Langkah Menyederhanakan Hati (Bag. 2)

Langkah kedua: Mensyukuri hal-hal kecil Boleh jadi, sebab lain (bukan satu-satunya) riuhnya pikiran hingga tidak tenangnya diri kita akhir-akhir ini berkaitan dengan rasa syukur yang sudah lama tak bersemi di dalam hati. Sibuk mengejar impian tinggi membuat kita luput dari menikmati, apalagi mensyukuri berbagai hal kecil yang juga layak dihargai. Banyak nikmat yang berlalu tanpa dirasa, seperti: nafas ringan, pencernaan lancar, negeri aman, dan terlalu banyak hal ‘sepele’ lainnya yang belum benar-benar kita nikmati dan syukuri selama ini. Padahal, ribuan tahun lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah bersabda mewanti-wanti,  مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ “Siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, tidak akan mensyukuri yang banyak.” [1] Syukur itu obat ketidakbahagiaan. Dengan syukur, kita bisa menghargai yang ada dan mengalihkan perhatian yang sudah begitu terkuras untuk hal-hal yang belum tentu bisa diraih. Syukur itu dapat menambah nikmat sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ “(Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, sungguh jika engkau bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras” (Q.S. Ibrahim: 7) Ketika kita mensyukuri sebuah hal, Allah akan tambahkan nikmat pada hal tersebut maupun berbagai nikmat lainnya. Ketika mensyukuri nikmat kesehatan, boleh jadi Allah akan tambahkan nikmat kekayaan, kemudahan, hingga ketenangan.  Bukankah ketenangan juga sebuah nikmat yang bernilai? Ketika kita mensyukuri nikmat-nikmat ‘kecil’, Allah akan berikan nikmat yang amat besar, yakni ketenangan hidup. Dan yang namanya bertambah, berarti nikmat yang telah ada akan terus terjaga. Syukur adalah cara untuk merawat yang ada, sembari menambah yang baru. Syukur adalah jalan untuk menikmati yang kecil, seraya menerima yang besar. Mari kita simak sejenak wasiat dari seorang alim yang sangat mengetahui hal ini, yaitu Umar bin Abdil Aziz rahimahullahu. Beliau berkata, قَيِّدُوا النِّعَمَ بِالشُّكْرِ “Ikatlah berbagai macam nikmat dengan kebersyukuran.” [2] Dengan demikian, sangatlah masuk akal jika dikatakan, “Semakin banyak angan, semakin banyak juga nikmat-nikmat ‘kecil’ yang perlu disyukuri. Semakin tinggi cita-cita yang ada, semakin tulus syukur yang mesti dimiliki. Semakin ramai harap dan cemas bergema di hati kita, makin serius pula syukur yang perlu diusahakan.” Syukur itu lebih dari sekedar ucapan manis yang sering kita ucapkan. Syukur itu bukan rasa terima kasih biasa, perlu ada hati yang tertaut di sana, yang mengakui dan tidak meremehkan nikmat yang didapat. Syukur juga diiringi pujian kepada Allah, Sang Pemberi Karunia. Tak hanya itu, jujurnya dua hal tadi akan terbuktikan dengan yang terpenting, yaitu memanfaatkannya dalam rangka taat kepada Allah Ta’ala, alih-alih bersikap tak tahu diri dengan menggunakan karunia itu untuk mendurhakai-Nya. Tatkala membicarakan syukur dengan lisan, lagi-lagi terlihat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mengajarkan untuk mensyukuri nikmat yang ‘kecil’. Beliau tak hanya mengajarkan syukur ketika mendapat nikmat besar yang jarang diraih, namun juga menuntun kita agar tidak melupakan nikmat yang dianggap remeh karena kita temui setiap hari. Ada pilihan untuk mengucap lafaz syukur yang ringkas, yaitu “Alhamdulillah”, seperti yang sering kita ucapkan ketika mendapat berbagai nikmat lainnya. Namun, dalam dua situasi ‘sepele’ berikut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam justru mengajarkan lafaz syukur khusus yang lebih rinci, yaitu ketika bagun tidur dan setelah makan. Beliau ajarkan doa bangun tidur, الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُورُ “Segala puji bagi Allah yang telah mengembalikan kehidupan, mematikan kami, dan hanya kepada-Nyalah kami kembali.” [3] Adapun setelah makan, beliau ajarkan doa, الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَطْعَمَنِيْ هَذَا وَرَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّيْ وَلَا قُوَّةٍ “Segala puji bagi Allah Yang memberi makan ini kepadaku dan Yang memberi rezeki kepadaku tanpa daya dan kekuatanku.” [4] Tatkala bangun tidur, alih-alih bersyukur sejenak untuk mengawali hari dengan bahagia, kita justru memilih untuk mempertaruhkan suasana hati di awal hari dengan membuka gadget. Padahal, kita tahu betul bahwa hari itu bisa jadi akan dibuka dengan dengan amarah atau kesedihan karena kabar yang didapat dari benda tersebut. Jangankan setelah makan, saat makan pun kita sudah sering lalai dari bersyukur. Kita sibuk mencari makanan yang lezat, namun ketika ia telah terhidang, menikmatinya dengan fokus saja tidak, apalagi mensyukurinya. Saat makan, pikiran dan hati kita ada di mana-mana, tidak sekejap pun mereka diberi waktu untuk beristirahat dari besarnya angan yang diharap cemas oleh hawa nafsu kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melalui kedua doa di atas mengajarkan kita untuk mensyukuri nikmat yang luar biasa berharga, yaitu nikmat melanjutkan hidup dan mempertahankannya. Selama ini, kita sering melupakan keduanya, padahal dari hidup itulah, awal mula semua angan kita. Orang mati tidak akan bisa terus bermimpi apalagi mewujudkannya. Orang hidup yang mati hatinya, ketika angannya tercapai pun tidak akan bisa berbahagia karenanya. Keduanya sama-sama menghilang dari peredaran sebelum sampai kepada tujuan akhirnya.  Tidak berhenti di lisan saja, tulusnya syukur dibuktikan dengan tubuh yang tidak menggunakan nikmat tersebut dalam perkara yang tidak disukai oleh Allah, namun memanfaatkannya dalam perkara yang diperkenankan dan dicintai oleh-Nya. Muhammad bin Ka’ab rahimahullahu mengatakan, الشكر: تقوى الله والعمل بطاعته “Syukur itu adalah ketakwaan kepada Allah dan beramal menaati-Nya.” [5] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,  من عرف النعمة، والمنعم, وأقر بها, و لم يجحدها, ولكن لم يخضع له، ولم يحبه،  ويرض به، وعنه: لم يشكره أيضا “Siapa saja yang menyadari nikmat dan Sang Pemberi nikmat tersebut, juga mengakui nikmat itu dan tidak mengingkarinya, namun ia tidak tunduk patuh kepada Allah, tidak pula mencintai dan rida kepada-Nya, maka ia juga tidak (dianggap) bersyukur kepada Allah.” [6] Sebagian nikmat yang kita dapatkan itu hanya kecil di mata kita. Hakikatnya, semua nikmat itu besar lagi berharga. Buktinya, untuk mensyukurinya dengan tulus perlu perjuangan seumur hidup, melawan hawa nafsu yang mengajak untuk mendurhakai Allah Sang Pemberi nikmat. Memang demikian adanya, menyederhanakan hati dengan qana’ah dan syukur itu tak selalu sederhana, melainkan perlu belajar sepanjang hayat. Karenanya, kami ucapkan selamat berjuang, semoga Allah Ta’ala berikan nikmat kemudahan dalam menerapkannya. [Selesai] Kembali ke bagian 1: Langkah Menyederhanakan Hati (Bag. 1) *** Penulis: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. Ahmad, dinilai hasan oleh Al-Albani.  [2] Kitab Asy-Syukr li Ibni Abi Ad-Dunya, hal. 13, Maktabah Syamilah. [3] HR. Bukhari no. 6312. [4] HR. At-Tirmidzi dan Abu Dawud. Tirmidzi dan Ibnu Hajar Al-’Asqalani mengatakan derajatnya hasan, Ibnu Baz menilainya sebagai hadis jayyid. [5] Tafsir Ath-Thabari, 10: 354. [6] Thariqul Hijratain, 1: 168.    Referensi: A’malul Qulub lil Munajjid, hal. 289-293. Tags: hatisederhana

Langkah Menyederhanakan Hati (Bag. 2)

Langkah kedua: Mensyukuri hal-hal kecil Boleh jadi, sebab lain (bukan satu-satunya) riuhnya pikiran hingga tidak tenangnya diri kita akhir-akhir ini berkaitan dengan rasa syukur yang sudah lama tak bersemi di dalam hati. Sibuk mengejar impian tinggi membuat kita luput dari menikmati, apalagi mensyukuri berbagai hal kecil yang juga layak dihargai. Banyak nikmat yang berlalu tanpa dirasa, seperti: nafas ringan, pencernaan lancar, negeri aman, dan terlalu banyak hal ‘sepele’ lainnya yang belum benar-benar kita nikmati dan syukuri selama ini. Padahal, ribuan tahun lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah bersabda mewanti-wanti,  مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ “Siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, tidak akan mensyukuri yang banyak.” [1] Syukur itu obat ketidakbahagiaan. Dengan syukur, kita bisa menghargai yang ada dan mengalihkan perhatian yang sudah begitu terkuras untuk hal-hal yang belum tentu bisa diraih. Syukur itu dapat menambah nikmat sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ “(Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, sungguh jika engkau bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras” (Q.S. Ibrahim: 7) Ketika kita mensyukuri sebuah hal, Allah akan tambahkan nikmat pada hal tersebut maupun berbagai nikmat lainnya. Ketika mensyukuri nikmat kesehatan, boleh jadi Allah akan tambahkan nikmat kekayaan, kemudahan, hingga ketenangan.  Bukankah ketenangan juga sebuah nikmat yang bernilai? Ketika kita mensyukuri nikmat-nikmat ‘kecil’, Allah akan berikan nikmat yang amat besar, yakni ketenangan hidup. Dan yang namanya bertambah, berarti nikmat yang telah ada akan terus terjaga. Syukur adalah cara untuk merawat yang ada, sembari menambah yang baru. Syukur adalah jalan untuk menikmati yang kecil, seraya menerima yang besar. Mari kita simak sejenak wasiat dari seorang alim yang sangat mengetahui hal ini, yaitu Umar bin Abdil Aziz rahimahullahu. Beliau berkata, قَيِّدُوا النِّعَمَ بِالشُّكْرِ “Ikatlah berbagai macam nikmat dengan kebersyukuran.” [2] Dengan demikian, sangatlah masuk akal jika dikatakan, “Semakin banyak angan, semakin banyak juga nikmat-nikmat ‘kecil’ yang perlu disyukuri. Semakin tinggi cita-cita yang ada, semakin tulus syukur yang mesti dimiliki. Semakin ramai harap dan cemas bergema di hati kita, makin serius pula syukur yang perlu diusahakan.” Syukur itu lebih dari sekedar ucapan manis yang sering kita ucapkan. Syukur itu bukan rasa terima kasih biasa, perlu ada hati yang tertaut di sana, yang mengakui dan tidak meremehkan nikmat yang didapat. Syukur juga diiringi pujian kepada Allah, Sang Pemberi Karunia. Tak hanya itu, jujurnya dua hal tadi akan terbuktikan dengan yang terpenting, yaitu memanfaatkannya dalam rangka taat kepada Allah Ta’ala, alih-alih bersikap tak tahu diri dengan menggunakan karunia itu untuk mendurhakai-Nya. Tatkala membicarakan syukur dengan lisan, lagi-lagi terlihat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mengajarkan untuk mensyukuri nikmat yang ‘kecil’. Beliau tak hanya mengajarkan syukur ketika mendapat nikmat besar yang jarang diraih, namun juga menuntun kita agar tidak melupakan nikmat yang dianggap remeh karena kita temui setiap hari. Ada pilihan untuk mengucap lafaz syukur yang ringkas, yaitu “Alhamdulillah”, seperti yang sering kita ucapkan ketika mendapat berbagai nikmat lainnya. Namun, dalam dua situasi ‘sepele’ berikut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam justru mengajarkan lafaz syukur khusus yang lebih rinci, yaitu ketika bagun tidur dan setelah makan. Beliau ajarkan doa bangun tidur, الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُورُ “Segala puji bagi Allah yang telah mengembalikan kehidupan, mematikan kami, dan hanya kepada-Nyalah kami kembali.” [3] Adapun setelah makan, beliau ajarkan doa, الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَطْعَمَنِيْ هَذَا وَرَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّيْ وَلَا قُوَّةٍ “Segala puji bagi Allah Yang memberi makan ini kepadaku dan Yang memberi rezeki kepadaku tanpa daya dan kekuatanku.” [4] Tatkala bangun tidur, alih-alih bersyukur sejenak untuk mengawali hari dengan bahagia, kita justru memilih untuk mempertaruhkan suasana hati di awal hari dengan membuka gadget. Padahal, kita tahu betul bahwa hari itu bisa jadi akan dibuka dengan dengan amarah atau kesedihan karena kabar yang didapat dari benda tersebut. Jangankan setelah makan, saat makan pun kita sudah sering lalai dari bersyukur. Kita sibuk mencari makanan yang lezat, namun ketika ia telah terhidang, menikmatinya dengan fokus saja tidak, apalagi mensyukurinya. Saat makan, pikiran dan hati kita ada di mana-mana, tidak sekejap pun mereka diberi waktu untuk beristirahat dari besarnya angan yang diharap cemas oleh hawa nafsu kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melalui kedua doa di atas mengajarkan kita untuk mensyukuri nikmat yang luar biasa berharga, yaitu nikmat melanjutkan hidup dan mempertahankannya. Selama ini, kita sering melupakan keduanya, padahal dari hidup itulah, awal mula semua angan kita. Orang mati tidak akan bisa terus bermimpi apalagi mewujudkannya. Orang hidup yang mati hatinya, ketika angannya tercapai pun tidak akan bisa berbahagia karenanya. Keduanya sama-sama menghilang dari peredaran sebelum sampai kepada tujuan akhirnya.  Tidak berhenti di lisan saja, tulusnya syukur dibuktikan dengan tubuh yang tidak menggunakan nikmat tersebut dalam perkara yang tidak disukai oleh Allah, namun memanfaatkannya dalam perkara yang diperkenankan dan dicintai oleh-Nya. Muhammad bin Ka’ab rahimahullahu mengatakan, الشكر: تقوى الله والعمل بطاعته “Syukur itu adalah ketakwaan kepada Allah dan beramal menaati-Nya.” [5] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,  من عرف النعمة، والمنعم, وأقر بها, و لم يجحدها, ولكن لم يخضع له، ولم يحبه،  ويرض به، وعنه: لم يشكره أيضا “Siapa saja yang menyadari nikmat dan Sang Pemberi nikmat tersebut, juga mengakui nikmat itu dan tidak mengingkarinya, namun ia tidak tunduk patuh kepada Allah, tidak pula mencintai dan rida kepada-Nya, maka ia juga tidak (dianggap) bersyukur kepada Allah.” [6] Sebagian nikmat yang kita dapatkan itu hanya kecil di mata kita. Hakikatnya, semua nikmat itu besar lagi berharga. Buktinya, untuk mensyukurinya dengan tulus perlu perjuangan seumur hidup, melawan hawa nafsu yang mengajak untuk mendurhakai Allah Sang Pemberi nikmat. Memang demikian adanya, menyederhanakan hati dengan qana’ah dan syukur itu tak selalu sederhana, melainkan perlu belajar sepanjang hayat. Karenanya, kami ucapkan selamat berjuang, semoga Allah Ta’ala berikan nikmat kemudahan dalam menerapkannya. [Selesai] Kembali ke bagian 1: Langkah Menyederhanakan Hati (Bag. 1) *** Penulis: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. Ahmad, dinilai hasan oleh Al-Albani.  [2] Kitab Asy-Syukr li Ibni Abi Ad-Dunya, hal. 13, Maktabah Syamilah. [3] HR. Bukhari no. 6312. [4] HR. At-Tirmidzi dan Abu Dawud. Tirmidzi dan Ibnu Hajar Al-’Asqalani mengatakan derajatnya hasan, Ibnu Baz menilainya sebagai hadis jayyid. [5] Tafsir Ath-Thabari, 10: 354. [6] Thariqul Hijratain, 1: 168.    Referensi: A’malul Qulub lil Munajjid, hal. 289-293. Tags: hatisederhana
Langkah kedua: Mensyukuri hal-hal kecil Boleh jadi, sebab lain (bukan satu-satunya) riuhnya pikiran hingga tidak tenangnya diri kita akhir-akhir ini berkaitan dengan rasa syukur yang sudah lama tak bersemi di dalam hati. Sibuk mengejar impian tinggi membuat kita luput dari menikmati, apalagi mensyukuri berbagai hal kecil yang juga layak dihargai. Banyak nikmat yang berlalu tanpa dirasa, seperti: nafas ringan, pencernaan lancar, negeri aman, dan terlalu banyak hal ‘sepele’ lainnya yang belum benar-benar kita nikmati dan syukuri selama ini. Padahal, ribuan tahun lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah bersabda mewanti-wanti,  مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ “Siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, tidak akan mensyukuri yang banyak.” [1] Syukur itu obat ketidakbahagiaan. Dengan syukur, kita bisa menghargai yang ada dan mengalihkan perhatian yang sudah begitu terkuras untuk hal-hal yang belum tentu bisa diraih. Syukur itu dapat menambah nikmat sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ “(Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, sungguh jika engkau bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras” (Q.S. Ibrahim: 7) Ketika kita mensyukuri sebuah hal, Allah akan tambahkan nikmat pada hal tersebut maupun berbagai nikmat lainnya. Ketika mensyukuri nikmat kesehatan, boleh jadi Allah akan tambahkan nikmat kekayaan, kemudahan, hingga ketenangan.  Bukankah ketenangan juga sebuah nikmat yang bernilai? Ketika kita mensyukuri nikmat-nikmat ‘kecil’, Allah akan berikan nikmat yang amat besar, yakni ketenangan hidup. Dan yang namanya bertambah, berarti nikmat yang telah ada akan terus terjaga. Syukur adalah cara untuk merawat yang ada, sembari menambah yang baru. Syukur adalah jalan untuk menikmati yang kecil, seraya menerima yang besar. Mari kita simak sejenak wasiat dari seorang alim yang sangat mengetahui hal ini, yaitu Umar bin Abdil Aziz rahimahullahu. Beliau berkata, قَيِّدُوا النِّعَمَ بِالشُّكْرِ “Ikatlah berbagai macam nikmat dengan kebersyukuran.” [2] Dengan demikian, sangatlah masuk akal jika dikatakan, “Semakin banyak angan, semakin banyak juga nikmat-nikmat ‘kecil’ yang perlu disyukuri. Semakin tinggi cita-cita yang ada, semakin tulus syukur yang mesti dimiliki. Semakin ramai harap dan cemas bergema di hati kita, makin serius pula syukur yang perlu diusahakan.” Syukur itu lebih dari sekedar ucapan manis yang sering kita ucapkan. Syukur itu bukan rasa terima kasih biasa, perlu ada hati yang tertaut di sana, yang mengakui dan tidak meremehkan nikmat yang didapat. Syukur juga diiringi pujian kepada Allah, Sang Pemberi Karunia. Tak hanya itu, jujurnya dua hal tadi akan terbuktikan dengan yang terpenting, yaitu memanfaatkannya dalam rangka taat kepada Allah Ta’ala, alih-alih bersikap tak tahu diri dengan menggunakan karunia itu untuk mendurhakai-Nya. Tatkala membicarakan syukur dengan lisan, lagi-lagi terlihat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mengajarkan untuk mensyukuri nikmat yang ‘kecil’. Beliau tak hanya mengajarkan syukur ketika mendapat nikmat besar yang jarang diraih, namun juga menuntun kita agar tidak melupakan nikmat yang dianggap remeh karena kita temui setiap hari. Ada pilihan untuk mengucap lafaz syukur yang ringkas, yaitu “Alhamdulillah”, seperti yang sering kita ucapkan ketika mendapat berbagai nikmat lainnya. Namun, dalam dua situasi ‘sepele’ berikut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam justru mengajarkan lafaz syukur khusus yang lebih rinci, yaitu ketika bagun tidur dan setelah makan. Beliau ajarkan doa bangun tidur, الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُورُ “Segala puji bagi Allah yang telah mengembalikan kehidupan, mematikan kami, dan hanya kepada-Nyalah kami kembali.” [3] Adapun setelah makan, beliau ajarkan doa, الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَطْعَمَنِيْ هَذَا وَرَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّيْ وَلَا قُوَّةٍ “Segala puji bagi Allah Yang memberi makan ini kepadaku dan Yang memberi rezeki kepadaku tanpa daya dan kekuatanku.” [4] Tatkala bangun tidur, alih-alih bersyukur sejenak untuk mengawali hari dengan bahagia, kita justru memilih untuk mempertaruhkan suasana hati di awal hari dengan membuka gadget. Padahal, kita tahu betul bahwa hari itu bisa jadi akan dibuka dengan dengan amarah atau kesedihan karena kabar yang didapat dari benda tersebut. Jangankan setelah makan, saat makan pun kita sudah sering lalai dari bersyukur. Kita sibuk mencari makanan yang lezat, namun ketika ia telah terhidang, menikmatinya dengan fokus saja tidak, apalagi mensyukurinya. Saat makan, pikiran dan hati kita ada di mana-mana, tidak sekejap pun mereka diberi waktu untuk beristirahat dari besarnya angan yang diharap cemas oleh hawa nafsu kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melalui kedua doa di atas mengajarkan kita untuk mensyukuri nikmat yang luar biasa berharga, yaitu nikmat melanjutkan hidup dan mempertahankannya. Selama ini, kita sering melupakan keduanya, padahal dari hidup itulah, awal mula semua angan kita. Orang mati tidak akan bisa terus bermimpi apalagi mewujudkannya. Orang hidup yang mati hatinya, ketika angannya tercapai pun tidak akan bisa berbahagia karenanya. Keduanya sama-sama menghilang dari peredaran sebelum sampai kepada tujuan akhirnya.  Tidak berhenti di lisan saja, tulusnya syukur dibuktikan dengan tubuh yang tidak menggunakan nikmat tersebut dalam perkara yang tidak disukai oleh Allah, namun memanfaatkannya dalam perkara yang diperkenankan dan dicintai oleh-Nya. Muhammad bin Ka’ab rahimahullahu mengatakan, الشكر: تقوى الله والعمل بطاعته “Syukur itu adalah ketakwaan kepada Allah dan beramal menaati-Nya.” [5] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,  من عرف النعمة، والمنعم, وأقر بها, و لم يجحدها, ولكن لم يخضع له، ولم يحبه،  ويرض به، وعنه: لم يشكره أيضا “Siapa saja yang menyadari nikmat dan Sang Pemberi nikmat tersebut, juga mengakui nikmat itu dan tidak mengingkarinya, namun ia tidak tunduk patuh kepada Allah, tidak pula mencintai dan rida kepada-Nya, maka ia juga tidak (dianggap) bersyukur kepada Allah.” [6] Sebagian nikmat yang kita dapatkan itu hanya kecil di mata kita. Hakikatnya, semua nikmat itu besar lagi berharga. Buktinya, untuk mensyukurinya dengan tulus perlu perjuangan seumur hidup, melawan hawa nafsu yang mengajak untuk mendurhakai Allah Sang Pemberi nikmat. Memang demikian adanya, menyederhanakan hati dengan qana’ah dan syukur itu tak selalu sederhana, melainkan perlu belajar sepanjang hayat. Karenanya, kami ucapkan selamat berjuang, semoga Allah Ta’ala berikan nikmat kemudahan dalam menerapkannya. [Selesai] Kembali ke bagian 1: Langkah Menyederhanakan Hati (Bag. 1) *** Penulis: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. Ahmad, dinilai hasan oleh Al-Albani.  [2] Kitab Asy-Syukr li Ibni Abi Ad-Dunya, hal. 13, Maktabah Syamilah. [3] HR. Bukhari no. 6312. [4] HR. At-Tirmidzi dan Abu Dawud. Tirmidzi dan Ibnu Hajar Al-’Asqalani mengatakan derajatnya hasan, Ibnu Baz menilainya sebagai hadis jayyid. [5] Tafsir Ath-Thabari, 10: 354. [6] Thariqul Hijratain, 1: 168.    Referensi: A’malul Qulub lil Munajjid, hal. 289-293. Tags: hatisederhana


Langkah kedua: Mensyukuri hal-hal kecil Boleh jadi, sebab lain (bukan satu-satunya) riuhnya pikiran hingga tidak tenangnya diri kita akhir-akhir ini berkaitan dengan rasa syukur yang sudah lama tak bersemi di dalam hati. Sibuk mengejar impian tinggi membuat kita luput dari menikmati, apalagi mensyukuri berbagai hal kecil yang juga layak dihargai. Banyak nikmat yang berlalu tanpa dirasa, seperti: nafas ringan, pencernaan lancar, negeri aman, dan terlalu banyak hal ‘sepele’ lainnya yang belum benar-benar kita nikmati dan syukuri selama ini. Padahal, ribuan tahun lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah bersabda mewanti-wanti,  مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ “Siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, tidak akan mensyukuri yang banyak.” [1] Syukur itu obat ketidakbahagiaan. Dengan syukur, kita bisa menghargai yang ada dan mengalihkan perhatian yang sudah begitu terkuras untuk hal-hal yang belum tentu bisa diraih. Syukur itu dapat menambah nikmat sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ “(Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, sungguh jika engkau bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras” (Q.S. Ibrahim: 7) Ketika kita mensyukuri sebuah hal, Allah akan tambahkan nikmat pada hal tersebut maupun berbagai nikmat lainnya. Ketika mensyukuri nikmat kesehatan, boleh jadi Allah akan tambahkan nikmat kekayaan, kemudahan, hingga ketenangan.  Bukankah ketenangan juga sebuah nikmat yang bernilai? Ketika kita mensyukuri nikmat-nikmat ‘kecil’, Allah akan berikan nikmat yang amat besar, yakni ketenangan hidup. Dan yang namanya bertambah, berarti nikmat yang telah ada akan terus terjaga. Syukur adalah cara untuk merawat yang ada, sembari menambah yang baru. Syukur adalah jalan untuk menikmati yang kecil, seraya menerima yang besar. Mari kita simak sejenak wasiat dari seorang alim yang sangat mengetahui hal ini, yaitu Umar bin Abdil Aziz rahimahullahu. Beliau berkata, قَيِّدُوا النِّعَمَ بِالشُّكْرِ “Ikatlah berbagai macam nikmat dengan kebersyukuran.” [2] Dengan demikian, sangatlah masuk akal jika dikatakan, “Semakin banyak angan, semakin banyak juga nikmat-nikmat ‘kecil’ yang perlu disyukuri. Semakin tinggi cita-cita yang ada, semakin tulus syukur yang mesti dimiliki. Semakin ramai harap dan cemas bergema di hati kita, makin serius pula syukur yang perlu diusahakan.” Syukur itu lebih dari sekedar ucapan manis yang sering kita ucapkan. Syukur itu bukan rasa terima kasih biasa, perlu ada hati yang tertaut di sana, yang mengakui dan tidak meremehkan nikmat yang didapat. Syukur juga diiringi pujian kepada Allah, Sang Pemberi Karunia. Tak hanya itu, jujurnya dua hal tadi akan terbuktikan dengan yang terpenting, yaitu memanfaatkannya dalam rangka taat kepada Allah Ta’ala, alih-alih bersikap tak tahu diri dengan menggunakan karunia itu untuk mendurhakai-Nya. Tatkala membicarakan syukur dengan lisan, lagi-lagi terlihat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mengajarkan untuk mensyukuri nikmat yang ‘kecil’. Beliau tak hanya mengajarkan syukur ketika mendapat nikmat besar yang jarang diraih, namun juga menuntun kita agar tidak melupakan nikmat yang dianggap remeh karena kita temui setiap hari. Ada pilihan untuk mengucap lafaz syukur yang ringkas, yaitu “Alhamdulillah”, seperti yang sering kita ucapkan ketika mendapat berbagai nikmat lainnya. Namun, dalam dua situasi ‘sepele’ berikut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam justru mengajarkan lafaz syukur khusus yang lebih rinci, yaitu ketika bagun tidur dan setelah makan. Beliau ajarkan doa bangun tidur, الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُورُ “Segala puji bagi Allah yang telah mengembalikan kehidupan, mematikan kami, dan hanya kepada-Nyalah kami kembali.” [3] Adapun setelah makan, beliau ajarkan doa, الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَطْعَمَنِيْ هَذَا وَرَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّيْ وَلَا قُوَّةٍ “Segala puji bagi Allah Yang memberi makan ini kepadaku dan Yang memberi rezeki kepadaku tanpa daya dan kekuatanku.” [4] Tatkala bangun tidur, alih-alih bersyukur sejenak untuk mengawali hari dengan bahagia, kita justru memilih untuk mempertaruhkan suasana hati di awal hari dengan membuka gadget. Padahal, kita tahu betul bahwa hari itu bisa jadi akan dibuka dengan dengan amarah atau kesedihan karena kabar yang didapat dari benda tersebut. Jangankan setelah makan, saat makan pun kita sudah sering lalai dari bersyukur. Kita sibuk mencari makanan yang lezat, namun ketika ia telah terhidang, menikmatinya dengan fokus saja tidak, apalagi mensyukurinya. Saat makan, pikiran dan hati kita ada di mana-mana, tidak sekejap pun mereka diberi waktu untuk beristirahat dari besarnya angan yang diharap cemas oleh hawa nafsu kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melalui kedua doa di atas mengajarkan kita untuk mensyukuri nikmat yang luar biasa berharga, yaitu nikmat melanjutkan hidup dan mempertahankannya. Selama ini, kita sering melupakan keduanya, padahal dari hidup itulah, awal mula semua angan kita. Orang mati tidak akan bisa terus bermimpi apalagi mewujudkannya. Orang hidup yang mati hatinya, ketika angannya tercapai pun tidak akan bisa berbahagia karenanya. Keduanya sama-sama menghilang dari peredaran sebelum sampai kepada tujuan akhirnya.  Tidak berhenti di lisan saja, tulusnya syukur dibuktikan dengan tubuh yang tidak menggunakan nikmat tersebut dalam perkara yang tidak disukai oleh Allah, namun memanfaatkannya dalam perkara yang diperkenankan dan dicintai oleh-Nya. Muhammad bin Ka’ab rahimahullahu mengatakan, الشكر: تقوى الله والعمل بطاعته “Syukur itu adalah ketakwaan kepada Allah dan beramal menaati-Nya.” [5] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,  من عرف النعمة، والمنعم, وأقر بها, و لم يجحدها, ولكن لم يخضع له، ولم يحبه،  ويرض به، وعنه: لم يشكره أيضا “Siapa saja yang menyadari nikmat dan Sang Pemberi nikmat tersebut, juga mengakui nikmat itu dan tidak mengingkarinya, namun ia tidak tunduk patuh kepada Allah, tidak pula mencintai dan rida kepada-Nya, maka ia juga tidak (dianggap) bersyukur kepada Allah.” [6] Sebagian nikmat yang kita dapatkan itu hanya kecil di mata kita. Hakikatnya, semua nikmat itu besar lagi berharga. Buktinya, untuk mensyukurinya dengan tulus perlu perjuangan seumur hidup, melawan hawa nafsu yang mengajak untuk mendurhakai Allah Sang Pemberi nikmat. Memang demikian adanya, menyederhanakan hati dengan qana’ah dan syukur itu tak selalu sederhana, melainkan perlu belajar sepanjang hayat. Karenanya, kami ucapkan selamat berjuang, semoga Allah Ta’ala berikan nikmat kemudahan dalam menerapkannya. [Selesai] Kembali ke bagian 1: Langkah Menyederhanakan Hati (Bag. 1) *** Penulis: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. Ahmad, dinilai hasan oleh Al-Albani.  [2] Kitab Asy-Syukr li Ibni Abi Ad-Dunya, hal. 13, Maktabah Syamilah. [3] HR. Bukhari no. 6312. [4] HR. At-Tirmidzi dan Abu Dawud. Tirmidzi dan Ibnu Hajar Al-’Asqalani mengatakan derajatnya hasan, Ibnu Baz menilainya sebagai hadis jayyid. [5] Tafsir Ath-Thabari, 10: 354. [6] Thariqul Hijratain, 1: 168.    Referensi: A’malul Qulub lil Munajjid, hal. 289-293. Tags: hatisederhana

Doa Agar Segala Keinginan Terkabul, Bagus Dibaca Saat Menghadapi Kesulitan dan Kesedihan

Dalam penjelasan kali ini, Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan mengenai bacaan yang bila dibaca, segala keinginan akan terkabul. Lebih-lebih, doa-doa ini amat manfaat dibaca saat mendapatkan kesulitan dan ketika sedang sedih. Sebagian doa ini mengandung nama Allah yang agung (ismullah al-a’zhom). Semoga sembilan bacaan ini bisa diamalkan oleh setiap pembaca setia RumayshoCom.   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (hlm. 20-25) sebagai berikut.   Daftar Isi tutup 1. [BACAAN PERTAMA] 2. [BACAAN KEDUA] 3. [BACAAN KETIGA] 4. [BACAAN KEEMPAT] 5. [BACAAN KELIMA] 6. [BACAAN KEENAM] 7. [BACAAN KETUJUH] 8. [BACAAN KEDELAPAN] 9. [BACAAN KESEMBILAN] [BACAAN PERTAMA] Di antara doa yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagaimana yang disebutkan dalam As-Sunan dan Shahih Ibnu Hibban dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang sedang berdoa: اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنِّي أَشْهَدُ أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ ALLAHUMMA INNI AS-ALUKA BI-ANNI ASYHADU ANNAKA ANTALLAHU LAA ILAHA ILLA ANTA, AL-AHAD ASH-SHAMAD LAM YALID WA LAM YUULAD WA LAM YAKUL LAHUU KUFUWAN AHAD. Artinya: Ya Allah, aku memohon kepada-Mu atas dasar persaksianmu bahwa Engkau adalah Allah. Tiada yang berhak disembah kecuali Engkau. Yang Mahatunggal, Yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, serta Yang tiada sesuatu yang setara dengan-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, لَقَدْ سَأَلَ اللهَ بِالاِسْمِ الأَعْظَمِ الَّذِي إِذَا سُئِلَ بِهِ أَعْطَى، وَإِذَا دُعِيَ بِهِ أَجَابَ “Orang itu memohon kepada Allah dengan nama-Nya yang agung. Jika nama-Nya itu digunakan untuk meminta, niscaya akan diberi dan jika digunakan untuk berdoa, niscaya dikabulkan.” (HR. Abu Daud, no. 1493; Ibnu Majah, no. 3857; Tirmidzi, no. 3475; Ibnu Hibban, no. 891; Ahmad, 5:350; Ibnu Abi Syaibah, 10:271; Al-Haakim, 1:504. Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah mengatakan bahwa hadits ini sahih). Disebutkan dalam lafaz yang lain, “Engkau meminta kepada Allah dengan menggunakan nama-Nya yang teragung.”   [BACAAN KEDUA] Masih dalam As-Sunan dan Shahih Ibnu Hibban, dari Anas bin Malik, ia duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara tidak jauh dari mereka ada laki-laki yang sedang shalat. Kemudian, laki-laki itu berdoa: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنَّ لَكَ الْحَمْدُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الْمَنَّانُ بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ، يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ ALLAHUMMA INNI AS-ALUKA BI-ANNA LAKAL HAMDU LAA ILAHA ILLA ANTA AL-MANNAAN BADII’US SAMAAWAATI WAL ARDHI, YAA DZAL JALAALI WAL IKROOM, YA HAYYU YA QOYYUUM. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Ia telah benar-benar memohon kepada Allah dengan menggunakan nama Allah yang paling agung. Jika nama itu digunakan untuk berdoa, niscaya akan dikabulkan. Jika nama itu digunakan untuk meminta, niscaya akan diberi.” (HR. An-Nasai, 3:52; Abu Daud, no. 1495; Ibnu Majah, no. 3858; Tirmidzi, no. 3544; Ibnu Hibban, no. 893; Ahmad, 3:158, 245, 265; Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 705; Ibnu Abi Syaibah, 10:272, dari jalur Anas, sebagiannya sahih dilihat dari dzatnya). Kedua hadits di atas juga dicantumkan oleh Ahmad dalam musnad-nya.   [BACAAN KETIGA] Di dalam Jaami’ At-Tirmidzi, dari Asma binti Yazid, dinukilkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Nama Allah yang paling agung terdapat dalam dua ayat ini: [Ayat pertama] وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحْمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ WA ILĀHUKUM ILĀHUW WĀḤID, LĀ ILĀHA ILLĀ HUWAR-RAḤMĀNUR-RAḤĪM Artinya: Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah: 163) Lalu ayat-ayat pertama dari surah Ali Imran. [Ayat kedua] الٓمٓ ALIF LĀM MĪM Artinya: Alif laam miim. ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ ALLĀHU LĀ ILĀHA ILLĀ HUWAL-ḤAYYUL-QAYYỤM Artinya: Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya. (QS. Ali Imran: 1-2). Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini sahih. (HR. Tirmidzi, no. 3544; Abu Daud, no. 1496; Ibnu Majah, no. 3855; Ahmad, 6:461; Ibnu Abi Syaibah, 10:232; Ad-Darimy, 2:450; Ath-Thabrani dalam Ad-Du’aa, no. 113 dan dalam Al-Kabiir, 24:174; Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Ash-Shifaat, no. 128. Sanad hadits ini terdapat dua orang yang dhaif. Namun, hadits ini memiliki penguat dari Ibnu Majah, 2:1276; Ath-Thahawi dalam Musykil Al-Atsar, 1:63; Al-Hakim, 1:505; Ath-Thabrani, 8:214; Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Ash-Shifaat, no. 36 dari Abu Usamah dengan sanad yang hasan).   [BACAAN KEEMPAT] Doa yang Diperintahkan untuk Dirutinkan Di dalam musnad Imam Ahmad dan Shahih Al-Hakim, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Anas bin Malik, dan Rabi’ah bin Amir, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Rajinlah mengucapkan: ِيَا ذَا الجَلاَلِ وَالإِكْرَام YAA DZAL JALAALI WAL IKROM.” (HR. Ahmad, 4:177; Al-Hakim, 1:498-499; Al-Bukhari dalam At-Tarikh Al-Kabir, 2:1:256, dari Rabi’ah bin ‘Amir dengan sanad yang sahih). Maksudnya adalah bacalah bacaan tersebut terus menerus dan rutinkanlah selalu.   [BACAAN KELIMA] Doa Ketika Menghadapi Kekhawatiran yang Besar Dalam Jaami’ At-Tirmidzi, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati suatu perkara yang membuatnya khawatir (menjadi perhatian utama), ia pun mengangkat kepalanya ke langit seraya berdoa, يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ YA HAYYU YA QOYYUM. Artinya: Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri tidak butuh segala sesuatu.” (HR. Tirmidzi, no. 3432. Hadits ini gharib, sanadnya dhaif).   [BACAAN KEENAM] Doa Nabi Yunus Ketika Menghadapi Kesulitan لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّى كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN. Artinya: Tidak ada Rabb yang berhak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk diantara orang-orang yang berbuat aniaya. (QS. Al-Anbiya’: 87) Di dalam Jaami’ At-Tirmidzi dan Shahih Al-Hakim, disebutkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, دَعْوَةُ ذِى النُّونِ إِذْ دَعَا وَهُوَ فِى بَطْنِ الْحُوتِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّى كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ. فَإِنَّهُ لَمْ يَدْعُ بِهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ فِى شَىْءٍ قَطُّ إِلاَّ اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ “Doa Dzun Nuun (Nabi Yunus) saat berada dalam perut ikan besar adalah LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN. Sungguh, tidaklah orang muslim berdoa dengannya dalam urusan apa pun, melainkan Allah akan mengabulkan doanya.” (HR. Tirmidzi, no. 3500; Al-Haakim, 1:505, 2:382; An-Nasai dalam Amal Al-Yaum, no. 655; Ahmad, no. 1462; Abu Ya’la, 2:110; Ath-Thabrani, no. 124 dengan sanad hasan) Baca juga: Karamah Wali, Luar Biasanya Doa Saad bin Abi Waqqash Disebutkan dalam Al-Mustadrak karya Al-Hakim, dari Sa’ad, dari Nabi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kalian kuberitahu sesuatu yang jika seseorang ditimpa suatu urusan yang menggelisahkan lalu ia berdoa dengannya, maka Allah akan memberinya jalan keluar? Yang beliau maksud adalah doa Dzun Nuun (Nabi Yunus).” (HR. Al-Hakim, 1:505, 2:382) Di dalam Shahih Al-Hakim, dari Sa’ad, ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kutunjukkan pada nama Allah yang agung (ismullah al-a’zhom). Itulah doa Nabi Yunus.” Salah seorang bertanya, “Apakah doa ini khusus untuk Yunus?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidakkah engkau mendengar firman Allah, فَٱسْتَجَبْنَا لَهُۥ وَنَجَّيْنَٰهُ مِنَ ٱلْغَمِّ ۚ وَكَذَٰلِكَ نُۨجِى ٱلْمُؤْمِنِينَ “Maka Kami kabulkan doanya dan Kami selamatkan dia dari kedukaan. Demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiya’: 88)? Maka setiap muslim yang berdoa dengan doa tersebut ketika sedang sakit, ia membacanya sebanyak 40 kali, lalu ternyata ia meninggal dunia, maka dia mendapatkan pahala orang yang mati syahid. Adapun jika ia sembuh, maka ia sembuh dalam keadaan dosanya terampuni.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1:505-506)   [BACAAN KETUJUH] Doa Ketika Menghadapi Kesusahan Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mengalami kesusahan, beliau mengucapkan, لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ الْعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَرَبُّ اْلأَرْضِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيْمُ LAA ILAHA ILLALLAH AL-‘AZHIIM AL-HALIIM, LAA ILAHA ILLALLAH ROBBUL ‘ARSYIL ‘AZHIM. LAA ILAHA ILLALLAH, ROBBUS SAMAAWAATI WA ROBBUL ARDHI WA ROBBUL ‘ARSYIL KARIM. Artinya: Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Agung dan Maha Penyantun. Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah, Rabb yang menguasai Arsy, yang Maha Agung. Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah, Rabb yang menguasai langit dan bumi. Rabb Yang menguasai arsy, lagi Maha Mulia. (HR. Bukhari, no. 5985 dan Muslim, no. 2730)   [BACAAN KEDELAPAN] Doa Ketika Tertimpa Kesulitan Di dalam musnad Al-Imam Ahad, dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepadaku untuk mengucapkan doa ketika ditimpa kesulitan, لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ الْحَلِيمُ الْكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. LAA ILAHA ILLALLAH AL-HALIIM AL-KARIIM, SUBHAANALLAH WA TABAAROKALLAH ROBBUL ‘ARSYIL ‘AZHIIM, WAL HAMDU LILLAHI ROBBIL ‘AALAMIIN. Artinya: Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi, melainkan Allah yang Maha Penyantun lagi Mahamulia . Mahasuci Allah dan Mahatinggi, Rabb Arsy yang agung, serta segala puji bagi Allah Rabb alam semesta. (HR. Ahmad dalam musnadnya, no. 701 dan Al-Hakim, 1:508. Hadits ini disahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir).   [BACAAN KESEMBILAN] Doa Ketika Sedang Gundah dan Sedih Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak seseorang tertimpa kegundahan dan kesedihan, lalu ia membaca: اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ. ALLOHUMMA INNI ‘ABDUK, IBNU ‘ABDIK, IBNU AMATIK, NAASHIYATI BIYADIK, MAADHIN FIYYA HUKMUK, ‘ADLUN FIYYA QODHO-UK. AS-ALUKA BIKULLISMIN HUWA LAK, SAMMAYTA BIHI NAFSAK, AW ANZALTAHU FII KITAABIK, AW ‘ALLAMTAHU AHADAN MIN KHOLQIK, AWISTA’TSARTA BIHI FI ‘ILMIL GHOIBI ‘INDAK. AN TAJ’ALAL QUR’ANA ROBI’A QOLBI, WA NUURO SHODRI, WA JALAA-A HUZNI, WA DZAHABA HAMMI. Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu (Adam) dan anak hamba perempuan-Mu (Hawa). Ubun-ubun ku di tangan-Mu, keputusan-Mu berlaku padaku, ketentuan-Mu kepadaku adalah adil. Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama (baik) yang telah Engkau gunakan untuk diri-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau yang Engkau khususkan untuk diri-Mu dalam ilmu ghaib di sisi-Mu, hendaknya Engkau jadikan Al-Qur’an sebagai penenteram hatiku, cahaya di dada ku, pelenyap duka dan kesedihanku. Jika bacaan tersebut dibaca, Allah akan menghilangkan kegundahan dan kesedihan orang tersebut kemudian menggantikannya dengan kegembiraan. Seorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami mempelajarinya?” Beliau menjawab, “Tentu. Seharusnya orang yang mendengar doa tersebut mempelajarinya.” ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Apabila seorang nabi tertimpa kesusahan, maka ia meminta tolong kepada Allah dengan bertasbih.” (HR. Ahmad dalam musnadnya, 1:391, 452; Al-Hakim, 1:509; Ibnu Hibban, no. 972; Abu Ya’la, no. 5297; Ibnu As-Sunni, no. 340; Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, no. 10352 dengan sanad sahih).   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Selesai disusun pada 12 Muharram 1446 H, 18 Juli 2024 di Pondok Pesantren Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa al jawabul kaafi cara berdoa doa faedah dari Ibnul Qayyim manajemen hati solusi masalah hidup

Doa Agar Segala Keinginan Terkabul, Bagus Dibaca Saat Menghadapi Kesulitan dan Kesedihan

Dalam penjelasan kali ini, Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan mengenai bacaan yang bila dibaca, segala keinginan akan terkabul. Lebih-lebih, doa-doa ini amat manfaat dibaca saat mendapatkan kesulitan dan ketika sedang sedih. Sebagian doa ini mengandung nama Allah yang agung (ismullah al-a’zhom). Semoga sembilan bacaan ini bisa diamalkan oleh setiap pembaca setia RumayshoCom.   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (hlm. 20-25) sebagai berikut.   Daftar Isi tutup 1. [BACAAN PERTAMA] 2. [BACAAN KEDUA] 3. [BACAAN KETIGA] 4. [BACAAN KEEMPAT] 5. [BACAAN KELIMA] 6. [BACAAN KEENAM] 7. [BACAAN KETUJUH] 8. [BACAAN KEDELAPAN] 9. [BACAAN KESEMBILAN] [BACAAN PERTAMA] Di antara doa yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagaimana yang disebutkan dalam As-Sunan dan Shahih Ibnu Hibban dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang sedang berdoa: اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنِّي أَشْهَدُ أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ ALLAHUMMA INNI AS-ALUKA BI-ANNI ASYHADU ANNAKA ANTALLAHU LAA ILAHA ILLA ANTA, AL-AHAD ASH-SHAMAD LAM YALID WA LAM YUULAD WA LAM YAKUL LAHUU KUFUWAN AHAD. Artinya: Ya Allah, aku memohon kepada-Mu atas dasar persaksianmu bahwa Engkau adalah Allah. Tiada yang berhak disembah kecuali Engkau. Yang Mahatunggal, Yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, serta Yang tiada sesuatu yang setara dengan-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, لَقَدْ سَأَلَ اللهَ بِالاِسْمِ الأَعْظَمِ الَّذِي إِذَا سُئِلَ بِهِ أَعْطَى، وَإِذَا دُعِيَ بِهِ أَجَابَ “Orang itu memohon kepada Allah dengan nama-Nya yang agung. Jika nama-Nya itu digunakan untuk meminta, niscaya akan diberi dan jika digunakan untuk berdoa, niscaya dikabulkan.” (HR. Abu Daud, no. 1493; Ibnu Majah, no. 3857; Tirmidzi, no. 3475; Ibnu Hibban, no. 891; Ahmad, 5:350; Ibnu Abi Syaibah, 10:271; Al-Haakim, 1:504. Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah mengatakan bahwa hadits ini sahih). Disebutkan dalam lafaz yang lain, “Engkau meminta kepada Allah dengan menggunakan nama-Nya yang teragung.”   [BACAAN KEDUA] Masih dalam As-Sunan dan Shahih Ibnu Hibban, dari Anas bin Malik, ia duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara tidak jauh dari mereka ada laki-laki yang sedang shalat. Kemudian, laki-laki itu berdoa: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنَّ لَكَ الْحَمْدُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الْمَنَّانُ بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ، يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ ALLAHUMMA INNI AS-ALUKA BI-ANNA LAKAL HAMDU LAA ILAHA ILLA ANTA AL-MANNAAN BADII’US SAMAAWAATI WAL ARDHI, YAA DZAL JALAALI WAL IKROOM, YA HAYYU YA QOYYUUM. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Ia telah benar-benar memohon kepada Allah dengan menggunakan nama Allah yang paling agung. Jika nama itu digunakan untuk berdoa, niscaya akan dikabulkan. Jika nama itu digunakan untuk meminta, niscaya akan diberi.” (HR. An-Nasai, 3:52; Abu Daud, no. 1495; Ibnu Majah, no. 3858; Tirmidzi, no. 3544; Ibnu Hibban, no. 893; Ahmad, 3:158, 245, 265; Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 705; Ibnu Abi Syaibah, 10:272, dari jalur Anas, sebagiannya sahih dilihat dari dzatnya). Kedua hadits di atas juga dicantumkan oleh Ahmad dalam musnad-nya.   [BACAAN KETIGA] Di dalam Jaami’ At-Tirmidzi, dari Asma binti Yazid, dinukilkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Nama Allah yang paling agung terdapat dalam dua ayat ini: [Ayat pertama] وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحْمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ WA ILĀHUKUM ILĀHUW WĀḤID, LĀ ILĀHA ILLĀ HUWAR-RAḤMĀNUR-RAḤĪM Artinya: Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah: 163) Lalu ayat-ayat pertama dari surah Ali Imran. [Ayat kedua] الٓمٓ ALIF LĀM MĪM Artinya: Alif laam miim. ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ ALLĀHU LĀ ILĀHA ILLĀ HUWAL-ḤAYYUL-QAYYỤM Artinya: Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya. (QS. Ali Imran: 1-2). Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini sahih. (HR. Tirmidzi, no. 3544; Abu Daud, no. 1496; Ibnu Majah, no. 3855; Ahmad, 6:461; Ibnu Abi Syaibah, 10:232; Ad-Darimy, 2:450; Ath-Thabrani dalam Ad-Du’aa, no. 113 dan dalam Al-Kabiir, 24:174; Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Ash-Shifaat, no. 128. Sanad hadits ini terdapat dua orang yang dhaif. Namun, hadits ini memiliki penguat dari Ibnu Majah, 2:1276; Ath-Thahawi dalam Musykil Al-Atsar, 1:63; Al-Hakim, 1:505; Ath-Thabrani, 8:214; Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Ash-Shifaat, no. 36 dari Abu Usamah dengan sanad yang hasan).   [BACAAN KEEMPAT] Doa yang Diperintahkan untuk Dirutinkan Di dalam musnad Imam Ahmad dan Shahih Al-Hakim, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Anas bin Malik, dan Rabi’ah bin Amir, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Rajinlah mengucapkan: ِيَا ذَا الجَلاَلِ وَالإِكْرَام YAA DZAL JALAALI WAL IKROM.” (HR. Ahmad, 4:177; Al-Hakim, 1:498-499; Al-Bukhari dalam At-Tarikh Al-Kabir, 2:1:256, dari Rabi’ah bin ‘Amir dengan sanad yang sahih). Maksudnya adalah bacalah bacaan tersebut terus menerus dan rutinkanlah selalu.   [BACAAN KELIMA] Doa Ketika Menghadapi Kekhawatiran yang Besar Dalam Jaami’ At-Tirmidzi, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati suatu perkara yang membuatnya khawatir (menjadi perhatian utama), ia pun mengangkat kepalanya ke langit seraya berdoa, يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ YA HAYYU YA QOYYUM. Artinya: Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri tidak butuh segala sesuatu.” (HR. Tirmidzi, no. 3432. Hadits ini gharib, sanadnya dhaif).   [BACAAN KEENAM] Doa Nabi Yunus Ketika Menghadapi Kesulitan لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّى كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN. Artinya: Tidak ada Rabb yang berhak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk diantara orang-orang yang berbuat aniaya. (QS. Al-Anbiya’: 87) Di dalam Jaami’ At-Tirmidzi dan Shahih Al-Hakim, disebutkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, دَعْوَةُ ذِى النُّونِ إِذْ دَعَا وَهُوَ فِى بَطْنِ الْحُوتِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّى كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ. فَإِنَّهُ لَمْ يَدْعُ بِهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ فِى شَىْءٍ قَطُّ إِلاَّ اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ “Doa Dzun Nuun (Nabi Yunus) saat berada dalam perut ikan besar adalah LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN. Sungguh, tidaklah orang muslim berdoa dengannya dalam urusan apa pun, melainkan Allah akan mengabulkan doanya.” (HR. Tirmidzi, no. 3500; Al-Haakim, 1:505, 2:382; An-Nasai dalam Amal Al-Yaum, no. 655; Ahmad, no. 1462; Abu Ya’la, 2:110; Ath-Thabrani, no. 124 dengan sanad hasan) Baca juga: Karamah Wali, Luar Biasanya Doa Saad bin Abi Waqqash Disebutkan dalam Al-Mustadrak karya Al-Hakim, dari Sa’ad, dari Nabi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kalian kuberitahu sesuatu yang jika seseorang ditimpa suatu urusan yang menggelisahkan lalu ia berdoa dengannya, maka Allah akan memberinya jalan keluar? Yang beliau maksud adalah doa Dzun Nuun (Nabi Yunus).” (HR. Al-Hakim, 1:505, 2:382) Di dalam Shahih Al-Hakim, dari Sa’ad, ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kutunjukkan pada nama Allah yang agung (ismullah al-a’zhom). Itulah doa Nabi Yunus.” Salah seorang bertanya, “Apakah doa ini khusus untuk Yunus?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidakkah engkau mendengar firman Allah, فَٱسْتَجَبْنَا لَهُۥ وَنَجَّيْنَٰهُ مِنَ ٱلْغَمِّ ۚ وَكَذَٰلِكَ نُۨجِى ٱلْمُؤْمِنِينَ “Maka Kami kabulkan doanya dan Kami selamatkan dia dari kedukaan. Demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiya’: 88)? Maka setiap muslim yang berdoa dengan doa tersebut ketika sedang sakit, ia membacanya sebanyak 40 kali, lalu ternyata ia meninggal dunia, maka dia mendapatkan pahala orang yang mati syahid. Adapun jika ia sembuh, maka ia sembuh dalam keadaan dosanya terampuni.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1:505-506)   [BACAAN KETUJUH] Doa Ketika Menghadapi Kesusahan Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mengalami kesusahan, beliau mengucapkan, لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ الْعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَرَبُّ اْلأَرْضِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيْمُ LAA ILAHA ILLALLAH AL-‘AZHIIM AL-HALIIM, LAA ILAHA ILLALLAH ROBBUL ‘ARSYIL ‘AZHIM. LAA ILAHA ILLALLAH, ROBBUS SAMAAWAATI WA ROBBUL ARDHI WA ROBBUL ‘ARSYIL KARIM. Artinya: Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Agung dan Maha Penyantun. Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah, Rabb yang menguasai Arsy, yang Maha Agung. Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah, Rabb yang menguasai langit dan bumi. Rabb Yang menguasai arsy, lagi Maha Mulia. (HR. Bukhari, no. 5985 dan Muslim, no. 2730)   [BACAAN KEDELAPAN] Doa Ketika Tertimpa Kesulitan Di dalam musnad Al-Imam Ahad, dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepadaku untuk mengucapkan doa ketika ditimpa kesulitan, لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ الْحَلِيمُ الْكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. LAA ILAHA ILLALLAH AL-HALIIM AL-KARIIM, SUBHAANALLAH WA TABAAROKALLAH ROBBUL ‘ARSYIL ‘AZHIIM, WAL HAMDU LILLAHI ROBBIL ‘AALAMIIN. Artinya: Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi, melainkan Allah yang Maha Penyantun lagi Mahamulia . Mahasuci Allah dan Mahatinggi, Rabb Arsy yang agung, serta segala puji bagi Allah Rabb alam semesta. (HR. Ahmad dalam musnadnya, no. 701 dan Al-Hakim, 1:508. Hadits ini disahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir).   [BACAAN KESEMBILAN] Doa Ketika Sedang Gundah dan Sedih Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak seseorang tertimpa kegundahan dan kesedihan, lalu ia membaca: اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ. ALLOHUMMA INNI ‘ABDUK, IBNU ‘ABDIK, IBNU AMATIK, NAASHIYATI BIYADIK, MAADHIN FIYYA HUKMUK, ‘ADLUN FIYYA QODHO-UK. AS-ALUKA BIKULLISMIN HUWA LAK, SAMMAYTA BIHI NAFSAK, AW ANZALTAHU FII KITAABIK, AW ‘ALLAMTAHU AHADAN MIN KHOLQIK, AWISTA’TSARTA BIHI FI ‘ILMIL GHOIBI ‘INDAK. AN TAJ’ALAL QUR’ANA ROBI’A QOLBI, WA NUURO SHODRI, WA JALAA-A HUZNI, WA DZAHABA HAMMI. Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu (Adam) dan anak hamba perempuan-Mu (Hawa). Ubun-ubun ku di tangan-Mu, keputusan-Mu berlaku padaku, ketentuan-Mu kepadaku adalah adil. Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama (baik) yang telah Engkau gunakan untuk diri-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau yang Engkau khususkan untuk diri-Mu dalam ilmu ghaib di sisi-Mu, hendaknya Engkau jadikan Al-Qur’an sebagai penenteram hatiku, cahaya di dada ku, pelenyap duka dan kesedihanku. Jika bacaan tersebut dibaca, Allah akan menghilangkan kegundahan dan kesedihan orang tersebut kemudian menggantikannya dengan kegembiraan. Seorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami mempelajarinya?” Beliau menjawab, “Tentu. Seharusnya orang yang mendengar doa tersebut mempelajarinya.” ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Apabila seorang nabi tertimpa kesusahan, maka ia meminta tolong kepada Allah dengan bertasbih.” (HR. Ahmad dalam musnadnya, 1:391, 452; Al-Hakim, 1:509; Ibnu Hibban, no. 972; Abu Ya’la, no. 5297; Ibnu As-Sunni, no. 340; Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, no. 10352 dengan sanad sahih).   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Selesai disusun pada 12 Muharram 1446 H, 18 Juli 2024 di Pondok Pesantren Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa al jawabul kaafi cara berdoa doa faedah dari Ibnul Qayyim manajemen hati solusi masalah hidup
Dalam penjelasan kali ini, Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan mengenai bacaan yang bila dibaca, segala keinginan akan terkabul. Lebih-lebih, doa-doa ini amat manfaat dibaca saat mendapatkan kesulitan dan ketika sedang sedih. Sebagian doa ini mengandung nama Allah yang agung (ismullah al-a’zhom). Semoga sembilan bacaan ini bisa diamalkan oleh setiap pembaca setia RumayshoCom.   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (hlm. 20-25) sebagai berikut.   Daftar Isi tutup 1. [BACAAN PERTAMA] 2. [BACAAN KEDUA] 3. [BACAAN KETIGA] 4. [BACAAN KEEMPAT] 5. [BACAAN KELIMA] 6. [BACAAN KEENAM] 7. [BACAAN KETUJUH] 8. [BACAAN KEDELAPAN] 9. [BACAAN KESEMBILAN] [BACAAN PERTAMA] Di antara doa yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagaimana yang disebutkan dalam As-Sunan dan Shahih Ibnu Hibban dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang sedang berdoa: اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنِّي أَشْهَدُ أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ ALLAHUMMA INNI AS-ALUKA BI-ANNI ASYHADU ANNAKA ANTALLAHU LAA ILAHA ILLA ANTA, AL-AHAD ASH-SHAMAD LAM YALID WA LAM YUULAD WA LAM YAKUL LAHUU KUFUWAN AHAD. Artinya: Ya Allah, aku memohon kepada-Mu atas dasar persaksianmu bahwa Engkau adalah Allah. Tiada yang berhak disembah kecuali Engkau. Yang Mahatunggal, Yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, serta Yang tiada sesuatu yang setara dengan-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, لَقَدْ سَأَلَ اللهَ بِالاِسْمِ الأَعْظَمِ الَّذِي إِذَا سُئِلَ بِهِ أَعْطَى، وَإِذَا دُعِيَ بِهِ أَجَابَ “Orang itu memohon kepada Allah dengan nama-Nya yang agung. Jika nama-Nya itu digunakan untuk meminta, niscaya akan diberi dan jika digunakan untuk berdoa, niscaya dikabulkan.” (HR. Abu Daud, no. 1493; Ibnu Majah, no. 3857; Tirmidzi, no. 3475; Ibnu Hibban, no. 891; Ahmad, 5:350; Ibnu Abi Syaibah, 10:271; Al-Haakim, 1:504. Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah mengatakan bahwa hadits ini sahih). Disebutkan dalam lafaz yang lain, “Engkau meminta kepada Allah dengan menggunakan nama-Nya yang teragung.”   [BACAAN KEDUA] Masih dalam As-Sunan dan Shahih Ibnu Hibban, dari Anas bin Malik, ia duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara tidak jauh dari mereka ada laki-laki yang sedang shalat. Kemudian, laki-laki itu berdoa: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنَّ لَكَ الْحَمْدُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الْمَنَّانُ بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ، يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ ALLAHUMMA INNI AS-ALUKA BI-ANNA LAKAL HAMDU LAA ILAHA ILLA ANTA AL-MANNAAN BADII’US SAMAAWAATI WAL ARDHI, YAA DZAL JALAALI WAL IKROOM, YA HAYYU YA QOYYUUM. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Ia telah benar-benar memohon kepada Allah dengan menggunakan nama Allah yang paling agung. Jika nama itu digunakan untuk berdoa, niscaya akan dikabulkan. Jika nama itu digunakan untuk meminta, niscaya akan diberi.” (HR. An-Nasai, 3:52; Abu Daud, no. 1495; Ibnu Majah, no. 3858; Tirmidzi, no. 3544; Ibnu Hibban, no. 893; Ahmad, 3:158, 245, 265; Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 705; Ibnu Abi Syaibah, 10:272, dari jalur Anas, sebagiannya sahih dilihat dari dzatnya). Kedua hadits di atas juga dicantumkan oleh Ahmad dalam musnad-nya.   [BACAAN KETIGA] Di dalam Jaami’ At-Tirmidzi, dari Asma binti Yazid, dinukilkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Nama Allah yang paling agung terdapat dalam dua ayat ini: [Ayat pertama] وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحْمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ WA ILĀHUKUM ILĀHUW WĀḤID, LĀ ILĀHA ILLĀ HUWAR-RAḤMĀNUR-RAḤĪM Artinya: Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah: 163) Lalu ayat-ayat pertama dari surah Ali Imran. [Ayat kedua] الٓمٓ ALIF LĀM MĪM Artinya: Alif laam miim. ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ ALLĀHU LĀ ILĀHA ILLĀ HUWAL-ḤAYYUL-QAYYỤM Artinya: Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya. (QS. Ali Imran: 1-2). Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini sahih. (HR. Tirmidzi, no. 3544; Abu Daud, no. 1496; Ibnu Majah, no. 3855; Ahmad, 6:461; Ibnu Abi Syaibah, 10:232; Ad-Darimy, 2:450; Ath-Thabrani dalam Ad-Du’aa, no. 113 dan dalam Al-Kabiir, 24:174; Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Ash-Shifaat, no. 128. Sanad hadits ini terdapat dua orang yang dhaif. Namun, hadits ini memiliki penguat dari Ibnu Majah, 2:1276; Ath-Thahawi dalam Musykil Al-Atsar, 1:63; Al-Hakim, 1:505; Ath-Thabrani, 8:214; Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Ash-Shifaat, no. 36 dari Abu Usamah dengan sanad yang hasan).   [BACAAN KEEMPAT] Doa yang Diperintahkan untuk Dirutinkan Di dalam musnad Imam Ahmad dan Shahih Al-Hakim, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Anas bin Malik, dan Rabi’ah bin Amir, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Rajinlah mengucapkan: ِيَا ذَا الجَلاَلِ وَالإِكْرَام YAA DZAL JALAALI WAL IKROM.” (HR. Ahmad, 4:177; Al-Hakim, 1:498-499; Al-Bukhari dalam At-Tarikh Al-Kabir, 2:1:256, dari Rabi’ah bin ‘Amir dengan sanad yang sahih). Maksudnya adalah bacalah bacaan tersebut terus menerus dan rutinkanlah selalu.   [BACAAN KELIMA] Doa Ketika Menghadapi Kekhawatiran yang Besar Dalam Jaami’ At-Tirmidzi, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati suatu perkara yang membuatnya khawatir (menjadi perhatian utama), ia pun mengangkat kepalanya ke langit seraya berdoa, يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ YA HAYYU YA QOYYUM. Artinya: Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri tidak butuh segala sesuatu.” (HR. Tirmidzi, no. 3432. Hadits ini gharib, sanadnya dhaif).   [BACAAN KEENAM] Doa Nabi Yunus Ketika Menghadapi Kesulitan لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّى كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN. Artinya: Tidak ada Rabb yang berhak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk diantara orang-orang yang berbuat aniaya. (QS. Al-Anbiya’: 87) Di dalam Jaami’ At-Tirmidzi dan Shahih Al-Hakim, disebutkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, دَعْوَةُ ذِى النُّونِ إِذْ دَعَا وَهُوَ فِى بَطْنِ الْحُوتِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّى كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ. فَإِنَّهُ لَمْ يَدْعُ بِهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ فِى شَىْءٍ قَطُّ إِلاَّ اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ “Doa Dzun Nuun (Nabi Yunus) saat berada dalam perut ikan besar adalah LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN. Sungguh, tidaklah orang muslim berdoa dengannya dalam urusan apa pun, melainkan Allah akan mengabulkan doanya.” (HR. Tirmidzi, no. 3500; Al-Haakim, 1:505, 2:382; An-Nasai dalam Amal Al-Yaum, no. 655; Ahmad, no. 1462; Abu Ya’la, 2:110; Ath-Thabrani, no. 124 dengan sanad hasan) Baca juga: Karamah Wali, Luar Biasanya Doa Saad bin Abi Waqqash Disebutkan dalam Al-Mustadrak karya Al-Hakim, dari Sa’ad, dari Nabi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kalian kuberitahu sesuatu yang jika seseorang ditimpa suatu urusan yang menggelisahkan lalu ia berdoa dengannya, maka Allah akan memberinya jalan keluar? Yang beliau maksud adalah doa Dzun Nuun (Nabi Yunus).” (HR. Al-Hakim, 1:505, 2:382) Di dalam Shahih Al-Hakim, dari Sa’ad, ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kutunjukkan pada nama Allah yang agung (ismullah al-a’zhom). Itulah doa Nabi Yunus.” Salah seorang bertanya, “Apakah doa ini khusus untuk Yunus?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidakkah engkau mendengar firman Allah, فَٱسْتَجَبْنَا لَهُۥ وَنَجَّيْنَٰهُ مِنَ ٱلْغَمِّ ۚ وَكَذَٰلِكَ نُۨجِى ٱلْمُؤْمِنِينَ “Maka Kami kabulkan doanya dan Kami selamatkan dia dari kedukaan. Demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiya’: 88)? Maka setiap muslim yang berdoa dengan doa tersebut ketika sedang sakit, ia membacanya sebanyak 40 kali, lalu ternyata ia meninggal dunia, maka dia mendapatkan pahala orang yang mati syahid. Adapun jika ia sembuh, maka ia sembuh dalam keadaan dosanya terampuni.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1:505-506)   [BACAAN KETUJUH] Doa Ketika Menghadapi Kesusahan Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mengalami kesusahan, beliau mengucapkan, لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ الْعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَرَبُّ اْلأَرْضِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيْمُ LAA ILAHA ILLALLAH AL-‘AZHIIM AL-HALIIM, LAA ILAHA ILLALLAH ROBBUL ‘ARSYIL ‘AZHIM. LAA ILAHA ILLALLAH, ROBBUS SAMAAWAATI WA ROBBUL ARDHI WA ROBBUL ‘ARSYIL KARIM. Artinya: Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Agung dan Maha Penyantun. Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah, Rabb yang menguasai Arsy, yang Maha Agung. Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah, Rabb yang menguasai langit dan bumi. Rabb Yang menguasai arsy, lagi Maha Mulia. (HR. Bukhari, no. 5985 dan Muslim, no. 2730)   [BACAAN KEDELAPAN] Doa Ketika Tertimpa Kesulitan Di dalam musnad Al-Imam Ahad, dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepadaku untuk mengucapkan doa ketika ditimpa kesulitan, لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ الْحَلِيمُ الْكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. LAA ILAHA ILLALLAH AL-HALIIM AL-KARIIM, SUBHAANALLAH WA TABAAROKALLAH ROBBUL ‘ARSYIL ‘AZHIIM, WAL HAMDU LILLAHI ROBBIL ‘AALAMIIN. Artinya: Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi, melainkan Allah yang Maha Penyantun lagi Mahamulia . Mahasuci Allah dan Mahatinggi, Rabb Arsy yang agung, serta segala puji bagi Allah Rabb alam semesta. (HR. Ahmad dalam musnadnya, no. 701 dan Al-Hakim, 1:508. Hadits ini disahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir).   [BACAAN KESEMBILAN] Doa Ketika Sedang Gundah dan Sedih Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak seseorang tertimpa kegundahan dan kesedihan, lalu ia membaca: اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ. ALLOHUMMA INNI ‘ABDUK, IBNU ‘ABDIK, IBNU AMATIK, NAASHIYATI BIYADIK, MAADHIN FIYYA HUKMUK, ‘ADLUN FIYYA QODHO-UK. AS-ALUKA BIKULLISMIN HUWA LAK, SAMMAYTA BIHI NAFSAK, AW ANZALTAHU FII KITAABIK, AW ‘ALLAMTAHU AHADAN MIN KHOLQIK, AWISTA’TSARTA BIHI FI ‘ILMIL GHOIBI ‘INDAK. AN TAJ’ALAL QUR’ANA ROBI’A QOLBI, WA NUURO SHODRI, WA JALAA-A HUZNI, WA DZAHABA HAMMI. Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu (Adam) dan anak hamba perempuan-Mu (Hawa). Ubun-ubun ku di tangan-Mu, keputusan-Mu berlaku padaku, ketentuan-Mu kepadaku adalah adil. Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama (baik) yang telah Engkau gunakan untuk diri-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau yang Engkau khususkan untuk diri-Mu dalam ilmu ghaib di sisi-Mu, hendaknya Engkau jadikan Al-Qur’an sebagai penenteram hatiku, cahaya di dada ku, pelenyap duka dan kesedihanku. Jika bacaan tersebut dibaca, Allah akan menghilangkan kegundahan dan kesedihan orang tersebut kemudian menggantikannya dengan kegembiraan. Seorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami mempelajarinya?” Beliau menjawab, “Tentu. Seharusnya orang yang mendengar doa tersebut mempelajarinya.” ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Apabila seorang nabi tertimpa kesusahan, maka ia meminta tolong kepada Allah dengan bertasbih.” (HR. Ahmad dalam musnadnya, 1:391, 452; Al-Hakim, 1:509; Ibnu Hibban, no. 972; Abu Ya’la, no. 5297; Ibnu As-Sunni, no. 340; Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, no. 10352 dengan sanad sahih).   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Selesai disusun pada 12 Muharram 1446 H, 18 Juli 2024 di Pondok Pesantren Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa al jawabul kaafi cara berdoa doa faedah dari Ibnul Qayyim manajemen hati solusi masalah hidup


