأُرِيدُ أَقُولُ لَكُمْ مَا فَعَلْتُ حَتَّى يَكُونَ التَّعَاوُنَ عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى سَجَدْتُ سَجْدَةً وَدَعَوتُهُ لَهُ سَجَدْتُ وَدَعَوتُهُ لَهُ أَنَا أَقُولُ يَعْنِي فِي مِثْلِ هَذِهِ الْأُمُورِ يَنْبَغِي يَا إِخْوَانُ أَنْ يَكُونَ فِي الْقُلُوبِ رَحْمَةٌ لِأَنَّ لَيْسَ كُلُّ مَنْ يُخْطِئُ تَغْضَبُ عَلَيْهِ وَلَيْسَ كُلُّ مَنْ يُخْطِئُ تَدْعُو عَلَيْهِ يَعْنِي الْتَمِسْ مَعَاذِيرَ لِأِخْوَانِكَ يَعْنِي قَدْ يَكُونُ هَذَا مُضْطَرٌّ مَا تَدْرِي وَقَدْ يَكُونُ مَا يَعْرِفُ الْحُكْمَ الَّذِي أَنْتَ تَعْرِفُهُ أَوْ قَدْ يَكُونُ أُفْتِيَ أَنَّ فِي الْمَسْجِدِ النَّبَوِيِّ يَجُوزُ الْمُرُورَ لِأَنَّ أَيْضًا مَرَّةً وَأَنَا أُصَلِّي مَنَعْتُ الْوَاحِدَ فَدَفَعَنِي وَقَالَ: يَجُوزُ فِي الْمَسْجِدِ النَّبَوِيِّ وَأَنَا أُصَلِّي يُخْبِرُنِي فَبَعْضُهُمْ قَدْ يَكُونُ أُفْتِيَ بِذَلِكَ فَأَنَا أَقُولُ: يَعْنِي التَّعَامُلُ بِالرَّحْمَةِ وَالرِّفْقِ هُوَ الَّذِي يُعْطِي النَّتَائِجَ أَمَّا الْغَضَبُ وَالدُّعَاءُ وَالتَّسَخُّطُ هَذَا مَا يُفِيدُ وَلَا يُقَدِّمُ شَيْئًا فَالدُّعَاءُ وَالدُّعَاءُ لِأِخْوَانِكَ الْمُخْطِئُ الْآنَ الْمُخْطِئُ مِنْ إِخْوَانِكَ الْمُسْلِمِينَ يَعْنِي أَخْطَأَ عَنْ جَهْلٍ أَخْطَأَ عَنْ جَهْلٍ فَحَقُّهُ عَلَيْكَ إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُعَلِّمَهُ بِالرِّفْقِ عَلِّمْهُ مَا اسْتَطَعْتتَ وَادْعُ اللهَ أَنْ يَهْدِيَهِ وَأَنْ يُوَفِّقَهُ وَأَنْ يَدُلَّهُ لِلْحَقِّ وَالصَّوَابِ احْذَرْ أَنْ تَدْعُوَ عَلَيهِ احْذَرْ أَنْ تَدْعُوَ عَلَى أَخِيكَ الْمُسْلِمِ أَوْ تَتَسَخَّطَ هَذِهِ الْآنَ يَعْنِي الشَّيْخُ ابْنُ بَازٍ رَحِمَهُ اللهُ لَهُ كَلِمَةٌ مُهِمَّةٌ يَقُولُ: زَمَانُنَا هَذَا زَمَانُ الرِّفْقِ يَعْنِي إِذَا مَا تَتَعَامَلُ مَعَ النَّاسِ بِرِفْقٍ لَنْ تُفْلِحَ لَا فِي دَعْوَةٍ وَلَا فِي نُصْحٍ وَلَا وَلَا يَسْتَفِيدُونَ النَّاسُ مِنْكَ لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ هُنَاكَ رِفْقٌ وَرَحْمَةٌ عَظِيمَةٌ بِالنَّاسِ حَتَّى يَحْصُلَ الْاِنْتِفَاعُ وَأُعِيدُ أَيْضًا أَنْ أَقُولَ عَنِ الشَّخْصَيْنِ جَزَاهُمَا اللهُ خَيْرًا أَنْ كَانَا سَبَبًا أَيْضًا فِي هَذِهِ الْفَائِدَةِ الَّتِي نَرْجُو اللهَ أَنْ يَعُمَّ بِهَا النَّفْعَ بِمَنِّهِ وَكَرَمِهِ

Mengapa Kadang Pertolongan Allah Terlambat Datang? – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

“…Hingga Rasul dan orang-orang yang beriman yang bersamanya berkata, ‘Kapan pertolongan Allah itu (datang)?’…” (QS. al-Baqarah: 214) Mereka tidak mengucapkan itu karena ketidakpercayaan, tidak mungkin. Namun, mereka mengucapkan itu karena ingin pertolongan segera datang. Mereka meminta agar pertolongan segera datang. Allah ‘Azza wa Jalla lalu berfirman, “Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” Namun, terkadang pertolongan itu datang terlambat karena suatu hikmah. Di antara hikmahnya adalah untuk ujian dan cobaan. Dalam hadis al-Khabbab disebutkan bahwa para sahabat datang kepada Nabi untuk mengeluhkan kaum musyrikin. Mereka berkata, “Tidakkah engkau berdoa untuk kami?” Beliau menjawab, “Sungguh ada lelaki dari kaum sebelum kalian yang dipotong dengan gergaji…” La haula walaa quwwata illaa billaah. “…sampai terpotong hingga kakinya… dan disisir dengan sisir besi hingga ke bawah dagingnya… tapi itu tidak menghalanginya dari agama Allah… Namun kalian terburu-buru.” Ketika Heraklius mendengar kabar diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia meminta untuk didatangkan seseorang dari keluarga beliau. Lalu datanglah Abu Sufyan, lalu Heraklius bertanya beberapa pertanyaan kepadanya. Hadis ini disebutkan dalam ash-Shahih, saudara-saudara. Di antara pertanyaannya adalah, bagaimana perang antara kalian dengannya? Abu Sufyan menjawab, “Seimbang, kadang dia menang, dan kadang dia kalah.” Heraklius berkata bahwa demikianlah keadaan para Nabi, mereka diuji, hingga pada akhirnya kemenangan bagi mereka. Mereka telah diuji. Mereka diuji pada perang Uhud, pada perang Khandaq, dan lainnya. Lalu bagaimana hasil akhirnya? Kemenangan bagi mereka. Jadi, pertolongan Allah Ta’ala itu dekat, maka janganlah seorang muslim putus asa dari karunia, pertolongan, dan bantuan dari Allah. ==== حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللهِ؟ مَا قَالُوا هَذَا اسْتِبْعَادًا حَاشَاهُمْ وَلَكِنْ قَالُوهُ اِسْتِعْجَالاً يَطْلُبُونَ تَعْجِيلَ النَّصْرِ قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللهِ قَرِيبٌ وَلَكِنْ يَتَأَخَّرُ النَّصْرُ لِحِكْمَةٍ وَمِنَ الْحِكْمَةِ الِاخْتِبَارُ وَالاِمْتِحَانُ وَفِي حَدِيثِ الْخَبَّابِ أَنَّهُمْ جَاءُوا لِلنَّبِيِّ اشْتَكَوْا إِلَيْهِ مِنَ الْقَوْمِ الْمُشْرِكِينَ فَقَالُوا أَلَا تَدْعُو لَنَا؟ فَقَالَ لَهُمْ إِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانَ الرَّجُلُ يُنْشَرُ بِمِنْشَارٍ الْحَدِيثَ لَا حَولَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ حَتَّى يُقْلَصَ إِلَى قَدَمَيْهِ وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ لَحْمِهِ لَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِ اللهِ وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ وَلَمَّا سَمِعَ هِرَقْلُ بِمَبْعَثِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَطَلَبَ أَنْ يَنْظُرُوا أَحَدًا يَعْنِي مِنْ عَشِيرَتِهِ فَجَاءَ أَبُو سُفْيَانَ وَسَأَلَهُ مَسَائِلَ وَهُوَ فِي الصَّحِيْحِ الحَدِيثُ يَا إِخْوَانُ وَمِنْ أَسْئِلَتِهِ كَيْفَ الْحَرْبُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ؟ قَالَ سِجَالٌ نُدَالُ عَلَيْهِ وَيُدَالُ عَلَيْنَا قَالَ لَهُ هَكَذَا الْأَنْبِيَاءُ يُبْتَلَونَ حَتَّى تَكُونَ الْعَاقِبَةُ لَهُمْ اُبْتُلُوْا اُبْتُلُوْا اُبْتُلُوْا فِي أُحُدٍ اُبْتُلُوْا فِي الْخَنْدَقِ اُبْتُلُوْا ثُمَّ مَاذَا كَانَتِ النَّتِيجَةُ؟ الْعَاقِبَةُ لَهُمْ فَنَصْرُ اللهِ تَعَالَى قَرِيبٌ فَلَا يَيْأَسُ الْمُسْلِمُ مِنْ فَضْلِ اللهِ وَنَصْرِهِ وَتَأْيِيدِهِ وَإِعَانَتِهِ

Mengapa Kadang Pertolongan Allah Terlambat Datang? – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

