Apakah Hak Cipta Bertentangan dengan Islam? Ini Penjelasan Para Ulama

Tulisan ini mengupas pandangan mayoritas ulama kontemporer terkait keberadaan hak cipta dalam Islam. Dilandasi oleh keputusan Majma’ Fiqh Islam Internasional pada tahun 1988, para ulama menyatakan bahwa hak cipta adalah bagian dari perlindungan terhadap karya intelektual yang sejalan dengan maqashid syariah. Artikel ini memaparkan dalil penting yang mendasari pandangan tersebut. Hak cipta (copyright) adalah hak eksklusif untuk mengatur penggunaan, penggandaan, serta penyebaran karya yang telah dituangkan dalam bentuk nyata. Hak cipta adalah bagian dari sistem kekayaan intelektual, bersama dengan paten, merek dagang, rahasia dagang, desain industri, hak petani, dan lain-lain. Semua ini memiliki nilai ekonomi dan hukum. Hak cipta menjadi tulang punggung dalam ekonomi kreatif, baik di Indonesia maupun dunia. Dengan berkembangnya teknologi informasi, peran hak cipta semakin vital untuk melindungi karya dan mendorong kontribusi nyata terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.   Daftar Isi tutup 1. Keputusan Majma’ Fiqh Islam Internasional tentang Hak Cipta 2. Imbalan untuk Ilmu Tidak Dilarang dalam Islam 3. Karya Ilmiah adalah Manfaat Bernilai Materi 4. Karya Intelektual Adalah Hasil Kerja Nyata 5. Hak Cipta Memotivasi untuk Terus Berkarya 6. Mencegah Kerusakan Lebih Diutamakan daripada Mendatangkan Manfaat 7. Hak Cipta Menjamin Pertanggungjawaban Ilmiah 8. Prinsip “Al-Ghunmu bil-Ghurmi” dan “Al-Kharaj bil-Dhaman” 9. Fatwa Ulama tentang Hak Kekayaan Intelektual 10. Apakah Hak Cipta Berarti Menyembunyikan Ilmu? 11. Penutup Keputusan Majma’ Fiqh Islam Internasional tentang Hak Cipta Mayoritas ulama fikih kontemporer yang berhimpun dalam Majma’ Fiqh Islamy Internasional* telah menyatakan dukungan terhadap hak cipta. Hal ini tertuang dalam keputusan Muktamar ke-5 di Kuwait pada tahun 1988 yang menegaskan bahwa hak paten, hak cipta, dan sejenisnya adalah hak yang diakui secara syar’i. Landasan keputusan ini berpijak pada dalil-dalil yang kuat dari Al-Qur’an, hadits, kaidah fikih, serta pertimbangan kemaslahatan umat. * Majma’ Fiqh al-Islami (المجمع الفقهي الإسلامي) adalah lembaga hukum Islam internasional yang beranggotakan para ulama dan ahli fikih dari berbagai negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), yang bertugas untuk memberikan fatwa dan penafsiran hukum Islam dalam berbagai isu kontemporer.   Imbalan untuk Ilmu Tidak Dilarang dalam Islam Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ “Sesungguhnya yang paling layak kalian ambil upah darinya adalah Kitabullah.” (HR. Bukhari, no. 5737) Jika mengambil imbalan dari pengajaran Al-Qur’an dibolehkan, maka mengambil manfaat dari ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an juga dibenarkan. Kekayaan intelektual adalah bagian dari warisan ilmu tersebut. Karya Ilmiah adalah Manfaat Bernilai Materi Karya ilmiah memiliki nilai manfaat yang nyata dan berdampak langsung pada umat. Dalam hadits riway, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menikahkan seorang sahabat dengan mahar berupa hafalan Al-Qur’an: قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ “Aku telah menikahkanmu dengannya dengan (mahar) apa yang kau hafal dari Al-Qur’an.” (HR. Bukhari, no. 5029) Jika hafalan Al-Qur’an bisa menjadi mahar yang sah, maka karya ilmiah yang menjelaskan dan menyebarkan kandungan Al-Qur’an tentu juga layak diberi penghargaan, termasuk penghargaan materi.   Karya Intelektual Adalah Hasil Kerja Nyata Membuat karya ilmiah adalah bentuk kerja keras—baik kerja otak maupun tangan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menghargai hasil kerja seseorang, terutama yang dihasilkan sendiri. عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ – رضي الله عنه – أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – سُئِلَ: أَيُّ اَلْكَسْبِ أَطْيَبُ? قَالَ: – عَمَلُ اَلرَّجُلِ بِيَدِهِ, وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ Dari Rifa’ah bin Raafi’ radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai mata pencaharian yang halal? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Amalan seseorang dengan tangannya dan setiap jual beli yang diberkahi.” (HR. Al-Bazzar, 9:183; Al-Hakim, 2:10; Ahmad, 4:141. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lainnya). Karya tulis dan karya intelektual termasuk dalam jenis usaha pribadi yang patut dihargai. Baca juga: Inilah Pekerjaan yang Terbaik   Hak Cipta Memotivasi untuk Terus Berkarya Adanya perlindungan hak cipta akan mendorong para intelektual dan ilmuwan untuk terus berkarya. Mereka merasa aman dan dihargai atas jerih payahnya. Dengan adanya jaminan perlindungan, maka perkembangan ilmu pengetahuan akan terus tumbuh, membuka jalan menuju kejayaan umat. Hal ini merupakan maslahat besar bagi semua pihak—baik bagi ilmuwan maupun masyarakat luas.   Mencegah Kerusakan Lebih Diutamakan daripada Mendatangkan Manfaat Dalam kaidah fikih disebutkan, دَفْعُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ “Mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada menarik manfaat.” Membiarkan karya tersebar tanpa perlindungan memang memberi manfaat, tapi juga berisiko besar: para ilmuwan bisa enggan berkarya karena karyanya bebas dijiplak. Ini merupakan kerugian besar bagi umat. Baca juga: Ketika Dua Mafsadat Bertabrakan   Hak Cipta Menjamin Pertanggungjawaban Ilmiah Tanpa hak cipta, suatu karya bisa menyebar luas tanpa diketahui siapa penulis aslinya. Jika terjadi kesalahan, siapa yang akan bertanggung jawab? Syariat Islam sangat menekankan pentingnya tanggung jawab atas apa yang kita katakan dan lakukan. Hak cipta menegaskan bahwa setiap karya memiliki penulis yang dapat dimintai klarifikasi jika terjadi kekeliruan.   Prinsip “Al-Ghunmu bil-Ghurmi” dan “Al-Kharaj bil-Dhaman” Dalam fikih terdapat kaidah, الْغُنْمُ بِالْغُرْمِ dan الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ “Keuntungan sebanding dengan risiko”, dan “hasil (keuntungan) berbanding dengan tanggungan (usaha).” Membuat karya intelektual adalah pekerjaan sulit yang memerlukan waktu, tenaga, dan pikiran. Maka wajar jika ada imbalan yang setimpal bagi pelakunya. Ini merupakan pengakuan syar’i terhadap hak cipta sebagai bentuk keadilan.   Fatwa Ulama tentang Hak Kekayaan Intelektual Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahulllah dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab (No. 21899), disebutkan bahwa: Nama dagang, merek dagang, hak cipta, penemuan, dan inovasi adalah hak pribadi yang memiliki nilai finansial dalam tradisi modern, dan diakui secara syar’i. Diperbolehkan memperjualbelikan atau memindahkan hak tersebut selama tidak mengandung penipuan atau gharar. Pelanggaran terhadap hak cipta merupakan bentuk penganiayaan terhadap hak milik orang lain, dan dilarang secara syariat. Baca juga: Hak Kekayaan Intelektual, Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid   Apakah Hak Cipta Berarti Menyembunyikan Ilmu? Allah Ta’ala berfirman, وَإِذْ أَخَذَ ٱللَّهُ مِيثَٰقَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ لَتُبَيِّنُنَّهُۥ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُۥ فَنَبَذُوهُ وَرَآءَ ظُهُورِهِمْ وَٱشْتَرَوْا۟ بِهِۦ ثَمَنًا قَلِيلًا ۖ فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya!” (QS. Ali ‘Imran: 187) ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, مَنْ حَدَّثَكَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَمَ شَيْئًا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَقَدْ كَذَبَ “Barang siapa berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sebagian dari wahyu, maka sungguh ia telah berdusta.” (HR. Bukhari no. 4612) Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu juga menyatakan, لَوْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَاتِمًا شَيْئًا لَكَتَمَ هَذِهِ “Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dari wahyu, pasti beliau telah menyembunyikan ayat tentang Zaid bin Haritsah.” (HR. Bukhari no. 7420) Sebagian orang menganggap bahwa hak cipta adalah bentuk menyembunyikan ilmu. Ini adalah kekeliruan. Menyembunyikan ilmu dalam Islam berarti menolak menjelaskan ilmu padahal ditanya dan mampu menjawab. Ini berbeda dengan perlindungan hak cipta yang justru menyebarkan ilmu dalam bentuk karya nyata dan bertanggung jawab. Menyebarkan ilmu dalam bentuk karya yang dilindungi hak cipta adalah bentuk penyampaian ilmu yang bertanggung jawab, bukan penyembunyian.   Penutup Mayoritas ulama kontemporer telah menegaskan bahwa hak cipta adalah hak yang sah secara syar’i dan legal secara hukum positif. Ia memberikan perlindungan kepada pencipta, memotivasi lahirnya karya ilmiah, dan menjaga akurasi serta pertanggungjawaban terhadap isi ilmu yang disebarkan. Hak cipta bukan penghalang dakwah dan ilmu, justru ia adalah media penyebaran ilmu yang berkualitas dan amanah. Dengan hak cipta, syariat Islam dan dunia modern berjalan seiring demi kemaslahatan umat dan peradaban. Wallahu A’lam   Referensi: Hak Cipta dalam Pandangan Syariat – Rumah Fiqih Indonesia Fatwa Al-Islamqa, no. 21899 Jangan Sembunyikan Ilmu – Almanhaj – 22 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsekonomi kreatif islami fatwa hak cipta hak cipta dalam islam hak kekayaan intelektual hukum hak cipta syar’i kekayaan intelektual islam maqashid syariah perlindungan karya ilmiah syariat dan hak cipta ulama kontemporer

Apakah Hak Cipta Bertentangan dengan Islam? Ini Penjelasan Para Ulama

Tulisan ini mengupas pandangan mayoritas ulama kontemporer terkait keberadaan hak cipta dalam Islam. Dilandasi oleh keputusan Majma’ Fiqh Islam Internasional pada tahun 1988, para ulama menyatakan bahwa hak cipta adalah bagian dari perlindungan terhadap karya intelektual yang sejalan dengan maqashid syariah. Artikel ini memaparkan dalil penting yang mendasari pandangan tersebut. Hak cipta (copyright) adalah hak eksklusif untuk mengatur penggunaan, penggandaan, serta penyebaran karya yang telah dituangkan dalam bentuk nyata. Hak cipta adalah bagian dari sistem kekayaan intelektual, bersama dengan paten, merek dagang, rahasia dagang, desain industri, hak petani, dan lain-lain. Semua ini memiliki nilai ekonomi dan hukum. Hak cipta menjadi tulang punggung dalam ekonomi kreatif, baik di Indonesia maupun dunia. Dengan berkembangnya teknologi informasi, peran hak cipta semakin vital untuk melindungi karya dan mendorong kontribusi nyata terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.   Daftar Isi tutup 1. Keputusan Majma’ Fiqh Islam Internasional tentang Hak Cipta 2. Imbalan untuk Ilmu Tidak Dilarang dalam Islam 3. Karya Ilmiah adalah Manfaat Bernilai Materi 4. Karya Intelektual Adalah Hasil Kerja Nyata 5. Hak Cipta Memotivasi untuk Terus Berkarya 6. Mencegah Kerusakan Lebih Diutamakan daripada Mendatangkan Manfaat 7. Hak Cipta Menjamin Pertanggungjawaban Ilmiah 8. Prinsip “Al-Ghunmu bil-Ghurmi” dan “Al-Kharaj bil-Dhaman” 9. Fatwa Ulama tentang Hak Kekayaan Intelektual 10. Apakah Hak Cipta Berarti Menyembunyikan Ilmu? 11. Penutup Keputusan Majma’ Fiqh Islam Internasional tentang Hak Cipta Mayoritas ulama fikih kontemporer yang berhimpun dalam Majma’ Fiqh Islamy Internasional* telah menyatakan dukungan terhadap hak cipta. Hal ini tertuang dalam keputusan Muktamar ke-5 di Kuwait pada tahun 1988 yang menegaskan bahwa hak paten, hak cipta, dan sejenisnya adalah hak yang diakui secara syar’i. Landasan keputusan ini berpijak pada dalil-dalil yang kuat dari Al-Qur’an, hadits, kaidah fikih, serta pertimbangan kemaslahatan umat. * Majma’ Fiqh al-Islami (المجمع الفقهي الإسلامي) adalah lembaga hukum Islam internasional yang beranggotakan para ulama dan ahli fikih dari berbagai negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), yang bertugas untuk memberikan fatwa dan penafsiran hukum Islam dalam berbagai isu kontemporer.   Imbalan untuk Ilmu Tidak Dilarang dalam Islam Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ “Sesungguhnya yang paling layak kalian ambil upah darinya adalah Kitabullah.” (HR. Bukhari, no. 5737) Jika mengambil imbalan dari pengajaran Al-Qur’an dibolehkan, maka mengambil manfaat dari ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an juga dibenarkan. Kekayaan intelektual adalah bagian dari warisan ilmu tersebut. Karya Ilmiah adalah Manfaat Bernilai Materi Karya ilmiah memiliki nilai manfaat yang nyata dan berdampak langsung pada umat. Dalam hadits riway, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menikahkan seorang sahabat dengan mahar berupa hafalan Al-Qur’an: قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ “Aku telah menikahkanmu dengannya dengan (mahar) apa yang kau hafal dari Al-Qur’an.” (HR. Bukhari, no. 5029) Jika hafalan Al-Qur’an bisa menjadi mahar yang sah, maka karya ilmiah yang menjelaskan dan menyebarkan kandungan Al-Qur’an tentu juga layak diberi penghargaan, termasuk penghargaan materi.   Karya Intelektual Adalah Hasil Kerja Nyata Membuat karya ilmiah adalah bentuk kerja keras—baik kerja otak maupun tangan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menghargai hasil kerja seseorang, terutama yang dihasilkan sendiri. عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ – رضي الله عنه – أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – سُئِلَ: أَيُّ اَلْكَسْبِ أَطْيَبُ? قَالَ: – عَمَلُ اَلرَّجُلِ بِيَدِهِ, وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ Dari Rifa’ah bin Raafi’ radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai mata pencaharian yang halal? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Amalan seseorang dengan tangannya dan setiap jual beli yang diberkahi.” (HR. Al-Bazzar, 9:183; Al-Hakim, 2:10; Ahmad, 4:141. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lainnya). Karya tulis dan karya intelektual termasuk dalam jenis usaha pribadi yang patut dihargai. Baca juga: Inilah Pekerjaan yang Terbaik   Hak Cipta Memotivasi untuk Terus Berkarya Adanya perlindungan hak cipta akan mendorong para intelektual dan ilmuwan untuk terus berkarya. Mereka merasa aman dan dihargai atas jerih payahnya. Dengan adanya jaminan perlindungan, maka perkembangan ilmu pengetahuan akan terus tumbuh, membuka jalan menuju kejayaan umat. Hal ini merupakan maslahat besar bagi semua pihak—baik bagi ilmuwan maupun masyarakat luas.   Mencegah Kerusakan Lebih Diutamakan daripada Mendatangkan Manfaat Dalam kaidah fikih disebutkan, دَفْعُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ “Mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada menarik manfaat.” Membiarkan karya tersebar tanpa perlindungan memang memberi manfaat, tapi juga berisiko besar: para ilmuwan bisa enggan berkarya karena karyanya bebas dijiplak. Ini merupakan kerugian besar bagi umat. Baca juga: Ketika Dua Mafsadat Bertabrakan   Hak Cipta Menjamin Pertanggungjawaban Ilmiah Tanpa hak cipta, suatu karya bisa menyebar luas tanpa diketahui siapa penulis aslinya. Jika terjadi kesalahan, siapa yang akan bertanggung jawab? Syariat Islam sangat menekankan pentingnya tanggung jawab atas apa yang kita katakan dan lakukan. Hak cipta menegaskan bahwa setiap karya memiliki penulis yang dapat dimintai klarifikasi jika terjadi kekeliruan.   Prinsip “Al-Ghunmu bil-Ghurmi” dan “Al-Kharaj bil-Dhaman” Dalam fikih terdapat kaidah, الْغُنْمُ بِالْغُرْمِ dan الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ “Keuntungan sebanding dengan risiko”, dan “hasil (keuntungan) berbanding dengan tanggungan (usaha).” Membuat karya intelektual adalah pekerjaan sulit yang memerlukan waktu, tenaga, dan pikiran. Maka wajar jika ada imbalan yang setimpal bagi pelakunya. Ini merupakan pengakuan syar’i terhadap hak cipta sebagai bentuk keadilan.   Fatwa Ulama tentang Hak Kekayaan Intelektual Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahulllah dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab (No. 21899), disebutkan bahwa: Nama dagang, merek dagang, hak cipta, penemuan, dan inovasi adalah hak pribadi yang memiliki nilai finansial dalam tradisi modern, dan diakui secara syar’i. Diperbolehkan memperjualbelikan atau memindahkan hak tersebut selama tidak mengandung penipuan atau gharar. Pelanggaran terhadap hak cipta merupakan bentuk penganiayaan terhadap hak milik orang lain, dan dilarang secara syariat. Baca juga: Hak Kekayaan Intelektual, Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid   Apakah Hak Cipta Berarti Menyembunyikan Ilmu? Allah Ta’ala berfirman, وَإِذْ أَخَذَ ٱللَّهُ مِيثَٰقَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ لَتُبَيِّنُنَّهُۥ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُۥ فَنَبَذُوهُ وَرَآءَ ظُهُورِهِمْ وَٱشْتَرَوْا۟ بِهِۦ ثَمَنًا قَلِيلًا ۖ فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya!” (QS. Ali ‘Imran: 187) ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, مَنْ حَدَّثَكَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَمَ شَيْئًا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَقَدْ كَذَبَ “Barang siapa berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sebagian dari wahyu, maka sungguh ia telah berdusta.” (HR. Bukhari no. 4612) Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu juga menyatakan, لَوْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَاتِمًا شَيْئًا لَكَتَمَ هَذِهِ “Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dari wahyu, pasti beliau telah menyembunyikan ayat tentang Zaid bin Haritsah.” (HR. Bukhari no. 7420) Sebagian orang menganggap bahwa hak cipta adalah bentuk menyembunyikan ilmu. Ini adalah kekeliruan. Menyembunyikan ilmu dalam Islam berarti menolak menjelaskan ilmu padahal ditanya dan mampu menjawab. Ini berbeda dengan perlindungan hak cipta yang justru menyebarkan ilmu dalam bentuk karya nyata dan bertanggung jawab. Menyebarkan ilmu dalam bentuk karya yang dilindungi hak cipta adalah bentuk penyampaian ilmu yang bertanggung jawab, bukan penyembunyian.   Penutup Mayoritas ulama kontemporer telah menegaskan bahwa hak cipta adalah hak yang sah secara syar’i dan legal secara hukum positif. Ia memberikan perlindungan kepada pencipta, memotivasi lahirnya karya ilmiah, dan menjaga akurasi serta pertanggungjawaban terhadap isi ilmu yang disebarkan. Hak cipta bukan penghalang dakwah dan ilmu, justru ia adalah media penyebaran ilmu yang berkualitas dan amanah. Dengan hak cipta, syariat Islam dan dunia modern berjalan seiring demi kemaslahatan umat dan peradaban. Wallahu A’lam   Referensi: Hak Cipta dalam Pandangan Syariat – Rumah Fiqih Indonesia Fatwa Al-Islamqa, no. 21899 Jangan Sembunyikan Ilmu – Almanhaj – 22 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsekonomi kreatif islami fatwa hak cipta hak cipta dalam islam hak kekayaan intelektual hukum hak cipta syar’i kekayaan intelektual islam maqashid syariah perlindungan karya ilmiah syariat dan hak cipta ulama kontemporer
Tulisan ini mengupas pandangan mayoritas ulama kontemporer terkait keberadaan hak cipta dalam Islam. Dilandasi oleh keputusan Majma’ Fiqh Islam Internasional pada tahun 1988, para ulama menyatakan bahwa hak cipta adalah bagian dari perlindungan terhadap karya intelektual yang sejalan dengan maqashid syariah. Artikel ini memaparkan dalil penting yang mendasari pandangan tersebut. Hak cipta (copyright) adalah hak eksklusif untuk mengatur penggunaan, penggandaan, serta penyebaran karya yang telah dituangkan dalam bentuk nyata. Hak cipta adalah bagian dari sistem kekayaan intelektual, bersama dengan paten, merek dagang, rahasia dagang, desain industri, hak petani, dan lain-lain. Semua ini memiliki nilai ekonomi dan hukum. Hak cipta menjadi tulang punggung dalam ekonomi kreatif, baik di Indonesia maupun dunia. Dengan berkembangnya teknologi informasi, peran hak cipta semakin vital untuk melindungi karya dan mendorong kontribusi nyata terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.   Daftar Isi tutup 1. Keputusan Majma’ Fiqh Islam Internasional tentang Hak Cipta 2. Imbalan untuk Ilmu Tidak Dilarang dalam Islam 3. Karya Ilmiah adalah Manfaat Bernilai Materi 4. Karya Intelektual Adalah Hasil Kerja Nyata 5. Hak Cipta Memotivasi untuk Terus Berkarya 6. Mencegah Kerusakan Lebih Diutamakan daripada Mendatangkan Manfaat 7. Hak Cipta Menjamin Pertanggungjawaban Ilmiah 8. Prinsip “Al-Ghunmu bil-Ghurmi” dan “Al-Kharaj bil-Dhaman” 9. Fatwa Ulama tentang Hak Kekayaan Intelektual 10. Apakah Hak Cipta Berarti Menyembunyikan Ilmu? 11. Penutup Keputusan Majma’ Fiqh Islam Internasional tentang Hak Cipta Mayoritas ulama fikih kontemporer yang berhimpun dalam Majma’ Fiqh Islamy Internasional* telah menyatakan dukungan terhadap hak cipta. Hal ini tertuang dalam keputusan Muktamar ke-5 di Kuwait pada tahun 1988 yang menegaskan bahwa hak paten, hak cipta, dan sejenisnya adalah hak yang diakui secara syar’i. Landasan keputusan ini berpijak pada dalil-dalil yang kuat dari Al-Qur’an, hadits, kaidah fikih, serta pertimbangan kemaslahatan umat. * Majma’ Fiqh al-Islami (المجمع الفقهي الإسلامي) adalah lembaga hukum Islam internasional yang beranggotakan para ulama dan ahli fikih dari berbagai negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), yang bertugas untuk memberikan fatwa dan penafsiran hukum Islam dalam berbagai isu kontemporer.   Imbalan untuk Ilmu Tidak Dilarang dalam Islam Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ “Sesungguhnya yang paling layak kalian ambil upah darinya adalah Kitabullah.” (HR. Bukhari, no. 5737) Jika mengambil imbalan dari pengajaran Al-Qur’an dibolehkan, maka mengambil manfaat dari ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an juga dibenarkan. Kekayaan intelektual adalah bagian dari warisan ilmu tersebut. Karya Ilmiah adalah Manfaat Bernilai Materi Karya ilmiah memiliki nilai manfaat yang nyata dan berdampak langsung pada umat. Dalam hadits riway, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menikahkan seorang sahabat dengan mahar berupa hafalan Al-Qur’an: قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ “Aku telah menikahkanmu dengannya dengan (mahar) apa yang kau hafal dari Al-Qur’an.” (HR. Bukhari, no. 5029) Jika hafalan Al-Qur’an bisa menjadi mahar yang sah, maka karya ilmiah yang menjelaskan dan menyebarkan kandungan Al-Qur’an tentu juga layak diberi penghargaan, termasuk penghargaan materi.   Karya Intelektual Adalah Hasil Kerja Nyata Membuat karya ilmiah adalah bentuk kerja keras—baik kerja otak maupun tangan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menghargai hasil kerja seseorang, terutama yang dihasilkan sendiri. عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ – رضي الله عنه – أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – سُئِلَ: أَيُّ اَلْكَسْبِ أَطْيَبُ? قَالَ: – عَمَلُ اَلرَّجُلِ بِيَدِهِ, وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ Dari Rifa’ah bin Raafi’ radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai mata pencaharian yang halal? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Amalan seseorang dengan tangannya dan setiap jual beli yang diberkahi.” (HR. Al-Bazzar, 9:183; Al-Hakim, 2:10; Ahmad, 4:141. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lainnya). Karya tulis dan karya intelektual termasuk dalam jenis usaha pribadi yang patut dihargai. Baca juga: Inilah Pekerjaan yang Terbaik   Hak Cipta Memotivasi untuk Terus Berkarya Adanya perlindungan hak cipta akan mendorong para intelektual dan ilmuwan untuk terus berkarya. Mereka merasa aman dan dihargai atas jerih payahnya. Dengan adanya jaminan perlindungan, maka perkembangan ilmu pengetahuan akan terus tumbuh, membuka jalan menuju kejayaan umat. Hal ini merupakan maslahat besar bagi semua pihak—baik bagi ilmuwan maupun masyarakat luas.   Mencegah Kerusakan Lebih Diutamakan daripada Mendatangkan Manfaat Dalam kaidah fikih disebutkan, دَفْعُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ “Mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada menarik manfaat.” Membiarkan karya tersebar tanpa perlindungan memang memberi manfaat, tapi juga berisiko besar: para ilmuwan bisa enggan berkarya karena karyanya bebas dijiplak. Ini merupakan kerugian besar bagi umat. Baca juga: Ketika Dua Mafsadat Bertabrakan   Hak Cipta Menjamin Pertanggungjawaban Ilmiah Tanpa hak cipta, suatu karya bisa menyebar luas tanpa diketahui siapa penulis aslinya. Jika terjadi kesalahan, siapa yang akan bertanggung jawab? Syariat Islam sangat menekankan pentingnya tanggung jawab atas apa yang kita katakan dan lakukan. Hak cipta menegaskan bahwa setiap karya memiliki penulis yang dapat dimintai klarifikasi jika terjadi kekeliruan.   Prinsip “Al-Ghunmu bil-Ghurmi” dan “Al-Kharaj bil-Dhaman” Dalam fikih terdapat kaidah, الْغُنْمُ بِالْغُرْمِ dan الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ “Keuntungan sebanding dengan risiko”, dan “hasil (keuntungan) berbanding dengan tanggungan (usaha).” Membuat karya intelektual adalah pekerjaan sulit yang memerlukan waktu, tenaga, dan pikiran. Maka wajar jika ada imbalan yang setimpal bagi pelakunya. Ini merupakan pengakuan syar’i terhadap hak cipta sebagai bentuk keadilan.   Fatwa Ulama tentang Hak Kekayaan Intelektual Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahulllah dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab (No. 21899), disebutkan bahwa: Nama dagang, merek dagang, hak cipta, penemuan, dan inovasi adalah hak pribadi yang memiliki nilai finansial dalam tradisi modern, dan diakui secara syar’i. Diperbolehkan memperjualbelikan atau memindahkan hak tersebut selama tidak mengandung penipuan atau gharar. Pelanggaran terhadap hak cipta merupakan bentuk penganiayaan terhadap hak milik orang lain, dan dilarang secara syariat. Baca juga: Hak Kekayaan Intelektual, Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid   Apakah Hak Cipta Berarti Menyembunyikan Ilmu? Allah Ta’ala berfirman, وَإِذْ أَخَذَ ٱللَّهُ مِيثَٰقَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ لَتُبَيِّنُنَّهُۥ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُۥ فَنَبَذُوهُ وَرَآءَ ظُهُورِهِمْ وَٱشْتَرَوْا۟ بِهِۦ ثَمَنًا قَلِيلًا ۖ فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya!” (QS. Ali ‘Imran: 187) ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, مَنْ حَدَّثَكَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَمَ شَيْئًا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَقَدْ كَذَبَ “Barang siapa berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sebagian dari wahyu, maka sungguh ia telah berdusta.” (HR. Bukhari no. 4612) Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu juga menyatakan, لَوْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَاتِمًا شَيْئًا لَكَتَمَ هَذِهِ “Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dari wahyu, pasti beliau telah menyembunyikan ayat tentang Zaid bin Haritsah.” (HR. Bukhari no. 7420) Sebagian orang menganggap bahwa hak cipta adalah bentuk menyembunyikan ilmu. Ini adalah kekeliruan. Menyembunyikan ilmu dalam Islam berarti menolak menjelaskan ilmu padahal ditanya dan mampu menjawab. Ini berbeda dengan perlindungan hak cipta yang justru menyebarkan ilmu dalam bentuk karya nyata dan bertanggung jawab. Menyebarkan ilmu dalam bentuk karya yang dilindungi hak cipta adalah bentuk penyampaian ilmu yang bertanggung jawab, bukan penyembunyian.   Penutup Mayoritas ulama kontemporer telah menegaskan bahwa hak cipta adalah hak yang sah secara syar’i dan legal secara hukum positif. Ia memberikan perlindungan kepada pencipta, memotivasi lahirnya karya ilmiah, dan menjaga akurasi serta pertanggungjawaban terhadap isi ilmu yang disebarkan. Hak cipta bukan penghalang dakwah dan ilmu, justru ia adalah media penyebaran ilmu yang berkualitas dan amanah. Dengan hak cipta, syariat Islam dan dunia modern berjalan seiring demi kemaslahatan umat dan peradaban. Wallahu A’lam   Referensi: Hak Cipta dalam Pandangan Syariat – Rumah Fiqih Indonesia Fatwa Al-Islamqa, no. 21899 Jangan Sembunyikan Ilmu – Almanhaj – 22 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsekonomi kreatif islami fatwa hak cipta hak cipta dalam islam hak kekayaan intelektual hukum hak cipta syar’i kekayaan intelektual islam maqashid syariah perlindungan karya ilmiah syariat dan hak cipta ulama kontemporer


Tulisan ini mengupas pandangan mayoritas ulama kontemporer terkait keberadaan hak cipta dalam Islam. Dilandasi oleh keputusan Majma’ Fiqh Islam Internasional pada tahun 1988, para ulama menyatakan bahwa hak cipta adalah bagian dari perlindungan terhadap karya intelektual yang sejalan dengan maqashid syariah. Artikel ini memaparkan dalil penting yang mendasari pandangan tersebut. Hak cipta (copyright) adalah hak eksklusif untuk mengatur penggunaan, penggandaan, serta penyebaran karya yang telah dituangkan dalam bentuk nyata. Hak cipta adalah bagian dari sistem kekayaan intelektual, bersama dengan paten, merek dagang, rahasia dagang, desain industri, hak petani, dan lain-lain. Semua ini memiliki nilai ekonomi dan hukum. Hak cipta menjadi tulang punggung dalam ekonomi kreatif, baik di Indonesia maupun dunia. Dengan berkembangnya teknologi informasi, peran hak cipta semakin vital untuk melindungi karya dan mendorong kontribusi nyata terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.   Daftar Isi tutup 1. Keputusan Majma’ Fiqh Islam Internasional tentang Hak Cipta 2. Imbalan untuk Ilmu Tidak Dilarang dalam Islam 3. Karya Ilmiah adalah Manfaat Bernilai Materi 4. Karya Intelektual Adalah Hasil Kerja Nyata 5. Hak Cipta Memotivasi untuk Terus Berkarya 6. Mencegah Kerusakan Lebih Diutamakan daripada Mendatangkan Manfaat 7. Hak Cipta Menjamin Pertanggungjawaban Ilmiah 8. Prinsip “Al-Ghunmu bil-Ghurmi” dan “Al-Kharaj bil-Dhaman” 9. Fatwa Ulama tentang Hak Kekayaan Intelektual 10. Apakah Hak Cipta Berarti Menyembunyikan Ilmu? 11. Penutup Keputusan Majma’ Fiqh Islam Internasional tentang Hak Cipta Mayoritas ulama fikih kontemporer yang berhimpun dalam Majma’ Fiqh Islamy Internasional* telah menyatakan dukungan terhadap hak cipta. Hal ini tertuang dalam keputusan Muktamar ke-5 di Kuwait pada tahun 1988 yang menegaskan bahwa hak paten, hak cipta, dan sejenisnya adalah hak yang diakui secara syar’i. Landasan keputusan ini berpijak pada dalil-dalil yang kuat dari Al-Qur’an, hadits, kaidah fikih, serta pertimbangan kemaslahatan umat. * Majma’ Fiqh al-Islami (المجمع الفقهي الإسلامي) adalah lembaga hukum Islam internasional yang beranggotakan para ulama dan ahli fikih dari berbagai negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), yang bertugas untuk memberikan fatwa dan penafsiran hukum Islam dalam berbagai isu kontemporer.   Imbalan untuk Ilmu Tidak Dilarang dalam Islam Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ “Sesungguhnya yang paling layak kalian ambil upah darinya adalah Kitabullah.” (HR. Bukhari, no. 5737) Jika mengambil imbalan dari pengajaran Al-Qur’an dibolehkan, maka mengambil manfaat dari ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an juga dibenarkan. Kekayaan intelektual adalah bagian dari warisan ilmu tersebut. Karya Ilmiah adalah Manfaat Bernilai Materi Karya ilmiah memiliki nilai manfaat yang nyata dan berdampak langsung pada umat. Dalam hadits riway, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menikahkan seorang sahabat dengan mahar berupa hafalan Al-Qur’an: قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ “Aku telah menikahkanmu dengannya dengan (mahar) apa yang kau hafal dari Al-Qur’an.” (HR. Bukhari, no. 5029) Jika hafalan Al-Qur’an bisa menjadi mahar yang sah, maka karya ilmiah yang menjelaskan dan menyebarkan kandungan Al-Qur’an tentu juga layak diberi penghargaan, termasuk penghargaan materi.   Karya Intelektual Adalah Hasil Kerja Nyata Membuat karya ilmiah adalah bentuk kerja keras—baik kerja otak maupun tangan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menghargai hasil kerja seseorang, terutama yang dihasilkan sendiri. عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ – رضي الله عنه – أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – سُئِلَ: أَيُّ اَلْكَسْبِ أَطْيَبُ? قَالَ: – عَمَلُ اَلرَّجُلِ بِيَدِهِ, وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ Dari Rifa’ah bin Raafi’ radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai mata pencaharian yang halal? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Amalan seseorang dengan tangannya dan setiap jual beli yang diberkahi.” (HR. Al-Bazzar, 9:183; Al-Hakim, 2:10; Ahmad, 4:141. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lainnya). Karya tulis dan karya intelektual termasuk dalam jenis usaha pribadi yang patut dihargai. Baca juga: Inilah Pekerjaan yang Terbaik   Hak Cipta Memotivasi untuk Terus Berkarya Adanya perlindungan hak cipta akan mendorong para intelektual dan ilmuwan untuk terus berkarya. Mereka merasa aman dan dihargai atas jerih payahnya. Dengan adanya jaminan perlindungan, maka perkembangan ilmu pengetahuan akan terus tumbuh, membuka jalan menuju kejayaan umat. Hal ini merupakan maslahat besar bagi semua pihak—baik bagi ilmuwan maupun masyarakat luas.   Mencegah Kerusakan Lebih Diutamakan daripada Mendatangkan Manfaat Dalam kaidah fikih disebutkan, دَفْعُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ “Mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada menarik manfaat.” Membiarkan karya tersebar tanpa perlindungan memang memberi manfaat, tapi juga berisiko besar: para ilmuwan bisa enggan berkarya karena karyanya bebas dijiplak. Ini merupakan kerugian besar bagi umat. Baca juga: Ketika Dua Mafsadat Bertabrakan   Hak Cipta Menjamin Pertanggungjawaban Ilmiah Tanpa hak cipta, suatu karya bisa menyebar luas tanpa diketahui siapa penulis aslinya. Jika terjadi kesalahan, siapa yang akan bertanggung jawab? Syariat Islam sangat menekankan pentingnya tanggung jawab atas apa yang kita katakan dan lakukan. Hak cipta menegaskan bahwa setiap karya memiliki penulis yang dapat dimintai klarifikasi jika terjadi kekeliruan.   Prinsip “Al-Ghunmu bil-Ghurmi” dan “Al-Kharaj bil-Dhaman” Dalam fikih terdapat kaidah, الْغُنْمُ بِالْغُرْمِ dan الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ “Keuntungan sebanding dengan risiko”, dan “hasil (keuntungan) berbanding dengan tanggungan (usaha).” Membuat karya intelektual adalah pekerjaan sulit yang memerlukan waktu, tenaga, dan pikiran. Maka wajar jika ada imbalan yang setimpal bagi pelakunya. Ini merupakan pengakuan syar’i terhadap hak cipta sebagai bentuk keadilan.   Fatwa Ulama tentang Hak Kekayaan Intelektual Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahulllah dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab (No. 21899), disebutkan bahwa: Nama dagang, merek dagang, hak cipta, penemuan, dan inovasi adalah hak pribadi yang memiliki nilai finansial dalam tradisi modern, dan diakui secara syar’i. Diperbolehkan memperjualbelikan atau memindahkan hak tersebut selama tidak mengandung penipuan atau gharar. Pelanggaran terhadap hak cipta merupakan bentuk penganiayaan terhadap hak milik orang lain, dan dilarang secara syariat. Baca juga: Hak Kekayaan Intelektual, Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid   Apakah Hak Cipta Berarti Menyembunyikan Ilmu? Allah Ta’ala berfirman, وَإِذْ أَخَذَ ٱللَّهُ مِيثَٰقَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ لَتُبَيِّنُنَّهُۥ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُۥ فَنَبَذُوهُ وَرَآءَ ظُهُورِهِمْ وَٱشْتَرَوْا۟ بِهِۦ ثَمَنًا قَلِيلًا ۖ فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya!” (QS. Ali ‘Imran: 187) ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, مَنْ حَدَّثَكَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَمَ شَيْئًا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَقَدْ كَذَبَ “Barang siapa berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sebagian dari wahyu, maka sungguh ia telah berdusta.” (HR. Bukhari no. 4612) Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu juga menyatakan, لَوْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَاتِمًا شَيْئًا لَكَتَمَ هَذِهِ “Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dari wahyu, pasti beliau telah menyembunyikan ayat tentang Zaid bin Haritsah.” (HR. Bukhari no. 7420) Sebagian orang menganggap bahwa hak cipta adalah bentuk menyembunyikan ilmu. Ini adalah kekeliruan. Menyembunyikan ilmu dalam Islam berarti menolak menjelaskan ilmu padahal ditanya dan mampu menjawab. Ini berbeda dengan perlindungan hak cipta yang justru menyebarkan ilmu dalam bentuk karya nyata dan bertanggung jawab. Menyebarkan ilmu dalam bentuk karya yang dilindungi hak cipta adalah bentuk penyampaian ilmu yang bertanggung jawab, bukan penyembunyian.   Penutup Mayoritas ulama kontemporer telah menegaskan bahwa hak cipta adalah hak yang sah secara syar’i dan legal secara hukum positif. Ia memberikan perlindungan kepada pencipta, memotivasi lahirnya karya ilmiah, dan menjaga akurasi serta pertanggungjawaban terhadap isi ilmu yang disebarkan. Hak cipta bukan penghalang dakwah dan ilmu, justru ia adalah media penyebaran ilmu yang berkualitas dan amanah. Dengan hak cipta, syariat Islam dan dunia modern berjalan seiring demi kemaslahatan umat dan peradaban. Wallahu A’lam   Referensi: Hak Cipta dalam Pandangan Syariat – Rumah Fiqih Indonesia Fatwa Al-Islamqa, no. 21899 Jangan Sembunyikan Ilmu – Almanhaj – 22 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com Tagsekonomi kreatif islami fatwa hak cipta hak cipta dalam islam hak kekayaan intelektual hukum hak cipta syar’i kekayaan intelektual islam maqashid syariah perlindungan karya ilmiah syariat dan hak cipta ulama kontemporer

Apakah Hak Cipta Bertentangan dengan Islam? Ini Penjelasan Para Ulama

Tulisan ini mengupas pandangan mayoritas ulama kontemporer terkait keberadaan hak cipta dalam Islam. Dilandasi oleh keputusan Majma’ Fiqh Islam Internasional pada tahun 1988, para ulama menyatakan bahwa hak cipta adalah bagian dari perlindungan terhadap karya intelektual yang sejalan dengan maqashid syariah. Artikel ini memaparkan dalil penting yang mendasari pandangan tersebut.Hak cipta (copyright) adalah hak eksklusif untuk mengatur penggunaan, penggandaan, serta penyebaran karya yang telah dituangkan dalam bentuk nyata. Hak cipta adalah bagian dari sistem kekayaan intelektual, bersama dengan paten, merek dagang, rahasia dagang, desain industri, hak petani, dan lain-lain. Semua ini memiliki nilai ekonomi dan hukum.Hak cipta menjadi tulang punggung dalam ekonomi kreatif, baik di Indonesia maupun dunia. Dengan berkembangnya teknologi informasi, peran hak cipta semakin vital untuk melindungi karya dan mendorong kontribusi nyata terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.  Daftar Isi tutup 1. Keputusan Majma’ Fiqh Islam Internasional tentang Hak Cipta 2. Imbalan untuk Ilmu Tidak Dilarang dalam Islam 3. Karya Ilmiah adalah Manfaat Bernilai Materi 4. Karya Intelektual Adalah Hasil Kerja Nyata 5. Hak Cipta Memotivasi untuk Terus Berkarya 6. Mencegah Kerusakan Lebih Diutamakan daripada Mendatangkan Manfaat 7. Hak Cipta Menjamin Pertanggungjawaban Ilmiah 8. Prinsip “Al-Ghunmu bil-Ghurmi” dan “Al-Kharaj bil-Dhaman” 9. Fatwa Ulama tentang Hak Kekayaan Intelektual 10. Apakah Hak Cipta Berarti Menyembunyikan Ilmu? 11. Penutup Keputusan Majma’ Fiqh Islam Internasional tentang Hak CiptaMayoritas ulama fikih kontemporer yang berhimpun dalam Majma’ Fiqh Islamy Internasional* telah menyatakan dukungan terhadap hak cipta. Hal ini tertuang dalam keputusan Muktamar ke-5 di Kuwait pada tahun 1988 yang menegaskan bahwa hak paten, hak cipta, dan sejenisnya adalah hak yang diakui secara syar’i.Landasan keputusan ini berpijak pada dalil-dalil yang kuat dari Al-Qur’an, hadits, kaidah fikih, serta pertimbangan kemaslahatan umat.* Majma’ Fiqh al-Islami (المجمع الفقهي الإسلامي) adalah lembaga hukum Islam internasional yang beranggotakan para ulama dan ahli fikih dari berbagai negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), yang bertugas untuk memberikan fatwa dan penafsiran hukum Islam dalam berbagai isu kontemporer. Imbalan untuk Ilmu Tidak Dilarang dalam IslamDari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ“Sesungguhnya yang paling layak kalian ambil upah darinya adalah Kitabullah.” (HR. Bukhari, no. 5737)Jika mengambil imbalan dari pengajaran Al-Qur’an dibolehkan, maka mengambil manfaat dari ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an juga dibenarkan. Kekayaan intelektual adalah bagian dari warisan ilmu tersebut.Karya Ilmiah adalah Manfaat Bernilai MateriKarya ilmiah memiliki nilai manfaat yang nyata dan berdampak langsung pada umat. Dalam hadits riway, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menikahkan seorang sahabat dengan mahar berupa hafalan Al-Qur’an:قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ“Aku telah menikahkanmu dengannya dengan (mahar) apa yang kau hafal dari Al-Qur’an.” (HR. Bukhari, no. 5029)Jika hafalan Al-Qur’an bisa menjadi mahar yang sah, maka karya ilmiah yang menjelaskan dan menyebarkan kandungan Al-Qur’an tentu juga layak diberi penghargaan, termasuk penghargaan materi. Karya Intelektual Adalah Hasil Kerja NyataMembuat karya ilmiah adalah bentuk kerja keras—baik kerja otak maupun tangan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menghargai hasil kerja seseorang, terutama yang dihasilkan sendiri.عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ – رضي الله عنه – أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – سُئِلَ: أَيُّ اَلْكَسْبِ أَطْيَبُ? قَالَ: – عَمَلُ اَلرَّجُلِ بِيَدِهِ, وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ Dari Rifa’ah bin Raafi’ radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai mata pencaharian yang halal? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Amalan seseorang dengan tangannya dan setiap jual beli yang diberkahi.” (HR. Al-Bazzar, 9:183; Al-Hakim, 2:10; Ahmad, 4:141. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lainnya).Karya tulis dan karya intelektual termasuk dalam jenis usaha pribadi yang patut dihargai.Baca juga: Inilah Pekerjaan yang Terbaik Hak Cipta Memotivasi untuk Terus BerkaryaAdanya perlindungan hak cipta akan mendorong para intelektual dan ilmuwan untuk terus berkarya. Mereka merasa aman dan dihargai atas jerih payahnya.Dengan adanya jaminan perlindungan, maka perkembangan ilmu pengetahuan akan terus tumbuh, membuka jalan menuju kejayaan umat. Hal ini merupakan maslahat besar bagi semua pihak—baik bagi ilmuwan maupun masyarakat luas. Mencegah Kerusakan Lebih Diutamakan daripada Mendatangkan ManfaatDalam kaidah fikih disebutkan,دَفْعُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ“Mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada menarik manfaat.”Membiarkan karya tersebar tanpa perlindungan memang memberi manfaat, tapi juga berisiko besar: para ilmuwan bisa enggan berkarya karena karyanya bebas dijiplak. Ini merupakan kerugian besar bagi umat.Baca juga: Ketika Dua Mafsadat Bertabrakan Hak Cipta Menjamin Pertanggungjawaban IlmiahTanpa hak cipta, suatu karya bisa menyebar luas tanpa diketahui siapa penulis aslinya. Jika terjadi kesalahan, siapa yang akan bertanggung jawab?Syariat Islam sangat menekankan pentingnya tanggung jawab atas apa yang kita katakan dan lakukan. Hak cipta menegaskan bahwa setiap karya memiliki penulis yang dapat dimintai klarifikasi jika terjadi kekeliruan. Prinsip “Al-Ghunmu bil-Ghurmi” dan “Al-Kharaj bil-Dhaman”Dalam fikih terdapat kaidah,الْغُنْمُ بِالْغُرْمِ dan الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ“Keuntungan sebanding dengan risiko”, dan “hasil (keuntungan) berbanding dengan tanggungan (usaha).”Membuat karya intelektual adalah pekerjaan sulit yang memerlukan waktu, tenaga, dan pikiran. Maka wajar jika ada imbalan yang setimpal bagi pelakunya. Ini merupakan pengakuan syar’i terhadap hak cipta sebagai bentuk keadilan. Fatwa Ulama tentang Hak Kekayaan IntelektualSyaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahulllah dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab (No. 21899), disebutkan bahwa:Nama dagang, merek dagang, hak cipta, penemuan, dan inovasi adalah hak pribadi yang memiliki nilai finansial dalam tradisi modern, dan diakui secara syar’i.Diperbolehkan memperjualbelikan atau memindahkan hak tersebut selama tidak mengandung penipuan atau gharar.Pelanggaran terhadap hak cipta merupakan bentuk penganiayaan terhadap hak milik orang lain, dan dilarang secara syariat.Baca juga: Hak Kekayaan Intelektual, Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid Apakah Hak Cipta Berarti Menyembunyikan Ilmu?Allah Ta’ala berfirman,وَإِذْ أَخَذَ ٱللَّهُ مِيثَٰقَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ لَتُبَيِّنُنَّهُۥ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُۥ فَنَبَذُوهُ وَرَآءَ ظُهُورِهِمْ وَٱشْتَرَوْا۟ بِهِۦ ثَمَنًا قَلِيلًا ۖ فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya!” (QS. Ali ‘Imran: 187)‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,مَنْ حَدَّثَكَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَمَ شَيْئًا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَقَدْ كَذَبَ “Barang siapa berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sebagian dari wahyu, maka sungguh ia telah berdusta.” (HR. Bukhari no. 4612)Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu juga menyatakan, لَوْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَاتِمًا شَيْئًا لَكَتَمَ هَذِهِ“Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dari wahyu, pasti beliau telah menyembunyikan ayat tentang Zaid bin Haritsah.” (HR. Bukhari no. 7420)Sebagian orang menganggap bahwa hak cipta adalah bentuk menyembunyikan ilmu. Ini adalah kekeliruan. Menyembunyikan ilmu dalam Islam berarti menolak menjelaskan ilmu padahal ditanya dan mampu menjawab. Ini berbeda dengan perlindungan hak cipta yang justru menyebarkan ilmu dalam bentuk karya nyata dan bertanggung jawab.Menyebarkan ilmu dalam bentuk karya yang dilindungi hak cipta adalah bentuk penyampaian ilmu yang bertanggung jawab, bukan penyembunyian. PenutupMayoritas ulama kontemporer telah menegaskan bahwa hak cipta adalah hak yang sah secara syar’i dan legal secara hukum positif. Ia memberikan perlindungan kepada pencipta, memotivasi lahirnya karya ilmiah, dan menjaga akurasi serta pertanggungjawaban terhadap isi ilmu yang disebarkan.Hak cipta bukan penghalang dakwah dan ilmu, justru ia adalah media penyebaran ilmu yang berkualitas dan amanah. Dengan hak cipta, syariat Islam dan dunia modern berjalan seiring demi kemaslahatan umat dan peradaban.Wallahu A’lam Referensi:Hak Cipta dalam Pandangan Syariat – Rumah Fiqih IndonesiaFatwa Al-Islamqa, no. 21899Jangan Sembunyikan Ilmu – Almanhaj–22 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush SholihinDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel www.rumaysho.com Tagsekonomi kreatif islami fatwa hak cipta hak cipta dalam islam hak kekayaan intelektual hukum hak cipta syar’i kekayaan intelektual islam maqashid syariah perlindungan karya ilmiah syariat dan hak cipta ulama kontemporer

Apakah Hak Cipta Bertentangan dengan Islam? Ini Penjelasan Para Ulama

Tulisan ini mengupas pandangan mayoritas ulama kontemporer terkait keberadaan hak cipta dalam Islam. Dilandasi oleh keputusan Majma’ Fiqh Islam Internasional pada tahun 1988, para ulama menyatakan bahwa hak cipta adalah bagian dari perlindungan terhadap karya intelektual yang sejalan dengan maqashid syariah. Artikel ini memaparkan dalil penting yang mendasari pandangan tersebut.Hak cipta (copyright) adalah hak eksklusif untuk mengatur penggunaan, penggandaan, serta penyebaran karya yang telah dituangkan dalam bentuk nyata. Hak cipta adalah bagian dari sistem kekayaan intelektual, bersama dengan paten, merek dagang, rahasia dagang, desain industri, hak petani, dan lain-lain. Semua ini memiliki nilai ekonomi dan hukum.Hak cipta menjadi tulang punggung dalam ekonomi kreatif, baik di Indonesia maupun dunia. Dengan berkembangnya teknologi informasi, peran hak cipta semakin vital untuk melindungi karya dan mendorong kontribusi nyata terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.  Daftar Isi tutup 1. Keputusan Majma’ Fiqh Islam Internasional tentang Hak Cipta 2. Imbalan untuk Ilmu Tidak Dilarang dalam Islam 3. Karya Ilmiah adalah Manfaat Bernilai Materi 4. Karya Intelektual Adalah Hasil Kerja Nyata 5. Hak Cipta Memotivasi untuk Terus Berkarya 6. Mencegah Kerusakan Lebih Diutamakan daripada Mendatangkan Manfaat 7. Hak Cipta Menjamin Pertanggungjawaban Ilmiah 8. Prinsip “Al-Ghunmu bil-Ghurmi” dan “Al-Kharaj bil-Dhaman” 9. Fatwa Ulama tentang Hak Kekayaan Intelektual 10. Apakah Hak Cipta Berarti Menyembunyikan Ilmu? 11. Penutup Keputusan Majma’ Fiqh Islam Internasional tentang Hak CiptaMayoritas ulama fikih kontemporer yang berhimpun dalam Majma’ Fiqh Islamy Internasional* telah menyatakan dukungan terhadap hak cipta. Hal ini tertuang dalam keputusan Muktamar ke-5 di Kuwait pada tahun 1988 yang menegaskan bahwa hak paten, hak cipta, dan sejenisnya adalah hak yang diakui secara syar’i.Landasan keputusan ini berpijak pada dalil-dalil yang kuat dari Al-Qur’an, hadits, kaidah fikih, serta pertimbangan kemaslahatan umat.* Majma’ Fiqh al-Islami (المجمع الفقهي الإسلامي) adalah lembaga hukum Islam internasional yang beranggotakan para ulama dan ahli fikih dari berbagai negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), yang bertugas untuk memberikan fatwa dan penafsiran hukum Islam dalam berbagai isu kontemporer. Imbalan untuk Ilmu Tidak Dilarang dalam IslamDari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ“Sesungguhnya yang paling layak kalian ambil upah darinya adalah Kitabullah.” (HR. Bukhari, no. 5737)Jika mengambil imbalan dari pengajaran Al-Qur’an dibolehkan, maka mengambil manfaat dari ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an juga dibenarkan. Kekayaan intelektual adalah bagian dari warisan ilmu tersebut.Karya Ilmiah adalah Manfaat Bernilai MateriKarya ilmiah memiliki nilai manfaat yang nyata dan berdampak langsung pada umat. Dalam hadits riway, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menikahkan seorang sahabat dengan mahar berupa hafalan Al-Qur’an:قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ“Aku telah menikahkanmu dengannya dengan (mahar) apa yang kau hafal dari Al-Qur’an.” (HR. Bukhari, no. 5029)Jika hafalan Al-Qur’an bisa menjadi mahar yang sah, maka karya ilmiah yang menjelaskan dan menyebarkan kandungan Al-Qur’an tentu juga layak diberi penghargaan, termasuk penghargaan materi. Karya Intelektual Adalah Hasil Kerja NyataMembuat karya ilmiah adalah bentuk kerja keras—baik kerja otak maupun tangan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menghargai hasil kerja seseorang, terutama yang dihasilkan sendiri.عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ – رضي الله عنه – أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – سُئِلَ: أَيُّ اَلْكَسْبِ أَطْيَبُ? قَالَ: – عَمَلُ اَلرَّجُلِ بِيَدِهِ, وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ Dari Rifa’ah bin Raafi’ radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai mata pencaharian yang halal? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Amalan seseorang dengan tangannya dan setiap jual beli yang diberkahi.” (HR. Al-Bazzar, 9:183; Al-Hakim, 2:10; Ahmad, 4:141. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lainnya).Karya tulis dan karya intelektual termasuk dalam jenis usaha pribadi yang patut dihargai.Baca juga: Inilah Pekerjaan yang Terbaik Hak Cipta Memotivasi untuk Terus BerkaryaAdanya perlindungan hak cipta akan mendorong para intelektual dan ilmuwan untuk terus berkarya. Mereka merasa aman dan dihargai atas jerih payahnya.Dengan adanya jaminan perlindungan, maka perkembangan ilmu pengetahuan akan terus tumbuh, membuka jalan menuju kejayaan umat. Hal ini merupakan maslahat besar bagi semua pihak—baik bagi ilmuwan maupun masyarakat luas. Mencegah Kerusakan Lebih Diutamakan daripada Mendatangkan ManfaatDalam kaidah fikih disebutkan,دَفْعُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ“Mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada menarik manfaat.”Membiarkan karya tersebar tanpa perlindungan memang memberi manfaat, tapi juga berisiko besar: para ilmuwan bisa enggan berkarya karena karyanya bebas dijiplak. Ini merupakan kerugian besar bagi umat.Baca juga: Ketika Dua Mafsadat Bertabrakan Hak Cipta Menjamin Pertanggungjawaban IlmiahTanpa hak cipta, suatu karya bisa menyebar luas tanpa diketahui siapa penulis aslinya. Jika terjadi kesalahan, siapa yang akan bertanggung jawab?Syariat Islam sangat menekankan pentingnya tanggung jawab atas apa yang kita katakan dan lakukan. Hak cipta menegaskan bahwa setiap karya memiliki penulis yang dapat dimintai klarifikasi jika terjadi kekeliruan. Prinsip “Al-Ghunmu bil-Ghurmi” dan “Al-Kharaj bil-Dhaman”Dalam fikih terdapat kaidah,الْغُنْمُ بِالْغُرْمِ dan الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ“Keuntungan sebanding dengan risiko”, dan “hasil (keuntungan) berbanding dengan tanggungan (usaha).”Membuat karya intelektual adalah pekerjaan sulit yang memerlukan waktu, tenaga, dan pikiran. Maka wajar jika ada imbalan yang setimpal bagi pelakunya. Ini merupakan pengakuan syar’i terhadap hak cipta sebagai bentuk keadilan. Fatwa Ulama tentang Hak Kekayaan IntelektualSyaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahulllah dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab (No. 21899), disebutkan bahwa:Nama dagang, merek dagang, hak cipta, penemuan, dan inovasi adalah hak pribadi yang memiliki nilai finansial dalam tradisi modern, dan diakui secara syar’i.Diperbolehkan memperjualbelikan atau memindahkan hak tersebut selama tidak mengandung penipuan atau gharar.Pelanggaran terhadap hak cipta merupakan bentuk penganiayaan terhadap hak milik orang lain, dan dilarang secara syariat.Baca juga: Hak Kekayaan Intelektual, Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid Apakah Hak Cipta Berarti Menyembunyikan Ilmu?Allah Ta’ala berfirman,وَإِذْ أَخَذَ ٱللَّهُ مِيثَٰقَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ لَتُبَيِّنُنَّهُۥ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُۥ فَنَبَذُوهُ وَرَآءَ ظُهُورِهِمْ وَٱشْتَرَوْا۟ بِهِۦ ثَمَنًا قَلِيلًا ۖ فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya!” (QS. Ali ‘Imran: 187)‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,مَنْ حَدَّثَكَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَمَ شَيْئًا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَقَدْ كَذَبَ “Barang siapa berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sebagian dari wahyu, maka sungguh ia telah berdusta.” (HR. Bukhari no. 4612)Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu juga menyatakan, لَوْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَاتِمًا شَيْئًا لَكَتَمَ هَذِهِ“Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dari wahyu, pasti beliau telah menyembunyikan ayat tentang Zaid bin Haritsah.” (HR. Bukhari no. 7420)Sebagian orang menganggap bahwa hak cipta adalah bentuk menyembunyikan ilmu. Ini adalah kekeliruan. Menyembunyikan ilmu dalam Islam berarti menolak menjelaskan ilmu padahal ditanya dan mampu menjawab. Ini berbeda dengan perlindungan hak cipta yang justru menyebarkan ilmu dalam bentuk karya nyata dan bertanggung jawab.Menyebarkan ilmu dalam bentuk karya yang dilindungi hak cipta adalah bentuk penyampaian ilmu yang bertanggung jawab, bukan penyembunyian. PenutupMayoritas ulama kontemporer telah menegaskan bahwa hak cipta adalah hak yang sah secara syar’i dan legal secara hukum positif. Ia memberikan perlindungan kepada pencipta, memotivasi lahirnya karya ilmiah, dan menjaga akurasi serta pertanggungjawaban terhadap isi ilmu yang disebarkan.Hak cipta bukan penghalang dakwah dan ilmu, justru ia adalah media penyebaran ilmu yang berkualitas dan amanah. Dengan hak cipta, syariat Islam dan dunia modern berjalan seiring demi kemaslahatan umat dan peradaban.Wallahu A’lam Referensi:Hak Cipta dalam Pandangan Syariat – Rumah Fiqih IndonesiaFatwa Al-Islamqa, no. 21899Jangan Sembunyikan Ilmu – Almanhaj–22 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush SholihinDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel www.rumaysho.com Tagsekonomi kreatif islami fatwa hak cipta hak cipta dalam islam hak kekayaan intelektual hukum hak cipta syar’i kekayaan intelektual islam maqashid syariah perlindungan karya ilmiah syariat dan hak cipta ulama kontemporer
Tulisan ini mengupas pandangan mayoritas ulama kontemporer terkait keberadaan hak cipta dalam Islam. Dilandasi oleh keputusan Majma’ Fiqh Islam Internasional pada tahun 1988, para ulama menyatakan bahwa hak cipta adalah bagian dari perlindungan terhadap karya intelektual yang sejalan dengan maqashid syariah. Artikel ini memaparkan dalil penting yang mendasari pandangan tersebut.Hak cipta (copyright) adalah hak eksklusif untuk mengatur penggunaan, penggandaan, serta penyebaran karya yang telah dituangkan dalam bentuk nyata. Hak cipta adalah bagian dari sistem kekayaan intelektual, bersama dengan paten, merek dagang, rahasia dagang, desain industri, hak petani, dan lain-lain. Semua ini memiliki nilai ekonomi dan hukum.Hak cipta menjadi tulang punggung dalam ekonomi kreatif, baik di Indonesia maupun dunia. Dengan berkembangnya teknologi informasi, peran hak cipta semakin vital untuk melindungi karya dan mendorong kontribusi nyata terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.  Daftar Isi tutup 1. Keputusan Majma’ Fiqh Islam Internasional tentang Hak Cipta 2. Imbalan untuk Ilmu Tidak Dilarang dalam Islam 3. Karya Ilmiah adalah Manfaat Bernilai Materi 4. Karya Intelektual Adalah Hasil Kerja Nyata 5. Hak Cipta Memotivasi untuk Terus Berkarya 6. Mencegah Kerusakan Lebih Diutamakan daripada Mendatangkan Manfaat 7. Hak Cipta Menjamin Pertanggungjawaban Ilmiah 8. Prinsip “Al-Ghunmu bil-Ghurmi” dan “Al-Kharaj bil-Dhaman” 9. Fatwa Ulama tentang Hak Kekayaan Intelektual 10. Apakah Hak Cipta Berarti Menyembunyikan Ilmu? 11. Penutup Keputusan Majma’ Fiqh Islam Internasional tentang Hak CiptaMayoritas ulama fikih kontemporer yang berhimpun dalam Majma’ Fiqh Islamy Internasional* telah menyatakan dukungan terhadap hak cipta. Hal ini tertuang dalam keputusan Muktamar ke-5 di Kuwait pada tahun 1988 yang menegaskan bahwa hak paten, hak cipta, dan sejenisnya adalah hak yang diakui secara syar’i.Landasan keputusan ini berpijak pada dalil-dalil yang kuat dari Al-Qur’an, hadits, kaidah fikih, serta pertimbangan kemaslahatan umat.* Majma’ Fiqh al-Islami (المجمع الفقهي الإسلامي) adalah lembaga hukum Islam internasional yang beranggotakan para ulama dan ahli fikih dari berbagai negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), yang bertugas untuk memberikan fatwa dan penafsiran hukum Islam dalam berbagai isu kontemporer. Imbalan untuk Ilmu Tidak Dilarang dalam IslamDari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ“Sesungguhnya yang paling layak kalian ambil upah darinya adalah Kitabullah.” (HR. Bukhari, no. 5737)Jika mengambil imbalan dari pengajaran Al-Qur’an dibolehkan, maka mengambil manfaat dari ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an juga dibenarkan. Kekayaan intelektual adalah bagian dari warisan ilmu tersebut.Karya Ilmiah adalah Manfaat Bernilai MateriKarya ilmiah memiliki nilai manfaat yang nyata dan berdampak langsung pada umat. Dalam hadits riway, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menikahkan seorang sahabat dengan mahar berupa hafalan Al-Qur’an:قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ“Aku telah menikahkanmu dengannya dengan (mahar) apa yang kau hafal dari Al-Qur’an.” (HR. Bukhari, no. 5029)Jika hafalan Al-Qur’an bisa menjadi mahar yang sah, maka karya ilmiah yang menjelaskan dan menyebarkan kandungan Al-Qur’an tentu juga layak diberi penghargaan, termasuk penghargaan materi. Karya Intelektual Adalah Hasil Kerja NyataMembuat karya ilmiah adalah bentuk kerja keras—baik kerja otak maupun tangan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menghargai hasil kerja seseorang, terutama yang dihasilkan sendiri.عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ – رضي الله عنه – أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – سُئِلَ: أَيُّ اَلْكَسْبِ أَطْيَبُ? قَالَ: – عَمَلُ اَلرَّجُلِ بِيَدِهِ, وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ Dari Rifa’ah bin Raafi’ radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai mata pencaharian yang halal? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Amalan seseorang dengan tangannya dan setiap jual beli yang diberkahi.” (HR. Al-Bazzar, 9:183; Al-Hakim, 2:10; Ahmad, 4:141. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lainnya).Karya tulis dan karya intelektual termasuk dalam jenis usaha pribadi yang patut dihargai.Baca juga: Inilah Pekerjaan yang Terbaik Hak Cipta Memotivasi untuk Terus BerkaryaAdanya perlindungan hak cipta akan mendorong para intelektual dan ilmuwan untuk terus berkarya. Mereka merasa aman dan dihargai atas jerih payahnya.Dengan adanya jaminan perlindungan, maka perkembangan ilmu pengetahuan akan terus tumbuh, membuka jalan menuju kejayaan umat. Hal ini merupakan maslahat besar bagi semua pihak—baik bagi ilmuwan maupun masyarakat luas. Mencegah Kerusakan Lebih Diutamakan daripada Mendatangkan ManfaatDalam kaidah fikih disebutkan,دَفْعُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ“Mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada menarik manfaat.”Membiarkan karya tersebar tanpa perlindungan memang memberi manfaat, tapi juga berisiko besar: para ilmuwan bisa enggan berkarya karena karyanya bebas dijiplak. Ini merupakan kerugian besar bagi umat.Baca juga: Ketika Dua Mafsadat Bertabrakan Hak Cipta Menjamin Pertanggungjawaban IlmiahTanpa hak cipta, suatu karya bisa menyebar luas tanpa diketahui siapa penulis aslinya. Jika terjadi kesalahan, siapa yang akan bertanggung jawab?Syariat Islam sangat menekankan pentingnya tanggung jawab atas apa yang kita katakan dan lakukan. Hak cipta menegaskan bahwa setiap karya memiliki penulis yang dapat dimintai klarifikasi jika terjadi kekeliruan. Prinsip “Al-Ghunmu bil-Ghurmi” dan “Al-Kharaj bil-Dhaman”Dalam fikih terdapat kaidah,الْغُنْمُ بِالْغُرْمِ dan الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ“Keuntungan sebanding dengan risiko”, dan “hasil (keuntungan) berbanding dengan tanggungan (usaha).”Membuat karya intelektual adalah pekerjaan sulit yang memerlukan waktu, tenaga, dan pikiran. Maka wajar jika ada imbalan yang setimpal bagi pelakunya. Ini merupakan pengakuan syar’i terhadap hak cipta sebagai bentuk keadilan. Fatwa Ulama tentang Hak Kekayaan IntelektualSyaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahulllah dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab (No. 21899), disebutkan bahwa:Nama dagang, merek dagang, hak cipta, penemuan, dan inovasi adalah hak pribadi yang memiliki nilai finansial dalam tradisi modern, dan diakui secara syar’i.Diperbolehkan memperjualbelikan atau memindahkan hak tersebut selama tidak mengandung penipuan atau gharar.Pelanggaran terhadap hak cipta merupakan bentuk penganiayaan terhadap hak milik orang lain, dan dilarang secara syariat.Baca juga: Hak Kekayaan Intelektual, Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid Apakah Hak Cipta Berarti Menyembunyikan Ilmu?Allah Ta’ala berfirman,وَإِذْ أَخَذَ ٱللَّهُ مِيثَٰقَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ لَتُبَيِّنُنَّهُۥ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُۥ فَنَبَذُوهُ وَرَآءَ ظُهُورِهِمْ وَٱشْتَرَوْا۟ بِهِۦ ثَمَنًا قَلِيلًا ۖ فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya!” (QS. Ali ‘Imran: 187)‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,مَنْ حَدَّثَكَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَمَ شَيْئًا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَقَدْ كَذَبَ “Barang siapa berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sebagian dari wahyu, maka sungguh ia telah berdusta.” (HR. Bukhari no. 4612)Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu juga menyatakan, لَوْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَاتِمًا شَيْئًا لَكَتَمَ هَذِهِ“Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dari wahyu, pasti beliau telah menyembunyikan ayat tentang Zaid bin Haritsah.” (HR. Bukhari no. 7420)Sebagian orang menganggap bahwa hak cipta adalah bentuk menyembunyikan ilmu. Ini adalah kekeliruan. Menyembunyikan ilmu dalam Islam berarti menolak menjelaskan ilmu padahal ditanya dan mampu menjawab. Ini berbeda dengan perlindungan hak cipta yang justru menyebarkan ilmu dalam bentuk karya nyata dan bertanggung jawab.Menyebarkan ilmu dalam bentuk karya yang dilindungi hak cipta adalah bentuk penyampaian ilmu yang bertanggung jawab, bukan penyembunyian. PenutupMayoritas ulama kontemporer telah menegaskan bahwa hak cipta adalah hak yang sah secara syar’i dan legal secara hukum positif. Ia memberikan perlindungan kepada pencipta, memotivasi lahirnya karya ilmiah, dan menjaga akurasi serta pertanggungjawaban terhadap isi ilmu yang disebarkan.Hak cipta bukan penghalang dakwah dan ilmu, justru ia adalah media penyebaran ilmu yang berkualitas dan amanah. Dengan hak cipta, syariat Islam dan dunia modern berjalan seiring demi kemaslahatan umat dan peradaban.Wallahu A’lam Referensi:Hak Cipta dalam Pandangan Syariat – Rumah Fiqih IndonesiaFatwa Al-Islamqa, no. 21899Jangan Sembunyikan Ilmu – Almanhaj–22 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush SholihinDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel www.rumaysho.com Tagsekonomi kreatif islami fatwa hak cipta hak cipta dalam islam hak kekayaan intelektual hukum hak cipta syar’i kekayaan intelektual islam maqashid syariah perlindungan karya ilmiah syariat dan hak cipta ulama kontemporer