Dalam penjelasan kali ini, Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan mengenai bacaan yang bila dibaca, segala keinginan akan terkabul. Lebih-lebih, doa-doa ini amat manfaat dibaca saat mendapatkan kesulitan dan ketika sedang sedih. Sebagian doa ini mengandung nama Allah yang agung (ismullah al-a’zhom). Semoga sembilan bacaan ini bisa diamalkan oleh setiap pembaca setia RumayshoCom.   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (hlm. 20-25) sebagai berikut.   Daftar Isi tutup 1. [BACAAN PERTAMA] 2. [BACAAN KEDUA] 3. [BACAAN KETIGA] 4. [BACAAN KEEMPAT] 5. [BACAAN KELIMA] 6. [BACAAN KEENAM] 7. [BACAAN KETUJUH] 8. [BACAAN KEDELAPAN] 9. [BACAAN KESEMBILAN] [BACAAN PERTAMA] Di antara doa yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagaimana yang disebutkan dalam As-Sunan dan Shahih Ibnu Hibban dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang sedang berdoa: اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنِّي أَشْهَدُ أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ ALLAHUMMA INNI AS-ALUKA BI-ANNI ASYHADU ANNAKA ANTALLAHU LAA ILAHA ILLA ANTA, AL-AHAD ASH-SHAMAD LAM YALID WA LAM YUULAD WA LAM YAKUL LAHUU KUFUWAN AHAD. Artinya: Ya Allah, aku memohon kepada-Mu atas dasar persaksianmu bahwa Engkau adalah Allah. Tiada yang berhak disembah kecuali Engkau. Yang Mahatunggal, Yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, serta Yang tiada sesuatu yang setara dengan-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, لَقَدْ سَأَلَ اللهَ بِالاِسْمِ الأَعْظَمِ الَّذِي إِذَا سُئِلَ بِهِ أَعْطَى، وَإِذَا دُعِيَ بِهِ أَجَابَ “Orang itu memohon kepada Allah dengan nama-Nya yang agung. Jika nama-Nya itu digunakan untuk meminta, niscaya akan diberi dan jika digunakan untuk berdoa, niscaya dikabulkan.” (HR. Abu Daud, no. 1493; Ibnu Majah, no. 3857; Tirmidzi, no. 3475; Ibnu Hibban, no. 891; Ahmad, 5:350; Ibnu Abi Syaibah, 10:271; Al-Haakim, 1:504. Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah mengatakan bahwa hadits ini sahih). Disebutkan dalam lafaz yang lain, “Engkau meminta kepada Allah dengan menggunakan nama-Nya yang teragung.”   [BACAAN KEDUA] Masih dalam As-Sunan dan Shahih Ibnu Hibban, dari Anas bin Malik, ia duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara tidak jauh dari mereka ada laki-laki yang sedang shalat. Kemudian, laki-laki itu berdoa: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنَّ لَكَ الْحَمْدُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الْمَنَّانُ بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ، يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ ALLAHUMMA INNI AS-ALUKA BI-ANNA LAKAL HAMDU LAA ILAHA ILLA ANTA AL-MANNAAN BADII’US SAMAAWAATI WAL ARDHI, YAA DZAL JALAALI WAL IKROOM, YA HAYYU YA QOYYUUM. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Ia telah benar-benar memohon kepada Allah dengan menggunakan nama Allah yang paling agung. Jika nama itu digunakan untuk berdoa, niscaya akan dikabulkan. Jika nama itu digunakan untuk meminta, niscaya akan diberi.” (HR. An-Nasai, 3:52; Abu Daud, no. 1495; Ibnu Majah, no. 3858; Tirmidzi, no. 3544; Ibnu Hibban, no. 893; Ahmad, 3:158, 245, 265; Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 705; Ibnu Abi Syaibah, 10:272, dari jalur Anas, sebagiannya sahih dilihat dari dzatnya). Kedua hadits di atas juga dicantumkan oleh Ahmad dalam musnad-nya.   [BACAAN KETIGA] Di dalam Jaami’ At-Tirmidzi, dari Asma binti Yazid, dinukilkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Nama Allah yang paling agung terdapat dalam dua ayat ini: [Ayat pertama] وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحْمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ WA ILĀHUKUM ILĀHUW WĀḤID, LĀ ILĀHA ILLĀ HUWAR-RAḤMĀNUR-RAḤĪM Artinya: Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah: 163) Lalu ayat-ayat pertama dari surah Ali Imran. [Ayat kedua] الٓمٓ ALIF LĀM MĪM Artinya: Alif laam miim. ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ ALLĀHU LĀ ILĀHA ILLĀ HUWAL-ḤAYYUL-QAYYỤM Artinya: Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya. (QS. Ali Imran: 1-2). Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini sahih. (HR. Tirmidzi, no. 3544; Abu Daud, no. 1496; Ibnu Majah, no. 3855; Ahmad, 6:461; Ibnu Abi Syaibah, 10:232; Ad-Darimy, 2:450; Ath-Thabrani dalam Ad-Du’aa, no. 113 dan dalam Al-Kabiir, 24:174; Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Ash-Shifaat, no. 128. Sanad hadits ini terdapat dua orang yang dhaif. Namun, hadits ini memiliki penguat dari Ibnu Majah, 2:1276; Ath-Thahawi dalam Musykil Al-Atsar, 1:63; Al-Hakim, 1:505; Ath-Thabrani, 8:214; Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Ash-Shifaat, no. 36 dari Abu Usamah dengan sanad yang hasan).   [BACAAN KEEMPAT] Doa yang Diperintahkan untuk Dirutinkan Di dalam musnad Imam Ahmad dan Shahih Al-Hakim, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Anas bin Malik, dan Rabi’ah bin Amir, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Rajinlah mengucapkan: ِيَا ذَا الجَلاَلِ وَالإِكْرَام YAA DZAL JALAALI WAL IKROM.” (HR. Ahmad, 4:177; Al-Hakim, 1:498-499; Al-Bukhari dalam At-Tarikh Al-Kabir, 2:1:256, dari Rabi’ah bin ‘Amir dengan sanad yang sahih). Maksudnya adalah bacalah bacaan tersebut terus menerus dan rutinkanlah selalu.   [BACAAN KELIMA] Doa Ketika Menghadapi Kekhawatiran yang Besar Dalam Jaami’ At-Tirmidzi, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati suatu perkara yang membuatnya khawatir (menjadi perhatian utama), ia pun mengangkat kepalanya ke langit seraya berdoa, يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ YA HAYYU YA QOYYUM. Artinya: Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri tidak butuh segala sesuatu.” (HR. Tirmidzi, no. 3432. Hadits ini gharib, sanadnya dhaif).   [BACAAN KEENAM] Doa Nabi Yunus Ketika Menghadapi Kesulitan لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّى كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN. Artinya: Tidak ada Rabb yang berhak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk diantara orang-orang yang berbuat aniaya. (QS. Al-Anbiya’: 87) Di dalam Jaami’ At-Tirmidzi dan Shahih Al-Hakim, disebutkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, دَعْوَةُ ذِى النُّونِ إِذْ دَعَا وَهُوَ فِى بَطْنِ الْحُوتِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّى كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ. فَإِنَّهُ لَمْ يَدْعُ بِهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ فِى شَىْءٍ قَطُّ إِلاَّ اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ “Doa Dzun Nuun (Nabi Yunus) saat berada dalam perut ikan besar adalah LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN. Sungguh, tidaklah orang muslim berdoa dengannya dalam urusan apa pun, melainkan Allah akan mengabulkan doanya.” (HR. Tirmidzi, no. 3500; Al-Haakim, 1:505, 2:382; An-Nasai dalam Amal Al-Yaum, no. 655; Ahmad, no. 1462; Abu Ya’la, 2:110; Ath-Thabrani, no. 124 dengan sanad hasan) Baca juga: Karamah Wali, Luar Biasanya Doa Saad bin Abi Waqqash Disebutkan dalam Al-Mustadrak karya Al-Hakim, dari Sa’ad, dari Nabi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kalian kuberitahu sesuatu yang jika seseorang ditimpa suatu urusan yang menggelisahkan lalu ia berdoa dengannya, maka Allah akan memberinya jalan keluar? Yang beliau maksud adalah doa Dzun Nuun (Nabi Yunus).” (HR. Al-Hakim, 1:505, 2:382) Di dalam Shahih Al-Hakim, dari Sa’ad, ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kutunjukkan pada nama Allah yang agung (ismullah al-a’zhom). Itulah doa Nabi Yunus.” Salah seorang bertanya, “Apakah doa ini khusus untuk Yunus?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidakkah engkau mendengar firman Allah, فَٱسْتَجَبْنَا لَهُۥ وَنَجَّيْنَٰهُ مِنَ ٱلْغَمِّ ۚ وَكَذَٰلِكَ نُۨجِى ٱلْمُؤْمِنِينَ “Maka Kami kabulkan doanya dan Kami selamatkan dia dari kedukaan. Demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiya’: 88)? Maka setiap muslim yang berdoa dengan doa tersebut ketika sedang sakit, ia membacanya sebanyak 40 kali, lalu ternyata ia meninggal dunia, maka dia mendapatkan pahala orang yang mati syahid. Adapun jika ia sembuh, maka ia sembuh dalam keadaan dosanya terampuni.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1:505-506)   [BACAAN KETUJUH] Doa Ketika Menghadapi Kesusahan Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mengalami kesusahan, beliau mengucapkan, لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ الْعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَرَبُّ اْلأَرْضِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيْمُ LAA ILAHA ILLALLAH AL-‘AZHIIM AL-HALIIM, LAA ILAHA ILLALLAH ROBBUL ‘ARSYIL ‘AZHIM. LAA ILAHA ILLALLAH, ROBBUS SAMAAWAATI WA ROBBUL ARDHI WA ROBBUL ‘ARSYIL KARIM. Artinya: Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Agung dan Maha Penyantun. Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah, Rabb yang menguasai Arsy, yang Maha Agung. Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah, Rabb yang menguasai langit dan bumi. Rabb Yang menguasai arsy, lagi Maha Mulia. (HR. Bukhari, no. 5985 dan Muslim, no. 2730)   [BACAAN KEDELAPAN] Doa Ketika Tertimpa Kesulitan Di dalam musnad Al-Imam Ahad, dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepadaku untuk mengucapkan doa ketika ditimpa kesulitan, لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ الْحَلِيمُ الْكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. LAA ILAHA ILLALLAH AL-HALIIM AL-KARIIM, SUBHAANALLAH WA TABAAROKALLAH ROBBUL ‘ARSYIL ‘AZHIIM, WAL HAMDU LILLAHI ROBBIL ‘AALAMIIN. Artinya: Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi, melainkan Allah yang Maha Penyantun lagi Mahamulia . Mahasuci Allah dan Mahatinggi, Rabb Arsy yang agung, serta segala puji bagi Allah Rabb alam semesta. (HR. Ahmad dalam musnadnya, no. 701 dan Al-Hakim, 1:508. Hadits ini disahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir).   [BACAAN KESEMBILAN] Doa Ketika Sedang Gundah dan Sedih Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak seseorang tertimpa kegundahan dan kesedihan, lalu ia membaca: اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ. ALLOHUMMA INNI ‘ABDUK, IBNU ‘ABDIK, IBNU AMATIK, NAASHIYATI BIYADIK, MAADHIN FIYYA HUKMUK, ‘ADLUN FIYYA QODHO-UK. AS-ALUKA BIKULLISMIN HUWA LAK, SAMMAYTA BIHI NAFSAK, AW ANZALTAHU FII KITAABIK, AW ‘ALLAMTAHU AHADAN MIN KHOLQIK, AWISTA’TSARTA BIHI FI ‘ILMIL GHOIBI ‘INDAK. AN TAJ’ALAL QUR’ANA ROBI’A QOLBI, WA NUURO SHODRI, WA JALAA-A HUZNI, WA DZAHABA HAMMI. Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu (Adam) dan anak hamba perempuan-Mu (Hawa). Ubun-ubun ku di tangan-Mu, keputusan-Mu berlaku padaku, ketentuan-Mu kepadaku adalah adil. Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama (baik) yang telah Engkau gunakan untuk diri-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau yang Engkau khususkan untuk diri-Mu dalam ilmu ghaib di sisi-Mu, hendaknya Engkau jadikan Al-Qur’an sebagai penenteram hatiku, cahaya di dada ku, pelenyap duka dan kesedihanku. Jika bacaan tersebut dibaca, Allah akan menghilangkan kegundahan dan kesedihan orang tersebut kemudian menggantikannya dengan kegembiraan. Seorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami mempelajarinya?” Beliau menjawab, “Tentu. Seharusnya orang yang mendengar doa tersebut mempelajarinya.” ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Apabila seorang nabi tertimpa kesusahan, maka ia meminta tolong kepada Allah dengan bertasbih.” (HR. Ahmad dalam musnadnya, 1:391, 452; Al-Hakim, 1:509; Ibnu Hibban, no. 972; Abu Ya’la, no. 5297; Ibnu As-Sunni, no. 340; Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, no. 10352 dengan sanad sahih).   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Selesai disusun pada 12 Muharram 1446 H, 18 Juli 2024 di Pondok Pesantren Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa al jawabul kaafi cara berdoa doa faedah dari Ibnul Qayyim manajemen hati solusi masalah hidup

Mau Doa Anda Mustajab? Lakukan 5 Hal Ini! – Syaikh Shalih Sindi #NasehatUlama

Segala puji bagi Allah. Semoga selawat dan salam terlimpah untuk Rasulullah beserta Sahabat beliau dan orang yang loyal kepada beliau.Adapun berikutnya, ketika Anda berdoa kepada Tuhan Anda, sembari menengadahkan tangan Anda ke langit, maka janganlah lupa 5 perkara!Betapa dekat doa Anda untuk dikabulkan dengan lima hal ini.[PERTAMA]Berdoalah dengan menghadirkan hati dan Anda yakin akan dikabulkan. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Berdoalah kepada Allah, sedangkan kalian yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak akan mengabulkan doa dari hati yang lalai dan abai.” Hadis riwayat Tirmidzi.[KEDUA]Gabungkan antara husnuzan kepada Allah dan menampakkan kebutuhan Anda kepada-Nya Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda bahwa Allah Taʿālā Berfirman, “Aku sesuai sangkaan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya jika dia menyeru-Ku.” (Muttafaqun ‘alaihi, dan ini redaksi Muslim) Diriwayatkan oleh Ahmad bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda bahwa Allah Taʿālā Berfirman,“Aku sesuai sangkaan hamba-Ku kepada-Ku, maka terserah dia mau menyangka apa terhadap-Ku.”[KETIGA]Merengek-rengeklah (yaitu meminta dengan menangis) dalam doa Anda, serta perbanyak doa tersebut, dan jangan terburu-buru. Al-Auzāʿi Raẖimahullāh berkata, “Dikatakan bahwa sebaik-baik doa adalah dengan merengek-rengek kepada Allah Tabāraka wa Taʿālā dan merendah di hadapan-Nya.”[KEEMPAT]Carilah waktu-waktu (dan tempat-tempat) dikabulkannya doa.[KELIMA]Ucapkan puja dan puji Anda kepada Allah, dan bacalah selawat untuk Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dalam doa Anda.Ya Allah, Terimalah tobat kami, Sucikanlah dosa kami, dan Kabulkanlah doa kami. Semoga selawat dan salam tercurah untuk Nabi kita, Muhammad, beserta seluruh keluarga dan Sahabat beliau. ==== الْحَمْدُ لِلّهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ أَمَّا بَعْدُ فَإِذَا دَعَوْتَ رَبَّكَ وَمَدَدْتَ يَدَيكَ إِلَى السَّمَاءِ فَلَا تَغْفَلْ عَنْ خَمْسَةٍ فَمَا أَحْرَى دُعَاءَكَ بِالْقَبُولِ مَعَهَا الْأَوَّلُ أَنْ تَدْعُوَ وَأَنْتَ حَاضِرُ الْقَلْبِ مُوقِنٌ بِالْإِجَابَةِ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اُدْعُوا اللهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالْإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ لَا يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لَاهٍ أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ الثَّانِي اجْمَعْ بَيْنَ حُسْنِ الظَّنِّ بِاللَّهِ وَإِظْهَارِ الْاِفْتِقَارِ إِلَيْهِ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُولُ أَنَا عِنْدَ ظَنِّي عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا دَعَانِي مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَهَذَا لَفْظُ مُسْلِمٍ وَعِنْدَ أَحْمَدَ قَالُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا عِنْدَ ظَنِّي عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ الثَّالِثُ أَلِحَّ فِي دُعَائِكَ وَأَكْثِرْ وَلَا تَسْتَعْجِلْ قَالَ الأَوْزَاعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ كَانَ يُقَالُ أَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْإِلْحَاحُ عَلَى للهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَالتَّضَرُّعُ إِلَيْهِ الرَّابِعُ تَوَخَّى مَوَاطِنَ إِجَابَةِ الدُّعَاءِ الْخَامِسُ احْمَدِ اللهَ وَأَثْنِ عَلَيْهِ وَصَلِّ عَلَى نَبِيِّكَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي دُعَائِكَ رَبِّي تَقَبَّلْ تَوْبَتَنَا وَاغْسِلْ حَوْبَتَنَا وَأَجِبْ دَعْوَتَنَا وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ

Mau Doa Anda Mustajab? Lakukan 5 Hal Ini! – Syaikh Shalih Sindi #NasehatUlama

Segala puji bagi Allah. Semoga selawat dan salam terlimpah untuk Rasulullah beserta Sahabat beliau dan orang yang loyal kepada beliau.Adapun berikutnya, ketika Anda berdoa kepada Tuhan Anda, sembari menengadahkan tangan Anda ke langit, maka janganlah lupa 5 perkara!Betapa dekat doa Anda untuk dikabulkan dengan lima hal ini.[PERTAMA]Berdoalah dengan menghadirkan hati dan Anda yakin akan dikabulkan. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Berdoalah kepada Allah, sedangkan kalian yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak akan mengabulkan doa dari hati yang lalai dan abai.” Hadis riwayat Tirmidzi.[KEDUA]Gabungkan antara husnuzan kepada Allah dan menampakkan kebutuhan Anda kepada-Nya Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda bahwa Allah Taʿālā Berfirman, “Aku sesuai sangkaan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya jika dia menyeru-Ku.” (Muttafaqun ‘alaihi, dan ini redaksi Muslim) Diriwayatkan oleh Ahmad bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda bahwa Allah Taʿālā Berfirman,“Aku sesuai sangkaan hamba-Ku kepada-Ku, maka terserah dia mau menyangka apa terhadap-Ku.”[KETIGA]Merengek-rengeklah (yaitu meminta dengan menangis) dalam doa Anda, serta perbanyak doa tersebut, dan jangan terburu-buru. Al-Auzāʿi Raẖimahullāh berkata, “Dikatakan bahwa sebaik-baik doa adalah dengan merengek-rengek kepada Allah Tabāraka wa Taʿālā dan merendah di hadapan-Nya.”[KEEMPAT]Carilah waktu-waktu (dan tempat-tempat) dikabulkannya doa.[KELIMA]Ucapkan puja dan puji Anda kepada Allah, dan bacalah selawat untuk Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dalam doa Anda.Ya Allah, Terimalah tobat kami, Sucikanlah dosa kami, dan Kabulkanlah doa kami. Semoga selawat dan salam tercurah untuk Nabi kita, Muhammad, beserta seluruh keluarga dan Sahabat beliau. ==== الْحَمْدُ لِلّهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ أَمَّا بَعْدُ فَإِذَا دَعَوْتَ رَبَّكَ وَمَدَدْتَ يَدَيكَ إِلَى السَّمَاءِ فَلَا تَغْفَلْ عَنْ خَمْسَةٍ فَمَا أَحْرَى دُعَاءَكَ بِالْقَبُولِ مَعَهَا الْأَوَّلُ أَنْ تَدْعُوَ وَأَنْتَ حَاضِرُ الْقَلْبِ مُوقِنٌ بِالْإِجَابَةِ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اُدْعُوا اللهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالْإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ لَا يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لَاهٍ أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ الثَّانِي اجْمَعْ بَيْنَ حُسْنِ الظَّنِّ بِاللَّهِ وَإِظْهَارِ الْاِفْتِقَارِ إِلَيْهِ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُولُ أَنَا عِنْدَ ظَنِّي عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا دَعَانِي مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَهَذَا لَفْظُ مُسْلِمٍ وَعِنْدَ أَحْمَدَ قَالُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا عِنْدَ ظَنِّي عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ الثَّالِثُ أَلِحَّ فِي دُعَائِكَ وَأَكْثِرْ وَلَا تَسْتَعْجِلْ قَالَ الأَوْزَاعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ كَانَ يُقَالُ أَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْإِلْحَاحُ عَلَى للهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَالتَّضَرُّعُ إِلَيْهِ الرَّابِعُ تَوَخَّى مَوَاطِنَ إِجَابَةِ الدُّعَاءِ الْخَامِسُ احْمَدِ اللهَ وَأَثْنِ عَلَيْهِ وَصَلِّ عَلَى نَبِيِّكَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي دُعَائِكَ رَبِّي تَقَبَّلْ تَوْبَتَنَا وَاغْسِلْ حَوْبَتَنَا وَأَجِبْ دَعْوَتَنَا وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ
Segala puji bagi Allah. Semoga selawat dan salam terlimpah untuk Rasulullah beserta Sahabat beliau dan orang yang loyal kepada beliau.Adapun berikutnya, ketika Anda berdoa kepada Tuhan Anda, sembari menengadahkan tangan Anda ke langit, maka janganlah lupa 5 perkara!Betapa dekat doa Anda untuk dikabulkan dengan lima hal ini.[PERTAMA]Berdoalah dengan menghadirkan hati dan Anda yakin akan dikabulkan. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Berdoalah kepada Allah, sedangkan kalian yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak akan mengabulkan doa dari hati yang lalai dan abai.” Hadis riwayat Tirmidzi.[KEDUA]Gabungkan antara husnuzan kepada Allah dan menampakkan kebutuhan Anda kepada-Nya Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda bahwa Allah Taʿālā Berfirman, “Aku sesuai sangkaan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya jika dia menyeru-Ku.” (Muttafaqun ‘alaihi, dan ini redaksi Muslim) Diriwayatkan oleh Ahmad bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda bahwa Allah Taʿālā Berfirman,“Aku sesuai sangkaan hamba-Ku kepada-Ku, maka terserah dia mau menyangka apa terhadap-Ku.”[KETIGA]Merengek-rengeklah (yaitu meminta dengan menangis) dalam doa Anda, serta perbanyak doa tersebut, dan jangan terburu-buru. Al-Auzāʿi Raẖimahullāh berkata, “Dikatakan bahwa sebaik-baik doa adalah dengan merengek-rengek kepada Allah Tabāraka wa Taʿālā dan merendah di hadapan-Nya.”[KEEMPAT]Carilah waktu-waktu (dan tempat-tempat) dikabulkannya doa.[KELIMA]Ucapkan puja dan puji Anda kepada Allah, dan bacalah selawat untuk Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dalam doa Anda.Ya Allah, Terimalah tobat kami, Sucikanlah dosa kami, dan Kabulkanlah doa kami. Semoga selawat dan salam tercurah untuk Nabi kita, Muhammad, beserta seluruh keluarga dan Sahabat beliau. ==== الْحَمْدُ لِلّهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ أَمَّا بَعْدُ فَإِذَا دَعَوْتَ رَبَّكَ وَمَدَدْتَ يَدَيكَ إِلَى السَّمَاءِ فَلَا تَغْفَلْ عَنْ خَمْسَةٍ فَمَا أَحْرَى دُعَاءَكَ بِالْقَبُولِ مَعَهَا الْأَوَّلُ أَنْ تَدْعُوَ وَأَنْتَ حَاضِرُ الْقَلْبِ مُوقِنٌ بِالْإِجَابَةِ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اُدْعُوا اللهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالْإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ لَا يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لَاهٍ أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ الثَّانِي اجْمَعْ بَيْنَ حُسْنِ الظَّنِّ بِاللَّهِ وَإِظْهَارِ الْاِفْتِقَارِ إِلَيْهِ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُولُ أَنَا عِنْدَ ظَنِّي عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا دَعَانِي مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَهَذَا لَفْظُ مُسْلِمٍ وَعِنْدَ أَحْمَدَ قَالُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا عِنْدَ ظَنِّي عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ الثَّالِثُ أَلِحَّ فِي دُعَائِكَ وَأَكْثِرْ وَلَا تَسْتَعْجِلْ قَالَ الأَوْزَاعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ كَانَ يُقَالُ أَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْإِلْحَاحُ عَلَى للهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَالتَّضَرُّعُ إِلَيْهِ الرَّابِعُ تَوَخَّى مَوَاطِنَ إِجَابَةِ الدُّعَاءِ الْخَامِسُ احْمَدِ اللهَ وَأَثْنِ عَلَيْهِ وَصَلِّ عَلَى نَبِيِّكَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي دُعَائِكَ رَبِّي تَقَبَّلْ تَوْبَتَنَا وَاغْسِلْ حَوْبَتَنَا وَأَجِبْ دَعْوَتَنَا وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ


Segala puji bagi Allah. Semoga selawat dan salam terlimpah untuk Rasulullah beserta Sahabat beliau dan orang yang loyal kepada beliau.Adapun berikutnya, ketika Anda berdoa kepada Tuhan Anda, sembari menengadahkan tangan Anda ke langit, maka janganlah lupa 5 perkara!Betapa dekat doa Anda untuk dikabulkan dengan lima hal ini.[PERTAMA]Berdoalah dengan menghadirkan hati dan Anda yakin akan dikabulkan. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Berdoalah kepada Allah, sedangkan kalian yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak akan mengabulkan doa dari hati yang lalai dan abai.” Hadis riwayat Tirmidzi.[KEDUA]Gabungkan antara husnuzan kepada Allah dan menampakkan kebutuhan Anda kepada-Nya Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda bahwa Allah Taʿālā Berfirman, “Aku sesuai sangkaan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya jika dia menyeru-Ku.” (Muttafaqun ‘alaihi, dan ini redaksi Muslim) Diriwayatkan oleh Ahmad bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda bahwa Allah Taʿālā Berfirman,“Aku sesuai sangkaan hamba-Ku kepada-Ku, maka terserah dia mau menyangka apa terhadap-Ku.”[KETIGA]Merengek-rengeklah (yaitu meminta dengan menangis) dalam doa Anda, serta perbanyak doa tersebut, dan jangan terburu-buru. Al-Auzāʿi Raẖimahullāh berkata, “Dikatakan bahwa sebaik-baik doa adalah dengan merengek-rengek kepada Allah Tabāraka wa Taʿālā dan merendah di hadapan-Nya.”[KEEMPAT]Carilah waktu-waktu (dan tempat-tempat) dikabulkannya doa.[KELIMA]Ucapkan puja dan puji Anda kepada Allah, dan bacalah selawat untuk Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dalam doa Anda.Ya Allah, Terimalah tobat kami, Sucikanlah dosa kami, dan Kabulkanlah doa kami. Semoga selawat dan salam tercurah untuk Nabi kita, Muhammad, beserta seluruh keluarga dan Sahabat beliau. ==== الْحَمْدُ لِلّهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ أَمَّا بَعْدُ فَإِذَا دَعَوْتَ رَبَّكَ وَمَدَدْتَ يَدَيكَ إِلَى السَّمَاءِ فَلَا تَغْفَلْ عَنْ خَمْسَةٍ فَمَا أَحْرَى دُعَاءَكَ بِالْقَبُولِ مَعَهَا الْأَوَّلُ أَنْ تَدْعُوَ وَأَنْتَ حَاضِرُ الْقَلْبِ مُوقِنٌ بِالْإِجَابَةِ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اُدْعُوا اللهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالْإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ لَا يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لَاهٍ أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ الثَّانِي اجْمَعْ بَيْنَ حُسْنِ الظَّنِّ بِاللَّهِ وَإِظْهَارِ الْاِفْتِقَارِ إِلَيْهِ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُولُ أَنَا عِنْدَ ظَنِّي عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا دَعَانِي مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَهَذَا لَفْظُ مُسْلِمٍ وَعِنْدَ أَحْمَدَ قَالُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا عِنْدَ ظَنِّي عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ الثَّالِثُ أَلِحَّ فِي دُعَائِكَ وَأَكْثِرْ وَلَا تَسْتَعْجِلْ قَالَ الأَوْزَاعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ كَانَ يُقَالُ أَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْإِلْحَاحُ عَلَى للهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَالتَّضَرُّعُ إِلَيْهِ الرَّابِعُ تَوَخَّى مَوَاطِنَ إِجَابَةِ الدُّعَاءِ الْخَامِسُ احْمَدِ اللهَ وَأَثْنِ عَلَيْهِ وَصَلِّ عَلَى نَبِيِّكَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي دُعَائِكَ رَبِّي تَقَبَّلْ تَوْبَتَنَا وَاغْسِلْ حَوْبَتَنَا وَأَجِبْ دَعْوَتَنَا وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ

Hukum Menikahi Saudara Sepupu

Daftar Isi Toggle Pernikahan hanya sah antara pasangan yang bebas dari halangan-halangan secara syariatSyariat membolehkan pernikahan dengan saudara sepupuWaspada terhadap saudara sepersusuanKesimpulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan dan mendorong untuk menikah. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يا معشر الشباب! من استطاع منكم الباءة فليتزوج؛ فإنه أغض للبصر، وأحصن للفرج “Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.” (HR. Bukhari no. 5065) Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, تزوجوا الودود الولود “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur … ” (HR. Ibnu Hibban no. 4028 dan selainnya, dihasankan oleh Al-Albani rahimahullah) Pernikahan disyariatkan berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma‘ (kesepakatan ulama). [1] Disyariatkannya pernikahan mengandung banyak hikmah yang beragam. Di antaranya adalah menjaga kelangsungan keturunan melalui reproduksi, menundukkan pandangan, dan menjaga diri dari zina. Selain itu, pernikahan juga bertujuan untuk melindungi perempuan, memberikan nafkah, dan memenuhi kebutuhan mereka, serta menjalin kerja sama antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai urusan kehidupan. Dan masih banyak lagi hikmah-hikmah dari pernikahan yang telah disyariatkan dalam Islam. [2] Pernikahan hanya sah antara pasangan yang bebas dari halangan-halangan secara syariat Para ulama sepakat bahwa pernikahan hanya sah antara pasangan yang bebas dari halangan-halangan secara syariat. Halangan-halangan syariat adalah hubungan yang ditetapkan oleh syariat sebagai sebab diharamkannya pernikahan antara laki-laki dan perempuan, baik secara permanen maupun sementara. Para ulama membahas hal ini dalam bab Al-Muharramat fin Nikah. [3] Pengharaman ini tentu memiliki banyak hikmah. Di antaranya adalah bahwasanya Islam memerintahkan untuk menyambung silaturahmi dan menjaga hubungan yang menghubungkan individu satu sama lain, serta melindunginya dari permusuhan dan perselisihan. Al-Kasani rahimahullah mengatakan, إِنَّ نِكَاحَ هَؤُلَاءِ يُفْضِي إِلَى قَطْعِ الرَّحِمِ لأَِنَّ النِّكَاحَ لَا يَخْلُو مِنْ مُبَاسَطَاتٍ تَجْرِي بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ عَادَةً، وَبِسَبَبِهَا تَجْرِي الْخُشُونَةُ بَيْنَهُمَا، وَذَلِكَ يُفْضِي إِلَى قَطْعِ الرَّحِمِ، فَكَانَ النِّكَاحُ سَبَبًا لِقَطْعِ الرَّحِمِ، مُفْضِيًا إِلَيْهِ، وَقَطْعُ الرَّحِمِ حَرَامٌ، وَالْمُفْضِي إِلَى الْحَرَامِ حَرَامٌ “Pernikahan dengan orang-orang yang diharamkan dapat menyebabkan putusnya silaturahmi. Karena pernikahan tidak terlepas dari interaksi antara suami istri yang biasanya terjadi, dan karenanya dapat menimbulkan perselisihan di antara mereka, yang pada akhirnya menyebabkan putusnya silaturahmi. Dengan demikian, pernikahan menjadi sebab putusnya silaturahmi dan mengarah kepadanya. Memutuskan silaturahmi adalah haram, dan sesuatu yang mengarah kepada yang haram juga haram.” [4] Syariat membolehkan pernikahan dengan saudara sepupu Saudara sepupu tidak termasuk mahram, yang dilarang untuk dinikahi. Dalam bahasa kita, misan atau sepupu atau saudara sepupu (kakak maupun adik) adalah saudara senenek dan sekakek atau anak dari paman atau bibi. [5] Dalam istilah fikih, sepupu biasa disebutkan dengan بنت العم والعمة والخال والخالة “Anak perempuan dari paman dan bibi dari pihak bapak, dan paman dan bibi dari pihak ibu (jika kita melihat dari sisi laki-laki).” Termasuk juga anak perempuan paman ayah, anak perempuan paman kakek, dan semisalnya. Allah Ta’ala membolehkan menikah dengan saudara sepupu, jika tidak ada halangan dari sisi persusuan. [6] Dalil mengenai hal ini adalah firman Allah Ta’ala, وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالَاتِكَ “… dan (dengan) anak perempuan dari saudara laki-laki ayahmu dan anak perempuan dari saudara perempuan ayahmu, dan anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak perempuan dari saudara perempuan ibumu …” (QS. Al-Ahzab: 50) Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya [7] mengatakan, هَذَا عَدْلٌ ‌وَسط بَيْنِ الْإِفْرَاطِ وَالتَّفْرِيطِ؛ فَإِنَّ النَّصَارَى لَا يَتَزَوَّجُونَ الْمَرْأَةَ إِلَّا إِذَا كَانَ الرَّجُلُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا سَبْعَةُ أَجْدَادٍ فَصَاعِدًا، وَالْيَهُودُ يَتَزَوَّجُ أَحَدُهُمْ بِنْتَ أَخِيهِ وَبِنْتَ أُخْتِهِ، فَجَاءَتْ هَذِهِ الشَّرِيعَةُ الْكَامِلَةُ الطَّاهِرَةُ بِهَدْمِ إِفْرَاطِ النَّصَارَى، فَأَبَاحَ بِنْتَ الْعَمِّ وَالْعَمَّةِ، وَبِنْتَ الْخَالِ وَالْخَالَةِ، وَتَحْرِيمِ مَا فَرّطت فِيهِ الْيَهُودُ مِنْ إِبَاحَةِ بِنْتِ الْأَخِ وَالْأُخْتِ، وَهَذَا بَشِعٌ فَظِيعٌ “Ini adalah keadilan yang berada di tengah-tengah antara sikap berlebihan dan sikap meremehkan. Orang-orang Nasrani tidak menikahi seorang wanita, kecuali jika ada tujuh generasi atau lebih antara laki-laki dan wanita tersebut. Sedangkan orang-orang Yahudi, salah satu dari mereka menikahi anak perempuan dari saudara laki-lakinya atau anak perempuan dari saudara perempuannya. Maka, datanglah syariat (Islam) yang sempurna dan murni ini dengan menghapuskan sikap berlebihan orang-orang Nasrani, sehingga membolehkan (menikahi) anak perempuan dari paman, bibi, paman dari pihak ibu, dan bibi dari pihak ibu; serta mengharamkan apa yang dianggap remeh oleh orang-orang Yahudi dalam membolehkan menikahi anak perempuan dari saudara laki-laki dan saudara perempuan, yang merupakan perkara buruk dan keji.” Waspada terhadap saudara sepersusuan Di antara perkara yang perlu diwaspadai terkait dengan menikahi saudara sepupu adalah masalah saudara sepersusuan, yang ini merupakan penghalang pernikahan. Hal ini karena kebiasaan sebagian masyarakat adalah seorang perempuan menyusui anak dari saudara/ saudarinya. Jika demikian terjadi, maka tidak halal menikahinya karena ia adalah saudara sepersusuan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ ما يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ “Yang diharamkan dari sepersusuan adalah sama dengan yang diharamkan dari nasab.” (HR. Muslim no. 1445) Pembahasan lebih rinci tentang persusuan yang menyebabkan mahram dibahas oleh para ulama di kitab-kitab fikih mereka. Kesimpulan Diperbolehkan bagi seorang laki-laki untuk menikahi saudari sepupunya. Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Ipar Itu Maut *** 23 Zulhijah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Tafsirul Quranil ‘Adzim, Imam Ismail bin Umar Ibnu Katsir, Darul Alamiyah – Mesir, cet. ke-2, 2016 M. Al-Mulakhkhash Al-Fiqhiy, Syekh Shalih Fauzan Al-Fauzan, Darul Aqidah – Mesir, 2009 M. Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan – Riyadh, cet. ke-4, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Al-Mulakhkhash Al-Fiqhiy, 2: 321. [2] Al-Fiqhul Muyassar, 5: 10. [3] Al-Fiqhul Muyassar, 5: 13. [4] Bada’i’ As-Shana’i’, 2: 257, dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah,  36: 212. [5] https://id.wikipedia.org/wiki/Sepupu. Dalam istilah lain, diringkas dengan “saudara senenek”, lihat https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sepupu [6] Fatwa Nur ‘ala Darb li Ibn Baz – Asy-Syuwi’r, 20: 28. Lihat juga https://www.islamweb.net/ar/fatwa/64640/ [7] Tafsirul Quranil ‘Adzim, 3: 705. Tags: sepupu

Hukum Menikahi Saudara Sepupu

Daftar Isi Toggle Pernikahan hanya sah antara pasangan yang bebas dari halangan-halangan secara syariatSyariat membolehkan pernikahan dengan saudara sepupuWaspada terhadap saudara sepersusuanKesimpulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan dan mendorong untuk menikah. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يا معشر الشباب! من استطاع منكم الباءة فليتزوج؛ فإنه أغض للبصر، وأحصن للفرج “Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.” (HR. Bukhari no. 5065) Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, تزوجوا الودود الولود “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur … ” (HR. Ibnu Hibban no. 4028 dan selainnya, dihasankan oleh Al-Albani rahimahullah) Pernikahan disyariatkan berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma‘ (kesepakatan ulama). [1] Disyariatkannya pernikahan mengandung banyak hikmah yang beragam. Di antaranya adalah menjaga kelangsungan keturunan melalui reproduksi, menundukkan pandangan, dan menjaga diri dari zina. Selain itu, pernikahan juga bertujuan untuk melindungi perempuan, memberikan nafkah, dan memenuhi kebutuhan mereka, serta menjalin kerja sama antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai urusan kehidupan. Dan masih banyak lagi hikmah-hikmah dari pernikahan yang telah disyariatkan dalam Islam. [2] Pernikahan hanya sah antara pasangan yang bebas dari halangan-halangan secara syariat Para ulama sepakat bahwa pernikahan hanya sah antara pasangan yang bebas dari halangan-halangan secara syariat. Halangan-halangan syariat adalah hubungan yang ditetapkan oleh syariat sebagai sebab diharamkannya pernikahan antara laki-laki dan perempuan, baik secara permanen maupun sementara. Para ulama membahas hal ini dalam bab Al-Muharramat fin Nikah. [3] Pengharaman ini tentu memiliki banyak hikmah. Di antaranya adalah bahwasanya Islam memerintahkan untuk menyambung silaturahmi dan menjaga hubungan yang menghubungkan individu satu sama lain, serta melindunginya dari permusuhan dan perselisihan. Al-Kasani rahimahullah mengatakan, إِنَّ نِكَاحَ هَؤُلَاءِ يُفْضِي إِلَى قَطْعِ الرَّحِمِ لأَِنَّ النِّكَاحَ لَا يَخْلُو مِنْ مُبَاسَطَاتٍ تَجْرِي بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ عَادَةً، وَبِسَبَبِهَا تَجْرِي الْخُشُونَةُ بَيْنَهُمَا، وَذَلِكَ يُفْضِي إِلَى قَطْعِ الرَّحِمِ، فَكَانَ النِّكَاحُ سَبَبًا لِقَطْعِ الرَّحِمِ، مُفْضِيًا إِلَيْهِ، وَقَطْعُ الرَّحِمِ حَرَامٌ، وَالْمُفْضِي إِلَى الْحَرَامِ حَرَامٌ “Pernikahan dengan orang-orang yang diharamkan dapat menyebabkan putusnya silaturahmi. Karena pernikahan tidak terlepas dari interaksi antara suami istri yang biasanya terjadi, dan karenanya dapat menimbulkan perselisihan di antara mereka, yang pada akhirnya menyebabkan putusnya silaturahmi. Dengan demikian, pernikahan menjadi sebab putusnya silaturahmi dan mengarah kepadanya. Memutuskan silaturahmi adalah haram, dan sesuatu yang mengarah kepada yang haram juga haram.” [4] Syariat membolehkan pernikahan dengan saudara sepupu Saudara sepupu tidak termasuk mahram, yang dilarang untuk dinikahi. Dalam bahasa kita, misan atau sepupu atau saudara sepupu (kakak maupun adik) adalah saudara senenek dan sekakek atau anak dari paman atau bibi. [5] Dalam istilah fikih, sepupu biasa disebutkan dengan بنت العم والعمة والخال والخالة “Anak perempuan dari paman dan bibi dari pihak bapak, dan paman dan bibi dari pihak ibu (jika kita melihat dari sisi laki-laki).” Termasuk juga anak perempuan paman ayah, anak perempuan paman kakek, dan semisalnya. Allah Ta’ala membolehkan menikah dengan saudara sepupu, jika tidak ada halangan dari sisi persusuan. [6] Dalil mengenai hal ini adalah firman Allah Ta’ala, وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالَاتِكَ “… dan (dengan) anak perempuan dari saudara laki-laki ayahmu dan anak perempuan dari saudara perempuan ayahmu, dan anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak perempuan dari saudara perempuan ibumu …” (QS. Al-Ahzab: 50) Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya [7] mengatakan, هَذَا عَدْلٌ ‌وَسط بَيْنِ الْإِفْرَاطِ وَالتَّفْرِيطِ؛ فَإِنَّ النَّصَارَى لَا يَتَزَوَّجُونَ الْمَرْأَةَ إِلَّا إِذَا كَانَ الرَّجُلُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا سَبْعَةُ أَجْدَادٍ فَصَاعِدًا، وَالْيَهُودُ يَتَزَوَّجُ أَحَدُهُمْ بِنْتَ أَخِيهِ وَبِنْتَ أُخْتِهِ، فَجَاءَتْ هَذِهِ الشَّرِيعَةُ الْكَامِلَةُ الطَّاهِرَةُ بِهَدْمِ إِفْرَاطِ النَّصَارَى، فَأَبَاحَ بِنْتَ الْعَمِّ وَالْعَمَّةِ، وَبِنْتَ الْخَالِ وَالْخَالَةِ، وَتَحْرِيمِ مَا فَرّطت فِيهِ الْيَهُودُ مِنْ إِبَاحَةِ بِنْتِ الْأَخِ وَالْأُخْتِ، وَهَذَا بَشِعٌ فَظِيعٌ “Ini adalah keadilan yang berada di tengah-tengah antara sikap berlebihan dan sikap meremehkan. Orang-orang Nasrani tidak menikahi seorang wanita, kecuali jika ada tujuh generasi atau lebih antara laki-laki dan wanita tersebut. Sedangkan orang-orang Yahudi, salah satu dari mereka menikahi anak perempuan dari saudara laki-lakinya atau anak perempuan dari saudara perempuannya. Maka, datanglah syariat (Islam) yang sempurna dan murni ini dengan menghapuskan sikap berlebihan orang-orang Nasrani, sehingga membolehkan (menikahi) anak perempuan dari paman, bibi, paman dari pihak ibu, dan bibi dari pihak ibu; serta mengharamkan apa yang dianggap remeh oleh orang-orang Yahudi dalam membolehkan menikahi anak perempuan dari saudara laki-laki dan saudara perempuan, yang merupakan perkara buruk dan keji.” Waspada terhadap saudara sepersusuan Di antara perkara yang perlu diwaspadai terkait dengan menikahi saudara sepupu adalah masalah saudara sepersusuan, yang ini merupakan penghalang pernikahan. Hal ini karena kebiasaan sebagian masyarakat adalah seorang perempuan menyusui anak dari saudara/ saudarinya. Jika demikian terjadi, maka tidak halal menikahinya karena ia adalah saudara sepersusuan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ ما يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ “Yang diharamkan dari sepersusuan adalah sama dengan yang diharamkan dari nasab.” (HR. Muslim no. 1445) Pembahasan lebih rinci tentang persusuan yang menyebabkan mahram dibahas oleh para ulama di kitab-kitab fikih mereka. Kesimpulan Diperbolehkan bagi seorang laki-laki untuk menikahi saudari sepupunya. Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Ipar Itu Maut *** 23 Zulhijah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Tafsirul Quranil ‘Adzim, Imam Ismail bin Umar Ibnu Katsir, Darul Alamiyah – Mesir, cet. ke-2, 2016 M. Al-Mulakhkhash Al-Fiqhiy, Syekh Shalih Fauzan Al-Fauzan, Darul Aqidah – Mesir, 2009 M. Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan – Riyadh, cet. ke-4, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Al-Mulakhkhash Al-Fiqhiy, 2: 321. [2] Al-Fiqhul Muyassar, 5: 10. [3] Al-Fiqhul Muyassar, 5: 13. [4] Bada’i’ As-Shana’i’, 2: 257, dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah,  36: 212. [5] https://id.wikipedia.org/wiki/Sepupu. Dalam istilah lain, diringkas dengan “saudara senenek”, lihat https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sepupu [6] Fatwa Nur ‘ala Darb li Ibn Baz – Asy-Syuwi’r, 20: 28. Lihat juga https://www.islamweb.net/ar/fatwa/64640/ [7] Tafsirul Quranil ‘Adzim, 3: 705. Tags: sepupu
Daftar Isi Toggle Pernikahan hanya sah antara pasangan yang bebas dari halangan-halangan secara syariatSyariat membolehkan pernikahan dengan saudara sepupuWaspada terhadap saudara sepersusuanKesimpulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan dan mendorong untuk menikah. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يا معشر الشباب! من استطاع منكم الباءة فليتزوج؛ فإنه أغض للبصر، وأحصن للفرج “Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.” (HR. Bukhari no. 5065) Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, تزوجوا الودود الولود “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur … ” (HR. Ibnu Hibban no. 4028 dan selainnya, dihasankan oleh Al-Albani rahimahullah) Pernikahan disyariatkan berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma‘ (kesepakatan ulama). [1] Disyariatkannya pernikahan mengandung banyak hikmah yang beragam. Di antaranya adalah menjaga kelangsungan keturunan melalui reproduksi, menundukkan pandangan, dan menjaga diri dari zina. Selain itu, pernikahan juga bertujuan untuk melindungi perempuan, memberikan nafkah, dan memenuhi kebutuhan mereka, serta menjalin kerja sama antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai urusan kehidupan. Dan masih banyak lagi hikmah-hikmah dari pernikahan yang telah disyariatkan dalam Islam. [2] Pernikahan hanya sah antara pasangan yang bebas dari halangan-halangan secara syariat Para ulama sepakat bahwa pernikahan hanya sah antara pasangan yang bebas dari halangan-halangan secara syariat. Halangan-halangan syariat adalah hubungan yang ditetapkan oleh syariat sebagai sebab diharamkannya pernikahan antara laki-laki dan perempuan, baik secara permanen maupun sementara. Para ulama membahas hal ini dalam bab Al-Muharramat fin Nikah. [3] Pengharaman ini tentu memiliki banyak hikmah. Di antaranya adalah bahwasanya Islam memerintahkan untuk menyambung silaturahmi dan menjaga hubungan yang menghubungkan individu satu sama lain, serta melindunginya dari permusuhan dan perselisihan. Al-Kasani rahimahullah mengatakan, إِنَّ نِكَاحَ هَؤُلَاءِ يُفْضِي إِلَى قَطْعِ الرَّحِمِ لأَِنَّ النِّكَاحَ لَا يَخْلُو مِنْ مُبَاسَطَاتٍ تَجْرِي بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ عَادَةً، وَبِسَبَبِهَا تَجْرِي الْخُشُونَةُ بَيْنَهُمَا، وَذَلِكَ يُفْضِي إِلَى قَطْعِ الرَّحِمِ، فَكَانَ النِّكَاحُ سَبَبًا لِقَطْعِ الرَّحِمِ، مُفْضِيًا إِلَيْهِ، وَقَطْعُ الرَّحِمِ حَرَامٌ، وَالْمُفْضِي إِلَى الْحَرَامِ حَرَامٌ “Pernikahan dengan orang-orang yang diharamkan dapat menyebabkan putusnya silaturahmi. Karena pernikahan tidak terlepas dari interaksi antara suami istri yang biasanya terjadi, dan karenanya dapat menimbulkan perselisihan di antara mereka, yang pada akhirnya menyebabkan putusnya silaturahmi. Dengan demikian, pernikahan menjadi sebab putusnya silaturahmi dan mengarah kepadanya. Memutuskan silaturahmi adalah haram, dan sesuatu yang mengarah kepada yang haram juga haram.” [4] Syariat membolehkan pernikahan dengan saudara sepupu Saudara sepupu tidak termasuk mahram, yang dilarang untuk dinikahi. Dalam bahasa kita, misan atau sepupu atau saudara sepupu (kakak maupun adik) adalah saudara senenek dan sekakek atau anak dari paman atau bibi. [5] Dalam istilah fikih, sepupu biasa disebutkan dengan بنت العم والعمة والخال والخالة “Anak perempuan dari paman dan bibi dari pihak bapak, dan paman dan bibi dari pihak ibu (jika kita melihat dari sisi laki-laki).” Termasuk juga anak perempuan paman ayah, anak perempuan paman kakek, dan semisalnya. Allah Ta’ala membolehkan menikah dengan saudara sepupu, jika tidak ada halangan dari sisi persusuan. [6] Dalil mengenai hal ini adalah firman Allah Ta’ala, وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالَاتِكَ “… dan (dengan) anak perempuan dari saudara laki-laki ayahmu dan anak perempuan dari saudara perempuan ayahmu, dan anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak perempuan dari saudara perempuan ibumu …” (QS. Al-Ahzab: 50) Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya [7] mengatakan, هَذَا عَدْلٌ ‌وَسط بَيْنِ الْإِفْرَاطِ وَالتَّفْرِيطِ؛ فَإِنَّ النَّصَارَى لَا يَتَزَوَّجُونَ الْمَرْأَةَ إِلَّا إِذَا كَانَ الرَّجُلُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا سَبْعَةُ أَجْدَادٍ فَصَاعِدًا، وَالْيَهُودُ يَتَزَوَّجُ أَحَدُهُمْ بِنْتَ أَخِيهِ وَبِنْتَ أُخْتِهِ، فَجَاءَتْ هَذِهِ الشَّرِيعَةُ الْكَامِلَةُ الطَّاهِرَةُ بِهَدْمِ إِفْرَاطِ النَّصَارَى، فَأَبَاحَ بِنْتَ الْعَمِّ وَالْعَمَّةِ، وَبِنْتَ الْخَالِ وَالْخَالَةِ، وَتَحْرِيمِ مَا فَرّطت فِيهِ الْيَهُودُ مِنْ إِبَاحَةِ بِنْتِ الْأَخِ وَالْأُخْتِ، وَهَذَا بَشِعٌ فَظِيعٌ “Ini adalah keadilan yang berada di tengah-tengah antara sikap berlebihan dan sikap meremehkan. Orang-orang Nasrani tidak menikahi seorang wanita, kecuali jika ada tujuh generasi atau lebih antara laki-laki dan wanita tersebut. Sedangkan orang-orang Yahudi, salah satu dari mereka menikahi anak perempuan dari saudara laki-lakinya atau anak perempuan dari saudara perempuannya. Maka, datanglah syariat (Islam) yang sempurna dan murni ini dengan menghapuskan sikap berlebihan orang-orang Nasrani, sehingga membolehkan (menikahi) anak perempuan dari paman, bibi, paman dari pihak ibu, dan bibi dari pihak ibu; serta mengharamkan apa yang dianggap remeh oleh orang-orang Yahudi dalam membolehkan menikahi anak perempuan dari saudara laki-laki dan saudara perempuan, yang merupakan perkara buruk dan keji.” Waspada terhadap saudara sepersusuan Di antara perkara yang perlu diwaspadai terkait dengan menikahi saudara sepupu adalah masalah saudara sepersusuan, yang ini merupakan penghalang pernikahan. Hal ini karena kebiasaan sebagian masyarakat adalah seorang perempuan menyusui anak dari saudara/ saudarinya. Jika demikian terjadi, maka tidak halal menikahinya karena ia adalah saudara sepersusuan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ ما يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ “Yang diharamkan dari sepersusuan adalah sama dengan yang diharamkan dari nasab.” (HR. Muslim no. 1445) Pembahasan lebih rinci tentang persusuan yang menyebabkan mahram dibahas oleh para ulama di kitab-kitab fikih mereka. Kesimpulan Diperbolehkan bagi seorang laki-laki untuk menikahi saudari sepupunya. Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Ipar Itu Maut *** 23 Zulhijah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Tafsirul Quranil ‘Adzim, Imam Ismail bin Umar Ibnu Katsir, Darul Alamiyah – Mesir, cet. ke-2, 2016 M. Al-Mulakhkhash Al-Fiqhiy, Syekh Shalih Fauzan Al-Fauzan, Darul Aqidah – Mesir, 2009 M. Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan – Riyadh, cet. ke-4, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Al-Mulakhkhash Al-Fiqhiy, 2: 321. [2] Al-Fiqhul Muyassar, 5: 10. [3] Al-Fiqhul Muyassar, 5: 13. [4] Bada’i’ As-Shana’i’, 2: 257, dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah,  36: 212. [5] https://id.wikipedia.org/wiki/Sepupu. Dalam istilah lain, diringkas dengan “saudara senenek”, lihat https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sepupu [6] Fatwa Nur ‘ala Darb li Ibn Baz – Asy-Syuwi’r, 20: 28. Lihat juga https://www.islamweb.net/ar/fatwa/64640/ [7] Tafsirul Quranil ‘Adzim, 3: 705. Tags: sepupu


