Haji ketika Usia Dua Bulan, Sahkah?

Daftar Isi Toggle Syarat sah hajiHukum haji bagi anak kecil yang belum baligBagaimana jika anak kecil menjadi balig ketika sedang berhaji?Tata cara haji anak kecil yang belum baligKesimpulan Sempat menjadi suatu pembahasan yang sangat menggelitik di negeri kita tercinta. Suatu statement yang sempat menimbulkan polemik, pro, dan kontra di sebagian besar kalangan orang-orang yang berkecimpung di sosial media. Terucap dari sebuah statement itu suatu kalimat, “Haji ketika usia dua bulan.” Mengingat dalam kalimat tersebut terucap kata “Haji”, maka tentunya hal ini masuk ke dalam pembahasan syariat Islam. Karena haji sendiri termasuk dalam rukun Islam kelima yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim. Tentunya, karena statement ini sarat akan faedah, maka perlu untuk diketahui tentang hukum haji ketika usia dua bulan, bagaimana menurut syariat dan hukum fikihnya. Syarat sah haji Sebelum membahas tentang hukum haji bagi anak kecil, perlu dibahas terlebih dahulu tentang syarat-syarat haji. Para ulama menyebutkan syarat haji ada lima, yaitu: Islam, berakal, balig, merdeka, dan mampu. Kelima syarat di atas, terbagi menjadi tiga bagian [1]: Pertama: Dua syarat yang menjadi sebuah keabsahan. Kedua syarat tersebut adalah Islam dan berakal. Maka, tidak sah jika orang kafir dan orang gila melaksanakan haji. Kedua: Dua syarat yang menjadi sebuah kewajiban dan keabsahan. Kedua syarat ini adalah balig dan merdeka. Jika anak kecil yang belum balig atau budak melaksanakan haji, maka hajinya sah, namun perlu mengulang haji Islamnya. Ketiga: Satu syarat yang menjadi sebuah kewajiban. Yaitu, mampu. Mampu secara perbekalan, kendaraan, dan lain sebagainya. Maka, haji tidak wajib bagi seorang yang tidak mampu. Para ulama telah sepakat akan kelima syarat ini. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, لاَ نَعْلَم فِي هَذَا كُله اِخْتِلاَفاً “Kami tidak mengetahui adanya khilaf (perbedaan pendapat) pada kelima syarat di atas.” [2] Kendati sebagian para ulama menambahkan syarat keenam bagi wanita, yaitu adanya mahram. Dan sebagian lagi berpendapat adanya mahram masuk ke dalam syarat yang kelima, yaitu istitha’ah (mampu) [3]. Dari hal ini, dapat diketahui bahwa jika seorang wanita tidak memiliki mahram, maka ia tidak masuk dalam kategori orang yang wajib haji. Berangkat dari kelima syarat yang telah disebutkan di atas, dapat diketahui bahwa salah satu syarat haji adalah balig, artinya seorang anak telah mencapai usia balig baik dengan mimpi basah atau yang lain sebagainya. Hukum haji bagi anak kecil yang belum balig Ketika mendengar kalimat yang viral, “Haji ketika usia dua bulan”, mungkin yang pertama kali terbetik adalah bagaimana hukum hajinya? Apakah hajinya sah atau tidak? Apakah perlu mengulang hajinya tatkala sudah balig? Pertanyaan-pertanyaan ini tentunya telah dibahas di dalam agama ini dan juga telah dibahas oleh para ulama. Terkait dengan hukum hajinya, maka hukumnya sah. Simaklah hadis berikut, عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ، قالَ: رَفَعَتِ امْرَأَةٌ صَبِيًّا لَها، فَقالَتْ: يا رَسولَ اللهِ، أَلِهذا حَجٌّ؟ قالَ: نَعَمْ، وَلَكِ أَجْرٌ. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Seorang wanita mengangkat anak bayi miliknya di hadapan Nabi, kemudian ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah haji anak ini sah?’ Beliau menjawab, ‘Iya dan bagimu pahala.’” (HR. Muslim no. 1336) Dari hadis ini, dapat diketahui bahwa haji anak kecil atau anak yang belum berusia balig, maka hajinya sah. Sah hajinya anak kecil laki-laki atau perempuan, baik yang belum ataupun yang sudah memasuki usia tamyiz [4]. Namun, apakah haji ini dapat menggugurkan kewajiban haji yang ada pada rukun Islam? Jawabnya adalah belum menggugurkan kewajiban tersebut. Artinya, haji anak kecil yang belum balig tidak dapat menggugurkan kewajiban haji yang terdapat pada rukun Islam, kendati hajinya sah. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,  مَنْ حَجَّ ثُمَّ عُتِقَ فَعَلَيْهِ حَجَّةٌ أُخْرَى وَ مَنْ حَجَّ وَهُوَ صَغِيْرٌ ثُمَّ بَلَغَ فَعَلَيْهِ حَجَّةٌ أُخْرَى “Siapa yang berhaji kemudian ia dimerdekakan oleh tuannya, maka wajib baginya untuk melaksanakan haji lagi. Dan barangsiapa yang berhaji di usia kanak-kanak kemudian ia balig, maka wajib baginya untuk melaksanakan haji lagi.” (Hadis disahihkan oeh Syekh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil, 4: 59) Tatkala usia seorang anak berusia balig, maka ia tetap diharuskan untuk berhaji lagi. Mengingat hajinya tatkala sebelum balig tidak menggugurkan haji Islamnya. Al-Imam Ibnul Mundzir rahimahullah mengatakan, “Para ahli ilmu telah bersepakat, bahwasanya anak kecil ketika melaksanakan haji di masa kecilnya, atau budak ketika berhaji ketika masih berstatus budak, kemudian anak kecil tersebut balig dan budak tersebut dimerdekakan, maka wajib bagi keduanya untuk mengulangi haji Islamnya.” [5] Kemudian terbesit sebuah pertanyaan, Bagaimana jika anak kecil menjadi balig ketika sedang berhaji? Terdapat pembahasan di antara para ulama tentang hal ini, bagaimana jika ada seorang anak kecil yang mimpi basah ketika sedang berhaji? Apakah hajinya  perlu diulang kembali? Andaikata seorang anak menjadi balig atau mengalami mimpi basah dan seorang budak dimerdekakan oleh tuannya sebelum wukuf di Arafah atau ketika wukuf, maka hajinya sah dan tidak perlu mengulang kembali haji Islamnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الحَجُّ عَرَفَةٌ “Haji adalah Arafah.” (Hadis sahih, lihat Irwa’ul Ghalil, no. 1064) Yakni, haji tidaklah dikatakan haji, kecuali ketika wukuf di Arafah. Karena inti dari haji adalah Arafah. Oleh karenanya, para ulama menyatakan bahwa haji anak kecil yang menjadi balig atau budak yang dimerdekakan ketika sebelum wukuf di Arafah itu sah dan tidak perlu diulang kembali. Baca juga: Selepas Haji, Apa yang Harus Kita Lakukan? Tata cara haji anak kecil yang belum balig Secara umum, tata cara haji anak kecil yang belum balig sama dengan haji orang dewasa. Dari segi ihram, tawaf, wukuf, melempar jamrah, dan lain sebagainya. Namun, para ulama membedakan antara anak kecil yang sudah mumayyiz dan yang belum masuk usia mumayyiz. Maka, hendaknya wali dari anak kecil memperhatikan beberapa poin di bawah ini [7], Pertama: Jika anak kecil belum masuk usia tamyiz, maka diniatkan ihram oleh kedua orang tuanya. Boleh ayah atau ibunya. Tidak dikhususkan untuk ayah saja. Sebagaimana hadis yang telah disebutkan di atas. Kedua: Orang tuanya yang memandikannya ketika berniat ingin ihram, memakaikan kain ihramnya, dan menjauhinya dari larangan-larangan ihram. Seperti, memakai minyak wangi, menutup kepala bagi laki-laki, memakai pakaian berjahit, dan lain sebagainya. Jika anak tersebut wanita, maka dilarang untuk memakai sarung tangan dan niqab. Ketiga: Jika anak kecil sudah memasuki usia tamyiz, maka orang tuanya memerintahkan anak tersebut untuk ihram. Dan ihram anak yang sudah memasuki usia tamyiz itu tidak sah, kecuali dengan izin kedua orang tuanya. Keempat: Jika anak kecil sudah memasuk usia tamyiz, maka ia wajib untuk bersuci dari hadats dan najis ketika hendak melaksanakan tawaf. Jika belum memasuki usia tamyiz, maka kedua orang tuanyalah yang menyucikan anak tersebut dari najis dan sebagainya. Kelima: Apa saja yang ada dari ibadah haji, yang mampu dikerjakan oleh anak kecil, maka anak tersebut yang mengerjakannya sendiri. Jika tidak mampu, maka boleh dikerjakan oleh orang tuanya. Seperti melempar jamrah, misalnya. Keenam: Jika anak kecil yang dibawa untuk tawaf sudah berusia tamyiz, maka anak tersebut berniat untuk dirinya sendiri dan orang tua yang membawa anak tersebut berniat untuk dirinya sendiri. Artinya, niatnya masing-masing. Jika anak tersebut belum berusia tamyiz, maka orang tuanyalah yang berniat untuk tawaf. Demikianlah hukum-hukum yang berkaitan dengan hajinya anak kecil, kendati terdapat banyak perincian-perincian lainnya tentang masalah ini. Silahkan untuk merujuk ke kitab-kitab fikih dari para ulama. Kesimpulan Anak kecil yang belum balig, boleh untuk melaksanakan haji dan hajinya sah. Namun, haji tersebut tidak dapat menggugurkan kewajiban haji Islamnya. Sehingga, di lain kesempatan, ia harus melaksanakan haji kembali. Adapun terkait ahkam dibedakan antara anak kecil yang sudah memasuki usia tamyiz dan yang belum memasuk usia tamyiz. Sebagaimana yang telah diterangkan pada poin-poin di atas. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Baca juga: Tiga Pelajaran Penting dari Haji Nabi *** Depok, 15 Muharam 1446 H / 20 Juli 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Manhajus Salik ila Baitillah Al-Mubajjal fi Ammalil Manasik, karya Muhammad Al-Bayyumiy Abu Ayyasah. Fiqh Sunnah, karya Sayyid Sabiq. Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, karya Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam. Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Al-Fiqhul Muyassar. Dan referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Lihat Manhajus Salik ila Baitillah Al-Mubajjal fi Amalil Manasik, hal. 84. [2] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2: 163, Fiqih Sunnah, 1: 464, Fiqih Muyassar, hal. 172. [3] Lihat Fiqih Sunnah, 1: 467. [4] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 3: 257. [5] Lihat Manhajus Salik ila Baitillah Al-Mubajjal fi Amalil Manasik, hal. 85. [6] Lihat Fiqih Sunnah, 2: 466-467. [7] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 3: 258 dan Fiqih Sunnah, 2: 466. Tags: Haji

Haji ketika Usia Dua Bulan, Sahkah?

Daftar Isi Toggle Syarat sah hajiHukum haji bagi anak kecil yang belum baligBagaimana jika anak kecil menjadi balig ketika sedang berhaji?Tata cara haji anak kecil yang belum baligKesimpulan Sempat menjadi suatu pembahasan yang sangat menggelitik di negeri kita tercinta. Suatu statement yang sempat menimbulkan polemik, pro, dan kontra di sebagian besar kalangan orang-orang yang berkecimpung di sosial media. Terucap dari sebuah statement itu suatu kalimat, “Haji ketika usia dua bulan.” Mengingat dalam kalimat tersebut terucap kata “Haji”, maka tentunya hal ini masuk ke dalam pembahasan syariat Islam. Karena haji sendiri termasuk dalam rukun Islam kelima yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim. Tentunya, karena statement ini sarat akan faedah, maka perlu untuk diketahui tentang hukum haji ketika usia dua bulan, bagaimana menurut syariat dan hukum fikihnya. Syarat sah haji Sebelum membahas tentang hukum haji bagi anak kecil, perlu dibahas terlebih dahulu tentang syarat-syarat haji. Para ulama menyebutkan syarat haji ada lima, yaitu: Islam, berakal, balig, merdeka, dan mampu. Kelima syarat di atas, terbagi menjadi tiga bagian [1]: Pertama: Dua syarat yang menjadi sebuah keabsahan. Kedua syarat tersebut adalah Islam dan berakal. Maka, tidak sah jika orang kafir dan orang gila melaksanakan haji. Kedua: Dua syarat yang menjadi sebuah kewajiban dan keabsahan. Kedua syarat ini adalah balig dan merdeka. Jika anak kecil yang belum balig atau budak melaksanakan haji, maka hajinya sah, namun perlu mengulang haji Islamnya. Ketiga: Satu syarat yang menjadi sebuah kewajiban. Yaitu, mampu. Mampu secara perbekalan, kendaraan, dan lain sebagainya. Maka, haji tidak wajib bagi seorang yang tidak mampu. Para ulama telah sepakat akan kelima syarat ini. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, لاَ نَعْلَم فِي هَذَا كُله اِخْتِلاَفاً “Kami tidak mengetahui adanya khilaf (perbedaan pendapat) pada kelima syarat di atas.” [2] Kendati sebagian para ulama menambahkan syarat keenam bagi wanita, yaitu adanya mahram. Dan sebagian lagi berpendapat adanya mahram masuk ke dalam syarat yang kelima, yaitu istitha’ah (mampu) [3]. Dari hal ini, dapat diketahui bahwa jika seorang wanita tidak memiliki mahram, maka ia tidak masuk dalam kategori orang yang wajib haji. Berangkat dari kelima syarat yang telah disebutkan di atas, dapat diketahui bahwa salah satu syarat haji adalah balig, artinya seorang anak telah mencapai usia balig baik dengan mimpi basah atau yang lain sebagainya. Hukum haji bagi anak kecil yang belum balig Ketika mendengar kalimat yang viral, “Haji ketika usia dua bulan”, mungkin yang pertama kali terbetik adalah bagaimana hukum hajinya? Apakah hajinya sah atau tidak? Apakah perlu mengulang hajinya tatkala sudah balig? Pertanyaan-pertanyaan ini tentunya telah dibahas di dalam agama ini dan juga telah dibahas oleh para ulama. Terkait dengan hukum hajinya, maka hukumnya sah. Simaklah hadis berikut, عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ، قالَ: رَفَعَتِ امْرَأَةٌ صَبِيًّا لَها، فَقالَتْ: يا رَسولَ اللهِ، أَلِهذا حَجٌّ؟ قالَ: نَعَمْ، وَلَكِ أَجْرٌ. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Seorang wanita mengangkat anak bayi miliknya di hadapan Nabi, kemudian ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah haji anak ini sah?’ Beliau menjawab, ‘Iya dan bagimu pahala.’” (HR. Muslim no. 1336) Dari hadis ini, dapat diketahui bahwa haji anak kecil atau anak yang belum berusia balig, maka hajinya sah. Sah hajinya anak kecil laki-laki atau perempuan, baik yang belum ataupun yang sudah memasuki usia tamyiz [4]. Namun, apakah haji ini dapat menggugurkan kewajiban haji yang ada pada rukun Islam? Jawabnya adalah belum menggugurkan kewajiban tersebut. Artinya, haji anak kecil yang belum balig tidak dapat menggugurkan kewajiban haji yang terdapat pada rukun Islam, kendati hajinya sah. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,  مَنْ حَجَّ ثُمَّ عُتِقَ فَعَلَيْهِ حَجَّةٌ أُخْرَى وَ مَنْ حَجَّ وَهُوَ صَغِيْرٌ ثُمَّ بَلَغَ فَعَلَيْهِ حَجَّةٌ أُخْرَى “Siapa yang berhaji kemudian ia dimerdekakan oleh tuannya, maka wajib baginya untuk melaksanakan haji lagi. Dan barangsiapa yang berhaji di usia kanak-kanak kemudian ia balig, maka wajib baginya untuk melaksanakan haji lagi.” (Hadis disahihkan oeh Syekh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil, 4: 59) Tatkala usia seorang anak berusia balig, maka ia tetap diharuskan untuk berhaji lagi. Mengingat hajinya tatkala sebelum balig tidak menggugurkan haji Islamnya. Al-Imam Ibnul Mundzir rahimahullah mengatakan, “Para ahli ilmu telah bersepakat, bahwasanya anak kecil ketika melaksanakan haji di masa kecilnya, atau budak ketika berhaji ketika masih berstatus budak, kemudian anak kecil tersebut balig dan budak tersebut dimerdekakan, maka wajib bagi keduanya untuk mengulangi haji Islamnya.” [5] Kemudian terbesit sebuah pertanyaan, Bagaimana jika anak kecil menjadi balig ketika sedang berhaji? Terdapat pembahasan di antara para ulama tentang hal ini, bagaimana jika ada seorang anak kecil yang mimpi basah ketika sedang berhaji? Apakah hajinya  perlu diulang kembali? Andaikata seorang anak menjadi balig atau mengalami mimpi basah dan seorang budak dimerdekakan oleh tuannya sebelum wukuf di Arafah atau ketika wukuf, maka hajinya sah dan tidak perlu mengulang kembali haji Islamnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الحَجُّ عَرَفَةٌ “Haji adalah Arafah.” (Hadis sahih, lihat Irwa’ul Ghalil, no. 1064) Yakni, haji tidaklah dikatakan haji, kecuali ketika wukuf di Arafah. Karena inti dari haji adalah Arafah. Oleh karenanya, para ulama menyatakan bahwa haji anak kecil yang menjadi balig atau budak yang dimerdekakan ketika sebelum wukuf di Arafah itu sah dan tidak perlu diulang kembali. Baca juga: Selepas Haji, Apa yang Harus Kita Lakukan? Tata cara haji anak kecil yang belum balig Secara umum, tata cara haji anak kecil yang belum balig sama dengan haji orang dewasa. Dari segi ihram, tawaf, wukuf, melempar jamrah, dan lain sebagainya. Namun, para ulama membedakan antara anak kecil yang sudah mumayyiz dan yang belum masuk usia mumayyiz. Maka, hendaknya wali dari anak kecil memperhatikan beberapa poin di bawah ini [7], Pertama: Jika anak kecil belum masuk usia tamyiz, maka diniatkan ihram oleh kedua orang tuanya. Boleh ayah atau ibunya. Tidak dikhususkan untuk ayah saja. Sebagaimana hadis yang telah disebutkan di atas. Kedua: Orang tuanya yang memandikannya ketika berniat ingin ihram, memakaikan kain ihramnya, dan menjauhinya dari larangan-larangan ihram. Seperti, memakai minyak wangi, menutup kepala bagi laki-laki, memakai pakaian berjahit, dan lain sebagainya. Jika anak tersebut wanita, maka dilarang untuk memakai sarung tangan dan niqab. Ketiga: Jika anak kecil sudah memasuki usia tamyiz, maka orang tuanya memerintahkan anak tersebut untuk ihram. Dan ihram anak yang sudah memasuki usia tamyiz itu tidak sah, kecuali dengan izin kedua orang tuanya. Keempat: Jika anak kecil sudah memasuk usia tamyiz, maka ia wajib untuk bersuci dari hadats dan najis ketika hendak melaksanakan tawaf. Jika belum memasuki usia tamyiz, maka kedua orang tuanyalah yang menyucikan anak tersebut dari najis dan sebagainya. Kelima: Apa saja yang ada dari ibadah haji, yang mampu dikerjakan oleh anak kecil, maka anak tersebut yang mengerjakannya sendiri. Jika tidak mampu, maka boleh dikerjakan oleh orang tuanya. Seperti melempar jamrah, misalnya. Keenam: Jika anak kecil yang dibawa untuk tawaf sudah berusia tamyiz, maka anak tersebut berniat untuk dirinya sendiri dan orang tua yang membawa anak tersebut berniat untuk dirinya sendiri. Artinya, niatnya masing-masing. Jika anak tersebut belum berusia tamyiz, maka orang tuanyalah yang berniat untuk tawaf. Demikianlah hukum-hukum yang berkaitan dengan hajinya anak kecil, kendati terdapat banyak perincian-perincian lainnya tentang masalah ini. Silahkan untuk merujuk ke kitab-kitab fikih dari para ulama. Kesimpulan Anak kecil yang belum balig, boleh untuk melaksanakan haji dan hajinya sah. Namun, haji tersebut tidak dapat menggugurkan kewajiban haji Islamnya. Sehingga, di lain kesempatan, ia harus melaksanakan haji kembali. Adapun terkait ahkam dibedakan antara anak kecil yang sudah memasuki usia tamyiz dan yang belum memasuk usia tamyiz. Sebagaimana yang telah diterangkan pada poin-poin di atas. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Baca juga: Tiga Pelajaran Penting dari Haji Nabi *** Depok, 15 Muharam 1446 H / 20 Juli 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Manhajus Salik ila Baitillah Al-Mubajjal fi Ammalil Manasik, karya Muhammad Al-Bayyumiy Abu Ayyasah. Fiqh Sunnah, karya Sayyid Sabiq. Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, karya Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam. Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Al-Fiqhul Muyassar. Dan referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Lihat Manhajus Salik ila Baitillah Al-Mubajjal fi Amalil Manasik, hal. 84. [2] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2: 163, Fiqih Sunnah, 1: 464, Fiqih Muyassar, hal. 172. [3] Lihat Fiqih Sunnah, 1: 467. [4] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 3: 257. [5] Lihat Manhajus Salik ila Baitillah Al-Mubajjal fi Amalil Manasik, hal. 85. [6] Lihat Fiqih Sunnah, 2: 466-467. [7] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 3: 258 dan Fiqih Sunnah, 2: 466. Tags: Haji
Daftar Isi Toggle Syarat sah hajiHukum haji bagi anak kecil yang belum baligBagaimana jika anak kecil menjadi balig ketika sedang berhaji?Tata cara haji anak kecil yang belum baligKesimpulan Sempat menjadi suatu pembahasan yang sangat menggelitik di negeri kita tercinta. Suatu statement yang sempat menimbulkan polemik, pro, dan kontra di sebagian besar kalangan orang-orang yang berkecimpung di sosial media. Terucap dari sebuah statement itu suatu kalimat, “Haji ketika usia dua bulan.” Mengingat dalam kalimat tersebut terucap kata “Haji”, maka tentunya hal ini masuk ke dalam pembahasan syariat Islam. Karena haji sendiri termasuk dalam rukun Islam kelima yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim. Tentunya, karena statement ini sarat akan faedah, maka perlu untuk diketahui tentang hukum haji ketika usia dua bulan, bagaimana menurut syariat dan hukum fikihnya. Syarat sah haji Sebelum membahas tentang hukum haji bagi anak kecil, perlu dibahas terlebih dahulu tentang syarat-syarat haji. Para ulama menyebutkan syarat haji ada lima, yaitu: Islam, berakal, balig, merdeka, dan mampu. Kelima syarat di atas, terbagi menjadi tiga bagian [1]: Pertama: Dua syarat yang menjadi sebuah keabsahan. Kedua syarat tersebut adalah Islam dan berakal. Maka, tidak sah jika orang kafir dan orang gila melaksanakan haji. Kedua: Dua syarat yang menjadi sebuah kewajiban dan keabsahan. Kedua syarat ini adalah balig dan merdeka. Jika anak kecil yang belum balig atau budak melaksanakan haji, maka hajinya sah, namun perlu mengulang haji Islamnya. Ketiga: Satu syarat yang menjadi sebuah kewajiban. Yaitu, mampu. Mampu secara perbekalan, kendaraan, dan lain sebagainya. Maka, haji tidak wajib bagi seorang yang tidak mampu. Para ulama telah sepakat akan kelima syarat ini. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, لاَ نَعْلَم فِي هَذَا كُله اِخْتِلاَفاً “Kami tidak mengetahui adanya khilaf (perbedaan pendapat) pada kelima syarat di atas.” [2] Kendati sebagian para ulama menambahkan syarat keenam bagi wanita, yaitu adanya mahram. Dan sebagian lagi berpendapat adanya mahram masuk ke dalam syarat yang kelima, yaitu istitha’ah (mampu) [3]. Dari hal ini, dapat diketahui bahwa jika seorang wanita tidak memiliki mahram, maka ia tidak masuk dalam kategori orang yang wajib haji. Berangkat dari kelima syarat yang telah disebutkan di atas, dapat diketahui bahwa salah satu syarat haji adalah balig, artinya seorang anak telah mencapai usia balig baik dengan mimpi basah atau yang lain sebagainya. Hukum haji bagi anak kecil yang belum balig Ketika mendengar kalimat yang viral, “Haji ketika usia dua bulan”, mungkin yang pertama kali terbetik adalah bagaimana hukum hajinya? Apakah hajinya sah atau tidak? Apakah perlu mengulang hajinya tatkala sudah balig? Pertanyaan-pertanyaan ini tentunya telah dibahas di dalam agama ini dan juga telah dibahas oleh para ulama. Terkait dengan hukum hajinya, maka hukumnya sah. Simaklah hadis berikut, عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ، قالَ: رَفَعَتِ امْرَأَةٌ صَبِيًّا لَها، فَقالَتْ: يا رَسولَ اللهِ، أَلِهذا حَجٌّ؟ قالَ: نَعَمْ، وَلَكِ أَجْرٌ. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Seorang wanita mengangkat anak bayi miliknya di hadapan Nabi, kemudian ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah haji anak ini sah?’ Beliau menjawab, ‘Iya dan bagimu pahala.’” (HR. Muslim no. 1336) Dari hadis ini, dapat diketahui bahwa haji anak kecil atau anak yang belum berusia balig, maka hajinya sah. Sah hajinya anak kecil laki-laki atau perempuan, baik yang belum ataupun yang sudah memasuki usia tamyiz [4]. Namun, apakah haji ini dapat menggugurkan kewajiban haji yang ada pada rukun Islam? Jawabnya adalah belum menggugurkan kewajiban tersebut. Artinya, haji anak kecil yang belum balig tidak dapat menggugurkan kewajiban haji yang terdapat pada rukun Islam, kendati hajinya sah. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,  مَنْ حَجَّ ثُمَّ عُتِقَ فَعَلَيْهِ حَجَّةٌ أُخْرَى وَ مَنْ حَجَّ وَهُوَ صَغِيْرٌ ثُمَّ بَلَغَ فَعَلَيْهِ حَجَّةٌ أُخْرَى “Siapa yang berhaji kemudian ia dimerdekakan oleh tuannya, maka wajib baginya untuk melaksanakan haji lagi. Dan barangsiapa yang berhaji di usia kanak-kanak kemudian ia balig, maka wajib baginya untuk melaksanakan haji lagi.” (Hadis disahihkan oeh Syekh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil, 4: 59) Tatkala usia seorang anak berusia balig, maka ia tetap diharuskan untuk berhaji lagi. Mengingat hajinya tatkala sebelum balig tidak menggugurkan haji Islamnya. Al-Imam Ibnul Mundzir rahimahullah mengatakan, “Para ahli ilmu telah bersepakat, bahwasanya anak kecil ketika melaksanakan haji di masa kecilnya, atau budak ketika berhaji ketika masih berstatus budak, kemudian anak kecil tersebut balig dan budak tersebut dimerdekakan, maka wajib bagi keduanya untuk mengulangi haji Islamnya.” [5] Kemudian terbesit sebuah pertanyaan, Bagaimana jika anak kecil menjadi balig ketika sedang berhaji? Terdapat pembahasan di antara para ulama tentang hal ini, bagaimana jika ada seorang anak kecil yang mimpi basah ketika sedang berhaji? Apakah hajinya  perlu diulang kembali? Andaikata seorang anak menjadi balig atau mengalami mimpi basah dan seorang budak dimerdekakan oleh tuannya sebelum wukuf di Arafah atau ketika wukuf, maka hajinya sah dan tidak perlu mengulang kembali haji Islamnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الحَجُّ عَرَفَةٌ “Haji adalah Arafah.” (Hadis sahih, lihat Irwa’ul Ghalil, no. 1064) Yakni, haji tidaklah dikatakan haji, kecuali ketika wukuf di Arafah. Karena inti dari haji adalah Arafah. Oleh karenanya, para ulama menyatakan bahwa haji anak kecil yang menjadi balig atau budak yang dimerdekakan ketika sebelum wukuf di Arafah itu sah dan tidak perlu diulang kembali. Baca juga: Selepas Haji, Apa yang Harus Kita Lakukan? Tata cara haji anak kecil yang belum balig Secara umum, tata cara haji anak kecil yang belum balig sama dengan haji orang dewasa. Dari segi ihram, tawaf, wukuf, melempar jamrah, dan lain sebagainya. Namun, para ulama membedakan antara anak kecil yang sudah mumayyiz dan yang belum masuk usia mumayyiz. Maka, hendaknya wali dari anak kecil memperhatikan beberapa poin di bawah ini [7], Pertama: Jika anak kecil belum masuk usia tamyiz, maka diniatkan ihram oleh kedua orang tuanya. Boleh ayah atau ibunya. Tidak dikhususkan untuk ayah saja. Sebagaimana hadis yang telah disebutkan di atas. Kedua: Orang tuanya yang memandikannya ketika berniat ingin ihram, memakaikan kain ihramnya, dan menjauhinya dari larangan-larangan ihram. Seperti, memakai minyak wangi, menutup kepala bagi laki-laki, memakai pakaian berjahit, dan lain sebagainya. Jika anak tersebut wanita, maka dilarang untuk memakai sarung tangan dan niqab. Ketiga: Jika anak kecil sudah memasuki usia tamyiz, maka orang tuanya memerintahkan anak tersebut untuk ihram. Dan ihram anak yang sudah memasuki usia tamyiz itu tidak sah, kecuali dengan izin kedua orang tuanya. Keempat: Jika anak kecil sudah memasuk usia tamyiz, maka ia wajib untuk bersuci dari hadats dan najis ketika hendak melaksanakan tawaf. Jika belum memasuki usia tamyiz, maka kedua orang tuanyalah yang menyucikan anak tersebut dari najis dan sebagainya. Kelima: Apa saja yang ada dari ibadah haji, yang mampu dikerjakan oleh anak kecil, maka anak tersebut yang mengerjakannya sendiri. Jika tidak mampu, maka boleh dikerjakan oleh orang tuanya. Seperti melempar jamrah, misalnya. Keenam: Jika anak kecil yang dibawa untuk tawaf sudah berusia tamyiz, maka anak tersebut berniat untuk dirinya sendiri dan orang tua yang membawa anak tersebut berniat untuk dirinya sendiri. Artinya, niatnya masing-masing. Jika anak tersebut belum berusia tamyiz, maka orang tuanyalah yang berniat untuk tawaf. Demikianlah hukum-hukum yang berkaitan dengan hajinya anak kecil, kendati terdapat banyak perincian-perincian lainnya tentang masalah ini. Silahkan untuk merujuk ke kitab-kitab fikih dari para ulama. Kesimpulan Anak kecil yang belum balig, boleh untuk melaksanakan haji dan hajinya sah. Namun, haji tersebut tidak dapat menggugurkan kewajiban haji Islamnya. Sehingga, di lain kesempatan, ia harus melaksanakan haji kembali. Adapun terkait ahkam dibedakan antara anak kecil yang sudah memasuki usia tamyiz dan yang belum memasuk usia tamyiz. Sebagaimana yang telah diterangkan pada poin-poin di atas. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Baca juga: Tiga Pelajaran Penting dari Haji Nabi *** Depok, 15 Muharam 1446 H / 20 Juli 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Manhajus Salik ila Baitillah Al-Mubajjal fi Ammalil Manasik, karya Muhammad Al-Bayyumiy Abu Ayyasah. Fiqh Sunnah, karya Sayyid Sabiq. Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, karya Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam. Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Al-Fiqhul Muyassar. Dan referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Lihat Manhajus Salik ila Baitillah Al-Mubajjal fi Amalil Manasik, hal. 84. [2] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2: 163, Fiqih Sunnah, 1: 464, Fiqih Muyassar, hal. 172. [3] Lihat Fiqih Sunnah, 1: 467. [4] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 3: 257. [5] Lihat Manhajus Salik ila Baitillah Al-Mubajjal fi Amalil Manasik, hal. 85. [6] Lihat Fiqih Sunnah, 2: 466-467. [7] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 3: 258 dan Fiqih Sunnah, 2: 466. Tags: Haji


Daftar Isi Toggle Syarat sah hajiHukum haji bagi anak kecil yang belum baligBagaimana jika anak kecil menjadi balig ketika sedang berhaji?Tata cara haji anak kecil yang belum baligKesimpulan Sempat menjadi suatu pembahasan yang sangat menggelitik di negeri kita tercinta. Suatu statement yang sempat menimbulkan polemik, pro, dan kontra di sebagian besar kalangan orang-orang yang berkecimpung di sosial media. Terucap dari sebuah statement itu suatu kalimat, “Haji ketika usia dua bulan.” Mengingat dalam kalimat tersebut terucap kata “Haji”, maka tentunya hal ini masuk ke dalam pembahasan syariat Islam. Karena haji sendiri termasuk dalam rukun Islam kelima yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim. Tentunya, karena statement ini sarat akan faedah, maka perlu untuk diketahui tentang hukum haji ketika usia dua bulan, bagaimana menurut syariat dan hukum fikihnya. Syarat sah haji Sebelum membahas tentang hukum haji bagi anak kecil, perlu dibahas terlebih dahulu tentang syarat-syarat haji. Para ulama menyebutkan syarat haji ada lima, yaitu: Islam, berakal, balig, merdeka, dan mampu. Kelima syarat di atas, terbagi menjadi tiga bagian [1]: Pertama: Dua syarat yang menjadi sebuah keabsahan. Kedua syarat tersebut adalah Islam dan berakal. Maka, tidak sah jika orang kafir dan orang gila melaksanakan haji. Kedua: Dua syarat yang menjadi sebuah kewajiban dan keabsahan. Kedua syarat ini adalah balig dan merdeka. Jika anak kecil yang belum balig atau budak melaksanakan haji, maka hajinya sah, namun perlu mengulang haji Islamnya. Ketiga: Satu syarat yang menjadi sebuah kewajiban. Yaitu, mampu. Mampu secara perbekalan, kendaraan, dan lain sebagainya. Maka, haji tidak wajib bagi seorang yang tidak mampu. Para ulama telah sepakat akan kelima syarat ini. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, لاَ نَعْلَم فِي هَذَا كُله اِخْتِلاَفاً “Kami tidak mengetahui adanya khilaf (perbedaan pendapat) pada kelima syarat di atas.” [2] Kendati sebagian para ulama menambahkan syarat keenam bagi wanita, yaitu adanya mahram. Dan sebagian lagi berpendapat adanya mahram masuk ke dalam syarat yang kelima, yaitu istitha’ah (mampu) [3]. Dari hal ini, dapat diketahui bahwa jika seorang wanita tidak memiliki mahram, maka ia tidak masuk dalam kategori orang yang wajib haji. Berangkat dari kelima syarat yang telah disebutkan di atas, dapat diketahui bahwa salah satu syarat haji adalah balig, artinya seorang anak telah mencapai usia balig baik dengan mimpi basah atau yang lain sebagainya. Hukum haji bagi anak kecil yang belum balig Ketika mendengar kalimat yang viral, “Haji ketika usia dua bulan”, mungkin yang pertama kali terbetik adalah bagaimana hukum hajinya? Apakah hajinya sah atau tidak? Apakah perlu mengulang hajinya tatkala sudah balig? Pertanyaan-pertanyaan ini tentunya telah dibahas di dalam agama ini dan juga telah dibahas oleh para ulama. Terkait dengan hukum hajinya, maka hukumnya sah. Simaklah hadis berikut, عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ، قالَ: رَفَعَتِ امْرَأَةٌ صَبِيًّا لَها، فَقالَتْ: يا رَسولَ اللهِ، أَلِهذا حَجٌّ؟ قالَ: نَعَمْ، وَلَكِ أَجْرٌ. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Seorang wanita mengangkat anak bayi miliknya di hadapan Nabi, kemudian ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah haji anak ini sah?’ Beliau menjawab, ‘Iya dan bagimu pahala.’” (HR. Muslim no. 1336) Dari hadis ini, dapat diketahui bahwa haji anak kecil atau anak yang belum berusia balig, maka hajinya sah. Sah hajinya anak kecil laki-laki atau perempuan, baik yang belum ataupun yang sudah memasuki usia tamyiz [4]. Namun, apakah haji ini dapat menggugurkan kewajiban haji yang ada pada rukun Islam? Jawabnya adalah belum menggugurkan kewajiban tersebut. Artinya, haji anak kecil yang belum balig tidak dapat menggugurkan kewajiban haji yang terdapat pada rukun Islam, kendati hajinya sah. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,  مَنْ حَجَّ ثُمَّ عُتِقَ فَعَلَيْهِ حَجَّةٌ أُخْرَى وَ مَنْ حَجَّ وَهُوَ صَغِيْرٌ ثُمَّ بَلَغَ فَعَلَيْهِ حَجَّةٌ أُخْرَى “Siapa yang berhaji kemudian ia dimerdekakan oleh tuannya, maka wajib baginya untuk melaksanakan haji lagi. Dan barangsiapa yang berhaji di usia kanak-kanak kemudian ia balig, maka wajib baginya untuk melaksanakan haji lagi.” (Hadis disahihkan oeh Syekh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil, 4: 59) Tatkala usia seorang anak berusia balig, maka ia tetap diharuskan untuk berhaji lagi. Mengingat hajinya tatkala sebelum balig tidak menggugurkan haji Islamnya. Al-Imam Ibnul Mundzir rahimahullah mengatakan, “Para ahli ilmu telah bersepakat, bahwasanya anak kecil ketika melaksanakan haji di masa kecilnya, atau budak ketika berhaji ketika masih berstatus budak, kemudian anak kecil tersebut balig dan budak tersebut dimerdekakan, maka wajib bagi keduanya untuk mengulangi haji Islamnya.” [5] Kemudian terbesit sebuah pertanyaan, Bagaimana jika anak kecil menjadi balig ketika sedang berhaji? Terdapat pembahasan di antara para ulama tentang hal ini, bagaimana jika ada seorang anak kecil yang mimpi basah ketika sedang berhaji? Apakah hajinya  perlu diulang kembali? Andaikata seorang anak menjadi balig atau mengalami mimpi basah dan seorang budak dimerdekakan oleh tuannya sebelum wukuf di Arafah atau ketika wukuf, maka hajinya sah dan tidak perlu mengulang kembali haji Islamnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الحَجُّ عَرَفَةٌ “Haji adalah Arafah.” (Hadis sahih, lihat Irwa’ul Ghalil, no. 1064) Yakni, haji tidaklah dikatakan haji, kecuali ketika wukuf di Arafah. Karena inti dari haji adalah Arafah. Oleh karenanya, para ulama menyatakan bahwa haji anak kecil yang menjadi balig atau budak yang dimerdekakan ketika sebelum wukuf di Arafah itu sah dan tidak perlu diulang kembali. Baca juga: Selepas Haji, Apa yang Harus Kita Lakukan? Tata cara haji anak kecil yang belum balig Secara umum, tata cara haji anak kecil yang belum balig sama dengan haji orang dewasa. Dari segi ihram, tawaf, wukuf, melempar jamrah, dan lain sebagainya. Namun, para ulama membedakan antara anak kecil yang sudah mumayyiz dan yang belum masuk usia mumayyiz. Maka, hendaknya wali dari anak kecil memperhatikan beberapa poin di bawah ini [7], Pertama: Jika anak kecil belum masuk usia tamyiz, maka diniatkan ihram oleh kedua orang tuanya. Boleh ayah atau ibunya. Tidak dikhususkan untuk ayah saja. Sebagaimana hadis yang telah disebutkan di atas. Kedua: Orang tuanya yang memandikannya ketika berniat ingin ihram, memakaikan kain ihramnya, dan menjauhinya dari larangan-larangan ihram. Seperti, memakai minyak wangi, menutup kepala bagi laki-laki, memakai pakaian berjahit, dan lain sebagainya. Jika anak tersebut wanita, maka dilarang untuk memakai sarung tangan dan niqab. Ketiga: Jika anak kecil sudah memasuki usia tamyiz, maka orang tuanya memerintahkan anak tersebut untuk ihram. Dan ihram anak yang sudah memasuki usia tamyiz itu tidak sah, kecuali dengan izin kedua orang tuanya. Keempat: Jika anak kecil sudah memasuk usia tamyiz, maka ia wajib untuk bersuci dari hadats dan najis ketika hendak melaksanakan tawaf. Jika belum memasuki usia tamyiz, maka kedua orang tuanyalah yang menyucikan anak tersebut dari najis dan sebagainya. Kelima: Apa saja yang ada dari ibadah haji, yang mampu dikerjakan oleh anak kecil, maka anak tersebut yang mengerjakannya sendiri. Jika tidak mampu, maka boleh dikerjakan oleh orang tuanya. Seperti melempar jamrah, misalnya. Keenam: Jika anak kecil yang dibawa untuk tawaf sudah berusia tamyiz, maka anak tersebut berniat untuk dirinya sendiri dan orang tua yang membawa anak tersebut berniat untuk dirinya sendiri. Artinya, niatnya masing-masing. Jika anak tersebut belum berusia tamyiz, maka orang tuanyalah yang berniat untuk tawaf. Demikianlah hukum-hukum yang berkaitan dengan hajinya anak kecil, kendati terdapat banyak perincian-perincian lainnya tentang masalah ini. Silahkan untuk merujuk ke kitab-kitab fikih dari para ulama. Kesimpulan Anak kecil yang belum balig, boleh untuk melaksanakan haji dan hajinya sah. Namun, haji tersebut tidak dapat menggugurkan kewajiban haji Islamnya. Sehingga, di lain kesempatan, ia harus melaksanakan haji kembali. Adapun terkait ahkam dibedakan antara anak kecil yang sudah memasuki usia tamyiz dan yang belum memasuk usia tamyiz. Sebagaimana yang telah diterangkan pada poin-poin di atas. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Baca juga: Tiga Pelajaran Penting dari Haji Nabi *** Depok, 15 Muharam 1446 H / 20 Juli 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Manhajus Salik ila Baitillah Al-Mubajjal fi Ammalil Manasik, karya Muhammad Al-Bayyumiy Abu Ayyasah. Fiqh Sunnah, karya Sayyid Sabiq. Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, karya Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam. Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Al-Fiqhul Muyassar. Dan referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Lihat Manhajus Salik ila Baitillah Al-Mubajjal fi Amalil Manasik, hal. 84. [2] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2: 163, Fiqih Sunnah, 1: 464, Fiqih Muyassar, hal. 172. [3] Lihat Fiqih Sunnah, 1: 467. [4] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 3: 257. [5] Lihat Manhajus Salik ila Baitillah Al-Mubajjal fi Amalil Manasik, hal. 85. [6] Lihat Fiqih Sunnah, 2: 466-467. [7] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 3: 258 dan Fiqih Sunnah, 2: 466. Tags: Haji

Fikih Transaksi Gadai (Bag. 4): Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (2)

Daftar Isi Toggle Gadai berupa utang[1]Gambaran contoh penggadaian utang[3]Gadai utang langsung tanpa perantaraGadai utang dengan adanya perantaraKesimpulan Gadai berupa utang[1] Maksudnya, menjadikan utang sebagai sesuatu yang digadaikan atas utang lainnya. Terkait hal ini pun dijelaskan oleh para ulama. Tentunya hal seperti ini butuh perincian yang lebih mendalam, agar permasalahan seperti ini tergambarkan dengan jelas dan dapat diketahui bagaimana para ulama dalam menentukan pendapat mereka. Terkait boleh atau tidaknya menggadaikan utang, secara umum setidaknya ada dua pendapat. Pendapat pertama: Tidak membolehkan secara mutlak. Pendapat ini adalah pendapat jumhur dari para ulama. Baik dari mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Alasannya, karena Allah mensifati gadai dengan “barang tanggungan yang dijadikan jaminan”, sedangkan utang tidak bersifat demikian. Pendapat kedua: Boleh secara mutlak. Ini pendapat dari mazhab Maliki, sebagian mazhab Syafi’i dan Hanbali. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah[2]. Alasannya, karena kedudukan utang bisa menduduki kedudukan suatu barang. Maka, jual beli utang diperbolehkan sebagaimana jual beli barang. Kembali ke kaidah yang sudah disebutkan, setiap yang boleh diperjualbelikan, maka boleh digadaikan. Berkaitan tentang kedua pendapat ini, akan dirincikan pada kedua contoh di bawah ini. Gambaran contoh penggadaian utang[3] Penggadaian utang ada beberapa macam. Di antaranya: Gadai utang langsung tanpa perantara Maksud dalam hal ini adalah menjadikan utang sebagai pengganti dari barang jaminan. Sehingga utang sebagai jaminan untuk melunasi utang. Dalam poin ini, utang dimiliki oleh murtahin atau si penggadai. Contohnya: Ali memiliki utang kepada Abdullah, kemudian Ali membeli suatu barang dari Abdullah dalam bentuk utang. Ali lalu menggadaikan barang tersebut (yang bersifat utang) kepada Abdullah sebagai jaminan atas utangnya. Maka, hal seperti ini disebut dengan gadai utang yang langsung dari pengutang tanpa perantara. Rinciannya tentang contoh ini, terdapat dua pendapat dari kalangan ulama. Pendapat pertama: Pendapat dari mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Yaitu, tidak membolehkan menggadaikan utang dengan utang. Dalam hal ini terdapat beberapa alasan: Pertama: Jaminan dari gadai diharuskan berbentuk barang. Karena tujuan dari gadai adalah memberikan jaminan. Dan utang tidak bisa dijadikan jaminan untuk utang. Demikian yang dikatakan oleh Al-Imam Al-Juwainy. Kedua: Karena utang termasuk barang/hal yang tidak bisa diterima dalam sebuah akad. Pendapat kedua: Pendapat dari mazhab Maliki sebagaimana yang dinukil oleh Ibnul Qasim dan sebagian dari Madzhab Syafi’i dan Hanbali. Terkait dengan pendapat ini terdapat beberapa alasan: Pertama: Utang dapat dijadikan sebagai jaminan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman mengenai ayat tentang gadai, فَرِهَـٰنٌ۬ مَّقۡبُوضَةٌ۬‌ۖ “Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang.” (QS. Al-Baqarah: 283) Dan utang yang dimiliki oleh si penggadai sejatinya dapat dijadikan barang jaminan atau tanggungan. Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan, لِأَنَّ الدَّيْنَ مَالٌ تَقَعُ الوَثِيْقَةُ بِهِ، فَجَازَ أَنْ يَكُوْنَ رَهْناً، قِيَاسًا عَلَى سِلْعَةٍ مَوْجُوْدَةٍ “Karena utang itu sendiri adalah harta yang dapat dijadikan sebagai jaminan, maka diperbolehkan menjadikan utang sebagai jaminan untuk digadaikan. Sebagai bentuk qiyas terhadap benda-benda yang ada.”[4] Kedua: Di antara alasan yang membolehkan untuk menggadaikan utang yaitu kembali kepada kaidah fikih, تُنَزَّلُ الدُّيُوْنُ فِي الذِّمَمِ مَنْزِلَةَ الأَعْيَانِ “Utang dalam suatu tanggungan dapat disamakan kedudukannya seperti barang.”[5] Dan juga kaidah yang telah disebutkan di awal pembahasan, “Segala yang boleh diperjualbelikan, boleh untuk digadaikan.” Dan jumhur ulama berpendapat akan bolehnya menjual utang. Hal ini karena utang boleh diperjualbelikan, maka boleh juga untuk digadaikan. Ketiga: Alasan berikutnya, karena tidak terdapat dalil yang melarang akan tidak bolehnya menggadaikan utang. Masyhur kaidah fikih yang menjelaskan akan hukum asal muamalah adalah mubah, sampai datang dalil yang melarangnya. Dalam hal ini, tidak terdapat dalil yang melarang akan tidak bolehnya menggadaikan utang. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa menggadaikan utang adalah hal yang diperbolehkan. Dari kedua pendapat di atas, kiranya pendapat kedua adalah pendapat yang kuat. Dari segi dalil dan hujah, disertai dengan alasan dan argumentasi yang jelas dari para ulama. Wallahu ’alam. Gadai utang dengan adanya perantara Maksudnya adalah menggadaikan utang yang ada pada tanggungan orang lain, yang utang tersebut merupakan hak Murtahin. Kemudian Murtahin menggadaikan utang tersebut kepada Rahin sebagai jaminan atas utangnya Murtahin kepada Rahin. Lebih jelasnya, dapat dilihat dari contoh berikut, Contohnya: Ali memiliki utang kepada Abdullah dan Abdullah memiliki utang kepada Umar. Kemudian, Abdullah menjadikan utangnya Ali kepadanya sebagai gadai atas utangnya Abdullah kepada Umar. Sehingga Abdullah mengatakan kepada Umar, “Saya jadikan utang Ali kepada saya sebagai gadai atas utang saya kepada Anda.” Maka, pada kasus ini Abdullah menjadikan utangnya Ali kepada Abdullah sebagai jaminan atau gadai atas utangnya Abdullah kepada Umar. Terkait dengan contoh pada poin ini, sama halnya dengan contoh pada poin di atas. Terdapat dua pendapat para ulama mengenai hal ini. Ada yang tidak membolehkan dan ada yang membolehkan. Di antara yang tidak membolehkan untuk menggadaikan utang dengan adanya perantara adalah Madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Dengan beberapa alasan: Pertama: Karena utang termasuk barang/hal yang tidak bisa diterima dalam sebuah akad. Kedua: Terdapat kemungkinan tidak dapat melunasi atau kesulitan dalam melunasi utang. Ketiga: Terdapat kemungkinan adanya penipuan, ketika perantara tidak membayarkan utang orang yang menggadaikan utangnya tersebut. Para ulama yang membolehkan adalah ulama dari kalangan mazhab Maliki, dan sebagian dari mazhab Syafi’i. Karena beberapa alasan: Pertama: Terdapat kaidah fikih, “Setiap yang mungkin untuk dilunasi sebuah utang dengan hal itu, baik dari segi setaranya nilai maupun manfaat yang dapat menggantikannya, maka hal tersebut boleh untuk digadaikan. Jika tidak, maka tidak boleh untuk digadaikan.” Kedua: Dari kaidah di atas dapat difahami bahwa menggadaikan utang yang berada pada tanggungan orang lain diperbolehkan jika utang yang ingin digadaikan tersebut sesuai dengan nominal dan nilai yang dapat menjadi jaminan utang. Ketiga: Hal ini diperbolehkan jika Murtahin dapat memastikan terlunaskannya utang tersebut. Dan juga dapat memastikan jika utangnya tidak lunas, maka utang yang dapat dijadikan jaminan dapat ditarik oleh Murtahin. Sebagai bentuk qiyas terhadap jaminan yang berupa barang. Sehingga ini sesuai dengan kaidah yang telah disebutkan pada contoh di atas. Yaitu, utang dapat disamakan kedudukannya sebagaimana barang. Kesimpulan Menggadaikan utang terbagi menjadi dua. Pertama, gadai utang tanpa perantara. Artinya utang yang langsung dimiliki oleh penggadai dan yang kedua, yaitu gadai utang dengan adanya perantara. Artinya, utang yang ada pada orang lain yang dimiliki oleh penggadai. Keduanya diperbolehkan ketika memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Kembali ke bagian 3: Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (1) Lanjut ke bagian 5: Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (3) *** Depok, 24 Zulhijah 1445 / 30 Juni 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi : Rahnu Ad-Duyun, karya Prof. Dr. Nazih Kamal Hammad Syarhul Mumti’ ‘Ala Zaadil Mustaqni’, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah https://dorar.net/ Dan kitab-kitab serta website lainnya.   Catatan kaki: [1] Pembahasan ini bisa dilihat di https://dorar.net/feqhia/9045. [2] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, 9: 119. [3] Pembahasan ini bisa dilihat di kitab Rahnu Ad-Duyun, karya Prof. Dr. Nazih Kamal Hammad. [4] Lihat Ahkaamul Qur’an, 3: 411 karya Ibnul ‘Araby dan Rahnu Ad-Duyun, hal. 20. [5] Lihat I’laamul Muwaqqi’in, 4: 3. Tags: gadai

Fikih Transaksi Gadai (Bag. 4): Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (2)

Daftar Isi Toggle Gadai berupa utang[1]Gambaran contoh penggadaian utang[3]Gadai utang langsung tanpa perantaraGadai utang dengan adanya perantaraKesimpulan Gadai berupa utang[1] Maksudnya, menjadikan utang sebagai sesuatu yang digadaikan atas utang lainnya. Terkait hal ini pun dijelaskan oleh para ulama. Tentunya hal seperti ini butuh perincian yang lebih mendalam, agar permasalahan seperti ini tergambarkan dengan jelas dan dapat diketahui bagaimana para ulama dalam menentukan pendapat mereka. Terkait boleh atau tidaknya menggadaikan utang, secara umum setidaknya ada dua pendapat. Pendapat pertama: Tidak membolehkan secara mutlak. Pendapat ini adalah pendapat jumhur dari para ulama. Baik dari mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Alasannya, karena Allah mensifati gadai dengan “barang tanggungan yang dijadikan jaminan”, sedangkan utang tidak bersifat demikian. Pendapat kedua: Boleh secara mutlak. Ini pendapat dari mazhab Maliki, sebagian mazhab Syafi’i dan Hanbali. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah[2]. Alasannya, karena kedudukan utang bisa menduduki kedudukan suatu barang. Maka, jual beli utang diperbolehkan sebagaimana jual beli barang. Kembali ke kaidah yang sudah disebutkan, setiap yang boleh diperjualbelikan, maka boleh digadaikan. Berkaitan tentang kedua pendapat ini, akan dirincikan pada kedua contoh di bawah ini. Gambaran contoh penggadaian utang[3] Penggadaian utang ada beberapa macam. Di antaranya: Gadai utang langsung tanpa perantara Maksud dalam hal ini adalah menjadikan utang sebagai pengganti dari barang jaminan. Sehingga utang sebagai jaminan untuk melunasi utang. Dalam poin ini, utang dimiliki oleh murtahin atau si penggadai. Contohnya: Ali memiliki utang kepada Abdullah, kemudian Ali membeli suatu barang dari Abdullah dalam bentuk utang. Ali lalu menggadaikan barang tersebut (yang bersifat utang) kepada Abdullah sebagai jaminan atas utangnya. Maka, hal seperti ini disebut dengan gadai utang yang langsung dari pengutang tanpa perantara. Rinciannya tentang contoh ini, terdapat dua pendapat dari kalangan ulama. Pendapat pertama: Pendapat dari mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Yaitu, tidak membolehkan menggadaikan utang dengan utang. Dalam hal ini terdapat beberapa alasan: Pertama: Jaminan dari gadai diharuskan berbentuk barang. Karena tujuan dari gadai adalah memberikan jaminan. Dan utang tidak bisa dijadikan jaminan untuk utang. Demikian yang dikatakan oleh Al-Imam Al-Juwainy. Kedua: Karena utang termasuk barang/hal yang tidak bisa diterima dalam sebuah akad. Pendapat kedua: Pendapat dari mazhab Maliki sebagaimana yang dinukil oleh Ibnul Qasim dan sebagian dari Madzhab Syafi’i dan Hanbali. Terkait dengan pendapat ini terdapat beberapa alasan: Pertama: Utang dapat dijadikan sebagai jaminan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman mengenai ayat tentang gadai, فَرِهَـٰنٌ۬ مَّقۡبُوضَةٌ۬‌ۖ “Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang.” (QS. Al-Baqarah: 283) Dan utang yang dimiliki oleh si penggadai sejatinya dapat dijadikan barang jaminan atau tanggungan. Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan, لِأَنَّ الدَّيْنَ مَالٌ تَقَعُ الوَثِيْقَةُ بِهِ، فَجَازَ أَنْ يَكُوْنَ رَهْناً، قِيَاسًا عَلَى سِلْعَةٍ مَوْجُوْدَةٍ “Karena utang itu sendiri adalah harta yang dapat dijadikan sebagai jaminan, maka diperbolehkan menjadikan utang sebagai jaminan untuk digadaikan. Sebagai bentuk qiyas terhadap benda-benda yang ada.”[4] Kedua: Di antara alasan yang membolehkan untuk menggadaikan utang yaitu kembali kepada kaidah fikih, تُنَزَّلُ الدُّيُوْنُ فِي الذِّمَمِ مَنْزِلَةَ الأَعْيَانِ “Utang dalam suatu tanggungan dapat disamakan kedudukannya seperti barang.”[5] Dan juga kaidah yang telah disebutkan di awal pembahasan, “Segala yang boleh diperjualbelikan, boleh untuk digadaikan.” Dan jumhur ulama berpendapat akan bolehnya menjual utang. Hal ini karena utang boleh diperjualbelikan, maka boleh juga untuk digadaikan. Ketiga: Alasan berikutnya, karena tidak terdapat dalil yang melarang akan tidak bolehnya menggadaikan utang. Masyhur kaidah fikih yang menjelaskan akan hukum asal muamalah adalah mubah, sampai datang dalil yang melarangnya. Dalam hal ini, tidak terdapat dalil yang melarang akan tidak bolehnya menggadaikan utang. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa menggadaikan utang adalah hal yang diperbolehkan. Dari kedua pendapat di atas, kiranya pendapat kedua adalah pendapat yang kuat. Dari segi dalil dan hujah, disertai dengan alasan dan argumentasi yang jelas dari para ulama. Wallahu ’alam. Gadai utang dengan adanya perantara Maksudnya adalah menggadaikan utang yang ada pada tanggungan orang lain, yang utang tersebut merupakan hak Murtahin. Kemudian Murtahin menggadaikan utang tersebut kepada Rahin sebagai jaminan atas utangnya Murtahin kepada Rahin. Lebih jelasnya, dapat dilihat dari contoh berikut, Contohnya: Ali memiliki utang kepada Abdullah dan Abdullah memiliki utang kepada Umar. Kemudian, Abdullah menjadikan utangnya Ali kepadanya sebagai gadai atas utangnya Abdullah kepada Umar. Sehingga Abdullah mengatakan kepada Umar, “Saya jadikan utang Ali kepada saya sebagai gadai atas utang saya kepada Anda.” Maka, pada kasus ini Abdullah menjadikan utangnya Ali kepada Abdullah sebagai jaminan atau gadai atas utangnya Abdullah kepada Umar. Terkait dengan contoh pada poin ini, sama halnya dengan contoh pada poin di atas. Terdapat dua pendapat para ulama mengenai hal ini. Ada yang tidak membolehkan dan ada yang membolehkan. Di antara yang tidak membolehkan untuk menggadaikan utang dengan adanya perantara adalah Madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Dengan beberapa alasan: Pertama: Karena utang termasuk barang/hal yang tidak bisa diterima dalam sebuah akad. Kedua: Terdapat kemungkinan tidak dapat melunasi atau kesulitan dalam melunasi utang. Ketiga: Terdapat kemungkinan adanya penipuan, ketika perantara tidak membayarkan utang orang yang menggadaikan utangnya tersebut. Para ulama yang membolehkan adalah ulama dari kalangan mazhab Maliki, dan sebagian dari mazhab Syafi’i. Karena beberapa alasan: Pertama: Terdapat kaidah fikih, “Setiap yang mungkin untuk dilunasi sebuah utang dengan hal itu, baik dari segi setaranya nilai maupun manfaat yang dapat menggantikannya, maka hal tersebut boleh untuk digadaikan. Jika tidak, maka tidak boleh untuk digadaikan.” Kedua: Dari kaidah di atas dapat difahami bahwa menggadaikan utang yang berada pada tanggungan orang lain diperbolehkan jika utang yang ingin digadaikan tersebut sesuai dengan nominal dan nilai yang dapat menjadi jaminan utang. Ketiga: Hal ini diperbolehkan jika Murtahin dapat memastikan terlunaskannya utang tersebut. Dan juga dapat memastikan jika utangnya tidak lunas, maka utang yang dapat dijadikan jaminan dapat ditarik oleh Murtahin. Sebagai bentuk qiyas terhadap jaminan yang berupa barang. Sehingga ini sesuai dengan kaidah yang telah disebutkan pada contoh di atas. Yaitu, utang dapat disamakan kedudukannya sebagaimana barang. Kesimpulan Menggadaikan utang terbagi menjadi dua. Pertama, gadai utang tanpa perantara. Artinya utang yang langsung dimiliki oleh penggadai dan yang kedua, yaitu gadai utang dengan adanya perantara. Artinya, utang yang ada pada orang lain yang dimiliki oleh penggadai. Keduanya diperbolehkan ketika memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Kembali ke bagian 3: Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (1) Lanjut ke bagian 5: Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (3) *** Depok, 24 Zulhijah 1445 / 30 Juni 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi : Rahnu Ad-Duyun, karya Prof. Dr. Nazih Kamal Hammad Syarhul Mumti’ ‘Ala Zaadil Mustaqni’, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah https://dorar.net/ Dan kitab-kitab serta website lainnya.   Catatan kaki: [1] Pembahasan ini bisa dilihat di https://dorar.net/feqhia/9045. [2] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, 9: 119. [3] Pembahasan ini bisa dilihat di kitab Rahnu Ad-Duyun, karya Prof. Dr. Nazih Kamal Hammad. [4] Lihat Ahkaamul Qur’an, 3: 411 karya Ibnul ‘Araby dan Rahnu Ad-Duyun, hal. 20. [5] Lihat I’laamul Muwaqqi’in, 4: 3. Tags: gadai
Daftar Isi Toggle Gadai berupa utang[1]Gambaran contoh penggadaian utang[3]Gadai utang langsung tanpa perantaraGadai utang dengan adanya perantaraKesimpulan Gadai berupa utang[1] Maksudnya, menjadikan utang sebagai sesuatu yang digadaikan atas utang lainnya. Terkait hal ini pun dijelaskan oleh para ulama. Tentunya hal seperti ini butuh perincian yang lebih mendalam, agar permasalahan seperti ini tergambarkan dengan jelas dan dapat diketahui bagaimana para ulama dalam menentukan pendapat mereka. Terkait boleh atau tidaknya menggadaikan utang, secara umum setidaknya ada dua pendapat. Pendapat pertama: Tidak membolehkan secara mutlak. Pendapat ini adalah pendapat jumhur dari para ulama. Baik dari mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Alasannya, karena Allah mensifati gadai dengan “barang tanggungan yang dijadikan jaminan”, sedangkan utang tidak bersifat demikian. Pendapat kedua: Boleh secara mutlak. Ini pendapat dari mazhab Maliki, sebagian mazhab Syafi’i dan Hanbali. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah[2]. Alasannya, karena kedudukan utang bisa menduduki kedudukan suatu barang. Maka, jual beli utang diperbolehkan sebagaimana jual beli barang. Kembali ke kaidah yang sudah disebutkan, setiap yang boleh diperjualbelikan, maka boleh digadaikan. Berkaitan tentang kedua pendapat ini, akan dirincikan pada kedua contoh di bawah ini. Gambaran contoh penggadaian utang[3] Penggadaian utang ada beberapa macam. Di antaranya: Gadai utang langsung tanpa perantara Maksud dalam hal ini adalah menjadikan utang sebagai pengganti dari barang jaminan. Sehingga utang sebagai jaminan untuk melunasi utang. Dalam poin ini, utang dimiliki oleh murtahin atau si penggadai. Contohnya: Ali memiliki utang kepada Abdullah, kemudian Ali membeli suatu barang dari Abdullah dalam bentuk utang. Ali lalu menggadaikan barang tersebut (yang bersifat utang) kepada Abdullah sebagai jaminan atas utangnya. Maka, hal seperti ini disebut dengan gadai utang yang langsung dari pengutang tanpa perantara. Rinciannya tentang contoh ini, terdapat dua pendapat dari kalangan ulama. Pendapat pertama: Pendapat dari mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Yaitu, tidak membolehkan menggadaikan utang dengan utang. Dalam hal ini terdapat beberapa alasan: Pertama: Jaminan dari gadai diharuskan berbentuk barang. Karena tujuan dari gadai adalah memberikan jaminan. Dan utang tidak bisa dijadikan jaminan untuk utang. Demikian yang dikatakan oleh Al-Imam Al-Juwainy. Kedua: Karena utang termasuk barang/hal yang tidak bisa diterima dalam sebuah akad. Pendapat kedua: Pendapat dari mazhab Maliki sebagaimana yang dinukil oleh Ibnul Qasim dan sebagian dari Madzhab Syafi’i dan Hanbali. Terkait dengan pendapat ini terdapat beberapa alasan: Pertama: Utang dapat dijadikan sebagai jaminan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman mengenai ayat tentang gadai, فَرِهَـٰنٌ۬ مَّقۡبُوضَةٌ۬‌ۖ “Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang.” (QS. Al-Baqarah: 283) Dan utang yang dimiliki oleh si penggadai sejatinya dapat dijadikan barang jaminan atau tanggungan. Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan, لِأَنَّ الدَّيْنَ مَالٌ تَقَعُ الوَثِيْقَةُ بِهِ، فَجَازَ أَنْ يَكُوْنَ رَهْناً، قِيَاسًا عَلَى سِلْعَةٍ مَوْجُوْدَةٍ “Karena utang itu sendiri adalah harta yang dapat dijadikan sebagai jaminan, maka diperbolehkan menjadikan utang sebagai jaminan untuk digadaikan. Sebagai bentuk qiyas terhadap benda-benda yang ada.”[4] Kedua: Di antara alasan yang membolehkan untuk menggadaikan utang yaitu kembali kepada kaidah fikih, تُنَزَّلُ الدُّيُوْنُ فِي الذِّمَمِ مَنْزِلَةَ الأَعْيَانِ “Utang dalam suatu tanggungan dapat disamakan kedudukannya seperti barang.”[5] Dan juga kaidah yang telah disebutkan di awal pembahasan, “Segala yang boleh diperjualbelikan, boleh untuk digadaikan.” Dan jumhur ulama berpendapat akan bolehnya menjual utang. Hal ini karena utang boleh diperjualbelikan, maka boleh juga untuk digadaikan. Ketiga: Alasan berikutnya, karena tidak terdapat dalil yang melarang akan tidak bolehnya menggadaikan utang. Masyhur kaidah fikih yang menjelaskan akan hukum asal muamalah adalah mubah, sampai datang dalil yang melarangnya. Dalam hal ini, tidak terdapat dalil yang melarang akan tidak bolehnya menggadaikan utang. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa menggadaikan utang adalah hal yang diperbolehkan. Dari kedua pendapat di atas, kiranya pendapat kedua adalah pendapat yang kuat. Dari segi dalil dan hujah, disertai dengan alasan dan argumentasi yang jelas dari para ulama. Wallahu ’alam. Gadai utang dengan adanya perantara Maksudnya adalah menggadaikan utang yang ada pada tanggungan orang lain, yang utang tersebut merupakan hak Murtahin. Kemudian Murtahin menggadaikan utang tersebut kepada Rahin sebagai jaminan atas utangnya Murtahin kepada Rahin. Lebih jelasnya, dapat dilihat dari contoh berikut, Contohnya: Ali memiliki utang kepada Abdullah dan Abdullah memiliki utang kepada Umar. Kemudian, Abdullah menjadikan utangnya Ali kepadanya sebagai gadai atas utangnya Abdullah kepada Umar. Sehingga Abdullah mengatakan kepada Umar, “Saya jadikan utang Ali kepada saya sebagai gadai atas utang saya kepada Anda.” Maka, pada kasus ini Abdullah menjadikan utangnya Ali kepada Abdullah sebagai jaminan atau gadai atas utangnya Abdullah kepada Umar. Terkait dengan contoh pada poin ini, sama halnya dengan contoh pada poin di atas. Terdapat dua pendapat para ulama mengenai hal ini. Ada yang tidak membolehkan dan ada yang membolehkan. Di antara yang tidak membolehkan untuk menggadaikan utang dengan adanya perantara adalah Madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Dengan beberapa alasan: Pertama: Karena utang termasuk barang/hal yang tidak bisa diterima dalam sebuah akad. Kedua: Terdapat kemungkinan tidak dapat melunasi atau kesulitan dalam melunasi utang. Ketiga: Terdapat kemungkinan adanya penipuan, ketika perantara tidak membayarkan utang orang yang menggadaikan utangnya tersebut. Para ulama yang membolehkan adalah ulama dari kalangan mazhab Maliki, dan sebagian dari mazhab Syafi’i. Karena beberapa alasan: Pertama: Terdapat kaidah fikih, “Setiap yang mungkin untuk dilunasi sebuah utang dengan hal itu, baik dari segi setaranya nilai maupun manfaat yang dapat menggantikannya, maka hal tersebut boleh untuk digadaikan. Jika tidak, maka tidak boleh untuk digadaikan.” Kedua: Dari kaidah di atas dapat difahami bahwa menggadaikan utang yang berada pada tanggungan orang lain diperbolehkan jika utang yang ingin digadaikan tersebut sesuai dengan nominal dan nilai yang dapat menjadi jaminan utang. Ketiga: Hal ini diperbolehkan jika Murtahin dapat memastikan terlunaskannya utang tersebut. Dan juga dapat memastikan jika utangnya tidak lunas, maka utang yang dapat dijadikan jaminan dapat ditarik oleh Murtahin. Sebagai bentuk qiyas terhadap jaminan yang berupa barang. Sehingga ini sesuai dengan kaidah yang telah disebutkan pada contoh di atas. Yaitu, utang dapat disamakan kedudukannya sebagaimana barang. Kesimpulan Menggadaikan utang terbagi menjadi dua. Pertama, gadai utang tanpa perantara. Artinya utang yang langsung dimiliki oleh penggadai dan yang kedua, yaitu gadai utang dengan adanya perantara. Artinya, utang yang ada pada orang lain yang dimiliki oleh penggadai. Keduanya diperbolehkan ketika memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Kembali ke bagian 3: Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (1) Lanjut ke bagian 5: Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (3) *** Depok, 24 Zulhijah 1445 / 30 Juni 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi : Rahnu Ad-Duyun, karya Prof. Dr. Nazih Kamal Hammad Syarhul Mumti’ ‘Ala Zaadil Mustaqni’, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah https://dorar.net/ Dan kitab-kitab serta website lainnya.   Catatan kaki: [1] Pembahasan ini bisa dilihat di https://dorar.net/feqhia/9045. [2] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, 9: 119. [3] Pembahasan ini bisa dilihat di kitab Rahnu Ad-Duyun, karya Prof. Dr. Nazih Kamal Hammad. [4] Lihat Ahkaamul Qur’an, 3: 411 karya Ibnul ‘Araby dan Rahnu Ad-Duyun, hal. 20. [5] Lihat I’laamul Muwaqqi’in, 4: 3. Tags: gadai