Tulisan ini mengupas pandangan mayoritas ulama kontemporer terkait keberadaan hak cipta dalam Islam. Dilandasi oleh keputusan Majma’ Fiqh Islam Internasional pada tahun 1988, para ulama menyatakan bahwa hak cipta adalah bagian dari perlindungan terhadap karya intelektual yang sejalan dengan maqashid syariah. Artikel ini memaparkan dalil penting yang mendasari pandangan tersebut.Hak cipta (copyright) adalah hak eksklusif untuk mengatur penggunaan, penggandaan, serta penyebaran karya yang telah dituangkan dalam bentuk nyata. Hak cipta adalah bagian dari sistem kekayaan intelektual, bersama dengan paten, merek dagang, rahasia dagang, desain industri, hak petani, dan lain-lain. Semua ini memiliki nilai ekonomi dan hukum.Hak cipta menjadi tulang punggung dalam ekonomi kreatif, baik di Indonesia maupun dunia. Dengan berkembangnya teknologi informasi, peran hak cipta semakin vital untuk melindungi karya dan mendorong kontribusi nyata terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.  Daftar Isi tutup 1. Keputusan Majma’ Fiqh Islam Internasional tentang Hak Cipta 2. Imbalan untuk Ilmu Tidak Dilarang dalam Islam 3. Karya Ilmiah adalah Manfaat Bernilai Materi 4. Karya Intelektual Adalah Hasil Kerja Nyata 5. Hak Cipta Memotivasi untuk Terus Berkarya 6. Mencegah Kerusakan Lebih Diutamakan daripada Mendatangkan Manfaat 7. Hak Cipta Menjamin Pertanggungjawaban Ilmiah 8. Prinsip “Al-Ghunmu bil-Ghurmi” dan “Al-Kharaj bil-Dhaman” 9. Fatwa Ulama tentang Hak Kekayaan Intelektual 10. Apakah Hak Cipta Berarti Menyembunyikan Ilmu? 11. Penutup Keputusan Majma’ Fiqh Islam Internasional tentang Hak CiptaMayoritas ulama fikih kontemporer yang berhimpun dalam Majma’ Fiqh Islamy Internasional* telah menyatakan dukungan terhadap hak cipta. Hal ini tertuang dalam keputusan Muktamar ke-5 di Kuwait pada tahun 1988 yang menegaskan bahwa hak paten, hak cipta, dan sejenisnya adalah hak yang diakui secara syar’i.Landasan keputusan ini berpijak pada dalil-dalil yang kuat dari Al-Qur’an, hadits, kaidah fikih, serta pertimbangan kemaslahatan umat.* Majma’ Fiqh al-Islami (المجمع الفقهي الإسلامي) adalah lembaga hukum Islam internasional yang beranggotakan para ulama dan ahli fikih dari berbagai negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), yang bertugas untuk memberikan fatwa dan penafsiran hukum Islam dalam berbagai isu kontemporer. Imbalan untuk Ilmu Tidak Dilarang dalam IslamDari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ“Sesungguhnya yang paling layak kalian ambil upah darinya adalah Kitabullah.” (HR. Bukhari, no. 5737)Jika mengambil imbalan dari pengajaran Al-Qur’an dibolehkan, maka mengambil manfaat dari ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an juga dibenarkan. Kekayaan intelektual adalah bagian dari warisan ilmu tersebut.Karya Ilmiah adalah Manfaat Bernilai MateriKarya ilmiah memiliki nilai manfaat yang nyata dan berdampak langsung pada umat. Dalam hadits riway, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menikahkan seorang sahabat dengan mahar berupa hafalan Al-Qur’an:قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ“Aku telah menikahkanmu dengannya dengan (mahar) apa yang kau hafal dari Al-Qur’an.” (HR. Bukhari, no. 5029)Jika hafalan Al-Qur’an bisa menjadi mahar yang sah, maka karya ilmiah yang menjelaskan dan menyebarkan kandungan Al-Qur’an tentu juga layak diberi penghargaan, termasuk penghargaan materi. Karya Intelektual Adalah Hasil Kerja NyataMembuat karya ilmiah adalah bentuk kerja keras—baik kerja otak maupun tangan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menghargai hasil kerja seseorang, terutama yang dihasilkan sendiri.عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ – رضي الله عنه – أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – سُئِلَ: أَيُّ اَلْكَسْبِ أَطْيَبُ? قَالَ: – عَمَلُ اَلرَّجُلِ بِيَدِهِ, وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ Dari Rifa’ah bin Raafi’ radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai mata pencaharian yang halal? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Amalan seseorang dengan tangannya dan setiap jual beli yang diberkahi.” (HR. Al-Bazzar, 9:183; Al-Hakim, 2:10; Ahmad, 4:141. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lainnya).Karya tulis dan karya intelektual termasuk dalam jenis usaha pribadi yang patut dihargai.Baca juga: Inilah Pekerjaan yang Terbaik Hak Cipta Memotivasi untuk Terus BerkaryaAdanya perlindungan hak cipta akan mendorong para intelektual dan ilmuwan untuk terus berkarya. Mereka merasa aman dan dihargai atas jerih payahnya.Dengan adanya jaminan perlindungan, maka perkembangan ilmu pengetahuan akan terus tumbuh, membuka jalan menuju kejayaan umat. Hal ini merupakan maslahat besar bagi semua pihak—baik bagi ilmuwan maupun masyarakat luas. Mencegah Kerusakan Lebih Diutamakan daripada Mendatangkan ManfaatDalam kaidah fikih disebutkan,دَفْعُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ“Mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada menarik manfaat.”Membiarkan karya tersebar tanpa perlindungan memang memberi manfaat, tapi juga berisiko besar: para ilmuwan bisa enggan berkarya karena karyanya bebas dijiplak. Ini merupakan kerugian besar bagi umat.Baca juga: Ketika Dua Mafsadat Bertabrakan Hak Cipta Menjamin Pertanggungjawaban IlmiahTanpa hak cipta, suatu karya bisa menyebar luas tanpa diketahui siapa penulis aslinya. Jika terjadi kesalahan, siapa yang akan bertanggung jawab?Syariat Islam sangat menekankan pentingnya tanggung jawab atas apa yang kita katakan dan lakukan. Hak cipta menegaskan bahwa setiap karya memiliki penulis yang dapat dimintai klarifikasi jika terjadi kekeliruan. Prinsip “Al-Ghunmu bil-Ghurmi” dan “Al-Kharaj bil-Dhaman”Dalam fikih terdapat kaidah,الْغُنْمُ بِالْغُرْمِ dan الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ“Keuntungan sebanding dengan risiko”, dan “hasil (keuntungan) berbanding dengan tanggungan (usaha).”Membuat karya intelektual adalah pekerjaan sulit yang memerlukan waktu, tenaga, dan pikiran. Maka wajar jika ada imbalan yang setimpal bagi pelakunya. Ini merupakan pengakuan syar’i terhadap hak cipta sebagai bentuk keadilan. Fatwa Ulama tentang Hak Kekayaan IntelektualSyaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahulllah dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab (No. 21899), disebutkan bahwa:Nama dagang, merek dagang, hak cipta, penemuan, dan inovasi adalah hak pribadi yang memiliki nilai finansial dalam tradisi modern, dan diakui secara syar’i.Diperbolehkan memperjualbelikan atau memindahkan hak tersebut selama tidak mengandung penipuan atau gharar.Pelanggaran terhadap hak cipta merupakan bentuk penganiayaan terhadap hak milik orang lain, dan dilarang secara syariat.Baca juga: Hak Kekayaan Intelektual, Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid Apakah Hak Cipta Berarti Menyembunyikan Ilmu?Allah Ta’ala berfirman,وَإِذْ أَخَذَ ٱللَّهُ مِيثَٰقَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ لَتُبَيِّنُنَّهُۥ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُۥ فَنَبَذُوهُ وَرَآءَ ظُهُورِهِمْ وَٱشْتَرَوْا۟ بِهِۦ ثَمَنًا قَلِيلًا ۖ فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya!” (QS. Ali ‘Imran: 187)‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,مَنْ حَدَّثَكَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَمَ شَيْئًا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَقَدْ كَذَبَ “Barang siapa berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sebagian dari wahyu, maka sungguh ia telah berdusta.” (HR. Bukhari no. 4612)Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu juga menyatakan, لَوْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَاتِمًا شَيْئًا لَكَتَمَ هَذِهِ“Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dari wahyu, pasti beliau telah menyembunyikan ayat tentang Zaid bin Haritsah.” (HR. Bukhari no. 7420)Sebagian orang menganggap bahwa hak cipta adalah bentuk menyembunyikan ilmu. Ini adalah kekeliruan. Menyembunyikan ilmu dalam Islam berarti menolak menjelaskan ilmu padahal ditanya dan mampu menjawab. Ini berbeda dengan perlindungan hak cipta yang justru menyebarkan ilmu dalam bentuk karya nyata dan bertanggung jawab.Menyebarkan ilmu dalam bentuk karya yang dilindungi hak cipta adalah bentuk penyampaian ilmu yang bertanggung jawab, bukan penyembunyian. PenutupMayoritas ulama kontemporer telah menegaskan bahwa hak cipta adalah hak yang sah secara syar’i dan legal secara hukum positif. Ia memberikan perlindungan kepada pencipta, memotivasi lahirnya karya ilmiah, dan menjaga akurasi serta pertanggungjawaban terhadap isi ilmu yang disebarkan.Hak cipta bukan penghalang dakwah dan ilmu, justru ia adalah media penyebaran ilmu yang berkualitas dan amanah. Dengan hak cipta, syariat Islam dan dunia modern berjalan seiring demi kemaslahatan umat dan peradaban.Wallahu A’lam Referensi:Hak Cipta dalam Pandangan Syariat – Rumah Fiqih IndonesiaFatwa Al-Islamqa, no. 21899Jangan Sembunyikan Ilmu – Almanhaj–22 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush SholihinDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel www.rumaysho.com Tagsekonomi kreatif islami fatwa hak cipta hak cipta dalam islam hak kekayaan intelektual hukum hak cipta syar’i kekayaan intelektual islam maqashid syariah perlindungan karya ilmiah syariat dan hak cipta ulama kontemporer

Khutbah Jum’at: PUASA HP

Khutbah Jum’at: PUASA HP Posted on March 21, 2025March 21, 2025by Oleh: Abdullah Zaen, Lc., MAKhutbah Jum’at di Masjid Agung Darussalam Purbalingga, 21 Ramadhan 1446 / 21 Maret 2025 KHUTBAH PERTAMA: إِنَّ ا حلمَْحدَ لِله نَحَمَدُهُ وَنَسحتَعِيح•نُهُ وَنَسحتَ•غحفِرُهُ وَنَ•عُحوذُ بِلِِله مِنح شُرُحورِ أَنح•فُسِنَا وَسَيِِّئَاتِ أَعحمَالِنَا مَنح يَ• حهدِهِ اُلله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنح يُضحلِلح فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشحهَدُ أَنح لَا إِلَهَ إِلَّا اُلله وَححدَهُ لَا شَرِيحكَ لَهُ وَأَشحهَدُ أَنَّ مُمََُّداً عَبحدُهُ وَرَسُ حولُهُ. الَِّلّ، وَخَ حيَ ا حلدَُْى هُدَى مُمََُّ „د صَلَّى الَّلُّ عَلَيحهِ وَسَلَّمَ، وَشَرَّ احلمُُْورِ مُحُدَثَتَُاَُ، وَكُ ل أَمَّا بَ• حعدُ، فَإِنَّ خَ حيَ ا حلدَِْيثِكِتَابُ بِ حدعَ„ة ضَلَالَة . اللَّهُمَّ صَلِِّ عَلىَ مُمََُّ „د وَعَلىَ آلِ مُمََُّ „د كَماَ صَلَّيحتَ عَلىَ إِبح•رَاهِيحمَ وَعَلىَ آلِ إِبح•رَاهِيحمَ إِن•كََّ حَِيَح د مَِيَح د، اَللَّهُمَّ برَِِ حك عَلىَ مُمََُّ „د وَعَلىَ آلِ مُمََُّ „د كَماَ برََِكحتَ عَلىَ إِبح•رَاهِيحمَ وَعَلىَ آلِ إِبح•رَاهِيحمَ إِن•كََّ حَِيَح د مَِيَح د. Jama’ah Jum’at rahimakumullah… Marilah kita meningkatkan ketaqwaan kepada Allah ta’ala secara serius. Yaitu dengan mengamalkan apa yang diperintahkan oleh-Nya dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wasallam. Serta menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wasallam. Jama’ah Jum’at yang semoga dimuliakan Allah… Bulan Ramadhan selalu menyuguhkan banyak fenomena unik dan menarik. Salah satunya terkait dengan para perokok. Tidak sedikit dari mereka yang merasa sulit, bahkan menganggap mustahil untuk meninggalkan kebiasaan merokok. “Saya sudah kecanduan. Kalau tidak merokok, saya tidak bisa berpikir dan sulit berkonsentrasi. Jadi, mustahil bagi saya berhenti merokok,” begitu alasan yang sering mereka utarakan. Namun, yang menarik adalah banyak perokok yang ternyata mampu menahan diri dari rokok selama menjalankan puasa di siang hari, meskipun mungkin baru di waktu itu saja. Durasi menahan diri yang cukup lama, sekitar 12 jam, ini membuktikan bahwa mereka sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengendalikan kebiasaan tersebut. Fenomena ini mengajarkan sebuah pelajaran penting: bahwa kebiasaan buruk bisa diubah, dengan izin Allah dan kesungguhan hati. Jika seorang pecandu rokok mampu menahan lapar, haus, dan rokok saat berpuasa, itu berarti ia sebenarnya memiliki potensi besar untuk mengendalikan hawa nafsunya dalam aspek lain. Ramadhan pun menjadi momen yang sangat tepat untuk mengambil langkah lebih jauh: menjadikan kebiasaan tidak merokok saat puasa sebagai awal untuk berhenti secara permanen. Demi perubahan menuju hidup yang lebih sehat dan berkah. Kaum muslimin dan muslimat yang kami hormati… Fokus khutbah kita kali ini bukanlah tentang rokok, yang keharamannya sudah sangat jelas. Namun, ada satu hal lain yang perlu kita soroti—sesuatu yang hukum asalnya mubah, tetapi sering kali menyita begitu banyak waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Bahkan, tidak jarang justru menjerumuskan kita ke dalam kubangan dosa dan maksiat. Hal itu adalah HP, gadget, ponsel, atau gawai yang begitu akrab dalam keseharian kita. Jika para pecandu rokok mampu meninggalkan kebiasaan buruk mereka di bulan Ramadhan, mengapa kita tidak memanfaatkan bulan mulia ini untuk mulai mengatasi kecanduan gadget? Bukankah sering kali HP menjadi sarana bagi kita untuk berbuat dosa? Mata berzina karena menonton hal-hal haram di layar HP. Telinga berzina karena mendengar sesuatu yang terlarang dari HP. Lisan berzina karena mengucapkan kata-kata yang tidak pantas melalui HP. Bahkan tangan pun ikut berzina karena digunakan untuk menggulir situs atau aplikasi yang melanggar norma agama. Ironisnya, semua itu kadang terjadi saat seseorang masih dalam keadaan berpuasa di bulan Ramadhan. Lalu, apa makna puasa itu jika hawa nafsu tetap dibiarkan menguasai diri? Bukankah puasa seharusnya menjadi momen untuk melatih pengendalian diri dan membersihkan hati? Jabir bin Abdullah radhiyallahu ’anhuma menyampaikan petuahnya, “إِذَا صُمحتَ فَ•لحيَصُمح سَحعُكَ وَبَصَرُكَ وَلِسَانُكَ عَنِ احلكَذِبِ وَالحمَحَ ارِمِ وَدعَح أَذَى ا حلاَرِ، وَحليَكُنح عَ حلَيكَ وَقَا ر وَسَكِيح•نَة يَ•حومَ صَ حومِكَ ، وَلَا تَحعَلح يَ•حومَ صَ حومِكَ وَيَ•حومَ فِطحرِكَ سَوَاء. “Jika engkau berpuasa, maka hendaklah pendengaranmu, penglihatanmu, dan lisanmu juga berpuasa dari kebohongan dan hal-hal yang diharamkan. Janganlah menyakiti tetangga. Dan hendaklah ada ketenangan serta keteduhan dalam dirimu pada hari puasamu. Janganlah engkau menjadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama saja. (Alias tidak ada perbedaan dalam sikap dan perbuatan).”1 Sidang Jum’at rahimakumullah… Jika di awal Ramadhan kita belum juga memperbaiki diri terkait kecanduan gadget, maka sepuluh hari terakhir ini adalah waktu yang sangat tepat untuk memulai langkah perubahan. Inilah kesempatan emas untuk merealisasikan proyek kebaikan yang akan mendekatkan kita kepada Allah. Kita semua tentu berharap meraih Lailatul Qadar, malam yang penuh berkah. Bagaimana tidak, ibadah pada malam itu setara dengan ibadah selama seribu bulan. Alias 83 tahun plus empat bulan. Namun, harapan saja tidak cukup. Untuk mendapatkan kemuliaan malam tersebut, kita harus bersungguh-sungguh dan berusaha sekuat tenaga. Perlu kita pahami bahwa semangat untuk beribadah di malam-malam Lailatul Qadar tidak datang begitu saja, bukan pula sesuatu yang bisa diraih secara instan. Semangat itu sangat bergantung pada taufik dari Allah, yang diberikan kepada hamba-Nya yang bersungguh-sungguh menjauhi dosa dan maksiat, terutama sejak pagi dan siang harinya. Imam Sufyan ats-Tsauriy rahimahullah menjelaskan salah satu dampak buruk dosa, “حُرِحمتُ قِيَامَ اللَّيحلِ خَحسَةَ أَشحهُ „ر بِذَنح „ب أَذحنَ•بح•تُهُ” Seorang lelaki berkata kepada Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah, “Wahai Abu Sa’id! Saat tidur aku dalam keadaan sehat, aku pengin sekali untuk shalat malam, bahkan aku sudah menyiapkan air untuk bersuci. Tetapi, mengapa aku tidak bisa bangun untuk shalat malam?”. Maka Hasan Al-Bashri menjawab, “Dosa-dosamu telah membelenggumu.” قَ•يَّدَتحكَ “ “ذُنُ•حوبُكَ Dampak buruk dosa dan maksiat pada manusia telah dijelaskan secara gamblang dalam firman Allah berikut ini, “أَلَحَ نَشحرَحح لَكَ صَ حدرَكَ (1) وَوَضَعحنَا عَنحكَ وِحزرَكَ (\) الَّذِي أَنح•قَضَ ظَ حهرَكَ “(3) Artinya: “Bukankah Kami telah menjadikan dadamu lapang?. Dan Kami telah menurunkan beban (dosa) darimu. Yang telah memberatkan punggungmu”. QS. Asy-Syarh (94): 1-3. Ayat ini mengingatkan kita bahwa dosa bukan hanya beban moral, tetapi juga beban spiritual yang memberatkan jiwa dan raga. Dosa membuat seseorang merasa berat dan malas untuk beribadah, seolah-olah ia terbelenggu oleh sesuatu yang tidak terlihat. Dampak dosa tidak hanya dirasakan secara batin, tetapi juga secara lahir. Dosa bisa membuat hati menjadi keras dan tertutup, sulit menerima kebenaran, dan jauh dari kebaikan. Bahkan ketenangan jiwa pun sirna, digantikan oleh kegelisahan dan keresahan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk senantiasa bertaubat, membersihkan diri dari dosa, dan memohon kepada Allah agar diberikan kekuatan untuk melangkah di atas ketaatan. أقول قولي هذا، وأستغفر الله لي ولكم ولميع المسلمين والمسلمات، فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم. KHUTBAH KEDUA: ا حلمَْحدُ لِله وحده والصلاة والسلام على من لا نبي بعده، وعلى آله وصحبه ومن اتبع هداه، أما بعد؛ Sidang Jum’at yang kami hormati… Bagi siapa saja yang ingin meraih keutamaan malam Lailatul Qadar, persiapan sejak pagi hari adalah langkah yang sangat penting. Salah satu caranya adalah dengan bertekad kuat untuk menjauhi dosa dan maksiat sepanjang hari. Mengingat ponsel sering kali menjadi celah yang membuka berbagai godaan, ada baiknya kita mengambil langkah berani: menonaktifkan HP untuk sementara waktu. Setidaknya, cobalah untuk mematikan ponsel selama 24 jam, mulai pagi hingga pagi berikutnya, terutama di malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Langkah ini adalah bentuk ikhtiar untuk menjaga diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat dan lebih fokus memaksimalkan ibadah di momen yang penuh berkah ini. Dengan melaksanakan langkah ini, insya Allah kita akan merasakan banyak efek positif. Jiwa menjadi lebih lapang, tubuh terasa ringan untuk beribadah, hati lebih khusyuk dalam menjalankan ketaatan, dan waktu terasa lebih berkah karena diisi dengan hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah. Cobalah menerapkan langkah sederhana ini dan rasakan sendiri manfaatnya yang luar biasa. Semoga Allah memudahkan kita semua untuk meraih malam penuh kemuliaan, sekaligus menjadikan momen ini sebagai awal dari kebiasaan meninggalkan kecanduan gadget secara bertahap dan berkelanjutan. هذا؛ وصلوا وسلموا –رحكَم الله– على الصادق المْين؛ كما أمركم بذلك مولاكم رب العالمين، فقال سبحانه: “إِنَّ الَّلَّ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَل ونَ عَلَى النَّبِِِّي يََ أَي •هَا الَّذِينَ آمَنُوا صَل وا عَلَيحهِ وَسَلِِّمُوا تَسحلِيماً.” اللهم صل على ممُد وعلى آل ممُد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حيَد ميَد، اللهم برِك على ممُد وعلى آل ممُد كما برِكت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حيَد ميَد. اللِّهُمَّ نَجِِّ إِخحوَانَ•نَا الحمُ حؤمِنِ حيَن الحمُسحتَضحعَفِ حيَن فِِ فَ•لَسحطِ حيَن وفِ كل مكان اللهم انصر إخواننا المجاهدين فِ سبيلك على أعدائهم اللِّهُمَّ اشحدُدح وَطحأَتَكَ عَلَى اليهود الغاصبين المجرمين وما شايعهم وأعانهم يََ عَزِيح•زُ يََ جَبَّارُ اللِّهُمَّ اجحعَلحهَا عَلَيحهِمح سِنِ حيَن كَسِنِِِّ يُ•حوسُفَ وصلى الله على نبينا ممُد وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين وآخر دعوانا أن المْد لله رب العالمين.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 21 Ramadhan 1446 / 21 Maret 2025 DOWNLOAD PDF KHUTBAH JUM’AT: PUASA HP Post navigation Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Khutbah Jum’at: PUASA HP

Khutbah Jum’at: PUASA HP Posted on March 21, 2025March 21, 2025by Oleh: Abdullah Zaen, Lc., MAKhutbah Jum’at di Masjid Agung Darussalam Purbalingga, 21 Ramadhan 1446 / 21 Maret 2025 KHUTBAH PERTAMA: إِنَّ ا حلمَْحدَ لِله نَحَمَدُهُ وَنَسحتَعِيح•نُهُ وَنَسحتَ•غحفِرُهُ وَنَ•عُحوذُ بِلِِله مِنح شُرُحورِ أَنح•فُسِنَا وَسَيِِّئَاتِ أَعحمَالِنَا مَنح يَ• حهدِهِ اُلله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنح يُضحلِلح فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشحهَدُ أَنح لَا إِلَهَ إِلَّا اُلله وَححدَهُ لَا شَرِيحكَ لَهُ وَأَشحهَدُ أَنَّ مُمََُّداً عَبحدُهُ وَرَسُ حولُهُ. الَِّلّ، وَخَ حيَ ا حلدَُْى هُدَى مُمََُّ „د صَلَّى الَّلُّ عَلَيحهِ وَسَلَّمَ، وَشَرَّ احلمُُْورِ مُحُدَثَتَُاَُ، وَكُ ل أَمَّا بَ• حعدُ، فَإِنَّ خَ حيَ ا حلدَِْيثِكِتَابُ بِ حدعَ„ة ضَلَالَة . اللَّهُمَّ صَلِِّ عَلىَ مُمََُّ „د وَعَلىَ آلِ مُمََُّ „د كَماَ صَلَّيحتَ عَلىَ إِبح•رَاهِيحمَ وَعَلىَ آلِ إِبح•رَاهِيحمَ إِن•كََّ حَِيَح د مَِيَح د، اَللَّهُمَّ برَِِ حك عَلىَ مُمََُّ „د وَعَلىَ آلِ مُمََُّ „د كَماَ برََِكحتَ عَلىَ إِبح•رَاهِيحمَ وَعَلىَ آلِ إِبح•رَاهِيحمَ إِن•كََّ حَِيَح د مَِيَح د. Jama’ah Jum’at rahimakumullah… Marilah kita meningkatkan ketaqwaan kepada Allah ta’ala secara serius. Yaitu dengan mengamalkan apa yang diperintahkan oleh-Nya dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wasallam. Serta menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wasallam. Jama’ah Jum’at yang semoga dimuliakan Allah… Bulan Ramadhan selalu menyuguhkan banyak fenomena unik dan menarik. Salah satunya terkait dengan para perokok. Tidak sedikit dari mereka yang merasa sulit, bahkan menganggap mustahil untuk meninggalkan kebiasaan merokok. “Saya sudah kecanduan. Kalau tidak merokok, saya tidak bisa berpikir dan sulit berkonsentrasi. Jadi, mustahil bagi saya berhenti merokok,” begitu alasan yang sering mereka utarakan. Namun, yang menarik adalah banyak perokok yang ternyata mampu menahan diri dari rokok selama menjalankan puasa di siang hari, meskipun mungkin baru di waktu itu saja. Durasi menahan diri yang cukup lama, sekitar 12 jam, ini membuktikan bahwa mereka sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengendalikan kebiasaan tersebut. Fenomena ini mengajarkan sebuah pelajaran penting: bahwa kebiasaan buruk bisa diubah, dengan izin Allah dan kesungguhan hati. Jika seorang pecandu rokok mampu menahan lapar, haus, dan rokok saat berpuasa, itu berarti ia sebenarnya memiliki potensi besar untuk mengendalikan hawa nafsunya dalam aspek lain. Ramadhan pun menjadi momen yang sangat tepat untuk mengambil langkah lebih jauh: menjadikan kebiasaan tidak merokok saat puasa sebagai awal untuk berhenti secara permanen. Demi perubahan menuju hidup yang lebih sehat dan berkah. Kaum muslimin dan muslimat yang kami hormati… Fokus khutbah kita kali ini bukanlah tentang rokok, yang keharamannya sudah sangat jelas. Namun, ada satu hal lain yang perlu kita soroti—sesuatu yang hukum asalnya mubah, tetapi sering kali menyita begitu banyak waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Bahkan, tidak jarang justru menjerumuskan kita ke dalam kubangan dosa dan maksiat. Hal itu adalah HP, gadget, ponsel, atau gawai yang begitu akrab dalam keseharian kita. Jika para pecandu rokok mampu meninggalkan kebiasaan buruk mereka di bulan Ramadhan, mengapa kita tidak memanfaatkan bulan mulia ini untuk mulai mengatasi kecanduan gadget? Bukankah sering kali HP menjadi sarana bagi kita untuk berbuat dosa? Mata berzina karena menonton hal-hal haram di layar HP. Telinga berzina karena mendengar sesuatu yang terlarang dari HP. Lisan berzina karena mengucapkan kata-kata yang tidak pantas melalui HP. Bahkan tangan pun ikut berzina karena digunakan untuk menggulir situs atau aplikasi yang melanggar norma agama. Ironisnya, semua itu kadang terjadi saat seseorang masih dalam keadaan berpuasa di bulan Ramadhan. Lalu, apa makna puasa itu jika hawa nafsu tetap dibiarkan menguasai diri? Bukankah puasa seharusnya menjadi momen untuk melatih pengendalian diri dan membersihkan hati? Jabir bin Abdullah radhiyallahu ’anhuma menyampaikan petuahnya, “إِذَا صُمحتَ فَ•لحيَصُمح سَحعُكَ وَبَصَرُكَ وَلِسَانُكَ عَنِ احلكَذِبِ وَالحمَحَ ارِمِ وَدعَح أَذَى ا حلاَرِ، وَحليَكُنح عَ حلَيكَ وَقَا ر وَسَكِيح•نَة يَ•حومَ صَ حومِكَ ، وَلَا تَحعَلح يَ•حومَ صَ حومِكَ وَيَ•حومَ فِطحرِكَ سَوَاء. “Jika engkau berpuasa, maka hendaklah pendengaranmu, penglihatanmu, dan lisanmu juga berpuasa dari kebohongan dan hal-hal yang diharamkan. Janganlah menyakiti tetangga. Dan hendaklah ada ketenangan serta keteduhan dalam dirimu pada hari puasamu. Janganlah engkau menjadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama saja. (Alias tidak ada perbedaan dalam sikap dan perbuatan).”1 Sidang Jum’at rahimakumullah… Jika di awal Ramadhan kita belum juga memperbaiki diri terkait kecanduan gadget, maka sepuluh hari terakhir ini adalah waktu yang sangat tepat untuk memulai langkah perubahan. Inilah kesempatan emas untuk merealisasikan proyek kebaikan yang akan mendekatkan kita kepada Allah. Kita semua tentu berharap meraih Lailatul Qadar, malam yang penuh berkah. Bagaimana tidak, ibadah pada malam itu setara dengan ibadah selama seribu bulan. Alias 83 tahun plus empat bulan. Namun, harapan saja tidak cukup. Untuk mendapatkan kemuliaan malam tersebut, kita harus bersungguh-sungguh dan berusaha sekuat tenaga. Perlu kita pahami bahwa semangat untuk beribadah di malam-malam Lailatul Qadar tidak datang begitu saja, bukan pula sesuatu yang bisa diraih secara instan. Semangat itu sangat bergantung pada taufik dari Allah, yang diberikan kepada hamba-Nya yang bersungguh-sungguh menjauhi dosa dan maksiat, terutama sejak pagi dan siang harinya. Imam Sufyan ats-Tsauriy rahimahullah menjelaskan salah satu dampak buruk dosa, “حُرِحمتُ قِيَامَ اللَّيحلِ خَحسَةَ أَشحهُ „ر بِذَنح „ب أَذحنَ•بح•تُهُ” Seorang lelaki berkata kepada Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah, “Wahai Abu Sa’id! Saat tidur aku dalam keadaan sehat, aku pengin sekali untuk shalat malam, bahkan aku sudah menyiapkan air untuk bersuci. Tetapi, mengapa aku tidak bisa bangun untuk shalat malam?”. Maka Hasan Al-Bashri menjawab, “Dosa-dosamu telah membelenggumu.” قَ•يَّدَتحكَ “ “ذُنُ•حوبُكَ Dampak buruk dosa dan maksiat pada manusia telah dijelaskan secara gamblang dalam firman Allah berikut ini, “أَلَحَ نَشحرَحح لَكَ صَ حدرَكَ (1) وَوَضَعحنَا عَنحكَ وِحزرَكَ (\) الَّذِي أَنح•قَضَ ظَ حهرَكَ “(3) Artinya: “Bukankah Kami telah menjadikan dadamu lapang?. Dan Kami telah menurunkan beban (dosa) darimu. Yang telah memberatkan punggungmu”. QS. Asy-Syarh (94): 1-3. Ayat ini mengingatkan kita bahwa dosa bukan hanya beban moral, tetapi juga beban spiritual yang memberatkan jiwa dan raga. Dosa membuat seseorang merasa berat dan malas untuk beribadah, seolah-olah ia terbelenggu oleh sesuatu yang tidak terlihat. Dampak dosa tidak hanya dirasakan secara batin, tetapi juga secara lahir. Dosa bisa membuat hati menjadi keras dan tertutup, sulit menerima kebenaran, dan jauh dari kebaikan. Bahkan ketenangan jiwa pun sirna, digantikan oleh kegelisahan dan keresahan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk senantiasa bertaubat, membersihkan diri dari dosa, dan memohon kepada Allah agar diberikan kekuatan untuk melangkah di atas ketaatan. أقول قولي هذا، وأستغفر الله لي ولكم ولميع المسلمين والمسلمات، فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم. KHUTBAH KEDUA: ا حلمَْحدُ لِله وحده والصلاة والسلام على من لا نبي بعده، وعلى آله وصحبه ومن اتبع هداه، أما بعد؛ Sidang Jum’at yang kami hormati… Bagi siapa saja yang ingin meraih keutamaan malam Lailatul Qadar, persiapan sejak pagi hari adalah langkah yang sangat penting. Salah satu caranya adalah dengan bertekad kuat untuk menjauhi dosa dan maksiat sepanjang hari. Mengingat ponsel sering kali menjadi celah yang membuka berbagai godaan, ada baiknya kita mengambil langkah berani: menonaktifkan HP untuk sementara waktu. Setidaknya, cobalah untuk mematikan ponsel selama 24 jam, mulai pagi hingga pagi berikutnya, terutama di malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Langkah ini adalah bentuk ikhtiar untuk menjaga diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat dan lebih fokus memaksimalkan ibadah di momen yang penuh berkah ini. Dengan melaksanakan langkah ini, insya Allah kita akan merasakan banyak efek positif. Jiwa menjadi lebih lapang, tubuh terasa ringan untuk beribadah, hati lebih khusyuk dalam menjalankan ketaatan, dan waktu terasa lebih berkah karena diisi dengan hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah. Cobalah menerapkan langkah sederhana ini dan rasakan sendiri manfaatnya yang luar biasa. Semoga Allah memudahkan kita semua untuk meraih malam penuh kemuliaan, sekaligus menjadikan momen ini sebagai awal dari kebiasaan meninggalkan kecanduan gadget secara bertahap dan berkelanjutan. هذا؛ وصلوا وسلموا –رحكَم الله– على الصادق المْين؛ كما أمركم بذلك مولاكم رب العالمين، فقال سبحانه: “إِنَّ الَّلَّ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَل ونَ عَلَى النَّبِِِّي يََ أَي •هَا الَّذِينَ آمَنُوا صَل وا عَلَيحهِ وَسَلِِّمُوا تَسحلِيماً.” اللهم صل على ممُد وعلى آل ممُد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حيَد ميَد، اللهم برِك على ممُد وعلى آل ممُد كما برِكت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حيَد ميَد. اللِّهُمَّ نَجِِّ إِخحوَانَ•نَا الحمُ حؤمِنِ حيَن الحمُسحتَضحعَفِ حيَن فِِ فَ•لَسحطِ حيَن وفِ كل مكان اللهم انصر إخواننا المجاهدين فِ سبيلك على أعدائهم اللِّهُمَّ اشحدُدح وَطحأَتَكَ عَلَى اليهود الغاصبين المجرمين وما شايعهم وأعانهم يََ عَزِيح•زُ يََ جَبَّارُ اللِّهُمَّ اجحعَلحهَا عَلَيحهِمح سِنِ حيَن كَسِنِِِّ يُ•حوسُفَ وصلى الله على نبينا ممُد وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين وآخر دعوانا أن المْد لله رب العالمين.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 21 Ramadhan 1446 / 21 Maret 2025 DOWNLOAD PDF KHUTBAH JUM’AT: PUASA HP Post navigation Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Khutbah Jum’at: PUASA HP Posted on March 21, 2025March 21, 2025by Oleh: Abdullah Zaen, Lc., MAKhutbah Jum’at di Masjid Agung Darussalam Purbalingga, 21 Ramadhan 1446 / 21 Maret 2025 KHUTBAH PERTAMA: إِنَّ ا حلمَْحدَ لِله نَحَمَدُهُ وَنَسحتَعِيح•نُهُ وَنَسحتَ•غحفِرُهُ وَنَ•عُحوذُ بِلِِله مِنح شُرُحورِ أَنح•فُسِنَا وَسَيِِّئَاتِ أَعحمَالِنَا مَنح يَ• حهدِهِ اُلله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنح يُضحلِلح فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشحهَدُ أَنح لَا إِلَهَ إِلَّا اُلله وَححدَهُ لَا شَرِيحكَ لَهُ وَأَشحهَدُ أَنَّ مُمََُّداً عَبحدُهُ وَرَسُ حولُهُ. الَِّلّ، وَخَ حيَ ا حلدَُْى هُدَى مُمََُّ „د صَلَّى الَّلُّ عَلَيحهِ وَسَلَّمَ، وَشَرَّ احلمُُْورِ مُحُدَثَتَُاَُ، وَكُ ل أَمَّا بَ• حعدُ، فَإِنَّ خَ حيَ ا حلدَِْيثِكِتَابُ بِ حدعَ„ة ضَلَالَة . اللَّهُمَّ صَلِِّ عَلىَ مُمََُّ „د وَعَلىَ آلِ مُمََُّ „د كَماَ صَلَّيحتَ عَلىَ إِبح•رَاهِيحمَ وَعَلىَ آلِ إِبح•رَاهِيحمَ إِن•كََّ حَِيَح د مَِيَح د، اَللَّهُمَّ برَِِ حك عَلىَ مُمََُّ „د وَعَلىَ آلِ مُمََُّ „د كَماَ برََِكحتَ عَلىَ إِبح•رَاهِيحمَ وَعَلىَ آلِ إِبح•رَاهِيحمَ إِن•كََّ حَِيَح د مَِيَح د. Jama’ah Jum’at rahimakumullah… Marilah kita meningkatkan ketaqwaan kepada Allah ta’ala secara serius. Yaitu dengan mengamalkan apa yang diperintahkan oleh-Nya dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wasallam. Serta menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wasallam. Jama’ah Jum’at yang semoga dimuliakan Allah… Bulan Ramadhan selalu menyuguhkan banyak fenomena unik dan menarik. Salah satunya terkait dengan para perokok. Tidak sedikit dari mereka yang merasa sulit, bahkan menganggap mustahil untuk meninggalkan kebiasaan merokok. “Saya sudah kecanduan. Kalau tidak merokok, saya tidak bisa berpikir dan sulit berkonsentrasi. Jadi, mustahil bagi saya berhenti merokok,” begitu alasan yang sering mereka utarakan. Namun, yang menarik adalah banyak perokok yang ternyata mampu menahan diri dari rokok selama menjalankan puasa di siang hari, meskipun mungkin baru di waktu itu saja. Durasi menahan diri yang cukup lama, sekitar 12 jam, ini membuktikan bahwa mereka sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengendalikan kebiasaan tersebut. Fenomena ini mengajarkan sebuah pelajaran penting: bahwa kebiasaan buruk bisa diubah, dengan izin Allah dan kesungguhan hati. Jika seorang pecandu rokok mampu menahan lapar, haus, dan rokok saat berpuasa, itu berarti ia sebenarnya memiliki potensi besar untuk mengendalikan hawa nafsunya dalam aspek lain. Ramadhan pun menjadi momen yang sangat tepat untuk mengambil langkah lebih jauh: menjadikan kebiasaan tidak merokok saat puasa sebagai awal untuk berhenti secara permanen. Demi perubahan menuju hidup yang lebih sehat dan berkah. Kaum muslimin dan muslimat yang kami hormati… Fokus khutbah kita kali ini bukanlah tentang rokok, yang keharamannya sudah sangat jelas. Namun, ada satu hal lain yang perlu kita soroti—sesuatu yang hukum asalnya mubah, tetapi sering kali menyita begitu banyak waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Bahkan, tidak jarang justru menjerumuskan kita ke dalam kubangan dosa dan maksiat. Hal itu adalah HP, gadget, ponsel, atau gawai yang begitu akrab dalam keseharian kita. Jika para pecandu rokok mampu meninggalkan kebiasaan buruk mereka di bulan Ramadhan, mengapa kita tidak memanfaatkan bulan mulia ini untuk mulai mengatasi kecanduan gadget? Bukankah sering kali HP menjadi sarana bagi kita untuk berbuat dosa? Mata berzina karena menonton hal-hal haram di layar HP. Telinga berzina karena mendengar sesuatu yang terlarang dari HP. Lisan berzina karena mengucapkan kata-kata yang tidak pantas melalui HP. Bahkan tangan pun ikut berzina karena digunakan untuk menggulir situs atau aplikasi yang melanggar norma agama. Ironisnya, semua itu kadang terjadi saat seseorang masih dalam keadaan berpuasa di bulan Ramadhan. Lalu, apa makna puasa itu jika hawa nafsu tetap dibiarkan menguasai diri? Bukankah puasa seharusnya menjadi momen untuk melatih pengendalian diri dan membersihkan hati? Jabir bin Abdullah radhiyallahu ’anhuma menyampaikan petuahnya, “إِذَا صُمحتَ فَ•لحيَصُمح سَحعُكَ وَبَصَرُكَ وَلِسَانُكَ عَنِ احلكَذِبِ وَالحمَحَ ارِمِ وَدعَح أَذَى ا حلاَرِ، وَحليَكُنح عَ حلَيكَ وَقَا ر وَسَكِيح•نَة يَ•حومَ صَ حومِكَ ، وَلَا تَحعَلح يَ•حومَ صَ حومِكَ وَيَ•حومَ فِطحرِكَ سَوَاء. “Jika engkau berpuasa, maka hendaklah pendengaranmu, penglihatanmu, dan lisanmu juga berpuasa dari kebohongan dan hal-hal yang diharamkan. Janganlah menyakiti tetangga. Dan hendaklah ada ketenangan serta keteduhan dalam dirimu pada hari puasamu. Janganlah engkau menjadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama saja. (Alias tidak ada perbedaan dalam sikap dan perbuatan).”1 Sidang Jum’at rahimakumullah… Jika di awal Ramadhan kita belum juga memperbaiki diri terkait kecanduan gadget, maka sepuluh hari terakhir ini adalah waktu yang sangat tepat untuk memulai langkah perubahan. Inilah kesempatan emas untuk merealisasikan proyek kebaikan yang akan mendekatkan kita kepada Allah. Kita semua tentu berharap meraih Lailatul Qadar, malam yang penuh berkah. Bagaimana tidak, ibadah pada malam itu setara dengan ibadah selama seribu bulan. Alias 83 tahun plus empat bulan. Namun, harapan saja tidak cukup. Untuk mendapatkan kemuliaan malam tersebut, kita harus bersungguh-sungguh dan berusaha sekuat tenaga. Perlu kita pahami bahwa semangat untuk beribadah di malam-malam Lailatul Qadar tidak datang begitu saja, bukan pula sesuatu yang bisa diraih secara instan. Semangat itu sangat bergantung pada taufik dari Allah, yang diberikan kepada hamba-Nya yang bersungguh-sungguh menjauhi dosa dan maksiat, terutama sejak pagi dan siang harinya. Imam Sufyan ats-Tsauriy rahimahullah menjelaskan salah satu dampak buruk dosa, “حُرِحمتُ قِيَامَ اللَّيحلِ خَحسَةَ أَشحهُ „ر بِذَنح „ب أَذحنَ•بح•تُهُ” Seorang lelaki berkata kepada Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah, “Wahai Abu Sa’id! Saat tidur aku dalam keadaan sehat, aku pengin sekali untuk shalat malam, bahkan aku sudah menyiapkan air untuk bersuci. Tetapi, mengapa aku tidak bisa bangun untuk shalat malam?”. Maka Hasan Al-Bashri menjawab, “Dosa-dosamu telah membelenggumu.” قَ•يَّدَتحكَ “ “ذُنُ•حوبُكَ Dampak buruk dosa dan maksiat pada manusia telah dijelaskan secara gamblang dalam firman Allah berikut ini, “أَلَحَ نَشحرَحح لَكَ صَ حدرَكَ (1) وَوَضَعحنَا عَنحكَ وِحزرَكَ (\) الَّذِي أَنح•قَضَ ظَ حهرَكَ “(3) Artinya: “Bukankah Kami telah menjadikan dadamu lapang?. Dan Kami telah menurunkan beban (dosa) darimu. Yang telah memberatkan punggungmu”. QS. Asy-Syarh (94): 1-3. Ayat ini mengingatkan kita bahwa dosa bukan hanya beban moral, tetapi juga beban spiritual yang memberatkan jiwa dan raga. Dosa membuat seseorang merasa berat dan malas untuk beribadah, seolah-olah ia terbelenggu oleh sesuatu yang tidak terlihat. Dampak dosa tidak hanya dirasakan secara batin, tetapi juga secara lahir. Dosa bisa membuat hati menjadi keras dan tertutup, sulit menerima kebenaran, dan jauh dari kebaikan. Bahkan ketenangan jiwa pun sirna, digantikan oleh kegelisahan dan keresahan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk senantiasa bertaubat, membersihkan diri dari dosa, dan memohon kepada Allah agar diberikan kekuatan untuk melangkah di atas ketaatan. أقول قولي هذا، وأستغفر الله لي ولكم ولميع المسلمين والمسلمات، فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم. KHUTBAH KEDUA: ا حلمَْحدُ لِله وحده والصلاة والسلام على من لا نبي بعده، وعلى آله وصحبه ومن اتبع هداه، أما بعد؛ Sidang Jum’at yang kami hormati… Bagi siapa saja yang ingin meraih keutamaan malam Lailatul Qadar, persiapan sejak pagi hari adalah langkah yang sangat penting. Salah satu caranya adalah dengan bertekad kuat untuk menjauhi dosa dan maksiat sepanjang hari. Mengingat ponsel sering kali menjadi celah yang membuka berbagai godaan, ada baiknya kita mengambil langkah berani: menonaktifkan HP untuk sementara waktu. Setidaknya, cobalah untuk mematikan ponsel selama 24 jam, mulai pagi hingga pagi berikutnya, terutama di malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Langkah ini adalah bentuk ikhtiar untuk menjaga diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat dan lebih fokus memaksimalkan ibadah di momen yang penuh berkah ini. Dengan melaksanakan langkah ini, insya Allah kita akan merasakan banyak efek positif. Jiwa menjadi lebih lapang, tubuh terasa ringan untuk beribadah, hati lebih khusyuk dalam menjalankan ketaatan, dan waktu terasa lebih berkah karena diisi dengan hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah. Cobalah menerapkan langkah sederhana ini dan rasakan sendiri manfaatnya yang luar biasa. Semoga Allah memudahkan kita semua untuk meraih malam penuh kemuliaan, sekaligus menjadikan momen ini sebagai awal dari kebiasaan meninggalkan kecanduan gadget secara bertahap dan berkelanjutan. هذا؛ وصلوا وسلموا –رحكَم الله– على الصادق المْين؛ كما أمركم بذلك مولاكم رب العالمين، فقال سبحانه: “إِنَّ الَّلَّ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَل ونَ عَلَى النَّبِِِّي يََ أَي •هَا الَّذِينَ آمَنُوا صَل وا عَلَيحهِ وَسَلِِّمُوا تَسحلِيماً.” اللهم صل على ممُد وعلى آل ممُد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حيَد ميَد، اللهم برِك على ممُد وعلى آل ممُد كما برِكت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حيَد ميَد. اللِّهُمَّ نَجِِّ إِخحوَانَ•نَا الحمُ حؤمِنِ حيَن الحمُسحتَضحعَفِ حيَن فِِ فَ•لَسحطِ حيَن وفِ كل مكان اللهم انصر إخواننا المجاهدين فِ سبيلك على أعدائهم اللِّهُمَّ اشحدُدح وَطحأَتَكَ عَلَى اليهود الغاصبين المجرمين وما شايعهم وأعانهم يََ عَزِيح•زُ يََ جَبَّارُ اللِّهُمَّ اجحعَلحهَا عَلَيحهِمح سِنِ حيَن كَسِنِِِّ يُ•حوسُفَ وصلى الله على نبينا ممُد وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين وآخر دعوانا أن المْد لله رب العالمين.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 21 Ramadhan 1446 / 21 Maret 2025 DOWNLOAD PDF KHUTBAH JUM’AT: PUASA HP Post navigation Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Khutbah Jum’at: PUASA HP Posted on March 21, 2025March 21, 2025by Oleh: Abdullah Zaen, Lc., MAKhutbah Jum’at di Masjid Agung Darussalam Purbalingga, 21 Ramadhan 1446 / 21 Maret 2025 KHUTBAH PERTAMA: إِنَّ ا حلمَْحدَ لِله نَحَمَدُهُ وَنَسحتَعِيح•نُهُ وَنَسحتَ•غحفِرُهُ وَنَ•عُحوذُ بِلِِله مِنح شُرُحورِ أَنح•فُسِنَا وَسَيِِّئَاتِ أَعحمَالِنَا مَنح يَ• حهدِهِ اُلله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنح يُضحلِلح فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشحهَدُ أَنح لَا إِلَهَ إِلَّا اُلله وَححدَهُ لَا شَرِيحكَ لَهُ وَأَشحهَدُ أَنَّ مُمََُّداً عَبحدُهُ وَرَسُ حولُهُ. الَِّلّ، وَخَ حيَ ا حلدَُْى هُدَى مُمََُّ „د صَلَّى الَّلُّ عَلَيحهِ وَسَلَّمَ، وَشَرَّ احلمُُْورِ مُحُدَثَتَُاَُ، وَكُ ل أَمَّا بَ• حعدُ، فَإِنَّ خَ حيَ ا حلدَِْيثِكِتَابُ بِ حدعَ„ة ضَلَالَة . اللَّهُمَّ صَلِِّ عَلىَ مُمََُّ „د وَعَلىَ آلِ مُمََُّ „د كَماَ صَلَّيحتَ عَلىَ إِبح•رَاهِيحمَ وَعَلىَ آلِ إِبح•رَاهِيحمَ إِن•كََّ حَِيَح د مَِيَح د، اَللَّهُمَّ برَِِ حك عَلىَ مُمََُّ „د وَعَلىَ آلِ مُمََُّ „د كَماَ برََِكحتَ عَلىَ إِبح•رَاهِيحمَ وَعَلىَ آلِ إِبح•رَاهِيحمَ إِن•كََّ حَِيَح د مَِيَح د. Jama’ah Jum’at rahimakumullah… Marilah kita meningkatkan ketaqwaan kepada Allah ta’ala secara serius. Yaitu dengan mengamalkan apa yang diperintahkan oleh-Nya dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wasallam. Serta menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wasallam. Jama’ah Jum’at yang semoga dimuliakan Allah… Bulan Ramadhan selalu menyuguhkan banyak fenomena unik dan menarik. Salah satunya terkait dengan para perokok. Tidak sedikit dari mereka yang merasa sulit, bahkan menganggap mustahil untuk meninggalkan kebiasaan merokok. “Saya sudah kecanduan. Kalau tidak merokok, saya tidak bisa berpikir dan sulit berkonsentrasi. Jadi, mustahil bagi saya berhenti merokok,” begitu alasan yang sering mereka utarakan. Namun, yang menarik adalah banyak perokok yang ternyata mampu menahan diri dari rokok selama menjalankan puasa di siang hari, meskipun mungkin baru di waktu itu saja. Durasi menahan diri yang cukup lama, sekitar 12 jam, ini membuktikan bahwa mereka sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengendalikan kebiasaan tersebut. Fenomena ini mengajarkan sebuah pelajaran penting: bahwa kebiasaan buruk bisa diubah, dengan izin Allah dan kesungguhan hati. Jika seorang pecandu rokok mampu menahan lapar, haus, dan rokok saat berpuasa, itu berarti ia sebenarnya memiliki potensi besar untuk mengendalikan hawa nafsunya dalam aspek lain. Ramadhan pun menjadi momen yang sangat tepat untuk mengambil langkah lebih jauh: menjadikan kebiasaan tidak merokok saat puasa sebagai awal untuk berhenti secara permanen. Demi perubahan menuju hidup yang lebih sehat dan berkah. Kaum muslimin dan muslimat yang kami hormati… Fokus khutbah kita kali ini bukanlah tentang rokok, yang keharamannya sudah sangat jelas. Namun, ada satu hal lain yang perlu kita soroti—sesuatu yang hukum asalnya mubah, tetapi sering kali menyita begitu banyak waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Bahkan, tidak jarang justru menjerumuskan kita ke dalam kubangan dosa dan maksiat. Hal itu adalah HP, gadget, ponsel, atau gawai yang begitu akrab dalam keseharian kita. Jika para pecandu rokok mampu meninggalkan kebiasaan buruk mereka di bulan Ramadhan, mengapa kita tidak memanfaatkan bulan mulia ini untuk mulai mengatasi kecanduan gadget? Bukankah sering kali HP menjadi sarana bagi kita untuk berbuat dosa? Mata berzina karena menonton hal-hal haram di layar HP. Telinga berzina karena mendengar sesuatu yang terlarang dari HP. Lisan berzina karena mengucapkan kata-kata yang tidak pantas melalui HP. Bahkan tangan pun ikut berzina karena digunakan untuk menggulir situs atau aplikasi yang melanggar norma agama. Ironisnya, semua itu kadang terjadi saat seseorang masih dalam keadaan berpuasa di bulan Ramadhan. Lalu, apa makna puasa itu jika hawa nafsu tetap dibiarkan menguasai diri? Bukankah puasa seharusnya menjadi momen untuk melatih pengendalian diri dan membersihkan hati? Jabir bin Abdullah radhiyallahu ’anhuma menyampaikan petuahnya, “إِذَا صُمحتَ فَ•لحيَصُمح سَحعُكَ وَبَصَرُكَ وَلِسَانُكَ عَنِ احلكَذِبِ وَالحمَحَ ارِمِ وَدعَح أَذَى ا حلاَرِ، وَحليَكُنح عَ حلَيكَ وَقَا ر وَسَكِيح•نَة يَ•حومَ صَ حومِكَ ، وَلَا تَحعَلح يَ•حومَ صَ حومِكَ وَيَ•حومَ فِطحرِكَ سَوَاء. “Jika engkau berpuasa, maka hendaklah pendengaranmu, penglihatanmu, dan lisanmu juga berpuasa dari kebohongan dan hal-hal yang diharamkan. Janganlah menyakiti tetangga. Dan hendaklah ada ketenangan serta keteduhan dalam dirimu pada hari puasamu. Janganlah engkau menjadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama saja. (Alias tidak ada perbedaan dalam sikap dan perbuatan).”1 Sidang Jum’at rahimakumullah… Jika di awal Ramadhan kita belum juga memperbaiki diri terkait kecanduan gadget, maka sepuluh hari terakhir ini adalah waktu yang sangat tepat untuk memulai langkah perubahan. Inilah kesempatan emas untuk merealisasikan proyek kebaikan yang akan mendekatkan kita kepada Allah. Kita semua tentu berharap meraih Lailatul Qadar, malam yang penuh berkah. Bagaimana tidak, ibadah pada malam itu setara dengan ibadah selama seribu bulan. Alias 83 tahun plus empat bulan. Namun, harapan saja tidak cukup. Untuk mendapatkan kemuliaan malam tersebut, kita harus bersungguh-sungguh dan berusaha sekuat tenaga. Perlu kita pahami bahwa semangat untuk beribadah di malam-malam Lailatul Qadar tidak datang begitu saja, bukan pula sesuatu yang bisa diraih secara instan. Semangat itu sangat bergantung pada taufik dari Allah, yang diberikan kepada hamba-Nya yang bersungguh-sungguh menjauhi dosa dan maksiat, terutama sejak pagi dan siang harinya. Imam Sufyan ats-Tsauriy rahimahullah menjelaskan salah satu dampak buruk dosa, “حُرِحمتُ قِيَامَ اللَّيحلِ خَحسَةَ أَشحهُ „ر بِذَنح „ب أَذحنَ•بح•تُهُ” Seorang lelaki berkata kepada Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah, “Wahai Abu Sa’id! Saat tidur aku dalam keadaan sehat, aku pengin sekali untuk shalat malam, bahkan aku sudah menyiapkan air untuk bersuci. Tetapi, mengapa aku tidak bisa bangun untuk shalat malam?”. Maka Hasan Al-Bashri menjawab, “Dosa-dosamu telah membelenggumu.” قَ•يَّدَتحكَ “ “ذُنُ•حوبُكَ Dampak buruk dosa dan maksiat pada manusia telah dijelaskan secara gamblang dalam firman Allah berikut ini, “أَلَحَ نَشحرَحح لَكَ صَ حدرَكَ (1) وَوَضَعحنَا عَنحكَ وِحزرَكَ (\) الَّذِي أَنح•قَضَ ظَ حهرَكَ “(3) Artinya: “Bukankah Kami telah menjadikan dadamu lapang?. Dan Kami telah menurunkan beban (dosa) darimu. Yang telah memberatkan punggungmu”. QS. Asy-Syarh (94): 1-3. Ayat ini mengingatkan kita bahwa dosa bukan hanya beban moral, tetapi juga beban spiritual yang memberatkan jiwa dan raga. Dosa membuat seseorang merasa berat dan malas untuk beribadah, seolah-olah ia terbelenggu oleh sesuatu yang tidak terlihat. Dampak dosa tidak hanya dirasakan secara batin, tetapi juga secara lahir. Dosa bisa membuat hati menjadi keras dan tertutup, sulit menerima kebenaran, dan jauh dari kebaikan. Bahkan ketenangan jiwa pun sirna, digantikan oleh kegelisahan dan keresahan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk senantiasa bertaubat, membersihkan diri dari dosa, dan memohon kepada Allah agar diberikan kekuatan untuk melangkah di atas ketaatan. أقول قولي هذا، وأستغفر الله لي ولكم ولميع المسلمين والمسلمات، فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم. KHUTBAH KEDUA: ا حلمَْحدُ لِله وحده والصلاة والسلام على من لا نبي بعده، وعلى آله وصحبه ومن اتبع هداه، أما بعد؛ Sidang Jum’at yang kami hormati… Bagi siapa saja yang ingin meraih keutamaan malam Lailatul Qadar, persiapan sejak pagi hari adalah langkah yang sangat penting. Salah satu caranya adalah dengan bertekad kuat untuk menjauhi dosa dan maksiat sepanjang hari. Mengingat ponsel sering kali menjadi celah yang membuka berbagai godaan, ada baiknya kita mengambil langkah berani: menonaktifkan HP untuk sementara waktu. Setidaknya, cobalah untuk mematikan ponsel selama 24 jam, mulai pagi hingga pagi berikutnya, terutama di malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Langkah ini adalah bentuk ikhtiar untuk menjaga diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat dan lebih fokus memaksimalkan ibadah di momen yang penuh berkah ini. Dengan melaksanakan langkah ini, insya Allah kita akan merasakan banyak efek positif. Jiwa menjadi lebih lapang, tubuh terasa ringan untuk beribadah, hati lebih khusyuk dalam menjalankan ketaatan, dan waktu terasa lebih berkah karena diisi dengan hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah. Cobalah menerapkan langkah sederhana ini dan rasakan sendiri manfaatnya yang luar biasa. Semoga Allah memudahkan kita semua untuk meraih malam penuh kemuliaan, sekaligus menjadikan momen ini sebagai awal dari kebiasaan meninggalkan kecanduan gadget secara bertahap dan berkelanjutan. هذا؛ وصلوا وسلموا –رحكَم الله– على الصادق المْين؛ كما أمركم بذلك مولاكم رب العالمين، فقال سبحانه: “إِنَّ الَّلَّ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَل ونَ عَلَى النَّبِِِّي يََ أَي •هَا الَّذِينَ آمَنُوا صَل وا عَلَيحهِ وَسَلِِّمُوا تَسحلِيماً.” اللهم صل على ممُد وعلى آل ممُد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حيَد ميَد، اللهم برِك على ممُد وعلى آل ممُد كما برِكت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حيَد ميَد. اللِّهُمَّ نَجِِّ إِخحوَانَ•نَا الحمُ حؤمِنِ حيَن الحمُسحتَضحعَفِ حيَن فِِ فَ•لَسحطِ حيَن وفِ كل مكان اللهم انصر إخواننا المجاهدين فِ سبيلك على أعدائهم اللِّهُمَّ اشحدُدح وَطحأَتَكَ عَلَى اليهود الغاصبين المجرمين وما شايعهم وأعانهم يََ عَزِيح•زُ يََ جَبَّارُ اللِّهُمَّ اجحعَلحهَا عَلَيحهِمح سِنِ حيَن كَسِنِِِّ يُ•حوسُفَ وصلى الله على نبينا ممُد وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين وآخر دعوانا أن المْد لله رب العالمين.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 21 Ramadhan 1446 / 21 Maret 2025 DOWNLOAD PDF KHUTBAH JUM’AT: PUASA HP Post navigation Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Tafsir Surah Al-A’la: Keagungan Penciptaan, Hidayah, dan Kemudahan dalam Islam