Daftar Isi Toggle Pernikahan hanya sah antara pasangan yang bebas dari halangan-halangan secara syariatSyariat membolehkan pernikahan dengan saudara sepupuWaspada terhadap saudara sepersusuanKesimpulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan dan mendorong untuk menikah. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يا معشر الشباب! من استطاع منكم الباءة فليتزوج؛ فإنه أغض للبصر، وأحصن للفرج “Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.” (HR. Bukhari no. 5065) Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, تزوجوا الودود الولود “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur … ” (HR. Ibnu Hibban no. 4028 dan selainnya, dihasankan oleh Al-Albani rahimahullah) Pernikahan disyariatkan berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma‘ (kesepakatan ulama). [1] Disyariatkannya pernikahan mengandung banyak hikmah yang beragam. Di antaranya adalah menjaga kelangsungan keturunan melalui reproduksi, menundukkan pandangan, dan menjaga diri dari zina. Selain itu, pernikahan juga bertujuan untuk melindungi perempuan, memberikan nafkah, dan memenuhi kebutuhan mereka, serta menjalin kerja sama antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai urusan kehidupan. Dan masih banyak lagi hikmah-hikmah dari pernikahan yang telah disyariatkan dalam Islam. [2] Pernikahan hanya sah antara pasangan yang bebas dari halangan-halangan secara syariat Para ulama sepakat bahwa pernikahan hanya sah antara pasangan yang bebas dari halangan-halangan secara syariat. Halangan-halangan syariat adalah hubungan yang ditetapkan oleh syariat sebagai sebab diharamkannya pernikahan antara laki-laki dan perempuan, baik secara permanen maupun sementara. Para ulama membahas hal ini dalam bab Al-Muharramat fin Nikah. [3] Pengharaman ini tentu memiliki banyak hikmah. Di antaranya adalah bahwasanya Islam memerintahkan untuk menyambung silaturahmi dan menjaga hubungan yang menghubungkan individu satu sama lain, serta melindunginya dari permusuhan dan perselisihan. Al-Kasani rahimahullah mengatakan, إِنَّ نِكَاحَ هَؤُلَاءِ يُفْضِي إِلَى قَطْعِ الرَّحِمِ لأَِنَّ النِّكَاحَ لَا يَخْلُو مِنْ مُبَاسَطَاتٍ تَجْرِي بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ عَادَةً، وَبِسَبَبِهَا تَجْرِي الْخُشُونَةُ بَيْنَهُمَا، وَذَلِكَ يُفْضِي إِلَى قَطْعِ الرَّحِمِ، فَكَانَ النِّكَاحُ سَبَبًا لِقَطْعِ الرَّحِمِ، مُفْضِيًا إِلَيْهِ، وَقَطْعُ الرَّحِمِ حَرَامٌ، وَالْمُفْضِي إِلَى الْحَرَامِ حَرَامٌ “Pernikahan dengan orang-orang yang diharamkan dapat menyebabkan putusnya silaturahmi. Karena pernikahan tidak terlepas dari interaksi antara suami istri yang biasanya terjadi, dan karenanya dapat menimbulkan perselisihan di antara mereka, yang pada akhirnya menyebabkan putusnya silaturahmi. Dengan demikian, pernikahan menjadi sebab putusnya silaturahmi dan mengarah kepadanya. Memutuskan silaturahmi adalah haram, dan sesuatu yang mengarah kepada yang haram juga haram.” [4] Syariat membolehkan pernikahan dengan saudara sepupu Saudara sepupu tidak termasuk mahram, yang dilarang untuk dinikahi. Dalam bahasa kita, misan atau sepupu atau saudara sepupu (kakak maupun adik) adalah saudara senenek dan sekakek atau anak dari paman atau bibi. [5] Dalam istilah fikih, sepupu biasa disebutkan dengan بنت العم والعمة والخال والخالة “Anak perempuan dari paman dan bibi dari pihak bapak, dan paman dan bibi dari pihak ibu (jika kita melihat dari sisi laki-laki).” Termasuk juga anak perempuan paman ayah, anak perempuan paman kakek, dan semisalnya. Allah Ta’ala membolehkan menikah dengan saudara sepupu, jika tidak ada halangan dari sisi persusuan. [6] Dalil mengenai hal ini adalah firman Allah Ta’ala, وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالَاتِكَ “… dan (dengan) anak perempuan dari saudara laki-laki ayahmu dan anak perempuan dari saudara perempuan ayahmu, dan anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak perempuan dari saudara perempuan ibumu …” (QS. Al-Ahzab: 50) Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya [7] mengatakan, هَذَا عَدْلٌ ‌وَسط بَيْنِ الْإِفْرَاطِ وَالتَّفْرِيطِ؛ فَإِنَّ النَّصَارَى لَا يَتَزَوَّجُونَ الْمَرْأَةَ إِلَّا إِذَا كَانَ الرَّجُلُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا سَبْعَةُ أَجْدَادٍ فَصَاعِدًا، وَالْيَهُودُ يَتَزَوَّجُ أَحَدُهُمْ بِنْتَ أَخِيهِ وَبِنْتَ أُخْتِهِ، فَجَاءَتْ هَذِهِ الشَّرِيعَةُ الْكَامِلَةُ الطَّاهِرَةُ بِهَدْمِ إِفْرَاطِ النَّصَارَى، فَأَبَاحَ بِنْتَ الْعَمِّ وَالْعَمَّةِ، وَبِنْتَ الْخَالِ وَالْخَالَةِ، وَتَحْرِيمِ مَا فَرّطت فِيهِ الْيَهُودُ مِنْ إِبَاحَةِ بِنْتِ الْأَخِ وَالْأُخْتِ، وَهَذَا بَشِعٌ فَظِيعٌ “Ini adalah keadilan yang berada di tengah-tengah antara sikap berlebihan dan sikap meremehkan. Orang-orang Nasrani tidak menikahi seorang wanita, kecuali jika ada tujuh generasi atau lebih antara laki-laki dan wanita tersebut. Sedangkan orang-orang Yahudi, salah satu dari mereka menikahi anak perempuan dari saudara laki-lakinya atau anak perempuan dari saudara perempuannya. Maka, datanglah syariat (Islam) yang sempurna dan murni ini dengan menghapuskan sikap berlebihan orang-orang Nasrani, sehingga membolehkan (menikahi) anak perempuan dari paman, bibi, paman dari pihak ibu, dan bibi dari pihak ibu; serta mengharamkan apa yang dianggap remeh oleh orang-orang Yahudi dalam membolehkan menikahi anak perempuan dari saudara laki-laki dan saudara perempuan, yang merupakan perkara buruk dan keji.” Waspada terhadap saudara sepersusuan Di antara perkara yang perlu diwaspadai terkait dengan menikahi saudara sepupu adalah masalah saudara sepersusuan, yang ini merupakan penghalang pernikahan. Hal ini karena kebiasaan sebagian masyarakat adalah seorang perempuan menyusui anak dari saudara/ saudarinya. Jika demikian terjadi, maka tidak halal menikahinya karena ia adalah saudara sepersusuan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ ما يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ “Yang diharamkan dari sepersusuan adalah sama dengan yang diharamkan dari nasab.” (HR. Muslim no. 1445) Pembahasan lebih rinci tentang persusuan yang menyebabkan mahram dibahas oleh para ulama di kitab-kitab fikih mereka. Kesimpulan Diperbolehkan bagi seorang laki-laki untuk menikahi saudari sepupunya. Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Ipar Itu Maut *** 23 Zulhijah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Tafsirul Quranil ‘Adzim, Imam Ismail bin Umar Ibnu Katsir, Darul Alamiyah – Mesir, cet. ke-2, 2016 M. Al-Mulakhkhash Al-Fiqhiy, Syekh Shalih Fauzan Al-Fauzan, Darul Aqidah – Mesir, 2009 M. Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan – Riyadh, cet. ke-4, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Al-Mulakhkhash Al-Fiqhiy, 2: 321. [2] Al-Fiqhul Muyassar, 5: 10. [3] Al-Fiqhul Muyassar, 5: 13. [4] Bada’i’ As-Shana’i’, 2: 257, dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah,  36: 212. [5] https://id.wikipedia.org/wiki/Sepupu. Dalam istilah lain, diringkas dengan “saudara senenek”, lihat https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sepupu [6] Fatwa Nur ‘ala Darb li Ibn Baz – Asy-Syuwi’r, 20: 28. Lihat juga https://www.islamweb.net/ar/fatwa/64640/ [7] Tafsirul Quranil ‘Adzim, 3: 705. Tags: sepupu

Fikih Memperbanyak Doa ketika Sujud

Daftar Isi Toggle Dianjurkan memperbanyak doa ketika sujudSujud yg mana? Bagaimana jika mengkhusukan sujud terakhir?Doa harus dilafalkanApakah boleh berdoa selain dengan bahasa Arab dalam sujud? Berdoa merupakan bagian penting ibadah seorang mukmin. Dengan doa, dia bisa meminta kebaikan yang dia harapkan, dan dijauhkan dari kejelekan yang dia takutkan. Di sisi lain, dia juga bisa mendapatkan pahala yang banyak dengan doa itu sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الدُّعاءُ هوَ العبادةُ “Doa merupakan ibadah.” (HR. Abu Dawud no. 1479, disahihkan oleh Al-Albani rahimahullah) Berikut ini pembahasan-pembahasan ringan, namun menyeluruh (insyaAllah Ta’ala) tentang fikih memperbanyak doa ketika sujud. Dianjurkan memperbanyak doa ketika sujud Sesungguhnya sujud dalam salat merupakan salah satu tempat dikabulkannya doa yang harus diperhatikan dan diupayakan untuk berdoa di dalamnya. Kita diperintahkan untuk memperbanyak doa saat sujud. Disebutkan dalam Shahih Muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَقْرَبُ ما يَكونُ العَبْدُ مِن رَبِّهِ، وهو ساجِدٌ، فأكْثِرُوا الدُّعاءَ “Keadaan seorang hamba yang paling dekat dengan Tuhannya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah doa.” (HR. Muslim no. 482) Juga dalam Shahih Muslim, ألَا وإنِّي نُهِيتُ أنْ أقْرَأَ القُرْآنَ رَاكِعًا، أوْ سَاجِدًا، فأمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فيه الرَّبَّ عزَّ وجلَّ، وأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا في الدُّعَاءِ، فَقَمِنٌ أنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ “Ketahuilah, sesungguhnya aku dilarang membaca Al-Qur’an saat rukuk atau sujud. Adapun rukuk, maka agungkanlah Tuhan Yang Mahamulia di dalamnya. Dan adapun sujud, maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, karena sangat mungkin doamu akan dikabulkan.” (HR. Muslim no. 479) Sujud yg mana? Bagaimana jika mengkhusukan sujud terakhir? Memanjangkan sujud pada dasarnya diperbolehkan, tetapi tidak ada anjuran khusus untuk memanjangkan sujud terakhir atau sujud lainnya. Jika dilakukan sekali atau secara tidak sengaja, maka tidak masalah, tetapi jangan dijadikan kebiasaan. [1] Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Memanjangkan sujud terakhir bukanlah sunah, karena sunahnya adalah gerakan-gerakan salat dilakukan secara berdekatan (lama waktunya, pent.), seperti rukuk, bangkit dari rukuk, sujud, dan duduk di antara dua sujud. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Barra’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, رمقت الصلاة مع النبي صلى الله عليه وسلم فوجدت قيامه فركوعه فسجوده فجلسته ما بين التسليم والانصراف قريباً من السواء ‘Aku memperhatikan salat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka aku dapati beliau berdiri, rukuk, sujud, dan duduknya antara salam, dan beranjak (dari salat) hampir sama.’ Ini adalah yang lebih utama.’” [2] Oleh karena itu, memperbanyak doa ketika sujud bisa dilakukan di sujud yang mana pun dari salat. Dan membiasakan untuk memanjangkan sujud khusus di terakhir saja, bukanlah sunah. Wallahu a’lam. Baca juga: Ringkasan Fikih Sujud Sahwi Doa harus dilafalkan Nash-nash yang menunjukkan keluasan ilmu Allah Ta’ala, ketinggian, dan kesempurnaan-Nya sangat banyak. Meskipun demikian, kita diwajibkan secara syar’i untuk berdoa dengan lisan kita, kadang dengan suara pelan dan kadang di antara pelan dan keras. Allah Ta’ala berfirman, وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعاً وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ “Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf: 205) Adapun keadaan di antara mengeraskan dan memelankan suara, Allah Ta’ala berfirman, وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (QS. Al-Isra: 110) Nash-nash Al-Qur’an dan hadis menegaskan bahwa doa harus dilafalkan. Jika tidak, itu tidak dianggap sebagai doa. Allah Ta’ala berfirman tentang Zakariya ‘alaihis salam, إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيّاً “Ketika ia menyeru Tuhannya dengan seruan yang lembut.” (QS. Maryam: 3) Allah Ta’ala berfirman tentang Nuh ‘alaihis salam, فَدَعَا رَبَّهُ أَنِّي مَغْلُوبٌ فَانْتَصِرْ “Maka, ia menyeru Tuhannya, ‘Sesungguhnya aku ini adalah orang yang dikalahkan, maka tolonglah (aku).’” (QS. Al-Qamar: 10) Allah Ta’ala berfirman tentang Maryam ketika ia melihat Ruhul Qudus, قَالَتْ إِنِّي أَعُوذُ بِالرَّحْمَنِ مِنْكَ إِنْ كُنْتَ تَقِيّاً “Ia berkata, ‘Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhan Yang Maha Pemurah darimu, jika kamu seorang yang bertakwa.’” (QS. Maryam: 18) Begitu pula doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari Badar, dalam salatnya, dan dalam doanya untuk kaum mukminin, semuanya beliau lafalkan dengan kedua bibir beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun sekadar niat dalam hati, itu adalah hal yang baik dan diterima, tetapi itu tidak disebut sebagai doa baik dalam bahasa maupun syari’ah. [3] Apakah boleh berdoa selain dengan bahasa Arab dalam sujud? Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berdoa selain dengan bahasa Arab dalam salat. Sebagian dari mereka melarangnya, sementara yang lain membolehkannya. Sebagian lainnya merinci antara yang mampu berdoa dengan bahasa Arab dan yang tidak mampu. [4] Tidak ada nash baik dari Al-Qur’an maupun hadis yang sahih, yang menegaskan salah satu pendapat ini. Namun, kemungkinan yang lebih benar [5] (InsyaAllah) adalah: Pertama: Jika seseorang mampu berdoa dengan bahasa Arab dan memahami arti doanya, maka itu yang lebih utama. Lebih dianjurkan untuk memilih doa-doa yang ringkas yang ma’tsur (diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam). Kedua: Jika ia tidak mampu, maka ia bisa berdoa dengan bahasa yang ia gunakan. Lebih baik jika ia memilih terjemahan dari doa-doa yang ringkas yang ma’tsur. An-Nawawi rahimahullah mengatakan, ketika menjelaskan doa dalam salat, أما الدعاء ‌المأثور ففيه ثلاثة أوجه أصحها تجوز الترجمة للعاجز عن العربية ولا تجوز للقادر “Adapun doa yang ma’tsur, maka ada tiga pendapat. Yang paling sahih adalah diperbolehkan menerjemahkannya bagi yang tidak mampu berbahasa Arab, dan tidak diperbolehkan bagi yang mampu.” [6] Dengan bahasa lain, dapat kita katakan, sebagaimana disampaikan oleh Syekh Shalih Al-Munajjid hafidzahullah, أنه يجوز الدعاء بغير العربية في الصلاة ، لمن كانت هذه لغته ، لا سيما إذا شق عليه تعلم العربية. وله أن يدعو بما شاء من خير الدنيا والآخرة ، ولا يشترط أن يكون مأثورا . والله أعلم. “Diperbolehkan berdoa selain dengan bahasa Arab dalam sujud (ketika salat) bagi yang bahasa itu adalah bahasanya, terutama jika sulit baginya untuk belajar bahasa Arab. Ia boleh berdoa dengan apa saja yang ia kehendaki dari kebaikan dunia dan akhirat, dan tidak disyaratkan harus dari doa yang ma’tsur. Wallahu a’lam.” [7] Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Tata Cara Sujud Dalam Salat *** 27 Zulhijah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/46472/ [2] Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb li Al-‘Utsaimin, 8: 2, Maktabah Syamilah. [3] Lihat: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/27312/ , lihat juga fatwa Syekh bin Baz: https://www.youtube.com/watch?v=2-MWfbFH4Ho [4] Pembahasan lebih luas bisa dilihat di Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 25: 279. [5] Lihat: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/11329/ [6] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 3: 299, cetakan Al-Muniriyah, Maktabah Syamilah. [7] Lihat: https://islamqa.info/ar/262254 dan https://islamqa.info/ar/20953 Tags: doasujud

Fikih Memperbanyak Doa ketika Sujud

Daftar Isi Toggle Dianjurkan memperbanyak doa ketika sujudSujud yg mana? Bagaimana jika mengkhusukan sujud terakhir?Doa harus dilafalkanApakah boleh berdoa selain dengan bahasa Arab dalam sujud? Berdoa merupakan bagian penting ibadah seorang mukmin. Dengan doa, dia bisa meminta kebaikan yang dia harapkan, dan dijauhkan dari kejelekan yang dia takutkan. Di sisi lain, dia juga bisa mendapatkan pahala yang banyak dengan doa itu sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الدُّعاءُ هوَ العبادةُ “Doa merupakan ibadah.” (HR. Abu Dawud no. 1479, disahihkan oleh Al-Albani rahimahullah) Berikut ini pembahasan-pembahasan ringan, namun menyeluruh (insyaAllah Ta’ala) tentang fikih memperbanyak doa ketika sujud. Dianjurkan memperbanyak doa ketika sujud Sesungguhnya sujud dalam salat merupakan salah satu tempat dikabulkannya doa yang harus diperhatikan dan diupayakan untuk berdoa di dalamnya. Kita diperintahkan untuk memperbanyak doa saat sujud. Disebutkan dalam Shahih Muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَقْرَبُ ما يَكونُ العَبْدُ مِن رَبِّهِ، وهو ساجِدٌ، فأكْثِرُوا الدُّعاءَ “Keadaan seorang hamba yang paling dekat dengan Tuhannya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah doa.” (HR. Muslim no. 482) Juga dalam Shahih Muslim, ألَا وإنِّي نُهِيتُ أنْ أقْرَأَ القُرْآنَ رَاكِعًا، أوْ سَاجِدًا، فأمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فيه الرَّبَّ عزَّ وجلَّ، وأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا في الدُّعَاءِ، فَقَمِنٌ أنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ “Ketahuilah, sesungguhnya aku dilarang membaca Al-Qur’an saat rukuk atau sujud. Adapun rukuk, maka agungkanlah Tuhan Yang Mahamulia di dalamnya. Dan adapun sujud, maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, karena sangat mungkin doamu akan dikabulkan.” (HR. Muslim no. 479) Sujud yg mana? Bagaimana jika mengkhusukan sujud terakhir? Memanjangkan sujud pada dasarnya diperbolehkan, tetapi tidak ada anjuran khusus untuk memanjangkan sujud terakhir atau sujud lainnya. Jika dilakukan sekali atau secara tidak sengaja, maka tidak masalah, tetapi jangan dijadikan kebiasaan. [1] Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Memanjangkan sujud terakhir bukanlah sunah, karena sunahnya adalah gerakan-gerakan salat dilakukan secara berdekatan (lama waktunya, pent.), seperti rukuk, bangkit dari rukuk, sujud, dan duduk di antara dua sujud. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Barra’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, رمقت الصلاة مع النبي صلى الله عليه وسلم فوجدت قيامه فركوعه فسجوده فجلسته ما بين التسليم والانصراف قريباً من السواء ‘Aku memperhatikan salat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka aku dapati beliau berdiri, rukuk, sujud, dan duduknya antara salam, dan beranjak (dari salat) hampir sama.’ Ini adalah yang lebih utama.’” [2] Oleh karena itu, memperbanyak doa ketika sujud bisa dilakukan di sujud yang mana pun dari salat. Dan membiasakan untuk memanjangkan sujud khusus di terakhir saja, bukanlah sunah. Wallahu a’lam. Baca juga: Ringkasan Fikih Sujud Sahwi Doa harus dilafalkan Nash-nash yang menunjukkan keluasan ilmu Allah Ta’ala, ketinggian, dan kesempurnaan-Nya sangat banyak. Meskipun demikian, kita diwajibkan secara syar’i untuk berdoa dengan lisan kita, kadang dengan suara pelan dan kadang di antara pelan dan keras. Allah Ta’ala berfirman, وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعاً وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ “Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf: 205) Adapun keadaan di antara mengeraskan dan memelankan suara, Allah Ta’ala berfirman, وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (QS. Al-Isra: 110) Nash-nash Al-Qur’an dan hadis menegaskan bahwa doa harus dilafalkan. Jika tidak, itu tidak dianggap sebagai doa. Allah Ta’ala berfirman tentang Zakariya ‘alaihis salam, إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيّاً “Ketika ia menyeru Tuhannya dengan seruan yang lembut.” (QS. Maryam: 3) Allah Ta’ala berfirman tentang Nuh ‘alaihis salam, فَدَعَا رَبَّهُ أَنِّي مَغْلُوبٌ فَانْتَصِرْ “Maka, ia menyeru Tuhannya, ‘Sesungguhnya aku ini adalah orang yang dikalahkan, maka tolonglah (aku).’” (QS. Al-Qamar: 10) Allah Ta’ala berfirman tentang Maryam ketika ia melihat Ruhul Qudus, قَالَتْ إِنِّي أَعُوذُ بِالرَّحْمَنِ مِنْكَ إِنْ كُنْتَ تَقِيّاً “Ia berkata, ‘Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhan Yang Maha Pemurah darimu, jika kamu seorang yang bertakwa.’” (QS. Maryam: 18) Begitu pula doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari Badar, dalam salatnya, dan dalam doanya untuk kaum mukminin, semuanya beliau lafalkan dengan kedua bibir beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun sekadar niat dalam hati, itu adalah hal yang baik dan diterima, tetapi itu tidak disebut sebagai doa baik dalam bahasa maupun syari’ah. [3] Apakah boleh berdoa selain dengan bahasa Arab dalam sujud? Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berdoa selain dengan bahasa Arab dalam salat. Sebagian dari mereka melarangnya, sementara yang lain membolehkannya. Sebagian lainnya merinci antara yang mampu berdoa dengan bahasa Arab dan yang tidak mampu. [4] Tidak ada nash baik dari Al-Qur’an maupun hadis yang sahih, yang menegaskan salah satu pendapat ini. Namun, kemungkinan yang lebih benar [5] (InsyaAllah) adalah: Pertama: Jika seseorang mampu berdoa dengan bahasa Arab dan memahami arti doanya, maka itu yang lebih utama. Lebih dianjurkan untuk memilih doa-doa yang ringkas yang ma’tsur (diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam). Kedua: Jika ia tidak mampu, maka ia bisa berdoa dengan bahasa yang ia gunakan. Lebih baik jika ia memilih terjemahan dari doa-doa yang ringkas yang ma’tsur. An-Nawawi rahimahullah mengatakan, ketika menjelaskan doa dalam salat, أما الدعاء ‌المأثور ففيه ثلاثة أوجه أصحها تجوز الترجمة للعاجز عن العربية ولا تجوز للقادر “Adapun doa yang ma’tsur, maka ada tiga pendapat. Yang paling sahih adalah diperbolehkan menerjemahkannya bagi yang tidak mampu berbahasa Arab, dan tidak diperbolehkan bagi yang mampu.” [6] Dengan bahasa lain, dapat kita katakan, sebagaimana disampaikan oleh Syekh Shalih Al-Munajjid hafidzahullah, أنه يجوز الدعاء بغير العربية في الصلاة ، لمن كانت هذه لغته ، لا سيما إذا شق عليه تعلم العربية. وله أن يدعو بما شاء من خير الدنيا والآخرة ، ولا يشترط أن يكون مأثورا . والله أعلم. “Diperbolehkan berdoa selain dengan bahasa Arab dalam sujud (ketika salat) bagi yang bahasa itu adalah bahasanya, terutama jika sulit baginya untuk belajar bahasa Arab. Ia boleh berdoa dengan apa saja yang ia kehendaki dari kebaikan dunia dan akhirat, dan tidak disyaratkan harus dari doa yang ma’tsur. Wallahu a’lam.” [7] Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Tata Cara Sujud Dalam Salat *** 27 Zulhijah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/46472/ [2] Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb li Al-‘Utsaimin, 8: 2, Maktabah Syamilah. [3] Lihat: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/27312/ , lihat juga fatwa Syekh bin Baz: https://www.youtube.com/watch?v=2-MWfbFH4Ho [4] Pembahasan lebih luas bisa dilihat di Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 25: 279. [5] Lihat: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/11329/ [6] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 3: 299, cetakan Al-Muniriyah, Maktabah Syamilah. [7] Lihat: https://islamqa.info/ar/262254 dan https://islamqa.info/ar/20953 Tags: doasujud
Daftar Isi Toggle Dianjurkan memperbanyak doa ketika sujudSujud yg mana? Bagaimana jika mengkhusukan sujud terakhir?Doa harus dilafalkanApakah boleh berdoa selain dengan bahasa Arab dalam sujud? Berdoa merupakan bagian penting ibadah seorang mukmin. Dengan doa, dia bisa meminta kebaikan yang dia harapkan, dan dijauhkan dari kejelekan yang dia takutkan. Di sisi lain, dia juga bisa mendapatkan pahala yang banyak dengan doa itu sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الدُّعاءُ هوَ العبادةُ “Doa merupakan ibadah.” (HR. Abu Dawud no. 1479, disahihkan oleh Al-Albani rahimahullah) Berikut ini pembahasan-pembahasan ringan, namun menyeluruh (insyaAllah Ta’ala) tentang fikih memperbanyak doa ketika sujud. Dianjurkan memperbanyak doa ketika sujud Sesungguhnya sujud dalam salat merupakan salah satu tempat dikabulkannya doa yang harus diperhatikan dan diupayakan untuk berdoa di dalamnya. Kita diperintahkan untuk memperbanyak doa saat sujud. Disebutkan dalam Shahih Muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَقْرَبُ ما يَكونُ العَبْدُ مِن رَبِّهِ، وهو ساجِدٌ، فأكْثِرُوا الدُّعاءَ “Keadaan seorang hamba yang paling dekat dengan Tuhannya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah doa.” (HR. Muslim no. 482) Juga dalam Shahih Muslim, ألَا وإنِّي نُهِيتُ أنْ أقْرَأَ القُرْآنَ رَاكِعًا، أوْ سَاجِدًا، فأمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فيه الرَّبَّ عزَّ وجلَّ، وأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا في الدُّعَاءِ، فَقَمِنٌ أنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ “Ketahuilah, sesungguhnya aku dilarang membaca Al-Qur’an saat rukuk atau sujud. Adapun rukuk, maka agungkanlah Tuhan Yang Mahamulia di dalamnya. Dan adapun sujud, maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, karena sangat mungkin doamu akan dikabulkan.” (HR. Muslim no. 479) Sujud yg mana? Bagaimana jika mengkhusukan sujud terakhir? Memanjangkan sujud pada dasarnya diperbolehkan, tetapi tidak ada anjuran khusus untuk memanjangkan sujud terakhir atau sujud lainnya. Jika dilakukan sekali atau secara tidak sengaja, maka tidak masalah, tetapi jangan dijadikan kebiasaan. [1] Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Memanjangkan sujud terakhir bukanlah sunah, karena sunahnya adalah gerakan-gerakan salat dilakukan secara berdekatan (lama waktunya, pent.), seperti rukuk, bangkit dari rukuk, sujud, dan duduk di antara dua sujud. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Barra’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, رمقت الصلاة مع النبي صلى الله عليه وسلم فوجدت قيامه فركوعه فسجوده فجلسته ما بين التسليم والانصراف قريباً من السواء ‘Aku memperhatikan salat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka aku dapati beliau berdiri, rukuk, sujud, dan duduknya antara salam, dan beranjak (dari salat) hampir sama.’ Ini adalah yang lebih utama.’” [2] Oleh karena itu, memperbanyak doa ketika sujud bisa dilakukan di sujud yang mana pun dari salat. Dan membiasakan untuk memanjangkan sujud khusus di terakhir saja, bukanlah sunah. Wallahu a’lam. Baca juga: Ringkasan Fikih Sujud Sahwi Doa harus dilafalkan Nash-nash yang menunjukkan keluasan ilmu Allah Ta’ala, ketinggian, dan kesempurnaan-Nya sangat banyak. Meskipun demikian, kita diwajibkan secara syar’i untuk berdoa dengan lisan kita, kadang dengan suara pelan dan kadang di antara pelan dan keras. Allah Ta’ala berfirman, وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعاً وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ “Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf: 205) Adapun keadaan di antara mengeraskan dan memelankan suara, Allah Ta’ala berfirman, وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (QS. Al-Isra: 110) Nash-nash Al-Qur’an dan hadis menegaskan bahwa doa harus dilafalkan. Jika tidak, itu tidak dianggap sebagai doa. Allah Ta’ala berfirman tentang Zakariya ‘alaihis salam, إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيّاً “Ketika ia menyeru Tuhannya dengan seruan yang lembut.” (QS. Maryam: 3) Allah Ta’ala berfirman tentang Nuh ‘alaihis salam, فَدَعَا رَبَّهُ أَنِّي مَغْلُوبٌ فَانْتَصِرْ “Maka, ia menyeru Tuhannya, ‘Sesungguhnya aku ini adalah orang yang dikalahkan, maka tolonglah (aku).’” (QS. Al-Qamar: 10) Allah Ta’ala berfirman tentang Maryam ketika ia melihat Ruhul Qudus, قَالَتْ إِنِّي أَعُوذُ بِالرَّحْمَنِ مِنْكَ إِنْ كُنْتَ تَقِيّاً “Ia berkata, ‘Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhan Yang Maha Pemurah darimu, jika kamu seorang yang bertakwa.’” (QS. Maryam: 18) Begitu pula doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari Badar, dalam salatnya, dan dalam doanya untuk kaum mukminin, semuanya beliau lafalkan dengan kedua bibir beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun sekadar niat dalam hati, itu adalah hal yang baik dan diterima, tetapi itu tidak disebut sebagai doa baik dalam bahasa maupun syari’ah. [3] Apakah boleh berdoa selain dengan bahasa Arab dalam sujud? Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berdoa selain dengan bahasa Arab dalam salat. Sebagian dari mereka melarangnya, sementara yang lain membolehkannya. Sebagian lainnya merinci antara yang mampu berdoa dengan bahasa Arab dan yang tidak mampu. [4] Tidak ada nash baik dari Al-Qur’an maupun hadis yang sahih, yang menegaskan salah satu pendapat ini. Namun, kemungkinan yang lebih benar [5] (InsyaAllah) adalah: Pertama: Jika seseorang mampu berdoa dengan bahasa Arab dan memahami arti doanya, maka itu yang lebih utama. Lebih dianjurkan untuk memilih doa-doa yang ringkas yang ma’tsur (diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam). Kedua: Jika ia tidak mampu, maka ia bisa berdoa dengan bahasa yang ia gunakan. Lebih baik jika ia memilih terjemahan dari doa-doa yang ringkas yang ma’tsur. An-Nawawi rahimahullah mengatakan, ketika menjelaskan doa dalam salat, أما الدعاء ‌المأثور ففيه ثلاثة أوجه أصحها تجوز الترجمة للعاجز عن العربية ولا تجوز للقادر “Adapun doa yang ma’tsur, maka ada tiga pendapat. Yang paling sahih adalah diperbolehkan menerjemahkannya bagi yang tidak mampu berbahasa Arab, dan tidak diperbolehkan bagi yang mampu.” [6] Dengan bahasa lain, dapat kita katakan, sebagaimana disampaikan oleh Syekh Shalih Al-Munajjid hafidzahullah, أنه يجوز الدعاء بغير العربية في الصلاة ، لمن كانت هذه لغته ، لا سيما إذا شق عليه تعلم العربية. وله أن يدعو بما شاء من خير الدنيا والآخرة ، ولا يشترط أن يكون مأثورا . والله أعلم. “Diperbolehkan berdoa selain dengan bahasa Arab dalam sujud (ketika salat) bagi yang bahasa itu adalah bahasanya, terutama jika sulit baginya untuk belajar bahasa Arab. Ia boleh berdoa dengan apa saja yang ia kehendaki dari kebaikan dunia dan akhirat, dan tidak disyaratkan harus dari doa yang ma’tsur. Wallahu a’lam.” [7] Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Tata Cara Sujud Dalam Salat *** 27 Zulhijah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/46472/ [2] Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb li Al-‘Utsaimin, 8: 2, Maktabah Syamilah. [3] Lihat: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/27312/ , lihat juga fatwa Syekh bin Baz: https://www.youtube.com/watch?v=2-MWfbFH4Ho [4] Pembahasan lebih luas bisa dilihat di Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 25: 279. [5] Lihat: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/11329/ [6] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 3: 299, cetakan Al-Muniriyah, Maktabah Syamilah. [7] Lihat: https://islamqa.info/ar/262254 dan https://islamqa.info/ar/20953 Tags: doasujud


Daftar Isi Toggle Dianjurkan memperbanyak doa ketika sujudSujud yg mana? Bagaimana jika mengkhusukan sujud terakhir?Doa harus dilafalkanApakah boleh berdoa selain dengan bahasa Arab dalam sujud? Berdoa merupakan bagian penting ibadah seorang mukmin. Dengan doa, dia bisa meminta kebaikan yang dia harapkan, dan dijauhkan dari kejelekan yang dia takutkan. Di sisi lain, dia juga bisa mendapatkan pahala yang banyak dengan doa itu sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الدُّعاءُ هوَ العبادةُ “Doa merupakan ibadah.” (HR. Abu Dawud no. 1479, disahihkan oleh Al-Albani rahimahullah) Berikut ini pembahasan-pembahasan ringan, namun menyeluruh (insyaAllah Ta’ala) tentang fikih memperbanyak doa ketika sujud. Dianjurkan memperbanyak doa ketika sujud Sesungguhnya sujud dalam salat merupakan salah satu tempat dikabulkannya doa yang harus diperhatikan dan diupayakan untuk berdoa di dalamnya. Kita diperintahkan untuk memperbanyak doa saat sujud. Disebutkan dalam Shahih Muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَقْرَبُ ما يَكونُ العَبْدُ مِن رَبِّهِ، وهو ساجِدٌ، فأكْثِرُوا الدُّعاءَ “Keadaan seorang hamba yang paling dekat dengan Tuhannya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah doa.” (HR. Muslim no. 482) Juga dalam Shahih Muslim, ألَا وإنِّي نُهِيتُ أنْ أقْرَأَ القُرْآنَ رَاكِعًا، أوْ سَاجِدًا، فأمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فيه الرَّبَّ عزَّ وجلَّ، وأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا في الدُّعَاءِ، فَقَمِنٌ أنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ “Ketahuilah, sesungguhnya aku dilarang membaca Al-Qur’an saat rukuk atau sujud. Adapun rukuk, maka agungkanlah Tuhan Yang Mahamulia di dalamnya. Dan adapun sujud, maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, karena sangat mungkin doamu akan dikabulkan.” (HR. Muslim no. 479) Sujud yg mana? Bagaimana jika mengkhusukan sujud terakhir? Memanjangkan sujud pada dasarnya diperbolehkan, tetapi tidak ada anjuran khusus untuk memanjangkan sujud terakhir atau sujud lainnya. Jika dilakukan sekali atau secara tidak sengaja, maka tidak masalah, tetapi jangan dijadikan kebiasaan. [1] Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Memanjangkan sujud terakhir bukanlah sunah, karena sunahnya adalah gerakan-gerakan salat dilakukan secara berdekatan (lama waktunya, pent.), seperti rukuk, bangkit dari rukuk, sujud, dan duduk di antara dua sujud. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Barra’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, رمقت الصلاة مع النبي صلى الله عليه وسلم فوجدت قيامه فركوعه فسجوده فجلسته ما بين التسليم والانصراف قريباً من السواء ‘Aku memperhatikan salat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka aku dapati beliau berdiri, rukuk, sujud, dan duduknya antara salam, dan beranjak (dari salat) hampir sama.’ Ini adalah yang lebih utama.’” [2] Oleh karena itu, memperbanyak doa ketika sujud bisa dilakukan di sujud yang mana pun dari salat. Dan membiasakan untuk memanjangkan sujud khusus di terakhir saja, bukanlah sunah. Wallahu a’lam. Baca juga: Ringkasan Fikih Sujud Sahwi Doa harus dilafalkan Nash-nash yang menunjukkan keluasan ilmu Allah Ta’ala, ketinggian, dan kesempurnaan-Nya sangat banyak. Meskipun demikian, kita diwajibkan secara syar’i untuk berdoa dengan lisan kita, kadang dengan suara pelan dan kadang di antara pelan dan keras. Allah Ta’ala berfirman, وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعاً وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ “Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf: 205) Adapun keadaan di antara mengeraskan dan memelankan suara, Allah Ta’ala berfirman, وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (QS. Al-Isra: 110) Nash-nash Al-Qur’an dan hadis menegaskan bahwa doa harus dilafalkan. Jika tidak, itu tidak dianggap sebagai doa. Allah Ta’ala berfirman tentang Zakariya ‘alaihis salam, إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيّاً “Ketika ia menyeru Tuhannya dengan seruan yang lembut.” (QS. Maryam: 3) Allah Ta’ala berfirman tentang Nuh ‘alaihis salam, فَدَعَا رَبَّهُ أَنِّي مَغْلُوبٌ فَانْتَصِرْ “Maka, ia menyeru Tuhannya, ‘Sesungguhnya aku ini adalah orang yang dikalahkan, maka tolonglah (aku).’” (QS. Al-Qamar: 10) Allah Ta’ala berfirman tentang Maryam ketika ia melihat Ruhul Qudus, قَالَتْ إِنِّي أَعُوذُ بِالرَّحْمَنِ مِنْكَ إِنْ كُنْتَ تَقِيّاً “Ia berkata, ‘Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhan Yang Maha Pemurah darimu, jika kamu seorang yang bertakwa.’” (QS. Maryam: 18) Begitu pula doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari Badar, dalam salatnya, dan dalam doanya untuk kaum mukminin, semuanya beliau lafalkan dengan kedua bibir beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun sekadar niat dalam hati, itu adalah hal yang baik dan diterima, tetapi itu tidak disebut sebagai doa baik dalam bahasa maupun syari’ah. [3] Apakah boleh berdoa selain dengan bahasa Arab dalam sujud? Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berdoa selain dengan bahasa Arab dalam salat. Sebagian dari mereka melarangnya, sementara yang lain membolehkannya. Sebagian lainnya merinci antara yang mampu berdoa dengan bahasa Arab dan yang tidak mampu. [4] Tidak ada nash baik dari Al-Qur’an maupun hadis yang sahih, yang menegaskan salah satu pendapat ini. Namun, kemungkinan yang lebih benar [5] (InsyaAllah) adalah: Pertama: Jika seseorang mampu berdoa dengan bahasa Arab dan memahami arti doanya, maka itu yang lebih utama. Lebih dianjurkan untuk memilih doa-doa yang ringkas yang ma’tsur (diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam). Kedua: Jika ia tidak mampu, maka ia bisa berdoa dengan bahasa yang ia gunakan. Lebih baik jika ia memilih terjemahan dari doa-doa yang ringkas yang ma’tsur. An-Nawawi rahimahullah mengatakan, ketika menjelaskan doa dalam salat, أما الدعاء ‌المأثور ففيه ثلاثة أوجه أصحها تجوز الترجمة للعاجز عن العربية ولا تجوز للقادر “Adapun doa yang ma’tsur, maka ada tiga pendapat. Yang paling sahih adalah diperbolehkan menerjemahkannya bagi yang tidak mampu berbahasa Arab, dan tidak diperbolehkan bagi yang mampu.” [6] Dengan bahasa lain, dapat kita katakan, sebagaimana disampaikan oleh Syekh Shalih Al-Munajjid hafidzahullah, أنه يجوز الدعاء بغير العربية في الصلاة ، لمن كانت هذه لغته ، لا سيما إذا شق عليه تعلم العربية. وله أن يدعو بما شاء من خير الدنيا والآخرة ، ولا يشترط أن يكون مأثورا . والله أعلم. “Diperbolehkan berdoa selain dengan bahasa Arab dalam sujud (ketika salat) bagi yang bahasa itu adalah bahasanya, terutama jika sulit baginya untuk belajar bahasa Arab. Ia boleh berdoa dengan apa saja yang ia kehendaki dari kebaikan dunia dan akhirat, dan tidak disyaratkan harus dari doa yang ma’tsur. Wallahu a’lam.” [7] Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Tata Cara Sujud Dalam Salat *** 27 Zulhijah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/46472/ [2] Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb li Al-‘Utsaimin, 8: 2, Maktabah Syamilah. [3] Lihat: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/27312/ , lihat juga fatwa Syekh bin Baz: https://www.youtube.com/watch?v=2-MWfbFH4Ho [4] Pembahasan lebih luas bisa dilihat di Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 25: 279. [5] Lihat: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/11329/ [6] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 3: 299, cetakan Al-Muniriyah, Maktabah Syamilah. [7] Lihat: https://islamqa.info/ar/262254 dan https://islamqa.info/ar/20953 Tags: doasujud

Biografi Thalhah bin Ubaidillah

Daftar Isi Toggle NamaKunyahLakab (Julukan)KelahiranCiri FisikSebab keislamannyaJasa-jasaKeutamaan Thalhah bin UbaidillahPertama: Tetangga Rasulullah di surgaKedua: Seorang Syahid yang berjalan di bumiKetiga: Perisai RasululllahKeempat: Mendapatkan pahala perang BadrKelima: Sahabat yang kaya dan dermawanWafat Nama Thalhah bin Ubaidillah bin ‘Utsman bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib bin Fihr bin Malik. Nasab Thalhah bin Ubaidillah bertemu dengan nasab Abu Bakar Ash Shiddiq di Taim bin Murrah dan bertemu dengan nasab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Murrah bin Ka’ab. Kunyah Thalhah bin Ubaidillah memiliki kunyah Abu Muhammad. Lakab (Julukan) Thalhah bin Ubaidillah dijuluki dengan Al-Khair (الخير), Al-Fayyadh (الفياض), dan Al-Jud (الجود). Sebagaimana Rasulullah memberikan julukan kepadanya. Kelahiran Thalhah bin Ubaidillah dilahirkan di Makkah 15 tahun sebelum kenabian. Ciri Fisik Thalhah bin Ubaidillah berkulit putih kemerahan, perawakannya bagus, tinggi badan sedang, memiliki bentuk dada yang lebar, memiliki wajah yang tampan, dan telapak kaki yang besar. Apabila menoleh, maka seluruh tubuh akan mengikuti ke mana beliau menoleh. Sebab keislamannya Thalhah bin Ubaidillah masuk Islam melalui dakwah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau merupakan salah satu dari delapan orang yang awal-awal masuk Islam. Dalam sebuah kisah, tatkala Thalhah sedang berada di pasar Bashra, beliau mendengar kabar dari seorang rahib tentang kemunculan Nabi di tanah Makkah. Kemudian Thalhah bertanya kepada Rahib tersebut tentang kemunculan Nabi yang bernama Ahmad. Setelah itu, Thalhah bergegas kembali ke Makkah untuk memastikan kisah Rahib dan mendapati bahwasanya kabar ini telah menjadi perbincangan ahli Makkah. Kabar tersebut adalah kenabian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah itu, Thalhah mendatangi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersama Abu Bakar dan akhirnya masuk Islam. Jasa-jasa Thalhah bin Ubaidillah merupakan sahabat yang memiliki keberanian dan selalu terdepan di dalam medan peperangan. Di samping itu, beliau dikenal pula dengan kebaikan dan kedermawanannya. Thalhah merupakan salah satu di antara sahabat yang memiliki harta yang melimpah. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi  wasallam memberikan julukan kepada Thalhah dengan julukan pemilik kebaikan yang banyak dan melimpah dikarenakan banyaknya kebaikan yang telah  beliau berikan untuk Islam dan kaum muslimin. Di antara kebaikan-kebaikan beliau adalah: Pertama: Membeli sumur untuk kebutuhan air kaum muslimin dan menyembelih hewan untuk kebutuhan makan mereka. Kedua: Menginfakkan harta yang banyak untuk mempersiapkan berbagai peperangan. Ketiga: Menebus sepuluh kaum muslimin yang tertawan saat perang badar. Keempat: Menjual tanahnya seharga 700.000 dirham, kemudian tidak menghabiskan malamnya dengan tidur, sedangkan hartanya masih ada padanya, dan bersegera untuk membagikannya hingga terbit Subuh. Kelima: Bersedekah sebanyak 100.000 dirham. Keenam: Mengirimkan 10.000 dirham setiap tahunnya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha agar dibagikan kepada kaum muslimin yang miskin. Ketujuh: Thalhah tidak meninggalkan orang yang terjerat utang dari kaumnya, kecuali Thalhah menanggung dan menyelesaikan urusan utangnya. Dalam sebuah kisah, Thalhah pernah membayar utang milik ‘Ubaid bin Ma’mar sebesar 80.000 dirham. Pernah juga membayar harta seorang laki-laki dari kaumnya sebesar 10.000 dirham. Keutamaan Thalhah bin Ubaidillah Begitu banyak keutamaan Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu. Di antaranya: Pertama: Tetangga Rasulullah di surga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kabar gembira berupa surga kepada Thalhah bin Ubaidillah di berbagai kesempatan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam At-Tirmidzi dan diriwayatkan pula oleh Al-Hakim dan disahihkan Al-Hakim. Bahwasanya ‘Ali radhiyallahu ‘anhu mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, طلحة والزبير جاراي في الجنة “Thalhah dan Zubair tetanggaku di surga.” Kedua: Seorang Syahid yang berjalan di bumi Thalhah bin Ubaidillah mendapatkan gelar yang sangat mulia, yaitu “Syahid yang berjalan di muka bumi”. Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda, مَنْ من سَرَّه أَنْ يَنْظُرَ إلى شَهِيدٍ يَمْشي عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ فَلْينْظُرْ إلى طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ “Siapa yang ingin melihat seorang syahid yang berjalan di atas muka bumi, lihatlah pada Thalhah bin Ubaidillah.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih.) Dalam hadis ini, terdapat kesaksian dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Thalhah bin Ubaidillah merupakan seorang syahid di jalan Allah dan ini merupakan keutamaan yang agung yang dimiliki olehnya. Ketiga: Perisai Rasululllah Kisah paling menonjol yang menunjukkan ketabahan Thalhah adalah ketika dia bersama Nabi serta sekelompok kecil sahabat bertahan dalam perang Uhud. Ketika itu, Thalhah bersama beberapa sahabat berjuang dalam pertempuran paling sengit dan tetap tabah membela Nabi dengan segala daya yang dimiliki. Lebih dari tujuh puluh lima luka tusukan, sabetan, dan pukulan tidak menggoyahkan sahabat ini dari kecintaannya untuk melindungi baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah, dia menceritakan, “Ketika peperangan di lereng Uhud semakin berkecamuk, pasukan kaum muslimin mulai berlarian menjauh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama dua belas orang sahabat Anshar terkepung oleh pasukan musyrikin. Salah satu dari Sahabat tersebut adalah Thalhah.” Keempat: Mendapatkan pahala perang Badr Thalhah bin Ubaidillah merupakan salah satu sahabat yang menetap di Makkah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum hijrah. Di Makkah, Thalhah bersabar atas gangguan dari orang-orang kafir Quraisy. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah, Thalhah pun ikut hijrah dan senantiasa mengikuti perang yang dilakukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, kecuali perang Badar. Absennya Thalhah disebabkan karena Nabi Muhammad mengirim Thalhah untuk memata-matai kafilah dagang milik Abu Sufyan. Thalhah merasa sedih karena tidak bisa mengikuti perang Badar. Tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meyakinkannya bahwa Thalhah akan mendapat pahala yang setara dengan para pejuang Badar dan Rasulullah memberikan kepada Thalhah bagian dari ghanimah (harta rampasan perang) sebagaimana orang-orang yang turut berperang. Kelima: Sahabat yang kaya dan dermawan Rasulullah memberikan gelar kepada Thalhah karena keistimewaan yang dimilikinya, yaitu Thalhah Al-Khair (Thalhah yang baik), Thalhah Al-Fayyadh (Thalhah yang melimpah kebaikannya), dan Thalhah Al-Jud (Thalhah yang dermawan). Thalhah termasuk sahabat yang sangat kaya. Thalhah merupakan seorang pedagang yang sukses dan memiliki harta yang melimpah. Dengan kekayaannya, Thalhah menjadi salah satu sahabat yang dermawan dan banyak membantu Islam dan kaum muslimin dengan hartanya. Thalhah pernah mendapatkan harta dari Hadramaut berupa lembah di Yaman senilai 700.000 dirham (setara dengan Rp. 35 miliar saat ini). Kemudian istrinya, menyarankan untuk membagikan harta tersebut pada fakir miskin. Thalhah pun menyetujui saran istrinya dan membagikan hartanya hingga tak tersisa sedikit pun. Wafat Thalhah bin Ubaidillah wafat pada 30 H dengan usia 62 tahun. Thalhah syahid tertusuk panah pada lehernya pada saat perang Jamal. Diriwayatkan bahwa yang membunuhnya adalah Marwan bin Al-Hakam Al-Umawiy. Baca juga: Kisah Thalhah bin Ubaidillah: Awal Kehidupan dan Kisah Thalhah di Perang Uhud (Bag. 1) *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Diterjemahkan dan disusun ulang oleh penulis dari: https://altawhed.net/article.php?id=737 https://islamonline.net/طلحة-بن-عبيد-الله/ https://alukah.net/sharia/ طلحة-بن-عبيد-الله-رضي-الله-عنه/ Tags: Thalhah bin Ubaidillah