Daftar Isi Toggle Gadai berupa utang[1]Gambaran contoh penggadaian utang[3]Gadai utang langsung tanpa perantaraGadai utang dengan adanya perantaraKesimpulan Gadai berupa utang[1] Maksudnya, menjadikan utang sebagai sesuatu yang digadaikan atas utang lainnya. Terkait hal ini pun dijelaskan oleh para ulama. Tentunya hal seperti ini butuh perincian yang lebih mendalam, agar permasalahan seperti ini tergambarkan dengan jelas dan dapat diketahui bagaimana para ulama dalam menentukan pendapat mereka. Terkait boleh atau tidaknya menggadaikan utang, secara umum setidaknya ada dua pendapat. Pendapat pertama: Tidak membolehkan secara mutlak. Pendapat ini adalah pendapat jumhur dari para ulama. Baik dari mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Alasannya, karena Allah mensifati gadai dengan “barang tanggungan yang dijadikan jaminan”, sedangkan utang tidak bersifat demikian. Pendapat kedua: Boleh secara mutlak. Ini pendapat dari mazhab Maliki, sebagian mazhab Syafi’i dan Hanbali. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah[2]. Alasannya, karena kedudukan utang bisa menduduki kedudukan suatu barang. Maka, jual beli utang diperbolehkan sebagaimana jual beli barang. Kembali ke kaidah yang sudah disebutkan, setiap yang boleh diperjualbelikan, maka boleh digadaikan. Berkaitan tentang kedua pendapat ini, akan dirincikan pada kedua contoh di bawah ini. Gambaran contoh penggadaian utang[3] Penggadaian utang ada beberapa macam. Di antaranya: Gadai utang langsung tanpa perantara Maksud dalam hal ini adalah menjadikan utang sebagai pengganti dari barang jaminan. Sehingga utang sebagai jaminan untuk melunasi utang. Dalam poin ini, utang dimiliki oleh murtahin atau si penggadai. Contohnya: Ali memiliki utang kepada Abdullah, kemudian Ali membeli suatu barang dari Abdullah dalam bentuk utang. Ali lalu menggadaikan barang tersebut (yang bersifat utang) kepada Abdullah sebagai jaminan atas utangnya. Maka, hal seperti ini disebut dengan gadai utang yang langsung dari pengutang tanpa perantara. Rinciannya tentang contoh ini, terdapat dua pendapat dari kalangan ulama. Pendapat pertama: Pendapat dari mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Yaitu, tidak membolehkan menggadaikan utang dengan utang. Dalam hal ini terdapat beberapa alasan: Pertama: Jaminan dari gadai diharuskan berbentuk barang. Karena tujuan dari gadai adalah memberikan jaminan. Dan utang tidak bisa dijadikan jaminan untuk utang. Demikian yang dikatakan oleh Al-Imam Al-Juwainy. Kedua: Karena utang termasuk barang/hal yang tidak bisa diterima dalam sebuah akad. Pendapat kedua: Pendapat dari mazhab Maliki sebagaimana yang dinukil oleh Ibnul Qasim dan sebagian dari Madzhab Syafi’i dan Hanbali. Terkait dengan pendapat ini terdapat beberapa alasan: Pertama: Utang dapat dijadikan sebagai jaminan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman mengenai ayat tentang gadai, فَرِهَـٰنٌ۬ مَّقۡبُوضَةٌ۬‌ۖ “Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang.” (QS. Al-Baqarah: 283) Dan utang yang dimiliki oleh si penggadai sejatinya dapat dijadikan barang jaminan atau tanggungan. Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan, لِأَنَّ الدَّيْنَ مَالٌ تَقَعُ الوَثِيْقَةُ بِهِ، فَجَازَ أَنْ يَكُوْنَ رَهْناً، قِيَاسًا عَلَى سِلْعَةٍ مَوْجُوْدَةٍ “Karena utang itu sendiri adalah harta yang dapat dijadikan sebagai jaminan, maka diperbolehkan menjadikan utang sebagai jaminan untuk digadaikan. Sebagai bentuk qiyas terhadap benda-benda yang ada.”[4] Kedua: Di antara alasan yang membolehkan untuk menggadaikan utang yaitu kembali kepada kaidah fikih, تُنَزَّلُ الدُّيُوْنُ فِي الذِّمَمِ مَنْزِلَةَ الأَعْيَانِ “Utang dalam suatu tanggungan dapat disamakan kedudukannya seperti barang.”[5] Dan juga kaidah yang telah disebutkan di awal pembahasan, “Segala yang boleh diperjualbelikan, boleh untuk digadaikan.” Dan jumhur ulama berpendapat akan bolehnya menjual utang. Hal ini karena utang boleh diperjualbelikan, maka boleh juga untuk digadaikan. Ketiga: Alasan berikutnya, karena tidak terdapat dalil yang melarang akan tidak bolehnya menggadaikan utang. Masyhur kaidah fikih yang menjelaskan akan hukum asal muamalah adalah mubah, sampai datang dalil yang melarangnya. Dalam hal ini, tidak terdapat dalil yang melarang akan tidak bolehnya menggadaikan utang. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa menggadaikan utang adalah hal yang diperbolehkan. Dari kedua pendapat di atas, kiranya pendapat kedua adalah pendapat yang kuat. Dari segi dalil dan hujah, disertai dengan alasan dan argumentasi yang jelas dari para ulama. Wallahu ’alam. Gadai utang dengan adanya perantara Maksudnya adalah menggadaikan utang yang ada pada tanggungan orang lain, yang utang tersebut merupakan hak Murtahin. Kemudian Murtahin menggadaikan utang tersebut kepada Rahin sebagai jaminan atas utangnya Murtahin kepada Rahin. Lebih jelasnya, dapat dilihat dari contoh berikut, Contohnya: Ali memiliki utang kepada Abdullah dan Abdullah memiliki utang kepada Umar. Kemudian, Abdullah menjadikan utangnya Ali kepadanya sebagai gadai atas utangnya Abdullah kepada Umar. Sehingga Abdullah mengatakan kepada Umar, “Saya jadikan utang Ali kepada saya sebagai gadai atas utang saya kepada Anda.” Maka, pada kasus ini Abdullah menjadikan utangnya Ali kepada Abdullah sebagai jaminan atau gadai atas utangnya Abdullah kepada Umar. Terkait dengan contoh pada poin ini, sama halnya dengan contoh pada poin di atas. Terdapat dua pendapat para ulama mengenai hal ini. Ada yang tidak membolehkan dan ada yang membolehkan. Di antara yang tidak membolehkan untuk menggadaikan utang dengan adanya perantara adalah Madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Dengan beberapa alasan: Pertama: Karena utang termasuk barang/hal yang tidak bisa diterima dalam sebuah akad. Kedua: Terdapat kemungkinan tidak dapat melunasi atau kesulitan dalam melunasi utang. Ketiga: Terdapat kemungkinan adanya penipuan, ketika perantara tidak membayarkan utang orang yang menggadaikan utangnya tersebut. Para ulama yang membolehkan adalah ulama dari kalangan mazhab Maliki, dan sebagian dari mazhab Syafi’i. Karena beberapa alasan: Pertama: Terdapat kaidah fikih, “Setiap yang mungkin untuk dilunasi sebuah utang dengan hal itu, baik dari segi setaranya nilai maupun manfaat yang dapat menggantikannya, maka hal tersebut boleh untuk digadaikan. Jika tidak, maka tidak boleh untuk digadaikan.” Kedua: Dari kaidah di atas dapat difahami bahwa menggadaikan utang yang berada pada tanggungan orang lain diperbolehkan jika utang yang ingin digadaikan tersebut sesuai dengan nominal dan nilai yang dapat menjadi jaminan utang. Ketiga: Hal ini diperbolehkan jika Murtahin dapat memastikan terlunaskannya utang tersebut. Dan juga dapat memastikan jika utangnya tidak lunas, maka utang yang dapat dijadikan jaminan dapat ditarik oleh Murtahin. Sebagai bentuk qiyas terhadap jaminan yang berupa barang. Sehingga ini sesuai dengan kaidah yang telah disebutkan pada contoh di atas. Yaitu, utang dapat disamakan kedudukannya sebagaimana barang. Kesimpulan Menggadaikan utang terbagi menjadi dua. Pertama, gadai utang tanpa perantara. Artinya utang yang langsung dimiliki oleh penggadai dan yang kedua, yaitu gadai utang dengan adanya perantara. Artinya, utang yang ada pada orang lain yang dimiliki oleh penggadai. Keduanya diperbolehkan ketika memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Kembali ke bagian 3: Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (1) Lanjut ke bagian 5: Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (3) *** Depok, 24 Zulhijah 1445 / 30 Juni 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi : Rahnu Ad-Duyun, karya Prof. Dr. Nazih Kamal Hammad Syarhul Mumti’ ‘Ala Zaadil Mustaqni’, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah https://dorar.net/ Dan kitab-kitab serta website lainnya.   Catatan kaki: [1] Pembahasan ini bisa dilihat di https://dorar.net/feqhia/9045. [2] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, 9: 119. [3] Pembahasan ini bisa dilihat di kitab Rahnu Ad-Duyun, karya Prof. Dr. Nazih Kamal Hammad. [4] Lihat Ahkaamul Qur’an, 3: 411 karya Ibnul ‘Araby dan Rahnu Ad-Duyun, hal. 20. [5] Lihat I’laamul Muwaqqi’in, 4: 3. Tags: gadai

Kisah Thalhah bin Ubaidillah (Bag. 1): Awal Kehidupan dan Kisah Thalhah di Perang Uhud

Daftar Isi Toggle Masa Kecil dan Awal Thalhah Masuk IslamKabar Syahidnya ThalhahPerang Uhud Ini adalah kisah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia, seorang syahid yang meletakan kakinya di muka bumi dalam keadaan ia telah mengetahui bahwasanya ia adalah penghuni surga. Dialah Thalhah bin Ubaidillah Al-Qurasyi At-Taimi Abu Muhammad radhiyallahu ’anhu. Ia merupakan salah satu sahabat dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَبُو بَكْرٍ فِى الْجَنَّةِ وَعُمَرُ فِى الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ فِى الْجَنَّةِ وَعَلِىٌّ فِى الْجَنَّةِ وَطَلْحَةُ فِى الْجَنَّةِ وَالزُّبَيْرُ فِى الْجَنَّةِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِى الْجَنَّةِ وَسَعْدٌ فِى الْجَنَّةِ وَسَعِيدٌ فِى الْجَنَّةِ وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِى الْجَنَّةِ “Abu Bakar di surga. Umar di surga. Utsman di surga, Ali di surga. Thalhah di surga. Zubair di surga. ‘Abdurrahman bin ‘Auf di surga. Sa’ad di surga. Said di surga. Abu Ubaidah bin Jarrah di surga.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad) Thalhah juga merupakan salah satu dari delapan sahabat yang pertama masuk Islam. Thalhah juga merupakan salah satu dari enam sahabat yang masuk Islam dengan perantara Abu Bakar As-Shidiq. Ia juga merupakan salah satu dari enam sahabat yang menjadi Ashabu Syura yang ditunjuk oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Singkatnya, beliau adalah salah satu sahabat Rasulullah yang mulia dan memiliki banyak keutamaan. Masa Kecil dan Awal Thalhah Masuk Islam Thalhah bin Ubaidilah lahir di Makkah. Ia merupakan keturunan dari keluarga yang terkemuka di Makkah. Ayahnya adalah Ubaidillah. Ia adalah termasuk pemuka Makkah dan orang yang terhormat di Makkah. Ibunya adalah Sha’bah binti Abdullah. Kakeknya adalah Wahab bin Abdullah yang merupakan orang dermawan dan murah hati. Thalhah tumbuh dan dididik di bawah pengasuhan kedua orang tuanya. Ia dididik dan belajar dari kedua orang tuanya berbagai akhlak mulia dan sifat-sifat yang terpuji. Ia menghabiskan masa kecilnya di Makkah. Thalhah juga pandai memanah dan pandai menggunakan tombak. Ia juga sangat mengenali berbagai penjuru kota Makkah, mulai dari pegunungan dan perbukitannya. Setelah tumbuh dewasa, ia menikahi Hamnah binti Jahsy, saudarinya Zainab binti Jahsy yang merupakan istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seiring dengan tumbuh menjadi dewasa, Thalhah merasa kota tempat ia tumbuh menjadi terasa sempit dan memutuskan menjadi seorang pedagang, hingga ia pun mengenal daerah Syam dan Basra. Thalhah pun dikenal sebagai pedagang yang jujur dan murah hati. Ketika Thalhah mendengar kabar tentang diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai rasul dan Abu Bakar beriman kepada Rasulullah, tanpa ragu Thalhah pun langsung meyakini bahwa apa yang disampaikan oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kebenaran. Bagaimana tidak? Rasulullah merupakan seorang yang amanah yang tidak mungkin berdusta, lalu Abu Bakar juga merupakan orang yang amanah juga. Bagaimana mungkin dua orang yang mulia ini bersatu dalam kemungkaran? Sehingga Thalhah pun tanpa ragu bersyahadat dan masuk Islam. Kabar Syahidnya Thalhah Di antara keutamaan Thalhah adalah telah dikabarkan sebagai seorang syahid sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di bukit Hira, lalu berguncang, lalu beliau bersabda, اسكن حراء! فما عليك إلا نبى أو صديق أو شهيد، وعليه النبي ﷺ وأبو بكر وعمر وعثمان وعلى وطلحة والزبير وسعد بن أبي وقاص رضى الله عنهم “Diamlah Hira! Sesungguhnya di atasmu ada seorang Nabi, ada shidiq, dan syahid.” Dan di atasnya ada Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, dan Sa’ad bin Abi Waqash radiyallahu‘anhum.” (HR. Muslim) Sejak mendengar kabar syahid tersebut, Thalhah pun terus mencari syahidnya di setiap pertempuran. Ia mengikuti semua pertempuran bersama Rasulullah, kecuali pertempuran Badr. Ketika itu, ia sedang melakukan misi pengintaian terhadap Kafilah dagang Quraisy sehingga terlewatlah kesempatan Thalhah untuk mengejar syahidnya di perang Badr. Perang Uhud Ketika perang Uhud, Thalhah seperti biasanya berusaha mencari syahid di perang Uhud. Sebagaimana perang sebelumnya, muslimin yang kalah jumlah dari prajurit kaum musyrikin bisa memukul mundur pasukan musyrikin dan bisa memenangkan perang tersebut. Akan tetapi, kali ini pasukan kaum muslimin melakukan kesalahan yang menyebabkan kalahnya kaum muslimin di perang Uhud. Pasukan pemanah yang diperintahkan oleh Rasulullah untuk mempertahankan posisi di bukit meninggalkan posisinya. Mereka tergoda dengan ghanimah kaum musyrikin yang berkilauan sehingga meninggalkan posisinya. Hingga tinggal tersisa sepuluh orang saja yang berjaga di atas bukit. Melihat kesempatan ini, Khalid bin Walid (yang ketika itu belum masuk Islam) melihat kesempatan untuk menyerang dan membalikkan keadaan. Imbas dari serangan balik dari Khalid ini adalah pasukan musyrikin yang sudah kalah melakukan serangan balik dan membalikan keadaan. Banyak dari pasukan kaum muslimin yang syahid ketika itu. Rasulullah pun terkepung oleh pasukan musyrikin. Kaum muslimin terkepung dan kaum musyrikin mengepung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga tersisa beberapa orang saja yang melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, أن رسول الله ﷺ أفرد يوم أحد في سبعة من الأنصار ورجلين من قريش فلما رهقوه؛ قال: من يردّهم عنا وله الجنة؟» أو «هو رفيقي في الجنة فتقدم رجل من الأنصار فقاتل حتى قتل، ثم رهقوه أيضا فلم يزل كذلك حتى قتل السبعة، فقال رسول الله ﷺ لصاحبيه – أي القرشيين -: «ما أنصفنا أصحابنا “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika perang Uhud hanya bersama tujuh orang Anshar dan dua orang Quraisy. Ketika mereka (pasukan musyrikin) menyerang Rasulullah, ia berkata, ‘Barangsiapa yang menghadapi mereka, maka baginya surga.’ atau ‘Ia bersamaku di surga.’ Maka, majulah salah seorang dari kalangan Anshar dan berperang hingga terbunuh, lalu mereka kembali menyerang. Hal tersebut berlangsung hingga terbunuhlah tujuh orang (Anshar). Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata kepada dua sahabatnya, yaitu dua orang Quraisy, “Kita tidak berbuat Adil pada sahabat-sahabat kita.” Dua orang sahabat yang tersisa bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut adalah Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin Abi Waqash. Pada pertempuran tersebut, Thalhah berjuang untuk melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga ia mendapatkan banyak luka di seluruh tubuhnya. Thalhah menerima sekitar tiga puluh hingga tiga puluh lima luka di seluruh badannya. Kepalanya terluka, urat nadinya terpotong, dan jari telunjuk dan jari tengahnya lumpuh. Walaupun Thalhah dalam keadaan terluka hingga tidak sadarkan diri, ia tetap melindungi Rasulullah. Setiap kali pasukan musyrikin datang, Thalhah melawannya. Thalhah membawa Rasulullah mundur, hingga akhirnya ia menyandarkan Rasulullah di sebuah bukit. Akibat perjuangan Thalhah tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, أوجب طلحة حين صنع برسول الله ما صنع ”Thalhah berhak mendapatkan surga karena apa yang telah ia perbuat untuk Rasulullah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, من أحب أن ينظر إلى شهيد يمشي على وجه الأرض فلينظر إلى طلحة بن عبيدالله “Barangsiapa yang ingin melihat seorang syahid yang berjalan di atas muka bumi, maka lihatlah Thalhah bin Ubaidillah.” Sungguh besar jasa dan pengorbanan Thalhah di perang Uhud. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ’anha bahwa ketika Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berbicara tentang perang Uhud, ia berkata, ذلك اليوم كله لطلحة “Hari itu (Perang Uhud) semuanya untuk Thalhah.” Itulah kisah perjuangan dan pengorbanan Thalhah ketika perang Uhud. Kisah seorang syahid yang berjalan di muka bumi berjuang melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lanjut ke bagian 2: Sifat Mulia dan Syahidnya Beliau *** Penulis : Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Kitab Ashabu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri. Tags: Thalhah bin Ubaidillah

Kisah Thalhah bin Ubaidillah (Bag. 1): Awal Kehidupan dan Kisah Thalhah di Perang Uhud

Daftar Isi Toggle Masa Kecil dan Awal Thalhah Masuk IslamKabar Syahidnya ThalhahPerang Uhud Ini adalah kisah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia, seorang syahid yang meletakan kakinya di muka bumi dalam keadaan ia telah mengetahui bahwasanya ia adalah penghuni surga. Dialah Thalhah bin Ubaidillah Al-Qurasyi At-Taimi Abu Muhammad radhiyallahu ’anhu. Ia merupakan salah satu sahabat dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَبُو بَكْرٍ فِى الْجَنَّةِ وَعُمَرُ فِى الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ فِى الْجَنَّةِ وَعَلِىٌّ فِى الْجَنَّةِ وَطَلْحَةُ فِى الْجَنَّةِ وَالزُّبَيْرُ فِى الْجَنَّةِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِى الْجَنَّةِ وَسَعْدٌ فِى الْجَنَّةِ وَسَعِيدٌ فِى الْجَنَّةِ وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِى الْجَنَّةِ “Abu Bakar di surga. Umar di surga. Utsman di surga, Ali di surga. Thalhah di surga. Zubair di surga. ‘Abdurrahman bin ‘Auf di surga. Sa’ad di surga. Said di surga. Abu Ubaidah bin Jarrah di surga.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad) Thalhah juga merupakan salah satu dari delapan sahabat yang pertama masuk Islam. Thalhah juga merupakan salah satu dari enam sahabat yang masuk Islam dengan perantara Abu Bakar As-Shidiq. Ia juga merupakan salah satu dari enam sahabat yang menjadi Ashabu Syura yang ditunjuk oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Singkatnya, beliau adalah salah satu sahabat Rasulullah yang mulia dan memiliki banyak keutamaan. Masa Kecil dan Awal Thalhah Masuk Islam Thalhah bin Ubaidilah lahir di Makkah. Ia merupakan keturunan dari keluarga yang terkemuka di Makkah. Ayahnya adalah Ubaidillah. Ia adalah termasuk pemuka Makkah dan orang yang terhormat di Makkah. Ibunya adalah Sha’bah binti Abdullah. Kakeknya adalah Wahab bin Abdullah yang merupakan orang dermawan dan murah hati. Thalhah tumbuh dan dididik di bawah pengasuhan kedua orang tuanya. Ia dididik dan belajar dari kedua orang tuanya berbagai akhlak mulia dan sifat-sifat yang terpuji. Ia menghabiskan masa kecilnya di Makkah. Thalhah juga pandai memanah dan pandai menggunakan tombak. Ia juga sangat mengenali berbagai penjuru kota Makkah, mulai dari pegunungan dan perbukitannya. Setelah tumbuh dewasa, ia menikahi Hamnah binti Jahsy, saudarinya Zainab binti Jahsy yang merupakan istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seiring dengan tumbuh menjadi dewasa, Thalhah merasa kota tempat ia tumbuh menjadi terasa sempit dan memutuskan menjadi seorang pedagang, hingga ia pun mengenal daerah Syam dan Basra. Thalhah pun dikenal sebagai pedagang yang jujur dan murah hati. Ketika Thalhah mendengar kabar tentang diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai rasul dan Abu Bakar beriman kepada Rasulullah, tanpa ragu Thalhah pun langsung meyakini bahwa apa yang disampaikan oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kebenaran. Bagaimana tidak? Rasulullah merupakan seorang yang amanah yang tidak mungkin berdusta, lalu Abu Bakar juga merupakan orang yang amanah juga. Bagaimana mungkin dua orang yang mulia ini bersatu dalam kemungkaran? Sehingga Thalhah pun tanpa ragu bersyahadat dan masuk Islam. Kabar Syahidnya Thalhah Di antara keutamaan Thalhah adalah telah dikabarkan sebagai seorang syahid sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di bukit Hira, lalu berguncang, lalu beliau bersabda, اسكن حراء! فما عليك إلا نبى أو صديق أو شهيد، وعليه النبي ﷺ وأبو بكر وعمر وعثمان وعلى وطلحة والزبير وسعد بن أبي وقاص رضى الله عنهم “Diamlah Hira! Sesungguhnya di atasmu ada seorang Nabi, ada shidiq, dan syahid.” Dan di atasnya ada Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, dan Sa’ad bin Abi Waqash radiyallahu‘anhum.” (HR. Muslim) Sejak mendengar kabar syahid tersebut, Thalhah pun terus mencari syahidnya di setiap pertempuran. Ia mengikuti semua pertempuran bersama Rasulullah, kecuali pertempuran Badr. Ketika itu, ia sedang melakukan misi pengintaian terhadap Kafilah dagang Quraisy sehingga terlewatlah kesempatan Thalhah untuk mengejar syahidnya di perang Badr. Perang Uhud Ketika perang Uhud, Thalhah seperti biasanya berusaha mencari syahid di perang Uhud. Sebagaimana perang sebelumnya, muslimin yang kalah jumlah dari prajurit kaum musyrikin bisa memukul mundur pasukan musyrikin dan bisa memenangkan perang tersebut. Akan tetapi, kali ini pasukan kaum muslimin melakukan kesalahan yang menyebabkan kalahnya kaum muslimin di perang Uhud. Pasukan pemanah yang diperintahkan oleh Rasulullah untuk mempertahankan posisi di bukit meninggalkan posisinya. Mereka tergoda dengan ghanimah kaum musyrikin yang berkilauan sehingga meninggalkan posisinya. Hingga tinggal tersisa sepuluh orang saja yang berjaga di atas bukit. Melihat kesempatan ini, Khalid bin Walid (yang ketika itu belum masuk Islam) melihat kesempatan untuk menyerang dan membalikkan keadaan. Imbas dari serangan balik dari Khalid ini adalah pasukan musyrikin yang sudah kalah melakukan serangan balik dan membalikan keadaan. Banyak dari pasukan kaum muslimin yang syahid ketika itu. Rasulullah pun terkepung oleh pasukan musyrikin. Kaum muslimin terkepung dan kaum musyrikin mengepung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga tersisa beberapa orang saja yang melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, أن رسول الله ﷺ أفرد يوم أحد في سبعة من الأنصار ورجلين من قريش فلما رهقوه؛ قال: من يردّهم عنا وله الجنة؟» أو «هو رفيقي في الجنة فتقدم رجل من الأنصار فقاتل حتى قتل، ثم رهقوه أيضا فلم يزل كذلك حتى قتل السبعة، فقال رسول الله ﷺ لصاحبيه – أي القرشيين -: «ما أنصفنا أصحابنا “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika perang Uhud hanya bersama tujuh orang Anshar dan dua orang Quraisy. Ketika mereka (pasukan musyrikin) menyerang Rasulullah, ia berkata, ‘Barangsiapa yang menghadapi mereka, maka baginya surga.’ atau ‘Ia bersamaku di surga.’ Maka, majulah salah seorang dari kalangan Anshar dan berperang hingga terbunuh, lalu mereka kembali menyerang. Hal tersebut berlangsung hingga terbunuhlah tujuh orang (Anshar). Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata kepada dua sahabatnya, yaitu dua orang Quraisy, “Kita tidak berbuat Adil pada sahabat-sahabat kita.” Dua orang sahabat yang tersisa bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut adalah Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin Abi Waqash. Pada pertempuran tersebut, Thalhah berjuang untuk melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga ia mendapatkan banyak luka di seluruh tubuhnya. Thalhah menerima sekitar tiga puluh hingga tiga puluh lima luka di seluruh badannya. Kepalanya terluka, urat nadinya terpotong, dan jari telunjuk dan jari tengahnya lumpuh. Walaupun Thalhah dalam keadaan terluka hingga tidak sadarkan diri, ia tetap melindungi Rasulullah. Setiap kali pasukan musyrikin datang, Thalhah melawannya. Thalhah membawa Rasulullah mundur, hingga akhirnya ia menyandarkan Rasulullah di sebuah bukit. Akibat perjuangan Thalhah tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, أوجب طلحة حين صنع برسول الله ما صنع ”Thalhah berhak mendapatkan surga karena apa yang telah ia perbuat untuk Rasulullah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, من أحب أن ينظر إلى شهيد يمشي على وجه الأرض فلينظر إلى طلحة بن عبيدالله “Barangsiapa yang ingin melihat seorang syahid yang berjalan di atas muka bumi, maka lihatlah Thalhah bin Ubaidillah.” Sungguh besar jasa dan pengorbanan Thalhah di perang Uhud. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ’anha bahwa ketika Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berbicara tentang perang Uhud, ia berkata, ذلك اليوم كله لطلحة “Hari itu (Perang Uhud) semuanya untuk Thalhah.” Itulah kisah perjuangan dan pengorbanan Thalhah ketika perang Uhud. Kisah seorang syahid yang berjalan di muka bumi berjuang melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lanjut ke bagian 2: Sifat Mulia dan Syahidnya Beliau *** Penulis : Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Kitab Ashabu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri. Tags: Thalhah bin Ubaidillah
Daftar Isi Toggle Masa Kecil dan Awal Thalhah Masuk IslamKabar Syahidnya ThalhahPerang Uhud Ini adalah kisah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia, seorang syahid yang meletakan kakinya di muka bumi dalam keadaan ia telah mengetahui bahwasanya ia adalah penghuni surga. Dialah Thalhah bin Ubaidillah Al-Qurasyi At-Taimi Abu Muhammad radhiyallahu ’anhu. Ia merupakan salah satu sahabat dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَبُو بَكْرٍ فِى الْجَنَّةِ وَعُمَرُ فِى الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ فِى الْجَنَّةِ وَعَلِىٌّ فِى الْجَنَّةِ وَطَلْحَةُ فِى الْجَنَّةِ وَالزُّبَيْرُ فِى الْجَنَّةِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِى الْجَنَّةِ وَسَعْدٌ فِى الْجَنَّةِ وَسَعِيدٌ فِى الْجَنَّةِ وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِى الْجَنَّةِ “Abu Bakar di surga. Umar di surga. Utsman di surga, Ali di surga. Thalhah di surga. Zubair di surga. ‘Abdurrahman bin ‘Auf di surga. Sa’ad di surga. Said di surga. Abu Ubaidah bin Jarrah di surga.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad) Thalhah juga merupakan salah satu dari delapan sahabat yang pertama masuk Islam. Thalhah juga merupakan salah satu dari enam sahabat yang masuk Islam dengan perantara Abu Bakar As-Shidiq. Ia juga merupakan salah satu dari enam sahabat yang menjadi Ashabu Syura yang ditunjuk oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Singkatnya, beliau adalah salah satu sahabat Rasulullah yang mulia dan memiliki banyak keutamaan. Masa Kecil dan Awal Thalhah Masuk Islam Thalhah bin Ubaidilah lahir di Makkah. Ia merupakan keturunan dari keluarga yang terkemuka di Makkah. Ayahnya adalah Ubaidillah. Ia adalah termasuk pemuka Makkah dan orang yang terhormat di Makkah. Ibunya adalah Sha’bah binti Abdullah. Kakeknya adalah Wahab bin Abdullah yang merupakan orang dermawan dan murah hati. Thalhah tumbuh dan dididik di bawah pengasuhan kedua orang tuanya. Ia dididik dan belajar dari kedua orang tuanya berbagai akhlak mulia dan sifat-sifat yang terpuji. Ia menghabiskan masa kecilnya di Makkah. Thalhah juga pandai memanah dan pandai menggunakan tombak. Ia juga sangat mengenali berbagai penjuru kota Makkah, mulai dari pegunungan dan perbukitannya. Setelah tumbuh dewasa, ia menikahi Hamnah binti Jahsy, saudarinya Zainab binti Jahsy yang merupakan istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seiring dengan tumbuh menjadi dewasa, Thalhah merasa kota tempat ia tumbuh menjadi terasa sempit dan memutuskan menjadi seorang pedagang, hingga ia pun mengenal daerah Syam dan Basra. Thalhah pun dikenal sebagai pedagang yang jujur dan murah hati. Ketika Thalhah mendengar kabar tentang diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai rasul dan Abu Bakar beriman kepada Rasulullah, tanpa ragu Thalhah pun langsung meyakini bahwa apa yang disampaikan oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kebenaran. Bagaimana tidak? Rasulullah merupakan seorang yang amanah yang tidak mungkin berdusta, lalu Abu Bakar juga merupakan orang yang amanah juga. Bagaimana mungkin dua orang yang mulia ini bersatu dalam kemungkaran? Sehingga Thalhah pun tanpa ragu bersyahadat dan masuk Islam. Kabar Syahidnya Thalhah Di antara keutamaan Thalhah adalah telah dikabarkan sebagai seorang syahid sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di bukit Hira, lalu berguncang, lalu beliau bersabda, اسكن حراء! فما عليك إلا نبى أو صديق أو شهيد، وعليه النبي ﷺ وأبو بكر وعمر وعثمان وعلى وطلحة والزبير وسعد بن أبي وقاص رضى الله عنهم “Diamlah Hira! Sesungguhnya di atasmu ada seorang Nabi, ada shidiq, dan syahid.” Dan di atasnya ada Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, dan Sa’ad bin Abi Waqash radiyallahu‘anhum.” (HR. Muslim) Sejak mendengar kabar syahid tersebut, Thalhah pun terus mencari syahidnya di setiap pertempuran. Ia mengikuti semua pertempuran bersama Rasulullah, kecuali pertempuran Badr. Ketika itu, ia sedang melakukan misi pengintaian terhadap Kafilah dagang Quraisy sehingga terlewatlah kesempatan Thalhah untuk mengejar syahidnya di perang Badr. Perang Uhud Ketika perang Uhud, Thalhah seperti biasanya berusaha mencari syahid di perang Uhud. Sebagaimana perang sebelumnya, muslimin yang kalah jumlah dari prajurit kaum musyrikin bisa memukul mundur pasukan musyrikin dan bisa memenangkan perang tersebut. Akan tetapi, kali ini pasukan kaum muslimin melakukan kesalahan yang menyebabkan kalahnya kaum muslimin di perang Uhud. Pasukan pemanah yang diperintahkan oleh Rasulullah untuk mempertahankan posisi di bukit meninggalkan posisinya. Mereka tergoda dengan ghanimah kaum musyrikin yang berkilauan sehingga meninggalkan posisinya. Hingga tinggal tersisa sepuluh orang saja yang berjaga di atas bukit. Melihat kesempatan ini, Khalid bin Walid (yang ketika itu belum masuk Islam) melihat kesempatan untuk menyerang dan membalikkan keadaan. Imbas dari serangan balik dari Khalid ini adalah pasukan musyrikin yang sudah kalah melakukan serangan balik dan membalikan keadaan. Banyak dari pasukan kaum muslimin yang syahid ketika itu. Rasulullah pun terkepung oleh pasukan musyrikin. Kaum muslimin terkepung dan kaum musyrikin mengepung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga tersisa beberapa orang saja yang melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, أن رسول الله ﷺ أفرد يوم أحد في سبعة من الأنصار ورجلين من قريش فلما رهقوه؛ قال: من يردّهم عنا وله الجنة؟» أو «هو رفيقي في الجنة فتقدم رجل من الأنصار فقاتل حتى قتل، ثم رهقوه أيضا فلم يزل كذلك حتى قتل السبعة، فقال رسول الله ﷺ لصاحبيه – أي القرشيين -: «ما أنصفنا أصحابنا “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika perang Uhud hanya bersama tujuh orang Anshar dan dua orang Quraisy. Ketika mereka (pasukan musyrikin) menyerang Rasulullah, ia berkata, ‘Barangsiapa yang menghadapi mereka, maka baginya surga.’ atau ‘Ia bersamaku di surga.’ Maka, majulah salah seorang dari kalangan Anshar dan berperang hingga terbunuh, lalu mereka kembali menyerang. Hal tersebut berlangsung hingga terbunuhlah tujuh orang (Anshar). Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata kepada dua sahabatnya, yaitu dua orang Quraisy, “Kita tidak berbuat Adil pada sahabat-sahabat kita.” Dua orang sahabat yang tersisa bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut adalah Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin Abi Waqash. Pada pertempuran tersebut, Thalhah berjuang untuk melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga ia mendapatkan banyak luka di seluruh tubuhnya. Thalhah menerima sekitar tiga puluh hingga tiga puluh lima luka di seluruh badannya. Kepalanya terluka, urat nadinya terpotong, dan jari telunjuk dan jari tengahnya lumpuh. Walaupun Thalhah dalam keadaan terluka hingga tidak sadarkan diri, ia tetap melindungi Rasulullah. Setiap kali pasukan musyrikin datang, Thalhah melawannya. Thalhah membawa Rasulullah mundur, hingga akhirnya ia menyandarkan Rasulullah di sebuah bukit. Akibat perjuangan Thalhah tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, أوجب طلحة حين صنع برسول الله ما صنع ”Thalhah berhak mendapatkan surga karena apa yang telah ia perbuat untuk Rasulullah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, من أحب أن ينظر إلى شهيد يمشي على وجه الأرض فلينظر إلى طلحة بن عبيدالله “Barangsiapa yang ingin melihat seorang syahid yang berjalan di atas muka bumi, maka lihatlah Thalhah bin Ubaidillah.” Sungguh besar jasa dan pengorbanan Thalhah di perang Uhud. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ’anha bahwa ketika Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berbicara tentang perang Uhud, ia berkata, ذلك اليوم كله لطلحة “Hari itu (Perang Uhud) semuanya untuk Thalhah.” Itulah kisah perjuangan dan pengorbanan Thalhah ketika perang Uhud. Kisah seorang syahid yang berjalan di muka bumi berjuang melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lanjut ke bagian 2: Sifat Mulia dan Syahidnya Beliau *** Penulis : Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Kitab Ashabu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri. Tags: Thalhah bin Ubaidillah


Daftar Isi Toggle Masa Kecil dan Awal Thalhah Masuk IslamKabar Syahidnya ThalhahPerang Uhud Ini adalah kisah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia, seorang syahid yang meletakan kakinya di muka bumi dalam keadaan ia telah mengetahui bahwasanya ia adalah penghuni surga. Dialah Thalhah bin Ubaidillah Al-Qurasyi At-Taimi Abu Muhammad radhiyallahu ’anhu. Ia merupakan salah satu sahabat dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَبُو بَكْرٍ فِى الْجَنَّةِ وَعُمَرُ فِى الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ فِى الْجَنَّةِ وَعَلِىٌّ فِى الْجَنَّةِ وَطَلْحَةُ فِى الْجَنَّةِ وَالزُّبَيْرُ فِى الْجَنَّةِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِى الْجَنَّةِ وَسَعْدٌ فِى الْجَنَّةِ وَسَعِيدٌ فِى الْجَنَّةِ وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِى الْجَنَّةِ “Abu Bakar di surga. Umar di surga. Utsman di surga, Ali di surga. Thalhah di surga. Zubair di surga. ‘Abdurrahman bin ‘Auf di surga. Sa’ad di surga. Said di surga. Abu Ubaidah bin Jarrah di surga.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad) Thalhah juga merupakan salah satu dari delapan sahabat yang pertama masuk Islam. Thalhah juga merupakan salah satu dari enam sahabat yang masuk Islam dengan perantara Abu Bakar As-Shidiq. Ia juga merupakan salah satu dari enam sahabat yang menjadi Ashabu Syura yang ditunjuk oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Singkatnya, beliau adalah salah satu sahabat Rasulullah yang mulia dan memiliki banyak keutamaan. Masa Kecil dan Awal Thalhah Masuk Islam Thalhah bin Ubaidilah lahir di Makkah. Ia merupakan keturunan dari keluarga yang terkemuka di Makkah. Ayahnya adalah Ubaidillah. Ia adalah termasuk pemuka Makkah dan orang yang terhormat di Makkah. Ibunya adalah Sha’bah binti Abdullah. Kakeknya adalah Wahab bin Abdullah yang merupakan orang dermawan dan murah hati. Thalhah tumbuh dan dididik di bawah pengasuhan kedua orang tuanya. Ia dididik dan belajar dari kedua orang tuanya berbagai akhlak mulia dan sifat-sifat yang terpuji. Ia menghabiskan masa kecilnya di Makkah. Thalhah juga pandai memanah dan pandai menggunakan tombak. Ia juga sangat mengenali berbagai penjuru kota Makkah, mulai dari pegunungan dan perbukitannya. Setelah tumbuh dewasa, ia menikahi Hamnah binti Jahsy, saudarinya Zainab binti Jahsy yang merupakan istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seiring dengan tumbuh menjadi dewasa, Thalhah merasa kota tempat ia tumbuh menjadi terasa sempit dan memutuskan menjadi seorang pedagang, hingga ia pun mengenal daerah Syam dan Basra. Thalhah pun dikenal sebagai pedagang yang jujur dan murah hati. Ketika Thalhah mendengar kabar tentang diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai rasul dan Abu Bakar beriman kepada Rasulullah, tanpa ragu Thalhah pun langsung meyakini bahwa apa yang disampaikan oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kebenaran. Bagaimana tidak? Rasulullah merupakan seorang yang amanah yang tidak mungkin berdusta, lalu Abu Bakar juga merupakan orang yang amanah juga. Bagaimana mungkin dua orang yang mulia ini bersatu dalam kemungkaran? Sehingga Thalhah pun tanpa ragu bersyahadat dan masuk Islam. Kabar Syahidnya Thalhah Di antara keutamaan Thalhah adalah telah dikabarkan sebagai seorang syahid sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di bukit Hira, lalu berguncang, lalu beliau bersabda, اسكن حراء! فما عليك إلا نبى أو صديق أو شهيد، وعليه النبي ﷺ وأبو بكر وعمر وعثمان وعلى وطلحة والزبير وسعد بن أبي وقاص رضى الله عنهم “Diamlah Hira! Sesungguhnya di atasmu ada seorang Nabi, ada shidiq, dan syahid.” Dan di atasnya ada Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, dan Sa’ad bin Abi Waqash radiyallahu‘anhum.” (HR. Muslim) Sejak mendengar kabar syahid tersebut, Thalhah pun terus mencari syahidnya di setiap pertempuran. Ia mengikuti semua pertempuran bersama Rasulullah, kecuali pertempuran Badr. Ketika itu, ia sedang melakukan misi pengintaian terhadap Kafilah dagang Quraisy sehingga terlewatlah kesempatan Thalhah untuk mengejar syahidnya di perang Badr. Perang Uhud Ketika perang Uhud, Thalhah seperti biasanya berusaha mencari syahid di perang Uhud. Sebagaimana perang sebelumnya, muslimin yang kalah jumlah dari prajurit kaum musyrikin bisa memukul mundur pasukan musyrikin dan bisa memenangkan perang tersebut. Akan tetapi, kali ini pasukan kaum muslimin melakukan kesalahan yang menyebabkan kalahnya kaum muslimin di perang Uhud. Pasukan pemanah yang diperintahkan oleh Rasulullah untuk mempertahankan posisi di bukit meninggalkan posisinya. Mereka tergoda dengan ghanimah kaum musyrikin yang berkilauan sehingga meninggalkan posisinya. Hingga tinggal tersisa sepuluh orang saja yang berjaga di atas bukit. Melihat kesempatan ini, Khalid bin Walid (yang ketika itu belum masuk Islam) melihat kesempatan untuk menyerang dan membalikkan keadaan. Imbas dari serangan balik dari Khalid ini adalah pasukan musyrikin yang sudah kalah melakukan serangan balik dan membalikan keadaan. Banyak dari pasukan kaum muslimin yang syahid ketika itu. Rasulullah pun terkepung oleh pasukan musyrikin. Kaum muslimin terkepung dan kaum musyrikin mengepung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga tersisa beberapa orang saja yang melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, أن رسول الله ﷺ أفرد يوم أحد في سبعة من الأنصار ورجلين من قريش فلما رهقوه؛ قال: من يردّهم عنا وله الجنة؟» أو «هو رفيقي في الجنة فتقدم رجل من الأنصار فقاتل حتى قتل، ثم رهقوه أيضا فلم يزل كذلك حتى قتل السبعة، فقال رسول الله ﷺ لصاحبيه – أي القرشيين -: «ما أنصفنا أصحابنا “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika perang Uhud hanya bersama tujuh orang Anshar dan dua orang Quraisy. Ketika mereka (pasukan musyrikin) menyerang Rasulullah, ia berkata, ‘Barangsiapa yang menghadapi mereka, maka baginya surga.’ atau ‘Ia bersamaku di surga.’ Maka, majulah salah seorang dari kalangan Anshar dan berperang hingga terbunuh, lalu mereka kembali menyerang. Hal tersebut berlangsung hingga terbunuhlah tujuh orang (Anshar). Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata kepada dua sahabatnya, yaitu dua orang Quraisy, “Kita tidak berbuat Adil pada sahabat-sahabat kita.” Dua orang sahabat yang tersisa bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut adalah Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin Abi Waqash. Pada pertempuran tersebut, Thalhah berjuang untuk melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga ia mendapatkan banyak luka di seluruh tubuhnya. Thalhah menerima sekitar tiga puluh hingga tiga puluh lima luka di seluruh badannya. Kepalanya terluka, urat nadinya terpotong, dan jari telunjuk dan jari tengahnya lumpuh. Walaupun Thalhah dalam keadaan terluka hingga tidak sadarkan diri, ia tetap melindungi Rasulullah. Setiap kali pasukan musyrikin datang, Thalhah melawannya. Thalhah membawa Rasulullah mundur, hingga akhirnya ia menyandarkan Rasulullah di sebuah bukit. Akibat perjuangan Thalhah tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, أوجب طلحة حين صنع برسول الله ما صنع ”Thalhah berhak mendapatkan surga karena apa yang telah ia perbuat untuk Rasulullah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, من أحب أن ينظر إلى شهيد يمشي على وجه الأرض فلينظر إلى طلحة بن عبيدالله “Barangsiapa yang ingin melihat seorang syahid yang berjalan di atas muka bumi, maka lihatlah Thalhah bin Ubaidillah.” Sungguh besar jasa dan pengorbanan Thalhah di perang Uhud. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ’anha bahwa ketika Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berbicara tentang perang Uhud, ia berkata, ذلك اليوم كله لطلحة “Hari itu (Perang Uhud) semuanya untuk Thalhah.” Itulah kisah perjuangan dan pengorbanan Thalhah ketika perang Uhud. Kisah seorang syahid yang berjalan di muka bumi berjuang melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lanjut ke bagian 2: Sifat Mulia dan Syahidnya Beliau *** Penulis : Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Kitab Ashabu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri. Tags: Thalhah bin Ubaidillah

Kisah Thalhah bin Ubaidillah (Bag. 2): Sifat Mulia dan Syahidnya Beliau

Daftar Isi Toggle Sifat mulia ThalhahSyahidnya Thalhah Sifat mulia Thalhah Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ’anhu merupakan sahabat mulia yang telah dikabarkan akan syahidnya. Ia juga merupakan salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Thalhah juga merupakan sahabat yang membersamai dan melindungi Rasulullah di perang Uhud ketika kaum musyrikin membalikkan keadaan dan mengepung kaum muslimin. Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ’anhu merupakan seorang sahabat dengan adab yang mulia terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Adab Thalhah yang mulia tersebut sangat tampak ketika perang Uhud terjadi. Syekh Mahmud Al-Mishri dalam kitab Ashabu Rasulillahi shallallahu ’alaihi wasallam berkata, يظهر ذلك جليًا أثناء انسحاب رسول الله ﷺ أحد ؛ قال ابن إسحاق : نهض رسول الله إلى الصخرة من الجبل ليعلوها ، وكان قد بدن وظاهر بين درعين، فلما ذهب لينهض لم يستطع، فجلس تحته طلحة بن عبيد الله حتى استوى عليها لقد أصاب العرج إحدى رجلى طلحة رضى الله عنه أثناء دفاعه عن النبي ﷺولما حمل طلحة النبي ﷺ كلف استقامة المشى أدباً مع رسول الله ﷺ ، لئلا يشق على النبي ﷺ فاستوت رجله العرجاء لهذا التكلُّف، فشفى من العرج “Hal tersebut (adab Thalhah) tampak dengan jelas ketika Rasulullah mundur dari peperangan Uhud. Ibnu Ishaq berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangkit menuju batu besar di bukit untuk menaikinya. Ketika itu, tubuh beliau sudah melemah dan mengenakan dua lapis baju besi. Ketika berusaha menaikinya, beliau tidak mampu. Maka, duduklah Thalhah bin Ubaidillah di bawahnya hingga beliau bisa menaiki bukit tersebut. Ketika itu, salah satu kaki Thalhah radhiyallahu ’anhu terluka ketika melindungi Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Ketika Thalhah membawa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, ia paksakan untuk berjalan dengan normal sebagai adab terhadap Rasulullahi shallallahu ‘alaihi wasallam, agar tidak memberatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika Thalhah paksakan untuk berjalan normal ketika kakinya sakit, maka kakinya malah sembuh dari rasa sakit.’” Selain merupakan seorang sahabat yang merupakan pejuang yang gigih di medan perang dan selalu berusaha mencari syahid di setiap peperangan, Thalhah juga memiliki sifat-sifat mulia lainnya yang patut diteladani. Thalhah bin Ubaidillah merupakan salah satu sahabat yang terkenal dermawan dan selalu menginfakkan hartanya. Thalhah merupakan seorang yang hatinya tidak tenang ketika di tangannya ada harta yang banyak hingga ia menyedekahkan sebagian besar dari hartanya. Syekh Mahmud Al-Mishri menyebutkan beberapa kisah kedermawanan Thalhah di kitab Ashabu Rasulillahi shallallahu ‘alaihi wasalam, عن موسى عن أبيه) طلحة (أنه أتاه مال من حضرموت سبع مئة ألف، فبات ليلته يتململ فقالت له زوجته :ما لك؟ قال تفكرت منذ الليلة، فقلت: ما ظن رجل بربه يبيت وهذا المال في بيته؟ قالت: فأين أنت عن بعض أخلائك فإذا أصبحت، فادع بجفان وقصاع فقسمه فقال لها : رحمك الله إنك موفقة بنت موفق، وهي أم كلثوم بنت الصديق، فلما أصبح، دعا بجفان، فقسمها بين المهاجرين والأنصار، فبعث إلى على منها بجفنة، فقالت له زوجته :أبا محمد ! أما كان لنا في هذا المال من نصيب؟ قال: فأين كنت منذ اليوم؟ فشأنك بما بقى قالت: فكانت صرة فيها نحو ألف درهم “Dari Musa, dari ayahnya (Thalhah) bahwasanya ia telah membawa harta dari Hadramaut sebanyak tujuh ratus ribu (dirham). Ketika malam hari, ia gelisah tidak bisa tidur, maka istrinya berkata padanya, ‘Ada apa denganmu?’ Thalhah berkata, ‘Aku terpikirkan suatu hal sejak malam.’ Aku (Thalhah) berkata, ‘Apa dugaan seorang hamba terhadap Rabbnya, ia bermalam sementara harta ini ada di rumahnya?’ Maka, istrinya berkata, ‘Apakah engkau lupa pada sahabat-sahabatmu? Ketika pagi tiba, mintalah nampan dan mangkuk besar dan bagikanlah.’ Maka, Thalhah berkata, ‘Semoga Allah merahmatimu. Sesungguhnya kamu adalah orang yang diberi taufik, anak perempuan dari orang yang diberi taufik.’ Dia adalah Ummu Kultsum binti As-Shiddiq. Tatkala pagi tiba, ia meminta nampan-nampan dan membagikan harta tersebut kepada para Muhajirin dan Anshar. Ia mengirimkan satu nampan untuk Ali (bin Abi Thalib). Istrinya berkata pada Thalhah, ‘Abu Muhammad! Apakah kita dapat bagian dari harta ini?’ Thalhah berkata, ‘Ke mana saja engkau hari ini? Bagianmu apa yang tersisa.’ Ia berkata, ‘Yang tersisa adalah sebuah kantong yang isinya seribu dirham.'” Beliau juga menyebutkan kisah lain tentang kedermawan Thalhah, وعن سعدى بنت عوف المرية قالت: دخلت على طلحة يوما وهو خاثر فقلت: ما لك؟ لعل رابك من أهلك شيء؟ قال: لا والله ونعم خليلة المسلم أنت، ولكن مال عندى قد غمنى. فقلت: ما يَغُمك ؟ عليك بقومك، قال: يا غلام !ادع لی قومی فقسمه فيهم فسألت الخازن كم أعطى؟ قال: أربع مئة ألف “Dari Su’da binti Auf Al-Muriyyah, ia berkata, ‘Suatu hari aku menemui Thalhah dan ia dalam keadaan tidak bersemangat.’ Maka, aku berkata, ‘Ada apa denganmu? Barangkali ada sesuatu dari keluargamu yang membuatmu bimbang?’ Thalhah berkata, ‘Demi Allah tidak ada, sebaik-baiknya teman seorang muslim adalah kamu, akan tetapi harta yang ada padaku yang membuatku gelisah.’ Aku bertanya, ‘Untuk apa kamu gelisah? Bagikan saja pada kaummu.’ Thalhah berkata, ‘Wahai pelayan! Panggilkan kaumku.’ Lalu, ia membagikan harta tersebut pada mereka. Maka, aku bertanya pada pelayan, ‘Berapa yang diberikan?’ Ia berkata, ‘Empat ratus ribu.’ “ Kisah kedermawanan Thalhah lainnya yang Syekh sebutkan adalah, وعن الحسن البصرى أن طلحة بن عبيد الله باع أرضاً له بسبع مئة ألف. فبات أرقا من مخافة ذلك المال، حتى أصبح ففرقه “Dari Hasan Al-Bashri bahwasanya Thalhah bin Ubaidilah menjual tanah miliknya seharga tujuh ratus ribu. Maka, ia tidak bisa tidur karena harta tersebut, hingga pada pagi hari ia membagikannya.” Itulah beberapa sifat mulia yang dimiliki Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ’anhu yang sepatutnya untuk ditiru oleh kaum muslimin. Syahidnya Thalhah Setelah Utsman bin Affan radhiyallahu ’anhu terbunuh, kaum muslimin terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok Aisyah radhiyallahu ’anha yang menuntut terhadap darah Utsman dan kelompok Ali bin Abi Thalib yang memilih untuk menunda tuntutan tersebut karena keadaan yang belum stabil dan banyaknya jumlah pembunuh Utsman. Ketika dua kelompok tersebut bertemu untuk berunding, para pemberontak yang membunuh Utsman melakukan makar karena mereka merasa tidak aman. Hal tersebut menimbulkan kesalahpahaman di antara dua kelompok tersebut sehingga terjadilah perang Jamal. Ketika perang tersebut terjadi, Thalhah dan Zubair bin Awwam radhiyallahu ’anhuma memutuskan untuk tidak ikut perang tersebut karena melihat Ammar bin Yasir radhiyallahu ’anhu berada di barisan Ali bin Abi Thalib. Keduanya teringat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap Ammar radhiyallahu ’anhu. تقتلك الفئة الباغية “Engkau akan terbunuh oleh kelompok pemberontak.” (HR. Muslim) Akan tetapi, ketika Thalhah dan Zubair mundur dari peperangan keduanya terbunuh. Zubair terbunuh oleh Amr bin Jurmuz yang membunuh Zubair dengan cara yang licik ketika Zubair bin Awwam mundur dari peperangan. Adapun Thalhah, ia terkena panah oleh Marwan bin Hakam. Thalhah terkena panah pada lututnya dan lukanya terus mengalirkan darah hingga Thalhah bin Ubaidillah pun syahid ketika itu. Gugurnya Thalhah bin Ubaidillah pada insiden ini membuat Ali bin Abi Thalib dan Aisyah radhiyallahu ’anhuma menyesal atas kejadian tersebut. Dari Thalhah bin Mutharif, أن عليا انتهى إلى طلحة وقد مات، فنزل عن دابته وأجلسه ومسح الغبار عن وجهه ولحيته، وهو يترحم عليه، وقال:ليتني مت قبل هذا بعشرين سنة “Ali mendekati Thalhah dan ia telah meninggal. Ia pun turun dari tunggangannya, lalu mendudukkan Thalhah, lalu mengusap debu dari wajah dan janggutnya. Ali pun mendoakan rahmat untuknya. Ali berkata, “Seandainya aku mati dua puluh tahun sebelumnya.” (Diriwayatkan oleh Thabrani dan sanadnya hasan) Dengan ini, berakhirlah kisah Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ’anhu, seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia. [Selesai] Kembali ke bagian 1: Awal Kehidupan dan Kisah Thalhah di Perang Uhud *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Kitab Ashabu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri Tags: Thalhah bin Ubaidillah