“…Hingga Rasul dan orang-orang yang beriman yang bersamanya berkata, ‘Kapan pertolongan Allah itu (datang)?’…” (QS. al-Baqarah: 214) Mereka tidak mengucapkan itu karena ketidakpercayaan, tidak mungkin. Namun, mereka mengucapkan itu karena ingin pertolongan segera datang. Mereka meminta agar pertolongan segera datang. Allah ‘Azza wa Jalla lalu berfirman, “Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” Namun, terkadang pertolongan itu datang terlambat karena suatu hikmah. Di antara hikmahnya adalah untuk ujian dan cobaan. Dalam hadis al-Khabbab disebutkan bahwa para sahabat datang kepada Nabi untuk mengeluhkan kaum musyrikin. Mereka berkata, “Tidakkah engkau berdoa untuk kami?” Beliau menjawab, “Sungguh ada lelaki dari kaum sebelum kalian yang dipotong dengan gergaji…” La haula walaa quwwata illaa billaah. “…sampai terpotong hingga kakinya… dan disisir dengan sisir besi hingga ke bawah dagingnya… tapi itu tidak menghalanginya dari agama Allah… Namun kalian terburu-buru.” Ketika Heraklius mendengar kabar diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia meminta untuk didatangkan seseorang dari keluarga beliau. Lalu datanglah Abu Sufyan, lalu Heraklius bertanya beberapa pertanyaan kepadanya. Hadis ini disebutkan dalam ash-Shahih, saudara-saudara. Di antara pertanyaannya adalah, bagaimana perang antara kalian dengannya? Abu Sufyan menjawab, “Seimbang, kadang dia menang, dan kadang dia kalah.” Heraklius berkata bahwa demikianlah keadaan para Nabi, mereka diuji, hingga pada akhirnya kemenangan bagi mereka. Mereka telah diuji. Mereka diuji pada perang Uhud, pada perang Khandaq, dan lainnya. Lalu bagaimana hasil akhirnya? Kemenangan bagi mereka. Jadi, pertolongan Allah Ta’ala itu dekat, maka janganlah seorang muslim putus asa dari karunia, pertolongan, dan bantuan dari Allah. ==== حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللهِ؟ مَا قَالُوا هَذَا اسْتِبْعَادًا حَاشَاهُمْ وَلَكِنْ قَالُوهُ اِسْتِعْجَالاً يَطْلُبُونَ تَعْجِيلَ النَّصْرِ قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللهِ قَرِيبٌ وَلَكِنْ يَتَأَخَّرُ النَّصْرُ لِحِكْمَةٍ وَمِنَ الْحِكْمَةِ الِاخْتِبَارُ وَالاِمْتِحَانُ وَفِي حَدِيثِ الْخَبَّابِ أَنَّهُمْ جَاءُوا لِلنَّبِيِّ اشْتَكَوْا إِلَيْهِ مِنَ الْقَوْمِ الْمُشْرِكِينَ فَقَالُوا أَلَا تَدْعُو لَنَا؟ فَقَالَ لَهُمْ إِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانَ الرَّجُلُ يُنْشَرُ بِمِنْشَارٍ الْحَدِيثَ لَا حَولَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ حَتَّى يُقْلَصَ إِلَى قَدَمَيْهِ وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ لَحْمِهِ لَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِ اللهِ وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ وَلَمَّا سَمِعَ هِرَقْلُ بِمَبْعَثِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَطَلَبَ أَنْ يَنْظُرُوا أَحَدًا يَعْنِي مِنْ عَشِيرَتِهِ فَجَاءَ أَبُو سُفْيَانَ وَسَأَلَهُ مَسَائِلَ وَهُوَ فِي الصَّحِيْحِ الحَدِيثُ يَا إِخْوَانُ وَمِنْ أَسْئِلَتِهِ كَيْفَ الْحَرْبُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ؟ قَالَ سِجَالٌ نُدَالُ عَلَيْهِ وَيُدَالُ عَلَيْنَا قَالَ لَهُ هَكَذَا الْأَنْبِيَاءُ يُبْتَلَونَ حَتَّى تَكُونَ الْعَاقِبَةُ لَهُمْ اُبْتُلُوْا اُبْتُلُوْا اُبْتُلُوْا فِي أُحُدٍ اُبْتُلُوْا فِي الْخَنْدَقِ اُبْتُلُوْا ثُمَّ مَاذَا كَانَتِ النَّتِيجَةُ؟ الْعَاقِبَةُ لَهُمْ فَنَصْرُ اللهِ تَعَالَى قَرِيبٌ فَلَا يَيْأَسُ الْمُسْلِمُ مِنْ فَضْلِ اللهِ وَنَصْرِهِ وَتَأْيِيدِهِ وَإِعَانَتِهِ
“…Hingga Rasul dan orang-orang yang beriman yang bersamanya berkata, ‘Kapan pertolongan Allah itu (datang)?’…” (QS. al-Baqarah: 214) Mereka tidak mengucapkan itu karena ketidakpercayaan, tidak mungkin. Namun, mereka mengucapkan itu karena ingin pertolongan segera datang. Mereka meminta agar pertolongan segera datang. Allah ‘Azza wa Jalla lalu berfirman, “Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” Namun, terkadang pertolongan itu datang terlambat karena suatu hikmah. Di antara hikmahnya adalah untuk ujian dan cobaan. Dalam hadis al-Khabbab disebutkan bahwa para sahabat datang kepada Nabi untuk mengeluhkan kaum musyrikin. Mereka berkata, “Tidakkah engkau berdoa untuk kami?” Beliau menjawab, “Sungguh ada lelaki dari kaum sebelum kalian yang dipotong dengan gergaji…” La haula walaa quwwata illaa billaah. “…sampai terpotong hingga kakinya… dan disisir dengan sisir besi hingga ke bawah dagingnya… tapi itu tidak menghalanginya dari agama Allah… Namun kalian terburu-buru.” Ketika Heraklius mendengar kabar diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia meminta untuk didatangkan seseorang dari keluarga beliau. Lalu datanglah Abu Sufyan, lalu Heraklius bertanya beberapa pertanyaan kepadanya. Hadis ini disebutkan dalam ash-Shahih, saudara-saudara. Di antara pertanyaannya adalah, bagaimana perang antara kalian dengannya? Abu Sufyan menjawab, “Seimbang, kadang dia menang, dan kadang dia kalah.” Heraklius berkata bahwa demikianlah keadaan para Nabi, mereka diuji, hingga pada akhirnya kemenangan bagi mereka. Mereka telah diuji. Mereka diuji pada perang Uhud, pada perang Khandaq, dan lainnya. Lalu bagaimana hasil akhirnya? Kemenangan bagi mereka. Jadi, pertolongan Allah Ta’ala itu dekat, maka janganlah seorang muslim putus asa dari karunia, pertolongan, dan bantuan dari Allah. ==== حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللهِ؟ مَا قَالُوا هَذَا اسْتِبْعَادًا حَاشَاهُمْ وَلَكِنْ قَالُوهُ اِسْتِعْجَالاً يَطْلُبُونَ تَعْجِيلَ النَّصْرِ قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللهِ قَرِيبٌ وَلَكِنْ يَتَأَخَّرُ النَّصْرُ لِحِكْمَةٍ وَمِنَ الْحِكْمَةِ الِاخْتِبَارُ وَالاِمْتِحَانُ وَفِي حَدِيثِ الْخَبَّابِ أَنَّهُمْ جَاءُوا لِلنَّبِيِّ اشْتَكَوْا إِلَيْهِ مِنَ الْقَوْمِ الْمُشْرِكِينَ فَقَالُوا أَلَا تَدْعُو لَنَا؟ فَقَالَ لَهُمْ إِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانَ الرَّجُلُ يُنْشَرُ بِمِنْشَارٍ الْحَدِيثَ لَا حَولَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ حَتَّى يُقْلَصَ إِلَى قَدَمَيْهِ وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ لَحْمِهِ لَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِ اللهِ وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ وَلَمَّا سَمِعَ هِرَقْلُ بِمَبْعَثِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَطَلَبَ أَنْ يَنْظُرُوا أَحَدًا يَعْنِي مِنْ عَشِيرَتِهِ فَجَاءَ أَبُو سُفْيَانَ وَسَأَلَهُ مَسَائِلَ وَهُوَ فِي الصَّحِيْحِ الحَدِيثُ يَا إِخْوَانُ وَمِنْ أَسْئِلَتِهِ كَيْفَ الْحَرْبُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ؟ قَالَ سِجَالٌ نُدَالُ عَلَيْهِ وَيُدَالُ عَلَيْنَا قَالَ لَهُ هَكَذَا الْأَنْبِيَاءُ يُبْتَلَونَ حَتَّى تَكُونَ الْعَاقِبَةُ لَهُمْ اُبْتُلُوْا اُبْتُلُوْا اُبْتُلُوْا فِي أُحُدٍ اُبْتُلُوْا فِي الْخَنْدَقِ اُبْتُلُوْا ثُمَّ مَاذَا كَانَتِ النَّتِيجَةُ؟ الْعَاقِبَةُ لَهُمْ فَنَصْرُ اللهِ تَعَالَى قَرِيبٌ فَلَا يَيْأَسُ الْمُسْلِمُ مِنْ فَضْلِ اللهِ وَنَصْرِهِ وَتَأْيِيدِهِ وَإِعَانَتِهِ


“…Hingga Rasul dan orang-orang yang beriman yang bersamanya berkata, ‘Kapan pertolongan Allah itu (datang)?’…” (QS. al-Baqarah: 214) Mereka tidak mengucapkan itu karena ketidakpercayaan, tidak mungkin. Namun, mereka mengucapkan itu karena ingin pertolongan segera datang. Mereka meminta agar pertolongan segera datang. Allah ‘Azza wa Jalla lalu berfirman, “Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” Namun, terkadang pertolongan itu datang terlambat karena suatu hikmah. Di antara hikmahnya adalah untuk ujian dan cobaan. Dalam hadis al-Khabbab disebutkan bahwa para sahabat datang kepada Nabi untuk mengeluhkan kaum musyrikin. Mereka berkata, “Tidakkah engkau berdoa untuk kami?” Beliau menjawab, “Sungguh ada lelaki dari kaum sebelum kalian yang dipotong dengan gergaji…” La haula walaa quwwata illaa billaah. “…sampai terpotong hingga kakinya… dan disisir dengan sisir besi hingga ke bawah dagingnya… tapi itu tidak menghalanginya dari agama Allah… Namun kalian terburu-buru.” Ketika Heraklius mendengar kabar diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia meminta untuk didatangkan seseorang dari keluarga beliau. Lalu datanglah Abu Sufyan, lalu Heraklius bertanya beberapa pertanyaan kepadanya. Hadis ini disebutkan dalam ash-Shahih, saudara-saudara. Di antara pertanyaannya adalah, bagaimana perang antara kalian dengannya? Abu Sufyan menjawab, “Seimbang, kadang dia menang, dan kadang dia kalah.” Heraklius berkata bahwa demikianlah keadaan para Nabi, mereka diuji, hingga pada akhirnya kemenangan bagi mereka. Mereka telah diuji. Mereka diuji pada perang Uhud, pada perang Khandaq, dan lainnya. Lalu bagaimana hasil akhirnya? Kemenangan bagi mereka. Jadi, pertolongan Allah Ta’ala itu dekat, maka janganlah seorang muslim putus asa dari karunia, pertolongan, dan bantuan dari Allah. ==== حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللهِ؟ مَا قَالُوا هَذَا اسْتِبْعَادًا حَاشَاهُمْ وَلَكِنْ قَالُوهُ اِسْتِعْجَالاً يَطْلُبُونَ تَعْجِيلَ النَّصْرِ قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللهِ قَرِيبٌ وَلَكِنْ يَتَأَخَّرُ النَّصْرُ لِحِكْمَةٍ وَمِنَ الْحِكْمَةِ الِاخْتِبَارُ وَالاِمْتِحَانُ وَفِي حَدِيثِ الْخَبَّابِ أَنَّهُمْ جَاءُوا لِلنَّبِيِّ اشْتَكَوْا إِلَيْهِ مِنَ الْقَوْمِ الْمُشْرِكِينَ فَقَالُوا أَلَا تَدْعُو لَنَا؟ فَقَالَ لَهُمْ إِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانَ الرَّجُلُ يُنْشَرُ بِمِنْشَارٍ الْحَدِيثَ لَا حَولَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ حَتَّى يُقْلَصَ إِلَى قَدَمَيْهِ وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ لَحْمِهِ لَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِ اللهِ وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ وَلَمَّا سَمِعَ هِرَقْلُ بِمَبْعَثِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَطَلَبَ أَنْ يَنْظُرُوا أَحَدًا يَعْنِي مِنْ عَشِيرَتِهِ فَجَاءَ أَبُو سُفْيَانَ وَسَأَلَهُ مَسَائِلَ وَهُوَ فِي الصَّحِيْحِ الحَدِيثُ يَا إِخْوَانُ وَمِنْ أَسْئِلَتِهِ كَيْفَ الْحَرْبُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ؟ قَالَ سِجَالٌ نُدَالُ عَلَيْهِ وَيُدَالُ عَلَيْنَا قَالَ لَهُ هَكَذَا الْأَنْبِيَاءُ يُبْتَلَونَ حَتَّى تَكُونَ الْعَاقِبَةُ لَهُمْ اُبْتُلُوْا اُبْتُلُوْا اُبْتُلُوْا فِي أُحُدٍ اُبْتُلُوْا فِي الْخَنْدَقِ اُبْتُلُوْا ثُمَّ مَاذَا كَانَتِ النَّتِيجَةُ؟ الْعَاقِبَةُ لَهُمْ فَنَصْرُ اللهِ تَعَالَى قَرِيبٌ فَلَا يَيْأَسُ الْمُسْلِمُ مِنْ فَضْلِ اللهِ وَنَصْرِهِ وَتَأْيِيدِهِ وَإِعَانَتِهِ

Fatwa: Apakah Berdosa ketika Menghafal Al-Qur’an kemudian Melupakannya?

Fatwa Syekh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah   Pertanyaan: Apakah seseorang yang menghafal Al-Qur’an kemudian melupakannya berdosa? Bagaimana hukumnya? Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Diperlihatkan kepadaku dosa-dosa umatku, dan aku tidak melihat dosa yang lebih besar daripada seorang laki-laki yang diberikan satu ayat atau surah, kemudian melupakannya.”   Jawaban: Jika seseorang dengan sengaja melalaikan dan mengabaikan Al-Qur’an, maka dia berdosa, dan hanya Allah yang mengetahui seberapa besar dosanya. Namun, jika dia tidak sengaja melupakan karena penyakit, masalah, atau kesibukan yang di luar kemampuannya, maka semoga dia tidak berdosa. Saya telah meneliti hadis tersebut dan menemukannya dalam Sunan Abu Daud dan Fathul Qadir dari jalur Al-Muthallib bin Abdullah bin Hantab yang meriwayatkan dari Anas. Namun, Al-Muthallib bin Abdullah bin Hantab tidak mendengar langsung dari Anas, sehingga hadis tersebut dianggap dha’if (lemah). Adapun jika seseorang dengan sengaja melalaikan dan tidak peduli terhadap Al-Qur’an, maka dia berdosa. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Semoga Allah merahmati si Fulan, dia mengingatkanku pada ayat ini dan itu yang sebelumnya aku lupakan.” Jadi, jika seseorang lupa tetapi berusaha mengingatnya kembali, itu adalah hal yang baik. Tetapi, jika dia lupa karena mengabaikan dan melalaikannya, maka dia berdosa, dan hanya Allah yang mengetahui seberapa besar dosanya. Baca juga: Indahnya Tadabbur Al-Quran *** Rujukan: Kitab Ijabah As-Sail, hal. 399-400. Sumber : https://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=4641 Penerjemah: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id Tags: Qur'an

Fatwa: Apakah Berdosa ketika Menghafal Al-Qur’an kemudian Melupakannya?