Biografi Thalhah bin Ubaidillah

Daftar Isi Toggle NamaKunyahLakab (Julukan)KelahiranCiri FisikSebab keislamannyaJasa-jasaKeutamaan Thalhah bin UbaidillahPertama: Tetangga Rasulullah di surgaKedua: Seorang Syahid yang berjalan di bumiKetiga: Perisai RasululllahKeempat: Mendapatkan pahala perang BadrKelima: Sahabat yang kaya dan dermawanWafat Nama Thalhah bin Ubaidillah bin ‘Utsman bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib bin Fihr bin Malik. Nasab Thalhah bin Ubaidillah bertemu dengan nasab Abu Bakar Ash Shiddiq di Taim bin Murrah dan bertemu dengan nasab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Murrah bin Ka’ab. Kunyah Thalhah bin Ubaidillah memiliki kunyah Abu Muhammad. Lakab (Julukan) Thalhah bin Ubaidillah dijuluki dengan Al-Khair (الخير), Al-Fayyadh (الفياض), dan Al-Jud (الجود). Sebagaimana Rasulullah memberikan julukan kepadanya. Kelahiran Thalhah bin Ubaidillah dilahirkan di Makkah 15 tahun sebelum kenabian. Ciri Fisik Thalhah bin Ubaidillah berkulit putih kemerahan, perawakannya bagus, tinggi badan sedang, memiliki bentuk dada yang lebar, memiliki wajah yang tampan, dan telapak kaki yang besar. Apabila menoleh, maka seluruh tubuh akan mengikuti ke mana beliau menoleh. Sebab keislamannya Thalhah bin Ubaidillah masuk Islam melalui dakwah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau merupakan salah satu dari delapan orang yang awal-awal masuk Islam. Dalam sebuah kisah, tatkala Thalhah sedang berada di pasar Bashra, beliau mendengar kabar dari seorang rahib tentang kemunculan Nabi di tanah Makkah. Kemudian Thalhah bertanya kepada Rahib tersebut tentang kemunculan Nabi yang bernama Ahmad. Setelah itu, Thalhah bergegas kembali ke Makkah untuk memastikan kisah Rahib dan mendapati bahwasanya kabar ini telah menjadi perbincangan ahli Makkah. Kabar tersebut adalah kenabian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah itu, Thalhah mendatangi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersama Abu Bakar dan akhirnya masuk Islam. Jasa-jasa Thalhah bin Ubaidillah merupakan sahabat yang memiliki keberanian dan selalu terdepan di dalam medan peperangan. Di samping itu, beliau dikenal pula dengan kebaikan dan kedermawanannya. Thalhah merupakan salah satu di antara sahabat yang memiliki harta yang melimpah. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi  wasallam memberikan julukan kepada Thalhah dengan julukan pemilik kebaikan yang banyak dan melimpah dikarenakan banyaknya kebaikan yang telah  beliau berikan untuk Islam dan kaum muslimin. Di antara kebaikan-kebaikan beliau adalah: Pertama: Membeli sumur untuk kebutuhan air kaum muslimin dan menyembelih hewan untuk kebutuhan makan mereka. Kedua: Menginfakkan harta yang banyak untuk mempersiapkan berbagai peperangan. Ketiga: Menebus sepuluh kaum muslimin yang tertawan saat perang badar. Keempat: Menjual tanahnya seharga 700.000 dirham, kemudian tidak menghabiskan malamnya dengan tidur, sedangkan hartanya masih ada padanya, dan bersegera untuk membagikannya hingga terbit Subuh. Kelima: Bersedekah sebanyak 100.000 dirham. Keenam: Mengirimkan 10.000 dirham setiap tahunnya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha agar dibagikan kepada kaum muslimin yang miskin. Ketujuh: Thalhah tidak meninggalkan orang yang terjerat utang dari kaumnya, kecuali Thalhah menanggung dan menyelesaikan urusan utangnya. Dalam sebuah kisah, Thalhah pernah membayar utang milik ‘Ubaid bin Ma’mar sebesar 80.000 dirham. Pernah juga membayar harta seorang laki-laki dari kaumnya sebesar 10.000 dirham. Keutamaan Thalhah bin Ubaidillah Begitu banyak keutamaan Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu. Di antaranya: Pertama: Tetangga Rasulullah di surga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kabar gembira berupa surga kepada Thalhah bin Ubaidillah di berbagai kesempatan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam At-Tirmidzi dan diriwayatkan pula oleh Al-Hakim dan disahihkan Al-Hakim. Bahwasanya ‘Ali radhiyallahu ‘anhu mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, طلحة والزبير جاراي في الجنة “Thalhah dan Zubair tetanggaku di surga.” Kedua: Seorang Syahid yang berjalan di bumi Thalhah bin Ubaidillah mendapatkan gelar yang sangat mulia, yaitu “Syahid yang berjalan di muka bumi”. Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda, مَنْ من سَرَّه أَنْ يَنْظُرَ إلى شَهِيدٍ يَمْشي عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ فَلْينْظُرْ إلى طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ “Siapa yang ingin melihat seorang syahid yang berjalan di atas muka bumi, lihatlah pada Thalhah bin Ubaidillah.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih.) Dalam hadis ini, terdapat kesaksian dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Thalhah bin Ubaidillah merupakan seorang syahid di jalan Allah dan ini merupakan keutamaan yang agung yang dimiliki olehnya. Ketiga: Perisai Rasululllah Kisah paling menonjol yang menunjukkan ketabahan Thalhah adalah ketika dia bersama Nabi serta sekelompok kecil sahabat bertahan dalam perang Uhud. Ketika itu, Thalhah bersama beberapa sahabat berjuang dalam pertempuran paling sengit dan tetap tabah membela Nabi dengan segala daya yang dimiliki. Lebih dari tujuh puluh lima luka tusukan, sabetan, dan pukulan tidak menggoyahkan sahabat ini dari kecintaannya untuk melindungi baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah, dia menceritakan, “Ketika peperangan di lereng Uhud semakin berkecamuk, pasukan kaum muslimin mulai berlarian menjauh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama dua belas orang sahabat Anshar terkepung oleh pasukan musyrikin. Salah satu dari Sahabat tersebut adalah Thalhah.” Keempat: Mendapatkan pahala perang Badr Thalhah bin Ubaidillah merupakan salah satu sahabat yang menetap di Makkah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum hijrah. Di Makkah, Thalhah bersabar atas gangguan dari orang-orang kafir Quraisy. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah, Thalhah pun ikut hijrah dan senantiasa mengikuti perang yang dilakukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, kecuali perang Badar. Absennya Thalhah disebabkan karena Nabi Muhammad mengirim Thalhah untuk memata-matai kafilah dagang milik Abu Sufyan. Thalhah merasa sedih karena tidak bisa mengikuti perang Badar. Tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meyakinkannya bahwa Thalhah akan mendapat pahala yang setara dengan para pejuang Badar dan Rasulullah memberikan kepada Thalhah bagian dari ghanimah (harta rampasan perang) sebagaimana orang-orang yang turut berperang. Kelima: Sahabat yang kaya dan dermawan Rasulullah memberikan gelar kepada Thalhah karena keistimewaan yang dimilikinya, yaitu Thalhah Al-Khair (Thalhah yang baik), Thalhah Al-Fayyadh (Thalhah yang melimpah kebaikannya), dan Thalhah Al-Jud (Thalhah yang dermawan). Thalhah termasuk sahabat yang sangat kaya. Thalhah merupakan seorang pedagang yang sukses dan memiliki harta yang melimpah. Dengan kekayaannya, Thalhah menjadi salah satu sahabat yang dermawan dan banyak membantu Islam dan kaum muslimin dengan hartanya. Thalhah pernah mendapatkan harta dari Hadramaut berupa lembah di Yaman senilai 700.000 dirham (setara dengan Rp. 35 miliar saat ini). Kemudian istrinya, menyarankan untuk membagikan harta tersebut pada fakir miskin. Thalhah pun menyetujui saran istrinya dan membagikan hartanya hingga tak tersisa sedikit pun. Wafat Thalhah bin Ubaidillah wafat pada 30 H dengan usia 62 tahun. Thalhah syahid tertusuk panah pada lehernya pada saat perang Jamal. Diriwayatkan bahwa yang membunuhnya adalah Marwan bin Al-Hakam Al-Umawiy. Baca juga: Kisah Thalhah bin Ubaidillah: Awal Kehidupan dan Kisah Thalhah di Perang Uhud (Bag. 1) *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Diterjemahkan dan disusun ulang oleh penulis dari: https://altawhed.net/article.php?id=737 https://islamonline.net/طلحة-بن-عبيد-الله/ https://alukah.net/sharia/ طلحة-بن-عبيد-الله-رضي-الله-عنه/ Tags: Thalhah bin Ubaidillah
Daftar Isi Toggle NamaKunyahLakab (Julukan)KelahiranCiri FisikSebab keislamannyaJasa-jasaKeutamaan Thalhah bin UbaidillahPertama: Tetangga Rasulullah di surgaKedua: Seorang Syahid yang berjalan di bumiKetiga: Perisai RasululllahKeempat: Mendapatkan pahala perang BadrKelima: Sahabat yang kaya dan dermawanWafat Nama Thalhah bin Ubaidillah bin ‘Utsman bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib bin Fihr bin Malik. Nasab Thalhah bin Ubaidillah bertemu dengan nasab Abu Bakar Ash Shiddiq di Taim bin Murrah dan bertemu dengan nasab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Murrah bin Ka’ab. Kunyah Thalhah bin Ubaidillah memiliki kunyah Abu Muhammad. Lakab (Julukan) Thalhah bin Ubaidillah dijuluki dengan Al-Khair (الخير), Al-Fayyadh (الفياض), dan Al-Jud (الجود). Sebagaimana Rasulullah memberikan julukan kepadanya. Kelahiran Thalhah bin Ubaidillah dilahirkan di Makkah 15 tahun sebelum kenabian. Ciri Fisik Thalhah bin Ubaidillah berkulit putih kemerahan, perawakannya bagus, tinggi badan sedang, memiliki bentuk dada yang lebar, memiliki wajah yang tampan, dan telapak kaki yang besar. Apabila menoleh, maka seluruh tubuh akan mengikuti ke mana beliau menoleh. Sebab keislamannya Thalhah bin Ubaidillah masuk Islam melalui dakwah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau merupakan salah satu dari delapan orang yang awal-awal masuk Islam. Dalam sebuah kisah, tatkala Thalhah sedang berada di pasar Bashra, beliau mendengar kabar dari seorang rahib tentang kemunculan Nabi di tanah Makkah. Kemudian Thalhah bertanya kepada Rahib tersebut tentang kemunculan Nabi yang bernama Ahmad. Setelah itu, Thalhah bergegas kembali ke Makkah untuk memastikan kisah Rahib dan mendapati bahwasanya kabar ini telah menjadi perbincangan ahli Makkah. Kabar tersebut adalah kenabian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah itu, Thalhah mendatangi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersama Abu Bakar dan akhirnya masuk Islam. Jasa-jasa Thalhah bin Ubaidillah merupakan sahabat yang memiliki keberanian dan selalu terdepan di dalam medan peperangan. Di samping itu, beliau dikenal pula dengan kebaikan dan kedermawanannya. Thalhah merupakan salah satu di antara sahabat yang memiliki harta yang melimpah. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi  wasallam memberikan julukan kepada Thalhah dengan julukan pemilik kebaikan yang banyak dan melimpah dikarenakan banyaknya kebaikan yang telah  beliau berikan untuk Islam dan kaum muslimin. Di antara kebaikan-kebaikan beliau adalah: Pertama: Membeli sumur untuk kebutuhan air kaum muslimin dan menyembelih hewan untuk kebutuhan makan mereka. Kedua: Menginfakkan harta yang banyak untuk mempersiapkan berbagai peperangan. Ketiga: Menebus sepuluh kaum muslimin yang tertawan saat perang badar. Keempat: Menjual tanahnya seharga 700.000 dirham, kemudian tidak menghabiskan malamnya dengan tidur, sedangkan hartanya masih ada padanya, dan bersegera untuk membagikannya hingga terbit Subuh. Kelima: Bersedekah sebanyak 100.000 dirham. Keenam: Mengirimkan 10.000 dirham setiap tahunnya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha agar dibagikan kepada kaum muslimin yang miskin. Ketujuh: Thalhah tidak meninggalkan orang yang terjerat utang dari kaumnya, kecuali Thalhah menanggung dan menyelesaikan urusan utangnya. Dalam sebuah kisah, Thalhah pernah membayar utang milik ‘Ubaid bin Ma’mar sebesar 80.000 dirham. Pernah juga membayar harta seorang laki-laki dari kaumnya sebesar 10.000 dirham. Keutamaan Thalhah bin Ubaidillah Begitu banyak keutamaan Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu. Di antaranya: Pertama: Tetangga Rasulullah di surga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kabar gembira berupa surga kepada Thalhah bin Ubaidillah di berbagai kesempatan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam At-Tirmidzi dan diriwayatkan pula oleh Al-Hakim dan disahihkan Al-Hakim. Bahwasanya ‘Ali radhiyallahu ‘anhu mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, طلحة والزبير جاراي في الجنة “Thalhah dan Zubair tetanggaku di surga.” Kedua: Seorang Syahid yang berjalan di bumi Thalhah bin Ubaidillah mendapatkan gelar yang sangat mulia, yaitu “Syahid yang berjalan di muka bumi”. Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda, مَنْ من سَرَّه أَنْ يَنْظُرَ إلى شَهِيدٍ يَمْشي عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ فَلْينْظُرْ إلى طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ “Siapa yang ingin melihat seorang syahid yang berjalan di atas muka bumi, lihatlah pada Thalhah bin Ubaidillah.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih.) Dalam hadis ini, terdapat kesaksian dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Thalhah bin Ubaidillah merupakan seorang syahid di jalan Allah dan ini merupakan keutamaan yang agung yang dimiliki olehnya. Ketiga: Perisai Rasululllah Kisah paling menonjol yang menunjukkan ketabahan Thalhah adalah ketika dia bersama Nabi serta sekelompok kecil sahabat bertahan dalam perang Uhud. Ketika itu, Thalhah bersama beberapa sahabat berjuang dalam pertempuran paling sengit dan tetap tabah membela Nabi dengan segala daya yang dimiliki. Lebih dari tujuh puluh lima luka tusukan, sabetan, dan pukulan tidak menggoyahkan sahabat ini dari kecintaannya untuk melindungi baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah, dia menceritakan, “Ketika peperangan di lereng Uhud semakin berkecamuk, pasukan kaum muslimin mulai berlarian menjauh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama dua belas orang sahabat Anshar terkepung oleh pasukan musyrikin. Salah satu dari Sahabat tersebut adalah Thalhah.” Keempat: Mendapatkan pahala perang Badr Thalhah bin Ubaidillah merupakan salah satu sahabat yang menetap di Makkah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum hijrah. Di Makkah, Thalhah bersabar atas gangguan dari orang-orang kafir Quraisy. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah, Thalhah pun ikut hijrah dan senantiasa mengikuti perang yang dilakukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, kecuali perang Badar. Absennya Thalhah disebabkan karena Nabi Muhammad mengirim Thalhah untuk memata-matai kafilah dagang milik Abu Sufyan. Thalhah merasa sedih karena tidak bisa mengikuti perang Badar. Tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meyakinkannya bahwa Thalhah akan mendapat pahala yang setara dengan para pejuang Badar dan Rasulullah memberikan kepada Thalhah bagian dari ghanimah (harta rampasan perang) sebagaimana orang-orang yang turut berperang. Kelima: Sahabat yang kaya dan dermawan Rasulullah memberikan gelar kepada Thalhah karena keistimewaan yang dimilikinya, yaitu Thalhah Al-Khair (Thalhah yang baik), Thalhah Al-Fayyadh (Thalhah yang melimpah kebaikannya), dan Thalhah Al-Jud (Thalhah yang dermawan). Thalhah termasuk sahabat yang sangat kaya. Thalhah merupakan seorang pedagang yang sukses dan memiliki harta yang melimpah. Dengan kekayaannya, Thalhah menjadi salah satu sahabat yang dermawan dan banyak membantu Islam dan kaum muslimin dengan hartanya. Thalhah pernah mendapatkan harta dari Hadramaut berupa lembah di Yaman senilai 700.000 dirham (setara dengan Rp. 35 miliar saat ini). Kemudian istrinya, menyarankan untuk membagikan harta tersebut pada fakir miskin. Thalhah pun menyetujui saran istrinya dan membagikan hartanya hingga tak tersisa sedikit pun. Wafat Thalhah bin Ubaidillah wafat pada 30 H dengan usia 62 tahun. Thalhah syahid tertusuk panah pada lehernya pada saat perang Jamal. Diriwayatkan bahwa yang membunuhnya adalah Marwan bin Al-Hakam Al-Umawiy. Baca juga: Kisah Thalhah bin Ubaidillah: Awal Kehidupan dan Kisah Thalhah di Perang Uhud (Bag. 1) *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Diterjemahkan dan disusun ulang oleh penulis dari: https://altawhed.net/article.php?id=737 https://islamonline.net/طلحة-بن-عبيد-الله/ https://alukah.net/sharia/ طلحة-بن-عبيد-الله-رضي-الله-عنه/ Tags: Thalhah bin Ubaidillah


Daftar Isi Toggle NamaKunyahLakab (Julukan)KelahiranCiri FisikSebab keislamannyaJasa-jasaKeutamaan Thalhah bin UbaidillahPertama: Tetangga Rasulullah di surgaKedua: Seorang Syahid yang berjalan di bumiKetiga: Perisai RasululllahKeempat: Mendapatkan pahala perang BadrKelima: Sahabat yang kaya dan dermawanWafat Nama Thalhah bin Ubaidillah bin ‘Utsman bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib bin Fihr bin Malik. Nasab Thalhah bin Ubaidillah bertemu dengan nasab Abu Bakar Ash Shiddiq di Taim bin Murrah dan bertemu dengan nasab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Murrah bin Ka’ab. Kunyah Thalhah bin Ubaidillah memiliki kunyah Abu Muhammad. Lakab (Julukan) Thalhah bin Ubaidillah dijuluki dengan Al-Khair (الخير), Al-Fayyadh (الفياض), dan Al-Jud (الجود). Sebagaimana Rasulullah memberikan julukan kepadanya. Kelahiran Thalhah bin Ubaidillah dilahirkan di Makkah 15 tahun sebelum kenabian. Ciri Fisik Thalhah bin Ubaidillah berkulit putih kemerahan, perawakannya bagus, tinggi badan sedang, memiliki bentuk dada yang lebar, memiliki wajah yang tampan, dan telapak kaki yang besar. Apabila menoleh, maka seluruh tubuh akan mengikuti ke mana beliau menoleh. Sebab keislamannya Thalhah bin Ubaidillah masuk Islam melalui dakwah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau merupakan salah satu dari delapan orang yang awal-awal masuk Islam. Dalam sebuah kisah, tatkala Thalhah sedang berada di pasar Bashra, beliau mendengar kabar dari seorang rahib tentang kemunculan Nabi di tanah Makkah. Kemudian Thalhah bertanya kepada Rahib tersebut tentang kemunculan Nabi yang bernama Ahmad. Setelah itu, Thalhah bergegas kembali ke Makkah untuk memastikan kisah Rahib dan mendapati bahwasanya kabar ini telah menjadi perbincangan ahli Makkah. Kabar tersebut adalah kenabian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah itu, Thalhah mendatangi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersama Abu Bakar dan akhirnya masuk Islam. Jasa-jasa Thalhah bin Ubaidillah merupakan sahabat yang memiliki keberanian dan selalu terdepan di dalam medan peperangan. Di samping itu, beliau dikenal pula dengan kebaikan dan kedermawanannya. Thalhah merupakan salah satu di antara sahabat yang memiliki harta yang melimpah. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi  wasallam memberikan julukan kepada Thalhah dengan julukan pemilik kebaikan yang banyak dan melimpah dikarenakan banyaknya kebaikan yang telah  beliau berikan untuk Islam dan kaum muslimin. Di antara kebaikan-kebaikan beliau adalah: Pertama: Membeli sumur untuk kebutuhan air kaum muslimin dan menyembelih hewan untuk kebutuhan makan mereka. Kedua: Menginfakkan harta yang banyak untuk mempersiapkan berbagai peperangan. Ketiga: Menebus sepuluh kaum muslimin yang tertawan saat perang badar. Keempat: Menjual tanahnya seharga 700.000 dirham, kemudian tidak menghabiskan malamnya dengan tidur, sedangkan hartanya masih ada padanya, dan bersegera untuk membagikannya hingga terbit Subuh. Kelima: Bersedekah sebanyak 100.000 dirham. Keenam: Mengirimkan 10.000 dirham setiap tahunnya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha agar dibagikan kepada kaum muslimin yang miskin. Ketujuh: Thalhah tidak meninggalkan orang yang terjerat utang dari kaumnya, kecuali Thalhah menanggung dan menyelesaikan urusan utangnya. Dalam sebuah kisah, Thalhah pernah membayar utang milik ‘Ubaid bin Ma’mar sebesar 80.000 dirham. Pernah juga membayar harta seorang laki-laki dari kaumnya sebesar 10.000 dirham. Keutamaan Thalhah bin Ubaidillah Begitu banyak keutamaan Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu. Di antaranya: Pertama: Tetangga Rasulullah di surga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kabar gembira berupa surga kepada Thalhah bin Ubaidillah di berbagai kesempatan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam At-Tirmidzi dan diriwayatkan pula oleh Al-Hakim dan disahihkan Al-Hakim. Bahwasanya ‘Ali radhiyallahu ‘anhu mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, طلحة والزبير جاراي في الجنة “Thalhah dan Zubair tetanggaku di surga.” Kedua: Seorang Syahid yang berjalan di bumi Thalhah bin Ubaidillah mendapatkan gelar yang sangat mulia, yaitu “Syahid yang berjalan di muka bumi”. Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda, مَنْ من سَرَّه أَنْ يَنْظُرَ إلى شَهِيدٍ يَمْشي عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ فَلْينْظُرْ إلى طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ “Siapa yang ingin melihat seorang syahid yang berjalan di atas muka bumi, lihatlah pada Thalhah bin Ubaidillah.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih.) Dalam hadis ini, terdapat kesaksian dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Thalhah bin Ubaidillah merupakan seorang syahid di jalan Allah dan ini merupakan keutamaan yang agung yang dimiliki olehnya. Ketiga: Perisai Rasululllah Kisah paling menonjol yang menunjukkan ketabahan Thalhah adalah ketika dia bersama Nabi serta sekelompok kecil sahabat bertahan dalam perang Uhud. Ketika itu, Thalhah bersama beberapa sahabat berjuang dalam pertempuran paling sengit dan tetap tabah membela Nabi dengan segala daya yang dimiliki. Lebih dari tujuh puluh lima luka tusukan, sabetan, dan pukulan tidak menggoyahkan sahabat ini dari kecintaannya untuk melindungi baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah, dia menceritakan, “Ketika peperangan di lereng Uhud semakin berkecamuk, pasukan kaum muslimin mulai berlarian menjauh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama dua belas orang sahabat Anshar terkepung oleh pasukan musyrikin. Salah satu dari Sahabat tersebut adalah Thalhah.” Keempat: Mendapatkan pahala perang Badr Thalhah bin Ubaidillah merupakan salah satu sahabat yang menetap di Makkah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum hijrah. Di Makkah, Thalhah bersabar atas gangguan dari orang-orang kafir Quraisy. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah, Thalhah pun ikut hijrah dan senantiasa mengikuti perang yang dilakukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, kecuali perang Badar. Absennya Thalhah disebabkan karena Nabi Muhammad mengirim Thalhah untuk memata-matai kafilah dagang milik Abu Sufyan. Thalhah merasa sedih karena tidak bisa mengikuti perang Badar. Tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meyakinkannya bahwa Thalhah akan mendapat pahala yang setara dengan para pejuang Badar dan Rasulullah memberikan kepada Thalhah bagian dari ghanimah (harta rampasan perang) sebagaimana orang-orang yang turut berperang. Kelima: Sahabat yang kaya dan dermawan Rasulullah memberikan gelar kepada Thalhah karena keistimewaan yang dimilikinya, yaitu Thalhah Al-Khair (Thalhah yang baik), Thalhah Al-Fayyadh (Thalhah yang melimpah kebaikannya), dan Thalhah Al-Jud (Thalhah yang dermawan). Thalhah termasuk sahabat yang sangat kaya. Thalhah merupakan seorang pedagang yang sukses dan memiliki harta yang melimpah. Dengan kekayaannya, Thalhah menjadi salah satu sahabat yang dermawan dan banyak membantu Islam dan kaum muslimin dengan hartanya. Thalhah pernah mendapatkan harta dari Hadramaut berupa lembah di Yaman senilai 700.000 dirham (setara dengan Rp. 35 miliar saat ini). Kemudian istrinya, menyarankan untuk membagikan harta tersebut pada fakir miskin. Thalhah pun menyetujui saran istrinya dan membagikan hartanya hingga tak tersisa sedikit pun. Wafat Thalhah bin Ubaidillah wafat pada 30 H dengan usia 62 tahun. Thalhah syahid tertusuk panah pada lehernya pada saat perang Jamal. Diriwayatkan bahwa yang membunuhnya adalah Marwan bin Al-Hakam Al-Umawiy. Baca juga: Kisah Thalhah bin Ubaidillah: Awal Kehidupan dan Kisah Thalhah di Perang Uhud (Bag. 1) *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Diterjemahkan dan disusun ulang oleh penulis dari: https://altawhed.net/article.php?id=737 https://islamonline.net/طلحة-بن-عبيد-الله/ https://alukah.net/sharia/ طلحة-بن-عبيد-الله-رضي-الله-عنه/ Tags: Thalhah bin Ubaidillah

Nasihat ketika Konflik Rumah Tangga di Ujung Tanduk

Daftar Isi Toggle Tobat dan istigfar kepada AllahJangan mendiskusikan perceraian, kecuali setelah bertakwa dan berjuang sekuat tenagaJujur kepada Allah Kehidupan rumah tangga memang tidak terlepas dari konflik, yang bisa jadi semakin membesar dan semakin sulit diurai. Suasana menjadi dingin, komunikasi semakin sulit, hingga kondisi tersebut menjadi di ujung tanduk, dan mulai berpikir ke arah perceraian. Lalu, bagaimana menyikapi hal ini? Tobat dan istigfar kepada Allah Jangan buru-buru membahas dan memikirkan perceraian, namun masing-masing pihak (suami dan istri), hendaknya introspeksi diri, sudahkah istigfar dan tobat kepada Allah Ta’ala? Karena kalau berlum beristigfar dan bertobat, masalah seringan apapun tidak akan hilang. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ “Dan apa saja bencana (musibah) yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisa’: 79) وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30) Suami hendaknya istigfar dan tobat, demikian pula istri hendaknya istigfar dan tobat. Inilah konsep dan kunci untuk menyelesaikan konflik rumah tangga. Masalah rumah tangga menjadi runcing karena suami menyalahkan istri, dan istri menyalahkan suami. Separah dan sefatal apapun masalah, kalau masing-masing pihak menyadari dan mengakui kesalahannya, insya Allah masalah tersebut akan terurai. Setiap manusia pasti memiliki kesalahan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ “Setiap anak Adam pasti memiliki kesalahan dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, Ibnu Majah no. 4251, Ahmad 3: 198. Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir no. 4391) Selama kita masih manusia, pasti berbuat kesalahan, sehingga tidak perlu menganggap dirinya tidak memiliki andil kesalahan dalam konflik rumah tangga tersebut. Kalau dua-duanya saling menyadari porsi kesalahan masing-masing dan meminta maaf, insya Allah masalah tersebut bisa diselesaikan. Namun, sifat menyalahkan diri sendiri adalah sifat yang mahal dan sulit. Karena setiap kita memiliki kecenderungan untuk menyalahkan orang lain terlebih dahulu. Hanya orang-orang pilihan yang memiliki mental menyalahkan diri sendiri. Renungkanlah kisa Nabi Yunus ‘alaihis salam ketika dimakan ikan paus. Beliau tidak menyalahkan umatnya yang durhaka dan kufur, namun beliau menyalahkan dirinya sendiri, وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, “Bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya’: 87) Jangan mendiskusikan perceraian, kecuali setelah bertakwa dan berjuang sekuat tenaga Nasihat kedua, hendaknya suami istri tidak mendiskusikan atau berbicara tentang perceraian, kecuali setelah mereka berjuang dan berusaha maksimal mempertahankan rumah tangga. Allah Ta’ala berfirman, فَاتَّقُوا اللَّـهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ “Bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16) Berusahalah bertakwa kepada Allah dalam mempertahankan keutuhan rumah tangga semampu dan semaksimal yang bisa kita lakukan. Karena taufik akan Allah berikan setelah kita berusaha untuk bertakwa, وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3) Setelah kita berusaha bertakwa semaksimal mungkin, barulah Allah memberikan solusi atau jalan keluar atas berbagai permasalahan yang kita hadapi. Yang menjadi masalah, orang-orang yang bercerai bisa jadi belum berusaha bertakwa semampu dan semaksimal mungkin. Setelah berusaha bertakwa semampu dan semaksimal mungkin, barulah berbicara tentang perceraian. Maka hendaknya masing-masing suami dan istri merenung, apakah dalam hari-hari konflik ini kita sudah memperbanyak salat malam? Memperbanyak zikir kepada Allah, memperbanyak menangis di hadapan Allah, atau memperbanyak sedekah? Sudahkah memperbanyak istigfar dan tobat kepada Allah? Kalau dua hal ini (tobat dan istigfar, lalu berusaha bertakwa) tidak dilakukan dan berujung perceraian, maka bisa jadi masalah dan konflik tersebut akan berulang kembali ketika masing-masing mereka membangun rumah tangga yang baru. Demikianlah lingkaran setan nikah-cerai tersebut akan terus berulang karena akar masalahnya tidak diperbaiki. Jujur kepada Allah Inti menyelesaikan konflik rumah tangga bukan dari sisi fikih, tetapi dari sisi iman dan hati. Allah Ta’ala berfirman ketika rumah tangga sudah deadlock, وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً خَبِيراً “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya (antara suami dan istri), maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud ishlah (mengadakan perbaikan), niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa’: 35) Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa ketika konflik suami-istri sudah deadlock, maka masing-masing pihak mengirimkan hakam (wakil) untuk bermusyawarah. Kalau kedua hakam yang mewakili pihak suami dan istri itu ingin dan punya niat baik untuk melakukan ishlah (perbaikan), maka Allah akan berikan taufik untuk mereka berdua sehingga bisa ishlah. Sehingga kuncinya adalah, apakah masing-masing pihak (suami dan istri) memiliki niat dan keinginan untuk melakukan perbaikan? Atau hanya ingin memperturutkan ego masing-masing? Niat dan keinginan itu letaknya di hati. Jujurlah kepada Allah. Namun sekali lagi, masalahnya adalah masing-masing pihak bisa jadi tidak memiliki niat baik untuk melakukan perbaikan. Adanya niat baik ini tentu berawal dari hati yang berusaha mentauhidkan Allah dan bertakwa kepada-Nya. Semoga nasihat ini bermanfaat untuk kita semuanya. Baca juga: Sumber Keretakan Rumah Tangga *** @27 Dzulhijjah 1445/ 4 Juli 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari penjelasan Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri di tautan ini: https://www.youtube.com/watch?v=tcFyAWbq0W8 Tags: konflikrumah tangga

Nasihat ketika Konflik Rumah Tangga di Ujung Tanduk

Daftar Isi Toggle Tobat dan istigfar kepada AllahJangan mendiskusikan perceraian, kecuali setelah bertakwa dan berjuang sekuat tenagaJujur kepada Allah Kehidupan rumah tangga memang tidak terlepas dari konflik, yang bisa jadi semakin membesar dan semakin sulit diurai. Suasana menjadi dingin, komunikasi semakin sulit, hingga kondisi tersebut menjadi di ujung tanduk, dan mulai berpikir ke arah perceraian. Lalu, bagaimana menyikapi hal ini? Tobat dan istigfar kepada Allah Jangan buru-buru membahas dan memikirkan perceraian, namun masing-masing pihak (suami dan istri), hendaknya introspeksi diri, sudahkah istigfar dan tobat kepada Allah Ta’ala? Karena kalau berlum beristigfar dan bertobat, masalah seringan apapun tidak akan hilang. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ “Dan apa saja bencana (musibah) yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisa’: 79) وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30) Suami hendaknya istigfar dan tobat, demikian pula istri hendaknya istigfar dan tobat. Inilah konsep dan kunci untuk menyelesaikan konflik rumah tangga. Masalah rumah tangga menjadi runcing karena suami menyalahkan istri, dan istri menyalahkan suami. Separah dan sefatal apapun masalah, kalau masing-masing pihak menyadari dan mengakui kesalahannya, insya Allah masalah tersebut akan terurai. Setiap manusia pasti memiliki kesalahan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ “Setiap anak Adam pasti memiliki kesalahan dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, Ibnu Majah no. 4251, Ahmad 3: 198. Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir no. 4391) Selama kita masih manusia, pasti berbuat kesalahan, sehingga tidak perlu menganggap dirinya tidak memiliki andil kesalahan dalam konflik rumah tangga tersebut. Kalau dua-duanya saling menyadari porsi kesalahan masing-masing dan meminta maaf, insya Allah masalah tersebut bisa diselesaikan. Namun, sifat menyalahkan diri sendiri adalah sifat yang mahal dan sulit. Karena setiap kita memiliki kecenderungan untuk menyalahkan orang lain terlebih dahulu. Hanya orang-orang pilihan yang memiliki mental menyalahkan diri sendiri. Renungkanlah kisa Nabi Yunus ‘alaihis salam ketika dimakan ikan paus. Beliau tidak menyalahkan umatnya yang durhaka dan kufur, namun beliau menyalahkan dirinya sendiri, وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, “Bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya’: 87) Jangan mendiskusikan perceraian, kecuali setelah bertakwa dan berjuang sekuat tenaga Nasihat kedua, hendaknya suami istri tidak mendiskusikan atau berbicara tentang perceraian, kecuali setelah mereka berjuang dan berusaha maksimal mempertahankan rumah tangga. Allah Ta’ala berfirman, فَاتَّقُوا اللَّـهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ “Bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16) Berusahalah bertakwa kepada Allah dalam mempertahankan keutuhan rumah tangga semampu dan semaksimal yang bisa kita lakukan. Karena taufik akan Allah berikan setelah kita berusaha untuk bertakwa, وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3) Setelah kita berusaha bertakwa semaksimal mungkin, barulah Allah memberikan solusi atau jalan keluar atas berbagai permasalahan yang kita hadapi. Yang menjadi masalah, orang-orang yang bercerai bisa jadi belum berusaha bertakwa semampu dan semaksimal mungkin. Setelah berusaha bertakwa semampu dan semaksimal mungkin, barulah berbicara tentang perceraian. Maka hendaknya masing-masing suami dan istri merenung, apakah dalam hari-hari konflik ini kita sudah memperbanyak salat malam? Memperbanyak zikir kepada Allah, memperbanyak menangis di hadapan Allah, atau memperbanyak sedekah? Sudahkah memperbanyak istigfar dan tobat kepada Allah? Kalau dua hal ini (tobat dan istigfar, lalu berusaha bertakwa) tidak dilakukan dan berujung perceraian, maka bisa jadi masalah dan konflik tersebut akan berulang kembali ketika masing-masing mereka membangun rumah tangga yang baru. Demikianlah lingkaran setan nikah-cerai tersebut akan terus berulang karena akar masalahnya tidak diperbaiki. Jujur kepada Allah Inti menyelesaikan konflik rumah tangga bukan dari sisi fikih, tetapi dari sisi iman dan hati. Allah Ta’ala berfirman ketika rumah tangga sudah deadlock, وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً خَبِيراً “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya (antara suami dan istri), maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud ishlah (mengadakan perbaikan), niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa’: 35) Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa ketika konflik suami-istri sudah deadlock, maka masing-masing pihak mengirimkan hakam (wakil) untuk bermusyawarah. Kalau kedua hakam yang mewakili pihak suami dan istri itu ingin dan punya niat baik untuk melakukan ishlah (perbaikan), maka Allah akan berikan taufik untuk mereka berdua sehingga bisa ishlah. Sehingga kuncinya adalah, apakah masing-masing pihak (suami dan istri) memiliki niat dan keinginan untuk melakukan perbaikan? Atau hanya ingin memperturutkan ego masing-masing? Niat dan keinginan itu letaknya di hati. Jujurlah kepada Allah. Namun sekali lagi, masalahnya adalah masing-masing pihak bisa jadi tidak memiliki niat baik untuk melakukan perbaikan. Adanya niat baik ini tentu berawal dari hati yang berusaha mentauhidkan Allah dan bertakwa kepada-Nya. Semoga nasihat ini bermanfaat untuk kita semuanya. Baca juga: Sumber Keretakan Rumah Tangga *** @27 Dzulhijjah 1445/ 4 Juli 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari penjelasan Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri di tautan ini: https://www.youtube.com/watch?v=tcFyAWbq0W8 Tags: konflikrumah tangga
Daftar Isi Toggle Tobat dan istigfar kepada AllahJangan mendiskusikan perceraian, kecuali setelah bertakwa dan berjuang sekuat tenagaJujur kepada Allah Kehidupan rumah tangga memang tidak terlepas dari konflik, yang bisa jadi semakin membesar dan semakin sulit diurai. Suasana menjadi dingin, komunikasi semakin sulit, hingga kondisi tersebut menjadi di ujung tanduk, dan mulai berpikir ke arah perceraian. Lalu, bagaimana menyikapi hal ini? Tobat dan istigfar kepada Allah Jangan buru-buru membahas dan memikirkan perceraian, namun masing-masing pihak (suami dan istri), hendaknya introspeksi diri, sudahkah istigfar dan tobat kepada Allah Ta’ala? Karena kalau berlum beristigfar dan bertobat, masalah seringan apapun tidak akan hilang. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ “Dan apa saja bencana (musibah) yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisa’: 79) وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30) Suami hendaknya istigfar dan tobat, demikian pula istri hendaknya istigfar dan tobat. Inilah konsep dan kunci untuk menyelesaikan konflik rumah tangga. Masalah rumah tangga menjadi runcing karena suami menyalahkan istri, dan istri menyalahkan suami. Separah dan sefatal apapun masalah, kalau masing-masing pihak menyadari dan mengakui kesalahannya, insya Allah masalah tersebut akan terurai. Setiap manusia pasti memiliki kesalahan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ “Setiap anak Adam pasti memiliki kesalahan dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, Ibnu Majah no. 4251, Ahmad 3: 198. Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir no. 4391) Selama kita masih manusia, pasti berbuat kesalahan, sehingga tidak perlu menganggap dirinya tidak memiliki andil kesalahan dalam konflik rumah tangga tersebut. Kalau dua-duanya saling menyadari porsi kesalahan masing-masing dan meminta maaf, insya Allah masalah tersebut bisa diselesaikan. Namun, sifat menyalahkan diri sendiri adalah sifat yang mahal dan sulit. Karena setiap kita memiliki kecenderungan untuk menyalahkan orang lain terlebih dahulu. Hanya orang-orang pilihan yang memiliki mental menyalahkan diri sendiri. Renungkanlah kisa Nabi Yunus ‘alaihis salam ketika dimakan ikan paus. Beliau tidak menyalahkan umatnya yang durhaka dan kufur, namun beliau menyalahkan dirinya sendiri, وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, “Bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya’: 87) Jangan mendiskusikan perceraian, kecuali setelah bertakwa dan berjuang sekuat tenaga Nasihat kedua, hendaknya suami istri tidak mendiskusikan atau berbicara tentang perceraian, kecuali setelah mereka berjuang dan berusaha maksimal mempertahankan rumah tangga. Allah Ta’ala berfirman, فَاتَّقُوا اللَّـهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ “Bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16) Berusahalah bertakwa kepada Allah dalam mempertahankan keutuhan rumah tangga semampu dan semaksimal yang bisa kita lakukan. Karena taufik akan Allah berikan setelah kita berusaha untuk bertakwa, وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3) Setelah kita berusaha bertakwa semaksimal mungkin, barulah Allah memberikan solusi atau jalan keluar atas berbagai permasalahan yang kita hadapi. Yang menjadi masalah, orang-orang yang bercerai bisa jadi belum berusaha bertakwa semampu dan semaksimal mungkin. Setelah berusaha bertakwa semampu dan semaksimal mungkin, barulah berbicara tentang perceraian. Maka hendaknya masing-masing suami dan istri merenung, apakah dalam hari-hari konflik ini kita sudah memperbanyak salat malam? Memperbanyak zikir kepada Allah, memperbanyak menangis di hadapan Allah, atau memperbanyak sedekah? Sudahkah memperbanyak istigfar dan tobat kepada Allah? Kalau dua hal ini (tobat dan istigfar, lalu berusaha bertakwa) tidak dilakukan dan berujung perceraian, maka bisa jadi masalah dan konflik tersebut akan berulang kembali ketika masing-masing mereka membangun rumah tangga yang baru. Demikianlah lingkaran setan nikah-cerai tersebut akan terus berulang karena akar masalahnya tidak diperbaiki. Jujur kepada Allah Inti menyelesaikan konflik rumah tangga bukan dari sisi fikih, tetapi dari sisi iman dan hati. Allah Ta’ala berfirman ketika rumah tangga sudah deadlock, وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً خَبِيراً “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya (antara suami dan istri), maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud ishlah (mengadakan perbaikan), niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa’: 35) Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa ketika konflik suami-istri sudah deadlock, maka masing-masing pihak mengirimkan hakam (wakil) untuk bermusyawarah. Kalau kedua hakam yang mewakili pihak suami dan istri itu ingin dan punya niat baik untuk melakukan ishlah (perbaikan), maka Allah akan berikan taufik untuk mereka berdua sehingga bisa ishlah. Sehingga kuncinya adalah, apakah masing-masing pihak (suami dan istri) memiliki niat dan keinginan untuk melakukan perbaikan? Atau hanya ingin memperturutkan ego masing-masing? Niat dan keinginan itu letaknya di hati. Jujurlah kepada Allah. Namun sekali lagi, masalahnya adalah masing-masing pihak bisa jadi tidak memiliki niat baik untuk melakukan perbaikan. Adanya niat baik ini tentu berawal dari hati yang berusaha mentauhidkan Allah dan bertakwa kepada-Nya. Semoga nasihat ini bermanfaat untuk kita semuanya. Baca juga: Sumber Keretakan Rumah Tangga *** @27 Dzulhijjah 1445/ 4 Juli 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari penjelasan Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri di tautan ini: https://www.youtube.com/watch?v=tcFyAWbq0W8 Tags: konflikrumah tangga


Daftar Isi Toggle Tobat dan istigfar kepada AllahJangan mendiskusikan perceraian, kecuali setelah bertakwa dan berjuang sekuat tenagaJujur kepada Allah Kehidupan rumah tangga memang tidak terlepas dari konflik, yang bisa jadi semakin membesar dan semakin sulit diurai. Suasana menjadi dingin, komunikasi semakin sulit, hingga kondisi tersebut menjadi di ujung tanduk, dan mulai berpikir ke arah perceraian. Lalu, bagaimana menyikapi hal ini? Tobat dan istigfar kepada Allah Jangan buru-buru membahas dan memikirkan perceraian, namun masing-masing pihak (suami dan istri), hendaknya introspeksi diri, sudahkah istigfar dan tobat kepada Allah Ta’ala? Karena kalau berlum beristigfar dan bertobat, masalah seringan apapun tidak akan hilang. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ “Dan apa saja bencana (musibah) yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisa’: 79) وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30) Suami hendaknya istigfar dan tobat, demikian pula istri hendaknya istigfar dan tobat. Inilah konsep dan kunci untuk menyelesaikan konflik rumah tangga. Masalah rumah tangga menjadi runcing karena suami menyalahkan istri, dan istri menyalahkan suami. Separah dan sefatal apapun masalah, kalau masing-masing pihak menyadari dan mengakui kesalahannya, insya Allah masalah tersebut akan terurai. Setiap manusia pasti memiliki kesalahan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ “Setiap anak Adam pasti memiliki kesalahan dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, Ibnu Majah no. 4251, Ahmad 3: 198. Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir no. 4391) Selama kita masih manusia, pasti berbuat kesalahan, sehingga tidak perlu menganggap dirinya tidak memiliki andil kesalahan dalam konflik rumah tangga tersebut. Kalau dua-duanya saling menyadari porsi kesalahan masing-masing dan meminta maaf, insya Allah masalah tersebut bisa diselesaikan. Namun, sifat menyalahkan diri sendiri adalah sifat yang mahal dan sulit. Karena setiap kita memiliki kecenderungan untuk menyalahkan orang lain terlebih dahulu. Hanya orang-orang pilihan yang memiliki mental menyalahkan diri sendiri. Renungkanlah kisa Nabi Yunus ‘alaihis salam ketika dimakan ikan paus. Beliau tidak menyalahkan umatnya yang durhaka dan kufur, namun beliau menyalahkan dirinya sendiri, وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, “Bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya’: 87) Jangan mendiskusikan perceraian, kecuali setelah bertakwa dan berjuang sekuat tenaga Nasihat kedua, hendaknya suami istri tidak mendiskusikan atau berbicara tentang perceraian, kecuali setelah mereka berjuang dan berusaha maksimal mempertahankan rumah tangga. Allah Ta’ala berfirman, فَاتَّقُوا اللَّـهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ “Bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16) Berusahalah bertakwa kepada Allah dalam mempertahankan keutuhan rumah tangga semampu dan semaksimal yang bisa kita lakukan. Karena taufik akan Allah berikan setelah kita berusaha untuk bertakwa, وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3) Setelah kita berusaha bertakwa semaksimal mungkin, barulah Allah memberikan solusi atau jalan keluar atas berbagai permasalahan yang kita hadapi. Yang menjadi masalah, orang-orang yang bercerai bisa jadi belum berusaha bertakwa semampu dan semaksimal mungkin. Setelah berusaha bertakwa semampu dan semaksimal mungkin, barulah berbicara tentang perceraian. Maka hendaknya masing-masing suami dan istri merenung, apakah dalam hari-hari konflik ini kita sudah memperbanyak salat malam? Memperbanyak zikir kepada Allah, memperbanyak menangis di hadapan Allah, atau memperbanyak sedekah? Sudahkah memperbanyak istigfar dan tobat kepada Allah? Kalau dua hal ini (tobat dan istigfar, lalu berusaha bertakwa) tidak dilakukan dan berujung perceraian, maka bisa jadi masalah dan konflik tersebut akan berulang kembali ketika masing-masing mereka membangun rumah tangga yang baru. Demikianlah lingkaran setan nikah-cerai tersebut akan terus berulang karena akar masalahnya tidak diperbaiki. Jujur kepada Allah Inti menyelesaikan konflik rumah tangga bukan dari sisi fikih, tetapi dari sisi iman dan hati. Allah Ta’ala berfirman ketika rumah tangga sudah deadlock, وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً خَبِيراً “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya (antara suami dan istri), maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud ishlah (mengadakan perbaikan), niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa’: 35) Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa ketika konflik suami-istri sudah deadlock, maka masing-masing pihak mengirimkan hakam (wakil) untuk bermusyawarah. Kalau kedua hakam yang mewakili pihak suami dan istri itu ingin dan punya niat baik untuk melakukan ishlah (perbaikan), maka Allah akan berikan taufik untuk mereka berdua sehingga bisa ishlah. Sehingga kuncinya adalah, apakah masing-masing pihak (suami dan istri) memiliki niat dan keinginan untuk melakukan perbaikan? Atau hanya ingin memperturutkan ego masing-masing? Niat dan keinginan itu letaknya di hati. Jujurlah kepada Allah. Namun sekali lagi, masalahnya adalah masing-masing pihak bisa jadi tidak memiliki niat baik untuk melakukan perbaikan. Adanya niat baik ini tentu berawal dari hati yang berusaha mentauhidkan Allah dan bertakwa kepada-Nya. Semoga nasihat ini bermanfaat untuk kita semuanya. Baca juga: Sumber Keretakan Rumah Tangga *** @27 Dzulhijjah 1445/ 4 Juli 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari penjelasan Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri di tautan ini: https://www.youtube.com/watch?v=tcFyAWbq0W8 Tags: konflikrumah tangga

Di Antara Keutamaan Tauhid

Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menyebutkan berbagai keutamaan yang akan diraih oleh seorang insan dengan tauhid sebagai berikut. Tauhid adalah sebab utama untuk menemukan jalan keluar atas segala kesusahan dunia dan akhirat serta untuk menolak berbagai hukuman (siksa). Tauhid akan menghalangi pelakunya dari kekal di dalam neraka, selama di dalam hatinya masih tersisa iman walaupun hanya seberat biji sawi. Dan apabila iman (tauhid) yang terdapat di dalam hatinya sempurna, niscaya hal itu akan menjadi penghalang baginya dari segala macam siksa neraka. Pemilik tauhid akan mendapatkan petunjuk yang sempurna dan keamanan yang sepenuhnya di dunia maupun di akhirat. Tauhid merupakan satu-satunya jalan untuk menggapai rida Allah dan pahala dari-Nya. Dan orang yang paling berbahagia dengan syafaat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas (bebas dari syirik, pent) dari dalam lubuk hatinya. Segala bentuk amalan lahir maupun batin hanya akan diterima, sempurna, dan mendapatkan pahala di sisi Allah jika dibarengi dengan tauhid. Sehingga, apabila tauhid dan keikhlasan seorang hamba semakin sempurna, niscaya perkara-perkara ini pun menjadi sempurna dan diperolehnya secara utuh. Tauhid akan meringankan hamba dalam melakukan kebaikan dan meninggalkan berbagai kemungkaran. Selain itu, tauhid akan menghiburnya saat tertimpa berbagai bentuk musibah. Seorang yang ikhlas kepada Allah dalam keimanan dan tauhidnya, niscaya akan terasa ringan baginya ketaatan-ketaatan, sebab dia senantiasa mengharap pahala dari Rabbnya dan keridaan-Nya. Demikian pula, akan terasa mudah baginya untuk meninggalkan apa-apa yang disenangi oleh hawa nafsunya berupa kemaksiatan, karena dia khawatir akan murka dan hukuman-Nya Apabila tauhid sempurna di dalam hati seseorang, maka Allah akan membuatnya mencintai keimanan dan membuat hal itu terasa indah di dalam hatinya. Dan Allah membuat kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan menjadi hal yang dia benci, kemudian Allah akan menjadikan orang tersebut sebagai orang-orang yang mengikuti petunjuk dan meniti jalan yang benar. Tauhid juga akan meringankan hal-hal yang dirasa tidak menyenangkan dan membuat terasa ringan berbagai derita yang harus dirasakan. Maka, seorang hamba akan bisa menghadapi beratnya beban dan derita dengan penuh kelapangan apabila dia memiliki kesempurnaan tauhid dan keimanan. Sehingga, beban dan derita akan dihadapinya dengan hati yang lapang, jiwa yang tenang, serta senantiasa pasrah dan rida terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan. Tauhid juga menjadi sebab terbebasnya seorang hamba dari penghinaan dan perendahan dirinya kepada sesama makhluk. Sehingga, ia akan terbebas dari cengkraman rasa takut, harap, atau beramal demi makhluk. Inilah hakikat kemuliaan yang sebenarnya dan kedudukan yang tinggi. Dengan demikian, dia senantiasa memuja dan beribadah kepada Allah dan tidak mengharap, kecuali kepada-Nya. Tidak takut, kecuali kepada-Nya. Tidak bertobat dan taat, kecuali kepada-Nya. Dengan itulah, akan sempurna kebahagiaan dan tercapai keselamatan dirinya. Di antara keutamaan tauhid yang tidak bisa disamai oleh amal apapun adalah jika tauhid itu sempurna di dalam hati serta terwujud secara utuh dalam bentuk keikhlasan yang murni, maka ia akan mengubah amal yang sedikit menjadi besar nilainya, amal dan ucapannya pun menumbuhkan pahala yang berlipat ganda tanpa batasan dan perhitungan. Dan tatkala itulah kalimat ikhlas menjadi sangat berbobot di dalam timbangan amalnya. Sehingga langit dan bumi beserta para penghuninya pun tidak bisa mengimbangi bobot dan keutamaannya. Sebagaimana kisah si pemilik kartu laa ilaha illallah yang ditimbang dan mampu mengalahkan beratnya sembilan puluh sembilan gulungan catatan dosa, yang setiap gulungan panjangnya sejauh mata memandang. Tidaklah hal itu terjadi, kecuali karena kesempurnaan ikhlas orang yang mengucapkannya. Di sisi lain, betapa banyak orang yang mengucapkan laa ilaha illallah, tetapi tidak mencapai tingkatan ini. Dikarenakan di dalam hatinya tidak terdapat tauhid dan keikhlasan yang sempurna yang setara atau mendekati apa yang tertanam di dalam hati hamba tersebut. Tauhid adalah sebab Allah memberikan jaminan kemenangan dan kejayaan di dunia, sebab untuk meraih kemuliaan dan limpahan petunjuk, sebab untuk mendapatkan kemudahan, perbaikan keadaan, serta kelurusan ucapan dan perbuatan. Allah akan menyingkirkan berbagai keburukan dunia dan akhirat bagi ahli tauhid dan kaum beriman. Dan Allah anugerahkan kepada mereka kehidupan yang baik, ketentraman, dan ketenangan dalam berzikir kepada-Nya. (Lihat Al-Qaul As-Sadid fi Maqashid At-Tauhid, hal. 16-19, cet. Maktabah Al-‘Ilmu.) Baca juga: Kondisi Hati yang Dihuni oleh Tauhid Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Seluruh isi Al-Qur’an berbicara tentang penetapan tauhid dan menafikan lawannya. Di dalam kebanyakan ayat, Allah menetapkan tauhid uluhiyah dan kewajiban untuk memurnikan ibadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Allah pun mengabarkan bahwa segenap rasul hanyalah diutus untuk mengajak kaumnya supaya beribadah kepada Allah saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Allah pun menegaskan bahwa tidaklah Allah menciptakan jin dan manusia, kecuali supaya mereka beribadah kepada-Nya. Allah juga menetapkan bahwasanya seluruh kitab suci dan para rasul, fitrah, dan akal yang sehat, semuanya telah sepakat terhadap pokok ini. Yang ia merupakan pokok paling mendasar di antara segala pokok ajaran agama.” (Lihat Al-Majmu’ah Al-Kamilah, 8: 23) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Segala kebaikan yang segera (di dunia) ataupun yang tertunda (di akhirat) sesungguhnya merupakan buah dari tauhid. Sedangkan segala keburukan yang segera ataupun yang tertunda, maka itu merupakan buah/dampak dari lawannya….” (Lihat Al-Qawa’id Al-Hisan Al-Muta’alliqatu Bi Tafsir Al-Qur’an, hal. 26.) Syekh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Akidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan akidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat “Laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah.” Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apa pun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan akidahnya.” (Lihat I’anat Al-Mustafid bi Syarh Kitab At-Tauhid, 1: 17, cet. Mu’assasah Ar-Risalah) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya iman (pokok maupun cabang-cabangnya, batin maupun lahirnya) semuanya adalah keadilan, dan lawannya adalah kezaliman. Keadilan tertinggi dan pokok utamanya adalah pengakuan dan pemurnian tauhid kepada Allah, beriman kepada sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya yang terindah, serta mengikhlaskan agama (ketaatan) dan ibadah kepada-Nya. Adapun kezaliman yang paling zalim dan paling berat adalah syirik kepada Allah, sebagaimana firman Allah Ta’ala,  إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِیمࣱ “Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13).” (Lihat Bahjat Al-Qulub Al-Abrar, hal. 63 cet. Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah) Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullah mengatakan, “Al-Qur’an berisi pemberitaan tentang Allah, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Inilah yang disebut dengan istilah tauhid ilmu dan pemberitaan. Selain itu, Al-Qur’an juga berisi seruan untuk beribadah hanya kepada-Nya yang tiada sekutu bagi-Nya serta ajakan untuk mencampakkan sesembahan selain-Nya. Itulah yang disebut dengan istilah tauhid kehendak dan tuntutan. Al-Qur’an itu juga berisi perintah dan larangan serta kewajiban untuk patuh kepada-Nya. Itulah yang disebut dengan hak-hak tauhid dan penyempurna atasnya. Selain itu, Al-Qur’an juga berisi berita tentang kemuliaan yang Allah berikan bagi orang yang mentauhidkan-Nya, apa yang Allah lakukan kepada mereka ketika masih hidup di dunia, dan kemuliaan yang dianugerahkan untuk mereka di akhirat. Itulah balasan atas tauhid yang dia miliki. Di sisi yang lain, Al-Qur’an juga berisi pemberitaan mengenai keadaan para pelaku kesyirikan, tindakan apa yang dijatuhkan kepada mereka selama di dunia, dan siksaan apa yang mereka alami di akhirat. Maka, itu adalah hukuman yang diberikan kepada orang yang keluar dari hukum tauhid. Ini menunjukkan bahwa seluruh isi Al-Qur’an membicarakan tentang tauhid, hak-haknya, dan balasan atasnya. Selain itu, Al-Qur’an pun membeberkan tentang masalah syirik, keadaan pelakunya, serta balasan atas kejahatan mereka.” (Lihat Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah dengan takhrij Al-Albani, hal. 89 cet. Al-Maktab al-Islami.) Syekh Zaid bin Hadi Al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah, melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, sebenarnya dia sedang menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari ketundukan beribadah kepada Allah.” (Lihat Thariq Al-Wushul ila Idhah Ats-Tsalatsah Al-Ushul, hal. 147) Syekh Prof. Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili hafizhahullah berkata, “Barangsiapa mentadaburi Kitabullah serta membaca Kitabullah dengan penuh perenungan, niscaya dia akan mendapati bahwasanya seluruh isi Al-Qur’an, dari Al-Fatihah sampai An-Nas, semuanya berisi dakwah tauhid. Ia bisa jadi berupa seruan untuk bertauhid, atau bisa juga berupa peringatan dari syirik. Terkadang ia berupa penjelasan tentang keadaan orang-orang yang bertauhid dan keadaan orang-orang yang berbuat syirik. Hampir-hampir Al-Qur’an tidak pernah keluar dari pembicaraan ini. Ada kalanya ia membahas tentang suatu ibadah yang Allah syariatkan dan Allah terangkan hukum-hukumnya, maka ini merupakan rincian dari ajaran tauhid …” (Lihat Transkrip Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’, hal. 22) Semoga Allah beri taufik kepada kita semuanya untuk mengamalkan tauhid hingga akhir hayat. Amin. Baca juga: Tantangan Dakwah Tauhid *** Penyusun: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: tauhid