Kisah Thalhah bin Ubaidillah (Bag. 2): Sifat Mulia dan Syahidnya Beliau

Daftar Isi Toggle Sifat mulia ThalhahSyahidnya Thalhah Sifat mulia Thalhah Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ’anhu merupakan sahabat mulia yang telah dikabarkan akan syahidnya. Ia juga merupakan salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Thalhah juga merupakan sahabat yang membersamai dan melindungi Rasulullah di perang Uhud ketika kaum musyrikin membalikkan keadaan dan mengepung kaum muslimin. Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ’anhu merupakan seorang sahabat dengan adab yang mulia terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Adab Thalhah yang mulia tersebut sangat tampak ketika perang Uhud terjadi. Syekh Mahmud Al-Mishri dalam kitab Ashabu Rasulillahi shallallahu ’alaihi wasallam berkata, يظهر ذلك جليًا أثناء انسحاب رسول الله ﷺ أحد ؛ قال ابن إسحاق : نهض رسول الله إلى الصخرة من الجبل ليعلوها ، وكان قد بدن وظاهر بين درعين، فلما ذهب لينهض لم يستطع، فجلس تحته طلحة بن عبيد الله حتى استوى عليها لقد أصاب العرج إحدى رجلى طلحة رضى الله عنه أثناء دفاعه عن النبي ﷺولما حمل طلحة النبي ﷺ كلف استقامة المشى أدباً مع رسول الله ﷺ ، لئلا يشق على النبي ﷺ فاستوت رجله العرجاء لهذا التكلُّف، فشفى من العرج “Hal tersebut (adab Thalhah) tampak dengan jelas ketika Rasulullah mundur dari peperangan Uhud. Ibnu Ishaq berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangkit menuju batu besar di bukit untuk menaikinya. Ketika itu, tubuh beliau sudah melemah dan mengenakan dua lapis baju besi. Ketika berusaha menaikinya, beliau tidak mampu. Maka, duduklah Thalhah bin Ubaidillah di bawahnya hingga beliau bisa menaiki bukit tersebut. Ketika itu, salah satu kaki Thalhah radhiyallahu ’anhu terluka ketika melindungi Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Ketika Thalhah membawa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, ia paksakan untuk berjalan dengan normal sebagai adab terhadap Rasulullahi shallallahu ‘alaihi wasallam, agar tidak memberatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika Thalhah paksakan untuk berjalan normal ketika kakinya sakit, maka kakinya malah sembuh dari rasa sakit.’” Selain merupakan seorang sahabat yang merupakan pejuang yang gigih di medan perang dan selalu berusaha mencari syahid di setiap peperangan, Thalhah juga memiliki sifat-sifat mulia lainnya yang patut diteladani. Thalhah bin Ubaidillah merupakan salah satu sahabat yang terkenal dermawan dan selalu menginfakkan hartanya. Thalhah merupakan seorang yang hatinya tidak tenang ketika di tangannya ada harta yang banyak hingga ia menyedekahkan sebagian besar dari hartanya. Syekh Mahmud Al-Mishri menyebutkan beberapa kisah kedermawanan Thalhah di kitab Ashabu Rasulillahi shallallahu ‘alaihi wasalam, عن موسى عن أبيه) طلحة (أنه أتاه مال من حضرموت سبع مئة ألف، فبات ليلته يتململ فقالت له زوجته :ما لك؟ قال تفكرت منذ الليلة، فقلت: ما ظن رجل بربه يبيت وهذا المال في بيته؟ قالت: فأين أنت عن بعض أخلائك فإذا أصبحت، فادع بجفان وقصاع فقسمه فقال لها : رحمك الله إنك موفقة بنت موفق، وهي أم كلثوم بنت الصديق، فلما أصبح، دعا بجفان، فقسمها بين المهاجرين والأنصار، فبعث إلى على منها بجفنة، فقالت له زوجته :أبا محمد ! أما كان لنا في هذا المال من نصيب؟ قال: فأين كنت منذ اليوم؟ فشأنك بما بقى قالت: فكانت صرة فيها نحو ألف درهم “Dari Musa, dari ayahnya (Thalhah) bahwasanya ia telah membawa harta dari Hadramaut sebanyak tujuh ratus ribu (dirham). Ketika malam hari, ia gelisah tidak bisa tidur, maka istrinya berkata padanya, ‘Ada apa denganmu?’ Thalhah berkata, ‘Aku terpikirkan suatu hal sejak malam.’ Aku (Thalhah) berkata, ‘Apa dugaan seorang hamba terhadap Rabbnya, ia bermalam sementara harta ini ada di rumahnya?’ Maka, istrinya berkata, ‘Apakah engkau lupa pada sahabat-sahabatmu? Ketika pagi tiba, mintalah nampan dan mangkuk besar dan bagikanlah.’ Maka, Thalhah berkata, ‘Semoga Allah merahmatimu. Sesungguhnya kamu adalah orang yang diberi taufik, anak perempuan dari orang yang diberi taufik.’ Dia adalah Ummu Kultsum binti As-Shiddiq. Tatkala pagi tiba, ia meminta nampan-nampan dan membagikan harta tersebut kepada para Muhajirin dan Anshar. Ia mengirimkan satu nampan untuk Ali (bin Abi Thalib). Istrinya berkata pada Thalhah, ‘Abu Muhammad! Apakah kita dapat bagian dari harta ini?’ Thalhah berkata, ‘Ke mana saja engkau hari ini? Bagianmu apa yang tersisa.’ Ia berkata, ‘Yang tersisa adalah sebuah kantong yang isinya seribu dirham.'” Beliau juga menyebutkan kisah lain tentang kedermawan Thalhah, وعن سعدى بنت عوف المرية قالت: دخلت على طلحة يوما وهو خاثر فقلت: ما لك؟ لعل رابك من أهلك شيء؟ قال: لا والله ونعم خليلة المسلم أنت، ولكن مال عندى قد غمنى. فقلت: ما يَغُمك ؟ عليك بقومك، قال: يا غلام !ادع لی قومی فقسمه فيهم فسألت الخازن كم أعطى؟ قال: أربع مئة ألف “Dari Su’da binti Auf Al-Muriyyah, ia berkata, ‘Suatu hari aku menemui Thalhah dan ia dalam keadaan tidak bersemangat.’ Maka, aku berkata, ‘Ada apa denganmu? Barangkali ada sesuatu dari keluargamu yang membuatmu bimbang?’ Thalhah berkata, ‘Demi Allah tidak ada, sebaik-baiknya teman seorang muslim adalah kamu, akan tetapi harta yang ada padaku yang membuatku gelisah.’ Aku bertanya, ‘Untuk apa kamu gelisah? Bagikan saja pada kaummu.’ Thalhah berkata, ‘Wahai pelayan! Panggilkan kaumku.’ Lalu, ia membagikan harta tersebut pada mereka. Maka, aku bertanya pada pelayan, ‘Berapa yang diberikan?’ Ia berkata, ‘Empat ratus ribu.’ “ Kisah kedermawanan Thalhah lainnya yang Syekh sebutkan adalah, وعن الحسن البصرى أن طلحة بن عبيد الله باع أرضاً له بسبع مئة ألف. فبات أرقا من مخافة ذلك المال، حتى أصبح ففرقه “Dari Hasan Al-Bashri bahwasanya Thalhah bin Ubaidilah menjual tanah miliknya seharga tujuh ratus ribu. Maka, ia tidak bisa tidur karena harta tersebut, hingga pada pagi hari ia membagikannya.” Itulah beberapa sifat mulia yang dimiliki Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ’anhu yang sepatutnya untuk ditiru oleh kaum muslimin. Syahidnya Thalhah Setelah Utsman bin Affan radhiyallahu ’anhu terbunuh, kaum muslimin terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok Aisyah radhiyallahu ’anha yang menuntut terhadap darah Utsman dan kelompok Ali bin Abi Thalib yang memilih untuk menunda tuntutan tersebut karena keadaan yang belum stabil dan banyaknya jumlah pembunuh Utsman. Ketika dua kelompok tersebut bertemu untuk berunding, para pemberontak yang membunuh Utsman melakukan makar karena mereka merasa tidak aman. Hal tersebut menimbulkan kesalahpahaman di antara dua kelompok tersebut sehingga terjadilah perang Jamal. Ketika perang tersebut terjadi, Thalhah dan Zubair bin Awwam radhiyallahu ’anhuma memutuskan untuk tidak ikut perang tersebut karena melihat Ammar bin Yasir radhiyallahu ’anhu berada di barisan Ali bin Abi Thalib. Keduanya teringat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap Ammar radhiyallahu ’anhu. تقتلك الفئة الباغية “Engkau akan terbunuh oleh kelompok pemberontak.” (HR. Muslim) Akan tetapi, ketika Thalhah dan Zubair mundur dari peperangan keduanya terbunuh. Zubair terbunuh oleh Amr bin Jurmuz yang membunuh Zubair dengan cara yang licik ketika Zubair bin Awwam mundur dari peperangan. Adapun Thalhah, ia terkena panah oleh Marwan bin Hakam. Thalhah terkena panah pada lututnya dan lukanya terus mengalirkan darah hingga Thalhah bin Ubaidillah pun syahid ketika itu. Gugurnya Thalhah bin Ubaidillah pada insiden ini membuat Ali bin Abi Thalib dan Aisyah radhiyallahu ’anhuma menyesal atas kejadian tersebut. Dari Thalhah bin Mutharif, أن عليا انتهى إلى طلحة وقد مات، فنزل عن دابته وأجلسه ومسح الغبار عن وجهه ولحيته، وهو يترحم عليه، وقال:ليتني مت قبل هذا بعشرين سنة “Ali mendekati Thalhah dan ia telah meninggal. Ia pun turun dari tunggangannya, lalu mendudukkan Thalhah, lalu mengusap debu dari wajah dan janggutnya. Ali pun mendoakan rahmat untuknya. Ali berkata, “Seandainya aku mati dua puluh tahun sebelumnya.” (Diriwayatkan oleh Thabrani dan sanadnya hasan) Dengan ini, berakhirlah kisah Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ’anhu, seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia. [Selesai] Kembali ke bagian 1: Awal Kehidupan dan Kisah Thalhah di Perang Uhud *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Kitab Ashabu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri Tags: Thalhah bin Ubaidillah
Daftar Isi Toggle Sifat mulia ThalhahSyahidnya Thalhah Sifat mulia Thalhah Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ’anhu merupakan sahabat mulia yang telah dikabarkan akan syahidnya. Ia juga merupakan salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Thalhah juga merupakan sahabat yang membersamai dan melindungi Rasulullah di perang Uhud ketika kaum musyrikin membalikkan keadaan dan mengepung kaum muslimin. Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ’anhu merupakan seorang sahabat dengan adab yang mulia terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Adab Thalhah yang mulia tersebut sangat tampak ketika perang Uhud terjadi. Syekh Mahmud Al-Mishri dalam kitab Ashabu Rasulillahi shallallahu ’alaihi wasallam berkata, يظهر ذلك جليًا أثناء انسحاب رسول الله ﷺ أحد ؛ قال ابن إسحاق : نهض رسول الله إلى الصخرة من الجبل ليعلوها ، وكان قد بدن وظاهر بين درعين، فلما ذهب لينهض لم يستطع، فجلس تحته طلحة بن عبيد الله حتى استوى عليها لقد أصاب العرج إحدى رجلى طلحة رضى الله عنه أثناء دفاعه عن النبي ﷺولما حمل طلحة النبي ﷺ كلف استقامة المشى أدباً مع رسول الله ﷺ ، لئلا يشق على النبي ﷺ فاستوت رجله العرجاء لهذا التكلُّف، فشفى من العرج “Hal tersebut (adab Thalhah) tampak dengan jelas ketika Rasulullah mundur dari peperangan Uhud. Ibnu Ishaq berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangkit menuju batu besar di bukit untuk menaikinya. Ketika itu, tubuh beliau sudah melemah dan mengenakan dua lapis baju besi. Ketika berusaha menaikinya, beliau tidak mampu. Maka, duduklah Thalhah bin Ubaidillah di bawahnya hingga beliau bisa menaiki bukit tersebut. Ketika itu, salah satu kaki Thalhah radhiyallahu ’anhu terluka ketika melindungi Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Ketika Thalhah membawa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, ia paksakan untuk berjalan dengan normal sebagai adab terhadap Rasulullahi shallallahu ‘alaihi wasallam, agar tidak memberatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika Thalhah paksakan untuk berjalan normal ketika kakinya sakit, maka kakinya malah sembuh dari rasa sakit.’” Selain merupakan seorang sahabat yang merupakan pejuang yang gigih di medan perang dan selalu berusaha mencari syahid di setiap peperangan, Thalhah juga memiliki sifat-sifat mulia lainnya yang patut diteladani. Thalhah bin Ubaidillah merupakan salah satu sahabat yang terkenal dermawan dan selalu menginfakkan hartanya. Thalhah merupakan seorang yang hatinya tidak tenang ketika di tangannya ada harta yang banyak hingga ia menyedekahkan sebagian besar dari hartanya. Syekh Mahmud Al-Mishri menyebutkan beberapa kisah kedermawanan Thalhah di kitab Ashabu Rasulillahi shallallahu ‘alaihi wasalam, عن موسى عن أبيه) طلحة (أنه أتاه مال من حضرموت سبع مئة ألف، فبات ليلته يتململ فقالت له زوجته :ما لك؟ قال تفكرت منذ الليلة، فقلت: ما ظن رجل بربه يبيت وهذا المال في بيته؟ قالت: فأين أنت عن بعض أخلائك فإذا أصبحت، فادع بجفان وقصاع فقسمه فقال لها : رحمك الله إنك موفقة بنت موفق، وهي أم كلثوم بنت الصديق، فلما أصبح، دعا بجفان، فقسمها بين المهاجرين والأنصار، فبعث إلى على منها بجفنة، فقالت له زوجته :أبا محمد ! أما كان لنا في هذا المال من نصيب؟ قال: فأين كنت منذ اليوم؟ فشأنك بما بقى قالت: فكانت صرة فيها نحو ألف درهم “Dari Musa, dari ayahnya (Thalhah) bahwasanya ia telah membawa harta dari Hadramaut sebanyak tujuh ratus ribu (dirham). Ketika malam hari, ia gelisah tidak bisa tidur, maka istrinya berkata padanya, ‘Ada apa denganmu?’ Thalhah berkata, ‘Aku terpikirkan suatu hal sejak malam.’ Aku (Thalhah) berkata, ‘Apa dugaan seorang hamba terhadap Rabbnya, ia bermalam sementara harta ini ada di rumahnya?’ Maka, istrinya berkata, ‘Apakah engkau lupa pada sahabat-sahabatmu? Ketika pagi tiba, mintalah nampan dan mangkuk besar dan bagikanlah.’ Maka, Thalhah berkata, ‘Semoga Allah merahmatimu. Sesungguhnya kamu adalah orang yang diberi taufik, anak perempuan dari orang yang diberi taufik.’ Dia adalah Ummu Kultsum binti As-Shiddiq. Tatkala pagi tiba, ia meminta nampan-nampan dan membagikan harta tersebut kepada para Muhajirin dan Anshar. Ia mengirimkan satu nampan untuk Ali (bin Abi Thalib). Istrinya berkata pada Thalhah, ‘Abu Muhammad! Apakah kita dapat bagian dari harta ini?’ Thalhah berkata, ‘Ke mana saja engkau hari ini? Bagianmu apa yang tersisa.’ Ia berkata, ‘Yang tersisa adalah sebuah kantong yang isinya seribu dirham.'” Beliau juga menyebutkan kisah lain tentang kedermawan Thalhah, وعن سعدى بنت عوف المرية قالت: دخلت على طلحة يوما وهو خاثر فقلت: ما لك؟ لعل رابك من أهلك شيء؟ قال: لا والله ونعم خليلة المسلم أنت، ولكن مال عندى قد غمنى. فقلت: ما يَغُمك ؟ عليك بقومك، قال: يا غلام !ادع لی قومی فقسمه فيهم فسألت الخازن كم أعطى؟ قال: أربع مئة ألف “Dari Su’da binti Auf Al-Muriyyah, ia berkata, ‘Suatu hari aku menemui Thalhah dan ia dalam keadaan tidak bersemangat.’ Maka, aku berkata, ‘Ada apa denganmu? Barangkali ada sesuatu dari keluargamu yang membuatmu bimbang?’ Thalhah berkata, ‘Demi Allah tidak ada, sebaik-baiknya teman seorang muslim adalah kamu, akan tetapi harta yang ada padaku yang membuatku gelisah.’ Aku bertanya, ‘Untuk apa kamu gelisah? Bagikan saja pada kaummu.’ Thalhah berkata, ‘Wahai pelayan! Panggilkan kaumku.’ Lalu, ia membagikan harta tersebut pada mereka. Maka, aku bertanya pada pelayan, ‘Berapa yang diberikan?’ Ia berkata, ‘Empat ratus ribu.’ “ Kisah kedermawanan Thalhah lainnya yang Syekh sebutkan adalah, وعن الحسن البصرى أن طلحة بن عبيد الله باع أرضاً له بسبع مئة ألف. فبات أرقا من مخافة ذلك المال، حتى أصبح ففرقه “Dari Hasan Al-Bashri bahwasanya Thalhah bin Ubaidilah menjual tanah miliknya seharga tujuh ratus ribu. Maka, ia tidak bisa tidur karena harta tersebut, hingga pada pagi hari ia membagikannya.” Itulah beberapa sifat mulia yang dimiliki Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ’anhu yang sepatutnya untuk ditiru oleh kaum muslimin. Syahidnya Thalhah Setelah Utsman bin Affan radhiyallahu ’anhu terbunuh, kaum muslimin terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok Aisyah radhiyallahu ’anha yang menuntut terhadap darah Utsman dan kelompok Ali bin Abi Thalib yang memilih untuk menunda tuntutan tersebut karena keadaan yang belum stabil dan banyaknya jumlah pembunuh Utsman. Ketika dua kelompok tersebut bertemu untuk berunding, para pemberontak yang membunuh Utsman melakukan makar karena mereka merasa tidak aman. Hal tersebut menimbulkan kesalahpahaman di antara dua kelompok tersebut sehingga terjadilah perang Jamal. Ketika perang tersebut terjadi, Thalhah dan Zubair bin Awwam radhiyallahu ’anhuma memutuskan untuk tidak ikut perang tersebut karena melihat Ammar bin Yasir radhiyallahu ’anhu berada di barisan Ali bin Abi Thalib. Keduanya teringat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap Ammar radhiyallahu ’anhu. تقتلك الفئة الباغية “Engkau akan terbunuh oleh kelompok pemberontak.” (HR. Muslim) Akan tetapi, ketika Thalhah dan Zubair mundur dari peperangan keduanya terbunuh. Zubair terbunuh oleh Amr bin Jurmuz yang membunuh Zubair dengan cara yang licik ketika Zubair bin Awwam mundur dari peperangan. Adapun Thalhah, ia terkena panah oleh Marwan bin Hakam. Thalhah terkena panah pada lututnya dan lukanya terus mengalirkan darah hingga Thalhah bin Ubaidillah pun syahid ketika itu. Gugurnya Thalhah bin Ubaidillah pada insiden ini membuat Ali bin Abi Thalib dan Aisyah radhiyallahu ’anhuma menyesal atas kejadian tersebut. Dari Thalhah bin Mutharif, أن عليا انتهى إلى طلحة وقد مات، فنزل عن دابته وأجلسه ومسح الغبار عن وجهه ولحيته، وهو يترحم عليه، وقال:ليتني مت قبل هذا بعشرين سنة “Ali mendekati Thalhah dan ia telah meninggal. Ia pun turun dari tunggangannya, lalu mendudukkan Thalhah, lalu mengusap debu dari wajah dan janggutnya. Ali pun mendoakan rahmat untuknya. Ali berkata, “Seandainya aku mati dua puluh tahun sebelumnya.” (Diriwayatkan oleh Thabrani dan sanadnya hasan) Dengan ini, berakhirlah kisah Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ’anhu, seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia. [Selesai] Kembali ke bagian 1: Awal Kehidupan dan Kisah Thalhah di Perang Uhud *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Kitab Ashabu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri Tags: Thalhah bin Ubaidillah


Daftar Isi Toggle Sifat mulia ThalhahSyahidnya Thalhah Sifat mulia Thalhah Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ’anhu merupakan sahabat mulia yang telah dikabarkan akan syahidnya. Ia juga merupakan salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Thalhah juga merupakan sahabat yang membersamai dan melindungi Rasulullah di perang Uhud ketika kaum musyrikin membalikkan keadaan dan mengepung kaum muslimin. Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ’anhu merupakan seorang sahabat dengan adab yang mulia terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Adab Thalhah yang mulia tersebut sangat tampak ketika perang Uhud terjadi. Syekh Mahmud Al-Mishri dalam kitab Ashabu Rasulillahi shallallahu ’alaihi wasallam berkata, يظهر ذلك جليًا أثناء انسحاب رسول الله ﷺ أحد ؛ قال ابن إسحاق : نهض رسول الله إلى الصخرة من الجبل ليعلوها ، وكان قد بدن وظاهر بين درعين، فلما ذهب لينهض لم يستطع، فجلس تحته طلحة بن عبيد الله حتى استوى عليها لقد أصاب العرج إحدى رجلى طلحة رضى الله عنه أثناء دفاعه عن النبي ﷺولما حمل طلحة النبي ﷺ كلف استقامة المشى أدباً مع رسول الله ﷺ ، لئلا يشق على النبي ﷺ فاستوت رجله العرجاء لهذا التكلُّف، فشفى من العرج “Hal tersebut (adab Thalhah) tampak dengan jelas ketika Rasulullah mundur dari peperangan Uhud. Ibnu Ishaq berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangkit menuju batu besar di bukit untuk menaikinya. Ketika itu, tubuh beliau sudah melemah dan mengenakan dua lapis baju besi. Ketika berusaha menaikinya, beliau tidak mampu. Maka, duduklah Thalhah bin Ubaidillah di bawahnya hingga beliau bisa menaiki bukit tersebut. Ketika itu, salah satu kaki Thalhah radhiyallahu ’anhu terluka ketika melindungi Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Ketika Thalhah membawa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, ia paksakan untuk berjalan dengan normal sebagai adab terhadap Rasulullahi shallallahu ‘alaihi wasallam, agar tidak memberatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika Thalhah paksakan untuk berjalan normal ketika kakinya sakit, maka kakinya malah sembuh dari rasa sakit.’” Selain merupakan seorang sahabat yang merupakan pejuang yang gigih di medan perang dan selalu berusaha mencari syahid di setiap peperangan, Thalhah juga memiliki sifat-sifat mulia lainnya yang patut diteladani. Thalhah bin Ubaidillah merupakan salah satu sahabat yang terkenal dermawan dan selalu menginfakkan hartanya. Thalhah merupakan seorang yang hatinya tidak tenang ketika di tangannya ada harta yang banyak hingga ia menyedekahkan sebagian besar dari hartanya. Syekh Mahmud Al-Mishri menyebutkan beberapa kisah kedermawanan Thalhah di kitab Ashabu Rasulillahi shallallahu ‘alaihi wasalam, عن موسى عن أبيه) طلحة (أنه أتاه مال من حضرموت سبع مئة ألف، فبات ليلته يتململ فقالت له زوجته :ما لك؟ قال تفكرت منذ الليلة، فقلت: ما ظن رجل بربه يبيت وهذا المال في بيته؟ قالت: فأين أنت عن بعض أخلائك فإذا أصبحت، فادع بجفان وقصاع فقسمه فقال لها : رحمك الله إنك موفقة بنت موفق، وهي أم كلثوم بنت الصديق، فلما أصبح، دعا بجفان، فقسمها بين المهاجرين والأنصار، فبعث إلى على منها بجفنة، فقالت له زوجته :أبا محمد ! أما كان لنا في هذا المال من نصيب؟ قال: فأين كنت منذ اليوم؟ فشأنك بما بقى قالت: فكانت صرة فيها نحو ألف درهم “Dari Musa, dari ayahnya (Thalhah) bahwasanya ia telah membawa harta dari Hadramaut sebanyak tujuh ratus ribu (dirham). Ketika malam hari, ia gelisah tidak bisa tidur, maka istrinya berkata padanya, ‘Ada apa denganmu?’ Thalhah berkata, ‘Aku terpikirkan suatu hal sejak malam.’ Aku (Thalhah) berkata, ‘Apa dugaan seorang hamba terhadap Rabbnya, ia bermalam sementara harta ini ada di rumahnya?’ Maka, istrinya berkata, ‘Apakah engkau lupa pada sahabat-sahabatmu? Ketika pagi tiba, mintalah nampan dan mangkuk besar dan bagikanlah.’ Maka, Thalhah berkata, ‘Semoga Allah merahmatimu. Sesungguhnya kamu adalah orang yang diberi taufik, anak perempuan dari orang yang diberi taufik.’ Dia adalah Ummu Kultsum binti As-Shiddiq. Tatkala pagi tiba, ia meminta nampan-nampan dan membagikan harta tersebut kepada para Muhajirin dan Anshar. Ia mengirimkan satu nampan untuk Ali (bin Abi Thalib). Istrinya berkata pada Thalhah, ‘Abu Muhammad! Apakah kita dapat bagian dari harta ini?’ Thalhah berkata, ‘Ke mana saja engkau hari ini? Bagianmu apa yang tersisa.’ Ia berkata, ‘Yang tersisa adalah sebuah kantong yang isinya seribu dirham.'” Beliau juga menyebutkan kisah lain tentang kedermawan Thalhah, وعن سعدى بنت عوف المرية قالت: دخلت على طلحة يوما وهو خاثر فقلت: ما لك؟ لعل رابك من أهلك شيء؟ قال: لا والله ونعم خليلة المسلم أنت، ولكن مال عندى قد غمنى. فقلت: ما يَغُمك ؟ عليك بقومك، قال: يا غلام !ادع لی قومی فقسمه فيهم فسألت الخازن كم أعطى؟ قال: أربع مئة ألف “Dari Su’da binti Auf Al-Muriyyah, ia berkata, ‘Suatu hari aku menemui Thalhah dan ia dalam keadaan tidak bersemangat.’ Maka, aku berkata, ‘Ada apa denganmu? Barangkali ada sesuatu dari keluargamu yang membuatmu bimbang?’ Thalhah berkata, ‘Demi Allah tidak ada, sebaik-baiknya teman seorang muslim adalah kamu, akan tetapi harta yang ada padaku yang membuatku gelisah.’ Aku bertanya, ‘Untuk apa kamu gelisah? Bagikan saja pada kaummu.’ Thalhah berkata, ‘Wahai pelayan! Panggilkan kaumku.’ Lalu, ia membagikan harta tersebut pada mereka. Maka, aku bertanya pada pelayan, ‘Berapa yang diberikan?’ Ia berkata, ‘Empat ratus ribu.’ “ Kisah kedermawanan Thalhah lainnya yang Syekh sebutkan adalah, وعن الحسن البصرى أن طلحة بن عبيد الله باع أرضاً له بسبع مئة ألف. فبات أرقا من مخافة ذلك المال، حتى أصبح ففرقه “Dari Hasan Al-Bashri bahwasanya Thalhah bin Ubaidilah menjual tanah miliknya seharga tujuh ratus ribu. Maka, ia tidak bisa tidur karena harta tersebut, hingga pada pagi hari ia membagikannya.” Itulah beberapa sifat mulia yang dimiliki Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ’anhu yang sepatutnya untuk ditiru oleh kaum muslimin. Syahidnya Thalhah Setelah Utsman bin Affan radhiyallahu ’anhu terbunuh, kaum muslimin terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok Aisyah radhiyallahu ’anha yang menuntut terhadap darah Utsman dan kelompok Ali bin Abi Thalib yang memilih untuk menunda tuntutan tersebut karena keadaan yang belum stabil dan banyaknya jumlah pembunuh Utsman. Ketika dua kelompok tersebut bertemu untuk berunding, para pemberontak yang membunuh Utsman melakukan makar karena mereka merasa tidak aman. Hal tersebut menimbulkan kesalahpahaman di antara dua kelompok tersebut sehingga terjadilah perang Jamal. Ketika perang tersebut terjadi, Thalhah dan Zubair bin Awwam radhiyallahu ’anhuma memutuskan untuk tidak ikut perang tersebut karena melihat Ammar bin Yasir radhiyallahu ’anhu berada di barisan Ali bin Abi Thalib. Keduanya teringat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap Ammar radhiyallahu ’anhu. تقتلك الفئة الباغية “Engkau akan terbunuh oleh kelompok pemberontak.” (HR. Muslim) Akan tetapi, ketika Thalhah dan Zubair mundur dari peperangan keduanya terbunuh. Zubair terbunuh oleh Amr bin Jurmuz yang membunuh Zubair dengan cara yang licik ketika Zubair bin Awwam mundur dari peperangan. Adapun Thalhah, ia terkena panah oleh Marwan bin Hakam. Thalhah terkena panah pada lututnya dan lukanya terus mengalirkan darah hingga Thalhah bin Ubaidillah pun syahid ketika itu. Gugurnya Thalhah bin Ubaidillah pada insiden ini membuat Ali bin Abi Thalib dan Aisyah radhiyallahu ’anhuma menyesal atas kejadian tersebut. Dari Thalhah bin Mutharif, أن عليا انتهى إلى طلحة وقد مات، فنزل عن دابته وأجلسه ومسح الغبار عن وجهه ولحيته، وهو يترحم عليه، وقال:ليتني مت قبل هذا بعشرين سنة “Ali mendekati Thalhah dan ia telah meninggal. Ia pun turun dari tunggangannya, lalu mendudukkan Thalhah, lalu mengusap debu dari wajah dan janggutnya. Ali pun mendoakan rahmat untuknya. Ali berkata, “Seandainya aku mati dua puluh tahun sebelumnya.” (Diriwayatkan oleh Thabrani dan sanadnya hasan) Dengan ini, berakhirlah kisah Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ’anhu, seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia. [Selesai] Kembali ke bagian 1: Awal Kehidupan dan Kisah Thalhah di Perang Uhud *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Kitab Ashabu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri Tags: Thalhah bin Ubaidillah

Menyikapi Orang yang Baru Masuk Islam, Namun Masih Memiliki Sebagian Sifat Jahiliah

Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah   Pertanyaan: Bagaimana kita memperlakukan seseorang yang baru masuk Islam sementara dia masih memiliki sifat jahiliah, dan bagaimana seharusnya akhlak seorang muslim? Jawaban: Perlakukanlah orang yang baru masuk Islam seperti yang dilakukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap Tsamamah bin Atsal. Ia adalah tawanan yang sering ditanya oleh Nabi, “Apa yang kamu pikirkan, Tsamamah?” Tsamamah menjawab, “Jika kamu membunuh, kamu membunuh seseorang yang memiliki darah. Jika kamu memberi, kamu memberi kepada seseorang yang tahu berterima kasih.” Setelah tiga hari Nabi mengulang pertanyaan itu dan jawaban yang sama dari Tsamamah, Nabi pun membebaskannya. Tsamamah kemudian mandi, lalu mengucapkan syahadat, dan mengatakan bahwa Nabi yang sebelumnya paling dibencinya kini menjadi yang paling dicintainya. Seorang Arab badui datang kepada Nabi dan menarik jubahnya dengan kasar, lalu berkata, “Wahai Muhammad, berilah aku sesuatu, karena engkau tidak memberi dari hartamu sendiri atau dari harta ayahmu.” Nabi tersenyum dan memberinya apa yang diminta. Allah Yang Mahaagung berfirman dalam kitab-Nya yang mulia, وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ “Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4) Allah Ta’ala berfirman, فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ “Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.” (QS. Ali ‘Imran: 159) Allah Ta’ala berfirman, لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ “Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah: 128) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hal terberat yang diletakkan di timbangan (pada hari kiamat) adalah akhlak yang baik.” Beliau juga bersabda, “Orang yang paling dekat dengan aku di majelis adalah yang terbaik akhlaknya“, atau dalam makna yang serupa. Maka, yang perlu menjadi perhatian adalah akhlak yang baik dan perlakuan yang baik. Karena hal tersebut akan lebih efektif daripada seribu nasihat. Banyak orang Hadhrami yang datang ke Indonesia sebagai pedagang, dan orang Indonesia terkesan dengan akhlak baik mereka. Setelah itu, banyak orang Indonesia masuk Islam karena melihat akhlak baik tersebut. Tidak ada kebohongan, tidak ada ingkar janji. Sebagaimana juga akhlak Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, “Seorang mukmin tidak suka mencela, tidak suka melaknat, tidak suka berkata keji, dan tidak suka berbicara kasar.” Satu hal lagi, menghilangkan sifat-sifat jahiliah sangatlah sulit dan hanya orang yang diberi taufik oleh Allah Ta’ala yang mampu melakukannya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Dzar, “Engkau adalah orang yang masih memiliki sifat jahiliah.” Beliau juga bersabda, “Ada empat perkara dalam umatku yang tidak akan ditinggalkan: kebanggaan terhadap keturunan, mencela garis keturunan orang lain, meminta hujan dengan perantaraan bintang, dan meratapi mayat.” Kemudian juga harus semangat mengajarkan mereka Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Nasihati mereka agar melihat Islam melalui ajarannya, bukan dari kondisi umat muslim saat ini. Islam ada dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Kondisi umat muslim saat ini mungkin buruk, penuh dengan kebohongan, pengkhianatan, dan Islam tidak terkait dengan hal itu. Allah Ta’ala berfirman, اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ “Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberikan bantuan kepada kerabat. Dia (juga) melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu selalu ingat.” (QS. An-Nahl: 90) Allah Ta’ala berfirman, اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa’: 58) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga: 1) Jika berbicara, ia berdusta; 2) Jika berjanji, ia mengingkari; dan 3) Jika dipercaya, ia berkhianat.” Kemudian, pastikan mereka bergaul dengan orang-orang saleh. Beberapa orang masih memiliki sifat jahiliah. Ada seorang guru di Universitas Islam yang berbicara tentang Amerika dan penipuannya, seorang siswa Amerika membela negaranya. Sang guru berkata, “Wahai anakku, sekarang kamu adalah seorang muslim, kami tidak bermaksud menyinggungmu.” Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تُجَادِلْ عَنِ الَّذِيْنَ يَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ خَوَّانًا اَثِيْمًاۙ “Janganlah engkau (Nabi Muhammad) berdebat untuk (membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat dan bergelimang dosa.” (QS. An-Nisa: 107) Jika memungkinkan, ajak mereka ke lingkungan yang lebih baik dari lingkungan mereka sebelumnya, bahkan lebih baik dari lingkungan Anda. Agar mereka terpengaruh oleh lingkungan yang saleh tersebut. Nasihati mereka agar tidak melihat kondisi umat Islam saat ini, tetapi lihatlah Islam itu sendiri dan pelajarilah Islam. Semoga Allah Ta’ala memberi pertolongan. Saya (Syekh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah) terkesan dengan kisah seseorang yang masuk Islam. Dia melihat kondisi umat Islam yang buruk, penuh kebohongan, pencurian, pengkhianatan, dan pelanggaran lainnya. Namun, dia berkata, “Saya yakin Islam itu benar, dan meskipun semua orang meninggalkan Islam, saya tidak akan meninggalkan agama saya.” Keyakinan harus didasarkan pada Kitab dan sunnah. Semoga Allah Ta’ala memberi pertolongan. Baca juga: Masuk Islam, Haruskah Mengulang Akad Nikah? *** Penerjemah: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id   Sumber: https://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=2794 Tags: masuk islammualaf

Menyikapi Orang yang Baru Masuk Islam, Namun Masih Memiliki Sebagian Sifat Jahiliah

Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah   Pertanyaan: Bagaimana kita memperlakukan seseorang yang baru masuk Islam sementara dia masih memiliki sifat jahiliah, dan bagaimana seharusnya akhlak seorang muslim? Jawaban: Perlakukanlah orang yang baru masuk Islam seperti yang dilakukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap Tsamamah bin Atsal. Ia adalah tawanan yang sering ditanya oleh Nabi, “Apa yang kamu pikirkan, Tsamamah?” Tsamamah menjawab, “Jika kamu membunuh, kamu membunuh seseorang yang memiliki darah. Jika kamu memberi, kamu memberi kepada seseorang yang tahu berterima kasih.” Setelah tiga hari Nabi mengulang pertanyaan itu dan jawaban yang sama dari Tsamamah, Nabi pun membebaskannya. Tsamamah kemudian mandi, lalu mengucapkan syahadat, dan mengatakan bahwa Nabi yang sebelumnya paling dibencinya kini menjadi yang paling dicintainya. Seorang Arab badui datang kepada Nabi dan menarik jubahnya dengan kasar, lalu berkata, “Wahai Muhammad, berilah aku sesuatu, karena engkau tidak memberi dari hartamu sendiri atau dari harta ayahmu.” Nabi tersenyum dan memberinya apa yang diminta. Allah Yang Mahaagung berfirman dalam kitab-Nya yang mulia, وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ “Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4) Allah Ta’ala berfirman, فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ “Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.” (QS. Ali ‘Imran: 159) Allah Ta’ala berfirman, لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ “Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah: 128) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hal terberat yang diletakkan di timbangan (pada hari kiamat) adalah akhlak yang baik.” Beliau juga bersabda, “Orang yang paling dekat dengan aku di majelis adalah yang terbaik akhlaknya“, atau dalam makna yang serupa. Maka, yang perlu menjadi perhatian adalah akhlak yang baik dan perlakuan yang baik. Karena hal tersebut akan lebih efektif daripada seribu nasihat. Banyak orang Hadhrami yang datang ke Indonesia sebagai pedagang, dan orang Indonesia terkesan dengan akhlak baik mereka. Setelah itu, banyak orang Indonesia masuk Islam karena melihat akhlak baik tersebut. Tidak ada kebohongan, tidak ada ingkar janji. Sebagaimana juga akhlak Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, “Seorang mukmin tidak suka mencela, tidak suka melaknat, tidak suka berkata keji, dan tidak suka berbicara kasar.” Satu hal lagi, menghilangkan sifat-sifat jahiliah sangatlah sulit dan hanya orang yang diberi taufik oleh Allah Ta’ala yang mampu melakukannya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Dzar, “Engkau adalah orang yang masih memiliki sifat jahiliah.” Beliau juga bersabda, “Ada empat perkara dalam umatku yang tidak akan ditinggalkan: kebanggaan terhadap keturunan, mencela garis keturunan orang lain, meminta hujan dengan perantaraan bintang, dan meratapi mayat.” Kemudian juga harus semangat mengajarkan mereka Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Nasihati mereka agar melihat Islam melalui ajarannya, bukan dari kondisi umat muslim saat ini. Islam ada dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Kondisi umat muslim saat ini mungkin buruk, penuh dengan kebohongan, pengkhianatan, dan Islam tidak terkait dengan hal itu. Allah Ta’ala berfirman, اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ “Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberikan bantuan kepada kerabat. Dia (juga) melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu selalu ingat.” (QS. An-Nahl: 90) Allah Ta’ala berfirman, اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa’: 58) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga: 1) Jika berbicara, ia berdusta; 2) Jika berjanji, ia mengingkari; dan 3) Jika dipercaya, ia berkhianat.” Kemudian, pastikan mereka bergaul dengan orang-orang saleh. Beberapa orang masih memiliki sifat jahiliah. Ada seorang guru di Universitas Islam yang berbicara tentang Amerika dan penipuannya, seorang siswa Amerika membela negaranya. Sang guru berkata, “Wahai anakku, sekarang kamu adalah seorang muslim, kami tidak bermaksud menyinggungmu.” Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تُجَادِلْ عَنِ الَّذِيْنَ يَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ خَوَّانًا اَثِيْمًاۙ “Janganlah engkau (Nabi Muhammad) berdebat untuk (membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat dan bergelimang dosa.” (QS. An-Nisa: 107) Jika memungkinkan, ajak mereka ke lingkungan yang lebih baik dari lingkungan mereka sebelumnya, bahkan lebih baik dari lingkungan Anda. Agar mereka terpengaruh oleh lingkungan yang saleh tersebut. Nasihati mereka agar tidak melihat kondisi umat Islam saat ini, tetapi lihatlah Islam itu sendiri dan pelajarilah Islam. Semoga Allah Ta’ala memberi pertolongan. Saya (Syekh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah) terkesan dengan kisah seseorang yang masuk Islam. Dia melihat kondisi umat Islam yang buruk, penuh kebohongan, pencurian, pengkhianatan, dan pelanggaran lainnya. Namun, dia berkata, “Saya yakin Islam itu benar, dan meskipun semua orang meninggalkan Islam, saya tidak akan meninggalkan agama saya.” Keyakinan harus didasarkan pada Kitab dan sunnah. Semoga Allah Ta’ala memberi pertolongan. Baca juga: Masuk Islam, Haruskah Mengulang Akad Nikah? *** Penerjemah: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id   Sumber: https://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=2794 Tags: masuk islammualaf
Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah   Pertanyaan: Bagaimana kita memperlakukan seseorang yang baru masuk Islam sementara dia masih memiliki sifat jahiliah, dan bagaimana seharusnya akhlak seorang muslim? Jawaban: Perlakukanlah orang yang baru masuk Islam seperti yang dilakukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap Tsamamah bin Atsal. Ia adalah tawanan yang sering ditanya oleh Nabi, “Apa yang kamu pikirkan, Tsamamah?” Tsamamah menjawab, “Jika kamu membunuh, kamu membunuh seseorang yang memiliki darah. Jika kamu memberi, kamu memberi kepada seseorang yang tahu berterima kasih.” Setelah tiga hari Nabi mengulang pertanyaan itu dan jawaban yang sama dari Tsamamah, Nabi pun membebaskannya. Tsamamah kemudian mandi, lalu mengucapkan syahadat, dan mengatakan bahwa Nabi yang sebelumnya paling dibencinya kini menjadi yang paling dicintainya. Seorang Arab badui datang kepada Nabi dan menarik jubahnya dengan kasar, lalu berkata, “Wahai Muhammad, berilah aku sesuatu, karena engkau tidak memberi dari hartamu sendiri atau dari harta ayahmu.” Nabi tersenyum dan memberinya apa yang diminta. Allah Yang Mahaagung berfirman dalam kitab-Nya yang mulia, وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ “Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4) Allah Ta’ala berfirman, فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ “Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.” (QS. Ali ‘Imran: 159) Allah Ta’ala berfirman, لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ “Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah: 128) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hal terberat yang diletakkan di timbangan (pada hari kiamat) adalah akhlak yang baik.” Beliau juga bersabda, “Orang yang paling dekat dengan aku di majelis adalah yang terbaik akhlaknya“, atau dalam makna yang serupa. Maka, yang perlu menjadi perhatian adalah akhlak yang baik dan perlakuan yang baik. Karena hal tersebut akan lebih efektif daripada seribu nasihat. Banyak orang Hadhrami yang datang ke Indonesia sebagai pedagang, dan orang Indonesia terkesan dengan akhlak baik mereka. Setelah itu, banyak orang Indonesia masuk Islam karena melihat akhlak baik tersebut. Tidak ada kebohongan, tidak ada ingkar janji. Sebagaimana juga akhlak Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, “Seorang mukmin tidak suka mencela, tidak suka melaknat, tidak suka berkata keji, dan tidak suka berbicara kasar.” Satu hal lagi, menghilangkan sifat-sifat jahiliah sangatlah sulit dan hanya orang yang diberi taufik oleh Allah Ta’ala yang mampu melakukannya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Dzar, “Engkau adalah orang yang masih memiliki sifat jahiliah.” Beliau juga bersabda, “Ada empat perkara dalam umatku yang tidak akan ditinggalkan: kebanggaan terhadap keturunan, mencela garis keturunan orang lain, meminta hujan dengan perantaraan bintang, dan meratapi mayat.” Kemudian juga harus semangat mengajarkan mereka Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Nasihati mereka agar melihat Islam melalui ajarannya, bukan dari kondisi umat muslim saat ini. Islam ada dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Kondisi umat muslim saat ini mungkin buruk, penuh dengan kebohongan, pengkhianatan, dan Islam tidak terkait dengan hal itu. Allah Ta’ala berfirman, اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ “Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberikan bantuan kepada kerabat. Dia (juga) melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu selalu ingat.” (QS. An-Nahl: 90) Allah Ta’ala berfirman, اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa’: 58) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga: 1) Jika berbicara, ia berdusta; 2) Jika berjanji, ia mengingkari; dan 3) Jika dipercaya, ia berkhianat.” Kemudian, pastikan mereka bergaul dengan orang-orang saleh. Beberapa orang masih memiliki sifat jahiliah. Ada seorang guru di Universitas Islam yang berbicara tentang Amerika dan penipuannya, seorang siswa Amerika membela negaranya. Sang guru berkata, “Wahai anakku, sekarang kamu adalah seorang muslim, kami tidak bermaksud menyinggungmu.” Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تُجَادِلْ عَنِ الَّذِيْنَ يَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ خَوَّانًا اَثِيْمًاۙ “Janganlah engkau (Nabi Muhammad) berdebat untuk (membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat dan bergelimang dosa.” (QS. An-Nisa: 107) Jika memungkinkan, ajak mereka ke lingkungan yang lebih baik dari lingkungan mereka sebelumnya, bahkan lebih baik dari lingkungan Anda. Agar mereka terpengaruh oleh lingkungan yang saleh tersebut. Nasihati mereka agar tidak melihat kondisi umat Islam saat ini, tetapi lihatlah Islam itu sendiri dan pelajarilah Islam. Semoga Allah Ta’ala memberi pertolongan. Saya (Syekh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah) terkesan dengan kisah seseorang yang masuk Islam. Dia melihat kondisi umat Islam yang buruk, penuh kebohongan, pencurian, pengkhianatan, dan pelanggaran lainnya. Namun, dia berkata, “Saya yakin Islam itu benar, dan meskipun semua orang meninggalkan Islam, saya tidak akan meninggalkan agama saya.” Keyakinan harus didasarkan pada Kitab dan sunnah. Semoga Allah Ta’ala memberi pertolongan. Baca juga: Masuk Islam, Haruskah Mengulang Akad Nikah? *** Penerjemah: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id   Sumber: https://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=2794 Tags: masuk islammualaf


Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah   Pertanyaan: Bagaimana kita memperlakukan seseorang yang baru masuk Islam sementara dia masih memiliki sifat jahiliah, dan bagaimana seharusnya akhlak seorang muslim? Jawaban: Perlakukanlah orang yang baru masuk Islam seperti yang dilakukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap Tsamamah bin Atsal. Ia adalah tawanan yang sering ditanya oleh Nabi, “Apa yang kamu pikirkan, Tsamamah?” Tsamamah menjawab, “Jika kamu membunuh, kamu membunuh seseorang yang memiliki darah. Jika kamu memberi, kamu memberi kepada seseorang yang tahu berterima kasih.” Setelah tiga hari Nabi mengulang pertanyaan itu dan jawaban yang sama dari Tsamamah, Nabi pun membebaskannya. Tsamamah kemudian mandi, lalu mengucapkan syahadat, dan mengatakan bahwa Nabi yang sebelumnya paling dibencinya kini menjadi yang paling dicintainya. Seorang Arab badui datang kepada Nabi dan menarik jubahnya dengan kasar, lalu berkata, “Wahai Muhammad, berilah aku sesuatu, karena engkau tidak memberi dari hartamu sendiri atau dari harta ayahmu.” Nabi tersenyum dan memberinya apa yang diminta. Allah Yang Mahaagung berfirman dalam kitab-Nya yang mulia, وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ “Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4) Allah Ta’ala berfirman, فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ “Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.” (QS. Ali ‘Imran: 159) Allah Ta’ala berfirman, لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ “Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah: 128) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hal terberat yang diletakkan di timbangan (pada hari kiamat) adalah akhlak yang baik.” Beliau juga bersabda, “Orang yang paling dekat dengan aku di majelis adalah yang terbaik akhlaknya“, atau dalam makna yang serupa. Maka, yang perlu menjadi perhatian adalah akhlak yang baik dan perlakuan yang baik. Karena hal tersebut akan lebih efektif daripada seribu nasihat. Banyak orang Hadhrami yang datang ke Indonesia sebagai pedagang, dan orang Indonesia terkesan dengan akhlak baik mereka. Setelah itu, banyak orang Indonesia masuk Islam karena melihat akhlak baik tersebut. Tidak ada kebohongan, tidak ada ingkar janji. Sebagaimana juga akhlak Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, “Seorang mukmin tidak suka mencela, tidak suka melaknat, tidak suka berkata keji, dan tidak suka berbicara kasar.” Satu hal lagi, menghilangkan sifat-sifat jahiliah sangatlah sulit dan hanya orang yang diberi taufik oleh Allah Ta’ala yang mampu melakukannya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Dzar, “Engkau adalah orang yang masih memiliki sifat jahiliah.” Beliau juga bersabda, “Ada empat perkara dalam umatku yang tidak akan ditinggalkan: kebanggaan terhadap keturunan, mencela garis keturunan orang lain, meminta hujan dengan perantaraan bintang, dan meratapi mayat.” Kemudian juga harus semangat mengajarkan mereka Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Nasihati mereka agar melihat Islam melalui ajarannya, bukan dari kondisi umat muslim saat ini. Islam ada dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Kondisi umat muslim saat ini mungkin buruk, penuh dengan kebohongan, pengkhianatan, dan Islam tidak terkait dengan hal itu. Allah Ta’ala berfirman, اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ “Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberikan bantuan kepada kerabat. Dia (juga) melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu selalu ingat.” (QS. An-Nahl: 90) Allah Ta’ala berfirman, اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa’: 58) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga: 1) Jika berbicara, ia berdusta; 2) Jika berjanji, ia mengingkari; dan 3) Jika dipercaya, ia berkhianat.” Kemudian, pastikan mereka bergaul dengan orang-orang saleh. Beberapa orang masih memiliki sifat jahiliah. Ada seorang guru di Universitas Islam yang berbicara tentang Amerika dan penipuannya, seorang siswa Amerika membela negaranya. Sang guru berkata, “Wahai anakku, sekarang kamu adalah seorang muslim, kami tidak bermaksud menyinggungmu.” Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تُجَادِلْ عَنِ الَّذِيْنَ يَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ خَوَّانًا اَثِيْمًاۙ “Janganlah engkau (Nabi Muhammad) berdebat untuk (membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat dan bergelimang dosa.” (QS. An-Nisa: 107) Jika memungkinkan, ajak mereka ke lingkungan yang lebih baik dari lingkungan mereka sebelumnya, bahkan lebih baik dari lingkungan Anda. Agar mereka terpengaruh oleh lingkungan yang saleh tersebut. Nasihati mereka agar tidak melihat kondisi umat Islam saat ini, tetapi lihatlah Islam itu sendiri dan pelajarilah Islam. Semoga Allah Ta’ala memberi pertolongan. Saya (Syekh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah) terkesan dengan kisah seseorang yang masuk Islam. Dia melihat kondisi umat Islam yang buruk, penuh kebohongan, pencurian, pengkhianatan, dan pelanggaran lainnya. Namun, dia berkata, “Saya yakin Islam itu benar, dan meskipun semua orang meninggalkan Islam, saya tidak akan meninggalkan agama saya.” Keyakinan harus didasarkan pada Kitab dan sunnah. Semoga Allah Ta’ala memberi pertolongan. Baca juga: Masuk Islam, Haruskah Mengulang Akad Nikah? *** Penerjemah: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id   Sumber: https://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=2794 Tags: masuk islammualaf

Kedustaan Fenomena “Cek Khodam” dalam Tinjauan Syariat

Daftar Isi Toggle Keberadaan jinJin qarin yang senantiasa mendampingi manusiaJin khodam, jin yang melayani dan membantu manusia?Bisakah kita melihat jin qarin orang lain? Beberapa waktu belakangan ini, terdapat sebuah fenomena di media sosial tentang “cek khodam online.” Cek khodam ini dilakukan oleh “praktisi spiritual” melalui siaran langsung (live). Mereka mengklaim bisa menerawang dan melihat seperti apa bentuk/jenis jin khodam yang dimiliki manusia hanya dengan melalui nama si penanya. Sebagian bahkan tidak gratis alias berbayar. Selain itu juga ada jasa cek khodam online. Lalu, bagaimana petunjuk syariat tentang hal ini? Berikut penjelasannya. Keberadaan jin Sejarah dimulai ketika Allah Ta’ala menciptakan Adam ‘alaihis salam, kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk bersujud kepada Adam, dan di tengah-tengah mereka ada Iblis. Malaikat bersujud kepada Adam, namun Iblis enggan dan sombong. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُواْ لآدَمَ فَسَجَدُواْ إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam.” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia enggan dan takabur (sombong) dan dia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34) Kemudian Iblis berusaha menggoda Adam agar Adam bisa keluar dari surga. Setelah berhasil, Allah Ta’ala berfirman, فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُواْ بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ “Lalu keduanya (adam dan Hawa) digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari tempat yang sebelumnya mereka tempati (yaitu surga). Kami berfirman, “Turunlah kalian (yaitu Adam, Hawa, dan Iblis)! Sebagian kalian menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kalian ada tempat kediaman di muka bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.” (QS. Al-Baqarah: 36) Dari ayat tersebut, kita dapat mengambil pelajaran bahwa Allah menempatkan Iblis dan anak keturunannya di muka bumi. Sehingga posisi manusia dan jin hidup bersama di satu tempat, yaitu di muka bumi. Meskipun jin lebih banyak berada di tempat-tempat yang jauh dari manusia, seperti di tengah lautan dan puncak gunung, dan sebagiannya hidup bersama dengan manusia. Oleh karena itu, dalam aktivitas yang jin lakukan, sebagian mereka membersamai manusia. Allah Ta’ala berfirman, وَشَارِكْهُمْ فِي الأَمْوَالِ وَالأَوْلادِ “ … dan bergabunglah (wahai jin) bersama mereka (manusia) dalam (menikmati) harta dan (mempengaruhi) anak-anak … “ (QS. Al-Isra’: 64) Dalam menikmati harta, mereka bisa tidur, makan, dan beraktivitas dengan manusia. Oleh karena itu, syariat mengajarkan aneka doa yang dibaca agar kita terjaga dan terlindung dari gangguan jin. Seperti doa sebelum makan dengan membaca bismillah, untuk menghalangi jin ikut makan. Demikian juga ketika suami istri hendak melakukan hubungan badan, ada tuntunan doa yang dibaca. Juga doa ketika masuk toilet, dan lain-lain. Ini semua menunjukkan kehidupan manusia itu bersama jin dan kita bisa mendapatkan perlindungan maksimal dari Allah Ta’ala dengan mengamalkan doa-doa yang diajarkan oleh syariat. Jin qarin yang senantiasa mendampingi manusia Dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ وَقَدْ وُكِّلَ بِهِ قَرِينُهُ مِنْ الْجِنِّ وَقَرِينُهُ مِنْ الْمَلاَئِكَةِ  قَالُوا وَإِيَّاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَإِيَّايَ إِلاَّ أَنَّ اللَّهَ أَعَانَنِي عَلَيْهِ فَأَسْلَمَ فَلاَ يَأْمُرُنِي إِلاَّ بِخَيْرٍ “Tidaklah seorang pun di antara kamu kecuali disertakan padanya satu qarin (teman dekat) dari kalangan jin (dan satu qarin dari kalangan malaikat).” Para sahabat bertanya, “Apakah termasuk anda juga, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Iya, termasuk aku juga. Akan tetapi, Allah ‘Azza wa Jalla membantuku mengendalikannya sehingga dia masuk Islam. Maka dia tidak memerintahkanku kecuali dengan kebaikan.” (HR. Muslim no. 2814; Ahmad no. 3770) Berdasarkan hadis ini, maka setiap manusia, setinggi apapun ilmu dan kedudukannya, selalu diiringi oleh setan dan tidak bisa dihilangkan. Setan itu berusaha untuk menggoda manusia, baik dari sisi fisik (membuat menjadi kerasukan) atau dari sisi batin. Terkadang setan membisikkan hal-hal yang buruk, ingin berbuat jahat atau maksiat. Sehingga kita disyariatkan untuk senantiasa berlindung dari godaan setan, terutama saat hendak beraktivitas, misalnya ketika hendak membaca Al-Quran, dalam rangka membatasi ruang gerak dari qarin ini ketika ingin mengganggu manusia. Zahir hadis di atas juga menunjukkan bahwa jin qarin yang dikecualikan masuk Islam hanyalah yang membersamai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan untuk manusia yang lain tidak diberi keistimewaan semacam ini. Oleh karena itu, pada prinsipnya qarin ini adalah jin jahat yang ingin menyesatkan seorang hamba. Sehingga jin ini yang membisikkan seseorang untuk berbuat maksiat atau membuat seseorang untuk malas berbuat ketaatan. Baca juga: “Jin Khadam” dalam Syariat Islam Jin khodam, jin yang melayani dan membantu manusia? Khodam secara bahasa artinya pembantu. Dan istilah “jin khodam” ini biasa dipakai untuk jin yang membantu manusia. Namun, apakah mungkin manusia mengendalikan dan menundukkan jin sehingga jin tersebut mau melayani dan menjadi “pembantu” bagi manusia? Ada satu dalil yang bisa digunakan sebagai acuan. Allah Ta’ala berfirman menceritakan doa Nabi Sulaiman, قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكاً لَّا يَنبَغِي لِأَحَدٍ مِّنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ “Ia (Sulaiman) berkata, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.” (QS. Shad: 35) Kemudian dalam ayat-ayat berikutnya, Allah sebutkan bahwa Allah mengabulkan doa tersebut, فَسَخَّرْنَا لَهُ الرِّيحَ تَجْرِي بِأَمْرِهِ رُخَاء حَيْثُ أَصَابَ ؛ وَالشَّيَاطِينَ كُلَّ بَنَّاء وَغَوَّاصٍ ؛ وَآخَرِينَ مُقَرَّنِينَ فِي الْأَصْفَادِ ؛ هَذَا عَطَاؤُنَا فَامْنُنْ أَوْ أَمْسِكْ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Kemudian Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik (pelan) menurut ke mana saja yang dikehendakinya, dan (Kami tundukkan pula kepadanya) setan-setan semuanya ahli bangunan dan penyelam, dan setan yang lain yang terikat dalam belenggu (jika tidak mau tunduk kepada Sulaiman, pent.). Inilah anugerah Kami. Maka berikanlah (kepada orang lain) atau tahanlah (untuk dirimu sendiri) dengan tiada pertanggungan jawab.” (QS. Shad: 36-39) Pasukan Sulaiman ‘alaihis salam ketika itu meliputi manusia, jin, dan binatang. Nabi Sulaiman ‘alaihi salam dalam doanya menyebutkan, “dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun sesudahku.” Artinya, kemampuan untuk menundukkan jin tersebut hanya Allah anugerahkan kepada Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, dan tidak kepada yang lainnya. Sehingga, berdasarkan ayat tersebut, tidak ada yang bisa menundukkan jin, kecuali Nabi Sulaiman ‘alaihis salam saja. Hal ini dikuatkan oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu. Beliau menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri (untuk mendirikan salat), lalu kami mendengarnya berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari kejahatanmu.” Lalu beliau juga mengucapkan kalimat ini sebanyak tiga kali, “Aku melaknatmu dengan laknat Allah”, dan beliau membentangkan tangannya seakan sedang memegang sesuatu. Ketika beliau telah selesai melaksanakan salat, kami pun bertanya, “Wahai Rasulullah, kami telah mendengarmu mengucapkan sesuatu di dalam salat yang sebelumnya kami belum pernah mendengarmu mengucapkannya, dan kami juga melihatmu membentangkan tanganmu padanya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, إِنَّ عَدُوَّ اللهِ إِبْلِيسَ، جَاءَ بِشِهَابٍ مِنْ نَارٍ لِيَجْعَلَهُ فِي وَجْهِي، فَقُلْتُ: أَعُوذُ بِاللهِ مِنْكَ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ قُلْتُ: أَلْعَنُكَ بِلَعْنَةِ اللهِ التَّامَّةِ، فَلَمْ يَسْتَأْخِرْ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ أَرَدْتُ أَخْذَهُ، وَاللهِ لَوْلَا دَعْوَةُ أَخِينَا سُلَيْمَانَ لَأَصْبَحَ مُوثَقًا يَلْعَبُ بِهِ وِلْدَانُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ “Sesungguhnya musuh Allah, iblis datang dengan membawa api untuk diletakkan di wajahku, maka aku pun berdoa, “A’uudzu billaahi minka.” (Artinya: Aku berlindung kepada Allah dari kejahatanmu), sebanyak tiga kali. Kemudian aku berkata, “Al’anauka bila’natillaahit taammati.” (Artinya: Aku melaknatmu dengan laknat Allah yang sempurna.), sebanyak tiga kali, namun dia tidak juga mundur. Lalu aku ingin membinasakannya. Dan demi Allah, kalaulah bukan karena doa saudara kita, Nabi Sulaiman, niscaya setan itu sudah terikat di masjid dan dipermainkan oleh anak-anak penduduk Madinah.” (HR. Muslim no. 542) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ingin menguasai dan menundukkan jin tersebut karena mengingat doa Nabi Sulaiman ‘alaihis salam. Maka jin itu pun dilepas. Dari sini bisa disimpulkan bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saja tidak mengendalikan jin atau tidak punya pasukan jin, lalu bagaimana lagi dengan manusia biasa? Maka tidak ada istilah “manusia mengendalikan jin.” Yang ada adalah manusia dikendalikan oleh jin. Anggaplah bahwa ada orang yang punya jin khodam, maka hakikat yang terjadi adalah manusia itu yang melayani jin, bukan jin yang melayani manusia. Dengan apa manusia melayani jin? Yaitu dengan memberikan sesajian atau ritual-ritual tertentu yang disukai oleh jin, bahkan ritual-ritual kemusyrikan. Bisa jadi jin tersebut terkadang membantu manusia tersebut, itu pun agar dia semakin kuat ketergantungannya dengan jin tersebut. Dan juga agar semakin kuatlah peribadatan manusia kepada jin tersebut. Bisakah kita melihat jin qarin orang lain? Tadi kami sebutkan sebuah hadis yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat jin. Namun, keistimewaan yang dimiliki oleh seorang Nabi, tidak mungkin bisa ditiru oleh manusia yang lain. Sehingga tidak mungkin manusia melihat jin qarin, baik qarin dia sendiri maupun qarin orang lain. Karena Allah Ta’ala telah meniadakan (menafikan) kemampuan ini di dalam Al-Quran, sebagaimana firman-Nya, إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ “Sesungguhnya ia (iblis/setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (QS. Al-A’raf: 27) Namun, terkadang manusia bisa melihat jin ketika jin tersebut menampakkan dirinya. Normalnya manusia tidak bisa melihat jin, namun memungkinkan bagi jin untuk menampakkan diri kepada manusia. Sehingga dua hal ini harus dibedakan, yaitu antara manusia mampu melihat jin, dan jin yang menampakkan diri. Sebagaimana Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang melihat jin dalam rupa yang lain, dan para sahabat lainnya. Sehingga kalau ada yang mengaku, “Saya bisa melihat jin qarinmu”, maka klaim ini pasti bohong, dan juga penipuan dan pembodohan terhadap masyarakat. Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. Baca juga: Jin Ifrit adalah Jin yang Buruk lagi Keji *** @13 Muharram 1446/ 19 Juli 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari penjelasan Ustadz Ammi Nur Baits, di tautan ini: https://www.youtube.com/watch?v=wVbkdq1DA4o Tags: cek khodam