Fatwa Syekh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah   Pertanyaan: Apakah seseorang yang menghafal Al-Qur’an kemudian melupakannya berdosa? Bagaimana hukumnya? Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Diperlihatkan kepadaku dosa-dosa umatku, dan aku tidak melihat dosa yang lebih besar daripada seorang laki-laki yang diberikan satu ayat atau surah, kemudian melupakannya.”   Jawaban: Jika seseorang dengan sengaja melalaikan dan mengabaikan Al-Qur’an, maka dia berdosa, dan hanya Allah yang mengetahui seberapa besar dosanya. Namun, jika dia tidak sengaja melupakan karena penyakit, masalah, atau kesibukan yang di luar kemampuannya, maka semoga dia tidak berdosa. Saya telah meneliti hadis tersebut dan menemukannya dalam Sunan Abu Daud dan Fathul Qadir dari jalur Al-Muthallib bin Abdullah bin Hantab yang meriwayatkan dari Anas. Namun, Al-Muthallib bin Abdullah bin Hantab tidak mendengar langsung dari Anas, sehingga hadis tersebut dianggap dha’if (lemah). Adapun jika seseorang dengan sengaja melalaikan dan tidak peduli terhadap Al-Qur’an, maka dia berdosa. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Semoga Allah merahmati si Fulan, dia mengingatkanku pada ayat ini dan itu yang sebelumnya aku lupakan.” Jadi, jika seseorang lupa tetapi berusaha mengingatnya kembali, itu adalah hal yang baik. Tetapi, jika dia lupa karena mengabaikan dan melalaikannya, maka dia berdosa, dan hanya Allah yang mengetahui seberapa besar dosanya. Baca juga: Indahnya Tadabbur Al-Quran *** Rujukan: Kitab Ijabah As-Sail, hal. 399-400. Sumber : https://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=4641 Penerjemah: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id Tags: Qur'an
Fatwa Syekh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah   Pertanyaan: Apakah seseorang yang menghafal Al-Qur’an kemudian melupakannya berdosa? Bagaimana hukumnya? Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Diperlihatkan kepadaku dosa-dosa umatku, dan aku tidak melihat dosa yang lebih besar daripada seorang laki-laki yang diberikan satu ayat atau surah, kemudian melupakannya.”   Jawaban: Jika seseorang dengan sengaja melalaikan dan mengabaikan Al-Qur’an, maka dia berdosa, dan hanya Allah yang mengetahui seberapa besar dosanya. Namun, jika dia tidak sengaja melupakan karena penyakit, masalah, atau kesibukan yang di luar kemampuannya, maka semoga dia tidak berdosa. Saya telah meneliti hadis tersebut dan menemukannya dalam Sunan Abu Daud dan Fathul Qadir dari jalur Al-Muthallib bin Abdullah bin Hantab yang meriwayatkan dari Anas. Namun, Al-Muthallib bin Abdullah bin Hantab tidak mendengar langsung dari Anas, sehingga hadis tersebut dianggap dha’if (lemah). Adapun jika seseorang dengan sengaja melalaikan dan tidak peduli terhadap Al-Qur’an, maka dia berdosa. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Semoga Allah merahmati si Fulan, dia mengingatkanku pada ayat ini dan itu yang sebelumnya aku lupakan.” Jadi, jika seseorang lupa tetapi berusaha mengingatnya kembali, itu adalah hal yang baik. Tetapi, jika dia lupa karena mengabaikan dan melalaikannya, maka dia berdosa, dan hanya Allah yang mengetahui seberapa besar dosanya. Baca juga: Indahnya Tadabbur Al-Quran *** Rujukan: Kitab Ijabah As-Sail, hal. 399-400. Sumber : https://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=4641 Penerjemah: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id Tags: Qur'an


Fatwa Syekh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah   Pertanyaan: Apakah seseorang yang menghafal Al-Qur’an kemudian melupakannya berdosa? Bagaimana hukumnya? Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Diperlihatkan kepadaku dosa-dosa umatku, dan aku tidak melihat dosa yang lebih besar daripada seorang laki-laki yang diberikan satu ayat atau surah, kemudian melupakannya.”   Jawaban: Jika seseorang dengan sengaja melalaikan dan mengabaikan Al-Qur’an, maka dia berdosa, dan hanya Allah yang mengetahui seberapa besar dosanya. Namun, jika dia tidak sengaja melupakan karena penyakit, masalah, atau kesibukan yang di luar kemampuannya, maka semoga dia tidak berdosa. Saya telah meneliti hadis tersebut dan menemukannya dalam Sunan Abu Daud dan Fathul Qadir dari jalur Al-Muthallib bin Abdullah bin Hantab yang meriwayatkan dari Anas. Namun, Al-Muthallib bin Abdullah bin Hantab tidak mendengar langsung dari Anas, sehingga hadis tersebut dianggap dha’if (lemah). Adapun jika seseorang dengan sengaja melalaikan dan tidak peduli terhadap Al-Qur’an, maka dia berdosa. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Semoga Allah merahmati si Fulan, dia mengingatkanku pada ayat ini dan itu yang sebelumnya aku lupakan.” Jadi, jika seseorang lupa tetapi berusaha mengingatnya kembali, itu adalah hal yang baik. Tetapi, jika dia lupa karena mengabaikan dan melalaikannya, maka dia berdosa, dan hanya Allah yang mengetahui seberapa besar dosanya. Baca juga: Indahnya Tadabbur Al-Quran *** Rujukan: Kitab Ijabah As-Sail, hal. 399-400. Sumber : https://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=4641 Penerjemah: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id Tags: Qur'an

Fikih Wakaf (Bag. 8): Wakaf Produktif dalam Tinjauan Syariat

Daftar Isi Toggle Beberapa hal yang mendasari bolehnya wakaf produktifSyarat-syarat wakaf produktif Di antara bentuk keindahan fikih muamalah harta dan kekayaan adalah fleksibilitas dan pencakupannya yang menyesuaikan zaman dan tempat. Dalam hal wakaf misalnya, awalnya hanya dilakukan berdasarkan keinginan seseorang untuk berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya. Di mana seringnya dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun, setelah masyarakat Islam merasakan betapa besarnya manfaat lembaga wakaf, timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuklah lembaga-lembaga yang mengatur wakaf, mengelola, memelihara, dan menggunakan harta wakaf, baik untuk kepentingan umum seperti masjid atau untuk individu atau keluarga. Dalam hal pengelolaan harta wakaf, dahulu kala sangat jarang atau bahkan tidak ada inovasi dan kreativitas dalam pengelolaan dan pengembangannya. Tidak jarang kita dapati seorang nazhir yang menerima dan mendapatkan amanah lahan-lahan produktif seperti tanah sawah, ladang, kolam ikan tidak memaksimalkan pengelolaannya. Akibatnya, hasil yang diperoleh tidak banyak, bahkan tidak sedikit dari lahan-lahan ini yang kemudian terlantar atau tidak menghasilkan. Kemudian timbullah kesadaran dari nazhir bahwa tanah wakaf perlu dikelola dan dikembangkan secara produktif sehingga menghasilkan keuntungan yang dapat digunakan untuk pembangunan fasilitas-fasilitas umat dan operasionalnya, serta sebagai dana kesejahteraan ekonomi bagi para nazhir. Nazhir (pengelola wakaf) kemudian mengelola dan mengembangkan wakaf produktif, misalnya dengan mendirikan usaha-usaha atau wakaf produktif seperti toko kelontong, toko bangunan, toko buku, warung jajanan, penggilingan padi, dan sebagainya. Inilah sedikit sejarah permulaan terbentuknya istilah “Wakaf Produktif” dalam syariat kita. Secara ringkas wakaf produktif dimaknai dengan, “Harta benda atau pokok tetap yang diwakafkan untuk dipergunakan dalam kegiatan produksi dan hasilnya disalurkan sesuai dengan tujuan wakaf. Seperti wakaf tanah untuk digunakan bercocok tanam, mata air untuk dijual airnya, dan lain–lain.” Wakaf produksi juga dapat didefinisikan dengan harta yang digunakan untuk kepentingan produksi, baik di bidang pertanian, perindustrian, perdagangan, dan jasa yang manfaatnya bukan pada benda wakaf secara langsung, tetapi dari keuntungan bersih hasil pengembangan wakaf yang diberikan kepada orang-orang yang berhak sesuai dangan tujuan wakaf. (Sumber: Situs resmi Badan Wakaf Indonesia, bwi.go.id) Di masa sekarang, wakaf tidak khusus diperuntukkan bagi orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan, dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru, dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat untuk melaksanakan dan mengamalkan ibadah harta berupa wakaf ini semua kembali pada satu tujuan yang mulia, yaitu membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat. Beberapa hal yang mendasari bolehnya wakaf produktif Pertama: Syariat Islam sangat mempertimbangkan kemaslahatan. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Syekh As-Sa’di rahimahullah di dalam kitabnya Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, di mana beliau mengatakan, الدِّينُ مَبنِيٌّ عَلَى المَصَالِحِ * فِي جَلبِهَا والدَّرءِ لِلقَبَائِحِ “Ajaran Islam dibangun di atas maslahat. Ajaran tersebut mengandung maslahat dan menolak mudarat (bahaya).” Saat melihat adanya kebutuhan untuk menjadikan sebuah wakaf sebagai wakaf produktif, maka para ulama melihat adanya kemaslahatan di dalamnya. Selama di dalam prosesnya tidak ada hal-hal yang menyelisihi syariat, maka hal tersebut diperbolehkan atau bahkan dianjurkan. Kedua: Dengan menjadikan sebuah wakaf sebagai wakaf produktif, maka itu akan menjadikan manfaat sebuah wakaf menjadi lebih luas jangkauannya dan lebih lama eksistensinya. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara. (Yaitu), sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh” (HR. Muslim no. 1631) Wakaf produktif adalah salah satu opsi terbaik dan kesempatan yang bisa kita usahakan untuk mendapatkan pahala mengalir setelah kita meninggal dunia. Karena wakaf produktif merupakan salah satu bentuk sedekah jariyah yang kemungkinan memiliki eksistensi paling lama. Perlu kita ketahui bersama, meskipun wakaf produktif ini diperbolehkan, namun ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sehingga wakaf tersebut boleh dilakukan dan sesuai dengan aturan syariat kita. Syarat-syarat wakaf produktif Pertama: Hati-hati dan penuh antisipasi di dalam melaksanakannya. Serta mencari dan mempersiapkan jaminan-jaminan yang diperbolehkan oleh syariat. Karena sejatinya nazhir wakaf adalah orang yang sedang diberikan amanah yang besar. Oleh karena itu, hendaknya dirinya menjalankan amanah tersebut dengan sebenar-benarnya. Tidak neko-neko dan sembarangan di dalam mengelolanya. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ : إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ “Tanda orang yang munafik ada tiga: (1) apabila berbicara, berdusta; (2) apabila berjanji, ia mangkir; dan (3) apabila diberi amanat, dia berkhianat.” (HR. Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59) Kedua: Memanfaatkan cara-cara terbaru dan efisien serta komponen-komponen yang mengikuti perkembangan zaman. Serta menyerahkannya kepada orang-orang yang kompeten di bidangnya. Karena ada ancaman bagi siapa saja yang asal-asalan di dalam memberikan amanat kepada seseorang yang bukan ahlinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ “Apabila amanah sudah hilang, maka tunggulah terjadinya kiamat.” Orang itu (Arab Badui) bertanya, “Bagaimana hilangnya amanat itu?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat.” (HR. Bukhari no. 59) Ketiga: Perencanaan yang matang dan pengawasan yang menyeluruh dalam prosesnya. Keempat: Memperhatikan fikih prioritas serta tingkatan-tingkatan konsekuensi dalam berbagai bentuk pengembangan dan pengelolaan harta wakaf yang akan dilakukan. Serta membatasi muamalah dan kerjasama hanya pada bank-bank syariah serta perusahan-perusahaan terpercaya. Karena tidak jarang sebuah objek wakaf dikembangkan melalui kerjasama dengan lembaga keuangan dan bank-bank ribawi atau dipasrahkan kepada perusahaan-perusahaan yang kurang kredibel. Padahal, di dalam hadis yang sahih, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam menuturkan ‘kunjungannya’ ke neraka, فَأَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ – حَسِبْتُ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ – أَحْمَرَ مِثْلِ الدَّمِ ، وَإِذَا فِى النَّهَرِ رَجُلٌ سَابِحٌ يَسْبَحُ ، وَإِذَا عَلَى شَطِّ النَّهَرِ رَجُلٌ قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ حِجَارَةً كَثِيرَةً ، وَإِذَا ذَلِكَ السَّابِحُ يَسْبَحُ مَا يَسْبَحُ ، ثُمَّ يَأْتِى ذَلِكَ الَّذِى قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ الْحِجَارَةَ فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا فَيَنْطَلِقُ يَسْبَحُ ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ ، كُلَّمَا رَجَعَ إِلَيْهِ فَغَرَ لَهُ فَاهُ فَأَلْقَمَهُ حَجَرًا – قَالَ – قُلْتُ لَهُمَا مَا هَذَانِ قَالَ قَالاَ لِى انْطَلِقِ انْطَلِقْ “Kami mendatangi sungai yang airnya merah seperti darah. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang yang berenang di dalamnya, dan di tepi sungai ada orang yang mengumpulkan batu banyak sekali. Lalu, orang yang berenang itu mendatangi orang yang telah mengumpulkan batu sembari membuka mulutnya dan orang yang mengumpulkan batu tadi akhirnya menyuapi batu ke dalam mulutnya. Orang yang berenang tersebut akhirnya pergi menjauh sambil berenang. Kemudian ia kembali lagi pada orang yang mengumpulkan batu. Setiap ia kembali, ia membuka mulutnya lantas disuapi batu ke dalam mulutnya. Aku berkata kepada keduanya, ‘Apa yang sedang mereka berdua lakukan?’ Mereka berdua berkata kepadaku, “Berangkatlah, berangkatlah.” Maka, kami pun berangkat.” Dalam lanjutan hadis disebutkan, وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِى أَتَيْتَ عَلَيْهِ يَسْبَحُ فِى النَّهَرِ وَيُلْقَمُ الْحَجَرَ ، فَإِنَّهُ آكِلُ الرِّبَا “Adapun orang yang datang dan berenang di sungai lalu disuapi batu, itulah pemakan riba.” (HR. Bukhari no. 7047) Jangan sampai niat baik seseorang untuk mengembangkan sebuah wakaf atau menjadikannya sebagai wakaf produksi sehingga memiliki kebermanfaatan lebih, rusak karena mengunakan bank-bank ribawi, sehingga harta wakafnya tercampur dengan riba. Dari sini juga dapat kita ketahui bahwa seorang nazhir seharusnya memiliki bekal ilmu yang mencukupi, terutama dalam hal fikih muamalah harta dan fikih prioritas. Sehingga harta yang dikelolanya tetap bersih dan jauh dari hal-hal yang dapat mengotorinya dan menodainya. Wallahu A’lam Bisshawab. Kembali ke bagian 7: Bolehkah Wakaf untuk Keluarga Sendiri? Lanjut ke bagian 9: [Bersambung] *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: wakaf