Di Antara Keutamaan Tauhid

Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menyebutkan berbagai keutamaan yang akan diraih oleh seorang insan dengan tauhid sebagai berikut. Tauhid adalah sebab utama untuk menemukan jalan keluar atas segala kesusahan dunia dan akhirat serta untuk menolak berbagai hukuman (siksa). Tauhid akan menghalangi pelakunya dari kekal di dalam neraka, selama di dalam hatinya masih tersisa iman walaupun hanya seberat biji sawi. Dan apabila iman (tauhid) yang terdapat di dalam hatinya sempurna, niscaya hal itu akan menjadi penghalang baginya dari segala macam siksa neraka. Pemilik tauhid akan mendapatkan petunjuk yang sempurna dan keamanan yang sepenuhnya di dunia maupun di akhirat. Tauhid merupakan satu-satunya jalan untuk menggapai rida Allah dan pahala dari-Nya. Dan orang yang paling berbahagia dengan syafaat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas (bebas dari syirik, pent) dari dalam lubuk hatinya. Segala bentuk amalan lahir maupun batin hanya akan diterima, sempurna, dan mendapatkan pahala di sisi Allah jika dibarengi dengan tauhid. Sehingga, apabila tauhid dan keikhlasan seorang hamba semakin sempurna, niscaya perkara-perkara ini pun menjadi sempurna dan diperolehnya secara utuh. Tauhid akan meringankan hamba dalam melakukan kebaikan dan meninggalkan berbagai kemungkaran. Selain itu, tauhid akan menghiburnya saat tertimpa berbagai bentuk musibah. Seorang yang ikhlas kepada Allah dalam keimanan dan tauhidnya, niscaya akan terasa ringan baginya ketaatan-ketaatan, sebab dia senantiasa mengharap pahala dari Rabbnya dan keridaan-Nya. Demikian pula, akan terasa mudah baginya untuk meninggalkan apa-apa yang disenangi oleh hawa nafsunya berupa kemaksiatan, karena dia khawatir akan murka dan hukuman-Nya Apabila tauhid sempurna di dalam hati seseorang, maka Allah akan membuatnya mencintai keimanan dan membuat hal itu terasa indah di dalam hatinya. Dan Allah membuat kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan menjadi hal yang dia benci, kemudian Allah akan menjadikan orang tersebut sebagai orang-orang yang mengikuti petunjuk dan meniti jalan yang benar. Tauhid juga akan meringankan hal-hal yang dirasa tidak menyenangkan dan membuat terasa ringan berbagai derita yang harus dirasakan. Maka, seorang hamba akan bisa menghadapi beratnya beban dan derita dengan penuh kelapangan apabila dia memiliki kesempurnaan tauhid dan keimanan. Sehingga, beban dan derita akan dihadapinya dengan hati yang lapang, jiwa yang tenang, serta senantiasa pasrah dan rida terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan. Tauhid juga menjadi sebab terbebasnya seorang hamba dari penghinaan dan perendahan dirinya kepada sesama makhluk. Sehingga, ia akan terbebas dari cengkraman rasa takut, harap, atau beramal demi makhluk. Inilah hakikat kemuliaan yang sebenarnya dan kedudukan yang tinggi. Dengan demikian, dia senantiasa memuja dan beribadah kepada Allah dan tidak mengharap, kecuali kepada-Nya. Tidak takut, kecuali kepada-Nya. Tidak bertobat dan taat, kecuali kepada-Nya. Dengan itulah, akan sempurna kebahagiaan dan tercapai keselamatan dirinya. Di antara keutamaan tauhid yang tidak bisa disamai oleh amal apapun adalah jika tauhid itu sempurna di dalam hati serta terwujud secara utuh dalam bentuk keikhlasan yang murni, maka ia akan mengubah amal yang sedikit menjadi besar nilainya, amal dan ucapannya pun menumbuhkan pahala yang berlipat ganda tanpa batasan dan perhitungan. Dan tatkala itulah kalimat ikhlas menjadi sangat berbobot di dalam timbangan amalnya. Sehingga langit dan bumi beserta para penghuninya pun tidak bisa mengimbangi bobot dan keutamaannya. Sebagaimana kisah si pemilik kartu laa ilaha illallah yang ditimbang dan mampu mengalahkan beratnya sembilan puluh sembilan gulungan catatan dosa, yang setiap gulungan panjangnya sejauh mata memandang. Tidaklah hal itu terjadi, kecuali karena kesempurnaan ikhlas orang yang mengucapkannya. Di sisi lain, betapa banyak orang yang mengucapkan laa ilaha illallah, tetapi tidak mencapai tingkatan ini. Dikarenakan di dalam hatinya tidak terdapat tauhid dan keikhlasan yang sempurna yang setara atau mendekati apa yang tertanam di dalam hati hamba tersebut. Tauhid adalah sebab Allah memberikan jaminan kemenangan dan kejayaan di dunia, sebab untuk meraih kemuliaan dan limpahan petunjuk, sebab untuk mendapatkan kemudahan, perbaikan keadaan, serta kelurusan ucapan dan perbuatan. Allah akan menyingkirkan berbagai keburukan dunia dan akhirat bagi ahli tauhid dan kaum beriman. Dan Allah anugerahkan kepada mereka kehidupan yang baik, ketentraman, dan ketenangan dalam berzikir kepada-Nya. (Lihat Al-Qaul As-Sadid fi Maqashid At-Tauhid, hal. 16-19, cet. Maktabah Al-‘Ilmu.) Baca juga: Kondisi Hati yang Dihuni oleh Tauhid Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Seluruh isi Al-Qur’an berbicara tentang penetapan tauhid dan menafikan lawannya. Di dalam kebanyakan ayat, Allah menetapkan tauhid uluhiyah dan kewajiban untuk memurnikan ibadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Allah pun mengabarkan bahwa segenap rasul hanyalah diutus untuk mengajak kaumnya supaya beribadah kepada Allah saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Allah pun menegaskan bahwa tidaklah Allah menciptakan jin dan manusia, kecuali supaya mereka beribadah kepada-Nya. Allah juga menetapkan bahwasanya seluruh kitab suci dan para rasul, fitrah, dan akal yang sehat, semuanya telah sepakat terhadap pokok ini. Yang ia merupakan pokok paling mendasar di antara segala pokok ajaran agama.” (Lihat Al-Majmu’ah Al-Kamilah, 8: 23) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Segala kebaikan yang segera (di dunia) ataupun yang tertunda (di akhirat) sesungguhnya merupakan buah dari tauhid. Sedangkan segala keburukan yang segera ataupun yang tertunda, maka itu merupakan buah/dampak dari lawannya….” (Lihat Al-Qawa’id Al-Hisan Al-Muta’alliqatu Bi Tafsir Al-Qur’an, hal. 26.) Syekh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Akidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan akidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat “Laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah.” Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apa pun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan akidahnya.” (Lihat I’anat Al-Mustafid bi Syarh Kitab At-Tauhid, 1: 17, cet. Mu’assasah Ar-Risalah) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya iman (pokok maupun cabang-cabangnya, batin maupun lahirnya) semuanya adalah keadilan, dan lawannya adalah kezaliman. Keadilan tertinggi dan pokok utamanya adalah pengakuan dan pemurnian tauhid kepada Allah, beriman kepada sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya yang terindah, serta mengikhlaskan agama (ketaatan) dan ibadah kepada-Nya. Adapun kezaliman yang paling zalim dan paling berat adalah syirik kepada Allah, sebagaimana firman Allah Ta’ala,  إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِیمࣱ “Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13).” (Lihat Bahjat Al-Qulub Al-Abrar, hal. 63 cet. Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah) Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullah mengatakan, “Al-Qur’an berisi pemberitaan tentang Allah, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Inilah yang disebut dengan istilah tauhid ilmu dan pemberitaan. Selain itu, Al-Qur’an juga berisi seruan untuk beribadah hanya kepada-Nya yang tiada sekutu bagi-Nya serta ajakan untuk mencampakkan sesembahan selain-Nya. Itulah yang disebut dengan istilah tauhid kehendak dan tuntutan. Al-Qur’an itu juga berisi perintah dan larangan serta kewajiban untuk patuh kepada-Nya. Itulah yang disebut dengan hak-hak tauhid dan penyempurna atasnya. Selain itu, Al-Qur’an juga berisi berita tentang kemuliaan yang Allah berikan bagi orang yang mentauhidkan-Nya, apa yang Allah lakukan kepada mereka ketika masih hidup di dunia, dan kemuliaan yang dianugerahkan untuk mereka di akhirat. Itulah balasan atas tauhid yang dia miliki. Di sisi yang lain, Al-Qur’an juga berisi pemberitaan mengenai keadaan para pelaku kesyirikan, tindakan apa yang dijatuhkan kepada mereka selama di dunia, dan siksaan apa yang mereka alami di akhirat. Maka, itu adalah hukuman yang diberikan kepada orang yang keluar dari hukum tauhid. Ini menunjukkan bahwa seluruh isi Al-Qur’an membicarakan tentang tauhid, hak-haknya, dan balasan atasnya. Selain itu, Al-Qur’an pun membeberkan tentang masalah syirik, keadaan pelakunya, serta balasan atas kejahatan mereka.” (Lihat Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah dengan takhrij Al-Albani, hal. 89 cet. Al-Maktab al-Islami.) Syekh Zaid bin Hadi Al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah, melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, sebenarnya dia sedang menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari ketundukan beribadah kepada Allah.” (Lihat Thariq Al-Wushul ila Idhah Ats-Tsalatsah Al-Ushul, hal. 147) Syekh Prof. Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili hafizhahullah berkata, “Barangsiapa mentadaburi Kitabullah serta membaca Kitabullah dengan penuh perenungan, niscaya dia akan mendapati bahwasanya seluruh isi Al-Qur’an, dari Al-Fatihah sampai An-Nas, semuanya berisi dakwah tauhid. Ia bisa jadi berupa seruan untuk bertauhid, atau bisa juga berupa peringatan dari syirik. Terkadang ia berupa penjelasan tentang keadaan orang-orang yang bertauhid dan keadaan orang-orang yang berbuat syirik. Hampir-hampir Al-Qur’an tidak pernah keluar dari pembicaraan ini. Ada kalanya ia membahas tentang suatu ibadah yang Allah syariatkan dan Allah terangkan hukum-hukumnya, maka ini merupakan rincian dari ajaran tauhid …” (Lihat Transkrip Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’, hal. 22) Semoga Allah beri taufik kepada kita semuanya untuk mengamalkan tauhid hingga akhir hayat. Amin. Baca juga: Tantangan Dakwah Tauhid *** Penyusun: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: tauhid
Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menyebutkan berbagai keutamaan yang akan diraih oleh seorang insan dengan tauhid sebagai berikut. Tauhid adalah sebab utama untuk menemukan jalan keluar atas segala kesusahan dunia dan akhirat serta untuk menolak berbagai hukuman (siksa). Tauhid akan menghalangi pelakunya dari kekal di dalam neraka, selama di dalam hatinya masih tersisa iman walaupun hanya seberat biji sawi. Dan apabila iman (tauhid) yang terdapat di dalam hatinya sempurna, niscaya hal itu akan menjadi penghalang baginya dari segala macam siksa neraka. Pemilik tauhid akan mendapatkan petunjuk yang sempurna dan keamanan yang sepenuhnya di dunia maupun di akhirat. Tauhid merupakan satu-satunya jalan untuk menggapai rida Allah dan pahala dari-Nya. Dan orang yang paling berbahagia dengan syafaat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas (bebas dari syirik, pent) dari dalam lubuk hatinya. Segala bentuk amalan lahir maupun batin hanya akan diterima, sempurna, dan mendapatkan pahala di sisi Allah jika dibarengi dengan tauhid. Sehingga, apabila tauhid dan keikhlasan seorang hamba semakin sempurna, niscaya perkara-perkara ini pun menjadi sempurna dan diperolehnya secara utuh. Tauhid akan meringankan hamba dalam melakukan kebaikan dan meninggalkan berbagai kemungkaran. Selain itu, tauhid akan menghiburnya saat tertimpa berbagai bentuk musibah. Seorang yang ikhlas kepada Allah dalam keimanan dan tauhidnya, niscaya akan terasa ringan baginya ketaatan-ketaatan, sebab dia senantiasa mengharap pahala dari Rabbnya dan keridaan-Nya. Demikian pula, akan terasa mudah baginya untuk meninggalkan apa-apa yang disenangi oleh hawa nafsunya berupa kemaksiatan, karena dia khawatir akan murka dan hukuman-Nya Apabila tauhid sempurna di dalam hati seseorang, maka Allah akan membuatnya mencintai keimanan dan membuat hal itu terasa indah di dalam hatinya. Dan Allah membuat kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan menjadi hal yang dia benci, kemudian Allah akan menjadikan orang tersebut sebagai orang-orang yang mengikuti petunjuk dan meniti jalan yang benar. Tauhid juga akan meringankan hal-hal yang dirasa tidak menyenangkan dan membuat terasa ringan berbagai derita yang harus dirasakan. Maka, seorang hamba akan bisa menghadapi beratnya beban dan derita dengan penuh kelapangan apabila dia memiliki kesempurnaan tauhid dan keimanan. Sehingga, beban dan derita akan dihadapinya dengan hati yang lapang, jiwa yang tenang, serta senantiasa pasrah dan rida terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan. Tauhid juga menjadi sebab terbebasnya seorang hamba dari penghinaan dan perendahan dirinya kepada sesama makhluk. Sehingga, ia akan terbebas dari cengkraman rasa takut, harap, atau beramal demi makhluk. Inilah hakikat kemuliaan yang sebenarnya dan kedudukan yang tinggi. Dengan demikian, dia senantiasa memuja dan beribadah kepada Allah dan tidak mengharap, kecuali kepada-Nya. Tidak takut, kecuali kepada-Nya. Tidak bertobat dan taat, kecuali kepada-Nya. Dengan itulah, akan sempurna kebahagiaan dan tercapai keselamatan dirinya. Di antara keutamaan tauhid yang tidak bisa disamai oleh amal apapun adalah jika tauhid itu sempurna di dalam hati serta terwujud secara utuh dalam bentuk keikhlasan yang murni, maka ia akan mengubah amal yang sedikit menjadi besar nilainya, amal dan ucapannya pun menumbuhkan pahala yang berlipat ganda tanpa batasan dan perhitungan. Dan tatkala itulah kalimat ikhlas menjadi sangat berbobot di dalam timbangan amalnya. Sehingga langit dan bumi beserta para penghuninya pun tidak bisa mengimbangi bobot dan keutamaannya. Sebagaimana kisah si pemilik kartu laa ilaha illallah yang ditimbang dan mampu mengalahkan beratnya sembilan puluh sembilan gulungan catatan dosa, yang setiap gulungan panjangnya sejauh mata memandang. Tidaklah hal itu terjadi, kecuali karena kesempurnaan ikhlas orang yang mengucapkannya. Di sisi lain, betapa banyak orang yang mengucapkan laa ilaha illallah, tetapi tidak mencapai tingkatan ini. Dikarenakan di dalam hatinya tidak terdapat tauhid dan keikhlasan yang sempurna yang setara atau mendekati apa yang tertanam di dalam hati hamba tersebut. Tauhid adalah sebab Allah memberikan jaminan kemenangan dan kejayaan di dunia, sebab untuk meraih kemuliaan dan limpahan petunjuk, sebab untuk mendapatkan kemudahan, perbaikan keadaan, serta kelurusan ucapan dan perbuatan. Allah akan menyingkirkan berbagai keburukan dunia dan akhirat bagi ahli tauhid dan kaum beriman. Dan Allah anugerahkan kepada mereka kehidupan yang baik, ketentraman, dan ketenangan dalam berzikir kepada-Nya. (Lihat Al-Qaul As-Sadid fi Maqashid At-Tauhid, hal. 16-19, cet. Maktabah Al-‘Ilmu.) Baca juga: Kondisi Hati yang Dihuni oleh Tauhid Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Seluruh isi Al-Qur’an berbicara tentang penetapan tauhid dan menafikan lawannya. Di dalam kebanyakan ayat, Allah menetapkan tauhid uluhiyah dan kewajiban untuk memurnikan ibadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Allah pun mengabarkan bahwa segenap rasul hanyalah diutus untuk mengajak kaumnya supaya beribadah kepada Allah saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Allah pun menegaskan bahwa tidaklah Allah menciptakan jin dan manusia, kecuali supaya mereka beribadah kepada-Nya. Allah juga menetapkan bahwasanya seluruh kitab suci dan para rasul, fitrah, dan akal yang sehat, semuanya telah sepakat terhadap pokok ini. Yang ia merupakan pokok paling mendasar di antara segala pokok ajaran agama.” (Lihat Al-Majmu’ah Al-Kamilah, 8: 23) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Segala kebaikan yang segera (di dunia) ataupun yang tertunda (di akhirat) sesungguhnya merupakan buah dari tauhid. Sedangkan segala keburukan yang segera ataupun yang tertunda, maka itu merupakan buah/dampak dari lawannya….” (Lihat Al-Qawa’id Al-Hisan Al-Muta’alliqatu Bi Tafsir Al-Qur’an, hal. 26.) Syekh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Akidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan akidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat “Laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah.” Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apa pun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan akidahnya.” (Lihat I’anat Al-Mustafid bi Syarh Kitab At-Tauhid, 1: 17, cet. Mu’assasah Ar-Risalah) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya iman (pokok maupun cabang-cabangnya, batin maupun lahirnya) semuanya adalah keadilan, dan lawannya adalah kezaliman. Keadilan tertinggi dan pokok utamanya adalah pengakuan dan pemurnian tauhid kepada Allah, beriman kepada sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya yang terindah, serta mengikhlaskan agama (ketaatan) dan ibadah kepada-Nya. Adapun kezaliman yang paling zalim dan paling berat adalah syirik kepada Allah, sebagaimana firman Allah Ta’ala,  إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِیمࣱ “Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13).” (Lihat Bahjat Al-Qulub Al-Abrar, hal. 63 cet. Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah) Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullah mengatakan, “Al-Qur’an berisi pemberitaan tentang Allah, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Inilah yang disebut dengan istilah tauhid ilmu dan pemberitaan. Selain itu, Al-Qur’an juga berisi seruan untuk beribadah hanya kepada-Nya yang tiada sekutu bagi-Nya serta ajakan untuk mencampakkan sesembahan selain-Nya. Itulah yang disebut dengan istilah tauhid kehendak dan tuntutan. Al-Qur’an itu juga berisi perintah dan larangan serta kewajiban untuk patuh kepada-Nya. Itulah yang disebut dengan hak-hak tauhid dan penyempurna atasnya. Selain itu, Al-Qur’an juga berisi berita tentang kemuliaan yang Allah berikan bagi orang yang mentauhidkan-Nya, apa yang Allah lakukan kepada mereka ketika masih hidup di dunia, dan kemuliaan yang dianugerahkan untuk mereka di akhirat. Itulah balasan atas tauhid yang dia miliki. Di sisi yang lain, Al-Qur’an juga berisi pemberitaan mengenai keadaan para pelaku kesyirikan, tindakan apa yang dijatuhkan kepada mereka selama di dunia, dan siksaan apa yang mereka alami di akhirat. Maka, itu adalah hukuman yang diberikan kepada orang yang keluar dari hukum tauhid. Ini menunjukkan bahwa seluruh isi Al-Qur’an membicarakan tentang tauhid, hak-haknya, dan balasan atasnya. Selain itu, Al-Qur’an pun membeberkan tentang masalah syirik, keadaan pelakunya, serta balasan atas kejahatan mereka.” (Lihat Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah dengan takhrij Al-Albani, hal. 89 cet. Al-Maktab al-Islami.) Syekh Zaid bin Hadi Al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah, melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, sebenarnya dia sedang menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari ketundukan beribadah kepada Allah.” (Lihat Thariq Al-Wushul ila Idhah Ats-Tsalatsah Al-Ushul, hal. 147) Syekh Prof. Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili hafizhahullah berkata, “Barangsiapa mentadaburi Kitabullah serta membaca Kitabullah dengan penuh perenungan, niscaya dia akan mendapati bahwasanya seluruh isi Al-Qur’an, dari Al-Fatihah sampai An-Nas, semuanya berisi dakwah tauhid. Ia bisa jadi berupa seruan untuk bertauhid, atau bisa juga berupa peringatan dari syirik. Terkadang ia berupa penjelasan tentang keadaan orang-orang yang bertauhid dan keadaan orang-orang yang berbuat syirik. Hampir-hampir Al-Qur’an tidak pernah keluar dari pembicaraan ini. Ada kalanya ia membahas tentang suatu ibadah yang Allah syariatkan dan Allah terangkan hukum-hukumnya, maka ini merupakan rincian dari ajaran tauhid …” (Lihat Transkrip Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’, hal. 22) Semoga Allah beri taufik kepada kita semuanya untuk mengamalkan tauhid hingga akhir hayat. Amin. Baca juga: Tantangan Dakwah Tauhid *** Penyusun: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: tauhid


Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menyebutkan berbagai keutamaan yang akan diraih oleh seorang insan dengan tauhid sebagai berikut. Tauhid adalah sebab utama untuk menemukan jalan keluar atas segala kesusahan dunia dan akhirat serta untuk menolak berbagai hukuman (siksa). Tauhid akan menghalangi pelakunya dari kekal di dalam neraka, selama di dalam hatinya masih tersisa iman walaupun hanya seberat biji sawi. Dan apabila iman (tauhid) yang terdapat di dalam hatinya sempurna, niscaya hal itu akan menjadi penghalang baginya dari segala macam siksa neraka. Pemilik tauhid akan mendapatkan petunjuk yang sempurna dan keamanan yang sepenuhnya di dunia maupun di akhirat. Tauhid merupakan satu-satunya jalan untuk menggapai rida Allah dan pahala dari-Nya. Dan orang yang paling berbahagia dengan syafaat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas (bebas dari syirik, pent) dari dalam lubuk hatinya. Segala bentuk amalan lahir maupun batin hanya akan diterima, sempurna, dan mendapatkan pahala di sisi Allah jika dibarengi dengan tauhid. Sehingga, apabila tauhid dan keikhlasan seorang hamba semakin sempurna, niscaya perkara-perkara ini pun menjadi sempurna dan diperolehnya secara utuh. Tauhid akan meringankan hamba dalam melakukan kebaikan dan meninggalkan berbagai kemungkaran. Selain itu, tauhid akan menghiburnya saat tertimpa berbagai bentuk musibah. Seorang yang ikhlas kepada Allah dalam keimanan dan tauhidnya, niscaya akan terasa ringan baginya ketaatan-ketaatan, sebab dia senantiasa mengharap pahala dari Rabbnya dan keridaan-Nya. Demikian pula, akan terasa mudah baginya untuk meninggalkan apa-apa yang disenangi oleh hawa nafsunya berupa kemaksiatan, karena dia khawatir akan murka dan hukuman-Nya Apabila tauhid sempurna di dalam hati seseorang, maka Allah akan membuatnya mencintai keimanan dan membuat hal itu terasa indah di dalam hatinya. Dan Allah membuat kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan menjadi hal yang dia benci, kemudian Allah akan menjadikan orang tersebut sebagai orang-orang yang mengikuti petunjuk dan meniti jalan yang benar. Tauhid juga akan meringankan hal-hal yang dirasa tidak menyenangkan dan membuat terasa ringan berbagai derita yang harus dirasakan. Maka, seorang hamba akan bisa menghadapi beratnya beban dan derita dengan penuh kelapangan apabila dia memiliki kesempurnaan tauhid dan keimanan. Sehingga, beban dan derita akan dihadapinya dengan hati yang lapang, jiwa yang tenang, serta senantiasa pasrah dan rida terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan. Tauhid juga menjadi sebab terbebasnya seorang hamba dari penghinaan dan perendahan dirinya kepada sesama makhluk. Sehingga, ia akan terbebas dari cengkraman rasa takut, harap, atau beramal demi makhluk. Inilah hakikat kemuliaan yang sebenarnya dan kedudukan yang tinggi. Dengan demikian, dia senantiasa memuja dan beribadah kepada Allah dan tidak mengharap, kecuali kepada-Nya. Tidak takut, kecuali kepada-Nya. Tidak bertobat dan taat, kecuali kepada-Nya. Dengan itulah, akan sempurna kebahagiaan dan tercapai keselamatan dirinya. Di antara keutamaan tauhid yang tidak bisa disamai oleh amal apapun adalah jika tauhid itu sempurna di dalam hati serta terwujud secara utuh dalam bentuk keikhlasan yang murni, maka ia akan mengubah amal yang sedikit menjadi besar nilainya, amal dan ucapannya pun menumbuhkan pahala yang berlipat ganda tanpa batasan dan perhitungan. Dan tatkala itulah kalimat ikhlas menjadi sangat berbobot di dalam timbangan amalnya. Sehingga langit dan bumi beserta para penghuninya pun tidak bisa mengimbangi bobot dan keutamaannya. Sebagaimana kisah si pemilik kartu laa ilaha illallah yang ditimbang dan mampu mengalahkan beratnya sembilan puluh sembilan gulungan catatan dosa, yang setiap gulungan panjangnya sejauh mata memandang. Tidaklah hal itu terjadi, kecuali karena kesempurnaan ikhlas orang yang mengucapkannya. Di sisi lain, betapa banyak orang yang mengucapkan laa ilaha illallah, tetapi tidak mencapai tingkatan ini. Dikarenakan di dalam hatinya tidak terdapat tauhid dan keikhlasan yang sempurna yang setara atau mendekati apa yang tertanam di dalam hati hamba tersebut. Tauhid adalah sebab Allah memberikan jaminan kemenangan dan kejayaan di dunia, sebab untuk meraih kemuliaan dan limpahan petunjuk, sebab untuk mendapatkan kemudahan, perbaikan keadaan, serta kelurusan ucapan dan perbuatan. Allah akan menyingkirkan berbagai keburukan dunia dan akhirat bagi ahli tauhid dan kaum beriman. Dan Allah anugerahkan kepada mereka kehidupan yang baik, ketentraman, dan ketenangan dalam berzikir kepada-Nya. (Lihat Al-Qaul As-Sadid fi Maqashid At-Tauhid, hal. 16-19, cet. Maktabah Al-‘Ilmu.) Baca juga: Kondisi Hati yang Dihuni oleh Tauhid Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Seluruh isi Al-Qur’an berbicara tentang penetapan tauhid dan menafikan lawannya. Di dalam kebanyakan ayat, Allah menetapkan tauhid uluhiyah dan kewajiban untuk memurnikan ibadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Allah pun mengabarkan bahwa segenap rasul hanyalah diutus untuk mengajak kaumnya supaya beribadah kepada Allah saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Allah pun menegaskan bahwa tidaklah Allah menciptakan jin dan manusia, kecuali supaya mereka beribadah kepada-Nya. Allah juga menetapkan bahwasanya seluruh kitab suci dan para rasul, fitrah, dan akal yang sehat, semuanya telah sepakat terhadap pokok ini. Yang ia merupakan pokok paling mendasar di antara segala pokok ajaran agama.” (Lihat Al-Majmu’ah Al-Kamilah, 8: 23) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Segala kebaikan yang segera (di dunia) ataupun yang tertunda (di akhirat) sesungguhnya merupakan buah dari tauhid. Sedangkan segala keburukan yang segera ataupun yang tertunda, maka itu merupakan buah/dampak dari lawannya….” (Lihat Al-Qawa’id Al-Hisan Al-Muta’alliqatu Bi Tafsir Al-Qur’an, hal. 26.) Syekh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Akidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan akidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat “Laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah.” Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apa pun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan akidahnya.” (Lihat I’anat Al-Mustafid bi Syarh Kitab At-Tauhid, 1: 17, cet. Mu’assasah Ar-Risalah) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya iman (pokok maupun cabang-cabangnya, batin maupun lahirnya) semuanya adalah keadilan, dan lawannya adalah kezaliman. Keadilan tertinggi dan pokok utamanya adalah pengakuan dan pemurnian tauhid kepada Allah, beriman kepada sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya yang terindah, serta mengikhlaskan agama (ketaatan) dan ibadah kepada-Nya. Adapun kezaliman yang paling zalim dan paling berat adalah syirik kepada Allah, sebagaimana firman Allah Ta’ala,  إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِیمࣱ “Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13).” (Lihat Bahjat Al-Qulub Al-Abrar, hal. 63 cet. Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah) Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullah mengatakan, “Al-Qur’an berisi pemberitaan tentang Allah, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Inilah yang disebut dengan istilah tauhid ilmu dan pemberitaan. Selain itu, Al-Qur’an juga berisi seruan untuk beribadah hanya kepada-Nya yang tiada sekutu bagi-Nya serta ajakan untuk mencampakkan sesembahan selain-Nya. Itulah yang disebut dengan istilah tauhid kehendak dan tuntutan. Al-Qur’an itu juga berisi perintah dan larangan serta kewajiban untuk patuh kepada-Nya. Itulah yang disebut dengan hak-hak tauhid dan penyempurna atasnya. Selain itu, Al-Qur’an juga berisi berita tentang kemuliaan yang Allah berikan bagi orang yang mentauhidkan-Nya, apa yang Allah lakukan kepada mereka ketika masih hidup di dunia, dan kemuliaan yang dianugerahkan untuk mereka di akhirat. Itulah balasan atas tauhid yang dia miliki. Di sisi yang lain, Al-Qur’an juga berisi pemberitaan mengenai keadaan para pelaku kesyirikan, tindakan apa yang dijatuhkan kepada mereka selama di dunia, dan siksaan apa yang mereka alami di akhirat. Maka, itu adalah hukuman yang diberikan kepada orang yang keluar dari hukum tauhid. Ini menunjukkan bahwa seluruh isi Al-Qur’an membicarakan tentang tauhid, hak-haknya, dan balasan atasnya. Selain itu, Al-Qur’an pun membeberkan tentang masalah syirik, keadaan pelakunya, serta balasan atas kejahatan mereka.” (Lihat Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah dengan takhrij Al-Albani, hal. 89 cet. Al-Maktab al-Islami.) Syekh Zaid bin Hadi Al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah, melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, sebenarnya dia sedang menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari ketundukan beribadah kepada Allah.” (Lihat Thariq Al-Wushul ila Idhah Ats-Tsalatsah Al-Ushul, hal. 147) Syekh Prof. Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili hafizhahullah berkata, “Barangsiapa mentadaburi Kitabullah serta membaca Kitabullah dengan penuh perenungan, niscaya dia akan mendapati bahwasanya seluruh isi Al-Qur’an, dari Al-Fatihah sampai An-Nas, semuanya berisi dakwah tauhid. Ia bisa jadi berupa seruan untuk bertauhid, atau bisa juga berupa peringatan dari syirik. Terkadang ia berupa penjelasan tentang keadaan orang-orang yang bertauhid dan keadaan orang-orang yang berbuat syirik. Hampir-hampir Al-Qur’an tidak pernah keluar dari pembicaraan ini. Ada kalanya ia membahas tentang suatu ibadah yang Allah syariatkan dan Allah terangkan hukum-hukumnya, maka ini merupakan rincian dari ajaran tauhid …” (Lihat Transkrip Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’, hal. 22) Semoga Allah beri taufik kepada kita semuanya untuk mengamalkan tauhid hingga akhir hayat. Amin. Baca juga: Tantangan Dakwah Tauhid *** Penyusun: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: tauhid

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 8): Fi’il Mudhari (1)

Daftar Isi Toggle Definisi Fi’il Mudhari’Ciri Fi’il Mudhari’Persyaratan huruf-huruf  yang mengawali fi’il mudhari’ Definisi Fi’il Mudhari’ Ibnu Hisyam mengatakan, وَمُضَارِعٌ, وَيُعْرَفُ بِلَمْ, وَفْتِتَاحُهُ بِحَرْفِ مِنْ حُرُوْفِ نَأَيْتُ, نَحْوُ: نَقُوْمُ, وَأَقُوْمُ, وَيَقُوْمُ, وَتَقُوْمُ “Fi’il mudhari’ dikenal adanya huruf لَمْ (tidak). Fi’il mudhari’ tersebut terdapat huruf mudhara’ah “نَأَيْتُ pada awal kata dan huruf tersebut berharakat fathah. Contohnya adalah: نَقُوْمُ, وَأَقُوْمُ, وَيَقُوْمُ, وَتَقُوْمُ Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya kata مُضَارِعٌ ma’thuf kepada kata مَاضٍ sebagaimana pembahasan yang telah disampaikan sebelumnya. Fi’il mudhari’ menunjukkan kepada peristiwa yang terjadi saat ini atau akan datang. Contohnya adalah: يَفْهَمُ المُجِدُّ الدَّرْسَ “Orang yang bersungguh-sungguh tersebut telah memahami pelajaran.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut menunjukkan peristiwa memahami dan menunjukkan waktu (bisa saat ini atau akan datang). Ciri Fi’il Mudhari’ Fi’il mudhari’ mempunyai satu ciri yang membedakan fi’il mudhari’ dengan fi’il madhi dan fi’il amr, yaitu: bisa didahului oleh huruf لَمْ (telah tidak). Contohnya adalah: لَمْ أُقَصِّرْ بِوَاجِبِي “Aku tidak melalaikan pekerjaan rumahku.” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il mudhari’. Adapun perkataan Ibnu Hisyam, وَفْتِتَاحُهُ بِحَرْفِ مِنْ حُرُوْفِ نَأَيْتُ “Diawali huruf ن, أ, ي, ت (huruf mudhara’ah).” Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya fi’il mudhari’ diawali oleh salah satu huruf mudhara’ah empat tersebut. Adapun penyebutan fi’il mudhari’ diawali oleh satu satu huruf yang empat tersebut bukanlah masuk ciri dari fi’il mudhari’. Kenapa? Karena keempat huruf tersebut juga bisa terdapat pada awal fi’il madhi. Adapun kedudukan kata فْتِتَاحُهُ pada matan yang disampaikan oleh Ibnu Hisyam tersebut berkedudukan sebagai mubtada (yang diterangkan/yang diinformasikan) dan kedudukan kata بِحَرْفِ sebagai khabar (keterangan/informasi). Fi’il mudhari’ selalu diawali salah satu huruf yang empat tersebut, yaitu أَنَيْتُ. Akan tetapi, bukanlah maksudnya kehadiran huruf tersebut pada awal fi’il mudhari’ menjadi tanda kedua fi’il mudhari’. Karena huruf tersebut juga bisa mengawali fi’il madhi. Pengungkapan penyebutan macam-macam huruf mudhara’ah adalah نَأَيْتُ. Adapun makna dari نَأَيْتُ secara bahasa adalah: بَعُدْتُ (aku jauh). Seandainya Ibnu Hisyam menyebutkan pengungkapan macam-macam huruf mudhara’ah dengan ungkapan أَنَيْتُ yang bermakna أَدْرَكْتُ (Aku mendapatkan), pengungkapan tersebut lebih bagus dari sisi psikologis. Persyaratan huruf-huruf  yang mengawali fi’il mudhari’ Pertama, huruf hamzah yang mengawali fi’il mudhari’ haruslah huruf hamzah tersebut menjadi mutakallim (orang pertama/yang berbicara). Contohnya adalah: أَقُوْمُ “Saya berdiri.” Kata tersebut berbeda dengan kata: أَكْرَمَ “Dia telah memuliakan.” Kata أَكْرَمَ tersebut adalah fi’il madhi. Huruf hamzah tersebut tidak menunjukkan kepada mutakallim أَنَا, akan tetapi fungsinya adalah muta’addi (menjadikan fi’il butuh objek). Kedua, huruf nun yang mengawali  fi’il mudhari’ tersebut haruslah menunjukkan mutakallim أَنَا atau نَحْنُ atau untuk membesarkan diri sendiri. Contohnya adalah: نَقُوْمُ “Kami telah berdiri.” Kata tersebut berbeda dengan: نَرْجَسَ “Menuangkan ramuan obat (berasal dari bunga).” Maka, huruf nun dan kata tersebut bukanlah menunjukkan mutakallim. Contoh kata tersebut dalam kalimat adalah: نَرْجَسَ خَالِدٌ الدَّوَاءَ Maksud dari kalimat tersebut adalah: جَعَلَ فِيهِ نِرْجَسًا “Khalid menuangkan ramuan ke dalam obat itu.” Kata نَرْجَسَ tersebut adalah bunga yang mempunyai wangi yang semerbak. Kata tersebut adalah fi’il madhi. Ketiga, huruf ya’ yang mengawali fi’il mudhari’ haruslah menunjukkan orang ketiga. Contohnya adalah: يَقُوْمُ “Dia berdiri.” Huruf ya’ dan kata tersebut berbeda dengan kata berikut: يَرْنَأَ “Mewarnai.” Huruf ya’ tersebut tidaklah menunjukkan orang ketiga. Contohnya adalah: يَرْنَأْتُ الشَّيْبَ با اليُرَنَّاءِ “Aku mewarnai rambut yang beruban dengan inai.” Kata tersebut adalah fi’il madhi. Keempat, huruf ta’ yang mengawali fi’il mudhari’ tersebut haruslah menunjukkan orang kedua. Contohnya adalah: تَقُوْمُ “Kamu (laki-laki) berdiri.” Huruf ta’ dan kata tersebut berbeda dengan kata berikut: تَعَلَّمَ “Dia belajar.” Maka, huruf ta’ tersebut adalah huruf tambahan yang menunjukkan muthawa’ah (menunjukkan akibat). Contohnya dalam kalimat adalah: عَلَّمْتُ عَلِيًّا النَّحْوَ فَتَعَلَّمَهُ “Saya ajarkan Ali ilmu nahwu, sehingga Ali mempelajarinya.” Maka, huruf ta’ yang bergaris bawah tersebut bukanlah huruf mudhara’ah, akan tetapi huruf tersebut adalah huruf ta’ muthawa’ah (menunjukkan akibat). Kata tersebut adalah fi’il madhi. Kembali ke bagian 7: Fi’il Amr (Lanjutan) Lanjut ke bagian 9: Fi’il Mudhari (2) *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 8): Fi’il Mudhari (1)

Daftar Isi Toggle Definisi Fi’il Mudhari’Ciri Fi’il Mudhari’Persyaratan huruf-huruf  yang mengawali fi’il mudhari’ Definisi Fi’il Mudhari’ Ibnu Hisyam mengatakan, وَمُضَارِعٌ, وَيُعْرَفُ بِلَمْ, وَفْتِتَاحُهُ بِحَرْفِ مِنْ حُرُوْفِ نَأَيْتُ, نَحْوُ: نَقُوْمُ, وَأَقُوْمُ, وَيَقُوْمُ, وَتَقُوْمُ “Fi’il mudhari’ dikenal adanya huruf لَمْ (tidak). Fi’il mudhari’ tersebut terdapat huruf mudhara’ah “نَأَيْتُ pada awal kata dan huruf tersebut berharakat fathah. Contohnya adalah: نَقُوْمُ, وَأَقُوْمُ, وَيَقُوْمُ, وَتَقُوْمُ Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya kata مُضَارِعٌ ma’thuf kepada kata مَاضٍ sebagaimana pembahasan yang telah disampaikan sebelumnya. Fi’il mudhari’ menunjukkan kepada peristiwa yang terjadi saat ini atau akan datang. Contohnya adalah: يَفْهَمُ المُجِدُّ الدَّرْسَ “Orang yang bersungguh-sungguh tersebut telah memahami pelajaran.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut menunjukkan peristiwa memahami dan menunjukkan waktu (bisa saat ini atau akan datang). Ciri Fi’il Mudhari’ Fi’il mudhari’ mempunyai satu ciri yang membedakan fi’il mudhari’ dengan fi’il madhi dan fi’il amr, yaitu: bisa didahului oleh huruf لَمْ (telah tidak). Contohnya adalah: لَمْ أُقَصِّرْ بِوَاجِبِي “Aku tidak melalaikan pekerjaan rumahku.” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il mudhari’. Adapun perkataan Ibnu Hisyam, وَفْتِتَاحُهُ بِحَرْفِ مِنْ حُرُوْفِ نَأَيْتُ “Diawali huruf ن, أ, ي, ت (huruf mudhara’ah).” Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya fi’il mudhari’ diawali oleh salah satu huruf mudhara’ah empat tersebut. Adapun penyebutan fi’il mudhari’ diawali oleh satu satu huruf yang empat tersebut bukanlah masuk ciri dari fi’il mudhari’. Kenapa? Karena keempat huruf tersebut juga bisa terdapat pada awal fi’il madhi. Adapun kedudukan kata فْتِتَاحُهُ pada matan yang disampaikan oleh Ibnu Hisyam tersebut berkedudukan sebagai mubtada (yang diterangkan/yang diinformasikan) dan kedudukan kata بِحَرْفِ sebagai khabar (keterangan/informasi). Fi’il mudhari’ selalu diawali salah satu huruf yang empat tersebut, yaitu أَنَيْتُ. Akan tetapi, bukanlah maksudnya kehadiran huruf tersebut pada awal fi’il mudhari’ menjadi tanda kedua fi’il mudhari’. Karena huruf tersebut juga bisa mengawali fi’il madhi. Pengungkapan penyebutan macam-macam huruf mudhara’ah adalah نَأَيْتُ. Adapun makna dari نَأَيْتُ secara bahasa adalah: بَعُدْتُ (aku jauh). Seandainya Ibnu Hisyam menyebutkan pengungkapan macam-macam huruf mudhara’ah dengan ungkapan أَنَيْتُ yang bermakna أَدْرَكْتُ (Aku mendapatkan), pengungkapan tersebut lebih bagus dari sisi psikologis. Persyaratan huruf-huruf  yang mengawali fi’il mudhari’ Pertama, huruf hamzah yang mengawali fi’il mudhari’ haruslah huruf hamzah tersebut menjadi mutakallim (orang pertama/yang berbicara). Contohnya adalah: أَقُوْمُ “Saya berdiri.” Kata tersebut berbeda dengan kata: أَكْرَمَ “Dia telah memuliakan.” Kata أَكْرَمَ tersebut adalah fi’il madhi. Huruf hamzah tersebut tidak menunjukkan kepada mutakallim أَنَا, akan tetapi fungsinya adalah muta’addi (menjadikan fi’il butuh objek). Kedua, huruf nun yang mengawali  fi’il mudhari’ tersebut haruslah menunjukkan mutakallim أَنَا atau نَحْنُ atau untuk membesarkan diri sendiri. Contohnya adalah: نَقُوْمُ “Kami telah berdiri.” Kata tersebut berbeda dengan: نَرْجَسَ “Menuangkan ramuan obat (berasal dari bunga).” Maka, huruf nun dan kata tersebut bukanlah menunjukkan mutakallim. Contoh kata tersebut dalam kalimat adalah: نَرْجَسَ خَالِدٌ الدَّوَاءَ Maksud dari kalimat tersebut adalah: جَعَلَ فِيهِ نِرْجَسًا “Khalid menuangkan ramuan ke dalam obat itu.” Kata نَرْجَسَ tersebut adalah bunga yang mempunyai wangi yang semerbak. Kata tersebut adalah fi’il madhi. Ketiga, huruf ya’ yang mengawali fi’il mudhari’ haruslah menunjukkan orang ketiga. Contohnya adalah: يَقُوْمُ “Dia berdiri.” Huruf ya’ dan kata tersebut berbeda dengan kata berikut: يَرْنَأَ “Mewarnai.” Huruf ya’ tersebut tidaklah menunjukkan orang ketiga. Contohnya adalah: يَرْنَأْتُ الشَّيْبَ با اليُرَنَّاءِ “Aku mewarnai rambut yang beruban dengan inai.” Kata tersebut adalah fi’il madhi. Keempat, huruf ta’ yang mengawali fi’il mudhari’ tersebut haruslah menunjukkan orang kedua. Contohnya adalah: تَقُوْمُ “Kamu (laki-laki) berdiri.” Huruf ta’ dan kata tersebut berbeda dengan kata berikut: تَعَلَّمَ “Dia belajar.” Maka, huruf ta’ tersebut adalah huruf tambahan yang menunjukkan muthawa’ah (menunjukkan akibat). Contohnya dalam kalimat adalah: عَلَّمْتُ عَلِيًّا النَّحْوَ فَتَعَلَّمَهُ “Saya ajarkan Ali ilmu nahwu, sehingga Ali mempelajarinya.” Maka, huruf ta’ yang bergaris bawah tersebut bukanlah huruf mudhara’ah, akan tetapi huruf tersebut adalah huruf ta’ muthawa’ah (menunjukkan akibat). Kata tersebut adalah fi’il madhi. Kembali ke bagian 7: Fi’il Amr (Lanjutan) Lanjut ke bagian 9: Fi’il Mudhari (2) *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada
Daftar Isi Toggle Definisi Fi’il Mudhari’Ciri Fi’il Mudhari’Persyaratan huruf-huruf  yang mengawali fi’il mudhari’ Definisi Fi’il Mudhari’ Ibnu Hisyam mengatakan, وَمُضَارِعٌ, وَيُعْرَفُ بِلَمْ, وَفْتِتَاحُهُ بِحَرْفِ مِنْ حُرُوْفِ نَأَيْتُ, نَحْوُ: نَقُوْمُ, وَأَقُوْمُ, وَيَقُوْمُ, وَتَقُوْمُ “Fi’il mudhari’ dikenal adanya huruf لَمْ (tidak). Fi’il mudhari’ tersebut terdapat huruf mudhara’ah “نَأَيْتُ pada awal kata dan huruf tersebut berharakat fathah. Contohnya adalah: نَقُوْمُ, وَأَقُوْمُ, وَيَقُوْمُ, وَتَقُوْمُ Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya kata مُضَارِعٌ ma’thuf kepada kata مَاضٍ sebagaimana pembahasan yang telah disampaikan sebelumnya. Fi’il mudhari’ menunjukkan kepada peristiwa yang terjadi saat ini atau akan datang. Contohnya adalah: يَفْهَمُ المُجِدُّ الدَّرْسَ “Orang yang bersungguh-sungguh tersebut telah memahami pelajaran.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut menunjukkan peristiwa memahami dan menunjukkan waktu (bisa saat ini atau akan datang). Ciri Fi’il Mudhari’ Fi’il mudhari’ mempunyai satu ciri yang membedakan fi’il mudhari’ dengan fi’il madhi dan fi’il amr, yaitu: bisa didahului oleh huruf لَمْ (telah tidak). Contohnya adalah: لَمْ أُقَصِّرْ بِوَاجِبِي “Aku tidak melalaikan pekerjaan rumahku.” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il mudhari’. Adapun perkataan Ibnu Hisyam, وَفْتِتَاحُهُ بِحَرْفِ مِنْ حُرُوْفِ نَأَيْتُ “Diawali huruf ن, أ, ي, ت (huruf mudhara’ah).” Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya fi’il mudhari’ diawali oleh salah satu huruf mudhara’ah empat tersebut. Adapun penyebutan fi’il mudhari’ diawali oleh satu satu huruf yang empat tersebut bukanlah masuk ciri dari fi’il mudhari’. Kenapa? Karena keempat huruf tersebut juga bisa terdapat pada awal fi’il madhi. Adapun kedudukan kata فْتِتَاحُهُ pada matan yang disampaikan oleh Ibnu Hisyam tersebut berkedudukan sebagai mubtada (yang diterangkan/yang diinformasikan) dan kedudukan kata بِحَرْفِ sebagai khabar (keterangan/informasi). Fi’il mudhari’ selalu diawali salah satu huruf yang empat tersebut, yaitu أَنَيْتُ. Akan tetapi, bukanlah maksudnya kehadiran huruf tersebut pada awal fi’il mudhari’ menjadi tanda kedua fi’il mudhari’. Karena huruf tersebut juga bisa mengawali fi’il madhi. Pengungkapan penyebutan macam-macam huruf mudhara’ah adalah نَأَيْتُ. Adapun makna dari نَأَيْتُ secara bahasa adalah: بَعُدْتُ (aku jauh). Seandainya Ibnu Hisyam menyebutkan pengungkapan macam-macam huruf mudhara’ah dengan ungkapan أَنَيْتُ yang bermakna أَدْرَكْتُ (Aku mendapatkan), pengungkapan tersebut lebih bagus dari sisi psikologis. Persyaratan huruf-huruf  yang mengawali fi’il mudhari’ Pertama, huruf hamzah yang mengawali fi’il mudhari’ haruslah huruf hamzah tersebut menjadi mutakallim (orang pertama/yang berbicara). Contohnya adalah: أَقُوْمُ “Saya berdiri.” Kata tersebut berbeda dengan kata: أَكْرَمَ “Dia telah memuliakan.” Kata أَكْرَمَ tersebut adalah fi’il madhi. Huruf hamzah tersebut tidak menunjukkan kepada mutakallim أَنَا, akan tetapi fungsinya adalah muta’addi (menjadikan fi’il butuh objek). Kedua, huruf nun yang mengawali  fi’il mudhari’ tersebut haruslah menunjukkan mutakallim أَنَا atau نَحْنُ atau untuk membesarkan diri sendiri. Contohnya adalah: نَقُوْمُ “Kami telah berdiri.” Kata tersebut berbeda dengan: نَرْجَسَ “Menuangkan ramuan obat (berasal dari bunga).” Maka, huruf nun dan kata tersebut bukanlah menunjukkan mutakallim. Contoh kata tersebut dalam kalimat adalah: نَرْجَسَ خَالِدٌ الدَّوَاءَ Maksud dari kalimat tersebut adalah: جَعَلَ فِيهِ نِرْجَسًا “Khalid menuangkan ramuan ke dalam obat itu.” Kata نَرْجَسَ tersebut adalah bunga yang mempunyai wangi yang semerbak. Kata tersebut adalah fi’il madhi. Ketiga, huruf ya’ yang mengawali fi’il mudhari’ haruslah menunjukkan orang ketiga. Contohnya adalah: يَقُوْمُ “Dia berdiri.” Huruf ya’ dan kata tersebut berbeda dengan kata berikut: يَرْنَأَ “Mewarnai.” Huruf ya’ tersebut tidaklah menunjukkan orang ketiga. Contohnya adalah: يَرْنَأْتُ الشَّيْبَ با اليُرَنَّاءِ “Aku mewarnai rambut yang beruban dengan inai.” Kata tersebut adalah fi’il madhi. Keempat, huruf ta’ yang mengawali fi’il mudhari’ tersebut haruslah menunjukkan orang kedua. Contohnya adalah: تَقُوْمُ “Kamu (laki-laki) berdiri.” Huruf ta’ dan kata tersebut berbeda dengan kata berikut: تَعَلَّمَ “Dia belajar.” Maka, huruf ta’ tersebut adalah huruf tambahan yang menunjukkan muthawa’ah (menunjukkan akibat). Contohnya dalam kalimat adalah: عَلَّمْتُ عَلِيًّا النَّحْوَ فَتَعَلَّمَهُ “Saya ajarkan Ali ilmu nahwu, sehingga Ali mempelajarinya.” Maka, huruf ta’ yang bergaris bawah tersebut bukanlah huruf mudhara’ah, akan tetapi huruf tersebut adalah huruf ta’ muthawa’ah (menunjukkan akibat). Kata tersebut adalah fi’il madhi. Kembali ke bagian 7: Fi’il Amr (Lanjutan) Lanjut ke bagian 9: Fi’il Mudhari (2) *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada


Daftar Isi Toggle Definisi Fi’il Mudhari’Ciri Fi’il Mudhari’Persyaratan huruf-huruf  yang mengawali fi’il mudhari’ Definisi Fi’il Mudhari’ Ibnu Hisyam mengatakan, وَمُضَارِعٌ, وَيُعْرَفُ بِلَمْ, وَفْتِتَاحُهُ بِحَرْفِ مِنْ حُرُوْفِ نَأَيْتُ, نَحْوُ: نَقُوْمُ, وَأَقُوْمُ, وَيَقُوْمُ, وَتَقُوْمُ “Fi’il mudhari’ dikenal adanya huruf لَمْ (tidak). Fi’il mudhari’ tersebut terdapat huruf mudhara’ah “نَأَيْتُ pada awal kata dan huruf tersebut berharakat fathah. Contohnya adalah: نَقُوْمُ, وَأَقُوْمُ, وَيَقُوْمُ, وَتَقُوْمُ Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya kata مُضَارِعٌ ma’thuf kepada kata مَاضٍ sebagaimana pembahasan yang telah disampaikan sebelumnya. Fi’il mudhari’ menunjukkan kepada peristiwa yang terjadi saat ini atau akan datang. Contohnya adalah: يَفْهَمُ المُجِدُّ الدَّرْسَ “Orang yang bersungguh-sungguh tersebut telah memahami pelajaran.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut menunjukkan peristiwa memahami dan menunjukkan waktu (bisa saat ini atau akan datang). Ciri Fi’il Mudhari’ Fi’il mudhari’ mempunyai satu ciri yang membedakan fi’il mudhari’ dengan fi’il madhi dan fi’il amr, yaitu: bisa didahului oleh huruf لَمْ (telah tidak). Contohnya adalah: لَمْ أُقَصِّرْ بِوَاجِبِي “Aku tidak melalaikan pekerjaan rumahku.” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il mudhari’. Adapun perkataan Ibnu Hisyam, وَفْتِتَاحُهُ بِحَرْفِ مِنْ حُرُوْفِ نَأَيْتُ “Diawali huruf ن, أ, ي, ت (huruf mudhara’ah).” Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya fi’il mudhari’ diawali oleh salah satu huruf mudhara’ah empat tersebut. Adapun penyebutan fi’il mudhari’ diawali oleh satu satu huruf yang empat tersebut bukanlah masuk ciri dari fi’il mudhari’. Kenapa? Karena keempat huruf tersebut juga bisa terdapat pada awal fi’il madhi. Adapun kedudukan kata فْتِتَاحُهُ pada matan yang disampaikan oleh Ibnu Hisyam tersebut berkedudukan sebagai mubtada (yang diterangkan/yang diinformasikan) dan kedudukan kata بِحَرْفِ sebagai khabar (keterangan/informasi). Fi’il mudhari’ selalu diawali salah satu huruf yang empat tersebut, yaitu أَنَيْتُ. Akan tetapi, bukanlah maksudnya kehadiran huruf tersebut pada awal fi’il mudhari’ menjadi tanda kedua fi’il mudhari’. Karena huruf tersebut juga bisa mengawali fi’il madhi. Pengungkapan penyebutan macam-macam huruf mudhara’ah adalah نَأَيْتُ. Adapun makna dari نَأَيْتُ secara bahasa adalah: بَعُدْتُ (aku jauh). Seandainya Ibnu Hisyam menyebutkan pengungkapan macam-macam huruf mudhara’ah dengan ungkapan أَنَيْتُ yang bermakna أَدْرَكْتُ (Aku mendapatkan), pengungkapan tersebut lebih bagus dari sisi psikologis. Persyaratan huruf-huruf  yang mengawali fi’il mudhari’ Pertama, huruf hamzah yang mengawali fi’il mudhari’ haruslah huruf hamzah tersebut menjadi mutakallim (orang pertama/yang berbicara). Contohnya adalah: أَقُوْمُ “Saya berdiri.” Kata tersebut berbeda dengan kata: أَكْرَمَ “Dia telah memuliakan.” Kata أَكْرَمَ tersebut adalah fi’il madhi. Huruf hamzah tersebut tidak menunjukkan kepada mutakallim أَنَا, akan tetapi fungsinya adalah muta’addi (menjadikan fi’il butuh objek). Kedua, huruf nun yang mengawali  fi’il mudhari’ tersebut haruslah menunjukkan mutakallim أَنَا atau نَحْنُ atau untuk membesarkan diri sendiri. Contohnya adalah: نَقُوْمُ “Kami telah berdiri.” Kata tersebut berbeda dengan: نَرْجَسَ “Menuangkan ramuan obat (berasal dari bunga).” Maka, huruf nun dan kata tersebut bukanlah menunjukkan mutakallim. Contoh kata tersebut dalam kalimat adalah: نَرْجَسَ خَالِدٌ الدَّوَاءَ Maksud dari kalimat tersebut adalah: جَعَلَ فِيهِ نِرْجَسًا “Khalid menuangkan ramuan ke dalam obat itu.” Kata نَرْجَسَ tersebut adalah bunga yang mempunyai wangi yang semerbak. Kata tersebut adalah fi’il madhi. Ketiga, huruf ya’ yang mengawali fi’il mudhari’ haruslah menunjukkan orang ketiga. Contohnya adalah: يَقُوْمُ “Dia berdiri.” Huruf ya’ dan kata tersebut berbeda dengan kata berikut: يَرْنَأَ “Mewarnai.” Huruf ya’ tersebut tidaklah menunjukkan orang ketiga. Contohnya adalah: يَرْنَأْتُ الشَّيْبَ با اليُرَنَّاءِ “Aku mewarnai rambut yang beruban dengan inai.” Kata tersebut adalah fi’il madhi. Keempat, huruf ta’ yang mengawali fi’il mudhari’ tersebut haruslah menunjukkan orang kedua. Contohnya adalah: تَقُوْمُ “Kamu (laki-laki) berdiri.” Huruf ta’ dan kata tersebut berbeda dengan kata berikut: تَعَلَّمَ “Dia belajar.” Maka, huruf ta’ tersebut adalah huruf tambahan yang menunjukkan muthawa’ah (menunjukkan akibat). Contohnya dalam kalimat adalah: عَلَّمْتُ عَلِيًّا النَّحْوَ فَتَعَلَّمَهُ “Saya ajarkan Ali ilmu nahwu, sehingga Ali mempelajarinya.” Maka, huruf ta’ yang bergaris bawah tersebut bukanlah huruf mudhara’ah, akan tetapi huruf tersebut adalah huruf ta’ muthawa’ah (menunjukkan akibat). Kata tersebut adalah fi’il madhi. Kembali ke bagian 7: Fi’il Amr (Lanjutan) Lanjut ke bagian 9: Fi’il Mudhari (2) *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada

Cek Khodam Online?