Kedustaan Fenomena “Cek Khodam” dalam Tinjauan Syariat

Daftar Isi Toggle Keberadaan jinJin qarin yang senantiasa mendampingi manusiaJin khodam, jin yang melayani dan membantu manusia?Bisakah kita melihat jin qarin orang lain? Beberapa waktu belakangan ini, terdapat sebuah fenomena di media sosial tentang “cek khodam online.” Cek khodam ini dilakukan oleh “praktisi spiritual” melalui siaran langsung (live). Mereka mengklaim bisa menerawang dan melihat seperti apa bentuk/jenis jin khodam yang dimiliki manusia hanya dengan melalui nama si penanya. Sebagian bahkan tidak gratis alias berbayar. Selain itu juga ada jasa cek khodam online. Lalu, bagaimana petunjuk syariat tentang hal ini? Berikut penjelasannya. Keberadaan jin Sejarah dimulai ketika Allah Ta’ala menciptakan Adam ‘alaihis salam, kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk bersujud kepada Adam, dan di tengah-tengah mereka ada Iblis. Malaikat bersujud kepada Adam, namun Iblis enggan dan sombong. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُواْ لآدَمَ فَسَجَدُواْ إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam.” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia enggan dan takabur (sombong) dan dia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34) Kemudian Iblis berusaha menggoda Adam agar Adam bisa keluar dari surga. Setelah berhasil, Allah Ta’ala berfirman, فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُواْ بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ “Lalu keduanya (adam dan Hawa) digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari tempat yang sebelumnya mereka tempati (yaitu surga). Kami berfirman, “Turunlah kalian (yaitu Adam, Hawa, dan Iblis)! Sebagian kalian menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kalian ada tempat kediaman di muka bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.” (QS. Al-Baqarah: 36) Dari ayat tersebut, kita dapat mengambil pelajaran bahwa Allah menempatkan Iblis dan anak keturunannya di muka bumi. Sehingga posisi manusia dan jin hidup bersama di satu tempat, yaitu di muka bumi. Meskipun jin lebih banyak berada di tempat-tempat yang jauh dari manusia, seperti di tengah lautan dan puncak gunung, dan sebagiannya hidup bersama dengan manusia. Oleh karena itu, dalam aktivitas yang jin lakukan, sebagian mereka membersamai manusia. Allah Ta’ala berfirman, وَشَارِكْهُمْ فِي الأَمْوَالِ وَالأَوْلادِ “ … dan bergabunglah (wahai jin) bersama mereka (manusia) dalam (menikmati) harta dan (mempengaruhi) anak-anak … “ (QS. Al-Isra’: 64) Dalam menikmati harta, mereka bisa tidur, makan, dan beraktivitas dengan manusia. Oleh karena itu, syariat mengajarkan aneka doa yang dibaca agar kita terjaga dan terlindung dari gangguan jin. Seperti doa sebelum makan dengan membaca bismillah, untuk menghalangi jin ikut makan. Demikian juga ketika suami istri hendak melakukan hubungan badan, ada tuntunan doa yang dibaca. Juga doa ketika masuk toilet, dan lain-lain. Ini semua menunjukkan kehidupan manusia itu bersama jin dan kita bisa mendapatkan perlindungan maksimal dari Allah Ta’ala dengan mengamalkan doa-doa yang diajarkan oleh syariat. Jin qarin yang senantiasa mendampingi manusia Dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ وَقَدْ وُكِّلَ بِهِ قَرِينُهُ مِنْ الْجِنِّ وَقَرِينُهُ مِنْ الْمَلاَئِكَةِ  قَالُوا وَإِيَّاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَإِيَّايَ إِلاَّ أَنَّ اللَّهَ أَعَانَنِي عَلَيْهِ فَأَسْلَمَ فَلاَ يَأْمُرُنِي إِلاَّ بِخَيْرٍ “Tidaklah seorang pun di antara kamu kecuali disertakan padanya satu qarin (teman dekat) dari kalangan jin (dan satu qarin dari kalangan malaikat).” Para sahabat bertanya, “Apakah termasuk anda juga, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Iya, termasuk aku juga. Akan tetapi, Allah ‘Azza wa Jalla membantuku mengendalikannya sehingga dia masuk Islam. Maka dia tidak memerintahkanku kecuali dengan kebaikan.” (HR. Muslim no. 2814; Ahmad no. 3770) Berdasarkan hadis ini, maka setiap manusia, setinggi apapun ilmu dan kedudukannya, selalu diiringi oleh setan dan tidak bisa dihilangkan. Setan itu berusaha untuk menggoda manusia, baik dari sisi fisik (membuat menjadi kerasukan) atau dari sisi batin. Terkadang setan membisikkan hal-hal yang buruk, ingin berbuat jahat atau maksiat. Sehingga kita disyariatkan untuk senantiasa berlindung dari godaan setan, terutama saat hendak beraktivitas, misalnya ketika hendak membaca Al-Quran, dalam rangka membatasi ruang gerak dari qarin ini ketika ingin mengganggu manusia. Zahir hadis di atas juga menunjukkan bahwa jin qarin yang dikecualikan masuk Islam hanyalah yang membersamai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan untuk manusia yang lain tidak diberi keistimewaan semacam ini. Oleh karena itu, pada prinsipnya qarin ini adalah jin jahat yang ingin menyesatkan seorang hamba. Sehingga jin ini yang membisikkan seseorang untuk berbuat maksiat atau membuat seseorang untuk malas berbuat ketaatan. Baca juga: “Jin Khadam” dalam Syariat Islam Jin khodam, jin yang melayani dan membantu manusia? Khodam secara bahasa artinya pembantu. Dan istilah “jin khodam” ini biasa dipakai untuk jin yang membantu manusia. Namun, apakah mungkin manusia mengendalikan dan menundukkan jin sehingga jin tersebut mau melayani dan menjadi “pembantu” bagi manusia? Ada satu dalil yang bisa digunakan sebagai acuan. Allah Ta’ala berfirman menceritakan doa Nabi Sulaiman, قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكاً لَّا يَنبَغِي لِأَحَدٍ مِّنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ “Ia (Sulaiman) berkata, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.” (QS. Shad: 35) Kemudian dalam ayat-ayat berikutnya, Allah sebutkan bahwa Allah mengabulkan doa tersebut, فَسَخَّرْنَا لَهُ الرِّيحَ تَجْرِي بِأَمْرِهِ رُخَاء حَيْثُ أَصَابَ ؛ وَالشَّيَاطِينَ كُلَّ بَنَّاء وَغَوَّاصٍ ؛ وَآخَرِينَ مُقَرَّنِينَ فِي الْأَصْفَادِ ؛ هَذَا عَطَاؤُنَا فَامْنُنْ أَوْ أَمْسِكْ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Kemudian Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik (pelan) menurut ke mana saja yang dikehendakinya, dan (Kami tundukkan pula kepadanya) setan-setan semuanya ahli bangunan dan penyelam, dan setan yang lain yang terikat dalam belenggu (jika tidak mau tunduk kepada Sulaiman, pent.). Inilah anugerah Kami. Maka berikanlah (kepada orang lain) atau tahanlah (untuk dirimu sendiri) dengan tiada pertanggungan jawab.” (QS. Shad: 36-39) Pasukan Sulaiman ‘alaihis salam ketika itu meliputi manusia, jin, dan binatang. Nabi Sulaiman ‘alaihi salam dalam doanya menyebutkan, “dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun sesudahku.” Artinya, kemampuan untuk menundukkan jin tersebut hanya Allah anugerahkan kepada Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, dan tidak kepada yang lainnya. Sehingga, berdasarkan ayat tersebut, tidak ada yang bisa menundukkan jin, kecuali Nabi Sulaiman ‘alaihis salam saja. Hal ini dikuatkan oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu. Beliau menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri (untuk mendirikan salat), lalu kami mendengarnya berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari kejahatanmu.” Lalu beliau juga mengucapkan kalimat ini sebanyak tiga kali, “Aku melaknatmu dengan laknat Allah”, dan beliau membentangkan tangannya seakan sedang memegang sesuatu. Ketika beliau telah selesai melaksanakan salat, kami pun bertanya, “Wahai Rasulullah, kami telah mendengarmu mengucapkan sesuatu di dalam salat yang sebelumnya kami belum pernah mendengarmu mengucapkannya, dan kami juga melihatmu membentangkan tanganmu padanya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, إِنَّ عَدُوَّ اللهِ إِبْلِيسَ، جَاءَ بِشِهَابٍ مِنْ نَارٍ لِيَجْعَلَهُ فِي وَجْهِي، فَقُلْتُ: أَعُوذُ بِاللهِ مِنْكَ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ قُلْتُ: أَلْعَنُكَ بِلَعْنَةِ اللهِ التَّامَّةِ، فَلَمْ يَسْتَأْخِرْ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ أَرَدْتُ أَخْذَهُ، وَاللهِ لَوْلَا دَعْوَةُ أَخِينَا سُلَيْمَانَ لَأَصْبَحَ مُوثَقًا يَلْعَبُ بِهِ وِلْدَانُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ “Sesungguhnya musuh Allah, iblis datang dengan membawa api untuk diletakkan di wajahku, maka aku pun berdoa, “A’uudzu billaahi minka.” (Artinya: Aku berlindung kepada Allah dari kejahatanmu), sebanyak tiga kali. Kemudian aku berkata, “Al’anauka bila’natillaahit taammati.” (Artinya: Aku melaknatmu dengan laknat Allah yang sempurna.), sebanyak tiga kali, namun dia tidak juga mundur. Lalu aku ingin membinasakannya. Dan demi Allah, kalaulah bukan karena doa saudara kita, Nabi Sulaiman, niscaya setan itu sudah terikat di masjid dan dipermainkan oleh anak-anak penduduk Madinah.” (HR. Muslim no. 542) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ingin menguasai dan menundukkan jin tersebut karena mengingat doa Nabi Sulaiman ‘alaihis salam. Maka jin itu pun dilepas. Dari sini bisa disimpulkan bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saja tidak mengendalikan jin atau tidak punya pasukan jin, lalu bagaimana lagi dengan manusia biasa? Maka tidak ada istilah “manusia mengendalikan jin.” Yang ada adalah manusia dikendalikan oleh jin. Anggaplah bahwa ada orang yang punya jin khodam, maka hakikat yang terjadi adalah manusia itu yang melayani jin, bukan jin yang melayani manusia. Dengan apa manusia melayani jin? Yaitu dengan memberikan sesajian atau ritual-ritual tertentu yang disukai oleh jin, bahkan ritual-ritual kemusyrikan. Bisa jadi jin tersebut terkadang membantu manusia tersebut, itu pun agar dia semakin kuat ketergantungannya dengan jin tersebut. Dan juga agar semakin kuatlah peribadatan manusia kepada jin tersebut. Bisakah kita melihat jin qarin orang lain? Tadi kami sebutkan sebuah hadis yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat jin. Namun, keistimewaan yang dimiliki oleh seorang Nabi, tidak mungkin bisa ditiru oleh manusia yang lain. Sehingga tidak mungkin manusia melihat jin qarin, baik qarin dia sendiri maupun qarin orang lain. Karena Allah Ta’ala telah meniadakan (menafikan) kemampuan ini di dalam Al-Quran, sebagaimana firman-Nya, إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ “Sesungguhnya ia (iblis/setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (QS. Al-A’raf: 27) Namun, terkadang manusia bisa melihat jin ketika jin tersebut menampakkan dirinya. Normalnya manusia tidak bisa melihat jin, namun memungkinkan bagi jin untuk menampakkan diri kepada manusia. Sehingga dua hal ini harus dibedakan, yaitu antara manusia mampu melihat jin, dan jin yang menampakkan diri. Sebagaimana Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang melihat jin dalam rupa yang lain, dan para sahabat lainnya. Sehingga kalau ada yang mengaku, “Saya bisa melihat jin qarinmu”, maka klaim ini pasti bohong, dan juga penipuan dan pembodohan terhadap masyarakat. Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. Baca juga: Jin Ifrit adalah Jin yang Buruk lagi Keji *** @13 Muharram 1446/ 19 Juli 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari penjelasan Ustadz Ammi Nur Baits, di tautan ini: https://www.youtube.com/watch?v=wVbkdq1DA4o Tags: cek khodam
Daftar Isi Toggle Keberadaan jinJin qarin yang senantiasa mendampingi manusiaJin khodam, jin yang melayani dan membantu manusia?Bisakah kita melihat jin qarin orang lain? Beberapa waktu belakangan ini, terdapat sebuah fenomena di media sosial tentang “cek khodam online.” Cek khodam ini dilakukan oleh “praktisi spiritual” melalui siaran langsung (live). Mereka mengklaim bisa menerawang dan melihat seperti apa bentuk/jenis jin khodam yang dimiliki manusia hanya dengan melalui nama si penanya. Sebagian bahkan tidak gratis alias berbayar. Selain itu juga ada jasa cek khodam online. Lalu, bagaimana petunjuk syariat tentang hal ini? Berikut penjelasannya. Keberadaan jin Sejarah dimulai ketika Allah Ta’ala menciptakan Adam ‘alaihis salam, kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk bersujud kepada Adam, dan di tengah-tengah mereka ada Iblis. Malaikat bersujud kepada Adam, namun Iblis enggan dan sombong. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُواْ لآدَمَ فَسَجَدُواْ إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam.” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia enggan dan takabur (sombong) dan dia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34) Kemudian Iblis berusaha menggoda Adam agar Adam bisa keluar dari surga. Setelah berhasil, Allah Ta’ala berfirman, فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُواْ بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ “Lalu keduanya (adam dan Hawa) digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari tempat yang sebelumnya mereka tempati (yaitu surga). Kami berfirman, “Turunlah kalian (yaitu Adam, Hawa, dan Iblis)! Sebagian kalian menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kalian ada tempat kediaman di muka bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.” (QS. Al-Baqarah: 36) Dari ayat tersebut, kita dapat mengambil pelajaran bahwa Allah menempatkan Iblis dan anak keturunannya di muka bumi. Sehingga posisi manusia dan jin hidup bersama di satu tempat, yaitu di muka bumi. Meskipun jin lebih banyak berada di tempat-tempat yang jauh dari manusia, seperti di tengah lautan dan puncak gunung, dan sebagiannya hidup bersama dengan manusia. Oleh karena itu, dalam aktivitas yang jin lakukan, sebagian mereka membersamai manusia. Allah Ta’ala berfirman, وَشَارِكْهُمْ فِي الأَمْوَالِ وَالأَوْلادِ “ … dan bergabunglah (wahai jin) bersama mereka (manusia) dalam (menikmati) harta dan (mempengaruhi) anak-anak … “ (QS. Al-Isra’: 64) Dalam menikmati harta, mereka bisa tidur, makan, dan beraktivitas dengan manusia. Oleh karena itu, syariat mengajarkan aneka doa yang dibaca agar kita terjaga dan terlindung dari gangguan jin. Seperti doa sebelum makan dengan membaca bismillah, untuk menghalangi jin ikut makan. Demikian juga ketika suami istri hendak melakukan hubungan badan, ada tuntunan doa yang dibaca. Juga doa ketika masuk toilet, dan lain-lain. Ini semua menunjukkan kehidupan manusia itu bersama jin dan kita bisa mendapatkan perlindungan maksimal dari Allah Ta’ala dengan mengamalkan doa-doa yang diajarkan oleh syariat. Jin qarin yang senantiasa mendampingi manusia Dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ وَقَدْ وُكِّلَ بِهِ قَرِينُهُ مِنْ الْجِنِّ وَقَرِينُهُ مِنْ الْمَلاَئِكَةِ  قَالُوا وَإِيَّاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَإِيَّايَ إِلاَّ أَنَّ اللَّهَ أَعَانَنِي عَلَيْهِ فَأَسْلَمَ فَلاَ يَأْمُرُنِي إِلاَّ بِخَيْرٍ “Tidaklah seorang pun di antara kamu kecuali disertakan padanya satu qarin (teman dekat) dari kalangan jin (dan satu qarin dari kalangan malaikat).” Para sahabat bertanya, “Apakah termasuk anda juga, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Iya, termasuk aku juga. Akan tetapi, Allah ‘Azza wa Jalla membantuku mengendalikannya sehingga dia masuk Islam. Maka dia tidak memerintahkanku kecuali dengan kebaikan.” (HR. Muslim no. 2814; Ahmad no. 3770) Berdasarkan hadis ini, maka setiap manusia, setinggi apapun ilmu dan kedudukannya, selalu diiringi oleh setan dan tidak bisa dihilangkan. Setan itu berusaha untuk menggoda manusia, baik dari sisi fisik (membuat menjadi kerasukan) atau dari sisi batin. Terkadang setan membisikkan hal-hal yang buruk, ingin berbuat jahat atau maksiat. Sehingga kita disyariatkan untuk senantiasa berlindung dari godaan setan, terutama saat hendak beraktivitas, misalnya ketika hendak membaca Al-Quran, dalam rangka membatasi ruang gerak dari qarin ini ketika ingin mengganggu manusia. Zahir hadis di atas juga menunjukkan bahwa jin qarin yang dikecualikan masuk Islam hanyalah yang membersamai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan untuk manusia yang lain tidak diberi keistimewaan semacam ini. Oleh karena itu, pada prinsipnya qarin ini adalah jin jahat yang ingin menyesatkan seorang hamba. Sehingga jin ini yang membisikkan seseorang untuk berbuat maksiat atau membuat seseorang untuk malas berbuat ketaatan. Baca juga: “Jin Khadam” dalam Syariat Islam Jin khodam, jin yang melayani dan membantu manusia? Khodam secara bahasa artinya pembantu. Dan istilah “jin khodam” ini biasa dipakai untuk jin yang membantu manusia. Namun, apakah mungkin manusia mengendalikan dan menundukkan jin sehingga jin tersebut mau melayani dan menjadi “pembantu” bagi manusia? Ada satu dalil yang bisa digunakan sebagai acuan. Allah Ta’ala berfirman menceritakan doa Nabi Sulaiman, قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكاً لَّا يَنبَغِي لِأَحَدٍ مِّنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ “Ia (Sulaiman) berkata, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.” (QS. Shad: 35) Kemudian dalam ayat-ayat berikutnya, Allah sebutkan bahwa Allah mengabulkan doa tersebut, فَسَخَّرْنَا لَهُ الرِّيحَ تَجْرِي بِأَمْرِهِ رُخَاء حَيْثُ أَصَابَ ؛ وَالشَّيَاطِينَ كُلَّ بَنَّاء وَغَوَّاصٍ ؛ وَآخَرِينَ مُقَرَّنِينَ فِي الْأَصْفَادِ ؛ هَذَا عَطَاؤُنَا فَامْنُنْ أَوْ أَمْسِكْ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Kemudian Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik (pelan) menurut ke mana saja yang dikehendakinya, dan (Kami tundukkan pula kepadanya) setan-setan semuanya ahli bangunan dan penyelam, dan setan yang lain yang terikat dalam belenggu (jika tidak mau tunduk kepada Sulaiman, pent.). Inilah anugerah Kami. Maka berikanlah (kepada orang lain) atau tahanlah (untuk dirimu sendiri) dengan tiada pertanggungan jawab.” (QS. Shad: 36-39) Pasukan Sulaiman ‘alaihis salam ketika itu meliputi manusia, jin, dan binatang. Nabi Sulaiman ‘alaihi salam dalam doanya menyebutkan, “dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun sesudahku.” Artinya, kemampuan untuk menundukkan jin tersebut hanya Allah anugerahkan kepada Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, dan tidak kepada yang lainnya. Sehingga, berdasarkan ayat tersebut, tidak ada yang bisa menundukkan jin, kecuali Nabi Sulaiman ‘alaihis salam saja. Hal ini dikuatkan oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu. Beliau menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri (untuk mendirikan salat), lalu kami mendengarnya berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari kejahatanmu.” Lalu beliau juga mengucapkan kalimat ini sebanyak tiga kali, “Aku melaknatmu dengan laknat Allah”, dan beliau membentangkan tangannya seakan sedang memegang sesuatu. Ketika beliau telah selesai melaksanakan salat, kami pun bertanya, “Wahai Rasulullah, kami telah mendengarmu mengucapkan sesuatu di dalam salat yang sebelumnya kami belum pernah mendengarmu mengucapkannya, dan kami juga melihatmu membentangkan tanganmu padanya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, إِنَّ عَدُوَّ اللهِ إِبْلِيسَ، جَاءَ بِشِهَابٍ مِنْ نَارٍ لِيَجْعَلَهُ فِي وَجْهِي، فَقُلْتُ: أَعُوذُ بِاللهِ مِنْكَ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ قُلْتُ: أَلْعَنُكَ بِلَعْنَةِ اللهِ التَّامَّةِ، فَلَمْ يَسْتَأْخِرْ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ أَرَدْتُ أَخْذَهُ، وَاللهِ لَوْلَا دَعْوَةُ أَخِينَا سُلَيْمَانَ لَأَصْبَحَ مُوثَقًا يَلْعَبُ بِهِ وِلْدَانُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ “Sesungguhnya musuh Allah, iblis datang dengan membawa api untuk diletakkan di wajahku, maka aku pun berdoa, “A’uudzu billaahi minka.” (Artinya: Aku berlindung kepada Allah dari kejahatanmu), sebanyak tiga kali. Kemudian aku berkata, “Al’anauka bila’natillaahit taammati.” (Artinya: Aku melaknatmu dengan laknat Allah yang sempurna.), sebanyak tiga kali, namun dia tidak juga mundur. Lalu aku ingin membinasakannya. Dan demi Allah, kalaulah bukan karena doa saudara kita, Nabi Sulaiman, niscaya setan itu sudah terikat di masjid dan dipermainkan oleh anak-anak penduduk Madinah.” (HR. Muslim no. 542) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ingin menguasai dan menundukkan jin tersebut karena mengingat doa Nabi Sulaiman ‘alaihis salam. Maka jin itu pun dilepas. Dari sini bisa disimpulkan bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saja tidak mengendalikan jin atau tidak punya pasukan jin, lalu bagaimana lagi dengan manusia biasa? Maka tidak ada istilah “manusia mengendalikan jin.” Yang ada adalah manusia dikendalikan oleh jin. Anggaplah bahwa ada orang yang punya jin khodam, maka hakikat yang terjadi adalah manusia itu yang melayani jin, bukan jin yang melayani manusia. Dengan apa manusia melayani jin? Yaitu dengan memberikan sesajian atau ritual-ritual tertentu yang disukai oleh jin, bahkan ritual-ritual kemusyrikan. Bisa jadi jin tersebut terkadang membantu manusia tersebut, itu pun agar dia semakin kuat ketergantungannya dengan jin tersebut. Dan juga agar semakin kuatlah peribadatan manusia kepada jin tersebut. Bisakah kita melihat jin qarin orang lain? Tadi kami sebutkan sebuah hadis yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat jin. Namun, keistimewaan yang dimiliki oleh seorang Nabi, tidak mungkin bisa ditiru oleh manusia yang lain. Sehingga tidak mungkin manusia melihat jin qarin, baik qarin dia sendiri maupun qarin orang lain. Karena Allah Ta’ala telah meniadakan (menafikan) kemampuan ini di dalam Al-Quran, sebagaimana firman-Nya, إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ “Sesungguhnya ia (iblis/setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (QS. Al-A’raf: 27) Namun, terkadang manusia bisa melihat jin ketika jin tersebut menampakkan dirinya. Normalnya manusia tidak bisa melihat jin, namun memungkinkan bagi jin untuk menampakkan diri kepada manusia. Sehingga dua hal ini harus dibedakan, yaitu antara manusia mampu melihat jin, dan jin yang menampakkan diri. Sebagaimana Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang melihat jin dalam rupa yang lain, dan para sahabat lainnya. Sehingga kalau ada yang mengaku, “Saya bisa melihat jin qarinmu”, maka klaim ini pasti bohong, dan juga penipuan dan pembodohan terhadap masyarakat. Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. Baca juga: Jin Ifrit adalah Jin yang Buruk lagi Keji *** @13 Muharram 1446/ 19 Juli 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari penjelasan Ustadz Ammi Nur Baits, di tautan ini: https://www.youtube.com/watch?v=wVbkdq1DA4o Tags: cek khodam


Daftar Isi Toggle Keberadaan jinJin qarin yang senantiasa mendampingi manusiaJin khodam, jin yang melayani dan membantu manusia?Bisakah kita melihat jin qarin orang lain? Beberapa waktu belakangan ini, terdapat sebuah fenomena di media sosial tentang “cek khodam online.” Cek khodam ini dilakukan oleh “praktisi spiritual” melalui siaran langsung (live). Mereka mengklaim bisa menerawang dan melihat seperti apa bentuk/jenis jin khodam yang dimiliki manusia hanya dengan melalui nama si penanya. Sebagian bahkan tidak gratis alias berbayar. Selain itu juga ada jasa cek khodam online. Lalu, bagaimana petunjuk syariat tentang hal ini? Berikut penjelasannya. Keberadaan jin Sejarah dimulai ketika Allah Ta’ala menciptakan Adam ‘alaihis salam, kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk bersujud kepada Adam, dan di tengah-tengah mereka ada Iblis. Malaikat bersujud kepada Adam, namun Iblis enggan dan sombong. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُواْ لآدَمَ فَسَجَدُواْ إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam.” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia enggan dan takabur (sombong) dan dia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34) Kemudian Iblis berusaha menggoda Adam agar Adam bisa keluar dari surga. Setelah berhasil, Allah Ta’ala berfirman, فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُواْ بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ “Lalu keduanya (adam dan Hawa) digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari tempat yang sebelumnya mereka tempati (yaitu surga). Kami berfirman, “Turunlah kalian (yaitu Adam, Hawa, dan Iblis)! Sebagian kalian menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kalian ada tempat kediaman di muka bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.” (QS. Al-Baqarah: 36) Dari ayat tersebut, kita dapat mengambil pelajaran bahwa Allah menempatkan Iblis dan anak keturunannya di muka bumi. Sehingga posisi manusia dan jin hidup bersama di satu tempat, yaitu di muka bumi. Meskipun jin lebih banyak berada di tempat-tempat yang jauh dari manusia, seperti di tengah lautan dan puncak gunung, dan sebagiannya hidup bersama dengan manusia. Oleh karena itu, dalam aktivitas yang jin lakukan, sebagian mereka membersamai manusia. Allah Ta’ala berfirman, وَشَارِكْهُمْ فِي الأَمْوَالِ وَالأَوْلادِ “ … dan bergabunglah (wahai jin) bersama mereka (manusia) dalam (menikmati) harta dan (mempengaruhi) anak-anak … “ (QS. Al-Isra’: 64) Dalam menikmati harta, mereka bisa tidur, makan, dan beraktivitas dengan manusia. Oleh karena itu, syariat mengajarkan aneka doa yang dibaca agar kita terjaga dan terlindung dari gangguan jin. Seperti doa sebelum makan dengan membaca bismillah, untuk menghalangi jin ikut makan. Demikian juga ketika suami istri hendak melakukan hubungan badan, ada tuntunan doa yang dibaca. Juga doa ketika masuk toilet, dan lain-lain. Ini semua menunjukkan kehidupan manusia itu bersama jin dan kita bisa mendapatkan perlindungan maksimal dari Allah Ta’ala dengan mengamalkan doa-doa yang diajarkan oleh syariat. Jin qarin yang senantiasa mendampingi manusia Dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ وَقَدْ وُكِّلَ بِهِ قَرِينُهُ مِنْ الْجِنِّ وَقَرِينُهُ مِنْ الْمَلاَئِكَةِ  قَالُوا وَإِيَّاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَإِيَّايَ إِلاَّ أَنَّ اللَّهَ أَعَانَنِي عَلَيْهِ فَأَسْلَمَ فَلاَ يَأْمُرُنِي إِلاَّ بِخَيْرٍ “Tidaklah seorang pun di antara kamu kecuali disertakan padanya satu qarin (teman dekat) dari kalangan jin (dan satu qarin dari kalangan malaikat).” Para sahabat bertanya, “Apakah termasuk anda juga, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Iya, termasuk aku juga. Akan tetapi, Allah ‘Azza wa Jalla membantuku mengendalikannya sehingga dia masuk Islam. Maka dia tidak memerintahkanku kecuali dengan kebaikan.” (HR. Muslim no. 2814; Ahmad no. 3770) Berdasarkan hadis ini, maka setiap manusia, setinggi apapun ilmu dan kedudukannya, selalu diiringi oleh setan dan tidak bisa dihilangkan. Setan itu berusaha untuk menggoda manusia, baik dari sisi fisik (membuat menjadi kerasukan) atau dari sisi batin. Terkadang setan membisikkan hal-hal yang buruk, ingin berbuat jahat atau maksiat. Sehingga kita disyariatkan untuk senantiasa berlindung dari godaan setan, terutama saat hendak beraktivitas, misalnya ketika hendak membaca Al-Quran, dalam rangka membatasi ruang gerak dari qarin ini ketika ingin mengganggu manusia. Zahir hadis di atas juga menunjukkan bahwa jin qarin yang dikecualikan masuk Islam hanyalah yang membersamai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan untuk manusia yang lain tidak diberi keistimewaan semacam ini. Oleh karena itu, pada prinsipnya qarin ini adalah jin jahat yang ingin menyesatkan seorang hamba. Sehingga jin ini yang membisikkan seseorang untuk berbuat maksiat atau membuat seseorang untuk malas berbuat ketaatan. Baca juga: “Jin Khadam” dalam Syariat Islam Jin khodam, jin yang melayani dan membantu manusia? Khodam secara bahasa artinya pembantu. Dan istilah “jin khodam” ini biasa dipakai untuk jin yang membantu manusia. Namun, apakah mungkin manusia mengendalikan dan menundukkan jin sehingga jin tersebut mau melayani dan menjadi “pembantu” bagi manusia? Ada satu dalil yang bisa digunakan sebagai acuan. Allah Ta’ala berfirman menceritakan doa Nabi Sulaiman, قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكاً لَّا يَنبَغِي لِأَحَدٍ مِّنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ “Ia (Sulaiman) berkata, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.” (QS. Shad: 35) Kemudian dalam ayat-ayat berikutnya, Allah sebutkan bahwa Allah mengabulkan doa tersebut, فَسَخَّرْنَا لَهُ الرِّيحَ تَجْرِي بِأَمْرِهِ رُخَاء حَيْثُ أَصَابَ ؛ وَالشَّيَاطِينَ كُلَّ بَنَّاء وَغَوَّاصٍ ؛ وَآخَرِينَ مُقَرَّنِينَ فِي الْأَصْفَادِ ؛ هَذَا عَطَاؤُنَا فَامْنُنْ أَوْ أَمْسِكْ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Kemudian Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik (pelan) menurut ke mana saja yang dikehendakinya, dan (Kami tundukkan pula kepadanya) setan-setan semuanya ahli bangunan dan penyelam, dan setan yang lain yang terikat dalam belenggu (jika tidak mau tunduk kepada Sulaiman, pent.). Inilah anugerah Kami. Maka berikanlah (kepada orang lain) atau tahanlah (untuk dirimu sendiri) dengan tiada pertanggungan jawab.” (QS. Shad: 36-39) Pasukan Sulaiman ‘alaihis salam ketika itu meliputi manusia, jin, dan binatang. Nabi Sulaiman ‘alaihi salam dalam doanya menyebutkan, “dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun sesudahku.” Artinya, kemampuan untuk menundukkan jin tersebut hanya Allah anugerahkan kepada Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, dan tidak kepada yang lainnya. Sehingga, berdasarkan ayat tersebut, tidak ada yang bisa menundukkan jin, kecuali Nabi Sulaiman ‘alaihis salam saja. Hal ini dikuatkan oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu. Beliau menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri (untuk mendirikan salat), lalu kami mendengarnya berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari kejahatanmu.” Lalu beliau juga mengucapkan kalimat ini sebanyak tiga kali, “Aku melaknatmu dengan laknat Allah”, dan beliau membentangkan tangannya seakan sedang memegang sesuatu. Ketika beliau telah selesai melaksanakan salat, kami pun bertanya, “Wahai Rasulullah, kami telah mendengarmu mengucapkan sesuatu di dalam salat yang sebelumnya kami belum pernah mendengarmu mengucapkannya, dan kami juga melihatmu membentangkan tanganmu padanya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, إِنَّ عَدُوَّ اللهِ إِبْلِيسَ، جَاءَ بِشِهَابٍ مِنْ نَارٍ لِيَجْعَلَهُ فِي وَجْهِي، فَقُلْتُ: أَعُوذُ بِاللهِ مِنْكَ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ قُلْتُ: أَلْعَنُكَ بِلَعْنَةِ اللهِ التَّامَّةِ، فَلَمْ يَسْتَأْخِرْ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ أَرَدْتُ أَخْذَهُ، وَاللهِ لَوْلَا دَعْوَةُ أَخِينَا سُلَيْمَانَ لَأَصْبَحَ مُوثَقًا يَلْعَبُ بِهِ وِلْدَانُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ “Sesungguhnya musuh Allah, iblis datang dengan membawa api untuk diletakkan di wajahku, maka aku pun berdoa, “A’uudzu billaahi minka.” (Artinya: Aku berlindung kepada Allah dari kejahatanmu), sebanyak tiga kali. Kemudian aku berkata, “Al’anauka bila’natillaahit taammati.” (Artinya: Aku melaknatmu dengan laknat Allah yang sempurna.), sebanyak tiga kali, namun dia tidak juga mundur. Lalu aku ingin membinasakannya. Dan demi Allah, kalaulah bukan karena doa saudara kita, Nabi Sulaiman, niscaya setan itu sudah terikat di masjid dan dipermainkan oleh anak-anak penduduk Madinah.” (HR. Muslim no. 542) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ingin menguasai dan menundukkan jin tersebut karena mengingat doa Nabi Sulaiman ‘alaihis salam. Maka jin itu pun dilepas. Dari sini bisa disimpulkan bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saja tidak mengendalikan jin atau tidak punya pasukan jin, lalu bagaimana lagi dengan manusia biasa? Maka tidak ada istilah “manusia mengendalikan jin.” Yang ada adalah manusia dikendalikan oleh jin. Anggaplah bahwa ada orang yang punya jin khodam, maka hakikat yang terjadi adalah manusia itu yang melayani jin, bukan jin yang melayani manusia. Dengan apa manusia melayani jin? Yaitu dengan memberikan sesajian atau ritual-ritual tertentu yang disukai oleh jin, bahkan ritual-ritual kemusyrikan. Bisa jadi jin tersebut terkadang membantu manusia tersebut, itu pun agar dia semakin kuat ketergantungannya dengan jin tersebut. Dan juga agar semakin kuatlah peribadatan manusia kepada jin tersebut. Bisakah kita melihat jin qarin orang lain? Tadi kami sebutkan sebuah hadis yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat jin. Namun, keistimewaan yang dimiliki oleh seorang Nabi, tidak mungkin bisa ditiru oleh manusia yang lain. Sehingga tidak mungkin manusia melihat jin qarin, baik qarin dia sendiri maupun qarin orang lain. Karena Allah Ta’ala telah meniadakan (menafikan) kemampuan ini di dalam Al-Quran, sebagaimana firman-Nya, إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ “Sesungguhnya ia (iblis/setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (QS. Al-A’raf: 27) Namun, terkadang manusia bisa melihat jin ketika jin tersebut menampakkan dirinya. Normalnya manusia tidak bisa melihat jin, namun memungkinkan bagi jin untuk menampakkan diri kepada manusia. Sehingga dua hal ini harus dibedakan, yaitu antara manusia mampu melihat jin, dan jin yang menampakkan diri. Sebagaimana Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang melihat jin dalam rupa yang lain, dan para sahabat lainnya. Sehingga kalau ada yang mengaku, “Saya bisa melihat jin qarinmu”, maka klaim ini pasti bohong, dan juga penipuan dan pembodohan terhadap masyarakat. Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. Baca juga: Jin Ifrit adalah Jin yang Buruk lagi Keji *** @13 Muharram 1446/ 19 Juli 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari penjelasan Ustadz Ammi Nur Baits, di tautan ini: https://www.youtube.com/watch?v=wVbkdq1DA4o Tags: cek khodam

Empat Overdosis Penyebab Hati Keracunan (Bag. 3)

Daftar Isi Toggle Bagian 3: Overdosis MakanDampak buruk makan berlebihanDari segi kesehatanDari segi agama Bagian 3: Overdosis Makan Tahukah Anda, bahwa makan bisa mengotori dan meracuni hati? Bagaimana bisa? Makan adalah kebutuhan mendasar bagi manusia untuk memastikan keberlangsungan hidup. Bagi seorang muslim, makan bukan hanya tentang suplai energi untuk tubuh saja, tetapi juga tentang mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah Ta’ala kepada kita dan mempergunakan energi yang didapat untuk beribadah kepada-Nya. Makanan yang kita makan sangat berpengaruh pada tubuh dan kehidupan kita. Oleh karena itu, Islam mengatur perkara adab-adab yang berkaitan dengan makan. Allah pun memerintahkan untuk hanya memakan yang halal dan baik saja, sebagaimana dalam firman-Nya, يَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُوا۟ مِمَّا فِى ٱلْأَرْضِ حَلَـٰلًۭا طَيِّبًۭا وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَـٰنِ ۚ “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan.” (QS. Al-Baqarah: 168) Ayat di atas menjelaskan tentang harusnya mengonsumsi makanan yang halal lagi baik, baik secara zat, proses pembuatan, pengolahan, maupun cara memperolehnya. Namun, pada artikel kali ini, kita tidak akan membahas lebih dalam tentang kehalalan makanan ataupun merinci adab-adab makan, tetapi kita akan membahas bahwa makan bisa mengotori, bahkan sampai meracuni hati. Pembahasan kali ini sebagai overdosis yang bisa menjadi racun hati yang ketiga, yaitu overdosis makan atau terlalu banyak makan atau makan berlebihan. Mari kita bahas lebih lanjut! Bagaimanakah bentuk overdosis makan itu? Untuk mengetahui itu, hendaknya kita memahami terlebih dahulu arahan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terkait porsi makan pada perut yang benar. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallahu ‘anhu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما مَلَأَ ابنُ آدَمَ وِعاءً شَرًّا من بَطنٍ، بحَسْبِ ابنِ آدَمَ أكَلاتٍ يُقِمْنَ صُلْبَه، فإنْ كانَ لا مَحالةَ؛ فثُلُثٌ لطَعامِه، وثُلُثٌ لشَرابِه، وثُلُثٌ لنَفَسِه. “Tidak ada wadah paling buruk yang diisi oleh anak keturunan Adam daripada perut. Cukup bagi anak keturunan Adam beberapa suap saja untuk menegakkan punggungnya. Jika memang tidak bisa (hanya segitu), maka sepertiga (perut) untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk nafasnya.” (HR. Tirmidzi no. 2380, Ibnu Majah no. 3349, dan Ahmad no. 17186) Ibnu Rajab rahimahullah mengomentari hadis ini dengan mengatakan, “Hadis ini adalah pondasi untuk seluruh ilmu kesehatan. Dan diriwayatkan bahwa Ibnu Masawaih, sang Dokter mengatakan tatkala membaca hadis ini, ‘Andaikan semua manusia menggunakan panduan ini, niscaya mereka semua akan selamat dari berbagai penyakit, lantas toko-toko obat akan bangkrut.’ Tidaklah kalimat ini diucapkan, melainkan karena asal muasal dari segala penyakit adalah kerakusan.” [1] Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah mengatakan dalam kitab Thibbun Nabawi-nya, مراتب الغذاء ثلاثة: أحدها: مرتبة الحاجة, والثانية: مرتبة الكفاية, والثالثة: مرتبة الفضلة “Tingkatan makan ada tiga: Pertama, tingkatan butuh; Kedua, tingkatan cukup; dan Ketiga, tingkatan berlebihan.” [2] Dari hadis yang disebutkan di atas, juga komentar dan perkataan ulama, dapat disimpulkan bahwa makan yang berlebihan adalah makan yang mengisi lebih dari sepertiga perut. Juga jika merujuk pada perkataan Ibnul Qayyim, maka makan yang berlebihan adalah makan yang sudah melebihi batas butuh (sekadar menghilangkan rasa kenyang) atau cukup (tidak sampai kekenyangan). Adapun selain keduanya, maka sudah masuk ke dalam kategori makan yang berlebihan. Dewasa ini, seringkali kita temui fenomena makan berlebihan yang justru dinormalisasi, dari mulai konten-konten makan-makan di YouTube, konten challenging, dan semisalnya. Jika kita sudah mengetahui patokan kapan aktivitas makan dapat masuk ke dalam kategori overdosis makan atau makan yang berlebihan, juga kita sudah tahu, bahkan tanpa dijelaskan rinci bagaimana saja contohnya, lantas apa yang salah dengan makan yang berlebihan? Adakah suatu akibat buruk atau efek samping? Bagaimana bisa memengaruhi hati dan dapat menjadi racun untuk hati? Dampak buruk makan berlebihan Setidaknya dampak buruk dari makan yang berlebihan dapat dilihat dari dua sisi. Dari segi kesehatan Dari segi kesehatan, terlalu banyak makan dapat menimbulkan berbagai efek samping sampai penyakit. Paling minimalnya adalah tubuh yang sulit untuk bergerak dan menjadi malas melakukan apa-apa tatkala kekenyangan. Efek samping lain yang lebih besar adalah timbulnya penyakit, seperti: obesitas, kolesterol, gagal ginjal, dan lain sebagainya, yang tidak lain dan tidak bukan bahwa salah satu faktor terbesarnya adalah terlalu banyak makan. Dari segi agama Adapun dari segi agama, maka ada beberapa dampak buruk yang ditimbulkan dari makan yang berlebihan. Pertama: Melanggar anjuran yang disyariatkan Allah secara jelas dalam kitab-Nya dan berdampak akan tidak disukai oleh-Nya. Allah Ta’ala  berfirman, وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ “Dan makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31) Kedua: Membutakan hati dan membuatnya menjadi keras. Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, إن النفس إذا جاعت وعطشت صفا القلب ورق، وإذا شبعت عمي القلب “Sesungguhnya jiwa itu tatkala lapar dan haus, hatinya akan bersih dan lembut. Dan tatkala kenyang, hatinya akan menjadi buta.” Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah juga berkata, قسوة القلب من أربعة أشياء إذا جاوزت قدر الحاجة: الأكل والنوم والكلام والمخالطة “Kerasnya hati disebabkan oleh 4 hal ini bilamana melebihi kebutuhan (batas wajar), yaitu: makan, tidur, bicara, dan bergaul.” [3] Ketiga: Menjadi malas beribadah, dan ini adalah salah satu efek lanjutan dari buta dan kerasnya hati, juga bisa dikatakan sebagai bentuk sakitnya hati. Syekh Dr. Ahmad Farid menuturkan, وفضول الطعام داع إلى أنواع كثيرة من الشر, فإنه يحرك الجوارح إلى المعاصي ويثقلها عن الطاعات والعبادات, وحسبك بهذين شرأ “Terlalu banyak makan berefek pada banyak keburukan yang banyak sekali, karena sungguh (terlalu banyak makan) akan menggerakkan tubuh untuk melakukan maksiat dan juga memberatkan tubuh untuk melakukan ketaatan dan ibadah. Dan dua hal ini cukup menjadi keburukan.” Dalam beberapa atsar diriwayatkan sebuah perkataan, إذا امتلأت المعدة نامت الفكرة، وخرست الحكمة، وقعدت الأعضاء عن العبادة “Ketika perut penuh (kekenyangan), maka akal pikiran akan tertidur, kebijaksanaan akan terbungkam, serta anggota tubuh akan tertahan dari beribadah.” Betapa perihal perut dan makanan adalah hal yang krusial terutamanya karena berpengaruh pada kesehatan hati. Dosa yang didapat dari melanggar perintah Allah, hati yang menjadi keras, tubuh yang malas beribadah, juga tubuh yang lebih suka melakukan maksiat. Semua itu seharusnya sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan kepada kita bahaya “overdosis” makan yang menjadi topik utama ada pembahasan ini. Bahkan, setan lebih suka dan lebih mudah menggoda seseorang ketika seseorang itu dalam keadaan kenyang. Siapa saja yang bisa menjaga dirinya dari nafsu makan yang porsinya melebihi porsi secukupnya, maka ia telah menjaga dirinya dari keburukan yang sangat besar. Untuk itu, Ibrahim bin Adham pernah berkata, من ضبط بطنه ضبط دينه ومن ملك جوعه ملك الأخلاق الصالحة فإن معصية الله بعيدة عن الجائع قريبة من الشعبان “Barangsiapa yang dapat menjaga perutnya, maka ia telah menjaga agamanya. Dan barangsiapa yang memiliki rasa lapar, maka ia telah memiliki akhlak yang baik. Karena sungguh maksiat kepada Allah itu jauh dari orang yang lapar dan justru dekat dengan orang yang kenyang.” Sebagai muslim, tidaklah selayaknya bagi kita untuk berlebihan dalam makan, yang mana hal tersebut hanyalah pemuas nafsu sesaat untuk dampak negatif yang parah dan berat. Bukankah kita tidak mau semangat ibadah dan berbagai kesempatan baik kita hilang begitu saja karena kita makan terlalu banyak? Sebagai percontohan, ada beberapa anjuran dan keteladanan yang perlu kita ketahui. Disebutkan dalam beberapa riwayat bahwa dahulu pemuda-pemuda Bani Israil biasa beribadah, dan apabila mereka berbuka puasa atau makan, salah seorang dari mereka menyerukan kepada yang lainnya, “Janganlah kalian banyak makan, kemudian akan banyak minum, kemudian akan banyak tidur, kemudian (karena hal-hal tersebut) kalian akan banyak merugi.” Perlu kita ketahui juga, bahwa teladan dan panutan kita serta keluarganya juga sudah mencontohkan perihal makan yang tidak terlalu banyak sampai kekenyangan. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ummul Mukminin, Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, ما شَبِعَ آلُ مُحَمَّدٍ ﷺ مُنْذُ قَدِمَ المَدِينَةَ مِن طَعامِ البُرِّ ثَلاثَ لَيالٍ تِباعًا، حتّى قُبِضَ “Keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sama sekali tidak pernah makan gandum sampai kenyang semenjak datang ke Madinah selama tiga malam berturut-turut sampai meninggal.” (HR. Bukhari no. 6454 dan Muslim no. 2970) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah memberi anjuran agar makan secukupnya dengan beberapa suap saja selain hadis yang telah disampaikan di awal. Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu yang menjelaskan bahwa porsi makan satu orang bisa untuk mencukupi lebih dari satu orang, طَعامُ الواحِدِ يَكْفِي الاثْنَيْنِ، وَطَعامُ الاثْنَيْنِ يَكْفِي الأرْبَعَةَ، وَطَعامُ الأرْبَعَةِ يَكْفِي الثَّمانِيَةَ “Porsi makan satu orang dapat mencukupi dua orang, sedangkan porsi makan dua orang dapat mencukupi empat orang, dan porsi makan empat orang dapat mencukupi delapan orang.” (HR. Muslim no. 2059) Perkara perut memang bukanlah perkara yang mudah, tetapi masih bisa dikendalikan. Tidak ada kata terlambat dan tidak mungkin bagi kita untuk mengubah pola dan mengendalikan nafsu makan kita, agar kita tidak terjerumus ke dalam bahayanya, baik dari segi kesehatan maupun dari segi agama. Dan yang terpenting, kita telah diberi anjuran dan dicontohkan keteladanan oleh junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Terakhir, mengenai nafsu perut yang membuat terlalu banyak makan, ada sebuah perkataan yang semoga dapat menjadi pengingat bagi kita, من كانت همته ما يدخل في بطنِهِ, كانت قِمّته ما يخرج من بطنِهِ “Barangsiapa yang orientasi perhatiannya adalah apa yang masuk ke perutnya, maka hasilnya (sama seperti) apa yang keluar dari perutnya.” Semoga yang sedikit ini bermanfaat dan semoga Allah selalu memberi taufik kepada kita semua agar dapat dan tetap dapat mengendalikan nafsu makan, sehingga hal makan sebagai hal sentral dalam kebutuhan hidup tidak menjadi bumerang yang malah menyerang tubuh, hati, dan agama kita. Kembali ke bagian 2: Empat Overdosis Penyebab Hati Keracunan (Bag. 2) Lanjut ke bagian 4: Bersambung *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 424. [2] Thibbun Nabawi, hal. 13. [3] Syarhu Kitabil Fawa’id. Tags: keracunanoverdosis

Empat Overdosis Penyebab Hati Keracunan (Bag. 3)

Daftar Isi Toggle Bagian 3: Overdosis MakanDampak buruk makan berlebihanDari segi kesehatanDari segi agama Bagian 3: Overdosis Makan Tahukah Anda, bahwa makan bisa mengotori dan meracuni hati? Bagaimana bisa? Makan adalah kebutuhan mendasar bagi manusia untuk memastikan keberlangsungan hidup. Bagi seorang muslim, makan bukan hanya tentang suplai energi untuk tubuh saja, tetapi juga tentang mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah Ta’ala kepada kita dan mempergunakan energi yang didapat untuk beribadah kepada-Nya. Makanan yang kita makan sangat berpengaruh pada tubuh dan kehidupan kita. Oleh karena itu, Islam mengatur perkara adab-adab yang berkaitan dengan makan. Allah pun memerintahkan untuk hanya memakan yang halal dan baik saja, sebagaimana dalam firman-Nya, يَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُوا۟ مِمَّا فِى ٱلْأَرْضِ حَلَـٰلًۭا طَيِّبًۭا وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَـٰنِ ۚ “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan.” (QS. Al-Baqarah: 168) Ayat di atas menjelaskan tentang harusnya mengonsumsi makanan yang halal lagi baik, baik secara zat, proses pembuatan, pengolahan, maupun cara memperolehnya. Namun, pada artikel kali ini, kita tidak akan membahas lebih dalam tentang kehalalan makanan ataupun merinci adab-adab makan, tetapi kita akan membahas bahwa makan bisa mengotori, bahkan sampai meracuni hati. Pembahasan kali ini sebagai overdosis yang bisa menjadi racun hati yang ketiga, yaitu overdosis makan atau terlalu banyak makan atau makan berlebihan. Mari kita bahas lebih lanjut! Bagaimanakah bentuk overdosis makan itu? Untuk mengetahui itu, hendaknya kita memahami terlebih dahulu arahan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terkait porsi makan pada perut yang benar. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallahu ‘anhu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما مَلَأَ ابنُ آدَمَ وِعاءً شَرًّا من بَطنٍ، بحَسْبِ ابنِ آدَمَ أكَلاتٍ يُقِمْنَ صُلْبَه، فإنْ كانَ لا مَحالةَ؛ فثُلُثٌ لطَعامِه، وثُلُثٌ لشَرابِه، وثُلُثٌ لنَفَسِه. “Tidak ada wadah paling buruk yang diisi oleh anak keturunan Adam daripada perut. Cukup bagi anak keturunan Adam beberapa suap saja untuk menegakkan punggungnya. Jika memang tidak bisa (hanya segitu), maka sepertiga (perut) untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk nafasnya.” (HR. Tirmidzi no. 2380, Ibnu Majah no. 3349, dan Ahmad no. 17186) Ibnu Rajab rahimahullah mengomentari hadis ini dengan mengatakan, “Hadis ini adalah pondasi untuk seluruh ilmu kesehatan. Dan diriwayatkan bahwa Ibnu Masawaih, sang Dokter mengatakan tatkala membaca hadis ini, ‘Andaikan semua manusia menggunakan panduan ini, niscaya mereka semua akan selamat dari berbagai penyakit, lantas toko-toko obat akan bangkrut.’ Tidaklah kalimat ini diucapkan, melainkan karena asal muasal dari segala penyakit adalah kerakusan.” [1] Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah mengatakan dalam kitab Thibbun Nabawi-nya, مراتب الغذاء ثلاثة: أحدها: مرتبة الحاجة, والثانية: مرتبة الكفاية, والثالثة: مرتبة الفضلة “Tingkatan makan ada tiga: Pertama, tingkatan butuh; Kedua, tingkatan cukup; dan Ketiga, tingkatan berlebihan.” [2] Dari hadis yang disebutkan di atas, juga komentar dan perkataan ulama, dapat disimpulkan bahwa makan yang berlebihan adalah makan yang mengisi lebih dari sepertiga perut. Juga jika merujuk pada perkataan Ibnul Qayyim, maka makan yang berlebihan adalah makan yang sudah melebihi batas butuh (sekadar menghilangkan rasa kenyang) atau cukup (tidak sampai kekenyangan). Adapun selain keduanya, maka sudah masuk ke dalam kategori makan yang berlebihan. Dewasa ini, seringkali kita temui fenomena makan berlebihan yang justru dinormalisasi, dari mulai konten-konten makan-makan di YouTube, konten challenging, dan semisalnya. Jika kita sudah mengetahui patokan kapan aktivitas makan dapat masuk ke dalam kategori overdosis makan atau makan yang berlebihan, juga kita sudah tahu, bahkan tanpa dijelaskan rinci bagaimana saja contohnya, lantas apa yang salah dengan makan yang berlebihan? Adakah suatu akibat buruk atau efek samping? Bagaimana bisa memengaruhi hati dan dapat menjadi racun untuk hati? Dampak buruk makan berlebihan Setidaknya dampak buruk dari makan yang berlebihan dapat dilihat dari dua sisi. Dari segi kesehatan Dari segi kesehatan, terlalu banyak makan dapat menimbulkan berbagai efek samping sampai penyakit. Paling minimalnya adalah tubuh yang sulit untuk bergerak dan menjadi malas melakukan apa-apa tatkala kekenyangan. Efek samping lain yang lebih besar adalah timbulnya penyakit, seperti: obesitas, kolesterol, gagal ginjal, dan lain sebagainya, yang tidak lain dan tidak bukan bahwa salah satu faktor terbesarnya adalah terlalu banyak makan. Dari segi agama Adapun dari segi agama, maka ada beberapa dampak buruk yang ditimbulkan dari makan yang berlebihan. Pertama: Melanggar anjuran yang disyariatkan Allah secara jelas dalam kitab-Nya dan berdampak akan tidak disukai oleh-Nya. Allah Ta’ala  berfirman, وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ “Dan makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31) Kedua: Membutakan hati dan membuatnya menjadi keras. Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, إن النفس إذا جاعت وعطشت صفا القلب ورق، وإذا شبعت عمي القلب “Sesungguhnya jiwa itu tatkala lapar dan haus, hatinya akan bersih dan lembut. Dan tatkala kenyang, hatinya akan menjadi buta.” Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah juga berkata, قسوة القلب من أربعة أشياء إذا جاوزت قدر الحاجة: الأكل والنوم والكلام والمخالطة “Kerasnya hati disebabkan oleh 4 hal ini bilamana melebihi kebutuhan (batas wajar), yaitu: makan, tidur, bicara, dan bergaul.” [3] Ketiga: Menjadi malas beribadah, dan ini adalah salah satu efek lanjutan dari buta dan kerasnya hati, juga bisa dikatakan sebagai bentuk sakitnya hati. Syekh Dr. Ahmad Farid menuturkan, وفضول الطعام داع إلى أنواع كثيرة من الشر, فإنه يحرك الجوارح إلى المعاصي ويثقلها عن الطاعات والعبادات, وحسبك بهذين شرأ “Terlalu banyak makan berefek pada banyak keburukan yang banyak sekali, karena sungguh (terlalu banyak makan) akan menggerakkan tubuh untuk melakukan maksiat dan juga memberatkan tubuh untuk melakukan ketaatan dan ibadah. Dan dua hal ini cukup menjadi keburukan.” Dalam beberapa atsar diriwayatkan sebuah perkataan, إذا امتلأت المعدة نامت الفكرة، وخرست الحكمة، وقعدت الأعضاء عن العبادة “Ketika perut penuh (kekenyangan), maka akal pikiran akan tertidur, kebijaksanaan akan terbungkam, serta anggota tubuh akan tertahan dari beribadah.” Betapa perihal perut dan makanan adalah hal yang krusial terutamanya karena berpengaruh pada kesehatan hati. Dosa yang didapat dari melanggar perintah Allah, hati yang menjadi keras, tubuh yang malas beribadah, juga tubuh yang lebih suka melakukan maksiat. Semua itu seharusnya sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan kepada kita bahaya “overdosis” makan yang menjadi topik utama ada pembahasan ini. Bahkan, setan lebih suka dan lebih mudah menggoda seseorang ketika seseorang itu dalam keadaan kenyang. Siapa saja yang bisa menjaga dirinya dari nafsu makan yang porsinya melebihi porsi secukupnya, maka ia telah menjaga dirinya dari keburukan yang sangat besar. Untuk itu, Ibrahim bin Adham pernah berkata, من ضبط بطنه ضبط دينه ومن ملك جوعه ملك الأخلاق الصالحة فإن معصية الله بعيدة عن الجائع قريبة من الشعبان “Barangsiapa yang dapat menjaga perutnya, maka ia telah menjaga agamanya. Dan barangsiapa yang memiliki rasa lapar, maka ia telah memiliki akhlak yang baik. Karena sungguh maksiat kepada Allah itu jauh dari orang yang lapar dan justru dekat dengan orang yang kenyang.” Sebagai muslim, tidaklah selayaknya bagi kita untuk berlebihan dalam makan, yang mana hal tersebut hanyalah pemuas nafsu sesaat untuk dampak negatif yang parah dan berat. Bukankah kita tidak mau semangat ibadah dan berbagai kesempatan baik kita hilang begitu saja karena kita makan terlalu banyak? Sebagai percontohan, ada beberapa anjuran dan keteladanan yang perlu kita ketahui. Disebutkan dalam beberapa riwayat bahwa dahulu pemuda-pemuda Bani Israil biasa beribadah, dan apabila mereka berbuka puasa atau makan, salah seorang dari mereka menyerukan kepada yang lainnya, “Janganlah kalian banyak makan, kemudian akan banyak minum, kemudian akan banyak tidur, kemudian (karena hal-hal tersebut) kalian akan banyak merugi.” Perlu kita ketahui juga, bahwa teladan dan panutan kita serta keluarganya juga sudah mencontohkan perihal makan yang tidak terlalu banyak sampai kekenyangan. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ummul Mukminin, Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, ما شَبِعَ آلُ مُحَمَّدٍ ﷺ مُنْذُ قَدِمَ المَدِينَةَ مِن طَعامِ البُرِّ ثَلاثَ لَيالٍ تِباعًا، حتّى قُبِضَ “Keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sama sekali tidak pernah makan gandum sampai kenyang semenjak datang ke Madinah selama tiga malam berturut-turut sampai meninggal.” (HR. Bukhari no. 6454 dan Muslim no. 2970) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah memberi anjuran agar makan secukupnya dengan beberapa suap saja selain hadis yang telah disampaikan di awal. Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu yang menjelaskan bahwa porsi makan satu orang bisa untuk mencukupi lebih dari satu orang, طَعامُ الواحِدِ يَكْفِي الاثْنَيْنِ، وَطَعامُ الاثْنَيْنِ يَكْفِي الأرْبَعَةَ، وَطَعامُ الأرْبَعَةِ يَكْفِي الثَّمانِيَةَ “Porsi makan satu orang dapat mencukupi dua orang, sedangkan porsi makan dua orang dapat mencukupi empat orang, dan porsi makan empat orang dapat mencukupi delapan orang.” (HR. Muslim no. 2059) Perkara perut memang bukanlah perkara yang mudah, tetapi masih bisa dikendalikan. Tidak ada kata terlambat dan tidak mungkin bagi kita untuk mengubah pola dan mengendalikan nafsu makan kita, agar kita tidak terjerumus ke dalam bahayanya, baik dari segi kesehatan maupun dari segi agama. Dan yang terpenting, kita telah diberi anjuran dan dicontohkan keteladanan oleh junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Terakhir, mengenai nafsu perut yang membuat terlalu banyak makan, ada sebuah perkataan yang semoga dapat menjadi pengingat bagi kita, من كانت همته ما يدخل في بطنِهِ, كانت قِمّته ما يخرج من بطنِهِ “Barangsiapa yang orientasi perhatiannya adalah apa yang masuk ke perutnya, maka hasilnya (sama seperti) apa yang keluar dari perutnya.” Semoga yang sedikit ini bermanfaat dan semoga Allah selalu memberi taufik kepada kita semua agar dapat dan tetap dapat mengendalikan nafsu makan, sehingga hal makan sebagai hal sentral dalam kebutuhan hidup tidak menjadi bumerang yang malah menyerang tubuh, hati, dan agama kita. Kembali ke bagian 2: Empat Overdosis Penyebab Hati Keracunan (Bag. 2) Lanjut ke bagian 4: Bersambung *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 424. [2] Thibbun Nabawi, hal. 13. [3] Syarhu Kitabil Fawa’id. Tags: keracunanoverdosis
Daftar Isi Toggle Bagian 3: Overdosis MakanDampak buruk makan berlebihanDari segi kesehatanDari segi agama Bagian 3: Overdosis Makan Tahukah Anda, bahwa makan bisa mengotori dan meracuni hati? Bagaimana bisa? Makan adalah kebutuhan mendasar bagi manusia untuk memastikan keberlangsungan hidup. Bagi seorang muslim, makan bukan hanya tentang suplai energi untuk tubuh saja, tetapi juga tentang mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah Ta’ala kepada kita dan mempergunakan energi yang didapat untuk beribadah kepada-Nya. Makanan yang kita makan sangat berpengaruh pada tubuh dan kehidupan kita. Oleh karena itu, Islam mengatur perkara adab-adab yang berkaitan dengan makan. Allah pun memerintahkan untuk hanya memakan yang halal dan baik saja, sebagaimana dalam firman-Nya, يَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُوا۟ مِمَّا فِى ٱلْأَرْضِ حَلَـٰلًۭا طَيِّبًۭا وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَـٰنِ ۚ “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan.” (QS. Al-Baqarah: 168) Ayat di atas menjelaskan tentang harusnya mengonsumsi makanan yang halal lagi baik, baik secara zat, proses pembuatan, pengolahan, maupun cara memperolehnya. Namun, pada artikel kali ini, kita tidak akan membahas lebih dalam tentang kehalalan makanan ataupun merinci adab-adab makan, tetapi kita akan membahas bahwa makan bisa mengotori, bahkan sampai meracuni hati. Pembahasan kali ini sebagai overdosis yang bisa menjadi racun hati yang ketiga, yaitu overdosis makan atau terlalu banyak makan atau makan berlebihan. Mari kita bahas lebih lanjut! Bagaimanakah bentuk overdosis makan itu? Untuk mengetahui itu, hendaknya kita memahami terlebih dahulu arahan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terkait porsi makan pada perut yang benar. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallahu ‘anhu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما مَلَأَ ابنُ آدَمَ وِعاءً شَرًّا من بَطنٍ، بحَسْبِ ابنِ آدَمَ أكَلاتٍ يُقِمْنَ صُلْبَه، فإنْ كانَ لا مَحالةَ؛ فثُلُثٌ لطَعامِه، وثُلُثٌ لشَرابِه، وثُلُثٌ لنَفَسِه. “Tidak ada wadah paling buruk yang diisi oleh anak keturunan Adam daripada perut. Cukup bagi anak keturunan Adam beberapa suap saja untuk menegakkan punggungnya. Jika memang tidak bisa (hanya segitu), maka sepertiga (perut) untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk nafasnya.” (HR. Tirmidzi no. 2380, Ibnu Majah no. 3349, dan Ahmad no. 17186) Ibnu Rajab rahimahullah mengomentari hadis ini dengan mengatakan, “Hadis ini adalah pondasi untuk seluruh ilmu kesehatan. Dan diriwayatkan bahwa Ibnu Masawaih, sang Dokter mengatakan tatkala membaca hadis ini, ‘Andaikan semua manusia menggunakan panduan ini, niscaya mereka semua akan selamat dari berbagai penyakit, lantas toko-toko obat akan bangkrut.’ Tidaklah kalimat ini diucapkan, melainkan karena asal muasal dari segala penyakit adalah kerakusan.” [1] Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah mengatakan dalam kitab Thibbun Nabawi-nya, مراتب الغذاء ثلاثة: أحدها: مرتبة الحاجة, والثانية: مرتبة الكفاية, والثالثة: مرتبة الفضلة “Tingkatan makan ada tiga: Pertama, tingkatan butuh; Kedua, tingkatan cukup; dan Ketiga, tingkatan berlebihan.” [2] Dari hadis yang disebutkan di atas, juga komentar dan perkataan ulama, dapat disimpulkan bahwa makan yang berlebihan adalah makan yang mengisi lebih dari sepertiga perut. Juga jika merujuk pada perkataan Ibnul Qayyim, maka makan yang berlebihan adalah makan yang sudah melebihi batas butuh (sekadar menghilangkan rasa kenyang) atau cukup (tidak sampai kekenyangan). Adapun selain keduanya, maka sudah masuk ke dalam kategori makan yang berlebihan. Dewasa ini, seringkali kita temui fenomena makan berlebihan yang justru dinormalisasi, dari mulai konten-konten makan-makan di YouTube, konten challenging, dan semisalnya. Jika kita sudah mengetahui patokan kapan aktivitas makan dapat masuk ke dalam kategori overdosis makan atau makan yang berlebihan, juga kita sudah tahu, bahkan tanpa dijelaskan rinci bagaimana saja contohnya, lantas apa yang salah dengan makan yang berlebihan? Adakah suatu akibat buruk atau efek samping? Bagaimana bisa memengaruhi hati dan dapat menjadi racun untuk hati? Dampak buruk makan berlebihan Setidaknya dampak buruk dari makan yang berlebihan dapat dilihat dari dua sisi. Dari segi kesehatan Dari segi kesehatan, terlalu banyak makan dapat menimbulkan berbagai efek samping sampai penyakit. Paling minimalnya adalah tubuh yang sulit untuk bergerak dan menjadi malas melakukan apa-apa tatkala kekenyangan. Efek samping lain yang lebih besar adalah timbulnya penyakit, seperti: obesitas, kolesterol, gagal ginjal, dan lain sebagainya, yang tidak lain dan tidak bukan bahwa salah satu faktor terbesarnya adalah terlalu banyak makan. Dari segi agama Adapun dari segi agama, maka ada beberapa dampak buruk yang ditimbulkan dari makan yang berlebihan. Pertama: Melanggar anjuran yang disyariatkan Allah secara jelas dalam kitab-Nya dan berdampak akan tidak disukai oleh-Nya. Allah Ta’ala  berfirman, وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ “Dan makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31) Kedua: Membutakan hati dan membuatnya menjadi keras. Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, إن النفس إذا جاعت وعطشت صفا القلب ورق، وإذا شبعت عمي القلب “Sesungguhnya jiwa itu tatkala lapar dan haus, hatinya akan bersih dan lembut. Dan tatkala kenyang, hatinya akan menjadi buta.” Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah juga berkata, قسوة القلب من أربعة أشياء إذا جاوزت قدر الحاجة: الأكل والنوم والكلام والمخالطة “Kerasnya hati disebabkan oleh 4 hal ini bilamana melebihi kebutuhan (batas wajar), yaitu: makan, tidur, bicara, dan bergaul.” [3] Ketiga: Menjadi malas beribadah, dan ini adalah salah satu efek lanjutan dari buta dan kerasnya hati, juga bisa dikatakan sebagai bentuk sakitnya hati. Syekh Dr. Ahmad Farid menuturkan, وفضول الطعام داع إلى أنواع كثيرة من الشر, فإنه يحرك الجوارح إلى المعاصي ويثقلها عن الطاعات والعبادات, وحسبك بهذين شرأ “Terlalu banyak makan berefek pada banyak keburukan yang banyak sekali, karena sungguh (terlalu banyak makan) akan menggerakkan tubuh untuk melakukan maksiat dan juga memberatkan tubuh untuk melakukan ketaatan dan ibadah. Dan dua hal ini cukup menjadi keburukan.” Dalam beberapa atsar diriwayatkan sebuah perkataan, إذا امتلأت المعدة نامت الفكرة، وخرست الحكمة، وقعدت الأعضاء عن العبادة “Ketika perut penuh (kekenyangan), maka akal pikiran akan tertidur, kebijaksanaan akan terbungkam, serta anggota tubuh akan tertahan dari beribadah.” Betapa perihal perut dan makanan adalah hal yang krusial terutamanya karena berpengaruh pada kesehatan hati. Dosa yang didapat dari melanggar perintah Allah, hati yang menjadi keras, tubuh yang malas beribadah, juga tubuh yang lebih suka melakukan maksiat. Semua itu seharusnya sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan kepada kita bahaya “overdosis” makan yang menjadi topik utama ada pembahasan ini. Bahkan, setan lebih suka dan lebih mudah menggoda seseorang ketika seseorang itu dalam keadaan kenyang. Siapa saja yang bisa menjaga dirinya dari nafsu makan yang porsinya melebihi porsi secukupnya, maka ia telah menjaga dirinya dari keburukan yang sangat besar. Untuk itu, Ibrahim bin Adham pernah berkata, من ضبط بطنه ضبط دينه ومن ملك جوعه ملك الأخلاق الصالحة فإن معصية الله بعيدة عن الجائع قريبة من الشعبان “Barangsiapa yang dapat menjaga perutnya, maka ia telah menjaga agamanya. Dan barangsiapa yang memiliki rasa lapar, maka ia telah memiliki akhlak yang baik. Karena sungguh maksiat kepada Allah itu jauh dari orang yang lapar dan justru dekat dengan orang yang kenyang.” Sebagai muslim, tidaklah selayaknya bagi kita untuk berlebihan dalam makan, yang mana hal tersebut hanyalah pemuas nafsu sesaat untuk dampak negatif yang parah dan berat. Bukankah kita tidak mau semangat ibadah dan berbagai kesempatan baik kita hilang begitu saja karena kita makan terlalu banyak? Sebagai percontohan, ada beberapa anjuran dan keteladanan yang perlu kita ketahui. Disebutkan dalam beberapa riwayat bahwa dahulu pemuda-pemuda Bani Israil biasa beribadah, dan apabila mereka berbuka puasa atau makan, salah seorang dari mereka menyerukan kepada yang lainnya, “Janganlah kalian banyak makan, kemudian akan banyak minum, kemudian akan banyak tidur, kemudian (karena hal-hal tersebut) kalian akan banyak merugi.” Perlu kita ketahui juga, bahwa teladan dan panutan kita serta keluarganya juga sudah mencontohkan perihal makan yang tidak terlalu banyak sampai kekenyangan. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ummul Mukminin, Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, ما شَبِعَ آلُ مُحَمَّدٍ ﷺ مُنْذُ قَدِمَ المَدِينَةَ مِن طَعامِ البُرِّ ثَلاثَ لَيالٍ تِباعًا، حتّى قُبِضَ “Keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sama sekali tidak pernah makan gandum sampai kenyang semenjak datang ke Madinah selama tiga malam berturut-turut sampai meninggal.” (HR. Bukhari no. 6454 dan Muslim no. 2970) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah memberi anjuran agar makan secukupnya dengan beberapa suap saja selain hadis yang telah disampaikan di awal. Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu yang menjelaskan bahwa porsi makan satu orang bisa untuk mencukupi lebih dari satu orang, طَعامُ الواحِدِ يَكْفِي الاثْنَيْنِ، وَطَعامُ الاثْنَيْنِ يَكْفِي الأرْبَعَةَ، وَطَعامُ الأرْبَعَةِ يَكْفِي الثَّمانِيَةَ “Porsi makan satu orang dapat mencukupi dua orang, sedangkan porsi makan dua orang dapat mencukupi empat orang, dan porsi makan empat orang dapat mencukupi delapan orang.” (HR. Muslim no. 2059) Perkara perut memang bukanlah perkara yang mudah, tetapi masih bisa dikendalikan. Tidak ada kata terlambat dan tidak mungkin bagi kita untuk mengubah pola dan mengendalikan nafsu makan kita, agar kita tidak terjerumus ke dalam bahayanya, baik dari segi kesehatan maupun dari segi agama. Dan yang terpenting, kita telah diberi anjuran dan dicontohkan keteladanan oleh junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Terakhir, mengenai nafsu perut yang membuat terlalu banyak makan, ada sebuah perkataan yang semoga dapat menjadi pengingat bagi kita, من كانت همته ما يدخل في بطنِهِ, كانت قِمّته ما يخرج من بطنِهِ “Barangsiapa yang orientasi perhatiannya adalah apa yang masuk ke perutnya, maka hasilnya (sama seperti) apa yang keluar dari perutnya.” Semoga yang sedikit ini bermanfaat dan semoga Allah selalu memberi taufik kepada kita semua agar dapat dan tetap dapat mengendalikan nafsu makan, sehingga hal makan sebagai hal sentral dalam kebutuhan hidup tidak menjadi bumerang yang malah menyerang tubuh, hati, dan agama kita. Kembali ke bagian 2: Empat Overdosis Penyebab Hati Keracunan (Bag. 2) Lanjut ke bagian 4: Bersambung *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 424. [2] Thibbun Nabawi, hal. 13. [3] Syarhu Kitabil Fawa’id. Tags: keracunanoverdosis