Fikih Wakaf (Bag. 8): Wakaf Produktif dalam Tinjauan Syariat

Daftar Isi Toggle Beberapa hal yang mendasari bolehnya wakaf produktifSyarat-syarat wakaf produktif Di antara bentuk keindahan fikih muamalah harta dan kekayaan adalah fleksibilitas dan pencakupannya yang menyesuaikan zaman dan tempat. Dalam hal wakaf misalnya, awalnya hanya dilakukan berdasarkan keinginan seseorang untuk berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya. Di mana seringnya dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun, setelah masyarakat Islam merasakan betapa besarnya manfaat lembaga wakaf, timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuklah lembaga-lembaga yang mengatur wakaf, mengelola, memelihara, dan menggunakan harta wakaf, baik untuk kepentingan umum seperti masjid atau untuk individu atau keluarga. Dalam hal pengelolaan harta wakaf, dahulu kala sangat jarang atau bahkan tidak ada inovasi dan kreativitas dalam pengelolaan dan pengembangannya. Tidak jarang kita dapati seorang nazhir yang menerima dan mendapatkan amanah lahan-lahan produktif seperti tanah sawah, ladang, kolam ikan tidak memaksimalkan pengelolaannya. Akibatnya, hasil yang diperoleh tidak banyak, bahkan tidak sedikit dari lahan-lahan ini yang kemudian terlantar atau tidak menghasilkan. Kemudian timbullah kesadaran dari nazhir bahwa tanah wakaf perlu dikelola dan dikembangkan secara produktif sehingga menghasilkan keuntungan yang dapat digunakan untuk pembangunan fasilitas-fasilitas umat dan operasionalnya, serta sebagai dana kesejahteraan ekonomi bagi para nazhir. Nazhir (pengelola wakaf) kemudian mengelola dan mengembangkan wakaf produktif, misalnya dengan mendirikan usaha-usaha atau wakaf produktif seperti toko kelontong, toko bangunan, toko buku, warung jajanan, penggilingan padi, dan sebagainya. Inilah sedikit sejarah permulaan terbentuknya istilah “Wakaf Produktif” dalam syariat kita. Secara ringkas wakaf produktif dimaknai dengan, “Harta benda atau pokok tetap yang diwakafkan untuk dipergunakan dalam kegiatan produksi dan hasilnya disalurkan sesuai dengan tujuan wakaf. Seperti wakaf tanah untuk digunakan bercocok tanam, mata air untuk dijual airnya, dan lain–lain.” Wakaf produksi juga dapat didefinisikan dengan harta yang digunakan untuk kepentingan produksi, baik di bidang pertanian, perindustrian, perdagangan, dan jasa yang manfaatnya bukan pada benda wakaf secara langsung, tetapi dari keuntungan bersih hasil pengembangan wakaf yang diberikan kepada orang-orang yang berhak sesuai dangan tujuan wakaf. (Sumber: Situs resmi Badan Wakaf Indonesia, bwi.go.id) Di masa sekarang, wakaf tidak khusus diperuntukkan bagi orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan, dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru, dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat untuk melaksanakan dan mengamalkan ibadah harta berupa wakaf ini semua kembali pada satu tujuan yang mulia, yaitu membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat. Beberapa hal yang mendasari bolehnya wakaf produktif Pertama: Syariat Islam sangat mempertimbangkan kemaslahatan. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Syekh As-Sa’di rahimahullah di dalam kitabnya Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, di mana beliau mengatakan, الدِّينُ مَبنِيٌّ عَلَى المَصَالِحِ * فِي جَلبِهَا والدَّرءِ لِلقَبَائِحِ “Ajaran Islam dibangun di atas maslahat. Ajaran tersebut mengandung maslahat dan menolak mudarat (bahaya).” Saat melihat adanya kebutuhan untuk menjadikan sebuah wakaf sebagai wakaf produktif, maka para ulama melihat adanya kemaslahatan di dalamnya. Selama di dalam prosesnya tidak ada hal-hal yang menyelisihi syariat, maka hal tersebut diperbolehkan atau bahkan dianjurkan. Kedua: Dengan menjadikan sebuah wakaf sebagai wakaf produktif, maka itu akan menjadikan manfaat sebuah wakaf menjadi lebih luas jangkauannya dan lebih lama eksistensinya. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara. (Yaitu), sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh” (HR. Muslim no. 1631) Wakaf produktif adalah salah satu opsi terbaik dan kesempatan yang bisa kita usahakan untuk mendapatkan pahala mengalir setelah kita meninggal dunia. Karena wakaf produktif merupakan salah satu bentuk sedekah jariyah yang kemungkinan memiliki eksistensi paling lama. Perlu kita ketahui bersama, meskipun wakaf produktif ini diperbolehkan, namun ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sehingga wakaf tersebut boleh dilakukan dan sesuai dengan aturan syariat kita. Syarat-syarat wakaf produktif Pertama: Hati-hati dan penuh antisipasi di dalam melaksanakannya. Serta mencari dan mempersiapkan jaminan-jaminan yang diperbolehkan oleh syariat. Karena sejatinya nazhir wakaf adalah orang yang sedang diberikan amanah yang besar. Oleh karena itu, hendaknya dirinya menjalankan amanah tersebut dengan sebenar-benarnya. Tidak neko-neko dan sembarangan di dalam mengelolanya. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ : إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ “Tanda orang yang munafik ada tiga: (1) apabila berbicara, berdusta; (2) apabila berjanji, ia mangkir; dan (3) apabila diberi amanat, dia berkhianat.” (HR. Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59) Kedua: Memanfaatkan cara-cara terbaru dan efisien serta komponen-komponen yang mengikuti perkembangan zaman. Serta menyerahkannya kepada orang-orang yang kompeten di bidangnya. Karena ada ancaman bagi siapa saja yang asal-asalan di dalam memberikan amanat kepada seseorang yang bukan ahlinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ “Apabila amanah sudah hilang, maka tunggulah terjadinya kiamat.” Orang itu (Arab Badui) bertanya, “Bagaimana hilangnya amanat itu?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat.” (HR. Bukhari no. 59) Ketiga: Perencanaan yang matang dan pengawasan yang menyeluruh dalam prosesnya. Keempat: Memperhatikan fikih prioritas serta tingkatan-tingkatan konsekuensi dalam berbagai bentuk pengembangan dan pengelolaan harta wakaf yang akan dilakukan. Serta membatasi muamalah dan kerjasama hanya pada bank-bank syariah serta perusahan-perusahaan terpercaya. Karena tidak jarang sebuah objek wakaf dikembangkan melalui kerjasama dengan lembaga keuangan dan bank-bank ribawi atau dipasrahkan kepada perusahaan-perusahaan yang kurang kredibel. Padahal, di dalam hadis yang sahih, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam menuturkan ‘kunjungannya’ ke neraka, فَأَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ – حَسِبْتُ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ – أَحْمَرَ مِثْلِ الدَّمِ ، وَإِذَا فِى النَّهَرِ رَجُلٌ سَابِحٌ يَسْبَحُ ، وَإِذَا عَلَى شَطِّ النَّهَرِ رَجُلٌ قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ حِجَارَةً كَثِيرَةً ، وَإِذَا ذَلِكَ السَّابِحُ يَسْبَحُ مَا يَسْبَحُ ، ثُمَّ يَأْتِى ذَلِكَ الَّذِى قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ الْحِجَارَةَ فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا فَيَنْطَلِقُ يَسْبَحُ ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ ، كُلَّمَا رَجَعَ إِلَيْهِ فَغَرَ لَهُ فَاهُ فَأَلْقَمَهُ حَجَرًا – قَالَ – قُلْتُ لَهُمَا مَا هَذَانِ قَالَ قَالاَ لِى انْطَلِقِ انْطَلِقْ “Kami mendatangi sungai yang airnya merah seperti darah. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang yang berenang di dalamnya, dan di tepi sungai ada orang yang mengumpulkan batu banyak sekali. Lalu, orang yang berenang itu mendatangi orang yang telah mengumpulkan batu sembari membuka mulutnya dan orang yang mengumpulkan batu tadi akhirnya menyuapi batu ke dalam mulutnya. Orang yang berenang tersebut akhirnya pergi menjauh sambil berenang. Kemudian ia kembali lagi pada orang yang mengumpulkan batu. Setiap ia kembali, ia membuka mulutnya lantas disuapi batu ke dalam mulutnya. Aku berkata kepada keduanya, ‘Apa yang sedang mereka berdua lakukan?’ Mereka berdua berkata kepadaku, “Berangkatlah, berangkatlah.” Maka, kami pun berangkat.” Dalam lanjutan hadis disebutkan, وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِى أَتَيْتَ عَلَيْهِ يَسْبَحُ فِى النَّهَرِ وَيُلْقَمُ الْحَجَرَ ، فَإِنَّهُ آكِلُ الرِّبَا “Adapun orang yang datang dan berenang di sungai lalu disuapi batu, itulah pemakan riba.” (HR. Bukhari no. 7047) Jangan sampai niat baik seseorang untuk mengembangkan sebuah wakaf atau menjadikannya sebagai wakaf produksi sehingga memiliki kebermanfaatan lebih, rusak karena mengunakan bank-bank ribawi, sehingga harta wakafnya tercampur dengan riba. Dari sini juga dapat kita ketahui bahwa seorang nazhir seharusnya memiliki bekal ilmu yang mencukupi, terutama dalam hal fikih muamalah harta dan fikih prioritas. Sehingga harta yang dikelolanya tetap bersih dan jauh dari hal-hal yang dapat mengotorinya dan menodainya. Wallahu A’lam Bisshawab. Kembali ke bagian 7: Bolehkah Wakaf untuk Keluarga Sendiri? Lanjut ke bagian 9: [Bersambung] *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: wakaf
Daftar Isi Toggle Beberapa hal yang mendasari bolehnya wakaf produktifSyarat-syarat wakaf produktif Di antara bentuk keindahan fikih muamalah harta dan kekayaan adalah fleksibilitas dan pencakupannya yang menyesuaikan zaman dan tempat. Dalam hal wakaf misalnya, awalnya hanya dilakukan berdasarkan keinginan seseorang untuk berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya. Di mana seringnya dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun, setelah masyarakat Islam merasakan betapa besarnya manfaat lembaga wakaf, timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuklah lembaga-lembaga yang mengatur wakaf, mengelola, memelihara, dan menggunakan harta wakaf, baik untuk kepentingan umum seperti masjid atau untuk individu atau keluarga. Dalam hal pengelolaan harta wakaf, dahulu kala sangat jarang atau bahkan tidak ada inovasi dan kreativitas dalam pengelolaan dan pengembangannya. Tidak jarang kita dapati seorang nazhir yang menerima dan mendapatkan amanah lahan-lahan produktif seperti tanah sawah, ladang, kolam ikan tidak memaksimalkan pengelolaannya. Akibatnya, hasil yang diperoleh tidak banyak, bahkan tidak sedikit dari lahan-lahan ini yang kemudian terlantar atau tidak menghasilkan. Kemudian timbullah kesadaran dari nazhir bahwa tanah wakaf perlu dikelola dan dikembangkan secara produktif sehingga menghasilkan keuntungan yang dapat digunakan untuk pembangunan fasilitas-fasilitas umat dan operasionalnya, serta sebagai dana kesejahteraan ekonomi bagi para nazhir. Nazhir (pengelola wakaf) kemudian mengelola dan mengembangkan wakaf produktif, misalnya dengan mendirikan usaha-usaha atau wakaf produktif seperti toko kelontong, toko bangunan, toko buku, warung jajanan, penggilingan padi, dan sebagainya. Inilah sedikit sejarah permulaan terbentuknya istilah “Wakaf Produktif” dalam syariat kita. Secara ringkas wakaf produktif dimaknai dengan, “Harta benda atau pokok tetap yang diwakafkan untuk dipergunakan dalam kegiatan produksi dan hasilnya disalurkan sesuai dengan tujuan wakaf. Seperti wakaf tanah untuk digunakan bercocok tanam, mata air untuk dijual airnya, dan lain–lain.” Wakaf produksi juga dapat didefinisikan dengan harta yang digunakan untuk kepentingan produksi, baik di bidang pertanian, perindustrian, perdagangan, dan jasa yang manfaatnya bukan pada benda wakaf secara langsung, tetapi dari keuntungan bersih hasil pengembangan wakaf yang diberikan kepada orang-orang yang berhak sesuai dangan tujuan wakaf. (Sumber: Situs resmi Badan Wakaf Indonesia, bwi.go.id) Di masa sekarang, wakaf tidak khusus diperuntukkan bagi orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan, dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru, dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat untuk melaksanakan dan mengamalkan ibadah harta berupa wakaf ini semua kembali pada satu tujuan yang mulia, yaitu membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat. Beberapa hal yang mendasari bolehnya wakaf produktif Pertama: Syariat Islam sangat mempertimbangkan kemaslahatan. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Syekh As-Sa’di rahimahullah di dalam kitabnya Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, di mana beliau mengatakan, الدِّينُ مَبنِيٌّ عَلَى المَصَالِحِ * فِي جَلبِهَا والدَّرءِ لِلقَبَائِحِ “Ajaran Islam dibangun di atas maslahat. Ajaran tersebut mengandung maslahat dan menolak mudarat (bahaya).” Saat melihat adanya kebutuhan untuk menjadikan sebuah wakaf sebagai wakaf produktif, maka para ulama melihat adanya kemaslahatan di dalamnya. Selama di dalam prosesnya tidak ada hal-hal yang menyelisihi syariat, maka hal tersebut diperbolehkan atau bahkan dianjurkan. Kedua: Dengan menjadikan sebuah wakaf sebagai wakaf produktif, maka itu akan menjadikan manfaat sebuah wakaf menjadi lebih luas jangkauannya dan lebih lama eksistensinya. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara. (Yaitu), sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh” (HR. Muslim no. 1631) Wakaf produktif adalah salah satu opsi terbaik dan kesempatan yang bisa kita usahakan untuk mendapatkan pahala mengalir setelah kita meninggal dunia. Karena wakaf produktif merupakan salah satu bentuk sedekah jariyah yang kemungkinan memiliki eksistensi paling lama. Perlu kita ketahui bersama, meskipun wakaf produktif ini diperbolehkan, namun ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sehingga wakaf tersebut boleh dilakukan dan sesuai dengan aturan syariat kita. Syarat-syarat wakaf produktif Pertama: Hati-hati dan penuh antisipasi di dalam melaksanakannya. Serta mencari dan mempersiapkan jaminan-jaminan yang diperbolehkan oleh syariat. Karena sejatinya nazhir wakaf adalah orang yang sedang diberikan amanah yang besar. Oleh karena itu, hendaknya dirinya menjalankan amanah tersebut dengan sebenar-benarnya. Tidak neko-neko dan sembarangan di dalam mengelolanya. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ : إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ “Tanda orang yang munafik ada tiga: (1) apabila berbicara, berdusta; (2) apabila berjanji, ia mangkir; dan (3) apabila diberi amanat, dia berkhianat.” (HR. Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59) Kedua: Memanfaatkan cara-cara terbaru dan efisien serta komponen-komponen yang mengikuti perkembangan zaman. Serta menyerahkannya kepada orang-orang yang kompeten di bidangnya. Karena ada ancaman bagi siapa saja yang asal-asalan di dalam memberikan amanat kepada seseorang yang bukan ahlinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ “Apabila amanah sudah hilang, maka tunggulah terjadinya kiamat.” Orang itu (Arab Badui) bertanya, “Bagaimana hilangnya amanat itu?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat.” (HR. Bukhari no. 59) Ketiga: Perencanaan yang matang dan pengawasan yang menyeluruh dalam prosesnya. Keempat: Memperhatikan fikih prioritas serta tingkatan-tingkatan konsekuensi dalam berbagai bentuk pengembangan dan pengelolaan harta wakaf yang akan dilakukan. Serta membatasi muamalah dan kerjasama hanya pada bank-bank syariah serta perusahan-perusahaan terpercaya. Karena tidak jarang sebuah objek wakaf dikembangkan melalui kerjasama dengan lembaga keuangan dan bank-bank ribawi atau dipasrahkan kepada perusahaan-perusahaan yang kurang kredibel. Padahal, di dalam hadis yang sahih, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam menuturkan ‘kunjungannya’ ke neraka, فَأَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ – حَسِبْتُ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ – أَحْمَرَ مِثْلِ الدَّمِ ، وَإِذَا فِى النَّهَرِ رَجُلٌ سَابِحٌ يَسْبَحُ ، وَإِذَا عَلَى شَطِّ النَّهَرِ رَجُلٌ قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ حِجَارَةً كَثِيرَةً ، وَإِذَا ذَلِكَ السَّابِحُ يَسْبَحُ مَا يَسْبَحُ ، ثُمَّ يَأْتِى ذَلِكَ الَّذِى قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ الْحِجَارَةَ فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا فَيَنْطَلِقُ يَسْبَحُ ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ ، كُلَّمَا رَجَعَ إِلَيْهِ فَغَرَ لَهُ فَاهُ فَأَلْقَمَهُ حَجَرًا – قَالَ – قُلْتُ لَهُمَا مَا هَذَانِ قَالَ قَالاَ لِى انْطَلِقِ انْطَلِقْ “Kami mendatangi sungai yang airnya merah seperti darah. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang yang berenang di dalamnya, dan di tepi sungai ada orang yang mengumpulkan batu banyak sekali. Lalu, orang yang berenang itu mendatangi orang yang telah mengumpulkan batu sembari membuka mulutnya dan orang yang mengumpulkan batu tadi akhirnya menyuapi batu ke dalam mulutnya. Orang yang berenang tersebut akhirnya pergi menjauh sambil berenang. Kemudian ia kembali lagi pada orang yang mengumpulkan batu. Setiap ia kembali, ia membuka mulutnya lantas disuapi batu ke dalam mulutnya. Aku berkata kepada keduanya, ‘Apa yang sedang mereka berdua lakukan?’ Mereka berdua berkata kepadaku, “Berangkatlah, berangkatlah.” Maka, kami pun berangkat.” Dalam lanjutan hadis disebutkan, وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِى أَتَيْتَ عَلَيْهِ يَسْبَحُ فِى النَّهَرِ وَيُلْقَمُ الْحَجَرَ ، فَإِنَّهُ آكِلُ الرِّبَا “Adapun orang yang datang dan berenang di sungai lalu disuapi batu, itulah pemakan riba.” (HR. Bukhari no. 7047) Jangan sampai niat baik seseorang untuk mengembangkan sebuah wakaf atau menjadikannya sebagai wakaf produksi sehingga memiliki kebermanfaatan lebih, rusak karena mengunakan bank-bank ribawi, sehingga harta wakafnya tercampur dengan riba. Dari sini juga dapat kita ketahui bahwa seorang nazhir seharusnya memiliki bekal ilmu yang mencukupi, terutama dalam hal fikih muamalah harta dan fikih prioritas. Sehingga harta yang dikelolanya tetap bersih dan jauh dari hal-hal yang dapat mengotorinya dan menodainya. Wallahu A’lam Bisshawab. Kembali ke bagian 7: Bolehkah Wakaf untuk Keluarga Sendiri? Lanjut ke bagian 9: [Bersambung] *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: wakaf