Pertanyaan: Sedang viral tentang aplikasi cek khodam. Jadi aplikasi ini katanya bisa mengetahui kita memiliki khodam atau tidak. Dan jika ada khodamnya nanti akan diberitahu bahwa khodamnya adalah ini dan itu. Sebenarnya khodam itu apa? Dan bolehkah menggunakan aplikasi seperti itu? Jawaban: Alhamdulillaah, ash-shalaatu wassalaamu ‘ala Rasuulillaah, wa ‘ala aalihi wa man waalaah, amma ba’du, Tidak kami temukan dalam kitab-kitab para ulama terdahulu yang menyebutkan istilah  “khodam“ atau “jin khodam”. Namun wallaahu a’lam, yang dimaksud khodam di sini adalah jin yang diyakini akan senantiasa membantu dan melayani pemiliknya. Berasal dari bahasa Arab خدَمَ – يَخدُم yang artinya: membantu atau melayani. Tidak boleh menggunakan aplikasi cek khodam atau semisalnya, baik serius atau hanya untuk hiburan. Karena beberapa poin berikut ini: Pertama:  Tidak ada manusia yang bisa menundukkan jin setelah Nabi Sulaiman ‘alaihissalaam. Setelah Nabi Sulaiman ‘alaihissalaam, tidak ada makhluk yang bisa menundukkan bangsa jin. Yang ada adalah mereka bekerja sama dengan jin. Jin membantu manusia, dan manusia memberikan timbal-balik kepada jin. Allah ta’aala berfirman: قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَهَبْ لِيْ مُلْكًا لَّا يَنْۢبَغِيْ لِاَحَدٍ مِّنْۢ بَعْدِيْۚ اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ فَسَخَّرْنَا لَهُ الرِّيْحَ تَجْرِيْ بِاَمْرِهٖ رُخَاۤءً حَيْثُ اَصَابَۙ وَالشَّيٰطِيْنَ كُلَّ بَنَّاۤءٍ وَّغَوَّاصٍۙ وَّاٰخَرِيْنَ مُقَرَّنِيْنَ فِى الْاَصْفَادِ “Sulaiman berkata, “Wahai Rabb-ku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kuasa yang tidak patut (dimiliki) oleh seorang pun sesudahku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi”. Maka, Kami menundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut perintahnya ke mana saja yang ia kehendaki. (Kami menundukkan pula kepadanya) setan-setan, semuanya ahli membangun bangunan dan penyelam. (Begitu juga setan-setan) lain yang terikat dalam belenggu” (QS. Shad : 35-38). Dalam ayat ini, Allah ta’aala memberikan beberapa kemampuan kepada Nabi Sulaiman ‘alaihissalaam yang tidak diberikan kepada orang-orang setelah beliau. Di antaranya kemampuan untuk menundukkan jin. Bahkan Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam pun enggan dianggap dapat menundukkan jin. Dari Abu Darda’ radhiyallahu’anhu, ia berkata: قَامَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ فَسَمِعْنَاهُ يقولُ: أعُوذُ باللَّهِ مِنْكَ، ثُمَّ قالَ ألْعَنُكَ بلَعْنَةِ اللهِ ثَلَاثًا، وبَسَطَ يَدَهُ كَأنَّهُ يَتَنَاوَلُ شيئًا، فَلَمَّا فَرَغَ مِنَ الصَّلَاةِ قُلْنَا: يا رَسولَ اللهِ، قدْ سَمِعْنَاكَ تَقُولُ في الصَّلَاةِ شيئًا لَمْ نَسْمَعْكَ تَقُولُهُ قَبْلَ ذلكَ، ورَأَيْنَاكَ بَسَطْتَ يَدَكَ، قالَ: إنَّ عَدُوَّ اللهِ إبْلِيسَ، جَاءَ بشِهَابٍ مِن نَارٍ لِيَجْعَلَهُ في وجْهِي، فَقُلتُ: أعُوذُ باللَّهِ مِنْكَ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ قُلتُ: ألْعَنُكَ بلَعْنَةِ اللهِ التَّامَّةِ، فَلَمْ يَسْتَأْخِرْ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ أرَدْتُ أخْذَهُ، واللَّهِ لَوْلَا دَعْوَةُ أخِينَا سُلَيْمَانَ لأَصْبَحَ مُوثَقًا يَلْعَبُ به وِلْدَانُ أهْلِ المَدِينَةِ “Suatu hari ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam shalat, tiba-tiba kami mendengar Rasulullah mengatakan: “Aku berlindung kepada Allah darimu!”. Kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga berkata: “Allah telah melaknatmu!” sebanyak tiga kali. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lalu menghamparkan tangannya seolah-olah beliau sedang menerima sesuatu. Ketika beliau selesai shalat, kami bertanya: “Wahai Rasulullah, kami mendengar engkau mengatakan sesuatu yang belum pernah kami dengar sebelumnya. Kami juga melihat engkau membukakan kedua tanganmu”. Rasulullah menjawab: “Barusan Iblis, musuh Allah, datang membawa anak panah api untuk ditancapkan di mukaku, lalu aku berkata: “Aku berlindung kepada Allah darimu” sebanyak tiga kali. Kemudian aku juga berkata: “Allah telah melaknatmu dengan laknat yang sempurna” sebanyak tiga kali, namun setan itu tidak juga mundur. Kemudian aku bermaksud untuk menangkapnya. Seandainya aku tidak ingat doa saudara kami, Nabi Sulaiman, tentu aku akan mengikatnya sehingga menjadi mainan anak-anak penduduk Madinah” (HR. Muslim no.542). Maka tidak ada jin khodam yang bisa diperintah begitu saja oleh manusia. Jin khodam itu tidak akan tunduk melainkan ada kompensasi dan timbal balik yang diberikan. Timbal baliknya berupa apa? Berupa meminta manusia melakukan maksiat, bid’ah, syirik, dan kufur. Kedua:  Kerja sama dengan jin adalah perbuatan para dukun. Sebagaimana firman Allah ta’aala, وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari kalangan) manusia dan (kalangan) jin. Sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)” (QS. Al-An’am: 112). Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam menyebutkan bahwa para jin bekerja sama dengan para dukun dalam mengabarkan kabar-kabar gaib kepada manusia. Beliau bersabda, فَتَقُرُّهَا فِى أُذُنِ الْكَاهِنِ ، كَمَا تُقَرُّ الْقَارُورَةُ ، فَيَزِيدُونَ مَعَهَا مِائَةَ كَذِبَةٍ “… setan-setan itu pun membisikkan kabar-kabar langit pada telinga para dukun. Seperti meniupkan angin ke botol-botol. Lalu setan-setan itu pun menambahkan kabar-kabar tersebut dengan 100 kedustaan” (HR. Bukhari no. 3288). Oleh karena itu yang mengklaim mengetahui adanya jin khodam atau tidak, biasanya adalah para dukun. Zaman dahulu orang yang ingin tahu ia memiliki khodam atau tidak, atau bahkan ingin meminta khodam, maka ia akan datang ke dukun langsung. Namun di zaman ini, orang menggunakan aplikasi. Maka menggunakan aplikasi cek khodam sama dengan datang ke dukun. Sedangkan datang ke dukun adalah kekufuran. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ “Barang siapa yang mendatangi dukun atau mendatangi tukang ramal, kemudian ia membenarkannya, maka ia telah kufur pada apa yang telah diturunkan kepada Muhammad” (HR. Ahmad no. 9536, Abu Daud no. 3904, Tirmidzi no. 135, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 5939). Sungguh mengerikan seseorang bisa kufur dan menjadi kafir di zaman ini hanya dengan semudah menggunakan aplikasi online. Oleh karena itu jauhilah sejauh-jauhnya! Ketiga: Seseorang yang ingin cek khodam menunjukkan ada niatan dalam dirinya untuk meminta bantuan kepada jin. Sedang meminta bantuan kepada jin adalah perbuatan yang diharamkan dan jalan menuju kesesatan. Allah ta’ala berfirman: وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS. Al-Jin: 6) Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta menjelaskan:  لا يجوز استخدام الجن بأي نوع من الاستخدام ؛ لأن ذلك من الاستعانة بالجن والشياطين، وهي محرمة ووسيلة من وسائل الشرك، ولا يجوز تصديقهم فيما يخبرون به من أمور السحر والسحرة لما في ذلك من المفاسد “Tidak boleh meminta bantuan kepada jin dengan cara apapun dan untuk tujuan apapun. Karena hal itu termasuk isti’anah (meminta pertolongan) kepada jin dan setan. Hukumnya haram dan termasuk sarana kepada kesyirikan. Dan tidak boleh membenarkan perkataan para jin ketika mereka mengabarkan sesuatu seputar sihir dan tukang sihir. Karena mempercayai perkataan mereka akan menimbulkan banyak kerusakan” (Fatawa Al-Lajnah). Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah juga menjelaskan:  قال الله تعالى: “إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ أي لا نستعين” بغيرك كما لا نعبد إلا إياك. وقال النبي -صلى الله عليه وسلم- : ‘إذا سألت فاسأل الله وإذا استعنت فاستعن بالله’ وهو دليل على أن الاستعانة بغير الله فيما لا يقدر عليه إلا الله شرك؛ فمن ذلك الاستعانة بالجن والشياطين فإنهم غائبون عن أنظارنا؛ فمن دعاهم واستعان بهم فقد دعا غير الله وعظمه واعتقد قدرته على ما هو خارج عن قدرة البشر. ثم إن الغالب أن الجن والشياطين لا يخدمون إلا من خدمهم وعظمهم؛ وتعظيم غير الله شرك “Allah ta’ala berfirman (yang artinya): “Hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan” (QS. Al-Fatihah: 4). Maksudnya, kami tidak meminta pertolongan kepada selain-Mu, sebagaimana kami tidak menyembah selain-Mu. Dan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah. jika engkau memohon pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah”. Ini adalah dalil bahwa meminta pertolongan kepada selain Allah dalam hal yang tidak ada yang mampu kecuali Allah adalah kesyirikan. Dan di antara hal itu adalah meminta pertolongan kepada jin dan setan, karena mereka itu makhluk gaib yang tidak nampak oleh mata. Orang yang berdoa kepada para jin dan setan untuk meminta pertolongan, maka ia telah berdoa kepada selain Allah dan telah mengagungkan serta meyakini bahwa para jin dan setan tersebut melebihi kapasitas dan martabat manusia. Dan umumnya, para jin dan setan itu tidak akan membantu kecuali pada orang-orang yang akan membantu mereka pula dan mengagungkan mereka. Dan mengagungkan selain Allah adalah kesyirikan” (Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin, sumber: (1) PDF Gdrive, استعانة الإنس بالجن). Keempat:  Aplikasi cek khodam adalah kedustaan. Karena Allah ta’ala menegaskan bahwa manusia tidak bisa melihat jin. Allah ta’ala berfirman: اِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ “Sesungguhnya dia (jin) dan para pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka” (QS. Al-A’raf: 27). Terdapat riwayat dari Imam Asy-Syafi’i rahimahullah: عَنِ الرَّبِيعِ: سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ يَقُولُ: مَنْ زَعَمَ أَنَّهُ يَرَى الْجِنَّ أَبْطَلْنَا شَهَادَتَهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ نَبِيًّا “Dari ar Rabi’ ia berkata: aku mendengar Asy-Syafi’i pernah berkata: orang yang mengaku bisa melihat jin, maka kami menganggap batal persaksiannya kecuali kalau dia seorang Nabi” (Dinukil dari Tafsir Al-Manar, 7/438). Maka para pengguna aplikasi ini jelas telah dibodohi oleh si pembuat aplikasi. Karena aplikasi ini tidak benar-benar bisa melihat adanya jin khodam atau tidak. Kelima:  Orang yang menggunakan aplikasi cek khodam atau semisalnya, adalah orang-orang yang lemah akidahnya, lemah imannya, dan punya potensi untuk terpedaya oleh para jin. Dan jin sangat suka dengan orang seperti ini!! Karena jin suka dengan orang-orang yang punya kecenderungan pada kesesatan. Sebagaimana firman Allah ta’ala: وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ الإِنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ الإِنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ “Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya (manusia dan jin), (dan Allah berfirman) : “Hai golongan jin (setan), sesungguhnya kamu telah banyak (menyesatkan) manusia,” lalu berkatalah kawan-kawan mereka dari golongan manusia: “Ya Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami (manusia) telah mendapat kesenangan dari sebagian yang lain (jin) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami”. Allah berfirman : “Neraka itulah tempat tinggal kamu semua, sedang kamu semua kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain)” (QS. Al-An’am: 128). Oleh karena itu, kita khawatir, orang yang awalnya tidak mengalami gangguan jin sama sekali, setelah ia menggunakan aplikasi cek khodam ini malah para jin akan tertarik pada dia. Sehingga jin memberikan gangguan-gangguan padanya dan berusaha menyesatkan dia. Nas’alullaaha as salaamah wal ‘aafiyah.  Keenam:  Jika seseorang menggunakan cek khodam ini hanya untuk bercanda atau main-main saja, maka tetap tidak diperbolehkan. Sebagaimana terlarangnya mendatangi dukun walaupun tidak mempercayainya.  Dari sebagian istri Nabi, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَن أتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عن شيءٍ، لَمْ تُقْبَلْ له صَلاةٌ أرْبَعِينَ لَيْلَةً “Barang siapa yang datang ke tukang ramal, lalu bertanya tentang sesuatu, maka tidak diterima shalatnya selama 40 hari.” (HR. Muslim no.2230). Dan bertanya kepada dukun walaupun tidak mempercayainya, selain hukumnya haram, ia juga termasuk dosa besar dan sarana menuju kesyirikan dan kekufuran.  Kemudian orang yang melakukan ini, dia tidak menghormati dan tidak menjaga akidahnya. Jika Umar bin Khattab saja dilarang untuk membolak-balik lembaran Taurat, padahal Umar adalah orang yang imannya kokoh. Apalagi kita yang imannya sering naik dan turun, serta jauh dari imannya Umar bin Khattab. Hendaknya setiap kita menjaga akidah kita dan menjauhkan diri dari semua hal yang bisa merusak akidah. Karena akidah yang benar adalah modal utama di hari kemudian. Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin, wa shallallaahu ‘ala Nabiyyinaa Muhammadin wa ‘ala aalihi washahbihi ajma’iin. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 993 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,138 QRIS donasi Yufid

Cek Khodam Online?

Pertanyaan: Sedang viral tentang aplikasi cek khodam. Jadi aplikasi ini katanya bisa mengetahui kita memiliki khodam atau tidak. Dan jika ada khodamnya nanti akan diberitahu bahwa khodamnya adalah ini dan itu. Sebenarnya khodam itu apa? Dan bolehkah menggunakan aplikasi seperti itu? Jawaban: Alhamdulillaah, ash-shalaatu wassalaamu ‘ala Rasuulillaah, wa ‘ala aalihi wa man waalaah, amma ba’du, Tidak kami temukan dalam kitab-kitab para ulama terdahulu yang menyebutkan istilah  “khodam“ atau “jin khodam”. Namun wallaahu a’lam, yang dimaksud khodam di sini adalah jin yang diyakini akan senantiasa membantu dan melayani pemiliknya. Berasal dari bahasa Arab خدَمَ – يَخدُم yang artinya: membantu atau melayani. Tidak boleh menggunakan aplikasi cek khodam atau semisalnya, baik serius atau hanya untuk hiburan. Karena beberapa poin berikut ini: Pertama:  Tidak ada manusia yang bisa menundukkan jin setelah Nabi Sulaiman ‘alaihissalaam. Setelah Nabi Sulaiman ‘alaihissalaam, tidak ada makhluk yang bisa menundukkan bangsa jin. Yang ada adalah mereka bekerja sama dengan jin. Jin membantu manusia, dan manusia memberikan timbal-balik kepada jin. Allah ta’aala berfirman: قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَهَبْ لِيْ مُلْكًا لَّا يَنْۢبَغِيْ لِاَحَدٍ مِّنْۢ بَعْدِيْۚ اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ فَسَخَّرْنَا لَهُ الرِّيْحَ تَجْرِيْ بِاَمْرِهٖ رُخَاۤءً حَيْثُ اَصَابَۙ وَالشَّيٰطِيْنَ كُلَّ بَنَّاۤءٍ وَّغَوَّاصٍۙ وَّاٰخَرِيْنَ مُقَرَّنِيْنَ فِى الْاَصْفَادِ “Sulaiman berkata, “Wahai Rabb-ku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kuasa yang tidak patut (dimiliki) oleh seorang pun sesudahku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi”. Maka, Kami menundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut perintahnya ke mana saja yang ia kehendaki. (Kami menundukkan pula kepadanya) setan-setan, semuanya ahli membangun bangunan dan penyelam. (Begitu juga setan-setan) lain yang terikat dalam belenggu” (QS. Shad : 35-38). Dalam ayat ini, Allah ta’aala memberikan beberapa kemampuan kepada Nabi Sulaiman ‘alaihissalaam yang tidak diberikan kepada orang-orang setelah beliau. Di antaranya kemampuan untuk menundukkan jin. Bahkan Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam pun enggan dianggap dapat menundukkan jin. Dari Abu Darda’ radhiyallahu’anhu, ia berkata: قَامَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ فَسَمِعْنَاهُ يقولُ: أعُوذُ باللَّهِ مِنْكَ، ثُمَّ قالَ ألْعَنُكَ بلَعْنَةِ اللهِ ثَلَاثًا، وبَسَطَ يَدَهُ كَأنَّهُ يَتَنَاوَلُ شيئًا، فَلَمَّا فَرَغَ مِنَ الصَّلَاةِ قُلْنَا: يا رَسولَ اللهِ، قدْ سَمِعْنَاكَ تَقُولُ في الصَّلَاةِ شيئًا لَمْ نَسْمَعْكَ تَقُولُهُ قَبْلَ ذلكَ، ورَأَيْنَاكَ بَسَطْتَ يَدَكَ، قالَ: إنَّ عَدُوَّ اللهِ إبْلِيسَ، جَاءَ بشِهَابٍ مِن نَارٍ لِيَجْعَلَهُ في وجْهِي، فَقُلتُ: أعُوذُ باللَّهِ مِنْكَ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ قُلتُ: ألْعَنُكَ بلَعْنَةِ اللهِ التَّامَّةِ، فَلَمْ يَسْتَأْخِرْ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ أرَدْتُ أخْذَهُ، واللَّهِ لَوْلَا دَعْوَةُ أخِينَا سُلَيْمَانَ لأَصْبَحَ مُوثَقًا يَلْعَبُ به وِلْدَانُ أهْلِ المَدِينَةِ “Suatu hari ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam shalat, tiba-tiba kami mendengar Rasulullah mengatakan: “Aku berlindung kepada Allah darimu!”. Kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga berkata: “Allah telah melaknatmu!” sebanyak tiga kali. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lalu menghamparkan tangannya seolah-olah beliau sedang menerima sesuatu. Ketika beliau selesai shalat, kami bertanya: “Wahai Rasulullah, kami mendengar engkau mengatakan sesuatu yang belum pernah kami dengar sebelumnya. Kami juga melihat engkau membukakan kedua tanganmu”. Rasulullah menjawab: “Barusan Iblis, musuh Allah, datang membawa anak panah api untuk ditancapkan di mukaku, lalu aku berkata: “Aku berlindung kepada Allah darimu” sebanyak tiga kali. Kemudian aku juga berkata: “Allah telah melaknatmu dengan laknat yang sempurna” sebanyak tiga kali, namun setan itu tidak juga mundur. Kemudian aku bermaksud untuk menangkapnya. Seandainya aku tidak ingat doa saudara kami, Nabi Sulaiman, tentu aku akan mengikatnya sehingga menjadi mainan anak-anak penduduk Madinah” (HR. Muslim no.542). Maka tidak ada jin khodam yang bisa diperintah begitu saja oleh manusia. Jin khodam itu tidak akan tunduk melainkan ada kompensasi dan timbal balik yang diberikan. Timbal baliknya berupa apa? Berupa meminta manusia melakukan maksiat, bid’ah, syirik, dan kufur. Kedua:  Kerja sama dengan jin adalah perbuatan para dukun. Sebagaimana firman Allah ta’aala, وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari kalangan) manusia dan (kalangan) jin. Sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)” (QS. Al-An’am: 112). Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam menyebutkan bahwa para jin bekerja sama dengan para dukun dalam mengabarkan kabar-kabar gaib kepada manusia. Beliau bersabda, فَتَقُرُّهَا فِى أُذُنِ الْكَاهِنِ ، كَمَا تُقَرُّ الْقَارُورَةُ ، فَيَزِيدُونَ مَعَهَا مِائَةَ كَذِبَةٍ “… setan-setan itu pun membisikkan kabar-kabar langit pada telinga para dukun. Seperti meniupkan angin ke botol-botol. Lalu setan-setan itu pun menambahkan kabar-kabar tersebut dengan 100 kedustaan” (HR. Bukhari no. 3288). Oleh karena itu yang mengklaim mengetahui adanya jin khodam atau tidak, biasanya adalah para dukun. Zaman dahulu orang yang ingin tahu ia memiliki khodam atau tidak, atau bahkan ingin meminta khodam, maka ia akan datang ke dukun langsung. Namun di zaman ini, orang menggunakan aplikasi. Maka menggunakan aplikasi cek khodam sama dengan datang ke dukun. Sedangkan datang ke dukun adalah kekufuran. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ “Barang siapa yang mendatangi dukun atau mendatangi tukang ramal, kemudian ia membenarkannya, maka ia telah kufur pada apa yang telah diturunkan kepada Muhammad” (HR. Ahmad no. 9536, Abu Daud no. 3904, Tirmidzi no. 135, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 5939). Sungguh mengerikan seseorang bisa kufur dan menjadi kafir di zaman ini hanya dengan semudah menggunakan aplikasi online. Oleh karena itu jauhilah sejauh-jauhnya! Ketiga: Seseorang yang ingin cek khodam menunjukkan ada niatan dalam dirinya untuk meminta bantuan kepada jin. Sedang meminta bantuan kepada jin adalah perbuatan yang diharamkan dan jalan menuju kesesatan. Allah ta’ala berfirman: وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS. Al-Jin: 6) Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta menjelaskan:  لا يجوز استخدام الجن بأي نوع من الاستخدام ؛ لأن ذلك من الاستعانة بالجن والشياطين، وهي محرمة ووسيلة من وسائل الشرك، ولا يجوز تصديقهم فيما يخبرون به من أمور السحر والسحرة لما في ذلك من المفاسد “Tidak boleh meminta bantuan kepada jin dengan cara apapun dan untuk tujuan apapun. Karena hal itu termasuk isti’anah (meminta pertolongan) kepada jin dan setan. Hukumnya haram dan termasuk sarana kepada kesyirikan. Dan tidak boleh membenarkan perkataan para jin ketika mereka mengabarkan sesuatu seputar sihir dan tukang sihir. Karena mempercayai perkataan mereka akan menimbulkan banyak kerusakan” (Fatawa Al-Lajnah). Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah juga menjelaskan:  قال الله تعالى: “إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ أي لا نستعين” بغيرك كما لا نعبد إلا إياك. وقال النبي -صلى الله عليه وسلم- : ‘إذا سألت فاسأل الله وإذا استعنت فاستعن بالله’ وهو دليل على أن الاستعانة بغير الله فيما لا يقدر عليه إلا الله شرك؛ فمن ذلك الاستعانة بالجن والشياطين فإنهم غائبون عن أنظارنا؛ فمن دعاهم واستعان بهم فقد دعا غير الله وعظمه واعتقد قدرته على ما هو خارج عن قدرة البشر. ثم إن الغالب أن الجن والشياطين لا يخدمون إلا من خدمهم وعظمهم؛ وتعظيم غير الله شرك “Allah ta’ala berfirman (yang artinya): “Hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan” (QS. Al-Fatihah: 4). Maksudnya, kami tidak meminta pertolongan kepada selain-Mu, sebagaimana kami tidak menyembah selain-Mu. Dan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah. jika engkau memohon pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah”. Ini adalah dalil bahwa meminta pertolongan kepada selain Allah dalam hal yang tidak ada yang mampu kecuali Allah adalah kesyirikan. Dan di antara hal itu adalah meminta pertolongan kepada jin dan setan, karena mereka itu makhluk gaib yang tidak nampak oleh mata. Orang yang berdoa kepada para jin dan setan untuk meminta pertolongan, maka ia telah berdoa kepada selain Allah dan telah mengagungkan serta meyakini bahwa para jin dan setan tersebut melebihi kapasitas dan martabat manusia. Dan umumnya, para jin dan setan itu tidak akan membantu kecuali pada orang-orang yang akan membantu mereka pula dan mengagungkan mereka. Dan mengagungkan selain Allah adalah kesyirikan” (Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin, sumber: (1) PDF Gdrive, استعانة الإنس بالجن). Keempat:  Aplikasi cek khodam adalah kedustaan. Karena Allah ta’ala menegaskan bahwa manusia tidak bisa melihat jin. Allah ta’ala berfirman: اِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ “Sesungguhnya dia (jin) dan para pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka” (QS. Al-A’raf: 27). Terdapat riwayat dari Imam Asy-Syafi’i rahimahullah: عَنِ الرَّبِيعِ: سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ يَقُولُ: مَنْ زَعَمَ أَنَّهُ يَرَى الْجِنَّ أَبْطَلْنَا شَهَادَتَهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ نَبِيًّا “Dari ar Rabi’ ia berkata: aku mendengar Asy-Syafi’i pernah berkata: orang yang mengaku bisa melihat jin, maka kami menganggap batal persaksiannya kecuali kalau dia seorang Nabi” (Dinukil dari Tafsir Al-Manar, 7/438). Maka para pengguna aplikasi ini jelas telah dibodohi oleh si pembuat aplikasi. Karena aplikasi ini tidak benar-benar bisa melihat adanya jin khodam atau tidak. Kelima:  Orang yang menggunakan aplikasi cek khodam atau semisalnya, adalah orang-orang yang lemah akidahnya, lemah imannya, dan punya potensi untuk terpedaya oleh para jin. Dan jin sangat suka dengan orang seperti ini!! Karena jin suka dengan orang-orang yang punya kecenderungan pada kesesatan. Sebagaimana firman Allah ta’ala: وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ الإِنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ الإِنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ “Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya (manusia dan jin), (dan Allah berfirman) : “Hai golongan jin (setan), sesungguhnya kamu telah banyak (menyesatkan) manusia,” lalu berkatalah kawan-kawan mereka dari golongan manusia: “Ya Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami (manusia) telah mendapat kesenangan dari sebagian yang lain (jin) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami”. Allah berfirman : “Neraka itulah tempat tinggal kamu semua, sedang kamu semua kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain)” (QS. Al-An’am: 128). Oleh karena itu, kita khawatir, orang yang awalnya tidak mengalami gangguan jin sama sekali, setelah ia menggunakan aplikasi cek khodam ini malah para jin akan tertarik pada dia. Sehingga jin memberikan gangguan-gangguan padanya dan berusaha menyesatkan dia. Nas’alullaaha as salaamah wal ‘aafiyah.  Keenam:  Jika seseorang menggunakan cek khodam ini hanya untuk bercanda atau main-main saja, maka tetap tidak diperbolehkan. Sebagaimana terlarangnya mendatangi dukun walaupun tidak mempercayainya.  Dari sebagian istri Nabi, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَن أتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عن شيءٍ، لَمْ تُقْبَلْ له صَلاةٌ أرْبَعِينَ لَيْلَةً “Barang siapa yang datang ke tukang ramal, lalu bertanya tentang sesuatu, maka tidak diterima shalatnya selama 40 hari.” (HR. Muslim no.2230). Dan bertanya kepada dukun walaupun tidak mempercayainya, selain hukumnya haram, ia juga termasuk dosa besar dan sarana menuju kesyirikan dan kekufuran.  Kemudian orang yang melakukan ini, dia tidak menghormati dan tidak menjaga akidahnya. Jika Umar bin Khattab saja dilarang untuk membolak-balik lembaran Taurat, padahal Umar adalah orang yang imannya kokoh. Apalagi kita yang imannya sering naik dan turun, serta jauh dari imannya Umar bin Khattab. Hendaknya setiap kita menjaga akidah kita dan menjauhkan diri dari semua hal yang bisa merusak akidah. Karena akidah yang benar adalah modal utama di hari kemudian. Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin, wa shallallaahu ‘ala Nabiyyinaa Muhammadin wa ‘ala aalihi washahbihi ajma’iin. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 993 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,138 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Sedang viral tentang aplikasi cek khodam. Jadi aplikasi ini katanya bisa mengetahui kita memiliki khodam atau tidak. Dan jika ada khodamnya nanti akan diberitahu bahwa khodamnya adalah ini dan itu. Sebenarnya khodam itu apa? Dan bolehkah menggunakan aplikasi seperti itu? Jawaban: Alhamdulillaah, ash-shalaatu wassalaamu ‘ala Rasuulillaah, wa ‘ala aalihi wa man waalaah, amma ba’du, Tidak kami temukan dalam kitab-kitab para ulama terdahulu yang menyebutkan istilah  “khodam“ atau “jin khodam”. Namun wallaahu a’lam, yang dimaksud khodam di sini adalah jin yang diyakini akan senantiasa membantu dan melayani pemiliknya. Berasal dari bahasa Arab خدَمَ – يَخدُم yang artinya: membantu atau melayani. Tidak boleh menggunakan aplikasi cek khodam atau semisalnya, baik serius atau hanya untuk hiburan. Karena beberapa poin berikut ini: Pertama:  Tidak ada manusia yang bisa menundukkan jin setelah Nabi Sulaiman ‘alaihissalaam. Setelah Nabi Sulaiman ‘alaihissalaam, tidak ada makhluk yang bisa menundukkan bangsa jin. Yang ada adalah mereka bekerja sama dengan jin. Jin membantu manusia, dan manusia memberikan timbal-balik kepada jin. Allah ta’aala berfirman: قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَهَبْ لِيْ مُلْكًا لَّا يَنْۢبَغِيْ لِاَحَدٍ مِّنْۢ بَعْدِيْۚ اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ فَسَخَّرْنَا لَهُ الرِّيْحَ تَجْرِيْ بِاَمْرِهٖ رُخَاۤءً حَيْثُ اَصَابَۙ وَالشَّيٰطِيْنَ كُلَّ بَنَّاۤءٍ وَّغَوَّاصٍۙ وَّاٰخَرِيْنَ مُقَرَّنِيْنَ فِى الْاَصْفَادِ “Sulaiman berkata, “Wahai Rabb-ku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kuasa yang tidak patut (dimiliki) oleh seorang pun sesudahku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi”. Maka, Kami menundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut perintahnya ke mana saja yang ia kehendaki. (Kami menundukkan pula kepadanya) setan-setan, semuanya ahli membangun bangunan dan penyelam. (Begitu juga setan-setan) lain yang terikat dalam belenggu” (QS. Shad : 35-38). Dalam ayat ini, Allah ta’aala memberikan beberapa kemampuan kepada Nabi Sulaiman ‘alaihissalaam yang tidak diberikan kepada orang-orang setelah beliau. Di antaranya kemampuan untuk menundukkan jin. Bahkan Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam pun enggan dianggap dapat menundukkan jin. Dari Abu Darda’ radhiyallahu’anhu, ia berkata: قَامَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ فَسَمِعْنَاهُ يقولُ: أعُوذُ باللَّهِ مِنْكَ، ثُمَّ قالَ ألْعَنُكَ بلَعْنَةِ اللهِ ثَلَاثًا، وبَسَطَ يَدَهُ كَأنَّهُ يَتَنَاوَلُ شيئًا، فَلَمَّا فَرَغَ مِنَ الصَّلَاةِ قُلْنَا: يا رَسولَ اللهِ، قدْ سَمِعْنَاكَ تَقُولُ في الصَّلَاةِ شيئًا لَمْ نَسْمَعْكَ تَقُولُهُ قَبْلَ ذلكَ، ورَأَيْنَاكَ بَسَطْتَ يَدَكَ، قالَ: إنَّ عَدُوَّ اللهِ إبْلِيسَ، جَاءَ بشِهَابٍ مِن نَارٍ لِيَجْعَلَهُ في وجْهِي، فَقُلتُ: أعُوذُ باللَّهِ مِنْكَ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ قُلتُ: ألْعَنُكَ بلَعْنَةِ اللهِ التَّامَّةِ، فَلَمْ يَسْتَأْخِرْ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ أرَدْتُ أخْذَهُ، واللَّهِ لَوْلَا دَعْوَةُ أخِينَا سُلَيْمَانَ لأَصْبَحَ مُوثَقًا يَلْعَبُ به وِلْدَانُ أهْلِ المَدِينَةِ “Suatu hari ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam shalat, tiba-tiba kami mendengar Rasulullah mengatakan: “Aku berlindung kepada Allah darimu!”. Kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga berkata: “Allah telah melaknatmu!” sebanyak tiga kali. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lalu menghamparkan tangannya seolah-olah beliau sedang menerima sesuatu. Ketika beliau selesai shalat, kami bertanya: “Wahai Rasulullah, kami mendengar engkau mengatakan sesuatu yang belum pernah kami dengar sebelumnya. Kami juga melihat engkau membukakan kedua tanganmu”. Rasulullah menjawab: “Barusan Iblis, musuh Allah, datang membawa anak panah api untuk ditancapkan di mukaku, lalu aku berkata: “Aku berlindung kepada Allah darimu” sebanyak tiga kali. Kemudian aku juga berkata: “Allah telah melaknatmu dengan laknat yang sempurna” sebanyak tiga kali, namun setan itu tidak juga mundur. Kemudian aku bermaksud untuk menangkapnya. Seandainya aku tidak ingat doa saudara kami, Nabi Sulaiman, tentu aku akan mengikatnya sehingga menjadi mainan anak-anak penduduk Madinah” (HR. Muslim no.542). Maka tidak ada jin khodam yang bisa diperintah begitu saja oleh manusia. Jin khodam itu tidak akan tunduk melainkan ada kompensasi dan timbal balik yang diberikan. Timbal baliknya berupa apa? Berupa meminta manusia melakukan maksiat, bid’ah, syirik, dan kufur. Kedua:  Kerja sama dengan jin adalah perbuatan para dukun. Sebagaimana firman Allah ta’aala, وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari kalangan) manusia dan (kalangan) jin. Sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)” (QS. Al-An’am: 112). Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam menyebutkan bahwa para jin bekerja sama dengan para dukun dalam mengabarkan kabar-kabar gaib kepada manusia. Beliau bersabda, فَتَقُرُّهَا فِى أُذُنِ الْكَاهِنِ ، كَمَا تُقَرُّ الْقَارُورَةُ ، فَيَزِيدُونَ مَعَهَا مِائَةَ كَذِبَةٍ “… setan-setan itu pun membisikkan kabar-kabar langit pada telinga para dukun. Seperti meniupkan angin ke botol-botol. Lalu setan-setan itu pun menambahkan kabar-kabar tersebut dengan 100 kedustaan” (HR. Bukhari no. 3288). Oleh karena itu yang mengklaim mengetahui adanya jin khodam atau tidak, biasanya adalah para dukun. Zaman dahulu orang yang ingin tahu ia memiliki khodam atau tidak, atau bahkan ingin meminta khodam, maka ia akan datang ke dukun langsung. Namun di zaman ini, orang menggunakan aplikasi. Maka menggunakan aplikasi cek khodam sama dengan datang ke dukun. Sedangkan datang ke dukun adalah kekufuran. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ “Barang siapa yang mendatangi dukun atau mendatangi tukang ramal, kemudian ia membenarkannya, maka ia telah kufur pada apa yang telah diturunkan kepada Muhammad” (HR. Ahmad no. 9536, Abu Daud no. 3904, Tirmidzi no. 135, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 5939). Sungguh mengerikan seseorang bisa kufur dan menjadi kafir di zaman ini hanya dengan semudah menggunakan aplikasi online. Oleh karena itu jauhilah sejauh-jauhnya! Ketiga: Seseorang yang ingin cek khodam menunjukkan ada niatan dalam dirinya untuk meminta bantuan kepada jin. Sedang meminta bantuan kepada jin adalah perbuatan yang diharamkan dan jalan menuju kesesatan. Allah ta’ala berfirman: وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS. Al-Jin: 6) Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta menjelaskan:  لا يجوز استخدام الجن بأي نوع من الاستخدام ؛ لأن ذلك من الاستعانة بالجن والشياطين، وهي محرمة ووسيلة من وسائل الشرك، ولا يجوز تصديقهم فيما يخبرون به من أمور السحر والسحرة لما في ذلك من المفاسد “Tidak boleh meminta bantuan kepada jin dengan cara apapun dan untuk tujuan apapun. Karena hal itu termasuk isti’anah (meminta pertolongan) kepada jin dan setan. Hukumnya haram dan termasuk sarana kepada kesyirikan. Dan tidak boleh membenarkan perkataan para jin ketika mereka mengabarkan sesuatu seputar sihir dan tukang sihir. Karena mempercayai perkataan mereka akan menimbulkan banyak kerusakan” (Fatawa Al-Lajnah). Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah juga menjelaskan:  قال الله تعالى: “إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ أي لا نستعين” بغيرك كما لا نعبد إلا إياك. وقال النبي -صلى الله عليه وسلم- : ‘إذا سألت فاسأل الله وإذا استعنت فاستعن بالله’ وهو دليل على أن الاستعانة بغير الله فيما لا يقدر عليه إلا الله شرك؛ فمن ذلك الاستعانة بالجن والشياطين فإنهم غائبون عن أنظارنا؛ فمن دعاهم واستعان بهم فقد دعا غير الله وعظمه واعتقد قدرته على ما هو خارج عن قدرة البشر. ثم إن الغالب أن الجن والشياطين لا يخدمون إلا من خدمهم وعظمهم؛ وتعظيم غير الله شرك “Allah ta’ala berfirman (yang artinya): “Hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan” (QS. Al-Fatihah: 4). Maksudnya, kami tidak meminta pertolongan kepada selain-Mu, sebagaimana kami tidak menyembah selain-Mu. Dan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah. jika engkau memohon pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah”. Ini adalah dalil bahwa meminta pertolongan kepada selain Allah dalam hal yang tidak ada yang mampu kecuali Allah adalah kesyirikan. Dan di antara hal itu adalah meminta pertolongan kepada jin dan setan, karena mereka itu makhluk gaib yang tidak nampak oleh mata. Orang yang berdoa kepada para jin dan setan untuk meminta pertolongan, maka ia telah berdoa kepada selain Allah dan telah mengagungkan serta meyakini bahwa para jin dan setan tersebut melebihi kapasitas dan martabat manusia. Dan umumnya, para jin dan setan itu tidak akan membantu kecuali pada orang-orang yang akan membantu mereka pula dan mengagungkan mereka. Dan mengagungkan selain Allah adalah kesyirikan” (Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin, sumber: (1) PDF Gdrive, استعانة الإنس بالجن). Keempat:  Aplikasi cek khodam adalah kedustaan. Karena Allah ta’ala menegaskan bahwa manusia tidak bisa melihat jin. Allah ta’ala berfirman: اِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ “Sesungguhnya dia (jin) dan para pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka” (QS. Al-A’raf: 27). Terdapat riwayat dari Imam Asy-Syafi’i rahimahullah: عَنِ الرَّبِيعِ: سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ يَقُولُ: مَنْ زَعَمَ أَنَّهُ يَرَى الْجِنَّ أَبْطَلْنَا شَهَادَتَهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ نَبِيًّا “Dari ar Rabi’ ia berkata: aku mendengar Asy-Syafi’i pernah berkata: orang yang mengaku bisa melihat jin, maka kami menganggap batal persaksiannya kecuali kalau dia seorang Nabi” (Dinukil dari Tafsir Al-Manar, 7/438). Maka para pengguna aplikasi ini jelas telah dibodohi oleh si pembuat aplikasi. Karena aplikasi ini tidak benar-benar bisa melihat adanya jin khodam atau tidak. Kelima:  Orang yang menggunakan aplikasi cek khodam atau semisalnya, adalah orang-orang yang lemah akidahnya, lemah imannya, dan punya potensi untuk terpedaya oleh para jin. Dan jin sangat suka dengan orang seperti ini!! Karena jin suka dengan orang-orang yang punya kecenderungan pada kesesatan. Sebagaimana firman Allah ta’ala: وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ الإِنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ الإِنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ “Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya (manusia dan jin), (dan Allah berfirman) : “Hai golongan jin (setan), sesungguhnya kamu telah banyak (menyesatkan) manusia,” lalu berkatalah kawan-kawan mereka dari golongan manusia: “Ya Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami (manusia) telah mendapat kesenangan dari sebagian yang lain (jin) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami”. Allah berfirman : “Neraka itulah tempat tinggal kamu semua, sedang kamu semua kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain)” (QS. Al-An’am: 128). Oleh karena itu, kita khawatir, orang yang awalnya tidak mengalami gangguan jin sama sekali, setelah ia menggunakan aplikasi cek khodam ini malah para jin akan tertarik pada dia. Sehingga jin memberikan gangguan-gangguan padanya dan berusaha menyesatkan dia. Nas’alullaaha as salaamah wal ‘aafiyah.  Keenam:  Jika seseorang menggunakan cek khodam ini hanya untuk bercanda atau main-main saja, maka tetap tidak diperbolehkan. Sebagaimana terlarangnya mendatangi dukun walaupun tidak mempercayainya.  Dari sebagian istri Nabi, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَن أتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عن شيءٍ، لَمْ تُقْبَلْ له صَلاةٌ أرْبَعِينَ لَيْلَةً “Barang siapa yang datang ke tukang ramal, lalu bertanya tentang sesuatu, maka tidak diterima shalatnya selama 40 hari.” (HR. Muslim no.2230). Dan bertanya kepada dukun walaupun tidak mempercayainya, selain hukumnya haram, ia juga termasuk dosa besar dan sarana menuju kesyirikan dan kekufuran.  Kemudian orang yang melakukan ini, dia tidak menghormati dan tidak menjaga akidahnya. Jika Umar bin Khattab saja dilarang untuk membolak-balik lembaran Taurat, padahal Umar adalah orang yang imannya kokoh. Apalagi kita yang imannya sering naik dan turun, serta jauh dari imannya Umar bin Khattab. Hendaknya setiap kita menjaga akidah kita dan menjauhkan diri dari semua hal yang bisa merusak akidah. Karena akidah yang benar adalah modal utama di hari kemudian. Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin, wa shallallaahu ‘ala Nabiyyinaa Muhammadin wa ‘ala aalihi washahbihi ajma’iin. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 993 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,138 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Sedang viral tentang aplikasi cek khodam. Jadi aplikasi ini katanya bisa mengetahui kita memiliki khodam atau tidak. Dan jika ada khodamnya nanti akan diberitahu bahwa khodamnya adalah ini dan itu. Sebenarnya khodam itu apa? Dan bolehkah menggunakan aplikasi seperti itu? Jawaban: Alhamdulillaah, ash-shalaatu wassalaamu ‘ala Rasuulillaah, wa ‘ala aalihi wa man waalaah, amma ba’du, Tidak kami temukan dalam kitab-kitab para ulama terdahulu yang menyebutkan istilah  “khodam“ atau “jin khodam”. Namun wallaahu a’lam, yang dimaksud khodam di sini adalah jin yang diyakini akan senantiasa membantu dan melayani pemiliknya. Berasal dari bahasa Arab خدَمَ – يَخدُم yang artinya: membantu atau melayani. Tidak boleh menggunakan aplikasi cek khodam atau semisalnya, baik serius atau hanya untuk hiburan. Karena beberapa poin berikut ini: Pertama:  Tidak ada manusia yang bisa menundukkan jin setelah Nabi Sulaiman ‘alaihissalaam. Setelah Nabi Sulaiman ‘alaihissalaam, tidak ada makhluk yang bisa menundukkan bangsa jin. Yang ada adalah mereka bekerja sama dengan jin. Jin membantu manusia, dan manusia memberikan timbal-balik kepada jin. Allah ta’aala berfirman: قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَهَبْ لِيْ مُلْكًا لَّا يَنْۢبَغِيْ لِاَحَدٍ مِّنْۢ بَعْدِيْۚ اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ فَسَخَّرْنَا لَهُ الرِّيْحَ تَجْرِيْ بِاَمْرِهٖ رُخَاۤءً حَيْثُ اَصَابَۙ وَالشَّيٰطِيْنَ كُلَّ بَنَّاۤءٍ وَّغَوَّاصٍۙ وَّاٰخَرِيْنَ مُقَرَّنِيْنَ فِى الْاَصْفَادِ “Sulaiman berkata, “Wahai Rabb-ku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kuasa yang tidak patut (dimiliki) oleh seorang pun sesudahku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi”. Maka, Kami menundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut perintahnya ke mana saja yang ia kehendaki. (Kami menundukkan pula kepadanya) setan-setan, semuanya ahli membangun bangunan dan penyelam. (Begitu juga setan-setan) lain yang terikat dalam belenggu” (QS. Shad : 35-38). Dalam ayat ini, Allah ta’aala memberikan beberapa kemampuan kepada Nabi Sulaiman ‘alaihissalaam yang tidak diberikan kepada orang-orang setelah beliau. Di antaranya kemampuan untuk menundukkan jin. Bahkan Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam pun enggan dianggap dapat menundukkan jin. Dari Abu Darda’ radhiyallahu’anhu, ia berkata: قَامَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ فَسَمِعْنَاهُ يقولُ: أعُوذُ باللَّهِ مِنْكَ، ثُمَّ قالَ ألْعَنُكَ بلَعْنَةِ اللهِ ثَلَاثًا، وبَسَطَ يَدَهُ كَأنَّهُ يَتَنَاوَلُ شيئًا، فَلَمَّا فَرَغَ مِنَ الصَّلَاةِ قُلْنَا: يا رَسولَ اللهِ، قدْ سَمِعْنَاكَ تَقُولُ في الصَّلَاةِ شيئًا لَمْ نَسْمَعْكَ تَقُولُهُ قَبْلَ ذلكَ، ورَأَيْنَاكَ بَسَطْتَ يَدَكَ، قالَ: إنَّ عَدُوَّ اللهِ إبْلِيسَ، جَاءَ بشِهَابٍ مِن نَارٍ لِيَجْعَلَهُ في وجْهِي، فَقُلتُ: أعُوذُ باللَّهِ مِنْكَ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ قُلتُ: ألْعَنُكَ بلَعْنَةِ اللهِ التَّامَّةِ، فَلَمْ يَسْتَأْخِرْ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ أرَدْتُ أخْذَهُ، واللَّهِ لَوْلَا دَعْوَةُ أخِينَا سُلَيْمَانَ لأَصْبَحَ مُوثَقًا يَلْعَبُ به وِلْدَانُ أهْلِ المَدِينَةِ “Suatu hari ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam shalat, tiba-tiba kami mendengar Rasulullah mengatakan: “Aku berlindung kepada Allah darimu!”. Kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga berkata: “Allah telah melaknatmu!” sebanyak tiga kali. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lalu menghamparkan tangannya seolah-olah beliau sedang menerima sesuatu. Ketika beliau selesai shalat, kami bertanya: “Wahai Rasulullah, kami mendengar engkau mengatakan sesuatu yang belum pernah kami dengar sebelumnya. Kami juga melihat engkau membukakan kedua tanganmu”. Rasulullah menjawab: “Barusan Iblis, musuh Allah, datang membawa anak panah api untuk ditancapkan di mukaku, lalu aku berkata: “Aku berlindung kepada Allah darimu” sebanyak tiga kali. Kemudian aku juga berkata: “Allah telah melaknatmu dengan laknat yang sempurna” sebanyak tiga kali, namun setan itu tidak juga mundur. Kemudian aku bermaksud untuk menangkapnya. Seandainya aku tidak ingat doa saudara kami, Nabi Sulaiman, tentu aku akan mengikatnya sehingga menjadi mainan anak-anak penduduk Madinah” (HR. Muslim no.542). Maka tidak ada jin khodam yang bisa diperintah begitu saja oleh manusia. Jin khodam itu tidak akan tunduk melainkan ada kompensasi dan timbal balik yang diberikan. Timbal baliknya berupa apa? Berupa meminta manusia melakukan maksiat, bid’ah, syirik, dan kufur. Kedua:  Kerja sama dengan jin adalah perbuatan para dukun. Sebagaimana firman Allah ta’aala, وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari kalangan) manusia dan (kalangan) jin. Sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)” (QS. Al-An’am: 112). Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam menyebutkan bahwa para jin bekerja sama dengan para dukun dalam mengabarkan kabar-kabar gaib kepada manusia. Beliau bersabda, فَتَقُرُّهَا فِى أُذُنِ الْكَاهِنِ ، كَمَا تُقَرُّ الْقَارُورَةُ ، فَيَزِيدُونَ مَعَهَا مِائَةَ كَذِبَةٍ “… setan-setan itu pun membisikkan kabar-kabar langit pada telinga para dukun. Seperti meniupkan angin ke botol-botol. Lalu setan-setan itu pun menambahkan kabar-kabar tersebut dengan 100 kedustaan” (HR. Bukhari no. 3288). Oleh karena itu yang mengklaim mengetahui adanya jin khodam atau tidak, biasanya adalah para dukun. Zaman dahulu orang yang ingin tahu ia memiliki khodam atau tidak, atau bahkan ingin meminta khodam, maka ia akan datang ke dukun langsung. Namun di zaman ini, orang menggunakan aplikasi. Maka menggunakan aplikasi cek khodam sama dengan datang ke dukun. Sedangkan datang ke dukun adalah kekufuran. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ “Barang siapa yang mendatangi dukun atau mendatangi tukang ramal, kemudian ia membenarkannya, maka ia telah kufur pada apa yang telah diturunkan kepada Muhammad” (HR. Ahmad no. 9536, Abu Daud no. 3904, Tirmidzi no. 135, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 5939). Sungguh mengerikan seseorang bisa kufur dan menjadi kafir di zaman ini hanya dengan semudah menggunakan aplikasi online. Oleh karena itu jauhilah sejauh-jauhnya! Ketiga: Seseorang yang ingin cek khodam menunjukkan ada niatan dalam dirinya untuk meminta bantuan kepada jin. Sedang meminta bantuan kepada jin adalah perbuatan yang diharamkan dan jalan menuju kesesatan. Allah ta’ala berfirman: وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS. Al-Jin: 6) Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta menjelaskan:  لا يجوز استخدام الجن بأي نوع من الاستخدام ؛ لأن ذلك من الاستعانة بالجن والشياطين، وهي محرمة ووسيلة من وسائل الشرك، ولا يجوز تصديقهم فيما يخبرون به من أمور السحر والسحرة لما في ذلك من المفاسد “Tidak boleh meminta bantuan kepada jin dengan cara apapun dan untuk tujuan apapun. Karena hal itu termasuk isti’anah (meminta pertolongan) kepada jin dan setan. Hukumnya haram dan termasuk sarana kepada kesyirikan. Dan tidak boleh membenarkan perkataan para jin ketika mereka mengabarkan sesuatu seputar sihir dan tukang sihir. Karena mempercayai perkataan mereka akan menimbulkan banyak kerusakan” (Fatawa Al-Lajnah). Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah juga menjelaskan:  قال الله تعالى: “إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ أي لا نستعين” بغيرك كما لا نعبد إلا إياك. وقال النبي -صلى الله عليه وسلم- : ‘إذا سألت فاسأل الله وإذا استعنت فاستعن بالله’ وهو دليل على أن الاستعانة بغير الله فيما لا يقدر عليه إلا الله شرك؛ فمن ذلك الاستعانة بالجن والشياطين فإنهم غائبون عن أنظارنا؛ فمن دعاهم واستعان بهم فقد دعا غير الله وعظمه واعتقد قدرته على ما هو خارج عن قدرة البشر. ثم إن الغالب أن الجن والشياطين لا يخدمون إلا من خدمهم وعظمهم؛ وتعظيم غير الله شرك “Allah ta’ala berfirman (yang artinya): “Hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan” (QS. Al-Fatihah: 4). Maksudnya, kami tidak meminta pertolongan kepada selain-Mu, sebagaimana kami tidak menyembah selain-Mu. Dan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah. jika engkau memohon pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah”. Ini adalah dalil bahwa meminta pertolongan kepada selain Allah dalam hal yang tidak ada yang mampu kecuali Allah adalah kesyirikan. Dan di antara hal itu adalah meminta pertolongan kepada jin dan setan, karena mereka itu makhluk gaib yang tidak nampak oleh mata. Orang yang berdoa kepada para jin dan setan untuk meminta pertolongan, maka ia telah berdoa kepada selain Allah dan telah mengagungkan serta meyakini bahwa para jin dan setan tersebut melebihi kapasitas dan martabat manusia. Dan umumnya, para jin dan setan itu tidak akan membantu kecuali pada orang-orang yang akan membantu mereka pula dan mengagungkan mereka. Dan mengagungkan selain Allah adalah kesyirikan” (Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin, sumber: (1) PDF Gdrive, استعانة الإنس بالجن). Keempat:  Aplikasi cek khodam adalah kedustaan. Karena Allah ta’ala menegaskan bahwa manusia tidak bisa melihat jin. Allah ta’ala berfirman: اِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ “Sesungguhnya dia (jin) dan para pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka” (QS. Al-A’raf: 27). Terdapat riwayat dari Imam Asy-Syafi’i rahimahullah: عَنِ الرَّبِيعِ: سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ يَقُولُ: مَنْ زَعَمَ أَنَّهُ يَرَى الْجِنَّ أَبْطَلْنَا شَهَادَتَهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ نَبِيًّا “Dari ar Rabi’ ia berkata: aku mendengar Asy-Syafi’i pernah berkata: orang yang mengaku bisa melihat jin, maka kami menganggap batal persaksiannya kecuali kalau dia seorang Nabi” (Dinukil dari Tafsir Al-Manar, 7/438). Maka para pengguna aplikasi ini jelas telah dibodohi oleh si pembuat aplikasi. Karena aplikasi ini tidak benar-benar bisa melihat adanya jin khodam atau tidak. Kelima:  Orang yang menggunakan aplikasi cek khodam atau semisalnya, adalah orang-orang yang lemah akidahnya, lemah imannya, dan punya potensi untuk terpedaya oleh para jin. Dan jin sangat suka dengan orang seperti ini!! Karena jin suka dengan orang-orang yang punya kecenderungan pada kesesatan. Sebagaimana firman Allah ta’ala: وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ الإِنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ الإِنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ “Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya (manusia dan jin), (dan Allah berfirman) : “Hai golongan jin (setan), sesungguhnya kamu telah banyak (menyesatkan) manusia,” lalu berkatalah kawan-kawan mereka dari golongan manusia: “Ya Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami (manusia) telah mendapat kesenangan dari sebagian yang lain (jin) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami”. Allah berfirman : “Neraka itulah tempat tinggal kamu semua, sedang kamu semua kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain)” (QS. Al-An’am: 128). Oleh karena itu, kita khawatir, orang yang awalnya tidak mengalami gangguan jin sama sekali, setelah ia menggunakan aplikasi cek khodam ini malah para jin akan tertarik pada dia. Sehingga jin memberikan gangguan-gangguan padanya dan berusaha menyesatkan dia. Nas’alullaaha as salaamah wal ‘aafiyah.  Keenam:  Jika seseorang menggunakan cek khodam ini hanya untuk bercanda atau main-main saja, maka tetap tidak diperbolehkan. Sebagaimana terlarangnya mendatangi dukun walaupun tidak mempercayainya.  Dari sebagian istri Nabi, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَن أتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عن شيءٍ، لَمْ تُقْبَلْ له صَلاةٌ أرْبَعِينَ لَيْلَةً “Barang siapa yang datang ke tukang ramal, lalu bertanya tentang sesuatu, maka tidak diterima shalatnya selama 40 hari.” (HR. Muslim no.2230). Dan bertanya kepada dukun walaupun tidak mempercayainya, selain hukumnya haram, ia juga termasuk dosa besar dan sarana menuju kesyirikan dan kekufuran.  Kemudian orang yang melakukan ini, dia tidak menghormati dan tidak menjaga akidahnya. Jika Umar bin Khattab saja dilarang untuk membolak-balik lembaran Taurat, padahal Umar adalah orang yang imannya kokoh. Apalagi kita yang imannya sering naik dan turun, serta jauh dari imannya Umar bin Khattab. Hendaknya setiap kita menjaga akidah kita dan menjauhkan diri dari semua hal yang bisa merusak akidah. Karena akidah yang benar adalah modal utama di hari kemudian. Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin, wa shallallaahu ‘ala Nabiyyinaa Muhammadin wa ‘ala aalihi washahbihi ajma’iin. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 993 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,138 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Doa Agar Selalu Optimis – Syaikh Ibnu Utsaimin #NasehatUlama

Diriwayatkan hadis sahih dari Nabi, beliau bersabda, “Tidak ada penularan penyakit (tanpa izin Allah) dan tidak ada kesialan. Aku menyukai optimisme.” (HR. Bukhari) Mereka bertanya, “Apa itu optimisme?” Beliau menjawab, “Ucapan yang baik.” Ucapan yang baik akan memasukkan kebahagiaan ke dalam jiwa dan melapangkan dada. Di antara contohnya, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di perang Hudaibiyah. Pada perang Hudaibiyah, kaum Quraisy mengirim banyak utusan kepada beliau. Lalu pada akhirnya mereka mengutus Suhail bin Amr. Ketika Suhail datang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini Suhail bin Amr, dan tidaklah aku ditampakkan dirinya kecuali urusan kalian akan dimudahkan.” Atau dengan ucapan yang semisalnya. Nabi optimis dengan namanya. (Karena arti Suhail yakni mudah) Jadi, optimisme itu baik, karena dapat melapangkan dada, membahagiakan hati, menyemangati manusia, dan meneguhkannya di atas kebaikan. Adapun pesimisme, kebalikan dari hal itu. Namun, jika kamu merasa pesimis, berpalinglah darinya! Berpalinglah dari itu semua! Lalu berdoalah: ALLAAHUMMA LAA KHOIRO ILLAA KHOIRUKA WALAA THOIRO ILLAA THOIRUKA WA ILAAHA GHOIRUKA (Ya Allah, tiada kebaikan kecuali kebaikan-Mu, tiada kesialan kecuali sesuai ketetapan-Mu, dan tiada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau) (HR. Ahmad Yakni seluruh urusan ada di tangan-Mu, dan tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. ==== وَقَدْ ثَبَتَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ قَالُوا وَمَا الْفَأْلُ؟ قَالَ الْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ فَإِنَّ الْكَلِمَةَ الطَّيِّبَةَ تُدْخِلُ السُّرُورَ عَلَى النَّفْسِ وَتَشْرَحُ الصَّدْرَ وَمِنْ ذَلِكَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِي غَزْوَةِ الْحُدَيْبِيَةِ كَانَ قُرَيْشٌ يُرَاسِلُونَهُ أَرْسَلُوا إِلَيْهِ كَمْ وَاحِدًا فَأَرْسَلُوا إِلَيْهِ فِي النِّهَايَةِ سُهَيْلَ بْنَ عَمْرٍو فَلَمَّا أَقْبَلَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا سُهَيْلُ بْنُ عَمْرٍو وَمَا أُرَاهُ إِلَّا قَدْ سَهُلَ أَمْرُكُمْ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا فَتَفَاءَلَ بِالِاسْمِ تَفَاءَلَ بِالِاسْمِ فَالتَّفَاؤُلُ خَيْرٌ لِأَنَّهُ يَشْرَحُ الصَّدْرَ وَيُفْرِحُ الْقَلْبَ وَيُنَشِّطُ الْإِنْسَانَ وَيُعَزِّمُهُ عَلَى الْخَيْرِ وَأَمَّا التَّشَاؤُمُ فَإِنَّهُ بِخِلَافِ ذَلِكَ وَلَكِنْ إِذَا أَصَابَكَ شَيْءٌ مِنْ تَشَاؤُمٍ فَأَعْرِضْ عَنْهُ أَعْرِضْ عَنْ هَذَا كُلِّهِ وَقُلْ اللَّهُمَّ لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ وَلَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ يَعْنِي أَنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ بِيَدِكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ

Doa Agar Selalu Optimis – Syaikh Ibnu Utsaimin #NasehatUlama

Diriwayatkan hadis sahih dari Nabi, beliau bersabda, “Tidak ada penularan penyakit (tanpa izin Allah) dan tidak ada kesialan. Aku menyukai optimisme.” (HR. Bukhari) Mereka bertanya, “Apa itu optimisme?” Beliau menjawab, “Ucapan yang baik.” Ucapan yang baik akan memasukkan kebahagiaan ke dalam jiwa dan melapangkan dada. Di antara contohnya, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di perang Hudaibiyah. Pada perang Hudaibiyah, kaum Quraisy mengirim banyak utusan kepada beliau. Lalu pada akhirnya mereka mengutus Suhail bin Amr. Ketika Suhail datang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini Suhail bin Amr, dan tidaklah aku ditampakkan dirinya kecuali urusan kalian akan dimudahkan.” Atau dengan ucapan yang semisalnya. Nabi optimis dengan namanya. (Karena arti Suhail yakni mudah) Jadi, optimisme itu baik, karena dapat melapangkan dada, membahagiakan hati, menyemangati manusia, dan meneguhkannya di atas kebaikan. Adapun pesimisme, kebalikan dari hal itu. Namun, jika kamu merasa pesimis, berpalinglah darinya! Berpalinglah dari itu semua! Lalu berdoalah: ALLAAHUMMA LAA KHOIRO ILLAA KHOIRUKA WALAA THOIRO ILLAA THOIRUKA WA ILAAHA GHOIRUKA (Ya Allah, tiada kebaikan kecuali kebaikan-Mu, tiada kesialan kecuali sesuai ketetapan-Mu, dan tiada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau) (HR. Ahmad Yakni seluruh urusan ada di tangan-Mu, dan tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. ==== وَقَدْ ثَبَتَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ قَالُوا وَمَا الْفَأْلُ؟ قَالَ الْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ فَإِنَّ الْكَلِمَةَ الطَّيِّبَةَ تُدْخِلُ السُّرُورَ عَلَى النَّفْسِ وَتَشْرَحُ الصَّدْرَ وَمِنْ ذَلِكَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِي غَزْوَةِ الْحُدَيْبِيَةِ كَانَ قُرَيْشٌ يُرَاسِلُونَهُ أَرْسَلُوا إِلَيْهِ كَمْ وَاحِدًا فَأَرْسَلُوا إِلَيْهِ فِي النِّهَايَةِ سُهَيْلَ بْنَ عَمْرٍو فَلَمَّا أَقْبَلَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا سُهَيْلُ بْنُ عَمْرٍو وَمَا أُرَاهُ إِلَّا قَدْ سَهُلَ أَمْرُكُمْ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا فَتَفَاءَلَ بِالِاسْمِ تَفَاءَلَ بِالِاسْمِ فَالتَّفَاؤُلُ خَيْرٌ لِأَنَّهُ يَشْرَحُ الصَّدْرَ وَيُفْرِحُ الْقَلْبَ وَيُنَشِّطُ الْإِنْسَانَ وَيُعَزِّمُهُ عَلَى الْخَيْرِ وَأَمَّا التَّشَاؤُمُ فَإِنَّهُ بِخِلَافِ ذَلِكَ وَلَكِنْ إِذَا أَصَابَكَ شَيْءٌ مِنْ تَشَاؤُمٍ فَأَعْرِضْ عَنْهُ أَعْرِضْ عَنْ هَذَا كُلِّهِ وَقُلْ اللَّهُمَّ لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ وَلَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ يَعْنِي أَنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ بِيَدِكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ
Diriwayatkan hadis sahih dari Nabi, beliau bersabda, “Tidak ada penularan penyakit (tanpa izin Allah) dan tidak ada kesialan. Aku menyukai optimisme.” (HR. Bukhari) Mereka bertanya, “Apa itu optimisme?” Beliau menjawab, “Ucapan yang baik.” Ucapan yang baik akan memasukkan kebahagiaan ke dalam jiwa dan melapangkan dada. Di antara contohnya, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di perang Hudaibiyah. Pada perang Hudaibiyah, kaum Quraisy mengirim banyak utusan kepada beliau. Lalu pada akhirnya mereka mengutus Suhail bin Amr. Ketika Suhail datang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini Suhail bin Amr, dan tidaklah aku ditampakkan dirinya kecuali urusan kalian akan dimudahkan.” Atau dengan ucapan yang semisalnya. Nabi optimis dengan namanya. (Karena arti Suhail yakni mudah) Jadi, optimisme itu baik, karena dapat melapangkan dada, membahagiakan hati, menyemangati manusia, dan meneguhkannya di atas kebaikan. Adapun pesimisme, kebalikan dari hal itu. Namun, jika kamu merasa pesimis, berpalinglah darinya! Berpalinglah dari itu semua! Lalu berdoalah: ALLAAHUMMA LAA KHOIRO ILLAA KHOIRUKA WALAA THOIRO ILLAA THOIRUKA WA ILAAHA GHOIRUKA (Ya Allah, tiada kebaikan kecuali kebaikan-Mu, tiada kesialan kecuali sesuai ketetapan-Mu, dan tiada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau) (HR. Ahmad Yakni seluruh urusan ada di tangan-Mu, dan tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. ==== وَقَدْ ثَبَتَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ قَالُوا وَمَا الْفَأْلُ؟ قَالَ الْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ فَإِنَّ الْكَلِمَةَ الطَّيِّبَةَ تُدْخِلُ السُّرُورَ عَلَى النَّفْسِ وَتَشْرَحُ الصَّدْرَ وَمِنْ ذَلِكَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِي غَزْوَةِ الْحُدَيْبِيَةِ كَانَ قُرَيْشٌ يُرَاسِلُونَهُ أَرْسَلُوا إِلَيْهِ كَمْ وَاحِدًا فَأَرْسَلُوا إِلَيْهِ فِي النِّهَايَةِ سُهَيْلَ بْنَ عَمْرٍو فَلَمَّا أَقْبَلَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا سُهَيْلُ بْنُ عَمْرٍو وَمَا أُرَاهُ إِلَّا قَدْ سَهُلَ أَمْرُكُمْ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا فَتَفَاءَلَ بِالِاسْمِ تَفَاءَلَ بِالِاسْمِ فَالتَّفَاؤُلُ خَيْرٌ لِأَنَّهُ يَشْرَحُ الصَّدْرَ وَيُفْرِحُ الْقَلْبَ وَيُنَشِّطُ الْإِنْسَانَ وَيُعَزِّمُهُ عَلَى الْخَيْرِ وَأَمَّا التَّشَاؤُمُ فَإِنَّهُ بِخِلَافِ ذَلِكَ وَلَكِنْ إِذَا أَصَابَكَ شَيْءٌ مِنْ تَشَاؤُمٍ فَأَعْرِضْ عَنْهُ أَعْرِضْ عَنْ هَذَا كُلِّهِ وَقُلْ اللَّهُمَّ لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ وَلَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ يَعْنِي أَنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ بِيَدِكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ


Diriwayatkan hadis sahih dari Nabi, beliau bersabda, “Tidak ada penularan penyakit (tanpa izin Allah) dan tidak ada kesialan. Aku menyukai optimisme.” (HR. Bukhari) Mereka bertanya, “Apa itu optimisme?” Beliau menjawab, “Ucapan yang baik.” Ucapan yang baik akan memasukkan kebahagiaan ke dalam jiwa dan melapangkan dada. Di antara contohnya, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di perang Hudaibiyah. Pada perang Hudaibiyah, kaum Quraisy mengirim banyak utusan kepada beliau. Lalu pada akhirnya mereka mengutus Suhail bin Amr. Ketika Suhail datang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini Suhail bin Amr, dan tidaklah aku ditampakkan dirinya kecuali urusan kalian akan dimudahkan.” Atau dengan ucapan yang semisalnya. Nabi optimis dengan namanya. (Karena arti Suhail yakni mudah) Jadi, optimisme itu baik, karena dapat melapangkan dada, membahagiakan hati, menyemangati manusia, dan meneguhkannya di atas kebaikan. Adapun pesimisme, kebalikan dari hal itu. Namun, jika kamu merasa pesimis, berpalinglah darinya! Berpalinglah dari itu semua! Lalu berdoalah: ALLAAHUMMA LAA KHOIRO ILLAA KHOIRUKA WALAA THOIRO ILLAA THOIRUKA WA ILAAHA GHOIRUKA (Ya Allah, tiada kebaikan kecuali kebaikan-Mu, tiada kesialan kecuali sesuai ketetapan-Mu, dan tiada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau) (HR. Ahmad Yakni seluruh urusan ada di tangan-Mu, dan tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. ==== وَقَدْ ثَبَتَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ قَالُوا وَمَا الْفَأْلُ؟ قَالَ الْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ فَإِنَّ الْكَلِمَةَ الطَّيِّبَةَ تُدْخِلُ السُّرُورَ عَلَى النَّفْسِ وَتَشْرَحُ الصَّدْرَ وَمِنْ ذَلِكَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِي غَزْوَةِ الْحُدَيْبِيَةِ كَانَ قُرَيْشٌ يُرَاسِلُونَهُ أَرْسَلُوا إِلَيْهِ كَمْ وَاحِدًا فَأَرْسَلُوا إِلَيْهِ فِي النِّهَايَةِ سُهَيْلَ بْنَ عَمْرٍو فَلَمَّا أَقْبَلَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا سُهَيْلُ بْنُ عَمْرٍو وَمَا أُرَاهُ إِلَّا قَدْ سَهُلَ أَمْرُكُمْ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا فَتَفَاءَلَ بِالِاسْمِ تَفَاءَلَ بِالِاسْمِ فَالتَّفَاؤُلُ خَيْرٌ لِأَنَّهُ يَشْرَحُ الصَّدْرَ وَيُفْرِحُ الْقَلْبَ وَيُنَشِّطُ الْإِنْسَانَ وَيُعَزِّمُهُ عَلَى الْخَيْرِ وَأَمَّا التَّشَاؤُمُ فَإِنَّهُ بِخِلَافِ ذَلِكَ وَلَكِنْ إِذَا أَصَابَكَ شَيْءٌ مِنْ تَشَاؤُمٍ فَأَعْرِضْ عَنْهُ أَعْرِضْ عَنْ هَذَا كُلِّهِ وَقُلْ اللَّهُمَّ لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ وَلَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ يَعْنِي أَنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ بِيَدِكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ

Hadis: Datangnya Ujian dan Pertolongan dari Allah

Daftar Isi Toggle Kapan datangnya ujian dan pertolongan Allah?Meminta pertolongan dan bertawakal kepada AllahAllah datangkan kesabaran pada saat tertimpa musibahJangan membuka pintu untuk pesimis dan putus asa Dalam kondisi ekonomi hari-hari ini, banyak yang sepakat bahwa kondisi ini memang tidak mudah. Dan bagi sebagian orang, kondisi akhir-akhir ini justru semakin memburuk dan tidak kunjung membaik. Dalam kondisi semacam ini, ada hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang hendaknya menjadi pegangan dalam hidup kita. Hadis yang hendaknya kita camkan dan perhatikan di tengah-tengah kondisi sulit, kondisi tidak normal, kondisi yang berat, atau kondisi yang penuh dengan ujian dan masalah. Kapan datangnya ujian dan pertolongan Allah? Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الْمَعُونَةَ تَأْتِي مِنَ اللَّهِ لِلْعَبْدِ عَلَى قَدْرِ الْمُؤْنَةِ، وَإِنَّ الصَّبْرَ يَأْتِي مِنَ اللَّهِ عَلَى قَدْرِ الْمُصِيبَةِ “Sesungguhnya pertolongan itu datang dari sisi Allah kepada seorang hamba sesuai dengan level (tingkat) kesulitan atau kebutuhan. Dan sesungguhnya kesabaran itu datang dari sisi Allah sesuai dengan level musibah.” (HR. Al-Bazzar dalam Al-Musnad, 15: 327; Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 12: 337. Dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 1952) Dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa pertolongan itu akan Allah kirimkan kepada kita sesuai dengan tingkat kebutuhan kita, atau sesuai dengan krisis (masalah dan kesulitan) yang sedang kita hadapi. Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ الْمَعُونَةَ عَلَى قَدْرِ الْمَئُونَةِ، وَأَنْزَلَ الصَّبْرَ عِنْدَ الْبَلَاءِ “Sesungguhnya Allah turunkan pertolongan sesuai dengan level kesulitan atau kebutuhan. Dan Allah turunkan kesabaran ketika sedang menghadapi musibah.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 12: 337) Apabila masalah yang sedang kita hadapi bisa dikonversikan menjadi angka, maka pada angka itu pula kadar pertolongan Allah akan datang. Apabila level masalah yang kita hadapi adalah 70%, maka Allah akan datangkan pertolongan sebesar 70%, tidak akan kurang dari itu. Oleh karena itu, pada saat kita terkena musibah dan ujian, kita harus mencamkan dan meyakini bahwa ujian dan petolongan dari Allah itu berjalan paralel dalam satu garis lurus. Tidak mungkin ujian (musibah) meninggalkan pertolongan. Allah-lah yang memberikan kita ujian, sebagaimana Allah pula yang memberikan kita pertolongan. Namun yang menjadi masalah adalah, kemanakah iman kita terhadap hadis ini? Kemanakah keyakinan kita? Karena hadis ini hanya untuk orang-orang yang percaya kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Hadis ini hanya untuk orang-orang yang percaya kepada Rabb-nya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ “Allah Ta’ala berfirman, “Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku. Jika ia bersangka baik kepadaku, maka (kebaikan) itu untuknya. Dan jika ia bersangka buruk, maka (keburukan) itu untuknya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 9076; Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al–Jaami’ no. 4315) Apabila kita yakin bahwa pertolongan Allah akan datang, maka Allah akan datangkan pertolongan. Dan apabila kita berburuk sangka kepada Allah, pesimis saat menghadapi hari-hari ujian, maka yang akan datang adalah masalah-masalah berikutnya, dan tidak ada solusi sama sekali. Meminta pertolongan dan bertawakal kepada Allah Pertolongan itu akan Allah datangkan sesuai dengan level kesulitan yang dihadapi seorang hamba. Akan tetapi, siapakah di antara kita yang bersegera menuju Allah, meminta pertolongan Allah ketika menghadapi musibah? Kita justru sibuk datang kepada si A, si B, si C, dan seterusnya. Semua arah kita tuju, kecuali menuju Allah Ta’ala. Siapakah di antara kita yang ketika menghadapi suatu masalah, langsung mengingat Allah Rabbul ‘alamin? Siapakah di antara kita yang begitu menghadapi masalah, langsung mengambil air wudu dan salat karena mengingat firman Allah Ta’ala, وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ “Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 45) Sayangnya, banyak di antara kita yang lebih bergantung kepada makhluk ketika menghadapi hari-hari ini. Buktinya, tidak ada tambahan kekhusyukan dalam salat kita, tidak ada tambahan rakaat dalam salat malam yang kita kerjakan, dan manakah air mata tobat kepada Allah Ta’ala? Manakah rintihan permohonan ampun kita kepada Allah? Pertolongan itu turun dari Allah, Penguasa alam semesta. Hidup ini penuh dengan ujian, bagaikan gempa bumi dalam kehidupan kita. Inilah kehidupan orang-orang yang beriman, ujian dan musibah datang silih berganti. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُواْ الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ الَّذِينَ خَلَوْاْ مِن قَبْلِكُم مَّسَّتْهُمُ الْبَأْسَاء وَالضَّرَّاء وَزُلْزِلُواْ حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللّهِ أَلا إِنَّ نَصْرَ اللّهِ قَرِيبٌ “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan). Sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Kapankah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al-Baqarah: 214) Pertolongan Allah itu dekat, namun kita terburu-buru dan tidak mau bersabar. Ibadah tidak ditingkatkan, tapi inginnya segera keluar dari masalah. Tidak air mata tobat, tapi inginnya segera ada solusi. Ibaratnya, kita ingin segera sukses, namun kita tidak mau melewati dan menapaki jalan kesuksesan, sebagaimana perahu itu tidak berjalan di atas daratan. Allah Ta’ala berfirman, فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki mata hati.” (QS. Al-Hasyr: 2) Sebagaimana nasihat seorang alim, اتق الله، واصبر ولا تستعجل “Bertakwalah kepada Allah, bersabarlah, dan janganlah engkau terburu-buru.” Baca juga: Ujian Atau Azab? Allah datangkan kesabaran pada saat tertimpa musibah Mungkin ada yang bertanya, “Bukankah pertolongan seringkali tidak datang bersamaan dengan masalah dan ujian?” Maka jawabannya adalah lanjutan hadis di atas, وَإِنَّ الصَّبْرَ يَأْتِي مِنَ اللَّهِ عَلَى قَدْرِ الْمُصِيبَةِ “Dan sesungguhnya kesabaran itu datang dari sisi Allah sesuai dengan level ujian.” Betul, bisa jadi suatu ujian dan masalah datang satu tahun lalu, dan sampai sekarang belum ada solusi. Namun, pada masa-masa itu, Allah turunkan kesabaran yang membuat kita bisa menjalani hari-hari berat tersebut, sampai benar-benar semua masalah tersebut diselesaikan oleh Allah Ta’ala. Dan kesabaran yang Allah berikan itu sesuai dengan beratnya musibah yang kita rasakan. Kesabaran yang Allah berikan itu sesuai dengan rasa sakit yang kita rasakan. Kesabaran yang Allah berikan itu sesuai dengan kekuatan yang kita butuhkan. Sabar akan didatangkan kepada seorang hamba sesuai dengan level musibah. Maka ini menunjukkan bahwa tidak ada alasan dan pintu masuk untuk pesimis, galau, dan putus asa saat menghadapi ujian dan musibah. Tidak ada alasan untuk mengatakan, “Saya tidak sanggup, saya tidak mampu.” Pernyataan itu memang pada asalnya betul, siapa di antara kita yang mampu, sementara Allah mengatakan, وَخُلِقَ الإِنسَانُ ضَعِيفاً “Dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An-Nisa’: 28) Manusia memang lemah. Tapi yang perlu diingat, ini bukan tentang kekuatan kita. Ini bukan tentang keperkasaan dan kemampuan kita, namun kesabaran dan kekuatan yang Allah berikan kepada kita untuk menghadapi hari-hari yang sulit ini. Ini bukan tentang kemampuan sabar yang lahir dari dalam diri kita, tapi sabar yang Allah berikan dan anugerahkan kepada kita. Maka tidak ada alasan membuka pintu sehingga setan masuk melemahkan kita. Merasa kita lemah, down, merasa tidak mampu, dan putus asa. Sekali lagi, Allah-lah yang menurukan dan mendatangkan kekuatan tersebut. Jangan membuka pintu untuk pesimis dan putus asa Sekali lagi, jangan membuka pintu setan di hari-hari tersebut, karena setan akan senantiasa membisikkkan pesimisme dan keputusasaan. Allah Ta’ala berfirman tentang setan, الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُم بِالْفَحْشَاء وَاللّهُ يَعِدُكُم مَّغْفِرَةً مِّنْهُ وَفَضْلاً وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ “Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan (kefakiran) dan menyuruh kamu berbuat kekejian; sedangkan Allah menjanjikan untukmu ampunan dari-Nya dan karunia. Dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 268) Maka, seluruh pesimisme, ketidakpercayaan diri, dan keputusasaan itu berasal dari setan. Separah apapun masalah yang kita hadapi, meskipun itu karena dosa dan maksiat kita, janganlah berputus asa. Oleh karena itu, dalam ayat di atas, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sedangkan Allah menjanjikan untukmu ampunan dari-Nya dan karunia. Dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” Ini menunjukkan bahwa meskipun kita mendapatkan masalah karena dosa dan maksiat yang kita lakukan, jangan pernah putus asa dan pesimis, karena Allah janjikan ampunan dan karunia kepada kita, asal kita benar-benar tobat dan kembali kepada Allah Ta’ala. سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْراً “Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. At-Thalaq: 7) Baca juga: Di Dalam Salat terdapat Pertolongan dan Pencegahan *** @23 Dzulhijah 1445/ 30 Juni 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari ceramah Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri hafizhahullah di tautan ini: https://www.youtube.com/watch?v=osUqzykjLFI Tags: pertolongan Allahujian

Hadis: Datangnya Ujian dan Pertolongan dari Allah

Daftar Isi Toggle Kapan datangnya ujian dan pertolongan Allah?Meminta pertolongan dan bertawakal kepada AllahAllah datangkan kesabaran pada saat tertimpa musibahJangan membuka pintu untuk pesimis dan putus asa Dalam kondisi ekonomi hari-hari ini, banyak yang sepakat bahwa kondisi ini memang tidak mudah. Dan bagi sebagian orang, kondisi akhir-akhir ini justru semakin memburuk dan tidak kunjung membaik. Dalam kondisi semacam ini, ada hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang hendaknya menjadi pegangan dalam hidup kita. Hadis yang hendaknya kita camkan dan perhatikan di tengah-tengah kondisi sulit, kondisi tidak normal, kondisi yang berat, atau kondisi yang penuh dengan ujian dan masalah. Kapan datangnya ujian dan pertolongan Allah? Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الْمَعُونَةَ تَأْتِي مِنَ اللَّهِ لِلْعَبْدِ عَلَى قَدْرِ الْمُؤْنَةِ، وَإِنَّ الصَّبْرَ يَأْتِي مِنَ اللَّهِ عَلَى قَدْرِ الْمُصِيبَةِ “Sesungguhnya pertolongan itu datang dari sisi Allah kepada seorang hamba sesuai dengan level (tingkat) kesulitan atau kebutuhan. Dan sesungguhnya kesabaran itu datang dari sisi Allah sesuai dengan level musibah.” (HR. Al-Bazzar dalam Al-Musnad, 15: 327; Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 12: 337. Dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 1952) Dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa pertolongan itu akan Allah kirimkan kepada kita sesuai dengan tingkat kebutuhan kita, atau sesuai dengan krisis (masalah dan kesulitan) yang sedang kita hadapi. Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ الْمَعُونَةَ عَلَى قَدْرِ الْمَئُونَةِ، وَأَنْزَلَ الصَّبْرَ عِنْدَ الْبَلَاءِ “Sesungguhnya Allah turunkan pertolongan sesuai dengan level kesulitan atau kebutuhan. Dan Allah turunkan kesabaran ketika sedang menghadapi musibah.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 12: 337) Apabila masalah yang sedang kita hadapi bisa dikonversikan menjadi angka, maka pada angka itu pula kadar pertolongan Allah akan datang. Apabila level masalah yang kita hadapi adalah 70%, maka Allah akan datangkan pertolongan sebesar 70%, tidak akan kurang dari itu. Oleh karena itu, pada saat kita terkena musibah dan ujian, kita harus mencamkan dan meyakini bahwa ujian dan petolongan dari Allah itu berjalan paralel dalam satu garis lurus. Tidak mungkin ujian (musibah) meninggalkan pertolongan. Allah-lah yang memberikan kita ujian, sebagaimana Allah pula yang memberikan kita pertolongan. Namun yang menjadi masalah adalah, kemanakah iman kita terhadap hadis ini? Kemanakah keyakinan kita? Karena hadis ini hanya untuk orang-orang yang percaya kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Hadis ini hanya untuk orang-orang yang percaya kepada Rabb-nya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ “Allah Ta’ala berfirman, “Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku. Jika ia bersangka baik kepadaku, maka (kebaikan) itu untuknya. Dan jika ia bersangka buruk, maka (keburukan) itu untuknya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 9076; Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al–Jaami’ no. 4315) Apabila kita yakin bahwa pertolongan Allah akan datang, maka Allah akan datangkan pertolongan. Dan apabila kita berburuk sangka kepada Allah, pesimis saat menghadapi hari-hari ujian, maka yang akan datang adalah masalah-masalah berikutnya, dan tidak ada solusi sama sekali. Meminta pertolongan dan bertawakal kepada Allah Pertolongan itu akan Allah datangkan sesuai dengan level kesulitan yang dihadapi seorang hamba. Akan tetapi, siapakah di antara kita yang bersegera menuju Allah, meminta pertolongan Allah ketika menghadapi musibah? Kita justru sibuk datang kepada si A, si B, si C, dan seterusnya. Semua arah kita tuju, kecuali menuju Allah Ta’ala. Siapakah di antara kita yang ketika menghadapi suatu masalah, langsung mengingat Allah Rabbul ‘alamin? Siapakah di antara kita yang begitu menghadapi masalah, langsung mengambil air wudu dan salat karena mengingat firman Allah Ta’ala, وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ “Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 45) Sayangnya, banyak di antara kita yang lebih bergantung kepada makhluk ketika menghadapi hari-hari ini. Buktinya, tidak ada tambahan kekhusyukan dalam salat kita, tidak ada tambahan rakaat dalam salat malam yang kita kerjakan, dan manakah air mata tobat kepada Allah Ta’ala? Manakah rintihan permohonan ampun kita kepada Allah? Pertolongan itu turun dari Allah, Penguasa alam semesta. Hidup ini penuh dengan ujian, bagaikan gempa bumi dalam kehidupan kita. Inilah kehidupan orang-orang yang beriman, ujian dan musibah datang silih berganti. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُواْ الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ الَّذِينَ خَلَوْاْ مِن قَبْلِكُم مَّسَّتْهُمُ الْبَأْسَاء وَالضَّرَّاء وَزُلْزِلُواْ حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللّهِ أَلا إِنَّ نَصْرَ اللّهِ قَرِيبٌ “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan). Sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Kapankah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al-Baqarah: 214) Pertolongan Allah itu dekat, namun kita terburu-buru dan tidak mau bersabar. Ibadah tidak ditingkatkan, tapi inginnya segera keluar dari masalah. Tidak air mata tobat, tapi inginnya segera ada solusi. Ibaratnya, kita ingin segera sukses, namun kita tidak mau melewati dan menapaki jalan kesuksesan, sebagaimana perahu itu tidak berjalan di atas daratan. Allah Ta’ala berfirman, فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki mata hati.” (QS. Al-Hasyr: 2) Sebagaimana nasihat seorang alim, اتق الله، واصبر ولا تستعجل “Bertakwalah kepada Allah, bersabarlah, dan janganlah engkau terburu-buru.” Baca juga: Ujian Atau Azab? Allah datangkan kesabaran pada saat tertimpa musibah Mungkin ada yang bertanya, “Bukankah pertolongan seringkali tidak datang bersamaan dengan masalah dan ujian?” Maka jawabannya adalah lanjutan hadis di atas, وَإِنَّ الصَّبْرَ يَأْتِي مِنَ اللَّهِ عَلَى قَدْرِ الْمُصِيبَةِ “Dan sesungguhnya kesabaran itu datang dari sisi Allah sesuai dengan level ujian.” Betul, bisa jadi suatu ujian dan masalah datang satu tahun lalu, dan sampai sekarang belum ada solusi. Namun, pada masa-masa itu, Allah turunkan kesabaran yang membuat kita bisa menjalani hari-hari berat tersebut, sampai benar-benar semua masalah tersebut diselesaikan oleh Allah Ta’ala. Dan kesabaran yang Allah berikan itu sesuai dengan beratnya musibah yang kita rasakan. Kesabaran yang Allah berikan itu sesuai dengan rasa sakit yang kita rasakan. Kesabaran yang Allah berikan itu sesuai dengan kekuatan yang kita butuhkan. Sabar akan didatangkan kepada seorang hamba sesuai dengan level musibah. Maka ini menunjukkan bahwa tidak ada alasan dan pintu masuk untuk pesimis, galau, dan putus asa saat menghadapi ujian dan musibah. Tidak ada alasan untuk mengatakan, “Saya tidak sanggup, saya tidak mampu.” Pernyataan itu memang pada asalnya betul, siapa di antara kita yang mampu, sementara Allah mengatakan, وَخُلِقَ الإِنسَانُ ضَعِيفاً “Dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An-Nisa’: 28) Manusia memang lemah. Tapi yang perlu diingat, ini bukan tentang kekuatan kita. Ini bukan tentang keperkasaan dan kemampuan kita, namun kesabaran dan kekuatan yang Allah berikan kepada kita untuk menghadapi hari-hari yang sulit ini. Ini bukan tentang kemampuan sabar yang lahir dari dalam diri kita, tapi sabar yang Allah berikan dan anugerahkan kepada kita. Maka tidak ada alasan membuka pintu sehingga setan masuk melemahkan kita. Merasa kita lemah, down, merasa tidak mampu, dan putus asa. Sekali lagi, Allah-lah yang menurukan dan mendatangkan kekuatan tersebut. Jangan membuka pintu untuk pesimis dan putus asa Sekali lagi, jangan membuka pintu setan di hari-hari tersebut, karena setan akan senantiasa membisikkkan pesimisme dan keputusasaan. Allah Ta’ala berfirman tentang setan, الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُم بِالْفَحْشَاء وَاللّهُ يَعِدُكُم مَّغْفِرَةً مِّنْهُ وَفَضْلاً وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ “Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan (kefakiran) dan menyuruh kamu berbuat kekejian; sedangkan Allah menjanjikan untukmu ampunan dari-Nya dan karunia. Dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 268) Maka, seluruh pesimisme, ketidakpercayaan diri, dan keputusasaan itu berasal dari setan. Separah apapun masalah yang kita hadapi, meskipun itu karena dosa dan maksiat kita, janganlah berputus asa. Oleh karena itu, dalam ayat di atas, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sedangkan Allah menjanjikan untukmu ampunan dari-Nya dan karunia. Dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” Ini menunjukkan bahwa meskipun kita mendapatkan masalah karena dosa dan maksiat yang kita lakukan, jangan pernah putus asa dan pesimis, karena Allah janjikan ampunan dan karunia kepada kita, asal kita benar-benar tobat dan kembali kepada Allah Ta’ala. سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْراً “Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. At-Thalaq: 7) Baca juga: Di Dalam Salat terdapat Pertolongan dan Pencegahan *** @23 Dzulhijah 1445/ 30 Juni 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari ceramah Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri hafizhahullah di tautan ini: https://www.youtube.com/watch?v=osUqzykjLFI Tags: pertolongan Allahujian
Daftar Isi Toggle Kapan datangnya ujian dan pertolongan Allah?Meminta pertolongan dan bertawakal kepada AllahAllah datangkan kesabaran pada saat tertimpa musibahJangan membuka pintu untuk pesimis dan putus asa Dalam kondisi ekonomi hari-hari ini, banyak yang sepakat bahwa kondisi ini memang tidak mudah. Dan bagi sebagian orang, kondisi akhir-akhir ini justru semakin memburuk dan tidak kunjung membaik. Dalam kondisi semacam ini, ada hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang hendaknya menjadi pegangan dalam hidup kita. Hadis yang hendaknya kita camkan dan perhatikan di tengah-tengah kondisi sulit, kondisi tidak normal, kondisi yang berat, atau kondisi yang penuh dengan ujian dan masalah. Kapan datangnya ujian dan pertolongan Allah? Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الْمَعُونَةَ تَأْتِي مِنَ اللَّهِ لِلْعَبْدِ عَلَى قَدْرِ الْمُؤْنَةِ، وَإِنَّ الصَّبْرَ يَأْتِي مِنَ اللَّهِ عَلَى قَدْرِ الْمُصِيبَةِ “Sesungguhnya pertolongan itu datang dari sisi Allah kepada seorang hamba sesuai dengan level (tingkat) kesulitan atau kebutuhan. Dan sesungguhnya kesabaran itu datang dari sisi Allah sesuai dengan level musibah.” (HR. Al-Bazzar dalam Al-Musnad, 15: 327; Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 12: 337. Dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 1952) Dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa pertolongan itu akan Allah kirimkan kepada kita sesuai dengan tingkat kebutuhan kita, atau sesuai dengan krisis (masalah dan kesulitan) yang sedang kita hadapi. Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ الْمَعُونَةَ عَلَى قَدْرِ الْمَئُونَةِ، وَأَنْزَلَ الصَّبْرَ عِنْدَ الْبَلَاءِ “Sesungguhnya Allah turunkan pertolongan sesuai dengan level kesulitan atau kebutuhan. Dan Allah turunkan kesabaran ketika sedang menghadapi musibah.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 12: 337) Apabila masalah yang sedang kita hadapi bisa dikonversikan menjadi angka, maka pada angka itu pula kadar pertolongan Allah akan datang. Apabila level masalah yang kita hadapi adalah 70%, maka Allah akan datangkan pertolongan sebesar 70%, tidak akan kurang dari itu. Oleh karena itu, pada saat kita terkena musibah dan ujian, kita harus mencamkan dan meyakini bahwa ujian dan petolongan dari Allah itu berjalan paralel dalam satu garis lurus. Tidak mungkin ujian (musibah) meninggalkan pertolongan. Allah-lah yang memberikan kita ujian, sebagaimana Allah pula yang memberikan kita pertolongan. Namun yang menjadi masalah adalah, kemanakah iman kita terhadap hadis ini? Kemanakah keyakinan kita? Karena hadis ini hanya untuk orang-orang yang percaya kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Hadis ini hanya untuk orang-orang yang percaya kepada Rabb-nya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ “Allah Ta’ala berfirman, “Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku. Jika ia bersangka baik kepadaku, maka (kebaikan) itu untuknya. Dan jika ia bersangka buruk, maka (keburukan) itu untuknya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 9076; Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al–Jaami’ no. 4315) Apabila kita yakin bahwa pertolongan Allah akan datang, maka Allah akan datangkan pertolongan. Dan apabila kita berburuk sangka kepada Allah, pesimis saat menghadapi hari-hari ujian, maka yang akan datang adalah masalah-masalah berikutnya, dan tidak ada solusi sama sekali. Meminta pertolongan dan bertawakal kepada Allah Pertolongan itu akan Allah datangkan sesuai dengan level kesulitan yang dihadapi seorang hamba. Akan tetapi, siapakah di antara kita yang bersegera menuju Allah, meminta pertolongan Allah ketika menghadapi musibah? Kita justru sibuk datang kepada si A, si B, si C, dan seterusnya. Semua arah kita tuju, kecuali menuju Allah Ta’ala. Siapakah di antara kita yang ketika menghadapi suatu masalah, langsung mengingat Allah Rabbul ‘alamin? Siapakah di antara kita yang begitu menghadapi masalah, langsung mengambil air wudu dan salat karena mengingat firman Allah Ta’ala, وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ “Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 45) Sayangnya, banyak di antara kita yang lebih bergantung kepada makhluk ketika menghadapi hari-hari ini. Buktinya, tidak ada tambahan kekhusyukan dalam salat kita, tidak ada tambahan rakaat dalam salat malam yang kita kerjakan, dan manakah air mata tobat kepada Allah Ta’ala? Manakah rintihan permohonan ampun kita kepada Allah? Pertolongan itu turun dari Allah, Penguasa alam semesta. Hidup ini penuh dengan ujian, bagaikan gempa bumi dalam kehidupan kita. Inilah kehidupan orang-orang yang beriman, ujian dan musibah datang silih berganti. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُواْ الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ الَّذِينَ خَلَوْاْ مِن قَبْلِكُم مَّسَّتْهُمُ الْبَأْسَاء وَالضَّرَّاء وَزُلْزِلُواْ حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللّهِ أَلا إِنَّ نَصْرَ اللّهِ قَرِيبٌ “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan). Sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Kapankah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al-Baqarah: 214) Pertolongan Allah itu dekat, namun kita terburu-buru dan tidak mau bersabar. Ibadah tidak ditingkatkan, tapi inginnya segera keluar dari masalah. Tidak air mata tobat, tapi inginnya segera ada solusi. Ibaratnya, kita ingin segera sukses, namun kita tidak mau melewati dan menapaki jalan kesuksesan, sebagaimana perahu itu tidak berjalan di atas daratan. Allah Ta’ala berfirman, فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki mata hati.” (QS. Al-Hasyr: 2) Sebagaimana nasihat seorang alim, اتق الله، واصبر ولا تستعجل “Bertakwalah kepada Allah, bersabarlah, dan janganlah engkau terburu-buru.” Baca juga: Ujian Atau Azab? Allah datangkan kesabaran pada saat tertimpa musibah Mungkin ada yang bertanya, “Bukankah pertolongan seringkali tidak datang bersamaan dengan masalah dan ujian?” Maka jawabannya adalah lanjutan hadis di atas, وَإِنَّ الصَّبْرَ يَأْتِي مِنَ اللَّهِ عَلَى قَدْرِ الْمُصِيبَةِ “Dan sesungguhnya kesabaran itu datang dari sisi Allah sesuai dengan level ujian.” Betul, bisa jadi suatu ujian dan masalah datang satu tahun lalu, dan sampai sekarang belum ada solusi. Namun, pada masa-masa itu, Allah turunkan kesabaran yang membuat kita bisa menjalani hari-hari berat tersebut, sampai benar-benar semua masalah tersebut diselesaikan oleh Allah Ta’ala. Dan kesabaran yang Allah berikan itu sesuai dengan beratnya musibah yang kita rasakan. Kesabaran yang Allah berikan itu sesuai dengan rasa sakit yang kita rasakan. Kesabaran yang Allah berikan itu sesuai dengan kekuatan yang kita butuhkan. Sabar akan didatangkan kepada seorang hamba sesuai dengan level musibah. Maka ini menunjukkan bahwa tidak ada alasan dan pintu masuk untuk pesimis, galau, dan putus asa saat menghadapi ujian dan musibah. Tidak ada alasan untuk mengatakan, “Saya tidak sanggup, saya tidak mampu.” Pernyataan itu memang pada asalnya betul, siapa di antara kita yang mampu, sementara Allah mengatakan, وَخُلِقَ الإِنسَانُ ضَعِيفاً “Dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An-Nisa’: 28) Manusia memang lemah. Tapi yang perlu diingat, ini bukan tentang kekuatan kita. Ini bukan tentang keperkasaan dan kemampuan kita, namun kesabaran dan kekuatan yang Allah berikan kepada kita untuk menghadapi hari-hari yang sulit ini. Ini bukan tentang kemampuan sabar yang lahir dari dalam diri kita, tapi sabar yang Allah berikan dan anugerahkan kepada kita. Maka tidak ada alasan membuka pintu sehingga setan masuk melemahkan kita. Merasa kita lemah, down, merasa tidak mampu, dan putus asa. Sekali lagi, Allah-lah yang menurukan dan mendatangkan kekuatan tersebut. Jangan membuka pintu untuk pesimis dan putus asa Sekali lagi, jangan membuka pintu setan di hari-hari tersebut, karena setan akan senantiasa membisikkkan pesimisme dan keputusasaan. Allah Ta’ala berfirman tentang setan, الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُم بِالْفَحْشَاء وَاللّهُ يَعِدُكُم مَّغْفِرَةً مِّنْهُ وَفَضْلاً وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ “Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan (kefakiran) dan menyuruh kamu berbuat kekejian; sedangkan Allah menjanjikan untukmu ampunan dari-Nya dan karunia. Dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 268) Maka, seluruh pesimisme, ketidakpercayaan diri, dan keputusasaan itu berasal dari setan. Separah apapun masalah yang kita hadapi, meskipun itu karena dosa dan maksiat kita, janganlah berputus asa. Oleh karena itu, dalam ayat di atas, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sedangkan Allah menjanjikan untukmu ampunan dari-Nya dan karunia. Dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” Ini menunjukkan bahwa meskipun kita mendapatkan masalah karena dosa dan maksiat yang kita lakukan, jangan pernah putus asa dan pesimis, karena Allah janjikan ampunan dan karunia kepada kita, asal kita benar-benar tobat dan kembali kepada Allah Ta’ala. سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْراً “Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. At-Thalaq: 7) Baca juga: Di Dalam Salat terdapat Pertolongan dan Pencegahan *** @23 Dzulhijah 1445/ 30 Juni 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari ceramah Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri hafizhahullah di tautan ini: https://www.youtube.com/watch?v=osUqzykjLFI Tags: pertolongan Allahujian


Daftar Isi Toggle Kapan datangnya ujian dan pertolongan Allah?Meminta pertolongan dan bertawakal kepada AllahAllah datangkan kesabaran pada saat tertimpa musibahJangan membuka pintu untuk pesimis dan putus asa Dalam kondisi ekonomi hari-hari ini, banyak yang sepakat bahwa kondisi ini memang tidak mudah. Dan bagi sebagian orang, kondisi akhir-akhir ini justru semakin memburuk dan tidak kunjung membaik. Dalam kondisi semacam ini, ada hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang hendaknya menjadi pegangan dalam hidup kita. Hadis yang hendaknya kita camkan dan perhatikan di tengah-tengah kondisi sulit, kondisi tidak normal, kondisi yang berat, atau kondisi yang penuh dengan ujian dan masalah. Kapan datangnya ujian dan pertolongan Allah? Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الْمَعُونَةَ تَأْتِي مِنَ اللَّهِ لِلْعَبْدِ عَلَى قَدْرِ الْمُؤْنَةِ، وَإِنَّ الصَّبْرَ يَأْتِي مِنَ اللَّهِ عَلَى قَدْرِ الْمُصِيبَةِ “Sesungguhnya pertolongan itu datang dari sisi Allah kepada seorang hamba sesuai dengan level (tingkat) kesulitan atau kebutuhan. Dan sesungguhnya kesabaran itu datang dari sisi Allah sesuai dengan level musibah.” (HR. Al-Bazzar dalam Al-Musnad, 15: 327; Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 12: 337. Dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 1952) Dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa pertolongan itu akan Allah kirimkan kepada kita sesuai dengan tingkat kebutuhan kita, atau sesuai dengan krisis (masalah dan kesulitan) yang sedang kita hadapi. Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ الْمَعُونَةَ عَلَى قَدْرِ الْمَئُونَةِ، وَأَنْزَلَ الصَّبْرَ عِنْدَ الْبَلَاءِ “Sesungguhnya Allah turunkan pertolongan sesuai dengan level kesulitan atau kebutuhan. Dan Allah turunkan kesabaran ketika sedang menghadapi musibah.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 12: 337) Apabila masalah yang sedang kita hadapi bisa dikonversikan menjadi angka, maka pada angka itu pula kadar pertolongan Allah akan datang. Apabila level masalah yang kita hadapi adalah 70%, maka Allah akan datangkan pertolongan sebesar 70%, tidak akan kurang dari itu. Oleh karena itu, pada saat kita terkena musibah dan ujian, kita harus mencamkan dan meyakini bahwa ujian dan petolongan dari Allah itu berjalan paralel dalam satu garis lurus. Tidak mungkin ujian (musibah) meninggalkan pertolongan. Allah-lah yang memberikan kita ujian, sebagaimana Allah pula yang memberikan kita pertolongan. Namun yang menjadi masalah adalah, kemanakah iman kita terhadap hadis ini? Kemanakah keyakinan kita? Karena hadis ini hanya untuk orang-orang yang percaya kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Hadis ini hanya untuk orang-orang yang percaya kepada Rabb-nya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ “Allah Ta’ala berfirman, “Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku. Jika ia bersangka baik kepadaku, maka (kebaikan) itu untuknya. Dan jika ia bersangka buruk, maka (keburukan) itu untuknya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 9076; Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al–Jaami’ no. 4315) Apabila kita yakin bahwa pertolongan Allah akan datang, maka Allah akan datangkan pertolongan. Dan apabila kita berburuk sangka kepada Allah, pesimis saat menghadapi hari-hari ujian, maka yang akan datang adalah masalah-masalah berikutnya, dan tidak ada solusi sama sekali. Meminta pertolongan dan bertawakal kepada Allah Pertolongan itu akan Allah datangkan sesuai dengan level kesulitan yang dihadapi seorang hamba. Akan tetapi, siapakah di antara kita yang bersegera menuju Allah, meminta pertolongan Allah ketika menghadapi musibah? Kita justru sibuk datang kepada si A, si B, si C, dan seterusnya. Semua arah kita tuju, kecuali menuju Allah Ta’ala. Siapakah di antara kita yang ketika menghadapi suatu masalah, langsung mengingat Allah Rabbul ‘alamin? Siapakah di antara kita yang begitu menghadapi masalah, langsung mengambil air wudu dan salat karena mengingat firman Allah Ta’ala, وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ “Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 45) Sayangnya, banyak di antara kita yang lebih bergantung kepada makhluk ketika menghadapi hari-hari ini. Buktinya, tidak ada tambahan kekhusyukan dalam salat kita, tidak ada tambahan rakaat dalam salat malam yang kita kerjakan, dan manakah air mata tobat kepada Allah Ta’ala? Manakah rintihan permohonan ampun kita kepada Allah? Pertolongan itu turun dari Allah, Penguasa alam semesta. Hidup ini penuh dengan ujian, bagaikan gempa bumi dalam kehidupan kita. Inilah kehidupan orang-orang yang beriman, ujian dan musibah datang silih berganti. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُواْ الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ الَّذِينَ خَلَوْاْ مِن قَبْلِكُم مَّسَّتْهُمُ الْبَأْسَاء وَالضَّرَّاء وَزُلْزِلُواْ حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللّهِ أَلا إِنَّ نَصْرَ اللّهِ قَرِيبٌ “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan). Sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Kapankah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al-Baqarah: 214) Pertolongan Allah itu dekat, namun kita terburu-buru dan tidak mau bersabar. Ibadah tidak ditingkatkan, tapi inginnya segera keluar dari masalah. Tidak air mata tobat, tapi inginnya segera ada solusi. Ibaratnya, kita ingin segera sukses, namun kita tidak mau melewati dan menapaki jalan kesuksesan, sebagaimana perahu itu tidak berjalan di atas daratan. Allah Ta’ala berfirman, فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki mata hati.” (QS. Al-Hasyr: 2) Sebagaimana nasihat seorang alim, اتق الله، واصبر ولا تستعجل “Bertakwalah kepada Allah, bersabarlah, dan janganlah engkau terburu-buru.” Baca juga: Ujian Atau Azab? Allah datangkan kesabaran pada saat tertimpa musibah Mungkin ada yang bertanya, “Bukankah pertolongan seringkali tidak datang bersamaan dengan masalah dan ujian?” Maka jawabannya adalah lanjutan hadis di atas, وَإِنَّ الصَّبْرَ يَأْتِي مِنَ اللَّهِ عَلَى قَدْرِ الْمُصِيبَةِ “Dan sesungguhnya kesabaran itu datang dari sisi Allah sesuai dengan level ujian.” Betul, bisa jadi suatu ujian dan masalah datang satu tahun lalu, dan sampai sekarang belum ada solusi. Namun, pada masa-masa itu, Allah turunkan kesabaran yang membuat kita bisa menjalani hari-hari berat tersebut, sampai benar-benar semua masalah tersebut diselesaikan oleh Allah Ta’ala. Dan kesabaran yang Allah berikan itu sesuai dengan beratnya musibah yang kita rasakan. Kesabaran yang Allah berikan itu sesuai dengan rasa sakit yang kita rasakan. Kesabaran yang Allah berikan itu sesuai dengan kekuatan yang kita butuhkan. Sabar akan didatangkan kepada seorang hamba sesuai dengan level musibah. Maka ini menunjukkan bahwa tidak ada alasan dan pintu masuk untuk pesimis, galau, dan putus asa saat menghadapi ujian dan musibah. Tidak ada alasan untuk mengatakan, “Saya tidak sanggup, saya tidak mampu.” Pernyataan itu memang pada asalnya betul, siapa di antara kita yang mampu, sementara Allah mengatakan, وَخُلِقَ الإِنسَانُ ضَعِيفاً “Dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An-Nisa’: 28) Manusia memang lemah. Tapi yang perlu diingat, ini bukan tentang kekuatan kita. Ini bukan tentang keperkasaan dan kemampuan kita, namun kesabaran dan kekuatan yang Allah berikan kepada kita untuk menghadapi hari-hari yang sulit ini. Ini bukan tentang kemampuan sabar yang lahir dari dalam diri kita, tapi sabar yang Allah berikan dan anugerahkan kepada kita. Maka tidak ada alasan membuka pintu sehingga setan masuk melemahkan kita. Merasa kita lemah, down, merasa tidak mampu, dan putus asa. Sekali lagi, Allah-lah yang menurukan dan mendatangkan kekuatan tersebut. Jangan membuka pintu untuk pesimis dan putus asa Sekali lagi, jangan membuka pintu setan di hari-hari tersebut, karena setan akan senantiasa membisikkkan pesimisme dan keputusasaan. Allah Ta’ala berfirman tentang setan, الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُم بِالْفَحْشَاء وَاللّهُ يَعِدُكُم مَّغْفِرَةً مِّنْهُ وَفَضْلاً وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ “Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan (kefakiran) dan menyuruh kamu berbuat kekejian; sedangkan Allah menjanjikan untukmu ampunan dari-Nya dan karunia. Dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 268) Maka, seluruh pesimisme, ketidakpercayaan diri, dan keputusasaan itu berasal dari setan. Separah apapun masalah yang kita hadapi, meskipun itu karena dosa dan maksiat kita, janganlah berputus asa. Oleh karena itu, dalam ayat di atas, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sedangkan Allah menjanjikan untukmu ampunan dari-Nya dan karunia. Dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” Ini menunjukkan bahwa meskipun kita mendapatkan masalah karena dosa dan maksiat yang kita lakukan, jangan pernah putus asa dan pesimis, karena Allah janjikan ampunan dan karunia kepada kita, asal kita benar-benar tobat dan kembali kepada Allah Ta’ala. سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْراً “Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. At-Thalaq: 7) Baca juga: Di Dalam Salat terdapat Pertolongan dan Pencegahan *** @23 Dzulhijah 1445/ 30 Juni 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari ceramah Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri hafizhahullah di tautan ini: https://www.youtube.com/watch?v=osUqzykjLFI Tags: pertolongan Allahujian

Menjadi Ayah Teladan

Daftar Isi Toggle Teladan ketaatanBerhias diriMenjaga wibawaPenolongPendidikPengasuh Menjadi seorang suami atau ayah berarti mengemban tanggung jawab yang besar dan mulia. Sebagai seorang Kepala Rumah Tangga (kami mempersingkat sebutannya dalam artikel ini menjadi ‘Ayah’), peran utamanya sangat berpengaruh pada kebahagiaan atau kesengsaraan keluarga yang berada di bawah tanggung jawabnya. Kebahagiaan dan kesengsaraan di sini bukan hanya dari sisi duniawi, tetapi juga dari aspek ukhrawi di mana seorang Ayah dapat membawa rumah tangganya sebagai ladang dakwah untuk dibawa ke surga atau sebaliknya. Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6) Apabila kita telusuri lebih dalam, pertanggungjawaban seorang Ayah itu merupakan sesuatu yang mutlak untuk ditunaikan. Karena sebagai pemimpin, ia akan mempertanggungjawabkan keluarga yang ia pimpin di hadapan Allah Ta’ala kelak. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829) Seorang Ayah bukan hanya tentang menjadi pemimpin yang tegas, tetapi juga bagaimana ia mampu menunjukkan kasih sayang, kebijaksanaan, dan keteladanan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Karena, tidak sedikit orang yang di luar rumah terkenal dengan kelembutan, kasih sayang, dan kebijaksanaannya kepada orang lain, tetapi di rumahnya ia menjadi seseorang yang menakutkan dengan emosi dan amarahnya yang tak mampu ia kendalikan, serta kata-kata kasar yang selalu menyakiti hati istri dan anak-anaknya. Bagaimana mungkin kita bermimpi menjadi seorang pemimpin teladan di tengah-tengah masyarakat, sementara kepemimpinan dan kebijaksanaan dalam membina rumah tangga saja kita masih belum tuntas. Kadangkala, banyak Ayah yang enggan untuk terlebih dahulu introspeksi diri tatkala dihadapkan pada sebuah permasalahan rumah tangga. Telunjuk untuk menyalahkan mengarah pada istri ataupun anak yang dianggap tidak memahami dirinya. Padahal, kendali sepenuhnya ada pada seorang Ayah. Bagaimana ia bersikap dan merespon kontak dengan istri ataupun anak-anaknya, maka seperti itu pula pantulan sikap yang ia terima. Oleh karenanya, siapa pun kita, sebagai seorang Ayah, tak ada kata terlambat untuk memulai dari awal. Menjadi seorang teladan dalam rumah tangga, menjadikan role model Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai tolok ukur sikap dalam menghadapi berbagai problematika kehidupan rumah tangga. Sehingga, ikhtiar kita untuk mempertanggungjawabkan ketakwaan keluarga kita kepada Allah Ta’ala telah maksimal kita tunaikan. Maka, mari kita mulai dengan menginternalisasikan beberapa sifat dan karakter berikut untuk menjadi seorang Ayah teladan. Teladan ketaatan Menjadi teladan dalam ketaatan kepada Allah ﷻ adalah salah satu peran utama seorang Ayah. Mulai dari teladan dalam ketaatan menjalankan perintah Allah yang fundamental seperti salat, puasa, zakat, dan haji, serta ibadah-ibadah nawafil hingga menjadi teladan dalam menjaga keimanan dan kehormatan dari segala bentuk perbuatan maksiat kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Seorang Ayah yang taat dalam menjalankan ibadah, mengajak keluarga untuk salat berjemaah, membaca Al-Qur’an, dan mengamalkan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, akan menjadi teladan yang baik bagi istri dan anak-anaknya. Keteladanan ini akan membentuk keluarga yang kokoh dalam iman dan takwa dan menjadi bagian dari jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Berhias diri Menjaga penampilan adalah salah satu tanggung jawab penting bagi seorang Ayah. Adalah ironi, ketika kita hendak keluar rumah untuk mencari nafkah misalnya, kita menggunakan pakaian yang bagus, parfum yang wangi, badan yang bersih, dan tutur kata yang indah. Sementara ketika di dalam rumah, kita memaksakan anggota keluarga kita untuk memaklumi bahwa kita memang orang yang tidak pandai berhias diri, jorok, kotor, dan bau. Lantas, kita pun memaksa istri kita untuk menyambut kita dengan perhiasan terbaiknya? Ingat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat menganjurkan umatnya untuk berhias, terutama di hadapan keluarga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ “Sesungguhnya Allah itu Mahaindah dan mencintai keindahan.” (HR. Muslim no. 91) Berhias diri bukan hanya tentang penampilan fisik, tetapi juga menjaga kebersihan dan kerapian. Seorang Ayah yang menjaga kebersihan diri dan berpenampilan rapi akan memberikan kesan baik kepada istri dan anak-anaknya, serta mencerminkan kepeduliannya terhadap keluarga. Bahkan, dalam hal-hal kecil seperti tidak kentut sembarangan di rumah, hal ini menunjukkan rasa hormat dan menjaga keharmonisan keluarga. Menjaga wibawa Menjaga wibawa sebagai seorang Ayah sangat penting agar tetap dihormati oleh istri dan anak-anak. Hal ini bisa dicapai dengan tidak hanya bersikap tegas tetapi juga adil dan bijaksana dalam mengambil keputusan. Banyak yang salah kaprah bahwa kewibawaan itu ditunjukkan dengan nada suara yang keras dan tinggi atau marah dengan meluap-luap tatkala menghadapi sesuatu yang tidak disukai. Padahal, kewibawaan yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak demikian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam banyak mencontohkan kelemahlembutan kepada istri, bahkan dalam situasi yang memancing amarahnya. Allah Ta’ala berfirman, ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34) Maka, pahamilah bahwa wibawa seorang Ayah bukan berarti bersikap otoriter, melainkan menunjukkan integritas, ketulusan, dan ketaatan kepada Allah Ta’ala dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil. Ingat, tolak ukur kita adalah teladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seorang pemimpin dunia dan manusia mulia yang sangat lembut dengan keluarganya. Baca juga: Kewajiban Ayah untuk Membimbing Anak yang Tidak Menjaga Salat Penolong Seorang Ayah idaman adalah yang siap membantu istri dalam berbagai urusan rumah tangga. Rasulullah ﷺ adalah teladan terbaik dalam hal ini. Dalam sebuah hadis, Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan, كَانَ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ “Dahulu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membantu istrinya dalam perkerjaan rumah tangga, dan jika tiba waktu salat, maka beliau pun pergi salat.” (HR. Bukhari) Membantu istri dalam pekerjaan rumah tangga bukan hanya menunjukkan rasa cinta dan penghormatan, tetapi juga mendidik anak-anak untuk saling membantu dan menghargai kerja keras satu sama lain. Sadarilah hal-hal kecil dalam rumah. Seperti saat weekend, misalnya, buatlah list khusus untuk mengerjakan kebersihan rumah, menyapu, mengepel, membersihkan kaca, menjemur, menyetrika pakaian, dan memasak. Kadangkala, jika ditimbang-timbang, bisa jadi pekerjaan yang dilakukan seorang istri di rumah secara fisik bisa lebih besar dari yang dilakukan oleh suaminya di luar sana. Renungkanlah pekerjaan istri, mulai dari memasak, membersihkan rumah, mencuci, hingga mengurus anak-anak. Konon pula, seorang istri yang juga sebagai pekerja. Mengerjakan fungsi ganda, sebagai seorang istri dan sebagai seorang pencari nafkah. Tidak layakkah ia mendapatkan perlakuan terbaik dari kita? Pendidik Ayah juga berperan sebagai pendidik bagi anak-anaknya. Pendidikan yang diberikan haruslah berdasarkan ajaran syariat yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mulai dari pendidikan saat mereka berada dalam kandungan, masa kanak-kanak hingga balig. Peran Ayah sangat berarti dalam pendidikan anak, ia bisa mempengaruhi arah kehidupan dan ketaatan anak-anaknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim) Maka, jadilah pendidik terbaik! Pendidikan yang baik bukan hanya tentang ilmu dunia, tetapi juga tentang akhlak, adab, dan nilai-nilai Islami. Seorang Ayah harus aktif dalam mengajarkan anak-anak tentang Islam, baik melalui pengajaran langsung maupun dengan memberikan contoh dalam perilaku sehari-hari. Perhatikan tontonan, bacaan, dan pergaulan lingkungan anak-anak. Lingkungan juga memiliki andil besar dalam pembentukan karakternya. Mohonlah kepada Allah Ta’ala kekuatan untuk menjadi seorang Ayah yang dapat memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anak kita. Pengasuh Tugas Ayah bukan hanya mencari nafkah, tetapi juga mengasuh anak-anak dengan penuh kasih sayang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan betapa pentingnya peran seorang ayah dalam pengasuhan anak. Beliau sangat menyayangi anak-anak dan cucu-cucunya, serta selalu memberikan perhatian khusus kepada mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ لا يَرْحَمُ لا يُرْحَمُ “Barangsiapa yang tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi.” (HR. Bukhari dan Muslim) Pengasuhan yang baik dapat diberikan dengan meluangkan waktu yang cukup untuk bermain, berbicara, dan mendengarkan anak-anak. Seorang ayah yang terlibat dalam pengasuhan anak akan menciptakan ikatan emosional yang kuat dan membantu perkembangan emosional serta mental anak-anaknya. Selain itu, kedekatan Ayah dengan anak-anak akan lebih memudahkannya untuk mengarahkan mereka kepada ketaatan kepada Allah Ta’ala dan menjadikan mereka patuh untuk tidak melanggar batasan-batasan syariat. Saudaraku, menjadi Ayah Teladan adalah sebuah tugas yang membutuhkan komitmen, kasih sayang, dan keteladanan dalam berbagai aspek kehidupan. Seorang Ayah yang  menjadi teladan ketaatan, mampu berhias diri, menjaga wibawa, membantu istri, mendidik sesuai dengan ketentuan syariat, dan mengasuh dengan penuh kasih sayang akan menciptakan keluarga yang harmonis dan diridai oleh Allah Ta’ala. Teladanilah sifat-sifat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mudah-mudahan kita dapat menjadi pemimpin keluarga yang dicintai dan dihormati, serta mampu membimbing keluarga menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Wallahu A’lam Baca juga: Jika Ayah Menyuruh Kita Membeli Rokok *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: ayahteladan