Surah Al-A’la mengandung pesan-pesan mendalam tentang keagungan penciptaan Allah, kepastian takdir, dan kemudahan dalam beragama. Dalam surah ini, Allah mengingatkan manusia untuk menyucikan-Nya, memahami hikmah kehidupan, serta mengutamakan akhirat dibanding dunia. Ayat-ayatnya juga menegaskan bahwa Islam adalah agama yang mudah dan membawa kebahagiaan sejati bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk-Nya.   Tafsir Ayat 1-5: Keagungan Allah dalam Penciptaan Allah Ta’ala berfirman, سَبِّحِ ٱسْمَ رَبِّكَ ٱلْأَعْلَىٰ “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi,” ٱلَّذِى خَلَقَ فَسَوَّىٰ “Yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya),” وَٱلَّذِى قَدَّرَ فَهَدَىٰ “Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk,” وَٱلَّذِىٓ أَخْرَجَ ٱلْمَرْعَىٰ “Dan yang menumbuhkan rumput-rumputan,” فَجَعَلَهُۥ غُثَآءً أَحْوَىٰ “Lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman.” (QS. Al-A’la: 1-5)   Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’di Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, Allah memerintahkan untuk bertasbih kepada-Nya, yang mencakup mengingat-Nya, beribadah kepada-Nya, tunduk pada keagungan-Nya, dan merendahkan diri di hadapan kebesaran-Nya. Tasbih ini harus sesuai dengan keagungan Allah, yaitu dengan menyebut nama-nama-Nya yang indah, yang lebih tinggi daripada segala nama karena memiliki makna yang sempurna dan mulia. Juga dengan mengingat perbuatan-Nya, seperti menciptakan makhluk dan menyempurnakan mereka, yakni menciptakan mereka dengan penuh ketelitian dan keindahan. Allah juga yang menentukan segala sesuatu dengan takdir-Nya, dan membimbing seluruh makhluk sesuai dengan ketetapan tersebut. Ini adalah bentuk hidayah umum dari Allah, di mana Dia membimbing setiap makhluk kepada kemaslahatan mereka masing-masing. Sebagai salah satu bentuk nikmat duniawi-Nya, Allah berfirman: “Dan Dia-lah yang mengeluarkan rerumputan.” Artinya, Allah menurunkan air dari langit, lalu dengan air itu Dia menumbuhkan berbagai jenis tanaman dan rerumputan yang melimpah, yang menjadi tempat makan bagi manusia, hewan ternak, dan seluruh makhluk hidup. Namun, setelah tanaman itu mencapai puncak pertumbuhannya, ia mulai layu dan kering. Allah menjadikannya “ghutsā’an ahwā”, yaitu dedaunan yang hitam, hancur, dan lapuk, yang menandakan kefanaan dan perubahan dalam kehidupan dunia. Kesimpulan dari penjelasan Syaikh As-Sa’di: Perintah untuk Bertasbih – Allah memerintahkan manusia untuk menyucikan-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang indah dan mengingat kebesaran serta perbuatan-Nya. Kesempurnaan Penciptaan Allah – Allah menciptakan makhluk dengan penuh ketelitian dan kesempurnaan. Takdir dan Hidayah Allah – Setiap makhluk diberikan takdir dan petunjuk sesuai dengan maslahatnya masing-masing. Nikmat Duniawi Allah – Allah menumbuhkan tanaman sebagai rezeki bagi manusia dan hewan. Fana-nya Dunia – Segala sesuatu di dunia mengalami perubahan dan kehancuran, mengingatkan manusia akan kefanaan dunia dan kekekalan akhirat.   Tafsir Ayat 6-8: Diberi Taufik ke Jalan yang Mudah Allah Ta’ala berfirman, سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنسَىٰٓ “Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa.” إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُ ۚ إِنَّهُۥ يَعْلَمُ ٱلْجَهْرَ وَمَا يَخْفَىٰ “kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi.” وَنُيَسِّرُكَ لِلْيُسْرَىٰ “dan Kami akan memberi kamu taufik ke jalan yang mudah.” (QS. Al-A’laa: 6-8)   Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’di Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, Dan di dalamnya disebutkan nikmat-nikmat-Nya yang bersifat agama. Oleh karena itu, Allah menyebut nikmat paling utama dan sumber segala nikmat, yaitu Al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya: “Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (wahai Muhammad), maka engkau tidak akan lupa.” Artinya, Kami akan menjaga wahyu yang Kami berikan kepadamu, menanamkannya dalam hatimu, sehingga engkau tidak akan melupakannya. Ini adalah kabar gembira besar dari Allah kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Allah akan mengajarkan kepadanya ilmu yang tidak akan ia lupakan. “Kecuali apa yang Allah kehendaki,” yakni, jika dalam kebijaksanaan-Nya, Allah berkehendak membuatnya lupa demi suatu hikmah besar yang bermanfaat. “Sesungguhnya Dia mengetahui yang tampak dan yang tersembunyi.” Termasuk dalam hal ini, Allah mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, Dia menetapkan syariat sesuai dengan kehendak-Nya dan mengatur segala sesuatu dengan kebijaksanaan-Nya. “Dan Kami akan memudahkanmu menuju kemudahan.” Ini juga merupakan kabar gembira besar bahwa Allah akan memudahkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala urusannya serta menjadikan syariat dan agama ini sebagai sesuatu yang mudah dan ringan bagi umat manusia. Kesimpulan dari Penjelasan Syaikh As-Sa’di: Al-Qur’an sebagai Nikmat Terbesar – Al-Qur’an adalah nikmat utama yang harus disyukuri dengan membacanya, memahami maknanya, dan mengamalkannya dalam kehidupan. Pemeliharaan Wahyu oleh Allah – Allah menjaga wahyu-Nya dan menjamin bahwa Rasulullah ﷺ tidak akan melupakannya kecuali jika ada hikmah di baliknya. Ilmu Sejati dari Allah – Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diberikan oleh Allah, sehingga kita harus senantiasa memohon kepada-Nya agar diberi ilmu yang berguna. Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu – Allah mengetahui segala yang tampak dan tersembunyi, serta menetapkan syariat berdasarkan kebijaksanaan dan kebaikan bagi hamba-Nya. Kemudahan dalam Islam – Islam adalah agama yang mudah dan penuh kemudahan, di mana segala aturan dibuat untuk kebaikan manusia dan bukan untuk menyulitkan mereka. Bertawakal kepada Allah – Kita harus berserah diri kepada Allah dalam setiap urusan, karena Dia telah menjanjikan kemudahan bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk-Nya.   Tafsir Ayat 9-13: Berilah Peringatan Allah Ta’ala berfirman, فَذَكِّرْ إِن نَّفَعَتِ ٱلذِّكْرَىٰ “oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat,“ سَيَذَّكَّرُ مَن يَخْشَىٰ “orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran.” وَيَتَجَنَّبُهَا ٱلْأَشْقَى “dan orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya.“ ٱلَّذِى يَصْلَى ٱلنَّارَ ٱلْكُبْرَىٰ “(Yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka).” ثُمَّ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَىٰ “Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.” (QS. Al-A’laa: 9-13)   Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’di Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, “Maka berilah peringatan!” Yaitu, sampaikan syariat Allah dan ayat-ayat-Nya “jika peringatan itu bermanfaat,” yakni selama peringatan itu diterima dan nasihat masih bisa didengar, baik peringatan itu menghasilkan manfaat sepenuhnya maupun hanya sebagian darinya. Ayat ini juga memberikan pemahaman bahwa jika peringatan tidak bermanfaat—misalnya jika peringatan justru memperburuk keadaan atau mengurangi kebaikan—maka tidak diperintahkan untuk memberikan peringatan, bahkan bisa menjadi sesuatu yang dilarang. Dengan demikian, manusia terbagi menjadi dua kelompok dalam menerima peringatan: yang mengambil manfaat dan yang tidak mengambil manfaat. Bagi mereka yang mengambil manfaat, Allah menyebutkan mereka dalam firman-Nya: “Akan menerima peringatan orang yang takut kepada Allah.” Yakni, orang yang memiliki rasa takut kepada Allah serta keyakinan bahwa ia akan dibalas atas amal perbuatannya. Rasa takut kepada Allah ini mendorong seseorang untuk menjauhi maksiat dan berusaha melakukan amal kebaikan. Sedangkan bagi mereka yang tidak mengambil manfaat, Allah menyebutkan dalam firman-Nya: “Dan akan menjauhinya orang yang paling celaka, yang akan memasuki neraka yang besar.” Yakni, mereka yang menghindari peringatan ini adalah orang-orang yang paling sengsara, yang akan dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala, yang apinya membakar hingga menembus hati. “Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak pula hidup.” Maksudnya, mereka akan merasakan azab yang sangat pedih tanpa henti, tanpa ada istirahat atau jeda dari siksaan tersebut. Bahkan mereka akan berharap untuk mati agar terbebas dari penderitaan, tetapi keinginan itu tidak akan pernah terwujud. Sebagaimana firman Allah, وَٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ لَهُمْ نَارُ جَهَنَّمَ لَا يُقْضَىٰ عَلَيْهِمْ فَيَمُوتُوا۟ وَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُم مِّنْ عَذَابِهَا ۚ كَذَٰلِكَ نَجْزِى كُلَّ كَفُورٍ “Tidak akan diputuskan kematian bagi mereka sehingga mereka mati, dan tidak (pula) diringankan dari mereka azabnya.” (QS. Fathir: 36). Kesimpulan dari Penjelasan Syaikh As-Sa’di: Pentingnya Memberikan Peringatan – Perintah untuk menyampaikan syariat Allah dan ayat-ayat-Nya diberikan selama peringatan tersebut bermanfaat dan masih bisa diterima. Peringatan Tidak Selalu Wajib – Jika peringatan justru menyebabkan keburukan atau mengurangi kebaikan, maka tidak diperintahkan untuk menyampaikannya, bahkan bisa menjadi sesuatu yang terlarang. Manusia Terbagi dalam Menerima Peringatan – Ada dua kelompok manusia dalam menerima peringatan: mereka yang mengambil manfaat darinya dan mereka yang menolaknya. Orang yang Mendapat Manfaat dari Peringatan – Mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allah dan yakin akan balasan-Nya, sehingga peringatan mendorong mereka untuk menjauhi maksiat dan melakukan kebaikan. Orang yang Menolak Peringatan – Mereka adalah orang-orang yang paling celaka, yang berpaling dari kebenaran dan akan dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. Azab di Neraka Sangat Pedih dan Kekal – Penghuni neraka akan mengalami siksaan tanpa henti, tidak mati sehingga terbebas dari azab, dan tidak hidup dalam keadaan yang layak, melainkan dalam penderitaan abadi.   Tafsir Ayat 14-19: Berilah Peringatan Allah Ta’ala berfirman, قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman).” وَذَكَرَ ٱسْمَ رَبِّهِۦ فَصَلَّىٰ “dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.” بَلْ تُؤْثِرُونَ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا “Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.” وَٱلْءَاخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰٓ “Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” إِنَّ هَٰذَا لَفِى ٱلصُّحُفِ ٱلْأُولَىٰ “Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu.” صُحُفِ إِبْرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ “(yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa.” (QS. Al-A’laa: 14-19)   Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’di Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, “Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri.” Artinya, telah berhasil dan meraih kemenangan orang yang membersihkan dirinya dari kesyirikan, kezaliman, serta akhlak yang buruk. “Dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat.” Maksudnya, ia senantiasa mengingat Allah, hatinya dipenuhi dengan dzikir kepada-Nya, sehingga hal itu mendorongnya untuk melakukan perbuatan yang diridhai Allah, terutama shalat, yang merupakan tolok ukur keimanan seseorang. Inilah makna utama dari ayat yang mulia ini. Adapun tafsiran yang menyebut bahwa “menyucikan diri” berarti mengeluarkan zakat fitrah, dan “mengingat nama Tuhannya, lalu shalat” maksudnya adalah shalat Idul Fitri, maka meskipun hal ini termasuk dalam cakupan makna ayat dan merupakan salah satu bentuk penerapannya, namun bukanlah satu-satunya makna yang dimaksud. “Tetapi kalian lebih mengutamakan kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang terdahulu, yaitu kitab-kitab Ibrahim dan Musa.” “Tetapi kalian lebih mengutamakan kehidupan dunia,” yakni, kalian lebih mendahulukan dunia dibandingkan akhirat, serta memilih kenikmatan dunia yang fana, penuh kekurangan, dan bercampur kepahitan, daripada kenikmatan akhirat yang abadi. “Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” Akhirat jauh lebih baik dari dunia dalam segala aspek yang diinginkan manusia. Akhirat adalah negeri keabadian, kebahagiaan yang murni, dan tanpa kesulitan, sedangkan dunia hanyalah tempat yang sementara dan penuh kefanaan. Orang beriman yang berakal tidak akan memilih sesuatu yang lebih rendah dibandingkan sesuatu yang lebih mulia, serta tidak akan menukar kenikmatan sesaat dengan penderitaan abadi. Kecintaan terhadap dunia dan mengutamakannya di atas akhirat adalah akar dari segala dosa dan kesalahan. “Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang terdahulu, yaitu kitab-kitab Ibrahim dan Musa.” Apa yang disebutkan dalam surah yang mulia ini—berupa perintah-perintah yang baik dan berita-berita yang benar—juga telah termaktub dalam kitab-kitab suci sebelumnya, yaitu dalam kitab Ibrahim dan Musa, dua di antara rasul-rasul yang paling mulia setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hukum-hukum ini bersifat universal dan berlaku dalam setiap syariat, karena semuanya mengandung maslahat bagi kehidupan dunia dan akhirat, serta relevan di setiap zaman dan tempat. Kesimpulan dari Penjelasan Syaikh As-Sa’di: Keberuntungan bagi Orang yang Menyucikan Diri – Orang yang sukses dan meraih kemenangan adalah mereka yang membersihkan diri dari kesyirikan, kezaliman, dan akhlak yang buruk. Dzikir dan Shalat sebagai Tolok Ukur Keimanan – Mengingat Allah dengan hati yang dipenuhi dzikir mendorong seseorang untuk beramal saleh, terutama shalat, yang menjadi indikator utama keimanan seseorang. Makna Luas dari Menyucikan Diri – Menyucikan diri tidak hanya terbatas pada zakat fitrah, dan mengingat Allah tidak hanya merujuk pada shalat Idul Fitri, melainkan memiliki makna yang lebih luas mencakup penyucian hati dan ibadah secara keseluruhan. Kecenderungan Manusia Mengutamakan Dunia – Banyak manusia lebih memilih kenikmatan dunia yang sementara, meskipun penuh kekurangan, daripada kebahagiaan akhirat yang abadi. Akhirat Lebih Baik dan Kekal – Kehidupan akhirat jauh lebih baik dalam segala aspek dan lebih kekal, sedangkan dunia bersifat fana dan penuh ujian. Orang beriman tidak akan menukar kenikmatan sesaat dengan penderitaan yang abadi. Peringatan Ini Sudah Ada dalam Kitab-Kitab Terdahulu – Pesan-pesan ini tidak hanya terdapat dalam Al-Qur’an tetapi juga telah disebutkan dalam kitab-kitab terdahulu, seperti kitab Ibrahim dan Musa, karena hukum-hukum ini bersifat universal dan relevan di setiap zaman dan tempat.   Penutup Surah Al-A’la menegaskan bahwa Allah telah menetapkan hidayah bagi setiap makhluk sesuai dengan fitrahnya, baik secara naluriah maupun melalui wahyu, sehingga segala sesuatu berjalan sesuai dengan kehendak-Nya. Selain itu, hanya dalam surah ini Allah secara langsung menjanjikan kemudahan dalam menjalankan agama-Nya bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya, menjadikan Islam sebagai jalan hidup yang penuh berkah dan kemudahan. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah segala kebaikan menjadi sempurna. – 13 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com TagsAkhirat Lebih Baik Hidayah dalam Islam Hikmah Al-Qur’an Islam yang Mudah Keagungan Ciptaan Allah Kelebihan Surah Al-A’la Kemudahan dalam Beragama Keutamaan Bertasbih Keutamaan Surah Al-A’la Makna Ayat Al-Qur’an Makna Surah Al-A’la Pentingnya Mengingat Allah tafsir al-qur’an tafsir juz amma Tafsir Surah Al-A’la tafsir syaikh as-sa’di

Tafsir Surah Al-A’la: Keagungan Penciptaan, Hidayah, dan Kemudahan dalam Islam

Surah Al-A’la mengandung pesan-pesan mendalam tentang keagungan penciptaan Allah, kepastian takdir, dan kemudahan dalam beragama. Dalam surah ini, Allah mengingatkan manusia untuk menyucikan-Nya, memahami hikmah kehidupan, serta mengutamakan akhirat dibanding dunia. Ayat-ayatnya juga menegaskan bahwa Islam adalah agama yang mudah dan membawa kebahagiaan sejati bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk-Nya.   Tafsir Ayat 1-5: Keagungan Allah dalam Penciptaan Allah Ta’ala berfirman, سَبِّحِ ٱسْمَ رَبِّكَ ٱلْأَعْلَىٰ “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi,” ٱلَّذِى خَلَقَ فَسَوَّىٰ “Yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya),” وَٱلَّذِى قَدَّرَ فَهَدَىٰ “Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk,” وَٱلَّذِىٓ أَخْرَجَ ٱلْمَرْعَىٰ “Dan yang menumbuhkan rumput-rumputan,” فَجَعَلَهُۥ غُثَآءً أَحْوَىٰ “Lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman.” (QS. Al-A’la: 1-5)   Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’di Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, Allah memerintahkan untuk bertasbih kepada-Nya, yang mencakup mengingat-Nya, beribadah kepada-Nya, tunduk pada keagungan-Nya, dan merendahkan diri di hadapan kebesaran-Nya. Tasbih ini harus sesuai dengan keagungan Allah, yaitu dengan menyebut nama-nama-Nya yang indah, yang lebih tinggi daripada segala nama karena memiliki makna yang sempurna dan mulia. Juga dengan mengingat perbuatan-Nya, seperti menciptakan makhluk dan menyempurnakan mereka, yakni menciptakan mereka dengan penuh ketelitian dan keindahan. Allah juga yang menentukan segala sesuatu dengan takdir-Nya, dan membimbing seluruh makhluk sesuai dengan ketetapan tersebut. Ini adalah bentuk hidayah umum dari Allah, di mana Dia membimbing setiap makhluk kepada kemaslahatan mereka masing-masing. Sebagai salah satu bentuk nikmat duniawi-Nya, Allah berfirman: “Dan Dia-lah yang mengeluarkan rerumputan.” Artinya, Allah menurunkan air dari langit, lalu dengan air itu Dia menumbuhkan berbagai jenis tanaman dan rerumputan yang melimpah, yang menjadi tempat makan bagi manusia, hewan ternak, dan seluruh makhluk hidup. Namun, setelah tanaman itu mencapai puncak pertumbuhannya, ia mulai layu dan kering. Allah menjadikannya “ghutsā’an ahwā”, yaitu dedaunan yang hitam, hancur, dan lapuk, yang menandakan kefanaan dan perubahan dalam kehidupan dunia. Kesimpulan dari penjelasan Syaikh As-Sa’di: Perintah untuk Bertasbih – Allah memerintahkan manusia untuk menyucikan-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang indah dan mengingat kebesaran serta perbuatan-Nya. Kesempurnaan Penciptaan Allah – Allah menciptakan makhluk dengan penuh ketelitian dan kesempurnaan. Takdir dan Hidayah Allah – Setiap makhluk diberikan takdir dan petunjuk sesuai dengan maslahatnya masing-masing. Nikmat Duniawi Allah – Allah menumbuhkan tanaman sebagai rezeki bagi manusia dan hewan. Fana-nya Dunia – Segala sesuatu di dunia mengalami perubahan dan kehancuran, mengingatkan manusia akan kefanaan dunia dan kekekalan akhirat.   Tafsir Ayat 6-8: Diberi Taufik ke Jalan yang Mudah Allah Ta’ala berfirman, سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنسَىٰٓ “Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa.” إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُ ۚ إِنَّهُۥ يَعْلَمُ ٱلْجَهْرَ وَمَا يَخْفَىٰ “kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi.” وَنُيَسِّرُكَ لِلْيُسْرَىٰ “dan Kami akan memberi kamu taufik ke jalan yang mudah.” (QS. Al-A’laa: 6-8)   Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’di Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, Dan di dalamnya disebutkan nikmat-nikmat-Nya yang bersifat agama. Oleh karena itu, Allah menyebut nikmat paling utama dan sumber segala nikmat, yaitu Al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya: “Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (wahai Muhammad), maka engkau tidak akan lupa.” Artinya, Kami akan menjaga wahyu yang Kami berikan kepadamu, menanamkannya dalam hatimu, sehingga engkau tidak akan melupakannya. Ini adalah kabar gembira besar dari Allah kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Allah akan mengajarkan kepadanya ilmu yang tidak akan ia lupakan. “Kecuali apa yang Allah kehendaki,” yakni, jika dalam kebijaksanaan-Nya, Allah berkehendak membuatnya lupa demi suatu hikmah besar yang bermanfaat. “Sesungguhnya Dia mengetahui yang tampak dan yang tersembunyi.” Termasuk dalam hal ini, Allah mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, Dia menetapkan syariat sesuai dengan kehendak-Nya dan mengatur segala sesuatu dengan kebijaksanaan-Nya. “Dan Kami akan memudahkanmu menuju kemudahan.” Ini juga merupakan kabar gembira besar bahwa Allah akan memudahkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala urusannya serta menjadikan syariat dan agama ini sebagai sesuatu yang mudah dan ringan bagi umat manusia. Kesimpulan dari Penjelasan Syaikh As-Sa’di: Al-Qur’an sebagai Nikmat Terbesar – Al-Qur’an adalah nikmat utama yang harus disyukuri dengan membacanya, memahami maknanya, dan mengamalkannya dalam kehidupan. Pemeliharaan Wahyu oleh Allah – Allah menjaga wahyu-Nya dan menjamin bahwa Rasulullah ﷺ tidak akan melupakannya kecuali jika ada hikmah di baliknya. Ilmu Sejati dari Allah – Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diberikan oleh Allah, sehingga kita harus senantiasa memohon kepada-Nya agar diberi ilmu yang berguna. Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu – Allah mengetahui segala yang tampak dan tersembunyi, serta menetapkan syariat berdasarkan kebijaksanaan dan kebaikan bagi hamba-Nya. Kemudahan dalam Islam – Islam adalah agama yang mudah dan penuh kemudahan, di mana segala aturan dibuat untuk kebaikan manusia dan bukan untuk menyulitkan mereka. Bertawakal kepada Allah – Kita harus berserah diri kepada Allah dalam setiap urusan, karena Dia telah menjanjikan kemudahan bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk-Nya.   Tafsir Ayat 9-13: Berilah Peringatan Allah Ta’ala berfirman, فَذَكِّرْ إِن نَّفَعَتِ ٱلذِّكْرَىٰ “oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat,“ سَيَذَّكَّرُ مَن يَخْشَىٰ “orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran.” وَيَتَجَنَّبُهَا ٱلْأَشْقَى “dan orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya.“ ٱلَّذِى يَصْلَى ٱلنَّارَ ٱلْكُبْرَىٰ “(Yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka).” ثُمَّ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَىٰ “Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.” (QS. Al-A’laa: 9-13)   Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’di Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, “Maka berilah peringatan!” Yaitu, sampaikan syariat Allah dan ayat-ayat-Nya “jika peringatan itu bermanfaat,” yakni selama peringatan itu diterima dan nasihat masih bisa didengar, baik peringatan itu menghasilkan manfaat sepenuhnya maupun hanya sebagian darinya. Ayat ini juga memberikan pemahaman bahwa jika peringatan tidak bermanfaat—misalnya jika peringatan justru memperburuk keadaan atau mengurangi kebaikan—maka tidak diperintahkan untuk memberikan peringatan, bahkan bisa menjadi sesuatu yang dilarang. Dengan demikian, manusia terbagi menjadi dua kelompok dalam menerima peringatan: yang mengambil manfaat dan yang tidak mengambil manfaat. Bagi mereka yang mengambil manfaat, Allah menyebutkan mereka dalam firman-Nya: “Akan menerima peringatan orang yang takut kepada Allah.” Yakni, orang yang memiliki rasa takut kepada Allah serta keyakinan bahwa ia akan dibalas atas amal perbuatannya. Rasa takut kepada Allah ini mendorong seseorang untuk menjauhi maksiat dan berusaha melakukan amal kebaikan. Sedangkan bagi mereka yang tidak mengambil manfaat, Allah menyebutkan dalam firman-Nya: “Dan akan menjauhinya orang yang paling celaka, yang akan memasuki neraka yang besar.” Yakni, mereka yang menghindari peringatan ini adalah orang-orang yang paling sengsara, yang akan dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala, yang apinya membakar hingga menembus hati. “Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak pula hidup.” Maksudnya, mereka akan merasakan azab yang sangat pedih tanpa henti, tanpa ada istirahat atau jeda dari siksaan tersebut. Bahkan mereka akan berharap untuk mati agar terbebas dari penderitaan, tetapi keinginan itu tidak akan pernah terwujud. Sebagaimana firman Allah, وَٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ لَهُمْ نَارُ جَهَنَّمَ لَا يُقْضَىٰ عَلَيْهِمْ فَيَمُوتُوا۟ وَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُم مِّنْ عَذَابِهَا ۚ كَذَٰلِكَ نَجْزِى كُلَّ كَفُورٍ “Tidak akan diputuskan kematian bagi mereka sehingga mereka mati, dan tidak (pula) diringankan dari mereka azabnya.” (QS. Fathir: 36). Kesimpulan dari Penjelasan Syaikh As-Sa’di: Pentingnya Memberikan Peringatan – Perintah untuk menyampaikan syariat Allah dan ayat-ayat-Nya diberikan selama peringatan tersebut bermanfaat dan masih bisa diterima. Peringatan Tidak Selalu Wajib – Jika peringatan justru menyebabkan keburukan atau mengurangi kebaikan, maka tidak diperintahkan untuk menyampaikannya, bahkan bisa menjadi sesuatu yang terlarang. Manusia Terbagi dalam Menerima Peringatan – Ada dua kelompok manusia dalam menerima peringatan: mereka yang mengambil manfaat darinya dan mereka yang menolaknya. Orang yang Mendapat Manfaat dari Peringatan – Mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allah dan yakin akan balasan-Nya, sehingga peringatan mendorong mereka untuk menjauhi maksiat dan melakukan kebaikan. Orang yang Menolak Peringatan – Mereka adalah orang-orang yang paling celaka, yang berpaling dari kebenaran dan akan dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. Azab di Neraka Sangat Pedih dan Kekal – Penghuni neraka akan mengalami siksaan tanpa henti, tidak mati sehingga terbebas dari azab, dan tidak hidup dalam keadaan yang layak, melainkan dalam penderitaan abadi.   Tafsir Ayat 14-19: Berilah Peringatan Allah Ta’ala berfirman, قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman).” وَذَكَرَ ٱسْمَ رَبِّهِۦ فَصَلَّىٰ “dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.” بَلْ تُؤْثِرُونَ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا “Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.” وَٱلْءَاخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰٓ “Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” إِنَّ هَٰذَا لَفِى ٱلصُّحُفِ ٱلْأُولَىٰ “Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu.” صُحُفِ إِبْرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ “(yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa.” (QS. Al-A’laa: 14-19)   Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’di Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, “Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri.” Artinya, telah berhasil dan meraih kemenangan orang yang membersihkan dirinya dari kesyirikan, kezaliman, serta akhlak yang buruk. “Dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat.” Maksudnya, ia senantiasa mengingat Allah, hatinya dipenuhi dengan dzikir kepada-Nya, sehingga hal itu mendorongnya untuk melakukan perbuatan yang diridhai Allah, terutama shalat, yang merupakan tolok ukur keimanan seseorang. Inilah makna utama dari ayat yang mulia ini. Adapun tafsiran yang menyebut bahwa “menyucikan diri” berarti mengeluarkan zakat fitrah, dan “mengingat nama Tuhannya, lalu shalat” maksudnya adalah shalat Idul Fitri, maka meskipun hal ini termasuk dalam cakupan makna ayat dan merupakan salah satu bentuk penerapannya, namun bukanlah satu-satunya makna yang dimaksud. “Tetapi kalian lebih mengutamakan kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang terdahulu, yaitu kitab-kitab Ibrahim dan Musa.” “Tetapi kalian lebih mengutamakan kehidupan dunia,” yakni, kalian lebih mendahulukan dunia dibandingkan akhirat, serta memilih kenikmatan dunia yang fana, penuh kekurangan, dan bercampur kepahitan, daripada kenikmatan akhirat yang abadi. “Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” Akhirat jauh lebih baik dari dunia dalam segala aspek yang diinginkan manusia. Akhirat adalah negeri keabadian, kebahagiaan yang murni, dan tanpa kesulitan, sedangkan dunia hanyalah tempat yang sementara dan penuh kefanaan. Orang beriman yang berakal tidak akan memilih sesuatu yang lebih rendah dibandingkan sesuatu yang lebih mulia, serta tidak akan menukar kenikmatan sesaat dengan penderitaan abadi. Kecintaan terhadap dunia dan mengutamakannya di atas akhirat adalah akar dari segala dosa dan kesalahan. “Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang terdahulu, yaitu kitab-kitab Ibrahim dan Musa.” Apa yang disebutkan dalam surah yang mulia ini—berupa perintah-perintah yang baik dan berita-berita yang benar—juga telah termaktub dalam kitab-kitab suci sebelumnya, yaitu dalam kitab Ibrahim dan Musa, dua di antara rasul-rasul yang paling mulia setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hukum-hukum ini bersifat universal dan berlaku dalam setiap syariat, karena semuanya mengandung maslahat bagi kehidupan dunia dan akhirat, serta relevan di setiap zaman dan tempat. Kesimpulan dari Penjelasan Syaikh As-Sa’di: Keberuntungan bagi Orang yang Menyucikan Diri – Orang yang sukses dan meraih kemenangan adalah mereka yang membersihkan diri dari kesyirikan, kezaliman, dan akhlak yang buruk. Dzikir dan Shalat sebagai Tolok Ukur Keimanan – Mengingat Allah dengan hati yang dipenuhi dzikir mendorong seseorang untuk beramal saleh, terutama shalat, yang menjadi indikator utama keimanan seseorang. Makna Luas dari Menyucikan Diri – Menyucikan diri tidak hanya terbatas pada zakat fitrah, dan mengingat Allah tidak hanya merujuk pada shalat Idul Fitri, melainkan memiliki makna yang lebih luas mencakup penyucian hati dan ibadah secara keseluruhan. Kecenderungan Manusia Mengutamakan Dunia – Banyak manusia lebih memilih kenikmatan dunia yang sementara, meskipun penuh kekurangan, daripada kebahagiaan akhirat yang abadi. Akhirat Lebih Baik dan Kekal – Kehidupan akhirat jauh lebih baik dalam segala aspek dan lebih kekal, sedangkan dunia bersifat fana dan penuh ujian. Orang beriman tidak akan menukar kenikmatan sesaat dengan penderitaan yang abadi. Peringatan Ini Sudah Ada dalam Kitab-Kitab Terdahulu – Pesan-pesan ini tidak hanya terdapat dalam Al-Qur’an tetapi juga telah disebutkan dalam kitab-kitab terdahulu, seperti kitab Ibrahim dan Musa, karena hukum-hukum ini bersifat universal dan relevan di setiap zaman dan tempat.   Penutup Surah Al-A’la menegaskan bahwa Allah telah menetapkan hidayah bagi setiap makhluk sesuai dengan fitrahnya, baik secara naluriah maupun melalui wahyu, sehingga segala sesuatu berjalan sesuai dengan kehendak-Nya. Selain itu, hanya dalam surah ini Allah secara langsung menjanjikan kemudahan dalam menjalankan agama-Nya bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya, menjadikan Islam sebagai jalan hidup yang penuh berkah dan kemudahan. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah segala kebaikan menjadi sempurna. – 13 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com TagsAkhirat Lebih Baik Hidayah dalam Islam Hikmah Al-Qur’an Islam yang Mudah Keagungan Ciptaan Allah Kelebihan Surah Al-A’la Kemudahan dalam Beragama Keutamaan Bertasbih Keutamaan Surah Al-A’la Makna Ayat Al-Qur’an Makna Surah Al-A’la Pentingnya Mengingat Allah tafsir al-qur’an tafsir juz amma Tafsir Surah Al-A’la tafsir syaikh as-sa’di
Surah Al-A’la mengandung pesan-pesan mendalam tentang keagungan penciptaan Allah, kepastian takdir, dan kemudahan dalam beragama. Dalam surah ini, Allah mengingatkan manusia untuk menyucikan-Nya, memahami hikmah kehidupan, serta mengutamakan akhirat dibanding dunia. Ayat-ayatnya juga menegaskan bahwa Islam adalah agama yang mudah dan membawa kebahagiaan sejati bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk-Nya.   Tafsir Ayat 1-5: Keagungan Allah dalam Penciptaan Allah Ta’ala berfirman, سَبِّحِ ٱسْمَ رَبِّكَ ٱلْأَعْلَىٰ “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi,” ٱلَّذِى خَلَقَ فَسَوَّىٰ “Yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya),” وَٱلَّذِى قَدَّرَ فَهَدَىٰ “Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk,” وَٱلَّذِىٓ أَخْرَجَ ٱلْمَرْعَىٰ “Dan yang menumbuhkan rumput-rumputan,” فَجَعَلَهُۥ غُثَآءً أَحْوَىٰ “Lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman.” (QS. Al-A’la: 1-5)   Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’di Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, Allah memerintahkan untuk bertasbih kepada-Nya, yang mencakup mengingat-Nya, beribadah kepada-Nya, tunduk pada keagungan-Nya, dan merendahkan diri di hadapan kebesaran-Nya. Tasbih ini harus sesuai dengan keagungan Allah, yaitu dengan menyebut nama-nama-Nya yang indah, yang lebih tinggi daripada segala nama karena memiliki makna yang sempurna dan mulia. Juga dengan mengingat perbuatan-Nya, seperti menciptakan makhluk dan menyempurnakan mereka, yakni menciptakan mereka dengan penuh ketelitian dan keindahan. Allah juga yang menentukan segala sesuatu dengan takdir-Nya, dan membimbing seluruh makhluk sesuai dengan ketetapan tersebut. Ini adalah bentuk hidayah umum dari Allah, di mana Dia membimbing setiap makhluk kepada kemaslahatan mereka masing-masing. Sebagai salah satu bentuk nikmat duniawi-Nya, Allah berfirman: “Dan Dia-lah yang mengeluarkan rerumputan.” Artinya, Allah menurunkan air dari langit, lalu dengan air itu Dia menumbuhkan berbagai jenis tanaman dan rerumputan yang melimpah, yang menjadi tempat makan bagi manusia, hewan ternak, dan seluruh makhluk hidup. Namun, setelah tanaman itu mencapai puncak pertumbuhannya, ia mulai layu dan kering. Allah menjadikannya “ghutsā’an ahwā”, yaitu dedaunan yang hitam, hancur, dan lapuk, yang menandakan kefanaan dan perubahan dalam kehidupan dunia. Kesimpulan dari penjelasan Syaikh As-Sa’di: Perintah untuk Bertasbih – Allah memerintahkan manusia untuk menyucikan-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang indah dan mengingat kebesaran serta perbuatan-Nya. Kesempurnaan Penciptaan Allah – Allah menciptakan makhluk dengan penuh ketelitian dan kesempurnaan. Takdir dan Hidayah Allah – Setiap makhluk diberikan takdir dan petunjuk sesuai dengan maslahatnya masing-masing. Nikmat Duniawi Allah – Allah menumbuhkan tanaman sebagai rezeki bagi manusia dan hewan. Fana-nya Dunia – Segala sesuatu di dunia mengalami perubahan dan kehancuran, mengingatkan manusia akan kefanaan dunia dan kekekalan akhirat.   Tafsir Ayat 6-8: Diberi Taufik ke Jalan yang Mudah Allah Ta’ala berfirman, سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنسَىٰٓ “Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa.” إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُ ۚ إِنَّهُۥ يَعْلَمُ ٱلْجَهْرَ وَمَا يَخْفَىٰ “kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi.” وَنُيَسِّرُكَ لِلْيُسْرَىٰ “dan Kami akan memberi kamu taufik ke jalan yang mudah.” (QS. Al-A’laa: 6-8)   Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’di Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, Dan di dalamnya disebutkan nikmat-nikmat-Nya yang bersifat agama. Oleh karena itu, Allah menyebut nikmat paling utama dan sumber segala nikmat, yaitu Al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya: “Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (wahai Muhammad), maka engkau tidak akan lupa.” Artinya, Kami akan menjaga wahyu yang Kami berikan kepadamu, menanamkannya dalam hatimu, sehingga engkau tidak akan melupakannya. Ini adalah kabar gembira besar dari Allah kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Allah akan mengajarkan kepadanya ilmu yang tidak akan ia lupakan. “Kecuali apa yang Allah kehendaki,” yakni, jika dalam kebijaksanaan-Nya, Allah berkehendak membuatnya lupa demi suatu hikmah besar yang bermanfaat. “Sesungguhnya Dia mengetahui yang tampak dan yang tersembunyi.” Termasuk dalam hal ini, Allah mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, Dia menetapkan syariat sesuai dengan kehendak-Nya dan mengatur segala sesuatu dengan kebijaksanaan-Nya. “Dan Kami akan memudahkanmu menuju kemudahan.” Ini juga merupakan kabar gembira besar bahwa Allah akan memudahkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala urusannya serta menjadikan syariat dan agama ini sebagai sesuatu yang mudah dan ringan bagi umat manusia. Kesimpulan dari Penjelasan Syaikh As-Sa’di: Al-Qur’an sebagai Nikmat Terbesar – Al-Qur’an adalah nikmat utama yang harus disyukuri dengan membacanya, memahami maknanya, dan mengamalkannya dalam kehidupan. Pemeliharaan Wahyu oleh Allah – Allah menjaga wahyu-Nya dan menjamin bahwa Rasulullah ﷺ tidak akan melupakannya kecuali jika ada hikmah di baliknya. Ilmu Sejati dari Allah – Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diberikan oleh Allah, sehingga kita harus senantiasa memohon kepada-Nya agar diberi ilmu yang berguna. Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu – Allah mengetahui segala yang tampak dan tersembunyi, serta menetapkan syariat berdasarkan kebijaksanaan dan kebaikan bagi hamba-Nya. Kemudahan dalam Islam – Islam adalah agama yang mudah dan penuh kemudahan, di mana segala aturan dibuat untuk kebaikan manusia dan bukan untuk menyulitkan mereka. Bertawakal kepada Allah – Kita harus berserah diri kepada Allah dalam setiap urusan, karena Dia telah menjanjikan kemudahan bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk-Nya.   Tafsir Ayat 9-13: Berilah Peringatan Allah Ta’ala berfirman, فَذَكِّرْ إِن نَّفَعَتِ ٱلذِّكْرَىٰ “oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat,“ سَيَذَّكَّرُ مَن يَخْشَىٰ “orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran.” وَيَتَجَنَّبُهَا ٱلْأَشْقَى “dan orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya.“ ٱلَّذِى يَصْلَى ٱلنَّارَ ٱلْكُبْرَىٰ “(Yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka).” ثُمَّ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَىٰ “Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.” (QS. Al-A’laa: 9-13)   Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’di Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, “Maka berilah peringatan!” Yaitu, sampaikan syariat Allah dan ayat-ayat-Nya “jika peringatan itu bermanfaat,” yakni selama peringatan itu diterima dan nasihat masih bisa didengar, baik peringatan itu menghasilkan manfaat sepenuhnya maupun hanya sebagian darinya. Ayat ini juga memberikan pemahaman bahwa jika peringatan tidak bermanfaat—misalnya jika peringatan justru memperburuk keadaan atau mengurangi kebaikan—maka tidak diperintahkan untuk memberikan peringatan, bahkan bisa menjadi sesuatu yang dilarang. Dengan demikian, manusia terbagi menjadi dua kelompok dalam menerima peringatan: yang mengambil manfaat dan yang tidak mengambil manfaat. Bagi mereka yang mengambil manfaat, Allah menyebutkan mereka dalam firman-Nya: “Akan menerima peringatan orang yang takut kepada Allah.” Yakni, orang yang memiliki rasa takut kepada Allah serta keyakinan bahwa ia akan dibalas atas amal perbuatannya. Rasa takut kepada Allah ini mendorong seseorang untuk menjauhi maksiat dan berusaha melakukan amal kebaikan. Sedangkan bagi mereka yang tidak mengambil manfaat, Allah menyebutkan dalam firman-Nya: “Dan akan menjauhinya orang yang paling celaka, yang akan memasuki neraka yang besar.” Yakni, mereka yang menghindari peringatan ini adalah orang-orang yang paling sengsara, yang akan dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala, yang apinya membakar hingga menembus hati. “Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak pula hidup.” Maksudnya, mereka akan merasakan azab yang sangat pedih tanpa henti, tanpa ada istirahat atau jeda dari siksaan tersebut. Bahkan mereka akan berharap untuk mati agar terbebas dari penderitaan, tetapi keinginan itu tidak akan pernah terwujud. Sebagaimana firman Allah, وَٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ لَهُمْ نَارُ جَهَنَّمَ لَا يُقْضَىٰ عَلَيْهِمْ فَيَمُوتُوا۟ وَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُم مِّنْ عَذَابِهَا ۚ كَذَٰلِكَ نَجْزِى كُلَّ كَفُورٍ “Tidak akan diputuskan kematian bagi mereka sehingga mereka mati, dan tidak (pula) diringankan dari mereka azabnya.” (QS. Fathir: 36). Kesimpulan dari Penjelasan Syaikh As-Sa’di: Pentingnya Memberikan Peringatan – Perintah untuk menyampaikan syariat Allah dan ayat-ayat-Nya diberikan selama peringatan tersebut bermanfaat dan masih bisa diterima. Peringatan Tidak Selalu Wajib – Jika peringatan justru menyebabkan keburukan atau mengurangi kebaikan, maka tidak diperintahkan untuk menyampaikannya, bahkan bisa menjadi sesuatu yang terlarang. Manusia Terbagi dalam Menerima Peringatan – Ada dua kelompok manusia dalam menerima peringatan: mereka yang mengambil manfaat darinya dan mereka yang menolaknya. Orang yang Mendapat Manfaat dari Peringatan – Mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allah dan yakin akan balasan-Nya, sehingga peringatan mendorong mereka untuk menjauhi maksiat dan melakukan kebaikan. Orang yang Menolak Peringatan – Mereka adalah orang-orang yang paling celaka, yang berpaling dari kebenaran dan akan dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. Azab di Neraka Sangat Pedih dan Kekal – Penghuni neraka akan mengalami siksaan tanpa henti, tidak mati sehingga terbebas dari azab, dan tidak hidup dalam keadaan yang layak, melainkan dalam penderitaan abadi.   Tafsir Ayat 14-19: Berilah Peringatan Allah Ta’ala berfirman, قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman).” وَذَكَرَ ٱسْمَ رَبِّهِۦ فَصَلَّىٰ “dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.” بَلْ تُؤْثِرُونَ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا “Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.” وَٱلْءَاخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰٓ “Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” إِنَّ هَٰذَا لَفِى ٱلصُّحُفِ ٱلْأُولَىٰ “Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu.” صُحُفِ إِبْرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ “(yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa.” (QS. Al-A’laa: 14-19)   Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’di Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, “Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri.” Artinya, telah berhasil dan meraih kemenangan orang yang membersihkan dirinya dari kesyirikan, kezaliman, serta akhlak yang buruk. “Dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat.” Maksudnya, ia senantiasa mengingat Allah, hatinya dipenuhi dengan dzikir kepada-Nya, sehingga hal itu mendorongnya untuk melakukan perbuatan yang diridhai Allah, terutama shalat, yang merupakan tolok ukur keimanan seseorang. Inilah makna utama dari ayat yang mulia ini. Adapun tafsiran yang menyebut bahwa “menyucikan diri” berarti mengeluarkan zakat fitrah, dan “mengingat nama Tuhannya, lalu shalat” maksudnya adalah shalat Idul Fitri, maka meskipun hal ini termasuk dalam cakupan makna ayat dan merupakan salah satu bentuk penerapannya, namun bukanlah satu-satunya makna yang dimaksud. “Tetapi kalian lebih mengutamakan kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang terdahulu, yaitu kitab-kitab Ibrahim dan Musa.” “Tetapi kalian lebih mengutamakan kehidupan dunia,” yakni, kalian lebih mendahulukan dunia dibandingkan akhirat, serta memilih kenikmatan dunia yang fana, penuh kekurangan, dan bercampur kepahitan, daripada kenikmatan akhirat yang abadi. “Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” Akhirat jauh lebih baik dari dunia dalam segala aspek yang diinginkan manusia. Akhirat adalah negeri keabadian, kebahagiaan yang murni, dan tanpa kesulitan, sedangkan dunia hanyalah tempat yang sementara dan penuh kefanaan. Orang beriman yang berakal tidak akan memilih sesuatu yang lebih rendah dibandingkan sesuatu yang lebih mulia, serta tidak akan menukar kenikmatan sesaat dengan penderitaan abadi. Kecintaan terhadap dunia dan mengutamakannya di atas akhirat adalah akar dari segala dosa dan kesalahan. “Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang terdahulu, yaitu kitab-kitab Ibrahim dan Musa.” Apa yang disebutkan dalam surah yang mulia ini—berupa perintah-perintah yang baik dan berita-berita yang benar—juga telah termaktub dalam kitab-kitab suci sebelumnya, yaitu dalam kitab Ibrahim dan Musa, dua di antara rasul-rasul yang paling mulia setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hukum-hukum ini bersifat universal dan berlaku dalam setiap syariat, karena semuanya mengandung maslahat bagi kehidupan dunia dan akhirat, serta relevan di setiap zaman dan tempat. Kesimpulan dari Penjelasan Syaikh As-Sa’di: Keberuntungan bagi Orang yang Menyucikan Diri – Orang yang sukses dan meraih kemenangan adalah mereka yang membersihkan diri dari kesyirikan, kezaliman, dan akhlak yang buruk. Dzikir dan Shalat sebagai Tolok Ukur Keimanan – Mengingat Allah dengan hati yang dipenuhi dzikir mendorong seseorang untuk beramal saleh, terutama shalat, yang menjadi indikator utama keimanan seseorang. Makna Luas dari Menyucikan Diri – Menyucikan diri tidak hanya terbatas pada zakat fitrah, dan mengingat Allah tidak hanya merujuk pada shalat Idul Fitri, melainkan memiliki makna yang lebih luas mencakup penyucian hati dan ibadah secara keseluruhan. Kecenderungan Manusia Mengutamakan Dunia – Banyak manusia lebih memilih kenikmatan dunia yang sementara, meskipun penuh kekurangan, daripada kebahagiaan akhirat yang abadi. Akhirat Lebih Baik dan Kekal – Kehidupan akhirat jauh lebih baik dalam segala aspek dan lebih kekal, sedangkan dunia bersifat fana dan penuh ujian. Orang beriman tidak akan menukar kenikmatan sesaat dengan penderitaan yang abadi. Peringatan Ini Sudah Ada dalam Kitab-Kitab Terdahulu – Pesan-pesan ini tidak hanya terdapat dalam Al-Qur’an tetapi juga telah disebutkan dalam kitab-kitab terdahulu, seperti kitab Ibrahim dan Musa, karena hukum-hukum ini bersifat universal dan relevan di setiap zaman dan tempat.   Penutup Surah Al-A’la menegaskan bahwa Allah telah menetapkan hidayah bagi setiap makhluk sesuai dengan fitrahnya, baik secara naluriah maupun melalui wahyu, sehingga segala sesuatu berjalan sesuai dengan kehendak-Nya. Selain itu, hanya dalam surah ini Allah secara langsung menjanjikan kemudahan dalam menjalankan agama-Nya bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya, menjadikan Islam sebagai jalan hidup yang penuh berkah dan kemudahan. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah segala kebaikan menjadi sempurna. – 13 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com TagsAkhirat Lebih Baik Hidayah dalam Islam Hikmah Al-Qur’an Islam yang Mudah Keagungan Ciptaan Allah Kelebihan Surah Al-A’la Kemudahan dalam Beragama Keutamaan Bertasbih Keutamaan Surah Al-A’la Makna Ayat Al-Qur’an Makna Surah Al-A’la Pentingnya Mengingat Allah tafsir al-qur’an tafsir juz amma Tafsir Surah Al-A’la tafsir syaikh as-sa’di


Surah Al-A’la mengandung pesan-pesan mendalam tentang keagungan penciptaan Allah, kepastian takdir, dan kemudahan dalam beragama. Dalam surah ini, Allah mengingatkan manusia untuk menyucikan-Nya, memahami hikmah kehidupan, serta mengutamakan akhirat dibanding dunia. Ayat-ayatnya juga menegaskan bahwa Islam adalah agama yang mudah dan membawa kebahagiaan sejati bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk-Nya.   Tafsir Ayat 1-5: Keagungan Allah dalam Penciptaan Allah Ta’ala berfirman, سَبِّحِ ٱسْمَ رَبِّكَ ٱلْأَعْلَىٰ “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi,” ٱلَّذِى خَلَقَ فَسَوَّىٰ “Yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya),” وَٱلَّذِى قَدَّرَ فَهَدَىٰ “Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk,” وَٱلَّذِىٓ أَخْرَجَ ٱلْمَرْعَىٰ “Dan yang menumbuhkan rumput-rumputan,” فَجَعَلَهُۥ غُثَآءً أَحْوَىٰ “Lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman.” (QS. Al-A’la: 1-5)   Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’di Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, Allah memerintahkan untuk bertasbih kepada-Nya, yang mencakup mengingat-Nya, beribadah kepada-Nya, tunduk pada keagungan-Nya, dan merendahkan diri di hadapan kebesaran-Nya. Tasbih ini harus sesuai dengan keagungan Allah, yaitu dengan menyebut nama-nama-Nya yang indah, yang lebih tinggi daripada segala nama karena memiliki makna yang sempurna dan mulia. Juga dengan mengingat perbuatan-Nya, seperti menciptakan makhluk dan menyempurnakan mereka, yakni menciptakan mereka dengan penuh ketelitian dan keindahan. Allah juga yang menentukan segala sesuatu dengan takdir-Nya, dan membimbing seluruh makhluk sesuai dengan ketetapan tersebut. Ini adalah bentuk hidayah umum dari Allah, di mana Dia membimbing setiap makhluk kepada kemaslahatan mereka masing-masing. Sebagai salah satu bentuk nikmat duniawi-Nya, Allah berfirman: “Dan Dia-lah yang mengeluarkan rerumputan.” Artinya, Allah menurunkan air dari langit, lalu dengan air itu Dia menumbuhkan berbagai jenis tanaman dan rerumputan yang melimpah, yang menjadi tempat makan bagi manusia, hewan ternak, dan seluruh makhluk hidup. Namun, setelah tanaman itu mencapai puncak pertumbuhannya, ia mulai layu dan kering. Allah menjadikannya “ghutsā’an ahwā”, yaitu dedaunan yang hitam, hancur, dan lapuk, yang menandakan kefanaan dan perubahan dalam kehidupan dunia. Kesimpulan dari penjelasan Syaikh As-Sa’di: Perintah untuk Bertasbih – Allah memerintahkan manusia untuk menyucikan-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang indah dan mengingat kebesaran serta perbuatan-Nya. Kesempurnaan Penciptaan Allah – Allah menciptakan makhluk dengan penuh ketelitian dan kesempurnaan. Takdir dan Hidayah Allah – Setiap makhluk diberikan takdir dan petunjuk sesuai dengan maslahatnya masing-masing. Nikmat Duniawi Allah – Allah menumbuhkan tanaman sebagai rezeki bagi manusia dan hewan. Fana-nya Dunia – Segala sesuatu di dunia mengalami perubahan dan kehancuran, mengingatkan manusia akan kefanaan dunia dan kekekalan akhirat.   Tafsir Ayat 6-8: Diberi Taufik ke Jalan yang Mudah Allah Ta’ala berfirman, سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنسَىٰٓ “Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa.” إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُ ۚ إِنَّهُۥ يَعْلَمُ ٱلْجَهْرَ وَمَا يَخْفَىٰ “kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi.” وَنُيَسِّرُكَ لِلْيُسْرَىٰ “dan Kami akan memberi kamu taufik ke jalan yang mudah.” (QS. Al-A’laa: 6-8)   Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’di Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, Dan di dalamnya disebutkan nikmat-nikmat-Nya yang bersifat agama. Oleh karena itu, Allah menyebut nikmat paling utama dan sumber segala nikmat, yaitu Al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya: “Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (wahai Muhammad), maka engkau tidak akan lupa.” Artinya, Kami akan menjaga wahyu yang Kami berikan kepadamu, menanamkannya dalam hatimu, sehingga engkau tidak akan melupakannya. Ini adalah kabar gembira besar dari Allah kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Allah akan mengajarkan kepadanya ilmu yang tidak akan ia lupakan. “Kecuali apa yang Allah kehendaki,” yakni, jika dalam kebijaksanaan-Nya, Allah berkehendak membuatnya lupa demi suatu hikmah besar yang bermanfaat. “Sesungguhnya Dia mengetahui yang tampak dan yang tersembunyi.” Termasuk dalam hal ini, Allah mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, Dia menetapkan syariat sesuai dengan kehendak-Nya dan mengatur segala sesuatu dengan kebijaksanaan-Nya. “Dan Kami akan memudahkanmu menuju kemudahan.” Ini juga merupakan kabar gembira besar bahwa Allah akan memudahkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala urusannya serta menjadikan syariat dan agama ini sebagai sesuatu yang mudah dan ringan bagi umat manusia. Kesimpulan dari Penjelasan Syaikh As-Sa’di: Al-Qur’an sebagai Nikmat Terbesar – Al-Qur’an adalah nikmat utama yang harus disyukuri dengan membacanya, memahami maknanya, dan mengamalkannya dalam kehidupan. Pemeliharaan Wahyu oleh Allah – Allah menjaga wahyu-Nya dan menjamin bahwa Rasulullah ﷺ tidak akan melupakannya kecuali jika ada hikmah di baliknya. Ilmu Sejati dari Allah – Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diberikan oleh Allah, sehingga kita harus senantiasa memohon kepada-Nya agar diberi ilmu yang berguna. Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu – Allah mengetahui segala yang tampak dan tersembunyi, serta menetapkan syariat berdasarkan kebijaksanaan dan kebaikan bagi hamba-Nya. Kemudahan dalam Islam – Islam adalah agama yang mudah dan penuh kemudahan, di mana segala aturan dibuat untuk kebaikan manusia dan bukan untuk menyulitkan mereka. Bertawakal kepada Allah – Kita harus berserah diri kepada Allah dalam setiap urusan, karena Dia telah menjanjikan kemudahan bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk-Nya.   Tafsir Ayat 9-13: Berilah Peringatan Allah Ta’ala berfirman, فَذَكِّرْ إِن نَّفَعَتِ ٱلذِّكْرَىٰ “oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat,“ سَيَذَّكَّرُ مَن يَخْشَىٰ “orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran.” وَيَتَجَنَّبُهَا ٱلْأَشْقَى “dan orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya.“ ٱلَّذِى يَصْلَى ٱلنَّارَ ٱلْكُبْرَىٰ “(Yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka).” ثُمَّ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَىٰ “Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.” (QS. Al-A’laa: 9-13)   Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’di Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, “Maka berilah peringatan!” Yaitu, sampaikan syariat Allah dan ayat-ayat-Nya “jika peringatan itu bermanfaat,” yakni selama peringatan itu diterima dan nasihat masih bisa didengar, baik peringatan itu menghasilkan manfaat sepenuhnya maupun hanya sebagian darinya. Ayat ini juga memberikan pemahaman bahwa jika peringatan tidak bermanfaat—misalnya jika peringatan justru memperburuk keadaan atau mengurangi kebaikan—maka tidak diperintahkan untuk memberikan peringatan, bahkan bisa menjadi sesuatu yang dilarang. Dengan demikian, manusia terbagi menjadi dua kelompok dalam menerima peringatan: yang mengambil manfaat dan yang tidak mengambil manfaat. Bagi mereka yang mengambil manfaat, Allah menyebutkan mereka dalam firman-Nya: “Akan menerima peringatan orang yang takut kepada Allah.” Yakni, orang yang memiliki rasa takut kepada Allah serta keyakinan bahwa ia akan dibalas atas amal perbuatannya. Rasa takut kepada Allah ini mendorong seseorang untuk menjauhi maksiat dan berusaha melakukan amal kebaikan. Sedangkan bagi mereka yang tidak mengambil manfaat, Allah menyebutkan dalam firman-Nya: “Dan akan menjauhinya orang yang paling celaka, yang akan memasuki neraka yang besar.” Yakni, mereka yang menghindari peringatan ini adalah orang-orang yang paling sengsara, yang akan dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala, yang apinya membakar hingga menembus hati. “Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak pula hidup.” Maksudnya, mereka akan merasakan azab yang sangat pedih tanpa henti, tanpa ada istirahat atau jeda dari siksaan tersebut. Bahkan mereka akan berharap untuk mati agar terbebas dari penderitaan, tetapi keinginan itu tidak akan pernah terwujud. Sebagaimana firman Allah, وَٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ لَهُمْ نَارُ جَهَنَّمَ لَا يُقْضَىٰ عَلَيْهِمْ فَيَمُوتُوا۟ وَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُم مِّنْ عَذَابِهَا ۚ كَذَٰلِكَ نَجْزِى كُلَّ كَفُورٍ “Tidak akan diputuskan kematian bagi mereka sehingga mereka mati, dan tidak (pula) diringankan dari mereka azabnya.” (QS. Fathir: 36). Kesimpulan dari Penjelasan Syaikh As-Sa’di: Pentingnya Memberikan Peringatan – Perintah untuk menyampaikan syariat Allah dan ayat-ayat-Nya diberikan selama peringatan tersebut bermanfaat dan masih bisa diterima. Peringatan Tidak Selalu Wajib – Jika peringatan justru menyebabkan keburukan atau mengurangi kebaikan, maka tidak diperintahkan untuk menyampaikannya, bahkan bisa menjadi sesuatu yang terlarang. Manusia Terbagi dalam Menerima Peringatan – Ada dua kelompok manusia dalam menerima peringatan: mereka yang mengambil manfaat darinya dan mereka yang menolaknya. Orang yang Mendapat Manfaat dari Peringatan – Mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allah dan yakin akan balasan-Nya, sehingga peringatan mendorong mereka untuk menjauhi maksiat dan melakukan kebaikan. Orang yang Menolak Peringatan – Mereka adalah orang-orang yang paling celaka, yang berpaling dari kebenaran dan akan dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. Azab di Neraka Sangat Pedih dan Kekal – Penghuni neraka akan mengalami siksaan tanpa henti, tidak mati sehingga terbebas dari azab, dan tidak hidup dalam keadaan yang layak, melainkan dalam penderitaan abadi.   Tafsir Ayat 14-19: Berilah Peringatan Allah Ta’ala berfirman, قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman).” وَذَكَرَ ٱسْمَ رَبِّهِۦ فَصَلَّىٰ “dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.” بَلْ تُؤْثِرُونَ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا “Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.” وَٱلْءَاخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰٓ “Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” إِنَّ هَٰذَا لَفِى ٱلصُّحُفِ ٱلْأُولَىٰ “Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu.” صُحُفِ إِبْرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ “(yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa.” (QS. Al-A’laa: 14-19)   Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’di Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, “Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri.” Artinya, telah berhasil dan meraih kemenangan orang yang membersihkan dirinya dari kesyirikan, kezaliman, serta akhlak yang buruk. “Dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat.” Maksudnya, ia senantiasa mengingat Allah, hatinya dipenuhi dengan dzikir kepada-Nya, sehingga hal itu mendorongnya untuk melakukan perbuatan yang diridhai Allah, terutama shalat, yang merupakan tolok ukur keimanan seseorang. Inilah makna utama dari ayat yang mulia ini. Adapun tafsiran yang menyebut bahwa “menyucikan diri” berarti mengeluarkan zakat fitrah, dan “mengingat nama Tuhannya, lalu shalat” maksudnya adalah shalat Idul Fitri, maka meskipun hal ini termasuk dalam cakupan makna ayat dan merupakan salah satu bentuk penerapannya, namun bukanlah satu-satunya makna yang dimaksud. “Tetapi kalian lebih mengutamakan kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang terdahulu, yaitu kitab-kitab Ibrahim dan Musa.” “Tetapi kalian lebih mengutamakan kehidupan dunia,” yakni, kalian lebih mendahulukan dunia dibandingkan akhirat, serta memilih kenikmatan dunia yang fana, penuh kekurangan, dan bercampur kepahitan, daripada kenikmatan akhirat yang abadi. “Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” Akhirat jauh lebih baik dari dunia dalam segala aspek yang diinginkan manusia. Akhirat adalah negeri keabadian, kebahagiaan yang murni, dan tanpa kesulitan, sedangkan dunia hanyalah tempat yang sementara dan penuh kefanaan. Orang beriman yang berakal tidak akan memilih sesuatu yang lebih rendah dibandingkan sesuatu yang lebih mulia, serta tidak akan menukar kenikmatan sesaat dengan penderitaan abadi. Kecintaan terhadap dunia dan mengutamakannya di atas akhirat adalah akar dari segala dosa dan kesalahan. “Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang terdahulu, yaitu kitab-kitab Ibrahim dan Musa.” Apa yang disebutkan dalam surah yang mulia ini—berupa perintah-perintah yang baik dan berita-berita yang benar—juga telah termaktub dalam kitab-kitab suci sebelumnya, yaitu dalam kitab Ibrahim dan Musa, dua di antara rasul-rasul yang paling mulia setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hukum-hukum ini bersifat universal dan berlaku dalam setiap syariat, karena semuanya mengandung maslahat bagi kehidupan dunia dan akhirat, serta relevan di setiap zaman dan tempat. Kesimpulan dari Penjelasan Syaikh As-Sa’di: Keberuntungan bagi Orang yang Menyucikan Diri – Orang yang sukses dan meraih kemenangan adalah mereka yang membersihkan diri dari kesyirikan, kezaliman, dan akhlak yang buruk. Dzikir dan Shalat sebagai Tolok Ukur Keimanan – Mengingat Allah dengan hati yang dipenuhi dzikir mendorong seseorang untuk beramal saleh, terutama shalat, yang menjadi indikator utama keimanan seseorang. Makna Luas dari Menyucikan Diri – Menyucikan diri tidak hanya terbatas pada zakat fitrah, dan mengingat Allah tidak hanya merujuk pada shalat Idul Fitri, melainkan memiliki makna yang lebih luas mencakup penyucian hati dan ibadah secara keseluruhan. Kecenderungan Manusia Mengutamakan Dunia – Banyak manusia lebih memilih kenikmatan dunia yang sementara, meskipun penuh kekurangan, daripada kebahagiaan akhirat yang abadi. Akhirat Lebih Baik dan Kekal – Kehidupan akhirat jauh lebih baik dalam segala aspek dan lebih kekal, sedangkan dunia bersifat fana dan penuh ujian. Orang beriman tidak akan menukar kenikmatan sesaat dengan penderitaan yang abadi. Peringatan Ini Sudah Ada dalam Kitab-Kitab Terdahulu – Pesan-pesan ini tidak hanya terdapat dalam Al-Qur’an tetapi juga telah disebutkan dalam kitab-kitab terdahulu, seperti kitab Ibrahim dan Musa, karena hukum-hukum ini bersifat universal dan relevan di setiap zaman dan tempat.   Penutup Surah Al-A’la menegaskan bahwa Allah telah menetapkan hidayah bagi setiap makhluk sesuai dengan fitrahnya, baik secara naluriah maupun melalui wahyu, sehingga segala sesuatu berjalan sesuai dengan kehendak-Nya. Selain itu, hanya dalam surah ini Allah secara langsung menjanjikan kemudahan dalam menjalankan agama-Nya bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya, menjadikan Islam sebagai jalan hidup yang penuh berkah dan kemudahan. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah segala kebaikan menjadi sempurna. – 13 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com TagsAkhirat Lebih Baik Hidayah dalam Islam Hikmah Al-Qur’an Islam yang Mudah Keagungan Ciptaan Allah Kelebihan Surah Al-A’la Kemudahan dalam Beragama Keutamaan Bertasbih Keutamaan Surah Al-A’la Makna Ayat Al-Qur’an Makna Surah Al-A’la Pentingnya Mengingat Allah tafsir al-qur’an tafsir juz amma Tafsir Surah Al-A’la tafsir syaikh as-sa’di

Tafsir Surah Al-A’la: Keagungan Penciptaan, Hidayah, dan Kemudahan dalam Islam

Surah Al-A’la mengandung pesan-pesan mendalam tentang keagungan penciptaan Allah, kepastian takdir, dan kemudahan dalam beragama. Dalam surah ini, Allah mengingatkan manusia untuk menyucikan-Nya, memahami hikmah kehidupan, serta mengutamakan akhirat dibanding dunia. Ayat-ayatnya juga menegaskan bahwa Islam adalah agama yang mudah dan membawa kebahagiaan sejati bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk-Nya. Tafsir Ayat 1-5: Keagungan Allah dalam PenciptaanAllah Ta’ala berfirman,سَبِّحِ ٱسْمَ رَبِّكَ ٱلْأَعْلَىٰ“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi,”ٱلَّذِى خَلَقَ فَسَوَّىٰ“Yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya),”وَٱلَّذِى قَدَّرَ فَهَدَىٰ“Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk,”وَٱلَّذِىٓ أَخْرَجَ ٱلْمَرْعَىٰ“Dan yang menumbuhkan rumput-rumputan,”فَجَعَلَهُۥ غُثَآءً أَحْوَىٰ“Lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman.” (QS. Al-A’la: 1-5) Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’diSyaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,Allah memerintahkan untuk bertasbih kepada-Nya, yang mencakup mengingat-Nya, beribadah kepada-Nya, tunduk pada keagungan-Nya, dan merendahkan diri di hadapan kebesaran-Nya. Tasbih ini harus sesuai dengan keagungan Allah, yaitu dengan menyebut nama-nama-Nya yang indah, yang lebih tinggi daripada segala nama karena memiliki makna yang sempurna dan mulia. Juga dengan mengingat perbuatan-Nya, seperti menciptakan makhluk dan menyempurnakan mereka, yakni menciptakan mereka dengan penuh ketelitian dan keindahan.Allah juga yang menentukan segala sesuatu dengan takdir-Nya, dan membimbing seluruh makhluk sesuai dengan ketetapan tersebut. Ini adalah bentuk hidayah umum dari Allah, di mana Dia membimbing setiap makhluk kepada kemaslahatan mereka masing-masing.Sebagai salah satu bentuk nikmat duniawi-Nya, Allah berfirman: “Dan Dia-lah yang mengeluarkan rerumputan.” Artinya, Allah menurunkan air dari langit, lalu dengan air itu Dia menumbuhkan berbagai jenis tanaman dan rerumputan yang melimpah, yang menjadi tempat makan bagi manusia, hewan ternak, dan seluruh makhluk hidup.Namun, setelah tanaman itu mencapai puncak pertumbuhannya, ia mulai layu dan kering. Allah menjadikannya “ghutsā’an ahwā”, yaitu dedaunan yang hitam, hancur, dan lapuk, yang menandakan kefanaan dan perubahan dalam kehidupan dunia.Kesimpulan dari penjelasan Syaikh As-Sa’di:Perintah untuk Bertasbih – Allah memerintahkan manusia untuk menyucikan-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang indah dan mengingat kebesaran serta perbuatan-Nya.Kesempurnaan Penciptaan Allah – Allah menciptakan makhluk dengan penuh ketelitian dan kesempurnaan.Takdir dan Hidayah Allah – Setiap makhluk diberikan takdir dan petunjuk sesuai dengan maslahatnya masing-masing.Nikmat Duniawi Allah – Allah menumbuhkan tanaman sebagai rezeki bagi manusia dan hewan.Fana-nya Dunia – Segala sesuatu di dunia mengalami perubahan dan kehancuran, mengingatkan manusia akan kefanaan dunia dan kekekalan akhirat. Tafsir Ayat 6-8: Diberi Taufik ke Jalan yang MudahAllah Ta’ala berfirman,سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنسَىٰٓ“Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa.”إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُ ۚ إِنَّهُۥ يَعْلَمُ ٱلْجَهْرَ وَمَا يَخْفَىٰ“kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi.”وَنُيَسِّرُكَ لِلْيُسْرَىٰ“dan Kami akan memberi kamu taufik ke jalan yang mudah.” (QS. Al-A’laa: 6-8) Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’diSyaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,Dan di dalamnya disebutkan nikmat-nikmat-Nya yang bersifat agama. Oleh karena itu, Allah menyebut nikmat paling utama dan sumber segala nikmat, yaitu Al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya:“Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (wahai Muhammad), maka engkau tidak akan lupa.”Artinya, Kami akan menjaga wahyu yang Kami berikan kepadamu, menanamkannya dalam hatimu, sehingga engkau tidak akan melupakannya. Ini adalah kabar gembira besar dari Allah kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Allah akan mengajarkan kepadanya ilmu yang tidak akan ia lupakan.“Kecuali apa yang Allah kehendaki,”yakni, jika dalam kebijaksanaan-Nya, Allah berkehendak membuatnya lupa demi suatu hikmah besar yang bermanfaat.“Sesungguhnya Dia mengetahui yang tampak dan yang tersembunyi.”Termasuk dalam hal ini, Allah mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, Dia menetapkan syariat sesuai dengan kehendak-Nya dan mengatur segala sesuatu dengan kebijaksanaan-Nya.“Dan Kami akan memudahkanmu menuju kemudahan.”Ini juga merupakan kabar gembira besar bahwa Allah akan memudahkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala urusannya serta menjadikan syariat dan agama ini sebagai sesuatu yang mudah dan ringan bagi umat manusia.Kesimpulan dari Penjelasan Syaikh As-Sa’di:Al-Qur’an sebagai Nikmat Terbesar – Al-Qur’an adalah nikmat utama yang harus disyukuri dengan membacanya, memahami maknanya, dan mengamalkannya dalam kehidupan.Pemeliharaan Wahyu oleh Allah – Allah menjaga wahyu-Nya dan menjamin bahwa Rasulullah ﷺ tidak akan melupakannya kecuali jika ada hikmah di baliknya.Ilmu Sejati dari Allah – Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diberikan oleh Allah, sehingga kita harus senantiasa memohon kepada-Nya agar diberi ilmu yang berguna.Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu – Allah mengetahui segala yang tampak dan tersembunyi, serta menetapkan syariat berdasarkan kebijaksanaan dan kebaikan bagi hamba-Nya.Kemudahan dalam Islam – Islam adalah agama yang mudah dan penuh kemudahan, di mana segala aturan dibuat untuk kebaikan manusia dan bukan untuk menyulitkan mereka.Bertawakal kepada Allah – Kita harus berserah diri kepada Allah dalam setiap urusan, karena Dia telah menjanjikan kemudahan bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk-Nya. Tafsir Ayat 9-13: Berilah PeringatanAllah Ta’ala berfirman,فَذَكِّرْ إِن نَّفَعَتِ ٱلذِّكْرَىٰ“oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat,“سَيَذَّكَّرُ مَن يَخْشَىٰ“orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran.”وَيَتَجَنَّبُهَا ٱلْأَشْقَى“dan orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya.“ٱلَّذِى يَصْلَى ٱلنَّارَ ٱلْكُبْرَىٰ“(Yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka).”ثُمَّ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَىٰ“Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.” (QS. Al-A’laa: 9-13) Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’diSyaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,“Maka berilah peringatan!” Yaitu, sampaikan syariat Allah dan ayat-ayat-Nya “jika peringatan itu bermanfaat,” yakni selama peringatan itu diterima dan nasihat masih bisa didengar, baik peringatan itu menghasilkan manfaat sepenuhnya maupun hanya sebagian darinya.Ayat ini juga memberikan pemahaman bahwa jika peringatan tidak bermanfaat—misalnya jika peringatan justru memperburuk keadaan atau mengurangi kebaikan—maka tidak diperintahkan untuk memberikan peringatan, bahkan bisa menjadi sesuatu yang dilarang. Dengan demikian, manusia terbagi menjadi dua kelompok dalam menerima peringatan: yang mengambil manfaat dan yang tidak mengambil manfaat.Bagi mereka yang mengambil manfaat, Allah menyebutkan mereka dalam firman-Nya:“Akan menerima peringatan orang yang takut kepada Allah.”Yakni, orang yang memiliki rasa takut kepada Allah serta keyakinan bahwa ia akan dibalas atas amal perbuatannya. Rasa takut kepada Allah ini mendorong seseorang untuk menjauhi maksiat dan berusaha melakukan amal kebaikan.Sedangkan bagi mereka yang tidak mengambil manfaat, Allah menyebutkan dalam firman-Nya:“Dan akan menjauhinya orang yang paling celaka, yang akan memasuki neraka yang besar.”Yakni, mereka yang menghindari peringatan ini adalah orang-orang yang paling sengsara, yang akan dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala, yang apinya membakar hingga menembus hati.“Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak pula hidup.”Maksudnya, mereka akan merasakan azab yang sangat pedih tanpa henti, tanpa ada istirahat atau jeda dari siksaan tersebut. Bahkan mereka akan berharap untuk mati agar terbebas dari penderitaan, tetapi keinginan itu tidak akan pernah terwujud. Sebagaimana firman Allah,وَٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ لَهُمْ نَارُ جَهَنَّمَ لَا يُقْضَىٰ عَلَيْهِمْ فَيَمُوتُوا۟ وَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُم مِّنْ عَذَابِهَا ۚ كَذَٰلِكَ نَجْزِى كُلَّ كَفُورٍ“Tidak akan diputuskan kematian bagi mereka sehingga mereka mati, dan tidak (pula) diringankan dari mereka azabnya.” (QS. Fathir: 36).Kesimpulan dari Penjelasan Syaikh As-Sa’di:Pentingnya Memberikan Peringatan – Perintah untuk menyampaikan syariat Allah dan ayat-ayat-Nya diberikan selama peringatan tersebut bermanfaat dan masih bisa diterima.Peringatan Tidak Selalu Wajib – Jika peringatan justru menyebabkan keburukan atau mengurangi kebaikan, maka tidak diperintahkan untuk menyampaikannya, bahkan bisa menjadi sesuatu yang terlarang.Manusia Terbagi dalam Menerima Peringatan – Ada dua kelompok manusia dalam menerima peringatan: mereka yang mengambil manfaat darinya dan mereka yang menolaknya.Orang yang Mendapat Manfaat dari Peringatan – Mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allah dan yakin akan balasan-Nya, sehingga peringatan mendorong mereka untuk menjauhi maksiat dan melakukan kebaikan.Orang yang Menolak Peringatan – Mereka adalah orang-orang yang paling celaka, yang berpaling dari kebenaran dan akan dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.Azab di Neraka Sangat Pedih dan Kekal – Penghuni neraka akan mengalami siksaan tanpa henti, tidak mati sehingga terbebas dari azab, dan tidak hidup dalam keadaan yang layak, melainkan dalam penderitaan abadi. Tafsir Ayat 14-19: Berilah PeringatanAllah Ta’ala berfirman,قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman).”وَذَكَرَ ٱسْمَ رَبِّهِۦ فَصَلَّىٰ“dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.”بَلْ تُؤْثِرُونَ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.”وَٱلْءَاخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰٓ“Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.”إِنَّ هَٰذَا لَفِى ٱلصُّحُفِ ٱلْأُولَىٰ“Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu.”صُحُفِ إِبْرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ“(yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa.” (QS. Al-A’laa: 14-19) Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’diSyaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,“Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri.”Artinya, telah berhasil dan meraih kemenangan orang yang membersihkan dirinya dari kesyirikan, kezaliman, serta akhlak yang buruk.“Dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat.”Maksudnya, ia senantiasa mengingat Allah, hatinya dipenuhi dengan dzikir kepada-Nya, sehingga hal itu mendorongnya untuk melakukan perbuatan yang diridhai Allah, terutama shalat, yang merupakan tolok ukur keimanan seseorang.Inilah makna utama dari ayat yang mulia ini. Adapun tafsiran yang menyebut bahwa “menyucikan diri” berarti mengeluarkan zakat fitrah, dan “mengingat nama Tuhannya, lalu shalat” maksudnya adalah shalat Idul Fitri, maka meskipun hal ini termasuk dalam cakupan makna ayat dan merupakan salah satu bentuk penerapannya, namun bukanlah satu-satunya makna yang dimaksud.“Tetapi kalian lebih mengutamakan kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang terdahulu, yaitu kitab-kitab Ibrahim dan Musa.”“Tetapi kalian lebih mengutamakan kehidupan dunia,”yakni, kalian lebih mendahulukan dunia dibandingkan akhirat, serta memilih kenikmatan dunia yang fana, penuh kekurangan, dan bercampur kepahitan, daripada kenikmatan akhirat yang abadi.“Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.”Akhirat jauh lebih baik dari dunia dalam segala aspek yang diinginkan manusia. Akhirat adalah negeri keabadian, kebahagiaan yang murni, dan tanpa kesulitan, sedangkan dunia hanyalah tempat yang sementara dan penuh kefanaan. Orang beriman yang berakal tidak akan memilih sesuatu yang lebih rendah dibandingkan sesuatu yang lebih mulia, serta tidak akan menukar kenikmatan sesaat dengan penderitaan abadi. Kecintaan terhadap dunia dan mengutamakannya di atas akhirat adalah akar dari segala dosa dan kesalahan.“Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang terdahulu, yaitu kitab-kitab Ibrahim dan Musa.”Apa yang disebutkan dalam surah yang mulia ini—berupa perintah-perintah yang baik dan berita-berita yang benar—juga telah termaktub dalam kitab-kitab suci sebelumnya, yaitu dalam kitab Ibrahim dan Musa, dua di antara rasul-rasul yang paling mulia setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.Hukum-hukum ini bersifat universal dan berlaku dalam setiap syariat, karena semuanya mengandung maslahat bagi kehidupan dunia dan akhirat, serta relevan di setiap zaman dan tempat.Kesimpulan dari Penjelasan Syaikh As-Sa’di:Keberuntungan bagi Orang yang Menyucikan Diri – Orang yang sukses dan meraih kemenangan adalah mereka yang membersihkan diri dari kesyirikan, kezaliman, dan akhlak yang buruk.Dzikir dan Shalat sebagai Tolok Ukur Keimanan – Mengingat Allah dengan hati yang dipenuhi dzikir mendorong seseorang untuk beramal saleh, terutama shalat, yang menjadi indikator utama keimanan seseorang.Makna Luas dari Menyucikan Diri – Menyucikan diri tidak hanya terbatas pada zakat fitrah, dan mengingat Allah tidak hanya merujuk pada shalat Idul Fitri, melainkan memiliki makna yang lebih luas mencakup penyucian hati dan ibadah secara keseluruhan.Kecenderungan Manusia Mengutamakan Dunia – Banyak manusia lebih memilih kenikmatan dunia yang sementara, meskipun penuh kekurangan, daripada kebahagiaan akhirat yang abadi.Akhirat Lebih Baik dan Kekal – Kehidupan akhirat jauh lebih baik dalam segala aspek dan lebih kekal, sedangkan dunia bersifat fana dan penuh ujian. Orang beriman tidak akan menukar kenikmatan sesaat dengan penderitaan yang abadi.Peringatan Ini Sudah Ada dalam Kitab-Kitab Terdahulu – Pesan-pesan ini tidak hanya terdapat dalam Al-Qur’an tetapi juga telah disebutkan dalam kitab-kitab terdahulu, seperti kitab Ibrahim dan Musa, karena hukum-hukum ini bersifat universal dan relevan di setiap zaman dan tempat. PenutupSurah Al-A’la menegaskan bahwa Allah telah menetapkan hidayah bagi setiap makhluk sesuai dengan fitrahnya, baik secara naluriah maupun melalui wahyu, sehingga segala sesuatu berjalan sesuai dengan kehendak-Nya. Selain itu, hanya dalam surah ini Allah secara langsung menjanjikan kemudahan dalam menjalankan agama-Nya bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya, menjadikan Islam sebagai jalan hidup yang penuh berkah dan kemudahan.Alhamdulillah, segala puji bagi Allah segala kebaikan menjadi sempurna.–13 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush SholihinDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel www.rumaysho.com TagsAkhirat Lebih Baik Hidayah dalam Islam Hikmah Al-Qur’an Islam yang Mudah Keagungan Ciptaan Allah Kelebihan Surah Al-A’la Kemudahan dalam Beragama Keutamaan Bertasbih Keutamaan Surah Al-A’la Makna Ayat Al-Qur’an Makna Surah Al-A’la Pentingnya Mengingat Allah tafsir al-qur’an tafsir juz amma Tafsir Surah Al-A’la tafsir syaikh as-sa’di