Daftar Isi Toggle Beberapa hal yang mendasari bolehnya wakaf produktifSyarat-syarat wakaf produktif Di antara bentuk keindahan fikih muamalah harta dan kekayaan adalah fleksibilitas dan pencakupannya yang menyesuaikan zaman dan tempat. Dalam hal wakaf misalnya, awalnya hanya dilakukan berdasarkan keinginan seseorang untuk berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya. Di mana seringnya dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun, setelah masyarakat Islam merasakan betapa besarnya manfaat lembaga wakaf, timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuklah lembaga-lembaga yang mengatur wakaf, mengelola, memelihara, dan menggunakan harta wakaf, baik untuk kepentingan umum seperti masjid atau untuk individu atau keluarga. Dalam hal pengelolaan harta wakaf, dahulu kala sangat jarang atau bahkan tidak ada inovasi dan kreativitas dalam pengelolaan dan pengembangannya. Tidak jarang kita dapati seorang nazhir yang menerima dan mendapatkan amanah lahan-lahan produktif seperti tanah sawah, ladang, kolam ikan tidak memaksimalkan pengelolaannya. Akibatnya, hasil yang diperoleh tidak banyak, bahkan tidak sedikit dari lahan-lahan ini yang kemudian terlantar atau tidak menghasilkan. Kemudian timbullah kesadaran dari nazhir bahwa tanah wakaf perlu dikelola dan dikembangkan secara produktif sehingga menghasilkan keuntungan yang dapat digunakan untuk pembangunan fasilitas-fasilitas umat dan operasionalnya, serta sebagai dana kesejahteraan ekonomi bagi para nazhir. Nazhir (pengelola wakaf) kemudian mengelola dan mengembangkan wakaf produktif, misalnya dengan mendirikan usaha-usaha atau wakaf produktif seperti toko kelontong, toko bangunan, toko buku, warung jajanan, penggilingan padi, dan sebagainya. Inilah sedikit sejarah permulaan terbentuknya istilah “Wakaf Produktif” dalam syariat kita. Secara ringkas wakaf produktif dimaknai dengan, “Harta benda atau pokok tetap yang diwakafkan untuk dipergunakan dalam kegiatan produksi dan hasilnya disalurkan sesuai dengan tujuan wakaf. Seperti wakaf tanah untuk digunakan bercocok tanam, mata air untuk dijual airnya, dan lain–lain.” Wakaf produksi juga dapat didefinisikan dengan harta yang digunakan untuk kepentingan produksi, baik di bidang pertanian, perindustrian, perdagangan, dan jasa yang manfaatnya bukan pada benda wakaf secara langsung, tetapi dari keuntungan bersih hasil pengembangan wakaf yang diberikan kepada orang-orang yang berhak sesuai dangan tujuan wakaf. (Sumber: Situs resmi Badan Wakaf Indonesia, bwi.go.id) Di masa sekarang, wakaf tidak khusus diperuntukkan bagi orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan, dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru, dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat untuk melaksanakan dan mengamalkan ibadah harta berupa wakaf ini semua kembali pada satu tujuan yang mulia, yaitu membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat. Beberapa hal yang mendasari bolehnya wakaf produktif Pertama: Syariat Islam sangat mempertimbangkan kemaslahatan. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Syekh As-Sa’di rahimahullah di dalam kitabnya Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, di mana beliau mengatakan, الدِّينُ مَبنِيٌّ عَلَى المَصَالِحِ * فِي جَلبِهَا والدَّرءِ لِلقَبَائِحِ “Ajaran Islam dibangun di atas maslahat. Ajaran tersebut mengandung maslahat dan menolak mudarat (bahaya).” Saat melihat adanya kebutuhan untuk menjadikan sebuah wakaf sebagai wakaf produktif, maka para ulama melihat adanya kemaslahatan di dalamnya. Selama di dalam prosesnya tidak ada hal-hal yang menyelisihi syariat, maka hal tersebut diperbolehkan atau bahkan dianjurkan. Kedua: Dengan menjadikan sebuah wakaf sebagai wakaf produktif, maka itu akan menjadikan manfaat sebuah wakaf menjadi lebih luas jangkauannya dan lebih lama eksistensinya. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara. (Yaitu), sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh” (HR. Muslim no. 1631) Wakaf produktif adalah salah satu opsi terbaik dan kesempatan yang bisa kita usahakan untuk mendapatkan pahala mengalir setelah kita meninggal dunia. Karena wakaf produktif merupakan salah satu bentuk sedekah jariyah yang kemungkinan memiliki eksistensi paling lama. Perlu kita ketahui bersama, meskipun wakaf produktif ini diperbolehkan, namun ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sehingga wakaf tersebut boleh dilakukan dan sesuai dengan aturan syariat kita. Syarat-syarat wakaf produktif Pertama: Hati-hati dan penuh antisipasi di dalam melaksanakannya. Serta mencari dan mempersiapkan jaminan-jaminan yang diperbolehkan oleh syariat. Karena sejatinya nazhir wakaf adalah orang yang sedang diberikan amanah yang besar. Oleh karena itu, hendaknya dirinya menjalankan amanah tersebut dengan sebenar-benarnya. Tidak neko-neko dan sembarangan di dalam mengelolanya. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ : إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ “Tanda orang yang munafik ada tiga: (1) apabila berbicara, berdusta; (2) apabila berjanji, ia mangkir; dan (3) apabila diberi amanat, dia berkhianat.” (HR. Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59) Kedua: Memanfaatkan cara-cara terbaru dan efisien serta komponen-komponen yang mengikuti perkembangan zaman. Serta menyerahkannya kepada orang-orang yang kompeten di bidangnya. Karena ada ancaman bagi siapa saja yang asal-asalan di dalam memberikan amanat kepada seseorang yang bukan ahlinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ “Apabila amanah sudah hilang, maka tunggulah terjadinya kiamat.” Orang itu (Arab Badui) bertanya, “Bagaimana hilangnya amanat itu?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat.” (HR. Bukhari no. 59) Ketiga: Perencanaan yang matang dan pengawasan yang menyeluruh dalam prosesnya. Keempat: Memperhatikan fikih prioritas serta tingkatan-tingkatan konsekuensi dalam berbagai bentuk pengembangan dan pengelolaan harta wakaf yang akan dilakukan. Serta membatasi muamalah dan kerjasama hanya pada bank-bank syariah serta perusahan-perusahaan terpercaya. Karena tidak jarang sebuah objek wakaf dikembangkan melalui kerjasama dengan lembaga keuangan dan bank-bank ribawi atau dipasrahkan kepada perusahaan-perusahaan yang kurang kredibel. Padahal, di dalam hadis yang sahih, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam menuturkan ‘kunjungannya’ ke neraka, فَأَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ – حَسِبْتُ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ – أَحْمَرَ مِثْلِ الدَّمِ ، وَإِذَا فِى النَّهَرِ رَجُلٌ سَابِحٌ يَسْبَحُ ، وَإِذَا عَلَى شَطِّ النَّهَرِ رَجُلٌ قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ حِجَارَةً كَثِيرَةً ، وَإِذَا ذَلِكَ السَّابِحُ يَسْبَحُ مَا يَسْبَحُ ، ثُمَّ يَأْتِى ذَلِكَ الَّذِى قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ الْحِجَارَةَ فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا فَيَنْطَلِقُ يَسْبَحُ ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ ، كُلَّمَا رَجَعَ إِلَيْهِ فَغَرَ لَهُ فَاهُ فَأَلْقَمَهُ حَجَرًا – قَالَ – قُلْتُ لَهُمَا مَا هَذَانِ قَالَ قَالاَ لِى انْطَلِقِ انْطَلِقْ “Kami mendatangi sungai yang airnya merah seperti darah. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang yang berenang di dalamnya, dan di tepi sungai ada orang yang mengumpulkan batu banyak sekali. Lalu, orang yang berenang itu mendatangi orang yang telah mengumpulkan batu sembari membuka mulutnya dan orang yang mengumpulkan batu tadi akhirnya menyuapi batu ke dalam mulutnya. Orang yang berenang tersebut akhirnya pergi menjauh sambil berenang. Kemudian ia kembali lagi pada orang yang mengumpulkan batu. Setiap ia kembali, ia membuka mulutnya lantas disuapi batu ke dalam mulutnya. Aku berkata kepada keduanya, ‘Apa yang sedang mereka berdua lakukan?’ Mereka berdua berkata kepadaku, “Berangkatlah, berangkatlah.” Maka, kami pun berangkat.” Dalam lanjutan hadis disebutkan, وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِى أَتَيْتَ عَلَيْهِ يَسْبَحُ فِى النَّهَرِ وَيُلْقَمُ الْحَجَرَ ، فَإِنَّهُ آكِلُ الرِّبَا “Adapun orang yang datang dan berenang di sungai lalu disuapi batu, itulah pemakan riba.” (HR. Bukhari no. 7047) Jangan sampai niat baik seseorang untuk mengembangkan sebuah wakaf atau menjadikannya sebagai wakaf produksi sehingga memiliki kebermanfaatan lebih, rusak karena mengunakan bank-bank ribawi, sehingga harta wakafnya tercampur dengan riba. Dari sini juga dapat kita ketahui bahwa seorang nazhir seharusnya memiliki bekal ilmu yang mencukupi, terutama dalam hal fikih muamalah harta dan fikih prioritas. Sehingga harta yang dikelolanya tetap bersih dan jauh dari hal-hal yang dapat mengotorinya dan menodainya. Wallahu A’lam Bisshawab. Kembali ke bagian 7: Bolehkah Wakaf untuk Keluarga Sendiri? Lanjut ke bagian 9: [Bersambung] *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: wakaf