Menjadi Ayah Teladan

Daftar Isi Toggle Teladan ketaatanBerhias diriMenjaga wibawaPenolongPendidikPengasuh Menjadi seorang suami atau ayah berarti mengemban tanggung jawab yang besar dan mulia. Sebagai seorang Kepala Rumah Tangga (kami mempersingkat sebutannya dalam artikel ini menjadi ‘Ayah’), peran utamanya sangat berpengaruh pada kebahagiaan atau kesengsaraan keluarga yang berada di bawah tanggung jawabnya. Kebahagiaan dan kesengsaraan di sini bukan hanya dari sisi duniawi, tetapi juga dari aspek ukhrawi di mana seorang Ayah dapat membawa rumah tangganya sebagai ladang dakwah untuk dibawa ke surga atau sebaliknya. Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6) Apabila kita telusuri lebih dalam, pertanggungjawaban seorang Ayah itu merupakan sesuatu yang mutlak untuk ditunaikan. Karena sebagai pemimpin, ia akan mempertanggungjawabkan keluarga yang ia pimpin di hadapan Allah Ta’ala kelak. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829) Seorang Ayah bukan hanya tentang menjadi pemimpin yang tegas, tetapi juga bagaimana ia mampu menunjukkan kasih sayang, kebijaksanaan, dan keteladanan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Karena, tidak sedikit orang yang di luar rumah terkenal dengan kelembutan, kasih sayang, dan kebijaksanaannya kepada orang lain, tetapi di rumahnya ia menjadi seseorang yang menakutkan dengan emosi dan amarahnya yang tak mampu ia kendalikan, serta kata-kata kasar yang selalu menyakiti hati istri dan anak-anaknya. Bagaimana mungkin kita bermimpi menjadi seorang pemimpin teladan di tengah-tengah masyarakat, sementara kepemimpinan dan kebijaksanaan dalam membina rumah tangga saja kita masih belum tuntas. Kadangkala, banyak Ayah yang enggan untuk terlebih dahulu introspeksi diri tatkala dihadapkan pada sebuah permasalahan rumah tangga. Telunjuk untuk menyalahkan mengarah pada istri ataupun anak yang dianggap tidak memahami dirinya. Padahal, kendali sepenuhnya ada pada seorang Ayah. Bagaimana ia bersikap dan merespon kontak dengan istri ataupun anak-anaknya, maka seperti itu pula pantulan sikap yang ia terima. Oleh karenanya, siapa pun kita, sebagai seorang Ayah, tak ada kata terlambat untuk memulai dari awal. Menjadi seorang teladan dalam rumah tangga, menjadikan role model Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai tolok ukur sikap dalam menghadapi berbagai problematika kehidupan rumah tangga. Sehingga, ikhtiar kita untuk mempertanggungjawabkan ketakwaan keluarga kita kepada Allah Ta’ala telah maksimal kita tunaikan. Maka, mari kita mulai dengan menginternalisasikan beberapa sifat dan karakter berikut untuk menjadi seorang Ayah teladan. Teladan ketaatan Menjadi teladan dalam ketaatan kepada Allah ﷻ adalah salah satu peran utama seorang Ayah. Mulai dari teladan dalam ketaatan menjalankan perintah Allah yang fundamental seperti salat, puasa, zakat, dan haji, serta ibadah-ibadah nawafil hingga menjadi teladan dalam menjaga keimanan dan kehormatan dari segala bentuk perbuatan maksiat kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Seorang Ayah yang taat dalam menjalankan ibadah, mengajak keluarga untuk salat berjemaah, membaca Al-Qur’an, dan mengamalkan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, akan menjadi teladan yang baik bagi istri dan anak-anaknya. Keteladanan ini akan membentuk keluarga yang kokoh dalam iman dan takwa dan menjadi bagian dari jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Berhias diri Menjaga penampilan adalah salah satu tanggung jawab penting bagi seorang Ayah. Adalah ironi, ketika kita hendak keluar rumah untuk mencari nafkah misalnya, kita menggunakan pakaian yang bagus, parfum yang wangi, badan yang bersih, dan tutur kata yang indah. Sementara ketika di dalam rumah, kita memaksakan anggota keluarga kita untuk memaklumi bahwa kita memang orang yang tidak pandai berhias diri, jorok, kotor, dan bau. Lantas, kita pun memaksa istri kita untuk menyambut kita dengan perhiasan terbaiknya? Ingat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat menganjurkan umatnya untuk berhias, terutama di hadapan keluarga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ “Sesungguhnya Allah itu Mahaindah dan mencintai keindahan.” (HR. Muslim no. 91) Berhias diri bukan hanya tentang penampilan fisik, tetapi juga menjaga kebersihan dan kerapian. Seorang Ayah yang menjaga kebersihan diri dan berpenampilan rapi akan memberikan kesan baik kepada istri dan anak-anaknya, serta mencerminkan kepeduliannya terhadap keluarga. Bahkan, dalam hal-hal kecil seperti tidak kentut sembarangan di rumah, hal ini menunjukkan rasa hormat dan menjaga keharmonisan keluarga. Menjaga wibawa Menjaga wibawa sebagai seorang Ayah sangat penting agar tetap dihormati oleh istri dan anak-anak. Hal ini bisa dicapai dengan tidak hanya bersikap tegas tetapi juga adil dan bijaksana dalam mengambil keputusan. Banyak yang salah kaprah bahwa kewibawaan itu ditunjukkan dengan nada suara yang keras dan tinggi atau marah dengan meluap-luap tatkala menghadapi sesuatu yang tidak disukai. Padahal, kewibawaan yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak demikian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam banyak mencontohkan kelemahlembutan kepada istri, bahkan dalam situasi yang memancing amarahnya. Allah Ta’ala berfirman, ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34) Maka, pahamilah bahwa wibawa seorang Ayah bukan berarti bersikap otoriter, melainkan menunjukkan integritas, ketulusan, dan ketaatan kepada Allah Ta’ala dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil. Ingat, tolak ukur kita adalah teladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seorang pemimpin dunia dan manusia mulia yang sangat lembut dengan keluarganya. Baca juga: Kewajiban Ayah untuk Membimbing Anak yang Tidak Menjaga Salat Penolong Seorang Ayah idaman adalah yang siap membantu istri dalam berbagai urusan rumah tangga. Rasulullah ﷺ adalah teladan terbaik dalam hal ini. Dalam sebuah hadis, Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan, كَانَ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ “Dahulu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membantu istrinya dalam perkerjaan rumah tangga, dan jika tiba waktu salat, maka beliau pun pergi salat.” (HR. Bukhari) Membantu istri dalam pekerjaan rumah tangga bukan hanya menunjukkan rasa cinta dan penghormatan, tetapi juga mendidik anak-anak untuk saling membantu dan menghargai kerja keras satu sama lain. Sadarilah hal-hal kecil dalam rumah. Seperti saat weekend, misalnya, buatlah list khusus untuk mengerjakan kebersihan rumah, menyapu, mengepel, membersihkan kaca, menjemur, menyetrika pakaian, dan memasak. Kadangkala, jika ditimbang-timbang, bisa jadi pekerjaan yang dilakukan seorang istri di rumah secara fisik bisa lebih besar dari yang dilakukan oleh suaminya di luar sana. Renungkanlah pekerjaan istri, mulai dari memasak, membersihkan rumah, mencuci, hingga mengurus anak-anak. Konon pula, seorang istri yang juga sebagai pekerja. Mengerjakan fungsi ganda, sebagai seorang istri dan sebagai seorang pencari nafkah. Tidak layakkah ia mendapatkan perlakuan terbaik dari kita? Pendidik Ayah juga berperan sebagai pendidik bagi anak-anaknya. Pendidikan yang diberikan haruslah berdasarkan ajaran syariat yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mulai dari pendidikan saat mereka berada dalam kandungan, masa kanak-kanak hingga balig. Peran Ayah sangat berarti dalam pendidikan anak, ia bisa mempengaruhi arah kehidupan dan ketaatan anak-anaknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim) Maka, jadilah pendidik terbaik! Pendidikan yang baik bukan hanya tentang ilmu dunia, tetapi juga tentang akhlak, adab, dan nilai-nilai Islami. Seorang Ayah harus aktif dalam mengajarkan anak-anak tentang Islam, baik melalui pengajaran langsung maupun dengan memberikan contoh dalam perilaku sehari-hari. Perhatikan tontonan, bacaan, dan pergaulan lingkungan anak-anak. Lingkungan juga memiliki andil besar dalam pembentukan karakternya. Mohonlah kepada Allah Ta’ala kekuatan untuk menjadi seorang Ayah yang dapat memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anak kita. Pengasuh Tugas Ayah bukan hanya mencari nafkah, tetapi juga mengasuh anak-anak dengan penuh kasih sayang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan betapa pentingnya peran seorang ayah dalam pengasuhan anak. Beliau sangat menyayangi anak-anak dan cucu-cucunya, serta selalu memberikan perhatian khusus kepada mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ لا يَرْحَمُ لا يُرْحَمُ “Barangsiapa yang tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi.” (HR. Bukhari dan Muslim) Pengasuhan yang baik dapat diberikan dengan meluangkan waktu yang cukup untuk bermain, berbicara, dan mendengarkan anak-anak. Seorang ayah yang terlibat dalam pengasuhan anak akan menciptakan ikatan emosional yang kuat dan membantu perkembangan emosional serta mental anak-anaknya. Selain itu, kedekatan Ayah dengan anak-anak akan lebih memudahkannya untuk mengarahkan mereka kepada ketaatan kepada Allah Ta’ala dan menjadikan mereka patuh untuk tidak melanggar batasan-batasan syariat. Saudaraku, menjadi Ayah Teladan adalah sebuah tugas yang membutuhkan komitmen, kasih sayang, dan keteladanan dalam berbagai aspek kehidupan. Seorang Ayah yang  menjadi teladan ketaatan, mampu berhias diri, menjaga wibawa, membantu istri, mendidik sesuai dengan ketentuan syariat, dan mengasuh dengan penuh kasih sayang akan menciptakan keluarga yang harmonis dan diridai oleh Allah Ta’ala. Teladanilah sifat-sifat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mudah-mudahan kita dapat menjadi pemimpin keluarga yang dicintai dan dihormati, serta mampu membimbing keluarga menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Wallahu A’lam Baca juga: Jika Ayah Menyuruh Kita Membeli Rokok *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: ayahteladan
Daftar Isi Toggle Teladan ketaatanBerhias diriMenjaga wibawaPenolongPendidikPengasuh Menjadi seorang suami atau ayah berarti mengemban tanggung jawab yang besar dan mulia. Sebagai seorang Kepala Rumah Tangga (kami mempersingkat sebutannya dalam artikel ini menjadi ‘Ayah’), peran utamanya sangat berpengaruh pada kebahagiaan atau kesengsaraan keluarga yang berada di bawah tanggung jawabnya. Kebahagiaan dan kesengsaraan di sini bukan hanya dari sisi duniawi, tetapi juga dari aspek ukhrawi di mana seorang Ayah dapat membawa rumah tangganya sebagai ladang dakwah untuk dibawa ke surga atau sebaliknya. Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6) Apabila kita telusuri lebih dalam, pertanggungjawaban seorang Ayah itu merupakan sesuatu yang mutlak untuk ditunaikan. Karena sebagai pemimpin, ia akan mempertanggungjawabkan keluarga yang ia pimpin di hadapan Allah Ta’ala kelak. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829) Seorang Ayah bukan hanya tentang menjadi pemimpin yang tegas, tetapi juga bagaimana ia mampu menunjukkan kasih sayang, kebijaksanaan, dan keteladanan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Karena, tidak sedikit orang yang di luar rumah terkenal dengan kelembutan, kasih sayang, dan kebijaksanaannya kepada orang lain, tetapi di rumahnya ia menjadi seseorang yang menakutkan dengan emosi dan amarahnya yang tak mampu ia kendalikan, serta kata-kata kasar yang selalu menyakiti hati istri dan anak-anaknya. Bagaimana mungkin kita bermimpi menjadi seorang pemimpin teladan di tengah-tengah masyarakat, sementara kepemimpinan dan kebijaksanaan dalam membina rumah tangga saja kita masih belum tuntas. Kadangkala, banyak Ayah yang enggan untuk terlebih dahulu introspeksi diri tatkala dihadapkan pada sebuah permasalahan rumah tangga. Telunjuk untuk menyalahkan mengarah pada istri ataupun anak yang dianggap tidak memahami dirinya. Padahal, kendali sepenuhnya ada pada seorang Ayah. Bagaimana ia bersikap dan merespon kontak dengan istri ataupun anak-anaknya, maka seperti itu pula pantulan sikap yang ia terima. Oleh karenanya, siapa pun kita, sebagai seorang Ayah, tak ada kata terlambat untuk memulai dari awal. Menjadi seorang teladan dalam rumah tangga, menjadikan role model Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai tolok ukur sikap dalam menghadapi berbagai problematika kehidupan rumah tangga. Sehingga, ikhtiar kita untuk mempertanggungjawabkan ketakwaan keluarga kita kepada Allah Ta’ala telah maksimal kita tunaikan. Maka, mari kita mulai dengan menginternalisasikan beberapa sifat dan karakter berikut untuk menjadi seorang Ayah teladan. Teladan ketaatan Menjadi teladan dalam ketaatan kepada Allah ﷻ adalah salah satu peran utama seorang Ayah. Mulai dari teladan dalam ketaatan menjalankan perintah Allah yang fundamental seperti salat, puasa, zakat, dan haji, serta ibadah-ibadah nawafil hingga menjadi teladan dalam menjaga keimanan dan kehormatan dari segala bentuk perbuatan maksiat kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Seorang Ayah yang taat dalam menjalankan ibadah, mengajak keluarga untuk salat berjemaah, membaca Al-Qur’an, dan mengamalkan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, akan menjadi teladan yang baik bagi istri dan anak-anaknya. Keteladanan ini akan membentuk keluarga yang kokoh dalam iman dan takwa dan menjadi bagian dari jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Berhias diri Menjaga penampilan adalah salah satu tanggung jawab penting bagi seorang Ayah. Adalah ironi, ketika kita hendak keluar rumah untuk mencari nafkah misalnya, kita menggunakan pakaian yang bagus, parfum yang wangi, badan yang bersih, dan tutur kata yang indah. Sementara ketika di dalam rumah, kita memaksakan anggota keluarga kita untuk memaklumi bahwa kita memang orang yang tidak pandai berhias diri, jorok, kotor, dan bau. Lantas, kita pun memaksa istri kita untuk menyambut kita dengan perhiasan terbaiknya? Ingat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat menganjurkan umatnya untuk berhias, terutama di hadapan keluarga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ “Sesungguhnya Allah itu Mahaindah dan mencintai keindahan.” (HR. Muslim no. 91) Berhias diri bukan hanya tentang penampilan fisik, tetapi juga menjaga kebersihan dan kerapian. Seorang Ayah yang menjaga kebersihan diri dan berpenampilan rapi akan memberikan kesan baik kepada istri dan anak-anaknya, serta mencerminkan kepeduliannya terhadap keluarga. Bahkan, dalam hal-hal kecil seperti tidak kentut sembarangan di rumah, hal ini menunjukkan rasa hormat dan menjaga keharmonisan keluarga. Menjaga wibawa Menjaga wibawa sebagai seorang Ayah sangat penting agar tetap dihormati oleh istri dan anak-anak. Hal ini bisa dicapai dengan tidak hanya bersikap tegas tetapi juga adil dan bijaksana dalam mengambil keputusan. Banyak yang salah kaprah bahwa kewibawaan itu ditunjukkan dengan nada suara yang keras dan tinggi atau marah dengan meluap-luap tatkala menghadapi sesuatu yang tidak disukai. Padahal, kewibawaan yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak demikian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam banyak mencontohkan kelemahlembutan kepada istri, bahkan dalam situasi yang memancing amarahnya. Allah Ta’ala berfirman, ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34) Maka, pahamilah bahwa wibawa seorang Ayah bukan berarti bersikap otoriter, melainkan menunjukkan integritas, ketulusan, dan ketaatan kepada Allah Ta’ala dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil. Ingat, tolak ukur kita adalah teladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seorang pemimpin dunia dan manusia mulia yang sangat lembut dengan keluarganya. Baca juga: Kewajiban Ayah untuk Membimbing Anak yang Tidak Menjaga Salat Penolong Seorang Ayah idaman adalah yang siap membantu istri dalam berbagai urusan rumah tangga. Rasulullah ﷺ adalah teladan terbaik dalam hal ini. Dalam sebuah hadis, Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan, كَانَ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ “Dahulu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membantu istrinya dalam perkerjaan rumah tangga, dan jika tiba waktu salat, maka beliau pun pergi salat.” (HR. Bukhari) Membantu istri dalam pekerjaan rumah tangga bukan hanya menunjukkan rasa cinta dan penghormatan, tetapi juga mendidik anak-anak untuk saling membantu dan menghargai kerja keras satu sama lain. Sadarilah hal-hal kecil dalam rumah. Seperti saat weekend, misalnya, buatlah list khusus untuk mengerjakan kebersihan rumah, menyapu, mengepel, membersihkan kaca, menjemur, menyetrika pakaian, dan memasak. Kadangkala, jika ditimbang-timbang, bisa jadi pekerjaan yang dilakukan seorang istri di rumah secara fisik bisa lebih besar dari yang dilakukan oleh suaminya di luar sana. Renungkanlah pekerjaan istri, mulai dari memasak, membersihkan rumah, mencuci, hingga mengurus anak-anak. Konon pula, seorang istri yang juga sebagai pekerja. Mengerjakan fungsi ganda, sebagai seorang istri dan sebagai seorang pencari nafkah. Tidak layakkah ia mendapatkan perlakuan terbaik dari kita? Pendidik Ayah juga berperan sebagai pendidik bagi anak-anaknya. Pendidikan yang diberikan haruslah berdasarkan ajaran syariat yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mulai dari pendidikan saat mereka berada dalam kandungan, masa kanak-kanak hingga balig. Peran Ayah sangat berarti dalam pendidikan anak, ia bisa mempengaruhi arah kehidupan dan ketaatan anak-anaknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim) Maka, jadilah pendidik terbaik! Pendidikan yang baik bukan hanya tentang ilmu dunia, tetapi juga tentang akhlak, adab, dan nilai-nilai Islami. Seorang Ayah harus aktif dalam mengajarkan anak-anak tentang Islam, baik melalui pengajaran langsung maupun dengan memberikan contoh dalam perilaku sehari-hari. Perhatikan tontonan, bacaan, dan pergaulan lingkungan anak-anak. Lingkungan juga memiliki andil besar dalam pembentukan karakternya. Mohonlah kepada Allah Ta’ala kekuatan untuk menjadi seorang Ayah yang dapat memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anak kita. Pengasuh Tugas Ayah bukan hanya mencari nafkah, tetapi juga mengasuh anak-anak dengan penuh kasih sayang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan betapa pentingnya peran seorang ayah dalam pengasuhan anak. Beliau sangat menyayangi anak-anak dan cucu-cucunya, serta selalu memberikan perhatian khusus kepada mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ لا يَرْحَمُ لا يُرْحَمُ “Barangsiapa yang tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi.” (HR. Bukhari dan Muslim) Pengasuhan yang baik dapat diberikan dengan meluangkan waktu yang cukup untuk bermain, berbicara, dan mendengarkan anak-anak. Seorang ayah yang terlibat dalam pengasuhan anak akan menciptakan ikatan emosional yang kuat dan membantu perkembangan emosional serta mental anak-anaknya. Selain itu, kedekatan Ayah dengan anak-anak akan lebih memudahkannya untuk mengarahkan mereka kepada ketaatan kepada Allah Ta’ala dan menjadikan mereka patuh untuk tidak melanggar batasan-batasan syariat. Saudaraku, menjadi Ayah Teladan adalah sebuah tugas yang membutuhkan komitmen, kasih sayang, dan keteladanan dalam berbagai aspek kehidupan. Seorang Ayah yang  menjadi teladan ketaatan, mampu berhias diri, menjaga wibawa, membantu istri, mendidik sesuai dengan ketentuan syariat, dan mengasuh dengan penuh kasih sayang akan menciptakan keluarga yang harmonis dan diridai oleh Allah Ta’ala. Teladanilah sifat-sifat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mudah-mudahan kita dapat menjadi pemimpin keluarga yang dicintai dan dihormati, serta mampu membimbing keluarga menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Wallahu A’lam Baca juga: Jika Ayah Menyuruh Kita Membeli Rokok *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: ayahteladan


Daftar Isi Toggle Teladan ketaatanBerhias diriMenjaga wibawaPenolongPendidikPengasuh Menjadi seorang suami atau ayah berarti mengemban tanggung jawab yang besar dan mulia. Sebagai seorang Kepala Rumah Tangga (kami mempersingkat sebutannya dalam artikel ini menjadi ‘Ayah’), peran utamanya sangat berpengaruh pada kebahagiaan atau kesengsaraan keluarga yang berada di bawah tanggung jawabnya. Kebahagiaan dan kesengsaraan di sini bukan hanya dari sisi duniawi, tetapi juga dari aspek ukhrawi di mana seorang Ayah dapat membawa rumah tangganya sebagai ladang dakwah untuk dibawa ke surga atau sebaliknya. Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6) Apabila kita telusuri lebih dalam, pertanggungjawaban seorang Ayah itu merupakan sesuatu yang mutlak untuk ditunaikan. Karena sebagai pemimpin, ia akan mempertanggungjawabkan keluarga yang ia pimpin di hadapan Allah Ta’ala kelak. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829) Seorang Ayah bukan hanya tentang menjadi pemimpin yang tegas, tetapi juga bagaimana ia mampu menunjukkan kasih sayang, kebijaksanaan, dan keteladanan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Karena, tidak sedikit orang yang di luar rumah terkenal dengan kelembutan, kasih sayang, dan kebijaksanaannya kepada orang lain, tetapi di rumahnya ia menjadi seseorang yang menakutkan dengan emosi dan amarahnya yang tak mampu ia kendalikan, serta kata-kata kasar yang selalu menyakiti hati istri dan anak-anaknya. Bagaimana mungkin kita bermimpi menjadi seorang pemimpin teladan di tengah-tengah masyarakat, sementara kepemimpinan dan kebijaksanaan dalam membina rumah tangga saja kita masih belum tuntas. Kadangkala, banyak Ayah yang enggan untuk terlebih dahulu introspeksi diri tatkala dihadapkan pada sebuah permasalahan rumah tangga. Telunjuk untuk menyalahkan mengarah pada istri ataupun anak yang dianggap tidak memahami dirinya. Padahal, kendali sepenuhnya ada pada seorang Ayah. Bagaimana ia bersikap dan merespon kontak dengan istri ataupun anak-anaknya, maka seperti itu pula pantulan sikap yang ia terima. Oleh karenanya, siapa pun kita, sebagai seorang Ayah, tak ada kata terlambat untuk memulai dari awal. Menjadi seorang teladan dalam rumah tangga, menjadikan role model Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai tolok ukur sikap dalam menghadapi berbagai problematika kehidupan rumah tangga. Sehingga, ikhtiar kita untuk mempertanggungjawabkan ketakwaan keluarga kita kepada Allah Ta’ala telah maksimal kita tunaikan. Maka, mari kita mulai dengan menginternalisasikan beberapa sifat dan karakter berikut untuk menjadi seorang Ayah teladan. Teladan ketaatan Menjadi teladan dalam ketaatan kepada Allah ﷻ adalah salah satu peran utama seorang Ayah. Mulai dari teladan dalam ketaatan menjalankan perintah Allah yang fundamental seperti salat, puasa, zakat, dan haji, serta ibadah-ibadah nawafil hingga menjadi teladan dalam menjaga keimanan dan kehormatan dari segala bentuk perbuatan maksiat kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Seorang Ayah yang taat dalam menjalankan ibadah, mengajak keluarga untuk salat berjemaah, membaca Al-Qur’an, dan mengamalkan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, akan menjadi teladan yang baik bagi istri dan anak-anaknya. Keteladanan ini akan membentuk keluarga yang kokoh dalam iman dan takwa dan menjadi bagian dari jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Berhias diri Menjaga penampilan adalah salah satu tanggung jawab penting bagi seorang Ayah. Adalah ironi, ketika kita hendak keluar rumah untuk mencari nafkah misalnya, kita menggunakan pakaian yang bagus, parfum yang wangi, badan yang bersih, dan tutur kata yang indah. Sementara ketika di dalam rumah, kita memaksakan anggota keluarga kita untuk memaklumi bahwa kita memang orang yang tidak pandai berhias diri, jorok, kotor, dan bau. Lantas, kita pun memaksa istri kita untuk menyambut kita dengan perhiasan terbaiknya? Ingat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat menganjurkan umatnya untuk berhias, terutama di hadapan keluarga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ “Sesungguhnya Allah itu Mahaindah dan mencintai keindahan.” (HR. Muslim no. 91) Berhias diri bukan hanya tentang penampilan fisik, tetapi juga menjaga kebersihan dan kerapian. Seorang Ayah yang menjaga kebersihan diri dan berpenampilan rapi akan memberikan kesan baik kepada istri dan anak-anaknya, serta mencerminkan kepeduliannya terhadap keluarga. Bahkan, dalam hal-hal kecil seperti tidak kentut sembarangan di rumah, hal ini menunjukkan rasa hormat dan menjaga keharmonisan keluarga. Menjaga wibawa Menjaga wibawa sebagai seorang Ayah sangat penting agar tetap dihormati oleh istri dan anak-anak. Hal ini bisa dicapai dengan tidak hanya bersikap tegas tetapi juga adil dan bijaksana dalam mengambil keputusan. Banyak yang salah kaprah bahwa kewibawaan itu ditunjukkan dengan nada suara yang keras dan tinggi atau marah dengan meluap-luap tatkala menghadapi sesuatu yang tidak disukai. Padahal, kewibawaan yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak demikian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam banyak mencontohkan kelemahlembutan kepada istri, bahkan dalam situasi yang memancing amarahnya. Allah Ta’ala berfirman, ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34) Maka, pahamilah bahwa wibawa seorang Ayah bukan berarti bersikap otoriter, melainkan menunjukkan integritas, ketulusan, dan ketaatan kepada Allah Ta’ala dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil. Ingat, tolak ukur kita adalah teladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seorang pemimpin dunia dan manusia mulia yang sangat lembut dengan keluarganya. Baca juga: Kewajiban Ayah untuk Membimbing Anak yang Tidak Menjaga Salat Penolong Seorang Ayah idaman adalah yang siap membantu istri dalam berbagai urusan rumah tangga. Rasulullah ﷺ adalah teladan terbaik dalam hal ini. Dalam sebuah hadis, Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan, كَانَ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ “Dahulu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membantu istrinya dalam perkerjaan rumah tangga, dan jika tiba waktu salat, maka beliau pun pergi salat.” (HR. Bukhari) Membantu istri dalam pekerjaan rumah tangga bukan hanya menunjukkan rasa cinta dan penghormatan, tetapi juga mendidik anak-anak untuk saling membantu dan menghargai kerja keras satu sama lain. Sadarilah hal-hal kecil dalam rumah. Seperti saat weekend, misalnya, buatlah list khusus untuk mengerjakan kebersihan rumah, menyapu, mengepel, membersihkan kaca, menjemur, menyetrika pakaian, dan memasak. Kadangkala, jika ditimbang-timbang, bisa jadi pekerjaan yang dilakukan seorang istri di rumah secara fisik bisa lebih besar dari yang dilakukan oleh suaminya di luar sana. Renungkanlah pekerjaan istri, mulai dari memasak, membersihkan rumah, mencuci, hingga mengurus anak-anak. Konon pula, seorang istri yang juga sebagai pekerja. Mengerjakan fungsi ganda, sebagai seorang istri dan sebagai seorang pencari nafkah. Tidak layakkah ia mendapatkan perlakuan terbaik dari kita? Pendidik Ayah juga berperan sebagai pendidik bagi anak-anaknya. Pendidikan yang diberikan haruslah berdasarkan ajaran syariat yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mulai dari pendidikan saat mereka berada dalam kandungan, masa kanak-kanak hingga balig. Peran Ayah sangat berarti dalam pendidikan anak, ia bisa mempengaruhi arah kehidupan dan ketaatan anak-anaknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim) Maka, jadilah pendidik terbaik! Pendidikan yang baik bukan hanya tentang ilmu dunia, tetapi juga tentang akhlak, adab, dan nilai-nilai Islami. Seorang Ayah harus aktif dalam mengajarkan anak-anak tentang Islam, baik melalui pengajaran langsung maupun dengan memberikan contoh dalam perilaku sehari-hari. Perhatikan tontonan, bacaan, dan pergaulan lingkungan anak-anak. Lingkungan juga memiliki andil besar dalam pembentukan karakternya. Mohonlah kepada Allah Ta’ala kekuatan untuk menjadi seorang Ayah yang dapat memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anak kita. Pengasuh Tugas Ayah bukan hanya mencari nafkah, tetapi juga mengasuh anak-anak dengan penuh kasih sayang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan betapa pentingnya peran seorang ayah dalam pengasuhan anak. Beliau sangat menyayangi anak-anak dan cucu-cucunya, serta selalu memberikan perhatian khusus kepada mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ لا يَرْحَمُ لا يُرْحَمُ “Barangsiapa yang tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi.” (HR. Bukhari dan Muslim) Pengasuhan yang baik dapat diberikan dengan meluangkan waktu yang cukup untuk bermain, berbicara, dan mendengarkan anak-anak. Seorang ayah yang terlibat dalam pengasuhan anak akan menciptakan ikatan emosional yang kuat dan membantu perkembangan emosional serta mental anak-anaknya. Selain itu, kedekatan Ayah dengan anak-anak akan lebih memudahkannya untuk mengarahkan mereka kepada ketaatan kepada Allah Ta’ala dan menjadikan mereka patuh untuk tidak melanggar batasan-batasan syariat. Saudaraku, menjadi Ayah Teladan adalah sebuah tugas yang membutuhkan komitmen, kasih sayang, dan keteladanan dalam berbagai aspek kehidupan. Seorang Ayah yang  menjadi teladan ketaatan, mampu berhias diri, menjaga wibawa, membantu istri, mendidik sesuai dengan ketentuan syariat, dan mengasuh dengan penuh kasih sayang akan menciptakan keluarga yang harmonis dan diridai oleh Allah Ta’ala. Teladanilah sifat-sifat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mudah-mudahan kita dapat menjadi pemimpin keluarga yang dicintai dan dihormati, serta mampu membimbing keluarga menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Wallahu A’lam Baca juga: Jika Ayah Menyuruh Kita Membeli Rokok *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: ayahteladan

Fikih Salat Ba’diyah Jumat

Daftar Isi Toggle Disyariatkannya salat sunah ba’diyah JumatJumlah rakaatJika ingin salat sunah empat rakaat (setelah salat Jumat), bagaimana caranya?Apakah lebih afdal di masjid atau di rumah? Di antara bentuk rahmat Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya adalah Dia mensyariatkan salat sunah sebagai pelengkap dan penyempurna salat wajib. Dengan demikian, mereka akan bertemu Allah pada hari kiamat dengan salat yang sempurna. Para ulama menetapkan suatu kaidah, ما نَقصَ من الفرائضِ، فإنَّه يُجبَر من النوافلِ ويُكمَّلُ بها يومَ القِيامةِ “Apa yang kurang dari salat wajib, akan disempurnakan dengan salat sunah pada hari kiamat.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ أوَّلَ ما يُحاسَبُ به الناسُ يومَ القيامةِ من الصَّلاةِ، قال: يقول ربُّنا عزَّ وجلَّ لملائكتِه – وهو أعلمُ -: انظروا في صلاةِ عَبدي، أتمَّها أم نَقَصها، فإنْ كانت تامَّةً كُتبتْ له تامَّةً، وإنْ كان انتقص منها شيئًا قال: انظروا، هل لعبدي من تطوُّعٍ، فإنْ كان له تطوُّعٌ، قال: أتمُّوا لعبدي فريضتَه من تطوُّعِه، ثم تُؤخَذُ الأعمالُ على ذاكم “Sesungguhnya amalan pertama yang akan diperhitungkan bagi manusia pada hari kiamat adalah salat. Allah Ta’ala akan berfirman kepada para malaikat-Nya (dan Dia Maha Mengetahui), ‘Lihatlah salat hamba-Ku, apakah ia menyempurnakannya atau menguranginya. Jika sempurna, maka catatlah baginya sempurna. Jika ada yang kurang darinya, maka lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki salat sunah. Jika ia memiliki salat sunah, maka sempurnakanlah salat wajib hamba-Ku dengan salat sunahnya.’ Kemudian amalan-amalan lain akan diperhitungkan setelah itu.” (HR. Abu Dawud no. 864, disahihkan oleh Al-Albani rahimahullah) [1] Disyariatkannya salat sunah ba’diyah Jumat Terdapat beberapa hadis yang dengan jelas menunjukkan disyariatkannya salat sunah ba’diyah (setelah) Jumat. Di antaranya: Pertama: Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, صليتُ مع النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم سجدتينِ قبلَ الظُّهرِ، وسجدتينِ بعد المغربِ، وسجدتينِ بعدَ العِشاءِ، وسجدتينِ بعدَ الجُمُعةِ “Aku salat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat setelah salat Jumat.” (Muttafaqun ‘alaihi. Bukhari no. 1172 dan Muslim no. 729) [2] Kedua: Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إذا صلى أحدكم الجمعة؛ فليصل بعدها أربعاً ‘Jika salah seorang di antara kalian salat Jumat, maka salatlah setelahnya empat rakaat.‘ Dalam riwayat lain dari beliau bersabda, من كان منكم مصلياً ‌بعد ‌الجمعة فليصل أربعاً ‘Barangsiapa di antara kalian yang akan salat setelah Jumat, maka salatlah empat rakaat.‘ ” (HR. Muslim no. 881) [3] Jumlah rakaat Salat sunah setelah Jumat adalah dua rakaat atau empat rakaat, dan yang lebih utama adalah salat empat rakaat. Setelah menyebutkan dua hadis tentang disyariatkannya salat sunah ba’diyah Jumat, Syekh Muhammad Umar Bazmul hafidzahullah mengatakan, والحديثان يدلان على مشروعية صلاة ركعتين أو أربع ركعات بعد الجمعة، أي ذلك فعل المسلم؛ جاز، والأفضل صلاة أربع ركعات بعد الجمعة؛ لما في حديث أبي هريرة من التنصيص القولي عليها. “Kedua hadis menunjukkan disyariatkannya salat dua rakaat atau empat rakaat setelah Jumat, yang mana pun jika seorang muslim melakukannya, maka diperbolehkan. Dan yang lebih utama adalah salat empat rakaat setelah Jumat, karena dalam hadis Abu Hurairah terdapat penegasan secara lisan tentang hal itu.” [4] Para ulama Syafi’iyyah mengatakan, أَقَل السُّنَّةِ رَكْعَتَانِ قَبْلَهَا وَرَكْعَتَانِ بَعْدَهَا، وَالأَْكْمَل أَرْبَعٌ قَبْلَهَا وَأَرْبَعٌ بَعْدَهَا “Paling sedikit salat sunah (yang mengiringi salat Jumat) adalah dua rakaat sebelum dan dua rakaat sesudahnya, dan yang paling sempurna adalah empat rakaat sebelum dan empat rakaat sesudahnya.” [5] Baca juga: Apakah Berdiri Menjawab Azan atau Salat Tahiyatul Masjid ketika Azan Salat Jumat? Jika ingin salat sunah empat rakaat (setelah salat Jumat), bagaimana caranya? Sunahnya adalah salat dua kali salam setelah salat Jumat, ini adalah yang lebih utama. Namun, jika salat dengan satu kali salam, itu sudah cukup. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, صلاة الليل والنهار مثنى مثنى “Salat (sunah) malam dan siang itu dua rakaat dua rakaat.” (HR. Abu Dawud no. 1295, An-Nasa’i no. 1666, Ibnu Majah no. 1322, dan disahihkan oleh Al-Albani) [6] Syekh Ibnu Baz rahimahullah ketika ditanya, “Apakah diperbolehkan salat sunah langsung setelah salat Jumat?” Beliau menjawab, السنة بعد الجمعة أن يصلي أربعًا، يقول النبي ﷺ: من كان مصليًا بعد الجمعة فليصل بعدها أربعًا[أخرجه مسلم 881]، وإذا صليتم بعد الجمعة صلوا أربعًا، والسنة أن يصلي تسليمتين بعد الجمعة، هذا هو الأفضل، وإن صلى تسليمة واحدة كفى، والأفضل أربع، وثبت عنه ﷺ أنه كان يصلي في بيته بعد الجمعة ركعتين، ولكن أمره آكد، فقد أمر بأربع، فأمره آكد، فالسنة والأفضل أن يصلي أربعًا سواء في المسجد أو في بيته تسليمتين بعد الجمعة “Sunahnya setelah salat Jumat adalah salat empat rakaat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa yang hendak salat setelah salat Jumat, hendaklah dia salat empat rakaat.’ (HR. Muslim no. 881). Dan jika kalian salat setelah salat Jumat, salatlah empat rakaat. Sunahnya adalah salat dua kali salam setelah salat Jumat, ini adalah yang lebih utama. Namun, jika salat dengan satu kali salam, itu sudah cukup. Dan yang lebih utama adalah empat rakaat. Telah terbukti bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam salat di rumahnya setelah salat Jumat dua rakaat, tetapi perintahnya lebih ditekankan, karena beliau memerintahkan empat rakaat. Perintahnya lebih ditekankan. Maka, sunah dan yang lebih utama adalah salat empat rakaat, baik di masjid atau di rumah, dengan dua kali salam setelah salat Jumat.” [7] Apakah lebih afdal di masjid atau di rumah? Yang lebih utama adalah salat sunah setelah salat Jumat dilakukan di rumah, baik yang dua rakaat, maupun yang empat rakaat. [8] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أفضل الصلاة صلاة المرء في بيته إلا المكتوبة “Salat yang paling utama adalah salat seseorang di rumahnya, kecuali salat wajib.” (Muttafaqun ‘alaih. Bukhari no. 731 dan Muslim no. 781) Syekh Al-Albani rahimahullah berkata [9], فإذا صلى بعد الجمعة ركعتين أو أربعاً في المسجد جاز، أو في البيت؛ فهو أفضل؛ لهذا الحديث الصحيح “Maka, jika salat setelah salat Jumat dua rakaat atau empat rakaat (dikerjakan) di masjid, itu diperbolehkan. Atau (jika dikerjakan) di rumah, itu lebih utama karena hadis sahih ini (yaitu, di atas).” [10] Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Jumlah Minimal Jemaah Salat Jumat *** 25 Zulhijah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’, Dr. Muhammad Umar Bazmul, Darul Imam Ahmad – Kairo, cet. ke-1, 2006.   Catatan kaki: [1] Lihat: https://dorar.net/feqhia/1211 [2] Lihat Bughyatu Al-Mutathawwi’, hal. 20. [3] Lihat Bughyatu Al-Mutathawwi’, hal. 98. [4] Bughyatu Al-Mutathawwi’, hal. 99. [5] Mughni Al-Muhtaj, 1: 220, dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 25: 279. [6] Lihat Tamamul Minnah oleh Syekh Al-Albani, hal. 239-240. [7] Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutawa’ah oleh Ibnu Baz, 30: 270. Lihat juga https://dorar.net/feqhia/1285 [8] Lihat Tamamul Minnah, hal. 341-343. [9] Tamamul Minnah, hal. 341. [10] Bughyatu Al-Mutathawwi’, hal. 99. Tags: salat jumat

Fikih Salat Ba’diyah Jumat

Daftar Isi Toggle Disyariatkannya salat sunah ba’diyah JumatJumlah rakaatJika ingin salat sunah empat rakaat (setelah salat Jumat), bagaimana caranya?Apakah lebih afdal di masjid atau di rumah? Di antara bentuk rahmat Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya adalah Dia mensyariatkan salat sunah sebagai pelengkap dan penyempurna salat wajib. Dengan demikian, mereka akan bertemu Allah pada hari kiamat dengan salat yang sempurna. Para ulama menetapkan suatu kaidah, ما نَقصَ من الفرائضِ، فإنَّه يُجبَر من النوافلِ ويُكمَّلُ بها يومَ القِيامةِ “Apa yang kurang dari salat wajib, akan disempurnakan dengan salat sunah pada hari kiamat.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ أوَّلَ ما يُحاسَبُ به الناسُ يومَ القيامةِ من الصَّلاةِ، قال: يقول ربُّنا عزَّ وجلَّ لملائكتِه – وهو أعلمُ -: انظروا في صلاةِ عَبدي، أتمَّها أم نَقَصها، فإنْ كانت تامَّةً كُتبتْ له تامَّةً، وإنْ كان انتقص منها شيئًا قال: انظروا، هل لعبدي من تطوُّعٍ، فإنْ كان له تطوُّعٌ، قال: أتمُّوا لعبدي فريضتَه من تطوُّعِه، ثم تُؤخَذُ الأعمالُ على ذاكم “Sesungguhnya amalan pertama yang akan diperhitungkan bagi manusia pada hari kiamat adalah salat. Allah Ta’ala akan berfirman kepada para malaikat-Nya (dan Dia Maha Mengetahui), ‘Lihatlah salat hamba-Ku, apakah ia menyempurnakannya atau menguranginya. Jika sempurna, maka catatlah baginya sempurna. Jika ada yang kurang darinya, maka lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki salat sunah. Jika ia memiliki salat sunah, maka sempurnakanlah salat wajib hamba-Ku dengan salat sunahnya.’ Kemudian amalan-amalan lain akan diperhitungkan setelah itu.” (HR. Abu Dawud no. 864, disahihkan oleh Al-Albani rahimahullah) [1] Disyariatkannya salat sunah ba’diyah Jumat Terdapat beberapa hadis yang dengan jelas menunjukkan disyariatkannya salat sunah ba’diyah (setelah) Jumat. Di antaranya: Pertama: Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, صليتُ مع النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم سجدتينِ قبلَ الظُّهرِ، وسجدتينِ بعد المغربِ، وسجدتينِ بعدَ العِشاءِ، وسجدتينِ بعدَ الجُمُعةِ “Aku salat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat setelah salat Jumat.” (Muttafaqun ‘alaihi. Bukhari no. 1172 dan Muslim no. 729) [2] Kedua: Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إذا صلى أحدكم الجمعة؛ فليصل بعدها أربعاً ‘Jika salah seorang di antara kalian salat Jumat, maka salatlah setelahnya empat rakaat.‘ Dalam riwayat lain dari beliau bersabda, من كان منكم مصلياً ‌بعد ‌الجمعة فليصل أربعاً ‘Barangsiapa di antara kalian yang akan salat setelah Jumat, maka salatlah empat rakaat.‘ ” (HR. Muslim no. 881) [3] Jumlah rakaat Salat sunah setelah Jumat adalah dua rakaat atau empat rakaat, dan yang lebih utama adalah salat empat rakaat. Setelah menyebutkan dua hadis tentang disyariatkannya salat sunah ba’diyah Jumat, Syekh Muhammad Umar Bazmul hafidzahullah mengatakan, والحديثان يدلان على مشروعية صلاة ركعتين أو أربع ركعات بعد الجمعة، أي ذلك فعل المسلم؛ جاز، والأفضل صلاة أربع ركعات بعد الجمعة؛ لما في حديث أبي هريرة من التنصيص القولي عليها. “Kedua hadis menunjukkan disyariatkannya salat dua rakaat atau empat rakaat setelah Jumat, yang mana pun jika seorang muslim melakukannya, maka diperbolehkan. Dan yang lebih utama adalah salat empat rakaat setelah Jumat, karena dalam hadis Abu Hurairah terdapat penegasan secara lisan tentang hal itu.” [4] Para ulama Syafi’iyyah mengatakan, أَقَل السُّنَّةِ رَكْعَتَانِ قَبْلَهَا وَرَكْعَتَانِ بَعْدَهَا، وَالأَْكْمَل أَرْبَعٌ قَبْلَهَا وَأَرْبَعٌ بَعْدَهَا “Paling sedikit salat sunah (yang mengiringi salat Jumat) adalah dua rakaat sebelum dan dua rakaat sesudahnya, dan yang paling sempurna adalah empat rakaat sebelum dan empat rakaat sesudahnya.” [5] Baca juga: Apakah Berdiri Menjawab Azan atau Salat Tahiyatul Masjid ketika Azan Salat Jumat? Jika ingin salat sunah empat rakaat (setelah salat Jumat), bagaimana caranya? Sunahnya adalah salat dua kali salam setelah salat Jumat, ini adalah yang lebih utama. Namun, jika salat dengan satu kali salam, itu sudah cukup. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, صلاة الليل والنهار مثنى مثنى “Salat (sunah) malam dan siang itu dua rakaat dua rakaat.” (HR. Abu Dawud no. 1295, An-Nasa’i no. 1666, Ibnu Majah no. 1322, dan disahihkan oleh Al-Albani) [6] Syekh Ibnu Baz rahimahullah ketika ditanya, “Apakah diperbolehkan salat sunah langsung setelah salat Jumat?” Beliau menjawab, السنة بعد الجمعة أن يصلي أربعًا، يقول النبي ﷺ: من كان مصليًا بعد الجمعة فليصل بعدها أربعًا[أخرجه مسلم 881]، وإذا صليتم بعد الجمعة صلوا أربعًا، والسنة أن يصلي تسليمتين بعد الجمعة، هذا هو الأفضل، وإن صلى تسليمة واحدة كفى، والأفضل أربع، وثبت عنه ﷺ أنه كان يصلي في بيته بعد الجمعة ركعتين، ولكن أمره آكد، فقد أمر بأربع، فأمره آكد، فالسنة والأفضل أن يصلي أربعًا سواء في المسجد أو في بيته تسليمتين بعد الجمعة “Sunahnya setelah salat Jumat adalah salat empat rakaat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa yang hendak salat setelah salat Jumat, hendaklah dia salat empat rakaat.’ (HR. Muslim no. 881). Dan jika kalian salat setelah salat Jumat, salatlah empat rakaat. Sunahnya adalah salat dua kali salam setelah salat Jumat, ini adalah yang lebih utama. Namun, jika salat dengan satu kali salam, itu sudah cukup. Dan yang lebih utama adalah empat rakaat. Telah terbukti bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam salat di rumahnya setelah salat Jumat dua rakaat, tetapi perintahnya lebih ditekankan, karena beliau memerintahkan empat rakaat. Perintahnya lebih ditekankan. Maka, sunah dan yang lebih utama adalah salat empat rakaat, baik di masjid atau di rumah, dengan dua kali salam setelah salat Jumat.” [7] Apakah lebih afdal di masjid atau di rumah? Yang lebih utama adalah salat sunah setelah salat Jumat dilakukan di rumah, baik yang dua rakaat, maupun yang empat rakaat. [8] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أفضل الصلاة صلاة المرء في بيته إلا المكتوبة “Salat yang paling utama adalah salat seseorang di rumahnya, kecuali salat wajib.” (Muttafaqun ‘alaih. Bukhari no. 731 dan Muslim no. 781) Syekh Al-Albani rahimahullah berkata [9], فإذا صلى بعد الجمعة ركعتين أو أربعاً في المسجد جاز، أو في البيت؛ فهو أفضل؛ لهذا الحديث الصحيح “Maka, jika salat setelah salat Jumat dua rakaat atau empat rakaat (dikerjakan) di masjid, itu diperbolehkan. Atau (jika dikerjakan) di rumah, itu lebih utama karena hadis sahih ini (yaitu, di atas).” [10] Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Jumlah Minimal Jemaah Salat Jumat *** 25 Zulhijah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’, Dr. Muhammad Umar Bazmul, Darul Imam Ahmad – Kairo, cet. ke-1, 2006.   Catatan kaki: [1] Lihat: https://dorar.net/feqhia/1211 [2] Lihat Bughyatu Al-Mutathawwi’, hal. 20. [3] Lihat Bughyatu Al-Mutathawwi’, hal. 98. [4] Bughyatu Al-Mutathawwi’, hal. 99. [5] Mughni Al-Muhtaj, 1: 220, dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 25: 279. [6] Lihat Tamamul Minnah oleh Syekh Al-Albani, hal. 239-240. [7] Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutawa’ah oleh Ibnu Baz, 30: 270. Lihat juga https://dorar.net/feqhia/1285 [8] Lihat Tamamul Minnah, hal. 341-343. [9] Tamamul Minnah, hal. 341. [10] Bughyatu Al-Mutathawwi’, hal. 99. Tags: salat jumat
Daftar Isi Toggle Disyariatkannya salat sunah ba’diyah JumatJumlah rakaatJika ingin salat sunah empat rakaat (setelah salat Jumat), bagaimana caranya?Apakah lebih afdal di masjid atau di rumah? Di antara bentuk rahmat Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya adalah Dia mensyariatkan salat sunah sebagai pelengkap dan penyempurna salat wajib. Dengan demikian, mereka akan bertemu Allah pada hari kiamat dengan salat yang sempurna. Para ulama menetapkan suatu kaidah, ما نَقصَ من الفرائضِ، فإنَّه يُجبَر من النوافلِ ويُكمَّلُ بها يومَ القِيامةِ “Apa yang kurang dari salat wajib, akan disempurnakan dengan salat sunah pada hari kiamat.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ أوَّلَ ما يُحاسَبُ به الناسُ يومَ القيامةِ من الصَّلاةِ، قال: يقول ربُّنا عزَّ وجلَّ لملائكتِه – وهو أعلمُ -: انظروا في صلاةِ عَبدي، أتمَّها أم نَقَصها، فإنْ كانت تامَّةً كُتبتْ له تامَّةً، وإنْ كان انتقص منها شيئًا قال: انظروا، هل لعبدي من تطوُّعٍ، فإنْ كان له تطوُّعٌ، قال: أتمُّوا لعبدي فريضتَه من تطوُّعِه، ثم تُؤخَذُ الأعمالُ على ذاكم “Sesungguhnya amalan pertama yang akan diperhitungkan bagi manusia pada hari kiamat adalah salat. Allah Ta’ala akan berfirman kepada para malaikat-Nya (dan Dia Maha Mengetahui), ‘Lihatlah salat hamba-Ku, apakah ia menyempurnakannya atau menguranginya. Jika sempurna, maka catatlah baginya sempurna. Jika ada yang kurang darinya, maka lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki salat sunah. Jika ia memiliki salat sunah, maka sempurnakanlah salat wajib hamba-Ku dengan salat sunahnya.’ Kemudian amalan-amalan lain akan diperhitungkan setelah itu.” (HR. Abu Dawud no. 864, disahihkan oleh Al-Albani rahimahullah) [1] Disyariatkannya salat sunah ba’diyah Jumat Terdapat beberapa hadis yang dengan jelas menunjukkan disyariatkannya salat sunah ba’diyah (setelah) Jumat. Di antaranya: Pertama: Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, صليتُ مع النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم سجدتينِ قبلَ الظُّهرِ، وسجدتينِ بعد المغربِ، وسجدتينِ بعدَ العِشاءِ، وسجدتينِ بعدَ الجُمُعةِ “Aku salat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat setelah salat Jumat.” (Muttafaqun ‘alaihi. Bukhari no. 1172 dan Muslim no. 729) [2] Kedua: Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إذا صلى أحدكم الجمعة؛ فليصل بعدها أربعاً ‘Jika salah seorang di antara kalian salat Jumat, maka salatlah setelahnya empat rakaat.‘ Dalam riwayat lain dari beliau bersabda, من كان منكم مصلياً ‌بعد ‌الجمعة فليصل أربعاً ‘Barangsiapa di antara kalian yang akan salat setelah Jumat, maka salatlah empat rakaat.‘ ” (HR. Muslim no. 881) [3] Jumlah rakaat Salat sunah setelah Jumat adalah dua rakaat atau empat rakaat, dan yang lebih utama adalah salat empat rakaat. Setelah menyebutkan dua hadis tentang disyariatkannya salat sunah ba’diyah Jumat, Syekh Muhammad Umar Bazmul hafidzahullah mengatakan, والحديثان يدلان على مشروعية صلاة ركعتين أو أربع ركعات بعد الجمعة، أي ذلك فعل المسلم؛ جاز، والأفضل صلاة أربع ركعات بعد الجمعة؛ لما في حديث أبي هريرة من التنصيص القولي عليها. “Kedua hadis menunjukkan disyariatkannya salat dua rakaat atau empat rakaat setelah Jumat, yang mana pun jika seorang muslim melakukannya, maka diperbolehkan. Dan yang lebih utama adalah salat empat rakaat setelah Jumat, karena dalam hadis Abu Hurairah terdapat penegasan secara lisan tentang hal itu.” [4] Para ulama Syafi’iyyah mengatakan, أَقَل السُّنَّةِ رَكْعَتَانِ قَبْلَهَا وَرَكْعَتَانِ بَعْدَهَا، وَالأَْكْمَل أَرْبَعٌ قَبْلَهَا وَأَرْبَعٌ بَعْدَهَا “Paling sedikit salat sunah (yang mengiringi salat Jumat) adalah dua rakaat sebelum dan dua rakaat sesudahnya, dan yang paling sempurna adalah empat rakaat sebelum dan empat rakaat sesudahnya.” [5] Baca juga: Apakah Berdiri Menjawab Azan atau Salat Tahiyatul Masjid ketika Azan Salat Jumat? Jika ingin salat sunah empat rakaat (setelah salat Jumat), bagaimana caranya? Sunahnya adalah salat dua kali salam setelah salat Jumat, ini adalah yang lebih utama. Namun, jika salat dengan satu kali salam, itu sudah cukup. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, صلاة الليل والنهار مثنى مثنى “Salat (sunah) malam dan siang itu dua rakaat dua rakaat.” (HR. Abu Dawud no. 1295, An-Nasa’i no. 1666, Ibnu Majah no. 1322, dan disahihkan oleh Al-Albani) [6] Syekh Ibnu Baz rahimahullah ketika ditanya, “Apakah diperbolehkan salat sunah langsung setelah salat Jumat?” Beliau menjawab, السنة بعد الجمعة أن يصلي أربعًا، يقول النبي ﷺ: من كان مصليًا بعد الجمعة فليصل بعدها أربعًا[أخرجه مسلم 881]، وإذا صليتم بعد الجمعة صلوا أربعًا، والسنة أن يصلي تسليمتين بعد الجمعة، هذا هو الأفضل، وإن صلى تسليمة واحدة كفى، والأفضل أربع، وثبت عنه ﷺ أنه كان يصلي في بيته بعد الجمعة ركعتين، ولكن أمره آكد، فقد أمر بأربع، فأمره آكد، فالسنة والأفضل أن يصلي أربعًا سواء في المسجد أو في بيته تسليمتين بعد الجمعة “Sunahnya setelah salat Jumat adalah salat empat rakaat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa yang hendak salat setelah salat Jumat, hendaklah dia salat empat rakaat.’ (HR. Muslim no. 881). Dan jika kalian salat setelah salat Jumat, salatlah empat rakaat. Sunahnya adalah salat dua kali salam setelah salat Jumat, ini adalah yang lebih utama. Namun, jika salat dengan satu kali salam, itu sudah cukup. Dan yang lebih utama adalah empat rakaat. Telah terbukti bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam salat di rumahnya setelah salat Jumat dua rakaat, tetapi perintahnya lebih ditekankan, karena beliau memerintahkan empat rakaat. Perintahnya lebih ditekankan. Maka, sunah dan yang lebih utama adalah salat empat rakaat, baik di masjid atau di rumah, dengan dua kali salam setelah salat Jumat.” [7] Apakah lebih afdal di masjid atau di rumah? Yang lebih utama adalah salat sunah setelah salat Jumat dilakukan di rumah, baik yang dua rakaat, maupun yang empat rakaat. [8] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أفضل الصلاة صلاة المرء في بيته إلا المكتوبة “Salat yang paling utama adalah salat seseorang di rumahnya, kecuali salat wajib.” (Muttafaqun ‘alaih. Bukhari no. 731 dan Muslim no. 781) Syekh Al-Albani rahimahullah berkata [9], فإذا صلى بعد الجمعة ركعتين أو أربعاً في المسجد جاز، أو في البيت؛ فهو أفضل؛ لهذا الحديث الصحيح “Maka, jika salat setelah salat Jumat dua rakaat atau empat rakaat (dikerjakan) di masjid, itu diperbolehkan. Atau (jika dikerjakan) di rumah, itu lebih utama karena hadis sahih ini (yaitu, di atas).” [10] Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Jumlah Minimal Jemaah Salat Jumat *** 25 Zulhijah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’, Dr. Muhammad Umar Bazmul, Darul Imam Ahmad – Kairo, cet. ke-1, 2006.   Catatan kaki: [1] Lihat: https://dorar.net/feqhia/1211 [2] Lihat Bughyatu Al-Mutathawwi’, hal. 20. [3] Lihat Bughyatu Al-Mutathawwi’, hal. 98. [4] Bughyatu Al-Mutathawwi’, hal. 99. [5] Mughni Al-Muhtaj, 1: 220, dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 25: 279. [6] Lihat Tamamul Minnah oleh Syekh Al-Albani, hal. 239-240. [7] Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutawa’ah oleh Ibnu Baz, 30: 270. Lihat juga https://dorar.net/feqhia/1285 [8] Lihat Tamamul Minnah, hal. 341-343. [9] Tamamul Minnah, hal. 341. [10] Bughyatu Al-Mutathawwi’, hal. 99. Tags: salat jumat


Daftar Isi Toggle Disyariatkannya salat sunah ba’diyah JumatJumlah rakaatJika ingin salat sunah empat rakaat (setelah salat Jumat), bagaimana caranya?Apakah lebih afdal di masjid atau di rumah? Di antara bentuk rahmat Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya adalah Dia mensyariatkan salat sunah sebagai pelengkap dan penyempurna salat wajib. Dengan demikian, mereka akan bertemu Allah pada hari kiamat dengan salat yang sempurna. Para ulama menetapkan suatu kaidah, ما نَقصَ من الفرائضِ، فإنَّه يُجبَر من النوافلِ ويُكمَّلُ بها يومَ القِيامةِ “Apa yang kurang dari salat wajib, akan disempurnakan dengan salat sunah pada hari kiamat.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ أوَّلَ ما يُحاسَبُ به الناسُ يومَ القيامةِ من الصَّلاةِ، قال: يقول ربُّنا عزَّ وجلَّ لملائكتِه – وهو أعلمُ -: انظروا في صلاةِ عَبدي، أتمَّها أم نَقَصها، فإنْ كانت تامَّةً كُتبتْ له تامَّةً، وإنْ كان انتقص منها شيئًا قال: انظروا، هل لعبدي من تطوُّعٍ، فإنْ كان له تطوُّعٌ، قال: أتمُّوا لعبدي فريضتَه من تطوُّعِه، ثم تُؤخَذُ الأعمالُ على ذاكم “Sesungguhnya amalan pertama yang akan diperhitungkan bagi manusia pada hari kiamat adalah salat. Allah Ta’ala akan berfirman kepada para malaikat-Nya (dan Dia Maha Mengetahui), ‘Lihatlah salat hamba-Ku, apakah ia menyempurnakannya atau menguranginya. Jika sempurna, maka catatlah baginya sempurna. Jika ada yang kurang darinya, maka lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki salat sunah. Jika ia memiliki salat sunah, maka sempurnakanlah salat wajib hamba-Ku dengan salat sunahnya.’ Kemudian amalan-amalan lain akan diperhitungkan setelah itu.” (HR. Abu Dawud no. 864, disahihkan oleh Al-Albani rahimahullah) [1] Disyariatkannya salat sunah ba’diyah Jumat Terdapat beberapa hadis yang dengan jelas menunjukkan disyariatkannya salat sunah ba’diyah (setelah) Jumat. Di antaranya: Pertama: Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, صليتُ مع النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم سجدتينِ قبلَ الظُّهرِ، وسجدتينِ بعد المغربِ، وسجدتينِ بعدَ العِشاءِ، وسجدتينِ بعدَ الجُمُعةِ “Aku salat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat setelah salat Jumat.” (Muttafaqun ‘alaihi. Bukhari no. 1172 dan Muslim no. 729) [2] Kedua: Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إذا صلى أحدكم الجمعة؛ فليصل بعدها أربعاً ‘Jika salah seorang di antara kalian salat Jumat, maka salatlah setelahnya empat rakaat.‘ Dalam riwayat lain dari beliau bersabda, من كان منكم مصلياً ‌بعد ‌الجمعة فليصل أربعاً ‘Barangsiapa di antara kalian yang akan salat setelah Jumat, maka salatlah empat rakaat.‘ ” (HR. Muslim no. 881) [3] Jumlah rakaat Salat sunah setelah Jumat adalah dua rakaat atau empat rakaat, dan yang lebih utama adalah salat empat rakaat. Setelah menyebutkan dua hadis tentang disyariatkannya salat sunah ba’diyah Jumat, Syekh Muhammad Umar Bazmul hafidzahullah mengatakan, والحديثان يدلان على مشروعية صلاة ركعتين أو أربع ركعات بعد الجمعة، أي ذلك فعل المسلم؛ جاز، والأفضل صلاة أربع ركعات بعد الجمعة؛ لما في حديث أبي هريرة من التنصيص القولي عليها. “Kedua hadis menunjukkan disyariatkannya salat dua rakaat atau empat rakaat setelah Jumat, yang mana pun jika seorang muslim melakukannya, maka diperbolehkan. Dan yang lebih utama adalah salat empat rakaat setelah Jumat, karena dalam hadis Abu Hurairah terdapat penegasan secara lisan tentang hal itu.” [4] Para ulama Syafi’iyyah mengatakan, أَقَل السُّنَّةِ رَكْعَتَانِ قَبْلَهَا وَرَكْعَتَانِ بَعْدَهَا، وَالأَْكْمَل أَرْبَعٌ قَبْلَهَا وَأَرْبَعٌ بَعْدَهَا “Paling sedikit salat sunah (yang mengiringi salat Jumat) adalah dua rakaat sebelum dan dua rakaat sesudahnya, dan yang paling sempurna adalah empat rakaat sebelum dan empat rakaat sesudahnya.” [5] Baca juga: Apakah Berdiri Menjawab Azan atau Salat Tahiyatul Masjid ketika Azan Salat Jumat? Jika ingin salat sunah empat rakaat (setelah salat Jumat), bagaimana caranya? Sunahnya adalah salat dua kali salam setelah salat Jumat, ini adalah yang lebih utama. Namun, jika salat dengan satu kali salam, itu sudah cukup. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, صلاة الليل والنهار مثنى مثنى “Salat (sunah) malam dan siang itu dua rakaat dua rakaat.” (HR. Abu Dawud no. 1295, An-Nasa’i no. 1666, Ibnu Majah no. 1322, dan disahihkan oleh Al-Albani) [6] Syekh Ibnu Baz rahimahullah ketika ditanya, “Apakah diperbolehkan salat sunah langsung setelah salat Jumat?” Beliau menjawab, السنة بعد الجمعة أن يصلي أربعًا، يقول النبي ﷺ: من كان مصليًا بعد الجمعة فليصل بعدها أربعًا[أخرجه مسلم 881]، وإذا صليتم بعد الجمعة صلوا أربعًا، والسنة أن يصلي تسليمتين بعد الجمعة، هذا هو الأفضل، وإن صلى تسليمة واحدة كفى، والأفضل أربع، وثبت عنه ﷺ أنه كان يصلي في بيته بعد الجمعة ركعتين، ولكن أمره آكد، فقد أمر بأربع، فأمره آكد، فالسنة والأفضل أن يصلي أربعًا سواء في المسجد أو في بيته تسليمتين بعد الجمعة “Sunahnya setelah salat Jumat adalah salat empat rakaat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa yang hendak salat setelah salat Jumat, hendaklah dia salat empat rakaat.’ (HR. Muslim no. 881). Dan jika kalian salat setelah salat Jumat, salatlah empat rakaat. Sunahnya adalah salat dua kali salam setelah salat Jumat, ini adalah yang lebih utama. Namun, jika salat dengan satu kali salam, itu sudah cukup. Dan yang lebih utama adalah empat rakaat. Telah terbukti bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam salat di rumahnya setelah salat Jumat dua rakaat, tetapi perintahnya lebih ditekankan, karena beliau memerintahkan empat rakaat. Perintahnya lebih ditekankan. Maka, sunah dan yang lebih utama adalah salat empat rakaat, baik di masjid atau di rumah, dengan dua kali salam setelah salat Jumat.” [7] Apakah lebih afdal di masjid atau di rumah? Yang lebih utama adalah salat sunah setelah salat Jumat dilakukan di rumah, baik yang dua rakaat, maupun yang empat rakaat. [8] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أفضل الصلاة صلاة المرء في بيته إلا المكتوبة “Salat yang paling utama adalah salat seseorang di rumahnya, kecuali salat wajib.” (Muttafaqun ‘alaih. Bukhari no. 731 dan Muslim no. 781) Syekh Al-Albani rahimahullah berkata [9], فإذا صلى بعد الجمعة ركعتين أو أربعاً في المسجد جاز، أو في البيت؛ فهو أفضل؛ لهذا الحديث الصحيح “Maka, jika salat setelah salat Jumat dua rakaat atau empat rakaat (dikerjakan) di masjid, itu diperbolehkan. Atau (jika dikerjakan) di rumah, itu lebih utama karena hadis sahih ini (yaitu, di atas).” [10] Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Jumlah Minimal Jemaah Salat Jumat *** 25 Zulhijah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’, Dr. Muhammad Umar Bazmul, Darul Imam Ahmad – Kairo, cet. ke-1, 2006.   Catatan kaki: [1] Lihat: https://dorar.net/feqhia/1211 [2] Lihat Bughyatu Al-Mutathawwi’, hal. 20. [3] Lihat Bughyatu Al-Mutathawwi’, hal. 98. [4] Bughyatu Al-Mutathawwi’, hal. 99. [5] Mughni Al-Muhtaj, 1: 220, dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 25: 279. [6] Lihat Tamamul Minnah oleh Syekh Al-Albani, hal. 239-240. [7] Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutawa’ah oleh Ibnu Baz, 30: 270. Lihat juga https://dorar.net/feqhia/1285 [8] Lihat Tamamul Minnah, hal. 341-343. [9] Tamamul Minnah, hal. 341. [10] Bughyatu Al-Mutathawwi’, hal. 99. Tags: salat jumat
Prev     Next