Tafsir Surah Al-A’la: Keagungan Penciptaan, Hidayah, dan Kemudahan dalam Islam

Surah Al-A’la mengandung pesan-pesan mendalam tentang keagungan penciptaan Allah, kepastian takdir, dan kemudahan dalam beragama. Dalam surah ini, Allah mengingatkan manusia untuk menyucikan-Nya, memahami hikmah kehidupan, serta mengutamakan akhirat dibanding dunia. Ayat-ayatnya juga menegaskan bahwa Islam adalah agama yang mudah dan membawa kebahagiaan sejati bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk-Nya. Tafsir Ayat 1-5: Keagungan Allah dalam PenciptaanAllah Ta’ala berfirman,سَبِّحِ ٱسْمَ رَبِّكَ ٱلْأَعْلَىٰ“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi,”ٱلَّذِى خَلَقَ فَسَوَّىٰ“Yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya),”وَٱلَّذِى قَدَّرَ فَهَدَىٰ“Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk,”وَٱلَّذِىٓ أَخْرَجَ ٱلْمَرْعَىٰ“Dan yang menumbuhkan rumput-rumputan,”فَجَعَلَهُۥ غُثَآءً أَحْوَىٰ“Lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman.” (QS. Al-A’la: 1-5) Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’diSyaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,Allah memerintahkan untuk bertasbih kepada-Nya, yang mencakup mengingat-Nya, beribadah kepada-Nya, tunduk pada keagungan-Nya, dan merendahkan diri di hadapan kebesaran-Nya. Tasbih ini harus sesuai dengan keagungan Allah, yaitu dengan menyebut nama-nama-Nya yang indah, yang lebih tinggi daripada segala nama karena memiliki makna yang sempurna dan mulia. Juga dengan mengingat perbuatan-Nya, seperti menciptakan makhluk dan menyempurnakan mereka, yakni menciptakan mereka dengan penuh ketelitian dan keindahan.Allah juga yang menentukan segala sesuatu dengan takdir-Nya, dan membimbing seluruh makhluk sesuai dengan ketetapan tersebut. Ini adalah bentuk hidayah umum dari Allah, di mana Dia membimbing setiap makhluk kepada kemaslahatan mereka masing-masing.Sebagai salah satu bentuk nikmat duniawi-Nya, Allah berfirman: “Dan Dia-lah yang mengeluarkan rerumputan.” Artinya, Allah menurunkan air dari langit, lalu dengan air itu Dia menumbuhkan berbagai jenis tanaman dan rerumputan yang melimpah, yang menjadi tempat makan bagi manusia, hewan ternak, dan seluruh makhluk hidup.Namun, setelah tanaman itu mencapai puncak pertumbuhannya, ia mulai layu dan kering. Allah menjadikannya “ghutsā’an ahwā”, yaitu dedaunan yang hitam, hancur, dan lapuk, yang menandakan kefanaan dan perubahan dalam kehidupan dunia.Kesimpulan dari penjelasan Syaikh As-Sa’di:Perintah untuk Bertasbih – Allah memerintahkan manusia untuk menyucikan-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang indah dan mengingat kebesaran serta perbuatan-Nya.Kesempurnaan Penciptaan Allah – Allah menciptakan makhluk dengan penuh ketelitian dan kesempurnaan.Takdir dan Hidayah Allah – Setiap makhluk diberikan takdir dan petunjuk sesuai dengan maslahatnya masing-masing.Nikmat Duniawi Allah – Allah menumbuhkan tanaman sebagai rezeki bagi manusia dan hewan.Fana-nya Dunia – Segala sesuatu di dunia mengalami perubahan dan kehancuran, mengingatkan manusia akan kefanaan dunia dan kekekalan akhirat. Tafsir Ayat 6-8: Diberi Taufik ke Jalan yang MudahAllah Ta’ala berfirman,سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنسَىٰٓ“Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa.”إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُ ۚ إِنَّهُۥ يَعْلَمُ ٱلْجَهْرَ وَمَا يَخْفَىٰ“kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi.”وَنُيَسِّرُكَ لِلْيُسْرَىٰ“dan Kami akan memberi kamu taufik ke jalan yang mudah.” (QS. Al-A’laa: 6-8) Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’diSyaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,Dan di dalamnya disebutkan nikmat-nikmat-Nya yang bersifat agama. Oleh karena itu, Allah menyebut nikmat paling utama dan sumber segala nikmat, yaitu Al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya:“Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (wahai Muhammad), maka engkau tidak akan lupa.”Artinya, Kami akan menjaga wahyu yang Kami berikan kepadamu, menanamkannya dalam hatimu, sehingga engkau tidak akan melupakannya. Ini adalah kabar gembira besar dari Allah kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Allah akan mengajarkan kepadanya ilmu yang tidak akan ia lupakan.“Kecuali apa yang Allah kehendaki,”yakni, jika dalam kebijaksanaan-Nya, Allah berkehendak membuatnya lupa demi suatu hikmah besar yang bermanfaat.“Sesungguhnya Dia mengetahui yang tampak dan yang tersembunyi.”Termasuk dalam hal ini, Allah mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, Dia menetapkan syariat sesuai dengan kehendak-Nya dan mengatur segala sesuatu dengan kebijaksanaan-Nya.“Dan Kami akan memudahkanmu menuju kemudahan.”Ini juga merupakan kabar gembira besar bahwa Allah akan memudahkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala urusannya serta menjadikan syariat dan agama ini sebagai sesuatu yang mudah dan ringan bagi umat manusia.Kesimpulan dari Penjelasan Syaikh As-Sa’di:Al-Qur’an sebagai Nikmat Terbesar – Al-Qur’an adalah nikmat utama yang harus disyukuri dengan membacanya, memahami maknanya, dan mengamalkannya dalam kehidupan.Pemeliharaan Wahyu oleh Allah – Allah menjaga wahyu-Nya dan menjamin bahwa Rasulullah ﷺ tidak akan melupakannya kecuali jika ada hikmah di baliknya.Ilmu Sejati dari Allah – Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diberikan oleh Allah, sehingga kita harus senantiasa memohon kepada-Nya agar diberi ilmu yang berguna.Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu – Allah mengetahui segala yang tampak dan tersembunyi, serta menetapkan syariat berdasarkan kebijaksanaan dan kebaikan bagi hamba-Nya.Kemudahan dalam Islam – Islam adalah agama yang mudah dan penuh kemudahan, di mana segala aturan dibuat untuk kebaikan manusia dan bukan untuk menyulitkan mereka.Bertawakal kepada Allah – Kita harus berserah diri kepada Allah dalam setiap urusan, karena Dia telah menjanjikan kemudahan bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk-Nya. Tafsir Ayat 9-13: Berilah PeringatanAllah Ta’ala berfirman,فَذَكِّرْ إِن نَّفَعَتِ ٱلذِّكْرَىٰ“oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat,“سَيَذَّكَّرُ مَن يَخْشَىٰ“orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran.”وَيَتَجَنَّبُهَا ٱلْأَشْقَى“dan orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya.“ٱلَّذِى يَصْلَى ٱلنَّارَ ٱلْكُبْرَىٰ“(Yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka).”ثُمَّ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَىٰ“Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.” (QS. Al-A’laa: 9-13) Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’diSyaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,“Maka berilah peringatan!” Yaitu, sampaikan syariat Allah dan ayat-ayat-Nya “jika peringatan itu bermanfaat,” yakni selama peringatan itu diterima dan nasihat masih bisa didengar, baik peringatan itu menghasilkan manfaat sepenuhnya maupun hanya sebagian darinya.Ayat ini juga memberikan pemahaman bahwa jika peringatan tidak bermanfaat—misalnya jika peringatan justru memperburuk keadaan atau mengurangi kebaikan—maka tidak diperintahkan untuk memberikan peringatan, bahkan bisa menjadi sesuatu yang dilarang. Dengan demikian, manusia terbagi menjadi dua kelompok dalam menerima peringatan: yang mengambil manfaat dan yang tidak mengambil manfaat.Bagi mereka yang mengambil manfaat, Allah menyebutkan mereka dalam firman-Nya:“Akan menerima peringatan orang yang takut kepada Allah.”Yakni, orang yang memiliki rasa takut kepada Allah serta keyakinan bahwa ia akan dibalas atas amal perbuatannya. Rasa takut kepada Allah ini mendorong seseorang untuk menjauhi maksiat dan berusaha melakukan amal kebaikan.Sedangkan bagi mereka yang tidak mengambil manfaat, Allah menyebutkan dalam firman-Nya:“Dan akan menjauhinya orang yang paling celaka, yang akan memasuki neraka yang besar.”Yakni, mereka yang menghindari peringatan ini adalah orang-orang yang paling sengsara, yang akan dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala, yang apinya membakar hingga menembus hati.“Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak pula hidup.”Maksudnya, mereka akan merasakan azab yang sangat pedih tanpa henti, tanpa ada istirahat atau jeda dari siksaan tersebut. Bahkan mereka akan berharap untuk mati agar terbebas dari penderitaan, tetapi keinginan itu tidak akan pernah terwujud. Sebagaimana firman Allah,وَٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ لَهُمْ نَارُ جَهَنَّمَ لَا يُقْضَىٰ عَلَيْهِمْ فَيَمُوتُوا۟ وَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُم مِّنْ عَذَابِهَا ۚ كَذَٰلِكَ نَجْزِى كُلَّ كَفُورٍ“Tidak akan diputuskan kematian bagi mereka sehingga mereka mati, dan tidak (pula) diringankan dari mereka azabnya.” (QS. Fathir: 36).Kesimpulan dari Penjelasan Syaikh As-Sa’di:Pentingnya Memberikan Peringatan – Perintah untuk menyampaikan syariat Allah dan ayat-ayat-Nya diberikan selama peringatan tersebut bermanfaat dan masih bisa diterima.Peringatan Tidak Selalu Wajib – Jika peringatan justru menyebabkan keburukan atau mengurangi kebaikan, maka tidak diperintahkan untuk menyampaikannya, bahkan bisa menjadi sesuatu yang terlarang.Manusia Terbagi dalam Menerima Peringatan – Ada dua kelompok manusia dalam menerima peringatan: mereka yang mengambil manfaat darinya dan mereka yang menolaknya.Orang yang Mendapat Manfaat dari Peringatan – Mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allah dan yakin akan balasan-Nya, sehingga peringatan mendorong mereka untuk menjauhi maksiat dan melakukan kebaikan.Orang yang Menolak Peringatan – Mereka adalah orang-orang yang paling celaka, yang berpaling dari kebenaran dan akan dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.Azab di Neraka Sangat Pedih dan Kekal – Penghuni neraka akan mengalami siksaan tanpa henti, tidak mati sehingga terbebas dari azab, dan tidak hidup dalam keadaan yang layak, melainkan dalam penderitaan abadi. Tafsir Ayat 14-19: Berilah PeringatanAllah Ta’ala berfirman,قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman).”وَذَكَرَ ٱسْمَ رَبِّهِۦ فَصَلَّىٰ“dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.”بَلْ تُؤْثِرُونَ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.”وَٱلْءَاخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰٓ“Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.”إِنَّ هَٰذَا لَفِى ٱلصُّحُفِ ٱلْأُولَىٰ“Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu.”صُحُفِ إِبْرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ“(yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa.” (QS. Al-A’laa: 14-19) Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’diSyaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,“Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri.”Artinya, telah berhasil dan meraih kemenangan orang yang membersihkan dirinya dari kesyirikan, kezaliman, serta akhlak yang buruk.“Dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat.”Maksudnya, ia senantiasa mengingat Allah, hatinya dipenuhi dengan dzikir kepada-Nya, sehingga hal itu mendorongnya untuk melakukan perbuatan yang diridhai Allah, terutama shalat, yang merupakan tolok ukur keimanan seseorang.Inilah makna utama dari ayat yang mulia ini. Adapun tafsiran yang menyebut bahwa “menyucikan diri” berarti mengeluarkan zakat fitrah, dan “mengingat nama Tuhannya, lalu shalat” maksudnya adalah shalat Idul Fitri, maka meskipun hal ini termasuk dalam cakupan makna ayat dan merupakan salah satu bentuk penerapannya, namun bukanlah satu-satunya makna yang dimaksud.“Tetapi kalian lebih mengutamakan kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang terdahulu, yaitu kitab-kitab Ibrahim dan Musa.”“Tetapi kalian lebih mengutamakan kehidupan dunia,”yakni, kalian lebih mendahulukan dunia dibandingkan akhirat, serta memilih kenikmatan dunia yang fana, penuh kekurangan, dan bercampur kepahitan, daripada kenikmatan akhirat yang abadi.“Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.”Akhirat jauh lebih baik dari dunia dalam segala aspek yang diinginkan manusia. Akhirat adalah negeri keabadian, kebahagiaan yang murni, dan tanpa kesulitan, sedangkan dunia hanyalah tempat yang sementara dan penuh kefanaan. Orang beriman yang berakal tidak akan memilih sesuatu yang lebih rendah dibandingkan sesuatu yang lebih mulia, serta tidak akan menukar kenikmatan sesaat dengan penderitaan abadi. Kecintaan terhadap dunia dan mengutamakannya di atas akhirat adalah akar dari segala dosa dan kesalahan.“Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang terdahulu, yaitu kitab-kitab Ibrahim dan Musa.”Apa yang disebutkan dalam surah yang mulia ini—berupa perintah-perintah yang baik dan berita-berita yang benar—juga telah termaktub dalam kitab-kitab suci sebelumnya, yaitu dalam kitab Ibrahim dan Musa, dua di antara rasul-rasul yang paling mulia setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.Hukum-hukum ini bersifat universal dan berlaku dalam setiap syariat, karena semuanya mengandung maslahat bagi kehidupan dunia dan akhirat, serta relevan di setiap zaman dan tempat.Kesimpulan dari Penjelasan Syaikh As-Sa’di:Keberuntungan bagi Orang yang Menyucikan Diri – Orang yang sukses dan meraih kemenangan adalah mereka yang membersihkan diri dari kesyirikan, kezaliman, dan akhlak yang buruk.Dzikir dan Shalat sebagai Tolok Ukur Keimanan – Mengingat Allah dengan hati yang dipenuhi dzikir mendorong seseorang untuk beramal saleh, terutama shalat, yang menjadi indikator utama keimanan seseorang.Makna Luas dari Menyucikan Diri – Menyucikan diri tidak hanya terbatas pada zakat fitrah, dan mengingat Allah tidak hanya merujuk pada shalat Idul Fitri, melainkan memiliki makna yang lebih luas mencakup penyucian hati dan ibadah secara keseluruhan.Kecenderungan Manusia Mengutamakan Dunia – Banyak manusia lebih memilih kenikmatan dunia yang sementara, meskipun penuh kekurangan, daripada kebahagiaan akhirat yang abadi.Akhirat Lebih Baik dan Kekal – Kehidupan akhirat jauh lebih baik dalam segala aspek dan lebih kekal, sedangkan dunia bersifat fana dan penuh ujian. Orang beriman tidak akan menukar kenikmatan sesaat dengan penderitaan yang abadi.Peringatan Ini Sudah Ada dalam Kitab-Kitab Terdahulu – Pesan-pesan ini tidak hanya terdapat dalam Al-Qur’an tetapi juga telah disebutkan dalam kitab-kitab terdahulu, seperti kitab Ibrahim dan Musa, karena hukum-hukum ini bersifat universal dan relevan di setiap zaman dan tempat. PenutupSurah Al-A’la menegaskan bahwa Allah telah menetapkan hidayah bagi setiap makhluk sesuai dengan fitrahnya, baik secara naluriah maupun melalui wahyu, sehingga segala sesuatu berjalan sesuai dengan kehendak-Nya. Selain itu, hanya dalam surah ini Allah secara langsung menjanjikan kemudahan dalam menjalankan agama-Nya bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya, menjadikan Islam sebagai jalan hidup yang penuh berkah dan kemudahan.Alhamdulillah, segala puji bagi Allah segala kebaikan menjadi sempurna.–13 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush SholihinDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel www.rumaysho.com TagsAkhirat Lebih Baik Hidayah dalam Islam Hikmah Al-Qur’an Islam yang Mudah Keagungan Ciptaan Allah Kelebihan Surah Al-A’la Kemudahan dalam Beragama Keutamaan Bertasbih Keutamaan Surah Al-A’la Makna Ayat Al-Qur’an Makna Surah Al-A’la Pentingnya Mengingat Allah tafsir al-qur’an tafsir juz amma Tafsir Surah Al-A’la tafsir syaikh as-sa’di
Surah Al-A’la mengandung pesan-pesan mendalam tentang keagungan penciptaan Allah, kepastian takdir, dan kemudahan dalam beragama. Dalam surah ini, Allah mengingatkan manusia untuk menyucikan-Nya, memahami hikmah kehidupan, serta mengutamakan akhirat dibanding dunia. Ayat-ayatnya juga menegaskan bahwa Islam adalah agama yang mudah dan membawa kebahagiaan sejati bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk-Nya. Tafsir Ayat 1-5: Keagungan Allah dalam PenciptaanAllah Ta’ala berfirman,سَبِّحِ ٱسْمَ رَبِّكَ ٱلْأَعْلَىٰ“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi,”ٱلَّذِى خَلَقَ فَسَوَّىٰ“Yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya),”وَٱلَّذِى قَدَّرَ فَهَدَىٰ“Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk,”وَٱلَّذِىٓ أَخْرَجَ ٱلْمَرْعَىٰ“Dan yang menumbuhkan rumput-rumputan,”فَجَعَلَهُۥ غُثَآءً أَحْوَىٰ“Lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman.” (QS. Al-A’la: 1-5) Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’diSyaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,Allah memerintahkan untuk bertasbih kepada-Nya, yang mencakup mengingat-Nya, beribadah kepada-Nya, tunduk pada keagungan-Nya, dan merendahkan diri di hadapan kebesaran-Nya. Tasbih ini harus sesuai dengan keagungan Allah, yaitu dengan menyebut nama-nama-Nya yang indah, yang lebih tinggi daripada segala nama karena memiliki makna yang sempurna dan mulia. Juga dengan mengingat perbuatan-Nya, seperti menciptakan makhluk dan menyempurnakan mereka, yakni menciptakan mereka dengan penuh ketelitian dan keindahan.Allah juga yang menentukan segala sesuatu dengan takdir-Nya, dan membimbing seluruh makhluk sesuai dengan ketetapan tersebut. Ini adalah bentuk hidayah umum dari Allah, di mana Dia membimbing setiap makhluk kepada kemaslahatan mereka masing-masing.Sebagai salah satu bentuk nikmat duniawi-Nya, Allah berfirman: “Dan Dia-lah yang mengeluarkan rerumputan.” Artinya, Allah menurunkan air dari langit, lalu dengan air itu Dia menumbuhkan berbagai jenis tanaman dan rerumputan yang melimpah, yang menjadi tempat makan bagi manusia, hewan ternak, dan seluruh makhluk hidup.Namun, setelah tanaman itu mencapai puncak pertumbuhannya, ia mulai layu dan kering. Allah menjadikannya “ghutsā’an ahwā”, yaitu dedaunan yang hitam, hancur, dan lapuk, yang menandakan kefanaan dan perubahan dalam kehidupan dunia.Kesimpulan dari penjelasan Syaikh As-Sa’di:Perintah untuk Bertasbih – Allah memerintahkan manusia untuk menyucikan-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang indah dan mengingat kebesaran serta perbuatan-Nya.Kesempurnaan Penciptaan Allah – Allah menciptakan makhluk dengan penuh ketelitian dan kesempurnaan.Takdir dan Hidayah Allah – Setiap makhluk diberikan takdir dan petunjuk sesuai dengan maslahatnya masing-masing.Nikmat Duniawi Allah – Allah menumbuhkan tanaman sebagai rezeki bagi manusia dan hewan.Fana-nya Dunia – Segala sesuatu di dunia mengalami perubahan dan kehancuran, mengingatkan manusia akan kefanaan dunia dan kekekalan akhirat. Tafsir Ayat 6-8: Diberi Taufik ke Jalan yang MudahAllah Ta’ala berfirman,سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنسَىٰٓ“Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa.”إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُ ۚ إِنَّهُۥ يَعْلَمُ ٱلْجَهْرَ وَمَا يَخْفَىٰ“kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi.”وَنُيَسِّرُكَ لِلْيُسْرَىٰ“dan Kami akan memberi kamu taufik ke jalan yang mudah.” (QS. Al-A’laa: 6-8) Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’diSyaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,Dan di dalamnya disebutkan nikmat-nikmat-Nya yang bersifat agama. Oleh karena itu, Allah menyebut nikmat paling utama dan sumber segala nikmat, yaitu Al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya:“Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (wahai Muhammad), maka engkau tidak akan lupa.”Artinya, Kami akan menjaga wahyu yang Kami berikan kepadamu, menanamkannya dalam hatimu, sehingga engkau tidak akan melupakannya. Ini adalah kabar gembira besar dari Allah kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Allah akan mengajarkan kepadanya ilmu yang tidak akan ia lupakan.“Kecuali apa yang Allah kehendaki,”yakni, jika dalam kebijaksanaan-Nya, Allah berkehendak membuatnya lupa demi suatu hikmah besar yang bermanfaat.“Sesungguhnya Dia mengetahui yang tampak dan yang tersembunyi.”Termasuk dalam hal ini, Allah mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, Dia menetapkan syariat sesuai dengan kehendak-Nya dan mengatur segala sesuatu dengan kebijaksanaan-Nya.“Dan Kami akan memudahkanmu menuju kemudahan.”Ini juga merupakan kabar gembira besar bahwa Allah akan memudahkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala urusannya serta menjadikan syariat dan agama ini sebagai sesuatu yang mudah dan ringan bagi umat manusia.Kesimpulan dari Penjelasan Syaikh As-Sa’di:Al-Qur’an sebagai Nikmat Terbesar – Al-Qur’an adalah nikmat utama yang harus disyukuri dengan membacanya, memahami maknanya, dan mengamalkannya dalam kehidupan.Pemeliharaan Wahyu oleh Allah – Allah menjaga wahyu-Nya dan menjamin bahwa Rasulullah ﷺ tidak akan melupakannya kecuali jika ada hikmah di baliknya.Ilmu Sejati dari Allah – Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diberikan oleh Allah, sehingga kita harus senantiasa memohon kepada-Nya agar diberi ilmu yang berguna.Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu – Allah mengetahui segala yang tampak dan tersembunyi, serta menetapkan syariat berdasarkan kebijaksanaan dan kebaikan bagi hamba-Nya.Kemudahan dalam Islam – Islam adalah agama yang mudah dan penuh kemudahan, di mana segala aturan dibuat untuk kebaikan manusia dan bukan untuk menyulitkan mereka.Bertawakal kepada Allah – Kita harus berserah diri kepada Allah dalam setiap urusan, karena Dia telah menjanjikan kemudahan bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk-Nya. Tafsir Ayat 9-13: Berilah PeringatanAllah Ta’ala berfirman,فَذَكِّرْ إِن نَّفَعَتِ ٱلذِّكْرَىٰ“oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat,“سَيَذَّكَّرُ مَن يَخْشَىٰ“orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran.”وَيَتَجَنَّبُهَا ٱلْأَشْقَى“dan orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya.“ٱلَّذِى يَصْلَى ٱلنَّارَ ٱلْكُبْرَىٰ“(Yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka).”ثُمَّ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَىٰ“Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.” (QS. Al-A’laa: 9-13) Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’diSyaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,“Maka berilah peringatan!” Yaitu, sampaikan syariat Allah dan ayat-ayat-Nya “jika peringatan itu bermanfaat,” yakni selama peringatan itu diterima dan nasihat masih bisa didengar, baik peringatan itu menghasilkan manfaat sepenuhnya maupun hanya sebagian darinya.Ayat ini juga memberikan pemahaman bahwa jika peringatan tidak bermanfaat—misalnya jika peringatan justru memperburuk keadaan atau mengurangi kebaikan—maka tidak diperintahkan untuk memberikan peringatan, bahkan bisa menjadi sesuatu yang dilarang. Dengan demikian, manusia terbagi menjadi dua kelompok dalam menerima peringatan: yang mengambil manfaat dan yang tidak mengambil manfaat.Bagi mereka yang mengambil manfaat, Allah menyebutkan mereka dalam firman-Nya:“Akan menerima peringatan orang yang takut kepada Allah.”Yakni, orang yang memiliki rasa takut kepada Allah serta keyakinan bahwa ia akan dibalas atas amal perbuatannya. Rasa takut kepada Allah ini mendorong seseorang untuk menjauhi maksiat dan berusaha melakukan amal kebaikan.Sedangkan bagi mereka yang tidak mengambil manfaat, Allah menyebutkan dalam firman-Nya:“Dan akan menjauhinya orang yang paling celaka, yang akan memasuki neraka yang besar.”Yakni, mereka yang menghindari peringatan ini adalah orang-orang yang paling sengsara, yang akan dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala, yang apinya membakar hingga menembus hati.“Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak pula hidup.”Maksudnya, mereka akan merasakan azab yang sangat pedih tanpa henti, tanpa ada istirahat atau jeda dari siksaan tersebut. Bahkan mereka akan berharap untuk mati agar terbebas dari penderitaan, tetapi keinginan itu tidak akan pernah terwujud. Sebagaimana firman Allah,وَٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ لَهُمْ نَارُ جَهَنَّمَ لَا يُقْضَىٰ عَلَيْهِمْ فَيَمُوتُوا۟ وَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُم مِّنْ عَذَابِهَا ۚ كَذَٰلِكَ نَجْزِى كُلَّ كَفُورٍ“Tidak akan diputuskan kematian bagi mereka sehingga mereka mati, dan tidak (pula) diringankan dari mereka azabnya.” (QS. Fathir: 36).Kesimpulan dari Penjelasan Syaikh As-Sa’di:Pentingnya Memberikan Peringatan – Perintah untuk menyampaikan syariat Allah dan ayat-ayat-Nya diberikan selama peringatan tersebut bermanfaat dan masih bisa diterima.Peringatan Tidak Selalu Wajib – Jika peringatan justru menyebabkan keburukan atau mengurangi kebaikan, maka tidak diperintahkan untuk menyampaikannya, bahkan bisa menjadi sesuatu yang terlarang.Manusia Terbagi dalam Menerima Peringatan – Ada dua kelompok manusia dalam menerima peringatan: mereka yang mengambil manfaat darinya dan mereka yang menolaknya.Orang yang Mendapat Manfaat dari Peringatan – Mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allah dan yakin akan balasan-Nya, sehingga peringatan mendorong mereka untuk menjauhi maksiat dan melakukan kebaikan.Orang yang Menolak Peringatan – Mereka adalah orang-orang yang paling celaka, yang berpaling dari kebenaran dan akan dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.Azab di Neraka Sangat Pedih dan Kekal – Penghuni neraka akan mengalami siksaan tanpa henti, tidak mati sehingga terbebas dari azab, dan tidak hidup dalam keadaan yang layak, melainkan dalam penderitaan abadi. Tafsir Ayat 14-19: Berilah PeringatanAllah Ta’ala berfirman,قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman).”وَذَكَرَ ٱسْمَ رَبِّهِۦ فَصَلَّىٰ“dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.”بَلْ تُؤْثِرُونَ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.”وَٱلْءَاخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰٓ“Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.”إِنَّ هَٰذَا لَفِى ٱلصُّحُفِ ٱلْأُولَىٰ“Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu.”صُحُفِ إِبْرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ“(yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa.” (QS. Al-A’laa: 14-19) Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’diSyaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,“Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri.”Artinya, telah berhasil dan meraih kemenangan orang yang membersihkan dirinya dari kesyirikan, kezaliman, serta akhlak yang buruk.“Dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat.”Maksudnya, ia senantiasa mengingat Allah, hatinya dipenuhi dengan dzikir kepada-Nya, sehingga hal itu mendorongnya untuk melakukan perbuatan yang diridhai Allah, terutama shalat, yang merupakan tolok ukur keimanan seseorang.Inilah makna utama dari ayat yang mulia ini. Adapun tafsiran yang menyebut bahwa “menyucikan diri” berarti mengeluarkan zakat fitrah, dan “mengingat nama Tuhannya, lalu shalat” maksudnya adalah shalat Idul Fitri, maka meskipun hal ini termasuk dalam cakupan makna ayat dan merupakan salah satu bentuk penerapannya, namun bukanlah satu-satunya makna yang dimaksud.“Tetapi kalian lebih mengutamakan kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang terdahulu, yaitu kitab-kitab Ibrahim dan Musa.”“Tetapi kalian lebih mengutamakan kehidupan dunia,”yakni, kalian lebih mendahulukan dunia dibandingkan akhirat, serta memilih kenikmatan dunia yang fana, penuh kekurangan, dan bercampur kepahitan, daripada kenikmatan akhirat yang abadi.“Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.”Akhirat jauh lebih baik dari dunia dalam segala aspek yang diinginkan manusia. Akhirat adalah negeri keabadian, kebahagiaan yang murni, dan tanpa kesulitan, sedangkan dunia hanyalah tempat yang sementara dan penuh kefanaan. Orang beriman yang berakal tidak akan memilih sesuatu yang lebih rendah dibandingkan sesuatu yang lebih mulia, serta tidak akan menukar kenikmatan sesaat dengan penderitaan abadi. Kecintaan terhadap dunia dan mengutamakannya di atas akhirat adalah akar dari segala dosa dan kesalahan.“Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang terdahulu, yaitu kitab-kitab Ibrahim dan Musa.”Apa yang disebutkan dalam surah yang mulia ini—berupa perintah-perintah yang baik dan berita-berita yang benar—juga telah termaktub dalam kitab-kitab suci sebelumnya, yaitu dalam kitab Ibrahim dan Musa, dua di antara rasul-rasul yang paling mulia setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.Hukum-hukum ini bersifat universal dan berlaku dalam setiap syariat, karena semuanya mengandung maslahat bagi kehidupan dunia dan akhirat, serta relevan di setiap zaman dan tempat.Kesimpulan dari Penjelasan Syaikh As-Sa’di:Keberuntungan bagi Orang yang Menyucikan Diri – Orang yang sukses dan meraih kemenangan adalah mereka yang membersihkan diri dari kesyirikan, kezaliman, dan akhlak yang buruk.Dzikir dan Shalat sebagai Tolok Ukur Keimanan – Mengingat Allah dengan hati yang dipenuhi dzikir mendorong seseorang untuk beramal saleh, terutama shalat, yang menjadi indikator utama keimanan seseorang.Makna Luas dari Menyucikan Diri – Menyucikan diri tidak hanya terbatas pada zakat fitrah, dan mengingat Allah tidak hanya merujuk pada shalat Idul Fitri, melainkan memiliki makna yang lebih luas mencakup penyucian hati dan ibadah secara keseluruhan.Kecenderungan Manusia Mengutamakan Dunia – Banyak manusia lebih memilih kenikmatan dunia yang sementara, meskipun penuh kekurangan, daripada kebahagiaan akhirat yang abadi.Akhirat Lebih Baik dan Kekal – Kehidupan akhirat jauh lebih baik dalam segala aspek dan lebih kekal, sedangkan dunia bersifat fana dan penuh ujian. Orang beriman tidak akan menukar kenikmatan sesaat dengan penderitaan yang abadi.Peringatan Ini Sudah Ada dalam Kitab-Kitab Terdahulu – Pesan-pesan ini tidak hanya terdapat dalam Al-Qur’an tetapi juga telah disebutkan dalam kitab-kitab terdahulu, seperti kitab Ibrahim dan Musa, karena hukum-hukum ini bersifat universal dan relevan di setiap zaman dan tempat. PenutupSurah Al-A’la menegaskan bahwa Allah telah menetapkan hidayah bagi setiap makhluk sesuai dengan fitrahnya, baik secara naluriah maupun melalui wahyu, sehingga segala sesuatu berjalan sesuai dengan kehendak-Nya. Selain itu, hanya dalam surah ini Allah secara langsung menjanjikan kemudahan dalam menjalankan agama-Nya bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya, menjadikan Islam sebagai jalan hidup yang penuh berkah dan kemudahan.Alhamdulillah, segala puji bagi Allah segala kebaikan menjadi sempurna.–13 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush SholihinDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel www.rumaysho.com TagsAkhirat Lebih Baik Hidayah dalam Islam Hikmah Al-Qur’an Islam yang Mudah Keagungan Ciptaan Allah Kelebihan Surah Al-A’la Kemudahan dalam Beragama Keutamaan Bertasbih Keutamaan Surah Al-A’la Makna Ayat Al-Qur’an Makna Surah Al-A’la Pentingnya Mengingat Allah tafsir al-qur’an tafsir juz amma Tafsir Surah Al-A’la tafsir syaikh as-sa’di


Surah Al-A’la mengandung pesan-pesan mendalam tentang keagungan penciptaan Allah, kepastian takdir, dan kemudahan dalam beragama. Dalam surah ini, Allah mengingatkan manusia untuk menyucikan-Nya, memahami hikmah kehidupan, serta mengutamakan akhirat dibanding dunia. Ayat-ayatnya juga menegaskan bahwa Islam adalah agama yang mudah dan membawa kebahagiaan sejati bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk-Nya. Tafsir Ayat 1-5: Keagungan Allah dalam PenciptaanAllah Ta’ala berfirman,سَبِّحِ ٱسْمَ رَبِّكَ ٱلْأَعْلَىٰ“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi,”ٱلَّذِى خَلَقَ فَسَوَّىٰ“Yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya),”وَٱلَّذِى قَدَّرَ فَهَدَىٰ“Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk,”وَٱلَّذِىٓ أَخْرَجَ ٱلْمَرْعَىٰ“Dan yang menumbuhkan rumput-rumputan,”فَجَعَلَهُۥ غُثَآءً أَحْوَىٰ“Lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman.” (QS. Al-A’la: 1-5) Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’diSyaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,Allah memerintahkan untuk bertasbih kepada-Nya, yang mencakup mengingat-Nya, beribadah kepada-Nya, tunduk pada keagungan-Nya, dan merendahkan diri di hadapan kebesaran-Nya. Tasbih ini harus sesuai dengan keagungan Allah, yaitu dengan menyebut nama-nama-Nya yang indah, yang lebih tinggi daripada segala nama karena memiliki makna yang sempurna dan mulia. Juga dengan mengingat perbuatan-Nya, seperti menciptakan makhluk dan menyempurnakan mereka, yakni menciptakan mereka dengan penuh ketelitian dan keindahan.Allah juga yang menentukan segala sesuatu dengan takdir-Nya, dan membimbing seluruh makhluk sesuai dengan ketetapan tersebut. Ini adalah bentuk hidayah umum dari Allah, di mana Dia membimbing setiap makhluk kepada kemaslahatan mereka masing-masing.Sebagai salah satu bentuk nikmat duniawi-Nya, Allah berfirman: “Dan Dia-lah yang mengeluarkan rerumputan.” Artinya, Allah menurunkan air dari langit, lalu dengan air itu Dia menumbuhkan berbagai jenis tanaman dan rerumputan yang melimpah, yang menjadi tempat makan bagi manusia, hewan ternak, dan seluruh makhluk hidup.Namun, setelah tanaman itu mencapai puncak pertumbuhannya, ia mulai layu dan kering. Allah menjadikannya “ghutsā’an ahwā”, yaitu dedaunan yang hitam, hancur, dan lapuk, yang menandakan kefanaan dan perubahan dalam kehidupan dunia.Kesimpulan dari penjelasan Syaikh As-Sa’di:Perintah untuk Bertasbih – Allah memerintahkan manusia untuk menyucikan-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang indah dan mengingat kebesaran serta perbuatan-Nya.Kesempurnaan Penciptaan Allah – Allah menciptakan makhluk dengan penuh ketelitian dan kesempurnaan.Takdir dan Hidayah Allah – Setiap makhluk diberikan takdir dan petunjuk sesuai dengan maslahatnya masing-masing.Nikmat Duniawi Allah – Allah menumbuhkan tanaman sebagai rezeki bagi manusia dan hewan.Fana-nya Dunia – Segala sesuatu di dunia mengalami perubahan dan kehancuran, mengingatkan manusia akan kefanaan dunia dan kekekalan akhirat. Tafsir Ayat 6-8: Diberi Taufik ke Jalan yang MudahAllah Ta’ala berfirman,سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنسَىٰٓ“Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa.”إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُ ۚ إِنَّهُۥ يَعْلَمُ ٱلْجَهْرَ وَمَا يَخْفَىٰ“kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi.”وَنُيَسِّرُكَ لِلْيُسْرَىٰ“dan Kami akan memberi kamu taufik ke jalan yang mudah.” (QS. Al-A’laa: 6-8) Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’diSyaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,Dan di dalamnya disebutkan nikmat-nikmat-Nya yang bersifat agama. Oleh karena itu, Allah menyebut nikmat paling utama dan sumber segala nikmat, yaitu Al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya:“Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (wahai Muhammad), maka engkau tidak akan lupa.”Artinya, Kami akan menjaga wahyu yang Kami berikan kepadamu, menanamkannya dalam hatimu, sehingga engkau tidak akan melupakannya. Ini adalah kabar gembira besar dari Allah kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Allah akan mengajarkan kepadanya ilmu yang tidak akan ia lupakan.“Kecuali apa yang Allah kehendaki,”yakni, jika dalam kebijaksanaan-Nya, Allah berkehendak membuatnya lupa demi suatu hikmah besar yang bermanfaat.“Sesungguhnya Dia mengetahui yang tampak dan yang tersembunyi.”Termasuk dalam hal ini, Allah mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, Dia menetapkan syariat sesuai dengan kehendak-Nya dan mengatur segala sesuatu dengan kebijaksanaan-Nya.“Dan Kami akan memudahkanmu menuju kemudahan.”Ini juga merupakan kabar gembira besar bahwa Allah akan memudahkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala urusannya serta menjadikan syariat dan agama ini sebagai sesuatu yang mudah dan ringan bagi umat manusia.Kesimpulan dari Penjelasan Syaikh As-Sa’di:Al-Qur’an sebagai Nikmat Terbesar – Al-Qur’an adalah nikmat utama yang harus disyukuri dengan membacanya, memahami maknanya, dan mengamalkannya dalam kehidupan.Pemeliharaan Wahyu oleh Allah – Allah menjaga wahyu-Nya dan menjamin bahwa Rasulullah ﷺ tidak akan melupakannya kecuali jika ada hikmah di baliknya.Ilmu Sejati dari Allah – Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diberikan oleh Allah, sehingga kita harus senantiasa memohon kepada-Nya agar diberi ilmu yang berguna.Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu – Allah mengetahui segala yang tampak dan tersembunyi, serta menetapkan syariat berdasarkan kebijaksanaan dan kebaikan bagi hamba-Nya.Kemudahan dalam Islam – Islam adalah agama yang mudah dan penuh kemudahan, di mana segala aturan dibuat untuk kebaikan manusia dan bukan untuk menyulitkan mereka.Bertawakal kepada Allah – Kita harus berserah diri kepada Allah dalam setiap urusan, karena Dia telah menjanjikan kemudahan bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk-Nya. Tafsir Ayat 9-13: Berilah PeringatanAllah Ta’ala berfirman,فَذَكِّرْ إِن نَّفَعَتِ ٱلذِّكْرَىٰ“oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat,“سَيَذَّكَّرُ مَن يَخْشَىٰ“orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran.”وَيَتَجَنَّبُهَا ٱلْأَشْقَى“dan orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya.“ٱلَّذِى يَصْلَى ٱلنَّارَ ٱلْكُبْرَىٰ“(Yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka).”ثُمَّ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَىٰ“Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.” (QS. Al-A’laa: 9-13) Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’diSyaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,“Maka berilah peringatan!” Yaitu, sampaikan syariat Allah dan ayat-ayat-Nya “jika peringatan itu bermanfaat,” yakni selama peringatan itu diterima dan nasihat masih bisa didengar, baik peringatan itu menghasilkan manfaat sepenuhnya maupun hanya sebagian darinya.Ayat ini juga memberikan pemahaman bahwa jika peringatan tidak bermanfaat—misalnya jika peringatan justru memperburuk keadaan atau mengurangi kebaikan—maka tidak diperintahkan untuk memberikan peringatan, bahkan bisa menjadi sesuatu yang dilarang. Dengan demikian, manusia terbagi menjadi dua kelompok dalam menerima peringatan: yang mengambil manfaat dan yang tidak mengambil manfaat.Bagi mereka yang mengambil manfaat, Allah menyebutkan mereka dalam firman-Nya:“Akan menerima peringatan orang yang takut kepada Allah.”Yakni, orang yang memiliki rasa takut kepada Allah serta keyakinan bahwa ia akan dibalas atas amal perbuatannya. Rasa takut kepada Allah ini mendorong seseorang untuk menjauhi maksiat dan berusaha melakukan amal kebaikan.Sedangkan bagi mereka yang tidak mengambil manfaat, Allah menyebutkan dalam firman-Nya:“Dan akan menjauhinya orang yang paling celaka, yang akan memasuki neraka yang besar.”Yakni, mereka yang menghindari peringatan ini adalah orang-orang yang paling sengsara, yang akan dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala, yang apinya membakar hingga menembus hati.“Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak pula hidup.”Maksudnya, mereka akan merasakan azab yang sangat pedih tanpa henti, tanpa ada istirahat atau jeda dari siksaan tersebut. Bahkan mereka akan berharap untuk mati agar terbebas dari penderitaan, tetapi keinginan itu tidak akan pernah terwujud. Sebagaimana firman Allah,وَٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ لَهُمْ نَارُ جَهَنَّمَ لَا يُقْضَىٰ عَلَيْهِمْ فَيَمُوتُوا۟ وَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُم مِّنْ عَذَابِهَا ۚ كَذَٰلِكَ نَجْزِى كُلَّ كَفُورٍ“Tidak akan diputuskan kematian bagi mereka sehingga mereka mati, dan tidak (pula) diringankan dari mereka azabnya.” (QS. Fathir: 36).Kesimpulan dari Penjelasan Syaikh As-Sa’di:Pentingnya Memberikan Peringatan – Perintah untuk menyampaikan syariat Allah dan ayat-ayat-Nya diberikan selama peringatan tersebut bermanfaat dan masih bisa diterima.Peringatan Tidak Selalu Wajib – Jika peringatan justru menyebabkan keburukan atau mengurangi kebaikan, maka tidak diperintahkan untuk menyampaikannya, bahkan bisa menjadi sesuatu yang terlarang.Manusia Terbagi dalam Menerima Peringatan – Ada dua kelompok manusia dalam menerima peringatan: mereka yang mengambil manfaat darinya dan mereka yang menolaknya.Orang yang Mendapat Manfaat dari Peringatan – Mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allah dan yakin akan balasan-Nya, sehingga peringatan mendorong mereka untuk menjauhi maksiat dan melakukan kebaikan.Orang yang Menolak Peringatan – Mereka adalah orang-orang yang paling celaka, yang berpaling dari kebenaran dan akan dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.Azab di Neraka Sangat Pedih dan Kekal – Penghuni neraka akan mengalami siksaan tanpa henti, tidak mati sehingga terbebas dari azab, dan tidak hidup dalam keadaan yang layak, melainkan dalam penderitaan abadi. Tafsir Ayat 14-19: Berilah PeringatanAllah Ta’ala berfirman,قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman).”وَذَكَرَ ٱسْمَ رَبِّهِۦ فَصَلَّىٰ“dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.”بَلْ تُؤْثِرُونَ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.”وَٱلْءَاخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰٓ“Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.”إِنَّ هَٰذَا لَفِى ٱلصُّحُفِ ٱلْأُولَىٰ“Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu.”صُحُفِ إِبْرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ“(yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa.” (QS. Al-A’laa: 14-19) Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’diSyaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,“Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri.”Artinya, telah berhasil dan meraih kemenangan orang yang membersihkan dirinya dari kesyirikan, kezaliman, serta akhlak yang buruk.“Dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat.”Maksudnya, ia senantiasa mengingat Allah, hatinya dipenuhi dengan dzikir kepada-Nya, sehingga hal itu mendorongnya untuk melakukan perbuatan yang diridhai Allah, terutama shalat, yang merupakan tolok ukur keimanan seseorang.Inilah makna utama dari ayat yang mulia ini. Adapun tafsiran yang menyebut bahwa “menyucikan diri” berarti mengeluarkan zakat fitrah, dan “mengingat nama Tuhannya, lalu shalat” maksudnya adalah shalat Idul Fitri, maka meskipun hal ini termasuk dalam cakupan makna ayat dan merupakan salah satu bentuk penerapannya, namun bukanlah satu-satunya makna yang dimaksud.“Tetapi kalian lebih mengutamakan kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang terdahulu, yaitu kitab-kitab Ibrahim dan Musa.”“Tetapi kalian lebih mengutamakan kehidupan dunia,”yakni, kalian lebih mendahulukan dunia dibandingkan akhirat, serta memilih kenikmatan dunia yang fana, penuh kekurangan, dan bercampur kepahitan, daripada kenikmatan akhirat yang abadi.“Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.”Akhirat jauh lebih baik dari dunia dalam segala aspek yang diinginkan manusia. Akhirat adalah negeri keabadian, kebahagiaan yang murni, dan tanpa kesulitan, sedangkan dunia hanyalah tempat yang sementara dan penuh kefanaan. Orang beriman yang berakal tidak akan memilih sesuatu yang lebih rendah dibandingkan sesuatu yang lebih mulia, serta tidak akan menukar kenikmatan sesaat dengan penderitaan abadi. Kecintaan terhadap dunia dan mengutamakannya di atas akhirat adalah akar dari segala dosa dan kesalahan.“Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang terdahulu, yaitu kitab-kitab Ibrahim dan Musa.”Apa yang disebutkan dalam surah yang mulia ini—berupa perintah-perintah yang baik dan berita-berita yang benar—juga telah termaktub dalam kitab-kitab suci sebelumnya, yaitu dalam kitab Ibrahim dan Musa, dua di antara rasul-rasul yang paling mulia setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.Hukum-hukum ini bersifat universal dan berlaku dalam setiap syariat, karena semuanya mengandung maslahat bagi kehidupan dunia dan akhirat, serta relevan di setiap zaman dan tempat.Kesimpulan dari Penjelasan Syaikh As-Sa’di:Keberuntungan bagi Orang yang Menyucikan Diri – Orang yang sukses dan meraih kemenangan adalah mereka yang membersihkan diri dari kesyirikan, kezaliman, dan akhlak yang buruk.Dzikir dan Shalat sebagai Tolok Ukur Keimanan – Mengingat Allah dengan hati yang dipenuhi dzikir mendorong seseorang untuk beramal saleh, terutama shalat, yang menjadi indikator utama keimanan seseorang.Makna Luas dari Menyucikan Diri – Menyucikan diri tidak hanya terbatas pada zakat fitrah, dan mengingat Allah tidak hanya merujuk pada shalat Idul Fitri, melainkan memiliki makna yang lebih luas mencakup penyucian hati dan ibadah secara keseluruhan.Kecenderungan Manusia Mengutamakan Dunia – Banyak manusia lebih memilih kenikmatan dunia yang sementara, meskipun penuh kekurangan, daripada kebahagiaan akhirat yang abadi.Akhirat Lebih Baik dan Kekal – Kehidupan akhirat jauh lebih baik dalam segala aspek dan lebih kekal, sedangkan dunia bersifat fana dan penuh ujian. Orang beriman tidak akan menukar kenikmatan sesaat dengan penderitaan yang abadi.Peringatan Ini Sudah Ada dalam Kitab-Kitab Terdahulu – Pesan-pesan ini tidak hanya terdapat dalam Al-Qur’an tetapi juga telah disebutkan dalam kitab-kitab terdahulu, seperti kitab Ibrahim dan Musa, karena hukum-hukum ini bersifat universal dan relevan di setiap zaman dan tempat. PenutupSurah Al-A’la menegaskan bahwa Allah telah menetapkan hidayah bagi setiap makhluk sesuai dengan fitrahnya, baik secara naluriah maupun melalui wahyu, sehingga segala sesuatu berjalan sesuai dengan kehendak-Nya. Selain itu, hanya dalam surah ini Allah secara langsung menjanjikan kemudahan dalam menjalankan agama-Nya bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya, menjadikan Islam sebagai jalan hidup yang penuh berkah dan kemudahan.Alhamdulillah, segala puji bagi Allah segala kebaikan menjadi sempurna.–13 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush SholihinDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel www.rumaysho.com TagsAkhirat Lebih Baik Hidayah dalam Islam Hikmah Al-Qur’an Islam yang Mudah Keagungan Ciptaan Allah Kelebihan Surah Al-A’la Kemudahan dalam Beragama Keutamaan Bertasbih Keutamaan Surah Al-A’la Makna Ayat Al-Qur’an Makna Surah Al-A’la Pentingnya Mengingat Allah tafsir al-qur’an tafsir juz amma Tafsir Surah Al-A’la tafsir syaikh as-sa’di

Mengerikan! Inilah Akibatnya Jika Sengaja Tidak Puasa di Ramadan – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf

Teruntuk orang yang membatalkan puasanya atau tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Mungkin ada orang yang memang dari awal harinya sudah tidak berpuasa Ramadhan. Ada juga yang berpuasa, lalu jika ia merasa berat sedikit saja, ia membatalkan puasanya. Ini perkara yang sangat besar dan berbahaya, saudaraku! Perkara ini bersinggungan langsung dengan salah satu rukun Islam. Puasa merupakan rukun apa, saudara-saudara? (Rukun Islam). Islam dibangun di atas lima rukun. Rukun keempat adalah puasa pada bulan Ramadhan. Tidak boleh seseorang meremehkan salah satu rukun utama Islam dan menggampangkannya. Namun, jika ada orang yang tidak berpuasa di masa lalunya, ia wajib mengqadha (mengganti puasanya di hari lain) dan bertobat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Semoga Allah menerima tobatnya. Ini perkara yang sangat serius, saudara-saudara! Sampai-sampai sebagian ulama berkata: jika seseorang sama sekali tidak berpuasa maka tidak berguna lagi baginya, meskipun ia menggantinya dengan berpuasa setahun penuh. Diriwayatkan (secara makna), bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang tidak berpuasa pada bulan Ramadhan dengan sengaja tanpa uzur atau sakit, maka puasa setahun penuh tidak dapat menggantinya, meskipun ia tetap berpuasa.” (Hadis ini dhaif menurut Syaikh Bin Baz). Namun, berdasarkan fatwa mayoritas ulama, ia harus mengqadha puasanya, baik itu karena ia tidak berpuasa sekali atau memang tidak berpuasa dari awal hari. Dia juga harus bertobat dan kembali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dalam riwayat an-Nasa’i, dari Abu Umamah, (disampaikan secara makna) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ada dua sosok yang datang kepadaku (dalam mimpi) ketika aku tertidur. Lalu mereka berdua memegang kedua lenganku dan membawaku pergi. Sampailah kami tiba di tempat orang-orang yang digantung dengan tumit mereka. Sudut mulut mereka robek hingga mengucurkan darah. Aku pun bertanya: ‘Siapa mereka itu?’ Dua sosok itu menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum waktunya berbuka.’” Kita berlindung kepada Allah dari kemurkaan-Nya. Tidak boleh seseorang meremehkan dan menggampangkan perkara ini, saudara-saudara! Kita wajib menyadarkan para pemuda, baik laki-laki maupun perempuan, tentang masalah ini dan bahayanya! Tidak boleh ada sikap meremehkan dalam masalah ini! Meskipun–alhamdulillah–fenomena ini tidak banyak terjadi di masyarakat kita. Namun, kita harus tetap memperingatkan hal seperti ini. Para pemuda harus dididik dengan benar tentang hal ini. Sebagaimana disebutkan bahwa puasa mengajarkan seseorang untuk merasa selalu diawasi oleh Allah. Di zaman sekarang, seorang anak bisa masuk ke kamarnya dengan membawa gadgetnya. Lalu ia menjelajahi seluruh dunia, hanya dalam genggamannya. Ia bisa mendengar segala sesuatu dan melihat segala sesuatu. Siapa yang dapat mencegahnya? Ada yang bisa mencegahnya? Tidak ada, kecuali jika Allah sendiri yang menjaganya dengan penjagaan-Nya! Namun, salah satu cara menjaga mereka adalah dengan mendidik mereka bahwa Allah selalu mengawasi mereka. Jika suatu hari engkau sedang sendiri, jangan katakan: “Aku sendirian di sini…” Tapi katakanlah: “Ada yang selalu mengawasi diriku…” Jangan pernah mengira Allah lalai walau sekejap. Tak ada yang tersembunyi dari-Nya. Tak ada yang luput dari pandangan-Nya. ==== وَإِلَى كُلِّ مَنْ كَانَ يُفْطِرُ يَا إِخْوَانِي فِي رَمَضَانَ أَوْ كَانَ لَا يَصُومُ فِي رَمَضَانَ يَعْنِي بَعْضُ النَّاسِ يُمْكِنُ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ لَا يَصُومُ أَصْلًا وَبَعْضُهُمْ يَصُومُ ثُمَّ إِذَا أَحَسَّ بِأَيِّ جُهْدٍ يُفْطِرُ الْأَمْرُ كَبِيرٌ وَخَطِيرٌ يَا إِخْوَانُ وَالْأَمْرُ يَمَسُّ رُكْنًا مِنْ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ الصِّيَامُ رُكْنُ إِيشْ يَا إِخْوَانُ؟ بُنِيَ الإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ رَابِعُهَا صِيَامُ رَمَضَانَ وَلَا يَجُوزُ الْإِنْسَانُ أَنْ يَتَهَاوَنَ بِرُكْنٍ رَكِيْنٍ مِنْ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ وَأَنْ يَتَسَاهَلَ فِيهِ وَإِذَا حَدَثَ أَنَّ إِنْسَانًا أَفْطَرَ فِيْمَا مَضَى فَيَجِبُ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَالتَّوْبَةُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْهِ الْأَمْرُ خَطِيرٌ يَا إِخْوَانُ حَتَّى إِنَّ بَعْضَ أَهْلِ الْعِلْمِ قَالَ إِذَا لَمْ يَصُمْ أَصْلًا لَا يُفِيدُهُ أَنْ يَقْضِيَ وَلَوْ صَامَ الدَّهْرَ كُلَّهُ وَقَدْ رُوِيَ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ أَفْطَرَ فِي رَمَضَانَ عَامِدًا مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلَا مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ وَلَوْ صَامَهُ وَعَلَى كُلِّ حَالٍ فَالْفَتْوَى عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ بِأَنَّهُ يَقْضِي سَوَاءٌ أَفْطَرَ أَوْ لَمْ يَعُدْ الصِّيَامَ أَصْلًا وَيَتُوبُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيُنِيْبُ إِلَيْهِ قَدْ وَرَدَ عِنْدَ النَّسَائِيِّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَانِي رَجُلَانِ وَأَنَا نَائِمٌ فَأَخَذَا بِضَبْعَيَّ فَانْطَلَقَا بِي فَأَتَيْنَا إِلَى رِجَالٍ مُعَلَّقِيْنَ بِعَرَاقِيبِهِمْ مُشَقَّقَةً أَشْدَاقُهُمْ يَسِيلُ مِنْهَا الدَّمُ قُلْتُ مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَا هَؤُلَاءِ الَّذِيْنَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ الصِّيَامِ نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ مَا يَجُوزُ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَتَهَاوَنَ فِي هَذَا الْأَمْرِ يَا إِخْوَانُ وَأَنْ يَتَسَاهَلَ وَالْوَاجِبُ تَوْعِيَّةُ الشَّبَابِ النَّاشِئَةِ الْأَوْلَادِ وَالْبَنَاتِ حَوْلَ هَذَا الْأَمْرِ وَخُطُورَتِهِ وَأَنَّهُ لَا يَجُوزُ التَّسَاهُلُ الْحَمْدُ لِلَّهِ يَعْنِي هَذَا لَا يُمَثِّلُ ظَاهِرَةً فِي مُجْتَمَعِنَا لَكِنْ عَلَى كُلِّ حَالٍ يُنَبَّهُ عَلَى مِثْلِ هَذِهِ الْأُمُورِ وَيُرَبَّى النَّاشِئَةُ عَلَيْهَا يَا إِخْوَانُ وَكَمَا ذُكِرَ أَنَّ الصِّيَامَ فِيهِ تَرْبِيَةٌ لِلْمُرَاقَبَةِ مُرَاقَبَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الْآنَ يَعْنِي يَدْخُلُ الْأَوْلَادُ فِي غُرَفِهِمْ وَيَأْخُذُ جِهَازَهُ يَلُفُّ الْعَالَمَ بِأَكْمَلِهِ يَسْمَعُ كُلَّ شَيْءٍ وَيَرَى كُلَّ شَيْءٍ مَنْ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَمْنَعَهُ؟ أَحَدٌ يَسْتَطِيعُ؟ إِلَّا أَنْ يَحْفَظَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِحِفْظِهِ لَكِنْ مِنْ أَسْبَابِ الْوِقَايَةِ يَا إِخْوَانُ تَرْبِيَتُهُمْ عَلَى مُرَاقَبَةِ رَبِّهِمْ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ إِذَا مَا خَلَوْتَ الدَّهْرَ يَوْمًا فَلَا تَقُلْ خَلَوْتُ وَلَكِنْ قُلْ عَلَيَّ رَقِيْبُ وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ يَغْفَلُ سَاعَةً وَلَا أَنَّ مَا يَخْفَى عَلَيْهِ يَغِيْبُ

Mengerikan! Inilah Akibatnya Jika Sengaja Tidak Puasa di Ramadan – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf

Teruntuk orang yang membatalkan puasanya atau tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Mungkin ada orang yang memang dari awal harinya sudah tidak berpuasa Ramadhan. Ada juga yang berpuasa, lalu jika ia merasa berat sedikit saja, ia membatalkan puasanya. Ini perkara yang sangat besar dan berbahaya, saudaraku! Perkara ini bersinggungan langsung dengan salah satu rukun Islam. Puasa merupakan rukun apa, saudara-saudara? (Rukun Islam). Islam dibangun di atas lima rukun. Rukun keempat adalah puasa pada bulan Ramadhan. Tidak boleh seseorang meremehkan salah satu rukun utama Islam dan menggampangkannya. Namun, jika ada orang yang tidak berpuasa di masa lalunya, ia wajib mengqadha (mengganti puasanya di hari lain) dan bertobat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Semoga Allah menerima tobatnya. Ini perkara yang sangat serius, saudara-saudara! Sampai-sampai sebagian ulama berkata: jika seseorang sama sekali tidak berpuasa maka tidak berguna lagi baginya, meskipun ia menggantinya dengan berpuasa setahun penuh. Diriwayatkan (secara makna), bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang tidak berpuasa pada bulan Ramadhan dengan sengaja tanpa uzur atau sakit, maka puasa setahun penuh tidak dapat menggantinya, meskipun ia tetap berpuasa.” (Hadis ini dhaif menurut Syaikh Bin Baz). Namun, berdasarkan fatwa mayoritas ulama, ia harus mengqadha puasanya, baik itu karena ia tidak berpuasa sekali atau memang tidak berpuasa dari awal hari. Dia juga harus bertobat dan kembali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dalam riwayat an-Nasa’i, dari Abu Umamah, (disampaikan secara makna) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ada dua sosok yang datang kepadaku (dalam mimpi) ketika aku tertidur. Lalu mereka berdua memegang kedua lenganku dan membawaku pergi. Sampailah kami tiba di tempat orang-orang yang digantung dengan tumit mereka. Sudut mulut mereka robek hingga mengucurkan darah. Aku pun bertanya: ‘Siapa mereka itu?’ Dua sosok itu menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum waktunya berbuka.’” Kita berlindung kepada Allah dari kemurkaan-Nya. Tidak boleh seseorang meremehkan dan menggampangkan perkara ini, saudara-saudara! Kita wajib menyadarkan para pemuda, baik laki-laki maupun perempuan, tentang masalah ini dan bahayanya! Tidak boleh ada sikap meremehkan dalam masalah ini! Meskipun–alhamdulillah–fenomena ini tidak banyak terjadi di masyarakat kita. Namun, kita harus tetap memperingatkan hal seperti ini. Para pemuda harus dididik dengan benar tentang hal ini. Sebagaimana disebutkan bahwa puasa mengajarkan seseorang untuk merasa selalu diawasi oleh Allah. Di zaman sekarang, seorang anak bisa masuk ke kamarnya dengan membawa gadgetnya. Lalu ia menjelajahi seluruh dunia, hanya dalam genggamannya. Ia bisa mendengar segala sesuatu dan melihat segala sesuatu. Siapa yang dapat mencegahnya? Ada yang bisa mencegahnya? Tidak ada, kecuali jika Allah sendiri yang menjaganya dengan penjagaan-Nya! Namun, salah satu cara menjaga mereka adalah dengan mendidik mereka bahwa Allah selalu mengawasi mereka. Jika suatu hari engkau sedang sendiri, jangan katakan: “Aku sendirian di sini…” Tapi katakanlah: “Ada yang selalu mengawasi diriku…” Jangan pernah mengira Allah lalai walau sekejap. Tak ada yang tersembunyi dari-Nya. Tak ada yang luput dari pandangan-Nya. ==== وَإِلَى كُلِّ مَنْ كَانَ يُفْطِرُ يَا إِخْوَانِي فِي رَمَضَانَ أَوْ كَانَ لَا يَصُومُ فِي رَمَضَانَ يَعْنِي بَعْضُ النَّاسِ يُمْكِنُ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ لَا يَصُومُ أَصْلًا وَبَعْضُهُمْ يَصُومُ ثُمَّ إِذَا أَحَسَّ بِأَيِّ جُهْدٍ يُفْطِرُ الْأَمْرُ كَبِيرٌ وَخَطِيرٌ يَا إِخْوَانُ وَالْأَمْرُ يَمَسُّ رُكْنًا مِنْ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ الصِّيَامُ رُكْنُ إِيشْ يَا إِخْوَانُ؟ بُنِيَ الإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ رَابِعُهَا صِيَامُ رَمَضَانَ وَلَا يَجُوزُ الْإِنْسَانُ أَنْ يَتَهَاوَنَ بِرُكْنٍ رَكِيْنٍ مِنْ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ وَأَنْ يَتَسَاهَلَ فِيهِ وَإِذَا حَدَثَ أَنَّ إِنْسَانًا أَفْطَرَ فِيْمَا مَضَى فَيَجِبُ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَالتَّوْبَةُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْهِ الْأَمْرُ خَطِيرٌ يَا إِخْوَانُ حَتَّى إِنَّ بَعْضَ أَهْلِ الْعِلْمِ قَالَ إِذَا لَمْ يَصُمْ أَصْلًا لَا يُفِيدُهُ أَنْ يَقْضِيَ وَلَوْ صَامَ الدَّهْرَ كُلَّهُ وَقَدْ رُوِيَ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ أَفْطَرَ فِي رَمَضَانَ عَامِدًا مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلَا مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ وَلَوْ صَامَهُ وَعَلَى كُلِّ حَالٍ فَالْفَتْوَى عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ بِأَنَّهُ يَقْضِي سَوَاءٌ أَفْطَرَ أَوْ لَمْ يَعُدْ الصِّيَامَ أَصْلًا وَيَتُوبُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيُنِيْبُ إِلَيْهِ قَدْ وَرَدَ عِنْدَ النَّسَائِيِّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَانِي رَجُلَانِ وَأَنَا نَائِمٌ فَأَخَذَا بِضَبْعَيَّ فَانْطَلَقَا بِي فَأَتَيْنَا إِلَى رِجَالٍ مُعَلَّقِيْنَ بِعَرَاقِيبِهِمْ مُشَقَّقَةً أَشْدَاقُهُمْ يَسِيلُ مِنْهَا الدَّمُ قُلْتُ مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَا هَؤُلَاءِ الَّذِيْنَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ الصِّيَامِ نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ مَا يَجُوزُ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَتَهَاوَنَ فِي هَذَا الْأَمْرِ يَا إِخْوَانُ وَأَنْ يَتَسَاهَلَ وَالْوَاجِبُ تَوْعِيَّةُ الشَّبَابِ النَّاشِئَةِ الْأَوْلَادِ وَالْبَنَاتِ حَوْلَ هَذَا الْأَمْرِ وَخُطُورَتِهِ وَأَنَّهُ لَا يَجُوزُ التَّسَاهُلُ الْحَمْدُ لِلَّهِ يَعْنِي هَذَا لَا يُمَثِّلُ ظَاهِرَةً فِي مُجْتَمَعِنَا لَكِنْ عَلَى كُلِّ حَالٍ يُنَبَّهُ عَلَى مِثْلِ هَذِهِ الْأُمُورِ وَيُرَبَّى النَّاشِئَةُ عَلَيْهَا يَا إِخْوَانُ وَكَمَا ذُكِرَ أَنَّ الصِّيَامَ فِيهِ تَرْبِيَةٌ لِلْمُرَاقَبَةِ مُرَاقَبَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الْآنَ يَعْنِي يَدْخُلُ الْأَوْلَادُ فِي غُرَفِهِمْ وَيَأْخُذُ جِهَازَهُ يَلُفُّ الْعَالَمَ بِأَكْمَلِهِ يَسْمَعُ كُلَّ شَيْءٍ وَيَرَى كُلَّ شَيْءٍ مَنْ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَمْنَعَهُ؟ أَحَدٌ يَسْتَطِيعُ؟ إِلَّا أَنْ يَحْفَظَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِحِفْظِهِ لَكِنْ مِنْ أَسْبَابِ الْوِقَايَةِ يَا إِخْوَانُ تَرْبِيَتُهُمْ عَلَى مُرَاقَبَةِ رَبِّهِمْ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ إِذَا مَا خَلَوْتَ الدَّهْرَ يَوْمًا فَلَا تَقُلْ خَلَوْتُ وَلَكِنْ قُلْ عَلَيَّ رَقِيْبُ وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ يَغْفَلُ سَاعَةً وَلَا أَنَّ مَا يَخْفَى عَلَيْهِ يَغِيْبُ
Teruntuk orang yang membatalkan puasanya atau tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Mungkin ada orang yang memang dari awal harinya sudah tidak berpuasa Ramadhan. Ada juga yang berpuasa, lalu jika ia merasa berat sedikit saja, ia membatalkan puasanya. Ini perkara yang sangat besar dan berbahaya, saudaraku! Perkara ini bersinggungan langsung dengan salah satu rukun Islam. Puasa merupakan rukun apa, saudara-saudara? (Rukun Islam). Islam dibangun di atas lima rukun. Rukun keempat adalah puasa pada bulan Ramadhan. Tidak boleh seseorang meremehkan salah satu rukun utama Islam dan menggampangkannya. Namun, jika ada orang yang tidak berpuasa di masa lalunya, ia wajib mengqadha (mengganti puasanya di hari lain) dan bertobat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Semoga Allah menerima tobatnya. Ini perkara yang sangat serius, saudara-saudara! Sampai-sampai sebagian ulama berkata: jika seseorang sama sekali tidak berpuasa maka tidak berguna lagi baginya, meskipun ia menggantinya dengan berpuasa setahun penuh. Diriwayatkan (secara makna), bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang tidak berpuasa pada bulan Ramadhan dengan sengaja tanpa uzur atau sakit, maka puasa setahun penuh tidak dapat menggantinya, meskipun ia tetap berpuasa.” (Hadis ini dhaif menurut Syaikh Bin Baz). Namun, berdasarkan fatwa mayoritas ulama, ia harus mengqadha puasanya, baik itu karena ia tidak berpuasa sekali atau memang tidak berpuasa dari awal hari. Dia juga harus bertobat dan kembali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dalam riwayat an-Nasa’i, dari Abu Umamah, (disampaikan secara makna) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ada dua sosok yang datang kepadaku (dalam mimpi) ketika aku tertidur. Lalu mereka berdua memegang kedua lenganku dan membawaku pergi. Sampailah kami tiba di tempat orang-orang yang digantung dengan tumit mereka. Sudut mulut mereka robek hingga mengucurkan darah. Aku pun bertanya: ‘Siapa mereka itu?’ Dua sosok itu menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum waktunya berbuka.’” Kita berlindung kepada Allah dari kemurkaan-Nya. Tidak boleh seseorang meremehkan dan menggampangkan perkara ini, saudara-saudara! Kita wajib menyadarkan para pemuda, baik laki-laki maupun perempuan, tentang masalah ini dan bahayanya! Tidak boleh ada sikap meremehkan dalam masalah ini! Meskipun–alhamdulillah–fenomena ini tidak banyak terjadi di masyarakat kita. Namun, kita harus tetap memperingatkan hal seperti ini. Para pemuda harus dididik dengan benar tentang hal ini. Sebagaimana disebutkan bahwa puasa mengajarkan seseorang untuk merasa selalu diawasi oleh Allah. Di zaman sekarang, seorang anak bisa masuk ke kamarnya dengan membawa gadgetnya. Lalu ia menjelajahi seluruh dunia, hanya dalam genggamannya. Ia bisa mendengar segala sesuatu dan melihat segala sesuatu. Siapa yang dapat mencegahnya? Ada yang bisa mencegahnya? Tidak ada, kecuali jika Allah sendiri yang menjaganya dengan penjagaan-Nya! Namun, salah satu cara menjaga mereka adalah dengan mendidik mereka bahwa Allah selalu mengawasi mereka. Jika suatu hari engkau sedang sendiri, jangan katakan: “Aku sendirian di sini…” Tapi katakanlah: “Ada yang selalu mengawasi diriku…” Jangan pernah mengira Allah lalai walau sekejap. Tak ada yang tersembunyi dari-Nya. Tak ada yang luput dari pandangan-Nya. ==== وَإِلَى كُلِّ مَنْ كَانَ يُفْطِرُ يَا إِخْوَانِي فِي رَمَضَانَ أَوْ كَانَ لَا يَصُومُ فِي رَمَضَانَ يَعْنِي بَعْضُ النَّاسِ يُمْكِنُ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ لَا يَصُومُ أَصْلًا وَبَعْضُهُمْ يَصُومُ ثُمَّ إِذَا أَحَسَّ بِأَيِّ جُهْدٍ يُفْطِرُ الْأَمْرُ كَبِيرٌ وَخَطِيرٌ يَا إِخْوَانُ وَالْأَمْرُ يَمَسُّ رُكْنًا مِنْ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ الصِّيَامُ رُكْنُ إِيشْ يَا إِخْوَانُ؟ بُنِيَ الإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ رَابِعُهَا صِيَامُ رَمَضَانَ وَلَا يَجُوزُ الْإِنْسَانُ أَنْ يَتَهَاوَنَ بِرُكْنٍ رَكِيْنٍ مِنْ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ وَأَنْ يَتَسَاهَلَ فِيهِ وَإِذَا حَدَثَ أَنَّ إِنْسَانًا أَفْطَرَ فِيْمَا مَضَى فَيَجِبُ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَالتَّوْبَةُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْهِ الْأَمْرُ خَطِيرٌ يَا إِخْوَانُ حَتَّى إِنَّ بَعْضَ أَهْلِ الْعِلْمِ قَالَ إِذَا لَمْ يَصُمْ أَصْلًا لَا يُفِيدُهُ أَنْ يَقْضِيَ وَلَوْ صَامَ الدَّهْرَ كُلَّهُ وَقَدْ رُوِيَ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ أَفْطَرَ فِي رَمَضَانَ عَامِدًا مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلَا مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ وَلَوْ صَامَهُ وَعَلَى كُلِّ حَالٍ فَالْفَتْوَى عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ بِأَنَّهُ يَقْضِي سَوَاءٌ أَفْطَرَ أَوْ لَمْ يَعُدْ الصِّيَامَ أَصْلًا وَيَتُوبُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيُنِيْبُ إِلَيْهِ قَدْ وَرَدَ عِنْدَ النَّسَائِيِّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَانِي رَجُلَانِ وَأَنَا نَائِمٌ فَأَخَذَا بِضَبْعَيَّ فَانْطَلَقَا بِي فَأَتَيْنَا إِلَى رِجَالٍ مُعَلَّقِيْنَ بِعَرَاقِيبِهِمْ مُشَقَّقَةً أَشْدَاقُهُمْ يَسِيلُ مِنْهَا الدَّمُ قُلْتُ مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَا هَؤُلَاءِ الَّذِيْنَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ الصِّيَامِ نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ مَا يَجُوزُ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَتَهَاوَنَ فِي هَذَا الْأَمْرِ يَا إِخْوَانُ وَأَنْ يَتَسَاهَلَ وَالْوَاجِبُ تَوْعِيَّةُ الشَّبَابِ النَّاشِئَةِ الْأَوْلَادِ وَالْبَنَاتِ حَوْلَ هَذَا الْأَمْرِ وَخُطُورَتِهِ وَأَنَّهُ لَا يَجُوزُ التَّسَاهُلُ الْحَمْدُ لِلَّهِ يَعْنِي هَذَا لَا يُمَثِّلُ ظَاهِرَةً فِي مُجْتَمَعِنَا لَكِنْ عَلَى كُلِّ حَالٍ يُنَبَّهُ عَلَى مِثْلِ هَذِهِ الْأُمُورِ وَيُرَبَّى النَّاشِئَةُ عَلَيْهَا يَا إِخْوَانُ وَكَمَا ذُكِرَ أَنَّ الصِّيَامَ فِيهِ تَرْبِيَةٌ لِلْمُرَاقَبَةِ مُرَاقَبَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الْآنَ يَعْنِي يَدْخُلُ الْأَوْلَادُ فِي غُرَفِهِمْ وَيَأْخُذُ جِهَازَهُ يَلُفُّ الْعَالَمَ بِأَكْمَلِهِ يَسْمَعُ كُلَّ شَيْءٍ وَيَرَى كُلَّ شَيْءٍ مَنْ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَمْنَعَهُ؟ أَحَدٌ يَسْتَطِيعُ؟ إِلَّا أَنْ يَحْفَظَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِحِفْظِهِ لَكِنْ مِنْ أَسْبَابِ الْوِقَايَةِ يَا إِخْوَانُ تَرْبِيَتُهُمْ عَلَى مُرَاقَبَةِ رَبِّهِمْ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ إِذَا مَا خَلَوْتَ الدَّهْرَ يَوْمًا فَلَا تَقُلْ خَلَوْتُ وَلَكِنْ قُلْ عَلَيَّ رَقِيْبُ وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ يَغْفَلُ سَاعَةً وَلَا أَنَّ مَا يَخْفَى عَلَيْهِ يَغِيْبُ


Teruntuk orang yang membatalkan puasanya atau tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Mungkin ada orang yang memang dari awal harinya sudah tidak berpuasa Ramadhan. Ada juga yang berpuasa, lalu jika ia merasa berat sedikit saja, ia membatalkan puasanya. Ini perkara yang sangat besar dan berbahaya, saudaraku! Perkara ini bersinggungan langsung dengan salah satu rukun Islam. Puasa merupakan rukun apa, saudara-saudara? (Rukun Islam). Islam dibangun di atas lima rukun. Rukun keempat adalah puasa pada bulan Ramadhan. Tidak boleh seseorang meremehkan salah satu rukun utama Islam dan menggampangkannya. Namun, jika ada orang yang tidak berpuasa di masa lalunya, ia wajib mengqadha (mengganti puasanya di hari lain) dan bertobat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Semoga Allah menerima tobatnya. Ini perkara yang sangat serius, saudara-saudara! Sampai-sampai sebagian ulama berkata: jika seseorang sama sekali tidak berpuasa maka tidak berguna lagi baginya, meskipun ia menggantinya dengan berpuasa setahun penuh. Diriwayatkan (secara makna), bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang tidak berpuasa pada bulan Ramadhan dengan sengaja tanpa uzur atau sakit, maka puasa setahun penuh tidak dapat menggantinya, meskipun ia tetap berpuasa.” (Hadis ini dhaif menurut Syaikh Bin Baz). Namun, berdasarkan fatwa mayoritas ulama, ia harus mengqadha puasanya, baik itu karena ia tidak berpuasa sekali atau memang tidak berpuasa dari awal hari. Dia juga harus bertobat dan kembali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dalam riwayat an-Nasa’i, dari Abu Umamah, (disampaikan secara makna) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ada dua sosok yang datang kepadaku (dalam mimpi) ketika aku tertidur. Lalu mereka berdua memegang kedua lenganku dan membawaku pergi. Sampailah kami tiba di tempat orang-orang yang digantung dengan tumit mereka. Sudut mulut mereka robek hingga mengucurkan darah. Aku pun bertanya: ‘Siapa mereka itu?’ Dua sosok itu menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum waktunya berbuka.’” Kita berlindung kepada Allah dari kemurkaan-Nya. Tidak boleh seseorang meremehkan dan menggampangkan perkara ini, saudara-saudara! Kita wajib menyadarkan para pemuda, baik laki-laki maupun perempuan, tentang masalah ini dan bahayanya! Tidak boleh ada sikap meremehkan dalam masalah ini! Meskipun–alhamdulillah–fenomena ini tidak banyak terjadi di masyarakat kita. Namun, kita harus tetap memperingatkan hal seperti ini. Para pemuda harus dididik dengan benar tentang hal ini. Sebagaimana disebutkan bahwa puasa mengajarkan seseorang untuk merasa selalu diawasi oleh Allah. Di zaman sekarang, seorang anak bisa masuk ke kamarnya dengan membawa gadgetnya. Lalu ia menjelajahi seluruh dunia, hanya dalam genggamannya. Ia bisa mendengar segala sesuatu dan melihat segala sesuatu. Siapa yang dapat mencegahnya? Ada yang bisa mencegahnya? Tidak ada, kecuali jika Allah sendiri yang menjaganya dengan penjagaan-Nya! Namun, salah satu cara menjaga mereka adalah dengan mendidik mereka bahwa Allah selalu mengawasi mereka. Jika suatu hari engkau sedang sendiri, jangan katakan: “Aku sendirian di sini…” Tapi katakanlah: “Ada yang selalu mengawasi diriku…” Jangan pernah mengira Allah lalai walau sekejap. Tak ada yang tersembunyi dari-Nya. Tak ada yang luput dari pandangan-Nya. ==== وَإِلَى كُلِّ مَنْ كَانَ يُفْطِرُ يَا إِخْوَانِي فِي رَمَضَانَ أَوْ كَانَ لَا يَصُومُ فِي رَمَضَانَ يَعْنِي بَعْضُ النَّاسِ يُمْكِنُ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ لَا يَصُومُ أَصْلًا وَبَعْضُهُمْ يَصُومُ ثُمَّ إِذَا أَحَسَّ بِأَيِّ جُهْدٍ يُفْطِرُ الْأَمْرُ كَبِيرٌ وَخَطِيرٌ يَا إِخْوَانُ وَالْأَمْرُ يَمَسُّ رُكْنًا مِنْ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ الصِّيَامُ رُكْنُ إِيشْ يَا إِخْوَانُ؟ بُنِيَ الإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ رَابِعُهَا صِيَامُ رَمَضَانَ وَلَا يَجُوزُ الْإِنْسَانُ أَنْ يَتَهَاوَنَ بِرُكْنٍ رَكِيْنٍ مِنْ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ وَأَنْ يَتَسَاهَلَ فِيهِ وَإِذَا حَدَثَ أَنَّ إِنْسَانًا أَفْطَرَ فِيْمَا مَضَى فَيَجِبُ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَالتَّوْبَةُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْهِ الْأَمْرُ خَطِيرٌ يَا إِخْوَانُ حَتَّى إِنَّ بَعْضَ أَهْلِ الْعِلْمِ قَالَ إِذَا لَمْ يَصُمْ أَصْلًا لَا يُفِيدُهُ أَنْ يَقْضِيَ وَلَوْ صَامَ الدَّهْرَ كُلَّهُ وَقَدْ رُوِيَ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ أَفْطَرَ فِي رَمَضَانَ عَامِدًا مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلَا مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ وَلَوْ صَامَهُ وَعَلَى كُلِّ حَالٍ فَالْفَتْوَى عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ بِأَنَّهُ يَقْضِي سَوَاءٌ أَفْطَرَ أَوْ لَمْ يَعُدْ الصِّيَامَ أَصْلًا وَيَتُوبُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيُنِيْبُ إِلَيْهِ قَدْ وَرَدَ عِنْدَ النَّسَائِيِّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَانِي رَجُلَانِ وَأَنَا نَائِمٌ فَأَخَذَا بِضَبْعَيَّ فَانْطَلَقَا بِي فَأَتَيْنَا إِلَى رِجَالٍ مُعَلَّقِيْنَ بِعَرَاقِيبِهِمْ مُشَقَّقَةً أَشْدَاقُهُمْ يَسِيلُ مِنْهَا الدَّمُ قُلْتُ مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَا هَؤُلَاءِ الَّذِيْنَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ الصِّيَامِ نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ مَا يَجُوزُ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَتَهَاوَنَ فِي هَذَا الْأَمْرِ يَا إِخْوَانُ وَأَنْ يَتَسَاهَلَ وَالْوَاجِبُ تَوْعِيَّةُ الشَّبَابِ النَّاشِئَةِ الْأَوْلَادِ وَالْبَنَاتِ حَوْلَ هَذَا الْأَمْرِ وَخُطُورَتِهِ وَأَنَّهُ لَا يَجُوزُ التَّسَاهُلُ الْحَمْدُ لِلَّهِ يَعْنِي هَذَا لَا يُمَثِّلُ ظَاهِرَةً فِي مُجْتَمَعِنَا لَكِنْ عَلَى كُلِّ حَالٍ يُنَبَّهُ عَلَى مِثْلِ هَذِهِ الْأُمُورِ وَيُرَبَّى النَّاشِئَةُ عَلَيْهَا يَا إِخْوَانُ وَكَمَا ذُكِرَ أَنَّ الصِّيَامَ فِيهِ تَرْبِيَةٌ لِلْمُرَاقَبَةِ مُرَاقَبَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الْآنَ يَعْنِي يَدْخُلُ الْأَوْلَادُ فِي غُرَفِهِمْ وَيَأْخُذُ جِهَازَهُ يَلُفُّ الْعَالَمَ بِأَكْمَلِهِ يَسْمَعُ كُلَّ شَيْءٍ وَيَرَى كُلَّ شَيْءٍ مَنْ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَمْنَعَهُ؟ أَحَدٌ يَسْتَطِيعُ؟ إِلَّا أَنْ يَحْفَظَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِحِفْظِهِ لَكِنْ مِنْ أَسْبَابِ الْوِقَايَةِ يَا إِخْوَانُ تَرْبِيَتُهُمْ عَلَى مُرَاقَبَةِ رَبِّهِمْ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ إِذَا مَا خَلَوْتَ الدَّهْرَ يَوْمًا فَلَا تَقُلْ خَلَوْتُ وَلَكِنْ قُلْ عَلَيَّ رَقِيْبُ وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ يَغْفَلُ سَاعَةً وَلَا أَنَّ مَا يَخْفَى عَلَيْهِ يَغِيْبُ

Fatwa Ulama Tentang Salat Istikharah

Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘AdawiPertanyaan:Jawaban:Pertanyaan:Jawaban:Pertanyaan:Jawaban:Pertanyaan:Jawaban:Pertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Sebutkan hadis tentang (salat) istikharah, jelaskan pula siapa (ulama hadis) yang mengeluarkan dan siapa sahabat yang meriwayatkan. Jawaban: Hadis tentang salat istikharah dikeluarkan oleh Imam Bukhari rahimahullah, dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا الِاسْتِخَارَةَ فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنَ القُرْآنِ، يَقُولُ: إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ، فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الفَرِيضَةِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ العَظِيمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلَّامُ الغُيُوبِ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي – أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ – فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي، ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي – أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ – فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ، وَاقْدُرْ لِي الخَيْرَ حَيْثُ كَانَ، ثُمَّ أَرْضِنِي قَالَ: وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengajarkan istikharah kepada kami untuk setiap perkara, sebagaimana mengajarkan surat dari Al-Quran. Beliau berkata, “Jika salah seorang dari kalian menginginkan sesuatu, maka hendaknya ia mengerjakan dua rakaat selain salat wajib, lalu ia mengucapkan, ALLAHUMMA INNI ASTAKHIRUKA BI ‘ILMIKA WA ASTAQDIRUKA BI QUDRATIKA WA AS’ALUKA MIN FADLIKAL ADZIMI FAINNAKA TAQDIRU WALA AQDIRU WA TA’LAMU WALA A’LAMU WA ANTA A’LAMUL GHUYUB, ALLAHUMMA FAIN KUNTA TA’LAMU HADZAL AMRA (maka ia menyebutkan hajat yang ia inginkan) KHAIRAN LII FII DIINII WA MA’AASYII WA ‘AQIBATI AMRI -atau berkata; FII ‘AAJILI AMRII WA AAJILIHI- FAQDURHU LI WA IN KUNTA TA’LAMU ANNA HAADZAL AMRA SYARRAN LI FI DIINII WA MA’AASYII WA ‘AAQIBATI AMRII -atau berkata; FII ‘AAJILI AMRII WA AAJILIHI- FASHRIFHU ‘ANNI WASHRIFNI ‘ANHU WAQDURLIIL KHAIRA HAITSU KAANA TSUMMA RADDLINI BIHI. (Ya Allah, saya memohon pilihan kepada Engkau dengan ilmu-Mu, saya memohon penetapan dengan kekuasaan-Mu dan saya memohon karunia-Mu yang besar, karena Engkaulah yang berkuasa sedangkan saya tidak berkuasa, Engkaulah yang Maha Mengetahui sedangkan saya tidak mengetahui apa-apa, dan Engkau Maha Mengetahui segala yang gaib. Ya Allah, jikalau Engkau mengetahui urusanku ini (ia sebutkan hajatnya) adalah baik untukku dalam agamaku, kehidupanku, serta akibat urusanku -atau berkata; baik di dunia atau di akhirat-; maka takdirkanlah untukku serta mudahkanlah bagiku dan berilah berkah kepadaku. Sebaliknya, jikalau Engkau mengetahui bahwa urusanku ini (ia menyebutkan hajatnya) buruk untukku, agamaku, kehidupanku, serta akibat urusanku, -atau berkata; baik di dunia ataupun di akhirat-; maka jauhkanlah aku darinya, serta takdirkanlah untukku yang baik baik saja, kemudian jadikanlah aku rida dengannya.) Lalu ia menyebutkan hajatnya.” (HR. Bukhari no. 6382)   Pertanyaan: Apakah orang yang mendirikan salat istikharah pasti bermimpi sesuatu? Jawaban: Hal itu tidak pasti, karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu. Salat istikharah sendiri hakikatnya adalah doa, sebagaimana doa-doa yang lainnya. Jika Allah memudahkan urusannya setelah salat istikharah tersebut, maka hanya kepada Allah-lah dia memuji. Namun, jika Allah menghendaki perkara yang lain, maka Allah adalah Dzat Yang Maha mengetahui (Al-‘Aliim dan Al-Khabiir) dan hanya kepada Allah-lah dia memuji di awal dan akhirnya.   Pertanyaan: Apakah boleh mendirikan salat istikharah setelah dua rakaat Dhuha atau sunah rawatib Dzuhur, misalnya? Jawaban: Iya, boleh mendirikan salat istikharah setelah selesai mendirikan salat sunah apapun, hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الفَرِيضَةِ “ … maka hendaknya ia mengerjakan dua rakaat selain salat wajib … “   Pertanyaan: Apakah disyariatkan untuk mengulang salat istikharah? Jawaban: Iya, disyariatkan untuk mengulang salat istikharah, karena (hakikat) salat istikharah adalah doa sebagaimana penjelasan sebelumnya. Sedangkan mengulang-ulang dan memperbanyak doa adalah perkara yang disyariatkan. Wallahu Ta’ala a’lam.   Pertanyaan: Apakah disyariatkan salat istikharah dalam semua kondisi ketika seorang laki-laki melamar seorang wanita? Jawaban: Tidaklah disyariatkan dalam semua keadaan. Ketika yang meminang seorang wanita adalah laki-laki fasik, fajir, peminum khamr, tukang mabuk, tukag pembuat onar, maka dia tidak perlu salat istikharah kepada Allah sama sekali. Hal ini karena terdapat dalil-dalil umum dari kitabullah dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang memotivasi untuk menolak laki-laki tersebut. Demikian pula, seorang laki-laki tidak perlu salat istikharah apakah hendak menikah dengan wanita pezina atau tidak. Karena Allah Ta’ala berfirman, الزَّانِي لَا يَنكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ “Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.” (QS. An-Nur: 3) Baca juga: Panduan Ringkas Salat Istikharah *** @Unayzah, 7 Ramadan 1446/ 7 Maret 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 60-61.

Fatwa Ulama Tentang Salat Istikharah

Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘AdawiPertanyaan:Jawaban:Pertanyaan:Jawaban:Pertanyaan:Jawaban:Pertanyaan:Jawaban:Pertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Sebutkan hadis tentang (salat) istikharah, jelaskan pula siapa (ulama hadis) yang mengeluarkan dan siapa sahabat yang meriwayatkan. Jawaban: Hadis tentang salat istikharah dikeluarkan oleh Imam Bukhari rahimahullah, dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا الِاسْتِخَارَةَ فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنَ القُرْآنِ، يَقُولُ: إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ، فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الفَرِيضَةِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ العَظِيمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلَّامُ الغُيُوبِ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي – أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ – فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي، ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي – أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ – فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ، وَاقْدُرْ لِي الخَيْرَ حَيْثُ كَانَ، ثُمَّ أَرْضِنِي قَالَ: وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengajarkan istikharah kepada kami untuk setiap perkara, sebagaimana mengajarkan surat dari Al-Quran. Beliau berkata, “Jika salah seorang dari kalian menginginkan sesuatu, maka hendaknya ia mengerjakan dua rakaat selain salat wajib, lalu ia mengucapkan, ALLAHUMMA INNI ASTAKHIRUKA BI ‘ILMIKA WA ASTAQDIRUKA BI QUDRATIKA WA AS’ALUKA MIN FADLIKAL ADZIMI FAINNAKA TAQDIRU WALA AQDIRU WA TA’LAMU WALA A’LAMU WA ANTA A’LAMUL GHUYUB, ALLAHUMMA FAIN KUNTA TA’LAMU HADZAL AMRA (maka ia menyebutkan hajat yang ia inginkan) KHAIRAN LII FII DIINII WA MA’AASYII WA ‘AQIBATI AMRI -atau berkata; FII ‘AAJILI AMRII WA AAJILIHI- FAQDURHU LI WA IN KUNTA TA’LAMU ANNA HAADZAL AMRA SYARRAN LI FI DIINII WA MA’AASYII WA ‘AAQIBATI AMRII -atau berkata; FII ‘AAJILI AMRII WA AAJILIHI- FASHRIFHU ‘ANNI WASHRIFNI ‘ANHU WAQDURLIIL KHAIRA HAITSU KAANA TSUMMA RADDLINI BIHI. (Ya Allah, saya memohon pilihan kepada Engkau dengan ilmu-Mu, saya memohon penetapan dengan kekuasaan-Mu dan saya memohon karunia-Mu yang besar, karena Engkaulah yang berkuasa sedangkan saya tidak berkuasa, Engkaulah yang Maha Mengetahui sedangkan saya tidak mengetahui apa-apa, dan Engkau Maha Mengetahui segala yang gaib. Ya Allah, jikalau Engkau mengetahui urusanku ini (ia sebutkan hajatnya) adalah baik untukku dalam agamaku, kehidupanku, serta akibat urusanku -atau berkata; baik di dunia atau di akhirat-; maka takdirkanlah untukku serta mudahkanlah bagiku dan berilah berkah kepadaku. Sebaliknya, jikalau Engkau mengetahui bahwa urusanku ini (ia menyebutkan hajatnya) buruk untukku, agamaku, kehidupanku, serta akibat urusanku, -atau berkata; baik di dunia ataupun di akhirat-; maka jauhkanlah aku darinya, serta takdirkanlah untukku yang baik baik saja, kemudian jadikanlah aku rida dengannya.) Lalu ia menyebutkan hajatnya.” (HR. Bukhari no. 6382)   Pertanyaan: Apakah orang yang mendirikan salat istikharah pasti bermimpi sesuatu? Jawaban: Hal itu tidak pasti, karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu. Salat istikharah sendiri hakikatnya adalah doa, sebagaimana doa-doa yang lainnya. Jika Allah memudahkan urusannya setelah salat istikharah tersebut, maka hanya kepada Allah-lah dia memuji. Namun, jika Allah menghendaki perkara yang lain, maka Allah adalah Dzat Yang Maha mengetahui (Al-‘Aliim dan Al-Khabiir) dan hanya kepada Allah-lah dia memuji di awal dan akhirnya.   Pertanyaan: Apakah boleh mendirikan salat istikharah setelah dua rakaat Dhuha atau sunah rawatib Dzuhur, misalnya? Jawaban: Iya, boleh mendirikan salat istikharah setelah selesai mendirikan salat sunah apapun, hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الفَرِيضَةِ “ … maka hendaknya ia mengerjakan dua rakaat selain salat wajib … “   Pertanyaan: Apakah disyariatkan untuk mengulang salat istikharah? Jawaban: Iya, disyariatkan untuk mengulang salat istikharah, karena (hakikat) salat istikharah adalah doa sebagaimana penjelasan sebelumnya. Sedangkan mengulang-ulang dan memperbanyak doa adalah perkara yang disyariatkan. Wallahu Ta’ala a’lam.   Pertanyaan: Apakah disyariatkan salat istikharah dalam semua kondisi ketika seorang laki-laki melamar seorang wanita? Jawaban: Tidaklah disyariatkan dalam semua keadaan. Ketika yang meminang seorang wanita adalah laki-laki fasik, fajir, peminum khamr, tukang mabuk, tukag pembuat onar, maka dia tidak perlu salat istikharah kepada Allah sama sekali. Hal ini karena terdapat dalil-dalil umum dari kitabullah dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang memotivasi untuk menolak laki-laki tersebut. Demikian pula, seorang laki-laki tidak perlu salat istikharah apakah hendak menikah dengan wanita pezina atau tidak. Karena Allah Ta’ala berfirman, الزَّانِي لَا يَنكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ “Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.” (QS. An-Nur: 3) Baca juga: Panduan Ringkas Salat Istikharah *** @Unayzah, 7 Ramadan 1446/ 7 Maret 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 60-61.
Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘AdawiPertanyaan:Jawaban:Pertanyaan:Jawaban:Pertanyaan:Jawaban:Pertanyaan:Jawaban:Pertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Sebutkan hadis tentang (salat) istikharah, jelaskan pula siapa (ulama hadis) yang mengeluarkan dan siapa sahabat yang meriwayatkan. Jawaban: Hadis tentang salat istikharah dikeluarkan oleh Imam Bukhari rahimahullah, dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا الِاسْتِخَارَةَ فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنَ القُرْآنِ، يَقُولُ: إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ، فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الفَرِيضَةِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ العَظِيمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلَّامُ الغُيُوبِ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي – أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ – فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي، ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي – أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ – فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ، وَاقْدُرْ لِي الخَيْرَ حَيْثُ كَانَ، ثُمَّ أَرْضِنِي قَالَ: وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengajarkan istikharah kepada kami untuk setiap perkara, sebagaimana mengajarkan surat dari Al-Quran. Beliau berkata, “Jika salah seorang dari kalian menginginkan sesuatu, maka hendaknya ia mengerjakan dua rakaat selain salat wajib, lalu ia mengucapkan, ALLAHUMMA INNI ASTAKHIRUKA BI ‘ILMIKA WA ASTAQDIRUKA BI QUDRATIKA WA AS’ALUKA MIN FADLIKAL ADZIMI FAINNAKA TAQDIRU WALA AQDIRU WA TA’LAMU WALA A’LAMU WA ANTA A’LAMUL GHUYUB, ALLAHUMMA FAIN KUNTA TA’LAMU HADZAL AMRA (maka ia menyebutkan hajat yang ia inginkan) KHAIRAN LII FII DIINII WA MA’AASYII WA ‘AQIBATI AMRI -atau berkata; FII ‘AAJILI AMRII WA AAJILIHI- FAQDURHU LI WA IN KUNTA TA’LAMU ANNA HAADZAL AMRA SYARRAN LI FI DIINII WA MA’AASYII WA ‘AAQIBATI AMRII -atau berkata; FII ‘AAJILI AMRII WA AAJILIHI- FASHRIFHU ‘ANNI WASHRIFNI ‘ANHU WAQDURLIIL KHAIRA HAITSU KAANA TSUMMA RADDLINI BIHI. (Ya Allah, saya memohon pilihan kepada Engkau dengan ilmu-Mu, saya memohon penetapan dengan kekuasaan-Mu dan saya memohon karunia-Mu yang besar, karena Engkaulah yang berkuasa sedangkan saya tidak berkuasa, Engkaulah yang Maha Mengetahui sedangkan saya tidak mengetahui apa-apa, dan Engkau Maha Mengetahui segala yang gaib. Ya Allah, jikalau Engkau mengetahui urusanku ini (ia sebutkan hajatnya) adalah baik untukku dalam agamaku, kehidupanku, serta akibat urusanku -atau berkata; baik di dunia atau di akhirat-; maka takdirkanlah untukku serta mudahkanlah bagiku dan berilah berkah kepadaku. Sebaliknya, jikalau Engkau mengetahui bahwa urusanku ini (ia menyebutkan hajatnya) buruk untukku, agamaku, kehidupanku, serta akibat urusanku, -atau berkata; baik di dunia ataupun di akhirat-; maka jauhkanlah aku darinya, serta takdirkanlah untukku yang baik baik saja, kemudian jadikanlah aku rida dengannya.) Lalu ia menyebutkan hajatnya.” (HR. Bukhari no. 6382)   Pertanyaan: Apakah orang yang mendirikan salat istikharah pasti bermimpi sesuatu? Jawaban: Hal itu tidak pasti, karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu. Salat istikharah sendiri hakikatnya adalah doa, sebagaimana doa-doa yang lainnya. Jika Allah memudahkan urusannya setelah salat istikharah tersebut, maka hanya kepada Allah-lah dia memuji. Namun, jika Allah menghendaki perkara yang lain, maka Allah adalah Dzat Yang Maha mengetahui (Al-‘Aliim dan Al-Khabiir) dan hanya kepada Allah-lah dia memuji di awal dan akhirnya.   Pertanyaan: Apakah boleh mendirikan salat istikharah setelah dua rakaat Dhuha atau sunah rawatib Dzuhur, misalnya? Jawaban: Iya, boleh mendirikan salat istikharah setelah selesai mendirikan salat sunah apapun, hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الفَرِيضَةِ “ … maka hendaknya ia mengerjakan dua rakaat selain salat wajib … “   Pertanyaan: Apakah disyariatkan untuk mengulang salat istikharah? Jawaban: Iya, disyariatkan untuk mengulang salat istikharah, karena (hakikat) salat istikharah adalah doa sebagaimana penjelasan sebelumnya. Sedangkan mengulang-ulang dan memperbanyak doa adalah perkara yang disyariatkan. Wallahu Ta’ala a’lam.   Pertanyaan: Apakah disyariatkan salat istikharah dalam semua kondisi ketika seorang laki-laki melamar seorang wanita? Jawaban: Tidaklah disyariatkan dalam semua keadaan. Ketika yang meminang seorang wanita adalah laki-laki fasik, fajir, peminum khamr, tukang mabuk, tukag pembuat onar, maka dia tidak perlu salat istikharah kepada Allah sama sekali. Hal ini karena terdapat dalil-dalil umum dari kitabullah dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang memotivasi untuk menolak laki-laki tersebut. Demikian pula, seorang laki-laki tidak perlu salat istikharah apakah hendak menikah dengan wanita pezina atau tidak. Karena Allah Ta’ala berfirman, الزَّانِي لَا يَنكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ “Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.” (QS. An-Nur: 3) Baca juga: Panduan Ringkas Salat Istikharah *** @Unayzah, 7 Ramadan 1446/ 7 Maret 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 60-61.


Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘AdawiPertanyaan:Jawaban:Pertanyaan:Jawaban:Pertanyaan:Jawaban:Pertanyaan:Jawaban:Pertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Sebutkan hadis tentang (salat) istikharah, jelaskan pula siapa (ulama hadis) yang mengeluarkan dan siapa sahabat yang meriwayatkan. Jawaban: Hadis tentang salat istikharah dikeluarkan oleh Imam Bukhari rahimahullah, dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا الِاسْتِخَارَةَ فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنَ القُرْآنِ، يَقُولُ: إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ، فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الفَرِيضَةِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ العَظِيمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلَّامُ الغُيُوبِ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي – أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ – فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي، ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي – أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ – فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ، وَاقْدُرْ لِي الخَيْرَ حَيْثُ كَانَ، ثُمَّ أَرْضِنِي قَالَ: وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengajarkan istikharah kepada kami untuk setiap perkara, sebagaimana mengajarkan surat dari Al-Quran. Beliau berkata, “Jika salah seorang dari kalian menginginkan sesuatu, maka hendaknya ia mengerjakan dua rakaat selain salat wajib, lalu ia mengucapkan, ALLAHUMMA INNI ASTAKHIRUKA BI ‘ILMIKA WA ASTAQDIRUKA BI QUDRATIKA WA AS’ALUKA MIN FADLIKAL ADZIMI FAINNAKA TAQDIRU WALA AQDIRU WA TA’LAMU WALA A’LAMU WA ANTA A’LAMUL GHUYUB, ALLAHUMMA FAIN KUNTA TA’LAMU HADZAL AMRA (maka ia menyebutkan hajat yang ia inginkan) KHAIRAN LII FII DIINII WA MA’AASYII WA ‘AQIBATI AMRI -atau berkata; FII ‘AAJILI AMRII WA AAJILIHI- FAQDURHU LI WA IN KUNTA TA’LAMU ANNA HAADZAL AMRA SYARRAN LI FI DIINII WA MA’AASYII WA ‘AAQIBATI AMRII -atau berkata; FII ‘AAJILI AMRII WA AAJILIHI- FASHRIFHU ‘ANNI WASHRIFNI ‘ANHU WAQDURLIIL KHAIRA HAITSU KAANA TSUMMA RADDLINI BIHI. (Ya Allah, saya memohon pilihan kepada Engkau dengan ilmu-Mu, saya memohon penetapan dengan kekuasaan-Mu dan saya memohon karunia-Mu yang besar, karena Engkaulah yang berkuasa sedangkan saya tidak berkuasa, Engkaulah yang Maha Mengetahui sedangkan saya tidak mengetahui apa-apa, dan Engkau Maha Mengetahui segala yang gaib. Ya Allah, jikalau Engkau mengetahui urusanku ini (ia sebutkan hajatnya) adalah baik untukku dalam agamaku, kehidupanku, serta akibat urusanku -atau berkata; baik di dunia atau di akhirat-; maka takdirkanlah untukku serta mudahkanlah bagiku dan berilah berkah kepadaku. Sebaliknya, jikalau Engkau mengetahui bahwa urusanku ini (ia menyebutkan hajatnya) buruk untukku, agamaku, kehidupanku, serta akibat urusanku, -atau berkata; baik di dunia ataupun di akhirat-; maka jauhkanlah aku darinya, serta takdirkanlah untukku yang baik baik saja, kemudian jadikanlah aku rida dengannya.) Lalu ia menyebutkan hajatnya.” (HR. Bukhari no. 6382)   Pertanyaan: Apakah orang yang mendirikan salat istikharah pasti bermimpi sesuatu? Jawaban: Hal itu tidak pasti, karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu. Salat istikharah sendiri hakikatnya adalah doa, sebagaimana doa-doa yang lainnya. Jika Allah memudahkan urusannya setelah salat istikharah tersebut, maka hanya kepada Allah-lah dia memuji. Namun, jika Allah menghendaki perkara yang lain, maka Allah adalah Dzat Yang Maha mengetahui (Al-‘Aliim dan Al-Khabiir) dan hanya kepada Allah-lah dia memuji di awal dan akhirnya.   Pertanyaan: Apakah boleh mendirikan salat istikharah setelah dua rakaat Dhuha atau sunah rawatib Dzuhur, misalnya? Jawaban: Iya, boleh mendirikan salat istikharah setelah selesai mendirikan salat sunah apapun, hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الفَرِيضَةِ “ … maka hendaknya ia mengerjakan dua rakaat selain salat wajib … “   Pertanyaan: Apakah disyariatkan untuk mengulang salat istikharah? Jawaban: Iya, disyariatkan untuk mengulang salat istikharah, karena (hakikat) salat istikharah adalah doa sebagaimana penjelasan sebelumnya. Sedangkan mengulang-ulang dan memperbanyak doa adalah perkara yang disyariatkan. Wallahu Ta’ala a’lam.   Pertanyaan: Apakah disyariatkan salat istikharah dalam semua kondisi ketika seorang laki-laki melamar seorang wanita? Jawaban: Tidaklah disyariatkan dalam semua keadaan. Ketika yang meminang seorang wanita adalah laki-laki fasik, fajir, peminum khamr, tukang mabuk, tukag pembuat onar, maka dia tidak perlu salat istikharah kepada Allah sama sekali. Hal ini karena terdapat dalil-dalil umum dari kitabullah dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang memotivasi untuk menolak laki-laki tersebut. Demikian pula, seorang laki-laki tidak perlu salat istikharah apakah hendak menikah dengan wanita pezina atau tidak. Karena Allah Ta’ala berfirman, الزَّانِي لَا يَنكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ “Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.” (QS. An-Nur: 3) Baca juga: Panduan Ringkas Salat Istikharah *** @Unayzah, 7 Ramadan 1446/ 7 Maret 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 60-61.

Ternyata, Ini Alasan Hidup Kita Kurang Berkah – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Saudaraku, bersungguh-sungguhlah untuk membaca al-Quran, di Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Kita tidak hanya memerlukan al-Quran, tapi–demi Allah–kita sangat bergantung kepadanya. Kita perlu sekali untuk mendidik generasi muda kita di atas ajaran al-Quran. Kita sebagai orang tua, juga harus membiasakan diri membacanya, wahai saudaraku. Karena Tuhan kita berfirman: “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad), penuh dengan berkah…” (QS. Shad: 29). Dalam 4 ayat, al-Quran disifati sebagai Kitab yang penuh berkah. Pada ayat tadi (QS.Shad ayat 29). Juga ayat di surah al-Anbiya: “Dan ini (al-Quran) adalah peringatan yang penuh berkah…” (QS. al-Anbiya: 50). Lalu dua ayat dalam surat al-An’am: “Dan ini adalah Kitab (al-Quran) yang Kami turunkan dengan penuh berkah…” (QS. al-An’am: 92 dan 155). Apa yang dapat kita perhatikan pada sifat “penuh berkah” yang disebutkan dalam ayat-ayat ini? Perhatikan ayat: “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad), penuh dengan berkah…” (QS. Shad: 29). Perhatikanlah tadabur ini, wahai saudaraku. “Dan ini (al-Quran) adalah peringatan yang penuh berkah, yang Kami turunkan…” (QS. al-Anbiya: 50). “Dan ini adalah Kitab (al-Quran) yang Kami turunkan dengan penuh berkah…” (QS. al-An’am: 92 dan 155). Apa yang dapat kalian perhatikan dari ayat ini? Silakan! Apakah ini jawaban dari pertanyaan tadi? Bukan, maksud saya, apa yang kalian simpulkan dari susunan ayat tersebut? Perhatikan lagi: “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad), penuh dengan berkah…” (QS. Shad: 29). Ya, keberkahannya bersifat mutlak, bagus! Allah tidak berfirman bahwa al-Quran ini hanya membawa berkah kepadamu, keluargamu, rumahmu, atau hanya kepada hatimu. Tidak disebutkan bahwa keberkahannya hanya untuk agamamu, duniamu, atau akhiratmu. Tidak! Penyebutan secara mutlak ini menunjukkan apa? Menunjukkan bahwa keberkahannya tidak terbatas, tidak terhitung, dan tidak bisa dikurung dalam batasan! Demi Allah, kita tidak perlu memperdebatkan apakah al-Quran itu penuh berkah atau tidak, wahai saudaraku. Allah memberkahi seorang hamba melalui al-Quran—di hatinya, di imannya, dalam agamanya, di segala urusannya, di seluruh kehidupannya. Bahkan, Allah memberkahi waktunya dan amal perbuatannya. Allah juga memberkahinya dalam keturunannya, anak-anaknya. Maka, bersemangatlah membaca al-Quran, baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Hendaknya setiap kita memiliki wirid harian dari al-Quran, wahai saudaraku, membacanya setiap hari. Lisannya senantiasa melafalkannya, dan telinganya senantiasa mendengarnya, hingga al-Quran itu meresap ke dalam hatinya, agar dapat memberi pengaruh padanya. Namun, bacalah dengan penuh perenungan (tadabur). Semoga Allah memberkahi kalian! ==== وَاجْتَهِدُوا يَا إِخْوَانِي فِي قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ فِي رَمَضَانَ وَفِي غَيْرِ رَمَضَانَ نَحْنُ يَا إِخْوَانُ لَسْنَا مُحْتَاجِينَ لِلْقُرْآنِ بَلْ وَاللَّهِ مُضْطَرِّيْنَ إِلَيْهِ مُضْطَرُّوْنَ إِلَيْهِ أَنْ نُرَبِّيَ عَلَيْهِ يَا إِخْوَانُ شَبَابَنَا وَأَنْ نَقْرَأَهُ نَحْنُ الْآبَاءُ نَقْرَأَهُ يَا إِخْوَانُ لِأَنَّ رَبَّنَا قَالَ كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ فِي أَرْبَعِ آيَاتٍ مِنَ الْقُرْآنِ وُصِفَ بِأَنَّهُ مُبَارَكٌ هَذِهِ الْآيَةُ آيَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَهَٰذَا ذِكْرٌ مُّبَارَكٌ أَنزَلْنَاهُ وَآيَتَانِ فِي الْأَنْعَامِ وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مَاذَا الَّذِي يُلَاحَظُ يَا إِخْوَانِي فِي وَصْفِهِ بِالْبَرَكَةِ فِي هَذَهِ الآيَاتِ؟ تَأَمَّلُوا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ تَرَى هَذَا التَّدَبُّرَ يَا إِخْوَانُ وَهَذَا ذِكْرٌ مُبَارَكٌ أَنْزَلْنَاهُ وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مَاذَا تُلَاحِظُونَ؟ تَفَضَّلْ يَعْنِي هَذَا إِجَابَةٌ عَنِ السُّؤَالِ يَعْنِي؟ لَا أَنَا قَصْدِيْ مَاذَا تَلْحَظُ فِي سِيَاقِ الْآيَةِ؟ تَأَمَّلْ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ أَيْ نَعَمْ بَرَكَةٌ مُطْلَقَةٌ جَمِيلٌ لَمْ يَقُلِ اللَّهُ تَعَالَى مُبَارَكًا عَلَيْكَ عَلَى بَيْتِكَ عَلَى أَهْلِكَ عَلَى قَلْبِكَ فِي دِينِكَ فِي دُنْيَاكَ فِي آخِرَتِكَ لَا وَهَذَا الْإِطْلَاقُ يَدُلُّ عَلَى أَيْش؟ عَلَى أَنَّ الْبَرَكَةَ لَا حَدَّ لَهَا وَلَا عَدَّ وَلاَ حَصْرَ وَاللَّهِ إِنَّهُ لَسْتُمْ بِحَاجَةٍ إِلَى أَنْ نُنَاقِشَهُ يَا إِخْوَانِي إِنَّهُ مُبَارَكٌ يُبَارِكُ اللَّهُ عَلَى الْإِنْسَانِ يَا إِخْوَانِي فِي قَلْبِهِ فِي إِيْمَانِهِ فِي دِينِهِ فِي كُلِّ أَحْوَالِهِ وَشُؤُونِهِ حَتَّى يُبَارِكَ اللَّهُ لَهُ فِي أَوْقَاتِهِ وَفِي أَعْمَالِهِ وَيُبَارَكُ لَهُ فِي عَقِبِهِ وَفِي ذُرِّيَّتِهِ فَاحْرِصُوا عَلَى قِرَاءَتِهِ فِي رَمَضَانَ وَفِي غَيْرِ رَمَضَانَ وَلْيَكُنْ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَّا يَا إِخْوَانِي وِرْدٌ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَقْرَأُهُ كُلَّ يَوْمٍ يَتَحَرَّكُ بِهِ لِسَانُهُ يَسْمَعُهُ بِأُذُنِهِ وَيَصِلُ إِلَى قَلْبِهِ فَيَكُونُ لَهُ الْأَثَرُ لَكِنْ اقْرَؤُوْهُ بِتَدَبُّرٍ بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ

Ternyata, Ini Alasan Hidup Kita Kurang Berkah – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Saudaraku, bersungguh-sungguhlah untuk membaca al-Quran, di Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Kita tidak hanya memerlukan al-Quran, tapi–demi Allah–kita sangat bergantung kepadanya. Kita perlu sekali untuk mendidik generasi muda kita di atas ajaran al-Quran. Kita sebagai orang tua, juga harus membiasakan diri membacanya, wahai saudaraku. Karena Tuhan kita berfirman: “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad), penuh dengan berkah…” (QS. Shad: 29). Dalam 4 ayat, al-Quran disifati sebagai Kitab yang penuh berkah. Pada ayat tadi (QS.Shad ayat 29). Juga ayat di surah al-Anbiya: “Dan ini (al-Quran) adalah peringatan yang penuh berkah…” (QS. al-Anbiya: 50). Lalu dua ayat dalam surat al-An’am: “Dan ini adalah Kitab (al-Quran) yang Kami turunkan dengan penuh berkah…” (QS. al-An’am: 92 dan 155). Apa yang dapat kita perhatikan pada sifat “penuh berkah” yang disebutkan dalam ayat-ayat ini? Perhatikan ayat: “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad), penuh dengan berkah…” (QS. Shad: 29). Perhatikanlah tadabur ini, wahai saudaraku. “Dan ini (al-Quran) adalah peringatan yang penuh berkah, yang Kami turunkan…” (QS. al-Anbiya: 50). “Dan ini adalah Kitab (al-Quran) yang Kami turunkan dengan penuh berkah…” (QS. al-An’am: 92 dan 155). Apa yang dapat kalian perhatikan dari ayat ini? Silakan! Apakah ini jawaban dari pertanyaan tadi? Bukan, maksud saya, apa yang kalian simpulkan dari susunan ayat tersebut? Perhatikan lagi: “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad), penuh dengan berkah…” (QS. Shad: 29). Ya, keberkahannya bersifat mutlak, bagus! Allah tidak berfirman bahwa al-Quran ini hanya membawa berkah kepadamu, keluargamu, rumahmu, atau hanya kepada hatimu. Tidak disebutkan bahwa keberkahannya hanya untuk agamamu, duniamu, atau akhiratmu. Tidak! Penyebutan secara mutlak ini menunjukkan apa? Menunjukkan bahwa keberkahannya tidak terbatas, tidak terhitung, dan tidak bisa dikurung dalam batasan! Demi Allah, kita tidak perlu memperdebatkan apakah al-Quran itu penuh berkah atau tidak, wahai saudaraku. Allah memberkahi seorang hamba melalui al-Quran—di hatinya, di imannya, dalam agamanya, di segala urusannya, di seluruh kehidupannya. Bahkan, Allah memberkahi waktunya dan amal perbuatannya. Allah juga memberkahinya dalam keturunannya, anak-anaknya. Maka, bersemangatlah membaca al-Quran, baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Hendaknya setiap kita memiliki wirid harian dari al-Quran, wahai saudaraku, membacanya setiap hari. Lisannya senantiasa melafalkannya, dan telinganya senantiasa mendengarnya, hingga al-Quran itu meresap ke dalam hatinya, agar dapat memberi pengaruh padanya. Namun, bacalah dengan penuh perenungan (tadabur). Semoga Allah memberkahi kalian! ==== وَاجْتَهِدُوا يَا إِخْوَانِي فِي قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ فِي رَمَضَانَ وَفِي غَيْرِ رَمَضَانَ نَحْنُ يَا إِخْوَانُ لَسْنَا مُحْتَاجِينَ لِلْقُرْآنِ بَلْ وَاللَّهِ مُضْطَرِّيْنَ إِلَيْهِ مُضْطَرُّوْنَ إِلَيْهِ أَنْ نُرَبِّيَ عَلَيْهِ يَا إِخْوَانُ شَبَابَنَا وَأَنْ نَقْرَأَهُ نَحْنُ الْآبَاءُ نَقْرَأَهُ يَا إِخْوَانُ لِأَنَّ رَبَّنَا قَالَ كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ فِي أَرْبَعِ آيَاتٍ مِنَ الْقُرْآنِ وُصِفَ بِأَنَّهُ مُبَارَكٌ هَذِهِ الْآيَةُ آيَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَهَٰذَا ذِكْرٌ مُّبَارَكٌ أَنزَلْنَاهُ وَآيَتَانِ فِي الْأَنْعَامِ وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مَاذَا الَّذِي يُلَاحَظُ يَا إِخْوَانِي فِي وَصْفِهِ بِالْبَرَكَةِ فِي هَذَهِ الآيَاتِ؟ تَأَمَّلُوا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ تَرَى هَذَا التَّدَبُّرَ يَا إِخْوَانُ وَهَذَا ذِكْرٌ مُبَارَكٌ أَنْزَلْنَاهُ وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مَاذَا تُلَاحِظُونَ؟ تَفَضَّلْ يَعْنِي هَذَا إِجَابَةٌ عَنِ السُّؤَالِ يَعْنِي؟ لَا أَنَا قَصْدِيْ مَاذَا تَلْحَظُ فِي سِيَاقِ الْآيَةِ؟ تَأَمَّلْ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ أَيْ نَعَمْ بَرَكَةٌ مُطْلَقَةٌ جَمِيلٌ لَمْ يَقُلِ اللَّهُ تَعَالَى مُبَارَكًا عَلَيْكَ عَلَى بَيْتِكَ عَلَى أَهْلِكَ عَلَى قَلْبِكَ فِي دِينِكَ فِي دُنْيَاكَ فِي آخِرَتِكَ لَا وَهَذَا الْإِطْلَاقُ يَدُلُّ عَلَى أَيْش؟ عَلَى أَنَّ الْبَرَكَةَ لَا حَدَّ لَهَا وَلَا عَدَّ وَلاَ حَصْرَ وَاللَّهِ إِنَّهُ لَسْتُمْ بِحَاجَةٍ إِلَى أَنْ نُنَاقِشَهُ يَا إِخْوَانِي إِنَّهُ مُبَارَكٌ يُبَارِكُ اللَّهُ عَلَى الْإِنْسَانِ يَا إِخْوَانِي فِي قَلْبِهِ فِي إِيْمَانِهِ فِي دِينِهِ فِي كُلِّ أَحْوَالِهِ وَشُؤُونِهِ حَتَّى يُبَارِكَ اللَّهُ لَهُ فِي أَوْقَاتِهِ وَفِي أَعْمَالِهِ وَيُبَارَكُ لَهُ فِي عَقِبِهِ وَفِي ذُرِّيَّتِهِ فَاحْرِصُوا عَلَى قِرَاءَتِهِ فِي رَمَضَانَ وَفِي غَيْرِ رَمَضَانَ وَلْيَكُنْ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَّا يَا إِخْوَانِي وِرْدٌ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَقْرَأُهُ كُلَّ يَوْمٍ يَتَحَرَّكُ بِهِ لِسَانُهُ يَسْمَعُهُ بِأُذُنِهِ وَيَصِلُ إِلَى قَلْبِهِ فَيَكُونُ لَهُ الْأَثَرُ لَكِنْ اقْرَؤُوْهُ بِتَدَبُّرٍ بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ
Saudaraku, bersungguh-sungguhlah untuk membaca al-Quran, di Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Kita tidak hanya memerlukan al-Quran, tapi–demi Allah–kita sangat bergantung kepadanya. Kita perlu sekali untuk mendidik generasi muda kita di atas ajaran al-Quran. Kita sebagai orang tua, juga harus membiasakan diri membacanya, wahai saudaraku. Karena Tuhan kita berfirman: “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad), penuh dengan berkah…” (QS. Shad: 29). Dalam 4 ayat, al-Quran disifati sebagai Kitab yang penuh berkah. Pada ayat tadi (QS.Shad ayat 29). Juga ayat di surah al-Anbiya: “Dan ini (al-Quran) adalah peringatan yang penuh berkah…” (QS. al-Anbiya: 50). Lalu dua ayat dalam surat al-An’am: “Dan ini adalah Kitab (al-Quran) yang Kami turunkan dengan penuh berkah…” (QS. al-An’am: 92 dan 155). Apa yang dapat kita perhatikan pada sifat “penuh berkah” yang disebutkan dalam ayat-ayat ini? Perhatikan ayat: “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad), penuh dengan berkah…” (QS. Shad: 29). Perhatikanlah tadabur ini, wahai saudaraku. “Dan ini (al-Quran) adalah peringatan yang penuh berkah, yang Kami turunkan…” (QS. al-Anbiya: 50). “Dan ini adalah Kitab (al-Quran) yang Kami turunkan dengan penuh berkah…” (QS. al-An’am: 92 dan 155). Apa yang dapat kalian perhatikan dari ayat ini? Silakan! Apakah ini jawaban dari pertanyaan tadi? Bukan, maksud saya, apa yang kalian simpulkan dari susunan ayat tersebut? Perhatikan lagi: “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad), penuh dengan berkah…” (QS. Shad: 29). Ya, keberkahannya bersifat mutlak, bagus! Allah tidak berfirman bahwa al-Quran ini hanya membawa berkah kepadamu, keluargamu, rumahmu, atau hanya kepada hatimu. Tidak disebutkan bahwa keberkahannya hanya untuk agamamu, duniamu, atau akhiratmu. Tidak! Penyebutan secara mutlak ini menunjukkan apa? Menunjukkan bahwa keberkahannya tidak terbatas, tidak terhitung, dan tidak bisa dikurung dalam batasan! Demi Allah, kita tidak perlu memperdebatkan apakah al-Quran itu penuh berkah atau tidak, wahai saudaraku. Allah memberkahi seorang hamba melalui al-Quran—di hatinya, di imannya, dalam agamanya, di segala urusannya, di seluruh kehidupannya. Bahkan, Allah memberkahi waktunya dan amal perbuatannya. Allah juga memberkahinya dalam keturunannya, anak-anaknya. Maka, bersemangatlah membaca al-Quran, baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Hendaknya setiap kita memiliki wirid harian dari al-Quran, wahai saudaraku, membacanya setiap hari. Lisannya senantiasa melafalkannya, dan telinganya senantiasa mendengarnya, hingga al-Quran itu meresap ke dalam hatinya, agar dapat memberi pengaruh padanya. Namun, bacalah dengan penuh perenungan (tadabur). Semoga Allah memberkahi kalian! ==== وَاجْتَهِدُوا يَا إِخْوَانِي فِي قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ فِي رَمَضَانَ وَفِي غَيْرِ رَمَضَانَ نَحْنُ يَا إِخْوَانُ لَسْنَا مُحْتَاجِينَ لِلْقُرْآنِ بَلْ وَاللَّهِ مُضْطَرِّيْنَ إِلَيْهِ مُضْطَرُّوْنَ إِلَيْهِ أَنْ نُرَبِّيَ عَلَيْهِ يَا إِخْوَانُ شَبَابَنَا وَأَنْ نَقْرَأَهُ نَحْنُ الْآبَاءُ نَقْرَأَهُ يَا إِخْوَانُ لِأَنَّ رَبَّنَا قَالَ كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ فِي أَرْبَعِ آيَاتٍ مِنَ الْقُرْآنِ وُصِفَ بِأَنَّهُ مُبَارَكٌ هَذِهِ الْآيَةُ آيَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَهَٰذَا ذِكْرٌ مُّبَارَكٌ أَنزَلْنَاهُ وَآيَتَانِ فِي الْأَنْعَامِ وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مَاذَا الَّذِي يُلَاحَظُ يَا إِخْوَانِي فِي وَصْفِهِ بِالْبَرَكَةِ فِي هَذَهِ الآيَاتِ؟ تَأَمَّلُوا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ تَرَى هَذَا التَّدَبُّرَ يَا إِخْوَانُ وَهَذَا ذِكْرٌ مُبَارَكٌ أَنْزَلْنَاهُ وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مَاذَا تُلَاحِظُونَ؟ تَفَضَّلْ يَعْنِي هَذَا إِجَابَةٌ عَنِ السُّؤَالِ يَعْنِي؟ لَا أَنَا قَصْدِيْ مَاذَا تَلْحَظُ فِي سِيَاقِ الْآيَةِ؟ تَأَمَّلْ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ أَيْ نَعَمْ بَرَكَةٌ مُطْلَقَةٌ جَمِيلٌ لَمْ يَقُلِ اللَّهُ تَعَالَى مُبَارَكًا عَلَيْكَ عَلَى بَيْتِكَ عَلَى أَهْلِكَ عَلَى قَلْبِكَ فِي دِينِكَ فِي دُنْيَاكَ فِي آخِرَتِكَ لَا وَهَذَا الْإِطْلَاقُ يَدُلُّ عَلَى أَيْش؟ عَلَى أَنَّ الْبَرَكَةَ لَا حَدَّ لَهَا وَلَا عَدَّ وَلاَ حَصْرَ وَاللَّهِ إِنَّهُ لَسْتُمْ بِحَاجَةٍ إِلَى أَنْ نُنَاقِشَهُ يَا إِخْوَانِي إِنَّهُ مُبَارَكٌ يُبَارِكُ اللَّهُ عَلَى الْإِنْسَانِ يَا إِخْوَانِي فِي قَلْبِهِ فِي إِيْمَانِهِ فِي دِينِهِ فِي كُلِّ أَحْوَالِهِ وَشُؤُونِهِ حَتَّى يُبَارِكَ اللَّهُ لَهُ فِي أَوْقَاتِهِ وَفِي أَعْمَالِهِ وَيُبَارَكُ لَهُ فِي عَقِبِهِ وَفِي ذُرِّيَّتِهِ فَاحْرِصُوا عَلَى قِرَاءَتِهِ فِي رَمَضَانَ وَفِي غَيْرِ رَمَضَانَ وَلْيَكُنْ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَّا يَا إِخْوَانِي وِرْدٌ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَقْرَأُهُ كُلَّ يَوْمٍ يَتَحَرَّكُ بِهِ لِسَانُهُ يَسْمَعُهُ بِأُذُنِهِ وَيَصِلُ إِلَى قَلْبِهِ فَيَكُونُ لَهُ الْأَثَرُ لَكِنْ اقْرَؤُوْهُ بِتَدَبُّرٍ بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ


Saudaraku, bersungguh-sungguhlah untuk membaca al-Quran, di Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Kita tidak hanya memerlukan al-Quran, tapi–demi Allah–kita sangat bergantung kepadanya. Kita perlu sekali untuk mendidik generasi muda kita di atas ajaran al-Quran. Kita sebagai orang tua, juga harus membiasakan diri membacanya, wahai saudaraku. Karena Tuhan kita berfirman: “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad), penuh dengan berkah…” (QS. Shad: 29). Dalam 4 ayat, al-Quran disifati sebagai Kitab yang penuh berkah. Pada ayat tadi (QS.Shad ayat 29). Juga ayat di surah al-Anbiya: “Dan ini (al-Quran) adalah peringatan yang penuh berkah…” (QS. al-Anbiya: 50). Lalu dua ayat dalam surat al-An’am: “Dan ini adalah Kitab (al-Quran) yang Kami turunkan dengan penuh berkah…” (QS. al-An’am: 92 dan 155). Apa yang dapat kita perhatikan pada sifat “penuh berkah” yang disebutkan dalam ayat-ayat ini? Perhatikan ayat: “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad), penuh dengan berkah…” (QS. Shad: 29). Perhatikanlah tadabur ini, wahai saudaraku. “Dan ini (al-Quran) adalah peringatan yang penuh berkah, yang Kami turunkan…” (QS. al-Anbiya: 50). “Dan ini adalah Kitab (al-Quran) yang Kami turunkan dengan penuh berkah…” (QS. al-An’am: 92 dan 155). Apa yang dapat kalian perhatikan dari ayat ini? Silakan! Apakah ini jawaban dari pertanyaan tadi? Bukan, maksud saya, apa yang kalian simpulkan dari susunan ayat tersebut? Perhatikan lagi: “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad), penuh dengan berkah…” (QS. Shad: 29). Ya, keberkahannya bersifat mutlak, bagus! Allah tidak berfirman bahwa al-Quran ini hanya membawa berkah kepadamu, keluargamu, rumahmu, atau hanya kepada hatimu. Tidak disebutkan bahwa keberkahannya hanya untuk agamamu, duniamu, atau akhiratmu. Tidak! Penyebutan secara mutlak ini menunjukkan apa? Menunjukkan bahwa keberkahannya tidak terbatas, tidak terhitung, dan tidak bisa dikurung dalam batasan! Demi Allah, kita tidak perlu memperdebatkan apakah al-Quran itu penuh berkah atau tidak, wahai saudaraku. Allah memberkahi seorang hamba melalui al-Quran—di hatinya, di imannya, dalam agamanya, di segala urusannya, di seluruh kehidupannya. Bahkan, Allah memberkahi waktunya dan amal perbuatannya. Allah juga memberkahinya dalam keturunannya, anak-anaknya. Maka, bersemangatlah membaca al-Quran, baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Hendaknya setiap kita memiliki wirid harian dari al-Quran, wahai saudaraku, membacanya setiap hari. Lisannya senantiasa melafalkannya, dan telinganya senantiasa mendengarnya, hingga al-Quran itu meresap ke dalam hatinya, agar dapat memberi pengaruh padanya. Namun, bacalah dengan penuh perenungan (tadabur). Semoga Allah memberkahi kalian! ==== وَاجْتَهِدُوا يَا إِخْوَانِي فِي قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ فِي رَمَضَانَ وَفِي غَيْرِ رَمَضَانَ نَحْنُ يَا إِخْوَانُ لَسْنَا مُحْتَاجِينَ لِلْقُرْآنِ بَلْ وَاللَّهِ مُضْطَرِّيْنَ إِلَيْهِ مُضْطَرُّوْنَ إِلَيْهِ أَنْ نُرَبِّيَ عَلَيْهِ يَا إِخْوَانُ شَبَابَنَا وَأَنْ نَقْرَأَهُ نَحْنُ الْآبَاءُ نَقْرَأَهُ يَا إِخْوَانُ لِأَنَّ رَبَّنَا قَالَ كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ فِي أَرْبَعِ آيَاتٍ مِنَ الْقُرْآنِ وُصِفَ بِأَنَّهُ مُبَارَكٌ هَذِهِ الْآيَةُ آيَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَهَٰذَا ذِكْرٌ مُّبَارَكٌ أَنزَلْنَاهُ وَآيَتَانِ فِي الْأَنْعَامِ وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مَاذَا الَّذِي يُلَاحَظُ يَا إِخْوَانِي فِي وَصْفِهِ بِالْبَرَكَةِ فِي هَذَهِ الآيَاتِ؟ تَأَمَّلُوا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ تَرَى هَذَا التَّدَبُّرَ يَا إِخْوَانُ وَهَذَا ذِكْرٌ مُبَارَكٌ أَنْزَلْنَاهُ وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مَاذَا تُلَاحِظُونَ؟ تَفَضَّلْ يَعْنِي هَذَا إِجَابَةٌ عَنِ السُّؤَالِ يَعْنِي؟ لَا أَنَا قَصْدِيْ مَاذَا تَلْحَظُ فِي سِيَاقِ الْآيَةِ؟ تَأَمَّلْ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ أَيْ نَعَمْ بَرَكَةٌ مُطْلَقَةٌ جَمِيلٌ لَمْ يَقُلِ اللَّهُ تَعَالَى مُبَارَكًا عَلَيْكَ عَلَى بَيْتِكَ عَلَى أَهْلِكَ عَلَى قَلْبِكَ فِي دِينِكَ فِي دُنْيَاكَ فِي آخِرَتِكَ لَا وَهَذَا الْإِطْلَاقُ يَدُلُّ عَلَى أَيْش؟ عَلَى أَنَّ الْبَرَكَةَ لَا حَدَّ لَهَا وَلَا عَدَّ وَلاَ حَصْرَ وَاللَّهِ إِنَّهُ لَسْتُمْ بِحَاجَةٍ إِلَى أَنْ نُنَاقِشَهُ يَا إِخْوَانِي إِنَّهُ مُبَارَكٌ يُبَارِكُ اللَّهُ عَلَى الْإِنْسَانِ يَا إِخْوَانِي فِي قَلْبِهِ فِي إِيْمَانِهِ فِي دِينِهِ فِي كُلِّ أَحْوَالِهِ وَشُؤُونِهِ حَتَّى يُبَارِكَ اللَّهُ لَهُ فِي أَوْقَاتِهِ وَفِي أَعْمَالِهِ وَيُبَارَكُ لَهُ فِي عَقِبِهِ وَفِي ذُرِّيَّتِهِ فَاحْرِصُوا عَلَى قِرَاءَتِهِ فِي رَمَضَانَ وَفِي غَيْرِ رَمَضَانَ وَلْيَكُنْ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَّا يَا إِخْوَانِي وِرْدٌ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَقْرَأُهُ كُلَّ يَوْمٍ يَتَحَرَّكُ بِهِ لِسَانُهُ يَسْمَعُهُ بِأُذُنِهِ وَيَصِلُ إِلَى قَلْبِهِ فَيَكُونُ لَهُ الْأَثَرُ لَكِنْ اقْرَؤُوْهُ بِتَدَبُّرٍ بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ

Fatwa Ulama: Hukum Berenang Bagi Orang yang Berpuasa di Bulan Ramadan

Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus   Pertanyaan: Apa hukum berenang bagi orang yang berpuasa di bulan Ramadan? Wajazakumullah khairan. Jawaban: Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasul yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, kepada keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du. Berenang -pada dasarnya- tidak termasuk hal-hal yang membatalkan puasa. Hukumnya sama seperti mandi secara umum bagi orang yang berpuasa, baik mandi di dalam kamar mandi, kolam, bak air, atau sejenisnya, meskipun tujuannya hanya untuk mendinginkan badan. Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam pembahasan babnya yang berjudul, ‘Bab Mandinya Orang yang Berpuasa’, telah menyebutkannya secara umum, yang mencakup mandi sunnah, wajib, dan mubah. [1] Dan yang menunjukkan kebolehan mandi (secara mubah) adalah dalil asal yang membolehkannya serta atsar-atsar yang mauquf (riwayat yang berhenti pada sahabat). Di antaranya adalah atsar Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, yang berkata, ‘Sesungguhnya aku memiliki bak air (abzan), dan jika aku merasa kepanasan, aku akan menceburkan diri ke dalamnya meskipun aku sedang berpuasa.’ [2] Ibnu Hajar rahimahullah berkata, ‘Al-Abzan -dengan mem-fathah-kan hamzah (أ), menyukunkan ba (ب), mem-fathah-kan za (ز), dan diikuti nun (ن)- adalah batu yang dilubangi menyerupai bak air. Kata ini berasal dari bahasa Persia; karena itulah ia tidak di-tashrif (tidak berubah bentuk). Sepertinya al-abzan itu penuh dengan air, sehingga Anas -jika merasa kepanasan- masuk ke dalamnya untuk mendinginkan badan.’ [3] Berenang diperbolehkan jika tempatnya aman dari kemungkaran-kemungkaran yang biasanya menyertainya, seperti tampaknya aurat, terbukanya bagian tubuh yang seharusnya tertutup, atau melihat hal-hal yang diharamkan. Jika tidak aman dari hal-hal tersebut, maka berenang menjadi haram karena faktor-faktor ini, bukan karena aktivitas berenang itu sendiri. Selanjutnya, jika dia adalah seorang penyelam yang mencari nafkah melalui pekerjaannya menyelam -baik untuk memperbaiki kapal, mengelas, atau tujuan lainnya- dan pekerjaannya tersebut bertepatan dengan bulan Ramadan, maka wajib baginya berhati-hati agar air tidak masuk ke dalam tubuhnya. Jika air masuk ke tenggorokannya melalui mulut atau hidung tanpa sengaja atau tanpa kelalaian, maka puasanya tetap sah tanpa makruh. Adapun jika menyelam di air atau berenang di dalamnya dilakukan untuk bersenang-senang, mendinginkan badan, berolahraga, atau sekadar bermain-main dan berlebihan, tanpa adanya motivasi kebutuhan seperti pekerjaan, mencari nafkah, penyelamatan (seperti pekerjaan Search and Rescue [SAR]-pent.), atau sejenisnya, maka jika dia seorang perenang yang tidak khawatir air akan masuk ke tenggorokannya sehingga dapat memastikan menjaga puasanya, hal itu diperbolehkan baginya sebagaimana telah dijelaskan dalam penjelasan sebelumnya. Adapun jika dia seorang perenang yang khawatir bahwa berenang akan menyebabkan air masuk ke dalam tenggorokannya, maka berenang tidak diperbolehkan baginya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Laqith bin Shabirah radhiyallahu ‘anhu, وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا “Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (menghirup air ke hidung saat wudu), kecuali jika kamu sedang berpuasa.” [4] Dalam kedua kondisi ini -baik ketika ada kekhawatiran air masuk ke tenggorokan maupun ketika aman dari hal tersebut- jika air masuk ke dalam perutnya tanpa sengaja atau tanpa disengaja, maka puasanya tetap sah meskipun makruh. Ini berbeda dengan pendapat mayoritas ulama (jumhur) yang menyatakan bahwa puasanya batal dan wajib baginya mengqadha (mengganti) puasa tersebut. Puasa dianggap sah karena kejadian ini dianggap serupa dengan masuknya debu jalanan, tepung yang terhirup saat mengayak, atau seekor lalat yang terbang masuk ke tenggorokan. Dengan ini, kasus ini berbeda dengan orang yang sengaja memasukkan sesuatu ke dalam tubuhnya. [5] Hukum makruh ditetapkan baginya karena motivasi berenangnya di bulan Ramadan bukanlah karena kebutuhan atau darurat. Oleh karena itu, berenang dimakruhkan baginya karena kekhawatiran air masuk ke tenggorokannya. Al-Hasan (Al-Bashri) dan Asy-Sya’bi telah memakruhkan seseorang untuk berendam dalam air karena khawatir air akan masuk ke telinganya. [6] Hal ini juga agar dia tidak membiarkan dirinya terjerumus dalam perbedaan pendapat ulama tentang hukumnya, terutama dalam hal yang mengandung unsur bermain-main dan berlebihan tanpa kebutuhan atau kedaruratan. Ini (perlu diperhatikan), dan seorang yang berpuasa hendaknya memanfaatkan bulan Ramadan dengan sebaik-baiknya. Dia harus bersungguh-sungguh dalam beribadah, melakukan ketaatan, dan mendekatkan diri kepada Allah. Dia juga harus menjauhi semua pelanggaran, kemungkaran, dan hal-hal yang dilarang. Dia harus berusaha melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupan dunianya dan akhiratnya. Dia harus berusaha memanfaatkan waktunya untuk melakukan apa yang dicintai dan diridai oleh Allah. Dia juga harus menjaga dirinya dari hal-hal yang sia-sia, permainan, canda tawa yang berlebihan, perbuatan yang merusak muruah (harga diri), serta perbuatan-perbuatan lain yang sebaiknya ditinggalkan, baik di bulan Ramadan maupun di luar Ramadan, karena hal-hal tersebut dapat menyia-nyiakan umur yang seharusnya digunakan untuk tujuan penciptaannya. Dan ilmu (yang sebenarnya) hanya ada di sisi Allah Ta’ala. Penutup doa kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Baca juga: Hukum Makanan Khusus pada Hari Raya Bid‘ah *** Sumber: https://www.ferkous.app/home/index.php?q=fatwa-1063 Penerjemah: Fauzan Hidayat Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Fath al-Bari, karya Ibnu Hajar (4: 153). [2] Disebutkan secara mu’allaq (tanpa sanad lengkap) oleh Al-Bukhari dalam kitab As-Shaum (Puasa), bab ‘Mandinya Orang yang Berpuasa’ (4: 153). Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari (4: 154) berkata, ‘Qasim bin Tsabit meriwayatkannya dengan sanad lengkap dalam kitabnya, Gharib al-Hadits.’ [3] Fath al-Bari, karya Ibnu Hajar (4: 154). [4] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam “At-Thaharah”, bab tentang istintsar (mengeluarkan air dari hidung) (no. 142), dan dalam “As-Shaum”, bab tentang orang yang berpuasa menyiram air karena kehausan dan berlebihan dalam istinsyaq (no. 2366); At-Tirmidzi dalam “As-Shaum”, bab tentang larangan berlebihan dalam istinsyaq bagi orang yang berpuasa (no. 788); An-Nasa’i dalam “At-Thaharah”, bab tentang berlebihan dalam istinsyaq (no. 87); dan Ibnu Majah dalam “At-Thaharah”, bab tentang berlebihan dalam istinsyaq dan istintsar (no. 407), dari hadis Laqith bin Shabirah radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani dalam “Al-Irwa'” (4: 85, no. 935) [5] Lihat Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah (3: 108-109) dan Al-Majmu’, karya An-Nawawi (6: 326). [6] Lihat Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah (3: 109).

Fatwa Ulama: Hukum Berenang Bagi Orang yang Berpuasa di Bulan Ramadan

Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus   Pertanyaan: Apa hukum berenang bagi orang yang berpuasa di bulan Ramadan? Wajazakumullah khairan. Jawaban: Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasul yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, kepada keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du. Berenang -pada dasarnya- tidak termasuk hal-hal yang membatalkan puasa. Hukumnya sama seperti mandi secara umum bagi orang yang berpuasa, baik mandi di dalam kamar mandi, kolam, bak air, atau sejenisnya, meskipun tujuannya hanya untuk mendinginkan badan. Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam pembahasan babnya yang berjudul, ‘Bab Mandinya Orang yang Berpuasa’, telah menyebutkannya secara umum, yang mencakup mandi sunnah, wajib, dan mubah. [1] Dan yang menunjukkan kebolehan mandi (secara mubah) adalah dalil asal yang membolehkannya serta atsar-atsar yang mauquf (riwayat yang berhenti pada sahabat). Di antaranya adalah atsar Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, yang berkata, ‘Sesungguhnya aku memiliki bak air (abzan), dan jika aku merasa kepanasan, aku akan menceburkan diri ke dalamnya meskipun aku sedang berpuasa.’ [2] Ibnu Hajar rahimahullah berkata, ‘Al-Abzan -dengan mem-fathah-kan hamzah (أ), menyukunkan ba (ب), mem-fathah-kan za (ز), dan diikuti nun (ن)- adalah batu yang dilubangi menyerupai bak air. Kata ini berasal dari bahasa Persia; karena itulah ia tidak di-tashrif (tidak berubah bentuk). Sepertinya al-abzan itu penuh dengan air, sehingga Anas -jika merasa kepanasan- masuk ke dalamnya untuk mendinginkan badan.’ [3] Berenang diperbolehkan jika tempatnya aman dari kemungkaran-kemungkaran yang biasanya menyertainya, seperti tampaknya aurat, terbukanya bagian tubuh yang seharusnya tertutup, atau melihat hal-hal yang diharamkan. Jika tidak aman dari hal-hal tersebut, maka berenang menjadi haram karena faktor-faktor ini, bukan karena aktivitas berenang itu sendiri. Selanjutnya, jika dia adalah seorang penyelam yang mencari nafkah melalui pekerjaannya menyelam -baik untuk memperbaiki kapal, mengelas, atau tujuan lainnya- dan pekerjaannya tersebut bertepatan dengan bulan Ramadan, maka wajib baginya berhati-hati agar air tidak masuk ke dalam tubuhnya. Jika air masuk ke tenggorokannya melalui mulut atau hidung tanpa sengaja atau tanpa kelalaian, maka puasanya tetap sah tanpa makruh. Adapun jika menyelam di air atau berenang di dalamnya dilakukan untuk bersenang-senang, mendinginkan badan, berolahraga, atau sekadar bermain-main dan berlebihan, tanpa adanya motivasi kebutuhan seperti pekerjaan, mencari nafkah, penyelamatan (seperti pekerjaan Search and Rescue [SAR]-pent.), atau sejenisnya, maka jika dia seorang perenang yang tidak khawatir air akan masuk ke tenggorokannya sehingga dapat memastikan menjaga puasanya, hal itu diperbolehkan baginya sebagaimana telah dijelaskan dalam penjelasan sebelumnya. Adapun jika dia seorang perenang yang khawatir bahwa berenang akan menyebabkan air masuk ke dalam tenggorokannya, maka berenang tidak diperbolehkan baginya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Laqith bin Shabirah radhiyallahu ‘anhu, وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا “Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (menghirup air ke hidung saat wudu), kecuali jika kamu sedang berpuasa.” [4] Dalam kedua kondisi ini -baik ketika ada kekhawatiran air masuk ke tenggorokan maupun ketika aman dari hal tersebut- jika air masuk ke dalam perutnya tanpa sengaja atau tanpa disengaja, maka puasanya tetap sah meskipun makruh. Ini berbeda dengan pendapat mayoritas ulama (jumhur) yang menyatakan bahwa puasanya batal dan wajib baginya mengqadha (mengganti) puasa tersebut. Puasa dianggap sah karena kejadian ini dianggap serupa dengan masuknya debu jalanan, tepung yang terhirup saat mengayak, atau seekor lalat yang terbang masuk ke tenggorokan. Dengan ini, kasus ini berbeda dengan orang yang sengaja memasukkan sesuatu ke dalam tubuhnya. [5] Hukum makruh ditetapkan baginya karena motivasi berenangnya di bulan Ramadan bukanlah karena kebutuhan atau darurat. Oleh karena itu, berenang dimakruhkan baginya karena kekhawatiran air masuk ke tenggorokannya. Al-Hasan (Al-Bashri) dan Asy-Sya’bi telah memakruhkan seseorang untuk berendam dalam air karena khawatir air akan masuk ke telinganya. [6] Hal ini juga agar dia tidak membiarkan dirinya terjerumus dalam perbedaan pendapat ulama tentang hukumnya, terutama dalam hal yang mengandung unsur bermain-main dan berlebihan tanpa kebutuhan atau kedaruratan. Ini (perlu diperhatikan), dan seorang yang berpuasa hendaknya memanfaatkan bulan Ramadan dengan sebaik-baiknya. Dia harus bersungguh-sungguh dalam beribadah, melakukan ketaatan, dan mendekatkan diri kepada Allah. Dia juga harus menjauhi semua pelanggaran, kemungkaran, dan hal-hal yang dilarang. Dia harus berusaha melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupan dunianya dan akhiratnya. Dia harus berusaha memanfaatkan waktunya untuk melakukan apa yang dicintai dan diridai oleh Allah. Dia juga harus menjaga dirinya dari hal-hal yang sia-sia, permainan, canda tawa yang berlebihan, perbuatan yang merusak muruah (harga diri), serta perbuatan-perbuatan lain yang sebaiknya ditinggalkan, baik di bulan Ramadan maupun di luar Ramadan, karena hal-hal tersebut dapat menyia-nyiakan umur yang seharusnya digunakan untuk tujuan penciptaannya. Dan ilmu (yang sebenarnya) hanya ada di sisi Allah Ta’ala. Penutup doa kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Baca juga: Hukum Makanan Khusus pada Hari Raya Bid‘ah *** Sumber: https://www.ferkous.app/home/index.php?q=fatwa-1063 Penerjemah: Fauzan Hidayat Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Fath al-Bari, karya Ibnu Hajar (4: 153). [2] Disebutkan secara mu’allaq (tanpa sanad lengkap) oleh Al-Bukhari dalam kitab As-Shaum (Puasa), bab ‘Mandinya Orang yang Berpuasa’ (4: 153). Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari (4: 154) berkata, ‘Qasim bin Tsabit meriwayatkannya dengan sanad lengkap dalam kitabnya, Gharib al-Hadits.’ [3] Fath al-Bari, karya Ibnu Hajar (4: 154). [4] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam “At-Thaharah”, bab tentang istintsar (mengeluarkan air dari hidung) (no. 142), dan dalam “As-Shaum”, bab tentang orang yang berpuasa menyiram air karena kehausan dan berlebihan dalam istinsyaq (no. 2366); At-Tirmidzi dalam “As-Shaum”, bab tentang larangan berlebihan dalam istinsyaq bagi orang yang berpuasa (no. 788); An-Nasa’i dalam “At-Thaharah”, bab tentang berlebihan dalam istinsyaq (no. 87); dan Ibnu Majah dalam “At-Thaharah”, bab tentang berlebihan dalam istinsyaq dan istintsar (no. 407), dari hadis Laqith bin Shabirah radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani dalam “Al-Irwa'” (4: 85, no. 935) [5] Lihat Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah (3: 108-109) dan Al-Majmu’, karya An-Nawawi (6: 326). [6] Lihat Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah (3: 109).
Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus   Pertanyaan: Apa hukum berenang bagi orang yang berpuasa di bulan Ramadan? Wajazakumullah khairan. Jawaban: Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasul yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, kepada keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du. Berenang -pada dasarnya- tidak termasuk hal-hal yang membatalkan puasa. Hukumnya sama seperti mandi secara umum bagi orang yang berpuasa, baik mandi di dalam kamar mandi, kolam, bak air, atau sejenisnya, meskipun tujuannya hanya untuk mendinginkan badan. Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam pembahasan babnya yang berjudul, ‘Bab Mandinya Orang yang Berpuasa’, telah menyebutkannya secara umum, yang mencakup mandi sunnah, wajib, dan mubah. [1] Dan yang menunjukkan kebolehan mandi (secara mubah) adalah dalil asal yang membolehkannya serta atsar-atsar yang mauquf (riwayat yang berhenti pada sahabat). Di antaranya adalah atsar Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, yang berkata, ‘Sesungguhnya aku memiliki bak air (abzan), dan jika aku merasa kepanasan, aku akan menceburkan diri ke dalamnya meskipun aku sedang berpuasa.’ [2] Ibnu Hajar rahimahullah berkata, ‘Al-Abzan -dengan mem-fathah-kan hamzah (أ), menyukunkan ba (ب), mem-fathah-kan za (ز), dan diikuti nun (ن)- adalah batu yang dilubangi menyerupai bak air. Kata ini berasal dari bahasa Persia; karena itulah ia tidak di-tashrif (tidak berubah bentuk). Sepertinya al-abzan itu penuh dengan air, sehingga Anas -jika merasa kepanasan- masuk ke dalamnya untuk mendinginkan badan.’ [3] Berenang diperbolehkan jika tempatnya aman dari kemungkaran-kemungkaran yang biasanya menyertainya, seperti tampaknya aurat, terbukanya bagian tubuh yang seharusnya tertutup, atau melihat hal-hal yang diharamkan. Jika tidak aman dari hal-hal tersebut, maka berenang menjadi haram karena faktor-faktor ini, bukan karena aktivitas berenang itu sendiri. Selanjutnya, jika dia adalah seorang penyelam yang mencari nafkah melalui pekerjaannya menyelam -baik untuk memperbaiki kapal, mengelas, atau tujuan lainnya- dan pekerjaannya tersebut bertepatan dengan bulan Ramadan, maka wajib baginya berhati-hati agar air tidak masuk ke dalam tubuhnya. Jika air masuk ke tenggorokannya melalui mulut atau hidung tanpa sengaja atau tanpa kelalaian, maka puasanya tetap sah tanpa makruh. Adapun jika menyelam di air atau berenang di dalamnya dilakukan untuk bersenang-senang, mendinginkan badan, berolahraga, atau sekadar bermain-main dan berlebihan, tanpa adanya motivasi kebutuhan seperti pekerjaan, mencari nafkah, penyelamatan (seperti pekerjaan Search and Rescue [SAR]-pent.), atau sejenisnya, maka jika dia seorang perenang yang tidak khawatir air akan masuk ke tenggorokannya sehingga dapat memastikan menjaga puasanya, hal itu diperbolehkan baginya sebagaimana telah dijelaskan dalam penjelasan sebelumnya. Adapun jika dia seorang perenang yang khawatir bahwa berenang akan menyebabkan air masuk ke dalam tenggorokannya, maka berenang tidak diperbolehkan baginya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Laqith bin Shabirah radhiyallahu ‘anhu, وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا “Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (menghirup air ke hidung saat wudu), kecuali jika kamu sedang berpuasa.” [4] Dalam kedua kondisi ini -baik ketika ada kekhawatiran air masuk ke tenggorokan maupun ketika aman dari hal tersebut- jika air masuk ke dalam perutnya tanpa sengaja atau tanpa disengaja, maka puasanya tetap sah meskipun makruh. Ini berbeda dengan pendapat mayoritas ulama (jumhur) yang menyatakan bahwa puasanya batal dan wajib baginya mengqadha (mengganti) puasa tersebut. Puasa dianggap sah karena kejadian ini dianggap serupa dengan masuknya debu jalanan, tepung yang terhirup saat mengayak, atau seekor lalat yang terbang masuk ke tenggorokan. Dengan ini, kasus ini berbeda dengan orang yang sengaja memasukkan sesuatu ke dalam tubuhnya. [5] Hukum makruh ditetapkan baginya karena motivasi berenangnya di bulan Ramadan bukanlah karena kebutuhan atau darurat. Oleh karena itu, berenang dimakruhkan baginya karena kekhawatiran air masuk ke tenggorokannya. Al-Hasan (Al-Bashri) dan Asy-Sya’bi telah memakruhkan seseorang untuk berendam dalam air karena khawatir air akan masuk ke telinganya. [6] Hal ini juga agar dia tidak membiarkan dirinya terjerumus dalam perbedaan pendapat ulama tentang hukumnya, terutama dalam hal yang mengandung unsur bermain-main dan berlebihan tanpa kebutuhan atau kedaruratan. Ini (perlu diperhatikan), dan seorang yang berpuasa hendaknya memanfaatkan bulan Ramadan dengan sebaik-baiknya. Dia harus bersungguh-sungguh dalam beribadah, melakukan ketaatan, dan mendekatkan diri kepada Allah. Dia juga harus menjauhi semua pelanggaran, kemungkaran, dan hal-hal yang dilarang. Dia harus berusaha melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupan dunianya dan akhiratnya. Dia harus berusaha memanfaatkan waktunya untuk melakukan apa yang dicintai dan diridai oleh Allah. Dia juga harus menjaga dirinya dari hal-hal yang sia-sia, permainan, canda tawa yang berlebihan, perbuatan yang merusak muruah (harga diri), serta perbuatan-perbuatan lain yang sebaiknya ditinggalkan, baik di bulan Ramadan maupun di luar Ramadan, karena hal-hal tersebut dapat menyia-nyiakan umur yang seharusnya digunakan untuk tujuan penciptaannya. Dan ilmu (yang sebenarnya) hanya ada di sisi Allah Ta’ala. Penutup doa kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Baca juga: Hukum Makanan Khusus pada Hari Raya Bid‘ah *** Sumber: https://www.ferkous.app/home/index.php?q=fatwa-1063 Penerjemah: Fauzan Hidayat Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Fath al-Bari, karya Ibnu Hajar (4: 153). [2] Disebutkan secara mu’allaq (tanpa sanad lengkap) oleh Al-Bukhari dalam kitab As-Shaum (Puasa), bab ‘Mandinya Orang yang Berpuasa’ (4: 153). Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari (4: 154) berkata, ‘Qasim bin Tsabit meriwayatkannya dengan sanad lengkap dalam kitabnya, Gharib al-Hadits.’ [3] Fath al-Bari, karya Ibnu Hajar (4: 154). [4] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam “At-Thaharah”, bab tentang istintsar (mengeluarkan air dari hidung) (no. 142), dan dalam “As-Shaum”, bab tentang orang yang berpuasa menyiram air karena kehausan dan berlebihan dalam istinsyaq (no. 2366); At-Tirmidzi dalam “As-Shaum”, bab tentang larangan berlebihan dalam istinsyaq bagi orang yang berpuasa (no. 788); An-Nasa’i dalam “At-Thaharah”, bab tentang berlebihan dalam istinsyaq (no. 87); dan Ibnu Majah dalam “At-Thaharah”, bab tentang berlebihan dalam istinsyaq dan istintsar (no. 407), dari hadis Laqith bin Shabirah radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani dalam “Al-Irwa'” (4: 85, no. 935) [5] Lihat Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah (3: 108-109) dan Al-Majmu’, karya An-Nawawi (6: 326). [6] Lihat Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah (3: 109).


Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus   Pertanyaan: Apa hukum berenang bagi orang yang berpuasa di bulan Ramadan? Wajazakumullah khairan. Jawaban: Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasul yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, kepada keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du. Berenang -pada dasarnya- tidak termasuk hal-hal yang membatalkan puasa. Hukumnya sama seperti mandi secara umum bagi orang yang berpuasa, baik mandi di dalam kamar mandi, kolam, bak air, atau sejenisnya, meskipun tujuannya hanya untuk mendinginkan badan. Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam pembahasan babnya yang berjudul, ‘Bab Mandinya Orang yang Berpuasa’, telah menyebutkannya secara umum, yang mencakup mandi sunnah, wajib, dan mubah. [1] Dan yang menunjukkan kebolehan mandi (secara mubah) adalah dalil asal yang membolehkannya serta atsar-atsar yang mauquf (riwayat yang berhenti pada sahabat). Di antaranya adalah atsar Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, yang berkata, ‘Sesungguhnya aku memiliki bak air (abzan), dan jika aku merasa kepanasan, aku akan menceburkan diri ke dalamnya meskipun aku sedang berpuasa.’ [2] Ibnu Hajar rahimahullah berkata, ‘Al-Abzan -dengan mem-fathah-kan hamzah (أ), menyukunkan ba (ب), mem-fathah-kan za (ز), dan diikuti nun (ن)- adalah batu yang dilubangi menyerupai bak air. Kata ini berasal dari bahasa Persia; karena itulah ia tidak di-tashrif (tidak berubah bentuk). Sepertinya al-abzan itu penuh dengan air, sehingga Anas -jika merasa kepanasan- masuk ke dalamnya untuk mendinginkan badan.’ [3] Berenang diperbolehkan jika tempatnya aman dari kemungkaran-kemungkaran yang biasanya menyertainya, seperti tampaknya aurat, terbukanya bagian tubuh yang seharusnya tertutup, atau melihat hal-hal yang diharamkan. Jika tidak aman dari hal-hal tersebut, maka berenang menjadi haram karena faktor-faktor ini, bukan karena aktivitas berenang itu sendiri. Selanjutnya, jika dia adalah seorang penyelam yang mencari nafkah melalui pekerjaannya menyelam -baik untuk memperbaiki kapal, mengelas, atau tujuan lainnya- dan pekerjaannya tersebut bertepatan dengan bulan Ramadan, maka wajib baginya berhati-hati agar air tidak masuk ke dalam tubuhnya. Jika air masuk ke tenggorokannya melalui mulut atau hidung tanpa sengaja atau tanpa kelalaian, maka puasanya tetap sah tanpa makruh. Adapun jika menyelam di air atau berenang di dalamnya dilakukan untuk bersenang-senang, mendinginkan badan, berolahraga, atau sekadar bermain-main dan berlebihan, tanpa adanya motivasi kebutuhan seperti pekerjaan, mencari nafkah, penyelamatan (seperti pekerjaan Search and Rescue [SAR]-pent.), atau sejenisnya, maka jika dia seorang perenang yang tidak khawatir air akan masuk ke tenggorokannya sehingga dapat memastikan menjaga puasanya, hal itu diperbolehkan baginya sebagaimana telah dijelaskan dalam penjelasan sebelumnya. Adapun jika dia seorang perenang yang khawatir bahwa berenang akan menyebabkan air masuk ke dalam tenggorokannya, maka berenang tidak diperbolehkan baginya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Laqith bin Shabirah radhiyallahu ‘anhu, وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا “Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (menghirup air ke hidung saat wudu), kecuali jika kamu sedang berpuasa.” [4] Dalam kedua kondisi ini -baik ketika ada kekhawatiran air masuk ke tenggorokan maupun ketika aman dari hal tersebut- jika air masuk ke dalam perutnya tanpa sengaja atau tanpa disengaja, maka puasanya tetap sah meskipun makruh. Ini berbeda dengan pendapat mayoritas ulama (jumhur) yang menyatakan bahwa puasanya batal dan wajib baginya mengqadha (mengganti) puasa tersebut. Puasa dianggap sah karena kejadian ini dianggap serupa dengan masuknya debu jalanan, tepung yang terhirup saat mengayak, atau seekor lalat yang terbang masuk ke tenggorokan. Dengan ini, kasus ini berbeda dengan orang yang sengaja memasukkan sesuatu ke dalam tubuhnya. [5] Hukum makruh ditetapkan baginya karena motivasi berenangnya di bulan Ramadan bukanlah karena kebutuhan atau darurat. Oleh karena itu, berenang dimakruhkan baginya karena kekhawatiran air masuk ke tenggorokannya. Al-Hasan (Al-Bashri) dan Asy-Sya’bi telah memakruhkan seseorang untuk berendam dalam air karena khawatir air akan masuk ke telinganya. [6] Hal ini juga agar dia tidak membiarkan dirinya terjerumus dalam perbedaan pendapat ulama tentang hukumnya, terutama dalam hal yang mengandung unsur bermain-main dan berlebihan tanpa kebutuhan atau kedaruratan. Ini (perlu diperhatikan), dan seorang yang berpuasa hendaknya memanfaatkan bulan Ramadan dengan sebaik-baiknya. Dia harus bersungguh-sungguh dalam beribadah, melakukan ketaatan, dan mendekatkan diri kepada Allah. Dia juga harus menjauhi semua pelanggaran, kemungkaran, dan hal-hal yang dilarang. Dia harus berusaha melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupan dunianya dan akhiratnya. Dia harus berusaha memanfaatkan waktunya untuk melakukan apa yang dicintai dan diridai oleh Allah. Dia juga harus menjaga dirinya dari hal-hal yang sia-sia, permainan, canda tawa yang berlebihan, perbuatan yang merusak muruah (harga diri), serta perbuatan-perbuatan lain yang sebaiknya ditinggalkan, baik di bulan Ramadan maupun di luar Ramadan, karena hal-hal tersebut dapat menyia-nyiakan umur yang seharusnya digunakan untuk tujuan penciptaannya. Dan ilmu (yang sebenarnya) hanya ada di sisi Allah Ta’ala. Penutup doa kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Baca juga: Hukum Makanan Khusus pada Hari Raya Bid‘ah *** Sumber: https://www.ferkous.app/home/index.php?q=fatwa-1063 Penerjemah: Fauzan Hidayat Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Fath al-Bari, karya Ibnu Hajar (4: 153). [2] Disebutkan secara mu’allaq (tanpa sanad lengkap) oleh Al-Bukhari dalam kitab As-Shaum (Puasa), bab ‘Mandinya Orang yang Berpuasa’ (4: 153). Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari (4: 154) berkata, ‘Qasim bin Tsabit meriwayatkannya dengan sanad lengkap dalam kitabnya, Gharib al-Hadits.’ [3] Fath al-Bari, karya Ibnu Hajar (4: 154). [4] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam “At-Thaharah”, bab tentang istintsar (mengeluarkan air dari hidung) (no. 142), dan dalam “As-Shaum”, bab tentang orang yang berpuasa menyiram air karena kehausan dan berlebihan dalam istinsyaq (no. 2366); At-Tirmidzi dalam “As-Shaum”, bab tentang larangan berlebihan dalam istinsyaq bagi orang yang berpuasa (no. 788); An-Nasa’i dalam “At-Thaharah”, bab tentang berlebihan dalam istinsyaq (no. 87); dan Ibnu Majah dalam “At-Thaharah”, bab tentang berlebihan dalam istinsyaq dan istintsar (no. 407), dari hadis Laqith bin Shabirah radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani dalam “Al-Irwa'” (4: 85, no. 935) [5] Lihat Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah (3: 108-109) dan Al-Majmu’, karya An-Nawawi (6: 326). [6] Lihat Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah (3: 109).

Jin Saja Takjub Mendengarnya Lalu Dapat Hidayah, Mengapa Manusia Tidak? – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Pertanyaan: Apa sebab terbesar yang mengantarkan seseorang kepada hidayah, wahai saudara-saudaraku? Jawabannya: Kitabullah (al-Quran). Pertanyaan kedua: Apa sebab terbesar untuk bisa teguh di atas hidayah? Jawabannya juga: Kitabullah (al-Quran). Apa dalilnya? Katakanlah (Muhammad), “Malaikat Jibril menurunkannya (al-Quran) dari Tuhanmu dengan kebenaran…” Siapa yang bisa melanjutkan ayatnya? “…untuk meneguhkan hati orang-orang yang telah beriman, serta menjadi petunjuk dan kabar gembira untuk orang yang beriman.” (QS. an-Nahl: 102). Keteguhan dan hidayah, semuanya ada di dalam al-Quran, wahai saudara-saudaraku. Maka bersungguh-sungguhlah dalam membaca al-Quran dengan penuh perenungan (tadabur), agar ia menjadi sebab hidayah bagi kalian, dan menjadi sebab keteguhan kalian di atas hidayah. Pada zaman yang penuh dengan gejolak, badai pemikiran, dan berbagai godaan, hadirlah firman Allah Yang Maha Agung sebagai sebab terbesar hidayah bagi seluruh manusia. Bahkan bagi orang-orang kafir, wahai saudara-saudara! Kalian sendiri bisa melihat dalam berbagai video singkat: Ada seorang kafir yang mendengar bacaan al-Quran, padahal ia tidak memahami artinya, tapi justru itu menjadi sebab keislamannya. Saya ceritakan sebuah kisah yang dikisahkan oleh seorang guru kami—semoga Allah merahmatinya—tentang peristiwa di sebuah negeri. Beliau bercerita: Dulu ada seorang tokoh besar dari kalangan Nasrani, yang menjadi penghubung antara negerinya dan Vatikan. Ia sering bolak-balik antara kedua tempat itu. Namanya disebutkan—mungkin Ibrahim, Ishaq, atau nama lainnya. Ia menjadi perantara antara dua pihak ini. Suatu hari, ketika Allah menghendaki kebaikan untuknya; ia turun dari pesawat, lalu naik taksi. Lalu ia mendengar seorang qari (pembaca al-Quran) membaca ayat: Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Telah diwahyukan kepadaku bahwa sekumpulan jin telah mendengarkan (al-Quran).’ Lalu mereka berkata: ‘Kami mendengarkan bacaan al-Quran yang menakjubkan…’” (QS. al-Jinn: 1). Lanjutkan ayatnya! “…yang memberi petunjuk kepada kebenaran.” Yaitu al-Quran. Jin saja merasa takjub dengan al-Quran ketika pertama kali mereka mendengarnya. Mereka pun berkata: “Al-Quran memberi petunjuk kepada kebenaran, sehingga kami beriman kepadanya.” (QS. al-Jinn: 2). Maka orang Nasrani tadi pun terkejut dan bertanya dalam hatinya: “Jin saja takjub dengan firman Allah dan mendapatkan hidayah darinya lalu mengapa kami, manusia, tidak merasa takjub dan tidak mendapatkan hidayah darinya?” Ayat ini menjadi sebab dia masuk Islam. Maka carilah hidayah di tempat yang paling agung—yaitu dalam al-Quran. Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. “Wahai manusia, sungguh telah datang kepada kalian pelajaran (al-Quran) dari Tuhan kalian sebagai penyembuh bagi penyakit yang terdapat dalam dada, petunjuk, serta rahmat bagi orang-orang beriman.” (QS. Yunus: 57). Lanjutkan ayat ini! Semoga Allah membalas kebaikan bagi orang yang ikut berpartisipasi. “Katakanlah (Hai Muhammad): ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu hendaklah mereka bergembiraItu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.’” (QS. Yunus: 58). Bagi siapa saja yang mencari kebahagiaan, yang mendambakan ketenangan, kedamaian, dan ketenteraman, maka semua itu ada dalam al-Quran. “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu, hendaklah mereka bergembira…” Al-Quran adalah petunjuk bagi manusia. Al-Quran ini adalah petunjuk bagi seluruh manusia. Mungkin ada yang bertanya-tanya: Pada awal surah al-Baqarah disebutkan: Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. “Alif Laam Miim. Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” Bagaimana mungkin di sini disebutkan: al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang bertakwa, tapi di ayat lain: petunjuk bagi seluruh manusia? Jawabannya adalah: Ada dua jenis hidayah. Adapun al-Quran sebagai petunjuk dan panduan, maka itu berlaku untuk seluruh manusia. Hidayah panduan dan petunjuk bagi seluruh manusia. Sedangkan hidayah dalam bentuk ilham, taufik, dan bimbingan menuju kebaikan, maka itu hanya diberikan kepada orang-orang yang bertakwa. ==== سُؤَالٌ مَا أَعْظَمُ سَبَبٍ لِلْهِدَايَةِ يَا إِخْوَانِي؟ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ سُؤَالٌ ثَانٍ مَا أَعْظَمُ سَبَبٍ لِلثَّبَاتِ عَلَى الْهِدَايَةِ؟ كِتَابُ اللَّهِ القُرْآنُ وَالدَّلِيلُ؟ قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِن رَّبِّكَ بِالْحَقِّ مَنْ يُكَمِّلُ؟ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ الثَّبَاتُ وَالْهُدَى كُلُّهُ فِي كِتَابِ اللَّهِ يَا إِخْوَانُ فَاحْرِصُوا يَا إِخْوَانُ عَلَى قِرَاءَةِ كِتَابِ اللَّهِ بِتَدَبُّرٍ حَتَّى يَكُونَ سَبَبًا لِهِدَايَتِكُمْ وَسَبَبًا لِثُبُوتِكُمْ عَلَى الْهِدَايَةِ فِي وَقْتٍ كَثُرَتْ فِيهِ الزَّعَازِعُ وَالزَّوَابِعُ وَالمُؤَثِّرَاتُ يَأْتِي كَلَامُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لِيَكُونَ أَعْظَمَ سَبَبٍ لِهِدَايَةِ الْبَشَرِ جَمِيعًا حَتَّى الْكُفَّارِ يَا إِخْوَانُ وَتَرَوْنَ أَنْتُمْ يَا إِخْوَانِي فِي مَقَاطِعَ كَافِرٌ يَسْمَعُ كَلَامًا يُتْلَى وَهُوَ لَا يَعْقِلُهُ لَا يَعْرِفُ اللُّغَةَ وَمَعَ ذَلِكَ يَكُونُ سَبَبًا فِي إِسْلَامِهِ وَأَنَا أَذْكُرُ لَكُمْ يَا إِخْوَانِي قِصَّةً ذَكَرَهَا أَحَدُ أَسَاتِذَتِنَا يَرْحَمُهُ اللَّهُ فِي إِحْدَى الْبِلَادِ يَقُولُ كَانَ رَجُلٌ كَبِيرٌ مِنْ كِبَارِ النَّصَارَى وَكَانَ حَلْقَةُ الْوَصْلِ بَيْنَ بَلَدِهِ وَبَيْنَ الْفَاتِيْكَانِ يَتَرَدَّدُ بَيْنَهُمَا وَيُسَمِّيهِ بِاسْمِهِ إِبْرَاهِيمُ أَوْ إِسْحَاقُ أَوْ كَذَا يَذْهَبُ بَيْنَهُمَا يَوْمٌ مِنَ الْأَيَّامِ لَمَّا أَرَادَ اللَّهُ لَهُ الْخَيْرَ نَزَلَ مِنَ الطَّائِرَةِ وَرَكِبَ سَيَّارَةَ تَكْسِي فَسَمِعَ قَارِئًا يَقْرَأُ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا أَكْمِلُوا يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ الْقُرْآنُ عَجِبَتِ الْجِنُّ مِنَ الْقُرْآنِ لَمَّا سَمِعُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَقَالُوا يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ فَعَجِبَ الرَّجُلُ وَسَأَلَ نَفْسَهُ الْجِنُِّ يَعْجَبُونَ مِنْ كَلَامِ اللَّهِ وَيَهْتَدُونَ بِهِ وَنَحْنُ الْبَشَرُ لَا نَعْجَبُ وَلَا نَهْتَدِي؟ فَكَانَتْ هَذِهِ الْآيَةُ سَبَبًا فِي دُخُولِهِ فِي الْإِسْلَامِ فَاطْلُبُوا الْهِدَايَةَ فِي أَعْظَمِ مَظَانِّهَا وَهُوَ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ أَكْمِلُوا جَزَاكُمُ اللَّهُ خَيْرًا الَّذِينَ يُشَارِكُونَنِي قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ إِلَى كُلِّ مَنْ يَنْشُدُ الْفَرَحَ وَيَطْلُبُ الرَّاحَةَ وَالسَّكِينَةَ وَالطُّمَأْنِينَةَ هِيَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُدًى لِلنَّاسِ هَذَا الْقُرْآنُ هُدًى لِكُلِّ النَّاسِ وَلَكِنْ قَدْ يَقُولُ قَائِلٌ فِي أَوَّلِ السُّورَةِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ الم ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ طَيِّبٌ كَيْفَ هُنَا هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ وَهُنَا هُدًى لِلنَّاسِ لِكُلِّ النَّاسِ يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا فِي نَوْعَيْ الْهِدَايَةِ فَفِي الدَّلَالَةِ وَالْإِرْشَادِ هِدَايَةٌ لِمَنْ؟ لِكُلِّ النَّاسِ هِدَايَةُ الْإِرْشَادِ وَالدَّلَالَةِ لِكُلِّ النَّاسِ وَأَمَّا هِدَايَةُ الْإِلْهَامِ وَالتَّوْفِيقِ وَالتَّسْدِيدِ فَإِنَّمَا تَكُونُ لِمَنْ؟ لِلْمُتَّقِيْنَ

Jin Saja Takjub Mendengarnya Lalu Dapat Hidayah, Mengapa Manusia Tidak? – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Pertanyaan: Apa sebab terbesar yang mengantarkan seseorang kepada hidayah, wahai saudara-saudaraku? Jawabannya: Kitabullah (al-Quran). Pertanyaan kedua: Apa sebab terbesar untuk bisa teguh di atas hidayah? Jawabannya juga: Kitabullah (al-Quran). Apa dalilnya? Katakanlah (Muhammad), “Malaikat Jibril menurunkannya (al-Quran) dari Tuhanmu dengan kebenaran…” Siapa yang bisa melanjutkan ayatnya? “…untuk meneguhkan hati orang-orang yang telah beriman, serta menjadi petunjuk dan kabar gembira untuk orang yang beriman.” (QS. an-Nahl: 102). Keteguhan dan hidayah, semuanya ada di dalam al-Quran, wahai saudara-saudaraku. Maka bersungguh-sungguhlah dalam membaca al-Quran dengan penuh perenungan (tadabur), agar ia menjadi sebab hidayah bagi kalian, dan menjadi sebab keteguhan kalian di atas hidayah. Pada zaman yang penuh dengan gejolak, badai pemikiran, dan berbagai godaan, hadirlah firman Allah Yang Maha Agung sebagai sebab terbesar hidayah bagi seluruh manusia. Bahkan bagi orang-orang kafir, wahai saudara-saudara! Kalian sendiri bisa melihat dalam berbagai video singkat: Ada seorang kafir yang mendengar bacaan al-Quran, padahal ia tidak memahami artinya, tapi justru itu menjadi sebab keislamannya. Saya ceritakan sebuah kisah yang dikisahkan oleh seorang guru kami—semoga Allah merahmatinya—tentang peristiwa di sebuah negeri. Beliau bercerita: Dulu ada seorang tokoh besar dari kalangan Nasrani, yang menjadi penghubung antara negerinya dan Vatikan. Ia sering bolak-balik antara kedua tempat itu. Namanya disebutkan—mungkin Ibrahim, Ishaq, atau nama lainnya. Ia menjadi perantara antara dua pihak ini. Suatu hari, ketika Allah menghendaki kebaikan untuknya; ia turun dari pesawat, lalu naik taksi. Lalu ia mendengar seorang qari (pembaca al-Quran) membaca ayat: Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Telah diwahyukan kepadaku bahwa sekumpulan jin telah mendengarkan (al-Quran).’ Lalu mereka berkata: ‘Kami mendengarkan bacaan al-Quran yang menakjubkan…’” (QS. al-Jinn: 1). Lanjutkan ayatnya! “…yang memberi petunjuk kepada kebenaran.” Yaitu al-Quran. Jin saja merasa takjub dengan al-Quran ketika pertama kali mereka mendengarnya. Mereka pun berkata: “Al-Quran memberi petunjuk kepada kebenaran, sehingga kami beriman kepadanya.” (QS. al-Jinn: 2). Maka orang Nasrani tadi pun terkejut dan bertanya dalam hatinya: “Jin saja takjub dengan firman Allah dan mendapatkan hidayah darinya lalu mengapa kami, manusia, tidak merasa takjub dan tidak mendapatkan hidayah darinya?” Ayat ini menjadi sebab dia masuk Islam. Maka carilah hidayah di tempat yang paling agung—yaitu dalam al-Quran. Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. “Wahai manusia, sungguh telah datang kepada kalian pelajaran (al-Quran) dari Tuhan kalian sebagai penyembuh bagi penyakit yang terdapat dalam dada, petunjuk, serta rahmat bagi orang-orang beriman.” (QS. Yunus: 57). Lanjutkan ayat ini! Semoga Allah membalas kebaikan bagi orang yang ikut berpartisipasi. “Katakanlah (Hai Muhammad): ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu hendaklah mereka bergembiraItu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.’” (QS. Yunus: 58). Bagi siapa saja yang mencari kebahagiaan, yang mendambakan ketenangan, kedamaian, dan ketenteraman, maka semua itu ada dalam al-Quran. “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu, hendaklah mereka bergembira…” Al-Quran adalah petunjuk bagi manusia. Al-Quran ini adalah petunjuk bagi seluruh manusia. Mungkin ada yang bertanya-tanya: Pada awal surah al-Baqarah disebutkan: Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. “Alif Laam Miim. Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” Bagaimana mungkin di sini disebutkan: al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang bertakwa, tapi di ayat lain: petunjuk bagi seluruh manusia? Jawabannya adalah: Ada dua jenis hidayah. Adapun al-Quran sebagai petunjuk dan panduan, maka itu berlaku untuk seluruh manusia. Hidayah panduan dan petunjuk bagi seluruh manusia. Sedangkan hidayah dalam bentuk ilham, taufik, dan bimbingan menuju kebaikan, maka itu hanya diberikan kepada orang-orang yang bertakwa. ==== سُؤَالٌ مَا أَعْظَمُ سَبَبٍ لِلْهِدَايَةِ يَا إِخْوَانِي؟ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ سُؤَالٌ ثَانٍ مَا أَعْظَمُ سَبَبٍ لِلثَّبَاتِ عَلَى الْهِدَايَةِ؟ كِتَابُ اللَّهِ القُرْآنُ وَالدَّلِيلُ؟ قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِن رَّبِّكَ بِالْحَقِّ مَنْ يُكَمِّلُ؟ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ الثَّبَاتُ وَالْهُدَى كُلُّهُ فِي كِتَابِ اللَّهِ يَا إِخْوَانُ فَاحْرِصُوا يَا إِخْوَانُ عَلَى قِرَاءَةِ كِتَابِ اللَّهِ بِتَدَبُّرٍ حَتَّى يَكُونَ سَبَبًا لِهِدَايَتِكُمْ وَسَبَبًا لِثُبُوتِكُمْ عَلَى الْهِدَايَةِ فِي وَقْتٍ كَثُرَتْ فِيهِ الزَّعَازِعُ وَالزَّوَابِعُ وَالمُؤَثِّرَاتُ يَأْتِي كَلَامُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لِيَكُونَ أَعْظَمَ سَبَبٍ لِهِدَايَةِ الْبَشَرِ جَمِيعًا حَتَّى الْكُفَّارِ يَا إِخْوَانُ وَتَرَوْنَ أَنْتُمْ يَا إِخْوَانِي فِي مَقَاطِعَ كَافِرٌ يَسْمَعُ كَلَامًا يُتْلَى وَهُوَ لَا يَعْقِلُهُ لَا يَعْرِفُ اللُّغَةَ وَمَعَ ذَلِكَ يَكُونُ سَبَبًا فِي إِسْلَامِهِ وَأَنَا أَذْكُرُ لَكُمْ يَا إِخْوَانِي قِصَّةً ذَكَرَهَا أَحَدُ أَسَاتِذَتِنَا يَرْحَمُهُ اللَّهُ فِي إِحْدَى الْبِلَادِ يَقُولُ كَانَ رَجُلٌ كَبِيرٌ مِنْ كِبَارِ النَّصَارَى وَكَانَ حَلْقَةُ الْوَصْلِ بَيْنَ بَلَدِهِ وَبَيْنَ الْفَاتِيْكَانِ يَتَرَدَّدُ بَيْنَهُمَا وَيُسَمِّيهِ بِاسْمِهِ إِبْرَاهِيمُ أَوْ إِسْحَاقُ أَوْ كَذَا يَذْهَبُ بَيْنَهُمَا يَوْمٌ مِنَ الْأَيَّامِ لَمَّا أَرَادَ اللَّهُ لَهُ الْخَيْرَ نَزَلَ مِنَ الطَّائِرَةِ وَرَكِبَ سَيَّارَةَ تَكْسِي فَسَمِعَ قَارِئًا يَقْرَأُ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا أَكْمِلُوا يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ الْقُرْآنُ عَجِبَتِ الْجِنُّ مِنَ الْقُرْآنِ لَمَّا سَمِعُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَقَالُوا يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ فَعَجِبَ الرَّجُلُ وَسَأَلَ نَفْسَهُ الْجِنُِّ يَعْجَبُونَ مِنْ كَلَامِ اللَّهِ وَيَهْتَدُونَ بِهِ وَنَحْنُ الْبَشَرُ لَا نَعْجَبُ وَلَا نَهْتَدِي؟ فَكَانَتْ هَذِهِ الْآيَةُ سَبَبًا فِي دُخُولِهِ فِي الْإِسْلَامِ فَاطْلُبُوا الْهِدَايَةَ فِي أَعْظَمِ مَظَانِّهَا وَهُوَ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ أَكْمِلُوا جَزَاكُمُ اللَّهُ خَيْرًا الَّذِينَ يُشَارِكُونَنِي قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ إِلَى كُلِّ مَنْ يَنْشُدُ الْفَرَحَ وَيَطْلُبُ الرَّاحَةَ وَالسَّكِينَةَ وَالطُّمَأْنِينَةَ هِيَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُدًى لِلنَّاسِ هَذَا الْقُرْآنُ هُدًى لِكُلِّ النَّاسِ وَلَكِنْ قَدْ يَقُولُ قَائِلٌ فِي أَوَّلِ السُّورَةِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ الم ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ طَيِّبٌ كَيْفَ هُنَا هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ وَهُنَا هُدًى لِلنَّاسِ لِكُلِّ النَّاسِ يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا فِي نَوْعَيْ الْهِدَايَةِ فَفِي الدَّلَالَةِ وَالْإِرْشَادِ هِدَايَةٌ لِمَنْ؟ لِكُلِّ النَّاسِ هِدَايَةُ الْإِرْشَادِ وَالدَّلَالَةِ لِكُلِّ النَّاسِ وَأَمَّا هِدَايَةُ الْإِلْهَامِ وَالتَّوْفِيقِ وَالتَّسْدِيدِ فَإِنَّمَا تَكُونُ لِمَنْ؟ لِلْمُتَّقِيْنَ
Pertanyaan: Apa sebab terbesar yang mengantarkan seseorang kepada hidayah, wahai saudara-saudaraku? Jawabannya: Kitabullah (al-Quran). Pertanyaan kedua: Apa sebab terbesar untuk bisa teguh di atas hidayah? Jawabannya juga: Kitabullah (al-Quran). Apa dalilnya? Katakanlah (Muhammad), “Malaikat Jibril menurunkannya (al-Quran) dari Tuhanmu dengan kebenaran…” Siapa yang bisa melanjutkan ayatnya? “…untuk meneguhkan hati orang-orang yang telah beriman, serta menjadi petunjuk dan kabar gembira untuk orang yang beriman.” (QS. an-Nahl: 102). Keteguhan dan hidayah, semuanya ada di dalam al-Quran, wahai saudara-saudaraku. Maka bersungguh-sungguhlah dalam membaca al-Quran dengan penuh perenungan (tadabur), agar ia menjadi sebab hidayah bagi kalian, dan menjadi sebab keteguhan kalian di atas hidayah. Pada zaman yang penuh dengan gejolak, badai pemikiran, dan berbagai godaan, hadirlah firman Allah Yang Maha Agung sebagai sebab terbesar hidayah bagi seluruh manusia. Bahkan bagi orang-orang kafir, wahai saudara-saudara! Kalian sendiri bisa melihat dalam berbagai video singkat: Ada seorang kafir yang mendengar bacaan al-Quran, padahal ia tidak memahami artinya, tapi justru itu menjadi sebab keislamannya. Saya ceritakan sebuah kisah yang dikisahkan oleh seorang guru kami—semoga Allah merahmatinya—tentang peristiwa di sebuah negeri. Beliau bercerita: Dulu ada seorang tokoh besar dari kalangan Nasrani, yang menjadi penghubung antara negerinya dan Vatikan. Ia sering bolak-balik antara kedua tempat itu. Namanya disebutkan—mungkin Ibrahim, Ishaq, atau nama lainnya. Ia menjadi perantara antara dua pihak ini. Suatu hari, ketika Allah menghendaki kebaikan untuknya; ia turun dari pesawat, lalu naik taksi. Lalu ia mendengar seorang qari (pembaca al-Quran) membaca ayat: Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Telah diwahyukan kepadaku bahwa sekumpulan jin telah mendengarkan (al-Quran).’ Lalu mereka berkata: ‘Kami mendengarkan bacaan al-Quran yang menakjubkan…’” (QS. al-Jinn: 1). Lanjutkan ayatnya! “…yang memberi petunjuk kepada kebenaran.” Yaitu al-Quran. Jin saja merasa takjub dengan al-Quran ketika pertama kali mereka mendengarnya. Mereka pun berkata: “Al-Quran memberi petunjuk kepada kebenaran, sehingga kami beriman kepadanya.” (QS. al-Jinn: 2). Maka orang Nasrani tadi pun terkejut dan bertanya dalam hatinya: “Jin saja takjub dengan firman Allah dan mendapatkan hidayah darinya lalu mengapa kami, manusia, tidak merasa takjub dan tidak mendapatkan hidayah darinya?” Ayat ini menjadi sebab dia masuk Islam. Maka carilah hidayah di tempat yang paling agung—yaitu dalam al-Quran. Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. “Wahai manusia, sungguh telah datang kepada kalian pelajaran (al-Quran) dari Tuhan kalian sebagai penyembuh bagi penyakit yang terdapat dalam dada, petunjuk, serta rahmat bagi orang-orang beriman.” (QS. Yunus: 57). Lanjutkan ayat ini! Semoga Allah membalas kebaikan bagi orang yang ikut berpartisipasi. “Katakanlah (Hai Muhammad): ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu hendaklah mereka bergembiraItu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.’” (QS. Yunus: 58). Bagi siapa saja yang mencari kebahagiaan, yang mendambakan ketenangan, kedamaian, dan ketenteraman, maka semua itu ada dalam al-Quran. “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu, hendaklah mereka bergembira…” Al-Quran adalah petunjuk bagi manusia. Al-Quran ini adalah petunjuk bagi seluruh manusia. Mungkin ada yang bertanya-tanya: Pada awal surah al-Baqarah disebutkan: Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. “Alif Laam Miim. Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” Bagaimana mungkin di sini disebutkan: al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang bertakwa, tapi di ayat lain: petunjuk bagi seluruh manusia? Jawabannya adalah: Ada dua jenis hidayah. Adapun al-Quran sebagai petunjuk dan panduan, maka itu berlaku untuk seluruh manusia. Hidayah panduan dan petunjuk bagi seluruh manusia. Sedangkan hidayah dalam bentuk ilham, taufik, dan bimbingan menuju kebaikan, maka itu hanya diberikan kepada orang-orang yang bertakwa. ==== سُؤَالٌ مَا أَعْظَمُ سَبَبٍ لِلْهِدَايَةِ يَا إِخْوَانِي؟ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ سُؤَالٌ ثَانٍ مَا أَعْظَمُ سَبَبٍ لِلثَّبَاتِ عَلَى الْهِدَايَةِ؟ كِتَابُ اللَّهِ القُرْآنُ وَالدَّلِيلُ؟ قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِن رَّبِّكَ بِالْحَقِّ مَنْ يُكَمِّلُ؟ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ الثَّبَاتُ وَالْهُدَى كُلُّهُ فِي كِتَابِ اللَّهِ يَا إِخْوَانُ فَاحْرِصُوا يَا إِخْوَانُ عَلَى قِرَاءَةِ كِتَابِ اللَّهِ بِتَدَبُّرٍ حَتَّى يَكُونَ سَبَبًا لِهِدَايَتِكُمْ وَسَبَبًا لِثُبُوتِكُمْ عَلَى الْهِدَايَةِ فِي وَقْتٍ كَثُرَتْ فِيهِ الزَّعَازِعُ وَالزَّوَابِعُ وَالمُؤَثِّرَاتُ يَأْتِي كَلَامُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لِيَكُونَ أَعْظَمَ سَبَبٍ لِهِدَايَةِ الْبَشَرِ جَمِيعًا حَتَّى الْكُفَّارِ يَا إِخْوَانُ وَتَرَوْنَ أَنْتُمْ يَا إِخْوَانِي فِي مَقَاطِعَ كَافِرٌ يَسْمَعُ كَلَامًا يُتْلَى وَهُوَ لَا يَعْقِلُهُ لَا يَعْرِفُ اللُّغَةَ وَمَعَ ذَلِكَ يَكُونُ سَبَبًا فِي إِسْلَامِهِ وَأَنَا أَذْكُرُ لَكُمْ يَا إِخْوَانِي قِصَّةً ذَكَرَهَا أَحَدُ أَسَاتِذَتِنَا يَرْحَمُهُ اللَّهُ فِي إِحْدَى الْبِلَادِ يَقُولُ كَانَ رَجُلٌ كَبِيرٌ مِنْ كِبَارِ النَّصَارَى وَكَانَ حَلْقَةُ الْوَصْلِ بَيْنَ بَلَدِهِ وَبَيْنَ الْفَاتِيْكَانِ يَتَرَدَّدُ بَيْنَهُمَا وَيُسَمِّيهِ بِاسْمِهِ إِبْرَاهِيمُ أَوْ إِسْحَاقُ أَوْ كَذَا يَذْهَبُ بَيْنَهُمَا يَوْمٌ مِنَ الْأَيَّامِ لَمَّا أَرَادَ اللَّهُ لَهُ الْخَيْرَ نَزَلَ مِنَ الطَّائِرَةِ وَرَكِبَ سَيَّارَةَ تَكْسِي فَسَمِعَ قَارِئًا يَقْرَأُ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا أَكْمِلُوا يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ الْقُرْآنُ عَجِبَتِ الْجِنُّ مِنَ الْقُرْآنِ لَمَّا سَمِعُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَقَالُوا يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ فَعَجِبَ الرَّجُلُ وَسَأَلَ نَفْسَهُ الْجِنُِّ يَعْجَبُونَ مِنْ كَلَامِ اللَّهِ وَيَهْتَدُونَ بِهِ وَنَحْنُ الْبَشَرُ لَا نَعْجَبُ وَلَا نَهْتَدِي؟ فَكَانَتْ هَذِهِ الْآيَةُ سَبَبًا فِي دُخُولِهِ فِي الْإِسْلَامِ فَاطْلُبُوا الْهِدَايَةَ فِي أَعْظَمِ مَظَانِّهَا وَهُوَ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ أَكْمِلُوا جَزَاكُمُ اللَّهُ خَيْرًا الَّذِينَ يُشَارِكُونَنِي قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ إِلَى كُلِّ مَنْ يَنْشُدُ الْفَرَحَ وَيَطْلُبُ الرَّاحَةَ وَالسَّكِينَةَ وَالطُّمَأْنِينَةَ هِيَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُدًى لِلنَّاسِ هَذَا الْقُرْآنُ هُدًى لِكُلِّ النَّاسِ وَلَكِنْ قَدْ يَقُولُ قَائِلٌ فِي أَوَّلِ السُّورَةِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ الم ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ طَيِّبٌ كَيْفَ هُنَا هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ وَهُنَا هُدًى لِلنَّاسِ لِكُلِّ النَّاسِ يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا فِي نَوْعَيْ الْهِدَايَةِ فَفِي الدَّلَالَةِ وَالْإِرْشَادِ هِدَايَةٌ لِمَنْ؟ لِكُلِّ النَّاسِ هِدَايَةُ الْإِرْشَادِ وَالدَّلَالَةِ لِكُلِّ النَّاسِ وَأَمَّا هِدَايَةُ الْإِلْهَامِ وَالتَّوْفِيقِ وَالتَّسْدِيدِ فَإِنَّمَا تَكُونُ لِمَنْ؟ لِلْمُتَّقِيْنَ


Pertanyaan: Apa sebab terbesar yang mengantarkan seseorang kepada hidayah, wahai saudara-saudaraku? Jawabannya: Kitabullah (al-Quran). Pertanyaan kedua: Apa sebab terbesar untuk bisa teguh di atas hidayah? Jawabannya juga: Kitabullah (al-Quran). Apa dalilnya? Katakanlah (Muhammad), “Malaikat Jibril menurunkannya (al-Quran) dari Tuhanmu dengan kebenaran…” Siapa yang bisa melanjutkan ayatnya? “…untuk meneguhkan hati orang-orang yang telah beriman, serta menjadi petunjuk dan kabar gembira untuk orang yang beriman.” (QS. an-Nahl: 102). Keteguhan dan hidayah, semuanya ada di dalam al-Quran, wahai saudara-saudaraku. Maka bersungguh-sungguhlah dalam membaca al-Quran dengan penuh perenungan (tadabur), agar ia menjadi sebab hidayah bagi kalian, dan menjadi sebab keteguhan kalian di atas hidayah. Pada zaman yang penuh dengan gejolak, badai pemikiran, dan berbagai godaan, hadirlah firman Allah Yang Maha Agung sebagai sebab terbesar hidayah bagi seluruh manusia. Bahkan bagi orang-orang kafir, wahai saudara-saudara! Kalian sendiri bisa melihat dalam berbagai video singkat: Ada seorang kafir yang mendengar bacaan al-Quran, padahal ia tidak memahami artinya, tapi justru itu menjadi sebab keislamannya. Saya ceritakan sebuah kisah yang dikisahkan oleh seorang guru kami—semoga Allah merahmatinya—tentang peristiwa di sebuah negeri. Beliau bercerita: Dulu ada seorang tokoh besar dari kalangan Nasrani, yang menjadi penghubung antara negerinya dan Vatikan. Ia sering bolak-balik antara kedua tempat itu. Namanya disebutkan—mungkin Ibrahim, Ishaq, atau nama lainnya. Ia menjadi perantara antara dua pihak ini. Suatu hari, ketika Allah menghendaki kebaikan untuknya; ia turun dari pesawat, lalu naik taksi. Lalu ia mendengar seorang qari (pembaca al-Quran) membaca ayat: Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Telah diwahyukan kepadaku bahwa sekumpulan jin telah mendengarkan (al-Quran).’ Lalu mereka berkata: ‘Kami mendengarkan bacaan al-Quran yang menakjubkan…’” (QS. al-Jinn: 1). Lanjutkan ayatnya! “…yang memberi petunjuk kepada kebenaran.” Yaitu al-Quran. Jin saja merasa takjub dengan al-Quran ketika pertama kali mereka mendengarnya. Mereka pun berkata: “Al-Quran memberi petunjuk kepada kebenaran, sehingga kami beriman kepadanya.” (QS. al-Jinn: 2). Maka orang Nasrani tadi pun terkejut dan bertanya dalam hatinya: “Jin saja takjub dengan firman Allah dan mendapatkan hidayah darinya lalu mengapa kami, manusia, tidak merasa takjub dan tidak mendapatkan hidayah darinya?” Ayat ini menjadi sebab dia masuk Islam. Maka carilah hidayah di tempat yang paling agung—yaitu dalam al-Quran. Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. “Wahai manusia, sungguh telah datang kepada kalian pelajaran (al-Quran) dari Tuhan kalian sebagai penyembuh bagi penyakit yang terdapat dalam dada, petunjuk, serta rahmat bagi orang-orang beriman.” (QS. Yunus: 57). Lanjutkan ayat ini! Semoga Allah membalas kebaikan bagi orang yang ikut berpartisipasi. “Katakanlah (Hai Muhammad): ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu hendaklah mereka bergembiraItu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.’” (QS. Yunus: 58). Bagi siapa saja yang mencari kebahagiaan, yang mendambakan ketenangan, kedamaian, dan ketenteraman, maka semua itu ada dalam al-Quran. “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu, hendaklah mereka bergembira…” Al-Quran adalah petunjuk bagi manusia. Al-Quran ini adalah petunjuk bagi seluruh manusia. Mungkin ada yang bertanya-tanya: Pada awal surah al-Baqarah disebutkan: Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. “Alif Laam Miim. Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” Bagaimana mungkin di sini disebutkan: al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang bertakwa, tapi di ayat lain: petunjuk bagi seluruh manusia? Jawabannya adalah: Ada dua jenis hidayah. Adapun al-Quran sebagai petunjuk dan panduan, maka itu berlaku untuk seluruh manusia. Hidayah panduan dan petunjuk bagi seluruh manusia. Sedangkan hidayah dalam bentuk ilham, taufik, dan bimbingan menuju kebaikan, maka itu hanya diberikan kepada orang-orang yang bertakwa. ==== سُؤَالٌ مَا أَعْظَمُ سَبَبٍ لِلْهِدَايَةِ يَا إِخْوَانِي؟ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ سُؤَالٌ ثَانٍ مَا أَعْظَمُ سَبَبٍ لِلثَّبَاتِ عَلَى الْهِدَايَةِ؟ كِتَابُ اللَّهِ القُرْآنُ وَالدَّلِيلُ؟ قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِن رَّبِّكَ بِالْحَقِّ مَنْ يُكَمِّلُ؟ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ الثَّبَاتُ وَالْهُدَى كُلُّهُ فِي كِتَابِ اللَّهِ يَا إِخْوَانُ فَاحْرِصُوا يَا إِخْوَانُ عَلَى قِرَاءَةِ كِتَابِ اللَّهِ بِتَدَبُّرٍ حَتَّى يَكُونَ سَبَبًا لِهِدَايَتِكُمْ وَسَبَبًا لِثُبُوتِكُمْ عَلَى الْهِدَايَةِ فِي وَقْتٍ كَثُرَتْ فِيهِ الزَّعَازِعُ وَالزَّوَابِعُ وَالمُؤَثِّرَاتُ يَأْتِي كَلَامُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لِيَكُونَ أَعْظَمَ سَبَبٍ لِهِدَايَةِ الْبَشَرِ جَمِيعًا حَتَّى الْكُفَّارِ يَا إِخْوَانُ وَتَرَوْنَ أَنْتُمْ يَا إِخْوَانِي فِي مَقَاطِعَ كَافِرٌ يَسْمَعُ كَلَامًا يُتْلَى وَهُوَ لَا يَعْقِلُهُ لَا يَعْرِفُ اللُّغَةَ وَمَعَ ذَلِكَ يَكُونُ سَبَبًا فِي إِسْلَامِهِ وَأَنَا أَذْكُرُ لَكُمْ يَا إِخْوَانِي قِصَّةً ذَكَرَهَا أَحَدُ أَسَاتِذَتِنَا يَرْحَمُهُ اللَّهُ فِي إِحْدَى الْبِلَادِ يَقُولُ كَانَ رَجُلٌ كَبِيرٌ مِنْ كِبَارِ النَّصَارَى وَكَانَ حَلْقَةُ الْوَصْلِ بَيْنَ بَلَدِهِ وَبَيْنَ الْفَاتِيْكَانِ يَتَرَدَّدُ بَيْنَهُمَا وَيُسَمِّيهِ بِاسْمِهِ إِبْرَاهِيمُ أَوْ إِسْحَاقُ أَوْ كَذَا يَذْهَبُ بَيْنَهُمَا يَوْمٌ مِنَ الْأَيَّامِ لَمَّا أَرَادَ اللَّهُ لَهُ الْخَيْرَ نَزَلَ مِنَ الطَّائِرَةِ وَرَكِبَ سَيَّارَةَ تَكْسِي فَسَمِعَ قَارِئًا يَقْرَأُ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا أَكْمِلُوا يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ الْقُرْآنُ عَجِبَتِ الْجِنُّ مِنَ الْقُرْآنِ لَمَّا سَمِعُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَقَالُوا يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ فَعَجِبَ الرَّجُلُ وَسَأَلَ نَفْسَهُ الْجِنُِّ يَعْجَبُونَ مِنْ كَلَامِ اللَّهِ وَيَهْتَدُونَ بِهِ وَنَحْنُ الْبَشَرُ لَا نَعْجَبُ وَلَا نَهْتَدِي؟ فَكَانَتْ هَذِهِ الْآيَةُ سَبَبًا فِي دُخُولِهِ فِي الْإِسْلَامِ فَاطْلُبُوا الْهِدَايَةَ فِي أَعْظَمِ مَظَانِّهَا وَهُوَ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ أَكْمِلُوا جَزَاكُمُ اللَّهُ خَيْرًا الَّذِينَ يُشَارِكُونَنِي قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ إِلَى كُلِّ مَنْ يَنْشُدُ الْفَرَحَ وَيَطْلُبُ الرَّاحَةَ وَالسَّكِينَةَ وَالطُّمَأْنِينَةَ هِيَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُدًى لِلنَّاسِ هَذَا الْقُرْآنُ هُدًى لِكُلِّ النَّاسِ وَلَكِنْ قَدْ يَقُولُ قَائِلٌ فِي أَوَّلِ السُّورَةِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ الم ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ طَيِّبٌ كَيْفَ هُنَا هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ وَهُنَا هُدًى لِلنَّاسِ لِكُلِّ النَّاسِ يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا فِي نَوْعَيْ الْهِدَايَةِ فَفِي الدَّلَالَةِ وَالْإِرْشَادِ هِدَايَةٌ لِمَنْ؟ لِكُلِّ النَّاسِ هِدَايَةُ الْإِرْشَادِ وَالدَّلَالَةِ لِكُلِّ النَّاسِ وَأَمَّا هِدَايَةُ الْإِلْهَامِ وَالتَّوْفِيقِ وَالتَّسْدِيدِ فَإِنَّمَا تَكُونُ لِمَنْ؟ لِلْمُتَّقِيْنَ

Fatwa Ulama: Dianjurkan Menceritakan Nikmat, namun Bagaimana jika Terkena Penyakit ‘Ain?