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 9): Fi’il Mudhari (2)

Ibnu Hisyam mengatakan, وَيُسَكَّنُ آخِرُهُ مَعَ نُوْنِ النِسْوَةِ “Huruf terakhir fi’il mudhari’ disukun, apabila bersambung dengan nun niswah.” Contohnya adalah: يَتَرَبَّصْنَ “Hendaklah mereka (perempuan) menahan diri.” (QS. Al-Baqarah: 228) إِلَّا أَنْ يَّعْفُوْنَ “Kecuali mereka memaafkan (membebaskan).” (QS. Al-Baqarah: 237) وَيُفْتَحُ مَعَ نُوْنِ التَّوْكِيْدِ المُبَاشِرَةِ لَفْظًا وَتَقْدِيْرًا “Huruf terakhir asli dari fi’il tersebut diberi harakat fathah jika bersambung dengan nun taukid yang mubasyirah lafzhan atau taqdiran.” Contohnya adalah: لَيُنْبَذَنَّ “Sungguh dia akan dilemparkan…” (QS. Al-Humazah: 4) وَيُعْرَبُ فِيْمَا عَدَا ذَالِكَ “Apabila fi’il mudhari’nya selain yang dua hal tersebut, (yaitu tidak bersambung nun niswah dan tidak bersambung dengan nun taukid), maka fi’il mudhari’ tersebut dii’rab atau bisa berubah.” Contohnya adalah: يَقُوْمُ زَيْدٌ “Zaid sedang berdiri.” Pada kata يَقُوْمُ , diberi harakat damah pada huruf terakhirnya. Contoh lainnya pada potongan firman Allah, وَلَا تَتَّبِعَآنِّ “Janganlah kalian berdua mengikuti.” (QS. Yunus: 89) لَتُبْلَوُنَّ “Kamu benar-benar akan diuji…” (QS. Ali-Imran: 186) فَإِمَّا تَرَيِنَّ “Kamu benar-benar akan melihatnya…” (QS. Maryam: 26) وَلَا يَصُدُّنَّكَ “Dan janganlah dia sampai menghalang-halangi kamu…” (QS. Al-Qashash: 87) Contoh-contoh di atas adalah pembahasan kedua dari fi’il mudhari’. Yaitu, pembahasan tentang hukum keadaan huruf terakhir dari fi’il mudhari’. Fi’il mudhari’ tersebut ada dua keadaan. Yaitu mabni dan mu’rab. Fi’il mudhari’ ini berbeda dengan fi’il madhi dan amr. Karena fi’il madhi dan fi’il amr tersebut selalu mabni. Fi’il mudhari’ mabni dengan dua keadaan: Pertama, bersambung dengan nun niswah, maka mabni dengan tanda sukun. Contohnya adalah: الْأُمَّهَاتُ الْعَاقَلَاتُ يُهَذِّبْنَ أَوْلَادَهُنَّ “Ibu-ibu yang cerdas akan mengajari anak-anak mereka.” Kata يُهَذِّبْنَ adalah  fi’il mudhari’ mabni dengan tanda sukun, yaitu tepatnya di huruf ب. Adapun nun inats tersebut adalah dhamir muttashil mabni dengan tanda fathah di tempat kedudukan rafa’ sebagai fa’il. Contohnya dalam firman Allah, وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ “Para istri yang diceraikan, wajib mereka menahan diri…” (QS. Al-Baqarah: 228) إِلَّا أَنْ يَّعْفُوْنَ “Kecuali mereka memaafkan (membebaskan)…” (QS  Al-Baqarah: 237) Maka, kata يَّعْفُوْنَ adalah  fi’il mudhari’ mabni dengan tanda sukun di tempat kedudukan manshub karena didahului huruf أَنْ, adapun nun inats tersebut adalah fa’il. Kedua, bersambung dengan nun taukid secara mubasyirah lafzhan atau taqdiran. Mubasyirah lafzhan maksudnya adalah ada pemisah antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid secara jelas atau konkret. Adapun taqdiran maksudnya adalah tidak ada pemisah antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid (secara tidak jelas atau abstrak(. Indikator fi’il mudhari’ tersebut mabni atau mu’rab adalah apabila fi’il mudhari’-nya tersebut marfu’ dengan tanda damah sebelum bersambung dengan nun taukid, nun taukid-nya tersebut dikatakan nun taukid mubasyirah. Oleh karena itu, fi’il mudhari’ tersebut tergolong  fi’il mudhari’ yang mabni. Akan tetapi, apabila fi’il mudhari’ tersebut marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) karena bersambung dengan alif yang menunjukkan ganda, wawu jama’ah yang menunjukkan banyak,  ya’ mukhathabah yang menunjukkan pelakunya 1 orang perempuan yang sedang diajak berbicara, nun taukid tersebut dikatakan nun taukid yang tidak bersambung secara langsung, maka fi’il mudhari’-nya tersebut tergolong  fi’il mudhari’ yang mu’rab. Contohnya adalah: أَسْمَعُ “Aku sedang mendengar.” Fi’il mudhari’ di atas marfu’ dengan tanda damah. Contoh apabila bersambung dengan nun taukid adalah: والله لَأَسْمَعَنَّ النَّصِيْحَةَ “Demi Allah, aku akan mendengarkan nasihat tersebut.” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il mudhari’ yang bersambung nun taukid mubasyirah atau tidak ada pemisah fi’il mudhari’ tersebut dengan nun taukid baik secara lafzhan atau taqdiran. Kata tersebut mabni dengan tanda fathah karena bersambung dengan nun taukid yang tidak ada pemisah di antara fi’il mudhari’ tersebut dengan nun taukid. Contoh dalam firman Allah, كَلَّا لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ “Sekali-kali tidak, sungguh dia akan dilemparkan dalam (neraka) Huthamah.” (QS. Al-Humazah: 4) Kata كَلَّا adalah huruf yang artinya menghalangi, yang bermaksud sekali-kali tidak. Adapun huruf lam (ل)  yang bersambung dengan fi’il mudhari’ di atas adalah sebagai penegas kalimat dan muncul sebagai jawab sumpah yang dihapus. Kemudian fi’il mudhari’ majhul يُنْبَذَنّ mabni dengan tanda fathah karena bersambung dengan nun taukid dan naibul fail-nya berupa dhamir mustatir هُوَ. Contoh fi’il mudhari’ yang marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) karena bersambung dengan alif yang menunjukkan ganda adalah: تُكْثَرَانِ Apabila nun taukid bersambung dengan fi’il di atas, contohnya adalah: لَا تُكْثِرَانِّ مِنَ الضَحِكِ “Janganlah kalian berdua banyak tertawa.” Maka, fi’il mudhari’ di atas tidak bersambung secara langsung dengan nun taukid karena di antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid tersebut terdapat pemisah, yaitu alif yang menunjukkan ganda. Pemisah tersebut disebut pemisah yang mubasyirah lafzhan (jelas atau konkrit). Contoh dari firman Allah adalah: وَلَا تَتَّبِعَآنِّ سَبِيْلَ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ “Janganlah kalian berdua mengikuti jalan-jalan orang yang tidak berilmu.” (QS. Yunus: 89) Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il mudhari’. Pada asalnya fi’il tersebut marfu’ dengan tanda nun muqaddarah (abstrak) karena adanya 3 huruf nun yang berturut-turut dan bersambung dengan alif yang menunjukkan ganda. Nun taukid di sana termasuk nun taukid ghair mubasyirah (yang tidak bersambung secara langsung dengan huruf asli fi’il mudhari’). Pemisah antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid tersebut adalah alif yang menunjukkan ganda. Oleh karena itu, fi’il mudhari’ tersebut termasuk fi’il mudhari’ yang mu’rab. Adapun huruf لاَ di sana adalah huruf nahiyah (menunjukkan melarang). Fi’il mudhari’ تَتَّبِعَآنِّ  tersebut majzum karena didahului huruf laa (لا) , majzum dengan tanda hazf nun (menghapus huruf nun) dikarenakan termasuk fi’il amstilatul khamsah (fi’il yang 5). Adapun huruf alif (ا) yang terletak setelah huruf ‘ain  (ع) pada fi’il tersebut adalah fa’il. Nun taukid tersebut mabni dengan tanda kasrah dan tidak mempunyai kedudukan di dalam kalimat. Kembali ke bagian 8: Fi’il Mudhari (1) Lanjut ke bagian 10: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 9): Fi’il Mudhari (2)