Daftar Isi Toggle Bagian 3: Overdosis MakanDampak buruk makan berlebihanDari segi kesehatanDari segi agama Bagian 3: Overdosis Makan Tahukah Anda, bahwa makan bisa mengotori dan meracuni hati? Bagaimana bisa? Makan adalah kebutuhan mendasar bagi manusia untuk memastikan keberlangsungan hidup. Bagi seorang muslim, makan bukan hanya tentang suplai energi untuk tubuh saja, tetapi juga tentang mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah Ta’ala kepada kita dan mempergunakan energi yang didapat untuk beribadah kepada-Nya. Makanan yang kita makan sangat berpengaruh pada tubuh dan kehidupan kita. Oleh karena itu, Islam mengatur perkara adab-adab yang berkaitan dengan makan. Allah pun memerintahkan untuk hanya memakan yang halal dan baik saja, sebagaimana dalam firman-Nya, يَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُوا۟ مِمَّا فِى ٱلْأَرْضِ حَلَـٰلًۭا طَيِّبًۭا وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَـٰنِ ۚ “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan.” (QS. Al-Baqarah: 168) Ayat di atas menjelaskan tentang harusnya mengonsumsi makanan yang halal lagi baik, baik secara zat, proses pembuatan, pengolahan, maupun cara memperolehnya. Namun, pada artikel kali ini, kita tidak akan membahas lebih dalam tentang kehalalan makanan ataupun merinci adab-adab makan, tetapi kita akan membahas bahwa makan bisa mengotori, bahkan sampai meracuni hati. Pembahasan kali ini sebagai overdosis yang bisa menjadi racun hati yang ketiga, yaitu overdosis makan atau terlalu banyak makan atau makan berlebihan. Mari kita bahas lebih lanjut! Bagaimanakah bentuk overdosis makan itu? Untuk mengetahui itu, hendaknya kita memahami terlebih dahulu arahan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terkait porsi makan pada perut yang benar. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallahu ‘anhu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما مَلَأَ ابنُ آدَمَ وِعاءً شَرًّا من بَطنٍ، بحَسْبِ ابنِ آدَمَ أكَلاتٍ يُقِمْنَ صُلْبَه، فإنْ كانَ لا مَحالةَ؛ فثُلُثٌ لطَعامِه، وثُلُثٌ لشَرابِه، وثُلُثٌ لنَفَسِه. “Tidak ada wadah paling buruk yang diisi oleh anak keturunan Adam daripada perut. Cukup bagi anak keturunan Adam beberapa suap saja untuk menegakkan punggungnya. Jika memang tidak bisa (hanya segitu), maka sepertiga (perut) untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk nafasnya.” (HR. Tirmidzi no. 2380, Ibnu Majah no. 3349, dan Ahmad no. 17186) Ibnu Rajab rahimahullah mengomentari hadis ini dengan mengatakan, “Hadis ini adalah pondasi untuk seluruh ilmu kesehatan. Dan diriwayatkan bahwa Ibnu Masawaih, sang Dokter mengatakan tatkala membaca hadis ini, ‘Andaikan semua manusia menggunakan panduan ini, niscaya mereka semua akan selamat dari berbagai penyakit, lantas toko-toko obat akan bangkrut.’ Tidaklah kalimat ini diucapkan, melainkan karena asal muasal dari segala penyakit adalah kerakusan.” [1] Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah mengatakan dalam kitab Thibbun Nabawi-nya, مراتب الغذاء ثلاثة: أحدها: مرتبة الحاجة, والثانية: مرتبة الكفاية, والثالثة: مرتبة الفضلة “Tingkatan makan ada tiga: Pertama, tingkatan butuh; Kedua, tingkatan cukup; dan Ketiga, tingkatan berlebihan.” [2] Dari hadis yang disebutkan di atas, juga komentar dan perkataan ulama, dapat disimpulkan bahwa makan yang berlebihan adalah makan yang mengisi lebih dari sepertiga perut. Juga jika merujuk pada perkataan Ibnul Qayyim, maka makan yang berlebihan adalah makan yang sudah melebihi batas butuh (sekadar menghilangkan rasa kenyang) atau cukup (tidak sampai kekenyangan). Adapun selain keduanya, maka sudah masuk ke dalam kategori makan yang berlebihan. Dewasa ini, seringkali kita temui fenomena makan berlebihan yang justru dinormalisasi, dari mulai konten-konten makan-makan di YouTube, konten challenging, dan semisalnya. Jika kita sudah mengetahui patokan kapan aktivitas makan dapat masuk ke dalam kategori overdosis makan atau makan yang berlebihan, juga kita sudah tahu, bahkan tanpa dijelaskan rinci bagaimana saja contohnya, lantas apa yang salah dengan makan yang berlebihan? Adakah suatu akibat buruk atau efek samping? Bagaimana bisa memengaruhi hati dan dapat menjadi racun untuk hati? Dampak buruk makan berlebihan Setidaknya dampak buruk dari makan yang berlebihan dapat dilihat dari dua sisi. Dari segi kesehatan Dari segi kesehatan, terlalu banyak makan dapat menimbulkan berbagai efek samping sampai penyakit. Paling minimalnya adalah tubuh yang sulit untuk bergerak dan menjadi malas melakukan apa-apa tatkala kekenyangan. Efek samping lain yang lebih besar adalah timbulnya penyakit, seperti: obesitas, kolesterol, gagal ginjal, dan lain sebagainya, yang tidak lain dan tidak bukan bahwa salah satu faktor terbesarnya adalah terlalu banyak makan. Dari segi agama Adapun dari segi agama, maka ada beberapa dampak buruk yang ditimbulkan dari makan yang berlebihan. Pertama: Melanggar anjuran yang disyariatkan Allah secara jelas dalam kitab-Nya dan berdampak akan tidak disukai oleh-Nya. Allah Ta’ala  berfirman, وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ “Dan makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31) Kedua: Membutakan hati dan membuatnya menjadi keras. Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, إن النفس إذا جاعت وعطشت صفا القلب ورق، وإذا شبعت عمي القلب “Sesungguhnya jiwa itu tatkala lapar dan haus, hatinya akan bersih dan lembut. Dan tatkala kenyang, hatinya akan menjadi buta.” Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah juga berkata, قسوة القلب من أربعة أشياء إذا جاوزت قدر الحاجة: الأكل والنوم والكلام والمخالطة “Kerasnya hati disebabkan oleh 4 hal ini bilamana melebihi kebutuhan (batas wajar), yaitu: makan, tidur, bicara, dan bergaul.” [3] Ketiga: Menjadi malas beribadah, dan ini adalah salah satu efek lanjutan dari buta dan kerasnya hati, juga bisa dikatakan sebagai bentuk sakitnya hati. Syekh Dr. Ahmad Farid menuturkan, وفضول الطعام داع إلى أنواع كثيرة من الشر, فإنه يحرك الجوارح إلى المعاصي ويثقلها عن الطاعات والعبادات, وحسبك بهذين شرأ “Terlalu banyak makan berefek pada banyak keburukan yang banyak sekali, karena sungguh (terlalu banyak makan) akan menggerakkan tubuh untuk melakukan maksiat dan juga memberatkan tubuh untuk melakukan ketaatan dan ibadah. Dan dua hal ini cukup menjadi keburukan.” Dalam beberapa atsar diriwayatkan sebuah perkataan, إذا امتلأت المعدة نامت الفكرة، وخرست الحكمة، وقعدت الأعضاء عن العبادة “Ketika perut penuh (kekenyangan), maka akal pikiran akan tertidur, kebijaksanaan akan terbungkam, serta anggota tubuh akan tertahan dari beribadah.” Betapa perihal perut dan makanan adalah hal yang krusial terutamanya karena berpengaruh pada kesehatan hati. Dosa yang didapat dari melanggar perintah Allah, hati yang menjadi keras, tubuh yang malas beribadah, juga tubuh yang lebih suka melakukan maksiat. Semua itu seharusnya sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan kepada kita bahaya “overdosis” makan yang menjadi topik utama ada pembahasan ini. Bahkan, setan lebih suka dan lebih mudah menggoda seseorang ketika seseorang itu dalam keadaan kenyang. Siapa saja yang bisa menjaga dirinya dari nafsu makan yang porsinya melebihi porsi secukupnya, maka ia telah menjaga dirinya dari keburukan yang sangat besar. Untuk itu, Ibrahim bin Adham pernah berkata, من ضبط بطنه ضبط دينه ومن ملك جوعه ملك الأخلاق الصالحة فإن معصية الله بعيدة عن الجائع قريبة من الشعبان “Barangsiapa yang dapat menjaga perutnya, maka ia telah menjaga agamanya. Dan barangsiapa yang memiliki rasa lapar, maka ia telah memiliki akhlak yang baik. Karena sungguh maksiat kepada Allah itu jauh dari orang yang lapar dan justru dekat dengan orang yang kenyang.” Sebagai muslim, tidaklah selayaknya bagi kita untuk berlebihan dalam makan, yang mana hal tersebut hanyalah pemuas nafsu sesaat untuk dampak negatif yang parah dan berat. Bukankah kita tidak mau semangat ibadah dan berbagai kesempatan baik kita hilang begitu saja karena kita makan terlalu banyak? Sebagai percontohan, ada beberapa anjuran dan keteladanan yang perlu kita ketahui. Disebutkan dalam beberapa riwayat bahwa dahulu pemuda-pemuda Bani Israil biasa beribadah, dan apabila mereka berbuka puasa atau makan, salah seorang dari mereka menyerukan kepada yang lainnya, “Janganlah kalian banyak makan, kemudian akan banyak minum, kemudian akan banyak tidur, kemudian (karena hal-hal tersebut) kalian akan banyak merugi.” Perlu kita ketahui juga, bahwa teladan dan panutan kita serta keluarganya juga sudah mencontohkan perihal makan yang tidak terlalu banyak sampai kekenyangan. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ummul Mukminin, Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, ما شَبِعَ آلُ مُحَمَّدٍ ﷺ مُنْذُ قَدِمَ المَدِينَةَ مِن طَعامِ البُرِّ ثَلاثَ لَيالٍ تِباعًا، حتّى قُبِضَ “Keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sama sekali tidak pernah makan gandum sampai kenyang semenjak datang ke Madinah selama tiga malam berturut-turut sampai meninggal.” (HR. Bukhari no. 6454 dan Muslim no. 2970) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah memberi anjuran agar makan secukupnya dengan beberapa suap saja selain hadis yang telah disampaikan di awal. Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu yang menjelaskan bahwa porsi makan satu orang bisa untuk mencukupi lebih dari satu orang, طَعامُ الواحِدِ يَكْفِي الاثْنَيْنِ، وَطَعامُ الاثْنَيْنِ يَكْفِي الأرْبَعَةَ، وَطَعامُ الأرْبَعَةِ يَكْفِي الثَّمانِيَةَ “Porsi makan satu orang dapat mencukupi dua orang, sedangkan porsi makan dua orang dapat mencukupi empat orang, dan porsi makan empat orang dapat mencukupi delapan orang.” (HR. Muslim no. 2059) Perkara perut memang bukanlah perkara yang mudah, tetapi masih bisa dikendalikan. Tidak ada kata terlambat dan tidak mungkin bagi kita untuk mengubah pola dan mengendalikan nafsu makan kita, agar kita tidak terjerumus ke dalam bahayanya, baik dari segi kesehatan maupun dari segi agama. Dan yang terpenting, kita telah diberi anjuran dan dicontohkan keteladanan oleh junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Terakhir, mengenai nafsu perut yang membuat terlalu banyak makan, ada sebuah perkataan yang semoga dapat menjadi pengingat bagi kita, من كانت همته ما يدخل في بطنِهِ, كانت قِمّته ما يخرج من بطنِهِ “Barangsiapa yang orientasi perhatiannya adalah apa yang masuk ke perutnya, maka hasilnya (sama seperti) apa yang keluar dari perutnya.” Semoga yang sedikit ini bermanfaat dan semoga Allah selalu memberi taufik kepada kita semua agar dapat dan tetap dapat mengendalikan nafsu makan, sehingga hal makan sebagai hal sentral dalam kebutuhan hidup tidak menjadi bumerang yang malah menyerang tubuh, hati, dan agama kita. Kembali ke bagian 2: Empat Overdosis Penyebab Hati Keracunan (Bag. 2) Lanjut ke bagian 4: Bersambung *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 424. [2] Thibbun Nabawi, hal. 13. [3] Syarhu Kitabil Fawa’id. Tags: keracunanoverdosis

Ciri-Ciri Orang yang Bertobat 

خصال التائبين قال الحافظ ابن كثير رحمه الله: وخصال التائب قد ذكرها الله في آخر سورة براءة، فقال: ﴿‌التَّائِبُونَ ‌الْعَابِدُونَ﴾. Al-Hafiz Ibnu Katsir Raẖimahullāh berkata bahwa ciri-ciri orang yang bertobat telah disebutkan oleh Allah di akhir surat al-Bara’ah (at-Taubah). Allah berfirman: التَّائِبُونَ ‌الْعَابِدُونَ Artinya:  “Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat, beribadah…” (QS. At-Taubah: 112) فلا بد للتائب من العبادة والاشتغال بالعمل للآخرة، وإلا فالنفس همامة متحركة، إن لم تشغلها بالحق وإلا شغلتك بالباطل، فلا بد للتائب من أن يبدل تلك الأوقات التي مرت له في المعاصي بأوقات الطاعات، وأن يتدارك ما فرط فيها، وأن يبدل تلك الخطواتِ بخطوات إلى الخير، ويحفظ لحظاتِه وخطواتِه، ولفظاتِه وخطراتِه… Orang yang bertobat harus beribadah dan menyibukkan diri dengan amalan akhirat, karena jika tidak, jiwa manusia adalah keinginan yang terus bergerak, sehingga jika Anda tidak menyibukkannya dalam kebenaran, jiwa Anda yang akan menyibukkan Anda dalam kebatilan. Orang yang tobat harus mengganti waktu-waktunya yang dulu dia lalui dalam maksiat dengan waktu-waktu dalam ketaatan, menyempurnakan apa yang dahulu dia lalaikan, mengganti langkah-langkah yang dulu dengan langkah-langkah menuju kebaikan, dan menjaga setiap detik, langkah, kata, dan pikirannya. ثم قال الله تعالى: ﴿الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ﴾ الآية. Kemudian Allah Subẖānahu wa Ta’ālā berfirman: الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ Artinya:  “…memuji (Allah), berpuasa, rukuk, sujud…” hingga akhir ayat surat at-Taubah: 112. فهذه خصال التائب كما قال تعالى: ﴿التَّائِبُونَ﴾. Inilah ciri-ciri orang yang bertobat, sebagaimana firman-Nya:  التَّائِبُونَ Artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat…” (QS. At-Taubah: 112) فكأن قائلًا يقول: من هم؟ قيل: هم العابدون السائحون إلى آخر الآية، وإلا فكل تائب لم يتلبس بعد توبته بما يقربه إلى من تاب إليه فهو في بعد وإدبار، لا في قرب وإقبال، كما يفعل من اغتر بالله من المعاصي المحظورات، ويدع الطاعات، فإن ترك الطاعات وفعل المعاصي أشد وأعظم من ارتكاب المحرمات بالشهوة النفسية. Seolah-olah seseorang bertanya: “Siapa mereka?” Lalu dijawab: “Mereka adalah orang-orang yang beribadah, berpuasa…” dan seterusnya.  Jika tidak demikian, setiap orang yang bertobat tapi setelah tobatnya tidak menyibukkan diri dengan apa yang bisa mendekatkan dirinya kepada Zat Yang Menerima tobatnya, maka hakikatnya dia sedang jauh dan berpaling, bukan dekat dan mendekat. Ini seperti orang yang teperdaya dengan (ampunan) Allah sehingga berbuat dosa-dosa yang terlarang dan meninggalkan ketaatan, karena meninggalkan ketaatan dan melakukan kemaksiatan seperti ini lebih berat dan besar akibatnya daripada melakukan larangan karena mengikuti hawa nafsu. فالتائب هو من اتقى المحذورات، وفعل المأمورات، وصبر على المقدورات”. البداية والنهاية (9/164) Jadi, orang yang bertobat adalah orang yang menjauhi larangan-larangan-Nya, menjalankan perintah-perintah-Nya, dan bersabar dengan semua ketetapan-Nya. (Al-Bidāyah wa an-Nihāyah, 9/164) Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin al-Abbad al-Badr Sumber: https://www.al-badr.net/muqolat/6696PDF Sumber Artikel. 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 889 times, 3 visit(s) today Post Views: 1,077 QRIS donasi Yufid

Ciri-Ciri Orang yang Bertobat 

خصال التائبين قال الحافظ ابن كثير رحمه الله: وخصال التائب قد ذكرها الله في آخر سورة براءة، فقال: ﴿‌التَّائِبُونَ ‌الْعَابِدُونَ﴾. Al-Hafiz Ibnu Katsir Raẖimahullāh berkata bahwa ciri-ciri orang yang bertobat telah disebutkan oleh Allah di akhir surat al-Bara’ah (at-Taubah). Allah berfirman: التَّائِبُونَ ‌الْعَابِدُونَ Artinya:  “Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat, beribadah…” (QS. At-Taubah: 112) فلا بد للتائب من العبادة والاشتغال بالعمل للآخرة، وإلا فالنفس همامة متحركة، إن لم تشغلها بالحق وإلا شغلتك بالباطل، فلا بد للتائب من أن يبدل تلك الأوقات التي مرت له في المعاصي بأوقات الطاعات، وأن يتدارك ما فرط فيها، وأن يبدل تلك الخطواتِ بخطوات إلى الخير، ويحفظ لحظاتِه وخطواتِه، ولفظاتِه وخطراتِه… Orang yang bertobat harus beribadah dan menyibukkan diri dengan amalan akhirat, karena jika tidak, jiwa manusia adalah keinginan yang terus bergerak, sehingga jika Anda tidak menyibukkannya dalam kebenaran, jiwa Anda yang akan menyibukkan Anda dalam kebatilan. Orang yang tobat harus mengganti waktu-waktunya yang dulu dia lalui dalam maksiat dengan waktu-waktu dalam ketaatan, menyempurnakan apa yang dahulu dia lalaikan, mengganti langkah-langkah yang dulu dengan langkah-langkah menuju kebaikan, dan menjaga setiap detik, langkah, kata, dan pikirannya. ثم قال الله تعالى: ﴿الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ﴾ الآية. Kemudian Allah Subẖānahu wa Ta’ālā berfirman: الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ Artinya:  “…memuji (Allah), berpuasa, rukuk, sujud…” hingga akhir ayat surat at-Taubah: 112. فهذه خصال التائب كما قال تعالى: ﴿التَّائِبُونَ﴾. Inilah ciri-ciri orang yang bertobat, sebagaimana firman-Nya:  التَّائِبُونَ Artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat…” (QS. At-Taubah: 112) فكأن قائلًا يقول: من هم؟ قيل: هم العابدون السائحون إلى آخر الآية، وإلا فكل تائب لم يتلبس بعد توبته بما يقربه إلى من تاب إليه فهو في بعد وإدبار، لا في قرب وإقبال، كما يفعل من اغتر بالله من المعاصي المحظورات، ويدع الطاعات، فإن ترك الطاعات وفعل المعاصي أشد وأعظم من ارتكاب المحرمات بالشهوة النفسية. Seolah-olah seseorang bertanya: “Siapa mereka?” Lalu dijawab: “Mereka adalah orang-orang yang beribadah, berpuasa…” dan seterusnya.  Jika tidak demikian, setiap orang yang bertobat tapi setelah tobatnya tidak menyibukkan diri dengan apa yang bisa mendekatkan dirinya kepada Zat Yang Menerima tobatnya, maka hakikatnya dia sedang jauh dan berpaling, bukan dekat dan mendekat. Ini seperti orang yang teperdaya dengan (ampunan) Allah sehingga berbuat dosa-dosa yang terlarang dan meninggalkan ketaatan, karena meninggalkan ketaatan dan melakukan kemaksiatan seperti ini lebih berat dan besar akibatnya daripada melakukan larangan karena mengikuti hawa nafsu. فالتائب هو من اتقى المحذورات، وفعل المأمورات، وصبر على المقدورات”. البداية والنهاية (9/164) Jadi, orang yang bertobat adalah orang yang menjauhi larangan-larangan-Nya, menjalankan perintah-perintah-Nya, dan bersabar dengan semua ketetapan-Nya. (Al-Bidāyah wa an-Nihāyah, 9/164) Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin al-Abbad al-Badr Sumber: https://www.al-badr.net/muqolat/6696PDF Sumber Artikel. 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 889 times, 3 visit(s) today Post Views: 1,077 QRIS donasi Yufid
خصال التائبين قال الحافظ ابن كثير رحمه الله: وخصال التائب قد ذكرها الله في آخر سورة براءة، فقال: ﴿‌التَّائِبُونَ ‌الْعَابِدُونَ﴾. Al-Hafiz Ibnu Katsir Raẖimahullāh berkata bahwa ciri-ciri orang yang bertobat telah disebutkan oleh Allah di akhir surat al-Bara’ah (at-Taubah). Allah berfirman: التَّائِبُونَ ‌الْعَابِدُونَ Artinya:  “Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat, beribadah…” (QS. At-Taubah: 112) فلا بد للتائب من العبادة والاشتغال بالعمل للآخرة، وإلا فالنفس همامة متحركة، إن لم تشغلها بالحق وإلا شغلتك بالباطل، فلا بد للتائب من أن يبدل تلك الأوقات التي مرت له في المعاصي بأوقات الطاعات، وأن يتدارك ما فرط فيها، وأن يبدل تلك الخطواتِ بخطوات إلى الخير، ويحفظ لحظاتِه وخطواتِه، ولفظاتِه وخطراتِه… Orang yang bertobat harus beribadah dan menyibukkan diri dengan amalan akhirat, karena jika tidak, jiwa manusia adalah keinginan yang terus bergerak, sehingga jika Anda tidak menyibukkannya dalam kebenaran, jiwa Anda yang akan menyibukkan Anda dalam kebatilan. Orang yang tobat harus mengganti waktu-waktunya yang dulu dia lalui dalam maksiat dengan waktu-waktu dalam ketaatan, menyempurnakan apa yang dahulu dia lalaikan, mengganti langkah-langkah yang dulu dengan langkah-langkah menuju kebaikan, dan menjaga setiap detik, langkah, kata, dan pikirannya. ثم قال الله تعالى: ﴿الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ﴾ الآية. Kemudian Allah Subẖānahu wa Ta’ālā berfirman: الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ Artinya:  “…memuji (Allah), berpuasa, rukuk, sujud…” hingga akhir ayat surat at-Taubah: 112. فهذه خصال التائب كما قال تعالى: ﴿التَّائِبُونَ﴾. Inilah ciri-ciri orang yang bertobat, sebagaimana firman-Nya:  التَّائِبُونَ Artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat…” (QS. At-Taubah: 112) فكأن قائلًا يقول: من هم؟ قيل: هم العابدون السائحون إلى آخر الآية، وإلا فكل تائب لم يتلبس بعد توبته بما يقربه إلى من تاب إليه فهو في بعد وإدبار، لا في قرب وإقبال، كما يفعل من اغتر بالله من المعاصي المحظورات، ويدع الطاعات، فإن ترك الطاعات وفعل المعاصي أشد وأعظم من ارتكاب المحرمات بالشهوة النفسية. Seolah-olah seseorang bertanya: “Siapa mereka?” Lalu dijawab: “Mereka adalah orang-orang yang beribadah, berpuasa…” dan seterusnya.  Jika tidak demikian, setiap orang yang bertobat tapi setelah tobatnya tidak menyibukkan diri dengan apa yang bisa mendekatkan dirinya kepada Zat Yang Menerima tobatnya, maka hakikatnya dia sedang jauh dan berpaling, bukan dekat dan mendekat. Ini seperti orang yang teperdaya dengan (ampunan) Allah sehingga berbuat dosa-dosa yang terlarang dan meninggalkan ketaatan, karena meninggalkan ketaatan dan melakukan kemaksiatan seperti ini lebih berat dan besar akibatnya daripada melakukan larangan karena mengikuti hawa nafsu. فالتائب هو من اتقى المحذورات، وفعل المأمورات، وصبر على المقدورات”. البداية والنهاية (9/164) Jadi, orang yang bertobat adalah orang yang menjauhi larangan-larangan-Nya, menjalankan perintah-perintah-Nya, dan bersabar dengan semua ketetapan-Nya. (Al-Bidāyah wa an-Nihāyah, 9/164) Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin al-Abbad al-Badr Sumber: https://www.al-badr.net/muqolat/6696PDF Sumber Artikel. 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 889 times, 3 visit(s) today Post Views: 1,077 QRIS donasi Yufid


خصال التائبين قال الحافظ ابن كثير رحمه الله: وخصال التائب قد ذكرها الله في آخر سورة براءة، فقال: ﴿‌التَّائِبُونَ ‌الْعَابِدُونَ﴾. Al-Hafiz Ibnu Katsir Raẖimahullāh berkata bahwa ciri-ciri orang yang bertobat telah disebutkan oleh Allah di akhir surat al-Bara’ah (at-Taubah). Allah berfirman: التَّائِبُونَ ‌الْعَابِدُونَ Artinya:  “Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat, beribadah…” (QS. At-Taubah: 112) فلا بد للتائب من العبادة والاشتغال بالعمل للآخرة، وإلا فالنفس همامة متحركة، إن لم تشغلها بالحق وإلا شغلتك بالباطل، فلا بد للتائب من أن يبدل تلك الأوقات التي مرت له في المعاصي بأوقات الطاعات، وأن يتدارك ما فرط فيها، وأن يبدل تلك الخطواتِ بخطوات إلى الخير، ويحفظ لحظاتِه وخطواتِه، ولفظاتِه وخطراتِه… Orang yang bertobat harus beribadah dan menyibukkan diri dengan amalan akhirat, karena jika tidak, jiwa manusia adalah keinginan yang terus bergerak, sehingga jika Anda tidak menyibukkannya dalam kebenaran, jiwa Anda yang akan menyibukkan Anda dalam kebatilan. Orang yang tobat harus mengganti waktu-waktunya yang dulu dia lalui dalam maksiat dengan waktu-waktu dalam ketaatan, menyempurnakan apa yang dahulu dia lalaikan, mengganti langkah-langkah yang dulu dengan langkah-langkah menuju kebaikan, dan menjaga setiap detik, langkah, kata, dan pikirannya. ثم قال الله تعالى: ﴿الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ﴾ الآية. Kemudian Allah Subẖānahu wa Ta’ālā berfirman: الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ Artinya:  “…memuji (Allah), berpuasa, rukuk, sujud…” hingga akhir ayat surat at-Taubah: 112. فهذه خصال التائب كما قال تعالى: ﴿التَّائِبُونَ﴾. Inilah ciri-ciri orang yang bertobat, sebagaimana firman-Nya:  التَّائِبُونَ Artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat…” (QS. At-Taubah: 112) فكأن قائلًا يقول: من هم؟ قيل: هم العابدون السائحون إلى آخر الآية، وإلا فكل تائب لم يتلبس بعد توبته بما يقربه إلى من تاب إليه فهو في بعد وإدبار، لا في قرب وإقبال، كما يفعل من اغتر بالله من المعاصي المحظورات، ويدع الطاعات، فإن ترك الطاعات وفعل المعاصي أشد وأعظم من ارتكاب المحرمات بالشهوة النفسية. Seolah-olah seseorang bertanya: “Siapa mereka?” Lalu dijawab: “Mereka adalah orang-orang yang beribadah, berpuasa…” dan seterusnya.  Jika tidak demikian, setiap orang yang bertobat tapi setelah tobatnya tidak menyibukkan diri dengan apa yang bisa mendekatkan dirinya kepada Zat Yang Menerima tobatnya, maka hakikatnya dia sedang jauh dan berpaling, bukan dekat dan mendekat. Ini seperti orang yang teperdaya dengan (ampunan) Allah sehingga berbuat dosa-dosa yang terlarang dan meninggalkan ketaatan, karena meninggalkan ketaatan dan melakukan kemaksiatan seperti ini lebih berat dan besar akibatnya daripada melakukan larangan karena mengikuti hawa nafsu. فالتائب هو من اتقى المحذورات، وفعل المأمورات، وصبر على المقدورات”. البداية والنهاية (9/164) Jadi, orang yang bertobat adalah orang yang menjauhi larangan-larangan-Nya, menjalankan perintah-perintah-Nya, dan bersabar dengan semua ketetapan-Nya. (Al-Bidāyah wa an-Nihāyah, 9/164) Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin al-Abbad al-Badr Sumber: https://www.al-badr.net/muqolat/6696PDF Sumber Artikel. 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 889 times, 3 visit(s) today Post Views: 1,077 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Kaidah Fikih: Bersama Kesulitan Terdapat Kemudahan

Daftar Isi Toggle Bersama kesulitan terdapat kemudahanKaidah ini adalah kaidah yang agungAmalan ditinjau dari segi kemampuanDalil-dalil yang berkaitan dengan kaidah iniRukun Islam sebagai pondasi yang penuh dengan kemudahanBentuk-bentuk kemudahan yang Allah Ta’ala berikanKesimpulan Bersama kesulitan terdapat kemudahan Di dalam kaidah fikih terdapat sebuah kaidah, yaitu, المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْر “Bersama kesulitan terdapat kemudahan.” Kaidah ini adalah kaidah yang agung Ini adalah sebuah kaidah yang sangat agung. Kaidah agama yang dibangun di atas cinta, kasih sayang, dan kemudahan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ “Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.” (QS. Al-Hajj: 78) Amalan ditinjau dari segi kemampuan Allah tidak menjadikan agama ini sebagai sesuatu yang sulit dan sukar untuk hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, terkait dengan amalan di dalam agama ini setidaknya terdapat dua jenis, yaitu: Pertama: Jenis amalan yang seorang hamba tidak mampu untuk mengerjakannya. Maka, dalam hal ini Allah tidak membebani hamba-hamba-Nya untuk hal tersebut. Di antara contoh hal ini adalah Puasa Wishal. Yaitu, seorang hamba melanjutkan puasa tanpa berbuka. Hal ini dimakruhkan oleh banyak ulama, sebagian ulama lagi mengharamkannya. Di antara yang mengharamkannya adalah Syekh Al-‘Utsaimin rahimahullah [1]. Karena terdapat larangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :  لا تُوَاصِلُوا . قَالُوا : إِنَّكَ تُوَاصِلُ . قَالَ : إِنِّي لَسْتُ مِثْلَكُمْ ، إِنِّي أَبِيتُ يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِينِي Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Janganlah kalian menyambung puasa kalian!’ Para sahabat berkata, ‘Sesungguhnya engkau menyambung puasa.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Sesungguhnya aku tidak sama seperti kalian. Aku bermalam, sedangkan Rabbku memberiku makan dan minum.” (HR. Bukhari no. 7299 dan Muslim no. 1103) Masih ada beberapa contoh lagi terkait dengan hal ini. Di antaranya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya melaksanakan salat tarawih secara berjemaah di awal-awal Ramadan. Kemudian, Nabi meninggalkan salat tarawih berjemaah karena khawatir akan diwajibkan dan akan menyulitkan umatnya. Kedua: Jenis amalan yang seorang hamba mampu untuk mengerjakannya, dan terdapat hikmah ketika seorang hamba mengerjakannya. Maka, Allah perintahkan hamba-hamba-Nya untuk mengerjakannya. Namun, bersamaan dengan perintah itu, jika terdapat kesulitan dan kesukaran, maka pasti akan ada keringanan dan kemudahan pada amalan tersebut. Bisa dengan digugurkan atau dengan diringankannya amalan itu. [2] Dalil-dalil yang berkaitan dengan kaidah ini Berikut ini dalil-dalil yang berkaitan dengan kaidah ini, يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran.” (QS. Al-Baqarah: 185) لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ “Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286) لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ “Allah tidak membebani kepada seseorang, melainkan (sesuai) dengan apa yang dianugerahkan Allah kepadanya.” (QS. At-Talaq: 7) فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ “Bertakwalah kamu kepada Allah sekuat kemampuanmu!” (QS. At-Taghabun: 16) [3] Ayat-ayat di atas adalah dalil yang menujukkan akan kaidah yang agung ini. Perlu diketahui, bahwa seluruh syariat agama ini begitu indah dan toleran. Agama ini dibangun di atas tauhid dan peribadatan kepada Allah Ta’ala dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Bersamaan dengan itu, agama ini penuh akan kemudahan di dalam hukum-hukum dan amalan-amalannya. Baca juga: Doa Saat Semua Terasa Sulit Rukun Islam sebagai pondasi yang penuh dengan kemudahan Seperti halnya salat lima waktu yang diwajibkan sehari semalam. Bisa dikatakan salat lima waktu ini tidaklah mengambil waktu seorang hamba, kecuali sedikit saja. Zakat, yang mana seorang hamba mengeluarkan hartanya untuk membersihkannya, pun juga tidak mengambil harta yang banyak. Zakat hanya diambil dari harta-harta orang kaya dan bukan dari keseluruhan hamba. Itu pun hanya dikeluarkan satu tahun sekali. Puasa, tatkala seorang hamba menahan diri dari makan, minum, dan juga syahwatnya. Itu pun hanya diwajibkan satu bulan saja pada setiap tahunnya. Haji, tidaklah seorang hamba diwajibkan untuk berhaji, melainkan satu kali dalam seumur hidup. Lagi-lagi itu pun dengan syarat bagi yang mampu saja. Lihatlah amalan-amalan yang merupakan pondasi dari Islam. Rukun Islam itu sendiri dibangun di atas kemudahan. Apatah lagi amalan-amalan yang sifatnya furu’ (cabang) dari rukun-rukun Islam ini. Seperti kewajiban-kewajiban dan sunah-sunah yang lain. Bahkan, rukun Islam yang disebutkan di atas, keseluruhannya terdapat keringanan bagi mereka yang sulit dan tidak mampu untuk mengerjakannya. Bentuk-bentuk kemudahan yang Allah Ta’ala berikan Sungguh, Allah Ta’ala telah mensyariatkan banyak dari sebab-sebab yang memudahkan untuk mengamalkan ketaatan. Di antara bentuk kemudahan yang Allah berikan adalah: Pertama: Allah mensyariatkan untuk berjemaah dalam melaksanakan salat lima waktu, salat Jumat, dan salat Id. Sama halnya dengan berpuasa, seluruh orang-orang beriman berpuasa pada satu bulan yang sama. Tidaklah di antara mereka tidak berpuasa, kecuali karena uzur, baik sakit, safar, dan lain sebagainya. Haji pun demikian, Allah mensyariatkan haji secara beramai-ramai atau berjemaah. Karena tidak diragukan lagi bahwasanya berkumpul dalam melaksanakan suatu ibadah akan menghilangkan kesulitan dan akan membuat semangat orang-orang yang mengamalkannya. Bahkan, seringkali didapati mereka berlomba-lomba dalam kebaikan. Karena mereka tahu akan perbedaan pahala orang yang bersegera melaksanakan kebaikan dengan orang-orang yang lambat dalam melaksanakannya. Kedua: Bersamaan dengan kemudahan yang Allah berikan dari syariat ini, jika seorang hamba mendapati sebuah uzur atau kesulitan dalam mengamalkan syariat ini, maka terdapat solusi terbaik yang diberikan. Di antaranya dengan diringankan amalan tersebut. Sebagaimana kaidah yang sedang dibahas, “Bersama kesulitan terdapat kemudahan.” Contoh: Dalam keadaan sakit, jika seorang hamba tidak bisa menggunakan air untuk berwudu, maka ia bisa bertayamum dengan debu. Jika dalam keadaan sakitnya ia tidak mampu berdiri, maka ia bisa melaksanakan salat dalam keadaan duduk. Jika dalam keadaan duduk ia tidak mampu, maka bisa berbaring. Jika masih tidak mampu, maka ia bisa berisyarat dengan kepalanya. Orang yang safar, ia bisa meng-qashar dan menjamak salatnya. Ia pun bisa mengusap khuf baik ketika safar ataupun mukim. Siapa yang sakit atau safar, maka ia akan mendapatkan pahala sebagaimana ia beramal dalam keadaan sehat dan mukim. Dan masih banyak lagi kemudahan-kemudahan yang bisa didapati pada syariat ini. Namun, bukan berarti dengan kaidah ini seseorang menjadikan seluruh kewajiban dalam beragama adalah mudah. Tentu tidak diharapkan ketika seseorang mengetahui kaidah ini ia jadi terkesan “menggampangkan” syariat agama ini. Bahkan, ia bermudah-mudahan untuk mendapati uzur. Tentunya hal ini adalah sebuah kekeliruan dalam memahami kaidah ini. Kesimpulan Kaidah ini adalah kaidah yang sangat agung, dilandaskan berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an yang menunjukkan akan rahmat dan kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya dengan memudahkan syariat ini untuk diamalkan dan dikerjakan sesuai dengan kemampuan. Jika tidak mampu, maka terdapat opsi berikutnya yang memudahkan. Tentunya hal ini bukan untuk menggampangkan agama ini. Namun perlu diketahui bahwa ini merupakan rahmat dari Allah Tabaraka wa Ta’ala. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Baca juga: Benarkah Pahala Itu Sebanding dengan Tingkat Kesulitan Sebuah Amal? *** Depok, 5 Muharram 1445 H / 10 Juli 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. (Jilid 7) Al-Qawa’id wal-Ushul Al-Jami’ah wal-Furuq wat-Taqasim Al-Badi’ah An-Nafi’ah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. Syarhul Mumti’, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah. (Jilid 6)   Catatan kaki: [1] Syarhul Mumti’, 6: 438. [2] Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 23. [3] Al-Qawa’id wal-Ushul Al-Jami’ah, hal. 15. Tags: kaidah fikih

Kaidah Fikih: Bersama Kesulitan Terdapat Kemudahan

Daftar Isi Toggle Bersama kesulitan terdapat kemudahanKaidah ini adalah kaidah yang agungAmalan ditinjau dari segi kemampuanDalil-dalil yang berkaitan dengan kaidah iniRukun Islam sebagai pondasi yang penuh dengan kemudahanBentuk-bentuk kemudahan yang Allah Ta’ala berikanKesimpulan Bersama kesulitan terdapat kemudahan Di dalam kaidah fikih terdapat sebuah kaidah, yaitu, المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْر “Bersama kesulitan terdapat kemudahan.” Kaidah ini adalah kaidah yang agung Ini adalah sebuah kaidah yang sangat agung. Kaidah agama yang dibangun di atas cinta, kasih sayang, dan kemudahan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ “Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.” (QS. Al-Hajj: 78) Amalan ditinjau dari segi kemampuan Allah tidak menjadikan agama ini sebagai sesuatu yang sulit dan sukar untuk hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, terkait dengan amalan di dalam agama ini setidaknya terdapat dua jenis, yaitu: Pertama: Jenis amalan yang seorang hamba tidak mampu untuk mengerjakannya. Maka, dalam hal ini Allah tidak membebani hamba-hamba-Nya untuk hal tersebut. Di antara contoh hal ini adalah Puasa Wishal. Yaitu, seorang hamba melanjutkan puasa tanpa berbuka. Hal ini dimakruhkan oleh banyak ulama, sebagian ulama lagi mengharamkannya. Di antara yang mengharamkannya adalah Syekh Al-‘Utsaimin rahimahullah [1]. Karena terdapat larangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :  لا تُوَاصِلُوا . قَالُوا : إِنَّكَ تُوَاصِلُ . قَالَ : إِنِّي لَسْتُ مِثْلَكُمْ ، إِنِّي أَبِيتُ يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِينِي Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Janganlah kalian menyambung puasa kalian!’ Para sahabat berkata, ‘Sesungguhnya engkau menyambung puasa.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Sesungguhnya aku tidak sama seperti kalian. Aku bermalam, sedangkan Rabbku memberiku makan dan minum.” (HR. Bukhari no. 7299 dan Muslim no. 1103) Masih ada beberapa contoh lagi terkait dengan hal ini. Di antaranya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya melaksanakan salat tarawih secara berjemaah di awal-awal Ramadan. Kemudian, Nabi meninggalkan salat tarawih berjemaah karena khawatir akan diwajibkan dan akan menyulitkan umatnya. Kedua: Jenis amalan yang seorang hamba mampu untuk mengerjakannya, dan terdapat hikmah ketika seorang hamba mengerjakannya. Maka, Allah perintahkan hamba-hamba-Nya untuk mengerjakannya. Namun, bersamaan dengan perintah itu, jika terdapat kesulitan dan kesukaran, maka pasti akan ada keringanan dan kemudahan pada amalan tersebut. Bisa dengan digugurkan atau dengan diringankannya amalan itu. [2] Dalil-dalil yang berkaitan dengan kaidah ini Berikut ini dalil-dalil yang berkaitan dengan kaidah ini, يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran.” (QS. Al-Baqarah: 185) لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ “Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286) لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ “Allah tidak membebani kepada seseorang, melainkan (sesuai) dengan apa yang dianugerahkan Allah kepadanya.” (QS. At-Talaq: 7) فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ “Bertakwalah kamu kepada Allah sekuat kemampuanmu!” (QS. At-Taghabun: 16) [3] Ayat-ayat di atas adalah dalil yang menujukkan akan kaidah yang agung ini. Perlu diketahui, bahwa seluruh syariat agama ini begitu indah dan toleran. Agama ini dibangun di atas tauhid dan peribadatan kepada Allah Ta’ala dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Bersamaan dengan itu, agama ini penuh akan kemudahan di dalam hukum-hukum dan amalan-amalannya. Baca juga: Doa Saat Semua Terasa Sulit Rukun Islam sebagai pondasi yang penuh dengan kemudahan Seperti halnya salat lima waktu yang diwajibkan sehari semalam. Bisa dikatakan salat lima waktu ini tidaklah mengambil waktu seorang hamba, kecuali sedikit saja. Zakat, yang mana seorang hamba mengeluarkan hartanya untuk membersihkannya, pun juga tidak mengambil harta yang banyak. Zakat hanya diambil dari harta-harta orang kaya dan bukan dari keseluruhan hamba. Itu pun hanya dikeluarkan satu tahun sekali. Puasa, tatkala seorang hamba menahan diri dari makan, minum, dan juga syahwatnya. Itu pun hanya diwajibkan satu bulan saja pada setiap tahunnya. Haji, tidaklah seorang hamba diwajibkan untuk berhaji, melainkan satu kali dalam seumur hidup. Lagi-lagi itu pun dengan syarat bagi yang mampu saja. Lihatlah amalan-amalan yang merupakan pondasi dari Islam. Rukun Islam itu sendiri dibangun di atas kemudahan. Apatah lagi amalan-amalan yang sifatnya furu’ (cabang) dari rukun-rukun Islam ini. Seperti kewajiban-kewajiban dan sunah-sunah yang lain. Bahkan, rukun Islam yang disebutkan di atas, keseluruhannya terdapat keringanan bagi mereka yang sulit dan tidak mampu untuk mengerjakannya. Bentuk-bentuk kemudahan yang Allah Ta’ala berikan Sungguh, Allah Ta’ala telah mensyariatkan banyak dari sebab-sebab yang memudahkan untuk mengamalkan ketaatan. Di antara bentuk kemudahan yang Allah berikan adalah: Pertama: Allah mensyariatkan untuk berjemaah dalam melaksanakan salat lima waktu, salat Jumat, dan salat Id. Sama halnya dengan berpuasa, seluruh orang-orang beriman berpuasa pada satu bulan yang sama. Tidaklah di antara mereka tidak berpuasa, kecuali karena uzur, baik sakit, safar, dan lain sebagainya. Haji pun demikian, Allah mensyariatkan haji secara beramai-ramai atau berjemaah. Karena tidak diragukan lagi bahwasanya berkumpul dalam melaksanakan suatu ibadah akan menghilangkan kesulitan dan akan membuat semangat orang-orang yang mengamalkannya. Bahkan, seringkali didapati mereka berlomba-lomba dalam kebaikan. Karena mereka tahu akan perbedaan pahala orang yang bersegera melaksanakan kebaikan dengan orang-orang yang lambat dalam melaksanakannya. Kedua: Bersamaan dengan kemudahan yang Allah berikan dari syariat ini, jika seorang hamba mendapati sebuah uzur atau kesulitan dalam mengamalkan syariat ini, maka terdapat solusi terbaik yang diberikan. Di antaranya dengan diringankan amalan tersebut. Sebagaimana kaidah yang sedang dibahas, “Bersama kesulitan terdapat kemudahan.” Contoh: Dalam keadaan sakit, jika seorang hamba tidak bisa menggunakan air untuk berwudu, maka ia bisa bertayamum dengan debu. Jika dalam keadaan sakitnya ia tidak mampu berdiri, maka ia bisa melaksanakan salat dalam keadaan duduk. Jika dalam keadaan duduk ia tidak mampu, maka bisa berbaring. Jika masih tidak mampu, maka ia bisa berisyarat dengan kepalanya. Orang yang safar, ia bisa meng-qashar dan menjamak salatnya. Ia pun bisa mengusap khuf baik ketika safar ataupun mukim. Siapa yang sakit atau safar, maka ia akan mendapatkan pahala sebagaimana ia beramal dalam keadaan sehat dan mukim. Dan masih banyak lagi kemudahan-kemudahan yang bisa didapati pada syariat ini. Namun, bukan berarti dengan kaidah ini seseorang menjadikan seluruh kewajiban dalam beragama adalah mudah. Tentu tidak diharapkan ketika seseorang mengetahui kaidah ini ia jadi terkesan “menggampangkan” syariat agama ini. Bahkan, ia bermudah-mudahan untuk mendapati uzur. Tentunya hal ini adalah sebuah kekeliruan dalam memahami kaidah ini. Kesimpulan Kaidah ini adalah kaidah yang sangat agung, dilandaskan berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an yang menunjukkan akan rahmat dan kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya dengan memudahkan syariat ini untuk diamalkan dan dikerjakan sesuai dengan kemampuan. Jika tidak mampu, maka terdapat opsi berikutnya yang memudahkan. Tentunya hal ini bukan untuk menggampangkan agama ini. Namun perlu diketahui bahwa ini merupakan rahmat dari Allah Tabaraka wa Ta’ala. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Baca juga: Benarkah Pahala Itu Sebanding dengan Tingkat Kesulitan Sebuah Amal? *** Depok, 5 Muharram 1445 H / 10 Juli 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. (Jilid 7) Al-Qawa’id wal-Ushul Al-Jami’ah wal-Furuq wat-Taqasim Al-Badi’ah An-Nafi’ah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. Syarhul Mumti’, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah. (Jilid 6)   Catatan kaki: [1] Syarhul Mumti’, 6: 438. [2] Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 23. [3] Al-Qawa’id wal-Ushul Al-Jami’ah, hal. 15. Tags: kaidah fikih
Daftar Isi Toggle Bersama kesulitan terdapat kemudahanKaidah ini adalah kaidah yang agungAmalan ditinjau dari segi kemampuanDalil-dalil yang berkaitan dengan kaidah iniRukun Islam sebagai pondasi yang penuh dengan kemudahanBentuk-bentuk kemudahan yang Allah Ta’ala berikanKesimpulan Bersama kesulitan terdapat kemudahan Di dalam kaidah fikih terdapat sebuah kaidah, yaitu, المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْر “Bersama kesulitan terdapat kemudahan.” Kaidah ini adalah kaidah yang agung Ini adalah sebuah kaidah yang sangat agung. Kaidah agama yang dibangun di atas cinta, kasih sayang, dan kemudahan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ “Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.” (QS. Al-Hajj: 78) Amalan ditinjau dari segi kemampuan Allah tidak menjadikan agama ini sebagai sesuatu yang sulit dan sukar untuk hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, terkait dengan amalan di dalam agama ini setidaknya terdapat dua jenis, yaitu: Pertama: Jenis amalan yang seorang hamba tidak mampu untuk mengerjakannya. Maka, dalam hal ini Allah tidak membebani hamba-hamba-Nya untuk hal tersebut. Di antara contoh hal ini adalah Puasa Wishal. Yaitu, seorang hamba melanjutkan puasa tanpa berbuka. Hal ini dimakruhkan oleh banyak ulama, sebagian ulama lagi mengharamkannya. Di antara yang mengharamkannya adalah Syekh Al-‘Utsaimin rahimahullah [1]. Karena terdapat larangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :  لا تُوَاصِلُوا . قَالُوا : إِنَّكَ تُوَاصِلُ . قَالَ : إِنِّي لَسْتُ مِثْلَكُمْ ، إِنِّي أَبِيتُ يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِينِي Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Janganlah kalian menyambung puasa kalian!’ Para sahabat berkata, ‘Sesungguhnya engkau menyambung puasa.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Sesungguhnya aku tidak sama seperti kalian. Aku bermalam, sedangkan Rabbku memberiku makan dan minum.” (HR. Bukhari no. 7299 dan Muslim no. 1103) Masih ada beberapa contoh lagi terkait dengan hal ini. Di antaranya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya melaksanakan salat tarawih secara berjemaah di awal-awal Ramadan. Kemudian, Nabi meninggalkan salat tarawih berjemaah karena khawatir akan diwajibkan dan akan menyulitkan umatnya. Kedua: Jenis amalan yang seorang hamba mampu untuk mengerjakannya, dan terdapat hikmah ketika seorang hamba mengerjakannya. Maka, Allah perintahkan hamba-hamba-Nya untuk mengerjakannya. Namun, bersamaan dengan perintah itu, jika terdapat kesulitan dan kesukaran, maka pasti akan ada keringanan dan kemudahan pada amalan tersebut. Bisa dengan digugurkan atau dengan diringankannya amalan itu. [2] Dalil-dalil yang berkaitan dengan kaidah ini Berikut ini dalil-dalil yang berkaitan dengan kaidah ini, يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran.” (QS. Al-Baqarah: 185) لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ “Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286) لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ “Allah tidak membebani kepada seseorang, melainkan (sesuai) dengan apa yang dianugerahkan Allah kepadanya.” (QS. At-Talaq: 7) فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ “Bertakwalah kamu kepada Allah sekuat kemampuanmu!” (QS. At-Taghabun: 16) [3] Ayat-ayat di atas adalah dalil yang menujukkan akan kaidah yang agung ini. Perlu diketahui, bahwa seluruh syariat agama ini begitu indah dan toleran. Agama ini dibangun di atas tauhid dan peribadatan kepada Allah Ta’ala dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Bersamaan dengan itu, agama ini penuh akan kemudahan di dalam hukum-hukum dan amalan-amalannya. Baca juga: Doa Saat Semua Terasa Sulit Rukun Islam sebagai pondasi yang penuh dengan kemudahan Seperti halnya salat lima waktu yang diwajibkan sehari semalam. Bisa dikatakan salat lima waktu ini tidaklah mengambil waktu seorang hamba, kecuali sedikit saja. Zakat, yang mana seorang hamba mengeluarkan hartanya untuk membersihkannya, pun juga tidak mengambil harta yang banyak. Zakat hanya diambil dari harta-harta orang kaya dan bukan dari keseluruhan hamba. Itu pun hanya dikeluarkan satu tahun sekali. Puasa, tatkala seorang hamba menahan diri dari makan, minum, dan juga syahwatnya. Itu pun hanya diwajibkan satu bulan saja pada setiap tahunnya. Haji, tidaklah seorang hamba diwajibkan untuk berhaji, melainkan satu kali dalam seumur hidup. Lagi-lagi itu pun dengan syarat bagi yang mampu saja. Lihatlah amalan-amalan yang merupakan pondasi dari Islam. Rukun Islam itu sendiri dibangun di atas kemudahan. Apatah lagi amalan-amalan yang sifatnya furu’ (cabang) dari rukun-rukun Islam ini. Seperti kewajiban-kewajiban dan sunah-sunah yang lain. Bahkan, rukun Islam yang disebutkan di atas, keseluruhannya terdapat keringanan bagi mereka yang sulit dan tidak mampu untuk mengerjakannya. Bentuk-bentuk kemudahan yang Allah Ta’ala berikan Sungguh, Allah Ta’ala telah mensyariatkan banyak dari sebab-sebab yang memudahkan untuk mengamalkan ketaatan. Di antara bentuk kemudahan yang Allah berikan adalah: Pertama: Allah mensyariatkan untuk berjemaah dalam melaksanakan salat lima waktu, salat Jumat, dan salat Id. Sama halnya dengan berpuasa, seluruh orang-orang beriman berpuasa pada satu bulan yang sama. Tidaklah di antara mereka tidak berpuasa, kecuali karena uzur, baik sakit, safar, dan lain sebagainya. Haji pun demikian, Allah mensyariatkan haji secara beramai-ramai atau berjemaah. Karena tidak diragukan lagi bahwasanya berkumpul dalam melaksanakan suatu ibadah akan menghilangkan kesulitan dan akan membuat semangat orang-orang yang mengamalkannya. Bahkan, seringkali didapati mereka berlomba-lomba dalam kebaikan. Karena mereka tahu akan perbedaan pahala orang yang bersegera melaksanakan kebaikan dengan orang-orang yang lambat dalam melaksanakannya. Kedua: Bersamaan dengan kemudahan yang Allah berikan dari syariat ini, jika seorang hamba mendapati sebuah uzur atau kesulitan dalam mengamalkan syariat ini, maka terdapat solusi terbaik yang diberikan. Di antaranya dengan diringankan amalan tersebut. Sebagaimana kaidah yang sedang dibahas, “Bersama kesulitan terdapat kemudahan.” Contoh: Dalam keadaan sakit, jika seorang hamba tidak bisa menggunakan air untuk berwudu, maka ia bisa bertayamum dengan debu. Jika dalam keadaan sakitnya ia tidak mampu berdiri, maka ia bisa melaksanakan salat dalam keadaan duduk. Jika dalam keadaan duduk ia tidak mampu, maka bisa berbaring. Jika masih tidak mampu, maka ia bisa berisyarat dengan kepalanya. Orang yang safar, ia bisa meng-qashar dan menjamak salatnya. Ia pun bisa mengusap khuf baik ketika safar ataupun mukim. Siapa yang sakit atau safar, maka ia akan mendapatkan pahala sebagaimana ia beramal dalam keadaan sehat dan mukim. Dan masih banyak lagi kemudahan-kemudahan yang bisa didapati pada syariat ini. Namun, bukan berarti dengan kaidah ini seseorang menjadikan seluruh kewajiban dalam beragama adalah mudah. Tentu tidak diharapkan ketika seseorang mengetahui kaidah ini ia jadi terkesan “menggampangkan” syariat agama ini. Bahkan, ia bermudah-mudahan untuk mendapati uzur. Tentunya hal ini adalah sebuah kekeliruan dalam memahami kaidah ini. Kesimpulan Kaidah ini adalah kaidah yang sangat agung, dilandaskan berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an yang menunjukkan akan rahmat dan kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya dengan memudahkan syariat ini untuk diamalkan dan dikerjakan sesuai dengan kemampuan. Jika tidak mampu, maka terdapat opsi berikutnya yang memudahkan. Tentunya hal ini bukan untuk menggampangkan agama ini. Namun perlu diketahui bahwa ini merupakan rahmat dari Allah Tabaraka wa Ta’ala. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Baca juga: Benarkah Pahala Itu Sebanding dengan Tingkat Kesulitan Sebuah Amal? *** Depok, 5 Muharram 1445 H / 10 Juli 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. (Jilid 7) Al-Qawa’id wal-Ushul Al-Jami’ah wal-Furuq wat-Taqasim Al-Badi’ah An-Nafi’ah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. Syarhul Mumti’, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah. (Jilid 6)   Catatan kaki: [1] Syarhul Mumti’, 6: 438. [2] Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 23. [3] Al-Qawa’id wal-Ushul Al-Jami’ah, hal. 15. Tags: kaidah fikih


Daftar Isi Toggle Bersama kesulitan terdapat kemudahanKaidah ini adalah kaidah yang agungAmalan ditinjau dari segi kemampuanDalil-dalil yang berkaitan dengan kaidah iniRukun Islam sebagai pondasi yang penuh dengan kemudahanBentuk-bentuk kemudahan yang Allah Ta’ala berikanKesimpulan Bersama kesulitan terdapat kemudahan Di dalam kaidah fikih terdapat sebuah kaidah, yaitu, المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْر “Bersama kesulitan terdapat kemudahan.” Kaidah ini adalah kaidah yang agung Ini adalah sebuah kaidah yang sangat agung. Kaidah agama yang dibangun di atas cinta, kasih sayang, dan kemudahan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ “Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.” (QS. Al-Hajj: 78) Amalan ditinjau dari segi kemampuan Allah tidak menjadikan agama ini sebagai sesuatu yang sulit dan sukar untuk hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, terkait dengan amalan di dalam agama ini setidaknya terdapat dua jenis, yaitu: Pertama: Jenis amalan yang seorang hamba tidak mampu untuk mengerjakannya. Maka, dalam hal ini Allah tidak membebani hamba-hamba-Nya untuk hal tersebut. Di antara contoh hal ini adalah Puasa Wishal. Yaitu, seorang hamba melanjutkan puasa tanpa berbuka. Hal ini dimakruhkan oleh banyak ulama, sebagian ulama lagi mengharamkannya. Di antara yang mengharamkannya adalah Syekh Al-‘Utsaimin rahimahullah [1]. Karena terdapat larangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :  لا تُوَاصِلُوا . قَالُوا : إِنَّكَ تُوَاصِلُ . قَالَ : إِنِّي لَسْتُ مِثْلَكُمْ ، إِنِّي أَبِيتُ يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِينِي Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Janganlah kalian menyambung puasa kalian!’ Para sahabat berkata, ‘Sesungguhnya engkau menyambung puasa.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Sesungguhnya aku tidak sama seperti kalian. Aku bermalam, sedangkan Rabbku memberiku makan dan minum.” (HR. Bukhari no. 7299 dan Muslim no. 1103) Masih ada beberapa contoh lagi terkait dengan hal ini. Di antaranya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya melaksanakan salat tarawih secara berjemaah di awal-awal Ramadan. Kemudian, Nabi meninggalkan salat tarawih berjemaah karena khawatir akan diwajibkan dan akan menyulitkan umatnya. Kedua: Jenis amalan yang seorang hamba mampu untuk mengerjakannya, dan terdapat hikmah ketika seorang hamba mengerjakannya. Maka, Allah perintahkan hamba-hamba-Nya untuk mengerjakannya. Namun, bersamaan dengan perintah itu, jika terdapat kesulitan dan kesukaran, maka pasti akan ada keringanan dan kemudahan pada amalan tersebut. Bisa dengan digugurkan atau dengan diringankannya amalan itu. [2] Dalil-dalil yang berkaitan dengan kaidah ini Berikut ini dalil-dalil yang berkaitan dengan kaidah ini, يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran.” (QS. Al-Baqarah: 185) لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ “Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286) لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ “Allah tidak membebani kepada seseorang, melainkan (sesuai) dengan apa yang dianugerahkan Allah kepadanya.” (QS. At-Talaq: 7) فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ “Bertakwalah kamu kepada Allah sekuat kemampuanmu!” (QS. At-Taghabun: 16) [3] Ayat-ayat di atas adalah dalil yang menujukkan akan kaidah yang agung ini. Perlu diketahui, bahwa seluruh syariat agama ini begitu indah dan toleran. Agama ini dibangun di atas tauhid dan peribadatan kepada Allah Ta’ala dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Bersamaan dengan itu, agama ini penuh akan kemudahan di dalam hukum-hukum dan amalan-amalannya. Baca juga: Doa Saat Semua Terasa Sulit Rukun Islam sebagai pondasi yang penuh dengan kemudahan Seperti halnya salat lima waktu yang diwajibkan sehari semalam. Bisa dikatakan salat lima waktu ini tidaklah mengambil waktu seorang hamba, kecuali sedikit saja. Zakat, yang mana seorang hamba mengeluarkan hartanya untuk membersihkannya, pun juga tidak mengambil harta yang banyak. Zakat hanya diambil dari harta-harta orang kaya dan bukan dari keseluruhan hamba. Itu pun hanya dikeluarkan satu tahun sekali. Puasa, tatkala seorang hamba menahan diri dari makan, minum, dan juga syahwatnya. Itu pun hanya diwajibkan satu bulan saja pada setiap tahunnya. Haji, tidaklah seorang hamba diwajibkan untuk berhaji, melainkan satu kali dalam seumur hidup. Lagi-lagi itu pun dengan syarat bagi yang mampu saja. Lihatlah amalan-amalan yang merupakan pondasi dari Islam. Rukun Islam itu sendiri dibangun di atas kemudahan. Apatah lagi amalan-amalan yang sifatnya furu’ (cabang) dari rukun-rukun Islam ini. Seperti kewajiban-kewajiban dan sunah-sunah yang lain. Bahkan, rukun Islam yang disebutkan di atas, keseluruhannya terdapat keringanan bagi mereka yang sulit dan tidak mampu untuk mengerjakannya. Bentuk-bentuk kemudahan yang Allah Ta’ala berikan Sungguh, Allah Ta’ala telah mensyariatkan banyak dari sebab-sebab yang memudahkan untuk mengamalkan ketaatan. Di antara bentuk kemudahan yang Allah berikan adalah: Pertama: Allah mensyariatkan untuk berjemaah dalam melaksanakan salat lima waktu, salat Jumat, dan salat Id. Sama halnya dengan berpuasa, seluruh orang-orang beriman berpuasa pada satu bulan yang sama. Tidaklah di antara mereka tidak berpuasa, kecuali karena uzur, baik sakit, safar, dan lain sebagainya. Haji pun demikian, Allah mensyariatkan haji secara beramai-ramai atau berjemaah. Karena tidak diragukan lagi bahwasanya berkumpul dalam melaksanakan suatu ibadah akan menghilangkan kesulitan dan akan membuat semangat orang-orang yang mengamalkannya. Bahkan, seringkali didapati mereka berlomba-lomba dalam kebaikan. Karena mereka tahu akan perbedaan pahala orang yang bersegera melaksanakan kebaikan dengan orang-orang yang lambat dalam melaksanakannya. Kedua: Bersamaan dengan kemudahan yang Allah berikan dari syariat ini, jika seorang hamba mendapati sebuah uzur atau kesulitan dalam mengamalkan syariat ini, maka terdapat solusi terbaik yang diberikan. Di antaranya dengan diringankan amalan tersebut. Sebagaimana kaidah yang sedang dibahas, “Bersama kesulitan terdapat kemudahan.” Contoh: Dalam keadaan sakit, jika seorang hamba tidak bisa menggunakan air untuk berwudu, maka ia bisa bertayamum dengan debu. Jika dalam keadaan sakitnya ia tidak mampu berdiri, maka ia bisa melaksanakan salat dalam keadaan duduk. Jika dalam keadaan duduk ia tidak mampu, maka bisa berbaring. Jika masih tidak mampu, maka ia bisa berisyarat dengan kepalanya. Orang yang safar, ia bisa meng-qashar dan menjamak salatnya. Ia pun bisa mengusap khuf baik ketika safar ataupun mukim. Siapa yang sakit atau safar, maka ia akan mendapatkan pahala sebagaimana ia beramal dalam keadaan sehat dan mukim. Dan masih banyak lagi kemudahan-kemudahan yang bisa didapati pada syariat ini. Namun, bukan berarti dengan kaidah ini seseorang menjadikan seluruh kewajiban dalam beragama adalah mudah. Tentu tidak diharapkan ketika seseorang mengetahui kaidah ini ia jadi terkesan “menggampangkan” syariat agama ini. Bahkan, ia bermudah-mudahan untuk mendapati uzur. Tentunya hal ini adalah sebuah kekeliruan dalam memahami kaidah ini. Kesimpulan Kaidah ini adalah kaidah yang sangat agung, dilandaskan berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an yang menunjukkan akan rahmat dan kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya dengan memudahkan syariat ini untuk diamalkan dan dikerjakan sesuai dengan kemampuan. Jika tidak mampu, maka terdapat opsi berikutnya yang memudahkan. Tentunya hal ini bukan untuk menggampangkan agama ini. Namun perlu diketahui bahwa ini merupakan rahmat dari Allah Tabaraka wa Ta’ala. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Baca juga: Benarkah Pahala Itu Sebanding dengan Tingkat Kesulitan Sebuah Amal? *** Depok, 5 Muharram 1445 H / 10 Juli 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. (Jilid 7) Al-Qawa’id wal-Ushul Al-Jami’ah wal-Furuq wat-Taqasim Al-Badi’ah An-Nafi’ah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. Syarhul Mumti’, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah. (Jilid 6)   Catatan kaki: [1] Syarhul Mumti’, 6: 438. [2] Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 23. [3] Al-Qawa’id wal-Ushul Al-Jami’ah, hal. 15. Tags: kaidah fikih