Fatwa Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid   Pertanyaan: Di antara karunia Allah kepada saya, Dia telah memuliakan saya dengan banyak hal istimewa dalam hidup saya, berupa keberhasilan dalam pekerjaan, agama, dan kehidupan saya secara umum. Seringkali saya ingin menceritakan tentang hal-hal baik dan kemudahan dari Allah ini kepada teman-teman saya. Namun, saya takut akan hasad, khususnya karena banyak dari mereka yang saat ini keadaannya sedang kurang baik. Karenanya, saya khawatir salah satu dari mereka akan hasad kepada saya. Maaf karena mengatakan hal ini, namun demikianlah hakikat yang terbukti ada dalam syariat kita yang lurus. Apakah pandangan ini teranggap sebagai bentuk lemahnya iman? Bagaimana jika saya lupa membaca zikir pada suatu pagi atau sore?   Jawaban: Alhamdulillah. Pertama: Perlu diketahui bahwa tahadduts bini’matillah (menceritakan nikmat Allah kepada orang lain) adalah termasuk hak anda atas nikmat tersebut, juga salah satu bentuk mengakui kebaikan dari Sang Pemberi nikmat, yakni Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya, وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, nyatakanlah (dengan bersyukur).” (QS. Ad-Dhuha: 11) Dari Abu Nadhrah, ia berkata, “Sejumlah ulama kaum muslimin berpendapat bahwa salah satu bentuk mensyukuri nikmat adalah dengan menceritakannya.” [1] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perbedaan antara menceritakan nikmat Allah (mutahaddits bin ni’mah) dan membanggakannya (al-fakhru bin ni’am), yaitu: orang yang menceritakan nikmat adalah orang yang menceritakan sifat-sifat Pemberinya, kemurahan, serta kebaikan-Nya yang sempurna, memuji-Nya dengan menampakkan dan menceritakan nikmat tersebut dalam keadaan bersyukur kepada-Nya, menyebarkan semua yang Allah berikan kepadanya dengan tujuan menampakkan sifat-sifat Allah, memuji-Nya, dan mendorong jiwa untuk meminta hanya kepada-Nya dan bukan kepada selain-Nya, serta untuk mencintai dan berharap kepada-Nya. Sehingga ia menjadi orang yang berharap kepada Allah dengan menampakkan berbagai nikmat-Nya, menyebarkannya, dan menceritakannya. Adapun membanggakan nikmat (yang tercela, pen) adalah ketika seseorang merasa lebih tinggi dari orang lain karena mendapat nikmat tersebut, menunjukkan kepada mereka bahwa dia lebih mulia dan agung dari mereka, lalu ia menundukkan kepala mereka, memperbudak hati mereka, dan menarik hati mereka untuk mengagungkan dan melayani dirinya. An-Nu’man bin Basyir berkata, “Sesungguhnya setan memiliki banyak perangkap (mashali) dan jeratan, di antara perangkap dan jeratannya adalah angkuh karena mendapat beragam nikmat dari Allah, sombong kepada hamba-hamba Allah, dan membanggakan pemberian Allah tanpa mengagungkan Zat Allah.” [2] Ibnu Al-Atsir berkata, “Al-mashali itu serupa dengan asy-syarak (perangkap), bentuk mufradnya (tunggalnya) adalah mushlat, yaitu perhiasan dan syahwat dunia yang menggairahkan manusia.” [3] Kedua: Memuji nikmat yang khusus diberikan Allah kepada salah seorang hamba-Nya, jika dengan menceritakannya dikhawatirkan akan menimbulkan mafsadat seperti hasad, kebencian, atau yang semisalnya, maka bisa dialihkan dengan memuji Allah dan menyebutkan nikmat-Nya secara umum saja. As-Sa’di rahimahullah berkata, “Ini (perintah untuk menceritakan nikmat) mencakup nikmat-nikmat agama maupun dunia. Makna (فَحَدِّثْ) adalah pujilah Allah dengan sebab nikmat tersebut, dan khususkan dengan menyebutkannya jika ada maslahat. Jika tidak, maka ceritakanlah nikmat-nikmat Allah secara umum, karena menceritakan nikmat Allah dapat memotivasi untuk mensyukurinya, dan membuat hati mencintai Zat yang memberikan nikmat tersebut, karena hati diciptakan untuk mencintai siapa yang berbuat baik.” [4] Al-Munawi rahimahullah menjelaskan makna hadis, .. والتحدث بنعمة الله شكر ، وتركها كفر “… dan menceritakan nikmat Allah adalah syukur, dan meninggalkannya adalah kufur.” [5] dengan berkata, “Hadis ini berlaku selama tidak menimbulkan bahaya seperti hasad. Jika tidak, maka menyembunyikannya lebih utama.” [6] Tetapi, hal di atas berlaku jika ada indikasi dan tanda-tanda kuat tentang kekhawatiran tersebut. Jika tidak, maka pada dasarnya kita berprasangka baik kepada sesama muslim, menyerahkan segala urusan kepada Allah, dan bertawakal kepada-Nya dalam meraih banyak kebaikan dan menghindari berbagai mudarat. Nasihat untuk anda agar membentengi diri dengan berzikir kepada Allah, dan membaca wirid-wirid yang disyariatkan saat pagi dan petang, serta membentengi diri dengan ruqyah syar’iyyah, terutama Al-Mu’awwidzatain (surat Al-Falaq dan An-Nas). Dari Mu’adz bin Abdullah bin Khubaib dari ayahnya, dia berkata, “Aku bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di jalan kota Makkah, lalu aku mendapat kesempatan berdua dengan beliau. Aku mendekati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas beliau berkata, ‘Ucapkanlah.’ Aku bertanya, ‘Apa yang harus aku ucapkan?’ Beliau berkata, ‘Ucapkanlah.’ Aku bertanya, ‘Apa yang harus aku ucapkan?’ Beliau berkata, ‘Ucapkanlah A’udzu bi rabbil falaq…’ hingga selesai. Kemudian beliau berkata, ‘Ucapkanlah A’udzu bi rabbin naas…’ hingga selesai. Kemudian beliau berkata, ‘Manusia tidak pernah berlindung dengan sesuatu yang lebih utama dari keduanya.'” [7] Syekh Ibnu Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Menjauhi kejahatan orang yang hasad dan ‘ain (mata jahat) adalah dengan: Pertama, bertawakal kepada Allah ‘Azza Wajalla dan tidak menghiraukan hal-hal tersebut, tidak mempedulikannya, dan berpaling darinya. Kedua, mengamalkan wirid-wirid yang bermanfaat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, karena keduanya adalah pelindung terbaik bagi manusia, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang ayat kursi bahwa barangsiapa membacanya di malam hari, maka akan tetap ada penjagaan dari Allah baginya dan setan tidak akan mendekatinya hingga pagi hari.” [8] Ketiga: Jika pada suatu hari anda lupa membaca rangkaian zikir pagi atau petang, maka anda dapat mengerjakannya kapan pun anda mengingatnya. Jika waktunya telah berlalu sampai memasuki awal siang atau malam, maka tidak mengapa insyaAllah, semoga anda tetap mendapatkan berkahnya karena rutin mengamalkan zikir pagi dan petang di sebagian besar waktu anda. Tetapi, kami mengingatkan anda bahwa ruqyah syar’iyyah tidak terbatas pada zikir pagi dan petang saja, melainkan bisa dilakukan kapan pun. Kami juga memberitahu anda, bahwa anda dapat mengganti zikir yang terlewat dengan berbagai zikir dan tasbih serta membaca Al-Qur’an, yang mana seluruhnya tidak terikat waktu pagi maupun sore. Kami menyarankan anda untuk mempelajari buku Al-Wabilus Shayyib minal Kalim At-Thayyib, karya Al-Imam Ibnu Al-Qayyim, dan Fiqhul Ad’iyah wal Adzkar, karya Syekh Abdul Razzaq Al-Abbad. Wallahu a’lam. -Fatwa Selesai- [9] Baca juga: Nikmat Dekat dengan Ahli Ilmu *** Penerjemah: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Referensi: [1] Tafsir Ath-Thabari, 24: 489. [2] Ar-Ruh, hal. 312. [3] An-Nihayah fi Gharib Al-Hadits, 3: 95. [4] Tafsir As-Sa’di, hal. 928. [5] Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam Zawa’id Al-Musnad no. 18449, bagian lafaz yang dinukil dinilai daif oleh Syu’aib Al-Arnauth. [6] Faidh Al-Qadir, 3: 369. [7] HR. An-Nasa’i no. 5429, dinilai sahih oleh Al-Albani. [8] Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, 13: 274-275. [9] Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab (IslamQA) asuhan Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullah, pertanyaan no. 137984, https://islamqa.info/amp/ar/answers/137984 (dengan sedikit penyesuaian dalam alih bahasa oleh penerjemah).

Fatwa Ulama: Dianjurkan Menceritakan Nikmat, namun Bagaimana jika Terkena Penyakit ‘Ain?

Fatwa Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid   Pertanyaan: Di antara karunia Allah kepada saya, Dia telah memuliakan saya dengan banyak hal istimewa dalam hidup saya, berupa keberhasilan dalam pekerjaan, agama, dan kehidupan saya secara umum. Seringkali saya ingin menceritakan tentang hal-hal baik dan kemudahan dari Allah ini kepada teman-teman saya. Namun, saya takut akan hasad, khususnya karena banyak dari mereka yang saat ini keadaannya sedang kurang baik. Karenanya, saya khawatir salah satu dari mereka akan hasad kepada saya. Maaf karena mengatakan hal ini, namun demikianlah hakikat yang terbukti ada dalam syariat kita yang lurus. Apakah pandangan ini teranggap sebagai bentuk lemahnya iman? Bagaimana jika saya lupa membaca zikir pada suatu pagi atau sore?   Jawaban: Alhamdulillah. Pertama: Perlu diketahui bahwa tahadduts bini’matillah (menceritakan nikmat Allah kepada orang lain) adalah termasuk hak anda atas nikmat tersebut, juga salah satu bentuk mengakui kebaikan dari Sang Pemberi nikmat, yakni Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya, وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, nyatakanlah (dengan bersyukur).” (QS. Ad-Dhuha: 11) Dari Abu Nadhrah, ia berkata, “Sejumlah ulama kaum muslimin berpendapat bahwa salah satu bentuk mensyukuri nikmat adalah dengan menceritakannya.” [1] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perbedaan antara menceritakan nikmat Allah (mutahaddits bin ni’mah) dan membanggakannya (al-fakhru bin ni’am), yaitu: orang yang menceritakan nikmat adalah orang yang menceritakan sifat-sifat Pemberinya, kemurahan, serta kebaikan-Nya yang sempurna, memuji-Nya dengan menampakkan dan menceritakan nikmat tersebut dalam keadaan bersyukur kepada-Nya, menyebarkan semua yang Allah berikan kepadanya dengan tujuan menampakkan sifat-sifat Allah, memuji-Nya, dan mendorong jiwa untuk meminta hanya kepada-Nya dan bukan kepada selain-Nya, serta untuk mencintai dan berharap kepada-Nya. Sehingga ia menjadi orang yang berharap kepada Allah dengan menampakkan berbagai nikmat-Nya, menyebarkannya, dan menceritakannya. Adapun membanggakan nikmat (yang tercela, pen) adalah ketika seseorang merasa lebih tinggi dari orang lain karena mendapat nikmat tersebut, menunjukkan kepada mereka bahwa dia lebih mulia dan agung dari mereka, lalu ia menundukkan kepala mereka, memperbudak hati mereka, dan menarik hati mereka untuk mengagungkan dan melayani dirinya. An-Nu’man bin Basyir berkata, “Sesungguhnya setan memiliki banyak perangkap (mashali) dan jeratan, di antara perangkap dan jeratannya adalah angkuh karena mendapat beragam nikmat dari Allah, sombong kepada hamba-hamba Allah, dan membanggakan pemberian Allah tanpa mengagungkan Zat Allah.” [2] Ibnu Al-Atsir berkata, “Al-mashali itu serupa dengan asy-syarak (perangkap), bentuk mufradnya (tunggalnya) adalah mushlat, yaitu perhiasan dan syahwat dunia yang menggairahkan manusia.” [3] Kedua: Memuji nikmat yang khusus diberikan Allah kepada salah seorang hamba-Nya, jika dengan menceritakannya dikhawatirkan akan menimbulkan mafsadat seperti hasad, kebencian, atau yang semisalnya, maka bisa dialihkan dengan memuji Allah dan menyebutkan nikmat-Nya secara umum saja. As-Sa’di rahimahullah berkata, “Ini (perintah untuk menceritakan nikmat) mencakup nikmat-nikmat agama maupun dunia. Makna (فَحَدِّثْ) adalah pujilah Allah dengan sebab nikmat tersebut, dan khususkan dengan menyebutkannya jika ada maslahat. Jika tidak, maka ceritakanlah nikmat-nikmat Allah secara umum, karena menceritakan nikmat Allah dapat memotivasi untuk mensyukurinya, dan membuat hati mencintai Zat yang memberikan nikmat tersebut, karena hati diciptakan untuk mencintai siapa yang berbuat baik.” [4] Al-Munawi rahimahullah menjelaskan makna hadis, .. والتحدث بنعمة الله شكر ، وتركها كفر “… dan menceritakan nikmat Allah adalah syukur, dan meninggalkannya adalah kufur.” [5] dengan berkata, “Hadis ini berlaku selama tidak menimbulkan bahaya seperti hasad. Jika tidak, maka menyembunyikannya lebih utama.” [6] Tetapi, hal di atas berlaku jika ada indikasi dan tanda-tanda kuat tentang kekhawatiran tersebut. Jika tidak, maka pada dasarnya kita berprasangka baik kepada sesama muslim, menyerahkan segala urusan kepada Allah, dan bertawakal kepada-Nya dalam meraih banyak kebaikan dan menghindari berbagai mudarat. Nasihat untuk anda agar membentengi diri dengan berzikir kepada Allah, dan membaca wirid-wirid yang disyariatkan saat pagi dan petang, serta membentengi diri dengan ruqyah syar’iyyah, terutama Al-Mu’awwidzatain (surat Al-Falaq dan An-Nas). Dari Mu’adz bin Abdullah bin Khubaib dari ayahnya, dia berkata, “Aku bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di jalan kota Makkah, lalu aku mendapat kesempatan berdua dengan beliau. Aku mendekati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas beliau berkata, ‘Ucapkanlah.’ Aku bertanya, ‘Apa yang harus aku ucapkan?’ Beliau berkata, ‘Ucapkanlah.’ Aku bertanya, ‘Apa yang harus aku ucapkan?’ Beliau berkata, ‘Ucapkanlah A’udzu bi rabbil falaq…’ hingga selesai. Kemudian beliau berkata, ‘Ucapkanlah A’udzu bi rabbin naas…’ hingga selesai. Kemudian beliau berkata, ‘Manusia tidak pernah berlindung dengan sesuatu yang lebih utama dari keduanya.'” [7] Syekh Ibnu Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Menjauhi kejahatan orang yang hasad dan ‘ain (mata jahat) adalah dengan: Pertama, bertawakal kepada Allah ‘Azza Wajalla dan tidak menghiraukan hal-hal tersebut, tidak mempedulikannya, dan berpaling darinya. Kedua, mengamalkan wirid-wirid yang bermanfaat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, karena keduanya adalah pelindung terbaik bagi manusia, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang ayat kursi bahwa barangsiapa membacanya di malam hari, maka akan tetap ada penjagaan dari Allah baginya dan setan tidak akan mendekatinya hingga pagi hari.” [8] Ketiga: Jika pada suatu hari anda lupa membaca rangkaian zikir pagi atau petang, maka anda dapat mengerjakannya kapan pun anda mengingatnya. Jika waktunya telah berlalu sampai memasuki awal siang atau malam, maka tidak mengapa insyaAllah, semoga anda tetap mendapatkan berkahnya karena rutin mengamalkan zikir pagi dan petang di sebagian besar waktu anda. Tetapi, kami mengingatkan anda bahwa ruqyah syar’iyyah tidak terbatas pada zikir pagi dan petang saja, melainkan bisa dilakukan kapan pun. Kami juga memberitahu anda, bahwa anda dapat mengganti zikir yang terlewat dengan berbagai zikir dan tasbih serta membaca Al-Qur’an, yang mana seluruhnya tidak terikat waktu pagi maupun sore. Kami menyarankan anda untuk mempelajari buku Al-Wabilus Shayyib minal Kalim At-Thayyib, karya Al-Imam Ibnu Al-Qayyim, dan Fiqhul Ad’iyah wal Adzkar, karya Syekh Abdul Razzaq Al-Abbad. Wallahu a’lam. -Fatwa Selesai- [9] Baca juga: Nikmat Dekat dengan Ahli Ilmu *** Penerjemah: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Referensi: [1] Tafsir Ath-Thabari, 24: 489. [2] Ar-Ruh, hal. 312. [3] An-Nihayah fi Gharib Al-Hadits, 3: 95. [4] Tafsir As-Sa’di, hal. 928. [5] Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam Zawa’id Al-Musnad no. 18449, bagian lafaz yang dinukil dinilai daif oleh Syu’aib Al-Arnauth. [6] Faidh Al-Qadir, 3: 369. [7] HR. An-Nasa’i no. 5429, dinilai sahih oleh Al-Albani. [8] Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, 13: 274-275. [9] Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab (IslamQA) asuhan Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullah, pertanyaan no. 137984, https://islamqa.info/amp/ar/answers/137984 (dengan sedikit penyesuaian dalam alih bahasa oleh penerjemah).
Fatwa Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid   Pertanyaan: Di antara karunia Allah kepada saya, Dia telah memuliakan saya dengan banyak hal istimewa dalam hidup saya, berupa keberhasilan dalam pekerjaan, agama, dan kehidupan saya secara umum. Seringkali saya ingin menceritakan tentang hal-hal baik dan kemudahan dari Allah ini kepada teman-teman saya. Namun, saya takut akan hasad, khususnya karena banyak dari mereka yang saat ini keadaannya sedang kurang baik. Karenanya, saya khawatir salah satu dari mereka akan hasad kepada saya. Maaf karena mengatakan hal ini, namun demikianlah hakikat yang terbukti ada dalam syariat kita yang lurus. Apakah pandangan ini teranggap sebagai bentuk lemahnya iman? Bagaimana jika saya lupa membaca zikir pada suatu pagi atau sore?   Jawaban: Alhamdulillah. Pertama: Perlu diketahui bahwa tahadduts bini’matillah (menceritakan nikmat Allah kepada orang lain) adalah termasuk hak anda atas nikmat tersebut, juga salah satu bentuk mengakui kebaikan dari Sang Pemberi nikmat, yakni Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya, وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, nyatakanlah (dengan bersyukur).” (QS. Ad-Dhuha: 11) Dari Abu Nadhrah, ia berkata, “Sejumlah ulama kaum muslimin berpendapat bahwa salah satu bentuk mensyukuri nikmat adalah dengan menceritakannya.” [1] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perbedaan antara menceritakan nikmat Allah (mutahaddits bin ni’mah) dan membanggakannya (al-fakhru bin ni’am), yaitu: orang yang menceritakan nikmat adalah orang yang menceritakan sifat-sifat Pemberinya, kemurahan, serta kebaikan-Nya yang sempurna, memuji-Nya dengan menampakkan dan menceritakan nikmat tersebut dalam keadaan bersyukur kepada-Nya, menyebarkan semua yang Allah berikan kepadanya dengan tujuan menampakkan sifat-sifat Allah, memuji-Nya, dan mendorong jiwa untuk meminta hanya kepada-Nya dan bukan kepada selain-Nya, serta untuk mencintai dan berharap kepada-Nya. Sehingga ia menjadi orang yang berharap kepada Allah dengan menampakkan berbagai nikmat-Nya, menyebarkannya, dan menceritakannya. Adapun membanggakan nikmat (yang tercela, pen) adalah ketika seseorang merasa lebih tinggi dari orang lain karena mendapat nikmat tersebut, menunjukkan kepada mereka bahwa dia lebih mulia dan agung dari mereka, lalu ia menundukkan kepala mereka, memperbudak hati mereka, dan menarik hati mereka untuk mengagungkan dan melayani dirinya. An-Nu’man bin Basyir berkata, “Sesungguhnya setan memiliki banyak perangkap (mashali) dan jeratan, di antara perangkap dan jeratannya adalah angkuh karena mendapat beragam nikmat dari Allah, sombong kepada hamba-hamba Allah, dan membanggakan pemberian Allah tanpa mengagungkan Zat Allah.” [2] Ibnu Al-Atsir berkata, “Al-mashali itu serupa dengan asy-syarak (perangkap), bentuk mufradnya (tunggalnya) adalah mushlat, yaitu perhiasan dan syahwat dunia yang menggairahkan manusia.” [3] Kedua: Memuji nikmat yang khusus diberikan Allah kepada salah seorang hamba-Nya, jika dengan menceritakannya dikhawatirkan akan menimbulkan mafsadat seperti hasad, kebencian, atau yang semisalnya, maka bisa dialihkan dengan memuji Allah dan menyebutkan nikmat-Nya secara umum saja. As-Sa’di rahimahullah berkata, “Ini (perintah untuk menceritakan nikmat) mencakup nikmat-nikmat agama maupun dunia. Makna (فَحَدِّثْ) adalah pujilah Allah dengan sebab nikmat tersebut, dan khususkan dengan menyebutkannya jika ada maslahat. Jika tidak, maka ceritakanlah nikmat-nikmat Allah secara umum, karena menceritakan nikmat Allah dapat memotivasi untuk mensyukurinya, dan membuat hati mencintai Zat yang memberikan nikmat tersebut, karena hati diciptakan untuk mencintai siapa yang berbuat baik.” [4] Al-Munawi rahimahullah menjelaskan makna hadis, .. والتحدث بنعمة الله شكر ، وتركها كفر “… dan menceritakan nikmat Allah adalah syukur, dan meninggalkannya adalah kufur.” [5] dengan berkata, “Hadis ini berlaku selama tidak menimbulkan bahaya seperti hasad. Jika tidak, maka menyembunyikannya lebih utama.” [6] Tetapi, hal di atas berlaku jika ada indikasi dan tanda-tanda kuat tentang kekhawatiran tersebut. Jika tidak, maka pada dasarnya kita berprasangka baik kepada sesama muslim, menyerahkan segala urusan kepada Allah, dan bertawakal kepada-Nya dalam meraih banyak kebaikan dan menghindari berbagai mudarat. Nasihat untuk anda agar membentengi diri dengan berzikir kepada Allah, dan membaca wirid-wirid yang disyariatkan saat pagi dan petang, serta membentengi diri dengan ruqyah syar’iyyah, terutama Al-Mu’awwidzatain (surat Al-Falaq dan An-Nas). Dari Mu’adz bin Abdullah bin Khubaib dari ayahnya, dia berkata, “Aku bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di jalan kota Makkah, lalu aku mendapat kesempatan berdua dengan beliau. Aku mendekati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas beliau berkata, ‘Ucapkanlah.’ Aku bertanya, ‘Apa yang harus aku ucapkan?’ Beliau berkata, ‘Ucapkanlah.’ Aku bertanya, ‘Apa yang harus aku ucapkan?’ Beliau berkata, ‘Ucapkanlah A’udzu bi rabbil falaq…’ hingga selesai. Kemudian beliau berkata, ‘Ucapkanlah A’udzu bi rabbin naas…’ hingga selesai. Kemudian beliau berkata, ‘Manusia tidak pernah berlindung dengan sesuatu yang lebih utama dari keduanya.'” [7] Syekh Ibnu Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Menjauhi kejahatan orang yang hasad dan ‘ain (mata jahat) adalah dengan: Pertama, bertawakal kepada Allah ‘Azza Wajalla dan tidak menghiraukan hal-hal tersebut, tidak mempedulikannya, dan berpaling darinya. Kedua, mengamalkan wirid-wirid yang bermanfaat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, karena keduanya adalah pelindung terbaik bagi manusia, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang ayat kursi bahwa barangsiapa membacanya di malam hari, maka akan tetap ada penjagaan dari Allah baginya dan setan tidak akan mendekatinya hingga pagi hari.” [8] Ketiga: Jika pada suatu hari anda lupa membaca rangkaian zikir pagi atau petang, maka anda dapat mengerjakannya kapan pun anda mengingatnya. Jika waktunya telah berlalu sampai memasuki awal siang atau malam, maka tidak mengapa insyaAllah, semoga anda tetap mendapatkan berkahnya karena rutin mengamalkan zikir pagi dan petang di sebagian besar waktu anda. Tetapi, kami mengingatkan anda bahwa ruqyah syar’iyyah tidak terbatas pada zikir pagi dan petang saja, melainkan bisa dilakukan kapan pun. Kami juga memberitahu anda, bahwa anda dapat mengganti zikir yang terlewat dengan berbagai zikir dan tasbih serta membaca Al-Qur’an, yang mana seluruhnya tidak terikat waktu pagi maupun sore. Kami menyarankan anda untuk mempelajari buku Al-Wabilus Shayyib minal Kalim At-Thayyib, karya Al-Imam Ibnu Al-Qayyim, dan Fiqhul Ad’iyah wal Adzkar, karya Syekh Abdul Razzaq Al-Abbad. Wallahu a’lam. -Fatwa Selesai- [9] Baca juga: Nikmat Dekat dengan Ahli Ilmu *** Penerjemah: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Referensi: [1] Tafsir Ath-Thabari, 24: 489. [2] Ar-Ruh, hal. 312. [3] An-Nihayah fi Gharib Al-Hadits, 3: 95. [4] Tafsir As-Sa’di, hal. 928. [5] Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam Zawa’id Al-Musnad no. 18449, bagian lafaz yang dinukil dinilai daif oleh Syu’aib Al-Arnauth. [6] Faidh Al-Qadir, 3: 369. [7] HR. An-Nasa’i no. 5429, dinilai sahih oleh Al-Albani. [8] Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, 13: 274-275. [9] Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab (IslamQA) asuhan Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullah, pertanyaan no. 137984, https://islamqa.info/amp/ar/answers/137984 (dengan sedikit penyesuaian dalam alih bahasa oleh penerjemah).


Fatwa Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid   Pertanyaan: Di antara karunia Allah kepada saya, Dia telah memuliakan saya dengan banyak hal istimewa dalam hidup saya, berupa keberhasilan dalam pekerjaan, agama, dan kehidupan saya secara umum. Seringkali saya ingin menceritakan tentang hal-hal baik dan kemudahan dari Allah ini kepada teman-teman saya. Namun, saya takut akan hasad, khususnya karena banyak dari mereka yang saat ini keadaannya sedang kurang baik. Karenanya, saya khawatir salah satu dari mereka akan hasad kepada saya. Maaf karena mengatakan hal ini, namun demikianlah hakikat yang terbukti ada dalam syariat kita yang lurus. Apakah pandangan ini teranggap sebagai bentuk lemahnya iman? Bagaimana jika saya lupa membaca zikir pada suatu pagi atau sore?   Jawaban: Alhamdulillah. Pertama: Perlu diketahui bahwa tahadduts bini’matillah (menceritakan nikmat Allah kepada orang lain) adalah termasuk hak anda atas nikmat tersebut, juga salah satu bentuk mengakui kebaikan dari Sang Pemberi nikmat, yakni Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya, وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, nyatakanlah (dengan bersyukur).” (QS. Ad-Dhuha: 11) Dari Abu Nadhrah, ia berkata, “Sejumlah ulama kaum muslimin berpendapat bahwa salah satu bentuk mensyukuri nikmat adalah dengan menceritakannya.” [1] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perbedaan antara menceritakan nikmat Allah (mutahaddits bin ni’mah) dan membanggakannya (al-fakhru bin ni’am), yaitu: orang yang menceritakan nikmat adalah orang yang menceritakan sifat-sifat Pemberinya, kemurahan, serta kebaikan-Nya yang sempurna, memuji-Nya dengan menampakkan dan menceritakan nikmat tersebut dalam keadaan bersyukur kepada-Nya, menyebarkan semua yang Allah berikan kepadanya dengan tujuan menampakkan sifat-sifat Allah, memuji-Nya, dan mendorong jiwa untuk meminta hanya kepada-Nya dan bukan kepada selain-Nya, serta untuk mencintai dan berharap kepada-Nya. Sehingga ia menjadi orang yang berharap kepada Allah dengan menampakkan berbagai nikmat-Nya, menyebarkannya, dan menceritakannya. Adapun membanggakan nikmat (yang tercela, pen) adalah ketika seseorang merasa lebih tinggi dari orang lain karena mendapat nikmat tersebut, menunjukkan kepada mereka bahwa dia lebih mulia dan agung dari mereka, lalu ia menundukkan kepala mereka, memperbudak hati mereka, dan menarik hati mereka untuk mengagungkan dan melayani dirinya. An-Nu’man bin Basyir berkata, “Sesungguhnya setan memiliki banyak perangkap (mashali) dan jeratan, di antara perangkap dan jeratannya adalah angkuh karena mendapat beragam nikmat dari Allah, sombong kepada hamba-hamba Allah, dan membanggakan pemberian Allah tanpa mengagungkan Zat Allah.” [2] Ibnu Al-Atsir berkata, “Al-mashali itu serupa dengan asy-syarak (perangkap), bentuk mufradnya (tunggalnya) adalah mushlat, yaitu perhiasan dan syahwat dunia yang menggairahkan manusia.” [3] Kedua: Memuji nikmat yang khusus diberikan Allah kepada salah seorang hamba-Nya, jika dengan menceritakannya dikhawatirkan akan menimbulkan mafsadat seperti hasad, kebencian, atau yang semisalnya, maka bisa dialihkan dengan memuji Allah dan menyebutkan nikmat-Nya secara umum saja. As-Sa’di rahimahullah berkata, “Ini (perintah untuk menceritakan nikmat) mencakup nikmat-nikmat agama maupun dunia. Makna (فَحَدِّثْ) adalah pujilah Allah dengan sebab nikmat tersebut, dan khususkan dengan menyebutkannya jika ada maslahat. Jika tidak, maka ceritakanlah nikmat-nikmat Allah secara umum, karena menceritakan nikmat Allah dapat memotivasi untuk mensyukurinya, dan membuat hati mencintai Zat yang memberikan nikmat tersebut, karena hati diciptakan untuk mencintai siapa yang berbuat baik.” [4] Al-Munawi rahimahullah menjelaskan makna hadis, .. والتحدث بنعمة الله شكر ، وتركها كفر “… dan menceritakan nikmat Allah adalah syukur, dan meninggalkannya adalah kufur.” [5] dengan berkata, “Hadis ini berlaku selama tidak menimbulkan bahaya seperti hasad. Jika tidak, maka menyembunyikannya lebih utama.” [6] Tetapi, hal di atas berlaku jika ada indikasi dan tanda-tanda kuat tentang kekhawatiran tersebut. Jika tidak, maka pada dasarnya kita berprasangka baik kepada sesama muslim, menyerahkan segala urusan kepada Allah, dan bertawakal kepada-Nya dalam meraih banyak kebaikan dan menghindari berbagai mudarat. Nasihat untuk anda agar membentengi diri dengan berzikir kepada Allah, dan membaca wirid-wirid yang disyariatkan saat pagi dan petang, serta membentengi diri dengan ruqyah syar’iyyah, terutama Al-Mu’awwidzatain (surat Al-Falaq dan An-Nas). Dari Mu’adz bin Abdullah bin Khubaib dari ayahnya, dia berkata, “Aku bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di jalan kota Makkah, lalu aku mendapat kesempatan berdua dengan beliau. Aku mendekati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas beliau berkata, ‘Ucapkanlah.’ Aku bertanya, ‘Apa yang harus aku ucapkan?’ Beliau berkata, ‘Ucapkanlah.’ Aku bertanya, ‘Apa yang harus aku ucapkan?’ Beliau berkata, ‘Ucapkanlah A’udzu bi rabbil falaq…’ hingga selesai. Kemudian beliau berkata, ‘Ucapkanlah A’udzu bi rabbin naas…’ hingga selesai. Kemudian beliau berkata, ‘Manusia tidak pernah berlindung dengan sesuatu yang lebih utama dari keduanya.'” [7] Syekh Ibnu Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Menjauhi kejahatan orang yang hasad dan ‘ain (mata jahat) adalah dengan: Pertama, bertawakal kepada Allah ‘Azza Wajalla dan tidak menghiraukan hal-hal tersebut, tidak mempedulikannya, dan berpaling darinya. Kedua, mengamalkan wirid-wirid yang bermanfaat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, karena keduanya adalah pelindung terbaik bagi manusia, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang ayat kursi bahwa barangsiapa membacanya di malam hari, maka akan tetap ada penjagaan dari Allah baginya dan setan tidak akan mendekatinya hingga pagi hari.” [8] Ketiga: Jika pada suatu hari anda lupa membaca rangkaian zikir pagi atau petang, maka anda dapat mengerjakannya kapan pun anda mengingatnya. Jika waktunya telah berlalu sampai memasuki awal siang atau malam, maka tidak mengapa insyaAllah, semoga anda tetap mendapatkan berkahnya karena rutin mengamalkan zikir pagi dan petang di sebagian besar waktu anda. Tetapi, kami mengingatkan anda bahwa ruqyah syar’iyyah tidak terbatas pada zikir pagi dan petang saja, melainkan bisa dilakukan kapan pun. Kami juga memberitahu anda, bahwa anda dapat mengganti zikir yang terlewat dengan berbagai zikir dan tasbih serta membaca Al-Qur’an, yang mana seluruhnya tidak terikat waktu pagi maupun sore. Kami menyarankan anda untuk mempelajari buku Al-Wabilus Shayyib minal Kalim At-Thayyib, karya Al-Imam Ibnu Al-Qayyim, dan Fiqhul Ad’iyah wal Adzkar, karya Syekh Abdul Razzaq Al-Abbad. Wallahu a’lam. -Fatwa Selesai- [9] Baca juga: Nikmat Dekat dengan Ahli Ilmu *** Penerjemah: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Referensi: [1] Tafsir Ath-Thabari, 24: 489. [2] Ar-Ruh, hal. 312. [3] An-Nihayah fi Gharib Al-Hadits, 3: 95. [4] Tafsir As-Sa’di, hal. 928. [5] Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam Zawa’id Al-Musnad no. 18449, bagian lafaz yang dinukil dinilai daif oleh Syu’aib Al-Arnauth. [6] Faidh Al-Qadir, 3: 369. [7] HR. An-Nasa’i no. 5429, dinilai sahih oleh Al-Albani. [8] Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, 13: 274-275. [9] Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab (IslamQA) asuhan Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullah, pertanyaan no. 137984, https://islamqa.info/amp/ar/answers/137984 (dengan sedikit penyesuaian dalam alih bahasa oleh penerjemah).

Hadis: Hierarki dan Dimensi Keimanan

Daftar Isi Toggle Dimensi hati (batin) dan lisan (ucapan)Dimensi perbuatan (zahir)Dimensi hati (batin) Di antara hal yang diyakini oleh ahli sunah waljamaah -yang berpegang dan berpedoman utama dalam beragama pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dengan jalan yang dilalui para salaf saleh terdahulu- adalah bahwa keimanan seorang hamba itu dinamis dan tidak statis, selalu mengalami fluktuasi naik-turun, bertambah-berkurang, bahkan keimanan memiliki hierarki amalan-amalan, dan hal ini sudah menjadi suatu keharusan untuk dipahami dengan betul dalam pembahasan iman karena inilah yang dibawakan oleh Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang menjadi landasan pemahaman ini adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia bersabda, الإِيمانُ بضْعٌ وسَبْعُونَ، أوْ بضْعٌ وسِتُّونَ، شُعْبَةً، فأفْضَلُها قَوْلُ لا إلَهَ إلّا اللَّهُ، وأَدْناها إماطَةُ الأذى عَنِ الطَّرِيقِ، والْحَياءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإيمانِ “Iman memiliki beberapa cabang (tingkatan) sejumlah tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan ‘Lailahaillallah’ (tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah), sedangkan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan bahaya dari jalan. Selain itu, rasa malu (al-haya’) merupakan salah satu cabang iman.” (HR. Muslim no. 35) Mari kita bedah hadis ini. Jumlah cabang bagian dan tingkatan iman berdasarkan hadis adalah tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian bukanlah suatu permasalahan yang harus didalami lebih daripada substansi hadisnya. Karena substansi hadis di atas adalah bahwa iman tidaklah berada pada satu tingkatan dan aspek saja, bahkan antara seorang yang beriman dengan orang beriman lainnya ada perbedaan kualitas dan tingkat keimanan. Untuk itu, fokus yang akan dibahas di sini adalah terkait hierarki dalam keimanan yang mencakup aspek multi dimensi. Mengambil contoh yang disuratkan dalam nash hadis, bahwa dari yang tujuh puluh atau enam puluh sekian cabang tingkatan itu, ada tiga tingkatan keimanan yang disebutkan, yaitu: Pertama: Tingkat tertinggi adalah Ucapan “La ilaha illallah” (tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah); Kedua: Tingkat terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan; dan Ketiga: Rasa malu sebagai salah satu cabang yang tentunya berada di bawah ucapan “La ilaha illallah” dan di atas menyingkirkan gangguan dari jalan. Tiap-tiap dari tingkatan yang disebutkan itu meliputi suatu dimensi keimanan, dan ini termasuk salah satu kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu perkataannya, yang kemudian diriwayatkan menjadi sebuah hadis, memiliki lafaz yang pendek, ringan, tetapi maknanya mendalam, singkat, padat, berisi, dan sudah cukup mewakili. Dimensi hati (batin) dan lisan (ucapan) Diwakili oleh cabang tingkat teratas dalam hierarki keimanan, yaitu ucapan “Lailahaillallah”. Perkataan (al-qaul) jika disebutkan, maka ia pada dasarnya mencakup dua hal: keyakinan batin yang terpatri dalam hati dan pengucapan oleh lisan secara verbal. Kedua dimensi inilah yang tercakup dalam pemaknaan ucapan “Lailahaillallah”. Titel kalimat tauhid ini sebagai cabang tertinggi dalam hierarki keimanan menyiratkan bahwa hal-hal lain dalam agama ini dari ibadah dan lainnya pun termasuk ke dalam kategori “iman” dengan posisi di bawah “Lailahaillallah”. Kalimat ini tentunya dipenuhi dengan keberkahan dan banyak sekali keutamaan yang bisa menjadi sebuah pembahasan panjang jika diulik lebih dalam, tetapi mari kita sebutkan beberapa di antaranya, seperti: Pertama: Bahwa para rasul ‘alaihimussalam membuka dakwah mereka dengan kalimat ini. Allah Ta’ala berfirman, وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِىٓ إِلَيْهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعْبُدُونِ “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah dengan hak) selain Aku, maka sembahlah Aku!’” (QS. Al-Anbiya: 25) Senada dengan ini, Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadisnya pernah menyampaikan bahwa kalimat tauhid inilah, kalimat paling utama yang pernah ia shallallahu ‘alaihi wasallam dan para rasul sebelumnya ucapkan. Sebagaimana hadis dari Nabi yang diriwayatkan oleh Sahabat Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, أفضَلُ ما قُلْتُ أنا والنبيُّونَ من قَبْلي: لا إلهَ إلّا اللهُ “Hal paling agung yang pernah aku dan para nabi terdahulu ucapkan adalah, ‘La ilaha illallah’.” (Hasan, diriwayatkan oleh Malik no. 726, Abdurrazzaq no. 8125, dan Baihaqi no. 8464) Ketiga: Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أفضلُ الذِّكرِ لا إلهَ إلّا اللهُ وأفضَلُ الدُّعاءِ الحمدُ للهِ “Zikir yang paling utama adalah ‘Lailahaillallah’ dan doa yang paling utama adalah ‘alhamdulillah’.” (HR. Ibnu Hibban no. 846 dalam “Shahih”-nya, Tirmidzi no. 3383, Ibnu Majah no. 3800, dan Hakim no. 1834) Keempat: Hadis yang disebutkan di awal pun sudah cukup menunjukkan betapa kalimat tauhid ini punya keutamaan yang besar, ditunjukkan oleh Nabi dengan disebutkannya dan ditempatkannya di cabang tertinggi dalam hierarki keimanan. Hal ini juga menunjukkan bahwa perhatian terhadap tauhid, terkhusus pemahaman, pemaknaan, dan pengamalannya sudah sepatutnya diposisikan dalam prioritas tinggi dibandingkan amalan dan perkara agama yang selainnya. Baca juga: Membangun Kokohnya Iman dan Amal Dimensi perbuatan (zahir) Kalau ada cabang tingkat teratas dan paling utama, berarti ada pula yang paling bawah dan ringannya. Dalam hal ini adalah “menyingkirkan gangguan dari jalan” yang mewakili dimensi perbuatan atau amalan zahir yang termasuk ke dalam cakupan keimanan. Disebutkannya poin ini menunjukan bahwa iman itu bukan hanya keyakinan saja, atau bukan hanya ucapan di lisan saja, tetapi juga ada amalan-amalan zahir yang dilakukan oleh anggota tubuh yang termasuk dalam iman. “Menyingkirkan gangguan dari jalan” juga memiliki hikmah berupa anjuran dan urgensi berbuat kebaikan kepada sesama hamba Allah dengan bagaimanapun bentuk kebaikannya, semudah dan sebisa yang dapat dilakukan. Seperti menyingkirkan gangguan yang terkesan remeh dan ringan, terlebih bukan suatu amalan yang bersifat ritual keagamaan, tetapi justru sesuatu yang remeh dan ringan itu mendapat posisi dalam cabang keimanan dan berarti memiliki nilai kemuliaan tersendiri di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tentu saja dengan catatan kebaikan yang tetap tidak menyelisihi syariat. Mengapa yang disebutkan dalam hadis adalah “menyingkirkan gangguan dari jalan”? Beberapa poin yang mungkin bisa menjawab di antaranya, Pertama: Mewakili dimensi amalan bil jawarih (dengan anggota tubuh) atau zahir, Kedua: Karena ini adalah amalan remeh dan ringan di mata manusia, tetapi bernilai di sisi Allah, Ketiga: Karena tidak semua orang bisa melakukan ini. Setidaknya ada tiga tipe orang yang berkaitan dengan gangguan di jalan, yaitu: 1) Orang yang menaruh atau membuat gangguan di jalan, 2) Orang yang membiarkan saja gangguan yang ada di jalan, dan 3) Orang yang menyingkirkan gangguan yang ada di jalan, dan tipe inilah yang mendapat predikat kemuliaan. Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu juga meriwayatkan hadis lain yang senada dengan pembahasan ini, بيْنَما رَجُلٌ يَمْشِي بطَرِيقٍ، وجَدَ غُصْنَ شَوْكٍ على الطَّرِيقِ، فأخَذَهُ، فَشَكَرَ اللَّهُ له، فَغَفَرَ له. “Suatu ketika seorang lelaki sedang berjalan dan menemukan sebatang ranting berduri. Ia lalu mengambilnya, dan Allah pun menyambut perbuatannya dengan syukur dan mengampuni segala dosanya.” (HR. Bukhari no. 2472 dalam “Shahih”-nya dan Muslim no. 1914) Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan bahwa kemudian Allah memasukkan orang tersebut ke dalam surga. Jika hanya sekadar menyingkirkan gangguan dari jalan saja sudah termasuk ke dalam cakupan cabang keimanan dan bahkan bisa menjadi sebab diampuninya dosa sampai pada akhirnya dimasukkan ke dalam surga, bagaimana dengan amalan-amalan lain yang bersifat ritual dan telah jelas anjuran ataupun perintahnya serta tata cara dan keutamaannya? Tentu saja lebih utama. Ini berarti bahwa perbuatan dan amalan zahir juga termasuk ke dalam iman. Dimensi hati (batin) Hal lain yang termasuk ke dalam keimanan dan berada dalam cabang tingkatan keimanan adalah rasa malu yang mewakili dimensi hati (batin) dan posisinya antara kalimat tauhid dan menyingkirkan gangguan dari jalan. Disebutkannya rasa malu (al-haya’) sebagai salah satu cabang keimanan menunjukkan bahwa rasa malu adalah bagian penting dari keimanan, khususnya dalam ranah batin. Ketika tertanam kuat dalam hati, maka ia akan berfungsi sebagai penghalang dari perbuatan tercela dan pendorong untuk melakukan kebaikan. Jika sifat ini hilang, seseorang tidak lagi memiliki batasan moral dan menjadi rentan terhadap segala bentuk keburukan. Inilah hal yang perlu digarisbawahi dalam perkara malu serta korelasinya dengan iman, bahwa hilangnya rasa malu adalah awal dari kehancuran moral, selaras dengan nasihat kenabian terdahulu dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Uqbah bin Amr radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ ممّا أدْرَكَ النّاسُ مِن كَلامِ النُّبُوَّةِ الأُولى: إذا لَمْ تَسْتَحْيِ فاصْنَعْ ما شِئْتَ “Sesungguhnya salah satu warisan ucapan kenabian terdahulu yang masih dijumpai manusia adalah ‘Jika engkau tidak memiliki rasa malu, maka silakan lakukan apa saja yang engkau mau.’” Pembahasan tentang cabang, tingkatan, atau hierarki keimanan adalah hal yang sangat krusial untuk diketahui setiap muslim. Bahwa iman memiliki tingkatan, sehingga tidak sama antara satu hal yang memiliki nilai keimanan dengan hal lainnya. Bahwa iman adalah keyakinan multidimensi, mencakup dimensi hati, lisan, dan anggota tubuh. Bahwa iman seseorang bisa mengalami pasang-surut, bertambah-berkurang, sehingga harus selalu dijaga dan tidak ditinggalkan begitu saja. Seorang sahabat bernama Umair bin Habib Al-Khathmi radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Iman itu dapat bertambah (menguat) dan berkurang (melemah).” Ia kemudian melanjutkan dengan menjawab pertanyaan dari seseorang tentang bagaimana iman bertambah dan berkurang, “Saat kami terus-menerus mengingat Allah, memuji, dan mensucikan-Nya, betapa iman kami tumbuh. Namun, ketika kami terjerumus dalam kelengahan dan kelalaian, iman kami pun surut.” Keimanan sebagai realitas spiritual setiap muslim, kestabilannya sangat dipengaruhi oleh usahanya menjaga hati, pikiran, dan amal tetap terpaut kepada Allah.[1] Sekian, wallahu a’lam bis-shawab. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammad. Baca juga: Letak Pentingnya Tauhid dan Keimanan *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Disadur dari: Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr, Ahadits Al-Iman, hal. 51-58.

Hadis: Hierarki dan Dimensi Keimanan

Daftar Isi Toggle Dimensi hati (batin) dan lisan (ucapan)Dimensi perbuatan (zahir)Dimensi hati (batin) Di antara hal yang diyakini oleh ahli sunah waljamaah -yang berpegang dan berpedoman utama dalam beragama pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dengan jalan yang dilalui para salaf saleh terdahulu- adalah bahwa keimanan seorang hamba itu dinamis dan tidak statis, selalu mengalami fluktuasi naik-turun, bertambah-berkurang, bahkan keimanan memiliki hierarki amalan-amalan, dan hal ini sudah menjadi suatu keharusan untuk dipahami dengan betul dalam pembahasan iman karena inilah yang dibawakan oleh Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang menjadi landasan pemahaman ini adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia bersabda, الإِيمانُ بضْعٌ وسَبْعُونَ، أوْ بضْعٌ وسِتُّونَ، شُعْبَةً، فأفْضَلُها قَوْلُ لا إلَهَ إلّا اللَّهُ، وأَدْناها إماطَةُ الأذى عَنِ الطَّرِيقِ، والْحَياءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإيمانِ “Iman memiliki beberapa cabang (tingkatan) sejumlah tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan ‘Lailahaillallah’ (tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah), sedangkan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan bahaya dari jalan. Selain itu, rasa malu (al-haya’) merupakan salah satu cabang iman.” (HR. Muslim no. 35) Mari kita bedah hadis ini. Jumlah cabang bagian dan tingkatan iman berdasarkan hadis adalah tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian bukanlah suatu permasalahan yang harus didalami lebih daripada substansi hadisnya. Karena substansi hadis di atas adalah bahwa iman tidaklah berada pada satu tingkatan dan aspek saja, bahkan antara seorang yang beriman dengan orang beriman lainnya ada perbedaan kualitas dan tingkat keimanan. Untuk itu, fokus yang akan dibahas di sini adalah terkait hierarki dalam keimanan yang mencakup aspek multi dimensi. Mengambil contoh yang disuratkan dalam nash hadis, bahwa dari yang tujuh puluh atau enam puluh sekian cabang tingkatan itu, ada tiga tingkatan keimanan yang disebutkan, yaitu: Pertama: Tingkat tertinggi adalah Ucapan “La ilaha illallah” (tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah); Kedua: Tingkat terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan; dan Ketiga: Rasa malu sebagai salah satu cabang yang tentunya berada di bawah ucapan “La ilaha illallah” dan di atas menyingkirkan gangguan dari jalan. Tiap-tiap dari tingkatan yang disebutkan itu meliputi suatu dimensi keimanan, dan ini termasuk salah satu kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu perkataannya, yang kemudian diriwayatkan menjadi sebuah hadis, memiliki lafaz yang pendek, ringan, tetapi maknanya mendalam, singkat, padat, berisi, dan sudah cukup mewakili. Dimensi hati (batin) dan lisan (ucapan) Diwakili oleh cabang tingkat teratas dalam hierarki keimanan, yaitu ucapan “Lailahaillallah”. Perkataan (al-qaul) jika disebutkan, maka ia pada dasarnya mencakup dua hal: keyakinan batin yang terpatri dalam hati dan pengucapan oleh lisan secara verbal. Kedua dimensi inilah yang tercakup dalam pemaknaan ucapan “Lailahaillallah”. Titel kalimat tauhid ini sebagai cabang tertinggi dalam hierarki keimanan menyiratkan bahwa hal-hal lain dalam agama ini dari ibadah dan lainnya pun termasuk ke dalam kategori “iman” dengan posisi di bawah “Lailahaillallah”. Kalimat ini tentunya dipenuhi dengan keberkahan dan banyak sekali keutamaan yang bisa menjadi sebuah pembahasan panjang jika diulik lebih dalam, tetapi mari kita sebutkan beberapa di antaranya, seperti: Pertama: Bahwa para rasul ‘alaihimussalam membuka dakwah mereka dengan kalimat ini. Allah Ta’ala berfirman, وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِىٓ إِلَيْهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعْبُدُونِ “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah dengan hak) selain Aku, maka sembahlah Aku!’” (QS. Al-Anbiya: 25) Senada dengan ini, Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadisnya pernah menyampaikan bahwa kalimat tauhid inilah, kalimat paling utama yang pernah ia shallallahu ‘alaihi wasallam dan para rasul sebelumnya ucapkan. Sebagaimana hadis dari Nabi yang diriwayatkan oleh Sahabat Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, أفضَلُ ما قُلْتُ أنا والنبيُّونَ من قَبْلي: لا إلهَ إلّا اللهُ “Hal paling agung yang pernah aku dan para nabi terdahulu ucapkan adalah, ‘La ilaha illallah’.” (Hasan, diriwayatkan oleh Malik no. 726, Abdurrazzaq no. 8125, dan Baihaqi no. 8464) Ketiga: Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أفضلُ الذِّكرِ لا إلهَ إلّا اللهُ وأفضَلُ الدُّعاءِ الحمدُ للهِ “Zikir yang paling utama adalah ‘Lailahaillallah’ dan doa yang paling utama adalah ‘alhamdulillah’.” (HR. Ibnu Hibban no. 846 dalam “Shahih”-nya, Tirmidzi no. 3383, Ibnu Majah no. 3800, dan Hakim no. 1834) Keempat: Hadis yang disebutkan di awal pun sudah cukup menunjukkan betapa kalimat tauhid ini punya keutamaan yang besar, ditunjukkan oleh Nabi dengan disebutkannya dan ditempatkannya di cabang tertinggi dalam hierarki keimanan. Hal ini juga menunjukkan bahwa perhatian terhadap tauhid, terkhusus pemahaman, pemaknaan, dan pengamalannya sudah sepatutnya diposisikan dalam prioritas tinggi dibandingkan amalan dan perkara agama yang selainnya. Baca juga: Membangun Kokohnya Iman dan Amal Dimensi perbuatan (zahir) Kalau ada cabang tingkat teratas dan paling utama, berarti ada pula yang paling bawah dan ringannya. Dalam hal ini adalah “menyingkirkan gangguan dari jalan” yang mewakili dimensi perbuatan atau amalan zahir yang termasuk ke dalam cakupan keimanan. Disebutkannya poin ini menunjukan bahwa iman itu bukan hanya keyakinan saja, atau bukan hanya ucapan di lisan saja, tetapi juga ada amalan-amalan zahir yang dilakukan oleh anggota tubuh yang termasuk dalam iman. “Menyingkirkan gangguan dari jalan” juga memiliki hikmah berupa anjuran dan urgensi berbuat kebaikan kepada sesama hamba Allah dengan bagaimanapun bentuk kebaikannya, semudah dan sebisa yang dapat dilakukan. Seperti menyingkirkan gangguan yang terkesan remeh dan ringan, terlebih bukan suatu amalan yang bersifat ritual keagamaan, tetapi justru sesuatu yang remeh dan ringan itu mendapat posisi dalam cabang keimanan dan berarti memiliki nilai kemuliaan tersendiri di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tentu saja dengan catatan kebaikan yang tetap tidak menyelisihi syariat. Mengapa yang disebutkan dalam hadis adalah “menyingkirkan gangguan dari jalan”? Beberapa poin yang mungkin bisa menjawab di antaranya, Pertama: Mewakili dimensi amalan bil jawarih (dengan anggota tubuh) atau zahir, Kedua: Karena ini adalah amalan remeh dan ringan di mata manusia, tetapi bernilai di sisi Allah, Ketiga: Karena tidak semua orang bisa melakukan ini. Setidaknya ada tiga tipe orang yang berkaitan dengan gangguan di jalan, yaitu: 1) Orang yang menaruh atau membuat gangguan di jalan, 2) Orang yang membiarkan saja gangguan yang ada di jalan, dan 3) Orang yang menyingkirkan gangguan yang ada di jalan, dan tipe inilah yang mendapat predikat kemuliaan. Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu juga meriwayatkan hadis lain yang senada dengan pembahasan ini, بيْنَما رَجُلٌ يَمْشِي بطَرِيقٍ، وجَدَ غُصْنَ شَوْكٍ على الطَّرِيقِ، فأخَذَهُ، فَشَكَرَ اللَّهُ له، فَغَفَرَ له. “Suatu ketika seorang lelaki sedang berjalan dan menemukan sebatang ranting berduri. Ia lalu mengambilnya, dan Allah pun menyambut perbuatannya dengan syukur dan mengampuni segala dosanya.” (HR. Bukhari no. 2472 dalam “Shahih”-nya dan Muslim no. 1914) Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan bahwa kemudian Allah memasukkan orang tersebut ke dalam surga. Jika hanya sekadar menyingkirkan gangguan dari jalan saja sudah termasuk ke dalam cakupan cabang keimanan dan bahkan bisa menjadi sebab diampuninya dosa sampai pada akhirnya dimasukkan ke dalam surga, bagaimana dengan amalan-amalan lain yang bersifat ritual dan telah jelas anjuran ataupun perintahnya serta tata cara dan keutamaannya? Tentu saja lebih utama. Ini berarti bahwa perbuatan dan amalan zahir juga termasuk ke dalam iman. Dimensi hati (batin) Hal lain yang termasuk ke dalam keimanan dan berada dalam cabang tingkatan keimanan adalah rasa malu yang mewakili dimensi hati (batin) dan posisinya antara kalimat tauhid dan menyingkirkan gangguan dari jalan. Disebutkannya rasa malu (al-haya’) sebagai salah satu cabang keimanan menunjukkan bahwa rasa malu adalah bagian penting dari keimanan, khususnya dalam ranah batin. Ketika tertanam kuat dalam hati, maka ia akan berfungsi sebagai penghalang dari perbuatan tercela dan pendorong untuk melakukan kebaikan. Jika sifat ini hilang, seseorang tidak lagi memiliki batasan moral dan menjadi rentan terhadap segala bentuk keburukan. Inilah hal yang perlu digarisbawahi dalam perkara malu serta korelasinya dengan iman, bahwa hilangnya rasa malu adalah awal dari kehancuran moral, selaras dengan nasihat kenabian terdahulu dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Uqbah bin Amr radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ ممّا أدْرَكَ النّاسُ مِن كَلامِ النُّبُوَّةِ الأُولى: إذا لَمْ تَسْتَحْيِ فاصْنَعْ ما شِئْتَ “Sesungguhnya salah satu warisan ucapan kenabian terdahulu yang masih dijumpai manusia adalah ‘Jika engkau tidak memiliki rasa malu, maka silakan lakukan apa saja yang engkau mau.’” Pembahasan tentang cabang, tingkatan, atau hierarki keimanan adalah hal yang sangat krusial untuk diketahui setiap muslim. Bahwa iman memiliki tingkatan, sehingga tidak sama antara satu hal yang memiliki nilai keimanan dengan hal lainnya. Bahwa iman adalah keyakinan multidimensi, mencakup dimensi hati, lisan, dan anggota tubuh. Bahwa iman seseorang bisa mengalami pasang-surut, bertambah-berkurang, sehingga harus selalu dijaga dan tidak ditinggalkan begitu saja. Seorang sahabat bernama Umair bin Habib Al-Khathmi radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Iman itu dapat bertambah (menguat) dan berkurang (melemah).” Ia kemudian melanjutkan dengan menjawab pertanyaan dari seseorang tentang bagaimana iman bertambah dan berkurang, “Saat kami terus-menerus mengingat Allah, memuji, dan mensucikan-Nya, betapa iman kami tumbuh. Namun, ketika kami terjerumus dalam kelengahan dan kelalaian, iman kami pun surut.” Keimanan sebagai realitas spiritual setiap muslim, kestabilannya sangat dipengaruhi oleh usahanya menjaga hati, pikiran, dan amal tetap terpaut kepada Allah.[1] Sekian, wallahu a’lam bis-shawab. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammad. Baca juga: Letak Pentingnya Tauhid dan Keimanan *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Disadur dari: Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr, Ahadits Al-Iman, hal. 51-58.
Daftar Isi Toggle Dimensi hati (batin) dan lisan (ucapan)Dimensi perbuatan (zahir)Dimensi hati (batin) Di antara hal yang diyakini oleh ahli sunah waljamaah -yang berpegang dan berpedoman utama dalam beragama pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dengan jalan yang dilalui para salaf saleh terdahulu- adalah bahwa keimanan seorang hamba itu dinamis dan tidak statis, selalu mengalami fluktuasi naik-turun, bertambah-berkurang, bahkan keimanan memiliki hierarki amalan-amalan, dan hal ini sudah menjadi suatu keharusan untuk dipahami dengan betul dalam pembahasan iman karena inilah yang dibawakan oleh Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang menjadi landasan pemahaman ini adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia bersabda, الإِيمانُ بضْعٌ وسَبْعُونَ، أوْ بضْعٌ وسِتُّونَ، شُعْبَةً، فأفْضَلُها قَوْلُ لا إلَهَ إلّا اللَّهُ، وأَدْناها إماطَةُ الأذى عَنِ الطَّرِيقِ، والْحَياءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإيمانِ “Iman memiliki beberapa cabang (tingkatan) sejumlah tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan ‘Lailahaillallah’ (tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah), sedangkan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan bahaya dari jalan. Selain itu, rasa malu (al-haya’) merupakan salah satu cabang iman.” (HR. Muslim no. 35) Mari kita bedah hadis ini. Jumlah cabang bagian dan tingkatan iman berdasarkan hadis adalah tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian bukanlah suatu permasalahan yang harus didalami lebih daripada substansi hadisnya. Karena substansi hadis di atas adalah bahwa iman tidaklah berada pada satu tingkatan dan aspek saja, bahkan antara seorang yang beriman dengan orang beriman lainnya ada perbedaan kualitas dan tingkat keimanan. Untuk itu, fokus yang akan dibahas di sini adalah terkait hierarki dalam keimanan yang mencakup aspek multi dimensi. Mengambil contoh yang disuratkan dalam nash hadis, bahwa dari yang tujuh puluh atau enam puluh sekian cabang tingkatan itu, ada tiga tingkatan keimanan yang disebutkan, yaitu: Pertama: Tingkat tertinggi adalah Ucapan “La ilaha illallah” (tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah); Kedua: Tingkat terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan; dan Ketiga: Rasa malu sebagai salah satu cabang yang tentunya berada di bawah ucapan “La ilaha illallah” dan di atas menyingkirkan gangguan dari jalan. Tiap-tiap dari tingkatan yang disebutkan itu meliputi suatu dimensi keimanan, dan ini termasuk salah satu kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu perkataannya, yang kemudian diriwayatkan menjadi sebuah hadis, memiliki lafaz yang pendek, ringan, tetapi maknanya mendalam, singkat, padat, berisi, dan sudah cukup mewakili. Dimensi hati (batin) dan lisan (ucapan) Diwakili oleh cabang tingkat teratas dalam hierarki keimanan, yaitu ucapan “Lailahaillallah”. Perkataan (al-qaul) jika disebutkan, maka ia pada dasarnya mencakup dua hal: keyakinan batin yang terpatri dalam hati dan pengucapan oleh lisan secara verbal. Kedua dimensi inilah yang tercakup dalam pemaknaan ucapan “Lailahaillallah”. Titel kalimat tauhid ini sebagai cabang tertinggi dalam hierarki keimanan menyiratkan bahwa hal-hal lain dalam agama ini dari ibadah dan lainnya pun termasuk ke dalam kategori “iman” dengan posisi di bawah “Lailahaillallah”. Kalimat ini tentunya dipenuhi dengan keberkahan dan banyak sekali keutamaan yang bisa menjadi sebuah pembahasan panjang jika diulik lebih dalam, tetapi mari kita sebutkan beberapa di antaranya, seperti: Pertama: Bahwa para rasul ‘alaihimussalam membuka dakwah mereka dengan kalimat ini. Allah Ta’ala berfirman, وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِىٓ إِلَيْهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعْبُدُونِ “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah dengan hak) selain Aku, maka sembahlah Aku!’” (QS. Al-Anbiya: 25) Senada dengan ini, Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadisnya pernah menyampaikan bahwa kalimat tauhid inilah, kalimat paling utama yang pernah ia shallallahu ‘alaihi wasallam dan para rasul sebelumnya ucapkan. Sebagaimana hadis dari Nabi yang diriwayatkan oleh Sahabat Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, أفضَلُ ما قُلْتُ أنا والنبيُّونَ من قَبْلي: لا إلهَ إلّا اللهُ “Hal paling agung yang pernah aku dan para nabi terdahulu ucapkan adalah, ‘La ilaha illallah’.” (Hasan, diriwayatkan oleh Malik no. 726, Abdurrazzaq no. 8125, dan Baihaqi no. 8464) Ketiga: Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أفضلُ الذِّكرِ لا إلهَ إلّا اللهُ وأفضَلُ الدُّعاءِ الحمدُ للهِ “Zikir yang paling utama adalah ‘Lailahaillallah’ dan doa yang paling utama adalah ‘alhamdulillah’.” (HR. Ibnu Hibban no. 846 dalam “Shahih”-nya, Tirmidzi no. 3383, Ibnu Majah no. 3800, dan Hakim no. 1834) Keempat: Hadis yang disebutkan di awal pun sudah cukup menunjukkan betapa kalimat tauhid ini punya keutamaan yang besar, ditunjukkan oleh Nabi dengan disebutkannya dan ditempatkannya di cabang tertinggi dalam hierarki keimanan. Hal ini juga menunjukkan bahwa perhatian terhadap tauhid, terkhusus pemahaman, pemaknaan, dan pengamalannya sudah sepatutnya diposisikan dalam prioritas tinggi dibandingkan amalan dan perkara agama yang selainnya. Baca juga: Membangun Kokohnya Iman dan Amal Dimensi perbuatan (zahir) Kalau ada cabang tingkat teratas dan paling utama, berarti ada pula yang paling bawah dan ringannya. Dalam hal ini adalah “menyingkirkan gangguan dari jalan” yang mewakili dimensi perbuatan atau amalan zahir yang termasuk ke dalam cakupan keimanan. Disebutkannya poin ini menunjukan bahwa iman itu bukan hanya keyakinan saja, atau bukan hanya ucapan di lisan saja, tetapi juga ada amalan-amalan zahir yang dilakukan oleh anggota tubuh yang termasuk dalam iman. “Menyingkirkan gangguan dari jalan” juga memiliki hikmah berupa anjuran dan urgensi berbuat kebaikan kepada sesama hamba Allah dengan bagaimanapun bentuk kebaikannya, semudah dan sebisa yang dapat dilakukan. Seperti menyingkirkan gangguan yang terkesan remeh dan ringan, terlebih bukan suatu amalan yang bersifat ritual keagamaan, tetapi justru sesuatu yang remeh dan ringan itu mendapat posisi dalam cabang keimanan dan berarti memiliki nilai kemuliaan tersendiri di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tentu saja dengan catatan kebaikan yang tetap tidak menyelisihi syariat. Mengapa yang disebutkan dalam hadis adalah “menyingkirkan gangguan dari jalan”? Beberapa poin yang mungkin bisa menjawab di antaranya, Pertama: Mewakili dimensi amalan bil jawarih (dengan anggota tubuh) atau zahir, Kedua: Karena ini adalah amalan remeh dan ringan di mata manusia, tetapi bernilai di sisi Allah, Ketiga: Karena tidak semua orang bisa melakukan ini. Setidaknya ada tiga tipe orang yang berkaitan dengan gangguan di jalan, yaitu: 1) Orang yang menaruh atau membuat gangguan di jalan, 2) Orang yang membiarkan saja gangguan yang ada di jalan, dan 3) Orang yang menyingkirkan gangguan yang ada di jalan, dan tipe inilah yang mendapat predikat kemuliaan. Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu juga meriwayatkan hadis lain yang senada dengan pembahasan ini, بيْنَما رَجُلٌ يَمْشِي بطَرِيقٍ، وجَدَ غُصْنَ شَوْكٍ على الطَّرِيقِ، فأخَذَهُ، فَشَكَرَ اللَّهُ له، فَغَفَرَ له. “Suatu ketika seorang lelaki sedang berjalan dan menemukan sebatang ranting berduri. Ia lalu mengambilnya, dan Allah pun menyambut perbuatannya dengan syukur dan mengampuni segala dosanya.” (HR. Bukhari no. 2472 dalam “Shahih”-nya dan Muslim no. 1914) Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan bahwa kemudian Allah memasukkan orang tersebut ke dalam surga. Jika hanya sekadar menyingkirkan gangguan dari jalan saja sudah termasuk ke dalam cakupan cabang keimanan dan bahkan bisa menjadi sebab diampuninya dosa sampai pada akhirnya dimasukkan ke dalam surga, bagaimana dengan amalan-amalan lain yang bersifat ritual dan telah jelas anjuran ataupun perintahnya serta tata cara dan keutamaannya? Tentu saja lebih utama. Ini berarti bahwa perbuatan dan amalan zahir juga termasuk ke dalam iman. Dimensi hati (batin) Hal lain yang termasuk ke dalam keimanan dan berada dalam cabang tingkatan keimanan adalah rasa malu yang mewakili dimensi hati (batin) dan posisinya antara kalimat tauhid dan menyingkirkan gangguan dari jalan. Disebutkannya rasa malu (al-haya’) sebagai salah satu cabang keimanan menunjukkan bahwa rasa malu adalah bagian penting dari keimanan, khususnya dalam ranah batin. Ketika tertanam kuat dalam hati, maka ia akan berfungsi sebagai penghalang dari perbuatan tercela dan pendorong untuk melakukan kebaikan. Jika sifat ini hilang, seseorang tidak lagi memiliki batasan moral dan menjadi rentan terhadap segala bentuk keburukan. Inilah hal yang perlu digarisbawahi dalam perkara malu serta korelasinya dengan iman, bahwa hilangnya rasa malu adalah awal dari kehancuran moral, selaras dengan nasihat kenabian terdahulu dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Uqbah bin Amr radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ ممّا أدْرَكَ النّاسُ مِن كَلامِ النُّبُوَّةِ الأُولى: إذا لَمْ تَسْتَحْيِ فاصْنَعْ ما شِئْتَ “Sesungguhnya salah satu warisan ucapan kenabian terdahulu yang masih dijumpai manusia adalah ‘Jika engkau tidak memiliki rasa malu, maka silakan lakukan apa saja yang engkau mau.’” Pembahasan tentang cabang, tingkatan, atau hierarki keimanan adalah hal yang sangat krusial untuk diketahui setiap muslim. Bahwa iman memiliki tingkatan, sehingga tidak sama antara satu hal yang memiliki nilai keimanan dengan hal lainnya. Bahwa iman adalah keyakinan multidimensi, mencakup dimensi hati, lisan, dan anggota tubuh. Bahwa iman seseorang bisa mengalami pasang-surut, bertambah-berkurang, sehingga harus selalu dijaga dan tidak ditinggalkan begitu saja. Seorang sahabat bernama Umair bin Habib Al-Khathmi radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Iman itu dapat bertambah (menguat) dan berkurang (melemah).” Ia kemudian melanjutkan dengan menjawab pertanyaan dari seseorang tentang bagaimana iman bertambah dan berkurang, “Saat kami terus-menerus mengingat Allah, memuji, dan mensucikan-Nya, betapa iman kami tumbuh. Namun, ketika kami terjerumus dalam kelengahan dan kelalaian, iman kami pun surut.” Keimanan sebagai realitas spiritual setiap muslim, kestabilannya sangat dipengaruhi oleh usahanya menjaga hati, pikiran, dan amal tetap terpaut kepada Allah.[1] Sekian, wallahu a’lam bis-shawab. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammad. Baca juga: Letak Pentingnya Tauhid dan Keimanan *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Disadur dari: Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr, Ahadits Al-Iman, hal. 51-58.