Ibnu Hisyam mengatakan, وَيُسَكَّنُ آخِرُهُ مَعَ نُوْنِ النِسْوَةِ “Huruf terakhir fi’il mudhari’ disukun, apabila bersambung dengan nun niswah.” Contohnya adalah: يَتَرَبَّصْنَ “Hendaklah mereka (perempuan) menahan diri.” (QS. Al-Baqarah: 228) إِلَّا أَنْ يَّعْفُوْنَ “Kecuali mereka memaafkan (membebaskan).” (QS. Al-Baqarah: 237) وَيُفْتَحُ مَعَ نُوْنِ التَّوْكِيْدِ المُبَاشِرَةِ لَفْظًا وَتَقْدِيْرًا “Huruf terakhir asli dari fi’il tersebut diberi harakat fathah jika bersambung dengan nun taukid yang mubasyirah lafzhan atau taqdiran.” Contohnya adalah: لَيُنْبَذَنَّ “Sungguh dia akan dilemparkan…” (QS. Al-Humazah: 4) وَيُعْرَبُ فِيْمَا عَدَا ذَالِكَ “Apabila fi’il mudhari’nya selain yang dua hal tersebut, (yaitu tidak bersambung nun niswah dan tidak bersambung dengan nun taukid), maka fi’il mudhari’ tersebut dii’rab atau bisa berubah.” Contohnya adalah: يَقُوْمُ زَيْدٌ “Zaid sedang berdiri.” Pada kata يَقُوْمُ , diberi harakat damah pada huruf terakhirnya. Contoh lainnya pada potongan firman Allah, وَلَا تَتَّبِعَآنِّ “Janganlah kalian berdua mengikuti.” (QS. Yunus: 89) لَتُبْلَوُنَّ “Kamu benar-benar akan diuji…” (QS. Ali-Imran: 186) فَإِمَّا تَرَيِنَّ “Kamu benar-benar akan melihatnya…” (QS. Maryam: 26) وَلَا يَصُدُّنَّكَ “Dan janganlah dia sampai menghalang-halangi kamu…” (QS. Al-Qashash: 87) Contoh-contoh di atas adalah pembahasan kedua dari fi’il mudhari’. Yaitu, pembahasan tentang hukum keadaan huruf terakhir dari fi’il mudhari’. Fi’il mudhari’ tersebut ada dua keadaan. Yaitu mabni dan mu’rab. Fi’il mudhari’ ini berbeda dengan fi’il madhi dan amr. Karena fi’il madhi dan fi’il amr tersebut selalu mabni. Fi’il mudhari’ mabni dengan dua keadaan: Pertama, bersambung dengan nun niswah, maka mabni dengan tanda sukun. Contohnya adalah: الْأُمَّهَاتُ الْعَاقَلَاتُ يُهَذِّبْنَ أَوْلَادَهُنَّ “Ibu-ibu yang cerdas akan mengajari anak-anak mereka.” Kata يُهَذِّبْنَ adalah  fi’il mudhari’ mabni dengan tanda sukun, yaitu tepatnya di huruf ب. Adapun nun inats tersebut adalah dhamir muttashil mabni dengan tanda fathah di tempat kedudukan rafa’ sebagai fa’il. Contohnya dalam firman Allah, وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ “Para istri yang diceraikan, wajib mereka menahan diri…” (QS. Al-Baqarah: 228) إِلَّا أَنْ يَّعْفُوْنَ “Kecuali mereka memaafkan (membebaskan)…” (QS  Al-Baqarah: 237) Maka, kata يَّعْفُوْنَ adalah  fi’il mudhari’ mabni dengan tanda sukun di tempat kedudukan manshub karena didahului huruf أَنْ, adapun nun inats tersebut adalah fa’il. Kedua, bersambung dengan nun taukid secara mubasyirah lafzhan atau taqdiran. Mubasyirah lafzhan maksudnya adalah ada pemisah antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid secara jelas atau konkret. Adapun taqdiran maksudnya adalah tidak ada pemisah antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid (secara tidak jelas atau abstrak(. Indikator fi’il mudhari’ tersebut mabni atau mu’rab adalah apabila fi’il mudhari’-nya tersebut marfu’ dengan tanda damah sebelum bersambung dengan nun taukid, nun taukid-nya tersebut dikatakan nun taukid mubasyirah. Oleh karena itu, fi’il mudhari’ tersebut tergolong  fi’il mudhari’ yang mabni. Akan tetapi, apabila fi’il mudhari’ tersebut marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) karena bersambung dengan alif yang menunjukkan ganda, wawu jama’ah yang menunjukkan banyak,  ya’ mukhathabah yang menunjukkan pelakunya 1 orang perempuan yang sedang diajak berbicara, nun taukid tersebut dikatakan nun taukid yang tidak bersambung secara langsung, maka fi’il mudhari’-nya tersebut tergolong  fi’il mudhari’ yang mu’rab. Contohnya adalah: أَسْمَعُ “Aku sedang mendengar.” Fi’il mudhari’ di atas marfu’ dengan tanda damah. Contoh apabila bersambung dengan nun taukid adalah: والله لَأَسْمَعَنَّ النَّصِيْحَةَ “Demi Allah, aku akan mendengarkan nasihat tersebut.” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il mudhari’ yang bersambung nun taukid mubasyirah atau tidak ada pemisah fi’il mudhari’ tersebut dengan nun taukid baik secara lafzhan atau taqdiran. Kata tersebut mabni dengan tanda fathah karena bersambung dengan nun taukid yang tidak ada pemisah di antara fi’il mudhari’ tersebut dengan nun taukid. Contoh dalam firman Allah, كَلَّا لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ “Sekali-kali tidak, sungguh dia akan dilemparkan dalam (neraka) Huthamah.” (QS. Al-Humazah: 4) Kata كَلَّا adalah huruf yang artinya menghalangi, yang bermaksud sekali-kali tidak. Adapun huruf lam (ل)  yang bersambung dengan fi’il mudhari’ di atas adalah sebagai penegas kalimat dan muncul sebagai jawab sumpah yang dihapus. Kemudian fi’il mudhari’ majhul يُنْبَذَنّ mabni dengan tanda fathah karena bersambung dengan nun taukid dan naibul fail-nya berupa dhamir mustatir هُوَ. Contoh fi’il mudhari’ yang marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) karena bersambung dengan alif yang menunjukkan ganda adalah: تُكْثَرَانِ Apabila nun taukid bersambung dengan fi’il di atas, contohnya adalah: لَا تُكْثِرَانِّ مِنَ الضَحِكِ “Janganlah kalian berdua banyak tertawa.” Maka, fi’il mudhari’ di atas tidak bersambung secara langsung dengan nun taukid karena di antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid tersebut terdapat pemisah, yaitu alif yang menunjukkan ganda. Pemisah tersebut disebut pemisah yang mubasyirah lafzhan (jelas atau konkrit). Contoh dari firman Allah adalah: وَلَا تَتَّبِعَآنِّ سَبِيْلَ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ “Janganlah kalian berdua mengikuti jalan-jalan orang yang tidak berilmu.” (QS. Yunus: 89) Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il mudhari’. Pada asalnya fi’il tersebut marfu’ dengan tanda nun muqaddarah (abstrak) karena adanya 3 huruf nun yang berturut-turut dan bersambung dengan alif yang menunjukkan ganda. Nun taukid di sana termasuk nun taukid ghair mubasyirah (yang tidak bersambung secara langsung dengan huruf asli fi’il mudhari’). Pemisah antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid tersebut adalah alif yang menunjukkan ganda. Oleh karena itu, fi’il mudhari’ tersebut termasuk fi’il mudhari’ yang mu’rab. Adapun huruf لاَ di sana adalah huruf nahiyah (menunjukkan melarang). Fi’il mudhari’ تَتَّبِعَآنِّ  tersebut majzum karena didahului huruf laa (لا) , majzum dengan tanda hazf nun (menghapus huruf nun) dikarenakan termasuk fi’il amstilatul khamsah (fi’il yang 5). Adapun huruf alif (ا) yang terletak setelah huruf ‘ain  (ع) pada fi’il tersebut adalah fa’il. Nun taukid tersebut mabni dengan tanda kasrah dan tidak mempunyai kedudukan di dalam kalimat. Kembali ke bagian 8: Fi’il Mudhari (1) Lanjut ke bagian 10: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada
Ibnu Hisyam mengatakan, وَيُسَكَّنُ آخِرُهُ مَعَ نُوْنِ النِسْوَةِ “Huruf terakhir fi’il mudhari’ disukun, apabila bersambung dengan nun niswah.” Contohnya adalah: يَتَرَبَّصْنَ “Hendaklah mereka (perempuan) menahan diri.” (QS. Al-Baqarah: 228) إِلَّا أَنْ يَّعْفُوْنَ “Kecuali mereka memaafkan (membebaskan).” (QS. Al-Baqarah: 237) وَيُفْتَحُ مَعَ نُوْنِ التَّوْكِيْدِ المُبَاشِرَةِ لَفْظًا وَتَقْدِيْرًا “Huruf terakhir asli dari fi’il tersebut diberi harakat fathah jika bersambung dengan nun taukid yang mubasyirah lafzhan atau taqdiran.” Contohnya adalah: لَيُنْبَذَنَّ “Sungguh dia akan dilemparkan…” (QS. Al-Humazah: 4) وَيُعْرَبُ فِيْمَا عَدَا ذَالِكَ “Apabila fi’il mudhari’nya selain yang dua hal tersebut, (yaitu tidak bersambung nun niswah dan tidak bersambung dengan nun taukid), maka fi’il mudhari’ tersebut dii’rab atau bisa berubah.” Contohnya adalah: يَقُوْمُ زَيْدٌ “Zaid sedang berdiri.” Pada kata يَقُوْمُ , diberi harakat damah pada huruf terakhirnya. Contoh lainnya pada potongan firman Allah, وَلَا تَتَّبِعَآنِّ “Janganlah kalian berdua mengikuti.” (QS. Yunus: 89) لَتُبْلَوُنَّ “Kamu benar-benar akan diuji…” (QS. Ali-Imran: 186) فَإِمَّا تَرَيِنَّ “Kamu benar-benar akan melihatnya…” (QS. Maryam: 26) وَلَا يَصُدُّنَّكَ “Dan janganlah dia sampai menghalang-halangi kamu…” (QS. Al-Qashash: 87) Contoh-contoh di atas adalah pembahasan kedua dari fi’il mudhari’. Yaitu, pembahasan tentang hukum keadaan huruf terakhir dari fi’il mudhari’. Fi’il mudhari’ tersebut ada dua keadaan. Yaitu mabni dan mu’rab. Fi’il mudhari’ ini berbeda dengan fi’il madhi dan amr. Karena fi’il madhi dan fi’il amr tersebut selalu mabni. Fi’il mudhari’ mabni dengan dua keadaan: Pertama, bersambung dengan nun niswah, maka mabni dengan tanda sukun. Contohnya adalah: الْأُمَّهَاتُ الْعَاقَلَاتُ يُهَذِّبْنَ أَوْلَادَهُنَّ “Ibu-ibu yang cerdas akan mengajari anak-anak mereka.” Kata يُهَذِّبْنَ adalah  fi’il mudhari’ mabni dengan tanda sukun, yaitu tepatnya di huruf ب. Adapun nun inats tersebut adalah dhamir muttashil mabni dengan tanda fathah di tempat kedudukan rafa’ sebagai fa’il. Contohnya dalam firman Allah, وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ “Para istri yang diceraikan, wajib mereka menahan diri…” (QS. Al-Baqarah: 228) إِلَّا أَنْ يَّعْفُوْنَ “Kecuali mereka memaafkan (membebaskan)…” (QS  Al-Baqarah: 237) Maka, kata يَّعْفُوْنَ adalah  fi’il mudhari’ mabni dengan tanda sukun di tempat kedudukan manshub karena didahului huruf أَنْ, adapun nun inats tersebut adalah fa’il. Kedua, bersambung dengan nun taukid secara mubasyirah lafzhan atau taqdiran. Mubasyirah lafzhan maksudnya adalah ada pemisah antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid secara jelas atau konkret. Adapun taqdiran maksudnya adalah tidak ada pemisah antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid (secara tidak jelas atau abstrak(. Indikator fi’il mudhari’ tersebut mabni atau mu’rab adalah apabila fi’il mudhari’-nya tersebut marfu’ dengan tanda damah sebelum bersambung dengan nun taukid, nun taukid-nya tersebut dikatakan nun taukid mubasyirah. Oleh karena itu, fi’il mudhari’ tersebut tergolong  fi’il mudhari’ yang mabni. Akan tetapi, apabila fi’il mudhari’ tersebut marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) karena bersambung dengan alif yang menunjukkan ganda, wawu jama’ah yang menunjukkan banyak,  ya’ mukhathabah yang menunjukkan pelakunya 1 orang perempuan yang sedang diajak berbicara, nun taukid tersebut dikatakan nun taukid yang tidak bersambung secara langsung, maka fi’il mudhari’-nya tersebut tergolong  fi’il mudhari’ yang mu’rab. Contohnya adalah: أَسْمَعُ “Aku sedang mendengar.” Fi’il mudhari’ di atas marfu’ dengan tanda damah. Contoh apabila bersambung dengan nun taukid adalah: والله لَأَسْمَعَنَّ النَّصِيْحَةَ “Demi Allah, aku akan mendengarkan nasihat tersebut.” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il mudhari’ yang bersambung nun taukid mubasyirah atau tidak ada pemisah fi’il mudhari’ tersebut dengan nun taukid baik secara lafzhan atau taqdiran. Kata tersebut mabni dengan tanda fathah karena bersambung dengan nun taukid yang tidak ada pemisah di antara fi’il mudhari’ tersebut dengan nun taukid. Contoh dalam firman Allah, كَلَّا لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ “Sekali-kali tidak, sungguh dia akan dilemparkan dalam (neraka) Huthamah.” (QS. Al-Humazah: 4) Kata كَلَّا adalah huruf yang artinya menghalangi, yang bermaksud sekali-kali tidak. Adapun huruf lam (ل)  yang bersambung dengan fi’il mudhari’ di atas adalah sebagai penegas kalimat dan muncul sebagai jawab sumpah yang dihapus. Kemudian fi’il mudhari’ majhul يُنْبَذَنّ mabni dengan tanda fathah karena bersambung dengan nun taukid dan naibul fail-nya berupa dhamir mustatir هُوَ. Contoh fi’il mudhari’ yang marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) karena bersambung dengan alif yang menunjukkan ganda adalah: تُكْثَرَانِ Apabila nun taukid bersambung dengan fi’il di atas, contohnya adalah: لَا تُكْثِرَانِّ مِنَ الضَحِكِ “Janganlah kalian berdua banyak tertawa.” Maka, fi’il mudhari’ di atas tidak bersambung secara langsung dengan nun taukid karena di antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid tersebut terdapat pemisah, yaitu alif yang menunjukkan ganda. Pemisah tersebut disebut pemisah yang mubasyirah lafzhan (jelas atau konkrit). Contoh dari firman Allah adalah: وَلَا تَتَّبِعَآنِّ سَبِيْلَ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ “Janganlah kalian berdua mengikuti jalan-jalan orang yang tidak berilmu.” (QS. Yunus: 89) Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il mudhari’. Pada asalnya fi’il tersebut marfu’ dengan tanda nun muqaddarah (abstrak) karena adanya 3 huruf nun yang berturut-turut dan bersambung dengan alif yang menunjukkan ganda. Nun taukid di sana termasuk nun taukid ghair mubasyirah (yang tidak bersambung secara langsung dengan huruf asli fi’il mudhari’). Pemisah antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid tersebut adalah alif yang menunjukkan ganda. Oleh karena itu, fi’il mudhari’ tersebut termasuk fi’il mudhari’ yang mu’rab. Adapun huruf لاَ di sana adalah huruf nahiyah (menunjukkan melarang). Fi’il mudhari’ تَتَّبِعَآنِّ  tersebut majzum karena didahului huruf laa (لا) , majzum dengan tanda hazf nun (menghapus huruf nun) dikarenakan termasuk fi’il amstilatul khamsah (fi’il yang 5). Adapun huruf alif (ا) yang terletak setelah huruf ‘ain  (ع) pada fi’il tersebut adalah fa’il. Nun taukid tersebut mabni dengan tanda kasrah dan tidak mempunyai kedudukan di dalam kalimat. Kembali ke bagian 8: Fi’il Mudhari (1) Lanjut ke bagian 10: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada


Ibnu Hisyam mengatakan, وَيُسَكَّنُ آخِرُهُ مَعَ نُوْنِ النِسْوَةِ “Huruf terakhir fi’il mudhari’ disukun, apabila bersambung dengan nun niswah.” Contohnya adalah: يَتَرَبَّصْنَ “Hendaklah mereka (perempuan) menahan diri.” (QS. Al-Baqarah: 228) إِلَّا أَنْ يَّعْفُوْنَ “Kecuali mereka memaafkan (membebaskan).” (QS. Al-Baqarah: 237) وَيُفْتَحُ مَعَ نُوْنِ التَّوْكِيْدِ المُبَاشِرَةِ لَفْظًا وَتَقْدِيْرًا “Huruf terakhir asli dari fi’il tersebut diberi harakat fathah jika bersambung dengan nun taukid yang mubasyirah lafzhan atau taqdiran.” Contohnya adalah: لَيُنْبَذَنَّ “Sungguh dia akan dilemparkan…” (QS. Al-Humazah: 4) وَيُعْرَبُ فِيْمَا عَدَا ذَالِكَ “Apabila fi’il mudhari’nya selain yang dua hal tersebut, (yaitu tidak bersambung nun niswah dan tidak bersambung dengan nun taukid), maka fi’il mudhari’ tersebut dii’rab atau bisa berubah.” Contohnya adalah: يَقُوْمُ زَيْدٌ “Zaid sedang berdiri.” Pada kata يَقُوْمُ , diberi harakat damah pada huruf terakhirnya. Contoh lainnya pada potongan firman Allah, وَلَا تَتَّبِعَآنِّ “Janganlah kalian berdua mengikuti.” (QS. Yunus: 89) لَتُبْلَوُنَّ “Kamu benar-benar akan diuji…” (QS. Ali-Imran: 186) فَإِمَّا تَرَيِنَّ “Kamu benar-benar akan melihatnya…” (QS. Maryam: 26) وَلَا يَصُدُّنَّكَ “Dan janganlah dia sampai menghalang-halangi kamu…” (QS. Al-Qashash: 87) Contoh-contoh di atas adalah pembahasan kedua dari fi’il mudhari’. Yaitu, pembahasan tentang hukum keadaan huruf terakhir dari fi’il mudhari’. Fi’il mudhari’ tersebut ada dua keadaan. Yaitu mabni dan mu’rab. Fi’il mudhari’ ini berbeda dengan fi’il madhi dan amr. Karena fi’il madhi dan fi’il amr tersebut selalu mabni. Fi’il mudhari’ mabni dengan dua keadaan: Pertama, bersambung dengan nun niswah, maka mabni dengan tanda sukun. Contohnya adalah: الْأُمَّهَاتُ الْعَاقَلَاتُ يُهَذِّبْنَ أَوْلَادَهُنَّ “Ibu-ibu yang cerdas akan mengajari anak-anak mereka.” Kata يُهَذِّبْنَ adalah  fi’il mudhari’ mabni dengan tanda sukun, yaitu tepatnya di huruf ب. Adapun nun inats tersebut adalah dhamir muttashil mabni dengan tanda fathah di tempat kedudukan rafa’ sebagai fa’il. Contohnya dalam firman Allah, وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ “Para istri yang diceraikan, wajib mereka menahan diri…” (QS. Al-Baqarah: 228) إِلَّا أَنْ يَّعْفُوْنَ “Kecuali mereka memaafkan (membebaskan)…” (QS  Al-Baqarah: 237) Maka, kata يَّعْفُوْنَ adalah  fi’il mudhari’ mabni dengan tanda sukun di tempat kedudukan manshub karena didahului huruf أَنْ, adapun nun inats tersebut adalah fa’il. Kedua, bersambung dengan nun taukid secara mubasyirah lafzhan atau taqdiran. Mubasyirah lafzhan maksudnya adalah ada pemisah antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid secara jelas atau konkret. Adapun taqdiran maksudnya adalah tidak ada pemisah antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid (secara tidak jelas atau abstrak(. Indikator fi’il mudhari’ tersebut mabni atau mu’rab adalah apabila fi’il mudhari’-nya tersebut marfu’ dengan tanda damah sebelum bersambung dengan nun taukid, nun taukid-nya tersebut dikatakan nun taukid mubasyirah. Oleh karena itu, fi’il mudhari’ tersebut tergolong  fi’il mudhari’ yang mabni. Akan tetapi, apabila fi’il mudhari’ tersebut marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) karena bersambung dengan alif yang menunjukkan ganda, wawu jama’ah yang menunjukkan banyak,  ya’ mukhathabah yang menunjukkan pelakunya 1 orang perempuan yang sedang diajak berbicara, nun taukid tersebut dikatakan nun taukid yang tidak bersambung secara langsung, maka fi’il mudhari’-nya tersebut tergolong  fi’il mudhari’ yang mu’rab. Contohnya adalah: أَسْمَعُ “Aku sedang mendengar.” Fi’il mudhari’ di atas marfu’ dengan tanda damah. Contoh apabila bersambung dengan nun taukid adalah: والله لَأَسْمَعَنَّ النَّصِيْحَةَ “Demi Allah, aku akan mendengarkan nasihat tersebut.” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il mudhari’ yang bersambung nun taukid mubasyirah atau tidak ada pemisah fi’il mudhari’ tersebut dengan nun taukid baik secara lafzhan atau taqdiran. Kata tersebut mabni dengan tanda fathah karena bersambung dengan nun taukid yang tidak ada pemisah di antara fi’il mudhari’ tersebut dengan nun taukid. Contoh dalam firman Allah, كَلَّا لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ “Sekali-kali tidak, sungguh dia akan dilemparkan dalam (neraka) Huthamah.” (QS. Al-Humazah: 4) Kata كَلَّا adalah huruf yang artinya menghalangi, yang bermaksud sekali-kali tidak. Adapun huruf lam (ل)  yang bersambung dengan fi’il mudhari’ di atas adalah sebagai penegas kalimat dan muncul sebagai jawab sumpah yang dihapus. Kemudian fi’il mudhari’ majhul يُنْبَذَنّ mabni dengan tanda fathah karena bersambung dengan nun taukid dan naibul fail-nya berupa dhamir mustatir هُوَ. Contoh fi’il mudhari’ yang marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) karena bersambung dengan alif yang menunjukkan ganda adalah: تُكْثَرَانِ Apabila nun taukid bersambung dengan fi’il di atas, contohnya adalah: لَا تُكْثِرَانِّ مِنَ الضَحِكِ “Janganlah kalian berdua banyak tertawa.” Maka, fi’il mudhari’ di atas tidak bersambung secara langsung dengan nun taukid karena di antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid tersebut terdapat pemisah, yaitu alif yang menunjukkan ganda. Pemisah tersebut disebut pemisah yang mubasyirah lafzhan (jelas atau konkrit). Contoh dari firman Allah adalah: وَلَا تَتَّبِعَآنِّ سَبِيْلَ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ “Janganlah kalian berdua mengikuti jalan-jalan orang yang tidak berilmu.” (QS. Yunus: 89) Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il mudhari’. Pada asalnya fi’il tersebut marfu’ dengan tanda nun muqaddarah (abstrak) karena adanya 3 huruf nun yang berturut-turut dan bersambung dengan alif yang menunjukkan ganda. Nun taukid di sana termasuk nun taukid ghair mubasyirah (yang tidak bersambung secara langsung dengan huruf asli fi’il mudhari’). Pemisah antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid tersebut adalah alif yang menunjukkan ganda. Oleh karena itu, fi’il mudhari’ tersebut termasuk fi’il mudhari’ yang mu’rab. Adapun huruf لاَ di sana adalah huruf nahiyah (menunjukkan melarang). Fi’il mudhari’ تَتَّبِعَآنِّ  tersebut majzum karena didahului huruf laa (لا) , majzum dengan tanda hazf nun (menghapus huruf nun) dikarenakan termasuk fi’il amstilatul khamsah (fi’il yang 5). Adapun huruf alif (ا) yang terletak setelah huruf ‘ain  (ع) pada fi’il tersebut adalah fa’il. Nun taukid tersebut mabni dengan tanda kasrah dan tidak mempunyai kedudukan di dalam kalimat. Kembali ke bagian 8: Fi’il Mudhari (1) Lanjut ke bagian 10: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada
Prev     Next