Semakin Ingat Allah dalam Kondisi Lapang dan Nyaman

Daftar Isi Toggle Kebiasaan orang-orang saleh adalah senantiasa mengingat Allah dalam kondisi lapangFaedah senantiasa mengingat Allah dalam kondisi lapangAkibat bagi orang-orang yang tidak mengingat Allah dalam kondisi lapang Kebiasaan orang-orang saleh adalah senantiasa mengingat Allah dalam kondisi lapang Di antara nasihat indah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampaikan adalah, تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ “Kenalilah Allah di saat senang (lapang), niscaya Allah akan mengenalmu di saat susah.” (HR. Tirmidzi no. 2516; Ahmad, 1: 293; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 14: 408. Syekh Syu’aib Al-Arnauth dalam tahqiq beliau terhadap Musnad Imam Ahmad menyatakan bahwa sanad hadis ini kuat) Di antara kebiasaan orang-orang saleh adalah di saat mereka mendapatkan kelapangan hidup, mereka akan semakin mendekatkan diri kepada Allah. Mereka gunakan kesempatan tersebut agar bisa lebih dekat kepada Allah. Dan sebaliknya, di antara ciri-ciri orang yang tidak baik adalah mereka hanya mengenal Allah ketika dalam kondisi sulit (susah). Oleh karena itu, Allah Ta’ala menyinggung orang-orang musyrikin yang baru mengingat Allah dalam kondisi sulit. Allah Ta’ala befirman, وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلَّا إِيَّاهُ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ وَكَانَ الْإِنْسَانُ كَفُورًا “Dan apabila kamu (orang-orang musyrik) ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia (Allah). Maka ketika dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia itu selalu tidak berterima kasih.” (QS. Al-Isra’: 67) Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ “Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Namun ketika Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” (QS. Al-‘Ankabut: 65) Di dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman, وَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيبًا إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ نِعْمَةً مِنْهُ نَسِيَ مَا كَانَ يَدْعُو إِلَيْهِ مِنْ قَبْلُ “Dan apabila manusia itu ditimpa kemudaratan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya. Kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya, lupalah dia akan kemudaratan yang dia pernah berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu.” (QS. Az-Zumar: 8) Inilah sifat orang-orang yang buruk, yang tidak mengenal Allah kecuali dalam kondisi susah saja. Adapun orang-orang yang beriman, mereka menggunakan kesempatan ketika dalam kondisi lapang untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah, “mencari muka” di hadapan Allah Ta’ala. Kita bisa melihat Nabi Daud ‘alaihis salam, nabi pertama yang sekaligus seorang raja, memiliki kekuasaan yang sangat luas. Meskipun demikian, beliau adalah seorang yang sangat rajin beribadah. Sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, أَحَبُّ الصَّلاةِ إِلَى اللهِ صَلاةُ دَاوُدَ ، وَأحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ ، كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَيَصُومُ يَوماً وَيُفْطِرُ يَوْماً “Salat yang paling dicintai Allah adalah salat Daud. Dan puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Daud. Daud tidur separuh malam dan bangun pada sepertiganya, dan tidur lagi seperenamnya. Ia juga puasa sehari dan berbuka sehari.” (HR. Bukhari no. 1131 dan Muslim no. 189) Lihatlah, beliau seorang raja, namun tetap rajin salat malam dan berpuasa. Kekayaan, kemegahan, dan kekuasaan tidaklah membuat beliau lalai dari beribadah dan mengingat Allah Ta’ala. Justru ketika seseorang semakin banyak diberikan kenikmatan, dia semakin memperbanyak amal saleh. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْراً وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ “Beramal salehlah wahai keluarga Daud (yaitu Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, yang telah diberikan kekuasaan setelah ayahnya, pent.), sebagai bentuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang mau bersyukur.” (QS. Saba’: 13) Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam pernah menasehati seseorang, اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ “Manfaatkanlah lima perkara sebelum datangnya lima perkara: (1) Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, (2) Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, (3) Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, (4) Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, (5) Hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 4: 341. Syekh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib mengatakan bahwa hadis ini sahih.) Oleh karena itu, ketika pintu kebaikan sedang dibukakan untuk kita, segeralah masuk ke dalam kebaikan tersebut. Karena kita tidak tahu, kapan pintu kebaikan itu ditutup kembali. Baca juga: Keutamaan Berzikir (Mengingat Allah) di Setiap Keadaan Faedah senantiasa mengingat Allah dalam kondisi lapang Siapa saja yang senantiasa mengenal Allah dalam kondisi lapang, maka di antara faidahnya adalah Allah akan mengenalinya (menolongnya) ketika dalam kondisi sulit. Mengapa demikian? Karena selama ini ketika dalam kondisi lapang, dia “mencari muka” di hadapan Allah dengan banyak beribadah. Renungkanlah bagaimanakah kondisi Nabi Yunus ‘alaihis salam ketika sedang menghadapi musibah dimakan ikan paus di lautan yang dalam, وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru (kepada Allah) dalam keadaan yang sangat gelap, “Bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya’: 87) Nabi Yunus ‘alaihis salam berada dalam kegelapan yang bertumpuk-tumpuk, di dalam perut ikan paus, di dalam lautan, dan di kegelapan malam. Ada sebagian yang menambahkan, dalam kondisi hujan yang sangat deras. Namun, dalam kondisi seperti itu, Nabi Yunus tetap berdoa, dan Allah pun kabulkan doanya, فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنجِي الْمُؤْمِنِينَ “Maka Kami telah mengabulkan doanya dan menyelamatkannya dari kedukaan (penderitaan). Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiya’: 88) Mengapa Allah Ta’ala selamatkan Nabi Yunus? Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala jelaskan, فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنْ الْمُسَبِّحِينَ لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ “Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” (QS. Ash-Shaffat: 143-144) Allah Ta’ala selamatkan Nabi Yunus karena selama ini, beliau rajin mengingat Allah sebelum mendapatkan musibah tersebut. Maka benarlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ “Kenalilah Allah di saat senang (lapang), niscaya Allah akan mengenalmu di saat susah.” Akibat bagi orang-orang yang tidak mengingat Allah dalam kondisi lapang Adapun orang-orang yang dalam kondisi lapang justru menggunakan kelapangannya tersebut untuk sombong dan bermaksiat kepada Allah, maka kita khawatir orang-orang seperti ini tidak akan ditolong oleh Allah Ta’ala dalam kondisi sempit. Renungkanlah kisah Fir’aun yang mengingat Allah, dan bahkan bersyahadat saat hampir tenggelam, namun tetap tidak Allah tolong. Allah Ta’ala berfirman, وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ بَغْياً وَعَدْواً حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنتُ أَنَّهُ لا إِلِـهَ إِلاَّ الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَاْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ “Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka). Hingga ketika Fir’aun itu telah hampir tenggelam, dia berkata, “Saya percaya bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Tuhan yang dipercayai (disembah) oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Yunus: 90) Itulah ucapan terahir Fir’aun, yaitu menyatakan keimanannya kepada Allah, Rabb yang disembah oleh Bani Israil. Apakah Allah terima ucapan ini? Tidak, namun Allah katakan, آلآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ “Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Yunus: 91) Di waktu lapang, Fir’aun lupa dan sombong kepada Allah. Maka ditenggelamkanlah Fir’aun dalam kondisi kafir dan akhirnya kekal di neraka jahanam. Oleh karena itu, ketika seseorang diberikan kelapangan dan kenikmatan oleh Allah, berusahalah menggunakan kesempatan tersebut untuk memperbanyak beribadah, memperbanyak membaca Al-Quran, menambah jumlah rakaat salat sunah, bersedekah ketika punya uang, atau menyambung silaturahmi. Di antara faidahnya, argo pahalanya akan tetap berjalan ketika suatu hari dia mendapatkan uzur. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا “Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim (tidak safar) dan ketika sehat.” (HR. Bukhari no. 2996) Jika seorang hamba biasa bersedekah ketika sedang kaya, maka ketika miskin dan tidak mampu sedekah, maka pahala sedekahnya akan tetap berjalan. Ketika sehat seseorang biasa salat malam, maka pahala salat malamnya akan tetap berjalan ketika dia sakit dan tidak mampu lagi salat malam. Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk dalam orang-orang yang senantiasa mengingat dan beribadah kepada Allah dalam kondisi lapang dan nyaman. Baca juga: Jangan Bersedih dan Putus Asa karena Takdir Allah Pasti yang Terbaik *** @24 Dzulhijah 1445/ 1 Juli 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari ceramah Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc., MA. hafizhahullah di tautan ini: https://www.youtube.com/watch?v=7FflvlBCbIk&t=440s Tags: mengingat Allah

Semakin Ingat Allah dalam Kondisi Lapang dan Nyaman

Daftar Isi Toggle Kebiasaan orang-orang saleh adalah senantiasa mengingat Allah dalam kondisi lapangFaedah senantiasa mengingat Allah dalam kondisi lapangAkibat bagi orang-orang yang tidak mengingat Allah dalam kondisi lapang Kebiasaan orang-orang saleh adalah senantiasa mengingat Allah dalam kondisi lapang Di antara nasihat indah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampaikan adalah, تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ “Kenalilah Allah di saat senang (lapang), niscaya Allah akan mengenalmu di saat susah.” (HR. Tirmidzi no. 2516; Ahmad, 1: 293; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 14: 408. Syekh Syu’aib Al-Arnauth dalam tahqiq beliau terhadap Musnad Imam Ahmad menyatakan bahwa sanad hadis ini kuat) Di antara kebiasaan orang-orang saleh adalah di saat mereka mendapatkan kelapangan hidup, mereka akan semakin mendekatkan diri kepada Allah. Mereka gunakan kesempatan tersebut agar bisa lebih dekat kepada Allah. Dan sebaliknya, di antara ciri-ciri orang yang tidak baik adalah mereka hanya mengenal Allah ketika dalam kondisi sulit (susah). Oleh karena itu, Allah Ta’ala menyinggung orang-orang musyrikin yang baru mengingat Allah dalam kondisi sulit. Allah Ta’ala befirman, وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلَّا إِيَّاهُ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ وَكَانَ الْإِنْسَانُ كَفُورًا “Dan apabila kamu (orang-orang musyrik) ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia (Allah). Maka ketika dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia itu selalu tidak berterima kasih.” (QS. Al-Isra’: 67) Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ “Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Namun ketika Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” (QS. Al-‘Ankabut: 65) Di dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman, وَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيبًا إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ نِعْمَةً مِنْهُ نَسِيَ مَا كَانَ يَدْعُو إِلَيْهِ مِنْ قَبْلُ “Dan apabila manusia itu ditimpa kemudaratan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya. Kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya, lupalah dia akan kemudaratan yang dia pernah berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu.” (QS. Az-Zumar: 8) Inilah sifat orang-orang yang buruk, yang tidak mengenal Allah kecuali dalam kondisi susah saja. Adapun orang-orang yang beriman, mereka menggunakan kesempatan ketika dalam kondisi lapang untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah, “mencari muka” di hadapan Allah Ta’ala. Kita bisa melihat Nabi Daud ‘alaihis salam, nabi pertama yang sekaligus seorang raja, memiliki kekuasaan yang sangat luas. Meskipun demikian, beliau adalah seorang yang sangat rajin beribadah. Sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, أَحَبُّ الصَّلاةِ إِلَى اللهِ صَلاةُ دَاوُدَ ، وَأحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ ، كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَيَصُومُ يَوماً وَيُفْطِرُ يَوْماً “Salat yang paling dicintai Allah adalah salat Daud. Dan puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Daud. Daud tidur separuh malam dan bangun pada sepertiganya, dan tidur lagi seperenamnya. Ia juga puasa sehari dan berbuka sehari.” (HR. Bukhari no. 1131 dan Muslim no. 189) Lihatlah, beliau seorang raja, namun tetap rajin salat malam dan berpuasa. Kekayaan, kemegahan, dan kekuasaan tidaklah membuat beliau lalai dari beribadah dan mengingat Allah Ta’ala. Justru ketika seseorang semakin banyak diberikan kenikmatan, dia semakin memperbanyak amal saleh. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْراً وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ “Beramal salehlah wahai keluarga Daud (yaitu Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, yang telah diberikan kekuasaan setelah ayahnya, pent.), sebagai bentuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang mau bersyukur.” (QS. Saba’: 13) Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam pernah menasehati seseorang, اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ “Manfaatkanlah lima perkara sebelum datangnya lima perkara: (1) Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, (2) Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, (3) Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, (4) Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, (5) Hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 4: 341. Syekh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib mengatakan bahwa hadis ini sahih.) Oleh karena itu, ketika pintu kebaikan sedang dibukakan untuk kita, segeralah masuk ke dalam kebaikan tersebut. Karena kita tidak tahu, kapan pintu kebaikan itu ditutup kembali. Baca juga: Keutamaan Berzikir (Mengingat Allah) di Setiap Keadaan Faedah senantiasa mengingat Allah dalam kondisi lapang Siapa saja yang senantiasa mengenal Allah dalam kondisi lapang, maka di antara faidahnya adalah Allah akan mengenalinya (menolongnya) ketika dalam kondisi sulit. Mengapa demikian? Karena selama ini ketika dalam kondisi lapang, dia “mencari muka” di hadapan Allah dengan banyak beribadah. Renungkanlah bagaimanakah kondisi Nabi Yunus ‘alaihis salam ketika sedang menghadapi musibah dimakan ikan paus di lautan yang dalam, وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru (kepada Allah) dalam keadaan yang sangat gelap, “Bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya’: 87) Nabi Yunus ‘alaihis salam berada dalam kegelapan yang bertumpuk-tumpuk, di dalam perut ikan paus, di dalam lautan, dan di kegelapan malam. Ada sebagian yang menambahkan, dalam kondisi hujan yang sangat deras. Namun, dalam kondisi seperti itu, Nabi Yunus tetap berdoa, dan Allah pun kabulkan doanya, فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنجِي الْمُؤْمِنِينَ “Maka Kami telah mengabulkan doanya dan menyelamatkannya dari kedukaan (penderitaan). Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiya’: 88) Mengapa Allah Ta’ala selamatkan Nabi Yunus? Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala jelaskan, فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنْ الْمُسَبِّحِينَ لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ “Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” (QS. Ash-Shaffat: 143-144) Allah Ta’ala selamatkan Nabi Yunus karena selama ini, beliau rajin mengingat Allah sebelum mendapatkan musibah tersebut. Maka benarlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ “Kenalilah Allah di saat senang (lapang), niscaya Allah akan mengenalmu di saat susah.” Akibat bagi orang-orang yang tidak mengingat Allah dalam kondisi lapang Adapun orang-orang yang dalam kondisi lapang justru menggunakan kelapangannya tersebut untuk sombong dan bermaksiat kepada Allah, maka kita khawatir orang-orang seperti ini tidak akan ditolong oleh Allah Ta’ala dalam kondisi sempit. Renungkanlah kisah Fir’aun yang mengingat Allah, dan bahkan bersyahadat saat hampir tenggelam, namun tetap tidak Allah tolong. Allah Ta’ala berfirman, وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ بَغْياً وَعَدْواً حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنتُ أَنَّهُ لا إِلِـهَ إِلاَّ الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَاْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ “Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka). Hingga ketika Fir’aun itu telah hampir tenggelam, dia berkata, “Saya percaya bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Tuhan yang dipercayai (disembah) oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Yunus: 90) Itulah ucapan terahir Fir’aun, yaitu menyatakan keimanannya kepada Allah, Rabb yang disembah oleh Bani Israil. Apakah Allah terima ucapan ini? Tidak, namun Allah katakan, آلآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ “Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Yunus: 91) Di waktu lapang, Fir’aun lupa dan sombong kepada Allah. Maka ditenggelamkanlah Fir’aun dalam kondisi kafir dan akhirnya kekal di neraka jahanam. Oleh karena itu, ketika seseorang diberikan kelapangan dan kenikmatan oleh Allah, berusahalah menggunakan kesempatan tersebut untuk memperbanyak beribadah, memperbanyak membaca Al-Quran, menambah jumlah rakaat salat sunah, bersedekah ketika punya uang, atau menyambung silaturahmi. Di antara faidahnya, argo pahalanya akan tetap berjalan ketika suatu hari dia mendapatkan uzur. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا “Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim (tidak safar) dan ketika sehat.” (HR. Bukhari no. 2996) Jika seorang hamba biasa bersedekah ketika sedang kaya, maka ketika miskin dan tidak mampu sedekah, maka pahala sedekahnya akan tetap berjalan. Ketika sehat seseorang biasa salat malam, maka pahala salat malamnya akan tetap berjalan ketika dia sakit dan tidak mampu lagi salat malam. Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk dalam orang-orang yang senantiasa mengingat dan beribadah kepada Allah dalam kondisi lapang dan nyaman. Baca juga: Jangan Bersedih dan Putus Asa karena Takdir Allah Pasti yang Terbaik *** @24 Dzulhijah 1445/ 1 Juli 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari ceramah Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc., MA. hafizhahullah di tautan ini: https://www.youtube.com/watch?v=7FflvlBCbIk&t=440s Tags: mengingat Allah
Daftar Isi Toggle Kebiasaan orang-orang saleh adalah senantiasa mengingat Allah dalam kondisi lapangFaedah senantiasa mengingat Allah dalam kondisi lapangAkibat bagi orang-orang yang tidak mengingat Allah dalam kondisi lapang Kebiasaan orang-orang saleh adalah senantiasa mengingat Allah dalam kondisi lapang Di antara nasihat indah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampaikan adalah, تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ “Kenalilah Allah di saat senang (lapang), niscaya Allah akan mengenalmu di saat susah.” (HR. Tirmidzi no. 2516; Ahmad, 1: 293; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 14: 408. Syekh Syu’aib Al-Arnauth dalam tahqiq beliau terhadap Musnad Imam Ahmad menyatakan bahwa sanad hadis ini kuat) Di antara kebiasaan orang-orang saleh adalah di saat mereka mendapatkan kelapangan hidup, mereka akan semakin mendekatkan diri kepada Allah. Mereka gunakan kesempatan tersebut agar bisa lebih dekat kepada Allah. Dan sebaliknya, di antara ciri-ciri orang yang tidak baik adalah mereka hanya mengenal Allah ketika dalam kondisi sulit (susah). Oleh karena itu, Allah Ta’ala menyinggung orang-orang musyrikin yang baru mengingat Allah dalam kondisi sulit. Allah Ta’ala befirman, وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلَّا إِيَّاهُ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ وَكَانَ الْإِنْسَانُ كَفُورًا “Dan apabila kamu (orang-orang musyrik) ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia (Allah). Maka ketika dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia itu selalu tidak berterima kasih.” (QS. Al-Isra’: 67) Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ “Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Namun ketika Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” (QS. Al-‘Ankabut: 65) Di dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman, وَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيبًا إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ نِعْمَةً مِنْهُ نَسِيَ مَا كَانَ يَدْعُو إِلَيْهِ مِنْ قَبْلُ “Dan apabila manusia itu ditimpa kemudaratan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya. Kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya, lupalah dia akan kemudaratan yang dia pernah berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu.” (QS. Az-Zumar: 8) Inilah sifat orang-orang yang buruk, yang tidak mengenal Allah kecuali dalam kondisi susah saja. Adapun orang-orang yang beriman, mereka menggunakan kesempatan ketika dalam kondisi lapang untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah, “mencari muka” di hadapan Allah Ta’ala. Kita bisa melihat Nabi Daud ‘alaihis salam, nabi pertama yang sekaligus seorang raja, memiliki kekuasaan yang sangat luas. Meskipun demikian, beliau adalah seorang yang sangat rajin beribadah. Sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, أَحَبُّ الصَّلاةِ إِلَى اللهِ صَلاةُ دَاوُدَ ، وَأحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ ، كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَيَصُومُ يَوماً وَيُفْطِرُ يَوْماً “Salat yang paling dicintai Allah adalah salat Daud. Dan puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Daud. Daud tidur separuh malam dan bangun pada sepertiganya, dan tidur lagi seperenamnya. Ia juga puasa sehari dan berbuka sehari.” (HR. Bukhari no. 1131 dan Muslim no. 189) Lihatlah, beliau seorang raja, namun tetap rajin salat malam dan berpuasa. Kekayaan, kemegahan, dan kekuasaan tidaklah membuat beliau lalai dari beribadah dan mengingat Allah Ta’ala. Justru ketika seseorang semakin banyak diberikan kenikmatan, dia semakin memperbanyak amal saleh. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْراً وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ “Beramal salehlah wahai keluarga Daud (yaitu Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, yang telah diberikan kekuasaan setelah ayahnya, pent.), sebagai bentuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang mau bersyukur.” (QS. Saba’: 13) Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam pernah menasehati seseorang, اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ “Manfaatkanlah lima perkara sebelum datangnya lima perkara: (1) Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, (2) Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, (3) Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, (4) Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, (5) Hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 4: 341. Syekh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib mengatakan bahwa hadis ini sahih.) Oleh karena itu, ketika pintu kebaikan sedang dibukakan untuk kita, segeralah masuk ke dalam kebaikan tersebut. Karena kita tidak tahu, kapan pintu kebaikan itu ditutup kembali. Baca juga: Keutamaan Berzikir (Mengingat Allah) di Setiap Keadaan Faedah senantiasa mengingat Allah dalam kondisi lapang Siapa saja yang senantiasa mengenal Allah dalam kondisi lapang, maka di antara faidahnya adalah Allah akan mengenalinya (menolongnya) ketika dalam kondisi sulit. Mengapa demikian? Karena selama ini ketika dalam kondisi lapang, dia “mencari muka” di hadapan Allah dengan banyak beribadah. Renungkanlah bagaimanakah kondisi Nabi Yunus ‘alaihis salam ketika sedang menghadapi musibah dimakan ikan paus di lautan yang dalam, وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru (kepada Allah) dalam keadaan yang sangat gelap, “Bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya’: 87) Nabi Yunus ‘alaihis salam berada dalam kegelapan yang bertumpuk-tumpuk, di dalam perut ikan paus, di dalam lautan, dan di kegelapan malam. Ada sebagian yang menambahkan, dalam kondisi hujan yang sangat deras. Namun, dalam kondisi seperti itu, Nabi Yunus tetap berdoa, dan Allah pun kabulkan doanya, فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنجِي الْمُؤْمِنِينَ “Maka Kami telah mengabulkan doanya dan menyelamatkannya dari kedukaan (penderitaan). Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiya’: 88) Mengapa Allah Ta’ala selamatkan Nabi Yunus? Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala jelaskan, فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنْ الْمُسَبِّحِينَ لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ “Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” (QS. Ash-Shaffat: 143-144) Allah Ta’ala selamatkan Nabi Yunus karena selama ini, beliau rajin mengingat Allah sebelum mendapatkan musibah tersebut. Maka benarlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ “Kenalilah Allah di saat senang (lapang), niscaya Allah akan mengenalmu di saat susah.” Akibat bagi orang-orang yang tidak mengingat Allah dalam kondisi lapang Adapun orang-orang yang dalam kondisi lapang justru menggunakan kelapangannya tersebut untuk sombong dan bermaksiat kepada Allah, maka kita khawatir orang-orang seperti ini tidak akan ditolong oleh Allah Ta’ala dalam kondisi sempit. Renungkanlah kisah Fir’aun yang mengingat Allah, dan bahkan bersyahadat saat hampir tenggelam, namun tetap tidak Allah tolong. Allah Ta’ala berfirman, وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ بَغْياً وَعَدْواً حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنتُ أَنَّهُ لا إِلِـهَ إِلاَّ الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَاْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ “Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka). Hingga ketika Fir’aun itu telah hampir tenggelam, dia berkata, “Saya percaya bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Tuhan yang dipercayai (disembah) oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Yunus: 90) Itulah ucapan terahir Fir’aun, yaitu menyatakan keimanannya kepada Allah, Rabb yang disembah oleh Bani Israil. Apakah Allah terima ucapan ini? Tidak, namun Allah katakan, آلآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ “Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Yunus: 91) Di waktu lapang, Fir’aun lupa dan sombong kepada Allah. Maka ditenggelamkanlah Fir’aun dalam kondisi kafir dan akhirnya kekal di neraka jahanam. Oleh karena itu, ketika seseorang diberikan kelapangan dan kenikmatan oleh Allah, berusahalah menggunakan kesempatan tersebut untuk memperbanyak beribadah, memperbanyak membaca Al-Quran, menambah jumlah rakaat salat sunah, bersedekah ketika punya uang, atau menyambung silaturahmi. Di antara faidahnya, argo pahalanya akan tetap berjalan ketika suatu hari dia mendapatkan uzur. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا “Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim (tidak safar) dan ketika sehat.” (HR. Bukhari no. 2996) Jika seorang hamba biasa bersedekah ketika sedang kaya, maka ketika miskin dan tidak mampu sedekah, maka pahala sedekahnya akan tetap berjalan. Ketika sehat seseorang biasa salat malam, maka pahala salat malamnya akan tetap berjalan ketika dia sakit dan tidak mampu lagi salat malam. Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk dalam orang-orang yang senantiasa mengingat dan beribadah kepada Allah dalam kondisi lapang dan nyaman. Baca juga: Jangan Bersedih dan Putus Asa karena Takdir Allah Pasti yang Terbaik *** @24 Dzulhijah 1445/ 1 Juli 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari ceramah Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc., MA. hafizhahullah di tautan ini: https://www.youtube.com/watch?v=7FflvlBCbIk&t=440s Tags: mengingat Allah


Daftar Isi Toggle Kebiasaan orang-orang saleh adalah senantiasa mengingat Allah dalam kondisi lapangFaedah senantiasa mengingat Allah dalam kondisi lapangAkibat bagi orang-orang yang tidak mengingat Allah dalam kondisi lapang Kebiasaan orang-orang saleh adalah senantiasa mengingat Allah dalam kondisi lapang Di antara nasihat indah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampaikan adalah, تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ “Kenalilah Allah di saat senang (lapang), niscaya Allah akan mengenalmu di saat susah.” (HR. Tirmidzi no. 2516; Ahmad, 1: 293; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 14: 408. Syekh Syu’aib Al-Arnauth dalam tahqiq beliau terhadap Musnad Imam Ahmad menyatakan bahwa sanad hadis ini kuat) Di antara kebiasaan orang-orang saleh adalah di saat mereka mendapatkan kelapangan hidup, mereka akan semakin mendekatkan diri kepada Allah. Mereka gunakan kesempatan tersebut agar bisa lebih dekat kepada Allah. Dan sebaliknya, di antara ciri-ciri orang yang tidak baik adalah mereka hanya mengenal Allah ketika dalam kondisi sulit (susah). Oleh karena itu, Allah Ta’ala menyinggung orang-orang musyrikin yang baru mengingat Allah dalam kondisi sulit. Allah Ta’ala befirman, وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلَّا إِيَّاهُ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ وَكَانَ الْإِنْسَانُ كَفُورًا “Dan apabila kamu (orang-orang musyrik) ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia (Allah). Maka ketika dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia itu selalu tidak berterima kasih.” (QS. Al-Isra’: 67) Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ “Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Namun ketika Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” (QS. Al-‘Ankabut: 65) Di dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman, وَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيبًا إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ نِعْمَةً مِنْهُ نَسِيَ مَا كَانَ يَدْعُو إِلَيْهِ مِنْ قَبْلُ “Dan apabila manusia itu ditimpa kemudaratan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya. Kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya, lupalah dia akan kemudaratan yang dia pernah berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu.” (QS. Az-Zumar: 8) Inilah sifat orang-orang yang buruk, yang tidak mengenal Allah kecuali dalam kondisi susah saja. Adapun orang-orang yang beriman, mereka menggunakan kesempatan ketika dalam kondisi lapang untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah, “mencari muka” di hadapan Allah Ta’ala. Kita bisa melihat Nabi Daud ‘alaihis salam, nabi pertama yang sekaligus seorang raja, memiliki kekuasaan yang sangat luas. Meskipun demikian, beliau adalah seorang yang sangat rajin beribadah. Sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, أَحَبُّ الصَّلاةِ إِلَى اللهِ صَلاةُ دَاوُدَ ، وَأحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ ، كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَيَصُومُ يَوماً وَيُفْطِرُ يَوْماً “Salat yang paling dicintai Allah adalah salat Daud. Dan puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Daud. Daud tidur separuh malam dan bangun pada sepertiganya, dan tidur lagi seperenamnya. Ia juga puasa sehari dan berbuka sehari.” (HR. Bukhari no. 1131 dan Muslim no. 189) Lihatlah, beliau seorang raja, namun tetap rajin salat malam dan berpuasa. Kekayaan, kemegahan, dan kekuasaan tidaklah membuat beliau lalai dari beribadah dan mengingat Allah Ta’ala. Justru ketika seseorang semakin banyak diberikan kenikmatan, dia semakin memperbanyak amal saleh. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْراً وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ “Beramal salehlah wahai keluarga Daud (yaitu Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, yang telah diberikan kekuasaan setelah ayahnya, pent.), sebagai bentuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang mau bersyukur.” (QS. Saba’: 13) Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam pernah menasehati seseorang, اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ “Manfaatkanlah lima perkara sebelum datangnya lima perkara: (1) Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, (2) Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, (3) Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, (4) Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, (5) Hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 4: 341. Syekh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib mengatakan bahwa hadis ini sahih.) Oleh karena itu, ketika pintu kebaikan sedang dibukakan untuk kita, segeralah masuk ke dalam kebaikan tersebut. Karena kita tidak tahu, kapan pintu kebaikan itu ditutup kembali. Baca juga: Keutamaan Berzikir (Mengingat Allah) di Setiap Keadaan Faedah senantiasa mengingat Allah dalam kondisi lapang Siapa saja yang senantiasa mengenal Allah dalam kondisi lapang, maka di antara faidahnya adalah Allah akan mengenalinya (menolongnya) ketika dalam kondisi sulit. Mengapa demikian? Karena selama ini ketika dalam kondisi lapang, dia “mencari muka” di hadapan Allah dengan banyak beribadah. Renungkanlah bagaimanakah kondisi Nabi Yunus ‘alaihis salam ketika sedang menghadapi musibah dimakan ikan paus di lautan yang dalam, وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru (kepada Allah) dalam keadaan yang sangat gelap, “Bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya’: 87) Nabi Yunus ‘alaihis salam berada dalam kegelapan yang bertumpuk-tumpuk, di dalam perut ikan paus, di dalam lautan, dan di kegelapan malam. Ada sebagian yang menambahkan, dalam kondisi hujan yang sangat deras. Namun, dalam kondisi seperti itu, Nabi Yunus tetap berdoa, dan Allah pun kabulkan doanya, فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنجِي الْمُؤْمِنِينَ “Maka Kami telah mengabulkan doanya dan menyelamatkannya dari kedukaan (penderitaan). Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiya’: 88) Mengapa Allah Ta’ala selamatkan Nabi Yunus? Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala jelaskan, فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنْ الْمُسَبِّحِينَ لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ “Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” (QS. Ash-Shaffat: 143-144) Allah Ta’ala selamatkan Nabi Yunus karena selama ini, beliau rajin mengingat Allah sebelum mendapatkan musibah tersebut. Maka benarlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ “Kenalilah Allah di saat senang (lapang), niscaya Allah akan mengenalmu di saat susah.” Akibat bagi orang-orang yang tidak mengingat Allah dalam kondisi lapang Adapun orang-orang yang dalam kondisi lapang justru menggunakan kelapangannya tersebut untuk sombong dan bermaksiat kepada Allah, maka kita khawatir orang-orang seperti ini tidak akan ditolong oleh Allah Ta’ala dalam kondisi sempit. Renungkanlah kisah Fir’aun yang mengingat Allah, dan bahkan bersyahadat saat hampir tenggelam, namun tetap tidak Allah tolong. Allah Ta’ala berfirman, وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ بَغْياً وَعَدْواً حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنتُ أَنَّهُ لا إِلِـهَ إِلاَّ الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَاْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ “Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka). Hingga ketika Fir’aun itu telah hampir tenggelam, dia berkata, “Saya percaya bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Tuhan yang dipercayai (disembah) oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Yunus: 90) Itulah ucapan terahir Fir’aun, yaitu menyatakan keimanannya kepada Allah, Rabb yang disembah oleh Bani Israil. Apakah Allah terima ucapan ini? Tidak, namun Allah katakan, آلآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ “Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Yunus: 91) Di waktu lapang, Fir’aun lupa dan sombong kepada Allah. Maka ditenggelamkanlah Fir’aun dalam kondisi kafir dan akhirnya kekal di neraka jahanam. Oleh karena itu, ketika seseorang diberikan kelapangan dan kenikmatan oleh Allah, berusahalah menggunakan kesempatan tersebut untuk memperbanyak beribadah, memperbanyak membaca Al-Quran, menambah jumlah rakaat salat sunah, bersedekah ketika punya uang, atau menyambung silaturahmi. Di antara faidahnya, argo pahalanya akan tetap berjalan ketika suatu hari dia mendapatkan uzur. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا “Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim (tidak safar) dan ketika sehat.” (HR. Bukhari no. 2996) Jika seorang hamba biasa bersedekah ketika sedang kaya, maka ketika miskin dan tidak mampu sedekah, maka pahala sedekahnya akan tetap berjalan. Ketika sehat seseorang biasa salat malam, maka pahala salat malamnya akan tetap berjalan ketika dia sakit dan tidak mampu lagi salat malam. Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk dalam orang-orang yang senantiasa mengingat dan beribadah kepada Allah dalam kondisi lapang dan nyaman. Baca juga: Jangan Bersedih dan Putus Asa karena Takdir Allah Pasti yang Terbaik *** @24 Dzulhijah 1445/ 1 Juli 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari ceramah Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc., MA. hafizhahullah di tautan ini: https://www.youtube.com/watch?v=7FflvlBCbIk&t=440s Tags: mengingat Allah

Ini Penyebab Kita Susah Shalat Malam – Syaikh Abdul Karim al-Khudair #NasehatUlama

Sangat disayangkan sekali bahwa banyak penuntut ilmu perhatiannya lemah dalam masalah ini, itu pun jika masih ada. Banyak orang yang menyandarkan dirinya kepada ilmu dan menuntut ilmu terfitnah dengan faktor penghalang dan enggan mengupayakan sebab (yang memudahkan Salat Malam), sehingga Anda dapati salah seorang dari kita begadang. Dia begadang untuk apa? Untuk ngobrol ngalor ngidul yang sifatnya —insya Allah—masih mubah. Kita tidak membahas orang yang begadang untuk perkara haram. Namun, masalahnya adalah jika para penuntut ilmu begadang untuk perkara mubah, setelah itu, ketika datang waktu Salat Malam, padahal dia dalam keadaan terjaga, kekuatannya sempurna, dan tidak butuh tidur, ketika datang sepertiga malam terakhir lalu ingin Salat Witir, dengan tiga, lima, tujuh, atau sembilan rakaat, Anda rasakan lebih berat daripada gunung, karena orang yang menghabiskan waktunya untuk ngobrol ngalor ngidul, walaupun mubah, tidak akan membantu untuk urusan (ibadah) seperti ini, umumnya, itu tidak membantu untuk urusan (ibadah) seperti ini. Jadi, dalam masalah ini butuh tindakan pencegahan, dan hati juga perlu dijaga betul dari hal-hal yang mempengaruhinya, dan di antara yang paling besar pengaruhnya terhadap hati adalah banyak bicara. Kita tidak membahas orang yang lisannya lancang kepada orang-orang baik, tidak berhati-hati, dan membagi-bagi pahalanya (karena ghibah) kepada si fulan dan si alan. Namun masalahnya adalah orang yang hanya berkata yang mubah-mubah saja, maka ini umumnya tidak membantu dalam Salat Malam. Andaikata dia bisa salat pun, itu tidak membantunya untuk khusyuk hatinya, karena masalah salat ini butuh konsentrasi dan hati butuh fokus, Sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim dan selainnya. ==== وَمَعَ الْأَسَفِ الشَّدِيدِ أَنَّ كَثِيرًا مِمَّنْ يَنْتَسِبُ إِلَى طَلَبِ الْعِلْمِ نَصِيبُهُ فِي هَذَا الْبَابِ ضَعِيفٌ إِنْ وُجِدَ فَكَثِيرٌ مِمَّنْ يَنْتَسِبُ إِلَى الْعِلْمِ وَإِلَى طَلَبِهِ ابْتُلُوْا بِالْمَوَانِعِ وَعَدَمِ بَذْلِ الْأَسْبَابِ فَتَرَى الْوَاحِدَ مِنَّا يَسْهَرُ هُوَ يَسْهَرُ عَلَى مَاذَا؟ عَلَى الْقِيْلِ وَالْقَالِ مِنَ الْكَلَامِ الْمُبَاحِ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى دَعُوْنَا مِمَّنْ يَسْهَرُ عَلَى مُحَرَّمٍ لَكِنَّ الْمَسْأَلَةَ مُفْتَرَضَةٌ فِي طُلَّابِ الْعِلْمِ يَسْهَرُ عَلَى الْمُبَاحِ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ إِذَا جَاءَ وَقْتُ الْقِيَامِ رَجُلٌ مُسْتَيْقِظٌ وَبِكَامِلِ قُوَّةٍ وَلَا يَحْتَاجُ إِلَى النَّوْمِ وَيَحْضُرُ الثُّلُثُ الْأَخِيرُ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ بَثَلَاثِ رَكَعَاتٍ أَوْ خَمْسِ رَكَعَاتٍ أَوْ سَبْعٍ أَوْ تِسْعٍ تَجِدُهَا أَثْقَلَ مِنْ جَبَلٍ لِأَنَّ مَنْ يُمْضِي وَقْتَهُ فِي الْقِيْلِ وَالْقَالِ وَلَوْ كَانَ مُبَاحًا لَا يُعَانُ عَلَى مِثْلِ هَذِهِ الْأُمُورِ فَإِنَّهُ فِي الْغَالِبِ لَا يُعَانُ عَلَى مِثْلِ هَذِهِ الْأُمُورِ فَالْمَسْأَلَةُ تَحْتَاجُ إِلَى الْاحْتِيَاطِ وَالْقَلْبُ يَحْتَاجُ إِلَى حِرَاسَةٍ شَدِيدَةٍ مِنَ الْمُؤَثِّرَاتِ وَمِنْ أَعْظَمِ الْمُؤَثِّرَاتِ عَلَى الْقَلْبِ فُضُولُ الْكَلَامِ دَعُوْنَا مِمَّنْ سَلَّطَ لِسَانَهُ عَلَى الْأَخْيَار وَلَمْ يَحْتَطْ لِنَفْسِهِ وَفَرَّقَ حَسَنَاتِهِ عَلَى فُلَانٍ وَعَلَّانٍ لَكِنَّ الْمَسْأَلَةَ فِي مَنْ لَا يَقُولُ إِلَّا مُبَاحًا فِي الْغَالِبِ لَا يُعَانُ عَلَى الْقِيَامِ فَإِنْ قَامَ لَا يُعَانُ عَلَى حُضُورِ الْقَلْبِ فَالْمَسْأَلَةُ تَحْتَاجُ إِلَى الْاِسْتِجْمَاعِ وَالْقَلْبُ يَحْتَاجُ إِلَى جَمْعِيَّةٍ كَمَا قَالَ ابْنُ الْقِيَّمِ وَغَيْرُهُ

Ini Penyebab Kita Susah Shalat Malam – Syaikh Abdul Karim al-Khudair #NasehatUlama

Sangat disayangkan sekali bahwa banyak penuntut ilmu perhatiannya lemah dalam masalah ini, itu pun jika masih ada. Banyak orang yang menyandarkan dirinya kepada ilmu dan menuntut ilmu terfitnah dengan faktor penghalang dan enggan mengupayakan sebab (yang memudahkan Salat Malam), sehingga Anda dapati salah seorang dari kita begadang. Dia begadang untuk apa? Untuk ngobrol ngalor ngidul yang sifatnya —insya Allah—masih mubah. Kita tidak membahas orang yang begadang untuk perkara haram. Namun, masalahnya adalah jika para penuntut ilmu begadang untuk perkara mubah, setelah itu, ketika datang waktu Salat Malam, padahal dia dalam keadaan terjaga, kekuatannya sempurna, dan tidak butuh tidur, ketika datang sepertiga malam terakhir lalu ingin Salat Witir, dengan tiga, lima, tujuh, atau sembilan rakaat, Anda rasakan lebih berat daripada gunung, karena orang yang menghabiskan waktunya untuk ngobrol ngalor ngidul, walaupun mubah, tidak akan membantu untuk urusan (ibadah) seperti ini, umumnya, itu tidak membantu untuk urusan (ibadah) seperti ini. Jadi, dalam masalah ini butuh tindakan pencegahan, dan hati juga perlu dijaga betul dari hal-hal yang mempengaruhinya, dan di antara yang paling besar pengaruhnya terhadap hati adalah banyak bicara. Kita tidak membahas orang yang lisannya lancang kepada orang-orang baik, tidak berhati-hati, dan membagi-bagi pahalanya (karena ghibah) kepada si fulan dan si alan. Namun masalahnya adalah orang yang hanya berkata yang mubah-mubah saja, maka ini umumnya tidak membantu dalam Salat Malam. Andaikata dia bisa salat pun, itu tidak membantunya untuk khusyuk hatinya, karena masalah salat ini butuh konsentrasi dan hati butuh fokus, Sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim dan selainnya. ==== وَمَعَ الْأَسَفِ الشَّدِيدِ أَنَّ كَثِيرًا مِمَّنْ يَنْتَسِبُ إِلَى طَلَبِ الْعِلْمِ نَصِيبُهُ فِي هَذَا الْبَابِ ضَعِيفٌ إِنْ وُجِدَ فَكَثِيرٌ مِمَّنْ يَنْتَسِبُ إِلَى الْعِلْمِ وَإِلَى طَلَبِهِ ابْتُلُوْا بِالْمَوَانِعِ وَعَدَمِ بَذْلِ الْأَسْبَابِ فَتَرَى الْوَاحِدَ مِنَّا يَسْهَرُ هُوَ يَسْهَرُ عَلَى مَاذَا؟ عَلَى الْقِيْلِ وَالْقَالِ مِنَ الْكَلَامِ الْمُبَاحِ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى دَعُوْنَا مِمَّنْ يَسْهَرُ عَلَى مُحَرَّمٍ لَكِنَّ الْمَسْأَلَةَ مُفْتَرَضَةٌ فِي طُلَّابِ الْعِلْمِ يَسْهَرُ عَلَى الْمُبَاحِ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ إِذَا جَاءَ وَقْتُ الْقِيَامِ رَجُلٌ مُسْتَيْقِظٌ وَبِكَامِلِ قُوَّةٍ وَلَا يَحْتَاجُ إِلَى النَّوْمِ وَيَحْضُرُ الثُّلُثُ الْأَخِيرُ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ بَثَلَاثِ رَكَعَاتٍ أَوْ خَمْسِ رَكَعَاتٍ أَوْ سَبْعٍ أَوْ تِسْعٍ تَجِدُهَا أَثْقَلَ مِنْ جَبَلٍ لِأَنَّ مَنْ يُمْضِي وَقْتَهُ فِي الْقِيْلِ وَالْقَالِ وَلَوْ كَانَ مُبَاحًا لَا يُعَانُ عَلَى مِثْلِ هَذِهِ الْأُمُورِ فَإِنَّهُ فِي الْغَالِبِ لَا يُعَانُ عَلَى مِثْلِ هَذِهِ الْأُمُورِ فَالْمَسْأَلَةُ تَحْتَاجُ إِلَى الْاحْتِيَاطِ وَالْقَلْبُ يَحْتَاجُ إِلَى حِرَاسَةٍ شَدِيدَةٍ مِنَ الْمُؤَثِّرَاتِ وَمِنْ أَعْظَمِ الْمُؤَثِّرَاتِ عَلَى الْقَلْبِ فُضُولُ الْكَلَامِ دَعُوْنَا مِمَّنْ سَلَّطَ لِسَانَهُ عَلَى الْأَخْيَار وَلَمْ يَحْتَطْ لِنَفْسِهِ وَفَرَّقَ حَسَنَاتِهِ عَلَى فُلَانٍ وَعَلَّانٍ لَكِنَّ الْمَسْأَلَةَ فِي مَنْ لَا يَقُولُ إِلَّا مُبَاحًا فِي الْغَالِبِ لَا يُعَانُ عَلَى الْقِيَامِ فَإِنْ قَامَ لَا يُعَانُ عَلَى حُضُورِ الْقَلْبِ فَالْمَسْأَلَةُ تَحْتَاجُ إِلَى الْاِسْتِجْمَاعِ وَالْقَلْبُ يَحْتَاجُ إِلَى جَمْعِيَّةٍ كَمَا قَالَ ابْنُ الْقِيَّمِ وَغَيْرُهُ
Sangat disayangkan sekali bahwa banyak penuntut ilmu perhatiannya lemah dalam masalah ini, itu pun jika masih ada. Banyak orang yang menyandarkan dirinya kepada ilmu dan menuntut ilmu terfitnah dengan faktor penghalang dan enggan mengupayakan sebab (yang memudahkan Salat Malam), sehingga Anda dapati salah seorang dari kita begadang. Dia begadang untuk apa? Untuk ngobrol ngalor ngidul yang sifatnya —insya Allah—masih mubah. Kita tidak membahas orang yang begadang untuk perkara haram. Namun, masalahnya adalah jika para penuntut ilmu begadang untuk perkara mubah, setelah itu, ketika datang waktu Salat Malam, padahal dia dalam keadaan terjaga, kekuatannya sempurna, dan tidak butuh tidur, ketika datang sepertiga malam terakhir lalu ingin Salat Witir, dengan tiga, lima, tujuh, atau sembilan rakaat, Anda rasakan lebih berat daripada gunung, karena orang yang menghabiskan waktunya untuk ngobrol ngalor ngidul, walaupun mubah, tidak akan membantu untuk urusan (ibadah) seperti ini, umumnya, itu tidak membantu untuk urusan (ibadah) seperti ini. Jadi, dalam masalah ini butuh tindakan pencegahan, dan hati juga perlu dijaga betul dari hal-hal yang mempengaruhinya, dan di antara yang paling besar pengaruhnya terhadap hati adalah banyak bicara. Kita tidak membahas orang yang lisannya lancang kepada orang-orang baik, tidak berhati-hati, dan membagi-bagi pahalanya (karena ghibah) kepada si fulan dan si alan. Namun masalahnya adalah orang yang hanya berkata yang mubah-mubah saja, maka ini umumnya tidak membantu dalam Salat Malam. Andaikata dia bisa salat pun, itu tidak membantunya untuk khusyuk hatinya, karena masalah salat ini butuh konsentrasi dan hati butuh fokus, Sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim dan selainnya. ==== وَمَعَ الْأَسَفِ الشَّدِيدِ أَنَّ كَثِيرًا مِمَّنْ يَنْتَسِبُ إِلَى طَلَبِ الْعِلْمِ نَصِيبُهُ فِي هَذَا الْبَابِ ضَعِيفٌ إِنْ وُجِدَ فَكَثِيرٌ مِمَّنْ يَنْتَسِبُ إِلَى الْعِلْمِ وَإِلَى طَلَبِهِ ابْتُلُوْا بِالْمَوَانِعِ وَعَدَمِ بَذْلِ الْأَسْبَابِ فَتَرَى الْوَاحِدَ مِنَّا يَسْهَرُ هُوَ يَسْهَرُ عَلَى مَاذَا؟ عَلَى الْقِيْلِ وَالْقَالِ مِنَ الْكَلَامِ الْمُبَاحِ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى دَعُوْنَا مِمَّنْ يَسْهَرُ عَلَى مُحَرَّمٍ لَكِنَّ الْمَسْأَلَةَ مُفْتَرَضَةٌ فِي طُلَّابِ الْعِلْمِ يَسْهَرُ عَلَى الْمُبَاحِ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ إِذَا جَاءَ وَقْتُ الْقِيَامِ رَجُلٌ مُسْتَيْقِظٌ وَبِكَامِلِ قُوَّةٍ وَلَا يَحْتَاجُ إِلَى النَّوْمِ وَيَحْضُرُ الثُّلُثُ الْأَخِيرُ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ بَثَلَاثِ رَكَعَاتٍ أَوْ خَمْسِ رَكَعَاتٍ أَوْ سَبْعٍ أَوْ تِسْعٍ تَجِدُهَا أَثْقَلَ مِنْ جَبَلٍ لِأَنَّ مَنْ يُمْضِي وَقْتَهُ فِي الْقِيْلِ وَالْقَالِ وَلَوْ كَانَ مُبَاحًا لَا يُعَانُ عَلَى مِثْلِ هَذِهِ الْأُمُورِ فَإِنَّهُ فِي الْغَالِبِ لَا يُعَانُ عَلَى مِثْلِ هَذِهِ الْأُمُورِ فَالْمَسْأَلَةُ تَحْتَاجُ إِلَى الْاحْتِيَاطِ وَالْقَلْبُ يَحْتَاجُ إِلَى حِرَاسَةٍ شَدِيدَةٍ مِنَ الْمُؤَثِّرَاتِ وَمِنْ أَعْظَمِ الْمُؤَثِّرَاتِ عَلَى الْقَلْبِ فُضُولُ الْكَلَامِ دَعُوْنَا مِمَّنْ سَلَّطَ لِسَانَهُ عَلَى الْأَخْيَار وَلَمْ يَحْتَطْ لِنَفْسِهِ وَفَرَّقَ حَسَنَاتِهِ عَلَى فُلَانٍ وَعَلَّانٍ لَكِنَّ الْمَسْأَلَةَ فِي مَنْ لَا يَقُولُ إِلَّا مُبَاحًا فِي الْغَالِبِ لَا يُعَانُ عَلَى الْقِيَامِ فَإِنْ قَامَ لَا يُعَانُ عَلَى حُضُورِ الْقَلْبِ فَالْمَسْأَلَةُ تَحْتَاجُ إِلَى الْاِسْتِجْمَاعِ وَالْقَلْبُ يَحْتَاجُ إِلَى جَمْعِيَّةٍ كَمَا قَالَ ابْنُ الْقِيَّمِ وَغَيْرُهُ


Sangat disayangkan sekali bahwa banyak penuntut ilmu perhatiannya lemah dalam masalah ini, itu pun jika masih ada. Banyak orang yang menyandarkan dirinya kepada ilmu dan menuntut ilmu terfitnah dengan faktor penghalang dan enggan mengupayakan sebab (yang memudahkan Salat Malam), sehingga Anda dapati salah seorang dari kita begadang. Dia begadang untuk apa? Untuk ngobrol ngalor ngidul yang sifatnya —insya Allah—masih mubah. Kita tidak membahas orang yang begadang untuk perkara haram. Namun, masalahnya adalah jika para penuntut ilmu begadang untuk perkara mubah, setelah itu, ketika datang waktu Salat Malam, padahal dia dalam keadaan terjaga, kekuatannya sempurna, dan tidak butuh tidur, ketika datang sepertiga malam terakhir lalu ingin Salat Witir, dengan tiga, lima, tujuh, atau sembilan rakaat, Anda rasakan lebih berat daripada gunung, karena orang yang menghabiskan waktunya untuk ngobrol ngalor ngidul, walaupun mubah, tidak akan membantu untuk urusan (ibadah) seperti ini, umumnya, itu tidak membantu untuk urusan (ibadah) seperti ini. Jadi, dalam masalah ini butuh tindakan pencegahan, dan hati juga perlu dijaga betul dari hal-hal yang mempengaruhinya, dan di antara yang paling besar pengaruhnya terhadap hati adalah banyak bicara. Kita tidak membahas orang yang lisannya lancang kepada orang-orang baik, tidak berhati-hati, dan membagi-bagi pahalanya (karena ghibah) kepada si fulan dan si alan. Namun masalahnya adalah orang yang hanya berkata yang mubah-mubah saja, maka ini umumnya tidak membantu dalam Salat Malam. Andaikata dia bisa salat pun, itu tidak membantunya untuk khusyuk hatinya, karena masalah salat ini butuh konsentrasi dan hati butuh fokus, Sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim dan selainnya. ==== وَمَعَ الْأَسَفِ الشَّدِيدِ أَنَّ كَثِيرًا مِمَّنْ يَنْتَسِبُ إِلَى طَلَبِ الْعِلْمِ نَصِيبُهُ فِي هَذَا الْبَابِ ضَعِيفٌ إِنْ وُجِدَ فَكَثِيرٌ مِمَّنْ يَنْتَسِبُ إِلَى الْعِلْمِ وَإِلَى طَلَبِهِ ابْتُلُوْا بِالْمَوَانِعِ وَعَدَمِ بَذْلِ الْأَسْبَابِ فَتَرَى الْوَاحِدَ مِنَّا يَسْهَرُ هُوَ يَسْهَرُ عَلَى مَاذَا؟ عَلَى الْقِيْلِ وَالْقَالِ مِنَ الْكَلَامِ الْمُبَاحِ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى دَعُوْنَا مِمَّنْ يَسْهَرُ عَلَى مُحَرَّمٍ لَكِنَّ الْمَسْأَلَةَ مُفْتَرَضَةٌ فِي طُلَّابِ الْعِلْمِ يَسْهَرُ عَلَى الْمُبَاحِ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ إِذَا جَاءَ وَقْتُ الْقِيَامِ رَجُلٌ مُسْتَيْقِظٌ وَبِكَامِلِ قُوَّةٍ وَلَا يَحْتَاجُ إِلَى النَّوْمِ وَيَحْضُرُ الثُّلُثُ الْأَخِيرُ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ بَثَلَاثِ رَكَعَاتٍ أَوْ خَمْسِ رَكَعَاتٍ أَوْ سَبْعٍ أَوْ تِسْعٍ تَجِدُهَا أَثْقَلَ مِنْ جَبَلٍ لِأَنَّ مَنْ يُمْضِي وَقْتَهُ فِي الْقِيْلِ وَالْقَالِ وَلَوْ كَانَ مُبَاحًا لَا يُعَانُ عَلَى مِثْلِ هَذِهِ الْأُمُورِ فَإِنَّهُ فِي الْغَالِبِ لَا يُعَانُ عَلَى مِثْلِ هَذِهِ الْأُمُورِ فَالْمَسْأَلَةُ تَحْتَاجُ إِلَى الْاحْتِيَاطِ وَالْقَلْبُ يَحْتَاجُ إِلَى حِرَاسَةٍ شَدِيدَةٍ مِنَ الْمُؤَثِّرَاتِ وَمِنْ أَعْظَمِ الْمُؤَثِّرَاتِ عَلَى الْقَلْبِ فُضُولُ الْكَلَامِ دَعُوْنَا مِمَّنْ سَلَّطَ لِسَانَهُ عَلَى الْأَخْيَار وَلَمْ يَحْتَطْ لِنَفْسِهِ وَفَرَّقَ حَسَنَاتِهِ عَلَى فُلَانٍ وَعَلَّانٍ لَكِنَّ الْمَسْأَلَةَ فِي مَنْ لَا يَقُولُ إِلَّا مُبَاحًا فِي الْغَالِبِ لَا يُعَانُ عَلَى الْقِيَامِ فَإِنْ قَامَ لَا يُعَانُ عَلَى حُضُورِ الْقَلْبِ فَالْمَسْأَلَةُ تَحْتَاجُ إِلَى الْاِسْتِجْمَاعِ وَالْقَلْبُ يَحْتَاجُ إِلَى جَمْعِيَّةٍ كَمَا قَالَ ابْنُ الْقِيَّمِ وَغَيْرُهُ

Nasihat untuk Pemuda Muslim dari Ulama Zaman Ini

Daftar Isi Toggle Pertama: Memanfaatkan waktu luang secara maksimalKedua: Memilih lingkungan dan teman bergaul yang baikKetiga: Mendalami ilmu agamaKeempat: Memilih sumber bacaan yang baik dan bermanfaatKelima: Berusaha menaati perintah dan menjauhi laranganKeenam: Dakwah bilhikmah dan menjadi teladan yang baik di dalam masyarakatKetujuh: Berkumpul dengan orang saleh dan dekat dengan para ulama Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya sebab-sebab (yang mendukung terjadinya) penyimpangan dan (banyak) masalah (di kalangan) para pemuda sangat banyak dan bermacam-macam. Karena manusia di masa remaja akan mengalami pertumbuhan pada fisik, pikiran, dan akalnya. Karena masa remaja adalah masa pertumbuhan, sehingga timbullah perubahan yang sangat cepat (pada dirinya). Oleh karena itu, dalam masa ini sangat dibutuhkan tersedianya sarana-sarana untuk membatasi diri, mengekang nafsu, dan pengarahan yang bijaksana untuk menuntun ke jalan yang lurus.” (Min Musykilatisy Syabab, hal. 12) Kemudian Syekh Al-’Utsaimin rahimahullah menjelaskan sebab-sebab yang harus ditempuh untuk memperbaiki akhlak para pemuda berdasarkan petunjuk agama Islam dalam kitab beliau yang berjudul Kitab “Min Musykilatisy Syabab”. Di antaranya adalah: Pertama: Memanfaatkan waktu luang secara maksimal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ “Ada dua nikmat (dari Allah Ta’ala) yang kurang diperhatikan oleh banyak manusia, (yaitu): kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari no. 6049) Waktu luang bisa menjadi berkah bagi kita sekaligus bisa menjadi penyakit yang membinasakan diri, pikiran, akal, serta berpotensi merusak fisik manusia. Hal ini karena jika tidak beraktifitas, maka pikiran akan beku, akalnya akan buntu, dan aktifitas dirinya akan lemah. Hatinya akan dikuasai bisikan dan pemikiran buruk yang kerap terjadi, sehingga mampu melahirkan keinginan buruk. Untuk mengatasi hal demikian, hendaknya seorang pemuda berupaya untuk mengisi waktu luangnya dengan kegiatan yang produktif serta bermanfaat yang sesuai dengan dirinya. Kedua: Memilih lingkungan dan teman bergaul yang baik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, المرء على دين خليله، فلينظر أحدكم من يخالل “Seorang manusia akan mengikuti agama teman dekatnya. Maka hendaknya salah seorang darimu melihat siapa yang dijadikan sebagai teman dekatnya.” (HR. Abu Dawud no. 4833, At-Tirmidzi no. 2378, dan Al-Hakim, 4: 189, dinyatakan sahih oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi, serta dihasankan oleh Syekh Al-Albani) Lingkungan dan siapa yang dijadikan sebagai teman kita dapat berpengaruh pada akal, pikiran, dan tingkah laku bagi seorang pemuda. Dalam hadis lain, beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Perumpamaan teman duduk (bergaul) yang baik dan teman duduk (bergaul) yang buruk (adalah) seperti pembawa (penjual) minyak wangi dan peniup al-kir (tempat menempa besi). Adapun penjual minyak wangi, bisa jadi dia memberimu minyak wangi, atau kamu membeli (minyak wangi) darinya, atau (minimal) kamu akan mencium aroma yang harum darinya. Sedangkan peniup al-kir (tempat menempa besi), bisa jadi (apinya) akan membakar pakaianmu atau (minimal) kamu akan mencium aroma yang tidak sedap darinya.” (HR. Bukhari no. 5214 dan Muslim no. 2628) Hadis yang mulia ini menunjukkan keutamaan duduk dan bergaul dengan orang-orang yang baik akhlak dan tingkah lakunya. Karena pengaruh baik yang ditimbulkan dengan selalu menyertai mereka. Hadis ini sekaligus menunjukkan larangan bergaul dengan orang-orang yang buruk akhlaknya dan pelaku maksiat karena pengaruh buruk yang ditimbulkan dengan selalu menyertai mereka. (Lihat kitab Syarhu Shahih Muslim, 16: 178 dan Faidhul Qadir, 3: 4) Ketiga: Mendalami ilmu agama Allah Ta’ala berfirman, هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الأَلْبَابِ “Katakanlah, ‘Apakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya hanya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَىْ كُلِّ مُسْلِمٍ “Menuntut ilmu (agama) itu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah, hadis hasan) Maka, ilmu syar’i wajib dipelajari oleh setiap muslim. Tidak mungkin orang bodoh dapat memahami agamanya dan membela (agamanya) di berbagai forum diskusi. Orang bodoh tidaklah bisa memberikan manfaat bagi masyarakat dan keluarganya. Oleh karena itu, hendaknya para pemuda Islam untuk bersegera (bersemangat) mendatangi majelis-majelis ilmu agama (pengajian), baik di masjid atau di pusat dakwah Islam. Dan juga memanfaatkan waktu mereka untuk menghafal Al-Qur’an dan membaca kitab-kitab (para ulama). Inilah nasihat untuk pemuda yang utama. Baca juga: Nasihat untuk Penuntut Ilmu Pemula Keempat: Memilih sumber bacaan yang baik dan bermanfaat Mengonsumsi sumber-sumber bacaan yang terpercaya akan kebenarannya dan menjauhi sumber-sumber bacaan yang dapat merusak, baik merusak pemikiran, cara pandang, dan akidah. Maka, carilah sumber bacaan yang membuat kita semakin produktif dan bermanfaat. Yang paling penting adalah membaca Al-Qur’an dan kitab-kitab tafsir yang sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang tersebar di toko-toko buku yang sudah terpercaya, seperti halnya berisi riwayat-riwayat tafsir yang sahih dan penafsiran yang benar. Kelima: Berusaha menaati perintah dan menjauhi larangan Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لا ظِلَّ إِلا ظِلُّهُ : الإِمَامُ الْعَادِلُ ، وَشَابٌّ نَشَأ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ  “Tujuh (golongan) yang Allah naungi di hari yang tidak ada naungan, melainkan naungan dari-Nya, (yaitu) … pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Tuhannya … ” (HR. Bukhari dan Muslim) Sebagai seorang pemuda muslim, ia senantiasa berikhtiar dan berusaha taat kepada Allah Ta’ala. Tidaklah mereka mendengar perintah syariat, kecuali mereka akan menjadi yang terdepan dalam melaksanakannya. Tidaklah mereka mendengar suatu larangan, kecuali mereka akan menjadi yang terdepan dalam menjauhinya. Pemuda semacam ini berhak untuk mendapatkan pahala yang banyak pada hari kiamat, di bawah naungan ‘Arasy milik Allah Ta’ala, ketika panas matahari didekatkan di atas kepala manusia. Keenam: Dakwah bilhikmah dan menjadi teladan yang baik di dalam masyarakat Dakwah di dalam masyarakat mesti dengan pendekatan yang inklusif dan penuh dengan hikmah, seperti yang sudah diajarkan oleh baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Yakni, di mana kondisi pemuda muslim yang memberikan pengajaran kepada masyarakat dan berdakwah kepada mereka, janganlah perbuatannya bertentangan dengan ucapannya, serta sampaikanlah dengan lemah lembut dan bersabar atasnya. Hendaklah dia berhias dengan akhlak-akhlak mulia yang dia sampaikan dan dakwahkan, melaksanakan ketaatan sebagaimana yang dia anjurkan kepada masyarakat. Dia menjadi teladan bagi masyarakat dalam (memegang) syariat, amanah, istikamah, kejujuran, menjaga kehormatan, dan akhlak-akhlak mulia. Ketujuh: Berkumpul dengan orang saleh dan dekat dengan para ulama Allah Ta’ala berfirman, وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (QS. An-Nisa’: 83) Pemuda muslim hendaknya berjalan di atas jalan sunah yang meniti di setiap jalan hidayah, di atas kebenaran, dan di atas jalan yang hak atas bimbingan para ulama dan asatidzah terpercaya, juga para pakar yang luas ilmunya dan memiliki banyak pengalaman yang bermanfaat baik dalam urusan din serta disiplin ilmu yang sesuai dengan profesinya (tanpa melanggar syariat). Diharapkan juga mereka lebih dapat bermanfaat dan mampu memberikan manfaat, bukan hanya pada dirinya saja, akan tetapi manfaat pada kepada umat dan agamanya serta masyarakat sekitar. Semoga Allah ‘Azza Wajalla menjaga hidayah dan keistikamahan kita, mengaruniakan keberkahan dan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat. Dan jangan lupa untuk senantiasa berdoa dan meminta perlindungan pada Allah agar kita terhindar dari fitnah dan syubhat akhir zaman yang marak hadir di sekitar lingkungan, terutama maksiat yang diumbar dan dosa-dosa yang ditampakkan. Semoga kita dimudahkan dan dimampukan dalam menjaga niat diri ikhlas menjadi insan yang semakin bertakwa dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Baca juga: Nasihat untuk Para Pencari Kerja *** Penulis: Kiki Dwi Setiabudi Artikel: Muslim.or.id Tags: nasihatulama