Daftar Isi Toggle Dimensi hati (batin) dan lisan (ucapan)Dimensi perbuatan (zahir)Dimensi hati (batin) Di antara hal yang diyakini oleh ahli sunah waljamaah -yang berpegang dan berpedoman utama dalam beragama pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dengan jalan yang dilalui para salaf saleh terdahulu- adalah bahwa keimanan seorang hamba itu dinamis dan tidak statis, selalu mengalami fluktuasi naik-turun, bertambah-berkurang, bahkan keimanan memiliki hierarki amalan-amalan, dan hal ini sudah menjadi suatu keharusan untuk dipahami dengan betul dalam pembahasan iman karena inilah yang dibawakan oleh Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang menjadi landasan pemahaman ini adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia bersabda, الإِيمانُ بضْعٌ وسَبْعُونَ، أوْ بضْعٌ وسِتُّونَ، شُعْبَةً، فأفْضَلُها قَوْلُ لا إلَهَ إلّا اللَّهُ، وأَدْناها إماطَةُ الأذى عَنِ الطَّرِيقِ، والْحَياءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإيمانِ “Iman memiliki beberapa cabang (tingkatan) sejumlah tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan ‘Lailahaillallah’ (tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah), sedangkan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan bahaya dari jalan. Selain itu, rasa malu (al-haya’) merupakan salah satu cabang iman.” (HR. Muslim no. 35) Mari kita bedah hadis ini. Jumlah cabang bagian dan tingkatan iman berdasarkan hadis adalah tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian bukanlah suatu permasalahan yang harus didalami lebih daripada substansi hadisnya. Karena substansi hadis di atas adalah bahwa iman tidaklah berada pada satu tingkatan dan aspek saja, bahkan antara seorang yang beriman dengan orang beriman lainnya ada perbedaan kualitas dan tingkat keimanan. Untuk itu, fokus yang akan dibahas di sini adalah terkait hierarki dalam keimanan yang mencakup aspek multi dimensi. Mengambil contoh yang disuratkan dalam nash hadis, bahwa dari yang tujuh puluh atau enam puluh sekian cabang tingkatan itu, ada tiga tingkatan keimanan yang disebutkan, yaitu: Pertama: Tingkat tertinggi adalah Ucapan “La ilaha illallah” (tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah); Kedua: Tingkat terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan; dan Ketiga: Rasa malu sebagai salah satu cabang yang tentunya berada di bawah ucapan “La ilaha illallah” dan di atas menyingkirkan gangguan dari jalan. Tiap-tiap dari tingkatan yang disebutkan itu meliputi suatu dimensi keimanan, dan ini termasuk salah satu kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu perkataannya, yang kemudian diriwayatkan menjadi sebuah hadis, memiliki lafaz yang pendek, ringan, tetapi maknanya mendalam, singkat, padat, berisi, dan sudah cukup mewakili. Dimensi hati (batin) dan lisan (ucapan) Diwakili oleh cabang tingkat teratas dalam hierarki keimanan, yaitu ucapan “Lailahaillallah”. Perkataan (al-qaul) jika disebutkan, maka ia pada dasarnya mencakup dua hal: keyakinan batin yang terpatri dalam hati dan pengucapan oleh lisan secara verbal. Kedua dimensi inilah yang tercakup dalam pemaknaan ucapan “Lailahaillallah”. Titel kalimat tauhid ini sebagai cabang tertinggi dalam hierarki keimanan menyiratkan bahwa hal-hal lain dalam agama ini dari ibadah dan lainnya pun termasuk ke dalam kategori “iman” dengan posisi di bawah “Lailahaillallah”. Kalimat ini tentunya dipenuhi dengan keberkahan dan banyak sekali keutamaan yang bisa menjadi sebuah pembahasan panjang jika diulik lebih dalam, tetapi mari kita sebutkan beberapa di antaranya, seperti: Pertama: Bahwa para rasul ‘alaihimussalam membuka dakwah mereka dengan kalimat ini. Allah Ta’ala berfirman, وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِىٓ إِلَيْهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعْبُدُونِ “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah dengan hak) selain Aku, maka sembahlah Aku!’” (QS. Al-Anbiya: 25) Senada dengan ini, Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadisnya pernah menyampaikan bahwa kalimat tauhid inilah, kalimat paling utama yang pernah ia shallallahu ‘alaihi wasallam dan para rasul sebelumnya ucapkan. Sebagaimana hadis dari Nabi yang diriwayatkan oleh Sahabat Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, أفضَلُ ما قُلْتُ أنا والنبيُّونَ من قَبْلي: لا إلهَ إلّا اللهُ “Hal paling agung yang pernah aku dan para nabi terdahulu ucapkan adalah, ‘La ilaha illallah’.” (Hasan, diriwayatkan oleh Malik no. 726, Abdurrazzaq no. 8125, dan Baihaqi no. 8464) Ketiga: Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أفضلُ الذِّكرِ لا إلهَ إلّا اللهُ وأفضَلُ الدُّعاءِ الحمدُ للهِ “Zikir yang paling utama adalah ‘Lailahaillallah’ dan doa yang paling utama adalah ‘alhamdulillah’.” (HR. Ibnu Hibban no. 846 dalam “Shahih”-nya, Tirmidzi no. 3383, Ibnu Majah no. 3800, dan Hakim no. 1834) Keempat: Hadis yang disebutkan di awal pun sudah cukup menunjukkan betapa kalimat tauhid ini punya keutamaan yang besar, ditunjukkan oleh Nabi dengan disebutkannya dan ditempatkannya di cabang tertinggi dalam hierarki keimanan. Hal ini juga menunjukkan bahwa perhatian terhadap tauhid, terkhusus pemahaman, pemaknaan, dan pengamalannya sudah sepatutnya diposisikan dalam prioritas tinggi dibandingkan amalan dan perkara agama yang selainnya. Baca juga: Membangun Kokohnya Iman dan Amal Dimensi perbuatan (zahir) Kalau ada cabang tingkat teratas dan paling utama, berarti ada pula yang paling bawah dan ringannya. Dalam hal ini adalah “menyingkirkan gangguan dari jalan” yang mewakili dimensi perbuatan atau amalan zahir yang termasuk ke dalam cakupan keimanan. Disebutkannya poin ini menunjukan bahwa iman itu bukan hanya keyakinan saja, atau bukan hanya ucapan di lisan saja, tetapi juga ada amalan-amalan zahir yang dilakukan oleh anggota tubuh yang termasuk dalam iman. “Menyingkirkan gangguan dari jalan” juga memiliki hikmah berupa anjuran dan urgensi berbuat kebaikan kepada sesama hamba Allah dengan bagaimanapun bentuk kebaikannya, semudah dan sebisa yang dapat dilakukan. Seperti menyingkirkan gangguan yang terkesan remeh dan ringan, terlebih bukan suatu amalan yang bersifat ritual keagamaan, tetapi justru sesuatu yang remeh dan ringan itu mendapat posisi dalam cabang keimanan dan berarti memiliki nilai kemuliaan tersendiri di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tentu saja dengan catatan kebaikan yang tetap tidak menyelisihi syariat. Mengapa yang disebutkan dalam hadis adalah “menyingkirkan gangguan dari jalan”? Beberapa poin yang mungkin bisa menjawab di antaranya, Pertama: Mewakili dimensi amalan bil jawarih (dengan anggota tubuh) atau zahir, Kedua: Karena ini adalah amalan remeh dan ringan di mata manusia, tetapi bernilai di sisi Allah, Ketiga: Karena tidak semua orang bisa melakukan ini. Setidaknya ada tiga tipe orang yang berkaitan dengan gangguan di jalan, yaitu: 1) Orang yang menaruh atau membuat gangguan di jalan, 2) Orang yang membiarkan saja gangguan yang ada di jalan, dan 3) Orang yang menyingkirkan gangguan yang ada di jalan, dan tipe inilah yang mendapat predikat kemuliaan. Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu juga meriwayatkan hadis lain yang senada dengan pembahasan ini, بيْنَما رَجُلٌ يَمْشِي بطَرِيقٍ، وجَدَ غُصْنَ شَوْكٍ على الطَّرِيقِ، فأخَذَهُ، فَشَكَرَ اللَّهُ له، فَغَفَرَ له. “Suatu ketika seorang lelaki sedang berjalan dan menemukan sebatang ranting berduri. Ia lalu mengambilnya, dan Allah pun menyambut perbuatannya dengan syukur dan mengampuni segala dosanya.” (HR. Bukhari no. 2472 dalam “Shahih”-nya dan Muslim no. 1914) Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan bahwa kemudian Allah memasukkan orang tersebut ke dalam surga. Jika hanya sekadar menyingkirkan gangguan dari jalan saja sudah termasuk ke dalam cakupan cabang keimanan dan bahkan bisa menjadi sebab diampuninya dosa sampai pada akhirnya dimasukkan ke dalam surga, bagaimana dengan amalan-amalan lain yang bersifat ritual dan telah jelas anjuran ataupun perintahnya serta tata cara dan keutamaannya? Tentu saja lebih utama. Ini berarti bahwa perbuatan dan amalan zahir juga termasuk ke dalam iman. Dimensi hati (batin) Hal lain yang termasuk ke dalam keimanan dan berada dalam cabang tingkatan keimanan adalah rasa malu yang mewakili dimensi hati (batin) dan posisinya antara kalimat tauhid dan menyingkirkan gangguan dari jalan. Disebutkannya rasa malu (al-haya’) sebagai salah satu cabang keimanan menunjukkan bahwa rasa malu adalah bagian penting dari keimanan, khususnya dalam ranah batin. Ketika tertanam kuat dalam hati, maka ia akan berfungsi sebagai penghalang dari perbuatan tercela dan pendorong untuk melakukan kebaikan. Jika sifat ini hilang, seseorang tidak lagi memiliki batasan moral dan menjadi rentan terhadap segala bentuk keburukan. Inilah hal yang perlu digarisbawahi dalam perkara malu serta korelasinya dengan iman, bahwa hilangnya rasa malu adalah awal dari kehancuran moral, selaras dengan nasihat kenabian terdahulu dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Uqbah bin Amr radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ ممّا أدْرَكَ النّاسُ مِن كَلامِ النُّبُوَّةِ الأُولى: إذا لَمْ تَسْتَحْيِ فاصْنَعْ ما شِئْتَ “Sesungguhnya salah satu warisan ucapan kenabian terdahulu yang masih dijumpai manusia adalah ‘Jika engkau tidak memiliki rasa malu, maka silakan lakukan apa saja yang engkau mau.’” Pembahasan tentang cabang, tingkatan, atau hierarki keimanan adalah hal yang sangat krusial untuk diketahui setiap muslim. Bahwa iman memiliki tingkatan, sehingga tidak sama antara satu hal yang memiliki nilai keimanan dengan hal lainnya. Bahwa iman adalah keyakinan multidimensi, mencakup dimensi hati, lisan, dan anggota tubuh. Bahwa iman seseorang bisa mengalami pasang-surut, bertambah-berkurang, sehingga harus selalu dijaga dan tidak ditinggalkan begitu saja. Seorang sahabat bernama Umair bin Habib Al-Khathmi radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Iman itu dapat bertambah (menguat) dan berkurang (melemah).” Ia kemudian melanjutkan dengan menjawab pertanyaan dari seseorang tentang bagaimana iman bertambah dan berkurang, “Saat kami terus-menerus mengingat Allah, memuji, dan mensucikan-Nya, betapa iman kami tumbuh. Namun, ketika kami terjerumus dalam kelengahan dan kelalaian, iman kami pun surut.” Keimanan sebagai realitas spiritual setiap muslim, kestabilannya sangat dipengaruhi oleh usahanya menjaga hati, pikiran, dan amal tetap terpaut kepada Allah.[1] Sekian, wallahu a’lam bis-shawab. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammad. Baca juga: Letak Pentingnya Tauhid dan Keimanan *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Disadur dari: Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr, Ahadits Al-Iman, hal. 51-58.

Jangan Ngaku Beriman Sebelum Hawa Nafsumu Mengikuti Ini – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Penulis rahimahullah berkata: Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” Imam an-Nawawi berkata, “Hadis ini sahih. Kami meriwayatkannya dalam kitab al-Hujjah dengan sanad yang sahih.” Imam an-Nawawi menilai hadis ini sebagai hadis sahih dalam kitab al-Hujjah fi Bayan al-Mahajjah, karya Abu Fath Ibrahim al-Maqdisi asy-Syafi’i rahimahullah. Kitab tersebut disusun berdasarkan prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Namun, Ibnu Rajab–rahimahullah–dalam kitab Jami’ al-‘Ulum wal-Hikam berkata: “Menilai hadis ini sahih, tidak tepat ditinjau dari berbagai aspek.” Lalu beliau menyebutkan beberapa alasan. Syaikh Ibnu Baz mengatakan: “Hadis ini lemah, tetapi maknanya tidak diragukan lagi kebenarannya.” “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” Ahmad Salamah, tahukah engkau apa makna asal dari kata hawa? Maknanya adalah kecondongan kepada sesuatu yang menyelisihi kebenaran. Itulah makna asal dari kata hawa. Namun, terkadang kata hawa juga digunakan untuk merujuk pada kecenderungan dan cinta. Pernahkah Anda mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya atau bersabda sesuatu tentang hawa nafsu? Pertanyaan ini pernah diajukan seorang Tabi’in kepada Shafwan bin Assal radhiyallahu ‘anhu wa ardhahu. Ia menjawab: “Hawa nafsu berarti cinta… hawa nafsu berarti cinta.” Jadi, tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga kecondongan hati, cinta, dan hawa nafsunya tunduk kepada risalah yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, siapa yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, pasti ia juga mencintai apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia juga membenci apa saja yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, Ia akan ridha terhadap apa yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pun akan murka terhadap apa yang membuat Allah dan Rasul-Nya murka. Ketika seseorang terjerumus dalam kemaksiatan, itu menunjukkan adanya kekurangan dalam apa? Kekurangan dalam kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun, tidak bisa dikatakan bahwa orang yang bermaksiat berarti tidak mencintai Allah. Tidaklah demikian. Dikisahkan, dulu ada seseorang yang dicambuk karena meminum khamr. Salah seorang Sahabat pun berkata: “Semoga Allah melaknatnya! Betapa sering ia dicambuk karena minum khamr!” Nabi lalu bersabda: “Janganlah kamu melaknatnya!” Perhatikan, wahai saudara-saudaraku, perasaan seseorang harus dikendalikan dengan aturan syariat. Kemudian Nabi melanjutkan: “Sesungguhnya aku tahu bahwa ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Padahal, orang itu minum khamr. Namun, tidak diragukan bahwa terjatuh dalam kemaksiatan adalah tanda kurangnya kecintaan seseorang kepada Allah. Karena, seandainya ia mencintai Allah dengan cinta yang sempurna …niscaya ia akan mencintai apa yang dicintai oleh Allah dan membenci apa yang dibenci oleh-Nya. Ada tiga perkara yang jika seseorang memilikinya, maka ia akan merasakan manisnya iman: Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. Ia mencintai seseorang hanya karena Allah. Cinta kepada Allah adalah fondasi utama. Lalu dari cinta itu bercabanglah kecintaan kepada orang-orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Juga kecintaan terhadap segala sesuatu yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Kesimpulannya, seseorang tidak bisa mencapai keimanan yang sempurna, wahai saudaraku, sampai kecenderungan dan hawa nafsunya sejalan dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. ==== قَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ قَالَ النَّوَوِيُّ حَدِيثٌ صَحِيحٌ رَوَيْنَاهُ فِي كِتَابِ الْحُجَّةِ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ النَّوَوِيُّ صَحَّحَ هَذَا الْحَدِيثَ فِي كِتَابِ الْحُجَّةُ فِي بَيَانِ الْمَحَجَّةِ لِأَبِي فَتْحٍ إِبْرَاهِيمَ الْمَقْدِسِيِّ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَالْكِتَابُ عَلَى أُصُولِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ لَكِنْ ابْنُ رَجَبٍ فِي جَامِعِ الْعُلُوْمِ وَالْحِكَمِ كَانَ يَقُولُ رَحِمَهُ اللَّهُ يَعْنِي تَصْحِيحُهُ بَعِيدٌ مِنْ وُجُوهٍ وَذَكَرَ عِدَّةَ أَوْجُهٍ الشَّيْخُ ابْنُ بَازٍ يَقُولُ هَذَا الْحَدِيثُ ضَعِيفٌ لَكِنْ مَعْنَاهُ لَا شَكَّ صَحِيحٌ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ الْأَصْلُ فِي الْهَوَى يَا أَحْمَدُ سَلَامَةَ يُطْلَقُ عَلَى مَاذَا؟ الْمَيْلُ إِلَى خِلَافِ الْحَقِّ هَذَا الْأَصْلُ فِيهِ وَقَدْ يُطْلَقُ عَلَى الْمَيْلِ وَالْمَحَبَّةِ هَلْ سَمِعْتَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُ أَوْ يَقُولُ فِي الْهَوَى شَيْئًا يَقُولُهُ أَحَدُ التَّابِعِيْنَ لِصَفْوَانَ بْنِ عَسَّالٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَرْضَاهُ يَعْنِي الْهَوَى الْمَحَبَّةُ الْهَوَى الْمَحَبَّةُ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ مَيْلُهُ وَمَحَبَّتُهُ وَهَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَنْ أَحَبَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أَحَبَّ مَا أَحَبَّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَكَرِهَ مَا كَرِهَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَرَضِيَ بِمَا رَضِيَ بِهِ اللَّهُ وَرَسُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَخِطَ مَا يُسْخِطُ اللَّهَ تَعَالَى وَرَسُولَهُ فَإِنَّ وُقُوعَ الْإِنْسَانِ فِي الْمَعَاصِي نَقْصٌ فِي مَاذَا؟ فِي مَحَبَّتِهِ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ لَا يُقَالُ كَوْنُ الإِنْسَانِ عَاصٍ فَهُوَ لَا يُحِبُّ اللَّهَ لَا وَقَدْ جِيءَ بِرَجُلٍ يُجْلَدُ فِي الْخَمْرِ فَقَالَ أَحَدُ الصَّحَابَةِ لَعَنَهُ اللَّهُ مَا أَكْثَرَ مَا يُجْلَدُ فِي الْخَمْرِ قَالَ لَا تَلْعَنْهُ شُوفُوا يَا إِخْوَانَ الْعَوَاطِفُ تُضْبَطُ بِحُدُودِ الشَّرْعِ فَإِنِّي عَلِمْتُهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مَعَ أَنَّهُ يَشْرَبُ الْخَمْرَ لَكِنْ لَا شَكَّ أَنَّ وُقُوعَ الْإِنْسَانِ فِي الْمَعَاصِي نَقْصٌ فِي مَحَبَّتِه إِذْ لَو أَحَبَّ اللَّهَ مَحَبَّةً كَامِلَة أَحَبَّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ وَأَبْغَضَ مَا يُبْغِضُهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ هَذَا يَعْنِي إِلَّا لِلهِ مَحَبَّةُ اللَّهِ أَصْلٌ لَكِنَّهَا تَفَرَّعَتْ وَامْتَدَّتْ إِلَى مَحَبَّةِ مَنْ يُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَحَبَّةِ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ تَعَالَى وَرَسُولُهُ الْمَقْصُودُ أَنَّهُ لَا يُؤْمِنُ الْإِنْسَانُ الْإِيمَانُ الْوَاجِبُ يَا إِخْوَانُ حَتَّى يَكُونَ مَيْلُهُ وَهَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جَاءَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Jangan Ngaku Beriman Sebelum Hawa Nafsumu Mengikuti Ini – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Penulis rahimahullah berkata: Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” Imam an-Nawawi berkata, “Hadis ini sahih. Kami meriwayatkannya dalam kitab al-Hujjah dengan sanad yang sahih.” Imam an-Nawawi menilai hadis ini sebagai hadis sahih dalam kitab al-Hujjah fi Bayan al-Mahajjah, karya Abu Fath Ibrahim al-Maqdisi asy-Syafi’i rahimahullah. Kitab tersebut disusun berdasarkan prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Namun, Ibnu Rajab–rahimahullah–dalam kitab Jami’ al-‘Ulum wal-Hikam berkata: “Menilai hadis ini sahih, tidak tepat ditinjau dari berbagai aspek.” Lalu beliau menyebutkan beberapa alasan. Syaikh Ibnu Baz mengatakan: “Hadis ini lemah, tetapi maknanya tidak diragukan lagi kebenarannya.” “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” Ahmad Salamah, tahukah engkau apa makna asal dari kata hawa? Maknanya adalah kecondongan kepada sesuatu yang menyelisihi kebenaran. Itulah makna asal dari kata hawa. Namun, terkadang kata hawa juga digunakan untuk merujuk pada kecenderungan dan cinta. Pernahkah Anda mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya atau bersabda sesuatu tentang hawa nafsu? Pertanyaan ini pernah diajukan seorang Tabi’in kepada Shafwan bin Assal radhiyallahu ‘anhu wa ardhahu. Ia menjawab: “Hawa nafsu berarti cinta… hawa nafsu berarti cinta.” Jadi, tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga kecondongan hati, cinta, dan hawa nafsunya tunduk kepada risalah yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, siapa yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, pasti ia juga mencintai apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia juga membenci apa saja yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, Ia akan ridha terhadap apa yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pun akan murka terhadap apa yang membuat Allah dan Rasul-Nya murka. Ketika seseorang terjerumus dalam kemaksiatan, itu menunjukkan adanya kekurangan dalam apa? Kekurangan dalam kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun, tidak bisa dikatakan bahwa orang yang bermaksiat berarti tidak mencintai Allah. Tidaklah demikian. Dikisahkan, dulu ada seseorang yang dicambuk karena meminum khamr. Salah seorang Sahabat pun berkata: “Semoga Allah melaknatnya! Betapa sering ia dicambuk karena minum khamr!” Nabi lalu bersabda: “Janganlah kamu melaknatnya!” Perhatikan, wahai saudara-saudaraku, perasaan seseorang harus dikendalikan dengan aturan syariat. Kemudian Nabi melanjutkan: “Sesungguhnya aku tahu bahwa ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Padahal, orang itu minum khamr. Namun, tidak diragukan bahwa terjatuh dalam kemaksiatan adalah tanda kurangnya kecintaan seseorang kepada Allah. Karena, seandainya ia mencintai Allah dengan cinta yang sempurna …niscaya ia akan mencintai apa yang dicintai oleh Allah dan membenci apa yang dibenci oleh-Nya. Ada tiga perkara yang jika seseorang memilikinya, maka ia akan merasakan manisnya iman: Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. Ia mencintai seseorang hanya karena Allah. Cinta kepada Allah adalah fondasi utama. Lalu dari cinta itu bercabanglah kecintaan kepada orang-orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Juga kecintaan terhadap segala sesuatu yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Kesimpulannya, seseorang tidak bisa mencapai keimanan yang sempurna, wahai saudaraku, sampai kecenderungan dan hawa nafsunya sejalan dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. ==== قَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ قَالَ النَّوَوِيُّ حَدِيثٌ صَحِيحٌ رَوَيْنَاهُ فِي كِتَابِ الْحُجَّةِ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ النَّوَوِيُّ صَحَّحَ هَذَا الْحَدِيثَ فِي كِتَابِ الْحُجَّةُ فِي بَيَانِ الْمَحَجَّةِ لِأَبِي فَتْحٍ إِبْرَاهِيمَ الْمَقْدِسِيِّ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَالْكِتَابُ عَلَى أُصُولِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ لَكِنْ ابْنُ رَجَبٍ فِي جَامِعِ الْعُلُوْمِ وَالْحِكَمِ كَانَ يَقُولُ رَحِمَهُ اللَّهُ يَعْنِي تَصْحِيحُهُ بَعِيدٌ مِنْ وُجُوهٍ وَذَكَرَ عِدَّةَ أَوْجُهٍ الشَّيْخُ ابْنُ بَازٍ يَقُولُ هَذَا الْحَدِيثُ ضَعِيفٌ لَكِنْ مَعْنَاهُ لَا شَكَّ صَحِيحٌ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ الْأَصْلُ فِي الْهَوَى يَا أَحْمَدُ سَلَامَةَ يُطْلَقُ عَلَى مَاذَا؟ الْمَيْلُ إِلَى خِلَافِ الْحَقِّ هَذَا الْأَصْلُ فِيهِ وَقَدْ يُطْلَقُ عَلَى الْمَيْلِ وَالْمَحَبَّةِ هَلْ سَمِعْتَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُ أَوْ يَقُولُ فِي الْهَوَى شَيْئًا يَقُولُهُ أَحَدُ التَّابِعِيْنَ لِصَفْوَانَ بْنِ عَسَّالٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَرْضَاهُ يَعْنِي الْهَوَى الْمَحَبَّةُ الْهَوَى الْمَحَبَّةُ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ مَيْلُهُ وَمَحَبَّتُهُ وَهَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَنْ أَحَبَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أَحَبَّ مَا أَحَبَّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَكَرِهَ مَا كَرِهَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَرَضِيَ بِمَا رَضِيَ بِهِ اللَّهُ وَرَسُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَخِطَ مَا يُسْخِطُ اللَّهَ تَعَالَى وَرَسُولَهُ فَإِنَّ وُقُوعَ الْإِنْسَانِ فِي الْمَعَاصِي نَقْصٌ فِي مَاذَا؟ فِي مَحَبَّتِهِ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ لَا يُقَالُ كَوْنُ الإِنْسَانِ عَاصٍ فَهُوَ لَا يُحِبُّ اللَّهَ لَا وَقَدْ جِيءَ بِرَجُلٍ يُجْلَدُ فِي الْخَمْرِ فَقَالَ أَحَدُ الصَّحَابَةِ لَعَنَهُ اللَّهُ مَا أَكْثَرَ مَا يُجْلَدُ فِي الْخَمْرِ قَالَ لَا تَلْعَنْهُ شُوفُوا يَا إِخْوَانَ الْعَوَاطِفُ تُضْبَطُ بِحُدُودِ الشَّرْعِ فَإِنِّي عَلِمْتُهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مَعَ أَنَّهُ يَشْرَبُ الْخَمْرَ لَكِنْ لَا شَكَّ أَنَّ وُقُوعَ الْإِنْسَانِ فِي الْمَعَاصِي نَقْصٌ فِي مَحَبَّتِه إِذْ لَو أَحَبَّ اللَّهَ مَحَبَّةً كَامِلَة أَحَبَّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ وَأَبْغَضَ مَا يُبْغِضُهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ هَذَا يَعْنِي إِلَّا لِلهِ مَحَبَّةُ اللَّهِ أَصْلٌ لَكِنَّهَا تَفَرَّعَتْ وَامْتَدَّتْ إِلَى مَحَبَّةِ مَنْ يُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَحَبَّةِ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ تَعَالَى وَرَسُولُهُ الْمَقْصُودُ أَنَّهُ لَا يُؤْمِنُ الْإِنْسَانُ الْإِيمَانُ الْوَاجِبُ يَا إِخْوَانُ حَتَّى يَكُونَ مَيْلُهُ وَهَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جَاءَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Penulis rahimahullah berkata: Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” Imam an-Nawawi berkata, “Hadis ini sahih. Kami meriwayatkannya dalam kitab al-Hujjah dengan sanad yang sahih.” Imam an-Nawawi menilai hadis ini sebagai hadis sahih dalam kitab al-Hujjah fi Bayan al-Mahajjah, karya Abu Fath Ibrahim al-Maqdisi asy-Syafi’i rahimahullah. Kitab tersebut disusun berdasarkan prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Namun, Ibnu Rajab–rahimahullah–dalam kitab Jami’ al-‘Ulum wal-Hikam berkata: “Menilai hadis ini sahih, tidak tepat ditinjau dari berbagai aspek.” Lalu beliau menyebutkan beberapa alasan. Syaikh Ibnu Baz mengatakan: “Hadis ini lemah, tetapi maknanya tidak diragukan lagi kebenarannya.” “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” Ahmad Salamah, tahukah engkau apa makna asal dari kata hawa? Maknanya adalah kecondongan kepada sesuatu yang menyelisihi kebenaran. Itulah makna asal dari kata hawa. Namun, terkadang kata hawa juga digunakan untuk merujuk pada kecenderungan dan cinta. Pernahkah Anda mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya atau bersabda sesuatu tentang hawa nafsu? Pertanyaan ini pernah diajukan seorang Tabi’in kepada Shafwan bin Assal radhiyallahu ‘anhu wa ardhahu. Ia menjawab: “Hawa nafsu berarti cinta… hawa nafsu berarti cinta.” Jadi, tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga kecondongan hati, cinta, dan hawa nafsunya tunduk kepada risalah yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, siapa yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, pasti ia juga mencintai apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia juga membenci apa saja yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, Ia akan ridha terhadap apa yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pun akan murka terhadap apa yang membuat Allah dan Rasul-Nya murka. Ketika seseorang terjerumus dalam kemaksiatan, itu menunjukkan adanya kekurangan dalam apa? Kekurangan dalam kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun, tidak bisa dikatakan bahwa orang yang bermaksiat berarti tidak mencintai Allah. Tidaklah demikian. Dikisahkan, dulu ada seseorang yang dicambuk karena meminum khamr. Salah seorang Sahabat pun berkata: “Semoga Allah melaknatnya! Betapa sering ia dicambuk karena minum khamr!” Nabi lalu bersabda: “Janganlah kamu melaknatnya!” Perhatikan, wahai saudara-saudaraku, perasaan seseorang harus dikendalikan dengan aturan syariat. Kemudian Nabi melanjutkan: “Sesungguhnya aku tahu bahwa ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Padahal, orang itu minum khamr. Namun, tidak diragukan bahwa terjatuh dalam kemaksiatan adalah tanda kurangnya kecintaan seseorang kepada Allah. Karena, seandainya ia mencintai Allah dengan cinta yang sempurna …niscaya ia akan mencintai apa yang dicintai oleh Allah dan membenci apa yang dibenci oleh-Nya. Ada tiga perkara yang jika seseorang memilikinya, maka ia akan merasakan manisnya iman: Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. Ia mencintai seseorang hanya karena Allah. Cinta kepada Allah adalah fondasi utama. Lalu dari cinta itu bercabanglah kecintaan kepada orang-orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Juga kecintaan terhadap segala sesuatu yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Kesimpulannya, seseorang tidak bisa mencapai keimanan yang sempurna, wahai saudaraku, sampai kecenderungan dan hawa nafsunya sejalan dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. ==== قَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ قَالَ النَّوَوِيُّ حَدِيثٌ صَحِيحٌ رَوَيْنَاهُ فِي كِتَابِ الْحُجَّةِ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ النَّوَوِيُّ صَحَّحَ هَذَا الْحَدِيثَ فِي كِتَابِ الْحُجَّةُ فِي بَيَانِ الْمَحَجَّةِ لِأَبِي فَتْحٍ إِبْرَاهِيمَ الْمَقْدِسِيِّ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَالْكِتَابُ عَلَى أُصُولِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ لَكِنْ ابْنُ رَجَبٍ فِي جَامِعِ الْعُلُوْمِ وَالْحِكَمِ كَانَ يَقُولُ رَحِمَهُ اللَّهُ يَعْنِي تَصْحِيحُهُ بَعِيدٌ مِنْ وُجُوهٍ وَذَكَرَ عِدَّةَ أَوْجُهٍ الشَّيْخُ ابْنُ بَازٍ يَقُولُ هَذَا الْحَدِيثُ ضَعِيفٌ لَكِنْ مَعْنَاهُ لَا شَكَّ صَحِيحٌ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ الْأَصْلُ فِي الْهَوَى يَا أَحْمَدُ سَلَامَةَ يُطْلَقُ عَلَى مَاذَا؟ الْمَيْلُ إِلَى خِلَافِ الْحَقِّ هَذَا الْأَصْلُ فِيهِ وَقَدْ يُطْلَقُ عَلَى الْمَيْلِ وَالْمَحَبَّةِ هَلْ سَمِعْتَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُ أَوْ يَقُولُ فِي الْهَوَى شَيْئًا يَقُولُهُ أَحَدُ التَّابِعِيْنَ لِصَفْوَانَ بْنِ عَسَّالٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَرْضَاهُ يَعْنِي الْهَوَى الْمَحَبَّةُ الْهَوَى الْمَحَبَّةُ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ مَيْلُهُ وَمَحَبَّتُهُ وَهَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَنْ أَحَبَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أَحَبَّ مَا أَحَبَّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَكَرِهَ مَا كَرِهَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَرَضِيَ بِمَا رَضِيَ بِهِ اللَّهُ وَرَسُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَخِطَ مَا يُسْخِطُ اللَّهَ تَعَالَى وَرَسُولَهُ فَإِنَّ وُقُوعَ الْإِنْسَانِ فِي الْمَعَاصِي نَقْصٌ فِي مَاذَا؟ فِي مَحَبَّتِهِ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ لَا يُقَالُ كَوْنُ الإِنْسَانِ عَاصٍ فَهُوَ لَا يُحِبُّ اللَّهَ لَا وَقَدْ جِيءَ بِرَجُلٍ يُجْلَدُ فِي الْخَمْرِ فَقَالَ أَحَدُ الصَّحَابَةِ لَعَنَهُ اللَّهُ مَا أَكْثَرَ مَا يُجْلَدُ فِي الْخَمْرِ قَالَ لَا تَلْعَنْهُ شُوفُوا يَا إِخْوَانَ الْعَوَاطِفُ تُضْبَطُ بِحُدُودِ الشَّرْعِ فَإِنِّي عَلِمْتُهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مَعَ أَنَّهُ يَشْرَبُ الْخَمْرَ لَكِنْ لَا شَكَّ أَنَّ وُقُوعَ الْإِنْسَانِ فِي الْمَعَاصِي نَقْصٌ فِي مَحَبَّتِه إِذْ لَو أَحَبَّ اللَّهَ مَحَبَّةً كَامِلَة أَحَبَّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ وَأَبْغَضَ مَا يُبْغِضُهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ هَذَا يَعْنِي إِلَّا لِلهِ مَحَبَّةُ اللَّهِ أَصْلٌ لَكِنَّهَا تَفَرَّعَتْ وَامْتَدَّتْ إِلَى مَحَبَّةِ مَنْ يُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَحَبَّةِ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ تَعَالَى وَرَسُولُهُ الْمَقْصُودُ أَنَّهُ لَا يُؤْمِنُ الْإِنْسَانُ الْإِيمَانُ الْوَاجِبُ يَا إِخْوَانُ حَتَّى يَكُونَ مَيْلُهُ وَهَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جَاءَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ


Penulis rahimahullah berkata: Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” Imam an-Nawawi berkata, “Hadis ini sahih. Kami meriwayatkannya dalam kitab al-Hujjah dengan sanad yang sahih.” Imam an-Nawawi menilai hadis ini sebagai hadis sahih dalam kitab al-Hujjah fi Bayan al-Mahajjah, karya Abu Fath Ibrahim al-Maqdisi asy-Syafi’i rahimahullah. Kitab tersebut disusun berdasarkan prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Namun, Ibnu Rajab–rahimahullah–dalam kitab Jami’ al-‘Ulum wal-Hikam berkata: “Menilai hadis ini sahih, tidak tepat ditinjau dari berbagai aspek.” Lalu beliau menyebutkan beberapa alasan. Syaikh Ibnu Baz mengatakan: “Hadis ini lemah, tetapi maknanya tidak diragukan lagi kebenarannya.” “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” Ahmad Salamah, tahukah engkau apa makna asal dari kata hawa? Maknanya adalah kecondongan kepada sesuatu yang menyelisihi kebenaran. Itulah makna asal dari kata hawa. Namun, terkadang kata hawa juga digunakan untuk merujuk pada kecenderungan dan cinta. Pernahkah Anda mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya atau bersabda sesuatu tentang hawa nafsu? Pertanyaan ini pernah diajukan seorang Tabi’in kepada Shafwan bin Assal radhiyallahu ‘anhu wa ardhahu. Ia menjawab: “Hawa nafsu berarti cinta… hawa nafsu berarti cinta.” Jadi, tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga kecondongan hati, cinta, dan hawa nafsunya tunduk kepada risalah yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, siapa yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, pasti ia juga mencintai apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia juga membenci apa saja yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, Ia akan ridha terhadap apa yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pun akan murka terhadap apa yang membuat Allah dan Rasul-Nya murka. Ketika seseorang terjerumus dalam kemaksiatan, itu menunjukkan adanya kekurangan dalam apa? Kekurangan dalam kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun, tidak bisa dikatakan bahwa orang yang bermaksiat berarti tidak mencintai Allah. Tidaklah demikian. Dikisahkan, dulu ada seseorang yang dicambuk karena meminum khamr. Salah seorang Sahabat pun berkata: “Semoga Allah melaknatnya! Betapa sering ia dicambuk karena minum khamr!” Nabi lalu bersabda: “Janganlah kamu melaknatnya!” Perhatikan, wahai saudara-saudaraku, perasaan seseorang harus dikendalikan dengan aturan syariat. Kemudian Nabi melanjutkan: “Sesungguhnya aku tahu bahwa ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Padahal, orang itu minum khamr. Namun, tidak diragukan bahwa terjatuh dalam kemaksiatan adalah tanda kurangnya kecintaan seseorang kepada Allah. Karena, seandainya ia mencintai Allah dengan cinta yang sempurna …niscaya ia akan mencintai apa yang dicintai oleh Allah dan membenci apa yang dibenci oleh-Nya. Ada tiga perkara yang jika seseorang memilikinya, maka ia akan merasakan manisnya iman: Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. Ia mencintai seseorang hanya karena Allah. Cinta kepada Allah adalah fondasi utama. Lalu dari cinta itu bercabanglah kecintaan kepada orang-orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Juga kecintaan terhadap segala sesuatu yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Kesimpulannya, seseorang tidak bisa mencapai keimanan yang sempurna, wahai saudaraku, sampai kecenderungan dan hawa nafsunya sejalan dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. ==== قَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ قَالَ النَّوَوِيُّ حَدِيثٌ صَحِيحٌ رَوَيْنَاهُ فِي كِتَابِ الْحُجَّةِ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ النَّوَوِيُّ صَحَّحَ هَذَا الْحَدِيثَ فِي كِتَابِ الْحُجَّةُ فِي بَيَانِ الْمَحَجَّةِ لِأَبِي فَتْحٍ إِبْرَاهِيمَ الْمَقْدِسِيِّ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَالْكِتَابُ عَلَى أُصُولِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ لَكِنْ ابْنُ رَجَبٍ فِي جَامِعِ الْعُلُوْمِ وَالْحِكَمِ كَانَ يَقُولُ رَحِمَهُ اللَّهُ يَعْنِي تَصْحِيحُهُ بَعِيدٌ مِنْ وُجُوهٍ وَذَكَرَ عِدَّةَ أَوْجُهٍ الشَّيْخُ ابْنُ بَازٍ يَقُولُ هَذَا الْحَدِيثُ ضَعِيفٌ لَكِنْ مَعْنَاهُ لَا شَكَّ صَحِيحٌ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ الْأَصْلُ فِي الْهَوَى يَا أَحْمَدُ سَلَامَةَ يُطْلَقُ عَلَى مَاذَا؟ الْمَيْلُ إِلَى خِلَافِ الْحَقِّ هَذَا الْأَصْلُ فِيهِ وَقَدْ يُطْلَقُ عَلَى الْمَيْلِ وَالْمَحَبَّةِ هَلْ سَمِعْتَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُ أَوْ يَقُولُ فِي الْهَوَى شَيْئًا يَقُولُهُ أَحَدُ التَّابِعِيْنَ لِصَفْوَانَ بْنِ عَسَّالٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَرْضَاهُ يَعْنِي الْهَوَى الْمَحَبَّةُ الْهَوَى الْمَحَبَّةُ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ مَيْلُهُ وَمَحَبَّتُهُ وَهَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَنْ أَحَبَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أَحَبَّ مَا أَحَبَّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَكَرِهَ مَا كَرِهَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَرَضِيَ بِمَا رَضِيَ بِهِ اللَّهُ وَرَسُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَخِطَ مَا يُسْخِطُ اللَّهَ تَعَالَى وَرَسُولَهُ فَإِنَّ وُقُوعَ الْإِنْسَانِ فِي الْمَعَاصِي نَقْصٌ فِي مَاذَا؟ فِي مَحَبَّتِهِ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ لَا يُقَالُ كَوْنُ الإِنْسَانِ عَاصٍ فَهُوَ لَا يُحِبُّ اللَّهَ لَا وَقَدْ جِيءَ بِرَجُلٍ يُجْلَدُ فِي الْخَمْرِ فَقَالَ أَحَدُ الصَّحَابَةِ لَعَنَهُ اللَّهُ مَا أَكْثَرَ مَا يُجْلَدُ فِي الْخَمْرِ قَالَ لَا تَلْعَنْهُ شُوفُوا يَا إِخْوَانَ الْعَوَاطِفُ تُضْبَطُ بِحُدُودِ الشَّرْعِ فَإِنِّي عَلِمْتُهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مَعَ أَنَّهُ يَشْرَبُ الْخَمْرَ لَكِنْ لَا شَكَّ أَنَّ وُقُوعَ الْإِنْسَانِ فِي الْمَعَاصِي نَقْصٌ فِي مَحَبَّتِه إِذْ لَو أَحَبَّ اللَّهَ مَحَبَّةً كَامِلَة أَحَبَّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ وَأَبْغَضَ مَا يُبْغِضُهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ هَذَا يَعْنِي إِلَّا لِلهِ مَحَبَّةُ اللَّهِ أَصْلٌ لَكِنَّهَا تَفَرَّعَتْ وَامْتَدَّتْ إِلَى مَحَبَّةِ مَنْ يُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَحَبَّةِ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ تَعَالَى وَرَسُولُهُ الْمَقْصُودُ أَنَّهُ لَا يُؤْمِنُ الْإِنْسَانُ الْإِيمَانُ الْوَاجِبُ يَا إِخْوَانُ حَتَّى يَكُونَ مَيْلُهُ وَهَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جَاءَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Panen Pahala dengan 9 Amal Saleh Ini di Bulan Ramadhan – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Ummu Muhammad dari Arab Saudi bertanya: “Wahai Syaikh, kami tengah menyambut musim yang agung, salah satu musim ketaatan, di mana pahala amal kebaikan dilipatgandakan, yaitu bulan Ramadhan.” Ia bertanya tentang amal-amal saleh yang dapat dilakukan di bulan Ramadhan. Segala bentuk ketaatan akan dilipatgandakan pahalanya di bulan Ramadhan. Saya akan menyebutkan beberapa contohnya: [PERTAMA]Menjaga puasa dari perbuatan sia-sia, ucapan kotor, membicarakan orang lain, ghibah, dan namimah, termasuk amal saleh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatan dusta maka Allah tidak membutuhkannya untuk meninggalkan makan dan minum.” (HR. Bukhari). [KEDUA]Memperbanyak membaca al-Quran. Allah Ta’ala berfirman: “Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan petunjuk itu, serta pembeda (antara yang benar dan yang batil)…” (QS. al-Baqarah: 185). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Puasa dan al-Quran akan memberikan syafaat bagi seorang hamba pada Hari Kiamat.” (HR. Ahmad). Membaca al-Quran tidak hanya dianjurkan pada siang hari. Namun, pada malam hari juga dianjurkan untuk banyak membaca al-Quran. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertadarus al-Quran dengan Jibril pada setiap malam di bulan Ramadhan. Oleh sebab itu, dianjurkan mengadakan majelis-majelis ilmu untuk mempelajari dan membaca al-Quran pada malam-malam bulan Ramadhan, dalam rangka meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [KETIGA]Memperbanyak berzikir kepada Allah, siang dan malam. [KEEMPAT]Memperbanyak berdoa, mengadukan permasalahan dan keperluan kepada Rabb semesta alam. [KELIMA]Mendirikan Shalat Malam pada bulan Ramadhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang mendirikan Shalat Malam di bulan Ramadhan dengan iman dan mengharapkan pahala…” maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari). [KEENAM]Bersedekah dan berdonasi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling dermawan, dan beliau semakin dermawan pada bulan Ramadhan, ketika malaikat Jibril menemuinya untuk bertadarus al-Quran bersamanya. [KETUJUH]Memperbaiki akhlak dan memperlakukan orang lain dengan baik. [KEDELAPAN]Mengunjungi orang yang Anda cintai karena Allah, dan bersilaturahmi. [KESEMBILAN]Berbakti kepada kedua orang tua. Semua ini adalah amal saleh, yang pahalanya akan dilipatgandakan di bulan Ramadhan. ==== أُمُّ مُحَمَّدٍ مِنَ السُّعُودِيَّةِ سَأَلَتْ شَيْخَنَا وَنَحْنُ مُقْبِلُونَ عَلَى مَوْسِمٍ عَظِيمٍ مِنْ مَوَاسِمِ الطَّاعَاتِ تَتَضَاعَفُ فِيهِ الْحَسَنَاتُ شَهْرِ رَمَضَانَ سَأَلَتْ عَنِ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ فِي رَمَضَانَ كُلُّ طَاعَةٍ مِنَ الطَّاعَاتِ فَإِنَّهُ يُضَاعَفُ أَجْرُهَا فِي شَهْرِ رَمَضَانَ سَأَذْكُرُ لِذَلِكَ نَمَاذِجَ حِفْظُ الصِّيَامِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَالْحَدِيثِ فِي الْآخَرِيْنَ وَالْغِيبَةِ وَالنَّمِيمَةِ عَمَلٌ صَالِحٌ قَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَهَكَذَا مِنَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الْإِكْثَارُ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَقَدْ قَالَ تَعَالَى شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالْقُرْآنُ لَيْسَ مُخْتَصًّا بِالنَّهَارِ دُونَ اللَّيْلِ بَلْ حَتَّى فِي اللَّيْلِ يُسْتَحَبُّ الْإِكْثَارُ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ قَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُدَارِسُ جِبْرِيلَ كُلَّ لَيْلَةٍ مِنْ لَيَالِي رَمَضَانَ وَلِذَا يُسْتَحَبُّ أَنْ يَكُونَ هُنَاكَ حَلَقَاتٌ عِلْمِيَّةٌ لِمُدَارِسَةِ الْقُرْآنُ وَقِرَاءَتِهِ فِي لَيَالِي رَمَضَانَ اقْتِدَاءً بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمِنَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الْإِكْثَارُ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا لَيْلًا وَنَهَارًا وَمِنَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الْإِكْثَارُ مِنَ الدُّعَاءِ وَعَرْضِ الْمَسَائِلِ وَالْحَوَائِجِ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَمِنْ ذَلِكَ صَلَاةُ نَافِلَةِ رَمَضَانَ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمِنْ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الصَّدَقَةُ وَالْبَذْلُ فَقَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ فَيُدَارِسَهُ الْقُرْآنَ فَهَكَذَا أَيْضًا حُسْنُ الْخُلُقِ وَالتَّعَامُلِ مَعَ الْآخَرِيْنَ زِيَارَةُ مَنْ تُحِبُّهُمْ فِي اللَّهِ وَصِلَةُ الأَرْحَامِ وَبِرُّ الْوَالِدَيْنِ هَذِهِ أَعْمَالٌ صَالِحَةٌ فَيُضَاعَفُ فِيهَا أَجْرُ الْإِنْسَانِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ

Panen Pahala dengan 9 Amal Saleh Ini di Bulan Ramadhan – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Ummu Muhammad dari Arab Saudi bertanya: “Wahai Syaikh, kami tengah menyambut musim yang agung, salah satu musim ketaatan, di mana pahala amal kebaikan dilipatgandakan, yaitu bulan Ramadhan.” Ia bertanya tentang amal-amal saleh yang dapat dilakukan di bulan Ramadhan. Segala bentuk ketaatan akan dilipatgandakan pahalanya di bulan Ramadhan. Saya akan menyebutkan beberapa contohnya: [PERTAMA]Menjaga puasa dari perbuatan sia-sia, ucapan kotor, membicarakan orang lain, ghibah, dan namimah, termasuk amal saleh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatan dusta maka Allah tidak membutuhkannya untuk meninggalkan makan dan minum.” (HR. Bukhari). [KEDUA]Memperbanyak membaca al-Quran. Allah Ta’ala berfirman: “Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan petunjuk itu, serta pembeda (antara yang benar dan yang batil)…” (QS. al-Baqarah: 185). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Puasa dan al-Quran akan memberikan syafaat bagi seorang hamba pada Hari Kiamat.” (HR. Ahmad). Membaca al-Quran tidak hanya dianjurkan pada siang hari. Namun, pada malam hari juga dianjurkan untuk banyak membaca al-Quran. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertadarus al-Quran dengan Jibril pada setiap malam di bulan Ramadhan. Oleh sebab itu, dianjurkan mengadakan majelis-majelis ilmu untuk mempelajari dan membaca al-Quran pada malam-malam bulan Ramadhan, dalam rangka meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [KETIGA]Memperbanyak berzikir kepada Allah, siang dan malam. [KEEMPAT]Memperbanyak berdoa, mengadukan permasalahan dan keperluan kepada Rabb semesta alam. [KELIMA]Mendirikan Shalat Malam pada bulan Ramadhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang mendirikan Shalat Malam di bulan Ramadhan dengan iman dan mengharapkan pahala…” maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari). [KEENAM]Bersedekah dan berdonasi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling dermawan, dan beliau semakin dermawan pada bulan Ramadhan, ketika malaikat Jibril menemuinya untuk bertadarus al-Quran bersamanya. [KETUJUH]Memperbaiki akhlak dan memperlakukan orang lain dengan baik. [KEDELAPAN]Mengunjungi orang yang Anda cintai karena Allah, dan bersilaturahmi. [KESEMBILAN]Berbakti kepada kedua orang tua. Semua ini adalah amal saleh, yang pahalanya akan dilipatgandakan di bulan Ramadhan. ==== أُمُّ مُحَمَّدٍ مِنَ السُّعُودِيَّةِ سَأَلَتْ شَيْخَنَا وَنَحْنُ مُقْبِلُونَ عَلَى مَوْسِمٍ عَظِيمٍ مِنْ مَوَاسِمِ الطَّاعَاتِ تَتَضَاعَفُ فِيهِ الْحَسَنَاتُ شَهْرِ رَمَضَانَ سَأَلَتْ عَنِ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ فِي رَمَضَانَ كُلُّ طَاعَةٍ مِنَ الطَّاعَاتِ فَإِنَّهُ يُضَاعَفُ أَجْرُهَا فِي شَهْرِ رَمَضَانَ سَأَذْكُرُ لِذَلِكَ نَمَاذِجَ حِفْظُ الصِّيَامِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَالْحَدِيثِ فِي الْآخَرِيْنَ وَالْغِيبَةِ وَالنَّمِيمَةِ عَمَلٌ صَالِحٌ قَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَهَكَذَا مِنَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الْإِكْثَارُ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَقَدْ قَالَ تَعَالَى شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالْقُرْآنُ لَيْسَ مُخْتَصًّا بِالنَّهَارِ دُونَ اللَّيْلِ بَلْ حَتَّى فِي اللَّيْلِ يُسْتَحَبُّ الْإِكْثَارُ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ قَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُدَارِسُ جِبْرِيلَ كُلَّ لَيْلَةٍ مِنْ لَيَالِي رَمَضَانَ وَلِذَا يُسْتَحَبُّ أَنْ يَكُونَ هُنَاكَ حَلَقَاتٌ عِلْمِيَّةٌ لِمُدَارِسَةِ الْقُرْآنُ وَقِرَاءَتِهِ فِي لَيَالِي رَمَضَانَ اقْتِدَاءً بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمِنَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الْإِكْثَارُ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا لَيْلًا وَنَهَارًا وَمِنَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الْإِكْثَارُ مِنَ الدُّعَاءِ وَعَرْضِ الْمَسَائِلِ وَالْحَوَائِجِ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَمِنْ ذَلِكَ صَلَاةُ نَافِلَةِ رَمَضَانَ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمِنْ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الصَّدَقَةُ وَالْبَذْلُ فَقَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ فَيُدَارِسَهُ الْقُرْآنَ فَهَكَذَا أَيْضًا حُسْنُ الْخُلُقِ وَالتَّعَامُلِ مَعَ الْآخَرِيْنَ زِيَارَةُ مَنْ تُحِبُّهُمْ فِي اللَّهِ وَصِلَةُ الأَرْحَامِ وَبِرُّ الْوَالِدَيْنِ هَذِهِ أَعْمَالٌ صَالِحَةٌ فَيُضَاعَفُ فِيهَا أَجْرُ الْإِنْسَانِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ
Ummu Muhammad dari Arab Saudi bertanya: “Wahai Syaikh, kami tengah menyambut musim yang agung, salah satu musim ketaatan, di mana pahala amal kebaikan dilipatgandakan, yaitu bulan Ramadhan.” Ia bertanya tentang amal-amal saleh yang dapat dilakukan di bulan Ramadhan. Segala bentuk ketaatan akan dilipatgandakan pahalanya di bulan Ramadhan. Saya akan menyebutkan beberapa contohnya: [PERTAMA]Menjaga puasa dari perbuatan sia-sia, ucapan kotor, membicarakan orang lain, ghibah, dan namimah, termasuk amal saleh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatan dusta maka Allah tidak membutuhkannya untuk meninggalkan makan dan minum.” (HR. Bukhari). [KEDUA]Memperbanyak membaca al-Quran. Allah Ta’ala berfirman: “Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan petunjuk itu, serta pembeda (antara yang benar dan yang batil)…” (QS. al-Baqarah: 185). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Puasa dan al-Quran akan memberikan syafaat bagi seorang hamba pada Hari Kiamat.” (HR. Ahmad). Membaca al-Quran tidak hanya dianjurkan pada siang hari. Namun, pada malam hari juga dianjurkan untuk banyak membaca al-Quran. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertadarus al-Quran dengan Jibril pada setiap malam di bulan Ramadhan. Oleh sebab itu, dianjurkan mengadakan majelis-majelis ilmu untuk mempelajari dan membaca al-Quran pada malam-malam bulan Ramadhan, dalam rangka meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [KETIGA]Memperbanyak berzikir kepada Allah, siang dan malam. [KEEMPAT]Memperbanyak berdoa, mengadukan permasalahan dan keperluan kepada Rabb semesta alam. [KELIMA]Mendirikan Shalat Malam pada bulan Ramadhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang mendirikan Shalat Malam di bulan Ramadhan dengan iman dan mengharapkan pahala…” maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari). [KEENAM]Bersedekah dan berdonasi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling dermawan, dan beliau semakin dermawan pada bulan Ramadhan, ketika malaikat Jibril menemuinya untuk bertadarus al-Quran bersamanya. [KETUJUH]Memperbaiki akhlak dan memperlakukan orang lain dengan baik. [KEDELAPAN]Mengunjungi orang yang Anda cintai karena Allah, dan bersilaturahmi. [KESEMBILAN]Berbakti kepada kedua orang tua. Semua ini adalah amal saleh, yang pahalanya akan dilipatgandakan di bulan Ramadhan. ==== أُمُّ مُحَمَّدٍ مِنَ السُّعُودِيَّةِ سَأَلَتْ شَيْخَنَا وَنَحْنُ مُقْبِلُونَ عَلَى مَوْسِمٍ عَظِيمٍ مِنْ مَوَاسِمِ الطَّاعَاتِ تَتَضَاعَفُ فِيهِ الْحَسَنَاتُ شَهْرِ رَمَضَانَ سَأَلَتْ عَنِ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ فِي رَمَضَانَ كُلُّ طَاعَةٍ مِنَ الطَّاعَاتِ فَإِنَّهُ يُضَاعَفُ أَجْرُهَا فِي شَهْرِ رَمَضَانَ سَأَذْكُرُ لِذَلِكَ نَمَاذِجَ حِفْظُ الصِّيَامِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَالْحَدِيثِ فِي الْآخَرِيْنَ وَالْغِيبَةِ وَالنَّمِيمَةِ عَمَلٌ صَالِحٌ قَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَهَكَذَا مِنَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الْإِكْثَارُ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَقَدْ قَالَ تَعَالَى شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالْقُرْآنُ لَيْسَ مُخْتَصًّا بِالنَّهَارِ دُونَ اللَّيْلِ بَلْ حَتَّى فِي اللَّيْلِ يُسْتَحَبُّ الْإِكْثَارُ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ قَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُدَارِسُ جِبْرِيلَ كُلَّ لَيْلَةٍ مِنْ لَيَالِي رَمَضَانَ وَلِذَا يُسْتَحَبُّ أَنْ يَكُونَ هُنَاكَ حَلَقَاتٌ عِلْمِيَّةٌ لِمُدَارِسَةِ الْقُرْآنُ وَقِرَاءَتِهِ فِي لَيَالِي رَمَضَانَ اقْتِدَاءً بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمِنَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الْإِكْثَارُ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا لَيْلًا وَنَهَارًا وَمِنَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الْإِكْثَارُ مِنَ الدُّعَاءِ وَعَرْضِ الْمَسَائِلِ وَالْحَوَائِجِ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَمِنْ ذَلِكَ صَلَاةُ نَافِلَةِ رَمَضَانَ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمِنْ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الصَّدَقَةُ وَالْبَذْلُ فَقَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ فَيُدَارِسَهُ الْقُرْآنَ فَهَكَذَا أَيْضًا حُسْنُ الْخُلُقِ وَالتَّعَامُلِ مَعَ الْآخَرِيْنَ زِيَارَةُ مَنْ تُحِبُّهُمْ فِي اللَّهِ وَصِلَةُ الأَرْحَامِ وَبِرُّ الْوَالِدَيْنِ هَذِهِ أَعْمَالٌ صَالِحَةٌ فَيُضَاعَفُ فِيهَا أَجْرُ الْإِنْسَانِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ


Ummu Muhammad dari Arab Saudi bertanya: “Wahai Syaikh, kami tengah menyambut musim yang agung, salah satu musim ketaatan, di mana pahala amal kebaikan dilipatgandakan, yaitu bulan Ramadhan.” Ia bertanya tentang amal-amal saleh yang dapat dilakukan di bulan Ramadhan. Segala bentuk ketaatan akan dilipatgandakan pahalanya di bulan Ramadhan. Saya akan menyebutkan beberapa contohnya: [PERTAMA]Menjaga puasa dari perbuatan sia-sia, ucapan kotor, membicarakan orang lain, ghibah, dan namimah, termasuk amal saleh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatan dusta maka Allah tidak membutuhkannya untuk meninggalkan makan dan minum.” (HR. Bukhari). [KEDUA]Memperbanyak membaca al-Quran. Allah Ta’ala berfirman: “Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan petunjuk itu, serta pembeda (antara yang benar dan yang batil)…” (QS. al-Baqarah: 185). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Puasa dan al-Quran akan memberikan syafaat bagi seorang hamba pada Hari Kiamat.” (HR. Ahmad). Membaca al-Quran tidak hanya dianjurkan pada siang hari. Namun, pada malam hari juga dianjurkan untuk banyak membaca al-Quran. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertadarus al-Quran dengan Jibril pada setiap malam di bulan Ramadhan. Oleh sebab itu, dianjurkan mengadakan majelis-majelis ilmu untuk mempelajari dan membaca al-Quran pada malam-malam bulan Ramadhan, dalam rangka meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [KETIGA]Memperbanyak berzikir kepada Allah, siang dan malam. [KEEMPAT]Memperbanyak berdoa, mengadukan permasalahan dan keperluan kepada Rabb semesta alam. [KELIMA]Mendirikan Shalat Malam pada bulan Ramadhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang mendirikan Shalat Malam di bulan Ramadhan dengan iman dan mengharapkan pahala…” maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari). [KEENAM]Bersedekah dan berdonasi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling dermawan, dan beliau semakin dermawan pada bulan Ramadhan, ketika malaikat Jibril menemuinya untuk bertadarus al-Quran bersamanya. [KETUJUH]Memperbaiki akhlak dan memperlakukan orang lain dengan baik. [KEDELAPAN]Mengunjungi orang yang Anda cintai karena Allah, dan bersilaturahmi. [KESEMBILAN]Berbakti kepada kedua orang tua. Semua ini adalah amal saleh, yang pahalanya akan dilipatgandakan di bulan Ramadhan. ==== أُمُّ مُحَمَّدٍ مِنَ السُّعُودِيَّةِ سَأَلَتْ شَيْخَنَا وَنَحْنُ مُقْبِلُونَ عَلَى مَوْسِمٍ عَظِيمٍ مِنْ مَوَاسِمِ الطَّاعَاتِ تَتَضَاعَفُ فِيهِ الْحَسَنَاتُ شَهْرِ رَمَضَانَ سَأَلَتْ عَنِ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ فِي رَمَضَانَ كُلُّ طَاعَةٍ مِنَ الطَّاعَاتِ فَإِنَّهُ يُضَاعَفُ أَجْرُهَا فِي شَهْرِ رَمَضَانَ سَأَذْكُرُ لِذَلِكَ نَمَاذِجَ حِفْظُ الصِّيَامِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَالْحَدِيثِ فِي الْآخَرِيْنَ وَالْغِيبَةِ وَالنَّمِيمَةِ عَمَلٌ صَالِحٌ قَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَهَكَذَا مِنَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الْإِكْثَارُ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَقَدْ قَالَ تَعَالَى شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالْقُرْآنُ لَيْسَ مُخْتَصًّا بِالنَّهَارِ دُونَ اللَّيْلِ بَلْ حَتَّى فِي اللَّيْلِ يُسْتَحَبُّ الْإِكْثَارُ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ قَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُدَارِسُ جِبْرِيلَ كُلَّ لَيْلَةٍ مِنْ لَيَالِي رَمَضَانَ وَلِذَا يُسْتَحَبُّ أَنْ يَكُونَ هُنَاكَ حَلَقَاتٌ عِلْمِيَّةٌ لِمُدَارِسَةِ الْقُرْآنُ وَقِرَاءَتِهِ فِي لَيَالِي رَمَضَانَ اقْتِدَاءً بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمِنَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الْإِكْثَارُ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا لَيْلًا وَنَهَارًا وَمِنَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الْإِكْثَارُ مِنَ الدُّعَاءِ وَعَرْضِ الْمَسَائِلِ وَالْحَوَائِجِ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَمِنْ ذَلِكَ صَلَاةُ نَافِلَةِ رَمَضَانَ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمِنْ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الصَّدَقَةُ وَالْبَذْلُ فَقَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ فَيُدَارِسَهُ الْقُرْآنَ فَهَكَذَا أَيْضًا حُسْنُ الْخُلُقِ وَالتَّعَامُلِ مَعَ الْآخَرِيْنَ زِيَارَةُ مَنْ تُحِبُّهُمْ فِي اللَّهِ وَصِلَةُ الأَرْحَامِ وَبِرُّ الْوَالِدَيْنِ هَذِهِ أَعْمَالٌ صَالِحَةٌ فَيُضَاعَفُ فِيهَا أَجْرُ الْإِنْسَانِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ
Prev     Next