Nasihat untuk Pemuda Muslim dari Ulama Zaman Ini

Daftar Isi Toggle Pertama: Memanfaatkan waktu luang secara maksimalKedua: Memilih lingkungan dan teman bergaul yang baikKetiga: Mendalami ilmu agamaKeempat: Memilih sumber bacaan yang baik dan bermanfaatKelima: Berusaha menaati perintah dan menjauhi laranganKeenam: Dakwah bilhikmah dan menjadi teladan yang baik di dalam masyarakatKetujuh: Berkumpul dengan orang saleh dan dekat dengan para ulama Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya sebab-sebab (yang mendukung terjadinya) penyimpangan dan (banyak) masalah (di kalangan) para pemuda sangat banyak dan bermacam-macam. Karena manusia di masa remaja akan mengalami pertumbuhan pada fisik, pikiran, dan akalnya. Karena masa remaja adalah masa pertumbuhan, sehingga timbullah perubahan yang sangat cepat (pada dirinya). Oleh karena itu, dalam masa ini sangat dibutuhkan tersedianya sarana-sarana untuk membatasi diri, mengekang nafsu, dan pengarahan yang bijaksana untuk menuntun ke jalan yang lurus.” (Min Musykilatisy Syabab, hal. 12) Kemudian Syekh Al-’Utsaimin rahimahullah menjelaskan sebab-sebab yang harus ditempuh untuk memperbaiki akhlak para pemuda berdasarkan petunjuk agama Islam dalam kitab beliau yang berjudul Kitab “Min Musykilatisy Syabab”. Di antaranya adalah: Pertama: Memanfaatkan waktu luang secara maksimal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ “Ada dua nikmat (dari Allah Ta’ala) yang kurang diperhatikan oleh banyak manusia, (yaitu): kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari no. 6049) Waktu luang bisa menjadi berkah bagi kita sekaligus bisa menjadi penyakit yang membinasakan diri, pikiran, akal, serta berpotensi merusak fisik manusia. Hal ini karena jika tidak beraktifitas, maka pikiran akan beku, akalnya akan buntu, dan aktifitas dirinya akan lemah. Hatinya akan dikuasai bisikan dan pemikiran buruk yang kerap terjadi, sehingga mampu melahirkan keinginan buruk. Untuk mengatasi hal demikian, hendaknya seorang pemuda berupaya untuk mengisi waktu luangnya dengan kegiatan yang produktif serta bermanfaat yang sesuai dengan dirinya. Kedua: Memilih lingkungan dan teman bergaul yang baik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, المرء على دين خليله، فلينظر أحدكم من يخالل “Seorang manusia akan mengikuti agama teman dekatnya. Maka hendaknya salah seorang darimu melihat siapa yang dijadikan sebagai teman dekatnya.” (HR. Abu Dawud no. 4833, At-Tirmidzi no. 2378, dan Al-Hakim, 4: 189, dinyatakan sahih oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi, serta dihasankan oleh Syekh Al-Albani) Lingkungan dan siapa yang dijadikan sebagai teman kita dapat berpengaruh pada akal, pikiran, dan tingkah laku bagi seorang pemuda. Dalam hadis lain, beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Perumpamaan teman duduk (bergaul) yang baik dan teman duduk (bergaul) yang buruk (adalah) seperti pembawa (penjual) minyak wangi dan peniup al-kir (tempat menempa besi). Adapun penjual minyak wangi, bisa jadi dia memberimu minyak wangi, atau kamu membeli (minyak wangi) darinya, atau (minimal) kamu akan mencium aroma yang harum darinya. Sedangkan peniup al-kir (tempat menempa besi), bisa jadi (apinya) akan membakar pakaianmu atau (minimal) kamu akan mencium aroma yang tidak sedap darinya.” (HR. Bukhari no. 5214 dan Muslim no. 2628) Hadis yang mulia ini menunjukkan keutamaan duduk dan bergaul dengan orang-orang yang baik akhlak dan tingkah lakunya. Karena pengaruh baik yang ditimbulkan dengan selalu menyertai mereka. Hadis ini sekaligus menunjukkan larangan bergaul dengan orang-orang yang buruk akhlaknya dan pelaku maksiat karena pengaruh buruk yang ditimbulkan dengan selalu menyertai mereka. (Lihat kitab Syarhu Shahih Muslim, 16: 178 dan Faidhul Qadir, 3: 4) Ketiga: Mendalami ilmu agama Allah Ta’ala berfirman, هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الأَلْبَابِ “Katakanlah, ‘Apakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya hanya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَىْ كُلِّ مُسْلِمٍ “Menuntut ilmu (agama) itu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah, hadis hasan) Maka, ilmu syar’i wajib dipelajari oleh setiap muslim. Tidak mungkin orang bodoh dapat memahami agamanya dan membela (agamanya) di berbagai forum diskusi. Orang bodoh tidaklah bisa memberikan manfaat bagi masyarakat dan keluarganya. Oleh karena itu, hendaknya para pemuda Islam untuk bersegera (bersemangat) mendatangi majelis-majelis ilmu agama (pengajian), baik di masjid atau di pusat dakwah Islam. Dan juga memanfaatkan waktu mereka untuk menghafal Al-Qur’an dan membaca kitab-kitab (para ulama). Inilah nasihat untuk pemuda yang utama. Baca juga: Nasihat untuk Penuntut Ilmu Pemula Keempat: Memilih sumber bacaan yang baik dan bermanfaat Mengonsumsi sumber-sumber bacaan yang terpercaya akan kebenarannya dan menjauhi sumber-sumber bacaan yang dapat merusak, baik merusak pemikiran, cara pandang, dan akidah. Maka, carilah sumber bacaan yang membuat kita semakin produktif dan bermanfaat. Yang paling penting adalah membaca Al-Qur’an dan kitab-kitab tafsir yang sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang tersebar di toko-toko buku yang sudah terpercaya, seperti halnya berisi riwayat-riwayat tafsir yang sahih dan penafsiran yang benar. Kelima: Berusaha menaati perintah dan menjauhi larangan Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لا ظِلَّ إِلا ظِلُّهُ : الإِمَامُ الْعَادِلُ ، وَشَابٌّ نَشَأ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ  “Tujuh (golongan) yang Allah naungi di hari yang tidak ada naungan, melainkan naungan dari-Nya, (yaitu) … pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Tuhannya … ” (HR. Bukhari dan Muslim) Sebagai seorang pemuda muslim, ia senantiasa berikhtiar dan berusaha taat kepada Allah Ta’ala. Tidaklah mereka mendengar perintah syariat, kecuali mereka akan menjadi yang terdepan dalam melaksanakannya. Tidaklah mereka mendengar suatu larangan, kecuali mereka akan menjadi yang terdepan dalam menjauhinya. Pemuda semacam ini berhak untuk mendapatkan pahala yang banyak pada hari kiamat, di bawah naungan ‘Arasy milik Allah Ta’ala, ketika panas matahari didekatkan di atas kepala manusia. Keenam: Dakwah bilhikmah dan menjadi teladan yang baik di dalam masyarakat Dakwah di dalam masyarakat mesti dengan pendekatan yang inklusif dan penuh dengan hikmah, seperti yang sudah diajarkan oleh baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Yakni, di mana kondisi pemuda muslim yang memberikan pengajaran kepada masyarakat dan berdakwah kepada mereka, janganlah perbuatannya bertentangan dengan ucapannya, serta sampaikanlah dengan lemah lembut dan bersabar atasnya. Hendaklah dia berhias dengan akhlak-akhlak mulia yang dia sampaikan dan dakwahkan, melaksanakan ketaatan sebagaimana yang dia anjurkan kepada masyarakat. Dia menjadi teladan bagi masyarakat dalam (memegang) syariat, amanah, istikamah, kejujuran, menjaga kehormatan, dan akhlak-akhlak mulia. Ketujuh: Berkumpul dengan orang saleh dan dekat dengan para ulama Allah Ta’ala berfirman, وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (QS. An-Nisa’: 83) Pemuda muslim hendaknya berjalan di atas jalan sunah yang meniti di setiap jalan hidayah, di atas kebenaran, dan di atas jalan yang hak atas bimbingan para ulama dan asatidzah terpercaya, juga para pakar yang luas ilmunya dan memiliki banyak pengalaman yang bermanfaat baik dalam urusan din serta disiplin ilmu yang sesuai dengan profesinya (tanpa melanggar syariat). Diharapkan juga mereka lebih dapat bermanfaat dan mampu memberikan manfaat, bukan hanya pada dirinya saja, akan tetapi manfaat pada kepada umat dan agamanya serta masyarakat sekitar. Semoga Allah ‘Azza Wajalla menjaga hidayah dan keistikamahan kita, mengaruniakan keberkahan dan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat. Dan jangan lupa untuk senantiasa berdoa dan meminta perlindungan pada Allah agar kita terhindar dari fitnah dan syubhat akhir zaman yang marak hadir di sekitar lingkungan, terutama maksiat yang diumbar dan dosa-dosa yang ditampakkan. Semoga kita dimudahkan dan dimampukan dalam menjaga niat diri ikhlas menjadi insan yang semakin bertakwa dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Baca juga: Nasihat untuk Para Pencari Kerja *** Penulis: Kiki Dwi Setiabudi Artikel: Muslim.or.id Tags: nasihatulama
Daftar Isi Toggle Pertama: Memanfaatkan waktu luang secara maksimalKedua: Memilih lingkungan dan teman bergaul yang baikKetiga: Mendalami ilmu agamaKeempat: Memilih sumber bacaan yang baik dan bermanfaatKelima: Berusaha menaati perintah dan menjauhi laranganKeenam: Dakwah bilhikmah dan menjadi teladan yang baik di dalam masyarakatKetujuh: Berkumpul dengan orang saleh dan dekat dengan para ulama Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya sebab-sebab (yang mendukung terjadinya) penyimpangan dan (banyak) masalah (di kalangan) para pemuda sangat banyak dan bermacam-macam. Karena manusia di masa remaja akan mengalami pertumbuhan pada fisik, pikiran, dan akalnya. Karena masa remaja adalah masa pertumbuhan, sehingga timbullah perubahan yang sangat cepat (pada dirinya). Oleh karena itu, dalam masa ini sangat dibutuhkan tersedianya sarana-sarana untuk membatasi diri, mengekang nafsu, dan pengarahan yang bijaksana untuk menuntun ke jalan yang lurus.” (Min Musykilatisy Syabab, hal. 12) Kemudian Syekh Al-’Utsaimin rahimahullah menjelaskan sebab-sebab yang harus ditempuh untuk memperbaiki akhlak para pemuda berdasarkan petunjuk agama Islam dalam kitab beliau yang berjudul Kitab “Min Musykilatisy Syabab”. Di antaranya adalah: Pertama: Memanfaatkan waktu luang secara maksimal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ “Ada dua nikmat (dari Allah Ta’ala) yang kurang diperhatikan oleh banyak manusia, (yaitu): kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari no. 6049) Waktu luang bisa menjadi berkah bagi kita sekaligus bisa menjadi penyakit yang membinasakan diri, pikiran, akal, serta berpotensi merusak fisik manusia. Hal ini karena jika tidak beraktifitas, maka pikiran akan beku, akalnya akan buntu, dan aktifitas dirinya akan lemah. Hatinya akan dikuasai bisikan dan pemikiran buruk yang kerap terjadi, sehingga mampu melahirkan keinginan buruk. Untuk mengatasi hal demikian, hendaknya seorang pemuda berupaya untuk mengisi waktu luangnya dengan kegiatan yang produktif serta bermanfaat yang sesuai dengan dirinya. Kedua: Memilih lingkungan dan teman bergaul yang baik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, المرء على دين خليله، فلينظر أحدكم من يخالل “Seorang manusia akan mengikuti agama teman dekatnya. Maka hendaknya salah seorang darimu melihat siapa yang dijadikan sebagai teman dekatnya.” (HR. Abu Dawud no. 4833, At-Tirmidzi no. 2378, dan Al-Hakim, 4: 189, dinyatakan sahih oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi, serta dihasankan oleh Syekh Al-Albani) Lingkungan dan siapa yang dijadikan sebagai teman kita dapat berpengaruh pada akal, pikiran, dan tingkah laku bagi seorang pemuda. Dalam hadis lain, beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Perumpamaan teman duduk (bergaul) yang baik dan teman duduk (bergaul) yang buruk (adalah) seperti pembawa (penjual) minyak wangi dan peniup al-kir (tempat menempa besi). Adapun penjual minyak wangi, bisa jadi dia memberimu minyak wangi, atau kamu membeli (minyak wangi) darinya, atau (minimal) kamu akan mencium aroma yang harum darinya. Sedangkan peniup al-kir (tempat menempa besi), bisa jadi (apinya) akan membakar pakaianmu atau (minimal) kamu akan mencium aroma yang tidak sedap darinya.” (HR. Bukhari no. 5214 dan Muslim no. 2628) Hadis yang mulia ini menunjukkan keutamaan duduk dan bergaul dengan orang-orang yang baik akhlak dan tingkah lakunya. Karena pengaruh baik yang ditimbulkan dengan selalu menyertai mereka. Hadis ini sekaligus menunjukkan larangan bergaul dengan orang-orang yang buruk akhlaknya dan pelaku maksiat karena pengaruh buruk yang ditimbulkan dengan selalu menyertai mereka. (Lihat kitab Syarhu Shahih Muslim, 16: 178 dan Faidhul Qadir, 3: 4) Ketiga: Mendalami ilmu agama Allah Ta’ala berfirman, هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الأَلْبَابِ “Katakanlah, ‘Apakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya hanya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَىْ كُلِّ مُسْلِمٍ “Menuntut ilmu (agama) itu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah, hadis hasan) Maka, ilmu syar’i wajib dipelajari oleh setiap muslim. Tidak mungkin orang bodoh dapat memahami agamanya dan membela (agamanya) di berbagai forum diskusi. Orang bodoh tidaklah bisa memberikan manfaat bagi masyarakat dan keluarganya. Oleh karena itu, hendaknya para pemuda Islam untuk bersegera (bersemangat) mendatangi majelis-majelis ilmu agama (pengajian), baik di masjid atau di pusat dakwah Islam. Dan juga memanfaatkan waktu mereka untuk menghafal Al-Qur’an dan membaca kitab-kitab (para ulama). Inilah nasihat untuk pemuda yang utama. Baca juga: Nasihat untuk Penuntut Ilmu Pemula Keempat: Memilih sumber bacaan yang baik dan bermanfaat Mengonsumsi sumber-sumber bacaan yang terpercaya akan kebenarannya dan menjauhi sumber-sumber bacaan yang dapat merusak, baik merusak pemikiran, cara pandang, dan akidah. Maka, carilah sumber bacaan yang membuat kita semakin produktif dan bermanfaat. Yang paling penting adalah membaca Al-Qur’an dan kitab-kitab tafsir yang sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang tersebar di toko-toko buku yang sudah terpercaya, seperti halnya berisi riwayat-riwayat tafsir yang sahih dan penafsiran yang benar. Kelima: Berusaha menaati perintah dan menjauhi larangan Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لا ظِلَّ إِلا ظِلُّهُ : الإِمَامُ الْعَادِلُ ، وَشَابٌّ نَشَأ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ  “Tujuh (golongan) yang Allah naungi di hari yang tidak ada naungan, melainkan naungan dari-Nya, (yaitu) … pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Tuhannya … ” (HR. Bukhari dan Muslim) Sebagai seorang pemuda muslim, ia senantiasa berikhtiar dan berusaha taat kepada Allah Ta’ala. Tidaklah mereka mendengar perintah syariat, kecuali mereka akan menjadi yang terdepan dalam melaksanakannya. Tidaklah mereka mendengar suatu larangan, kecuali mereka akan menjadi yang terdepan dalam menjauhinya. Pemuda semacam ini berhak untuk mendapatkan pahala yang banyak pada hari kiamat, di bawah naungan ‘Arasy milik Allah Ta’ala, ketika panas matahari didekatkan di atas kepala manusia. Keenam: Dakwah bilhikmah dan menjadi teladan yang baik di dalam masyarakat Dakwah di dalam masyarakat mesti dengan pendekatan yang inklusif dan penuh dengan hikmah, seperti yang sudah diajarkan oleh baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Yakni, di mana kondisi pemuda muslim yang memberikan pengajaran kepada masyarakat dan berdakwah kepada mereka, janganlah perbuatannya bertentangan dengan ucapannya, serta sampaikanlah dengan lemah lembut dan bersabar atasnya. Hendaklah dia berhias dengan akhlak-akhlak mulia yang dia sampaikan dan dakwahkan, melaksanakan ketaatan sebagaimana yang dia anjurkan kepada masyarakat. Dia menjadi teladan bagi masyarakat dalam (memegang) syariat, amanah, istikamah, kejujuran, menjaga kehormatan, dan akhlak-akhlak mulia. Ketujuh: Berkumpul dengan orang saleh dan dekat dengan para ulama Allah Ta’ala berfirman, وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (QS. An-Nisa’: 83) Pemuda muslim hendaknya berjalan di atas jalan sunah yang meniti di setiap jalan hidayah, di atas kebenaran, dan di atas jalan yang hak atas bimbingan para ulama dan asatidzah terpercaya, juga para pakar yang luas ilmunya dan memiliki banyak pengalaman yang bermanfaat baik dalam urusan din serta disiplin ilmu yang sesuai dengan profesinya (tanpa melanggar syariat). Diharapkan juga mereka lebih dapat bermanfaat dan mampu memberikan manfaat, bukan hanya pada dirinya saja, akan tetapi manfaat pada kepada umat dan agamanya serta masyarakat sekitar. Semoga Allah ‘Azza Wajalla menjaga hidayah dan keistikamahan kita, mengaruniakan keberkahan dan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat. Dan jangan lupa untuk senantiasa berdoa dan meminta perlindungan pada Allah agar kita terhindar dari fitnah dan syubhat akhir zaman yang marak hadir di sekitar lingkungan, terutama maksiat yang diumbar dan dosa-dosa yang ditampakkan. Semoga kita dimudahkan dan dimampukan dalam menjaga niat diri ikhlas menjadi insan yang semakin bertakwa dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Baca juga: Nasihat untuk Para Pencari Kerja *** Penulis: Kiki Dwi Setiabudi Artikel: Muslim.or.id Tags: nasihatulama


Daftar Isi Toggle Pertama: Memanfaatkan waktu luang secara maksimalKedua: Memilih lingkungan dan teman bergaul yang baikKetiga: Mendalami ilmu agamaKeempat: Memilih sumber bacaan yang baik dan bermanfaatKelima: Berusaha menaati perintah dan menjauhi laranganKeenam: Dakwah bilhikmah dan menjadi teladan yang baik di dalam masyarakatKetujuh: Berkumpul dengan orang saleh dan dekat dengan para ulama Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya sebab-sebab (yang mendukung terjadinya) penyimpangan dan (banyak) masalah (di kalangan) para pemuda sangat banyak dan bermacam-macam. Karena manusia di masa remaja akan mengalami pertumbuhan pada fisik, pikiran, dan akalnya. Karena masa remaja adalah masa pertumbuhan, sehingga timbullah perubahan yang sangat cepat (pada dirinya). Oleh karena itu, dalam masa ini sangat dibutuhkan tersedianya sarana-sarana untuk membatasi diri, mengekang nafsu, dan pengarahan yang bijaksana untuk menuntun ke jalan yang lurus.” (Min Musykilatisy Syabab, hal. 12) Kemudian Syekh Al-’Utsaimin rahimahullah menjelaskan sebab-sebab yang harus ditempuh untuk memperbaiki akhlak para pemuda berdasarkan petunjuk agama Islam dalam kitab beliau yang berjudul Kitab “Min Musykilatisy Syabab”. Di antaranya adalah: Pertama: Memanfaatkan waktu luang secara maksimal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ “Ada dua nikmat (dari Allah Ta’ala) yang kurang diperhatikan oleh banyak manusia, (yaitu): kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari no. 6049) Waktu luang bisa menjadi berkah bagi kita sekaligus bisa menjadi penyakit yang membinasakan diri, pikiran, akal, serta berpotensi merusak fisik manusia. Hal ini karena jika tidak beraktifitas, maka pikiran akan beku, akalnya akan buntu, dan aktifitas dirinya akan lemah. Hatinya akan dikuasai bisikan dan pemikiran buruk yang kerap terjadi, sehingga mampu melahirkan keinginan buruk. Untuk mengatasi hal demikian, hendaknya seorang pemuda berupaya untuk mengisi waktu luangnya dengan kegiatan yang produktif serta bermanfaat yang sesuai dengan dirinya. Kedua: Memilih lingkungan dan teman bergaul yang baik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, المرء على دين خليله، فلينظر أحدكم من يخالل “Seorang manusia akan mengikuti agama teman dekatnya. Maka hendaknya salah seorang darimu melihat siapa yang dijadikan sebagai teman dekatnya.” (HR. Abu Dawud no. 4833, At-Tirmidzi no. 2378, dan Al-Hakim, 4: 189, dinyatakan sahih oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi, serta dihasankan oleh Syekh Al-Albani) Lingkungan dan siapa yang dijadikan sebagai teman kita dapat berpengaruh pada akal, pikiran, dan tingkah laku bagi seorang pemuda. Dalam hadis lain, beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Perumpamaan teman duduk (bergaul) yang baik dan teman duduk (bergaul) yang buruk (adalah) seperti pembawa (penjual) minyak wangi dan peniup al-kir (tempat menempa besi). Adapun penjual minyak wangi, bisa jadi dia memberimu minyak wangi, atau kamu membeli (minyak wangi) darinya, atau (minimal) kamu akan mencium aroma yang harum darinya. Sedangkan peniup al-kir (tempat menempa besi), bisa jadi (apinya) akan membakar pakaianmu atau (minimal) kamu akan mencium aroma yang tidak sedap darinya.” (HR. Bukhari no. 5214 dan Muslim no. 2628) Hadis yang mulia ini menunjukkan keutamaan duduk dan bergaul dengan orang-orang yang baik akhlak dan tingkah lakunya. Karena pengaruh baik yang ditimbulkan dengan selalu menyertai mereka. Hadis ini sekaligus menunjukkan larangan bergaul dengan orang-orang yang buruk akhlaknya dan pelaku maksiat karena pengaruh buruk yang ditimbulkan dengan selalu menyertai mereka. (Lihat kitab Syarhu Shahih Muslim, 16: 178 dan Faidhul Qadir, 3: 4) Ketiga: Mendalami ilmu agama Allah Ta’ala berfirman, هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الأَلْبَابِ “Katakanlah, ‘Apakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya hanya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَىْ كُلِّ مُسْلِمٍ “Menuntut ilmu (agama) itu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah, hadis hasan) Maka, ilmu syar’i wajib dipelajari oleh setiap muslim. Tidak mungkin orang bodoh dapat memahami agamanya dan membela (agamanya) di berbagai forum diskusi. Orang bodoh tidaklah bisa memberikan manfaat bagi masyarakat dan keluarganya. Oleh karena itu, hendaknya para pemuda Islam untuk bersegera (bersemangat) mendatangi majelis-majelis ilmu agama (pengajian), baik di masjid atau di pusat dakwah Islam. Dan juga memanfaatkan waktu mereka untuk menghafal Al-Qur’an dan membaca kitab-kitab (para ulama). Inilah nasihat untuk pemuda yang utama. Baca juga: Nasihat untuk Penuntut Ilmu Pemula Keempat: Memilih sumber bacaan yang baik dan bermanfaat Mengonsumsi sumber-sumber bacaan yang terpercaya akan kebenarannya dan menjauhi sumber-sumber bacaan yang dapat merusak, baik merusak pemikiran, cara pandang, dan akidah. Maka, carilah sumber bacaan yang membuat kita semakin produktif dan bermanfaat. Yang paling penting adalah membaca Al-Qur’an dan kitab-kitab tafsir yang sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang tersebar di toko-toko buku yang sudah terpercaya, seperti halnya berisi riwayat-riwayat tafsir yang sahih dan penafsiran yang benar. Kelima: Berusaha menaati perintah dan menjauhi larangan Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لا ظِلَّ إِلا ظِلُّهُ : الإِمَامُ الْعَادِلُ ، وَشَابٌّ نَشَأ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ  “Tujuh (golongan) yang Allah naungi di hari yang tidak ada naungan, melainkan naungan dari-Nya, (yaitu) … pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Tuhannya … ” (HR. Bukhari dan Muslim) Sebagai seorang pemuda muslim, ia senantiasa berikhtiar dan berusaha taat kepada Allah Ta’ala. Tidaklah mereka mendengar perintah syariat, kecuali mereka akan menjadi yang terdepan dalam melaksanakannya. Tidaklah mereka mendengar suatu larangan, kecuali mereka akan menjadi yang terdepan dalam menjauhinya. Pemuda semacam ini berhak untuk mendapatkan pahala yang banyak pada hari kiamat, di bawah naungan ‘Arasy milik Allah Ta’ala, ketika panas matahari didekatkan di atas kepala manusia. Keenam: Dakwah bilhikmah dan menjadi teladan yang baik di dalam masyarakat Dakwah di dalam masyarakat mesti dengan pendekatan yang inklusif dan penuh dengan hikmah, seperti yang sudah diajarkan oleh baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Yakni, di mana kondisi pemuda muslim yang memberikan pengajaran kepada masyarakat dan berdakwah kepada mereka, janganlah perbuatannya bertentangan dengan ucapannya, serta sampaikanlah dengan lemah lembut dan bersabar atasnya. Hendaklah dia berhias dengan akhlak-akhlak mulia yang dia sampaikan dan dakwahkan, melaksanakan ketaatan sebagaimana yang dia anjurkan kepada masyarakat. Dia menjadi teladan bagi masyarakat dalam (memegang) syariat, amanah, istikamah, kejujuran, menjaga kehormatan, dan akhlak-akhlak mulia. Ketujuh: Berkumpul dengan orang saleh dan dekat dengan para ulama Allah Ta’ala berfirman, وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (QS. An-Nisa’: 83) Pemuda muslim hendaknya berjalan di atas jalan sunah yang meniti di setiap jalan hidayah, di atas kebenaran, dan di atas jalan yang hak atas bimbingan para ulama dan asatidzah terpercaya, juga para pakar yang luas ilmunya dan memiliki banyak pengalaman yang bermanfaat baik dalam urusan din serta disiplin ilmu yang sesuai dengan profesinya (tanpa melanggar syariat). Diharapkan juga mereka lebih dapat bermanfaat dan mampu memberikan manfaat, bukan hanya pada dirinya saja, akan tetapi manfaat pada kepada umat dan agamanya serta masyarakat sekitar. Semoga Allah ‘Azza Wajalla menjaga hidayah dan keistikamahan kita, mengaruniakan keberkahan dan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat. Dan jangan lupa untuk senantiasa berdoa dan meminta perlindungan pada Allah agar kita terhindar dari fitnah dan syubhat akhir zaman yang marak hadir di sekitar lingkungan, terutama maksiat yang diumbar dan dosa-dosa yang ditampakkan. Semoga kita dimudahkan dan dimampukan dalam menjaga niat diri ikhlas menjadi insan yang semakin bertakwa dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Baca juga: Nasihat untuk Para Pencari Kerja *** Penulis: Kiki Dwi Setiabudi Artikel: Muslim.or.id Tags: nasihatulama

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 10): Fi’il Mudhari (3)

Contoh: Fi’il mudhari’ تَقُوْمُوْنَ adalah fi’il marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) karena bersambung dengan wawu jama’ah (yang menunjukkan orang ketiga laki-laki banyak). Apabila bersambung dengan nun taukid, contohnya adalah هَلْ تَقُوْمُنَّ بِوَاجِبِكُمْ ؟. Nun taukid yang bersambung dengan fi’il mudhari’ tersebut dikatakan nun taukid ghair mubasyirah atau tidak bersambung secara langsung dengan fi’il mudhari’-nya. Pemisah fi’il mudhari’ dengan nun taukid tersebut muqaddar (abstrak/tidak terlihat di tulisan). Pemisahnya adalah wawu jama’ah. Pada asalnya, kata تَقُوْمُنَّ tersebut adalah تَقُوْمُوْنَنَّ. Akan tetapi, huruf nun rafa’ atau huruf nun yang pertama dihapus dikarenakan ada huruf nun yang berturut-turut, yaitu huruf nun rafa’ setelah itu ada huruf nun taukid. Sehingga menjadi تَقُوْمُوْنَّ. Dikarenakan bertemunya dua huruf yang sukun, yaitu wawu jama’ah dan huruf pertama nun taukid yang di-tasydid, maka huruf wawu jama’ah tersebut dihapus untuk meringankan bacaan dikarenakan bertemunya dua huruf yang sukun tersebut. Dihapusnya huruf wawu jama’ah tersebut sudah diwakili oleh harakat dhammah yang terdapat pada sebelum huruf wawu jama’ah yang mana harakat dhammah tersebut menunjukkan bahwasanya ada huruf wawu jama’ah yang dihapus. Sehingga menjadi تَقُوْمُنَّ. Maka, kata تَقُوْمُنَّ adalah fi’il mudhari’ marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) yang muqaddar (abstrak). Adapun wawu jama’ah yang muqaddar (abstrak) karena dihapus tersebut berkedudukan di tempatnya marfu’ sebagai fa’il. Contoh dari firman Allah adalah, لَتُبْلَوُنَّ فِيْٓ اَمْوَالِكُمْ وَاَنْفُسِكُمْۗ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِيْنَ اَشْرَكُوْٓا اَذًى كَثِيْرً “Kamu pasti akan diuji dalam (urusan) hartamu dan dirimu. Kamu pun pasti akan mendengar banyak hal yang sangat menyakitkan hati dari orang-orang yang diberi Alkitab sebelum kamu dan dari orang-orang musyrik.” (QS. Ali-Imran: 186) Kata لَتُبْلَوُنَّ dan لَتَسْمَعُنَّ marfu’ dengan tanda nun al-mahzufah (nun yang dihapus). Karena nun taukid tersebut tidak bersambung langsung dengan huruf terakhir asli dari fi’il mudhari’-nya. Yaitu, huruf wawu jama’ah menjadi pemisah antara fi’il mudhari’ dan nun taukid tersebut. Oleh karena itu, fi’il mudhari’ tersebut termasuk fi’il mudhari’ yang mabni. Asal kata fi’il mudhari’ تُبْلَوُنَّ  adalah تُبْلَوُوْنَنَّ. Huruf wawu berharakat dhammah dan huruf sebelumnya berharakat fathah. Sehingga huruf wawu diganti menjadi alif dikarenakan menyesuaikan harakat sebelumnya. Kemudian, huruf alif sukun tersebut dihapus dikarenakan bertemu huruf wawu jama’ah yang sukun juga.  Sehingga menjadi تُبْلَوْنَنَّ. Setelah itu, nun tanda rafa’-nya dihapus. Sehingga bertemu dua huruf yang sukun, yaitu huruf wawu jama’ah dan nun yang pertama dari nun taukid al-musyaddadah. Kemudian huruf wawu jama’ah diberi harakat dhammah supaya terbebas dari bertemunya dua huruf yang sukun. Huruf wawu jama’ah tersebut tidak bisa dihapus sebagaimana contoh sebelumnya, huruf wawu jama’ah bisa dihapus. Huruf wawu jama’ah pada contoh kata لَتُبْلَوُنَّ tidak bisa dihapus dikarenakan tidak ada indikator yang menunjukkan bahwasanya ada wawu jama’ah ketika huruf wawu jama’ah tersebut  dihapus. Oleh karena itu, huruf wawu jama’ah tidak bisa dihapus dan huruf nun taukid pada contoh tersebut juga tidak dihapus dikarenakan huruf nun taukid tersebut ada tujuan untuk menegaskan perbuatan dari fi’il mudhari’ tersebut. Adapun contoh dari kata لَتَسْمَعُنَّ, maka huruf wawu jama’ah-nya dihapus karena bertemunya dua huruf yang sukun. Huruf wawu jama’ah pada contoh tersebut bisa dihapus dikarenakan ada indikator yang menunjukkan bahwasanya ada huruf wawu jama’ah yang dihapus, yaitu berupa huruf sebelumnya berharakat dhammah. Contoh lainya yang serupa adalah, وَلاَ يَصُدُّنَّكَ عَنْ ءَايَاتِ اللِّه “Janganlah sekali-kali mereka menghalang-halangi engkau untuk (menyampaikan) ayat-ayat Allah.” (QS. Al-Qasas: 87) Kedua contoh fi’il mudhari’ tersebut termasuk fi’il mudhari’ yang mu’rab, bukan fi’il mudhari’ yang mabni. Alasannya adalah dikarenakan nun taukid yang terdapat pada kedua contoh tersebut bersambung secara langsung dengan huruf terakhir asli dari fi’il mudhari’ secara lafaz. Walaupun pada kedua contoh tersebut pada asalnya ada huruf wawu jam’aah yang abstrak (tidak dituliskan). Oleh karena itu, telah jelas bahwasanya alif yang menunjukkan ganda yang terdapat pada fi’il mudhari’ harus konkrit (dituliskan), tidak boleh dihapus apabila bertemu dengan nun taukid.  Adapun wawu jama’ah terbagi menjadi 2: Pertama, wawu jama’ah-nya wajib konkrit (dituliskan), apabila tidak mungkin memberikan harakat dhammah huruf sebelumnya yang mana harakat dhammah tersebut sebagai indikator bahwasanya ada wawu jama’ah, maka huruf wawu jama’ah tersebut wajib dituliskan. Kedua, wawu jama’ah-nya abstrak (dihapus secara tulisan), jika memungkinkan menghapus huruf wawu jama’ah tersebut dengan syarat bisa memberikan harakat dhammah. Yang mana harakat dhammah yang terdapat pada sebelum huruf wawu yang yang dihapus tersebut sebagai indikator bahwasanya ada huruf wawu jama’ah yang dihapus secara tulisan. Namun, secara makan huruf wawu jama’ah tersebut tetap ada. Adapun contoh dari kata تَقُوْمِيْنَ adalah fi’il mudhari’ marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) karena termasuk amtsilatul khamsah (contoh-contoh fi’il mudhari’ yang lima). Apabila kata tersebut bersambung dengan nun taukid contohnya adalah هَلْ تَقُوْمِنَّ بِوَاجِبِكُمْ ؟ Maka, nun taukid tersebut dikatakan nun taukid ghair mubasyirah atau tidak bersambung secara langsung dengan fi’il mudhari’-nya. Di antara nun taukid dan fi’il mudhari’ tersebut terdapat pemisah muqaddar (abstrak/tidak terlihat di tulisan), yaitu berupa  ya’ mukhathabah. Asal dari contoh tersebut adalah هَلْ تَقُوْمِيْنَنَّ بِوَاجِبِكُمْ ؟ Akan tetapi, huruf nun rafa’ yang di awal pada garis bawah tersebut dihapus. Sehingga dibaca هَلْ تَقُوْمِيْنَّ بِوَاجِبِكُمْ ؟ Setelah huruf nun tersebut dihapus, bertemu dua huruf sukun berturut-turut, yaitu pada huruf ya’ mukhathabah dan nun taukid sukun yang asalnya pada huruf nun tersebut ada dua huruf nun yang digabung menjadi satu. Huruf nun pertamanya yang sukun. Sehingga huruf ya’ mukhathabah yang sukun tersebut dihapus. Bolehnya menghapus huruf ya’ mukhathabah tersebut dengan syarat ada huruf yang berharakat kasrah yang terletak persis sebelum huruf ya’ mukhathabah tersebut dalam rangka memudahkan membacanya. Sehingga contoh dari fi’il tersebut menjadi هَلْ تَقُوْمِنَّ بِوَاجِبِكُمْ ؟ Fi’il mudhari’ yang bergaris bawah tersebut marfu’ dengan tanda nun muqaddar (abstrak/tidak terlihat di tulisan) dikarenakan bertemunya dua huruf nun yang sukun. Adapun ya’ mukhathabah yang dihapus dalam rangka memudahkan bacaan dan berkedudukan sebagai fa’il. Contoh dari firman Allah adalah, فَاِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ اَحَدًاۙ فَقُوْلِيْٓ اِنِّيْ نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا “Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih.’”  (QS.  Maryam : 26) Kata تَرَيِنَّ adalah fi’il mudhari’. Asal dari kata tersebut adalah تَرْأَيِيْنَنَّ. Harakat hamzah dipindah ke huruf ra’ setelah menghapus sukun pada huruf ra’. Sehingga menjadi تَرَأَيِيْنَنَّ. Kemudian huruf hamzah dihapus dalam rangka meringankan bacaan. Sehingga menjadi تَرَيِيْنَنَّ. Setelah itu, nun tanda rafa’ pada fi’il tersebut dihapus dikarenakan ada alat pen-jazm sebelum kata tersebut. Yaitu, إِنْ الشرطية. Alat pen-jazm tersebut digabung menjadi satu dengan huruf ما الزائدة  (huruf mim tambahan). Akan tetapi, huruf nun pada اِمَّا tersebut dihapus. Asalnya adalah اِنْ مَّا. Sehingga menjadi تَرَيِيْنَّ. Kemudian huruf ya’ yang pertama diganti dengan alif dikarenakan huruf ya’ tersebut berharakat dan huruf sebelumnya berharakat fathah. Sehingga menjadi تَرَايْنَّ. Pada kata تَرَايْنَّ bertemu dua huruf yang sukun berturut-turut, yaitu pada huruf alif dan ya’ mukhathabah. Oleh karena itu, huruf alif dihapus. Sehingga menjadi تَرَيْنَّ. Pada kata tersebut masih bertemu dua huruf yang sukun berturut-turut. Yaitu, pada huruf ya’ mukhathabah dan huruf nun taukid. Oleh karena itu, harakat huruf ya’ diganti menjadi kasrah. Sehingga menjadi تَرَيِنَّ. Huruf ya’ mukhathabah di sana tidak boleh dihapus dikarenakan tidak ada huruf kasrah yang menjadi indikator yang menunjukkan adanya huruf ya’ jika dihapus. Maka, kata تَرَيِنَّ adalah fi’il mudhari’ majzum. Tanda majzum fi’il tersebut adalah hazf nun (menghapus huruf nun). Adapun ya’ mukhathabah di sana berkedudukan sebagai fa’il. Adapun huruf nun tersebut adalah huruf taukid. Dari kondisi huruf ya’ mukhathabah dari kedua contoh fi’il mudhari’ تَقُوْمِنّ dan تَرَيِنّ  tersebut terbagi menjadi 2: Pertama, ya’ mukhathabah wajib konkrit (dituliskan), apabila tidak mungkin memberikan harakat kasrah pada huruf sebelumnya yang mana harakat kasrah tersebut sebagai indikator bahwasanya ada ya’ mukhathabah, maka huruf ya’ mukhathabah tersebut wajib dituliskan. Kedua, ya’ mukhathabah abstrak (dihapus secara tulisan), jika memungkinkan menghapus huruf ya’ mukhathabah tersebut dengan syarat bisa memberikan harakat kasrah. Harakat kasrah yang terdapat pada sebelum huruf ya’ mukhathabah yang dihapus tersebut sebagai indikator bahwasanya ada huruf ya’ mukhathabah yang dihapus secara tulisan. Namun, secara makan huruf ya’ mukhathabah tersebut tetap ada. Kondisi fi’il mudhari’  yang mu’rab ada 2, yaitu: Pertama, fi’il mudhari’ tidak boleh bersambung dengan nun inats dan nun taukid. Contohnya adalah, الْعَاقِلُ يَسْمَعُ النَّصِيْحَةَ “Orang yang berakal adalah orang yang mau mendengarkan nasehat”. Fi’il mudhari’ yang bergaris bawah pada contoh di atas marfu’ karena tidak adanya alat pe-nashab dan pen-jazm dan marfu’ tanda dhammah. Kedua, fi’il mudhari’ bersambung dengan nun taukid ghair mubasyirah atau tidak bersambung secara langsung dengan fi’il mudhari’-nya. Contohnya adalah, أَنْتُمْ لَا تَسْمَعُنَّ النَّصِيْحَةَ “Kalian benar-benar tidak mendengarkan nasihat tersebut.” Adapun penjelasan i’rab dari fi’il tersebut telah disampaikan pada pembahasan sebelumnya. Kembali ke bagian 9: Fi’il Mudhari (2) Lanjut ke bagian 11: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 10): Fi’il Mudhari (3)

Contoh: Fi’il mudhari’ تَقُوْمُوْنَ adalah fi’il marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) karena bersambung dengan wawu jama’ah (yang menunjukkan orang ketiga laki-laki banyak). Apabila bersambung dengan nun taukid, contohnya adalah هَلْ تَقُوْمُنَّ بِوَاجِبِكُمْ ؟. Nun taukid yang bersambung dengan fi’il mudhari’ tersebut dikatakan nun taukid ghair mubasyirah atau tidak bersambung secara langsung dengan fi’il mudhari’-nya. Pemisah fi’il mudhari’ dengan nun taukid tersebut muqaddar (abstrak/tidak terlihat di tulisan). Pemisahnya adalah wawu jama’ah. Pada asalnya, kata تَقُوْمُنَّ tersebut adalah تَقُوْمُوْنَنَّ. Akan tetapi, huruf nun rafa’ atau huruf nun yang pertama dihapus dikarenakan ada huruf nun yang berturut-turut, yaitu huruf nun rafa’ setelah itu ada huruf nun taukid. Sehingga menjadi تَقُوْمُوْنَّ. Dikarenakan bertemunya dua huruf yang sukun, yaitu wawu jama’ah dan huruf pertama nun taukid yang di-tasydid, maka huruf wawu jama’ah tersebut dihapus untuk meringankan bacaan dikarenakan bertemunya dua huruf yang sukun tersebut. Dihapusnya huruf wawu jama’ah tersebut sudah diwakili oleh harakat dhammah yang terdapat pada sebelum huruf wawu jama’ah yang mana harakat dhammah tersebut menunjukkan bahwasanya ada huruf wawu jama’ah yang dihapus. Sehingga menjadi تَقُوْمُنَّ. Maka, kata تَقُوْمُنَّ adalah fi’il mudhari’ marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) yang muqaddar (abstrak). Adapun wawu jama’ah yang muqaddar (abstrak) karena dihapus tersebut berkedudukan di tempatnya marfu’ sebagai fa’il. Contoh dari firman Allah adalah, لَتُبْلَوُنَّ فِيْٓ اَمْوَالِكُمْ وَاَنْفُسِكُمْۗ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِيْنَ اَشْرَكُوْٓا اَذًى كَثِيْرً “Kamu pasti akan diuji dalam (urusan) hartamu dan dirimu. Kamu pun pasti akan mendengar banyak hal yang sangat menyakitkan hati dari orang-orang yang diberi Alkitab sebelum kamu dan dari orang-orang musyrik.” (QS. Ali-Imran: 186) Kata لَتُبْلَوُنَّ dan لَتَسْمَعُنَّ marfu’ dengan tanda nun al-mahzufah (nun yang dihapus). Karena nun taukid tersebut tidak bersambung langsung dengan huruf terakhir asli dari fi’il mudhari’-nya. Yaitu, huruf wawu jama’ah menjadi pemisah antara fi’il mudhari’ dan nun taukid tersebut. Oleh karena itu, fi’il mudhari’ tersebut termasuk fi’il mudhari’ yang mabni. Asal kata fi’il mudhari’ تُبْلَوُنَّ  adalah تُبْلَوُوْنَنَّ. Huruf wawu berharakat dhammah dan huruf sebelumnya berharakat fathah. Sehingga huruf wawu diganti menjadi alif dikarenakan menyesuaikan harakat sebelumnya. Kemudian, huruf alif sukun tersebut dihapus dikarenakan bertemu huruf wawu jama’ah yang sukun juga.  Sehingga menjadi تُبْلَوْنَنَّ. Setelah itu, nun tanda rafa’-nya dihapus. Sehingga bertemu dua huruf yang sukun, yaitu huruf wawu jama’ah dan nun yang pertama dari nun taukid al-musyaddadah. Kemudian huruf wawu jama’ah diberi harakat dhammah supaya terbebas dari bertemunya dua huruf yang sukun. Huruf wawu jama’ah tersebut tidak bisa dihapus sebagaimana contoh sebelumnya, huruf wawu jama’ah bisa dihapus. Huruf wawu jama’ah pada contoh kata لَتُبْلَوُنَّ tidak bisa dihapus dikarenakan tidak ada indikator yang menunjukkan bahwasanya ada wawu jama’ah ketika huruf wawu jama’ah tersebut  dihapus. Oleh karena itu, huruf wawu jama’ah tidak bisa dihapus dan huruf nun taukid pada contoh tersebut juga tidak dihapus dikarenakan huruf nun taukid tersebut ada tujuan untuk menegaskan perbuatan dari fi’il mudhari’ tersebut. Adapun contoh dari kata لَتَسْمَعُنَّ, maka huruf wawu jama’ah-nya dihapus karena bertemunya dua huruf yang sukun. Huruf wawu jama’ah pada contoh tersebut bisa dihapus dikarenakan ada indikator yang menunjukkan bahwasanya ada huruf wawu jama’ah yang dihapus, yaitu berupa huruf sebelumnya berharakat dhammah. Contoh lainya yang serupa adalah, وَلاَ يَصُدُّنَّكَ عَنْ ءَايَاتِ اللِّه “Janganlah sekali-kali mereka menghalang-halangi engkau untuk (menyampaikan) ayat-ayat Allah.” (QS. Al-Qasas: 87) Kedua contoh fi’il mudhari’ tersebut termasuk fi’il mudhari’ yang mu’rab, bukan fi’il mudhari’ yang mabni. Alasannya adalah dikarenakan nun taukid yang terdapat pada kedua contoh tersebut bersambung secara langsung dengan huruf terakhir asli dari fi’il mudhari’ secara lafaz. Walaupun pada kedua contoh tersebut pada asalnya ada huruf wawu jam’aah yang abstrak (tidak dituliskan). Oleh karena itu, telah jelas bahwasanya alif yang menunjukkan ganda yang terdapat pada fi’il mudhari’ harus konkrit (dituliskan), tidak boleh dihapus apabila bertemu dengan nun taukid.  Adapun wawu jama’ah terbagi menjadi 2: Pertama, wawu jama’ah-nya wajib konkrit (dituliskan), apabila tidak mungkin memberikan harakat dhammah huruf sebelumnya yang mana harakat dhammah tersebut sebagai indikator bahwasanya ada wawu jama’ah, maka huruf wawu jama’ah tersebut wajib dituliskan. Kedua, wawu jama’ah-nya abstrak (dihapus secara tulisan), jika memungkinkan menghapus huruf wawu jama’ah tersebut dengan syarat bisa memberikan harakat dhammah. Yang mana harakat dhammah yang terdapat pada sebelum huruf wawu yang yang dihapus tersebut sebagai indikator bahwasanya ada huruf wawu jama’ah yang dihapus secara tulisan. Namun, secara makan huruf wawu jama’ah tersebut tetap ada. Adapun contoh dari kata تَقُوْمِيْنَ adalah fi’il mudhari’ marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) karena termasuk amtsilatul khamsah (contoh-contoh fi’il mudhari’ yang lima). Apabila kata tersebut bersambung dengan nun taukid contohnya adalah هَلْ تَقُوْمِنَّ بِوَاجِبِكُمْ ؟ Maka, nun taukid tersebut dikatakan nun taukid ghair mubasyirah atau tidak bersambung secara langsung dengan fi’il mudhari’-nya. Di antara nun taukid dan fi’il mudhari’ tersebut terdapat pemisah muqaddar (abstrak/tidak terlihat di tulisan), yaitu berupa  ya’ mukhathabah. Asal dari contoh tersebut adalah هَلْ تَقُوْمِيْنَنَّ بِوَاجِبِكُمْ ؟ Akan tetapi, huruf nun rafa’ yang di awal pada garis bawah tersebut dihapus. Sehingga dibaca هَلْ تَقُوْمِيْنَّ بِوَاجِبِكُمْ ؟ Setelah huruf nun tersebut dihapus, bertemu dua huruf sukun berturut-turut, yaitu pada huruf ya’ mukhathabah dan nun taukid sukun yang asalnya pada huruf nun tersebut ada dua huruf nun yang digabung menjadi satu. Huruf nun pertamanya yang sukun. Sehingga huruf ya’ mukhathabah yang sukun tersebut dihapus. Bolehnya menghapus huruf ya’ mukhathabah tersebut dengan syarat ada huruf yang berharakat kasrah yang terletak persis sebelum huruf ya’ mukhathabah tersebut dalam rangka memudahkan membacanya. Sehingga contoh dari fi’il tersebut menjadi هَلْ تَقُوْمِنَّ بِوَاجِبِكُمْ ؟ Fi’il mudhari’ yang bergaris bawah tersebut marfu’ dengan tanda nun muqaddar (abstrak/tidak terlihat di tulisan) dikarenakan bertemunya dua huruf nun yang sukun. Adapun ya’ mukhathabah yang dihapus dalam rangka memudahkan bacaan dan berkedudukan sebagai fa’il. Contoh dari firman Allah adalah, فَاِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ اَحَدًاۙ فَقُوْلِيْٓ اِنِّيْ نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا “Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih.’”  (QS.  Maryam : 26) Kata تَرَيِنَّ adalah fi’il mudhari’. Asal dari kata tersebut adalah تَرْأَيِيْنَنَّ. Harakat hamzah dipindah ke huruf ra’ setelah menghapus sukun pada huruf ra’. Sehingga menjadi تَرَأَيِيْنَنَّ. Kemudian huruf hamzah dihapus dalam rangka meringankan bacaan. Sehingga menjadi تَرَيِيْنَنَّ. Setelah itu, nun tanda rafa’ pada fi’il tersebut dihapus dikarenakan ada alat pen-jazm sebelum kata tersebut. Yaitu, إِنْ الشرطية. Alat pen-jazm tersebut digabung menjadi satu dengan huruf ما الزائدة  (huruf mim tambahan). Akan tetapi, huruf nun pada اِمَّا tersebut dihapus. Asalnya adalah اِنْ مَّا. Sehingga menjadi تَرَيِيْنَّ. Kemudian huruf ya’ yang pertama diganti dengan alif dikarenakan huruf ya’ tersebut berharakat dan huruf sebelumnya berharakat fathah. Sehingga menjadi تَرَايْنَّ. Pada kata تَرَايْنَّ bertemu dua huruf yang sukun berturut-turut, yaitu pada huruf alif dan ya’ mukhathabah. Oleh karena itu, huruf alif dihapus. Sehingga menjadi تَرَيْنَّ. Pada kata tersebut masih bertemu dua huruf yang sukun berturut-turut. Yaitu, pada huruf ya’ mukhathabah dan huruf nun taukid. Oleh karena itu, harakat huruf ya’ diganti menjadi kasrah. Sehingga menjadi تَرَيِنَّ. Huruf ya’ mukhathabah di sana tidak boleh dihapus dikarenakan tidak ada huruf kasrah yang menjadi indikator yang menunjukkan adanya huruf ya’ jika dihapus. Maka, kata تَرَيِنَّ adalah fi’il mudhari’ majzum. Tanda majzum fi’il tersebut adalah hazf nun (menghapus huruf nun). Adapun ya’ mukhathabah di sana berkedudukan sebagai fa’il. Adapun huruf nun tersebut adalah huruf taukid. Dari kondisi huruf ya’ mukhathabah dari kedua contoh fi’il mudhari’ تَقُوْمِنّ dan تَرَيِنّ  tersebut terbagi menjadi 2: Pertama, ya’ mukhathabah wajib konkrit (dituliskan), apabila tidak mungkin memberikan harakat kasrah pada huruf sebelumnya yang mana harakat kasrah tersebut sebagai indikator bahwasanya ada ya’ mukhathabah, maka huruf ya’ mukhathabah tersebut wajib dituliskan. Kedua, ya’ mukhathabah abstrak (dihapus secara tulisan), jika memungkinkan menghapus huruf ya’ mukhathabah tersebut dengan syarat bisa memberikan harakat kasrah. Harakat kasrah yang terdapat pada sebelum huruf ya’ mukhathabah yang dihapus tersebut sebagai indikator bahwasanya ada huruf ya’ mukhathabah yang dihapus secara tulisan. Namun, secara makan huruf ya’ mukhathabah tersebut tetap ada. Kondisi fi’il mudhari’  yang mu’rab ada 2, yaitu: Pertama, fi’il mudhari’ tidak boleh bersambung dengan nun inats dan nun taukid. Contohnya adalah, الْعَاقِلُ يَسْمَعُ النَّصِيْحَةَ “Orang yang berakal adalah orang yang mau mendengarkan nasehat”. Fi’il mudhari’ yang bergaris bawah pada contoh di atas marfu’ karena tidak adanya alat pe-nashab dan pen-jazm dan marfu’ tanda dhammah. Kedua, fi’il mudhari’ bersambung dengan nun taukid ghair mubasyirah atau tidak bersambung secara langsung dengan fi’il mudhari’-nya. Contohnya adalah, أَنْتُمْ لَا تَسْمَعُنَّ النَّصِيْحَةَ “Kalian benar-benar tidak mendengarkan nasihat tersebut.” Adapun penjelasan i’rab dari fi’il tersebut telah disampaikan pada pembahasan sebelumnya. Kembali ke bagian 9: Fi’il Mudhari (2) Lanjut ke bagian 11: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada
Contoh: Fi’il mudhari’ تَقُوْمُوْنَ adalah fi’il marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) karena bersambung dengan wawu jama’ah (yang menunjukkan orang ketiga laki-laki banyak). Apabila bersambung dengan nun taukid, contohnya adalah هَلْ تَقُوْمُنَّ بِوَاجِبِكُمْ ؟. Nun taukid yang bersambung dengan fi’il mudhari’ tersebut dikatakan nun taukid ghair mubasyirah atau tidak bersambung secara langsung dengan fi’il mudhari’-nya. Pemisah fi’il mudhari’ dengan nun taukid tersebut muqaddar (abstrak/tidak terlihat di tulisan). Pemisahnya adalah wawu jama’ah. Pada asalnya, kata تَقُوْمُنَّ tersebut adalah تَقُوْمُوْنَنَّ. Akan tetapi, huruf nun rafa’ atau huruf nun yang pertama dihapus dikarenakan ada huruf nun yang berturut-turut, yaitu huruf nun rafa’ setelah itu ada huruf nun taukid. Sehingga menjadi تَقُوْمُوْنَّ. Dikarenakan bertemunya dua huruf yang sukun, yaitu wawu jama’ah dan huruf pertama nun taukid yang di-tasydid, maka huruf wawu jama’ah tersebut dihapus untuk meringankan bacaan dikarenakan bertemunya dua huruf yang sukun tersebut. Dihapusnya huruf wawu jama’ah tersebut sudah diwakili oleh harakat dhammah yang terdapat pada sebelum huruf wawu jama’ah yang mana harakat dhammah tersebut menunjukkan bahwasanya ada huruf wawu jama’ah yang dihapus. Sehingga menjadi تَقُوْمُنَّ. Maka, kata تَقُوْمُنَّ adalah fi’il mudhari’ marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) yang muqaddar (abstrak). Adapun wawu jama’ah yang muqaddar (abstrak) karena dihapus tersebut berkedudukan di tempatnya marfu’ sebagai fa’il. Contoh dari firman Allah adalah, لَتُبْلَوُنَّ فِيْٓ اَمْوَالِكُمْ وَاَنْفُسِكُمْۗ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِيْنَ اَشْرَكُوْٓا اَذًى كَثِيْرً “Kamu pasti akan diuji dalam (urusan) hartamu dan dirimu. Kamu pun pasti akan mendengar banyak hal yang sangat menyakitkan hati dari orang-orang yang diberi Alkitab sebelum kamu dan dari orang-orang musyrik.” (QS. Ali-Imran: 186) Kata لَتُبْلَوُنَّ dan لَتَسْمَعُنَّ marfu’ dengan tanda nun al-mahzufah (nun yang dihapus). Karena nun taukid tersebut tidak bersambung langsung dengan huruf terakhir asli dari fi’il mudhari’-nya. Yaitu, huruf wawu jama’ah menjadi pemisah antara fi’il mudhari’ dan nun taukid tersebut. Oleh karena itu, fi’il mudhari’ tersebut termasuk fi’il mudhari’ yang mabni. Asal kata fi’il mudhari’ تُبْلَوُنَّ  adalah تُبْلَوُوْنَنَّ. Huruf wawu berharakat dhammah dan huruf sebelumnya berharakat fathah. Sehingga huruf wawu diganti menjadi alif dikarenakan menyesuaikan harakat sebelumnya. Kemudian, huruf alif sukun tersebut dihapus dikarenakan bertemu huruf wawu jama’ah yang sukun juga.  Sehingga menjadi تُبْلَوْنَنَّ. Setelah itu, nun tanda rafa’-nya dihapus. Sehingga bertemu dua huruf yang sukun, yaitu huruf wawu jama’ah dan nun yang pertama dari nun taukid al-musyaddadah. Kemudian huruf wawu jama’ah diberi harakat dhammah supaya terbebas dari bertemunya dua huruf yang sukun. Huruf wawu jama’ah tersebut tidak bisa dihapus sebagaimana contoh sebelumnya, huruf wawu jama’ah bisa dihapus. Huruf wawu jama’ah pada contoh kata لَتُبْلَوُنَّ tidak bisa dihapus dikarenakan tidak ada indikator yang menunjukkan bahwasanya ada wawu jama’ah ketika huruf wawu jama’ah tersebut  dihapus. Oleh karena itu, huruf wawu jama’ah tidak bisa dihapus dan huruf nun taukid pada contoh tersebut juga tidak dihapus dikarenakan huruf nun taukid tersebut ada tujuan untuk menegaskan perbuatan dari fi’il mudhari’ tersebut. Adapun contoh dari kata لَتَسْمَعُنَّ, maka huruf wawu jama’ah-nya dihapus karena bertemunya dua huruf yang sukun. Huruf wawu jama’ah pada contoh tersebut bisa dihapus dikarenakan ada indikator yang menunjukkan bahwasanya ada huruf wawu jama’ah yang dihapus, yaitu berupa huruf sebelumnya berharakat dhammah. Contoh lainya yang serupa adalah, وَلاَ يَصُدُّنَّكَ عَنْ ءَايَاتِ اللِّه “Janganlah sekali-kali mereka menghalang-halangi engkau untuk (menyampaikan) ayat-ayat Allah.” (QS. Al-Qasas: 87) Kedua contoh fi’il mudhari’ tersebut termasuk fi’il mudhari’ yang mu’rab, bukan fi’il mudhari’ yang mabni. Alasannya adalah dikarenakan nun taukid yang terdapat pada kedua contoh tersebut bersambung secara langsung dengan huruf terakhir asli dari fi’il mudhari’ secara lafaz. Walaupun pada kedua contoh tersebut pada asalnya ada huruf wawu jam’aah yang abstrak (tidak dituliskan). Oleh karena itu, telah jelas bahwasanya alif yang menunjukkan ganda yang terdapat pada fi’il mudhari’ harus konkrit (dituliskan), tidak boleh dihapus apabila bertemu dengan nun taukid.  Adapun wawu jama’ah terbagi menjadi 2: Pertama, wawu jama’ah-nya wajib konkrit (dituliskan), apabila tidak mungkin memberikan harakat dhammah huruf sebelumnya yang mana harakat dhammah tersebut sebagai indikator bahwasanya ada wawu jama’ah, maka huruf wawu jama’ah tersebut wajib dituliskan. Kedua, wawu jama’ah-nya abstrak (dihapus secara tulisan), jika memungkinkan menghapus huruf wawu jama’ah tersebut dengan syarat bisa memberikan harakat dhammah. Yang mana harakat dhammah yang terdapat pada sebelum huruf wawu yang yang dihapus tersebut sebagai indikator bahwasanya ada huruf wawu jama’ah yang dihapus secara tulisan. Namun, secara makan huruf wawu jama’ah tersebut tetap ada. Adapun contoh dari kata تَقُوْمِيْنَ adalah fi’il mudhari’ marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) karena termasuk amtsilatul khamsah (contoh-contoh fi’il mudhari’ yang lima). Apabila kata tersebut bersambung dengan nun taukid contohnya adalah هَلْ تَقُوْمِنَّ بِوَاجِبِكُمْ ؟ Maka, nun taukid tersebut dikatakan nun taukid ghair mubasyirah atau tidak bersambung secara langsung dengan fi’il mudhari’-nya. Di antara nun taukid dan fi’il mudhari’ tersebut terdapat pemisah muqaddar (abstrak/tidak terlihat di tulisan), yaitu berupa  ya’ mukhathabah. Asal dari contoh tersebut adalah هَلْ تَقُوْمِيْنَنَّ بِوَاجِبِكُمْ ؟ Akan tetapi, huruf nun rafa’ yang di awal pada garis bawah tersebut dihapus. Sehingga dibaca هَلْ تَقُوْمِيْنَّ بِوَاجِبِكُمْ ؟ Setelah huruf nun tersebut dihapus, bertemu dua huruf sukun berturut-turut, yaitu pada huruf ya’ mukhathabah dan nun taukid sukun yang asalnya pada huruf nun tersebut ada dua huruf nun yang digabung menjadi satu. Huruf nun pertamanya yang sukun. Sehingga huruf ya’ mukhathabah yang sukun tersebut dihapus. Bolehnya menghapus huruf ya’ mukhathabah tersebut dengan syarat ada huruf yang berharakat kasrah yang terletak persis sebelum huruf ya’ mukhathabah tersebut dalam rangka memudahkan membacanya. Sehingga contoh dari fi’il tersebut menjadi هَلْ تَقُوْمِنَّ بِوَاجِبِكُمْ ؟ Fi’il mudhari’ yang bergaris bawah tersebut marfu’ dengan tanda nun muqaddar (abstrak/tidak terlihat di tulisan) dikarenakan bertemunya dua huruf nun yang sukun. Adapun ya’ mukhathabah yang dihapus dalam rangka memudahkan bacaan dan berkedudukan sebagai fa’il. Contoh dari firman Allah adalah, فَاِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ اَحَدًاۙ فَقُوْلِيْٓ اِنِّيْ نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا “Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih.’”  (QS.  Maryam : 26) Kata تَرَيِنَّ adalah fi’il mudhari’. Asal dari kata tersebut adalah تَرْأَيِيْنَنَّ. Harakat hamzah dipindah ke huruf ra’ setelah menghapus sukun pada huruf ra’. Sehingga menjadi تَرَأَيِيْنَنَّ. Kemudian huruf hamzah dihapus dalam rangka meringankan bacaan. Sehingga menjadi تَرَيِيْنَنَّ. Setelah itu, nun tanda rafa’ pada fi’il tersebut dihapus dikarenakan ada alat pen-jazm sebelum kata tersebut. Yaitu, إِنْ الشرطية. Alat pen-jazm tersebut digabung menjadi satu dengan huruf ما الزائدة  (huruf mim tambahan). Akan tetapi, huruf nun pada اِمَّا tersebut dihapus. Asalnya adalah اِنْ مَّا. Sehingga menjadi تَرَيِيْنَّ. Kemudian huruf ya’ yang pertama diganti dengan alif dikarenakan huruf ya’ tersebut berharakat dan huruf sebelumnya berharakat fathah. Sehingga menjadi تَرَايْنَّ. Pada kata تَرَايْنَّ bertemu dua huruf yang sukun berturut-turut, yaitu pada huruf alif dan ya’ mukhathabah. Oleh karena itu, huruf alif dihapus. Sehingga menjadi تَرَيْنَّ. Pada kata tersebut masih bertemu dua huruf yang sukun berturut-turut. Yaitu, pada huruf ya’ mukhathabah dan huruf nun taukid. Oleh karena itu, harakat huruf ya’ diganti menjadi kasrah. Sehingga menjadi تَرَيِنَّ. Huruf ya’ mukhathabah di sana tidak boleh dihapus dikarenakan tidak ada huruf kasrah yang menjadi indikator yang menunjukkan adanya huruf ya’ jika dihapus. Maka, kata تَرَيِنَّ adalah fi’il mudhari’ majzum. Tanda majzum fi’il tersebut adalah hazf nun (menghapus huruf nun). Adapun ya’ mukhathabah di sana berkedudukan sebagai fa’il. Adapun huruf nun tersebut adalah huruf taukid. Dari kondisi huruf ya’ mukhathabah dari kedua contoh fi’il mudhari’ تَقُوْمِنّ dan تَرَيِنّ  tersebut terbagi menjadi 2: Pertama, ya’ mukhathabah wajib konkrit (dituliskan), apabila tidak mungkin memberikan harakat kasrah pada huruf sebelumnya yang mana harakat kasrah tersebut sebagai indikator bahwasanya ada ya’ mukhathabah, maka huruf ya’ mukhathabah tersebut wajib dituliskan. Kedua, ya’ mukhathabah abstrak (dihapus secara tulisan), jika memungkinkan menghapus huruf ya’ mukhathabah tersebut dengan syarat bisa memberikan harakat kasrah. Harakat kasrah yang terdapat pada sebelum huruf ya’ mukhathabah yang dihapus tersebut sebagai indikator bahwasanya ada huruf ya’ mukhathabah yang dihapus secara tulisan. Namun, secara makan huruf ya’ mukhathabah tersebut tetap ada. Kondisi fi’il mudhari’  yang mu’rab ada 2, yaitu: Pertama, fi’il mudhari’ tidak boleh bersambung dengan nun inats dan nun taukid. Contohnya adalah, الْعَاقِلُ يَسْمَعُ النَّصِيْحَةَ “Orang yang berakal adalah orang yang mau mendengarkan nasehat”. Fi’il mudhari’ yang bergaris bawah pada contoh di atas marfu’ karena tidak adanya alat pe-nashab dan pen-jazm dan marfu’ tanda dhammah. Kedua, fi’il mudhari’ bersambung dengan nun taukid ghair mubasyirah atau tidak bersambung secara langsung dengan fi’il mudhari’-nya. Contohnya adalah, أَنْتُمْ لَا تَسْمَعُنَّ النَّصِيْحَةَ “Kalian benar-benar tidak mendengarkan nasihat tersebut.” Adapun penjelasan i’rab dari fi’il tersebut telah disampaikan pada pembahasan sebelumnya. Kembali ke bagian 9: Fi’il Mudhari (2) Lanjut ke bagian 11: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada


Contoh: Fi’il mudhari’ تَقُوْمُوْنَ adalah fi’il marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) karena bersambung dengan wawu jama’ah (yang menunjukkan orang ketiga laki-laki banyak). Apabila bersambung dengan nun taukid, contohnya adalah هَلْ تَقُوْمُنَّ بِوَاجِبِكُمْ ؟. Nun taukid yang bersambung dengan fi’il mudhari’ tersebut dikatakan nun taukid ghair mubasyirah atau tidak bersambung secara langsung dengan fi’il mudhari’-nya. Pemisah fi’il mudhari’ dengan nun taukid tersebut muqaddar (abstrak/tidak terlihat di tulisan). Pemisahnya adalah wawu jama’ah. Pada asalnya, kata تَقُوْمُنَّ tersebut adalah تَقُوْمُوْنَنَّ. Akan tetapi, huruf nun rafa’ atau huruf nun yang pertama dihapus dikarenakan ada huruf nun yang berturut-turut, yaitu huruf nun rafa’ setelah itu ada huruf nun taukid. Sehingga menjadi تَقُوْمُوْنَّ. Dikarenakan bertemunya dua huruf yang sukun, yaitu wawu jama’ah dan huruf pertama nun taukid yang di-tasydid, maka huruf wawu jama’ah tersebut dihapus untuk meringankan bacaan dikarenakan bertemunya dua huruf yang sukun tersebut. Dihapusnya huruf wawu jama’ah tersebut sudah diwakili oleh harakat dhammah yang terdapat pada sebelum huruf wawu jama’ah yang mana harakat dhammah tersebut menunjukkan bahwasanya ada huruf wawu jama’ah yang dihapus. Sehingga menjadi تَقُوْمُنَّ. Maka, kata تَقُوْمُنَّ adalah fi’il mudhari’ marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) yang muqaddar (abstrak). Adapun wawu jama’ah yang muqaddar (abstrak) karena dihapus tersebut berkedudukan di tempatnya marfu’ sebagai fa’il. Contoh dari firman Allah adalah, لَتُبْلَوُنَّ فِيْٓ اَمْوَالِكُمْ وَاَنْفُسِكُمْۗ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِيْنَ اَشْرَكُوْٓا اَذًى كَثِيْرً “Kamu pasti akan diuji dalam (urusan) hartamu dan dirimu. Kamu pun pasti akan mendengar banyak hal yang sangat menyakitkan hati dari orang-orang yang diberi Alkitab sebelum kamu dan dari orang-orang musyrik.” (QS. Ali-Imran: 186) Kata لَتُبْلَوُنَّ dan لَتَسْمَعُنَّ marfu’ dengan tanda nun al-mahzufah (nun yang dihapus). Karena nun taukid tersebut tidak bersambung langsung dengan huruf terakhir asli dari fi’il mudhari’-nya. Yaitu, huruf wawu jama’ah menjadi pemisah antara fi’il mudhari’ dan nun taukid tersebut. Oleh karena itu, fi’il mudhari’ tersebut termasuk fi’il mudhari’ yang mabni. Asal kata fi’il mudhari’ تُبْلَوُنَّ  adalah تُبْلَوُوْنَنَّ. Huruf wawu berharakat dhammah dan huruf sebelumnya berharakat fathah. Sehingga huruf wawu diganti menjadi alif dikarenakan menyesuaikan harakat sebelumnya. Kemudian, huruf alif sukun tersebut dihapus dikarenakan bertemu huruf wawu jama’ah yang sukun juga.  Sehingga menjadi تُبْلَوْنَنَّ. Setelah itu, nun tanda rafa’-nya dihapus. Sehingga bertemu dua huruf yang sukun, yaitu huruf wawu jama’ah dan nun yang pertama dari nun taukid al-musyaddadah. Kemudian huruf wawu jama’ah diberi harakat dhammah supaya terbebas dari bertemunya dua huruf yang sukun. Huruf wawu jama’ah tersebut tidak bisa dihapus sebagaimana contoh sebelumnya, huruf wawu jama’ah bisa dihapus. Huruf wawu jama’ah pada contoh kata لَتُبْلَوُنَّ tidak bisa dihapus dikarenakan tidak ada indikator yang menunjukkan bahwasanya ada wawu jama’ah ketika huruf wawu jama’ah tersebut  dihapus. Oleh karena itu, huruf wawu jama’ah tidak bisa dihapus dan huruf nun taukid pada contoh tersebut juga tidak dihapus dikarenakan huruf nun taukid tersebut ada tujuan untuk menegaskan perbuatan dari fi’il mudhari’ tersebut. Adapun contoh dari kata لَتَسْمَعُنَّ, maka huruf wawu jama’ah-nya dihapus karena bertemunya dua huruf yang sukun. Huruf wawu jama’ah pada contoh tersebut bisa dihapus dikarenakan ada indikator yang menunjukkan bahwasanya ada huruf wawu jama’ah yang dihapus, yaitu berupa huruf sebelumnya berharakat dhammah. Contoh lainya yang serupa adalah, وَلاَ يَصُدُّنَّكَ عَنْ ءَايَاتِ اللِّه “Janganlah sekali-kali mereka menghalang-halangi engkau untuk (menyampaikan) ayat-ayat Allah.” (QS. Al-Qasas: 87) Kedua contoh fi’il mudhari’ tersebut termasuk fi’il mudhari’ yang mu’rab, bukan fi’il mudhari’ yang mabni. Alasannya adalah dikarenakan nun taukid yang terdapat pada kedua contoh tersebut bersambung secara langsung dengan huruf terakhir asli dari fi’il mudhari’ secara lafaz. Walaupun pada kedua contoh tersebut pada asalnya ada huruf wawu jam’aah yang abstrak (tidak dituliskan). Oleh karena itu, telah jelas bahwasanya alif yang menunjukkan ganda yang terdapat pada fi’il mudhari’ harus konkrit (dituliskan), tidak boleh dihapus apabila bertemu dengan nun taukid.  Adapun wawu jama’ah terbagi menjadi 2: Pertama, wawu jama’ah-nya wajib konkrit (dituliskan), apabila tidak mungkin memberikan harakat dhammah huruf sebelumnya yang mana harakat dhammah tersebut sebagai indikator bahwasanya ada wawu jama’ah, maka huruf wawu jama’ah tersebut wajib dituliskan. Kedua, wawu jama’ah-nya abstrak (dihapus secara tulisan), jika memungkinkan menghapus huruf wawu jama’ah tersebut dengan syarat bisa memberikan harakat dhammah. Yang mana harakat dhammah yang terdapat pada sebelum huruf wawu yang yang dihapus tersebut sebagai indikator bahwasanya ada huruf wawu jama’ah yang dihapus secara tulisan. Namun, secara makan huruf wawu jama’ah tersebut tetap ada. Adapun contoh dari kata تَقُوْمِيْنَ adalah fi’il mudhari’ marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) karena termasuk amtsilatul khamsah (contoh-contoh fi’il mudhari’ yang lima). Apabila kata tersebut bersambung dengan nun taukid contohnya adalah هَلْ تَقُوْمِنَّ بِوَاجِبِكُمْ ؟ Maka, nun taukid tersebut dikatakan nun taukid ghair mubasyirah atau tidak bersambung secara langsung dengan fi’il mudhari’-nya. Di antara nun taukid dan fi’il mudhari’ tersebut terdapat pemisah muqaddar (abstrak/tidak terlihat di tulisan), yaitu berupa  ya’ mukhathabah. Asal dari contoh tersebut adalah هَلْ تَقُوْمِيْنَنَّ بِوَاجِبِكُمْ ؟ Akan tetapi, huruf nun rafa’ yang di awal pada garis bawah tersebut dihapus. Sehingga dibaca هَلْ تَقُوْمِيْنَّ بِوَاجِبِكُمْ ؟ Setelah huruf nun tersebut dihapus, bertemu dua huruf sukun berturut-turut, yaitu pada huruf ya’ mukhathabah dan nun taukid sukun yang asalnya pada huruf nun tersebut ada dua huruf nun yang digabung menjadi satu. Huruf nun pertamanya yang sukun. Sehingga huruf ya’ mukhathabah yang sukun tersebut dihapus. Bolehnya menghapus huruf ya’ mukhathabah tersebut dengan syarat ada huruf yang berharakat kasrah yang terletak persis sebelum huruf ya’ mukhathabah tersebut dalam rangka memudahkan membacanya. Sehingga contoh dari fi’il tersebut menjadi هَلْ تَقُوْمِنَّ بِوَاجِبِكُمْ ؟ Fi’il mudhari’ yang bergaris bawah tersebut marfu’ dengan tanda nun muqaddar (abstrak/tidak terlihat di tulisan) dikarenakan bertemunya dua huruf nun yang sukun. Adapun ya’ mukhathabah yang dihapus dalam rangka memudahkan bacaan dan berkedudukan sebagai fa’il. Contoh dari firman Allah adalah, فَاِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ اَحَدًاۙ فَقُوْلِيْٓ اِنِّيْ نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا “Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih.’”  (QS.  Maryam : 26) Kata تَرَيِنَّ adalah fi’il mudhari’. Asal dari kata tersebut adalah تَرْأَيِيْنَنَّ. Harakat hamzah dipindah ke huruf ra’ setelah menghapus sukun pada huruf ra’. Sehingga menjadi تَرَأَيِيْنَنَّ. Kemudian huruf hamzah dihapus dalam rangka meringankan bacaan. Sehingga menjadi تَرَيِيْنَنَّ. Setelah itu, nun tanda rafa’ pada fi’il tersebut dihapus dikarenakan ada alat pen-jazm sebelum kata tersebut. Yaitu, إِنْ الشرطية. Alat pen-jazm tersebut digabung menjadi satu dengan huruf ما الزائدة  (huruf mim tambahan). Akan tetapi, huruf nun pada اِمَّا tersebut dihapus. Asalnya adalah اِنْ مَّا. Sehingga menjadi تَرَيِيْنَّ. Kemudian huruf ya’ yang pertama diganti dengan alif dikarenakan huruf ya’ tersebut berharakat dan huruf sebelumnya berharakat fathah. Sehingga menjadi تَرَايْنَّ. Pada kata تَرَايْنَّ bertemu dua huruf yang sukun berturut-turut, yaitu pada huruf alif dan ya’ mukhathabah. Oleh karena itu, huruf alif dihapus. Sehingga menjadi تَرَيْنَّ. Pada kata tersebut masih bertemu dua huruf yang sukun berturut-turut. Yaitu, pada huruf ya’ mukhathabah dan huruf nun taukid. Oleh karena itu, harakat huruf ya’ diganti menjadi kasrah. Sehingga menjadi تَرَيِنَّ. Huruf ya’ mukhathabah di sana tidak boleh dihapus dikarenakan tidak ada huruf kasrah yang menjadi indikator yang menunjukkan adanya huruf ya’ jika dihapus. Maka, kata تَرَيِنَّ adalah fi’il mudhari’ majzum. Tanda majzum fi’il tersebut adalah hazf nun (menghapus huruf nun). Adapun ya’ mukhathabah di sana berkedudukan sebagai fa’il. Adapun huruf nun tersebut adalah huruf taukid. Dari kondisi huruf ya’ mukhathabah dari kedua contoh fi’il mudhari’ تَقُوْمِنّ dan تَرَيِنّ  tersebut terbagi menjadi 2: Pertama, ya’ mukhathabah wajib konkrit (dituliskan), apabila tidak mungkin memberikan harakat kasrah pada huruf sebelumnya yang mana harakat kasrah tersebut sebagai indikator bahwasanya ada ya’ mukhathabah, maka huruf ya’ mukhathabah tersebut wajib dituliskan. Kedua, ya’ mukhathabah abstrak (dihapus secara tulisan), jika memungkinkan menghapus huruf ya’ mukhathabah tersebut dengan syarat bisa memberikan harakat kasrah. Harakat kasrah yang terdapat pada sebelum huruf ya’ mukhathabah yang dihapus tersebut sebagai indikator bahwasanya ada huruf ya’ mukhathabah yang dihapus secara tulisan. Namun, secara makan huruf ya’ mukhathabah tersebut tetap ada. Kondisi fi’il mudhari’  yang mu’rab ada 2, yaitu: Pertama, fi’il mudhari’ tidak boleh bersambung dengan nun inats dan nun taukid. Contohnya adalah, الْعَاقِلُ يَسْمَعُ النَّصِيْحَةَ “Orang yang berakal adalah orang yang mau mendengarkan nasehat”. Fi’il mudhari’ yang bergaris bawah pada contoh di atas marfu’ karena tidak adanya alat pe-nashab dan pen-jazm dan marfu’ tanda dhammah. Kedua, fi’il mudhari’ bersambung dengan nun taukid ghair mubasyirah atau tidak bersambung secara langsung dengan fi’il mudhari’-nya. Contohnya adalah, أَنْتُمْ لَا تَسْمَعُنَّ النَّصِيْحَةَ “Kalian benar-benar tidak mendengarkan nasihat tersebut.” Adapun penjelasan i’rab dari fi’il tersebut telah disampaikan pada pembahasan sebelumnya. Kembali ke bagian 9: Fi’il Mudhari (2) Lanjut ke bagian 11: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada

Doa Agar Segala Keinginan Terkabul, Bagus Dibaca Saat Menghadapi Kesulitan dan Kesedihan

Dalam penjelasan kali ini, Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan mengenai bacaan yang bila dibaca, segala keinginan akan terkabul. Lebih-lebih, doa-doa ini amat manfaat dibaca saat mendapatkan kesulitan dan ketika sedang sedih. Sebagian doa ini mengandung nama Allah yang agung (ismullah al-a’zhom). Semoga sembilan bacaan ini bisa diamalkan oleh setiap pembaca setia RumayshoCom.   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (hlm. 20-25) sebagai berikut.   Daftar Isi tutup 1. [BACAAN PERTAMA] 2. [BACAAN KEDUA] 3. [BACAAN KETIGA] 4. [BACAAN KEEMPAT] 5. [BACAAN KELIMA] 6. [BACAAN KEENAM] 7. [BACAAN KETUJUH] 8. [BACAAN KEDELAPAN] 9. [BACAAN KESEMBILAN] [BACAAN PERTAMA] Di antara doa yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagaimana yang disebutkan dalam As-Sunan dan Shahih Ibnu Hibban dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang sedang berdoa: اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنِّي أَشْهَدُ أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ ALLAHUMMA INNI AS-ALUKA BI-ANNI ASYHADU ANNAKA ANTALLAHU LAA ILAHA ILLA ANTA, AL-AHAD ASH-SHAMAD LAM YALID WA LAM YUULAD WA LAM YAKUL LAHUU KUFUWAN AHAD. Artinya: Ya Allah, aku memohon kepada-Mu atas dasar persaksianmu bahwa Engkau adalah Allah. Tiada yang berhak disembah kecuali Engkau. Yang Mahatunggal, Yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, serta Yang tiada sesuatu yang setara dengan-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, لَقَدْ سَأَلَ اللهَ بِالاِسْمِ الأَعْظَمِ الَّذِي إِذَا سُئِلَ بِهِ أَعْطَى، وَإِذَا دُعِيَ بِهِ أَجَابَ “Orang itu memohon kepada Allah dengan nama-Nya yang agung. Jika nama-Nya itu digunakan untuk meminta, niscaya akan diberi dan jika digunakan untuk berdoa, niscaya dikabulkan.” (HR. Abu Daud, no. 1493; Ibnu Majah, no. 3857; Tirmidzi, no. 3475; Ibnu Hibban, no. 891; Ahmad, 5:350; Ibnu Abi Syaibah, 10:271; Al-Haakim, 1:504. Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah mengatakan bahwa hadits ini sahih). Disebutkan dalam lafaz yang lain, “Engkau meminta kepada Allah dengan menggunakan nama-Nya yang teragung.”   [BACAAN KEDUA] Masih dalam As-Sunan dan Shahih Ibnu Hibban, dari Anas bin Malik, ia duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara tidak jauh dari mereka ada laki-laki yang sedang shalat. Kemudian, laki-laki itu berdoa: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنَّ لَكَ الْحَمْدُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الْمَنَّانُ بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ، يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ ALLAHUMMA INNI AS-ALUKA BI-ANNA LAKAL HAMDU LAA ILAHA ILLA ANTA AL-MANNAAN BADII’US SAMAAWAATI WAL ARDHI, YAA DZAL JALAALI WAL IKROOM, YA HAYYU YA QOYYUUM. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Ia telah benar-benar memohon kepada Allah dengan menggunakan nama Allah yang paling agung. Jika nama itu digunakan untuk berdoa, niscaya akan dikabulkan. Jika nama itu digunakan untuk meminta, niscaya akan diberi.” (HR. An-Nasai, 3:52; Abu Daud, no. 1495; Ibnu Majah, no. 3858; Tirmidzi, no. 3544; Ibnu Hibban, no. 893; Ahmad, 3:158, 245, 265; Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 705; Ibnu Abi Syaibah, 10:272, dari jalur Anas, sebagiannya sahih dilihat dari dzatnya). Kedua hadits di atas juga dicantumkan oleh Ahmad dalam musnad-nya.   [BACAAN KETIGA] Di dalam Jaami’ At-Tirmidzi, dari Asma binti Yazid, dinukilkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Nama Allah yang paling agung terdapat dalam dua ayat ini: [Ayat pertama] وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحْمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ WA ILĀHUKUM ILĀHUW WĀḤID, LĀ ILĀHA ILLĀ HUWAR-RAḤMĀNUR-RAḤĪM Artinya: Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah: 163) Lalu ayat-ayat pertama dari surah Ali Imran. [Ayat kedua] الٓمٓ ALIF LĀM MĪM Artinya: Alif laam miim. ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ ALLĀHU LĀ ILĀHA ILLĀ HUWAL-ḤAYYUL-QAYYỤM Artinya: Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya. (QS. Ali Imran: 1-2). Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini sahih. (HR. Tirmidzi, no. 3544; Abu Daud, no. 1496; Ibnu Majah, no. 3855; Ahmad, 6:461; Ibnu Abi Syaibah, 10:232; Ad-Darimy, 2:450; Ath-Thabrani dalam Ad-Du’aa, no. 113 dan dalam Al-Kabiir, 24:174; Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Ash-Shifaat, no. 128. Sanad hadits ini terdapat dua orang yang dhaif. Namun, hadits ini memiliki penguat dari Ibnu Majah, 2:1276; Ath-Thahawi dalam Musykil Al-Atsar, 1:63; Al-Hakim, 1:505; Ath-Thabrani, 8:214; Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Ash-Shifaat, no. 36 dari Abu Usamah dengan sanad yang hasan).   [BACAAN KEEMPAT] Doa yang Diperintahkan untuk Dirutinkan Di dalam musnad Imam Ahmad dan Shahih Al-Hakim, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Anas bin Malik, dan Rabi’ah bin Amir, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Rajinlah mengucapkan: ِيَا ذَا الجَلاَلِ وَالإِكْرَام YAA DZAL JALAALI WAL IKROM.” (HR. Ahmad, 4:177; Al-Hakim, 1:498-499; Al-Bukhari dalam At-Tarikh Al-Kabir, 2:1:256, dari Rabi’ah bin ‘Amir dengan sanad yang sahih). Maksudnya adalah bacalah bacaan tersebut terus menerus dan rutinkanlah selalu.   [BACAAN KELIMA] Doa Ketika Menghadapi Kekhawatiran yang Besar Dalam Jaami’ At-Tirmidzi, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati suatu perkara yang membuatnya khawatir (menjadi perhatian utama), ia pun mengangkat kepalanya ke langit seraya berdoa, يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ YA HAYYU YA QOYYUM. Artinya: Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri tidak butuh segala sesuatu.” (HR. Tirmidzi, no. 3432. Hadits ini gharib, sanadnya dhaif).   [BACAAN KEENAM] Doa Nabi Yunus Ketika Menghadapi Kesulitan لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّى كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN. Artinya: Tidak ada Rabb yang berhak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk diantara orang-orang yang berbuat aniaya. (QS. Al-Anbiya’: 87) Di dalam Jaami’ At-Tirmidzi dan Shahih Al-Hakim, disebutkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, دَعْوَةُ ذِى النُّونِ إِذْ دَعَا وَهُوَ فِى بَطْنِ الْحُوتِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّى كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ. فَإِنَّهُ لَمْ يَدْعُ بِهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ فِى شَىْءٍ قَطُّ إِلاَّ اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ “Doa Dzun Nuun (Nabi Yunus) saat berada dalam perut ikan besar adalah LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN. Sungguh, tidaklah orang muslim berdoa dengannya dalam urusan apa pun, melainkan Allah akan mengabulkan doanya.” (HR. Tirmidzi, no. 3500; Al-Haakim, 1:505, 2:382; An-Nasai dalam Amal Al-Yaum, no. 655; Ahmad, no. 1462; Abu Ya’la, 2:110; Ath-Thabrani, no. 124 dengan sanad hasan) Baca juga: Karamah Wali, Luar Biasanya Doa Saad bin Abi Waqqash Disebutkan dalam Al-Mustadrak karya Al-Hakim, dari Sa’ad, dari Nabi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kalian kuberitahu sesuatu yang jika seseorang ditimpa suatu urusan yang menggelisahkan lalu ia berdoa dengannya, maka Allah akan memberinya jalan keluar? Yang beliau maksud adalah doa Dzun Nuun (Nabi Yunus).” (HR. Al-Hakim, 1:505, 2:382) Di dalam Shahih Al-Hakim, dari Sa’ad, ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kutunjukkan pada nama Allah yang agung (ismullah al-a’zhom). Itulah doa Nabi Yunus.” Salah seorang bertanya, “Apakah doa ini khusus untuk Yunus?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidakkah engkau mendengar firman Allah, فَٱسْتَجَبْنَا لَهُۥ وَنَجَّيْنَٰهُ مِنَ ٱلْغَمِّ ۚ وَكَذَٰلِكَ نُۨجِى ٱلْمُؤْمِنِينَ “Maka Kami kabulkan doanya dan Kami selamatkan dia dari kedukaan. Demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiya’: 88)? Maka setiap muslim yang berdoa dengan doa tersebut ketika sedang sakit, ia membacanya sebanyak 40 kali, lalu ternyata ia meninggal dunia, maka dia mendapatkan pahala orang yang mati syahid. Adapun jika ia sembuh, maka ia sembuh dalam keadaan dosanya terampuni.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1:505-506)   [BACAAN KETUJUH] Doa Ketika Menghadapi Kesusahan Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mengalami kesusahan, beliau mengucapkan, لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ الْعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَرَبُّ اْلأَرْضِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيْمُ LAA ILAHA ILLALLAH AL-‘AZHIIM AL-HALIIM, LAA ILAHA ILLALLAH ROBBUL ‘ARSYIL ‘AZHIM. LAA ILAHA ILLALLAH, ROBBUS SAMAAWAATI WA ROBBUL ARDHI WA ROBBUL ‘ARSYIL KARIM. Artinya: Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Agung dan Maha Penyantun. Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah, Rabb yang menguasai Arsy, yang Maha Agung. Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah, Rabb yang menguasai langit dan bumi. Rabb Yang menguasai arsy, lagi Maha Mulia. (HR. Bukhari, no. 5985 dan Muslim, no. 2730)   [BACAAN KEDELAPAN] Doa Ketika Tertimpa Kesulitan Di dalam musnad Al-Imam Ahad, dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepadaku untuk mengucapkan doa ketika ditimpa kesulitan, لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ الْحَلِيمُ الْكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. LAA ILAHA ILLALLAH AL-HALIIM AL-KARIIM, SUBHAANALLAH WA TABAAROKALLAH ROBBUL ‘ARSYIL ‘AZHIIM, WAL HAMDU LILLAHI ROBBIL ‘AALAMIIN. Artinya: Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi, melainkan Allah yang Maha Penyantun lagi Mahamulia . Mahasuci Allah dan Mahatinggi, Rabb Arsy yang agung, serta segala puji bagi Allah Rabb alam semesta. (HR. Ahmad dalam musnadnya, no. 701 dan Al-Hakim, 1:508. Hadits ini disahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir).   [BACAAN KESEMBILAN] Doa Ketika Sedang Gundah dan Sedih Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak seseorang tertimpa kegundahan dan kesedihan, lalu ia membaca: اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ. ALLOHUMMA INNI ‘ABDUK, IBNU ‘ABDIK, IBNU AMATIK, NAASHIYATI BIYADIK, MAADHIN FIYYA HUKMUK, ‘ADLUN FIYYA QODHO-UK. AS-ALUKA BIKULLISMIN HUWA LAK, SAMMAYTA BIHI NAFSAK, AW ANZALTAHU FII KITAABIK, AW ‘ALLAMTAHU AHADAN MIN KHOLQIK, AWISTA’TSARTA BIHI FI ‘ILMIL GHOIBI ‘INDAK. AN TAJ’ALAL QUR’ANA ROBI’A QOLBI, WA NUURO SHODRI, WA JALAA-A HUZNI, WA DZAHABA HAMMI. Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu (Adam) dan anak hamba perempuan-Mu (Hawa). Ubun-ubun ku di tangan-Mu, keputusan-Mu berlaku padaku, ketentuan-Mu kepadaku adalah adil. Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama (baik) yang telah Engkau gunakan untuk diri-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau yang Engkau khususkan untuk diri-Mu dalam ilmu ghaib di sisi-Mu, hendaknya Engkau jadikan Al-Qur’an sebagai penenteram hatiku, cahaya di dada ku, pelenyap duka dan kesedihanku. Jika bacaan tersebut dibaca, Allah akan menghilangkan kegundahan dan kesedihan orang tersebut kemudian menggantikannya dengan kegembiraan. Seorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami mempelajarinya?” Beliau menjawab, “Tentu. Seharusnya orang yang mendengar doa tersebut mempelajarinya.” ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Apabila seorang nabi tertimpa kesusahan, maka ia meminta tolong kepada Allah dengan bertasbih.” (HR. Ahmad dalam musnadnya, 1:391, 452; Al-Hakim, 1:509; Ibnu Hibban, no. 972; Abu Ya’la, no. 5297; Ibnu As-Sunni, no. 340; Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, no. 10352 dengan sanad sahih).   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Selesai disusun pada 12 Muharram 1446 H, 18 Juli 2024 di Pondok Pesantren Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa al jawabul kaafi cara berdoa doa faedah dari Ibnul Qayyim manajemen hati solusi masalah hidup

Doa Agar Segala Keinginan Terkabul, Bagus Dibaca Saat Menghadapi Kesulitan dan Kesedihan

Dalam penjelasan kali ini, Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan mengenai bacaan yang bila dibaca, segala keinginan akan terkabul. Lebih-lebih, doa-doa ini amat manfaat dibaca saat mendapatkan kesulitan dan ketika sedang sedih. Sebagian doa ini mengandung nama Allah yang agung (ismullah al-a’zhom). Semoga sembilan bacaan ini bisa diamalkan oleh setiap pembaca setia RumayshoCom.   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (hlm. 20-25) sebagai berikut.   Daftar Isi tutup 1. [BACAAN PERTAMA] 2. [BACAAN KEDUA] 3. [BACAAN KETIGA] 4. [BACAAN KEEMPAT] 5. [BACAAN KELIMA] 6. [BACAAN KEENAM] 7. [BACAAN KETUJUH] 8. [BACAAN KEDELAPAN] 9. [BACAAN KESEMBILAN] [BACAAN PERTAMA] Di antara doa yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagaimana yang disebutkan dalam As-Sunan dan Shahih Ibnu Hibban dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang sedang berdoa: اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنِّي أَشْهَدُ أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ ALLAHUMMA INNI AS-ALUKA BI-ANNI ASYHADU ANNAKA ANTALLAHU LAA ILAHA ILLA ANTA, AL-AHAD ASH-SHAMAD LAM YALID WA LAM YUULAD WA LAM YAKUL LAHUU KUFUWAN AHAD. Artinya: Ya Allah, aku memohon kepada-Mu atas dasar persaksianmu bahwa Engkau adalah Allah. Tiada yang berhak disembah kecuali Engkau. Yang Mahatunggal, Yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, serta Yang tiada sesuatu yang setara dengan-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, لَقَدْ سَأَلَ اللهَ بِالاِسْمِ الأَعْظَمِ الَّذِي إِذَا سُئِلَ بِهِ أَعْطَى، وَإِذَا دُعِيَ بِهِ أَجَابَ “Orang itu memohon kepada Allah dengan nama-Nya yang agung. Jika nama-Nya itu digunakan untuk meminta, niscaya akan diberi dan jika digunakan untuk berdoa, niscaya dikabulkan.” (HR. Abu Daud, no. 1493; Ibnu Majah, no. 3857; Tirmidzi, no. 3475; Ibnu Hibban, no. 891; Ahmad, 5:350; Ibnu Abi Syaibah, 10:271; Al-Haakim, 1:504. Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah mengatakan bahwa hadits ini sahih). Disebutkan dalam lafaz yang lain, “Engkau meminta kepada Allah dengan menggunakan nama-Nya yang teragung.”   [BACAAN KEDUA] Masih dalam As-Sunan dan Shahih Ibnu Hibban, dari Anas bin Malik, ia duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara tidak jauh dari mereka ada laki-laki yang sedang shalat. Kemudian, laki-laki itu berdoa: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنَّ لَكَ الْحَمْدُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الْمَنَّانُ بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ، يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ ALLAHUMMA INNI AS-ALUKA BI-ANNA LAKAL HAMDU LAA ILAHA ILLA ANTA AL-MANNAAN BADII’US SAMAAWAATI WAL ARDHI, YAA DZAL JALAALI WAL IKROOM, YA HAYYU YA QOYYUUM. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Ia telah benar-benar memohon kepada Allah dengan menggunakan nama Allah yang paling agung. Jika nama itu digunakan untuk berdoa, niscaya akan dikabulkan. Jika nama itu digunakan untuk meminta, niscaya akan diberi.” (HR. An-Nasai, 3:52; Abu Daud, no. 1495; Ibnu Majah, no. 3858; Tirmidzi, no. 3544; Ibnu Hibban, no. 893; Ahmad, 3:158, 245, 265; Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 705; Ibnu Abi Syaibah, 10:272, dari jalur Anas, sebagiannya sahih dilihat dari dzatnya). Kedua hadits di atas juga dicantumkan oleh Ahmad dalam musnad-nya.   [BACAAN KETIGA] Di dalam Jaami’ At-Tirmidzi, dari Asma binti Yazid, dinukilkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Nama Allah yang paling agung terdapat dalam dua ayat ini: [Ayat pertama] وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحْمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ WA ILĀHUKUM ILĀHUW WĀḤID, LĀ ILĀHA ILLĀ HUWAR-RAḤMĀNUR-RAḤĪM Artinya: Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah: 163) Lalu ayat-ayat pertama dari surah Ali Imran. [Ayat kedua] الٓمٓ ALIF LĀM MĪM Artinya: Alif laam miim. ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ ALLĀHU LĀ ILĀHA ILLĀ HUWAL-ḤAYYUL-QAYYỤM Artinya: Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya. (QS. Ali Imran: 1-2). Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini sahih. (HR. Tirmidzi, no. 3544; Abu Daud, no. 1496; Ibnu Majah, no. 3855; Ahmad, 6:461; Ibnu Abi Syaibah, 10:232; Ad-Darimy, 2:450; Ath-Thabrani dalam Ad-Du’aa, no. 113 dan dalam Al-Kabiir, 24:174; Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Ash-Shifaat, no. 128. Sanad hadits ini terdapat dua orang yang dhaif. Namun, hadits ini memiliki penguat dari Ibnu Majah, 2:1276; Ath-Thahawi dalam Musykil Al-Atsar, 1:63; Al-Hakim, 1:505; Ath-Thabrani, 8:214; Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Ash-Shifaat, no. 36 dari Abu Usamah dengan sanad yang hasan).   [BACAAN KEEMPAT] Doa yang Diperintahkan untuk Dirutinkan Di dalam musnad Imam Ahmad dan Shahih Al-Hakim, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Anas bin Malik, dan Rabi’ah bin Amir, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Rajinlah mengucapkan: ِيَا ذَا الجَلاَلِ وَالإِكْرَام YAA DZAL JALAALI WAL IKROM.” (HR. Ahmad, 4:177; Al-Hakim, 1:498-499; Al-Bukhari dalam At-Tarikh Al-Kabir, 2:1:256, dari Rabi’ah bin ‘Amir dengan sanad yang sahih). Maksudnya adalah bacalah bacaan tersebut terus menerus dan rutinkanlah selalu.   [BACAAN KELIMA] Doa Ketika Menghadapi Kekhawatiran yang Besar Dalam Jaami’ At-Tirmidzi, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati suatu perkara yang membuatnya khawatir (menjadi perhatian utama), ia pun mengangkat kepalanya ke langit seraya berdoa, يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ YA HAYYU YA QOYYUM. Artinya: Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri tidak butuh segala sesuatu.” (HR. Tirmidzi, no. 3432. Hadits ini gharib, sanadnya dhaif).   [BACAAN KEENAM] Doa Nabi Yunus Ketika Menghadapi Kesulitan لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّى كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN. Artinya: Tidak ada Rabb yang berhak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk diantara orang-orang yang berbuat aniaya. (QS. Al-Anbiya’: 87) Di dalam Jaami’ At-Tirmidzi dan Shahih Al-Hakim, disebutkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, دَعْوَةُ ذِى النُّونِ إِذْ دَعَا وَهُوَ فِى بَطْنِ الْحُوتِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّى كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ. فَإِنَّهُ لَمْ يَدْعُ بِهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ فِى شَىْءٍ قَطُّ إِلاَّ اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ “Doa Dzun Nuun (Nabi Yunus) saat berada dalam perut ikan besar adalah LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN. Sungguh, tidaklah orang muslim berdoa dengannya dalam urusan apa pun, melainkan Allah akan mengabulkan doanya.” (HR. Tirmidzi, no. 3500; Al-Haakim, 1:505, 2:382; An-Nasai dalam Amal Al-Yaum, no. 655; Ahmad, no. 1462; Abu Ya’la, 2:110; Ath-Thabrani, no. 124 dengan sanad hasan) Baca juga: Karamah Wali, Luar Biasanya Doa Saad bin Abi Waqqash Disebutkan dalam Al-Mustadrak karya Al-Hakim, dari Sa’ad, dari Nabi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kalian kuberitahu sesuatu yang jika seseorang ditimpa suatu urusan yang menggelisahkan lalu ia berdoa dengannya, maka Allah akan memberinya jalan keluar? Yang beliau maksud adalah doa Dzun Nuun (Nabi Yunus).” (HR. Al-Hakim, 1:505, 2:382) Di dalam Shahih Al-Hakim, dari Sa’ad, ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kutunjukkan pada nama Allah yang agung (ismullah al-a’zhom). Itulah doa Nabi Yunus.” Salah seorang bertanya, “Apakah doa ini khusus untuk Yunus?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidakkah engkau mendengar firman Allah, فَٱسْتَجَبْنَا لَهُۥ وَنَجَّيْنَٰهُ مِنَ ٱلْغَمِّ ۚ وَكَذَٰلِكَ نُۨجِى ٱلْمُؤْمِنِينَ “Maka Kami kabulkan doanya dan Kami selamatkan dia dari kedukaan. Demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiya’: 88)? Maka setiap muslim yang berdoa dengan doa tersebut ketika sedang sakit, ia membacanya sebanyak 40 kali, lalu ternyata ia meninggal dunia, maka dia mendapatkan pahala orang yang mati syahid. Adapun jika ia sembuh, maka ia sembuh dalam keadaan dosanya terampuni.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1:505-506)   [BACAAN KETUJUH] Doa Ketika Menghadapi Kesusahan Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mengalami kesusahan, beliau mengucapkan, لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ الْعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَرَبُّ اْلأَرْضِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيْمُ LAA ILAHA ILLALLAH AL-‘AZHIIM AL-HALIIM, LAA ILAHA ILLALLAH ROBBUL ‘ARSYIL ‘AZHIM. LAA ILAHA ILLALLAH, ROBBUS SAMAAWAATI WA ROBBUL ARDHI WA ROBBUL ‘ARSYIL KARIM. Artinya: Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Agung dan Maha Penyantun. Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah, Rabb yang menguasai Arsy, yang Maha Agung. Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah, Rabb yang menguasai langit dan bumi. Rabb Yang menguasai arsy, lagi Maha Mulia. (HR. Bukhari, no. 5985 dan Muslim, no. 2730)   [BACAAN KEDELAPAN] Doa Ketika Tertimpa Kesulitan Di dalam musnad Al-Imam Ahad, dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepadaku untuk mengucapkan doa ketika ditimpa kesulitan, لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ الْحَلِيمُ الْكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. LAA ILAHA ILLALLAH AL-HALIIM AL-KARIIM, SUBHAANALLAH WA TABAAROKALLAH ROBBUL ‘ARSYIL ‘AZHIIM, WAL HAMDU LILLAHI ROBBIL ‘AALAMIIN. Artinya: Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi, melainkan Allah yang Maha Penyantun lagi Mahamulia . Mahasuci Allah dan Mahatinggi, Rabb Arsy yang agung, serta segala puji bagi Allah Rabb alam semesta. (HR. Ahmad dalam musnadnya, no. 701 dan Al-Hakim, 1:508. Hadits ini disahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir).   [BACAAN KESEMBILAN] Doa Ketika Sedang Gundah dan Sedih Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak seseorang tertimpa kegundahan dan kesedihan, lalu ia membaca: اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ. ALLOHUMMA INNI ‘ABDUK, IBNU ‘ABDIK, IBNU AMATIK, NAASHIYATI BIYADIK, MAADHIN FIYYA HUKMUK, ‘ADLUN FIYYA QODHO-UK. AS-ALUKA BIKULLISMIN HUWA LAK, SAMMAYTA BIHI NAFSAK, AW ANZALTAHU FII KITAABIK, AW ‘ALLAMTAHU AHADAN MIN KHOLQIK, AWISTA’TSARTA BIHI FI ‘ILMIL GHOIBI ‘INDAK. AN TAJ’ALAL QUR’ANA ROBI’A QOLBI, WA NUURO SHODRI, WA JALAA-A HUZNI, WA DZAHABA HAMMI. Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu (Adam) dan anak hamba perempuan-Mu (Hawa). Ubun-ubun ku di tangan-Mu, keputusan-Mu berlaku padaku, ketentuan-Mu kepadaku adalah adil. Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama (baik) yang telah Engkau gunakan untuk diri-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau yang Engkau khususkan untuk diri-Mu dalam ilmu ghaib di sisi-Mu, hendaknya Engkau jadikan Al-Qur’an sebagai penenteram hatiku, cahaya di dada ku, pelenyap duka dan kesedihanku. Jika bacaan tersebut dibaca, Allah akan menghilangkan kegundahan dan kesedihan orang tersebut kemudian menggantikannya dengan kegembiraan. Seorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami mempelajarinya?” Beliau menjawab, “Tentu. Seharusnya orang yang mendengar doa tersebut mempelajarinya.” ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Apabila seorang nabi tertimpa kesusahan, maka ia meminta tolong kepada Allah dengan bertasbih.” (HR. Ahmad dalam musnadnya, 1:391, 452; Al-Hakim, 1:509; Ibnu Hibban, no. 972; Abu Ya’la, no. 5297; Ibnu As-Sunni, no. 340; Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, no. 10352 dengan sanad sahih).   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Selesai disusun pada 12 Muharram 1446 H, 18 Juli 2024 di Pondok Pesantren Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa al jawabul kaafi cara berdoa doa faedah dari Ibnul Qayyim manajemen hati solusi masalah hidup
Dalam penjelasan kali ini, Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan mengenai bacaan yang bila dibaca, segala keinginan akan terkabul. Lebih-lebih, doa-doa ini amat manfaat dibaca saat mendapatkan kesulitan dan ketika sedang sedih. Sebagian doa ini mengandung nama Allah yang agung (ismullah al-a’zhom). Semoga sembilan bacaan ini bisa diamalkan oleh setiap pembaca setia RumayshoCom.   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (hlm. 20-25) sebagai berikut.   Daftar Isi tutup 1. [BACAAN PERTAMA] 2. [BACAAN KEDUA] 3. [BACAAN KETIGA] 4. [BACAAN KEEMPAT] 5. [BACAAN KELIMA] 6. [BACAAN KEENAM] 7. [BACAAN KETUJUH] 8. [BACAAN KEDELAPAN] 9. [BACAAN KESEMBILAN] [BACAAN PERTAMA] Di antara doa yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagaimana yang disebutkan dalam As-Sunan dan Shahih Ibnu Hibban dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang sedang berdoa: اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنِّي أَشْهَدُ أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ ALLAHUMMA INNI AS-ALUKA BI-ANNI ASYHADU ANNAKA ANTALLAHU LAA ILAHA ILLA ANTA, AL-AHAD ASH-SHAMAD LAM YALID WA LAM YUULAD WA LAM YAKUL LAHUU KUFUWAN AHAD. Artinya: Ya Allah, aku memohon kepada-Mu atas dasar persaksianmu bahwa Engkau adalah Allah. Tiada yang berhak disembah kecuali Engkau. Yang Mahatunggal, Yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, serta Yang tiada sesuatu yang setara dengan-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, لَقَدْ سَأَلَ اللهَ بِالاِسْمِ الأَعْظَمِ الَّذِي إِذَا سُئِلَ بِهِ أَعْطَى، وَإِذَا دُعِيَ بِهِ أَجَابَ “Orang itu memohon kepada Allah dengan nama-Nya yang agung. Jika nama-Nya itu digunakan untuk meminta, niscaya akan diberi dan jika digunakan untuk berdoa, niscaya dikabulkan.” (HR. Abu Daud, no. 1493; Ibnu Majah, no. 3857; Tirmidzi, no. 3475; Ibnu Hibban, no. 891; Ahmad, 5:350; Ibnu Abi Syaibah, 10:271; Al-Haakim, 1:504. Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah mengatakan bahwa hadits ini sahih). Disebutkan dalam lafaz yang lain, “Engkau meminta kepada Allah dengan menggunakan nama-Nya yang teragung.”   [BACAAN KEDUA] Masih dalam As-Sunan dan Shahih Ibnu Hibban, dari Anas bin Malik, ia duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara tidak jauh dari mereka ada laki-laki yang sedang shalat. Kemudian, laki-laki itu berdoa: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنَّ لَكَ الْحَمْدُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الْمَنَّانُ بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ، يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ ALLAHUMMA INNI AS-ALUKA BI-ANNA LAKAL HAMDU LAA ILAHA ILLA ANTA AL-MANNAAN BADII’US SAMAAWAATI WAL ARDHI, YAA DZAL JALAALI WAL IKROOM, YA HAYYU YA QOYYUUM. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Ia telah benar-benar memohon kepada Allah dengan menggunakan nama Allah yang paling agung. Jika nama itu digunakan untuk berdoa, niscaya akan dikabulkan. Jika nama itu digunakan untuk meminta, niscaya akan diberi.” (HR. An-Nasai, 3:52; Abu Daud, no. 1495; Ibnu Majah, no. 3858; Tirmidzi, no. 3544; Ibnu Hibban, no. 893; Ahmad, 3:158, 245, 265; Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 705; Ibnu Abi Syaibah, 10:272, dari jalur Anas, sebagiannya sahih dilihat dari dzatnya). Kedua hadits di atas juga dicantumkan oleh Ahmad dalam musnad-nya.   [BACAAN KETIGA] Di dalam Jaami’ At-Tirmidzi, dari Asma binti Yazid, dinukilkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Nama Allah yang paling agung terdapat dalam dua ayat ini: [Ayat pertama] وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحْمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ WA ILĀHUKUM ILĀHUW WĀḤID, LĀ ILĀHA ILLĀ HUWAR-RAḤMĀNUR-RAḤĪM Artinya: Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah: 163) Lalu ayat-ayat pertama dari surah Ali Imran. [Ayat kedua] الٓمٓ ALIF LĀM MĪM Artinya: Alif laam miim. ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ ALLĀHU LĀ ILĀHA ILLĀ HUWAL-ḤAYYUL-QAYYỤM Artinya: Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya. (QS. Ali Imran: 1-2). Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini sahih. (HR. Tirmidzi, no. 3544; Abu Daud, no. 1496; Ibnu Majah, no. 3855; Ahmad, 6:461; Ibnu Abi Syaibah, 10:232; Ad-Darimy, 2:450; Ath-Thabrani dalam Ad-Du’aa, no. 113 dan dalam Al-Kabiir, 24:174; Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Ash-Shifaat, no. 128. Sanad hadits ini terdapat dua orang yang dhaif. Namun, hadits ini memiliki penguat dari Ibnu Majah, 2:1276; Ath-Thahawi dalam Musykil Al-Atsar, 1:63; Al-Hakim, 1:505; Ath-Thabrani, 8:214; Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Ash-Shifaat, no. 36 dari Abu Usamah dengan sanad yang hasan).   [BACAAN KEEMPAT] Doa yang Diperintahkan untuk Dirutinkan Di dalam musnad Imam Ahmad dan Shahih Al-Hakim, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Anas bin Malik, dan Rabi’ah bin Amir, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Rajinlah mengucapkan: ِيَا ذَا الجَلاَلِ وَالإِكْرَام YAA DZAL JALAALI WAL IKROM.” (HR. Ahmad, 4:177; Al-Hakim, 1:498-499; Al-Bukhari dalam At-Tarikh Al-Kabir, 2:1:256, dari Rabi’ah bin ‘Amir dengan sanad yang sahih). Maksudnya adalah bacalah bacaan tersebut terus menerus dan rutinkanlah selalu.   [BACAAN KELIMA] Doa Ketika Menghadapi Kekhawatiran yang Besar Dalam Jaami’ At-Tirmidzi, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati suatu perkara yang membuatnya khawatir (menjadi perhatian utama), ia pun mengangkat kepalanya ke langit seraya berdoa, يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ YA HAYYU YA QOYYUM. Artinya: Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri tidak butuh segala sesuatu.” (HR. Tirmidzi, no. 3432. Hadits ini gharib, sanadnya dhaif).   [BACAAN KEENAM] Doa Nabi Yunus Ketika Menghadapi Kesulitan لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّى كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN. Artinya: Tidak ada Rabb yang berhak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk diantara orang-orang yang berbuat aniaya. (QS. Al-Anbiya’: 87) Di dalam Jaami’ At-Tirmidzi dan Shahih Al-Hakim, disebutkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, دَعْوَةُ ذِى النُّونِ إِذْ دَعَا وَهُوَ فِى بَطْنِ الْحُوتِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّى كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ. فَإِنَّهُ لَمْ يَدْعُ بِهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ فِى شَىْءٍ قَطُّ إِلاَّ اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ “Doa Dzun Nuun (Nabi Yunus) saat berada dalam perut ikan besar adalah LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN. Sungguh, tidaklah orang muslim berdoa dengannya dalam urusan apa pun, melainkan Allah akan mengabulkan doanya.” (HR. Tirmidzi, no. 3500; Al-Haakim, 1:505, 2:382; An-Nasai dalam Amal Al-Yaum, no. 655; Ahmad, no. 1462; Abu Ya’la, 2:110; Ath-Thabrani, no. 124 dengan sanad hasan) Baca juga: Karamah Wali, Luar Biasanya Doa Saad bin Abi Waqqash Disebutkan dalam Al-Mustadrak karya Al-Hakim, dari Sa’ad, dari Nabi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kalian kuberitahu sesuatu yang jika seseorang ditimpa suatu urusan yang menggelisahkan lalu ia berdoa dengannya, maka Allah akan memberinya jalan keluar? Yang beliau maksud adalah doa Dzun Nuun (Nabi Yunus).” (HR. Al-Hakim, 1:505, 2:382) Di dalam Shahih Al-Hakim, dari Sa’ad, ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kutunjukkan pada nama Allah yang agung (ismullah al-a’zhom). Itulah doa Nabi Yunus.” Salah seorang bertanya, “Apakah doa ini khusus untuk Yunus?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidakkah engkau mendengar firman Allah, فَٱسْتَجَبْنَا لَهُۥ وَنَجَّيْنَٰهُ مِنَ ٱلْغَمِّ ۚ وَكَذَٰلِكَ نُۨجِى ٱلْمُؤْمِنِينَ “Maka Kami kabulkan doanya dan Kami selamatkan dia dari kedukaan. Demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiya’: 88)? Maka setiap muslim yang berdoa dengan doa tersebut ketika sedang sakit, ia membacanya sebanyak 40 kali, lalu ternyata ia meninggal dunia, maka dia mendapatkan pahala orang yang mati syahid. Adapun jika ia sembuh, maka ia sembuh dalam keadaan dosanya terampuni.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1:505-506)   [BACAAN KETUJUH] Doa Ketika Menghadapi Kesusahan Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mengalami kesusahan, beliau mengucapkan, لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ الْعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَرَبُّ اْلأَرْضِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيْمُ LAA ILAHA ILLALLAH AL-‘AZHIIM AL-HALIIM, LAA ILAHA ILLALLAH ROBBUL ‘ARSYIL ‘AZHIM. LAA ILAHA ILLALLAH, ROBBUS SAMAAWAATI WA ROBBUL ARDHI WA ROBBUL ‘ARSYIL KARIM. Artinya: Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Agung dan Maha Penyantun. Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah, Rabb yang menguasai Arsy, yang Maha Agung. Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah, Rabb yang menguasai langit dan bumi. Rabb Yang menguasai arsy, lagi Maha Mulia. (HR. Bukhari, no. 5985 dan Muslim, no. 2730)   [BACAAN KEDELAPAN] Doa Ketika Tertimpa Kesulitan Di dalam musnad Al-Imam Ahad, dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepadaku untuk mengucapkan doa ketika ditimpa kesulitan, لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ الْحَلِيمُ الْكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. LAA ILAHA ILLALLAH AL-HALIIM AL-KARIIM, SUBHAANALLAH WA TABAAROKALLAH ROBBUL ‘ARSYIL ‘AZHIIM, WAL HAMDU LILLAHI ROBBIL ‘AALAMIIN. Artinya: Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi, melainkan Allah yang Maha Penyantun lagi Mahamulia . Mahasuci Allah dan Mahatinggi, Rabb Arsy yang agung, serta segala puji bagi Allah Rabb alam semesta. (HR. Ahmad dalam musnadnya, no. 701 dan Al-Hakim, 1:508. Hadits ini disahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir).   [BACAAN KESEMBILAN] Doa Ketika Sedang Gundah dan Sedih Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak seseorang tertimpa kegundahan dan kesedihan, lalu ia membaca: اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ. ALLOHUMMA INNI ‘ABDUK, IBNU ‘ABDIK, IBNU AMATIK, NAASHIYATI BIYADIK, MAADHIN FIYYA HUKMUK, ‘ADLUN FIYYA QODHO-UK. AS-ALUKA BIKULLISMIN HUWA LAK, SAMMAYTA BIHI NAFSAK, AW ANZALTAHU FII KITAABIK, AW ‘ALLAMTAHU AHADAN MIN KHOLQIK, AWISTA’TSARTA BIHI FI ‘ILMIL GHOIBI ‘INDAK. AN TAJ’ALAL QUR’ANA ROBI’A QOLBI, WA NUURO SHODRI, WA JALAA-A HUZNI, WA DZAHABA HAMMI. Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu (Adam) dan anak hamba perempuan-Mu (Hawa). Ubun-ubun ku di tangan-Mu, keputusan-Mu berlaku padaku, ketentuan-Mu kepadaku adalah adil. Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama (baik) yang telah Engkau gunakan untuk diri-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau yang Engkau khususkan untuk diri-Mu dalam ilmu ghaib di sisi-Mu, hendaknya Engkau jadikan Al-Qur’an sebagai penenteram hatiku, cahaya di dada ku, pelenyap duka dan kesedihanku. Jika bacaan tersebut dibaca, Allah akan menghilangkan kegundahan dan kesedihan orang tersebut kemudian menggantikannya dengan kegembiraan. Seorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami mempelajarinya?” Beliau menjawab, “Tentu. Seharusnya orang yang mendengar doa tersebut mempelajarinya.” ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Apabila seorang nabi tertimpa kesusahan, maka ia meminta tolong kepada Allah dengan bertasbih.” (HR. Ahmad dalam musnadnya, 1:391, 452; Al-Hakim, 1:509; Ibnu Hibban, no. 972; Abu Ya’la, no. 5297; Ibnu As-Sunni, no. 340; Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, no. 10352 dengan sanad sahih).   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Selesai disusun pada 12 Muharram 1446 H, 18 Juli 2024 di Pondok Pesantren Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa al jawabul kaafi cara berdoa doa faedah dari Ibnul Qayyim manajemen hati solusi masalah hidup


Dalam penjelasan kali ini, Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan mengenai bacaan yang bila dibaca, segala keinginan akan terkabul. Lebih-lebih, doa-doa ini amat manfaat dibaca saat mendapatkan kesulitan dan ketika sedang sedih. Sebagian doa ini mengandung nama Allah yang agung (ismullah al-a’zhom). Semoga sembilan bacaan ini bisa diamalkan oleh setiap pembaca setia RumayshoCom.   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (hlm. 20-25) sebagai berikut.   Daftar Isi tutup 1. [BACAAN PERTAMA] 2. [BACAAN KEDUA] 3. [BACAAN KETIGA] 4. [BACAAN KEEMPAT] 5. [BACAAN KELIMA] 6. [BACAAN KEENAM] 7. [BACAAN KETUJUH] 8. [BACAAN KEDELAPAN] 9. [BACAAN KESEMBILAN] [BACAAN PERTAMA] Di antara doa yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagaimana yang disebutkan dalam As-Sunan dan Shahih Ibnu Hibban dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang sedang berdoa: اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنِّي أَشْهَدُ أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ ALLAHUMMA INNI AS-ALUKA BI-ANNI ASYHADU ANNAKA ANTALLAHU LAA ILAHA ILLA ANTA, AL-AHAD ASH-SHAMAD LAM YALID WA LAM YUULAD WA LAM YAKUL LAHUU KUFUWAN AHAD. Artinya: Ya Allah, aku memohon kepada-Mu atas dasar persaksianmu bahwa Engkau adalah Allah. Tiada yang berhak disembah kecuali Engkau. Yang Mahatunggal, Yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, serta Yang tiada sesuatu yang setara dengan-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, لَقَدْ سَأَلَ اللهَ بِالاِسْمِ الأَعْظَمِ الَّذِي إِذَا سُئِلَ بِهِ أَعْطَى، وَإِذَا دُعِيَ بِهِ أَجَابَ “Orang itu memohon kepada Allah dengan nama-Nya yang agung. Jika nama-Nya itu digunakan untuk meminta, niscaya akan diberi dan jika digunakan untuk berdoa, niscaya dikabulkan.” (HR. Abu Daud, no. 1493; Ibnu Majah, no. 3857; Tirmidzi, no. 3475; Ibnu Hibban, no. 891; Ahmad, 5:350; Ibnu Abi Syaibah, 10:271; Al-Haakim, 1:504. Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah mengatakan bahwa hadits ini sahih). Disebutkan dalam lafaz yang lain, “Engkau meminta kepada Allah dengan menggunakan nama-Nya yang teragung.”   [BACAAN KEDUA] Masih dalam As-Sunan dan Shahih Ibnu Hibban, dari Anas bin Malik, ia duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara tidak jauh dari mereka ada laki-laki yang sedang shalat. Kemudian, laki-laki itu berdoa: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنَّ لَكَ الْحَمْدُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الْمَنَّانُ بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ، يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ ALLAHUMMA INNI AS-ALUKA BI-ANNA LAKAL HAMDU LAA ILAHA ILLA ANTA AL-MANNAAN BADII’US SAMAAWAATI WAL ARDHI, YAA DZAL JALAALI WAL IKROOM, YA HAYYU YA QOYYUUM. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Ia telah benar-benar memohon kepada Allah dengan menggunakan nama Allah yang paling agung. Jika nama itu digunakan untuk berdoa, niscaya akan dikabulkan. Jika nama itu digunakan untuk meminta, niscaya akan diberi.” (HR. An-Nasai, 3:52; Abu Daud, no. 1495; Ibnu Majah, no. 3858; Tirmidzi, no. 3544; Ibnu Hibban, no. 893; Ahmad, 3:158, 245, 265; Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 705; Ibnu Abi Syaibah, 10:272, dari jalur Anas, sebagiannya sahih dilihat dari dzatnya). Kedua hadits di atas juga dicantumkan oleh Ahmad dalam musnad-nya.   [BACAAN KETIGA] Di dalam Jaami’ At-Tirmidzi, dari Asma binti Yazid, dinukilkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Nama Allah yang paling agung terdapat dalam dua ayat ini: [Ayat pertama] وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحْمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ WA ILĀHUKUM ILĀHUW WĀḤID, LĀ ILĀHA ILLĀ HUWAR-RAḤMĀNUR-RAḤĪM Artinya: Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah: 163) Lalu ayat-ayat pertama dari surah Ali Imran. [Ayat kedua] الٓمٓ ALIF LĀM MĪM Artinya: Alif laam miim. ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ ALLĀHU LĀ ILĀHA ILLĀ HUWAL-ḤAYYUL-QAYYỤM Artinya: Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya. (QS. Ali Imran: 1-2). Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini sahih. (HR. Tirmidzi, no. 3544; Abu Daud, no. 1496; Ibnu Majah, no. 3855; Ahmad, 6:461; Ibnu Abi Syaibah, 10:232; Ad-Darimy, 2:450; Ath-Thabrani dalam Ad-Du’aa, no. 113 dan dalam Al-Kabiir, 24:174; Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Ash-Shifaat, no. 128. Sanad hadits ini terdapat dua orang yang dhaif. Namun, hadits ini memiliki penguat dari Ibnu Majah, 2:1276; Ath-Thahawi dalam Musykil Al-Atsar, 1:63; Al-Hakim, 1:505; Ath-Thabrani, 8:214; Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Ash-Shifaat, no. 36 dari Abu Usamah dengan sanad yang hasan).   [BACAAN KEEMPAT] Doa yang Diperintahkan untuk Dirutinkan Di dalam musnad Imam Ahmad dan Shahih Al-Hakim, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Anas bin Malik, dan Rabi’ah bin Amir, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Rajinlah mengucapkan: ِيَا ذَا الجَلاَلِ وَالإِكْرَام YAA DZAL JALAALI WAL IKROM.” (HR. Ahmad, 4:177; Al-Hakim, 1:498-499; Al-Bukhari dalam At-Tarikh Al-Kabir, 2:1:256, dari Rabi’ah bin ‘Amir dengan sanad yang sahih). Maksudnya adalah bacalah bacaan tersebut terus menerus dan rutinkanlah selalu.   [BACAAN KELIMA] Doa Ketika Menghadapi Kekhawatiran yang Besar Dalam Jaami’ At-Tirmidzi, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati suatu perkara yang membuatnya khawatir (menjadi perhatian utama), ia pun mengangkat kepalanya ke langit seraya berdoa, يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ YA HAYYU YA QOYYUM. Artinya: Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri tidak butuh segala sesuatu.” (HR. Tirmidzi, no. 3432. Hadits ini gharib, sanadnya dhaif).   [BACAAN KEENAM] Doa Nabi Yunus Ketika Menghadapi Kesulitan لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّى كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN. Artinya: Tidak ada Rabb yang berhak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk diantara orang-orang yang berbuat aniaya. (QS. Al-Anbiya’: 87) Di dalam Jaami’ At-Tirmidzi dan Shahih Al-Hakim, disebutkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, دَعْوَةُ ذِى النُّونِ إِذْ دَعَا وَهُوَ فِى بَطْنِ الْحُوتِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّى كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ. فَإِنَّهُ لَمْ يَدْعُ بِهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ فِى شَىْءٍ قَطُّ إِلاَّ اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ “Doa Dzun Nuun (Nabi Yunus) saat berada dalam perut ikan besar adalah LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN. Sungguh, tidaklah orang muslim berdoa dengannya dalam urusan apa pun, melainkan Allah akan mengabulkan doanya.” (HR. Tirmidzi, no. 3500; Al-Haakim, 1:505, 2:382; An-Nasai dalam Amal Al-Yaum, no. 655; Ahmad, no. 1462; Abu Ya’la, 2:110; Ath-Thabrani, no. 124 dengan sanad hasan) Baca juga: Karamah Wali, Luar Biasanya Doa Saad bin Abi Waqqash Disebutkan dalam Al-Mustadrak karya Al-Hakim, dari Sa’ad, dari Nabi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kalian kuberitahu sesuatu yang jika seseorang ditimpa suatu urusan yang menggelisahkan lalu ia berdoa dengannya, maka Allah akan memberinya jalan keluar? Yang beliau maksud adalah doa Dzun Nuun (Nabi Yunus).” (HR. Al-Hakim, 1:505, 2:382) Di dalam Shahih Al-Hakim, dari Sa’ad, ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kutunjukkan pada nama Allah yang agung (ismullah al-a’zhom). Itulah doa Nabi Yunus.” Salah seorang bertanya, “Apakah doa ini khusus untuk Yunus?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidakkah engkau mendengar firman Allah, فَٱسْتَجَبْنَا لَهُۥ وَنَجَّيْنَٰهُ مِنَ ٱلْغَمِّ ۚ وَكَذَٰلِكَ نُۨجِى ٱلْمُؤْمِنِينَ “Maka Kami kabulkan doanya dan Kami selamatkan dia dari kedukaan. Demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiya’: 88)? Maka setiap muslim yang berdoa dengan doa tersebut ketika sedang sakit, ia membacanya sebanyak 40 kali, lalu ternyata ia meninggal dunia, maka dia mendapatkan pahala orang yang mati syahid. Adapun jika ia sembuh, maka ia sembuh dalam keadaan dosanya terampuni.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1:505-506)   [BACAAN KETUJUH] Doa Ketika Menghadapi Kesusahan Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mengalami kesusahan, beliau mengucapkan, لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ الْعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَرَبُّ اْلأَرْضِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيْمُ LAA ILAHA ILLALLAH AL-‘AZHIIM AL-HALIIM, LAA ILAHA ILLALLAH ROBBUL ‘ARSYIL ‘AZHIM. LAA ILAHA ILLALLAH, ROBBUS SAMAAWAATI WA ROBBUL ARDHI WA ROBBUL ‘ARSYIL KARIM. Artinya: Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Agung dan Maha Penyantun. Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah, Rabb yang menguasai Arsy, yang Maha Agung. Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah, Rabb yang menguasai langit dan bumi. Rabb Yang menguasai arsy, lagi Maha Mulia. (HR. Bukhari, no. 5985 dan Muslim, no. 2730)   [BACAAN KEDELAPAN] Doa Ketika Tertimpa Kesulitan Di dalam musnad Al-Imam Ahad, dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepadaku untuk mengucapkan doa ketika ditimpa kesulitan, لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ الْحَلِيمُ الْكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. LAA ILAHA ILLALLAH AL-HALIIM AL-KARIIM, SUBHAANALLAH WA TABAAROKALLAH ROBBUL ‘ARSYIL ‘AZHIIM, WAL HAMDU LILLAHI ROBBIL ‘AALAMIIN. Artinya: Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi, melainkan Allah yang Maha Penyantun lagi Mahamulia . Mahasuci Allah dan Mahatinggi, Rabb Arsy yang agung, serta segala puji bagi Allah Rabb alam semesta. (HR. Ahmad dalam musnadnya, no. 701 dan Al-Hakim, 1:508. Hadits ini disahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir).   [BACAAN KESEMBILAN] Doa Ketika Sedang Gundah dan Sedih Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak seseorang tertimpa kegundahan dan kesedihan, lalu ia membaca: اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ. ALLOHUMMA INNI ‘ABDUK, IBNU ‘ABDIK, IBNU AMATIK, NAASHIYATI BIYADIK, MAADHIN FIYYA HUKMUK, ‘ADLUN FIYYA QODHO-UK. AS-ALUKA BIKULLISMIN HUWA LAK, SAMMAYTA BIHI NAFSAK, AW ANZALTAHU FII KITAABIK, AW ‘ALLAMTAHU AHADAN MIN KHOLQIK, AWISTA’TSARTA BIHI FI ‘ILMIL GHOIBI ‘INDAK. AN TAJ’ALAL QUR’ANA ROBI’A QOLBI, WA NUURO SHODRI, WA JALAA-A HUZNI, WA DZAHABA HAMMI. Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu (Adam) dan anak hamba perempuan-Mu (Hawa). Ubun-ubun ku di tangan-Mu, keputusan-Mu berlaku padaku, ketentuan-Mu kepadaku adalah adil. Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama (baik) yang telah Engkau gunakan untuk diri-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau yang Engkau khususkan untuk diri-Mu dalam ilmu ghaib di sisi-Mu, hendaknya Engkau jadikan Al-Qur’an sebagai penenteram hatiku, cahaya di dada ku, pelenyap duka dan kesedihanku. Jika bacaan tersebut dibaca, Allah akan menghilangkan kegundahan dan kesedihan orang tersebut kemudian menggantikannya dengan kegembiraan. Seorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami mempelajarinya?” Beliau menjawab, “Tentu. Seharusnya orang yang mendengar doa tersebut mempelajarinya.” ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Apabila seorang nabi tertimpa kesusahan, maka ia meminta tolong kepada Allah dengan bertasbih.” (HR. Ahmad dalam musnadnya, 1:391, 452; Al-Hakim, 1:509; Ibnu Hibban, no. 972; Abu Ya’la, no. 5297; Ibnu As-Sunni, no. 340; Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, no. 10352 dengan sanad sahih).   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Selesai disusun pada 12 Muharram 1446 H, 18 Juli 2024 di Pondok Pesantren Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa al jawabul kaafi cara berdoa doa faedah dari Ibnul Qayyim manajemen hati solusi masalah hidup
Prev     Next